lap thl chitin & chitosan aloysius andreanto rahardjo 12.70.0117 a1 unika soegijapranata.docx

31
Acara I CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRATIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama : Aloysius Andreanto Rahardjo Nim : 12.70.0117 Kelompok : A 1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Upload: reed-jones

Post on 26-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

praktikum pembuatan chitin & chitosan dari kulit udang dengan proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi.

TRANSCRIPT

Page 1: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

Acara I

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRATIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :

Nama : Aloysius Andreanto Rahardjo

Nim : 12.70.0117

Kelompok : A 1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2014

Page 2: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap rendemen chitin dan chitosan dengan berbagai penambahan

pelarut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Rendemen Chitin dan Chitosan

Kel PerlakuanRendemen

Chitin I (%)

Rendemen

Chitin II

(%)

Rendemen

Chitosan

(%)

A1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

30 10 21,765

A2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

34 28,571 24,875

A3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

20 30 16,462

A4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

4 9 45,455

A5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%

30 40 10,355

A6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%

30 20 10,4

Pada tabel diatas dapat dilihat hasil pengamatan pada kelompok A1 dengan perlakuan

penambahan HCL 0,75 N, NaOH 3,5% dan NaOH 40% hasil yang diperoleh yaitu 30%

rendemen I, 10% rendemen II dan 21.765 % rendemen chitosan. Pada kelompok A2

dengan perlakuan sama dengan A1 hasil yang diperoleh yaitu 34% rendemen I,

28.571% rendemen II dan 24.875 % rendemen chitosan. Pada kelompok A3 dengan

perlakuan penambahan HCL 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 60% hasil yang diperoleh

yaitu 20% rendemen I, 30% rendemen II dan 16.462 % rendemen chitosan. Pada

kelompok A4 dengan perlakuan sama dengan A3 hasil yang diperoleh yaitu 4%

rendemen I, 9% rendemen II dan 45.455 % rendemen chitosan. Pada kelompok A5

dengan perlakuan penambahan HCL 1.25 N, NaOH 3,5% dan NaOH 80% hasil yang

diperoleh yaitu 30% rendemen I, 40% rendemen II dan 10.355 % rendemen chitosan.

Pada kelompok A6 dengan perlakuan sama dengan A5 hasil yang diperoleh yaitu 30%

rendemen I, 20% rendemen II dan 10.4 % rendemen chitosan.

1

Page 3: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, akan membahas mengenai memanfaatkan limbah kulit udang untuk

membuat chitin dan chitosan. Penggunaan kulit udang dalam praktikum ini adalah

karena menurut Anshar P(2013) dalam jurnalnya yang berjudul Production and

Characterization of Chitosan from shrimp shells waste mengatakan bahwa Udang

merupakan salah satu yang penting dunia produk perikanan yang luas termasuk

Indonesia, produk ini sebagian besar diekspor dalam kondisi beku yang telah

mengalami proses pemisahan kepala dan kulit (karapas). Proses pemisahan ini akan

menyebabkan efek samping limbah padat, akan mengakibatkan pencemaran lingkungan

berupa bau buruk dan kerusakan estetika lingkungan. Namun, limbah dari proses

pemisahan memiliki nilai ekonomis untuk chitin dan chitosan industri dan menurut

Marganov (2003), kulit udang adalah bagian dari udang yang menutupi 30-40% bagian

dari total berat udang. Udang mengandung chitin sekitar 60-70% dan bila diproses

menjadi chitosan akan menghasilkan yield sekitar 15-20%. Disamping itu Menurut

Purwaningsih (1994), limbah udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu

kurang lebih 30% dari berat kering. Berarti limbah udang memang masih bisa

dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya

chitin sendiri, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang (Knorr, 1982).

Menurut Suhardi (1993) dan Patil et al (2000) Dalam cangkang udang terkandung

khitin berkisar antara 20-50% dari berat keringnya dan termasuk dalam kelompok

Crustaceae sebagai komponen eksoskeleton yang biasanya terdapat pada dinding sel

insekta, kapang dan kamir. Oleh karena itu, pemanfaatan kembali limbah cair hasil

ekstraksi chitin dari limbah udang seperti cangkang, kerapas, dan kepala, dapat

dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan chitin dan chitosan (sebagai bahan

pengawet) dan juga dapat diproduksi secara komersial.

Kulit udang dan cangkang kepiting limbah seafood merupakan sumber potensial

pembuatan khitin dan khitosan, yaitu biopolymer yang secara komersil berpotensi

dalam berbagai bidang industri. Manfaat khitin dan khitosan di berbagai bidang industri

modern cukup banyak, diantaranya dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi,

biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan.

2

Page 4: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

3

Disamping itu, chitin dan chitosan, serta turunannya, mempunyai sifat sebagai bahan

pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Mudasir et al, 2008).

Aranaz (2009) menyatakan bahwa kandungan yang terdapat dalam kulit udang adalah

25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, 15-20% chitin, dan pigmen alam seperti

karotenoid (astaxanthin, astathin, canthaxanthin, lutein dan & β-karoten). Jumlah

kandungan komponen antara satu udang dengan udang yang lain tidak sama, tergantung

pada jenis udang dan jenis tempat hidup. Karena hal itulah menurut Arbia et al. (2012),

kulit udang menjadi sumber potensial untuk pembuatan chitin dan chitosan, yakni

biopolimer yang berpotensi dalam berbagai bidang industri. Chitin dan turunannya juga

dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.

Menurut Muzzarelli (1985) chitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah

selulosa dengan rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang berikatan

dengan β-glikosidik (1,4) dimana setiap ikatan saling menghubungkan antar unit

ulangnya. Hargono et al. (2008) menambahkan bahwa yang membedakan chitin dengan

selulosa adalah gugus yang terikat pada atom C2, namun struktur kimia chitin mirip

dengan selulosa. Gugus yang terikat pada atom C2 pada selulosa gugus adalah OH,

sedangkan gugus yang terikat pada chitin adalah gugus asetamida. Ditambahkan lagi

oleh Muzzarelli (1985), bahwa nitrogen yang terkandung dalam protein limbah udang

sebagian besar dari nitrogen chitin, namun nitrogen chitin ini tidak bersifat toksik atau

racun. Crustacea mengandung chitin dengan kadar yang cukup tinggi yaitu sekitar 20-

60%, dan besarnya chitin tergantung spesies.

Menurut Mejía S.J.E.(2006), chitin adalah polisakarida alam terbanyak setelah selulosa.

Chitin banyak dihasilkan dari limbah hasil laut (udang dll).Chitin dan chitosan

merupakan polimer yang terdiri dari N-asetil-glukosamin dan N-glukosamin yang

secara acak terdistribusi dalam rantai biopolimer. Zhengke (2010) menambahkan bahwa

hal yang menjadi pembeda utama antara chitin dan chitosan terletak pada tingkat

deasetilasinya dimana apabila tingkat deasetilasi lebih rendah dari 50% maka disebut

chitin sedangkan bila lebih tinggi dari 50% disebut dengan chitosan. Tingkat deastilasi

ini dipengaruhi oleh sumber dari biopolimer dan metode persiapan. Parameter yang

berperan dalam mempengaruhi karakteristik fisikokimia dari chitin dan chitosan adalah

Page 5: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

4

kelarutan, tegangan permukaan, pembentukan rantai, dan komposisi biologinya

(Zhengke et al. 2010).

Chitin merupakan produk deproteinasi dari produk demineralisasi limbah kulit udang.

Ciri-ciri dari chitin adalah berbentuk kristal amorphous yang berwarna putih, tidak

berbau, tidak berasa, dan tidak dapat larut dalam air, pelarut organik, asam-asam

anorganik dan basa encer. Peter (1995) menambahkan bahwa chitin adalah

makromolekul yang berbentuk padatan amorf atau kristal, berwarna putih, dan dapat

diurai melalui proses kimiawi (asam kuat dan basa kuat) maupun secara biologis

(biodegradable) terutama dilakukan oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan

chitinase. Selain itu, chitin memiliki sifat fleksibel, mudah larut dalam asam encer, dan

asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat dan asam formiat anhydrous,

tetapi tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan

pelarut organik.

Menurut Zouhour Limam (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Extraction and

characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and

physicochemical properties mengatakan bahwa Kitin adalah suatu homopolimer N-

asetil-D-glukosamin (GLC-NAC) residu dihubungkan oleh β-1-4 obligasi, adalah yang

paling luas terbarukan sumber daya alam selulosa berikut. Sumber utama kitin adalah

limbah krustasea, yang juga merupakan bahan dinding sel utama di sebagian besar

jamur. Kitin dan turunannya memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena aktivitas

biologis serbaguna dan aplikasi agrokimia. antibakteri alami dan atau karakteristik

antijamur kitosan dan turunannya telah menghasilkan penggunaannya dalam disinfektan

komersial.

Sedangkan menurut Muhammed et al (2012) dala jurnalnya yang berjudul Extraction and

Characterization of Chitin from Nigerian Sources menyatakan bahwa Istilah "kitin" digunakan

untuk menunjuk 1, 4-linked 2-Acetamido-2-deoksi-β-D-glukosa. Ikatan kimia ini adalah zat

keras yang membentuk exoskeleton serangga dan krustasea, yang juga dapat diperoleh dari

sumber lain seperti jamur, jamur, cacing, diatom, dan lain – lain. Kitin adalah polimer alam

yang paling melimpah kedua di alam setelah selulosa dan seperti selulosa kitin berfungsi

sebagai polisakarida struktural. Kitin dan turunannya memiliki beberapa aplikasi dalam

Page 6: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

5

berbagai bidang, ini termasuk, biomedis, makanan, agen pengemulsi, pengolahan air limbah,

Biocatalysis, pertanian, tekstil dan juga industri kertas

Chitosan termasuk dalam produk deasetilasi chitin yang diproses melalui reaksi kimia

dengan menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis yang menggunakan

enzim chitin deacetylase. Chitosan adalah biopolimer yang resisten terhadap tekanan

mekanik. Chitosan disusun oleh unsur-unsur yang hampir sama dengan unsur-unsur

yang menyusun chitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur lainnya (Suhardi, 1993).

Definisi dari chitosan, Balley et al, (1977) juga mengungkapkan chitosan adalah

senyawa yang dihasilkan melalui proses hidrolisis chitin dengan menggunakan basa

kuat dan mempunyai rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa). Selain itu,

menurut Ramadhan et al. (2010), chitosan merupakan polisakarida memiliki struktur N-

amino-2 deoksi β-D-glukopiranosa atau glukosamin yang banyak terdapat di alam

setelah selulosa dan merupakan hasil dari deasetilasi chitin/poli.

Gambar 1. Struktur Chitin dan Chitosan (Pillai et al., 2009)

Menurut C. Radhakumary et al (2005) dalam jurnalnya yang berjudul Biopolymer

Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical applications menjelaskan

bahwa Chitosan merupakan kopolimer N-asetil glukosamin dan glukosamin unit dan

direpresentasikan sebagai homopolimer. Ini adalah polisakarida dasar yang unik dengan

berat molekul tinggi. Chitosan terjadi di alam pada dinding sel dari beberapa jamur,

serangga dan lai – lain. Hal ini disiapkan oleh N-deasetilasi dari "-chitin dengan 40-50%

alkali berair pada 120-1600C. Chitosanhas memiliki sifat yang sangat baik sebagai

Page 7: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

6

biomaterial yaitu adalah sebagai biodegradable, biokompatibel, tidak beracun dan

antithromboganic. Properti ini membuat kitosan berlaku secara luas di bidang farmasi

dan biomedis untuk rilis terkontrol obat, untuk penatalaksanaan luka dan ruang mengisi

implan dll

Untuk memisahkan chitosan dipisahkan dari komponen lain ada tiga tahapan yaitu

melalui proses (1) demineralisasi atau tahap menghilangkan mineral, (2) deproteinasi

atau tahap penghilangan protein, dan (3) deasetilasi atau tahap pemutihan (Muzzarelli et

al., 1997). Proses deasetilasi chitin dapat menghasilkan chitosan dimana proses ini

menggunakan larutan basa dengan konsentrasi tinggi (Muzzarelli et al., 1997; Shahidi et

al., 1999). Angka & Suhartono (2000), mengungkapkan rendemen chitin yang

dihasilkan dipengaruhi oleh urutan proses isolasi chitin yang dilakukan. Oleh karena itu,

proses demineralisasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan

proses deproteinasi, hal ini karena bila melakukan urutan proses demineralisasi terlebih

dahulu akan menghasilkan rendemen chitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik

dibandingkan melakukan proses deproteinasi lebih dahulu kemudian proses

demineralisasi. Apabila proses deproteinasi dilakukan terlebih dahulu sebelum ekstraksi

mineral dapat mengakibatkan terjadinya kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak

mineral yang akan dihasilkan. Selain itu menurut Alamsyah et al (2007), hal ini

disebabkan karena mineral yang terkandung pada kulit udang dan cangkang kepiting

akan membentuk shield (pelindung) yang keras. Umumnya, struktur yang dimiliki

mineral lebih keras dibandingkan dengan protein, sehingga bila yang dihilangkan

terlebih dahulu adalah mineral, maka pada tahap deproteinasi, basa yang digunakan

menjadi lebih optimal dalam menghilangkan protein karena pelindung yang terbuat dari

mineral telah hilang akibat proses demineralisasi.

2.1. Demineralisasi

Pada praktikum ini pertama – tama dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan

untuk menghilangkan kandungan mineral yang terkandung dalam limbah kulit udang,

disamping itu proses demineralisasi dilakukan agar memudahkan dan mengoptimalkan

proses selanjutnya. Hargono & Haryani (2004) juga menyatakan dimana proses

demineralisasi bertujuan agar garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada

Page 8: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

7

pada chitin terutama kalsium karbonat (CaCO3) dapat dihilangkan, sehingga

memudahkan proses selanjutnya.

Tahap awal dari proses demineralisasi yaitu limbah kulit udang dicuci dengan air

mengalir, dan dikeringkan dibawah sinar matahari. Kemudian dicuci dengan air panas

sebanyak dua kali, dan dikeringkan kembali dalam dehumidifier. Tujuan dari pencucian

dengan air mengalir adalah untuk menghilangkan benda-benda pengotor yang terikut

dalam limbah kulit udang. Hal ini didukung oleh Bastaman (1989) dimana pencucian ini

dimaksudkan agar kotoran yang masih menempel dapat dihilangkan sehingga tidak

mencemari ektraksi chitin. Pengeringan di bawah sinar matahari bertujuan agar sisa

pencucian dari air mengalir yang tidak dibutuhkan dapat teruapkan, sehingga tidak

mengganggu pengolahan chitin dan chitosan. Lalu pencucian dengan air panas

merupakan tahap sterilisasi yang memiliki tujuan untuk menghilangkan mikoorganisme

yang merugikan dari limbah kulit udang. Bahan dikeringkan dengan alat dehumidifier

pada suhu 80oC berfungsi agar sisa-sisa air panas yang masih menempel pada kulit

udang akan menghilangkan sehingga secara keseluruhan akan mengurangi kadar air

pada kulit udang dan dihasilkan produk kulit udang yang kering. Setelah itu, bahan yang

telah kering dihancurkan menjadi serbuk yang berukuran 40-60 mesh. Tujuan dari

penghancuran ini adalah agar bahan memiliki luas permukaan yang besar sehingga

senyawa-senyawa pelarut yang digunakan dapat melakukan kontak dengan serbuk

secara sempurna dan proses demineralisasi dapat berjalan semakin mudah. Kemudian

ditambah sebuk yang didapat dicampur dengan HCl dengan perbandingan pelarut

dengan serbuk sebesar 10 : 1. Setiap kelompok penambahan konsentrasi HCl-nya

berbeda-beda. HCl 0,75 N ditambahkan untuk kelompok A1 dan A2, HCl 1 N

ditambahkan untuk kelompok A3 dan A4 dan HCl 1,25 N ditambahkan untuk kelompok

A5 dan A6. Penambahan HCl bertujuan agar kotoran-kotoran atau mineral-mineral yang

masih ada dapat dihilangkan. Karena pada kulit udang terkandung mineral sekitar 30-

50% (berat kering). Oleh karena itu, mineral-mineral tersebut harus dihilangkan terlebih

dahulu sebelum ekstraksi chitin dilakukan, dan untuk melarutkan komponen mineral

tersebut dengan menggunakan asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam

laktat (Bastaman, 1989).

Page 9: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

8

Dengan adanya penambahan HCl, mineral pada permukaan biopolimer kitin akan

mengalami kerusakan, dengan reaksi sebagai berikut:

HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)

H+(aq) + H2O H3O+(aq)

Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)

CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)

(Mudasir, et al., 2008).

Langkah selanjutnya yaitu dipanaskan sambil diaduk diatas hotplate pada suhu 90ºC

selama 1 jam. Pemanasan yang dilakukan berfungsi untuk memudahkan terjadinya

pelepasan mineral-mineral pada kulit udang, dimana pemanasan dengan menggunakan

suhu tinggi (Austin, 1988). Sedangkan menurut Puspawati & Simpen (2010) pemanasan

ditujukan agar perusakan mineral dapat berlangsung cepat, karena sesuai dengan tujuan

utama proses demineralisasi yaitu agar mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat

pada cangkang dapat dihilangkan. Menurut Angka & Suhartono (2000) pengdukan

bertujuan untuk menghomogenkan larutan sehingga pemanasan terjadi secara merata

pada seluruh bagian larutan yang dipanaskan dan juga menghindari meluapnya

gelembung-gelembung udara yang dihasilkan akibat pemisahan mineral selama proses

demineralisasi.

Setelah proses pemanasan dan pengadukan dilakukan selama 1 jam, larutan dicuci

dengan air mengalir sampai didapat pH netral. Pencucian ini berfungsi untuk mencegah

terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan terjadi. Selain itu, pencucian

juga bertujuan untuk menghilangkan HCl yang mungkin masih tersisa dalam residu. Hal

ini sesuai dengan Austin (1988), bahwa tujuan pencucian yang dilakukan adalah agar

larutan HCl yang telah digunakan sebelumnya dapat hilang. Pencucian ini sangat

penting agar terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan kitin dapat

dicegah, karena dengan adanya sisa HCl maka rantai/ cincin kitin akan terputus ketika

dipanaskan kembali. Begitu juga dengan pendapat Austin (1988), tujuan pencucian

adalah menetralkan larutan asam menjadi normal. Proses pencucian dihentikan ketika

pH sudah mencapai netral saat diukur dengan pH meter. Setelah pH larutan menjadi

netral, larutan dikeringkan kembali dalam dehumidifier suhu 80ºC selama 24 jam.

Page 10: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

9

Tujuan dari pengeringan ini adalah menguapkan atau menghilangkan air yang masih

tersisa selama proses pencucian, sehingga produk kitin akhir nantinya adalah berbentuk

kering.

Dari hasil yang diperoleh rendemen kitin 1 kelompok A1 sebesar 30%, A2 sebesar 34%,

A3 sebesar 20%, A4 sebesar 4 %, A5 sebesar 30% dan A6 sebesar 30%, rendemen kitin

1 yang terbesar terdapat pada kelompok A2 dan yang terendah terdapat pada A4. %.

Hasil yang didapat ini kurang sesuai dengan teori yang ada. Hal ini menurut Rokshana

(2005) dalam jurnalnya yang berjudul Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp

(Metapenaeus Monoceros) Shell by Chemical Method mengatakan bahwa seharusnya

semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan, maka semakin tinggi pula rendemen

yang dihasilkan. Oleh karena itu seharusnya dengan semakin tingginya konsentrasi HCl

yang digunakan maka semakin banyak protein dan mineral yang terpisah dari kitin,

sehingga pada saat proses pemanasan hanya sedikit kitin yang ikut menguap bersama

dengan senyawa protein dan mineral. Kesalahan ini dapat diakibatkan beberapa factor

sehingga menyebabkan kitin tergradasi selama proses. Hal ini didukung dengan

pernyataan Knorr (1984), yaitu dengan penggunaaan konsentrasi asam terlalu tinggi dan

waktu perendaman yang lama, dapat menyebabkan kitin terdegradasi. Disamping itu

proses pencucian juga dapat menyebabkan beberapa komponen ikut terbuang sehingga

nilai rendemen kitin menjadi berkurang. Kesalahan juga dapat dikarenakan proses

pengeringan belum terjadi secara sempurna, sehingga tidak semua air dalam kitin

teruapkan, maka massa air juga akan terhitung sebagai berat rendemen kitin.

2.2. Deproteinasi

Setelah proses demineralisasi yaitu proses penghilangan mineral yang ada dalam kulit

udang, proses selanjutnya adalah proses deproteinasi yaitu proses penghilangan protein.

Dalam proses pembuatan kitin, tahap ini bertujuan untuk melarutkan protein-protein

yang terdapat pada bahan. Menurut Hargono & Haryani (2004) tujuan dari proses

deproteinasi adalah memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin.

Tiap-tiap kelompok menambahkan NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan

serbuk (6:1) pada serbuk yang dihasilkan dari proses demineralisasi. Pada proses

deproteinasi penambahan NaOH dilakukan agar protein yang berada pada tepung larut

Page 11: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

10

dan meningkatkan rendeman kitin. Hal ini didukung dengan teori dari Puspawati &

Simpen (2010), penambahan basa bertujuan untuk menghilangkan protein.

Ditambahkan menurut Suharto (1984), bahwa NaOH 3,5% ditambahkan karena NaOH

adalah alkali yang paling efektif untuk meningkatkan volume partikel bahan (substrat).

Begitu juga menurut Suhardi (1993), penambahan NaOH merupakan metode yang

efisien dan dapat menghasilkan kitin dengan kandungan mineral dan residu protein

paling rendah dibanding cara lain. Dengan meningkatnya volume maka ikatan antar

komponen menjadi renggang, sehingga dapat menghidrolisis gugus asetil pada kitin.

Proses selanjutnya adalah pemanasan dan pengadukan diatas hot plate dengan suhu 90o

C. Pemanasan dilakukan agar protein terdenaturasi dan protein menjadi lebih mudah

dipisahkan. Dengan pemanasan juga akan menguapkan air dan mengkonsentrasikan

NaOH, sehingga menghasilkan kitin yang lebih optimal. Selain itu, adanya pemanasan

dapat menguraikan protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga akan

mempermudah proses deproteinasi yang dilakukan oleh NaOH. Proses pemanasan yang

dilakukan bersama dengan pengadukan bertujuan untuk menjaga gelembung udara. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Puspawati & Simpen (2010), bahwa tujuan dari

pengadukan adalah untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang

dihasilkan akibat pemisahan protein selama proses deproteinasi. Supaya protein dapat

terdenaturasi secara merata dan efisien oleh NaOH, maka diperlukan proses

pengadukan.

Setelah dipanaskan dan diaduk selama 1 jam, larutan kemudian dicuci dengan air

mengalir hingga pH netral. Tujuan pencucian dilakukan adalah agar menurunkan basa

menjadi normal. Pencucian juga dapat mempengaruhi penghasilan kitin. Menghilangkan

pengotor-pengotor yang masih menempel maupun NaOH yang mungkin masih tersisa

dalam residu juga merupakan pencucian. Kitin yang telah dicuci lalu dikeringkan

kembali dalam oven 80ºC selama 24 jam. Pengeringan ini bertujuan agar kandungan air

yang masih tersisa selama proses pencucian dapat hilang dan teruapkan, sehingga

didapatkan produk akhir berbentuk kering (Rogers, 1986).

Dari hasil pengamatan diperoleh rendemen kitin II pada kelompok A1 sebesar 10%, A2

sebesar 28.571%, A3 sebesar 30%, A4 sebesar 9%, A5 sebesar 40%, A6 sebesar 20%.

Dalam suasana basa, protein dan mineral akan lebih besar kelarutannya dibandingkan

Page 12: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

11

dalam suasana asam karena larutan basa seperti NaOH memiliki aksi hidrolisis yang

lebih tinggi daripada larutan asam (Fennema, 1985). Semakin banyak pelarut basa maka

protein yang terikat pada basa semakin banyak dan nilai rendemen kitin yang dihasilkan

semakin kecil. Hal ini ditunjukan oleh kelompok A1, A2,dan A6 yang nilai rendemen

kitin II-nya lebih kecil dibanding nilai rendemen I. Ketidak sesuaian ini dapat

disebabkan oleh beberapa hal, dimana menurut Knorr (1984), pada waktu pencucian,

ada beberapa komponen yang ikut terbuang bersama dengan air sehingga rendemen

kitin menjadi berkurang. Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat

menyebabkan air tidak seluruhnya teruapkan sehingga massa air ikut terhitung sebagai

berat rendemen kitin. Atau dapat juga karena proses pemanasan yang dilakukan pada

tahap demineralisasi belum optimal sehingga masih ada mineral saat proses

deproteinasi.

2.3. Deasetilasi

Tahap selanjutnya setelah tahap demineralisasi dan deproteinasi adalah tahap

deasetilasi. Pada tahap ini dilakukan proses asetilasi kitin untuk menghasilkan kitosan.

Menurut Shahidi & Botta (1994) pengubahan kitin menjadi kitosan dilakukan dengan

proses deasetilasi menggunakan larutan sodium hidroksida atau kalium hidroksida

untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino pada suhu tinggi. Ditambahkan

juga menurut Ramadhan et al. (2010), perubahan kitin menjadi kitosan dilakukan

dengan menghidrolisis gugus asetoamida oleh basa kuat yaitu NaOH 50%. Proses

deasetilasi dilakukan bertujuan agar ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen

pada gugus asetamida kitin dapat diputuskan sehingga berubah menjadi gugus amina (–

NH2). Dengan terjadinya pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin inilah yang akan

menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.

Serbuk kitin dari hasil proses deproteinasi ditambahkan dengan NaOH yang bervariasi

konsentrasi NaOH-nya dengan perbandingan NaOH : Serbuk Chitin 20:1. NaOH 40%

ditambahkan untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 60% ditambahkan untuk kelompok

A3 dan A4, NaOH 80% ditambahkan untuk kelompok A5 dan A6. Penggunaan larutan

NaOH pada proses deasetilasi kitin menjadi kitosan bertujuan untuk memutus ikatan

antara gugus asetil dengan atom nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-

Page 13: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

12

NH2). Karena kitin tahan terhadap proses deasetilasi, maka larutan basa yang digunakan

adalah berkonsentrasi tinggi, hal ini menurut Karmas, E. (1982) disebabkan kitin

memiliki struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus

karboksil. Menurut Solomon, et al. (1980) transformasi kitin menjadi kitosan termasuk

reaksi hidrolisis.

Selanjutnya setelah ditambahka NaOH dengan konsntrasi tertentu, larutan diaduk

selama 1 jam kemudian didiamkan selama 30 menit lalu dipanaskan dan sambil diaduk

pada suhu 90ºC selama 1 jam. Pemanasan ini ditujukan untuk mendukung terjadinya

pemutusan ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen, sehingga dapat berubah

menjadi gugus amina (-NH2) (Karmas, E., 1982). Oleh karena itu, diperlukan

pengadukan dimana menurut Reece, et al. (2003) tujuan pengadukan adalah untuk

meratakan pemanasan, dimana dengan tingginya suhu reaksi, maka derajat deasetalasi

kitosan juga meningkat. Kemudian larutan dicuci dengan air mengalir sampai pH netral.

Pencucian ini bertujuan agar dapat menurunkan basa menjadi normal dan NaOH dapat

dihilangkan. Setelah itu dikeringkan kembali pada suhu 70ºC dengan dehumidifier

selama 24 jam. Suhu yang cukup tinggi dalam proses pengeringan dapat menyebabkan

air teruapkan dari kitosan sehingga dihasilkan produk kitosan akhir yang kering.

Dari hasil pengamatan didapat hasil rendemen kitosan kelompok A1 sebesar 21.765%,

A2 sebesar 24.875 %, A3 sebesar 16.462%, A4 sebesar 45.455 %, A5 sebesar 10.355

%, A6 sebesar 10.4%. dari hasil pengamatan tersebut sesuai dengan pendapat Hong et

al. (1989) bahwa semakin tinggi penggunaan NaOH akan semakin rendah menghasilkan

rendemen kitosan. Hal ini karena dengan semakin tingginya konsentrasi NaOH dapat

mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga terjadi penurunan

berat molekul kitosan. Derajat deasetilasi kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti konsentrasi NaOH, suhu dan lamanya proses deasetilasi (Puspawati & Simpen,

2010). Kecuali pada kelompok A4 yang menunjukan angka paling besar hasil rendemen

kitosannya meskipun kadar NaOH yang digunakan tidak setinggi yang digunakan pada

A5 dan A6. Kesalahan yang terjadi mungkin dapat disebabkan karena pengadukan yang

berlebih sehingga menaikkan suhu, dan menyebabkan derajat deasetilasi menjadi

meningkat walaupun konsentrasi NaOH yang digunakan lebih kecil. Atau kemungkinan

yang lain adalah proses pengeringan belum sempurna, sehingga kandungan air tidak

Page 14: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

13

semua teruapkan, massa air akan terhitung sebagai berat rendemen kitosan. Juga dapat

disebabkan pada saat tahap pencucian beberapa komponen ikut terbuang sehingga nilai

rendemen kitin menjadi berkurang.

Page 15: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

3. KESIMPULAN

Limbah kulit udang mengandung 25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, dan

15-20% kitin.

Kitin adalah senyawa yang dihasilkan melalui proses demineralisasi dan

deprtoteinasi limbah kulit udang.

Kitosan adalah senyawa yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kitin dengan

menggunakan basa kuat dan mempunyai rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-

Glukosa).

Tahapan untuk membuat kitin dan kitosan dalam praktikum ini yaitu demineralisasi,

deproteinasi, dan deasetilasi.

Proses demineralisasi bertujuan agar garam-garam anorganik atau kandungan

mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat (CaCO3) dapat dihilangkan.

Semakin besar konsentrasi HCl semakin besar juga jumlah rendemen kitin yang

dihasilkan.

Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan

antara protein dan kitin.

Semakin banyak pelarut basa maka protein yang terikat pada basa semakin banyak

dan nilai rendemen kitin yang dihasilkan semakin kecil.

Proses deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil

dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin sehingga berubah menjadi gugus amina

(–NH2).

Semakin tinggi konsentrasi NaOH akan menghasilkan rendemen kitosan yang

semakin rendah.

Semarang, 22 September 2014

Praktikan Asisten dosen:

- Stella Gunawan

Aloysius Andreanto Rahardjo

12.70.0117

14

Page 16: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

4. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Anshar Patria. (2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells waste. Department of Agricultural Product Technology, Syiah Kuala University, Indonesia.

Aranaz, Inmaculada., Marian Mengíbar, Ruth Harris, Inés Paños, Beatriz Miralles, Niuris Acosta, Gemma Galed and Ángeles Heras. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. http://benthamscience.com/ccb/openacsesarticle/ccb3-2/0009CCB.pdf

Arbia, Wassila., Leila Arbia, Lydia Adour and Abdeltif Amrane. (2012). Chitin Extraction from Crustacean Shells by Biological Methods. http://www.ftb.com.hr/25.Arbia_et_al.pdf

Austin PR (1988) Chitin Solution dan Purification of Chitin. Dalam Methods in Immonology. Vol 161. Biomass Part B. Wood WA, Kellog ST (ed).Academic Press, San Diego.

Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast. 143 p.

C. Radhakumary, Prabha D. Nair, Suresh Mathew and C.P. Reghunadhan Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. http://www.sbaoi.org.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hargono & K. Haryani. (2004). Pengaruh Ukuran Partikel Limbah Kulit Udang Terhadap Derajat deasetilasi Kitosan. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.

Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85

15

Page 17: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

16

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

Mejía S.J.E. et all. (2006). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF.Mexico

Mudasir, et al. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II) Ion. Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Muhammed Tijani ISA, Alewo Opuada AMEH, Joseph Owoicho GABRIEL, and Kenneth Kennedy ADAMA. (2012). Extraction and Characterization of Chitin from Nigerian Sources. http://lejpt.academicdirect.org

Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.

Patil, R. S., V. Chormade, and M. V. Desphande. (2000). Chitinolytic enzymes an exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince 34, 641-678.

Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Rokshana Naznim. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus Monoceros) Shell by Chemical Method. Biotechnology and Genetic Engineering Didcipline, Kulna University, Khulna 9208, Bangladesh.

Page 18: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

17

Shahidi, F. and J. R. Botta. (1994). Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London.

Suhardi. (1993) , Khitin Dan Khitosan, buku monograf, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Zhengke, W.; Qiaoling Hu & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Scence.

Zouhour Limam, Salah Selmi, Saloua Sadok and Amor El Abed (2011). Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. Institut National des Sciences et Technologies de la Mer, Port La Goulette 2060, Tunisie.

Page 19: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus:

rendemen kitin I= berat keringberat basah I

× 100 %

rendemen kitin II= berat keringberat basah II

×100 %

rendemen kitosan= berat kitosanberat kitin III

×100 %

Kelompok A1

rendemen kitin I=1,55

×100 %=30 %

rendemen kitin II=0,55

× 100 %=10 %

rendemen kitosan=0,3701,7

×100 %=21,765 %

Kelompok A2

rendemen kitin I=1,75

×100 %=34 %

rendemen kitin II=0,62,1

×100 %=28,571 %

rendemen kitosan=0,3981,6

×100 %=24,875 %

Kelompok A3

rendemen kitin I=15

×100 %=20 %

rendemen kitin II=0,62

×100 %=30 %

rendemen kitosan=0,4022,442

× 100 %=16,462 %

18

Page 20: Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx

19

Kelompok A4

rendemen kitin I=0,25

×100 %=4%

rendemen kitin II=0,0010,011

× 100 %=9 %

rendemen kitosan=0,0050,011

×100 %=45,455 %

Kelompok A5

rendemen kitin I=1,55

×100 %=30 %

rendemen kitin II=0,82

× 100 %=40 %

rendemen kitosan=0,3213,1

× 100 %=10,355 %

Kelompok A6

rendemen kitin I=1,55

×100 %=30 %

rendemen kitin II=0,73,5

×100 %=20 %

rendemen kitosan=0,2082

×100 %=10,4 %