chitin & chitosan_meliana_13-70-0063_d5_unika soegijapranata

28
Acara II CHITIN DAN CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun Oleh : Nama : Meliana Dewi P. NIM : 13.70.0063 Kelompok D5 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Upload: praktikumhasillaut

Post on 04-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


50 download

DESCRIPTION

chitin dan chitosan merupakan produk olahan dari limbah padat crustacea yang masih memiliki nilai fungsional.

TRANSCRIPT

Page 1: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

Acara II

CHITIN DAN CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh :Nama : Meliana Dewi P.

NIM : 13.70.0063Kelompok D5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat – alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah oven, blender, ayakan,

beker glass, pH meter, pengaduk, hot plate, termometer.

1.1.2. Bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCL 0,75 N,

1 N, dan 1,25 N, NaOH 3,5%, 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang

Page 3: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 4: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

3

1.2.2. Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Page 5: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

4

1.2.3. Deasetilasi

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Page 6: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

D1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 25 48,25

D2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43

D3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80

D4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20

D5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14

Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui perlakuan yang diberikan tiap kelompok berbeda-

beda. D1 & D2 memakai perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%. Kelompok

D3 & D4 menggunakan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%. Sedangkan

kelompok D5 menggunakan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%.

Rendemen kitin I yang terbesar dimiliki oleh kelompok D3 sebesar 36,84%. Rendemen

kitin II terbesar dimiliki oleh kelompok D3 sebesar 45,71%. Rendemen kitosan terbesar

dimiliki oleh kelompok D1 sebesar 48,25%.

5

Page 7: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Limbah udang mengandung protein dan mineral tinggi, serta astaxantin yang

merupakan kelompok pro-vitamin A yang berguna dalam pembentukan warna. Limbah

yang dihasilkan dalam industri pengolahan crustaceae ada dua jenis yaitu: limbah cair

(suspensi air dan kotoran) dan limbah padat (kulit, kepala, dan kaki) (Yen, 2009).

Limbah tersebut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan

penanganan limbah yang baik. Penanganan limbah cair yang terbaik, yaitu dengan

menggunakan waste water treatment. Sedangkan limbah padat masih dapat

dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya

kitin. Kitin merupakan polisakarida memiliki sifat inelastis, berwarna putih, keras,

mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton sama seperti pada

struktur internal invertebrata (Dutta et al, 2004).

Menurut Wang et al (2010), kitin merupakan polisakarida yang dapat ditemukan dalam

struktural eksoskeleton dari insecta dan crustacean, kulit kerang, dinding sel fungi (30-

60%), tulang rawan (bagian tengah) cumi-cumi, dan paruh burung. Kitin dapat

dipergunakan sebagai bahan pendukung enzim seperti kimotripsin, papain, asam

fosfatase, lactase, dan glukosa isomerase (Peter, 1995). Pemanfaatan kitin sangat

terbatas karena sifat kitin yang sulit larut dalam air. Untuk mengatasi sifat ini, dilakukan

memodifikasi struktur kimiawi sehingga didapatkan turunan kitin yang mempunyai sifat

kimia lebih baik dibandingkan kitin. Kitosan merupakan salah satu dari turunan kitin

yang mempunyai sifat larut dalam asam dan viskositas larutannya tergantung dari

derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari polimer kitin (Dunn et al., 1997). Zaku et al

(2011) menambahkan bahwa kitin dapat dibuat dari sisik ikan tetapi pengaplikasiannya

akan lebih mudah bila ditransformasikan ke dalam bentuk kitosan.

Kitosan disiapkan secara komersial dengan diasetilasi basa kitin yang didapatkan dari

eksoskeleton crustaceae laut (Rismana, 2001). Kitosan dapat larut dalam asam encer

seperti asam sitrat, asam asetat, dan asam format. Bila kitosan disubstitusikan, kitosan

dapat larut dengan air. Kitosan larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki

gugus karboksil yang akan mempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena

6

Page 8: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

7

terjadinya interaksi hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan

(Dunn et al., 1997). Produksi kitosan terdiri dari empat langkah dasar, yaitu

demineralisasi, deproteinisasi, penghilangan warna dan deasetilasi (Islam et al., 2011).

Kitosan sudah banyak dipakai dalam perbagai industri seperti obat-obatan, industry

makanan, dan bioteknologi. Dalam bidang agrikultur, kitosan dapat dipai untuk

menambah / meningkatkan produksi beras (Abdulkarim et al, 2013).

Muzzarelli (1985) berpendapat bahwa struktur kimia dari kitin adalah (C8H13NO5)n

merupakan biopolimer unit N-asetil-D-glukosamin berikatan dengan ikatan glikosidik

β-1,4. Kitosan adalah produk turunan kitin, memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-

dioksi-β-D-Glukosa) yang dihasilkan dengan cara menghidrolisis kitin dengan

menggunakan basa kuat. Kitosan dimanfaatkan sebagai pengawet karena mengandung

gugus amino muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Hal

tersebut menjadikan ciri khas bagi kitosan dimana polisakarida lainnya biasanya

memiliki muatan yang netral (Robert, 1992). Kitosan dihasilkan dari kitin yang telah

dideasetilasi larutan basa 40-50% pada suhu 120-160oC. Kelebihan kitosan sebagai

biomaterial adalah mudah terdegradasi, kompatibel, tidak beracun, dan

antithromboganic (Radhakumary et al., 2005). Cahyaningrum et al. (2007) menyatakan

kitosan mampu berikatan silang apabila ditambahkan dengan crosslinked agent seperti

glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+. Balley et al (1977) menambahkan bahwa

hingga saat ini terdapat lebih dari 200 pemanfaatan dari kitin dan kitosan serta

turunannya terutama di industri pangan, pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian,

farmasi, kesehatan, serta lingkungan.

3.1. Demineralisasi

Limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir, dan kemudian dikeringkan. Kemudian

dicuci dengan air panas 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian bertujuan untuk

menghilangkan kotoran pada kulit udang dimana kotoran tersebut dapat mencemari

ekstrak kitin. Pengeringan dilakukan untuk membuat air panas yang berada pada kulit

udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air pada kulit udang dapat dikurangi sehingga

menghasilkan produk kulit udang yang kering (Robert, 1992). Dihancurkan hingga

menjadi serbuk kemudian diayak dengan ayakan 40-60 mesh dan diambil sebanyak 10

Page 9: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

8

gram untuk masing-masing kelompok. Prasetyo (2006) menyatakan bahwa proses

penghancuran digunakan untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut

yang digunakan dapat melarutkan secara maksimal.

Ditambahkan dengan HCl dengan perbandingan 1:10. HCl yang digunakan adalah HCl

0,75 N (kelompok D1 & D2), HCl 1 N (kelompok D3 & D4), dan HCl 1,25 N

(kelompok D5). Penambahan HCl bertujuan untuk melarutkan komponen mineral

dikulit udang. Menurut Bastaman (1989) kulit udang mengandung mineral sebanyak 30

- 50% dari berat kering. Mineral utamanya adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.

Mineral tersebut harus dipisahkan sebelum dilakukan proses ekstraksi kitin dengan cara

pelarutan. Pelarutan dilakukan dengan cara menambahkan asam encer seperti HCl,

H2SO4, atau asam laktat karena asam akan mengakibatkan kerusakan pada permukaan

biopolimer kitin (Robert, 1992). Perbedaan normalitas larutan yang dipakai bertujuan

untuk mengetahui konsentrasi yang tepat dalam melarutak mineral yang ada di dalam

kulit udang sehingga kitin yang didapat lebih maksimal.

Dipanaskan selama 1 jam diatas hot plate hingga suhu 90oC sambil diaduk. Pemanasan

berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral sedangkan pengadukan

bertujuan untuk menghindari adanya gelembung udara akibat proses pemisahan mineral

selama proses demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Gelembung udara yang terbentuk

merupakan dampak dari terbentuknya gas CO2 pada saat larutan HCl ditambahkan ke

dalam sampel pada proses perusakan mineral (demineralisasi) (Robert, 1992).

Dilakukan pencucian dengan air hingga pHnya mencapai netral (pH 7). Kemudian,

dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC. Proses demineralisasi dapat menghilangkan

mineral dan garam anorganik dalam kitin, khususnya kalsium karbonat (CaCO3)

(Hargono & Haryani, 2004). Dalam proses ini asam klorida bereaksi dengan kalsium

karbonat dan membentuk asam karbonat, asam folat, dan kalsium klorida yang larut

dalam pelarut polar seperti air. Residu yang tidak larut pelarut polar (air) adalah

senyawa kitin yang telah terekstrak. Karena mineral yang berada dalam kitin talah

terlarut dengan air, diperlukan proses penyaringan dalam proses penetralan pH sehingga

hanya residu kitin saja yang tersisa (Bastaman, 1989).

Page 10: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

9

Pada percobaan ini, hasil rendemen dari demineralisasi akan disebut rendemen kitin I.

Rendemen kitin I yang terbesar dimiliki oleh kelompok D3 sebesar 36,84% dengan

memakai larutan HCL 1%. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dari Johnson dan

Peterson (1974) yang mengatakan bahwa apabila konsentrasi HCl yang semakin tinggi

akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan adanya

senyawa mineral yang berada dalam serbuk udang akan semakin mudah untuk

dilepaskan. Penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan

disertai proses atau waktu yang lebih panjang akan mengakibatkan lepasnya ikatan

protein dan mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang.

3.2. Deproteinasi

Kitin yang telah melewati proses demineralisasi dicampur dengan larutan NaOH 3,5%

dengan perbandingan kitin : NaOH sebesar 1:6. Tujuan dari penambahan NaOH adalah

agar kandungan protein dalam kitin dapat terpisah (Rogers, 1986). Dilakukan

pemanasan selama 1 jam hingga suhu mencapai 90oC sambil diaduk, kemudian

didinginkan. Proses pemanasan dan proses pengadukan memiliki fungsi untuk

menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH sehingga dapat memaksimalkan

rendemen kitin yang didapat. Dicuci dengan air hingga pHnya mencapai netral.

Menurut Rogers (1986), sifat penggembungan kitin dengan alkali merupakan dampak

dari penetralan. Reaksi tersebut mengakibatkan hidrolisis basa yang terjadi pada gugus

asetamida dalam rantai kitin lebih efektif. Tahap selanjutnya adalah dikeringkan selama

24 jam pada suhu 80oC.

Pada proses deproteinasi, air akan mengionisasikan NaOH dan membentuk ion

hidroksida dan ion natrium. Ketika larutan ditambahkan perlahan, terdapat reaksi antara

kelarutan asam setiap ion hidrogen dengan ion hidroksida. Reaksi tersebut akan

membentuk molekul air. Ion hidrogen yang berada di dalam larutan dapat mengubah

larutan menjadi bersifat asam. Akan tetapi, jika ion hidroksida yang ditambahkan

memiliki jumlah yang sama dengan ion hidrogen maka larutan tersebut akan menjadi

larutan yang netral (Rogers, 1986).

Page 11: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

10

Proses deproteinasi ini dilakukan untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada

kitin. Proses deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisasi karena menurut

Alamsyah et al. (2007), ekstraksi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi

menghasilkan rendemen lebih banyak dibandingkan tahap ekstraksi kitin tahap

deproteinasi-demineralisasi. Hal ini dikarenakan mineral pada kitin membentuk

pelindung yang keras pada kulit udang. Secara umum mineral memiliki struktur lebih

keras dibandingkan protein, apabila mineral sudah dihilangkan terlebih dahulu, hal ini

akan menyebabkan proses deproteinasi berlangsung lebih optimal karena pelindung

yang berasal dari kandungan mineral yang ada sudah dihilangkan terlebih dahulu (Islam

et al., 2011).

Pada percobaan yang dilakukan, rendemen kitin II terbesar dimiliki oleh kelompok D3

sebesar 45,71%. Pada kelompok D1 & D2 mengalami penurunan rendemen kitin

dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini dikarenakan proses yang kurang sempurna

sehingga terdapat kitin yang terbawa dengan air pada proses penetralan, penyaringan,

pengeringan. Bias juga terjadi karena proses demineralisasi yang tidak optimal sehingga

masih terdapat pelindung mineral pada kulit udang sehingga menghambat proses

deproteinasi. Kelarutan senyawa mineral dan protein dalam suasana basa lebih besar

dibandingkan kelarutannya dalam suasana asam. Hal tersebut dapat terjadi karena

larutan basa (NaOH) memiliki aktivitas hidrolisis lebih tinggi dibandingkan larutan

asam seperti HCl (Fennema, 1985). Proses deproteinasi dengan menggunakan larutan

NaOH dapat mengoptimalisasi penghilangan mineral, khususnya komponen protein

dalam kitin sehingga rendemen kitin yang dihasilkan dapat mengalami penurunan.

Faktor yang mempengaruhi pembuatan kitin yaitu yang pertama adalah jenis bahan

baku. Yang kedua adalah proses ekstraksi yang dibagi dapat menjadi dua metode yaitu

demineralisasi dan deproteinasi. Kitin dapat diekstrak dengan cara kimiawi maupun

secara enzimatis. Lama proses pengolahan, suhu pengeringan, konsentrasi zat yang

ditambahkan, dan pH merupakan faktor lain dalam pembuatan kitin (Laila & Hendri,

2008). Proses pemanasan (pengeringan) yang semakin lama, akan menyebabkan

denaturasi protein dan menyebabkan protein yang terlarut berkurang banyak. Semakin

singkat pemanasan dilakukan akan mengakibatkan kandungan protein yang terlarut

Page 12: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

11

menjadi lebih rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut

sepenuhnya (Winarno, 1997).

3.3. Deasetilasi (Pembuatan Kitosan)

Ramadhan et al. (2010) berpendapat bahwa transformasi senyawa kitosan dilakukan

dengan langkah penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin menjadi gugus amina

yang ada pada kitosan. Mutu kitosan yang dihasilkan digambarkan dengan persentase

gugus asetil yang bisa dihilangkan dari rendemen kitin sebelumnya maupun kitosan

tersebut. Standar mutu kitosan dinilai berdasarkan persentase gugus asetil yang dapat

dihilangkan dinamakan dengan derajat deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasi

dari kitosan yang dihasilkan, hal tersebut menandakan bahwa gugus asetil yang dimiliki

kitosan tersebut semakin rendah sehingga mengakibatkan interaksi antar ion-ion dan

ikatan hidrogennya bertambah kuat (Knoor, 1984). Azhar et al. (2010) menyatakan

bahwa, kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus asetamida

yang dimiliki oleh kitin menjadi gugus amina yang nantinya dimiliki oleh kitosan.

Tujuan dari proses deasetilasi ini adalah untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus

asetil dengan gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah

menjadi gugus amina yang merupakan bagian dari senyawa kitosan yang akan

dihasilkan.

Pertama-tama kitin ditambah NaOH dengan perbandingan 1:20. Pada proses deasetilasi

digunakan NaOH 40% (kelompok D1 & D2), NaOH 50% (kelompok D3 & D4), serta

NaOH 60% (kelompok D5). Dilakukan pengadukan selama 1 jam kemudian didiamkan

30 menit. Dipanaskan 1 jam hingga suhu mencapai 90oC sambil diaduk, kemudian

didinginkan. Suhu pemanasan dan pengadukan akan berpengaruh terhadap derajat

deasetilasi kitosan yang terbentuk. Semakin tinggi suhu maka derajat deasetilasi dari

kitosan yang terbentuk akan meningkat. Tujuan dari pemanasan adalah untuk

meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Sedangkan proses

pengadukan bertujuan untuk meratakan kitin yang digunakan sebagai bahan dengan

larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses deasetilasi berjalan lebih optimal

(Puspawati et al., 2010). Proses pendinginan bertujuan untuk membuat bubuk kitosan

dapat mengendap dengan sempurna di bagian bawah dan tidak ikut terbuang selama

Page 13: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

12

proses pencucian. Dengan waktu reaksi yang lama, nitrogen, karbon dan hidrogen yang

ada pada kitosan disusun secara konsisten dengan rasio N / C tetap sama. Untuk

kemurnian produk kitosan berdasarkan kandungan nitrogen, waktu reaksi 60 menit

sudah dapat menghilangkan senyawa nitrogen dalam kitosan (Yen, 2009). Kemudian

dicuci dengan air hingga pH netral. Proses ini dilakukan bersamaan dengan penyaringan

yang bertujuan untuk memisahkan rendemen kitosan yang terbentuk dengan komponen-

komponen lainnya kemudian dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC. Ramadhan et

al (2010) mengungkapkan bahwa setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan

yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan.

Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen kitosan terbesar dimiliki oleh kelompok D1

sebesar 48,25%. Seharusnya, menurut Hirano (1989) struktur kristal kitin panjang

memiliki ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga di proses

deasetilasi ini digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) konsentrasi 40-50% dan

dikombinasikan dengan suhu yang tinggi yang dapat mengubah struktur kimia kitin

menjadi struktur kitosan. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan pada

proses deasetilasi, hal ini akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang

tinggi pula. Hal tersebut dikarenakan gugus fungsional asam amino dapat mensubstitusi

gugus asetil pada kitin sehingga larutan menjadi semakin aktif. Larutan yang semakin

aktif ini akan membuat proses deasetilasi lebih optimal.

Rendemen kitosan yg dihasilkan dengan penggunaan NaOH sebesar 40%, 50%, dan

60% sudah sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) dan Naznin (2005) yang

mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, rendemen

kitosan yang dihasikan akan semakin rendah. Hal tersebut dikarenakan penambahan

NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat

molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasi

yang dipengaruhi oleh kualitas dan jenis bahan dasar yang digunakan dan proses kondisi

yang dilakukan (waktu, suhu, dan konsentrasi larutan alkali) (Suhardi, 1992).

Berdasarkan teori dari Cahyaningrum (2007), kitosan dapat digunakan sebagai bahan

antimikroba. Hal ini dikarenakan gugus aminopolisakarida dan enzim lysosim dalam

Page 14: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

13

kitosan mampu menghambat pertumbuhan mikroba seperti bakteri dan kapang. Hal ini

dikuatkan oleh Ishihara et al (2015) bahwa kitin dan kitosan memiliki sifat

antimikrobial sehingga selain diaplikasikan kedalam bidang pangan, kitin dan kitosan

ini dapat diaplikasikan kedalam bidang industri yaitu sebagai desinfektan plastik, kertas,

pakaian dan lainnya.

Edible film dikembangkan dari kitin dan turunannya terutama digunakan dalam industri

makanan untuk meningkatkan kualitas makanan dan umur simpan makanan. Lapisan-

lapisan luar / film dapat melindungi komoditi pangan dan dapat mengendalikan

perubahan fisiologis, morfologis dan fisikokimia dalam produk makanan. Film

polietilen dengan densitas tinggi, merupakan bahan kemasan yang umum digunakan

untuk melindungi makanan. Banyak mekanisme yang terlibat dalam memperpanjang

masa simpan makanan oleh film-film coating. Film yang diproduksi dari kitin dan

turunanya dapat digunakan sebagai bahan kemasan aktif yang lebih aman bagi

kesehatan serta lebih ramah lingkungan (Jiffy et al., 2013). Hal ini dikuatkan oleh

Sakthivel et al (2015) bahwa kitosan dapat digunakan sebagai edible film karena

sifatnya yang kuat, tahan lama, dan fleksibel. Film kitosan memiliki permeabilitas air

yang kuat sehingga terbukti dapat memperpanjang masa simpan produk karena aktifitas

air yang tinggi. Selain itu, kitosan memiliki sifat antimicrobial, antitumor, antifungi,

dan meningkatkan imun tubuh.

Page 15: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Kitin yang memiliki struktur kimia (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-

asetil-D-glukosamin yang berikatan dengan ikatan glikosidik β (1,4).

Kitosan memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat

dihasilkan dengan cara menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat.

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran pada kulit udang.

Pengeringan dilakukan untuk menguapkan air.

Penghancuran digunakan untuk memperbesar luas permukaan.

Penambahan HCl bertujuan untuk melarutkan komponen mineral dikulit udang.

Pemanasan berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral, pengadukan

bertujuan untuk menghindari adanya gelembung udara.

Demineralisasi menghilangkan garam anorganik dan mineral dalam kitin, terutama

kalsium karbonat (CaCO3).

Semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen kitin akan semakin banyak.

Proses deproteinasi dilakukan untuk memisahkan kandungan protein pada kitin.

Proses deproteinasi akan menghasilkan rendemen kitin mengalami penurunan dari

rendemen kitin sebelumnya.

Tujuan deasetilasi yaitu memutuskan ikatan kovalen gugus asetil dan gugus nitrogen

pada gugus asetamida kitin dan diubah menjadi gugus amina dari senyawa kitosan.

kitin dan kitosan memiliki sifat antimikrobial

Kitosan dapat digunakan sebagai edible film karena sifatnya yang kuat, tahan lama,

dan fleksibel.

Semarang, 29 Oktober 2015

Praktikan, Mengetahui

Asisten Dosen,

Meliana Dewi Tjan, Ivana Chandra

13.70.0063

14

Page 16: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim et al,. (2013). Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil and Environmental Research. Vol.3, No.2, 2013; ISSN 2222-1719.

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri.

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from Crawfish Shell Waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Ishihara et al,. (2015). Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of Chitin / Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. International Journal of Molecular Sciences; ISSN 1422-0067.

15

Page 17: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

16

Islam et al,. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol. 11 No. 01: page 77-80. Bangladesh.

Jiffy Paul P, Sharmila Jesline J. W& K. Mohan. (2013). Development Of Chitosan Based Active Film To Extend The Shelf Life Of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology Vol. 1, Issue 5: page 15-22. Tamil Nadu, India.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/ SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Page 18: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

17

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Sakthivel et al,. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. Human Journals, Research Article: August 2015 Vol.:4, Issue:1.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Wang, Zhengke., Qiaoling Hu., & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yen Ming-Tsung, Joan-Hwa Yang, Jeng-Leun Mau, (2009). Physicochemical Characterization of Chitin and Chitosan From Crab Shells. Carbohydrate Polymers 75: page 15—21. Taiwan, ROC.

Zaku et al,. (2011). Extraction and Characterization of Chitin; a Functional Biopolymer Obtained From Scales of Common Carp Fish (Cyprinus carpio I.): A Lesser Known Source. African Journal of Food Science Vol. 5(8), pp. 478 – 483.

Page 19: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkering

beratbasa h I× 100 %

Rendemen Chitin II = berat kitin

berat basa h II×100 %

Rendemen Chitosan = berat kitosan

berat basa h III×100 %

Kelompok D1

Rendemen Chitin I= 4,514

× 100 %= 32,14 %

Rendemen Chitin II= 28

× 100 % = 25 %

Rendemen Chitosan=1,523,15

×100 %=48,25

%

Kelompok D2

Rendemen Chitin I= 4,514

× 100 %= 32,14%

Rendemen Chitin II=2,046,5

× 100 %=31,38

%

Rendemen Chitosan=1,383,5

×100 %=39,43

%

Kelompok D3

Rendemen Chitin I= 3,59,5

× 100 %= 36,84 %

Rendemen Chitin II= 1,63,5

×100 %= 45,71

%

Rendemen Chitosan=1,172,5

× 100 %=46,80

%

Kelompok D4

Rendemen Chitin I= 4

11,5× 100 %= 34,78

%

Rendemen Chitin II= 1,74,5

× 100 %= 37,78

%

Rendemen Chitosan=0,982,5

× 100 %=39,20

%

Kelompok D5

Rendemen Chitin I= 3,512

×100 %= 29,17 %

Rendemen Chitin II= 1,85,5

×100 %= 32,73

%

Rendemen Chitosan= 1,373,5

× 100 %= 39,14

%

18

Page 20: Chitin & Chitosan_Meliana_13-70-0063_D5_Unika Soegijapranata

19

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal