laporan akhir tahun 07

Upload: manahan17

Post on 07-Jul-2015

323 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta adalah satu dari sekian banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki komitmen untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat. Dengan usianya yang telah mencapai 36 tahun 2 bulan tepatnya berdiri pada 28 Oktober 1971 di Jakarta, keberadaannya hingga sekarang tidak dapat dilepaskan dari berbagai perjuangan dan pemikiran para tokoh hukum, politik, budaya, birokrat dan sosiolog. Dari keterlibatan para tokoh, ribuan kasus masyarakat telah ditangani, ribuan pemikiran telah dilahirkan untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan berkontribusi membentuk negara dan masyarakat yang demokratis. Pencapaian yang diinginkan oleh LBH Jakarta seakan tenggelam di tengah hingar bingarnya mafia peradilan, PHK, korupsi, diskriminasi serta berbagai macam bentuk pelanggaran HAM yang setiap tahunnya terus menerus muncul. Seakan kemunculan catatan-catatan akhir tahun (Catahu) yang dikeluarkan oleh LBH bahkan media massa, kalangan LSM dan akademisi, instansi pemerintah mengenai kondisi masyarakat dan HAM dari tahun ke tahun tidak terdapat perubahan yang berarti. Namun demikian, masyarakat masih memberikan kepercayaan dan harapan terhadap kinerja LBH dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat. Hal ini terlihat dalam jumlah kasus dan orang yang terbantu sepanjang tahun 2003 hingga 2007 yang diterima. Berikut grafik dalam kurun waktu 2003-2007 :Tabe l 1 Pe r bandingan Kas us & Or ang Te rbantu32,370 21 ,409 20,837

21 ,409

1 5 0,01 1 ,026 1 ,097 1 34 ,1 1 23 ,1 1 40 ,1

2003

2004

2005Kas us Orang

2006

2007

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

Menurut Daniel S. Lev keputusasaan dapat terlupakan dengan selalu mengingat sejarah. Dalam sejarah, para tokoh dan pekerja di LBH selalu berada dibawah bayang-bayang rejim militer Soeharto tetapi tetap berkomitmen memperjuangkan sesuatu yang ideal. Meskipun kondisi hukum dan HAM pada saat sekarang tidak terjadi perubahan berarti tetapi perjuangan LBH tidak boleh berhenti. Tantangan memang semakin berat dan ancaman semakin terbuka. Berbagai isu mendunia seperti perdagangan bebas, pasar bebas serta isu neo-liberalisasi telah merubah seluruh tatanan kehidupan1

yang merugikan masyarakat miskin. Namun demikian, gerakan hukum yang dilakukan oleh LBH tidak boleh berhenti bahkan menurut Lev dari gerakan hukum LBH dapat pula memperjuangkan kepentingan masyarakat untuk melawan ketidakadilan yang senantiasa muncul.1 Gerakan bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH selama ini sejalan dengan apa yang diusulkan oleh Daniel S Lev, pertama, mewakili dan melindungi warga negara dalam proses hukum serta turut menjamin keadilan menurut hukum. Pada ranah ini, LBH senantiasa memberikan perhatian yang sangat khusus terhadap masyarakat yang sedang berperkara, terutama pada kasus-kasus struktural di mana pihak pemerintah lalai memberikan perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat. Dasar argumentasi perjuangan LBH tetap berada pada legalitas, sehingga alasan tetap terukur dan memberikan pandangan yang adil bagi suatu masalah. Kedua adalah turut menjaga pekerjaan dan integritas pengadilan, kejaksaan, polisi dan instansi lain serta praktek para advokat itu sendiri. Untuk pekerjaan ini, LBH tetap menolak segala macam bentuk mafia peradilan dan komersialisasi perkara yang sering dilakukan oleh aparatur penegak hukum. Penjagaan integritas terhadap penegak hukum senantiasa menjadi prioritas penanganan yang berbasiskan laporan-laporan masyarakat. Ketiga, turut mendidik masyarakat tentang hukum, proses hukum, prinsip hukum, hak warga negara, dan sebagainya. Keterlibatan LBH dalam hal menyebarkan pengetahuan tentang hukum dan HAM sangat membantu proses penyelesaian sebuah perkara yang berhubungan dengan sebuah kebijakan pemerintah. Kesadaran masyarakat akan proses hukum, prinsip hukum dan HAM semakin menambah kepercayaan masyarakat terhadap sebuah proses perjuangan. Perubahan pandangan terhadap suatu kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat buta hukum, miskin dan tertindas menjadi tujuan dari pendidikan tersebut.2 Dalam analisis Laporan Akhir Tahun Hukum dan HAM LBH Jakarta tahun 2007 ini akan diketengahkan permasalahan tentang hambatan pelaksanaan tiga prinsip gerakan bantuan hukum tersebut diatas. Bentuk-bentuk pelanggaran, aktor, kebijakan serta bentuk pengabaian lain akan menjadi kritikal terhadap keseriusan pemerintah dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia. Sebelum beranjak ke bab berikutnya, terlebih dahulu kita lihat pemaparan peta kasus yang masuk. Peta ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis kasus yang diterima, keadaan orang yang mengadu baik dari sisi pendidikan, penghasilan serta gender serta pihak-pihak yang telah menikmati bantuan hukum cuma-cuma yang diselenggarakan oleh LBH. Penyajian ini hanya sebuah bentuk penjelasan tentang ketepatan sasaran bantuan hukum yang dilakukan sepanjang tahun 2007. Selain itu pemanfaatan peluang perubahan kebijakan oleh LBH dengan berdasarkan data empiris dari masyarakat menjadikan gerakan bantuan hukum semakin terang dan tidak dibuat-buat. Keterlibatan masyarakat dalam memperjuangkan haknya bersama dengan LBH merupakan bukti dan fakta bahwasannya keberadaan LBH masih penting untuk mengkritisi kebijakan penguasa politik, ekonomi, hukum dan budaya.

1 2

Ceramah Daniel S. Lev dalam Refleksi 25 Tahun YLBHI (Kompas Kamis, 12 Oktober 1995)

Pandangan Daniel S. Lev sebagaimana dikutip oleh Amzulian rifai pada harian Sriwijaya Post (Rabu, 12 Juni 2002) berhubungan dengan organisasi profesi advokat. Pendapat Daniel S. Lev terdiri 6 (enam) persoalan yang harus dilakukan oleh Advokat. Namun beberapa pendapatnya sejalan dengan gerakan bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH. http://www.indomedia.com/sripo/2002/06/12/1206opini1.htm 2

B. Jenis Dan Kecenderungan Kasus Pemilahan kasus sangat membantu kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh LBH. Terdapat 5 (lima) kategori besar pemilahan kasus yang mana terbagi kedalam kasus Perburuhan, Hak Sipil dan Politik (Sipol), Perempuan dan Anak (PA), Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU) dan kasus Perdata. Kecenderungan kasus perburuhan meningkat dari 194 pada tahun 2006 menjadi 263 di tahun 2007, kasus Sipol meningkat dari 353 pada tahun 2006 menjadi 360 di tahun 2007, kasus PA menurun di tahun 2006 152 menjadi 135 di tahun 2007, kasus PMU menurun, tahun 2006 sebanyak 156 menjadi 153 kasus pada tahun 2007 dan kasus khusus menurun dari 265 pada tahun 2006 menjadi 230 di tahun 2007. Kecenderungan peningkatan pun harus dilihat pada jumlah orang yang terbantu, misalnya dalam kasus PMU meskipun menurun dalam jumlah kasus tetapi orang yang menjadi korban jauh lebih banyak dari tahun 2006. Berikut statistik dari jumlah berdasarkan jenis kasus yang berhasil dihimpun :Tabel 2 Klasifikasi Kasus 2007100,000 10,000 1,000 100 10 1Jml. Kasus Jml. Klien Buruh 263 11,851 Sipol 360 1,029 PA 135 145 PMU 153 7,471 Khusus 230 341

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

1. Kasus Perburuhan Dominasi permasalahan perburuhan masih berkutat pada PHK massal dan pembayaran hak pesangon, penghargaan dan ganti rugi. Pada kasus PHK terdapat 95 kasus dengan jumlah korban sebanyak 4,173 orang, perselisihan penghitungan pesangon sebanyak 19 kasus dengan jumlah pengadu sebanyak 4,352 pengadu. Sedangkan persoalan lain yang cukup menonjol adalah upah dibawah standar terdiri dari 35 kasus dengan jumlah korban 1,820 orang. Begitupun dengan hak normatif lainnya seperti pendaftaran pekerja sebagai anggota jamsostek selalu diabaikan oleh pengusaha. Terdapat 2 kasus jamsostek dengan jumlah pekerja yang mempermasalahkan sebanyak 406 orang. Persoalan yang terjadi pada tahun 2007, dengan jumlah buruh yang kehilangan pekerjaan, tidak diberi haknya setelah di PHK dan permasalahan lainnya tidak lepas dari lemahnya proses pengawasan pemerintah khususnya Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap pelaksanaan perlindungan tenaga kerja. Permasalahan ini senantiasa muncul, meskipun UU Ketenagakerjaan telah berganti tetapi pelanggaran terhadap hak-hak pekerja cenderung terjadi setiap tahunnya. Artinya, ada permasalahan pada sikap pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada para buruh, terutama pada wilayah pengawasan terhadap kinerja pengusaha dalam melaksanakan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pada tahun sebelumnya pun telah diungkap bahwasannya pemerintah memberikan peluang-peluang pelanggaran melalui3

ketentuan perundang-undangan yang lemah serta sikap politik yang lemah terhadap para pengusaha. Hal ini dapat dilihat dari penghitungan pembayaran pesangon yang sangat kecil oleh pengusaha terhadap buruh termasuk dan proses penyelesaian perselisihan yang banyak melemahkan buruh. Berikut analisa jumlah pengadu berdasarkan kasus perburuhan :PENGADUAN BERDASAR KATEGORI PERBURUHAN10000 4352 1000 406 302 95 41 10 8 2 1 Demusi Buruh Migran 2 Hak Normatif Jamsostek 17 5 2 K3 10 10 3 1 Lock Out Kriminalisasi Buruh Kontrak 1 1 Mutasi Outsourching 8 6 3 3 1 Pensiun PNS PNS& Calon Pesangon, Penghargaan, ganti rugi Pengunduran diri Pensiun Buruh PHK 19 4 6 3 4 4 1 Proses Hukum PHI 1 PRT 1 1 1 1 Skorsing Status Karyawan 55 55 35 13 6 2 THR Tunjangan 1 Upah 26 4173 600 1820

Tabel 3

100

JUMLAH KASUS

ORANG

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

2. Kasus Hak Sipil dan Politik Dalam kasus Sipol lebih banyak berhubungan dengan hak-hak individu masyarakat. Hak tersebut terkait dengan hak menyampaikan pendapat di muka umum, peradilan bebas yang tidak memihak, hak-hak tersangka, hak untuk tidak disiksa, hak untuk memilih dan dipilih, korupsi,4

hak atas rasa aman, hak mendapatkan pelayanan yang sama dihadapan hukum, dan hak atas identitas. Semua hak ini berhubungan erat dengan pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, yang mengharuskan negara pihak untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap hak yang dijelaskan dalam kovenan tersebut. Indonesia sebagai negara pihak belum secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam kebijakannya. Pada wilayah pengaturan, Indonesia cenderung membuka akses komunikasi Internasional melalui berbagai ratifikasi konvensi Internasional. Namun pada pelaksanaan, aparatur di instansi pemerintah tidak menerapkan subtansi dari ketentuan yang sudah diadopsi. Antara das sain dan das solen tidak memiliki tidak berjalan secara bersamaan, melainkan bertolak belakang. Kecenderungannya instansi pemerintah, khususnya birokrasi tidak terbuka pemikirannya terhadap ketentuan Internasional yang sudah diadopsi. Sistem yang berjalan cenderung menggunakan kerangka kerja dan berfikir orde baru, yang cenderung tertutup dan represif terhadap masyarakat. Pola pengabaian bahkan adu domba antar masyarakat masih kerap menjadi pola pembuatan konflik, agar pemerintah tidak selalu berada pada pihak yang selalu disalahkan. Berikut data statistik pada kasus Sipol yang berhasil dihimpun :Pengaduan Berdasarkan Kategori Sipol70 60 50 40 30 20 15 10 0 13 1 12 13 6 5 7 16 10 3 1 11 6 3 2 5 11 1 4 7 1 1 1 5 3 3 3 3 1 1 2 2 1 1 2 1 57 66 53

Tabel 4

1

3. Kasus Perempuan dan Anak LBH Jakarta menerima berbagai pengaduan dari kelompok perempuan dan permasalahan perlindungan anak. Pengaduan-pengaduan tersebut berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, serta hak asuh anak. Tiga masalah ini masih menjadi permasalahan yang paling dominan di tahun 2007 termasuk pada tahun 2006. Penurunan penerimaan kasus5

Ancaman Barang Bukti Diskriminasi Eksekusi Fair trial Fasilitas Publik Hak Hak Jawab Hak Korban & Hak Terdakwa Hak-hak Sipil Hak Tersangka Kecelakaan Keimigrasian Kejahatan Kekerasan fisik Kekerasan Kematian Keterangan Kode Etik Korupsi Mafia Peradilan Mal-praktek membantu Pemaksaan Pemalsuan Pembunuhan Pemerasan Penadahan Penahanan Pencemaran Pencurian Penggelapan Penipuan Penodongan Penyerobotan Perampasan Perampasan Perbuatan Perbuatan Torture

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat diprediksikan sebagai perubahan penerimaan keberadaan perempuan. Sebab perubahan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga hanya selisih satu kasus. Artinya, kekerasan dalam rumah tangga masih kerap terjadi. Begitupun dengan kekerasan yang diarahkan kepada anak yang tetap terjadi sepanjang tahun 2007. Perempuan dan anak masih masuk ategori kelompok yang sangat rentan terdiskriminasi. Dalam Konvensi PBB, perempuan dan anak berada pada posisi yang tetap memperoleh perhatian khusus. Adanya Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Perlindungan Anak memberikan fakta yang lebih terang bahwa kedua kelompok ini menjadi pihak yang harus mendapatkan perhatian. Gerakan bantuan hukum yang dikerjakan oleh LBH semaksimal mungkin mempromosikan sekaligus melindungi kepentingan perempuan dalam berbagai bidang termasuk pula kelompok anak. Misalnya dalam hal perempuan dan anak sebagai korban kekerasan, maka upaya perlindungan menjadi perhatian khusus dalam upaya advokasi. Masih berjalannya budaya patriliniar tetap menjadikan perempuan rentan terhadap diskriminasi, begitupun ketidakpedulian terhadap hak anak masih kerap terjadi di tingkat masyarkat bahkan pemerintah sendiri. Berikut data statistik kasus perempuan dan anak yang berhasil dihimpun : Tabel 5 Pengaduan Berdasarkan Perempuan dan Anak 52 532210

100

31

21 21 6 6 33 4 4 3 11 3 22 1 1 11 1 1 66

55

6

6

1

1 1

JUMLAH

ORANG

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

4. Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban Meskipun cenderung menurun jumlah kasus yang diterima, namun orang yang menjadi korban bertambah. Misalnya dalam kasus penggusuran kolong tol yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah berjumlah 5,935 kepala keluarga harus tergusur. Jumlah ini memang tidak dimasukan dalam rekam kasus, tetapi masuk dalam pelaporan yang dilakukan oleh Urban Poor Consortium (UPC). LBH sebagai salah anggota dari konsorsium memberikan pendampingan terhadap warga

6

kolong tol yang tidak mendapatkan ganti rugi yang layak. Berikut tabel kasus masuk yang terhimpun di formulir pengaduan : Tabel 6 Pengaduan Berdasarkan Kasus PMU 5000258 100 10 1 2 1 15 3 11Hak Atas Pendidikan Fasos Fasum Hak Atas Kesehatan Diskriminasi Hak Konsumen

10000 1000

335 123 6 6Hak Lingkungan

702 359 64 51 9 1 11 1Pajak Kemacetan

538 45

73

6IMB

2Pasar Tradisional Penggusuran

4 1Peremajaan Bajaj PKL

2Rumah Dinas

Sengketa Rumah

Sengketa Tanah

Surat Rumah

JUMLAH

ORANG

5. Kasus Khusus Keberadaan kasus khusus dimaksudkan untuk mengakomodasi kasus-kasus non-struktural dengan pengertian, bahwa kasus dengan dimensi individual tidak masuk dalam kategori kasus yang telah diurai diatas. Umumnya pada persoalan ini berhubungan dengan perjanjian, pengurusan surat-surat seperti akte dan sertifikat serta keingintahuan masyarakat terhadap mekanisme pendaftaran. Meskipun dianggap sebagai kasus non-struktural tetapi jumlah pengadu yang masuk cukup signifikan. Terdapat 403 pengaduan dalam kasus ini dengan 943 orang didalamnya. LBH Jakarta tetap memberikan pelayanan yang maksimal terhadap kasus-kasus seperti ini. Terkadang pada saat pemberian konsultasi atau upaya lainnya, kelompok masyarakat dari kategori kasus ini dapat diberdayakan pengetahuannya terkait dengan prinsip hukum dan nilai7

Tata Ruang

Rusun

1

1

3 3 1

1

1

1 1

nilai hak asasi manusia. Oleh karena itu pelayanan tetap diutamakan dalam kasus-kasus ini. Secara umum dari tahun ke tahun persoalan muncul tidak ada perubahan, dimana sengketa lebih banyak berhubungan dengan orang melawan orang dan keingintahuan akan suatu prosedur. Tabel 7 Pengaduan Berdasarkan Kasus Khusus68 52

80

u b :

70 60 50 40 30 20 10 0 Akte surat & Sertifikat

S m er

24 6Asuransi

8 1Gugatan & upaya hukum Ganti rugi

4HKI

7Hak Ekonomi

8 1Hak Tanggungan Hibah Saham Kepabeanan

14 3Koorporasi Leasing

18 1tanpa keterangan Perjanjian

4Money Trading

8Obligasi

2Penguasaan Usaha

1Perdata Yayasan

Divisi Litbang LBH Jakarta

C. Analisa Jati Diri Pengadu Kebutuhan data mengenai latar belakang pengadu sangat dibutuhkan. Pengetahuan ini dipergunakan untuk mengetahui sejauhmana LBH Jakarta berhasil memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas. Pada tahun 2006 misalnya, antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok intelektual sama-sama memanfaatkan bantuan hukum cuma-cuma yang disediakan oleh LBH. Jelas kondisi ini sangat merugikan masyarakat miskin yang benar-benar membutuhkan bantuan hukum dan jauh dari visi misi. Publikasi akan data ini, berhubungan dengan transparansi, di mana masyarakat dapat mengetahui secara terang pihak-pihak mana saja yang telah memperoleh pelayanan dari lembaga ini. 1. Jenis Kelamin Dari jumlah orang terbantu sebesar 65,837 perempuan jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan laki-laki. Hanya 1 % jumlah perempuan dari 65,837 orang terbantu. Hal ini dapat di indikasikan bahwa akses perempuan terhadap bantuan hukum masih terhambat dengan budaya patriarkhi yang masih mengakar di masyarakat. Peran gender yang menempatkan perempuan sebagai sosok yang lemah, takut dengan resiko lain yang muncul dan cenderung pemaaf seringkali enggan melaporkan permasalahan yang dialaminya. Permasalahan gender tradisional yang masih dianut masyarakat ini bisa jadi yang menyebabkan jumlah pengadu laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan, sehingga akses keadilan dapat dikatakan baru dimanfaatkan oleh sebagian besar laki-laki dari pada perempuan. Tabel 88

Berdasarkan Jenis KelaminJENIS KELAMINPerempuan Laki-laki Jumlah

JUMLAH669 65,168 65,837

%1 99 100 Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

2. Tempat Tinggal Jangkauan bantuan hukum LBH Jakarta meliputi wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini dimaksudkan agar akses bagi masyarakat yang ingin mencari keadilan dapat terpenuhi, terutama daerah-daerah penyanggah ibukota Jakarta. Bekasi, Tangerang, Depok dan Bogor merupakan wilayah yang masuk dalam wilayah kerja LBH Jakarta. Pada wilayah-wilayah penyanggah, pemberian bantuan hukum oleh suatu lembaga belum maksimal bahkan tidak ada. Misalnya saja pada wilayah Serang Banten lembaga pemberi bantuan hukum cuma-cuma belum tersedia. Sebanyak 679 pengadu bermukin di lima kota Jakarta, 325 pengadu bermukim di wilayah Bekasi, Tangerang, Bogor dan Depok, sisanya berasal dari beberapa kota seperti Banten, Kalimantan, NTB, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera. Berikut data statistik yang dapat di lihat dalam tabel di bawah ini :Tempat Tinggal Pengadu Berdasar Wilayah200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 187 121 60 142 115 83 29 10 8 152 114

38 9 4

1

1

2

Kalimantan

Tangerang

Tabel 9

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

Tanpa Keterangan

Banten

Sumatera

Jakpus

Jakut

Jateng

Jakbar

Jaksel

Jaktim

Bogor

Bekasi

Depok

Jabar

Jatim

NTB

9

3. Penghasilan Dari pengumpulan data sepanjang Desember 2006 hingga November 2007 diperoleh angka tertinggi atau sebesar 30 % pengadu berpenghasilan lebih dari Rp. 1juta tetapi kurang dari Rp. 3juta, pada level kedua 27 % pengadu berpenghasilan lebih dari Rp. 20.000.- tetapi kurang dari Rp. 1juta dan level ketiga terdapat 26% pengadu tidak berpenghasilan. Persentase pengadu didasarkan pada jumlah kasus yang masuk sepanjang tahun ini sebesar 1.140 kasus. Artinya terdapat 53 % masyarakat yang berpenghasilan kurang dari 1juta bahkan tidak berpenghasilan sisanya merupakan pengadu yang cukup mampu untuk mendapatkan pendampingan oleh advokat. Pada kasus-kasus tertentu, diambil satu kebijakan terhadap individu yang mampu tetapi rentan menghadapi ketidakadilan dan berpotensi dimiskinkan oleh kekuasaan. Berikut tabel analisa yang telah dihimpun dari kasus-kasus yang masuk :TINGKAT PENGHASILAN PENGADU

Tabel 10

400 350 300 250 200 150 100 50 020.000 s/d 1.000.000 27% 303

30% 340 26% 300

5% 61 4% 41 1% 13 4 Tidak Tetap Tanpa Penghasilan

7% 78

1.000.000 s/d 3.000.000

3.000.000 s/d 5.000.000

5.000.000 s/d 10.000.000

10.000.000

Tanpa Keterangan

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

4. Pendidikan Berdasarkan latar belakang pendidikan, tahun ini ada peningkatan pengadu yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana. Jenjang strata satu (S-1) meningkat, di tahun 2006 sebanyak 219 menjadi 223 pada tahun 2007, jenjang diploma meningkat dari 133 menjadi 157 di tahun 2007, jenjang strata dua (S-2) meningkat dari 27 menjadi 34 pengadu di tahun 2007. Pada jenjang pendidikan menengah atas (SMA) cenderung menurun dari 477 di tahun 2006 menjadi 451 sedangkan menengah pertama meningkat dari 83 menjadi 103. pada tingkat sekolah dasar meningkat dari 63 menjadi 69 di tahun 2007 sedangkan tidak sekolah menurun dari 96 menjadi 13 orang pengadu di tahun 2007. Dengan demikian, bantuan hukum saat sekarang banyak dimanfaatkan oleh orang yang mengenyam pendidikan tinggi dan menengah atas. Apabila di persentasekan maka sebanyak 75 % pengadu di LBH Jakarta adalah orang-orang memiliki kemampuan secara akademis karena jenjang pendidikan yang pernah diikuti.

10

P d ik P n ad en id an e g u41 5

Tabel 11

23 2 17 5 6 9 13 0 3 4S P LT ST LA DP O A IL M S 1 S 2

7 8 1 3T k ida S k la eo h

1 2L in a 2 Tn a ap Kt e

S D

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta

5. PekerjaanInformasi mengenai latar belakang pekerjaan para pengadu menjadi penting untuk diketahui. Dari penyajian dapat diketahui secara akurat bahwa banyak selain kelompok buruh, pekerja informal banyak pula pengadu yang berprofesi seperti seniman, psikolog, guru, dosen, dokter bahkan para pensiunan maupun PNS. Hal ini jelas menggambarkan bahwa betapa besar peran bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan. Ditengah ketidakjelasan dan komersialisasi hukum yang berkembang LBH menjadi alternatif terakhir bagi masyarakat yang membutuhkan layanan hukum. Untuk tahun ini saja, penguasaha yang mengadu meningkat dari 24 pada tahun 2006 menjadi 33 di tahun 2007, pensiunan PNS meningkat dari 34 di tahun 2006 menjadi 163 pada tahun 2007, serta kelompok profesi lainnya seperti dokter, bidan, seniman cenderung meningkat. Begitupun dengan kelompok buruh yang meningkat tajam dari 253 menjadi 356 pengadu di tahun 2007, sedangkan bagi masyarakat yang tidak bekerja terekam hanya 32. Jumlah ini menurun drastis dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 397 pengadu yang tidak bekerja. Kecenderungan dari latar belakang pekerjaan ini, dapat diasumsikan bahwa terjadi kesadaran masyarakat pekerja untuk memanfaatkan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh lembaga ini.Berdasarkan Pekerjaan Pengadu Tabel 12400 350 300 250 200 150 100 50 Bidan 0 Buruh 152 356

188 163 88 1 Buruh Migran BUMN 3 Dokter 21 Guru &Dosen 5 IRT 3 14 Pekerja sosial 33 Pensiun PNS Pengusaha 8 Pensiun Swasta 16 6 Penulis Petani 3 PNS 2 PRT 21 6 Psikolog Seniman 2 Supir 1 Tukang Ojeg 6 Veteran 7 Wiraswasta Wartawan 32 3 Tanpa keterangan Tidak bekerja

Mahasiswa & Pelajar

Sumber : Divisi Litbang LBH Jakarta 11

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat terlihat peta kondisi para pengadu yang membutuhkan dan memanfaatkan layanan bantuan hukum. Sebagai lembaga yang telah memili pengalaman dalam advokasi, LBH telah berupaya keras untuk memajukan prinsip-prinsip konsultasi, pendampingan, mempengaruhi kebijakan serta turut serta dalam menjaga integritas para aparatur penegak hukum. Dari kecenderungan kasus serta jati diri para pengadu akan dibahas lebih lanjut tentang kasus yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat banyak dalam bab selanjutnya.

12

BAB II ADVOKASI BERKELANJUTAN Dalam konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) diyakini bahwa penanganan salah satu kasus dapat berdampak luas pada kebijakan Negara. Hal ini sejalan dengan refleksi Lev terkait BHS yang diartikan sebagai jalan pintas bagi pembaharuan politik, sosial bahkan kultural. Pemberian bantuan hukum diartikan sebagai upaya perluasan basis di masyarakat, seperti buruh, tani, mahasiswa serta kelompok masyarakat kritis untuk mendorong perubahan paradigma pemerintah. Caranya dengan memanfaatkan panggung litigasi sebagai ruang komentar dan kampanye terkait pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia.3 Terlihat seakan dalam pemberian bantuan hukum dengan konsep BHS cenderung mengkritik dengan maksud politis untuk mengungkap berbagai penyelewengan yang terjadi. Oleh karena itu, Lev sudah mengingatkan bahwa ruh gerakan LBH adalah pemikiran untuk mengkritisi kekuasaan, yang pada saat itu dimulai dari rejim Orde Baru.4 Dasar gerakan yang telah dibangun kokoh oleh para pendahulu di LBH, menjadikan kasus-kasus masyarakat yang ditangani bercirikan satu kekuatan untuk merubah suatu kondisi yang buruk menjadi baik. Keberadaan kelas masyarakat pengguna bantuan hukum bukanlah soal yang harus diributkan, kini saatnya fokus pada bagaimana kasus yang akan ditangani dapat memberikan pengaruh dan dampak yang benar-benar dapat dirasakan masyarakat luas. Justru keragaman kelas masyarakat yang dijangkau menjadikan LBH semakin kuat dalam melanjutkan gerakan bantuan hukum, dimana terdapat kesadaran bersama akan suatu keadaan. Kasus-kasus struktural yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat banyak berhubungan dengan sektor perburuhan, dimana masih banyak terjadi pemberangusan serikat pekerja, tidak terpenuhinya hak-hak normatif seperti upah minimun dan jamsostek, kriminalisasi masih terjadi terhadap masyarakat yang kritis, penyiksaan, fair trial, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan beragama dan berserikat, sengketa lahan, serta hak-hak sipil lainnya yang sering diabaikan oleh pemerintah. Litigasi di Kepolisian Sebanyak 36 kasus pada basis buruh, tani, miskin kota dan kelompok rentan lainnya, yang didampingi pada tingkat litigasi di kepolisian. Kecenderungan pada kasus litigasi di kepolisian terlihat, bahwa kasus-kasus yang dilaporkan oleh penguasa dan penguasaha lebih cenderung ditindaklanjuti dibandingkan dengan laporan masyarakat. Pada kasus anti union dapat terlihat hanya satu kasus yang berlanjut karena adanya pelaporan dari pengusaha sedangkan laporan buruh sebanyak 7 kasus di biarkan tanpa adanya perkembangan lebih lanjut dari kepolisian. Begitupun dengan pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh pengusaha cenderung berhenti tanpa ada informasi keberlanjutan kasusnya di tingkat kepolisian.

3

Daniel S Lev dalam Darmawan Triwibowo; Mengayuh Arus Perubahan; Analisa terhadap Perkembangan dan Prospek Bantuan Hukum Struktural di Indonesia; dalam buku Bantuan Hukum; Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan & Perbandingan di Berbagai Negara tulisan; Penerbit LBH Jakarta; Tahun 2007; Hal. 364

Daniel S Lev dalam Abdurrahman Saleh; Memajukan Akses Keadilan Melalui Bantuan Hukum; ibid., hal. 17

13

Dari 36 kasus, 3 kasus yang dilaporkan masyarakat di tindaklanjuti oleh kepolisian, pada kasus buruh migran di Pengadilan Negeri Bandung dan dua kasus lainnya dalam pelaporan pembunuhan dan stigmatisasi PKI berlanjut hingga pengadilan. 9 kasus yang dilaporkan oleh penguasa dan pengusaha berlanjut ke pengadilan selebihnya sebanyak 24 laporan masyarakat tidak pernah beranjak dari tingkat penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Berikut data statistik tingkat litigasi yang berada pada tingkat kepolisian :Tabel 13

Kasus Litigasi di KepolisianNO KASUS JML PROSES KET

1

Anti Union

1 7 1 2 2 2 6 2 5 2 9 39

dilaporkan melaporkan melaporkan melaporkan dilaporkan melaporkan melaporkan dilaporkan dilaporkan melaporkan melaporkan

Berlanjut ke PN Berhenti Berlanjut ke PN Berhenti Berlanjut ke PN Berhenti berhenti Berlanjut ke PN Berlanjut ke PN Berhenti 2 berlanjut, 7 berhenti

2

Buruh migran

3 4 5 6 7

Fair trial Pelanggaran Hak Normatif Kebebasan berpendapat Kriminalisasi buruh & Pedagang Pelaporan hak korban Jumlah

Sumber : Divisi Pengananan Kasus (rincian lengkap terlampir)

14

Litigasi di Pengadilan Negeri/PHI/PTUN Hampir dalam setiap kasus pidana selalu terjadi penolakan argumentasi pembelaan, dan hakim tetap menjatuhkan vonis bersalah. Padahal kasus-kasus yang didampingi sarat dengan muatan pesan terkait dengan hak dasar manusia. Misalnya kasus penyampaian pendapat dimuka umum harus dibalas dengan penghukuman oleh penguasa. Meskipun hukuman yang dikenakan tidak terlalu berat atau bahkan sesuai dengan masa tahanan tapi tetap saja cara seperti itu sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak dasar masyarakat. Pada kasus tertentu hakim menjatuhkan vonis bebas murni kepada abdurrahman yang tidak terbukti melakukan penodaan agama sebagaimana yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam penjatuhan putusan di tingkat ini antara dikabulkan dan ditolak tidak jauh berbeda. Kasus yang dikabulkan pada tahun 2007 sebanyak 10 (sepuluh) sedangkan yang ditolak dan vonis bersalah sebanyak 16 (enambelas) kasus. Angka ini tetap suatu hal yang sangat mencolok dimana terdapat hak-hak dasar manusia yang diperjuangkan dalam 16 (enambelas) kasus ini. Kasus Porong, Buyat, Pedagang Tradisional Blok M, dan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan kasus publik yang banyak pelanggaran di dalamnya. Sayangnya majelis hakim pada tingkat ini masih melihat bahwa posisi pemerintah lebih kuat, penguasaha lebih baik sedangkan msayarakat merupakan kelompok yang tidak prioritas. Hal ini dapat dilihat dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim baik pada tingkat pengadilan negeri, PHI, dan PTUN.Tabel 14 Kasus Litigasi di Pengadilan Negeri/PHI/PTUNNO KASUS JML 1 1 PHI 3 1 2 Eksekusi 2 4 3 Pidana 1 1 8 6 4 Perdata 3 6 2 5 TUN 1 1 Jumlah 40 KET Proses Dikabulkan Ditolak Dikabulkan Dalam Proses Bebas Ditolak Vonis Proses Dikabulkan Ditolak Proses Dikabulkan Ditolak

Sumber : Divisi Pengananan Kasus (rincian lengkap terlampir)

Litigasi di Pengadilan Tinggi15

Pada tingkat ini, penganan kasus merupakan kelanjutan dari tingkat sebelumnya dengan tingkat kepedulian majelis hakim di tingkat pertama terhadap persoalan mendasar manusia masih rendah. Masalah kembali timbul pada saat kasus memasuki tingkat banding di pengadilan tinggi. Ketertutupan informasi tentang penanganan perkara menjadi kendala, bukan saja LBH melainkan pihak-pihak lain yang berharap keadilan dapat diperoleh. Meskipun majelis hakim pada tingkat ini masih dalam lingkup judex factie, namun pemeriksaan dan pengambilan keputusan masih dilakukan dengan tertutup. Masyarakat tidak dapat memperoleh informasi yang memadai mengenai nama majelis, waktu dan jadwal persidangan yang akan dilakukan. Hal ini sangat mungkin menyebabkan tumbuhnya mafia peradilan di dunia peradilan kita. Alasan tidak dipenuhinya keterbukaan di tingkat ini diantaranya, pertama, sifat pemeriksaan yang op de stukken atau hanya memeriksa berkas-berkas tanpa mendengar keterangan para pihak atau kuasanya, kedua, tidak mengumumkan kepada publik maupun pihak-pihak mengenai jadwal sidangsidangnya5, hakim menyatakan putusan setelah mengetuk palu dan menyatakan bahwa kami membuka sidang ini untuk umum dan menyatakannya terbuka untuk umum. Alasan seperti ini tidak dapat diterima akal sehat dan tidak dapat lagi dibiarkan, karenanya LBH Jakarta menganggap penting untuk segera melakukan advokasi kebijakan ataupun upaya hukum melawan sistem yang buruk ini.Tabel 15 Kasus Ditingkat Pengadilan TinggiNO 1 KASUS Pidana JML 1 7 2 Perdata 1 1 3 TUN Jumlah 1 11 KET Dalam Proses Dalam proses Ditolak Dikabulkan Ditolak

Litigasi di Mahkamah Agung Posentase terbesar kasus LBH adalah dalam proses penanganan yakni 84%, dengan tingkat ditolakdikabulkan yang seimbang masing-masing 8%. Namun, yang lebih memperihatinkan adalah menyangkut lamanya limit waktu yang dibutuhkan MA untuk sampai pada vonis atau putusan. Sebelumnya, salah satu isu yang paling menyita perhatian adalah menyangkut bertumpuknya perkara di MA. Namun sayangnya hal ini malah menyebabkan lahirnya pembatasan perkara yang dapat diajukan di Mahkamah Agung. Sementara MA gagal untuk menjamin keterbukaan persidangan dan proses yang tidak memakan waktu yang berlarut-larut. Kedua isu terakhir tersebut masih belum banyak menyita perhatian publik dan dianggap wajar oleh praktisi hukum. Namun jelas kedua hal itu merupakan salah satu sarang tempat mafia peradilan5

Lihat artikel Yap Thiam Hein di harian Kompas 31 Agustus 1971 berjudul Keterbukaan Pengadilan Syarat Demokrasi

16

tumbuh. Karenanya agenda progresif LBH untuk MA ke depan adalah melakukan upaya hukum dan mendesak perubahan kebijakan menyangkut un due delay atau dikenal dengan keterlambatan penjatuhan putusan suatu perkara yang merugikan masyarakat.Tabel 16 Kasus di Tingkat MANO1 2 3 4 PHK Pidana Perdata TUN Jumlah

KASUS

JML1 5 1 1 1 1 1 12

KETDitolak Dalam Proses Vonis 3 Tahun Dalam Proses Ditolak Dalam Proses Dikabulkan

Sumber : Divisi Pengananan Kasus (rincian lengkap terlampir)

Kinerja non-litigasi Di kegiatan ini merupakan kerja awal LBH untuk memberikan tindakan pemberian bantuan hukum struktural kepada masyarakat. Pasca penerimaan pengaduan, analisa struktural dan keputusan untuk melakukan suatu gerakan berada pada kerja non-litigasi. Proses mediasi, somasi, protes melalui korespondensi, siaran pers serta aksi-aksi dilakukan pada bagian ini. Terkadang hasil yang dicapai dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, perubahan pada pengambil kebijakan serta semangat berjuang yang ditimbulkan dari proses non-litigasi kepada para masyarakat. Terkadang hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan harapan, dimana masih banyak kasus yang harus ditempuh melalui proses persidangan. Proses non-litigasi seringkali mendapatkan hambatan yang serius. Protes, pengaduan, keluhan, dan permintaan hak masyarakat seringkali diabaikan. Maklum saja, lawan yang dihadapi masyarakat lebih banyak kepada instansi penegak hukum dan instansi pemerintah lainnya seperti TNI, Satpol, Pemda, dan perusahaan-perusahaan. Sebagai salah satu lembaga yang memiliki komitmen, tembok raksasa bukanlah halangan terhentinya sebuah kasus yang ditangani tetapi menjadi motivasi LBH untuk secara konsisten mendobraknya. Tabel 17KEGIATAN NON LITIGASI

105 58 39 29 59 16 Press conference

Korespondensi

Pengaduan

Audiensi

Mediasi

Somasi

17

Sumber : Divisi Penanganan Kasus LBH Jakarta

Dari uraian diatas, terlihat jelas upaya memajukan gerakan bantuan hukum struktural yang dilakukan oleh LBH. Dengan kasus-kasus yang diprioritaskan diharapkan mampu untuk membuat satu peluang perubahan di masyarakat terutama terhadap perubahan pada kebijakan HAM.

BAB III SISTEM PEMULIHAN YANG TIDAK BEKERJA

A. Undue Delay di KepolisianSebanyak 36 kasus pada basis buruh, tani, miskin kota dan kelompok rentan lainnya, yang didampingi pada tingkat litigasi di kepolisian. Kecenderungan pada kasus litigasi di kepolisian terlihat, bahwa kasus-kasus yang dilaporkan oleh penguasa dan pengusaha lebih cenderung ditindaklanjuti dibandingkan dengan laporan masyarakat. Pada kasus anti union dapat terlihat hanya satu kasus yang berlanjut karena adanya pelaporan dari pengusaha sedangkan laporan buruh sebanyak 7 kasus di biarkan tanpa adanya perkembangan lebih lanjut dari kepolisian. Begitupun dengan pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh pengusaha cenderung berhenti tanpa ada informasi keberlanjutan kasusnya di tingkat kepolisian. Dari 36 kasus, 3 kasus yang dilaporkan masyarakat ditindaklanjuti oleh kepolisian, pada kasus buruh migran di Pengadilan Negeri Bandung dan dua kasus lainnya dalam pelaporan pembunuhan dan stigmatisasi PKI berlanjut hingga pengadilan. 9 kasus yang dilaporkan oleh penguasa dan pengusaha berlanjut ke pengadilan selebihnya sebanyak 24 laporan masyarakat tidak pernah beranjak dari tingkat penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Deskripsi umum diatas menunjukan adanya tren undue delay di kepolisian. Undue delay dapat kita lihat dalam kapasitas pelapor sebagai korban yang melibatkan pelaku dari pihak pengusaha atau penguasa (pejabat birokrasi, aparat penegak hukum). Secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut :

1) Laporan Tindak Pidana Perburuhan.

18

Mandulnya pengawasan ketenagakerjaan mendorong LBH untuk melangkah lebih jauh yakni dengan langsung membawa pelanggaran-pelanggaran hak normatif dan kejahatan anti serikat ke institusi kepolisian. Tercatat 8 kasus anti union dan 6 kasus pelanggaran hak normatif dilaporkan ke polisi sepanjang tahun ini, namun ternyata kinerja kepolisian tidak lebih baik dari pegawai pengawas (PPNS). Keseluruhan kasus tersebut semuanya terhenti di kepolisian dengan status yang beragam, yakni dengan cara menggantung perkara dan dihentikan secara tidak sah, atau begitu terlambat dan tidak ada kepastian. Kasus anti union terhadap supir taksi Blue Bird Group yang menghimpun diri dan membentuk SPTN BBG, di laporkan oleh para supir ke Polda Metro Jaya sejak Januari 2007 sampai dengan detik ini, tidak ada satupun yang berstatus sebagai tersangka dilimpahkan berkasnya ke kejaksaan. Bahkan sang pemilik perusahaan yang dilaporkan hingga saat ini statusnya tidak juga dinaikkan sebagai tersangka. LBH melakukan protes atas keterlambatan ini dengan menyurati Kapolda dan juga Komisi Ombudsman Nasional, hasilnya penyidik hanya memberikan surat perkembangan penanganan perkara, dan setelah itu kembali berjalan lamban. Kasus lebih buruk dari laporan SPTN BBG menimpa Maruli dkk dari SP PT. Jaya Readymix, Haris dkk dari SP LIA, yang laporannya sama sekali tidak ditindaklanjuti Polda Metro Jaya. Sementara Muhdiantoro aktifis SBSI 1992 yang melaporkan tindakan anti union PT. Dong Jung ke Polres Tanggerang juga berjalan lambat sehingga kembali LBH mengirim nota protes kepada Polres Tangerang. Bahkan kasus Bambang Wisudo yang melawan Harian Kompas mengalami penanganan yang sangat buruk yakni ditolak laporannya oleh Polda Metro Jaya. Ada beberpa pola yang seringkali dilakukan kepolisian dan mencerminkan keengganan kepolisian menegakkan hukum perburuhan : 1) menerima laporan namun tidak menindaklanjuti, --seperti terlihat dalam kasus Maruli dkk dari SP PT. Jaya Readymix, Haris dkk dari SP LIA, yang laporannya sama sekali tidak ditindaklanjuti Polda Metro Jaya; 2) menerima laporan namun mengalihkan kasus dari anti union menjadi sekedar kasus perbuatan tidak menyenangkan, --seperti terlihat dalam kasus SPTN BBG; 3) memperlambat penanganan kasus --terlihat di kasus SPTN BBG dan SBSI 1992; 4) menolak laporan seperti terlihat dalam kasus Bambang Wisudo. Penolakan biasanya dilakukan dengan mengalihkan laporan dan merekomendasikan korban untuk menyelesaikan di wilyah sengketa PPHI. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa serius Polda dalam menangani kasus-kasus anti-union dan kasus pelanggaran hak normatif buruh. Padahal untuk kasus perburuhan, Polda Metro Jaya memerintahkan Direktorat Kriminal Khusus untuk menangani pengaduan yang masuk. Namun kasus SPTN BBG justru ditangani di Direktorat Kriminal Umum. 2) Kasus laporan kekerasan satpol PP Catatan akhir tahun LBH Jakarta tahun 2006 menempatkan aparat Satpol PP sebagai aktor yang paling banyak melakukan kekerasan, kecenderungan ini sebenarnya masih terjadi tahun

19

ini dimana LBH Jakarta mencatat laporan kekerasan Satpol PP masih terus terjadi meskipun frekuensinya cenderung menurun. Tahun ini proses penggusuran ribuan warga yang menetap di kolong tol telah mendorong masyarakat untuk menyampaikan protes dan tuntutannya ke Walikota Jakarta Utara. Aksi unjuk rasa disikapi dengan tidak simpatik oleh aparat satpol PP yang berjaga dan berakhir dengan bentrokan dan tindak kekerasan terhadap beberapa pengunjuk rasa. Salah seorang korban melaporkan ke Polres Jakarta Utara, namun laporan tersebut tidak ada tindak lanjutnya dari kepolisian. Selain kasus tersebut, kekerasan juga dialami oleh asisten pengacara publik LBH Jakarta saat mendampingi aksi pawai Komunitas Falun Gong. Pihak LBH Jakarta menyampaikan protes keras dan melaporkan ke kepolisian namun tidak ada kelanjutan atas laporan polisi ini.

3) Laporan Kasus Pelanggaran Kebebasan BeragamaUndue delay di kepolisian juga terjadi dalam laporan kasus kebebasan beragama. Kasus penyerangan atas Ahmadiyah, kasus penutupan gereja dan upaya mengalang-halangi warga negara menjalankan dan memeluk agamanya dilaporkan oleh korban dan LBH Jakarta ke Polda Metro jaya dan ke Mabes Polri namun tidak ada tindak lanjut atas laporan-laporan tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan laporan masyarakat atas kelompok atau individu yang distigma sesat. Laporan ini cepat ditindaklanjuti dan orang yang dilaporkan seringkali berakhir di penjara. Seperti dalam kasus Eden, Ibu Lia Eden dan Abdurrahman, serta barubaru ini Jemaat Al Qiyadah. Kondisi ini menunjukan hukum tidak cukup berposisi imparsial dan institusi kepolisian jatuh dalam kubangan impunitas, tiap kali menghadapi kasus-kasus kekerasan agama yang nyata-nyata semua unsur pidana terlihat jelas dan terpenuhi.

4) Laporan Polisi Yang Melakukan Tindak Pidanakasus undue delay juga terjadi dimana para pelakunya adalah anggota kepolisian yang diduga melakukan tindak pidana. Bahkan dalam kasus Abdurrahman korban penembakan misterius yang diduga dilakukan oleh apatrat kepolisian, Polsek Ciputat berjalan seperti siput dan tidak jelas upaya investigasi polisi membongkar siapa sang pembunuh. Dalam kasus Indra Azwan, Pengadilan Oditurat Militer Tinggi III Surabaya yang memeriksa sidang Lettu (Pol) sekarang KOMPOL Joko Sumantri gagal menghadirkan pelaku dimuka persidangan di Pengadilan Oditurat Militer Tinggi III Surabaya dan hakim mengesankan bekerja tidak independen. Kasus ini meskipun terjadi di Surabaya, namun korban meminta bantuan LBH untuk memonitor kasus ini dan LBH menrespon cepat dengan mengirimkan nota protes atas perkembangan pemeriksaan yang tidak adil.

20

5) Laporan Dan Kinerja Di Provost/Propama. Dalam menangani Polisi yang terlibat /mengintervensi kasus Perburuhan Polisi dilarang terlibat dan mengambil bagian dalam sengketa perburuhan kecuali dalam hal terjadinya pelanggaran hak-hak normatif oleh pengusaha terhadap pekerja. Larangan ini nyata-nyata ditegaskan dalam pasal 9 konvensi ILO No. 876 yang mengingatkan kepada negara anggota yang meratifikasinya untuk mencegah pola-pola ketidaktundukan aparat militer dan kepolisian terhadap ketentuan perburuhan. Larangan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proteksi hukum untuk menjamin adanya penghormatan atas hak-hak kebebasan berserikat/berorganisasi dan melakukan perundingan --hak yang paling dasar dari hak-hak yang diatur dalam hukum perburuhan baik nasional maupun internasional.7 Selain konvensi ILO, UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 12 Tahun 1964 juga telah menutup kemungkinan bagi militer dan polisi untuk mengintervensi kasus-kasus perselisihan perburuhan. Dua paragraf pembuka diatas sengaja kami kemukakan untuk memberikan penjelasan atas banyaknya kasus pelaporan tindakan polisi yang sering mengintervensi kasus-kasus buruh dan dilaporkan LBH Jakarta dan korban ke Divisi Propam Polda Metro Jaya. Tahun ini LBH Jakarta mencatat 8 kasus kriminalisasi buruh dan intervensi kepolisian dalam kasus perburuhan dengan beragam pola. LBH Jakarta bekerjasama dengan Aliansi Buruh Menggugat (ABM) mengumpulkan kasus-kasus intervensi polisi dalam praktek-praktek union busting dan melaporkannya ke Mabes Polri. Pengaduan kolektif ini diterima oleh Divisi Humas Mabes Polri, namun tidak ada tanggapan dan respon setelahnya terhadap pengadu. Berdasarkan kasus-kasus yang dutangani LBH Jakarta, keseluruhan bentuk-bentuk penyimpangan yang ditenggarai sering dilakukan oleh kepolisian dan militer adalah sebagai berikut: 1). Dalam mekanisme penyelidikan dan penyidikan : a. laporan ditolak Kasus Kompas b.laporan buruh tidak ditindaklanjuti Kasus SP LIA dan PT. Dong Jung6

Article 9 (1) dan (2) Convention Number 87 Concerning Freedom of Association and Protection of The Right to Organise

1) 2)

the exrent to which the guarantees provided for in this convention shall apply to the armed forces and the police shall be determined by national laws or regulations in accordance with the principle set forth in paragraph 8 of article 19 of this constitution of the International Labour organisation the ratification of this convention by any member shall not be deemed to affect any existing law, award, custom or agreement in virtue of which members of the armed forces or the police enjoy any right guaranteed by this convention7

Kebebasan berserikat (freedom of association) merupakan hak dasar (Basic Human Rights). Meskipun desain ini tidak lantas harus dimengerti bahwa instrument perburuhan yang lain bukan menjadi subjek normative HAM. Banyak konvensi ILO beserta rekomendasinya yang secara detil diakui dalam kovenan internasional hak-hak sipil dan politik serta kovenan internasional hak-hak ekonomi, social dan budaya. ILO ; International Labour Conventions And Recomendations 1919-1991 Volume 1 (1919-1962) first publishend 1992. 21

c. perkara digantung PT. BBG d.laporan pengusaha ditindaklanjuti lebih dulu Kasus PT. RKM e. kriminalisasi PT. RKM dan Starwin f. SP 3 laporan buruh tidak ada kasus g.Pungli Kasus PT. RKM h.jual beli pasal tidak ada kasus i. penangkapan dan penahanan tak beralasan, tidak sah Kasus PT. RKM j. penghambatan bantuan hukum terhadap buruh Kasus PT.RKM 2). Di luar mekanisme penyelidikan dan penyidikan

a) Pengerahan pasukan ke pabrik untuk mengamankan pabrik dan mengusir buruh Dalam kasus PT. The Master Steel dimana perusahaan menyatakan diri pailit secara sepihak dan mendapatkan tentangan dari pihak pekerja, pada tanggal 5 Juni 2007 jam 04.00 wib aparat kepolisian berjumlah sekitar 450 polisi masuk ke area pabrik PT. The Master Steel dan PT. Pangeran Karang Murni memaksa pekerja yang sedang piket termasuk satpam untuk segera keluar meninggalkan pabrik. Sampai hari selasa, 26 juni 2007 di area pabrik masih dikuasai kepolisian dan sejumlah preman dari FBR. Padahal buruh tidak melakukan tindakan apapun apalagi kekerasan. Tindakan ini diulangi Polsek Kelapa Gading dan Polres Jakarta Utara dalam evakuasi barang-barang Pabrik yang menyebabkan bebebrpa buruh luka ringan.

b) Menghadiri perundingan dan menjadi bagian aktif dalam perundingan antara buruhdan pengusaha Dalam kasus PT. RKM di PRIOK, Saat perselisihan terjadi dan kedua belah pihak maju pada perundingan dengan masing-masing kuasa hukumnya, tiba-tiba pihak kepolisian sektor tanjung priok duduk menjadi pihak yang menyaksikan dan terlibat dalam persengketaan.

c) Memanggil dan mendesak perwakilan buruh untuk membatalkan pemogokan Desakan seperti ini dialami oleh buruh PT. Pangeran karang Murni dan PT. The Master Steel. Selain itu, juga dialami oleh Buruh PT. RKM dan buruh PT. Starwin Indonesia yang menuntut THR. Dari pelanggaran-pelanggaran tersebut, yang ditangani sungguh-sungguh polisi hanya untuk kasus PT. RKM, dimana desakan Komnas HAM ke Polda direspon cepat oleh Propam dengan memeriksa Kepolisian Resort Jakarta Utara. b. Dalam menangani polisi yang menjadi pelaku pelanggaran hak-hak Sipilpolitik Undue delay yang dilakukan propam Polda terjadi dalam kasus-kasus penyiksaan, kekerasan, dan kasus pelanggaran prinsip fair trial yang dilakukan aparat kepolisian. Selain dalam lingkup kasus perburuhan, kinerja Propam juga disorot dalam penaganan atas kasus-kasus sipil-politik seperti dalam Kasus Mas Udin tersangka pembunuhan. Propam melakukan pemeriksaan atas pengaduan korban dan LBH mengenai dugaan dilakukannya penyiksaan (torture) oleh peyidik Polsek Cengkareng terhadap tersangka. Selain kasus

22

penyiksaan, LBH juga melaporkan Polsek Cengkareng atas upaya menghalang-halangi LBH sebagai penasehat hukum untuk memberikan jasa bantuan hukum cuma-cuma. Selain kasus Mas Udin, kasus penyiksaan dan tindakan kepolisian yang menodai prinsip fair trial terjadi dalam kasus Hardian yang dipaksa menandatanagani perjanjian damai di Polsek Penjaringan. Hardian mengalami penyiksaan dan dituduh telah melakukan penculikan oleh keluarga kekasihnya. Polsek penjaringan melakukan kesewenang-wenangan dan dilaporkan ke Propam Polda Metro Jaya. Namun tidak ada penjelasan dan informasi dari propam mengenai tindak lanjut laporan tersebut. Penyiksaan yang menyebabkan meninggal dunia terjadi pada Teguh, seorang timer di Serpong yang meninggal di Polsek Serpong karena mengalami pengaiayaan dan bahkan penyiksaan selama di polsek, hingga meninggal dunia selama 36 jam sejak di bawa ke markas Polsek Serpong. Kasus ini dilaporkan LBH Ke Propam dan akhirnya para pelaku disidangkan di PN Tanggerang. Namun pihak keluaraga korban dan LBH sangat menyesalkan tertutupnya akses informasi mulai dari penaganan perkara di propam sampai pada proses persidangan yang tertutup. Tidak transparan dan tidak adanya informasi mengenai pengembangan perkara oleh propam menjadi suatu kecenderungan. Meskipun dalam beberapa kasus Propam melakukan pemeriksaan dan menindaklanjuti laporan pengadu, namun sangat disayangkan pihak propam sama sekali tidak pernah memberitahukan secara terbuka kepada pengadu dan korban mengenai perkembangan penanganan laporan dan bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada aparatnya yang terbukti melanggar. Hal ini menyulitkan LBH untuk mengkontrol dan mengukur sejauh mana efektif tidaknya kinerja Propam dalam upaya menjaga dan mewujudkan polisi yang profesional. Deskripsi mengenai undue delay dengan beragam polanya diatas, memberikan kesimpulan awal bahwa penanganan oleh kepolisian untuk kasus pelaporan atau pendampingan atas terlapor/tersangka oleh LBH Jakarta ternyata tidak cukup direspon dengan baik atau bahkan sangat buruk. Analisis lebih jauh dari fakta ini dapat diketahui dari jawaban atas pertanyaan seperti berikut : Pertama, apakah LBH tidak cukup serius untuk mendesak kepolisian untuk menindaklanjuti suatu kasus yang dilaporkan?, atau Kedua, apakah kinerja kepolisian yang memang buruk atau tidak serius dan resistance dengan LBH? Jawaban pertama tidak cukup relevan mengingat desakan oleh LBH dalam mengkontrol penanganan kasus terus dilakukan baik dengan korespondensi, audiensi, aksi maupun dengan statment di media. Namun untuk lebih menguatkan mengenai alasan kedua-- Ketidakseriusan kepolisian untuk menindaklanjuti atau mempercepat proses penyelidikan secara profesional-dapat dilihat dari jenis kasus yang dilaporkan. Ternyata penghentian tindaklanjut secara tidak sah atas laporan didapati pada sejumlah kasus yang melibatkan tindakan aparat yang melanggar hukum dan terkait tindakan pengusaha yang melanggar hukum. Banyaknya laporan atas aparat dan pengusaha yang tidak ditindaklanjuti menunjukan adanya impunitas dan buruknya akuntabilitas institusi kepolisian. Hal ini semakin menegaskan asumsi

23

bahwa penegakkan hukum terhadap aparat yang terlibat ternyata tidak cukup berarti dan juga terhadap pengusaha atau pemodal ternyata tidak bergigi. Oleh karena itu rekomendasi terpenting dari kondisi ini adalah perlunya mendorong keterbukaan informasii penanganan kasus oleh kepolisian dan tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum atas kasus-kasus yang dihentikan secara tidak sah. B. Pengadilan Hubungan Industrial UU PPHI hadir dengan janji memberikan sistem baru penyelesaian perselisihan yang lebih cepat dan pasti. Sehingga para pemodal yang menagung-agungkan prinsif efektifitas dan efisiensi menganggap UU PPHI sebagai undang-undang yang dapat memperbaiki mekanisme lapa perselisihan perburuhan yang bersifat tripartit. Namun, apa yang terjadi dalam prakteknya, ternyata target waktu yang efektif dan cepat tidak terpenuhi karena masalah waktu yang molor. UU Nomor 2 Tahun 2004 secara limitatif menyebutkan waktu sebuah perkara harus diselesaikan di tiap tingkatan. Sebagai contoh kita lihat aturan tentang penyelesaian di MA. Pasal 112 UU Nomor 2 Tahun 2004 menyenutkan bahwa : Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung. Pasal 115 UU Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. Dengan perhitungan PHI telah diresmikan (sama dengan berlaku) pada tanggal 14 Januari 2006 maka mengingat permohonan kasasi telah dimasukkan sebelum adanya PHI, setidaknya 14 hari sesudahnya sub kepaniteraan PHI telah mengirimkan berkas perkara permohonan tersebut ke MA. Berkaitan dengan permasalah di atas, 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan kasasi dikirimkan ke MA, seharusnya telah ada putusan MA untuk perkara tersebut. Fakta yang terjadi ternyata ketentuan ini tidak terpenuhi khususnya untuk perkara yang terkena aturan peralihan. Karena hingga saat ini belum ada perkara yang telah diputuskan MA (setidaknya kasus LBH Jakarta). Kasus Makindo, kasus Saint Mary, kasus Girindo dan kasus lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam box kasus. Semunya masih dalam proses kasasi dan Peninjuan kembali. Selain masalah undeu delay, PHI juga bermasalah karena masalah tertularnya PHI oleh penyakit mafia peradilan sebagaimana dapat dilihat dalam kasus pungutan meskipun nyata-nyata berperkara di PHI gratis untuk nilai gugatan dibawah 150.000.000 rupiah. Keseluruhan persoalan24

ini menunjukan tidak efektifnya sistem PHI dalam menjamin proses perselisihan yang adil bagi para pihak secara prosedural. C. Pengawasan Ketenagakerjaan The law governing labour relations is one of the centrally important branches of the law the legal basis on which the very large majority of the people earn their living. No one should be qualified as a lawyer professionally or academically - who has not mastered its principles (Otto Kahn-Freud, 1972) Ketika Otto Kahn-Freud menjadikan perburuhan sebagai disiplin ilmu hukum tersendiri, Ia menyadari bahwa perlu ada seperangkat alat untuk menyeimbangkan hubungan antara buruh dan pengusaha, yaitu hukum itu sendiri. Hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh negara, diharapkan mampu mengintervensi hubungan yang tidak setara antara buruh dan majikan, sehingga jika negara tidak mengintervensi maka mustahil adanya quality before the law dalam suatu hubungan perburuhan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan akan menciptakan penindasan kaum buruh yang merupakan bagian besar manusia. Pemikiran inilah yang kemudian diadopsi oleh Imam Soepomo, Bapak hukum perburuhan Indonesia, yang mengkonstruksikan hubungan perburuhan tidak murni bersifat privat tetapi juga memiliki sifat publik, di mana negara harus campur tangan di dalamnya. Sehingga negara diharuskan mencampuri hubungan perdata antara buruh dan pengusaha, dengan menjaga agar hak-hak minimal buruh terjamin. Tentu saja dalam posisi buruh yang lebih lemah, campur tangan pemerintah justru harus lebih memperkuat posisi buruh demi adanya posisi yang seimbang dimaksud. Saat ini Indonesia termasuk negara yang paling prograsif dalam meratifikasi instrument hukum perburuhan internasional. Namun, dipenuhinya seluruh prosedur dan ketentuan ternyata tidak sebanding dengan dipenuhinya keadilan bagi buruh. Tren utama saat ini justru adalah kecenderungan untuk melepaskan komitmen negara dalam melakukan kontrol atas pelanggaran norma-norma ketenagakerjaan. Keengganan dan kecanggungan negara untuk menindak para pemodal yang seringkali melanggar hak-hak normatif kaum buruh, kini tidak terlihat lagi. Bukan karena tidak adanya lagi pelanggaran, melainkan negara melepaskan tanggungjawab kontrolnya dengan mengalihkan konteks pelanggaran hukum publik menjadi sengketa atar private. Tanpa malu negara tidak lagi merasa bertanggung jawab dan hanya menjadi penonton pertarungan yang tidak berimbang antara pengusaha dan buruh di ring tinju perselisihan privat. Apa yang dilakukan negara (Pemerintah dan DPR) saat ini justru, pelan-pelan tapi pasti, menyerahkan hubungan perburuhan pada mekanisme pasar, pada hubungan perdata yang menghilangkan campur tangan. Suatu kemunduran karena kembali mengembalikan buruh dalam posisi yang tidak setara (baca: lebih lemah) daripada pengusaha. Dalam konteks saat ini, beberapa pelanggaran hak normatif yang bersifat pidana justru diperdatakan. Artinya, jika pengusaha melanggar hak normatif buruh maka Ia tidak lagi diperhadapkan pada negara sebagai penegak hukum tetapi langsung diperhadapkan pada buruh yang posisinya lebih lemah. Hal ini dari sisi hukum memiliki permasalahan: Pertama, dalam posisi yang tidak setara buruh dipaksa bernegosiasi maka tidak akan terjadi proses tawar menawar yang setara. Kedua, secara filosofis pelanggaran pidana yang diselesaikan dengan cara

25

perdata justru menghilangkan pengakuan sifat jahat dan sifat melawan kepentingan umum pelanggaran itu sendiri. Meskipun, dalam UU No 13 Tahun 2003 diakui bahwa Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan. Namun banyak pelaksanaan perundang-undangan yang bukan diselesaikan oleh pengawasan tetapi dengan penyelesaian perdata atau yang dalam istilah UU No 2 Tahun 2004 sebagai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). UU PPHI yang didalamnya memasukkan pelanggaran hak menjadi suatu bentuk perselisihan hak telah memotong kewenangan pegawai pengawas. Terkait dengan problem tersebut, penyelewengan pidana dalam pelanggaran hak menjadi perselisihan perdata juga berimplikasi pada tugas dan kewajiban pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pengusaha dapat dengan mudah menolak pengawasan yang dilakukan dengan alasan sedang diperselisihkan di PHI. Pembatasan waktu di PHI dibandingkan dengan kinerja pegawai pengawas yang lambat, juga dapat dipastikan membuat gugatan pengusaha atas perselisihan hak akan selesai lebih dulu dibandingkan dengan laporan buruh ke pegawai pengawas. UU PPHI telah tumpang tindih dan mengabaikan keberadaan ketentuan-ketentuan mengenai mekanisme pengawasan yang selama ini terdapat dalam sejumlah peraturan dan hingga saat ini belum dicabut. Diantaranya PP No.8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Permenaker No.1 tahun 1999 Tentang Upah Minimum, Permenaker No. 72 Tahun 1984 tentang dasar Perhitungan Upah Lembur, Permenaker No. 3 Tahun 1987 tentang Upah dan Hari Libur Resmi, dan Permenaker No.4 Tahun 1999 tentang Tunjangan Hari Raya. Bahkan UU PPHI telah mengabaikan UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Kecenderungan diatas tercermin dari banyaknya kasus pelanggran hak normatif yang pada akhirnya bermuara ke sengketa privat di dalam sistem perselisihan hubungan industrial. Hal ini dapat dilihat dari kasus pelanggaran pembayaran Tunjangan Hari Raya Misalnya. Seperti tahuntahun sebelumnya, LBH membuka posko pengaduan pelanggran THR dan ditemui sejumlah kasus pelanggaran THR akhirnya karen tidak direspon cepat oleh Dirjen Pengawasan Ketenagakerjaan akhirnya bermuara di Pengadilan hubungan industrial. Ini dapat dilihat dalam kasus PT. Jakarana Tama food Industri. Selain itu dalam hal jaminan sosial tenaga kerja Dalam seluruh kasus anti union yang nyata-nyata diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang serikat buruh/serikat pekerja. Tergambar jelas bagaimana sistem pemulihan yang tidak bekerja. Tahun 2007 ini kasus anti serikat meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2006 yang hanya berjumlah 5 kasus. Kenaikan signifikan ini terlihat dalam kasus anti serikat terhadap bambang wisudo dalam kasus harian Kompas. Kasus Bambang meskipun dapat dikatakan tidak cukup berhasil mendesak kompas mengakui hak-hak serikat pekerjanya, namun berhasil mengikat solidaritas yang lebih besar dengan terbentuknya komite anti pemberangusan serikat pekerja kompas. Namun, banyaknya kasus anti union yang pada tahun ini memaksa LBH untuk beraudiensi dan mendesak langsung Mabes Polri, Menakertrans dan komisi III DPR RI ternyata tidak cukup direspon. Sementara itu, Pengawas tenaga kerja, yang memiliki kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil selama tahun 2007 hampir tidak melakukan apapun. Bahkan beberapa26

pengawas justru mengarahkan pemasalahan ke PPHI. Tindakan ini menggambarkan bahwa negara membiarkan dan berusaha mencuci tangan dari upaya perlindungan hak-hak buruh. D. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung Sebagaiman telah dikupas di Bab II, hampir semua level pengadilan bermasalah dengan jaminan dan penerapan asas keterbukaan peradilan. Ketertutupan proses pengambilan keputusan ini sebenarnya juga tidak saja di tingkat PT dan MA namun juga di tingkat PN. Dalam Kasus putusan Newmont, LBH meminta majelis hakim untuk menjelaskan kemungkinan ada tidaknya dissenting opinion dan akhirnya mejalis hakim satu persatu menjelaskan pertimbangan putusannya. Hal ini sangat penting untuk melihat perporma hakim secara individual dan tidak secara tim yang mungkin sekali tersembunyi. Selama ini ketertutuapan peradilan masih begitu melekat di Pengadilan tinggi dan MA. Hal ini tidak saja terlihat dari prosesnya yang tertutup melainkan juga putusannya yang hanya dalam kasus besar tertentu saja diceritakan adanya dissenting opinion. Selain masalah ketertutupan, yang juga dominan dari kasus-kasus LBH adalah lamanya proses yang harus ditempuh pendamba keadilan di tingkat PT dan MA. Untuk suatu kasus ditingkat PT membtuhkan waktu sampai 1 tahun lebih dan untuk kasus di tingkat MA menempuh waktu lebih dari dua tahun. Hal ini memberikan kesimpulan semakin tinggi level yang harus ditempuh oleh pendamba keadilan, semakin susah pendamba keadilan memperoleh akses terhadap keadilan. Keterlambatan yang paling kentara dan sangat tidak berkesesuaian dengan aturan UU PPHI adalah kasus-kasus kasasi Perkara pemutusan hubungan kerja. Meskipun UU PPHI menegaskan batasan waktu 30 hari bagi MA untuk memutus perkara, namun kenyataannya seluruh kasus perburuhan LBH ditingkat Kasasi telah melebihi waktu 30 hari. Kasus Suhaerman melawan Taxi Prestasi, Kasus Dian Umaida, dkk melawan PT. Andi Nusa Utama, kasus sultoni dkk melawan PT. Pembangunan Jaya Ancol, kasus parlan dkk vs The Saint Mary, yang masih dalam proses pemeriksaan. Begitu juga halnya dengan kasus Peninjuan kembali perkara perburuhan, dalam kasus Aliman dkk melawan PT. Makindo dan indri dkk melawan PT. Girindo keduanya masih dalam proses PK dan tidak jelas kapan akan jatuhnya putusan.padahal perkara sudah hampir setahun lamanya. Hal yang memperlama proses ini ternyata juga menyangkut buruknya kinerja birokrasi peradilan. Sbirokrasi peradilan yang korup mempermainkan proses pelimpahan perkara dan memperlama proses penunjukan majelis hakim. Kedua hal inilah yang turut menyebabkan terlambatnya kasus diputuskan. Selain tidak adanya kepastian mengenai asas keterbukaan dan waktu yang cepat, perporma MA juga menunjukan buruknya kualitas putusan MA. Dalam kasus abdurahman misalnya tersangka penodaan agama yang divonis bebas di tingkat PN dan PT namun ditingkat MA justru divonis bersalah. Vonis atas Abdurrahman ini semakin memperburuh citra MA setelah berbagai putusan MA kontroversial lainnya. Bahkan untuk melindungi hak-hak Bapak tua DJamhari, sang petugas jaga pintu perlintasan kereta api dalam kasus Tragedi Bintaro, Mahkamah Agung membutuhkan waktu tak kurang tiga tahun untuk memenagkan gugatanya.

27

Sebelum LBH Jakarta yang dalam kesempatan ini membongkar kasus undue delay dan ketertutupan peradilan, salah satu isu menyangkut performa Mahkamah Agung yang paling menyita perhatian adalah menyangkut bertumpuknya perkara di MA. Namun sayangnya hal ini malah menyebabkan lahirnya pembatasan perkara yang dapat diajukan di Mahkamah Agung. Sementara MA gagal untuk menjamin keterbukaan persidangan dan proses yang tidak memakan waktu yang berlarut-larut. Karenanya agenda progresif LBH untuk MA ke depan adalah melakukan upaya hukum dan mendesak perubahan kebijakan menyangkut un due delay /terlambatnya diputus suatu perkara dan karenanya merugikan para pendamba keadilan. E. Justisibialitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Upaya untuk menagih kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenhi hak-hak eksonomi sosial dan budaya dilakukan LBH dengan aktif mengajukan gugatan-gugatan berbasiskan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya di pengadilan. Tahun ini LBH baik sendiri maupun bersama-sama dengan jaringan melakukan langkah hukum dan mengajukan gugatan atas sejumlah persoalan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak dan pelanggaran hak-ekonomi sosial dan budaya. Hampir semua gugatan LBH Jakarta kandas di pengadilan. Kasus Lapindo, NMR, Steve Sugita, Banjir, operasi yustisi, Pasar Tradisional semuanya kandas dan hanya kasus Ujian Nasional yang memenangkan perkara dan menghukum pemerintah untuk menghormati, melindungi dan menenuhi hak atas pendidikan korban ujian nasional. PN Jakarta Pusat gagal menangkap terjadinya pelanggaran serius hak-hak ekonomi sosial budaya dalam kasus Lapindo brantas, kasus banjir besar tahun 2007, dan kasus operasi Yustisi. Namun mengabulkan gugatan citizen Law Suit dalam kasus Ujian Nasional. Sementara itu PN Jakarta Selatan Gagal menangkap terjadinya pelanggaran serupa dalam kasus Lapindo, Newmont, gugatan Tabung CNG dan Gugatan Pedagang Pasar Tradisional Blok M. Dalam kasus Banjir besar 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat gagal melihat hubungan kausalitas dan menganggap kerugian-kerugian nyata yang diderita korban banjir tidak dapat atau tidak cukup terbukti. Padahal proses pembuktian dan peristiwa yang merupakan notoir feiten tidak perlu disanggah lagi. Putusan ini menyebabkan ribuan orang yang ikut mendaftarkan diri sebagai anggota kelompok dan menderita kerugian akibat banjir tetap tidak memperolah hakhaknya dan diabaikan dari pemulihan. Dalam kasus Newmont, Majelis hakim justru membatasi ruang lingkup Perbuatan melawan hukum dalam legal satanding lingkungan berdasarkan UU No. 23 tahun 1997 dan menafsirkan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat prosedural dalam konteks perusakan lingkungan secara tidak langsung sebagai bagain yang diluar sengekata dalam lingkup UU lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan 10 point gugatan perbuatan melawan hukum Walhi atas newmont ditolak dan hanya diperiksa satu saja. Banyaknya perkara yang tidak dikabulkan ini menunjukan masih minimnya pengetahuan hakim atas konsep dan indikator-indikator telah terjadinya pelanggaran hak ekonomi-sosial dan budaya kendati Indonesia telah meratifikasi Kovenan Ekosob sejak tahun 2005.

28

F. ViktimisasiUpaya korban untuk mendapatkan keadilan juga seringkali terhambat dan kandas oleh tindakan viktimasasi. Viktimasasi dilakukan dengan beberapa pola namun secara umum dilakukan dengan melakukan tindakan kriminalisasi dan tindakan balasan non-pidana. Tahun 2007 ini LBH mencatat terjadinya kenaikan kasus kriminalisasi Buruh dua kali lipat dibanding tahun 2006 yang berjumlah 4 kasus. Kasus kriminalisasi yang cukup kuat terjadi dalam kasus tuduhan penggelapan dan perbuatan tidak menyenangkan yang dilaporkan PT. Roda Kencana Mandiri (RKM) atas 83 Sopirnya yang seluruhnya adalah anggota SBTPI. Sugeng, Hartoyo dan Daryono ditangkap secara tidak sah, ditahan dan mengalami penyiksaan dan akhirnya diadili di PN Jakarta Utara. Ketiganya divonis bersalah dan dihukum 6 bulan. Sementara itu LBH konsisten melakukan pendampingan hingga di Rumah Tahanan Salemba dan memantau kondisi Korban. Kasus ini merupakan kasus kriminalisasi buruh selain yang juga menimpa beberapa anggota SPSI dan GSBI di Tanggerang yang dikenakan tuduhan perbuatan tidakmenyenangkan dalam aksi unjukrasa dan peringatan may day. Selebihnya tindakan kriminalisasi masih dalam proses penanganan setelah laporan-laporan balik Pengusaha yang dilaporkan melakukan tindak pidana anti-union. Kasus seperti ini terjadi misalnya dalam kasus dilaporkannya haris dkk oleh Yayasan LIA dengan tuduhan pencemaran nama baik. Bahkan kasus kriminalisasi ini juga meluas tidak saja di sektor buruh namun juga menimpa para pemimpin informal pedagang-pedagang sektor informal dan pedagang tradisional. Tahun ini Beberapa pedagang di Pasar Pondok Gede, Bekasi dan Pasar Blok M Melawai, Jakarta Selatan dilaporkan oleh pihak pengelola pasar yang terancam oleh perjuangan mereka dan kepolisian cenderung menutup mata meskipun tindakan Para pedagang tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan. Dalam tindakan non-pidana terlihat pola-pola SLAPP Suit (strategic Law Against Public Participation) untuk membungkam para korban dan atau aktivis pembela HAM. Tidakan balasan non-pidana terjadi seperti kasus gugatan balik secara perdata, dalam kasus Penanganan gugatan legal standing Walhi atas Newmont Minahasa Raya, para pengacara Walhi termasuk para anggota Pengacara Publik LBH didalamnya digugat balik secara pribadi dan menuduh para pengacara sebagai kelompok pengacara yang menghancurkan iklim investasi di Indonesia dan bertanggungjawab atas kerugian negara senilai 5 (lima) trilyun Rupiah. Kondisi viktimisasi ini sebetulnya ironis mengingat adanya UU No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan Korban, walaupun UU Perlindungan Saksi dan Korban terlihat lebih sebagai kosmetik. Misal tercermin dari diadopsinya hanya 3 bagian dari lingkup reparasi yang diatur PBB8. Ketiganya yakni kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun dua lagi lingkup reparasi menyangkut jaminan negara dan pelaku untuk tidak mengulangi kejahatan atau pelangaran dan jaminan negara untuk memberikan kepuasan batin (satisfaction) bagi korban dan keluarga korban tidak diakomodasi dalam UU PSK. Kendati demikian, keberadaan UU ini yang didalamnya mengamanatkan terbentuknya Lembaga perlindungan Saksi dan korban tetap langkah maju negara dalam upaya memulihkan hak-hak korban secara keseluruhan. Sayangnya, basis konstituen LBH Jakarta yang lebih banyak merupakan korban pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya tidak terakomodir dalam UU baru ini. Korban-korban penggusuran,8

Dapat dilihat dalam UN Basic principle and Guidlines on the right to a remedy and reparation for victims of International Human Rights and Humanitarian Law. www.un.org 29

PHK masal, anti serikat membutuhkan suatu mekanisme yang baru yang dapat menjangkau hakhak mereka akan reparasi dan efective remedy. Namun demikian, masalah undue delay, ketertutupan informasi dan hambatan-hambatan lain bagi korban dan pengadu sebagaimana tercermin dalam kasus-kasus LBH tahun ini, dapat didesakkan dengan meminta Akses terhadap informasi terkini --mengenai penegakan hukum-atas pelanggaran hukum/HAM (access the factual information concerning the Violations) yang merupakan salah satu bagian dari Effective remedy selain acces to justice (tidak hanya dalam prosedur peradilan tetapi juga mekanisme adminsitrasi), reparasi yang layak (adequate), efektif (effective) dan segera (prompt), dapat diakomodasi.

30

BAB IV NEGARA MERAMPAS HAK ASASI MANUSIA A. Quo Vadis Hak Atas Pendidikan

Hak dasar seseorang untuk mendapatkan pendidikan gratis berkualitas dan bermutu lagi-lagi terancam dengan kebijakan yang tidak mengakar pada kebutuhan. Sepanjang tahun 2007 dapat dilihat betapa pemerintah baik pusat dan daerah tidak memberikan perbaikan-perbaikan mendasar kebutuhan yang berhubungan dengan masalah pendidikan. Kebutuhan akan sarana prasarana yang sempurna disetiap jenjang pendidikan, biaya yang masih mahal, kualitas guru yang tidak jelas, subtansi pendidikan yang tidak jelas seperti kurikulum yang sering berubah-ubah, ujian nasional, dan korupsi pendidikan. Jelas masalah-masalah ini telah mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang gratis berkualitas dan bermutu9. Perubahan kebijakan pendidikan pun senantiasa mengakar pada kepentingan elit, di mana pendidikan dirancang hanya untuk kebutuhan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan keuangan yang mumpuni. Masyarakat yang hanya hidup dengan upah minimun tidak akan mampu mendorong anakanaknya untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah yang unggulan, berkualitas dan mahal. Hal ini seperti halnya pada masa penjajahan Belanda di mana sekolah yang memiliki mutu yang baik hanya dinikmati oleh kelompok bangsawan dengan maksud menjaga hubungan penjajah dengan kelompok priyayi dan sekolah yang tidak bermutu atau biasa-biasa saja sengaja dibentuk untuk masyarakat menengah bawah.10 Sekolah dengan standar kelas Internasional di dukung sepenuhnya oleh pemerintah dengan biaya yang sangat besar merupakan fenomena kekinian. Jelas ini merupakan pembedaan yang sengaja dibuat, terlihat masyarakat mampu bisa memasukan anaknya disekolah bertaraf Internasional sedangkan bagi masyarakat tidak mampu hanya mendapatkan pengajaran yang biasa-biasa saja.11 Terlebih pada saat sekarang sedang dirancang Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akan menjadikan dunia pendidikan di Indonesia semakin mahal. Dengan UU ini pemerintah bermaksud melepas tanggungjawabnya untuk membiayai pendidikan warga negaranya. 12 Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dengan berlakunya UU ini akan menaikan biaya pendidikan, seperti halnya yang sekarang terjadi di Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Gajah Mada, dan beberapa universitas lainnya yang sekarang sedang menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) meskipun UU belum berlaku. Kausalitas Yang Ditimbulkan Di dalam Pasal 13 dan 14 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekosob mengatur tentang Hak Atas Pendidikan. Pengaturan tentang hak dasar ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan hak-hak lainnya. Pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun gratis wajib disediakan serta kualitas,9

Silahkan akses masalah pendidikan di http://www.sman2mks.com/index.php? option=com_content&task=view&id=745&Itemid=8610 11 12

Hak Atas Pendidikan & Realitas Kebijakannya; Berita LBH Jakarta, Terbitan April-Juni 2007 http://republika.co.id/online_detail.asp?id=294808&kat_id=23 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/ancaman-ruu-badan-hukum-pendidikan-2.html 31

mutu dan isi dari pendidikan harus bisa dilakukan dengan baik oleh negara. Jika berkaca pada uraian diatas maka negara gagal melaksanakan pendidikan yang dinikmati dengan cuma-cuma oleh setiap warga negaranya dan pendidikan yang dapat dirasakan oleh seluruh warga negaranya tanpa membedakan kemampuan ekonomi serta mutu dan kualitas lembaga pendidikan yang merata. Pengaturan hak atas pendidikan yang lebih banyak dalam kovenan bukan berarti tidak ada maksud. Pendidikan dinyatakan sebagai hak dasar yang dapat mempengaruhi penikmatan hak dasar lainnya apabila terjadi penghambatan untuk memperolehnya. Seorang warga negara yang seharusnya dapat memperoleh pendidikan tetapi karena persoalan korupsi, kualitas guru, jarak yang jauh dari sekolah, buku yang mahal, dan biaya yang tinggi, ternyata harus putus sekolah. Dampaknya, jelas pada sumber daya manusia yang rendah karena tidak dapat bersaing dengan masyarakat lain yang memiliki uang untuk sekolah, sulit untuk mencari pekerjaan karena status tidak sekolah dan tidak melanjutkan, terhambat untuk menjadi pejabat-pejabat negara, dalam hal ini untuk dipilih karena jenjang pendidikannnya yang rendah.13 Oleh karenanya penting sekali bagi seluruh elemen masyarakat untuk mendorong pemerintah untuk menghapus segala bentuk pelanggaran atas hak dasar pendidikan ini. Putusan majelis hakim dalam Citizen Lawsuit terkait penyelenggaraan ujian nasional, telah menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran hak atas pendidikan dan penghambatan pengembangan diri anak yang dilakukan oleh pemerintah. Sarana pra sarana, akses informasi, kualitas guru, dan kurikulum yang berbeda-beda sebagai bentuk pelanggaran yang harus segera dipulihkan. 14 Sangat disayangkan putusan tersebut tidak dijalankan secara sukarela oleh pemerintah melainkan diajukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Jelas tindakan ini menambah pelanggaran hak atas pendidikan semakin banyak menimbulkan korban terutama pada soal anak. Begitupun dengan kegigihan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) RI yang senantiasa melobi kalangan legislatif untuk dapat segera mengesahkan RUU BHP menjadi UU. Sikap ini jelas, sangat elitis dan tidak mengakar pada ketentuan-ketentuan yang saat ini sedang berlaku. Pasal 31 UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Rafikasi Kovenan Ekosob, UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Banyaknya ketentuan yang telah dibuat di negeri ini tetap tidak mampu merubah pemenuhan hak atas pendidikan yang selama ini diidam-idamkan. Angka indeks pembangunan manusia Indonesia pada saat ini dapat diprediksikan untuk 10 (sepuluh) atau 20 (duapuluh) tahun mendatang, di mana banyak manusia-manusia yang tidak dapat bersaing dengan manusia-manusia yang pada saat sekarang mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik karena kemampuan ekonomi yang dimiliki. Pembiaran seperti ini jelas merupakan bentuk kesengajaan yang dapat merugikan masyarakat pada umumnya. Sumber daya manusia yang rendah jelas berdampak pada kebutuhan dasar manusia, seperti bekerja, merawat lingkungan, di pilih dan memilih, memiliki ilmu pengetahuan, serta memikirkan pengembangan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Belajar Dari Pengalaman13

Pendapat ini disampaikan oleh Habib Chirzin pada saat memberikan kesaksian sebagai ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor : 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST di mana kapasitasnya sebagai seorang ahli hak atas pendidikan.14

Putusan di bacakan pada tanggal 21 Mei 2007 oleh Ketua Majelis Hakim Adriani Nurdin dalam perkara nomor : 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST 32

Lee Kwan Yu Perdana Menteri Singapura telah berhasil menjadikan pendidikan sebagai program utama di Singapura. Alhasil negeri dengan penduduk 3 (tiga) juta orang pada sekarang telah memiliki pengaruh besar di dunia karena pemenuhan hak atas pendidikannya secara konsisten di penuhi. Malaysia yang berhasil mengejar ketertinggalan dengan memajukan pendidikan warga negaranya ternyata mendulang sukses dalam peningkatan kualitas sumber daya manusiannya. Di Indonesia sendiri keinginan kearah yang lebih baik dalam konteks pengembangan pendidikan yang lebih bermutu masih pada wilayah wacana dan angan-angan. Tidak ada keseriusan pemerintah untuk secara tegas menghapus segala macam penduduk pelanggaran pendidikan seperti halnya penyelenggaran ujian nasional yang penuh dengan masalah dan keinginan untuk mempercepat lahirnya UU BHP. Ketentuan tentang anggaran APBN dan APBD harus 20 % sebagai salah satu bukti nyata bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki keseriusan untuk meningkatkan hidup warga negaranya melalui pendidikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa rendahnya mutu pendidikan juga dapat berpengaruh pada pemahaman para pejabat dan birokrasi pemerintah terhadap arti penting dari pemenuhan hak atas pendidikan. Kualitas yang rendah dalam pendidikan telah menimbulkan kekerasan di lembaga pendidikan, misalnya yang terjadi di Institute Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), sehingga menjadikan negara dikuasai oleh orang-orang yang keras, kasar dan tidak peduli dengan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap HAM. Tentu dikarenakan pemenuhan hak atas pendidikan oleh pemerintah hanya sebatas mengadakan tetapi tidak dipikirkan bagaimana kualitas pendidikannya dapat tercapai dengan sempurna. Tidak ada yang tidak terlanggar HAM seseorang jika pelanggaran hak atas pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Kerugian besar akan senantiasa dialami oleh masyarakat akibat dari kesengajaan dan kelalaian pemerintah untuk melayani warga negaranya dengan baik. Seharusnya catatan ini dijadikan bahan perubahan pendidikan pada tahun 2008 oleh pemerintah. B. 1. Hak Dalam Pekerjaan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja 1.1. Mengapa Perlu Ada Perlindungan?

Jika dalam perjanjian jual beli, jelas obyeknya adalah barang, juga dalam hutang piutang, pinjam meminjam atau tukar menukar. Sedangkan dalam perjanjian perburuhan yang menjadi obyek perjanjian adalah tenaga buruh itu sendiri. Buruh tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan kepada pengusaha selain dari tenaga yang melekat pada dirinya. Walaupun dalam keseharian tenaga sering dinyatakan dalam istilah yang lain seperti keahlian, intelektual, kemampuannya. Karena itulah buruh mengikuti ke mana tenaga tersebut dibutuhkan oleh pengusaha. Berbeda dengan obyek perjanjian yang berupa barang, si penjual tidak terikat dengan barang tersebut. Jika dalam pernjanjian jual beli, hukum perdata mengatur masalah resiko yang mungkin terjadi apabila barang yang dijual rusak, atau hilang sangatlah wajar jika hukum perburuhan harus mengatur lebih lagi tentang resiko kerja. Resiko kerja harus dipandang bukan saja dari sisi kuratif/penanggulangan tetapi juga preventif/pencegahan. Sebab jika si buruh sudah terlanjur sakit, maka tidak ada lagi hal yang mampu menggantikan kesehatan buruh seperti dalam keadaan semula.33

Mesin yang digunakan terus menerus untuk proses industri di pabrik, bisa mengalami penyusutan manfaat sehingga suatu waktu akan rusak dan dibuang. Buruh tidak dapat diperlakukan demikian. Mesin bukanlah pribadi yang menerima dampak jika mesin tersebut rusak dan tidak dapat dipakai lagi, sebaliknya dengan buruh. Jika ia memiliki tenaga lagi untuk dijual, Ia tidak dapat bekerja lagi maka Ia tidak memiliki penghasilan untuk hidupnya dan keluarganya. Ia menderita bukan hanya secara ekonomis, juga secara psikologis, dan sosiologis. Menyamakan perlakukan yang sama antara buruh dan mesin sama saja dengan sistem perbudakan yang telah dihapus. Itulah mengapa hukum perburuhan dalam beberapa hal mulai berlaku bahkan sebelum adanya hubungan hukum antara buruh dan pengusaha dan tetap berlaku ketika buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sakit, pensiun atau cacat. Sebagaimana diakui oleh Imam Soepomo, Bapak Hukum Perburuhan Indonesia. Dengan logika sederhana inilah, masalah jaminan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) menjadi isu yang sangat penting dalam hukum perburuhan. 1.2. Implementasi Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Verja

Penghayatan akan pentingnya jaminan perlindungan K3 inilah yang hilang dalam kebijakan perburuhan di Indonesia. Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), upaya keselamatan dan kesehatan kerja berujung pada kepentingan pengusaha yaitu agar pekerjanya produktif.15 Bukan berujung pada perlindungan diri buruh itu sendiri. Meskipun UUK, mengatur bahwa pelanggaran K3 dengan sanksi pidana, Namun selama tahun 2007, LBH Jakarta masih menemukan banyak kasus pelanggaran K3 dengan pola sebagai berikut : 1. Pengusaha tidak membayar biaya jika buruh sakit atau mengalami kecelakaan kerja 2. Tidak diikutsertakan dalam program asuransi kesehatan 3. Diikutsertakan dalam asuransi kesehatan namun tidak menutupi biaya untuk pemeliharaan atau pengobatan kesehatan sehingga biaya dipotong dari upah buruh 4. Kondisi kerja berbahaya dan tidak ada perlindungan bagi buruh 5. Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja hanya jika buruh tersebut sakit (kuratif) Biasanya permasalahan K3 baru terungkap ketika buruh yang datang ke LBH Jakarta mengadukan permasalahan PHK. Sedikit sekali buruh yang tidak mengetahui bahwa K3 adalah hak. Ketidaktahuan inilah yang kerap membuat buruh tidak mau menuntut pemenuhan K3. Namun ketika buruh tersebut sakit dan akhirnya di PHK atau di PHK tanpa alasan yang jelas kemudian datang untuk mengadu dan meminta bantuan hukum ke LBH Jakarta, barulah buruh tersebut mengetahui pentingnya K3. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa buruh menganggap lebih penting memiliki pekerjaan daripada adanya kesehatan dan keselamatan kerja selama bekerja.

15

Pasal 86 ayat (2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

34

Buruh yang paling rentan tidak mendapatkan perlindungan K3 adalah: (1) buruh kontrak; (2) buruh harian lepas; (3) buruh outsourcing Dalam beberapa kasus, pelanggaran K3 disebabkan oleh pelanggaran perjanjian kerja. Meskipun sifat pekerjaanya tetap dan telah bekerja lebih dari 3 tahun, guru-guru di Yayasan LIA tetap dianggap sebagai buruh kontrak honorer begitu juga dengan buruh di Sari Biliar yang dianggap sebagai buruh harian lepas, juga buruh di Yayasan Saint Mary. Dari beberapa kasus tersebut ditemukan adanya pola bahwa pelanggaran K3 kerap dilatarbelakangi pelanggaran hubungan kerja. Kondisi yang buruk menimpa buruh di Yayasan LIA secara ganda, status honores membuat guru-guru di Yayasan LIA tidak dibayar jika tidak mengajar. Jika selama satu minggu guru bersangkutan sakit sehingga tidak mengajar, Ia bukan hanya kehilangan upahnya selama satu minggu tetapi juga harus membayar sendiri biaya Rumah Sakit. Ketika mengadukan permasalahan ini ke Pengawasan Depnaker Pusat, kembali pengawas mengarahkan penyelesaian kasus ke PHI. Buruknya perlindungan K3 juga dialami oleh buruh migran. Seperi kasus Nurhayati yang dianiaya oleh majikannya di Kuwait dan mengalami patah tulang di tangannya. Ketika tiba di Indonesia dan menuntut pembayaran asuransi kesehatan, tidak ditanggapi dengan alasan bahwa Preusan asuransi tidak mengetahui nomor polis asuransi Nurhayati. Nomor polis itu sendiri hanya diketahui oleh PJTKI. Ketika LBH Yakarta mengadukan permasalahannya ke BNP2TKI, hanya diresponi dengan surat ke perusahaann asuransi agar mencairkan klaim asuransi Nurhayati yang hingga kini tidak jelas tindak lanjutnya Beberapa kasus buruh migran yang datang. Pelanggaran K3 sering dilatarbelakangi adanya pelanggaran perjanjian kerja. Perjanjian yang mendasari hubungan kerja kerap menjadi alasan bagi pengusaha tidak memberikan perlindungan K3 kepada buruh. Hal ini didukung sikap pegawai pengawas yang mengabaikan pengaduan buruh mendukung buruknya K3 di perusahaan. Selain itu, tidak adanya keamanan kerja (job security) membuat buruh mengenyampingkan pentinganya K3 demi tetap memiliki pekerjaan. Sehingga buruh baru mempermasalahan K3 ketika buruh di-PHK. Perubahan kebijakan perburuhan yang lebih memberikan jaminan kemananan kerja akan meminimalisir pelanggaran K3, niat baik dan sikap tegas Pemerintah juga diperlukan untuk memaksa pengusaha memenuhi kewajibannya terhadap perlindungan K3 bagi buruh.

2. Kebebasan BerserikatPentingnya serikat buruh Selain K3, hak dalam bekerja yang juga penting adalah hak untuk berserikat secara bebas. Buruh yang tidak tergabung dalam serikat buruh biasanya tidak mengetahui hak-hak yang seharusnya didapatkan. Pengetahuan mereka tentang hak-haknya dan kesadaran akan pentingnya memperjuangkan hak-hak tersebut biasanya baru muncul ketika mereka berkasus. Rutinitas di pabrik atau perusahaan kerap membuat buruh terisolasi dari lingkungan sekitarnya yang membuat buruh tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang haknya. Ketidaktahuan membuat buruh membiarkan saja hak-haknya dan hak-hak buruh lainnya dilanggar. Ketidaktahuan melanggengkan kondisi kerja yang buruk yang bukan saya merugikan tetapi juga membahayakan buruh.35

Karena alasan di ataslah, keberadaan serikat buruh menjadi penting. Serikat buruh dapat menjadi wadah untuk mendidik buruh, menyadarkan buruh dan menyatukan buruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Serikat buruh dapat menjadi tempat bagi buruh untuk saling bertukar informasi. Selain itu, kondisi buruh yang tidak seimbang dengan pengusaha membuat buruh secara individual tidak memiliki posisi tawar dengan pengusaha ketika buruh hendak menuntut pemenuhan haknya. Namun sebaliknya, jika buruh tersebut berkumpul dalam satu serikat buruh maka secara kolektif Ia memiliki posisi tawar di hadapan pengusaha. Dalam kondisi yang seimbang ini, maka dapat terjadi tawar menawar yang berujung pada pemenuhan hal-hak buruh bukan hanya hak buruh yang sudah diatur dalam perundang-undangan tetapi juga untuk mengubah perundang-undangan itu sendiri agar lebih melindungi buruh. 2.1. Kebijakan yang membatasi kebebasan berserikat Beberapa kebijakan yang berlaku di Indonesia, justru melemahakn serikat buruh sebagaimana dalam tabel di bawah ini. Tabel 18 Kebijakan yang melemahkan Serikat BuruhPERMASALAHAN UU NO 21 TAHUN 2000 Pasal 5 ayat (2) Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Pasal 35 Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Pasal 36 Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU N0 13 TAHUN 2003 UU NO 2 TAHUN 2004

Pemecahbelahan buruh

Pasal 119 (2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buru