chitin chitosan (vicky widia yusrina 13.70.0146)
DESCRIPTION
Chitin ChitosanTRANSCRIPT
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Vicky Widia Yusrina
NIM : 13.70.0146
Kelompok C4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan,
peralatan gelas, kain saring.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, NaOH 3,5%, NaOH
40%, 50%, 60%, HCl 0,75N; 1 N dan 1,25 N.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinyu dilakukan pengadukan.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
Limbahudangdicucidengan air mengalirdandikeringkan, laludicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkankembali.
2
1.2.2. Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
3
1.2.3. Deasetilasi
Lalu residu yang didapat dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Kemudian diaduk 1 jam dan didiamkan 30 menit, lalu dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
Kitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH dengan konsentrasi 40% (kelompok C1 dan C2), 50% (kelompok C3 dan C4) dan 60% (kelompok C5)
(20:1)
4
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan rendemen kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan pelarut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen Kitin I, Kitin II, dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
C1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%23,45 30,00 27,43
C2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%37,82 44,00 37,38
C3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%41,67 54,55 32,16
C4HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%40,00 58,30 24,30
C5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%21,19 40,32 11,25
Dari tabel 1 diatas, dapat diketahui hasil rendemen kitin dan kitosan pada masing-
masing kelompok. Kelompok C1 dan C2 dengan perlakuan HCl 0,75 N, NaOH 40%
dan NaOH 3,5%. Kelompok C3 dan C4 dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 50% dan
NaOH 3,5%. Kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N, NaOH 60% dan NaOH 3,5%
Berdasarkan data tersebut, maka rendemen kitin I terbesar dihasilkan oleh kelompok
C2, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C5. Rendemen kitin II yang terbesar
dihasilkan oleh kelompok C4, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C1.
Sedangkan untuk rendemen kitin III yang terbesar dihasilkan oleh kelompok C2 dan
yang terendah dihasilkan oleh kelompok C5.
5
2. PEMBAHASAN
Udang merupakan salah satu komoditi ekspor yang terbagi menjadi tiga macam, yaitu
produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh, badan tanpa kepala dan
dagingnya saja.Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut,
menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan
kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang
disebut limbah udang Marganov (2003). Tetapi sebenarnya kulit udang merupakan
sumber potensi dalam pembuatan kitin dan kitosan, yaitu biopolimer yang secara
komersil berpotensi dalam berbagai bidang industri.Menurut (Rumengan, I.F.M, 2014)
dalam jurnal“Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the
Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis” mengatakan kitin dan
chitosan sangat potensial untuk industribioteknologi dan rekayasa jaringan, karena
mempunyai karakteristik, kelompoknya reaktif, mudah di adsorbsi, dapat menjadi
bakteriostatik dan fungistatik.
Manfaat kitin di berbagai bidang industri modern cukup banyak, diantaranya dalam
industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil,
pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan.Salah satu alternatif upaya pemanfaatan
limbah cangkang udang agar memiliki nilai dan daya guna produk yang bernilai
ekonomis tinggi adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan.Kitin merupakan hasil
pengolahan kulit udang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka sangatlah
penting untuk mengolah kulit udang menjadi kitin. Kitin serta turunannya mempunyai
sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.Kulit udang mengandung
protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, tetapi besarnya
kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya
(Marganov, 2003).Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya terbatas. Namun
dengan modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik (Marganov, 2003). Ekstrasi kitin dari limbah
cangkang udang menghasilkan rendemen sebesar 20%, sedangkan rendemen kitosan
dari kitin yang diperoleh adalah sekitar 80% (Prasetiyo, 2010).
6
7
Kitin merupakan suatu polisakarida struktural yang mengandung nitrogen dan
bergabung dengan protein dan kalsium sebagai bahan dasar pembentuk kerangka luar
(eksoskeleton) hewan invertebrata seperti udang. Protein yang terdapat dalam limbah
udang sebagian nitrogennya adalah dari nitrogen kitin, tetapi kitin tidak bersifat toksik
atau racun (Muzzarelli, 1985). Cangkang kepala udang mengandung 20-30% senyawa
kitin, 21% protein dan 40-50% mineral. Kitin juga merupakan polisakarida terbesar
kedua setelah selulosa yang mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-
Glukosa) dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya
(Hargono et al., 2008). Kitin yang terkandung dalam Crustacea berada dalam kadar
yang cukup tinggi berkisar antara 20-60% dan tergantung dari spesiesnya. Kitin
termasuk polisakarida yang sangat sukar dilarutkan pada pH netral seperti air sehingga
pelarutan dilakukan dalam suasana asam atau basa.Kitin juga mudah mengalami
degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut air, asam anorganik encer dan asam-
asam organik tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum,
1992).
Kitin yang terdapat di alam terdiri dari kristalin miofibril yang membentuk komponen
eksoskleton dari artropoda atau dinding sel fungi dan yeast. Pada hewan krustasea, kitin
ditemukan sebagai material berserat yang terikat pada 6 protein helix (Pillai et al.,
2009). Selain itu, kitin juga ditemukan pada dinding sel fungi berkisar 30 – 60%, kulit
kerang, paruh burung, dan tulang rawan (bagian tengah) cumi – cumi. Kitin berbentuk
padatan amorf atau kristal dengan panas spesifik 0,373 kal/g/oC, berwarna putih, dan
dapat terurai melalui proses kimiawi (asam kuat dan basa kuat) ataupun biologis
(biodegradable) terutama oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase
(Peter,1995). Alamsyah etal. (2007) mengatakan bahwa ekstraksi kitin dari limbah
udang dapat pula dilakukan secara biologis, yaitu melalui proses fermentasi dengan
menggunakan mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase.
Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan sederhana.
Namun pengolahan tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu menimbulkan
kerusakan lingkungan akibat limbah kimia yang dihasilkan, terjadi korosif yang sangat
tinggi dan terjadinya depolimerisasi akibat pemotongan struktur molekul yang
8
berlebihan oleh senyawa kimia yang digunakan pada protein, mineral dan
vitamin.Pengolahan secara biologis memiliki beberapa keuntungan yaitu menghasilkan
produk dengan kandungan zat makanan yang lebih baik serta ramah lingkungan.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk limbah cair dari ekstraksi
kitin adalah cara tahapan prosesnya yaitu tahapan deproteinasi kemudian dilanjutkan
dengan demineralisasi dan kondisi proses dari setiap tahapan tersebut. Kondisi proses
bisa meliputi konsentrasi zat kimia atau mikroba, lama proses pengolahan, suhu dan pH.
Menurut Hirano (1989), kitosan merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang
dihasilkan dari proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Hali ini
didukung oleh teori dari Kofujiet al. (2005), bahwakitosan merupakan produk awal dari
proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik sehingga dapat digunakan dalam
berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan kitosan memiliki potensi industri yang cukup
besar. Kitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun dan polisakarida yang
tidak larut air sertamerupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi. Berat
molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi.
Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat
interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al., 2007).
Kitosan memiliki sifat polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali
dengan pH di atas 6,5. Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat,
asam asetat, dan asam sitrat dan tidak larut dalam air, larutan basa kuat serta sedikit
larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak
beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik serta mudah
berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Marganov (2003)
menambahkan, kitosan merupakan polimer alam yang dapat berikatan secara crosslink,
apabila ditambahkan crosslinked agent misalnya glutaraldehid, glioksial atau kation
Cu2+.Kitosan mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, hidrofilik,
biokompatibel, pengkelat, antibakteri, dapat terbiodegradasi dan mempunyai afinitas
yang besar terhadap enzim (Cahyaningrum et al., 2007).
9
Menurut jurnal “Production and characterization of chitosan from shrimp waste
(Hossain M.S., dan Iqbal A., 2014)” chitosan merupakan karbohidrat alami yang
berasal dari kitin dari berbagai sumber-sumber alam seperti krustasea, jamur,
serangga dan beberapa ganggang. Umumnya, cangkang darikrustacea yang dipilih
terdiri dari 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat dan kalsium fosfat, dan 20-
30% kitin. Chitosan ini berguna dalam berbagai aplikasi dalam berbagai industri
seperti obat-obatan, biokimia, bioteknologi, industri kosmetik, biomedis, kertas,
industri makanan dan tekstil dan lainnya.
Secara garis besar dalam pembuatan ekstraksi kitin tahapan yang diperlukan antara lain
adalah penggilingan, demineralisasi, deproteinase, pengeringan, dan pembubukan
(Purwaningsih, 1994). Sebelum dilakukan proses demineralisasi terlebih dahulu
dilakukan proses pembuatan serbuk kulit udang. Mula-mula diawali dengan mencuci
kulit udang dan mengeringkannya. Selanjutnya kulit udang dicuci dengan air panas
sebanyak dua kali dan dikeringkan kembali. Setelah itu kulit udang dihancurkan hingga
menjadi serbuk (40-60 mesh).Proses pembuatan serbuk ini berfungsi agar proses
deasetilasi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya
permukaan yang dapat diakses oleh larutan alkali (No dan Meyers, 1997). Pencucian
pertama dengan air mengalir dimaksudkan untuk menghilangkan benda-benda pengotor
yang terikut dalam limbah kulit udang. Sedangkan pencucian dengan air panas, adalah
salah satu tahap sterilisasi, agar mikoorganisme yang merugikan hilang dari limbah kulit
udang. Sedangkan pengeringan berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa air panas yang
masih menempel pada kulit udang sehingga kadar air pada kulit udang secara
keseluruhan akan berkurang dan menghasilkan produk kulit udang yang kering.
Menurut Tarafdar (2013) kulit dan kepala limbah udang mengandung kitin, protein dan
mineral. Sehingga dengan melakukan demineralisasi dan deproteinasi pada limbah
udang akan diperoleh kitin. Hal ini didukung oleh Arbia et al. (2012) bahwa ekstraksi
kitin melibatkan 2 langkah, demineralisasi dan deproteinasi yang dapat dilakukan
dengan dua metode yaitukimia ataubiologi. Metodekimiamemerlukan penggunaanasam
dan basa, sedangkan metodebiologimelibatkanmikroorganisme. Bahkan jikabakteri
asam laktatutama danspesies mikrobalainnyatermasuk bakteriproteolitik yang juga telah
10
berhasil dikulturkan hasilnya akan sebaik kultur campuran yang melibatkan asam laktat
memproduksi bakteri dan mikroorganisme proteolitik. Asam laktat yang dihasilkan
memungkinkan kulit untuk terdemineralisasi, karena asam laktat bereaksi dengan
kalsium karbonat, komponen mineral utama, untuk membentuk kalsium laktat yang
mengendap. Beberapa bakteri asam laktat mengeluarkan enzim proteolitik dan
menyebabkan deproteinisasi dari kulit udang, kemudian mengarah kefraksi kitin yang
solid, serta minuman keras yang mengandung peptida yang larut dan asam amino bebas.
3.1. Demineralisasi
Selanjutnya limbah udang yang sudah menjadi serbuk kemudian masuk kedalam proses
demineralisasi. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam
inorganik atau kandungan mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat
(CaCO3). Terjadinya proses pemisahan mineral ini ditunjukkan dengan terbentuknya
gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel
(Laila & Hendri, 2008). Hal tersebut didukung oleh teori dari Azhar et al. (2010), pada
proses demineralisasi selain terbentuk gas CO2 juga terbentuk ion Ca+2 dan ion H2PO4-
yang terlarut dalam larutan. Reaksi yang terjadi adalah:
CaCO3(s) + 2HCl(aq) CaCl2(aq) + H2O + CO2(g)
Ca3(PO4)2(s) + 4 HCl(aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2(aq)
Bagian cangkang umumnya mengandung banyak kalsium sehingga harus dihilangkan
terlebih dahulu. Pada proses demineralisasi, senyawa kalsium akan bereaksi dengan
asam klorida yang larut dalam air. Protein, lemak, posfor, magnesium dan besi juga
turut terbuang dalam proses ini (Bastaman,1989). Proses demineralisasi ini dilakukan
dengan cara melakukan serbuk yang sudah diayak kemudian ditambah HCl dengan
perbandingan pelarut dengan serbuk sebesar 10 : 1. Konsentrasi HCl yang ditambahkan
pada kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl
1,25N. Penggunaan HCl pada proses demineralisasi ini sudah sesuai dengan teori dari
Bastaman (1989) yang menyatakan bahwa ekstraksi kitin secara kimiawi dilakukan
melalui proses deproteinasi dengan menggunakan basa kuat, dan proses demineralisasi
dengan menggunakan senyawa asam, baik asam kuat atau asam lemah. Tujuan dari
11
ditambahkannya asam adalah untuk memisahkan mineral dari kulit udang (30-50%) di
mana komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer
seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat. Diperkuat menurut jurnal
“Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture ofLactobacillus
plantarum (Khorrami, M, 2012)" pada esktraksi kitin dari bahan krutaceae
menggunakan asam kuat (HCl) untuk menghilangkan mineral dan protein.
Setelah itu larutan diaduk dan dipanaskan pada suhu 900C selama 1 jam diatas hotplate.
Tujuan dari proses pemanasan menurut Puspawati et al. (2010) adalah untuk
mempercepat proses perusakan mineral. Sedangkan tujuan dari pengadukan selama
pemanasan adalah untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang
dihasilkan di mana menurut Hendry (2008), terjadinya proses pemisahan mineral
ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan
HCl ditambahkan ke dalam sampel. Kemudian residu berupa padatan dicuci dengan air
mengalir sampai pH netral, lalu dikeringkan suhu 800C selama 24 jam. Tujuan
pencucian dengan air hingga pH netral adalah untuk menaikkan asam menjadi normal.
Pengujian pH perlu dilakukanuntuk mengetahui apakah larutan kitin sudah mencapai
pH netral atau belum. Pada praktikum ini, pengujian pH dilakukan dengan
menggunakan kertas pH meter.pH meter merupakan alat untuk mengukur kadar asam
dan basa dalam suatu cairan. Sedangkan pengeringan dilakukan untuk menguapkan air
yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk kitin akhir nantinya
adalah berbentuk kering.
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1. diketahui bahwa hasil rendemen kitin pada
proses demineralisasi tertinggi ada pada rendemen kitin I terbesar dihasilkan oleh
kelompok C2, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C1 dan C5. Hasil ini tidak
sesuai dengan pendapat Laila & Hendri (2008), bahwa semakin besar konsentrasi HCl
yang diberikan maka rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar, karena senyawa-
senyawa mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan. Sedangkan menurut
Lehninger (1975) nilai rendemen yang tinggi juga disebabkan karena adanya perlakuan
pemanasan setelah penambahan HCl dan ditambah dengan proses pengadukan karena
dengan adanya pengadukan dapat membantu meratakan panas sehingga dapat
12
meningkatkan jumlah rendemen kitin. Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa pelarut
terbaik yang dapat menghasilkan rendemen tertinggi adalah HCl 0,75 N, hal ini tidak
sesuai dengan pendapat Ramadhan et al. (2010) yang menyatakan bahwa pelarut yang
baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
Menurut Laila & Hendi (2008) dan Lehninger (1975), seharusnya rendemen kitin I yang
terbesar diperoleh pada kelompok C5 (HCl 1,25 N). Salah satu faktornya yaitu karena
penggunaan asam dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Menurut Knorr (1984),
apabila digunakan konsentrasi asam terlalu tinggi dan waktu perendaman yang lebih
lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Pada konsentrasi tinggi reaksi berjalan
terlalu cepat sehingga asam klorida bereaksi dengan protein sedangkan komponen
mineralnya belum terlepas secara sempurna.Selain itu, juga dapat disebabkan karena
pada saat tahap pencucian, beberapa komponen juga ikut terbuang sehingga nilai
rendemen kitin menjadi berkurang. Kesalahan lain yang muncul mungkin disebabkan
karena pada saat penimbangan berat basah masih terdapat kandungan air yang cukup
banyak, sehingga berat basah menjadi sangat tinggi dan menghasilkan berat rendemen
yang kecil. Selain itu mungkin juga dapat disebabkan karena proses pengadukan yang
kurang optimal, sehingga saat pencucian hingga pH netral perlu dilakukan hingga
berulang kali. Hal inilah yang dapat menyebabkan serbuk menyerap terlalu banyak air
dan menyebabkan berat basah menjadi sangat tinggi.
3.2. Deproteinasi
Hasil dari proses demineralisasi yang berupa tepung kemudian ditambah dengan NaOH
3,5% dengan perbandingan pelarut dan serbuk (6:1) untuk setiap kelompok. Menurut
Lehninger (1975), deproteinasi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk
menghilangkan atau melarutkan protein semaksimal mungkin dari substrat, biasa
dilakukan dengan menggunakan larutan kimia yang bersifat basa. Menurut Suharto
(1984) penambahan NaOH 3,5% merupakan alkali paling efektif yang mampu
memperbesar volume partikel bahan, sehingga ikatan antar komponen menjadi
renggang, dan mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin, sehingga kitin akan
mengalami deasetilasi dan berubah menjadi kitosan yang menyebabkan kadar kitin
berkurang. Kemudian larutan tersebut diaduk dan dipanaskan selama 1 jam pada suhu
13
70ºC diatas hotplate. Pemanasan bertujuan untuk mendenaturasi protein sehingga
protein dapat lebih mudah dipisahkan. Hal ini sesuai dengan teori Ramadhan et al.,
(2010) yang berpendapat bahwa pada proses deproteinasi juga dilakukan pemanasan
dan pengadukan di mana hal ini bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH, sehingga
hasil kitin yang didapatkan lebih optimal. Kemudian larutan tersebut disaring dan
didinginkan. Proses penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan padatan yang masih
tersisa dalam tepung tersebut. Menurut Rogers (1986), tujuan pendinginan selama 30
menit adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap dibawah, sehingga tidak terbuang
saat pencucian.
Residu yang didapat kemudian dicuci dengan air mengalir hingga pH netral. Tujuan
pencucian dengan air adalah menurunkan basa menjadi normal. Proses pencucian secara
bertahap (hingga pH-nya netral dalam praktikum ini) juga dapat mempengaruhi sifat
penggembungan kitin dengan alkali oleh karena itu efektivitas proses hidrolisis basa
terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik. Sehingga dapat dikatakan
bahwa proses pencucian akan menghasilkan kitin yang baik. Setelah dicuci, padatan
kitin kemudian dikeringkan kembali dalam oven 80ºC selama 24 jam yang bertujuan
untuk menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk
kitin akhir adalah berbentuk kering. Secara garis besar cara kerja yang dilakukan dalam
praktikum kitin ini sama dengan cara kerja dari Rochima E(2005) dimana dikatakan
bahwa setelah melalui proses demineralisasi dan sudah dikeringkan, maka dilakukan
proses penghilangan protein (deproteinasi) dengan penambahan larutan NaOH 3,5%
rasio 1:10, lalu dipanaskan pada 90oC selama satu jam.
Dari hasil pengamatan yang didapatkan, rendemen kitin II yang terbesar dihasilkan oleh
kelompok C4, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C1.Menurut Rochima
E(2005), rendemen dari proses deproteinasi ini berkisar sebesar 32%. Hal ini sudah
sesuai dengan hasil percobaan pada kelompok C1 sampai C5.Menurut Winarno (1997),
pemanasan dalam waktu yang cukup lama juga dapat menyebabkan denaturasi protein
sehingga protein terlarut dapat berkurang, begitu pula sebaliknya, waktu pemanasan
yang lebih singkat menghasilkan kandungan protein terlarut yang rendah karena protein
belum terlarut secara menyeluruh. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas
14
produk cair dari ekstraksi kitin adalah tahapan proses, yaitu tahapan deproteinasi-
demineralisasi atau sebaliknya, dan kondisi proses dari setiap tahapan tersebut. Kondisi
proses antara lain: lama proses pengolahan, suhu, konsentrasi zat kimia dan pH (Laila &
Hendri, 2008).
3.3. Deasetilasi
Dalam proses pembuatan kitosan, perlakuan lanjutan setelah tahap deproteinasi selesai
dilakukan, yaitu proses diasetilasi. Dalam proses diasetilasi ini, pada kitin ditambahkan
NaOH dengan konsentrasi 40% (kelompok C1 dan C2), 50% (kelompok C3 dan C4)
dan 60% (kelompok C5) dengan perbandingan 20:1 untuk NaOH : kitin. Enzim dari
kitin yang beraktivitas pada proses ini adalah enzim kitin diacetilase. Penambahan
larutan NaOH ini dilakukan pada kitin yang telah berbentuk tepung dengan tujuan agar
proses deasetilasi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya
permukaan yang dapat diakses oleh larutan alkali (No dan Meyers, 1997).Penggunaan
konsentrasi NaOH yang lebih besar daripada 40% ini juga memiliki tujuan sendiri, yaitu
untuk memutuskan ikatan antar gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin yang
memiliki struktur kristal tebal dan panjang. Tingginya konsentrasi NaOH menyebabkan
gugus fungsional amino (-NH3+) yang mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem
larutan semakin aktif sehingga proses deasetilasi semakin baik (Angka dan Suhartono,
2000).
Kemudian campuran dipanaskan dan diaduk selama 1 jam diatas hotplate. Menurut
Martinou et al. (1995) perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah
konformasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk
mendeasetilasi polimer kitin.Ditambahkan menurut jurnal “Chitin and Chitosan
Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications (Younes I,
2015) dalam industri pengolahan, kitin diekstrak dengan asam menghilangkan kalsium
karbonat yang ditambah alkali untuk melarutkan protein. Selain itu, langkah
penjernihan sering ditambahkan untuk menghapus pigmen dan mendapatkan kitin
murni tidak berwarna.
15
Menurut Johnson (1982), suhu dan lama perendaman NaOH berpengaruh terhadap
pemecahan rantai molekul kitin. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150oC)
menyebabkan pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan
sehingga menurunkan berat molekul kitosan. Sedangkan pada suhu di bawah 100oC,
pemutusan gugus asetil tidak berlangsung sempurna dan membutuhkan waktu lebih
lama. Proses pemanasan ini bertujuan agar gugus asetil pada kitin hilang. Proses
pengadukan berfungsi untuk menghomogenkan antara kitin dengan larutan NaOH yang
ditambahkan sebelumnya (Fachruddin, 1997).
Setelah pemanasan selama 1 jam, kemudian didinginkan selama 30 menit. Menurut
Rogers (1986), tujuan pendinginan selama 30 menit adalah agar bubuk kitosan pada
larutan dapat mengendap di bawah, sehingga tidak terbuang saat pencucian. Lalu residu
tersebut disaring dan dicuci dengan air mengalir sampai pH netral. Penyaringan sendiri
berfungsi untuk memisahkan padatan yang masih tersisa.Kemudian pencucian hingga
pH netral ini berfungsi agar larutan NaOH yang masih terkandung dalam kitosan
tersebut dapat hilang.Karena pada saat masih dalam bentuk kitin dilakukan pelarutan
menggunakan basa agar kitin dapat larut (Bartnicki-Garcia, 1989).Selanjutnya proses
pengeringan di oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Pengeringan ini bertujuan agar air
yang masih terdapat dalam kitosan tersebut dapat teruapkan semua.Jika air dapat
teruapkan semua, maka bisa didapatkan serbuk yang kering.
Pada hasil pengamatan deasetilasi didapatkan nilai rendemen kitosan dengan
menggunakan NaOH 40%, 50% dan 60%, diketahui untuk rendemen kitosan III yang
terbesar dihasilkan oleh kelompok C2 dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C5.
Menurut Hong et al. (1989) yang menyatakan bahwa penggunaan NaOH yang semakin
tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang semakin rendah. Konsentrasi NaOH
yang tinggi akan menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan yang
akhirnya akan menyebabkan penurunan berat molekul kitosan. Hasil yang didapatkan
sesuai dengan teori tersebut, karena rendemen kitosan terkecil ada pada kelompok C5
yang menggunakan konsentrasi NaOH paling besar 60% dengan hasil rendemen yaitu
11%.Tetapi untuk kelompok C1 didapat hasil rendemen kitosan yang cukup tinggi
melebihi kelompok C5 yaitu sebesar 27,43 untuk konsentrasi NaOH 40%.
16
Ketidaksesuain teori dengan hasil pengamatan mungkin dapat disebabkan karena proses
pengadukan yang kurang, sehingga tidak ada peningkatan suhu dan menyebabkan
derajat deasetilasi akan menurun meskipun konsentrasi penggunaan konsentrasi NaOH
sama pada tiap kelompok. Selain itu, juga dapat disebabkan karena pada saat tahap
pencucian, beberapa komponen juga ikut terbuang sehingga nilai rendemen kitin
menjadi berkurang atau juga karena pada proses pendinginan terjadi dalam waktu yang
singkat sehingga pengendapan kitin belum terjadi dengan maksimal yang
mengakibatkan kitin mudah mudah terbuang saat pencucian.Dengan adanya kitosan
yang ikut terbuang ini, maka nilai rendemen yang dihasilkan juga akan semakin
menurun. Suhu pemanasan yang tinggi juga akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil
(CH3CHO-) dari molekul kitin.
Adanya proses pengadukan dapat menyebabkan tingginya suhu reaksi, maka derajat
deasetalasi kitosan juga meningkat. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu konsentrasi NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya. Perbedaan hasil
yang diperoleh dengan pustaka dapat disebabkan karena proses pengadukan yang
berlebih sehingga meningkatkan suhu, dan menyebabkan derajat deasetilasi akan
meningkat meskipun konsentrasi penggunaan NaOH lebih kecil daripada kelompok
lainnya (Puspawati & Simpen,2010). Berdasarkan penelitian oleh Khorrami et al.
(2012) Asam laktat dan protease yang dihasilkan ini digunakan untuk ekstraksi kitin
secara biologis dari kulit udang.L. plantarum ini ditumbuhkan dalam batch kultur yang
mengandung serbuk cangkang udang dan sirup yang diinkubasi pada suhu 30oC. Asam-
asam organik yang dihasilkan dan protease pada L. plantarum mampu dip roses secara
demineralisasi dan deproteinasi. Persentase deproteinase dan demineralisasi adalah 45
dan 54. Kitin kemudian dikonversi menjadi kitosan dengan N-deasetilasi dengan
menggunakan larutan NaOH.Persentase deasetilasi berdasarkan spectrum FTIR adalah
83%.
Kitin juga dapat dideasetilasi untuk mendapatkan kitosan yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi pada senyawa kimianya. Pada dasarnya kitin dapat digunakan pada berbagai
macam aplikasi, seperti yang dikatakan oleh Aranaz et al. (2009) secara umum kitin
memiliki sangat sedikit karakteristik polimer, sehingga sangat sulit untuk
17
membandingkan hasilnya dan mengembangkan hubungan antara karakteristik fisiologi
dari kitin dan kitosan. Kitin dapat digunakan untuk mengurangi kandungan logam,
pengolahan limbah, agent pengemulsi, pengawet dan lain sebagainya.Dutta et al. (2004)
mengatakan bahwa dalam penggunaannya, kitin dan kitosan cukup serbaguna dan
sebagai penghasil biomaterial. Senyawa turunan dari proses deasetilasi kitin dan
kitosan sangat berguna dan dapat dijadikan senyawa bioaktif polimer. Menurut jurnal
“Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR,
Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application
(Krishnaveni B., dan Ragunathan, R. 2015)” kitosan dapat menjadi antibakteri dan
antijamur. Kitin dan kitosan juga memiliki asam amino yang memungkinkan terjadinya
modifikasi senyawa kimia.
3. KESIMPULAN
Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang mempunyai
rumus kimia poli(2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan ikatan β-glikosidik
(1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya.
Kulit udang mengandung protein 25- 40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin
15-20%.
Kitosan merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari
proses deasetilasi kitindengan menggunakan alkali kuat, rumus kimianya poli(2-
amino-2-dioksi-β-D-Glukosa),
Proses pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini meliputi tiga proses
penting, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Proses pembuatan serbuk kulit udang berfungsi agar proses deasetilasi dapat
berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya permukaan yang
dapat diakses oleh larutan alkali.
Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral
yang biasanya banyak terdapat pada bagian kulit dari udang.
HCl digunakan untuk menghilangkan kandungan mineral yang ada.
Pengadukan berfungsi agar tepung udang tersebut dapat benar-benar bercampur
dengan larutan HCl secara homogen.
Proses pemanasan yang dilakukan dalam demineralisasi berfungsi untuk
menguapkan semua gas CO2sehingga tidak terbentuk busa.
Pencucian pada demineralisasi hingga pH netral berfungsi untuk menghilang
mineral yang masih tersisa sedikit pada tepung udang.
Proses deproteinase bertujuan untuk menghilangkan kandungan protein yang
terdapat dalam kulit udang tersebut.
Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah konformasi
kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk
mendeasetilasi polimer kitin.
Proses pemanasan pada deproteinasi bertujuan untuk mendenaturasikan protein.
Pencucian hingga pH netral pada deproteinasi berfungsi untuk mencegah agar
kitin tidak ikut teruapkan pada proses pengeringan pada oven.
18
19
Proses deasetilasi ini adalah proses yang dilakukan untuk membuat kitosan,
dengan bahan baku kitin.
Penggunaan NaOH bertujuan agar konformasi kristalin kitin yang rapat dapat
diubah sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer
kitin.
Proses pengadukan pada deaseteliasi berfungsi untuk menghomogenkan antara
kitin dengan larutan NaOH yang ditambahkan.
Proses pendiaman dimaksudkan agar padatan dapat mengendap dibagian dasar.
Derajat deasetilasi kitosan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi
NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya.
Semarang, 22 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Vicky Widia Yusrina Tjan, Ivana Chandra
13.70.0146
4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Aranaz, Imaculada., Marian Mengibar, Ruth Harris, Ines Panos, Beatriz Miralles, Niuris Acosta, Gemma Galed and Angeles Heras. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology, 3, 203-230.
Arbia, Wassila., Leila Arbia, Lydia Adour and Abdeltif Amrane. (2012). Crustacean Shells by Biological Methoda- A Review.
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.
Bartnicki-Garcia, S. 1989. The biological cytology of chitin and chitosan synthesis in fungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier, London.
Bastaman, S. (1989).Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast.143 p.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius.Yogyakarta.
Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta and V S Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific & Industrial Research Vol. 63, pp 20-31.
Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.
Hendry, Jhon, 2008, Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk
20
21
Pembuatan Polimer Kitin danDeasetilasihttp://www.fmipa.unila.ac.id/prosiding2 008., 30 April 2009.
Hirano.(1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Hossain M.S., dan Iqbal A. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp waste. Department of Food Technology & Rural Industries, Bangladesh Agricultural University, Mymensingh-2202,Bangladesh.
Johnson EL. Dan QP. Peniston. 1982. Utilization of shellfish wastes for production of chitin and chitosan. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Product.The AVI. Connecticut.
Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi and M. N. Hosseinpour.(2012). Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217-223.
Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85.
Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. (2005). Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83.
Krishnaveni B., dan Ragunathan, R. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. Department of Biotechnology, Maharaja Co-education Arts and Science College, Perundurai, Erode, India.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Marganov.(2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan.Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Muzzarelli, R.A.A..(1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.
No H.K dan S.P. Meyers. 1997. Preparation of chitin and chitosan. Di Dalam R.A.A.
22
Ornum JV. (1992). Shrimp waste must it be wasted? Infofish (6)92.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince 34, 641-678.
Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen.(2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH.Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Prasetiyo WK. (2010). Pembuatan kitin, bisnis masa depan. http://www.biomaterial.lipi.go.id/?p=154. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Ramadhan, L.O.A.N.; C.L. Radiman; dan D. Wahyuningrum.(2010). Deasetilasi Kitin secara Bertaha dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1) 2010 h. 17-21.
Rochima E. 2005. Aplikasi kitin deasetilase termostabil dari Bacillus papandayan K29-14 asal Kawah Kamojang Jawa Barat pada pembuatan kitosan.Tesis.Fateta.IPB.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Rumengan, I.F.M, (2014). dalam jurnal“Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis.Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sam Ratulangi University, Manado, Indonesia.
Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tang ZX, Shi L, Qian J. (2007). Neutral Lipase from Aqueous Solutions on Chitosan nano particles. Journal Biochemical Engineering 34: 217-223.
Tarafdar, Abhrajyoti and Gargi Biswas.(2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. ISSN: 2319-3182, volume-2, Issue 3.
Winarno,F.G., (1997), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
23
Younes I, dan Rinaudo, M. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Laboratory of Enzyme Engineering and Microbiology, University of Sfax, National School of Engineering, PO Box 1173-3038
24
5. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Perhitungan Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = beratkitin
beratbasa h II×100 %
Rendemen Chitosan = beratkitosan
beratbasa h III×100 %
Kelompok C 1
Rendemen Chitin I = 3,5
14,5×100 %
= 23,45 %
Rendemen Chitin II = 1,55,0
×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitosan = 0,963,5
× 100 %
= 27,43 %
Kelompok C 2
Rendemen Chitin I = 4,5
11,9× 100 %
= 37,82 %
Rendemen Chitin II = 2,25
×100 %
= 44 %
Rendemen Chitosan = 1,574,2
× 100 %
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I = 4,5
10,8×100 %
= 41,67 %
Rendemen Chitin II = 3
5,5×100 %
= 54,55 %
25
Rendemen Chitosan = 1,193,7
×100 %
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I = 4
10×100 %
=40,00 %
Rendemen Chitin II = 3,56
×100 %
= 58,3 %
Rendemen Chitosan = 1,415,8
×100 %
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I = 2,511,8
× 100 %
= 21,19 %
Rendemen Chitin II = 2,56,2
×100 %
= 40,32 %
Rendemen Chitosan = 0,181,6
× 100 %
= 11,25 %
5.2. Laporan Sementara
5.3. Diagram Alir
5.4. Abstrak Jurnal