laju adsorpsi isotermal β -karoten dari metil … filekegunaan bagi kesehatan manusia serta untuk...
TRANSCRIPT
i
LAJU ADSORPSI ISOTERMAL β - KAROTEN DARI METIL
ESTER MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN
ATAPULGIT DAN MAGNESIUM SILIKAT SINTETIK
Oleh
REYNALDI ELMIR ARISURYA
F34104075
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ii
Reynaldi Elmir Arisurya. F34104075. Laju Adsorpsi Isotermal β -Karoten dariMetil Ester Minyak Sawit dengan Menggunakan Atapulgit dan Magnesium SilikatSintetik. Di bawah bimbingan Prayoga Suryadarma. 2009.
RINGKASAN
Ketersediaan sumber energi khususnya energi fosil semakin mengalamipenurunan seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi dunia. Meningkatnyakebutuhan akan minyak bumi menyebabkan semakin menipisnya kandunganminyak di bumi. Salah satu energi alternatif yang dapat digunakan sebagai solusimengatasi krisis energi adalah biodiesel. Biodiesel dapat dihasilkan melalui reaksitransesterifikasi antara trigliserida (minyak sawit) dengan metanol menjadi metilester dan gliserol dengan bantuan katalis.
Penggunaan metil ester saat ini telah berkembang sebagai bahan bakarbiodiesel. Metil ester berbasis minyak sawit merupakan bahan bakar cair alternatifyang dipandang berpotensi besar untuk dikembangkan dan mampu menjawabkebutuhan bahan bakar solar nasional yang tinggi. Hal ini di dukung denganjumlah produksi CPO nasional yang sangat besar. Pengalihan penggunaan metilester sebagai biodiesel inilah yang memicu pertumbuhan industri oleokimia diIndonesia. Pada proses produksi biodiesel, pemurnian dilakukan untukmenghilangkan komponen pengotor seperti air, sabun, asam lemak bebas, gliserol,basa (NaoH) termasuk komponen vitamin di dalamnya yaitu pigmen warnakarotenoid. Padahal karotenoid dalam bentuk β-karoten memiliki banyakkegunaan bagi kesehatan manusia serta untuk kepentingan lainnya sehingga perludilakukan pemisahan β-karoten dengan teknik tertentu dalam industri metil esteragar diperoleh nilai tambah yang tinggi bagi industri. Banyak metode yang dapatdigunakan untuk memperoleh konsentrat karotenoid antara lain metodesaponifikasi, ektraksi pelarut, adsorpsi, distilasi molekuler serta fluida superkritik.
Adsorpsi merupakan metode yang lebih sering dipakai untuk pemisahan β-karoten. Berbagai jenis adsorben digunakan untuk mengadsorpsi komponen β-karoten. Salah satu adsorben yang memiliki keunggulan dan selektif dibandingkandengan adsorben lain adalah atapulgit. Atapulgit merupakan mineral senyawaanyang mengandung silika, aluminum dan magnesium. Selain itu, atapulgitmerupakan salah satu adsorben yang bersifat semi polar dan memiliki kemapuanpenyerapan yang sangat baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai konstanta lajuadsorpsi (k) serta Energi aktivasi (Ea). Proses adsorpsi isothermal β-karotendilakukan pada tiga kondisi suhu yang berbeda yaitu 65OC, 80OC, dan 90OC.Kondisi kesetimbangan adsorpsi diperoleh ketika konsentrasi β-karoten yangterdapat di dalam metil ester tidak lagi mengalami penurunan dengan peningkatanlama waktu adsorpsi. Parameter yang ditentukan pada saat tercapai kondisikesetimbangan adalah lama waktu adsorpsi t (menit) dan juga nilai konsentrasi β-karoten dalam metil ester c (µg/ml). Konstanta laju adsorpsi ditentukan dari hasilregresi linear antara nilai absorbansi metil ester pada waktu tertentu (A) denganwaktu kontak antara adsorben dan metil ester (t). Model isoterm yang dapatmenjelaskan mengenai proses adsorpsi adalah model isoterm Brimberg. Energi
iii
aktivasi (Ea) dapat ditentukan dengan cara memplotkan nilai konstanta lajuadsorpsi (k) dan suhu (T) dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Nilai konstanta laju adsorpsi mengalami peningkatan seiring denganmeningkatnya suhu. Nilai konstanta laju adsorpsi dengan menggunakan atapulgituntuk masing masing suhu 65 , 80 dan 90 °C adalah 0.0236 min-1 0.0332 min-1,0.0515 min -1, sedangkan nilai konstanta laju adsorpsi dengan menggunakanmagnesium silikat sintetik untuk masing-masing suhu 65 °C , 80 °C dan 90 °Cadalah 0.0146 min-1, 0.0266 min-1, 0.0442 min-1.
Nilai energi aktivasi pada proses adsorpsi dengan menggunakan atapulgitadalah sebesar 31.08 kJ/mol sedangkan dengan menggunakan magnesium silikatsintetik sebesar 44.85 kJ/mol. Sehingga proses adsorpsi dengan menggunakanatapulgit berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan magnesiumsilikat sintetik karena nilai energi aktivasinya lebih rendah.
iv
Reynaldi Elmir Arisurya. F34104075. Isothermal Adsorption rate of β-carotenefrom Palm Oil Methyl Ester by Using Attapulgite and Synthetic MagnesiumSillicate. Under the Supervision of Prayoga Suryadarma. 2009.
SUMMARY
The availability of energy source especially fossil fuel is decreasing as theglobal energy needs increases. The increasing needs of petroleum has led to thereduction of this energy source. One of the alternative energy which can solve theenergy crisis id biodiesel. It is resulted from treansesterification reaction betweentrigliserida dan methanol which turn into methyl ester and gliserol by usingcatalyst.
The use of methyl ester has developed as biodiesel fuel. Palm Oil basedmetyl ester id an alternative liquid fuel which id considered potential to developand able to fulfill the national needs of diesel. It is supportes by the high nationalproduction of CPO. The shift of the metyl ester use as biodiesel triggers thegrowth of oleochemical industries in Indonesia. In the production process ofbiodiesel, purifying is conducted to leave out such impurities as water, soap, freefatty acids, gliserol, base (NaOH) including vitamin component, caroteneoid colorpigment. Krotenoid in form of β-carotene is useful for human health and otherneeds. Therefore, it is important to separate β-carotene by certain technique inmethyl ester industries in order to obtained high added value for the industry.Such methods can be used to get carotene concentrate as saponification, muleculardistilation and supercritic fluid methods.
Adsorption is a method often used to separate β-carotene by using manykinds of adsorbent. One of the adsorbents which is qualified and selectivecompared to other adsorbents is attapulgite. It is a mineral cantaining silica,alumunium, and magnesium. In addition, attapulgite is one of the semi polaradsorbents which and able to adsorp well.
The objective of this research is to determine the adsorption rate contanta(k) as well as activation energy (Ea) as a kinetics parameter of β-caroteneadsorption. Isothermal adsorption process of β-carotene is conducted in threedifferent temperature condition : 65 °C, 80 °C and 90 °C. Adsorption equilibriumis obtained when the concentration of β-carotene in methyl ester doesn’t declineas the adsorption time increases. The parameter which is determined when theequilibrium condition is reached is adsorption time t (minute) and concentrationvalue of β-carotene in methyl ester c (µg.ml). Adsorption rate contanta isdetermined from the result of linear regression between metyhl ester Absorbancevalue at t (A) and contact time between adsorbent and methyl ester. isoterm modelwhich can explain the adsorption process is isoterm model of Brimberg. Energyactivation (Ea) can be determined by plotting the constant value of adsorption rate(k) and temperature (T) by using Arrhenius equation.
Constant value rate of adsorption which is obtanied from attapulgite in theeach temperature of 65, 80 and 90 °C are 0.0236 min-1 0.0332 min-1, 0.0515 min -
1. Meanwhile the Constant value rate of adsorption which is obtanied fromsynthetic magnesium sillicate in the each temperature of 65, 80 and 90 °C are0.0146 min-1, 0.0266 min-1, 0.0442 min-1.
v
Activation energy value obtained from attapulgite is 31.08 kJ/mol.Meanwhile, the value obtained from synthetic magnesium sillicate is 44.85kJ/mol. Because activation energy value by using attapulgite is lower thansynthetic magnesium sillicate so the adsorption process by using attapulgite isfaster than synthetic magnesium sillicate.
vi
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “ Laju
Adsorpsi Isotermal ß-karoten dari Metil Ester Minyak Sawit dengan
Menggunakan Atapulgit dan Magnesium Silikat Sintetik” adalah hasil karya
saya sendiri dengan arahan dosen Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan
jelas ditunjukan rujukannya.
Bogor, September 2009
Yang membuat pernyataan,
Reynaldi Elmir Arisurya
F34104075
vii
LAJU ADSORPSI ISOTERMAL β-KAROTEN DARI METIL
ESTER MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN
ATAPULGIT DAN MAGNESIUM SILIKAT SINTETIK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
REYNALDI ELMIR ARISURYA
F34104075
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
viii
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
LAJU ADSORPSI ISOTERMAL β-KAROTEN DARI METIL ESTER
MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN ATAPULGIT DAN
MAGNESIUM SILIKAT SINTETIK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
REYNALDI ELMIR ARISURYA
F34104075
Dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1986
di Bogor
Tanggal lulus : Juli 2009
Menyetujui,
Bogor, September 2009
Prayoga Suryadarma, S.TP, MT
Dosen Pembimbing
ix
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 31
Agustus 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara, putra dari pasangan Amirudin Aidin Beng dan
Tartini. Pada Tahun 1998, penulis menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar di SDN Pengadilan III Bogor.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah
pertama di SLTPN 2 Bogor pada tahun 2001. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan di SMUN 2 Bogor dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
Semasa kuliah penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) dan pernah menjabat
sebagai staf Divisi Human Resources Development (HRD) periode 2005-2006.
Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Hari Warga Industri
(HAGATRI) 2006, SPORTIN 2006, seminar Blue Ocean Strategy (2006) dan
Agroindustry Days (2006).
Penulis Melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2007 dengan topik
”Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi dan Penanganan Limbah Susu
Bubuk di PT. Sugizindo, Citereup, Bogor. Dalam Rangka menyelesaikan tugas
akhir, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul “Laju
Adsorpsi Isotermal ß-karoten dari Metil Ester Minyak Sawit dengan
Menggunakan Atapulgit dan Magnesium Silikat Sintetik”.
RIWAYAT HIDUP
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Laju
Adsorpsi Isotermal ß-karoten dari Metil Ester Minyak Sawit dengan
Menggunakan Atapulgit dan Magnesium Silikat Sintetik”. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Suatu kehormatan tersendiri bagi penulis, selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan arahan dan bantuan dari berbagai
pihak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Prayoga Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan pada saat penelitian dan dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA dan Dr. Ir. Suprihatin selaku dosen penguji yang
telah memberikan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
2. Ayah, ibu serta seluruh keluarga, untuk motivasi, dukungan dan semangat.
3. Teman sebimbingan (Zuni, Ika, Yayan, Bambang dan Rita), atas bantuan dan
kerja samanya
4. Magdalena Kristin Sejati untuk dukungan, kasih sayang dan semangat.
5. Mbak Yeni dan Mbak Ani atas bantuan dan dukungan.
6. TIN 41 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, September 2009
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
A. METIL ESTER ........................................................................................ 3
B. KAROTENOID ...................................................................................... 5
C. ADSORBEN ............................................................................................ 8
D. ADSORPSI .............................................................................................. 11
E. LAJU ADSORPSI .......................................................................... 15
III. METODOLOGI ............................................................................................ 18
A. BAHAN DAN ALAT .............................................................................. 18
B. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 19
1. Tahapan Penelitian ............................................................................ 19
(a) Karakterisasi Awal .................................................................. 20
(b) Penentuan Laju Pengadukan Optimum .................................... 20
(c) Penentuan Kondisi Kesetimbangan Adsorpsi .......................... 20
(d) Penentuan Laju Adsorpsi .................. 21
Halaman
iii
1) Penentuan Konstanta Laju Adsorpsi (k) ............................ 21
2) Penentuan Energi Aktivasi (Ea) ......................................... 22
(e) Penentuan Kualitas Adsorpsi ................................................... 23
2. Prosedur Percobaan ........................................................................... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 25
A. KARAKTERISASI AWAL .................................................................... 25
1. Karakterisasi Metil Ester .................................................................. 25
2. Karakterisasi Adsorben ..................................................................... 26
B. LAJU PENGADUKAN OPTIMUM ...................................................... 27
C. KONDISI KESETIMBANGAN ............................................................ 28
D. LAJU ADSORPSI ......................................................................... 33
1. Konstanta Laju Adsorpsi .................................................................. 33
2. Energi Aktivasi ................................................................................. 35
E. KUALITAS ADSORPSI ........................................................................ 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 42
A. KESIMPULAN ....................................................................................... 42
B. SARAN .................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43
LAMPIRAN ........................................................................................................ 47
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Syarat mutu biodiesel ……………………………………………… 4
Tabel 2. Komponen-komponen dalam atapulgit ……………………………. 9
Tabel 3. Karakteristik atapulgit ...................................................................... 10
Tabel 4. Perbedaan antara adsorpsi fisika dengan adsorpsi kimia .................. 13
Tabel 5. Penentuan nilai energi aktivasi ......................................................... 22
Tabel 6. Karakterisitk awal metil ester ............................................................ 25
Tabel 7. Karakteristik atapulgit dan magnesium silikat sintetik........................ 26
Tabel 8. Nilai konsentrasi β-karoten dalam metil ester padakondisi ketetimbangan untuk masing-masing kondisisuhu dan jenis adsorben....................................................................... 30
Tabel 9. Konstanta laju adsorpsi β-karoten dari metil ester denganmenggunakan Atapulgit dan Magnesium silikat sintetik ................ 34
Tabel 10. Energi aktivasi pada reaksi adsorpsi β-karoten dari metilester dengan menggunakan atapulgit dan magnesiumsilikat sintetik .................................................................................... 37
Tabel 11. Nilai parameter kualitas …………………………………………… 38
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Reaksi transesterifikasi pembentukan metil ester .......................... 3
Gambar 2. Struktur dasar karotenoid ............................................................. 6
Gambar 3. Struktur β-karoten ......................................................................... 6
Gambar 4. Kurva hubungan antara kosentrasi solut pada larutandan yang ........................................................................................... 14
Gambar 5. Rangkaian reaktor ......................................................................... 18
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian .................................................. 19
Gambar 7. Diagram alir prosedur percobaan ................................................. 24
Gambar 8. Hubungan antara nilai β-karoten yang teradsorpdengan laju pengadukan ................................................................ 27
Gambar 9. Hubungan antara penurunan nilai konsentrasi β-karoten dalam metil ester dengan waktu adsorpsi. ............. 29
Gambar 10. Ikatan Van der waals antara β-karoten denganadsorben ................. 32
Gambar 11. Regresi linear hubungan antara suhu (1/T) dengan ln kdengan menggunakan atapulgit ...................................................... 36
Gambar 12. Regresi linear hubungan antara suhu (1/T) dengan ln kdengan menggunakan magnesium silikat sintetik ............................36
Gambar 13. Penurunan kadar basa (NaOH) dalam metil esterselama proses adsorpsi dengan menggunakanatapulgit ............................. 40
Gambar 14. Penurunan kadar basa (NaOH) dalam metil esterselama proses adsorpsi dengan menggunakanmagnesium silikat sintetik................................................................ 40
Halaman
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kurva standard konsentrasi ß-karoten ........................................... 47
Lampiran 2. Prosedur analisis ........................................................................... 48
Lampiran 3. Skema reaktor ................................................................................ 52
Lampiran 4. Foto reaktor proses adsorpsi ß-karoten dari metil estertipe tangki berpengaduk.................................................................... 53
Lampiran 5. Perubahan warna metil ester dan adsorben ……………………… 54
Lampiran 6. Perhitungan konstanta laju adsorpsi (k) dan energiaktivasi (Ea) ……………………………………………………… 55
Lampiran 7. Data hasil penelitian ……………………………………………. 56
Lampiran 8. Data hasil perhitungan konstanta laju adsorpsi adsorpsiß-karoten dari metil ester dan energi aktivasi……………………. 57
Halaman
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ketersediaan sumber energi khususnya energi fosil semakin mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi dunia.
Meningkatnya kebutuhan akan minyak bumi menyebabkan semakin
menipisnya kandungan minyak di bumi. Salah satu energi alternatif yang
dapat digunakan sebagai solusi mengatasi krisis energi adalah biodiesel.
Biodiesel dapat dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi antara trigliserida
(minyak sawit) dengan metanol menjadi metil ester dan gliserol dengan
bantuan katalis.
Metil ester berbasis minyak sawit merupakan bahan bakar cair alternatif
yang dipandang berpotensi besar untuk dikembangkan dan mampu menjawab
kebutuhan bahan bakar solar nasional yang tinggi. Hal ini di dukung dengan
jumlah produksi CPO nasional yang sangat besar. Pengalihan penggunaan
metil ester sebagai biodiesel inilah yang memicu pertumbuhan industri
oleokimia di Indonesia.
Metil ester kasar yang dihasilkan masih mengandung berbagai macam
komponen pengotor seperti vitamin, gliserol, asam lemak bebas, sabun, sisa
basa (NaoH), dan juga air (Darmoko et al., 2001). Komponen-komponen
tersebut dapat menurunkan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Sehingga dalam
industri biasanya dilakukan proses pemurnian dengan tujuan untuk
menghilangkan komponen pengotor tersebut sehingga kualitas biodiesel dapat
ditingkatkan.
Proses pemurnian biasanya dilakukan dengan melakukan pemisahan
terhadap komponen-komponen pengotor. Karotenoid dalam bentuk β-karoten
memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan manusia serta untuk kepentingan
lainnya sehingga perlu dilakukan pemisahan dan pengambilan kembali β-
karoten dalam proses pemurnian dengan teknik tertentu dalam industri
biodiesel agar diperoleh nilai tambah yang tinggi bagi industri.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk memperoleh konsentrat
karotenoid antara lain penyabunan, ektraksi pelarut, adsorpsi, distilasi
2
molekuler serta fluida superkritik. Belum terdapat metode standar untuk
ektraksi karoteoid. Namun untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya
digunakan bahan yang segar, tidak rusak dan contoh yang mewakili (Gross,
1991).
Adsorpsi merupakan metode yang lebih sering dipakai untuk pemisahan
β-karoten. Berbagai jenis adsorben digunakan untuk mengadsorpsi komponen
β-karoten. Salah satu adsorben yang memiliki keunggulan dan selektif
dibandingkan dengan adsorben lain adalah atapulgit. Atapulgit merupakan
mineral senyawaan Al, Mg, dan Si dengan struktur kristal yang berongga
(Lansbarkis, 2000).
Model isoterm Brimberg dapat digunakan untuk menentukan laju
adsorpsi (Ribeiro et al., 2001). Karekteristik kemampuan penyerapan
komponen β-karoten dapat diketahui dari laju adsorpsinya. Selain itu,
dilakukan penentuan Energi aktivasi sebagai parameter untuk mengetahui
efektifitas dari adsorben yang digunakan dalam proses adsorpsi. Sehingga
diharapkan β-karoten yang terdapat dalam metil ester mampu diperoleh secara
optimum .
B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai konstanta laju
adsorpsi (k) serta energi aktivasi (Ea) pada proses adsorpsi β-karoten dari
metil ester minyak sawit.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. METIL ESTER
Metil ester merupakan ester asam lemak yang dibuat melalui proses
esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol, berbentuk cairan. Metil ester
dapat dihasilkan melalui proses transesterifikasi trigliserida (minyak/lemak).
Reaksi transesterifikasi antara minyak/lemak dengan metanol dinyatakan
dalam persamaan reaksi berikut.
Gambar 1. Reaksi transesterifikasi pembentukan metil ester
Proses transesterifikasi minyak atau lemak dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu suhu, lama hidrolisis, kecepatan pengadukan, jenis dan
konsentrasi katalis serta perbandingan metanol-asam lemak. Metil ester yang
dihasilkan dari reaksi transesterifikasi langsung trigliserida dengan metanol
masih mengandung campuran ester yang berhubungan dengan residu asam
lemak dalam trigliserida. Sehingga diperlukan pemurnian minyak karena
adanya asam lemak bebas, fosfolipid, residu protein dan garam-garam logam
(Hui, 1996).
Dalam bentuk metil ester maka berat molekul, titik beku, titik didih, dan
viskositas minyak akan menjadi lebih rendah. Disamping itu senyawa gliserin
yang merupakan produk samping hasil degradasi minyak nabati dapat
dipisahkan pada proses pembuatan metil ester, sehingga tidak menyebabkan
terbentuknya deposit pada mesin apabila digunakan sebagai bahan bakar
alternatif / biodiesel (Darmoko et al., 2001). Syarat mutu dari metil ester
(biodiesel) dapat dilihat pada Tabel 1.
CH2OCO-R
CHOCO-R
CH2OCO-R
3 CH3OH 3 RCOOCH3
CH2OH
CHOH
CH2OH
+
Minyak/lemak metanol metil ester gliserin
+
4
Tabel 1. Syarat mutu biodiesel (metil ester)
No. Parameter Satuan Nilai
1 Massa jenis pada 40 °C kg/m3 850 – 890
2 Viskositas kinematik pd 40 °C mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0
3 Angka setana min. 51
4 Titik nyala (mangkok tertutup) °C min. 100
5 Titik kabut °C maks. 18
6 Korosi lempeng tembaga (3 jampada 50 °C)
maks. no 3
7 Residu karbon- dalam contoh asli- dalam 10 % ampas distilasi
%-massamaks 0,05(maks. 0,3)
8 Air dan sedimen %-vol. maks. 0,05*
9 Temperatur distilasi 90 % °C maks. 360
10 Abu tersulfatkan %-massa maks.0,02
11 Belerang ppm-m (mg/kg) maks. 100
12 Fosfor ppm-m (mg/kg) maks. 10
13 Angka asam mg-KOH/g maks.0,8
14 Gliserol bebas %-massa maks. 0,02
15 Gliserol total %-massa maks. 0,24
16 Kadar ester alkil %-massa min. 96,5
17 Angka iodium %-massa(g-I2/100 g)
maks. 115
18 Uji Halphen Negatif
Sumber : SNI 04-7182-2006
5
Metil ester digunakan sebagai produk industri disebabkan karena
beberapa faktor (Milyawaki, 1998, Derksen & Cuperus, 1996 dan Gervasio,
1996), antara lain :
1. Pemakaian energi untuk memproduksi metil ester melalui proses
transesterifikasi lebih rendah dibandingkan untuk memproduksi asam
lemak.
2. Transesterifikasi tanpa menggunakan air, sehingga gliserin yang
dihasilkan bebas air, sedangkan gliserin dari hidrolisis lemak mengandung
sejumlah besar air.
3. Bila dibutuhkan destilat fraksional, destilasi menggunakan ester lebih
efisien dibandingkan dengan asam lemak.
4. Metil ester dapat diproses dengan peralatan karbon baja dengan kondisi
yang lebih ringan dibandingkan peralatan Stainless steel mahal untuk
memproduksi asam lemak.
5. Biaya produksi turunan asam lemak lainnya seperti alkohol ester, alkohol
asam lemak dan ester sukrosa lebih rendah menggunakan metil ester
sebagai bahan baku dibandingkan dengan asam lemak sebagai bahan baku.
6. Metil ester lebih stabil dan tidak menyebabkan korosi, sehingga biaya
penanganan dan perawatannya tidak begitu mahal, warna lebih disukai,
dapat dimurnikan dan didestilasi pada suhu rendah.
B. KAROTENOID
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga,
merah jingga, dan bersifat larut dalam minyak. Struktur dasar karotenoid
terdiri dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk oleh 40 atom C atau
8 unit isoprena dan memiliki dua buah gugus cincin. Karotenoid dibagi
menjadi empat golongan, yaitu (1) karotenoid hidrokarbon C40H56 seperti alfa,
beta, gamma karoten dan likopen; (2) xantofil dan derivat karoten yang
mengandung oksigen dan hikdroksil antara lain kriptosantin, C40H55OH dan
lutein, C40H54(OH)2; (3) asam karotenoid yang mengandung gugus karboksil;
dan (4) ester xantofil asam lemak (Meyer, 1966). Struktur dasar dari
karotenoid dapat dilihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2. Struktur dasar karotenoid (Lehninger, 1982)
Karotenoid merupakan senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut
dengan baik dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, benzena,
kholoform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut
dalam air (Ketaren, 2005). Penyebab warna merah pada minyak sawit adalah
adanya kandungan pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari β-
karoten yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai prekusor
vitamin A (Muchtadi, 1992).
Minyak sawit kasar mengandung komponen karotenoid antara 500 – 700
ppm (Choo, 2006). Kritchecvsky et al. (2002) mengatakan bahwa total
karotenoid pada minyak sawit kasar sebanyak 550 µg/g dengan kadar β-
karoten sebanyak 68,2%. Dari setiap satu ton minyak sawit terkandung 240
gram karotenoid yang terdiri dari 36% γ-karoten dan 54% β-karoten.
Karena memiliki warna kisaran dari kuning hingga merah, maka deteksi
panjang gelombangnya diperkirakan antara 430-480 nm (Schwartz dan Elbe,
1996). Komponen karotenoid memiliki sifat penyerapan panjang gelombang
tertentu. Pada pelarut yang berbeda, karotenoid akan menyerap panjang
gelombang yang berbeda secara maksimum. Sifat penyerapan ini dijadikan
dasar untuk menentukan jumlah karotenoid secara spektrofotometri (Simpson
et al., 1987). PORIM (1995) telah menguji bahwa karotenoid minyak sawit
Struktur β-karoten
CH1
CH51
CH16
CH5Molekul Pusat
-C=CH-CH=CH-C=CH= = = = = = = = = = = = = CH-CH=C-CH-CH-CH=C-
Gambar 3. Struktur β-karoten
7
yang dilarutkan pada heksana mempunyai serapan maksimum pada panjang
gelombang 446 nm.
Komponen karotenoid larut dalam pelarut non polar seperti heksana dan
petroleum eter sedangkan kelompok xantofil larut dalam pelarut polar seperti
alkohol (Gross, 1991). Menurut Meyer (1966), sifat fisika dan kimia
karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam
kloroform, benzena, karbon disulfida, dan petroleum eter, tidak larut dalam
etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan
vakum, peka terhadap oksidasi, auto oksidasi dan cahaya serta mempunyai ciri
khas absorpsi cahaya. Sifat-sifat penting tersebut diperlukan sebagai dasar
untuk pemisahan karotenoid dari bahan lain.
Reaksi oksidasi dapat menyebakan hilangnya warna karotenoid dalam
makanan (Schwart dan Elbe, 1996). Reaksi oksidasi karotenoid juga dipicu
oleh suhu yang relatif tinggi. Karotenoid mengalami kerusakan oleh
pemanasan pada suhu di atas 60 °C (Naibaho, 1983). Selanjutnya panas akan
mendekomposisi karotenoid dan mengakibatkan perubahan stereoisomer.
Ikatan ganda pada karotenoid menyebabkan percepaan laju oksidasi karena
sinar dan katalis logam, seperti tembaga, besi dan mangan (Watfford, 1980).
1. Pengaruh Panas Terhadap Karotenoid
Karotenoid mengandung ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi
oleh sinar dan katalis logam (tembaga, besi, mangan). Bila teroksidasi,
aktivitas karotenoid akan menurun karena terjadinya perubahan isomer
dari bentuk trans menjadi cis (Iwasaki dan Murakhosi, 1992). Aktivitas
biologis isomer cis karoten ini sekitar 15-75% (Onyewu, 1985).
Pigmen karotenoid bersifat labil terhadap panas sehingga jumlahnya
dapat menurun secara drastis pada suhu sekitar 180 - 220 °C . Hasil
penelitian Sahidin et al. (2000) menunjukkan bahwa degradasi β-karoten
sangat dipengaruhi oleh suhu dan lamanya pemanasan. Suhu yang semakin
tinggi dan pemanasan yang semakin lama mengakibatkan semakin
meningkatnya degradasi β-karoten. β-karoten yang terdegradasi oleh panas
akan menghasilkan senyawa-senyawa yang mudah menguap dan tidak
8
mudah menguap. Degradasi β-karoten menghasilkan 6 jenis senyawa
mudah menguap yang utama, yaitu 2-metil heksana, 3-metil heksana,
heptana, siklo-oktanona, toluene dan (orto, meta atau para) xilena.
2. Pengaruh Proses Netralisasi Terhadap Karotenoid
Penggunaan NaOH pada proses netralisasi dapat menghilangkan
fosfatida, protein, resin dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat
dihilangkan dalam proses pemisahan gum. Selain itu komponen minor
yang ada di dalam minyak berupa sterol, klorofil, vitamin E dan
karotenoid dapat dikurangi. Pigmen karotenoid yang larut dalam minyak
akan menentukan warna dari karotenoid. Semakin encer larutan alkali
yang digunakan maka jumlah larutan alkali yang dibutuhkan untuk
netralisasi akan semakin besar, hal ini menyebabkan minyak netral yang
dihasilkan berwarna lebih pucat sehingga semakin banyak karotenoid yang
hilang (Ketaren, 2005).
Wulandari (2000) melakukan netralisasi minyak sawit menggunakan
NaOH pada suhu 30 – 40 °C selama 30 menit dan diperoleh minyak sawit
netral yang mengandung karotenoid 249 ppm. Selanjutnya Meridian
(2000) melalukan netralisasi minyak sawit pada kondisi yang sama dengan
total karotenoid yang diperoleh sebanyak 257 ppm.
C. ADSORBEN
Adsorben adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat
besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus
pada padatan tersebut. Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben adalah
bahan-bahan yang sangat berpori, dan adsorpsi berlangsung terutama pada
dinding-dinding pori atau pada daerah tertentu di dalam partikel itu. Karena
pori-pori adsorben biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalamnya
menjadi beberapa kali lebih besar dari permukaan luar. Biasanya luasnya
berada dalam ukuran 200 - 1000 m2/g adsorben dengan diameter pori sebesar
0,0003-0,02 µm (Bernasconi et al., 1995).
9
1. Attapulgit
Atapulgit adalah jenis mineral silika magnesium aluminium dalam
bentuk kristal, serta memiliki struktur khusus rantai berlapis. Atapulgit
memiliki sifat koloid yang sangat baik diantaranya dispersi permukaan
yang spesifik, tahan terhadap suhu yang tinggi, tahan terhadap garam dan
alkali, dan memiliki kemampuan adsorpsi dan decoloring yang baik.
Rumus molekul dari atapulgit adalah Mg5Si8O20(HO)2(OH2)4•4H2O (Grim,
1989).
Tabel 2. Komponen-komponen dalam atapulgit
Oksida Persentase (%)
SiO2 55,6-60,5
MgO2 10,7-11,35
Al2O2 9,0-10,1
Fe2O2 5,7-6,7
K2O2 0,96-1,30
MnO2 0,61
CaO2 0,42-1,95
TiO2 0,32-0,63
Na2O2 0,03-0,11
komponen lain 10,53-11,80
Sumber : www.cnhymc.com (2003)
Secara fisik atapulgit menyerupai tanah, berwarna putih, dan
biasanya ditemukan pada batuan sedimen. Dalam keadaan basah, atapulgit
memiliki sifat plastis dan mampu merekat satu sama lain, sedangkan pada
keadaan kering atapulgit tetap memiliki konsistensi yang baik serta tidak
mengalami penyusutan. Karakteristik atapulgit dapat dilihat pada Tabel 3.
10
Tabel 3. Karakteristik atapulgit
Karakteristik Nilai
Nilai Koloid (ml/15 g) 55-65
Volume ekspansi (ml/g) 4-6
Luas permukaan spesifik (m2/g) 400-500
Jumlah total permukaan ion (mg ekuivalen/100gr) 25-50
Kapasitas dcoloring (setelah perlakuan) >170
pH 7,5-8,5
Warna abu-abu
Specific gravity 32-37
Sumber : Lansbarkis (2000).
2. Magnesuim Silikat Sintetik
Magnesium silikat sintetik memiliki luas permukaan 619 m2/g
dengan struktur menyerupai silika gel. Senyawa ini akan menjerap asam
lemak bebas menggunakan ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus
karbonil (C=O) asam lemak dengan permukaan gugus silanol (Si-O-H)
pada senyawa tersebut. Adsorpsi yang terjadi digolongkan ke dalam
adsorpsi fisik. Adsorpsi kimia baru dapat terjadi bila proses adsorpsi
dilakukan pada suhu tinggi. Suhu tinggi akan mengakibatkan ion
karboksilat membentuk ikatan ion dengan oksida logam pada permukaan
magnesium silikat sintetik (Yates et al., 1997).
Magnesium silikat sintetik digunakan dalam pencucian kering
biodiesel, yaitu pencucian biodiesel tanpa menggunakan air. Kelebihan
pencucian kering tersebut adalah biayanya lebih murah, waktu yang
diperlukan lebih singkat, lebih ramah lingkungan, dan kualitas biodiesel
yang dihasilkan lebih baik (Kram, 2008).
Magnesium silikat sintetik mampu meghilangkan bahan pengotor
seperti sabun, warna, bau, katalis yang belum tereaksi, komponen logam,
sulfur, fosfor, kalsium, dan besi. Senyawa ini juga mampu mengurangi
kandungan mono dan digliserida, asam lemak bebas, gliserol bebas dan
11
total gliserol, metanol, klorofil, air, serta sedimen pada biodiesel (Bryan,
2005).
2. Aktivasi Adsorben
Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu
dengan sisi lainnya begitu pula dari batch yang satu ke batch yang lainnya
akibatnya hasil yang diperoleh menjadi tidak optimal. Perlakuan
pendahuluan terhadap adsorben perlu dilakukan sehingga dapat
menghilangkan perbedaan aktivitas tersebut (Adnan, 1997). Aktivasi
terhadap atapulgit dapat dilakukan dengan beberapa perlakuan seperti
perlakuan panas dan juga perlakuan asam.
Berdasarkan teori ada dua cara perlakuan dalam meningkatkan
aktivitas adsorben, yaitu pemanasan dan pengasaman. Aktivasi dengan
pemanasan bertujuan agar air yang terikat di celah-celah molekul dapat
teruapkan, sehingga porositas adsorben meningkat. Aktivasi secara
pengasaman adalah aktivasi dengan menggunakan asam mineral (misalkan
HCL atau H2SO4) pada konsentrasi tertentu yang dapat mempertinggi daya
pemurnian karena asam mineral tersebut larut atau bereaksi dengan
komponen berupa garam Ca dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben.
Selain itu asam mineral akan melarutkan Al2O3 sehingga dapat menaikan
perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2-3) : 1 menjadi (5-6) : 1.
aktivasi asam dapat mempertinggi sifat adsorben dengan meningkatkan
sifat kimia dan fisiknya tanpa menghancurkan struktur lapisan mineral
liatnya. Peningkatan sifat fisiko kimia tersebut diantaranya adalah luas
permukaan spesifik dan ukuran volume pori-porinya (Adnan, 1997).
D. ADSORPSI
Adsorpsi adalah proses dimana satu atau lebih unsur-unsur pokok dari
suatu larutan fluida akan lebih terkonsentrasi pada permukaan suatu padatan
tertentu (adsorben). Dengan cara ini, komponen-komponen dari suatu larutan,
baik itu dari larutan gas ataupun cairan, bisa dipisahkan satu sama lain.
Adsorpsi melibatkan proses perpindahan massa dan menghasilkan
12
kesetimbangan distribusi dari satu atau lebih larutan antara fasa cair dan
partikel. Pemisahan dari suatu larutan tunggal antara cairan dan fasa yang
diserap membuat pemisahan larutan dari fasa curah cair dapat dilangsungkan.
Fasa penyerap disebut sebagai adsorben. Bahan yang banyak digunakan
sebagai adsorben adalah karbon aktif, molecular sieves dan silika gel (Treybal,
1980).
Proses adsorpsi adalah proses pemisahan dimana komponen tertentu dari
suatu fasa fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben)
Hal ini disebabkan karena partikel zat padat tersebut mempunyai daya tarik
terhadap zat-zat terlarut maupun pada zat pelarutnya yang sangat bergantung
pada kekuatan tipe interaksi, yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol,
ikatan hidrogen, dipol dengan dipol tereduksi dan ikatan Van der walls.
Sehingga apabila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif maka proses
adsorpsi dan desorpsi dapat terjadi. Proses adsorpsi dapat digambarkan
sebagai proses dimana molekul meninggalkan larutan dan menempel pada
permukaan zat adsorben akibat kimia dan fisika (McCabe et al.,1989).
Kecepatan adsorpsi sangat dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi, luas
permukaan adsorben, suhu, tekanan (untuk gas), ukuran partikel dan porositas
adsorben. Selain itu, ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi serta
viskositas campuran yang akan dipisahkan juga berpengaruh terhadap
kecepatan adsorpsi. Suatu adsorben dipandang sebagai suatu adsorben yang
baik untuk adsorpsi dilihat dari sisi waktu. Lama operasi terbagi menjadi dua,
yaitu waktu penyerapan hingga komposisi diinginkan dan waktu regenerasi /
pengeringan adsorben. Makin cepat dua varibel tersebut, berarti makin baik
unjuk kerja adsorben tersebut Tingkat adsorpsi naik diikuti dengan kenaikan
temperatur dan turun diikuti dengan penurunan temperatur (Benefield, 1982).
Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik-
menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini
melibatkan gaya-gaya Van der walls (sebagai kondensasi uap). Jenis ini cocok
untuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang
teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja.
Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara
13
molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Proses ini pada umumnya
menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kuat
sehingga proses ini tidak reversibel (Bernasconi et al., 1995). Perbedaan
antara adsorpsi fisika dengan kimia dapat dilihat pada Tabel 4.
No Parameter Adsorpsi fisika Adsorpsi kimia
1 Adsorben semua jenis terbatas
2 Adsorbat semua gas kecuali gas mulia
3 Jenis ikatan fisika kimia
4 Panas adsorpsi 5 – 10 kkal/gr-mol gas 10-100 kkal/gr-mol gas
5 Temperatur operasi di bawah temperatur
kritis
di atas temperatur kritis
6 Energi aktivasi kurang dari 1 kkal/gr-
mol
10-60 kkal/gr-mol
7 Reversibilitas reversible tidak selamanya
reversible
8 Tebal lapisan banyak (multilayer) satu (monolayer)
9 Kecepatan adsorpsi besar kecil
10 Jumlah zat
teradsorp
sebanding dengan
kenaikan tekanan
sebanding dengan
banyaknya inti aktif
adsorben yang dapat
bereaksi dengan adsorbat
Sumber : Bernasconi et al., 1995.
Metode adsorpsi dapat diterapkan untuk memperoleh karotenoid yang
terdapat dalam suatu campuran minyak. Biasanya dilakukan di dalam proses
pemucatan minyak sawit (Ooi et al.,1994; Choo, 1995). Metode adsorpsi fase
terbalik (reverse phase adsorption) melalui jalur metil ester mampu
menghasilkan lebih dari 90%. Naibaho (1983) telah mengekstrak karoten dari
tanah pemucatan komersil dengan beberapa tahap yaitu pelunakan tanah
Tabel 4. Perbedaan antara adsorpsi fisika dengan adsorpsi kimia
14
pemucat dan penyabun dimana konsentrasi karoten yang diperoleh mencapai
40% dari konsentrasi awal.
Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi
dalam fase fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu
tertentu. Untuk zat cair, konsentrasi biasanya dinyatakan dalam satuan massa
seperti bagian per juta (ppm). Konsentrasi adsorbat pada zat padat dinyatakan
sebagai massa yang teradsorpsi per satuan massa adsorben semula (McCabe et
al., 1989). Gambar 4. menunjukkan hubungan antara konsentrasi zat yang ada
dalam larutan (Cm) dan yang teradsorpsi (Cs).
Gambar 4. Kurva hubungan antara kosentrasi solut pada larutan dan yangteradsorpsi (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) Kurvakonkaf. Cs = kosentrasi zat yang teradsorpsi, Cm = konsentrasi zatdalam larutan
Kurva yang menggambarkan hubungan antara Cm dan Cs dinamakan
dengan isoterm adsorpsi. Isoterm yang berbentuk konveks seperti yang terlihat
dalam Gambar 4A, dapat terjadi karena ada variasi aktivitas dari permukaan
yang ada, yang mengakibatkan dihasilkannya hubungan yang tidak linier..
Kurva isoterm yang berbentuk garis lurus (Gambar 4B) merupakan keadaan
yang dikehendaki, dimana permukaan tidak akan terjadi menjadi jenuh dengan
zat yang diadsorpsi. Slope dari kurva isoterm yang berupa garis lurus ini akan
merupakan koefisien distribusi dan tidak tergantung dari besarnya konsentrasi.
Kurva isoterm yang berbentuk konkaf (Gambar 4C) dihasikan dari reaksi yang
terjadi sedemikian sehingga menyebabkan dapat mempercepat proses adsorpsi
secara keseluruhannya. Kurva isoterm yang berbentuk konveks akan
menghasilkan puncak yang condong ke depan, kurva isoterm yang lurus
Cm Cm Cm
Cs Cs Cs
A B C
15
memberikan bentuk puncak yang ideal, sedangkan yang konkaf akan
memberikan benuk puncak yang condong ke belakang (McCabe et al., 1989).
Puncak yang berbentuk condong (tailing) biasanya terjadi karena
adsorben yang terlalu aktif dan juga disebabkan oleh permukaan yang di
beberapa bagian tidak mempunyai sisi aktif. Hal ini dapat disebabkan
adsorben yang tidak murni dan karena adanya pengaruh geometris
pemukaannya, sehingga bagian permukaan lebih reaktif dan disebut reactive
site. Hal ini dapat dikurangi dengan menutup sisi aktif dengan zat lain atau
dengan menaikan suhu. Cara lain adalah dengan mengurangi banyaknya
sampel yang dipisahkan, diatur tidak melebihi bagian linier dari kurva
konveks (Adnan, 1997).
E. LAJU ADSORPSI
Laju reaksi kimia merupakan laju penurunan konsentrasi pereaksi atau
peningkatan konsentrasi hasil reaksi per satuan waktu. Laju reaksi akan
menentukan ukuran keaktifan dan kestabilan yang diberikan oleh sistem.
Jumlah variabel yang diamati mempengaruhi laju reaksi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi yaitu 1) konsentrasi reaktan, produk dan katalis, 2) faktor
lingkungan seperti suhu, tekanan, dan oksigen, 3) panjang gelombang dan
intensitas cahaya, dan 4) faktor fisik seperti viskositas (Petrucci, 1992).
Menurut Suhartono (1987), untuk menilai suatu reaksi maka tingkat
energi reaktan harus terlebih dahulu dinaikan sehingga mencapai tingkat
energi yang aktif. Energi yang digunakan untuk meningkatkan tingkat energi
disebut energi aktivasi (Ea). Nilai Ea dapat dijadikan parameter besarnya
ketergantungan laju reaksi terhadap suhu. Semakin tinggi nilai Ea maka
semakin besar pengaruh perubahan suhu terhadap laju reaksi. Selanjutnya
energi aktivasi (Ea) diartikan sebagai energi penghalang yang harus dilalui
reaksi untuk menjadi suatu produk. Semakin besar penghalang, semakin
sedikit tumbukan antar molekul yang membutuhkan energi cukup untuk
melaluinya. Nilai Ea yang besar menyebabkan nilai k kecil dan reaksi berjalan
lambat, demikian pula sebaliknya. Lebih tinggi suhu menyebakan lebih
banyak energi yang dibutuhkan.
16
Laju reaksi berkaitan erat dengan terjadinya reaksi kimia dari suatu zat
dalam membentuk hasil reaksi. Reaksi kimia terjadi sebagai akibat adanya
tumbukan antara molekul-molekul dari zat yang bereaksi. Akan tetapi akibat
adanya distribusi energi kinetik molekul-molekul yang bertumbukan, maka
hanya sebagian tumbukan molekul-molekul yang efektif yang menghasilkan
reaksi. Hal ini kemudian menunjukkan adanya suatu energi yang harus
dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Energi tersebut adalah energi
aktivasi. Hanya sebagian molekul-molekul atau fraksi molekul yang
teraktifkan, yaitu molekul-molekul yang memiliki energi kinetik melebihi
energi aktivasi, yang dapat menghasilkan tumbukan yang efektif sehingga
mampu bereaksi. Semakin tinggi nilai energi aktivasi, semakin kecil fraksi
molekul yang teraktifkan dan semakin lambat reaksi berlangsung. Selain itu,
tumbukan molekul yang menghasilkan reaksi juga tergantung dari orientasi
molekul tersebut. Oleh karena itu, laju reaksi dipengaruhi oleh fraksi molekul
yang teraktifkan dan orientasi dari molekul tersebut (Petrucci, 1992; Saeni,
1989).
Energi aktivasi juga berarti energi yang harus disimpan dalam spesies
antara (intermediate species). Spesies antara merupakan kelanjutan gambaran
mengenai terjadinya tumbukan, yaitu kompleks teraktifkan yang terbentuk
selama tumbukan. Spesies ini ada dalam waktu singkat, dan kemudian terurai,
dapat menjadi pereaksi-pereaksi awal (dalam hal ini tidak terjadi reaksi) atau
menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Pada kompleks teraktifkan ini terdapat
ikatan lama yang meregang mendekati putus, dan ikatan baru hanya terbentuk
sebagian. Hanya molekul-molekul yang memiliki energi kinetik yang besar
yang dapat membentuk kompleks teraktifkan dan kemudian terurai menjadi
molekul-molekul hasil reaksi. Molekul-molekul tersebut berarti memiliki
energi kinetik yang melewati energi aktivasi (Petrucci, 1992; Saeni, 1989).
Peningkatan fraksi molekul yang memiliki energi kinetik melebihi
energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan suhu. Peningkatan fraksi
molekul yang teraktifkan ini menyebabkan meningkatnya laju reaksi. Oleh
karena itu, suhu berpengaruh terhadap laju reaksi, yaitu dapat meningkatkan
laju reaksi. Untuk kebanyakan reaksi, dengan meningkatnya suhu sebesar
17
10C akan meningkatkan laju reaksi menjadi dua atau tiga kali semula
(Petrucci, 1992; Saeni, 1989).
Peningkatkan laju reaksi juga dapat dilakukan dengan mendapatkan jalan
reaksi dengan energi aktivasi yang rendah. Katalis dalam suatu reaksi kimia
berperan untuk mendapatkan jalan reaksi alternatif tersebut. Katalis akan
mengarahkan reaksi menuju jalan reaksi dengan energi aktivasi yang rendah.
Katalis ini tidak mengalami perubahan selama reaksi karena katalis tidak
menjadi pereaksi, sehingga tidak dikonsumsi dan jumlahnya kecil. Selain itu,
katalis tidak merubah kondisi kesetimbangan, yaitu kondisi dimana laju
pereaksi menjadi hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Hal ini terjadi
karena katalis memberikan pengaruh yang sama terhadap peningkatan laju
pereaksi menjadi hasil dan laju kebalikannya sehingga kondisi
kesetimbangannya juga menjadi sama (Petrucci, 1992; Saeni, 1989).
Hubungan antara fraksi molekul yang teraktifkan, orientasi molekul,
suhu, dan energi aktivasi dengan laju reaksi (dalam hal ini konstanta laju
reaksi), kemudian secara kuantitatif dirumuskan oleh Svante Arrhenius (1889)
menjadi sebuah persamaan yang dikenal dengan persamaan Arrhenius.
Persamaan Arrhenius tersebut adalah sebagai berikut:
)RT/Eaexp(Ak . ............................................................... (1)
k adalah konstanta laju reaksi, Ea adalah energi aktivasi, R adalah
konstanta gas, dan T adalah suhu mutlak. Faktor A merupakan sebuah
konstanta proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan
dan orientasi molekul selama tumbukan. Persamaan Arrhenius ini bermanfaat
untuk menentukan nilai energi aktivasi dari pengukuran konstanta laju reaksi
pada berbagai kondisi suhu (Petrucci, 1992; Saeni, 1989).
18
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester yang
diperoleh dari PUSPITEK Tanggerang, atapulgit yang diperoleh dari
Engelhard Coorporation USA, magnesium silikat sintetik yang diperoleh
dari Dallas USA, heksan, dan isopropanol. Bahan yang digunakan untuk
analisis adalah alkohol netral 95%, kalium hidroksida beralkohol (KOH)
0,1N, HCL dan phenolpthalein.
2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain reaktor
tangki berpengaduk yang dilengkapi dengan sistem pemanas, sistem
pengadukan, sistem pengendalian suhu dan saluran pengambilan contoh
(sampling). Spektrofotometer, Refraktometer, erlenmeyer, gelas piala,
pengaduk kaca, sudip, tabung ulir, pipet volumetrik, pipet mohr, labu
takar, kertas saring, timbangan, pompa vakum dan penangas air.
Rangkaian reaktor proses adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Rangkaian Reaktor
19
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu tahapan penelitian
dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-
langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan
prosedur percobaan merupakan urutan kegiatan dan tata cara secara teknis
tentang percobaan yang akan dikerjakan.
1. Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 tahapan, yaitu karakterisasi metil ester
dan adsorben, penentuan laju pengadukan optimum, penentuan kondisi
kesetimbangan proses adsorpsi, penentuan konstanta laju adsorpsi (k) dan
energi aktivasi (Ea), dan penentuan kualitas adsorpsi. Diagram alir tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Karakterisasi awal
Mulai
Penetuan kondisi kesetimbangan proses adsorpsi
Penentuan konstanta laju adsorpsi (k) dan energi aktivasi (Ea)
Penentuan kualitas adsorpsi
Selesai
Penentuan laju pengadukan Optimum
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian
20
(a) Karakterisasi Awal
Karakterisasi awal dilakukan untuk mengetahui karakteristik
metil ester dan adsorben yang akan digunakan dalam proses adsorpsi
β-Karoten. Parameter karakteristik metil ester yang digunakan adalah
Bilangan asam, kadar air dan index bias. Sedangkan parameter
karakteristik adsorben yang digunakan adalah warna, bentuk dan
ukuran partikel.
(b) Penentuan Laju Pengadukan Optimum
Laju pengadukan optimum dilakukan pada kondisi suhu 80 °C ,
dengan menggunakan konsentrasi adsorben 3 %(b/v) dengan lama
waktu reaksi selama 60 menit dan variasi laju pengadukan yang
digunakan antara 50 – 450 rpm. Laju pengadukan optimum dicapai
ketika pada kecepatan pengadukan tertentu diperoleh persentase
penyerapan β-karoten yang paling tinggi.
(c) Penentuan Kondisi Kesetimbangan Adsorpsi
Kondisi kesetimbangan adsorpsi terjadi ketika konsentrasi β-
karoten yang terdapat di dalam metil ester tidak lagi mengalami
penurunan dengan peningkatan lama waktu adsorpsi. Parameter yang
ditentukan pada saat tercapai kondisi kesetimbangan adalah lama
waktu adsorpsi t (menit) dan juga nilai konsentrasi β-karoten dalam
metil ester c (µg/ml). Penentuan kondisi kesetimbangan dilakukan
pada tiga suhu yang berbeda yaitu 65 °C , 80 °C , dan 90 °C .
Konsentrasi penyerapan β-karoten di dalam adsorben (q) dapat
ditentukan dengan menggunakan model isoterm adsorpsi yang sesuai
pada data percobaan. q dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
q = (co-ct) XV
m(2)
21
Dimana q adalah konsenrasi penyerapan β-karoten di dalam
adsorben (µg/g), co merupakan konsentrasi awal β-karoten dalam metil
ester (µg/ml), ct merupakan konsentrasi β-karoten pada lama adsorpsi
tertentu (µg/ml), V adalah volume metil ester (ml) dan m adalah massa
adsorben yang digunakan. Selanjutnya dapat diketahui hubungan
antara konsentrasi penyerapan β-karoten dalam adsorben (q) dengan
konsentrasi β-karoten dalam metil ester
(d) Penentuan Laju Adsorpsi
Parameter yang akan ditentukan dalam proses adsorpsi ini adalah
konstanta laju adsorpsi (k) dan energi aktivasi (Ea).
1) Penentuan Konstanta Laju Adsorpsi
Konstanta laju adsorpsi (k) dapat ditentukan dengan cara
memplotkan nilai adsorbansi dari metil ester pada waktu tertentu
(A) dan waktu kontak antara adsorben dan metil ester (t) dengan
menggunakan persamaan Brimberg. Model Brimberg dapat dilihat
pada persamaan dibawah ini :
ln (C/Co) = -k(t)0.5 ..............................................................(3)
Dimana t adalah waktu kontak antara adsorben dengan metil
ester, C adalah konsentrasi pigmen β-karoten dalam metil ester
pada waktu tertentu, Co adalah konsentrasi awal pigmen β-karoten
dalam metil ester dan k adalah konstanta laju adsorpsi.
Berdasarkan hukum Beer-Lambert nilai absorbansi memiliki
proporsi yang sama dengan konsentrasi pigmen β-karoten dalam
metil ester sehingga model Brimberg dapat ditulis dalam bentuk
persamaan berikut ini :
ln (A) = -k(t)0.5 + ln Ao ..............................................................(4)
22
Dimana A merupakan absorbansi dari metil ester pada waktu
t tertentu dan Ao merupakan absorbansi dari metil ester sebelum
proses adsorpsi. Regresi linear antara ln (A) dan (t)0,5 akan
menghasilkan sebuah garis lurus dimana slopenya sama dengan
nilai konstanta laju adsorpsi (k).
2) Penentuan Energi Aktivasi (Ea)
Energi aktivasi (Ea) dapat ditentukan dengan cara
memplotkan nilai konstanta laju adsorpsi (k) dan suhu (T) dengan
menggunakan persamaan Arrhenius. Plot antara ln k dengan 1/T
menghasilkan bentuk linear dari model Arhenius yang dapat dilihat
pada persamaan di bawah ini :
Dimana k merupakan konstanta laju adsorpsi, T merupakan
Suhu mutlak (Kelvin), Ea adalah energi aktivasi (kJ/mol), R
merupakan konstanta tetapan gas (1,987 cal/K.mol), dan Ao
merupakan konstanta proporsionalitas (besarnya bergantung dari
frekuensi tumbukan dan orientasi molekul selama tumbukan).
Penentuan energi aktivasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penentuan nilai energi aktivasi
Perlakuan Konstanta Laju
Adsorpsi
Energi Aktivasi
(kJ/mol)Jenis Adsorben Suhu (°C )
Atapulgit
65 k1
Ea180 k2
90 k3
Magnesium
silikat sintetik
65 k4
Ea280 k5
90 k6
1T
ln k = -EaR + ln Ao ………………………………..(5)
23
(e) Penentuan Kualitas Adsorpsi
Kualitas adsorpsi terdiri atas selektivitas adsorpsi. Selektivitas
adsorpsi dapat diketahui berdasarkan penyerapan komponen β-karoten,
penyerapan sisa basa, penurunan bilangan asam dan indek bias.
Penentuan nilai absorbansi β-karoten dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer
2. Prosedur Percobaan
Adsorben dicampurkan dengan metil ester dengan perbandingan
3% b/v dari metil ester. Reaksi berlangsung selama 150 menit dengan
variasi suhu reaksi yang digunakan adalah 65, 80, dan 90 °C . Pengambilan
sampel dilakukan sebanyak 12 kali dalam rentang 150 menit waktu reaksi
pada kecepatan pengadukan 250 rpm. Pada permulaan reaksi pengambilan
sampel dilakukan pada rentang waktu yang lebih pendek (3 menit) dan
mulai jauh pada akhir reaksi. Sampel disaring menggunakan penyaring
vakum untuk memisahkan adsorben yang telah mengandung β-karoten
dari metil ester. Selanjutnya sampel yang diperoleh dianalisis. Analisis
yang dilakukan meliputi konsentrasi β-karoten, bilangan asam, kadar basa
dalam metil ester. dan indeks bias. Prosedur berbagai analisis yang
dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 2. Diagram alir
prosedur percobaan dapat dilihat pada Gambar 7.
24
Metil ester 1500 ml
Mulai
Pencampuran (250 rpm; suhu = 65, 80 ,90 °C , waktu = 150 menit
Pengambilan sample
Penyaringan
Analisis
Selesai
Gambar 7. Diagram alir prosedur percobaan
Adsorben (3%b/v)
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK AWAL
1. Karakteristik Metil Ester
Metil ester yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
PUSPITEK, kabupaten Tanggerang. Karakterisasi dilakukan untuk
mengetahui sifat fisiko kimia dari metil ester yang akan digunakan dalam
penelitian. Hasil analisis karakterisasi metil ester disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik metil ester
KARAKTERISTIK NILAI SNI (2006)
Bilangan Asam (mgKOH/g) 0.97 maks.0,8
Indeks Bias 1.6237 -
Kadar Air (%) 0.13 maks. 0,05
Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak
bebas yang terdapat dalam metil ester. Hasil karakterisasi pada Tabel 6
menunjukkan nilai awal bilangan asam dari metil ester yang dipergunakan
adalah sebesar 0.97 mg KOH/g. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan
nilai standar, yaitu sebesar 0.80 mg KOH/g.
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui nilai indeks bias yang diperoleh
adalah sebesar 1.6237. Pengujian indeks bias dapat digunakan untuk
menentukan kemurnian minyak dan dapat menentukan dengan cepat
terjadinya hidrogenasi. Semakin panjang rantai karbon dan semakin
banyak ikatan rangkap maka indeks bias akan semakin besar. Indeks bias
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kadar asam lemak bebas, proses
oksidasi dan suhu. Indeks bias dari suatu zat adalah perbandingan dari
sinus sinar jatuh dan sinus sudut sinar pantul dari cahaya yang melalui
suatu zat. Refraksi atau pembiasan ini disebabkan adanya interaksi antara
gaya elektrostatik dan gaya elektromagnetik dari atom-atom di dalam
26
molekul cairan. Semakin tinggi asam lemak bebas yang terkandung dalam
metil ester maka akan semakin rendah nilai indeks bias yang diperoleh.
Adanya sisa basa dalam metil ester juga berpengaruh pada nilai indeks
bias yang rendah. Asam lemak bebas dan sisa basa merupakan komponen
pengotor yang menurunkan nilai indeks bias metil ester
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan
yang dinyatakan dalam persen. Hasil karakteristik pada Tabel 6
menunjukkan nilai kadar air metil ester sebesar 0.13 %. Nilai ini lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai standar kadar air yaitu sebesar 0.05 %.
Kadar air yang lebih tinggi dari standar dapat meyebabkan terjadinya
proses hidrolisa yang akan menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas
dalam metil ester.
2. Karakteristik Adsorben
Adsorben yang digunakan adalah atapulgit yang diperoleh dari
Engelhard Coorporation USA dan magnesium silikat sintetik yang
diperoleh dari Dallas USA. Karakterisasi terhadap adsorben yang
dilakukan meliputi warna visual, bentuk serta ukuran partikel bahan. Hasil
karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik atapulgit dan magnesium silikat sintetik
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa atapulgit memiliki warna
putih keabuan dengan bentuk berupa serbuk dan memiliki ukuran partikel
sebesar 150 mesh. Magnesium silikat sintetik memiliki warna putih
dengan bentuk serbuk dan memiliki ukuran partikel sebesar 150 mesh.
JenisAdsorben
KaraktesistikWarna Bentuk Ukuran Partikel
Atapulgit Putih Keabuan Serbuk 150 mesh
Magnesiumsilikat sintetik
Putih Serbuk 150 mesh
27
Ukuran partikel dan luas permukaan merupakan karakteristik penting bagi
masing-masing adsorben sesuai dengan fungsinya sebagai adsorben.
Ukuran partikel masing-masing adsorben mempengaruhi tingkat adsorpsi.
Tingkat adsorpsi naik dengan adanya penurunan ukuran partikel. Kapasitas
total adsorpsi masing-masing adsorben tergantung pada luas
permukaannya. Semakin kecil ukuran butir, maka semakin besar
permukaan sehingga dapat menjerap β-karoten makin banyak. Secara
umum kecepatan adsorpsi ditujukan oleh kecepatan difusi zat terlarut ke
dalam pori-pori partikel adsorben. Ukuran partikel yang baik untuk proses
penjerapan antara -100 / +200 mesh (Bernasconi et al., 1995).
B. LAJU PENGADUKAN OPTIMUM
Laju pengadukan merupakan variabel yang mempengaruhi peristiwa
fisik dari proses adsorpsi β-karoten dari metil ester. Pengadukan adalah proses
pencampuran bahan secara fisik. Proses ini akan membuat adsorben melayang
dalam larutan (McCabe et al., 1999). Hal tersebut dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya adsorpsi, terutama untuk adsorben dengan partikel
halus. Hasil pengadukan yang baik menurut Bernasconi et al. (1995) bisa
dicapai bila bahan mengalir secara turbulen (mengalir ke segala penjuru).
Nilai optimum laju pengadukan ditentukan berdasarkan hubungan antara
peningkatan laju pengadukan dengan peningkatan jumlah β-karoten yang
teradsorp. Hasil penentuan laju pengadukan optimum dapat dilihat pada
Gambar 8.
Tidak dipengaruhidifusi eksteral
Dipengaruhidifusi eksteral
Gambar 8. Hubungan antara nilai β-karoten yang teradsorp dengan lajupengadukan
28
Berdasarkan kurva hubungan yang disajikan pada Gambar 8, dapat
diketahui bahwa laju pengadukan optimum dicapai pada kecepatan
pengadukan 250 rpm, dimana pada kecepatan pengadukan tersebut diperoleh
nilai persentase β-karoten teradsorp paling tinggi sehingga peningkatan laju
pengadukan tidak berpengaruh lagi terhadap jumlah β-karoten yang teradsorp
selama proses adsorpsi. Berdasarkan Gambar 8, laju pengadukan yang lebih
tinggi dari 250 rpm menyebabkan kemampuan adsorben dalam mengadsorp
karotenoid menjadi menurun karena pengadukan yang tertalu cepat dapat
menyebabkan proses tumbukan tidak terjadi secara optimal sehingga jumlah
β-karoten yang teradsorp semakin menurun. Laju pengadukan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi dari luar. Dengan
penentuan laju pengadukan optimum, diharapkan faktor dari luar, terutama
difusi eksternal, sudah tidak mempengaruhi hasil proses adsorpsi.
C. KONDISI KESETIMBANGAN
Fasa kesetimbangan antara cairan dan fasa yang diserap oleh satu atau
lebih komponen dalam proses adsorpsi merupakan faktor yang menentukan di
dalam kinerja proses adsorpsi tersebut. Peningkatan kapasitas stoikiometrik
adsorben memiliki pengaruh yang lebih besar daripada peningkatan laju
perpindahan. Adsorpsi melibatkan proses perpindahan massa dan
menghasilkan kesetimbangan distribusi dari satu atau lebih larutan antara fasa
cair dan partikel. Kondisi kesetimbangan dapat diartikan keadaan dimana dua
proses yang berlawanan terjadi dengan laju yang sama. Sistim yang setimbang
dapat terjadi ketika nilai tertentu tidak mengalami perubahan dengan
berubahnya waktu (Petrucci, 1992).
Proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai proses dimana molekul
meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben akibat
kimia dan fisika (Reynolds, 1982). Proses adsorpsi tergantung pada sifat zat
padat yang mengadsorpsi, sifat atom/molekul yang diserap, konsentrasi,
temperatur dan lain-lain. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul
atau perbedaan polaritas sehingga sebagian molekul melekat lebih erat pada
permukaan dibanding molekul lainnya (McCabe et al., 1999).
29
150
170
190
210
230
250
270
290
310
330
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160waktu adsorpsi (menit)
kons
entr
asi b
eta
karo
ten
dala
m m
etil
este
r(µ
g/m
l)
atapulgit pada suhu 65 derajat C atapulgit pada suhu 80 derajat Catapulgit pada suhu 90 derajat C magnesol pada suhu 65 derajat Cmagnesol pada suhu 80 derajat C magnesol pada suhu 90 derajat C
Proses adsorpsi β-karoten dari metil ester merupakan suatu proses
penyerapan komponen pigmen warna kemerahan yang ada pada metil ester
pada permukaan adsorben. Hubungan antara penurunan nilai konsentrasi β-
karoten dalam metil ester dengan lama adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Hubungan Penurunan konsentrasi β-karoten dalam metil esterdengan lama waktu adsorpsi
Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa nilai konsentrasi β-
karoten dalam metil ester semakin menurun dengan semakin meningkatnya
waktu adsorpsi. Selama proses adsorpsi, terjadi penurunan konsentrasi β-
karoten di dalam metil ester serta terjadi peningkatan jumlah β-karoten yang
terserap di dalam adsorben seiring dengan semakin meningkatnya waktu
proses adsorpsi.
Penurunan nilai konsentrasi β-karoten terjadi pada kedua jenis adsorben
dan tiap suhu yang digunakan. Penurunan konsentrasi β-karoten dalam metil
ester terus terjadi selama waktu proses hingga tidak terjadi penurunan nilai
konsentrasi β-karoten. Kondisi dimana peningkatan waktu adsorpsi tidak lagi
berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi β-karoten dalam metil ester
merupakan kondisi kesetimbangan. Hal tersebut disebabkan karena adsorben
mengalami kapasitas jenuh penyerapan yaitu tidak mampu lagi menyerap β-
30
karoten. Proses penyerapan β-karoten dalam metil ester dapat dilihat dari
perubahan warna metil ester dan juga adsorben baik sebelum dan setelah
proses adsorpsi. Gambar perubahan warna pada metil ester serta pada
adsorben atapugit dan magnesium silikat sintetik sebelum dan sesudah
adsorpsi dapat dilihat pada lampiran 5.
Kondisi kesetimbangan pada masing-masing suhu reaksi dan jenis
adsorben berbeda. Nilai konsentrasi β-karoten dalam metil ester yang
diperoleh pada saat kondisi kesetimbangan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai konsentrasi β-karoten dalam metil ester pada kondisikesetimbangan untuk masing-masing kondisi suhu dan jenisadsorben
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa pada kedua jenis adsorben,
semakin tinggi suhu yang digunakan maka waktu yang diperlukan untuk
mencapai kondisi kesetimbangan semakin cepat dan konsentrasi β-karoten
dalam metil ester semakin menurun. Berdasarkan Tabel 8, proses adsorpsi
yang menggunakan atapulgit dengan suhu 65 °C, 80 °C, dan 90 °C, berturut-
turut kondisi kesetimbangan tercapai pada menit ke 90, 60 dan 30 dimana
jumlah β-karoten yang tersisa dalam metil ester adalah sebesar 251, 243, dan
236 µg/ml. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan menggunakan magnesium
silikat sintetik pada suhu 65 °C, 80 °C, dan 90 °C, berturut-turut kondisi
kesetimbangan tercapai pada menit ke 90, 60 dan 30 dimana jumlah β-karoten
yang tersisa dalam metil ester adalah sebesar 191, 184, dan 177 µg/ml. Hal ini
menunjukkan jumlah β-karoten yang diserap oleh adsorben semakin banyak
Perlakuan Lamatercapainya
kesetimbangan(menit)
Konsentrasi ß –karoten dalam
metil ester(µg/ml)
Konsentrasiawal ß –karoten
dalam metilester
(µg/ml)
JenisAdsorben
Suhu(°C )
Atapulgit65 90 251
31480 60 24390 30 236
Manesiumsilikat
sintetik
65 90 19122580 60 184
90 30 177
31
dengan semakin meningkatnya suhu. Hal ini dapat disebabkan karena suhu
sangat berpengaruh terhadap proses adsorpsi yang terjadi. Suhu yang semakin
tinggi menyebabkan kemampuan penyerapan (porositas) dari adsorben
meningkat.
Berdasarkan Tabel 8, konsentrasi awal β-karoten dalam metil ester
berbeda pada proses adsorpsi menggunakan atapulgit dengan magnesium
silikat sintetik, perbedaan ini disebabkan karena metil ester tidak di simpan
dalam satu wadah yang sama. Namun jumlah yang mampu diserap oleh
masing-masing adsorben dapat diketahui dengan melihat konsentrasi awal
metil ester yang digunakan. Jumlah β-karoten yang mampu terserap oleh
atapulgit lebih banyak daripada oleh magnesium silikat sintetik. Hal ini dapat
disebabkan karena perbedaan struktur pori maupun komposisi dari kedua jenis
adsorben. Struktur pori adalah faktor utama dalam proses adsorpsi. Distribusi
ukuran pori menentukan distribusi molekul yang masuk dalam partikel
adsorben untuk diadsorp. Molekul yang berukuran besar dapat menutup jalan
masuk ke dalam micropore sehingga membuat area permukaan yang tersedia
untuk mengadsorp menjadi sia-sia. Karena bentuk molekul yang tidak
beraturan dan pergerakan molekul yang konstan, pada umumnya molekul
yang lebih dapat menembus kapiler yang ukurannya lebih kecil juga. Struktur
pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori adsorben,
mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan
adsorpsi bertambah.
Proses adsorpsi terjadi akibat terbentuknya ikatan antara lapisan silika
pada struktur adsorben dengan molekul β-karoten. Atapulgit mengandung
66.1% SiO2, 12.6% MgO, dan 9.8% Al2O2. Sedangkan magnesium silikat
sintetik mengandung 15% MgO dan 67% SiO2. Silika mengandung bahan
yang homogen. Permukaan silika tersusun atas dua tipe ikatan, yaitu ikatan
polar yang memiliki energi tinggi dan ikatan kurang polar yang memiliki
energi rendah. Ikatan polar merupakan ikatan antara silika dengan gugus
hidroksil (Si-OH) yang disebut dengan silanol, sedangkan ikatan kurang polar
merupakan ikatan antara silika dengan oksigen (Si-O-Si) yang disebut dengan
siloksan (Chu et al., 2004).
32
Gugus kurang polar ini yang berfungsi di dalam proses adsorpsi secara
fisik pada pengikatan β-karoten. Jenis ikatan yang diduga terjadi antara
adsorben (baik atapulgit maupun magnesium silikat sintetik) dengan β-karoten
adalah ikatan Van der waals, dimana ikatan ini relatif lemah. Ikatan Van der
waals yang terjadi antara β-karoten dengan adsorben (baik atapulgit maupun
magnesium silikat sintetik) dapat dilihat pada Gambar 10.
Ikatan Van der waals merupakan antaraksi dipol-dipol secara kolektif.
Antaraksi dipol-dipol ini menimbukan tarik-menarik antara muatan yang
berlainan tanda dan tolak-menolak antara muatan yang sama. Molekul non
polar saling ditarik oleh antaraksi dipol-dipol yang lemah yang disebut gaya
london. Gaya Van der waals merupakan gaya terlemah walaupun merupakan
gaya yang paling universal. Energinya sekitar 0.4 sampai 40 kJ/mol
(Companion, 1991).
Proses adsorpsi pada suhu yang rendah, lebih disebabkan oleh ikatan
intermolekular daripada pembentukan ikatan kimia baru. Ikatan yang
terbentuk antara adsorben dan zat warna relatif lemah dan disebut dengan
ikatan Van der waals (Hui, 1996). Pengamatan tersebut mengindikasikan
bahwa mekanisme adsorpsinya adalah secara fisik. Swern (1982)
menambahkan cukup untuk menyatakan adsorpsi sebagai fenomena
permukaan, bergantung dari adanya afinitas spesifik antara adsorben dan zat
yang diadsorpsi.
Penggunaan atapulgit pada proses adsorpsi β-karoten dari metil ester
lebih baik dibandingkan dengan penggunaan magnesium silikat sintetik.
Si Oδ- Si δ+
Tarikanδ+H
CH3 C δ- C CH3
CH3
Gambar 10. Ikatan Van der waals antara β-karoten dengan adsorben(Sirait, 2007).
33
Karena jumlah β-karoten yang mampu diserap oleh atapulgit lebih banyak dari
pada magnesium silikat sintetik. Hal ini disebabkan karena atapulgit
merupakan adsorben yang mampu menyerap zat khususnya zat warna seperti
β-karoten, sedangkan magnesium silikat sintetik merupakan adsorben yang
secara khusus dikomersialkan untuk proses penghilangan basa (NaOH).
Sehingga kemampuan magnesium silikat sintetik untuk menyerap dan
mengikat β-karoten lebih rendah dibandingkan dengan atapulgit. Selain itu,
atapulgit memiliki oksida Al2O3 yang berpotensi mengikat senyawa β-karoten
dengan adsorpsi kimia. Namun secara umum, baik pada penggunaan atapulgit
maupun magnesium silikat sintetik, semakin tinggi suhu yang digunakan maka
konsentrasi β-karoten yang terserap dalam kedua jenis adsorben tersebut
semakin meningkat.
D. LAJU ADSORPSI
Laju adsorpsi merupakan perubahan konsentrasi pereaksi atau produk
pada proses adsorpsi. Seiring dengan bertambahnya waktu reaksi, maka
jumlah zat pereaksi akan makin sedikit, sedangkan produk makin banyak.
Laju adsorpsi dinyatakan sebagai laju berkurangnya pereaksi atau laju
bertambahnya produk pada proses adsorpsi. Parameter yang digunakan adalah
konstanta laju adsorpsi (k) dan energi aktivasi (Ea). Pada penentuan parameter
tersebut digunakan model isoterm adsorpsi Brimberg.
1. Konstanta Laju Adsorpsi
Penentuan laju adsorpsi diperoleh berdasarkan hubungan antara nilai
absorbansi metil ester pada t tertentu dengan waktu kontak antara adsorben
dengan metil ester. Selanjutnya dihubungkan secara linear pada model
Brimberg sehingga dapat diperoleh nilai konstanta laju adsorpsi (k). Nilai
konstanta laju adsorpsi pada masing-masing jenis adsorben dapat dilihat
pada Tabel 9.
34
Tabel 9. Konstanta laju adsorpsi β-karoten dari metil ester denganmenggunakan Atapulgit dan Magnesium silikat sintetik
Perlakuan Konstanta Laju Adsorpsi
(k min-1)Jenis Adsorben Suhu (° C)
Atapulgit
65 0.0236
80 0.0332
90 0.0515
Magnesol
65 0.0146
80 0.0266
90 0.0442
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai konstanta laju
adsorpsi mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu. Nilai
konstanta laju adsorpsi yang paling besar pada penggunaan atapulgit dan
magnesium silikat sintetik terjadi pada kondisi suhu 90 °C dimana nilai
konstanta laju adsorpsi pada penggunaan atapulgit lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan nilai konstanta laju adsorpsi pada penggunaan
magnesol yaitu sebesar 0.0515 k min-1 untuk atapulgit dan 0.0442 k min-1
untuk magnesol.
Peningkatan fraksi molekul yang memiliki energi kinetik melebihi
energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan suhu. Peningkatan suhu
dapat meningkatkan frekuensi tumbukan antara molekul yang kemudian
membentuk suatu kompleks teraktifkan. Selain iu, peningkatan suhu
mampu memperbesar pori-pori pada adsorben sehingga dapat
meningkatkan kemampuan adsorpsinya. Peningkatan fraksi molekul yang
teraktifkan ini menyebabkan meningkatnya laju reaksi. Oleh karena itu,
suhu berpengaruh terhadap laju reaksi, yaitu dapat meningkatkan laju
reaksi. Untuk kebanyakan reaksi, dengan meningkatnya suhu sebesar 10
C akan meningkatkan laju reaksi menjadi dua atau tiga kali semula
(Petrucci, 1992; Saeni, 1989).
Jika suhu dinaikkan, maka kalor yang diberikan akan menambah
energi kinetik partikel pereaksi. Sehingga pergerakan partikel-partikel
pereaksi makin cepat, makin cepat pergerakan partikel akan menyebabkan
35
terjadinya tumbukan antar zat pereaksi makin banyak, sehingga reaksi
makin cepat. Umumnya kenaikan suhu sebesar 10 0C menyebabkan
kenaikan laju reaksi sebesar dua sampai tiga kali. Kenaikan laju reaksi ini
dapat dijelaskan dari gerak molekulnya. Molekul-molekul dalam suatu zat
kimia selalu bergerak-gerak. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi
tabrakan antar molekul yang ada.
2. Energi Aktivasi
Energi minimum yang harus dimiliki oleh partikel pereaksi sehingga
menghasilkan tumbukan efektif disebut energi pengaktifan (Ea = energi
aktivasi). Reaksi yang dapat berlangsung pada suhu rendah berarti
memiliki energi pengaktifan yang rendah. Sebaliknya, reaksi yang
memiliki energi pengaktifan besar hanya dapat berlangsung pada suhu
tinggi. Energi pengaktifan dapat dianggap sebagai energi penghalang
(barier) antara pereaksi dan produk.
Hanya sebagian molekul-molekul atau fraksi molekul yang
teraktifkan, yaitu molekul-molekul yang memiliki energi kinetik melebihi
energi aktivasi, yang dapat menghasilkan tumbukan yang efektif sehingga
mampu bereaksi. Semakin tinggi nilai energi aktivasi, semakin kecil fraksi
molekul yang teraktifkan dan semakin lambat reaksi berlangsung. Selain
itu, tumbukan molekul yang menghasilkan reaksi juga tergantung dari
orientasi molekul tersebut. Oleh karena itu, laju reaksi dipengaruhi oleh
fraksi molekul yang teraktifkan dan orientasi dari molekul tersebut
(Petrucci, 1992; Saeni, 1989).
Penentuan energi aktivasi proses adsorpsi β-karoten dari metil ester
dilakukan dengan menggunakan persamaan Arrhenius yang
menghubungkan antara nilai konstanta laju reaksi (k) dengan suhu reaksi.
Persamaan Arrhenius menghasilkan sebuah bentuk persamaan garis lurus
(linear). Kurva regresi linear yang menghubungkan antara konstanta laju
adsorpsi (k) dengan suhu reaksi (T) dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
36
Berdasarkan Gambar 11 dan 12 diperoleh nilai kemiringan (slope)
dan juga nilai koefisien determinasi (r2). Kemiringan (slope) yang
dihasilkan dari regresi linear digunakan untuk memperoleh nilai energi
aktivasi. Kemiringan dikalikan dengan konstanta tetapan gas (R) akan
menghasilkan nilai energi aktivasi. Nilai Energi aktivasi pada proses
adsorpsi β-karoten dengan menggunakan kedua jenis adsorben dapat
dilihat pada Tabel 10.
y = -5373.5x + 11.65R2 = 0.9926
-4.5
-4
-3.5
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
00.0027 0.00275 0.0028 0.00285 0.0029 0.00295 0.003
1 /T
ln k
Gambar 12. Regresi linear hubungan antara suhu (1/T)dengan ln k dengan menggunakan atapulgit(r2 = 0.9928 ; kemiringan = 5373.5)
y = - 3 7 2 4 .3 x + 7 .2 3 7R 2 = 0 .9 5 8
- 4
- 3 .5
- 3
- 2 .5
- 2
- 1 .5
- 1
- 0 .5
00 .0 0 2 7 0 .0 0 2 7 5 0 .0 0 2 8 0 .0 0 2 8 5 0 .0 0 2 9 0 .0 0 2 9 5 0 .0 0 3
1 /T
ln k
Gambar 11. Regresi linear hubungan antara suhu (1/T)dengan ln k dengan menggunakan atapulgit(r2 = 0.958 ; kemiringan = 3724.3)
37
Tabel 10. Energi aktivasi pada reaksi adsorpsi β-karoten dari metil esterdengan menggunakan atapulgit dan magnesium silikat sintetik
Berdasarkan Tabel 10, Nilai energi aktivasi pada proses adsorpsi
menggunakan atapulgit adalah sebesar 31.08 kJ/mol sedangkan pada
proses adsorpsi menggunakan magnesium silikat sintetik adalah sebesar
44.84 kJ/mol. Jika suhu dinaikkan, maka kalor yang diberikan akan
menambah energi kinetik partikel pereaksi. Sehingga pergerakan partikel-
partikel pereaksi makin cepat, makin cepat pergerakan partikel akan
menyebabkan terjadinya tumbukan antar zat ereaksi makin banyak,
sehingga reaksi makin cepat. Molekul-molekul dalam suatu zat kimia
selalu bergerak-gerak. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi tabrakan antar
molekul yang ada. Tetapi tabrakan itu belum berdampak apa-apa bila
energi yang dimiliki oleh molekul-molekul itu tidak cukup untuk
menghasilkan tabrakan yang efektif.
Nilai energi aktivasi menggunakan atapulgit lebih rendah daripada
dengan menggunakan magnesium silikat sintetik. Hal ini menunjukkan
bahwa proses adsorpsi β-karoten dengan menggunakan atapulgit lebih
mudah dan cepat terjadi dibandingkan dengan menggunakan magnesium
silikat sintetik. Sehingga molekul dalam atapulgit tidak memerlukan
energi yang besar dalam proses adsorpsi β-karoten dari metil ester serta
mampu bekerja lebih efektif dibandingkan dengan magnesium silikat
sintetik. Nilai energi aktivasi juga dapat menunjukan karakteristik dari
ikatan antara adsorben dan adsorbat. Apabila nilai energi aktivasinya
rendah menunjukan ikatan yang terjadi pada adsorpsi fisik lemah.
E. KUALITAS ADSORPSI
Kualitas adsorpsi dapat dilihat berdasarkan kemampuan suatu adsorben
dalam menyerap berbagai macam komponen yang terdapat dalam metil ester.
Jenis adsorben Ea (kJ/mol)
Atapulgit 31.08
Magnesium silikat sintetik 44.84
38
Beberapa parameter yang dapat menunjukkan kualitas dari metil ester
diantaranya adalah jumlah β-karoten yang teradsorp, bilangan asam, indeks
bias, kadar air serta penurunan kadar basa dalam metil ester. Nilai parameter
yang menunjukkan kualitas dari metil ester dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai parameter kualitas
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa jumlah β-karoten yang
mampu diadsorp oleh atapulgit adalah sebesar 84.4559 µg/ml sedangkan yang
mampu diserap oleh magnesium silikat sintetik adalah sebesar 55.9989 µg/ml.
Jumlah β-karoten yang mampu diadsorp oleh atapulgit lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah β-karoten yang diserap oleh magnesium silikat
sintetik. Hal ini menunjukkan bahwa atapulgit memiliki kemampuan
penyerapan yang lebih baik dibandingkan dengan magnesium silikat sintetik.
Disamping itu, bilangan asam mengalami penurunan selama proses adsorpsi
terjadi. Penurunan bilangan asam disebabkan dari peningkatan kemampuan
penyerapan adsorben pada suhu yang lebih tinggi sehingga mampu menyerap
asam lemak bebas selama proses adsorpsi. Proses penyerapan Asam lemak
bebas pada metil ester minyak sawit disebabkan melalui pembentukan ikatan
hidrogen antara gugus karbonil asam lemak (C=O) dengan gugus silanol (Si-
O-H) pada adsorben. Adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisik.
Parameter Kondisi (90 °C , 150 menit) Karakteristik
AwalAtapulgit Magnesium
silikat sintetik
β-karoten yang teradsorp
(µg/ml)
84.4559 55.9989 -
Bilangan Asam
(mgKOH/g)
0.24 0.32 0.97
Indeks Bias 1.6249 1.6284 1.6237
Kadar Air (%) 0.1 0.05 0.13
39
Indeks bias mengalami peningkatan selama proses adsorpsi. Semakin
panjang rantai karbon dan semakin banyak ikatan rangkap maka indeks bias
akan semakin besar. Indeks bias juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
kadar asam lemak bebas, proses oksidasi dan suhu. Penurunan bilangan asam
yang terjadi selama proses adsorpsi berpengaruh terhadap indeks bias. Nilai
indeks bias mengalami peningkatan dengan menurunnya kandungan asam
lemak bebas dalam metil ester minyak sawit. Tingkat kemurnian metil ester
tersebut naik seiring dengan peningkatan nilai indeks bias. Menurunnya
jumlah komponen pengotor seperti asam lemak bebas selama proses adsorpsi,
menyebabkan metil ester menjadi lebih murni yang diindikasikan dengan
semakin meningkatnya nilai indeks bias.
Kadar air metil ester mengalami penurunan selama proses adsorpsi.
Kadar air metil ester minyak sawit mengalami penurunan setelah dilakukan
proses adsorpsi. Adanya pengurangan kadar air kemungkinan terjadi karena
molekul air terikat pada adsorben. Bagian polar dari adsorben, terutama
bagian oktahedral atapulgit, dapat mengikat molekul air yang juga bersifat
polar. Air dapat menyebabkan proses adsorpsi oleh adsorben menjadi tidak
maksimal. Sehingga biasanya dilakukan proses aktivasi salah satunya dengan
pemanasan yang bertujuan agar air yang terikat di celah-celah molekul dapat
teruapkan, sehingga porositas adsorben meningkat. Berdasarkan Tabel 11
dapat diketahui bahwa kadar air metil ester pada proses adsorpsi dengan
menggunakan magnesium silikat sintetik lebih rendah dibandingkan dengan
menggunakan atapulgit. Hal ini menunjukkan magnesium silikat sintetik
mampu menyerap air lebih banyak daripada atapulgit.
Selain parameter-parameter diatas, juga dilakukan pengukuran terhadap
kadar basa (NaOH) yang terdapat dalam metil ester. Keberadaan basa dapat
menghirolisis dan memecah metil ester menjadi asam lemak bebas. Asam
lemak bebas dan sisa basa dalam metil ester dapat menyumbat injektor mesin
diesel sehingga mengganggu kinerjanya. Penurunan kadar basa dalam metil
ester dengan menggunakan atapulgit dan magnesium silikat sintetik dapat
dilihat pada Gambar 13 dan 14.
40
Berdasarkan Gambar 13 dan 14 dapat dilihat penurunan jumlah basa
dalam metil ester selama proses adsorpsi berlangsung. Jumlah awal basa
(NaOH) dalam metil ester adalah sebanyak 814.27 ppm dan setelah proses
adsorpsi menggunakan atapulgit dan magnesium silikat sintetik berlangsung
jumlahnya berkurang menjadi 0. Penurunan jumlah basa dalam metil ester
menghasilkan nilai yang sama pada kedua jenis adsorben dan pada ketiga suhu
- 2 0 0
0
2 0 0
4 0 0
6 0 0
8 0 0
1 0 0 0
0 5 0 1 0 0 1 5 0
L a m a A d s o r p s i (m e n it )
Sis
a B
as
a (
pp
m)
Gambar 14. Penurunan kadar basa (NaOH) dalam metil esterselama proses adsorpsi dengan menggunakanmagnesium silikat sintetik
Gambar 13. Penurunan kadar basa (NaOH) dalam metil esterselama proses adsorpsi dengan menggunakanatapulgit
- 2 0 0
0
2 0 0
4 0 0
6 0 0
8 0 0
1 0 0 0
0 5 0 1 0 0 1 5 0
L a m a A d s o r p s i (m e n it )
Sis
a B
as
a (
pp
m)
41
yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa baik atapulgit maupun
magnesium silikat sintetik memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap
basa (NaOH), sehingga baik atapulgit maupun magnesium silikat sintetik
sangat baik digunakan dalam proses pencucian metil ester untuk
menghilangkan kandungan basa (NaOH) yang sebelumya digunakan sebagai
katalis dalam proses pembuatan metil ester (biodiesel).
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Nilai konstanta laju adsorpsi mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya suhu. Nilai konstanta laju adsorpsi dengan menggunakan
atapulgit untuk masing masing suhu 65 , 80 dan 90 °C adalah 0.0236 min-1
0.0332 min-1, 0.0515 min -1, sedangkan nilai konstanta laju adsorpsi dengan
menggunakan magnesium silikat sintetik untuk masing-masing suhu 65 °C ,
80 °C dan 90 °C adalah 0.0146 min-1, 0.0266 min-1, 0.0442 min-1.
Proses adsorpsi dengan menggunakan atapulgit berlangsung lebih cepat
dibandingkan dengan menggunakan magnesium silikat sintetik karena nilai
energi aktivasinya lebih rendah. Nilai energi aktivasi pada proses adsorpsi
dengan menggunakan atapulgit adalah sebesar 31.08 kJ/mol sedangkan
dengan menggunakan magnesium silikat sintetik sebesar 44.85 kJ/mol.
B. SARAN
Penelitian dengan nilai suhu yang lebih tinggi perlu dilakukan agar
diperoleh hasil yang lebih optimal, sehingga desain alat reakor perlu di
kembangkan.
43
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Mohamad. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis BahanMakanan. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
AOAC. 1999. Fatty Acids (Free) in Crude and Refined Oils TitrationMethods. Official Methods of Analysis Volume II. PatriciaCunniff (ed). AOAC International. Amerika Serikat.
[AOCS] American Oil Chemists’ Society. 1997. Official Methods andRecommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. Fifthedition. Champaign, Illinois.
Apriyantono, A., D. Fardiaz,N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto.1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan danGizi IPB. Bogor
Benefield, D. L. 1982. Process Chemistry for Water and WastewaterTreatment. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.
Bernasconi, G., H. Grester, H. Hauser, H. Stauble dan E. Scheneiter. 1995.Teknologi Kimia Bagian 2. Terjemahan Lienda Handojo. PradnyaParamita. Jakarta.
Choo, Y. M. 2006. Palm Oil Carotenoidshttp://www.unu.edu/unupress/food/8F152E05.htm. [13 juni2009]
Companion, A. L. 1991. Ikatan Kimia. Penerbit ITB. Bandung
Chu, B. S.,B. S. Baharin, Y. B. Che Man, dan S. Y. Quek. 2004. Separationof Vitamin E from Palm Fatty Acid Distillate Using Silica IIIBatch Desorpstion Study. J. Of Food Engineering 64 :1-7.
Darmoko, T. Herawan dan P. Guritno. 2001. Teknologi Produksi Biodieseldan Prospek Pengembangannya di Indonesia. WARTA PPKSVOL. 9(1) : 17-27.
Derksen, J. T. P. and F. .P. Cuperus. 1996. Processing of Oilsees Constituentsfor Nonfood Aplications. Netherland.
Gervasio, C. G. 1996. Fatty Acid and Derivatives from coconut Oil. In (edY.H. Hui). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 5th ed.,Vol 5.John Willey & Sons. Inc. New York. Page 63-70.
Grim, R. E. 1989. Clay Mineralogy. 2nd Edition. McGraw-Hill BookCompany, New York. USA.
44
Gross, J. 1991. Pigmen in Vegetables, Chlorophylls and Carotenoids. AVIBook, Van Nostrand Reinhold, New York.
Hui, Y. H. 1996. Bailey’s Industrial Oil Yields Carotene for World Markets.Oleo Chemical INFORM, Vol.3,No.2, Febr.p.210-217.
Iwasaki, R. dan M. Murakoshi. 1992. Palm Oil Yields Carotene for WorldMarkets. Oleo Chemical INFORM, Vol.3,No.2,Febr.P.210-217.
Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas IndonesiaPress.
Kritchevsky, D., S. A. Tepper, S. K. Czarnecki, and Sundram K. 2002.Review Article : Red Palm Oil in Experimental Atherosclerosis.Asia Pacific J Clin Nutr. Vol. 11. p. S433 – S437.
Lansbarkis, J. R. 2000. Analysis of Volatile Organic Compounds in Waterand Air Using Attapulgite Clays. United States Patent 6074460.
Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jilid I. Worth Publ. Inc.,NewYork. Terjemahan. M. Thenawijaya. 1993. Penerbit Erlangga,Jakarta.
Mattjik, A. A., dan Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan denganAplikasi SAS dan Minitab, jilid I. IPB Press, Bogor.
McCabe, W.L.,JC.Smith dan P. Harriot. 1989. Operasi Teknik Kimia Jilid 2.Terjemahan E. Jasjfi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Meridian, Y. A. 2000. Kajian Ketersediaan Hayati β-karoten MinumanEmulsi Karoten Minyak Sawit dalam Hati dan Plasma Tikus.[Skripsi]. Bogor : FATETA-IPB
Meyer, L. H., 1966. Food Chemistry, 4th ed. Reindhold Publishing Corp. NewYork.
Miyawaki, Y. 1998. Major contribution of Crude Palm Oil and Palm KernelOil in The Oleochemical Industry. In 1998 International Oil PalmConference, Nusa Sua, Bali, September 23-25, 1998.
Muchtadi, T. R. 1992. Karakteriasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit(Elaeis Guineensis Jacq.) dalam Rangka Optimalisasi ProsesEktraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A. Disertasi.Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
45
Naibaho, P. M. 1983. Pemisahan Karoten (Provitamin A) Minyak Sawitdengan Metoda Adsorpsi. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Onyewu, P. N. 1985. Thermal Degradation of ß-carotene Under SimulatedTime and Temperatur Conditions of Various Food Processes.Michigan : UMI Deservation Services.
Ooi, C. K., Y. M. Choo, C. C. Yap, Y. Bashiron, and A. S. H. Oong. 1994.Recovery of carotenoids from palm oil. JAOCS Vol 71 (4) : 423-426.
Perry, R. H., dan D. W. Green. 1984. Perry’s Chemical Engineer Handbook,6th ed. Mc Graw-hill, New York.
Petrucci, R. H. 1992. Kimia Dasar, Prinsip dan Terapan Modern. Terjemahan.Erlangga, Jakarta.
PORIM. 1995. PORIM Test Methods. Palm Oil Research Institute ofMalaysia, Kuala Lumpur.
Reynolds, T. D. 1982. Unit Operations and Process in EnvironmentalEngineering. Texas A&M University, Brooks/Cole EngineeringDivision, Monterey, California, USA, pp. 165 – 166.
Ribeiro, M. H. L, P.A.S. Lourenco, J. P. Monteiro dan S. Ferreira-Dias. 2001.Kinetics of Selective Adsorption of Impurities from a CrudeVegetable Oil in Hexane to Activated Earths dan Carbons. J. Eur.Food. Res.Technol. 213 : 132 – 138 .
Saeni. M. S. 1989. Kimia Fisik I. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB,Bogor.
Sahidin., S. Matsjeh, dan E. Nuryanto. 2000. Degradasi ß-karoten dariMinyak Sawit Merah. [Skripsi]. Bogor : FATETA-IPB.
Schwartz, S. J. dan J. H. V. Elbe. 1996. Colorants. Di dalam Food Chemistry.Third Edition. O. R. Fennema (ed). Marcel Dekker Inc. NewYork.
Simpson, K. I., S. T .L Tsou, dan C. O Chichester. 1987. BiochemicalMethodology for The Assessment of Carotenes. InternationalVitamin Consultative IVACG.
Sirait, K. E. E.2007. Kinetika Adsorpsi Isotermal ß-karoten Olein SawitKasar dengan Menggunakan Atapulgit. Skripsi. FakultasTeknologi Pertanian IPB. Bogor.
46
Standar Nasional Indonsia (SNI). 2006. Biodiesel. Bandan Standar Nasional.Jakarta. (SNI-04-7182-2006).
Suhartono, M. T. 1987. Pengantar Biokimia. PAU Pangan dan Gizi IPB.Bogor.
Suryani, A. dan D. Mangunwidjaja. Rekayasa Proses Dasar. 2000. JurusanTeknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian.Institut Pertanian. Bogor.
Swern, D. 1982. Bailey’s industrial Oil and Fat Products 4th Edition Volume2. John Wiley & Sons. Amerika Serikat.
Treybal, R. E. 1980. Mass Tranfer Operation. Mc Graw-Hill Kogakusha, Ltd,New York.
Watfford, J. 1980. Development in Food Colours-1. Applied SciencePublishers Ltd. London.
Wulandari, O.V. 2000. Pemanfaatan Minyak Sawit untuk Produksi EmulsiKaya Beta Katoten Sebagai Suplemen Vitamin A. [Skripsi]. Bogor: FATETA-IPB.
WWW. Cnhymc. Com. 2003 (23 maret 2009).
.
.
47
Lampiran 1. Kurva standard konsentrasi ß-karoten dalam pelarut heksan
Prosedur pembuatan kurva standard (Apriyantono et al., 1989)
Kurva standard yang dibuat adalah kurva standard ß-karoten dalam
heksan. Standar ß-karoten (Sigma Aldrich) ditimbang sebanyak 0.0005 gram
dilarutkan dan ditera dengan menggunakan heksan dalam labu takar 100 ml.
Selanjutnya dibuat beberapa konsentrasi larutan ß-karoten dalam heksan dan
kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 446 nm.
Kurva Standar ß-karoten dalam Heksan
(µg/ml)
48
Lampiran 2. Prosedur analisis
A. Bilangan Asam (AOAC, 1999)
Pengujian ini digunakan untuk menentukan bilangan asam minyak
sebagai bahan baku biodiesel atau produk biodiesel. Pengujian angka
asam dilakukan melalui proses titrimetri. Angka asam adalah banyaknya
miligram KOH 0.1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam
bebas di dalam satu gram sampel biodiesel atau bahan baku biodiesel.
Asam bebas ini terutama terdiri dari asam lemak bebas dan sisa asam
mineral.
Prosedur :
Minyak yang akan diuji ditimbang 2-5 gram di dalam erlenmeyer 200
ml. Selanjutnya ditambahkan 50 ml alkohol netral 95 %, lalu dipanaskan
selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Kemudian laurtan ini
dititar dengan KOH 0.1 N menggunakan indikator phenolpthalein 1%
hinggatepat terlihat warna merah jambu (persisten ± 10 menit). Setelah
itu, dihitung jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan
asam lemak bebas dalam 1 gram minyak atau lemak.
Perhitungan :
Bilangan asam =
Ketrangan :
A = Jumlah ml KOH 0.1 N untuk titrasi
N = Normalitas larutan KOH
G = Bobot contoh, dinyatakan dalam gram
56,1 = Bobot molekul contoh
A x N x 56,1G
49
B. Total Sabun Dalam Minyak (AOCS, 1997)
1. Prosedur
Sebanyak 100 ml larutan aseton disiapkan dalam erlenmeyer,
kemudian ditambahkan 0.5 ml bromophenol blue sebagai indicator.
Selanjutnya titrasi dengan menggunakan HCL 0.01N atau NaOH
0.01N sampai larutan uji tersebut berwarna kuning.Minyak yang akan
di uji, ditimbang sebanyak 40 gram dan dimasukan ke dalam
erlenmeyer yang telah dibilas dengan larutan uji. Selanjutnya
ditambahkan 1 ml air ke dalam sampel yang akan diuji, lalu
dipanaskan dalam water bath sambil di aduk. kemudian ditambahkan
50 ml larutan uji ke dalam sampel tersebut dan setelah dipanaskan
diaduk kembali lalu dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan yang
berbeda. Bila sampel yang digunakan adalah minya atau lemak maka
lapisan bagian atas akan berwarna hijau kebiruan. Selanjutnya titrasi
dengan menggunakan HCL 0.01N hingga terjadi perubahan warna
lapisan atas menjadi kuning. Blanko harus ditentukan dengan
menggunakan minyak yang bebas dari sabun.
2. Perhitungan
ppm sabun sebagai sodium oleat =
C. Indeks Bias (Apriyantono et al.,1989)
Indeks bias dari suatu zat adalah perbandingan dari sinus sudut sinar
jatuh dan sinus sudut sinar pantul dari cahaya yang melalui suatu zat. Alat
yang digunakan pada pengujian ini adalah refraktometer abbe yang
dilengkapi dengan pengatur suhu. Pengujian dilakukan dengan pada suhu
40 °C untuk lemak dan pada suhu 25 °C untuk minyak.
(mLs-mLb) x N x 304,400Bobot sampel
Dimana;mLs = jumlah ml HCL untuk titrasi sampelmLb = jumlah ml HCL untuk titrasi blankoN = Normalitas HCL
50
Indeks bias pada suhu tertentu dapat diperoleh dengan perhitungan
sebagai berikut :
R = R’ + K(T’ – T)
Keterangan :
R = Pembacaan skala pada suhu T °C
R’ = Pembacaan skala pada suhu T’ °C
T’ = Suhu ketika R’ akan dicari (°C)
K = faktor koreksi 0,000365 untuk lemak, dan 0,000385
untuk minyak
D. Pengukuran total karoten menggunakan spektrofotometer
(Apriyantono et al., 1989).
Adsorbansi larutan contoh diukur dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. Blanko dan pelarut
yang digunakan adalah heksan. Sebanyak 0.2 ml larutan contoh
diencerkan dalam labu takar 10 ml lalu ditera dengan dengan
menggunakan heksan. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi
menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi total karoten dalam sampel
dihitung berdasarkan kurva standar yang dibuat
E. Kadar Air (Aufhauser)
1. Prinsip :
Bila suatu bahan di destilasi dengan pelarut yang bertitik didih
lebih tinggi dari air, maka air dalam bahan lebih cepat menguap dari
pelarut yang digunakan.
2. Prosedur :
Larutan contoh ditimbang sebanyak 10 gram, lalu dimasukan ke
dalam labu lemak 500 ml. Selanjutnya ditambahkan toluena sebanyak
¾ isi labu. Kemudian dirangkai pada alat aufhauser yang dihubungkan
dengan kondensor, lalu dipanaskan selama 3 jam
51
3. Perhitungan
Volume Pembacaan
Kadar Air = X 100%
Bobot Contoh
52
Lampiran 3. Skema reaktor proses adsorpsi ß-karoten dari metil ester tipe
berpengaduk
53
Lampiran 4. Foto reaktor proses adsorpsi ß-karoten dari metil ester tipe
tangki berpengaduk
54
Gambar 2. Perubahan warna pada metil ester, sebelum proses adsorpsi(a) dan sesudah proses adsorpsi (b)
Lampiran 5. Perubahan warna metil ester dan adsorben
Gambar 1. Perubahan warna pada atapulgit, (a) sebelum proses adsorpsi,(b) sesudah proses adsorpsi
(a) (b)
(a) (b)
55
_= Ao expEa
RTk
= ln Ao+ln k1
T_ Ea
R
ln k =
Ea
RT_ ln Ao+
1/T
Ln k
Ln Ao
Slope = - Ea/R
Lampiran 6. Perhitungan konstanta laju adsorpsi (k) dan energi aktivasi (Ea)
A. Model Brimberg
ln (C/Co) = -k(t)0.5
Berdasarkan hukum Beer-Lambert , nilai C (konsentrasi) memilikiproporsi yang sama dengan A (absorbansi), sehingga :
ln (A/Ao) = -k(t)0.5
ln A – ln Ao = -k(t)0.5
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
Plot dari ln A dan (t)0.5 menghasilkan bentuk Linear dari model Brimberg
B. Energi Aktivasi
56
Lampiran 7. Data hasil Penelitian
A. Hasil absorbansi metil ester selama proses adsorpsi menggunakanatapulgitLama Adsorpsi (t) Suhu (°C)
65 80 900 0.40366 0.40366 0.403663 0.39680 0.37690 0.367076 0.39028 0.37246 0.341089 0.38271 0.36134 0.33198
15 0.37303 0.35293 0.3239220 0.36725 0.35067 0.3199025 0.35833 0.34242 0.3185830 0.35491 0.33838 0.3180260 0.35067 0.33046 0.3105490 0.34325 0.32914 0.30925
120 0.34278 0.32572 0.30694150 0.34176 0.32143 0.30331
B. Hasil absorbansi metil ester selama proses adsorpsi menggunakanmagnesol
Lama Adsorpsi (t) Suhu (°C)65 80 90
0 0.56418 0.56418 0.564183 0.52846 0.50680 0.492566 0.51960 0.48058 0.462159 0.51000 0.47544 0.44617
15 0.49873 0.46696 0.4337320 0.48705 0.45986 0.4269425 0.47693 0.45078 0.4261330 0.47556 0.44554 0.4237060 0.46114 0.43626 0.4159790 0.44989 0.42226 0.41566
120 0.44748 0.42559 0.41430150 0.45295 0.42248 0.41283
57
Lampiran 8. Data hasil perhitungan konstanta laju adsorpsi ß-karoten dari metilester dan Energi aktivasi
A. Nilai Konstanta Laju Adsorpsi (k) β-karoten dari metil ester
1. Nilai persamaan Brimberg dengan menggunakan atapulgit pada suhu 65 °C
LamaAdsorpsi
(t)
65
0 0.40366 0 -0.572381933 0.39680 1.732051 -0.637788166 0.39028 2.44949 -0.654695999 0.38271 3 -0.67334455
15 0.37303 3.872983 -0.6956904120 0.36725 4.472136 -0.7193884925 0.35833 5 -0.7403750730 0.35491 5.477226 -0.7432622260 0.35067 7.745967 -0.7740427590 0.34325 9.486833 -0.79875217
y = -0.0236x - 0.5988R2 = 0.9431
-0.9
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
00 2 4 6 8 10
(t)0.5
ln A
Persamaan : y = -0.0263x – 0.5988
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
k = 0.0263
Absorbansi (A) (t)0.5ln A
58
2. Nilai Persamaan Brimberg dengan menggunakan atapulgit pada suhu 80 °C
LamaAdsorpsi
(t)
65
0 0.40366 0 -0.572381923 0.37690 1.732051 -0.679638836 0.37246 2.44949 -0.732761579 0.36134 3 -0.74351458
15 0.35293 3.872983 -0.7615116720 0.35067 4.472136 -0.7768223125 0.34242 5 -0.7967647730 0.33838 5.477226 -0.8084626360 0.33046 7.745967 -0.82951688
y = -0.0322x - 0.6239R2 = 0.8692
-1
-0.9
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
00 2 4 6 8 10
(t)0.5
ln A
Persamaan : y = -0.0322x – 0.6239
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
k = 0.0322
Absorbansi (A) (t)0.5ln A
59
3. Nilai Persamaan Brimberg dengan menggunakan atapulgit pada suhu 90 °C
LamaAdsorpsi
(t)
65
0 0.40366 0 -0.572381923 0.36707 1.732051 -0.708138996 0.34108 2.44949 -0.771864689 0.33198 3 -0.80704402
15 0.32392 3.872983 -0.8353215320 0.31990 4.472136 -0.8511117925 0.31858 5 -0.8529990830 0.31802 5.477226 -0.85872962
y = -0.0515x - 0.6149R2 = 0.9053
-1
-0.9
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
00 1 2 3 4 5 6
(t)0.5
ln A
Persamaan : y = -0.0515x – 0.6149
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
k = 0.0515
Absorbansi (A) (t)0.5ln A
60
4. Nilai Persamaan Brimberg dengan menggunakan magnesol pada suhu 65 °C
LamaAdsorpsi
(t)
65
0 0.56418 0 -0.9071823403 0.52846 1.732051 -0.9243229046 0.51960 2.44949 -0.9408908499 0.51000 3 -0.960477757
15 0.49873 3.872983 -0.98609643420 0.48705 4.472136 -1.00171246425 0.47693 5 -1.02630092930 0.47556 5.477226 -1.03589104360 0.46114 7.745967 -1.04790966990 0.44989 9.486833 -1.069296234
y = -0.0146x - 0.9226R2 = 0.883
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
00 2 4 6 8 10 12 14
(t)0.5
ln A
Persamaan : y = -0.0146x – 0.9226
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
k = 0.0146
Absorbansi (A) (t)0.5ln A
61
5. Nilai Persamaan Brimberg dengan menggunakan magnesol pada suhu 80 °C
LamaAdsorpsi
(t)
65
0 0.56418 0 -0.907182343 0.50680 1.732051 -0.9757753796 0.48058 2.44949 -0.9876256299 0.47544 3 -1.017935936
15 0.46696 3.872983 -1.04148554220 0.45986 4.472136 -1.04790966925 0.45078 5 -1.07171722530 0.44554 5.477226 -1.08358575560 0.43626 7.745967 -1.107269656
y = -0.0266x - 0.927R2 = 0.9482
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
00 2 4 6 8 10
(t)0.5
ln A
Persamaan : y = -0.0266x – 0.927
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
k = -0.0266
Absorbansi (A) (t)0.5ln A
62
6. Nilai Persamaan Brimberg dengan menggunakan magnesol pada suhu 90 °C
LamaAdsorpsi
(t)
65
0 0.56418 0 -0.907182343 0.49256 1.732051 -1.0022027136 0.46215 2.44949 -1.0756382259 0.44617 3 -1.102680553
15 0.43373 3.872983 -1.12725870720 0.42694 4.472136 -1.13974683225 0.42613 5 -1.14388165830 0.42370 5.477226 -1.145641005
y = -0.0442x - 0.9368R2 = 0.9064
-1.4
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
00 1 2 3 4 5 6
t(0.5)
ln A
Persamaan : y = -0.0442x – 0.9368
ln A = -k(t)0.5 + ln Ao
k = 0.0422
Absorbansi (A) (t)0.5ln A
63
B. Hubungan 1/T dan ln k persamaan Arrhenius untuk energi aktivasi (Ea)
Jenis Adsorben 1/T (kelvin) ln k
Atapulgit
0.00295858 -3.746510.00283286 -3.405210.00275482 -2.96617
Magnesol
0.00295858 -4.226730.00283286 -3.626840.00275482 -3.11903
64