kumpulan putusan uji materi uu 22/2001 tentang minyak dan gas bumi

474
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005, Terbit Hari Selasa tangg P U T U S A N al 04 Januari 2005 Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang m i pada tingkat rtam . APHI (ASOSIASI PENASEHAT HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA . PBHI (PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA . YAYASAN 324, beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu No.1 B, Km. 17,7, KETUHANAN YANG emeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitus pe a dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU Nomor 22 Tahun 2001) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang diajukan oleh: 1 INDONESIA), beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu No.1 B, Km. 17,7, Lt. 3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon I; 2 INDONESIA), beralamat di Gd. Sentral Cikini, JI. Cikini Raya No.58 S-T Lt.4, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut Pemohon II; 3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon III;

Upload: publish-what-you-pay-pwyp-indonesia

Post on 17-Jul-2015

191 views

Category:

Government & Nonprofit


0 download

TRANSCRIPT

Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia

Nomor 01 Tahun 2005, Terbit Hari Selasa tangg

P U T U S A N

al 04 Januari 2005

Perkara Nomor 002/PUU-I/2003

DEMI KEADILAN BERDASARKAN MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang m i pada tingkat

rtam

. APHI (ASOSIASI PENASEHAT HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

. PBHI (PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

. YAYASAN 324, beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu No.1 B, Km. 17,7,

KETUHANAN YANG

emeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitus

pe a dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan

pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

Dan Gas Bumi (UU Nomor 22 Tahun 2001) terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang diajukan oleh:

1INDONESIA), beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu No.1 B, Km. 17,7,

Lt. 3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon I;

2INDONESIA), beralamat di Gd. Sentral Cikini, JI. Cikini Raya No.58 S-T

Lt.4, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut Pemohon II;

3Pasar Minggu, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon III;

4. SNB (SOLIDARITAS NUSA BANGSA), beralamat di JI. Tebet Barat

Dalam XA No.7 Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon IV;

5. SP KEP - FSPSI PERTAMINA, beralamat di JI. Merdeka Timur No.11

Jakarta 10110, selanjutnya disebut Pemohon V;

6. Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, M.H, Wakil Rektor II Universitas

Kejuangan 45, beralamat di Gedung Joang 45/DHN45, JI. Menteng Raya

No.31, Jakarta 10340, selanjutnya disebut Pemohon VI;

Dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya: Hotma Timbul H., S.H., Johnson Panjaitan, S.H., Saor Siagian, S.H., Ecoline Situmorang, S.H., Mangapul Silalahi, S.H., Basir Bahuga, S.H., Lamria, S.H., Sonny W. Warsito, S.H., Erick S. Paat, S.H., Reinhard Parapat, S.H., Niko Adrian, S.H., Muhammad A. Fauzan, S.H., Sholeh Ali, S.H., Jon B. Sipayung, S.H., Rita Olivia Tambunan, S.H., Surya Tjandra, S.H., Lucky Rossintha, S.H., M. Ichsan, S.H., Reno Iskandarsyah, S.H., Vony Reyneta, S.H., Astuty Liestianingrum, S.H., Yuli Husnifah, S.H., Dede N.S., S.H., David Oliver Sitorus, S.H., Leonard Sitompul, S.H.; Advokat dan Pembela Umum

dari APHI, PBHI, LBH Jakarta, SNB, LBH APIK, beralamat di Gd. Sentral

Cikini, JI. Cikini Raya No.58 S-T Lt.4, Jakarta Pusat, berdasarkan surat

kuasa khusus masing-masing bertanggal 9 Januari 2003 dan tanggal 14

November 2003;

Telah membaca surat permohonan para Pemohon;

Telah mendengar keterangan para Pemohon;

Telah mendengar keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia;

Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia;

Telah mendengar keterangan para Ahli;

Telah memeriksa bukti-bukti surat atau tulisan dan dokumen-dokumen;

2

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan

surat permohonannya bertanggal 14 Januari 2003 yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Rabu, tanggal 15 Oktober 2003

dengan registrasi perkara Nomor 002/PUU-I/2003 serta perbaikan permohonan

bertanggal 14 Nopember 2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia pada hari Selasa, tanggal 18 Nopember 2003, pada dasarnya

para Pemohon mengajukan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2001 terhadap

UUD 1945, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN Pemohon dengan mengutip pendapat Prof. Dr. Sri Soemantri, dalam

bukunya: "HAK UJI MATERIIL DI INDONESIA, 1997”, menyebutkan ada

dua jenis pengujian undang-undang, yaitu pengujian formil dan pengujian

materiil. Pengujian formil menurutnya adalah wewenang untuk menilai,

apakah suatu produk legislatif, seperti undang-undang misalnya terjelma

melalui cara-cara (prosedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak (halaman 6).

Selanjutnya pengujian materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan

kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya

sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,

serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak

mengeluarkan suatu peraturan tertentu (halaman 11).

Pengujian, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam

sistem hukum Indonesia sebagaimana terdapat dalam Konstitusi

Indonesia, yaitu UUD 1945 setelah mengalami perubahan sebanyak

empat kali. Pasal 24 ayat (1) menegaskan Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya .... dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

3

Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan pengujian tersebut

terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang selengkapnya

sebagai berikut:

1. Pasal 24A ayat (1): Mahkamah Agung berwenang mengadili pada

tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang

lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

2. Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai

politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut jelas bahwa baik Mahkamah

Agung maupun Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangan

untuk melakukan pengujian secara formil dan materiil. Perbedaannya

adalah pengujian yang dimiliki oleh Mahkamah Agung merupakan

pengujian secara terbatas, yaitu terhadap peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang, sedangkan untuk melakukan

pengujian terhadap undang-undang diserahkan hak atau kewenangannya

kepada Mahkamah Konstitusi;

Pengaturan lebih lanjut mengenai pengujian secara terbatas oleh

Mahkamah Agung telah terdapat dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman jo. Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung, maupun hukum acaranya sebagaimana terdapat

dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999;

4

II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945: Presiden berhak mengajukan rancangan

undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Pasal 20 UUD 1945:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan

bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi

dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah

disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama

tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari

semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan

undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib

diundangkan.

3. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, maka DPR memegang

kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan rancangannya

dapat diajukan oleh Presiden dan/atau DPR;

4. Bahwa adakalanya undang-undang yang dibuat oleh DPR dan/atau

Presiden dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sehingga

kemudian perubahan ke tiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember 2001,

melakukan pengaturan mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi

untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang dianggap

bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 24

jo. 24C, yang berbunyi:

Pasal 24:

5

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dalam undang-undang.

Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai

politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5. Bahwa sebagai masa peralihan, untuk mengisi kekosongan hukum,

hingga terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang,

maka dalam perubahan keempat UUD 1945 oleh MPR dalam Sidang

Tahunan MPR tanggal 10 Agustus 2002, yaitu dalam Pasal III Aturan

Peralihan ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-

lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala

kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

6. Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang Mahkamah

Konstitusi dalam masa peralihan, maka Mahkamah Agung pada

tanggal 16 Oktober 2002 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang

Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung;

7. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas merupakan hal

yang baru dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, oleh karena

baru dirumuskan dan disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun

6

2002. Alasan yang mendasari keberadaan Mahkamah Konstitusi

adalah dalam rangka memenuhi dan menjawab kebutuhan dan

kepentingan masyarakat dan juga sebagai perkembangan dinamis

praktek ketatanegaraan di Indonesia, mengingat dalam praktek

ketatanegaraan di Indonesia, ternyata bukan hanya banyaknya

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang

bertentangan dengan UUD 1945 atau undang-undang, melainkan

justru banyak undang-undang yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan di atasnya seperti UUD 1945 atau banyaknya

undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah ternyata tidak

memenuhi syarat-syarat pembentukan undang-undang, yaitu: syarat-

syarat filosofis, sosiologis dan yuridis. Masih melekat dalam ingatan

beberapa peraturan perundang-undangan yang mendapat tentangan

dari masyarakat atau tidak dapat diterapkan, seperti Undang-undang

Lalu Lintas dan Jalan Raya, Undang-undang Penanggulangan

Keadaan Bahaya, Undang-undang Perburuhan, Undang-undang

Penyelesaian Perburuhan Indonesia, Undang-undang Advokat,

Undang-undang Yayasan dan lain-lain;

8. Dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan pengujian

kepada Mahkamah Konstitusi, memungkinkan dapat dijalankanya

fungsi kontrol hukum (legal controle) terhadap undang-undang yang

dibuat oleh DPR dan Pemerintah. Dengan kewenangannya ini,

Mahkamah Konstitusi menjadi benteng dalam menjaga dan

mempertahankan keadilan, dalam arti mengoreksi undang-undang

yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang mengabaikan

kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Hal tersebut

menjadikan dan/atau menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi

mempunyai peranan strategis dalam menjaga dan mempertahankan

prinsip-prinsip negara hukum;

9. Salah satu peraturan perundangan yang diajukan untuk dilakukan

pengujian secara formil dan materiil oleh Mahkamah Konstitusi karena

mengandung muatan yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah

7

UU Nomor 22 Tahun 2001, yang telah disetujui oleh DPR pada

tanggal 23 Oktober 2001 dan diundangkan pada tanggal 23 November 2001;

10. Permohonan pengujian terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 telah

dilakukan oleh para Pemohon pada tanggal 14 Januari 2003 yang

dilakukan dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 Tahun 2002;

11. Pada tanggal 13 Agustus 2003 telah disahkan Undang-undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 24 Tahun

2003);

12. Pasal 87 UU Nomor 24 Tahun 2003: Pada saat undang-undang ini

berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang diterima

Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III

Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu

paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi

dibentuk.

13. Hingga tanggal pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2003 ternyata

Mahkamah Agung belum melakukan pemeriksaan dan/atau

mengambil putusan mengenai permohonan pengujian UU Nomor 22

Tahun 2001 yang diajukan oleh para Pemohon, kemudian Mahkamah

Agung melimpahkan permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi;

14. Pada tanggal 4 November 2003 Mahkamah Konstitusi telah

memanggil para Pemohon untuk hadir dalam persidangan

pemeriksaan pendahuluan berkaitan dengan permohonan pengujian

UU Nomor 22 Tahun 2001 yang diajukan oleh para Pemohon,

sebagaimana ditentukan Pasal 39 UU Nomor 24 Tahun 2003;

15. Dalam pemeriksaan pendahuluan tersebut, Hakim Konstitusi

memberikan nasihat-nasihat untuk perbaikan permohonan yang juga

diakui oleh para Pemohon mengingat memang permohonan pengujian

tersebut pada saat itu adalah berdasarkan Peraturan Mahkamah

8

Agung Nomor 2 Tahun 2002 ternyata mempunyai banyak perbedaan

dengan yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003;

16. Perbaikan permohonan berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU

Nomor 24 Tahun 2003 dilakukan paling lama 14 hari sejak

pemeriksaan pendahuluan dilakukan, yaitu paling lambat tanggal 14

November 2003;

17. Permohonan ini merupakan permohonan yang telah diperbaiki dan

diajukan dalam tenggat sebagaimana ditentukan Pasal 39 ayat (1) dan

(2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut di atas.

III. HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON

1.1. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: Setiap orang berhak untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif

untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

1.2. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001, sebagaimana akan

diuraikan dalam butir V di bawah ini, telah dan akan merugikan

kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan

kepentingan publik). Oleh karenanya pengajuan permohonan

pengujian ini adalah untuk memperjuangkan secara kolektif hak

konstitusional dalam rangka membangun masyarakat, bangsa, dan

negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945

yang telah dan akan terhambat jika UU Nomor 22 Tahun 2001 yang

merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia

(merugikan kepentingan publik), tetap diberlakukan;

2.1. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.

2.2. Pasal 33 UUD 1945:

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

9

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

2.3. Pengajuan permohonan pengujian ini adalah untuk melaksanakan

hak konstitusional berupa hak untuk mendapatkan jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum bahwa cabang-cabang produksi

yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak

serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

tetap dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 28D ayat (1) jo. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Hak tersebut tidak akan terwujud jika UU Nomor 22 Tahun 2001

tetap diberlakukan, sebagaimana lebih lanjut akan diuraikan dalam

Bab V;

3.1. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir batin ...

3.2. Berdasarkan Pasal 28H tersebut, maka negara wajib menjamin

kesejahteraan dan/atau kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Kewajiban untuk menjamin kesejahteraan dan/atau kemakmuran

tersebut hanya dapat terwujud jika negara cq. Pemerintah

menjalankan prinsip-prinsip perekonomian sebagaimana dimaksud

Pasal 33 UUD 1945;

3.3. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 ternyata tidak menjalankan

prinsip-prinsip perekonomian sebagaimana dimaksud dalam Pasal

33 UUD 1945 yang diuraikan lebih lanjut dalam Bab V di bawah ini,

sehingga dengan merujuk pada butir 3.2. akan berdampak pada

kesulitan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan dan/atau

kemakmuran seluruh rakyat Indonesia yang berujung pada

ketidakpastian untuk mewujudkan hak konstitusional rakyat

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945;

4.1. Pasal 28A UUD 1945: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya, dan Pasal 28D ayat (2)

10

UUD 1945: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat

imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

4.2. Pemohon V merupakan Badan Hukum yang mewakili kepentingan

para pekerja di lingkungan P.T. Pertamina (Persero), yakni satu-

satunya BUMN yang mengelola sektor Minyak dan Gas Bumi di

Indonesia;

4.3. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 sebagaimana akan diuraikan

lebih lanjut dalam Bab V, akan menimbulkan dampak yang

merugikan kepentingan para pekerja dilingkungan P.T. Pertamina

(Persero) yang diwakili oleh Pemohon V, khususnya yang

menyangkut hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup

dan kehidupannya maupun hak untuk bekerja serta mendapat

imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,

yang merupakan hak konstitusional Pemohon V;

5.1. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945: Setiap warga negara berhak

mendapat pendidikan.

5.2. Pemohon VI adalah civitas academica Pendidikan Tinggi yang

mengemban misi pencerdasan bangsa termasuk Nation and

Character Building;

5.3. Selanjutnya Pemohon VI selaku warga civitas academica Pendidikan

Tinggi di Indonesia sebagaimana Surat Tugas kepada Pemohon VI

dari Rektor UnJuang 45, Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo, yang

mantan Pejuang 45 sebelumnya Perwira PETA, juga prihatin

terhadap implikasi sebagaimana diuraikan dalam Proceeding dari

International Conference of the International Association for Energy

Economics, Praha, Republik Ceko, 2003, berjudul The Impact of Oil

Industry Liberalization on the Efficiency of Petroleum Fuels Supply

for the Domestic Market in Indonesia yang berakibat kelak negara

semakin tidak mampu memprioritaskan anggaran pendidikan

sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja

negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk

11

memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, sesuai

amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945;

5.4. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001, sebagaimana akan

diuraikan lebih lanjut dalam Bab V, pada gilirannya telah dan akan

menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi hak

mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak

mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan

kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang

merupakan hak konstitusional Pemohon VI, sehingga dapat

melemahkan Human Development Index, mereduksi daya saing

sumber daya manusia sebagai tumpuan kemajuan bangsa dan

negara, dan membuka peluang terjadinya pembangkrutan Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

IV. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON

1. Hukum acara perdata yang berlaku menetapkan hanya orang yang

mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak-

haknya dilanggar oleh orang lain yang dapat mengajukan gugatan

(asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang

geen rechtsingan), artinya hanya orang yang mempunyai kepentingan

hukum saja, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh

orang lain yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga

permohonan;

2. Dalam perkembangannya ternyata ketentuan dan/atau asas tersebut

tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau

lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga

permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik yang

dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing

(Legal Standing);

12

3. Doktrin Organization Standing (Legal Standing) ternyata tidak hanya

dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan

perundangan di Indonesia, seperti Undang-undang Perlindungan

Konsumen, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang

Kehutanan, dan Undang-undang Jasa Konstruksi;

4. Selain itu, Doktrin Organization Standing (Legal Standing) juga telah

menjadi preseden tetap dalam praktek peradilan di Indonesia, seperti:

1. Putusan dalam perkara IIU, yang mana majelis hakim mengakui

hak WALHI untuk mewakili kepentingan umum/publik dalam hal ini

kepentingan lingkungan hidup, walaupun WALHI bukan merupakan

pihak yang dirugikan secara langsung, yang mana putusan

tersebut kemudian diadopsi dalam Undang-undang Lingkungan

yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 maupun

dalam praktek peradilan kasus-kasus lingkungan hidup;

2. Dalam perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia, seperti

kasus kerusuhan di Sampit, majelis hakim mengakui hak LSM yang

bergerak dalam penegakan HAM, seperti Kontras, PBHI, dan lain-

lain untuk mengajukan gugatan mewakili kepentingan

perlindungan, penegakan dan pembelaan HAM di Indonesia;

3. Dalam perkara-perkara penegakan pemberantasan korupsi, seperti

dalam kasus penghentian penyidikan dalam perkara dugaan

korupsi di PLTU Paiton, majelis hakim mengakui hak LSM yang

bergerak dalam penegakan pemberantasan korupsi, seperti APHI,

dan lain-lain untuk mengajukan gugatan mewakili kepentingan

perlindungan dan penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia;

5. Walaupun begitu tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili

kepentingan umum/publik, akan tetapi hanya organisasi yang

memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam

berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu:

a. berbentuk badan hukum atau yayasan;

b. dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan

dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut;

13

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

6. Dalam permohonan pengujian ini, para Pemohon menggunakan

prosedur pengajuan dalam bentuk Organization Standing (Legal

Standing), yang mana persyaratan-persyaratan pengajuan

Organization Standing (Legal Standing) telah terpenuhi oleh para

Pemohon, yaitu sebagai berikut:

1. Para Pemohon adalah LSM dan/atau kelompok masyarakat yang

tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan

keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak, berminat

dan didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan

perlindungan dan penegakan Keadilan, Hukum dan Hak Asasi

Manusia, termasuk hak-hak pekerja di Indonesia;

2. Tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-

kegiatan perlindungan, pembelaan dan penegakan Keadilan,

Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk hak-hak pekerja di

Indonesia, serta dalam mendayagunakan lembaganya sebagai

sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota

masyarakat dalam memperjuangkan penghargaan, penghormatan,

perlindungan, pembelaan dan penegakan Keadilan, Hukum dan

Hak Asasi Manusia, termasuk hak-hak pekerja di Indonesia,

terhadap siapapun juga tanpa mengenal jenis kelamin, suku

bangsa, ras, agama, dan lain-lain, tercermin dan/atau ditentukan

dalam anggaran dasar para Pemohon, yaitu:

2.1. Pasal 6 Anggaran Dasar Pemohon I seperti yang akan

disebutkan di bawah ini:

(1) Memperjuangkan tatanan masyarakat bangsa Indonesia

yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan

persamaan manusia serta martabat manusia;

(2) Menegakkan hukum dan hak asasi manusia, keadilan

dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat

manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi

14

terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD

1945;

(3) Turut berusaha dalam mewujudkan masyarakat adil dan

makmur, aman, tentram dan tertib yang bersumber pada

Pancasila dan UUD 1945;

(4) Memperjuangkan terwujudnya Undang-undang tentang

Profesi Penasehat Hukum yang mengakui Penasehat

Hukum sebagai salah satu Catur Wangsa Penegak

Hukum;

(5) Mengembangkan kualitas keahlian Penasehat Hukum di

Indonesia, sehingga siap menghadapi era persaingan

global;

(6) Memperjuangkan pengakuan baik dari lembaga

eksekutif, lembaga legislatif maupun dari lembaga

yudikatif atas kedudukan Pengacara Praktek sebagai

pengemban profesi hukum yang mempunyai kedudukan,

fungsi, hak yang sama dan sederajat dengan kedudukan,

fungsi, hak dan kewajiban advokat dalam menjalankan

profesinya;

(7) Menciptakan masyarakat yang mempunyai pola pikir,

sikap dan pola tindak yang tidak membeda-bedakan

(diskriminatif) berdasarkan ras (suku, suku bangsa,

warna kulit dan keturunan);

(8) Membina dan memperbaharui aturan-aturan hukum, baik

tertulis maupun tidak tertulis, dan kebijakan-kebijakan

pemerintah yang mengandung muatan-muatan atau

materi-materi yang melanggar hak asasi manusia; (9) Memberi bantuan hukum terhadap setiap orang yang

hak-hak asasinya dilanggar;

15

Selanjutnya Pasal 7 menentukan bahwa untuk mencapai tujuan

yang tersebut dalam Pasal 6 di atas, APHI dapat melakukan

kegiatan-kegiatan usaha sebagai berikut:

(a) Melakukan perlindungan dan/atau pembelaan terhadap setiap

Penasehat Hukum yang sedang menghadapi masalah hukum

berdasarkan prinsip praduga tidak bersalah;

(b) Membuat draft Rancangan Undang-Undang Penasehat

Hukum;

(c) Menyelenggarakan pendidikan dan penerangan kepada

masyarakat, khususnya kepada para Penasehat Hukum

tentang pengertian dan nilai-nilai negara hukum dan hak asasi

manusia pada umumnya, dan khususnya tentang pengertian

dan nilai-nilai persaudaraan dan persamaan manusia serta

martabat manusia;

(d) Mengadakan studi dan penelitian (research) mengenai produk-

produk hukum yang sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan keadaan masyarakat dan/atau yang

bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan/atau

yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia;

(e) Pendidikan dan Kajian Hak Asasi Manusia, seperti

mengadakan pelatihan-pelatihan hak asasi manusia dan

bantuan hukum, diskusi, seminar, lokakarya, dan lain-lain;

(f) Melakukan pelayanan hukum, berupa pemberian bantuan

hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, kepada

anggota masyarakat yang dilanggar hak-hak asasinya, baik di

bidang politik (seperti hak atas kebebasan berekspresi,

berpendapat, berserikat dan lain-lain), di bidang pertanahan,

lingkungan hidup, gender, perburuhan, konsumen dan lain-

lain;

(g) Melakukan kampanye ratifikasi terhadap pelbagai instrumen

internasional mengenai hak asasi manusia;

16

(h) Menjadi Countert Part pemerintah dalam memperjuangkan

upaya penegakan dan perlindungan hukum dan hak asasi

manusia;

(i) Melakukan pengawasan terhadap setiap pelanggaran hukum

dan hak asasi manusia dan melakukan advokasi untuk

melawan pelanggaran tersebut;

(j) Mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan/atau

instansi-instansi pemerintah maupun non pemerintah di dalam

negeri serta dengan lembaga-lembaga internasional

pemerintah maupun non pemerintah di luar negeri;

(k) Pembangunan pusat informasi, dokumentasi, publikasi dan

penerbitan, meliputi leaflet, brosur, poster, dan lain-lain serta

perpustakaan mengenai hukum dan hak asasi manusia;

(l) Dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan

tujuan APHI.

2.2. Pasal 6 Anggaran Dasar Pemohon II menyebutkan bahwa

tujuan dari lembaga ini ada adalah melayani kebutuhan

bantuan hukum bagi warga negara Indonesia yang hak

asasinya dilanggar, mewujudkan negara dengan sistem

pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita negara hukum,

mewujudkan sistem politik yang demokratis dan berkeadilan

sosial, mewujudkan sistem hukum yang memberikan

perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;

2.3. Pasal 4 Anggaran Dasar Pemohon III menyebutkan bahwa

tujuan dari yayasan adalah meningkatkan dan

mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang mandiri

dan berkelanjutan melalui pengembangan dan

pemasyarakatan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta

menjaga kelestarian lingkungan hidup;

Selanjutnya Pasal 5 angka 6 menentukan bahwa untuk

mencapai maksud dan tujuan sebagaimana tersebut dalam

17

Pasal 4 di atas, yayasan ini berusaha melakukan usaha dalam

bidang kesejahteraan sosial ...;

Anggaran Dasar tersebut kemudian diubah oleh badan pendiri

menjadi:

Pasal 4 yang menyatakan bahwa maksud dan tujuan Yayasan

adalah:

1. Mempromosikan cita-cita/semangat demokrasi,

perdamaian dan pelestarian lingkungan hidup;

2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia

yang mandiri, berkelanjutan, berfikir dan bersikap kritis,

kreatif dan inovatif serta peduli terhadap masalah-masalah

sosial dan lingkungan hidup disekitarnya melalui

pemasyarakatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan

pemberdayaan masyarakat dengan kegiatan-kegiatan

produktif;

Sedangkan Pasal 5 menentukan bahwa untuk mencapai

maksud dan tujuan yayasan sebagaimana tersebut dalam

Pasal 4 di atas, yayasan mengadakan usaha-usaha sebagai

berikut:

1. Mengadakan penelitian, seminar, workshop, diskusi,

konferensi, pameran, pelatihan, penyuluhan yang

berkenaan dengan masalah-masalah sosial dan

lingkungan hidup;

2. Menyelenggarakan publikasi dan penyebaran informasi

mengenai masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup

melalui penerbitan buku-buku, jurnal, bulletin, brosur,

kertas-kertas kerja (makalah), laporan kegiatan penelitian,

risalah-risalah dan artikel di koran-koran dan media cetak

lainnya;

3. Mengadakan kerjasama/jaringan kerjasama dengan

lembaga-lembaga dan individu-individu lainnya yang peduli

18

terhadap kebutuhan-kebutuhan/nilai-nilai/hal-hal yang

berkenaan dengan masalah-masalah sosial dan

lingkungan hidup baik lembaga-lembaga dan individu-

individu yang ada di dalam negeri atau lembaga-lembaga

internasional;

4. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan masyarakat binaan

dengan mendirikan, mengembangkan dan mengelola

pusat-pusat pelatihan;

5. Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan-

kegiatan/usaha-usaha produktif, seperti: mengembangkan

badan usaha atau serupa perusahaan yang memproduksi

barang dan jasa serta bantuan beasiswa/tugas belajar bagi

masyarakat yang kurang mampu;

6. Inventarisasi dan mengembangkan teknologi yang hemat

biaya dan ramah lingkungan melalui uji terap teknologi

pengelolaan limbah/sampah dan pengembangan pupuk

organik untuk pertanian/perkebunan;

2.4. Pasal 3 Anggaran Dasar Pemohon IV menentukan bahwa

maksud dan tujuan yayasan ini adalah untuk:

1. Menciptakan tatanan masyarakat bangsa Indonesia yang

menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan persamaan

manusia serta martabat manusia;

2. Menciptakan masyarakat yang mempunyai pola pikir,

sikap, dan pola tindak yang tidak membeda-bedakan

(diskriminatif) berdasarkan ras, suku, suku bangsa, warna

kulit, dan keturunan serta golongan;

3. Membina dan memperbarui aturan-aturan hukum baik

tertulis maupun tidak tertulis dan kebijakan-kebijakan

pemerintah yang mengandung muatan-muatan atau

materi-materi yang bersifat diskriminasi ras;

19

4. Memberikan bantuan hukum terhadap setiap orang yang

hak-hak dan atau kepentingannya dilanggar karena

perbedan ras, suku, suku bangsa, warna kulit, dan

keturunan serta golongan;

2.5. Pasal 8 Anggaran Dasar Pemohon V menentukan bahwa Unit

Kerja Pertamina Serikat Pekerja Kimia, Energi dan

Pertambangan SPSI didirikan dengan tujuan antara lain:

1. Menghimpun dan mempersatukan kaum pekerja di

Pertamina guna mewujudkan rasa setia kawan dan

persaudaraan antara sesama kaum pekerja;

2. Turut serta aktif dalam mengisi dan mewujudkan

dilaksanakannya UUD 1945 setelah diamandemen secara

murni dan konsekwen terutama hak-hak pekerja seperti:

- Hak untuk memreroleh penghidupan dan penghasilan

yang layak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

setelah diamandemen;

- Hak pekerja dalam kebebasan berserikat, sesuai dengan

Pasal 28 UUD 1945 setelah diamandemen;

- Hak Asasi Manusia sesuai dengan Bab X A UUD 1945

setelah diamandemen.

- Hak atas kesejahteraan pekerja dan keluarga dan

kesejahteraan sosial dalam mewujudkan masyarakat

adil dan makmur sesuai pasal 33 UUD 1945 setelah

diamandemen.

3. Meningkatkan kehidupan dan penghidupan pekerja di

Pertamina yang adil dan makmur;

4. Meningkatkan kondisi ketenagakerjaan yang baik,

harmonis dan damai dengan jalan mewujudkan hubungan

industrial berdasarkan Pancasila dan menjaga

kelangsungan hidup usaha perusahaan;

20

5. Meningkatkan mutu kesejahteraan lahiriah dan bathiniah

kaum pekerja di Pertamina dengan jalan menaikkan taraf

hidup kaum pekerja beserta keluarganya";

Selanjutnya Pasal 9 menentukan bahwa untuk mencapai tujuan

seperti tertuang pada Pasal (8) di atas, maka Unit Kerja

Pertamina Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan

SPSI menjalankan berbagai usaha, antara lain:

1. Meningkatkan partisipasi dalam pembangunan nasional

untuk mengisi kemerdekaan;

2. Memperjuangkan terwujudnya perundang-undangan

ketenagakerjaan, peraturan di bidang SDM dan perundang-

undangan perekonomian, sesuai dengan tuntutan kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi;

3. Memperjuangkan perbaikan upah dan pendapatan yang

layak sesuai dengan kebutuhan hidup dan kemajuan

perekonomian serta menyetarakan upah pekerja Pertamina

dengan upah pekerja perusahaan MIGAS kelas dunia;

4. Memperjuangkan jaminan sosial yang luas sesuai dengan

tuntutan kemajuan;

5. Memperjuangkan perbaikan nasib dengan adanya syarat-

syarat kerja dan kondisi kerja yang mencerminkan keadilan

sosial maupun tanggung jawab sosial yang tidak

diskriminatif serta menjunjung tinggi kebhinekaan yang ada;

6. Menyelenggarakan pendidikan ketenagakerjaan dalam

rangka mempertinggi pengetahuan, keterampilan dan

perilaku, meningkatkan kemampuan tenaga kerja baik dalam

berorganisasi maupun dalam kerja;

7. Mendorong terbentuknya, dan berkembangnya koperasi

pekeria untuk meningkatkan keseiahteraan dan jaminan

sosial lainnya;

21

8. Mengadakan kerjasama dengan serikat-serikat pekerja

Internasional untuk memajukan organiasi.

9. Bekerjasama dengan lembaga-lembaga dalam negeri,

pemerintah maupun non pemerintah, untuk kemajuan

organisasi, serta yang tidak bertentangan dengan tujuan Unit

Kerja Pertamina Serikat Pekerja Kimia, Energi dan

Pertambangan SPSI dan undang-undang yang berlaku.

7. Bahwa para Pemohon, dalam mencapai maksud dan tujuannya telah

melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara

terus menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya

tersebut, hal mana telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten);

8. Bahwa berdasarkan argumentasi dan ketentuan hukum di atas, maka

jelaslah bahwa para Pemohon, mempunyai kedudukan hukum dan

dasar kepentingan untuk mewakili kepentingan umum/publik dalam

mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor

22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi karena mengandung

muatan yang bertentangan dengan UUD 1945.

V. ALASAN-ALASAN HUKUM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN

A. FAKTA-FAKTA HUKUM 1. Pada tanggal 23 Oktober 2001 DPR RI telah menyetujui RUU

Minyak Dan Gas Bumi, yang diajukan oleh Pemerintah RI, menjadi

Undang-undang Minyak Dan Gas Bumi dan selanjutnya disahkan

oleh Pemerintah RI Cq. Presiden RI menjadi Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, yang

diundangkan pada tanggal 23 November 2002 dalam Lembaran

Negara RI Tahun 2001 No.136 dan Tambahan Lembaran Negara

RI Nomor 4152;

2. Dalam rapat paripurna pengambilan keputusan terhadap RUU

MinyakK Dan Gas Bumi tersebut jumlah anggota DPR RI yang

22

hadir adalah 348 orang, dari 483 anggota DPR, berdasarkan

absensi yang terdapat dalam sekretariat Jendral DPR RI;

3. Dalam rapat paripurna tersebut ada 12 anggota DPR yang

berkeberatan atau menolak substansi RUU tersebut, yaitu: Prof.

DR. Dimyati Hartono, S.H., Hartono Mardjono, Amin Arjoso,

Sadjarwo Sukardiman, Posdam Hutasoit, Suratal H.W., K.H. Aries

Munandar, Tunggul Sirait, S. Soeparni, L.T. Sutanto, Abdul Kadir

Djaelani, Rodjil Gufron, karena dianggap bertentangan dengan

UUD 1945, dengan mengeluarkan minderheidsnota, akan tetapi

pimpinan rapat paripurna tetap memaksakan persetujuan terhadap

RUU tersebut secara mufakat;

4. Diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001, maka dinyatakan

tidak berlaku:

a. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun

1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);

b. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi

Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962

Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2505);

c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran

Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 2971) berikut segala perubahannya, terakhir diubah

dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran

Negara Tahun 1974 Nomor 3045);

5. Sejak awal keberadaannya hingga adanya pembahasan RUU Minyak

Dan Gas Bumi di DPR, telah mendapatkan tentangan dari

masyarakat, karena dianggap tidak hanya bertentangan dengan Pasal

33 UUD 1945 melainkan juga dapat merugikan perekonomian

Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh:

23

5.1. DR. Sri Mulyani, pengamat ekonomi dari UI, dalam Kompas

Cyber Media (KCM) tertanggal 20 Maret 1999, yang

menyatakan: "RUU Migas belum jamin kesejahteraan

konsumen";

5.2. Mentamben ad interim, Akbar Tanjung, dalam Kompas Cyber

Media (KCM) tertanggal 26 Maret 1999, yang mensinyalir:

"Pasca RUU Migas Harga BBM bisa Naik 300%";

5.3. Hasil kesimpulan diskusi ilmiah di FH Unpad tertanggal 26

Maret 1999 dengan tema: "Kajian Sosio Budaya, Ekonomi,

Lingkungan dan Hukum Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi

di Indonesia", dengan para pembicara Prof.DR. Bagir Manan,

S.H. MCL., Prof. DR. Djuhaendah Hasan, S.H., Prof. DR. Daud

Silalahi, S.H., Prof. DR. Kusnaka Adimihardja, DR. Ahmad

Rilam, dan DR. Arsegianto MPL, yang menyimpulkan: "RUU

Migas tak Lindungi Pelaku Ekonomi Nasional";

5.4. DR. Rizal Ramli dari ECONIT dalam Kompas Cyber Media

(KCM) tertanggal 28 Maret 1999, yang menyatakan bahwa:

"RUU Migas tak lindungi Pelaku Ekonomi Nasional";

5.5. DR. Arif Arryman dari ECONIT dalam Media Transparansi

tertanggal 7 April 1999, yang menyatakan: "RUU ini memiliki

agenda tersembunyi dan konflik kepentingan. Siapa Untung

Siapa Buntung";

5.6. Martiono Hadianto, mantan Dirut Pertamina dan DR. Kurtubi,

pengamat perminyakan, dalam Kompas Cyber Media (KCM)

tertanggal 27 Februari 2001, yang menyatakan: "RUU Migas

Tidak Punya Visi";

5.7. Fereidun Fesharaki seorang konsultan perminyakan Amerika

Serikat dalam tulisannya berjudul "Indonesia Oil and Gas

Industry: Some Progress, but Much More Needs to be Done!"

yang dimuat dalam Energy Insights Number 24 yang terbit pada

bulan Juli 2003 antara lain menulis: "What is needed is either to

24

revisit the oil and gas law with an alternative or a series of

amendments";

5.8. Bachrawi Sanusi, pengamat perminyakan, dalam Kompas Cyber

Media (KCM) tertanggal 2 Juli 2001, yang menyatakan: "RUU

Migas harus Segera Ditolak";

5.9. DR. Kurtubi, dan Ramses Hutapea, pengamat perminyakan,

dalam Kompas Cyber Media (KCM) tertanggal 18 Juli 2001,

yang menyatakan: "Pemerintah terapkan RUU Migas secara

prematur";

5.10. DPRD Riau dalam sidang paripurna tanggal 12 November

2001, dalam Kompas Cyber Media (KCM) tertanggal 12

November 2001, yang menyatakan: "DPRD Riau Tolak RUU

Migas";

5.11. DR. Hartoyo Wignyowiyoto dari Asian Pacifik Economic

Consultancy Indonesia (APECINDO) tertanggal 19 November

2001, yang menyatakan: "RUU Migas Yang Baru, Jebakan

Politik Untuk Presiden", serta dalam IAG-net Portal tertanggal

19 November 2001 dan Kompas Cyber Media (KCM) tertanggal

20 November 2001, yang menyatakan: "Presiden diingatkan

Dampak Buruk RUU Migas".

B. PENGUJIAN SECARA FORMIL

Prosedur Persetujuan RUU Minyak Dan Gas Bumi menjadi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 20

ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR dan DPRD jo. Keputusan DPR R.I. Nomor 03A/DPR RI/1/2001-

2002 Tentang Peraturan Tata Tertib DPR R.I.

DPR SEBAGAI PEMBENTUK UNDANG-UNDANG 1. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Dewan

Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

25

2. Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1999, yang merupakan pelaksanaan dari Pasal

28 ayat (1) UUD 1945 di atas, menentukan bahwa:

Pasal 33 ayat (2) huruf a berbunyi:

"DPR mempunyai tugas dan wewenang: a. bersama-sama dengan

Presiden membentuk undang-undang".

Pasal 33 ayat (5) berbunyi:

"Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud ayat 2 , ayat (3), dan ayat

(4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

3. Berdasarkan uraian di atas, maka Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 serta Peraturan Tata Tertib DPR

merupakan pelaksanaan dari Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 mengenai

tugas dan kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang,

sehingga setiap undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan atau

bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1999 serta Peraturan Tata Tertib DPR harus

dipandang sebagai bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEHARUSNYA DILAKUKAN DENGAN VOTING (PENGAMBILAN SUARA TERBANYAK) DAN BUKANNYA MUSYAWARAH MUFAKAT 4. Dalam Pasal 192 Peraturan Tata Tertib DPR menentukan bahwa

keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat

yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 189 ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir.

5. Selanjutnya dalam Pasal 193 Peraturan Tata Tertib DPR menentukan

bahwa keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila

keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya

pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi

dengan pendirian anggota rapat yang lain.

6. Dalam Rapat Paripurna persetujuan RUU Minyak Dan Gas Bumi menjadi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tersebut, ternyata ada beberapa

26

anggota DPR yang berpendirian tidak setuju terhadap keberadaan RUU

tersebut, akan tetapi ternyata Pimpinan Rapat tetap memaksakan

persetujuan terhadap RUU tersebut, yang mengakibatkan beberapa

anggota DPR tersebut melakukan walk out. Dengan demikian tindakan

Pimpinan Rapat Paripurna yang tetap memaksakan pengambilan suara

dengan mufakat dan tidak dengan suara terbanyak, padahal ada

perbedaan pendirian diantara anggota rapat paripurna merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 192 jo. Pasal 193 Peraturan Tata Tertib DPR

tersebut.

PROSEDUR PERSETUJUAN RUU MINYAK DAN GAS BUMI MENJADI UNDANG-UNDANG OLEH DPR RI SECARA FORMIL CACAT HUKUM, SEHINGGA HARUS DINYATAKAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT 7. Berdasarkan seluruh dalil-dalil di atas jelas bahwa prosedur persetujuan

RUU Minyak Dan Gas Bumi menjadi Undang-Undang yang dilakukan

oleh Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 4 September 2002 telah

melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2)

huruf a dan ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD jo. Pasal 189 jo. Pasal

192 jo. Pasal 193 Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/I/2001-2002

Tentang Peraturan Tata Tertib DPR R.I.

C. PENGUJIAN SECARA MATERIIL Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

1. Dalam permohonan ini, yang dimohonkan untuk pengujian bukan

hanya materi pasal atau bagian tertentu dari UU Nomor 22 Tahun

2001 melainkan UU Nomor 22 Tahun 2001 secara keseluruhan,

karena diantara pasal-pasalnya tidak dipisahkan dengan mengingat

filosofi diadakannya undang-undang a quo untuk meliberalisasi sektor

27

minyak dan gas bumi di Indonesia, yang dipandang sebagai

bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945;

2. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menentukan:

Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

negara.

Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

3. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal

33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 berdasarkan alasan-alasan sebagai

berikut:

1. Fakta sejarah: a. Setelah UUD 1945 berlaku, dilakukan pengambilalihan semua

perusahaan-perusahaan migas asing di Indonesia oleh negara

(dilakukan oleh Pemerintah, BKR/Angkatan Darat) di daerah

Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Cepu, Kalimantan,

dan sebagainya (kecuali lapangan-lapangan dan instalasi

minyak yang direbut Belanda pada saat agresi militer).

Kemudian Pemerintah membentuk tiga perusahaan minyak

baru milik negara yaitu PTMNRI, PERMIRI, dan PTMN. Sesuai

dengan Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun

1949, semestinya semua asset dari perusahaan minyak milik

negara tersebut harus dikembalikan ke perusahaan minyak

asing sebagai pemiliknya, karena Hak Milik Asing diakui oleh

Persetujuan KMB. Namun secara faktual Pemerintah R.I. tidak

pernah menyerahkan kembali asset perminyakan tersebut

(berupa lapangan minyak, kilang minyak, dan fasilitas distribusi

dan pemasaran) kepada perusahaan minyak asing yang

sebelum pengambilalihan menjadi pemiliknya. Hal ini juga

diperkuat dengan kenyataan bahwa sistem konsesi yang

menjadi dasar bagi beroperasinya perusahaan minyak asing

28

pada Masa Penjajahan Belanda juga bertentangan dengan

Pasal 33 UUD 1945, sehingga berdasarkan Resolusi Tengku

Mohamad Hassan tahun 1950 di DPR, semua asset

perminyakan tersebut tidak dikembalikan ke pihak

asing/Belanda namun tetap dikuasai oleh negara. Ketiga

perusahaan minyak nasional tersebut kemudian berubah

menjadi: P.T. PERMINA, P.T. PERTAMIN, DAN P.T.

PERMIGAN, kemudian pada tahun 1968 merger menjadi P.N.

PERTAMINA;

b. Pada tahun 1969/1970 atas rekomendasi Mr. Wilopo (Ketua

Komisi Anti Korupsi) dan Bung Hatta (Penasehat Komisi Anti

Korupsi dan arsitek Pasal 33 UUD 1945) guna kelancaran dan

terjaminnya pengusahaan MIGAS secara ekonomis di satu

fihak dan agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari

pengusahaan tersebut untuk rakyat, bangsa dan negara di lain

fihak, maka dianggap perlu untuk mengatur kembali

perusahaan milik negara yang ditugaskan untuk

menyelenggarakan pengusahaan pertambangan minyak dan

gas bumi dengan suatu Undang Undang dan lahirlah Undang-

undang Nomor 8/1971 yang memberikan Kuasa Pertambangan

kepada PERTAMINA untuk menyelenggarakan semua kegiatan

usaha perminyakan: eksplorasi, eksploitasi,

pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan sebagai

implementasi dari Pasal 33 UUD 1945. Negara (c.q. BUMN

PERTAMINA) menguasai seluruh kekayaan alam migas berikut

usaha pengilangan, pengangkutan/distribusi dan penjualan

BBM. PERTAMINA diperbolehkan menjalin kerjasama dengan

perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk

Production Sharing Contract (selanjutnya disingkat PSC)

sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan

sebagai kontraktor jasa dari BUMN;

29

c. Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal

33 UUD 1945 bagi kekayaan alam minyak dan gas bumi

(selanjutnya disebut MIGAS) dan produk bahan bakar minyak

(selanjutnya disebut BBM) secara fakta historis ditunjukkan oleh

kenyataan dikuasainya lapangan MIGAS berikut kilang dan

fasilitas transportasi dan distribusi serta Pemasaran BBM oleh

negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). Walaupun di

sektor Hulu untuk kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi banyak

terdapat Kontraktor Bagi Hasil, secara prinsipiil setelah masa

kontraknya berakhir maka lapangan yang dikerjakan oleh

Kontraktor. Bagi Hasil tersebut harus kembali kepada negara

c.q. BUMN yang ditugaskan untuk menyelenggarakan

pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi. Demikian

juga dengan hasil bumi berupa Minyak dan Gas Bumi selama

pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil tetap menjadi milik BUMN yang

ditugaskan untuk menyelenggarakan pengusahaan

pertambangan MIGAS atas nama negara dan tidak pernah bisa

diklaim oleh Kontraktor Bagi Hasil sebagai property mereka;

d. Penguasaan oleh negara bagi semua kekayaan alam MIGAS

berikut kilang minyak dan fasilitas pemasaran BBM yang

merupakan cabang produksi penting yang menguasai hajat

hidup orang banyak, juga sejalan dengan Penjelasan Pasal 33

UUD 1945 versi sebelum Perubahaan ke empat UUD 1945

tanggal 10 Agustus 2002 yang menyatakan:

"Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang

banyak boleh ditangan orang-seorang"

"... Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,

kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,

tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa

dan rakyat yang banyak ditindasnya";

30

2. Pengelolaan dan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi: a. Pengelolaan dan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi yang

merupakan bahan galian strategis baik untuk perekonomian

negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan

nasional dimulai sejak saat menjadi sumberdaya (resources)

yakni potensi-potensi yang belum kelihatan secara nyata dan

kasat mata namun diprediksi terkandung di dalam perut bumi

Indonesia. Sumberdaya ini perlu disurvey dan dibuktikan untuk

dapat disebut sebagai cadangan (reserve) melalui serangkaian

kegiatan eksplorasi. Setelah cadangan dapat dibuktikan baik

secara ilmu pengetahuan maupun empiris, maka cadangan

tersebut perlu mendapatkan sertifikasi dari badan-badan

sertifikasi Internasional agar cadangan tersebut mulai dapat

dievaluasi dan dijadikan uang baik melalui mekanisme

perbankan maupun pendanaan lain. Langkah selanjutnya

adalah memproduksikan cadangan yang telah terbukti agar

dapat dinikmati hasilnya berupa komoditas Minyak Mentah dan

Gas Bumi. Rangkaian pengelolaan dan pengusahaan sampai

dengan titik ini biasa dinamakan sebagai kegiatan Eksplorasi

dan Eksploitasi dalam dunia perminyakan dan yang

dimaksudkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas harus

dikuasai oleh negara mengingat nilainya yang sangat tinggi dan

dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi guna

kesejahteraan kehidupan umat manusia;

b. Agar Minyak Mentah dan Gas Bumi dapat dijadikan sebagai

sumber energi maka Minyak Mentah dan Gas Bumi harus

diolah melalui serangkaian proses tertentu. Untuk Minyak

Mentah harus disediakan proses pemurnian di kilang

pengolahan agar bisa menjadi BBM dan produk-produk olahan

lain, bahkan menjadi produk sampingan berupa produk-produk

petro kimia. Untuk Gas Bumi proses yang perlu disediakan

31

adalah proses purifikasi maupun proses pencairan agar

memudahkan pengangkutannya;

c. Produk-produk yang dihasilkan dari kedua jenis pemurnian dan

pengolahan inilah yang kemudian dapat dikonsumsi oleh

masyarakat berupa BBM maupun Bahan Bakar Gas

(selanjutnya disingkat BBG) termasuk Liquefied Petroleum Gas

(selanjutnya disingkat LPG) dan Liquefied Natural Gas

(selanjutnya disingkat LNG), di samping produk-produk lain

berupa pelumas, aspal, lilin dan produk petro kimia lainnya

yang secara keseluruhan bernilai ekonomis sangat tinggi.

Khusus untuk BBM dan BBG saat ini telah menjadi energi

primer/utama yang dibutuhkan masyarakat dan Bangsa

Indonesia sebagai energi yang mendukung segala aktifitas

kehidupan dan berproduksi masyarakat. Tanpa BBM dan BBG

dapat dipastikan bahwa kegiatan berproduksi dan aktifitas

hidup masyarakat akan lumpuh karena sumber energi

primer/utamanya tidak tersedia;

d. Proses pemurnian, pengolahan, pengangkutan produk olahan

berupa BBM dan BBG, penyimpanan dan pemasarannya

merupakan rangkaian kegiatan lain dalam pengelolaan dan

pengusahaan MIGAS yang sangat penting dan menguasai hajat

hidup orang banyak karena peran BBM dan BBG yang berasal

dari kandungan hydrocarbon di dalam perut bumi Indonesia

telah menjadi energi utama/primer dalam segala aktifitas

kehidupan dan produksi yang dilakukan oleh masyarakat dan

oleh karenanya sesuai Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus

dikuasai oleh negara.

3. Kuasa Pertambangan: Pengaturan Kuasa Pertambangan (selanjutnya disingkat KP)

di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33

UUD 1945 dipandang paling tidak dari dua alasan:

32

a. Pengertian/definisi KP di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22

Tahun 2001 hanya dibatasi pada kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi saja seperti dinyatakan: "Kuasa Pertambangan

adalah wewenang yang diberikan negara kepada Pemerintah

untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi".

Masalah yang menyangkut pemurnian/pengilangan,

pengangkutan dan penjualan BBM tidak termasuk di dalam

rangkaian KP dan oleh karenanya tidak termasuk di dalam

wewenang yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah.

Padahal hingga saat ini, BBM masih merupakan cabang

produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang

banyak dimana hingga saat ini belum tersedia substitusinya

yang memadai serta merupakan produk yang tidak bisa

diperbaharui. Demikian juga dengan BBM yang semakin hari

semakin memegang peranan penting dalam penyediaan

Tenaga Listrik bagi masyarakat dan industri di Indonesia.

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 ini telah

meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak,

dalam hal pengusahaan MIGAS adalah cabang usaha mulai

dari pengolahan/pemurnian, pengangkutan hasil olahan,

penyimpanan/penimbunan serta distribusi dan pemasarannya.

Padahal penguasaan oleh negara tersebut merupakan amanat

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Di dalam Undang-undang Nomor

44/1960 dan Undang-undang Nomor 8/1971, kegiatan usaha

hilir (yang menyangkut BBM) adalah merupakan bagian dari KP

yang diberikan oleh negara kepada BUMN Pertamina. Bahkan

Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

mengecualikan usaha pertambangan Minyak dan Gas Bumi

terutama usaha bidang Hilir karena merupakan cabang

produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

33

orang banyak dan agar dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran Rakyat Indonesia;

b. KP yang cakupannya sudah menjadi sangat sempit tersebut,

oleh Menteri justru diserahkan kepada orang-seorang/pelaku

usaha sesuai dengan bunyi Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22

Tahun 2001 menentukan bahwa Menteri menetapkan Badan

Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang

melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada

wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Wewenang yang diberikan kepada pelaku usaha berupa Badan

Usaha (selanjutnya disingkat BU) dan Bentuk Usaha Tetap

(selanjutnya disingkat BUT) tidak lain adalah KP seperti

tersebut di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001

tersebut di atas;

Penyerahan KP kepada pemain/perusahaan akan

menghilangkan kedaulatan negara di dalam mengatur kegiatan

pengelolaan dan pengusahaan MIGAS disektor Hulu dan

sangat mirip dengan Sistem Konsesi "Kontrak 5a" yang

diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dahulu.

Dalam Sistem Konsesi yang berfaham kolonial dan liberal ini

wewenang sesungguhnya atas produksi MIGAS yang

menguasai hajat hidup orang banyak itu berada di tangan

pengusaha swasta yang menjalankan BU dan BUT yang

mayoritas adalah asing multinasional (atau disebut Multi

National Companies dan sering disingkat MNC) hal mana jelas-

jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang

mengamanatkan penguasaan oleh negara atas cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

orang banyak.

4. Pengertian "dikuasai oleh negara" dalam Pasal 33 UUD 1945:

34

Prof. DR. Mr. Soepomo sebagai arsitek UUD 1945 menulis

dalam salah satu bukunya memberi pengertian "dikuasai" sebagai

berikut: " ... termasuk pengertian mengatur dan/atau

menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan

mempertimbangkan produksi ...";

Demikian juga DR. Mohammad Hatta, founding fathers

negara Indonesia, yang juga tokoh ekonomi Indonesia, mantan

Wakil Presiden I dan salah satu arsitek UUD 1945, menyatakan:

"...Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-

besar seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, ...,

menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai

hajat hidup orang banyak. Apa yang disebut dalam bahasa Inggris

"public utilities" diusahakan oleh Pemerintah. Milik perusahaan

besar tersebut sebaik-baiknya ditangan Pemerintah..." (Tulisan

DR. Mohammad Hatta dalam Majalah Gema Angkatan 45 terbitan

tahun 1977, dengan judul: "PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

DASAR 1945 PASAL 33";

Selanjutnya dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD

1945, mengeluarkan keputusan seminar, yang disetujui oleh DR.

Mohammad Hatta, antara lain sebagai berikut (dalam Majalah

Gema Angkatan 45 terbitan tahun 1977):

"IV. Sektor Negara

Kekayaan bumi, air, udara dan yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan demikian pula cabang-cabang

produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak harus dikuasai

mutlak oleh negara. Untuk merealisir hal-hal tersebut di atas perlu

secepatnya ditetapkan suatu undang-undang yang menetapkan

sektor-sektor produksi yang diusahakan oleh Perusahaan Negara;

Pedoman Pembiayaan:

1. Perusahaan Negara dibiayai oleh Pemerintah;

35

2. Apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk

membiayai, maka dapat diadakan pinjaman-pinjaman dalam

dan luar negeri yang tidak mengikat;

3. Apabila dengan 1 dan 2 belum mencukupi, maka bisa

diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing, atas

dasar production sharing. Pinjaman dan kerjasama dengan luar

negeri harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat";

Dengan demikian cabang produksi yang penting bagi negara

dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh

negara dalam artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak

yang diberi wewenang oleh negara dan bertindak untuk dan atas

nama negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam tatanan peraturan dan perundangan yang berlaku di

Indonesia pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama

negara adalah instansi-instansi Pemerintahan dalam hal kegiatan

yang berhubungan dengan pemerintahan dan politik, sedangkan

dalam hal kegiatan usaha instansi Pemerintah yang bukan

merupakan BU-pun tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat

bisnis untuk dan atas nama negara sesuai peraturan dan

perundangan yang berlaku. Dalam kegiatan usaha hanya BUMN

yang diberi wewenang berdasarkan peraturan dan/atau undang-

undang tertentu dapat melakukan kegiatan usaha untuk dan atas

nama negara. Badan Usaha yang bukan milik negara tidak dapat

melakukan tindakan untuk dan atas nama negara, terlebih lagi BUT

yang jelas-jelas bukan merupakan BU milik Indonesia namun

merupakan Badan Usaha Asing;

Dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pengolahan,

pemurnian, pengangkutan, pendistribusian, penyimpanan dan

pemasaran MIGAS yang merupakan cabang usaha yang sangat

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak

maka kewenangannya tidak dapat diberikan kepada BU dan BUT

36

yang dikuasai oleh orang seorang karena dikhawatirkan rakyat

banyak akan ditindasnya. Untuk menjamin kelancaran dan

pelaksanaan pengusahaan MIGAS secara ekonomis dan

bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan negara

Indonesia hanyalah dengan pengaturan dan penyelenggaraan oleh

Negara Republik Indonesia melalui BUMN seperti yang

dimaksudkan oleh Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945;

Itulah sebabnya maka sebelum terbitnya Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 wewenang melakukan usaha kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi MIGAS sampai dengan usaha

pemurnian, pengolahan, pengangkutan, pendistribusian,

penyimpanan dan pemasaran produk-produk olahan MIGAS hanya

diberikan kepada BUMN yang dibentuk berdasarkan undang-

undang tertentu semata dengan ketentuan BUMN itu dapat

melakukan kerja sama dengan baik Badan Usaha Swasta Nasional

maupun Asing hanya berdasarkan Production Sharing Contract

(Kontrak Bagi Hasil) dimana para Kontraktor Bagi Hasil secara

kontraktual merupakan kontraktor pemberi jasa yang menerima

bagian dari produksi sebagai imbalan jasanya (Ref. Undang-

undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8

Tahun 1971). Pola inilah yang konsisten dengan Pasal 33 UUD

1945 dan juga memungkinkan Indonesia untuk menjadi anggota

OPEC yang agenda utamanya adalah mengendalikan produksi dan

harga jual Minyak Bumi negara-negara anggotanya.

5. Interpretasi "dikuasai oleh negara" dalam UU Nomor 22 Tahun 2001:

Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 pengertian "dikuasai oleh

negara" sangat jauh berbeda dan tidak sesuai dengan pengertian

istilah tersebut dalam UUD 1945. Dalam bidang usaha Hulu

MIGAS, Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 menentukan

bahwa Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam

37

ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang

Kuasa Pertambangan.

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi menentukan bahwa Kuasa Pertambangan adalah

wewenang yang diberikan oteh negara kepada Pemerintah untuk

menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.

Jadi berdasar ketentuan pasal-pasal tersebut Pemerintah

RI-lah yang diberi kuasa atau wewenang untuk melaksanakan

usaha eksplorasi dan eksploitasi MIGAS. Padahal dalam peraturan

dan perundangan yang berlaku telah ada wadah yang disediakan

jika Negara/Pemerintah akan melakukan kegiatan usaha yaitu

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk Usaha

Negara, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 19

Tahun 2003;

Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 yang berbunyi:

"Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang

diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan

Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2)" Pasal tersebut menjelaskan bahwa kewenangan Pemerintah

yang diterima dari negara untuk melakukan kegiatan Eksplorasi

dan Eksploitasi MIGAS secara bulat diserahkan kepada BU dan

BUT yang ditentukan oleh Menteri walaupun masing-masing dari

mereka hanya diberi satu Wilayah Kerja (selanjutnya disingkat WK)

tertentu seperti dalam Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: "Kepada

setiap BU atau BUT hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja".

Implikasinya adalah masing-masing BU dan BUT dapat mengklaim

bahwa cadangan MIGAS yang ditemukannya melalui serangkaian

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukannya beserta

leveragenya merupakan property mereka masing-masing selama

masa kontrak dengan Pemerintah Indonesia berlaku;

Dengan demikian walaupun Pemerintah mendapatkan KP

dari negara namun karena KP tersebut dilimpahkan oleh

38

Pemerintah cq. Menteri kepada BU dan BUT untuk tiap-tiap WK

maka negara akan tinggal menguasai sumberdaya yang masih

bersifat abstrak dan belum terbukti kandungan hydrocarbonnya

apalagi volume Minyak dan Gas Buminya. Padahal di mana pun di

seluruh dunia ini sumberdaya saja belumlah dapat dijadikan uang

baik melalui mekanisme perbankan maupun lembaga keuangan lain

karena yang dapat dijadikan uang (bankable) adalah cadangan

dan/atau volume Minyak Mentah dan Gas Bumi yang telah terbukti

dan disertifikasi;

Dalam kegiatan usaha Hilir MIGAS yang meliputi

pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, pengertian

"dikuasai oleh negara" yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945

diterjemahkan dengan sangat berbeda oleh UU Nomor 22 Tahun

2001 yaitu dalam pengertian diatur dalam bentuk ijin usaha dan

bukan dalam pengaturan dan penyelenggaraan secara menyeluruh.

Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2001 berbunyi: "Kegiatan

Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat

dilaksanakan oleh BU setelah mendapat Izin Usaha dari

Pemerintah";

Melalui pengaturan dalam bentuk ijin usaha ini jelas akan

sangat mudah bagi Badan Usaha manapun untuk menerapkan

praktek-praktek usaha yang liberal guna mendahulukan

kepentingan pengusaha-pengusaha yang berorientasi pada

maksimasi laba dan mereka tidak akan memperhatikan kepentingan

hajat hidup orang banyak yang nyatanya masih sangat lemah daya

belinya. BU yang telah mendapatkan ijin-ijin usaha sesuai Pasal 23

ayat (2) yang berbunyi: "Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan

usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: "a. Izin

Usaha Pengolahan, b. Izin Usaha Pengangkutan, c. Izin Usaha

Penyimpanan, d. Izin Usaha Niaga", sudah barang tentu akan

mendahulukan perolehan kembalian modal dan keuntungan

39

usahanya dan tidak akan pernah memperbaiki dan

mempertimbangkan produksi dengan keberpihakan pada

kepentingan masyarakat luas;

Meliberalisasi sektor Hilir pengusahaan MIGAS seperti ini

jelas-jelas mendahulukan kepentingan pengusaha-pengusaha

swasta dan asing serta tidak mengemban amanat Pasal 33 UUD

1945. sebelumnya Pemerintah senantiasa dapat menyediakan

BBM di mana saja di Indonesia dengan harga seragam dan

terjangkau karena itu merupakan misi Badan Usaha Milik Negara

sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945;

Faham liberal yang dianut UU Nomor 22 Tahun 2001 juga

jelas diperlihatkan oleh dibukanya sektor pengolahan LNG bagi

investor multinasional yang akan menjadikannya sebagai "sentra

laba" mereka yang jelas akan mengurangi pendapatan devisa

negara melalui Gas Bumi. Sebelumnya pengolahan LNG

merupakan investasi Badan Usaha Milik Negara sebagai "sentra

biaya" yang nir laba guna maksimasi pendapatan devisa negara.

Tidak ada pembenaran apapun bagi pengalihan sebagian

pendapatan negara ini menjadi laba pengusaha swasta dan asing.

Begitu pula halnya dengan penjualan hasil MIGAS bagian negara

yang kini dijualkan oleh fihak pengusaha swasta dan asing (Pasal

44 ayat (3) huruf g UU Nomor 22 Tahun 2001);

Pengertian, perumusan dan penyelenggaraan kekuasaan

negara di bidang usaha MIGAS sebagaimana terdapat dalam UU

Nomor 22 Tahun 2001 yang diuraikan di atas akan memisahkan

hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dengan wilayah

Indonesia khususnya wilayah hukum pertambangan MIGAS

Indonesia, tidak melindungi pelaku ekonomi nasional,

mempercepat dominasi asing dan munculnya kembali monopoli

atau oligopoly swasta sehingga akhirnya seluruh rakyat Indonesia

tidak dapat memanfaatkan MIGAS semaksimal mungkin.

Kesemuanya itu tidak sesuai dengan atau melanggar Pasal 33

40

ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan perubahannya sesuai dengan azas

lex superior derogate lex inferior;

Selain itu faham liberal yang jelas merupakan falsafah UU

Nomor 22 Tahun 2001 juga bertentangan dengan pandangan atau

aliran pikiran, jiwa dan semangat UUD 1945. Pertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 33 tersebut juga disadari oleh konsultan asing

asal Amerika Serikat dan para pengusaha swasta asing yang

melihatnya sebagai tiadanya konsistensi yang mengakibatkan

tiadanya kepastian hukum bagi investasinya. Hal ini ditengarai

dengan kenyataan bahwa selama dua tahun belakangan ini hanya

satu Kontrak Kerja Sama yang berhasil ditanda tangani dan ini

sungguh memprihatinkan mengingat Indonesia membutuhkan

penemuan cadangan baru sebanyak 500 juta barrel setiap

tahunnya untuk mengganti cadangan yang tersedot melalui

kegiatan produksi MIGAS. Penggantian ini membutuhkan

eksplorasi yang aktif dan berkelanjutan melalui pengadaan sekitar

10 (sepuluh) Kontrak Kerja Sama baru setiap tahunnya jika kita

tidak ingin cepat menjadi "net importer" Minyak Mentah;

Pengertian dikuasai oleh negara sebenarnya telah dengan

tepat diterjemahkan dan atau diartikan oleh Undang-undang

Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun

1971, yaitu sebagai:

1. Negara memiliki kuasa pertambangan atas bahan galian;

2. Kuasa Pertambangan meliputi kegiatan-kegiatan: Eksplorasi,

Eksploitasi, Pengangkutan, Pemurnian/Pengolahan, dan

Distribusi/Pemasaran;

3. Khusus untuk endapan Migas, pelaksanaan pertambangan

Migas hanya diusahakan oleh negara dan dilakukan oleh

Perusahaan negara yang diberi Kuasa Pertambangan oleh

negara.

41

6. Kewenangan Penjualan Minyak dan Gas Bumi Bagian Pemerintah:

Penyerahan wewenang penjualan Migas bagian negara

kepada perusahaan minyak asing/pemain (Kontraktor Production

Sharing) telah menyebabkan KPS menetapkan secara bebas

syarat-syarat penjualan gas kepada PLN dengan mewajibkan PLN

mempunyai Standby Letter of Credit yang sangat besar yang akan

memberatkan masyarakat dalam bentuk TDL. Padahal selama ini,

ketentuan tersebut tidak pernah dikenal, karena yang menjual gas

bagian negara adalah BUMN (Pertamina) dan yang membeli juga

BUMN (PLN). Demikian juga dalam hal penjualan gas ke luar

negeri, Pertamina tidak pernah memberikan persyaratan tersebut.

Demikian juga dengan penjualan gas ke luar negeri (China) yang

diserahkan ke KPS, telah menghasilkan harga jual yang sangat

murah yang telah memicu pembeli LNG Badak dan Arun untuk

meminta penurunan harga;

Pola Kontrak Kerja Sama mengikuti pola Business to

Government (B2G, yaitu BPMIGAS dengan KPS) menggantikan

pola Business to Business (B2B, yaitu BUMN dengan KPS)

berpotensi menempatkan semua asset negara didalam resiko di

sita kalau terjadi dispute antara Pemerintah dengan KPS;

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menambah mata

rantai penjualan migas bagian negara karena status BPMIGAS

yang bukan merupakan Badan Usaha, sehingga menurut Pasal 44

ayat (3) g, untuk menjual migas bagian negara, maka BPMIGAS

hanya diberi wewenang untuk menunjuk Penjual. BPMIGAS tidak

bisa melakukan bisnis untuk menjual langsung migas bagian

negara kepada Pembeli. Mekansime ini pasti menambah mata

rantai pemasaran/penjualan migas bagian negara sehingga akan

merugikan keuangan negara;

Kini di dalam prakteknya, BPMIGAS yang merupakan

Lembaga Pengawas/Regulator, justru berubah menjadi player

42

dengan ikut secara aktif memasarkan LNG ke luar negeri.

Kenyataan ini menyebabkan timbulnya kerancuan industri migas

nasional;

Dengan merubah status Pertamina yang berdasarkan

Undang-undang menjadi P.T. (Persero) maka P.T. Pertamina

(Persero) terbuka lebar untuk dijual. Jika negara sudah tidak lagi

memiliki BUMN migas, maka penggarapan suatu wilayah kerja oleh

perusahaan minyak asing pada hakekatnya akan terjadi selamanya

(bukan sekitar 30 tahun seperti pada KKS). Karena setiap kali KPS

habis masa kontraknya untuk suatu wilayah, maka Kontrak dari

KPS ini pasti akan diperpanjang. Hal ini disebabkan karena

BPMIGAS yang diserahi mengelola sektor hulu, bukanlah Badan

Usaha, sehingga BPMIGAS tidak akan pernah bisa

mengoperasikan lahan/wilayah kerja yang selesai masa

kontraknya tersebut.

7. Potensi disintegrasi. UU Nomor 22 Tahun 2001 sangat potensial memicu

disintegrasi dan perpecahan bangsa dan negara, karena bertujuan

untuk menyerahkan harga BBM sepenuhnya kepada persaingan

usaha (Pasal 28 ayat 2). Sedangkan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor

22 Tahun 2001 hanya menyangkut pemberian subsidi bagi

golongan masyarakat tertentu sebagai tanggung jawab sosial

Pemerintah, namun tidak secara eksplisit menyebutkan bagaimana

mengatur perbedaan harga antar Daerah yang pasti akan timbul

dengan pemberlakukan harga BBM atas dasar persaingan usaha.

Persoalannya, daerah yang incomenya lebih rendah justru akan

membayar BBM lebih mahal dengan daerah yang incomenya lebih

tinggi. Pasal ini secara eksplisit melepaskan tanggung jawab

Pemerintah untuk mengalokasikan penggunaan jenis energi non-

minyak, padahal penggunaan energi non-minyak sangat

dipengaruhi oleh tingkat harga jual BBM;

43

Kedaulatan negara dan disintegrasi wilayah akan terancam

dengan hanya karena supply energi (BBM) yang dapat

dipermainkan oleh pemain usaha perminyakan asing yang

menguasai sebagian besar cadangan dan produksi migas nasional

dibanding sebagian kecil cadangan dan produksi migas yang

dikuasai Pertamina sebagai BU-nya negara. Dengan

mempermainkan stabilitas supply dan harga, akan sangat mungkin

suatu wilayah di negeri ini akan menuntut pembebasan dari

wilayah Indonesia atau keinginan memerdekan diri semakin kuat.

Hal ini telah terbukti apa yang terjadi di sebagian wilayah

Indonesia karena ketidak adilan ekonomi, maka wilayah tersebut

(Aceh dan Irian) merongrong kewibawaan bangsa dan negara

Indonesia yang sampai saat ini masih sulit untuk diatasi.

8. UU Nomor 22 Tahun 2001 membuka peluang penjualan dan degradasi BUMN.

Dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2001 maka satu-

satunya BUMN yang mengelola MIGAS tidak lagi diberi

kewenangan atas pengelolaan seluruh wilayah hukum

pertambangan Republik Indonesia menyangkut MIGAS dan oleh

karenanya BUMN tersebut hanya akan menjadi pemain minoritas

di sektor Hulu MIGAS karena selama ini sebagian besar wilayah

kerja pertambangan MIGAS yang bersumber daya bagus telah

dikontakkan kepada BU dan BUT (pengusaha minyak asing)

dengan alasan untuk mendatangkan investasi asing di Indonesia

guna mendapatkan devisa bagi negara;

Di samping itu BUMN tersebut yang semula mendapatkan

retensi sebesar 5% dari hasil Kontrak Bagi Hasil dipotong 60%

pajak yang langsung disetor ke Kas Negara dan oleh karenanya

menerima antara Rp. 2 Triliun sampai dengan Rp. 5 Triliun per

tahun sebagai fee dari Pemerintah atas penugasan untuk

mengelola Kontrak Bagi Hasil di bidang MIGAS, dengan terbitnya

44

UU Nomor 22 Tahun 2001 sejak tahun 2003 tidak lagi menerima

retensi tersebut. Padahal dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun

2001 tersebut kewajibannya untuk mendistribusikan dan

memasarkan BBM memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh

Indoensia dengan harga sama dan nir laba masih harus diemban

BUMN ini sampai dengan Nopember 2005 seperti disebutkan

dalam Pasal 62 UU Nomor 22 Tahun 2001: "Pada saat Undang-

undang ini berlaku Pertamina tetap melaksanakan tugas

penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan

dalam negeri sampai jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun".

Hal ini sudah barang tentu membebani BUMN ini secara

berlebihan dan berpotensi mengurangi kesempatan peningkatan

kesejahteraan Pekerjanya berupa kenaikan gaji. Hingga saat ini

standar gaji para Pekerja BUMN ini masih jauh lebih kecil jika

dibandingkan dengan gaji para pekerja di BUT Kontraktor Bagi

Hasil MIGAS dengan jabatan dan perjaan yang setara;

Dengan berubahnya satu-satunya BUMN yang mengelola

sektor MIGAS ini menjadi Perusahaan Perseroan seperti

disebutkan dalam Pasal 60 a, yaitu : "Pada saat Undang-undang

ini berlaku: : a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun,

Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan

(Persero) dengan Peraturan Pemerintah", maka terbukalah

peluang untuk menjual atau mengalihkan sebagian saham BUMN

ini ke pihak orang seorang sesuai dengan Nomor 1 Tahun 1995

Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal ... Peraturan Pemerintah

Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan yang

berbunyi: "...". Jika satu-satunya BUMN yang mengelola sektor

MIGAS ini menjadi Perusahaan Perseroan Terbuka maka terdapat

potensi untuk dilakukannya pengurangan atas jumlah Pekerjanya

sesuai dengan kencenderungan yang dewasa ini menggejala di

kalangan perusahaan perseroan terbuka lainnya dengan alasan

demi efisiensi perusahaan yang bersifat semu karena secara

45

normatif biaya untuk SDM di suatu perusahaan hanya akan

mempengaruhi 5% dari seluruh pembiayaan yang ditanggung oleh

perusahaan itu.

9. UU Nomor 22 Tahun 2001 melemahkan daya saing industri LNG Nasional.

Dengan Undang-undang ini diciptakan sistem persaingan

diantara produsen LNG Indonesia dan menghilangkan keunggulan

Indonesia sebagai eksportir LNG terbesar di dunia dengan

menghilangkan Pertamina sebagai penjual tunggal. Di pasar LNG

Asia Pertamina merupakan "brand name" dari komoditas LNG

Indonesia karena Pertamina sebagai pemegang kuasa

pertambangan menurut tatanan Undang-undang Nomor 8 Tahun

1971 mengontrol seluruh minyak dan gas di wilayah Indonesia,

termasuk pengembangan dan penjualan LNG;

UU Nomor 22 Tahun 2001 ini juga melepaskan peran

negara untuk mendukung dan mengembangkan industri Migas

(termasuk industri LNG) nasional. Negara-negara lain, seperti

Cina, Thailand, Korea, Vietnam, dan lain-lain, pemerintahnya tidak

hanya mendukung industri migasnya di dalam negeri, melainkan

juga mendukung industri migasnya yang hendak mengelola ladang

migas di negara lain, seperti di Indonesia.

10. Implementasi UU Nomor 22 Tahun 2001 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 69 Triliun per tahun.

Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 menentukan

bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan

pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Implikasi Pasal ini adalah bahwa kegiatan perdagangan BBM yang

semula dimaksudkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak

sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 diliberalisasi dengan

mekanisme persaingan usaha dengan pemain tidak hanya swasta

46

nasional tetapi juga pengusaha asing multinasional. Kondisi ini

sangat memungkinkan diambilnya harga BBM internasional

sebagai acuan harga pasar Dalam Negeri dan dengan demikian

harga pasar Dalam Negeri akan berkisar pada:

Harga Pasar Internasional + Ongkos Angkut + biaya import + biaya penyimpanan + biaya pengangkutan dalam negeri + margin pelaku usaha.

Dengan formulasi seperti ini maka pada saat harga BBM di

Dalam Negeri sudah sepenuhnya berupa harga pasar dan

diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar maka

keuntungan dari penjualan BBM tidak lagi masuk ke APBN dalam

pos Laba Bersih Minyak (LBM) yang berupa selisih antara harga

pasar dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) BBM Pertamina;

Adapun potensi kehilangan LBM ini akan mencapai minimal

Rp. 69 Triliun per tahun dengan asumsi Volume BBM yang dijual

sama dengan volume pada tahun 2003 yaitu sebanyak 60 Juta Kilo

Liter, harga Minyak Mentah adalah US$ 26/barrel dan US$ 1 = Rp.

9.000;

BPP BBM Pertamina mencapai Rp.1.725,- /liter pada saat

harga Minyak Mentah Indonesia US$ 26/barrel dan Kurs Dolar US$

1 = Rp. 9.000,- Sedangkan harga pasar Premium Tanpa Timbal di

pompa bensin di 160 negara (sebelum dikenakan pajak) adalah

sekitar US $ 0.32/liter pada saat harga crude Brent (Minyak

Mentah terbaik dari Laut Utara) US$ 26/barrel;

Dengan dasar perhitungan ini maka:

LBM = {(Harga Pasar - BPP BBM Pertamina) X Jumlah

Penjualan BBM} LBM = (Rp. 2.880,- - Rp. 1.725,-) X

60.000.000.000 Liter

LBM = Rp. 69.300.000.000.000,- (Enam Puluh Sembilan Triliun

Tiga Ratus Miliar Rupiah).

47

Jumlah ini pada masa sebelum UU Nomor 22 Tahun 2001

langsung masuk ke dalam APBN karena BUMN yang mengelola

MIGAS tidak mengambil keuntungan ini untuk kepentingan BUMN

tersebut. Namun di dalam lingkungan UU Nomor 22 Tahun 2001

BU atau BUT yang diberi ijin untuk melakukan

pemasaran/penjualan BBM Dalam Negeri dengan mekanisme

persaingan usaha yang sehat dan wajar akan menikmati

keuntungan tersebut dan negara hanya menontonnya saja.

11. Kepentingan bangsa Indonesia (industri dalam negeri) yang dikalahkan oleh kepentingan asing dalam mendapatkan gas alam.

Di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 menentukan bahwa

kewajiban menyediakan gas untuk sektor domestik maksimum

hanya 25% dari produksi gas. Artinya apabila suatu KPS

mendapatkan pasar gas di luar Indonesia yang harganya lebih

mahal dari pasar domestik, KPS pasti akan menjual gas ke luar

yang porsinya jauh lebih besar walaupun ada pasar domestik untuk

industri dalam negeri yang strategis (paberik pupuk). KPS dengan

jelas akan mempertimbangkan faktor harga dengan menjual gas ke

luar dan hanya menjual ke domestik yang mungkin hanya 5% saja

karena kewajiban penyediaan dalam negeri menurut Undang-

undang Nomor 22Tahun 2001 mengisyaratkan maksimum hanya

25%. Saat ini telah terjadi kekurangan pasokan pupuk, dan

terancamnya beberapa paberik pupuk akan ditutup (salah satu

train di PKT dan Pusri). Akibat paling parah dari berkurangnya

penyediaan pupuk bagi petani akan menurunkan kemampuan

ekonomi petani (penurunan Index Tukar Petani).

48

12. Terancamnya asset milik negara yang ada di KPS (fasilitas

produksi, sumur dan fasilitas penunjang lainnya) tidak akan

terkelola dengan baik setelah berakhirnya kontrak KPS. Dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 jelas bahwa asset tersebut

pada saat berakhirnya kontrak akan kembali ke Pertamina sebagai

pemegang kuasa pertambangan. Namun dengan UU Nomor 22

Tahun 2001 dimana kuasa pertambangan telah beralih ke

pemerintah (Ditjen. Migas), maka dikhawatirkan akan menimbulkan

masalah baru dimana mungkin dapat dikuasai oleh orang-seorang

atau timbul KKN baru untuk mengelolanya bahkan mungkin

menjualnya dengan harga yang sangat murah. Padahal fasilitas-

fasilitas tersebut dibeli dengan harga yang mahal pada saat

pengembangan lapangan, namun pada saat berakhirnya kontrak

bisa saja ini akan menimbulkan permasalahan baru karena

Pemerintah secara langsung tidak dapat mengelola atau

memanfaatkan fasilitas tersebut. Kemungkinan terbesar dapat

dijual melalui perusahaan swasta yang akan menimbulkan KKN

baru.

13. Beroperasinya Badan Pelaksana Migas Menyebabkan Pengurangan Perolehan Negara.

Badan Pelaksana di hulu (BPMIGAS) yang berupa Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) Nir Laba dan bukan badan usaha,

akan mengakibatkan berkurangnya perolehan negara karena akan

menunjuk pihak ketiga menjual Minyak/Gas Bumi bagian negara

bilamana pihak ketiga tersebut bukan 100 % BUMN, karena

biaya/fee pemasaran akan jatuh kepada perusahaan milik orang

seorang. Dalam hal LNG maka persaingan sesama LNG Indonesia

di pasar dunia akan terjadi seperti kini telah terbukti dimana

masing-masing KPS penghasil gas telah memasarkan sendiri

gas/LNG-nya masing-masing. Selain itu, dengan adanya

BPMIGAS, telah terbuka peluang (bahkan kini sudah terjadi)

49

pendapatan negara akan berkurang karena anggaran BPMIGAS

jauh lebih tinggi bila dibanding dengan anggaran sewaktu para

KPS masih dibawah Pertamina lewat Direktorat Management

Production Sharing.

14. UU No. 22 Tahun 2001 Memicu Timbulnya Salah Pemahaman di antara Lembaga-Lembaga Terkait.

BPMIGAS yang merupakan badan regulator, kini cenderung

berubah menjadi pemain karena ikut serta didalam perundingan

pemasaran gas/LNG dan penjualan kondensat bagian negara.

Khusus untuk pemasaran LNG ke Jepang masih diserahkan

kepada BUMN yang mengelola MIGAS karena para pembeli di

Jepang tidak mau melakukan negosiasi dengan BPMIGAS karena

BPMIGAS bukan Badan Usaha;

Fereidun Fesharaki dalam tulisannya yang telah disebutkan

terdahulu di atas menuliskan: "The early signs of the

concequences of the oil and gas law are not encouraging.

Overlapping responsibilities, confusion, politicization of the process

are all hurting both Indonesia and the foreign investors. To put it

bluntly, the oil and gas law is not working out well."

15. UU Nomor 22 Tahun 2001 Menyebabkan Negara Membayar Negara.

Implikasi lain dari diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun

2001 menyebabkan kerancuan berupa adanya keharusan negara

membayar negara, seperti dalam kasus pengelolaan wilayah kerja

pertambangan migas di Blok Palmerah, yang dalam tender

pengelolaannya, Pertamina, sebagai satu-satunya BUMN

pengelola migas di Indonesia, diwajibkan untuk membayar

signature bonus kepada pemerintah sebesar 4-6 juta dollar AS.

16. Perubahan status Pertamina dari Pelaksana KP menjadi hanya sebatas P.T. Persero, akan mengakibatkan para pihak yang

terlibat dalam rangka pengembangan bisnis LNG selama ini atas

50

dasar bebagai agreements yang ditandatangani oleh Pertamina,

akan menuntut perubahan-perubahan atas agreements yang

sudah ada yang akan potensial merugikan pendapatan negara

dari sektor LNG.

17. Badan Pengatur (Batur) yang akan dibentuk sebagi regulator

disektor hilir, hanya akan menambah mata rantai pemenuhan

BBM masyarakat.

18. UU Nomor 22 Tahun 2001 akan menumpukkan kuasa negara pada tangan Menteri ESDM sebagai Pengawas, Pembina, Regulator dan Pelaku Usaha karena menjadi pihak

penandatangan kontrak kerjasama di hulu. Hal yang sangat luar

biasa karena sama sekali menghilangkan kewenangan Presiden

RI yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960

dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Hal itu terjadi karena

Badan Pelaksana sebagai penandatangan kontrak kerjasama,

tidak diberi hak/kuasa apapun oleh Pemerintah, atas daerah yang

dicakup Wilayah Kerja masing2 investor, sehingga sebenarnya

badan ini menyatu dan tak terpisahkan dari Pemerintah dalam

menandatangani kontrak kerjasama. Menurut penjelasan

Pemerintah, Badan Pelaksana memang menandatangani kontrak

kerja sama atas nama Pemerintah. Hal ini sulit dilakukan karena

dalam KPS Indonesia terdapat pasal khusus mengenai

perlindungan kedaulatan Pemerintah, apapaun persyaratan-

persyaratan KPS.

19. UU Nomor 22 Tahun 2001 mengandung ketidak pastian hukum merusak iklim investasi sektor hulu migas, antara lain

karena adanya pembayaran bea masuk, pungutan atas impor dan

cukai, pajak/retribusi daerah, iuran eksplorasi dan lainnya pada

tahap eksplorasi (Pasal 31), dapatnya perlakuan pajak-pajak yang

berbeda antar KPS (Pasal 31 ayat 4), status hukum Badan

Pelaksana yang bukan badan usaha seperti investor,

51

bertambahnya birokrasi berupa persetujuan Menteri untuk

pengembangan lapangan pertama (Pasal 21 ayat 1) serta

konsultasi dengan Pemda untuk keperluan kesesuaian dengan

tata ruang daerah, adanya DMO gas bumi (Pasal 22 ayat 1) dan

ketidak pastian kontrak-kontrak lama dengan tidak berlakunya lagi

Anggaran Dasar Pertamina/Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971

pada periode transisi (Pasal 66).

20. Mengingat Indonesia juga memiliki sumber daya energi non-minyak seperti: batubara, geothermal, gas bumi, energi terbarukan, dan sebagainya, maka agar SDE tersebut dapat

dikembangkan secara komprehensif dan optimal serta untuk

mejamin ketersediaan energi nasional dalam jangka panjang,

maka semestinya sebelum Undang-undang Migas ada, terlebih

dahulu harus disusun Undang-undang Energi Nasional yang

menjadi undang-undang Payung bagi pengembangan semua jenis

energi termasuk menyangkut migas.

DAMPAK UU NOMOR 22 TAHUN 2001 BAGI KEPENTINGAN BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT (KEPENTINGAN PUBLIK) INDONESIA.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka keberadaan UU Nomor 22

Tahun 2001 menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan bangsa,

negara dan masyarakat (publik) Indonesia, yaitu:

1. Pertamina, yang selama ini merupakan satu-satunya BUMN yang

mengelola sektor migas dan telah memberikan sumbangsihnya bagi

bangsa, negara dan masyarakat, bukan hanya karena telah menjalankan

fungsi untuk menyediakan bahan bakar minyak dan gas bumi kepada

seluruh masyarakat dengan harga terjangkau melainkan juga telah

memberikan peran yang besar bagi perekenomian nasional, berdasarkan

UU Nomor 22 Tahun 2001 tidak lagi merupakan cabang produksi yang

penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga tidak

adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk

52

memperoleh bahan bakar minyak dan gas bumi dengan harga terjangkau

melainkan juga akan merugikan perekonomian negara, yang pada

akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

Indonesia;

2. Bahwa Minyak dan gas bumi, sebagai kekayaan alam yang terkandung di

bumi Indonesia, ternyata tidak lagi semata-mata milik bangsa Indonesia

yang pada akhirnya akan mengurangi hak masyarakat untuk menikmati

kesejahteraan dan/atau kemakmuran yang seharusnya dapat dinikmati

dengan adanya kekayaan alam tersebut;

Bentuk-bentuk dampak yang merugikan kepentingan bangsa, negara

dan masyarakat (publik) Indonesia sebagaimana telah diuraikan dalam

butir 1 dan 2 di atas adalah sebagai berikut:

1. Mengarahkan industri perminyakan nasional menjadi tidak efisien:

menghapus sistem natural monopoly Pertamina, kontrol atas crude

intake kilang Pertamina tidak lagi dibawah Pertamina, membuka

peluang untuk dipisahkannya Kilang Balikpapan dan Cilacap dari

Pertamina, dan sebagainya. Kesemua ini akan berujung pada tidak

efisiennya industri minyak nasional. Akibatnya, biaya pokok BBM

akan menjadi sangat mahal;

2. Perubahan status Pertamina dari BUMN berdasarkan Undang-

undang menjadi P.T. Persero, membuka peluang bagi Pertamina

untuk diprivatisasi sehingga negara tidak punya lagi alat (= BUMN)

untuk menguasai sumber daya alam migasnya dan menguasai

cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak

(BBM);

3. Prosodur investasi sektor hulu yang lebih birokratik, dari satu atap

menjadi banyak atap;

4. Pola Perjanjian Kerjasama (KPS) B2G yang menempatkan seluruh

asset negara rawan disita oleh pihak investor kalau terjadi dispute;

5. Undang-undang Migas telah merusak tatanan Industri LNG nasional

yang selama ini telah berhasil dikembangkan dengan menciptakan

53

sistem persaingan yang justru akan merugikan Indonesia sebagai

negara produsen;

6. Memperpanjang mata rantai penjualan migas bagian negara: BP

Migas yang harus menunjuk Penjual karena status BP Migas yang

bukan Badan Usaha;

7. Wewenang penjualan migas bagian negara yang diserahkan kepada

KPS, telah terbukti merugikan negara karena: harga jual LNG

Tangguh ke Fujian yang sangat murah telah memicu pembeli LNG

Bdaka meminta penurunan harga; serta KPS dengan bebas

menentukan syarat-syarat penjulan gas ke pembeli dalam negeri

(PLN) yang mewajibkan uang jaminan yang besar;

8. Tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, siapa yang mengontrol BP

Migas dan Batur dan Bagaimana hubungan antara kedua Lembaga

Pengawas ini juga tidak jelas;

9. Pengelolaan Sektor Hulu yang menjadi lebih mahal karena hierarki

pengelolanya berubah dari hanya sebuah Direktorat dibawah

Pertamina menjadi sebuah BP Migas yang langsung lapor ke

Presiden, padahal yang diurus objek yang sama dan sudah berjalan

lebih 40 tahun, sehingga biaya BP Migas lebih tinggi;

10. Kalau harga Gas sepenuhnya diserahkan ke mekanisme

pasar/pemain sesuai dengan Pasal 28, maka: pabrik pupuk akan

tutup. Ini membahayakan sektor pertanian;

11. Kalau struktur pasar BBM sudah berbentuk pasar persaingan dan

harga jual sudah sama dengan harga pasar (dimana harga pasar

jauh lebih tinggi dari biaya pokok natural monopolist Pertamina)

maka negara akan kehilangan potensi penerimaan Laba Bersih

Minyak (LBM), dan sebagainya.

Berikut ini merupakan bagan-bagan, yaitu :

1. Bagan MONOPOLY WITH DECREASING MARGINAL COST:

NATURAL MONOPOLY (Sumber Proceeding dari International

54

Conference of the International Association for Energy Economics,

Praha, Republik Ceko, 2003), pada halaman 33;

2. Bagan PERBANDINGAN BBM PRICING ANTARA: MODEL

STRUKTUR PASAR NATURAL MONOPOLY DENGAN PASAR

“PERSAINGAN" (Sumber Proceeding dari International Conference of

the International Association for Energy Economics, Praha, Republik

Ceko, 2003) , pada halaman 34;

3. Bagan AVERAGE COST OF PETROLEUM FUELS AT END USERS

THROUGHOUT INDONESIA (US CENT DOLLAR PER LITER)

(Sumber Proceeding dari International Conference of the International

Association for Energy Economics, Praha, Republik Ceko, 2003),

pada halaman 35;

4. Bagan KENAPA BIAYA POKOK BBM PERTAMINA LEBIH MURAH

DARI HARGA BBM BERDASARKAN MEKANISME PASAR

PERSAINGAN (Sumber Proceeding dari International Conference of

the International Association for Energy Economics, Praha, Republik

Ceko, 2003), pada halaman 36;

Perbandingan BBM Pricing antara:

MONOPOLY WITH DECREASING MARGINAL COST: NATURAL MONOPOLY

Price

Quantity

Pm

Pi

Pr

Ps

International/Singa Pore Price

LRAC

LRMC

D

QsQbepQiQm

Pm = Harga Pasar Monopoly Pr = Zero Subsidy Ps = Socially Optimum Pi = International/Singa pore Price

Center for Petroleum and Enargy Economics Studies (CPEES)

55

Model Struktur P r "Persaingan" Jenis Subsidi

n/Kerugian

asar Natural Monopoly Dengan PasaPatokan Penetapan Asumsi: Harga Struktur Pasar Distribusi Harga Crude

barrel, US$26/1 US$=Rp9000

Keuntunga

Subsidi Finansial Biaya Pokok BBM Natural Monopoly Harga Kepres > BP BPP = Rp

(APBN) = Biaya Pertamina: stabil. 1725/liter (pemain hanya satu tetapi Pertamina :

Pokok Pertamina Biaya Pengadaan (masih dengan average total cost Terdapat

(BPP) – Harga minyak (90%) + Biaya biaya n. termasuk yang sangat rendah). keuntungaKeppres (HK) operasi Pertamina: impor BBM, Natural monopolist bukan ngan 100 % keuntu

kilang, distribusi, etc. an Rp500/liter, d profit maximizers, tetapi ia masuk ke APBN

POLA UU ih (10%) crude prorate dibentuk untuk memenuhi berupa Laba Bers

No.8/1971 5%) seluruh demand (Pola UU Minyak ( LBM )

No.8/1971) HK < BPP: Rugi

100% Beban APBN

berupa Subsidi BBM

Subsidi Ekonomi arga Pasar asar Persaingan H P HK = HP: Untung.

= Harga Pasar International (fluktuatif) (pemain banyak). 100% keuntungan

(HP) – Harga Mid Oil Platt Singapore URPP = US e Semua pemain pric Untuk pelaku

Keppres (HK) (MOPS) + (???) Cent$ 32/liter takers, dan profit Usaha

Merupakan Untaxed UU kan - Rp 2880/liter maximizers. (Pola Harga a

POLA UU Migas a Retail Pump Price Migas No.22/2001) berbeda-bedN0.22/2001 (URPP) Untuk setiap daerah

Center for Petroeum and Energy Economics Studies (CPEES)

Average Cost of Petroleum Fuels at End Users Throughout Indonesia

Fiscal Year Operating

(US Cent Dollar per Liter) Cost Crude Run Costs + Total Cost of

(Controlled by Imported Petroleum Petroleum fuels at

PERTAMINA) Fuels end user

(Uncontrollable)

1994/1995 4.21 11.62 15.83

1995/1996 3.81 12.47 16.28

56

1996/1997 3.68 14.62 18.30

1997/1998 3.23 13.38 16.61

1998/1999 2.21 7.96 10.17

2000 1.88 16.50 18.38

2001 1.73 DECLINING 16.32 18.05

Sumber: Kurtu ct o dustry Liberal on the Efficiency of

Cost Cost Cost Harga Pasar ?

"Pr t" "P t" "Pr " "Pr t"

Biaya Pokok

U Migas No.22/2002: nbundling system

ertamina/ m

Pengecer Biaya Pokok BBM << Harga Pasar BBM Di Sisi Konsumen

Ce S)

3. Untuk memperjelas pemahaman mengenai uraian-uraian di atas,

bi, "The Impa f Oil In ization Petroleum Fuels Supply for the Domestic Market in Indonesia" Proceeding of the International Association for Energy Economics (lAEE) International Conference, Prague, Czech Republic, 2003.

Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) KENAPA BIAYA POKOK BBM PERTAMINA LEBIH

MURAH DARI HARGA BBM BERDASARKAN MEKANISME PASAR PERSAINGAN ?

International price

PT PT PT PT

Cost + + + +

ofi rofi ofit ofi URPP

14 Cost Cost Cost Margin

BBM

UUWith transaction Costs + Taxes UU No.8/1971: PIntegrated Syste

nter for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEE

maka berikut ini merupakan bagan Perbandingan Undang-undang

Nomor 44 Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971

Dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, sebagai berikut:

Masyarakat Eksplorasi Eksploitasi

Trans- Portasi & Distribusi

Storage/ Whole seller

Retail SPBU

& Kilang

57

ASPEK UU No. 44/60 dan UU No. 8/71

UU No. 22/2001 DAMPAK/CATATAN

1. Landasan

Konstitusi

Pasal 33 UUD

1945

Pasal 33 UUD

1945 Substansi UU Migas

tidak berdasarkan

Pasal 33 UUD 1945

dan Pasal 51 UU No.

5 Tahun 1999

2. Falsafah Usaha

Migas

Pengelolaan dan

Pengusahaan

migas untuk

sebesar-

besarnya

kemakmuran

rakyat

Pengelolaan dan

Pengusahaan

migas atas dasar

kepemilikan

investasi

asing/swasta dan

persaingan bebas

(Pasal 12 ayat (3))

Bertentangan

dengan Pasal 33

UUD 1945, karena

perusahaan asing

akan menguasai

industri Migas

nasional.

3. Kuasa Usaha

Pertambangan/Kuasa

Pertambangan Migas

Meliputi:

Eksplorasi,

Eksploitasi,

pemurnian dan

Pengolahan,

Pengangkutan

dan Penjualan

(UU No.44 Tahun

1960)

Meliputi:

Eksplorasi dan

Eksploitasi

Bertentangan

dengan Pasal 33

UUD 1945, karena

hasil kegiatan

Pemurnian,

Pengolahan,

Pengangkutan dan

Penjualan

mempengaruhi hajat

hidup orang banyak.

4. Migas sebagai

sumber daya alam

startegis (Pasal 33

ayat (3) UUD 1945)

Kuasa Usaha

Pertambangan

Migas diberikan

kepada

Perusahaan

Negara. (Pasal

Kuasa/wewenang

melakukan

kegiatan usaha

eksplorasi dan

eksploitasi

diserahkan oleh

Bertentangan

dengan Pasal 33

UUD 1945, karena

Negara hanya

mengatur dan

mengawai eksplorasi

58

11 ayat (1) dan

(2) UU No. 8

Tahun 1971

Pemerintah

langsung kepada

investor swasta

(asing dan

nasional)

dan eksploitasi dan

negara tidak

menguasainya.

5. Cabang produksi

yang penting dan

menguasai hajat

hidup orang banyak.

Dilaksanakan

hanya oleh

Perusahaan

Negara sebagai

Kuasa Usaha

Pertambangan

Diserahkan

kepada

mekanisme pasar

dalam usaha

liberalisasi

Bertentangan

dengan Pasal 33

UUD 1945, karena

cabang produksi

yang penting dan

menguasai hajat

hidup orang banyak

diserahkan kepada

perusahaan milik

orang perorang

(swasta

asing/nasional)

6. Pola Industri Migas

Nasional

Terintegrasi dan

tidak mengenal

istilah hulu dan

hilir (Pasal 6 ayat

(1))

Hulu dipisahkan

dari hilir

(unbundling)

(Pasal 10)

Biaya/harga produk

BBM dan non BBM

akan lebih mahal

karena setiap sektor

kegiatan mempunyai

biaya dan profit

tersendiri. Hal ini

juga bertentangan

dengan trend industri

migas dunia.

7. Bentuk BUMN

Migas

Berdasarkan UU

tersendiri sesuai

Pasal 1 UU No. 9

Tahun 1969

BUMN Persero

berdasarkan PP

menyimpang dari

UU No. 1 Tahun

BUMN Migas

(Persero) harus

tunduk kepada UU

No. 5 Tahun 1999

59

1995 tentang

Perseroan

8. Fungsi

Perusahaan Negara

Migas

Melaksanakan

sendiri usaha

migas dari hulu

sampai hilir kecuali

dalam

Harus menjadi

kontraktor Badan

Pelaksana

(BHMN), sedang di

hilir hanya setelah

memperoleh izin

dari Badan

Pengatur,

termasuk kegiatan

yang

menggunakan

asset perusahaan

negara sendiri.

(Pasal 60)

Negara tidak lagi

menyelanggarakan

pengusahaan Migas

karena wewenang

melakukan kegiatan

eksplorasi dan

ekploitasi diserahkan

Pemerintah langsung

kepada swasta

(asing/nasional).

Pada kegiatan sektor

hilir melalui

perizinan, kegiatan

dilakukan

berdasarkan

mekanisme pasar.

9. Ciri usaha migas

yang diinginkan

Bukan monopoli,

tetapi PP

mengenai

penentuan harga

BBM membuat

perusahaan

swasta

(asing/nasional)

tidak tertarik untuk

masuk ke pasar

BBM dalam negeri

(Pasal 13b UU No.

8 Tahun 1971)

Bukan monopoli,

selama daya beli

masyarakat di

bawah harga

pasar, perusahaan

baru tidak ingin

masuk dan

monopoli akan

berlanjut.

Liberalisasi pasar

BBM dalam negeri

tidak tercapai selama

daya beli masyarakat

masih di bawah

harga pasar.

60

10. Wewenang

pemberian

persetujuan atas

KPS

Persetujuan oleh

Presiden RI (Pasal

12 ayat (3))

Persetujuan oleh

Menteri ESDM

(Pasal 12 ayat (3))

Mengurangi

wewenang Presiden

RI dan penumpukan

kuasa atas DSM

Migas milik rakyat

pada Menteri ESDM

11. Penandatangan

KPS dari Pihak

Indonesia

BUMN Migas yang

memiliki asset dan

liability sendiri

terpisah dari asset

dan liability

Pemerintah RI,

yang dibentuk

berdasarkan UU

No. 8 tahun 1971,

setelah

memperoleh

wilayah Kuasa

Usaha

Pertambangan

Migas dari

Pmerintah (Pasal

11 UU No. 8 Tahun

1971)

a. BHMN nirlaba

yang merupakan

badan/subyek

hukum perdata

tanpa diberi

wilayah kuasa

usaha

pertambangan

migas oleh

pemerintah

b. Dasar hukum

pendirian BHMN

masih belum jelas

(Pasal 45 dan

penjelasan Pasal

45 ayat (1))

a. Menimbulkan

ketidakpastian

kepada semua pihak

terkait karena sangat

mustahil suatu

badan/subyek

hukum perdata

Nirlaba dapat

menandatangani

kontrak-kontrak kerja

sama usaha yang

menyangkut

kepentingan rakyat

banyak (Pasal 33

UUD 1945)

b. Karena tidak

memiliki hak apapun

atas wilayah kerja

masing-masing PSC,

maka kontrak-

kontrak PSC yang

ditandatangani

diragukan

keabsahannya.

61

12. Penerimaan

Negara

Dalam Pasal 14

UU No. 8 Tahun

1971 ditetapkan

bahwa penerimaan

negara adalah

sekurang-

kurangnya 60%

dari hasil laba

bersih KPS dan

operasional

Perusahaan

Negara.

Tidak ada

ketentuan

mengenai jumlah

penerimaan

Negara dan hanya

disebut akan diatur

oleh PP (Pasal 31

ayat (5))

13. a. Penjualan

Minyak Bagian

Pemerintah dari

KPS serta hasil-

hasilnya

b. Penjualan

seluruh LNG

Indonesia

BUMN Migas

Pertamina (Pasal

11 dan 12)

BUMN Migas

Pertamina (Pasal

11 dan 12)

Badan

pelaksanan

(BHMN) menunjuk

pihak lain (Pasal

44 dan 39)

Badan pelaksanan

(BHMN) menunjuk

pihak lain (Pasal

44 dan 39)

a. Merugikan negara

kalau pihak lain bukan

BUMN,karena fee

penjualan kan

diperoleh swasta

membuka peluang

KKN.

b. Membuka

persaingan antar

sesame LNG

Indonesia di Pasar

internasional.

14. Lingkup Kontrak

Kerjasama

Meliputi kegiatan

eksplorasi,

eksploitasi,

pemurnian dan

pengolahan,

pengangkutan dan

penjualan (Kontrak

Meliputi kegiatan

eksplorasi dan

eksploitasi

Kegiatan pemurnian

dan pengolahan

pengangkutan dan

penjualan tidak perlu

kerja sama dan hanya

diberi izin oleh

pemerintah, hal mana

62

Karya). Atas

kebijakan devisa

tertutup oleh

pemerintah, pihak

asing hanya

meneruskan kerja

sama dalam

kegiatan eksplorasi

dan eksploitasi dan

menarik diri dari

kegiatan hilir serta

menjual semua

assetnya kepada

BUMN.

bertentangan dengan

Pasal 33 UUD 1945.

15. Lapangan kerja

Di Daerah

Penghasil Migas

Bentuk usaha

terintegrasi dari

pemerintah masih

menjamin

berlangsungnya

pengusahaan

lapangan-lapangan

minyak marginal di

daerah.

Memaksa

penutupan

lapangan-

lapangan minyak

marginal saat

harga Migas turun.

Peningkatan

pengtangguran d

daerah lapangan

marginal dan

ditutupnya kilang

pengolahan kecil.

16. Pengaturan dan

pengawasan

Dilakukan oleh

Pemerintah sendiri

(Pasal 16 UU No.

44 Tahun 1960)

Dilakukan oleh

Badan Pengatur

yang dibentuk oleh

Pemerintah (Pasal

44 dan 46)

Tumpang tindih

dengan DESDM c/o

Ditjen Migas serta

menambah

pengeluaran Negara.

17. Kepentingan

Daerah

a. Peran Pemda

terdapat dalam

Persetujuan

a. Peran Pemda

terdapat dalam

Persetujuan

a. Harga BBM

ditentukan pasar dan

akan berbeda-beda

63

AMDAL, masalh

tanah, penentuan

HET minyak tanah

dan penerimaan

sebagian

perolehan Negara.

b. Perolehan

daerah tingkat I

dan II dari

penerimaan

Negara terjamin

besarannya karena

adanya jaminan

penerimaan

Negara minimal

60% dari

penerimaan bersih

usaha KPS

Pertamina.

AMDAL, masalh

tanah, penentuan

HET minyak tanah

dan penerimaan

sebagian

perolehan Negara.

b. Tidak terdapat

jaminan

penerimaan

negara.

pada setiap daerah.

b. Perolehan Daerah

Tingkat I dan II

tergantung hasil

perundingan pejabat

DESDM yang tidak

memiliki akuntabilitas

public.

c. Pemda tidak lagi

menentukan HET

minyak tanah di

wilayahnya.

18 . Harga BBM Ditetapkan oleh

Pemerintah (Pasal

13b)

Diserahkan pada

Persaingan Usaha

(Mekanisme

Pasar) (Pasal 28

ayat (2))

a. Timbul perbedaan

harga antar

daerah/pulau yang

dapat memicu

disintegrasi bangsa

dan menimbulkan

kecemburuan sosial.

b. Bertentangan

dengan praktek

kebijaksanaan harga

BBM di setiap

negara dimana

64

pemerintah ikut

mengatur harga

BBM sesuai dengan

kebijaksanaan energi

dan ekonomi

nasional setiap

Negara, komoditas

BBM tidak termasuk

dalam agenda WTO.

19. Pengaturan

Pengawasan

(Regulator dan

Pengawas)

a. Dilakukan oleh

Pemerintah

seluruhnya (Pasal

16 UU No. 44/60)

b. Pertamina

bukan regulator,

hanya Pemegang

kendali

management KPS,

Penetapan wilayah

kerja dan

penandatangan

kontrak dengan

KPS hanya dapat

dilakukan setelah

memperoleh

persetujuan

Pmerintah

Pengawasan dan

Pengaturan

sebagian

diserahkan kepada

badan-badan

ekstra structural

(Badan Pelaksana

dan badan

Pengatur) yang

masing-masing

bertanggung jawab

kepada Presiden

seperti juga

masing-masing

menteri.

Pada

pelaksanaannya

akan menimbulkan

kekacauan dan

kerancuan mengenai

pertanggung

jawaban

(akuntabilitas) publik

20. Keterkaitan

Pada Sumber

Energi Lain

Pengalokasian

sumber daya

energi lainnya

dimungkinkan

Karena harga BBM

diserahkan pada

mekanisme harga

pasar, maka

SDE non minyak

akan semakin sulit

untuk dikembangkan

karena

65

dilakukan oleh

Pmerintah lewat

kebijaksanaan

harga BBM.

pemerintah tidak

punya sarana

untuk

pengalokasian

SDElainnya.

pengembangannya

tergantung pada

tingkat harga BBM

yang sudah

sepenuhnya

diserahkan kepada

mekanisme pasar.

21. Sumber Daya

Manusia Pertamina

Pengembangan

karir dan

profesionalitas

SDM

dikembangkan

mengikuti pola

Badan Usaha

Minyak dan gas

terintegrasi Skala

Dunia. (Penghasil

dan pengekspor

LNG terbesar

Karir dan

profesionalisme

SDM akan

mengikuti pola

Badan Usaha

Minyak yang

terkotak-kotak

(menjadi persero

yang tidak bias

dikonsolidasi)

Terjadi PHK besar-

besaran.

4. Khusus bagi para pekerja di lingkungan Pertamina, maka UU Nomor 22

Tahun 2001 juga menimbulkan dampak sebagai berikut:

1. Potensi pengurangan jumlah pegawai jika terjadi penjualan asset-aset

operasi Pertamina atau minimal berubahnya status Pekerja Pertamina

menjadi pekerja non Pertamina;

2. Dengan adanya ketidak jelasan asset mana yang sangat mungkin

dijual beserta alasan-alasan dan jaminan kesejahteraan Pekerjanya

maka terjadi ancaman atas job security yang selama ini dinikmati oleh

para Pekerja Pertamina. Sebagai contoh para Pekerja Pertamina yang

ditempatkan di Rumah Sakit Pusat Pertamina dan seluruh

66

Polikliniknya kini berubah statusnya menjadi Pekerja Anak

Perusahaan karena alasan Petamina hanya diperbolehkan mengelola

kegiatan core business dan Rumah Sakit dianggap bukan merupakan

core business Pertamina;

3. Dengan berkurangnya pendapatan Pertamina dari retensi maka

pengaruhnya terhadap jaminan kesejahteraan para Pekerja Pertamina

adalah kemungkinan kenaikan gaji yang akan tersendat mengingat

sumber keuangan Pertamina berkurang dari sebelumnya. Jika

dibandingkan dengan gaji para Pekerja Kontraktor Bagi Hasil maka

gaji Pekerja Pertamina adalah 1/3 dari gaji mereka dengan pekerjaan

dan jabatan yang setara. Dengan berkurangnya sumber dana

Pertamina dari retensi maka potensi untuk menyamakan gaji Pekerja

Pertamina dengan gaji Pekerja Kontraktor Bagi Hasil akan semakin

lambat dan hal ini menghambat kesejahteraan Pekerja Pertamina.

5. Khusus untuk Pemohon VI, pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 2001

menimbulkan dampak sebagai berikut :

Bahwa paparan Dr. Kurtubi di Proceeding dari International Conference of

the International Association for Energy Economics, Praha, Republik

Ceko, 2003, berjudul The Impact of Oil Industry Liberalization on The

Efficiancy of Petroleum Fuels Supply for The Domestic Market In

Indonesia, memberikan penegasan terjadinya pengurangan neraca

pendapatan negara secara berkelanjutan mengacu antara lain kepada

Lampiran Nilai Ekspor Indonesia, Peranan Migas dalam Perekonomian

Indonesia (Bachrawi Sanusi, 2002). Dan situasi ini dapat berakibat

rangkaian dampak konsekutif (berturutan) kontra produktif sebagai berikut:

a. menurunnya kemampuan negara untuk memenuhi pembayaran utang

luar negeri yang mencapai Rp 2.120 Trilyun, belum termasuk

kewajiban membayar bunga, sebagaimana paparan Persatuan dan

Kesatuan Bangsa (Lembaga Kajian Krisis Nasional, 2003);

67

b. membesarnya beban ekonomi masyarakat dalam rangka

mengimbangi penurunan kemampuan negara sebagaimana butir a

termaksud di atas;

c. mengecilkan peluang masyarakat meningkatkan kemampuan lokal

seperti pendidikan, pelatihan, akses informasi, nation & character

building, dan lain sebagainya;

d. melemahkan Human Development Index;

e. mereduksi daya saing sumber daya manusia pembangunan di era

globalisasi ini;

f. membuka peluang Pembangkrutan Indonesia sebagaimana paparan

Center for Global Interactive Studies (Ultimatum, Jurnal Hukum

Nasional, 2003);

g. meningkatkan country risk factor sehingga mengurangi minat investor

asing, menurunkan perdagangan luar negeri, menyurutkan tingkat

kedatangan wisata luar negeri dan lain sebagainya;

h. menghilangkan rasa percaya diri masyarakat terhadap Ketahanan

Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia;

i. membesarkan potensi disintegrasi Kebangsaan Indonesia;

j. menyusutkan Kedaulatan/Kesatuan Wilayah Negara Kesatuan

Repubtik Indonesia yang sesungguhnya telah dibangun oleh leluhur

bagsa Indonesia sejak Negara Sriwijaya dan Negara Majapahit.

Dan oleh karena itulah UU Nomor 22 Tahun 2001 tersebut adalah

potensial memicu konflik struktural terhadap Pusaka Indonesia yaitu:

a. Merah Putih (Sejak Negara Singosari Jawa Timur);

b. Bhinneka Tunggal Ika (Sejak Majapahit Jawa Timur);

c. Sumpah Pemuda 1928;

d. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya 1928;

e. Pancasila 1945;

f. Proklamasi NKRI 1945;

g. UUD 1945;

h. Wawasan Nusantara (Pendidikan Kewarganegaraan, 2002).

68

Bahwa selanjutnya Pemohon VI selaku warga civitas academica

pendidikan tinggi di Indonesia sebagaimana Surat Tugas kepada

Pemohon VI dari Rektor UnJuang45, Prof DR. MR. Prajudi Atmosudirdjo,

juga prihatin terhadap implikasi Proceeding dari International Conference

of the International Association for Energy Economics, Praha, Republik

Ceko, 2003 yang berakibat negara tidak mampu memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran

pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan

belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan

nasional, sesuai amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

VI. PETITUM Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada

Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan

Pengujian ini sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;

2. Menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

Dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD

1945;

3. Menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

Dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan mengikat;

4. Memerintahkan pencabutan pengundangan Undang-undang Nomor

22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi dalam Lembaran

Negara R.I. dan Tambahan Lembaran Negara R.I. atau setidak-

tidaknya memerintahkan pemuatan petitum ini dalam Lembaran

Negara R.I. dan Tambahan Lembaran Negara R.I.

Menimbang bahwa pada pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan

pada hari Selasa, tanggal 4 Nopember 2003, para Pemohon yang hadir adalah

Pemohon VI Principal dan Kuasa Hukum-nya Jhonson Panjaitan, S.H., dkk.;

69

Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan perbaikan

permohonannya bertanggal 14 Nopember 1003 yang diserahkan di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Selasa,

tanggal 18 Nopember 2003;

Menimbang bahwa pada persidangan hari Selasa, tanggal 9 Desember

2003 para Pemohon datang menghadap, telah didengar keterangannya yang

pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tetap pada

permohonannya;

Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon a quo pada

persidangan hari Selasa, tanggal 9 Desember 2003 dan pada persidangan

pada hari Kamis, tanggal 29 Juli 2004 telah didengar keterangan dari pihak

Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral,

Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang diwakili oleh A. Teras Narang,

S.H., dkk. sebagaimana termuat dalam berita acara persidangan perkara a quo;

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya para

Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat atau tulisan yang dilampirkan

dalam permohonannya dan bukti yang disampaikan dalam persidangan

maupun yang diserahkan pada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, sebagai berikut:

1. Fotokopi Akta Anggaran Dasar Asosiasi Penasihat Hukum Dan Hak Asasi

Manusia Indonesia (APHI), tanggal 28 Mei 2001, Nomor 5, yang dibuat

dihadapan M.P. Sitohang, S.H. Notaris di Jakarta (diberi tanda P-1.1);

2. Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum Dan

Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), tanggal 10 September 1998, Nomor

39, yang dibuat dihadapan Haji Abu Jusuf, S.H. Notaris di Jakarta (diberi

tanda P-1.2);

70

3. Fotokopi Akta Pendirian Yayasan 324, tanggal 31 Maret 2001, Nomor 03,

yang dibuat dihadapan Annie Sri Rahmani Hendrotomo, S.H. Notaris di

Kotamaya Daerah Tingkat II Bekasi (diberi tanda P-1.3);

4. Fotokopi Akta Anggaran Dasar “Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa”, tanggal

26 Oktober 1998, Nomor 5, yang dibuat dihadapan M.P. Sitohang, S.H.

Notaris di Jakarta (diberi tanda P-1.4);

5. Fotokopi Anggaran Dasar Serikat Pekerja Kimia, Energi Dan Pertambangan

Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Unit Kerja Pertamina (SP KEP

FSPSI PERTAMINA), tanggal 20 Januari 2001 (diberi tanda P-1.5);

6. Fotokopi Surat Kuasa Khusus masing-masing bertanggal 9 Januari 2003,

dari: Sjachrul Anwar H., Hendardi, Dorma H. Sinaga, S.H., Ester Indahyani

Jusuf, S.H., Iing Anwarini, Irianto Subiakto, S.H. selaku Pemberi Kuasa

kepada Hotma Timbul H., S.H., dkk. selaku Penerima Kuasa, Advokat dan

Pembela Umum dari APHI, PBHI, SNB, LBH Jakarta, Yayasan 324, SP

KEP-FSPSI PERTAMINA, berdomisili di Gd. Sentral Cikini, Jl. Cikini Raya

No.58 S-T Lt.4, Jakarta Pusat (diberi tanda P-2);

7. Fotokopi Surat Kuasa Khusus bertanggal 12 Nopember 2003, dari: Abdullah

Sodik dan Sjahrul Anwar selaku Pemberi Kuasa kepada Hotma Timbul H.,

S.H., dkk. selaku Penerma Kuasa, Advokat dan Pembela Umum dari APHI,

PBHI, SNB, LBH Jakarta, Yayasan 324, LBH APIK, berdomisili di kantor

PBHI, Gd. Sentral Cikini, Jl. Cikini Raya No.58 S-T Lt.IV, Jakarta Pusat

(diberi tanda P-3);

8. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas tak Lindungi Pelaku Ekonomi

Nasional”, Harian Kompas, tanggal 29 Maret 1999, Kompas Cyber Media,

10/01/2003 (diberi tanda P-4.1);

9. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas yang Baru, Jebakan Politik untuk

Presiden”, tanggal 19 November 2001, dan berjudul “Presiden Diingatkan

Dampak Buruk RUU Migas”, tanggal 20 November 2001, Harian Kompas,

Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi tanda P-4.2);

10. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas Harus Segera Ditolak”, Harian

Kompas, tanggal 2 Juli 2001, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi

tanda P-4.3);

71

11. Fotokopi artikel berjudul “Pemerintah Terapkan RUU Migas secara

Prematur”, Harian Kompas, tanggal 18 Juli 2001, Kompas Cyber Media,

10/01/2003 (diberi tanda P-4.4);

12. Fotokopi artikel berjudu “RUU Migas Belum Jamin Kesejahteraan

Konsumen”, Harian Kompas, tanggal 20 Maret 1998, Kompas Cyber Media,

10/01/2003 (diberi tanda P-4.5);

13. Fotokopi artikel berjudul “Harga BBM Bisa Naik Sampai 300 Persen”, Harian

Kompas, tanggal 26 Maret 1999, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi

tanda P-4.6);

14. Fotokopi artikel berjudul “Tarik Ulur RUU Migas Siapa Untung Siapa

Buntung”, Media Transparansi, Edisi: 07 April 1999 (diberi tanda P-4.7);

15. Fotokopi Hasil Kesimpulan Diskusi Ilmiah di FH UNPAD 26 Maret 1999,

dengan tema berjudul: “Kajian Sosio Budaya, Ekonomi, Lingkungan dan

Hukum Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (diberi tanda P-

4.8);

16. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas Tidak Punya Visi”, Harian Kompas,

tanggal 27 Februari 2001, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi tanda

P-4.9);

17. Fotokopi artikel berjudul “DPRD Riau Tolak RUU Migas”, Harian Kompas,

tanggal 12 November 2001, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi tanda

P-4.10);

18. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001

Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Lembaran Negara R.I. Tahun 2001 Nomor

136, dan Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi (diberi tanda P-5);

19. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang

Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24, dan Penjelasan Atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang

Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

72

Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (diberi tanda P-

6);

20. Fotokopi Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia Nomor 03A/DPR RI/I/2001/2002 Tanggal 16 Oktober 2001

tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(diberi tanda P-7);

21. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas Disetujui, 13 Anggota DPR Menolak”,

Harian Kompas, tanggal 24 Oktober 2001, Kompas Cyber Media, 12/12/03

(diberi tanda P-8);

22. Fotokopi tulisan Dr. Mohammad Hatta berjudul “Pelaksanaan Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 33”, dimuat dalam Majalah Gema Angkatan 45

No.22, Oktober 1977, halaman 3, 4 dan 22 (diberi tanda P-9 = P-VI-1);

23. Fotokopi berita berjudul “Hasil2 Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945”,

dimuat dalam Majalah Gema Angkatan 45 No.22, Oktober 1977, halaman

14 dan 15 (diberi tanda P-10 = P-VI-2);

24. Fotokopi tulisan dari Ir. Bambang E. Budhiyono, Msc. berjudul “Konspirasi

Pembangkrutan Indonesia”, dimuat dalam Majalah ULTIMATUM, Jurnal

Hukum Nasional, Vol. 1, No.3 Januari – Februari 2003, 21-23 (diberi tanda

P-11 = P-VI-6);

25. Fotokopi sampul buku berjudul “Peranan Migas dalam Perekonomian

Indonesia”, oleh: Bachrawi Sanusi, Penerbit Universitas Trisakti dan

Lampirannya, halaman 173 dan 180 (diberi tanda P-12 = P-VI-4);

26. Fotokopi Buku berjudul “Pendidikan Kewarganegaraan”, Tim Penyunting:

Drs. H. Hamdan Mansyur, Tjiptadi, SE, SIP, MM, Drs. H. AN. Sobana,

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, halaman 54 – 101

(diberi tanda P-13 = P-VI-7);

27. Fotokopi buku berjudul “Persatuan Dan Kesatuan Bangsa”, Lembaga Kajian

Krisis Nasional (LKKN), bagian “Penutup”, halaman 54 (diberi tanda P-14 =

P-VI-5);

28. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna Ke-17 Masa Persidangan I Tahun Sidang

2001-2002, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dari Sekretariat

Jenderal DPR RI Jakarta, 23 Oktober 2001;

73

29. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor:

03A/DPR RI/I/2001-2002 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia;

30. Fotokopi Lembaran Negara Republik Indonesia No.133, 1960.

Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang No.44 tahun 1960, tentang pertambangan minjak dan gas

bumi (Pendjelasan dalam Tambahan Lembaran-Negara No.2070);

31. Fotokopi Undang-undang No.8 Tahun 1971, LN. 1971-76; s.d.t. dg. UU

No.10/1974, “Perusahaan Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi Negara;

32. Fotokopi Makalah berjudul: Market Development Stages: Example of Other

Countries; Energy Insights, Number 24, Indonesia Oil and Gas Industry:

Some Progres, but Much More Needs to be Done, July 2003;

33. Fotokopi artikel berjudul: The Impact of Oil Industry Liberalization in

Indonesia on The Efficiency of Petroleum Fuel Supply for The Domestic

Market, By Dr. Kurtubi (diberi tanda P-VI-3);

34. Fotokopi Ringkasan Hasil Pertemuan Antara DHN 45 Dengan Kelompok

Pemerhati/Praktisi/Ahli Dan Aktivis Peduli Migas Tentang Memberdayakan

Dan Memposisikan Visi Dan Misi Jiwa, Semangat, Dan Nilai-nilai Yang

Terkandung Dalam UUD 1945, Dalam Pembahasan “SUBSTANSI” RUU

Migas 2001 (diberi tanda P-VI-11);

35. Fotokopi “Minderheidsnota bertanggal 22 Oktober 2001” dari Prof. Dr.

Dimiyati Hartono, dkk. (Anggota DPR) Terhadap Disahkannya RUU Migas

Menjadi Undang-undang Dalam Rapat Paripurna DPR-RI Tanggal 23

Oktober 2001 (diberi tanda P-VI-12);

36. Fotokopi Makalah oleh Hartono Mardjono berjudul: Imperialisme Sistemik

Melalui Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (diberi tanda

P-VI-13);

37. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Swastanisasi dan Asingisasi:

Menuju A Suicidal Nation? (diberi tanda P-VI-14);

38. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Privatisasi Pertamina:

Pelumpuhan Diri (diberi tanda P-VI-16);

74

39. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Undang-Undang Migas dan

Pelumpuhan Diri (diberi tanda P-VI-17);

40. Fotokopi kumpulan Makalah oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Mewaspadai

Pasar-Bebas Dan Globalisasi: Undang-Undang Migas Dan Self-

Disempowerment Indonesia (diberi tanda P-VI-18);

41. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Rezim ‘Merampok’ Negara,

Isu Tentang Nasionalisme Indonesia (diberi tanda P-VI-19);

42. Fotokopi artikel berjudul: Efek Berganda Pemanfaatan Gas Bumi Untuk

Industri (diberi tanda P-VI-20);

43. Fotokopi Makalah berjudul: Privatisasi/Asingisasi BUMN Indonesia, oleh

Nanang S. Sutadji (diberi tanda P-VI-21);

44. Fotokopi dokumen berjudul: “Perbandingan Penerimaan Pemerintah Dari

Gas Bumi”, dari Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro Dan Hasil Hutan

Departemen Perindustrian Dan Perdagangan Oktober 2003 (diberi tanda P-

VI-22);

45. Fotokopi opini dari Ir. Nanang S. Sutadji “UU No.22 tahun 2001 tentang

MIGAS (diberi tanda P-VI-23);

46. Fotokopi Makalah berjudul: Pokok-pokok Permasalahan Penguasaan

Produksi/Distribusi Migas Yang Dapat Menimbulkan Konflik Sosial oleh

Madiri Thamrin Sianipar (diberi tanda P-VI-24);

47. Fotokopi opini berjudul: Penyelewengan di Bidang Energi dan Migas Capai

Rp.5 Triliun (diberi tanda P-VI-25);

48. Fotokopi Press Release oleh PUK SP KEP – FSPSI Pertamina berjudul:

Cegah Penggadaian Kekayaan NKRI (diberi tanda P-VI-26);

49. Fotokopi opini oleh Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH. Berjudul: Undang-

Undang Migas 2001 Pembangkrut Kemerdekaan Ekonomi NKRI (diberi

tanda P-VI-27);

50. Fotokopi bagan berjudul: Alur Konstitusi Pertamina, dari Pengurus Forum

Solidaritas Masyarakat Peduli Pertamina (eMPePe), bertanggal 5

September 2001 (diberi tanda P-VI-28);

51. Fotokopi bagan berjudul: Alur Dasar RUU Migas 2001, dari eMPePe,

bertanggal 5 September 2001 (diberi tanda P-VI-29);

75

52. Fotokopi opini berjudul: Penyimpangan RUU Migas 2001 Dari Pasal 33 UUD

1945 (diberi tanda P-VI-30);

53. Fotokopi Surat bertanggal May 28, 2002, Letter No. M-598/MINING/V/2002;

54. Fotokopi Paparan dari Ramses Hutapea, Jakarta, 1 Juli 2004 (diberi tanda

P-VI-RH-1);

55. Fotokopi print out berjudul: United States Securities And Exchange

Commission, Washington, D. C. 20549, Form 10-Q, Quarterly Report

Pursuant To Section 13 Or 15(d) Of The Securities Exchange Act Of 1934,

For the quarterly period ended September 30, 2003 Or Transition Report

Pursuant To Section 13 Or 15(d) Of The Securities Exchange Act Of 1934,

Commission File Number 1-2256, Exxon Mobil Corporation (diberi tanda P-

VI-RH-2);

56. Fotokopi artikel berjudul: Sangat Rendah, Realisasi Kegiatan Eksplorasi dan

Eksploitasi Migas (diberi tanda P-VI-RH-3);

57. Fotokopi artikel berjudul: Menyoal Uji Material UU MiGas (diberi tanda P-VI-

RH-4);

58. Fotokopi artikel berjudul: Stok Bahan Bakar Minyak Nasional Kritis (diberi

tanda P-VI-RH-5);

59. Fotokopi artikel berjudul: Pertamina Akhirnya Terima Kucuran Dana Subsidi

BBM Rp.2,38 Triliun dari Pemerintah (diberi tanda P-VI-RH-5.1);

60. Fotokopi opini dari Sri Edi Swasono (diberi tanda P-VI-RH-6);

61. Fotokopi opini dari Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH, berjudul: Dampak

Kerugian Konstitusional UU MiGas (diberi tanda P-VI-RH-7);

62. Fotokopi artikel berjudul: Kelangkaan Solar di Jambi Makin Parah (diberi

tanda P-VI-RH-8);

63. Fotokopi artikel berjudul: Solar Langka di Kaltim dan Jambi (diberi tanda P-

VI-RH-9);

64. Fotokopi artikel berjudul: Tim Proyek Tangguh Sodorkan Tiga Opsi (diberi

tanda P-VI-RH-10);

65. Fotokopi artikel berjudul: Kontroversi Penjualan Tanker Pertamina, Di

Ambang Kebangkrutan (diberi tanda P-VI-RH-11);

76

66. Fotokopi artikel berjudul: Pemerintah Diminta Tolak Beri Jaminan Bagi LNG

Tangguh (diberi tanda P-VI-RH-12);

67. Fotokopi artikel berjudul: Pemerintah Harus Cabut Kepmenkeu yang

Mengkerdilkan Pertamina (diberi tanda P-VI-RH-13);

68. Fotokopi artikel berjudul: Jangan Dijual Pertaminaku Kepada Asing (diberi

tanda P-VI-RH-14);

69. Fotokopi print out tabel berjudul: Manajemen Production Sharing

Expenditures, Cost Recovery & Revenue Distribution All Blocks 1966 –

2000, APF/PDA/FDE-MPS (diberi tanda P-VI-RH-15);

70. Fotokopi opini berjudul: BBM, Kepasrahan Yang Menjengkelkan (diberi

tanda P-VI-RH-16);

71. Fotokopi artikel berjudul: RUU Migas Diundangkan dengan Catatan

Penolakan (diberi tanda P-VI-RH-17);

72. Fotokopi artikel berjudul: UU Migas Disetujui dengan Catatan (diberi tanda

P-VI-RH-18);

73. Fotokopi artikel berjudul: RUU Migas Disetujui, 13 Anggota DPR Menolak

(diberi tanda P-VI-RH-19);

74. Fotokopi artikel berjudul: Dinilai cacat Hukum, Fortas-MPM Minta MK Cabut

UU Migas (diberi tanda P-VI-RH-20);

75. Fotokopi ‘Ulasan Singkat’ bertanggal 29 Juli 2004, dari Solidaritas

Pensiunan Karyawan Pertamina, berjudul: Pertamina Dibayang-bayangi

Ambivalensi Komisi VIII DPR R.I. (Tinjauan Kritis Reposisi Pertamina salah

kaprah);

76. Fotokopi opini oleh Ir. R.O. Hutapea masing-masing berjudul: “Undang-

Undang Migas Harus Didasarkan Atas UUD 1945”, “Implikasi Pelaksanaan

UU Migas 2001”, “Penyimpangan RUU Migas 2001 Dari Pasal 33 UUD

1945;

77. Fotokopi artikel berjudul: Kerugian Ekonomi Dari Penerapan UU Migas

No.22/2001, oleh Dr. Kurtubi (diberi tanda P-VI-K-1);

78. Fotokopi artikel berjudul: Insentif Bagi Hasil Migas Rugikan Negara (diberi

tanda P-VI-K-2);

77

79. Fotokopi artikel berjudul: Tanker VLCC dan Liberalisasi Sektor Hilir Industri

Migas (diberi tanda P-VI-K-3);

80. Fotokopi artikel berjudul: Net Imports Threaten Indonesia’s OPEC Spot

(diberi tanda P-VI-K-4);

81. Fotokopi artikel berjudul: Jakarta’s higher oil imports raise doubts over its

Opec status (diberi tanda P-VI-K-5);

82. Fotokopi print out berjudul: “Indonesia becomes net crude importer amid

dwindling production Singapore”, “Import meet a third of oil products

demand”, “More measures needed to woo E+P investment”, “Expert

suggests explorers not be taxed” (diberi tanda P-VI-K-6);

83. Fotokopi artikel berjudul: Indonesia, “Net Oil Importer”! (diberi tanda P-VI-K-

7);

84. Surat Pernyataan dari Ir. Nur Khaliek, MBA., bertanggal 16 Agustus 2004,

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kalam Keluarga Alumni (Kalam) Salman

ITB (KALAM SALMAN ITB);

85. Surat Pernyataan Sikap dari Koordinator Eksekutif FORTAS-MPM,

bertanggal 16 Agustus 2004;

86. Fotokopi Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor:...../MPR/1993 tentang Demokrasi Ekonomi;

87. Fotokopi Opini berjudul ”UU Migas No.22/2001 Bertentangan Dengan UUD

1945 Dan Merugikan Efisiensi Industri Migas Nasional Serta Merugikan

Ekonomi Masyarakat, oleh Dr. Kurtubi.

Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para

Pemohon selain mengajukan bukti-bukti surat atau tulisan juga mengajukan

Ahli yang semuanya dibawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya

sebagai berikut:

1. Prof. Dr. SRI EDI SWASONO, SE. - Bahwa sesungguhnya Pasal 33 UUD 1945 yang asli dengan Pasal 33

hasil amandemen secara harfiah bisa disimpulkan sama. Namun karena

undang-undang sebagai hukum bisa mempunyai interpretasi, apabila

78

interpretasi historisnya dihilangkan dan diganti dengan interpretasi yang

lain terutama ayat (4) maka tentu Pasal 33 UUD 1945 asli bisa berbeda.

Namun secara harfiah yang ada sekarang dengan interpretasi yang tidak

dipersoalkan itu sama;

- Bahwa Undang-undang Migas dengan titik tolak yang jelas pada

awalnya mengisyaratkan bahwa kita telah menerima liberalisasi pasar

bebas dan neo liberalisme. Oleh karena itu ahli berkesimpulan Undang-

undang Migas adalah undang-undang yang ahli sebut suicidal society

atau undang-undangnya masyarakat yang sedang bunuh diri. Maksud

dari pada neo liberalisme yang secara apriori sejak kemerdekaan

berdasarakan Pasal 33 dan sejarahnya yang panjang, bahwa Undang-

undang Migas yang neo liberalistis ini harus ditolak karena itu

mengancam peran negara untuk menjaga Pasal 33 terutama ayat (2)

dan (3);

- Bahwa Undang-undang Migas Pasal (4) itu adalah kemasan yang

berbahaya. Diawali dengan sesuatu yang kelihatannya benar. Kuasa

pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada

Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi. Namun kemudian melihat pada Pasal-pasal berikutnya,

Pasal 28 dikatakan harga bahan bakar minyak dan gas bumi sebagai

output atau sebagai keluaran dari pada undang-undang itu, sebagai

komoditinya diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha. Ini sudah

masuk alam liberalisasi. Kemudian lebih lanjut, memang ada semacam

penangkal atau restriksi hukum yaitu yang mengatakan pelaksanaan

kebijaksanaan harga ini menggunakan istilah harga, jadi tidak konsisten

dengan persaingan tadi. Harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan

masyarakat tertentu. Ini suatu restriksi yang mungkin hanya untuk

menunjukkan bahwa Pemerintah enggan melepaskan tanggung jawab

sosial. Namun dalam kenyataannya memang bisa diduga sejak awal

akhirnya subsidi dicabut dengan agak semena-mena;

79

Selanjutnya, dikatakan kegiatan Pasal (9) misalnya, kegiatan usaha hulu

dan hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) angka 1 dan 2 dapat

dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara. Kemudian Badan Usaha

Milik Daerah, kemudian Koperasi dan Usaha Kecil yang tidak mungkin,

kemudian badan usaha swasta yang sangat mungkin. Dengan hal-hal

ini, terkesan ada hal-hal yang bahwa itu menjadi umum dimasukkan

unsur koperasi dan usaha kecil, yang menurut ahli untuk Undang-

undang Migas, hal ini sangat sulit dilakukan karena memang bukan

bidang koperasi dan usaha kecil. Nanti yang ahli khawatirkan dalam

kenyataan pun sudah ada, ada 17 kontrak dengan swasta, jadi akhirnya

swasta yang sangat berperan. Dan ini adalah wujud utama dari neo

liberalisme di Indonesia. Dan ini tentu merupakan bahaya nasional yang

besar, apalagi perkataan pasar bebas sudah disebut di dalamnya.

Dengan pasar bebas Indonesia akan terjebak ke dalam permainan

Internasional. Padahal sekarang pasar bebas begitu mencapai

puncaknya. Liberalisme yang telah mencapai puncaknya akhirnya

mendapat tantangan yang luar biasa. Tantangan terjadi dimana-mana,

menolak neo liberalisme, menolak WTO dan lain-lain padahal itulah

sesungguhnya apa yang dimaksudkan oleh Pasal 33. Jadi menuju

kepada solidaritas dan mengurangi kebebasan, dan kebebasan mulai

harus diatur sebaik-baiknya. Pasar bebas adalah nonsence, namun

justru disayangkan Undang-undang Migas menyambut pasar bebas

secara berlebih-lebihan dan dia tidak tahu apa itu pasar bebas yang

sebenarnya. Undang-undang Migas ini telah merupakan bagian dari

liberalisasi atau neo liberalisasi dan telah menyerahkan diri kepentingan

negara yang strategis kepada pasar bebas;

- Bahwa ahli tahu pernah ada minderheids nota oleh Marjono menolak

adanya swastanisasi atau pasarisasi dari pada cabang-cabang produksi

yang penting bagi negara, yang artinya strategis bagi negara;

- Bahwa di dunia selalu ada perebutan mengenai energi. Pada abad 17

perebutan energi masih berupa energi sederhana yang namanya

pemanas badan yaitu pala dan cengkeh. Untuk itulah maka terjadi

80

perebutan di Maluku, rempah-rempah kita diangkut dengan semena-

mena, dengan pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa kejamnya

seperti digambarkan oleh Homitohten;

Sekarang yang disebut energi bukan lagi seperti itu. Yang disebut energi

sekarang adalah minyak terutama dengan derivat-derivatnya serta

batubara. Perang energi ini adalah perang kekuasaan, siapa yang

menguasai energi dia yang akan menguasai dunia. Indonesia bisa

terjebak, tidak bisa menolak tekanan asing karena lemahnya

pemerintahan. Ahli mengetahui betul bahwa Undang-undang Migas ini,

loby-loby asing luar biasa. Oleh karena itu sampul dari pada Undang-

undang Migas adalah pasar bebas dan neo liberalisme yang terang-

terangan apriori bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;

- Bahwa demokrasi ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi yang tegas

menyatakan kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan

orang-seorang. Kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran

orang-seorang meskipun kepentingan orang-seorang tetap dihormati;

Demokrasi ekonomi kita mengatakan yang dimaksudkan adalah dari,

oleh dan untuk. Sedangkan demokrasi barat biasanya dari dan oleh;

untuk Indonesia lebih dari itu, demokrasi ekonomi adalah bahwa cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara, kalau tidak maka kepentingan rakyat

akan terancam dan Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjaga

kepentingan rakyat dengan Pasal 33-nya, bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Dan di dalam Undang-undang Migas, pembatasan-

pembatasan pasal-pasal yang tidak konsisten, bahwa kepentingan

Indonesia pun maksimum hanya dibatasi sampai 25%. Jadi dengan

pasal yang di depan dengan pasal yang di belakang tergelincir, di situ

ada inconsistency yang sangat memalukan yang sesungguhnya hukum

itu dari awal sampai akhir harus jelas pesannya dan harus jelas pula

konsistensinya;

81

- Bahwa menurut ahli mengenai hak yang berkaitan dengan sumber daya

alam antara PBB berbeda dengan IMF dan Develop Bank. IMF dan

Develop Bank adalah pejuang neo liberalisme, sedang PBB adalah

pejuang hak asasi manusia. Resolusi 626 dan 1803 sesungguhnya

menegaskan semangat sovereignty dari rakyat, tentu PBB berbicara

demikian, tetapi hal semacam itu tidak akan dibicarakan oleh IMF

tentang dunia. Sekarang PBB mengeluarkan buku melalui UNDP yang

disebut at millennium development gold. Buku itu kiranya agak menyindir

Indonesia mungkin karena buku yang diedarkan oleh PBB melalui UNDP

tiap tahun, kali ini diluncurkan di Indonesia. Kalau kita melihat ada at

millennium development gold, PBB sudah mulai lebih dekat dengan

Pasal 33 Republik Indonesia, artinya kepentingan masyarakat lebih

utama. Dengan at millennium development gold yang ditegaskan oleh

PBB dimana Indonesia ditaruh urutan lebih rendah dari Vietnam

kemampuan sumber dayanya dan mungkin juga sumber pikirnya. Itu

jelas menegaskan millennium development gold yang 8 (delapan) itu

akan bisa dicapai mekanisme pasar bebas. Oleh karena itu,

sesungguhnya jangan sampai dunia sudah mulai melihat kembali peran

dari pada demokrasi ekonomi, Indonesia melepaskannya hanya karena

kekaguman; 2 (dua) resolusi PBB itu dekat sekali dengan demokrasi

ekonomi Indonesia. Dan Pasal 33 kita pernah menjadi landasan

pemikiran dari Chekoslowakia, ahli pernah diundang oleh Parlemen

Chekoslowakia ketika mereka mau masuk ekonomi pasar, bukan pasar

bebas, mereka menyayangkan kalau perusahaan-perusahaan negara di

swastanisasi;

- Bahwa menurut ahli Undang-undang Migas harus dirombak karena

kemasan-kemasan di depannya bagus yang tidak bagus ditengahnya.

Jadi, dihilangkan apakah itu istilah hukumnya di amandir atau di

reformasi, tetapi yang jelas pasal-pasal yang mempertegas adanya

pasar bebas dan liberalisme dan inkonsistensi antara Pasal 28, 29, 22

dan lain-lain itu memang harus diperbaiki;

82

- Bahwa menurut ahli di Eropa Barat dari 15 (lima belas) negara yang

dikatakan mengikuti ekonomi pasar bukan pasar bebas ternyata 13 (tiga

belas) sedang dipimpin oleh kelompok sosialis yaitu partai buruh dan

sosialis. Itu menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya masih enggan

melepaskan. Memang ada 2 tokoh besar di dunia, yang satu namanya

Reagan di Amerika Serikat dan yang satu adalah Teacher, dan Teacher

itu berusaha untuk merealisasi cita-cita pasar yaitu neo liberalisme

dengan privatisasi yang akhirnya diprotes besar-besaran. Dan akhirnya

wujud dari privatisasi di Inggris setelah Blair berbeda dengan apa yang

pernah diharapkan oleh Teacher. Jadi Teacher berhenti di tengah jalan,

kemudian Reagan juga berhenti di tengah jalan. Namun kumat lagi

setelah ada George Bush; Aturan Peralihan ayat dua, segala badan dan

peraturan yang ada tetap berlaku sampai diadakan yang baru menurut

Undang-Undang Dasar ini. Aturan Peralihan itu bunyinya demikian. Apa

yang dimaksudkan segala badan dan peraturan yang ada, di dalam

bidang ekonomi itu menyangkut bahwa wetboek van koophandel

terpaksa tetap berlaku tetapi dalam arti peralihan, karena wetboek van

koophandel asasnya adalah asas perorangan. Sedang Pasal 33 asasnya

adalah kebersamaan dan kekeluargaan. Itulah sebabnya wetboek van

koophandel dinyatakan temporer yang sampai sekarang justru dipelihara

dan diperkuat oleh undang-undang yang sangat liberalistis yaitu P.T.,

N.V. yang akhirnya menjadi one share one vote. Pada KUHD Belanda

pun masih memberikan pilihan bahwa sesungguhnya masih bisa

dikatakan one share one vote, one man one vote; Jadi oleh karena itu,

untuk Hindia Belanda masih ada restriksi semacam itu. Sekarang masih

berlaku hukum Belanda;

Ada perbedaan mengenai welfare state ala Indonesia dengan welfare

state ala Barat, tidak termasuk Eropa Timur tidak masuk Cheko dan

sekarang Slowakia setelah mereka pisah. Welfare state Indonesia

berdasarkan negara yang didirikan dengan pola pikir atau paradigma

negara sebagai the same act, sedang negara yang di Barat didirikan

berdasarkan kontrak sosial. Kontrak sosial yang artinya individualisme,

83

kontrak antara individu-individu, dan sekarang kontrak sosial sedang

dihidup-hidupkan di Indonesia. Kontrak sosial tidak relevan untuk

dibicarakan di Indonesia karena Indonesia menganut paham the same

act, yaitu menganut faham ukhuwah kalau bahasa agamanya, atau

menganut faham konsensus nasional. Untuk merdeka kita tidak

membuat kontrak sosial, tetapi waktu merdeka kita membuat the same

act, yaitu konsensus nasional untuk merdeka. Jadi, dasar dari pada

welfare state di Amerika Serikat tetap adalah kedaulatan rakyat ala

Roseau, tetap falk sovereignty ala Rousseau, yaitu falk sovereignty ala

liberalisme. Sedang di sini falk sovereignty kita yang disebut kedaulatan

rakyat adalah berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan, sering

disebut dalam bahasa barat, berdasarkan mutualisme and brotherhood

seperti di Jepang. Jadi dengan kata lain namanya memang welfare state

tetapi dasarnya adalah kepentingan individu, sedang di sini dasarnya

adalah kepentingan kolektif bangsa. Oleh karena itu, pernah Prof.

Supomo entah tergelincir atau entah salah, sekali saja beliau

mengucapkan negara integralis, tetapi habis itu beliau tidak pernah

menggunakan kata itu karena itu the same act dan orang Jerman

mengetahui betul karena orang Jerman pada hakikatnya juga menganut

the same act yaitu dia selalu bilang the disney dayna falk is falles, Anda

bukan apa-apa, kepentingan bangsa dan rakyat adalah utama. Jadi di

Jerman pasar sosial masih berdasarkan itu, maka mungkin seperti di

Indonesia juga di Jerman ada orang lulusan Amerika Serikat lalu menjadi

liberalis bahkan menjadi corong liberalisme yang luar biasa;

- Bahwa menurut ahli cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

istilah baru sekarang adalah the strategicall economic sector on political

government, jadi artinya sektor strategis atau cabang-cabang produksi

yang strategis. Di Malaysia, minyak adalah strategis, tidak pernah ada

kepemilikan swasta, bahkan seluruh dunia minyak tidak pernah di

swastanisasi, yang swasta adalah di Amerika Serikat, tetapi tidak berarti

itu benar, swasta di Amerika Serikat justru mereka melakukan

konservasi, tidak menyentuh sumber minyaknya, tidak mengebor

84

banyak-banyak, dia menggunakan yang dari luar. Jadi cabang produksi

yang penting bagi negara itu sesungguhnya juga minyak diakui oleh

Amerika sebagai cabang produksi yang penting bagi negara karena

strategis. Cabang produksi yang penting bagi negara berbeda satu

dengan yang lain, untuk negara tropis seperti Indonesia, maka hutan

adalah cabang produk yang penting bagi negara karena kita daerah

tropis. Cabang-cabang yang penting lagi yaitu mineral, karena itu adalah

akar dari pada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, kaitannya memang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Jadi,

kalau tidak menguasai hajat hidup orang banyak kadar dari pentingnya

negara juga berkurang; - Bahwa menurut ahli pengertian dikuasai oleh negara adalah memiliki

minimal 51% saham karena telah berlaku undang-undang di Indonesia,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 dan juga telah berlaku pula

kesepakatan global, one share one vote sudah menjadi kesepakatan

global kecuali untuk sektor non komersial P.T., tetapi kalau untuk sektor

koperasi karena keadaan lain, memang tidak. Nomor dua adalah strong

government, negara pengurus yang sebenarnya yang sekarang

diterjemahkan banyak orang menjadi good government padahal good

government yang ada di Indonesia yang diajarkan di Lembaga

Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN R.I.) adalah good

government yang punishing the birocracy. Jadi good government yang

didikte oleh pola pikir liberalisme bukan pola pikir negara pengurus waktu

negara ini didirikan. Jadi kalau kepemimpinan negara kita menyadari

karena itu interprestasi juga menyangkut soal wisdom. Kalau minyak

tanah itu pasti menyangkut, kalau pupuk itu otomatis menyangkut hajat

hidup orang banyak. Jadi pupuk harus tetap dikuasai;

Jadi melalui policy disamping tadi melalui pemilikan, yang kedua

adalah melalui policy negara. Kalau policy negara meskipun menguasai

tetapi policy-nya tidak dilaksanakan konsisten dengan pemilikan

misalnya saja PUSRI lebih banyak memihak kepada distributor dari pada

petaninya sendiri sekarang ini, maka policy yang semacam itu keliru.

85

Pembelian gabah oleh Dolog misalnya, itu Dolog mengeluarkan d.o

kepada calon pembeli gabah dan calon pembeli gabah itu bisa membeli

d.o (delivery order) karena mendapat kredit dari Bank Rakyat Republik

Indonesia, sedangkan rakyatnya sendiri tidak mendapat kredit dengan

mudah, maka berarti policy-nya tidak mendukung adanya kepemilikan

yang harus berarti penguasaan;

- Bahwa menurut ahli Penjelasan UUD 1945 dianggap tidak ada lagi

melalui sistem baru. Rohnya apakah penyelenggara negara masih

committed pada roh lama, masih committed pada interprestasi historis

yang ada di dalamnya. Kalau tidak committed bisa mengartikan

demokrasi ekonomi, semua orang dapat bagian, yang kuat yang menjadi

kuat, dan sebagainya. Oleh karena itu, salah satu yang agak penting

untuk mengurangi restriksi adalah saya menambahkan perkataan

efisiensi berkeadilan karena keadilan itu hanya ada pada kekeluargaan.

Tanpa asas kekeluargaan tidak akan ada keadilan. Dan di sini asas

kekeluargaan hilang dan yang ada hanyalah kebersamaan. Bagaimana

ahli bisa menambahkan berkeadilan, terpaksa menggunakan ayat-ayat

suci Al-quran bahwa ukhuwah itu adalah tuntunan dan sekaligus

tuntutan agama yang menghilangkan asas kekeluargaan, berarti

menentang agama karena ukhuwah artinya adalah asas kekeluargaan.

Ada ukhuwah Islamiah untuk orang-orang muslim, ada ukhuwah untuk

orang-orang Nasrani, ada ukhuwah untuk seluruh bangsa, tetapi

ukhuwah adalah tuntutan agama, akhlak agama yang tidak boleh hilang.

Jadi kalau memang masih committed terutama kalau ditulis pada ayat (5)

akan diatur lebih lanjut, semoga pengaturan itu historis;

- Bahwa sesungguhnya sistem ekonomi bukan antara liberalisme dengan

plan economy, itu wujud, tetapi yang pertama adalah sistem yang satu

berdasarkan kepada kepentingan pribadi dan yang satu adalah sistem

ekonomi yang berdasarkan kepentingan bersama atau sering disebut

sebagai social interest. Wujudnya macam-macam, yang ekstrim sekali

menjadi komunistis termasuk bagian sosialis, sosialisme tidak harus

komunistik, yang lain adalah sistem kapitalis. Dan kapitalis pun ada

86

macam-macam bentuknya sekarang berkembang. Jadi, berdasarkan

sistem ekonomi maka demokrasi ekonomi Indonesia jelas ada pada

pengutamaan kepentingan bersama yang menolak sistem Adam Smith.

- Bahwa untuk monopoli oleh negara, ada tempat yaitu yang mengacu

kepada ayat (2). Tentu monopoli oleh negara dimaksudkan untuk

menjaga kepentingan orang banyak bukan untuk mematikan sekelompok

orang swasta, tetapi monopoli oleh negara itu menjadi suatu tuntutan

yang konsisten dengan adanya Pasal 33 sendiri. Yang tidak dikehendaki

adalah monopoli oleh masyarakat yang nanti mengakibatkan menurut

istilah demokrasi ekonomi Pasal 33 asli, rakyat banyak akan

ditindasinya. Ini bahasa yang luar biasa, bukan sekedar ditindasnya

tetapi ditindasinya, pluralistik sekali bahasanya, monopoli oleh negara

sama sekali tidak keliru, karena negara adalah berdasar kedaulatan

rakyat, negara adalah mengutamakan kepentingan rakyat.

- Bahwa monopoli di luar negeri malah lebih keras dari pada di Indonesia,

tidak harus 51% apalagi tidak harus 100%, 17% diperbankan Australia

sudah dianggap membahayakan kepentingan publik. BNI 46 akan dijual

51%, yang membeli tidak mau disuruh membeli 49%, pasti dia minta

50% karena yang mau dibeli adalah kekuasaan untuk mengatur

perekonomian nasional, padahal BNI mempunyai latar belakang sejarah

yang sangat panjang di Republik Indonesia ini. Jadi penerapan pada

jumlah pemilikan presentase tertentu sudah bisa dianggap monopoli, di

negara satu berbeda dengan negara lain, maka karena itu keduanya

adalah sektor strategis, baik hulu maupun hilir, tetapi tidak semua di hilir

menjadi strategis. Ada bagian-bagian di hilir yang tidak strategis, maka

pemilikan saham boleh lebih besar oleh swasta lebih kecil oleh

Pemerintah. Tetapi yang terpenting tentunya adalah sektor-sektor di hulu

dan di hilir yang jelas-jelas berkaitan dengan kepentingan masyarakat;

- Bahwa dengan perkembangan dari teknologi yang ada bisa terjadi

pergeseran antara mana yang penting bagi negara dan menjadi kurang

penting bagi negara. Namun perkembangan teknologi yang ada

mengatakan bahwa petrokimia adalah terlalu penting untuk diserahkan

87

kepada swasta. Pemerintah harus mempunyai kekuatan penentu di

dalam petrokimia, tetapi karena Pemerintah kebobolan dan tidak punya

uang malah itu di tender kemana-mana. Kesalahan itu harus diperbaiki

melalui kekuatan kedua disamping pemilikan ada regulatory, semoga

Pemerintah masih bisa membuat regulatory action untuk itu. Di dalam

hilir ada listrik. Listrik memang di beberapa negara dilakukan oleh

swasta, tetapi di Indonesia telah terbukti waktu diberikan kepada swasta,

swasta bisa mengenakan tarif yang luar biasa beratnya yang lebih besar

dari pada yang dijual oleh PLN kepada masyarakat. Akhirnya tiap kali

Pemerintah membeli listrik swasta untuk disalurkan karena yang

mempunyai jaringan distribusi hanya PLN, maka PLN langsung harus

mensubsidi swasta tersebut. PLN sendiri bisa mendirikan listrik yang

lebih murah. Ini semua bervariasi, di hilir pun listrik menjadi strategis.

Di Amerika Serikat waktu terjadi black out yang luar biasa, beberapa

senator mengatakan harus ada campur tangan langsung dari

Pemerintah mengenai kelistrikan karena kelistrikan menjadi peka akan

terorisme. Jadi pada saat-saat tertentu memang di hilir bisa rileks, tetapi

di saat-saat tertentu hilir bisa kencang sekali oleh Pemerintah. Dan untuk

itu tentu harus ada pembahasan teknologi;

- Bahwa sebelum Pemerintah berhasil memberikan alternatif energi

kepada masyarakat, Pemerintah harus tetap mensubsidi minyak tanah.

Ini memang pilihan yang berat tetapi harus dilakukan. Tanpa

memberikan subsidi pada minyak tanah, hutan akan terancam karena

orang akan mulai memasak dengan kayu-kayu dan pencurian-pencurian

kayu. Oleh karena itu, harga tidak boleh harga bebas, untuk minyak

tanah harus tetap tersubsidi;

- Bahwa mengenai Pasal 4 ayat (1) dan (2), ahli melihat Pemerintah tidak

selalu sama, kalau ini terjadi pada rezim sekarang, maka ayat itu sampai

berbahaya karena yang terjadi adalah kecenderungan untuk tidak peduli

dengan kepentingan strategis nasional. Di jaman pemerintahan

sebelumnya yang dipimpin oleh Soeharto, minyak meskipun di dalamnya

88

ada korupsi, tetapi keputusan mengenai minyak akan langsung dipegang

oleh Presiden sendiri karena strategisnya;

- Bahwa menurut ahli tidak boleh berprinsip menyerahkan harga minyak

ke pasar bebas, karena kalau menyerahkan ke pasar bebas bisa harga

minyak menjadi sangat murah dan mematikan kita, kalau sangat mahal

maka rakyat dalam negeri juga akan terkena. Ini masalah policy choice

dari Pemerintah;

- Bahwa menurut ahli, WTO bukan sesuatu yang given, bukan sesuatu

patokan mati. Mestinya Indonesia langsung ikut di dalam gerakan anti

WTO yang sekarang sedang melanda seluruh dunia. Sekarang WTO

sedang di dalam sorotan dan sedang di benci oleh masyarakat dunia

karena WTO yang mempunyai cita-cita murni ternyata di belakangnya

dia menampung aspirasi-aspirasi kapitalisme besar, yang mereka

menyebutnya dengan istilah behinded WTO is the turbo capitalism. Jadi

dengan kata lain, perjuangan kita di WTO tidak menghilangkan WTO.

RRC masuk ke WTO untuk bisa mengobrak-abrik WTO, makanya

masuk ke WTO RRC susah sekali, karena Amerika Serikat tahu dia ingin

mengobrak-abrik WTO karena WTO memang merugikan tidak saja Cina

tapi juga kita semua. Jadi, menurut ahli WTO harus dikembalikan kepada

khitoh untuk menjaga keseimbangan perdagangan internasional. Jadi,

pada setiap tahun ada konferensi WTO, kita harus membuat formulasi

baru, apa yang kita setujui pun harus kita rombak lagi, kita mencari

persetujuan baru. Baru nomor 2, strategi yang disebut The Mahatir’s,

Mahatir mulai menggerakkan kekuatan ASEAN, tetapi tentu tidak akan

bisa berhasil karena ASEAN tanpa Indonesia pasti tidak ada maknanya,

semoga nanti lahir WTO baru yang lebih baik, dan itu opportunity untuk

Indonesia. Dan Pemerintah kita harus siap karena globalisasi itu not only

opportunity, karena globalisasi juga adalah perjuangan yang tidak ringan;

- Bahwa mengenai penafsiran historis Pasal 33 UUD 1945, pikiran yang

benar adalah historical interpretation adalah yang berdasarkan the soul,

hakikat bukan praktisnya. Untuk bagian-bagian tertentu praktis ada yang

benar, namun apa yang disebutkan di GBHN itu mengenai sistem

89

ekonomi dan ilmu ekonomi itu kacau balau, yang merumuskan tidak

mengerti apa artinya ekonomi pasar, tidak mengerti apa yang

dimaksudkan monopolistic, ini adalah bahasa-bahasa pop yang ada di

surat-surat kabar, ini mengacaukan sekali;

2. Ir. RAMSES OCTAVIANUS HUTAPEA

- Bahwa pada saat RUU Migas diajukan Pemerintah Reformasi atau

Pemerintah Habibie pada tahun 1999, ahli telah memperingatkan berkali-

kali kepada fraksi-fraksi yang ada di DPR pada waktu itu bahwa undang-

undang yang diajukan itu atau rancangan undang-undang yang akan

diajukan itu akan membahayakan negara dan bangsa kita oleh karena

akan menimbulkan masalah-masalah yang sangat membahayakan

kelangsungan penyediaan bahan bakar minyak untuk negara dan

bangsa kita. Dalam rangka hal itu, maka pada saat itu fraksi-fraksi di

DPR setuju dengan pendapat ahli setelah ahli jelaskan latar belakang

terbentuknya Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960 PRPY-PRPY

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 PRPY. Akhirnya mereka setuju

dan sepakat bahwa sebenarnya memang RUU Migas Tahun 1999

tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Karena itu DPR pada saat itu menolak RUU tersebut. Dan kemudian

Presiden Habibie, menurut yang ahli dengar dari Direktur Utama

Pertamina pada waktu itu, akhirnya tidak mengajukan lagi kembali RUU

itu walaupun sebenarnya Menteri Pertambangan dan Energi yang

bertugas pada waktu itu Dr. Kuntoro Mangunkusumo masih ingin untuk

memperbaiki dan mengajukan kembali RUU itu. Tetapi Presiden

Republik Indonesia pada waktu itu setelah memperoleh penjelasan-

penjelasan dari Bapak Martiono dan juga setelah dilampiri ulasan-ulasan

yang dilakukan oleh Tim Kelompok Dua Puluh yang pada waktu itu

bekerjasama dengan ahli-ahli perminyakan, mengenai bahaya-bahaya

yang mungkin dialami bangsa dan negara ini bilamana RUU tersebut

diundangkan. Akhirnya memang tidak mengijinkan Menteri

Pertambangan dan Energi pada waktu itu untuk mengajukan kembali

90

RUU tersebut ke DPR. Namun kemudian, pada waktu pemerintahan

reformasi terbentuk, RUU yang sama ini diajukan kembali ke DPR yang

baru. Pada saat itu ahli juga sudah memperingatkan bahwa bahaya-

bahaya dari pada RUU yang baru itu. Menurut keterangan Pemerintah

pada waktu itu Menteri Purnomo Yusgiantoro menjelaskan ke DPR

bahwa RUU yang diajukan tidak sama dengan RUU 1999 karena sudah

ada penyempurnaannya. Sebenarnya menurut penilaian ahli sama saja

hanya ditambah saja adanya suatu badan pelaksana migas dan

kemudian badan pengatur migas yang menggantikan fungsi Departemen

Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melakukan pengawasan dan

juga menjadi Manager dari kontrak production sharing yang sudah

berlaku di Indonesia ini. Akibatnya, karena perdebatan berlangsung

demikian rupa sehingga pada akhirnya anggota-anggota DPR yang

sekarang khususnya Komisi 8 (delapan) yang merupakan Pansus dari

RUU ini menerima penjelasan-penjelasan Pemerintah pada waktu itu

yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dan

akhirnya meluluskan RUU ini menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun

2001. Setelah dilaksanakan undang-undang ini, maka tidak lama

kemudian apa yang ahli telah sinyalir sebelumnya terjadi satu-persatu.

Bahwa amandemen terakhir Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 pada

Tahun 2002 sama sekali tidak merubah ayat (1), (2), dan (3). Perubahan

yang dilakukan hanya berupa tambahan ayat mengenai pelestarian

lingkungan hidup dalam usaha mempergunakan bumi, air dan kekayaan

alam yang terkadung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Dengan demikian ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945 masih tetap dipertahankan berbunyi ayat (2) “cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, ayat (3) “bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Para wakil-

wakil rakyat dan pemimpin serta pendiri republik sejak semula selalu

sepakat bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara adalah

91

tidak dikuasai orang-seorang atau badan-badan atau pun perusahaan

milik orang-seorang. Tetapi dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Di dalam pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945 atas sumber daya alam pertambangan, maka setelah

selama 10 (sepuluh) tahun wakil-wakil rakyat tidak berhasil menyusun

undang-undang mengenai sumber daya alam ini, tahun 1960 Pemerintah

mengajukan satu PRP yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960

yang dinamakan Undang-undang Pokok Pertambangan. Tetapi sebelum

undang-undang ini diundangkan pada tahun 1960, di DPR pada tahun

1950, seorang Muhammad Hasan, mantan Gubernur Sumatera telah

mengajukan suatu resolusi untuk melarang diberikannya konsesi

pertambangan karena bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945. Dan itu diterima secara aklamasi di DPR sehingga sejak

mulai tahun 1950 maka sistem konsesi yang diperkenalkan oleh

indisement white tahun 1930 tidak dilakukan lagi oleh Pemerintah RIS

maupun Republik Indonesia. Namun demikian, kebijaksanaan pokok

mengenai pertambangan baru berhasil diundangkan pada tahun 1960

berupa Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960. Di dalam undang-

undang ini memang dikatakan bahwa kuasa pertambangan yang dimiliki

negara itu bisa diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Umum dan Badan Usaha Tetap, yang dimaksud di sini Badan

Usaha Tetap adalah swasta. Jadi untuk pertambangan umum, itu kuasa

pertambangannya dapat diberikan juga selain kepada BUMN juga

kepada Badan Usaha maupun Badan Usaha Tetap yang dapat berupa

swasta nasional maupun swasta asing. Namun, 2 (dua) atau 3 (tiga)

minggu, setelah diundangkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960,

maka Pemerintah dan tim yang sama juga menerbitkan Undang-undang

Nomor 44 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa menimbang dari pasal-

pasal di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960 khusus untuk

sumber daya minyak dan gas bumi, kuasa pertambangan hanya dapat

diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Negara. Itu jelas

penyimpangan dari pada Undang-undang Pokok Pertambangan Umum,

92

karena Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan “yang

mempengaruhi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Dengan demikian, salah satu pencetus atau pun perumus ayat 33

Undang-Undang Dasar 1945 itu Alm. Muhammad Hasan yang juga

sudah dianugerahi Bintang Mahaputera Tahun 1996 yang lalu sebagai

balas jasa dan penghargaaan terhadap beliau turut serta menyusun

redaksi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ikut menyusun

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960. Terjemahan dari Pasal 33 itu

jelas oleh salah satu penyusun Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945

adalah sama dengan apa yang dimasukkan di dalam Undang-undang

Nomor 44 Tahun 1960, di mana dinyatakan bahwa khusus untuk minyak

dan gas bumi, kuasa pertambangan hanya dapat diberikan kepada

Perusahaan Negara. Jadi pengertian dasar yang terkandung dalam

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut telah menjiwai para

pemimpin dan wakil rakyat dalam menyusun Undang-undang Nomor 37

Tahun 1960.

Khusus mengenai kekayaan alam berupa bahan-bahan galian dan

migas, kuasa pertambangan dipegang oleh negara diterjemahkan dalam

Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960 sebagai meliputi kegiatan usaha

eksplorasi, eksploitasi, produksi, pengangkutan, pemurnian dan

pengolahan dan penjualan bahan-bahan tambang atau hasil-hasil

pengolahannya. Jadi kuasa pertambangan mencakup dari kegiatan hulu

eksplorasi sampai kegiatan di hilir termasuk pengolahannya, termasuk

kegiatan pengangkutannya. Itu definisi yang ditetapkan oleh para pendiri

republik sebagai kuasa pertambangan yang dimiliki oleh negara.

Demikian juga di dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960, untuk

membedakan sumber daya migas yang tak terbarukan dan memiliki nilai

penting dan strategis bagi bangsa serta mempengaruhi hajat hidup

rakyat dari bahan galian lainnya yang diatur melalui Undang-undang

Nomor 37 Tahun 1960, kebijakan ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-

undang Nomor 44 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa pertambangan

migas hanya diusahakan oleh negara dan pelaksanaanya dilakukan oleh

93

Perusahaan Negara semata-mata. Tidak ada interprestasi lain dari Pasal

33 selain dari apa yang dimaksudkan untuk migas itu dari Pasal 3

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960, karena yang menyusun

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 turut serta juga beberapa tokoh

yang juga terlibat menyusun Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Perkembangan pelaksanaan kebijakan ini menunjukkan bahwa

keberadaan beberapa PN Migas telah membuka terjadinya perbedaan-

perbedaan yang dapat merugikan negara sehingga untuk mengatasinya

akhirnya karena pada waktu itu ada 3 (tiga) Perusahaan Negara, yaitu

Permigan, Pertamin dan Permina. Tetapi ternyata ketiga Perusahaan

Negara ini dapat atas bujukan dari kontraktor-kontraktor asing yang

bekerjasama dengan mereka dapat memberikan persyaratan-

persyaratan yang berbeda-beda terhadap investor itu. Jadi merugikan

negara.

Oleh karena itu akhirnya bangsa ini menyadari ketiga Perusahaan

Negara Migas itu dikonsolidasi menjadi satu hanya PN Pertamina tahun

1968. Dan ini merupakan kebijakan yang tepat. Dan kemudian karena

pengalaman yang menunjukkan bahwa ternyata kalau PN Pertamina ini

pada waktu itu tahun 1968 dia masih berstatus sebagai satu Perusahaan

Negara sama dengan PT Persero, segala campur tangan dari

Pemerintah terjadilah seorang Dirjen umpamanya bisa memintakan

kepada Perusahaan Negara ini supaya mendirikan kantor baginya di Jl.

Thamrin yaitu Dirjen Migas waktu itu. Level Dirjen sudah sangat tinggi

bagi Perusahaan Negara ini. Karena banyaknya campur tangan dan

tugas-tugas yang ditambahkan pada PN Pertamina ini setelah tahun

1968 termasuk membangun Krakatau Steel oleh pimpinan nasional

ditugaskan juga termasuk membangun atau pengadaan pupuk impor

sehingga impor curah pupuk dikerjakan juga oleh Perusahaan Negara

ini, walaupun atas permintaan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari

pimpinan nasional. Tetapi ini menyimpang dari pada kegiatan-kegiatan

pokoknya. Karena itu disadari oleh bangsa ini melalui wakil-wakil di DPR

pada waktu itu dibentuklah suatu tim yang dinamakan Tim

94

Pemberantasan Korupsi Pertamina yang dipimpin oleh Bapak Alm.

Wilopo, S.H. dan sekretarisnya pada waktu itu adalah seorang Komisaris

Polisi Murasudin Situmorang, S.H. Dan penasihat dari pada Tim Anti

Korupsi pimpinan Wilopo ini adalah mantan Wakil Presiden Mohammad

Hatta. Atas saran dari tim itu, pada bulan April tahun 1970 kepada

Presiden Soeharto, maka tim ini menyatakan bahwa bentuk PN

Pertamina tidak sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara, karena

dia hanya merupakan satu Perusahaan Negara bisa juga ditugaskan

untuk melakukan hal-hal yang di luar bidang usahanya. Karena itu

mereka menyarankan kalau itu perlu ditinjau. Dan memo dari pada

Komisi Wilopo ini akhirnya dilanjuti lagi dengan memo bulan Agustus

tahun 1970. Mereka menyarankan di dalam memo ini supaya bentuk

Perusahaan Negara ini diubah dan harus dibentuk berdasarkan suatu

undang-undang.

Inilah sebenarnya latar belakang mengapa Undang-undang Nomor 8

Tahun 1971 disusun sebagai Undang-undang Pendirian Pertamina Baru.

Tidak lagi pakai PN di depannya untuk membedakannya dengan

Perusahaan Negara lain, tetapi dia merupakan suatu perusahaan

Pemerintah atau Perusahaan Negara milik negara namanya Pertamina

berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Ini sebenarnya

ditujukan untuk menghindari terlalu banyaknya campur tangan

eksekutif/Pemerintah terhadap BUMN ini. Dan dengan harapan bahwa

Komisarisnya yang terdiri dari 5 (lima) Menteri, yaitu Menteri

Pertambangan sebagai ketuanya, Menteri Keuangan sebagai wakilnya,

Menteri Bappenas, terus berganti-ganti kadang-kadang Menteri

Pertahanan ikut juga, kadang Sekneg juga ikut. Jadi ini ada 5 (lima)

Menteri, harapan barangkali dari Bapak Wilopo maupun Alm. Bapak

Mohammad Hatta kalau sudah 5 (lima) Menteri menjadi Komisaris

Pertamina ini, pimpinan nasional akan berpikir dua kali bilamana ingin

menginstruksikan Pertamina ini melakukan suatu kegiatan yang

menyimpang dari kegiatan minyak dan gas bumi. Harapan dari bapak-

bapak itu memang sangat wajar oleh karena ingin meluruskan jangan

95

sampai Pertamina ini masih tetap juga digunakan oleh eksekutif menjadi

alat untuk tujuan-tujuan yang lain dari pada tujuan yang sebenarnya

diharapkan dari Pertamina sebagai suatu badan negara yang menjamin

suplai BBM untuk kebutuhan industri atau rakyat dan bangsa ini.

Harapan itu rupanya hanya tinggal harapan. Kemudian berkembang, 5

(lima) Menteri ini juga ternyata di kemudian hari tidak mampu juga

menahan pimpinan nasional untuk tetap juga mengobok-obok

perusahaan ini di dalam rangka kebijakan-kebijakan yang ditentukan

menyimpang kadang-kadang dari tujuan dari perusahaan Pertamina

sendiri.

Inilah riwayat dari pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Maksud

dan sebenarnya tujuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 baik,

karena itu memang dibuat dengan itikad yang baik dan tulus dari Komisi

Wilopo dibantu oleh mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Namun di

dalam pelaksanaannya, masih tetap disalahgunakan oleh pejabat-

pejabat Pemerintah dan juga termasuk tentunya beberapa oknum

maupun direksi dari Pertamina. Inilah perkembangan yang dialami

walaupun sebenarnya kejadian ini terjadi terhadap Pertamina tetapi

kebijakan ini membuat keberhasilan yang dicapai tidak bisa diingkari.

Setelah adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 maka produksi

minyak Indonesia meningkat dari tadinya level 4.500 barrel per hari

menjadi 1,8 juta barrel per hari pada tahun 1987. Kemudian menurun

sedikit-sedikit sampai akhirnya pada akhir pemerintahan Soeharto masih

bisa mempertahankan pada tingkat 1,3 juta barrel per hari. Tetapi

sekarang ini setelah diperkenalkan undang-undang baru ini menjadi

menurun secara dratis dari 1,3 juta menjadi hanya tinggal 1.078.000 per

hari.

Jadi keberhasilan lainnya yang diciptakan oleh Undang-undang Nomor

44 Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 mampunya

putra-putra bangsa ini menciptakan sumber pendapatan dari sektor

Migas yaitu mendirikan dan mengembangkan proyek gas alam cair di

Bontang dan di Arun. Ini adalah ciptaan bangsa Indonesia sendiri,

96

bangsa asing hanya terlibat di dalam mensuplai gasnya, tetapi

mengembangkan proyek pencairannya, melakukan transportasinya dan

membuka pasar untuk menjualnya di Jepang, Korea dan Taiwan adalah

memang prestasi dari putra-putra bangsa sendiri. Ini yang perlu harus

dibanggakan dan harus menjadi suatu mainstone bagi generasi yang

akan datang. Tetapi justru dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun

2001, tatanan LNG yang sudah diciptakan putra-putra bangsa ini sudah

dirombak. Pertamina tidak lagi penjual tunggal LNG Indonesia ke luar

negeri. Sekarang dengan undang-undang baru malah sebut boleh siapa

saja ditunjuk, BP Migas bisa menunjuk siapa saja penjual. Padahal

maksud dengan tatanan LNG yang lama itu kalau hanya BUMN

Pertamina yang menjual, tidak akan mungkin ada persaingan antara

LNG Arun, LNG Bontang di market internasional.

Sekarang ini LNG Indonesia saling potong-memotong harga di pasar-

pasar Taiwan, Korea dan Cina. Tangguh LNG memotong harga yang

ditawarkan Badak LNG, memotong harga yang ditawarkan Arun. Inilah

akibat dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 itu.

Di dalam tatanan yang lama Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971

Perusahaan Negara Migas adalah pemegang kuasa pertambangan dari

setiap wilayah kerja contractor production sharing. Contractor production

sharing menjadi kontraktor jadi bukan pengusaha dari pada wilayah

kerjanya tetapi kontraktor terhadap Pertamina yang mempunyai kegiatan

usaha itu. Jadi kuasa pertambangan ada di Perusahaan Negara, tetap di

tangan Perusahaan Negara, mereka hanya kontraktornya. Berbeda hal

ini dengan undang-undang yang baru.

Sampai sekarang Indonesia memang masih tetap produsen dan

eksportir LNG terbesar di dunia, tetapi ini sudah tinggal sebentar lagi

dan tidak ada artinya itu.

Sejak mulai tahun 1983 Indonesia menjadi penghasil dan penjual LNG

terbesar di dunia dan kemudian lebih meningkat lagi sejak tahun 1986.

Dan membuka pasar baru, selalu Indonesia yang membuka pasar baru,

97

seperti Korea Selatan dan Taiwan Indonesia yang membuka, bukan sale

international bukan juga exxon, Pertamina.

Diperkirakan perolehan negara dari sektor Migas selama lebih 30 tahun

ini sudah berjumlah sekitar US$ 235 milyard, suatu perolehan yang

sangat fantastis. Dengan segala kekurangan-kekurangan, dengan

segala campur tangan pimpinan nasional yang kadang-kadang

menyimpang dari tujuan pokoknya, dengan segala korupsi yang terjadi

dilakukan oleh pejabat-pejabat Perusahaan Negara ini maupun oleh

Pemerintah, eksekutif/Pemerintah yang turut campur di dalamnya.

Dengan segala hal itu tetap secara nasional prestasi yang dicapai

perusahaan ini luar biasa dan hasil yang diberikan kepada negara ini luar

biasa tidak bisa dibandingkan. Malaysia Petronas tidak bisa

mengimbangi, Petronas atau Pemerintah Malaysia meniru Pertamina.

Pada tahun 1984 sesudah Indonesia memberlakukan Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1971 Malaysia memperkenalkan Malaysian Petroleum

Ex untuk mendirikan Petronas meniru Pertamina. Sampai sekarang

sebenarnya Petronas masih kalah dari Pertamina di dalam

pengembangan LNG-nya. Tetapi kalau di dalam penghasilan sekarang

ini sudah melanglang buana secara internasional, Pertamina sudah jauh

terbelakang dengan adanya perkembangan-perkembangan yang tidak

menggembirakan sejak tahun 2001 diundangkannya Undang-undang

Migas yang baru ini.

Jadi kalau memang mau disempurnakan tatanan yang terjadi selama ini

harus diberantas korupsinya bukan undang-undangnya yang salah,

bukan tatanan hukum yang di established berdasarkan undang-undang

itu.

Pertamina tidak mempunyai mantil kedaulatan karena Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1971 mengatakan demikian dan Production Sharing

Contract juga di dalam pasalnya mengatakan demikian bahwa “not which

standing of the tones and condition put forward with this production

sharing contract including the article regarding the subbission of both

parties to go international arbitration the right of the public of Indonesia

98

preville” artinya kedaulatan Republik Indonesia tetap tidak terdilusi,

artinya walaupun Pertamina tunduk pada hukum arbitrase di dalam

perjanjian Production Sharing kontraknya, kedaulatan negara Republik

Indonesia tetap berada di tangan Pemerintah Indonesia. Pemerintah

Indonesia tetap bisa mengatakan no atau tetap menolak apa yang mau

diputuskan oleh arbitrase maupun oleh mitra dari pada Pertamina. Inilah

beauty dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Pertamina itu

walaupun perusahaan milik negara dan rakyat, tetapi dia bisa bergerak

di dunia internasional tanpa membawa guaranty Pemerintah. Bisa me-

range milyaran dollar untuk di-invest di Arun tanpa menjadi hutang

republik, tanpa menjadi hutang bagi Indonesia. Tetapi sekarang karena

sudah dirombak, BP Migas menjadi penandatangan dari Production

Sharing Contract menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 segala

sesuatu yang terkait dengan pengadaan dana bagi kilang LNG yang

disetujui oleh kedua belah pihak BP Migas dengan Production Sharing

Contractor menjadi hutang republik, karena BP Migas ini adalah alat

negara. Dia juga mempunyai mantil kedaulatan, dia tidak bisa dibawa ke

arbitrase internasional. Inilah akibat dari Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001. Jadi semua kegiatan Production Sharing Contract yang

membutuhkan dana yang khusus di luar dari pada komitmennya sebagai

kontraktor Production Sharing, umpamanya membangun fasilitas-fasilitas

pengilangan LNG, itu menjadi hutang republik. Dan kalau sekarang

republik sudah 80 milyard hutangnya, tidak mungkin tangguh

memperoleh pinjaman oleh karena mitra dari British Petroleum di situ

adalah Badan Pemerintah sendiri, BP Migas. Pasti IMF akan

mengatakan tidak bisa, you sudah saya larang untuk pinjam uang lagi.

Maka itu Tangguh tertunda-tunda terus. Inilah akibat Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 itu. Ini Power Point dari pada Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001.

- Bahwa menurut ahli ada pasal-pasal yang menyimpang dari Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001, Pertama, bahwa di situ kuasa

pertambangan itu meliputi kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi,

99

pengangkutan, pemurnian, pengolahan dan distribusi pemasaran. Nomor

2 (dua), di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 dikuasai oleh

negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti dikatakan dalam

undang-undang itu memiliki arti seperti yang dibuat di bawah ini bahwa

kuasa pertambangannya, point nomor 4 (empat) itu, hanya mencakup

eksplorasi dan eksploitasi. Jadi kuasa dari pada negara mengenai

minyak dan gas bumi ini menurut undang-undang yang baru hanya

mencakup eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan produksi, cabang-cabang

produksi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, pengolahan,

pengangkutan, penyimpanan, distribusi penyimpanan yang tadinya

masuk kuasa pertambangan negara di dalam Undang-undang Nomor 44

Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, di dalam

undang-undang yang baru ini sudah tidak masuk kuasa negara lagi. Jadi

semua sudah boleh melakukan itu, hanya perlu ijin saja. Inilah

perbedaan yang sangat prinsip.

Kemudian juga di dalam undang-undang yang baru ini, bahwa di dalam

wilayah kerja itu, Menteri menunjuk BU-BUT sebagai pelaksanaan

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kalau dilihat point 4 (empat) ini

bahwa kuasa pertambangan didefinisi itu adalah eksplorasi dan

eksploitasi. Kemudian di pasal berikutnya, kuasa pertambangan itu bisa

diberikan Menteri kepada BU dan BUT perusahaan asing. Jadi sekarang

ini Production Sharing Contractor di wilayah kerjanya ini sudah menjadi

pengusaha.

Bagian Pemerintah dari wilayah kerja itu menurut undang-undang baru

ini oleh BP Migas nanti caranya ditunjuk pihak ketiga atau pihak lain

untuk menjualnya, karena dia tidak boleh berusaha karena dia Badan

Pemerintah yang no risk. Jadi BP Migas menunjuk akhirnya mereka

juga. Jadi Caltex yang selama ini tidak menjual 85% dari produksinya

karena itu tugas Pertamina karena memang kegiatan di situ Pertamina

pemegang kuasa pertambangan. Sekarang ini oleh BP Migas ditugaskan

Caltex menjual juga bagian Pemerintah yang 85% ini. Jadi dia yang

berbisnis.

100

Yang menjadi sangat menyedihkan gas bumi bagi kepentingan pupuk

bukan lagi BUMN yang menjual kepada pabrik pupuk atau kepada PLN,

PLN sudah beli gas dari Natuna Barat, dari Philips Conoco, penjualnya

Philips Conoco. Jadi sumber daya alam kita ini sudah dikuasai asing

termasuk bagian Pemerintah. Yang menentukan harga juga dia, yang

meminta syaratnya ke PLN juga dia, bahwa you harus membuat

inovocable letter of credit sekian ratus juta dollar, baru saya suplai, baru

saya bangun pipa. Dia sudah menentukan, sudah tidak ada lagi hak

rakyat, sudah tidak ada lagi kuasa negara.

- Bahwa perusahaan perminyakan internasional itu untuk mencapai

efisiensi yang tinggi selalu terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Malah

kegiatan hulu ke hilir sudah terintegrasi milik Exxon, masih digabung lagi

dengan kegiatan Mobile Oil yang sudah juga terintegrasi dari hulu

sampai ke hilir. Datang lagi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,

Pertamina harus dipecah-pecah, hulu-hulu, hilir-hilir. Apa ini sifat dari

kegiatan minyak dan gas bumi untuk mengurangi atau meratakan resiko

yang besar di hulu harus terintegrasi. Sifat alam yang ini pun diingkari

oleh undang-undang ini. Jadi juga Pertamina dikenakan harus

unbundling, itu adalah istilah-istilah yang sangat beautyfull, mau dipecah-

pecah Pertamina itu. Jadi kerjasama antara KPS sekarang dengan BP

Migas ini sudah menghilangkan kemampuan me-manage kegiatan

pertambangan di wilayah kerja itu tidak ada lagi. Apa yang BP Migas

bisa lakukan, tidak bisa karena dia yang menentukan semua, menjual

juga kemana dia yang disuruh, bukan lagi BUMN Pertamina.

- Bahwa terintegrasi dari hulu sampai ke hilir, ini sebenarnya bukan

monopoli. Bisa saja 2 (dua) perusahaan, 3 (tiga) perusahaan atau

banyak perusahaan bergerak di Indonesia ini tetapi semuanya

mempunyai kegiatan yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Ini

adalah karena sifat dari pada resiko yang terdapat di dalam kegiatan

minyak dan gas bumi itu, dimana resikonya sangat besar di hulu karena

101

kalau mencari kadang-kadang di bor sampai 20 (duapuluh) sumur tidak

dapat, habis. Jadi waktu sudah diketemukan kemudian bagaimana

caranya supaya di spret risk ini kepada kegiatan-kegiatan yang kurang

besar resikonya seperti pipa dan transportasi, itu sangat kecil resikonya.

Jadi diintegrasikanlah itu supaya bisa dia maximize coverage dari pada

risk yang di hulu. Sebab kalau umpamanya transportasinya tergantung

pihak luar, nanti dia tidak bisa me maximize profit bagi resiko tinggi yang

ada di hulu. Karenanya tergantung dari pada transportation cost dari

pihak ketiga. Karena itulah trend-nya itu secara alamiah mereka itu

terintegrasi. Terintegrasi selalu dimana saja mereka berada untuk

mencapai efisiensi yang tinggi. Tetapi kemudian mengenai kuasa negara

terhadap atau peranan negara terhadap minyak dan gas ini memang di

semua negara minyak dan gas ini tidak pernah dilepaskan. Kalau dilihat

Amerika Serikat yang mengatakan dirinya campion dari pasar bebas,

kalau setiap saat Daerah Chicago, harga mogas sudah 2 dollar 50 sen

per galon, pasti Amerika fanel government melepaskan strategic stock

dari fanel government mogas ke Daerah Chicago itu supaya turun

harganya. Begitu juga Jepang, kalau sudah terlalu naik harga dari pada

mogas atau feul oil untuk daerah dingin-dingin ini, dia lepas juga

strategis stock. Jadi sebenarnya, di manapun juga di consumer atau di

producer, itu sekarang hampir semua Pemerintahnya tidak melepaskan

minyak dan gas itu.

Dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Indonesia merupakan

negara yang pertamalah di dunia yang mau mencoba melepaskan.

Dan kemudian selama ini dituduh dengan Undang-undang Nonmor 8

Tahun 1971, Pertamina itu pengusaha menjadi regulator, tidak benar itu.

Pertamina tidak pernah menjadi regulator.

Di WTO juga tidak pernah OICD menyetujui bahwa komoditas minyak

dan gas masuk komoditi yang harus terbuka dan transparan dan

diperdagangkan secara global dengan bebas, untuk kepentingannya dia

tidak mau, survices-nya masuk penjual energinya begitu tetapi kalau

sudah komoditasnya itu, dia tidak mau. Jadi tidak betul supaya jangan

102

monopoli, jadi perlu dirombak Pertamina. Undang-undang Anti Monopoli

mengijinkan monopoli kalau negara melakukan bukannya departemen

atau BP Migas, Badan Usaha Milik Negara-lah supaya ada segregasi

dimana regulator dimana player. Walaupun ini milik negara, masih

membawa misi dari pada rakyatnya;

- Bahwa mengenai kedaulatan Pemerintah, kalau Badan Pemerintah

sendiri yang terlibat, BP Migas menjadi party kepada Production Sharing

Contract, maka dia melibatkan langsung Pemerintah. Jadi Pemerintah

kalau berperkara nanti, aset Pemerintah, kapal terbang yang ada di luar

negeri bisa ikut di attach karena BP Migas ini alat Pemerintah. Tetapi

kalau Pertamina karena dia terpisah walaupun milik negara tetapi

terpisah secara Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang harus

disahkan DPR dulu, tidak bisa Presiden mengubah-ubah itu, Presiden

sekali lima tahun bisa berganti. Itu dia terpisah, kalau ada perkara hanya

aset yang dikuasai dia yang bisa di attach. Itulah maka terjadi pada

tahun 1975 rapaport tidak bisa meletakkan attach the New York court

tidak bisa menaruh sita atas gedung Konsulat Jenderal di New York.

Pengadilan New York menolak permintaan rapaport, it dos not belong to

Pertamina, it belongs to the republic of Indonesia, Pertamina has nothing

to do with that. Tetapi kalau BP Migas sekarang bisa saja dia attach itu

nanti, juga kalau dia yang menandatangani kontrak, dia tidak bisa

mengatakan bahwa kedaulatan Pemerintah masih previle, karena dia

bagian dari Pemerintah. Kalau Pertamina bisa, dia insist dan standard

Production Sharing Contract Indonesia dan itu yang sangat indah.

- Di dalam undang-undang yang baru Pasal 31 mengenai Pajak, semua

peralatan, barang modal, consumobles yang dibutuhkan semua

perusahaan minyak asing ini dikenakan bea masuk termasuk pungutan-

pungutan lain seperti PPN bea masuk, cukai terus retribusi dan pajak

daerah dipungut pada saat masuk. Walaupun dia masih dalam tahap

eksplorasi belum ada produksi, dia sudah dipungut ini. Dulu tidak, itu

dipungut sesudah berproduksi.

103

- Karena sekarang ini tidak ada eksplorasi sejak dibahasnya undang-

undang ini di DPR, maka tidak ada yang menambah produksi itu,

menurun, turunlah juga referandum Pemerintah. Mereka sudah

menyuarakan itu melalui IPE, sudah keberatan ini, diajukan sebelum

disusun undang-undang ini, tidak digubris baik wakil di DPR tidak mau

mengubris, Indonesian Petroleum Association juga sudah mengajukan

itu.

- Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 ada juga ketentuan

yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan skim kontrak

kerjasama adalah Production Sharing Contract. Mereka juga

mengatakan itu masih dipakai Production Sharing Contract. Tetapi

soalnya Production Sharing Contract-nya ini sudah berubah oleh karena

pihak penandatangannya dari pihak Indonesia sudah berubah.

Implikasinya juga sebenarnya pengusaha di dalam wilayah kerja itu di

dalam skim yang lama adalah BUMN, Perusahaan Negara sebagai

perpanjangan tangan dari pada negara. Di dalam skim yang baru, tidak.

Pelaku usahanya sudah kontraktor walaupun dia Production Sharing

Contract.

Memang ini mirip jadi seperti konsesi, kontrak 5A konsesi tahun 1930,

ada five A contract tahun 1930. Itu mirip ke situ, disebut dia kontraktor

tetapi sebenarnya terhadap Pemerintah. Tetapi kalau di dalam konsep

yang lama, manajeman kegiatan usaha itu di tangan BUMN, jadi masih

di protect kepentingan Pasal 33. Kalau sekarang, manajemen usaha itu

sudah di tangan dia. Dan juga yang memberikan ini Menteri saja, dulu

Presiden. Jadi ini memang berbeda;

- Bahwa sebenarnya pengawas di dalam Production Sharing Contract itu

adalah merupakan satu pengawasan terhadap kegiatan usaha. Jadi dia

sebenarnya melakukan penilaian-penilaian sebagai pengusaha, tetapi

dia tidak ikut resikonya, tidak boleh menanggung resikonya karena dia

bukan Badan Usaha. Jadi dengan demikian dia hanya regulator. Kalau

dia sebagai regulator dan pengawas, jadi manajemen dari pada

kegiatan usaha itu tidak ada sama dia sebenarnya. Bisa dilihat sekarang,

104

gas Pemerintah yang dijual Philips Conoco. Persyaratannya Philips

Conoco yang mengajukan karena dia sudah ditunjuk penjual. Jadi sudah

lepas kendalinya. Apakah itu milik Indonesia atau Philips Conoco gas itu,

bagian Pemerintah yang 75% itu ? dia yang jadi penjual sekarang di

wilayah negara Republik Indonesia kepada PLN, kepada PGN. Ini

menjadi rancu dari segi aspek hukumnya siapa yang menjadi pengusaha

di wilayah ini.

- Bahwa mengenai privatisasi, memang ini merupakan satu istilah yang

kadang-kadang disalah diartikan. Privatisasi itu pada dasarnya

dimaksudkan untuk meng invite satu partisipasi pihak ketiga di dalam

pengelolaan suatu usaha, sebab itu di swasta juga ada mengundang

pihak ketiga supaya meningkatkan efisiensi. Karena dengan adanya

pihak ketiga, maka lebih transparan good Government bisa

dilaksanakan.

Itu tidak perlu harus menjual majority sale, privatisasi bisa sedikit saja.

Tetapi itu trend, mungkin trend yang disarankan oleh negara-negara

donor bagi kepentingan perusahaan-perusahaan asing juga. Sebab

sebenarnya bisa saja satu BUMN melakukan peningkatan efisiensi tanpa

melakukan privatisasi.

Dan kalau dilihat riwayat Pertamina, semua kasus-kasus korupsi di

Pertamina pasti yang terlibat itu pejabat-pejabat Pemerintah atau Menteri

atau Sekneg, pembelian barang di atas sekian juta harus melalui

persetujuan Sekneg atau kemudian belakangan Tim Menko Ekuin, itu

semua hanya rekayasa untuk mereka.

Kalau dikatakan privatisasi itu mau meningkatkan efisiensi boleh-boleh

saja tetapi tidak harus menjual aset. Kalau menjual aset itu sudah lain,

seperti yang sekarang terjadi ini. Ini dari tiap tahun non bank, di dalam

APBN ini 31 triliyun, 25 triliyun, itu aset-aset negara yang dijual untuk

menutupi defisit karena penurunan revenue minyak, sedangkan

pengeluaran bunga rekapitalisasi bank-bank 50 triliyunan ke atas. Ini

sedihnya aset yang dijual bukan privatisasi. Aset dijual sebentar lagi

mungkin dua tahun lagi barangkali kalau terus-menerus begini, aset

105

terjual habis semua maka apa yang mau dijual lagi. Dan akan bangkrut,

ini persis seperti Argentina, penghasilan menurun dan penerimaan aset

dijual lagi untuk menutupi defisit, dan defisitnya juga masih tetap tinggi,

masih di range 30 triliyun, tetapi ini bukan mau menjelekan Pemerintah

yang sekarang tetapi ini fakta.

Jadi privatisasi ini sebenarnya ada maksud yang baik dan kita tidak

harus ingkari itu, tetapi harus juga hati-hati bisa juga timah diprivatisasi

sampai 35%, aneka tambang, tak menjadi soal. Itu open, Pertamina juga

bisa privatisasi. Memang ahli akui privatisasi perlu juga untuk

meningkatkan efisiensi dan untuk menghindari masih berlangsungnya

korupsi, tetapi jangan mayority, jangan jual aset seperti ini. Kalau ini jual

aset, dua tahun lagi bangkrut;

Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan dipersidangan,

Ahli yang diajukan oleh Pemohon (Ir. R.O. Hutapea) juga menyerahkan

keterangan tambahan secara tertulis yang diajukan oleh Pemohon VI, diterima

di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Maret 2004 dan tanggal

12 Agustus 2004;

Menimbang bahwa Pemerintah telah menyerahkan Keterangan Tertulis

masing-masing bertanggal Januari 2004, 29 Juli 2004, dan 29 Juli 2004 dan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyerahkan Keterangan

Tertulis bertanggal 10 Pebruari 2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai

berikut:

Keterangan Tertulis Pemerintah (Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia) Januari 2004 dan tanggal 29 Juli 2004 I. Umum

106

Mengamati kegiatan sektor migas dalam kurun waktu 40 (empat

puluh) tahun terakhir, sejak diberlakukannya sistem pengusahaan minyak

dan gas bumi yang monopolistik ternyata justru telah berdampak pada

kemampuan nasional yang tidak menggembirakan. Hal ini ditandai dengan

semakin menurunnya produksi minyak dan gas bumi yang dihasilkan oleh

Perusahaan Negara. Kemampuan perusahaan minyak swasta nasional juga

praktis tidak berkembang secara berarti meskipun ada diantara perusahaan

minyak swasta nasional yang dapat dibanggakan baik ditingkat negara

sendiri maupun ditingkat internasional.

Di dalam keterpurukan krisis ekonomi dan moneter, juga diperoleh

kenyataan bahwa peranan migas di dalam menunjang kebangkitan

perekonomian nasional tidak lagi menjadi sektor andalan apabila

dibandingkan dengan sumbangan sektor non migas yang meningkat pesat

sebagai buah dari adanya deregulasi pasar. Pendekatan yang sama

seharusnya juga dilakukan pada sektor migas melalui perubahan peraturan

perundang-undangan yang telah berumur kurang lebih 40 (empat puluh)

tahun.

Pemerintah menjelaskan bahwa proses penyusunan RUU tentang

Minyak dan Gas Bumi telah dimulai oleh Pemerintah sejak Juli 1994 dengan

dibentuknya Tim antar departemen termasuk BUMN terkait (Pertamina dan

PGN). Penyusunan dan pembahasan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi

telah melibatkan juga lembaga non pemerintah dan mengalami proses

diskusi guna mendapatkan masukan, perbaikan dan saran penyempurnaan

maupun kritikan dari berbagai organisasi profesi di bidang minyak dan gas

bumi, lembaga swadaya masyarakat, para pakar, akademisi dan pelaku

usaha yang berkaitan langsung dengan dunia perminyakan.

Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi kami pandang sebagai instrumen hukum yang sangat penting di

dalam dunia usaha yang mampu memberikan jaminan kepastian hukum

untuk berusaha dan sekaligus mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945

107

yaitu adanya kemakmuran rakyat yang merata.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang minyak

dan gas bumi melalui pengajuan Undang-undang tentang Minyak dan Gas

Bumi pada saat itu dirasakan semakin mendesak mengingat pembaruan

atau pembangunan hukum di sektor lain telah sampai pada tahapan

implementasi seperti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apabila undang-undang di bidang minyak

dan gas bumi tidak diubah atau disempurnakan niscaya akan menimbulkan

berbagai benturan dikarenakan secara substansi materi terdapat perbedaan

yang pada tataran implementasi tidak mungkin dilaksanakan secara

bersamaan.

Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap

mengacu kepada tujuan dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana

yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), bahwa

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara, demikian pula bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Disamping itu, hal

tersebut dilakukan dalam kerangka upaya untuk membangun perekonomian

nasional yang diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomli dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan

ekonomi nasional.

Dalam perkembangan selama kurun waktu 4 (empat) dasawarsa

ternyata tujuan dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana yang

diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut yang diterjemahkan melalui

108

Undang-undang No. 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang No. 8 Tahun

1971 dirasakan belum sepenuhnya dapat diwujudkan.

Berbagai kelemahan dan kendala tercermin secara jelas dalam

substansi materi kedua perangkat peraturan perundang-undangan tersebut

di atas terutama apabila dikaitkan dengan perkembangan sekarang maupun

tantangan di masa depan, antara lain disebabkan:

1. Ruang lingkup pengaturannya lebih terfokus pada kegiatan dalam negeri

sehingga kurang memberikan dorongan berusaha di luar negeri.

2. Mempunyai sifat usaha yang monopolistis (hanya Perusahaan

Negara/BUMN) dan sarat misi sosial (penugasan Pemerintah).

3. Tidak mendukung kemandirian, pemupukan dana, dan kemampuan

bersaing dalam era keterbukaan.

4. Terdapat ketentuan khusus (perpajakan dan kepabeanan) yang sering

menimbulkan kesulitan dalam penerapannya.

Di samping kelemahan dan kendala tersebut di atas, perangkat

perundang-undangan yang ada juga mempunyai kerancuan/tumpang tindih

antara pengaturan sektor dan pengaturan perusahaan yang mengakibatkan

tugas Pemerintah dan tugas perusahaan menjadi tidak jelas. Peran

perusahaan terhadap pengaturan sektor sangat besar dan sebaliknya peran

Pemerintah terhadap pengaturan operasional perusahaan juga cukup besar,

meskipun Pemerintah selama ini telah melakukan upaya dan langkah-

langkah kebijaksanaan baik melalui deregulasi maupun debirokratisasi,

namun disadari bahwa untuk mewujudkan kondisi kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat tidak cukup dicapai dengan kebijakan tersebut.

Oleh karena itu, dalam undang-undang ini telah dimuat ketentuan-ketentuan

yang diyakini dapat menghilangkan kelemahan dan kendala dimasa lalu

serta dipisahkannya secara jelas apa yang menjadi tugas Pemerintah dan

apa yang menjadi tugas perusahaan.

109

Ruang lingkup, maksud dan tujuan secara lebih menyeluruh filosoifi dan

konsepsi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi sebagai pengganti kedua undang-undang tersebut di atas adalah

sebagai berikut:

1. Minyak dan gas bumi sebagai sumber kekayaan alam yang terkandung

dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia dikuasai negara dan

diselenggarakan oleh Pernerintah sebagai pemegang Kuasa

Pertarnbangan. Sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945,

Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh Pemerintah dengan maksud

agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara, dan menggunakan

kekayaan nasional tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selanjutnya pemerintah membentuk badan pelaksana.

2. Menghilangkan usaha bersifat monopoli baik disektor hulu maupun hilir.

Dalam bidang usaha hulu yang terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi

yang merupakan kegiatan berkaitan dengan pengurusan kekayaan alam

berupa bahan galian minyak dan gas bumi, pihak swasta hanya dapat

melakukan kegiatan secara tidak langsung sebagai kontraktor melalui

kerja sama dengan Badan Pelaksana.

Sedangkan dibidang usaha hilir yang terdiri dari usaha pengolahan,

pengangkutan, penyimpanan, dan niaga, dapat dilaksanakan oleh

perusahaan berdasarkan izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Khusus untuk bidang pengangkutan dan niaga gas bumi melalui pipa

diberlakukan pengaturan prinsip usaha terpisah (unbundling) untuk

memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen baik dalam

segi harga maupun kualitas. Selanjutnya untak mengawasi kegiatan

sektor hilir tersebut Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan

dan Pendistribusian Bahan bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi

melalui Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas.

3. Menciptakan dan menjamin penerimaan Pusat dan penerimaan Daerah

yang lebih nyata dari hasil produksi, sehingga penerimaan negara dari

sektor minyak dan gas bumi dapat dinikmati secara langsung oleh rakyat

110

di daerah yang bersangkutan. Untuk maksud tersebut Perusahaan atau

Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan bagian negara, pungutan

negara, membayar bonus, pajak-pajak, pajak daerah dan retribusi

daerah, serta kewajiban kepabeanan yang berlaku.

Atas pungutan negara, bagian negara dan bonus diperuntukkan sebagai

penerimaan Pusat dan penerimaan Daerah.

4. Menumbuhkembangkan perusahaan nasional minyak dan gas bumi baik

di dalam maupun di luar negeri serta dapat mengakomodir

perkembangan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang akan datang.

Di samping memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap

pemanfaatan barang, jasa, dan kemampuan rekayasa dan rancang

bangun dalam negeri.

5. Memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai jaminan kelangsungan

atas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekaligus

pengaturan yang berkaitan dengan mekanisme subsidi BBM.

6. Menjamin penyediaan data yang cukup, tenaga kerja profesional,

peningkatan fungsi penelitian dan pengembangan serta menggiatkan

investasi melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif.

7. Terdapatnya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah kerja oleh

Pemerintah yang akan diusahakan oleh Perusahaan atau Bentuk Usaha

Tetap. Selanjutnya dalam rangka penyediaan lahan guna menunjang

penetapan Wilayah Kerja tersebut, Pemerintah dapat melaksanakan

Survei Umum sebagai upaya meningkatkan nilai lahan yang ditawarkan

kepada para peminat.

8. Adanya jaminan kepastian hukum, yang lebih mantap (pengaturan yang

sederhana, tegas, dan konsisten) serta menghilangkan campur tangan

Pemerintah yang terlalu besar, sehingga iklim usaha diharapkan dapat

lebih sehat dan kompetitif. Untuk itu Pemerintah dalam waktu secepat-

cepatnya akan menyelesaikan peraturan pelaksanaan dari Undang-

undang ini.

9. Terwujudnya antisipasi pencegahan dan penanggulangan meningkatnya

tindak pidana , dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi baik secara

111

kuantitas maupun kualitas melalui pengangkatan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS).

Secara umum Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi memuat 8 (delapan) bagian pengaturan yang terdiri dari:

1. Pola penguasaan dan pengaturan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

2. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hulu;

3. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hilir;

4. Pola pengaturan usaha pengangkutan dan niaga minyak dan gas bumi;

5. Pengaturan penerimaan negara;

6. Hubungan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah;

7. Status hukum Pertamina; dan

8. Pembinaan dan pengawasan.

Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi kami pandang sebagai instrumen hukum yang sangat

penting di dalam dunia usaha yang mampu memberikan jaminan

kepastian hukum untuk berusaha dan sekaligus mewujudkan amanat

Pasal 33 UUD 1945 yaitu adanya kemakmuran rakyat yang merata.

II. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Dalam surat permohonan disebutkan beberapa pemohon, yakni:

1. APHI (Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia);

2. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia);

3. Yayasan 324;

4. Serikat Pekerja KEP-FSPSI Pertamina;

5. Dr. In Pandji R. Hadinoto, PE,MH.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon

adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

112

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat;atau

d. lembaga negara.

Jika para Pemohon yang mengatasnamakan sebagai badan hukum privat,

kecuali Pemohon angka 5, maka perlu dipertanyakan apakah badan hukum

tersebut sudah terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Jika para pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan

diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi a quo, maka perlu dipertanyakan siapa yang sebenarnya

dirugikan ? Apakah badan hukum privatnya, pengurusnya, atau anggota dari

badan hukum privat tersebut yang dirugikan? Selain itu, hak-hak

konstitusional yang mana yang dirugikan karena pemohon tidak

menjelaskan hak dan/atau kewenangan konstitusional siapa yang dirugikan

? Pertanyaan ini berlaku pula bagi pemohon perorangan di atas.

Pemerintah meminta para pemohon untuk membuktikan dengan sah

kerugian yang diaiami oleh kelima pemohon.

Mohon kiranya dapat dijelaskan kepada pemohon bahwa keempat pemohon

sebagai yang mewakili badan hukum privat dan satu pemohon perorangan

dapat dianggap bukan sebagai yang mewakili masyarakat secara

keseluruhan karena Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi diperuntukkan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, para pemohon di atas tidak relevan untuk mewakili

masyarakat dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

III. Keterangan Pemerintah atas Argumen Hukum Pemohon Mengenai Hak Konstitusional Pemohon yang Dirugikan dengan Berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi

113

1. Pemerintah tidak sependapat dengan argumen Pemohon yang

menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip

prosedur penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang. Fakta

yang terjadi adalah bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 telah

disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan telah mendapat persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden

(lihat Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2) huruf a

dan ayat (5) Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD jo. Keputusan DPR RI No.03A/DPR

RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI.

2. Mengenai argumen Pemohon yang menyatakan bahwa sejak awal

adanya RUU tentang Minyak dan Gas Bumi telah mendapat tantangan

dari masyarakat karena tidak saja telah bertentangan dengan Pasal 33

UUD 1945 tetapi juga dapat merugikan perekonomian Indonesia,

Pemerintah berpendapat bahwa argumen tersebut harus ditolak karena

tidak ada relevansinya dengan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi.

Di samping itu, Pemerintah berpendapat bahwa opini-opini yang tidak

setuju terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi lebih merupakan

sebagai wacana yang lazim dijumpai dalam masyarakat demokratis.

Pemohon hanya mengutip dan mengemukakan opini-opini yang tidak

setuju saja. Sementara itu opini-opini lain (mayoritas) yang setuju

dengan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana tercermin

dalam proses pembahasan RUU tersebut di DPR dan forum-forum

akademis di Universitas, sama sekali tidak dikutip oleh Pemohon. Opini

masyarakat terhadap RUU tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk

menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.

3. Berkenaan dengan permohonan Pemohon mengenai pengujian materil

atas seluruh pasal Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Pemerintah

berpendapat bahwa permohonan Pemohon tersebut obscuur libel karena

tidak memenuhi persyaratan dan bahkan bertentangan dengan Pasal 51

114

ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak

berdasar dan karenanya harus ditolak.

4. Untuk lebih melengkapi keterangan kami di atas, kaitannya dengan

pendapat Pemohon yang secara keseluruhan bersifat obscuur libel,

dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:

1) Penyusunan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tetap dilandasi

dan mengacu kepada filosofi dasar sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yaitu cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara; bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penyusunan Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 diperlukan agar filosofi dasar tersebut

dapat senantiasa teraktualisasikan mengingat adanya berbagai

perubahan lingkungan strategis yang terjadi pada berbagai aspek

seperti perdagangan bebas, anti monopoli, lingkungan hidup, hak

azasi manusia, demokratisasi dan reformasi, sehingga

mempengaruhi atau melemahkan penerapan/pelaksanaan Undang-

undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8

Tahun 1971.

Keberadaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah

dimaksudkan untuk mengantisipasi tuntutan perubahan yang ada

sehingga kemampuan nasional dapat disejajarkan atau dapat

bersaing dengan pihak asing, sehingga diharapkan kemampuan

nasional senantiasa dapat tetap menjadi tuan di negeri sendiri.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 telah menjawab tantangan

adanya berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungan strategis

dan telah memberikan landasan berpijak bagi terciptanya kegiatan

usaha minyak dan gas bumi yang berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

115

keseimbangan kemajum dan kesatuan ekonomi nasional, sesuai

tuntutan perkembangan yang ada.

Berbagai pengaturan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

yang menjawab tantangan perubahan dengan tetap

mengaktualisasikan filosofi dasar Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat

(4) adalah sebagai berikut:

a. Pasal 4 ayat (1), Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya

alam strategis merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh

negara;

b. Pasal 4 ayat (2), Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh

Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

c. Pasal 4 ayat (3), Pemerintah sebagai pemegang Kuasa

Pertambangan membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan

pengendalian dan pengawasan Kegiatan Usaha Hulu.

d. Pasa16 ayat (2), Kontrak Kerja Sama memuat persyaratan:

(1) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah

sampai pada titik penyerahan.

(2) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan

Pelaksana.

(3) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap.

e. Pasa18 ayat (1), Pemerintah memberikan prioritas untuk

pemanfaatan gas bumi dan menyediakan cadangan strategis

minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

f. Pasal 8 ayat (2), Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan

kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital

dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah

NKRI.

g. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), memberikan kesempatan yang

sama kepada BUMN, BUMD, Koperasi/UKM dan badan usaha

swasta untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu dan hilir namun

116

membatasi Bentuk Usaha Tetap hanya untuk kegiatan usaha hulu

saja.

h. Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Menteri menetapkan dan

menawarkan Wilayah Kerja serta menetapkan Badan Usaha dan

Bentuk Usaha Tetap sebagai kontraktor.

i. Pasal 20 ayat (1), data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau

kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi milik negara dan dikuasai

Pemerintah.

j. Pasal 21 ayat (1), sebagai wujud penguasaan oleh pemerintah,

maka setiap pengembangan lapangan pertama wajib mendapat

persetujuan Menteri.

k. Pasal 22 ayat (1), adanya kewajiban untuk memenuhi Minyak dan

Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

l. Pasal 38, Pembinaan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas

Bumi dilakukan oleh Pemerintah.

m. Pasal 41 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah melakukan

pengawasan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi atas

ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Alasan Pemohon bahwa Undang-undang No. 22 Tahun 2001

bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang didasarkan pada

fakta sejarah adalah tidak tepat, mengingat bahwa dari segi filosofis

dan sosiologis pada saat itu sangat berbeda dengan tuntutan dan

tantangan kondisi saat ini. Namun demikian filosofi dasar yang

merupakan landasan perjuangan tersebut tetap dipertahankan

sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (4).

3) Selanjutnya mengenai pengertian "dikuasai negara" sebagaimana

dikemukakan pemohon dalam angka 3 butir 1 huruf c, butir 2 huruf a,

huruf b, dan huruf c, dan butir 4, tidak tepat mengingat menurut

pendapat Soepomo sendiri pengertian dikuasai negara adalah

"...termasuk pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan

terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi...".

117

Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 terjemahan dikuasai

negara adalah penyelenggaraan kegiatan usaha migas terdiri dari

kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, pembinaan,

pengawasan, dan pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan

badan-badan yang dibentuk oleh Pemerintah (eksekutif) dan DPR-RI

(legislatif) sebagai representatif dari negara. Pada kegiatan usaha

Hulu, migas sebagai bahan galian strategis dikuasai negara (mineral

right), diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa

pertambangan (mining right) dan sebagai pelaksanaannya dibentuk

Badan Pelaksana (BPMIGAS) yang merupakan badan hukum milik

negara yang pimpinaimya (Kepala BPMIGAS) diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR-RI.

Pada kegiatan usaha hilir Pemerintah membentuk BPH Migas

sebagai lembaga pemerintah yang independen yang melakukan

pengaturan dan pengawasan atas pelaksanaan penyediaan dan

pendistribusian BBM dan pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang

pimpinannya (Komite BPH Migas) diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden setelah mendapat persetujuan DPR-RI.

4) Mengenai "kuasa pertambangan" dan "dikuasai negara"

sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam angka 3 butir 3 dan butir

5, pada dasarnya Pemohon menyampaikan substansi yang sama,

oleh karenanya dapat kami sampaikan keterangan bahwa interpretasi

Pemohon mengenai pengertian "dikuasai negara" dengan menunjuk

Pasal 1 angka 5 dan Pasal 4 ayat (2) serta Pasal 12 ayat (3) dan

Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah

sangat tidak tepat karena pasal-pasal tersebut di atas justru

merupakan implementasi dari pengertian "dikuasai negara" dalam

pengaturan pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah

sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Dapat kami sampaikan pula pada kegiatan usaha hulu ketentuan

"dikuasai negara" pada sumber daya alam dapat diartikan sebagai

118

pemilikan oleh negara sampai dengan saat terjadinya penyerahan

hak kepada perusahaan/badan usaha.

Sedangkan "mining right" yaitu hak pengelolaan/Kuasa

Pertambangan tetap dipegang Pemerintah atas nama negara.

Kepada perusahaan hanya diberikan hak keekonomian (economic

interest) yang tentunya masih harus dibagi dengan Pemerintah.

Konsepsi Pemohon mengenai pengertian "dikuasai negara" yang

masih didasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960

dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang bersifat monopolistik

sudah tidak sesuai lagi.

Pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2

(dua) tahun terakhir hanya terdapat 1 (satu) kontrak kerjasama yang

ditandatangani adalah sangat tidak benar. Pada kenyataannya

setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Btuni sampai dengan akhir tahun 2003 telah

disetujui sebanyak 17 (tujuh belas) kontrak kerjasama (KPS) di

bidang minyak dan gas bumi.

Penilaian liberalisasi yang dikemukakan oleh Pemohon terhadap

kegiatan usaha hilir adalah tidak tepat, mengingat dalam Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk kegiatan usaha hilir masih ada

campur tangan Pemerintah yang pelaksanaannya diatur serta

diawasi oleh Pemerintah dan BPH Migas yang dijabarkan lebih lanjut

dalam Peratuan Pemerintah.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 pemrosesan gas bumi

menjadi LNG dimungkinkan pada kegiatan usaha hulu atau kegiatan

usaha hilir. LNG pada kegiatan usaha hulu mengikuti aturan-aturan

kontrak pada kegiatan hulu yang masih menganut pada pola cost

center melalui cost recovery (merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari kegiatan usaha hulu). Sedangkan LNG pada

kegiatan usaha hilir mengikuti aturan kegiatan usaha hilir melalui izin

usaha dan dapat memberikan laba pada Badan Usaha serta

119

pendapatan negara berupa pajak, yang merupakan pola profit center

dengan semua pembiayaannya ditanggung oleh Badan Usaha.

Harga LNG pada kegiatan usaha hulu ditetapkan oleh Pemerintah

berdasarkan kesepakatan penjual dan pembeli, harga pasar dan

keuntungan yang maksimal bagi negara.

Sedangkan Harga LNG pada kegiatan usaha hilir ditetapkan

berdasarkan mekanisme pasar.

Baik pada kegiatan usaha hulu maupun kegiatan usaha hilir LNG,

Pemerintah tetap memperoleh pendapatan dari Bagian Negara dan

pajak-pajak. Dengan demikian penilaian Pemohon terhadap adanya

pengalihan sebagian pendapatan negara menjadi laba pengusaha

swasta dan asing adalah tidak benar.

5) Mengenai kewenangan penjualan minyak dan gas bumi bagian

Pemerintah sebagaimana dikemukakan Pemohon pada angka 3 butir

6, dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor

22 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002

BPMIGAS mempunyai tugas menunjuk penjual Minyak Bumi

dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan

keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Selanjutnya BPMIGAS

mengeluarkan surat penunjukan.

Sesuai dengan Surat Penunjukan dari BPMIGAS, KPS yang ditunjuk

sebagai Penjual Bagian Negara wajib untuk berkonsultasi dan

meminta persetujuan BPMIGAS terlebih dulu atas syarat-syarat yang

akan disepakati dalam kontrak penjualan dengan pembeli gas.

Berkaitan dengan Penerbitan Standby Letter of Credit oleh pembeli

untuk menjamin pembayaran telah disyaratkan sejak dimulainya

penjualan gas ke pasar domestik dimana Pertamina bertindak

sebagai penjual.

Persyaratan untuk adanya jaminan pembayaran (dalam bentuk

Standby Letter of Credit) bukan merupakan hal diluar kebiasaan

perdagangan pada umumnya yang berkaitan dengan "credit rating"

dari pembeli yang bersangkutan.

120

BPMIGAS adalah Badan Hukum Milik Negara yang merupakan "legal

person". Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa aset negara dapat

disita jika terjadi sengketa dalam Kontrak Kerja Sama adalah tidak

berdasar.

Mengingat keberadaan BPMIGAS merupakan pengganti fungsi MPS

Pertamina maka pada dasarnya bukan merupakan penambahan

mata rantai karena BPMIGAS merupakan pihak dalam Kontrak Kerja

Sama yang bersangkutan. Keterlibatan BPMIGAS dalam Kontrak

Kerja Sama adalah dalam rangka pengendalian dan pengawasan

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal

44 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.

Sedangkan keterlibatan BPMIGAS dalam pemasaran/perundingan

penjualan gas/LNG tidak berarti bahwa BPMIGAS menjadi "business

player" tetapi bertujuan untuk melakukan fungsi pengawasan agar

dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara

(BPMIGAS bersifat nirlaba).

Berkaitan dengan Kontrak Kerja Sama yang akan berakhir mengingat

BPMIGAS bukan merupakan suatu badan usaha yang tidak

memegang kuasa pertambangan dan melakukan kegiatan usaha

hulu, maka terhadap suatu wilayah kerja yang akan dikembalikan

kepada Pemerintah, maka terhadap suatu Wilayah Kerja yang akan

dikembalikan maka proses pengembalian tersebut kembali kepada

pemegang Kuasa Pertambangan yaitu Pemerintah. Terhadap

Wilayah Kerja yang telah habis masa Kontrak Kerja Samanya,

Pemerintah dapat menunjuk BUMN atau perusahaan nasional

lainnya untuk meneruskan operasi di wilayah dimaksud.

6) Berkaitan dengan "potensi disintegrasi" sebagaimana dikemukakan

Pemohon pada angka 3 butir 7, dapat kami sampaikan bahwa

penilaian Pemohon tidak logis dan berlebihan.

Kebijakan pembukaan pasar di sektor hilir, tidak selalu berdampak

pada kenaikan harga apabila pengaturan dan pengawasan dilakukan

121

secara benar. Dalam hal penentuan harga pasar, Pemerintah masih

dapat melakukan pengendalian harga antara lain melalui kebijakan

fiskal, insentif.

Di lain pihak, untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang mungkin

terjadi, Pemerintah mempunyai tanggung jawab sosial terhadap

golongan masyarakat/ konsumen tertentu sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.

Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pembukaan pasar,

Pemerintah telah mempertimbangkan dampak sosial yang mungkin

terjadi melalui kebijakan pembukaan pasar secara bertahap, dengan

tetap memperhatikan kondisi masing-masing daerah. Disamping itu

BPH Migas mempunyai kewenangan mengatur pendistribusian BBM

yang menjadi kewajiban Badan Usaha sampai ke daerah terpencil di

wilayah NKRI dan memberikan sanksi terhadap Badan Usaha yang

tidak memenuhi kewajibannya.

7) Mengenai penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 dapat membuka peluang penjualan dan degradasi

BUMN sebagaimana dikemukakan Pemohon pada angka 3 butir 7,

dapat kami sampaikan bahwa penilaan tersebut tidak benar karena

salah satu tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi adalah dalam rangka mengembangkan BUMN

Migas menjadi world wide company, antara lain dengan memisahkan

fungsi Pemerintah (wasit) dan fungsi bisnis (pemain) yang selama ini

diperankan oleh BUMN Migas. Hal ini terbukti bahwa untuk lebih

mendukung pengembangan BUMN Migas Pemerintah telah

memberikan privelege kepada BUMN Migas seperti:

- pembagian hasil 60 : 40 sudah termasuk pajak-pajak, pungutan-

pungutan dan iuran lainnya.

- untuk daerah-daerah yang low risk dapat diberikan langsung

kepada BUMN Migas melalui penawaran langsung.

122

- BUMN Migas dapat ditunjuk langsung sebagai penjual Minyak dan

Gas Bumi bagian negara.

- Penguasaan aset-aset kegiatan usaha hilir yang saat ini ada

melalui penyertaan modal negara (PMN).

Adapun retensi fee sebesar 5% dari penerimaan kegiatan usaha

hulu tidak terkait dengan adanya tugas Pertamina dalam rangka

penyediaan dan pelayanan BBM seluruh Indonesia. Retensi fee

yang diperoleh Pertamina sebesar 5% merupakan fee atas

manajemen yang dilakukan Pertamina dalam rangka pelaksanaan

KPS. Sedangkan tugas Pertamina dalam rangka penyediaan dan

pendistribusian BBM keseluruh NKRI semua cost yang

dikeluarkan oleh Pertamina diganti oleh Pemerintah dan

Pertamina mendapatkan fee atas tugas tersebut (nirlaba) dan

dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 penugasan

Pertamina dalam penyedian dan pendistribusian BBM ke NKRI

hanya sampai pada masa transisi sampai dengan mekanisme

pasar terbentuk, selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah

yang akan dilaksanakan oleh BPH Migas.

Dengan kondisi tersebut di atas BUMN Migas akan lebih leluasa

melakukan bisnisnya secara profesional dan mampu bersaing

dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengacu pada prinsip

profit making, sedangkan tugas-tugas sosial menjadi tanggung

jawab Pemerintah.

8) Sehubungan dengan pendapat Pemohon bahwa Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 dapat melemahkan daya saing industri LNG

nasional sebagaimana dikemukakan pada angka 3 butir 9, dapat

kami kemukakan bahwa justru Undang-undang No. 22 Tahun 2001

sangat memperhatikan dasar-dasar demokrasi ekonomi

sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Untuk menjamin keadilan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam

UUD 1945, Pasal 9 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

123

menetapkan bahwa kegiatan usaha migas (termasuk niaga LNG)

dapat dilaksanakan tidak hanya oleh BUMN. Penunjukan kepada

hanya suatu perusahaan tertentu untuk melaksanakan niaga LNG

Indonesia dapat menimbulkan conflict of interest khususnya apabila

perusahaan tersebut juga sebagai penjual LNG yang tentunya lebih

mengutamakan penjualan LNG dari kegiatannya sendiri. Disamping

itu dalam pasar LNG telah terjadi pergeseran dari "seller's market" ke

"buyer's market" dimana dalam penjualan LNG harus lebih

memperhatikan keinginan pembeli/pasar yang mungkin menghendaki

perusahaan tertentu sebagai partnernya. Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 pada dasarnya justru mendukung dan mengembangkan

industri migas yang efisien, modern dan mempunyai daya saing, tidak

hanya di tingkat nasional tetapi juga mampu bersaing ditingkat

Internasional, antara lain melalui pemberian kesempatan kepada

semua Badan Usaha yang memiliki kemampuan dana dan teknologi

untuk melakukan niaga LNG.

Pernyataan Pemohon mengenai satu-satunya BUMN yang mengelola

migas tidak benar, karena selama ini disamping Pertamina terdapat

BUMN lain (PGN) yang juga bergerak dibidang transportasi dan

distribusi gas bumi.

9) Mengenai penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara

sebesar 69 trilyun rupiah per tahun sebagaimana dikemukakan

Pemohon pada angka 3 butir 10, dengan ini kami sampaikan bahwa

penilaian tersebut sangat prematur, asumtif, dan tidak mempunyai

dasar perhitungan yang akurat karena tidak semua jenis BBM

diimpor. Dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Badan

Usaha 'selain Pertamina dapat ikut serta untuk penyediaan dan

pendistribusian BBM di dalam negeri sehingga tercipta harga BBM

dalam negeri melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,

sehat, dan transparan.

124

Sebagai konsekuensi dibukanya pasar BBM, maka secara bisnis

pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan, namun dilain pihak

Pemerintah akan mendapatkan penerimaan pajak dan penghapusan

beban subsidi BBM.

Kenyataan yang ada, dengan harga BBM mengikuti harga pasar

secara bertahap berdampak pada pengurangan subsidi BBM yang

selama ini menjadi beban bagi APBN dan juga diperoleh penerimaan

negara dari pajak-pajak.

Namun demikian pada dasarnya subsidi tetap diberikan oleh

Pemerintah melalui subsidi kepada BBM jenis-jenis tertentu, terutama

minyak tanah untuk keperluan rumah tangga dan usaha kecil

diberikan subsidi relatif lebih besar. Disamping itu subsidi harga BBM

dialihkan secara langsung kepada sektor-sektor (BULOG, Kesehatan,

Pendidikan, Sosial, Koperasi dan Usaha Kecil, Keagamaan,

Perhubungan, Kimpraswil, Kelautan Kelautan dan Perikanan,

Nakertrans, BKKBN, dan Dep. Dalam Negeri untuk monitoring dan

evaluasi penyaluran dana Program Dana Kompensasi Subsidi BBM)

melalui Program Dana Kompensasi Subsidi BBM.

10) Berkaitan dengan penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor

22 Tahun 2001 dapat mengakibatkan kepentingan industri dalam

negeri dikalahkan oleh kepentingan asing dalam mendapatkan gas

alam, dapat kami sampaikan bahwa penilaian tersebut tidak benar.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 8 ayat (1) justru

memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk memberikan

prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam

negeri yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 22 yang mewajibkan

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk menyerahkan

maksimum 25% bagiannya dari hasil produksi Gas Bumi untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian Badan Usaha

atau Bentuk Usaha Tetap tidak dapat secara bebas menjual Gas

Bumi tanpa persetujuan Pemerintah.

125

11) Mengenai pendapat "terancamnya aset milik negara yang ada di

KPS" sebagaimana dikemukakan oleh Pemohon pada angka 3 butir

12, dapat kami kemukakan bahwa pendapat tersebut tidak benar.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 dan

peraturan pelaksanaannya mengenai kepemilikan, pengelolaan dan

pemanfaatan aset milik negara dalam kegiatan usaha migas justru

lebih jelas status dan pengaturannya. Khususnya mengenai aset milik

negara yang ada di KPS dimana pengelolaannya oleh BPMIGAS dan

setelah berakhirnya Kontrak Kerja Sama pembinaannya dilakukan

oleh Pemerintah. Hal ini jelas lebih mengamankan dan memudahkan

pemanfaatan atas aset negara tersebut mengingat pengaturan

mengenai pengelolaan aset negara telah secara tegas diatur dalam

suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat

dihindari penguasaan atas aset negara oleh orang atau pihak yang

tidak bertanggung jawab. Sedangkan pengelolaan aset negara oleh

suatu BUMN justru akan menimbulkan kerancuan dan pada

gilirannya akan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung

jawab.

12) Mengenai penilaian "beroperasinya Badan Pelaksana Migas

menyebabkan pengurangan perolehan negara" sebagaimana

dikemukakan oleh Pemohon pada angka 3 butir 13, dapat kami

sampaikan bahwa biaya pengelolaan sektor hulu minyak dan gas

bumi yang dikeluarkan oleh BPMIGAS sebenarnya lebih rendah dari

biaya Pertamina untuk melakukan kegiatan serupa. Berdasarkan

Undang-undang No. 8 Tahun 1971, pembiayaan Pertamina untuk

pengelolaan sektor hulu yang dilakukan oleh Direktorat MPS berasal

dari retensi yang besarnya ekuivalen dengan 2% dari Net Operating

Income (NOI) yang besarnya setiap tahun kurang lebih 2 s/d 3 triliun

rupiah (sebelum pajak 5%). Disamping itu banyak pos-pos

pembiayaan Direktorat MPS yang dibebankan pada anggaran

126

Pertamina Korporat yang sulit dihitung dan dipisahkan secara

proporsional yang jumlahnya cukup signifikan seperti benefit

kesehatan, pesangon, fasilitas telepon, dan lain-lain.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Pasal 6,

BPMIGAS memperoleh sumber pembiayaan berupa imbalan atas

pelaksanaan fungsi dan tugasnya yang besarnya maksimum hanya 1

% dari penerimaan negara dari setiap kegiatan usaha hulu (1 % dari

Penerimaan Negara) yang nilainya kurang lebih hanya 400 miliar

rupiah. Oleh karena itu, tuduhan bahwa biaya BPMIGAS lebih tinggi

dari biaya Pertamina lewat Direktorat Management Production

Sharing adalah absurd dan tidak berdasar.

Berkurangnya penerimaan negara hanya akan terjadi jika penjual

yang ditunjuk menuntut adanya `fee" atau imbalan. Sebagai contoh

bahwa pada saat ini Pertamina meminta imbalan/kompensasi:

- untuk minyak mentah sebesar 2,72% dari harga dalam US$ per

barrel;

- gas alam dan LNG sebesar 8,40% dari harga dalam US$ per

mscf.

Nilai kompensasi untuk minyak mentah, gas, dan LNG adalah nilai

persentase tersebut dikalikan nilai minyak mentah yang di ekspor

maupun yang dikirim ke kilang Pertamina atau nilai gas yang dijual

atau diolah di kilang LNG.

Berdasarkan perhitungan tersebut diperkirakan pada masa

mendatang sebagai contoh gross revenue dari penjualan LNG

Tangguh kira-kira US $ 700 juta dengan fee yang harus dibayarkan

kepada Pertamina US $ 56 juta per tahun, sedangkan untuk LNG

Badak/Arun kira-kira US $ 6,025 miliar dan fee nya adalah kira-kira

US $ 506 juta per tahun.

Apabila kontraktor KPS yang ditunjuk sebagai penjual, Pemerintah

tidak perlu membayar kompensasi/fee sehingga jumlah uang seperti

contoh tersebut di atas menjadi penerimaan negara.

127

13) Terhadap penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 dapat memicu timbulnya salah pemahaman diantara

lembaga-lembaga terkait sebagaimana dikemukakan pada angka 3

butir 14, dapat kami sampaikan bahwa penilaian tersebut tidak benar.

Keterlibatan BPMIGAS dalam pemasaran/perundingan penjualan

gas/LNG tidak berarti bahwa BPMIGAS menjadi "business player".

Keterlibatan tersebut bertujuan agar negara (bukan BPMIGAS sendiri

yang nirlaba) mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari gas/LNG

yang dimilikinya.

Keterlibatan tersebut juga tidak bisa dihindari mengingat bahwa

sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,

BPMIGAS adalah pihak dalam Kontrak Kerja Sama. Kontrak-kontrak

penjualan gas/LNG adalah kontrak-kontrak yang secara erat

dikaitkan dengan Kontrak Kerja Sama dari mana gas/LNG tersebut

diproduksi. Besarnya cadangan-cadangan yang diproduksikan

berdasarkan Kontrak Kerja Samalah yang memberikan "security"

bagi pembeli sehubungan dengan kemampuan penjual untuk

memasok gas/LNG sebagaimana akan diperjanjikan dalam kontrak

penjualan.

Pembeli LNG di Jepang saat ini justru mempertanyakan peran

Pertamina sebagai penjual mengingat bahwa Pertamina bukan lagi

merupakan pihak dari Kontrak Kerja Sama yang bersangkutan.

Pembeli justru menuntut keterlibatan secara aktif dari BPMIGAS (dan

KPS yang bersangkutan) sebagai pihak-pihak dalam Kontrak Kerja

Sama.

Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Hulu dan Pedoman

tentang Tugas Pokok dan Fungsi yang saat ini sedang digodok oleh

Pemerintah akan menjernihkan "overlapping responsibilities" antara

instansi terkait dan menghilangkan "confussion" yang disinyalir oleh

Fereidun Fesharaki.

128

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 sendiri sebenarnya telah

menentukan secara garis besar apa yang menjadi tugas dan fungsi

dari instansi-instansi terkait.

Adapun "politicization of the process" yang dikatakan oleh Fereidun

Fesharaki justru dilakukan oleh pihak-pihak yang karena adanya

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 telah kehilangan wewenang

yang dulu diberikan kepada mereka.

14) Mengenai pendapat Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 menyebabkan negara membayar negara sebagaimana

dikemukakan pada angka 3 butir 15, dapat kami kemukakan bahwa

pada dasarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 memberikan

perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha (Badan Usaha

dan Bentuk Usaha Tetap). Permasalahan yang dikemukakan oleh

pemohon dalam pembayaran "signature bonus" dari BUMN kepada

negara diartikan sebagai "Negara membayar Negara" adalah sangat

tidak tepat karena secara hukum kekayaan, BUMN terpisah dari

kekayaan negara. Pembayaran "signature bonus" pada dasarnya

seperti halnya pembayaran pajak, sehingga tidak dapat dikatakan

sebagai negara membayar negara.

15) Sehubungan dengan pendapat Pemohon bahwa perubahan status

Pertamina dari pelaksana kuasa pertambangan menjadi hanya

sebatas PT. Persero akan mengakibatkan munculnya tuntutan dari

pihak lain yang dapat mengakibatkan berkurangnya pendapatan

negara dari sektor LNG sebagaimana dikemukakan pada angka 3

butir 16, dapat kami kemukakan bahwa pendapat tersebut tidak

benar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

dan perubahan Pertamina menjadi PT. Persero secara hukum tidak

membatalkan agreement yang telah di tandatangani bersama,

bahkan dalam Pasal 63 huruf d Ketentuan Peralihan Undang-undang

tersebut menjamin bahwa semua agreement yang telah

129

ditandatangani tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya

berakhir sehingga kekhawatiran adanya tuntutan para pihak terhadap

agreement tersebut tidak beralasan mengingat bahwa hak dan

kewajiban para pihak dalam agreement tetap akan dipenuhi

/dilaksanakan.

16) Mengenai pendapat Pemohon bahwa BPH Migas akan menambah

mata rantai pemenuhan BBM masyarakat sebagaimana dikemukakan

pada angka 3 butir 17, dapat kami sampaikan bahwa pendapat

tersebut tidak benar karena pembentukan BPH Migas justru untuk

memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) yaitu

sebagai wujud penguasaan negara atas Kegiatan Uasaha Hilir

adalah melalui pengaturm jalur distribusi BBM dan Gas bumi.

Disamping hal tersebut, Pasal 8 Undang-undang Nomor 22 Tahun

2001 menetapkan:

(1) Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas

Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan

cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan

Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah.

(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran

pendistribusian Bahan Bakar minyak yang merupakan komoditas

vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang

menyangkut kepentingan umum. Pengusahaannya diatur agar

pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.

(4) Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan

kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat

(3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPH Migas.

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, BPH Migas melaksanakan

wewenang yang diberikan oleh Pemerintah dalam rangka

130

mengatur dan mengawasi pelaksanaan penyediaan dan

pendistribusian BBM di seluruh NKRI dan pengangkutan gas bumi

melalui pipa agar pelaksanaannya dapat memenuhi kebutuhan

dan hajat hidup orang banyak.

Selanjutnya mengingat kegiatan usaha hilir tidak lagi bersifat

monopoli yang memungkinkan banyaknya pelaku usaha dan di

lain pihak perlu tetap dijaga mekanismenya agas sejalan dengan

Pasal 33 UUD 1945 maka dibentuk Badan yang independen untuk

mengatur dan mengawasi kegiatan usaha yang menyangkut hajat

hidup orang banyak yaitu BPH Migas.

17) Mengenai pendapat Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 akan menumpukkan kuasa negara pada tangan Menteri

ESDM sebagai pengawas, pembina, regulator, dan pelaku

sebagaimana dikemukakan pada angka 3 butir 18, dapat kami

sampaikan bahwa pendapat tersebut tidak benar. Penumpukan

Kuasa Negara kepada satu tangan yaitu Menteri ESDM tidak akan

pernah terjadi, mengingat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun

2001 sudah sangat jelas mengenai pembagian tugas antara tugas

pembinaan dan pengawasan, regulator dan pelaku usaha.

Pemerintah/Menteri ESDM bertugas sebagai pembuat kebijakan-

kebijakan yang berkaitan dengan pengusahaan Minyak dan Gas

Bumi dan melakukan pembinaan dan pengawasan atas ditaatinya

peratuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.

Pada kegiatan usaha hulu, dalam rangka pelaksanaan BPMIGAS

melakukan penandatanganan kontrak kerja sama dan mengendalikan

serta mengawasi atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama itu sendiri,

disamping itu juga memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada

pemerintah dalam rangka penawaran wilayah kerja maupun

pengembangan lapangan yang pertama.

131

Pada kegiatan usaha hilir dibentuklah BPH Migas yang merupakan

badan independen dimana dalam menentukan kebijakan yang terkait

dengan tugas dan fungsinya yaitu penyediaan dan pendistribusian

BBM di seluruh wilayah NKRI tidak ada intervensi Pemerintah dalam

pengambilan keputusan tersebut sehingga BPH Migas akan

mengakomodasikan semua kepentingan stakeholder baik

Pemerintah, pengusaha, maupun konsumen. Sehingga dapat kami

tegaskan bahwa penilaian penumpukan Kuasa Negara pada Menteri

ESDM sangatlah tidak beralasan.

18) Terhadap pendapat Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 mengandung ketidak pastian hukum dan merusak iklim

investasi sektor hulu migas sebagaimana dikemukakan pada angka 3

butir 19, dengan ini kami sampaikan bahwa pendapat tersebut tidak

benar.

Kewajiban bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk

membayar bea masuk, pungutan atas impor dan cukai,

pajak/restribusi daerah, iuran eksplorasi dan eksploitasi (Pasal 31

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001) sudah diberlakukan sejak

lama (Pasal 13, 14, dan 15 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971).

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 justru menjamin adanya

kepastian hukum mengingat bahwa Undang-undang ini memisahkan

antara fungsi regulasi (wasit) dan fungsi pelaksana (pemain)

sehingga dengan demikian kegiatan usaha minyak dan gas bumi

pasca Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 lebih menarik investor.

Terbukti bahwa sampai pada saat ini telah disetujui sejumlah 17

(tujuh belas) KPS.

Keputusan mengenai pengembangan lapangan yang pertama yang

akan diproduksikan dari suatu wilayah kerja merupakan keputusan

yang sangat strategis karena menentukan apakah suatu wilayah

kerja yang diberikan kepada perusahaan migas layak atau tidaknya

untuk dikembangkan/diproduksikan agar dapat memberikan

132

keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara. Oleh karena itu,

keputusan tersebut harus ditetapkan oleh Pemerintah sebagai

pemegang kuasa pertambangan (dalam hal ini Menteri).

Konsultasi dengan Pemerintah Daerah terkait dimaksudkan untuk

mendapatkan kepastian hukum kegiatan eksplorasi dan eksploitasi

migas agar dapat berjalan tanpa hambatan dan mendapat dukungan

dari daerah. Konsultasi dengan daerah bukan untuk mendapatkan

izin dari Pemerintah Daerah.

Ketentuan mengenai DMO gas bumi akan diatur lebih lanjut dalam

peraturan pelaksanaan.

Sesuai ketentuan Pasl 63 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,

kontrak-kontrak lama tetap berlaku sampai dengan berakhirnya

kontrak yang bersangkutan.

19) Mengenai pendapat Pemohon bahwa Indonesia memerlukan adanya

undang-undang energi nasional yang menjadi undang-undang

payung bagi pengembangan semua jenis energi termasuk

menyangkut migas sebagaimana dikemukakan pada angka 3 butir

20, dapat kami kemukakan bahwa pendapat tersebut bertentangan

dengan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1999 yang tidak mengenal

adanya undang-undang payung. Semua undang-undang secara

hukum mempunyai kedudukan yang setara sehingga tidak diperlukan

lagi undang-undang payung di bidang Energi.

IV. Keterangan Pemerintah atas Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi yang Dinyatakan Pemohon Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar 1945

Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon atas uraian

"kuasa pertambangan" dan "dikuasai negara" sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 5 dan Pasal 4 ayat (2) serta Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 23

ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 yang dinyatakan

bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

133

1. Karena pasal-pasal tersebut di atas justru merupakan implementasi dari

pengertian "dikuasai negara" dalam pengaturan pembinaan dan

pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Dapat kami sampaikan pula pada kegiatan usaha hulu ketentuan

"dikuasai negara" pada sumber daya alam dapat diartikan sebagai

pemilikan oleh negara sampai dengan saat terjadinya penyerahan hak

kepada perusahaan/badan usaha.

Sedangkan "mining right" yaitu hak pengelolaan/Kuasa Pertambangan

tetap dipegang Pemerintah atas nama negara. Kepada perusahaan

hanya diberikan hak keekonomian (economic interest) yang tentunya

masih harus dibagi dengan Pemerintah.

Konsepsi Pemohon mengenai pengertian "dikuasai negara" yang masih

didasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang bersifat monopolistik sudah

tidak sesuai lagi.

2. Walaupun Undang-undang ini lahir sebelum amandemen ke-empat

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-undang ini telah berhasil merumuskan secara normatif

konstitusional intent yang tumbuh dalam kehidupan perekonomian

nasional. Ketika amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 berakhir, Konstitusional intent dari

perekonomian nasional belum seluruhnya tertampung dalam

amandemen tersebut, sehingga Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 masih berada dalam kelompok judul

Bab Kesejahteraan Rakyat. Bahwa setelah amandeman keempat

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal

33 berada dalam Judul Bab yang menjadi Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Rakyat. Dengan demikian maka amandemen keempat

Undang-Undang Dasar Negara . Republik Indonesia Tahun 1945 telah

memuat konstitusional intent yang tumbuh dalam perekonomian nasional

khususnya mengenai pemberian kesempatan yang sama kepada setiap

Badan Usaha. Hal inilah yang menjadi dasar ketentuan di dalam

134

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 yang secara normatif berhasil

merumuskan konstitusional intent sehingga sejalan dengan rumusan

konstitusional dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

V. Kesimpulan

Berdasarkan Keterangan Pemerintah tersebut di atas dan setelah

mencermati dengan seksama isi dan maksud permohonan para Pemohon

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi dibuat sejalan dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal

20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah dibahas dan

mendapat persetujuan bersama antara DPR RI dengan Presiden.

2. Bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi telah mangakomodir amanat yang terkandung dalam Pasal 33

Undang-Undang Dasar 1945.

3. Bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

4. Bahwa para Pemohon tidak menguraikan dengan jelas tentang hak

dan/atau konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga

Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal

51 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemerintah memohon kepada

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat yang memeriksa dan

memutus permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk

berkenan menerima Keterangan Pemerintah baik lisan maupun tertulis untuk

keseluruhannya.

135

Selanjutnya memutuskan:

1. Dalam kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon:

- menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai Legal Standing;

2. Dalam permohonan pengujian formil Para Pemohon:

- menyatakan pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi telah sejalan dengan konstitusi.

3. Dalam permohonan pengujian materiil Para Pemohon:

- menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi sah dan berlaku sebagai Undang-undang yang mempunyai

kekuatan hukum di wilayah Republik Indonesia.

Keterangan Tertulis Pemerintah (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) tanggal 29 Juli 2004

Sebagai penjelasan, disampaikan pola pembangunan ekonomi nasional

sebagaimana tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, dimana

telah digariskan arah kebijakan ekonomi yang harus dijalankan oleh

Pemerintah. Kebijakan tersebut kemudian dijabarkan dalam peraturan-

perundangan seperti Undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan

Menteri, dan lain lain.

Penjelasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kesesuaian pola

pembangunan ekonomi nasional dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-

Undang Dasar 1945 yang telah diamendemen, khususnya Pasal 33.

Sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945, Perekonomian

Nasional disusun dengan berlandaskan pada:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

136

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang

telah diamendemen tersebut di atas: perekonomian nasional disusun sebagai

usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal ini merupakan dasar

dari prinsip demokrasi ekonomi, bahwa aktifitas ekonomi dikerjakan oleh

semua, untuk semua masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan

dan bukan kemakmuran perorangan atau kelompok. Asas kekeluargaan

dalam UUD 1945 mengamanatkan semangat solidaritas sosial. Yang

besar/kuat dan yang kecil/lemah harus hidup dalam hubungan yang serasi

dan saling menunjang dalam wujud kemitraan. Dalam hubungan kekeluargaan

tidak ada tindas menindas dan saling mematikan. Kenikmatan yang diperoleh

dari penderitaan yang lain atau dengan membuat penderitaan bagi yang lain

tidak sesuai dengan asas kekeluargaan. Dalam hal ini pemerintah selalu

memperhatikan perkembangan usaha melalui koperasi, usaha kecil dan

menengah.

Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai negara. Dalam penjelasannya lebih lanjut diingatkan bahwa

jangan sampai tampuk produksi jatuh ke tangan perorangan atau kelompok

yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasnya. Yang dimaksud dengan

berkuasa, bukan hanya yang memiliki kekuasaan politik, tetapi juga

kekuasaan ekonomi, melalui kekuatan yang dimilikinya dalam penguasaan

pasar serta faktor-faktor produksi. Penguasaan oleh negara, memang tidak

diartikan sebagai sepenuhnya pemilikan, tetapi harus menjamin adanya

137

kemampuan dan kewenangan bagi negara untuk melindungi kepentingan

umum dan kepentingan ekonomi masyarakat. Negara mempunyai kendali

penuh atas kegiatan produksi tersebut sehingga kepentingan negara dan hajat

hidup orang banyak akan tetap terjaga. Dafam konteks ini, kegiatan usaha hilir

migas dan kegiatan usaha di bidang ketenagalistrikan yang terkait dengan

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, negara tidak wajib melakukan sendiri kegiatan

produksi tadi, tetapi yang lebih penting dapat melakukan pengaturan dan

pengawasan atas kegiatan tersebut sehingga tetap berada di tangan negara.

Lebih lanjut pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa

bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai

pokok-pokok kemakmuran rakyat, dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pernyataan ini mengisyaratkan

bahwa tanah air dan kekayaan alam adalah karunia Tuhan bagi rakyat

Indonesia dan menjadi sumber bagi kemakmurannya. Dengan keterbatasan

yang ada pada negara, maka pengembangan sumber-sumber kekayaan alam

tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan perorangan atau

kelompok masyarakat atau usaha swasta, namun harus tetap dalam kendali

pengawasan pemerintah. Dalam kaitan ini peranan hukum dan pengaturan

amatlah penting, untuk menjamin bahwa potensi kekayaan alam dapat

dikembangkan dengan memberikan imbalan yang layak bagi yang

mengusahakan sesuai dengan pengorbanan dan risiko yang diambilnya,

tetapi juga terjamin bahwa hasil akhirnya adalah kemakmuran yang sebesar-

besarnya bagi rakyat banyak. Dalam konteks ini, kegiatan hulu migas yang

terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara memiliki sumber daya

alam tersebut untuk dapat mengatur dan memelihara kekayaan tersebut

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui pengendalian dan

pengawasan atas kegiatan tersebut.

Dalam ayat (4) Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen, kegiatan

ekonomi dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, yang dijalankan

dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan, berkelanjutan dan dengan

memperhatikan prinsip kemandirian, sehingga setiap warga negara

138

mempunyai kesempatan yang sama dalam berusaha. Kegiatan ekonomi

dilakukan berdasarkan prinsip kebersamaan. Dalam hal ini arah kebijakan

ekonomi merujuk kepada usaha bersama dengan memberi kesempatan

seluas-luasnya kepada badan usaha, baik yang berskala besar, menengah,

maupun kecil yang berbentuk BUMN, BUMD, koperasi, usahan kecil dan

badan usaha swasta, dan pemberian fasilitas kepada pengusaha kecil dan

menengah.

Dalam ayat (5) Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen dinyatakan:

bahwa penjabaran mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan

sosial dituangkan dalam Undang-undang, sehingga dengan demikian usaha

penyediaan tenaga listrik dan kegiatan usaha migas yang telah ditetapkan

dalam Undang-undang sudah tepat.

Bertitik tolak dari prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem

perekonomian negara yang telah diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945

tersebut, sebagaimana tercantum dalam strategi pembangunan, salah-satu

misi bangsa Indonesia, adalah: Terlaksananya pemberdayaan masyarakat

dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil,

menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi

kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis

pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri,

maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.

Tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sesuai dengan

arahan tersebut di atas, adalah tercapainya taraf hidup masyarakat dan

kesejahteraan yang lebih baik dan merata melalui upaya percepatan

pemulihan ekonomi untuk mewujudkan landasan pembangunan yang

berkelanjutan. Pembangunan ekonomi harus adil dan merata, mencerminkan

peningkatan peran daerah dan pemberdayaan seluruh rakyat, berdaya saing

dengan basis efisiensi, serta menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber

daya alam dan lingkungan hidup, yang dilaksanakan sebagai berikut:

139

1. Pembangunan ekonomi dilaksanakan berdasarkan sistem ekonomi

kerakyatan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang meningkat, merata

dan berkeadilan.

2. Pembangunan ekonomi berlandaskan pengembangan otonomi daerah

dan peran serta aktif masyarakat secara nyata dan konsisten.

3. Pembangunan ekonomi harus menerapkan prinsip efisiensi yang didukung

oleh peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi untuk

memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan

daya saing nasional.

4. Pembangunan ekonomi berorientasi pada perkembangan globalisasi

ekonomi internasional dengan tetap mengutamakan kepentingan ekonomi

nasional.

5. Pembangunan ekonomi makro harus dikelola secara berhati-hati, disiplin,

dan bertanggungjawab dalam rangka menghadapi ketidakpastian yang

meningkat akibat proses globalisasi.

6. Pembangunan ekonomi dilaksanakan berlandaskan kebijakan yang

disusun secara transparan dan bertanggung-gugat, baik dalam

pengelolaan publik, pemerintahan, maupun masyarakat.

7. Pembangunan ekonomi harus berlandaskan keberlanjutan sistem sumber

daya alam, lingkungan hidup, dan sistem sosial kemasyarakatan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Agar tujuan pembangunan ekonomi dapat tercapai, maka arah

kebijakan pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana tersebut di atas

yang berkaitan dengan sistem ekonomi nasional antara lain adalah:

1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada

mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan

memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan

sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha

dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil

bagi seluruh masyarakat.

Adapun ciri-ciri utama ekonomi kerakyatan antara lain adalah:

140

• Penegakkan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi disertai

kepedulian terhadap yang lemah. • Pemihakan, pemberdayaan dan perlindungan terhadap yang lemah oleh

potensi bangsa, terutama pemerintah sesuai dengan kemampuannya.

• Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang

ramah pasar.

• Pemberdayaan kegiatan ekonomi rakyat, yang sangat terkait dengan

upaya menggerakkan perekonomian perdesaan.

• Pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya

dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat

dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan

terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar yang

distortif, yang merugikan masyarakat.

3. Mengoptimalkan peran Pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan

pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu

mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang

dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang.

4. Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang

adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar

dengan mengembangkan sistem jaminan sosial melalui program Pemerintah

serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang

pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta

ditetapkan dengan undang-undang.

5. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan

teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan

keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris, sesuai

kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian

dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta

industri kecil dan kerajinan rakyat.

141

6. Mengelola kebijakan makro dan mikroekonomi secara terkoordinasi dan

sinergis guna menentukan tingkat suku bunga wajar, tingkat inflasi

terkendali, tingkat kurs rupiah yang stabil dan realistis, menyediakan

kebutuhan pokok terutama perumahan dan pangan rakyat, menyediakan

fasilitas publik yang memadai dan harga terjangkau, serta memperlancar

perizinan yang transparan, mudah, murah dan cepat.

7. Mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip keadilan,

efisiensi, efektivitas, untuk negara dan mengurangi ketergantungan

transparansi, disiplin, menambah penerimaan dana dari luar negeri.

8. Mengembangkan pasar modal yang sehat, transparan, efisien, dan

meningkatkan penerapan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

standar internasional dan diawasi oleh lembaga independen.

9. Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah produktif

yang dilaksanakan secara efisien. Mekanisme dan prosedur harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan diatur dengan undang-undang.

10. Mengembangkan kebijakan industri, perdagangan dan investasi dalam

rangka meningkatkan daya saing global dengan membuka aksesibilitas

yang sama terhadap kesempatan kerja dan berusaha bagi segenap rakyat

dan seluruh daerah melalui keunggulan kompetitif terutama berbasis

keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan

menghapus segala bentuk perlakuan diskriminatif dan hambatan.

11. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih

efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha

yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas

dari negara diberikan secara selektif terutama dalam bentuk perlindungan

dari persaingan tidak sehat, pendidikan dan pelatihan, informasi bisnis

dan teknologi, permodalan, dan lokasi berusaha.

12. Menata Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara efisien, transparan

dan professional terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan

umum yang bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri

142

pertahanan dan keamanan, pengelolaan aset strategis, dan kegiatan lain

yang tidak dilakukan oleh swasta dan koperasi. Keberadaan dan

pengelolaan BUMN ditetapkan dengan undang-undang.

13. Mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha

yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta dan

Badan Usaha Milik Negara, serta antara usaha besar, menengah dan kecil

dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional.

14. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada

keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal

dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan

mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan

memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta

peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang.

15. Meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumber energi dan tenaga

listrik dengan harga yang wajar dan ramah lingkungan dan secara

berkelanjutan yang pengelolaannya diatur dengan undang-undang.

16. Mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan

dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan

mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan

masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan

seimbang.

17. Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana

publik, termasuk transportasi, telekomunikasi, energi dan listrik, dan air

bersih guna mendorong pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan

masyarakat dengan harga terjangkau, serta membuka keterisolasian

wilayah pedalaman dan terpencil.

18. Mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang

diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian tenaga kerja,

peningkatan pengupahan, penjaminan kesejahteraan, perlindungan kerja,

dan kebebasan berserikat.

143

19. Meningkatkan kuantitas dan kualitas penempatan tenaga kerja ke luar

negeri dengan memperhatikan kompetensi, perlindungan, pembelaan

tenaga kerja yang dikelola secara terpadu dan mencegah timbulnya

eksploitasi tenaga kerja.

20. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu

pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bangsa sendiri dalam

dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna

meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

21. Melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses

pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran,

yang merupakan dampak krisis ekonomi.

22. Mempercepat penyelamatan dan pemulihan ekonomi guna

membangkitkan sektor riil terutama bagi pengusaha kecil, menengah, dan

koperasi melalui upaya pengendalian laju inflasi, stabilitas kurs rupiah

pada tingkat yang realistis, dan suku bunga yang wajar serta didukung

oleh tersedianya likuiditas sesuai kebutuhan.

23. Menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan

mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran,

pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap,

peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta

penghematan pengeluaran.

24. Mempercepat rekapitalisasi sektor perbankan dan restrukturisasi utang

swsta secara transparan agar perbankan nasional dan perusahaan swasta

menjadi sehat, terpercaya, adil, dan efisien dalam melayani masyarakat

dan kegiatan perekonomian.

25. Melaksanakan restrukturisasi aset negara, terutama asset yang berasal

dari likuidasi perbankan dan perusahaan, dalam rangka meningkatkan

efisiensi dan produktivitas secara transparan dan pelaksanaannya

dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengelolaan aset

negara diatur dengan undang-undang.

144

26. Melakukan renegosiasi dan mempercepat restrukturisasi utang luar negeri

bersama-sama dengan Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, lembaga

keuangan internasional lainnya, dan negara donor dengan memperhatikan

kemampuan bangsa dan negara, yang pelaksanaannya dilakukan secara

transparan dan dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

27. Melakukan secara proaktif negosiasi dan kerjasama ekonomi bilateral dan

multilateral dalam rangka meningkatkan volume dan nilai ekpsor, terutama

dari sektor industri yang berbasis sumber daya alam, serta menarik

investasi finansial dan investasi asing langsung tanpa merugikan

pengusaha nasional.

28. Menyehatkan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah

terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. Bagi

BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum

didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.

Menghadapi masalah dan tantangan serta berpedoman kepada arah

kebijakan pembangunan ekonomi tersebut di atas; dan menyadari

keterbatasan sumber daya yang tersedia, maka ditetapkan prioritas program-

program pembangunan ekonomi. Prioritas jangka pendek adalah: program-

program untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan upaya

mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat selama

krisis. Bersamaan dengan upaya pemulihan ekonomi: dilaksanakan program

pembangunan ekonomi jangka menengah untuk meletakkan landasan

pembangunan ekonomi yang berkelanjutan berlandaskan sistem ekonomi

kerakyatan.

Pembangunan sistem ekonomi kerakyatan terutama dan secara

langsung dilakukan melalui berbagai upaya dalam rangka penanggulangan

kemiskinan, pembangunan ketenagakerjaan, pengembangan sistem jaminan

sosial dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi,

pembangunan pertanian, pangan dan pengairan, pembangunan sarana dan

prasarana perdesaan, serta yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup.

145

Keterpaduan di antara pembangunan bidang ekonomi dengan bidang

pembangunan lainnya merupakan suatu keharusan. Seperti misalnya di

bidang hukum, adanya kepastian hukum dalam upaya pemulihan ekonomi

diperlukan tidak hanya untuk menjamin kepemilikan tetapi juga untuk

menumbuhkan praktek usaha yang sehat dan berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Undang-Undang No. 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002

tentang Ketenagalistrikan adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 UUD

1945, mengingat secara substansi materi telah mempertimbangkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya

kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang

kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

2. Tenaga listrik sangat bermanfaat untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan perekonomian dalam

rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

3. Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang dikuasai

negara dan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan

mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga

pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat.

4. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam

memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi

nasional yang meningkat dan berkelanjutan.

5. Dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun

internasional dibutuhkan perundang-undangan yang dapat menciptakan

kegiatan-kegiatan usaha yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing,

efisien, dan berwawasan lingkungan, serta mendorong perkembangan

potensi dan peranan nasional.

146

Secara umum, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi telah mengatur apa yang menjadi tugas Pemerintah dan apa

yang menjadi tugas perusahaan. Minyak dan gas bumi sebagai sumber

kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan

Indonesia dikuasai negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai

pemegang Kuasa Pertambangan. Hal ini telah sesuai dengan dengan Pasal

33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh

Pemerintah dengan maksud agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara

dan menggunakan kekayaan nasional tersebut untuk kemakmuran rakyat.

Selanjutnya Pemerintah membentuk Badan Pelaksana. Adapun di bidang

usaha hilir yang terdiri dari usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,

dan niaga, dapat dilaksanakan oleh badan usaha berdasarkan izin usaha

yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Khusus untuk bidang pengangkutan dan

niaga gas bumi melalui pipa diberlakukan pengaturan prinsip usaha terpisah

(unbundling) untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen

baik dalam segi harga maupun kualitas serta pengaturan dan pengawasan

penyediaan dan pendistribusian BBM untuk menjamin pengadaannya di

seluruh wilayah NKRI. Selanjutnya, untuk melaksanakan kegiatan tersebut di

atas, maka Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan dan

Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui

Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas. Hal ini sesuai dengan Pasal 33

ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, bagi Pemerintah UU Nomor

22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah instrumen hukum yang

sangat penting di dalam usaha yang mampu memberikan jaminan kepastian

hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sesuai ayat (4) Pasal 33 UUD 1945

dicantumkan: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

147

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah memohon

kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan para Pemohon.

Dengan demikian supaya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi, telah sejalan dengan UUD 1945 dan Undang-undang tersebut

tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keterangan Tertulis Pemerintah (Menteri Badan Usaha Milik Negara) tanggal 29 Juli 2004

1. Pendahuluan 1.1. Maksud dan Tujuan Maksud : Memberikan landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan

usaha hulu dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di

wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Tujuan : Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam migas untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, melalui:

1. tersedianya dan terdistribusikannya energi-migas dalam negeri

dalam jumlah cukup, berkualitas baik dan dengan harga yang

wajar;

2. termanfaatkannya energi-migas secara optimal sesuai

perkembangan pembangunan berkelanjutan.

1.2. Latar Belakang Pembangunan perekonomian nasional diselenggarakan atas dasar

demokrasi ekonomi yang mengacu pada prinsip-prinsip: kebersamaan,

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan

kemandirian, dengan tetap mempertahankan kesinambungan kemajuan

dan kesatuan ekonomi nasional, sesuai tuntutan perkembangan.

148

Pembangunan hukum di sektor-sektor lain telah diubah dan sampai

pada tahapan implementasi seperti:

♦ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

♦ UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, dan

♦ UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Berbagai perubahan tersebut harus dapat diantisipasi agar

kemampuan nasional dapat sejajar dan bersaing dengan pihak asing,

sehingga diharapkan kemampuan nasional dapat tetap menjadi tuan di

negeri sendiri.

UU Migas lahir untuk menyikapi berbagai perubahan eksternal dan

internal, baik pengaruh globalisasi dan liberalisasi maupun perubahan

lingkungan strategis seperti otonomi daerah. Globalisasi bercirikan:

persaingan ketat perkembangan teknologi pesat, dan komunikasi

meningkat berdampak pada nyaris tiadanya batas negara (borderless).

UU Migas bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam yang

harus dilaksanakan berdasarkan pemikiran filosofis, pragmatis dan

strategis dengan terdapatnya berbagai perubahan lingkungan strategis

dalam berbagai aspek seperti perdagangan bebas, anti-monopoli,

lingkungan hidup, hak asasi manusia, demokratisasi dan reformasi.

Tanpa perubahan, penyempurnaan atau penyesuaian terhadap

ketentuan dan peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya,

berbagai perubahan lingkungan strategis tersebut cenderung akan

menimbulkan benturan-benturan karena terdapat perbedaan materi

substansial pada tataran implementasi yang tidak mungkin dilaksanakan

secara bersamaan.

Sebagai pelaku usaha, BUMN dituntut untuk mampu menghadapi

perkembangan ekonomi dunia yang terus berubah, terutama liberalisasi

149

perdagangan dan globalisasi ekonomi. Untuk dapat bersaing, setiap

kekuatan ekonomi nasional termasuk BUMN dituntut untuk meningkatkan

produktivitas sumber daya manusia, efisiensi dan efektivitas usaha dalam

rangka memperkokoh ketahanan dan pertumbuhan ekonomi nasional

guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Filosofi: 2.1. Regulator dan Operator

Sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD

1945, Pemerintah mempunyai fungsi sebagai penquasa (regulator) dan

fungsi selaku pengusaha operator). Fungsi regulator dilakukan oleh

Menteri-Menteri teknis yang mengatur sektor-sektor dalam

kewenangannya, sedangkan fungsi operator dilakukan oleh Kantor Menteri

Negara atan Badan yang ditunjuk/diberi kuasa untuk melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya kepengusahaan, seperti

BUMN, yang saat ini fungsi tersebut dilakukan oleh Menteri BUMN.

Pada saatnya kelak, Pemerintah akan harus lebih memfokuskan

fungsinya sebagai regulator, dan secara bertahap akan melepaskan

fungsinya sebagai operator dalam artian sebagai pelaksana-langsung

kegiatan, sesuai prinsip "government function is to govern". Sejalan

dengan makin meningkatnya kemampuan swasta, fungsi operator akan

diserahkan kepada swasta terutama nasional, sedangkan Pemerintah

sebagai regulator menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan.

Selain itu, Pemerintah hanya akan memiliki BUMN yang benar-

benar penting dan harus dimiliki oleh Pemerintah sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 77 UU BUMN. Kriteria BUMN yang tidak dapat diprivatisasi,

yaitu:

150

(i) Persero yang bidang usahanya berdasarkan peraturan perundang-

undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;

(ii) Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan

pertahanan dan keamanan negara;

(iii) Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah

diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang

berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan

(iv) Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang

secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang

untuk diprivatisasi.

2.2. Penguasaan dan Pengusahaan Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap

mengacu pada amanat UUD 1945 Pasal 33:

ayat (2) : "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara", dan

ayat (3) : "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Kedua ayat menegaskan "penguasaan oleh negara" terhadap

sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan

menguasai hajat hidup orang banyak. Dikuasai oleh negara mengandung

pengertian: (1) pemilikan, (2) pengaturan, pembinaan dan pengawasan,

dan (3) penyelenggaraan kegiatan usaha dilakukan di bidang energi

(energi-migas) oleh Pemerintah.

Filosofi "penguasaan oleh negara" adalah terciptanya Ketahanan

Nasional (National Security) di bidang energi (energi migas, listrik dan

energilainnya) di NKRI dengan sasaran-utama penyediaan dan

pendistribusian energi di dalam negeri. Pemerintah dari negara manapun

juga berkewajiban menyediakan dan mendistribusikan energi ke seluruh

wilayahnya. Ketahanan Nasional di bidang energi adalah kemampuan

151

Pemerintah untuk melakukan pengelolaan energi, tanpa memperhatikan

besar-kecilnya dan kaya-miskinnya negara, juga tidak memandang apakah

suatu negara memiliki sumber-daya alam energi atau tidak.

Singapura merupakan contoh negara tanpa sumber-daya-alam

energi (natural resources), namun memiliki ketahanan nasional di bidang

energi yang sangat tinggi. Sebagai negara tanpa sumber-daya-alam

energi, Singapura mempunyai kemampuan tinggi dalam mengelola energi,

mulai dari menyediakan dan mendistribusikan energi di dalam negeri

sampai dengan melakukan impor-ekspor energi, disamping memiliki kilang

berkapasitas 1,5 juta barel per hari (sebagai perbandingan, negara

Indonesia mengoperasikan 7 kilang dengan kapasitas total 1 juta barel per

hari).

Contoh yang kami kemukakan sekaligus memberikan gambaran

implementasi prinsip "government function is to govern" secara murni,

dimana Pemerintah hanya menjalankan fungsinya sebagai regulator,

sedangkan fungsinya sebagai operator diserahkan kepada swasta.

Manfaat ekonomis maksimal diperoleh secara-langsung dari pajak dan

secara tak-langsung dari intangibles lainnya (multiplier-effects di industri

terkait, termasuk tenaga kerja).

UU Migas merupakan undang-undang sektoral yang mengatur,

mengelola, menyediakan-mendistribusikan termasuk kualitas dan harga

pasar yang sehat dan wajar, dan memanfaatkan sumber daya alam migas

agar dapat memberikan manfaat ekonomis maksimal (tertinggi) untuk

sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

UU Migas tetap tunduk pada UUD 1945 Pasal 33, yang dinyatakan

sebagai:

1. Kegiatan Usaha Hulu

a) Penguasaan migas di dalam Wilayah Hukum Pertambangan

Indonesia oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah

sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

152

b) Kegiatan Usaha Hulu eksplorasi dan eksploitasi dilaksanakan dan

dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang paling sedikit

memuat persyaratan:

♦ kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah

sampai pada titik penyerahan,

♦ pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana,

dan

♦ modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha (BU) atau

Bentuk Usaha Tetap (BUT).

c) Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk

melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak

dan Gas Bumi.

Penguasaan (kepemilikan) migas dari kegiatan hulu di wilayah

hukum pertambangan Indonesia tetap berada dalam penguasaan negara

yang diselenggarakan dan diawasi oleh Pemerintah cq. Badan Pelaksana

Migas sampai pada titik penyerahan (penjualan), di dalam atau di luar

negeri. Pelaksanaan pengusahaan kegiatan hulu dapat dilakukan oleh

BUMN/BUMD, swasta Nasional dan/atau Asing melalui Kontrak Kerjasama

dengan BPMigas. Dalam hal pengusahaan kegiatan hulu dikerjasamakan

dengan swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah bertindak sebagai

regulator, namun memegang kendali-penuh atas keberhasilan mitra

kerjasamanya, dan Pemerintah tidak berfungsi sebagai operator.

Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hulu diselenggarakan oleh

BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator dan sebagai

operator termasuk memegang kendali-penuh atas keberhasilan

BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS dan pengawasan BP Migas.

2. Kegiatan Usaha Hilir:

a) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: Pengolahan, Pengangkutan,

Penyimpanan dan Niaga;

153

b) Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha dan

diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,

sehat, dan transparan;

c) Izin Usaha diberikan kepada BU untuk melaksanakan Pengolahan,

Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan

memperoleh keuntungan dan/atau Laba;

d) Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan

pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan

penclistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan

Usaha Hilir.

Kegiatan Usaha Hilir diselenggarakan segera setelah titik-

penyerahan (penjualan, delivery-point) kegiatan hulu. Migas setelah titik-

penyerahan bukan milik negara, disamping dapat pula berasal dari

pembelian minyak impor. Penguasaan oleh negara dalam kegiatan usaha

hilir adalah pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah sebagai regulator

mengeluarkan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui mekanisme

persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Dalam hal. pengusahaan kegiatan hilir diselenggarakan oleh

BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator, juga sebagai

operator termasuk memegang kendali-penuh atas keberhasilan

BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS. Badan Pengatur berperan

dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan

pendistribusian BBM dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir.

Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hilir dikerjasamakan dengan

swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah hanya bertindak sebagai

regulator dengan menerbitkan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui

mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan, namun

tidak melaksanakan fungsinya sebagai operator. Pelaksanaan Public

Service Obligation (PSO) untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM

154

di daerah-daerah terpencil (remote) cenderung harus ditangani oleh

Pemerintah, baik sebagai regulator maupun sebagai operator, meskipun

tidak menutup kemungkinan dapat dikerjasamakan dengan swasta

Nasional/Asing.

2.3. Korporasi Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa "cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Ketentuan tersebut merupakan legitimasi keberadaan berbagai

perusahaan milik negara yang dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara

(BUMN). BUMN merupakan institusi yang modalnya berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan, baik seluruhnya atau sebagian (minimal 51 %).

Sebagai pelaku ekonomi di samping badan usaha milik daerah (BUMD),

swasta dan koperasi, BUMN melaksanakan peran saling memberi

dukungan di antara pelaku-pelaku ekonomi tersebut. Peranan BUMN

dalam pembangunan ekonomi Indonesia dirasakan semakin penting dan

strategis, antara lain karena melaksanakan:

a) peran pelopor atau perintis dalam sektor-sektor usaha dimana swasta

belum tertarik untuk menggelutinya;

b. peran pengelola bidang-bidang usaha yang strategis;

c. peran sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-

kekuatan swasta besar, dan

d. peran sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam bentuk

penyetoran berbagai pajak maupun sebagai sumber setoran dividen

bagi negara sebagai pemilik/Pemegang Saham.

Pemerintah selaku regulator dan fasilitator dalam kegiatan

perekonomian nasional menetapkan kebijakan untuk mendorong semua

pelaku usaha agar dapat memberikan peranan-terbaiknya dalam

155

mengembangkan perekonomian nasional secara efisien dan mampu

bersaing baik secara nasional, regional maupun global. Berdasarkan

pertimbangan tersebut, maka Pemerintah bersama-sama dengan DPR

mengesahkan berbagai undang-undang, termasuk UU Migas.

BUMN seperti pelaku usaha lainnya harus tunduk kepada peraturan

perundang-undangan yang mengatur sektor dalam melaksanakan

kegiatan usahanya. Dengan demikian, bidang-bidang usaha yang dapat

dilakukan BUMN akan sangat tergantung kepada Undang-Undang sektoral

yang mengaturnya. Saat ini, BUMN bergerak hampir di seluruh sektor

perekonomian termasuk di dalamnya sektor pertambangan dan energi.

Dari sifat usahanya, BUMN bergerak di: (a) bidang usaha yang

bersifat kompetitif, (b) bidang usaha yang bersifat kemanfaatan umum

(public service obligation, dan (c) gabungan dari keduanya. Di sisi lain,

sebagai badan usaha (operator), BUMN, dalam hal ini yang berbentuk

Perusahaan Perseroan (Persero), tunduk kepada peraturan perundang-

undangan di bidang korporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995

tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1995 tentang Pasar Modal, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

tentang BUMN (UU BUMN). Demikian pula, BUMN yang berbentuk

Perusahaan Umum (Perum) tunduk kepada UU BUMN yang secara

mutatis mutandis menganut prinsip-prinsip korporasi sebagaimana diatur

dalam UUPT.

Sebagai badan hukum korporasi, BUMN dikelola oleh organ-organ

perusahaan yang terdiri dari Direksi, Komisaris/Dewan Pengawas, dan

RUPS/Pemilik Modal. Bertindak sebagai RUPS/Pemilik Modal adalah

Menteri BUMN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

2003 mengenai pengalihan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri

Keuangan selaku RUPS/Pemilik Modal BUMN kepada Menteri BUMN.

Kedudukan ketiga organ BUMN tersebut adalah independen, bebas dari

campur tangan dari pihak manapun.

156

Selain organ BUMN, pihak manapun dilarang untuk campur tangan

dalam kepengurusan BUMN (Pasal 91 UU BUMN). Sebagai suatu

korporasi, tujuan usaha BUMN khususnya persero adalah mengejar

keuntungan, sedangkan titik berat usaha BUMN yang berbentuk Perum

dan Pelayanan kemanfaatan umum, namun tetap harus mendapatkan laba

agar terjaga kelangsungannya dan dapat hidup berkelanjutan. Meskipun

BUMN bertujuan memperoleh keuntungan/laba, tidak tertutup

kemungkinan bagi Persero ataupun Perum untuk diberikan penugasan

khusus oleh Pemerintah dengan menyelenggarakan kewajiban pelayanan

umum (public service obligation, PSO). Dalam hal kajian finansial

penugasan PSO tersebut tidak feasible, maka Pemerintah harus

memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN

tersebut termasuk marjin yang wajar.

3. Implementasi: 3.1. Restrukturisasi:

Restrukturisasi merupakan hal yang lazim dilakukan di dalam

dunia usaha, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan,

agar going concern perusahaan dapat dipertahankan, bahkan

ditingkatkan. Restrukturisasi terdiri dari restrukturisasi sektoral

(eksternal) dan restrukturisasi perusahaan (internal). Restrukturisasi

sektoral terutama ditujukan kepada sektor-sektor yang mendapat

proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli alamiah. Restrukturisasi

sektoral dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat,

terjadinya kompetisi sehat, efisiensi, dan pelayanan optimal.

Restrukturisasi perusahaan (internal) terdiri dari restrukturisasi di

bidang keuangan, operasional, SDM, organisasi, dan manajemen

termasuk melakukan restrukturisasi terhadap aset-aset yang ada di

perusahaan.

Restrukturisasi sektoral agar tercipta iklim yang kondusif bagi

semua pelaku usaha merupakan upaya Pemerintah untuk

157

meningkatkan perekonomian nasional. Apabila dalam restrukturisasi

tersebut mempunyai ekses yang kurang menguntungkan terhadap

BUMN pada suatu sektor, maka masalah tersebut harus dilihat dari

sudut kepentingan nasional yang lebih luas, tidak hanya dilihat dari

kepentingan BUMN itu sendiri atau kelompok-kelompok yang

mempunyai kepentingan terhadap BUMN seperti karyawan, serikat

pekerja dan pensiunan karyawan. Segala masalah yang timbul di

perusahaan sebagai dampak restrukturisasi sektoral, penyelesaiannya

sudah diatur dalam Undang-undang tersendiri, yaitu di dalam Undang-

undang korporasi, termasuk di dalamnya Undang-undang

ketenagakerjaan. Dengan demikian, kepentingan nasional yang lebih

luas yang diutamakan. Dengan demikian, penyelesaiannya tidak

relevan apabila diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan alasan

melanggar hak-hak konstitusional seperti disampaikan oleh Pemohon.

Sehubungan dengan permohonan pengujian formil dan materil

UU Migas PT. Pertamina (Persero) sebagai operator, diberikan

kesempatan yang sama seperti badan usaha lainnya untuk melakukan

kegiatan usaha di bidang migas. Sebagai pelaku usaha, BUMN tidak

berbeda dengan Swasta.

Dengan dibukanya usaha migas secara kompetitif, maka PT

Pertamina (Persero) didorong untuk melakukan efisiensi, peningkatan

kinerja, sehingga dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya baik di

dalam negeri maupun di luar negeri. Peningkatan kinerja akan

berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan karyawan, sehingga

tidak ada lagi kekhawatiran Pemohon terhadap jaminan uang pensiun

dan pelayanan kesehatan bagi pensiunan perusahaan, karena

perusahaan tetap eksis.

Untuk mempertahankan keberadaan dan pengembangannya ke

depan, PT. Pertamina (Persero) dapat membentuk anak perusahaan

atau bekerja sama dengan pihak swasta, BUMD atau koperasi untuk

berperan di bidang-bidang usaha yang tidak dapat lagi dilakukan

158

sendiri, seperti yang telah dirintis selama ini, dengan memperhatikan

UndangUndang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3.2. Privatisasi: Privatisasi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan strategis

bahwa asas kemanfaatan lebih diutamakan daripada asas kepemilikan.

Maksud dan tujuan privatisasi pada dasarnya adalah untuk

meningkatkan peran Persero dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan masyarakat

atas Persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian nasional.

Pelaksanaan privatisasi dilakukan secara transparan, baik

dalam proses penyiapannya maupun dalam pelaksanaannya. Proses

privatisasi dilaksanakan dengan berpedoman pada prosedur privatisasi

yang telah ditetapkan tanpa ada intervensi dari pihak lain di luar

mekanisme korporasi serta ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Proses privatisasi juga dilakukan dengan berkonsultasi secara

intensif dengan pihak-pihak terkait sehingga proses dan

pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Selain itu privatisasi dilakukan dengan maksud supaya terjadi

perubahan atas budaya perusahaan sebagai akibat dari masuknya

pemegang saham baru, baik melalui penawaran umum (go public)

ataupun melalui penyertaan Iangsung (direct placement). Perusahaan

akan dihadapkan pada kewajiban pemenuhan persyaratan-persyaratan

keterbukaan (disclosure) yang merupakan persyaratan utama dari

suatu proses go public, atau adanya sasaran-sasaran perusahaan

yang harus dicapai sebagai akibat masuknya pemegang saham baru.

Budaya perusahaan yang berubah tersebut akan dapat mendorong

peningkatan kinerja perusahaan yang selanjutnya akan dapat

mempertinggi daya saing perusahaan dalam berkompetisi dengan

159

pesaing-pesaing, baik nasional, regional, bahkan global sehingga pada

akhirnya akan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap

perekonomian nasional dalam bentuk barang dan jasa yang semakin

berkualitas dan terjangkau harganya, serta penerimaan negara dalam

bentuk pajak yang akan semakin besar pula.

Meskipun Privatisasi bertujuan untuk melakukan efisiensi,

sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan.

Oleh karena itu dalam melaksanakan Privatisasi sejauh mungkin perlu

diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK

hanya dapat dilakukan setelah jangka waktu tertentu setelah

pelaksanaan privatisasi, kecuali karyawan melakukan tindakan-

tindakan yang melanggar ketentuan hukum. Selanjutnya apabila PHK

terjadi pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Sehubungan dengan itu, dalam upaya agar karyawan dan

serikat pekerja maupun masyarakat dapat memahami manfaat

Privatisasi Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang manfaat

privatisasi secara terarah dan konsisten.

Selalu timbul pertanyaan mana yang lebih baik bila kita memiliki

BUMN secara mayoritas tapi kontribusi kepada perekonomian nasional

adalah marginal atau bila BUMN dimiliki secara kurang dari mayoritas

tetapi memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian

nasional. Kenyataan dan pengalaman selama ini menunjukkan bahwa

Persero yang diprivatisasi, baik dalam bentuk pembayaran pajak

kepada negara, pembayaran dividen maupun dalam penyerapan

tenaga kerja. Dengan dilakukannya privatisasi, bukan berarti kendali

atau kedaulatan negara menjadi berkurang atau hilang, negara tetap

memegang kendali melalui regulasi sektoral. Pengertian penguasaan

oleh negara tidak berarti hanya sebagai pemilikan, tetapi juga termasuk

di dalamnya penguasaan melalui regulasi. Ini artinya, semua

perusahaan yang berada di Indonesia, siapapun pemiliknya, harus

160

tunduk kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang dibuat

oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia yang berdaulat.

UU BUMN telah menetapkan BUMN yang dapat dan tidak dapat

diprivatisasi (Pasal 76 dan Pasal 77). Di samping itu, privatisasi hanya

bersifat pengalihan kepemilikan dan/atau pengelolaan perusahaan,

tidak mengakibatkan hilangnya suatu perusahaan. Perusahaan

tersebut masih berada di Indonesia, tunduk kepada semua regulasi

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia yang berdaulat termasuk

tunduk terhadap ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan

Indonesia, siapapun pemiliknya. Ketentuan ketenagakerjaan di

perusahaan termasuk mengenai pensiun tunduk pada regulasi yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal-hal yang terkait dengan

hak-hak tenaga kerja, termasuk pengupahan dan pensiun merupakan

kewajiban setiap perusahaan baik perusahaan nasional maupun

perusahaan yang dimiliki oleh asing yang beroperasi di Indonesia untuk

memenuhi hak-hak tersebut berdasarkan hukum atau ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

3.3. Ketenagakerjaan Berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadi pengurangan

karyawan PT. Pertamina (Persero), kiranya permasalahan ini harus

dilihat dari kacamata masalah ketenagakerjaan secara nasional.

Masalah ketenagakerjaan dan kesejahteraan sosial merupakan

masalah bersama yang dihadapi bangsa dan negara ini, bukan

permasalahan yang dihadapi dan harus diselesaikan sendiri oleh PT.

Pertamina (Persero). Apabila PHK terpaksa harus dilakukan, maka

tenaga-tenaga profesional yang berasal dari PT. Pertamina (Persero)

akan terserap di perusahaan-perusahaan yang baru (BUMD, BUMS,

dan Koperasi). Di samping itu, apabila terjadi PHK, maka kepada

karyawan akan diberikan hak-haknya sesuai dengan ketentuan di

161

bidang ketenagakerjaan yang berlaku. Hak-hak ketenagakerjaan bagi

karyawan BUMN juga diatur dalam Pasal 87 UU BUMN.

Kiranya perlu ditambahkan bahwa apabila berdasarkan kajian

yang seksama memang terpaksa harus dilakukan PHK untuk

mempertahankan going concern perusahaan, maka PHK bukan hal

yang tabu (dilarang) untuk dilakukan. PHK dapat dilakukan asalkan

dilakukan sesuai dengan ketentuan di bidang ketenagakerjaan.

Berkaitan dengan hak-hak konstitusi Pemohon yang merasa

dirugikan dengan adanya UU Migas, yaitu antara lain hak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja, hak untuk hidup sejahtera lahir batin, hak untuk memperoleh

pelayanan kesehatan, hak atas jaminan sosial, hak untuk hidup serta

untuk mempertahankan hidup dan penghidupannya, hak berserikat,

berkumpul dan berpendapat, kiranya tidak relevan apabila dikaitkan

dengan Undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut hanya

mengatur mengenai kegiatan usaha di sektor migas. Undang-undang

tersebut merupakan reformasi atau restrukturisasi sektoral di bidang

migas yang memang mempunyai kaitan langsung dengan seluruh

pelaku usaha di Indonesia, termasuk PT. Pertamina (Persero).

3.4. Audit BUMN Untuk mendorong pengelolaan manajemen secara profesional,

efisien dan transparan, serta memberdayakan fungsi, dan

meningkatkan kemandirian organ-organ perseroan, dalam waktu 5

bulan setelah tahun buku Persero ditutup, PT. Pertamina (Persero)

wajib menyampaikan Laporan Tahunan kepada Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS) untuk memperoleh pengesahan. Sesuai

dengan ketentuan yang berlaku, laporan tahunan dimaksud adalah

laporan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik.

162

Di dalam melakukan evaluasi kinerja manajemen BUMN, RUPS

dapat meminta dilakukan 4 jenis audit, yaitu General Audit, Internal

Audit, Management Audit dan Complience Audit.

General Audit adalah pemeriksaan catatan akuntansi perseroan

oleh akuntan publik yang berijazah independen. Auditor harus

mengikuti prosedur pemeriksaan yang diterima secara umum.

Dokumen sumbernya diperiksa untuk mendapatkan keabsahan

transaksi yang kuat. Dalam General Audit tersebut, akuntan publik

akan memberikan pendapat (opini) atas kewajaran dari laporan

keuangan Perseroan.

Internal Audit adalah pemeriksaan terhadap prosedur dan

operasi perusahaan oleh internal auditor untuk memastikan bahwa

prosedur tersebut sesuai dengan kebijakan perusahaan.

Management Audit adalah penilaian terhadap efisiensi manajemen.

Complience Audit adalah pemeriksaan terhadap ketaatan

perusahaan didalam melaksanakan seluruh ketentuan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

4. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa UU Migas

adalah merupakan penjabaran lebih lanjut yang telah sesuai dan tidak

bertentangan dengan UUD Tahun 1945, mengingat hal-hal sebagai berikut:

1. Regulasi di sektor migas sebagaimana tertuang dalam Undang-undang

tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 33 UUD Tahun

1945 yang telah sesuai dengan ayat (5) Pasal 33 yang mengamanatkan

bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 33 ayat (1) sampai dengan

(4) diatur lebih lanjut dengan undang-undang, yaitu bentuk penguasaan

oleh negara diwujudkan melalui penguasaan secara regulasi.

2. Sesuai dengan sistem ketatanegaraan berdasarkan Pasal 33 UUD

Tahun 1945, Pemerintah melaksanakan fungsi selaku penguasa

163

(regulator) dan pengusaha (operator). Selaku operator, Pemerintah

melaksanakan tugasnya sebagai pembina dan pengawas BUMN

(RUPS/Pemilik Modal) bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya

tunduk kepada regulasi yang dikeluarkan oleh regulator. Fungsi

Pemerintah selaku operator akan lepas secara bertahap dan diserahkan

kepada sektor swasta. Pemerintah akan lebih memfokuskan diri pada

fungsi regulator. Hanya BUMN tertentu yang dianggap penting dan

strategis yang dimiliki negara.

3. BUMN sebagai salah satu pelaku usaha di Indonesia, selain BUMD,

swasta dan koperasi, merupakan badan usaha yang tunduk kepada

ketentuan dan mekanisme korporasi sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan di bidang korporasi, yaitu UU PT, UU

Pasar Modal, dan UU BUMN. Sebagai korporasi BUMN berbeda dengan

swasta hanya dari segi kepemilikan modalnya. Modal BUMN dimiliki oleh

negara. Mekanisme kepengurusan dan pengawasan BUMN tidak

berbeda dengan mekanisme kepengurusan dan pengawasan yang

berlaku terhadap pelaku usaha lainnya.

4. Dalam rangka penyehatan BUMN, termasuk PT. Pertamina (Persero),

Pemerintah telah menetapkan kebijakan pada tataran normatif, yaitu

dengan disahkannya UU BUMN pada tanggal 19 Juni 2003. Sedangkan

pada tataran operasional, Pemerintah telah menyusun Master Plan

BUMN Tahun 2002-2006 yang pada intinya mendorong penyehatan

BUMN melalui 3 pilar utama reformasi, yaitu restrukturisasi, privatisasi,

dan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

5. Restrukturisasi terdiri dari restrukturisasi eksternal (sektoral) dan

restrukturisasi internal (perusahaan) yang terdiri dari restrukturisasi di

bidang keuangan, operasional, SDM, organisasi, dan manajemen.

Restrukturisasi perusahaan dimaksudkan agar perusahaan dapat

mencapai kinerja yang optimal, mempunyai daya saing yang kuat dalam

menghadapi perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan

kompetitif, sehingga dapat hidup berkelanjutan, memberikan kontribusi

164

kepada negara dan masyarakat berupa dividen, pajak, penyerapan

tenaga kerja dan layanan berupa barang dan jasa yang optimal.

Sedangkan restrukturisasi sektoral terutama ditujukan kepada sektor-

sektor yang dilakukan proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli

alamiah. Restrukturisasi merupakan kewenangan regulator untuk

menciptakan iklim usaha yang sehat, sehingga terjadi kompetisi yang

sehat, efisiensi, dan pelayanan yang optimal.

6. Dalam kaitannya dengan privatisasi, privatisasi dilaksanakan

berdasarkan pertimbangan strategis bahwa asas kemanfaatan lebih

diutamakan daripada asas kepemilikan. Privatisasi dilakukan dengan

memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas,

pertanggungjawaban dan kewajaran melalui konsultasi dengan DPR

dengan memperhatikan regulasi sektoral yang berlaku.

7. Ketenagakerjaan atau status karyawan BUMN, sebagaimana dinyatakan

dalam UU BUMN, bahwa karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN

yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya

ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan

peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dengan

demikian, karyawan BUMN statusnya sama seperti karyawan badan

usaha lainnya, termasuk segi profesionalismenya.

a) Berkaitan dengan PHK, di dalam UU BUMN telah dijelaskan bahwa

PHK merupakan upaya terakhir, yaitu hanya dilakukan dalam

keadaan yang sangat terpaksa apabila upaya-upaya restrukturisasi

internal lainnya tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan.

Namun demikian, sedapat mungkin PHK tidak akan merugikan atau

mengabaikan hak-hak karyawan yang terkena PHK. Hak-hak

karyawan akan dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

b) Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak konstitusional Pemohon,

yang dengan diundangkannya UU Migas merasa bahwa hak-haknya

165

tersebut akan terkurangi atau dirugikan, maka dapat disampaikan

bahwa Undang-Undang tersebut tidak terkait langsung dengan hak-

hak konstitusional dimaksud. Undang-Undang tersebut mengatur

kegiatan usaha di sektor migas, serta merupakan reformasi atau

restrukturisasi sektoral di bidang migas yang mempunyai kaitan

langsung dengan seluruh pelaku usaha di Indonesia, termasuk PT.

Pertamina (Persero). Tujuannya adalah menciptakan iklim

perekonomian yang sehat dengan lebih memfungsikan dan

memperkuat fungsi Pemerintah selaku regulator yang mempunyai

kewenangan mengatur dan melakukan law enforcement terhadap

semua pelaku usaha demi terciptanya iklim usaha yang kondusif

dalam menghadapi persaingan global.

8. BUMN didirikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

hal ini sesuai dengan UU BUMN (Pasal 2) bahwa maksud dan tujuan

pendirian BUMN adalah untuk: (i) memberikan sumbangan bagi

perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan

negara pada khususnya; (ii) mengejar keuntungan; (iii)

menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang

dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat

hidup orang banyak; (iv) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang

belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; (v) turut aktif

memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan

ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

9. Bila dalam restrukturisasi terdapat ekses yang kurang menguntungkan

terhadap BUMN pada suatu sektor, dalam hal ini dan migas, maka

masalah tersebut harus dilihat dari sudut kepentingan nasional yang

lebih luas. Penyelesaian terhadap masalah yang berkaitan dengan

kepentingan karyawan, serikat pekerja, dan pensiunan, sudah diatur

dalam Undang-undang tersendiri, yaitu diatur dalam Undang-undang

korporasi, termasuk di dalamnya Undang-undang ketenagakerjaan.

Dengan demikian, penyelesaiannya tidak relevan apabila diajukan

166

kepada Mahkamah Konstitusi dengan alasan melanggar hak-hak

konstitusional seperti disampaikan oleh Pemohon.

10. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami memohon kepada Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat yang memeriksa dan

memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk berkenan menerima

keterangan kami ini seluruhnya dan untuk selanjutnya memutuskan:

a) Menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar

1945.

b) Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi sah dan berlaku sebagai undang-undang yang

mempunyai kekuatan hukum di wilayah Republik Indonesia.

Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah telah

mengajukan Ahli yang semuanya dibawah sumpah/janji pada pokoknya

sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Soedjana Safei, M.sc., SE. - Bahwa masalah yang paling pertama dan yang paling harus

mendapatkan perhatian utama adalah kalau membicarakan dunia

kompetisi adalah permainan yang harus dapat dilakukan dalam aturan

main yang demikian ini. Bagaimana membuat aturan main inilah menjadi

segi-segi utama dari pada sesuatu yang harus dilaukan. Akan tetapi satu

hal yang perlu di catat di sini pula bahwa kita tidak mulai dari titik nol.

Kita mulai dari pengalaman-pengalaman bermacam dunia, pasarannya

di dunia tercatat ada yang dalam laporan-laporan yang sifatnya ilmiah

dalam jurnal-jurnal prosesnya dan sebagainya, sehingga kita bisa mulai

mempelajari market rules ini untuk kemudian melewati masalah-maslah

167

itu, sehingga kita bisa membuat apa yang namanya market rules yang

cocok untuk kepentingan kita. Salah satu point yang penting di dalam

market rules yang nantinya harus kita lakukan adalah yang diamanatkan

oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 dimana perekonomian

nasional diselenggarakan dan salah satu point adalah efisiensi

berkeadilan. Apa itu yang namanya efisiensi berkeadilan. Kalau bicara

efisiensi berkeadilan dalam dunia listrik di mana dilakukan dalam suatu

pasar, maka ini pengertian efisiensi di dalam ekonomi itu mempunyai

suatu pengertian khas, pengertian khusus. Dia melihat terutama kepada

percaturan antara supply and demand, lalu di situ dilihat pertama-tama

kalu kita mengatakan kompetisi diberikan kepada para suplyer tenaga

listrik itu berarti mereka akan kompititif di dalam harga dan di sini yang

penting adalah harga-harga tersebut diajukan dalam suatu pelelangan

biasanya. Orang-orang itu mengajukan harga jelas ingin menuju kepada

harga yang rendah. Akan tetapi suatu suplyer tidak bisa menurunkan

harganya serendah mungkin dia ada suatu batas yang dia harus tidak

bisa lampaui istilahnya batas tersebut secara ilmiahnya adalah yang

namanya margin of course of production itu adalah satu harga yang dia

tidak bisa turun dari situ, kalau dia turun itu tidak rasional karena the

margin of production itu adalah harga dari pada masing-masing genset.

Kalau sekarang suplyer itu biasanya aturan prakteknya adalah bahwa

masing-masing suplyer harus mengajukan kurva-kurva dari pada biaya-

biaya mereka. Kalau harus tersebut kemudian dilelangkan yang

pertama-tama masuk adalah yang cost yang paling murah sampai dia

mendapatkan maksimal power yang diambil. Kemudian baru yang

kedua, yang ketiga dan yang keempat sampai titik dicapai bahwa jumlah

daya itu adalah daya yang diminta pada suatu saat. Pada saat daya

yang diminta pada suatu saat tersebut itulah harganya yaitu kalau secara

teori mengatakan titik keseimbangan kompetisi. Yaitu titik keseimbangan

antara yang diminta (demand) dan apa yang bisa di suply jelas yang

paling akhir masuk adalah harga yang termahal. Itu berarti bahwa genset

yang paling murah mendapatkan suatu keuntungan yang dalam istilah

168

ekonominya disebutkan adalah escacity rent yaitu sewa kelangkaan

karena pada waktu dia masuk dayanya itu lebih besar dari pada saat dia

masuk yang pertama-tama dia menjadi generator yang langka akan

tetapi pada saat akhir dia mendapatkan beda antara harga yang terjadi,

harga dia itulah keuntungan dia. Dan ini yang penting bahwa pada saat

keseimbangan itu terjadi di dalam ekonomi dikatakan adalah an economic equilibrium, economic equilibrium is efisien itulah dalam teori

ekonomi dikatakan bahwa suatu keseimbangan kompetisi adalah efisien.

Ini perlu penjelasan sedikit, apa artinya suatu keseimbangan kompetisi is

efisien itu berarti bahwa harga ditentukan atas dasar supply dan

demand. Para suplyer pada saat itu mengajukan harga listrik semampu

mereka masing-masing sesuai dengan yang mahal mendapatkan harga

yang terakhir akan dinilai dia tidak mendapatkan surplus khusus, akan

tetapi kalau harga itu kemudian terbentuk maka apa yang terjadi? Yang

terjadi dua hal ditinjau dari segi pemakai itu adalah suatu harga titik

dimana para pemakai mengatakan inilah harga daya, ini yang saya sukai

yang bisa saya capai. Para suplyer mengatakan inilah harga yang bisa

kita berikan. Titik keseimbangan tersebut itu kemudian mengatakan

ditinjau dari segi suply yaitu adalah dia mendapatkan suatu keuntungan

karena daya, karena buat dia itulah harga yang terbaik yang dia bisa

capai dari segi pemakai itu ada juga demikian, yaitu adalah yang

namanya consumer surplus itu adalah titik itu yang dia capai karena dia

tidak bisa mendapatkan titik lebih baik dari pada titik itu. Dengan

demikian, maka kedua keseimbangan tersebut yang dalam istilah-istilah

ilmiahnya mengatakan memaksimalkan keuntungan baik itu ditinjau pada

segi pemakai maupun ditinjau dari segi supply. Dengan demikian titik itu

yang kita sebut sesuatu titik berkeadilan. Keadilan efisiensi yang

berkeadilan dan titik ini kalau itu dicapai dalam satu sistem kompetisi

adalah yang paling baik, baik suplyer maupun baik oleh pemakai, dua-

duanya pada titik itu maka itu suatu sistem kompetisi harus dilihat pada

skala panjang, tidak bisa dilihat pada skala pendek karena harga rata-

rata yang diambil oleh seorang suplyer adalah yang terbaik pada

169

akhirnya untuk masyarakat. Dengan demikian, maka pada titik itu suatu

efisiensi untuk yang berkeadilan dicapai.

2. Dr. Soetomo Soedomo - Bahwa ahli menekankan pada terjadinya perubahan dalam kaitannya

dengan very time ship. Undang-undang Migas maupun kelistrikan itu

muncul atau mau tidak mau harus dilahirkan kembali oleh karena harus

menyikapi berbagai perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan yang

terjadi itu adalah hanya terutama ditujukan pada keseimbangan-

keseimbangan baru dan tatanan-tatanan baru untuk atau pun dalam

rangka meningkatkan nilai ekonomis. Nilai ekonomis itu adalah titik temu

keseimbangan antara berbagai pihak, baik itu nilai ekonomis dari sisi

produser maupun consumer juga nilai-nilai yang didapat oleh Pemerintah

dalam hal ini. Dalam hal ini lebih ditekankan pada ketahanan nasional.

National security itu adalah sesuatu yang harus dipunyai oleh setiap

negara dan pernah juga terjadi terdapat ketidak seimbangan itu bahkan

di negara besar, negara Amerika itu pernah ditahun 1973 mengalami

energy crisis dimana tahun 1973 tersebut bahkan di Hari Raya Natal

terpaksa dipadamkan dan tidak dapat merayakan Natal dengan

semestinya. Ini adalah satu sejarah bahwa bukan hanya negara kecil

atau pun besar bukan juga tadi disebutkan miskin atau kaya, semua

negara itu harus tinggi ketahanan nasionalnya dalam hal ini lebih

ditekankan dengan sendirinya ketahanan nasional di bidang energi.

- Bahwa Undang-undang Migas dan Kelistrikan itu tetap menjamin

tersedianya baik itu BBM maupun listrik yang memadai bagi seluruh

wilayah Indonesia dengan sendirinya itu akan ada tahapan-tahapannya

dan kalau itu dikaitkan dengan pengusahaan, maka di daerah-daerah

yang sudah memungkinkan untuk berkompetisi itu akan dibuka iklim

kompetisi tadi, sehingga fungsi regulasi, fungsi Pemerintah itu akan lebih

tertuju dan lebih difokuskan pada regulasi. Sebagai regulator akan tetap

memegang kendali dari semuanya, sehingga penguasaan oleh

Pemerintah, oleh negara dalam hal ini juga tetap akan seperti yang

170

diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi dalam Undang-

undang Migas maupun Kelistrikan secara konstitusi kedua undang-

undang tadi tidak bertentangan sama sekali bahkan itu mendukung dan

menjabarkan lebih lanjut amanat Undang-Undang Dasar 1945. Mungkin

dalam realitanya di sana-sini itu masih ada berbagai ekses seperti

misalnya saja dalam hal di berita ada kelangkaan bahan bakar dan

sebagainya, tetapi itu adalah masalah implementasi teknisnya. Jadi, kita

harus dalam very time ship ini harus betul-betul bisa memilahkan dan

membedakan mana yang berkaitan langsung dengan konstitusi dan

mana yang sifatnya adalah implementasi yang mungkin saja itu adalah

dapat disebabkan oleh karena belum semestinya suatu tatanan yang

baru atau pun juga mungkin dari pelaku-pelakunya. Ahli berpendapat

bahwa secara konstitusi Undang-undang Migas dan Undang-undang

Kelistrikan dalam hal ini adalah justru mendukung sepenuhnya Undang-

Undang Dasar 1945.

3. Dr. Mohammad Ikhsan - Bahwa kata kuncinya adalah efisiensi. Teori ekonomi menunjukkan

bahwa hanya kompetisi saja yang memungkinkan efisiensi itu bisa

tercapai. Tetapi di dalam kasus listrik memang karakteristiknya unik, dia

punya sifat monopoli alamiah, sehingga tidak bisa sepenuhya dilepas

kepada pasar. Dalam sejarahnya ada 2 (dua) mazhab di dunia, yang di

Eropa melalui pemilikan Pemerintah, sedangkan yang di Amerika Serikat

melalui regulasi yang lebih ketat. Yang di Eropa ini yang kira-kira yang

mendasari pemikiran founding father Mohammad Hatta yang mewarnai

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi pengalaman sejarah

menunjukkan asumsi-asumsi yang dipakai dalam pemilikan Pemerintah

itu salah, asumsi bahwa BUMN akan dipegang oleh Anas Broker

ternyata pengalaman sejarah Pertamina penuh dengan skandal, PLN

juga lebih kurang dalam degree yang lebih rendah, kemudian BUMN itu

juga rugi lalu sasaran elektrifikasi sukar dicapai kemudian teknologi dan

ilmu ekonomi juga berkembang merespon dari perubahan-perubahan

171

yang ada di sini yang tadinya monopoli alamiah ternyata bisa dipilah-

pilah makanya kenapa muncul unbundling. Gelombang itu kembali mulai

berubah banyak di Eopa dimulai dengan di Inggris, mereka melakukan

unbundling, kemudian privatisasi yang terakhir dilakukan juga oleh

Prancis. Prancis ini kebetulan yang menjadi mazhab dari PLN dan

sekarang tahun ini mereka melakukan langkah yang lebih maju. Dewasa

ini memang ada gugatan terhadap kompetisi di listrik, tetapi tak ada satu

pun negara yang melakukan perubahan itu balik lagi kepada single

integrated monopoly, yang ada hanya perubahan dalam market rules.

Market rules yang kira-kira cocok diganti yang lain, kemudain parameter

kedua, apakah menguntungkan negara atau tidak, kita lihat pada

kontribusi kepada pajak. Untuk Migas ada 2 parameternya, yang

pertama sejauh mana undang-undang ini bisa menginkaris produksi

Migas, yang kedua bisa melalui Pertamina itu bisa meningkatkan

penerimaan baik dividen maupun pajak. Kalau dilihat trend yang ada,

undang-undang yang lama tidak akan mampu menginkaris orang untuk

masuk ke dalam kegaitan produksi Migas.

Kemudian yang kedua, kalau dilihat kontribusi Pertamina sukar sekali

mencari berapa banyak Pertamina mampu masuk ke dalam memberikan

kontribusi ke negara. Kalau dibandingkan antara Pertamina dengan

Medco misalnya sama-sama perusahaan yang dikelola oleh orang

Melayu, yang satu produksinya terus meningkat, yang satu Pertamina

produksinya terus menurun, jadi sukar untuk mengharapkan kontribusi

dari BUMN ini. Kemudian kontribusi PLN pun dari sisi pajak sepanjang

ahli menjabat Komisaris Independen di sana selama 3 tahun PLN itu

mengalami kerugian, mungkin baru tahun ini PLN itu bisa mendapatkan

keuntungan yang sangat kecil. Oleh karena itu, dari segi untuk

mempertahankan produksi undang-undang ini sangat baik karena

menghilangkan beban Pertamina yang punya macam-macam tugasnya

sehingga mereka bisa konsentrasi pada kegiatan produksi. Jadi undang-

undang ini menjawab amanat efisiensi, amanat dari penerimaan negara

dan juga memperkuat fungsi regulasi. Kalau untuk mencegah ekses dari

172

kompetisi bukan di undang-undangnya yang harus diperbaiki tetapi

bagaimana memperkuat fungsi regulatornya.

Jadi Pemerintah itu yang harus diperkuat fungsi regulatornya melalui

Badan Pengawas Tenaga Listrik, kemudian BP MIGAS dan BP Hilir

Migas itu yang harus diperkuat supaya kepentingan dari negara itu bisa

tercapai. Kemudian parameter ketiga adalah, apakah merugikan

masyarakat atau tidak. Harus dilihat dari 2 (dua) indikator, pertama

adalah aksesibilitas masyarakat dan harga. Seperti yang dikatakan tadi,

bahwa kalau hanya mengandalkan kepada Pemerintah, pada PLN dalam

hal ini, untuk mencapai elektrivikasi ratio 100% membutuhkan mungkin

15 atau 20 tahun lagi. Jadi sangat sukar diharapkan, oleh karena itu

harus memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk meningkatkan

eksesibilitas, karena dengan eksesibilitas yang sangat rendah itu sangat

tidak menguntungkan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap

listrik itu.

Jadi ada unsur-unsur untuk mensuport masyarakat yang miskin. Jadi

kalau dilihat dari sini justru undang-undang ini lebih memperjelas

sasaran dari subsidi, dan yang kedua adalah menguntungkan dari rumah

tangga miskin yang selama ini tidak menikmati listrik. Adalah tidak adil

kalau misalnya digunakan sistem sekarang yang biaya kerugian dari

PLN itu harus ditanggung oleh semua masyarakat Indonesia lewat

anggaran selama ini disubsidi oleh Pemerintah semuanya harus

menanggung. Padahal seharusnya hanya konsumen listrik saja atau

konsumen BBM yang menanggung beban subsidi ini. Sama seperti

kasus BBM menunjukan dari data Susenas yang diterbitkan oleh BPS

yang dikumpulkan BPS 80% subsidi BBM kecuali minyak tanah itu

dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak menerima subsidi itu. Jadi

undang-undang ini jelas memberikan kesempatan mengarahkan kembali

subsidi itu agar benar-benar mencapai kepada sasarannya.

4. Bambang Brojenegoro

173

- Bahwa mengenai kompetisi, kaitannya dengan unbundling, maka

hendaknya menggunakan kondisi yang sama, dan di sini intinya adalah

keterbukaan transparansi dan perlakuan yang sama, sehingga untuk

BUMN itu juga sudah dipikirkan dan juga sudah diterapkan sebetulnya

yang disebut sebagai pemberian free vilik, jadi meskipun pada dasarnya

itu akan diperlakukan sama dengan kontraktor yang lain, BUMN dalam

hal ini Pertamina akan tetap mendapatkan hak istimewa dari Pemerintah.

Untuk masalah hilir tatanan yang ada saat ini bisa dilihat bahwa sebagai

contoh PBN, harga di Jakarta dengan harga di Puncak Gunung

Jayawijaya misalnya itu sama, apabila itu sentral listrik maka untuk

menjangkau daerah-daerah terpencil dan sebagainya akan tinggi sekali

dan itulah juga subsidi yang meningkat, yang sudah ditelaah.

Saat ini adalah konsep regionalisasi dimana sebagai contoh misalnya

untuk wilayah barat oleh karena itu dekat dengan pasar, maka sumber-

sumber itu akan diambilkan dari pasar, tetapi kalau untuk wilayah timur

misalnya saja BBM itu akan bisa diadakan atau pun dibeli dari negara

tetangga yang terdekat, itu antara lain akan mengurangi juga masalah

transportasi.

Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan dipersidangan,

Ahli yang diajukan Pemerintah juga memberikan Tambahan Keterangan Secara

Tertulis yang diserahkan oleh Pemerintah pada Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada tanggal 11 Agustus 2004, yaitu Keterangan Tambahan Secara

Tertulis dari: Dr. Mohammad Ikhsan, Dr. Ir. Rachmat Sudibjo, Dr. Ir. Kardaya

Warnika, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Dan Dr. Sutomo Sudomo;

Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah selain

mengajukan Ahli juga mengajukan dokumen-dokumen yang antara lain berupa:

1. Dokumen berjudul “Kebijakan Investasi Bidang Migas” beserta lampirannya;

2. Daftar Kontrak Kerjasama (KPS) Migas;

3. Daftar Investasi Pengembangan Lapangan (POD) Migas;

4. Daftar Kontrak Jual Beli Gas Bumi;

174

5. Realisasi Penerimaan Negara Dari Sektor Migas;

6. Data Pendukung Judicial Review Undang-Undang No.22 Tahun 2001

Tentang Minyak Dan Gas Bumi;

7. Fotokopi Daftar Hadir Anggota Dalam Acara Rapat Paripurna DPR RI,

Tahun Sidang 2001 – 2002, Masa Persidangan I, Ke 17, Hari Selasa,

tanggal 23 Oktober 2001;

8. Fotokopi Dafta Kehadiran Pejabat Departemen/Lembaga/Instansi

Pemerintah Dalam Rapat Paripurna Dewan Masa Persidangan I Tahun

2001 – 2002, Ke 17, Hari Selasa, tanggal 23 Oktober 2001;

9. Fotokopi Daftar Hadir Anggota Dalam Acara Rapat Paripurna DPR-RI,

Tahun Sidang 2002 – 2003, Masa Persidangan I, Ke 5, Hari Rabu, tanggal 4

September 2002;

10. Fotokopi Butir-Butir Kesepakatan Antara Pemerintah Indonesia Dengan

IMF, Universitas Widya Gama;

11. Surat bertanggal 10 September 2004 yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat, tanggal 10 September 2004.

Keterangan Tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bertanggal 10 Pebruari 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2004

I. Mengenai Syarat Permohonan 1. Kapasitas Pemohon:

Bahwa Pemohon I, II, III, dan IV, dan VI bukan merupakan pihak yang

dapat dianggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).

2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon: a. Bahwa para Pemohon I, II, III, dan IV menguraikan hak

konstitusionalnya secara kabur bahkan tidak jelas. Mereka semata-

mata ingin melakukan perjuangan untuk dan atas nama orang/pihak

lain tanpa hak kuasa dan oleh karena itu tidak sesuai dengan ketentuan

Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

175

b. Bahwa Pemohon V sebagai badan hukum mengajukan permohonan

atas dasar perkiraan atau asumsi, bukan fakta hukum dengan

menyatakan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akan

menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan pekerja PT.

Pertamina khususnya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya maupun bekerja serta mendapat imbalan dan

perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

c. Bahwa Pemohon VI sebagai individu semata-mata ingin menguraikan

dan meperjuangkan hak atas kebutuhan dasar manusia secara umum

seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, bukan memperjuangkan

hak dan atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh UU

No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

3. Syarat formalitas permohonan a. Bahwa pembahasan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi dilakukan

sesuai dengan mekanisme pembahasan dan pengambilan keputusan

berdasarkan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

Keberatan seorang atau beberapa anggota DPR dalam pengambilan

keputusan adalah salah satu sikap dalam pengambilan yang dihargai

oleh DPR.

b. Bahwa para Pemohon tidak menjelaskan bagian mana dari UU No. 22

tahun 2001 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon

membuat uraian yang bersifat umum dan kabur dengan membuat

perkiraan fakta sejarah pengelolaan dan pengusahaan minyak dan gas

bumi, kuasa pertambangan, pengertian penguasaan negara,

kewenangan penjualan minyak dan gas bumi tanpa menguraikan

perubahan-perubahan dari sejarah perminyakan itu sendiri. Pemohon

semata-mata ingin mempertahankan suatu perilaku atau norma hukum

yang berlaku pada masa lalu, padahal nilai atau norma itu sendiri sudah

tidak cocok dengan keadaan masa sekarang, apalagi jika diprediksikan

pada masa depan (futuristik). Oleh karena itu syarat formalitas

176

permohonan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 51 ayat (3).

Berdasarkan uraian di atas permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 karenanya permohonan Pemohon

harus dinyatakan tidak dapat diterima. II. Mengenai Pokok Materi Permohonan

1. Mengenai Formil Pengesahan Undang-undang

Bahwa setiap rancangan undang-undang yang dibahas oleh DPR

bersama dengan Pemerintah didasarkan pada mekanisme sebagaimana

diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Rancangan Undang-Undang

tentang Minyak dan Gas Bumi yang sekarang menjadi Undang-Undang

No. 22 tahun 2001 pembahasannya dilakukan berdasarkan mekanisme

yang lama atau sebelum diadakan perubahan tingkat pembahasan RUU

di DPR dari empat tahap menjadi dua tahap yaitu tahap pertama

keterangan pemerintah, kedua pandangan fraksi-fraksi, ketiga

pembahasan dalam Komisi VIII, dan keempat pengambilan putusan

dalam rapat Paripurna. Berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam

Peraturan Tata Tertib DPR pembahasan atas RUU tentang Minyak dan

Gas Bumi tidak terdapat kekurangan atau penyimpangan. Setiap

pengambilan keputusan baik dalam Rapat Komisi VIII yang merupakan

pembahasan tingkat III berdasarkan data absensi kuorum rapat selalu

terpenuhi. Demikian juga pada saat pengambilan keputusan atas

persetujuan DPR terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi pada

Rapat Paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 telah sesuai dengan

kuorum Rapat yaitu dihadiri oleh 348 orang dari 483 orang anggota DPR.

Dengan demikian kuorum rapat dan pengambilan keputusan atas RUU

tentang Minyak dan Gas Bumi telah terpenuhi dan keputusan yang

diambil adalah sah sesuai dengan Paraturan Tata Tertib DPR No.

03A/DPR RI/2001-2002 serta tidak terdapat pertentangan dengan Pasal

20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 UU No. 4 tahun 1999 tentang

177

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Bahwa terdapat sebanyak 12 orang anggota yang menyatakan

keberatan atau yang lazim dikenal "minderheidsnota" pada saat

pengambilan keputusan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi dalam

Rapat Paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 dapat diterangkan

bahwa sikap seperti itu merupakan suatu bentuk dan praktek demokrasi

dalam pengambilan keputusan di DPR. Selain "minderheidsnota"

seorang atau beberapa orang atau fraksi dalam pengambilan keputusan

dapat menyatakan persetujuan, penolakan/tidak sejutu, atau abstain atas

sebagian atau keseluruhan hal yang dimintakan persetujuan dalam rapat

untuk diambil keputusan. Minderheidsnota bukan merupakan

penolakan/tidak setuju secara penuh, tetapi memperkenankan

dilaksanakan pengambilan keputusan dimana dalam keputusan

diberikan catatan dari anggota yang menyatakan "minderheidsnota"

tersebut. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atas RUU

tentang Minyak dan Gas Bumi pernyataan 12 orang anggota Dewan

dijadikan catatan "nota" dan itu dibacakan sebagai "minderheidsnota".

Dengan demikian "minderheidsnota" kendati dihargai sebagai sikap dan

praktek dalam pengambilan keputusan, namun tidak mempunyai sifat

menghambat atau membatalkan suatu persetujuan.

3. Bahwa berdasarkan uraian di atas, tidak terdapat alasan untuk

menyatakan pembahasan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi

bertentangan atau menyimpang dari prosedur formil.

4. Mengenai Pokok Materi Permohonan

1. Bahwa filosofi suatu undang-undang dapat diperhatikan dari dua hal

yaitu pertama berkenaan dengan badan yang membentuk dan kedua

substansi undang-undang itu sendiri. Apabila suatu undang-undang

dihasilkan berdasarkan kewenangan membentuk undang-undang,

maka secara formil undang-undang tersebut dilandasi filososi negara

yang bersangkutan. Sedangkan secara substantif jelas filosofi suatu

178

undang-undang dapat diperhatikan dalam konsideran menimbang

dan pada batang tubuh undang-undang yang bersangkutan.

Undang-undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah, itu berarti bahwa secara

filosofis pembentukan Undang-undang No.22 tahun 2002 sesuai

dengan filosofi yang terkandung dalam UUD 1945. Selanjutnya

Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

secara tegas mencantumkan asas dalam Bab II yaitu berasaskan

ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keseimbangan,

kemakmuran bersama, dan kesejahteraan rakyat banyak,

keamanan, keselamatan, kepastian hukum serta berwawasan

lingkungan dan tidak ada satu pasal atau ayat dalam Undang-

undang ini yang menyatakan "berdasarkan pada filosofi liberalisme".

Oleh karena itu dapat dikatakan sepenuhnya Undang-uUndang ini

berlandaskan pada filosofi negara Republik Indonesia sebagaimana

tertuang dalam UUD 1945.

2. Bahwa UUD 1945 sesungguhnya tidak menolak liberalisme sebagai

suatu ajaran atau teori dalam ilmu pengetahuan. Namun liberalisme

jelas tidak merupakan ideologi dalam UUD 1945. Pernyataan para

Pemohon bahwa Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi berlandaskan ideologi liberalisme sesungguhnya tidak

menggunakan cara pandang yuridis, melainkan cara pandang filsafat

dengan mencoba menguji suatu fakta atau norma dengan nilai-nilai

atau teori-teori yang ada misalnya Undang-undang dinilai dari sudut

disiplin ilmu tertentu, contoh liberalisme dari sudut ilmu ekonomi.

Cara pandang seperti itu jelas akan memungkinkan terjadinya

kesewenangan bagi setiap orang untuk melakukan penafsiran yang

pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian di dalam

penyelenggaraan hak uji formil dan materiel atas suatu Undang-

undang.

Apabila liberal dipahami sebagai kebebasan sebagaimana

dikemukakan oleh Pemohon, menurut DPR justru UUD 1945

179

memberikan jaminan kebebasan dan hal itu hendaknya dipahami

secara positif. Oleh karena itu filosofi dalam Undang-undang No. 22

tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan

dengan Pasal 33 UUD 1945, Undang-uUndang tersebut justru

membagi tugas dan peran negara kepada badan-badan lain serta

memberikan peran kepada masyarakat berdasarkan asas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU N0. 22 tahun 2001.

3. Bahwa Pasal 33 ayat (2) menyatakan, Cabang-cabang produksi

yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak

dikuasai oleh negara. Dalam hubungan pengertian negara terdapat

unsur rakyat, wilayah, pemerintah. Dalam konteks pemerintahan

dengan sistem demokrasi, kedaulatan rakyat dihargai clan diberikan

posisi yang kuat. UUD 1945 sebagai hukum dasar negara tertinggi

menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pertanyaan

sekarang apa yang dimaksud dengan dikuasai negara di dalam

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Dilihat dari perngertian kedaulatan,

maka kata dikuasai negara bukan berarti memiliki, tetapi sebagai

organisaasi yang bernama negara diberikan kewenangan.

Berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 33 ayat (2) dapat dimungkinkan timbulnya hak-hak, misalnya

hak pengelolaan, hak pengusahaan. Hak menguasai negara dalam

hubungan minyak dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan

menentukan status hukum pengelolaan dan pengusahaan atas

minyak clan gas bumi. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi hak menguasai negara diatur

berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha migas yang

terdiri dari kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Menurut

pendapat DPR sebagian kewenangan negara dalam pengelolaan

dan pengusahaan migas dapat diserahkan kepada badan usaha dan

bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam Undang-undang

No.22 tahun 2001, sedangkan pengaturan clan pengawasan

kegiatan usaha migas tetap ada pada Pemerintah sebagai

180

pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Dilihat dari

aspek kedaulatan rakyat serta hak mengatur dan menentukan

kegiatan usaha migas, maka pengaturan hak menguasai negara

tidak hilang dan Undang-undang ini jelas tidak bertentangan dengan

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 bahkan dapat dikatakan ini merupakan

bentuk dan implementasi asas ekonomi kerakyatan dan demokrasi.

Pengertian cabang-cabang produksi yang penting dan strategis serta

menguasai hajat hidup orang banyak, menurut pendapat DPR tidak

berarti bahwa negara memiliki dan mengusahakan tetapi

pengusahaan dari sudut pandang ekonomi dapat diserahkan kepada

pihak lain, namun hak pertambangan "mining rights tetap ada pada

Pemerintah dalam bentuk pengaturan dan pengawasan dan hal

tersebut jelas sudah diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun

2001.

4. Bahwa Undang-undang No. 22 tahun 2001 mengatur mengenai

Badan Pelaksana. Salah satu tugas Badan Pelaksana adalah

menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara.

Penunjukan tersebut dilakukan dengan persyaratan harus

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Dari aspek

hukum perjanjian penunjukan tersebut mengharuskan dibuat dalam

bentuk kontrak/perjanjian dengan pembeli minyak dan/atau gas,

karena itu DPR berpendapat tidak ada alasan hukum untuk

meragukan akan terjadi kerugian negara sebagai akibat penunjukan

penjualan bagian negara atas minyak dan/atau gas bumi.

Standby Letter of Credit justru merupakan suatu jaminan dari si

Pembeli minyak dan gas dan hal tersebut merupakan salah satu

persyaratan bagi pembeli yang harus dimulai sejak penjualan minyak

dan gas dalam pasar domestik. Persyaratan seperti di atas dari

sudut hukum dagang adalah lazim dalam perdagangan.

BP MIGAS adalah badan hukum milik negara menjadi pihak dalam

Kontrak Kerja Sama. Keterlibatannya adalah dalam rangka

pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 44 ayat (1)

181

Undang-undang No.22 tahun 2001. Dengan demikian menurut DPR

keberadaan BP MIGAS dalam pemasaran dan penjualan gas

berkaitan dengan pengawasan, tidak bertindak sebagai pemain

bisnis dan karena itu tidak akan menambah mata rantai

pemasaran/penjualan migas bagian negara sebagaimana

dikemukakan oleh Pemohon.

Perubahan bentuk usaha Pertamina menjadi PT. Pertamina

(Persero) merupakan perubahan bentuk status badan hukum, tidak

berhubungan dengan keterbukaan dan kemudahan untuk menjual

perusahaan tersebut. Privatisasi atau penjualan suatu perusahaan

tidak semata-mata tergantung pada suatu perusahaan berbentuk

badan usaha milik negara atau swasta, tetapi tergantung pada

hukum yang mengaturnya. Demikian juga Kontrak Kerja Sama tidak

didasarkan pada ada tidaknya BUMN negara, tetapi bagaimana

negara atau Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan

memberikan kewenangan dalam jangka waktu tertentu kepada

Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap untuk melakukan kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi. Dalam Pasal 14 Undang-undang No. 22

tahun 2001, telah diatur jangka waktu KKS selama 30 tahun dan

dapat diperpanjang selama 20 tahun. Oleh karena menurut pendapat

DPR tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa jika negara tidak

memiliki BUMN migas maka penggarapan wilayah kerja tidak lagi 30

tahun tetapi selamanya.

5. Bahwa Undang-undang No. 22 tahun 2001 merupakan kebijakan

nasional dibentuk dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

Dalam pembentukan suatu undang-undang terdapat tiga aspek

penting meliputi filosofis, sosiologis, dan yuridis dan ketiga aspek

tersebut telah terdapat dalam Undang-undang No.22 tahun 2001.

Penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas bumi pada

mekanisme pasar menurut DPR didasarkan pada pertimbangan

ekonomi dan sosial. Secara ekonomis penyerahan harga

berdasarkan mekanisme pasar akan menguntungkan negara,

182

sehingga negara tidak lagi menanggung beban dalam bentuk subsidi

harga yang nyata-nyata lebih menguntungkan pengguna minyak dan

gas secara langsung melalui subsidi harga. Secara sosilogis

kebijakan dengan mensubsidi harga justru tidak akan dapat dinikmati

masyarakat yang memerlukan subsidi langsung. Oleh karena itu

ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang

No.22 tahun 2001 sudah tepat dimana negara tetap tidak

menghilangkan tanggung jawab sosialnya pada golongan

masyarakat tertentu yaitu pelangggan rumah tangga dan pelanggan

kecil. Penetapan harga migas melalui mekanisme pasar dalam

beberapa tahun terakhir ini telah dipraktekkan oleh Pemerintah dan

dalam penerapannya tidak muncul gejolak sosial yang dapat

menimbulkan disintegrasi negara. Pernyataan Pemohon bahwa

Undang-undang No. 22 tahun 2001 akan berpotensi memunculkan

disintegrasi menurut DPR adalah suatu sikap dan penilaian yang

berlebihan. Pasal 28 hendaknya dipelajari secara keseluruhan ayat.

Pada ayat (1) ditentukan bahwa Pemerintah wajib membuat

ketetapan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan

bahan bakar minyak sesuai dengan standar clan mutu dan pada ayat

(3) tanggung jawab sosial Pemerintah tidak berkurang terhadap

golongan masyarakat tertentu termasuk tentunya disini adalah

daerah yang berpendapatan rendah. Disamping itu dalam Undang-

undang ini juga diatur tentang Badan Pengatur dimana salah satu

tugasnya adalah mengatur distribusi bahan bakar minyak yang

menjadi kewajiban badan usaha.

6. Bahwa dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001 secara tegas

dirumuskan tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas

bumi. Dari enam tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak

dan gas bumi, salah satu adalah menjamin efektivitas pelaksanaan

dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi secara

berdaya guna, berhasil guna, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan

atas minyak dan gas bumi milik negara yang strategis dan tidak

183

terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan. Selain

tujuan yang telah dirumuskan secara tersurat, pembentukan

Undang-undang No. 22 tahun 2001 menurut DPR mempunyai

maksud justru untuk mengembangkan BUMN migas pada lingkup

yang lebih luas "word wide" dengan memisahkan fungsi wasit dan

pemain yang selama ini diperankan oleh BUMN migas. Hal tersebut

dapat diperhatikan dari kebijakan Pemerintah memberikan privelege

kepada BUMN misalnya:

- pembagian hasil 60 : 40 sudah termasuk pajak-pajak,

pungutan-pungutan dan iuran lainnya;

- untuk daerah-daerah yang "low risk" dapat diberikan langsung

kepada BUMN melalui penawaran langsung;

- BUMN dapat ditunjuk langsung sebagai penjual minyak dan gas

bumi bagian negara.

Dengan demikian menurut DPR, pendapat Pemohon yang

menyatakan bahwa pembentukan Undang-undang No. 22 tahun

2001 akan membuka peluang penjualan BUMN migas dan hanya

akan menjadikan BUMN migas sebagai pemain minoritas di sektor

hulu tidak dapat dibenarkan. Mengenai retensi fee sebesar 5% dari

penerimaan kegiatan usaha hulu. Menurut DPR hal itu tidak terkait

dengan tugas Pertamina dalam rangka penyediaan dan distribusi

BBM untuk seluruh Indonesia. Retensi 5% terkait dengan fee atas

menejemen yang dilakukan Pertamina dalam rangka pelaksanaan

KPS. Tugas Pertamina dalam rangka penyediaan dan distribusi BBM

ke seluruh Indonesia semua biayanya ditanggung oleh Pertamina

dan atas pelaksanaan tugas tersebut Pertamina memperoleh fee.

Sesuai dengan Peraturan Peralihan Undang-undang No. 22 tahun

2001 tugas Pertamina tersebut hanya untuk masa transisi yang

selanjutnya tanggung jawab akan beralih kepada Pemerintah melalui

Badan Pengatur.

Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 2001, DPR berpendapat

bahwa BUMN Migas akan lebih leluasa melakukan kegiatan bisnis

184

secara profesional dan diharapkan akan mampu bersaing dengan

perusahaan-perusahaan lain dengan landasan pemikiran "profit

making" dan peran sosialnya menjadi tanggung jawab Pemerintah.

7. Bahwa Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 yang dinyatakan para

Pemohon dapat melemahkan daya saing industri LNG nasional,

menurut DPR tidak benar. Undang-undang No. 22 tahun 2001 justru

membuka peluang daya saing industri LNG karena Undang-undang

ini sangat memperhatikan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana

diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Dalam Pasal 9 Undang-undang

No. 22 tahun 2001 dirumuskan bahwa kegiatan usaha minyak dan

gas bumi termasuk LNG dapat dilaksanakan tidak hanya oleh

BUMN. Penunjukan kepada hanya satu perusahaan tertentu untuk

melaksanakan niaga LNG Indonesia justru akan dapat menimbulkan

konflik kepentingan "conflict of interest" khususnya apabila

perusahaan tersebut juga sebagai penjual LNG yang tentu saja lebih

mengutamakan penjualan LNG dari kegiatannya sendiri. Selain itu

dalam pasar LNG telah terjadi pergeseran dari "seller's market" ke

buyer's market". Dalam hal ini penjual LNG hendaknya lebih

memperhatikan keinginan pembeli/pasar dimana kemungkinan pasar

lebih menghendaki perusahaan tertentu sebagai partnernya.

Undang-undang No. 22 tahun 2001 pada dasarnya sesuai dengan

tujuan pembentukan Undang-undang tersebut justru mengandung

maksud untuk mengembangkan industri minyak dan gas bumi yang

efisien, modern, dan mempunyai daya saing baik di tingkat nasional

maupun internasional. Oleh karena itu Undang-undang ini akan

memberikan kesempatan kepada setiap Badan Usaha yang memiliki

kemampuan dana dan teknologi untuk melakukan niaga LNG.

8. Bahwa pernyataan Pemohon mengenai Undang-undang No. 22

tahun 2001 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara

sebesar 69 triliun per tahun adalah suatu penilaian yang terlalu dini

dan tidak memiliki alasan yang kuat serta dapat dikatakan semata-

mata perkiraan karena tidak semua jenis BBM diimpor. Selain

185

Pertamina berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 2001 Badan

Usaha dapat ikut serta untuk penyediaan dan pendistribusian BBM

dalam negeri sehingga akan tercipta harga BBM dalam negeri

melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan

transparan.

Sejak harga BBM mengikuti harga pasar, menurut pendapat DPR

tampak keuntungan secara bertahap yaitu adanya pengurangan

subsidi harga BBM yang selama bertahun-tahun dipertahankan

menjadi beban APBN. Disamping itu negara juga memperoleh

penerimaan dari pajak-pajak penjualan. Selanjutnya kendati harga

BBM mengikuti mekanisme harga pasar, hal terpenting menurut DPR

bahwa kebijakan tersebut tidak mengurangi tanggung jawab sosial

negara terhadap golongan masyarakat/konsumen tertentu yakni

masyarakat miskin.

9. Bahwa pendapat para Pemohon tentang Undang-undang No. 22

tahun 2001 dapat mengakibatkan kepentingan industri dalam negeri

dikalahkan oleh kepentingan asing dalam mendapatkan gas alam

menurut pendapat DPR adalah tidak benar. Undang-undang No. 22

tahun 2001 dalam Pasal 8 ayat (1) justru memberikan kewenangan

kepada Pemerintah untuk memberikan prioritas pemanfaatan gas

bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan hal tersebut diperkuat lagi

oleh ketentuan dalam Pasal 22 yang mewajibkan Badan Usaha dan

Bentuk Usaha Tetap untuk menyerahkan maksimum 25% bagiannya

dari hasil produksi gas bumi dalam rangka pemenuhan kebutuhan

dalam negeri. Berdasarkan ketentuan tersebut Badan Usaha dan

Bentuk Usaha Tetap justru tidak dapat secara bebas untuk menjual

gas bumi tanpa persetujuan Pemerintah dimana hal ini nantinya

menjadi salah satu obyek dalam pengawasan DPR.

10. Bahwa aset negara yang ada pada KPS sejak berlakunya Undang-

undang No. 22 tahun 2001 dikemukakan oleh para Pemohon

menjadi terancam sama sekali menurut DPR tidak benar. Menganai

kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan aset milik negara dalam

186

kegiatan usaha minyak dan gas bumi akan semakin jelas baik status

maupun pengaturannya. Aset milik negara yang ada di KPS yang

pengelolaannya dilakukan oleh BPMIGAS dan setelah berakhirnya

kontrak kerja sama, pembinaannya akan dilakukan oleh Pemerintah.

Itu berarti akan lebih mengamankan dan memudahkan pemanfaatan

aset negara tersebut. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22

tahun 2001 akan dapat dihindari penguasaan aset negara oleh orang

atau pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengelolaan aset negara

oleh suatu BUMN justru akan menimbulkan kerancuan yang pada

akhirnya dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung

jawab tersebut.

11. Bahwa penilaian para Pemohon mengenai beroperasinya Badan

Pelaksana Minyak dan Gas Bumi pada kegiatan hulu migas akan

menyebabkan pengurangan perolehan negara sama sekali tidak

benar. Dari segi pembiayaan, menurut DPR biaya yang dikeluarkan

oleh BPMIGAS akan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan

biaya yang dikeluarkan oleh Pertamina sebagaimana dilakukan pada

masa lalu. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2001

justru banyak pos-pos pembiayaan Pertamina atau Direktorat

Management Production Sharing (MPS) yang akan berkurang yang

pada gilirannya akan meningkatkan perolehan negara. Oleh karena

itu jika diperhatikan dari aspek kebijakan, maka pengoperasian

Badan Pelaksana Migas pada sektor hulu justru akan

menguntungkan bagi negara. Selanjutnya apabila KPS ditunjuk

sebagai penjual, maka Pemerintah tidak lagi perlu untuk membayar

kompensasi/fee sehingga akan terjadi penerimaan negara dari pos-

pos yang seharusnya dibebankan kepada negara.

12. Bahwa penilaian para Pemohon terhadap Undang-undang No. 22

tahun 2001 akan memicu salah pemahaman di antara lembaga-

lembaga terkait sesunggungnya menurut DPR tidak merupakan

alasan yuridis, artinya bahwa dalam Undang-undang No. 22 tahun

2001 tidak terdapat hal-hal yang dapat menjadikan konflik antar

187

lembaga terkait. Jika terjadi kesalahan pemahaman terhadap

undang-undang menurut DPR itu bukan terletak pada norma, tetapi

itu terletak pada persepsi seseorang. Oleh karena itu jika terdapat

kesalahan pemahaman yang dibutuhkan adalah memberikan

penjelasan sehingga tidak terjadi lagi kesalahan serupa. Khusus

mengenai adanya sinyalemen pembeli di Jepang tidak mau

melakukan negosiasi dengan BPMIGAS tentu saja sinyalemen

seperti ini tidak baik, para pembeli di Jepang dapat diyakini sangat

menghormati prinsip-prinsip perdagangan dan kedaulatan negara

lain. Pemasaran LNG ke Jepang menurut pendapat DPR adalah

murni perdagangan. Oleh karena itu aspek bisnis akan lebih

dominan dari pada politik sehingga dapat dikatakan tidak cukup

alasan untuk menyatakan bahwa para pembeli di Jepang tidak mau

melakukan negosiasi dengan BPMIGAS.

13. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai Undang-undang No. 22

tahun 2001 menyebabkan negara membayar kepada negara

berdasarkan pendapat DPR adalah bahwa para Pemohon kurang

memahami mengenai stasus dan fungsi suatu badan hukum.

Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 2001

terdapat perlakuan yang sama terhadap semua pelaku usaha baik

dalam bentuk Badan Usaha maupun Bentuk Usaha Tetap.

Pembayaran dalam bentuk "signature bonus" dari BUMN yang

dipermasalahkan oleh para Pemohon dan disebut sebagai negara

membayar negara, justru secara hukum adalah sangat tepat, artinya

kendati BUMN merupakan milik negara, namun kekayaannya sudah

dipisahkan. Dengan demikian BUMN tetap harus memiliki kewajiban

sebagaimana layaknya badan hukum lainnya. Hanya saja, dalam

pengembangan BUMN, Pemerintah sebagai pemilik dapat

menetapkan kebijakan tertentu sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan menguntungkan

bagi negara.

188

14. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai perubahan status

Pertamina menjadi PT. Persero akan mengakibatkan tuntutan dari

pihak lain menurut pendapat DPR pemikiran seperti itu semata-mata

merupakan perkiraan-perkiraan Pemohon. Apabila yang dimaksud

para Pemohon pihak lain adalah para pihak yang telah melakukan

pengikatan kontrak dengan Pertamina sebelum Undang-undang ini

berlaku, pemikiran seperti yang dikemukakan para Pemohon tidak

perlu, karena dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2001

dan adanya perubahan status Pertamina, pengikatan kontrak yang

telah ada dan telah ditandatangani secara hukum tidak berakhir.

Dalam Pasal 63 huruf d Ketentuan Peralihan Undang-undang No. 22

tahun 2001 telah dirumuskan dengan tegas bahwa semua

agreement yang telah ditandatagani tetap berlaku sampai dengan

berakhirnya jangka waktu kontrak dimaksud. Sehingga tidak ada

kekhawatiran bahwa dengan berlakunya Undang-undang No.22

tahun 2001 akan ada tuntutan dari pihak lain, karena hak dan

kewajiban para pihak dalam perjanjian tetap dapat dilaksanakan.

15. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai Badan Pengatur hanya

akan menambah mata rantai pemenuhan BBM masyarakat,

pendapat seperti itu menurut DPR semata-mata merupakan asumsi.

Dalam Pasal 1 angka 24 ditegaskan bahwa Badan Pengatur adalah

suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan

pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar

Minyak dan Gas Bumi serta pengangkutan Gas Bumi melalui pipa

pada Kegiatan Usaha Hilir. Dalam Pasal 46 secara tegas diatur

mengenai fungsi dan tugas Badan Pengatur. Fungsinya adalah

melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar

Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat

terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi dalam negeri. Tugasnya

meliputi pengaturan dan penetapan mengenai ketersediaan dan

distribusi Bahan Bakar Minyak, cadangan Bahan Bakar Minyak

189

nasional, pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan

Bahan Bakar Minyak, tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa,

harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, dan

pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. Apabila diperhatian

ketentuan mengenai Badan Pengatur dalam Undang-uUndang No.

22 tahun 2001 sesungguhnya hanya menjalankan sebagian

kewenangan Pemerintah yang dalam pemerintahan lazim dipahami

"desentralisasi fungsional". Hal seperti ini justru memiliki tujuan yang

baik yaitu melimpahkan suatu kewenangan Pemerintah kepada

suatu pihak untuk menjalankan suatu kegiatan secara profesional.

Oleh karena itu, Badan Pengatur justru dibentuk untuk menjalankan

fungsi clan tugas Pemerintah dalam rangka pengaturan dan

pengawasan penyedian dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak

dan Gas Bumi secara profesional.

16. Bahwa pendapat para Pemohon, Undang-undang No. 22 tahun 2001

akan menumpukkan kuasa negara pada tangan Menteri Energi

Sumber Daya Mineral sebagai Pengawas, Pembina, Regulator, dan

Pelaku, menurut DPR pendapat seperti itu tidak benar sama sekali.

Dalam Pasal 4 UU No. 22 tahun 2001 telah dirumuskan bahwa

minyak clan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis

takterbarukan yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan

Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.

Penguasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah

sebagai pemegang kuasa pertambangan. Untuk kegiatan usaha

minyak dan gas bumi pada sektor hulu berdasarkan Undang-undang

No. 22 tahun 2001 dibentuk Badan Pelaksana, sedangkan untuk

kegiatan usaha pada sektor hilir dibetuk Badan Pengatur. Dengan

demikian Undang-undang No. 22 tahun 2001 tidak melakukan

penumpukan kuasa negara pada Menteri ESDM yang terjadi justru

dengan Undang-undang ini terdapat pembagian tugas. Namun

Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan tetap

memegang kekuasaan regulasi , menetapkan kebijakan sebagai

190

bentuk pembinaan sekaligus pengawasan dalam rangka kegiatan

usaha minyak clan gas bumi. Pemberian kewenangan kepada

Menteri ESDM dalam kegiatan usaha pertambangan khususnya

dalam penandatanganan kontrak kerjasama, sama sekali tidak

menghilangkan kewenangan Presiden sebab sesuai dengan UUD

1945 menteri adalah pembantu Presiden yang diangkat oleh

Presiden, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Dengan demikian tidak terdapat penumpukan kuasa negara pada

Menteri ESDM dan tidak benar kewenangan Presiden hilang dalam

kegiatan usaha minyak dan gas bumi.

17. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai Undang-undang No.22

tahun 2001 mengandung ketidak pastian hukum, merusak iklim

investasi sektor hulu migas menurut DPR adalah suatu pendapat

yang prematur dan keliru. Undang-undang No. 22 tahun 2001 justru

dibentuk untuk lebih menjamin kepastian hukum dan mendorong

investasi di sektor migas ke arah yang lebih baik. Mengenai

pembayaran bea masuk, pungutan atas impor dan cukai,

pajak/retribusi daerah, iuran eksplorasi sebagaimana diatur dalam

Pasal 31 Undang-undang No. 22 tahun 2001 adalah kewajiban dari

Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap kepada negara dan

kewajiban tersebut bukan hal baru tetapi sudah dipraktekkan jauh

sebelum Undang-undang ini berlaku. Salah satu bukti dari kepastian

hukum dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001 yakni keterlibatan

Pemerintah Daerah dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

Keterlibatan tersebut adalah dalam bentuk konsultasi artinya bahwa

untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas diharuskan

berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah dengan maksud agar

kegiatan tersebut berjalan dengan mendapatkan dukungan

masyarakat dan tanpa mendapatkan hambatan.

18. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai semestinya sebelum

Undang-undang Migas ada, terlebih dahulu harus disusun Undang-

Undang Energi Nasional, menurut pendapat DPR bahwa dalam

191

politik pembentukan perundang-undangan di Indonesia setiap

undang-undang memiliki derajat yang sama. Di atas undang-undang

hanya ada Ketetapan MPR dan kemudian UUD. Oleh karena itu satu

undang-undang tidak memayungi undang-undang lain. Sifat suatu

undang-undang mengatur suatu atau beberapa hal tertentu. Salah

satu hal yang sudah diatur dalam suatu undang-undang seharusnya

tidak lagi diatur dalam undang-undang lain, kecuali itu bersifat

melengkapi, tetapi manakala terdapat perbedaan, hal seperti itu

harusnya dihindari. Dengan demikian pembentukan Undang-undang

No. 22 tahun 2001 yang mengatur berbagai aspek mengenai minyak

dan gas bumi tidak perlu harus menunggu undang-undang mengenai

Energi Nasional karena kedua undang-undang tersebut memiliki

pengaturan atas hal-hal yang berbeda, tidak mempunyai hierarkhi

antara satu dengan lainnya.

Berdasarkan keterangan sebagaimana diuraikan di atas DPR berpendapat

bahwa Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tidak bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik sebagian

maupun keseluruhannya karena itu permohonan yang diajukan oleh para

Pemohon tidak beralasan dan permohonan harus dinyatakan ditolak.

Menimbang bahwa Pemohon VI untuk mendukung dalil-dalil

permohonannya telah pula mengajukan surat-surat berupa “Keterangan

Tambahan” dan “Ad Informandum Ad Referendum”, yaitu:

1. Surat bertanggal 9 Agustus 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada hari Senin, tanggal 9 Agustus 2004, lampirannya fotokopi

opini berjudul “Menyoal UU MiGas” oleh Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE,

M.H.;

2. Surat bertanggal 19 Agustus 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada tanggal 20 Agustus 2004, lampirannya fotokopi “Pernyataan

Sikap” bertanggal 03 Oktober 2001, dari Solidaritas Peduli Migas Dan

Konsumen BBM (SPMK-BBM), opini berjudul “Komentar terhadap UU

192

Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU MIGAS)” oleh

Soeyono, fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Bab VI, Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Bab VI dan Bab VII;

3. Surat bertanggal 25 Agustus 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada tanggal 26 Agustus 2004, lampirannya fotokopi Risalah

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Ke-18 Masa

Persidangan I Tahun Sidang 1999-2000, fotokopi opini berjudul “Ancaman

Globalisasi Dibalik RUU Migas” oleh Firdaus Ibrahim, MHRM, artikel

berjudul “Konspirasi Pembangkrutan Indonesia” oleh Ir. Bambang E.

Budhiyono, Msc., “Kelangkaan Bensin di Lampung Kian Parah”, “Minyak

Tanah Langka di Jayapura” Harian Sinar Harapan tanggal 23 Agustus 2004,

“Harga Minyak Melambung, Ekonomi Dunia Melambat” Koran Tempo

tanggal 23 Agustus 2004, “Asia Hadapi Masalah Serius Subsidi Minyak”

Koran Tempo tanggal 23 Agustus 2004;

4. Surat bertanggal 23 Agustus 2004, lampirannya artikel berjudul “Butuh

Keajaiban untuk Memenangkan Pasar Minyak”, “Harga Minyak Tinggi

Ancaman bagi Industri”, “Harga Minyak Dekati 50 Dollar AS/Barrel”, Koran

Kompas 23 Agustus 2004, “Presiden Kembalikan RPP Hulu dan Hilir Migas”

Koran Tempo tanggal 16 Agustus 2004, “Warisan Kesalahan Pemerintah

Lama ‘Kenaikan Harga Minyak Dinikmati Kontraktor Asing’” Koran Kompas

tanggal 25 September 2000, “Birokrat Bertarung, Indonesia Mati di Tengah”

Koran Mingguan Metro tanggal 9 – 15 Juli 1999, “Rincian Langkah dan

Jadwal Reformasi RI-IMF” Koran Kompas tanggal 24 Januari 2000, “Tarik –

Ulur, ‘Selain Habibie, sekelompok ahli perminyakan juga menolak RUU

Migas tersebut karena dianggap bisa merugikan kepentingan nasional.

Perang lobi dan duit pun marak’” Perspektif, No.21/Tahun 1, 17-24 Maret

1999, “Negosiasi Karaha Bodas gagal” Koran Tempo tanggal 18 Agustus

2004, “Harapan Kami, Suara Pertamina Didengar” Perspektif, No.17/Tahun

1, 18-24 Februari 1999, “RUU Migas Tidak Punya Visi” Koran Kompas

tanggal 27 Februari 2001, “Hal-hal Yang Kontroversial Dalam RUU Migas”,

“Monopoli Jadikan Pertamina Raksasa Kerdil”, “salah Arah RUU Migas”

Forum Keadilan No.01, 11 April 1999, “Yang Gemuk dari RUU Migas”,

193

“Pertamina vs BP Migas” Montly Magazine Petrominer No.05 Vol.XXX. May

15, 2003, “Pelaku Usaha Sektor Migas Keluhkan Dominasi Asing”, Econit:

Tunda Pembahasan RUU Migas”, fotokopi “Orasi Politik Rakyat” bertanggal

09 Oktober 2001 oleh Solidaritas Peduli Migas Dan Konsumen BBM

(SPMK-BBM), fotokopi “Pernyataan Sikap” bertanggal 09 Oktober 2001 oleh

SPMK-BBM, fotokopi Ringkasan Hasil Pertemuan Antara DHN 45 Dengan

Kelompok Pemerhati/Praktisi/Ahli Dan Aktivis Peduli Migas Tentang

Pemberdayaan Dan Memposisikan Visi Dan Misi Jiwa, Semangat, Dan

Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam UUD 1945, Dalam Pembahasan

“Substansi” RUU Migas 2001 bertanggal 27 September 2001, dari Dewan

Harian Nasional 45, fotokopi Laporan Kemajuan Pembahasan RUU Migas

bertanggal 22 September 2001, dari Ketua Tim Asistensi RUU Migas

Pertamina, fotokopi opini berjudu “Menjual BUMN Untuk Bayar Utang

Haram Berarti Korupsi Gila Yang Harus Dibasmi” bertanggal 08 Oktober

2001, oleh Koordinator Front Aksi Masyarakat Pemantau Privatisasi

(FAMPP);

5. Surat bertanggal 6 September 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada tanggal 7 September 2004, lampirannya fotokopi artikel

berjudul “Pertamina Terpaksa Subsidi Konsumen Elpiji Rp.1 Triliun” Koran

Kompas tanggal 6 September 2004, “Krisis BBM Landa Provinsi Babel”,

“Antre Seharian demi Mendapatkan 10 Liter Minyak tanah” Koran Suara

Pembaruan, tanggal 4 September 2004, “BPH Migas Minta Pemerintah

Naikkan Harga BBM” Koran Suara Pembaruan tanggal 2 September 2004,

“Harga Minyak Tinggi Perburuk RAPBN 2005” Koran Kompas tanggal 26

Agustus 2004, “Beramai-ramai Masuk ke Bisnis Hilir”, “Investasi Migas

Terganjal UU” Majalah Hukum & Bisnis, Juni 2004;

6. Surat bertanggal 25 Oktober 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2004, lampirannya fotokopi

Bagan Tatanan Hak Pengelolaan Usaha MiGas Berdasarkan UU

No.44/1960, UU No.8/1971 dan UU MiGas No.22/2001, fotokopi artikel

berjudul “Produsen Pupuk Minta Penjadwalan Ulang Pasokan Gas” Koran

Tempo tanggal 19 Oktober 2004, “Penghapusan Subsidi BBM Tidak Perlu!”

194

Koran Kompas tanggal 19 Oktober 2004, “Memperindag Minta UU Migas

Diamandemen” Koran Media tanggal 19 Oktober 2004, “Harga Minyak

Terus Naik” Koran Tempo tanggal 10 Oktober 2004, “Harga Minyak Capai

Rekor 55,50 Dollar AS per Barrel” Koran Kompas tanggal 25 Oktober 2004;

7. Surat bertanggal 28 Oktober 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober 2004, lampirannya fotokopi

artikel berjudul “Bisnis Migas Indonesia di Ujung Tanduk?” Koran Suara

Pembaruan tanggal 28 Oktober 2004, “Pertanian Menjadi Prioritas yag

Pertama” Koran Kompas tanggal 25 Oktober 2004;

8. Surat bertanggal 9 Nopember 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 10 Nopember 2004, lampirannya Bagan

Konstalasi Pengembangan Industri Migas Nasional (Berdasarkan UU No.22

Tahun 2001) dari Setjen DESDM, 8/10/2004, fotokopi artikel berjudul

“Momentum Penegakan Hukum” Koran Kompas tanggal 7 Nopember 2004;

9. Surat bertanggal 22 Nopember 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada hari Senin, tanggal 22 November 2004;

10. Surat bertanggal 14 Desember 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 14 Desember 2004.

Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, Mahkamah juga telah

menerima Ad Informandum yang diajukan oleh:

1. Suharto, S.H. dengan suratnya bertanggal 04 Agustus 2004 yang diterima di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, tanggal 9 Agustus

2004;

2. Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (FORTAS-MPM) dengan

suratnya bertanggal 06 Agustus 2004 yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi pada tanggal 06 Agustus 2004;

3. Drs. H. Ramli Sukarman dengan suratnya bertanggal 11 Agustus 2004 yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Agustus

2004;

4. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 13 Agustus 2004 yang diterima

di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Agustus 2004;

195

5. Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H. dengan suratnya bertanggal 20 Agustus

2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa,

tanggal 24 Agustus 2004;

6. Suharto, S.H. dengan suratnya bertanggal 22 Agustus 2004 yang diterima di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Agustus 2004;

7. Delegasi Pensiunan Pertamina dengan suratnya bertanggal 24 Agustus

2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 26

Agustus 2004;

8. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 26 Agustus 2004 yang diterima

di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, tanggal 26 Agustus

2004;

9. Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH) Angkatan 45 DHD DKI

Jakarta dengan suratnya bertanggal 6 September 2004 yang diterima di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 7 September

2004;

10. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 06 September 2004 yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 8

September 2004;

11. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 14 September 2004 yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 21

September 2004;

12. D.I. Nocolas Laa, S.H. dengan suratnya bertanggal 20 September 2004

yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa,

tanggal 21 September 2004;

13. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 29 Oktober 2004 yang diterima

di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober

2004;

14. Soeharto, S.H. dengan suratnya bertanggal 22 Nopember 2004 yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, tanggal 22

Nopember 2004;

196

15. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 24 Nopember 2004 yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 24

Nopember 2004;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk pada berita acara persidangan

perkara a quo, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan ini;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah

sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok perkara,

Mahkamah terlebih dahulu harus memutuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus

permohonan a quo;

2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

bertindak selaku pemohon dalam permohonan a quo;

Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

TENTANG KEWENANGAN MAHKAMAH

Menimbang bahwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD

1945 juncto Pasal 10 UUMK, salah satu kewenangan Mahkamah adalah

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan Pasal 50

UUMK dan Penjelasannya menyatakan, undang-undang yang dapat

dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah

197

perubahan UUD 1945, yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999. Sementara itu,

UU Nomor 22 Tahun 2001 yang dimohonkan kepada Mahkamah untuk diuji

diundangkan pada tanggal 23 November 2001. Dengan demikian, terlepas dari

adanya perbedaan pendapat di kalangan para hakim konstitusi mengenai Pasal

50 UUMK, Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan

ini;

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Menimbang bahwa Pasal 51 UUMK menyatakan, Pemohon adalah pihak

yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara,

yang dengan demikian berarti bahwa untuk dapat diterima sebagai Pemohon

dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 seseorang

atau suatu pihak terlebih dahulu harus menjelaskan:

1. kualifikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga

negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum (publik

atau privat), ataukah sebagai lembaga negara;

2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dideritanya dalam

kualifikasi tersebut;

198

Menimbang bahwa yang diartikan sebagai hak konstitusional menurut

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK adalah hak-hak yang diatur dalam UUD

1945;

Menimbang bahwa Pemohon I, Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak

Asasi Manusia Indonesia (APHI), adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat

(LSM) yang menurut ketentuan Anggaran Dasarnya melakukan kegiatan-

kegiatan, antara lain, adalah memberikan perlindungan, pembelaan dan

penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia;

Menimbang bahwa Pemohon II, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak

Asasi Manusia Indonesia (PBHI), adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat

(LSM) yang menurut ketentuan anggaran dasarnya adalah didirikan dengan

tujuan, antara lain, untuk melayani kebutuhan bantuan hukum bagi warga

negara Indonesia yang hak asasinya dilanggar, mewujudkan negara dengan

sistem yang sesuai dengan cita-cita negara hukum, mewujudkan sistem politik

yang demokratis dan berkeadilan sosial, mewujudkan sistem hukum yang

memberikan perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;

Menimbang bahwa Pemohon III, Yayasan 324, adalah sebuah yayasan

yang bertujuan, antara lain, mempromosikan cita-cita/semangat demokrasi,

perdamaian, dan pelestarian lingkungan hidup;

Menimbang bahwa Pemohon IV, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), adalah

sebuah yayasan yang menurut anggaran dasarnya bertujuan, antara lain,

menciptakan tatanan masyarakat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi

nilai-nilai persaudaraan dan persamaan manusia serta martabat manusia;

menciptakan masyarakat yang mempunyai pola pikir, sikap, dan pola tindak

yang tidak membeda-bedakan (diskriminatif) berdasarkan ras, suku, suku

bangsa, warna kulit, dan keturunan serta golongan; membina dan memperbarui

aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis dan kebijakan-

kebijakan pemerintah yang mengandung muatan-muatan atau materi-materi

199

yang bersifat diskriminasi ras; memberikan bantuan hukum terhadap setiap

orang yang hak-hak dan atau kepentingannya dilanggar karena perbedaan ras,

suku, suku bangsa, warna kulit, dan keturunan serta golongan;

Menimbang bahwa Pemohon V adalah Serikat Pekerja Kimia, Energi

dan Pertambangan FSPSI Pertamina, yang menurut anggaran dasarnya

bertujuan untuk, antara lain, menghimpun dan mempersatukan kaum pekerja di

Pertamina guna mewujudkan rasa setia kawan dan persaudaraan sesama

kaum pekerja; turut serta aktif dalam mengisi dan mewujudkan

dilaksanakannya UUD 1945 setelah diamandemen secara murni dan

konsekuen terutama hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk memperoleh

kehidupan dan penghasilan yang layak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UUD

1945 setelah diamanademen, hak pekerja dalam kebebasan berserikat sesuai

dengan Pasal 28 UUD 1945 setelah diamanademen; hak asasi manusia sesuai

dengan Bab XA UUD 1945 setelah diamandemen, hak atas kesejahteraan

pekerja dan keluarga dan kesejahteraan sosial dalam mewujudkan masyarakat

adil dan makmur sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 setelah diamandemen;

meningkatkan kehidupan dan penghidupan pekerja di Pertamina yang adil dan

makmur;

Menimbang bahwa Pemohon I sampai dengan V, terlepas dari tidak

dapat dibuktikannya apakah Para Pemohon dimaksud berstatus sebagai badan

hukum atau tidak, namun berdasarkan anggaran dasar masing-masing

perkumpulan yang mengajukan permohonan ini (Pemohon I sampai dengan V)

telah ternyata bahwa tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk

memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) yang di

dalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo, sehingga Mahkamah

berpendapat Pemohon I sampai dengan V memiliki kedudukan hukum (legal

standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

Menimbang bahwa Pemohon VI, DR. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE., M.H.

adalah Wakil Rektor II Universitas Kejuangan 45, tidak menerangkan dengan

200

jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya berkenaan dengan

kualifikasinya sebagai Pembantu Rektor II Universitas Kejuangan 45 akibat

diberlakukannya undang-undang a quo, sehingga tidak tampak adanya

hubungan kepentingan antara substansi permohonan dan kualifikasi Pemohon

yang bertindak atas nama Universitas Kejuangan 45, dan oleh karenanya

Mahkamah berpendapat, terlepas dari adanya 2 (dua) Hakim Konstitusi yang

berpendapat lain, Pemohon VI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)

sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo;

POKOK PERKARA

Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon memohon agar

Mahkamah melakukan pengujian terhadap undang-undang a quo baik yang

bersifat formil, dengan dalil bahwa prosedur persetujuan RUU Minyak dan Gas

Bumi bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2)

huruf a dan ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD jo. Keputusan DPR RI Nomor

03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, maupun secara

materiil, dengan dalil bahwa materi muatan undang-undang a quo bertentangan

dengan UUD 1945, maka Mahkamah terlebih dahulu akan memeriksa dan

mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon yang berkenaan dengan prosedur

pembentukan undang-undang a quo (pengujian formil);

1. PENGUJIAN FORMIL

Menimbang bahwa pada intinya Pemohon mendalilkan, Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan

dengan UUD 1945 karena prosedur persetujuannya bertentangan dengan

Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kesimpulan tersebut didasarkan atas

201

konstruksi pemikiran Para Pemohon bahwa DPR dalam melaksanakan

kekuasaannya membentuk undang-undang, sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, terikat oleh ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (5)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, DPD dan DPRD yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 20

UUD 1945, serta Peraturan Tata Tertib DPR, sebagaimana tertuang dalam

Keputusan DPR RI Nomor: 03A/DPR RI/I/2001-2002, yang merupakan

pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (5) undang-undang yang bersangkutan;

Menimbang bahwa, menurut Para Pemohon, tindakan Pimpinan

Rapat Paripurna DPR yang memaksakan pengambilan putusan dengan

cara mufakat pada saat persetujuan RUU Minyak dan Gas Bumi menjadi

undang-undang adalah bertentangan dengan Pasal 192 dan 193 Peraturan

Tata Tertib DPR. Pasal 192 Peraturan Tata Tertib DPR menyatakan,

“Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat

yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 189 ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir”. Sedangkan Pasal

193 menentukan, “Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila

keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya

pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi

dengan pendirian anggota rapat yang lain”. Pemohon mendalilkan, dalam

rapat paripurna dimaksud, terdapat sejumlah anggota DPR yang tidak setuju

terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi tersebut, yang bahkan sampai

melakukan walk out, sehingga menurut Pemohon seharusnya putusan

diambil dengan suara terbanyak;

Menimbang bahwa guna membuktikan kebenaran dalil Pemohon

tersebut Mahkamah telah memeriksa Risalah Rapat Paripurna Ke-17 DPR

Masa Persidangan I Tahun Sidang 2001-2002, bertanggal 23 Oktober 2001,

yakni rapat paripurna yang mengesahkan RUU Minyak dan Gas Bumi

menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

202

Bumi. Dalam risalah dimaksud, dalil Pemohon yang menyebutkan ada 12

(dua belas) anggota DPR yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap

RUU Minyak dan Gas Bumi dengan mengajukan minderheidsnota terbukti

benar (vide Risalah hal. 70-74). Namun, dalam risalah yang sama,

Mahkamah juga menemukan fakta bahwa pada bagian akhir rapat paripurna

dimaksud, tatkala seluruh fraksi telah menyampaikan Pendapat Akhir-nya

dan pimpinan rapat (A.M. Fatwa) menanyakan apakah RUU a quo dapat

disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, risalah mencatat bahwa

seluruh anggota DPR setuju tanpa ada lagi pernyataan keberatan atau tidak

setuju, sehingga pimpinan rapat kemudian mempersilahkan wakil

pemerintah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk

menyampaikan sambutannya (vide Risalah hal. 158);

Menimbang bahwa guna lebih meyakinkan Mahkamah akan

kebenaran dalil-dalil Para Pemohon, Mahkamah selain mendengar

keterangan lisan pihak Dewan Perwakilan Rakyat telah pula membaca

keterangan tertulis dari yang bersangkutan (Dewan Perwakilan Rakyat)

bertanggal 10 Februari 2004 yang pada intinya menerangkan sebagai

berikut:

a. bahwa setiap Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibahas oleh

DPR bersama dengan Pemerintah didasarkan pada mekanisme

sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. RUU tentang

MIGAS, yang sekarang menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001,

pembahasannya dilakukan berdasarkan mekanisme yang lama atau

sebelum diadakan perubahan tingkat pembahasan RUU di DPR dari

empat tahap menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama keterangan

pemerintah, tahap kedua pandangan fraksi-fraksi, tahap ketiga

pembahasan dalam Komisi VIII, dan tahap keempat putusan dalam rapat

paripurna;

b. bahwa berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Tata

Tertib DPR, pembahasan atas RUU MIGAS tidak terdapat kekurangan

atau penyimpangan. Setiap pengambilan keputusan, baik dalam Rapat

203

Komisi VIII yang merupakan pembahasan tingkat III, berdasarkan data

absensi, kuorum rapat selalu terpenuhi. Demikian juga pada saat

pengambilan keputusan atas persetujuan DPR terhadap RUU tentang

MIGAS pada Rapat Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 telah sesuai

dengan kuorum rapat, yaitu dihadiri oleh 348 orang dari 483 orang

anggota DPR. Dengan demikian, kuorum rapat dan pengambilan

keputusan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi telah terpenuhi dan

keputusan yang diambil adalah sah sesuai dengan Peraturan Tata Tertib

DPR No. 03A/DPR RI/2001-2002 serta tidak terdapat pertentangan

dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah;

c. bahwa terdapat sebanyak 12 orang anggota yang menyatakan

keberatan atau lazim dikenal minderheidsnota pada saat pengambilan

keputusan atas RUU tentang MIGAS dalam Rapat Paripurna DPR

tanggal 23 Oktober 2001 dapat diterangkan bahwa sikap seperti itu

merupakan suatu bentuk dan praktik demokrasi dalam pengambilan

keputusan di DPR. Selain minderheidsnota, seorang atau beberapa

orang atau fraksi dalam pengambilan keputusan dapat menyatakan

persetujuan, penolakan/tidak setuju, atau abstain atas sebagian atau

keseluruhan hal yang dimintakan persetujuan rapat untuk diambil

keputusan. Minderheidsnota bukan merupakan penolakan/tidak setuju

secara penuh, tetapi memperkenankan dilaksanakan pengambilan

keputusan di mana dalam keputusan diberikan catatan dari anggota

yang menyatakan minderheidsnota tersebut. Oleh karena itu, dalam

pengambilan keputusan atas RUU tentang MIGAS, pernyataan 12 orang

anggota Dewan dijadikan catatan “nota” dan itu dibacakan sebagai

minderheidsnota. Dengan demikian, minderheidsnota, kendati dihargai

sebagai sikap dan praktik dalam pengambilan keputusan, tidak

mempunyai sifat menghambat atau membatalkan suatu persetujuan;

204

d. bahwa berdasarkan uraian tadi, tidak terdapat alasan untuk menyatakan

pembahasan RUU tentang MIGAS bertentangan dengan atau

menyimpang dari prosedur formil;

Berdasarkan Risalah Sidang Paripurna tanggal 23 Oktober 2001

yang mengesahkan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi

menjadi undang-undang, keterangan tertulis DPR maupun keterangan lisan

yang disampaikan dalam persidangan, ternyata Para Pemohon tidak dapat

meyakinkan Mahkamah dalam membuktikan kebenaran dalil

permohonannya, sehingga dengan demikian permohonan pengujian formil

Pemohon terhadap undang-undang a quo harus ditolak;

2. PENGUJIAN MATERIIL

Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk

dilakukan pengujian secara materiil adalah Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 secara keseluruhan, dengan dalil bahwa pasal-pasal dalam

undang-undang a quo tidak dapat dipisahkan oleh karena filosofi

diadakannya undang-undang tersebut adalah untuk meliberalisasi sektor

minyak dan gas bumi di Indonesia sehingga menurut Para Pemohon

bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 (vide

Permohonan hal. 16), yang perinciannya lebih lanjut oleh Pemohon

dijelaskan dalam bagan dengan membandingkan antara Undang-undang

Nomor 44 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, dan Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 (vide Permohonan hal. 37-41);

Menimbang bahwa sebelum memeriksa dalil Para Pemohon,

Mahkamah harus menjelaskan beberapa pengertian penting yang terdapat

dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan:

Ayat (2) : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”;

205

Ayat (3) : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”;

Menimbang bahwa titik pusat dari permasalahan yang terkandung

dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya sebagaimana tertuang dalam ayat

(2) dan (3) yang dijadikan dasar permohonan Para Pemohon, adalah

terletak pada kata-kata “dikuasai oleh negara”, maka Mahkamah terlebih

dahulu harus menjelaskan pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal

33 ayat (2) dan (3) tersebut;

Menimbang bahwa berkenaan dengan pengertian “dikuasai oleh

negara” sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD 1945, Mahkamah telah

menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah

Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang diucapkan dalam sidang terbuka

untuk umum pada hari Rabu, 16 Desember 2004 sebagai berikut:

Bahwa dalam menemukan pengertian dan/atau maksud dari suatu

ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 tidaklah cukup

apabila hanya berpegang pada bunyi teks pasal yang bersangkutan dan

hanya dengan menggunakan satu metode interpretasi tertentu. UUD 1945,

sebagaimana halnya setiap undang-undang dasar atau konstitusi, adalah

sebuah sistem norma dasar yang memberikan landasan konstitusional bagi

pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan

dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai suatu sistem, UUD 1945 adalah

susunan kaidah-kaidah konstitusional yang menjabarkan Kemerdekaan

Kebangsaan Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD

1945, alinea keempat:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

206

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu

susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh

karena itu, setiap interpretasi terhadap suatu ketentuan dalam Pasal-pasal

UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan hidup berbangsa dan

bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945

tersebut;

Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem

sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33

UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada

pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh

negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip

kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik

(demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham

kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan

sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara,

sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam

pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan

publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah

milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara

untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya

kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

207

Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai

pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi

dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk

“memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin

diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri

harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara

yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat

atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh

negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk

mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam

fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-

undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945,

sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi

liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam

konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan

fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak

mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur

perekonomian. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan

penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata

maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara

itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak

oleh Mahkamah.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh

negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara

dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat

Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian

kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan

dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945

208

memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)

dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),

pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk

tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan

(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan

kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan

(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan

oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh

DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi

pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham

(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen

Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai

instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah,

mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk

digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula

fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh

Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan

agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan

dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

seluruh rakyat.

Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan

dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi

kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang

menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada

dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi.

Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii)

penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau

(iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.

Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-

209

besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah

bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu

cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat

hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi

negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain

dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi

menguasai hajat hidup orang banyak;

Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau

cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam

yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak

lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak,

maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu

diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya

kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh

Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai

hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan

menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur,

mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam

pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata

sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh

Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi

minyak dan gas bumi dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan

privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai

hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan

dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan

tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu,

negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang

dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang

210

menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau

menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara

mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud

untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi

yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD

1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar

atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka penguasaan dalam

arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak

mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q.

Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap

terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki

saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses

pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan,

maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah

dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap

bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah

berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi,

asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q.

Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang

produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak.

Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku

usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara

yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus

(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi

(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

211

Menimbang bahwa konsiderans “Menimbang” huruf b Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “bahwa minyak dan gas bumi

merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh

negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang

banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional

sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian, Mahkamah

berkesimpulan, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, selaku lembaga

negara yang oleh undang-undang dasar diberi kewenangan membentuk

undang-undang, berpendirian bahwa minyak dan gas bumi adalah cabang

produksi yang penting dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak,

sehingga oleh karenanya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 9 Desember 2003

Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah, yang dalam hal ini

diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang telah pula menyerahkan

keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada bulan

Januari 2004 dan tanggal 29 Juli 2004, serta keterangan tertulis Menteri

Negara BUMN, yang uraian selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk

Perkara putusan ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menerangkan hal-hal antara lain

sebagai berikut:

• Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap

mengacu kepada tujuan dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana

yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3), bahwa

cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, demikian pula bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu,

hal tersebut dilakukan dalam kerangka upaya untuk membangun

212

perekonomian nasional yang diselenggarakan atas dasar demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga

keseimbangan kemajuan ekonomi nasional;

• Selama kurun waktu empat dasawarsa ternyata tujuan dan cita-cita

bangsa dan negara di atas, yang diterjemahkan melalui Undang-undang

Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971,

dirasakan belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan

adanya kelemahan dan kendala pada kedua peraturan perundang-

undangan tadi yaitu antara lain: (1) ruang lingkup pengaturannya lebih

terfokus pada kegiatan dalam negeri sehingga kurang memberikan

dorongan berusaha di luar negeri; (2) mempunyai sifat usaha yang

monopolistis (hanya Perusahaan Negara/BUMN) dan sarat misi sosial

(penugasan Pemerintah); (3) tidak mendukung kemandirian, pemupukan

dana, dan kemampuan bersaing dalam era keterbukaan; (4) terdapat

ketentuan khusus (perpajakan dan kepabeanan) yang sering

menimbulkan kesulitan dalam penerapannya;

• Di samping kelemahan dan kendala tadi, perangkat perundang-

undangan yang ada juga mempunyai kerancuan/tumpang tindih antara

pengaturan sektor dan pengaturan perusahaan yang mengakibatkan

tugas Pemerintah dan tugas perusahaan menjadi tidak jelas. Peran

perusahaan terhadap pengaturan sektor sangat besar dan sebaliknya

peran Pemerintah terhadap pengaturan operasional perusahaan juga

cukup besar, meskipun Pemerintah selama ini telah melakukan upaya

dan langkah-langkah kebijaksanaan baik melalui deregulasi maupun

debirokratisasi, namun disadari bahwa untuk mewujudkan kondisi

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak cukup dicapai dengan

kebijakan tersebut;

• Ruang lingkup, maksud dan tujuan secara lebih menyeluruh filosofi dan

konsepsi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah:

213

1. Minyak dan gas bumi sebagai kekayaan alam yang terkandung

dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia dikuasai Negara dan

diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa

Pertambangan. Sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD

1945, Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh Pemerintah dengan

maksud agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara, dan

menggunakan kekayaan nasional tersebut bagi sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Selanjutnya Pemerintah membentuk Badan

Pelaksana;

2. Menghilangkan usaha yang bersifat monopolistik baik di sektor hulu

maupun hilir. Dalam bidang usaha hulu yang terdiri atas ekplorasi

dan eksploitasi yang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan

pengurasan kekayaan alam berupa bahan galian minyak dan gas

bumi, pihak swasta hanya dapat melakukan kegiatan secara tidak

langsung yaitu sebagai kontraktor melalui kerjasama dengan Badan

Pelaksana. Sedangkan di bidang usaha hilir yang terdiri atas

pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga, dapat

dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan izin usaha yang

dikeluarkan oleh Pemerintah. Khusus untuk bidang pengangkutan

dan niaga gas bumi melalui pipa diberlakukan pengaturan prinsip

usaha terpisah (unbundling) untuk memberikan pelayanan yang lebih

baik kepada konsumen, baik dalam segi harga maupun kualitas.

Selanjutnya untuk mengawasi kegiatan sektor hilir tersebut,

Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan dan

Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi

melalui Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas;

3. Menciptakan dan menjamin penerimaan Pusat dan penerimaan

Daerah yang lebih nyata dari hasil produksi, sehingga penerimaan

Negara dari sektor minyak dan gas bumi dapat dinikmati secara

langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Untuk maksud

tersebut, Perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan

bagian Negara, pungutan Negara, membayar bonus, pajak-pajak,

214

pajak daerah dan retribusi daerah, serta kewajiban kepabeanan yang

berlaku. Atas pungutan Negara, bagian Negara dan bonus

diperuntukkan sebagai penerimaan Pusat dan Daerah;

4. Menumbuhkembangkan perusahaan nasional minyak dan gas bumi

baik di dalam maupun di luar negeri serta dapat mengakomodir

perkembangan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang akan

datang. Di samping memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap

pemanfaatan barang, jasa, dan kemampuan rekayasa dan rancang

bangun dalam negeri;

5. Memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai jaminan

kelangsungan atas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak

(BBM) sekaligus pengaturan yang berkaitan dengan mekanisme

subsidi BBM;

6. Menjamin penyediaan data yang cukup, tenaga kerja profesional,

peningkatan fungsi penelitian dan pengembangan serta menggiatkan

investasi melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif;

7. Terdapatnya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah kerja oleh

Pemerintah yang akan diusahakan oleh Perusahaan atau Bentuk

Usaha Tetap. Selanjutnya, dalam rangka penyediaan lahan guna

menunjang penetapan Wilayah Kerja, Pemerintah dapat melakukan

Survei Umum sebagai upaya peningkatan nilai lahan yang ditawarkan

kepada peminat;

8. Adanya jaminan kepastian hukum yang lebih mantap (pengaturan

yang sederhana, tegas, dan konsisten) serta menghilangkan campur

tangan Pemerintah yang terlalu besar, sehingga iklim usaha

diharapkan dapat lebih sehat dan kompetitif. Untuk itu, Pemerintah

dalam waktu secepat-cepatnya akan menyelesaikan peraturan

pelaksanaan dari undang-undang ini;

9. Terwujudnya antisipasi pencegahan dan penanggulangan

meningkatnya tindak pidana dalam kegiatan usaha minyak dan gas

bumi, baik secara kuantitas maupun kualitas, melalui pengangkatan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);

215

• Secara umum Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 memuat 8

(delapan) bagian pengaturan:

1. Pola penguasaan dan pengaturan kegiatan usaha minyak dan gas

bumi;

2. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hulu;

3. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hilir;

4. Pola pengaturan usaha pengangkutan dan niaga minyak dan gas

bumi;

5. Pengaturan penerimaan Negara;

6. Hubungan minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah;

7. Status hukum Pertamina;

8. Pembinaan dan pengawasan;

Sementara itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara telah

menerangkan hal-hal antara lain sebagai berikut:

• Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (dan juga

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan) lahir

sebagai kebutuhan karena adanya perubahan lingkungan strategis di

dalam maupun di luar negeri, yang apabila hal itu tidak dilakukan maka

berbagai perubahan lingkungan strategis dimaksud cenderung akan

menimbulkan benturan-benturan karena terdapat perbedaan materi

substansial pada tataran implementasi yang tidak mungkin dilaksanakan

secara bersamaan;

• Maksud diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah

memberikan landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan usaha

hulu dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di wilayah hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tujuannya adalah

mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam migas untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat melalui: (1) tersedianya dan

terdistribusikannya energi migas dalam negeri dalam jumlah cukup,

berkualitas baik, dan dengan harga yang wajar;

216

• “Penguasaan oleh negara” terhadap sumber daya alam dan cabang-

cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak

mengandung pengertian : (1) pemilikan, (2) pengaturan, pembinaan, dan

pengawasan, dan (3) penyelenggaraan kegiatan usaha dilakukan di

bidang energi (energi migas dan energi listrik) oleh Pemerintah. Filosofi

“penguasaan oleh negara” adalah terciptanya ketahanan nasional

(national security) di bidang energi di Negara Kesatuan Republik

Indonesia dengan sasaran utama penyediaan dan pendistribusian energi

ke seluruh wilayahnya;

• Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tetap tunduk pada Pasal 33 UUD

1945, yang dinyatakan sebagai:

1. Kegiatan Usaha Hulu

a) Penguasaan migas di dalam Wilayah Hukum Pertambangan

Indonesia oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah

sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;

b) Kegiatan Usaha Hulu eksplorasi dan eksploitasi dilaksanakan dan

dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang paling sedikit

memuat persyaratan: kepemilikan sumber daya alam tetap di

tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; pengendalian

manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan modal

dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha (BU) atau Bentuk

Usaha Tetap (BUT);

c) Badan Pelaksana adalah badan yang dibentuk untuk melakukan

pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas

Bumi.

Penguasaan (kepemilikan) migas dari kegiatan hulu di wilayah hukum

pertambangan Indonesia tetap berada dalam penguasaan Negara

yang diselenggarakan dan diawasi oleh Pemerintah c.q. Badan

Pelaksana Migas sampai pada titik penyerahan (penjualan), di dalam

atau di luar negeri. Pelaksanaan pengusahaan kegiatan hulu dapat

dilakukan oleh BUMN/BUMD, swasta Nasional dan/atau Asing

melalui Kontrak Kerjasama dengan BP Migas. Dalam hal

217

pengusahaan kegiatan hulu dikerjasamakan dengan swasta Nasional

dan/atau Asing, Pemerintah bertindak sebagai regulator, namun

memegang kendali penuh atas keberhasilan mitra kerjasamanya, dan

Pemerintah tidak berfungsi sebagai operator. Sedangkan dalam hal

pengusahaan kegiatan hulu diselenggarakan oleh BUMN/BUMD,

Pemerintah bertindak sebagai regulator dan sebagai operator,

termasuk memegang kendali penuh atas keberhasilan BUMN/BUMD-

nya melalui mekanisme RUPS dan pengawasan BP Migas.

2. Kegiatan Usaha Hilir

a) Kegiatan Usaha Hilir mencakup: Pengolahan, Pengangkutan,

Penyimpanan, dan Niaga;

b) Kegiatan Usaha Hilir dilakukan dengan Izin Usaha dan

diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang

wajar, sehat, dan transparan;

c) Izin Usaha diberikan kepada BU untuk melaksanakan

Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga

dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;

d) Badan Pengatur adalah badan yang dibentuk untuk melakukan

pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan

pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada

Kegiatan Usaha Hilir;

Kegiatan Usaha Hilir diselenggarakan segera setelah titik penyerahan

(penjualan, delivery point) kegiatan hulu. Migas setelah titik

penyerahan bukan milik negara, di samping dapat pula berasal dari

pembelian minyak impor. Penguasaan oleh negara dalam kegiatan

usaha hilir adalah pada cabang-cabang produksi yang penting bagi

negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah

sebagai regulator mengeluarkan Izin Usaha dan diselenggarakan

melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan

transparan.

Dalam hal pengusahaan kegiatan hilir diselenggarakan oleh

BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator, juga sebagai

218

operator, termasuk memegang kendali atas keberhasilan

BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS. Badan Pengatur

berperan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap

penyediaan dan pendistribusian BBM dan Gas Bumi pada Kegiatan

Usaha Hilir.

Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hilir dikerjasamakan

dengan swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah hanya bertindak

sebagai regulator dengan menerbitkan Izin Usaha dan

diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,

sehat, dan transparan, namun tidak melaksanakan fungsinya sebagai

operator. Pelaksanaan Public Service Obligation (PSO) untuk

menyediakan dan mendistribusikan BBM di daerah-daerah terpencil

(remote) cenderung harus ditangani oleh Pemerintah, baik sebagai

regulator maupun sebagai operator, meskipun tidak tertutup

kemungkinan dapat dikerjasamakan dengan swasta Nasional/Asing.

Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan

Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah pula menyerahkan keterangan tertulis

dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 Februari 2004,

yang selengkapnya telah pula dikemukakan dalam bagian Duduk Perkara

putusan ini dan pada pokoknya menerangkan hal-hal antara lain sebagai

berikut:

• Secara substantif, filosofi suatu undang-undang dapat dilihat dalam

konsideran bagian Menimbang dan batang tubuh undang-undang yang

bersangkutan. Asas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,

sebagaimana dicantumkan dalam Bab II-nya, adalah ekonomi

kerakyatan, keterpaduan, manfaat, kemakmuran bersama, dan

kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, kepastian hukum

serta berwawasan lingkungan;

• Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 membagi tugas dan peran

negara kepada badan-badan lain serta memberikan peran kepada

masyarakat berdasarkan asas-asas di atas;

219

• Hak menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 bukan berarti

memiliki, tetapi negara sebagai organisasi diberi kewenangan yang

darinya dimungkinkan timbulnya hak-hak, seperti hak pengelolaan, hak

pengusahaan. Hak menguasai negara dalam hubungan dengan minyak

dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan menentukan status

hukum pengelolaan dan pengusahaan atas minyak dan gas bumi.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, penguasaan negara

diatur berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan

gas bumi yang terdiri atas kegiatan usaha hulu dan usaha hilir.

Sebagian kewenangan negara dalam pengelolaan dan pengusahaan

minyak dan gas bumi dapat diserahkan kepada badan usaha dan bentuk

usaha tetap, sedangkan pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha

minyak dan gas bumi tetap ada pada pemerintah sebagai pemegang

kuasa pertambangan atas minyak dan gas bumi;

• Penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas bumi pada mekanisme

pasar didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial. Secara

ekonomi, penyerahan harga kepada mekanisme pasar akan

menguntungkan negara karena negara tidak lagi menanggung beban

dalam bentuk subsidi harga yang nyata-nyata lebih menguntungkan

pengguna minyak dan gas secara langsung melalui subsidi harga.

Secara sosiologis, kebijakan dengan mensubsidi harga justru tidak akan

dapat dinikmati masyarakat yang memerlukan subsidi langsung.

Namun, negara tetap tidak menghilangkan tanggung jawab sosialnya

pada golongan masyarakat tertentu yaitu pelanggan rumah tangga dan

pelanggan kecil;

Menimbang bahwa dalam memeriksa permohonan ini Mahkamah

telah pula mendengar keterangan para ahli sebagaimana tersebut dalam

duduk perkara a quo;

Menimbang bahwa berdasarkan pengertian “penguasaan oleh

negara” yang telah menjadi pendirian Mahkamah dalam hubungannya

220

dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, ditambah

dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah maupun Dewan

Perwakilan Rakyat serta pendapat para ahli, telah nyata bagi Mahkamah

bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Para Pemohon tidak cukup beralasan,

sehingga tidak terbukti pula undang-undang a quo secara keseluruhan

bertentangan dengan UUD 1945. Karena substansi penguasaan oleh

negara tampak cukup jelas dalam alur pikiran undang-undang a quo baik

pada sektor hulu maupun hilir, kendatipun menurut Mahkamah masih ada

hal-hal yang harus dipastikan jaminan penguasaan oleh negara tersebut

sebagaimana nanti akan tampak dalam butir-butir pertimbangan Mahkamah

atas pasal-pasal yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut berbeda

dengan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah

dengan Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan

pada tanggal 15 Desember 2004, yang alur pikir tentang prinsip

penguasaan negara dimaksud tidak tampak dengan jelas penjabarannya

dalam pasal-pasal Undang-undang Ketenagalistrikan tersebut yang

seharusnya menjadi acuan pertama dan utama sesuai dengan amanat

Pasal 33 UUD 1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin dalam

konsiderans “Menimbang” kedua undang-undang yang bersangkutan, yang

kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua undang-undang a quo;

Menimbang bahwa meskipun demikian, dengan pendirian Mahkamah

sebagaimana tersebut di atas, tidak dengan sendirinya mengakibatkan

seluruh dalil Para Pemohon menjadi tidak beralasan, sehingga oleh

karenanya Mahkamah selanjutnya harus memeriksa seluruh butir dalil Para

Pemohon satu demi satu dengan mengujinya terhadap UUD 1945;

Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon mendasarkan seluruh

butir atau perincian permohonannya yang mendalilkan sejumlah substansi

undang-undang a quo bertentangan UUD 1945 dengan bertumpu pada

Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan telah ternyata bahwa baik

Pemerintah, DPR, maupun para ahli memandang minyak dan gas bumi

221

adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat

hidup orang banyak, maka dalam mempertimbangkan permohonan

dimaksud Mahkamah akan menilainya berdasarkan pengertian penguasaan

oleh negara sebagaimana diuraikan di atas dan keharusan tujuan

penguasaan oleh negara itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat:

1. Para Pemohon mendalilkan, Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor

22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan

argumentasi bahwa perusahaan asing akan menguasai industri minyak

dan gas nasional, di samping mengurangi wewenang Presiden dan

menumpukkan kekuasaan atas sumber daya minyak dan gas bumi di

tangan Menteri ESDM. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha

Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2)”. Terhadap hal ini Mahkamah tidak sependapat dengan

Para Pemohon yang menganggap ketentuan tersebut menyebabkan

terjadinya penumpukan kekuasaan yang sangat besar pada Menteri

ESDM, karena hal itu merupakan masalah internal Pemerintah yang

tidak relevan dalam perkara a quo. Namun, Mahkamah menilai

ketentuan dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) undang-

undang a quo yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara

diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa

Pertambangan. Secara yuridis, wewenang penguasaan oleh negara

hanya ada pada Pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan

usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a

quo. Sementara, Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap hanya

melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan

hak ekonomi terbatas, yaitu pembagian atas sebagian manfaat minyak

dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam

lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang

(delegation of authority) adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi

wewenang, yaitu negara, sehingga dengan pencantuman kata “diberi

222

wewenang kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap” maka

penguasaan negara menjadi hilang. Oleh karena itu, kata-kata “diberi

wewenang” tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di

mana wilayah kerja sektor hulu adalah mencakup bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya

adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan hak negara untuk

menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur (regelen), mengurus

(bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden).

Oleh karena itu, adanya kata-kata “diberi wewenang” dalam Pasal 12

ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945;

2. Para Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan

dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan

pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar

minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD

1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah

meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap

dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada

tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai

secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal

lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang

berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan

Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan

Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang

Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan

implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD

1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi,

yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu,

sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah

untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon

223

ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks

pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan

dalam pasal-pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian

Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4

ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) tampak jelas

hal-hal sebagai berikut:

- bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara;

- penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah

Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;

- Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk

Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan

pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi

(Pasal 1 angka 23);

- Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan

Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja

Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain

dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih

menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 19);

- Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat

persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan

Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan

minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada

pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan

Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian

manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah

pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana

pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari

rencana tersebut;

- Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,

dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan dengan Izin Usaha;

224

Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam

pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen),

mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi

(toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai

penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan

yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah

berpendapat, dalil Para Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan

karenanya harus ditolak;

3. Para Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang

memisahkah antara kegiatan hulu dan hilir (unbundling), sebagaimana

diatur dalam Pasal 10 undang-undang a quo, akan berakibat lebih

mahalnya biaya/harga produk bahan bakar minyak dan non-bahan bakar

minyak karena setiap sektor kegiatan mempunyai biaya dan profit

tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai bertentangan dengan

trend industri minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud menyatakan,

“(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan

Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha

yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan

Usaha Hulu”. Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak

terjadi pemusatan penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan

sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan kepentingan

masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak

berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang

justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin

kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus

ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina

untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai

Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan

kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus

dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir”

yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur pikir demikian,

kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan;

225

4. Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 60 undang-undang a quo

yang mengubah fungsi perusahaan negara minyak dan gas

mengakibatkan negara tidak lagi menyelenggarakan pengusahaan

minyak dan gas bumi karena wewenang melakukan kegiatan eksplorasi

dan eksploitasi diserahkan Pemerintah langsung kepada swasta

(asing/nasional), sedangkan pada sektor hilir, kegiatan dilakukan

berdasarkan mekanisme pasar. Pasal 60 dimaksud menyatakan, “Pada

saat undang-undang ini berlaku: a. dalam jangka waktu paling lama 2

(dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan

Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah; b. selama Persero

sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina yang

dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran

Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta

mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya

yang diperlukan; c. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban

Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada

Persero yang bersangkutan”. Dengan memperhatikan bunyi Pasal 60

undang-undang a quo dan penjelasannya serta pertimbangan

Mahkamah yang diuraikan pada angka 2 dan 3 di atas, maka

permohonan Para Pemohon tidak cukup beralasan karena ketentuan

peralihan tersebut diperlukan untuk mencegah kekosongan hukum

(rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid);

5. Para Pemohon mendalilkan, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a

quo, dalam hal ini yang berkait dengan diberikannya tugas kepada

Badan Pelaksana (BHMN) untuk menunjuk penjual minyak dan/atau gas

bumi bagian negara kepada pihak lain yang bukan BUMN, menurut Para

Pemohon, di satu sisi akan merugikan negara karena fee penjualan akan

diperoleh swasta dan membuka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme,

dan di lain pihak akan membuka persaingan antar sesama LNG

Indonesia di pasar internasional. Terhadap dalil Para Pemohon ini,

Mahkamah berpendapat bahwa masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme

226

memang harus diberantas dalam rangka mewujudkan prinsip good

corporate governance dalam BUMN, namun hal tersebut bukan

merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, 2

(dua) Hakim Konstitusi berpendapat bahwa terlepas dari masalah

tersebut di atas, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo tidak

menggambarkan adanya penguasaan oleh negara sebagaimana

diperintahkan Pasal 33 UUD 1945, karena memberikan kewenangan

diskresioner untuk menunjuk penjual selain Badan Usaha Milik Negara

yang seharusnya diberdayakan oleh negara sendiri sebagai instrumen

penguasaan oleh negara dalam kegiatan penjualan Migas. Namun

demikian, Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan pasal tersebut tidak

bertentangan dengan UUD 1945, tetapi harus ditafsirkan dalam

penunjukan penjual oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud,

harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu,

Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud

diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya;

6. Para Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak

dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) undang-undang a quo, di samping

akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut

Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan

sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di

setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai

dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara,

karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap

dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur

tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi

kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting

dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat

mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga

tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal

28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo mengutamakan mekanisme

227

persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas

menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin

makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33

ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat

memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan

Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh

Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat

tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang

sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;

7. Pemohon mendalilkan bahwa pembebanan kewajiban bagi Badan

Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu

(eksplorasi dan eksploitasi) untuk membayar berbagai penerimaan

negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak,

sebagaimana diatur dalam Pasal 31 undang-undang a quo, akan

merusak iklim usaha, antara lain, membuat investor tidak tertarik untuk

menanamkan modalnya di bidang ekplorasi dan ekploitasi. Terhadap

dalil Pemohon ini Mahkamah dapat membenarkan sepanjang

menyangkut usaha eksplorasi karena masih berupa pencarian sumber

migas yang belum pasti menghasilkan, sehingga secara konstitusional

tidak adil bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang

bersangkutan untuk dikenakan pajak sehingga dapat mengurangi minat

investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan eksplorasi yang

pada gilirannya akan berdampak mengurangi kesempatan untuk

mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi

terhadap usaha eksploitasi tidak terdapat alasan untuk menyatakan

ketentuan dimaksud bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena

kegiatan usaha hulu di bidang eksploitasi sudah menghasilkan migas.

Dengan pertimbangan demikian, meskipun Mahkamah sependapat

dengan sebagian dalil Para Pemohon, akan tetapi Mahkamah tidak

mungkin mengabulkan permohonan Para Pemohon, karena ketentuan

pengenaan pajak dalam pasal a quo mencakup kegiatan eksplorasi

228

maupun eksploitasi. Oleh karena Mahkamah tidak berwenang

melakukan perubahan atau perbaikan rumusan pasal dalam undang-

undang, maka Mahkamah menganjurkan pada pembentuk undang-

undang untuk melakukan amandemen terhadap pasal undang-undang a

quo (legislative review). Berdasarkan pertimbangan tersebut

permohonan Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 31 ayat (1)

undang-undang a quo tidak mungkin dikabulkan;

8. Para Pemohon mendalilkan, undang-undang a quo, melalui ketentuan

Pasal 23 ayat (2), telah meliberalisasi sektor hilir pengusahaan minyak

dan gas bumi. Para Pemohon menilai, dengan cara itu berarti undang-

undang a quo mendahulukan kepentingan pengusaha yang berorientasi

pada laba maksimum serta mengabaikan kepentingan hajat hidup orang

banyak. Padahal sebelumnya, kegiatan demikian dilakukan oleh

Pemerintah melalui BUMN sehingga Pemerintah senantiasa dapat

menyediakan bahan bakar minyak di mana saja di seluruh Indonesia

dengan harga yang seragam dan terjangkau karena hal itu merupakan

misi Badan Usaha Milik Negara. Karenanya Para Pemohon berpendapat

bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (2) tersebut bertentangan dengan Pasal

33 UUD 1945. Pasal 23 ayat (2) dimaksud menyatakan, “Izin usaha yang

diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha

Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin

Usaha Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha

Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”. Dalil permohonan Para Pemohon

tersebut tidak beralasan, karena Pasal 23 ayat (2) dimaksud meskipun

memang mengatur unbundling, namun ketentuan unbundling tersebut

tidak merugikan BUMN (Pertamina) karena haknya telah dijamin

berdasarkan Pasal 61 huruf b sebagaimana telah diuraikan pada

pertimbangan nomor 3 di atas. Pasal 61 huruf b tersebut berbunyi, “Pada

saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha

milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan

Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada

bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah

229

mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan,

Penyimpanan, dan Niaga”. Dengan demikian, kekhawatiran Para

Pemohon terhadap berlakunya Pasal 23 ayat (2) dimaksud tidak

beralasan;

9. Para Pemohon, meskipun tidak secara jelas mendalilkan dalam

permohonannya akan tetapi di depan persidangan tanggal 16 Februari

2004 telah mempermasalahkan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo

yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib

menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari

hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi

kebutuhan dalam negeri” sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Dari

bunyi pasal tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

wajib menyerahkan paling banyak 25% (duapuluh lima persen)

bagiannya dari hasil produksi migas untuk menehui kebutuhan dalam

negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk turut memenuhi

kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka

19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-

besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam

negeri. Mahkamah menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran

rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan

hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan

ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang

mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas

(patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu

terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan

yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase

serendah-rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Oleh karena itu,

Mahkamah menganggap kata-kata “paling banyak” dalam anak kalimat

“.... wajib menyerahkan paling banyak 25% (duapuluh lima persen) ...”

230

harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD

1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25%

bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) undang-undang a quo;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan saran-saran yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan untuk amar

putusan ini, yang ditujukan baik kepada pembentuk undang-undang maupun

pelaksana undang-undang, maka permohonan Para Pemohon tentang

pengujian formil harus dinyatakan ditolak sedangkan permohonan pengujian

materiil harus dikabulkan untuk sebagian sebagaimana akan disebut dalam

amar putusan di bawah, sementara bagian-bagian lainnya harus dinyatakan

ditolak karena tidak cukup beralasan, dan bagian-bagian selebihnya dari

permohonan a quo yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas

tidak dipertimbangkan lebih lanjut;

Mengingat Pasal 56 ayat (1), (3) dan (5) Undang-undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

M E N G A D I L I

Menyatakan permohonan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet

onvantkelijk verklaard);

Menolak permohonan Para Pemohon dalam pengujian formil;

Mengabulkan permohonan Para Pemohon dalam pengujian materiil

untuk sebagian;

Menyatakan:

- Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”;

- Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”;

231

- Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan Bakar

Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan

usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung

jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”;

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

Menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi

wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”,

dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152)

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menolak permohonan Para Pemohon selebihnya;

Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara paling

lambat 30 hari kerja sejak putusan ini diucapkan;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan 9 (sembilan)

Hakim Konstitusi pada hari: Rabu, tanggal 15 Desember 2004, dan diucapkan

dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari ini Selasa, tanggal 21

Desember 2004 oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., sebagai Ketua

merangkap Anggota dan didampingi oleh Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.,

Prof. H. A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., MS.,

Soedarsono, S.H., Dr. Harjono, S.H., MCL., H. Achmad Roestandi, S.H.,

I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dan Maruarar Siahaan, S.H., masing-masing

sebagai Anggota dan dibantu oleh Jara Lumbanraja S.H., M.H. sebagai

232

Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Para Pemohon/Kuasanya,

Pemerintah/Kuasanya.

KETUA,

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. ANGGOTA-ANGGOTA,

Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. Prof. H. A.S. Natabaya, S.H., LLM. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., MS. Dr. Harjono, S.H., MCL. H. Achmad Roestandi, S.H. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Maruarar Siahaan, S.H. Soedarsono, S.H.

PANITERA PENGGANTI,

Jara Lumbanraja, S.H., M.H.

233

PUTUSAN Nomor 20/PUU-V/2007

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada

tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara

permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, diajukan oleh:

[1.2] 1) Zainal Arifin, 2) Sonny Keraf, 3) Alvin Lie, 4) Ismayatun, 5)

Hendarso Hadiparmono, 6) Bambang Wuryanto, 7) Dradjad Wibowo, 8) Tjatur Sapto Edy, seluruhnya adalah warga negara Indonesia dalam kedudukannya

masing-masing selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (“DPR-RI”) beralamat kantor di Gedung Nusantara I, Jalan Jenderal

Gatot Subroto, Jakarta 10270, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor

050/SK/ZJ/VI/2007 bertanggal 7 Juni 2007, memberi kuasa kepada Januardi

S. Haribowo, S.H., Bayu Prasetio, S.H., M.H., Kartini Amir, S.H., M.H., Erni Rasyid,

S.H., dan Ahmad Waluya M, S.H., advokat dan konsultan hukum yang

tergabung dalam Tim Advokat Pengujian Undang-Undang Migas baik bertindak

secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, beralamat kantor di Plaza

DM Lantai 12, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 25, Jakarta Selatan 12920.

Selanjutnya disebut sebagai ........................................................... para Pemohon;

[1.3] Telah membaca permohonan dari para Pemohon;

Telah mendengar keterangan dari para Pemohon;

Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;

Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan

Perwakilan Rakyat;

2

Telah mendengar keterangan para ahli dari para Pemohon dan

Pemerintah;

Telah memeriksa bukti-bukti;

Telah membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon, telah mengajukan permohonan

dengan surat permohonannya bertanggal 9 Juli 2007 yang diterima dan terdaftar di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut

Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13 Juli 2007, dengan registrasi Perkara

Nomor 20/PUU-V/2007, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan

Mahkamah pada tanggal 14 Agustus 2007, mengemukakan hal-hal sebagai

berikut:

1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1.1. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum”.

1.2. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

(a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

(b) .….dst.

1.3. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(UU Migas) terhadap UUD 1945, maka secara hukum, Mahkamah

Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian atas materi muatan UU

Migas tersebut.

3

2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

2.1. Berdasarkan Pasal 51 UU MK, para Pemohon adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang, yaitu:

a) Perorangan warga negara Indonesia (WNI);

b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;

c) Badan hukum publik atau privat; atau

d) Lembaga Negara.

2.2. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-

III/2005, adanya kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon

berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b) Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon

telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji;

c) Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat

spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial

yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan

terjadi;

d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan

tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau

tidak lagi terjadi.

2.3. Dalam perkara ini, para Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI, memenuhi

kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam huruf a Pasal 51 Ayat (1) UU

Mahkamah Konstitusi, untuk mengajukan permohonan pengujian materiil

atas materi muatan suatu undang-undang ke Mahkamah Konstitusi

dengan alasan-alasan sebagai berikut:

4

2.3.1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI yang telah dirugikan dengan berlakunya UU Migas, yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial akan terjadi Bahwa DPR-RI sebagai suatu lembaga negara merupakan

kumpulan dari anggota-anggota DPR-RI yang membentuk suatu

dewan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewajiban, hak dan

kewenangannya, DPR-RI sebagai suatu entitias yang abstrak,

diwakili oleh anggota-anggota DPR-RI selaku pemangku jabatan

secara bersama-sama yang tidak lain adalah pribadi-pribadi atau

perorangan warga negara Indonesia. Tanpa adanya para anggota

DPR-RI tersebut sebagai perwujudan/perwakilan dari DPR-RI,

maka pelaksanaan fungsi, tugas, kewajiban, hak dan kewenangan

DPR-RI sebagai suatu lembaga negara tidak akan dapat

terlaksana.

Dengan demikian, hak-hak konstitusional DPR-RI sebagai suatu lembaga hanya akan ada atau dapat dilaksanakan jika hak tersebut dilaksanakan oleh Anggota DPR sebagai pemangku jabatan. Artinya, jika DPR-RI kehilangan hak

konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan terhadap

perjanjian internasional lainnya sebagaimana ketentuan Pasal 11

Ayat (2) UUD 1945, maka secara otomatis para Pemohon selaku

Anggota DPR-RI juga akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk

ikut memberikan persetujuan atas suatu perjanjian internasional.

Hilangnya hak konstitusional DPR-RI sebagai suatu lembaga

otomatis berarti hilangnya hak konstitusional setiap Anggota DPR-

RI, karena hak konstitusional DPR-RI sebagai lembaga melekat pada para Anggota DPR-RI. Dengan demikian, hak-hak

konstitusional Anggota DPR-RI lebih luas dari dan bukan hanya

hak-hak yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 20A Ayat (3)

dan Pasal 21 UUD 1945, yakni hak untuk mengajukan pertanyaan,

hak untuk menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, serta

hak untuk mengajukan rancangan undang-undang. Hak-hak

5

konstitusional Anggota DPR-RI yang tercantum dalam Pasal 20A

Ayat (3) dan Pasal 21 UUD 1945 tersebut, adalah hak perorangan

Anggota DPR-RI yang dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri

oleh setiap Anggota DPR-RI tanpa harus secara bersama-sama

dengan Anggota DPR-RI yang lainnya. Sedangkan, di lain pihak

setiap Anggota DPR-RI juga memiliki hak-hak konstitusional secara

bersama-sama dengan Anggota DPR-RI yang lainnya dalam

kedudukan sebagai anggota dari lembaga DPR-RI.

Hak konstitusional Anggota DPR-RI yang melekat pada hak

konstitusional DPR-RI sebagai lembaga dan merupakan hak secara

bersama-sama tersebut di atas antara lain:

Pasal 11 Ayat (2) yang berbunyi, “Presiden dalam membuat

perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas

dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A Ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat

memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”.

Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 33 Ayat (4) yang berbunyi, “Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat

(1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 tersebut

sebagaimana dikutip di atas, ada beberapa hak konstitusional para

Pemohon terkait dengan Permohonan ini, yaitu antara lain:

1. Hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk

ikut memberikan atau tidak ikut memberikan persetujuan atas

6

“perjanjian internasional lainnya” sebagai dimaksudkan oleh

Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945;

2. Hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk

melakukan ”fungsi pengawasan” atas jalannya pemerintahan;

3. Hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk

melakukan pengawasan agar kekayaan alam yang terkandung

dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat;

4. Hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan,

menikmati dan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari

kekayaan alam Indonesia;

5. Hak konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi

pengelolaan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan

air Indonesia agar diselenggarakan berdasarkan sistem

demokrasi ekonomi sesuai prinsip-prinsip kebersamaan,

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan

dan kesatuan ekonomi nasional.

Bahwa dengan berlakunya UU Migas, maka hak-hak konstitusional

para Pemohon dalam kedudukannya selaku Anggota DPR-RI telah

dirugikan atau telah dilanggar karena:

i. Telah ada begitu banyak kontrak-kontrak atau perjanjian-

perjanjian internasional yang ditandatangani oleh Pemerintah,

dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha

Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) yang mempunyai

akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

Dalam hal ini antara lain berupa perjanjian atau Kontrak Kerja

Sama/KKS antara BP MIGAS dengan para Kontraktor usaha

minyak dan gas bumi. Di mana, pengelolaan dan eksploitasi

kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia,

dalam hal ini minyak dan gas bumi, akan memberikan

pendapatan bagi negara yang sangat besar dan akan dapat

mempengaruhi perubahan pada Undang-Undang tentang

7

APBN. Sebaliknya dalam hal adanya kerugian yang timbul

akibat pengelolaan sumber daya alam dari minyak dan gas bumi

secara langsung maupun tidak langsung juga akan merugikan

negara, yang berarti juga merugikan rakyat untuk mendapatkan

sebesar-besarnya manfaat atas pengelolaan sumber daya alam

Indonesia.

ii. Secara aktual dan spesifik, kerugian konstitusional yang dialami

para Pemohon sudah terjadi, karena para Pemohon selaku

Anggota DPR-RI kehilangan hak konstitusionalnya untuk

memberikan persetujuan atau menolak memberikan persetujuan

atas berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau kontrak-kontrak

internasional yang mempunyai akibat luas dan mendasar bagi

kehidupan rakyat yang mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang, khususnya perjanjian-perjanjian

internasional yang terkait dengan pengelolaan sumber daya

alam minyak dan gas bumi.

2.3.2. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan berlakunya UU Migas Bahwa terdapat hubungan sebab akibat yang sangat nyata antara

kerugian yang dialami para Pemohon dengan keberlakuan UU

Migas, karena dengan berlakunya UU Migas, para Pemohon

sebagai Anggota dan/atau bagian dari DPR-RI, telah kehilangan

hak konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan atau untuk

menolak memberikan persetujuan atas perjanjian-perjanjian

internasional (dalam hal ini Kontrak Kerja Sama atau KKS) yang

telah ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak

Kontraktor. Padahal kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian

tersebut mempunyai nilai nominal sangat besar dan nyata-nyata

memiliki akibat atau dampak luas bagi kehidupan rakyat, yang

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang

sebagaimana disebutkan di atas.

8

2.3.3. Jika permohonan para Pemohon dikabulkan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tidak akan atau tidak terjadi lagi Jika permohonan para Pemohon ini dikabulkan, tentunya kerugian

konstitusional yang dialami oleh para Pemohon dalam

kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI tidak akan ada atau terjadi

lagi, karena hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk

memberikan persetujuan atau untuk menolak memberikan

persetujuan sebelum Pemerintah cq. BP MIGAS menandatangani

suatu kontrak atau perjanjian internasional (KKS) menjadi tidak

hilang atau telah terpulihkan.

3. ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL TERHADAP UU MIGAS

3.1. Materi UU Migas yang Bertentangan dengan UUD 1945 Bahwa materi muatan dari ayat dan pasal UU Migas yang diajukan untuk

pengujian materiil, yaitu:

Pasal 11 Ayat (2), yang selengkapnya berbunyi:

“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus

diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia”.

3.2. Ayat, Pasal atau Bagian UUD 1945 yang Dilanggar Bahwa materi muatan UUD 1945 yang telah dilanggar, yaitu:

Pasal 11 Ayat (2), yang selengkapnya berbunyi:

“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan

perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Pasal 20A Ayat (1), yang selengkapnya berbunyi:

“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan

fungsi pengawasan”.

Pasal 33 Ayat (3), yang selengkapnya berbunyi:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

9

Pasal 33 Ayat (4), yang selengkapnya berbunyi:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

3.3. Materi Muatan UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945 Materi Muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap

Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan

secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945

a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut

di atas, Perjanjian atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pemerintah

cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor usaha minyak dan gas bumi

hanya diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI, setelah

perjanjian tersebut ditandatangani, bukannya terlebih dahulu

dimintakan persetujuan kepada DPR-RI. Dalam hal ini, pihak DPR-RI

secara pasif hanya menerima salinan atau fotokopi kontrak/perjanjian

yang sudah selesai ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS

dengan pihak Kontraktor;

b. Bahwa faktanya, salinan atau fotokopi kontrak-kontrak kerja sama

yang dikirimkan ke DPR-RI cq. Komisi yang membidangi Minyak dan

Gas Bumi itupun baru dikirimkan berselang cukup lama setelah

penandatanganan kontrak atau perjanjian antara pihak Pemerintah cq.

BP MIGAS dengan pihak Kontraktor. Misalnya Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Lasmo Indonesioa Limited dan Unocal Muara Bakau, Ltd yang telah ditandatangani pada 30 Desember

2002, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11

Maret 2004 (vide Bukti P-11), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Sebana, Ltd yang telah ditandatangani pada 14 Oktober

2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11

Maret 2004 (vide Bukti P-112), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Tately N.V. (Company No.87301) yang telah

10

ditandatangani pada 30 Desember 2003, namun baru dikirim/diterima

oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-13);

c. Bahwa KKS yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU

Migas yakni Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain

dalam kegiatan Eksplorasi (kegiatan yang bertujuan memperoleh

informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan

memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja

yang ditentukan) dan Eksploitasi (rangkaian kegiatan yang bertujuan

untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang

ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,

pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan

untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan

serta kegiatan lain yang mendukungnya) yang lebih menguntungkan

Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

d. Bahwa kontrak-kontrak atau perjanjian antara BP MIGAS dengan

Kontraktor nyata-nyata menimbulkan pendapatan atau minimal potensi

pendapatan yang sangat besar bagi negara. Sebagai contoh antara

lain:

1) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Lasmo

Indonesia Limited dan Unocal Muara Bakau, Ltd. tertanggal 30

Desember 2002 dengan area kontrak Muara Bakau (vide Bukti

P-11);

2) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Sebana Ltd.

tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak Bulu (vide Bukti

P-12);

3) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dengan Santos

(NTH Bali I) Pty. Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area

kontrak North Bali I;

4) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemone

Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company dan

SK Corporation tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak

North East Madura I;

11

5) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemtwo

Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company

tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East

Madura II;

6) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Provident

Indonesia Energy LLC tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area

kontrak Tarakan Offshore Block;

7) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately N.V.

(Company No.87301) tertanggal 30 Desember 2003 dengan area

kontrak Palmerah (vide BUkti P-13);

8) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Pearloil

(Salawati) Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area

kontrak West Salawati;

9) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Elnusa

Bangkanai Energy Ltd. tertanggal 30 Desember 2003 dengan area

kontrak Bangkanai;

10) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Halmahera

Petroleum Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area

kontrak Halmahera;

e. Bahwa di lain pihak, ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 secara

tegas mensyaratkan bahwa segala perjanjian internasional lain

(selain perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

Ayat (1) UUD 1945, yakni perjanjian internasional terkait dengan

pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain),

sejauh perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan

undang-undang, maka perjanjian internasional sedemikian, menurut

UUD 1945, sebelum ditandatangani oleh Presiden/Pemerintah, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR-RI, bukan hanya

sekadar pengiriman salinan atau copy perjanjian atau kontrak secara

tertulis saja yang dikirimkan kepada DPR-RI;

f. Bahwa filosofi dasar harus disetujuinya setiap perjanjian internasional

sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa

12

secara materiil dan secara formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;

g. Hal tersebut adalah sangat logis dan mendasar mengingat konsep

dasar yang dibangun oleh UUD 1945 adalah keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia yang selalu mengedepankan kemakmuran

dan kesejahteraan kehidupan rakyat, sehingga karenanya segala

tindakan Pemerintah yang terkait atau membawa akibat luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat luas harus mendapatkan persetujuan

DPR-RI sebagai lembaga negara yang sah mewakili rakyat;

h. Bahwa dengan tanpa disetujuinya terlebih dahulu perjanjian-perjanjian

yang akan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan

pihak Kontraktor tersebut, maka:

1. DPR-RI menjadi tidak dapat mengetahui dan mengawasi lebih awal

berapa banyak kontrak-kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah cq.

BP MIGAS, dan seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari

pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi tersebut.

Akibatnya, DPR-RI tidak dapat mengetahui seberapa besar hasil

pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi

memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat.

2. Faktanya, ternyata dari kontrak-kotrak yang ada, nampak jelas

betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan

minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang

apabila tanpa dikelola secara baik dan benar serta diawasi secara

ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan

sangat berpotensi merugikan Negara, yang berarti tidak

memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-

besarnya bagi rakyat.

13

3. Ketiadaan persetujuan DPR-RI tersebut, mengakibatkan hilang dan

terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota

DPR-RI untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

pengelolaan kekayaan alam yang ada di bumi dan air Indonesia

yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Di samping itu, tanpa adanya persetujuan DPR-RI, mengakibatkan

hilangnya hak konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi

pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi,

apakah telah dikelola, dilaksanakan dan diselenggarakan berdasar

atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,

serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional.

i. Bahwa lebih jauh lagi, ukuran atau tolok ukur dari perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga harus dengan persetujuan

DPR-RI sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD

1945, yaitu:

- Terkait dengan beban keuangan negara; dan/atau

- Mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

1) Terkait dengan beban keuangan negara, berarti ada uang atau

pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara yang dapat

menjadi beban rakyat atau negara harus mengeksploitasi sumber

daya alamnya untuk menutupi beban keuangan negara yang

terjadi;

2) Mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang. Dalam hal ini Undang-Undang tentang APBN, dimana

ada kejadian yang sedemikian rupa menimbulkan pendapatan

negara yang sangat besar sehingga merubah atau setidak-

tidaknya mempengaruhi sisi pendapatan APBN. Artinya, dalam

hal terjadi suatu pendapatan yang sangat besar di luar yang

tercantum dalam Undang-Undang tentang APBN yang telah

disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, maka Undang-

Undang APBN tersebut harus diubah untuk menyesuaikan

14

dengan besarnya jumlah pendapatan yang baru tersebut, dan hal

ini juga akan berakibat atau mengakibatkan perubahan APBN

pada sisi pengeluaran atau belanja negara;

j. Sesuai dengan fakta tersebut di atas, kontrak-kontrak/KKS tersebut

telah menimbulkan tambahan pendapatan negara yang luar biasa

besar dan signifikan sehingga mempengaruhi atau menyebabkan

perubahan Undang-Undang APBN pada sisi pendapatan, dan juga

secara langsung merubah komposisi APBN pada sisi belanja negara.

Dengan demikian, perjanjian-perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor tersebut, secara konstitusional harus mendapatkan persetujuan DPR-RI yang dalam hal ini diwakili oleh para Anggota DPR-RI.

k. Bahwa lebih jauh lagi, kekayaan negara yang sangat besar dari sektor

minyak dan gas bumi yang dikelola oleh BP MIGAS tersebut,

menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat besar jika tidak

dikelola secara benar, efisien dan efektif.

l. Namun demikian, faktanya tidak ada satupun lembaga negara atau

intitusi yang dapat melakukan tindakan pre-emptive atau preventive

(pencegahan) untuk menghindari kerugian keuangan negara akibat

salah kelola atau pengelolaan yang tidak efisien oleh Pemerintah cq.

BP MIGAS atas keuangan negara yang sangat besar tersebut sebagai

suatu bentuk pengawasan atas pengelolaan kekayaan negara. Bahkan

pengawasan secara dinamis pasca penandatanganan kontrak dan

implementasinya di lapangan, faktanya juga sangat sulit untuk

dilakukan karena prosedur permintaan data/keterangan maupun

pengiriman salinan atau fotokopi kontrak yang relatif lambat dan

berbelit-belit. Sehingga terkesan kuat bahwa BP MIGAS telah menjadi

suatu lembaga super body yang tidak dapat dikontrol/diawasi oleh

pihak manapun juga. Hal tersebut tercermin dari kewenangan atau

tugas dari BP MIGAS yang begitu besar, yaitu antara lain:

- Penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS oleh BP MIGAS;

- Penandatanganan KKS;

- Persetujuan atas rencana kerja dan anggaran;

- Monitoring pelaksanaan KKS;

15

- Penunjukan penjual minyak bumi dan/atau gas alam bagian negara;

- Pelaksanaan tender-tender untuk proses eksplorasi dan eksploitasi

oleh Kontraktor;

- Persetujuan besaran dan pembayaran Cost Recovery kepada

Kontraktor.

m. Bahwa terkait dengan kekhawatiran banyak kalangan atas dampak

dari keharusan adanya persetujuan DPR-RI terlebih dahulu atas setiap

kontrak/KKS yang akan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS

dengan Kontraktor, dalam hubungannya dengan iklim atau tingkat

investasi di Indonesia, maka hal tersebut hanyalah kekhawatiran yang

berlebihan mengingat hal yang menjadi perhatian utama para investor

yang akan menanamkan modal di Indonesia adalah masalah kepastian

hukum dan jaminan keamanan berinvestasi. Persetujuan DPR-RI atas

penandatanganan kontrak-kontrak/KKS antara Pemerintah cq. BP

MIGAS dengan Kontraktor jangan dilihat sebagai perpanjangan rantai

birokrasi sehingga mengakibatkan inefisiensi berinvestasi, melainkan

justru lebih memperkuat kedudukan hukum dan kepastian hukum dari

kontrak/KKS. Karena dalam praktik di negara manapun juga, justru

menunjukkan bahwa kepentingan negara dan rakyat dalam

pengelolaan kekayaan negara adalah hal pokok yang harus selalu

diutamakan dan dikedepankan.

Dengan demikian sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi

bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang hanya mewajibkan Pemerintah cq. BP MIGAS untuk memberitahukan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.

4. PETITUM Berdasarkan segala dalil, pertimbangan dan alasan tersebut di atas, para

Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan

memeriksa dan memutuskan permohonan pengujian materiil para Pemohon

sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;

16

2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) serta Pasal 33 Ayat (3) dan

Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana

tersebut dalam angka 2 di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon

putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, para

Pemohon telah mengajukan bukti tertulis yang telah disahkan oleh Mahkamah,

diberi tanda P-1 sampai dengan P-13, sebagai berikut:

Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi.

Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Zainal Arifin.

Bukti P-4 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Sonny Keraf.

Bukti P-5 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Alvin Lie.

Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Ismayatun.

Bukti P-7 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Hendarso Hadiparmono.

Bukti P-8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Bambang Wuryanto.

Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Drajad Wibowo.

Bukti P-10 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-

RI Pemohon a/n Sapto Edy.

17

Bukti P-11 : Fotokopi Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan

Lasmo Indonesia Limited dan Unocal Muara Baku, Ltd. tertangal 30

Desember 2002.

Bukti P-12 : Fotokopi Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan

Sebana Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003.

Bukti P-13 : Fotokopi Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately

N.V. (Company No.87301) tertanggal 30 Desember 2003.

Bukti P-14 : Fotokopi print out artikel dari website www.kompas.com tanggal 26

Oktober 2006 dengan judul “Audit Migas, Mengejar Kebenaran

Hingga ke San Ramon”.

Bukti P-15 : Fotokopi print out artikel dari website www.tempointeraktif.com

tanggal 23 Januari 2007 dengan judul “BPKP: Industri Hulu Migas

Tidak Efisien”.

Bukti P-16 : Fotokopi print out artikel dari website www.detikfinance.com

tanggal 3 Agustus 2007 dengan judul “Rancu, BP Migas Harus

dibubarkan”.

Bukti P-17 : Fotokopi artikel dari harian Bisnis Indonesia halaman 7 tanggal 3

Agustus 2007 dengan judul “Standarisasi & Transparansi Cost

Recovery Migas”.

Bukti P-18 : Fotokopi artikel dari harian Bisnis Indonesia halaman 1-2 tanggal 5

November 2007 dengan judul “Menyongsong Harga Minyak Dunia

US$ 100 per Barel, diperlukan Penyempurnaan Manajemen

Migas”.

Bukti P-19 : Hasil print out Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa (Resolution of The General Assembly of United Nations)

Nomor 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962 dari website

www.un.org dengan judul Permanent Sovereignty over Natural

Resources.

Bukti P-20 : Fotokopi risalah rapat pleno ke-30 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang diberi tanda

catatan.

[2.3] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon

mengajukan dua orang ahli bernama Ir. Ryad Areshman Chairil, MSc., PhD., dan

Muhammad Sair Nisar, SH., MH., yang telah memberi keterangan di bawah

18

sumpah pada persidangan tanggal 7 November 2007, dan telah pula menyerahkan

keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22

November 2007, sebagai berikut:

Keterangan Ahli Ir. Ryad Areshman Chairil, MSc., PhD.

Pokok-pokok pikiran, pendapat dan keterangan ahli difokuskan pada

argumentasi materi pengujian materiil Pasal 11 Ayat (2) UU Migas terhadap UUD

1945, terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Fungsi Pengawasan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR).

Sebelum memberikan pendapat atas pengujian materiil Pasal 11 Ayat (2)

UU Migas tersebut di atas, ahli membuka kembali amar putusan MK atas

pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dalam perkara Nomor

002/PUU-I/2003 untuk memberikan gambaran betapa pentingnya keterlibatan DPR

sebagai perwakilan rakyat dalam konteks pengertian penguasaan negara atas

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya MK

berpendapat sebagai berikut:

“Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana

dimaksud, maka penguasaan oleh Negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki

pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi

hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh Negara merupakan konsepsi

hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut

dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi

(demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui

sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam

kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat”.

Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian

pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalam wilayah hukum Negara pada hakikatnya adalah

milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada Negara untuk

menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama.

Karena itu, Pasal 33 Ayat (3) menentukan “bumi dan air kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”.

19

Selanjutnya Pengertian “dikuasai oleh Negara” haruslah diartikan mencakup

makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan

dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: termasuk pula di dalamnya

pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber

kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD

1945 memberikan mandat kepada Negara untuk melakukan fungsinya dalam

mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),

pengaturan (regelendaad), pengelolaan (bestuursdaad) oleh Negara. Fungsi

pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad) ditujukan dalam rangka

mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas

sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Atas prinsip pengertian penguasaan Negara atas sumber daya alam, maka MK

berpendapat bahwa prinsip yang harus dikedepankan adalah paham kedaulatan

rakyat, dimana rakyat harus diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus

pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara. Kekuasaan tertinggi

mencakup pengertian kepemilikan publik secara kolektif yang dimandatkan kepada

Negara guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, berdasarkan penafsiran dari Putusan MK tersebut,

sebuah lembaga kolektif yang beranggotakan perwakilan rakyat dimaksud adalah

lembaga DPR yang harus mendapat posisi penting dalam menentukan

penguasaan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, lembaga DPR menempati posisi lembaga penting dalam proses

pengambilan keputusan pengusahaan dan pengelolaan sumber daya minyak dan

gas bumi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya hal ini dapat

dilihat dari pendapat MK sebagai berikut:

Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang

produksi minyak bumi dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang

terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 Ayat

(3) UUD 1945, oleh pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi

negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-

cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan,

pengelolaan dan pengawasannya kepada pasar.

20

Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan

DPR dinilai masih penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat hidup orang

banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang

produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan

mengawasinya agar sunguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Atas penafisran pendapat MK tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,

lembaga DPR sebagai institusi penting di dalam Negara, dengan demikian secara mutlak wajib dilibatkan di dalam setiap pengambilan keputusan untuk mengusahakan dan mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berkenaan dengan hal di atas, sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ahli

memberikan pendapat yang berkaitan dengan permohonan Judicial Review atas

UU Migas yang diajukan oleh para Pemohon. Pendapat ini disajikan dengan

melakukan pengkajian atas struktur dan materi muatan KKS berupa Kontrak Bagi

Hasil (KBH) antara BP Migas dan Lasmo Indonesia Limited dan Unocal Muara

Bakau Ltd, sebagaimana Bukti P-11 yang diajukan para Pemohon, yang dikaitkan

dengan materi permohonan Judicial Review pihak pemohon dan tanggapan dari

pihak Pemerintah. Pengkajian juga dilakukan dengan struktur dan materi muatan

Kontrak Karya (KK) untuk mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan

Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk batubara, yang kontraknya ditandatangani

oleh Pemerintah setelah mendapat rekomendasi/persetujuan DPR.

Argumentasi dasar yang diajukan di dalam pendapat ini ditujukan untuk

melihat betapa pentingnya melibatkan lembaga DPR sebagai pewakilan rakyat

untuk mengawasi proses dan mekanisme sebelum penandatangan KKS. Fungsi

pengawasan dimaksud ditujukan untuk menghindari atau paling tidak

meminimalisasi kesalahan dalam perumusan materi KKS baik kesalahan

perumusan dalam merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, maupun kesalahan perumusan bahasa atau materi kontrak berdasarkan

filosofi dasar perikatan/perjanjian antara kedua belah pihak. Sebagian dari hasil

kajian dapat disampaikan sebagai berikut:

21

I. PERBANDINGAN KKS DENGAN KK/PKP2B YANG TERLEBIH DAHULU MEMINTA REKOMENDASI/PERSETUJUAN DPR

Sebagaimana dimaklumi, bahwa banyak sekali terdapat kesamaan

pengaturan antara kegiatan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara

(minerba) dan minyak dan gas bumi, baik mulai dari sisi hulu seperti penyelidikian

umum, eksplorasi sampai dengan eksploitasi produksi, maupun pada sisi hilir

seperti pengangkutan dan penjualan. Kedua kegiatan pengusahaan tersebut juga

mengusahakan sumber daya alam yang berdasarkan ketentuan Pasal 33 UUD

1945 merupakan sumber daya alam strategis dan menguasai hajat hidup orang

banyak.

Namun demikian, jika dikaji lebih mendalam proses pengambilan keputusan

pengusahaan khususnya proses sebelum penandatanganan kontrak, akan

didapati perbedaan antara proses penandatanganan KKl dan PKP2B, dengan

Kontrak Kerja Sama (KKS) minyak dan gas bumi. Sesuai ketentuan Pasal 10 UU

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum

diatur bahwa setiap Perjanjian/Kontrak Karya (KK dan PKP2B) ditandatangani Pemerintah setelah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR. Ketentuan

Pasal 10 tersebut berbunyi:

(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan

sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan

selaku pemegang kuasa pertambangan.

(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud

dalam ayat (1) pasal ini, Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus

berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-perunjuk dan syarat-syarat yang

diberikan oleh Menteri.

(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disyahkan

oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat

apabila menyangkut eksploitasi bahan galian golongan a (bahan galian

strategis) sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam

pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk

penanaman modal asing.

Penjabaran kata ”konsultasi” dalam ayat (3) di atas dilakukan dengan

mendapatkan rekomendasi dari DPR. Sebagai contoh misalnya, pada setiap

22

naskah KK maupun PKP2B selalu terdapat lembar persetujuan Presiden yang

didalamnya merujuk kepada rekomendasi/persetujuan DPR. Hal tersebut dapat

dilihat dalam naskah KK antara Pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa

Tenggara, dimana pada lampiran halaman depan terdapat surat Presiden RI

menugaskan kepada Menteri Pertambangan dan Energi (sekarang Energi dan

Sumberdaya Mineral) untuk menandatangani KK. Selanjutnya Paragraf I surat dari

Presiden RI tersebut menyatakan (disalin sesuai aslinya):

”Sehubungan dengan surat Saudara Nomor 0435/03/M.DJP/86 tanggal 27 Oktober

1986 serta menunjuk surat-surat rekomendasi Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Nomor KS.02/2007/DPRRI/1986 tanggal 27 September 1986 dan surat

Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 211/A./1986 tanggal 8

September 1986 sampai dengan nomor 245/A.1/1986 tanggal 8 September 1986,

dengan ini diberitahukan bahwa kami dapat menyetujui Kontrak Karya dibidang

Pertambangan Umum di luar batubara untuk perusahaan yang namanya

tercantum di dalam lampiran surat ini.”

Terlihat jelas bahwa Pemerintah memandang rekomendasi DPR sebagai elemen

penting dalam proses pengambilan keputusan ditandatangani atau tidaknya KK

dan PKP2B. Kata ”konsultasi” pada ketentuan Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 1967

diatas dijabarkan oleh Pemerintah dengan meminta rekomendasi/persetujuan dari

DPR sebelum KK dan PKP2B ditandatangani.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas

yang hanya memberitahu secara tertulis kepada DPR setelah KKS ditandatangani,

telah keluar dari kebiasaan dan kelaziman penandatanganan kontrak-kontrak

pertambangan, maka seharusnya Pemerintah terlebih dahulu meminta

rekomendasi/persetujuan DPR sebelum memutuskan memberikan persetujuan

dan penandatanganan KKS, mengingat tidak ada perbedaaan mendasar dari sisi

pengaturan industri pengusahaan pertambangan mineral/batubara dengan minyak

dan gas bumi. Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut bertentangan

dengan filosofis dan spirit fungsi pengawasan DPR sesuai Pasal 20A Ayat (1) UUD

1945 diatas dan pendapat MK pada amar Putusan MK atas pengujian UU Nomor

22 Tahun 2001 tentang Migas dalam perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang

menyimpulkan bahwa Pemerintah dan DPR harus secara bersama-sama

memutuskan untuk mengusahakan sumber daya alam strategis milik negara.

23

Seharusnya DPR sebagai sebuah lembaga kolektif perwakilan rakyat

sebagaimana dikonstruksikan dalam UUD 1945, mendapat ruang untuk

memberikan persetujuan kepada Pemerintah atau Negara sebelum

menandatangani kontrak pengusahaan sumberdaya alam strategis. Selanjutnya

Pemerintah melaksanakan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan

tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan

(bestuursdaad). Bentuk rekomendasi DPR tersebut merupakan perwujudan dari

fungsi pengawasan rakyat atau DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat

(toezichthoudensdaad) yang ditujukan untuk mengawasi dan mengendalikan

agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud

benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat dan

bangsa Indonesia.

II. FORMAT HUKUM KKS TIDAK SEBAIK KK/PKP2B Akibat tidak dilakukan pengawasan dalam proses pengambilan keputusan

penandatangan KKS, maka terlihat bahwa format hukum KKS belum

mencerminkan sebuah standar kontrak pertambangan yang baik. Bahkan jika

dibandingkan dengan KK, terlihat ketidaksempurnaan ketentuan-ketentuan dan

kelemahan-kelemahan dari sisi materi pengaturan Kontraknya. Secara umum,

tabel dibawah adalah perbandingan pasal-per pasal antara KKS yang

ditandatangani setelah berlakunya UU Migas (Bukti P11) dengan Kontrak Karya

antara Pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, sebagai berikut:

PASAL KONTRAK KERJA SAMA KONTRAK KARYA

INTRODUCTION

I SCOPE AND DEFINITIONS DEFINITIONS

II TERMS APPOINTMENT AND

RESPONSIBILITY OF COMPANY

III EXCLUSION OF AREAS MODUS OPERANDI

IV WORK PROGRAM AND

EXPENDITURE CONTRACT AREA

V RIGHTS AND OBLIGATIONS OF

THE PARTIES GENERAL SURVEY PERIOD

VI

RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF

PRODUCTION EXPLORATION PERIOD

24

VII VALUATION OF CRUDE OIL

AND NATURAL GAS REPORT AND SECURITY DEPOSIT

VIII COMPENSATION, ASSISTANCE

AND PRODUCTION BONUS FEASIBILITY STUDY PERIOD

IX PAYMENTS CONSTRUCTION PERIOD

X TITLE TO EQUIPMENT OPERATING PERIOD

XI CONSULTATION AND

ARBITRATION MARKETING

XII EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL

IMPORT AND RE EXPORT FACILITIES

XIII TERMINATION TAXES AND OTHER FINANCIAL OBLIGATIONS OF COMPANIES

XIV BOOKS AND ACCOUNTS, AND

AUDITS RECORD, INSPECTION AND WORK

PROGRAMS

XV OTHER PROVISIONS CURRENCY EXCHACNGE

XVI PARTICIPATIONS SPECIAL RIGHTS OF THE

GOVERNMENT

XVII EFFECTIVENESS EMPLOYMENT AND TRAINING OF

INDONESIAN PERSONNEL

XVIII EXHIBITS ENABLING PROVISIONS

XIX “A” = DESCRIPTON OF

CONTRACT AREA FORCE MAJEURE

XX “B” = MAP CONTRACT AREA DEFAULT

XXI “C” = ACCOUNTNG

PROCEDURE SETTLEMENT OF DISPUTE

XXII “D” = MEMORANDUM OF

PARTICIPATION TERMINATION

XXIII COOPERATION OF THE PARTIES

XXIV PROMOTION OF NATIONAL

INTEREST

XXV REGIONAL COOPERATION IN

REGARD TO ADDITIONAL INFRASTRUCTURE

XXVI ENVIRONMENTAL MANAGEMENT

AND PROTECTION

25

XXVII LOCAL BUSINESS DEVELOPMENT

XXVIII MISCELANOUS PROVISIONS

XXIX ASSISGNMENT

XXX FINANCING

XXXI TERMS

XXXII GOVERNING LAW

XXXIII ANNEX A; “CONTRACT AREA”

XXXIV ANNEX B : “MAP OF CONTRACT

AREA”

XXXV ANNEX C: “LIST OF

OUTSTANDING MINING AUTHORIZATION

XXXVI ANNEX D : “DEAD RENT OF

VARIOUS STAGE OF ACTIVITIES”

XXXVII ANNEX E: “FEASIBILITY STUDY

REPORT”

XXXVIII ANNEX F: “ROYALTY ON MINERAL

PRODUCTION

XXXIX ANNEX G: “ADDITIONAL

ROYALTIES ON MINERALS EXPORTED

XL ANNEX H: “RULES FOR

COMPUTATION OF INCOME TAXES”

Dari perbandingan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Format pasal per pasal KKS tidak selengkap KK/PKP2B Jumlah total pasal di dalam KKS adalah 22 pasal (17 buah pasal batang tubuh

dan 5 buah pasal lampiran), sementara pasal di dalam KK/PKP2B berjumlah 40

pasal (32 pasal batang tubuh dan 8 buah pasal lampiran). Dengan demikian

pengaturan KKS tidak selengkap KK/PKP2B

b. Pengaturan KKS tidak selengkap KK/PKP2B. Pasal KKS tidak mengatur hal-hal teknis selengkap KK, di antaranya:

- tahapan Penyeldikian Umum (General Survey)

- tahapan Eksplorasi (Exploration)

- tahapan Konstruksi (Construction)

26

- tahapan Operasi (Operation)

- Perlindungan terhadap lingkungan hidup

- Pemberdayaan masyarakat setempat

- Pengembangan bisnis lokal

- Keadaan Kahar (Force Majeure)

- dll

Ketidaklengkapan materi pengaturan di atas terjadi karena lemahnya fungsi

pengawasan dalam perumusan naskah KKS. Kelemahan tersebut di atas tidak

terlihat pada naskah KK/PKP2B mengingat naskah kontrak tersebut terlebih

dahulu dikaji dan dibahas bersama oleh Pemerintah dan DPR sebelum

ditandatangani Pemerintah. Dengan adanya pengkajian dan pembahasan

tersebut, maka DPR dapat mengawasi secara langsung perumusan naskah

KK/PKP2B. Hal ini tidak terjadi pada perumusan naskah KKS.

III. KKS BELUM MENJALANKAN AMANAH UU MIGAS Pengkajian detail terhadap ketentuan pokok KKS menyimpulkan bahwa

KKS ternyata belum menjalankan amanah UU Migas secara sepenuhnya. Hal ini

dapat dilihat bahwa ternyata materi KKS belum memenuhi ketentuan Pasal 11

Ayat (3) UU Migas yang menetapkan persyaratan minimum yang wajib dimuat

dalam sebuah KKS. Tabel di bawah ini memperlihatkan akan kealpaan KKS

memuat ketentuan pokok sebagaimana ditetapkan pada ketentuan Pasal 11 Ayat

(3) UU Migas tersebut di atas, sebagai berikut:

PASAL AMANAH PASAL 11 AYAT (3)

KONTRAK KERJA SAMA

I PENERIMAAN NEGARA SCOPE AND DEFINITIONS II WILAYAH KERJA DAN

PENGEMBALIANNYA TERMS

III KEWAJIBAN PENGELUARAN DANA EXCLUSION OF AREAS IV PERPINDAHAN KEPEMILIKAN HASIL

PRODUKSI ATAS MINYAK DAN GAS BUMI

WORK PROGRAM AND EXPENDITURE

V JANGKA WAKTU DAN KONDISI PERPANJANGAN KONTRAK

RIGHTS AND OBLIGATIONS OF THE PARTIES

VI PENYELESAIAN PERSELISIHAN RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF PRODUCTION

VII KEWAJIBAN PEMASOKAN MINYAK BUMI DAN/ATAU GAS BUMI UNTUK

KEBUTUHAN DALAM NEGERI

VALUATION OF CRUDE OIL AND NATURAL GAS

27

VIII BERAKHIRNYA KONTRAK COMPENSATION, ASSISTANCE AND PRODUCTION BONUS

IX KEWAJIBAN PASKA OPERASI PENAMBANGAN

PAYMENTS

X KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

TITLE TO EQUIPMENT

XI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP CONSULTATION AND ARBITRATION

XII PENGALIHAN HAK DAN KEWAJIBAN EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL

XIII PELAORAN YANG DIPERLUKAN TERMINATION XIV RENCANA PENGEMBANGAN

LAPANGAN BOOKS AND ACCOUNTS, AND

AUDITS XV PENGUTAMAAN PEMANFAATAN

BARANG DAN JASA DALAM NEGERI OTHER PROVISIONS

XVI PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEKITARNYA DAN JAMINAN HAK-

HAK MASYARAKAT ADAT

PARTICIPATIONS

XVII PENGUTAMAAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA INDONESIA

EFFECTIVENESS

XVIII EXHIBITS XIX “A” = DESCRIPTON OF CONTRACT

AREA XX “B” = MAP CONTRACT AREA XXI “C” = ACCOUNTNG PROCEDURE XXII “D” = MEMORANDUM OF

PARTICIPATION

Setidaknya ada tiga ketentuan pokok yang diamanahkan oleh UU Migas dan

menjadi persyaratan wajib bagi sebuah KKS, namun belum tertuang di dalam KKS

yang ditandatangani setelah diterbitkannya UU Migas, sebagai berikut:

i. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri

ii. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat

iii. Pengelolaan lingkungan hidup

Dimana ketiga hal tersebut adalah menyangkut permasalahan publik dan

kedaulatan negara yang sangat vital dan penting. Hal tersebut terjadi karena tidak

adanya fungsi dalam perumusan materi naskah KKS. Dengan tidak

dicantumkannya persyaratan wajib tersebut di atas, maka dapat saja KKS tersebut

dinyatakan batal demi hukum karena bertentangan dengan UU Migas.

28

IV. KKS BELUM MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 002/PUU-I/2003 TENTANG UJI MATERIIL UU MIGAS

Didalam amar putusannya MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat

(2) UU Migas sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak” bertentangan

dengan UUD 1945. Dengan demikian Pasal 22 Ayat (1) tersebut seharusnya

berbunyi:

“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25%

(dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas

Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri”.

Implikasinya adalah Pemerintah harus mengubah UU Migas dengan mewajibkan

Badan Usaha maupun Bentuk Usaha Tetap menyerahkan 25% dari total

produksinya kepada pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri (Domestic

Market Obligation/DMO).

Namun mengingat hingga saat ini, amanah MK tersebut di atas belum

dijalankan oleh Pemerintah dengan melakukan perubahan atas pasal-pasal yang

dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka hal ini akan berakibat pada

kekosongan pengaturan DMO terutama pada jumlah yang diwajibkan untuk

dipasok ke pasar dalam negeri. Ketentuan Pasal 5.2.16 KKS misalnya menyatakan

sebagai berikut:

“after commercial production commences, fulfill its obligation towards the supply of

the domestic market in Indonesia”.

(setelah melaksanakan produksi komersial, kontraktor memenuhi kewajibannya

untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri Indonesia)

Pasal tersebut mewajibkan kontraktor untuk memberi pasokan kepada pasar

dalam negeri, namun tidak menetapkan berapa jumlah produk migas yang wajib

dipasok ke pasar dalam negeri. Mengingat belum dilakukan perubahan atas UU

Migas sebagai implikasi pembatalan Pasal 22 Ayat (1) di atas, maka secara yuridis

nya telah terjadi kekosongan pengaturan atas jumlah yang wajib dipasok ke pasar

dalam negeri. Bila hal ini tidak segera diantisipasi, maka secara nasional hal ini

akan berdampak pada keamanan pasokan energi bagi masyarakat Indonesia.

Kami berpendapat, jika dilakukan pengawasan oleh DPR sebelum

penandatanganan KKS tersebut, setidaknya masalah tersebut bisa diantisipasi

dan DPR pun dapat mendesak Pemerintah RI untuk segera melakukan perubahan

UU Migas untuk disesuaikan dengan Putusan MK. DPR dapat pula menggunakan

29

hak inisiatifnya untuk melakukan perubahan UU Migas sesuai dengan Putusan MK

dimaksud.

V. KESALAHAN DALAM PERUMUSAN

Pengkajian mendalam atas materi KKS mendapati beberapa kesalahan

mendasar yang secara yuridis dapat berimplikasi terhadap konstruksi pengaturan

industri hulu migas secara menyeluruh. Kami berpendapat, kesalahan-kesalahan

mendasar dibawah ini dapat diantisipasi jika DPR terlibat dalam proses

pengawasan perumusan materi KKS, sebagai berikut:

1) Kekurangakuratan dalam merumuskan status Badan Pelaksana Migas (BP Migas). Ketentuan Pasal 45 UU Migas juncto ketentuan Pasal 2 PP Nomor 42 Tahun

2002 menetapkan status BP Migas sebagai Badan Hukum Milik Negara

(BHMN) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut sebagai State Owned Legal

Entity. Namun demikian, sebagaimana dapat dilihat pada halaman pembukaan

KKS, ternyata BP MIGAS dinyatakan sebagai State Owned Body (atau dapat

ditafsirkan sebagai Badan Milik Negara atau juga Badan Usaha Milik Negara).

Selengkapnya, pembukaan KKS tersebut menyebutkan:

“THIS CONTRACT; made and entered into on this 30th day of December 2002

by and between Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

(hereinafter called BP Migas), a State-Owned Body, established under the

Government Regulation No. 42/2002 with a reference to Law No. 22/2001,

…..”

Penetapan BP Migas sebagai State Owned Body jelas dapat menimbulkan

kerancuan penafsiran akan status BP Migas. Apakah State Owned Body itu

berarti Badan Milik Negara seperti BPPT, BPK, dll atau Badan Usaha Milik

Negara seperti Pertamina, dll, atau Badan Hukum Milik Negara sebagaimana

ditetapkan dalam UU Migas? Jika kerancuan ini tidak diklarifikasi akan

menimbulkan permasalahan hukum yang mendasar mengingat BP Migas

adalah salah satu fondasi penting bagi konstruksi bangunan KKS.

2) Ketidakkonsistenan antara definisi dalam UU Migas dan KKS Ditemukan adanya perbedaan antara definisi di dalam UU Migas dan KKS.

Misalnya, minyak mentah didefinisikan di dalam KKS sebagai berikut:

30

Crude Oil means crude mineral oil, asphalt, ozokerite and all kinds of

hydrocarbons and bitumens, both in solid and in liquid form, in their natural

state or obtained from Natural Gas by condensation or extraction.

(Minyak Mentah berarti minyak bumi mentah, aspal, ozokerit dan semua jenis

hidrokarbon dan bitumen, baik yang berbentuk padat atau cair, dalam keadaan

alamiahnya atau diperolehnya dari gas bumi melalui kondensasi atau ekstraksi)

Sementara itu UU Migas menetapkan definisi Minyak Mentah (minyak bumi)

sebagai berikut:

Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi

tekanan dan temperatur atmosfir berupa fasa cair atau padat termasuk aspal,

lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses

penambangan tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain

yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan

dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

Mengingat minyak mentah/minyak bumi adalah produk utama dari hasil

eksploitasi Migas, maka perbedaan dalam penentuan definisi tersebut jelas

akan mempunyai dampak yang mendasar baik secara yuridis, teknis dan

ekonomis:

- secara yuridis, perbedaan tersebut dapat berimplikasi atas pelanggaran

terhadap ketentuan UU Migas

- secara teknis, perbedaan tersebut berimplikasi atas metode dan proses

produksi minyak mentah

- secara ekonomis, bisa saja negara tidak dapat menambahkan nilai tambah

ekonomis akibat adanya perbedaan tersebut.

3) Ketidak konsistenan antara Pasal dan Isi Kami juga mendapati adanya ketidak konsistenan dalam penetapan pasal dan

isi KKS. Sebagai contoh misalnya pada Pasal III mengenai Exclusion of Areas

(area/wilayah yang dipisahkan). Secara sepintas orang akan menafsirkan

bahwa pengertian pasal itu sebagai adanya sebagian wilayah yang akan

dipisahkan dari wilayah kerja/kontrak. Namun setelah membaca dengan detail

pasal itu, maka pada hakikatnya pasal tersebut menetapkan kewajiban

kontraktor untuk mengembalikan atau menciutkan sebagian wilayah yang tidak

ekonomis kepada Pemerintah (Reliquishment).

31

Di dalam KK, pasal tersebut dinyatakan secara tegas sebagai Reliquishment

(atau penciutan wilayah) yang mengatur kewajiban Kontraktor untuk

menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pemerintah.

4) Penggunaan Bahasa Dalam KKS Bahasa yang digunakan di dalam KKS hanya Bahasa Inggris. Mengingat di

dalam materi muatan KKS ada kewajiban untuk melaksanakan kegiatan

Konstruksi, maka seyogianya KKS juga memenuhi ketentuan UU Jasa

Konstruksi (UU Nomor 18 Tahun 1999) beserta peraturan pelaksanaannya,

yang mewajibkan menggunakan bahasa Indonesia atau minimal dua bahasa,

bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, di dalam setiap kontrak pelaksanaan

kegiatan konstruksi. Sementara itu, baik KK maupun PKP2B yang terlebih

dahulu mendapat persetujuan DPR, menggunakan bahasa Inggris dan bahasa

Indonesia sebagai bahasa kontraknya.

5) Ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa Inggris Misalnya, ditemukan juga terjadi kesalahan penggunaan bahasa Inggris di KKS

pada bagian yang menjelaskan Map Contract Area (maksudnya Peta Wilayah

Kerja). Baik KK maupun PKP2B menjelaskan Peta Wilayah Kerja dengan

menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar yaitu Map of Contract

Area. 6) Ketidakkonsistenan dalam penulisan

Misalnya di dalam halaman depan KBH (Bukti P-11) tertulis: Production Sharing Contract

Between Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak Dan Gas Bumi (BP MIGAS)

And Lasmo INDONESIA Limited

And Unocal Muara Bakau, Ltd.

Adanya ketidakkonsistenan pada penulisan pada bentuk/entitas hukum

kontraktor sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada bagian Limited dan Ltd

(garis miring) tentunya akan menyebabkan kerancuan dalam menafsirkan

entitas Limited dan Ltd.

VI. KETERLIBATAN RAKYAT/PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAKSANAKAN KETENTUAN KKS

Didalam KKS terdapat banyak pasal yang mengatur kewajiban Pemerintah

cq. BP Migas untuk selalu berkoordinasi, baik secara langsung maupun tidak

32

langsung, dengan Pemerintah Daerah maupun rakyat setempat dalam

melaksanakan ketentuan KKS, seperti misalnya:

a. Penetapan Wilayah Kerja maupun Wilayah Penciutan dimana Pemerintah

harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang berkaitan dengan

kepentingan daerah dan masyarakat setempat khususnya pada masalah

pengaturan tata ruang.

b. Pelaksanaan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, rencana pengembangan

(Plan of Development/PoD) maupun kegiatan eksploitasi migas dimana

Pemerintah dan Kontraktor harus berkoordinasi dengan aparat pusat, daerah

maupun masyarakat untuk menjamin pelaksanaan eksploitasi sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku.

c. Penetapan partisipasi Pemerintah Daerah di dalam kepemilikan “interest” dari

pengusahaan Migas.

d. Pelaksanaan dan perhitungan lifting Migas yang berkoordinasi dengan

pemerintah daerah untuk memastikan penerimaan Negara yang optimal.

e. Pelaksanaan restorasi/rehabilitasi lapangan migas (Abandoment and Site

Restoration) paca produksi yang membutuhkan pengawasan dari pemerintah

daerah dan masyarakat.

Untuk menjamin pelaksanaan ketentuan pasal tersebut dengan baik, maka

seharusnya DPR sebagai perwakilan rakyat mendapat ruang untuk melakukan

pengawasan perumusan KKS guna menetapkan metode dan mekanisme

pelaksanaan ketentuan pasal tersebut di atas sebaik-baiknya sesuai dengan

pengaturan di Pemerintah Daerah maupun kondisi masyarakat setempat.

KESIMPULAN Berdasarkan paparan tersebut di atas, ahli memandang bahwa terdapat

banyak kelemahan dalam ketentuan KKS yang nantinya dapat menimbulkan

permasalahan hukum, teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan. Ahli berpendapat

bahwa permasalahan tersebut terjadi karena tidak adanya pengawasan dalam

perumusan sebelum KKS ditandatangani Pemerintah cq. BP Migas. Sebagaimana

hal yang berlaku pada proses dan mekanisme penandatanganan KKS dan atau

PKP2B, maka seharusnya lembaga DPR juga terlibat secara aktif untuk

memberikan rekomendasi persetujuan atas penandatanganan KKS oleh

Pemerintah.

33

Untuk itu sesuai dengan keahlian ahli, dan hasil kajian atas pengaturan

pengusahaan industri hulu migas serta pengaturan pada KKS dan atau PKP2B,

maka ahli dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Penandatanganan KKS tanpa melalui persetujuan atau pengawasan DPR telah

mengakibatkan konstruksi pengaturan industri hulu migas menjadi tidak sejalan

dengan semangat pengaturan dan ketentuan UUD 1945 dan UU Migas itu

sendiri;

2. Permasalahan tersebut diakibatkan karena ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU

Migas telah mengindahkan fungsi DPR sebagai komponen penting dari Negara

untuk melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad), sebagaimana diatur

dalam Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945, atas

cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat

hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

3. Dengan demikian ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas harus diubah/direvisi

dengan memasukkan fungsi pengawasan DPR sebelum KKS ditandatangani

guna memenuhi persyaratan dalam UUD 1945 di atas.

Keterangan Ahli Muhammad Said Nisar, SH., LL.M.

A. Pemahaman Konsep Hukum Internasional secara umum. Secara akademik hukum internasional itu kebanyakan dipahami seolah-olah

memiliki kekuatan mengikat (legal binding) sama halnya dengan hukum

nasional. Bahkan ada argumentasi lebih menekan lagi bahwa meskipun

tidak ada bukti hukum tertulis yang mengikat, tetapi ada praktik negara yang

sudah dikategorikan menjadi hukum kebiasaan internasional atau dikenal

dengan istilah “Jus Cogens”, maka hukum internasional dengan sebutan

seperti itu harus ditaati. Pemahaman seperti ini sangat merugikan negara-

negara sedang berkembang. Apalagi jika berlakunya hukum internasional itu

dipaksakan oleh Negara Maju, didorong dengan berbagai argumentasi dan

tipu muslihat, maka tentu berlakunya hukum internasional seperti itu harus

diwaspadai. Sebab banyak yang menganggap bahwa hukum internasional itu

tidak lain dari hukum yang dibuat oleh negara-negara yang memenangkan

peperangan atau “Victorious Law “

1. Negara-negara industri maju memahami dan menerima hukum

internasional sepanjang hukum itu dapat melindungi kepentingannya.

Sebagai contoh Amerika Serikat menolak secara terang-terangan

34

pengertian “Jus Cogens“ atau hukum kebiasaan internasional dengan

mengatakan bahwa:

• Kandungan normatif dari suatu hukum kebiasaan internasional itu

bersifat kebetulan ( incidentally);

• Penggunaan hukum kebiasaan internasional digantungkan kepada

suatu asumsi;

• Asumsi itu sulit dipahami dan kabur;

• Posisi hukum kebiasaan internasional pada hakikatnya masih

terombang-ambing antara keinginan disatu pihak untuk membangun

argumentasi atas dasar keadilan dan dilain pihak berargumentasi atas dasar kesepakatan.

2. Di negara Inggris sendiri yang terang-terangan menerima hukum

kebiasaan International sebagai bagian dari hukum yang berlaku di tanah

Inggris, tidak secara otomatis hukum kebiasaan internasional itu berlaku.

Pemahaman hukum kebiasaan seperti ini dikenal sebagai “Blackstonian

Doctrine” yang menegaskan bahwa The Law of nations, wherever any

question arises which is properly the object of its jurisdiction is here

adopted in this full extent by the common law, and it is held to be a part of

the law of the land”.

Untuk berlakunya suatu hukum Kebiasaan Internasional ditentukan oleh

sejumlah syarat antara lain, yaitu:

English Court could not give any effect to rules of International law

unless such rules were proved to have been adopted by Great Britain,

in common with other nations, in positive manner;

Moreover, if such rules conflicted with established principles of

the English court was bound not to apply them;

Customary rules of international law could never be applied by British

Municipal Courts unless they had been embodied in a British Statute,

but so far reaching an opinion is contradicted by the whole current of

recent authority.

B. Hukum internasional dalam konteks dagang, investasi dan jasa (services). Dari segi akademik hukum internasional dibagi kedalam hukum yang bersifat

publik dan yang bersifat privat. Pembagian hukum seperti ini sudah banyak

35

berubah. Namun perubahan itu nampaknya belum banyak dipahami bahwa

hukum publik internasional sekarang mengalami privatizierung dan hukum

privat mengalami publicizierung dan pemahaman seperti ini sudah populer

sejak tahun 1970.

Perkembangan pemahaman ini secara operasional di lapangan telah

menggeser batas-batas pemahaman akademik antara Hukum Perjanjian

Internasional (treaty) yang bersifat publik dan International Contract yang

bersifat perdata. Ada sejumlah alasan mengapa antara Perjanjian

Internasional dan Contract itu sudah tidak bisa dipahami secara terisolasi

dalam konteks hubungan dagang internasional, antara lain dapat disebutkan

sebagai berikut:

• Pemakaian istilah “International Law“ itu selalu merujuk kepada

“International Economic Law “ (almost all International Law could be called

international economic law, almost every aspect of international relations

touches in one way or another on economics. Indeed, it can be argued

from the latter observation that there cannot be any separate subject

denominated as international economic law.

• Negara-negara industri maju (highly industrial countries) Amerika dan

Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sudah mempersiapkan sejumlah

instrumen hukum untuk mengawal investasi mereka di negara-negara

sedang berkembang. Jadi sebelum terjadi suatu kontrak dagang atau

investasi sudah terlebih dahulu disiapkan instrumen hukum yang meliputi

sebagai berikut:

1) International Code of Fair Treatment of Foreign Investment;

2) Uniform Domestic Legislation;

3) The Metigation of National Exchange Controls which Hamper the

Repartriation of Capital or of Income;

4) A Scheme of Multilateral Investment Insurance;

5) Agreed International Process for Resolution of Dispute between

Investor and Investment Receiving State;

6) Convention on the Settlement of Investment Disputes between States

and National of Other States;

36

7) Rules Governing the Additional Facility for the Administration of

Proceeding by the Secretariat of the International Centre for

Settlement of Investment Disputes Covering the following schedules:

Schedule A: Administrative and Financial Rules;

Schedule B: Conciliation Rules ;

Schedule C: Arbitration Rules;

Schedule D: Fact-Finding Rules

8) Foreign Sovereign Immunities Act;

9) United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of

Foreign Arbitral Awards;

10) Multilateral Investment Guarantee–Agency (MIGA), 11 October 1985;

11) United Nations Commission on International Trade Law ;

12) The Overseas Private Investment Corporation Act ;

13) Foriegn Assistance Act ;

14) Agreement Concerning the Settlement of Claims, May 11, 1979

15) United Nations Department of Economic & Social Development;

16) International Emergency Economic Power Act (IEEPA).

17) Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 May 1969;

18) Vienna Convention on the Law of Treaties between States and

International Organizations or between International Organizations

(21 March 1986);

19) Uniform Customs and Practice for Documentary Credits yang telah

direvisi secara berulang-ulang oleh International Chamber of

Commerce (ICC);

Jika dibaca secara saksama seluruh klausul dari sejumlah konvensi atau

instrumen hukum yang tertera di atas, akan ditemukan banyak

penggunaan kata (wordings) dan perumusan yang mirip satu sama lain

yang dilakukan secara berulang.

Akibat lebih jauh dari adanya sejumlah instrumen hukum yang disebutkan

di atas itu mengaburkan kepastian hukum yang tertanam dalam setiap

klausul kontrak dalam negeri. Penggunaan kata yang sama dan strategi

menyembunyikan makna dari setiap kata membuka peluang terjadinya

pemahaman yang berbeda. Perbedaan pemahaman memerlukan

penafsiran yang dijadikan alasan untuk menarik kontrak itu ke tingkat

37

internasional. Penarikan kontrak itu ke tingkat internasional dasar

hukumnya sudah tersedia dalam perjanjian yang ditandatangani oleh

Pemerintah Indonesia sebelumnya yang mungkin tidak disadarinya.

Kekuatan menarik kontrak yang dibuat di dalam negeri ke tingkat

internasional itu adalah suatu pola permainan yang digambarkan dengan

kata-kata berikut: “Rules and reasons of law are twisted, inverted,

diverted, converted, deviated and innovated according to their

interest”. Permainan kata-kata sebagai bagian dari hukum digambarkan

oleh Winston Churchill sekitar 60 tahun yang lalu bahwa “The Empires of

the Future is the Empires of the Mind”. Jadi dengan pemahaman ini

dapat dipertanyakan dimana letak perbedaan kontrak secara perdata dan

perjanjian yang berisifat publik di bidang perdagangan, perindustrian dan

jasa.

Di Masyarakat Ekonomi Eropa sendiri pengawalan yang dilakukan oleh

Negara kepada setiap modal mereka yang diinvestasikan di luar negeri

dilaksanakan dengan melibatkan berbagai lembaga bentukan mereka

sendiri seperti:

i. Comission;

ii. The Council;

iii. The European Council;

iv. The Court - European Court of Justice;

v. Member States;

vi. European Parliament.

Dari beberapa tema instrumen hukum yang tertera di atas tampak sangat

jelas bahwa pengawalan modal investasi dan perdagangan internasional

dilakukan secara ketat yang dilukiskan oleh Pengamat dalam konteks ini

sebagai “a sort of dance power contest & struggle.“ Lebih khusus lagi

negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)

bertindak keluar sebagai “one city government”. Dari gambaran ini pula

maka dikatakan bahwa perjanjian internasional di bidang investasi dan perdagangan bagaikan binatang gurita (octopus), yang memiliki jari jemari yang banyak dan kuat sehingga begitu suatu kontrak internasional ditanda tangani maka pada saat itu seluruh klausul kontrak menyangkut moneter, pembayaran, asuransi, arbitrase,

38

termasuk soal interpretasi, pilihan hukum, jurisdiksi pengadilan dan

sebagainya sudah terpegang erat dalam genggaman kuat dari sang Gurita. Dalam konteks ini kejelian membaca suatu kontrak bukan hanya

syarat mutlak yang diperlukan, tetapi pemahaman yang luas tentang

berbagai instrumen hukum yang berlaku dalam hubungan dagang antar

negara merupakan suatu keharusan untuk diketahui. Sebab jika semua

latar belakang kontrak ini tidak diketahui, artinya sama saja dengan

membiarkan kaki dan tangan bangsa ini diikat oleh bangsa lain.

• Pemahaman yang terisolasi antara “international treaty” yang bersifat

publik dan “international contract” yang bersifat perdata dalam soal

dagang, investasi, dan services (jasa) sangat tidak menguntungkan

posisi Indonesia. Sebab pada kenyataannya secara operasional dan

praktik di lapangan peraturan domestik dan peraturan internasional dan

lembaga hukum lainnya dalam urusan ekonomi saling terkait satu sama

lain (inextricably intertwined);

• Sulit dipahami peranan hukum ini (Hukum Internasional dan Hukum

Nasional atau international trearty dan international contract) untuk

melindungi kepentingan nasional jika ada pemahaman yang terisolasi;

• Apalagi jika diingat bahwa ketika berhubungan dengan hukum

internasional di bidang perdagangan dan investasi (international trade law

and investment) maka pada saat itu kita dihadapkan dengan suatu

“international treaty”.

C. Pemahaman Kontrak Kerja Sama (KKS) dan Production Sharing

Contract ( PSC) adalah Suatu Kontruksi atau Rekonstruksi Hukum Adalah sangat sulit untuk diterka dan dicari dasar hukum dari KKS dan PSC

dalam Buku III KUHPerdata. Kontrak ini disebut sebagai suatu “Standard

Form Contract”. Atau sering juga juga disebut “take it or leave it contract“,

you like it, you take it. If you don’t like it just leave it.

Dari segi teori bangunan (building theory), Konstruksi Kontrak PSC yang kemudian direkonstruksi menjadi KKS bukanlah suatu pola bangunan yang sempurna:

• Sebab lembaga eksekutif yang menjunjung tinggi demokrasi menuntut

terbukanya berbagai pilihan yang sifatnya tentative dan flexible. Bahkan

39

cenderung untuk berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan

yang berbeda yang dialami suatu bangsa;

• Dari segi sosial-ekonomi, KKS dan PSC adalah suatu transformasi sosial

yang terjadi karena keterlambatan perkembangan hukum di Indonesia.

Era perdagangan bebas dan kehancuran kelas-kelas menengah di

Indonesia harus dapat dijadikan pertimbangan untuk membuat perubahan;

• KKS sebagai suatu desain kontrak yang strategis tidak seharusnya

masuk dalam domain eksekutif secara eksklusif, tetapi komisi terkait yang

ada di DPR bahkan yang ada di luar DPR, seperti Perguruan Tinggi harus

dapat turut memberikan pertimbangan sebelum ditanda tanganinya suatu

kontrak. Sebab jika setelah kontrak ditandatangani baru disampaikan kepada DPR, sama halnya dengan menjadikan DPR sebagai sekadar lembaga stempel karet.

D. Perjuangan Negara-negara Sedang Berkembang Untuk Mengoreksi “Hubungan Dagang” Dengan Negara Industri Maju Negara-negara sedang berkembang yang jumlahnya kurang lebih 117 negara

yang tergabung dalam forum UNTAD (United Nations Trade and

Development) berhasil melahirkan konsep Tatanan Hukum Ekonomi

International baru yang dikenal dengan The NIEO (The New International Economic Order). The NIEO ini merupakan suatu upaya yang sadar dari

negara-negara sedang berkembang untuk mengoreksi secara total seluruh

hubungan dagang yang selama ini dipandang sangat merugikan dan tidak

adil. Koreksi yang dilakukan ini berhasil menelurkan sejumlah prinsip dan

aturan hukum yang meliputi:

Prinsip Rebus Sic Stantibus (artinya: Perjanjian itu berubah jika keadaan

berubah) untuk melawan prinsip “Pacta Sunt Servanda“ (artinya:

Perjanjian itu mengikat);

United Nations Charter of Economic Rights and Duties of States yang

memuat kurang lebih 15 prinsip dan yang terkait dengan kasus MIGAS

ini antara lain dapat disebutkan:

Sovereign Equality of All States;

Mutual and Equitable Benefits;

40

Remedying the Injustice which have been brought about by force and

which deprive nations of the natural means necessary for its normal

development;

Fulfillment in good faith of international obligations;

Promotion of International Justice;

No attempt to seek hegemony and sphere of influence.

E. United Nations General Assembley Resolution on Permanent

Sovereignty over Natural Resources Prinsip-prinsip hukum yang terkadung dalam Resolusi PBB ini secara jelas

dan tegas mengakui/menegaskan bahwa:

1) Setiap Negara berdaulat atas sumber kekayaan alamnya sendiri; 2) Pembagian keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya

alam tidak boleh merusak kedaulatan suatu negara;

3) Kerja sama internasional untuk pembangunan ekonomi dilaksanakan atas

dasar penghormatan terhadap Kedaulatan Negara atas sumber kekayaan

alam yang dimilikinya;

4) Hak dan kedaulatan rakyat dan bangsa atas kekayaan alam yang

dimilikinya, harus dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan

pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat dari negara yang

bersangkutan.

F. Kedudukan Pasal 33 UUD 1945. Terkait dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945, permasalahannya adalah

apakah ketentuan Pasal 33 UUD 1945 bersifat mandatory rule, dan apakah isi Pasal 33 UUD 1945 ini dapat dikontrakkan dengan gampang. Hal utama yang harus selalu dipegang teguh adalah bahwa ketentuan Pasal

33 UUD 1945 terkait dengan persoalan ekonomi yang sangat penting dan

vital bagi pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, bangsa dan

negara Republik Indonesia. Atau dapat diibaratkan bahwa letak kedaulatan

ekonomi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia berada di dalam

konteks Pasal 33 UUD 1945 tersebut.

PENUTUP DAN KESIMPULAN Dari penjelasan dan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang

menjadi pertanyaan ialah apakah kesimpulan yang dibuat dapat bersifat conclusive

41

atau inconclusive. Sebab ada sejumlah akumulasi informasi yang sudah

terkumpul.

Di samping itu persoalan yang ingin dipecahkan bukanlah persoalan hitam – putih,

sehingga harus ada terobosan dan perubahan cara pandang. Bukan sekadar

mencari argumentasi yang bersandar pada kaki kursi yang mendukung adanya

suatu dudukan, dan bukan pula mencari jaringan dari suatu mata rantai (The

reason like the legs of the chair, not the links of the chain).

Dalam perkara ini, konsep mengenai perjanjian internasional tidak dapat lagi

hanya dilihat secara hitam putih dari bentuk perjanjiannya saja, melainkan juga

harus dilihat sifat dan muatan (content) dari perjanjian/kontrak tersebut, apakah

bersifat atau mengandung unsur-unsur publik, karena suatu perjanjian atau

kontrak yang mempunyai sifat, muatan atau terkait dengan unsur-unsur publik,

seperti kedaulatan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan lain-lain, harus

dipastikan dan diawasi benar-benar untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat,

bangsa dan negara Indonesia.

Lebih jauh lagi, dengan sistem ketatanegaraan baru pascaamandemen UUD 1945,

dimana Sistem Pertanggungjawaban Presiden/Pemerintah kepada MPR sebagai

Lembaga Tertinggi Negara sudah diubah menjadi Sistem Checks and Balances

antara cabang-cabang kekuasaan negara, maka transparansi adalah hal pokok

dan utama dalam proses penyelenggaraan dan pengelolaan negara. Dalam

perkara ini, terkait dengan kontrak/perjanjian MIGAS, interaksi/hubungan antara

lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah) dalam bingkai UUD 1945 tidak

berjalan sesuai dengan sistem Checks and Balances tetapi justru yang terjadi

adalah Blank Check dalam permasalahan pengelolaan kekayaan alam minyak

dan gas bumi.

Perlu ada suatu keputusan dalam perkara ini yang dapat memberikan perubahan

ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat/masyarakat yang merupakan

kandungan normatif-imperatif dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana

digambarkan oleh argumentasi berikut, Why we should think of proof only in terms

of the single analytic model of formal logic. Another kind of reasoning was available

very much like a piece of cloth, the total strength of enters into its warp and woof.

[2.4] Menimbang bahwa Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis

yang dibacakan pada persidangan tanggal 19 September 2007, yang menguraikan

hal-hal sebagai berikut:

42

I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) menegaskan

bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat minyak dan gas bumi

merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai negara

dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam

penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam

negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya

perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-

besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,

setelah empat dasawarsa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44

Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi Negara, dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai kendala

karena substansi materi kedua Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan sekarang maupun kebutuhan masa depan.

Dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa yang akan

datang, kegiatan usaha minyak dan gas bumi dituntut untuk lebih mampu

mendukung kesinambungan pembangunan nasional dalam rangka

peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah bersama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah sepakat menyusun suatu

Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi untuk memberikan landasan

hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan

usaha Minyak dan Gas Bumi. Pada tanggal 23 November 2001 telah

diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152).

43

Penyusunan undang-undang ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menjamin terlaksana dan terkendalinya minyak dan gas bumi sebagai

sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis

dan vital;

2. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih

mampu bersaing;

3. Meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang

sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan

memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;

4. Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Undang-undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan bahwa

minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di

dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan

nasional yang dikuasai oleh negara, dan penyelenggaraannya dilakukan oleh

Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha

Hulu. Sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha

setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.

Agar fungsi Pemerintah sebagai pengatur, pembina dan pengawas dapat

berjalan lebih efisien maka pada Kegiatan Usaha Hulu dibentuk Badan

Pelaksana, sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dibentuk Badan Pengatur.

Kegiatan sektor migas dalam kurun waktu 40 (empat puluh) tahun terakhir,

sektor minyak dan gas bumi telah memberikan kontribusi yang besar bagi

perekonomian nasional dan mempunyai peranan penting sebagai penghasil

devisa dan penerimaan negara, penyedia energi untuk kebutuhan dalam

negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih teknologi, menciptakan

lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor non migas, dan

pendukung pengembangan wilayah.

Sebagai modal utama untuk pembangunan jangka panjang selanjutnya,

kondisi industri minyak dan gas bumi diharapkan masih memberikan harapan

yang optimistik. Seperti diketahui bahwa potensi sumber daya minyak dan

gas bumi kita masih sangat besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan,

dimana dari sekitar 60 (enam puluh) cekungan sedimen yang berpotensi

44

mengandung minyak dan gas bumi, baru 16 (enam) cekungan yang telah

berproduksi.

Namun demikian, produksi minyak dan gas bumi sejak tahun 1995 sampai

sekarang cenderung menunjukkan penurunan yang signifikan. Hal ini

dikarenakan produksi minyak dan gas bumi kita masih berasal dari lapangan-

lapangan yang relatif telah tua umurnya yang telah diproduksikan sejak tahun

1970-1980. Penemuan dan penambahan cadangan minyak dan gas bumi

tersebut tidak sebanding dengan laju pengurasan produksi.

Di lain pihak, kebutuhan energi domestik dari minyak dan gas bumi dari tahun

ketahun meningkat tajam sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini harus

ditemukannya cadangan-cadangan minyak dan gas bumi baru untuk

menggantikan lapangan-lapangan yang mengalami penurunan produksi agar

paling tidak tingkat produksi dapat dipertahankan.

Selanjutnya untuk menemukan cadangan baru diperlukan investasi yang

tinggi sesuai dengan sifat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang

padat modal (high cost), berisiko tinggi (high risk) dan menggunakan

teknologi tinggi (high tech). Dalam rangka menghindari adanya pembebanan

terhadap keuangan negara, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah mengambil suatu

keputusan bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang

sesuai adalah Kontrak Bagi Hasil atau Kontrak lain yang menguntungkan bagi

negara. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa Kontrak

Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil,

Pemerintah tidak dibebani atas risiko apabila tidak ditemukan cadangan

Minyak dan Gas Bumi secara komersial dalam masa eksplorasi (risiko

ditanggung oleh Kontraktor), selain itu pula Kontraktor wajib menyediakan

biaya-biaya yang diperlukan, sumber daya manusia dan teknologi yang

dibutuhkan [vide Pasal 1 angka 19 juncto Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi].

Di samping itu, dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari sektor

minyak dan gas bumi yang berasal dari kontrak-kontrak baru yang akan

memasuki masa eksploitasi, maka apabila dalam masa eksplorasi ditemukan

cadangan Minyak dan Gas Bumi secara komersial, sesuai ketentuan Undang-

45

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa

pengembangan lapangan untuk yang pertama kalinya atau Plan of

Development (POD Pertama) wajib mendapatkan persetujuan Pemerintah cq.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini dimaksudkan agar jumlah

produksi minyak dan gas bumi selama masa ekploitasi, yang meliputi

besaran bagian negara, besaran operating cost, dan besaran pajak yang

akan didapat oleh negara sudah dapat diketahui sejak awal pada saat POD

Pertama disetujui, sehingga apabila Pemerintah memandang usulan POD

Pertama tersebut pendapatan negara dari bagi hasil tersebut tidak signifikan

(tidak ekonomis), maka POD Pertama tersebut tidak akan disetujui oleh

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Perlu kita ketahui bahwa kontrak-kontrak yang baru ditandatangani tidak

sedikitpun membebani keuangan negara, bahkan meningkatkan penerimaan

negara bukan pajak berupa bonus tanda tangan dari setiap Kontraktor yang

menandatangani Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi tersebut. Lebih

lanjut apabila ditemukan cadangan minyak dan gas bumi secara komersial

pada masa eksplorasi, hal itu justru akan menambah devisa negara dari

produksi Minyak dan Gas Bumi yang dihasilkan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ditegaskan bahwa kegiatan usaha

hulu dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan

Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Pelaksana, dan

dalam 5 (lima) tahun terakhir ini telah banyak Kontrak Kerja Sama Minyak

dan Gas Bumi yang ditandatangani (80 Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas

Bumi) antara Badan Pelaksana dan Bentuk Usaha Tetap dan/atau Badan

Usaha, termasuk Badan Usaha Nasional.

Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi pada dasarnya merupakan suatu

kontrak/perjanjian yang bersifat komersial antara para pihak (business to

business), yaitu antara Badan Pelaksana mewakili Pemerintah dengan Badan

Usaha/Bentuk Usaha Tetap sebagai institusi bisnis, yang hasil produksinya

dibagi sesuai dengan Kontrak Kerja Samanya.

46

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak

yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;

b. badan hukum publik atau privat;atau

c. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud

dengan ″hak konstitusional″ adalah hak-hak yang diatur dalam Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian

agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang

memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam

Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud

yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji.

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai

akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan

secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya),

yang harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

47

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon

telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Para Pemohon (yang kesemuanya warga negara Indonesia dalam

kedudukannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat), dalam

permohonannya menyatakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 11

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena

ketentuan-ketentuan a quo dianggap telah menghilangkan, membatasi atau

setidak-tidaknya telah mengurangi hak-hak para Pemohon untuk memberikan

atau tidak memberikan (menolak) persetujuan atas “perjanjian internasional

lainnya”. Selain itu ketentuan a quo juga dianggap telah menghilangkan hak-

hak para Pemohon untuk ikut serta melakukan pengawasan agar kekayaan

alam yang terkandung didalam bumi dan air dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat, dan karena itu ketentuan a quo dianggap

bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33

Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat

sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Juga apakah terdapat kerugian

konstitusional para Pemohon yang dimaksud tersebut bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada

hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang terjadi dengan

berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

48

Pemerintah juga mempertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas

keberlakuan undang-undang a quo, karena para Pemohon tidak menguraikan

secara jelas kedudukan dan kepentingan hukumnya, apakah sebagai

perorangan warga negara Indonesia atau sebagai anggota Dewan

Perwakilan Rakyat secara perorangan (individu), lebih-lebih lagi atau sebagai

lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pemerintah ketentuan

yang tercantum dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, maupun ketentuan Pasal 11 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

berlaku untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai institusi lembaga

Negara (vide Pasal 20 s.d 22B Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945), kemudian hak dan kewajiban anggota Dewan

Perwakilan Rakyat telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-

undangan tersendiri maupun tata tertib (vide Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Mejelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah).

Di sisi lain, Pemerintah menganggap para Pemohon yang kedudukannya

sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, telah bertindak tidak konsisten

dan ambigu, disatu sisi para Pemohon adalah merupakan bagian dari pihak

yang mempunyai kewenangan membuat dan mengesahkan undang-undang

(fungsi legislasi), di sisi lain para Pemohon mempersoalkan produk undang-

undang itu sendiri. Sehingga menurut hemat Pemerintah, yang seharusnya

dilakukan oleh para Pemohon adalah dengan mengajukan prioritas usul

perubahan (amandemen) sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi. Dengan perkataan lain mekanisme legislative review dipandang lebih

bijaksana, dibandingkan dengan mengajukan judicial review atau

constitutional review atas peraturan perundang-undangan yang telah dibahas

oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, karena dengan

permohonan pengujian untuk “membatalkan“ ketentuan a quo, maka sama

saja para Pemohon ingin membatalkan keputusan yang telah dibuatnya

sendiri (meminjam istilah jeruk makan jeruk atau istilah anak haram yang lahir

dari induk semangnya).

49

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah meminta kepada para Pemohon

melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan

membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon

sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.

Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian

terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon atas

keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam

permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah memohon agar

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan

penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.

Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan lebih lanjut atas

permohonan pengujian undang-undang a quo, terlebih dahulu disampaikan

hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa permohonan pengujian seluruh materi Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pernah diajukan oleh

Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia (Pemohon I), Perhimpunan Bantuan

Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pemohon II), Yayasan 324 (Pemohon III),

Solidaritas Nusa Bangsa (Pemohon IV), Serikat KEP-FSPSI Pertamina

(Pemohon V), Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH, Wakil Rektor Universitas

Kejuangan 45 (Pemohon VI), seperti terdaftar pada registrasi

50

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 bertanggal 15

Oktober 2003, dengan perbaikan tanggal 14 Nopember 2003.

2. Terhadap permohonan pengujian tersebut telah diperiksa, diadili dan

diputus oleh Mahkamah Konstitusi, diucapkan dalam sidang pleno

Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum, pada tanggal 21

Desember 2004, dengan putusan:

- menyatakan permohonan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard);

- menolak permohonan para Pemohon dalam pengujian formil;

- mengabulkan permohonan Para Pemohon dalam pengujian materiil

untuk sebagian yaitu:

• Pasal 12 Ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata ”diberi wewenang”;

• Pasal 22 Ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata ”paling banyak”;

• Pasal 28 Ayat (2) dan (3) yang berbunyi ”(2) Harga Bahan Bakar

Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan

usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga

sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung

jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”;

3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan dipertegas dalam Pasal 10

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sehingga

terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

4. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

5. Pemerintah berpendapat bahwa permohonan pengujian undang-undang

a quo yang diajukan oleh para Pemohon sekarang (register perkara

Nomor 20/PUU-V/2007) memiliki kesamaan syarat-syarat konstitusionalitas dengan permohonan para Pemohon terdahulu yang

51

diajukan oleh Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia, dkk (register perkara

Nomor 002/PUU-I/2003), sehingga sepatutnyalah permohonan tersebut

untuk dikesampingkan [vide Pasal 42 Ayat (2) Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam

Perkara Pengujian Undang-Undang].

Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat permohonan pengujian

undang-undang a quo tidak dapat diajukan kembali (ne bis in idem), namun apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut

disampaikan Keterangan Pemerintah selengkapnya sebagai berikut:

Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang

menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan:

“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan

secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Ketentuan tersebut di atas dianggap bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2),

Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan sebagai

berikut:

Pasal 11 Ayat (2) yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian

internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi

kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Pasal 20A Ayat (1) yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki

fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.

Pasal 33 yang menyatakan:

Ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat”.

Ayat (4): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

52

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Karena menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dianggap telah menghilangkan,

membatasi atau setidak-tidaknya telah mengurangi hak-hak para

Pemohon untuk memberikan atau tidak memberikan (menolak)

persetujuan atas “perjanjian internasional lainnya”, sebagaimana dijamin

oleh konstitusi.

2. Bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, juga dianggap telah menghilangkan

hak-hak para Pemohon untuk ikut serta melakukan pengawasan

(controlling) agar kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan

karenanya ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 11 Ayat

(2), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut diatas, Pemerintah dapat

menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen Pemohon yang

menyatakan bahwa Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi dianggap telah merugikan atau melanggar hak

dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, Karena ketentuan a quo

dianggap telah menghilangkan, membatasi atau setidak-tidaknya telah

mengurangi hak-hak para Pemohon untuk memberikan atau tidak

memberikan (menolak) persetujuan atas “perjanjian internasional lainnya”,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah berpendapat bahwa Perjanjian Internasional yang dimaksud

dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 adalah instrumen yang selama

ini dikenal dalam hukum tata negara dan hukum internasional sesuai dengan

53

Konvensi Winna tahun 1969 dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional.

Istilah “Perjanjian Internasional” yang digunakan dalam Konvensi Wina

adalah “Treaty”.

UN Treaty Collection-Treaty Reference Guide menegaskan bahwa “The term

"treaty" has regularly been used as a generic term embracing all instruments

binding at international law concluded between international entities,

regardless of their formal designation” sehingga treaty merupakan istilah yang

umum disepakati pada seluruh instrumen yang mengikat secara hukum

internasional.

Dalam Pasal 1 Konvensi Wina tahun 1986 ditegaskan bahwa lingkup dari

perjanjian internasional adalah perjanjian antara satu atau lebih negara dan

satu atau lebih organisasi internasional, dan perjanjian antar organisasi

internasional.

Lebih lanjut Pasal 2 Ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang

perjanjian internasional, mendefinisikan Perjanjian Internasional, "treaty

means an international agreement governed by international law and

concluded in written form: (i) between one or more States and one or more

international organizations; or (ii) between international organizations,

whether that agreement is embodied in a single instrument or in two or more

related instruments and whatever its particular designation”, sehingga

berdasarkan definisi tersebut yang menjadi subjek hukum perjanjian

internasional adalah negara atau beberapa negara dan organisasi

internasional.

Selain itu, dapat dikemukakan literatur hukum dan pendapat beberapa ahli

hukum internasional, serta berdasarkan konvensi-konvensi internasional

tentang pengertian perjanjian internasional, yaitu sebagai berikut:

- Black Laws Dictionary mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “An

agreement formally signed, ratified, or adhered to between to nations or

sovereigns; an international agreement concluded between two or more

states in written form and governed by international law”.

- Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa perjanjian internasional

adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-

54

bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu

(1996, hal.38);

- Menurut Dr. Oppenheim Lauterpacht mendefinisikan sebagai “International

treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal

rights and obligations between the parties” (perjanjian internasional sebagai

suatu persetujuan yang memiliki karakter kontraktual antar negara yang

menimbulkan hak & kewajiban diantara para pihak (negara) (Oppenheim,

London, hal.887);

- Lord Templeman dalam Maclaine Watson v. Dept of Treaty and Industry

memberikan defenisi treaty sebagai berikut: “Treaty is a contract between

governments of two or more sovereign states”. ( Textbook on International

Law Third Edition Martin Dixon MA, Blackstone Press Limited, 1996, hal

26);

Mengacu pada literatur dan pendapat tersebut di atas, Pemerintah

berpendapat bahwa subjek hukum dalam Perjanjian Internasional (treaty)

adalah Negara (state).

Bahwa menurut Pemerintah dalam memahami terminologi Perjanjian

Internasional tersebut harus dibedakan dari istilah perjanjian perdata yang

dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

atau hukum kontrak internasional. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 1

huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional yang merupakan amanat Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperoleh definisi tentang

perjanjian internasional yaitu perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu

yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta

menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Lebih lanjut dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional, disebutkan bahwa elemen-elemen dari

perjanjian internasional adalah:

a. dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subjek hukum

internasional lain;

b. diatur oleh hukum internasional (governed by international law );

c. menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

55

Bahwa istilah perjanjian internasional dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah harus ditafsirkan dalam nafas

yang sama dengan konteks Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 itu sendiri, yaitu kewenangan Presiden

sebagai Kepala Negara dalam kaitannya dengan politik luar negeri dan

berhubungan dengan negara lain.

Bahwa menyatakan perang, membuat perdamaian serta membuat perjanjian

internasional adalah rangkaian wewenang tradisional Kepala Negara (hak

prerogatif) di seluruh dunia dalam hubungannya dengan negara lain. Dalam

kaitan ini maka interpretasi hukum menjadi tidak tepat jika perjanjian

komersial dan perdata seperti seperti Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas

Bumi (KKS) masuk dalam konteks Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga menurut hemat Pemerintah

hubungan komersial Pemerintah dengan perusahaan asing bukan merupakan

domain Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, karena Pemerintah pada konteks ini merupakan pelaku komersial (iure

gestionis) bukan sebagai negara dengan atribut kedaulatan (iure imperii).

Pemerintah dapat menyampaikan pula bahwa berdasarkan latar belakang

penyusunan istilah “perjanjian internasional lainnya” sebagaimana tercantum

dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, adalah merujuk pada perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah

Indonesia dengan subjek hukum internasional yang bukan negara, yaitu

antara lain perjanjian dengan organisasi-organisasi internasional, seperti

World Bank (IBRD), International Monteray Fund (IMF) dan lain sebagainya,

yang kesemuanya seperti telah diuraikan di atas adalah subjek hukum

internasional.

Bahwa Kontrak Kerja Sama adalah kontrak yang bersifat keperdataan dan

tunduk pada hukum perdata bukan pada hukum internasional, sehingga

kedua belah pihak yang membuat kontrak kerja sama (Badan Pelaksana dan

Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap) bukan merupakan subjek hukum

internasional.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kontrak Kerja

Sama Minyak dan Gas Bumi tidak memenuhi kriteria untuk dapat disebut

56

sebagai perjanjian internasional sebagaimana dimaksud oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sehingga

dengan demikian anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 Ayat

(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, adalah tidak tepat dan tidak berdasar.

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen para Pemohon yang

menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka hak dan/atau kewenangan

konstitusional para Pemohon dalam kapasitasnya selaku Anggota DPR- RI,

utamanya hak untuk memberikan persetujuan atau menolak memberikan

persetujuan atas Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi telah hilang atau

setidak-tidaknya menjadi terganggu, maka menurut hemat Pemerintah alasan

para Pemohon tidak mendasar dan tidak tepat, karena sebagaimana telah

diuraikan di atas, bahwa Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi adalah

merupakan kontrak bisnis (keperdataan) dan bukan merupakan perjanjian

internasional.

Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD juncto Keputusan DPR RI

Nomor 03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka

hak-hak para Pemohon selaku Anggota DPR telah terpenuhi pada saat

penyusunan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi dengan telah

disetujuinya materi muatan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga dengan demikian

anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 Ayat (2) Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

adalah tidak tepat dan tidak berdasar.

Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 11

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi tidak menghilangkan atau setidak-tidaknya telah menghalangi hak-hak

para Pemohon untuk memberikan persetujuan terhadap perjanjian

internasional lainnya, dan kewenangan untuk melakukan pengawasan

57

terhadap kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, justru ketentuan

a quo telah memberikan penegasan dan/atau kepastian hukum

(rechtszekerheid) tentang hak-hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik

sebagai perorangan (individu) maupun Dewan Perwakilan Rakyat sebagai

institusi lembaga negara. Di sisi lain ketentuan a quo juga telah memberikan

batasan yang tegas kepada Pemerintah untuk melakukan kontrak-kontrak

internasional yang dilakukan antara Pemerintah dan international company.

Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 11 Ayat

(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan

karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1),

dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah

memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian

(constitutional review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum

(legal standing);

2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau

setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak

dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Pasal 11 Ayat

(2), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku

diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

58

Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah telah

mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M.,

dan Prof. Dr. Zen Umar Purba, SH., LL.M., yang telah memberi keterangan di

bawah sumpah pada persidangan tanggal 7 November 2007, dan telah pula

menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada

tanggal 4 Desember 2007, sebagai berikut:

Keterangan Ahli Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M.

Jika berbicara tentang Pasal 11 Ayat (2) tentu kita juga harus berbicara

Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Di situ terdapat kata negara lain,

yang bunyinya seperti ini, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,

membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Memang kata negara

lain di sini seolah-olah dalam hukum internasional, subjek hukum internasional,

hanya negara tidak masuk organisasi internasional, Vatikan Suci, Dikolisi, Palang

Merah Internasional, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya menduga pada waktu

diamandemen ada ketentuan Pasal 11 Ayat (2) —ini amandemen ketiga— yang

hendak mengakomodasi subjek hukum internasional bukan hanya negara, seperti

organisasi internasional, Tahta Suci, Belligerent, dan lain sebagainya. Di sini

Presiden disebutkan dalam membuat perjanjian internasional lainnya, ada kata

lainnya di situ.

Memang kemudian Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang Dasar menyebutkan

bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam undang-undang, dan rujukan yang

berikutnya adalah Undang-Undang Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000. Di dalam Pasal 4 Ayat (1), dan ini sudah dikemukakan di

dalam statement sebelumnya oleh Pemerintah dan DPR, bahwa Pemerintah

Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih lalu

kemudian organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain. Kemudian

yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan subjek hukum

internasional lainnya. Apakah private entity, subjek hukum perdata juga termasuk

itu. Jika diperhatikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

59

tersebut dalam Pasal 4 Ayat (1) disebutkan di situ bahwa yang dimaksud dengan

subjek hukum internasional lain dalam pasal ini adalah suatu entitas hukum yang

diakui oleh hukum internasional. Jadi, pertama entitas hukum ini yang harus diakui

oleh hukum internasional dan kemudian yang kedua syaratnya mempunyai

kapasitas membuat perjanjian internasional dengan negara, karena yang membuat

perjanjian internasional itu adalah negara.

Dua hal tersebut sangat penting untuk dicermati bersama, namun sebelum

itu, perlu ahli jelaskan, bahwa subjek hukum internasional yang didapati dalam

berbagai textbook dan juga dijalankan, katakanlah di dalam hubungan

internasional adalah negara organisasi internasional, Palang Merah Intenasional,

Vatikan Suci, belligerent, belligerent dimaksud dibedakan dengan insurgent—

pemberontak yang katakanlah tidak diakui oleh masyarakat internasional,

sementara kalau belligerent harus diakui oleh masyarakat internasional, dan

berikutnya adalah individu, individu yang melakukan kejahatan internasional.

Dengan demikian bukan kita perorangan menjadi subjek hukum internasional

tetapi kalau mereka melakukan kejahatan internasional.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kata perjanjian internasional

lainnya ini merujuk pada mitra negara, negara RI sebagai subjek hukum

internasional untuk membuat perjanjian dengan subjek hukum internasional selain

negara. Dalam konteks demikian dan diakui oleh hukum internasional yang dapat

menjadi mitra negara dalam membuat perjanjian internasional adalah organisasi

internasional, Vatikan Suci, Palang Merah Internasional, dan kemudian belligerent.

Kalau individu tidak dapat karena mereka yang melakukan kejahatan internasional.

Perlu dipahami bersama bahwa kalau berbicara mengenai subjek hukum,

seringkali orang membuat kesalahan termasuk kita sebagai staf pengajar. Menurut

ahli subjek hukum internasional seharusnya dibedakan dengan subjek hukum

perdata bahkan juga berbeda dengan subjek hukum pidana, subjek hukum tata

negara, dan subjek hukum administrasi negara. Hal tersebut merupakan

kesalahan permanen dalam pemberian kuliah pengantar ilmu hukum kepada

mahasiswa, bahwa subjek hukum itu adalah orang dan badan hukum. Padahal

yang dibicarakan sebenarnya adalah subjek hukum perdata. Karena kalau

misalnya diperhatikan cabang ilmu hukum, ada pembagian hukum perdata dan

hukum publik. Hukum publik berbau negara sehingga ada pecahannya lagi, hukum

pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum internasional.

60

Dalam konteks hukum perdata memang ada hukum perdata nasional tetapi

ada juga hukum perdata internasional. Sebenarnya merupakan hukum perdata

nasional tetapi karena ada elemen atau unsur asing sehingga disebut sebagai

hukum perdata internasional. Di dalam konteks hukum perdata internasional ada

masalah keluarga, perkawinan, warisan dan seterusnya, tetapi sekarang ini marak

masalah bisnis yang kemudian diistilahkan dalam berbagai textbook sebagai

transaksi bisnis internasional, dimana salah satunya dibicarakan tentang kontrak

bisnis internasional bukan perjanjian internasional dalam konteks hukum publik

yang masuk di dalam hukum internasional.

Berikutnya perlu diketahui bahwa kalau kita bicara negara maka negara itu

dapat berperan, baik sebagai hukum internasional, sebagai subjek hukum perdata,

misalnya saja Pemerintah harus membeli kendaraan bagi para pejabatnya, tentu

Pemerintah harus membuat kontrak yang bersifat perdata. Mahkamah Konstitusi

membuat gedung kepada kontraktor, maka Mahkamah Konstitusi tidak berperan

sebagai Mahkamah Konstitusi tentunya, tetapi berperan sebagai subjek hukum

perdata. Kemudian juga sebagai subjek hukum tata negara karena negara

biasanya atau dalam hal ini penguasa berhadapan dengan rakyatnya. Dan

kemudian subjek hukum administrasi negara bagaimana para pejabat membuat

aturan-aturan bagi rakyatnya dan itu dapat di-challenge tentunya dan kemudian

juga subjek hukum pidana negara, karena negaralah yang membuat apa yang

disebut sebagai jahat yang kemudian tertuang di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana dan undang-undang pidana lainnya seperti tindak pidana korupsi,

ekonomi, dan seterusnya.

Untuk mengetahui kapan negara berperan sebagai subjek hukum yang

mana dalam cabang ilmu hukum maka kita harus melihat konteksnya, tidak bisa

kemudian kita bicara bahwa negara dalam waktu yang bersamaan mereka akan

berperan dalam berbagai cabang ilmu hukum, meskipun tadi sudah disampaikan

bahwa di dalam dunia sekarang ini seolah-olah tidak ada pemisahan yang tegas.

Memang betul tidak ada pemisahan yang tegas tetapi perlu di dalam proses kita

ketahui sendi-sendi, asas-asas, bahkan subjek, objek dari setiap cabang ilmu

hukum bukan berarti kemudian semuanya dijadikan satu.

Dalam konteks negara, dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum

internasional maka dia disebut sebagai jure imperi yang kemudian negara sebagai

konstitusi publik yang bisa mengklaim kekebalan immunity. Sementara negara

61

sebagai subjek hukum perdata yang disebut jure gestiones dimana negara tidak

dapat sebenarnya mengklaim kekebalan, karena negara di situ dia berperan

sebagai subjek hukum perdata atau dalam istilah populernya negara sebagai

pedagang bukan negara sebagai suatu institusi publik yang bisa membuat aturan-

aturan ‘sepihak’ dimana kita warga negara harus kemudian tunduk pada aturan-

aturan tersebut. Jadi tidak ada kesetaraan, sementara jure gestiones

mengindikasikan harus ada kesetaraan antara negara dengan mitranya.

Subjek hukum perdata menurut hukum Indonesia, ada beberapa, misalnya

PT, dapat kita melihat di dalam Undang-Undang PT, koperasi—Undang-Undang

Koperasi, yayasan—Undang-Undang Yayasan, Perum dalam Undang-Undang

Badan Usaha Milik Negara, partai politik dalam Undang-Undang Politik, lalu ada

juga badan hukum milik negara. Kemudian universitas negeri yang dinyatakan

sebagai badan hukum milik negara. Tentang BP Migas yang pembentukannya

berdasarkan Undang-Undang Migas, didasarkan pada badan hukum milik negara

dan tentu kemudian sebagai subjek hukum lainnya adalah negara. Kalau misalnya

dalam konteks nasional, Departemen membeli kendaraan, tetapi dalam konteks

perdata internasional bisa juga dalam hal Departemen Pertahanan membeli

persenjataan dari perusahaan yang ada di Amerika, perusahaan yang ada di

Rusia, dan seterusnya sehingga akhirnya mereka tunduk hukum sebenarnya

perdata, bukan hukum internasional.

Dalam kontrak karya kalau misalnya melihat Undang-Undang

Pertambangan, peran pemerintah di situ bukan merupakan subjek hukum

internasional melainkan subjek hukum perdata, karena hubungan Pemerintah

dengan investor bersifat perdata. Ini Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun

1967 mengatakan bahwa “menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor

apabila diperlukan”. Dan kemudian di dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1)

dikatakan “pasal ini menjadi dasar untuk kontrak karya, baik dengan pihak modal

dalam negeri maupun dengan modal asing”. Jadi di sini tidak membedakan siapa

mitranya bisa dalam negeri maupun luar negeri. Perjanjian dengan pihak investor

harus diperlakukan sebagai istilah dalam bahasa Inggris government contract,

government contract ini tunduk pada hukum perdata termasuk perdata

internasional dan tidak tunduk pada hukum internasional publik.

Karena government contract ini ada mitra dimana salah satunya adalah

Pemerintah, maka dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kontrak bisnis

62

atau kontrak saja yang berdimensi publik, dimensi publiknya karena Pemerintah,

tentu dia harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi Pemerintah. Misalnya

saja dalam hal pengadaan barang dan jasa, maka Pemerintah harus

memperhatikan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dimensi publik ini karena salah satu pihak

adalah sekali lagi Pemerintah. Sementara untuk kegiatan di bidang Migas kontrak

tidak dilakukan oleh Pemerintah, melainkan oleh subjek hukum perdata yang

memang ditunjuk oleh undang-undang. Pasal 4 Ayat (3) UU Migas yang

menyebutkan bahwa peran Pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dengan

investor dilakukan oleh BP Migas—Badan Pelaksana Minyak dan Gas. Pasal 4

Ayat (3) juga mengatakan, “Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan

membentuk badan pelaksana”, dan apabila dilihat dalam Pasal 45 Ayat (1)

disebutkan bahwa badan pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4

Ayat (3) mengatakan, “Badan Hukum Milik Negara dan kemudian penjelasannya

adalah BHMN dalam ketentuan ini mempunyai status sebagai subjek hukum

perdata”.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat sampaikan sebagai berikut,

perjanjian antara pemerintah dalam bentuk kontrak karya atau perjanjian antara

pihak yang mendapat delegasi dari negara, BP Migas dalam bentuk kontrak kerja

sama tidak merupakan perjanjian yang berada dalam kategori perjanjian

internasional dalam konteks hukum internasional publik. Kontrak karya dimana

Pemerintah sebagai subjek hukum perdata ataupun kontrak kerjasama tunduk

kepada ketentuan hukum perdata internasional. Dimana salah satu yang paling

berarti adalah para pihak harus mempunyai kedudukan yang sama secara hukum,

kesetaraan. Meskipun secara sosiologis biasanya tidak seperti itu, tetapi

persyaratan bahwa harus ada kesepakatan menunjukkan bahwa harus ada

kesetaraan.

Menurut ahli, kontrak karya ataupun kontrak kerja sama tidak dapat masuk

dalam kategori perjanjian lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2)

Undang-Undang Dasar. Sehingga tidak perlu ada persetujuan dari DPR apabila

akan dibuat kontrak karya ataupun kontrak kerja sama. Sekali lagi karena rujukan

subjek hukum bukan subjek hukum internasional, tetapi kalau kita bicara soal BP

Migas atau Pemerintah dalam subjek hukum perdata, maka rujukannya adalah

negara sebagai subjek hukum perdata.

63

Menurut ahli, fungsi pengawasan oleh DPR dalam kaitan dengan kontrak

kerja sama tidak dapat dikaitkan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar.

Fungsi pengawasan oleh DPR bila hendak dikuatkan dari apa yang sudah ada

sekarang dalam proses kontrak kerja sama dapat dilakukan dengan

mengamandemen (legislative review) dari ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-

Undang Migas, dimana mungkin kata “diberitahukan secara tertulis” diganti dengan

kata atau kalimat yang lebih memberi peran, lebih kuat, dan luas kepada DPR.

Dengan kesimpulan ahli, bahwa pengawasan tidak kemudian dapat dikaitkan

dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar dan oleh karenanya persetujuan

yang diminta kepada DPR, tidak dapat dilakukan.

Terkait dengan Pemohon mengenai apakah Pemohon memiliki legal

standing, ahli tidak memiliki kompetensi pengetahuan untuk hal tersebut, dan

terkait dengan uji materil terhadap Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,

ahli sampaikan bahwa Pemohon tidak memiliki dasar untuk mengatakan Pasal 11

Ayat (2) Undang-Undang Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-

Undang Dasar.

Kemudian Terkait dengan dikuasai oleh negara, saya sependapat dengan

apa yang disampaikan Prof. Zen. Bahwa ini sangat bergantung pada interpretasi

dari DPR dan Pemerintah, karena kalau kita perhatikan di dalam Konstitusi Pasal

33 dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur

dalam undang-undang, mengingat undang-undang dibuat oleh Pemerintah dengan

Presiden, maka tafsiran tentang negara diserahkan kepada dua (lembaga) negara

ini. Di dalam penelitian saya terhadap undang-undang ini yang menggunakan kata

yang dikuasai oleh negara. Ada undang-undang tentang penerbangan,

perkeretaapian, tenaga nuklir, jalan tol dan seterusnya, di situ memang kesimpulan

saya adalah tidak ada interpretasi tunggal dari DPR dan Pemerintah terhadap

istilah dikuasai oleh negara, karena terkait dengan konteks pada saat itu. Ahli tidak

bicara dalam konteks setelah reformasi, tetapi ahli ke belakang juga dan lain

sebagainya, dan dalam penelitian ahli itu ada yang dikuasai oleh negara seperti

misalnya Migas dahulu, kalau saya tidak salah Undang-Undang Nomor 44 Prp

tentang Pertambahan Minyak dan Gas Bumi, itu negara tetapi kemudian

diserahkan kepada Pertamina. Di sini Pertamina berperan sebagai regulator dan

player, tetapi ada juga dimana negara menyerahkan kepada Pemerintah,

64

melakukan pembinaan kepada Pemerintah nanti Pemerintah menunjuk Badan

Usaha Milik Negara.

Dalam penelitian ahli hal itu terlihat bahwa memang tidak ada interpretasi

tunggal bagaimana negara itu menjalankan fungsinya karena semuanya akan

dikatakan dikuasai oleh negara. Kalau ditanya apakah di dalam Undang-Undang

Pertambangan, DPR dilibatkan dalam proses, sementara di dalam KKS tidak

diberitahukan secara tertulis. Kembali lagi, kita harus pahami bahwa undang-

undang dibuat dalam konteks. Undang-undang tahun 1967 dibuat pada tahun

1967. Di situ dikatakan bahwa DPR dilibatkan, sebelum kontrak itu katakanlah

ditandatangani oleh Pemerintah, tetapi yang sekarang kesepakatannya adalah

diberitahukan secara tertulis, dengan melihat konteksnya.

Kalau setiap kali dalam implementasi, misalnya kontrak kerja sama atau

nantipun kontrak karya, DPR harus dilibatkan terus menerus, itu akan sangat lama

prosesnya. Seharusnya undang-undang memberikan rambu-rambu apa yang

dimaksud dengan kepentingan rakyat. Atau kalau misalnya hal itu akan diserahkan

kepada Pemerintah tentu Pemerintah akan membuat peraturan pemerintah apa

yang dimaksud dengan kepentingan rakyat. Dari situlah kemudian negosiator

siapapun dia akan merujuk apa yang dimaksud dengan kepentingan rakyat. Kalau

misalnya ada pengawasan, instansi atau institusi Pemerintah mereka

didelegasikan Pemerintah, tidak sesuai dengan koridor itu maka DPR dapat

melakukan pengawasan, bahkan sebenarnya pengawasan tidak dilakukan hanya

oleh DPR tetapi juga oleh Kejaksaan. Siapa tahu dalam proses tersebut ada uang

yang bermain sehingga kontrak dibuat tidak memenuhi, mengikuti aturan-aturan

dan rambu-rambu yang ada.

Ahli tidak mengatakan kapan DPR memberikan persetujuan atau tidak,

tetapi bagaimana konsensus Pemerintah dengan DPR membuat aturan-aturan.

Memang kalau misalnya tadi ada masalah cheating dan sebagainya, perlu

diketahui bahwa di dalam praktik menegosiasikan kontrak itu harus ada

kehandalan dari pihak negosiator dan mereka yang pandai merumuskan kalimat-

kalimat hukum ke dalam kontrak. Kalau kita lihat generasi-generasi awal dari

kontrak kerja sama, kontrak karya, kebanyakan adalah kontrak-kontrak yang

sebenarnya akan diberlakukan oleh multinational corporation di berbagai negara.

Lalu kemudian disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

di negara tersebut. Di sini memang kelihatan bahwa ada bargaining position yang

65

berbeda, tetapi pada saat itu memang karena kita baru mulai, ahli belum ada dan

lain sebagainya kita harus terima. Sekarang tentu kita sudah perbaiki dan ahli

melihat BP Migas punya peranan. Karena kalau ini diserahkan kepada Pemerintah

katakanlah begitu, maka sulit orang yang bergaji tiga juta, katakanlah begitu,

sebagai pegawai negeri harus berhadapan dengan lawyer ulung yang rate-nya

satu jam 500 dolar. BP Migas dapat memainkan peran karena BP Migas

pegawainya tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di pegawai

negeri sipil. Oleh karena itu, hal ini dapat lebih baik.

Pada waktu Pertamina digugat oleh buruh di New York. Sebenarnya

Pertamina mungkin digugat tetapi dugaan ahli, ahli belum melihat kasusnya, yang

menjadi permasalahan bukan apa yang dilakukan oleh Pertamina, tetapi kebijakan

Pemerintah Indonesia yang meminta Pertamina untuk menghasilkan sekian barel

minyak. Kalau itu merupakan perintah dari Pemerintah, maka itu masuk dalam act

of state doctrine, karena memang Pemerintah masuk dalam OPEC, bukan

Pertamina yang masuk dalam OPEC, tetapi Pemerintah dan Pemerintah ini terikat

dengan perjanjian dengan negara-negara yang tergabung dalam OPEC tentang

jumlah barel yang bisa dikeluarkan. Pertamina hanya menjalankan instruksi yang

disepakati oleh Pemerintah. Karena di dalam kasus Karaha Bodas, Pemerintah

memang dapat digugat, tidak dapat Pertamina sebagai sebuah PT mengaku diri

mempunyai kekebalan dan merupakan act of state doctrine. Act of state doctrine

terkait kebijakan yang dibuat oleh suatu negara berdaulat yang di-challenge oleh

mungkin warga negara dari negara lain, maka biasanya pengadilan akan

mengatakan bahwa kita tidak mempunyai kompetensi karena itu merupakan act of

state doctrine. Sebagai referensi, Pemerintah Cina yang membuat aturan

melarang dipraktikkannya Fulan Gong di Cina itu di-challenge oleh Warga Negara

Indonesia, asal Cina di Indonesia ke pengadilan negeri dan oleh pengadilan negeri

dikatakan bahwa karena ini merupakan kebijakan Pemerintah Cina, maka

pengadilan negeri tidak mempunyai kompetensi untuk memeriksa hal tersebut.

Keterangan ahli Prof. Dr. Zen Umar Purba, SH., LL.M. Menurut ahli mengenai apakah Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Migas

bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20A

dan Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang diubah,

dan apakah Kontrak Kerja Sama (KKS) merupakan perjanjian internasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 seperti yang diubah,

66

jawaban ahli tegas bahwa ini bukanlah hukum internasional yang sebagaimana

yang dimaksud Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Bahwa Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan, “perjanjian-

perjanjian lainnya”, hendaklah yang pertama, dibaca satu nafas dalam rangka

Undang-Undang Dasar 1945 dalam pengertian dikaitkan dengan Ayat (1)-nya dan

yang kedua, bahwa Ayat (2) ini juga mesti difahami dalam skema sistematika

Undang-Undang Dasar 1945 itu, yakni bahwa yang dimaksud dengan perjanjian

internasional Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 adalah disamping yang sudah

dibicarakan, yaitu oleh subjek hukum internasional dan tunduk pada hukum

internasional publik, akan tetapi juga penting diperhatikan adalah sifatnya, yakni

bersifat publik. Jadi sangat berbeda dengan transaksi-transaksi seperti KKS

(termasuk di dalamnya production sharing contract) yang sifatnya sendiri memang

sudah privat. Negara sebagai contoh dapat bertindak sebagai pihak dalam

transaksi yang privat kalau sifat dari transaksi itu adalah memang privat.

Seperti contoh yang telah diberikan yaitu kalau seumpamanya negara

mengimpor mobil, itu sama saja juga dengan kalau umpamanya BP Migas

melakukan kontrak dengan pihak lain, (dan pihak lain tidak semata-mata pihak

asing tetapi berdasarkan Undang-Undang Migas dapat juga badan usaha

nasional). Di sini BP Migas bertindak sebagai subjek hukum perdata.

Ahli teringat akan pendapat seorang hakim Inggris yang mengatakan bahwa

kalau sekali negara memulai sebagai trader maka seterusnya (dalam transaksi itu)

dia adalah trader. Ini sudah menjadi doktrin yang diakui dalam hukum

internasional, yakni negara-pun dapat menjadi subjek hukum privat dalam keadaan

tertentu. Hal ini untuk menunjukkan bahwa sifat perjanjian itu penting. Jadi

disamping tadi kita bicara subjek hukum internasional (negara dan juga lembaga

internasional), tetapi juga hukum yang berlaku (hukum internasional) dan sifatnya.

Kemudian satu hal yang amat penting, tetapi belum disinggung disini adalah

bahwa KKS tidak mesti dilakukan hanya dengan perusahaan asing atau dalam

undang-undang disebut Bentuk Usaha Tetap. Tetapi seperti dinyatakan dengan

tegas dalam UU Migas Pasal 9 Ayat (1) juncto Pasal 11 Ayat (1), dapat juga dibuat

dengan badan usaha atau perusahaan nasional, termasuk BUMN serta swasta.

Kalau sudah begini, di mana lagi unsur internasionalnya, yang oleh para Pemohon

diasosiasikan dengan “perjanjian internasional.” Ini tambah menunjukkan betapa

67

teramat lemahnya pandangan dari para Pemohon yang dengan anggapan mereka

bahwa KKS merupakan perjanjian internasional.

Mengenai Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang

menyebutkan perjanjian internasional lainnya yang menyangkut hajat hidup rakyat

yang penting, misalnya Indonesia kadang-kadang impor beras tetapi juga sering

ekspor kelapa sawit, CPO (crude palm oil), ekspor yang lain-lain yang dilakukan

badan-badan usaha milik negara mengekspor ke negara lain yang diterima

perusahaan lain, apakah hal tersebut juga termasuk perjanjian internasional

lainnya seperti dimaksud Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, jawaban

ahli adalah sejalan yang telah dikemukakan bahwa berbagai transaksi semacam

itu jelas tidak merupakan transaksi dalam lingkup hukum internasional. Tentang

BUMN, yang melakukan kontrak-kontrak itu perlu dicermati dari dua perspektif.

Pertama, berbagai transaksi itu sifatnya privat atau komersial. Kedua, BUMN di

sini adalah apa yang dinamakan sebagai Perusahaan Perseroan disingkat Persero

sebagai lawan dari Perusahaan Umum (Perum). Persero itu berdasarkan UU

BUMN (UU Nomor 19 Tahun 2003) tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas

(sekarang UU Nomor 40 Tahun 2007). Itulah sebabnya Persero disebut juga

dengan PT. Persero. Jadi sebagai PT. Persero tidak ubahnya seperti perusahaan

swasta, modalnya saja yang dari Negara. Atau dalam ungkapan lain, secara

operasional PT, Persero berperilaku privat, perilaku perdata. Jadi dengan sifat

transaksi yang privat dan status PT. Persero. Menanggapi pertanyaan, jelaslah

bahwa berbagai transaksi itu sama sekali bukan dalam konteks perjanjian

internasional sebagaimana yang dimaksud dalam permasalahan yang dibawakan

di Mahkamah Konstitusi ini.

Pasal 33 Ayat (3) dan Pasal 33 Ayat (4) merupakan isu yang sudah lama

dan ahli sefaham dengan satu pendapat bahwa hal itu sama sekali tidak

menghalangi Pemerintah yang mewakili Negara untuk melakukan berbagai macam

transaksi yang dianggapnya perlu dengan tujuan untuk menyumbangkan hasil

transaksi itu bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara adalah penguasa,

penguasa memiliki kebijakan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang

dianggapnya penting dalam rangka mengelola sumber daya alam (SDA)-nya.

Ahli sebelumnya telah menegaskan bahwa KKS ini, tidak selamanya

dilakukan dengan pihak asing. Namun sekalipun dengan pihak asing, dalam hal ini

perusahaan minyak asing (Bentuk Usaha Tetap) ini hanya sebagai “kontraktor”.

68

Ahli sekalian ingin menjelaskan bahwa kedudukan “kontraktor” bagi perusahaan

asing itu adalah satu wujud kemenangan negara-negara berkembang dalam

perjuangan mereka mendapatkan kemerdekaan ekonomi setelah kemerdekaan

politik.

Berkait dengan Permanent Sovereignity over Natural Resources, yang

merupakan satu Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1962 – sebagai bagian

langkah kedua dan bersifat multilateral dari negara-negara berkembang dalam

menuju satu tatanan ekonomi baru (New International Economic Order) yang

dasarnya bukan hukum internasional yang sudah ada sebelum mereka lahir.

Langkah pertama yang dilakukan adalah nasionalisasi. Langkah kedua ini adalah

jaminan secara multilateral bahwa SDA mereka benar-benar dapat mereka kelola

sendiri. Implikasi dari langkah multilateral negara-negara berkembang yang

menghasilkan beberapa Resolusi Majelis Umum PBB ini bagi persidangan

Mahkamah Konstitusi ialah penegasan bagi negara-negara berkembang bahwa

negara itu dalam memanfaatkan SDA-nya, berhak untuk mengundang investasi

asing, namun transaksi itu yang tunduk pada hukum nasional, kontrak itu sendiri

dan hukum internasional. Tidak seperti sebelumnya, hukum internasional tidak

satu-satunya rujukan. Kalau tidak, maka berbagai prinsip hukum kebiasaan

internasional publik akan berlaku, umpamanya mengenai tanggung jawab negara

(state responsibility), yang oleh negara-negara berkembang ditolak untuk

diterapkan dalam dunia usaha transnasional. Sebab dunia usaha sudah difasilitasi

untuk menyadari sendiri kegiatan usahanya di negara lain (ada untung, ada rugi)

dan karena itu harus tunduk pada hukum negara itu. UU Migas yang kita bahas

sekarang adalah refleksi dari capaian pada tingkat multilateral tadi. Dan perlu

diingat bahwa hukum yang berlaku bagi KKS adalah hukum Indonesia. Konkretnya

kegiatan pengelolaan SDA yang menggandeng pihak asing tidak bertentangan

dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945. Dalam KKS, hukum yang

dipakai adalah hukum Indonesia.

Mengenai apakah dengan adanya kontrak-kontrak kerja sama antara BP

Migas dengan perusahaan-perusahaan asing dalam kaitannya dengan isi Pasal 33

Ayat (3) maupun Ayat (4), dikaitkan dengan hak Pemohon sebagai anggota DPR-

RI itu secara konstitusional spesifik dan secara langsung causal verband mereka

dirugikan dengan adanya kontrak-kontrak tersebut. Kemudian apakah isi

pelaksanaan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

69

Migas itu bertentangan dengan isi Pasal 33 Ayat (3) maupun Ayat (4) Undang-

Undang Dasar 1945. Ahli menjawab bahwa Pertama, pandangan ahli jelas positif

bahwa para Pemohon tidak seharusnya merasa dirugikan secara konstitusional

dengan adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Migas tersebut,

karena sifat dari transaksi itu, seperti yang telah panjang lebar diungkapkan di atas

adalah transaksi perdata. Dan tidak pula semua KKS dilakukan dengan pihak

asing dan hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia.

Kedua, sejalan dengan benang merah di atas, isi Pasal 11 Ayat (2) UU Migas

sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.

Telah dijelaskan sebelumnya oleh pihak DPR sendiri bahwa mekanisme

untuk masalah yang disampaikan Pemohon sebenarnya sudah ada

mekanismenya, dan sangat tidak tepat dibahas di Mahkamah Konstitusi. Jadi

secara positif pada pandangan ahli adalah tidak ada yang merasa dirugikan

karena mekanisme untuk itu sendiri memang sudah ada.

Menurut ahli, bunyi Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang tentang Migas tidak

bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Ahli menambahkan sebagai klarifikasi

untuk menanggapi Ahli dari Pemohon, bahwa memang betul pada saat sekarang

ini praktis terlihat mixing antara hukum internasional publik dengan hukum

internasional privat. Ahli sendiri sebagai pengajar Transaksi Bisnis Internasional

merasakan hal itu bahwa terjadinya percampuran dari kedua disiplin ilmu itu. Akan

tetapi sama sekali tidak melenyapkan diri masing-masing, hukum internasional

publik tetap hukum internasional publik, sama juga dengan hukum perdata

internasional tetap dengan jati dirinya, keduanya berinteraksi dalam perbedaan.

Dalam ungkapan lain tetap dibedakan mana yang publik mana yang privat. Ini

sekedar kontribusi mengenai perkembangan hukum lintas negara khususnya

dalam rangka transaksi bisnis transnasional pada masa sekarang ini.

Mengenai Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, hal itu telah banyak dibahas,

meminta pandangan dari sudut Pasal 20A, dan terutama Pasal 33 Ayat (3) UUD

1945 -- dikaitkan dengan pertanyaan negara itu siapa. Pada faham ahli bahwa

negara itu dikonkretkan dengan pembagian kewenangan ke berbagai cabang

pelaksanaan fungsi kenegaraan, eksekutif dan legislatif adalah salah satu refleksi

pelaksanan fungsi kenegaraan itu sehingga diharapkan menimbulkan check and

balances. Dalam hal pengawasan sejauh mana itu dapat dilakukan, tergantung

70

dari substansi dan kesepakatan antara keduanya. Dalam hal KKS telah disepakati

bahwa karena itu bukan perjanjian internasional menurut UUD 1945, cukup

dilaporkan saja. Kesepakatan atas ketentuan yang demikian adalah manifestasi

dari sistem check and balances juga.

Berkenaan dengan multinational corporations (MNC) atau yang oleh negara

berkembang dinamakan transnational corporations (TNC). sudah sering kita

dengar, sehingga pandangan umum terhadap MNC/TNC adalah demikian. Itulah

sebabnya mengapa negara-negara berkembang berupaya keras menumbuhkan

sistem NIEO seperti yang ahli ungkapkan di atas, dan dalam rangka ini juga

mengupayakan adanya satu Code of Conduct of Transnational Corporations.

Namun upaya ini gagal, karena tidak mendapat dukungan dari negara-negara

maju yang merupakan induk dari MNC/TNC. Sementara itu negara-negara

berkembang terus dalam keterdesakan untuk meneruskan pembangunan

nasionalnya. Indonesia yang sakit karena krisis ekonomi 1997 lebih-lebih lagi. Jika

dilihat sekarang, kita benar-benar menengadahkan tangan agar investor masuk

sebanyak-banyaknya. Alternatif pemberdayaan SDA kita masih belum ada selain

dari mengandalkan partisipasi pihak asing. Namun demikian seperti telah

diungkapkan serta berdasarkan UU Migas, KKS terbuka untuk perusahaan

nasional. Kemudian apa yang dapat kita lakukan saat ini yaitu manfaatkan modal

asing dengan kesadaran tinggi bahwa kita harus menggunakan hasil investasi itu

bukan saja untuk pembangunan fisik, tetapi lebih lagi itu pengembangan investasi

pengembangan sumber daya manusia. Investasi asing harus diikuti dengan alih

teknologi, betapapun itu sulit dilakukan. Dengan kemampuan sumber daya

manusia yang prima kita dapat mengimbangi potensi MNC/TNC secara seimbang.

Mengenai mana yang lebih efektif pengawasan sebelum perjanjian

ditandatangani atau setelahnya. Jika pertanyaan ini independen dari masalah

perjanjian internasional, ahli khawatir bahwa ahli tidak akan kompeten

menjawabnya, sebab acuan pertanyaan ini bersifat teknis. Dalam kaitan dengan

objek yang kita bicarakan, tergantung pada SDA jenis apa, bagaimana potensi

kompetitif SDA itu dibandingkan dengan SDA yang dimiliki negara lain, artinya ini

juga menyangkut aspek pasar, bagaimana kemungkinan opportunity lost -nya

sehingga kita harus bertindak cepat menjaring investor, dan karena itu apakah

persetujuan lebih dahulu akan dapat realistis, serta lebih penting apakah tidak

71

akan menjebak DPR sendiri dalam kemungkinan beban liabilitas DPR, kalau KKS

yang disetujui yaitu tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pengawasan pun dapat dilakukan dengan mekanisme lain, yang telah

diuraikan oleh pihak DPR sebelumnya dalam uraian imofredif. Sementara itu kita

juga selalu keliru seolah-olah pengawasan hanya dapat dilakukan DPR. Padahal

ada lembaga-lembaga lain seperti BPK, BPKP, pers LSM dan masyarakat pada

umumnya.

Ahli menambahkan, bahwa oleh ahli Pemohon disebutkan bahwa ada

keterkaitan antara KKS dengan ICC Rules. Untuk meluruskan saja, kalaupun

disebut ICC Rules, ini sekedar aturan/prosedur acara untuk arbitrase sebagai

forum penyelesaian sengketa. Ini suatu hal yang lazim dalam suatu transaksi

komersial internasional yang sifatnya privat. Yang jelas itu bukan hukum

internasional publik, kemudian jangan lupa yaitu seperti yang telah diungkapkan

di atas, KKS tunduk pada hukum Indonesia.

[2.6] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan

keterangan tertulis yang dibacakan pada persidangan tanggal 7 November 2007,

yang menguraikan sebagai berikut:

A. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang dimohonkan untuk diuji materiil.

Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas ketentuan Pasal

11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi, yang berbunyi:

“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus

diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia”.

B. Hak Konstitusional yang menurut Pemohon dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Pemohon dalam permohonannya mengemukakan, bahwa hak

konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yakni dalam ketentuan Pasal 11

Ayat (2).

72

Adapun hak konstitusional yang menurut para Pemohon dirugikan dengan

berlakunya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ialah, ”Bahwa para pemohon dirugikan

selaku Anggota DPR RI kehilangan hak konstitusionalnya untuk

memberikan persetujuan atas berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau

kontrak-kontrak internasional yang mempunyai akibat luas dan mendasar

bagi kehidupan rakyat yang mengharuskan perubahan atau pembentukan

undang-undang, khususnya perjanjian-perjanjian internasional yang

terkait dengan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi”.

Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi oleh Pemohon dinilai bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

khususnya ketentuan:

1. Pasal 11 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Presiden dalam membuat

perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas

dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat”.

2. Pasal 20A Ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat

memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.

3. Pasal 33 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

4. Pasal 33 Ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

73

C. Keterangan DPR-RI

Atas dasar permohonan para Pemohon a quo dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon.

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah

diatur dalam ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Pemohon

adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.”

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal

51 Ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang

dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Ketentuan penjelasan Pasal 51 Ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hak-

hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak

konstitusional”.

Sehingga menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima

sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam

permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih

dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo

sebagaimana disebut dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud

“Penjelasan Pasal 51 Ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh

berlakunya undang-undang yang diuji.

74

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai

akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah

Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian

konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undang-undang menurut

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, yaitu harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan

Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005)

sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon

dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka

para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)

sebagai pihak.

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa

dengan berlakunya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan yaitu selaku Anggota DPR RI

kehilangan hak konstitusionalnya untuk meberikan persetujuan atas

berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau kontrak-kontrak internasional

yang mempunyai akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang,

75

khususnya perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan

pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi”. Oleh karenanya

menurut para Pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 11

Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.

Dalam hal ini, terhadap permohonan para Pemohon a quo perlu

dipertanyakan dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) para

Pemohon yaitu:

Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak (kualifikasi Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 Ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal

verband) antara kerugian atas berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai Pihak.

Apabila para Pemohon menganggap sudah memenuhi syarat yang

ditentukan sebagai Pihak yaitu adanya hak konstitusionalnya yang dirugikan

dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi, maka hal ini perlu dipertanyakan siapa yang sebenarnya

dirugikan, apakah Anggota DPR RI atau DPR RI sebagai Lembaga Negara.

Mengenai batasan hak konstitusional sangat jelas dijabarkan dalam

Penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang

mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan “hak konstitusional”

adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menjelaskan bahwa

76

hanya hak-hak yang secara eksplisit yang diatur dalam UUD Tahun 1945

termasuk dalam pengertian “hak konstitusional”.

Perlu juga dipahami bahwa syarat sebagai Pemohon sebagaimana

yang ditentukan dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan

Perkara Nomor 010/PUU-III/2005) salah satunya ialah “adanya hak

konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Bahwa memang benar menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 tentang Susunan dn Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD

tercermin bahwa DPR terdiri dari Anggota DPR yang tergabung dalam

Fraksi-Fraksi Partai Politik, sehingga secara tidak langsung Anggota DPR –

lah yang memberikan persetujuan atas Perjanjian Internasional. Hal ini tidak

berarti bahwa Anggota DPR juga memiliki hak dan/atau kewenangan

konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian internasional.

Oleh karena itu, harus dipahami adanya pembedaan antara hak dan/atau

kewenangan DPR sebagai Lembaga Negara dengan hak dan/atau

kewenangan konstitusional Anggota DPR sebagaimana tercermin dalam

Pasal 22A UUD 1945. Jadi jangan dicampuradukkan dan identikan antara

hak dan/atau kewenangan DPR sebagai Lembaga Negara dengan hak

dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR. Karena itu perlu

dicermati kembali siapakah yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945

yang diberikan hak/kewenangan konstitusional untuk memberikan

persetujuan atas Perjanjian Internasional, apakah DPR atau Anggota DPR.

Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu dipandang perlu untuk

merinci Hak DPR dan Hak Anggota DPR yang diatur dalam UUD 1945.

Pemisahan hak konstitusional antara Hak DPR dan Hak Anggota DPR

diperjelas dalam Pasal 20A Ayat (4) yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang

Hak DPR dan Hak Anggota DPR diatur dalam undang-undang”.

Undang-undang yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Dengan demikian tergambar jelas, bahwa UUD 1945 membedakan dan

memisahkan adanya Hak DPR sebagai Lembaga Negara dan Hak

Anggota DPR.

77

Pembedaan dan pemisahan Hak Konstitusional DPR sebagai Lembaga

Negara dan Hak Konstitusional Anggota DPR secara rinci diatur dalam

Pasal 11, 13 Ayat (2) dan (3), 14 Ayat (2), Pasal 19, 20 Ayat (1), 20A Ayat

(1), Ayat (2) dan Ayat (3), 21, 22 Ayat (2), 23F Ayat (1), 24A Ayat (3), 24B

Ayat (3), 24C Ayat (3) yang dapat dikelompokan sebagai berikut:

Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional DPR yang diatur dalam UUD 1945 a. Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat

perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain; [vide: Pasal 11 Ayat

(1)]. b. Memberikan persetujuan atas perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang [vide

Pasal 11 Ayat (2)]. c. Memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Duta [vide Pasal

13 Ayat (2)]. d. Memberikan pertimbangan dalam menerima penempatan Duta dari

Negara lain [vide Pasal 13 Ayat (3)]. e. Memberikan pertimbangan dalam pemberian Amnesti dan Abolisi

[vide Pasal 14 Ayat (2)]. f. Memegang kakuasaan membentuk undang-undang [vide Pasal 20

Ayat (1)]. g. Memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan

[vide Pasal 20 Ayat (1)]. h. Mempunyai hak interpelasi [vide Pasal 20A Ayat (2)]. i. Mempunyai hak angket [vide Pasal 20A Ayat (2)]. j. Mempunyai hak menyatakan pendapat [vide Pasal 20A Ayat (2)]. k. Memberikan persetujuan atas Perpu [vide Pasal 22 Ayat (2)]. l. Memilih Anggota BPK [vide Pasal 23F Ayat (1)]. m. Memberikan persetujuan atas calon Hakim Agung yang diusulkan

Komisi Yudisial [vide Pasal 24A Ayat (3)]. n. Memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian

Anggota Komisi Yudisial [vide Pasal 24B Ayat (3)].

78

o. Pengajuan 3 orang calon Hakim Konstitusi [vide Pasal 24C Ayat (3)].

Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Anggota DPR yang diatur dalam UUD Tahun 1945 a. Hak memilih dan dipilih [vide Pasal 19 Ayat (1)]. b. Hak mengajukan RUU (vide Pasal 21). c. Hak mengajukan pertanyaan [vide Pasal 20A Ayat (3)]. d. Hak menyampaikan usul dan pendapat [vide Pasal 20A Ayat (3)]. e. Hak imunitas [vide Pasal 20A Ayat (3)].

Berdasarkan pada UUD 1945 tersebut, sudah jelas apa yang menjadi

hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR sebagai Lembaga Negara,

dan apa yang menjadi hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota

DPR. Hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana tersebut, tidak

diatur bahwa Anggota DPR diberikan hak untuk memberikan persetujuan

atas perjanjian internasional. Tetapi yang diatur dalam UUD 1945 adalah

DPR sebagai Lembaga Negara yang diberikan hak dan/atau kewenangan

konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian internasional.

Dengan demikian secara konstitusional, yang diberikan hak dan/atau

kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian

internasional berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 ialah DPR sebagai

Lembaga Negara, dan bukan Anggota DPR.

Selain itu, dalam hal ini perlu juga dipertanyakan apakah para

Pemohon selaku Anggota DPR dalam permohonannya, sudah dapat

dikatakan “atas nama DPR ataupun mewakili DPR secara

kelembagaan”. Oleh karena sesuai mekanisme kerja di DPR sebagaimana

tercermin dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, bahwa DPR sebagai suatu

lembaga negara maka setiap pernyataan DPR ataupun pernyataan yang

mengatasnamakan DPR harus melalui mekanisme yang diatur dalam

Peraturan Tata Tertib DPR RI yaitu melalui rapat-rapat DPR.

Apakah Terdapat Kerugian Konstitusional Para Pemohon.

Dalam hal ini perlu dipertanyakan, apakah memang nyata ada

kerugian konstitusional para Pemohon, dan siapakah yang sebenarnya

dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang

79

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, apakah para

Pemohon selaku Anggota DPR sebagaimana dikemukakan dalam

permohonan a quo, ataukah DPR sebagai Lembaga Negara.

Pertanyaan ini sangat terkait dengan pertanyaan di atas yaitu apakah para

Pemohon sudah memenuhi syarat-syarat legal standing sebagai Pihak

dalam pengujian undang-undang a quo.

Apabila para Pemohon selaku Anggota DPR (sebagaimana

dikemukakan dalam permohonan a quo), tidak memenuhi syarat-syarat

yang harus dipenuhi untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing)

sebagai Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-

Undang Mahkamah Konstitusi dan batasan menurut Putusan Perkara

Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), maka

logika hukumnya jelas tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon.

Oleh karena salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagai pihak untuk

memiliki kedudukan hukum (legal standing) yaitu harus ada hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-

undang a quo.

Menurut DPR, para Pemohon selaku Anggota DPR walaupun

merupakan bagian dari DPR sebagai Lembaga Negara, UUD 1945 tidak

memberikan kepada Anggota DPR hak dan/atau kewenangan konstitusional

untuk memberikan persetujuan atas Perjanjian Internasional, oleh karena

yang diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 ialah hak dan/atau

kewenangan konstitusional DPR untuk memberikan persetujuan atas

Perjanjian Internasional.

Bahwa sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu

sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk

menguji undang-undang terhadap UUD 1945, baru kali ini Anggota DPR

yang merupakan bagian dari DPR sebagai Lembaga Negara yang

memegang kekuasaan legislasi, mengajukan permohonan pengujian atas

undang-undang yang dibuatnya. Oleh karena undang-undang a quo sudah

disetujui bersama DPR dan Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-

undang dalam forum Rapat Paripurna DPR.

80

DPR berpendapat, bahwa jika para Pemohon menganggap

ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD

1945, dan tidak sesuai dengan perkembangan politik hukum ekonomi saat

ini, maka sebaiknya para Pemohon selaku Anggota DPR yang memiliki hak

dan/atau kewenangan konstitusional mengajukan RUU, hendaknya

mengajukan legislative review atas Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, di DPR.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR meminta kepada para

Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk

menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar

para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan.

DPR berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul

kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon

dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi. Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing) para

Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo tidak

memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1)

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan batasan menurut Putusan

Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005

terdahulu.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR RI mohon agar Ketua/Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan

Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan Keterangan

DPR RI mengenai materi pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi.

2. Pengujian Materiil Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

1. Bahwa sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam permohonan a quo,

yaitu hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan

81

Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi, yakni ”Bahwa para pemohon dirugikan selaku

Anggota DPR RI kehilangan hak konstitusionalnya untuk meberikan

persetujuan atas berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau kontrak-

kontrak internasional yang mempunyai akibat luas dan mendasar

bagi kehidupan rakyat yang mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang, khususnya perjanjian-perjanjian

internasional yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam

minyak dan gas bumi”.

2. Bahwa Pemohon juga berpendapat, kontrak kerja sama internasional

mengenai minyak dan gas bumi yang dibuat Pemerintah cq. Badan

Pelaksana juga mempunyai akibat luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-

undang, sehingga menurut Pemohon penandatanganan kontrak kerja

sama tersebut harus mendapat persetujuan DPR. Sedangkan ketentuan

Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi menyatakan, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang

sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

3. Bahwa terhadap hal-hal yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR

berpendapat perlu dipahami dahulu makna dari Perjanjian Internasional

yang dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dengan makna

Kontrak Kerja Sama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

4. Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden

dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan

akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait

dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan

perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

5. Pasal 11 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut

tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang”.

Berdasarkan amanat Pasal 11 Ayat (3) UUD Tahun 1945 ini, telah

82

dibentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sehingga dengan demikian untuk memahami makna dari

perjanjian internasional yang dimaksud Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945

tersebut, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional.

6. Bahwa pengertian perjanjian internasional menurut ketentuan Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional adalah “Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu

yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis

serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik”.

Ketentuan ini mengandung makna bahwa perjanjian internasional

berdasarkan pada hukum internasional dan mengatur kepentingan

publik, artinya mengikat antara Negara sebagai badan hukum publik

yang menandatangani perjanjian internasional oleh karena subjek

hukum internasional dalam perjanjian internasional ini adalah Negara,

bukan mengikat badan hukum perdata seperti Badan Usaha yang

menandatangani kontrak kerja sama dengan Pemerintah.

7. Bahwa menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional, “Pemerintah Republik Indonesia

membuat perjanjian internasional dengan satu Negara atau lebih,

organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain

berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk

melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik”.

8. Bahwa perjanjijan internasional termasuk lingkup hukum publik, hal ini

ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu “Perjanjian internasional

yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian

di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan

dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional,

atau subjek hukum internasional lain”.

9. Mengenai bentuk dan nama Perjanjian Internasional juga dijelaskan

dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional, yaitu dalam praktiknya antara lain:

83

treaty, convention, agreement, memorandum of understanding,

protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of

notes, agreed minutes, summary record, process verbal, modus

vivendi, dan letter of intent.

sedangkan kontrak kerja sama adalah bentuk kontrak bagi hasil

sehingga jelas tidak termasuk dalam bentuk perjanjian internasional

tersebut.

10. Bahwa oleh karena itu, dalam memahami terminologi perjanjian

internasional sebagaimana dimaksud dalam konteks dan kontent Pasal

11 Ayat (2) UUD Tahun 1945 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, perlu dibedakan dengan istilah

kontrak kerja sama dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

11. Bahwa berdasarkan Konvensi Wina (Vienna Convention on The Law

of Treaties 1969) perjanjian internasional dilakukan oleh para pihak di

dalam hukum internasional yakni negara dan organisasi internasional.

Hal ini juga diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) juncto Penjelasan Umum

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,

yang pada intinya menekankan bahwa perjanjian internasional diatur

dengan hukum internasional sehingga yang menjadi para pihak dalam

perjanjian internasional adalah subjek hukum internasional yaitu

Pemerintah dengan Negara organisasi internasional.

12. Oleh karena perjanjian internasional itu termasuk dalam ranah hukum

publik berdasarkan konteks dan kontent perjanjian internasional itu

sendiri, maka perjanjian internasional ini menimbulkan hak dan

kewajiban dibidang hukum public. (vide Pasal 1 angka 1).

13. Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, menyebutkan bahwa:

“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-

undang apabila berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara

Republik Indonesia;

84

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum baru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri”.

Ketentuan Pasal 10 ini mengidentifikasikan bahwa perjanjian

internasional yang terkait dengan hal-hal tersebut yang perlu mendapat

persetujuan DPR karena pengesahannya dilakukan dengan undang-

undang.

Ketentuan Pasal 10 ini berbeda dengan materi muatan kontrak kerja

sama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (3) Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Sehingga dari ketentuan tersebut, maka kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk dalam materi yang

diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional.

14. Sedangkan pengertian kontrak kerja sama dalam Pasal 1 angka 19

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

yaitu “Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk

kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi

yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini dipertegas

dalam Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi.

15. Selanjutnya pengertian dari Kontrak Bagi Hasil menurut Pasal 1 angka

4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha

Hulu Minyak dan Gas Bumi, adalah “suatu bentuk kontrak kerja sama

dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil

produksi”. Ketentuan ini mengandung unsur komersial yaitu terletak

pada frase “berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi” antara

Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

(Perusahaan asing). Hal ini jelas bukan merupakan domain dari rezim

perjanjian internasional yang bercirikan unsur kedaulatan dan hak

berdaulat suatu negara menurut UUD Tahun 1945, sebagaimana

85

ditegaskan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional.

16. Bahwa kontrak kerja sama adalah kontrak yang bersifat keperdataan

sehingga tunduk pada hukum perdata, hal ini tercermin dalam nama

dan bentuk kontrak kerja sama yaitu kontrak bagi hasil, dan yang

menjadi para pihak dalam kontrak kerja sama ini adalah subjek hukum

perdata yaitu Pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha

Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap.

17. Bahwa kontrak kerja sama tidak diatur dengan rezim hukum

internasional ditegaskan dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor

35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi,

yang mengatakan “terhadap kontrak kerja sama tunduk dan berlaku

hukum Indonesia”. Sehingga dengan demikian, kontrak kerja sama

tunduk pada hukum perdata Indonesia, dan tidak tunduk pada hukum

internasional, maka para pihak yang membuat kontrak kerja sama ini

yaitu Badan Pelaksana dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

ialah bukan merupakan subjek hukum internasional, melainkan subjek

hukum perdata.

18. Berbeda dengan materi muatan perjanjian internasional sebagaimana

diuraikan pada angka 13, materi muatan kontrak kerja sama menurut

ketentuan Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi paling sedikit memuat:

a. penerimaan negara;

b. wilayah kerja dan pengembaliannya;

c. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi;

d. jangka waktu dan perpanjangan kontrak;

e. kewajiban pascaoperasi pertambangan;

f. penyelesaian perselisihan;

g. kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri;

86

h. berakhirnya kontrak;

i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;

j. keselamatan dan kesehatan kerja;

k. pengelolaan lingkungan hidup;

l. pengalihan hak dan kewajiban;

m. pelaporan yang diperlukan;

n. rencana pengembangan lapangan;

o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;

p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;

q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia;

Materi muatan tersebut mencerminkan bahwa kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi sumber daya alam minyak dan gas bumi dikuasai oleh

Negara, yang penguasaannya diselenggarakan oleh Pemerintah

sebagai pemegang Kuasa Pertambangan yang diberikan undang-

undang a quo, agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat Pasal 33

Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi bersifat teknis,

sehingga kontrak kerja sama dalam bidang tersebut merupakan bentuk

perjanjian perdata yang tunduk pada hukum keperdataan, tidak tunduk

pada hukum internasional publik, maka tidak diperlukan persetujuan

DPR.

19. Bahwa dalam Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional juga

diatur bentuk Perjanjian Internasional yang tidak harus memerlukan

persetujuan DPR yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

yang berbunyi, Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan

salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu

perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk

dievaluasi”.

87

20. Bahwa dalam penjelasan Pasal 11 Ayat (2) tersebut ialah “Dewan

Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap

Pemerintah, walaupun tidak diminta persetujuan sebelum

pembuatan perjanjian internasional tersebut karena pada umumnya

pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi

perjanjian internasional di bidang teknis. Di dalam melaksanakan

fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta

pertanggungjawaban atau keterangan Pemerintah mengenai

perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang

merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut

dapat dibatalkan atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat”.

21. Namun demikian, dalam hal kontrak kerja sama yang ditandatangani

oleh para pihak yakni Badan Pelaksana dengan Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap, yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 11

Ayat (2) Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut, karena tidak

disahkan dengan Keputusan Presiden, maka sesuai dengan fungsi dan

kewenangan DPR tetap dapat melakukan pengawasan terhadap

Pemerintah dengan meminta pertanggungjawaban Pemerintah atau

keterangan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama yang telah dibuat

Pemerintah .

Apabila DPR memandang bahwa kontrak kerja sama tersebut telah

merugikan kepentingan nasional maka dalam rangka melaksanakan

fungsi pengawasan, terhadap kontrak kerja sama tersebut dapat ditinjau

kembali/dievaluasi atas permintaan DPR.

22. Selain itu dalam melaksanakan fungsi legislasi, DPR (Anggota DPR)

dapat melakukan legislative review dengan mengajukan Rancangan

Undang-Undang Usul Inisiatif untuk mengubah atau meningkatkan

efektivitas undang-undang yang telah ada.

23. Bahwa berdasarkan seluruh uraian dan keterangan tersebut di atas,

dapat disimpulkan bahwa kontrak kerja sama yang tunduk dan berlaku

hukum Indonesia, (vide Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), tidak dapat diidentikan dengan perjanjian internasional yang tunduk dan

berlaku hukum internasional, (vide Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4

88

Ayat (1) dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). Oleh karena kontrak kerja

sama bukan merupakan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud

Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, maka tidak diperlukan

persetujuan DPR. Namun DPR tetap dapat menjalankan fungsi

konstitusionalnya untuk melakukan pengawasan terhadap kontrak kerja

sama yang dibuat oleh Pemerintah.

24. Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut, maka ketentuan Pasal 11 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

tidak bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), Pasal

33 Ayat (3), Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

25. Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, dalam persidangan pengujian

materiil atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi, DPR memohon agar Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon

ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Namun demikian,

apabila Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,

mohon diputuskan yang seadil-adilnya.

[2.7] Menimbang bahwa para Pemohon dan Pemerintah telah menyerahkan

kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29

November 2007 dan 4 Desember 2007, pada pokoknya tetap pada pendapatnya

masing-masing, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam berkas perkara;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi dipersidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan;

89

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk

menguji Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi (LNRI Tahun 2001 Nomor 136, TLNRI Nomor 4152, selanjutnya

disebut UU Migas) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh Pokok

Permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)

terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan a quo;

2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo kepada Mahkamah;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

KEWENANGAN MAHKAMAH

[3.3] Menimbang bahwa perihal kewenangan Mahkamah, Pasal 24C Ayat

(1) UUD 1945 menyatakan Mahkamah berwenang antara lain, untuk mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut

ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto

Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman (LNRI Tahun 2004 Nomor 8, TLNRI Nomor 4358);

[3.4] Menimbang bahwa objek permohonan yang diajukan oleh para

Pemohon a quo adalah pengujian undang-undang, in casu Pasal 11 Ayat (2)

UU Migas yang diundangkan pada tanggal 23 November 2001, terhadap UUD

1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus permohonan a quo;

90

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

[3.5] Menimbang bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, yang

dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945

ialah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu a) perorangan warga negara

Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara;

[3.6] Menimbang hingga saat ini Mahkamah berpendirian bahwa kerugian

hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus memenuhi lima syarat,

yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan

oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual

atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi.

[3.7] Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu

pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-

undang terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK,

orang atau pihak dimaksud haruslah:

a. menjelaskan kualifikasinya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara

Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga

negara;

91

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi

sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya

undang-undang yang dimohonkan pengujian;

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian terhadap ketentuan Pasal 51

Ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon sesuai

dengan uraian para Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang

relevan;

[3.9] Menimbang para Pemohon pada pokoknya mendalilkan sebagai

perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR yang

hak konstitusionalnya melekat pada hak konstitusional DPR, sebab, menurut para

Pemohon, hak konstitusional DPR hanya akan ada atau dapat dilaksanakan oleh

Anggota DPR sebagai pemangku jabatan. Hak konstitusional DPR yang sekaligus

merupakan hak konstitusional Anggota DPR, menurut para Pemohon, adalah hak

konstitusional untuk:

• ikut atau tidak ikut memberikan persetujuan atas “perjanjian internasional

lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara …” sebagaimana

tercantum dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945;

• melakukan fungsi pengawasan atas jalannya pemerintahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945;

• melakukan pengawasan agar kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan

air Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat [Pasal

33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945].

Kerugian hak konstitusional para Pemohon dimaksud disebabkan oleh adanya

ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama

yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian para Pemohon di atas, maka

dalam menilai apakah para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal

92

standing) menurut Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Mahkamah harus

mempertimbangkan dua hal, yaitu:

(1) Apakah para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang

bertindak selaku Anggota DPR-RI dapat dikualifikasi sebagai Pemohon

perorangan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 51

Ayat (1) UU MK;

(2) Apakah para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang

bertindak selaku Anggota DPR dirugikan hak konstitusionalnya oleh

berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas;

[3.11] Menimbang bahwa baik Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat,

telah memberikan keterangan berkait dengan kedudukan hukum (legal standing)

para Pemohon yang selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara

putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

Keterangan Pemerintah

• Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 maupun

ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, berlaku untuk DPR sebagai institusi/

lembaga negara vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 22B UUD 1945.

• Hak dan kewajiban Anggota DPR telah diatur secara rinci dalam peraturan

perundangan-undangan sendiri maupun dalam Tata Tertib DPR (vide Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut UU

Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD).

• Para Pemohon yang kedudukannya sebagai Anggota DPR sebagaimana

dinyatakan oleh para Pemohon sendiri vide permohonan halaman 2 telah

bertindak tidak konsisten dan ambigu, di satu sisi para Pemohon adalah

merupakan bagian dari pihak yang mempunyai kewenangan membentuk dan

mengesahkan undang-undang (fungsi legislasi), di sisi lain para Pemohon

mempersoalkan produk undang-undang yang dibentuknya sendiri.

• Jika terjadi perubahan paradigma berpikir atau mindset changes terhadap

peraturan perundang-undangan yang telah dibahas dan disahkan bersama

93

antara Presiden dan DPR, in casu UU Migas, maka yang seharusnya dilakukan

oleh para Pemohon adalah dengan mengajukan prioritas usul perubahan atau

amandemen sebagai inisiatif DPR terhadap UU Migas. Dengan kata lain,

mekanisme legislative review dipandang lebih bijaksana dibandingkan dengan

mengajukan suatu judicial review atau constitutional review karena dengan

mengajukan permohonan pengujian untuk membatalkan ketentuan a quo,

maka sama saja para Pemohon ingin membatalkan keputusan yang telah

dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya sangat berbeda jika para Pemohon

kedudukannya sebagai warga negara biasa atau perorangan warga negara

Indonesia.

• Fungsi pengawasan atau controlling yang dimiliki oleh DPR tidak terhalang

atau tidak terkurangi sedikit pun karena DPR tetap dapat melakukan kontrol

dengan mekanisme rapat kerja dan hak untuk bertanya atau hak interpelasi.

Keterangan DPR

• Berkait dengan kedudukan hukum para Pemohon terlebih dahulu dipandang

perlu untuk merinci hak DPR dan hak Anggota DPR yang diatur dalam UUD

1945. Hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR secara kelembagaan

setidak-tidaknya menyangkut 15 hal;

1. memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian

dan perjanjian dengan negara lain, Pasal 11 Ayat (1);

2. memberikan persetujuan atas perjanjian International lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan

pembentukan undang-undang, Pasal 11 Ayat (2);

3. memberikan pertimbangan dalam pengangkatan duta, Pasal 13 Ayat (2);

4. memberikan pertimbangan dalam menerima penempatan duta negara lain,

Pasal 13 Ayat (3);

5. memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi, Pasal 14

Ayat (2);

6. memegang kekuasaan membentuk undang-undang, Pasal 20 Ayat (1);

7. memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, Pasal 20

Ayat (1);

8. mempunyai hak interpelasi, Pasal 20A Ayat (2);

94

9. mempunyai hak angket, Pasal 20A Ayat (2); 10. mempunyai hak menyatakan pendapat, Pasal 20A Ayat (2); 11. memberikan persetujuan atas Perpu, Pasal 22 Ayat (2); 12. memilih anggota BPK, Pasal 23F Ayat (1); 13. memberikan persetujuan atas calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi

Yudisial, Pasal 24A Ayat (3); 14. memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian anggota

Komisi Yudisial, Pasal 24B Ayat (3); dan 15. pengajuan tiga orang calon Hakim Konstitusi, Pasal 24C Ayat (3).

• Sementara hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR yang diatur dalam UUD 1945, menyangkut lima hal: 1. hak memilih dan dipilih, Pasal 19 Ayat (1); 2. hak mengajukan rancangan undang-undang, Pasal 21; 3. hak mengajukan pertanyaan, Pasal 20A Ayat (3); 4. hak menyampaikan usul dan pendapat, Pasal 20A Ayat (3); dan 5. hak imunitas, Pasal 20A Ayat (3).

Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon selaku Anggota DPR tidak memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai para Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK;

• Jika para Pemohon menganggap ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak sesuai dengan perkembangan politik hukum ekonomi saat ini, maka para Pemohon selaku Anggota DPR yang memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional mengajukan rancangan undang-undang, hendaknya mengajukan legislative review atas Pasal 11 Ayat (2) UU Migas kepada DPR.

[3.12] Menimbang bahwa dalam persidangan telah didengar pula keterangan

ahli dari para Pemohon dan Pemerintah, namun keterangan para ahli tersebut tidak terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;

Pendapat Mahkamah

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian

permohonan dan dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, bukti-bukti yang

95

diajukan, keterangan lisan maupun tertulis DPR dan Pemerintah berkait dengan

kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Mahkamah berpendapat:

• Bahwa pengertian “perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat

(1) huruf a UU MK tidak sama dengan “perorangan warga negara Indonesia

dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR” sebagaimana didalilkan para

Pemohon. Sebab, perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota

DPR tidak mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 11

Ayat (2) dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yaitu hak-hak yang dijadikan

sebagai dalil kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan a quo.

Bahkan sesungguhnya konstruksi pemikiran yang dibangun oleh para

Pemohon sendiri pun dengan sendirinya menjelaskan perbedaan tersebut.

Dengan mengasumsikan Kontrak Kerja Sama termasuk ke dalam pengertian

perjanjian internasional, para Pemohon kemudian mendalilkan bahwa

berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut telah menyebabkan DPR,

sebagai lembaga, kehilangan hak konstitusionalnya untuk memberikan

persetujuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945. Artinya,

jika pun benar kerugian konstitusional itu ada, yakni jika Kontrak Kerja Sama itu

dianggap perjanjian internasional, sehingga mengharuskan adanya persetujuan

DPR dan bukan sekadar pemberitahuan secara tertulis setelah ditandatangani,

quod non, maka pihak yang menderita kerugian tersebut adalah DPR sebagai

lembaga negara bukan Anggota DPR selaku perorangan warga negara

Indonesia;

• Bahwa UUD 1945 secara eksplisit telah menentukan hak konstitusional bagi

warga negara Indonesia, Anggota DPR, maupun DPR. Hak konstitusional

setiap Anggota DPR tercantum dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 yang

berbunyi, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang

Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak

mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak

imunitas”. Kemudian hak konstitusional DPR untuk melaksanakan fungsinya,

baik fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan tercantum dalam

Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Dalam melaksanakan

fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang

Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket,

dan hak menyatakan pendapat”, serta Pasal 21 UUD 1945, yang berbunyi,

96

“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan

undang-undang”.

• Bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR dan Anggota DPR diatur

dalam undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A Ayat (4)

UUD 1945, yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan

Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam

undang-undang”. Penjabaran lebih lanjut Pasal 20A Ayat (4) UUD 1945

dituangkan dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang selanjutnya

berdasarkan Pasal 31 undang-undang tersebut diturunkan lagi dalam

Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam Peraturan Tata Tertib DPR, hak Anggota

DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang (hak inisiatif) pun

disyaratkan harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota DPR

[vide Pasal 130 Ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR 2005-2006]. Dengan

demikian terbukti dalam Peraturan Tata Tertib DPR bahwa seorang Anggota

DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk mengusulkan suatu rancangan

undang-undang (RUU) secara perseorangan, melainkan harus secara kolektif.

RUU yang disusun Anggota DPR tersebut untuk menjadi RUU usul inisiatif

DPR pun harus disetujui dalam Rapat Paripurna DPR;

• Bahwa yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan

Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai institusi/lembaga. Sehingga,

sungguh janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi

kekuasaan DPR untuk membentuknya, masih dapat dipersoalkan

konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri in casu oleh Anggota DPR yang telah

ikut membahas dan menyetujuinya bersama Presiden. Memang benar ada

kemungkinan kelompok minoritas di DPR yang merasa tidak puas dengan

undang-undang yang telah disetujui oleh mayoritas di DPR dalam Rapat

Paripurna. Namun, secara etika politik (politieke fatsoen) apabila suatu undang-

undang yang telah disetujui oleh DPR sebagai institusi yang mencakup seluruh

anggotanya dengan suatu prosedur demokratis dan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, tentunya harus dipatuhi oleh seluruh

Anggota DPR, termasuk oleh kelompok minoritas yang tidak setuju;

• Bahwa dalam pada itu, DPR sebagai suatu organisasi yang berbentuk majelis

(college), terdapat sejumlah pemangku jabatan tunggal (eenmansambten)

97

namun masing-masing anggota tidak mewakili dirinya sendiri, melainkan dalam

bentuk kerja sama secara kelembagaan (institutie). Sebagai keputusan

kelembagaan jabatan majemuk (DPR), maka keputusan dimaksud merupakan

hasil yang dicapai secara bersama-sama. Hal dimaksud senada dengan

pendapat J.H.A. Logemann, Ambten kunnen zijn éénmansambt, d.i.

vertegenwoordigd door enkele ambsdrager, of veelhoofdig ambt. Hier is een

veelheid van ambtsdragers, die echter niet ieder voor zich het ambt

vertegenwoordigen, maar slechts in samenwerking. Als besluit van het ambt

geldt slechts een door hen in samenwerking gevonden formule (J.H.A.

Logemann, 1954: 105). Dengan demikian, jabatan Anggota DPR tidak

tergolong pemangku jabatan tunggal (éénmansambt) tetapi merupakan jabatan

majemuk atau samengesteldeambt. Para anggotanya tidak dapat mewakili

lembaga secara sendiri-sendiri tetapi harus secara kolegial. Oleh karena itu,

DPR secara kelembagaan tidak dapat diwakili oleh para Pemohon secara

sendiri-sendiri;

• Bahwa dari uraian tersebut di atas, ternyata terdapat perbedaan antara hak

dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR dengan hak dan/atau

kewenangan konstitusional DPR selaku lembaga (institutie). Dalam UUD 1945

hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR terdiri dari lima hal

sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 20A Ayat (3).

Sementara itu, hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR selaku lembaga

terdiri atas lima belas hal sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat

(2), Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1),

Pasal 20A Ayat (2), Pasal 22 Ayat (2), Pasal 24B Ayat (1), Pasal 24A Ayat (3),

serta Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945;

• Bahwa DPR merupakan satu lembaga yang terdiri atas Anggota DPR dan

Keputusan DPR sebagai lembaga bersumber dari Anggota DPR memang

benar. Tetapi tidak berarti setiap suara Anggota DPR dengan sendirinya

merupakan suara DPR sebagai lembaga. Suara DPR sebagai lembaga

memang bersumber dari Anggota DPR, tetapi suara seluruh Anggota DPR itu

baru menjadi suara DPR harus dikonversi melalui Rapat Paripurna DPR dan

diputus melalui musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara (voting).

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon

yang dirugikan adalah hak yang diberikan kepada DPR selaku lembaga, bukan

98

hak yang diberikan kepada Anggota DPR selaku perorangan. Dengan kata lain,

para Pemohon selaku Anggota DPR tidak mempunyai hak dan/atau

kewenangan yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas.

• Bahwa, dengan uraian di atas, jika para Pemohon sebagai perorangan Anggota

DPR menganggap Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 33

Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon,

maka sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUD 1945, para Pemohon berhak

mengajukan usul perubahan terhadap ketentuan undang-undang a quo. Hak

demikian tidak dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia yang bukan

Anggota DPR. Hal dimaksud sekaligus mempertegas bahwa pengertian

“perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK

bukanlah sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon;

• Bahwa dengan uraian tersebut di atas, telah nyata bahwa substansi persoalan

dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative review, bukan judicial

review. Sebab, jika DPR menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, sementara kewenangan untuk

membentuk dan mengubah undang-undang ada di tangannya sendiri, maka

tentu sangatlah ganjil jika DPR mengajukan permohonan pengujian undang-

undang kepada Mahkamah. Sebab, jika demikian, berarti DPR mempersoalkan

konstitusionalitas hasil tindakannya sendiri di hadapan Mahkamah. Jika

seandainya DPR alpa, sehingga membentuk undang-undang yang merugikan

hak konstitusionalnya sendiri, sesuatu yang sulit dibayangkan dapat terjadi, maka tidak terdapat halangan konstitusional apa pun baginya untuk melakukan

perubahan terhadap undang-undang tersebut;

• Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah

berpendapat, bahwa para Pemohon sebagai perorangan warga negara

Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi

sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, sehingga tidak

mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana

didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai

kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan

pengujian undang-undang a quo;

99

• Bahwa seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal

standing), quod non, permohonan a quo juga tidak dapat dikabulkan, karena

dengan dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan

adanya pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih

merugikan DPR sebagai lembaga maupun Anggota DPR;

4. KONKLUSI

Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan uraian tersebut di atas,

Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal

standing) dalam permohonan pengujian undang-undang a quo, sehingga

permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard);

[4.2] bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat

diterima, maka Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;

5. AMAR PUTUSAN

Dengan mengingat Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

Mengadili:

Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard);

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi

pada hari Kamis, 13 Desember 2007 oleh sembilan Hakim Konstitusi, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini, Senin, 17

Desember 2007, oleh kami, Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota,

H.A.S. Natabaya, H.M. Laica Marzuki, H. Achmad Roestandi, H. Abdul Mukthie

100

Fadjar, Soedarsono, H. Harjono, dan Maruarar Siahaan, masing-masing sebagai

Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti serta

dihadiri oleh para Pemohon/Kuasa para Pemohon, Pemerintah atau yang

mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait

Langsung;

KETUA,

ttd.

Jimly Asshiddiqie

ANGGOTA-ANGGOTA

ttd. H.A.S. Natabaya

ttd. H. M. Laica Marzuki

ttd. H. Achmad Roestandi

ttd. H. Abdul Mukthie Fadjar

ttd. Soedarsono

ttd.

H. Harjono

ttd. Maruarar Siahaan

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)

Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, dua orang Hakim

Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi H. Harjono dan Hakim Konstitusi Maruarar

Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions) yang selengkapnya

sebagai berikut:

101

[6.1] Hakim Konstitusi H. Harjono

Untuk dapat menentukan apakah Pemohon dalam hal ini perorangan

Anggota DPR mempunyai legal standing pada kasus a quo maka haruslah

dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Pemohon mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau yang

dikenal dengan judicial review terhadap undang-undang, yang mana kewenangan

tersebut diberikan oleh Pasal 24C UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.

Judicial Review atau pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 pada

hakikatnya didasarkan atas prinsip bahwa sebuah undang-undang tidak boleh

bertentangan dengan UUD 1945. Mengapa suatu UUD 1945 tidak boleh dilanggar,

karena UUD 1945 adalah hukum tertinggi yang di dalam hukum tertinggi tersebut

dimuat antara lain hak-hak konstitusi. Sebuah undang-undang yang kedudukannya

lebih rendah dari UUD 1945 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila

ada hak-hak konstitusi, yaitu hak yang terdapat di dalam konstitusi, dilanggar oleh

undang-undang, karena ternyata undang-undang yang bersangkutan telah

mengganggu, mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan hak yang terdapat

dalam konstitusi. Dengan demikian, dalam suatu uji undang-undang faktor hak

konstitusional sangat penting karena menjadi condition sine quo non.

Untuk menentukan apakah Anggota DPR mempunyai legal standing dalam

pengujian undang-undang haruslah dikaitkan dengan ada tidaknya hak-hak

konstitusional anggota DPR. UUD 1945 dalam Pasal 20A Ayat (3) menyatakan,

“… setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas“, dan Pasal 21

menyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul

rancangan undang-undang. Di samping hak Anggota DPR yang disebutkan dalam

ke dua pasal tersebut, UUD 1945 menetapkan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20A, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran,

dan fungsi pengawasan. UUD 1945 telah secara jelas dan logis mengatur

hubungan antara fungsi DPR dengan hak-hak Anggota DPR. Bahwa DPR terdiri

atas anggota-anggota DPR adalah hal yang sangat jelas dan untuk itu UUD 1945

menetapkan bahwa keanggotaan DPR itu dipilih dalam pemilihan umum (vide

Pasal 19 UUD 1945). Agar DPR dapat melaksanakan fungsi legislasi maka

menjadi hal yang sangat esensial untuk memberikan hak kepada Anggota DPR

102

mengajukan usul rancangan undang-undang, hal demikian dinyatakan oleh Pasal

21 UUD 1945. Akanlah merupakan suatu hal yang sangat tidak masuk akal

dengan adanya fungsi legislasi DPR tersebut justru kepada anggota tidak diberi

hak untuk dapat mengusulkan rancangan undang-undang, karena kemudian

mengharapkan dari siapa rancangan undang-undang tersebut datang, apakah

DPR tanpa anggota kemudian dapat membuat rancangan undang-undang.

Sebuah rancangan undang-undang pada hakikatnya adalah sebuah pendapat dari

orang yang mengajukan rangcangan tersebut, sehingga dengan adanya hak untuk

mengajukan RUU maka sekaligus di dalamnya memberikan hak kepada anggota

untuk menyampaikan pendapatnya dalam hal ini berwujud usul RUU.

Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan

perjanjian dengan negara lain. Pertanyaannya adalah bagaimana DPR dapat

memberikan persetujuan, tentunya hal tersebut dilakukan setelah mendengar

pendapat dari anggotanya. Oleh karenanya hak untuk menyampaikan pendapat

yang dimiliki oleh Anggota DPR merupakan dasar dari seluruh kekuasaan dan

fungsi yang dipunyai oleh DPR sebagai lembaga.

Di samping fungsi legislasi, DPR juga mempunyai fungsi pengawasan. Hakekat

pengawasan adalah berupa “pendapat“ DPR tentang objek yang diawasinya. DPR

menyatakan pengawasannya terhadap objek yang diawasi melalui pendapatnya

apakah terhadap objek tersebut terdapat persoalan, atau tidak terdapat persoalan.

Dari mana pendapat DPR tersebut dirumuskan tentu dari pendapat para Anggota

DPR. Dengan demikian, terbukti bahwa terdapat suatu hubungan yang sangat

erat antara hak menyatakan pendapat DPR [Pasal 20A Ayat (2)] dan hak

menyampaikan pendapat Anggota DPR [Pasal 20A ayat (3)], oleh karenanya

sangatlah logis UUD 1945 memberikan hak kepada Anggota DPR untuk

menyampaikan pendapat. Demikian halnya menjadi hal yang tidak masuk akal

pula jika kepada DPR diberi fungsi pengawasan yang isinya adalah pendapat DPR

tetapi kepada Anggota DPR tidak diberi hak untuk menyampaikan pendapat.

Pertanyaannya tentunya dari mana hasil pengawasan tersebut dirumuskan kalau

bukan dari pendapat para Anggota DPR.

Hubungan fungsional antara hak DPR dan hak Anggota DPR dapat dinyatakan

dalam suatu proposisi sebagai berikut, apabila fungsi pengawasan DPR terhadap

objek tertentu dihilangkan, maka akan berakibat bahwa hak berpendapat Anggota

103

DPR terhadap objek tersebut pun menjadi hilang. Sebaliknya, apabila fungsi

pengawasan DPR ditambah objeknya maka akan berakibat diperlukannya

pendapat Anggota DPR pada objek tersebut atau bertambahnya pendapat

Anggota DPR yang diperlukan.

Dari uraian tersebut di atas, maka hak menyampaikan pendapat Anggota DPR

adalah condition sine qua non agar DPR dapat melaksanakan fungsi pengawasan

DPR. Dari hakikat demokrasi yang tumbuh dari rakyat, pendapat Anggota DPR

adalah cerminan dari suara rakyat karena ia mewakili rakyat, oleh karenanya

justeru pendapat Anggota DPR lah yang menjadi dasar atau fondasi dari hak-hak

DPR, dan bukan sebaliknya bahwa hak berpendapat Anggota DPR merupakan

derivasi/turunan dari hak DPR.

UUD dengan jelas dan tegas serta logis mengatur hal yang demikian, sehingga

tidak memerlukan kecanggihan berpikir analitis untuk memahaminya. Urutan ayat

dalam Pasal 20A menggambarkan hal demikian dimulai dengan Ayat (1) yang

menyebutkan fungsi DPR, kemudian diikuti oleh Ayat (2) yang dengan jelas pula

menyatakan “untuk melaksanakan fungsinya” DPR mempunyai hak interpelasi,

hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak Anggota DPR yang disebut pada

Ayat (3) yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat

serta hak imunitas tentu dalam kaitan dengan Ayat (1) demikian membaca pasal

yang benar menurut ajaran hukum. Seluruh uraian tersebut bukanlah hasil sebuah

reka-reka karena secara kasat mata, tegas, lugas, dan jelas terdapat dalam UUD

1945.

Persoalan berikutnya adalah apakah hak konstitusional Anggota DPR yang

tersurat secara ekplisit di dalam UUD 1945 harus dijaga agar tidak dilanggar.

Apabila maksud dari pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah

menegakkan konstitusi, maka jelas bahwa hak tersebut termasuk hak yang harus

ditegakkan. Aturan yang diperlukan adalah tentang tata cara penegakannya atau

dikenal dengan hukum acara. Hukum acara yang disebut sebagai hukum formil

harus mengacu kepada hukum materiil, oleh karenanya hukum acara terkait dan

terikat hukum materiil. Konstitusi yang merupakan hukum materiil telah

memberikan hak konstitusional kepada Anggota DPR yang terhadap hak tersebut,

sebagaimana hak-hak konstitusional lain, berpotensi untuk dilanggar. Hukum

acara harus memberi jalan agar terhadap subjek yang dilanggar hak

104

konstitusionalnya dapat mempertahankan haknya dengan tata cara yang

ditentukan.

Pasal 51 UU MK yang menentukan sekaligus membatasi pihak-pihak yang dapat

mengajukan permohonan pengujian undang-undang harus merujuk kepada hukum

materiil yaitu UUD 1945 untuk menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan

permohonan pengujian. Apabila subjek hukum tertentu diberi hak oleh konstitusi,

maka hukum acara UU MK harus memberi peluang kepada subjek tersebut untuk

dapat mengajukan gugatan. Di dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf b UU MK

disebutkan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia ditetapkan sebagai pihak yang dapat menjadi Pemohon.

Penetapan yang demikian tidaklah tanpa dasar atau dilakukan tanpa pertimbangan

sama sekali justru hal itu ditetapkan karena di dalam UUD 1945 dijamin hak

masyarakat hukum adat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18B Ayat (2).

Susunan kata-kata dalam kalimatnya, UUD 1945 diulangi lagi oleh Pasal 51 Ayat

(1) huruf b UU MK. Penetapan bahwa lembaga negara dapat sebagai pihak

Pemohon oleh UU MK disebabkan hukum materiil UUD 1945 di dalamnya

mengatur kewenangan lembaga negara, demikian halnya badan hukum publik dan

privat yang oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya telah

digunakan untuk memberi legal standing kepada Lembaga Swadaya Masyarakat

sebagai badan hukum privat.

Kepada Anggota DPR yang jelas-jelas disebut mempunyai hak konstitusional tidak

sebagaimana halnya hak Lembaga Swadaya Masyarakat, seharusnya hukum

acara juga memberi hak untuk menjadi Pemohon sebagaimana masyarakat hukum

adat tersebut di atas. Apabila kemudian ternyata hukum acara tidak memberikan

hak kepada Anggota DPR, maka jelas ada kesalahan dalam penyusunan hukum

acara karena tidak mengacu kepada UUD 1945 sebagai hukum materiil dan

terhadap undang-undang yang demikian dapat diajukan judicial review. Di dalam

penentukan kualifikasi Anggota DPR untuk dapat mengajukan permohonan, di

antara empat kualifikasi yang disebutkan dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK yang

paling tepat adalah diberi kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia,

karena jelas Anggota DPR tidak termasuk dalam badan hukum privat atau publik,

masyarakat hukum adat, atau lembaga negara. Mahkamah untuk memberikan

legal standing kepada perorangan dalam putusan-putusannya sebenarnya telah

105

menerapkan dua kriteria tambahan setelah Pemohon memenuhi kualifikasi

sebagai perorangan warga negara Indonesia. Pertama adalah dalam kedudukan

atau kapasitas apa perorangan tersebut mengajukan permohonan. Seorang dokter

yang dia adalah warga negara Indonesia dalam kapasitasnya sebagai dokter oleh

Mahkamah diberi legal standing untuk mengajuan pengujian Undang-Undang

Praktik Kedokteran karena undang-undang tersebut memberikan kewajiban,

larangan serta hak kepada dokter. Sedangkan seorang pasien yang sama-sama

juga warga negara Indonesia ditolak legal standing-nya oleh MK karena ia tidak

berkapasitas sebagai dokter (Vide Putusan Perkara Nomor 4/PUU-V/2007).

Seorang Anggota DPR adalah memenuhi syarat sebagai perorangan warga

negara Indonesia dan untuk memberikan legal standing seharusnya dikaitkan

kapasitas apa ia mengajukan uji undang-undang a quo dan jawabnya adalah

sebagai Anggota DPR karena yang dipersoalkan hak yang terkait hak Anggota

DPR. Legal standing seharusnya diberikan kepada Anggota DPR karena UUD

1945 telah memberikan hak konstitusional dan hal tersebut sejajar dengan logika

ketika Mahkamah membedakan status antara dokter dan pasien dalam pemberian

legal standing untuk pengujian Undang-Undang Praktik Kedokteran. Setelah dapat

ditetapkan kapasitas Pemohon yang berkait dengan hak konstitusional yang

dimiliki, kemudian yang kedua, Mahkamah mempertimbangkan apakah Pemohon

tersebut dapat mendalilkan, yang cukup berupa sebuah anggapan saja, bahwa

hak konstitusionalnya secara potensial dilanggar, dalam pengertian tidak perlu

dibuktikan dahulu apakah memang benar-benar pemohon dirugikan karena hal

tersebut menjadi bagian dari pemeriksaan Pokok Permohonan.

Pasal 11 UUD 1945 menyebutkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

Maksud dari Pasal 11 UUD 1945 ini tentunya agar Presiden tidak semaunya

sendiri untuk menyatakan perang dan sebagainya, artinya Presiden perlu diawasi

oleh DPR dalam menggunakan kewenangan yang ditujukan ke luar. UUD 1945

tidak menentukan apakah pernyataan perang harus dalam bentuk undang-undang

karena adanya syarat persetujuan DPR. Persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD

1945 adalah merupakan hak pengawasan atau kontrol dari DPR yang berbeda

dengan hak legislasi yang memang menjadi hak DPR dalam pembuatan suatu

undang-undang. Presiden mewakili negara untuk urusan yang ditujukan kepada

pihak keluar, hanya saja dalam menggunakan kewenangan tersebut perlu

106

pengawasan DPR yaitu dengan cara pemberian persetujuan. Hal demikian adalah

berbeda dengan posisi Presiden pada saat membuat undang-undang, karena hak

untuk membuat UU ada pada DPR sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 20 Ayat

(1) UUD 1945. Pasal 11 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden

dengan kontrol atau pengawasan DPR. Pada pasal-pasal lain UUD 1945 juga

diatur hak pengawasan DPR kepada Presiden yang sifatnya lebih lunak, yaitu

berupa hak untuk memberikan pertimbangan, bukan persetujuan, apabila Presiden

mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain [Pasal 13 Ayat (2)

dan (3) UUD 1945], dan dalam pemberian amnesti dan abolisi [Pasal 14 Ayat (2)

UUD 1945].

Hubungan antara hak pengawasan yang dimiliki oleh DPR dan adanya hak

menyampaikan pendapat yang merupakan hak Anggota DPR sebagai dasar

dimungkinkannya DPR untuk melaksanakan hak pengawasannya serta

diperlukannya persetujuan DPR, yang pada hakikatnya merupakan hak

pengawasan yang ditujukan kepada Presiden dalam hal menggunakan

kewenangannya untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian

dengan negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945, cukup

memberikan dasar secara prima facie bahwa DPR mempunyai legal standing. Hal

demikian terlepas dari isu hukum dalam kasus a quo yang belum sampai diperiksa.

Isu hukum tersebut adalah:

• Apakah hak pengawasan Anggota DPR melalui hak berpendapat yang

berujung kepada pemberian persetujuan kepada Presiden sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 telah dihilangkan oleh Pasal 11 UU

Migas, atau

• Apakah hak pengawasan Anggota DPR melalui hak penyampaian pendapat

yang berujung kepada persetujuan DPR dalam pemberian hak Kuasa

Pertambangan sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Pertambangan

tidak memberikan dasar konstitusional pula dalam penerbitan Kontrak Kerja

Sama sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU Migas, karena baik UU Migas dan

Undang-Undang Pertambangan mempunyai dasar pada pasal yang sama

yaitu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang memberikan hak penguasaan negara

atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya.

Dengan uraian sebagaimana tersebut di atas seharusnya Mahkamah memberikan

legal standing kepada Anggota DPR karena memenuhi syarat sebagai perorangan

107

warga negara Indonesia yang berkapasitas sebagai Anggota DPR. Apabila

terhadap Anggota DPR tidak diberi legal standing dalam kualifikasi perorangan

warga negara Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran MK terhadap

Pasal 51 Ayat (1) UU MK menutup sama sekali Anggota DPR untuk mengajukan

permohonan, yang berarti tidak ada saluran hukum bagi seorang Anggota DPR,

padahal hak konstitusionalnya jelas-jelas disebut oleh UUD 1945. Penafsiran

demikian akan menyebabkan bahwa UU MK telah cacat hukum sebagai hukum

acara karena tidak memfasilitasi hukum materiilnya yaitu UUD 1945 yang di

dalamnya memberikan hak konstitusional kepada Anggota DPR, dan undang-

undang yang demikian dalam hal ini Pasal 51 Ayat (1) dapat diajukan untuk diuji

karena menghilangkan hak konstitusional Anggota DPR. Dengan cara tidak

memberi legal standing kepada Anggota DPR, Mahkamah Konstitusi telah gagal

untuk menjaga Konstitusi karena melalui penafsirannya yang tidak logis

Mahkamah Konstitusi menggunakan hukum acara untuk menjagal Konstitusi. Hal

demikian tidak akan terjadi apabila Mahkamah dengan konsisten menerapkan

penafsiran yang selama ini telah dibangunnya sendiri.

Seharusnya pula, Mahkamah dalam perkara a quo tidak sampai pada suatu

pendapat bahwa Anggota DPR harus kehilangan hak konstitusionalnya untuk

memasalahkan undang-undang di depan Mahkamah melalui uji undang-undang

karena Anggota DPR tersebut telah ikut membahas dan mengesahkan undang-

undang karena secara etika politik, menurut Mahkamah, seharusnya anggota

tersebut mematuhi meskipun mereka termasuk kelompok minoritas yang tidak

setuju. Mahkamah tidak memberi alasan atau dasar konstituional mengapa hak

Anggota DPR tersebut menjadi hilang setelah ia ikut membahas dan

mengesahkan tetapi hanya berdasarkan etika politik. Apakah Mahkamah akan

memberikan hak konstitusional Anggota DPR apabila ternyata ia tidak ikut

membahas dan mengesahkan artinya ia tidak menghadiri persidangan sama

sekali. Persoalan berikutnya adalah etika politik yang mana yang menjadi dasar

demikian. Mahkamah harus dengan saksama mempertimbangkan pendapatnya

tersebut. Apabila sebuah undang-undang melanggar UUD 1945, maka apa yang

disebut Mahkamah sebagai etika tersebut dipertaruhkan keberadaannya.

Pertanyaannya, apakah Mahkamah akan menolak memberikan legal standing

kepada Anggota DPR hanya karena alasan etika politik sebagaimana ditafsirkan

oleh Mahkamah sendiri, padahal pada saat yang bersamaan Mahkamah dapat

108

menemukan dasar konstitusional yang mendukung pemberian legal standing

kepada Anggota DPR. Dalam uji undang-undang terhadap UUD 1945, nilai etika

politik yang tertinggi adalah penghargaan dan penghormatan terhadap hak yang

dijamin oleh UUD 1945, dan bukan nilai etika politik lainnya. Sehingga UUD 1945

sebagai hukum tertinggi negara yang di dalamnya terkandung dasar negara

seharusnya menjadi sumber etika politik dan bukan sumber etika politik yang lain

yang diutamakan yang tidak sesuai dengan UUD 1945.

Adapun terhadap pandangan bahwa seharusnya Pemohon menempuh legislative

review dan bukan judicial review, saya berpendapat sebagai berikut:

Kedua cara tersebut memang dapat melakukan perbaikan atau perubahan

substansi undang-undang. Namun adalah suatu hal yang tidak tepat bahwa

masalah konstitusionalitas undang-undang selalu dapat diselesaikan dengan

legislative review. Dapat saja terjadi legislative review dilakukan tetapi tetap saja

undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah

telah pernah menguji undang-undang perubahan dari undang-undang yang ada

sebelumnya, namun demikian masih tetap saja ditemukan substansi yang

bertentangan dengan UUD 1945 (vide Putusan Perkara Nomor 67/PUU-II/2004).

Hal demikian berbeda dengan judicial review. Dalam persoalan konstitusionalitas,

Mahkamah telah beberapa kali memutus pengujian undang-undang yang

kemudian atas dasar Putusan Mahkamah tersebut pembuat undang-undang perlu

menyesuaikan, dan pembuat undang-undang kemudian menyiapkan rancangan

perubahan undang-undang (vide Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 dan

Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006), yang artinya untuk konstitusionalitas

undang-undang, judicial review memang cara yang harus dilakukan. Pemohon

dalam permohonannya tidak hanya sekadar ingin mengubah Pasal 11 UU Migas,

yang kemudian oleh karenanya dilakukan dengan mengadakan legislative review

yang nasibnya ditentukan oleh dukungan di DPR dan persetujuan Presiden, tetapi

yang dipersoalkan Pemohon adalah apakah Pasal 11 UU Migas konstitusional

atau tidak, yang jawabannya secara hukum hanya dimungkinkan apabila dilakukan

judicial review. Tom Ginsburg menyatakan dalam kesimpulan tulisannya bahwa

“By ensuring that losers in the legislative arena will be able to bring claims to court,

judivial review lowers the cost of constitution making and allows drafters to

conclude constitutional bargains that would otherwise be unobtainable“ (Judicial

Review in New Democraties, Constitutional Courts in Asian Cases. h. 33).

109

Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa terhadap mereka yang kalah dalam

arena legislative dapat membawanya ke depan pengadilan, tentu yang

bersangkutan dengan persoalan konstitusionalitas dan bukan pilihan kebijakan

hukum, dan cara tersebut dapat mengakhiri tawar-menawar konstitusional yang

tidak dapat dicapai dalam arena legislative. Usulan Mahkamah agar kasus a quo

diselesaikan secara legislative review mengambarkan pandangan Mahkamah yang

ambigu karena pada saat menilai legal standing Pemohon, Mahkamah menolak

dengan alasan Pemohon adalah Anggota DPR dan bukan DPR yang dapat

memasalahkan hak pengawasan, tetapi justru pada saat bersamaan Mahkamah

menyatakan supaya pada perkara a quo, artinya yang melibatkan Pemohon

secara langsung, dilakukan dengan legislative review yang jelas-jelas hak legislasi

ada di DPR dan bukan Pemohon.

Adanya Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 130 Ayat (1) yang mensyaratkan bahwa

hak inisiatif rancangan undang-undang harus diusulkan sekurang-kurangnya 13

orang, saya berpendapat berbeda kalau hal tersebut digunakan oleh Mahkamah

untuk membuktikan bahwa seorang Anggota DPR tidak dapat menggunakan

haknya secara perorangan atau telah menghilangkan hak perorangan Anggota

DPR. Kalau saja pemikiran Mahkamah yang diikuti tentunya akan timbul persoalan

hukum lagi. Tata Tertib DPR adalah hukum acara/formil untuk melengkapi

pelaksanaan hak yang dijamin oleh UUD 1945. Apabila hukum acara kemudian

menghilangkan hak perorangan Anggota DPR yang disebut dalam UUD 1945

maka hukum acara tersebut yang harus disisihkan, hal demikian adalah asas yang

berlaku umum bagi hukum formil. Tatib tersebut menurut pendapat saya tidak

menghilangkan substansi hak perorangan Anggota DPR. Ketentuan tersebut harus

dimaknai bahwa meskipun seorang Anggota DPR mempunyai hak mengajukan

usul RUU atau menyampaikan pendapat, namun agar supaya RUU perorangan

menjadi RUU atau pendapat DPR tentunya diperlukan dukungan yang cukup di

dalam forum DPR. Adanya syarat 13 anggota dimaksudkan untuk memberi bukti

awal bahwa telah cukup dukungan terhadap suatu rancangan RUU atau pendapat

seorang Anggota DPR, sehingga usul tersebut dianggap perlu yang kemudian

dibahas di DPR dan Tatib tersebut tidak bermaksud untuk menghilangkan hak

perorangan. Ketentuan diusulkan sekurang-kurangnya 13 orang tidak diberi syarat

bahwa usul tersebut haruslah hasil bersama dari ketiga belas Anggota DPR.

Apabila ada usul yang dirancang atau pendapat yang berasal dari satu orang saja

110

yang kemudian ada dua belas orang mendukungnya maka usul rancangan atau

pendapat tersebut harus diterima oleh DPR dan kemudian dilakukan pembahasan.

Dengan demikian masih ada hak seorang Anggota DPR. Peraturan Tata Tertib

tersebut tetap berinduk pada hukum materiil yaitu UUD 1945. Pandangan

Mahkamah pun juga tidak jelas maksudnya apakah untuk dapat menggunakan hak

konstitusional di depan Mahkamah ini Pemohon harus berjumlah 13 anggota oleh

karenanya perlu dirujuk Peraturan Tata Tertib DPR. Kalau demikian halnya berarti

permasalahan Pemohon adalah kurang jumlah pendukungnya. Perlu diingat

bahwa selain Pemohon a quo pernah ada permohonan dari banyak Anggota DPR

lain untuk bergabung sebagai Pemohon, tetapi Rapat Permusyawaratan Hakim

menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa tidak relevan jumlah

Pemohon dalam permohonan a quo karena hal yang dipersoalkan menyangkut

masalah hukum yang sama. Dengan dasar uraian sebagaimana tersebut di atas,

maka seharusnya Mahkamah memberikan legal standing kepada Pemohon.

[6.2] Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan

Para Pemohon sebanyak delapan orang, yang mengkualifikasi dirinya sebagai

perorangan Anggota DPR hemat kami memiliki legal standing atas alasan-alasan

berikut:

1. Satu lembaga negara yang terdiri dari banyak anggota seperti DPR, masing-

masing merupakan jabatan, yang memikul dan melaksanakan hak dan

kewenangan lembaga secara sama dengan seluruh anggota lainnya. Lembaga

sebagai satu struktur yang dikonstruksi dari para anggota, hanya mungkin

dapat melaksanakan hak dan kewenangannya melalui anggota, dan tanpa

keanggotaan demikian sebagai pendukung lembaga yang menjalankan hak

dan kewenangannya, DPR sebagai lembaga tidak dapat menjalankan

fungsinya. Anggota-anggota melaksanakan fungsinya baik secara serempak

atau sendiri-sendiri dalam hubungan timbal balik, sebagaimana

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

2. Hak dan kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada DPR antara lain untuk

membentuk undang-undang [Pasal 20 Ayat (1), fungsi legislasi, fungsi

anggaran dan fungsi pengawasan [Pasal 20A Ayat (1)], hak interpelasi, hak

angket dan hak menyatakan pendapat [Pasal 20A Ayat (2)] dan hak

mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat ... [Pasal 20A Ayat

111

(4)] di samping yang secara tegas diberikan kepada Anggota DPR, maka yang

juga tidak disebut secara tegas diberikan kepada anggota, adalah merupakan

hak konstitusional yang dengan sendirinya dimiliki dan dijalankan oleh anggota,

agar hak dan kewenangan DPR sebagai lembaga atau organ dengan jabatan

ganda, dapat dijalankan.

3. Oleh karena ternyata hak dan kewenangan konstitusional anggota DPR

diberikan oleh konstitusi, maka tafsiran yang harus diberikan kepada Pasal 51

Ayat (1) UU MK yang mengatur tentang masalah standing, harus dilakukan

sedemikian rupa dalam rangka menegakkan konstitusi yang memuat hak dan

kewenangan Anggota DPR tersebut, dan bukan sebaliknya.

4. Sebagai perorangan Anggota DPR maupun sebagai jabatan (ambt) yang tidak

tunggal, maka Anggota DPR yang terpilih sebagai representasi rakyat pemilih

yang terdiri dari perorangan warga negara, diberi hak dan kewenangan

konstitusional adalah untuk kepentingan dan perlindungan rakyat yang

diwakilinya, baik dalam rangka perlindungan hak dan kebebasan rakyat secara

individual, maupun perlindungan hak-hak dan hajat hidup orang banyak secara

kolektif yang telah dijamin dalam UUD 1945.

5. Terjadinya pergeseran sebagai negara demokrasi setelah perubahan UUD

1945 dari supremasi parlemen, yang digambarkan oleh bunyi Pasal 1 Ayat (2)

UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi, “Kedaulatan adalah ditangan

rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”,

kearah supremasi konstitusi dalam bunyi Pasal 1 Ayat (2) setelah

amandemen “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”, telah dilanjutkan dengan pemberian kewenangan

menguji konstitusionalitas undang-undang tersebut terhadap UUD 1945 kepada

Mahkamah Konstitusi.

6. Substansi constitutional democracy, adalah demokrasi yang dijalankan sesuai

dengan prinsip konstitusionalisme, di mana pemerintahan dibatasi konstitusi,

yang juga merupakan hal yang diakui dalam paham demokrasi dalam

supremasi parlementer. Akan tetapi, secara berbeda constitutional democracy

tidak lagi hanya mengandalkan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat

dan politik ditentukan wakil-wakil yang dipilih rakyat. Bagian lain dari demokrasi

yang meliputi nilai-nilai dasar yang khusus (particular fundamental values)

112

berupa hak perseorangan dan hak kolektif yang dijamin konstitusi, diperlakukan

menjadi constitutional boundaries, yang harus dipatuhi pembentuk undang-

undang. Implikasi yang timbul dan menjadi tugas setiap Anggota DPR dalam

sistim yang demikian adalah kewajiban dan hak konstitusionalnya untuk

menjaga bagaimana mayoritas dalam DPR tetap berada dalam constitutional

bounds yang ditentukan.

7. Oleh karena hak dan kewenangan konstitusional Anggota DPR jelas

dirumuskan dan diberikan dalam UUD 1945, tugas Pasal 51 Ayat (1) UU MK

yang mengatur standing Pemohon, baik sebagai perorangan warga negara

Indonesia, yang berkedudukan sebagai Anggota DPR dan pasti mewakili hak

dan kepentingan kelompok orang sebagai konstituen pemilih, maupun sebagai

lembaga negara dalam kedudukan Anggota DPR dalam organ dengan jabatan

yang ganda, maka setiap pembatasan, pengurangan dan penghapusan sama

sekali hak-hak konstitusional Anggota DPR yang disebut dalam UUD 1945,

oleh berlakunya satu undang-undang, akan memenuhi kriteria dalam Pasal 51

Ayat (1) UU MK tersebut maupun kriteria standing yang diuraikan secara rinci

dalam putusan-putusan tetap Mahkamah.

8. Dipilihnya lembaga MK untuk menjalankan kewenangan Judicial Review

undang-undang, mengikuti model Hans Kelsen yang secara dominan diikuti di

Eropa, menyebabkan perlunya tafsir studi perbandingan (comparative study

interpretation) dalam menerapkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK. Secara hampir

merata, legal standing dalam pengujian undang-undang dalam jurisdiksi MK di

Eropa, pertama-tama diberikan kepada lembaga negara, baik eksekutif,

minoritas dalam legislatif maupun yudikatif, dalam bentuk rujukan (referral) dari

peradilan umum kepada MK. Barulah kemudian standing diberikan kepada

individu atau perorangan dalam concrete-norm control, dengan syarat-syarat

yang ketat, di mana atas dasar prinsip subsidiaritas, MK berperan hanya

setelah semua jalur hukum yang tersedia telah dipergunakan (exhausted).

Dilihat dari sifat pengujian, bobot maupun isinya maka pemberian standing

pada kualifikasi Pemohon yang berbeda demikian akan turut menentukan

tercapainya tujuan mekanisme checks and and balance secara efektif.

9. Seandainyapun ada ketentuan undang-undang dan aturan Tata Tertib DPR

tentang siapa yang berhak tampil mewakili DPR di dalam Pengadilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 22

113

Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 27 huruf f

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka

tugas dan wewenang Pimpinan mewakili DPR di Pengadilan adalah dalam

konteks sebagai Penggugat atau Tergugat di depan peradilan biasa, dan

sebagai lembaga pemberi keterangan di depan Mahkamah Konstitusi dalam

perkara pengujian undang-undang. Karena DPR sebagai lembaga negara yang

membentuk undang-undang dalam mekanisme demokrasi yang wajib memberi

keterangan di depan MK dalam hal adanya permohonan pengujian undang-

undang, maka ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan untuk menafsirkan

bahwa seorang Anggota DPR yang memperoleh wewenang dan haknya dari

UUD 1945, tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian

undang-undang di depan Mahkamah Konstitusi, karena hal itu telah menjadi

hak dan kewenangan serta kewajiban anggota DPR dalam rangka

mempertahankan constitutional bounds dalam pembuatan undang-undang,

untuk mencegah mayoritas atau kompromi politik yang terjadi berada di luar

constitutional bounds tersebut. Pernyataan bahwa Anggota DPR berhak

mengajukan RUU perubahan sebagai satu mekanisme legislative review yang

lebih layak, meskipun benar hal itu menjadi hak Anggota DPR, namun

merupakan lembaga yang berbeda, yang penggunaannya dibanding dengan

judicial review akan didasarkan pada perimbangan kekuatan politik, sehingga

pilihan secara rasional dalam mencapai tujuan yang sama-sama konstitusional,

tidak ditutup;

10. Akan tetapi menjadi pertanyaan, apakah Anggota DPR yang telah turut

menyetujui satu RUU menjadi undang-undang juga diberikan standing, dan

apakah ada satu jumlah tertentu yang harus ditentukan minimal untuk dapat

memberi standing kepada Anggota DPR sebagai perorangan dalam jabatannya

demikian. Hemat kami anggota yang telah turut menyetujui RUU menjadi

undang-undang, tidaklah memiliki dasar untuk mengajukan uji materil atas

undang-undang yang telah disetujuinya, sebab dia juga terikat pada konsensus

yang diberikan, dan kalau tidak hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian

hukum. Meskipun satu jumlah minimal tertentu sebagai syarat legal standing

bagi Anggota DPR dapat memberi rasionalisasi atas bobot penting uji

konstitutionalitas norma yang diajukan, namun paralel dengan bunyi Pasal 51

Ayat (1) UU MK yang memberi standing juga pada perorangan, maka seorang

114

Anggota DPR pun yang mengajukan uji materi undang-undang terhadap UUD

1945 tidak akan mempengaruhi keabsahan permohonan tersebut sepanjang

dapat ditunjukkan adanya constitusional bounds yang telah dilanggar.

Berdasar seluruh uraian tersebut di atas, hemat kami seyogianya

Mahkamah memutuskan bahwa para Pemohon memiliki legal standing untuk

mengajukan permohonan ini dan mempertimbangkan Pokok Permohonan

sebagaimana diuraikan di bawah;

Pokok Permohonan

Materi UU Migas yang dimohon untuk diuji, adalah Pasal 11 Ayat (2) Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang bunyinya sebagai berikut, “Setiap kontrak

kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Ketentuan mana dianggap telah

bertentangan dengan pasal-pasal:

1. Pasal 11 Ayat (2);

2. Pasal 20 Ayat (1); 3. Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.

Terhadap hal itu kami berpendapat sebagai berikut:

1. Meskipun bunyi Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian

internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi

kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, kami dapat menyetujui pendapat

Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang

dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam Pasal 1

dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties)

dan Pasal 2 Ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian

Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional

yang merupakan ruang lingkup Pasal 11 UUD 1945, dan karena itu

permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup

beralasan.

2. Akan tetapi, bunyi Pasal 11 Ayat (2) tersebut dikaitkan dengan Pasal 20A Ayat

(1) UUD 1945, sesungguhnya menekankan pentingnya pengawasan Dewan

115

Perwakilan Rakyat dilakukan atas tindakan-tindakan pemerintahan yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

terkait dengan beban keuangan negara, terutama berkenaan dengan Pasal 33

Ayat (3) yang menyangkut sumber daya alam, yang harus dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya

alam, yang menjadi potensi yang tidak terbarukan dalam kehidupan sosial dan

ekonomi bangsa dan negara, yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat, dan yang merupakan milik kolektif rakyat, harus dilihat

kembali dalam konsepsi yang diletakkan Mahkamah Konstitusi sebagai tafsir

atas Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dalam Putusan Nomor 01-02-022/PUU-I/

2003 sebagai berikut ini:

“...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana

dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian

yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum

perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik

yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945,

baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).

Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber,

pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan

bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian

pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara, pada hakikatnya

adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada

negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya

kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 Ayat (3) menentukan, “bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

“... pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna

penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari

konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di

dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber

sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan

116

oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan

fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan

(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) oleh

negara. ...fungsi pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad)

dilakukankan oleh Negara, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan

agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber kekayaan

dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

seluruh rakyat”.

3. Pengalaman Negara-Negara di dunia, baik negara maju apalagi negara

berkembang, dalam kontrak-kontrak pengusahaan minyak dan sumber daya

mineral pada umumnya, sebagaimana diungkapkan dari hasil penelitian

ekonom dunia, bahwa terlalu sering negara tidak mendapat nilai penuh dari

sumber daya alamnya, karena harus tergantung pada aparat pemerintahan dan

kontraktor swasta yang mempunyai tujuan lain, yaitu memaksimalkan

penghasilan mereka sendiri sebesar-besarnya, yang pada gilirannya berarti

memperkecil jumlah pembayaran yang harus disetorkan kepada Pemerintah.

Dikatakan bahwa tantangan utama yang dihadapi tiap pemerintahan adalah

untuk mencari cara bagaimana bekerja sama dengan para aktor di luar

pemerintahan, yang tujuan utamanya sangat berbeda secara radikal dari

Pemerintah, dan bagaimana seharusnya Pemerintah bekerja sama dengan

sektor swasta untuk memaksimalkan total penerimaan pendapatan dari

kekayaan alam negaranya (Joseph E Stiglitz, dalam Escaping The Resource

Curse, 2007, hal. 28).

4. Pemilik dikatakan harus berhati-hati, karena pada umumnya prospek

kecurangan sangat nyata dan sangat besar, dan dapat muncul pada tiap

tahapan transaksi. Risiko berhubungan dengan kontrak yang kompleks adalah

bahwa perusahaan minyak sering lebih memahami nilai pasar sebenarnya dari

kontrak itu dibanding Pemerintah. Pengalaman empirik negara maju dan

berkembang yang diungkapkan dari penelitian yang dilakukan, dihubungkan

dengan keterangan ahli yang diajukan Pemohon, telah membuktikan

diperlukannya kemampuan untuk membentengi diri dalam pengusahaan

sumber daya alam berhadapan dengan pengusaha swasta yang biasanya

memiliki kemampuan negosiasi dan drafting kontrak yang jauh lebih baik, agar

117

amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dapat tercapai melalui efektivitas fungsi

pengawasan yang dilakukan oleh (Anggota) DPR.

5. Yang menjadi pertanyaan, apakah metode yang diatur dalam Pasal 11 Ayat (2)

UU Migas sebagai “bentuk pengawasan” dalam rangka mengoptimalkan

pengusahaan sumber daya alam bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat,

sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 20A Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat

(3) UUD 1945, yang telah dirumuskan pengertiannya oleh MK dalam putusan-

putusannya, telah dipandang memadai dan sesuai dengan amanat konstitusi.

Dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya Kontrak

Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani,

tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik

kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan

dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan

oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan

mengandung di dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi

dan kenyataan tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-

aspek mendasar dalam kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun

kontrak kerja sama bidang migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan

tertulis saja kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU

Migas, maka pasal tersebut telah tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

6. Keterangan ahli yang diajukan Pemerintah, tentang pengawasan yang

dilakukan, apakah lebih efektif sebelum atau sesudah perjanjian

ditandatangani, yang menyatakan bahwa hal itu akan tergantung pada potensi

kompetitif SDA yang dimiliki negara lain, hemat kami tidak relevan, karena sifat

minyak dan gas bumi yang tidak terbarukan serta permintaan yang selalu lebih

besar dari supply, yang bukan pula tidak terbatas, menyebabkan kehati-hatian

dalam eksploitasi SDA menuntut seluruh proses harus benar-benar diawasi,

sehingga kesempatan terbatas untuk memanfaatkannya dalam mendanai

pembangunan bagi kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya tidak hilang begitu

saja. Oleh karenanya prinsip yang juga harus dipedomani bersama, dengan

memperhitungkan kecepatan dalam pengambilan keputusan dan kepastian

hukum yang dibutuhkan dalam kegiatan investasi, kami tetap merujuk pada

118

perlunya transparansi akan syarat-syarat perjanjian yang diajukan, yang

menyangkut hal yang sangat mendasar dalam jaminan untuk memperoleh

bagian yang adil dan layak bagi Negara, dengan memperhitungkan tingkat

pengembalian investasi yang wajar dibanding kewajiban dan risiko yang

dihadapi penanam modal.

7. Mekanisme pengawasan DPR dalam Kontrak Karya di bidang Pertambangan

lain sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

1967, pada Ayat (3) menyatakan bahwa kontrak karya tersebut berlaku

sesudah berkonsultasi dengan DPR, apabila menyangkut bahan galian:

unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan

termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam.

Mekanisme demikian, yang lebih sesuai dengan amanat Pasal 20A dan Pasal

33 Ayat (3) UUD 1945, jelas merujuk pada kedaulatan rakyat sebagai pemilik

kolektif yang berkepentingan bagi terpenuhinya kesejahteraan rakyat yang

sebesar-besarnya, seyogianya secara konsisten dijadikan standard sebagai

maksud Pasal 20A dikaitkan dengan Pasal 33 Ayat (3) dalam pengertian yang

telah dirumuskan Mahkamah sendiri;

Berdasar seluruh uraian di atas, kami berpendirian bahwa Pasal 11 Ayat (2) UU

Migas bertentangan dengan Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dan

karenanya Mahkamah Konstitusi seyogianya mengabulkan sebagian

permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Cholidin Nasir

PUTUSANNomor 36/PUU-X/2012

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] I. Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang didirikan berdasarkan

Ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 5 Staatsblaad 1870 Nomor

64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang

kemudian disahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal

Hindia Belanda Nomor 81 tertanggal 22 Agustus 1914 selanjutnya

disesuaikan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor

AHU-88.AH.01.07. Tahun 2010. Berkedudukan di Jalan Cik di Tiro

Nomor 23, Yogyakarta dan Jalan Menteng Raya Nomor 62 Jakarta

Pusat dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin,

MA dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum PP

Muhammadiyah, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas

nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai Pemohon I;

II. Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, yang terdaftar dalam

Kementerian Dalam Negeri Republik Direktorat Jenderal Kesatuan

Bangsa dan Politik Nomor 44/D.III.2/VI/2006. Berkedudukan di

Jakarta dalam hal ini diwakili oleh Ir. Rahmat Kurnia. M.Si dalam

kedudukannya sebagai Ketua, oleh karenanya sah bertindak untuk

dan atas nama Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, sebagai

Pemohon II;

III. Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, yang Keputusan

Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Nomor JA/5/86/23 dan

terdaftar ulang di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia

2

Nomor 104/DIII.3/XII/2006. Berkedudukan di Jakarta, sebagai

Pemohon III;

IV. Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia yang terdaftar dalam

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Kesatuan Bangsa dan Politik Nomor 117/D.III.3/III/2010.

Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini diwakili oleh H. Muhammad

Mufti dalam kedudukannya sebagai Presiden Lajnah Tanfidziyah

Syarikat Islam Indonesia, dan oleh karenanya sah bertindak untuk

dan atas nama Dewan Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia,

sebagai Pemohon IV;

V. Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam yang

didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor

C-266.HT.03.06-Th. 2004 tertanggal 23 September 2004 dan

keterangan terdaftar berdasarkan keterangan Kementerian Dalam

Negeri Nomor 09/D.III.3/II/2006. Berkedudukan di Jalan Taman

Amir Hamzah Nomor 2 Jakarta Pusat 10320 dalam hal ini diwakili

oleh Drs. Djauhari Syamsuddin dalam kedudukannya sebagai

Ketua Umum PP Syarikat Islam, oleh karenanya sah bertindak

untuk dan atas nama PP Syarikat Islam, sebagai Pemohon V;

VI. Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia yang

terdaftar berdasarkan keterangan Kementerian Dalam Negeri

Nomor 82/D.I/VI/2003. Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini

diwakili Drs. H. Imam Suhardjo HM oleh dalam kedudukannya

sebagai Sekretaris Jenderal dan oleh karenanya sah bertindak

untuk dan atas nama PP Persaudaraan Muslimin Indonesia,

sebagai Pemohon VI;

VII. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah yang terdaftar melalui

Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik

Indonesia Nomor 80/D.I/VI/2001. Berkedudukan di Jakarta dalam

hal ini diwakili oleh KH Abdullah Djaidi dalam kedudukannya

sebagai Ketua Umum PP Al Irsyad Al Islamiyah, oleh karenanya

sah bertindak untuk dan atas nama PP Al Irsyad Al Islamiyah,

sebagai Pemohon VII;

3

VIII. Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia yang

Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini diwakili oleh H. Muhtadin

Sabili dalam kedudukannya sebagai Ketua PB Pemuda Muslimin

Indonesia, oleh karenannya sah bertindak untuk dan atas nama

PB Pemuda Muslimin Indonesia, sebagai Pemohon VIII;

IX. AL Jami’yatul Washliyah, berdasarkan hak hukum menurut

penetapan Menteri Kehakiman tanggal 17 Oktober 1956 Nomor J-

A-/74/25 telah diperbaharui dengan Keputusan Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 9 Mei 2006 Nomor

C-20.HT.01.06. TH.2006 dan tercatat di Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia tanggal 19 Desember 2006 Nomor

101. Yang dalam hal ini diwakili oleh Drs. HA. Aris Banadji dalam

kedudukannya sebagai Ketua, oleh karenannya sah bertindak

untuk dan atas nama PB AL Jami’yatul Washliyah, sebagai

Pemohon IX;

X. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan

Karyawan (SOJUPEK), berdasarkan Akta Pendirian Nomor 05

tanggal 9 September 2011 Notaris Hanita Sentono, SH,

berkedudukan di Jalan Gadjah Mada Nomor 16B Jakarta Pusat,

yang diwakili oleh Lieus Sungkharisma dalam kedudukannya

sebagai koordinator, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas

nama SOJUPEK, sebagai Pemohon X;

XI. K.H. Achmad Hasyim Muzadi, Warga Negara Indonesia, Guru,

Jalan Cengger Ayam Nomor 25 RT001/RW0014, Tulus Redjo,

Lowokwaru, Malang, sebagai Pemohon XI;

XII. Drs. H. Amidhan, Warga Negara Indonesia, Pensiunan, Komplek

Departemen Agama Nomor 26, Kedaung Kali Angke, Cengkareng,

Jakarta Barat, sebagai Pemohon XII;

XIII. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Warga Negara Indonesia, PNS,

Jalan Semanggi II Nomor 3 RT 003/RW 003 Cempaka Putih,

Ciputat Timur, Tangerang, sebagai Pemohon XIII;

4

XIV. Dr. Eggi Sudjana. SH, M.Si, Warga Negara Indonesia, Advokat,

VIP Jalan Sultan Agung Nomor 1 RT 005/RW 006, Babakan, Kota

Bogor Tengah, Bogor, sebagai Pemohon XIV;

XV. Marwan Batubara, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan

Depsos I Nomor 21, RT 001, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta

Selatan, sebagai Pemohon XV;

XVI. Drs. Fahmi Idris, MH, Warga Negara Indonesia, Jalan Mampang

Prapatan IV/20, RT015/RW002 Tegal Parang, Mampang Prapatan,

Jakarta Selatan, sebagai Pemohon XVI;

XVII. Moch. Iqbal Sullam, Warga Negara Indonesia, Swasta, jalan

Petojo Sabangan V Nomor 10, RT 004/RW 004, Petojo Selatan,

Gambir, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XVII;

XVIII. Drs. H. Ichwan Sam, Warga Negara Indonesia, Dosen,

Komplek Patriajaya Blok A Nomor 90B RT 002/RW 013, Jati

Rahayu, Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, sebagai

Pemohon XVIII;

XIX. Ir. H. Salahuddin Wahid, Warga Negara Indonesia, Jalan Irian

Jaya 10 Tebu Ireng RW 11 RW 009, Jombang, Jawa Timur,

sebagai Pemohon XIX;

XX. Nirmala Chandra Dewi M, SH, Warga Negara Indonesia,

Wiraswasta, Jalan Cemara Nomor 21, RT 003/RW 003,

Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XX;

XXI. HM. Ali Karim OEI, SH, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,

Jalan Duri Mas Raya I/221 RT 003/RW 010, Duri Kepa, Kebon

Jeruk, Jakarta Barat, sebagai Pemohon XXI;

XXII. Adhie M. Massardi, Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta,

Pondok Timur Mas A Nomor 22, RT 009/RW 013, Bekasi Selatan,

Kota Bekasi, sebagai Pemohon XXII;

XXIII. Ali Mochtar Ngabalin, Warga Negara Indonesia, Karyawan

Swasta, Jalan Menteng Raya Nomor 58 RT 001/RW 009, Kebon

Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XXIII;

5

XXIV. Hendri Yosodiningrat, SH, Warga Negara Indonesia, Advokat,

Jalan Margasatwa Raya, Nomor 888 HY Pondok Labu, Cilandak,

Jakarta Selatan, sebagai Pemohon XXIV;

XXV. Laode Ida, Warga Negara Indonesia, Anggota DPD RI, Jalan

Batas Barat III Nomor 58, RT 006/RW 003, Kalisari, Pasar Rebo,

Jakarta Timur, sebagai Pemohon XXV;

XXVI. Sruni Handayani, Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta,

Jalan Cianjur Nomor 10 RT 007/RW 004, Menteng, Jakarta Pusat,

yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXVI;

XXVII. Juniwati T. Maschun S, Warga Negara Indonesia, Anggota DPD,

Jalan Kolonel Sugiono BLK D/17, Duren Sawit, Jakarta Timur,

sebagai Pemohon XXVII;

XXVIII. Nuraiman, Warga Negara Indonesia, Mahasiswa, Kedaung Hijau

Blik D 11/43 RT001/RW005, Desa Kedaung, Pamulang,

Tangerang Selatan, sebagai Pemohon XXVIII;

XXIX. Sultana Saleh, Warga Negara Indonesia, Jalan Kebon Jahe III/2

RT 002/RW 001, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, sebagai

Pemohon XXIX;

XXX. Marlis, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan Kramat Pulo

GG, RT 002/RW 003, Kramat, Senen, Jakarta Pusat, sebagai

Pemohon XXX;

XXXI. Fauziah Silvia Thalib, Warga Negara Indonesia, Jalan Tamansari

IV Nomor 33 RT 001/RW 003, Maphar, Tamansari, Jakarta Barat,

sebagai Pemohon XXXI;

XXXII. King Faisal Sulaiman, SH. LL.M, Warga Negara Indonesia,

Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, Alamat di

Jalan Pertamina Gambesi Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai

Pemohon XXXII;

XXXIII. Soerasa, BA, Warga Negara Indonesia, Wartawan, Jalan Empang

Bahagia, RT 009/RW 006, Jelambar, Grogol, Jakarta Barat,

sebagai Pemohon XXXIII;

6

XXXIV. Mohammad Hatta, Warga Negara Indonesia, Karyawan, Jalan

Empang Bahagia, RT 004 RW 002, Petukangan Utara,

Pesanggrahan, Jakarta Selatan, sebagai Pemohon XXXIV;

XXXV. M. Sabil Raun, Warga Negara Indonesia, Wartawan, GG.

Bahasawan, RT 003/RW 007, Kebon Kacang, Tanah Abang,

Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XXXV;

XXXVI. Edy Kuscahyanto, S.SI, Warga Negara Indonesia, Karyawan,

Jalan Danau Banggaibaiba D II Nomor 57, RT.004, Bendungan

Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XXXVI;

XXXVII. Yudha Ilham, SH, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan

Kapten Baharudin RT 001/RW 004, Cianjur, sebagai PemohonXXXVII;

XXXVIII. Joko Wahono, Warga Negara Indonesia, swasta, Kaliwangan,

Temon Wetan, RT 025/RW 003, Kulon Progo Yogyakarta, sebagai

Pemohon XXXVIII;

XXXIX. Dwi Saputro Nugroho, Warga negara Indonesia, Swasta, Jalan

Bumi Pratama Timur, B Blok R/7 RT 007 RW 006 Dukuh, Kramat

jati, Jakarta Timur, sebagai Pemohon XXXIX;

XL. A.M Fatwa, Warga Negara Indonesia, Jalan Kramat Pulo Gundul

RT 002/RW 009, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, sebagai

Pemohon XL;

XLI. Hj. Elly Zanibar Madjid, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,

Bilimun Blok IV/12, RT 008/RW 10, Pondok Kelapa, Duren Sawit,

Jakarta Timur, sebagai Pemohon XLI;

XLII. Jamilah, Warga Negara Indonesia, Karyawati, Jalan Tamansari III

Nomor 31 RT 004/RW 003, Maphar Taman Sari, Jakarta Barat,

sebagai Pemohon XLII;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Maret 2012, memberi

kuasa kepada 1) Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H., 2) Drs. Muchtar Luthfi, S.H.Sp.N., 3) Zulhendri Hasan, S.H., M.H., 4) Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.,5) Najamudin Lawing, S.H. MH., 6) Maryogi, S.H., M.H., 7) Hendra Muchlis,

7

S.H., M.H., 8) Umar Husin, S.H., M.H., 9) Feri Anka Sugandar, S.H., M.H.,10) Jurizal Dwi, S.H., M.H., 11) Noor Ansyari, S.H., 12) Jaja Setiadijaya, S.H.,13) Sutedjo Sapto Jalu, S.H., 14) Ibnu Sina Chandranegara, S.H., 15) Bachtiar,S.H., dan 16) Umar Limbong, S.H., kesemuanya Advokat dan Pembela Umum,

yang tergabung dalam TIM MAJELIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAPIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH, memilih domisili hukum di Jalan Menteng

Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun

sendiri-sendiri untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Seluruhnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;

Mendengar keterangan para ahli para Pemohon dan Pemerintah serta

saksi Pemerintah;

Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon dan Pemerintah;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan

dengan surat permohonan bertanggal 29 Maret 2012, yang kemudian didaftar di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)

pada tanggal 29 Maret 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan

Nomor 112/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi

pada tanggal 10 April 2012 dengan Nomor 36/PUU-X/2012, yang telah diperbaiki

dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 30 April 2012, menguraikan

hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH

1. Bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(UU Migas), sebelumnya telah dilakukan pengujian secara formil maupun

materiil oleh Mahkamah, sebagaimana putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-

I/2003 dan Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-V/2005;

8

2. Adapun amar putusan uji formil maupun materiil perkara Nomor 002/PUU-

I/2003 adalah menolak permohonan para Pemohon dalam uji formil dan

memutuskan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberiwewenang”; - Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “palingbanyak”; - Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan

Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan

usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab

sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”; Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945; Menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang

mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang

mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat”; dan putusan Nomor 20/PUU-V/2005, Mahkamah

menyatakan permohonan tidak dapat diterima;

3. Bahwa para Pemohon sebelumnya pada perkara Nomor 002/PUU-I/2003,

menguji UU Migas secara keseluruhan, namun demikian faktanya putusan

norma yang diujikan mengkrucut menjadi Pasal 12 ayat (3) sepanjang

mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang

mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas.

Walapun alasan atau syarat konstitusional yang diajukan oleh Pemohon

sebelumnya sama dengan para Pemohon kali ini yakni Pasal 28C ayat (2),

Pasal 28D ayat (1) Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945; namun demikian norma yang diuji berbeda dengan para Pemohon kali

ini, adapun norma dimaksud adalah Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2),Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas;

4. Begitu juga dengan Pemohon sebelumnya pada perkara Nomor 20/PUU-

V/2005, meskipun terdapat beberapa persamaan batu uji yakni Pasal 11 ayat

9

(2), Pasal 20A dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dengan para

Pemohon kali ini, namun demikian masih terdapat perbedaan batu uji yakni

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945;

5. Bahwa, selain daripada itu meskipun terdapat persamaan batu uji secara

keseluruhan dengan perkara Nomor 20/PUU-V/2005, namun dikarenakan para

Pemohon perkara Nomor 20/PUU-V/2005, oleh Mahkamah dinyatakan tidak

dapat diterima, karena tidak memiliki legal standing, maka demikian

pemeriksaan perkara a quo belum dapat dikatakan sebagai nebis in idem,

karena belum memutuskan mengenai pokok perkara;

6. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) diatur

dalam (a) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; (b) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) Pasal 29

ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman; dan (d) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005

tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;

7. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;

8. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”;

9. Bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”;

10. Bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang. Hal ini jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai

10

kewenangan untuk menguji UU Migas terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan

permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka

yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan

oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara.

2. Bahwa dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut “Yang

dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005

tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-

V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan

oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual

atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

11

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi.

4. Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh

Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam

pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm

59), yang menyatakan, “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI,

terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003)

berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-

Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga

negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk

mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-

Undang terhadap UUD 1945”.

5. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon X adalah subjek hukum yang

telah berbadan hukum di Indonesia yang umumnya mempunyai tujuan untuk

mewujudkan terbentuknya tatanan masyarakat madani atau masyarakat Islam

yang sebenar-benarnya (al-mujtama’ al-madani), yang dilakukan melalui

berbagai usaha-usaha pembinaan, pengembangan, advokasi dan pembaruan

kemasyarakatan di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan

sosial, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya.

Pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo dalam UU

Migas merupakan mandat organisasi dalam melakukan upaya-upaya

perwujudan masyarakat madani atau masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya melalui penegakan konstitusi. Hal ini tercermin di dalam Anggaran

Dasar dan/atau akta pendirian. (vide bukti P-1 s.d. bukti P-10);

6. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah

organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu:

a. berbentuk badan hukum atau yayasan;

b. dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan

tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut;

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

7. Bahwa Pemohon XI sampai dengan Pemohon XLII merupakan warga negara

Indonesia dalam kapasitasnya sebagai para Pemohon perorangan yang oleh

12

Undang-Undang Dasar 1945 diberikan hak-hak konstitusional antara lain tetapi

tidak terbatas pada:

a.Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

b.Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 ”Setiap orang berhak untuk memajukan

dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untukmembangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.

8. Bahwa selain Pasal 28D ayat (1), di atas para Pemohon juga memiliki hak

konstitusional yang lain sebagaimana dimaksud dalam:

a.Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 ”Presiden dalam membuat perjanjianinternasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat”

b.Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ” Dewan Perwakilan Rakyat memilikifungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

c.Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak hidup sejahteralahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanankesehatan”

d.Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 ”Perlindungan, Pemajuan, penegakan dan

pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,terutama pemerintah”

e.Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”.

9. Bahwa para Pemohon adalah perorangan dan badan hukum privat yang

dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka

13

23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas yang berbunyi sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 19 UU Migas: ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak BagiHasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi

dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnyadipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

b. Pasal 1 angka 23 UU Migas:“Badan Pelaksana adalah suatu badanyang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di

bidang Minyak dan Gas Bumi”;c. Pasal 3 huruf b UU Migas: ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas

dan Gas Bumi bertujuan:.....(b)Menjamin efektifitas pelaksanaan danpengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan

Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanismepersaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”

d. Pasal 4 ayat (3) UU Migas:”Pemerintah sebagai pemegang KuasaPertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud

Pasal 1 angka 23”e. Pasal 6 UU Migas:”(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melaluiKontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2)

Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) palingsedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap

di tangan Pemerintah sampai pada titik peyerahan; (b). Pengendalianmanajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan

risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”.f. Pasal 9 UU Migas: ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakanoleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah;

c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk UsahaTetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”.

g. Pasal 10 UU Migas: ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang

melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2)Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat

melakukan usaha Hulu”.

14

h. Pasal 11 ayat (2) UU Migas: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudahditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.i. Pasal 13 UU Migas: ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk

Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam halbadan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa

wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiapwilayah kerja.”

j. Pasal 44 UU Migas:”(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan KontrakKerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap KegiatanUsaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas

Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yangmaksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3)

Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya

dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak KerjaSama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;

c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapanganyang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja

kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikanpersetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana

dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dananggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri

mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjualMinyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”

10. Bahwa bentuk-bentuk kerugian konstitusional yang dialami atau potensial

dialami para Pemohon, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Bahwa norma-norma yang dikandung dalam Pasal 1 angka 19 dan angka23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas, mempunyai makna yang

15

ambigu dan multitafsir, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian

hukum dan mereduksi hak konstitusional para Pemohon dalam memperoleh

jaminan dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945;

b. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 19, dan Pasal 6 UU Migas, secara nyata

telah merendahkan martabat negara, karena ketentuan tersebut

memberikan ruang bagi penggunaan sistem kontrak kerjasama dalam

pengelolaan migas, yang mana dalam kontrak-kontrak tersebut pada

umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa dan

mengadili sengketa, sehingga akibat hukumnya apabila negara kalah berarti

kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat

negara. Oleh karena itu, hak konstitusional para Pemohon menjadi

terabaikan dan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat

(1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD

1945;

c. Bahwa dengan adanya Pasal 11 ayat (2) UU Migas, secara nyata telah

mengkerdilkan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) sebagai lembaga representasi rakyat in casu para Pemohon,

baik pada tataran pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran maupun

fungsi pengawasan. Hal demikian jelas menunjukan bahwa ketentuan Pasal

a quo sangat merugikan hak konstitusional dari para Pemohon

sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 20A

UUD 1945;

d. Bahwa bilamana permohonan para Pemohon dikabulkan, tentunya DPR-

RI sebagai representasi dari para Pemohon memiliki dasar hukum untuk

melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20A UUD

1945, sehingga kerugian konstitusional para Pemohon tidak terjadi lagi.

e. Bahwa berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b,Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13,dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi telah secara nyata mereduksi kepemilikan rakyat ataskekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yangberada dalam penguasaan negara, sehingga tujuan ”dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat” menjadi tidak terpenuhi, atau

16

dengan kata lain hak para Pemohon untuk dapat menikmati dan

memperoleh manfaat dari kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan

air yang berada dalam penguasaan negara tidak para Pemohon dapatkan

sebagaimana mestinya yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat

(3) UUD 1945;

f. Bahwa para Pemohon merasakan bahwa meskipun Mahkamah telah

membatalkan beberapa norma UU Migas melalui Putusan Nomor 002/PUU-

I/2003, namun tidaklah memberikan pengaruh positif bagi para Pemohon

dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, karena Pemerintah kerap kali

membuat peraturan di bawah UU dan kebijakan liberalisasi Industri Migas

yang jelas bertentangan dengan makna substantif dari Putusan Mahkamah

Nomor 002/PUU-I/2003, sehingga sangat merugikan hak konstitusional para

Pemohon sebagaimana yang diidealkan dalam Pasal 28C ayat (2) dan

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

11. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas para Pemohon memiliki kedudukan

hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian UU Migas dan

mempunyai hubungan hukum (causal verband) khususnya Pasal 1 angka 19

dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas terhadap Pasal 28D ayat

(1), Pasal 11 ayat (2) Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat

(1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

12. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan para Pemohon telah

memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai para Pemohon pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 51 huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah

Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi

Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Karenanya, jelas pula keseluruhan para Pemohon memiliki hak dan

kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan

permohonan pengujian UU Migas terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 11 ayat

(2), Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28 ayat

(4), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

17

III. ALASAN DAN POKOK PERMOHONAN

Bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara mempunyai cita hukum (rechtsidee). Cita hukum

bangsa Indonesia inilah yang merupakan pemandu arah kehidupan bangsa

Indonesia. Pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum bangsa Indonesia untuk

membangun negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Di dalam

Pembukaan UUD 1945 terdapat Pancasila yang merupakan sumber dari

segala sumber hukum di Indonesia, yakni (1) Ketuhanan Yang Maha Esa,

(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. UUD 1945 adalah konstitusi bagi bangsa Indonesia yang dijiwai

oleh Pancasila norma fundamental bagi konstitusi itu sendiri. Pembentukan

hukum dalam perspektif ke-Indonesiaan adalah penjabaran Pancasila kedalam

peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak

boleh tidak dijiwai Pancasila, dengan tidak munculnya suatu Undang-Undang

yang tidak menjiwai Pancasila maka Undang-Undang tersebut telah

mengkhianati nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, kebhinekaan dalam

ketunggal-ikaan hukum, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

UU Migas sejak awal pembentukannya menuai kontroversi, dikarenakan

tidak menjiwai Pancasila. Ketika reformasi bergulir, salah satu agenda

reformasi yang dibangun yang juga mempengaruhi konfigurasi politik ketika

pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi

sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain

menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan

pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya

pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk

memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah

bisnis migas di Indonesia.

Salah satu upaya desakan internasional melalui Memorandum of

Economic and Finance Policies (letter of Intent IMF) tertanggal 20 Januari

2000 adalah mengenai monopoli penyelenggaraan Industri Migas yang pada

18

saat itu dituding sebagai penyebab inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu

merajalela. Oleh karena itu, salah satu faktor pendorong pembentukan UU

Migas di tahun 2001 adalah untuk mengakomodir tekanan asing dan bahkan

kepentingan asing. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui Badan

Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU Nomor 8

Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi

berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.

Kepentingan internasional yang menyusupi dalam setiap pertimbangan politik

yang diambil dalam UU Migas menjadikan pembentukan UU Migas meskipun

dianggap melalui prosedur formal yang telah ditentukan, tetapi bisa menjadi

cacat ketika niat pembentukan UU Migas adalah untuk menciderai amanat

Pasal 33 UUD 1945. Sehingga penguasaan negara terhadap cabang-cabang

produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak hanyalah menjadi sebuah

ilusi konstitusional semata;

Selain dari itu, UU Migas telah cacat hukum sejak lahir atau bahkan

dapat dikatakan palsu, ini dikarenakan didalam konsideran mengingat

disebutkan bahwa UU Migas merujuk kepada ”Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah pada perubahan keduaUndang-Undang Dasar Tahun 1945”, Padahal di dalam kenyataannya Pasal

33 ayat (2) dan ayat (3) tidak pernah mengalami perubahan, justru yang terjadi

adalah Penambahan Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) yang terjadi padaPerubahan Keempat UUD 1945.

Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6,Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyakdan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2),Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

1. Bahwa saat ini pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggunakan sistem Kontrak Kerja

Sama (KKS). Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang

dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq.

19

Menteri ESDM dan menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan migas nasional

sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas

(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Samasebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (19);

(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) palingsedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alamtetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; (b).Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;(c). modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atauBentuk Usaha tetap”;

Yang selanjutnya, diatur pendefinisiannya pada Pasal 1 angka 19 UU Migas.

”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrakkerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebihmenguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.“

Frasa ”atau bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU

Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak

lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD

1945. Dengan frasa yang multitafsir tersebut, maka kontrak kerja sama akan

dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan didalam Pasal 33 ayat (2)

dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa “atau dikendalikan melalui Kontrak

Kerja Sama” menunjukkan adanya penggunaan sistem kontrak yang

multitafsir dalam pengendalian pengelolaan migas nasional. Keadaan yang

demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat

umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan

asas proporsionalitas kepada negara. Asas keseimbangan dinyatakan oleh

Herlien Budiono sebagai (i) asas yang bersifat etikal, sehingga keadaan

pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang, dan (ii)

asas keseimbangan sebagai asas yuridikal dan justice, maka ketika suatu

kontrak berkonstruksi tidak seimbang bagi para pihak, maka kontrak tersebut

dapat dinilai tidak seimbang. Asas Proporsionalitas menurut Sogar Simamora

didalam disertasinya mengemukakan bahwa adanya kewajiban yang setimpal

sepenanggungan. Keadaan yang demikian ini jelas sangat merendahkanmartabat negara, karena dalam kontrak kerja sama dalam UU Migas yang

berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi

20

atau korporasi swasta sehingga apabila terjadi sengketa, yang kontrak pada

umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa dan

mengadili sengketa sehingga, akibat hukumnya apabila negara kalah berarti

kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat

negara. Oleh karena itu, sebaiknya pihak yang mewakili Indonesia adalah

BUMN semacam pertamina tetapi tidak tunggal. Konsepsi yang demikian ini

cukup mencerminkan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi

yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana termaktub didalam

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, secara garis besar Mahkamah

menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tentang pengertian

”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh

negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi

kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula didalamnya pengertian

kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan

dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945

memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)

dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad),

pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk

tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya menurut

Mahkamah cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah

jika: “(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak; atau (iii) penting bagi negara tetapi tidak

menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara

tetapi menguasai hajat hidup orang banyak”. Hingga saat ini pengelolaan

Migas berdasarkan UU a quo tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid),

tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan

(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Lima ketentuan

tersebut merupakan satu kesatuan sehingga, hak untuk terpenuhi hajat hidup

para Pemohon yang juga merupakan hajat hidup bangsa Indonesia menjadi

terhambat dikarenakan sistem kontrak tidak memenuhi unsur-unsur kebijakan

(beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad),

pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

(tabel.1)

21

Tabel.1 Pemaknaan Pasal 33 UUD 1945

2. Bahwa lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas) adalah atas perintah

Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai

pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksanasebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa

Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang

bertugas mewakili negara untuk menandatangani kontrak, mengontrol dan

mengendalikan cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di

dalam Pasal 44 UU Migas bahwa:

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama KegiatanUsaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (3);

(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agarpengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara

Pasal 33UUD 1945

Pengawasan

Pengaturan

Kebijakan

Pengelolaan

Pengurusan

BentukPenguasaan

Dikuasai olehNegara

Kemanfaatanbagi rakyat

Pemerataanmanfaat bagi

rakyat

Partisipasirakyat

Penghormatanhak

masyarakatadat

Hukumyang

berkeadilan

Dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat

TujuanPenguasaan

KEA

DIL

AN

SO

SIA

L B

AG

I SEL

UR

UH

RA

KY

AT

IND

ON

ESIA

22

dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal baginegara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.;

(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)adalah:a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas

kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran WilayahKerja serta Kontrak Kerja Sama;

b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Samac. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan

yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu WilayahKerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;

d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapanganselain sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri

mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian

negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnyabagi negara.”

hal ini jelas-jelas mereduksi makna negara dalam frasa ”dikuasai negara”

yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sistem

yang dibangun oleh Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 44 UU Migas menjadikan

seolah-olah BP Migas sama dengan negara, ini jelas berbeda dengan

makna pengelolaan sebagaimana yang dikehendaki Pasal 33 ayat (2) dan

ayat (3) UUD 1945. Selain itu, BP Migas bukan operator (badan usaha)

namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga

kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan

eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker,

truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara

sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri.

Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas telah menbonsai Pasal 33 ayat

(2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang

telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan

tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi

mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan,

hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional;

3. Bahwa kedudukan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang mewakili

pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki komisaris/pengawas.

Padahal BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jelas ini

berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan

23

secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada

cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan yang

sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil

audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008

potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas

yang tidak tepat mencapai Rp. 345,996 triliun rupiah per tahun atau 1,7

milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali

menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti

akan merugikan negara yang tidak sedikit;

4. Bahwa Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan ”Penyelenggaraan

Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjaminefektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan pengolahan,

pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yangdiselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,

sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah

telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar

Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persainganusaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan

jantung dari UU a quo belum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan

Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu para Pemohon

merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo untuk mencabut

keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan liberalisasi

migas yang sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat (2)

yang menyatakan ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan ayat

(3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”;

5. Bahwa Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan ”PenyelenggaraanKegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjaminefektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan pengolahan,

pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yangdiselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,

sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukkan bahwa walaupun

24

Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”HargaBahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme

persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang

merupakan jantung dari UU a quo belum dibatalkan secara bersamaan

dengan putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu

para Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo untuk

mencabut keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan

liberalisasi migas yang sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD

1945 ayat (2) yang menyatakan ”cabang-cabang produksi yang penting

bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

negara” dan ayat (3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”;

6. Bahwa Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan Usaha Hulu

dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan

Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usahaswasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan

Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukkan

bahwa Badan Usaha Milik Negara hanya menjadi salah satu pemain saja

dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri

untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan

bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai

hajat hidup orang banyak

7. Bahwa Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukanKegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan

Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas

menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk UsahaTetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan

usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayahkerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah

kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas

25

penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Badan

Usaha Milik Negara harus melakukan pemecahan organisasi secaravertikal dan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemenbaru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnyamasing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persainganterbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yangmenguntungkan, namun merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas

Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003

yang tidak mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan untuk

harga minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau tidak mau

sistem yang terbangun dalam Pasal 10 dan Pasal 13 bertentangan dengan

Pasal 33 UUD 1945 dan tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

002/PUU-I/2003;

8. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan bahwa “Setiap Kontrak

Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secaratertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang

menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar”, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang

menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya

yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan

perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A menyatakan “(1) Dewan Perwakilan

Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan;

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur didalam pasal-

pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai

hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak

yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap

anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; (4)

Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak

anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur didalam undang-undang”.

Berdasarkan konstruksi yang demikian itu, maka KKS merupakan tergolong

26

ke dalam perjanjian internasional lainnya yang sebagaimana dimaksud

Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yakni yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara harus mendapatkan persetujuan DPR. Pengaturan yang terdapat di

dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2)

dikarenakan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan berdasarkan UUD,

sedangkan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam

setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia.

Selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang

adanya Kontrak Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah

ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat

sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi

toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan

mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-

sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan mengandung di

dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi dan

kenyataan tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-aspek

mendasar dalam kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun kontrak

kerja sama bidang migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan tertulis

saja kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas,

maka pasal tersebut telah tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan Pasal

33 ayat (3) UUD 1945.

Berdasarkan kepada yang diungkapkan di atas, maka sampai pada

kesimpulan bahwa UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara,

kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga

menjadikan suatu UU yang tidak adil terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas

yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk

dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’.

Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia

ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan

aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-

korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD

27

1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia. Apabila DPR dan

Presiden hanya mampu diam dan membuat rakyat menunggu datangnya UU

Migas yang lebih bercorak ”merah putih” adalah suatu kenisbian, maka para

Pemohon berharap bahwa palu yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah

palu yang diharapkan untuk dapat membatalkan UU yang bertentangan dengan

UUD 1945.

IV. PETITUM

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, mohon kepada Mahkamah

Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 1 angka 19, Pasal 3 huruf b, Pasal 6 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13,

dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu:

Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan GasBumi Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 Oleh Karenanya Tidak Mempunyai Kekuatan HukumMengikat Secara Keseluruhan.

Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon

putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon

mengajukan alat bukti surat/tulisan sebagai berikut:

1 Bukti P – 1.1 Fotokopi Perubahan Anggaran Dasar Persyarikatan

28

Muhammadiyah Tahun 2010;

2 Bukti P – 1.2 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon I;

3 Bukti P – 1.3 Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia tentang Perubahan Anggaran Dasar

Persyarikatan Muhammadiyah Tahun 2010;

4 Bukti P – 2.1 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon II;

5 Bukti P – 2.2 Fotokopi Akta Pendirian Organisasi Hizbut Tahrir

Indonesia Nomor 09 Tahun 2005 di Notaris

Sarinandhe, Dj. S.H., Notaris Bekasi;

6 Bukti P – 2.3 Fotokopi Akta Perubahan Organisasi Hizbut Tahrir

Indonesia Nomor 03 Tahun 2008 di Notaris

Sarinandhe, Dj. S.H., Notaris Bekasi;

7 Bukti P – 2.4 Fotokopi Akta Pengesahan Susunan Pengurus

DPP Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia Periode

2007-2013 Nomor 09 Tahun 2008 di Notaris

Sarinandhe, Dj. S.H., Notaris Bekasi;

8 Bukti P – 2.5 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Organisasi

Hizbut Tahrir Indonesia di Dirjen Kesbangpol

DEPDAGRI Nomor 139/D.III.3/XII/2008 tertanggal 22

Desember 2008;

9 Bukti P – 3.1 Fotokopi AD/ART Persatuan Umat Islam (PUI);

10 Bukti P – 3.2 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Persatuan

Umat Islam (PUI) di Dirjen Kesbangpol Depdagri

Nomor 104/D.III.3/XII/2006 tertanggal 13 Desember

2006;

11 Bukti P – 4.1 Fotokopi KTP dan NPWP Pemohon IV;

12 Bukti P – 4.2 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Organisasi

Syarikat Islam Indonesia di Dirjen Kesbangpol

DEPDAGRI Nomor 117/D.III.3/III/2010 tertanggal 30

Maret 2010;

13 Bukti P – 4.3 Fotokopi Akta Perubahan AD Partai Syarikat Islam

Indonesia 1905 Nomor 64 Tahun 2004 di Notaris

29

Yonsah Minanda, SH., MH, Notaris Jakarta;

14 Bukti P – 4.4 Fotokopi AD/ART Syarikat Islam Indonesia;

15 Bukti P – 5.1 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon V;

16 Bukti P – 5.2 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar PP Syarikat

Islam di Dirjen Kesbangpol Depdagri Nomor

09/D.III.3/II/ 2006 tertanggal 17 Februari 2006;

17 Bukti P – 5.3 Fotokopi Akta Pendirian Syarikat Islam Nomor 2

Tahun 2005 di Notaris Yudo Paripurno, SH. Notaris

Jakarta;

18 Bukti P – 6.1 Tidak diserahkan;

19 Bukti P – 6.2 Fotokopi Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan

Organisasi Persaudaraan Muslimin Indonesia

Dirjen Kesbangpol Depdagri Nomor Inventarisasi

82/D.I/IV/2003 tertanggal 17 Juni 2003;

20 Bukti P – 6.3 Fotokopi Akta Perubahan AD/ART dan Susunan

Pengurus Parmusi, Nomor 07 Tahun 2010. Notaris

Tatyana Indrati Hasjim, SH. Notaris Jakarta;

21 Bukti P – 7.1 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon VII;

22 Bukti P – 7.2 Fotokopi AD/ART Al-Irsyad AI-Islamiyyah Periode

1427-1432 H / 2006-2011 M;

23 Bukti P – 8.1 Fotokopi KTP Pemohon VIII;

24 Bukti P – 8.2 Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Majlis Tahkim

Luar Biasa (XXXVI) Syarikat Islam Indonesia Nomor

3 Tahun 2009 Notaris Dewi Maya Rachmandani

Sobari, SH., M.Kn. Notaris Tangerang;

25 Bukti P – 8.3 Fotokopi Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah

Tangga Pemuda Muslimin Indonesia. Tahun 2009;

26 Bukti P – 9 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon IX (Al

Jami'yatul Washliyah);

27 Bukti P – 10 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon X (Sojupek);

28 Bukti P – 11 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Achmad Hasyim Muzadi, H;

30

29 Bukti P – 12 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Drs. H. Amidhan;

30 Bukti P – 13 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Komaruddin Hidayat;

31 Bukti P – 14 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan DR. Eggi Sudjana, SH.,M.Si;

32 Bukti P – 15 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP

Pemohon Perorangan Marwan Batubara, M.Sc;

33 Bukti P – 16 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Fahmi Idris;

34 Bukti P – 17 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Moch Igbal Sullam;

35 Bukti P – 18 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Ichwan Sam;

36 Bukti P – 19 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Ir. H. Salahuddin Wahid;

37 Bukti P – 20 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Nirmala Chandra Dewi M, SH;

38 Bukti P – 21 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan H.M. Ali Karim, SH;

39 Bukti P – 22 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Adhie M. Massardi;

40 Bukti P – 23 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Ali Mochtar Ngabalin;

41 Bukti P – 24 Tidak diserahkan;

42 Bukti P – 25 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Laode Ida;

43 Bukti P – 26 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Sruni Handayani;

44 Bukti P – 27 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Hj. Juniwati T. Masjghun. S;

45 Bukti P – 28 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP

Pemohon Perorangan Nuraiman;

46 Bukti P – 29 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

31

Pemohon Perorangan Sultana Saleh;

47 Bukti P – 30 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Marlis;

48 Bukti P – 31 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP

Pemohon Perorangan Fauziah Silvia Thalib;

49 Bukti P – 32 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP

Pemohon Perorangan King Faisal Sulaiman, SH;

50 Bukti P – 33 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Soerasa, BA;

51 Bukti P – 34 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Mohammad Hatta;

52 Bukti P – 35 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan M. Sabil Raun;

53 Bukti P – 36 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP

Pemohon Perorangan Edy Kuscahyanto, S.Si;

54 Bukti P – 37 Tidak diserahkan;

55 Bukti P – 38 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Joko Wahono;

56 Bukti P – 39 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Dwi Saputro Nugroho;

57 Bukti P – 40 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan DR. A.M. Fatwa;

58 Bukti P – 41 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Hj. Elly Zanibar Madjid;

59 Bukti P – 42 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama

Pemohon Perorangan Jamilah;

60 Bukti P – 43.1 Fotokopi Kumpulan Tulisan Media, Harian Kompas,

Selasa 27 Maret 2012 Rubrik Opini, Judul:

1. Sulit Bertahan Jika Kebijakan Energi Minim

(Penulis: Ratna Sri Widyastuti/Litbang Kompas);

2. Menggugat Politik Anggaran;

3. Pertegas Politik Energi;

4. Ancaman Krisis Minyak;

Fotokopi Kumpulan Tulisan Media, Harian Kompas,

32

Bukti P – 43.2 Kamis 22 Maret 2012 Rubrik Opini, Judul:

1. Salah Kelola Sektor Migas (Penulis: M Kholid

Syeirazi);

2. Membangkitkan Potensi Panas Bumi;

61 Bukti P – 44 Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

62 Bukti P – 45 Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi.

Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang telah didengar

keterangannya dalam persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai

berikut:

1. Ahli Dr. Kurtubi

Bahwa terdapat empat alasan utama mengapa Undang-Undang

Migas ini merugikan negara dan melanggar konstitusi yaitu:

1. Undang-Undang Migas ini telah menghilangkan kedaulatan negara atas

sumber daya migas yang ada di perut bumi negara indonesia.

2. Undang-Undang Migas ini telah merugikan negara secara finansial.

3. Undang-Undang Migas ini memecah struktur perusahaan dan industri

minyak nasional yang terintegrasi dipecah atas kegiatan usaha hulu dan

kegiatan usaha hilir atau unbundling.

4. Dengan Undang-Undang Migas ini sistem pengelolaan cost recovery

yang diserahkan BP Migas merugikan negara.

Berdasarkan empat alasan tersebut, Ahli akan menjelaskan satu

persatu, pertama, Undang-Undang Migas ini menganut pola hubungan

business to government (B to G) dengan pihak investor atau perusahaan

minyak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 angka 23 tentang definisi BP

Migas yang dibentuk untuk mengendalikan kegiatan usaha hulu. Pasal 4

ayat (3) tentang Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan lalu

membentuk BP Migas. Pasal 11 ayat (1) tentang kegiatan usaha hulu yang

dilaksanakan oleh investor berdasarkan kontrak dengan BP Migas. Pasal 44

ayat (3) huruf b menugaskan kepada BP Migas untuk melaksanakan

penandatangan kontrak dengan pihak investor atau perusahaan minyak.

Ketentuan dalam Undang-Undang Migas tersebut di atas menentukan yang

menandatangani kontrak kerja sama dengan kontraktor atau perusahaan

33

minyak adalah pemerintah yang diwakili oleh BP Migas, oleh karena

pemerintah yang berkontrak maka kedaulatan negara menjadi hilang sebab

posisi pemerintah menjadi sejajar dengan kontraktor. Pemerintah menjadi

bagian dari para pihak yang berkontrak. Pemerintah men-downgrade dirinya

sendiri untuk sejajar dengan perusahaan minyak atau investor.

Klausula dalam produk sosiaring contract yang standar, yang dapat

menjamin kedaulatan negara menjadi tidak berlaku, menjadi tidak

diterapkan karena pemerintah ikut berkontrak. Klausula yang standar itu

adalah:

1. The law of the republic of Indonesia shale apply to this contract.

2. No term or perfition of this contract including the agreement of the parties

to submit arbitration here under shale prevent or limit the government of

the republic of the Indonesia from exercising in alienable rights.

Pola hubungan dengan investor atau kontraktor menurut Undang-

Undang Migas yang berpola B to G menyebabkan pemerintah sejajar. Jadi

tidak bisa mengeksekusi kebijakan ataupun regulasi atas pengelolaan

kekayaan migas kalau pihak kontraktornya tidak setuju.

Jika polanya B to B dan pemerintah berada di atas kontrak, dapat

menjamin kedaulatan negara. Pemerintah bisa mengeksekusi regulasi

undang-undang untuk kepentingan bangsa dan negara tanpa persetujuan

kontraktor, karena itu berdaulat, sedangkan B to G tidak.

Kedua, Undang-Undang Migas menciptakan sistem yang jelas-jelas

merugikan negara secara finansial, sehingga pengelolaan kekayaan migas

nasional kemudian menyimpang, yang berakibat tidak lagi untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat karena dikelola secara tidak benar, tidak

sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang efisien untuk

kepentingan pemiliknya (stakeholder-nya). Hal itu terjadi karena bagian

negara yang berupa minyak dan gas yang berasal dari kontraktor minyak

dengan perbandingan 85%:15%, 85%-nya bagian negara tidak dapat dijual

langsung oleh BP Migas, namun menunjuk pihak ketiga. Ini jelas-jelas

merugikan negara, sekalipun di dalam Undang-Undang Migas disebutkan

ada anak kalimat untuk sebesar-besar keuntungan negara. Tetapi begitu

menunjuk pihak ketiga, pihak ketiga ini akan memperoleh fee, memperoleh

keuntungan yang mengurangi pendapatan negara yang kalau dijual sendiri

34

oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negaranya, akan dapat jauh lebih

efrisien, sehingga sesuai dengan amanat konstitusi. Sementara untuk gas,

di lapangan tangguh ditemukan dan dioperasikan oleh perusahaan minyak

asing yang menurut product session sharing contract 60% negara, 40%

perusahaan asing.

Ketiga, Undang-Undang Migas ini mendesain secara terpecah

struktur perusahaan minyak nasional atau struktur industri migas nasional,

devide et impera, metode kolonial. Usaha hulu dipisahkan dengan usaha

hilir, ini ada dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang Migas. Pengelolaan unbundling bertentangan

dengan konstitusi, secara jelas Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945

menyebutkan bahwa kekayaan migas diperut bumi dikuasai negara.

Kekayaan migas, kekayaan apapun diperut bumi dikuasai negara dan

dipakai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Studi-studi di bidang

ekonomi perminyakan menunjukkan bahwa perusahaan minyak yang

terintegrasi, yang beroperasi di hulu dan hilir jauh lebih bagus, lebih efisien

daripada perusahaan minyak yang hanya bergerak di hilir atau bergerak di

hulu.

Berikutnya, Undang-Undang Migas ini menjadikan sistem

perminyakan Indonesia sangat tidak efesien, tidak sejalan dengan prinsip

good cooperate governments, menggiring terbukanya lubang inefisiensi

yang sangat menganga. Pengelolan cost recovery oleh BP Migas, sekarang

sekitar $15 miliar. Cost recovery itu adalah biaya-biaya yang telah

dikeluarkan oleh perusahaan minyak/investor. Baik biaya dalam rangka

mencari minyak, biaya eksplorasi, biaya eksploitasi, biaya memproduksikan

minyak, maintenance sumur dan seterusnya, dikembalikan lagi oleh negara

biaya-biaya itu. Proses cost recovery mulai dari awal, perusahaan minyak

asing mengajukan plain of development ke BP Migas. BP Migas

memproses, lalu keluar work program and budget. Lalu authority search

ekspenditur, otoritas untuk menggunakan uang. Lalu eksekusinya

pengadaan barang dan jasa untuk perusahaan minyak asing, semua

dibawah BP Migas. Sementara, secara struktur organisasi, BP Migas ini

tidak dilengkapi oleh lembaga dewan komisaris. Ini sistem yang jelas-jelas

35

tidak efisien, mengundang markup luar biasa yang merugikan bangsa dan

negara, menyebabkan pengelolaan migas kita tidak bisa lagi untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Mungkin quote-unquote menjadi sebesar-besar

kemakmuran oknum-oknum tertentu, seperti itu. Tidak ada di dunia ini

perusahaan yang hanya dewan direksi, tidak ada komisaris, BP Migas tidak

memiliki alat mekanisme kontrol terhadap perusahaan.

2. Ahli Dr. Ichsanudin Noorsy

Bahwa tesis yang disampaikan oleh Konfrensi Meja Bundar yang

menyatakan dominasi perusahaan asing itu menghambat pertumbuhan

ekonomi nasional, sebagaimana diminta oleh state department melalui

Konferensi Meja Bundar itu, hingga sekarang tetap berjalan.

Berdasarkan suatu penelitian, semakin dominan perusahaan asing,

investasi asing dan korporasi asing di suatu negara, maka semakin timpang

perekonomian, semakin kuat konflik sosial dan konflik korporasi. Tesis

kedua, dominasi asing semakin terus mengakibatkan denasionalisasi dan

akan mengakibatkan surplus ekonomi nasional keluar. Lalu yang ketiga,

industri domestik seperti yang dirasakan sekarang oleh banyak pihak akan

berhadapan dengan posisi kekuatan asing, dan pangsa pasar domestik

akan dibanjiri barang impor.

Bahwa government to business sesungguhnya baik pada production

contract maupun kontrak karya, karena mereka menyatakan kontrak-

kontrak karya mereka bisa disetarakan dengan konstitusi karena itu

kemudian sulit sekali pemerintah melakukan renegosiasi.

Bahwa sesuai dokumen yang ahli miliki sangat jelas dibuktikan

bahwa yang merancang Undang-Undang Migas adalah US Departement

Energy (USAID). Dalam dokumen ini bahkan dibuktikan jika masyarakat

marah karena kenaikan energi, suap secara politik. Oleh karena itu, USAID

bekerja sama dengan Eddy Bidden dari Bank Dunia, termasuk dengan

sejumlah lembaga multilateral, bagaimana merealisasikan Undang-Undang

ini. hal tersebut juga menjadi salah satu bukti bagaimana diterjemahkan ke

dalam perjanjian hutang luar negeri dengan pemerintah, yaitu perjanjian

Pemerintah Republik Indonesia dengan Bank Dunia yang memerintahkan

agar diberikan BLT hanya karena kenaikan BBM. Adapun perjanjian

36

tersebut bernomor 4712-IND, dibuat Desember 2003 dan ditandatangani

oleh Prof. Dr. Boediono.

Bahwa latar belakang itu melahirkan dua Undang-Undang, yaitu

Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2001.

Bahwa istilah yang dimainkan oleh pemerintah ada tiga istilah. Istilah

pertama, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada

mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Kita akan menemukan

pemerintah mengganti istilah, lalu kemudian pemerintah sendiri mengakui

bahwa istilah-istilah tersebut minimal diakui oleh Alm. Widjajono

Partowidagdo dan diakui oleh Bambang Brodjonegoro yang pada

hakikatnya adalah memberlakukan mekanisme pasar bebas.

Istilah ke dua, harga keekonomian. Istilah ini diaplikasikan dengan

rancangan blueprint BPH Migas. BPH Migas menurut blueprint BPH 2004-

2020 menyatakan, “Pasar tahap pasar terbuka 2010, harga BBM

diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.”

Merujuk pendapat almarhum, merujuk pendapat Bambang Sumerang

Brodjonegoro, dan bahkan dalam perdebatan dengan Purnomo Yusgiantoro

sebagai Menteri ESDM di Soegeng Sarjadi, yang tunduk adalah mekanisme

pasar bebas.

Berikutnya pada blueprint pengelolaan energi nasional yang dibuat

oleh Kementerian ESDM dengan rujukan Perpres 5 Tahun 2006. Isinya

sama, dari mulai sasaran kendala sampai dengan strategi, bahkan sampai

pada program utama menuju pada mekanisme pasar bebas total.

Yang kedua, seperti yang terdapat Undang-Undang 30 Tahun 2007

dalam Pasal 7 menyatakan, “Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai

keekonomian berkeadilan.” Yang dimaksud nilai keekonomian berkeadilan

adalah suatu nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi, termasuk

biaya lingkungan, dan biaya konservasi, serta keuntungan yang dikaji

berdasarkan kemampuan masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah.

Kasus yang sama tentang penggunaan istilah harga merujuk pada

persaingan usaha yang sehat dan wajar ditetapkan lagi dalam Undang-

Undang 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 33 ayat (1)

menyatakan, harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik

37

ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat. Harus diterjemahkan

bahwa pengertian usaha yang sehat seluruhnya tunduk pada pengertian

ekonomi dan itu berarti keuntungan adalah segala-galanya.

Bahwa bahasa-bahasa yang muncul dalam The National Security

Strategy of US seluruhnya diaplikasikan dengan baik dalam rujukan

perundang-undangan, khususnya dalam rangka liberalisasi. Hal ini

ditandatangani oleh George Walker Bush, White House, 17 September

2002.

Berikutnya adalah bagaimana Indonesia ditagih janjinya oleh Sekjen

OECD dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk

memenuhi komitmennya mencabut subsidi BBM, ada dua kalimat penting di

sini. Diminta memenuhi komitmen, yang kedua mencabut subsidi. Dalam

bahasa yang lain ini merupakan bukti bahwa Pemerintah Republik

Indonesia mempunyai komitmen untuk mencabut subsidi. Ada dua alasan

Sekjen OECD menyatakan ini, yaitu pertama, pertumbuhan ekonomi, yang

kedua meningkatnya purchasing power. Dari hal tersebut sesungguhnya

ada persoalan sangat strategis yang dibangun oleh investor asing dari hulu

sampai dengan ke hilir, yang dalam pandangan Dr. Kurtubi disebut sebagai

unbundling yakni, metode deviden imperal, tetapi dalam pandangan ahli,

unbundling dalam perspektif keuangan, unbundling dalam perspektif

kelembagaan sama dengan bertentangan dengan teori skala ekonomi.

Fakta sekarang, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara penghasil gas

tetapi tidak berdaya untuk memenuhi gas bagi rakyatnya sendiri.

Pada 15 Juli 1974 Majalah Time bertanya, “siapa pemimpin besar

paling berpengaruh di dunia?” Semua orang menjawab seorang Yahudi

bernama Jelius Marseman mengatakan, “Bukan nama, tapi kriteria.”

Diterima, kriterianya 3:

1. Melindungi pengikut atau rakyatnya.

2. Mencerdaskan atau mensejahterakan pengikut atau rakyatnya.

3. Menumbuhkan dan mengembangkan keyakinan pengikut atau rakyat

bahwa perjalanan di depan adalah benar.

Butir ketiga ini adalah konstitusi, tetapi kata kuncinya adalah betapa

hebatnya apa yang dirumuskan oleh Michael Hart di Amerika yang menjadi

38

buku sebagai 100 tokoh ternama di dunia, ternyata Indonesia telah

merumuskannya pada 18 Agustus 1945.

3. Ahli Kwik Kian Gie

Dalam angka-angka dikatakan bahwa dalam hal harga minyak

Indonesia yang dikenal dengan nama Indonesian Crude Price (ICP). US

Dollar 105 per barel, penyedotan atau lifting minyak Indonesia 930.000

barel per hari. Konsumsi BBM rakyat Indonesia 63.000.000 kiloliter per

tahun dan beberapa asumsi lainnya. Pemerintah Indonesia harus

mengeluarkan subsidi dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 123,6 triliun.

Uang tunai sebesar ini tidak dimiliki oleh pemerintah sehingga APBN

jebol. Maka pemerintah harus menaikan harga BBM jenis premium yang

selalu disebut dengan istilah BBM bersubsidi. Pemerintah, para ilmuan,

pengamat, pers, dan komponen elit bangsa lainnya meyakinkan rakyat

Indonesia tentang pendapatnya yang sama sekali tidak benar dan bahkan

menyesatkan itu. Pemerintah yang dalam berbagai pernyataan dan

penjelasannya mengatakan, “Harus mengeluarkan uang tunai untuk subsidi

BBM,” ternyata menulis yang bertentangan di dalam nota keuangan dan

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun

2012.

Dalam nota keuangan tahun 2012 ini, tercantum angka subsidi

sebesar Rp123,6 triliun yang tercantum pada halaman 4.VII dalam bentuk

tabel nomor 4.III dengan judul “Subsidi sebesar Rp 123,5997 triliun” atau

dibulatkan menjadi Rp 123,6 triliun.

Dalam nota keuangan terdapat tiga halaman lainnya yang

mencantumkan pemasukan uang tunai dari BBM yang sama sekali tidak

pernah disebut oleh pemerintah. Tiga halaman itu sebagai berikut.

Pada halaman 3.VI, terdapat tabel III.3 dengan judul “Penerimaan

Perpajakan Tahun 2012.” Dalam tabel ini terdapat pos pajak penghasilan

migas sebesar Rp 60,9156 triliun. Jadi, ada uang tunai yang masuk dari

pajak penghasilan migas sebesar Rp 60,9156 triliun yang oleh pemerintah

sendiri ditulis di dalam nota keuangan sebuah dokumen resmi.

Pada halaman III.12, terdapat tabel III.7 dengan judul

“Perkembangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Migas) Tahun 2012.”

39

Dalam tabel ini terdapat pos penerimaan SDA migas sebesar Rp159,4719

triliun. Jadi, ada uang tunai yang masuk lagi sejumlah Rp 159,4719 triliun.

Pada halaman 4.43, terdapat tabel IV.5 dengan judul “Transfer ke

Daerah” dengan penjelasan dana bagi hasil sejumlah Rp 32,3762 triliun.

Kita lihat ada dua angka penerimaan, yaitu dari pajak penghasilan

migas sebesar Rp 60,9156 triliun dan dari pemasukan negara bukan pajak

sebesar Rp 159,4719 triliun. Dua angka ini merupakan arus uang tunai yang

masuk ke dalam kas negara sejumlah Rp 220,3875 triliun yang tidak pernah

disebut dalam kaitannya dengan mengemukakan apa yang dinamakan

subsidi.

Nota keuangan mencantumkan dua angka pengeluaran, yaitu yang

disebut subsidi sebesar Rp 123,5997 triliun dan yang dinamakan dana bagi

hasil migas sebesar Rp 32,3267 triliun. Kita lihat bahwa dua angka

pemasukan, jumlahnya Rp 220,3875 triliun dikurangi dengan dua angka

pengeluaran yang Rp 155,879 triliun, menghasilkan kelebihan uang tunai

sejumlah Rp 64,5116 triliun. Namun, pengeluaran uang tunai yang

dinamakan dana bagi hasil bukan pengeluaran oleh rakyat Indonesia, ini

adalah pemasukan uang tunai ke dalam kas negara yang diteruskan

kepada daerah dalam rangka otonomi keuangan, maka seyogianya angka

ini dianggap sebagai pemasukan uang tunai. Sehingga kalau ditambahkan,

keseluruhan kelebihan uang tunai atau surplusnya menjadi Rp 96,7878

triliun. Jadi, kalau dikatakan pemerintah mengeluarkan uang tunai sejumlah

Rp 123,5997 triliun guna membayar subsidi BBM, jelas tidak benar. Yang

benar ialah pemasukan uang tunai netto sebesar Rp 96,8 triliun.

Fraksi-fraksi koalisi di DPR menyimpulkan bahwa jika harga ICP di

pasar internasional mencapat US$105 per barel ditambah dengan 5% atau

mencapai US$ 120,75 per barel, maka APBN akan jebol. Karena itu,

pemerintah diperbolehkan menaikkan harga bensin premium tanpa

persetujuan dari DPR. Kesepakatan ini dituangkan dalam apa yang terkenal

dengan Pasal 7 ayat (6a). Kenaikan harga di pasar internasional hanya

berdampak pada volume minyak mentah yang harus diimpor, hanya yang

harus diimpor.

Kesepakatan DPR mengatakan bahwa bilamana harga ICP

mencapai 150% atau plus 15% dari $150 per barel, pemerintah boleh

40

menaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR karena devisit yang

diakibatkan oleh subsidi terlampau besar, sehingga tidak tertahankan lagi.

Dari susunan angka-angka dalam tabel II, terlihat jelas bahwa pemerintah

masih kelebihan uang tunai sejumlah Rp 74,1915 triliun, walaupun harga

ICP mencapai $ 120,75 per barel. Dari tabel dapat dilihat bahwa kenaikan

negara ICP di pasar internasional hanya berdampak pada bagian yang

harus diimpor saja atau hanya berdampak untuk 25,1292 miliar liter.

Kebutuhan lainnya yang 37,7808 miliar liter dipenuhi dari minyak yang ada

dalam perut bumi Indonesia sendiri. Maka dampaknya pengelolaan ekstra

sebesar 22,563 triliun. Sehingga masih ada kelebihan uang tunai sebesar

Rp 74,1915 triliun, walaupun harga ICP menjadi $ 120,75 per barel.

Secara ideologis, elit bangsa Indonesia telah berhasil di brainwash.

Sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau

refleks, merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam

BBM harus dinilai dengan harga yang tertentu oleh mekanisme pasar yang

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Pasal 28 ayat (2) disebut

mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Harga yang terbentuk di pasar internasional melalui institusi New

York Mercantile Exchange yang terkenal dengan nama NYMEX, tidak ada

hubungannya dengan harga pokok BBM yang minyak mentahnya milik kita

sendiri.

Harga pokok pengadaan bensin yang berasal dari minyak mentah

milik sendiri karena digali dalam perut bumi Indonesia, terdiri dari

pengeluaran-pengeluaran uang tunai untuk kegiatan-kegiatan penyedotan

atau lifting, pengilangan atau refining, dan biaya pengangkutan rata-rata ke

pompa-pompa bensin atau transporting. Keseluruhan biaya-biaya ini

sebesar $10 per barel. 1 barel sama dengan 195 liter dan dengan asumsi

nilai tukar $1 sama dengan Rp 9.000,00 maka biaya dalam bentuk uang

tunai yang harus dikeluarkan sebesar 10 dibagi 159 dikalikan Rp 9.000,00

atau Rp 566,00. Uang tunai yang harus dikeluarkan untuk mengadakan

bensin dari minyak mentah, dari bawah perut bumi Indonesia adalah

Rp 566,00.

Dengan demikian harga pokok dari satu liter bensin premium sebesar

Rp 6.509,00. Yaitu, atas dasar harga minyak mentah di pasar internasional

41

sebesar $105 per barel, 1 barel sama dengan 159 liter. Sehingga dengan

asumsi $1 sama dengan Rp 9.000,00 yang diambil oleh APBN 2012.

Komponen minyak dalam satu liter bensin premium adalah 105 dibagi 159

dikali Rp 9.000,00 sama dengan Rp 5.934,3 ditambah dengan biaya lifting,

refining, dan transporting sebesar Rp 566,00 per liter menjadilah bensin

premium dengan harga pokok sebesar Rp 6.509,00 per liter.

Seperti diketahui harga bensin premium Rp 4.500,00 per liter.

Sehingga pemerintah merasa merugi, merasa merugi Rp 2.009,00 per

liternya. Yaitu, Rp 6.509,00 dikurangi Rp 4.500,00. Dengan kata lain,

pemerintah merasa memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang

membeli bensin premium sebesar Rp 2.009,00 untuk setiap liternya. Karena

menurut pemerintah, konsumsi BBM dengan harga Rp 4.500,00 per liter itu

seluruhnya 61,62 juta kilo liter atau 61,62 miliar liter, pemerintah merasa

merugi memberikan subsidi kepada rakyat pengguna bensin sejumlah

123,59 triliun. Angka inilah yang tercantum dalam nota keuangan tahun

2012. Tabel 4. III, dengan judul subsidi halaman 4.7.

Jelas bahwa pola pikir ini didasarkan atas ideologi fundamentalisme

mekanisme pasar yang diterapkan pada minyak dan BBM yaitu bahwa

harga BBM harus ditentukan oleh mekanisme pasar. Pemerintah tidak boleh

ikut campur tangan dalam menentukan harga BBM yang diberlakukan buat

rakyatnya, walaupun minyak mentah yang diolah menjadi BBM adalah milik

rakyat itu sendiri, pemerintah yang mewakili rakyat pemilik minyak di bawah

perut bumi tanah airnya, tidak boleh menentukan harga yang diberlakukan

buat rakyat.

Secara logis deduktif dan objektif dapat dikenali bahwa

pemberlakuan harga minyak di pasar dunia buat rakyat Indonesia yang

membeli minyaknya sendiri dimaksud untuk membuat rakyat Indonesia

secara mendarah daging berkeyakinan bahwa harga yang dibayar untk

BBM dengan sendirinya haruslah harga yang berlaku di pasar dunia. Kalau

ini sudah merasuk ke dalam otak dan darah dagingnya seluruh bangsa

Indonesia, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia bisa menjual

BBM di Indonesia dengan memperoleh laba besar.

Seperti diketahui, sekitar 90% dari minyak Indonesia di eksploitasi

oleh perusahaan-perusahaan asing atas dasar kontrak bagi hasil. Pihak

42

Indonesia memperoleh 85% dan asing 15%, tetapi dalam kenyataannya,

pembagian yang sekarang ini, pihak Indonesia memperoleh 70% dan para

kontaktor asing memperoleh 30%. Sebabnya ialah adanya ketentuan bahwa

biaya eksplorasi harus dibayar terlebih dahulu dalam natura atau dalam

bentuk minyak mentah yang digali dari bumi Indonesia.

Para kontraktor asing menggelembungkan, mark-up biaya-biaya

eksplorasinya sehingga sampai saat ini setelah sekian lamanya tidak ada

eksplorasi lagi, biaya-biaya eksplorasi yang dinamakan recovery cost

masih saja dibayar terus. Jumlahnya 15% dari minyak mentah yang digali,

maka kalau volume seluruh penggalian minyak sebanyak 930.000 barel per

hari, yang digali oleh kontraktor asing sebanyak 90% atau 837.000 barel per

hari. Hak kontraktor asing 30%, tetapi karena yang 15% dianggap sebagai

penggantian biaya-biaya eksplorasi yang disebut recovery cost, artinya

diikuti saja jalan pikiran mereka, dengan menganggap netto-nya

memperoleh 15%. Ini berarti bahwa keseluruhan kontraktor asing yang

beroperasi di Indonesia setiap harinya mendapat minyak sebanyak 15%

dari 837.000 barel atau 125.500 barel per hari atau 19.954.500 liter per hari.

Sebagaimana disaksikan bahwa Shell, Petronas dan lain-lain, sudah

membuka pompa-pompa bensinnya. Mereka hanya menjual jenis bensin

yang setara dengan Pertamax dengan harga sekitar Rp 10.000,00 per liter,

artinya mereka mempunyai hak memiliki 19.954.500 liter per hari. Biaya

untuk melakukan pengedukan, pengilangan, dan transportasi sampai ke

pompa-pompa bensin mereka sebesar Rp. 566,00 per liter, dijual dengan

harga Rp. 10.000,00 per liter, labanya Rp. 9.434,00 per liter. Volumenya

19.954.500 liter per hari, maka labanya per hari dari konsumen Indonesia

dengan menjual bensin yang minyak mentahnya dari perut bumi Indonesia

sebesar Rp. 185.255.847.000,00 per hari, yaitu Rp. 19.954.500,00 x Rp.

10.000,00 dipotong dengan jumlah yang sama dikali uang tunai yang

dikeluarkan Rp. 566 atau Rp. 188.255.847.000,00 per hari. Dengan

demikian dalam satu tahun laba keseluruhan kontraktor asing yang bekerja

di Indonesia sebesar Rp. 68,71 triliun.

4. Ahli Irman Putra Sidin

Bahwa salah satu unsur kemakmuran rakyat selain ketersediaan

yang cukup, distribusi yang merata, yaitu mutu yang berkualitas dan

43

harganya murah dari bumi, air, serta kekayaan alam, serta cabang produksi

yang dikuasai oleh negara. Kalau membandingkan Rp 4.500,00 per liter

dengan harga Rp 9.500,00 per liter, maka pasti kualifikasi murah adalah

harga yang lebih rendah dengan asumsi perbedaan kualitas dan dampak

yang tak signifikan.

Bahwa Putusan Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan

Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 Pengujian Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meletakkan kerangka

konstitusional yang kongkrit akan sistem ekonomi konstitusional. Dalam

putusan tersebut, konsep frasa dikuasai oleh negara, haruslah diartikan

mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang bersumber

dan berasal dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber

kekayaan, bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,

termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektifitas

rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif

dikonstruksikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memberikan mandat

kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan,

pengaturan, pengelolaan, pengawasan, untuk tujuan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan

kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan,

lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui

kewenangan legislasi oleh DPR dan bersama dengan pemerintah, dan

regulasi oleh eksekutif. Fungsi pengelolaan dilakukan oleh mekanisme

pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen

badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara sebagai

instrumen kelembagaan melalui makna negara c.q. pemerintah

mendayagunakan penguasaanya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk

digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q.

pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar

pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting

44

dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar

dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dari 5 konsep frasa dikuasai negara seperti yang terbangun dalam

putusan MK tersebut, yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan,

pengelolaan, dan pengawasan hanya konsep pengaturan yang secara

tegas menyebutkan keterlibatan institusi perwakilan rakyat seperti DPR. Hal

ini bisa jadi semata karena DPR hanya dipandang sebagai pranata legislasi

belaka, padahal di sampingnya juga melekat pranata anggaran dan pranata

pengawasan.

Sedangkan konsep lainnya frasa dikuasai negara, seperti kebijakan,

pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan seolah memberikan

pembenaran otoritas otonom pemerintah dalam segala wujudnya untuk bisa

bertindak secara mandiri. Kemandirian dalam bertindak cukup dengan

mendapatkan pembenaran atribusi atau delegasi dalam teori perundang-

undangan dari sebuah undang-undang yang dilahirkan bersama Presiden

dan DPR. Hal ini pun perlu menjadi kontemplasi generik dalam hukum

ketatanegaraan bahwa konsepsi kata negara tidak bisa direduksi hanya

pemerintahanan, cukup dengan kekuatan teori atribusi atau delegasi dalam

ilmu perundang-undangan, maka putuslah peran konstitusional institusi

daulat rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat dalam penjabaran konsep-

konsep frasa dikuasai negara.

Bahwa karena negara Indonesia dianggap sudah eksis sehingga

yang perlu dipertegas adalah pemerintahnya, mengingat teori keberadaan

sebuah negara yaitu terpenuhi wilayah, penduduk, dan pengakuan.

Sehingga afirmasi dari pembukaan konstitusi adalah pemerintah negara

Indonesia atau asumsi kedua bisa juga bahwa pusat gravitasi negara

Indonesia nantinya adalah pemerintah. Dimana pemegang kekuasaan

pemerintahan adalah presiden sekaligus sebagai kepala negara yang juga

memegang kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Artinya bahwa

negara otomatis adalah c.q. pemerintah c.q. presiden c.q. menteri c.q.

lembaga yang berada dalam kendali presiden, kendali eksekutif yang salah

satu implikasinya bisa melakukan tindakan kepenguasaan oleh negara

terhadap bumi, air, kekayaan alam, serta cabang produksi penting dan/atau

menguasai hajat hidup orang banyak.

45

Konsepsi konstitusional yang berlaku saat ini tentang dikuasai

negara seperti yang ditafsirkan MK dalam putusannya, ada 2 konsep. Frasa

dikuasai negara yang tidak serta-merta hal tersebut menjadi otoritas otonom

pemerintah atau setidak-tidaknya dibenarkan secara konstitusional. Kedua

konsepsi tersebut adalah pertama fungsi pengelolaan dilakukan melalui

mekanisme pemilikian saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam

manajemen badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara

sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara pemerintah harus

melakukan relasi kelembagaan dengan institusi perwakilan rakyat baik

DPR, DPD, dan/atau DPRD provinsi kabupaten/kota dalam

mendayagunakan kepenguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu

untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Yang kedua adalah fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh

negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar

pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting

dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar

dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya

fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat dalam

kontrak kerja sama haruslah terlebih dahulu melalui relasi konstitusional

yang terbangun antara pemerintah dengan institusi perwakilan rakyat

tersebut. Bentuk dari relasi tersebut bentuknya dapat konsultasi atau

konfirmasi. Sehingga forum konsultasi tidak menghambat bagi institusi

perwakilan rakyat untuk mengeluarkan sikap tidak menyetujui atau menolak

proposal tersebut.

Sebuah kontrak kerja sama yang mau ditandatangani tidaklah harus

mengalami lompatan tafsir menjadi konstruksi perjanjian internasional.

Bahwa hanya dengan konsepsi perjanjian internasional saja untuk

kemudian mendapatkan pembenaran bahwa kontrak kerja sama dengan

pihak lain harus sepengetahuan bahkan persetujuan DPR terlebih dahulu.

Bahwa dalam rezim Pasal 33 UUD 1945 ketika negara melakukan relasi

dalam rangka pelaksanaan konsep dikuasai negara, sering harus

melakukan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan pihak lain. Namun,

tidaklah dengan sendirinya semua perjanjian atau kontrak yang dilakukan

oleh negara adalah terkonstruksi sebagai perjanjian internasional. Namun,

46

meski bukan terkonstruksi sebagai perjanjian internasional, ketika dikaitkan

dengan konsepsi dikuasai negara kemudian ditransplantasikan fungsi

pengawasan oleh wakil rakyat, maka mekanisme persetujuan adalah

mekanisme yang harus dijalankan.

Konsep persetujuaan lembaga perwakilan rakyat lainnya untuk

sebuah kontrak kerja sama dalam rangka pelaksanaan penguasaan oleh

negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat

hidup orang banyak, atau bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Konsep persetujuan ini adalah persetujuan wakil rakyat

lainnya terhadap segala kebijakan pemerintah tersebut dalam rangka fungsi

pengawasan lembaga perwakilan rakyat. Namun sebagai catatan jikalau

sebuah kontrak kerja sama melibatkan subjek hukum internasional atau

lainnya yang ternyata menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi

kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka

kontrak kerja sama tersebut haruslah dikonstruksikan sebagai perjanjian

internasional.

konsepsi negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak

bisa dilepaskan dengan konsepsi rakyat yang hidup nyata sebagai

instrumen manajemen ketatanegaraan. Instrumen rakyat dalam

ketatanegaraan adalah lembaga yang anggotanya dipilih melalui pemilu

sebagai anggota yang terkirim mewakili rakyat. Oleh karenanya rakyat

dalam konsepsi frasa dikuasai negara tak bisa diputus konsepsi

kepemilikannya atas bumi, air, kekayaan alam, serta cabang produksi

penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk kemudian ikut

mengambil bagian dalam relasi putusan dengan pemerintah akan fungsi

pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan dari konsep frasa dikuasai

negara.

Oleh karenanya institusi perwakilan rakyat memang harus tegas

terlibat dalam menjalankan konsepsi kepenguasaan negara. Tidak hanya

dalam hal pengaturan, namun juga pengelolaan dan pengawasan meski

dalam batas tertentu perannya tak perlu terlalu jauh.

47

Antara Pasal 11 UUD 1945 mengenai Perjanjian Internasional

dengan Pasal 33 UUD 1945, tidak harus disatukan untuk mendapatkan

istilah persetujuan DPR. Sebab bisa jadi sebuah kontrak kerja sama itu

tidak tergolong sebagai perjanjian internasional tetapi karena konsepsi

dikuasai oleh negara maka harus mendapatkan persetujuan DPR.

5. Ahli Margarito Kamis

Berkenaan dengan penunjukkan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak pernah diubah itu, namun

dinyatakan dalam undang-undang yang kita uji sekarang ini sebagai yang

telah diubah. Hal ini merupakan kesalahan fatal. Dengan nalar

konstitusionalisme macam apa, ahli-ahli hukum konstitusi harus membenar

pasal dan/atau ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pernah

diubah baik oleh pembentuknya maupun melalui tafsir hakim, memiliki nilai

hukum sebagai telah diubah.

Menunjuk pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik untuk

memastikan membenarkan kewenangan organ pembentuk Undang-Undang

maupun materi muatan untuk memastikan organ pembentuk undang-

undang maupun materi muatan yang hendak diatur, sama sekali tidak

memastikan mutu keabsahan, kegunaan, wewenang para pembentuk

Undang-Undang dan legitimasi atas materi undang-undang yang dibuat.

Menujuk pasal dan ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah

memastikan bahwa tindakan hukum para pembentuk Undang-Undang

adalah memiliki dasar hukum, dasar konstitusional. Bila dasar materinya

salah, bagaimana mungkin menentukan keabsahan konstitusional atas

bukan hanya materi muatan, tetapi juga Undang-Undang itu.

Sesuatu yang legitim tidak serta-merta legal, legalitas bersadar pada

dua hal yang berbeda timbangan hukumnya dalam ilmu hukum. Legalitas

bersandar pada norma, sementara legitim atau legitimasi bersandar pada

pertimbangan-pertimbangan politik, sesuatu yang abstrak secara politik

tidak serta-merta absah secara hukum. Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3), sampai saat ini tidak pernah diubah baik formil maupun materiil. Tak

sekalipun dalam sidang-sidang umum MPR tahun 1999 sampai dengan

2002 yang menyepakati perubahan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan (3)

Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

48

Undang-Undang Dasar 1945 yang mana di Indonesia ini yang diubah oleh

MPR, yang ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 sebagai

dasar pembentukan Undang-Undang itu.

Usaha mengolah, mengangkut, menyimpan, penyimpanan, dan

niaga norma yang diuji dalam persidangan ini, kekayaan alam yang

terkandung dalam bumi, khususnya minyak dan gas bumi (migas) adalah

satu urusan pemerintahan. Sebagai urusan pemerintahan, maka tindakan

hukum berupa usaha pengelolaan, penyimpanan, dan niaga harus

diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Salah

satunya adalah untuk kemanfaatan umum atau dalam terminologi Undang-

Undang Dasar Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk

kemakmuran rakyat dalam rangka menyejahterakan rakyat itu.

Frasa kemakmuran rakyat dalam Pasal 33, bukan saja bernilai

sebagai norma, tapi juga sebagai tujuan etik konstitusional didirikannya

negara ini. Keadaan-keadaan itulah yang harus dipakai sebagai pijakan

dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam bernegara ini.

Mengurus kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam hal ini

minyak dan gas bumi merupakan bentuk konkrit pemerintah menunaikan

kewajiban konstitusional dalam menyejahterakan rakyat. Bagaimana

mungkin tindakan pemerintahan yang secara konstitusional merupakan

kewajiban konstitusionalnya itu dikendalikan melalui kontrak kerjasama.

Seharusnya tindakan-tindakan pemerintah atas kekayaan alam yang tidak

lain merupakan konkritisasi urusan pemerintahan didasarkan semata-mata

pada prinsip-prinsip konstitusi dan asas-asas pemerintahan yang baik yang

berlaku di Indonesia, bukan kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama yang

tidak lain adalah pernjanjian antara kedua belah pihak yang secara

universal diakui secara hukum, bagi kedua belah pihak yang berkontrak itu

bermakna pihak lain yang berkontrak itu ikut menentukan tindakan-tindakan

hukum pihak lain, dalam hal ini Indonesia atas kekayaan alamnya sendiri,

padahal tindakan hukum dilakukan oleh pihak Indonesia atas kekayaan

alamnya itu adalah penunaian kewajiban konstitusionalnya yang harus

didasarkan pada konstitusi.

Ada berapa jenis kontrak yang diatur dalam Undang-Undang ini yang

tidak dinyatakan secara jelas. Apakah norma bentuk kontrak kerjasama lain

49

juga diatur dalam Undang-Undang lainnya yang serupa yang ada di

Indonesia, yang memungkinkan para pihak yang berkontrak melakukan

interpretasi sistematik atau akontrario ketika menghadapi masalah dalam

kontrak itu.

Pengertian kontrak-kontrak yang telah ditangani kepada DPR setelah

berlakunya Undang-Undang, secara hukum nilai pemberitahuan tidak lebih

sebagai konfirmasi. Konsekuensinya norma ini hanya sebatas pada

bentuknya bukan materinya, melibatkan DPR pembuat Undang-Undang

hanya berkualifikasi pemberitahuan, tidak pantas secara konstitusional,

Tindakan berkontrak antara pemerintah dengan pihak lain terutama asing

sesuai asal-usul konsep treaty, bukan executive agreement tetapi adalah

tindakan mempertaruhkan kedaulatan bangsa ini.

Dalam persetujuan, daya ikat hukum atas tindakan perjanjian itu

muncul setelah diberi kualitas hukum oleh badan pembuat hukum,

sementara nilai hukum pada pemberitahuan seperti dalam Undang-Undang

telah ada semenjak kedua belah pihak menyepakati. Pada persetujuan,

badan pembuat hukum memiliki kewenangan menilai materi muatan

perjanjian, menyetujui pada pemberitahuan sebagaimana dalam Undang-

Undang, kedua hal itu tidak dapat dilakukan oleh DPR. Dalam kasus

berkontrak dengan pihak asing untuk mengelola alam yang terkandung di

dalamnya karena bobot sosial itu pantas diberi kualitas sebagai tindakan

pemerintahan yang memerlukan persetujuan, bukan pemberitahuan.

Bahwa dengan menyerahkan kewenangan mengendalikan dan/atau

mengawasi kepada badan pelaksana menunjukan tidak bisa lain,

pembentuk Undang-Undang menyepelekan konstitusional minyak dan gas

bumi yang tidak lain adalah kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Sesuai unsurnya badan-badan seperti ini BP Migas misalnya

dibentuk karena satu hal yang diurus itu kecil sifatnya tetapi nilai

berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat. Dua, para

pembentuk Undang-Undang dalam sistem pembentuk Undang-Undang

yang tidak menyertakan pemerintah, tidak terbiasa membuat atau mengatur

hal-hal yang bersifat umum karena tidak punya waktu sehingga pengaturan

lebih lebih jauh diserahkan dengan cara mendelegasikan kewenangan itu

50

kepada pembentuk Undang-Undang itu atau pada badan itu. Ini berkenaan

dengan doktrin delegasi kewenangan.

6. Ahli Rizal Ramli

Yang pertama adalah proses pembuatan Undang-Undang Migas ini.

Undang-Undang Migas ini dibiayai dan disponsori oleh USAID dengan

motif:

1. Agar sektor migas diliberalisasi.

2. Agar terjadi internasionalisasi harga, agar harga-harga domestik migas

disesuaikan dengan harga internasional.

3. Agar asing boleh masuk sektor hilir yang sangat menguntungkan dan

bahkan risikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.

Pembuatan Undang-Undang yang dibiayai oleh asing biasanya

banyak prasyarat, dan conditionalities-nya, dan sering diiming-imingi

dengan pinjaman, apa yang dikenal sebagai long type lost, Undang-Undang

yang dikaitkan dengan pinjaman. Nah, jadi Undang-Undang yang dikaitkan

dengan pinjaman luar negeri, penuh prasyarat, itu tidak mungkin tujuannya

untuk menyejahterakan rakyat dan negara Indonesia. Sudah pasti ada

kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut

persyaratan daripada Undang-Undang tersebut.

Menyangkut harga, harga itu sama dengan harga internasional.

Contoh yang sangat sederhana, pulpen ini ongkos produksinya Rp. 90,00.

Kalau dijual di Indonesia, harganya Rp.100,00. Tetapi seandainya pulpen ini

dijual di New York, harganya Rp 1.000,00. Para ekonom neoliberal akan

mengatakan, “Indonesia rugi karena kalau dijual di dalam negeri hanya

Rp.100,00, kalau dijual di luar negeri, di New York, menjadi Rp.1.000,00.”

Hal tersebut yang menjadi latar belakang dasar dari banyak pikiran supaya

harga di dalam negeri disamakan dengan harga internasional, dan itu sudah

terjadi di dalam bidang kesehatan, pendidikan, migas, dan sebagainya.

Harganya harga internasional, tetapi pendapatan rakyatnya, pendapatan

Melayu, pendapatan lokal. Kebijakan atau strategi seperti ini adalah jalur

cepat untuk mendorong proses pemiskinan struktural. Kenapa? Kalau

memang mau demikian, kenapa rakyat Indonesia tidak meminta, “Naikkan

dulu dong pendapatan kami dengan di New York,” yaitu rata-rata U$.

40.000 atau Rp. 400.000.000,00. Kalau sudah segitu, rakyat Indonesia tidak

51

akan keberatan, harga apa pun sama dengan di New York tidak ada

masalah.

Negara-negara di Asia yang berhasil mengejar ketinggalannya dari

barat, tidak menggunakan langkah pertama yaitu dengan menyesuaikan

dengan harga internasional, tapi mendorong, memacu pertumbuhan

ekonomi di atas 10%, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan

pendapatan, baru kemudian harga-harga disesuaikan. Sehingga ada

perbedaan mendasar dengan yang dilakukan di Indonesia yaitu seolah-olah

satu-satunya solusi hanya dengan menyesuaikan harga internasional. hal

ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama untuk

komoditi-komoditi yang strategis, seperti migas, pendidikan, dan kesehatan.

Kalau misalnya menyangkut mobil, elektronik, dan lain-lain, tidak ada

masalah, serahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi kalau menyangkut

kepentingan yang strategis, negara berhak menentukan dan melakukan

intervensi agar harga itu tidak selalu sesuai dengan harga internasional.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, “Bumi, air, dan

kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-

besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.” Di Undang-Undang yang

asli itu tidak ada kata-kata dimiliki oleh rakyat Indonesia dan dikuasai dan

dikelola oleh negara, sehingga sering akibatnya, istilah dikuasai itu bisa

dimanipulasi, bisa direkayasa, akhirnya yang berkuasa adalah swasta,

terutama asing.

Semoho setelah pemerintahan ini berakhir kita mengajukan

amandemen Pasal 33, sehingga kata-katanya menjadi lengkap. “Bumi dan

air dan kekayaan alam Indonesia dimiliki oleh rakyat Indonesia, dikuasai

dan dikelola oleh negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk

kesejahteraan rakyat Indonesia”, supaya tidak ada lagi multitafsir dan

interpretasi.

Bahwa pernyataan ahli pemerintah yang menyatakan pemerintah

tidak memberikan apa-apa kepada asing dan hanya memberikan ekonomi

right, menurut ahli merupakan interpretasi yang sangat berbahaya karena

harusnya itu dikuasai oleh Pemerintah Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 3 Undang-Undang Migas menyatakan,

penyelenggaraan harus accountable yang diselenggarakan dengan

52

mekanisme persaingan usaha dan wajar, dan sehat, dan transparan.

Padahal yang paling penting adalah prinsip dan tujuan sebagaimana

termuat dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.”

Kemudian menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut

sistem production sharing arrangement (PSA). Sebetulnya ini bukan satu-

satunya modus, ada kerja sama operasi, ada kepemilikan, negara-negara

yang berhasil di sektor migas dan cukup kuat dan besar terutama di negara-

negara Arab dan Latin Amerika tidak menggunakan PSA, tetapi

menggunakan kepemilikan (ownership), contohnya, saham mayoritas

Aramco dikuasai oleh Pemerintah Saudi Arabia. Menurut ahli sistem

pemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSA karena cost

control-nya dapat dilakukan secara internal, tidak perlu pakai audit lagi,

karena wakil dari pemerintah Saudi Arabia duduk di dalam manajemen, ikut

melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan control cost, proses alih

teknologi juga lumayan bagus, dan sebagainya. Dengan demikian, banyak

raksasa-raksasa atau BUMN milik negara di negara-negara berkembang

yang besar itu kebanyakan karena ada ownership mayoritasnya, saham

asing hanya sebagian minoritas. Kedua, produksi anjlok dari 1.300.000

barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, tapi cost recovery-nya

naik hampir dua kali dan tidak pernah ada penjelasan. Ketiga, birocratic

habit, semua mau dikontrol, semua mau diperiksa, dan mohon maaf kultur

di Indonesia kontrol dan periksa ini juga bias, karena sebagian besar identik

dengan pemerasan. Semakin banyak kontrolnya, semakin banyak

diperiksa-diperiksanya, semakin banyak yang harus diservis pejabatnya,

jangan diartikan kontrol oleh negara itu hebat dan dasyat karena cara

kontrolnya tidak canggih. Padahal sederhana, cost menghasilkan oil di

mana, kedalaman berapa-berapa, itu saja tidak usah sampai detail.

Sehingga tidak aneh Pemerintah Indonesia sejak 8 tahun terakhir telah

memberikan ratusan konsesi di sektor minyak bumi dan gas, tetapi tingkat

eksplorasi sangat rendah, new finding nyaris tidak ada. Hal itu disebabkan

karena birokrasinya ruwet, ribet, sebagaimana dimuat dalam salah satu

majalah oil and gas, bahwa iklim investasi di Indonesia sangat ribet karena

53

terlalu banyak kontrol, terlalu banyak macam-macam, tetapi tidak kontrol

terhadap cost, kadang-kadang kontrol BP migas supaya nanti temannya

bisa masuk sebagai pemasok atau hal lainnya;

Dalam kaitannya dengan BP Migas, pada dasarnya fungsi BP migas

dapat diambil alih oleh Dirjen Migas, oleh ESDM, perbedaanya hanya dua,

yaitu biaya BP migas sangat besar dibandingkan biaya Dirjen Migas karena

dianggap profesional pegawainya harus biaya mahal. Kedua, dalam Pasal

10 Undang-Undang Migas menyatakan, “Badan usaha atau bentuk usaha

tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir”,

tetapi dalam praktiknya tetap terjadi integrasi vertikal, misalnya Shell dapat

membuat PT di hilir, tetapi di hulu tetap.

Bahwa ahli setuju mengenai DPR hanya diberitahu tidak dimintai

persetujuannya.

Bahwa kekhawatiran terjadi pertamina model sebelumnya jika

Undang-Undang Migas ini dihapus dapat diselesaikan dengan membuat

dua perusahaan negara yang besar supaya saling berkompetisi sehingga

manfaatnya buat rakyat besar sekali.

Kemudian tentang arbitrase internasional, berdasarkan penelitian

Prof. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, ternyata 99% dari hasil arbitrase

internasional merugikan negara berkembang dan selalu menguntungkan

negara maju. Demikian juga menurut Prof. Paul Krugman yang melakukan

penyelidikan tentang arbitrase internasional dan disampaikan kepada

Presiden SBY, 99% dari arbitrase internasional merugikan negara

berkembang. Oleh karena itu, mungkin penyelesaian arbitrase jangan

dimasukkan dalam penyelesaian sengketa perjanjian migas dan diharuskan

hanya menggunakan undang-undang di dalam negeri.

Kemudian, soal investasi asing, jangan terlalu mendewa-dewakan

investasi asing karena Negara Jepang dibangun sama sekali tidak ada

investasi asing. Setelah Perang Dunia Kedua, Jepang dibangun tanpa

pinjaman luar negeri, tetapi pinjaman domestik. China contoh lain, pakai

modal asing, tapi sangat restriktif sekali. Negaranya sangat berperan,

memang ada asing, tapi terbatas, negara masih sangat berkuasa. China

tidak dibangun dengan utang, sementara Indonesia dibangun dengan

utang, dibangun dengan modal asing. Dan karena dua-duanya saling

54

terkait, yang memberi utang selalu kemudian memesan Undang-Undang,

termasuk Undang-Undang Migas yang dibiayai oleh USAID dan memesan

Undang-Undang yang lain. Pinjaman dipakai sebagai conditionalities,

prasyarat untuk semakin mempermudah asing menguasai ekonomi

Indonesia.

Ahli menyarankan agar ada pilihan selain production sharing

arrangement. Jangan sampai mendewa-dewakan production sharing

arrangement seolah ini paling hebat, tetapi kenyataannya production

sharing arrangement semakin lama cost recovery-nya semakin tidak dapat

dikontrol. Produksi anjlok dari Rp. 1.300.000,00 per barel ke Rp. 900.000,00

per barel, tetapi cost recovery naik dua kali.

Ada model lain yang sukses di Amerika Latin dan di negara-negara

Arab, yaitu negara memiliki saham perusahaan joint venture dengan asing,

Saudi Aramco misalnya, saham mayoritasnya negara Saudi Arabia dan

asingnya sekitar 30%. Dengan demikian negara Saudi Arabia ikut di dalam

manajemen Aramco, sehingga pejabat Saudi Arabia belajar tentang bisnis

oil yang benar, memahami risikonya, dan sebagainya.

Menurut ahli ketergantungan terhadap model PSA yang justru sangat

berbahaya karena birokrat Indonesia tidak canggih-canggih sekali sehingga

suka ditipu-tipu soal cost. Misalnya biaya main golf dimasukan cost

recovery, biaya headquarter masuk cost recovery, dan fungsi regulasi dari

BP Migas bisa dikembalikan kepada Dirjen Migas.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah

menyampaikan keterangan yang disampaikan dalam persidangan tanggal 24 Mei

2012, sebagai berikut:

I. TENTANG POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON

1. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 UU Migas

telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kata “kontrak

lainnya”. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dengan frasa yang multitafsir tersebut, maka kontrak kerja sama akan

dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan didalam Pasal

33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

55

2. Bahwa menurut para Pemohon, lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP

Migas) sebagai perintah Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 44

UU Migas menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur

(obscuur) karena mereduksi makna negara dalam frasa “dikuasa negara”

yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

3. Bahwa menurut para Pemohon, walaupun Mahkamah Konstitusi telah

membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU Migas mengenai penetapan “Harga

Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme

persaingan usaha yang sehat dan wajar”, tetapi Pasal 3 huruf b yang

merupakan jantung dari UU a quo belum dibatalkan secara bersamaan

dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Pasal

tersebut mengakomodir gagasan liberalisasi Migas yang sudah tentu

bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945;

4. Bahwa menurut para Pemohon, frasa “dapat” di dalam Pasal 9 UU Migas

jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,

dikarenakan pasal ini menunjukkan bahwa Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas.

Sehingga, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat

mengelola Migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk

penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat

hidup orang banyak;

5. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas

mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam

(dalam hal ini Migas) dikarenakan BUMN harus melakukan pemecahan

organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga

menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan

cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya

persaingan terbuka dan lebih menguntungkan korporasi asing, namun

merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas Mahkamah Konstitusi melalui

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang tidak

mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan untuk harga

minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau tidak mau

sistem yang terbangun dalam Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas

56

bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan

tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/ 2003;

6. Bahwa menurut para Pemohon Pasal 11 ayat (2) UU Migas tergolong ke

dalam konstruksi perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas

dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara haruslah mendapatkan persetujuan DPR, pengaturan yang

terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas dianggap telah mengingkari

posisi DPR sebagai perwakilan rakyat dan juga mengingkari keikutsertaan

rakyat sebagai pemilik sumber daya alam sehingga bertentangan dengan

Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945;

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon, apakah

para Pemohon sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau

kewenangan dirugikan atas berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka 23; Pasal

3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal

13, Pasal 44 UU Migas. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para

Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya

bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan

terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara

kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.

Terhadap pertanyaan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat sebagai

berikut:

1. Menurut Pemerintah, materi yang dimohonkan untuk diuji yaitu UU Migas

telah pernah dilakukan uji materi (constitutional review) dan diputus oleh

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 002/PUU-I/2003 dan putusan

Nomor 20/PUU-V/2007.

Bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam

Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian

kembali, kecuali dengan alasan lain atau berbeda (vide Pasal 60 UU MK,

Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang);

Bahwa Pemerintah tidak melihat adanya alasan lain atau berbeda antara

57

permohonan dalam perkara Nomor 002/PUU-I/2003 dan perkara Nomor

20/PUU-V/2007, dengan alasan yang diajukan oleh para Pemohon dalam

permohonan a quo. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka menurut

Pemerintah permohonan para Pemohon untuk menguji konstitusionalitas

pasal-pasal a quo harus dinyatakan ne bis in idem;

2 Menurut Pemerintah, para Pemohon tidak dapat mendalilkan kerugian

konstitusional yang dideritanya atas keberlakuan Pasal 1 angka 19 dan

angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 44 UU Migas dengan pasal-pasal UUD

1945 yang dijadikan batu uji. Lebih lanjut tidak ada hubungan sebab akibat

(causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya

Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji

Uraian tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, akan

dijelaskan secara lebih rinci dalam Keterangan Pemerintah secara lengkap

yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui

kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat, para Pemohon

dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang

memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Ketua/Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonanpara Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Namun demikian Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya

apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak,

sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-

putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor 006/PUU-

III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007).

III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIANUNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DANGAS BUMI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

Sebelum Pemerintah menguraikan penjelasan secara rinci atas materi muatan

norma yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon tersebut di atas,

58

Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis, yuridis, dan

sosiologis dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagai berikut:

A. UMUM

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah

menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, demikian

pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.

Mengingat minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis

tak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan merupakan kornoditas vital

yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri,

penghasil devisa negara yang penting, dan pemenuhan kebutuhan energi

di dalam negeri maka pengelolaannya harus dilaksanakan dengan

seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Bahwa untuk menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa

yang akan datang, kegiatan usaha minyak dan gas bumi selalu dituntut

untuk lebih mampu mendukung kesinambungan pembangunan nasional

dalam rangka peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah bersama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat telah sepakat untuk menyusun suatu Undang-Undang

tentang minyak dan gas bumi agar dapat memberikan landasan hukum

bagi Iangkah-langkah pembaharuan dan penataan kembali kegiatan usaha

di bidang minyak dan gas bumi. Bahwa kesepakatan tersebut akhirnya

ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152) pada

tanggal 23 November 2001.

Bahwa penyusunan Undang-Undang ini pada dasarnya bertujuan untuk:

1. Menjamin terlaksananya dan terkendalinya pengelolaan minyak dan

gas bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan

yang bersifat strategis dan vital;

59

2. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk

lebih mampu bersaing;

3. Meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang

sebesarbesarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan

memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;

4. Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, serta

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Undang-Undang ini memuat substansi-substansi pokok mengenai

ketentuan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam

strategis yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia

merupakan kekayaan nasional, yang dikuasai oleh negara, dan

penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang

Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha Hulu, sedangkan pada

Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah sebelumnya

mendapat Izin Usaha dari Pemerintah. Selain itu agar fungsi Pemerintah

sebagai pengatur, pembina, dan pengawas dapat berjalan lebih efisien

maka dibentuk pula Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

(BP Migas) dan Badan Pengatur Kegiatan Penyediaan dan Pendistribusian

Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi

Melalui Pipa (BPH Migas).

Perlu diperhatikan, kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi dalam

kurun waktu 50 (lima puluh) tahun terakhir telah memberikan kontribusi

yang besar bagi perekonomian nasional dan mempunyai peranan penting

sebagai penghasil devisa dan penerimaan negara, penyedia energi untuk

kebutuhan dalam negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih

teknologi, penciptaan lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor

non minyak dan gas bumi, dan sebagai pendukung pengembangan

wilayah.

Industri minyak dan gas bumi sebagai modal utama pembangunan jangka

panjang diharapkan masih dapat memberikan harapan yang optimistik,

karena sebagaimana diketahui potensi sumber daya minyak dan gas bumi

kita masih bisa untuk dimanfaatkan dan dikembangkan dimana dari sekitar

60 (enam puluh) cekungan sedimen yang berpotensi mengandung minyak

dan gas bumi baru 16 (enam belas) cekungan yang telah dioperasikan.

60

Namun demikian, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa produksi minyak

dan gas bumi kita sejak tahun 1995 sampai sekarang cenderung

mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan produksi

minyak dan gas bumi kita sebagian terbesar masih berasal dari lapangan-

lapangan yang relatif tua yang telah berproduksi sejak tahun 1970-1980.

Penemuan dan penambahan cadangan minyak dan gas bumi tersebut

tidak sebanding dengan laju pengurasan produksinya. Sedangkan di lain

pihak, kebutuhan energi domestik dari minyak dan gas bumi dari tahun ke

tahun meningkat tajam sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini harus

ditemukannya cadangan-cadangan minyak dan gas bumi yang baru untuk

menggantikan Iapangan-lapangan yang telah mengalami penurunan

produksi, agar paling tidak tingkat produksi dapat dipertahankan.

Selanjutnya untuk menemukan cadangan baru diperlukan investasi yang

tinggi sesuai dengan sifat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang

padat modal (high cost), beresiko tinggi (high risk), dan menggunakan

teknologi tinggi (high tech), sehingga dalam rangka menghindari adanya

pembebanan terhadap keuangan negara, Pemerintah dan Dewan

Perwakilan Pakyat (DPR) sebagaimana dituangkan dalam UU Migas telah

mengambil suatu keputusan bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama Minyak

dan Gas Bumi yang sesuai adalah Kontrak Bagi Hasil atau kontrak lain

yang menguntungkan bagi negara. Keputusan ini diambil dengan

mempertimbangkan bahwa Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi

dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), maka

Pemerintah tidak dibebani atas resiko apabila tidak ditemukan cadangan

minyak dan gas bumi secara komersial dalam masa eksplorasi (resiko

ditanggung oleh kontraktor), selain itu kontraktor juga wajib menyediakan

biaya-biaya yang diperlukan, sumber daya manusia, dan teknologi yang

dibutuhkan.

B. TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS PASAL-PASAL YANG DIAJUKANUJI MATERIIL OLEH PARA PEMOHON

Terhadap anggapan para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 1 angka 19

dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal

10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dianggap bertentangan dengan

61

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4)

serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Pemerintah dapat

memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya

yang menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 UU Migas telah

menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kata “kontrak

lainnya”, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD

1945. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat

memberikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bahwa terkait dengan konsep “dikuasai oleh negara” sebagaimana

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, dalam Undang-Undang Migas dikenal

konsep Kuasa Pertambangan (mining right) yang diberikan oleh

negara kepada Pemerintah. Selanjutnya Pemerintah memberikan

hak pengusahaan (business right) kepada Badan Usaha dan/atau

Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiataan usaha hulu migas

berdasarkan Kontrak Kerja Sama, yang syarat dan ketentuannya

(terms and conditions) ditetapkan oleh Pemerintah.

Penandatanganan Kontrak Kerja Sama tersebut dilakukan oleh BP

Migas dan Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap.

Penggunaan sistem kontrak dalam kegiatan usaha hulu minyak dan

gas bumi merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh banyak

negara yang memiliki sumber daya alam minyak dan gas bumi

dikarenakan justru sistem kontrak akan lebih memberikan kepastian

hukum atas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang

berkontrak.

b. Bahwa hingga saat ini ada dua model sistem kontrak yang lazim

digunakan di dunia yaitu Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Jasa. Pada

mekanisme Kontrak Jasa, kontraktor dibayar atas pengerjaan

operasi perminyakan dalam bentuk uang, dan hasil produksi minyak

dan gas bumi seluruhnya menjadi milik Pemerintah. Sedangkan

pada mekanisme kontrak bagi hasil, baik Pemerintah maupun

kontraktor memperoleh bagian atas hasil produksi kegiatan usaha

hulu yang dilaksanakan oleh kontraktor.

c. Bahwa di Indonesia pengusahaan kegiatan usaha hulu di bidang

62

minyak dan gas bumi pada umumnya menggunakan kontrak bagi

hasil mengingat adanya pertimbangan minyak dan gas bumi

sebagai sumber daya alam yang vital dan strategis. Penggunaan

kontrak bagi hasil dipilih dikarenakan kegiatan usaha hulu di bidang

minyak dan gas bumi mempunyai kriteria high risk, high tecnology,

dan high capital sehingga baik modal, teknologi, dan resiko yang

tinggi tersebut ditanggung oleh kontraktor sehingga tidak

membebani keuangan negara dan besaran bagi hasil atas minyak

dan gas bumi sesuai kontrak-kontrak yang umum berlaku adalah:

Minyak bumi: 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor;

Gas bumi: 70% untuk negara dan 30% untuk kontraktor.

d. Bahwa adanya frasa “atau bentuk kontrak kerja sama Iainnya”

sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas

dimaksudkan untuk diterapkannya penggunaan bentuk kontrak lain

selain kontrak bagi hasil (misal bentuk Kontrak Jasa) atau

diterapkannya sistem kontrak baru yang dianggap akan dapat Iebih

menguntungkan negara. Saat ini Pemerintah telah menerapkan

sistem Kontrak Jasa untuk wilayah-wilayah kerja yang resikonya

Iebih kecil sehingga akan Iebih menguntungkan negara mengingat

seluruh hasil sepenuhnya menjadi milik negara.

e. Disamping itu, penggunaan kontrak kerja sama baik dalam bentuk

kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama Iainnya tidak

dapat dilepaskan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Migas yang

menyatakan kontrak kerja sama dimaksud paling sedikit harus

memuat persyaratan:

a) Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah

sampai pada titik penyerahan;

b) Pengendalian manajemen operasi berada pada badan

pelaksana;

c) Modal dan resiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap.

dan berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UU Migas bahwa dalam kontrak

kerja sama diatur 17 ketentuan-ketentuan yang wajib tercantum di

dalamnya.

63

Berdasarkan penjelasan Pemerintah di atas, maka pernyataan para

Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 UU Migas

telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945

adalah tidak berdasar dan tidak benar.

2. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

bahwa lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas) adalah atas

perintah Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 44 UU Migas

menjadikan konsep kuasa pertambangan menjadi kabur (obscuur)

karena mereduksi makna negara dalam frasa “dikuasai negara” yang

terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap

anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan

penjelasan sebagai berikut:

a. Bahwa BP Migas sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan

usaha hulu minyak dan gas bumi memiliki hak manajemen dalam

kontrak kerja sama untuk dapat melaksanakan tugas yang

diamanatkan berdasarkan kontrak kerja sama, sedangkan

Pemerintah adalah pemegang Kuasa Pertambangan (mining right)

yang akan menetapkan syarat dan ketentuan (terms and conditions)

dan kebijakan-kebijakan lain di bidang minyak dan gas bumi, seperti

kebijakan pemanfaatan minyak dan gas bumi yang diproduksi dari

kegiatan usaha hulu tersebut.

b. Pihak yang ditunjuk sebagai pelaksana dan pengendali hulu minyak

dan gas bumi tidak berbentuk BUMN, dengan tujuan agar BUMN

dapat Iebih fokus melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas

bumi, dan melakukan pengelolaan BUMN secara lebih efisien.

c. Bahwa pembentukan BP Migas tidak dimaksudkan untuk

mengalihkan kuasa pertambangan, melainkan untuk melaksanakan

tugas yang diberikan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa

pertambangan dalam pengendalian kegiatan usaha hulu minyak

dan gas bumi melalui kontrak kerja sama.

d. Pembentukan BP Migas sebagai pengendali kegiatan usaha hulu

minyak dan gas bumi juga sebenarnya bertujuan agar negara

sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak Iangsung berkontrak

dengan Badan Usaha (BU)/Bentuk Usaha Tetap (BUT), sehingga

64

tidak ada posisi yang setara antara kontraktor dengan negara,

dengan demikian diharapkan dapat menghindarkan negara dari

permasalahan keperdataan yang timbul dari adanya sengketa

terhadap kontrak kerja sama tersebut. Di samping itu, pengalihan

tugas dari Pertamina ke BP Migas bertujuan agar Pertamina dapat

Iebih fokus menjalankan bisnisnya sebagai BUMN.

e. Bahwa apabila pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas

bumi tetap berada di tangan Pertamina, maka justru sangat

dikhawatirkan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945

tidak dapat tercapai, mengingat keberadaan Pertamina sebagai

badan usaha yang memiliki tujuan untuk mencari keuntungan dalam

melaksanakan kegiatan usahanya, sehingga dibentuklah BP Migas

yang berfungsi sebagai badan yang bersifat netral yang merupakan

perwakilan Pemerintah dalam menandatangani kontrak kerja sama

kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, dan badan ini tidaklah

bertujuan untuk mencari keuntungan melainkan ikut mengelola

penggunaan minyak dan gas bumi bagi kepentingan dan

kemakmuran rakyat.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebagaimana telah disampaikan

di atas, maka Pemerintah berpendapat bahwa dalil-dalil para Pemohon

yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal

44 UU Migas adalah mereduksi makna negara dalam frasa “dikuasai

negara” tidak benar dan tidak berdasar.

3. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

bahwa walaupun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 28

ayat 2 UU Migas tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari

UU a quo belum dibatalkan sehingga bertentangan dengan Pasal 33

ayat (2) UUD 1945. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut,

Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bahwa pada dasarnya Pasal 3 huruf b UU Migas mengatur

mengenai tujuan dari penyelenggaraan kegiatan usaha minyak

dan gas bumi baik untuk kegiatan usaha hulu maupun untuk

kegiatan usaha hilir. Sedangkan khusus untuk. Pasal 3 huruf b UU

Migas mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hilir, sebagaimana

65

dengan jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 3 huruf b UU Migas

yang menyatakan “Menjamin efektivitas pelaksanaan dan

pengendalian usaha dan pengolahan, pengangkutan,

penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan

melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan

transparan“.

b. Menurut Pemerintah ketentuan ini berbeda dengan ketentuan

Pasal 28 ayat (2) UU Migas yang pada intinya menyatakan tentang

penetapan harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan

kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, yang

telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor

002/PUU-I/2003. Untuk menindaklanjuti putusan tersebut

Pemerintah telah merevisi dengan menetapkan Peraturan

Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 dimana ditetapkan

bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan/atau

ditetapkan oleh Pemerintah.

c. Bahwa frase “penyelenggaraan melalui mekanisme persaingan

usaha yang wajar, sehat, dan transparan” dalam Pasal 3 huruf b

UU Migas merupakan penjabaran dari pelaksanaan keterbukaan

dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. Kegiatan usaha

hilir di bidang minyak dan gas bumi dilaksanakan dengan

mekanisme pemberian Izin Usaha kepada Badan Usaha Swasta,

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), Koperasi, dan juga usaha kecil yang bergerak di bidang

pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga minyak dan

gas bumi.

d. Hal ini berarti membuka peluang bisnis kepada perusahaan-

perusahaan nasional atau perusahaan yang berbadan hukum

Indonesia dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di

seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan adanya asas “melalui

mekanisme persaingan usaha yang sehat, wajar, dan transparan”

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b UU Migas, maka

dijamin kepastian hukum bagi penyediaan dan pendistribusian

66

minyak dan gas bumi kepada masyarakat di seluruh wilayah

Indonesia.

e. Bahwa ketentuan Pasal 3 huruf b UU Migas ini juga menjamin

tidak adanya monopoli oleh suatu badan usaha tertentu dalam

penyelenggaraan kegiatan usaha hilir di bidang minyak dan gas

bumi sesuai amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Yang

Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999).

f. Lebih lanjut, Pemerintah tetap melakukan pembinaan dan

pengawasannya melalui mekanisme pemberian izin usaha

kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi dan pengaturan dan

penetapan harga minyak dan gas bumi.

Dengan demikian Pemerintah tetap mempunyai fungsi-fungsi

kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan

atas minyak dan gas bumi pada sektor hilir di bidang minyak dan gas

bumi sehingga amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 pun tetap

terjaga. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil-dalil

para Pemohon yang menyatakan Pasal 3 huruf b bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak benar dan tidak

berdasar.

4. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

penggunaan frasa “dapat” di dalam Pasal 9 UU Migas bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dikarenakan

konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara

terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang

banyak. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah

dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bahwa sebenarnya Pasal 9 UU Migas dimaksudkan untuk

memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional (Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, usaha kecil, dan juga

badan usaha swasta) untuk berpartisipasi dalam kegiatan usaha

minyak dan gas bumi (khususnya kegiatan usaha hulu).

b. Khusus untuk Pertamina sebagai BUMN, UU Migas dan peraturan

pelaksanaannya memberikan keistimewaan dalam bentuk sebagai

67

berikut:

a) Pasal 61 huruf b UU Migas, pada saat terbentuknya persero

sebagai pengganti Pertamina, BUMN tersebut mengadakan

kontrak kerja sama dengan BP Migas untuk melanjutkan

eksplorasi dan eksploitasi pada bekas wilayah kuasa

pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan

izin usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 24 UU Migas untuk usaha pengolahan, pengangkutan,

penyimpanan, dan niaga. Ketentuan ini lebih lanjut dijelaskan

dalam Penjelasan bahwa yang dimaksud kontrak kerja sama

dalam ketentuan ini memuat kewajiban pembayaran kepada

negara yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku

pada wilayah kuasa pertambangan Pertamina.

b) Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 61 huruf b UU

Migas, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 35

Tahun 2004 (PP Nomor 35 Tahun 2004), dalam Pasal 104

huruf k kewajiban pembayaran Pertamina dan anak

perusahaannya kepada negara, besarnya adalah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku pada Wilayah Kuasa

Pertambangan selama ini yaitu 60%. Ketentuan ini

memberikan keistimewaan kepada Pertamina dibandingkan

dengan kontraktor lain yang wajib membayarkan kepada

negara dengan persentase yang jauh lebih besar.

c) Pasal 5 PP Nomor 35 Tahun 2004 bahwa pada dasarnya

Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri

untuk mendapatkan Wilayah Terbuka tertentu sepanjang

saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara, sehingga tidak

harus melalui mekanisme lelang terlebih dahulu.

d) Pasal 28 ayat (9) PP Nomor 35 Tahun 2004 dimana pada

dasarnya Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada

menteri untuk wilayah kerja yang akan habis masa kontraknya

sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara,

sehingga tidak harus melalui mekanisme lelang terlebih

dahulu.

68

Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah berpendapat

bahwa Pasal 9 UU Migas sama sekali tidak bertentangan dengan

ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

5. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

bahwa Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas telah mengurangi kedaulatan

negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini migas)

dikarenakan Badan Usaha Milik Negara harus melakukan pemecahan

organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga

menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan

menentukan cost dan profitnya masing-masing dan bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Terhadap anggapan

para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan

sebagai berikut:

a. Bahwa konsep unbundling bertujuan untuk mengoptimalisasi

pengusahaan baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir, dengan

konsep ini diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus

pada tujuannya untuk mencari minyak dan gas bumi serta

optimalisasi kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak

dan gas bumi.

b. Bahwa dikarenakan karakteristik kegiatan usaha hilir Iebih kepada

sifat bisnis dan tidak mengenal adanya mekanisme pengembalian

biaya operasi, maka konsep unbundling dalam kegiatan usaha hilir

memungkinkan berjalannya mekanisme persaingan usaha yang

sehat dan wajar.

c. Bahwa kegiatan usaha hulu dan usaha hilir di bidang minyak dan

gas bumi memiliki karakteristik yang berbeda. Pada kegiatan

usaha hulu yang sebagian besar dilaksanakan berdasarkan

kontrak bagi hasil, terkandung unsur biaya yang dikembalikan

(cost recovery), sedangan kegiatan usaha hilir Iebih bersifat bisnis

pada umumnya, sehingga dengan karakteristik yang berbeda

tersebut perlu dihindari adanya konsolidasi biaya dan pajak melalui

mekanisme pemisahan kegiatan usaha hulu dan hilir (unbundling).

69

Dengan demikian penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu

minyak dan gas bumi tetap optimal.

d. Bahwa ketentuan Pasal 13 UU Migas yang mengatur mengenai

“BU ataupun BUT hanya diberikan satu Wilayah Kerja” adalah

untuk memastikan bahwa pembebanan biaya-biaya operasi dan

pajak dalam satu Wilayah Kerja tidak dapat dikonsolidasikan

dengan pembebanan biaya-biaya operasi dan pajak di Wilayah

Kerja yang lainnya sehingga dalam hal ini justru akan

mengoptimalkan penerimaan negara.

Bahwa dengan demikian dari uraian tersebut di atas, Pemerintah pada

akhirnya berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 dan Pasal 13 UU

Migas tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para

Pemohon, dan karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2)

dan ayat (3) UUD 1945.

6. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan

bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas tergolong ke dalam konstruksi

perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar

bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara

haruslah mendapatkan persetujuan DPR, Terhadap anggapan para

Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai

berikut:

a. Bahwa Pemerintah berpendapat bahwa Perjanjian Internasional

yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah

instrumen yang selama ini dikenal dalam hukum tata negara dan

hukum internasional sesuai dengan Konvensi Winna tahun 1969

dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Istilah Perjanjian

Internasional yang digunakan dalam Konvensi Winna adalah

Treaty. Pasal 1 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum

Perjanjian (Law of Treaties) mendefinisikan ruang lingkup dari

Konvensi ini adalah berlaku untuk treaties between states.

Selanjutnya dalam Pasal 2 treaty diartikan sebagai:

Treaty means an international agreement concluded between

states in written form and governed by international law, whether

-

70

embodied in a single instrument or in two or more related

instruments and whatever its particular designation.

Disamping itu dalam Pasal 1 Konvensi Winna tahun 1986

ditegaskan bahwa lingkup dari perjanjian internasional adalah

perjanjian antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih

organisasi internasional, dan perjanjian antar organisasi

internasional.

b. Parameter tentang governed by international law merupakan

elemen yang sangat penting untuk membedakan perjanjian

internasional dari sifat perjanjian perdata yang governed by

national law seperti kontrak kerja sama minyak dan gas bumi.

Dalam pembahasan tentang Konvensi Winna tahun 1969, suatu

dokumen disebut sebagai governed by international law jika

memenuhi dua elemen, yaitu intended to create obligation and

legal realtions under international law. Di lain pihak sekalipun

dibuat antar negara, suatu perjanian dapat saja tunduk pada

hukum nasional bukan pada hukum internasional.

c. Bahwa dengan mengacu kepada pendapat-pendapat di atas,

Pemerintah berpendapat bahwa subjek hukum dalam perjanjian

internasional (treaty) adalah negara (state) dan subjek hukum

dalam perjanjian internasional Iainnya adalah organisasi

internasional. Sedangkan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi

yang bersifat perdata dan governed by national.

d. Bahwa sesuai dengan Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Nomor 24 Tahun

2000) yang merupakan amanat Pasal 11 ayat (3) UUD 1945,

diperoleh definisi tentang perjanjian internasional yaitu:

Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam

hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan

hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000,

disebutkan elemen-elemen dari perjanjian internasional adalah:

a) Dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subjek

hukum internasional lainnya;

71

b) Diatur oleh hukum internasional;

c) Menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

e. Bahwa istilah perjanjian internasional sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 UUD 1945 harus ditafsirkan dengan mengkaitkan

kewenangan Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya

dengan politik luar negeri dan berhubungan dengan negara lain.

Apabila dikaitkan dengan wewenang-wewenang tradisional kepala

negara seperti menyatakan perang, membuat perdamaian serta

membuat perjanjian internasional (hak-hak prerogatif) dimana hal-

hal ini adalah dalam hubungannya dengan negara lain. Jika

dikaitkan dengan hak-hak prerogatif ini maka interpretasi hukum

menjadi tidak tepat jika perjanjian komersil dan perdata seperti

kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dimasukkan dalam

konteks Pasal 11 UUD 1945. Sehingga menurut hemat

Pemerintah, hubungan komersial Pemerintah dengan perusahaan

asing bukanlah domain Pasal 11 UUD 1945, karena Pemerintah

dalam konteks ini merupakan pelaku kegiatan komersil dan bukan

sebagai negara dengan atribut kedaulatan.

f. Bahwa kontrak kerja sama adalah kontrak yang bersifat

keperdataan dan tunduk pada hukum internasional, sehingga

kedua belah pihak yang membuat kontrak kerja sama (Badan

Pelaksana dan Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap) bukan

merupakan subjek hukum internasional.

g. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kontrak kerja sama minyak dan gas bumi tidak memenuhi kriteria

untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional sebagaimana

dimaksud dalam UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2000,

sehingga dengan demikian anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan

dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak tepat dan tidak

berdasar.

h. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen para

Pemohon yang menyatakan bahwa KKS tergolong dalam

perjanjian internasional Iainnya yang menimbulkan akibat yang

72

luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan

beban keuangan negara dan harus mendapatkan persetujuan

DPR, dikarenakan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai

tembusan dalam setiap KKS maka jelas konstruksi Pasal 11 ayat

(2) UU Migas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia dan

keikutsertaan rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif sumber

daya alam.

i. Bahwa Pemerintah berpendapat alasan para Pemohon

sebagaimana disebutkan di atas adalah tidak berdasar disebabkan

kontrak kerja sama minyak dan gas bumi adalah kontrak bisnis

yang bersifat keperdataan dan bukan merupakan perjanjian

internasional.

j. Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD juncto

Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/2001-2002 tentang

Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka hak-hak para anggota DPR

telah terpenuhi pada saat penyusunan rancangan UU Migas

dengan disetujuinya materi muatan Pasal 11 ayat (2) UU Migas.

k. Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah berpendapat bahwa

Pasal 11 ayat (2) UU Migas sama sekali tidak mengingkari

kedaulatan rakyat Indonesia, sebaliknya ketentuan Pasal 11 ayat

(2) UU Migas telah memberikan penegasan dan/atau kepastian

hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi

lembaga negara yang mewakili kepentingan rakyat Indonesia.

Pada sisi lain ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas juga telah

memberikan batasan yang tegas kepada Pemerintah untuk

melaksanakan kontrak-kontrak internasional antara Pemerintah

dan international company.

Bahwa dari uraian tersebut di atas, Pemerintah pada akhirnya

berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas tidak

merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon,

dan karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11

ayat (2), dan Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

73

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah

memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa

dan memutus permohonan pengujian (constitutional review) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan

putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum;

2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau

setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak

dapat diterima (niet onvankelik verklaard);

3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat

(3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal

28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat

(3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat di seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keterangan Tambahan Pemerintah

1. Ahli Rudi Rubiandini

Bahwa pendapatan dari kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi

disingkat Migas, dan pengeluaran dalam rangka subsidi bahan bakar

minyak disingkat BBM menjadi, pertama, pendapatan dari pajak migas

adalah Rp 60,9 triliun, pendapatan dari PNBP sebesar Rp 159,5 triliun.

Sehingga pemasukan total dari migas pada tahun 2012 ini diperkirakan

Rp 220,4 triliun. Pengeluaran, yaitu subsidi BBM sebesar Rp 123,6 triliun,

sehingga ada selisih sebesar Rp 96,8 triliun surplus. Artinya pendapatan

negara lebih besar daripada pengeluaran untuk subsidi BBM.

74

“Melakukan pembohongan publik dan penyesatan adalah sebuah

pandangan yang keliru dan didramatisir karena beberapa hal sebagai

berikut.” Pertama, pendapatan dari sumber daya alam minyak ditambah

sumber daya alam gas yang totalnya Rp 220,4 triliun tersebut semuanya

dipakai untuk mendanai subsidi adalah penyesatan pendapat. Karena

pendapatan dari sumber daya alam minyak dan sumber daya alam gas juga

dipakai untuk kebutuhan APBN dalam menggerakkan roda pemerintahan

seperti untuk gaji PNS, tentara, polisi, kehakiman, keagamaan,

pengembangan seni, budaya, pembangunan infrastruktur, belanja

operasional, dan yang lain-lain sesuai dengan peruntukkan belanja negara

lainnya.

Kedua, analogi tersebut bisa saja dipertanyakan kenapa sumber

daya alam batu bara juga tidak sekalian saja dimasukkan sebagai

pendapatan, toh sama-sama menghasilkan energi? Sehingga seolah-olah

surplusnya akan semakin besar, akan di atas Rp 96,8 triliun. Ketiga, apabila

berpendapat sumber daya alam minyak saja yang dipakai untuk

mengadakan BBM seluruhnya, itu pun masih keliru. Karena di dalam

perencanaan APBN tidak ada dedikasi khusus dari pendapatan komoditas

dipakai balik hanya untuk komoditas yang sejenis.

Terakhir, pendapat bahwa seluruh minyak mentah Indonesia harus

dipakai untuk rakyat dengan gratis, sehingga beban kepada masyarakat

cukup hanya biaya LRT yang nilainya cuma Rp 566,00 saja adalah sebuah

informasi yang menyesatkan.

Kedua, perbandingan harga BBM versus biaya pengadaan. Dengan

mengambil beberapa asumsi yang selama ini dipakai:

1. Minyak mentah atau yang disebut sebagai crude bagian negara adalah

sekitar 63% dari produksi minyak mentah nasional, artinya 63% dari

930.000 rencana, maka akan diperoleh 586.000 barel per hari.

2. Harga minyak mentah Indonesia atau disebut ICP adalah US$ 105 per

barel dan kurs adalah Rp 9.000,00 per US$.

3. Alokasi premium dan solar 38,3 juta kiloliter, minyak tanah 1,7 juta

kiloliter, BBM nonsubsidi 23 juta kiloliter.

4. Impor crude 265.000 barel per hari, impor BBM 537.000 barel per hari.

75

5. Biaya lifting, refining, transportation atau yang disingkat LRT sebesar

US$ 24,1 per barel, yang terdiri dari processing sebesar US$ 12,8 dan

transporting sebesar US$ 11,3.

Dari perhitungan, terlihat bahwa pendapatan yang dapat diperoleh

dari penjualan crude dan BBM sebesar Rp 573 triliun. Sedangkan

pengeluaran pengadaan crude, mengimpor crude BBM, mengimpor BBM,

dan mengolah, serta mengirim sampai SPBU adalah sebesar Rp 577,88

triliun, sehingga terjadi defisit sebesar Rp 5,8 triliun.

Yang ketiga, keuntungan versus kerugian harga BBM Rp 4.500,00.

Dengan perhitungan sederhana, apabila harga minyak dunia sebesar US$

105 per barel atau ekuivalen dengan Rp 5.943,00 per liter, ditambah

dengan biaya kilang, serta transportasi sebesar US$ 24,1 per barel atau

setara dengan Rp 1.364,00 per liter, maka harga pokok BBM adalah Rp

7.307,00 per liter. Dan setelah dikenai pajak 15%, maka harga jualnya

sekitar Rp 8.404,00 per liter. Keempat, peraturan yang menyangkut

pengelolaan sumber daya alam migas. Dalam pengelolaan sumber daya

alam migas di sisi hulu, Indonesia menggunakan metode PSC (production

sharing contract) atau di Bahasa Indonesiakan menjadi kontrak bagi hasil.

Yaitu ada beberapa poin yang utama dari kontrak bagi hasil:

1. Kontraktor menyediakan dana eksplorasi, pembangunan, sampai

operasi, pemerintah tidak menyediakan satu rupiah pun.

2. Kontraktor menanggung resiko 100% bila tidak ditemukan migas,

pemerintah tidak memiliki kewajiban membayar ganti rugi.

3. Pemerintah menjadi pemilik tunggal hasil produksi migas sampai titik

serah penjualan, kontraktor akan dapat imbalan berupa pengembalian

investasi yang sudah dikeluarkan dan keuntungan 15% dari minyak,

serta 30% dari gas dalam bentuk crude atau yang disebut konsep bagi

hasil tadi.

4. BP Migas dalam rangka mengontrol recoverable cost atau biaya

investasi yang dikembalikan menggunakan kisaran antara 22 sampai

29%.

5. Untuk mengontrol recoverable cost, dipergunakan perangkat plan of

development world program and budget yang keluarnya tahunan, AFE

(authorization for expenditure) yang keluar untuk masing-masing project

76

dengan dilakukan pre audit, current audit maupun post audit, dan

akhirnya diperiksa pula oleh BPKP serta BPK.

Terakhir, komponen tambahan pendapatan negara selain PNBP

(Pendapatan Negara Bukan Pajak) atau disebut government equity share,

kalau digambar ini pemerintah equity share juga pajak pendapatan serta

domestic market obligation (DMO), dari potret tahun berjalan, yang halaman

berikutnya, dapat dilihat bahwa pendapatan bagian negara sekitar 62%,

yaitu tahun 2012, sampai dengan April bulan … tahun ini. Sementara

kontraktor sebesar 15%, dan investasi yang pernah berputar sebesar 23%,

hal ini menunjukkan bahwa kontraktor yang telah membawa modal sebesar

23% mendapatkan imbalan sebesar 15%, dan Pemerintah Indonesia

mendapatkan keuntungan sebesar 62%, dari setiap minyak yang keluar dari

perut Ibu Pertiwi. Jauh di atas 51%, seperti yang dimohonkan oleh anggota

DPR, agar memenuhi napas Undang-Undang Dasar 1945.

Bahwa harga internasional sebagai patokan penghitungan harga

BBM. Di dunia banyak sekali institusi yang mengeluarkan patokan harga

setiap hari, diantaranya ada Nymex dari New York, WTI, Brand, dan lain-

lain. Dimana harga satu berbeda dengan harga lainnya, minyak Indonesia

juga memiliki harga yang bervariasi, ada yang lebih murah dari harga WTI,

malah ada yang lebih mahal dari brand, maka untuk kemudahan dalam

bertransaksi, maka dibuatlah satu istilah yang namanya ICP (Indonesian

Crude Price), yang diperoleh dari pengrata-rataan dari semua jenis minyak

yang ada di Indonesia. Karena masing-masing minyak Indonesia juga

bergantung pada berpergerakan harga minyak dunia, maka ICP pun

tergantung pada pergerakan harga dunia. Akhirnya harga crude dari

masing-masing lapangan akan ada yang berharga ICP minus artinya harga

di bawah ICP, ada juga yang berharga ICP plus, artinya di atas harga ICP.

[2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah

mengajukan ahli dan saksi yang didengar keterangannya di bawah sumpah,

sebagai berikut:

1. Ahli Dr. Ir. Rachmat Sudibyo

Bahwa dalam Undang-Undang Migas, kuasa pertambangannya dipegang

oleh pemerintah dan tidak diberikan kepada pelaku usaha, dengan

demikian yang mempunyai kuasa untuk menguras kekayaan alam ini

77

adalah pemerintah, sedangkan pelaku usaha hanya diberikan status

sebagai kontraktor, sebagai pihak yang harus melakukan kontrak dengan

pihak pemerintah. Namun Undang-Undang Migas juga memberikan suatu

batasan atau pengamanan berupa buffer, yaitu dengan membentuk

badan pelaksana. Pemerintah membentuk badan pelaksana untuk

melakukan pengendalian. Pemerintah cq menteri menyiapkan dan

menetapkan kontrak kerja sama yang dianggap sesuai dengan wilayah

kerja yang diduga mengandung kekayaan alam berupa potensi dari

sumber daya migas. Pemerintah lah yang menyiapkan dan menetapkan

wilayah kerja, bukan BP Migas yang untuk itu dilakukanlah suatu tender

atau penawaran dari pihak Pemerintah cq menteri kepada pelaku usaha.

Badan pelaksana memang memberikan pertimbangan kepada

pemerintah mengenai syarat-syarat atau ketentuan dari kontrak kerja

sama berdasarkan pengalaman yang mereka miliki dari sekian ratus

kontrak kerja sama yang ada. Kemudian, untuk melaksanakan

pengendalian tersebut, badan pelaksana menandatangani kontrak kerja

sama. Peran pelaku usaha disini sangat minim, karena pelaku usaha

tidak mempunyai kendali manajemen operasi. Apabila mereka mau

mengembangkan suatu lapangan, mereka tidak dapat menentukan

sendiri harus mendapat persetujuan dari badan pelaksana, dan

sebagainya. Para pelaku usaha hanya menikmati economy right, mereka

tidak memiliki mineral right. Dalam sistem yang dianut Indonesia selama

ini adalah kontrak bagi hasil, yaitu imbalan dari keringat yang dikeluarkan

oleh pelaku usaha adalah hasil produksi, baik berupa in kind yang selama

ini diterapkan di dalam kontrak bagi hasil ataupun kontrak lain.

Bentuk kontrak kerjasama di dalam Undang-Undang Migas adalah

kontrak bagi hasil yang sudah diterapkan sejak tahun 1968 dan

kemungkinan ada bentuk kontrak kerjasama lain. Kontrak bagi hasil ini

adalah prinsip kontrak yang membagi hasil produksi secara in kind,

pemerintah sama sekali tidak pernah mengeluarkan cash bahkan cost

recovery, pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor itu dibayar

juga dengan in kind. Bagaimana menghitung volume in kind dengan cost-

nya tentu dengan harga standar pemerintah, yaitu Indonesian Crude

Price.

78

Bahwa Pasal 6 ayat (2) adalah pasal yang paling penting di dalam

Undang-Undang Migas dalam rangka menjaga penguasaan negara

sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu pertama, kepemilikan sumber daya alam harus tetap ditangan

pemerintah, tentu sampai titik ekspor. Kedua, pengendalian manajemen

harus ada di tangan pemerintah c.q. badan pelaksana. Kontraktor tidak

mempunyai hak untuk mengendalikan, semua harus mendapat

persetujuan. Artinya, ada work programing budget, plan of development,

bahkan di dalam Peraturan Pemerintah juga ada otoritation for

expenditure untuk setiap proyek yang lebih besar dari $5.000.000,00.

Ketiga, modal dan risiko harus ditanggung oleh kontraktor bukan oleh

pemerintah.

Bahwa terkait dengan satu wilayah kerja (range fencing), menurut ahli,

pertama, hal tersebut diatur agar pelaku usaha pertambangan tidak boleh

menggunakan uang yang didapat dalam satu wilayah kerja untuk

eksplorasi di wilayah kerja yang lain, karena akan mengurangi

penerimaan negara, terutama penerimaan pemerintah daerah dimana

wilayah kerja tersebut berada. Jika pelaku usaha ingin memiliki lebih dari

satu wilayah kerja, hal itu boleh saja tetapi harus membentuk badan

hukum berlainan, misalnya PT. Cevron Riau atau PT. Cevron Selat

Makasar. Pengaturan yang demikian justru mengamankan penerimaan

negara dari kegiatan ekplorasi dan eksploitasi sesuai dengan amanat

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kedua, aturan tersebut dibuat karena sudah

disepakati bahwa negara tidak tidak boleh membiayai dan tidak boleh

menanggung risiko. Jika pasal a quo dibatalkan maka akan menjadi

kacau, yaitu negara akan menanggung semua biaya dan menanggung

semua resiko dalam kegiatan penambangan minyak;

Bahwa mengenai usaha hulu dan usaha hilir, Undang-Undang Dasar

1945 sudah mengaturnya, yaitu terkait hulu menyangkut kekayaan alam

dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sedangkan hilir adalah cabang-cabang produksi. Demikian halnya

dengan BBM, maka kegiatan di hulu adalah dikuasai oleh negara dalam

hal ini oleh pemerintah. Tetapi di hilir tidak dimiliki. Artinya, hanya

dilakukan pembinaan dan pengawasan yang diatur sesuai dengan

79

undang-undang yang berlaku seperti layaknya industri hanya saja

dilakukan lebih ketat;

Bahwa menurut ahli, usaha minyak dan gas bumi bukan dipecah-pecah,

menurut Undang-Undang a quo, badan atau pelaku usaha yang ingin

mempunyai semuanya diperbolehkan meminta dengan izin yang dibuat

sekaligus. Tetapi kalau ada pelaku usaha yang tidak mempunyai modal

besar dan hanya mempunyai modal untuk transportasi maka dapat

berpartisipasi dalam industri hilir;

Bahwa Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Migas mengatur, Kegiatan

Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta.

Pengaturan tersebut berbeda dengan sebelumnya yang secara de jure

hanya memperbolehkan satu BUMN yang melakukan kegiatan dalam

minyak dan gas bumi meskipun secara de facto ada pelaku usaha yang

melakukan kegiatan dalam minyak dan gas bumi. Ketentuan tersebut

justru membuka peluang pelaku usaha untuk bersaing dengan BUMN

dalam mengelola kegiatan minyak dan gas bumi;

2. Ahli Prof. Dr. Erman Rajagukguk

Bahwa Pasal 33 UUD 1945 menyatakan:

“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asaskekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yangmenguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasiekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta denganmenjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalamundang-undang.”

Dengan demikian, tidak benar bahwa Undang-Undang Migas

bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan peluang

80

kepada korporasi internasional untuk memasuki bisnis Migas di

Indonesia. Yang benar adalah Indonesia tidak mempunyai cukup modal

untuk menggali minyak dan gas bumi karena sektor ini memerlukan

modal yang besar, mempunyai risiko yang tinggi, dan memerlukan

keahlian khusus. Perlu waktu 6 sampai 10 tahun untuk memastikan

apakah suatu eksplorasi dapat dilanjutkan menuju eksploitasi dan perlu

waktu 1 sampai 3 tahun lagi untuk membangun fasilitas. Segala biaya

yang diperlukan dalam masa eksplorasi dan eksploitasi tersebut menjadi

beban kontraktor. Pengembalian biaya tersebut semata-mata

diperhitungkan dari hasil Migas, yaitu jika Migas itu ada dan dapat

diproduksi secara komersil.

Bahwa dalam hal satu wilayah kerja tidak berhasil menemukan cadangan

minyak atau Migas yang komersil maka wilayah kerja tersebut

dikembalikan kepada pemerintah, dan biaya kontraktor yang telah keluar

menjadi tanggungan dan risikonya sendiri.

Bahwa sebagai sumber daya alam tidak terbarukan, produktivitas akan

menurun secara alamiah dan memproduksi Migas semakin lama semakin

mahal, sedangkan biaya produksinya semakin tinggi. Memberikan

kesempatan kepada korporasi internasional tidak bertentangan dengan

Pasal 33 UUD 1945 karena Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak melarang

modal asing.

Bahwa dalam perkembangan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi

menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 tersebut sebagai berikut. Undang-

Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk

mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan

(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)

dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan

kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan,

lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui

kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan

regulasi oleh pemerintah.

81

Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham

dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen badan usaha

milik negara atau badan hukum milik negara sebagai instrumen

kelembagaan melalui mana negara c.q. pemerintah mendayagunakan

penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Demikianlah fungsi pengawas oleh negara dilakukan oleh negara c.q.

Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar

pelaksana pembelaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi

yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak

dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Demikian juga, Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4

ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi, menurut ahli tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),

Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945, dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Migas. Kontrak kerja sama adalah

kontrak dan bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lainnya dan

seterusnya, tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

UUD 1945 karena bentuk kerja sama lain adalah seperti servis

kontrak dan enhanced oil recovery contract yang menggali kembali

sumur minyak lama, dan hasilnya diperdayakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Dengan pasal ini, UUD 1945

memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan,

tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dengan tujuan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b. Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Migas. Badan pelaksana adalah

suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan

usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi, tidak bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena badan

pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu di bidang

minyak dan gas bumi. Ini adalah implementasi Undang-Undang

82

Dasar 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk

pengelolaan.

c. Pasal 3 huruf b Undang-Undang Migas. Penyelenggara kegiatan

usaha migas bumi bertujuan menjamin efektivitas pelaksanaan dan

pengendalian usaha pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan, dan

menyediakan, serta accountable yang diselenggarakan melalui

mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan,

tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945

karena mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan

transparan adalah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

d. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Migas. Pemerintah sebagai

pemegang kuasa pertambangan membentuk badan pelaksana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23, tidak bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena badan

pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu di bidang

minyak dan gas bumi ini. Ini adalah implementasi Undang-Undang

Dasar 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk

pengelolaan.

e. Pasal 6 Undang-Undang Migas. Pertama, kegiatan usaha hulu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan

dikendalikan melalui kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dan

seterusnya, tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

UUD 1945 karena melalui kontrak kerja sama memuat persyaratan-

persyaratan sebagai implementasi UUD 1945 yang memberi mandat

kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan,

pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

f. Pasal 9 Undang-Undang Migas, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 14,

keseluruhannya tersebut di atas, tidak bertentangan dengan Pasal 33

ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena pasal-pasal tersebut sebagai

implementasi UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara

untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan,

83

pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Pembagian hasil antara Pemerintah Republik Indonesia dan koperasi

asing adalah 71,1538% berbanding dengan 24,8462% dimana modal

untuk mencari dan menggali minyak tersebut menjadi beban korporasi

asing, begitu juga risiko yang mungkin timbul. Di samping itu, korporasi

asing masih dibebankan pajak pemerintah sebesar 48%. Sehingga

korporasi asing hanya menerima 15% dan negara menerima 85%.

Bahwa kesimpulan ahli adalah pasal-pasal yang disebutkan oleh

Pemohon tidaklah bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 33

ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

3. Ahli Prof. Dr. Hikmahanto Juwana

Bahwa ada dua hal pokok yang ingin disampaikan oleh Ahli, yaitu terkait

dengan keberadaan dari perjanjian, dalam hal ini KKS (Kontrak Kerja

Sama) apakah merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11 ayat (2). Kedua, terkait dengan keberadaan dari BP Migas.

Bahwa dalam membuat perjanjian atau kontrak, maka negara dapat

bertindak dalam dua kapasitas. Pertama sebagai subjek hukum perdata

dan kedua, sebagai subjek hukum internasional. Hal itu akan ditentukan

bergantung kepada siapa yang dihadapi dalam suatu perjanjian. Bila

yang dihadapi adalah subjek hukum perdata, maka negara menjadi

subjek hukum perdata, dimana perjanjian yang dilakukan tunduk pada

ketentuan perikatan dalam lapangan hukum perdata. Sementara bila

yang dihadapi oleh negara yang merupakan subjek hukum internasional,

maka perjanjian yang dilangsungkan tunduk pada Undang-Undang

tentang Perjanjian Internasional, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan

dengan perjanjian.

Bahwa terkait dengan kontrak kerja sama dalam Undang-Undang Migas,

ahli berpendapat bahwa kontrak kerja sama tersebut merupakan kontrak

perdata bukan perjanjian internasional. Ada pun pihak dalam kontrak

kerja sama adalah Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) yang

merupakan badan hukum tersendiri dalam bentuk badan hukum millik

negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang

84

Migas yang berbunyi, “Badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.” Selanjutnya

dalam penjelasan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Migas disebutkan

bahwa “badan hukum milik negara dalam ketentuan ini mempunyai status

sebagai subjek hukum perdata dan merupakan institusi yang tidak

mencari keuntungan, serta dikelola secara profesional”. Terlebih lagi

perjanjian KKS (kontrak kerja sama) tidak bisa dianggap perjanjian

internasional lainnya karena mitra BP Migas dalam KKS bukan subjek

hukum internasional selain negara yang berupa organisasi internasional,

palang merah internasional, atau pun belligerent. Sebagaimana diketahui

bahwa mitra BP Migas dalam KKS adalah perusahaan kontraktor, baik

domestik maupun internasional yang merupakan subjek hukum perdata.

Sehingga dalam lapanagan ilmu hukum, kontrak kerja sama merupakan

kontrak bisnis internasional yang merupakan bagian dari hukum perdata

internasional dan bukan merupakan bagian dari ilmu hukum

internasional.

Bahwa asas keseimbangan dalam kontrak kerja sama bergantung pada

posisi tawar dan kecermatan merancang kontrak. Kontrak kerja sama

sebagai sebuah perjanjian substansinya akan bergantung pada apa yang

disepakati oleh para pihak, meski para pihak dari segi hukum harus

memiliki kedudukan yang sejajar agar dapat terpenuhi unsur pertama dari

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya

kesepakatan, namun dalam kenyataanya secara sosiologis para pihak

dalam perjanjian ada yang memiliki posisi tawar yang tinggi, rendah,

maupun keduanya sama. Apabila salah satu pihak memiliki posisi tawar

yang tinggi, maka pihak tersebut dapat menentukan isi kesepakatan.

Sementara yang memiliki posisi tawar yang lemah hanya mempunyai

kesempatan untuk setuju atau tidak setuju atas isi kesepakatan yang

telah dibuat. Kontrak atau perjanjian seperti ini kerap disebut sebagai

kontrak atau perjanjian baku (standard contract).

Bahwa dalam perjanjian baku, pihak memiliki posisi tawar yang rendah

akan dilindungi dari eksploitasi yang eksesif oleh pihak yang memiliki

posisi tawar yang tinggi oleh negara. Perlindungan oleh negara dilakukan

dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau pun putusan

85

pengadilan. Sementara apabila para pihak memiliki posisi tawar yang

relatif sama secara sosiologis, maka para pihak akan terlibat dalam

proses negosiasi yang panjang. Kontrak atau perjanjian akan berisi hasil

negosiasi atau kompromi-kompromi dari para pihak, disini dituntut

kecermatan dan kecerdasan dalam menegosiasikan dan merumuskan

kesepakatan. Oleh karenanya asas keseimbangan dalam sebuah

perjanjian dimana para pihak memiliki posisi tawar yang relatif sama tidak

datang dengan sendirinya atau given, namun harus diupayakan oleh

masing-masing pihak yang hendak berkontrak.

Bahwa dalam lapangan hukum perjanjian, negara dapat saja menjadi

pihak dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian antara negara dan

korporasi atau individu dapat disepakati klausul penyelesaian sengketa.

Klausul ini untuk mengantisipasi apabila ada sengketa di kemudian hari.

Klausul sengketa berisi 2 tahapan, yaitu penyelesaian secara

musyawarah mufakat dan apabila tidak bisa diselesaikan, penyelesaian

melalui lembaga penyelesaian sengketa.

Bahwa penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa

dapat dipilih melalui pengadilan atau arbitrase. Pengadilan atau pun

arbitrase pun dapat dipilih apakah di dalam negeri ataupun di luar negeri.

Sehingga ketika BP Migas berkontrak dengan mitranya di KKS (kontrak

kerja sama), pilihan ini tentu harus disepakati dalam proses sampai pada

kesepakatan tersebut apabila posisi tawar para pihak relatif sama maka

dilakukan negosiasi. Hasil negosiasi untuk menyelesaikan sengketa

dapat saja dipilih arbitrase dan dilakukan di luar negeri. Apabila BP Migas

ternyata memang harus bersengketa di luar negeri melalui arbitrase

dengan mitranya dan BP Migas dinyatakan kalah, ini tidak berarti

merupakan kekalahan Negara Republik Indonesia dan terjadi

perendahan martabat bangsa. Dalam hukum kontrak, kekalahan BP

Migas tidak berarti kekalahan negara. Kekalahan BP Migas bermakna

lembaga penyelesaian sengketa menganggap BP Migas melakukan

cedera janji sebagaimana yang dituduhkan oleh mitranya. Penyelesaian

melalui arbitrase pun tidak berarti merendahkan martabat bangsa

mengingat arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa antar

subjek hukum perdata. BP Migas dalam kontrak kerja sama bertindak

86

sebagai subjek hukum perdata yang tidak membawa-bawa martabat

bangsa.

Bahwa keberadaan dari BP Migas sebagai badan hukum adalah untuk

membatasi pertanggungan kerugian. BP Migas dalam cabang ilmu

hukum perdata merupakan subjek berupa badan hukum. BP Migas

masuk dalam jenis statutory body atau badan hukum yang dibentuk oleh

pemerintah, yang pendiriannya didasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang khusus. Hal ini berbeda dengan perseroan terbatas yang

merupakan badan hukum persero yang merupakan badan hukum yang

didirikan oleh pemerintah berdasarkan salah satu bentuk badan hukum

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang umum berlaku,

dalam hal ini Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Bahwa di Indonesia, sejak lama telah dikenal statutory body atau badan

hukum yang dibentuk oleh pemerintah, melalui peraturan perundang-

undangan khusus, semisal Pertamina yang awalnya, sebelum berlakunya

Undang-Undang Migas, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Negara. Di dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan dengan nama perusahaan

pertambangan minyak dan gas bumi negara, disingkat Pertamina,

selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut perusahaan, didirikan

suatu perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang dimiliki

Negara Republik Indonesia. Contoh lain dari statutory body adalah

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan yang mendirikan lembaga penjamin simpanan. Dalam Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan

Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan yang

selanjutnya disebut LPS.

Bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mendirikan

atau menetapkan badan hukum oleh negara, tidak hanya dengan

Undang-Undang, tetapi juga bisa dengan peraturan pemerintah. Sebagai

contoh status badan hukum dari sejumlah universitas negeri, ditetapkan

dengan peraturan pemerintah. Universitas Indonesia diberi status badan

hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 yang

di dalam Pasal 2 ayat (1) nya menyebutkan bahwa dengan peraturan

87

pemerintah ini, ditetapkan Universitas Indonesia sebagai badan hukum

milik negara yang menyelenggarakan pendidikan. Selanjutnya,

ditegaskan dalam Pasal 4 bahwa universitas sebagai badan hukum milik

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah badan hukum

yang bersifat nirlaba.

Bahwa sejarah didirikannya BP Migas, tidak terlepas dari keberadaan

universitas negeri sebagai badan hukum milik negara. BP Migas

dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang Migas menjadi badan

hukum yang terpisah dari negara, namun tidak mengambil bentuk

sebagai perseroan terbatas atau perusahaan umum yang merupakan dua

bentuk badan usaha milik negara. Ide pembentukan BP Migas adalah

agar tanggung jawab negara ketika harus menangung kerugian dibatasi

pada aset-aset yang dimiliki oleh BP Migas dan tidak terkonsolidasi

dengan aset-aset yang dimiliki oleh negara.

Bahwa BP Migas sebagai wakil dari negara, memiliki kedudukan berbeda

dengan negara ketika berkontrak dengan perusahaan mitra. Negara

dalam Undang-Undang Pertambangan Umum, misalnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1967, melakukan kontrak dengan perusahaan kontraktor

yang disebut kontrak karya. Berdasarkan kontrak karya, negara dapat

digugat oleh perusahaan kontraktor ke lembaga penyelesaian sengketa

yang disepakati oleh para pihak. Bila negara dikalahkan dan harus

menanggung kerugian, maka aset negara untuk membayar kerugian

tersebut, tidak bisa dibatasi.

Bahwa untuk dipahami, dalam industri pertambangan, termasuk

pertambangan minyak dan gas bumi, investasi yang dilakukan oleh

perusahaan mitra itu sangat besar, sehingga bila pembatasan atas

kerugian tidak dibatasi, maka aset negara dapat dijadikan aset untuk

menutupi kerugian dari perusahaan kontraktor. Oleh karenanya,

berdasarkan uraian di atas, keberadaan BP Migas penting untuk

memitigasi tanggung jawab negara ketika terjadi gugatan ganti rugi dari

perusahaan kontraktor.

Bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971

disebutkan bahwa definisi perusahaan negara yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 khususnya Pasal 1, harus

88

dibaca perusahaan dalam pengertian Undang-Undang ini. Berdasarkan

ketentuan di atas, maka Pertamina merupakan kuasa pertambangan.

Namun demikian, dalam kenyataannya, disamping menjadi kuasa

pertambangan yang berkontrak dengan perusahaan kontraktor, dalam

kenyataannya, Pertamina juga bertindak sebagai badan usaha yang

melakukan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak

dan gas bumi. Sehingga Pertamina memiliki dua peran sekaligus,

sebelum adanya Undang-Undang Migas, yaitu selaku kuasa

pertambangan dan selaku pelaku bisnis.

Undang-Undang Migas hendak memisahkan dua peran Pertamina ini,

yang kerap antara peran yang satu dengan peran yang lainnya

mempunyai potensi konflik kepentingan (conflict of interest). Terkait

dengan hal tersebut kemudian Pertamina, selaku kuasa pertambangan

digantikan kedudukannnya oleh BP Migas. Sementara Pertamina

mempertahankan kedudukannya sebagai pelaku bisnis. Kedudukan BP

Migas sebagai kuasa pertambangan didasarkan pada ketentuan Pasal 4

ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3), Undang-Undang Migas. Pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang Migas menyatakan, “Penguasaan oleh negara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan oleh Pemerintah

sebagai pemegang kuasa pertambangan.” Kemudian ayat (3)-nya

menyatakan, ”Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan

membentuk badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

angka 23” dan Pasal 1 angka 23 menyatakan, “Badan pelaksana adalah

suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan

usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.”

Bahwa selaku pelaku bisnis, Pertamina berdasarkan Undang-Undang

Migas diwajibkan untuk berubah bentuk menjadi badan usaha milik

negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas,

hal ini mendapat pengaturan dalam Pasal 60 huruf a, yang berbunyi,

“Dalam jangka waktu paling lama dua tahun, Pertamina dialihkan

bentuknya menjadi perusahaan perseroan atau Persero dengan

Peraturan Pemerintah.”

89

Saksi Sampe L. Purba

Bahwa industri Migas ini adalah industri yang sangat panjang,

memerlukan spektrum waktu atau type life time span yang sangat

panjang. Apabila untuk satu kegiatan dari kegiatan eksplorasi saja butuh

waktu tiga sampai enam tahun, kemudian apabila itu ada hasil untuk

memastikan apakah hasil itu cukup komersil butuh satu sampai dua

tahun, dan untuk rencana pengembangannya butuh sekitar tiga sampai

enam tahun, dan baru kegiatan produksi sekitar 10-20 tahun, dan setelah

selesai mungkin satu-dua tahun.

Bahwa mengingat jangka waktu yang sangat panjang yaitu sekitar tiga

sampai lima tahun hanya untuk kegiatan eksplorasi, maka oleh karena itu

diperlukan suatu kepastian, karena minyak dan gas bumi adalah bisnis

yang sangat jangka panjang, berisiko tinggi, padat modal, serta

memerlukan teknologi tinggi, yang artinya untuk itu sangat dibutuhkan

kepastian hukum maupun kepastian dalam aturan main. Kerja sama di

sektor hulu migas dibuka kesempatan seluas-luasnya baik kepada BUMN

atau BUMD, swasta, koperasi, asing, maupun usaha kecil, tinggal

seberapa kuat dan seberapa jauh masing-masing pihak mengakses

kemampuannya untuk masuk di dalam industri ini. diperlukan waktu

minimal sekitar tujuh tahun untuk kemungkinan berproduksi;

Bahwa jika ada sengketa (dispute) atau apapun maka akan kembali

kepada ketentuan yang diatur oleh kontrak;

Bahwa wilayah kerja migas Indonesia dari tahun ke tahun berkembang

sedemikian rupa. Tidak saja semata-mata upaya untuk menggali minyak

dan gas bumi, tetapi lebih dari itu untuk mencoba menemukan cadangan-

cadangan minyak baru, migas yang baru, kemudian untuk mencari dan

menggerakkan roda ekonomi sedemikian rupa, sehingga memenuhi

kebutuhan, tidak saja untuk kebutuhan domestik, tetapi untuk kebutuhan

ekspor, dan lain sebagainya sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Bahwa wilayah kerja tersebut dalam perkembangan 2002-2012, terdapat

kira-kira 107 wilayah kerja pada tahun 2002 dan pada tahun 2012

terdapat sekitar 293 wilayah kerja. Artinya, hal tersebut menunjukkan

bahwa ada intensitas, ada peningkatan volume, ada peningkatan effort

yang dibutuhkan di dalam mengelola kegiatan industri hulu migas. Oleh

90

karena itu, tidak dapat dibandingkan keadaan pada tahun 2002 dengan

keadaa saat ini. Ada dinamika yang berkembang, ada juga pertambahan

bobot dan beban kerja institusi. Jika pada tahun sebelum 2002, sebelum

ada otonomi daerah, seluruh kegiatan diputuskan dari Jakarta. Tetapi

sekarang ini, dalam melaksanakan kegiatan hulu Migas harus

berinteraksi dengan kementerian, dan lembaga lainnya, termasuk dengan

Pemda yang keseluruhan itu membutuhkan upaya, membutuhkan tenaga

kerja, membutuhkan effort, itulah yang membuat dan disesuaikan dengan

kebutuhan atas tenaga kerja yang dibutuhkan atau pun karyawan yang

dibutuhkan di BP Migas untuk mengelola kegiatan hulu Migas.

Bahwa dalam 5-6 tahun terakhir, Pemerintah dan seluruh Pemerintah

Daerah, dan yang terkait di dalamnya melakukan upaya (effort)

sedemikan rupa untuk memastikan supaya banyak investasi di sektor

hulu Migas. Investasi ini seluruhnya adalah dari sektor atau kontraktor

kontrak kerja sama itu sendiri, tidak ada dari investasi ini yang

dikeluarkan oleh Pemerintah. Untuk bisnis yang panjang, effort yang

dibutuhkan bagaimana supaya mereka dapat bekerja, baik untuk

kegiatan eksporasi, administrasi, pengembangan, maupun produksi yang

angka-angkanya dapat dilihat, kalau pada tahun 2006 sekitar U$

7.500.000,00, dan di tahun 2012 lebih kurang U$ 20.900.000,00.

Investasi ini bukan dari negara atau pun APBN, tetapi sepenuhnya murni

dari para pelaku usaha bisnis itu sendiri. Untuk itulah, sangat dibutuhkan

kepastian hukum dan kondusifitas supaya dapat meningkat terus. Tidak

saja untuk mencari produksi, tetapi mengganti produksi dan

menggerakkan roda ekonomi.

Bahasan yang kedua mengenai tata kelola organisasi BP Migas, bahwa

dari sisi kebijakan, regulasi, maupun operasional, sampai kepada

penunjang usaha Migas, industri ini adalah industri dari negara sebagai

pemegang kedaulatan sumber daya alam bersama masyarakat yang

kemudian menurunkan kuasa pertambangan kepada Pemerintah, dan

Pemerintah membuat kebijakannya, lalu regulasi teknis dan bisnisnya

pun ada pada Pemerintah, implementasinya ada pada kontraktor kontrak

kerja sama itu sebagai pemegang kepentingan ekonomi. Karena

memang merekalah yang melakukan investasi sesuai dengan syarat-

91

syarat dan kondisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan kerja sama

itu diterima oleh kontraktor. Lalu untuk implementasinya, Pemerintah

membentuk BP Migas.

BP Migas di satu sisi semata-mata merupakan pelaksana kebijakan

pemerintah, di sisi lain BP Migas merupakan penangkap aspirasi

sekaligus fasilitasi kegiatan usaha bisnis Migas, sehingga ada titik temu

antara kepentingan bisnis di satu pihak dengan kepentingan pemerintah

yang membuat regulasi atau pun kebijakan di pihak lainnya. Institusi BP

Migas bukan institusi di ruang vakum atau yang tidak punya akuntabilitas,

karena kebijakan yang diambilnya tidak terlepas atau tidak terawasi oleh

institusi-institusi lain dalam sistem kenegaraan Indonesia. Kepala BP

Migas diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden setelah

berkonsultasi dengan DPR, dalam hal ini komisi yang membidangi energi.

Bahwa struktur organisasi personalia mekanisme kerjanya diatur di dalam

peraturan pemerintah. Pengelolaan kekayaannya, anggaran pendapatan,

dan belanja, serta rencana kerja tahunan ditetapkan oleh Menteri

Keuangan setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kementerian

Energi. Terhadap pelaksanaan BP Migas sendiri sebagai institusi

maupun pelaksanaan tugas BP Migas dalam rangka mengawasi dan

mengendalikan kegiatan usaha hulu Migas, ada audit internal dari

Pemerintah maupun dari eksternal untuk pengelolaan kinerja maupun

pengelolaan keuangan.

Bahwa dalam skema hulu Migas, BP Migas tidak semata-mata hanya

untuk mengawasi pengeluaran biaya, tetapi dalam semua sekmen baik

dalam rencana kerja dan anggarannya kontraktor tersebut. Hal Itu

mencerminkan bahwa kontraktor pihak swasta atau pihak KKS yang

berkontrak itu tidak semata-mata melakukan pembelanjaan sesuai

dengan keinginannya, tetapi harus disesuaikan dengan kebijakan

pemerintah. Demikian juga di dalam eksekusi, pengawasan

pengendalian, teknis operasi, ketenagakerjaan, ketaatan peraturan

instansi terkait, lalu terhadap biaya operasi sendiri. Biaya operasi ini yang

diperkenankan sebagai biaya operasi Migas, juga diperiksa dan diaudit

oleh para pihak, termasuk oleh pihak di KKS, Karena dalam KKS ada

yang menjadi operator, ada yang hanya menaruh modal. Mereka juga

92

harus saling memastikan bahwa modal operator ataupun tujuan yang

disepakati dilaksanakan, hal itu yang disebut audit oleh para partner.

Kemudian BP Migas dalam konteks itu juga harus melaksanakan bagian

dari manajemen karena kontroling adalah salah satu bagian dari fungsi

pengawasan. BPK, BPKP, Dirjen Pajak, seluruh instansi institusi yang

dibentuk oleh pemerintah melakukan tugasnya masing-masing dalam

rangka pengawasan pengendalian kegiatan dimaksud. Kepemilikan atas

dan kebijakan atas kegiatan pun ditentukan oleh negara.

Bahwa komponen penerimaan negara di dalamnya sepenuhnya juga

seperti di sini, dia ada dalam bentuk penerimaan bukan pajak, dalam

bentuk in kind dan juga ada dalam bentuk pajak. Secara umum ini lebih

kurang pada range 65% sampai 85% daripada penerimaan bersih untuk

negara. Inilah di industri kita ini yang menopang APBN lebih kurang 30%

setiap tahun secara langsung di luar pajak-pajaknya.

Bahwa pengelolaan industri hulu Migas ini berdimensi makro dan mikro.

Perspektif waktunya mulai jangka pendek sampai dengan jangka

panjang, dan tidak semata-mata ditujukan untuk memastikan biaya cost

recovery atau memastikan produksi, tetapi juga harus dilihat sebagai

secara keseluruhan, serta penggunaan fasilitas teknologi, menjaga

keekonomian proyek, multiplier effect yang tidak semata-mata hanya

untuk mengejar uang atau keuntungan, tetapi menyesuaikan dengan

kebijakan pemerintah.

Bahwa peningkatan produksi Migas dilakukan tidak semata-mata hanya

untuk meningkatkan produksi atau hanya untuk memenuhi kebutuhan

sesaat APBN, tetapi juga menjaga keseimbangan cadangan, kebutuhan

domestik, dan lain sebagainya. Namun demikian karena industri hulu

Migas adalah industri yang strategis dan komoditas vital yang merupakan

amanat APBN yang harus dilakukan maka tugas itu pun tetap

dilaksanakan. Faktanya dalam lima sampai enam tahun terakhir, tugas

yang diembankan negara melalui APBN, Pemerintah selalu

mengusahakan dengan effort dan tentunya dengan dengan kondusifitas

seluruh stakeholders yang terkait.

Bahwa kalau melihat biaya atau hasil di dalam industri atau perkonomian

maka yang dilihat adalah rasio. Oleh karena itu, ketika membandingkan

93

biaya dengan hasil harus selalu dalam perbandingan yang tidak boleh

keluar dari konteks. Bahwa sisi distribusi penerimaan negara sedemikian

rupa sehingga tetap terjaga pada level yang lebih kurang sekitar 60%-an.

Terlepas berapa pun biayanya karena memang tidak terlepas dari 3 hal,

yaitu faktor biaya, ada faktor harganya, dan faktor volumenya;

Bahwa mengenai LNG juga tidak terlepas dengan ruang vakum dari

hukum permintaan penawaran. Naik turunnya harga dipengaruhi oleh

pembeli, kemampuan pasar, prediksi pasar, dan juga penjual. Dengan

demikian industri hulu Migas, termasuk LNG-nya, tidak terlepas dari

hukum-hukum umum penawaran-permintaan;

Bahwa pelaksanaan usaha kegiatan hulu itu terbuka, tidak eksklusif

hanya kepada asing. Undang-undang memberikan kesempatan yang

sama kepada BUMN, BUMD, swasta, maupun pelaku asing dengan

memberi prioritas kepada BUMNd dan BUMD, hanya terpulang

bagaimana para pihak mengakses kemampuannya terhadap resiko

permodalan, dan sebagainya;

Bahwa BP Migas sebagai institusi yang dibentuk oleh Pemerintah

berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang

diimplementasikan dalam PP Nomor 40 Tahun 2002, memiliki

akuntabilitas dan tata kelola yang terukur serta dapat

dipertanggungjawabkan dalam sistem administrasi publik.

Bahwa manajemen kegiatan usaha hulu meliputi sisi penerimaan

keuangan, pengendalian biaya, penemuan cadangan baru, serta

diharapkan menjadi berfungsi sebagai lokomotif ekonomi.

Bahwa harga minyak, gas, dan LNG tunduk kepada hukum-hukum

mekanisme supply and demand di pasar, seperti halnya komoditas

lainnya.

[2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2012 yang pada

pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan kesimpulan tertulis yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Agustus 2012 yang pada

pokoknya menyatakan tetap dengan keterangannya;

94

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,

segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara

persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon

adalah menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b,

Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal

44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152, selanjutnya disebut UU Migas)

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD

1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,

selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama

95

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji

konstitusionalitas Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat

(3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU

Migas terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah,

sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD

1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat

(1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD

1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-

putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan

96

konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi

lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan

akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya para Pemohon terdiri atas tiga

kelompok, yaitu:

1. Pemohon I sampai dengan Pemohon IX adalah perkumpulan-perkumpulan

berbadan hukum yang secara umum mempunyai tujuan untuk mewujudkan

terbentuknya tatanan masyarakat madani atau masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya (al-mujtama’ al-madani), yang dilakukan melalui berbagai usaha-

usaha pembinaan, pengembangan, advokasi dan pembaruan kemasyarakatan

di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan

masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya. Usaha-usaha tersebut

merupakan wujud pembelaan dan perjuangan terhadap kepentingan publik

pada umumnya dan kepentingan umat pada khususnya (vide bukti P-1 s.d. bukti

P-10);

2. Pemohon X sampai dengan Pemohon XXIV, Pemohon XXVI, Pemohon XXVIII

sampai dengan Pemohon XLII adalah perorangan warga negara Indonesia;

3. Pemohon XXV dan Pemohon XXVII adalah perorangan yang merupakan

anggota DPD-RI;

Terhadap para Pemohon tersebut Mahkamah memberi pertimbangan sebagai

berikut:

Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK

dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing)

97

serta dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut

Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara

Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang

secara potensial dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal

dari UU MIgas yang dimohonkan pengujian dan apabila permohonan dikabulkan

maka kerugian kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak

lagi terjadi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)

untuk mengajukan permononan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Pemohonan

Pendapat Mahkamah

[3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca

dengan saksama keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan

ahli dan saksi dari para Pemohon, keterangan ahli dari Pemerintah, serta

memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Pemerintah,

Mahkamah menemukan beberapa permasalahan konstitusional yang diajukan

dalam permohonan a quo, yaitu:

1. Kedudukan dan wewenang Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi,

selanjutnya disebut BP Migas;

2. Kontrak kerja sama Migas;

3. Frasa “yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang

wajar, sehat, dan transparan”;

4. Posisi BUMN yang tidak bisa lagi monopoli;

5. Larangan penyatuan usaha hulu dan hilir;

6. Pemberitahuan KKS kepada DPR;

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan

konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan bahwa Minyak

dan Gas Bumi (selanjutnya disebut Migas) adalah termasuk cabang produksi yang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan

98

kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Mahkamah

telah memberi makna mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945,

sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003,

tanggal 21 Desember 2004 mengenai pengujian UU Migas, yang menyatakan

bahwa,

“...penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebihtinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsipenguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan denganprinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik(demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatanrakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegangkekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebuttercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi danair dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara padahakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkankepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnyakemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Dalam putusan tersebut dipertimbangkan pula bahwa makna “dikuasai oleh negara”

tidak dapat diartikan hanya sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah

dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara

khusus dalam Undang-Undang Dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam

UUD 1945, kewenangan negara untuk mengatur tetap ada pada negara, bahkan

dalam negara yang menganut paham ekonomi liberal sekalipun. Oleh karena itu,

dalam putusan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa,

“...pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaanoleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatanrakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publikoleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secarakolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untukmengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untukmengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dankonsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melaluikewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan

99

Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan,yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atassumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuranrakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad)dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi danmengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumberkekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuranseluruh rakyat.

Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikanperdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara,c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumidimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas sahamdalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang pentingbagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikanatau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifatkumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu,negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinyasendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orangbanyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atassumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuranrakyat.

[3.11] Menimbang bahwa pengertian “penguasaan negara” sebagaimana

dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21

Desember 2004 tersebut, perlu diberikan makna yang lebih dalam agar lebih

mencerminkan makna Pasal 33 UUD 1945. Dalam putusan Mahkamah tersebut,

penguasaan negara dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945

memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan

tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan

(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara

dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan

mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi

oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan

(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)

dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah,

mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh

negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka

mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas

100

sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran seluruh rakyat. Kelima bentuk penguasaan negara dalam putusan

tersebut yaitu fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan

pengawasan ditempatkan dalam posisi yang sama. Dalam hal Pemerintah melakukan

salah satu dari empat fungsi penguasaan negara, misalnya hanya melaksanakan

fungsi mengatur, dapat diartikan bahwa negara telah menjalankan penguasaannya

atas sumber daya alam. Padahal, fungsi mengatur adalah fungsi negara yang umum

di negara mana pun tanpa perlu ada Pasal 33 UUD 1945. Jika dimaknai demikian,

makna penguasaan negara tidak mencapai tujuan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat sebagaimana maksud Pasal 33 UUD 1945.

Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara

itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini,

“pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk

“sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945. Hal

ini memperoleh landasannya yang lebih kuat dari Undang-Undang Dasar 1945

yang dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat”.

Dalam putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011,

Mahkamah mempertimbangkan bahwa, “...dengan adanya anak kalimat

“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar

kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan

tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya...” (vide paragraf [3.15.4] hal. 158 putusan

Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010). Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan

secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat

maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak tepat. Artinya, negara

sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara

penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di

satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun

di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas

sumber daya alam. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional

untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat

pada frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;

101

[3.12] Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar

kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian

penguasaan negara sebagaimana telah diuraikan di atas, jika tidak dimaknai

sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan

efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut

Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling

penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya

alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih

besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat

kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara

dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang

negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam

mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan

pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara

langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk

menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat

lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam

bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha

Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya

alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara,

keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan

berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal

33 UUD 1945 seperti diungkapkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding

leaders Indonesia yang mengemukakan, “... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal

33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan

oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak

berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam

modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah... Apabila

tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing

dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak

bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk

menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh

Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama

menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap

102

terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja

dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing,

sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”... (Mohammad

Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 202 s.d. 203, PT. Toko Gunung Agung Tbk.

Jakarta 2002). Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa

pemberian kesempatan kepada asing karena kondisi negara/pemerintah belum

mampu dan hal tersebut bersifat sementara. Idealnya, negara yang sepenuhnya

mengelola sumber daya alam;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

Mahkamah selanjutnya memberi penilaian konstitusionalitas atas isu-isu

konstitusional yang dipersoalkan dalam permohonan a quo;

Mengenai BP Migas

[3.13.1] BP Migas adalah badan hukum milik negara yang secara khusus

berdasarkan undang-undang dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa

Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang

Minyak dan Gas Bumi [vide Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) UU Migas].

Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, dilaksanakan

oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama

dengan Badan Pelaksana [vide Pasal 11 ayat (1) UU Migas]. BP Migas berfungsi

melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja

Sama Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas

Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal

bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 44 ayat (1) dan

ayat (2) UU Migas]. Untuk melaksanakan fungsi tersebut BP Migas bertugas:

a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal

penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;

b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;

c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama

kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk

mendapatkan persetujuan;

d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain

sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

103

f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai

pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;

g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. [vide Pasal 44 ayat

(3) UU Migas].

Memperhatikan konsepsi BP Migas menurut Undang-Undang a quo, dikaitkan

dengan pengelolaan sumber daya alam Migas, BP Migas merupakan organ

pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (selanjutnya

disebut BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah

melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu

(ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang

dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha,

pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran badan

usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual Migas bagian

negara kepada badan hukum lain. Oleh karena BP Migas hanya melakukan fungsi

pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas

maka negara dalam hal ini Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan secara

langsung atas sumber daya alam Migas pada kegiatan hulu. Pihak yang secara

langsung dapat mengelola sumber daya alam Migas menurut UU Migas hanya

Badan Usaha (yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD), Koperasi serta badan usaha swasta) dan Bentuk Usaha Tetap.

Dengan demikian konstruksi hubungan antara negara dan sumber daya alam

Migas menurut UU Migas dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa

Pertambangan yang dilaksanakan oleh BP Migas. Dalam hal ini, BP Migas

melakukan fungsi penguasaan negara berupa tindakan pengendalian dan

pengawasan atas pengelolaan Migas yang dilakukan oleh Badan Hukum yang

dapat berupa BUMN, BUMD, Koperasi, usaha kecil atau badan hukum swasta

maupun Bentuk Usaha Tetap. Hubungan antara BP Migas dan Badan Hukum atau

Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja

Sama (selanjutnya disebut KKS) atau kontrak kerja sama lainnya dengan syarat

minimal, yaitu: i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai

pada titik penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP

Migas, dan iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk

Usaha Tetap (vide Pasal 6 UU Migas). Dari konstruksi hubungan yang demikian

104

terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, Penguasaan

negara atas Migas diselenggarakan oleh Pemerintah melalui BP Migas. Kedua,

bentuk penguasaan negara terhadap Migas oleh BP Migas hanya sebatas

tindakan pengendalian dan pengawasan.

[3.13.2] Menimbang bahwa pembentukan BP Migas dilatarbelakangi oleh

kehendak untuk memisahkan antara badan yang melakukan regulasi atau badan

yang membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis Migas yang kedua

fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. BP Migas diharapkan

dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan

gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri,

tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya

pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi

pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu Migas yang sebelumnya

dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi

Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang menyelenggarakan

penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. BP Migas adalah Badan

Hukum Milik Negara yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang

mengendalikan dan mengawasi bisnis Migas di sektor hulu. BP Migas oleh

Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara

langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara

langsung dengan pelaku usaha;

[3.13.3] Menimbang bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada paragraf

[3.11] dan paragraf [3.12], bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang

harus dilakukan oleh negara adalah Pemerintah melakukan pengelolaan secara

langsung atas sumber daya alam dalam hal ini Migas. Dari konstruksi hubungan

sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.13.1], BP Migas hanya melakukan

fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak

melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor

hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara

maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha

yang sehat, efisien, dan transparan. Menurut Mahkamah model hubungan antara

BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas

105

sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Walaupun UU Migas, menentukan tiga syarat minimal dalam KKS, yakni

i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik

penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan iii)

modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap,

tetapi ketiga syarat minimal tersebut tidak serta merta berarti bahwa penguasaan

negara dapat dilakukan dengan efektif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat

secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan

usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan

usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu

pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan

kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan

dengan isi KKS; Ketiga, tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan Migas keuntungan

besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan

berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan. Dalam

hal ini, dengan konstruksi penguasaan Migas melalui BP Migas, negara kehilangan

kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung

Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber daya alam Migas, padahal

fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama

dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Oleh karena konstruksi hubungan yang demikian maka menurut Mahkamah

keberadaan BP Migas menurut Undang-Undang a quo, bertentangan dengan

konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat

sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan penguasaan

negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap sumber

daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Menurut

Mahkamah, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha

yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945.

Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan

kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola

sumber daya alam Migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan

kepada badan swasta.

106

Bahwa untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber

daya alam Migas, negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan

kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga

mempunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah, pemisahan antara badan

yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang

melakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan

terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. Walaupun

terdapat prioritas pengelolaan Migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana

telah menjadi pendirian Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal

21 Desember 2004, efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila

Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy)

tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Dalam posisi

demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan,

pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam Migas. Dalam

menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah

melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan

memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk

mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara

itulah yang akan melakukan KKS dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi,

Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan model

seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD

1945 terlaksana dengan nyata.

[3.13.4] Menimbang bahwa tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD

1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat” sehingga implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan

pemerintahan pun harus menuju ke arah tercapainya tujuan tersebut. Oleh sebab

itu setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun

berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang

inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena keberadaan BP Migas

sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah

membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut

Mahkamah keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan

dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam

pengorganisasian pemerintahan. Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti

107

bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah

alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena

berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal

31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007,

bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar konstitusi

pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas. Jikalau

diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau

kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu

tidak mengurangi keyakinan Mahkamah untuk memutuskan pengembalian

pengelolaan sumber daya alam ke Pemerintah karena dengan adanya putusan

Mahkamah ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang

untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang

berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Dengan putusan

Mahkamah yang demikian maka Pemerintah dapat segera memulai penataan

ulang pengelolaan sumber daya alam berupa Migas dengan berpijak pada

“penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat yang

sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien dan di bawah

kendali langsung Pemerintah. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalil para

Pemohon sepanjang mengenai BP Migas beralasan hukum;

[3.13.5] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon hanya memohon pengujian

Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena

putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam Undang-

Undang a quo diatur juga dalam berbagai pasal yang lain maka Mahkamah tidak

bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang

“Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana”dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalamPasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “BadanPelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63,serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan

dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

108

Kontrak Kerja Sama

[3.14] Menimbang bahwa Undang-Undang a quo, mengkonstruksikan

hubungan antar negara dengan badan usaha yang melakukan pengelolaan Migas

dengan hubungan keperdataan dalam bentuk KKS. Menurut UU Migas, KKS

adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan dan hasilnya dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (vide Pasal 1 angka 19 UU Migas).

Dalam KKS, BP Migas bertindak mewakili Pemerintah sebagai pihak dalam KKS

dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas. Dalam

posisi yang demikian, hubungan antara BP Migas (negara) dengan Badan Usaha

atau Bentuk Usaha Tetap adalah hubungan yang bersifat keperdataan yaitu

menempatkan posisi negara dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang

mengelola Migas dalam posisi yang sederajat. Dalam hal ini ketika kontrak telah

ditandatangani, negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan

diskresi untuk membuat regulasi bagi kepentingan rakyat yang bertentangan

dengan isi KKS, sehingga negara kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan

sumber daya alam yaitu kedaulatan untuk mengatur Migas yang bertentangan

dengan isi KKS. Padahal negara, sebagai representasi rakyat dalam penguasaan

sumber daya alam harus memiliki keleluasaan membuat aturan yang membawa

manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah

hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam

tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus

merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau

perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak

keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam,

dalam hal ini Migas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah,

hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi

dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai

pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo adalah

bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.

Untuk menghindari hubungan yang demikian negara dapat membentuk atau

menunjuk BUMN yang diberikan konsensi untuk mengelola Migas di Wilayah

hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja, sehingga BUMN tersebut

109

yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sehingga

hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap, tetapi antara Badan Usaha dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 6 UU

Migas, merupakan pengaturan yang bersifat umum yang apabila tidak dikaitkan

dengan BP Migas selaku Pemerintah adalah tidak bertentangan dengan konstitusi.

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 19 UU

Migas sepanjang frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain” bertentangan

dengan konstitusi dengan alasan yang pada pokoknya bahwa frasa tersebut

menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir karena memposisikan negara

sederajat dengan badan usaha sehingga berakibat melemahkan posisi negara.

Menurut Mahkamah frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain” dalam Pasal 1

angka 19 UU Migas merupakan bentuk kontrak yang sengaja dibuat oleh

pembentuk Undang-Undang agar selain KKS dalam bentuk kontrak bagi hasil, juga

dimungkinkan KKS dalam bentuk yang lain, asalkan menguntungkan bagi negara,

misalnya yang sekarang ini dikenal yaitu KKS dalam bentuk kontrak jasa. Bentuk

KKS selain kontrak bagi hasil adalah tidak bertentangan dengan konstitusi

sepanjang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan tidak

melanggar prinsip penguasaan negara yang dimaksud dalam konstitusi. Dengan

demikian sepanjang frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain “ dalam Pasal 1

angka 19 UU Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945;

Persaingan Usaha yang Wajar, Sehat, dan Transparan

[3.16] Menimbang bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha

Migas menurut Pasal 3 huruf b UU Migas adalah, “Untuk menjamin efektivitas

pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan,

dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui persaingan usaha yang

wajar, sehat, dan transparan”. Menurut Mahkamah Pasal 3 huruf b tersebut sangat

berbeda dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Migas. Pasal 28 ayat (2) a quo

yang menentukan bahwa penetapan harga bahan bakar minyak dan gas bumi

diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar telah

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-

110

I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Frasa “penyelenggaraan melalui mekanisme

persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan” dalam Pasal 3 huruf b UU

Migas merupakan penjabaran dari pelaksanaan keterbukaan dalam kegiatan

usaha hilir minyak dan gas bumi. Kegiatan usaha hilir di bidang minyak dan gas

bumi dilaksanakan dengan mekanisme pemberian Izin Usaha kepada Badan

Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), Koperasi, dan juga usaha kecil yang bergerak di bidang pengolahan,

pengangkutan, penyimpanan, dan niaga minyak dan gas bumi. Berdasarkan Pasal

9 ayat (2) UU Migas kegiatan usaha hilir tidak dimungkinkan bagi Bentuk Usaha

Tetap. Hal ini berarti membuka peluang bisnis kepada perusahaan-perusahaan

nasional atau perusahaan yang berbadan hukum Indonesia, dalam kegiatan usaha

hilir minyak dan gas bumi di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan adanya

frasa “melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b UU Migas, menjamin tidak adanya

monopoli oleh suatu badan usaha tertentu dalam penyelenggaraan kegiatan usaha

hilir di bidang minyak dan gas bumi. Dengan demikian, hal itu sudah sesuai

dengan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat. Pasal 3 huruf b berkait

dengan Pasal 23 ayat (2) UU Migas yang menyatakan “Izin usaha yang diperlukan

untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin Usaha Pengolahan;

b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”.

Dengan demikian, Pasal 3 huruf b Undang-Undang a quo membuka peluang

usaha kepada siapa saja yang ingin berkecimpung dalam usaha minyak dan gas

bumi, apakah akan melakukan usaha secara keseluruhan atau melakukan usaha

hanya pengolahan, atau pengangkutan, atau penyimpanan, atau usaha niaga,

kesemuanya terpulang kepada kemampuan modal dari para pelaku usaha itu

sendiri. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para

Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

Posisi BUMN

[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas

sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik

111

Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas,

dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas.

Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan

kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk

berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam

putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah

mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan

Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hakmendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana

mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP

Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana

dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka

posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan

dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha

hulu Migas. Dengan demikian, anggapan para Pemohon bahwa BUMN harus

bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan

pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut

tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 10 dan Pasal 13

UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan alasan yang pada

pokoknya bahwa norma dalam pasal-pasal tersebut mengurangi kedaulatan

negara atas penguasaan sumber daya alam (Migas) karena pemecahan

organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) akan menciptakan

manajemen baru yang akan menentukan cost dan profit masing-masing. Terhadap

dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003,

tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangan mengenai pemisahan

(unbundling) kegiatan usaha, yaitu “... ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan

tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang justru

harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal 61

yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan

dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak

menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap

melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha

112

hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu”

dan “Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai oleh negara”. Meskipun Pasal

13 UU Migas tidak termasuk dalam putusan Mahkamah tersebut, namun oleh

karena substansinya sama dengan Pasal 10 UU Migas yaitu mengenai unbundling

secara horizontal maka pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis

berlaku untuk pengujian Pasal 13 UU Migas. Oleh karena itu, menurut Mahkamah,

pemisahan dalam kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dalam kegiatan

minyak dan gas bumi sudah tepat. Adapun alasan kemungkinan hal itu akan

menciptakan manajemen baru yang akan menentukan cost dan profit masing-

masing, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak terkait dengan permasalahan

konstitusionalitas. Dengan demikian, dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan

menurut hukum;

[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 11 ayat (2) UU

Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A dan

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya bahwa KKS

tergolong dalam perjanjian internasional, sehingga pemberitahuan KKS secara

tertulis kepada DPR telah mengingkari kedaulatan rakyat dan mengingkari

keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam. Menurut

Mahkamah, KKS dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi merupakan kontrak

yang bersifat keperdataan dan tunduk pada hukum keperdataan. Hal ini jelas

berbeda dengan perjanjian internasional yang dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD

1945. Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional yang merupakan penjabaran dari Pasal 11 ayat (3) UUD 1945, telah

memberikan definisi tentang perjanjian internasional, yaitu “Perjanjian dalam

bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat

secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”

Kemudian dalam Pasal 1 huruf a dan Pasal 4 ayat (1) UU 24/2000, menyebutkan

elemen-elemen dari perjanjian internasional yaitu:

a) dalam bentuk dan nama tertentu;

b) diatur dalam hukum internasional;

c) dibuat secara tertulis;

d) dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional

lainnya;

e) menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

113

Di samping itu, Article 1 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian

Internasional menyatakan, “The present Convention applies to treaties between

states”. Kemudian dalam Article 2 (a) treaty diartikan “treaty” means an

international agreement concluded between states in written form and governed by

international law, whether embodied in a single instrument or in two or more

related instruments and whatever its particular designation. Selain itu, dalam

Article 1 Konvensi Wina Tahun 1986 dinyatakan “The present Convention applies

to: (a) treaties between one or more States and one or more international

organizations, and (b) treaties between international organizations.”

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, KKS Migas tidak

memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak

memerlukan persetujuan DPR.

Bahwa selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 20/PUU-V/2007, tanggal 17

Desember 2007, yang antara lain mempertimbangkan, “...karena dengan

dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan adanya

pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih merugikan

DPR sebagai lembaga ...”;

Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki

fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Mengingat posisi

minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan

yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat

hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian

nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (vide konsiderans huruf b UU Migas) maka

pemberitahuan kontrak-kontrak tertulis kepada DPR adalah dalam rangka fungsi

pengawasan DPR sebagai mekanisme yang melibatkan peran serta rakyat melalui

wakil-wakilnya di DPR apabila terdapat kontrak yang merugikan bangsa dan

negara Indonesia. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon

tidak beralasan menurut hukum;

[3.20] Menimbang bahwa oleh karena putusan ini menyangkut status hukum

BP Migas yang oleh Undang-Undang a quo diposisikan sangat penting dan

114

strategis, maka Mahkamah perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah

putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh

Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat

mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak

dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena

kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan

menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh

karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ

negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya

aturan yang baru;

[3.21] Menimbang bahwa sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas,

Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan akibat hukum dari putusan ini.

Bahwa berdasar Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah

Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam

sidang pleno terbuka untuk umum” maka putusan Mahkamah Konstitusi

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno

terbuka untuk umum dan berlaku secara prospektif. Dengan demikian segala KKS

yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa

yang lain sesuai dengan kesepakatan;

[3.22] Menimbang bahwa untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya

lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan

melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru.

Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh

Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian

yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak

serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh

Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah;

115

[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di

atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan

hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian hukum dan fakta tersebut di atas, Mahkamah

berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,

Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

116

1.2 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,

Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat;

1.3 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui

Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan

pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa

“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.4 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui

Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan

pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa

“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.5 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

1.6 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.7 Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan

oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya

Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut;

117

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh

sembilan Hakim Konstitusi, yaitu, Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap

Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, MuhammadAlim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima, bulan November,tahun dua ribu dua belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno MahkamahKonstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulanNovember, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu, Moh.

Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono,Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan

Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh

Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya,Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang

mewakili. Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Harjono mempunyai

pendapat berbeda (dissenting opinion).

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.Achmad Sodiki

ttd.Harjono

ttd.Hamdan Zoelva

ttd.M. Akil Mochtar

ttd.Muhammad Alim

ttd.Maria Farida Indrati

118

ttd.Ahmad Fadlil Sumadi

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Harjono mempunyai pendapat

berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:

I. Bahwa Mahkamah kurang saksama dalam mempertimbangkan legal standing

para Pemohon sebagaimana disampaikan dalam paragraf [3.5] sampai

dengan paragraf [3.7]. Meskipun Mahkamah telah mendasarkan pada Pasal

51 ayat (1) UU MK dan Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan

Nomor 11/PUU-V/2007, namun Mahkamah tidak mengemukakan

argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para Pemohon

yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas

yang dimohonkan untuk diuji. Argumentasi Mahkamah dalam memberikan

legal standing sangatlah penting sekali, karena menyangkut hal yang sangat

esensial dalam proses peradilan, yaitu bahwa hanya yang punya kepentingan

secara langsung sajalah yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan.

Mahkamah tidak menguraikan argumentasi yuridis yang cukup, karena tidak

tergambarkan proses deduktif yang dilakukan oleh Mahkamah untuk sampai

pada kesimpulan bahwa para Pemohon mempunyai legal standing;

II. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD). Sistem UUD

dalam mengatur pelaksanaan kedaulatan tersebut menentukan bahwa

kewenangan untuk menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar

diberikan kepada lembaga negara MPR [vide Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37

UUD 1945]. Sedangkan untuk membuat Undang-Undang diserahkan kepada

DPR dan Presiden (vide Pasal 20 UUD 1945). Adanya badan-badan

pemerintahan yang tidak ditetapkan dalam UUD tidaklah menyebabkan

badan pemerintahan yang demikian secara serta merta menjadi

inkonstitusional. UUD hanya menetapkan lembaga-lembaga konstitusi,

artinya lembaga negara yang keberadaannya dicantumkan dalam konstitusi

dan tidak ada satu ketentuan dalam UUD yang melarang pembentukan

badan pemerintahan. Hal demikian adalah wajar karena tidak mungkin

119

sebuah UUD menetapkan secara limitatif badan-badan pemerintahan secara

rinci. Kementerian negara yang dicantumkan dalam UUD pun tidak

ditentukan jenis dan jumlahnya. Praktik pelaksanaan pemerintahan

membutuhkan badan pemerintahan, dan Undang-Undang menjadi dasar

yang kuat karena tidak ada produk hukum yang lebih tinggi lagi. Kalau

kebutuhan akan badan pemerintahan tersebut demikian penting maka MPR

dapat melakukan perubahan UUD dengan memasukkan ketentuan tentang

badan pemerintahan tersebut dalam UUD sehingga menjadi lembaga

konstitusi. Sistem UUD dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat menetapkan

dua fungsi yang berbeda yaitu menetapkan dan mengubah UUD diserahkan

kepada MPR, dan membuat Undang-Undang kepada DPR dan Presiden.

Pada dua lembaga tersebut tercerminkan kedaulatan rakyat karena MPR

anggotanya terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung

oleh rakyat dan fungsi pembuatan Undang-Undang dilakukan oleh DPR dan

Presiden yang keduanya pun dipilih secara langsung oleh rakyat pula.

Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bukan

merupakan lembaga perwakilan yang tugasnya melaksanakan peradilan tata

negara harus menghormati dan menegakkan sistem kedaulatan rakyat yang

dibangun oleh UUD tersebut;

III. Pembentukan badan-badan pemerintahan secara konstitusional menjadi

ranah pembuat Undang-Undang yang mendapat amanat langsung dari rakyat

yang berdaulat karena pembuat Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden

dipilih langsung oleh rakyat. Hal demikian tidak menutup pintu secara mutlak

bahwa Mahkamah tidak dapat menjamah sama sekali penggunaan

kewenangan membuat Undang-Undang yang berhubungan dengan

pembentukan badan atau lembaga pemerintah dalam uji Undang-Undang.

Mahkamah harus mempunyai alasan yang kuat dan terukur mengapa

Undang-Undang pembentukan suatu badan pemerintah harus dibatalkan

sehingga alasan tersebut dapat digunakan oleh pembuat Undang-Undang

dalam membentuk badan-badan pemerintahan lainnya yang di masa akan

datang pasti akan lebih banyak kebutuhan untuk dibentuknya badan-badan

serupa. Sebagai proses politik yang sah, produk Undang-Undang haruslah

dihargai. Pembentuk Undang-Undang, DPR dan Presiden, lebih mengetahui

badan pemerintah apa yang diperlukan dan dalam urusan apa, karena kedua

120

lembaga negara tersebut terlibat secara langsung secara aktual;

IV. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan ayat (5) menyatakan

ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-

undang. Pasal 33 ayat (3) UUD tidak menentukan badan negara mana dalam

kedudukannya sebagai negara yang akan menguasai, tetapi jelas bahwa UU

memberikan delegasi berdasarkan ayat (5) untuk diatur pelaksanaannya

dalam UU. Pertanyaannya kalau pembuat Undang-Undang telah mengatur

pelaksanaannya dengan membuat UU Migas yang di dalamnya diatur

tentang Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang dimasalahkan oleh para

Pemohon, di mana letak kesalahannya secara struktur menurut UUD. Bahkan

dalam pembentukan BP Migas, kadar negara di dalamnya adalah sangat kuat

karena menurut Pasal 45 ayat (3) UU Migas, Kepala Badan Pelaksana

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR

dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.

Ketentuan ini jelas mempunyai dasar bahwa BP Migas adalah sangat penting

oleh karenanya dalam penunjukan Kepala BP, dua lembaga perwakilan yang

dipilih oleh rakyat secara langsung dilibatkan. Hal demikian menjadikan kadar

negara lebih kuat, bahkan dibandingkan dengan menteri yang disebutkan

dalam UUD hanya diangkat oleh Presiden saja. Putusan Mahkamah Nomor

002/PUU-I/2003 bertanggal 21 Desember 2004 yang berkaitan dengan Pasal

33 UUD menyatakan, penguasaan negara dimaknai rakyat secara kolektif

dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberi mandat kepada negara. Dengan

frasa "rakyat secara kolekif memberi mandat kepada negara", dan mandat

tersebut dilakukan dalam pemilihan umum maka jelas Kepala BP Migas lebih

kuat dan legitimate mewakili negara karena Presiden berkonsultasi dengan

DPR. Mengapa hal tersebut terjadi karena memang itu ranah pembuat

Undang-Undang untuk mempertimbangkan dan menentukan yang terbaik di

antara pilihan yang ada;

V. Bahwa dalam hubungannya dengan Kontrak Kerja Sama pendapat mayoritas

Mahkamah dalam putusan ini menyatakan dalam paragraf [3.14]: "hubungan

antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak

dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, tetapi harus merupakan

121

hubungan bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang

sepenuhnya dikontrol negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi

kedaulatan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas”. Tentang

kemungkinan negara dapat mengontrol sepenuhnya memang menjadi

persoalan sendiri kalau hanya mungkin dengan hukum publik berupa konsesi

dan perizinan. Konsesi telah lama ditinggalkan karena justru konsesi sangat

merugikan negara dan dapat menciptakan penguasaan wilayah secara de

facto. Sedangkan perizinan memungkinkan negara untuk mengontrol

sepenuhnya tidaklah benar, karena negara Indonesia adalah negara hukum,

maka demi adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum perbuatan

negara yang dilakukan oleh administrasi negara pun dapat dipersengketakan

secara hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga negara tidak

dapat sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya termasuk dalam hal

perizinan. Kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan penanaman modal

asing tidak semata-mata menjadi kewenangan peradilan nasional, bahkan

menjadi kasus yang diselesaikan dengan arbitrase internasional. Pada kasus

yang demikian seringkali negara menjadi pihak dalam sengketa yang tidak

ada bedanya dengan badan hukum biasa. Apabila penandatangan perjanjian

Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah BP Migas, maka sengketa yang timbul

tidak langsung dengan negara, tetapi kalau menteri atau jajaran

kementeriannya yang membuat kontrak akan menjadikan negara secara

langsung bersengketa dengan badan hukum yang mau tidak mau akan

diposisikan secara sederajat;

VI. Saya sependapat dengan mayoritas yang disampaikan dalam paragraf[3.12] yang menyatakan bentuk penguasaan negara tingkat pertama dan

yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung.

Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, tekhnologi, dan

manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih

untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. KKS

bukanlah model yang dibuat oleh BP Migas, tetapi oleh Undang-Undang yang

dalam pelaksanaannya BP Migas yang mewakili pihak Indonesia. KKS

dilakukan memang karena negara tidak mampu untuk menyediakan

pembiayaan, apalagi dalam eksplorasi mengandung resiko yang tidak ringan,

karena biaya eksplorasi tidak sedikit tetapi belum dapat dipastikan

122

menemukan sumber minyak atau gas. Dengan demikian KKS adalah bersifat

sementara sampai negara mampu untuk melakukan pengelolaan secara

mandiri. Adapun kapan negara telah mampu untuk melakukan sendiri,

lembaga negara Presiden dan DPR yang lebih mengetahui dan bukannya

Mahkamah sebagai lembaga peradilan;

VII. Pada paragraf [3.13.4] dinyatakan bahwa, "sekiranya pun dikatakan bahwa

belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan

kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP

Migas inkonstitusional karena berdasar Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-

III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-

V/2007 bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar

konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara

konstitusionalitas. Terhadap pernyataan tersebut timbul pertanyaan apa

sebenarnya yang menjadi dasar alasan memutus eksistensi

inkonstitusionalitas BP Migas, karena dikatakan cukup alasan dengan hanya

merujuk Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-

V/2007. Mahkamah tidak mempermasalahkankan ada tidaknya

penyalahgunaan kekuasaan di BP Migas. Namun hal yang sangat keliru ialah

putusan berdasar adanya frasa "yang berpotensi melanggar konstitusi pun

bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas". Frasa

tersebut berhubungan dengan pemberian legal standing kepada Pemohon

bukan untuk memutus dalam pokok perkara. Pemohon yang mendalilkan

bahwa suatu pasal, atau bagian dari Undang-Undang yang menurut

pendapatnya berpotensi melanggar konstitusi sehingga hak konstitusionalnya

dirugikan cukup menjadi dasar bagi Mahkamah memberikan legal standing.

Sedangkan pada pokok perkara kerugian tersebut harus nyata terdapat dan

harus dibuktikan oleh Pemohon, karena putusan akan mempunyai akibat

erga omnes maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemohon secara pribadi

tetapi juga menjadi kerugian seluruh mereka yang mempunyai hak

konstitusional;

VIII. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pembentukan badan pemerintahan

c.q.BP Migas tidak bertentangan dengan struktur UUD. BP Migas mempunyai

kadar sebagai entitas negara yang cukup kuat karena dibentuk berdasarkan

UU, lebih-lebih lagi penunjukkan Kepala BP Migas melibatkan dua lembaga

123

negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yaitu Presiden dan DPR.

Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara eksplisit kerugian

konstitusionalnya namun hanya merupakan konstatasi, dan Mahkamah juga

belum cukup mempertimbangkan kerugian konstitusional apa sebenarnya

yang dialami para Pemohon, oleh karenanya permohonan para Pemohon

tidak terbukti secara hukum dan oleh karenannya harus ditolak.

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Cholidin Nasir