laporan bakso ikan
DESCRIPTION
bakso ikanTRANSCRIPT
V. PEMBAHASAN
Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata
rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi mutu. Menurut Afrianto &
Liviawaty (1989), baik buruknya penanganan ikan segar akan mempengaruhi
mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai bahan mentah untuk proses
pengolahan lebih lanjut.
Tingkat kesegaran ikan akan semakin cepat menurun atau ikan akan
mudah menjadi busuk pada suhu tinggi dan sebaliknya pembusukan dapat
dihambat pada suhu rendah (Suparno et al.1993). terdapat dua acara untuk
menghambat pembusukan pada ikan, yaitu penanganan hasil perikanan dengan
bersih dan perlakuan pendinginan.
Ikan segar yang mendapatkan penanganan tepat dapat diolah menjadi
produk pangan dengan kwalitas baik. Salah satu produk pangan olahan berbahan
dasar daging ikan adalah bakso ikan. Bakso adalah salah satu bentuk olahan
restrukturisasi daging yang merupakan produk pangan berbentuk bola atau yang
lain, yang diperoleh dari campuran daging / ikan yang telah dihaluskan dengan
cara digiling (kadar daging/ikan minimal 50%) dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan bahan-bahan kimia lain serta bahan tambahan makanan yang
diijinkan (SNI, 1995).
Praktikum pengamatan terhadap ikan hasil penanganan telah dilakukan
terhadap beberapa ekor ikan dengan jenis yang berbeda yaitu ikan air tawar
berupa ikan mas hidup, ikan kembung mati dan ikan nila mati serta ikan laut
berupa ikan kembung. Ikan-ikan sampel telah terlebih dahulu mengalami proses
pendinginan atau refrigerasi dengan waktu berbeda untuk masing masing tiap
jenisnya. Selain praktikum penanganan ikan segar juga dilakukan pembuatan
bakso berbahan dasar daging ikan. Ikan yang digunakan dalam praktikum
merupakan jenis ikan gabus yang telah di fillet.
5.1. Penanganan Ikan Segar
Ikan yang menjadi sampel untuk diamati kwalitasnya berupa empat jenis
ikan yaitu ikan Mas yang masih hidup, ikan Nila, satu jenis ikan laut, serta ikan
kembung banjar yang sudah mati. Seluruh ikan diamati, dua diantaranya yaitu
iakn laut, dan ikan kembung diamati setelah proses pendinginan terlebih dahulu.
Kriteria pengamatan yang digunakan yaitu kondisi mata, insang, tekstur, kulit dan
lender, perut dan daging, bau serta sisik ikan. Hasilnya sebagaimana dapat dilihat
dalam bab hasil pengamatan.
Menurut Zakaria (2008), faktor-faktor yang mempengeruhi kemunduran
ikan secara internal sebagai berikut:
Jenis ikan
Umur dan ukuran ikan
Kandungan lemak
Kondisi fisik ikan
Karakteistik kulit dan bentuk tubuh
Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kemunduran mutu
ikan adalah sebangai berikut:
Pengaruh alat tangkat
Penanganan pasca panen yang dilakukan nelayan
Musim
Wilayah penangkapan
Suhu air saat ikan ditangkap
Ikan Mas hidup menunjukan kondisi mata yang jernih dan insangnya
merah cerah, sementara ikan nila yang mati bermata kelabu dan bola matanya
cekung dengan insang coklat dan berlendir, insang ikan laut memiliki kondisi
mata yang sama dengan warna insang merah gelap. Ikan kembung memiliki mata
yang merah keruh dna insangnya kecoklatan. Insang merupakan alat pernafasan
bagi ikan, pada insang terjadi pertukaran O2 dan CO2. Sehingga ikan segar
memiliki warna insang yang merah sementara seiring dengan penurunan kualitas
insang ikan akan berwarna semakin coklat.
Salah satu fase dalam kemunduran kualitas ikan adalah ikan menjadi
berlendir. Berturut turut ikan dengan lendir paling tebal adalah ikan kembung,
ikan Nila, ikan Mas hidup, dan ikan laut. Semestinya ikan laut juga mengalami
hyperaemia, namun kemungkinan karena proses pendinginan maka lendir ikan
laut tidak begitu banyak. Selain berlendir, tekstur ikan juga menunjukan tingkat
penurunan kualitas ikan, ikan mas hidup menunjukan tekstur yang elastis, disusul
ikan Nila, ikan laut dan ikan kembung yangmana tekstur tubuhnya semakin lunak
dan mudah hancur. Berdasarkan ciri-ciri ini dapat dikatakan bahwa ikan telah
mengalami fase prerigor, yaitu peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah
permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari
glikoprotein dan musim yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan dan
bakteri (Juniarto, 2003).
Secara singkat setelah kematian, ikan mengalami tiga fase reaksi pada
tubuhnya yaitu ;
1. Prerigor
Fase prerigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati.
Ditandai dengan melepasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan
mudah dilenturkan perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah yang
membawa oksigen untuk kegiatan metabolismenya. Meskiputn telah mati didalam
tubuh ikan masih berlangsung proses enzymatik proses ini berjalan tanpa kendari
sehingga mengakibatkan perubahan biokimia yang luar biasa (Pradana, 2008).
2. Rigor Mortis
Fase ini ditandai dengan tubuh ikan yang kejang setelah ikan mati (rigor =
kaku, mortis = mati) ikan masih dikatakan masih sangat segar pada fase ini. Tahap
ini ditandai dengan tubuh ikan yang mengejang setelah ikan mati akibat proses-
proses biokimia yang kompleks di dalam jaringan tubuh, yang menghasilkan
kontraksi dan menghasilkan ketegangan ( Muriarti dan Sunarman, 2000).
3. Postrigor
Pada tahap ini ikan kembali membusuk secara perlahan-lahan, sehingga
secara organoleptik akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen sampai
pada tingkat optimal. Lamanya mencapai tingkat optimal tergantung pada jenis
ikan dan suhu lingkungan. Darah ikan lebih cepat menggumpal daripada hewan-
hewan darat (Sulistyati, 2004).
4. Autolisis
Proses penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai akasi kegiatan
enzim yang menguri senyawa kimia kepada jaringan tubuh ikan. Enzim bertindak
sebagai katalisator yang menjadi pendorong dari segala perubahan senyawa
biologis yang terdapat dalam ikan, baik perubahan yang sifatnya membangun sel
dan jaringan tubuh maupun yang merombaknya ( Suwetja. 2011)
5. Bakterolisis
Penurunan mutu secara bakterial adalah tahap dimana bakteri mulai
banyak dan secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh
bakteri mulai berlangsung secara intensif setelah rigor mortis berlalu, yaitu:
setelah danging mengendur dan selah-selah seratnya terisi cairan. Proses
kemundura mutu ikan dapat dihambat dengan menggunakan suhu rendah aktivitas
enzim menjadi terhambat (Valtria, 2010).
Kriteria pengamatan lainnya adalah isi perut ikan, bau serta kondisi sisik.
Ikan segar menunjukan sayatan daging cemerlang dan melekat kuat dengan bau
khas ikan segar dan sisik yang mengkilat. Berbeda dengan ikan segar, kondisi
ikan paling buruk yaitu ikan kembung dengan perut yang mudah sobek dan
mudah hancur, bau amis menyengat, dan sisik mudah lepas. Sementara ikan Nila
memiliki warna daging agak cemerlang namun baunya busuk dan sisik keras dan
agak mudah lepas. Ikan laut memiliki warna daging yang tidak cerah namun
menempel lebih kuat pada tulang, dengan bau yang amis.
Secara keseluruhan ikan yang masih hidup memiliki kualitas dan kondisi
yang paling baik diantara semuanya dikarenakan ikan segar baru memasuki fase
rigor mortis, sementara ikan Nila, ikan laut, dan ikan kembung banjar telah
memasuki fase post rigor hingga autolysis.
Ikan laut memiliki kondisi lebih baik daripada ikan kembung dan ikan
Nila disebabkan proses pendinginan yang sebelumnya telah dilakukan.
Pendinginan atau refrigerasi adalah penyimpanan dengan suhu rata-rata digunakan
masih diatas titik beku bahan dengan kisaran -1oC sampai 4oC. Pertumbuhan
bakteri dan proses biokimia akan terhambat pada suhu tersebut, meski begitu
proses pendinginan tidak dapat mencegah kebusukan, dan hanya mengawetkan
bahan pangan selama beberapa waktu.
5.2. Pembuatan Bakso Ikan
Pembuatan bakso ikan dilakukan dengan menggunakan bahan baku utama
berupa ikan tenggiri fillet, dan penggunaan beragam imbangan tepung tapioka
berdasarkan kelompok praktikum. Hasil pengamatan sebagaimana terlampir
dalam bab 4, dengan kriteria pengamatan meliputi sifat organoleptik, serta
rendemen bakso ikan.
Pertama-tama ikan fillet dipisahkan antara daging dengan kulit ikan
beserta tulangnya, hal ini dilakukan karena kuulit dan tulang ikan bukan termasuk
bahan baku pembuatan bakso ikan. Daging yang telah dipisahkan kemudian
digiling hingga lebih halus menggunakan penggiling daging. Daging ikan giling
kemudian direndam menggunakan air es selama sepuluh menit dan ditiriskan.
Perendaman dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kandungan rea dan
mengurangi bau amis daging ikan, menurut Suparno (1992) dikutip Rahayu &
Djaafar (2001) pencucian berulang menggunakan air dingin dapat mengurangi
kandungan urea hingga 50%.
Daging ikan giling kemudian siap menjadi adonan dengan penambahan
tepung tapioka sebanyak 25%, 30%, dan 35%, putih telur sebagai pengikat
adonan, serta bumbu berupa bawang putih giling dan merica. Setelah adonan
selesai, disiapkan air mendidih diatas wajan, satu persatu bakso ikan dicetak dan
dimasukan ke dalam wajan. Bakso yang telah matang ditandai dengan mengapung
ke permukaan, bakso ikan siap untuk disajikan.
Berdasarkan hasil pengamatan
VI. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E, Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kasinisius. Yogyakarta.
Rahayu, Siti., & Djaafar, Titiek F., 2001. TTG Teknologi Pengolahan Daging Ikan Cucut. Kanisius. Jakarta