landasan teori 2.1 lingkungan kerja (nature of worklibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/bab...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Lingkungan Kerja (Nature of Work)
2.1.1 Suhu Ekstrim
Suhu udara yang panas dapat merupakan kombinasi dari panas
eksternal dari lingkungan dan panas tubuh internal yang dihasilkan dari
proses metabolisme. Dua jenis sumber paparan panas eksternal di tempat
kerja diantaranya yang terkait dengan cuaca dan paparan panas buatan
manusia (hasil dari metabolisme). Paparan panas terkait cuaca menghadirkan
tantangan yang semakin meningkat terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja.
Heat stroke dan heat exhaustion adalah salah satu masalah kesehatan
yang sangat serius dan disebabkan oleh pekerjaan di lingkungan yang panas.
Heat stroke bisa mematikan dan korban biasanya tidak mengenali gejalanya.
Sementara gejala heat stroke dapat bervariasi dari satu individu ke yang lain
yang diantaranya adalah kulit panas kering, suhu tubuh yang tinggi, dan
akhirnya, hilangnya kesadaran sebagian atau sepenuhnya.
Paparan panas akibat pekerjaan dapat menyebabkan cedera, penyakit,
kematian, dan penurunan produktivitas. Pekerja mungkin berisiko mengalami
stres akibat panas saat terpapar pada lingkungan yang panas. “Paparan
terhadap lingkungan yang panas dan panas yang ekstrim dapat menyebabkan
penyakit, termasuk heat stroke, heat exhaustion, heat synkop, heat cramps,
dan ruam panas pada kulit, atau berujung pada kematian. Panas juga
meningkatkan risiko cedera di tempat kerja, seperti yang disebabkan oleh
telapak tangan berkeringat, berkabutnya kacamata pelindung keselamatan
mata, dan pusing”. (NIOSH, 2016).
Suhu tubuh internal pekerja akan dapat naik pada lingkungan panas
yang tinggi. Pada kondisi ini tubuh manusia akan beradaptasi sehingga akan
mengarah pada upaya pengaturan suhu tubuh yang ekstra dengan peningkatan
sirkulasi darah pada tubuh dan ditandai meningkatnya cairan tubuh berupa
7
8
keringat. Tubuh akan mengeluarkan energi saat mencoba untuk
mendinginkan suhu badan, sehingga akan meningkatkan tingkat kelelahan
pada tubuh secara keseluruhan.
Kelembaban (humidity) juga memainkan peran penting dalam
mempengaruhi lingkungan kerja. Tempat kerja dengan kelembaban udara
yang tinggi juga dapat menyebabkan kemungkinan hilangnya produktivitas,
efisiensi, dan ketidaknyamanan. “Suhu yang panas dapat menyebabkan
dehidrasi dan kelelahan otot, terutama ketika dikombinasikan dengan
kelembaban yang tinggi.” (NIOSH, 2016).
2.1.2 Sikap Kerja
Pada perusahaan petrokimia terdapat berbagai macam teknologi yang
terlibat dalamnya berdasarkan stok umpan yang dibutuhkan maupun produk
akhir yang diinginkan, yang juga akan mempengaruhi ukuran dari perusahaan
tersebut yang biasanya adalah sangat besar. Teknologi yang terdapat dalam
pabrik petrokimia membutuhkan peralatan khusus, rekayasa yang canggih
dan staf pekerja yang berketerampilan tinggi. Semakin kompleks struktur
pabrik petrokimia, maka juga akan sebanding dengan meningkatnya risiko
terhadap pekerja di dalamnya.
Tidak semua peralatan yang ada sesuai dengan kondisi operator,
terutama pada perusahaan yang berskala internasional dimana operator
berasal dari seluruh penjuru dunia. Peralatan yang tidak mendukung dan yang
kurang ergonomis akan menyebabkan bertambahnya waktu pengerjaan, risiko
kesulitan yang meningkat dan risiko cedera yang berkelanjutan. Hal ini akan
bisa menyebabkan frustasi dan meningkatkan emosi pekerja (dampak
psikologis), kemudian mengakibatkan penggunaan kekuatan yang berlebihan
sehingga tidak hanya risiko cedera, namun kerusakan peralatan juga akan
terjadi. Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor
(Sumarningsih et al, 2016) diantaranya:
a. Karakteristik fisik pekerja seperti; umur, jenis kelamin, antropometri,
berat badan, kesegaran jasmani, kemampuan gerakan sendi, sistem
musculoskeletal, ketajaman penglihatan, masalah kegemukan, riwayat
cidera.
9
b. Jenis tugas pekerja misalnya seperti; memerlukan ketelitian mata,
kekuatan tangan, tugas yang bergiliran, perlengkapan (pendukung)
kerja.
c. Desain tempat kerja misalnya seperti; ukuran tempat duduk,
ketinggian landasan kerja, kondisi permukaan atau bidang kerja, dan
faktor lingkungan kerja.
d. Kondisi lingkungan kerja (environment) misalnya seperti; intensitas
cahaya, suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara,
kebisingan, debu dan getaran.
Untuk mengatasi hal buruk yang terjadi karena faktor sikap kerja,
sebaiknya perlu dilakukan administrative control yang termasuk didalamnya
berisi prosedur atau petunjuk operasional. Kontrol administrasi ini adalah
kebijakan, prosedur, tempat kerja dan praktik, yang akan mengontrol atau
mencegah paparan terhadap efek yang berpotensi membahayakan dengan
menerapkan perubahan secara administrasi seperti rotasi tugas,
pengembangan tugas, pemulihan (waktu istirahat), penyesuaian tugas yang
membutuhkan kecepatan, mendesain ulang metode tugas, dan
pendidikan/pelatihan karyawan.
2.2 Gangguan Otot (Musculoskeletal Disorders)
2.2.1 Musculoskeletal Disorders
Musculoskeletal disorders (MSD/ gangguan muskuloskeletal)
merupakan cedera dan gangguan yang mempengaruhi gerakan tubuh
manusia. Gangguan sistem musculoskeletal seperti fungsi sendi, tendon,
ligament, otot, saraf serta gangguan tulang belakang. Pada umumnya gejala
gangguan MSD ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dengan
mengakibatkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk beraktivitas. Bagian-
bagian tubuh yang mengalami gangguan ini dapat terjadi merata pada semua
tubuh seperti leher, bahu, tangan punggung bahkan pada bagian kaki manusia.
Gangguan musculoskeletal disorders(MSD) adalah masalah kesehatan
umum di seluruh dunia industri dan penyebab utama terjadinya 527 kasus
cacat dalam dunia industri. MSD adalah kondisi saraf, tendon, otot, dan
10
struktur pendukung sistem musculoskeletal yang dapat menyebabkan
kelelahan, ketidaknyamanan, nyeri, pembengkakan lokal, mati rasa,
kesemutan, kompresi sendi. MSD biasanya berkembang dari gangguan
akumulatif yang dihasilkan kontak yang terlalu lama dengan ketegangan fisik
dan psikososial yang berlebihan di tempat kerja (Samad S. A., dan Shelke R.
D., 2016).
Penyebab gangguan MSD ini bervariatif dengan banyaknya variasi
aktivitas manusia dalam melakukan kegiatan keseharian maupun aktivitas
yang memerlukan kecepatan untuk mengatasi masalah dengan posisi-posisi
yang aneh. Di dalam dunia manufacturing industry, pekerja dengan waktu
kerja 12 jam perhari berpeluang besar terindikasi mendapatkan gejala MSD,
bersamaan dengan tingkat aktivitas tubuh dengan menggunakan otot yang
terlalu berlebihan maupun terlalu lama duduk dalam melakukan operasi
monitoring proses produksi. Pada umumnya gangguan musculoskeletal
disorders terjadi dari akumulasi benturan-benturan atau tekanan-tekanan yang
terjadi secara terus-menerus pada waktu yang relative lama, sehingga
membentuk cedera dari rasa nyeri, kemudian pembengkakan yang selanjutnya
pada tahap trauma dan yang terkahir adalah tidak berfungsinya organ tubuh
yang bersangkutan.
Human factor memberikan kontribusi besar dalam gangguan MSD
mengingat keterlibatan manusia sebagai operator sebuah mesin maupun
peralatan kerja, dan juga dituntut untuk melakukan barbagai macam aktivitas
fisik. Menurut Samad S. A. dan Shelke R. D., (2016) menjelaskan bahwa, ada
beberapa aktifitas operator lapangan pada industri manufacturing yang dapat
menyebabkan terjadinya cumulative trauma disorder, antara lain:
a. Pengulangan (High task repetition): aktifitas pekerjaan yang
melakukan gerakan berulang ulang seperti membuka dan menutup
valve berukuran besar misalnya; valve 20 inci dengan handwheel
berdiameter 40 inci. Oleh karena pengaruh target produksi maka
proses pengoperasian valve terkadang harus dilakukan secepat
mungkin untuk menghindari down-time dan kemudian
dikombinasikan dengan faktor resiko lain seperti dibutuhkan kekuatan
yang besar untuk mengoperasikan valve dan posisi tubuh yang
11
canggung akan sangat berkontribusi pada masalah musculoskeletal
disorders.
b. Pengerahan kekuatan (Force exertions): aktifitas pekerjaan yang
menggunakan kekuatan fisik untuk melakukan kegiatan seperti
mengangkat, mendorong, menarik maupun membawa barang barang
berukuran besar dan berat. Kondisi peningkatan kekuatan otot untuk
melakukan suatu aktifitas yang memerlukan kekuatan yang tinggi
akan menyebabkan kelelahan yang beresiko pada masalah
musculoskeletal disorders.
c. Postur tubuh yang canggung (Sustained awkward posture): di dalam
melakukan kegiatan operasional sering kali pekerja memerlukan
postur tubuh yang tidak seimbang atau canggung seperti menjinjit,
membungkuk, berjongkok, memutar maupun duduk. Postur tubuh
yang canggung akan menempatkan kekuatan yang berlebih pada sendi
(joints) dan juga akan membebani otot dan tendon disekitar sendi.
Posisi yang paling efisien adalah jika aktifitas berada pada jarak dekat
dengan gerakan sendi (mid-range motion of the joint). Resiko
musculoskeletal disorders akan meningkat ketika sendi yang bekerja
berada di luar rentang tengah (outside of mid-range) untuk periode
waktu yang berkelanjutan tanpa ada waktu untuk recovery yang
cukup.
d. Getaran peralatan: memberikan kontribusi besar pada getaran otot otot
manusia pada saat anggota tubuh seperti tangan dan kaki bersentuhan
dengan peralatan mesin, pneumatic tools maupun benda berputar
seperti cutting device maupun gerinda elektrik.
Ketika pekerja melakukan aktivitas dengan resiko musculoskeletal
disorders, kemudian merasa kelelahan. Selanjutnya kelelahan tidak ter-
recovery yang kemudian akan melewati fase sistem kekebalan tubuh mereka.
Setelah fase melewati sistem kekebalan tubuh, jika aktifitas terus berlanjut
akan berada pada fase ketidak seimbangan system musculoskeletal. Seiring
dengan bertambahnya waktu jika kegiatan terus dilakukan, maka akan
mengakibatkan gangguan musculoskeletal yang lebih parah.
12
Gambar 2.1 menunjukkan grafik fase kondisi musculoskeletal yang
berlanjut pada keadaan yang fatal.
Gambar 2.1 Grafik Faktor Resiko Musculoskeletal Disorders.
(Middlesworth. M. 2015)
2.2.2 Ergonomi
Ergonomi atau ilmu ergonomi memberikan solusi dari permasalahan
gangguan musculoskeletal. Ilmu ergonomi merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan (science) yang mempelajari hubungan antara manusia dengan
pekerjaanya, dan membahas tentang aktivitas pekerjaan yang memiliki tujuan
untuk meningkatkan kualitas produk dari hasil kerja tersebut. Ergonomi
adalah kemampuan untuk menerapkan informasi mengenai karakter manusia,
kapasitas, dan batasan desain tugas manusia, sistem mesin, ruang hidup, dan
lingkungan sehingga orang dapat hidup dan bekerja dengan aman, nyaman
dan efisien (Mittal A., Sharma H. K., and Mittal K., 2013; Shoubi M. V.,
Barough A. S., Rasoulijavaheri, A., 2013).
Ergonomi di adopsi dari Bahasa Latin yaitu Ergos yang berarti kerja
dan Nomos yang berarti hukum alam. Ergonomi dapat di definisikan sebagai
ilmu tentang elemen manusia dalam lingkungan tempat kerjanya yang secara
detail di tinjau berdasarkan ilmu anatomi, fisik, psikologi, engineering,
manajemen dan ilmu perancangan model. Ergonomi adalah studi tentang
bagaimana tempat kerja, peralatan yang digunakan, dan lingkungan kerja itu
13
sendiri dapat dirancang dengan baik untuk kenyamanan, efisiensi,
keselamatan dan produktivitas. Tujuan dari program ergonomi dalam industri
adalah untuk menyesuaikan tempat kerja dengan pekerja, tergantung pada
deskripsi pekerjaan, tugas yang diperlukan, dan susunan fisik karyawan yang
melakukan tugas tersebut. Pertimbangan ergonomis dalam desain membantu
mencegah bahaya ergonomiyang merupakan faktor fisik dalam lingkungan
yang membahayakan sistem musculoskeletal. Bahaya ergonomi di tempat
kerja meliputi beberapa hal seperti gerakan berulang, penanganan manual,
desain tempat kerja/ pekerjaan/ tugas, workstation yang tidak nyaman dan
positioning tubuh yang buruk (Nancy et al., 2016; NIOSH,2016).
Pada penerapannya, aplikasi ergonomi dilakukan dengan prinsip
pemecahan masalah terhadap kegiatan atau aktivitas yang telah dilakukan.
Hal yang pertama adalah mengidentifikasikan masalah yang sedang terjadi
atau sedang dihadapi dengan mengumpulkan dan mencari segala bentuk
informasi yang ada. Yang kedua adalah menentukan prioritas dari
permasalahan yang ada, dan lebih fokus pada masalah yang mempunyai
prioritas paling tinggi. Yang terakhir adalah melakukan analisis untuk
menentukan dan melakukan intervensi dan juga tindakan-tindakan alternatif.
Menurut Rizani N. C., Bramandita R., Septiani W. (2011), ada
beberapa hal yang menjadi gejala umum pada permasalahan ergonomi di
tempat kerja, diantaranya:
a. Terjadinya cedera dan beberapa kecelakaan kerja.
b. Cumulative Trauma Disorder, repetition, vibration.
c. Keluhan pekerja
d. Adanya perubahan stasiun kerja untuk kebutuhan aktivitas mereka.
e. Manual material handling
2.2.3 Anthropometri
Anthropometri adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukurang
dimensi tubuh manusia secara komparatif. Antropometri adalah ilmu yang
mempelajari pengukuran dimensi tubuh manusia (ukuran, berat, volume, dan
lain-lain) dan karakteristik khusus dari tubuh seperti ruang gerak. Data
antropometri digunakan untuk berbagai keperluan, seperti perancangan
14
stasiun kerja, fasilitas kerja, dan desain produk agar diperoleh ukuran-ukuran
yang sesuai dan layak dengan dimensi anggota tubuh manusia yang akan
menggunakannya (www.anthropometriindonesia.org, 2018).
Istilah Anthropometri berasal dari “anthro” yang berarti manusia dan
“meteri” yang berarti ukuran. Secara definitif anthropometri dapat dinyatakan
sebagai suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh
manusia. Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar,
dan sebagainya) berat dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Anthropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis
dalam menentukan perlunya interaksi manusia (Masniar et al, 2017).
Data anthropometri ini sangat penting dan banyak digunakan pada
bidang perancangan, ergonomi dan arsitektur yang mana bidang-bidang
tersebut sangat memerlukan data-data statistic tentang dimensi tubuh dari
suatu populasi yang akan digunakan untuk membuat suatu produk. Hasil dari
produk akan berperan dengan optimal jika telah sesuai dengan operator yang
mengoperasikannya. Perangkat kerja harusnya dirancang sesuai dengan
masing-masing pekerja, namun karena alasan banyak terjadi perubahan atau
pergantian pekerja dan juga dengan alasan untuk mengurangi anggaran, hal
tersebut menjadikan kesulitan tersendiri bagi pihak perusahaan untuk
memberikan tempat kerja seperti yang diharapkan.
Untuk membantu menetukan berapa jarak yang dibutuhkan dan
mempunyai batasan tertentu, maka sangat penting untuk mengakomodasi
pengguna yang paling besar sementara untuk jangkauan harus selalu
mengakomodasi pengguna yang paling kecil. Dalam pokok pembahasan
antropometri, 95 persentil menunjukan tubuh yang berukuran besar,
sedangkan 5 persentil menunjukan tubuh yang berukuran kecil. Jika
diinginkan dimensi untuk mengakomodasi 95% populasi maka 2,5 dan 97.5
persentil adalah batas ruang yang dapat dipakai (Masniar M., Wijaya R. T.,
2017).
Berikut dibawah ini adalah beberapa contoh desain kerja yang
dirancang dengan baik:
a. Dimensi fisik dapat atau mampu diakomodasi termasuk jarak dan
ketinggian dengan karakteristik setidaknnya 90% dari semua pekerja.
15
b. Beban paling tinggi berada dalam kapasitas kekuatan setidaknya 90%
dari semua pekerja.
c. Faktor lingkungan masih pada batas resiko yang bisa diterima atau
batas kinerja (performance limits) adalah sebagian besar pekerja
dalam kondisi yang sehat.
d. Tuntutan persepsi, kognitif dan visual masih berada dalam kapasitas
sebagian besar pekerja (termasuk yang lebih tua).
e. Jenis pekerjaan yang memerlukan aktivitas pengulangan dan
kecepatan tidak berlebihan dan para pekerja masih bisa
mengendalikan pola kerja mereka.
Pengukuran anthropometri secara luas digunakan untuk efisiensi yang
maksimum. Desain yang tidak efektif akan menyebabkan banyak masalah
ditempat kerja dan berkontribusi banyak terhadap cedera Musculoskeletal
disorders.
2.2.4 RULA
Metode RULA (Rapid Upper Limb Assesment) adalah metode yang
dikembangkan untuk memperkirakan potensi gangguan ekstremitas
pekerjaan. Metode RULA ini dikembangkan oleh Dr. Lynn McAtamney dan
Profesor E. Nigel Coriett, ergonomis dari University of Nottingham di Inggris
untuk pertama kalinya dalam bentuk jurnal pada tahun 1993, merupakan
penjabaran analisa dengan metode yang cepat dan sistematis untuk
menentukan resiko postural pekerja, analisa ini bisa diselesaikan sebelum dan
sesudah intervensi untuk menetukan keberhasilan dalam menurunkan cedera
para pekerja. (Dzikrillah N., Yuliani E. N. S., 2015).
Penilaian RULA dilakukan berdasarkan pengamatan ekstremitas atas
dan postur tubuh pekerja yang melakukan tugas tertentu. Penilaian
difokuskan pada durasi tugas, sudut sendi ekstrem, gaya yang diberikan pada
ekstremitas tertentu, dan seberapa sering tugas sedang dilakukan. Dengan
analisa ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasikan tingkat pemaparan
dan penanggulangan yang diperlukan untuk mengurangi resiko pekerjaan.
Metode RULA juga mengidentifikasi kemampuan otot yang terkait dengan
16
kondisi postur kerja, pengerahan kekuatan, aktivitas pekerjaan statis maupun
yang berulang-ulang yang dapat menyebabkan kelelahan pada otot.
Analisa RULA menggunakan satu formulir lembar kerja (RULA
worksheet) untuk mengevaluasi postur tubuh, gaya yang diperlukan dan
aktivitas pengulangan. Berdasarkan evaluasi, skor dimasukan untuk setiap
wilayah tubuh. Section A untuk lengan dan pergelangan tangan. Section B
untuk leher dan badan. Selanjutnya data setiap bagian (section A and section
B) dikumpulkan dan di beri skor. Tabel pada formulir kemudian digunakan
untuk mengkompilasi veriabel faktor resiko yang menghasilkan nilai akhir
yang merepresentasikan tingkat resiko musculoskeletal disorders (MSD).
Postur yang akan di evaluasi di dasarkan pada:
a. Postur dan aktivitas kerja yang paling sulit
b. Postur yang bertahan untuk jangka waktu yang lama
c. Postur dimana beban gaya yang lebih besar terjadi
Ergonomic Plus Inc. (www.ergo-plus.com) memberikan penjelasan
tentang langkah-langkah penilaian RULA yang akan dibahas dengan
menggunakan lembar kerja RULA (gambar utuh dapat dilihat pada lampiran
10 dan 11).
Langkah 1:
Gambar 2.2 1 Skor Pada Lengan Atas (Middlesworth, M., 2017)
a. Mengamati posisi lengan atas dan memberikan skor sesuai dengan
kriteria.
17
b. Posisi lengan atas berada antara sudut 200 mengayun ke depan dan 20
0
mengayun ke belakang bernilai +1.
c. Posisi lengan atas, berada pada sudut antara 20 600 mengayun ke
depan, dan posisi extention dengan sudut lebih dari 200
bernilai +2.
d. Posisi lengan atas, berada pada sudut lebih dari 600 mengayun ke
depan bernilai +3.
e. Ditambah +1, jika bahu terangkat.
f. Ditambah +1, jika lengan atas meregang (abducted) dan gerakan lebih
dari 4x per menit atau lebih.
g. Ditambah +1, jika lengan atas meregang (abducted) dan postur static
atau dengan gerakan lebih dari 4x per menit atau lebih.
h. Nilai -1, jika bahu disangga atau bersandar.
i. Dari semua nilai pada langkah ini kemudian di jumlah dan di masukan
di kotak Upper Arm Score.
Langkah 2:
Gambar 2.3 2 Skor Pada Lengan Bawah (Middlesworth, M., 2017)
a. Mengamati posisi lengan bawah dan membuat skor sesuai dengan
kriteria.
b. Posisi lengan bawah, berada antara sudut 60 1000 bernilai +1.
c. Posisi lengan bawah, berada antara sudut 0 600 atau pada sudut
lebih dari 1000 bernilai +2.
d. Ditambah +1, jika lengan bekerja menyilang titik tengah badan.
e. Ditambah +1, jika lengan bergerak keluar dengan sudut lebih dari 150.
f. Dari semua nilai pada langkah ini kemudian di jumlah dan di masukan
di kotak Lower Arm Score.
18
Langkah 3:
Gambar 2.4. 3 Skor Pada Pergelangan Tangan (Middlesworth, M.,
2017)
a. Mengamati posisi pergelangan tangan dan membuat skor sesuai
dengan kriteria.
b. Posisi pergelangan tangan, berada pada posisi antara sudut 150 keatas
dan sudut 150 kebawah bernilai +1.
c. Posisi pergelangan tangan, berada pada posisi antara sudut lebih dari
450 keatas dan sudut lebih dari 45
0 kebawah bernilai +2.
d. Posisi pergelangan tangan, berada pada sudut lebih dari 450 keatas
atau pada sudut lebih dari 450 kebawah bernilai +3.
e. Ditambah nilai +1, jika pergelangan tangan membengkok melebihi
garis tengah kesamping kiri atau kanan dengan sudut lebih dari 100.
f. Dari semua nilai pada langkah ini kemudian di jumlah dan di masukan
di kotak Wrist Score.
Langkah 4:
a. Mengamati posisi pergelangan tangan dengan tapak menggengam dan
membuat skor sesuai dengan kriteria.
b. Jika pergelangan tangan dengan tapak menggenggam pada titik tengah
nilai 1.
c. Jika pergelangan tangan dengan tapak menggenggam pada ujung luar
(dekat jari) nilai 2.
d. Nilai dimasukkan pada kotak Wrist Twist Score.
19
Langkah 5:
Gambar 2.5. 4 Skor Tabel A (Middlesworth, M., 2017)
a. Mendapatkan nilai Posture Score A dengan table A, menggunakan
hasil skor dari langkah 1 sampai dengan langkah 4.
b. Menandai nilai Upper Arm Score 1 s/d 6 pada Table A.
c. Menandai nilai Lower Arm Score 1 s/d 3, di sesuaikan dengan baris
hasil dari Upper Arm Score pada Table A.
d. Menandai nilai Wrist Score 1 s/d 4 pada Table A.
e. Menandai nilai Wrist Twist Score 1 s/d 2, di sesuaikan dengan kolom
hasil dari Wrist Score pada Table A.
f. Posture Score A akan diperoleh dari pertemuan baris dan kolom dari
Table A.
20
Gambar 2.6 5 Skor Tabel A Untuk Mendapatkan Posture Score
(Middlesworth, M., 2017)
Langkah 6:
Gambar 2.7 6 Muscle use score (Middlesworth, M., 2017)
a. Mengamati penambahan penggunaan otot dan membuat skor sesuai
dengan kriteria.
b. Nilai skor +1, jika postur kondisinya static (kondisi sama lebih dari 10
menit, atau aktivitas dengan pergerakan berulang 4x per menit atau
lebih.
c. Nilai dimasukkan pada kotak Muscle Use Score.
21
Langkah 7:
Gambar 2.8 7 Kotak isian Force/ load score (Middlesworth, M.,
2017)
a. Mengamati beban kerja dan membuat skor sesuai dengan kriteria.
b. Berat beban kurang dari 2 Kg (berselang) bernilai 0.
c. Berat beban antara 2 - 10 Kg (berselang) bernilai +1.
d. Berat beban antara 2 - 10 Kg (statik atau berulang-ulang) bernilai +2.
e. Berat beban lebih dari 10 Kg atau berulang-ulang atau
hentakan(shock) bernilai +3.
f. Ditambah +1, jika terjadi shock atau pengulangan.
g. Nilai pada langkah ini kemudian di masukan di kotak Force/Load
Score.
22
Langkah 8:
Gambar 2.9 8 Skor yang akan digunakan pada Tabel C
(Middlesworth, M., 2017)
a. Menentukan nilai pada baris Table C.
b. Untuk mendapatkan nilai pada Wrist & Arms Score, jumlahkan
langkah 5 sampai dengan langkah 7.
c. Hasil dimasukan pada kotak Wrist & Arms Score.
Langkah 9:
Gambar 2.10 9 Skor Pada Posisi Leher (Middlesworth, M., 2017)
23
a. Mengamati posisi leher dan memberikan skor sesuai dengan kriteria.
b. Posisi leher dengan sudut 0 100 kedepan bernilai +1.
c. Posisi leher dengan sudut 10 200 kedepan bernilai +2.
d. Posisi leher dengan sudut lebih dari 200 kedepan bernilai +3.
e. Posisi leher dengan posisi extention (kebelakang) bernilai +4.
f. Ditambah +1, jika leher pada posisi berputar.
g. Ditambah +1, jika leher pada posisi bengkok ke samping.
h. Dari semua nilai pada langkah ini kemudian di jumlah dan di masukan
di kotak Neck Score.
Langkah 10:
Gambar 2.11 10 Skor Pada Posisi Badan (Middlesworth, M., 2017)
a. Mengamati posisi badan dan membuat skor sesuai dengan kriteria.
b. Posisi badan dengan sudut 00 bernilai +1.
c. Posisi badan menunduk atau extention, dengan sudut 0 200 bernilai
+2.
d. Posisi badan menunduk dengan sudut 20 600 bernilai +3.
e. Posisi badan menunduk dengan sudut lebih dari 600 bernilai +4.
f. Ditambah +1, jika badan pada posisi berputar.
g. Ditambah +1, jika badan pada posisi bengkok kesamping.
h. Dari semua nilai pada langkah ini kemudian di jumlah dan di masukan
di kotak Trunk Score.
24
Langkah 11:
Gambar 2.12 11 Tabel C (Middlesworth, M., 2017)
Gambar 2.12 11 menunjukkan cara pengisian skor pada tabel B sebagai
berikut:
a. Mengamati posisi kaki dan membuat skor sesuai dengan kriteria.
b. Nilai skor +1, jika kaki bertumpu dan posisi seimbang.
c. Nilai skor +2, jika kaki tidak bertumpu dan posisi tidak seimbang.
d. Nilai dimasukkan pada kotak Leg Score.
e. Hasil nilai langkah 9 (Neck Score) di tandai pada Table B.
f. Hasil nilai langkah 10 (Trunk Score) di tandai pada Table B.
25
g. Hasil nilai langkah 11 (Leg Score) di tandai pada Table B tepat pada
kolom hasil nilai langkah 10 (Trunk Score).
Langkah 12:
Gambar 2.13. 12 Skor Leher, Badan Dan Posisi Kaki
(Middlesworth, M., 2017)
Nilai Posture B Score, diperoleh dari pertemuan titik Neck Posture Score
dan Trunk Posture Score (pada Table B).
26
Langkah 13:
Gambar 2.14. 13 Kotak isian penggunaan tenaga dalam kegiatan
(Middlesworth, M., 2017)
a. Mengamati penambahan penggunaan otot dan membuat skor sesuai
dengan kriteria.
b. Nilai skor 0, jika postur tidak memenuhi kondisinya statik (kondisi
sama kurang dari 10 menit, atau aktivitas dengan pergerakan berulang
kurang dari 4x per menit.
c. Nilai skor +1, jika postur kondisinya statik (kondisi sama lebih dari 10
menit, atau aktivitas dengan pergerakan berulang 4x per menit atau
lebih.
d. Nilai dimasukkan pada kotak Muscle Use Score.
Langkah 14:
Gambar 2.15 14 Kotak isian berat objek yang dioperasikan
(Middlesworth, M., 2017)
a. Mengamati beban kerja dan membuat skor sesuai dengan kriteria.
b. Berat beban kurang dari 2 Kg (berselang) bernilai 0.
c. Berat beban antara 2 - 10 Kg (berselang) bernilai +1.
d. Berat beban antara 2 - 10 Kg (static atau berulang-ulang) bernilai +2.
e. Berat beban lebih dari 10 Kg atau berulang-ulang atau
hentakan(shock) bernilai +3.
f. Ditambah +1, jika terjadi shock atau pengulangan.
27
g. Nilai pada langkah ini kemudian di masukan di kotak Force/Load
Score.
Langkah 15:
a. Menentukan nilai pada kolom Table C.
b. Untuk mendapatkan nilai pada Neck, Trunk, Leg Score, jumlahkan
langkah 12 sampai dengan langkah 14.
c. Hasil dimasukan pada kotak Neck, Trunk, Leg Score.
Gambar 2.16. 15 Kotak isian leher, badan dan kaki untuk digunakan
pada tabel C (Middlesworth, M., 2017)
d. Nilai pada Table C diperoleh dari pertemuan titik dari baris Wrist/Arm
Score, dan kolom Neck, Trunk, Leg Score.
e. Nilai pada Table C merupakan hasil final pada evaluasi metode RULA.
Gambar 2.17 16 Penggunaan tabel C (Middlesworth, M., 2017)
28
f. Setelah di ketahui final REBA Score, kemudian dari nilai tersebut akan
di intrepretasikan dan diketahui kondisi tingkat resiko dan tindakan
yang perlu dilakukan.
Gambar 2.18 17 Kriteria RULA score (Middlesworth, M., 2017)
2.2.5 REBA
Metode REBA (Rapid Entire Body Assesment) dikembangkan oleh
Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn McAtamney pada tahun 1993. “REBA is an
analysis tool for rapid and easy observation of postural whole-body
activities. Provide a score system for muscle activities by deviding the body
into segments coded separately with respect of movement plane.”
(Lakhwinder. P.S, 2016).
Menurut pengembangnya Dr. Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney,
REBA adalah ini bertujuan untuk:
a. Mengembangkan system analis postural yang sensitif terhadap resiko
Musculoskeletal disorders pada setiap pekerjaan.
b. Membagi tubuh menjadi beberapa segmen yang di berikan kode
secara individual, dengan mengacu pada bidang pergerakan.
c. Menyediakan system penilaian untuk aktivitas otot yang di sebabkan
oleh postur yang statis, dinamis, perubahan pergerakan pergerakan
yang cepat, atau kondisi postur yang tidak stabil.
d. Merefleksikan bahwa pegangan (coupling) merupakan bagaian yang
sangat penting saat penanganan sebuah beban, yang mana tidak selalu
menggunakan tangan.
e. Memberikan tingkat tindakan dengan indikasi urgensi.
29
Sebagai alat untuk menilai postur tubuh terhadap resiko
musculoskeletal disorders (MSD). Metode ini di rancang khusus untuk
menganalisis postur kerja yang tidak dapat di prediksi pada bidang perawatan
dan kesehatan maupun pada bidang layanan servis dalam industri. Evaluasi
faktor resiko ini di dasarkan pada paparan diagram postur tubuh pada tiga
table yang telah disediakan. Di dalam metode ini menilai posisi saat kerja
postur leher, postur punggung, postur lengan dan postur kaki. Faktor-faktor
yang mempengaruhi juga akan dihitung di antaranya adalah factor kopling,
beban eksternal yang berhubungan dengan pekerja.
Pada prosedur penilaian dengan metode REBA, perlu juga dilakukan
observasi jenis pekerjaan termasuk desain tempat kerja dan lingkungan kerja,
penggunaan peralatan, bahkan perilaku pekerja yang mengabaikan resiko
kerja. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan formula yang tepat untuk
dilakukannya suatu perubahan atau modifikasi pada factor ergonomi yang
lebih baik.
Gambar dibawah ini sebagai bahan rujukan untuk mendapatkan hasil
dari lembar penilaian REBA.
Gambar 2.19 1 Simplified Skor pada REBA
(http://www.ijpret.com/publishedarticle/2014/4/IJPRET - MECH 158.pdf)
30
Dari gambar diatas analis bisa memperoleh skor untuk postur dari
grup A yang terdiri dari; badan (trunk), leher (neck) dan kaki (leg). Postur
dari grup B terdiri dari; lengan atas (upper arms), lengan bawah (lower arms)
dan pergelangan tangan (wrists). Langkah – langkah pada proses penilaian
REBA hampir memiliki kemiripan dengan lembar kerja pada pengukuran
RULA.
2.3 Nasa-TLX
NASA – TLX (NASA Task Load Indeks) adalah merupakan alat atau metode
yang memungkinkan pengguna untuk melakukan penilaian terhadap beban kerja
mental subyektif pada operator yang bekerja dan berhubungan dengan berbagai
sistem antarmuka manusia-mesin (human-machine interface system). Metode ini
digunakan secara luas terutama pada bidang industri manufaktur dan jasa. Khususnya
dalam produksi pabrik EDC, keperluan untuk mengevaluasi beban mental operator
lapangan sangat penting. Hal ini untuk memastikan keselamatan dan kesehatan
operator lapangan, terutama agar selalu menggunakan alat-alat keselamatan atau alat
pelindung diri (PPE-Personal Protective Equipment), melakukan setiap pekerjaan
dengan hati-hati dan waspada untuk menghindari berbagai kesalahan yang bisa
menyebabkan kecelakaan kerja maupun kerusakan peralatan pabrik. Dari
pengalaman penulis, peningkatan beban kerja yang berat dapat sering terjadi karena
di picu oleh jenis pekerjaan yang kompleks, kondisi yang ekstrem dan juga gesekan
antar pekerja.
Metode NASA-TLX ini menganalisis beban kerja mental yang dihadapi
pekerja yang harus melakukan berbagai macam aktivitas untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan. Metode ini awalnya dikembangkan oleh Sandra G. Hart dan Lowell E.
Staveland dari San Jose State University pada 1981 (Ericson W., Frans C. S., Ryan
P. dan Sugianto, 2016). Pengembangan dilakukan di Human Performance Group
pada perusahaan NASA Ames Research Center pada awal tahun 80-an selama tiga
tahun dan melibatkan lebih dari 40 laboratorium. Salah satu metode yang terbagus
selain SWAT (Subjective Workload Assesment Technique), NASA-TLX ini berupa
kuesioner untuk mengukur beban kerja mental dari jenis pekerjaan, bukan beban
kerja mental dari para pekerja (Muhammad A. dan Arfan B., 2016). Pada metode ini
31
terdapat 6 dimensi kinerja yang dinilai untuk menentukan peringkat beban kerja
secara keseluruhan:
1. Mental Demand; Permintaan untuk berpikir, memutuskan ataupun
perhitungan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.
2. Physical Demand; Permintaan menentukan jumlah aktivitas fisik yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas.
3. Temporal Demand; Permintaan menentukan jumlah tekanan waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas.
4. Effort: Upaya untuk mengevaluasi seberapa keras usaha pekerja untuk
mempertahankan kinerja mereka dalam menyelesaikan tugas.
5. Performance; Mengukur tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan
tugas.
6. Frustation Level; Mengatasi tingkat frustrasi yang dirasakan selama
melakukan tugas.
Langkah-langkah dalam pengukuran beban kerja mental dengan
menggunakan metode NASA-TLX adalah:
1. Mendapat penjelasan dari indikator beban mental yang di ukur. Metode
NASA-TLX mengukur beban kerja mental dengan 6 indikator yang di
antaranya adalah seperti pada tabel 2.6.1 di bawah.
Tabel 2.1 Definisi Skala NASA-TLX
Scale Rating Discription
Mental Demand
(Kebutuhan Mental)
MD
Low/High
Seberapa besar aktivitas mental
dan persepsual yang di butuh kan
untuk melihat, mengingat dan
mencari.
Apakah pekerjaan tersebut mudah
atau sulit, Sederhana atau
kompleks, longgar atau ketat.
Physical Demand
(Kebutuhan fisik)
PD
Low/High Jumlah aktivitas fisik yang
dibutuhkan, misalnya;
mendorong, menarik, memutar,
dll.
32
Scale Rating Discription
Temporal Demand
(kebutuhan waktu)
TD
Low/High Jumlah tekanan yang berkaitan
dengan waktu yang dirasakan
selama elemen pekerjaan
berlangsung.
Apakah pekerjaan perlahan atau
santai atau cepat dan melelahkan.
Performance
OP
Good/Poor Seberapa besar keberhasilan
seseorang di dalam pekerjaannya
dan seberapa puas dengan hasil
kerjanya.
Effort
(Tingkat Usaha)
EF
Low/High Seberapa keras kerja mental dan
fisik yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Frustation Level
(Tingkat Frustrasi)
FR
Low/High Seberapa tidak aman, putus asa,
tersinggung, terganggu,
dibandingkan dengan perasaan
aman, puas, nyaman, dan
kepuasan diri yang dirasakan.
2. Pembobotan; Meminta responden untuk memilih salah satu dari 2
indikator yang dirasakan lebih dominan, yang menimbulkan beban kerja
mental terhadap pekerjaan tersebut. Kuesioner NASA-TLX diberikan
dalam bentuk perbandingan yang terdiri dari 15 perbandingan
berpasangan. Kemudian dihitung jumlah tally dari setiap indikator yang
dirasakan paling berpengaruh. Setelah itu, jumlah tally ini kemudian akan
menjadi bobot untuk tiap indikator beban mental. Tally ini menunjukkan
frekuensi item penilaian dalam NASA TLX yang kemudian dijadikan
bobot antar item penilaian yang menunjukkan tingkat kepentingan
masing-masing item penilaian.
3. Pemberian penilaian beban mental (Rating); Meminta responden untuk
memberi penilaian terhadap 6 indikator beban mental dengan skala 1-100
pada setiap indikator yang subjektif dan tergantung pada beban mental
yang dirasakan oleh responden tersebut.
33
4. Menghitung Nilai produk; Nilai produk diperoleh dengan mengalikan
rating dengan bobot faktor untuk masing-masing descriptor.
………………………………….(1)
5. Menghitung beban pekerjaan (Weight Workload – WWL); Hasilnya
diperoleh dengan menjumlah keenam nilai produk.
∑ …………………………………………………..(2)
6. Menghitung Rata-rata WWL; Hasilnya diperoleh dengan membagi WWL
dengan jumlah bobot total.
∑
……………………………………………….(3)
7. Interpretasi Nilai Hasil Skor; Nilai skor beban pekerjaan dapat di
interpretasikan sebagai berikut (Sri at al, 2018) pada Tabel 2.2 di bawah;
Tabel 2.2 Interpretasi Nilai Hasil Skor
Workload Value
Low 0 - 9
Medium 10 - 29
Somewhat High 30 - 49
High 50 - 79
Very High 80 - 100
Hasil dari pengukuran ini, nantinya akan dijadikan pertimbangan untuk
dilakukan perbaikan lebih lanjut yang diharapkan bisa mengurangi nilai skor yang di
atas 80.
34