pendahuluaneprints.unisbank.ac.id/id/eprint/6434/1/04 laporan... · 2020. 4. 9. · 1 bab i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara khususnya
negara-negara sedang berkembang. Banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
suatu negara, baik dengan usaha sendiri maupun bantuan dari negara-negara lainnya ataupun dari
Bank Dunia untuk mengatasi kemiskinannya. Pembangunan diberbagai sektor dilakukan oleh
berbagai negara untuk mengatasi kemiskinan. Tujuan utama dari pembangunan selain
pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah penghapusan atau pengurangan kemiskinan,
penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks
perekonomian yang terus berkembang (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi yang
diimbangi pemerataan pendapatan secara konsisten akan mendorong penurunan angka
kemiskinan dalam jangka panjang dan menciptakan peningkatan kesejahteraan berkelanjutan
(Adam, 2004).
Di sisi lain, adanya kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan
akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Terhambatnya laju pertumbuhan
ekonomi terjadi karena akumulasi kapital sebagai dampak positif dari ketidakmerataan
pendapatan akan diimbangai dengan rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif
dari kemiskinan (Galor, 2004). Kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga bisa
menyebabkan ketidakstabilan sosial, ketidakpastian dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan,
tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Jika hal tersebut terus berlanjut akan berdampak
pada kondisi ekonomi makro dan keberlangsungan pemerintahan yang ada.
2
Di Indonesia, pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan menjadi
salah satu prioritas pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dilakukan untuk
memperkuat struktur perekonomian dengan menjadikan sektor industri sebagai
motor penggerak, dan didukung oleh sektor pertanian dan pertambangan yang efisien dan juga
kegiatan jasa yang efektif. Pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ekonominya guna meningkatkan pendapatan perkapita dan menurunkan
ketimpangan pendapatan.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia
dengan jumlah penduduk pada tahun 2017 sebanyak 264 juta orang. Salah satu kekuatan penting
dari komposisi demografi Indonesia adalah memiliki kelimpahan penduduk dengan usia
produktif kerja. Rata- rata usia penduduk Indonesia adalah 28,6 tahun. Suatu potensi yang
menjanjikan jika kelimpahan penduduk diikuti dengan akses untuk mendapatkan pendidikan
yang memadai dan cukup banyak kesempatan kerja yang ditawarkan.
Jika dilihat dari tingkat kemiskinan di Indonesia, memang menunjukkan penurunan
jumlah penduduk miskin dari 2015 - 2018. Akan tetapi tingkat kemiskinan di Indonesia masih
tinggi. Pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia 28,59 juta oang (11,22%), Maret
2016 menjadi 28,01 juta orang (10,86%), kemudian menurun lagi pada Maret 2017 menjadi
sebesar 27,77 juta orang (10,64%), terakhir Maret 2018 tercatat 25,95 juta orang (9,82%). Data
diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar. Pendekatan ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari pengeluaran. Secara
nasional, pada tahun 2018, rumah dikatakan miskin jika pendapatan di bawah Rp 1,9 juta per
3
bulan per rumah tangga. Seseorang dikatakan berada pada garis kemiskinan jika pendapatan per
kapita Rp 387.160 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan menurut Bank Dunia
jika pengeluaran per hari USD 1,9 atau setara Rp 775.200 per bulan (kurs Rp 13.600/$). Jadi
kalau diukur dengan versi Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia bisa lebih dari dua kali lipat dari
versi BPS.
Terlepas dari perbedaan pengukuran antara BPS dengan Bank Dunia, kemiskinan
merupakan masalah penting yang harus segera diatasi oleh pemerintah Indonesia. Kemiskinan
bukan hanya menjadi perhatian pemerintah suatu negara tetapi juga menjadi perhatian dunia.
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses
secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dari masyarakat. Kemiskinan bukan
sekedar rendahnya tingkat pendapatan atau rendahnya konsumsi seseorang, akan tetapi,
kemiskinan memiliki arti yang luas karena berkaitan dengan ketidakmampuan untuk mencapai
aspek di luar pendapatan.
Penyebab kemiskinan menurut Ginanjar (1996) adalah rendahnya tingkat pendidikan,
rendahnya tingkat kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi keterisolasian.
Menurut World Bank (2000) ada lima faktor yang mempengaruhi kemiskinan yaitu pendidikan,
jenis pekerjaan, gender, akses terhadap kesehatan dan infrastruktur dan lokasi geografis. Faktor-
faktor tersebut saling berkaitan yang membentuk lingkaran kemiskinan. Rumah tangga miskin
pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di pedesaan, karena pendidikan rendah maka
produktivitas rendah sehingga upah yang diperoleh tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Akibatnya rumah tangga miskin akan
menghasilkan keluarga miskin pada generasi berikutnya. Jadi penyebab kemiskina bukan hanya
satu faktor tetapi multi faktor.
4
Hasil penelitian dari Ravalion (2001) di 50 negara sedang berkembang pada tahun 1990-
an, menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara pertumbuhan kemiskinan dan
pertumbuhan pendapatan rata-rata. Penelitian dengan hasil yang sama ditunjukkan oleh Siregar
dan Wahyuniarti (2007) yaitu jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) juga dipengaruhi oleh populasi penduduk dan tingkat pendidikan.
Akan tetapi hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Dagderiven (2002), pertumbuhan
ekonomi saja tidak selalu merupakan cara yang terbaik untuk mengurangi kemiskinan.
Kombinasi pertumbuhan dan redistribusi pendapatan merupakan cara paling efektif untuk
mengurangi kemiskinan di banyak negara dan tidak semua kebijakan redistribusi memiliki
tingkat efektivitas yang sama bagi setiap negara berkembang.
Pengeluaran pemerintah berhubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin. Semakin
besar pengeluaran pemerintah daerah semakin besar peran pemerintah daaerah dalam penyediaan
lapangan pekerjaan dan penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan
terutama untuk penduduk miskin (Suparno, 2010). Sebaliknya hasil dari penelitian Mulyaningsih
(2008) menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor publik tidak berpengaruh terhadap
pembangunan manusia dan kemiskinan namun pembangunan manusia signifikan terhadap
kemiskinan.
Penelitian Sepulveda dan Vasques (2010) menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi
fiskal memiliki dampak mengurangi kemiskinan sepanjang pengeluaran pemerintah untuk
transfer tidak lebih dari sepertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah. Hasil tersebut
didukung oleh Usman (2006).
Di masa desentralisasi, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengelola
keuangan daerah untuk membiayai berbagai program pembangunan khususnya pada sektor
5
publik. Di samping itu, pemerintah daerah seharusnya juga mengoptimalkan potensi daerah yang
dimiliki sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bisa terwujud. Pertumbuhan ekonomi daerah
akan menurunkan tingkat kemiskinan sehingga kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
B. Perumusan Masalah
Pada penjelasan sebelumnya menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
kemiskinan, di mana antar faktor tersebut saling berkaitan seperti lingkaran kemiskinan. Dengan
adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengelola keuangan
daerah maupun meningkatkan pertumbuhan daerah, yang seharusnya memiliki juga kemampuan
untuk memperkecil tingkat kemiskinan daerah. Sementara itu, desentralisasi di Indonesia sudah
berjalan lebih dari 17 tahun dan kemiskinan masih relatif tinggi. Pertanyaannya adalah: Faktor
apa saja yang sebenarnya mempengaruhi kemiskinan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian adalah menguji dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia.
C.2. Manfaat Penelitian
1. Ilmu Pengetahuan
a. Mengembangkan model kemiskinan
b. Memperkaya kajian tentang kemiskinan daerah, khususnya yang menggunakan data
pooling.
2. Pengambil Kebijakan
6
Berdasarkan hasil kajian tentang kemiskinan diharapkan nantinya bisa teridentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia sehingga nantinya bisa menghasilkan
rumusan kebijakan yang bisa menurunkan kemiskinan.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi, bukan hanya dilihat dari dimensi ekonomi
tetapi juga bisa dilihat dari dimensi sosial maupun budaya masyarakat. Bank Dunia (2002)
membagi kemiskinan dalam 4 dimensi, tidak adanya kesempatan, rendahnya kemampuan,
rendahnya tingkat keamanan, dan rendahnya kapasitas. Kemiskinan juga dikaitkan dengan
keterbatasan hak sosial, hak ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan
keterpurukan dan ketidakberdayaan.
Chambers (1987) menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu kemelaratan dan
ketidakmampuan masyarakat yang diukur dalam suatu standar hidup tertentu yang mengacu pada
konsep miskin relatif yang melakukan analisis perbandingan di negara-negara miskin maupun
kaya, sedangkan kemiskinan absolut kemiskinan adalah wabah kelaparan, ketidakmampuan
untuk membesarkan atau mendidik anak dan lain-lain. Usman (2003) mendefiniasikan
kemiskinan adalah kondisi kehilangan terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar
yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan serta hidupnya serba
kekurangan.
7
Menurut Sumodingrat (1999), masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja berurusan
dengan persoalan ekonomi semata, tetapi bersifat multidimensional yang dalam kenyataannya
juga berurusan dengan persoalan-persoalan non ekonomi (sosial, budaya dan politik). Oleh
karena itu, kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi (material well-being)
tetapi berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well-being).
Berdasar berbagai konsep kemiskinan menunjukkan bahwa kemiskinan pada dasarnya
merupakan kebutuhan manusia yang tidak terbatas hanya pada persoalan ekonomi semata tetapi
juga memperhatiakan pendekatan lain yaitu pendekatan peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan sumber daya sosial.
A. Teori Kemiskinan
Pada dasarnya kemiskinan di bagi 4 bentuk:
a. Kemiskinan absolut, yaitu kondisi seseorang yang pendapatannya berada dibawah garis
kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar (sandang, pangan, papan
dan pendidikan).
b. Kemiskinan relatif, yaitu terjadinya kemiskinan karena adanya kebijakan pembangunan yang
belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan.
c. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang terjadi karena
faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros,
tidak kreatif meski ada bantuan dari luar.
d. Kemiskinan struktural, merupakan situasi miskin yang disebabkan sedikitnya akses terhadap
sumber daya yang terjadi dalam sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak
membebaskan kemiskinan tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
8
Menurut Jhingan (2012) ada 3 ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab
sekaligus akibat yang saling terkait dengan kemiskinan. Pertama, prasarana pendidikan yang
tidak memadai sehinggamenyebabkan tingginya penduduk buta huruf, tidak memiliki
ketrampilan dan keahlian.Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi yang buruk sehingga
hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif. Ketiga, penduduk
terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang
dan ketinggalan zaman.
A.1. Teori Lingkaran Kemiskinan (Vicous Circle of Poverty).
Nurkse mengemukakan teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty).
Penyebab kemiskinan menurut Nurkse dalam Kuncoro (2000) adalah:
1) Secara makro, kemiskinan terjadi karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Penduduk miskin hanya memiliki sumber
daya terbatas dan berkualitas rendah
2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia yang rendah sehingga
produktifitas rendah dan upah juga rendah.
3) Kemiskina terjadi karena perbedaan akses dan modal
Pada hakekatnya Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan
tiadanya pembangunan di masa lalu tetapi juga hambatan pembangunan di masa datang. Jadi,
suatu negara miskin karena ia merupakan negara miskin. Inti dari lingkaran kemiskinan adalah
keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap tingkat pembentukan modal yang
tinggi.
9
Penyebab kemiskinan menurut Cox (2004):
1. Kemiskinan akibat globalisasi. Adanya globalisasi melahirkan negara pemenang dan negara
kalah. Umumnya, negara maju sebagai pemenang dan negara berkembang sebagai negara
yang kalah karena dalam persaingan sehingga terpinggirkan. Akibatnya jumlah orang
miskkemiskinan berkembang jauh lebih besar dibanding di negara-negara maju.
2. Kemiskinan berkaitan dengan pembangunan. Pola pembangunan yang diterapkan melahirkan
beberapa bentuk kemiskinan, seperti kemiskinan pedesaan yaitu kemiskinan yang terjadi
karrena proses pembangunan yang meminggirkan wilayah pedesaan; kemiskinan perkotaan
yaitu kemiskinan yang disebabkan hakekat dan kecepatan pertumbuhan ekonomi, dimana
tidak semua kelompok mendapatkan keuntungan.
3. Kemiskinan sosial. Kondisi sosial masyarakat yang tidak menguntungkan beberapa kelompok
masyarakat, misalnya kemiskinan perempuan, anak-anak dan minoritas yang terjadi akibat
kondisi sosial yang tidak menguntungkan kelompok tersebut (bias gender, diskriminasi atau
eksploitasi ekonomi).
4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan karan faktor-faktor eksternal (konflik, bencana alam,
kerusakan lingkungan dan tingginya jumah penduduk). Dimensi kemiskinan dari Cox jauh
lebih luas dibandingkan para ahli sebelumnya karena memasukkan unsur globalisasi.
A.2. Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan merupakan tanda dari tidak tercapainya kesejahteraan individu atau rumah
tangga. Ada beberapa pendekatan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (Zastrow, 2000):
1. Pendekatan Absolut yaitu dengan melihat batas minimum yang harus dimiliki untuk
memenuhi kebutuhan minimum suatu keluarga. Dikatakan miskin jika tidak mempunyai
penghasilan atau pendapatan tidak mencapai batas minimum untuk memenuhi kebutuhan.
10
Dari definisi ini bisa diketahui jumlah penduduk miskin. Hanya saja ada kelemahan pada
pendekatan ini karena tingkat kebutuhan masing-masing rumah tangga berbeda. Meski
demikian, pendekatan ini masih banyak yang menggunakannya.
2. Pendekatan Relatif. Membandingkan antara pendapatan seseorang dengan rata-rata
pendapatan populasi (lebih melihat pada ketidakseimbangan pendapatan). Selama terjadi
ketidakseimbangan maka, kemiskinan tetap ada.
3. Pendekatan kebutuhan dasar (Towsend, 2000). Pendekatan ini menekankan pada dua unsur
yaitu pertama, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi pendapatan yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan subsisten (pangan, sandang, papan dan barang-barang rumah tangga
tertentu. Kedua, pendapatan juga tidak dapat memenuhi kebutuhan jasa-jasa penting lainnya
(air bersih, sanitasi, transportasi umum, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), untuk mengukur kemiskinan digunakan konsep
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan untuk menghitung
garis kemiskinan yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen garis kemiskinan makanan
(GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan
dipisahkan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Penduduk dikatakan miskin jika rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. GKM merupakan pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per hari dan
GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang , pendidikan dan kesehatan.
Kemiskinan secara global diukur dengan standar pengukuran World Bankyang membuat garis
kemiskinan absolut US$1 dan purchasing power parity (PPP) US$ 2 per hari.
11
Indikator lain untuk mengukur kemiskinan dikemukakan oleh Bappenas (Harniati,
2010):
1. Keterbatasan pangan yaitu melihat kemiskinan dari kecukupan pangan dan mutu pangan yang
dikonsumsi. Indikatornya adalah stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori, dan
buruknya gizi bayi, anak balita dan ibu.
2. Keterbatasan akses kesehatan, yaitu melihat dari keterbatasan akses kesehatan dan mutu
pelayanan yang rendah.
3. Keterbatasan akses pendidikan, yaitu diukur dari mutu pendidikan yang tersedia, mahalnya
biaya pendidikan, terbatasnya fasilitas pendidikan, rendahnya kesempatan memperoleh
pendidikan.
4. Keterbatasan akses pada pekerjaan yaitu keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha,
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah, lemahnya perlindungan kerja
terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
5. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi: kesulitan memperoleh rumah yang sehat
dan layak huni dan lingkungan pemukiman yang layak dan sehat.
6. Keterbatas terhadap air bersih. Terjadi karena sulitnya memperoleh air bersih, terbatasnya
penguasaan sumber air dan rendahnya mutu sumber air.
7. Keterbatasan akses terhadap tanah. Hal ini melihat dari struktur kepemilikan dan penguasaan
tanah, ketidakpastian kepemilikan dan penguasaan tanah.
8. Keterbatasan akses terhadap sumber daya alam. Indikatornya adalah buruknya konsisi
lingkungan hidup, rendahnya sumber saya alam, Hal ini terkait dengan penghasilan yang
bersumber dari sumber daya alam.
12
9. Tidak adanya jaminan rasa aman. Hal ini berkaitan dengan tidak terjaminnya keamanan dalam
menjalani kehidupan sosial dan ekonomi.
10. Keterbatasan akses untuk partisipasi yaitu diukur dari rendahnya keterlibatan dalam
pengambilan kebijakan.
11. Besarnya beban kependudukan. Berkaitan dengan besarnya tanggunagan keluarga dan
besarnya tekanan hidup.
B. Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan
Adanya pembangunan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peran pemerintah yang
dimanifestasikan dalam bentuk pengeluaran pemerintah. Model yang dikembangkan Rostow dan
Musgrave menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, diperlukan pengeluaran yang
besar untuk investasi pemerintah, seperti untuk pembangunan infrastruktur. Pada tahap
menengah, investasi pemerintah tetap dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
agar dapat tinggal landas, tetapi pada tahap ini peran investasi swasta semakin besar. Semakin
besarnya peran swasta sering menimbulkan kegagalan pasar sehingga menyebabkan pemerintah
harus menyediakan barang dan jasa publik dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Pada
tahap lanjut, pengeluaran pemerintah lebih banyak untuk aktivitas sosial seperti program
kesehatan hari tua, pelayanan kesehatan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian,
bertambahnya pengeluaran pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pada
akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan daerah.
C. Investasi Human Capital dan Kemiskinan
13
Theodore Schultz (1960) tentang investment in human capital, menyatakan tentang
pentingnya modal manusia dalam pembangunan. Baginya, pendidikan merupakan suatu bentuk
investasi dalam pembangunan. Manusia diposisikan sebagai fokus pembanguan dan memberikan
kontribusio langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Investasi modal manusia
bisa terjadi karena peningkatan keahlian/ketrampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja
.
Ada dua pendekatan dalam modal manusia yaitu: pendekatan Nelson-Phelps (1966) dan
Pendekatan Lucas (1988). Pendekatan Nelson-Phelps menyimpulkan bahwa modal manusia
merupakan faktor sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Adanya
perbedaan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara lebih disebabkan oleh perbedaan stock
human capital. Pendekatan tersebut didukung oleh Aghion dan Howitt (1966) yang menyatakan
bahwa tenaga kerja yang lebih terdidik dan ahli akan lebih memiliki kemampuan untuk mengisi
lapangan pekerjaan yang tersedia, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
(Meier dan Rauch dalam Mukhlis, 2010). Lucas (1988) lebih menekankan pada akumulasi
human capital. Ada dua faktor penyebab pembentukan modal manusia di suatu negara yaitu
pendidikan dan learning by doing (Mukhlis, 2010).
Menigkatnya investasi modal manusia berupa pendidikan dan kesehatan, maka akan
membantu masyarakat keluar dai jebakan lingkaran setan kemiskinan. Masyarakat yang
berpendidikan akan memberi manfaat yang banyak bagi lingkungannya, seperti menciptakan
berbagai inovasi yang berguna bagi masyarkat di sekitarnya (Todaro, 2003). Hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya penurunan kemiskinan pada masyarakat.
D. PDRB (Product Domestic Regional Bruto) dengan Kemiskinan
14
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), definisi dari PDRB adalah jumlah nilai tambah
yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau jumlah seluruh barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Besarnya PDRB suatu wilayah
tergantung dari potensi sumber daya alam dan faktor produksi yang dimiliki masing-masing
daerah. Oleh karena PDRB antar wilayah bisa bervariasi.
Laju pertumbuhan ekonomi daerah dihitung berdasarkan perubahan dari PDRB.
Konsep pembangunan ekonomi, bukan hanya membicarakan tentang pertumbuhan ekonomi
tetapi juga menyangkut pemeratan pendapatan. Distribusi pendapatan harus merata ke seluruh
lapisan masyarakat. Menurunnya PDRB akan menurunnya kemampuan konsumsi masyarakat.
Kemiskinan sering dikaitkan dengan kesenjangan atau ketimpangan pendapatan.
Menurut Simon Kuznet, kurva hubungan antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per
kapita berbentuk U terbalik. Demikian pula hubungan antara pertumbuhan (PDRB) dengan
kemiskinan.
D. Rasio Gini dan Kemiskinan
Rasio gini merupakan alat untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan,
yang angkanya berkisar antara nol dan satu. Rasio gini dengan nilai nol berarti distribusi merata
sempurna dan sebaliknya rasio gini sama dengan satu berarti ketimpangan distribusi pendapatan
sempurna. Ketimpangan dalam distribusi pendapatan bisa menimbulkan kemiskinan relatif yang
menyebabkan adanya kecemburuan sosial, akibat selanjutnya bisa mengganggu stabilitas
nasional, seperti yang pernah dialami Indonesia di masa Presiden Soeharto. Oleh karena itu,
pemerintah yang sadar betul tentang dampak negatif dari ketimpangan pendapatan akan berusaha
melakukan berbagai kebijakan untuk menekan ketimpangan pendapatan yang terjadi.
E. Penelitian Sebelumnya
15
Hubungan antara kemiskinan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya
ditunjukkan oleh tabel 1.
Tabel 1Hubungan Antara Kemiskinan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya
No. Peneliti (Tahun) Sampel MetodologiPenelitian
Hasil Penelitian
1 Ravallion (2001): How toImprtant to India’s Poor isthe sectoral compotition ofgrowth?
50 negarasedangberkembangthun 1990-an
Regresi OLS Pertumbuhan ekonomimenurunkan tingkatkemiskinan
2 Dagderiven (2002):Redistribution does matter:Growth and redistributionfor Poverty Reduction.
50 negarasedangberkembangtahun 1998-1990
Regresi OLS Pertumbuhan ekonomitidak selalu merupakancara terbaik untukmenurunkankemiskinan. Kombinasipertumbuhan ekonomidan redistribusipendapatan merupakancara efektif menurunkankemiskinan di banyaknegara
3 Usman (2006): Dampakdesentralisasi FiskalTerhadap DistribusiPendapatan Dan TingkatKemiskinan
26 Propinsi DiIndonesiaTahun 1995-2003
Panel Desentralisasi fiskalmenurunkan tingkatkemiskinan dalamjangka pendek.Pengeluaran pemerintahsektor pertanian efektifmenciptakanpemerataan pendapatandan menurunkankemiskinan
4 Hasibuan (2006): VariabelUtama YangMempengaruhiKemiskinan Di PropinsiSumatera Utara
Sumatera Utara Regresi OLS Pengeluaran pemerintahmenurunkan jumlahpenduduk miskin
5 Nanga (2006): DampakTransfer Fiskal TerhadapKemiskinan Di Indonesia,Suatu Analisis Kebijakan
25 Provinsi1999-2002
Modelsimultan
Transfer fiskalmempuburukketimpangan dankemiskinan
6 Hermani (2007): DampakDesentralisasi FiskalTerhadap Perekonomian
Brebes danTegal
Panel data Desentralisasi Fiskalmenurunkankemiskinan
16
Di Kabupaten Brebes DanKota Tegal
7 Mulyaningsih (2008):Pengaruh PengeluaranPemerintah Di SektorPublik TerhadapPeningkatan PembangunanManusia dan Kemiskinan
SeluruhPropinsi DiIndonesia
Panel data Pengeluaran Pemerintahtidak berpengaruhterhadap pembangunanmanusia dankemiskinan tetapipembangunan manusiaberpengaruh terhadapkemiskinan
8 Sepulveda Dan Vasques(2010): The Consequencesof Fiscal Decentralisationon Poverty And IncomeEquality
Beberapanegara padalevel yangberbeda-beda1971-2000
Panel data Kebijakan desentralisasifiskal signifikanmenurunkankemiskinan danketimpanganpendapatan
9 Rindayanti (2000):Dampak DesentralisasiFiskal terhadapkemiskinan dan KetahananPangan Di WilayahPropinsi Jawa Barat
13 Kabupaten diJawa Barat1995-2005
PersamaanSimultan
Desentralisasi Fiskalmenurunkan jumlahpenduduk miskin danmeningkatkanketahanan pangan
10 Dicky Wahyudi dan TriWahy Rejekiningsih(2013): AnalisisKemiskinan Di JawaTengah
35Kabupaten/KotaDi Jawa Tengah2007-2010
Panel data Kesehatan danpendidikan signifikannegatif; pengangguransignifikan positif danpertumbuhan tidaksignifikan
11 Adit Agus Prastyo (2010):Analisis Faktor-faktorYang MempengaruhiTingkat Kemiskinan (35Kab/Kota Di Jawa Tengah2003-2007)
35Kabupaten/KotaDi Jawa Tengah2003-2007
Panel data Pertumbuhan, upahminimum, pendidikandan pengangguransignifikan terhadaptingkat kemiskinan
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data berasal
dari BPS (Badan Pusat Statistik) berbagai terbitan. Data yang digunakan adalah data
persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (HCI- Head Count Index-P0),
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), investasi modal manusia dari sisi pendidikan
yaitu dengan menggunakan pendekatan APMSMA (Angka Partisipasi Murni Sekolah
menengah atas dan sederajat), investasi modal manusia dari sisi kesehatan dengan
menggunakan pendekatan sanitasi (SANI) dan rasio gini (GINI). Data yang diambil adalah
data pooling dengan periode waktu 2015-2018 untuk 34 provinsi di Indonesia.
B. Model Penelitian
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
HCI = β0 + β1PDRB + β2SANI + β3APMSMA + β4GINI + ε
18
Dimana:
HCI : Head Count Index
PDRB : Poduct Domestic Regional Bruto
SANI : Pesentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan
berkelanjutan (40% bawah).
APMSMA: Angka Partisipasi Murni SMA dan sederajat
GINI : Koefisien Gini
β0 : Konstanta
β1-4 : Koefisien
ε : Disturbance error
C. Definisi Operasional Variabel
Dari sejumlah variabel yang digunakan dalam penelitian ini, maka bisa diuraikan
definisi operasionalnya sebagai berikut:
1. HCI adalah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (indeks).
2. PDRB adalah pendapatan per kapita riil daerah (Ribu rupiah)
3. SANI adalah persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak
dan berkelanjutan (40% bawah)
4. APMSMA adalah rasio antara banyaknya murid tingkat SMA dan sederjat dengan
banyaknya penduduk usia SMA dan sederajat dikalikan 100 persen.
5. Gini adalah rasio atau koefisien gini merupakan alat untuk mengukur ketimpangan
distribusi pendapatan.
6. DRB: Jumlah pendapatan yang diperoleh daerah (milyar rupiah)
D. Metode Analisis
19
Dalam penelitian ini digunakan data panel. Data panel (pooled data) adalah sebuah
set data yang berisi data sampel individu yang menggabungkan antara data cross section dan
time series. Dengan mengakomodasi informasi baik yang terkait dengan variabel-veriabel
cross section maupun time series, data panel secara substansial mampu menurunkan masalah
omitted-variables; model yang mengabaikan variabel yang relevan. Pada analisis cross-
section tidak memperhitungkan efek perkembangan teknologi yang terjadi dalam satu waktu
estimasi sehingga estimasi efek kenaikan modal fisik pada laba bisa jadi tidak akurat. Dengan
data panel, adanya data time series bisa mengakomodir efek perbaikan teknologi pada laba
perusahaan, sehingga masalah omitted-variable dapat dihilangkan.
Data panel berguna juga untuk alasan teknis-pragmatis, yaitu terkait dengan
ketersediaan data. Dengan menggabungkan data time series dan cross section, maka akan
mampu menambah jumlah observasi secara signifikan tanpa melakukan treatment apapun
terhadap data. Oleh karenanya, data panel mungkin memberikan penyelesaian yang
memuaskan.
Dalam analisis model data panel dikenal empat macam pendekatan estimasi yaitu:
1. Pendekatan Kuadrat terkecil (Pooled Least Square/PLS)
Pada pendekatan ini, estimasi model persamaan yang paling sederhana adalah
mengabaikan dimensi cross-section dan time series dari data panel dan mengestimasi data
dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan dalam data yang berbentuk pool.
Jadi, misalnya ada 33 data cross section dan 10 tahun periode waktunya, maka data tersebut
disusun secara berurutan, sehinggga didapatkan 330 observasi untuk setiap variabel dalam
model. Model PLS mengasumsikan bahwa nilai intercept adalah sama untuk setiap subyek.
Model juga mengasumsikan bahwa slope koefisien juga identik untuk semua subyek. Dari sini
20
nampak bahwa asumsi yang dipakai sangat ketat, sehingga walaupun metode PLS menawarkan
kemudahan, model mungkin mendistorsi gambaran yang sesungguhnya dari hubungan antara Y
dan X antar subyek.
2. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Model
Kesulitan terbesar dari pendekatan PLS adalah asumsi yang sangat ketat bahwa intercept
dan slope dari persamaan regresi dianggap konstan baik antar subyek maupun antar waktu.
Sebuah cara untuk menunjukkan kekhasan unit cross section atau time series adalah
memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk membolehkan terjadinya perbedaan nilai
parameter yang berbeda-beda baik cross section maupun time-series.
Pendekatan yang paling sering terjadi adalah intercept bervariasi antar unit cross-section
namun tetap mengasumsikan bahwa slope parameter adalah konstan antar unit cross section.
Pendekatan ini dikenal dengan model efek tetap (fixed effect model). Pendekatan ini bisa ditulis
dalam persamaan:
Yit = αi + β1X1it + β2 X2it + eit .................................................................................. (1)
3. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model/FEM))
Model LSDV digunakan jika sedikit unit cross section. Tetapi jika cross section besar
maka penggunaan LSDV mengurangi degrees of freedom yang pada akhirnya akan mengurangi
efisiensi dari parameter yang diestimasi.
Istilah fixed effect datang dari kenyataan bahwa meskipun intercept mungkin berbeda
antar individu, namun intercept setiap individu tersebut tidak bervariasi sepanjang waktu (time
invariant). Jika intercept ditulis sebagai αit, berarti intercept setiap perusahaan adalah time
variant. Selain itu FEM juga mengasumsikan bahwa koefisien dari regresor tidak bervariasi baik
antar waktu maupun antar individu.
21
Ide dasar FEM dimulai dari persamaan (1):
Yit = αi + β1X1it + β2 X2it + eit
Nilai intercept untuk masing-masing unit cross section dapat ditulis:
α = α + µi i = 1, 2, ....., N
dimana µ i adalah unobservable individual effect. Persamaan (1) bisa juga ditulis:
Yit = α + β1X1it + β2 X2it + µ i + eit ...................................................................................... (3)
Dalam FEM, µ i diasumsikan berkorelasi dengan regressor X atau µ i tidak random.
4. Pendekatan Efek Acak ( Random Effect Model/ REM)
Perbedaan mendasar FEM dan REM adalah mengenai asumsi unobservable individual
effect (µ i). Jika di dalam FEM, µ i diasumsikan berkorelasi dengan regresor (X), maka dalam
REM, µ i diasumsikan tidak berkorelasi dengan regresor X atau dengan kata lain µ i diasumsikan
bersifat random. Inilah ide dasar dari model REM.
Ide dasar REM dimulai dari persamaan berikut:
Yit = α + β1X1it + β2 X2it + wit ..................................................................................................(4)
Error term sekarang adalah wit yang terdiri dari ui dan eit. ui adalah cross section (random)
error componen, sedangkan eit adalah combined component, sehingga REM sering disebut error
component model (ECM). Persamaan (3) bisa dimodifikasi menjadi:
Yit = α + β1X1it + β2 X2it + ui + eit ................................................................. (5)
Perbedaan mendasar antara persamaan (5) dan (3) adalah asumsi unobservable individual
effects (ui). REM menghasilkan estimator-estimator hasil estimasi yang lebih efisien (standar
error yang lebih kecil atau t-stat yang lebih besar) dari pada FEM.
E. Pemilihan Metode Estimasi Dalam Panel Data
E.1. PLS dan FEM
22
Untuk menentukan model mana yang lebih baik antara PLS dan FEM maka digunakan
redundant fixed effect test, jika signifikan yaitu probabilitas lebih kecil dari level of significance
( = 5%), maka lebih baik menolak Ho dan menerima Ha yaitu model terbaik adalah FEM
tetapi bila sebaliknya (tidak signifikan) maka lebih baik menggunakan PLS.
Secara formal, jika PLS dibandingkan dengan FEM: pada PLS menerapkan intercept yang
sama untuk seluruh individu. Terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki
perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkannya setiap unit cross
section memiliki perilaku yang berbeda.
E.2. FEM dan REM
Untuk menentukan model mana yang lebih baik dalam melakukan estimasi antara FEM
dan REM adalah pertama, terpulang pada asumsi yang dibuat tentang korelasi antara cross
section error component µ i dan regressor X. Jika diasumsikan bahwa µ i dan regresor X adalah
uncorrelated maka, REM lebih tepat digunakan dalam model. Akan tetapi jika diasumsikan
bahwa µ i dan regresor X adalah correlated, maka FEM lebih tepat. Untuk itu digunakan
correlated random effects – Hausman test. Jika hasilnya signifikan, maka ada correlated artinya
lebih baik menggunakan model FEM dan sebaliknya jika tidak signifikan maka lebih baik
menggunakan REM.
Kedua, jawaban terpulang pada sampel dari penelitian. REM mengasumsikan bahwa µ i
diambil secara random dari populasi yang jauh lebih besar. Seringkali hal ini sulit dipenuhi.
Misal, jika kita meneliti tingkat kriminalitas antar 50 negara bagian di AS, maka asumsi bahwa
50 negara bagian adalah sampel jelas tidak terpenuhi. Dalam kasus ini, berarti REM tidak tepat
untuk digunakan sebagai model.
23
Selain kedua prinsip di atas, ada beberpa pertimbangan teknis yang dapat dijadikan
panduan untuk memilih antara fixes effect atau random effect yaitu:
a. Bila T (jumlah unit time series) besar sedangkan N( jumlah unit cross section) kecil, maka
hasil FEM dan REM tidak jauh beda.
b. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan dapat berbeda signifikan. Bial
kita meyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian diambil secara acak
maka REM harus digunakan. Tetapi bila kita meyakini bahwa unit cross section yang dipilih
tidak diambil secara acak maka harus menggunakan FEM.
c. Bila cross-section error component (ɛi) berkorelasi dengan variable bebas X maka parameter
yang diperoleh dengan REM akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan Fem tidak
bias.
d. Bila N besar dan T kecil dan apabila asumsi yang mendasari REM dapat terpenuhi, maka
REM lebih efisien dibanding FEM.
24
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data pooling, dengan jumlah data cross section sebanyak 34
provinsi dan jumlah data time series sebanyak empat tahun (2015-2018). Adapun 34 provinsi
tersebut meliputi provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur,
Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulaweai Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.
Ada lima variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel terikat adalah
kemiskinan, sedangkan variabel bebas terdiri dari pendapatan per kapita daerah (PDRB,),
Sanitasi yang layak (SANI), angka partisipasi murni SMA dan sederajat (APMSMA) dan rasio
gini (GINI). Data diolah menggunakan Eviews 9. Sumber data berasal dari BPS (Badan Pusat
Statistik) berbagai terbitan. Analisis dimulai dari regresi data dengan menggunakan data pooling,
25
kemudian dipilih model yang terbaik dari tiga model yang ada (Common Effect Model, Fixed
Effect Model dan Random Effect Model).
A. Uji Model Terbaik
Dalam model pooling data terdapat tiga model untuk bias dianalisis yaitu common effect
model, fixed effect model dan random effect model. Untuk menentukan model terbaik dari tiga
model tersebut maka, ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama kali dilakukan regresi
dengan menggunakan common effect model dan fixed effect model. Dari dua model tersebut
ditentukan terlebih dahulu mana model yang terbaik untuk dipakai analisis. Untuk menentukan
model terbaik dari dua model tersebut digunakan alat uji Chow Test (tabel 4.1). Jika nilai
probabilitas Chy-square lebih kecil dari pada level of significance yang telah ditentukan
sebelumnya (α = 10%) maka, model yang terbaik adalah fixed effect model. Jika yang terjadi
adalah kebalikannya maka, model yang terbaik dari dua model tersebut adalah common effect
modelt.
Tabel 4.1Hasil Perhitungan Chow Test
Redundant Fixed Effects TestsPool: KEMISKINANTest cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 302.856091 (33,98) 0.0000Cross-section Chi-square 630.299576 33 0.0000
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari cross-section Chi-square lebih kecil
dari 5 persen. Berdasar hasil tersebut maka, model terbaik di antara dua model (common effect
dan fixed effect) adalah model fixed effect. Langkah selanjutnya menentukan model mana yang
terbaik di antara model fixed effect dan random effect. Untuk menentukannya maka, dilakukan
26
regresi dengan menggunakan random effect, kemudian dilakukan pengujian dengan
menggunakan Correlated random effect - Hausman Test (tabel 4.2). Jika nilai probabilitas cross-
section random lebih kecil dibanding level of significance maka, model terbaik di antara fixed
effect dengan random effect adalah fixed effect model dan sebaliknya bila nilai probabilitasnya
lebih tinggi dari 5 persen maka, model yang terbaik adalah random effect model.
Tabel 4.2Hasil Perhitungan Hausman Test
Correlated Random Effects - Hausman TestPool: KEMISKINANTest cross-section random effects
Test SummaryChi-Sq.Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 13.151085 4 0.0106
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai probabilitas cross-section random dibawah 10
persen. Hal itu berarti bahwa model terbaik yang akan digunakan untuk dianalisis lebih lanjut
antara fixed effect dengan random effect adalah model fixed effect. Model fixed effect pada
dasarnya tetap berprinsip OLS (Ordinary Least Square). Model ini mengasumsikan bahwa
perbedaan antar individu (cross-section) dapat diakomodasi dari perbedaan intersepnya.
B. Pengujian Hipotesis
Berdasar penjelasan di atas, nampak bahwa model terbaik dari tiga alternatif model dalam
pooling data adalah fixed effect model. Oleh karrena itu, untuk pengujian hipotesis maupun
analisis lebih lanjut digunakan fixed effect model. Sebelum melakukan analisis hasil regresi lebih
27
lanjut, langkah pertama adalah melakukan uji statistik baik secara individual (uji t) maupun
secara bersama-sama (uji F) kemudian menentukan koefisien determinasi (goodness of fit).
Tabel 4.3Hasil Regresi Model Fixed Effect
Dependent Variable: HCI?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/28/20 Time: 09:14Sample: 2015 2018Included observations: 4Cross-sections included: 34Total pool (balanced) observations: 136
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 15.40535 2.119844 7.267210 0.0000PDRB? -4.92E-05 2.57E-05 -1.912910 0.0587SANI? -0.053484 0.010456 -5.115338 0.0000
APMSMA? -0.039223 0.022217 -1.765482 0.0806GINI? 6.997391 4.017441 1.741753 0.0847
Fixed Effects (Cross)_ACEH--C 4.713420
_SUMUT--C -0.725591_SUMBAR--C -5.148477
_RIAU--C -1.589521_JAMBI--C -2.908096
_SUMSEL--C 1.881975_BENGKULU--C 3.288745_LAMPUNG--C 0.953652_KEPBABEL--C -4.790381_KEPRIAU--C -1.644621_DKIJKT--C -0.097387_JABAR--C -4.111466
_JATENG--C 0.893986_DIY--C 2.226346
_JATIM--C -0.121361_BANTEN--C -6.479587
_BALI--C -5.219671_NTB--C 3.736624
28
_NTT--C 7.345277_KALBAR--C -5.010802
_KALTENG--C -7.080653_KALSEL--C -7.471095_KALTIM--C 0.282872_KALUT--C -1.900955_SULUT--C -3.025973
_SULTENG--C 1.962571_SULSEL--C -1.809402_SULTGR--C 1.031060
_GORONTALO--C 3.853287_SULBAR--C -1.425798_MALUKU--C 6.390961_MALUT--C -5.623030
_PAPUABAR--C 13.62079_PAPUA--C 14.00230
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.994653 Mean dependent var 11.15463Adjusted R-squared 0.992634 S.D. dependent var 5.903072S.E. of regression 0.506634 Akaike info criterion 1.709080Sum squared resid 25.15444 Schwarz criterion 2.522910Log likelihood -78.21746 Hannan-Quinn criter. 2.039800F-statistic 492.6870 Durbin-Watson stat 1.411489Prob(F-statistic) 0.000000
Uji t statistik digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas
terhadap variabel terikat. Adapun hipotesis yang digunakan adalah:
Ho: secara individual variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat
Ha: secara individual variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat
Besarnya level of significance (α) ditentukan sebesar 10 persen maka, jika nilai
probabilitas dari masing-masing variabel bebas lebih kecil dibanding nilai level of significance
berarti tidak menolak Ha dan sebaliknya.
Berdasar tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum PDRB per kapita penduduk dari 34
provinsi di Indonesia mempengaruhi kemiskinan di daerah (provinsi) karena probabilitasnya
lebih kecil dibanding level of significance (α) yang telah ditentukan sebelumnya dan hubungan
antara keduanya adalah negatif, dengan nilai koefisien sebesar 4.92E-05. Hal ini berarti bahwa jika
29
PDRB per kapita rata-rata provinsi di Indonesia meningkat sebesar Rp 100 (ribu) maka
persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia akan menurun sebesar 0,00492
persen dan sebaliknya jika PDRB per kapita rata-rata provinsi menurun sebesar Rp 100 (ribu)
maka, kemiskinan rata-rata provinsi akan meningkat sebesar 0,00492 persen.
Untuk variabel sanitasi juga menunjukkan hal yang sama yaitu sanitasi berpengaruh
negatif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia dengan nilai koefisiennya sebesar
0,053484. Artinya, jika persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi
layak dan berkelanjutan (40% bawah) rata-rata provinsi meningkat sebesar 1 persen maka, rata-
rata kemiskinan provinsi akan menurun sebanyak 0,053484 persen.
Variabel bebas lainnya adalah angka partisipasi murni SMA dan sederajat. Berdasar hasil
olah data menunjukkan bahwa APMSMA berpengaruh negatif terhadap kemiskinan rata-rata
provinsi di Indonesia dengan koefisiennya sebesar 0,039223. Hal itu berarti bahwa jika
APMSMA meningkat sebesar 1 persen maka, kemiskinan akan menurun sebanyak 0,039223
persen dan sebaliknya jika APMSMA menurun.
Variable keempat atau terakhir adalah rasio gini atau koefisien gini. Hasil regresi
menunjukkan bahwa rasio gini berpengaruh positif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di
Indonesia. Artinya, jika rasio gini meningkat sebesar 1 persen maka, rata-rata kemiskinan
provinsi di Indonesia akan meningkat sebesar 6,997391.
Untuk uji F statistik (tabel 4.3) menunjukkan bahawa probabilitas dari F statistik (0,0000)
lebih kecil dibanding dengan besarnya level of significance (0,10). Hal ini berarti bahwa secara
bersama-sama variabel PDRB, Sanitasi, APMSMA dan Rasio gini berpengaruh terhadap
kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia.
30
Berdasar tabel 4.3 juga menunjukkan bahwa nilai goodness of fit atau besarnya koefisien
determinasi adalah sebesar 0,994653 atau 99,4653 persen. Hal ini berarti bahwa total variasi dari
rata-rata kemiskinan provinsi di Indonesia mampu dijelaskan oleh model sebesar 99,4653 persen.
Artinya, kemampuan model yang digunakan pada penelitian ini dalam menjelaskan kemiskinan
rata-rata provinsi di Indonesia sangat besar.
Dari hasil regresi juga menunjukkan beberapa provinsi yang persentase penduduk miskin
di atas rata-rata provinsi di Indonesia dialami 14 provinsi yaitu provinsi Aceh, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan provinsi Papua.
Tiga provinsi tertinggi persentase penduduk miskin yang berada di atas rata-rata provinsi di
Indonesia adalah Papua Bara, Papua diikuti Nusa Tenggara Timur.
C. Hasil dan Analisis
Kemiskinan merupakan masalah global yang dihadapi oleh semua negara baik negara
maju apalagi negara berkembang, baik masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan. Berbagai
telaah, kajian maupun seminar telah dilakukan di berbagai negara, tetapi kemiskinan tetap
menjadi masalah besar sampai sekarang. Berbagai kebijakan pun telah ditempuh oleh berbagai
pemerintahan yang ada, namun kemiskinan tetap ada.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan pendapatan menengah juga
mengahadapai masalah kemiskinan. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk
mengatasi kemiskinan yang ada. Anggaran pemerintah pusat maupun daerah setiap tahun selalu
ditingkatkan untuk membenahi berbagai sektor khususnya sektor pendidikan dan kesehatan, laju
pertumbuhan ekonomi juga didorong untuk tumbuh agar memiliki kemampuan untuk menyerap
Angkatan kerja yang ada. Ada dana BOS untuk mendukung Pendidikan, ada pemberian beasiswa
31
bagi masyarakat miskin, ada dana des, ada jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin, ada dana
desa dan sebagainya, yang semuanya mengarah bagaimana agar kemiskinan menurun di
Indonesia.
Kemiskinan memang menurun di Indonesia, tetapi jumlah penduduk miskin tetap besar,
yang jika tidak diatasi segera bisa menimbulkan masalah keamanan nasional. Setiap orang
menginginkan kebutuhan palin mendasar (makan, minum dan tempat tinggal) bisa terpenuhi.
Orang akan melakukan apapun untuk bisa memenuhi kebuhan dasarnya, baik itu legal maupun
illegal. Hal itu tentu saja akan berdampak pada kemanan nasioanal. Oleh karena itu, pemerintah
memang harus melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Penelitian ini berusaha untuk meneliti lebih lanjut, tentang faktor apa saja yang
sebenarnya mempengaruhi kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Variabel bebas yang
diambil adalah pendapatan per kapita riil rata-rata penduduk provinsi, sanitasi, APMSMA dan
rasio gini. Pendapatan per kapita diambil sebagai salah satu variabel bebas karena garis
kemiskinan yang digunakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan garis kemiskinan
makanan dan garis kemiskinan bukan makanan yang dihitung berdasar rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan. Variabel sanitasi digunakan sebagai pendekatan atas variabel pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan karena semakin maju perekonomian suatu negara kebutuhan akan
sanitasi yang layak dan berkelanjuatn semakin meningkat, masyarakat semakin sadar akan
pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Digunakannya variable APMSMA, karena rata-
rata lowongan kerja yang ditawarkan dalam dunia keja minimal lulusan SMA sehingga
APMSMA diambil sebagai variabel pendekatan untuk pengeluaran sektor Pendidikan. Yang
terakhir, variabel rasio gini, merupakan alat untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi
pendapatan.
32
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel PDRB per kapita berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi karena menurunnya
pendapatan per kapita penduduk menyebabkan kemampuan penduduk untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan menjadi menurun, daya beli turun. Turunnya
daya beli masyarakat menyebabkan kemiskinan akan bertambah dan sebaliknya jika pendapatan
per kapita masyarakat naik, daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan semakin besar,
mereka akan merasa semakin kaya dengan meningktanya daya beli sehingga kemiskinan akan
menurun Oleh karena itu, pemerintah jika menginginkan kemiskinan menurun, maka tingkatkan
daya beli masyarakat (pendapatan masyarakat ditingkatkan) bisa secara riil atau nominal. Untuk
meningkatkan pendapatan secara riil, paling tidak pemerintah menjaga agar tidak terjadi
kenaikan harga-harga barang secara umum atau menjaga stabilitas harga. Janagan sampai terjadi
gejolak harga yang menyebabkan masyarakat semakin melemah daya belinya. Kalau pemerintah
mempunyai kemampuan, maka pemerintah menaikan gaji pegawainya dan meningkatkan
bantuan sosial baik jenisnya maupun jumlah nominalnya dengan tetap menjaga harga-harga
stabil sehingga kenaikan gaji ataupun bantuan social bisa dirasakan dampak positifnya oleh
msyarakat.
Variabel sanitasi ternyata juga berdampak negatif bagi kemiskinan rata-rata provinsi di
Indonesia. Sanitasi yang dimaksud dalam variabel ini adalah persentase rumah tangga yang
memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan untuk 40 persen masyarakat
bawah. Artinya, semakin besar persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan
sanitasi layak dan berkelanjutan maka, semakin besar rata-rata kemampuan masyarakat dalam
menjaga kesehatannya. Kesehatan yang tetap terjaga menjadikan seseorang tepa memiliki
kemampuan untuk bekerja mencari nafkah sehingga dia mempunyai kemapuan untuk memenuhi
33
kebutuhan hidup mianimal menutup kebutuhan paling mendasar. Dengan demikian kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar tetap terjaga sehingga kemiskinan bisa menurun. Agar
masyarakat bawah memiliki akses terhadap layanan sanitasi, pemerintah perlu menggalakkan
kebijakan pembangunan sanitasi umum, khususnya di daerah-daerah miskin, maupun daerah-
daerah pelosok yang sering tidak terjangkau banyak pihak. I samping itu juga, masyarakat
diberikan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan dengan menggunakan sanitasi yang layak
dan berkelanjutan.
Variabel APMSMA berpengaruh negatif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di
Indonesia. Artinya, semakin banyak murid SMA dan sederajat yang sekolah dibanding dengan
jumlah penduduk usia sekolah SMA dan sederajat maka, akan semakin menurun persentase
penduduk miskin. Hal ini bisa terjadi karena angkatan kerja yang lulus SMA/sederajat lebih
mudah mencari pekerjaan dibanding lulusan di bawah SMA dan sederajat. Seperti diketahui,
rata-rata lowongan pekerjaan yang ada minimal lulusan SMA sehingga semakin banyak murid
yang lulus SMA dan sederajat kemampuan untuk memperoleh pekerjaan akan lebih besar dari
pada yang lulus di bawah SMA dan sederajat. Oleh karena itu, program belajar 12 tahun perlu
digalakkan betul-betul agar bisa meningktakan lagi ke program wajib belajar 15 tahun sehingga
nanti diharapkan rata-rata penduuk Indonesia adalah lulusan SMA, bukan lulusan SD seperti saat
ini. Rata-rata Usia sekoleh di Indonesia hanya 8 tahun, artinya SMP belum lulus.
Rasio Gini atau koefisien gini berpengaruh positif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi
di Indonesia. Dengan demikian, jika rasio gini semakin kecil berarti ketimpangan pendapatan
semakin kecil. Gap si kaya dan si miskin yang semakin kecil menimbulkan kehidupan yang
harmonis, tidak akan memunculkan kecemburuna social karena satu sam lain selisih
pendapatannya tidak besar. Hal ini akan menumbulkan irama kehidupan yang harmonis antar
34
anggota masyarakat sehingga kebersamaan akan terjaga, kebahagiaan dan ketentraman akan
tercipta dengan sendirinya dan kemiskian akan menurun dengan sendirinya. Oleh karena itu,
penting bagi pemerintah agar selalu berusaha untuk menurunkan ketimpangan pendapatan yang
ada dengan berbagai kebijakan. Kalau semua masyarakat diperlakukan dengan adil, maka tujuan
pemerintah sesuai amanat UUD 1945 bisa tercapai yaitu masyarakt adil dan Makmur, bukan
hanya sekedar jargon politik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB riil per kapita, sanitasi, APMSMA
berpengaruh positif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Artinya, meningkatnya
PDRB per kapita, meningkatnya akses layanan sanitasi yang layak dan berkelanjutan,
meningkatnya angka partisipasi murni SMA secara parsial akan menurunkan persentase
penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia. Untuk rasio gini atau koefisien gini hasilnya
berpengaruh positif terhadap persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia.
Artinya semakin menurun ketimpangan pendapatan akan semakin menurun persentase penduduk
miskin.
B. SARAN
35
Untuk menurunkan persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia,
pemerintah perlu meningkatakan laju pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan akses
masyarakat bawah atas layanan sanitasi yang layak dan berkelanjuatan, program wajib belajar
harus betul-betul digerakkan sehingga masyarakat Indonesia semakin meningkat lama belajarnya
agar semakin mudah mendapatkan pekerjaan. Pemerintah juga harus menrunkan rasio gini dari
tahun ke tahun agar ketimpangan pendapatan semakin mengecil. Bila hal itu dilkasanakan
dengan sungguh-sungguh maka, penurunan kemiskinan akan terus menerus terjadi sehingga
masyarakat adil dan makmur segera tercapai.
Pemerintah harus lebih memperhatikan 14 provinsi yang persentase penduduk miskin di
atas rata-rata provinsi di Indonesia agar kondisi provinsi-provinsi tersebut semakin membaik.
DAFTAR PUSTAKA
Adit Agus Prastyo, 2010. Analisis Faktor-Faktor Ynag Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (35Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah 2003 – 2007). Skripsi. Undip.
Akai dan Sakata. 2000. Fiscal Decentralization, Commitment and Regional Inequality:Evidence From State – Level Cross – Sectoral Data For The United State. CIRJEDiscussion Papers.
Bahl, R. 1998. Implementation Rules for Fiscal Decentralization, Washington D.C.: The WorldBank Institute.
Bird, R. Dan Francois V. 2000. Desentralisasi Fiskal Di Negara-negara Sedang Berkembang.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dagderiven, H., R. Van Der Hooeven dan J. Weeks. 2002. Redistribution Does Matter: Growthand Redistribution for Poverty Reduction Discussion Paper. United NationUniversity/WIDER..
36
Dicky Wahyudi dan Tri Wahyu R. 2013. Analisis Kemiskinan Di Jawa Tengah. (Skripsi).Semarang: Undip.
Dwi Muslianti. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan Di IndonesiaPada Masa Desentralisasi Fiskal. Tesis. Bogor: IPB.
Galor, O. 2000. Income Distribution ang The Process of Development. European EconomicsReview. 44: 706-712
Gujarati, Damodar.2003. Basic Econometric. Fourth Edition. McGraw-Hill Co, New York.
Halim, A. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: STIM YKPN.
Hasibuan T.G. 2006. Variabel Utama Ynag Mempengaruhi Kemiskinan Di Provinsi SumateraUtara. Jakarta: UI.
Hermani, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian DI KabupatenBrebes dan Kota Tegal. (Tesis). Bogor: IPB.
Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti.2008. Dampak Pertumbuhan Ekonomi TerhadapPenurunan Jumlah Penduduk Miskin. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pros2008 MAK3.pdf
Jhingan, M.L. 1983. The Economics of Development and Planning. Vices Publishing House. Ltd:New Delhi.
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan danPemerataan, Jakarta: Cidessindo.
Kuznets, S. 1955. Economics Growth and Income Inequality. The American Economics Review.45. 1-28.
Mangkusubroto G. 1997. Ekonomi Publik. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE.
Mulyaningsih. 2008. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Di Sektor Publik TerhadapPeningkatan Pembangunan Manusia dan pengurangan Kemiskinan. (Tesis). Jakarta: UI.
Musgrave, R. A. dan B. M. Peggy. 2011. Public Finance In Theory and Practice. New York:McGraw-Hill Book Company.
Muslianti. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan Di Indonesia PadaMasa Desentralisasi Fiskal. Tesis. Bogor: IPB.
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan Di Indonesia: Suatu AnalisisKebijakan. (Disertasi). Bogor: IPB.
37
Oates W. E. 1993. Fiscal Decentralization And Economic Development. National Tax Journal.2 (46).
Ravallion M. Datt G. 1996. How Important To India’s Poverty is The sectoral Compotition ofGrowth? World Bank Economic review. 10: 1-25.
Rindayanti, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan KetahananPangan. Di Wilayah Provinsi Jawa Barat. (Disertasi). Bogor: IPB.
Sepulveda, C. F. dan J. M. Vasques. 2010. The Consequences of Fiscal Decentralisation onPoverty and Income Inequality. International Studies Program. Working Paper. 10 (2).
Sobari, Achmad. 2011. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial EkonomiDaerah Di Indonesia. Tesis. Bogor: IPB.
Stiglitz, Je. 2000. Economics of The Public Sector. Third Edition. New York: w.w. Norton &Company.
Tambunan, T. 2009. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia.
Todaro, MP dan S.C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1.Edisi 9.Alih Bahasa. Jakarta:Erlangga.
Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat Kemiskinan. (Disertasi). Bogor:IPB
LAMPIRAN
1. COMMON EFFECT MODEL
Dependent Variable: HCI?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/28/20 Time: 09:20Sample: 2015 2018Included observations: 4Cross-sections included: 34Total pool (balanced) observations: 136
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -4.216602 4.917839 -0.857409 0.3928PDRB? -1.90E-05 1.41E-05 -1.347486 0.1801SANI? -0.221367 0.032538 -6.803336 0.0000
APMSMA? 0.073283 0.061103 1.199331 0.2326GINI? 65.05158 10.75292 6.049667 0.0000
R-squared 0.449336 Mean dependent var 11.15463Adjusted R-squared 0.432522 S.D. dependent var 5.903072S.E. of regression 4.446852 Akaike info criterion 5.858342Sum squared resid 2590.459 Schwarz criterion 5.965425Log likelihood -393.3672 Hannan-Quinn criter. 5.901858F-statistic 26.72365 Durbin-Watson stat 0.116643Prob(F-statistic) 0.000000
2. FIXED EFFECT MODEL (FEM)
Dependent Variable: HCI?Method: Pooled Least SquaresDate: 01/28/20 Time: 09:14Sample: 2015 2018Included observations: 4Cross-sections included: 34Total pool (balanced) observations: 136
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 15.40535 2.119844 7.267210 0.0000PDRB? -4.92E-05 2.57E-05 -1.912910 0.0587SANI? -0.053484 0.010456 -5.115338 0.0000
APMSMA? -0.039223 0.022217 -1.765482 0.0806GINI? 6.997391 4.017441 1.741753 0.0847
Fixed Effects (Cross)_ACEH--C 4.713420
_SUMUT--C -0.725591_SUMBAR--C -5.148477
_RIAU--C -1.589521_JAMBI--C -2.908096
_SUMSEL--C 1.881975_BENGKULU--C 3.288745_LAMPUNG--C 0.953652_KEPBABEL--C -4.790381_KEPRIAU--C -1.644621_DKIJKT--C -0.097387_JABAR--C -4.111466
_JATENG--C 0.893986_DIY--C 2.226346
_JATIM--C -0.121361_BANTEN--C -6.479587
_BALI--C -5.219671_NTB--C 3.736624_NTT--C 7.345277
_KALBAR--C -5.010802_KALTENG--C -7.080653_KALSEL--C -7.471095_KALTIM--C 0.282872_KALUT--C -1.900955_SULUT--C -3.025973
_SULTENG--C 1.962571_SULSEL--C -1.809402_SULTGR--C 1.031060
_GORONTALO--C 3.853287_SULBAR--C -1.425798_MALUKU--C 6.390961_MALUT--C -5.623030
_PAPUABAR--C 13.62079_PAPUA--C 14.00230
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.994653 Mean dependent var 11.15463Adjusted R-squared 0.992634 S.D. dependent var 5.903072S.E. of regression 0.506634 Akaike info criterion 1.709080Sum squared resid 25.15444 Schwarz criterion 2.522910Log likelihood -78.21746 Hannan-Quinn criter. 2.039800F-statistic 492.6870 Durbin-Watson stat 1.411489Prob(F-statistic) 0.000000
Redundant Fixed Effects TestsPool: KEMISKINANTest cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 302.856091 (33,98) 0.0000Cross-section Chi-square 630.299576 33 0.0000
3. RANDOM EFFECT MODEL
Dependent Variable: HCI?Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)Date: 01/28/20 Time: 09:22Sample: 2015 2018Included observations: 4Cross-sections included: 34Total pool (balanced) observations: 136Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 14.93492 2.127818 7.018891 0.0000PDRB? -4.40E-05 1.87E-05 -2.349758 0.0203SANI? -0.057529 0.010090 -5.701701 0.0000
APMSMA? -0.041266 0.021599 -1.910538 0.0582GINI? 8.598365 3.897644 2.206042 0.0291
Random Effects (Cross)_ACEH--C 4.835498
_SUMUT--C -0.587313_SUMBAR--C -5.047854
_RIAU--C -1.713878_JAMBI--C -2.868709
_SUMSEL--C 1.924664_BENGKULU--C 3.302742_LAMPUNG--C 1.000082_KEPBABEL--C -4.532536_KEPRIAU--C -1.725706_DKIJKT--C -0.614421_JABAR--C -4.130608
_JATENG--C 0.984309_DIY--C 2.333103
_JATIM--C -0.170810_BANTEN--C -6.471918
_BALI--C -5.059992_NTB--C 3.844227_NTT--C 7.343884
_KALBAR--C -4.950183_KALTENG--C -7.065925_KALSEL--C -7.401886_KALTIM--C -0.066554_KALUT--C -2.001720_SULUT--C -2.966778
_SULTENG--C 1.977221_SULSEL--C -1.789748_SULTGR--C 1.045780
_GORONTALO--C 3.799923_SULBAR--C -1.378728_MALUKU--C 6.527199_MALUT--C -5.439615
_PAPUABAR--C 13.38684_PAPUA--C 13.67941
Effects SpecificationS.D. Rho
Cross-section random 4.553415 0.9878Idiosyncratic random 0.506634 0.0122
Weighted Statistics
R-squared 0.364682 Mean dependent var 0.619600Adjusted R-squared 0.345283 S.D. dependent var 0.647634S.E. of regression 0.524031 Sum squared resid 35.97370F-statistic 18.79896 Durbin-Watson stat 1.020010Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.254829 Mean dependent var 11.15463Sum squared resid 3505.465 Durbin-Watson stat 0.010468
Correlated Random Effects - Hausman TestPool: KEMISKINANTest cross-section random effects
Test SummaryChi-Sq.Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 13.151085 4 0.0106