lap ipteks jumput

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Penduduk Indonesia yang (dulu) sebagian besar hidup dari bertani, dewasa ini semakin bergeser dan menjadi beragam pola penghidupannya, terutama di kota besar seperti Surabaya. Bertani bukan lagi menjadi primadona dalam mengais rupiah. Ini juga menyebabkan lahan pertanian yang dulunya terbentang luas berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, ruko, maupun perumahan. Keadaan petani semakin terjepit antara realitas hidup bahwa penghasilan dari bertani tidak lagi mencukupi untuk masa depan bahkan untuk memenuhi kehidupan sehari-haripun masih kurang, sedangkan sisi lain, tidak ada ketrampilan lain yang dimiliki selain bercocok tanam. Disinilah peranan kelompok tani sangat diperlukan. Kelompok tani selain berfungsi sebagai wadah bagi petani dalam mengembangkan keilmuan dan ketrampilannya berkaitan dengan pertanian, juga sebagai sarana menyampaikan ketrampilan-ketrampilan baru yang masih berkaitan dengan tanaman maupun informasi lain yang berkenaan dengan kesejahteraan keluarga, seperti peningkatan pengetahuan tentang gizi dan tanaman obat keluarga. “Mayangsari” adalah nama dari kelompok tani yang berada di Kelurahan Kebonsari kecamatan Jambangan, Surabaya. Kelompok tani “Mayangsari” ini diketuai oleh Ny. Thohirman, yang dikukuhkan sebagai Kontak Tani pada tanggal 4 Desember 1985 Soetarto KS. B. BA selaku Ketua Forum Koordinasi Penyuluhan Pertanian Kodya Surabaya waktu itu. Kegiatannya kelompok tani “Mayangsari” tidak jauh berbeda dengan kelompok tani lainnya. Namun karena keberadaannya di perkotaan maka ada beberapa kelebihan, antara lain lebih cepat dalam menyerap informasi dan mayoritas anggotanya memiliki pendidikan yang cukup (minimal lulus SMP). Kegiatannya pun lebih bervariasi dan tidak hanya monoton mengenai pertanian melainkan juga mengadakan pelatihan seperti yang pernah dilakukan adalah membuat saos tomat dan saos sambal. Penekanan kegiatan kelompok tani Mayangsari sedikit berbeda dengan kelompok tani pada umumnya. Karena mata pencaharian pokok bukan di sektor pertanian (bertani) maka diharapkan dengan bercocok tanam dapat menambah pendapatan sehingga nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Upload: nurr-hayaatii-yahya

Post on 14-Aug-2015

122 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

PALF

TRANSCRIPT

Page 1: Lap Ipteks Jumput

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Analisis Situasi

Penduduk Indonesia yang (dulu) sebagian besar hidup dari bertani,

dewasa ini semakin bergeser dan menjadi beragam pola penghidupannya,

terutama di kota besar seperti Surabaya. Bertani bukan lagi menjadi primadona

dalam mengais rupiah. Ini juga menyebabkan lahan pertanian yang dulunya

terbentang luas berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, ruko, maupun

perumahan. Keadaan petani semakin terjepit antara realitas hidup bahwa

penghasilan dari bertani tidak lagi mencukupi untuk masa depan bahkan untuk

memenuhi kehidupan sehari-haripun masih kurang, sedangkan sisi lain, tidak ada

ketrampilan lain yang dimiliki selain bercocok tanam.

Disinilah peranan kelompok tani sangat diperlukan. Kelompok tani selain

berfungsi sebagai wadah bagi petani dalam mengembangkan keilmuan dan

ketrampilannya berkaitan dengan pertanian, juga sebagai sarana menyampaikan

ketrampilan-ketrampilan baru yang masih berkaitan dengan tanaman maupun

informasi lain yang berkenaan dengan kesejahteraan keluarga, seperti

peningkatan pengetahuan tentang gizi dan tanaman obat keluarga.

“Mayangsari” adalah nama dari kelompok tani yang berada di Kelurahan

Kebonsari kecamatan Jambangan, Surabaya. Kelompok tani “Mayangsari” ini

diketuai oleh Ny. Thohirman, yang dikukuhkan sebagai Kontak Tani pada tanggal

4 Desember 1985 Soetarto KS. B. BA selaku Ketua Forum Koordinasi

Penyuluhan Pertanian Kodya Surabaya waktu itu.

Kegiatannya kelompok tani “Mayangsari” tidak jauh berbeda dengan

kelompok tani lainnya. Namun karena keberadaannya di perkotaan maka ada

beberapa kelebihan, antara lain lebih cepat dalam menyerap informasi dan

mayoritas anggotanya memiliki pendidikan yang cukup (minimal lulus SMP).

Kegiatannya pun lebih bervariasi dan tidak hanya monoton mengenai pertanian

melainkan juga mengadakan pelatihan seperti yang pernah dilakukan adalah

membuat saos tomat dan saos sambal.

Penekanan kegiatan kelompok tani Mayangsari sedikit berbeda dengan

kelompok tani pada umumnya. Karena mata pencaharian pokok bukan di sektor

pertanian (bertani) maka diharapkan dengan bercocok tanam dapat menambah

pendapatan sehingga nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Page 2: Lap Ipteks Jumput

2

Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian kelompok tani ini, sedangkan misi yang

diemban adalah membentuk keluarga sehat dan sejahtera.

Banyak kegiatan yang telah dilakukan, baik internal dalam lingkungan

kelurahan misalnya pelatihan teknik pembibitan (mencangkok dan okulasi),

menanam tanaman hias dalam pot, serta beternak ayam, maupun kegiatan

eksternal dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Tidak jarang kelompok tani

Mayangsari ini mendapat penghargaan berupa pohon untuk ditanam oleh

anggota agar nantinya dapat diambil hasilnya (baik bunga maupun buah).

Pada tahun 1990-an, Bapak Purnomo Kasidi (waktu itu menjadi Walikota

Surabaya) pernah mencanangkan gerakan sejuta pohon diseluruh Surabaya.

Kelompok tani Mayangsari memperoleh 5000 bibit pohon mangga untuk ditanam

di halaman rumah penduduk maupun di pinggir-pinggir jalan. Hasil buah nantinya

boleh dinikmati sendiri maupun dijual.

Pada tahun 2002, PT Unilever bekerjasama dengan Dinas Pemantapan

Pangan Kota Surabaya juga memberikan 1000 bibit pohon pace dalam rangka

pemasyarakatan buah pace sebagai jus dan kripik pace. Pohon pace ini ditanam

disekitar rumah anggota dan dipinggir jalan. Pada akhirnya hasil buah pace ini

juga dimanfaatkan sebagai jamu.

Berangkat dari gambaran tersebut dapat dilihat potensi sumber daya alam

kelompok tani Mayangsari yang sudah memiliki ribuan pohon mangga dan pace,

yang selama ini hanya diambil buahnya saja. Alangkah baiknya jika pemanfaatan

sumber daya alam tersebut dapat ditingkatkan dan lebih lanjut dapat menjadi

alternatif penambah penghasilan anggota kelompok tani Mayangsari.

B. Perumusan Masalah

Secara umum, permasalahan yang dihadapi kelompok tani Kelurahan

Kebonsari sebagai wadah petani adalah berkaitan dengan masih terbatasnya

ketrampilan memanfaatkan bahan alam yang ada disekitarnya sebagai alternatif

usaha, yang meliputi :

1. Tersedianya banyak bahan alami berupa pohon mangga dan pace yang

diperoleh dari sumbangan pemerintah dan swasta yang selama ini belum

dimanfaatkan secara maksimal, hanya diambil buahnya saja.

2. Kegiatan kelompok tani pada umumnya masih terpusat pada bidang

pertanian.

3. Jarang diadakan kegiatan yang menyangkut pemberian pelatihan non

pertanian.

Page 3: Lap Ipteks Jumput

3

C. Tujuan Tujuan dilaksanakannya pelatihan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan tentang pembuatan batik

tritik jumput dengan pewarna alami kepada anggota kelompok tani

Mayangsari di Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.

2. Mengembangkan kreatifitas dalam memanfaatkan waktu luang anggota

kelompok tani Mayangsari Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.

3. Menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar.

D. Manfaat Adapun manfaat yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut :

1. Bagi kelompok tani Mayangsari Kelurahan Kebonsari, pelatihan bermanfaat

untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan tentang pembuatan batik

tritik jumput terutama dengan pemanfaatan bahan alam sebagai pewarnanya,

sekaligus mengembangkan kreatifitas dalam memanfaatkan waktu luang.

2. Bagi Pelaksana Pelatihan, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk

pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada

masyarakat.

3. Bagi Lembaga Pendidikan khususnya Jurusan Seni Rupa, kegiatan ini

bermanfaat untuk menjalin kemitraan dan membina hubungan baik dengan

masyarakat.

Page 4: Lap Ipteks Jumput

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tekstil Celup Ikat

Batik dan celup ikat, secara teknis pada dasarnya mempunyai kesamaan.

Keduanya menggunakan bahan perintang untuk menghias permukaan kain dan

disebut dengan celup rintang. Perbedaannya, batik menggunakan

lilin/malam/bubur ketan untuk menghalangi masuknya warna sedangkan celup

ikat menggunakan tali, benang ataupun karet untuk menghalangi masuknya

warna. Teknik ini merupakan teknik rekalatar yang tertua. Kemudian berkembang

di Jawa yang disebut tritik, jumput, atau pelangi, sedangkan di Bali, Palembang,

juga Kalimantan disebut kain sasirangan.

Dalam bahasa Indonesia tritik berarti menetes secara berkesinambungan

dalam tetesan kecil dan etimologinya berhubungan dengan batik. Kata teritik

sendiri menangkap secara tepat dari salah satu metode yang diberi nama

sebagai penggunaan dari menjahit untuk membuat titik-titik kecil berwarna. Garis

lurus dapat pula dibuat dari tritik dan digunakan sebagai outline. Metode teritik

ditemukan di Jawa Tengah yang digunakan untuk menghiasi kemben (penutup

dada) dan dodot (baju adat Jawa). ( Hitchcock, 1991)

Teknik ikat dan jahit merupakan karakteristik pembuatan kain jumputan di

Jawa. memiliki corak geometris dengan isian tritik. Pewarnaan dengan

pencelupan maupun coletan dan ada kalanya dipadukan dengan teknik batik.

Di Palembang teknik celup ikat yang umum digunakan dan menjadi ciri

khas adalah dengan mengikat bagian-bagian kain yang telah dijelujur menurut

coraknya. Pewarnaan dengan teknik celup, colet, dan dilapisi dengan warna

emas/prada. Corak yang umum digunakan adalah geometris dan bentuk-bentuk

vegetal.

Di Kalimantan, celup ikat dihasilkan dengan cara ikat jahit tanpa

pewarnaan dengan colet. Umumnya corak yang ditampilkan berupa baris-baris

bergelombang maupun bunga-bunga dengan gabungan banyak warna yang

dihasilkan dari pencelupan berulang.

Celup ikat dengan jahit jelujur merupakan karakteristik kain-kain

tradisional sedangkan teknik lipat dan ikat mulai diterapkan pada kain-kain baru.

Di Asia, Cina menjadi bangsa tertua yang mengembangkan celup ikat. Di India

terutama di Rajastan dan Gujarat, celup ikat banyak diterapkan pada busana

Page 5: Lap Ipteks Jumput

5

tradisional “sari”. Demikian halnya di Jepang, celup ikat banyak digunakan untuk

“kimono”, dengan corak yang sangat halus, rinci dan dipadukan dengan teknik

tenun. Celup ikat juga berkembang di Kamboja, Ciprus, Damaskus dan Korea.

Di Afrika khususnya daerah Guinea, Sudan Barat, Kamerun, Kongo, dan

Gran Chaco, celup ikat diterapkan pada kain berukuran besar dengan motif

geometris penuh. Teknik lipat dan ikat yang juga ciri khas Afrika umunya

menggunakan paduan warna latar gelap dengan nuangsa warna kuning. Celup

ikat Tunisia, Algire dan Libia diterapkan pada busana serta perlengkapan lainnya.

Celup ikat ini juga berkembang di Amerika, seperti Kolombia, Peru dan Meksiko.

(Ratyaningrum, 2004)

Teknik pembentukan corak pada celup ikat meliputi : jumput, lipat, gulung,

dan jahit jelujur. Adapun penjelasan dari teknik tersebut adalah sebgai berikut :

♦ Teknik Jumput caranya adalah dengan memegang bagian kain dengan ujung

jari, kemudian kain ditarik keatas sehingga membentuk kerucut. Bagian

bawah dari puncak kemudian diikat, baik dengan ikatan tunggal maupun

jamak.

♦ Teknik Lipat caranya adalah dengan melipat kain dengan lipatan sedemikian

rupa sehingga menghasilkan bentuk geometris tertentu.

♦ Teknik Gulung caranya adalah dengan menggulung kain kemudian diikat

atau dijahit, dengan demikian kemungkinan warna tidak merata.

♦ Teknik Jelujur caranya adalah dengan menjahit jelujur kain menurut motif

tertentu kemudian hasil jelujuran ditarik benangnya sehingga kain terkerut-

kerut.

B. Bahan dan Alat Batik Tritik dan Jumput Kain tritik dihasilkan dengan menjahit (Jawa: nritik) dan menyimpul secara

menyilang bagian-bagian tertentu pada kain. Benang terbaik untuk membuat

tritikan adalah benang yang terbuat dari serat daun nanas karena memiliki

kelebihan tahan panas, sangat kuat tetapi mempunyai daya lentur rendah.

Sedangkan kain jumput dibuat dengan cara mengambil sedikit bagian

(Jawa: njumput) dari kain untuk diikat kuat-kuat sehingga ketika diwarna bagian

yang terikat tersebut tidak termasuki warna.

a. Kain

Pembuatan batik jumput sebaiknya menggunakan jenis kain yang

berbahan kapas atau bahan lain yang tidak banyak mengandung plastik,

Page 6: Lap Ipteks Jumput

6

sehingga tidak mengalami kesulitan saat pewarnaan. Kain yang umumnya

digunakan adalah jenis sutra dan katun.

b. Jarum jahit

Jarum jahit digunakan untuk membuat tiritik dengan cara menjahit

jelujur bagian motif yang diinginkan. Jarum yang digunakan sebaiknya yang

berukuran sedang, karena benang yang digunakan berukuran lebih besar

dari benang jahit umumnya.

c. Serat Nanas/Benang nylon

Sebenarnya bahan terbaik untuk membuat tritik adalah serat nanas.

Namun demikian benang nylon jiga dapat digunakan karena benang nylon

terbuat dari bahan sintetis dan dapat menghalangi masuknya zat warna pada

kain dengan cukup baik.

d. Pengikat

Pengikat yang berfungsi untuk menghalangi masuknya warna pada

kain ini dapat berupa tali rafia, karet gelang, serat nanas, benang nylon, dsb.

Baik pada jumput maupun tritik jika pengikatan kurang kuat maka hasilnya

menjadi kurang sempurna.

e. Kelereng, batuan, biji-bijian, kancing baju, manik-manik, stik es krim, dan

sebagainya.

Kelereng, batuan, biji-bijian, kancing baju, manik-manik, stik es krim,

atau bahan lainnya dapat digunakan sebagai isian untuk pembuatan batik

jumput. Dengan adanya isi, pengikatan bisa menjadi lebih mudah. Kancing

baju bisa dijahitkan pada kain yang telah dilipat-lipat sehingga menghasilkan

motif tersendiri. Demikian juga dengan stik es krim. Melalui pengikatan yang

sedemikian rupa maka akan dapat dihasilkan motif yang beragam.

f. Pewarna batik

Pewarna batik secara garis besar dibagi atas zat warna alam dan zat

warna sintetis. Tentang pewarna batik ini secara lebih lanjut dibahas pada

bagian selanjutnya.

C. Macam-macam Zat Pewarna Pada Batik Dilihat dari asal bahan dasarnya zat pewarna pada batik dapat dibagi

menjadi dua, yaitu :

1. Zat Warna Alam (ZWA)

Hampir semua tumbuhan di sekitar kita, baik tumbuhan liar maupun

yang sengaja ditanam, dapat dimanfaatkan sebagai pewarna karena masing-

masing mengandung pigmen warna. Kadang keberadaan mereka tidak kita

Page 7: Lap Ipteks Jumput

7

lirik karena dianggap tidak memiliki nilai sosial ekonomi, misalnya putri malu,

pacar air, kemikir sayur, dan lain-lain.

Bagian tumbuhan yang mengandung ZWA tidak sama antara satu

dengan lainnya. Zat Warna Alam dapat terkandung dalam kayu, kulit kayu,

daun, bunga, kulit akar, buah/biji, dsb. Sumber-sumber ZWA akan

menghasilkan warna dan ketahanan yang berbeda jika diterapkan pada

media katun, sutera, wool, maupun lainnya, dan itu tergantung pada jenisnya.

Berikut disajikan tabel contoh tumbuhan yang dapat menghasilkan

warna alam.

No. Nama lokal Bagian yang menghasilkan warna Arah warna

1 Tom, nila Daun Biru 2 Tingi Kulit batang Coklat 3 Tegeran Pohon/kayu Kuning

4 Jambal Kulit batang Kuning abu-abu

5 Putri malu Bunga, daun Kuning kehijauan

6 Teh-tehan merah Daun Ungu 7 Nangka/Jack fruit Pohon/kayu Kuning

8 Jati/Teak Daun muda/pupus Merah kecoklatan

9 Bawang merah/Union Kulit buah Coklat 10 Mahoni/Mahogany Pohon/kayu, daun Coklat

11 Mengkudu/Indian Mulberry Kulit akar Merah

12 Pisang Bonggol Ungu 13 Secang/Brazilwood Pohon/kayu Merah 14 Tali putri Semua bagian Kuning

15 Apokat/Avocado Daun, kulit buah Hijau kecoklatan

16 Pacar kuku/Inai henna Daun Oranye

17 Pacar air Daun, bunga Kuning kehijauan

18 Kesumba/Annato seed Kulit biji Oranye 19 Kenikir sayur Daun Kuning matang 20 Pinang/Jambe/Cutch Buah Coklat 21 Bunga sepatu Bunga Violet/ungu 22 Gude Kulit buah Ungu 23 Mangga/Mango Daun, kulit batang Hijau 24 Randu Daun Abu-abu 25 Jambu biji/Guava Daun Hijau tua

Untuk dapat menghasilkan warna, ZWA ini memerlukan bahan

pembantu, misalnya tawas, tunjung, air kapur, gula jawa, cuka, jeruk nipis,

tape, pijer (borax), sendawa, gula batu dan prusi.

Page 8: Lap Ipteks Jumput

8

Secara garis besar ZWA dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :

a. Zat warna mordan (alam). Kebanyakan ZWA tergolong pada zat warna

mordan sehingga agar ZWA dapat menempel dengan baik proses

pewarnaan harus melalui penggabungan dengan kompleks oksida logam

membentuk zat warna yang tidak larut. Proses ini disebut mordanting.

Contoh zat warna kelompok ini adalah kulit akar pace.

b. Zat warna direk merupakan zat warna yang melekat di serat kain

berdasarkan ikatan hidrogen sehingga ketahannya rendah, misalnya zat

warna dari kunyit.

c. Zat warna asam/basa merupakan zat warna yang mempunyai gugus

kombinasi asam dan basa. Zat warna kelompok ini tepat untuk

pewarnaan pada sutra atau wol, tetapi tidak memberikan warna yang

permanen pada katun.

d. Zat warna bejana merupakan zat warna yang mewarnai serta melalui

proses reduksi-osksidasi (redoks). Dikenal sebagai warna paling tua di

dunia, dengan ketahanan warna yang paling unggul dibandingkan 3 jenis

zat warna sebelumnya (diatas). Contoh zat warna ini adalah yang berasal

dari daun tom (nila).

2. Zat Warna Sintetis (ZWS) adalah zat warna buatan, biasanya tersedia dalam

bentuk serbuk. Contohnya adalah Napthol, Indigosol, Rapid dan Rhemasol.

Zat warna sintetis umumnya memiliki ketahanan warna yang cukup bagus,

warna yang ditawarkan cukup beragam, penggunaanya mudah dan harganya

relatif murah. Zat warna sintetis biasanya tersedia dalam bentuk serbuk.

Karena dalam penerapan IPTEKS kali ini zat warna yang digunakan

adalah ZWA maka tentang ZWS tersebut tidak dibahas lebih lanjut. ZWA yang

digunakan adalah daun mangga dan akar pace, mengingat di lokasi disekitar

khalayak (Kebonsari) banyak tersedia sumber zat warna alami tersebut.

D. Cara Pengambilan Zat Warna Alam Cara pengolahan maupun waktu yang diperlukan untuk mengolah ZWA

sebenarnya tergantung pada sumber ZWA itu sendiri. Zat warna alam diperoleh

secara eskstrasi (baik pada suhu tinggi maupun rendah) dari bagian tanaman

yang merupakan sumbernya, menggunakan pelarut air. Dengan cara ini maka

ekstrak zat warna alami yang terambil bervariasi, tergantung pada jenis sumber

zat warna alam itu sendiri. Berikut ini contoh pengambilan zat warna dari

beberapa sumbernya. (Lestari, 2004).

Page 9: Lap Ipteks Jumput

9

a. Daun mangga

Pengambilan zat warna alam dari daun mangga akan menghasilkan arah

warna hijau. Caranya pengambilannya yaitu sebagai berikut :

1. Rebus 100 gr daun mangga dalam 1 liter air.

2. Biarkan mendidih, tunggu hingga volume air berkurang 20-40%.

3. Pisahkan ekstrak dengan sumbernya.

Adapun cara penggunaannya adalah sebagai berikut :

1. Untuk pengunaan pada batik tulis, ekstrak didiamkan dulu hingga agak

dingin agar tidak merusak lilin. Sedangkan untuk penggunaan pada batik

tritik jumput, ekstrak bisa didiamkan sejenak (agak dingin) atau bisa juga

langsung digunakan.

2. Fiksasi dengan tawas (komposisi 70 gr/lt), tunjung (komposisi 20 gr/lt),

atau dengan kapur (komposisi 50gr/lt).

b. Kulit akar pace

Zat warna alam dari kulit akar pace akan menghasilkan arah warna merah.

Cara pengambilannya adalah dengan cara :

1. I kg kulit akar pace direbus dengan 10 lt air abu gosok yang mempunyai

pH =7,5 (vlot = 1:10) selama 1 jam atau sampai volume cairan berkurang

80-60%. Air abu gosok diperoleh dengan merendam 70gr abu gosok

dalam 1 lt air, diamkan semalam, beningnya yang dipakai.

2. Setelah ekstrak dipisahkan dari kulit akar pace maka dapat dipakai untuk

mewarnai batik baik dalam keadaan dingin atau hangat. Sisa pencelupan

jangan dibuang karena dapat dipakai lagi. Jika digunakan pada keesokan

harinya, ekstrak perlu dihangatkan terlebih dulu.

E. Teknik Pembuatan Tritik Jumput dengan ZWA

Agar zat warna alam dapat terserap kuat pada kain dan warna tidak

mudah pudar maka perlu dilakukan proses mordanting yaitu dengan merebus

dan merendam larutan garam logam (mordan) misalnya tawas. Dari satu jenis zat

warna alam dapat diperoleh arah warna yang bermacam-macam dengan

menggunakan mordan yang berbeda.

Adapun langkah-langkah untuk mordanting 500gr kain katun adalah

sebagai berikut :

1. Kain direndam dalam larutan 2gr/lt deterjen/rinso selama semalam.

2. Cuci bersih kemudian diperas.

3. Rebus (mendidih) dalam 17 lt air yang mengandung 100gr tawas dan 30 gr

soda abu selama 1 jam.

Page 10: Lap Ipteks Jumput

10

4. Matikan api, biarkan kain tetap dalam larutan.

5. Besok paginya kain dicuci bersih, dikeringkan, kemudian disetrika.

Sedangkan langkah-langkah untuk mordanting 500gr sutra/wool adalah

sebagai berikut :

1. Kain sutra/wool langsung direbus dalam 17 liter air yang mengandung 10gr

tawas, dibiarkan pada suhu 60oC selama 1 jam, lalu dibiarkan dalam

rendaman selama satu malam (12 jam).

2. Setelah direndam semalam, kain dicuci bersih lalu dikeringkan. Untuk

memudahkan saat mengerjaan, kain dapat disetrika terlebih dulu. Jika kain

tidak langsung digunakan maka pencucian harus benar-benar bersih. Namun

jika kain langsung digunakan, akibat dari pencucian yang kurang bersih dapat

tertolong saat pewarnaan.

Secara terinci langkah-langkah pembuatan kain tritik jumput dengan zat

warna alam adalah sebagai berikut:

1. Kain dimordan dahulu.

2. Memberi tanda pada bagian-bagian yang akan ditritik dan dijumput. Tanda

dapat diberikan secara acak ataupun dengan mengikut desain tertentu.

3. Menjahit jelujur bagian-bagian yang ditritik.

4. Mengikat erat bagian yang dijumput. Setelah selesai baru benang jelujur

ditarik dan diikat kuat-kuat. Hasilnya kain akan terkerut-kerut.

5. Membasahi kain sebelum diwarna. Membasahi harus sampai ke serat-serat

kain, sampai pada bagian yang terlipat-lipat diluar ikatan ataupun jelujuran.

Dengan demikian efek warna dapat terbentuk dengan baik.

6. Mewarna. Pewarna yang digunakan adalah warna alami (dari daun mangga

dan akar pace). Sama halnya dengan membasahi kain, mewarna harus

sampai pada serat-serat kain, sampai pada bagian–bagian yang tersembunyi

diantara ikatan dan tarikan jelujuran. Pewarnaan dapat dilakukan hingga

beberapa kali. Sebelum pewarnaan kedua dilakukan, kain yang sudah

diwarna pertama bisa dijumput atau dijelujur kembali agar warna pertama

tetap bertahan. Cara yang lain adalah dengan melepaskan ikatan jumput atau

jelujuran agar termasuki warna kedua. Cara kedua ini hanya dapat diterapkan

jika warna kedua tidak lebih tua dari warna pertama.

7. Mencuci kain. Setelah diwarna dan ditiriskan, kain dicuci bersih agar sisa

warna yang tidak meresap dalam serat akan terlepas dari kain

Page 11: Lap Ipteks Jumput

11

8. Melepaskan ikatan dan jelujuran. Setelah semua ikatan dan jelujuran

terlepas, kain dicuci kembali hinga bersih.

Teknik jumput dan tritik seringkali dikombinasikan sehingga motif yang

terbentuk semakin beragam. Jumputan dan jelujuran dapat dibuat secara acak

bisa juga dengan membentuk motif tertentu. Langkah-langkah jelujur yang diatur

sedemikian rupa nantinya juga dapat menghasilkan efek yang berbeda.

Bagian-bagian yang memerlukan pewarnaan yang berbeda, dapat

dilakukan dengan cara colet, yaitu : membubuhkan warna pada bagian tertentu

saja tanpa mencelup seluruh kain. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu

dalam menghasilkan aneka warna tambahan. Bagian yang sudah dicolet

kemudian diikat/dibungkus hingga kedap air, barulah seluruh kain dicelup.

Pencoletan kadang dilakukan setelah seluruh proses pencelupan selesai,

setelah ikatan dibuka. Bagian yang masih berwarna putih karena tadi masih

terikat kemudian dicoleti warna-warna sesuai selera, sehingga menimbulkan

kesan jumputan. (Wardhani, 2004).

Page 12: Lap Ipteks Jumput

12

BAB III

MATERI DAN METODE

A. Kerangka Pemecahan Masalah

Langkah-langkah untuk pemecahan masalah yang telah dirumuskan

sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pengetahuan/pemahaman dasar tentang batik jumput, bahan

alat, cara pembuatan, aplikasi, dan manfaatnya.

2. Menerapkan pengetahuan yang sudah diberikan dengan melaksanakan

praktek pembuatan batik jumput.

3. Mengevaluasi hasil kegiatan melalui observasi, evaluasi karya, serta angket,

untuk mengetahui bagaimana tanggapan khalayak sasaran atas pelatihan

yang dilaksanakan.

Mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan diatas maka

kerangka pemecahan masalah dapat digambarkan sebagai berikut :

Pelatihan ketrampilan yang bermanfaat dan dapat dikembangkan

Penyajian materi

Simulasi

Hasil Khalayak sasaran memiliki pengetahuan tentang

batik tritik jumput. Khalayak sasaran mampu mengembangkan

desain batik tritik jumput. Khalayak sasaran mampu membuat karya batik

tritik jumput.

Rumusan Masalah Masih terbatasnya ketrampilan yang

dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, sedangkan

ada minat untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan

Page 13: Lap Ipteks Jumput

13

B. Realisasi Pemecahan Masalah Kegiatan pelatihan Pemanfaatan Bahan Alam (Daun Mangga dan Akar

Pace) Sebagai Zat Pewarna Alami Batik Tririk Jumput di Kelurahan Kebonsari

Surabaya dalam rangka pengabdian Kepada Masyarakat oleh Tim PKM

Universitas Negeri Surabaya mempunyai tujuan untuk memberikan pengetahuan

dan ketrampilan tentang pembuatan batik tritik jumput dengan pewarna alami

kepada anggota kelompok tani Mayangsari di Kelurahan Kebonsari, Jambangan,

Surabaya dan menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar.

Berdasarkan kerangka pemecahan masalah, realisasi pemecahan

masalah yang dilakukan adalah melalui pelatihan singkat yang disajikan oleh Tim

Pelaksana PKM yang berisi materi singkat tentang batik tritik jumput memiliki

pengetahuan tentang batik tritik jumput langsung dilanjutkan dengan praktek.

Apabila sudah praktek dan mampu mengembangkan desain yang diajarkan

nantinya diharpakan Kelompok Tani Mayangsari mampu membuat karya batik

tritik jumput secara mandiri dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan

keinginannya.

Indikator keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah apabila

75% dari peserta pelatihan datang dan mengikuti secara aktif kegiatan tersebut.

Kemudian 75% peserta minimal mampu mencontoh desain yang telah disiapkan

Tim Pelaksana PKM dan lebih baik lagi apabila sudah mampu mengembangkan

desain tersebut.

C. Khalayak Sasaran

Adapun khalayak sasaran dari kegiatan ini adalah anggota Kelompok

Tani "Mayangsari" Kelurahan Kebonsari Surabaya, yang telah dikukuhkan

menjadi Kelompok Tani Pemula dengan Surat Keputusan No.180/PKTI/XII/1985

tertanggal 4 Desember 1985 yang dikeluarkan oleh Forum Koordinasi

Penyuluhan dan Pertanian Kota Surabaya, yang juga merupakan binaan

kelurahan.

Karena beberapa hal maka pelatihan tidak diikuti oleh seluruh anggota

tetapi hanya perwakilannya saja, yaitu pengurus dan beberapa perwakilan

anggota lainnya sebanyak 20 orang yang diharapkan akan menularkan

ketrampilan baru ini kepada anggota yang lain.

Page 14: Lap Ipteks Jumput

14

D. Metode Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan dengan metode ceramah, tanya

jawab, demonstrasi, dan simulasi. Ceramah diberikan untuk menyampaikan

materi tentang : a) Pengertian batik tritik jumput; b) Bahan dan alat pembuatan

batik tritik jumput; c) Zat Warna alam (ZWA); d) Pengolahan kain sebelum

penggunaan ZWA; dan d) Cara pembuatan batik tritik jumput dengan Zat Warna

Alam (ZWA).

Adapun demonstrasi yang dilakukan meliputi : 1) Demonstrasi

pengambilan ZWA dari kulit akar pace ; 2) Demonstrasi pengambilan ZWA dari

kulit akar pace; 3) Demonstrasi cara pembuatan batik tritik jumput; 4)

Demonstrasi cara penggunaan ZWA pada batik tritik jumput; dan 5) Demonstrasi

penyelesaian karya.

Tugas yang diberikan kepada peserta adalah supaya peserta melanjutkan

pengerjaan tritik jumput dirumah, agar dapat dikerjakan dengan lebih maksimal.

Dengan demikian, pada keesokan harinya kegiatan bisa langsung dilanjutkan

pada tahap selanjutnya.

Kegiatan pelatihan ini akan dilaksanakan selama 3 hari yaitu tanggal 2, 3,

dan 6 Juli 2007, bertempat di balai Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.

Secara rinci, jadwal kegiatan disusun sebagai berikut :

Page 15: Lap Ipteks Jumput

15

JADWAL KEGIATAN

PELATIHAN PEMANFAATAN BAHAN ALAM

(DAUN MANGGA DAN KULIT AKAR PACE)

SEBAGAI ZAT PEWARNA ALAMI BATIK TRITIK JUMPUT

Pelaksanaan Uraian Kegiatan Waktu Pelaksana

Hari ke-1 2 Juli 2007

• Daftar ulang peserta pelatihan. 08.00 – 08.30 TIM

• Pendahuluan 08.30 – 08.45 Ketua pelaksana

• Paparan materi tentang : F Pengertian batik tritik

jumput. F Bahan dan alat. F Zat Warna Alam. F Pengolahan kain sebelum

diwarna dengan ZWA. F Cara pembuatan batik tritik

jumput.

08.45 – 09.30

TIM

• Demonstrasi cara pengolahan kain sebelum pembuatan batik dengan ZWA.

09.30 – 10.00

TIM

• Demonstrasi cara pembuatan

batik tritik jumput. 10.00 – 10.30 TIM

• Praktek pembuatan batik tritik jumput. 10.30 – 13.00 Peserta

Hari ke-2 3 juli 2007

Ø Presensi peserta pelatihan. 08.00 – 08.30 Peserta Ø Demonstrasi cara

pengambilan ZWA dari sumbernya. ☺ cara pengambilan ZWA

dari kulit akar pace. ☺ cara pengambilan ZWA

dari daun mangga.

08.30 – 09.30

TIM

Ø Demonstrasi cara menggunakan ZWA untuk pewarnaan batik.

09.30 – 10.00 TIM

Ø Praktek pewarnaan dengan ZWA. 10.00 – 13.00 Peserta

Hari ke-3 6 Juli 2007

• Presensi peserta pelatihan. 08.00 – 08.30 Peserta • Melanjutkan pewarnaan

dengan ZWA. 08.30 – 10.30 Peserta

• Fiksasi. 10.30 – 11.30 TIM & Peserta

• Pelepasan jahitan/ikatan, finishing. 11.30 – 12.30 Peserta

• Penutup. 12.30 – 13.00 TIM

Page 16: Lap Ipteks Jumput

16

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Sebagaimana yang direncanakan, kegiatan dilaksanakan pada hari

Senin, Selasa, dan Jum’at, tanggal 2, 3, dan 6 Juli 2007. Tempat kegiatan

adalah di balai Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Jambangan, Surabaya.

Materi pertama yang disampaikan adalah tentang pengertian batik tritik

jumput. Dalam kamus bahasa Indonesia, tritik berarti menetes secara

berkesinambungan dalam tetesan kecil, dan etimologinya berhubungan dengan

batik. Kata teritik sendiri menangkap secara tepat dari salah satu metode yang

diberi nama sebagai penggunaan dari menjahit untuk membuat titik-titik kecil

berwarna. Garis lurus dapat pula dibuat dari teritik dan digunakan sebagai

outline. Metode teritik ditemukan di Jawa Tengah yang digunakan untuk

menghiasi kemben (penutup dada) dan dodot (baju adat Jawa).

Sedangkan batik jumput adalah sebutan masyarakat Jawa untuk kain

celup ikat. Masyarakat Kalimantan menyebutnya dengan sasirangan. Secara

teknik kain celup ikat (baik tritik maupun jumput), memiliki persamaan dengan

kain batik yaitu sama-sama melalui proses merintang warna. Keduanya

menggunakan bahan perintang warna untuk menghasilkan ornamen pada kain.

Adapun perbedaannya, batik menggunakan bubur ketan/lilin/malam batik untuk

menghalangi masuknya warna sedangkan celup ikat menggunakan tali, benang,

karet, atau pengikat lain untuk menghalangi masuknya warna pada kain. Teknik

pembentukan motif pada celup ikat meliputi jumput, lipat, gulung, dan jahit jelujur.

Bahan yang digunakan untuk membuat batik tritik jumput adalah kain.

Sebagian besar dari berbagai jenis kain dapat digunakan untuk membuat batik

tritik jumput, terutama jenis katun dan sutera. Bahan lain yang dibutuhkan adalah

pewarna tekstil. Pewarna ini terbagi atas 2 macam yaitu Zat Warna Alam (ZWA)

yang bersumber dari akar, kulit akar, kayu, daun, bunga, buah, maupun biji

tumbuhan, dan Zat Warna Sintetis (ZWS) misalnya Napthol, Indigosol,

Rhemasol, Rapid, Wenter, dsb. Sedangkan alat yang dibutuhkan untuk

pembuatan batik tritik jumput antara lain alat tulis, pengikat (bisa tali rafia, karet

gelang, benang, serat, dsb), jarum jahit, alat pemotong, ember untuk mewarna,

sarung tangan karet, gelas ukur, dsb.

Untuk pembuatan batik tritik jumput dengan ZWA ini, bahan utama yang

dibutuhkan selain kain adalah sumber ZWA itu sendiri, yaitu berupa daun

Page 17: Lap Ipteks Jumput

17

mangga dan kulit akar pace. Jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Selain

itu, dibutuhkan juga bahan untuk mordan dan fiksasi berupa tawas, tunjung, dan

kapur, yang masing-masing sudah dilarutkan dalam air. Benang yang digunakan

untuk membuat tritik adalah benang nylon, sedangkan pengikat untuk jumput

digunakan tali rafia dan karet gelang.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ZWA yang akan digunakan

adalah yang bersumber dari daun manga dan kulit akar pace. Pengambilan zat

warna alam dari daun mangga akan menghasilkan arah warna hijau. Untuk satu

lembar kain yang telah diperoleh peserta (berukuran 50cm x 200cm), dibutuhkan

ekstrak ZWA setidaknya 1500-2000 cc. Ekstrak ini dapat diperoleh dengan

merebus 300 gr daun mangga (pilih yang sudah tua), lalu direbus dalam 3000 cc

air lalu dibiarkan hingga volume air menjadi 200-1500 cc. Ekstrak ini tidak dapat

diperbanyak, misalnya dengan menambahkan air bersih. Kepekatan warna dapat

dipengaruhi oleh seberapa banyak ekstrak yang diambil dari pengambilannya.

Misalnya jika dari 3000 cc air rebusan daun mangga dibiarkan hingga tinggal

1500 cc, hasilnya akan lebih pekat dibanding dengan jika air rebusan disisakan

hingga tinggal 2000 cc. Ekstrak yang telah dihasilkan dapat digunakan saat

hangat ataupun dingin.

Adapun zat warna alam dari kulit akar pace akan menghasilkan arah warna

merah. Kulit akar pace sebaiknya digunakan saat masih basah, namun demikian

bisa juga digunakan setelah kering.

Cara pengambilannya adalah sebagai berikut:

1. Satu kg kulit akar pace direbus dengan 10 lt air abu gosok yang mempunyai

pH =7,5 (vlot = 1:10) selama 1 jam atau sampai volume cairan tinggal 80-

60%. Air abu gosok diperoleh dengan merendam 70gr abu gosok dalam 1 lt

air, diamkan semalam, beningnya yang dipakai.

2. Setelah ekstrak dipisahkan dari kulit akar pace maka dapat dipakai untuk

mewarnai batik baik dalam keadaan dingin atau hangat. Sisa pencelupan

jangan dibuang karena dapat dipakai lagi. Jika digunakan pada keesokan

harinya, ekstrak perlu dihangatkan terlebih dulu.

Ekstrak kulit akar pace dapat disimpan lebih lama daripada ekstrak daun

mangga. Ekstrak ini dapat disimpan dalam botol dan digunakan beberapa waktu

kemudian. Bahkan, kulit akar pace yang telah direbus sekali, masih dapat

diekstrak lagi setelah dikeringkan. Tetapi tentu saja, kepekatan ekstrak yang

dihasilkan berbeda dengan ekstrak yang dihasilkan dari perebusan pertama.

Secara lengkap, cara pengolahan kain sebelum diwarna dengan ZWA,

cara pengambilan ZWA dari sumbernya, cara menyiapkan fiksator, serta cara ,

Page 18: Lap Ipteks Jumput

18

pembuatan batik tritik jumput dengan ZWA ini telah dituliskan dalam handout

pelatihan yang telah diterima peserta.

Adapun cara pembuatan batik tritik jumput dengan ZWA adalah sebagai

berikut :

1. Menyiapkan/memotong kain sesuai kebutuhan.

2. Mordanting kain, kemudian disetrika.

3. Merancang motif pada kertas kemudian dipindahkan ke kain dengan pensil.

4. Menjahit jelujur bagian-bagian tritikan.

5. Mengikat kain pada bagian-bagian yang dijumput.

6. Mewarna dengan ekstrak ZWA yang sudah disiapkan.

7. Fiksasi dengan tawas, tunjung, kapur.

8. Melepaskan ikatan dan atau jahitan.

9. Penyelesaian, misalnya dengan menjahit bagian tepi kain.

Kegiatan selanjutnya, demonstrasi cara pengambilan ZWA dari

sumbernya. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mengetahui secara langsung

(tidak sekedar membayangkan), bagaimana cara pengambilan ZWA dari

sumbernya, yang sebenarnya tidak sulit.

Berikutnya, Penyaji mendemonstrasikan bagaimana cara merancang

motif. Pertama, desain motif dibuat pada kertas menggunakan pensil kemudian

dipindahkan ke kain dengan dijiplak menggunakan pensil. Penyaji kemudian

mendemonstrasikan bagaimana cara menjiplak desain tersebut.

Kegiatan selanjutnya penyaji memperagakan bagaimana cara pembuatan

batik tritik jumput, bagaimana menjahit jelujur dan mengikat kain baik dengan tali

rafia maupun dengan karet gelang. Berikutnya penyaji memperagakan cara

mewarna kain dengan ZWA yang telah disiapkan sebelumnya.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah membasahi kain dengan air

bersih. Kain yang sudah ditritik jumput dimasukkan dalam wadah berisi air bersih,

dicelup dan diratakan agar air menjangkau hingga ke serat-serat kain.

Selanjutnya kain ditiriskan dengan diangin-anginkan.

Setelah tiris, kain dimasukkan dalam pewarna yang telah disiapkan pada

wadah yang lain. Kain direndam dan dibolah-balik agar zat warna terserap

secara merata, setidaknya selama 5 menit. Semakin lama perendaman berarti

warna yang dihasilkan akan semakin pekat. Selanjutnya kain diangkat dan

diangin-anginkan. Pencelupan warna ini harus diulang setidaknya 3x (jika yang

digunakan adalah kain sutra) atau 10x (jika yang digunakan adalah kain katun).

Setelah tiris dari pencelupan terakhir, kain bisa langsung difiksasi dengan

tawas, tunjung, kapur, bahkan dengan ketiganya. Fiksator-fiksator tersebut

Page 19: Lap Ipteks Jumput

19

masing-masing menghasilkan arah warna yang berbeda. Dengan kata lain,

meskipun hanya menggunakan satu ZWA tetapi jika difiksasi dengan 3 fiksator

yang berbeda maka akan diperoleh 3 arah warna yang berbeda pula.

Selesai difiksasi, kain langsung dicuci bersih. Kemudian ikatan jumput

bisa langsung dilepaskan atau bisa juga menunggu setelah kering. Setelah

semua ikatan dilepaskan, kain kembali dicuci agar sisa-sisa pewarna yang

semula tersembunyi disela-sela kerutan kain dapat dihilangkan. Selanjutnya kain

dikeringkan dengan cara diangin-anginkan atau dijemur ditempat teduh, agar

warna lebih terjaga dan tidak cepat pudar. Sebagai tahap akhir, pinggiran kain

dapat dirapikan misalnya dengan dineci, dijahit, atau ditambah pemanis berupa

pita dan sebagainya.

Untuk mengetahui keberhasilan kegaiatan pelaihan PKM ini maka Tim

Pelaksana PKM melakukan evalausi yaitu: berupa evaluasi produk yang

dihasilkan oleh peserta juga angket yang disebarkan. Adapun hasil evaluasi

produk yang dihasilkan oleh peserta dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No. Nama Kehadiran Desain Proses

Pengerjaan Hasil Karya Total

15 25 30 30 100 1 Ishari 15 20 20 25 80 2 Samba 15 20 20 25 80 3 Radis 15 25 25 25 90 4 Umi Kalsum 15 20 20 25 80 5 Sri Mulyani 15 20 25 25 85 6 Elly Jarot 15 20 20 20 75 7 Kumisy 15 20 29 20 84 8 Arlis Yanti 15 25 25 25 90 9 Suroso 15 20 25 25 85

10 Tohirman 15 20 20 20 75 11 Umi Harifah 10 25 25 25 85 12 Antik Astutik 15 25 25 25 90 13 Sriyanti 15 25 25 25 90 14 Siti Jumiyati 10 25 30 30 95 15 Mukmiatun 10 20 25 25 80 16 Masitoh 15 20 20 20 75 17 Neny 15 20 20 20 75 18 Darman 5 20 20 20 65 19 Bambang 5 20 20 20 65 20 Wati 5 20 20 20 65

Jumlah 255 430 459 465 80

Page 20: Lap Ipteks Jumput

20

Dari tabel terlihat bahwa 85% peserta sudah mampu melaksanakan

petunjuk yang diberikan oleh Tim Pelaksana PKM sehingga hasil yang

didapatkan dinilai cukup bagus. Hanya 15% persen yang kurang aktif dalam

pelatihan yang disebabkan kehadirannya tidak 3 hari penuh, hanya hari terakhir.

Sehingga nilai yang didapatkan menjadi kurang.

Sedangkan dari hasil angket yang disebarkan ke seluruh peserta di

diketahui bahwa 100% peserta menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan

menambah pengetahuan mereka, sangat bermanfaat, dan ingin mempraktekkan

sendiri di rumah. Seluruh peserta menyatakan suka dengan diadakannya

kegiatan tersebut dan bersedia menularkan pengetahuan dan ketrampilan yang

telah diperoleh kepada orang lain, terutama kepada teman dan saudara.

B. Pembahasan Diawali dengan presensi, hari pertama tanggal 2 Juli 2007 peserta tiba di

tempat pelatihan pada pukul 08.30 dan mencapai jumlah yang direncanakan

pada 30 menit berikutnya. Setelah mengisi daftar hadir, peserta memperoleh

hand out, kain untuk praktek berupa 50cm x 200 cm kain sutra yang sudah

dimordant, benang, jarum, alat memasukkan benang, dan pensil. Bahan sutera

yang diberikan sengaja sudah dimordant terlebih dahulu mengingat proses

mordanting memerlukan waktu yang cukup lama.

Setelah acara perkenalan, Penyaji langsung menyampaikan materi yang

telah disiapkan. Materi ini secara ringkas telah tertuang dalam handout yang

diterima peserta, sehingga peserta dapat menyimak dengan baik dan langsung

mengajukan pertanyaan jika menemukan kesulitan. Misalnya saat menerangkan

tentang sumber ZWA berupa daun mangga, ada peserta yang menanyakan

tentang daun mangga apa dan daun yang bagaimana yang bisa digunakan.

Pertanyaan ini dijawab dengan menyampaikan bahwa daun dari semua jenis

mangga dapat digunakan. Daun yang dipilih sebaiknya yang sudah tua, yang

warna hijaunya lebih matang. Demikian halnya saat menerangkan tentang ZWA

dari kulit akar pace, salah satu peserta bertanya, “Mengapa harus kulit akarnya,

kok tidak kulit batang saja. Kan sulit mengambil kulit akar, kalau mengambil kulit

batang kan mudah”. Pertanyaan ini dijawab dengan, “ Kalau kulit batang arah

warnanya kuning, sedangkan yang kita inginkan adalah arah warna merah yang

dapat diperoleh dari kulit akar tersebut.. Selain itu, akar yang diambil kulitnya

sebaiknya yang sudah berukuran cukup beras sehingga kulitnya cukup tebal.

Penyampaian materi diselingi dengan menunjukkan contoh. Misalnya saat

menerangkan tentang bahan yang dibutuhkan, penyaji menunjukkan contoh

Page 21: Lap Ipteks Jumput

21

bahan antara lain berupa kain sutra yang belum dimordant, kain sutra yang telah

dimordan, kulit akar pace dan daun mangga beserta ekstraknya, tawas, tunjung,

dan kapur. Saat menerangkan tentang alat yang akan digunakan, penyaji

menunjukkan contoh antara lain berupa benang nylon, alat memasukkan benang,

tali rafia, karet gelang, kelereng, dan biji-bijian yang dapat digunakan sebagai

pengisi jumput. Selain itu, penyaji juga menunjukkan beberapa karya batik jumput

yang nantinya dapat digunakan sebagai contoh oleh peserta pelatihan.

Gambar 2 Kain sutera

yang sudah dimordant

Gambar 1 Kain sutera

yang belum dimordant

Gambar 3 Daun mangga

dan kulit akar pace

Gambar 4 Tawas, tunjung, kapur

Gambar 5 Beberapa bahan

dan alat lain yang dibutuhkan

Page 22: Lap Ipteks Jumput

22

Beberapa contoh produk yang ditunjukkan adalah sebagai berikut :

Gambar 6 Karya tritik jumput dengan ZWA secang.

Fiksasi kapur, kombinasi tunjung pada motif

Gambar 9 Karya tritik jumput dengan ZWA

daun mangga,fiksasi tunjung

Gambar 7 Karya jumput dengan ZWA latar daun

mangga, kombinasi kulit akar pace pada jumput (tengah). Fiksasi dengan tawas, kombinasi tunjung pada tengah motif

Gambar 8 Karya tritik jumput dengan ZWA kulit

akar pace. Fiksasi dengan tawas, kapur, dan tunjung.

Page 23: Lap Ipteks Jumput

23

Pemberian materi ini dilanjutkan dengan demonstrasi. Hal pertama yang

didemonstrasikan penyaji adalah cara merancang motif batik tritik jumput. Penyaji

memberi contoh dengan menggambar desain pada kertas, kemudian hasil desain

tersebut ditebalkan dengan spidol. Setelah dispidol, desain kemudian

dipindahkan ke kain dengan cara meletakkan kertas desain dibawah/sebagai

alas kain. Desain akan tampak dari bagian atas kain, selanjutnya tinggal dijiplak

menggunakan pensil. Sebaiknya pensil tidak usah digoreskan dengan terlalu

tebal agar mudah dibersihkan. Demonstrasi ini cukup mendapat perhatian dari

peserta dengan mendekat ke meja Penyaji. Setelah paham, peserta kemudian

diajak untuk membuat desain dan memindahkan pada kainnya masing-masing.

Tidak lupa disampaikan kepada peserta bahwa dari satu ZWA dapat

diperoleh 3 warna yang searah, jika digunakan 3 fiksator yang berbeda. Selain

itu, peserta juga dapat mengunakan ZWA dari daun mangga dan kulit akar pace

serta 3 fiksator sekaligus pada selembar kain (dengan proses bergantian). Jika

hal tersebut dilakukan maka pada selembar kain akan ada 6 warna yang

berbeda.

Berikutnya, tim penyaji memperagakan bagaimana membuat tritik dan

jumput itu sendiri. Menjahit jelujur bisa dilakukan lebih dahulu sebelum dijumput,

bisa juga sebaliknya. Hal ini didasarkan pada bagaimana motif yang akan dibuat.

Selain itu, setelah dijahitkan benang bisa langsung ditarik sehingga kain berkerut-

kerut, bisa juga dijahit seluruhnya lebih dulu dan setelah selesai baru benangnya

ditarik. Kegiatan ini cukup membutuhkan ketelatenan dan kesabaran.

Kegiatan menjahit dan mengikat tersebut dilanjutkan hingga hari kedua

pelatihan. Beberapa peserta sebenarnya sempat melanjutkan menjahit dan

mengikat di rumah, tetapi belum selesai seluruhnya. Setelah mengisi daftar hadir,

Gambar10 Penyaji menunjukkan cara

dan membimbing peserta membuat desain

Page 24: Lap Ipteks Jumput

24

peserta kemudian melanjutkan menjahit dan mengikat, dengan dibimbing

anggota Tim. Sementara itu, penyaji memperagakan bagaimana cara

pengambilan ZWA dari sumbernya. Pengambilan ZWA dari daum mangga dapat

dikatakan sangat mudah, hanya dengan merebusnya menggunakan air bersih

biasa. Namun untuk pengambilan ZWA dari kulit akar pace, air yang digunakan

untuk merebusnya adalah campuran antara air bersih biasa dan air bening hasil

rendaman abu sekam, dengan perbandingan 1:1. Perebusan dilanjutkan hingga

volume air berkurang antara 20-40%. Selanjutnya ekstrak dipisahkan dari

sumbernya dengan disaring. Ekstrak ini dapat digunakan saat hangat maupun

setelah dingin.

Saat melihat peragaan tentang pengambilan ZWA dari sumbernya ini,

seorang peserta menanyakan, “Jika panci yang digunakan adalah panci yang

biasa dipakai untuk memasak, setelah digunakan untuk merebus sumber ZWA

dapat digunakan untuk memasak lagi atau tidak. Seandainya yang digunakan

adalah kuali/tembikar, apakah bisa?”. Menjawab pertanyaan tersebut, Penyaji

menyampaikan bahwa panci yang digunakan untuk merebus ZWA dapat dipakai

untuk memasak lagi, asalkan perebusan ZWA tersebut tidak menngunakan

bahan kimia sebagai bahan campuran. Namun panci yang digunakan untuk

mordanting haruslah panci khusus, karena menggunakan bahan kimia campuran

(tawas). Sedangkan untuk mordanting seyogyanya digunakan panci khusus dan

haruslah panci yang terlapisi cat, bukan panci aluminium karena tawas bereaksi

terhadap aluminium. Adapun kuali/tembikar, dapat digunakan untuk kedua

keperluan tersebut, namun tetap harus dipisahkan antara panci untuk merebus

ZWA dengan yang untuk mordanting.

Setelah pengerjaan tritik jumput selesai, Penyaji memperagakan

bagaimana cara menggunakan ZWA. Mula-mula kain dibasahi dengan air bersih

Gambar 12 Pengambilan ekstrak

ZWA dari kulit akar pace

Gambar 11 Pengambilan ekstrak

ZWA dari daun mangga

Page 25: Lap Ipteks Jumput

25

hingga rata, kemudian ditiriskan. Setelah tiris, kain dimasukkan dalam ekstrak

ZWA, direndam dan diratakan selama minimal 10 menit agar ZWA meresap

dalam serat-serat kain. Selanjutnya kain diangkat dan ditiriskan, untuk nantinya

direndam ZWA lagi. Tahap pewarnaan ini harus dilakukan setidaknya sebanyak

3x (karena yang digunakan adalah kain sutera).

Setelah mengerti, peserta kemudian mempraktekkan pewarnaan

dengan ZWA ini. Dengan melakukan pewarnaan sendiri, peserta akan dapat

“merasakan” dan memiliki pengalaman bagaimana caranya agar pewarna merata

dan terserap dengan baik pada kain. Sebagian besar peserta memilih

menggunakan ZWA dari daun mangga karena menurut peserta hasil pelatihan

yang berupa selendang tersebut akan digunakan sebagai seragam kegiatan

pengajian. ZWA daun mangga akan diterapkan sebagai pewarna latar

sedangkan pada motif akan diwarna dengan ZWA kulit akar pace. Hanya 3

peserta yang memilih mewarna dengan kulit akar pace, dengan penerapan

fiksasi yang berbeda untuk bagian latar dan motifnya. Untuk masing-masing

ZWA, pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali. Kegiatan pewarnaan ini menutup

hari kedua pelatihan, untuk dilajutkan dengan fiksasi pada pertemuan

selanjutnya.

Gambar 13 Pewarnaan bagian motif dengan ZWA kulit akar pace

Gambar 14 Kain yang sudah dicelup dengan ekstrak daun mangga, warnanya

kuning muda

Gambar 15 Kain yang sudah dicelup dengan ekstrak kulit akar pace, warnanya

oranye tua kemerahan

Page 26: Lap Ipteks Jumput

26

Hari terakhir pelatihan, diawali dengan mengisi daftar hadir. Beberapa

peserta saat datang langsung menanyakan kepada penyaji, mengapa kain yang

kemarin sudah dicelup warna dan sudah rata, sekarang tampak belang disana-

sini. Padahal, menurut peserta tersebut, begitu sampai dirumah kain langsung

diangin-anginkan. Beberapa peserta yang datang kemudian menyamapikan hal

yang sama. Mendengar pertanyaan itu penyaji menyampaikan bahwa adanya

belang di beberapa tempat tersebut adalah karena keadaan kain yang telah

berkerut-kerut dan saat diangin-anginkan kain tidak dibolak-balik posisinya,

sehingga zat warna mengendap dibeberapa tempat. Endapan zat warna itulah

yang kemudian meninggalkan bentuk belang pada kain. Namun disisi lain,

endapan ini justru menimbulkan “motif” tersendiri yang tidak akan sama antara

kain yang satu dengan kain lainnya.

Setelah menjelaskan hal tersebut, kegiatan dilanjutkan sesuai jadwal

yaitu melakukan fiksasi pada kain yang telah diwarna. Penyaji terlebih dulu

memperagakan bagaimana cara melakukan fiksasi. Sementara itu disampaikan

pula kepada peserta bahwa umumnya fiksasi dengan tawas menghasilkan warna

kearah lebih muda, kapur menghasilkan arah warna sebenarnya, dan tunjung

menghasilkan warna kearah lebih tua. Bagian motif yang akan diwarna lebih tua

atau lebih muda sebaiknya difiksasi terlebih dahulu, baru kemudian melakukan

fiksasi pada warna latar. Pencelupan tidak perlu terlalu lama, setelah rata kain

diangkat dan langsung dicuci dengan air bersih. Selanjutnya bagian motif yang

telah difiksasi tersebut dibungkus dengan plastik dan diikat kuat agar nantinya

saat fiksasi warna latar, bagian tersebut tidak termasuki fiksator.

Melihat contoh karya yang ditunjukkan sebelumnya, seluruh peserta

yang menggunakan ZWA daun mangga memilih fiksasi tawas. Peserta yang

mewarna dengan ekstrak daun mangga terlebih dahulu melakukan fiksasi

tunjung kombinasi kaput pada bagian motif yang telah diwarna dengan ekstrak

kulit akar pace. Fiksasi dilakukan dengan cara mencelupkan bagian yang

difiksasi pada larutan fiksator tunjung dan kapur yang telah disiapkan. Berikutnya

bagian tersebut dicuci dengan air bersih, kemudian dibungkus dengan plastik dan

diikat kuat.

Gambar 16 Fiksasi bagian motif dengan tunjung dan kapur

Page 27: Lap Ipteks Jumput

27

Selanjutnya warna latar difiksasi dengan tawas, menghasilkan warna

hijau kekuningan. Namun setelah dicuci ternyata ditemukan bercak disana-sini

akibat terkena tetesan ekstrak kulit akar pace. Karena bercak-bercak tersebut

kain terlihat “kotor”, sehingga akhirnya sebagian peserta memilih melakukan

fiksasi kembali dengan tunjung. Hasilnya warna latar bisa rata dan warnanya

hijau tua. Setelah dicuci bersih, kain langsung dibuka jahitan dan ikatannya.

Kegiatan membuka jahitan dan ikatan tampaknya menjadi kegiatan

yang paling ditunggu-tunggu oleh peserta, karena setelah semua jahitan dan

ikatan dibuka maka akan terlihatlah hasil jerih payah mereka. Kegiatan ini juga

membutuhkan kesabaran, terutama saat mebuka jahitan, karena salah-salah bisa

merusak kain. Beberapa karya yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Gambar 17 Pewarnaan dengan ekstrak daun

mangga, setelah difiksasi dengan tunjung

Gambar 18 Fiksasi ZWA daun mangga dengan fiksasi tawas sebagai warna dasar, kombinasi fiksasi tunjung dan kapur, serta penggunaan ZWA kulit akar

pace dengan fiksasi tawas dan tunjung pada bagian motif yang lain

Page 28: Lap Ipteks Jumput

28

Sedangkan peserta yang memilih warna dari kulit akar pace langsung

memasukkan kainnya pada fiksator kapur secara keseluruhan. Setelah rata, kain

dibentangkan pada jemuran, kemudian bagian-bagian motif difiksasi lagi dengan

tunjung sehingga bagian motif tersebut warnanya menjadi lebih tua. Selanjutnya

kain dicuci dan dibuka jahitan serta ikatannya.Hasilnya adalah sebagai berikut :

Gambar 19 Penerapan ZWA daun mangga dengan fiksasi tunjung pada latar, kombinasi fiksasi tawas pada bagian tengah. Bagian motif diwarna

dengan ZWA kulit akar pace, juga menggunakan fiksasi tawas.

Gambar 20 Hasil pewarnaan dengan ZWA kulit akar pace, fiksasi kapur kombinasi tunjung pada motif

Page 29: Lap Ipteks Jumput

29

Dari evaluasi produk yang dilakukan oleh Tim Pelaksana PKM terihat

bahwa peserta mengalami kesulitan dalam proses pengerjaan terutama bagian

tritik 50% dari peserta mendapat nilai kurang. Ini dikarenakan pengikatan yang

kurang kuat sehingga warna tetap bisa masuk ke serat-serat kain. Dari segi

desain karya, 30 % peserta sudah mampu membuat desain yang berbeda dari

yang dicontohkan, sedangkan 60 % lainnya mengkombinasikan desain contoh

dengan desainnya sendiri.

Dari hasil angket yang disebarkan juga diketahui bahwa 100% peserta

menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan menambah pengetahuan mereka,

sangat bermanfaat, dan ingin mempraktekkan sendiri di rumah. Seluruh peserta

menyatakan suka dengan diadakannya kegiatan tersebut dan bersedia

menularkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh kepada orang

lain, terutama kepada teman dan saudara.

Akhirnya, keseluruhan rangkaian kegiatan telah dilaksanakan dengan

baik sesuai jadwal yang direncanakan. Pada saat penutupan peserta

menyampaikan harapan agar suatu hari nanti ada kegiatan sejenis, tentu saja

yang diharapkan dapat menambah pengetahuan serta ketrampilan mereka.

Page 30: Lap Ipteks Jumput

30

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah dilaksanakan

pada tanggal 2,3,dan 6 Juli 2007 dengan peserta anggota Kelompok Tani

Mayangsari kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya dapat dituliskan

kesimpulan sebagai berikut :

1. Kegiatan diikuti oleh 20 peserta, sebagaimana direncanakan.

2. Seluruh peserta dapat menyerap materi dengan baik, terbukti dengan

diperolehnya hasil karya tritik jumput sebagaimana yang diharapkan.

3. Seluruh peserta dapat mengembangkan desain dari yang dicontohkan,

sehingga karya yang dihasilkan menunjukkan desain yang berbeda-beda.

Dapat dikatakan bahwa dari 20 peserta tidak ada karya yang desainnya

sama. Setiap peserta dapat mengenali karyanya masing-masing meskipun

saat pewarnaan kain dimasukkan dalam bak warna secara bersamaan.

4. Dari hasil angket yang disebarkan diketahui bahwa seluruh peserta

menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan menambah pengetahuan

mereka, sangat bermanfaat, dan ingin mempraktekkan sendiri di rumah.

5. Seluruh peserta menyatakan suka dengan diadakannya kegiatan tersebut

dan bersedia menularkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh

kepada orang lain, terutama kepada teman dan saudara.

B. SARAN

Berdasarkan jawaban dari angket peserta, saran yang diberikan adalah

perlu adanya tindak lanjut dengan pelatihan teknik-teknik yang lain, agar

pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki semakin berkembang.

Beberapa peserta bahkan berharap suatu saat akan memperoleh pelatihan

pembuatan batik tulis, sehingga dapat mengetahui bagaimana proses pembuatan

batik yang sesungguhnya.

Page 31: Lap Ipteks Jumput

31

DAFTAR PUSTAKA Hirtchock, Michael, 1991, Indonesian Textiles, Sinagpore: Periplus Edition.

Lestari, Kun, 2005, Buku Panduan Teknologi Pewarnaan Alam Untuk Komoditas

Batik, Yogyakarta : Departemen Perindustrian Badan Penelitian dan

Pengembangan Industri Balai Besar Kerajianan dan Batik.

Ratyaningrum, Fera, 2004, Bahan Ajar Kriya Tekstil, Surabaya : Unesa University

Press.

Ritcher, Anne, 1993, Arts and Crafts of Indonesia , San Francisco, CA. Chronicle

Books.

Roojen, Pepin Van, 1998, Batik Design, Amsterdam, The Pepin Press.

Wardhani, Cut Karamil; Panggabean, Ratna, 2004, Tekstil, Jakarta: Desantara

Utama.