kumpulan tugas

Upload: nilanila-wlndr

Post on 05-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BB

TRANSCRIPT

KUMPULAN TUGAS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDAPERIODE 10 AGUSTUS 2015-17 OKTOBER 2015RS BHAKTI YUDHA DEPOK

NILASARI WULANDARINIM 112014331Purpura Trombositopenik IdiopatikaPurpura trombositopenik idiopatika ialah suatu penyakit perdarahan didapat (acquired) sebagai akibat dari penghancuran trombosit yang berlebihan, ditandai dengan trombositopenia (trombosit < 150.000/mm3, purpura. Umumnya terjadi pada anak usi 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak pertahun. Diagnosis, pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tibatiba mengalami perdarahan pada kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung (epistaksis). Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.Selain trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP umumnya normal sesuai umurnya. Pada lebih kurang 15% penderita didapatkan anemia ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindrom trombosit raksasa yang diturunkan (inherited giant platelet syndrome), dan kelainan hematologi lainnya.Trombosit yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar penderita. Pada pemeriksaan dengan flow cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolik, yang menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang didapatkan pada ITP dibanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang pada anak dengan dugaan ITP, masih Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada penderita ITP adalah mengukur antibodi yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakan ITP primer dengan sekunder, atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami perjalanan menjadi kronis. Diagnosis ITP ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan systemic lupus erythematosus (SLE), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma, defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C, dan pengobatan dengan heparin atau quinidine.Tata laksana Tata laksana ITP pada anak meliputi tindakan suportif dan terapi farmakologis. Tindakan suportif merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak, di antaranya membatasi aktifitas fisik, mencegah perdarahan akibat trauma, menghindari obat yang dapat menekan produksi trombosit atau merubah fungsinya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua tentang penyakitnya. Sebagian besar kasus ITP pada anak tidak perlu dirawat di rumah sakit, oleh karena dapat sembuh sempurna secara spontan dalam waktu kurang dari 6 bulan. Pada beberapa kasus ITP pada anak didapatkan perdarahan kulit yang menetap, perdarahan mukosa, atau perdarahan internal yang mengancam jiwa yang memerlukan tindakan atau pengobatan segera. Transfusi trombosit jarang dilakukan dan biasanya tidak efektif, karena trombosit yang ditransfusikan langsung dirusak.

Pengobatan yang biasa diberikan pada anak dengan ITP meliputi kortikosteroid peroral, imunoglobulin intravena (IVIG) kortikosteroid per oral merupakan pengobatan utama pada ITP karena dipercaya dapat menghambat penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial dan mengurangi pembentukan antibodi terhadap trombosit, serta mempunyai efek stabilisasi kapiler yang dapat mengurangi perdarahan. dosis standar (2 mg/kgbb/ hari) sebagai pengobatan ITP akut.

Purpura Henoch Schonlein (PHS)Purpura Henoch Schonlein (PHS) merupakan suatu vaskulitis sistemik dengan karakteristik dijumpai deposisi kompleks imun yang mengandung antibodi IgA pada kulit dan ginjal. Umumnya diderita oleh anak usia 3-10 tahun, dengan predominasi anak laki-laki. Insidens PHS bervariasi dari 13,5-24/100.000 kasus tahun. Etiologi pasti PHS belum diketahui dengan jelas. Kadang-kadang terjadi mengikuti suatu episode infeksi saluran pernapasan akut dan di negara dengan empat musim, lebih sering terjadi pada musim dingin. Salah satu patogen yang sering menyebabkan PHS adalah Streptococcus hemolyticus, yang terbukti dengan ditemukannya antigen streptokokus di dalam glomerulus pasien nefritis PHS. Keadaan lain yang juga dilaporkan berhubungan dengan terjadinya PHS antara lain gigitan serangga dan alergi makanan. Gejala yang khas adalah ditemukannya purpura yang dapat diraba, nyeri persendian, dan nyeri abdomen. Ketiga gejala merupakan trias klasik PHS dan dapat timbul bersamaan atau berselang satu sampai dua hari. Purpura dijumpai pada seluruh kasus PHS dengan predileksi pada ekstremitas bawah sampai daerah gluteus, namun kadang-kadang dapat pula dijumpai pada tangan, muka, dan badan. Nyeri persedian dijumpai pada 80% kasus terutama pada pergelangan kaki, lutut, dan siku. Nyeri abdomen ditemukan pada 62% kasus berupa kolik abdomen, disertai mual, muntah, konstipasi, atau diare. Gejala lain yang sering ditemukan antara lain perdarahan saluran cerna dan keterlibatan ginjal.PHS dengan keterlibatan ginjal, yaitu hematuria mikroskopik (4%-100%), hematuria makroskopis (8%-80%), dan proteinuria (45%-100%). Walaupun jarang, dapat terjadi gagal ginjal kronik disertai dengan oliguria, retensi cairan, hipertensi, dan kerusakan ginjal lainnya dalam derajat yang bervariasi. Nefritis Henoch-Schonlein dijumpai pada 20%-40% kasus dan merupakan penyebab morbiditas utama pada PHS. Manifestasi klinis pada umumnya timbul dalam waktu tiga bulan dari awitan PHS, bahkan setelah gejala PHS lainnya menghilang. Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya nefritis Henoch-Schonlein adalah usia awitan terjadinya PHS kurang dari tujuh tahun, nyeri abdomen berat yang disertai dengan perdarahan saluran cerna, pupura yang menetap lebih dari satu bulan, dan aktivitas faktor XIII koagulasi Deposisi kompleks imun IgA terjadi berdasarkan peningkatan sintesis IgA atau penurunan klirens IgA. Peningkatan sintesis IgA oleh sistem imun mukosa sebagai respon terhadap paparan antigen pada mukosa dipikirkan merupakan mekanisme yang terjadi pada PHS. Diagnosis nefritis Henoch-Schonlein berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis antara lain purpura yang dapat teraba yang tidak berhubungan dengan trombositopenia, nyeri abdomen yang dapat disertai perdarahan saluran cerna, artritis atau artralgia, hematuria dengan atau tanpa proteinuria dan disfungsi ginjal, serta vaskulitisleukositoklastik dengan deposit IgA di dalam arteriol atau venula. Gejala klinis dianggap memenuhi kriteria diagnosis apabila terdapat lebih atau sama dengan tiga gejala tersebut. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia normositik normokrom yang diakibatkan perdarahan saluran cerna, leukositosis, dengan jumlah trombosit yang normal atau sedikit meningkat. Kadar C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan antinuclear antibody dan faktor rheumatoid menunjukkan hasil negatif, sedangkan pemeriksaan komplemen (C3 dan C4) normal. Pemeriksaan kadar kreatinin dan urea darah menunjukkan peningkatan. Pada urinalisis dapat dijumpai hematuria mikroskopik ataupun makroskopik (gross), dan proteinuria. Pada lebih dari 50% kasus didapatkan peningkatan kadar IgA serum. Tata laksana Purpura Henoch Schonlein pada umumnya bersifat self-limiting dan hanya memerlukan terapi simtomatik. Gejala akan bertahan selama lebih kurang empat minggu dan akan berkurang secara spontan sampai akhirnya menghilang. Pada sepertiga kasus dijumpai relaps. Gejala persendian seperti artritis, artralgia, ataupun inflamasi jaringan lunak diobati dengan analgesik seperti asetaminofen atau obat anti inflamasi nonsteroid. Keterlibatan gastrointestinal termasuk akut abdomen atau perdarahan saluran cerna memiliki respon yang baik terhadap pemberian prednisolon oral jangka pendek. Dosis prednisolon 1-2 mg/kg/ hari selama 1 minggu, dilanjutkan dengan tapering off selama 2-3 minggu. Bila terjadi sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut, terapi dimulai dengan kombinasi prednisolon (2mg/kg/hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan 1,5mg/kg diberikan selang sehari selama 4 minggu, dan dilanjutkan tapering off dengan dosis 0,5mg/kg diberikan selang sehari) dan azathioprin (1-2mg/kg/ hari) selama 6-12 bulan. Pada rapidly progressive (crescentic) glomerulonephritis, tata laksana yang diberikan adalah metilprednison pulse dosis tinggi tiga sampai enam kali. Dosis 20-30 mg/kg, diberikan selang sehari, dilanjutkan prednisolonDobutaminIndikasi: Memiliki efek yang lebih baik dalam meningkatkan curah jantung dibanding dopamin dan mempunyai efek minimal pada tekanan darah. Digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas miokard dan curah jantung. Dobutamin dapat digunakan bersamaan dengan dopamin. Kontra Indikasi Hipovolemia harus dikoreksi sebelum pemberian dobutamin. Waspada pada pasien hipertensi dan stenosis subaorta hipertofi. Peringatan perhatian Pertimbangkan untuk menghitung jumlah cairan sebelum memulai infus dobutamin, pasien hipertensi. Dosis 5 20 mikrogram/kgBB/menit, mulai dari 5 mikrogram/kgBB/menit, jika diperlukan dapat ditingkatkan 10 menit kemudian. Efek samping Dapat mengakibatkan hipotensi pada pasien hipovolemia, takikardia, aritmia, hipertensi, vasodilatasi bawah kulit (gambaran flushing)Dopamin HClDopamin HCl Indikasi Syok kardiogenik pada bedah jantung. Meningkatkan tekanan darah, namun menurunkan aliran darah ke organ vital termasuk ginjal. Dopamin digunakan untuk meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan keluaran urin pada pasien hipotensi berat. Kontra Indikasi Takiaritmia, fibrilasi ventrikel; penyakit jantung iskemik; feokromositoma; hipertiroid, hipovolemia. Peringatan Perhatian Koreksi hipovolemia sebelum pengobatan, dan pertahankan volume darah selama pengobatan. Koreksi hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis metabolik sebelum memulai pengobatan atau bersamaan dengan pengobatan. Riwayat penyakit vaskular perifer (meningkatkan risiko iskemia ekstremitas) Dosis Infus IV : Efek hemodinamik dopamin bersifat dose-dependent Dosis rendah : 1-5 mcg/kgBB/menit, meningkatkan aliran darah ginjal dan ekskresi urin. Dosis menengah : 5-15 mcg/kgBB/menit, meningkatkan aliran darah ginjal, laju nadi, kontraktilitas jantung, curah jantung, dan tekanan darah. Dosis tinggi : >15 mcg/kgBB/menit, mulai tampak efek alfa-adrenergik sebagai predominasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah. Neonatus : infus kontinyu 1-20 mcg/kgBB/menit, titrasi hingga diperoleh respons yang diinginkan. Bayi dan Anak : 1-20 mcg/kgBB/menit (dosis maksimum 50 mcg/kgBB/menit) infus kontinyu, titrasi hingga diperoleh respons yang diinginkan. Bila diperlukan dosis > 20- 30 mcg/kgBB/menit, lebih baik menggunakan epinefrin atau norepinefrin. Pemberian kecepatan infus (ml/jam) = dosis (mcg/kgBB/menit) x BB (kg) x 60 menit/jam kadar (mcg/ml). Berikan ke vena besar untuk mencegah kemungkinan terjadinya ekstravasasi.Efek Samping Mual dan muntah; vasokonstriksi perifer; hipotensi disertai pusing, pingsan, muka merah; takikardia, denyut ektopik, palpitasi, nyeri angina; sakit kepala; dispnea; hipertensi terutama pada overdosis. Sediaan Injeksi : 50 mg/5mL, 40 mg/mL [5mL]IkterusIkterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum >5mg/dL. 1. Ikterus fisiologis Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Timbul pada hari kedua-ketiga. b. Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada kurang bulan. c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari. d. Kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dL. e. Gejala ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan. f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu. 2. Ikterus patologis Ikterus patologis memiliki karakteristik seperti berikut: a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan. b. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada neonates lahir kurang bulan/premature. c. Ikterus dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dL per hari. d. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama. e. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui. f. Kadar bilirubin direk melebihi 1mg/dL. Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu: 1. Ikterus Prahepatik : Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: a. Kelainan sel darah merah b. Infeksi seperti malaria, sepsis. c. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis fetalis. 2. Ikterus Pascahepatik Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin. 3. Ikterus Hepatoseluler Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.

Patofisiologi Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia, dan hipoglikemia. Gejala Klinis Gejala Hiperbilirubinemia dikelompokan menjadi 2 fase yaitu akut dan kronik: Gejala akut Lethargi (lemas) Tidak ingin mengisap Feses berwarna seperti dempul Urin berwarna gelap Gejala kronik Tangisan yang melengking (high pitch cry) Kejang Perut membuncit dan pembesaran hati Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental Tampak matanya seperti berputar-putar

Diagnosis 1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama. Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama sebagai berikut : Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain. Infeksi intrauterin (oleh virus, toxoplasma, dan kadang-kadang bakteri). Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD. 2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir Biasanya ikterus fisiologis. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga bila peningkatan kadar bilirubin cepat, >5 mg% per 24 jam. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin. Polisitemia Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain). Hipoksia Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain. Dehidrasi asidosis Defisiensi enzim eritrosit lainnya. 3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama Biasanya karena infeksi (sepsis) Dehidrasi asidosis Defisiensi enzim G6PD Pengaruh obat Sindrom Crigler-Najjar Sindrom Gilbert 4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya Biasanya karena obstruksi Hipotiroidisme Breast milk jaundice Infeksi Neonatal hepatitis

MeningoensefalitisMeningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis,encephalomeningitis, meningocerebritis.Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus.Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus.Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa. Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi. Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar terjadi penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan penularan virus Measles atau Varicella-zoster. Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci, tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas. Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO, Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis epidemika, Mononukleosis infeksiosa.2 Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1), virus gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein Barr. Di Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2 merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau CytomegalovirusGejala Klinis Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien Compos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan. Apatis : sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, tidak segera menjawab bila ditanya. Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gelisah, disorientasi dan meronta-ronta Somnolen : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi rangsangan tetapi saat rangsangan dihentikan, pasien tertidur lagi Sopor : penurunan kesadaran yang dalam, dimana penderita hanya dapat dibangunkan dalam

Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas marah, dan kaku kuduk. Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia.Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai dengan Tanda Kernig positif: Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna. Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila leher klien difleksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas yang berlawanan.

12