laporan akhir ekpd 2010 - papua barat - unp
DESCRIPTION
Laporan Akhir EKPD 2010 Provinsi Papua Barat oleh Tim Universitas Negeri PapuaTRANSCRIPT
i EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
KATA PENGANTAR
Pujian, syukur, dan terima kasih kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat dan rahmatNya tulisan dengan judul LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA
PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT 2010 dapat diselesaikan dengan
baik. Kegiatan Evaluasi ini telah diikuti oleh Universitas Papua selama 2 tahun berturut-
turut yaitu 2008, 2009, dan tahun 2010 merupakan keikutsertaan Universitas Papua yang
ketiga. Pengalaman yang dimiliki dalam melaksanakan EKPD dan tersedianya data yang
memadai diharapkan akan diperoleh hasil yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Kegiatan EKPD tahun 2010 ini memiliki nuansa yang sedikit berbeda dengan kegiatan-
kegiatan EKPD tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena EKPD 2010 bertepatan
dengan peralihan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 ke
RPJM 2010 – 2014. Oleh karenanya, EKPD 2010 akan diarahkan mencakup dua
kegiatan yaitu, pertama, mengevaluasi pelaksanaan PRJM 2004-2009 di Provinsi Papua
Barat dengan analisis sebagaimana evaluasi tahun lalu. Hasil evaluasi EKPD akan
memberikan gambaran yang utuh mengenai pelaksanaan RPJMN di daerah, baik
pencapaian maupun permasalahan dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mencapai target-target yang telah
ditetapkan tersebut. Kedua,d alam RPJMN 2010 – 2014 yang telah mulai dilaksanakan,
terjadi perubahan yang cukup besar dengan RPJMN sebelumnya. Untuk itu perlu
dilakukan evaluasi ex-ante tentang relevansi untuk membandingkan dan menilai RPJMD
di masing-masing provinsi dengan RPJMN yang baru.
Dengan memiliki data keterkaitan antara RPJMD di provinsi dan RPJMN, maka akan
diperoleh gambaran/masukan bagi pemerintah dalam menyusun kegiatan di daerah.
Hasil evaluasi ini juga dapat bermanfaat bagi daerah untuk menyesuaikan dokumen
perencanaan daerah terhadap RPJMN apabila diperlukan.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Papua Barat ini dibuat sebagai salah satu
pertanggungjawaban Tim Narasumber Provinsi Papua Barat kepada Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) sebagai mitra kerja.
Terselesainya tulisan ini sudah barang tentu tidak terlepas dari kerjasama yang baik
antara BAPPENAS dan Tim Evaluasi Provinsi Papua Barat, oleh karenanya pada
kesempatan ini patut disampaikan terima kasih yang tulus kepada Tim BAPPENAS yang
ii EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
telah berbagi pengalaman, meluangkan waktu dan tenaga yang dimiliki demi perbaikan
kerja Tim Evaluasi Provinsi Papua Barat.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sesama Tim Evaluasi Provinsi yang telah
memberikan banyak masukan dan berbagi pengalaman dalam diskusi yang telah
memperkaya wawasan dalam melaksanakan pekerjaan ini. Kepada Kepala BP3D
Provinsi Papua Barat, Kepala BPS Provinsi Papua Barat dan berbagai instansi di
lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat yang telah membantu Tim Evaluasi Provinsi
Papua Barat pada kesempatan ini kami juga menghaturkan banyak terima kasih atas
kerjasamanya.
Disadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, masukan yang berupa saran
yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan laporan EKPD di masa
yang akan datang.
Manokwari, Desember 2010
Universitas Negeri Papua
Rektor,
Ir. Yan Pieter Karafir, MEc
iii EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
DAFTAR ISI
Kata Pengantar . ………………………………………………………………………………….. i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………… iii
Daftar Tabel ……………..……………………………………………………………………… v
Daftar Gambar…………………………………………………………………………………… . vi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………… 1 A. Latar Belakang…………………………………………………………………. ....... 1 B. Tujuan dan Sasaran ………………………………………………………………… 2 C. Keluaran……………………………………………………….………………………. 3
BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 ……………………….. 4
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI .............. 4 1. Indikator ………………………………………………………………………… 4 2. Analisis Pencapaian Indikator ………………………………………………. 4 3. Rekomendasi Kebijakan………………………………………………………… 6
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS .... 7 1. Indikator ……………………………………………………………………….… 7 2. Analisis Pencapaian Indikator ………………………………….…………… 7 3. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………..………………… 15
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT .............................. 16 1. Indikator ………………………………..………………………………………. 16 2. Analisis Pencapaian Indikator ……………..………………………………..... 17 3. Rekomendsi Kebijakan …………………………………………………………. 55
D. KESIMPULAN .................................................................................................. 62
BAB III. RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI
1. Pengantar …………………………………………………….. ............................. 66 2. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional . …………..……………… 67 3. Rekomendasi ……………………………………………… ............. …………….. 64 a. Rekomendasi terhadap RPJMD Provinsi …………………………………… ..... 87 b. Rekomendasi terhadap RPJMN ………………………………………… …….. 89
BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................... 90
1. Kesimpulan ............................ …….................................................................... 90 2. Rekomendasi ......... ………………………………………………………………… 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 94
LAMPIRAN ……………………………………………………………………………………. 96
iv EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Opini LKPD Papua Barat Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI ................. 11
Tabel 2 Target Pendidikan SMP di Papua Barat Tahun 2005-2009 …………………. 17
Tabel 3 Angka Partisipasi Kasar menurut Kabupaten/Kota dan Jenjang Pendidikan Tahun 2007-2008 ………………..……………………………………………….… 18 Tabel 4 Angka Partisipasi Murni menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 dan 2008 ………………………………………..…………………….. 20
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Siswa Putus Sekolah menurut jenjang pendidikan Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008 ………………………………………….. 21
Tabel 6 .... Angka Melek Aksara dan rata-rata lama sekolah penduduk berumur 15 Tahun atau lebih di Papua Barat Tahun 2007 dan 2008 .............................................. 23
Tabel 7 Persentase Fasilitas Perpustakaan Terhadap Jumlah SLTP/SLTA Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008 ……………………………………….. 25 Tabel 8 Persentase Fasilitas Laboratorium Terhadap Jumlah SLTP dan SLTA Di Provinsi Papua Barat 2006-2008 ………………………………………………. 25
Tabel 9 Persentase jalan nasional dan jalan provinsi di Papua Barat Tahun 2004-2009 40
Tabel 10 Produk Domestik Regional Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha 2005-2009 (Juta Rupiah) …………………..…………………………...... 44 Tabel 11 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 dan 2008 ........ 50
v EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Angka Kriminilitas di Papua Barat ................................................................. 4
Gambar 2 Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional di Papua Barat .. 5
Gambar 3 Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional di Papua Barat .. 6
Gambar 4. Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan............................................................................................... 8
Gambar 5. Gender Development Index Papua Barat ...................................................... 12
Gambar 6. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender di Papua Barat ................................................................................. 13 Gambar 7 Gender Empaowerment Measurement di Papua Barat ................................ 14
Gambar 8 Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi kasar SD dan SMP di Provinsi Papua Barat 2004-2009 18
Gambar 9 Angka melek huruf Provinsi Papua Barat 2004-2009................................. 22
Gambar 10 Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan persentase Gizi buruk di Papua Barat Tahun 2004-2009................................................. 27
Gambar 11 Laju pertumbuhan penduduk dan total fertility rate di Papua Barat Tahun 2004-2009........................................................................................... 28
Gambar 12 Contaceprive prevalence rate, pertumbuhan pendapatan per kapita Dan akngka melek huruf di Papua Barat Tahun 2004-2009.......................... 29
Gambar 13 Persentase laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009................................................................................................... .. 27
Gambar 14 Indikator Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Barat tahun 2004-2009.......... 32
Gambar 15 PDRB Per Kapita Berdasarkan Harga Belaku di Papua Barat Tahun 2004-2009 ......................................................................................... 33
Gambar 16 Indikator Pendukung PDRB Per Kapita Papua Barat, 2004-2009............. ... 30
Gambar 17 Laju Inflasi di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009. ................................ 35
Gambar 18 Perkembangan nilai Rencana dan Realisasi PMA di Papua Barat Tahun 2004-2009. ........................................................................................ 36
Gambar 19 Perkembangan nilai realisasi PMA di Papua Barat Tahun 2004-2009 .......... 38
Gambar 20 Perkembangan Nilai Tukar Petani di Papua Barat 2006-2009...................... 43
Gambar 21 Persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan di Papua Barat ............. ... 45
Gambar 22 Jumlah Tindak Pidana Kelautan di Papua Barat ........................................... 47
Gambar 23 Luas Lahan Konservasi di Papua Barat ........................................................ 49
Gambar 24 Penduduk Miskin di Papua Barat ................................................................. 51
Gambar 25 Indikator Pendukung Kemiskinan di Papua Barat ......................................... 52
Gambar 26 Tingkat Penggangguran Terbuka di Papua Barat ......................................... 54
vi EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan,
pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu
tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan
mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana
pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (Bappenas)
berkewajiban untuk melakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana pelaksanan RPJMN
tersebut.
Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010–2014. Siklus
pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama dengan
siklus pembangunan 5 tahun di daerah. Sehingga penetapan RPJMN 2010-2014 ini tidak
bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD tidak selalu
mengacu pada prioritas-prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi
relevansi prioritas/program antara RPJMN dengan RPJMD Provinsi.
Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Yang pertama adalah
evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan
antara RPJMD dengan RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi
ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu
pada tiga agenda RPJMN 2004 - 2009 yaitu agenda Aman dan Damai; Adil dan
Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang
telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi
dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 2
relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan
keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu
juga mengidentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN
2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah 1) Reformasi
Birokrasi dan Tata Kelola, 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4) Penanggulangan
Kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Investasi dan Iklim
Usaha, 8) Energi, 9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 10) Daerah
Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik, 11) Kebudayaan, Kreativitas dan
Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu 1) Kesejahteraan Rakyat lainnya, 2)
Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya, 3) Perekonomian lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan
pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di daerah. Selain itu, hasil
evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan
pembangunan daerah.
Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan yang lebih
independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal tersebut,
Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan kegiatan Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan 33 Perguruan Tinggi
selaku evaluator eksternal dan dibantu oleh stakeholders daerah.
Pelaksanaan EKPD 2010 akan dilaksanakan dengan mengacu pada panduan yang
terdiri dari Pendahuluan, Kerangka Kerja Evaluasi, Pelaksanaan Evaluasi, Organisasi
dan Rencana Kerja EKPD 2010, Administrasi dan Keuangan serta Penutup.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan kegiatan ini adalah:
1. Untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan
kontribusi pada pembangunan di daerah;
2. Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan prioritas/program (outcome) dalam
RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi.
Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini meliputi:
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di daerah;
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan
RPJMN 2010-2014.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 3
C. Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan dari EKPD 2010 adalah:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 untuk
setiap provinsi;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010 -
2014.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 4
BAB II. HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
1. Indikator
Indikator untuk menilai hasil pelaksanaan RPJMN 2004-2009 tentang pembangunan
Indonesia yang aman dan damai adalah a) indeks kriminalitas, b) persentase
penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan c) persentase penyelesaian kasus
kejahatan transnasional.
2. Analisis Pencapaian Indikator
Angka Kriminilitas
Angka kriminiltas di Papua Barat di wakili oleh angka kriminilitas pada Kepolisian
Resort Manokwari. Angka kriminilitas yang digunakan adalah seluruh kasus
kriminilitas yang diterima oleh Kepolisian resort Manokwari, baik kasus kriminilitas
yang diselesaikan secara kekeluargaan maupun yang diteruskan ke pengadilan.
Adapun jumlah kasus kriminilitas 5 tahun terakhir yaitu Tahun 2005 hingga Tahun
2009, seperti pada Gambar 1.
Gambar 1.
Angka Kriminilitas di Papua Barat
Sumber: Kepolisian Resort Manokwari, 2010
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
2005 2006 2007 2008 2009
Angka Kriminilitas
Angka Kriminilitas
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 5
Jumlah kasus kriminilitas di Papua Barat cenderung meningkat hingga tahun 2008
dan menurun pada tahun 2009. Provinsi Papua Barat merupakan provinsi termuda
di Indonesia sehingga pertumbuhan penduduk terutama migrasi penduduk dari luar
Papua Barat yang masuk Papua Barat cenderung meningkat sehingga tingkat
kriminilitas terus bertambah. Pada tahun 2009 angka kriminilitas cenderung
menurun karena Peraturan Daerah tentang larangan penjualan bebas minuman
keras dan pemasukan minuman keras ke Kabupaten Manokwari diefektifkan.
Kasus kriminilitas tertinggi adalah kasus penganiayaan (15,20%), kasus pencurian
(13,83), kasus narkotika dan obat-obatab terlarang (11,70%), kasus pelanggaran lalu
lintas (7,45%) dan kasus pembunuhan (5,32%).
Kasus penganiayaan, kasus pelanggaran lalu lintas dan kasus pembunuhan
sebagian sebagian besar disebabkan oleh pengaruh minuman keras/
Sebagian besar kasus penganiayaan terjadi karena pelaku dalam keadaan tidak
sadar oleh minuman keras.
Kasus Kejahatan Konvensional
Persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional dua tahun terakhir di Papua
Barat ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2
Persentase Penyelesaian Kasus kejahatan Konvensional di Papua Barat
Sumber: Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
2008 2009
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 6
Jumlah kasus kejahatan konvensional tahun 2008 adalah 92 kasus dan Tahun 2009
adalah 94 kasus. Seluruh kasus kejahatan konvensional tahun 2008 dan tahun
2009 diselesaikan pada tahun tersebut.
Kasus Kejahatan Transnasional
Kasus kejahatan transnasional adalah pengedaran narkotika dan obat-obat terlarang
(narkoba). Kasus narkoba pada Tahun 2008 sebanyak 11 kasus dan tahun 2009
sebanyak 2 kasus. Seluruh kasus narkoba dapat diselesaikan pada tahun tersebut
(Gambar 3).
Gambar 3
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional di Papua Barat
Sumber: Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
3. Rekomendasi Kebijakan
a. Mengingat angka kriminilitas tertinggi di Papua Barat adalah kasus
penganiayaan karena minuman keras maka peraturan daerah yang melarang
memperdagangkan minuman keras perlu dipertegas. Pemerintah harus
mengambil tindakan tegas bagi pemasok dan pendistribusi minuman keras di
Papua barat.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
2008 2009
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 7
b. Mengingat Provinsi Papua Barat terdiri dari 9 kabupaten/kabupaten kota, dan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik antar kabupaten maka
sepatutnya Provinsi Papua Barat memiliki KAPOLDA, Kejaksaan Negeri Provinsi
dan Pengadilan Tinggi Provinsi.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
1. Indikator
Indikator untuk menilai hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 tentang
pembangunan Indonesia yang adil dan demokratis adalah Pelayanan Publik yang
meliputi indikator: a) persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan
dengan yang dilaporkan, b) persentase kabupaten kota yang memiliki peraturan
daerah pelayanan satu atap, c) persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki
pelaporan wajar tanpa pengecualian (WTP); dan Indikator Demokrasi yang
meliputi a) Gender Development Index (GDI), b) Gender Enpowerment
Measurement (GEM), dan c) Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
2. Capaian Pelayanan Publik
Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani
Wacana pemberantasan korupsi belakangan ini menjadi bahasa populer yang
diperbincangkan oleh semua kalangan. Perbincangannya dimulai dari perbincangan
formal di tingkatan elit sampai obrolan santai di warung kopi. Hal ini wajar,
mengingat orang Indonesia adalah orang yang kenyang jeratan korupsi, dan
korupsi meliputi hampir seluruh ranah kehidupan orang Indonesia pada umumnya,
dan Papua Barat pada khususnya. Akibat yang ditimbulkan dari praktek korupsi
adalah hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik, dan ketimpangan
sosial. Kemudian, agar hal-hal ini tidak menghilangkan norma dan tatanan yang ada
maka oleh pemerintah agenda pemberantasan korupsi mau tidak mau harus
menjadi pilihan. Persentasi kasus korupsi yang tertangani di Papua Barat dapat
dilihat pada Gambar 4.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 8
Gambar 4.
Persentase Kasus Korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang Dilaporkan di Papua barat
Sumber: Pengadilan Negeri Kabupaten Manokwari (meliputi tiga kabupten: Kab. Manokwari, Kab.
Teluk Bintuni dan Kab. Teluk Wondama), 2010.
Berdasarkan data dan informasi tersebut diatas, tercatat bahwa periode 2004 hingga
2007 tidak ada kasus korupsi yang dilaporkan untuk selanjutnya diproses.
Fenomena ini secara tidak langsung memcerminkan masih kurangnya komitmen
pemerintah daerah (Papua Barat) memberantas praktek-praktek korupsi.
Korupsi merupakan potret yang menurunkan tingkat pelayanan publik. Praktek
korupsi marak terjadi dimana-mana dan dilakukan secara terang-terangan, namun
belum nampak ada upaya pencegahan dan pemberantasan dugaan-dugaan korupsi.
Jumlah dugaan kasus korupsi yang tidak dilaporkan ke pihak berwajib relatif
menyebabkan kasus-kasus tersebut juga tidak bisa terungkap. Masing lemahnya
pemberantasan kasus–kasus korupsi di provinsi Papua Barat tahun 2004 hingga
2007 lebih disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1). Indonesia memiliki
wilayah sangat luas dari Sabang sampai Merauke sehingga keadaan tersebut turut
mempengaruhi lemahnya kontrol pemerintah terhadap praktek-praktek korupsi di
daerah termasuk di Papua Barat. Aparat Pemerintah Pusat yang ada di daerah
seperti kejaksaan , kehakiman dan pihak kepolisian sebagai institusi penegak hukum
seolah-olah tidak berdaya menghadapi praktek korupsi yang marak terjadi dan
bahkan ada kesan institusi penegak hukum tersebut melindungi para pelaku agar
terhindar dari proses penyidikan dan penyelidikan.
0
20
40
60
80
100
2008 2009
KASUS KORUPSI YANG TERTANGANI
% Kasus korupsi yang tertangani di bandingkan dengan yang dilaporkan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 9
Praktek korupsi yang dilakukan di Papua Barat sangat sistemik secara internal
institusi, antara institusi, individu dan kelompok sehingga menjadi sangat sulit untuk
mengungkapkan berbagai sinyalemen tindak pidana korupsi tersebut. Dokumen-
dokumen publik seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi buku
suci yang sulit di akses publik; 2). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
dibentuk oleh Undang-Undang cukup berhasil di tingkat pusat, namun belum efektif
bekerja di daerah karena hingga saat ini belum ada KPK di tingkat Daerah.
Kebaradaan KPK bukan terbatas tugasnya memberantas dan menuntas kasus-
kasus dugaan korupsi, tetapi dapat menjadi alat kontrol yang efektf terhadap
penyelenggaran pemerintahan di daerah. Masyarakat dapat menyampaikan laporan
dugaan korupsi langsung ke KPK tanpa melaluli instutusi penegak hukum lainnya;
3). Hambatan lainnya terkait dengan kewenangan untuk mengeluarkan surat
perintah pemeriksaan terhadap pejabat setingkat kepala daerah yang diatur oleh
Undang-Undang yaitu berada di tangan Presiden. Kasus-kasus dugaan korupsi yang
dilakukan oleh kepala daerah hingga kini masih berlarut-larut proses
penyelesaiannya karena disebabkan oleh hambatan legalitas
Selanjutnya, tahun 2008 hingga 2009 tercatat pula bahwa jumlah kasus korupsi yang
dilaporkan justru mampu diselesaikan secara keseluruhan. Artinya, pada periode
2008 hingga 2009 sejumlah kasus korupsi yang diagendakan hingga pada proses
pengadilan dapat diselesaikan secara hukum oleh institusi terkait (Pengadilan
Negeri). Praktek korupsi di daerah yang banyak menyeret petinggi daerah lebih
disebabkan oleh penyalagunaan wewenang sebagai akibat dari kekurangtahuan
para pejabat tentang perkembangan peraturan. Peraturan-peraturan yang dimaksud
diantaranya PP 29 Tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi, Keppres 80 Tahun 2003
tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, serta Keppres 42 Tahun 2002
tentang Pedoman Pelaksanaan APBN/APBD
Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki PERDA Pelayanan Satu Atap
Pada dasarnya, inisiasi pembentukan peraturan pelayanan satu atap lebih diarahkan
oleh pemerintah pusat/daerah guna menghindari birokrasi yang berbelit-belit.
Hingga 2009, tercatat di Kementerian Dalam Negeri ada 14 provinsi dan 250
kabupaten/kota yang baru menerapkan sistem pelayanan terpadu (SPT). Meskipun
hingga 2009 belum tergolong dalam kelompok daerah yang sudah menerapkan
sistem pelayanan terpadu, Papua Barat telah berkomitmen mempelajari dan mulai
mengatur atau mendesain sistem pelayanan satu atap, yang diharapkan nantinya
dapat menjadi jaminan daya tarik investor. Upaya ini telah ditunjukkan dengan studi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 10
banding yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Papua Barat ke beberapa
wilayah di tanah air (Kabupaten Sidoarjo) yang telah sukses dengan sistem
pelayanan terpadu.
Beberapa hal yang menyebabkan mengapa sistem pelayanan satu atap di Papua
Barat hingga sekarang belum juga optimal di desain, yaitu : 1) sumberdaya manusia
bidang perencanaan dan pengembangan investasi di daerah masih sangat minim; 2)
butuh waktu untuk perubahan paradigma pimpinan di daerah dari dilayani menjadi
melayani; dan 3) belum terkolaborasinya data dan informasi tentang potensi yang
akurat/potensial di daerah.
Persentase Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Salah satu upaya untuk mewujudkan good governance adalah dengan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Tujuan umum
pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi berkaitan dengan posisi
keuangan, kinerja dan arus kas entitas yang berguna bagi pengguna dalam
membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya. Secara
khusus, tujuan umum dari pelaporan keuangan di sektor publik adalah menyediakan
informasi yang berguna bagi proses pengambilan keputusan dan menunjukkan
akuntabilitas entitas mengenai sumberdaya yang dipercayakan.
Tujuan umum lainnya bagi pelaporan keuangan juga dapat memiliki peranan
prospektif dan prediktif, menyediakan informasi yang berguna dalam memprediksi
tingkat sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan operasi, dan risiko yang
menyertai serta ketidakpastiannya. Kemudian sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku, investigasi terhadap pertanggungjawaban keuangan di daerah oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI hanya pada Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) yang disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) di
daerah. Perkembangan hasil pemeriksaan terhadap LKPD Papua Barat tahun 2004
- 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 11
Tabel 1. Opini LKPD Papua Barat Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI
TAHUN OPINI
2004 WDP
2005 WDP
2006 TMP 2007 TMP 2008 TMP
2009 TMP
Sumber: BPK RI, 2009
Hasil pemeriksanaan BPK RI terhadap LKPD Papua Barat tahun 2004 hingga 2009,
cukup jelas memberikan informasi tentang masih lemahnya aspek pengelolaan
keungan di daerah yang pada akhirnya diberi opini tidak memberikan pendapat
(TMP). Aspek pengelolaan keuangan di daerah yang dimaksud disini bermula dari
perencanaan, penatausahaan, sampai pada aspek pelaporan dan
pertanggungjawaban. Masih lemahnya managemen pengelolaan keuangan di
daerah (Papua Barat) lebih di sebabkan oleh Pertama adalah masih lemahnya
sumber daya manusia pengelola keuangan di daerah. Sehebat apapun sistem dan
mekanisme yang dibangun, tetapi tidak didukung dengan SDM yang handal maka
sistem atau mekanisme tersebut tidak akan efektif. Harus diakui bahwa sampai saat
ini, ahli akuntansi sektor publik di Indonesia masih sangat amat sedikit, ketimbang
ahli akuntansi bisnis. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kita membaca hasil
audit BPK terhadap prestasi LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah). Kedua,
tumpang-tindih peraturan/ regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tentang
pengelolaan keuangan daerah, yang justru terkadang menjadi persoalan bagi
pemerintah daerah dalam penyusunan neraca. Yang lebih parah lagi tidak hanya
sebatas tumpang-tindih aturan, tetapi perubahan terhadap aturan tersebut juga
sering terjadi dengan durasi waktu yang relatif singkat.
3. Kinerja Indikator Demokrasi
Pada dasarnya hakekat pembangunan ditujukan untuk kesejahteraan seluruh
penduduk dengan tidak membedakan suku, agama, asal maupun jenis kelamin.
Meski demikian, pembangunan yang dilaksanakan disinyalir masih bermuatan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Ditengarai, pembangunan yang
dilaksanakan di segala bidang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Tentunya
untuk menjawab hal itu tidak mudah, perlu kajian mendalam terhadap keseluruhan
aspek pembangunan. Salah satu cara untuk mengetahui adanya diskriminasi antara
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 12
laki-laki dan perempuan, yaitu menilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) dengan
mempertimbangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Gender Development Index (GDI)
Dalam perkembangan bangsa, peran jender perlu diperhatikan tidak hanya dari
keberadaannya, tetapi juga kwalitas perannya. Pemberdayaan perempuan diarahkan
untuk mengembangkan dan memantapkan berbagai potensi yang ada pada dirinya
yang memungkinkan dirinya dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki terhadap proses pembangunan. Pencapaian pembangunan gender
yang diukur dengan indeks pembangunan gender (IPG) di Papua Barat dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5
Gender Development Index Papua Barat
Sumber : BPS RI, 2009
Pencapaian pembangunan gender yang diukur dengan IPG selama kurun waktu
2004 - 2007 pada Gambar 5 di atas menunjukkan pencapaian pembangunan gender
terus mengalami peningkatan sejak tahun 2004. Pada tahun 2004 pencapaian
pembangunan gender mencapai 51,40 kemudian meningkat menjadi 56,80 pada
tahun 2007. Dengan demikian selama kurun waktu 2004-2007 kapabilitas dasar
perempuan terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2004 nilai IPG Papua Barat
terlihat terus bergerak naik hingga mencapai 56,80 pada tahun 2007. Namun
48,00
50,00
52,00
54,00
56,00
58,00
60,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Index
Gender Development Index
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 13
demikian, capaian IPG pada periode tersebut masih tergolong rendah, jika
dibandingkan prestasi IPG daerah lainnya di Indonesia.
Kemudian, pada periode 2008-2009 IPG Papua Barat juga terlihat terus meningkat
dari 57,36 pada tahun 2008 menjadi 57,80 pada tahun 2009. Artinya, meskipun
peningkatan tersebut masih relatif kecil namun peningkatan tersebut justru
memberikan indikasi bahwa komitmen pemerintah terhadap kesetaraan jender di
Papua Barat cukup baik dari sisi kuantitas.
Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia yang tercermin dalam nilai IPM Papua Barat sejak tahun
2004 hingga 2009 meningkat baik di tingkat kabupaten/kota di Papua Barat hingga
tingkat provinsi. Namun, demikian terlihat jelas bahwa peningkatan tersebut masih
belum mampu mengurangi kesenjangan gender. Hal ini dapat diketahui dari nilai IPG
yang lebih kecil dari nilai IPM, yang berarti masih terjadi ketaksetaraan gender yang
hampir ditemui di seluruh kabupaten/kota di Papua Barat. ketidasetaraan gender
tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender di Papua Barat
Sumber : BPS RI, 2009
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Index dan Indeks Pembangunan Manusia
GDI IPM
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 14
Selanjutnya dalam konteks diatas, ketaksetaraan gender bukan hanya merujuk pada
persoalan persamaan status dan kedudukan saja tetapi bisa bermakna pada
persoalan persamaan peranan dalam hal partisipasi terhadap proses pengambilan
keputusan di bidang politik maupun penyelenggaraan pemerintahan; kehidupan
ekonomi dan sosial khususnya kontribusi perempuan dalam pendapatan rumah
tangga. Kemudlian, dari unsur-unsur persamaan peranan tersebut merupakan
komponen yang tercakup dalam penghitungan indeks pemberdayaan gender (IDG).
Jadi, IDG merupakan ukuran komposit yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh
mana persamaan peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan serta
kontribusi dalam aspek ekonomi maupun sosial.
Berdasarkan ukuran IPM dan IPG, pembangunan manusia di Papua Barat telah
menunjukkan kemajuan. Meski kesenjangan gender masih terlihat, tetapi dari waktu
ke waktu kesenjangan tersebut memperlihatkan kecenderungan semakin menurun.
Demikian juga dengan Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment
Measurement) yang mencerminkan tingkat partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan terus menunjukkan perkembangan yang semakin
meningkat. Perkembangan GEM di Papua Barat dapat lihat pada Gambar 7.
Gambar 7
Gender Empowerment Measurement di Papua Barat
Sumber : BPS RI, 2009
Pada tahun 2004 nilai GEM (Indeks Pemberdayaan Gender) mencapai 41,0
kemudian meningkat menjadi 55,50 pada tahun 2007. Hal ini berarti bahwa pada
0
10
20
30
40
50
60
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Empowerement Measurement Papua Barat, 20042009
Perkembangan GEM
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 15
tahun 2004 peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan baru
mencapai 41,0 persen dari peranan yang dijalankan oleh laki-laki dan meningkat
menjadi 55,50 persen pada tahun 2007 (lihat Gambar 7).
Kemudian tahun 2008 hingga 2009 terlihat jelas juga bahwa nilai GEM (Gender
Empowerment Measurement) terus mengalami peningkatan dari 55,89 menjadi
56,10. Artinya, peranan perempuan di Papua Barat dalam proses pengambilan
keputusan serta memberikan atau berkontribusi dalam aspek ekonomi maupun
sosial terus mengalami peningkatan.
Semakin menurunnya kesenjangan gender dan meningkatnya partisipasi perempuan
dalam pengambilan keputusan mengindikasikan bahwa, pembangunan berorientasi
gender yang dilaksanakan di Papua Barat sudah sesuai dengan harapan.
Meningkatnya peranan perempuan seperti yang ditunjukkan Gambar 7 tidak terlepas
dari meningkatnya pencapaian pembangunan gender. Secara teoritis bahwa
semakin tinggi pencapaian pembangunan gender akan berdampak pada
peningkatan peranan perempuan khususnya partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan.
4. Rekomendasi Kebijakan
Aspek Pelayan Publik
Pencapaian agenda pelayanan publik yang dipantau melalui persentase kasus
korupsi yang ditangani, kemudian jumlah kabupaten/kota di Papua Barat yang
memiliki PERDA pelayanan satu atap, dan persentase laporan keuangan pemerintah
daerah (LKPD) yang memiliki opini wajar tanpa pengecualian (WTP) ternyata belum
banyak memberikan perubahan yang signifikan berkaitan dengan agenda tersebut.
Oleh sebab itu, beberapa agenda yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah
(Papua Barat) untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik diantaranya, Perlu
dibentuk perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Daerah untuk
mengefektifkan tugas-tugas KPK di daerah. Selain itu, kewenangan pemeriksaaan
pejabat setingkat kepala daerah sebaiknya diserahkan kepada pejabat setingkat
Menteri atau KPK, kemudian, pembinaan secara intensif perlu terus dilakukan
berkenaan dengan tantangan tugas di era otonomi daerah dan semangat demokrasi
yang menuntut perubahan sikap, perilaku dan cara pandang dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawab sebagai aparatur di daerah. selanjutnya, memperbanyak
frekuensi pelatihan dan pendampingan bagi SDM aparatur di daerah. Terutama pada
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 16
bidang atau aspek perencanaan sampai pada penatausahaan dan pelaporan yang
selama ini selalu menjadi penghambat prestasi kerja aparatur daerah..
Capaian Demokrasi
Pencapaian kinerja demokrasi yang terpantaupula melalui indeks pembangunan
gender dan indeks pemberdayaan gender di Papua Barat, cukup memperlihatkan
prestasi yang meningkat setiap tahun. Namun, prestasi yang diraih tersebut ternyata
tidak merata. Artinya, masih terjadi ketimpangan dalam hal peran antar laki-laki dan
perempuan dalam pembangunan. Selanjutnya, agenda yang perlu diperhatikan dan
dilakukan oleh pemerintah daerah (Papua Barat) untuk dapat bisa meminimalisir
ketimpangan tersebut adalah perlu membuka ruang partisipasi bagi wanita dalam
pembangunan. Kemudian, ruang partisipasi tersebut dapat diakomodir melalui
affirmative action dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Selanjutnya, Porsi lebih
besar perlu diberikan kepada kaum perempuan dalam setiap perumusan kebijakan
pembangunan agar perempuan memiliki ruang partisipasi dengan tingkat legitimasi
kuat dalam berbagai aspek kehidupan di ranah publik. Selain itu, progam pendidikan
penyadaran tentang penyetaraan gender baik kaum lelaki maupun perempuan agar
terjai perubahan pola pikir, sikap, perilaku secara bertahap saling beradaptasi
C. MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Indikator
Indikator yang digunakan untuk menilai hasil evaluasi RPJMN 2004-2009 tentan
agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah indikator pendidikan meliputi
indikator angka partisipasi murni (APM) SD/MI, angka partisipasi kasar (APK)
SD/MI, rata-rata nilai akhir SMP/MTS, angka melek aksara , rata-rata nilai akhir
SMA/SMK/MA, angka putus sekolah SD, angka putus sekolah SMP, angka putus
sekolah menengah, persentase jumlah guru yang mengajar SMP, persentase julah
guru yang layak mengajar sekolah menengah, sedangkan indikator kesehatan
meliputi umur harapan hidup (UHH), angka kematian bayi, persentase prevalensi
gizi buruk, prevalensi gisi kurang, persentase tenaga kesehatan per penduduk;
indikator keluarga berencana meliputi persentase penduduk ber KB, laju
pertumbuhan penduduk, total fertility rate (TFR): Indikator ekonomi makro meliputi
laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor terhadap PDRB, persentase output
manufacture terhadap PDRB, laju inflasi; Indikator Investasi meliputi nilai rencana
PMA yang disetujui, nilai realisasi investasi PMA, nilai rencana PMDN yang
disetujui, nilai realisasi investasi PMDN, realisasi penyerapan tenaga kerja PMA;
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 17
indikator infrakstruktur meliputi panjang jalan nasional dalam keadaan baik,
sedang dan rusak, panjang jalan provinsi dalam keadaan baik, sedang dan rusak;
indikator pertanian meliputi rata-rata nilai tukar petani per tahun, PDRB sektor
pertanian; indikator kehutanan meliputi persentase luas lahan rehabilitasi dalam
hutan terhadap lahan kritis; indikator kelautan meliputi jumlah tindak pidana
perikanan, luas lahan konservasi laut dan indikator kesejahteraan meliputi
persentase penduduk miskin dan tingkat pengangguran terbuka.
2. Analisis Pencapaian Indikator
Pendidikan
Berbagai upaya telah dilakukan bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008. Alat ukur yang
digunakan, salah satunya adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan
sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen (Tabel 2).
Tabel 2. Target Pendidikan SMP di Papua Barat Tahun 2005-2009
Komponen Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
Jlh Penduduk usia SMP
12.975.988 12.969.815 12.890.341 13.326.562 13.419.559
Jumlah siswa 11.058.136 11.501.634 11.926.443 12.375.952 12.670.563
APK 85,22 88,68 92,52 95,00 98,00
APM 62,79 64,65 71,60 67,62 68,74
Sumber: DEPDIKNAS 2009
Prestasi Provinsi Papua Barat dalam pembangunan bidang pendidikan selama
pelaksanaan RPJMD 2004-2009 disajikan secara rinci dalam Gambar 8 dan capaian
yang berhasil diraih selama pelaksanaan RPJMD 2004-2009 diuraikan sebagai
berikut.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 18
Gambar 8
Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar SD dan SMP Provinsi Papua Barat Periode 2004-2009
Sumber : Depdiknas, 2009
Gambar 8 menunjukan telah terjadi peningkatan APK sejak tahun 2008 pada
jenjang pendidikan SLTP dan SMU, kecuali pada jenjang SD. APK pada sekolah
dasar lebih tinggi, dari data tersedia pada tahun 2009 mencapai 117,50 namun ironis
dengan nilai Angka Partisipasi Murni (APM) yang lebih rendah. Hal ini berarti
sebenarnya lebih banyak anak di Provinsi Papua Barat bersekolah di SD, tidak tepat
umur. APK SD tahun 2009 mengalami peningkatan, yaitu 117,50 padahal pada
tahun 2008 mengalami penurunan (114,18) dibanding dengan tahun 2007, yaitu
116,05 persen. APK SD Kabupaten Sorong Selatan adalah tertinggi di antara
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua Barat, yakni 123,91 persen. APK SD
terendah berada pada Kabupaten Manokwari sebesar 100,45 persen.
Tabel 3. Angka Partisipasi Kasar menurut Kabupaten/Kota dan Jenjang Pendidikan Tahun 2007-2008
Kabupaten/Kota Jenjang Pendidikan
SD SLTP SMU
Fakfak 114,18 72,59 91,12
Kaimana 112,18 56,19 72,81
Teluk Wondama 117,16 58,25 45,18
Teluk Bintuni 104,78 62,07 40,69
Manokwari 100,45 61,19 83,84
Sorong Selatan 123,91 54,95 86,10
Sorong 119,13 71,84 22,14
Raja Ampat 122,85 24,55 47,49
0
100
200
300
400
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indikator Pembangunan Pendidikan Provinsi Papua Barat
APM SMP
APK SMP
APK SD
APM SD
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 19
Kota Sorong 104,58 103,24 90,71
Papua Barat (2007) 116,05 70,10 60,78
Papua Barat (2008) 114,18 72,59 91,12 Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008
APK SLTP Papua Barat tahun 2007 sebesar 70,10 persen mengalami peningkatan
menjadi 72,59 persen dibandingkan dengan tahun 2008. Pada tahun 2009, APK
SLTP meningkat mencapai 80,70 persen yang berarti banyaknya penduduk Papua
Barat yang sedang bersekolah di SLTP di antara penduduk berumur 13-15 tahun
hanya sebesar 80,70 persen. Kabupaten Raja Ampat merupakan daerah dengan
APK terendah yaitu sebesar 24,55 persen. Diduga rendahnya APK SLTP di
sebabkan karena tidak semua kecamatan memiliki SLTP, sehingga diperkirakan
penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut bersekolah ke Kota
Sorong.
Disamping itu pada kenyataannya banyak orang tua yang tinggal di perkotaan
menginginkan anaknya yang sudah mampu membaca, menulis segera dapat masuk
SD, walaupun umur sekolah belum memenuhi syarat. Sedangkan yang berada di
pedesaan terhambat di jenjang SD karena keterbatasan dalam membaca, menulis
dan berhitung, sehingga pada usia lebih dari dua belas tahun masih duduk di bangku
SD. Secara umum, APK di jenjang SD lebih besar daripada SMP. Hasil penelitian
Erari (2009), menyatakan angka putus sekolah di daerah pedesaan Papua Barat
lebih besar, mengakibatkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) pedesaan yang selalu
lebih kecil dari APS perkotaan, untuk jenjang SD dan SMP. Sehingga dapat
disimpulkan akses dan pemerataan pemerolehan pendidikan di perkotaan lebih
besar dari pedesaan.
Angka Partisipasi Murni mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu yang
dibagi kedalam umur jenjang kelompok pendidikan yaitu SD (7-12 tahun), SMP (13-
15 tahun) dan SMA (16-18 tahun). Pada saat ini pemerintah telah melaksanakan
program wajib belajar 9 tahun yaitu mulai SD sampai SMP (7-15 tahun).
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 20
Tabel 4. Angka Partisipasi Murni menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 dan 2008
Kabupaten/Kota
Angka Partisipasi Murni
SD SLTP SMU
2007 2008 2007 2008 2007 2008
Kaimana 96,13 95,01 58,00 52,99 59,88 51,75
Wondama 87,03 86,98 28,92 31,63 24,66 32,85
Teluk Bintuni 86,26 84,91 45,33 41,32 23,03 14,25
Manokwari 83,99 87,32 45,26 48,69 36,92 45,44
Sorong Selatan 97,14 96,95 49,82 49,62 60,25 55,78
Sorong 91,80 94,68 43,24 53,86 22,73 18,46
Raja Ampat 88,10 89,23 15,22 15,77 6,25 23,82
Kota Sorong 91,12 92,77 72,37 77,53 68,84 64,38
Provinsi Papua Barat 89,97 90,71 52,32 48,92 44,80 43,61 Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2007 dan 2008
Selama periode 2004-2009 menampilkan Angka Partisipasi Murni SD di Provinsi
Papua Barat pada tahun 2004 adalah 85,95 persen dan mengalami peningkatan
yang signifikan setiap tahun, pada tahun 2009 mencapai 91,25 persen. APM ini
mempunyai makna diantara 100 orang yang berumur 7-12 tahun, 92 orang
diantaranya sedang menjalani pendidikan SD dan berumur 7-12 tahun. Hal ini juga
menunjukkan efektifnya program peningkatan akses dan pemerataan SD melalui
nilai APM. Data lengkap dari Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat untuk tahun
2007-2008 disajikan pada Tabel 4.
Untuk jenjang pendidikan SMP tahun 2008, kota Sorong menempati urutan teratas
dengan APM tertinggi yaitu 77,53 persen, sedangkan urutan terbawah adalah
Kabupaten Raja Ampat (15,77 persen). APM SMP Provinsi Papua Barat mengalami
penurunan menjadi 48,92 persen di tahun 2008 setelah pada tahun sebelumnya
sebesar 52,32 persen. Tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 62 persen.
Rata-rata nilai akhir tingkat SMP, cukup rendah yaitu 3,89 sejak 2005-2007. namun
ada peningkatan yang signifikan pada tahun 2008, yaitu 6,37 Bila dibandingkan
dengan rata-rata nasional, sangat jauh dari harapan karena sejak tahun 2005, nilai
tidak menembus angka empat. Nilai rata-rata nasional, menembus lebih dari nilai
enam. Rata-rata nilai akhir Sekolah Menengah, sejak tahun 2005, ada peningkatan.
Tahun 2007 rata-rata nilai menembus angka enam, berarti ada peningkatan mutu
pendidikan sekolah menengah yang cukup berarti di Provinsi Papua Barat. Angka
putus sekolah mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 21
lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu dan sering pula
digunakan sebagai indikator berhasil atau tidaknya pembangunan di bidang
pendidikan.
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Siswa Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008
Tahun
SD SLTP SLTA
Siswa putus sekolah
Jumlah siswa
% Siswa putus sekolah
Jumlah siswa
% Siswa putus sekolah
Jumlah siswa
%
2006 5.292 99.518 5,32 78 21.749 0,36 1.990 21.737 9,15
2007 5.254 103.272 5,09 873 24.268 3,60 906 23.813 3,80
2008 3.815 109.246 3,49 463 26.658 1,74 760 27.114 2,80
2009 - - - - - 7,95 - - -
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan angka putus sekolah
mengalami penurunan. Pada jenjang pendidikan SD, baik secara absolut maupun
persentase siswa yang putus sekolah mengalami penurunan. Pada awal persentase
siswa putus sekolah di tahun 2006 sebesar 5,32 persen, kemudian pada tahun 2008
persentase siswa putus sekolah menjadi 3,49 persen. Sejalan dengan penurunan
persentase siswa putus sekolah, secara absolut jumlah siswa yang putus sekolah
juga mengalami penurunan.
Pada jenjang pendidikan SLTP pada tahun 2007 justru siswa putus sekolah
mengalami peningkatan. Semula di tahun 2006 jumlah siswa putus sekolah hanya
berjumlah 78 siswa (0,36 persen), kemudian jumlah siswa putus sekolah meningkat
secara signifikan di tahun 2007 menjadi 873 siswa (3,60 persen). Jumlah siswa
putus sekolah kembali mengalami penurunan menjadi 463 siswa (1,74 persen) pada
tahun 2008. Data tahun 2009 yang di peroleh dari kantor BPS Papua Barat,
menunjukkan ada kenaikan yang sangat berarti menjadi 7,95.
Seperti halnya dengan angka putus sekolah SD, pada jenjang pendidikan SLTA
jumlah siswa maupun persentase siswa putus sekolah mengalami penurunan. Pada
tahun 2006, jumlah siswa putus sekolah sebesar 1990 siswa (9,15 persen) dan
mengalami penurunan 58,47 persen pada tahun 2007 menjadi 3,80 persen.
Kemudian diikuti pada tahun 2008, jumlah siswa putus sekolah hanya 760 siswa
(2,80 persen). Penyebab utama putus sekolah di Provinsi Papua Barat, karena
kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak, kondisi ekonomi
orang tua yang tidak mampu dan keadaan geografis yang kurang menguntungkan.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 22
Disamping itu angka putus sekolah justru lebih tinggi di daerah pedesaan, daripada
di perkotaan. Untuk jenjang SD/SMP, angka putus sekolah lebih kecil di jenjang SD.
Angka melek aksara 15 tahun, merupakan salah satu indikator penting dalam
mengukur tingkat pendidikan. Angka melek aksara mengindikasi kemampuan
penduduk untuk membaca dan menulis. Dilihat dari perbaikan angka melek aksara,
Provinsi Papua Barat telah menunjukan perbaikan yang berarti. Angka melek huruf
Provinsi Papua Barat secara rinci disajikan dalam Gambar 9.
Gambar 9.
Angka Melek Huruf Provinsi Papua Barat Periode 2004-2009
Sumber : BPS RI, 2009
80
82
84
86
88
90
92
94
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Melek Huruf Provinsi Papua Barat
Angka Melek Huruf (%)
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 23
Tabel 6. Angka Melek Aksara dan Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun atau lebih di Papua Barat Menurut abupaten/Kota Tahun 2007 Dan 2008.
Kabupaten/Kota Angka Melek Huruf
Rata-rata lama sekolah
2007 2008 2007 2008
Kab. Fakfak 97,17 97,17 8,93 8,93
Kab. Kaimana 95,48 95,48 7,10 7,10
KabTeluk Wondama 81,02 82,85 5,99 6,39
Kab. Teluk Bintuni 80,84 82,67 6,44 6,85
Kab. Manokwari 83,54 85,37 7,19 7,59
Kab. Sorong Selatan 87,90 88,07 7,90 7,90
Kab. Sorong 91,39 91,39 8,00 8,00
Kab. Raja Ampat 89,93 92,69 7,00 7,00
Kota. Sorong 99,10 99,10 10,10 10,52
Prov.Papua Barat 90,32 92,15 7,65 7,67
Sumber: BPS Papua Barat, 2007 dan 2008
Angka melek aksara Provinsi Papua Barat tahun 2009 adalah sebesar 92,24 persen,
mengalami peningkatan, dibandingkan selama periode 2004-2008. Pada tahun 2004
angka melek aksara hanya 85,10 persen, tahun 2005 ada peningkatan menjadi
85,40 persen, tahun 2006 juga mengalami peningkatan mencapai 88,50 persen,
tahun 2007 yaitu 90,32 persen, tahun 2008 meningkat menjadi 92,15 persen dan
pada tahun 2009 menjadi 92,24 persen. Semakin tinggi angka melek aksara maka
kenaikan persentase angka melek aksara ini akan cenderung semakin lambat.
Berdasarkan data dari Kabupaten/Kota 2007 dan 2008, beberapa Kabupaten
mengalami peningkatan persentase angka melek aksara yaitu Teluk Wondama,
Teluk Bintuni, Sorong Selatan, dan Raja Ampat. Bagaimanapun juga kemampuan
dasar pertama kali yang dimiliki seseorang untuk dapat menambah dan mengasah
ilmu pengetahuan adalah dengan membaca dan menulis. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerataan pembangunan pendidikan sudah mulai dilakukan pemerintah
sampai di tingkat Kabupaten. Meskipun demikian, jika dilihat dari tingkat rata-rata
lama sekolah di Provinsi Papua Barat, belum terjadi peningkatan yang signifikan
(7,65 tahun 2007 menjadi 7,67 tahun 2008), artinya rata-rata penduduk Provinsi
Papua Barat menempuh pendidikan hanya sampai kelas 2 SMP.
Persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya untuk tingkat SMP, pada
tahun 2004-2009, ada peningkatan yang cukup berarti mencapai lebih dari 70
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 24
persen. Dalam kaitannya dengan kualifikasi guru, tampak lebih banyak guru yang
belum layak mengajar pada jenjang SMP, walaupun ada peningkatan, karena yang
diharapkan 90 persen guru layak mengajar. Hal ini perlu menjadi perhatian
pemerintah provinsi Papua Barat. Pada saat ini program peningkatan guru SMP
belum efektif karena capaiannya hanya tidak lebih dari 75 persen. Pada jenjang
SMP untuk Provinsi Papua Barat, mutu pendidik sekitar 58 persen guru dengan
kualifikasi S1 atau S2. Guru SMP dengan golongan paling rendah golongan III ada
87 persen, Sedangkan yang mempunyai masa kerja lebih dari sepuluh tahun hanya
64 persen. Pendidikan guru SMP perlu mendapat perhatian serius, mengingat
tuntutan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tentang persyaratan guru yang
diatur dalam Bab IV PP.19/2005 tentang standarisasi Nasional Pendidikan, bahwa
guru harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D IV)
atau sarjana/strata I.
Persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya untuk tingkat SMA, sejak
tahun 2006 -2007 ada 81,0 persen dan meningkat menjadi 91,63 persen pada tahun
2009. Mutu Tenaga Kependidikan, berdasarkan hasil penelitian Erary (2009), pada
jenjang SD, semua sekolah di Provinsi Papua Barat belum mempunyai tenaga
kependidikan, seperti tata usaha dan bendahara. Pekerjaan administrasi dan
keuangan dirangkap oleh guru yang ditunjuk. Pada jenjang SMP di tahun 2009, rata-
rata satu sekolah mempunyai dua sampai tiga tenaga kependidikan, dimana 63
persen berpendidikan SMTA, 33 persen berpendidikan S1, sisanya Diploma. Dilihat
dari masa kerja dan golongan, terdapat sekitar 88 persen mempunyai masa kerja
lebih dari 10 tahun dan 47 persen bergolongan III.
Fasilitas Pendidikan, keberhasilan dalam kegiatan pendidikan tidak semata-mata
hanya pola transfer ilmu pengetahuan satu arah yang dilakukan oleh seorang guru
dengan hanya menerangkan mata pelajaran dan menuliskannya di papan tulis. Era
moderen saat ini sekolah-sekolah mulai menata diri dengan melengkapi fasilitas
sekolah dengan perpustakaan dan laboratorium- laboratorium . Perpustaan adalah
gudang ilmu yang dalamnya tersimpan buku-buku yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan para siswa.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 25
Tabel 7 Persentase Fasilitas Perpustakaan Terhadap Jumlah Sekolah SLTP SLTA Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2008
Tahun SLTP SLTA
Sekolah Perpustakaa % Sekolah Perpustakaan %
2006 132 42 31,82 63 30 47,62
2007 128 49 38,28 67 36 53,37
2008 133 54 40,6 71 37 52,11
Meskipun mengalami perkembangan jumlah, fasilitas perpustakaan untuk jenjang
pendidikan SLTP hanya dimiliki oleh kurang dari setengah total sekolah yang ada.
Pada awalnya jumlah perpustakaan pada tahun 2006 hanya berjumlah 42 buah
(31,82 persen), tetapi pada tahun 2007 terjadi penambahan fasilitas perpustakaan
menjadi 49 buah (38,28 persen). Pada tahun 2008 fasilitas perpustakaan kembali
bertambah menjadi 54 buah (40,60 persen).
Secara proporsional fasilitas perpustakaan di jenjang pendidikan SLTA dapat
dikatakan lebih baik dari pada di SLTP. Pada tahun 2006 jumlah perpustakaan di
tingkat SLTA hanya 47,62 persen. Meningkat jumlahnya pada tahun 2007 menjadi
53,73 persen, pada tahun 2008 mengalami penurunan dalam persentase menjadi
52,11 persen. Hal ini disebabkan terjadi penambahan jumlah SLTA menjadi 71 buah
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 67 buah. Penambahan
jumlah SLTA, tidak diikuti dengan penambahan perpustakaan. Walaupun jumlah
fasilitas perpustakaan tersedia tetapi belum diketahui apakah fasilitas tersebut
memadai dari sisi tempat, jumlah buku, jumlah judul buku dan kualitas buku yang
dikoleksi.
Tabel 8. Persentase Fasilitas Laboratorium Terhadap Jumlah Sekolah SLTP dan SLTA di Provinsi Papua Barat 2006-2008
Tahun SLTP SLTA
Sekolah Laboratorium % Sekolah laboratorium %
2006 132 68 51,52 63 57 90,48
2007 128 21 16,41 67 82 122,39
2008 133 30 22,56 71 91 128,17
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Fasilitas lain yang juga penting adalah laboratorium, dapat dipakai untuk praktikum
dan penelitian. Untuk menambah kemampuan berbahasa diperlukan laboratorium
bahasa. Sedangkan untuk menambah kemampuan pengoperasian komputer dengan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 26
software tertentu dan internet diperlukan fasilitas komputer yang memadai.
Berdasarkan data dari Tabel 8, nampak suatu keadaan yang memprihatinkan dari
sisi kondisi fasilitas laboratorium yang dimiliki sekolah-sekolah. Fasilitas tersedia dari
tahun 2006-2008 jumlahnya semakin menurun. Semula dari 132 sekolah dengan 68
diantaranya memiliki laboratorium , namun pada tahun 2007 jumlahnya berkurang
hingga tinggal 21 buah laboratoriumatau 16,41 persen. Pada tahun 2008, jumlah
fasilitas laboratorium mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan tahun
2007 menjadi 22,56 persen.
Keadaan yang berbeda terjadi pada jumlah fasilitas laboratorium di jenjang
pendidikan SLTA, jumlah laboratorium di SLTA mengalami peningkatan menjadi 91
unit (128,17 persen) setelah sebelumnya di tahun 2006 dan 2007 masing-masing
berjumlah 57 unit dan 82 unit atau sebesar 90,48 persen dan 122,39 persen.
Proporsi laboratorium yang mencapai lebih dari 100 persen diduga karena terdapat
sekolah yang memiliki fasilitas laboratorium lebih dari satu buah. Namun tidak
menutup kemungkinan masih terdapat sekolah yang belum memiliki laboratorium.
Dari beberapa ulasan di atas, dapat dilihat bahwa pendidikan di Povinsi Papua Barat
masih harus ditingkatkan. Berbagai macam faktor yang mengakibatkan rendahnya
pendidikan penduduk Papua Barat harus segera diatasi, karena melalui
pendidikanlah kemajuan peradaban masyarakat dapat ditingkatkan. Program
penyuluhan pendidikan perlu di aktifkan, penyebaran guru berkualitas yang bersedia
menetap di daerah terpencil, peningkatan mutu pendidikan beserta para
pendidiknya. Bahkan pemerintah daerah perlu merespon kebijakan otonomi khusus
bidang pendidikan dengan membuat peraturan daerah bidang pendidikan, yang
mengikat semua , agar anak usia sekolah wajib duduk dibangku sekolah. Kasus–
kasus pemalangan sekolah jangan terjadi lagi, pemerintah daerah menjamin proses
belajar mengajar tidak terganggu oleh masalah tuntutan tanah ulayat yang di atasnya
berdiri gedung sekolah dan sarana pendidikan lain.
Kesehatan
Perkembangan angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan persentase gizi
buruk di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009 ditampilkan pada Gambar 10.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 27
Gambar 10.
Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup dan Persentase Gizi Buruk di Papua Barat Tahun 2004-2008
Sumber: Bappenas Ri, 2007 Berdasarkan data pada Gambar 10 di atas, pada tahun 2007 terjadi peningkatan
angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat menjadi 36 bayi per 1000 kelahiran
hidup. Peningkatan angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat pada tahun 2007
diduga oleh terjadinya peningkatan persentase bayi dengan gizi buruk di daerah ini.
Pada tahun 2007 persentase bayi dengan gizi buruk meningkat menjadi 6.80 persen.
Tahun 2008 menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan penurunan
persentase angka kematian bayi dari 36 menjadi 31.60 bayi per 1000 kelahiran
hidup. Turunnya angka kematian bayi ini diduga disebabkan semakin fokusnya
pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan baik kepada Ibu maupun bayi
melalui program-program seperti posyandu, dan lain-lain. Peningkatan program
perbaikan gizi balita dan Ibu hamil menjadi salah satu program yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam hal ini pada instansi terkait. Sangat disayangkan bahwa
data mengenai persentase bayi dengan gizi buruk tidak tersedia untuk tahun 2008
dan 2009, sehingga keterkaitan antara kedua indikator ini tidak dapat dibahas lebih
mendalam.
Keluarga Berencana
Persentase pertumbuhan penduduk di Papua Barat Tahun 2004-2009 ditampilkan
pada Gambar 11.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup % Gizi Buruk
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 28
Gambar 11.
Laju Pertumbuhan Penduduk dan Total Fertility Rate di Papua Barat Tahun 2004-2009
Sumber: BPS ( 2010), SKDI (2007), BKKBN.go.id
Berdasarkan data pada Gambar 11 terlihat bahwa persentase pertumbuhan
penduduk selama kurun waktu 2004-2009 terus mengalami penurunan di Provinsi
Papua Barat. Penurunan persentase pertumbuhan penduduk secara signifikan
terjadi yaitu dari 6.80 persen (pada tahun 2005) menjadi 4.55 (pada tahun 2006) dan
4.07 (pada tahun 2007) menjadi 1.96 (pada tahun 2008).
Di sisi yang lain, persentase Total Fertilily Rate (TFR) juga mengalami penurunan,
akan tetapi penurunan persentase TFR tidak terjadi secara signifikan selama tahun
2005 sampai tahun 2007. Walaupun data persentase TFR tidak tersedia untuk tahun
2004, 2008, dan 2009, diduga perubahan nilai persentase TFR tidak akan terjadi
secara signifikan. Oleh karena itu penurunan persentase laju pertumbuhan
penduduk di Provinsi Papua Barat diduga lebih disebabkan oleh laju migrasi
penduduk ke dalam provinsi ini. Tingginya laju imigrasi ke daerah ini, terutama pada
awal tahun 2000-an, disebabkan oleh karena status daerah ini sebagai provinsi baru.
‐
2,00
4,00
6,00
8,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
PERSENTASE PERTUMBUHAN PENDUDUK
% Pertumbuhan Penduduk % Total Fertility Rate
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 29
Gambar 12.
Contraceptive Prevalence Rate, Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita dan Angka Melek Huruf di Papua Barat Tahun 2004-2009
Sumber: BPS (2010), BKKBN.org.id
Berdasarkan data pada Gambar 12, terlihat bahwa persentase contraceptive
prevalence rate (CPR) menurun pada tahun 2005 dan tahun 2006. Persentase
contraceptive prevalence rate (CPR) pada tahun 2005 turun menjadi 44.18 dari tahun
2004 sebesar 46.41. Sedangkan persentase CPR tahun 2006 kembali turun menjadi
41.94. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan penurunan persentase CPR
selama tahun 2005 dan 2006 adalah faktor pendapatan perkapita penduduk. Laju
perkembangan pendapatan perkapita penduduk Provinsi Papua Barat selama tahun
2005, 2006, dan 2007 menunjukkan penurunan. Oleh karena itu diduga bahwa
apabila untuk menjadi peserta Keluarga Berencana (KB) dibutuhkan biaya, maka
penurunan pendapatan berakibat pada penurunan daya beli masyarakat. Data
persentase laju pertumbuhan pendapatan perkapita di Provinsi Papua Barat
menunjukkan bahwa persentase laju pertumbuhan pendapatan perkapita menurun
menjadi 3.75 dari laju pertumbuhan 5.25 pada tahun 2005. Persentase laju
pertumbuhan ini terus menurun hingga tahun 2008.
Namun persentase CPR menunjukkan perkembangan yang baik dengan
meningkatnya CPR pada tahun 2007 dan 2008. Peningkatan ini diduga disebabkan
oleh semakin gencarnya sosialisasinya program KB di daerah ini semakin gencar.
‐
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Contraceptive Prevalence Rate
% Contraceptive Prevalence Rate % Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
% Angka Melek Aksara
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 30
Gencarnya sosialisasi ini didukung oleh semakin meningkatnya persentase angka
melek huruf di Provinsi Papua Barat. Peningkatan persentase angka melek huruf
meningkatkan kemampuan masyarakat menerima diseminasi informasi mengenai
program keluarga berencana.
Capaian Ekonomi Makro
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang terintegrasi antarsektor dengan
baik akan mampu memberikan pedoman bagi arah pembangunan daerah. Karena
pencapaian hasil pembangunan daerah merupakan isu utama bagi masyarakat.
Perubahan keadaan yang lebih baik, karena adanya pembangunan daerah akan
meningkatkan apresiasi masyarakat pada pemerintah daerah, yang selanjutnya akan
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah.
Dari sisi pembangunan ekonomi makro daerah, terdapat empat indikator yang sering
dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan di daerah, yaitu: pertumbuhan
ekonomi (economic growth), pendapatan perkapita, inflasi (inflation), dan investasi.
Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat Tahun 2004-2009
Pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan indikator utama perekonomian di Provinsi
Papua Barat, karena kemampuannya dalam memberikan implikasi pada kinerja
perekonomian makro yang lain di Papua Barat. Atau dapat dikatakan bahwa,
pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu
daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dapat menunjukkan
semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi,
investasi maupun perdagangan di Provinsi Papua Barat yang kemudian berdampak
pada penyerapan pasar tenaga kerja, iklim investasi, hingga mengurangi angka
kemiskinan. Kinerja pertumbuhan ekonomi sektoral Provinsi Papua Barat periode
2004-2009 dapat dilihat pada Gambar 13.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 31
Gambar 13.
Persentase Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua Barat Tahun 2004- 2009
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2010
Terlihat jelas pada Gambar 13, bahwa prestasi pertumbuhan ekonomi yang diraih
oleh Papua Barat tahun 2004 sebesar 7,39 persen, ternyata tidak bisa
dipertahankan karena terlihat jelas bahwa pertumbuhan tersebut justru melambat
hingga tahun 2006 yang hanya mencapai 4,55 persen. Melambatnya pertumbuhan
ekonomi Papua Barat pada periode 2004-2006 dikarenakan status wilayah Provinsi
Papua Barat masih berstatus definitif, sehingga agenda pembangunan daerahpun
belum fokus. Artinya, belum ada agenda prioritas pembangunan di daerah yang
harus menjadi fokus pemerintah Provinsi Papua Barat. Kemudian, pada periode
tersebut (2004-2006) pemerintah daerah definitive masih lebih banyak melakukan
identifikasi sumberdaya daerah yang dilakukan dalam bentuk road show.
Selanjutnya, hasil road show tersebutlah yang diharapkan nantinya digunakan
sebagai agenda pembangunan daerah.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju Pertumbuhan Ekonomi ( % )
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 32
Gambar 14
Indikator Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat, 2004-2011
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2009
Setelah tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Papua Barat terlihat jelas mulai
menunjukkan peningkatan sebesar 6,95 persen pada tahun 2007 dan tahun 2008
menjadi 7,33 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Papua Barat yang terjadi
pada tahun 2007 hingga 2008 (lihat gambar 14) lebih disebabkan karena
meningkatnya kegiatan di sektor industri manufaktur (sektor sekunder) yang naik
sebesar 13,13 persen. Meningkatnya peran sektor industri manufaktur belakangan
ini di Papua Barat, memberikan gambaran bahwa telah terjadi pergeseran struktur
ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan sektor tersier. Artinya, kinerja
sektor primer yang selama ini mendominasi peta perekonomian di Papua Barat
justru mulai bergeser dan diganti posisinya oleh sektor sekunder dan sektor tersier.
Pergeseran tersebut lebih disebabkan karena pendapatan yang diperoleh dari sektor
primer tidak banyak merubah status ekonomi masyarakat, sehingga alternatif pilihan
yang dianggap potensial yaitu sektor sekunder dan tersier.
Tahun 2009, kinerja pertumbuhan ekonomi di Papua Barat justru melambat menjadi
6,26 persen atau bergeser sekitar 1,07 persen dari tahun 2008. Melambatnya
pertumbuhan ekonomi Papua Barat pada periode 2009, lebih disebabkan oleh
karena kinerja ekspor yang menurun 4 (empat) tahun terakhir. Terutama kegiatan
ekspor luar negeri untuk komoditi-komoditi vital yang selama ini menjadi primadona
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat
% Pertumbuhan Ekonomi % Manufaktur % Ekspor
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 33
daerah justru mulai melambat. Tentunya hal ini disebabkan karena semakin ketatnya
regulasi yang diterapkan, guna pemanfaatan lingkungan hidup secara berkelanjutan.
Pendapatan Per Kapita
Pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator ekonomi yang dapat
digunakan untuk membandingkan tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah
lainnya. Pendapatan per kapita diperoleh dengan membagi besaran nilai PDRB atas
dasar harga konstan dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Oleh
karena itu, besaran pendapatan per kapita sangatlah bergantung pada besaran
PDRB yang terbentuk dan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan atau periode
pengamatan. Perkembangan PDRB per kapita Papua Barat Tahun 2004 hingga
2009 dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. PDRB Per Kapita Berdasarkan Harga Berlaku di Papua Barat
Tahun 2004-2009
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2010
Terlihat jelas pada Gambar 15, diatas bahwa, pendapatan per kapita yang diprediksi
melalui PDRB per kapita berdasarkan harga berlaku terus mengalami peningkatan 5
tahun terakhir (2004-2009). Rata-rata peningkatan PDRB per kapita Papua Barat
lima tahun terakhir yaitu sebesar 13,94 persen. Kemudian, meningkatnya PDRB per
kapita di wilayah Papua Barat lebih disebabkan oleh karena peningkatan pada total
PDRB Papua Barat yang dihasilkan dari 9 (Sembilan) sektor pada periode
pengamatan (2004-2009). Selanjutnya, perkembangan PDRB per kapita dengan
PDRB sektoral dapat dilihat pada Gambar 16.
0,00
5.000.000,00
10.000.000,00
15.000.000,00
20.000.000,00
25.000.000,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
PDRB Per Kapita
Pendapatan Per Kapita
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 34
Gambar 16
Indikator Pendukung PDRB Per Kapita Papua Barat, 2004-2009
Sumber: Papua Barat Dalam Angka (BPS Papua Barat), 2009
Prestasi PDRB per kapita yang diraih oleh Papua Barat tentunya tidak secara
langsung dapat mencerminkan aspek kesejahteraan masyarakat di wilayah Papua
Barat. Mengapa demikian? Karena pendekatan PDRB per kapita hanya melihat rata-
rata pendapatan masyarakat secara keseluruhan, dan belum tentu dapat
mencerminkan pendapatan riil masyarakat. Karena fakta dan data dari penelitian-
penelitian terdahulu sudah banyak memberikan informasi, bahwa kepemilikan
terhadap faktor-faktor produksi di masyarakat yang dicirikan oleh aktivitas ekonomi
dan konsentrasi industri di Papua Barat masih cukup timpang, maka besarnya
pendapatan per kapita tahun 2009 sebesar Rp19.560.000,- belum sepenuhnya
memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan di
Provinsi Papua Barat.
Perkembangan Inflasi
Tujuan penyusunan inflasi Provinsi Papua Barat tentunya adalah untuk memperoleh
indikator yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan
harga. Tujuan tersebut penting dicapai karena indikator tersebut dapat dipakai
sebagai informasi dasar untuk pengambilan keputusan baik di tingkat ekonomi mikro
atau makro, baik fiskal maupun moneter. Perkembangan laju inflasi di Provinsi
Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 17.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2004 2005 2006 2007 2008 2009
PDRB Per Kapita
PDRB Per Kapita (juta‐Rp) PDRB (milyar‐Rp)
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 35
Gambar 17.
Laju inflasi di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-2009
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2010 dan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah BPK Perwakilan Papua Barat
Dalam kurun waktu 2004-2009, tingkat inflasi di Provinsi Papua Barat mengalami
pasang surut yang tidak terlalu menggembirakan jika dibandingkan dengan daerah
lain di Tanah Air. Dalam kurun waktu tersebut rata-rata laju inflasi di Papua Barat
mencapai 13,69 persen. Tercatat pada periode pengamatan, bahwa kenaikan inflasi
tahun 2008 adalah yang tertinggi yaitu sebesar 20,04 persen. Meskipun pemerintah
mampu menekan laju inflasi tahun berikutnya (tahun 2009) hingga mencapai 5.07
persen. Selanjutnya dilihat dari kelompok pengeluaran, rata-rata kontributor terbesar
inflasi tahun 2008 adalah kelompok sektor bangunan, diikuti berturut-turut oleh
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan, dan sektor
pertanian.
Penyebab inflasi di Provinsi Papua Barat terjadi dari dua sisi yaitu dari sisi
permintaan (demand pull inflation), dan dari sisi penawaran (cost push inflation). Sisi
permintaan agregat, inflasi di Papua Barat lebih diakibatkan oleh adanya ekspansi
jumlah uang beredar di masyarakat yang meningkat (terutama menjelang moment-
moment akbar di daerah), meningkatnya pengeluaran konsumsi, meningkatnya
pengeluaran investasi, dan meningkatnya pengeluaran pemerintah sebagai renspon
terhadap euforia pemekaran wilayah yang belakangan menjadi primadona di daerah.
0
5
10
15
20
25
2004 2005 2006 2007 2008 2009
LAJU INFLASI
% Laju Inflasi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 36
Dari sisi penawaran agregat, inflasi di Papua Barat diakibatkan oleh terbatasnya
kapasitas produksi, naiknya bahan baku impor, naiknya harga produk impor,
kenaikan tingkat upah, kelangkaan faktor produksi (teknologi), terhambatnya
distribusi barang, bias harga akibat kebijakan pemerintah (administered price and
income policy) seperti upah minimum, kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil serta
rigiditas struktural yang cukup populer di daerah. Kemudian, yang perlu diperhatikan
juga bahwa, Papua Barat sebagai wilayah dengan perekonomian terbuka (floating
exchange rate) akan sangat rentan terhadap inflasi yang berasal dari perdagangan
antar pulau.
Perkembangan Investasi
Sebagai salah satu provinsi target investor, Papua Barat tentunya juga telah
melakukan beberapa upaya di antaranya tetap menjaga kestabilan pertumbuhan
ekonomi yang menjadi barometer perekonomian daerah. Selain upaya menjaga
kestabilan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Daerah Papua Barat juga telah
melakukan berbagai upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Tercatat hingga tahun 2009, perkembangan investasi di Papua Barat sedikit
mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan perkembangan investasi tahun
2005. Perkembangan rencana dan realisasi investasi (PMDN) di Papua Barat dapat
dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18.
Perkembangan Nilai Rencana dan Realisasi PDMN di Papua Barat Tahun 2005-2009 (Rp. Milyar)
Sumber: Biro Perekonomian dan Investasi Papua Barat, 2010
3,04 0,95 0,95 0,97 0,98
9,12
169,79 169,79
7,62 10,13
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2005 2006 2007 2008 2009
RENCANA DAN REALISASI PMDN
Realisasi PMDN Rencana PMDN
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 37
Gambar 18 menunjukkan bahwa nilai rencana investasi dalam negeri (PMDN) cukup
meningkat tajam pada tahun 2006 hingga 2007. Namun apresiasi nilai rencana
investasi justru berbanding terbalik dengan nilai realisasi dari PMDN pada periode
tersebut. Artinya, meski nilai rencana PMDN meningkat hingga mencapai Rp169,79
milyar namun nilai realisasi justru menurun menjadi Rp0,95 milyar, jika dibandingkan
dengan nilai realisasi PMDN yang diperoleh pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp3,04
milyar dengan jumlah proyek 65 unit. Secara substansial terdapat dua aspek yang
paling mendasar dan oleh beberapa stakeholders di daerah dianggap sebagai faktor
penyebab melambatnya kegiatan iklim investasi di Papua Barat adalah faktor
kewilayaan (geografis) dan faktor adat serta struktur sosial yang beragam
dikalangan masyarakat.
Tahun 2008, nilai rencana investasi (PMDN) menurun cukup drastis dari Rp169,79
milyar (2007) menjadi Rp7,62 milyar pada tahun 2008, namun tercatat bahwa nilai
realisasi investasi justru meningkat menjadi Rp0,97 milyar. Artinya, telah terjadi
peningkatan dari nilai realisasi investasi PMDN di Papua Barat sebesar Rp0,02
milyar. Prestasi yang sama juga terjadi pada tahun 2009, yang mana nilai realisasi
PMDN juga meningkat menjadi Rp0,98 milyar atau naik sebesar Rp0,01 milyar.
Meningkatnya, nilai realisasi investasi lebih disebabkan oleh karena terjadi
peningkatan nilai rencana investasi yang kemudian dioptimalkan oleh pemerintah
daerah. Selain itu, meskipun masih relatif lambat jika dibandingkan dengan kinerja
investasi daerah lain di Indonesia, prestasi ini justru tidak terlepas dari komitmen
pemerintah daerah Papua Barat terhadap perkembangan investasi yang telah
dituangkan sebagai bidang prioritas dalam RPJMD 2006-2011.
Selanjutnya, bagaimana dengan investasi asing yang masuk lewat PMA
(penanaman modal asing)? Berbeda dengan perkembangan PMDN, PMA justru
tampil cukup menggembirakan. Tercatat nilai realisasi PMA tahun 2005 sebesar US$
0,78 juta dengan jumlah proyek 28 unit, naik pada tahun 2009 menjadi US$ 0,98 juta
dengan jumlah proyek sebanyak 49 unit. Investasi asing yang masuk melalui PMA
paling dominan di Provinsi Papua Barat adalah pada bidang pertambangan,
kehutanan, kemudian diikuti industri perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Selanjutnya, nilai realisasi PMA di Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar
19.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 38
Gambar 19.
Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Papua Barat Tahun 2004-2009 (US$ Ribu)
Sumber: Biro Perekonomian dan Investasi Papua Barat, 2010
Baik PMDN maupun PMA di Papua Barat memiliki pola yang sama. Artinya,
investasi asing yang masuk lewat PMA dan investasi domestik (PMDN) mempunyai
ekspektasi yang sama. Justru yang menarik adalah bahwa PMDN meskipun
perkembangan terkesan lambat, namun masih terus berlanjut. Dan yang lebih
manarik lagi adalah bahwa kehadiran PMDN pada tahun 2009 mampu menciptakan
lapangan kerja bagi 496.907 pencari kerja, dibandingkan tahun 2005 yang hanya
mampu menciptakan lapangan kerja bagi 20.151 pencari kerja.
Pengembangan investasi PMDN dan PMA di Papua Barat terbilang unik. Meski kaya
SDA terutama kekayaan tambang, investasi di Papua Barat menghadapi sejumlah
tantangan. Tantang atau lebih disebut sebagai persoalan mendasar yang masih
menjadi faktor penghambat melambatnya kinerja investasi di Papua Barat adalah
sebagai berikut :
Θ Kawasan pengembangan dan pusat-pusat pertumbuhan baru berhasil
diidentifikasi namun RTRW nya belum dilakukan.
Θ Potensi komoditi di setiap kawasan pengembangan baru berhasil diidentifikasi,
namun identifikasi kelayakan ekonomi maupun finansialnya belum diketahui..
Θ Rendahnya kepastian hukum.
Θ Lemahnya insentif investasi
‐
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2005 2006 2007 2008 2009
NILAI RENCANA DAN REALISASI PMA
Realisasi PMA Rencana PMA
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 39
Θ Rendahnya kualitas Investor Skala Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta
Koperasi
Θ Terbatasnya infrastruktur
Θ Kesenjangan antar pelaku ekonomi
Θ Tingkat kemahalan
Θ Lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi
Infrakstruktur
Salah satu bagian yang cukup penting dalam proses pembangunan adalah
infrastruktur. Mengapa? karena infrastruktur sangat menunjang kelancaran dari
proses pembangunan di suatu daerah. Yang dimaksudkan dengan Infrastruktur
disini adalah jalan. Jalan merupakan sarana penghubung antara satu tempat dengan
tempat yang lain, satu kota dengan kota yang lain. Tipe pengerasan jalan pun
bermacam-macam yakni berbahan kerikil, tanah, diaspal, rigid, hutan.
Jalan terdiri dari jalan Nasional, jalan Provinsi dan jalan Kabupaten, yang dimaksud
dengan jalan Nasional adalah jalan yang dibuat oleh pemerintah pusat, jalan
Provinsi yaitu jalan umum yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi
pada suatu daerah tertentu misalnya pada Provinsi Papua Barat, sedangkan jalan
Kabupaten yaitu jalan yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten. Bila dilihat dari
pentingnya sarana Jalan ini sudah sepatutnya pemerintah harus selalu
memperhatikan kondisi jalan yang merupakan sarana penting bagi kelancaran
beraktivitas baik dikota maupun di daerah pedesaan dimana pada daerah pedesaan
terdapat jalan antar kabupaten. Misalnya jalan trans Manokwari-Sorong sepanjang
70 km, ditingkatnya kwalitas jalan kerikil dan jalan tanah pada ruas wilayah kaimana
serta pembangunan ruas sisanya sepanjang 50% dari target 120 km (RPJMD 2006-
2011).
Papua Barat sebagai salah satu provinsi yang sangat luas memerlukan akses jalan
untuk memperlancar aktivitas dalam dan luar kota oleh karena itu pemerintah melalui
dinas terkait membuat Jalan Non Trans Papua Barat yang telah dibangun jalan
kampung paling tidak 75% dari semua kampung Untuk provinsi Provinsi Papua Barat
sejak tahun 2003-2009 selalu mengalami peningkatan, baik dalam hal perbaikan
mutu maupun kuantitas jalan. Persentase kondisi jalan Nasional dan jalan Provinsi
tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 di Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 9.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 40
Tabel 9. Persentase Jalan Nasional dan Jalan Provinsi di Papua Barat Tahun 2004-2009.
NO Keterangan Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Jalan Nasional Kondisi Baik 39,27
2 Jalan Nasional Kondisi sedang 40,20
3 Jalan Nasional Kondisi Rusak 20,52
4 Jalan Provinsi Kondisi Baik 42,66 22,00 22,28 19.26
5 Jalan Provinsi Kondisi sedang 13,95 3,48 43,08 45,39 13.49
6 Jalan Provinsi Kondisi Rusak 86,05 23,85 34,90 32,31 18.21
Sumber: Papua Barat dalam Angka (2009)
Berdasarkan data yang ada bahwa BPS Papua Barat mengkategorikan jalan
menurut kondisi permukaan jalan yakni aspal, kerikil, tanah dan hutan, sehingga
untuk mempermudah analisis maka jalan beraspal dikategorikan dalam kondisi baik,
jalan kerikil dikategorikan sedang, sedangkan tanah dan hutan dikategorikan jalan
dalam kondisi rusak.
Dari data yang ada pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun
kondisi jalan rusak baik jalan Nasional maupun jalan Provinsi mengalami perbaikan
yang sangat signifikan. Dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 kondisi jalan Provinsi
dalam kondisi rusak sebesar 86,05% sedangkan pada tahun 2009 kondisi jalan
rusak Provinsi berkurang menjadi 18,21%. Hal ini menandakan bahwa pemerintah
sudah semakin peduli terhadap kondisi jalan yang ada, selain itu juga bahwa
semakin tingginya tingkat kepedulian pemerintah terhadap fasilitas jalan yang
digunakan bukan hanya oleh pemerintah itu sendiri tetapi juga semua lapisan
masyarakat. Untuk data Jalan Nasional tidak dapat diperoleh data yang dibutuhkan
baik melalui BPS Papua Barat maupun dinas terkait yakni PU Provinsi Papua Barat.
Pertanian
Dalam rangka mengembangkan Perekonomian Rakyat, maka pemerintah provinsi
Papua Barat memprioritaskan pada bidang pertanian. Sektor Pertanian di Papua
Barat mencakup subsektor tanaman bahan makanan, subsektor tanaman
perkebunan, subsektor peternakan dan hasilnya, subsektor kehutanan, dan
subsektor perikanan. Subsektor dengan mengembangkan komoditi sebagai berikut.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 41
Tanaman Pangan
Produksi padi sawah dan padi ladang pada tahun 2005 adalah sebesar 24.702 ton
dan mengalami peningkatan di tahun 2007 menjadi sebesar 28.204 ton juga pada
tahun 2008 menjadi 39.537 ton dengan produksi per ton tertinggi pada tahun 2007
adalah Kabupaten Manokwari yaitu sebesar 16.322 ton dan mengalami peningkatan
signifikan pada tahun 2008 yaitu 25.309 ton. Produksi terendah pada tahun 2007
sebesar 64 ton di Kabupaten Sorong Selatan, tetapi ada peningkatan pada tahun
2008 menjadi 216 ton.
Tanaman Jagung mengalami penurunan produksi dari 3.317 ton pada tahun 2005
menjadi 1.711 ton pada tahun 2008, Penurunan produksi Jagung ini disebabkan
karena penurunan luas panen jagung dari 2.080 Ha pada tahun 2005 menjadi
sebesar 1.070 Ha pada tahun 2008.
Penurunan produksi juga terjadi untuk tanaman pangan ubi kayu dan ubi jalar.
Produksi ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2005 masing-masing adalah sebesar
25.897 ton dan 19.543 ton menurun menjadi masing-masing sebesar 23.071 ton dan
15. 341 ton pada tahun 2008. Penurunan produksi ubi jalar dan ubi kayu ini
disebabkan karena penurunan luas panen ubi kayu dari 2.336 Ha pada tahun 2005
menjadi 2.052 Ha pada tahun 2008. dan penurunan luas panen ubi jalar dari 1.991
Ha pada tahun 2005 menjadi 1.524 Ha pada tahun 2008.
Tanaman kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang hijau dan kedele juga
mengalami penurunan produksi sebagai akibat menurunnya luas panenan. Produksi
kacang tanah, kacang hijau dan kedele berturut-turut pada tahun 2005 adalah
sebesar 2.131 ton, 871 ton dan 2.279 ton menurun menjadi masing-masing sebesar
979 ton, 557 ton dan 1.740 ton pada tahun 2008. Luas panen tanaman kacang-
kacangan mengalami penurunan berturut-turut kacang tanah dari 2.093 ha pada
tahun 2005 menjadi 958 ha pada tahun 2008, kacang hijau dari 855 ha pada tahun
2005 menjadi 560 ha pada tahun 2008 dan kedelai dari 2.137 ha pada tahun 2005
menjadi 1.624 ha pada tahun 2008.
Tanaman sayur-sayuran yang diusahakan yaitu : Bawang merah, bawang putih,
bawang daun, kentang, kubis, kembang kol, kacang-kacangan, cabe, petsai, wortel,
tomat, terung, buncis, ketimun, labusiam, kangkung dan bayam. Keadaan pada
tahun 2008, ternyata baik dari sisi luas panen maupun produksi menunjukkan
terjadinya sedikit kenaikan. Komoditi kangkung merupakan komoditi dengan luas
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 42
panen terluas yaitu 896 ha, sedangkan komoditi kacang merah merupakan komoditi
dengan luas panen terkecil yaitu 5 ha.
Buah-buahan terdiri dari alpokat, belimbing, duku/langsat, durian, jambu biji, jambu
air, jeruk siam/keprok, jeruk besar/pamelo, mangga, manggis, nangka/ cempedak,
nenas, pepaya, pisang, rambutan, salak, sawo, sirsak, markisa, sukun, melinjo dan
petai. Buah-buahan yang mempunyai jumlah tanaman terbanyak yaitu pisang
dengan jumlah pohon sebanyak 61.044 pohon atau 24,79 persen dari total tanaman
buah-buahan se Provinsi Papua Barat. Untuk produksi terbanyak komoditi buah-
buahan, didominasi juga oleh pisang, yaitu 4.500 ton atau 35,38 persen dari total
produksi komoditi buah-buahan.
Tanaman Perkebunan
Perkebunan di Provinsi Papua Barat berdasarkan ruang lingkup usahanya dapat
digolongkan menjadi perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar
dikelola oleh investor atau pemerintah bekerja sama dengan perusahaan besar.
Sedangkan perkebunan rakyat adalah perkebunan yang dikelola oleh rakyat.
Tanaman perkebunan besar yang diusahakan di Provinsi Papua Barat adalah
tanaman kakao dengan luas areal perkebunan sebesar 1.668 ha.
Tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan meliputi kelapa, kelapa sawit, kopi,
cengkeh, kakao, pala dan jamu mete. Produksi tanaman perkebunan rakyat di
Provinsi Papua Barat dalam periode 2005 – 2007 tidak mengalami peningkatan
produksi yang signifikan. Seperti halnya tanaman kelapa, luas areal perkebunan
kelapa rakyat adalah sebesar 10.942 Ha, dengan jumlah produksi pada tahun 2005
sebesar 5.965 ton dan jumlah produksi kelapa di tahun 2007 sebesar 5.965 ton.
Luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat seluas 16.540 Ha, dengan produksi
kelapa sawit pada tahun 2005 adalah 17.326 ton dan di tahun 2007 adalah sebesar
17. 326 ton. Luas areal perkebunan kopi rakyat seluas 708 ha, dengan produksi
pada tahun 2005 sebesar 218 ton dan produksi pada tahun 2007 adalah sebesar
218 ton. Luas areal perkebunan cengkeh rakyat adalah seluas 750 Ha, dengan
jumlah produksi cengkeh pada tahun 2005 adalah sebesar 60 ton dan produksi pada
tahun 2007 adalah 60 ton.
Luas areal perkebunan kakao rakyat adalah seluas 8.463 ha, dengan produksi coklat
pada tahun 2005 adalah sebesar 8.962 ton dan jumlah produksi kakao pada tahun
2007 sebesar 8.962 ton. Luas areal perkebunan pala rakyat adalah seluas 5.911
Ha, dengan produksi pala pada tahun 2005 sebesar 1.749 ton dan jumlah produksi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 43
pada tahun 2007 adalah sebesar 1.749 ton. Luas lahan kebun jambu mete rakyat
seluas 305 Ha, dengan produksi jambu mete pada tahun 2005 adalah sebesar 2 ton
dan jumlah produksi jambu mete pada tahun 2007 sebesar 2 ton.
Nilai Tukar Petani merupakan nilai tukar antara barang/produk pertanian dengan
barang-barang konsumsi dan faktor produksi yang dibutuhkan petani yang
dinyatakan dalam persen.
Gambar 20
Perkembangan Nilai Tukar Petani di Papua Barat, 2005-2009
Sumber : BPS Papua Barat, 2010
Berdasarkan data rata-rata NTP Papua Barat pada tahun 2005 yaitu 95,50 % dan
tahun 2006 laju pertumbuhannya menunjukkan perlambatan, yaitu hanya 0,5%. Laju
pertumbuhan meningkat 5,3% pada tahun 2007, dan 4,6% pada tahun 2008 dan
hanya 1,5% pada tahun 2009, NTP tercatat 106,12. Kecenderungan adanya
peningkatan walaupun sangat kecil NTP selama tahun 2006-2009, menunjukkan
bahwa telah terjadinya peningkatan indeks harga hasil produksi pertanian dan
indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk
keperluan produksi pertanian. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan pertanian
telah berkontribusi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani melalui
peningkatan NTP. Kendatipun demikian, pembentukan NTP juga dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan sektor lainnya dalam menjaga stabilitas harga output, input
maupun harga-harga barang konsumsi.
889092949698
100102104106108
2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 44
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian Papua Barat. Dalam
kurun waktu tahun 2004-2009 kondisi perekonomian Papua Barat dapat dikatakan
relatif stabil, walaupun pada tahun 2005-2007 laju pertumbuhannya cenderung
lambat. Meningkat sangat pesat pada tahun 2008-2009, dalam rentang lima tahun
terakhir sektor utama yang mendominasi penciptaan PDRB di Papua Barat adalah
sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor pertambangan dan
penggalian. Ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi lebih dari 60 persen dari
PDRB Papua Barat. Sektor pertanian merupakan sektor dengan share terbesar
terhadap penciptaan PDRB Papua Barat, dalam lima tahun terakhir share sektor ini
berada pada kisaran 24-29 persen (PDRB Papua Barat, 2008).
Tabel 10. Produk Domestik Regional Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2008 (juta Rupiah)
Lapangan usaha 2005 2006 2007 2008
Tan. Bahan Makanan 331 843,83 372 367,74 412 310,02 503 368,83
Tan.Perkebunan 219 413,11 256 034,39 289 952,22 330 023,04
Peternakan&hasil 108 500,19 131 463,39 156 858,74 177 195,01
Kehutanan 662 079,97 708 070,18 802 546,18 930 239,16
Perikanan 830 486,14 960 874,87 1 100 757,39 1 166 293,09
PERTANIAN 2 152 323,24 2 428 810,57 2 762 424,54 3 107 119,13
Sumber : PDRB Prov. Papua Barat 2008
Nilai PDRB sektor pertanian berdasarkan harga berlaku pada tahun 2008 berjumlah
RP 3,107.12 miliar, dibanding data tahun 2005-2006 mengalami peningkatan 12,8
persen, kemudian tahun 2006-2007 meningkat 13,7 persen dan 2007 dengan PDRB
RP 2,762.4 miliar. Maka PDRB sektor pertanian tumbuh sebesar 12,5 persen pada
tahun 2008.
Pengembangan Peternakan
Jumlah ternak khususnya Sapi, babi dan kambing pada tahun 2005 masing-masing
berjumlah 31.536 ekor, 27.019 ekor dan 12.923 ekor dan mengalami pertambahan
jumlahnya di tahun 2007 di mana untuk ternak sapi, babi dan kambing berjumlah
masing-masing 34.429 ekor, 33.427 ekor dan 13.223 ekor. Hal ini menunjukkan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 45
bahwa telah terjadi peningkatan dalam pengembangan populasi ternak masing-
masing 2.893 ekor sapi, 6.408 ekor babi dan 300 kambing.
Kehutanan
Persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan di Provinsi Papua Barat Tahun 2004-
2009 di tampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Persentase Luas Lahan Rehabilitasi di dalam Hutan di Papua Barat
Sumber: Balai Penelitian DAS Remu Ransiki, 2009
Pembangunan sumberdaya alam sektor kehutanan melalui capaian indikator hasil
persentase luas rehabilitasi lahan kritis dalam kawasan hutan rata-rata tahunan
selama periode 2004 – 2009 terjadi fluktuasi. Pada tahun 2004, pada awal program
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), persentase luas lahah
kritis yang direhabilitasi terhadap luas lahan kritis seluruhnya hanya mencapai 0,21
%, pada tahun 2005 meningkat dengan capaian hasil 0,51%. Namun pada tahun
2006 terdjadi penurunan drastis dengan capaian hanya 0,05%. Kemudian
meningkat lagi pada tahun 2007, 2008 dan 2009, masing-masing dengan capaian
0,33%, 0,34 % dan 1,27 %. Fluktuasi capaian indikator hasil tersebut diduga
sebagai akibat dari jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan reboisasi
lahan kritis dalam kawasan hutan setiap tahun berbeda yang bersumber dari dana
reboisasi. Faktor lain adalah bahwa kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan
Persentase Luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 46
dengan skema GN-RHL dan dilaksanakan dalam bentuk proyek dengan pelaksana
pihak ke tiga (kontraktor). Keberhasilan realisasi tahunan proyek GN-RHL ini
sangat bergantung pada birokrasi penganggaran, kapasitas pelaksana proyek dan
kapasitas penanggung jawab proyek GN-RHL. Sebelum tahun 2006, penanggung
jawab GN-RHL berada pada Balai Pengelolaan DAS Mamberamo yang
berkedudukan di Jayapura. Baru pada Tahun 2006 penanggung jawab kegiatan
RHL di berada di Balai Pengelolaan DAS Remu Ransiki Manokwari. Perubahan
penanggung jawab RHL ini diduga turut mempengaruhi fluktuasi capaian kegiatan
rehabilitasi lahan kritis di Provinsi Papua Barat. Meningkatnya persentase luas lahan
rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan rehabilitasi di Papua Barat Tahun 2007,
2008 dan 2009 dimungkinkan karena adanya alokasi dana dari Pemerintah
Kabupaten (APBD) sejak Tahun 2007, disamping dana dari pemerintah pusat
(APBN) melalui anggaran BPDAS Remu-Ransiki. Dengan adanya tambahan
anggaran ini, pada beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat, sehingga terjadi
peningkatan tajam persentase rehabilitasi luas lahan kritis dalam kawasan hutan di
Provinsi Papua Barat pada Tahun 2009. Faktor lain yang berpengaruh terhadap
peningkatan persentase rehabilitasi luas lahan kritis dalam kawasan hutan di
Provinsi Papua Barat sejak Tahun 2007 adalah setelah BPDAS Remu-Ransiki resmi
dibentuk di Provinsi Papua Barat sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen
Kehutanan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan RHL di wilayah ini.
Kegiatan-kegiatan Rehabilitasi Lahan Kritis dalam kawasan hutan melalui investasi
Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Papua Barat belum berjalan. Hal ini
dimungkinkan karena terkait dengan kendala tingginya biaya perolehan hak guna
usaha lahan sebagai akibat tingginya tuntutan masyarakat adat atas kompensasi
hak adat. Demikian pula halnya capaian indikator hasil dari segi luas rehabilitasi
lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan penghijauan. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam bentuk padat karya dengan tujuan utama meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proyek penghijauan. Pada tahun 2004, luas lahan
kritis di luar kawasan hutan mencapai 80 ha, dan menurun pada tahun 2005 (25 ha),
tahun 2006 (25 ha), bahkan pada tahun 2007 (0 ha). Pada tahun 2008 luas lahan
kritis yang direhabilitasi hanya mencapai 10 ha dan pada tahun 2007 meningkat
pesat menjadi 157 ha. Peningkatan ini terkait dengan program penanaman sejuta
pohon yang dicanangkan pemerintah guna mengatasi perubahan iklim global.
Sekalipun demikian, khusus untuk Provinsi Papua Barat keberhasilan dari
rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan ini terkendala oleh tuntutan ganti rugi
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 47
oleh masyarakat pemilik tanah adat terhadap lahan-lahan sasaran kegiatan
penghijauan. Sasaran kegiatan penghijauan adalah lahan-lahan kritis yang
sebagian adalah lahan masyarakat adat. Namun karena masyarakat adat
menganggap bahwa kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk
proyek dan melibatkan masyarakat pemilik lahan, namun masyarakat tetap menuntut
pemerintah harus memberikan ganti rugi. Tidak jarang, karena tuntutannya tidak
dipenuhi, tanaman reboisasi banyak dicabut dan dirusak oleh masyarakat
Kelautan
Jumlah Tindak Pidana Kelautan
Pembangunan sumberdaya alam di sektor kelautan melalui capaian indikator hasil
jumlah tindak pidana kelautan seperti pada Gambar 22.
Gambar 22.
Jumlah Tindak Pidana Kelautan di Provinsi Papua Barat
Pada Gambar 22 menunjukkan bahwa antara tahun 2004 , 2005 dan 2006 terjadi
penurunan jumlah kasus, masing-masing 8 kasus, 7 kasus dan 2 kasus., kemudian
pada tahun 2007, 2008 dan 2009 terjadi peningkatan masing-masing 12 kasus, 79
kasus dan 84 kasus. Kasus-kasus tindak pidana perikanan yang terjadi umumnya
terkait dengan pencurian penangkapan ikan (illegal Fishing) yang dilakukan oleh
nelayan asing dan pelanggaran terhadap pelarangan penggunaan alat tangkap
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Tindak Pidana Kelautan
Jumlah Kasus Tindak Pidana kelautan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 48
(pukat harimau/troll). Sedangkan tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan
tradisionil adalah penggunaan alat peledak (bom) dalam penangkapan ikan.
Peningkatan capaian hasil tindak pidana perikanan tersebut terkait pula dengan
tingkat kerusakan terhadap terumbu karang. Persentase tutupan terumbu karang
yang baik (hidup) di perairan laut Papua barat sekalipun terjadi fluktuasi, namun
fluktuasi yang terjadi relatif kacil. Hal ini tentunya terkait pula dengan tingkat
kerusakan yang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap dan bahan peledak
dengan kemampuan pertumbuhan karang itu sendiri yang lambat. Namun dari
angka tutupan karang tersebut masih tergolong baik kisarannya antara 42,94 –
71,46 %, tentunya angka ini sangat bergantung pada lokasi dilakukannya kegiatan
monitoring terumbu karang. Hasil identifikasi terumbu karang yang dilakukan oleh
Bapedalda Provinsi Papua Barat Tahun 2009 diketahui bahwa luas sebaran terumbu
karang di perairan laut Papua Barat 329.085,01 ha, terdiri atas terumbu karang
cincin seluas 35.790,01, ha, karang penghalang 18.047,58 ha, karang tepi
236.198,50 ha dan rataan terumbu/asosiasi lamu 39.049,08 ha. Dalam laporan
tersebut dirincikan persentase tutupan terumbu karang yang tergolong baik ataupun
tergolong terumbu karang mati/rusak. Data ini sangat diperlukan guna mengetahui
bagaimana intensitas kegiatan dan penggunaan alat penangkapan yang digunakan
oleh nelayan dalam kaitannya dengan dampaknya terhadap pelestarian terumbu
karang.
Kawasan Konservasi Laut
Ditinjau dari indikator luas kawasan konservasi laut, hingga Tahun 2004, luas
kawasan konservasi laut di Provinsi Papua Barat seluas 22.705, 69 km2. Luasan
konservasi laut ini sudah termasuk dengan kawasan pulau-pulau dan perairan laut
yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan yang direkomendasikan oleh
Pemerintah kabupaten sebagai kawasan konservasi dengan berbagai tipe status
kawasan konservasi. Pada Tahun 2005 terjadi perubahan luas kawasan konservasi
laut ini sebagai akibat adanya penetapan areal Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. Hingga Tahun 2007, luasan
kawasan konservasi laut diprovinsi papua Barat tetap, tidak ada penambahan. Pada
Tahun 2008 terjadi perubahan luas kawasan konsrvasi menjadi 30.374,74 km2
karena adanya penetapan KKLD oleh Pemerintah Kabupaten Kaimana. Pada
Tahun 2009 terjadi perubahan luas kawasan konservasi laut lebih nyata (29.054,88
km2) karena adanya penetapan beberapa lokasi KKLD di perairan laut Kabupaten
Raja Ampat melalui peraturan Bupati. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 49
daerah kabupaten di Provinsi Papua Barat memiliki kepedulian dan perhatian
terhadap pelestarian sumberdaya perairan laut. Apalagi Provinsi Papua Barat
memiliki perairan laut yang kaya akan keaneragaman biota perairan kaut dan
terumbu karang yang relatif masih utuh. Hal ini dibuktikan dengan dikenalnya
daerah perairan laur Raja Ampat merupakan kawasan perairan laut perwakilan
ekosistem perairan dunia karena memiliki kekayaan biota perairan laut dengan
tingkat keanekaragaman tinggi dan gugusan kepulauan yang indah. Fakta ini
ditunjang pula oleh data bahwa KKLD terluas yang adanya di Provinsi Papua Barat
adalah di Kabuapten Raja Ampat dengan luas 9.593,14 km2 yang menetapannya
melalui peraturan Bupati pada Tahun 2009. Namun demikian pengelolaan KKLD
belum optimal. Aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih
terbatas pada perlindungan dan pengawasan terhadap kawasan. Perkembangan
luas kawasan konservasi laut di Papua Barat disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Luas Lahan Konservasi Laut di Papua Barat
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2009.
Indikator Kesejahteraan Sosial.
Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan
berpatokan kepada tingkat kesejahteraan masyarakat. Indikator penting dalam
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
PerkembanganLuas Lahan Konservasi Laut (Km2)
Luas Lahan Konservasi Laut (Km2)
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 50
menentukan apakah penduduk itu miskin atau tidak dapat dilihat dari apakah
masyarakat itu mampu atau tidak memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (basic
needs), apabila dia tidak mampu maka dikategorikan sebagai masyarakat miskin.
Dan bukan saja yang berpenghasilan rendah yang dapat dikategorikan sebagai
penduduk miskin tetapi yang belum mampu dalam hal kesehatan, pendidikan dan
aspek lainnya sebagai manusia dapat dikateorikan sebagai penduduk miskin.
Menurut Chambers (1996), ada 5 ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan
orang atau keluarga miskin yaitu;(1) Kemiskinan, (2) Fisik yang lemah, (3)
Kerentanan, (4) Keterisolasian (5).Ketidakberdayaan. Kelima hal ini merupakan
akibat dari ketidakmampuan keluarga miskin, segala sesuatu menjadi tidak mungkin
untuk diperoleh. Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang berkembang dapat
dikatakan bahwa masyarakatnya sedang berusaha untuk menuju kepada situasi
ekonomi yang lebih makmur. Sampai saat ini segala upaya sedang dan sudah
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat
tersebut, dengan berbagai macam program salah satunya adalah dengan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) yang diberikan tiap 3 (tiga) bulan sebesar Rp.150.000,-.
Program ini dianggap cukup berhasil mengurangi tingkat kemiskinan, akan tetapi
pada kenyataannya banyak terjadi penyelewengan pada penerapannya sehingga
program ini dianggap oleh banyak kalangan tidak tepat sasaran.
Tabel 11. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 dan 2008.
Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk
Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
Garis Kemiskinan
(Rp.)
2007 2008 2007 2008 2007 2008
Kab.Fak-fak 24.71 24.47 39.57 37.55 270 365 245 342
Kab. Kaimana 13.73 10.61 35.22 23.25 211 324 216 657
Kab. Teluk Wondama 11.46 11.98 53.34 47.36 186 128 227 686
Kab. Teluk Bintuni 25.92 30.06 51.37 50.39 247 951 274 014
Kab. Manokwari 76.35 82.62 47.34 43.57 278 175 289 442
Kab. Sorong Selatan 16.00 16.37 28.05 26.66 165 792 204 720
Kab. Sorong 31.01 32.55 33.84 33.95 160 706 213 899
Kab. Raja Ampat 11.44 10.45 30.07 23.76 217 042 220 837
Kota Sorong 56.19 18.19 35.71 14.93 392 698 387 984
Sumber : BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat, 2008
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 51
Untuk Provinsi Papua Barat, Jumlah penduduk miskin hingga tahun 2008 adalah
sebanyak 237,30 atau sebesar 33,49% dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yaitu 2007 sebesar 266,80 atau 39,31%, dari data tersebut terlihat bahwa ada
pengurangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat. Berdasarkan laporan
BPS Provinsi Papua Barat, jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat sejak
Januari sampai Maret 2010 mencapai 256,250 jiwa atau 34,88% dari total jumlah
penduduk, dari jumlah tersebut maka pada tahun 2010 mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2009 sebanyak 256,840 jiwa, sehingga selama periode
2009-2010, jumlah penduduk miskin turun sebesar 0,23% dan persentase penduduk
miskin turun menjadi 0,83%. Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua Barat
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24.
Penduduk Miskin di Papua Barat Tahun 2005 - 2009
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2009 ** Data Persentase Kemiskinan Papua Barat 2004 tidak tersedia.
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Gambar 24 diatas bahwa persentase
penduduk miskin di Papua Barat terus mengalami menurunan dari tahun 2005 yaitu
sebesar 41,79 persen menjadi 33,49 persen pada tahun 2008. Namun, kondisi ini
justru tidak bisa dipertahankan pada tahun berikutnya. Terbukti bahwa pada tahun
2009, persentase angka kemiskinan di Papua Barat meningkat dari 33,49 persen
menjadi 35,71 persen tahun 2009. Beberapa indikator pendukung yang turut
mempengaruhi tren perjalanan persentase angka kemiskinan di Papua Barat dapat
dilihat pada Gambar 25.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Penduduk Miskin Papua Barat, 20052009
Persentase Penduduk Miskin
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 52
Gambar 25
Indikator Pendukung Kemiskinan di Papua Barat, 2005-2009
Sumber : BPS Papua Barat, 2009
Mengacu pada Gambar 25 diatas bahwa menurunnya persentase angka kemiskinan
di Papua Barat dari tahun 2005 hingga 2008 lebih disebabkan karena pertumbuhan
ekonomi di wilayah Papua Barat terus meningkat dari 6,80 persen (2005) menjadi
7,33 persen tahun 2008, meskipun pertumbuhan tersebut agak melambat pada
tahun 2006 yaitu sebesar 4,55 persen. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi yang
selalu memperlihatkan prestasi kearah peningkatan tentunya, akan berimplikasi
pada penciptaan lapangan kerja yang dapat diamati melalui penurunan tingkat
pengangguran terbuka (lihat gambar 19). Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi
di Papua Barat mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja,
sehingga terjadi distribusi pendapatan yang kemudian mampu mengangkat sebagian
masyarakat di Papua Barat terlepas dari kubangan kemiskinan.
Tahun 2009, persentase penduduk miskin di Papua Barat mengalami peningkatan
dari 33,49 persen (2008) menjadi 35,71 persen tahun 2009. Meningkatnya,
persentase angka kemiskinan di Papua Barat pada tahun 2009 lebih diakibatkan
melambatnya kegiatan ekonomi yang dicerminkan oleh melambatnya pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2009. Kemudian, melambatnya pertumbuhan ekonomi
berakibat pada meningkatnya persentase pengangguran terbuka di Papua Barat
yang kemudian berimplikasi pada ketidakmerataan pendapatan yang pada akhirnya
menyeret masyarakat di Papua Barat yang tadinya berada pada tidak miskin,
menjadi miskin. Selain itu, peningkatan persentase kemiskinan di Papua Barat juga
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Penduduk Miskin
Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Terbuka
Persentase Kemiskinan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 53
disebabkan oleh semakin banyaknya pendatang dari luar kota yang tinggal dan
sebagian besar dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan mengganggur.
Indikator Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
Pengangguran terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja
atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama
sekali maupun ygng sudah pernah bekerja), atau sedang mempersiapkan suatu
usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan kerena merasa tidak mungkin untuk
mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum
mulai bekerja.
Adapun kegunaan dari mengetahui proporsi ataupun jumlah pengangguran terbuka
dari angkatan kerja yaitu sebagai suatu acuan untuk pemerintah dalam pembukaan
lapangan kerja baru, dan indikator ini dapat dihitung dengan cara membandingkan
antara jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas atau lebih yang sedang mencari
pekerjaan, dengan jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja.
Bila dilihat pada data IPM Provinsi Papua Barat 2008, pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Papua barat 2008 mencapai 7,33 persen atau lebih tinggi dari capaian
pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6,06 persen. Dengan demikian tingginya
capaian pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua Barat dinilai belum efisien karena di
sisi lain persentase penduduk miskin dan tingat pengangguran terbuka masih
tergolong tinggi (IPM, Provinsi Papua Barat 2008). Berikut ini adalah data Tingkat
Pengangguran Terbuka Provinsi Papua Barat Tahun 2004 sampai dengan 2009:
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 54
Gambar 26.
Tingkat Pengangguran Terbuka Di Papua Barat Tahun 2005 – 2009
Sumber : Papua Barat Dalam Angka tahun 2009.
Dari Gambar 26 terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka dari tahun 2006
sampai dengan 2008 selalu mengalami penurunan walau pada tahun 2009
mengalami sedikit peningkatan yakni 7,73 % atau sekitar 0,01%, Hal ini
menandakan semakin stabilnya kondisi sosial dalam masyarakat, sehingga sangat
tepat jika pemerintah sering menggunakan indikator ini sebagai tolak ukur
keberhasilan dalam pembangunan, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
tingkat kemiskinan pun semakin rendah karena dengan bekerja seseorang sudah
mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dengan menurunnya
presentase penduduk miskin maka tingkat kriminalitas dengan sendirinya dapat
menurun karena orang sudah memperoleh pekerjaan yang pendapatannya dapat
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Pada Gambar 26 diatas, data tahun
2004 tidak dapat diperoleh karena merupakan masa transisi dari Provinsi Papua ke
Provinsi Papua Barat.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) adalah sebuah indikator yang digunakan untuk
mengukur angka pengangguran pemuda sehingga untuk menghitung besarnya TPT
harus juga diperhatikan persentase tingkat kelulusan siswa. Pada tahun 2008 TPT
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya tetapi pada tahun 2009 mengalami
peningkatan kembali sebesar 7.73% hal ini diindikasikan disebabkan oleh angka
0
2
4
6
8
10
12
2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Pengangguran Terbuka di Papua Barat Tahun 2005 2009
Persentase Pengangguran Terbuka
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 55
pengangguran pemuda (15-55 tahun) yang semakin bertambah akibat meningkatnya
tingkat kelulusan baik SMU maupun Perguruan Tinggi yang tidak disertai dengan
penyediaan lapangan pekerjaan. Indikasi kedua yaitu kurangnya minat siswa
terhadap sekolah kejuruan sehingga pada saat lulus sekolah siswa tidak memiliki
keahlian tertentu untuk langsung dapat bekerja. Berikut ini adalah gambar grafik
Kesejahteraan Sosial Provinsi Papua Barat tahun 2004-2009:
3. Rekomendasi Kebijakan
Pendidikan
Angka APS, APK dan APM perkotaan untuk semua jenjang pendidikan dasar lebih
besar dari indikator pedesaan. Disamping itu angka putus sekolah di daerah
perkotaan lebih kecil dari daerah pedesaan untuk jenjang SD dan SMP. Oleh karena
itu perlu pendidikan berpola asrama di kampung dan daerah terpencil, serta program
beasiswa khusus bagi anak-anak sekolah yang memiliki potensi dan kemampuan.
Perlu adanya peraturan daerah agar program wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun dapat berjalan sesuai kebijakan. Berdasarkan data yang ada,
indikator akses pemerataan pendidikan di daerah pedesaan belum relevan,
sehingga pembangunan pendidikan Papua Barat perlu difokuskan di daerah
pedesaan. Tersedianya sarana pendidikan secara memadai terutama di kampung
dan daerah terpencil serta terlaksananya proses pendidikan di wilayah tersebut.
Terbebasnya anak sekolah dari beban biaya pendidikan baik ditingkat pendidikan
dasar maupun di tingkat lanjutan. Adanya kerjasama yang efektif diantara
kabupaten/kota serta Provinsi Papua Barat dalam pengelolaan pendidikan.
Berkembangnya budaya baca dan tersedianya perpustakaan yang memadai di
semua kabupaten/kota se Papua Barat.
Kesehatan
Tujuan pembangunan kesehatan yang ditargetkan pemerintah Provinsi Papua Barat
pada akhir tahun 2025 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui
peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang merata, murah
atau terjangkau, berkualitas, dan berkesinambungan. Peningkatan ini ditandai oleh
meningkatnya angka harapan hidup, meningkatnya angka harapan hidup waktu
lahir, menurunnya angka kematian kasar, menurunnya angka kematian bayi,
menurunnya angka kematian ibu, menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 56
balita dan ibu hamil (Rencana Induk (Master Plan) Pembangunan Kesehatan
Provinsi Papua Barat 2008-2025).
Evaluasi terhadap beberapa indikator yang menjadi pengukur tingkat keberhasilan
pembangunan kesehatan di Provinsi Papua Barat selama tahun 2004-2009
memperlihatkan bahwa pemerintah Provinsi Papua Barat harus bekerja keras untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan seperti yang disebutkan di atas. Sebagai
contoh indikator angka harapan hidup, data yang ada menunjukkan bahwa
perkembangan angka harapan hidup per tahun di Provinsi Papua Barat tercatat rata-
rata satu sampai dua tahun dalam satu periode jangka waktu satu tahun. Hal ini
berarti bahwa kondisi angka kematian bayi di provinsi ini termasuk dalam kategori
Hard Rock, artInya dalam satu tahun penurunan angka kematian bayi yang tajam
sulit terjadi. Sehingga implikasinya adalah angka harapan hidup waktu lahir menjadi
lambat untuk mengalami kemajuan. Hal ini secara jelas terlihat dari perkembangan
angka harapan hidup yang sebagian besar tidak melebihi satu digit dalam kurun
waktu satu tahun. Kondisi tersebut juga terjadi untuk kondisi nasional, penurunan
angka kematian bayi terjadi secara gradual bahkan mengarah melambat. Angka
kematian bayi yang relatif stagnan di kisaran 30 menjadi tantangan khusus bagi
Dinas Kesehatan, terutama dalam mencapai target tujuan pembangunan millennium
(MGDs) pada tahun 2015 yaitu angka kematian bayi adalah 19 dari 1000 kelahiran.
Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam Rencana Induk (Master Plan)
Pembangunan Kesehatan Provinsi Papua Barat 2008-2025 telah menggambarkan
pokok-pokok kebijakan pembangunan kesehatan yang apabila dilaksanakan secara
efektif dan efisien maka diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan di daerah ini. Selain pencapaian tujuan pembangunan
kesehatan tingkat provinsi, pelaksanaan pembangunan kesehatan di daerah ini
dapat diupayakan untuk mencapai target-target yang ditetapkan baik secara
nasional maupun internasional (contoh MGD’s). Pokok-pokok kebijakan
pembangunan kesehatan di Provinsi Papua Barat selama 2008 – 2025, adalah
sebagai berikut:
1. Peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan, terutama bagi
penduduk miskin di kampung-kampung di daerah terpencil, pegunungan, dataran
rendah, pesisir dan pulau-pulau kecil;
2. Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas sarana dan prasarana kesehatan di
kawasan perkampungan dan perkotaan yang efektif untuk memperbaiki derajat
kesehatan masyarakat, seperti Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 57
(Puskesmas) dan jaringannya, pos pelayanan terpadu (posyandu), rumah bersalin
serta fasilitas kesehatan lainnya;
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan;
4. Pengembangan sistem jaminan kesehatan, terutama bagi penduduk miskin;
5. Peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan, pola hidup sehat, dan status
gizi masyarakat;
6. Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat sejak usia dini;
7. Pemberantasan dan pencegahan atas berbagai jenis penyakit menular serta
jenis penyakit lain yang dapat mengancam kesehatan masyarakat;
8. Pengembangan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung
pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu;
9. Peningkatan peran serta masyarakat, dunia usaha, dan organisasi profesi;
10. Peningkatan manajemen usaha kesehatan;
11. Peningkatan pembiayaan pembangunan kesehatan.
Program-program yang disusun untuk mencapai ke -11 pokok kebijakan di atas
disusun secara lebih terperinci dalam bentuk program pokok dan kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan untuk setiap program pokok. Program-program pokok yang
dijabarkan dalam rencana pokok pembangunan kesehatan terdiri dari 12 program
sebagai berikut:
1. Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat
2. Program Pelayanan Kesehatan Perorangan
3. Program Perbaikan Gizi Masyarakat
4. Program Pengembangan Sumberdaya Kesehatan
5. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
6. Program Obat dan Perbekalan Kesehatan
7. Program Pengawasan Obat dan Makanan
8. Program Lingkungan Sehat
9. Program Penyuluhan (Promosi) Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
10. Program Pengembangan Obat Tradisional (Obat Asli Indonesia)
11. Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
12. Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Program-program yang telah disusun di dalam Rencana Induk Pembangunan
Kesehatan Provinsi Papua Barat ini harus dilaksanakan secara sinergis dengan
memberdayakan seluruh sumberdaya yang ada mulai dari tingkat provinsi sampai di
tingkat kampung. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan di Provinsi Papua
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 58
Barat maka Rencana Induk Pembangunan Kesehatan Provinsi Papua Barat ini perlu
dijabarkan oleh oleh BP3D Provinsi Papua Barat, Bappeda Kabupaten/Kota se-
Papua Barat, Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait, baik di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota, dan pihak-pihak lain yang terkait, ke dalam sasaran
dan indikator yang lebih rinci dan terukur, terutama dalam jangka waktu pendek
(tahunan) dan jangka menengah (lima tahunan).
Evaluasi mengenai capaian indikator pembangunan kesehatan dapat dilakukan
dengan baik dan akurat bila ditunjang dengan data yang baik. Sampai saat ini data
base pembangunan kesehatan di Provinsi Papua Barat masih jauh dari keadaan
yang diharapkan. Keadaan ini mempersulit penghitungan indikator kinerja
kesehatan, dengan demikian evaluasi kemajuan yang telah dicapai menjadi sukar
untuk dilakukan. Untuk keperluan pembangunan data base yang baik maka
diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari setiap pihak yang terlibat dalam
sistem kesehatan di daerah ini. Upaya ini perlu dilakukan dengan membangun
sistem pendataan yang mudah dilakukan oleh semua stakeholder dalam sistem
kesehatan di daerah ini. Selain itu, upaya untuk peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia dalam pembangunan data base ini juga perlu dilakukan untuk menjamin
proses pencatatan data, input data, sampai dengan analisis data menjadi lebih baik.
Upaya tersebut di atas perlu didukung oleh pendanaan khusus untuk keperluan
pembangunan data base tersebut. Data base yang baik tentu saja akan menjadi
modal yang sangat berharga untuk mendukung penetapan kebijakan-kebijakan
kesehatan di daerah ini.
Keluarga Berencana
Dalam proses pembangunan, penduduk merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan karena sumberdaya alam yang tersedia tidak akan mungkin dapat
dimanfaatkan tanpa adanya peranan dari manusia. Dengan adanya manusia,
sumberdaya alam tersebut dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri
dan keluarga secara berkelanjutan. Besarnya peran penduduk tersebut maka
pemerintah dalam menangani masalah kependudukan tidak memperhatikan pada
upaya pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk saja, tetapi lebih
menekankan kearah perbaikan kualitas sumberdaya manusia.
Beberapa issue strategis yang dihadapi dalam bidang pengendalian pertumbuhan
penduduk adalah tingginya pertumbuhan penduduk yang tergolong cepat dan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 59
sebaran penduduk yang tidak merata. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di daerah
ini masih disebabkan oleh faktor migrasi penduduk. Namun pertumbuhan penduduk
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor migrasi tetapi juga faktor fertilitas dan mortilitas.
Saat ini fakta penting yang perlu mendapat perhatian adalah Contraceptive
Prevalence Rate (CPR) dan Total Fertility Rate (TFR) yang cenderung stagnan.
Oleh karena itu beberapa kebijakan seperti peningkatan kapasitas untuk penyediaan
jasa kesehatan/pelayanan keluarga yang berkualitas tinggi perlu di pacu di daerah
ini. Selain itu kebijakan yang berkaitan dengan proses desentralisasi kebijakan perlu
mendapat perhatian. Kebijakan pengaturan mengenai peran dan tanggungjawab di
berbagi level (pusat, provinsi, kabupaten, distrik, dan kampung) yang bersifat praktis
di lapangan perlu mendapat perhatian. Komitmen pemerintah daerah untuk
mendukung pembangunan keluarga berencana sangat penting. Oleh karena itu
sinergi antara berbagai lembaga untuk mendukung kesuksesan pelaksanaan setiap
program keluarga berencana sangat diperlukan. Kebijakan untuk meningkatkan
manajemen pengadaan logistik di tingkat lokal, sistem distribusi alat kontrasepsi, dan
penjaminan kekontinuan suplai berbagai alat kontrasepsi perlu mendapat perhatian
besar.
Disamping itu, kebijakan mengenai pembangunan data base keluarga, termasuk di
dalamnya keluarga berencana, perlu mendapat prioritas di Provinsi Papua Barat
mengingat ketersediaan data yang masih sangat terbatas di Provinsi Papua Barat.
Data yang akurat dapat menunjang penetapan kebijakan yang tepat sasaran, serta
merupakan alat evaluasi yang sangat penting untuk pembangunan keluarga
berencana di provinsi ini
Ekonomi Makro dan Investasi
Terlihat jelas bahwa laju pertumbuhan ekonomi Papua Barat pada periode
pengamatan (2004-2009) masih didominasi oleh sektor pertanian dan
pertambangan. Diharapkan pemerintah juga perlu mengoptimalkan sektor-sektor
(diluar pertanian dan pertambangan) sebagai buffer stock untuk mengurangi
ketergantungan terhadap sektor pertanian dan pertambangan yang potensi
kepunahannya cukup potensial.
Pendapatan per kapita masyarakat Provinsi Papua Barat tercatat mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2004 hingga tahun 2009, namun
pendapatan per kapita ini belum sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 60
masyarakat Papua Barat yang riil. Hal ini lebih disebabkan masih terdapat
ketimpangan terhadap kepemilikan faktor-faktor produksi yang kemudian akan
berdampak langsung terhadap pendapatan keluarga. Oleh sebab itu, perlu didesain
kebijakan berbasis masyarakat yang diarahkan untuk pemarataan distribusi
pendapatan di tingkat masyarakat.
Melihat cacatan perkembangan Inflasi di Papua Barat dari tahun 2004 hingga tahun
2009 menampilkan tren yang sangat fluktuatif. Hal ini lebih disebabkan oleh
lambatnya distribusi barang dan jasa, kemudian ulah para tengkulat yang
memanfaatkan kondisi geografis, dan kurang efektifnya fungsi kontrol yang diharus
dilakukan oleh pemerintah terhadap dinamika perubahan harga. Oleh sebab itu,
upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam jangka pendek adalah
mengefektifkan kembali Operasi Pasar (OP). Sedangkan untuk jangka panjang
pemerintah perlu mendesain mekanisme pemantauan terhadap distribusi barang
dan jasa hingga ke tingkat konsumen (masyarakat) di Papua Barat.
Perkembangan investasi yang pantau melalui PMDN dan arus modal masuk melalui
PMA di Papua Barat, dari tahun 2004 hingga 2009 masih kurang manarik jika
dibandingkann dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki. Tentunya
ketidaktarikan atau tidak lancarnya arus modal masuk (PMDN dan PMA) dipengaruhi
oleh banyak aspek. Salah satu aspek yang paling dominan dan menonjol sebagai
penghambat arus modal masuk yaitu ketersediaan infrastruktur mendasar disamping
faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, ada beberapa upaya yang perlu diperhatikan
oleh daerah untuk menarik investasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
kemudahan perizinan usaha, PEMDA juga harus intensif dalam melakukan interaksi
dengan pelaku usaha, penyiapkan infrastruktur fisik daerah, jaminan keamanan bagi
pelaku usaha, mendesain perda-perda yang rama investasi dengan tidak
mengabaikan aspek lokal.
Infrastruktur
Mengingat kegiatan ekonomi suatu wilayah sangatlah didukung oleh ketersedian
sarana dan pra sarana (infrastruktur) daerah, dan Papua Barat merupakan salah
satu wilayah di kawasan timur Indonesia (Katimin) yang masih berhadapan dengan
persoalan infrastruktur. Yang kemudian berakibat pada lesuhnya iklim atau kegiatan
ekonomi di wilayah Papua Barat. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang tentunya
dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengembangan infrastruktur.
Pertama, pemerintah harus lebih kreatif melakukan mitra kerja sama dengan pihak
swasta untuk membangun infrastruktur dasar di daerah. Kedua, pemerintah daerah
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 61
juga seharusnya berkomitmen dengan agenda pembangunan di daerah. Artinya,
sektor infrastruktur merupakan salah satu dari enam agenda prioritas pembangunan
daerah 5 (lima) tahun (RPJMD) Papua Barat, oleh sebab itu mobilisasi anggaran dan
focus pemerintah daerah seharusnya diarahakan untuk memenuhi capaian target.
Pertanian
Sektor pertanian yang dulunya menjadi sektor primadona bagi struktur perekonomian
Papua Barat, lambat laut mulai digeser oleh sektor sekunder (industry perdagangan,
dll). Hal ini dikarenakan sektor pertanian ternyata tidak banyak meruba status para
pekerja, bahkan kontributor terbesar angka kemiskinan di Papua Barat justru
diperoleh dari sektor pertanian. Oleh sebab itu ada beberapa upaya yang dapat
dilakukan oleh pemerintah Papua Barat agar sektor ini mampu bersaing dengan
sektor sekunder dan sektor tersier yaitu pemerintah perlu melakukan intervensi guna
meningkatkan nilai tukar petani, kemudian pembagian lahan yang merata bagi
masyarakat petani, meningkatkan pendidikan petani yang diharapkan suatu saat
nanti dengan berbekal pendidikan mereka mampu meningkatkan pendapatan, dan
memfasilitasi para petani untuk mendapatkan akses modal guna kelancaran usaha.
Kehutanan
Kegiatan-kegiatan Rehabilitasi Lahan Kritis dalam kawasan hutan melalui investasi
Pembanguna Hutan Tanaman di Provinsi Papua Barat belum berjalan dengan
efektif. Hal ini lebih disebabkan tingginya biaya perolehan hak guna usaha lahan
sebagai akibat tingginya tuntutan masyarakat adat atas kompensasi hak adat. Oleh
sebab itu, pemerintah dan pihak terkait perlu mendesain regulasi tentang pengakuan
dan kompensasi terhadap hak adat, agar masyarakat adat dilibatkan dan memahami
fungsi rehabilitasi lahan kritis. Kemudian, untuk lahan kritis di luar kawasan hutan
melalui kegiatan penghijauan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk padat karya
dengan tujuan utama meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proyek
penghijauan.
Kelautan
Dengan melihat atau mengamati jumlah tinda pidana perikanan yang terus
meningkat setiap tahun (2004 hingga 2009), maka pemerintah melalui instansi
terkait (Dinas Kelautan dan Perikanan) perlu mengoptimalkan kembali sistem
pengawasan dan pemantauan terhadap kawasan laut dan pesisir. Kemudian,
pemerintah juga harus tegas dalam memberikan sanksi terhadap para pelaku tindak
pidana perikanan, dan menambah sarana dan pra sarana (fasilitas) patrol laut.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 62
Kesejahteraan Sosial
Prestasi indikator yang mencerminkan kinerja kesejahteraan sosial di Papua Barat
cukup menggembirakan, meskipun prestasi kedua indikator tersebut mengalami
kemunduran pada tahun 2009. Agar konsistensi kinerja indicator kesejahteraan
sosial tetap dipertahankan maka mau tidak mau-suka tidak suka pemerintah harus
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena efek pertumbuhan ekonomi
terhadap pengurangan kemiskinan terlihat jelas sekali berpengaruh. Kemudian,
pemerintah juga perlu mengarahkan perhatian pada sektor-sektor UMK (usaha mikro
kecil) yang tumbuh subur di daerah, dan biasanya sektor inilah yang kemudian
menjadi solusi bagi masyarakat yang belum memperoleh pekerjaan tetap dalam
jangka pendek.
D. KESIMPULAN
AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
1. Angka kriminilitas di Papua Barat meningkat hingga tahun 2008, dan menurun
pada tahun 2009 karena pemerintah daerah melakukan pengawasan yang ketat
terhadap pemasukan minuman keras dari daerah lain ke dalam Manokwari.
2. Kasus kriminilitas tertinggi di Papua Barat adalah kasus penganiayaan (15,20%),
kasus pencurian (13,83), kasus narkotika dan obat-obatan terlarang (11,70%),
kasus pelanggaran lalu lintas (7,45%) dan kasus pembunuhan (5,32%). Kasus
penganiayaan, pelanggaran lalu lintas dan kasus pembunuhan sebagian besar
disebabkan oleh konsumsi minuman keras.
3. Kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat dalam penyelesaian kasus
kejahatan konvensional dan kasus kejahatan transnasional sangat baik karena
seluruh kasus yang masuk ke pengadilan dapat diselesaikan pada tahun itu juga.
AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
1. Kinerja pemerintah daerah Papua Barat dalam penyelesaian kasus korupsi sangat
baik karena seluruh kasus yang masuk di pengadilan negeri dapat diselesaikan
pada tahun tersebut.
2. Sampai saat ini belum ada kabupaten dan kabupaten kota yang memiliki perda
pelayanan satu atap, namun wacana untuk membentuk kabupaten atau
kabupaten kota yang memiliki pelayanan satu atap dalam waktu dekat.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 63
3. Sampai saat ini belum ada SKPD di Papua Barat yang memiliki laporan keuangan
Wajib Tanpa Pengecualian (WTP) karena masih lemah manajemen pengelolaan
keuangan di Papua Barat yang disebabkan oleh masih rendahnya sumber daya
manusia dalam pengelolaan keuangan di Papua Barat.
4. Gender Development Index (GDI), Gender Empowerment Measurement (GEM)
dan Indeks Pembagunan Manusia (IPM) di Papua Barat meningkat setiap tahun
namun IPG dan GEM masih rendah daripada IPM.
AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat cukup baik dalam bidang
pendidikan namun beberapa indikator pendidikan perlu mendapat perhatian
khusus dari pemerintah daerah.
2. Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK), angka putus
sekolah baik Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun APM
SD dan SMP masih sangat rendah dibandingkan dengan APK SD dan SMP,
yang artinya bahwa anak-anak di Papua Barat bersekolah tidak tepat dengan
umur kelas.
3. Angka putus sekolah di SD, SMP dan SLTA mengalami penurunan selama tiga
tahun terakhir. Angka putus sekolah tertinggi terjadi pada SD kemudian diikuti
oleh SLTA dan SLTP. Faktor yang menyebabkan putus sekolah adalah
kurangnya kesadaran orangtua tentang penting pendidikan, kondisi ekonomi
orangtua dan kondisi geografis Papua Barat,
4. Angka melek huruf di Papua Barat mengalami peningkatan pada dua tahun
terakhir yaitu 90,35 persen pada tahun 2008 dan 92,15 persen pada tahun 2009,
namun rata-rata lama sekolah di SD adalah 7,65 - 7,67 tahun.
5. Persentase guru layak mengajar di tingkat SMP di Papua Barat mengalami
peningkatan selama lima tahun terakhir hingga mencapai 70 persen namun
masih rendah dari yang diharapkan yaitu 90%.
6. Guru SMP di Papua Barat yang berkualifikasi S1 atau lebih hanya 58 persen,
sedangkan undang-undang sistem pendidikan di Indonesia mensyaratkan guru
minimal berkualifikasi akta IV atau sarjana.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 64
Kesehatan
1. Kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat dalam bidang kesehatan perlu
mendapatkan perhatian khusus karena indikator-indikator kesehatan tidak
mengalami kemajuan yang berarti dan terdapat beberapa indikator kesehatan
yang mengalami penurunan.
2. Angka kematian bayi dari tahun 2005 hingga 2007 mengalami kenaikan dan
pada tahun 2008 mengalami penurunan. Sedangkan persentase gizi buruk dari
tahun 2004 hingga tahun 2007 terus meningkat.
3. Laju pertumbuhan penduduk di Papua Barat selama 5 tahun terakhir mengalami
penurunan hingga pada tahun 2009 laju pertumbuhan pendudukan adalah1,96
persen, sedangkan total fertility rate dari tahun 2005 hingga 2007 tidak
mengalami perubahan. Laju migrasi ke Papua Barat tertinggi pada awal tahun
2000-an dan terus menurun hingga tahun 2009.
4. Laju penggunaan kontrasepsi di Papua Barat sejak tahun 2004 hingga 2009
mengalami fluktuasi berkisar pada kisaran 40 hingga 50 persen. Perlu usaha-
usaha untuk meningkatkan penggunaan konstrasepsi di masyarakat.
Ekonomi Makro
1. Kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat dalam bidang ekonomi belum
stabil sejak Provinsi Papua Barat didirikan hingga sekarang ini.
2. Persentase laju pertumbuhan ekonomi Papua Barat tahun 2004 hingga 2009
berfluktusi karena pemerintah daerah belum mengindentifikasi sumberdaya-
sumberdaya yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.
3. Indikator pengdukung perekonomi Papua Barat yaitu Manufaktur mengalami
peningkatan selama 5 tahun terakhir namun indikator eksport menurun pada tiga
tahun terakhir. Peningkatan indikator manufaktur disebabkan adanya
pergeseran struktur ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tertier,
sedangkan penurunan sektor eksport disebabkan karena adanya penurunan
eksport komiditi utama di Papua Barat akibat adanya regulasi pemerintah yang
berhubungan lingkungan.
4. Pendapatan per kapita Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan
selama lima tahun terakhir, yang disebabkan oleh peningkatan pada total PDRB
Papua Barat.
5. Laju inflasi di Papua Barat mengalami fluktuasi 5 tahun terakhir. Pada tahun
2005 hingga 2008 terjadi kenaikan inflasi yang tajam namun tahun 2009
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 65
mengalami penurunan yang tajam hingga mencapai angka 5,07 dari angka inflasi
20,04 pada tahun 2008.
6. Rencana dan realisasi investasi PMDN di Papua Barat tidak sejalan. Rencana
investasi di Papua pada tahun 2006 dan 2007 sangat tinggi namun realisasinya
sangat rendah. Realisasi investasi PMDN selama 5 tahun terakhir tidak
mengalami perubahan. Sedangkan rencana dan realiasasi PMA tahun dua
tahun terakhir berbanding terbalik, dimana rencana menurun namun realisasi
meningkat. Investasi PMA di Papua Barat meliputi bidang pertambangan dan
kehutanan.
Pertanian
1. Nilai Tukar Petani selama 5 tahun terakhir terus mengalami peningkatan, yaitu
pada tahun 2005 sebesar 95,5 persen menjadi 106,12 persen yang menunjukan
bahwa laju pertumbuhan harga produk pertanian lebih besar dari laju
pertumbuhan harga bahan konsumsi selain pertanian.
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua Barat selama 5 tahun terakhir
terus mengalami peningkatan dan sektor pertanian penyumbang terbesar PDRB
di Papua Barat.
Kehutanan
1. Persentase luas lahan kritis dalam hutan di Provinsi Papua Barat mengalami
peningkatan pada 4 tahun terakhir, dari 0,21 persen pada tahun 2006 menjadi
1,27 persen pada tahun 2009. Peningkatan ini terjadi setelah pemerintah daerah
mendirikan BP-DAS Remu-Ransiki pada tahun 2006, yang khusus menangani
lahan kritis di Papua Barat.
Kelautan
1. Jumlah tindak pidana perikanan di Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan
pada 4 tahun terakhir. Jumlah tindak pidana perikanan pada tahun 2009
mencapai 84 kasus yang terdiri dari pencurian ikan oleh nelayan asing dan
pelangaran terhadap pelarangan penggunaan alat tangkap seperti pukat
harimau, sedang tindak pidana perikanan yang dilakukan nelayan tradisional
adalah penangkapan dengan menggunakan bahan peledak.
2. Luas lahan konservasi laut di Papua Barat meningkat terus sejak tahun 2004.
Pada tahun 2004 luas lahan konservasi laut sebesar 22.705 km2 menjadi 39.054
km2 pada tahun 2009. Peningkatan luas lahan konservasi laut disebabkan oleh
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 66
adanya peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk
menambah luasan lahan konservasi laut.
Indikator Kesejahteraan Sosial
1. Kinerja pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan social
masyarakat cukup baik karena dua indicator kesejahteraan sosial yaitu
persentase penduduk miskin dan tingkat penggangguran terbuka mengalami
penurunan yang nyata. Penurunan kedua indikator tersebut disebabkan oleh
meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Kenaikan angka kemiskinan terjadi pada
tahun 2009 karena pada awal tahun 2008 terjadi bencana gempa tektonik yang
merusak banyak rumah warga.
BAB III. RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI PAPUA
BARAT 2006-2009
1. Pengantar
Evaluasi relevansi RPJMD Papua Barat 2006-2011 dengan RPJMN 2010-2014,
merupakan salah satu upaya penyandingan atau mensinergisasikan agenda-agenda
pembangunan nasional. Proses evaluasi relevansi RPJMD Papua Barat 2006-2011
dengan RPJMN 2010-2014 yang dilakukan oleh tim EKPD Papua Barat dihadapkan
pada dilematis, karena terlihat jelas bahwa terdapat banyak agenda prioritas
pembangunan di daerah yang tidak relevan dengan agenda prioritas pembangunan
nasional. Hal ini lebih disebabkan oleh karena dokumen yang disandingkan justru
memiliki momen yang berbeda, yang kemudian berimplikasi pada agenda
pembangunan yang berbeda pula.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
67
Tabel 12. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional
No. RPJMN 2010 – 2014
RPJMD PROVINSI PAPUA BARAT(TAHUN 2006 - 2011) Analisis
Kualitatif Penjelasan Terhadap
Analisis Kualitatif Prioritas Pembangunan
Program Aksi Prioritas
Pembangunan Program
1. PRIORITAS 1. REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA
Tidak ada Tidak ada Tidak mendukung
nasional
Otonomi Daerah; Penataan otonomi daerah melaui:
-
-
Penghentian/Pembatasan pemekaran wilayah
Peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangn daerah
Penyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah
Tidak ada Tidak ada Tidak mendukung Nasional
Regulasi:
Percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah peraturan daerah selambat-lambatnya 2011;
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Sinergi Antara Pusat dan Daerah:
Penetapan dan penerapan system Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Tidak ada Tidak ada Tidak mendukung Nasional
Penegakan Hukum:
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
68
Peningkatan integrasi dan inegritas penerapan dan penegakan hokum oleh seluruh lembaga dan aparat hokum
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Data Kependudukan:
Penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan pengembangan System Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan aplikasi pertama pada Kartu Tanda Penduduk selambat-lambatnya pada tahun 2011
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
2. PRIORITAS 2. PENDIDIKAN Prioritas Pembangunan
Program Analisis Penjelasan
Peningkatan Angka
Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Dasar
Bidang Pendidikan 1. Wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
2. Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan
Mendukung Nasional
Butuh PERDA agar anak usia sekolah duduk di bangku sekolah
APM pendidikan Setingkat
SMP Bidang Pendidikan 1. Wajib belajar
Pendidikan Dasar 9 tahun
2. Pendidikan menengah dan kejuruan
Mendukung Nasional
Butuh PERDA agar anak usia sekolah duduk di bangku sekolah
Angka Partisipasi Kasar
(APK) pendidikan setingkat Bidang Pendidikan 1. Pendidikan
menengah dan Mendukung
nasional 1. Peningkatan pemerataan
akses pelayanan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
69
SMA kejuruan 2. Peningkatan mutu sekolah 3. Peningkatan sarana dan
prasarana 4. Pengadaan guru dan
tenaga pendidikan
Pemantapan/rasionalisasi implementasi BOS
1. Peningkatan
mutu pendidikan Mendukung
nasional Pemerataan BOS
Penurunan harga buku
standar di tingkat sekolah dasar dan menengah sebesar 30-50% selambat-lambatnya 2012 dan
1. Pengembangan
budaya baca dan perpustakaan
TA Perlu aturan penurunan harga buku dan subsidi buku
Penyediaan sambungan internet berkonten pendidikan ke sekolah tingkat menengah selambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar
1. Peningkatan
mutu dan manajemen Pendidikan
Mendukung nasional
1. Pengadaan sarana dan prasarana
2. Pembangunan laboratorium
Akses Pendidikan Tinggi
Peningkatan APK
pendidikan tinggi
1. Peningkatan
kemampuan outpour pendidikan formal untuk memenuhi kebutuhan pasar
Mendukung nasional
Perlu beasiswa
Metodologi:
Penerapan metodologi
pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test)
1. Peningkatan
Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan
Mendukung nasional
Peningkatan system pengajaran melalui pelatihan-pelatihan metodologi pendidikan yang berkualitas
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
70
Pengelolaan:
Pemberdayaan peran
kepala sekolah sebagai manajer system pendidikan yang unggul
2. Peningkatan mutu manajemen pendidikan
Mendukung nasional
Peningkatan mutu kepsek
Revitalisasi peran pengawas
sekolah sebagai entitas quality assurance
1. Program Peningkatan Mutu Managemen Pendidikan
Mendukung nasional
Secara eksplisit program daerah mendukung program nasional
Mendorong aktivasi peran
Komite Sekolah untuk menjamin keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pembelajaran dan dewan pendidikan di tingkat kabupaten
Tidak ada di ansional
Tidak menunjang program nasional
Kurikulum:
Penataan ulang kurikulum
sekolah Bidang Pendidikan 1. Peningkatan
Mutu Pendidikan dan tenaga pendidikan
Mendukung nasional
Perlu pelatihan penyusunan kurikulum
Kualitas:
Peningkatan kualtas guru,
pengelolaan dan layanan sekolah.
2. Peningkatan
Mutu Pendidikan dan tenaga pendidikan
Ada 1. Peningkatan jumlah guru bersertifikat
2. Kualifikasi guru
3. PRIORITAS 3. KESEHATAN
Kesehatan Masyarakat:
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
71
Pelaksanaan program
kesehatan preventif terpadu Bidang Kesehatan 1. Program
pencegahan dan penanggulan penyakit menular
Mendukung Nasional
KB:
Peningkatan kualitas dan
jangkauan layanan KB melalui 23.500 klinik pemerintah dan swasta selama 2010 – 2014
Pendidikan 1. Program pelayanan kesehatan penduduk miskin
2. Program peningkatn kesehatan Ibu dan anak
Obat:
Pemberlakuan Daftar Obat
Esensial nasional sebagai dasar pengadaan obat di seluruh Indonesia dan pembatasan harga obat generic bermerek pada 2010
Pendidikan Program Pengawasan obat dan makanan
Asuransi Kesehatan Nasional:
Penerapan Asuransi
Kesehatan Nasional untuk seluruh keluarga miskin dengan cakupan 100% pada 2011 dan diperluas secara bertahap untuk keluarga Indonesia lainnya antara 2012-2014
Pendidikan Program Pengembangan Upaya kesehatan masyarakat
4. PERIORITAS 4. PENANGULANGAN KEMISKINAN
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
72
Bantuan Sosial Terpadu:
Integrasi program
perlindungan sosial berbasis keluarga yang mencakup program BLT
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung
Nasional
Bantuan pangan, jaminan
sosial, beasiswa bidang kesehatan, beasiswa bagi anak keluarga berpendapatan rendah, pendidikan Anak Usia Dinai (PAUD) dan parenting education mulai 2010 dan program keluarga harapan diperluas menjadi program nasional mulai 2011-2012;
-Program Pendidikan Anak Usia Dini.
Mendukung nasional
.Perlu adanya capaian program
PNPM Mandiri:
Penambahan anggaran
PNPM Mandiri Tidak ada Tidak ada Tidak
Mendukung Nasional
Perlu dimasukan sebagai program daerah
Kredit Usaha Rakyat (KUR):
Pelaksanaan
penyempurnaan mekanisme penyaluran KUR mulai 2010 dan perluasan cakupan KUR mulai 2011
Bidang Perekonomian Rakyat
-Program Pengembangan Koperasi UKM. -Prog. Pembentukan Lembaga Keuangan Mikro.
-prog,Pengembangan ekonomi Masyarakat pesisir dan Pulau-pulau kecil
Mendukung nasional
Belum efektif dilakukan di daerah.
Tim Penanggulangan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
73
Kemiskinan
Revitalisasi Komite nasional Penanggulanan Kemiskinan di bawah koordinasi Wakil Presiden
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung
Nasional
-
5. PRIORITAS 5. PROGRAM AKSI DI BIDANG PANGAN
Lahan, Pengembangan kawasan dan Tata Ruang Pertanian:
Penataan regulasi untuk
menjamin kepastian hukum atas lahan pertanian
Bidang Pengembangan Wilayah dan Investasi
Program Penyiapan kawasan
Mendukung Nasional
Belum efektif dilakukan karena terbentuk persoalan hak ulayat
Pengembangan areal
pertanian baru seluas 2 Juta hektar, penerbitan serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar
Bidang perekonomian rakyat
Program Pengembangan produksi tanaman pangan
Mendukung Nasional
Belum efektif dilakukan karena tata ruang yang sudah ada terkadang tidak dijadikan sebagai acuan.
Infrastruktur:
Pembangunan dan
pemeliharaan sarana transportasi dan angkutan, pengairan, jaringan lisrik serta teknologi komunikasi dan system informasi nasional yang melalyani daerah-daerah senra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi
1. Bidang infrastruktur
1. Program jaringan transportasi antara daerah produsen dan daerah pemasaran
2. Program pengembangan Bandar Udara dan Keselamatan penerbangan
3. Program pengembangan pelabuhan laut
Mendukung Nasional
Dengan dukungan dana pemerintah pusat, jelas terlihat berbagai upaya sudah dilakukan namun belum optimal karena terbentur kondisi geografis serta kultur social budaya masyarakat lokal.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
74
serta kemampuan pemasarannya.
4. Program pengembangan Sarana dan prasarana sungai, danau, dan penyebrangan
5. Program pembangunan sarana perekonomian masyarakat
Penelitian dan Pengembangan:
Peningkatan upaya
penelitain dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi
Bidang Perekonomian Rakyat
- Pengembangan Produksi Tanaman Pangan
- Pengembangan Tanaman Perkebunan
Mendukung Nasional
Belum optimal dilakukan di daerah karena keterbatasan SDM riset bidang pertanian, serta kurangnya komitmen pemerintah terhadap peningkatan dan pengembangan sektor pertanian.
Investasi, Pembiayaan dan Subsidi:
Dorongan untuk
investasi pengan, pertanian dan industry pedesaan berbasis produk local oleh pelaku usaha dan pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau.
Perekonomian Rakyat 1. Program pengembangan agribisnis pedesaan
2. Program peningkatan usaha masyarakat di dalam dan di
Mendukung Nasional
Belum optimal dilakukan di daerah, hal ini lebih dikarenakan belum efektifnya sinergisasi antara tiga pilar pembangunan di daerah yaitu pemerintah, swasta (lembaga keuangan) , dan pelaku usaha.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
75
sekitar hutan 3. Program
pengembangan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
4. Program insentive investasi
5. Program pembentukan lembaga keuangan mikro
Pangan dan Gizi:
Peningkatan kualitas
gizi dan keanekaragaman pangan melelaui peningkatan pola pangan harapan
Tidak ada Tidak ada Tidak mendukung Nasional
Adaptasi Perubahan Iklim:
Pengambilan langkah-
langkah kongkrit terkait adaptasi dan antisipasi system pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim
Tidak ada Tidak ada Tidak mendukung Nasional
6. PRIORITAS 6. INFRASTRUKTUR
Tanah dan Tata Ruang:
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
76
Konsolidasi kebijakan
penanganan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Perhubungan
Pembangunan jaringan
prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar moda dan antar pulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda dan penurunan tingkat kecelakaan transportasi sehingga pada 2014 lebih kecil dari 50 % keadaan saat ini
Bidang Infrastruktur 1. Prog.Pengembangan Bandar Udara dan Keselamatan.
2. Prog.Pengembangan Bandar Udara dan KeselamatanPenumpang.
3. Prog.Pengembangan Pelabuhan Laut.
4. Prog.Pengembangan sarana dan prasarana sungai, danau dan Penyeberangan.
Mendukung Nasional
Prioritas dalam RPJMD Papua Barat 2006-2011 sehingga berbagai upaya sudah dilakukan, namun capaian target yang diharapkan belum optimal kerena alokasi anggaran tidak efektif dengan kondisi geografis di Papua Barat.
Pengendalian Banjir
Penyelesaian pembangunan prasarana pengendalian banjir
Bidang Infrastruktur -Program Pengembangan Irigasi. -Prog.Pengendalian Banjir serta Kelembagan Pemerintaan.
Mendukung Nasional
Karena merupakan salah satu prioritas program, maka sudah dilakukan oleh instansi terkait.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
77
Transportasi Perkotaan
Perbaikan system dan jaringan transportasi di 4 kota besar (Jakarta, Bandung Surabaya, dan Medan)
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
-
7. PRIORITAS 7. IKLIM INVESTASI DAN IKLIM USAHA
Kepastian Hukum. Bidang Pengembangan
Wilayah dan Investasi Penyiapan
Kawasan Penyiapan Sarana
dan Prasarana Dasar Kawasan Investasi
kerjasama investasi di kalangan dunia usaha
Mendukung Nasional
Belum optimal dilakukan karena terbentur dengan persoalan hak ulayat dan social budaya masyarakat local.
Reformasi regulasi
secara bertahap di tingkat nasional dan daerah
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Kebijakan Ketenagakerjaan
Sinkronisasi kebijakan
ketenagaaan dan iklim usaha dalam rangka memperluas penciptaan lapangan pekerjaan
1. Bidang Pengembangan Wilayah dan Investasi
2. Bidang Ekonomi Kerakyatan
- Penyiapan Masyarakat
- Program penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat
Mendukung Nasional
Program sudah ada, namun sinergisasi program antar SKPD (dinas terkait) masih lemah).
8. PRIORITAS 8. ENERGI
Energi Alternatif
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
78
Peningkatan
pemanfaatan energy terbarukan termasuk energy alternative geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Hasil Ikutan dan Turunan Minyak Bumi/Gas.
Revitalisasi industry
pengolah hasil ikutan/turunan minyak bumi dan gas sebagai bahan baku industry tekstil, pupuk dan industry hilir lainnya
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Konversi Menuju Penggunaan Gas
Perluasan program
konversi minyak tanah ke gas sehingga mencakup 42 juta Kepala Keluarga pada 2010
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Penggunaan gas alam
sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan di Palembang, Surabaya dan Denpasar
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
9. PRIORITAS 9. LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
79
Perubahan Iklim
Peningkatan
keberdayaan pengelolaan lahan gambut
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Peningkatan hasil
rehabilitasi seluas 500.000 Ha per tahun
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Penekanan laju
deforestasi secara sungguh-sungguh
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Pengendalian Kerusakan Lingkungan
Penurunan beban
pencemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industry dan jasa pada tahun 2010 dan terus berlanjut
Tidak ada
Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Sistem Peringatan Dini
Penjaminan berjalannya
fungsi Sistem Peringatan Dini Tsunam (TEWS) dan system Peringatan Dini Cuaca (MEWS) mulai 2010 dan seterusnya, serta Sistem Peringatan Dini
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
80
Iklim (CEWS) pada tahun 2013
Penanggulangan Bencana
Peningkatan
kemampuan penanggulangan bencana
Bidang Infrastruktur Program Pengendalian Banjir dan Pemulihan Bencana Alam
Mendukung Nasional
Belum efektif dilakukan karena dukungan dan komitmen stakeholders ldi daerah masih lemah/kurang peduli.
10. PRIORITAS 10. DAERAH TERDEPAN, TERLUAR, TERTINGGAL DAN PASCA KONFLIK
Kebijakan
Pelaksanaan kebijakan
khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya
Bidang Infrastruktur 1. Program pembangunan jaringan jalan tras Sorong – Manokwari.
2. Program pembangunan pemukiman masyarakat
3. Program penyehatan pemukiman masyarakat. Program pengembangan sarana dan pra sarana sungai, danau, dan penyeberangan.
Mendukung Nasional
Belum optimal dilakukan karena kurangnya komitmen pemerintah, serta alokasi anggaran yang tidak seimbang dengan kondisi geografif.
Keutuhan Wilayah
Penyelesaian pemetaan
wilayah perbatasan RI Tidak ada Tidak ada Tidak
mendukung
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
81
dengan Malaysia, Papua New Guinea, Timor Leste dan Filipina pada tahun 2010
nasional
Daerah Tertinggal
Pengentasan paling
lambat 2014 Tidak ada Tidak ada Tidak
mendukung nasional
11. PRIORITAS 11. KEBUDAYAAN, KREATIVITAS DAN INOVASI TEKNOLOGI
I Perawatan
Penetapan dan
pembentkan pengelolaan terpadu untuk pengeloaan cagar budaya
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Revitalisasi museum
dan perpustakaan di seluruh Indonesia ditargetkan sebelum Oktober 2011
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Sarana
Penyediaan saran yang
memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di Kota Besar dan Ibukota Kabupaten selambat-lambatnya Oktober 2012
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
82
Kebijakan
Peningkatan perhatian
dan kesertaan pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Inovasi Teknologi
Peningkatan
keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang mencakup pengelolaan sumberdaya maritime menuju ketahanan energy, pangan dan antisipasi perubahan iklim dan pengembangan penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda.
Tidak ada Tidak ada Tidak Mendukung Nasional
Prioritas Daerah yang tidak ada di prioritas nasional
Bidang
Pendidikan 1. Program
pendidikan luar biasa
2. Program peningkatan mutuh kependidikan dan
Kurang Mendukung Nasional
Program-program ini menjadi prioritas pembangunan di daerah, namun bukan menjadi prioritas nasional.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
83
tenaga kependidikan
3. Program pengembangan budaya baca dan keperpustakaan
4. Program peningkatan kemampuan output pendidikan formal untuk memenuhi pasar kerja
Bidang Kesehatan 1. Program Promosi
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam mengelola kesehatan.
2. Program penyediaan lingkungan sehat
3. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
4. Program perbaikan gizi
5. Program pemberdayaan tenaga tenaga kesehatan
6. Program Pembangunan Sarana dan Pengembangan Kemampuan Rumah Sakit
7. Program Pengawasan Obat dan Makanan
Kurang Mendukung Nasional
Program-program ini menjadi prioritas pembangunan di daerah, namun bukan menjadi prioritas nasional.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
84
8. Program Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin
9. Program Peningkatan Kesehatan Ibu & Anak
10. Program Peningkatan Kemampuan Pelayanan Sarana Kesehatan, Puskesmas, Pustu dan Jaringan Pelayanannya
Bidang Perekonomian Rakyat
1. Program Pengembangan Ternak
2. Program Pengembangan Koperasi dan UKM
3. Program Pembangunan Sarana Perekonomian Masyarakat
4. Program Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Produksi dan Pemasaran
5. Program Pengembangan Agribisnis Pedesaan
Kurang Mendukung Nasional
Program-program ini menjadi prioritas pembangunan di daerah, namun bukan menjadi prioritas nasional.
Bidang Infrastruktur 1. Program
Penyehatan Kurang Mendukung
Program-program ini menjadi prioritas pembangunan di
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
85
Pemukiman Masyarakat
2. Program Pembangunan Jaringan Transportasi antara Daerah Produsen dan Daerah Pemasaran
3. Program Penyediaan Air Bersih
4. Program Pembangunan Sarana Kelembagaan Pemerintahan
Nasional daerah, namun bukan menjadi prioritas nasional.
Bidang Pengembangan Wilayah dan Investasi
1. Program Penyiapan Sarana dan Prasarana Dasar Kawasan Investasi
2. Program Penyusunan Kelembagaan dan Kemitraan Investasi
3. Program Pemetaan dan Digitasi Kawasan Investasi
4. Program Pengembangan Kemitraan dengan Lembaga Keuangan
5. Program Insentif Investasi
6. Program Pengembangan Kerjasama Lintas
Kurang Mendukung Nasional
Program-program ini menjadi prioritas pembangunan di daerah, namun bukan menjadi prioritas nasional.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
86
Kabupaten/Kota untuk Pengembangan Kawasan Investasi
7. Program Penyediaan Informasi Investasi dan Penyiapan Studi Kelayakan
8. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah dalam Investasi.
9. Program Kerjasama Investasi di kalangan Dunia Usaha.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 87
2. Rekomendasi
RPJM Daerah Provinsi Papua Barat
A. Ada beberapa hal yang dapat agendakan sebagai bahan pertimbangan
penyusunan RPJM Daerah Papua Barat 2012-2016 mendatang, diantaranya:
1. Meskipun RPJMD lebih banyak berisikan visi-misi pimpinan daerah terpilih,
beserta program dan kegiatannya, namun dalam penyusunan RPJM Daerah
jangan lupa mengacuh pada RPJM Nasional sehingga memudahkan dalam
proses analisis dan evaluasi;
2. Program-program yang nantinya diagendakan dalam bidang prioritas pada
RPJM Daerah Papua Barat periode yang akan datang, haruspula diikuti oleh
tolak ukur dan capaian target yang akan dihasilkan oleh masing-masing
program pada akhir periode.
3. Program-program yang nantinya diagendakan dalam bidang prioritas untuk
penyusunan RPJM Daerah Papua Barat periode 2012-2016, haruslah benar-
benar merupakan hasil dari suatu proses kajian sehingga dapat mencerminkan
persoalan mendasar yang harus diprioritaskan.
4. Karena program-program yang nantinya diagendakan dalam RPJM Daerah
Papua Barat merupakan prioritas bidang yang juga merupakan prioritas daerah.
Oleh sebab itu, mobilisasi anggaran (APBD) harusnya lebih diarahkan pada
bidang-bidang prioritas dalam RPJM Daerah namun juga tidak mengabaikan
program-program lain yang sangat menunjang. Hal ini dimaksudkan agar
capaian target yang diharapkan pada akhir periode minimal dapat tercapai.
5. Membangun kapasistas kelembagaan secara umum
6. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia Papua Barat
7. Mengembangkan dan memperkuat basis ekonomi Papua Barat
8. Menanggulangi kemiskinan
9. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan
masyarakat Papua Barat yang menjamin kelestariannya.
10. Peningkatan akses pelayanan dan mutu pendidikan dari dasar sampai
pendidikan tinggi.
11. Peningkatan akses pelayanan dan mutu kesehatan
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 88
12. Peningkatan perekonomian daerah yang berbasis kerakyatan
13. Peningkatan pembangunan infrakstruktur terutama pada sektor-sektor strategis.
14. Pengembangan wilayah yang berorientasi pada investasi yang berorientasi
pada lingkungan hidup
15. RPJMD Provinsi Papua Barat harus diuraikan secara terinci yang mencakup
sasaran dan target dari setiap substansi inti atau kegiatan prioritas.
16. Perlu ditetapkan bidang prioritas penelitian peningkatan keunggulan komparatif
menjadi keunggulan kompetitif yang mencakup pengelolaan sumber daya alam
menuju ketahanan energi, pangan, dan antisipasi perubahan iklim; dan
pengembangan penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda.
17. Penjaminan berjalannya fungsi Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS) dan
Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) serta Sistem Peringatan Dini Iklim
(CEWS) pada 2011
B. Mengingat RPJM Daerah Papua Barat 2006-2011 sebentar lagi akan berakhir
pada tahun 2011, oleh sebab itu penyempurnaan RPJM Daerah Papua Barat yang
masih berlaku (on going) akan tidak banyak yang bisa dilakukan, meskipun capain
target yang diharapkan pada akhir periode sangat sulit terealisasi. Namun
barangkali ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh daerah diantaranya :
1. Melakulan revisi target terhadap program-program dalam kelompok bidang
pengembangan wilayah dan investasi, serta melakukan koordinasi dengan
BAPPENAS/PPN sebelum evaluasi RPJM Daerah dilakukan secara
komprehensif.
2. Agar capain target bidang pengembangan wilayah dan investasi dari sisa
periode RPJM Daerah Papua Barat 2006-2011 tidak terlalu mengecewakan,
maka BP3D/BAPPEDA sebagai salah satu komponen tim anggaran pemerintah
daerah (TAPD) harus pro aktif untuk memobilisasi anggaran (APBD) ke bidang
pengembangan wilayah dan investasi.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 89
Rekomendasi Terhadap RPJM Nasional
Mengingat evaluasi relenvansi atau proses penyandingan yang dilakukan antara
RPJM Nasional periode 2010-2014 dengan RPJM Daerah Papua Barat 2006-2011
yang secara substansi berada pada dua kondisi yang berbeda, oleh sebab itu hal-
hal yang nantinya direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan akan tidak
terlalu substansial. Rekomendasi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Penyusunan Rencana Kerja (Renja) Pemerintah yang bersifat tahunan
sebaiknya juga dapat mengakomodir kebutuhan daerah yang sangat
substansial, karena akan sangat berpengaruh juga pada kebijakan dan alokasi
anggaran.
2. BAPPENAS juga harus proaktif memainkan perannya sebagai koordinator
perencanaan, untuk mensinergisasikan perencanaan-perencanaan tingkat
daerah dengan perencanaan pada tingkat nasional. Hal ini dilakukan karena
terkadang daerah (BP3D) lalui dalam melakukan koordinasi untuk
mensinergisasikan perencanaan tingkat daerah dengan nasional.
3. Adanya peraturan yang melindungi hak-hak dasar masyarakat adat terhadap
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam.
4. Agenda pembangunan nasional harus memperhatikan aspek kewilayahan.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 90
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Evaluasi sasaran-sasaran dari Agenda Pembangunan Mewujudkan Indonesia
Aman dan Damai belum dapat dilaksanakan untuk tahun 2004 – 2009 di Papua
Barat karena belum terbentuknya Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) Papua
Barat, Kejaksanaan Negeri Provinsi Papua Barat, dan Pengadilan Negeri Papua
Barat. Hal ini menyebabkan data tentang kriminalitas dan kejahatan nasional dan
transnasional tidak dapat dihimpun dalam waktu dekat, mengingat data-data
tersebut masih terdapat di setiap kabupaten di Provinsi Papua Barat, sehingga
analisis mengenai agenda pembangunan Indonesia yang aman dan damai tidak
dapat dilakukan.
Berkaitan dengan pencapaian sasaran dari Agenda Pembangunan Indonesia
yang Adil dan Demokratis, kemajuan pencapaian sasaran terlihat masih kurang
efektif di daera. Untuk aspek pelayanan publik terkait penyelesaian kasus
korupsi yang ditangani dua tahun terakhir di berbagai pengadilan negeri
kabupaten seperti di Kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama
mampu diselesaikan dengan baik. Kemudian agenda pelayanan publik dalam hal
sistem pelayanan satu atap hingga sekarang memang terlihat belum dapat
dilakukan di daerah, namun inisiatif kearah penyusunan peraturan pelayanan
satu atap sudah dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melakukan studi
banding ke beberapa wilayah di tanah air yang sukses dengan penerapan sistem
pelayanan satu atap. Sedangkan pemerintah Provinsi Papua Barat masih harus
bekerja keras untuk meningkatkan sistem pelaporan keuangan daerah ini karena
sampai tahun 2009 LKPD Papua Barat masih berstatus TMP (tidak memberikan
pendapat). Selanjutnya, pembangunan yang dilakukan di provinsi ini sudah
semakin memperhatikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang
tercermin dari semakin tingginya GDI dan GEI. Walaupun peningkatan GDI dan
GEI ini masih diwarnai oleh faktor meningkatnya jumlah perempuan yang terlibat
pada partai-partai politik dan bukan pada peningkatan peran perempuan di
sektor-sektor lainnya.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 91
Pencapaian Agenda Pembangunan Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat di
Papua Barat menunjukkan peningkatan, walaupun peningkatannya pada
beberapa indikator sasaran pembangunan masih relative melambat.
Pembangunan pendidikan manusia di Papua Barat cenderung meningkat dengan
meningkatnya APM (SD/MI), Rata-rata Nilai Akhir SMP dan SMA, Angka Melek
Aksara, dan persentase guru Layak mengajar, serta menurunnya Angka Putus
Sekolah SD. Pembangunan Kesehatan relatif stagnan selama kurun waktu 2004-
2009, hal ini tercermin dari misalnya peningkatan umur harapan hidup di Provinsi
Papua Barat yang tidak melebihi satu digit. Meningkatnya persentase balita
dengan angka gizi buruk dan kurang menjadi tantangan bagi pemerintah Papua
Barat untuk membangun sumberdaya manusia yang lebih baik di masa yang
akan datang. Jumlah penduduk semakin meningkat walaupun dengan laju
pertumbuhan yang semakin menurun.
Menurunnya laju pertumbuhan penduduk di Papua Barat lebih disebabkan oleh
menurunnya laju pertumbuhan migrasi penduduk ke provinsi ini. Proses
pengendalian pertumbuhan penduduk cenderung konstan yang tercermin dari
persentase CPR dan TFR yang tidak terlalu berbeda selama beberapa tahun.
Pertumbuhan ekonomi makro di Papua Barat cenderung fluktuatif. Beberapa
indikator ekonomi makro mengalami perubahan yang signifikan pada tahun
tertentu akibat perubahan iklim politik (PDRB) dan lambatnya distribusi barang
yang berimplikasi pada inflasi. Walaupun demikian pendapatan perkapita di
Provinsi Papua Barat semakin meningkat setiap tahunnya.Iklim investasi semakin
membaik setelah tahun 2006.
Peningkatan iklim investasi ini diduga karena semakin meningkatnya upaya
pemerintah daerah untuk membuka peluang investasi di daerah ini. Untuk
mendorong meningkatnya investasi di daerah ini pemerintah daerah
meningkatkan upaya pembangunan berbagai infrastruktur di daerah ini.
Keberhasilan pembangunan kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua Barat
tercermin dari menurunnya persentase penduduk miskin di daerah ini selama
kurun waktu 2005-2008. Walaupun terjadi kemunduran dengan peningkatan
persentase penduduk miskin pada tahun 2009. Kesejahteraan masyarakat juga
semakin meningkat yang tercermin dari semakin menurunnya jumlah
pengangguran terbuka.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 92
Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa pelaksaan RPJMN
2004-2009 di Provinsi Papua Barat telah dilaksanakan dengan baik, meskipun
ada beberapa indikator pengamatan yang belum berjalan dengan efektif.
Berbagai kemajuan dicapai dalam berbagai indikator capaian, namun banyak hal
yang perlu diperhatikan terutama pada indikator-indikator yang tidak mengalami
peningkatan dan juga yang cenderung stagnan. Upaya pencapaian sasaran
pembangunan di masa datang perlu dilakukan secara lintas sektoral, dengan
demikian kerjasama seluruh pihak yang terkait menjadi sangat penting.
Keterbatasan data pada level provinsi di Papua Barat mengakibatkan proses
evaluasi menjadi sangat sulit dilakukan, oleh karena itu perbaikan proses
pendataan menjadi kunci keberhasilan proses evaluasi RPJM di masa
mendatang.
Hasil analisis relevansi menunjukkan bahwa sebagian besar kebijakan dan
program pada RPJMD Provinsi Papua Barat 2006-2011 tidak relevan dengan
RPJMN 2010-2014. Hal ini disebabkan karena RPJMD Provinsi Papua Barat
2006-2011 disusun berdasarkan RPJMN 2004-2009 yang memiliki agenda
pembangunan yang berbeda.
2. Rekomendasi
Pelaksanaan proses evaluasi pembangunan akan berlangsung dengan efisien
dan efektif apabila didukung oleh sistem pendataan yang baik. Provinsi Papua
Barat sebagai salah satu provinsi termuda di Indonesia masih memiliki tantangan
yang besar dalam penyediaan data di berbagai sektor. Oleh karena itu dalam
proses penyusunan RPJMD 2012-2016 Provinsi Papua Barat, perlu dimasukkan
suatu kebijakan mengenai pemantapan data dasar di semua sektor
pembangunan.
Kemudian, berbagai indikator nasional yang seringkali digunakan untuk
mengevaluasi kinerja pembangunan di daerah sudah saatnya diterjemahkan
sesuai dengan kondisi daerah. Mengapa aspek ini perlu diperhatikan, karena
hasil evaluasi pada level nasional yang dilakukan di daerah seringkali menjadi
ajang perdebatan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kondisi
ini lebih dikarenakan harmonisasi data dan informasi antara institusi terkait di
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 93
daerah masih sangat minim dilakukan, terutama terkait dengan metodologi yang
digunakan. Implikasi dari masih minimnya kegiatan harmonisasi data dan
informasi di daerah adalah perbedaan data dan informasi antar institusi dengan
objek yang sama.
Analisis relevansi antara RPJMN dan RPJMD sebaiknya dilakukan pada periode
yang sama agar target capaian yang diinginkan oleh RPJMN bisa dipantau
melalui RPJMD di daerah. Oleh sebab itu, pemerintah d.h.i Bappenas perlu
mendesain strategi yang barangkali dari aspek waktu pelaksanaan mampu
disingkronkan dengan RPJMD di daerah.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 94
DAFTAR PUSTAKA
……………………2010. ‘ Laporan Keterangan Pertanggungjawaban APBD Gubernur Papua Barat 2009”. Manokwari. Pemerintah Provinsi Papua Barat.
……………………2010. “Laporan Perkembangan Investasi di Papua Barat Tahun 2009”. Manokwari. Biro Perekonomian dan Investasi Papua Barat.
…………………. 2009. “ Laporan Hasil Audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Papua Barat Tahun 2008. Manokwari. BPK Perwakilan Papua Barat
Badan Pusat Statistik, 2009. “Papua Barat Dalam Angka 2009”. Manokwari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2008. “Papua Barat Dalam Angka 2009”. Manokwari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2007. “Papua Barat Dalam Angka 2009”. Manokwari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2006. “Papua Barat Dalam Angka 2009”. Manokwari. BPS Papua Barat
Badan Pusat Statistik, 2005. “Papua Barat Dalam Angka 2009”. Manokwari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2008. “Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat”. Manokwari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2008. “Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat”. Manokwari. BPS Provinsi Papua Barat
Badan Pusat Statistik, 2009. “Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha”. Manokwhari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2008. “Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha”. Manokwhari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2007. “Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha”. Manokwhari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2006. “Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha”. Manokwhari. BPS Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2005. “Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha”. Manokwhari. BPS Provinsi Papua Barat
Dinas Pendidikan, 2009. ”Rencana Induk Pembangunan Pendidikan Provinsi Papua Barat 2010-2014”. Manokwari. Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua Barat.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 95
.Badan Pusat Statistik, 2007. “Survey Kesehatan dan Domografi Indonesia”. Jakarta. BPS Indonesia.
BKKBN. 2009. Survey Keluarga Indonesia. Tersedia pada : http://www.bkkbn.org.id. Diakses pada tanggal Juli 2010.
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 96
K E S I M P U L A N
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA 97
Lampiran 1. Indikator Papua Barat
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
98
Provinsi Papua Barat
Agenda Pembangunan Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber
1. Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai
Indeks Kriminalitas 99.00 232.00 223.00 268.00 248.00 Polres manokwari
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional (%)
100.00 100.00 Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Trans Nasional (%)
100.00 100.00 Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
2. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis
Pelayanan Publik
Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan (%)
100.00 100.00 Pengadilan Negeri Manokwari, 2010
Persentase kabupaten/ kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap (%)
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Dispenda Papua Barat
Persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) [%]
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 BPK Perwakilan Papua Barat
Demokrasi
Gender Development Index 51.40 52.60 56.10 56.80 57.36 57.80 BPS, kecuali tahun 2008 (UNDP)
Gender Empowerment Measurement 41.00 50.50 55.00 55.50 55.89 56.10 BPS, kecuali tahun 2008 (UNDP)
3. Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Indeks Pembangunan Manusia 63.70 64.80 66.10 67.28 68.63 69.82 BPS
Pendidikan
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD 85,95 86,70 87,45 91,09 91,20 91,25 depdiknas.go.id
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD 0.00 112,50 114.44 116,05 114,18 117,50 depdiknas.go.id
Rata‐Rata Nilai Akhir Tingkat SMP 3,89 3,89 3,89 3,89 6,37 6,40 depdiknas.go.id
Rata‐Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah Menengah
5,61 5.37 5.88 6.15 6,55 6,82 depdiknas.go.id
Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) 5,61 5.39 5,32 5,09 3,49 ? depdiknas.go.id
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
99
Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) 18,30 17,20 15,20 11,80 8,27 7,95 depdiknas.go.id
Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%)
5.50 9.32 9,15 3,80 2,80 ? depdiknas.go.id
Angka Melek Huruf (%) 85.10 85.40 88,55 90.32 92,15 92,24 BPS
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP (%)
71.01 70.69 71,00 72,22 73,94 ? depdiknas.go.id
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat Sekolah Menengah (%)
81,49 81.49 81.48 85,00 91,63 depdiknas.go.id
Kesehatan
Umur Harapan Hidup (tahun) 66.80 66.90 67.30 67.60 69.30 69.80 BPS
Angka Kematian Bayi (per 1.000 kelahiran hidup)
33.90 35.00 31.60 Bappenas 2007, Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007 (2005),
Gizi Buruk (%) 3.58 4.08 8.53 6.80 BPS (2005), , Riskesdas (2007)
Gizi Kurang (%) 16.65 17.31 16.40 BPS (2005), , Riskesdas (2007)
Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk (%)
0.46 0.41
Keluarga Berencana
Contraceptive Prevalence Rate (%) 46.41 44.18 41.94 49.00 49.33 43.99 BPS & BKKBN
Pertumbuhan Penduduk (%) 7.39 6.80 4.55 4.07 1.96 1.90 BPS, diolah
Total Fertility Rate (%) 2.722 BPS, SDKI 2007
Ekonomi Makro
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 7.39 6.80 4.55 6.95 7.33 6.26 BPS
Persentase Ekspor terhadap PDRB (%) 57.80 66.55 88.95 76.18 54,43 35,54 BPS
Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%)
18.90 19.97 19.47 20.10 22,74 24,39 BPS
Pendapatan Perkapita (Rupiah) 10,236,301.00 12,307,355.00 12,994,588.00 14,483,032.00 17,008,000.00 19,560,000.00 BPS
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
100
Laju Inflasi (%) : 10.23 12.67 8.07 14.06 20.04 5.07 BPS dan Laporan BPK
Manokwari 20.51 BPS
Sorong 19.56 BPS
Investasi
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar) 303.97 94.54 94.54 96.75 97.65 BPS & Biro Perekonomian PB
Nilai Persetujuan Rencana Investasi PMDN (Rp.Milyar)
0.00 0.00 BPS & Biro Perekonomian PB
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta) 0.78 0.78 0.78 0.98 0.98 BPS & Biro Perekonomian PB
Nilai Persetujuan Rencana Investasi PMA (US$ Juta)
0.92 0.92 0.91 0.30 0.55 BPS & Biro Perekonomian PB
Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA 41.00 41.00 41.00 142.00 131.00 BPS & Biro Perekonomian PB
Infrastruktur
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Baik (%)
39.27 0.00 28.23 PU
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Sedang (%)
40.20 47.20 35.90 PU
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Rusak (%)
20.53 52.80 35.87 PU
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Baik (%)
42,66 22,00 22,28 21.79 BPS&PU Papua Barat
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Sedang (%)
13.92 33,48 43,08 45,39 27.85 BPS&PU Papua Barat
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Rusak (%)
86.08 23,85 34,90 32,31 50.36 BPS&PU Papua Barat
Pertanian
Nilai Tukar Petani 94,50 94,96 100.00 104,55 106,12
PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Juta)
1,936,919.74 2,152,323.24 2,428,810.57 2,762,424.54 3,107,119.13 3,567,520.00 BPS dalam bi.go.id
Kehutanan
Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%)
3.16 3.16 3.47 3.40 3.40 3.42 Balai Penelitian DAS Remu‐Ransiki
EKPD Papua Barat 2010 – TIM UNIPA
101
Kelautan
Jumlah Tindak Pidana Perikanan 8 7 2
12 79 84.00 Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih
Luas Kawasan Konservasi Laut (km2) 22,705.69 24,397.27 24,397.27 24,397.27 30,374.74 39,054.88 Kementerian Kehutanan
Kesejahteraan Sosial
Persentase Penduduk Miskin (%) 11.14 41.34 39.31 33.49 35.71 BPS
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 10.17 9.46 7.65 7.73 BPS
Ket: Indikator berwarna merah adalah indikator yang akan digrafikkan dan dianalisis