kumpulan putusan uji materi uu 22/2001 tentang minyak dan gas bumi
TRANSCRIPT
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia
Nomor 01 Tahun 2005, Terbit Hari Selasa tangg
P U T U S A N
al 04 Januari 2005
Perkara Nomor 002/PUU-I/2003
DEMI KEADILAN BERDASARKAN MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang m i pada tingkat
rtam
. APHI (ASOSIASI PENASEHAT HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
. PBHI (PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
. YAYASAN 324, beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu No.1 B, Km. 17,7,
KETUHANAN YANG
emeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitus
pe a dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
Dan Gas Bumi (UU Nomor 22 Tahun 2001) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang diajukan oleh:
1INDONESIA), beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu No.1 B, Km. 17,7,
Lt. 3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon I;
2INDONESIA), beralamat di Gd. Sentral Cikini, JI. Cikini Raya No.58 S-T
Lt.4, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut Pemohon II;
3Pasar Minggu, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon III;
4. SNB (SOLIDARITAS NUSA BANGSA), beralamat di JI. Tebet Barat
Dalam XA No.7 Jakarta Selatan, selanjutnya disebut Pemohon IV;
5. SP KEP - FSPSI PERTAMINA, beralamat di JI. Merdeka Timur No.11
Jakarta 10110, selanjutnya disebut Pemohon V;
6. Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, M.H, Wakil Rektor II Universitas
Kejuangan 45, beralamat di Gedung Joang 45/DHN45, JI. Menteng Raya
No.31, Jakarta 10340, selanjutnya disebut Pemohon VI;
Dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya: Hotma Timbul H., S.H., Johnson Panjaitan, S.H., Saor Siagian, S.H., Ecoline Situmorang, S.H., Mangapul Silalahi, S.H., Basir Bahuga, S.H., Lamria, S.H., Sonny W. Warsito, S.H., Erick S. Paat, S.H., Reinhard Parapat, S.H., Niko Adrian, S.H., Muhammad A. Fauzan, S.H., Sholeh Ali, S.H., Jon B. Sipayung, S.H., Rita Olivia Tambunan, S.H., Surya Tjandra, S.H., Lucky Rossintha, S.H., M. Ichsan, S.H., Reno Iskandarsyah, S.H., Vony Reyneta, S.H., Astuty Liestianingrum, S.H., Yuli Husnifah, S.H., Dede N.S., S.H., David Oliver Sitorus, S.H., Leonard Sitompul, S.H.; Advokat dan Pembela Umum
dari APHI, PBHI, LBH Jakarta, SNB, LBH APIK, beralamat di Gd. Sentral
Cikini, JI. Cikini Raya No.58 S-T Lt.4, Jakarta Pusat, berdasarkan surat
kuasa khusus masing-masing bertanggal 9 Januari 2003 dan tanggal 14
November 2003;
Telah membaca surat permohonan para Pemohon;
Telah mendengar keterangan para Pemohon;
Telah mendengar keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia;
Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;
Telah mendengar keterangan para Ahli;
Telah memeriksa bukti-bukti surat atau tulisan dan dokumen-dokumen;
2
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonannya bertanggal 14 Januari 2003 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Rabu, tanggal 15 Oktober 2003
dengan registrasi perkara Nomor 002/PUU-I/2003 serta perbaikan permohonan
bertanggal 14 Nopember 2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia pada hari Selasa, tanggal 18 Nopember 2003, pada dasarnya
para Pemohon mengajukan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2001 terhadap
UUD 1945, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN Pemohon dengan mengutip pendapat Prof. Dr. Sri Soemantri, dalam
bukunya: "HAK UJI MATERIIL DI INDONESIA, 1997”, menyebutkan ada
dua jenis pengujian undang-undang, yaitu pengujian formil dan pengujian
materiil. Pengujian formil menurutnya adalah wewenang untuk menilai,
apakah suatu produk legislatif, seperti undang-undang misalnya terjelma
melalui cara-cara (prosedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak (halaman 6).
Selanjutnya pengujian materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya
sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu (halaman 11).
Pengujian, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam
sistem hukum Indonesia sebagaimana terdapat dalam Konstitusi
Indonesia, yaitu UUD 1945 setelah mengalami perubahan sebanyak
empat kali. Pasal 24 ayat (1) menegaskan Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya .... dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
3
Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan pengujian tersebut
terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang selengkapnya
sebagai berikut:
1. Pasal 24A ayat (1): Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2. Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut jelas bahwa baik Mahkamah
Agung maupun Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangan
untuk melakukan pengujian secara formil dan materiil. Perbedaannya
adalah pengujian yang dimiliki oleh Mahkamah Agung merupakan
pengujian secara terbatas, yaitu terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, sedangkan untuk melakukan
pengujian terhadap undang-undang diserahkan hak atau kewenangannya
kepada Mahkamah Konstitusi;
Pengaturan lebih lanjut mengenai pengujian secara terbatas oleh
Mahkamah Agung telah terdapat dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, maupun hukum acaranya sebagaimana terdapat
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999;
4
II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945: Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Pasal 20 UUD 1945:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
3. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, maka DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan rancangannya
dapat diajukan oleh Presiden dan/atau DPR;
4. Bahwa adakalanya undang-undang yang dibuat oleh DPR dan/atau
Presiden dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sehingga
kemudian perubahan ke tiga UUD 1945 tanggal 9 Nopember 2001,
melakukan pengaturan mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi
untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 24
jo. 24C, yang berbunyi:
Pasal 24:
5
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Bahwa sebagai masa peralihan, untuk mengisi kekosongan hukum,
hingga terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang,
maka dalam perubahan keempat UUD 1945 oleh MPR dalam Sidang
Tahunan MPR tanggal 10 Agustus 2002, yaitu dalam Pasal III Aturan
Peralihan ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-
lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
6. Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi dalam masa peralihan, maka Mahkamah Agung pada
tanggal 16 Oktober 2002 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang
Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung;
7. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas merupakan hal
yang baru dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, oleh karena
baru dirumuskan dan disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun
6
2002. Alasan yang mendasari keberadaan Mahkamah Konstitusi
adalah dalam rangka memenuhi dan menjawab kebutuhan dan
kepentingan masyarakat dan juga sebagai perkembangan dinamis
praktek ketatanegaraan di Indonesia, mengingat dalam praktek
ketatanegaraan di Indonesia, ternyata bukan hanya banyaknya
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 atau undang-undang, melainkan
justru banyak undang-undang yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya seperti UUD 1945 atau banyaknya
undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah ternyata tidak
memenuhi syarat-syarat pembentukan undang-undang, yaitu: syarat-
syarat filosofis, sosiologis dan yuridis. Masih melekat dalam ingatan
beberapa peraturan perundang-undangan yang mendapat tentangan
dari masyarakat atau tidak dapat diterapkan, seperti Undang-undang
Lalu Lintas dan Jalan Raya, Undang-undang Penanggulangan
Keadaan Bahaya, Undang-undang Perburuhan, Undang-undang
Penyelesaian Perburuhan Indonesia, Undang-undang Advokat,
Undang-undang Yayasan dan lain-lain;
8. Dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan pengujian
kepada Mahkamah Konstitusi, memungkinkan dapat dijalankanya
fungsi kontrol hukum (legal controle) terhadap undang-undang yang
dibuat oleh DPR dan Pemerintah. Dengan kewenangannya ini,
Mahkamah Konstitusi menjadi benteng dalam menjaga dan
mempertahankan keadilan, dalam arti mengoreksi undang-undang
yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang mengabaikan
kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Hal tersebut
menjadikan dan/atau menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai peranan strategis dalam menjaga dan mempertahankan
prinsip-prinsip negara hukum;
9. Salah satu peraturan perundangan yang diajukan untuk dilakukan
pengujian secara formil dan materiil oleh Mahkamah Konstitusi karena
mengandung muatan yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah
7
UU Nomor 22 Tahun 2001, yang telah disetujui oleh DPR pada
tanggal 23 Oktober 2001 dan diundangkan pada tanggal 23 November 2001;
10. Permohonan pengujian terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 telah
dilakukan oleh para Pemohon pada tanggal 14 Januari 2003 yang
dilakukan dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2002;
11. Pada tanggal 13 Agustus 2003 telah disahkan Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 24 Tahun
2003);
12. Pasal 87 UU Nomor 24 Tahun 2003: Pada saat undang-undang ini
berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang diterima
Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi
dibentuk.
13. Hingga tanggal pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2003 ternyata
Mahkamah Agung belum melakukan pemeriksaan dan/atau
mengambil putusan mengenai permohonan pengujian UU Nomor 22
Tahun 2001 yang diajukan oleh para Pemohon, kemudian Mahkamah
Agung melimpahkan permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi;
14. Pada tanggal 4 November 2003 Mahkamah Konstitusi telah
memanggil para Pemohon untuk hadir dalam persidangan
pemeriksaan pendahuluan berkaitan dengan permohonan pengujian
UU Nomor 22 Tahun 2001 yang diajukan oleh para Pemohon,
sebagaimana ditentukan Pasal 39 UU Nomor 24 Tahun 2003;
15. Dalam pemeriksaan pendahuluan tersebut, Hakim Konstitusi
memberikan nasihat-nasihat untuk perbaikan permohonan yang juga
diakui oleh para Pemohon mengingat memang permohonan pengujian
tersebut pada saat itu adalah berdasarkan Peraturan Mahkamah
8
Agung Nomor 2 Tahun 2002 ternyata mempunyai banyak perbedaan
dengan yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003;
16. Perbaikan permohonan berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU
Nomor 24 Tahun 2003 dilakukan paling lama 14 hari sejak
pemeriksaan pendahuluan dilakukan, yaitu paling lambat tanggal 14
November 2003;
17. Permohonan ini merupakan permohonan yang telah diperbaiki dan
diajukan dalam tenggat sebagaimana ditentukan Pasal 39 ayat (1) dan
(2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut di atas.
III. HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON
1.1. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
1.2. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001, sebagaimana akan
diuraikan dalam butir V di bawah ini, telah dan akan merugikan
kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan
kepentingan publik). Oleh karenanya pengajuan permohonan
pengujian ini adalah untuk memperjuangkan secara kolektif hak
konstitusional dalam rangka membangun masyarakat, bangsa, dan
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
yang telah dan akan terhambat jika UU Nomor 22 Tahun 2001 yang
merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia
(merugikan kepentingan publik), tetap diberlakukan;
2.1. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2.2. Pasal 33 UUD 1945:
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
9
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
2.3. Pengajuan permohonan pengujian ini adalah untuk melaksanakan
hak konstitusional berupa hak untuk mendapatkan jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum bahwa cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
tetap dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28D ayat (1) jo. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Hak tersebut tidak akan terwujud jika UU Nomor 22 Tahun 2001
tetap diberlakukan, sebagaimana lebih lanjut akan diuraikan dalam
Bab V;
3.1. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir batin ...
3.2. Berdasarkan Pasal 28H tersebut, maka negara wajib menjamin
kesejahteraan dan/atau kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Kewajiban untuk menjamin kesejahteraan dan/atau kemakmuran
tersebut hanya dapat terwujud jika negara cq. Pemerintah
menjalankan prinsip-prinsip perekonomian sebagaimana dimaksud
Pasal 33 UUD 1945;
3.3. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 ternyata tidak menjalankan
prinsip-prinsip perekonomian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 UUD 1945 yang diuraikan lebih lanjut dalam Bab V di bawah ini,
sehingga dengan merujuk pada butir 3.2. akan berdampak pada
kesulitan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan dan/atau
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia yang berujung pada
ketidakpastian untuk mewujudkan hak konstitusional rakyat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945;
4.1. Pasal 28A UUD 1945: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya, dan Pasal 28D ayat (2)
10
UUD 1945: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
4.2. Pemohon V merupakan Badan Hukum yang mewakili kepentingan
para pekerja di lingkungan P.T. Pertamina (Persero), yakni satu-
satunya BUMN yang mengelola sektor Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia;
4.3. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 sebagaimana akan diuraikan
lebih lanjut dalam Bab V, akan menimbulkan dampak yang
merugikan kepentingan para pekerja dilingkungan P.T. Pertamina
(Persero) yang diwakili oleh Pemohon V, khususnya yang
menyangkut hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya maupun hak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,
yang merupakan hak konstitusional Pemohon V;
5.1. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945: Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.
5.2. Pemohon VI adalah civitas academica Pendidikan Tinggi yang
mengemban misi pencerdasan bangsa termasuk Nation and
Character Building;
5.3. Selanjutnya Pemohon VI selaku warga civitas academica Pendidikan
Tinggi di Indonesia sebagaimana Surat Tugas kepada Pemohon VI
dari Rektor UnJuang 45, Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo, yang
mantan Pejuang 45 sebelumnya Perwira PETA, juga prihatin
terhadap implikasi sebagaimana diuraikan dalam Proceeding dari
International Conference of the International Association for Energy
Economics, Praha, Republik Ceko, 2003, berjudul The Impact of Oil
Industry Liberalization on the Efficiency of Petroleum Fuels Supply
for the Domestic Market in Indonesia yang berakibat kelak negara
semakin tidak mampu memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
11
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, sesuai
amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945;
5.4. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001, sebagaimana akan
diuraikan lebih lanjut dalam Bab V, pada gilirannya telah dan akan
menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi hak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang
merupakan hak konstitusional Pemohon VI, sehingga dapat
melemahkan Human Development Index, mereduksi daya saing
sumber daya manusia sebagai tumpuan kemajuan bangsa dan
negara, dan membuka peluang terjadinya pembangkrutan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
IV. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON
1. Hukum acara perdata yang berlaku menetapkan hanya orang yang
mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak-
haknya dilanggar oleh orang lain yang dapat mengajukan gugatan
(asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang
geen rechtsingan), artinya hanya orang yang mempunyai kepentingan
hukum saja, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh
orang lain yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga
permohonan;
2. Dalam perkembangannya ternyata ketentuan dan/atau asas tersebut
tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau
lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga
permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik yang
dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing
(Legal Standing);
12
3. Doktrin Organization Standing (Legal Standing) ternyata tidak hanya
dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan
perundangan di Indonesia, seperti Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang
Kehutanan, dan Undang-undang Jasa Konstruksi;
4. Selain itu, Doktrin Organization Standing (Legal Standing) juga telah
menjadi preseden tetap dalam praktek peradilan di Indonesia, seperti:
1. Putusan dalam perkara IIU, yang mana majelis hakim mengakui
hak WALHI untuk mewakili kepentingan umum/publik dalam hal ini
kepentingan lingkungan hidup, walaupun WALHI bukan merupakan
pihak yang dirugikan secara langsung, yang mana putusan
tersebut kemudian diadopsi dalam Undang-undang Lingkungan
yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 maupun
dalam praktek peradilan kasus-kasus lingkungan hidup;
2. Dalam perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia, seperti
kasus kerusuhan di Sampit, majelis hakim mengakui hak LSM yang
bergerak dalam penegakan HAM, seperti Kontras, PBHI, dan lain-
lain untuk mengajukan gugatan mewakili kepentingan
perlindungan, penegakan dan pembelaan HAM di Indonesia;
3. Dalam perkara-perkara penegakan pemberantasan korupsi, seperti
dalam kasus penghentian penyidikan dalam perkara dugaan
korupsi di PLTU Paiton, majelis hakim mengakui hak LSM yang
bergerak dalam penegakan pemberantasan korupsi, seperti APHI,
dan lain-lain untuk mengajukan gugatan mewakili kepentingan
perlindungan dan penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia;
5. Walaupun begitu tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili
kepentingan umum/publik, akan tetapi hanya organisasi yang
memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam
berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan
dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut;
13
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
6. Dalam permohonan pengujian ini, para Pemohon menggunakan
prosedur pengajuan dalam bentuk Organization Standing (Legal
Standing), yang mana persyaratan-persyaratan pengajuan
Organization Standing (Legal Standing) telah terpenuhi oleh para
Pemohon, yaitu sebagai berikut:
1. Para Pemohon adalah LSM dan/atau kelompok masyarakat yang
tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan
keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak, berminat
dan didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan
perlindungan dan penegakan Keadilan, Hukum dan Hak Asasi
Manusia, termasuk hak-hak pekerja di Indonesia;
2. Tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-
kegiatan perlindungan, pembelaan dan penegakan Keadilan,
Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk hak-hak pekerja di
Indonesia, serta dalam mendayagunakan lembaganya sebagai
sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota
masyarakat dalam memperjuangkan penghargaan, penghormatan,
perlindungan, pembelaan dan penegakan Keadilan, Hukum dan
Hak Asasi Manusia, termasuk hak-hak pekerja di Indonesia,
terhadap siapapun juga tanpa mengenal jenis kelamin, suku
bangsa, ras, agama, dan lain-lain, tercermin dan/atau ditentukan
dalam anggaran dasar para Pemohon, yaitu:
2.1. Pasal 6 Anggaran Dasar Pemohon I seperti yang akan
disebutkan di bawah ini:
(1) Memperjuangkan tatanan masyarakat bangsa Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan
persamaan manusia serta martabat manusia;
(2) Menegakkan hukum dan hak asasi manusia, keadilan
dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi
14
terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD
1945;
(3) Turut berusaha dalam mewujudkan masyarakat adil dan
makmur, aman, tentram dan tertib yang bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945;
(4) Memperjuangkan terwujudnya Undang-undang tentang
Profesi Penasehat Hukum yang mengakui Penasehat
Hukum sebagai salah satu Catur Wangsa Penegak
Hukum;
(5) Mengembangkan kualitas keahlian Penasehat Hukum di
Indonesia, sehingga siap menghadapi era persaingan
global;
(6) Memperjuangkan pengakuan baik dari lembaga
eksekutif, lembaga legislatif maupun dari lembaga
yudikatif atas kedudukan Pengacara Praktek sebagai
pengemban profesi hukum yang mempunyai kedudukan,
fungsi, hak yang sama dan sederajat dengan kedudukan,
fungsi, hak dan kewajiban advokat dalam menjalankan
profesinya;
(7) Menciptakan masyarakat yang mempunyai pola pikir,
sikap dan pola tindak yang tidak membeda-bedakan
(diskriminatif) berdasarkan ras (suku, suku bangsa,
warna kulit dan keturunan);
(8) Membina dan memperbaharui aturan-aturan hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis, dan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mengandung muatan-muatan atau
materi-materi yang melanggar hak asasi manusia; (9) Memberi bantuan hukum terhadap setiap orang yang
hak-hak asasinya dilanggar;
15
Selanjutnya Pasal 7 menentukan bahwa untuk mencapai tujuan
yang tersebut dalam Pasal 6 di atas, APHI dapat melakukan
kegiatan-kegiatan usaha sebagai berikut:
(a) Melakukan perlindungan dan/atau pembelaan terhadap setiap
Penasehat Hukum yang sedang menghadapi masalah hukum
berdasarkan prinsip praduga tidak bersalah;
(b) Membuat draft Rancangan Undang-Undang Penasehat
Hukum;
(c) Menyelenggarakan pendidikan dan penerangan kepada
masyarakat, khususnya kepada para Penasehat Hukum
tentang pengertian dan nilai-nilai negara hukum dan hak asasi
manusia pada umumnya, dan khususnya tentang pengertian
dan nilai-nilai persaudaraan dan persamaan manusia serta
martabat manusia;
(d) Mengadakan studi dan penelitian (research) mengenai produk-
produk hukum yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan masyarakat dan/atau yang
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan/atau
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia;
(e) Pendidikan dan Kajian Hak Asasi Manusia, seperti
mengadakan pelatihan-pelatihan hak asasi manusia dan
bantuan hukum, diskusi, seminar, lokakarya, dan lain-lain;
(f) Melakukan pelayanan hukum, berupa pemberian bantuan
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, kepada
anggota masyarakat yang dilanggar hak-hak asasinya, baik di
bidang politik (seperti hak atas kebebasan berekspresi,
berpendapat, berserikat dan lain-lain), di bidang pertanahan,
lingkungan hidup, gender, perburuhan, konsumen dan lain-
lain;
(g) Melakukan kampanye ratifikasi terhadap pelbagai instrumen
internasional mengenai hak asasi manusia;
16
(h) Menjadi Countert Part pemerintah dalam memperjuangkan
upaya penegakan dan perlindungan hukum dan hak asasi
manusia;
(i) Melakukan pengawasan terhadap setiap pelanggaran hukum
dan hak asasi manusia dan melakukan advokasi untuk
melawan pelanggaran tersebut;
(j) Mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan/atau
instansi-instansi pemerintah maupun non pemerintah di dalam
negeri serta dengan lembaga-lembaga internasional
pemerintah maupun non pemerintah di luar negeri;
(k) Pembangunan pusat informasi, dokumentasi, publikasi dan
penerbitan, meliputi leaflet, brosur, poster, dan lain-lain serta
perpustakaan mengenai hukum dan hak asasi manusia;
(l) Dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan
tujuan APHI.
2.2. Pasal 6 Anggaran Dasar Pemohon II menyebutkan bahwa
tujuan dari lembaga ini ada adalah melayani kebutuhan
bantuan hukum bagi warga negara Indonesia yang hak
asasinya dilanggar, mewujudkan negara dengan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita negara hukum,
mewujudkan sistem politik yang demokratis dan berkeadilan
sosial, mewujudkan sistem hukum yang memberikan
perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;
2.3. Pasal 4 Anggaran Dasar Pemohon III menyebutkan bahwa
tujuan dari yayasan adalah meningkatkan dan
mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang mandiri
dan berkelanjutan melalui pengembangan dan
pemasyarakatan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup;
Selanjutnya Pasal 5 angka 6 menentukan bahwa untuk
mencapai maksud dan tujuan sebagaimana tersebut dalam
17
Pasal 4 di atas, yayasan ini berusaha melakukan usaha dalam
bidang kesejahteraan sosial ...;
Anggaran Dasar tersebut kemudian diubah oleh badan pendiri
menjadi:
Pasal 4 yang menyatakan bahwa maksud dan tujuan Yayasan
adalah:
1. Mempromosikan cita-cita/semangat demokrasi,
perdamaian dan pelestarian lingkungan hidup;
2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia
yang mandiri, berkelanjutan, berfikir dan bersikap kritis,
kreatif dan inovatif serta peduli terhadap masalah-masalah
sosial dan lingkungan hidup disekitarnya melalui
pemasyarakatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
pemberdayaan masyarakat dengan kegiatan-kegiatan
produktif;
Sedangkan Pasal 5 menentukan bahwa untuk mencapai
maksud dan tujuan yayasan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 4 di atas, yayasan mengadakan usaha-usaha sebagai
berikut:
1. Mengadakan penelitian, seminar, workshop, diskusi,
konferensi, pameran, pelatihan, penyuluhan yang
berkenaan dengan masalah-masalah sosial dan
lingkungan hidup;
2. Menyelenggarakan publikasi dan penyebaran informasi
mengenai masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup
melalui penerbitan buku-buku, jurnal, bulletin, brosur,
kertas-kertas kerja (makalah), laporan kegiatan penelitian,
risalah-risalah dan artikel di koran-koran dan media cetak
lainnya;
3. Mengadakan kerjasama/jaringan kerjasama dengan
lembaga-lembaga dan individu-individu lainnya yang peduli
18
terhadap kebutuhan-kebutuhan/nilai-nilai/hal-hal yang
berkenaan dengan masalah-masalah sosial dan
lingkungan hidup baik lembaga-lembaga dan individu-
individu yang ada di dalam negeri atau lembaga-lembaga
internasional;
4. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan masyarakat binaan
dengan mendirikan, mengembangkan dan mengelola
pusat-pusat pelatihan;
5. Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan-
kegiatan/usaha-usaha produktif, seperti: mengembangkan
badan usaha atau serupa perusahaan yang memproduksi
barang dan jasa serta bantuan beasiswa/tugas belajar bagi
masyarakat yang kurang mampu;
6. Inventarisasi dan mengembangkan teknologi yang hemat
biaya dan ramah lingkungan melalui uji terap teknologi
pengelolaan limbah/sampah dan pengembangan pupuk
organik untuk pertanian/perkebunan;
2.4. Pasal 3 Anggaran Dasar Pemohon IV menentukan bahwa
maksud dan tujuan yayasan ini adalah untuk:
1. Menciptakan tatanan masyarakat bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan persamaan
manusia serta martabat manusia;
2. Menciptakan masyarakat yang mempunyai pola pikir,
sikap, dan pola tindak yang tidak membeda-bedakan
(diskriminatif) berdasarkan ras, suku, suku bangsa, warna
kulit, dan keturunan serta golongan;
3. Membina dan memperbarui aturan-aturan hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis dan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mengandung muatan-muatan atau
materi-materi yang bersifat diskriminasi ras;
19
4. Memberikan bantuan hukum terhadap setiap orang yang
hak-hak dan atau kepentingannya dilanggar karena
perbedan ras, suku, suku bangsa, warna kulit, dan
keturunan serta golongan;
2.5. Pasal 8 Anggaran Dasar Pemohon V menentukan bahwa Unit
Kerja Pertamina Serikat Pekerja Kimia, Energi dan
Pertambangan SPSI didirikan dengan tujuan antara lain:
1. Menghimpun dan mempersatukan kaum pekerja di
Pertamina guna mewujudkan rasa setia kawan dan
persaudaraan antara sesama kaum pekerja;
2. Turut serta aktif dalam mengisi dan mewujudkan
dilaksanakannya UUD 1945 setelah diamandemen secara
murni dan konsekwen terutama hak-hak pekerja seperti:
- Hak untuk memreroleh penghidupan dan penghasilan
yang layak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
setelah diamandemen;
- Hak pekerja dalam kebebasan berserikat, sesuai dengan
Pasal 28 UUD 1945 setelah diamandemen;
- Hak Asasi Manusia sesuai dengan Bab X A UUD 1945
setelah diamandemen.
- Hak atas kesejahteraan pekerja dan keluarga dan
kesejahteraan sosial dalam mewujudkan masyarakat
adil dan makmur sesuai pasal 33 UUD 1945 setelah
diamandemen.
3. Meningkatkan kehidupan dan penghidupan pekerja di
Pertamina yang adil dan makmur;
4. Meningkatkan kondisi ketenagakerjaan yang baik,
harmonis dan damai dengan jalan mewujudkan hubungan
industrial berdasarkan Pancasila dan menjaga
kelangsungan hidup usaha perusahaan;
20
5. Meningkatkan mutu kesejahteraan lahiriah dan bathiniah
kaum pekerja di Pertamina dengan jalan menaikkan taraf
hidup kaum pekerja beserta keluarganya";
Selanjutnya Pasal 9 menentukan bahwa untuk mencapai tujuan
seperti tertuang pada Pasal (8) di atas, maka Unit Kerja
Pertamina Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan
SPSI menjalankan berbagai usaha, antara lain:
1. Meningkatkan partisipasi dalam pembangunan nasional
untuk mengisi kemerdekaan;
2. Memperjuangkan terwujudnya perundang-undangan
ketenagakerjaan, peraturan di bidang SDM dan perundang-
undangan perekonomian, sesuai dengan tuntutan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
3. Memperjuangkan perbaikan upah dan pendapatan yang
layak sesuai dengan kebutuhan hidup dan kemajuan
perekonomian serta menyetarakan upah pekerja Pertamina
dengan upah pekerja perusahaan MIGAS kelas dunia;
4. Memperjuangkan jaminan sosial yang luas sesuai dengan
tuntutan kemajuan;
5. Memperjuangkan perbaikan nasib dengan adanya syarat-
syarat kerja dan kondisi kerja yang mencerminkan keadilan
sosial maupun tanggung jawab sosial yang tidak
diskriminatif serta menjunjung tinggi kebhinekaan yang ada;
6. Menyelenggarakan pendidikan ketenagakerjaan dalam
rangka mempertinggi pengetahuan, keterampilan dan
perilaku, meningkatkan kemampuan tenaga kerja baik dalam
berorganisasi maupun dalam kerja;
7. Mendorong terbentuknya, dan berkembangnya koperasi
pekeria untuk meningkatkan keseiahteraan dan jaminan
sosial lainnya;
21
8. Mengadakan kerjasama dengan serikat-serikat pekerja
Internasional untuk memajukan organiasi.
9. Bekerjasama dengan lembaga-lembaga dalam negeri,
pemerintah maupun non pemerintah, untuk kemajuan
organisasi, serta yang tidak bertentangan dengan tujuan Unit
Kerja Pertamina Serikat Pekerja Kimia, Energi dan
Pertambangan SPSI dan undang-undang yang berlaku.
7. Bahwa para Pemohon, dalam mencapai maksud dan tujuannya telah
melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara
terus menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya
tersebut, hal mana telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten);
8. Bahwa berdasarkan argumentasi dan ketentuan hukum di atas, maka
jelaslah bahwa para Pemohon, mempunyai kedudukan hukum dan
dasar kepentingan untuk mewakili kepentingan umum/publik dalam
mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi karena mengandung
muatan yang bertentangan dengan UUD 1945.
V. ALASAN-ALASAN HUKUM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN
A. FAKTA-FAKTA HUKUM 1. Pada tanggal 23 Oktober 2001 DPR RI telah menyetujui RUU
Minyak Dan Gas Bumi, yang diajukan oleh Pemerintah RI, menjadi
Undang-undang Minyak Dan Gas Bumi dan selanjutnya disahkan
oleh Pemerintah RI Cq. Presiden RI menjadi Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, yang
diundangkan pada tanggal 23 November 2002 dalam Lembaran
Negara RI Tahun 2001 No.136 dan Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4152;
2. Dalam rapat paripurna pengambilan keputusan terhadap RUU
MinyakK Dan Gas Bumi tersebut jumlah anggota DPR RI yang
22
hadir adalah 348 orang, dari 483 anggota DPR, berdasarkan
absensi yang terdapat dalam sekretariat Jendral DPR RI;
3. Dalam rapat paripurna tersebut ada 12 anggota DPR yang
berkeberatan atau menolak substansi RUU tersebut, yaitu: Prof.
DR. Dimyati Hartono, S.H., Hartono Mardjono, Amin Arjoso,
Sadjarwo Sukardiman, Posdam Hutasoit, Suratal H.W., K.H. Aries
Munandar, Tunggul Sirait, S. Soeparni, L.T. Sutanto, Abdul Kadir
Djaelani, Rodjil Gufron, karena dianggap bertentangan dengan
UUD 1945, dengan mengeluarkan minderheidsnota, akan tetapi
pimpinan rapat paripurna tetap memaksakan persetujuan terhadap
RUU tersebut secara mufakat;
4. Diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001, maka dinyatakan
tidak berlaku:
a. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun
1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);
b. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi
Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2505);
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran
Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2971) berikut segala perubahannya, terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 3045);
5. Sejak awal keberadaannya hingga adanya pembahasan RUU Minyak
Dan Gas Bumi di DPR, telah mendapatkan tentangan dari
masyarakat, karena dianggap tidak hanya bertentangan dengan Pasal
33 UUD 1945 melainkan juga dapat merugikan perekonomian
Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh:
23
5.1. DR. Sri Mulyani, pengamat ekonomi dari UI, dalam Kompas
Cyber Media (KCM) tertanggal 20 Maret 1999, yang
menyatakan: "RUU Migas belum jamin kesejahteraan
konsumen";
5.2. Mentamben ad interim, Akbar Tanjung, dalam Kompas Cyber
Media (KCM) tertanggal 26 Maret 1999, yang mensinyalir:
"Pasca RUU Migas Harga BBM bisa Naik 300%";
5.3. Hasil kesimpulan diskusi ilmiah di FH Unpad tertanggal 26
Maret 1999 dengan tema: "Kajian Sosio Budaya, Ekonomi,
Lingkungan dan Hukum Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi
di Indonesia", dengan para pembicara Prof.DR. Bagir Manan,
S.H. MCL., Prof. DR. Djuhaendah Hasan, S.H., Prof. DR. Daud
Silalahi, S.H., Prof. DR. Kusnaka Adimihardja, DR. Ahmad
Rilam, dan DR. Arsegianto MPL, yang menyimpulkan: "RUU
Migas tak Lindungi Pelaku Ekonomi Nasional";
5.4. DR. Rizal Ramli dari ECONIT dalam Kompas Cyber Media
(KCM) tertanggal 28 Maret 1999, yang menyatakan bahwa:
"RUU Migas tak lindungi Pelaku Ekonomi Nasional";
5.5. DR. Arif Arryman dari ECONIT dalam Media Transparansi
tertanggal 7 April 1999, yang menyatakan: "RUU ini memiliki
agenda tersembunyi dan konflik kepentingan. Siapa Untung
Siapa Buntung";
5.6. Martiono Hadianto, mantan Dirut Pertamina dan DR. Kurtubi,
pengamat perminyakan, dalam Kompas Cyber Media (KCM)
tertanggal 27 Februari 2001, yang menyatakan: "RUU Migas
Tidak Punya Visi";
5.7. Fereidun Fesharaki seorang konsultan perminyakan Amerika
Serikat dalam tulisannya berjudul "Indonesia Oil and Gas
Industry: Some Progress, but Much More Needs to be Done!"
yang dimuat dalam Energy Insights Number 24 yang terbit pada
bulan Juli 2003 antara lain menulis: "What is needed is either to
24
revisit the oil and gas law with an alternative or a series of
amendments";
5.8. Bachrawi Sanusi, pengamat perminyakan, dalam Kompas Cyber
Media (KCM) tertanggal 2 Juli 2001, yang menyatakan: "RUU
Migas harus Segera Ditolak";
5.9. DR. Kurtubi, dan Ramses Hutapea, pengamat perminyakan,
dalam Kompas Cyber Media (KCM) tertanggal 18 Juli 2001,
yang menyatakan: "Pemerintah terapkan RUU Migas secara
prematur";
5.10. DPRD Riau dalam sidang paripurna tanggal 12 November
2001, dalam Kompas Cyber Media (KCM) tertanggal 12
November 2001, yang menyatakan: "DPRD Riau Tolak RUU
Migas";
5.11. DR. Hartoyo Wignyowiyoto dari Asian Pacifik Economic
Consultancy Indonesia (APECINDO) tertanggal 19 November
2001, yang menyatakan: "RUU Migas Yang Baru, Jebakan
Politik Untuk Presiden", serta dalam IAG-net Portal tertanggal
19 November 2001 dan Kompas Cyber Media (KCM) tertanggal
20 November 2001, yang menyatakan: "Presiden diingatkan
Dampak Buruk RUU Migas".
B. PENGUJIAN SECARA FORMIL
Prosedur Persetujuan RUU Minyak Dan Gas Bumi menjadi
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 20
ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD jo. Keputusan DPR R.I. Nomor 03A/DPR RI/1/2001-
2002 Tentang Peraturan Tata Tertib DPR R.I.
DPR SEBAGAI PEMBENTUK UNDANG-UNDANG 1. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
25
2. Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1999, yang merupakan pelaksanaan dari Pasal
28 ayat (1) UUD 1945 di atas, menentukan bahwa:
Pasal 33 ayat (2) huruf a berbunyi:
"DPR mempunyai tugas dan wewenang: a. bersama-sama dengan
Presiden membentuk undang-undang".
Pasal 33 ayat (5) berbunyi:
"Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud ayat 2 , ayat (3), dan ayat
(4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
3. Berdasarkan uraian di atas, maka Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 serta Peraturan Tata Tertib DPR
merupakan pelaksanaan dari Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 mengenai
tugas dan kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang,
sehingga setiap undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan atau
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1999 serta Peraturan Tata Tertib DPR harus
dipandang sebagai bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEHARUSNYA DILAKUKAN DENGAN VOTING (PENGAMBILAN SUARA TERBANYAK) DAN BUKANNYA MUSYAWARAH MUFAKAT 4. Dalam Pasal 192 Peraturan Tata Tertib DPR menentukan bahwa
keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat
yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 189 ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir.
5. Selanjutnya dalam Pasal 193 Peraturan Tata Tertib DPR menentukan
bahwa keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila
keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya
pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi
dengan pendirian anggota rapat yang lain.
6. Dalam Rapat Paripurna persetujuan RUU Minyak Dan Gas Bumi menjadi
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tersebut, ternyata ada beberapa
26
anggota DPR yang berpendirian tidak setuju terhadap keberadaan RUU
tersebut, akan tetapi ternyata Pimpinan Rapat tetap memaksakan
persetujuan terhadap RUU tersebut, yang mengakibatkan beberapa
anggota DPR tersebut melakukan walk out. Dengan demikian tindakan
Pimpinan Rapat Paripurna yang tetap memaksakan pengambilan suara
dengan mufakat dan tidak dengan suara terbanyak, padahal ada
perbedaan pendirian diantara anggota rapat paripurna merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 192 jo. Pasal 193 Peraturan Tata Tertib DPR
tersebut.
PROSEDUR PERSETUJUAN RUU MINYAK DAN GAS BUMI MENJADI UNDANG-UNDANG OLEH DPR RI SECARA FORMIL CACAT HUKUM, SEHINGGA HARUS DINYATAKAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT 7. Berdasarkan seluruh dalil-dalil di atas jelas bahwa prosedur persetujuan
RUU Minyak Dan Gas Bumi menjadi Undang-Undang yang dilakukan
oleh Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 4 September 2002 telah
melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2)
huruf a dan ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD jo. Pasal 189 jo. Pasal
192 jo. Pasal 193 Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/I/2001-2002
Tentang Peraturan Tata Tertib DPR R.I.
C. PENGUJIAN SECARA MATERIIL Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
1. Dalam permohonan ini, yang dimohonkan untuk pengujian bukan
hanya materi pasal atau bagian tertentu dari UU Nomor 22 Tahun
2001 melainkan UU Nomor 22 Tahun 2001 secara keseluruhan,
karena diantara pasal-pasalnya tidak dipisahkan dengan mengingat
filosofi diadakannya undang-undang a quo untuk meliberalisasi sektor
27
minyak dan gas bumi di Indonesia, yang dipandang sebagai
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945;
2. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menentukan:
Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.
Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal
33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:
1. Fakta sejarah: a. Setelah UUD 1945 berlaku, dilakukan pengambilalihan semua
perusahaan-perusahaan migas asing di Indonesia oleh negara
(dilakukan oleh Pemerintah, BKR/Angkatan Darat) di daerah
Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Cepu, Kalimantan,
dan sebagainya (kecuali lapangan-lapangan dan instalasi
minyak yang direbut Belanda pada saat agresi militer).
Kemudian Pemerintah membentuk tiga perusahaan minyak
baru milik negara yaitu PTMNRI, PERMIRI, dan PTMN. Sesuai
dengan Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun
1949, semestinya semua asset dari perusahaan minyak milik
negara tersebut harus dikembalikan ke perusahaan minyak
asing sebagai pemiliknya, karena Hak Milik Asing diakui oleh
Persetujuan KMB. Namun secara faktual Pemerintah R.I. tidak
pernah menyerahkan kembali asset perminyakan tersebut
(berupa lapangan minyak, kilang minyak, dan fasilitas distribusi
dan pemasaran) kepada perusahaan minyak asing yang
sebelum pengambilalihan menjadi pemiliknya. Hal ini juga
diperkuat dengan kenyataan bahwa sistem konsesi yang
menjadi dasar bagi beroperasinya perusahaan minyak asing
28
pada Masa Penjajahan Belanda juga bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945, sehingga berdasarkan Resolusi Tengku
Mohamad Hassan tahun 1950 di DPR, semua asset
perminyakan tersebut tidak dikembalikan ke pihak
asing/Belanda namun tetap dikuasai oleh negara. Ketiga
perusahaan minyak nasional tersebut kemudian berubah
menjadi: P.T. PERMINA, P.T. PERTAMIN, DAN P.T.
PERMIGAN, kemudian pada tahun 1968 merger menjadi P.N.
PERTAMINA;
b. Pada tahun 1969/1970 atas rekomendasi Mr. Wilopo (Ketua
Komisi Anti Korupsi) dan Bung Hatta (Penasehat Komisi Anti
Korupsi dan arsitek Pasal 33 UUD 1945) guna kelancaran dan
terjaminnya pengusahaan MIGAS secara ekonomis di satu
fihak dan agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari
pengusahaan tersebut untuk rakyat, bangsa dan negara di lain
fihak, maka dianggap perlu untuk mengatur kembali
perusahaan milik negara yang ditugaskan untuk
menyelenggarakan pengusahaan pertambangan minyak dan
gas bumi dengan suatu Undang Undang dan lahirlah Undang-
undang Nomor 8/1971 yang memberikan Kuasa Pertambangan
kepada PERTAMINA untuk menyelenggarakan semua kegiatan
usaha perminyakan: eksplorasi, eksploitasi,
pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan sebagai
implementasi dari Pasal 33 UUD 1945. Negara (c.q. BUMN
PERTAMINA) menguasai seluruh kekayaan alam migas berikut
usaha pengilangan, pengangkutan/distribusi dan penjualan
BBM. PERTAMINA diperbolehkan menjalin kerjasama dengan
perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk
Production Sharing Contract (selanjutnya disingkat PSC)
sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan
sebagai kontraktor jasa dari BUMN;
29
c. Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal
33 UUD 1945 bagi kekayaan alam minyak dan gas bumi
(selanjutnya disebut MIGAS) dan produk bahan bakar minyak
(selanjutnya disebut BBM) secara fakta historis ditunjukkan oleh
kenyataan dikuasainya lapangan MIGAS berikut kilang dan
fasilitas transportasi dan distribusi serta Pemasaran BBM oleh
negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). Walaupun di
sektor Hulu untuk kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi banyak
terdapat Kontraktor Bagi Hasil, secara prinsipiil setelah masa
kontraknya berakhir maka lapangan yang dikerjakan oleh
Kontraktor. Bagi Hasil tersebut harus kembali kepada negara
c.q. BUMN yang ditugaskan untuk menyelenggarakan
pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi. Demikian
juga dengan hasil bumi berupa Minyak dan Gas Bumi selama
pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil tetap menjadi milik BUMN yang
ditugaskan untuk menyelenggarakan pengusahaan
pertambangan MIGAS atas nama negara dan tidak pernah bisa
diklaim oleh Kontraktor Bagi Hasil sebagai property mereka;
d. Penguasaan oleh negara bagi semua kekayaan alam MIGAS
berikut kilang minyak dan fasilitas pemasaran BBM yang
merupakan cabang produksi penting yang menguasai hajat
hidup orang banyak, juga sejalan dengan Penjelasan Pasal 33
UUD 1945 versi sebelum Perubahaan ke empat UUD 1945
tanggal 10 Agustus 2002 yang menyatakan:
"Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh ditangan orang-seorang"
"... Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa
dan rakyat yang banyak ditindasnya";
30
2. Pengelolaan dan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi: a. Pengelolaan dan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi yang
merupakan bahan galian strategis baik untuk perekonomian
negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan
nasional dimulai sejak saat menjadi sumberdaya (resources)
yakni potensi-potensi yang belum kelihatan secara nyata dan
kasat mata namun diprediksi terkandung di dalam perut bumi
Indonesia. Sumberdaya ini perlu disurvey dan dibuktikan untuk
dapat disebut sebagai cadangan (reserve) melalui serangkaian
kegiatan eksplorasi. Setelah cadangan dapat dibuktikan baik
secara ilmu pengetahuan maupun empiris, maka cadangan
tersebut perlu mendapatkan sertifikasi dari badan-badan
sertifikasi Internasional agar cadangan tersebut mulai dapat
dievaluasi dan dijadikan uang baik melalui mekanisme
perbankan maupun pendanaan lain. Langkah selanjutnya
adalah memproduksikan cadangan yang telah terbukti agar
dapat dinikmati hasilnya berupa komoditas Minyak Mentah dan
Gas Bumi. Rangkaian pengelolaan dan pengusahaan sampai
dengan titik ini biasa dinamakan sebagai kegiatan Eksplorasi
dan Eksploitasi dalam dunia perminyakan dan yang
dimaksudkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas harus
dikuasai oleh negara mengingat nilainya yang sangat tinggi dan
dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi guna
kesejahteraan kehidupan umat manusia;
b. Agar Minyak Mentah dan Gas Bumi dapat dijadikan sebagai
sumber energi maka Minyak Mentah dan Gas Bumi harus
diolah melalui serangkaian proses tertentu. Untuk Minyak
Mentah harus disediakan proses pemurnian di kilang
pengolahan agar bisa menjadi BBM dan produk-produk olahan
lain, bahkan menjadi produk sampingan berupa produk-produk
petro kimia. Untuk Gas Bumi proses yang perlu disediakan
31
adalah proses purifikasi maupun proses pencairan agar
memudahkan pengangkutannya;
c. Produk-produk yang dihasilkan dari kedua jenis pemurnian dan
pengolahan inilah yang kemudian dapat dikonsumsi oleh
masyarakat berupa BBM maupun Bahan Bakar Gas
(selanjutnya disingkat BBG) termasuk Liquefied Petroleum Gas
(selanjutnya disingkat LPG) dan Liquefied Natural Gas
(selanjutnya disingkat LNG), di samping produk-produk lain
berupa pelumas, aspal, lilin dan produk petro kimia lainnya
yang secara keseluruhan bernilai ekonomis sangat tinggi.
Khusus untuk BBM dan BBG saat ini telah menjadi energi
primer/utama yang dibutuhkan masyarakat dan Bangsa
Indonesia sebagai energi yang mendukung segala aktifitas
kehidupan dan berproduksi masyarakat. Tanpa BBM dan BBG
dapat dipastikan bahwa kegiatan berproduksi dan aktifitas
hidup masyarakat akan lumpuh karena sumber energi
primer/utamanya tidak tersedia;
d. Proses pemurnian, pengolahan, pengangkutan produk olahan
berupa BBM dan BBG, penyimpanan dan pemasarannya
merupakan rangkaian kegiatan lain dalam pengelolaan dan
pengusahaan MIGAS yang sangat penting dan menguasai hajat
hidup orang banyak karena peran BBM dan BBG yang berasal
dari kandungan hydrocarbon di dalam perut bumi Indonesia
telah menjadi energi utama/primer dalam segala aktifitas
kehidupan dan produksi yang dilakukan oleh masyarakat dan
oleh karenanya sesuai Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus
dikuasai oleh negara.
3. Kuasa Pertambangan: Pengaturan Kuasa Pertambangan (selanjutnya disingkat KP)
di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945 dipandang paling tidak dari dua alasan:
32
a. Pengertian/definisi KP di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22
Tahun 2001 hanya dibatasi pada kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi saja seperti dinyatakan: "Kuasa Pertambangan
adalah wewenang yang diberikan negara kepada Pemerintah
untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi".
Masalah yang menyangkut pemurnian/pengilangan,
pengangkutan dan penjualan BBM tidak termasuk di dalam
rangkaian KP dan oleh karenanya tidak termasuk di dalam
wewenang yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah.
Padahal hingga saat ini, BBM masih merupakan cabang
produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dimana hingga saat ini belum tersedia substitusinya
yang memadai serta merupakan produk yang tidak bisa
diperbaharui. Demikian juga dengan BBM yang semakin hari
semakin memegang peranan penting dalam penyediaan
Tenaga Listrik bagi masyarakat dan industri di Indonesia.
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 ini telah
meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak,
dalam hal pengusahaan MIGAS adalah cabang usaha mulai
dari pengolahan/pemurnian, pengangkutan hasil olahan,
penyimpanan/penimbunan serta distribusi dan pemasarannya.
Padahal penguasaan oleh negara tersebut merupakan amanat
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Di dalam Undang-undang Nomor
44/1960 dan Undang-undang Nomor 8/1971, kegiatan usaha
hilir (yang menyangkut BBM) adalah merupakan bagian dari KP
yang diberikan oleh negara kepada BUMN Pertamina. Bahkan
Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
mengecualikan usaha pertambangan Minyak dan Gas Bumi
terutama usaha bidang Hilir karena merupakan cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
33
orang banyak dan agar dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran Rakyat Indonesia;
b. KP yang cakupannya sudah menjadi sangat sempit tersebut,
oleh Menteri justru diserahkan kepada orang-seorang/pelaku
usaha sesuai dengan bunyi Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22
Tahun 2001 menentukan bahwa Menteri menetapkan Badan
Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang
melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada
wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Wewenang yang diberikan kepada pelaku usaha berupa Badan
Usaha (selanjutnya disingkat BU) dan Bentuk Usaha Tetap
(selanjutnya disingkat BUT) tidak lain adalah KP seperti
tersebut di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001
tersebut di atas;
Penyerahan KP kepada pemain/perusahaan akan
menghilangkan kedaulatan negara di dalam mengatur kegiatan
pengelolaan dan pengusahaan MIGAS disektor Hulu dan
sangat mirip dengan Sistem Konsesi "Kontrak 5a" yang
diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dahulu.
Dalam Sistem Konsesi yang berfaham kolonial dan liberal ini
wewenang sesungguhnya atas produksi MIGAS yang
menguasai hajat hidup orang banyak itu berada di tangan
pengusaha swasta yang menjalankan BU dan BUT yang
mayoritas adalah asing multinasional (atau disebut Multi
National Companies dan sering disingkat MNC) hal mana jelas-
jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang
mengamanatkan penguasaan oleh negara atas cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak.
4. Pengertian "dikuasai oleh negara" dalam Pasal 33 UUD 1945:
34
Prof. DR. Mr. Soepomo sebagai arsitek UUD 1945 menulis
dalam salah satu bukunya memberi pengertian "dikuasai" sebagai
berikut: " ... termasuk pengertian mengatur dan/atau
menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan
mempertimbangkan produksi ...";
Demikian juga DR. Mohammad Hatta, founding fathers
negara Indonesia, yang juga tokoh ekonomi Indonesia, mantan
Wakil Presiden I dan salah satu arsitek UUD 1945, menyatakan:
"...Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-
besar seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, ...,
menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai
hajat hidup orang banyak. Apa yang disebut dalam bahasa Inggris
"public utilities" diusahakan oleh Pemerintah. Milik perusahaan
besar tersebut sebaik-baiknya ditangan Pemerintah..." (Tulisan
DR. Mohammad Hatta dalam Majalah Gema Angkatan 45 terbitan
tahun 1977, dengan judul: "PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
DASAR 1945 PASAL 33";
Selanjutnya dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD
1945, mengeluarkan keputusan seminar, yang disetujui oleh DR.
Mohammad Hatta, antara lain sebagai berikut (dalam Majalah
Gema Angkatan 45 terbitan tahun 1977):
"IV. Sektor Negara
Kekayaan bumi, air, udara dan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan demikian pula cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak harus dikuasai
mutlak oleh negara. Untuk merealisir hal-hal tersebut di atas perlu
secepatnya ditetapkan suatu undang-undang yang menetapkan
sektor-sektor produksi yang diusahakan oleh Perusahaan Negara;
Pedoman Pembiayaan:
1. Perusahaan Negara dibiayai oleh Pemerintah;
35
2. Apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk
membiayai, maka dapat diadakan pinjaman-pinjaman dalam
dan luar negeri yang tidak mengikat;
3. Apabila dengan 1 dan 2 belum mencukupi, maka bisa
diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing, atas
dasar production sharing. Pinjaman dan kerjasama dengan luar
negeri harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat";
Dengan demikian cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh
negara dalam artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak
yang diberi wewenang oleh negara dan bertindak untuk dan atas
nama negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam tatanan peraturan dan perundangan yang berlaku di
Indonesia pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama
negara adalah instansi-instansi Pemerintahan dalam hal kegiatan
yang berhubungan dengan pemerintahan dan politik, sedangkan
dalam hal kegiatan usaha instansi Pemerintah yang bukan
merupakan BU-pun tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat
bisnis untuk dan atas nama negara sesuai peraturan dan
perundangan yang berlaku. Dalam kegiatan usaha hanya BUMN
yang diberi wewenang berdasarkan peraturan dan/atau undang-
undang tertentu dapat melakukan kegiatan usaha untuk dan atas
nama negara. Badan Usaha yang bukan milik negara tidak dapat
melakukan tindakan untuk dan atas nama negara, terlebih lagi BUT
yang jelas-jelas bukan merupakan BU milik Indonesia namun
merupakan Badan Usaha Asing;
Dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pengolahan,
pemurnian, pengangkutan, pendistribusian, penyimpanan dan
pemasaran MIGAS yang merupakan cabang usaha yang sangat
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
maka kewenangannya tidak dapat diberikan kepada BU dan BUT
36
yang dikuasai oleh orang seorang karena dikhawatirkan rakyat
banyak akan ditindasnya. Untuk menjamin kelancaran dan
pelaksanaan pengusahaan MIGAS secara ekonomis dan
bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan negara
Indonesia hanyalah dengan pengaturan dan penyelenggaraan oleh
Negara Republik Indonesia melalui BUMN seperti yang
dimaksudkan oleh Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945;
Itulah sebabnya maka sebelum terbitnya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 wewenang melakukan usaha kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi MIGAS sampai dengan usaha
pemurnian, pengolahan, pengangkutan, pendistribusian,
penyimpanan dan pemasaran produk-produk olahan MIGAS hanya
diberikan kepada BUMN yang dibentuk berdasarkan undang-
undang tertentu semata dengan ketentuan BUMN itu dapat
melakukan kerja sama dengan baik Badan Usaha Swasta Nasional
maupun Asing hanya berdasarkan Production Sharing Contract
(Kontrak Bagi Hasil) dimana para Kontraktor Bagi Hasil secara
kontraktual merupakan kontraktor pemberi jasa yang menerima
bagian dari produksi sebagai imbalan jasanya (Ref. Undang-
undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971). Pola inilah yang konsisten dengan Pasal 33 UUD
1945 dan juga memungkinkan Indonesia untuk menjadi anggota
OPEC yang agenda utamanya adalah mengendalikan produksi dan
harga jual Minyak Bumi negara-negara anggotanya.
5. Interpretasi "dikuasai oleh negara" dalam UU Nomor 22 Tahun 2001:
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 pengertian "dikuasai oleh
negara" sangat jauh berbeda dan tidak sesuai dengan pengertian
istilah tersebut dalam UUD 1945. Dalam bidang usaha Hulu
MIGAS, Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 menentukan
bahwa Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam
37
ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang
Kuasa Pertambangan.
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi menentukan bahwa Kuasa Pertambangan adalah
wewenang yang diberikan oteh negara kepada Pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
Jadi berdasar ketentuan pasal-pasal tersebut Pemerintah
RI-lah yang diberi kuasa atau wewenang untuk melaksanakan
usaha eksplorasi dan eksploitasi MIGAS. Padahal dalam peraturan
dan perundangan yang berlaku telah ada wadah yang disediakan
jika Negara/Pemerintah akan melakukan kegiatan usaha yaitu
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk Usaha
Negara, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2003;
Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 yang berbunyi:
"Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan
Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2)" Pasal tersebut menjelaskan bahwa kewenangan Pemerintah
yang diterima dari negara untuk melakukan kegiatan Eksplorasi
dan Eksploitasi MIGAS secara bulat diserahkan kepada BU dan
BUT yang ditentukan oleh Menteri walaupun masing-masing dari
mereka hanya diberi satu Wilayah Kerja (selanjutnya disingkat WK)
tertentu seperti dalam Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: "Kepada
setiap BU atau BUT hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja".
Implikasinya adalah masing-masing BU dan BUT dapat mengklaim
bahwa cadangan MIGAS yang ditemukannya melalui serangkaian
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukannya beserta
leveragenya merupakan property mereka masing-masing selama
masa kontrak dengan Pemerintah Indonesia berlaku;
Dengan demikian walaupun Pemerintah mendapatkan KP
dari negara namun karena KP tersebut dilimpahkan oleh
38
Pemerintah cq. Menteri kepada BU dan BUT untuk tiap-tiap WK
maka negara akan tinggal menguasai sumberdaya yang masih
bersifat abstrak dan belum terbukti kandungan hydrocarbonnya
apalagi volume Minyak dan Gas Buminya. Padahal di mana pun di
seluruh dunia ini sumberdaya saja belumlah dapat dijadikan uang
baik melalui mekanisme perbankan maupun lembaga keuangan lain
karena yang dapat dijadikan uang (bankable) adalah cadangan
dan/atau volume Minyak Mentah dan Gas Bumi yang telah terbukti
dan disertifikasi;
Dalam kegiatan usaha Hilir MIGAS yang meliputi
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, pengertian
"dikuasai oleh negara" yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945
diterjemahkan dengan sangat berbeda oleh UU Nomor 22 Tahun
2001 yaitu dalam pengertian diatur dalam bentuk ijin usaha dan
bukan dalam pengaturan dan penyelenggaraan secara menyeluruh.
Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2001 berbunyi: "Kegiatan
Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat
dilaksanakan oleh BU setelah mendapat Izin Usaha dari
Pemerintah";
Melalui pengaturan dalam bentuk ijin usaha ini jelas akan
sangat mudah bagi Badan Usaha manapun untuk menerapkan
praktek-praktek usaha yang liberal guna mendahulukan
kepentingan pengusaha-pengusaha yang berorientasi pada
maksimasi laba dan mereka tidak akan memperhatikan kepentingan
hajat hidup orang banyak yang nyatanya masih sangat lemah daya
belinya. BU yang telah mendapatkan ijin-ijin usaha sesuai Pasal 23
ayat (2) yang berbunyi: "Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan
usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: "a. Izin
Usaha Pengolahan, b. Izin Usaha Pengangkutan, c. Izin Usaha
Penyimpanan, d. Izin Usaha Niaga", sudah barang tentu akan
mendahulukan perolehan kembalian modal dan keuntungan
39
usahanya dan tidak akan pernah memperbaiki dan
mempertimbangkan produksi dengan keberpihakan pada
kepentingan masyarakat luas;
Meliberalisasi sektor Hilir pengusahaan MIGAS seperti ini
jelas-jelas mendahulukan kepentingan pengusaha-pengusaha
swasta dan asing serta tidak mengemban amanat Pasal 33 UUD
1945. sebelumnya Pemerintah senantiasa dapat menyediakan
BBM di mana saja di Indonesia dengan harga seragam dan
terjangkau karena itu merupakan misi Badan Usaha Milik Negara
sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945;
Faham liberal yang dianut UU Nomor 22 Tahun 2001 juga
jelas diperlihatkan oleh dibukanya sektor pengolahan LNG bagi
investor multinasional yang akan menjadikannya sebagai "sentra
laba" mereka yang jelas akan mengurangi pendapatan devisa
negara melalui Gas Bumi. Sebelumnya pengolahan LNG
merupakan investasi Badan Usaha Milik Negara sebagai "sentra
biaya" yang nir laba guna maksimasi pendapatan devisa negara.
Tidak ada pembenaran apapun bagi pengalihan sebagian
pendapatan negara ini menjadi laba pengusaha swasta dan asing.
Begitu pula halnya dengan penjualan hasil MIGAS bagian negara
yang kini dijualkan oleh fihak pengusaha swasta dan asing (Pasal
44 ayat (3) huruf g UU Nomor 22 Tahun 2001);
Pengertian, perumusan dan penyelenggaraan kekuasaan
negara di bidang usaha MIGAS sebagaimana terdapat dalam UU
Nomor 22 Tahun 2001 yang diuraikan di atas akan memisahkan
hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dengan wilayah
Indonesia khususnya wilayah hukum pertambangan MIGAS
Indonesia, tidak melindungi pelaku ekonomi nasional,
mempercepat dominasi asing dan munculnya kembali monopoli
atau oligopoly swasta sehingga akhirnya seluruh rakyat Indonesia
tidak dapat memanfaatkan MIGAS semaksimal mungkin.
Kesemuanya itu tidak sesuai dengan atau melanggar Pasal 33
40
ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan perubahannya sesuai dengan azas
lex superior derogate lex inferior;
Selain itu faham liberal yang jelas merupakan falsafah UU
Nomor 22 Tahun 2001 juga bertentangan dengan pandangan atau
aliran pikiran, jiwa dan semangat UUD 1945. Pertentangan dengan
UUD 1945 Pasal 33 tersebut juga disadari oleh konsultan asing
asal Amerika Serikat dan para pengusaha swasta asing yang
melihatnya sebagai tiadanya konsistensi yang mengakibatkan
tiadanya kepastian hukum bagi investasinya. Hal ini ditengarai
dengan kenyataan bahwa selama dua tahun belakangan ini hanya
satu Kontrak Kerja Sama yang berhasil ditanda tangani dan ini
sungguh memprihatinkan mengingat Indonesia membutuhkan
penemuan cadangan baru sebanyak 500 juta barrel setiap
tahunnya untuk mengganti cadangan yang tersedot melalui
kegiatan produksi MIGAS. Penggantian ini membutuhkan
eksplorasi yang aktif dan berkelanjutan melalui pengadaan sekitar
10 (sepuluh) Kontrak Kerja Sama baru setiap tahunnya jika kita
tidak ingin cepat menjadi "net importer" Minyak Mentah;
Pengertian dikuasai oleh negara sebenarnya telah dengan
tepat diterjemahkan dan atau diartikan oleh Undang-undang
Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1971, yaitu sebagai:
1. Negara memiliki kuasa pertambangan atas bahan galian;
2. Kuasa Pertambangan meliputi kegiatan-kegiatan: Eksplorasi,
Eksploitasi, Pengangkutan, Pemurnian/Pengolahan, dan
Distribusi/Pemasaran;
3. Khusus untuk endapan Migas, pelaksanaan pertambangan
Migas hanya diusahakan oleh negara dan dilakukan oleh
Perusahaan negara yang diberi Kuasa Pertambangan oleh
negara.
41
6. Kewenangan Penjualan Minyak dan Gas Bumi Bagian Pemerintah:
Penyerahan wewenang penjualan Migas bagian negara
kepada perusahaan minyak asing/pemain (Kontraktor Production
Sharing) telah menyebabkan KPS menetapkan secara bebas
syarat-syarat penjualan gas kepada PLN dengan mewajibkan PLN
mempunyai Standby Letter of Credit yang sangat besar yang akan
memberatkan masyarakat dalam bentuk TDL. Padahal selama ini,
ketentuan tersebut tidak pernah dikenal, karena yang menjual gas
bagian negara adalah BUMN (Pertamina) dan yang membeli juga
BUMN (PLN). Demikian juga dalam hal penjualan gas ke luar
negeri, Pertamina tidak pernah memberikan persyaratan tersebut.
Demikian juga dengan penjualan gas ke luar negeri (China) yang
diserahkan ke KPS, telah menghasilkan harga jual yang sangat
murah yang telah memicu pembeli LNG Badak dan Arun untuk
meminta penurunan harga;
Pola Kontrak Kerja Sama mengikuti pola Business to
Government (B2G, yaitu BPMIGAS dengan KPS) menggantikan
pola Business to Business (B2B, yaitu BUMN dengan KPS)
berpotensi menempatkan semua asset negara didalam resiko di
sita kalau terjadi dispute antara Pemerintah dengan KPS;
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menambah mata
rantai penjualan migas bagian negara karena status BPMIGAS
yang bukan merupakan Badan Usaha, sehingga menurut Pasal 44
ayat (3) g, untuk menjual migas bagian negara, maka BPMIGAS
hanya diberi wewenang untuk menunjuk Penjual. BPMIGAS tidak
bisa melakukan bisnis untuk menjual langsung migas bagian
negara kepada Pembeli. Mekansime ini pasti menambah mata
rantai pemasaran/penjualan migas bagian negara sehingga akan
merugikan keuangan negara;
Kini di dalam prakteknya, BPMIGAS yang merupakan
Lembaga Pengawas/Regulator, justru berubah menjadi player
42
dengan ikut secara aktif memasarkan LNG ke luar negeri.
Kenyataan ini menyebabkan timbulnya kerancuan industri migas
nasional;
Dengan merubah status Pertamina yang berdasarkan
Undang-undang menjadi P.T. (Persero) maka P.T. Pertamina
(Persero) terbuka lebar untuk dijual. Jika negara sudah tidak lagi
memiliki BUMN migas, maka penggarapan suatu wilayah kerja oleh
perusahaan minyak asing pada hakekatnya akan terjadi selamanya
(bukan sekitar 30 tahun seperti pada KKS). Karena setiap kali KPS
habis masa kontraknya untuk suatu wilayah, maka Kontrak dari
KPS ini pasti akan diperpanjang. Hal ini disebabkan karena
BPMIGAS yang diserahi mengelola sektor hulu, bukanlah Badan
Usaha, sehingga BPMIGAS tidak akan pernah bisa
mengoperasikan lahan/wilayah kerja yang selesai masa
kontraknya tersebut.
7. Potensi disintegrasi. UU Nomor 22 Tahun 2001 sangat potensial memicu
disintegrasi dan perpecahan bangsa dan negara, karena bertujuan
untuk menyerahkan harga BBM sepenuhnya kepada persaingan
usaha (Pasal 28 ayat 2). Sedangkan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor
22 Tahun 2001 hanya menyangkut pemberian subsidi bagi
golongan masyarakat tertentu sebagai tanggung jawab sosial
Pemerintah, namun tidak secara eksplisit menyebutkan bagaimana
mengatur perbedaan harga antar Daerah yang pasti akan timbul
dengan pemberlakukan harga BBM atas dasar persaingan usaha.
Persoalannya, daerah yang incomenya lebih rendah justru akan
membayar BBM lebih mahal dengan daerah yang incomenya lebih
tinggi. Pasal ini secara eksplisit melepaskan tanggung jawab
Pemerintah untuk mengalokasikan penggunaan jenis energi non-
minyak, padahal penggunaan energi non-minyak sangat
dipengaruhi oleh tingkat harga jual BBM;
43
Kedaulatan negara dan disintegrasi wilayah akan terancam
dengan hanya karena supply energi (BBM) yang dapat
dipermainkan oleh pemain usaha perminyakan asing yang
menguasai sebagian besar cadangan dan produksi migas nasional
dibanding sebagian kecil cadangan dan produksi migas yang
dikuasai Pertamina sebagai BU-nya negara. Dengan
mempermainkan stabilitas supply dan harga, akan sangat mungkin
suatu wilayah di negeri ini akan menuntut pembebasan dari
wilayah Indonesia atau keinginan memerdekan diri semakin kuat.
Hal ini telah terbukti apa yang terjadi di sebagian wilayah
Indonesia karena ketidak adilan ekonomi, maka wilayah tersebut
(Aceh dan Irian) merongrong kewibawaan bangsa dan negara
Indonesia yang sampai saat ini masih sulit untuk diatasi.
8. UU Nomor 22 Tahun 2001 membuka peluang penjualan dan degradasi BUMN.
Dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2001 maka satu-
satunya BUMN yang mengelola MIGAS tidak lagi diberi
kewenangan atas pengelolaan seluruh wilayah hukum
pertambangan Republik Indonesia menyangkut MIGAS dan oleh
karenanya BUMN tersebut hanya akan menjadi pemain minoritas
di sektor Hulu MIGAS karena selama ini sebagian besar wilayah
kerja pertambangan MIGAS yang bersumber daya bagus telah
dikontakkan kepada BU dan BUT (pengusaha minyak asing)
dengan alasan untuk mendatangkan investasi asing di Indonesia
guna mendapatkan devisa bagi negara;
Di samping itu BUMN tersebut yang semula mendapatkan
retensi sebesar 5% dari hasil Kontrak Bagi Hasil dipotong 60%
pajak yang langsung disetor ke Kas Negara dan oleh karenanya
menerima antara Rp. 2 Triliun sampai dengan Rp. 5 Triliun per
tahun sebagai fee dari Pemerintah atas penugasan untuk
mengelola Kontrak Bagi Hasil di bidang MIGAS, dengan terbitnya
44
UU Nomor 22 Tahun 2001 sejak tahun 2003 tidak lagi menerima
retensi tersebut. Padahal dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun
2001 tersebut kewajibannya untuk mendistribusikan dan
memasarkan BBM memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh
Indoensia dengan harga sama dan nir laba masih harus diemban
BUMN ini sampai dengan Nopember 2005 seperti disebutkan
dalam Pasal 62 UU Nomor 22 Tahun 2001: "Pada saat Undang-
undang ini berlaku Pertamina tetap melaksanakan tugas
penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan
dalam negeri sampai jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun".
Hal ini sudah barang tentu membebani BUMN ini secara
berlebihan dan berpotensi mengurangi kesempatan peningkatan
kesejahteraan Pekerjanya berupa kenaikan gaji. Hingga saat ini
standar gaji para Pekerja BUMN ini masih jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan gaji para pekerja di BUT Kontraktor Bagi
Hasil MIGAS dengan jabatan dan perjaan yang setara;
Dengan berubahnya satu-satunya BUMN yang mengelola
sektor MIGAS ini menjadi Perusahaan Perseroan seperti
disebutkan dalam Pasal 60 a, yaitu : "Pada saat Undang-undang
ini berlaku: : a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun,
Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero) dengan Peraturan Pemerintah", maka terbukalah
peluang untuk menjual atau mengalihkan sebagian saham BUMN
ini ke pihak orang seorang sesuai dengan Nomor 1 Tahun 1995
Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal ... Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan yang
berbunyi: "...". Jika satu-satunya BUMN yang mengelola sektor
MIGAS ini menjadi Perusahaan Perseroan Terbuka maka terdapat
potensi untuk dilakukannya pengurangan atas jumlah Pekerjanya
sesuai dengan kencenderungan yang dewasa ini menggejala di
kalangan perusahaan perseroan terbuka lainnya dengan alasan
demi efisiensi perusahaan yang bersifat semu karena secara
45
normatif biaya untuk SDM di suatu perusahaan hanya akan
mempengaruhi 5% dari seluruh pembiayaan yang ditanggung oleh
perusahaan itu.
9. UU Nomor 22 Tahun 2001 melemahkan daya saing industri LNG Nasional.
Dengan Undang-undang ini diciptakan sistem persaingan
diantara produsen LNG Indonesia dan menghilangkan keunggulan
Indonesia sebagai eksportir LNG terbesar di dunia dengan
menghilangkan Pertamina sebagai penjual tunggal. Di pasar LNG
Asia Pertamina merupakan "brand name" dari komoditas LNG
Indonesia karena Pertamina sebagai pemegang kuasa
pertambangan menurut tatanan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1971 mengontrol seluruh minyak dan gas di wilayah Indonesia,
termasuk pengembangan dan penjualan LNG;
UU Nomor 22 Tahun 2001 ini juga melepaskan peran
negara untuk mendukung dan mengembangkan industri Migas
(termasuk industri LNG) nasional. Negara-negara lain, seperti
Cina, Thailand, Korea, Vietnam, dan lain-lain, pemerintahnya tidak
hanya mendukung industri migasnya di dalam negeri, melainkan
juga mendukung industri migasnya yang hendak mengelola ladang
migas di negara lain, seperti di Indonesia.
10. Implementasi UU Nomor 22 Tahun 2001 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 69 Triliun per tahun.
Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 menentukan
bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan
pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Implikasi Pasal ini adalah bahwa kegiatan perdagangan BBM yang
semula dimaksudkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak
sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 diliberalisasi dengan
mekanisme persaingan usaha dengan pemain tidak hanya swasta
46
nasional tetapi juga pengusaha asing multinasional. Kondisi ini
sangat memungkinkan diambilnya harga BBM internasional
sebagai acuan harga pasar Dalam Negeri dan dengan demikian
harga pasar Dalam Negeri akan berkisar pada:
Harga Pasar Internasional + Ongkos Angkut + biaya import + biaya penyimpanan + biaya pengangkutan dalam negeri + margin pelaku usaha.
Dengan formulasi seperti ini maka pada saat harga BBM di
Dalam Negeri sudah sepenuhnya berupa harga pasar dan
diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar maka
keuntungan dari penjualan BBM tidak lagi masuk ke APBN dalam
pos Laba Bersih Minyak (LBM) yang berupa selisih antara harga
pasar dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) BBM Pertamina;
Adapun potensi kehilangan LBM ini akan mencapai minimal
Rp. 69 Triliun per tahun dengan asumsi Volume BBM yang dijual
sama dengan volume pada tahun 2003 yaitu sebanyak 60 Juta Kilo
Liter, harga Minyak Mentah adalah US$ 26/barrel dan US$ 1 = Rp.
9.000;
BPP BBM Pertamina mencapai Rp.1.725,- /liter pada saat
harga Minyak Mentah Indonesia US$ 26/barrel dan Kurs Dolar US$
1 = Rp. 9.000,- Sedangkan harga pasar Premium Tanpa Timbal di
pompa bensin di 160 negara (sebelum dikenakan pajak) adalah
sekitar US $ 0.32/liter pada saat harga crude Brent (Minyak
Mentah terbaik dari Laut Utara) US$ 26/barrel;
Dengan dasar perhitungan ini maka:
LBM = {(Harga Pasar - BPP BBM Pertamina) X Jumlah
Penjualan BBM} LBM = (Rp. 2.880,- - Rp. 1.725,-) X
60.000.000.000 Liter
LBM = Rp. 69.300.000.000.000,- (Enam Puluh Sembilan Triliun
Tiga Ratus Miliar Rupiah).
47
Jumlah ini pada masa sebelum UU Nomor 22 Tahun 2001
langsung masuk ke dalam APBN karena BUMN yang mengelola
MIGAS tidak mengambil keuntungan ini untuk kepentingan BUMN
tersebut. Namun di dalam lingkungan UU Nomor 22 Tahun 2001
BU atau BUT yang diberi ijin untuk melakukan
pemasaran/penjualan BBM Dalam Negeri dengan mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar akan menikmati
keuntungan tersebut dan negara hanya menontonnya saja.
11. Kepentingan bangsa Indonesia (industri dalam negeri) yang dikalahkan oleh kepentingan asing dalam mendapatkan gas alam.
Di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 menentukan bahwa
kewajiban menyediakan gas untuk sektor domestik maksimum
hanya 25% dari produksi gas. Artinya apabila suatu KPS
mendapatkan pasar gas di luar Indonesia yang harganya lebih
mahal dari pasar domestik, KPS pasti akan menjual gas ke luar
yang porsinya jauh lebih besar walaupun ada pasar domestik untuk
industri dalam negeri yang strategis (paberik pupuk). KPS dengan
jelas akan mempertimbangkan faktor harga dengan menjual gas ke
luar dan hanya menjual ke domestik yang mungkin hanya 5% saja
karena kewajiban penyediaan dalam negeri menurut Undang-
undang Nomor 22Tahun 2001 mengisyaratkan maksimum hanya
25%. Saat ini telah terjadi kekurangan pasokan pupuk, dan
terancamnya beberapa paberik pupuk akan ditutup (salah satu
train di PKT dan Pusri). Akibat paling parah dari berkurangnya
penyediaan pupuk bagi petani akan menurunkan kemampuan
ekonomi petani (penurunan Index Tukar Petani).
48
12. Terancamnya asset milik negara yang ada di KPS (fasilitas
produksi, sumur dan fasilitas penunjang lainnya) tidak akan
terkelola dengan baik setelah berakhirnya kontrak KPS. Dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 jelas bahwa asset tersebut
pada saat berakhirnya kontrak akan kembali ke Pertamina sebagai
pemegang kuasa pertambangan. Namun dengan UU Nomor 22
Tahun 2001 dimana kuasa pertambangan telah beralih ke
pemerintah (Ditjen. Migas), maka dikhawatirkan akan menimbulkan
masalah baru dimana mungkin dapat dikuasai oleh orang-seorang
atau timbul KKN baru untuk mengelolanya bahkan mungkin
menjualnya dengan harga yang sangat murah. Padahal fasilitas-
fasilitas tersebut dibeli dengan harga yang mahal pada saat
pengembangan lapangan, namun pada saat berakhirnya kontrak
bisa saja ini akan menimbulkan permasalahan baru karena
Pemerintah secara langsung tidak dapat mengelola atau
memanfaatkan fasilitas tersebut. Kemungkinan terbesar dapat
dijual melalui perusahaan swasta yang akan menimbulkan KKN
baru.
13. Beroperasinya Badan Pelaksana Migas Menyebabkan Pengurangan Perolehan Negara.
Badan Pelaksana di hulu (BPMIGAS) yang berupa Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) Nir Laba dan bukan badan usaha,
akan mengakibatkan berkurangnya perolehan negara karena akan
menunjuk pihak ketiga menjual Minyak/Gas Bumi bagian negara
bilamana pihak ketiga tersebut bukan 100 % BUMN, karena
biaya/fee pemasaran akan jatuh kepada perusahaan milik orang
seorang. Dalam hal LNG maka persaingan sesama LNG Indonesia
di pasar dunia akan terjadi seperti kini telah terbukti dimana
masing-masing KPS penghasil gas telah memasarkan sendiri
gas/LNG-nya masing-masing. Selain itu, dengan adanya
BPMIGAS, telah terbuka peluang (bahkan kini sudah terjadi)
49
pendapatan negara akan berkurang karena anggaran BPMIGAS
jauh lebih tinggi bila dibanding dengan anggaran sewaktu para
KPS masih dibawah Pertamina lewat Direktorat Management
Production Sharing.
14. UU No. 22 Tahun 2001 Memicu Timbulnya Salah Pemahaman di antara Lembaga-Lembaga Terkait.
BPMIGAS yang merupakan badan regulator, kini cenderung
berubah menjadi pemain karena ikut serta didalam perundingan
pemasaran gas/LNG dan penjualan kondensat bagian negara.
Khusus untuk pemasaran LNG ke Jepang masih diserahkan
kepada BUMN yang mengelola MIGAS karena para pembeli di
Jepang tidak mau melakukan negosiasi dengan BPMIGAS karena
BPMIGAS bukan Badan Usaha;
Fereidun Fesharaki dalam tulisannya yang telah disebutkan
terdahulu di atas menuliskan: "The early signs of the
concequences of the oil and gas law are not encouraging.
Overlapping responsibilities, confusion, politicization of the process
are all hurting both Indonesia and the foreign investors. To put it
bluntly, the oil and gas law is not working out well."
15. UU Nomor 22 Tahun 2001 Menyebabkan Negara Membayar Negara.
Implikasi lain dari diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun
2001 menyebabkan kerancuan berupa adanya keharusan negara
membayar negara, seperti dalam kasus pengelolaan wilayah kerja
pertambangan migas di Blok Palmerah, yang dalam tender
pengelolaannya, Pertamina, sebagai satu-satunya BUMN
pengelola migas di Indonesia, diwajibkan untuk membayar
signature bonus kepada pemerintah sebesar 4-6 juta dollar AS.
16. Perubahan status Pertamina dari Pelaksana KP menjadi hanya sebatas P.T. Persero, akan mengakibatkan para pihak yang
terlibat dalam rangka pengembangan bisnis LNG selama ini atas
50
dasar bebagai agreements yang ditandatangani oleh Pertamina,
akan menuntut perubahan-perubahan atas agreements yang
sudah ada yang akan potensial merugikan pendapatan negara
dari sektor LNG.
17. Badan Pengatur (Batur) yang akan dibentuk sebagi regulator
disektor hilir, hanya akan menambah mata rantai pemenuhan
BBM masyarakat.
18. UU Nomor 22 Tahun 2001 akan menumpukkan kuasa negara pada tangan Menteri ESDM sebagai Pengawas, Pembina, Regulator dan Pelaku Usaha karena menjadi pihak
penandatangan kontrak kerjasama di hulu. Hal yang sangat luar
biasa karena sama sekali menghilangkan kewenangan Presiden
RI yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960
dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Hal itu terjadi karena
Badan Pelaksana sebagai penandatangan kontrak kerjasama,
tidak diberi hak/kuasa apapun oleh Pemerintah, atas daerah yang
dicakup Wilayah Kerja masing2 investor, sehingga sebenarnya
badan ini menyatu dan tak terpisahkan dari Pemerintah dalam
menandatangani kontrak kerjasama. Menurut penjelasan
Pemerintah, Badan Pelaksana memang menandatangani kontrak
kerja sama atas nama Pemerintah. Hal ini sulit dilakukan karena
dalam KPS Indonesia terdapat pasal khusus mengenai
perlindungan kedaulatan Pemerintah, apapaun persyaratan-
persyaratan KPS.
19. UU Nomor 22 Tahun 2001 mengandung ketidak pastian hukum merusak iklim investasi sektor hulu migas, antara lain
karena adanya pembayaran bea masuk, pungutan atas impor dan
cukai, pajak/retribusi daerah, iuran eksplorasi dan lainnya pada
tahap eksplorasi (Pasal 31), dapatnya perlakuan pajak-pajak yang
berbeda antar KPS (Pasal 31 ayat 4), status hukum Badan
Pelaksana yang bukan badan usaha seperti investor,
51
bertambahnya birokrasi berupa persetujuan Menteri untuk
pengembangan lapangan pertama (Pasal 21 ayat 1) serta
konsultasi dengan Pemda untuk keperluan kesesuaian dengan
tata ruang daerah, adanya DMO gas bumi (Pasal 22 ayat 1) dan
ketidak pastian kontrak-kontrak lama dengan tidak berlakunya lagi
Anggaran Dasar Pertamina/Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
pada periode transisi (Pasal 66).
20. Mengingat Indonesia juga memiliki sumber daya energi non-minyak seperti: batubara, geothermal, gas bumi, energi terbarukan, dan sebagainya, maka agar SDE tersebut dapat
dikembangkan secara komprehensif dan optimal serta untuk
mejamin ketersediaan energi nasional dalam jangka panjang,
maka semestinya sebelum Undang-undang Migas ada, terlebih
dahulu harus disusun Undang-undang Energi Nasional yang
menjadi undang-undang Payung bagi pengembangan semua jenis
energi termasuk menyangkut migas.
DAMPAK UU NOMOR 22 TAHUN 2001 BAGI KEPENTINGAN BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT (KEPENTINGAN PUBLIK) INDONESIA.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka keberadaan UU Nomor 22
Tahun 2001 menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan bangsa,
negara dan masyarakat (publik) Indonesia, yaitu:
1. Pertamina, yang selama ini merupakan satu-satunya BUMN yang
mengelola sektor migas dan telah memberikan sumbangsihnya bagi
bangsa, negara dan masyarakat, bukan hanya karena telah menjalankan
fungsi untuk menyediakan bahan bakar minyak dan gas bumi kepada
seluruh masyarakat dengan harga terjangkau melainkan juga telah
memberikan peran yang besar bagi perekenomian nasional, berdasarkan
UU Nomor 22 Tahun 2001 tidak lagi merupakan cabang produksi yang
penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga tidak
adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk
52
memperoleh bahan bakar minyak dan gas bumi dengan harga terjangkau
melainkan juga akan merugikan perekonomian negara, yang pada
akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia;
2. Bahwa Minyak dan gas bumi, sebagai kekayaan alam yang terkandung di
bumi Indonesia, ternyata tidak lagi semata-mata milik bangsa Indonesia
yang pada akhirnya akan mengurangi hak masyarakat untuk menikmati
kesejahteraan dan/atau kemakmuran yang seharusnya dapat dinikmati
dengan adanya kekayaan alam tersebut;
Bentuk-bentuk dampak yang merugikan kepentingan bangsa, negara
dan masyarakat (publik) Indonesia sebagaimana telah diuraikan dalam
butir 1 dan 2 di atas adalah sebagai berikut:
1. Mengarahkan industri perminyakan nasional menjadi tidak efisien:
menghapus sistem natural monopoly Pertamina, kontrol atas crude
intake kilang Pertamina tidak lagi dibawah Pertamina, membuka
peluang untuk dipisahkannya Kilang Balikpapan dan Cilacap dari
Pertamina, dan sebagainya. Kesemua ini akan berujung pada tidak
efisiennya industri minyak nasional. Akibatnya, biaya pokok BBM
akan menjadi sangat mahal;
2. Perubahan status Pertamina dari BUMN berdasarkan Undang-
undang menjadi P.T. Persero, membuka peluang bagi Pertamina
untuk diprivatisasi sehingga negara tidak punya lagi alat (= BUMN)
untuk menguasai sumber daya alam migasnya dan menguasai
cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak
(BBM);
3. Prosodur investasi sektor hulu yang lebih birokratik, dari satu atap
menjadi banyak atap;
4. Pola Perjanjian Kerjasama (KPS) B2G yang menempatkan seluruh
asset negara rawan disita oleh pihak investor kalau terjadi dispute;
5. Undang-undang Migas telah merusak tatanan Industri LNG nasional
yang selama ini telah berhasil dikembangkan dengan menciptakan
53
sistem persaingan yang justru akan merugikan Indonesia sebagai
negara produsen;
6. Memperpanjang mata rantai penjualan migas bagian negara: BP
Migas yang harus menunjuk Penjual karena status BP Migas yang
bukan Badan Usaha;
7. Wewenang penjualan migas bagian negara yang diserahkan kepada
KPS, telah terbukti merugikan negara karena: harga jual LNG
Tangguh ke Fujian yang sangat murah telah memicu pembeli LNG
Bdaka meminta penurunan harga; serta KPS dengan bebas
menentukan syarat-syarat penjulan gas ke pembeli dalam negeri
(PLN) yang mewajibkan uang jaminan yang besar;
8. Tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, siapa yang mengontrol BP
Migas dan Batur dan Bagaimana hubungan antara kedua Lembaga
Pengawas ini juga tidak jelas;
9. Pengelolaan Sektor Hulu yang menjadi lebih mahal karena hierarki
pengelolanya berubah dari hanya sebuah Direktorat dibawah
Pertamina menjadi sebuah BP Migas yang langsung lapor ke
Presiden, padahal yang diurus objek yang sama dan sudah berjalan
lebih 40 tahun, sehingga biaya BP Migas lebih tinggi;
10. Kalau harga Gas sepenuhnya diserahkan ke mekanisme
pasar/pemain sesuai dengan Pasal 28, maka: pabrik pupuk akan
tutup. Ini membahayakan sektor pertanian;
11. Kalau struktur pasar BBM sudah berbentuk pasar persaingan dan
harga jual sudah sama dengan harga pasar (dimana harga pasar
jauh lebih tinggi dari biaya pokok natural monopolist Pertamina)
maka negara akan kehilangan potensi penerimaan Laba Bersih
Minyak (LBM), dan sebagainya.
Berikut ini merupakan bagan-bagan, yaitu :
1. Bagan MONOPOLY WITH DECREASING MARGINAL COST:
NATURAL MONOPOLY (Sumber Proceeding dari International
54
Conference of the International Association for Energy Economics,
Praha, Republik Ceko, 2003), pada halaman 33;
2. Bagan PERBANDINGAN BBM PRICING ANTARA: MODEL
STRUKTUR PASAR NATURAL MONOPOLY DENGAN PASAR
“PERSAINGAN" (Sumber Proceeding dari International Conference of
the International Association for Energy Economics, Praha, Republik
Ceko, 2003) , pada halaman 34;
3. Bagan AVERAGE COST OF PETROLEUM FUELS AT END USERS
THROUGHOUT INDONESIA (US CENT DOLLAR PER LITER)
(Sumber Proceeding dari International Conference of the International
Association for Energy Economics, Praha, Republik Ceko, 2003),
pada halaman 35;
4. Bagan KENAPA BIAYA POKOK BBM PERTAMINA LEBIH MURAH
DARI HARGA BBM BERDASARKAN MEKANISME PASAR
PERSAINGAN (Sumber Proceeding dari International Conference of
the International Association for Energy Economics, Praha, Republik
Ceko, 2003), pada halaman 36;
Perbandingan BBM Pricing antara:
MONOPOLY WITH DECREASING MARGINAL COST: NATURAL MONOPOLY
Price
Quantity
Pm
Pi
Pr
Ps
International/Singa Pore Price
LRAC
LRMC
D
QsQbepQiQm
Pm = Harga Pasar Monopoly Pr = Zero Subsidy Ps = Socially Optimum Pi = International/Singa pore Price
Center for Petroleum and Enargy Economics Studies (CPEES)
55
Model Struktur P r "Persaingan" Jenis Subsidi
n/Kerugian
asar Natural Monopoly Dengan PasaPatokan Penetapan Asumsi: Harga Struktur Pasar Distribusi Harga Crude
barrel, US$26/1 US$=Rp9000
Keuntunga
Subsidi Finansial Biaya Pokok BBM Natural Monopoly Harga Kepres > BP BPP = Rp
(APBN) = Biaya Pertamina: stabil. 1725/liter (pemain hanya satu tetapi Pertamina :
Pokok Pertamina Biaya Pengadaan (masih dengan average total cost Terdapat
(BPP) – Harga minyak (90%) + Biaya biaya n. termasuk yang sangat rendah). keuntungaKeppres (HK) operasi Pertamina: impor BBM, Natural monopolist bukan ngan 100 % keuntu
kilang, distribusi, etc. an Rp500/liter, d profit maximizers, tetapi ia masuk ke APBN
POLA UU ih (10%) crude prorate dibentuk untuk memenuhi berupa Laba Bers
No.8/1971 5%) seluruh demand (Pola UU Minyak ( LBM )
No.8/1971) HK < BPP: Rugi
100% Beban APBN
berupa Subsidi BBM
Subsidi Ekonomi arga Pasar asar Persaingan H P HK = HP: Untung.
= Harga Pasar International (fluktuatif) (pemain banyak). 100% keuntungan
(HP) – Harga Mid Oil Platt Singapore URPP = US e Semua pemain pric Untuk pelaku
Keppres (HK) (MOPS) + (???) Cent$ 32/liter takers, dan profit Usaha
Merupakan Untaxed UU kan - Rp 2880/liter maximizers. (Pola Harga a
POLA UU Migas a Retail Pump Price Migas No.22/2001) berbeda-bedN0.22/2001 (URPP) Untuk setiap daerah
Center for Petroeum and Energy Economics Studies (CPEES)
Average Cost of Petroleum Fuels at End Users Throughout Indonesia
Fiscal Year Operating
(US Cent Dollar per Liter) Cost Crude Run Costs + Total Cost of
(Controlled by Imported Petroleum Petroleum fuels at
PERTAMINA) Fuels end user
(Uncontrollable)
1994/1995 4.21 11.62 15.83
1995/1996 3.81 12.47 16.28
56
1996/1997 3.68 14.62 18.30
1997/1998 3.23 13.38 16.61
1998/1999 2.21 7.96 10.17
2000 1.88 16.50 18.38
2001 1.73 DECLINING 16.32 18.05
Sumber: Kurtu ct o dustry Liberal on the Efficiency of
Cost Cost Cost Harga Pasar ?
"Pr t" "P t" "Pr " "Pr t"
Biaya Pokok
U Migas No.22/2002: nbundling system
ertamina/ m
Pengecer Biaya Pokok BBM << Harga Pasar BBM Di Sisi Konsumen
Ce S)
3. Untuk memperjelas pemahaman mengenai uraian-uraian di atas,
bi, "The Impa f Oil In ization Petroleum Fuels Supply for the Domestic Market in Indonesia" Proceeding of the International Association for Energy Economics (lAEE) International Conference, Prague, Czech Republic, 2003.
Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) KENAPA BIAYA POKOK BBM PERTAMINA LEBIH
MURAH DARI HARGA BBM BERDASARKAN MEKANISME PASAR PERSAINGAN ?
International price
PT PT PT PT
Cost + + + +
ofi rofi ofit ofi URPP
14 Cost Cost Cost Margin
BBM
UUWith transaction Costs + Taxes UU No.8/1971: PIntegrated Syste
nter for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEE
maka berikut ini merupakan bagan Perbandingan Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
Dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, sebagai berikut:
Masyarakat Eksplorasi Eksploitasi
Trans- Portasi & Distribusi
Storage/ Whole seller
Retail SPBU
& Kilang
57
ASPEK UU No. 44/60 dan UU No. 8/71
UU No. 22/2001 DAMPAK/CATATAN
1. Landasan
Konstitusi
Pasal 33 UUD
1945
Pasal 33 UUD
1945 Substansi UU Migas
tidak berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945
dan Pasal 51 UU No.
5 Tahun 1999
2. Falsafah Usaha
Migas
Pengelolaan dan
Pengusahaan
migas untuk
sebesar-
besarnya
kemakmuran
rakyat
Pengelolaan dan
Pengusahaan
migas atas dasar
kepemilikan
investasi
asing/swasta dan
persaingan bebas
(Pasal 12 ayat (3))
Bertentangan
dengan Pasal 33
UUD 1945, karena
perusahaan asing
akan menguasai
industri Migas
nasional.
3. Kuasa Usaha
Pertambangan/Kuasa
Pertambangan Migas
Meliputi:
Eksplorasi,
Eksploitasi,
pemurnian dan
Pengolahan,
Pengangkutan
dan Penjualan
(UU No.44 Tahun
1960)
Meliputi:
Eksplorasi dan
Eksploitasi
Bertentangan
dengan Pasal 33
UUD 1945, karena
hasil kegiatan
Pemurnian,
Pengolahan,
Pengangkutan dan
Penjualan
mempengaruhi hajat
hidup orang banyak.
4. Migas sebagai
sumber daya alam
startegis (Pasal 33
ayat (3) UUD 1945)
Kuasa Usaha
Pertambangan
Migas diberikan
kepada
Perusahaan
Negara. (Pasal
Kuasa/wewenang
melakukan
kegiatan usaha
eksplorasi dan
eksploitasi
diserahkan oleh
Bertentangan
dengan Pasal 33
UUD 1945, karena
Negara hanya
mengatur dan
mengawai eksplorasi
58
11 ayat (1) dan
(2) UU No. 8
Tahun 1971
Pemerintah
langsung kepada
investor swasta
(asing dan
nasional)
dan eksploitasi dan
negara tidak
menguasainya.
5. Cabang produksi
yang penting dan
menguasai hajat
hidup orang banyak.
Dilaksanakan
hanya oleh
Perusahaan
Negara sebagai
Kuasa Usaha
Pertambangan
Diserahkan
kepada
mekanisme pasar
dalam usaha
liberalisasi
Bertentangan
dengan Pasal 33
UUD 1945, karena
cabang produksi
yang penting dan
menguasai hajat
hidup orang banyak
diserahkan kepada
perusahaan milik
orang perorang
(swasta
asing/nasional)
6. Pola Industri Migas
Nasional
Terintegrasi dan
tidak mengenal
istilah hulu dan
hilir (Pasal 6 ayat
(1))
Hulu dipisahkan
dari hilir
(unbundling)
(Pasal 10)
Biaya/harga produk
BBM dan non BBM
akan lebih mahal
karena setiap sektor
kegiatan mempunyai
biaya dan profit
tersendiri. Hal ini
juga bertentangan
dengan trend industri
migas dunia.
7. Bentuk BUMN
Migas
Berdasarkan UU
tersendiri sesuai
Pasal 1 UU No. 9
Tahun 1969
BUMN Persero
berdasarkan PP
menyimpang dari
UU No. 1 Tahun
BUMN Migas
(Persero) harus
tunduk kepada UU
No. 5 Tahun 1999
59
1995 tentang
Perseroan
8. Fungsi
Perusahaan Negara
Migas
Melaksanakan
sendiri usaha
migas dari hulu
sampai hilir kecuali
dalam
Harus menjadi
kontraktor Badan
Pelaksana
(BHMN), sedang di
hilir hanya setelah
memperoleh izin
dari Badan
Pengatur,
termasuk kegiatan
yang
menggunakan
asset perusahaan
negara sendiri.
(Pasal 60)
Negara tidak lagi
menyelanggarakan
pengusahaan Migas
karena wewenang
melakukan kegiatan
eksplorasi dan
ekploitasi diserahkan
Pemerintah langsung
kepada swasta
(asing/nasional).
Pada kegiatan sektor
hilir melalui
perizinan, kegiatan
dilakukan
berdasarkan
mekanisme pasar.
9. Ciri usaha migas
yang diinginkan
Bukan monopoli,
tetapi PP
mengenai
penentuan harga
BBM membuat
perusahaan
swasta
(asing/nasional)
tidak tertarik untuk
masuk ke pasar
BBM dalam negeri
(Pasal 13b UU No.
8 Tahun 1971)
Bukan monopoli,
selama daya beli
masyarakat di
bawah harga
pasar, perusahaan
baru tidak ingin
masuk dan
monopoli akan
berlanjut.
Liberalisasi pasar
BBM dalam negeri
tidak tercapai selama
daya beli masyarakat
masih di bawah
harga pasar.
60
10. Wewenang
pemberian
persetujuan atas
KPS
Persetujuan oleh
Presiden RI (Pasal
12 ayat (3))
Persetujuan oleh
Menteri ESDM
(Pasal 12 ayat (3))
Mengurangi
wewenang Presiden
RI dan penumpukan
kuasa atas DSM
Migas milik rakyat
pada Menteri ESDM
11. Penandatangan
KPS dari Pihak
Indonesia
BUMN Migas yang
memiliki asset dan
liability sendiri
terpisah dari asset
dan liability
Pemerintah RI,
yang dibentuk
berdasarkan UU
No. 8 tahun 1971,
setelah
memperoleh
wilayah Kuasa
Usaha
Pertambangan
Migas dari
Pmerintah (Pasal
11 UU No. 8 Tahun
1971)
a. BHMN nirlaba
yang merupakan
badan/subyek
hukum perdata
tanpa diberi
wilayah kuasa
usaha
pertambangan
migas oleh
pemerintah
b. Dasar hukum
pendirian BHMN
masih belum jelas
(Pasal 45 dan
penjelasan Pasal
45 ayat (1))
a. Menimbulkan
ketidakpastian
kepada semua pihak
terkait karena sangat
mustahil suatu
badan/subyek
hukum perdata
Nirlaba dapat
menandatangani
kontrak-kontrak kerja
sama usaha yang
menyangkut
kepentingan rakyat
banyak (Pasal 33
UUD 1945)
b. Karena tidak
memiliki hak apapun
atas wilayah kerja
masing-masing PSC,
maka kontrak-
kontrak PSC yang
ditandatangani
diragukan
keabsahannya.
61
12. Penerimaan
Negara
Dalam Pasal 14
UU No. 8 Tahun
1971 ditetapkan
bahwa penerimaan
negara adalah
sekurang-
kurangnya 60%
dari hasil laba
bersih KPS dan
operasional
Perusahaan
Negara.
Tidak ada
ketentuan
mengenai jumlah
penerimaan
Negara dan hanya
disebut akan diatur
oleh PP (Pasal 31
ayat (5))
13. a. Penjualan
Minyak Bagian
Pemerintah dari
KPS serta hasil-
hasilnya
b. Penjualan
seluruh LNG
Indonesia
BUMN Migas
Pertamina (Pasal
11 dan 12)
BUMN Migas
Pertamina (Pasal
11 dan 12)
Badan
pelaksanan
(BHMN) menunjuk
pihak lain (Pasal
44 dan 39)
Badan pelaksanan
(BHMN) menunjuk
pihak lain (Pasal
44 dan 39)
a. Merugikan negara
kalau pihak lain bukan
BUMN,karena fee
penjualan kan
diperoleh swasta
membuka peluang
KKN.
b. Membuka
persaingan antar
sesame LNG
Indonesia di Pasar
internasional.
14. Lingkup Kontrak
Kerjasama
Meliputi kegiatan
eksplorasi,
eksploitasi,
pemurnian dan
pengolahan,
pengangkutan dan
penjualan (Kontrak
Meliputi kegiatan
eksplorasi dan
eksploitasi
Kegiatan pemurnian
dan pengolahan
pengangkutan dan
penjualan tidak perlu
kerja sama dan hanya
diberi izin oleh
pemerintah, hal mana
62
Karya). Atas
kebijakan devisa
tertutup oleh
pemerintah, pihak
asing hanya
meneruskan kerja
sama dalam
kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi dan
menarik diri dari
kegiatan hilir serta
menjual semua
assetnya kepada
BUMN.
bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945.
15. Lapangan kerja
Di Daerah
Penghasil Migas
Bentuk usaha
terintegrasi dari
pemerintah masih
menjamin
berlangsungnya
pengusahaan
lapangan-lapangan
minyak marginal di
daerah.
Memaksa
penutupan
lapangan-
lapangan minyak
marginal saat
harga Migas turun.
Peningkatan
pengtangguran d
daerah lapangan
marginal dan
ditutupnya kilang
pengolahan kecil.
16. Pengaturan dan
pengawasan
Dilakukan oleh
Pemerintah sendiri
(Pasal 16 UU No.
44 Tahun 1960)
Dilakukan oleh
Badan Pengatur
yang dibentuk oleh
Pemerintah (Pasal
44 dan 46)
Tumpang tindih
dengan DESDM c/o
Ditjen Migas serta
menambah
pengeluaran Negara.
17. Kepentingan
Daerah
a. Peran Pemda
terdapat dalam
Persetujuan
a. Peran Pemda
terdapat dalam
Persetujuan
a. Harga BBM
ditentukan pasar dan
akan berbeda-beda
63
AMDAL, masalh
tanah, penentuan
HET minyak tanah
dan penerimaan
sebagian
perolehan Negara.
b. Perolehan
daerah tingkat I
dan II dari
penerimaan
Negara terjamin
besarannya karena
adanya jaminan
penerimaan
Negara minimal
60% dari
penerimaan bersih
usaha KPS
Pertamina.
AMDAL, masalh
tanah, penentuan
HET minyak tanah
dan penerimaan
sebagian
perolehan Negara.
b. Tidak terdapat
jaminan
penerimaan
negara.
pada setiap daerah.
b. Perolehan Daerah
Tingkat I dan II
tergantung hasil
perundingan pejabat
DESDM yang tidak
memiliki akuntabilitas
public.
c. Pemda tidak lagi
menentukan HET
minyak tanah di
wilayahnya.
18 . Harga BBM Ditetapkan oleh
Pemerintah (Pasal
13b)
Diserahkan pada
Persaingan Usaha
(Mekanisme
Pasar) (Pasal 28
ayat (2))
a. Timbul perbedaan
harga antar
daerah/pulau yang
dapat memicu
disintegrasi bangsa
dan menimbulkan
kecemburuan sosial.
b. Bertentangan
dengan praktek
kebijaksanaan harga
BBM di setiap
negara dimana
64
pemerintah ikut
mengatur harga
BBM sesuai dengan
kebijaksanaan energi
dan ekonomi
nasional setiap
Negara, komoditas
BBM tidak termasuk
dalam agenda WTO.
19. Pengaturan
Pengawasan
(Regulator dan
Pengawas)
a. Dilakukan oleh
Pemerintah
seluruhnya (Pasal
16 UU No. 44/60)
b. Pertamina
bukan regulator,
hanya Pemegang
kendali
management KPS,
Penetapan wilayah
kerja dan
penandatangan
kontrak dengan
KPS hanya dapat
dilakukan setelah
memperoleh
persetujuan
Pmerintah
Pengawasan dan
Pengaturan
sebagian
diserahkan kepada
badan-badan
ekstra structural
(Badan Pelaksana
dan badan
Pengatur) yang
masing-masing
bertanggung jawab
kepada Presiden
seperti juga
masing-masing
menteri.
Pada
pelaksanaannya
akan menimbulkan
kekacauan dan
kerancuan mengenai
pertanggung
jawaban
(akuntabilitas) publik
20. Keterkaitan
Pada Sumber
Energi Lain
Pengalokasian
sumber daya
energi lainnya
dimungkinkan
Karena harga BBM
diserahkan pada
mekanisme harga
pasar, maka
SDE non minyak
akan semakin sulit
untuk dikembangkan
karena
65
dilakukan oleh
Pmerintah lewat
kebijaksanaan
harga BBM.
pemerintah tidak
punya sarana
untuk
pengalokasian
SDElainnya.
pengembangannya
tergantung pada
tingkat harga BBM
yang sudah
sepenuhnya
diserahkan kepada
mekanisme pasar.
21. Sumber Daya
Manusia Pertamina
Pengembangan
karir dan
profesionalitas
SDM
dikembangkan
mengikuti pola
Badan Usaha
Minyak dan gas
terintegrasi Skala
Dunia. (Penghasil
dan pengekspor
LNG terbesar
Karir dan
profesionalisme
SDM akan
mengikuti pola
Badan Usaha
Minyak yang
terkotak-kotak
(menjadi persero
yang tidak bias
dikonsolidasi)
Terjadi PHK besar-
besaran.
4. Khusus bagi para pekerja di lingkungan Pertamina, maka UU Nomor 22
Tahun 2001 juga menimbulkan dampak sebagai berikut:
1. Potensi pengurangan jumlah pegawai jika terjadi penjualan asset-aset
operasi Pertamina atau minimal berubahnya status Pekerja Pertamina
menjadi pekerja non Pertamina;
2. Dengan adanya ketidak jelasan asset mana yang sangat mungkin
dijual beserta alasan-alasan dan jaminan kesejahteraan Pekerjanya
maka terjadi ancaman atas job security yang selama ini dinikmati oleh
para Pekerja Pertamina. Sebagai contoh para Pekerja Pertamina yang
ditempatkan di Rumah Sakit Pusat Pertamina dan seluruh
66
Polikliniknya kini berubah statusnya menjadi Pekerja Anak
Perusahaan karena alasan Petamina hanya diperbolehkan mengelola
kegiatan core business dan Rumah Sakit dianggap bukan merupakan
core business Pertamina;
3. Dengan berkurangnya pendapatan Pertamina dari retensi maka
pengaruhnya terhadap jaminan kesejahteraan para Pekerja Pertamina
adalah kemungkinan kenaikan gaji yang akan tersendat mengingat
sumber keuangan Pertamina berkurang dari sebelumnya. Jika
dibandingkan dengan gaji para Pekerja Kontraktor Bagi Hasil maka
gaji Pekerja Pertamina adalah 1/3 dari gaji mereka dengan pekerjaan
dan jabatan yang setara. Dengan berkurangnya sumber dana
Pertamina dari retensi maka potensi untuk menyamakan gaji Pekerja
Pertamina dengan gaji Pekerja Kontraktor Bagi Hasil akan semakin
lambat dan hal ini menghambat kesejahteraan Pekerja Pertamina.
5. Khusus untuk Pemohon VI, pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 2001
menimbulkan dampak sebagai berikut :
Bahwa paparan Dr. Kurtubi di Proceeding dari International Conference of
the International Association for Energy Economics, Praha, Republik
Ceko, 2003, berjudul The Impact of Oil Industry Liberalization on The
Efficiancy of Petroleum Fuels Supply for The Domestic Market In
Indonesia, memberikan penegasan terjadinya pengurangan neraca
pendapatan negara secara berkelanjutan mengacu antara lain kepada
Lampiran Nilai Ekspor Indonesia, Peranan Migas dalam Perekonomian
Indonesia (Bachrawi Sanusi, 2002). Dan situasi ini dapat berakibat
rangkaian dampak konsekutif (berturutan) kontra produktif sebagai berikut:
a. menurunnya kemampuan negara untuk memenuhi pembayaran utang
luar negeri yang mencapai Rp 2.120 Trilyun, belum termasuk
kewajiban membayar bunga, sebagaimana paparan Persatuan dan
Kesatuan Bangsa (Lembaga Kajian Krisis Nasional, 2003);
67
b. membesarnya beban ekonomi masyarakat dalam rangka
mengimbangi penurunan kemampuan negara sebagaimana butir a
termaksud di atas;
c. mengecilkan peluang masyarakat meningkatkan kemampuan lokal
seperti pendidikan, pelatihan, akses informasi, nation & character
building, dan lain sebagainya;
d. melemahkan Human Development Index;
e. mereduksi daya saing sumber daya manusia pembangunan di era
globalisasi ini;
f. membuka peluang Pembangkrutan Indonesia sebagaimana paparan
Center for Global Interactive Studies (Ultimatum, Jurnal Hukum
Nasional, 2003);
g. meningkatkan country risk factor sehingga mengurangi minat investor
asing, menurunkan perdagangan luar negeri, menyurutkan tingkat
kedatangan wisata luar negeri dan lain sebagainya;
h. menghilangkan rasa percaya diri masyarakat terhadap Ketahanan
Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. membesarkan potensi disintegrasi Kebangsaan Indonesia;
j. menyusutkan Kedaulatan/Kesatuan Wilayah Negara Kesatuan
Repubtik Indonesia yang sesungguhnya telah dibangun oleh leluhur
bagsa Indonesia sejak Negara Sriwijaya dan Negara Majapahit.
Dan oleh karena itulah UU Nomor 22 Tahun 2001 tersebut adalah
potensial memicu konflik struktural terhadap Pusaka Indonesia yaitu:
a. Merah Putih (Sejak Negara Singosari Jawa Timur);
b. Bhinneka Tunggal Ika (Sejak Majapahit Jawa Timur);
c. Sumpah Pemuda 1928;
d. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya 1928;
e. Pancasila 1945;
f. Proklamasi NKRI 1945;
g. UUD 1945;
h. Wawasan Nusantara (Pendidikan Kewarganegaraan, 2002).
68
Bahwa selanjutnya Pemohon VI selaku warga civitas academica
pendidikan tinggi di Indonesia sebagaimana Surat Tugas kepada
Pemohon VI dari Rektor UnJuang45, Prof DR. MR. Prajudi Atmosudirdjo,
juga prihatin terhadap implikasi Proceeding dari International Conference
of the International Association for Energy Economics, Praha, Republik
Ceko, 2003 yang berakibat negara tidak mampu memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional, sesuai amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
VI. PETITUM Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan
Pengujian ini sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
2. Menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
Dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD
1945;
3. Menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
Dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan mengikat;
4. Memerintahkan pencabutan pengundangan Undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi dalam Lembaran
Negara R.I. dan Tambahan Lembaran Negara R.I. atau setidak-
tidaknya memerintahkan pemuatan petitum ini dalam Lembaran
Negara R.I. dan Tambahan Lembaran Negara R.I.
Menimbang bahwa pada pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan
pada hari Selasa, tanggal 4 Nopember 2003, para Pemohon yang hadir adalah
Pemohon VI Principal dan Kuasa Hukum-nya Jhonson Panjaitan, S.H., dkk.;
69
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan perbaikan
permohonannya bertanggal 14 Nopember 1003 yang diserahkan di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Selasa,
tanggal 18 Nopember 2003;
Menimbang bahwa pada persidangan hari Selasa, tanggal 9 Desember
2003 para Pemohon datang menghadap, telah didengar keterangannya yang
pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tetap pada
permohonannya;
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon a quo pada
persidangan hari Selasa, tanggal 9 Desember 2003 dan pada persidangan
pada hari Kamis, tanggal 29 Juli 2004 telah didengar keterangan dari pihak
Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral,
Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang diwakili oleh A. Teras Narang,
S.H., dkk. sebagaimana termuat dalam berita acara persidangan perkara a quo;
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya para
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat atau tulisan yang dilampirkan
dalam permohonannya dan bukti yang disampaikan dalam persidangan
maupun yang diserahkan pada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, sebagai berikut:
1. Fotokopi Akta Anggaran Dasar Asosiasi Penasihat Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Indonesia (APHI), tanggal 28 Mei 2001, Nomor 5, yang dibuat
dihadapan M.P. Sitohang, S.H. Notaris di Jakarta (diberi tanda P-1.1);
2. Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), tanggal 10 September 1998, Nomor
39, yang dibuat dihadapan Haji Abu Jusuf, S.H. Notaris di Jakarta (diberi
tanda P-1.2);
70
3. Fotokopi Akta Pendirian Yayasan 324, tanggal 31 Maret 2001, Nomor 03,
yang dibuat dihadapan Annie Sri Rahmani Hendrotomo, S.H. Notaris di
Kotamaya Daerah Tingkat II Bekasi (diberi tanda P-1.3);
4. Fotokopi Akta Anggaran Dasar “Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa”, tanggal
26 Oktober 1998, Nomor 5, yang dibuat dihadapan M.P. Sitohang, S.H.
Notaris di Jakarta (diberi tanda P-1.4);
5. Fotokopi Anggaran Dasar Serikat Pekerja Kimia, Energi Dan Pertambangan
Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Unit Kerja Pertamina (SP KEP
FSPSI PERTAMINA), tanggal 20 Januari 2001 (diberi tanda P-1.5);
6. Fotokopi Surat Kuasa Khusus masing-masing bertanggal 9 Januari 2003,
dari: Sjachrul Anwar H., Hendardi, Dorma H. Sinaga, S.H., Ester Indahyani
Jusuf, S.H., Iing Anwarini, Irianto Subiakto, S.H. selaku Pemberi Kuasa
kepada Hotma Timbul H., S.H., dkk. selaku Penerima Kuasa, Advokat dan
Pembela Umum dari APHI, PBHI, SNB, LBH Jakarta, Yayasan 324, SP
KEP-FSPSI PERTAMINA, berdomisili di Gd. Sentral Cikini, Jl. Cikini Raya
No.58 S-T Lt.4, Jakarta Pusat (diberi tanda P-2);
7. Fotokopi Surat Kuasa Khusus bertanggal 12 Nopember 2003, dari: Abdullah
Sodik dan Sjahrul Anwar selaku Pemberi Kuasa kepada Hotma Timbul H.,
S.H., dkk. selaku Penerma Kuasa, Advokat dan Pembela Umum dari APHI,
PBHI, SNB, LBH Jakarta, Yayasan 324, LBH APIK, berdomisili di kantor
PBHI, Gd. Sentral Cikini, Jl. Cikini Raya No.58 S-T Lt.IV, Jakarta Pusat
(diberi tanda P-3);
8. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas tak Lindungi Pelaku Ekonomi
Nasional”, Harian Kompas, tanggal 29 Maret 1999, Kompas Cyber Media,
10/01/2003 (diberi tanda P-4.1);
9. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas yang Baru, Jebakan Politik untuk
Presiden”, tanggal 19 November 2001, dan berjudul “Presiden Diingatkan
Dampak Buruk RUU Migas”, tanggal 20 November 2001, Harian Kompas,
Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi tanda P-4.2);
10. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas Harus Segera Ditolak”, Harian
Kompas, tanggal 2 Juli 2001, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi
tanda P-4.3);
71
11. Fotokopi artikel berjudul “Pemerintah Terapkan RUU Migas secara
Prematur”, Harian Kompas, tanggal 18 Juli 2001, Kompas Cyber Media,
10/01/2003 (diberi tanda P-4.4);
12. Fotokopi artikel berjudu “RUU Migas Belum Jamin Kesejahteraan
Konsumen”, Harian Kompas, tanggal 20 Maret 1998, Kompas Cyber Media,
10/01/2003 (diberi tanda P-4.5);
13. Fotokopi artikel berjudul “Harga BBM Bisa Naik Sampai 300 Persen”, Harian
Kompas, tanggal 26 Maret 1999, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi
tanda P-4.6);
14. Fotokopi artikel berjudul “Tarik Ulur RUU Migas Siapa Untung Siapa
Buntung”, Media Transparansi, Edisi: 07 April 1999 (diberi tanda P-4.7);
15. Fotokopi Hasil Kesimpulan Diskusi Ilmiah di FH UNPAD 26 Maret 1999,
dengan tema berjudul: “Kajian Sosio Budaya, Ekonomi, Lingkungan dan
Hukum Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (diberi tanda P-
4.8);
16. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas Tidak Punya Visi”, Harian Kompas,
tanggal 27 Februari 2001, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi tanda
P-4.9);
17. Fotokopi artikel berjudul “DPRD Riau Tolak RUU Migas”, Harian Kompas,
tanggal 12 November 2001, Kompas Cyber Media, 10/01/2003 (diberi tanda
P-4.10);
18. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Lembaran Negara R.I. Tahun 2001 Nomor
136, dan Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi (diberi tanda P-5);
19. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24, dan Penjelasan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
72
Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (diberi tanda P-
6);
20. Fotokopi Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 03A/DPR RI/I/2001/2002 Tanggal 16 Oktober 2001
tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(diberi tanda P-7);
21. Fotokopi artikel berjudul “RUU Migas Disetujui, 13 Anggota DPR Menolak”,
Harian Kompas, tanggal 24 Oktober 2001, Kompas Cyber Media, 12/12/03
(diberi tanda P-8);
22. Fotokopi tulisan Dr. Mohammad Hatta berjudul “Pelaksanaan Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 33”, dimuat dalam Majalah Gema Angkatan 45
No.22, Oktober 1977, halaman 3, 4 dan 22 (diberi tanda P-9 = P-VI-1);
23. Fotokopi berita berjudul “Hasil2 Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945”,
dimuat dalam Majalah Gema Angkatan 45 No.22, Oktober 1977, halaman
14 dan 15 (diberi tanda P-10 = P-VI-2);
24. Fotokopi tulisan dari Ir. Bambang E. Budhiyono, Msc. berjudul “Konspirasi
Pembangkrutan Indonesia”, dimuat dalam Majalah ULTIMATUM, Jurnal
Hukum Nasional, Vol. 1, No.3 Januari – Februari 2003, 21-23 (diberi tanda
P-11 = P-VI-6);
25. Fotokopi sampul buku berjudul “Peranan Migas dalam Perekonomian
Indonesia”, oleh: Bachrawi Sanusi, Penerbit Universitas Trisakti dan
Lampirannya, halaman 173 dan 180 (diberi tanda P-12 = P-VI-4);
26. Fotokopi Buku berjudul “Pendidikan Kewarganegaraan”, Tim Penyunting:
Drs. H. Hamdan Mansyur, Tjiptadi, SE, SIP, MM, Drs. H. AN. Sobana,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, halaman 54 – 101
(diberi tanda P-13 = P-VI-7);
27. Fotokopi buku berjudul “Persatuan Dan Kesatuan Bangsa”, Lembaga Kajian
Krisis Nasional (LKKN), bagian “Penutup”, halaman 54 (diberi tanda P-14 =
P-VI-5);
28. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna Ke-17 Masa Persidangan I Tahun Sidang
2001-2002, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dari Sekretariat
Jenderal DPR RI Jakarta, 23 Oktober 2001;
73
29. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
03A/DPR RI/I/2001-2002 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;
30. Fotokopi Lembaran Negara Republik Indonesia No.133, 1960.
Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No.44 tahun 1960, tentang pertambangan minjak dan gas
bumi (Pendjelasan dalam Tambahan Lembaran-Negara No.2070);
31. Fotokopi Undang-undang No.8 Tahun 1971, LN. 1971-76; s.d.t. dg. UU
No.10/1974, “Perusahaan Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi Negara;
32. Fotokopi Makalah berjudul: Market Development Stages: Example of Other
Countries; Energy Insights, Number 24, Indonesia Oil and Gas Industry:
Some Progres, but Much More Needs to be Done, July 2003;
33. Fotokopi artikel berjudul: The Impact of Oil Industry Liberalization in
Indonesia on The Efficiency of Petroleum Fuel Supply for The Domestic
Market, By Dr. Kurtubi (diberi tanda P-VI-3);
34. Fotokopi Ringkasan Hasil Pertemuan Antara DHN 45 Dengan Kelompok
Pemerhati/Praktisi/Ahli Dan Aktivis Peduli Migas Tentang Memberdayakan
Dan Memposisikan Visi Dan Misi Jiwa, Semangat, Dan Nilai-nilai Yang
Terkandung Dalam UUD 1945, Dalam Pembahasan “SUBSTANSI” RUU
Migas 2001 (diberi tanda P-VI-11);
35. Fotokopi “Minderheidsnota bertanggal 22 Oktober 2001” dari Prof. Dr.
Dimiyati Hartono, dkk. (Anggota DPR) Terhadap Disahkannya RUU Migas
Menjadi Undang-undang Dalam Rapat Paripurna DPR-RI Tanggal 23
Oktober 2001 (diberi tanda P-VI-12);
36. Fotokopi Makalah oleh Hartono Mardjono berjudul: Imperialisme Sistemik
Melalui Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (diberi tanda
P-VI-13);
37. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Swastanisasi dan Asingisasi:
Menuju A Suicidal Nation? (diberi tanda P-VI-14);
38. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Privatisasi Pertamina:
Pelumpuhan Diri (diberi tanda P-VI-16);
74
39. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Undang-Undang Migas dan
Pelumpuhan Diri (diberi tanda P-VI-17);
40. Fotokopi kumpulan Makalah oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Mewaspadai
Pasar-Bebas Dan Globalisasi: Undang-Undang Migas Dan Self-
Disempowerment Indonesia (diberi tanda P-VI-18);
41. Fotokopi opini oleh Sri-Edi Swasono berjudul: Rezim ‘Merampok’ Negara,
Isu Tentang Nasionalisme Indonesia (diberi tanda P-VI-19);
42. Fotokopi artikel berjudul: Efek Berganda Pemanfaatan Gas Bumi Untuk
Industri (diberi tanda P-VI-20);
43. Fotokopi Makalah berjudul: Privatisasi/Asingisasi BUMN Indonesia, oleh
Nanang S. Sutadji (diberi tanda P-VI-21);
44. Fotokopi dokumen berjudul: “Perbandingan Penerimaan Pemerintah Dari
Gas Bumi”, dari Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro Dan Hasil Hutan
Departemen Perindustrian Dan Perdagangan Oktober 2003 (diberi tanda P-
VI-22);
45. Fotokopi opini dari Ir. Nanang S. Sutadji “UU No.22 tahun 2001 tentang
MIGAS (diberi tanda P-VI-23);
46. Fotokopi Makalah berjudul: Pokok-pokok Permasalahan Penguasaan
Produksi/Distribusi Migas Yang Dapat Menimbulkan Konflik Sosial oleh
Madiri Thamrin Sianipar (diberi tanda P-VI-24);
47. Fotokopi opini berjudul: Penyelewengan di Bidang Energi dan Migas Capai
Rp.5 Triliun (diberi tanda P-VI-25);
48. Fotokopi Press Release oleh PUK SP KEP – FSPSI Pertamina berjudul:
Cegah Penggadaian Kekayaan NKRI (diberi tanda P-VI-26);
49. Fotokopi opini oleh Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH. Berjudul: Undang-
Undang Migas 2001 Pembangkrut Kemerdekaan Ekonomi NKRI (diberi
tanda P-VI-27);
50. Fotokopi bagan berjudul: Alur Konstitusi Pertamina, dari Pengurus Forum
Solidaritas Masyarakat Peduli Pertamina (eMPePe), bertanggal 5
September 2001 (diberi tanda P-VI-28);
51. Fotokopi bagan berjudul: Alur Dasar RUU Migas 2001, dari eMPePe,
bertanggal 5 September 2001 (diberi tanda P-VI-29);
75
52. Fotokopi opini berjudul: Penyimpangan RUU Migas 2001 Dari Pasal 33 UUD
1945 (diberi tanda P-VI-30);
53. Fotokopi Surat bertanggal May 28, 2002, Letter No. M-598/MINING/V/2002;
54. Fotokopi Paparan dari Ramses Hutapea, Jakarta, 1 Juli 2004 (diberi tanda
P-VI-RH-1);
55. Fotokopi print out berjudul: United States Securities And Exchange
Commission, Washington, D. C. 20549, Form 10-Q, Quarterly Report
Pursuant To Section 13 Or 15(d) Of The Securities Exchange Act Of 1934,
For the quarterly period ended September 30, 2003 Or Transition Report
Pursuant To Section 13 Or 15(d) Of The Securities Exchange Act Of 1934,
Commission File Number 1-2256, Exxon Mobil Corporation (diberi tanda P-
VI-RH-2);
56. Fotokopi artikel berjudul: Sangat Rendah, Realisasi Kegiatan Eksplorasi dan
Eksploitasi Migas (diberi tanda P-VI-RH-3);
57. Fotokopi artikel berjudul: Menyoal Uji Material UU MiGas (diberi tanda P-VI-
RH-4);
58. Fotokopi artikel berjudul: Stok Bahan Bakar Minyak Nasional Kritis (diberi
tanda P-VI-RH-5);
59. Fotokopi artikel berjudul: Pertamina Akhirnya Terima Kucuran Dana Subsidi
BBM Rp.2,38 Triliun dari Pemerintah (diberi tanda P-VI-RH-5.1);
60. Fotokopi opini dari Sri Edi Swasono (diberi tanda P-VI-RH-6);
61. Fotokopi opini dari Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH, berjudul: Dampak
Kerugian Konstitusional UU MiGas (diberi tanda P-VI-RH-7);
62. Fotokopi artikel berjudul: Kelangkaan Solar di Jambi Makin Parah (diberi
tanda P-VI-RH-8);
63. Fotokopi artikel berjudul: Solar Langka di Kaltim dan Jambi (diberi tanda P-
VI-RH-9);
64. Fotokopi artikel berjudul: Tim Proyek Tangguh Sodorkan Tiga Opsi (diberi
tanda P-VI-RH-10);
65. Fotokopi artikel berjudul: Kontroversi Penjualan Tanker Pertamina, Di
Ambang Kebangkrutan (diberi tanda P-VI-RH-11);
76
66. Fotokopi artikel berjudul: Pemerintah Diminta Tolak Beri Jaminan Bagi LNG
Tangguh (diberi tanda P-VI-RH-12);
67. Fotokopi artikel berjudul: Pemerintah Harus Cabut Kepmenkeu yang
Mengkerdilkan Pertamina (diberi tanda P-VI-RH-13);
68. Fotokopi artikel berjudul: Jangan Dijual Pertaminaku Kepada Asing (diberi
tanda P-VI-RH-14);
69. Fotokopi print out tabel berjudul: Manajemen Production Sharing
Expenditures, Cost Recovery & Revenue Distribution All Blocks 1966 –
2000, APF/PDA/FDE-MPS (diberi tanda P-VI-RH-15);
70. Fotokopi opini berjudul: BBM, Kepasrahan Yang Menjengkelkan (diberi
tanda P-VI-RH-16);
71. Fotokopi artikel berjudul: RUU Migas Diundangkan dengan Catatan
Penolakan (diberi tanda P-VI-RH-17);
72. Fotokopi artikel berjudul: UU Migas Disetujui dengan Catatan (diberi tanda
P-VI-RH-18);
73. Fotokopi artikel berjudul: RUU Migas Disetujui, 13 Anggota DPR Menolak
(diberi tanda P-VI-RH-19);
74. Fotokopi artikel berjudul: Dinilai cacat Hukum, Fortas-MPM Minta MK Cabut
UU Migas (diberi tanda P-VI-RH-20);
75. Fotokopi ‘Ulasan Singkat’ bertanggal 29 Juli 2004, dari Solidaritas
Pensiunan Karyawan Pertamina, berjudul: Pertamina Dibayang-bayangi
Ambivalensi Komisi VIII DPR R.I. (Tinjauan Kritis Reposisi Pertamina salah
kaprah);
76. Fotokopi opini oleh Ir. R.O. Hutapea masing-masing berjudul: “Undang-
Undang Migas Harus Didasarkan Atas UUD 1945”, “Implikasi Pelaksanaan
UU Migas 2001”, “Penyimpangan RUU Migas 2001 Dari Pasal 33 UUD
1945;
77. Fotokopi artikel berjudul: Kerugian Ekonomi Dari Penerapan UU Migas
No.22/2001, oleh Dr. Kurtubi (diberi tanda P-VI-K-1);
78. Fotokopi artikel berjudul: Insentif Bagi Hasil Migas Rugikan Negara (diberi
tanda P-VI-K-2);
77
79. Fotokopi artikel berjudul: Tanker VLCC dan Liberalisasi Sektor Hilir Industri
Migas (diberi tanda P-VI-K-3);
80. Fotokopi artikel berjudul: Net Imports Threaten Indonesia’s OPEC Spot
(diberi tanda P-VI-K-4);
81. Fotokopi artikel berjudul: Jakarta’s higher oil imports raise doubts over its
Opec status (diberi tanda P-VI-K-5);
82. Fotokopi print out berjudul: “Indonesia becomes net crude importer amid
dwindling production Singapore”, “Import meet a third of oil products
demand”, “More measures needed to woo E+P investment”, “Expert
suggests explorers not be taxed” (diberi tanda P-VI-K-6);
83. Fotokopi artikel berjudul: Indonesia, “Net Oil Importer”! (diberi tanda P-VI-K-
7);
84. Surat Pernyataan dari Ir. Nur Khaliek, MBA., bertanggal 16 Agustus 2004,
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kalam Keluarga Alumni (Kalam) Salman
ITB (KALAM SALMAN ITB);
85. Surat Pernyataan Sikap dari Koordinator Eksekutif FORTAS-MPM,
bertanggal 16 Agustus 2004;
86. Fotokopi Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor:...../MPR/1993 tentang Demokrasi Ekonomi;
87. Fotokopi Opini berjudul ”UU Migas No.22/2001 Bertentangan Dengan UUD
1945 Dan Merugikan Efisiensi Industri Migas Nasional Serta Merugikan
Ekonomi Masyarakat, oleh Dr. Kurtubi.
Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para
Pemohon selain mengajukan bukti-bukti surat atau tulisan juga mengajukan
Ahli yang semuanya dibawah sumpah/janji menerangkan pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Prof. Dr. SRI EDI SWASONO, SE. - Bahwa sesungguhnya Pasal 33 UUD 1945 yang asli dengan Pasal 33
hasil amandemen secara harfiah bisa disimpulkan sama. Namun karena
undang-undang sebagai hukum bisa mempunyai interpretasi, apabila
78
interpretasi historisnya dihilangkan dan diganti dengan interpretasi yang
lain terutama ayat (4) maka tentu Pasal 33 UUD 1945 asli bisa berbeda.
Namun secara harfiah yang ada sekarang dengan interpretasi yang tidak
dipersoalkan itu sama;
- Bahwa Undang-undang Migas dengan titik tolak yang jelas pada
awalnya mengisyaratkan bahwa kita telah menerima liberalisasi pasar
bebas dan neo liberalisme. Oleh karena itu ahli berkesimpulan Undang-
undang Migas adalah undang-undang yang ahli sebut suicidal society
atau undang-undangnya masyarakat yang sedang bunuh diri. Maksud
dari pada neo liberalisme yang secara apriori sejak kemerdekaan
berdasarakan Pasal 33 dan sejarahnya yang panjang, bahwa Undang-
undang Migas yang neo liberalistis ini harus ditolak karena itu
mengancam peran negara untuk menjaga Pasal 33 terutama ayat (2)
dan (3);
- Bahwa Undang-undang Migas Pasal (4) itu adalah kemasan yang
berbahaya. Diawali dengan sesuatu yang kelihatannya benar. Kuasa
pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada
Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi. Namun kemudian melihat pada Pasal-pasal berikutnya,
Pasal 28 dikatakan harga bahan bakar minyak dan gas bumi sebagai
output atau sebagai keluaran dari pada undang-undang itu, sebagai
komoditinya diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha. Ini sudah
masuk alam liberalisasi. Kemudian lebih lanjut, memang ada semacam
penangkal atau restriksi hukum yaitu yang mengatakan pelaksanaan
kebijaksanaan harga ini menggunakan istilah harga, jadi tidak konsisten
dengan persaingan tadi. Harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan
masyarakat tertentu. Ini suatu restriksi yang mungkin hanya untuk
menunjukkan bahwa Pemerintah enggan melepaskan tanggung jawab
sosial. Namun dalam kenyataannya memang bisa diduga sejak awal
akhirnya subsidi dicabut dengan agak semena-mena;
79
Selanjutnya, dikatakan kegiatan Pasal (9) misalnya, kegiatan usaha hulu
dan hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) angka 1 dan 2 dapat
dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara. Kemudian Badan Usaha
Milik Daerah, kemudian Koperasi dan Usaha Kecil yang tidak mungkin,
kemudian badan usaha swasta yang sangat mungkin. Dengan hal-hal
ini, terkesan ada hal-hal yang bahwa itu menjadi umum dimasukkan
unsur koperasi dan usaha kecil, yang menurut ahli untuk Undang-
undang Migas, hal ini sangat sulit dilakukan karena memang bukan
bidang koperasi dan usaha kecil. Nanti yang ahli khawatirkan dalam
kenyataan pun sudah ada, ada 17 kontrak dengan swasta, jadi akhirnya
swasta yang sangat berperan. Dan ini adalah wujud utama dari neo
liberalisme di Indonesia. Dan ini tentu merupakan bahaya nasional yang
besar, apalagi perkataan pasar bebas sudah disebut di dalamnya.
Dengan pasar bebas Indonesia akan terjebak ke dalam permainan
Internasional. Padahal sekarang pasar bebas begitu mencapai
puncaknya. Liberalisme yang telah mencapai puncaknya akhirnya
mendapat tantangan yang luar biasa. Tantangan terjadi dimana-mana,
menolak neo liberalisme, menolak WTO dan lain-lain padahal itulah
sesungguhnya apa yang dimaksudkan oleh Pasal 33. Jadi menuju
kepada solidaritas dan mengurangi kebebasan, dan kebebasan mulai
harus diatur sebaik-baiknya. Pasar bebas adalah nonsence, namun
justru disayangkan Undang-undang Migas menyambut pasar bebas
secara berlebih-lebihan dan dia tidak tahu apa itu pasar bebas yang
sebenarnya. Undang-undang Migas ini telah merupakan bagian dari
liberalisasi atau neo liberalisasi dan telah menyerahkan diri kepentingan
negara yang strategis kepada pasar bebas;
- Bahwa ahli tahu pernah ada minderheids nota oleh Marjono menolak
adanya swastanisasi atau pasarisasi dari pada cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara, yang artinya strategis bagi negara;
- Bahwa di dunia selalu ada perebutan mengenai energi. Pada abad 17
perebutan energi masih berupa energi sederhana yang namanya
pemanas badan yaitu pala dan cengkeh. Untuk itulah maka terjadi
80
perebutan di Maluku, rempah-rempah kita diangkut dengan semena-
mena, dengan pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa kejamnya
seperti digambarkan oleh Homitohten;
Sekarang yang disebut energi bukan lagi seperti itu. Yang disebut energi
sekarang adalah minyak terutama dengan derivat-derivatnya serta
batubara. Perang energi ini adalah perang kekuasaan, siapa yang
menguasai energi dia yang akan menguasai dunia. Indonesia bisa
terjebak, tidak bisa menolak tekanan asing karena lemahnya
pemerintahan. Ahli mengetahui betul bahwa Undang-undang Migas ini,
loby-loby asing luar biasa. Oleh karena itu sampul dari pada Undang-
undang Migas adalah pasar bebas dan neo liberalisme yang terang-
terangan apriori bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
- Bahwa demokrasi ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi yang tegas
menyatakan kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan
orang-seorang. Kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran
orang-seorang meskipun kepentingan orang-seorang tetap dihormati;
Demokrasi ekonomi kita mengatakan yang dimaksudkan adalah dari,
oleh dan untuk. Sedangkan demokrasi barat biasanya dari dan oleh;
untuk Indonesia lebih dari itu, demokrasi ekonomi adalah bahwa cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara, kalau tidak maka kepentingan rakyat
akan terancam dan Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjaga
kepentingan rakyat dengan Pasal 33-nya, bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dan di dalam Undang-undang Migas, pembatasan-
pembatasan pasal-pasal yang tidak konsisten, bahwa kepentingan
Indonesia pun maksimum hanya dibatasi sampai 25%. Jadi dengan
pasal yang di depan dengan pasal yang di belakang tergelincir, di situ
ada inconsistency yang sangat memalukan yang sesungguhnya hukum
itu dari awal sampai akhir harus jelas pesannya dan harus jelas pula
konsistensinya;
81
- Bahwa menurut ahli mengenai hak yang berkaitan dengan sumber daya
alam antara PBB berbeda dengan IMF dan Develop Bank. IMF dan
Develop Bank adalah pejuang neo liberalisme, sedang PBB adalah
pejuang hak asasi manusia. Resolusi 626 dan 1803 sesungguhnya
menegaskan semangat sovereignty dari rakyat, tentu PBB berbicara
demikian, tetapi hal semacam itu tidak akan dibicarakan oleh IMF
tentang dunia. Sekarang PBB mengeluarkan buku melalui UNDP yang
disebut at millennium development gold. Buku itu kiranya agak menyindir
Indonesia mungkin karena buku yang diedarkan oleh PBB melalui UNDP
tiap tahun, kali ini diluncurkan di Indonesia. Kalau kita melihat ada at
millennium development gold, PBB sudah mulai lebih dekat dengan
Pasal 33 Republik Indonesia, artinya kepentingan masyarakat lebih
utama. Dengan at millennium development gold yang ditegaskan oleh
PBB dimana Indonesia ditaruh urutan lebih rendah dari Vietnam
kemampuan sumber dayanya dan mungkin juga sumber pikirnya. Itu
jelas menegaskan millennium development gold yang 8 (delapan) itu
akan bisa dicapai mekanisme pasar bebas. Oleh karena itu,
sesungguhnya jangan sampai dunia sudah mulai melihat kembali peran
dari pada demokrasi ekonomi, Indonesia melepaskannya hanya karena
kekaguman; 2 (dua) resolusi PBB itu dekat sekali dengan demokrasi
ekonomi Indonesia. Dan Pasal 33 kita pernah menjadi landasan
pemikiran dari Chekoslowakia, ahli pernah diundang oleh Parlemen
Chekoslowakia ketika mereka mau masuk ekonomi pasar, bukan pasar
bebas, mereka menyayangkan kalau perusahaan-perusahaan negara di
swastanisasi;
- Bahwa menurut ahli Undang-undang Migas harus dirombak karena
kemasan-kemasan di depannya bagus yang tidak bagus ditengahnya.
Jadi, dihilangkan apakah itu istilah hukumnya di amandir atau di
reformasi, tetapi yang jelas pasal-pasal yang mempertegas adanya
pasar bebas dan liberalisme dan inkonsistensi antara Pasal 28, 29, 22
dan lain-lain itu memang harus diperbaiki;
82
- Bahwa menurut ahli di Eropa Barat dari 15 (lima belas) negara yang
dikatakan mengikuti ekonomi pasar bukan pasar bebas ternyata 13 (tiga
belas) sedang dipimpin oleh kelompok sosialis yaitu partai buruh dan
sosialis. Itu menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya masih enggan
melepaskan. Memang ada 2 tokoh besar di dunia, yang satu namanya
Reagan di Amerika Serikat dan yang satu adalah Teacher, dan Teacher
itu berusaha untuk merealisasi cita-cita pasar yaitu neo liberalisme
dengan privatisasi yang akhirnya diprotes besar-besaran. Dan akhirnya
wujud dari privatisasi di Inggris setelah Blair berbeda dengan apa yang
pernah diharapkan oleh Teacher. Jadi Teacher berhenti di tengah jalan,
kemudian Reagan juga berhenti di tengah jalan. Namun kumat lagi
setelah ada George Bush; Aturan Peralihan ayat dua, segala badan dan
peraturan yang ada tetap berlaku sampai diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Aturan Peralihan itu bunyinya demikian. Apa
yang dimaksudkan segala badan dan peraturan yang ada, di dalam
bidang ekonomi itu menyangkut bahwa wetboek van koophandel
terpaksa tetap berlaku tetapi dalam arti peralihan, karena wetboek van
koophandel asasnya adalah asas perorangan. Sedang Pasal 33 asasnya
adalah kebersamaan dan kekeluargaan. Itulah sebabnya wetboek van
koophandel dinyatakan temporer yang sampai sekarang justru dipelihara
dan diperkuat oleh undang-undang yang sangat liberalistis yaitu P.T.,
N.V. yang akhirnya menjadi one share one vote. Pada KUHD Belanda
pun masih memberikan pilihan bahwa sesungguhnya masih bisa
dikatakan one share one vote, one man one vote; Jadi oleh karena itu,
untuk Hindia Belanda masih ada restriksi semacam itu. Sekarang masih
berlaku hukum Belanda;
Ada perbedaan mengenai welfare state ala Indonesia dengan welfare
state ala Barat, tidak termasuk Eropa Timur tidak masuk Cheko dan
sekarang Slowakia setelah mereka pisah. Welfare state Indonesia
berdasarkan negara yang didirikan dengan pola pikir atau paradigma
negara sebagai the same act, sedang negara yang di Barat didirikan
berdasarkan kontrak sosial. Kontrak sosial yang artinya individualisme,
83
kontrak antara individu-individu, dan sekarang kontrak sosial sedang
dihidup-hidupkan di Indonesia. Kontrak sosial tidak relevan untuk
dibicarakan di Indonesia karena Indonesia menganut paham the same
act, yaitu menganut faham ukhuwah kalau bahasa agamanya, atau
menganut faham konsensus nasional. Untuk merdeka kita tidak
membuat kontrak sosial, tetapi waktu merdeka kita membuat the same
act, yaitu konsensus nasional untuk merdeka. Jadi, dasar dari pada
welfare state di Amerika Serikat tetap adalah kedaulatan rakyat ala
Roseau, tetap falk sovereignty ala Rousseau, yaitu falk sovereignty ala
liberalisme. Sedang di sini falk sovereignty kita yang disebut kedaulatan
rakyat adalah berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan, sering
disebut dalam bahasa barat, berdasarkan mutualisme and brotherhood
seperti di Jepang. Jadi dengan kata lain namanya memang welfare state
tetapi dasarnya adalah kepentingan individu, sedang di sini dasarnya
adalah kepentingan kolektif bangsa. Oleh karena itu, pernah Prof.
Supomo entah tergelincir atau entah salah, sekali saja beliau
mengucapkan negara integralis, tetapi habis itu beliau tidak pernah
menggunakan kata itu karena itu the same act dan orang Jerman
mengetahui betul karena orang Jerman pada hakikatnya juga menganut
the same act yaitu dia selalu bilang the disney dayna falk is falles, Anda
bukan apa-apa, kepentingan bangsa dan rakyat adalah utama. Jadi di
Jerman pasar sosial masih berdasarkan itu, maka mungkin seperti di
Indonesia juga di Jerman ada orang lulusan Amerika Serikat lalu menjadi
liberalis bahkan menjadi corong liberalisme yang luar biasa;
- Bahwa menurut ahli cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
istilah baru sekarang adalah the strategicall economic sector on political
government, jadi artinya sektor strategis atau cabang-cabang produksi
yang strategis. Di Malaysia, minyak adalah strategis, tidak pernah ada
kepemilikan swasta, bahkan seluruh dunia minyak tidak pernah di
swastanisasi, yang swasta adalah di Amerika Serikat, tetapi tidak berarti
itu benar, swasta di Amerika Serikat justru mereka melakukan
konservasi, tidak menyentuh sumber minyaknya, tidak mengebor
84
banyak-banyak, dia menggunakan yang dari luar. Jadi cabang produksi
yang penting bagi negara itu sesungguhnya juga minyak diakui oleh
Amerika sebagai cabang produksi yang penting bagi negara karena
strategis. Cabang produksi yang penting bagi negara berbeda satu
dengan yang lain, untuk negara tropis seperti Indonesia, maka hutan
adalah cabang produk yang penting bagi negara karena kita daerah
tropis. Cabang-cabang yang penting lagi yaitu mineral, karena itu adalah
akar dari pada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, kaitannya memang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Jadi,
kalau tidak menguasai hajat hidup orang banyak kadar dari pentingnya
negara juga berkurang; - Bahwa menurut ahli pengertian dikuasai oleh negara adalah memiliki
minimal 51% saham karena telah berlaku undang-undang di Indonesia,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 dan juga telah berlaku pula
kesepakatan global, one share one vote sudah menjadi kesepakatan
global kecuali untuk sektor non komersial P.T., tetapi kalau untuk sektor
koperasi karena keadaan lain, memang tidak. Nomor dua adalah strong
government, negara pengurus yang sebenarnya yang sekarang
diterjemahkan banyak orang menjadi good government padahal good
government yang ada di Indonesia yang diajarkan di Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN R.I.) adalah good
government yang punishing the birocracy. Jadi good government yang
didikte oleh pola pikir liberalisme bukan pola pikir negara pengurus waktu
negara ini didirikan. Jadi kalau kepemimpinan negara kita menyadari
karena itu interprestasi juga menyangkut soal wisdom. Kalau minyak
tanah itu pasti menyangkut, kalau pupuk itu otomatis menyangkut hajat
hidup orang banyak. Jadi pupuk harus tetap dikuasai;
Jadi melalui policy disamping tadi melalui pemilikan, yang kedua
adalah melalui policy negara. Kalau policy negara meskipun menguasai
tetapi policy-nya tidak dilaksanakan konsisten dengan pemilikan
misalnya saja PUSRI lebih banyak memihak kepada distributor dari pada
petaninya sendiri sekarang ini, maka policy yang semacam itu keliru.
85
Pembelian gabah oleh Dolog misalnya, itu Dolog mengeluarkan d.o
kepada calon pembeli gabah dan calon pembeli gabah itu bisa membeli
d.o (delivery order) karena mendapat kredit dari Bank Rakyat Republik
Indonesia, sedangkan rakyatnya sendiri tidak mendapat kredit dengan
mudah, maka berarti policy-nya tidak mendukung adanya kepemilikan
yang harus berarti penguasaan;
- Bahwa menurut ahli Penjelasan UUD 1945 dianggap tidak ada lagi
melalui sistem baru. Rohnya apakah penyelenggara negara masih
committed pada roh lama, masih committed pada interprestasi historis
yang ada di dalamnya. Kalau tidak committed bisa mengartikan
demokrasi ekonomi, semua orang dapat bagian, yang kuat yang menjadi
kuat, dan sebagainya. Oleh karena itu, salah satu yang agak penting
untuk mengurangi restriksi adalah saya menambahkan perkataan
efisiensi berkeadilan karena keadilan itu hanya ada pada kekeluargaan.
Tanpa asas kekeluargaan tidak akan ada keadilan. Dan di sini asas
kekeluargaan hilang dan yang ada hanyalah kebersamaan. Bagaimana
ahli bisa menambahkan berkeadilan, terpaksa menggunakan ayat-ayat
suci Al-quran bahwa ukhuwah itu adalah tuntunan dan sekaligus
tuntutan agama yang menghilangkan asas kekeluargaan, berarti
menentang agama karena ukhuwah artinya adalah asas kekeluargaan.
Ada ukhuwah Islamiah untuk orang-orang muslim, ada ukhuwah untuk
orang-orang Nasrani, ada ukhuwah untuk seluruh bangsa, tetapi
ukhuwah adalah tuntutan agama, akhlak agama yang tidak boleh hilang.
Jadi kalau memang masih committed terutama kalau ditulis pada ayat (5)
akan diatur lebih lanjut, semoga pengaturan itu historis;
- Bahwa sesungguhnya sistem ekonomi bukan antara liberalisme dengan
plan economy, itu wujud, tetapi yang pertama adalah sistem yang satu
berdasarkan kepada kepentingan pribadi dan yang satu adalah sistem
ekonomi yang berdasarkan kepentingan bersama atau sering disebut
sebagai social interest. Wujudnya macam-macam, yang ekstrim sekali
menjadi komunistis termasuk bagian sosialis, sosialisme tidak harus
komunistik, yang lain adalah sistem kapitalis. Dan kapitalis pun ada
86
macam-macam bentuknya sekarang berkembang. Jadi, berdasarkan
sistem ekonomi maka demokrasi ekonomi Indonesia jelas ada pada
pengutamaan kepentingan bersama yang menolak sistem Adam Smith.
- Bahwa untuk monopoli oleh negara, ada tempat yaitu yang mengacu
kepada ayat (2). Tentu monopoli oleh negara dimaksudkan untuk
menjaga kepentingan orang banyak bukan untuk mematikan sekelompok
orang swasta, tetapi monopoli oleh negara itu menjadi suatu tuntutan
yang konsisten dengan adanya Pasal 33 sendiri. Yang tidak dikehendaki
adalah monopoli oleh masyarakat yang nanti mengakibatkan menurut
istilah demokrasi ekonomi Pasal 33 asli, rakyat banyak akan
ditindasinya. Ini bahasa yang luar biasa, bukan sekedar ditindasnya
tetapi ditindasinya, pluralistik sekali bahasanya, monopoli oleh negara
sama sekali tidak keliru, karena negara adalah berdasar kedaulatan
rakyat, negara adalah mengutamakan kepentingan rakyat.
- Bahwa monopoli di luar negeri malah lebih keras dari pada di Indonesia,
tidak harus 51% apalagi tidak harus 100%, 17% diperbankan Australia
sudah dianggap membahayakan kepentingan publik. BNI 46 akan dijual
51%, yang membeli tidak mau disuruh membeli 49%, pasti dia minta
50% karena yang mau dibeli adalah kekuasaan untuk mengatur
perekonomian nasional, padahal BNI mempunyai latar belakang sejarah
yang sangat panjang di Republik Indonesia ini. Jadi penerapan pada
jumlah pemilikan presentase tertentu sudah bisa dianggap monopoli, di
negara satu berbeda dengan negara lain, maka karena itu keduanya
adalah sektor strategis, baik hulu maupun hilir, tetapi tidak semua di hilir
menjadi strategis. Ada bagian-bagian di hilir yang tidak strategis, maka
pemilikan saham boleh lebih besar oleh swasta lebih kecil oleh
Pemerintah. Tetapi yang terpenting tentunya adalah sektor-sektor di hulu
dan di hilir yang jelas-jelas berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
- Bahwa dengan perkembangan dari teknologi yang ada bisa terjadi
pergeseran antara mana yang penting bagi negara dan menjadi kurang
penting bagi negara. Namun perkembangan teknologi yang ada
mengatakan bahwa petrokimia adalah terlalu penting untuk diserahkan
87
kepada swasta. Pemerintah harus mempunyai kekuatan penentu di
dalam petrokimia, tetapi karena Pemerintah kebobolan dan tidak punya
uang malah itu di tender kemana-mana. Kesalahan itu harus diperbaiki
melalui kekuatan kedua disamping pemilikan ada regulatory, semoga
Pemerintah masih bisa membuat regulatory action untuk itu. Di dalam
hilir ada listrik. Listrik memang di beberapa negara dilakukan oleh
swasta, tetapi di Indonesia telah terbukti waktu diberikan kepada swasta,
swasta bisa mengenakan tarif yang luar biasa beratnya yang lebih besar
dari pada yang dijual oleh PLN kepada masyarakat. Akhirnya tiap kali
Pemerintah membeli listrik swasta untuk disalurkan karena yang
mempunyai jaringan distribusi hanya PLN, maka PLN langsung harus
mensubsidi swasta tersebut. PLN sendiri bisa mendirikan listrik yang
lebih murah. Ini semua bervariasi, di hilir pun listrik menjadi strategis.
Di Amerika Serikat waktu terjadi black out yang luar biasa, beberapa
senator mengatakan harus ada campur tangan langsung dari
Pemerintah mengenai kelistrikan karena kelistrikan menjadi peka akan
terorisme. Jadi pada saat-saat tertentu memang di hilir bisa rileks, tetapi
di saat-saat tertentu hilir bisa kencang sekali oleh Pemerintah. Dan untuk
itu tentu harus ada pembahasan teknologi;
- Bahwa sebelum Pemerintah berhasil memberikan alternatif energi
kepada masyarakat, Pemerintah harus tetap mensubsidi minyak tanah.
Ini memang pilihan yang berat tetapi harus dilakukan. Tanpa
memberikan subsidi pada minyak tanah, hutan akan terancam karena
orang akan mulai memasak dengan kayu-kayu dan pencurian-pencurian
kayu. Oleh karena itu, harga tidak boleh harga bebas, untuk minyak
tanah harus tetap tersubsidi;
- Bahwa mengenai Pasal 4 ayat (1) dan (2), ahli melihat Pemerintah tidak
selalu sama, kalau ini terjadi pada rezim sekarang, maka ayat itu sampai
berbahaya karena yang terjadi adalah kecenderungan untuk tidak peduli
dengan kepentingan strategis nasional. Di jaman pemerintahan
sebelumnya yang dipimpin oleh Soeharto, minyak meskipun di dalamnya
88
ada korupsi, tetapi keputusan mengenai minyak akan langsung dipegang
oleh Presiden sendiri karena strategisnya;
- Bahwa menurut ahli tidak boleh berprinsip menyerahkan harga minyak
ke pasar bebas, karena kalau menyerahkan ke pasar bebas bisa harga
minyak menjadi sangat murah dan mematikan kita, kalau sangat mahal
maka rakyat dalam negeri juga akan terkena. Ini masalah policy choice
dari Pemerintah;
- Bahwa menurut ahli, WTO bukan sesuatu yang given, bukan sesuatu
patokan mati. Mestinya Indonesia langsung ikut di dalam gerakan anti
WTO yang sekarang sedang melanda seluruh dunia. Sekarang WTO
sedang di dalam sorotan dan sedang di benci oleh masyarakat dunia
karena WTO yang mempunyai cita-cita murni ternyata di belakangnya
dia menampung aspirasi-aspirasi kapitalisme besar, yang mereka
menyebutnya dengan istilah behinded WTO is the turbo capitalism. Jadi
dengan kata lain, perjuangan kita di WTO tidak menghilangkan WTO.
RRC masuk ke WTO untuk bisa mengobrak-abrik WTO, makanya
masuk ke WTO RRC susah sekali, karena Amerika Serikat tahu dia ingin
mengobrak-abrik WTO karena WTO memang merugikan tidak saja Cina
tapi juga kita semua. Jadi, menurut ahli WTO harus dikembalikan kepada
khitoh untuk menjaga keseimbangan perdagangan internasional. Jadi,
pada setiap tahun ada konferensi WTO, kita harus membuat formulasi
baru, apa yang kita setujui pun harus kita rombak lagi, kita mencari
persetujuan baru. Baru nomor 2, strategi yang disebut The Mahatir’s,
Mahatir mulai menggerakkan kekuatan ASEAN, tetapi tentu tidak akan
bisa berhasil karena ASEAN tanpa Indonesia pasti tidak ada maknanya,
semoga nanti lahir WTO baru yang lebih baik, dan itu opportunity untuk
Indonesia. Dan Pemerintah kita harus siap karena globalisasi itu not only
opportunity, karena globalisasi juga adalah perjuangan yang tidak ringan;
- Bahwa mengenai penafsiran historis Pasal 33 UUD 1945, pikiran yang
benar adalah historical interpretation adalah yang berdasarkan the soul,
hakikat bukan praktisnya. Untuk bagian-bagian tertentu praktis ada yang
benar, namun apa yang disebutkan di GBHN itu mengenai sistem
89
ekonomi dan ilmu ekonomi itu kacau balau, yang merumuskan tidak
mengerti apa artinya ekonomi pasar, tidak mengerti apa yang
dimaksudkan monopolistic, ini adalah bahasa-bahasa pop yang ada di
surat-surat kabar, ini mengacaukan sekali;
2. Ir. RAMSES OCTAVIANUS HUTAPEA
- Bahwa pada saat RUU Migas diajukan Pemerintah Reformasi atau
Pemerintah Habibie pada tahun 1999, ahli telah memperingatkan berkali-
kali kepada fraksi-fraksi yang ada di DPR pada waktu itu bahwa undang-
undang yang diajukan itu atau rancangan undang-undang yang akan
diajukan itu akan membahayakan negara dan bangsa kita oleh karena
akan menimbulkan masalah-masalah yang sangat membahayakan
kelangsungan penyediaan bahan bakar minyak untuk negara dan
bangsa kita. Dalam rangka hal itu, maka pada saat itu fraksi-fraksi di
DPR setuju dengan pendapat ahli setelah ahli jelaskan latar belakang
terbentuknya Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960 PRPY-PRPY
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 PRPY. Akhirnya mereka setuju
dan sepakat bahwa sebenarnya memang RUU Migas Tahun 1999
tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu DPR pada saat itu menolak RUU tersebut. Dan kemudian
Presiden Habibie, menurut yang ahli dengar dari Direktur Utama
Pertamina pada waktu itu, akhirnya tidak mengajukan lagi kembali RUU
itu walaupun sebenarnya Menteri Pertambangan dan Energi yang
bertugas pada waktu itu Dr. Kuntoro Mangunkusumo masih ingin untuk
memperbaiki dan mengajukan kembali RUU itu. Tetapi Presiden
Republik Indonesia pada waktu itu setelah memperoleh penjelasan-
penjelasan dari Bapak Martiono dan juga setelah dilampiri ulasan-ulasan
yang dilakukan oleh Tim Kelompok Dua Puluh yang pada waktu itu
bekerjasama dengan ahli-ahli perminyakan, mengenai bahaya-bahaya
yang mungkin dialami bangsa dan negara ini bilamana RUU tersebut
diundangkan. Akhirnya memang tidak mengijinkan Menteri
Pertambangan dan Energi pada waktu itu untuk mengajukan kembali
90
RUU tersebut ke DPR. Namun kemudian, pada waktu pemerintahan
reformasi terbentuk, RUU yang sama ini diajukan kembali ke DPR yang
baru. Pada saat itu ahli juga sudah memperingatkan bahwa bahaya-
bahaya dari pada RUU yang baru itu. Menurut keterangan Pemerintah
pada waktu itu Menteri Purnomo Yusgiantoro menjelaskan ke DPR
bahwa RUU yang diajukan tidak sama dengan RUU 1999 karena sudah
ada penyempurnaannya. Sebenarnya menurut penilaian ahli sama saja
hanya ditambah saja adanya suatu badan pelaksana migas dan
kemudian badan pengatur migas yang menggantikan fungsi Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melakukan pengawasan dan
juga menjadi Manager dari kontrak production sharing yang sudah
berlaku di Indonesia ini. Akibatnya, karena perdebatan berlangsung
demikian rupa sehingga pada akhirnya anggota-anggota DPR yang
sekarang khususnya Komisi 8 (delapan) yang merupakan Pansus dari
RUU ini menerima penjelasan-penjelasan Pemerintah pada waktu itu
yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dan
akhirnya meluluskan RUU ini menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001. Setelah dilaksanakan undang-undang ini, maka tidak lama
kemudian apa yang ahli telah sinyalir sebelumnya terjadi satu-persatu.
Bahwa amandemen terakhir Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 pada
Tahun 2002 sama sekali tidak merubah ayat (1), (2), dan (3). Perubahan
yang dilakukan hanya berupa tambahan ayat mengenai pelestarian
lingkungan hidup dalam usaha mempergunakan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkadung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Dengan demikian ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 masih tetap dipertahankan berbunyi ayat (2) “cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, ayat (3) “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Para wakil-
wakil rakyat dan pemimpin serta pendiri republik sejak semula selalu
sepakat bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara adalah
91
tidak dikuasai orang-seorang atau badan-badan atau pun perusahaan
milik orang-seorang. Tetapi dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di dalam pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 atas sumber daya alam pertambangan, maka setelah
selama 10 (sepuluh) tahun wakil-wakil rakyat tidak berhasil menyusun
undang-undang mengenai sumber daya alam ini, tahun 1960 Pemerintah
mengajukan satu PRP yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960
yang dinamakan Undang-undang Pokok Pertambangan. Tetapi sebelum
undang-undang ini diundangkan pada tahun 1960, di DPR pada tahun
1950, seorang Muhammad Hasan, mantan Gubernur Sumatera telah
mengajukan suatu resolusi untuk melarang diberikannya konsesi
pertambangan karena bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945. Dan itu diterima secara aklamasi di DPR sehingga sejak
mulai tahun 1950 maka sistem konsesi yang diperkenalkan oleh
indisement white tahun 1930 tidak dilakukan lagi oleh Pemerintah RIS
maupun Republik Indonesia. Namun demikian, kebijaksanaan pokok
mengenai pertambangan baru berhasil diundangkan pada tahun 1960
berupa Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960. Di dalam undang-
undang ini memang dikatakan bahwa kuasa pertambangan yang dimiliki
negara itu bisa diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Umum dan Badan Usaha Tetap, yang dimaksud di sini Badan
Usaha Tetap adalah swasta. Jadi untuk pertambangan umum, itu kuasa
pertambangannya dapat diberikan juga selain kepada BUMN juga
kepada Badan Usaha maupun Badan Usaha Tetap yang dapat berupa
swasta nasional maupun swasta asing. Namun, 2 (dua) atau 3 (tiga)
minggu, setelah diundangkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960,
maka Pemerintah dan tim yang sama juga menerbitkan Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa menimbang dari pasal-
pasal di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960 khusus untuk
sumber daya minyak dan gas bumi, kuasa pertambangan hanya dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Negara. Itu jelas
penyimpangan dari pada Undang-undang Pokok Pertambangan Umum,
92
karena Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan “yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Dengan demikian, salah satu pencetus atau pun perumus ayat 33
Undang-Undang Dasar 1945 itu Alm. Muhammad Hasan yang juga
sudah dianugerahi Bintang Mahaputera Tahun 1996 yang lalu sebagai
balas jasa dan penghargaaan terhadap beliau turut serta menyusun
redaksi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ikut menyusun
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960. Terjemahan dari Pasal 33 itu
jelas oleh salah satu penyusun Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
adalah sama dengan apa yang dimasukkan di dalam Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1960, di mana dinyatakan bahwa khusus untuk minyak
dan gas bumi, kuasa pertambangan hanya dapat diberikan kepada
Perusahaan Negara. Jadi pengertian dasar yang terkandung dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut telah menjiwai para
pemimpin dan wakil rakyat dalam menyusun Undang-undang Nomor 37
Tahun 1960.
Khusus mengenai kekayaan alam berupa bahan-bahan galian dan
migas, kuasa pertambangan dipegang oleh negara diterjemahkan dalam
Undang-undang Nomor 37 Tahun 1960 sebagai meliputi kegiatan usaha
eksplorasi, eksploitasi, produksi, pengangkutan, pemurnian dan
pengolahan dan penjualan bahan-bahan tambang atau hasil-hasil
pengolahannya. Jadi kuasa pertambangan mencakup dari kegiatan hulu
eksplorasi sampai kegiatan di hilir termasuk pengolahannya, termasuk
kegiatan pengangkutannya. Itu definisi yang ditetapkan oleh para pendiri
republik sebagai kuasa pertambangan yang dimiliki oleh negara.
Demikian juga di dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960, untuk
membedakan sumber daya migas yang tak terbarukan dan memiliki nilai
penting dan strategis bagi bangsa serta mempengaruhi hajat hidup
rakyat dari bahan galian lainnya yang diatur melalui Undang-undang
Nomor 37 Tahun 1960, kebijakan ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-
undang Nomor 44 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa pertambangan
migas hanya diusahakan oleh negara dan pelaksanaanya dilakukan oleh
93
Perusahaan Negara semata-mata. Tidak ada interprestasi lain dari Pasal
33 selain dari apa yang dimaksudkan untuk migas itu dari Pasal 3
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960, karena yang menyusun
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 turut serta juga beberapa tokoh
yang juga terlibat menyusun Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Perkembangan pelaksanaan kebijakan ini menunjukkan bahwa
keberadaan beberapa PN Migas telah membuka terjadinya perbedaan-
perbedaan yang dapat merugikan negara sehingga untuk mengatasinya
akhirnya karena pada waktu itu ada 3 (tiga) Perusahaan Negara, yaitu
Permigan, Pertamin dan Permina. Tetapi ternyata ketiga Perusahaan
Negara ini dapat atas bujukan dari kontraktor-kontraktor asing yang
bekerjasama dengan mereka dapat memberikan persyaratan-
persyaratan yang berbeda-beda terhadap investor itu. Jadi merugikan
negara.
Oleh karena itu akhirnya bangsa ini menyadari ketiga Perusahaan
Negara Migas itu dikonsolidasi menjadi satu hanya PN Pertamina tahun
1968. Dan ini merupakan kebijakan yang tepat. Dan kemudian karena
pengalaman yang menunjukkan bahwa ternyata kalau PN Pertamina ini
pada waktu itu tahun 1968 dia masih berstatus sebagai satu Perusahaan
Negara sama dengan PT Persero, segala campur tangan dari
Pemerintah terjadilah seorang Dirjen umpamanya bisa memintakan
kepada Perusahaan Negara ini supaya mendirikan kantor baginya di Jl.
Thamrin yaitu Dirjen Migas waktu itu. Level Dirjen sudah sangat tinggi
bagi Perusahaan Negara ini. Karena banyaknya campur tangan dan
tugas-tugas yang ditambahkan pada PN Pertamina ini setelah tahun
1968 termasuk membangun Krakatau Steel oleh pimpinan nasional
ditugaskan juga termasuk membangun atau pengadaan pupuk impor
sehingga impor curah pupuk dikerjakan juga oleh Perusahaan Negara
ini, walaupun atas permintaan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari
pimpinan nasional. Tetapi ini menyimpang dari pada kegiatan-kegiatan
pokoknya. Karena itu disadari oleh bangsa ini melalui wakil-wakil di DPR
pada waktu itu dibentuklah suatu tim yang dinamakan Tim
94
Pemberantasan Korupsi Pertamina yang dipimpin oleh Bapak Alm.
Wilopo, S.H. dan sekretarisnya pada waktu itu adalah seorang Komisaris
Polisi Murasudin Situmorang, S.H. Dan penasihat dari pada Tim Anti
Korupsi pimpinan Wilopo ini adalah mantan Wakil Presiden Mohammad
Hatta. Atas saran dari tim itu, pada bulan April tahun 1970 kepada
Presiden Soeharto, maka tim ini menyatakan bahwa bentuk PN
Pertamina tidak sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara, karena
dia hanya merupakan satu Perusahaan Negara bisa juga ditugaskan
untuk melakukan hal-hal yang di luar bidang usahanya. Karena itu
mereka menyarankan kalau itu perlu ditinjau. Dan memo dari pada
Komisi Wilopo ini akhirnya dilanjuti lagi dengan memo bulan Agustus
tahun 1970. Mereka menyarankan di dalam memo ini supaya bentuk
Perusahaan Negara ini diubah dan harus dibentuk berdasarkan suatu
undang-undang.
Inilah sebenarnya latar belakang mengapa Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971 disusun sebagai Undang-undang Pendirian Pertamina Baru.
Tidak lagi pakai PN di depannya untuk membedakannya dengan
Perusahaan Negara lain, tetapi dia merupakan suatu perusahaan
Pemerintah atau Perusahaan Negara milik negara namanya Pertamina
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Ini sebenarnya
ditujukan untuk menghindari terlalu banyaknya campur tangan
eksekutif/Pemerintah terhadap BUMN ini. Dan dengan harapan bahwa
Komisarisnya yang terdiri dari 5 (lima) Menteri, yaitu Menteri
Pertambangan sebagai ketuanya, Menteri Keuangan sebagai wakilnya,
Menteri Bappenas, terus berganti-ganti kadang-kadang Menteri
Pertahanan ikut juga, kadang Sekneg juga ikut. Jadi ini ada 5 (lima)
Menteri, harapan barangkali dari Bapak Wilopo maupun Alm. Bapak
Mohammad Hatta kalau sudah 5 (lima) Menteri menjadi Komisaris
Pertamina ini, pimpinan nasional akan berpikir dua kali bilamana ingin
menginstruksikan Pertamina ini melakukan suatu kegiatan yang
menyimpang dari kegiatan minyak dan gas bumi. Harapan dari bapak-
bapak itu memang sangat wajar oleh karena ingin meluruskan jangan
95
sampai Pertamina ini masih tetap juga digunakan oleh eksekutif menjadi
alat untuk tujuan-tujuan yang lain dari pada tujuan yang sebenarnya
diharapkan dari Pertamina sebagai suatu badan negara yang menjamin
suplai BBM untuk kebutuhan industri atau rakyat dan bangsa ini.
Harapan itu rupanya hanya tinggal harapan. Kemudian berkembang, 5
(lima) Menteri ini juga ternyata di kemudian hari tidak mampu juga
menahan pimpinan nasional untuk tetap juga mengobok-obok
perusahaan ini di dalam rangka kebijakan-kebijakan yang ditentukan
menyimpang kadang-kadang dari tujuan dari perusahaan Pertamina
sendiri.
Inilah riwayat dari pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Maksud
dan sebenarnya tujuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 baik,
karena itu memang dibuat dengan itikad yang baik dan tulus dari Komisi
Wilopo dibantu oleh mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Namun di
dalam pelaksanaannya, masih tetap disalahgunakan oleh pejabat-
pejabat Pemerintah dan juga termasuk tentunya beberapa oknum
maupun direksi dari Pertamina. Inilah perkembangan yang dialami
walaupun sebenarnya kejadian ini terjadi terhadap Pertamina tetapi
kebijakan ini membuat keberhasilan yang dicapai tidak bisa diingkari.
Setelah adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 maka produksi
minyak Indonesia meningkat dari tadinya level 4.500 barrel per hari
menjadi 1,8 juta barrel per hari pada tahun 1987. Kemudian menurun
sedikit-sedikit sampai akhirnya pada akhir pemerintahan Soeharto masih
bisa mempertahankan pada tingkat 1,3 juta barrel per hari. Tetapi
sekarang ini setelah diperkenalkan undang-undang baru ini menjadi
menurun secara dratis dari 1,3 juta menjadi hanya tinggal 1.078.000 per
hari.
Jadi keberhasilan lainnya yang diciptakan oleh Undang-undang Nomor
44 Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 mampunya
putra-putra bangsa ini menciptakan sumber pendapatan dari sektor
Migas yaitu mendirikan dan mengembangkan proyek gas alam cair di
Bontang dan di Arun. Ini adalah ciptaan bangsa Indonesia sendiri,
96
bangsa asing hanya terlibat di dalam mensuplai gasnya, tetapi
mengembangkan proyek pencairannya, melakukan transportasinya dan
membuka pasar untuk menjualnya di Jepang, Korea dan Taiwan adalah
memang prestasi dari putra-putra bangsa sendiri. Ini yang perlu harus
dibanggakan dan harus menjadi suatu mainstone bagi generasi yang
akan datang. Tetapi justru dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001, tatanan LNG yang sudah diciptakan putra-putra bangsa ini sudah
dirombak. Pertamina tidak lagi penjual tunggal LNG Indonesia ke luar
negeri. Sekarang dengan undang-undang baru malah sebut boleh siapa
saja ditunjuk, BP Migas bisa menunjuk siapa saja penjual. Padahal
maksud dengan tatanan LNG yang lama itu kalau hanya BUMN
Pertamina yang menjual, tidak akan mungkin ada persaingan antara
LNG Arun, LNG Bontang di market internasional.
Sekarang ini LNG Indonesia saling potong-memotong harga di pasar-
pasar Taiwan, Korea dan Cina. Tangguh LNG memotong harga yang
ditawarkan Badak LNG, memotong harga yang ditawarkan Arun. Inilah
akibat dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 itu.
Di dalam tatanan yang lama Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
Perusahaan Negara Migas adalah pemegang kuasa pertambangan dari
setiap wilayah kerja contractor production sharing. Contractor production
sharing menjadi kontraktor jadi bukan pengusaha dari pada wilayah
kerjanya tetapi kontraktor terhadap Pertamina yang mempunyai kegiatan
usaha itu. Jadi kuasa pertambangan ada di Perusahaan Negara, tetap di
tangan Perusahaan Negara, mereka hanya kontraktornya. Berbeda hal
ini dengan undang-undang yang baru.
Sampai sekarang Indonesia memang masih tetap produsen dan
eksportir LNG terbesar di dunia, tetapi ini sudah tinggal sebentar lagi
dan tidak ada artinya itu.
Sejak mulai tahun 1983 Indonesia menjadi penghasil dan penjual LNG
terbesar di dunia dan kemudian lebih meningkat lagi sejak tahun 1986.
Dan membuka pasar baru, selalu Indonesia yang membuka pasar baru,
97
seperti Korea Selatan dan Taiwan Indonesia yang membuka, bukan sale
international bukan juga exxon, Pertamina.
Diperkirakan perolehan negara dari sektor Migas selama lebih 30 tahun
ini sudah berjumlah sekitar US$ 235 milyard, suatu perolehan yang
sangat fantastis. Dengan segala kekurangan-kekurangan, dengan
segala campur tangan pimpinan nasional yang kadang-kadang
menyimpang dari tujuan pokoknya, dengan segala korupsi yang terjadi
dilakukan oleh pejabat-pejabat Perusahaan Negara ini maupun oleh
Pemerintah, eksekutif/Pemerintah yang turut campur di dalamnya.
Dengan segala hal itu tetap secara nasional prestasi yang dicapai
perusahaan ini luar biasa dan hasil yang diberikan kepada negara ini luar
biasa tidak bisa dibandingkan. Malaysia Petronas tidak bisa
mengimbangi, Petronas atau Pemerintah Malaysia meniru Pertamina.
Pada tahun 1984 sesudah Indonesia memberlakukan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1971 Malaysia memperkenalkan Malaysian Petroleum
Ex untuk mendirikan Petronas meniru Pertamina. Sampai sekarang
sebenarnya Petronas masih kalah dari Pertamina di dalam
pengembangan LNG-nya. Tetapi kalau di dalam penghasilan sekarang
ini sudah melanglang buana secara internasional, Pertamina sudah jauh
terbelakang dengan adanya perkembangan-perkembangan yang tidak
menggembirakan sejak tahun 2001 diundangkannya Undang-undang
Migas yang baru ini.
Jadi kalau memang mau disempurnakan tatanan yang terjadi selama ini
harus diberantas korupsinya bukan undang-undangnya yang salah,
bukan tatanan hukum yang di established berdasarkan undang-undang
itu.
Pertamina tidak mempunyai mantil kedaulatan karena Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1971 mengatakan demikian dan Production Sharing
Contract juga di dalam pasalnya mengatakan demikian bahwa “not which
standing of the tones and condition put forward with this production
sharing contract including the article regarding the subbission of both
parties to go international arbitration the right of the public of Indonesia
98
preville” artinya kedaulatan Republik Indonesia tetap tidak terdilusi,
artinya walaupun Pertamina tunduk pada hukum arbitrase di dalam
perjanjian Production Sharing kontraknya, kedaulatan negara Republik
Indonesia tetap berada di tangan Pemerintah Indonesia. Pemerintah
Indonesia tetap bisa mengatakan no atau tetap menolak apa yang mau
diputuskan oleh arbitrase maupun oleh mitra dari pada Pertamina. Inilah
beauty dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Pertamina itu
walaupun perusahaan milik negara dan rakyat, tetapi dia bisa bergerak
di dunia internasional tanpa membawa guaranty Pemerintah. Bisa me-
range milyaran dollar untuk di-invest di Arun tanpa menjadi hutang
republik, tanpa menjadi hutang bagi Indonesia. Tetapi sekarang karena
sudah dirombak, BP Migas menjadi penandatangan dari Production
Sharing Contract menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 segala
sesuatu yang terkait dengan pengadaan dana bagi kilang LNG yang
disetujui oleh kedua belah pihak BP Migas dengan Production Sharing
Contractor menjadi hutang republik, karena BP Migas ini adalah alat
negara. Dia juga mempunyai mantil kedaulatan, dia tidak bisa dibawa ke
arbitrase internasional. Inilah akibat dari Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001. Jadi semua kegiatan Production Sharing Contract yang
membutuhkan dana yang khusus di luar dari pada komitmennya sebagai
kontraktor Production Sharing, umpamanya membangun fasilitas-fasilitas
pengilangan LNG, itu menjadi hutang republik. Dan kalau sekarang
republik sudah 80 milyard hutangnya, tidak mungkin tangguh
memperoleh pinjaman oleh karena mitra dari British Petroleum di situ
adalah Badan Pemerintah sendiri, BP Migas. Pasti IMF akan
mengatakan tidak bisa, you sudah saya larang untuk pinjam uang lagi.
Maka itu Tangguh tertunda-tunda terus. Inilah akibat Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 itu. Ini Power Point dari pada Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001.
- Bahwa menurut ahli ada pasal-pasal yang menyimpang dari Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001, Pertama, bahwa di situ kuasa
pertambangan itu meliputi kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi,
99
pengangkutan, pemurnian, pengolahan dan distribusi pemasaran. Nomor
2 (dua), di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti dikatakan dalam
undang-undang itu memiliki arti seperti yang dibuat di bawah ini bahwa
kuasa pertambangannya, point nomor 4 (empat) itu, hanya mencakup
eksplorasi dan eksploitasi. Jadi kuasa dari pada negara mengenai
minyak dan gas bumi ini menurut undang-undang yang baru hanya
mencakup eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan produksi, cabang-cabang
produksi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, distribusi penyimpanan yang tadinya
masuk kuasa pertambangan negara di dalam Undang-undang Nomor 44
Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, di dalam
undang-undang yang baru ini sudah tidak masuk kuasa negara lagi. Jadi
semua sudah boleh melakukan itu, hanya perlu ijin saja. Inilah
perbedaan yang sangat prinsip.
Kemudian juga di dalam undang-undang yang baru ini, bahwa di dalam
wilayah kerja itu, Menteri menunjuk BU-BUT sebagai pelaksanaan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kalau dilihat point 4 (empat) ini
bahwa kuasa pertambangan didefinisi itu adalah eksplorasi dan
eksploitasi. Kemudian di pasal berikutnya, kuasa pertambangan itu bisa
diberikan Menteri kepada BU dan BUT perusahaan asing. Jadi sekarang
ini Production Sharing Contractor di wilayah kerjanya ini sudah menjadi
pengusaha.
Bagian Pemerintah dari wilayah kerja itu menurut undang-undang baru
ini oleh BP Migas nanti caranya ditunjuk pihak ketiga atau pihak lain
untuk menjualnya, karena dia tidak boleh berusaha karena dia Badan
Pemerintah yang no risk. Jadi BP Migas menunjuk akhirnya mereka
juga. Jadi Caltex yang selama ini tidak menjual 85% dari produksinya
karena itu tugas Pertamina karena memang kegiatan di situ Pertamina
pemegang kuasa pertambangan. Sekarang ini oleh BP Migas ditugaskan
Caltex menjual juga bagian Pemerintah yang 85% ini. Jadi dia yang
berbisnis.
100
Yang menjadi sangat menyedihkan gas bumi bagi kepentingan pupuk
bukan lagi BUMN yang menjual kepada pabrik pupuk atau kepada PLN,
PLN sudah beli gas dari Natuna Barat, dari Philips Conoco, penjualnya
Philips Conoco. Jadi sumber daya alam kita ini sudah dikuasai asing
termasuk bagian Pemerintah. Yang menentukan harga juga dia, yang
meminta syaratnya ke PLN juga dia, bahwa you harus membuat
inovocable letter of credit sekian ratus juta dollar, baru saya suplai, baru
saya bangun pipa. Dia sudah menentukan, sudah tidak ada lagi hak
rakyat, sudah tidak ada lagi kuasa negara.
- Bahwa perusahaan perminyakan internasional itu untuk mencapai
efisiensi yang tinggi selalu terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Malah
kegiatan hulu ke hilir sudah terintegrasi milik Exxon, masih digabung lagi
dengan kegiatan Mobile Oil yang sudah juga terintegrasi dari hulu
sampai ke hilir. Datang lagi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,
Pertamina harus dipecah-pecah, hulu-hulu, hilir-hilir. Apa ini sifat dari
kegiatan minyak dan gas bumi untuk mengurangi atau meratakan resiko
yang besar di hulu harus terintegrasi. Sifat alam yang ini pun diingkari
oleh undang-undang ini. Jadi juga Pertamina dikenakan harus
unbundling, itu adalah istilah-istilah yang sangat beautyfull, mau dipecah-
pecah Pertamina itu. Jadi kerjasama antara KPS sekarang dengan BP
Migas ini sudah menghilangkan kemampuan me-manage kegiatan
pertambangan di wilayah kerja itu tidak ada lagi. Apa yang BP Migas
bisa lakukan, tidak bisa karena dia yang menentukan semua, menjual
juga kemana dia yang disuruh, bukan lagi BUMN Pertamina.
- Bahwa terintegrasi dari hulu sampai ke hilir, ini sebenarnya bukan
monopoli. Bisa saja 2 (dua) perusahaan, 3 (tiga) perusahaan atau
banyak perusahaan bergerak di Indonesia ini tetapi semuanya
mempunyai kegiatan yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Ini
adalah karena sifat dari pada resiko yang terdapat di dalam kegiatan
minyak dan gas bumi itu, dimana resikonya sangat besar di hulu karena
101
kalau mencari kadang-kadang di bor sampai 20 (duapuluh) sumur tidak
dapat, habis. Jadi waktu sudah diketemukan kemudian bagaimana
caranya supaya di spret risk ini kepada kegiatan-kegiatan yang kurang
besar resikonya seperti pipa dan transportasi, itu sangat kecil resikonya.
Jadi diintegrasikanlah itu supaya bisa dia maximize coverage dari pada
risk yang di hulu. Sebab kalau umpamanya transportasinya tergantung
pihak luar, nanti dia tidak bisa me maximize profit bagi resiko tinggi yang
ada di hulu. Karenanya tergantung dari pada transportation cost dari
pihak ketiga. Karena itulah trend-nya itu secara alamiah mereka itu
terintegrasi. Terintegrasi selalu dimana saja mereka berada untuk
mencapai efisiensi yang tinggi. Tetapi kemudian mengenai kuasa negara
terhadap atau peranan negara terhadap minyak dan gas ini memang di
semua negara minyak dan gas ini tidak pernah dilepaskan. Kalau dilihat
Amerika Serikat yang mengatakan dirinya campion dari pasar bebas,
kalau setiap saat Daerah Chicago, harga mogas sudah 2 dollar 50 sen
per galon, pasti Amerika fanel government melepaskan strategic stock
dari fanel government mogas ke Daerah Chicago itu supaya turun
harganya. Begitu juga Jepang, kalau sudah terlalu naik harga dari pada
mogas atau feul oil untuk daerah dingin-dingin ini, dia lepas juga
strategis stock. Jadi sebenarnya, di manapun juga di consumer atau di
producer, itu sekarang hampir semua Pemerintahnya tidak melepaskan
minyak dan gas itu.
Dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Indonesia merupakan
negara yang pertamalah di dunia yang mau mencoba melepaskan.
Dan kemudian selama ini dituduh dengan Undang-undang Nonmor 8
Tahun 1971, Pertamina itu pengusaha menjadi regulator, tidak benar itu.
Pertamina tidak pernah menjadi regulator.
Di WTO juga tidak pernah OICD menyetujui bahwa komoditas minyak
dan gas masuk komoditi yang harus terbuka dan transparan dan
diperdagangkan secara global dengan bebas, untuk kepentingannya dia
tidak mau, survices-nya masuk penjual energinya begitu tetapi kalau
sudah komoditasnya itu, dia tidak mau. Jadi tidak betul supaya jangan
102
monopoli, jadi perlu dirombak Pertamina. Undang-undang Anti Monopoli
mengijinkan monopoli kalau negara melakukan bukannya departemen
atau BP Migas, Badan Usaha Milik Negara-lah supaya ada segregasi
dimana regulator dimana player. Walaupun ini milik negara, masih
membawa misi dari pada rakyatnya;
- Bahwa mengenai kedaulatan Pemerintah, kalau Badan Pemerintah
sendiri yang terlibat, BP Migas menjadi party kepada Production Sharing
Contract, maka dia melibatkan langsung Pemerintah. Jadi Pemerintah
kalau berperkara nanti, aset Pemerintah, kapal terbang yang ada di luar
negeri bisa ikut di attach karena BP Migas ini alat Pemerintah. Tetapi
kalau Pertamina karena dia terpisah walaupun milik negara tetapi
terpisah secara Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang harus
disahkan DPR dulu, tidak bisa Presiden mengubah-ubah itu, Presiden
sekali lima tahun bisa berganti. Itu dia terpisah, kalau ada perkara hanya
aset yang dikuasai dia yang bisa di attach. Itulah maka terjadi pada
tahun 1975 rapaport tidak bisa meletakkan attach the New York court
tidak bisa menaruh sita atas gedung Konsulat Jenderal di New York.
Pengadilan New York menolak permintaan rapaport, it dos not belong to
Pertamina, it belongs to the republic of Indonesia, Pertamina has nothing
to do with that. Tetapi kalau BP Migas sekarang bisa saja dia attach itu
nanti, juga kalau dia yang menandatangani kontrak, dia tidak bisa
mengatakan bahwa kedaulatan Pemerintah masih previle, karena dia
bagian dari Pemerintah. Kalau Pertamina bisa, dia insist dan standard
Production Sharing Contract Indonesia dan itu yang sangat indah.
- Di dalam undang-undang yang baru Pasal 31 mengenai Pajak, semua
peralatan, barang modal, consumobles yang dibutuhkan semua
perusahaan minyak asing ini dikenakan bea masuk termasuk pungutan-
pungutan lain seperti PPN bea masuk, cukai terus retribusi dan pajak
daerah dipungut pada saat masuk. Walaupun dia masih dalam tahap
eksplorasi belum ada produksi, dia sudah dipungut ini. Dulu tidak, itu
dipungut sesudah berproduksi.
103
- Karena sekarang ini tidak ada eksplorasi sejak dibahasnya undang-
undang ini di DPR, maka tidak ada yang menambah produksi itu,
menurun, turunlah juga referandum Pemerintah. Mereka sudah
menyuarakan itu melalui IPE, sudah keberatan ini, diajukan sebelum
disusun undang-undang ini, tidak digubris baik wakil di DPR tidak mau
mengubris, Indonesian Petroleum Association juga sudah mengajukan
itu.
- Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 ada juga ketentuan
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan skim kontrak
kerjasama adalah Production Sharing Contract. Mereka juga
mengatakan itu masih dipakai Production Sharing Contract. Tetapi
soalnya Production Sharing Contract-nya ini sudah berubah oleh karena
pihak penandatangannya dari pihak Indonesia sudah berubah.
Implikasinya juga sebenarnya pengusaha di dalam wilayah kerja itu di
dalam skim yang lama adalah BUMN, Perusahaan Negara sebagai
perpanjangan tangan dari pada negara. Di dalam skim yang baru, tidak.
Pelaku usahanya sudah kontraktor walaupun dia Production Sharing
Contract.
Memang ini mirip jadi seperti konsesi, kontrak 5A konsesi tahun 1930,
ada five A contract tahun 1930. Itu mirip ke situ, disebut dia kontraktor
tetapi sebenarnya terhadap Pemerintah. Tetapi kalau di dalam konsep
yang lama, manajeman kegiatan usaha itu di tangan BUMN, jadi masih
di protect kepentingan Pasal 33. Kalau sekarang, manajemen usaha itu
sudah di tangan dia. Dan juga yang memberikan ini Menteri saja, dulu
Presiden. Jadi ini memang berbeda;
- Bahwa sebenarnya pengawas di dalam Production Sharing Contract itu
adalah merupakan satu pengawasan terhadap kegiatan usaha. Jadi dia
sebenarnya melakukan penilaian-penilaian sebagai pengusaha, tetapi
dia tidak ikut resikonya, tidak boleh menanggung resikonya karena dia
bukan Badan Usaha. Jadi dengan demikian dia hanya regulator. Kalau
dia sebagai regulator dan pengawas, jadi manajemen dari pada
kegiatan usaha itu tidak ada sama dia sebenarnya. Bisa dilihat sekarang,
104
gas Pemerintah yang dijual Philips Conoco. Persyaratannya Philips
Conoco yang mengajukan karena dia sudah ditunjuk penjual. Jadi sudah
lepas kendalinya. Apakah itu milik Indonesia atau Philips Conoco gas itu,
bagian Pemerintah yang 75% itu ? dia yang jadi penjual sekarang di
wilayah negara Republik Indonesia kepada PLN, kepada PGN. Ini
menjadi rancu dari segi aspek hukumnya siapa yang menjadi pengusaha
di wilayah ini.
- Bahwa mengenai privatisasi, memang ini merupakan satu istilah yang
kadang-kadang disalah diartikan. Privatisasi itu pada dasarnya
dimaksudkan untuk meng invite satu partisipasi pihak ketiga di dalam
pengelolaan suatu usaha, sebab itu di swasta juga ada mengundang
pihak ketiga supaya meningkatkan efisiensi. Karena dengan adanya
pihak ketiga, maka lebih transparan good Government bisa
dilaksanakan.
Itu tidak perlu harus menjual majority sale, privatisasi bisa sedikit saja.
Tetapi itu trend, mungkin trend yang disarankan oleh negara-negara
donor bagi kepentingan perusahaan-perusahaan asing juga. Sebab
sebenarnya bisa saja satu BUMN melakukan peningkatan efisiensi tanpa
melakukan privatisasi.
Dan kalau dilihat riwayat Pertamina, semua kasus-kasus korupsi di
Pertamina pasti yang terlibat itu pejabat-pejabat Pemerintah atau Menteri
atau Sekneg, pembelian barang di atas sekian juta harus melalui
persetujuan Sekneg atau kemudian belakangan Tim Menko Ekuin, itu
semua hanya rekayasa untuk mereka.
Kalau dikatakan privatisasi itu mau meningkatkan efisiensi boleh-boleh
saja tetapi tidak harus menjual aset. Kalau menjual aset itu sudah lain,
seperti yang sekarang terjadi ini. Ini dari tiap tahun non bank, di dalam
APBN ini 31 triliyun, 25 triliyun, itu aset-aset negara yang dijual untuk
menutupi defisit karena penurunan revenue minyak, sedangkan
pengeluaran bunga rekapitalisasi bank-bank 50 triliyunan ke atas. Ini
sedihnya aset yang dijual bukan privatisasi. Aset dijual sebentar lagi
mungkin dua tahun lagi barangkali kalau terus-menerus begini, aset
105
terjual habis semua maka apa yang mau dijual lagi. Dan akan bangkrut,
ini persis seperti Argentina, penghasilan menurun dan penerimaan aset
dijual lagi untuk menutupi defisit, dan defisitnya juga masih tetap tinggi,
masih di range 30 triliyun, tetapi ini bukan mau menjelekan Pemerintah
yang sekarang tetapi ini fakta.
Jadi privatisasi ini sebenarnya ada maksud yang baik dan kita tidak
harus ingkari itu, tetapi harus juga hati-hati bisa juga timah diprivatisasi
sampai 35%, aneka tambang, tak menjadi soal. Itu open, Pertamina juga
bisa privatisasi. Memang ahli akui privatisasi perlu juga untuk
meningkatkan efisiensi dan untuk menghindari masih berlangsungnya
korupsi, tetapi jangan mayority, jangan jual aset seperti ini. Kalau ini jual
aset, dua tahun lagi bangkrut;
Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan dipersidangan,
Ahli yang diajukan oleh Pemohon (Ir. R.O. Hutapea) juga menyerahkan
keterangan tambahan secara tertulis yang diajukan oleh Pemohon VI, diterima
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Maret 2004 dan tanggal
12 Agustus 2004;
Menimbang bahwa Pemerintah telah menyerahkan Keterangan Tertulis
masing-masing bertanggal Januari 2004, 29 Juli 2004, dan 29 Juli 2004 dan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyerahkan Keterangan
Tertulis bertanggal 10 Pebruari 2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
Keterangan Tertulis Pemerintah (Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia) Januari 2004 dan tanggal 29 Juli 2004 I. Umum
106
Mengamati kegiatan sektor migas dalam kurun waktu 40 (empat
puluh) tahun terakhir, sejak diberlakukannya sistem pengusahaan minyak
dan gas bumi yang monopolistik ternyata justru telah berdampak pada
kemampuan nasional yang tidak menggembirakan. Hal ini ditandai dengan
semakin menurunnya produksi minyak dan gas bumi yang dihasilkan oleh
Perusahaan Negara. Kemampuan perusahaan minyak swasta nasional juga
praktis tidak berkembang secara berarti meskipun ada diantara perusahaan
minyak swasta nasional yang dapat dibanggakan baik ditingkat negara
sendiri maupun ditingkat internasional.
Di dalam keterpurukan krisis ekonomi dan moneter, juga diperoleh
kenyataan bahwa peranan migas di dalam menunjang kebangkitan
perekonomian nasional tidak lagi menjadi sektor andalan apabila
dibandingkan dengan sumbangan sektor non migas yang meningkat pesat
sebagai buah dari adanya deregulasi pasar. Pendekatan yang sama
seharusnya juga dilakukan pada sektor migas melalui perubahan peraturan
perundang-undangan yang telah berumur kurang lebih 40 (empat puluh)
tahun.
Pemerintah menjelaskan bahwa proses penyusunan RUU tentang
Minyak dan Gas Bumi telah dimulai oleh Pemerintah sejak Juli 1994 dengan
dibentuknya Tim antar departemen termasuk BUMN terkait (Pertamina dan
PGN). Penyusunan dan pembahasan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi
telah melibatkan juga lembaga non pemerintah dan mengalami proses
diskusi guna mendapatkan masukan, perbaikan dan saran penyempurnaan
maupun kritikan dari berbagai organisasi profesi di bidang minyak dan gas
bumi, lembaga swadaya masyarakat, para pakar, akademisi dan pelaku
usaha yang berkaitan langsung dengan dunia perminyakan.
Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi kami pandang sebagai instrumen hukum yang sangat penting di
dalam dunia usaha yang mampu memberikan jaminan kepastian hukum
untuk berusaha dan sekaligus mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945
107
yaitu adanya kemakmuran rakyat yang merata.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang minyak
dan gas bumi melalui pengajuan Undang-undang tentang Minyak dan Gas
Bumi pada saat itu dirasakan semakin mendesak mengingat pembaruan
atau pembangunan hukum di sektor lain telah sampai pada tahapan
implementasi seperti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apabila undang-undang di bidang minyak
dan gas bumi tidak diubah atau disempurnakan niscaya akan menimbulkan
berbagai benturan dikarenakan secara substansi materi terdapat perbedaan
yang pada tataran implementasi tidak mungkin dilaksanakan secara
bersamaan.
Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap
mengacu kepada tujuan dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana
yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara, demikian pula bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Disamping itu, hal
tersebut dilakukan dalam kerangka upaya untuk membangun perekonomian
nasional yang diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomli dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
ekonomi nasional.
Dalam perkembangan selama kurun waktu 4 (empat) dasawarsa
ternyata tujuan dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana yang
diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut yang diterjemahkan melalui
108
Undang-undang No. 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang No. 8 Tahun
1971 dirasakan belum sepenuhnya dapat diwujudkan.
Berbagai kelemahan dan kendala tercermin secara jelas dalam
substansi materi kedua perangkat peraturan perundang-undangan tersebut
di atas terutama apabila dikaitkan dengan perkembangan sekarang maupun
tantangan di masa depan, antara lain disebabkan:
1. Ruang lingkup pengaturannya lebih terfokus pada kegiatan dalam negeri
sehingga kurang memberikan dorongan berusaha di luar negeri.
2. Mempunyai sifat usaha yang monopolistis (hanya Perusahaan
Negara/BUMN) dan sarat misi sosial (penugasan Pemerintah).
3. Tidak mendukung kemandirian, pemupukan dana, dan kemampuan
bersaing dalam era keterbukaan.
4. Terdapat ketentuan khusus (perpajakan dan kepabeanan) yang sering
menimbulkan kesulitan dalam penerapannya.
Di samping kelemahan dan kendala tersebut di atas, perangkat
perundang-undangan yang ada juga mempunyai kerancuan/tumpang tindih
antara pengaturan sektor dan pengaturan perusahaan yang mengakibatkan
tugas Pemerintah dan tugas perusahaan menjadi tidak jelas. Peran
perusahaan terhadap pengaturan sektor sangat besar dan sebaliknya peran
Pemerintah terhadap pengaturan operasional perusahaan juga cukup besar,
meskipun Pemerintah selama ini telah melakukan upaya dan langkah-
langkah kebijaksanaan baik melalui deregulasi maupun debirokratisasi,
namun disadari bahwa untuk mewujudkan kondisi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat tidak cukup dicapai dengan kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, dalam undang-undang ini telah dimuat ketentuan-ketentuan
yang diyakini dapat menghilangkan kelemahan dan kendala dimasa lalu
serta dipisahkannya secara jelas apa yang menjadi tugas Pemerintah dan
apa yang menjadi tugas perusahaan.
109
Ruang lingkup, maksud dan tujuan secara lebih menyeluruh filosoifi dan
konsepsi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi sebagai pengganti kedua undang-undang tersebut di atas adalah
sebagai berikut:
1. Minyak dan gas bumi sebagai sumber kekayaan alam yang terkandung
dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia dikuasai negara dan
diselenggarakan oleh Pernerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertarnbangan. Sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945,
Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh Pemerintah dengan maksud
agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara, dan menggunakan
kekayaan nasional tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selanjutnya pemerintah membentuk badan pelaksana.
2. Menghilangkan usaha bersifat monopoli baik disektor hulu maupun hilir.
Dalam bidang usaha hulu yang terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi
yang merupakan kegiatan berkaitan dengan pengurusan kekayaan alam
berupa bahan galian minyak dan gas bumi, pihak swasta hanya dapat
melakukan kegiatan secara tidak langsung sebagai kontraktor melalui
kerja sama dengan Badan Pelaksana.
Sedangkan dibidang usaha hilir yang terdiri dari usaha pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, dan niaga, dapat dilaksanakan oleh
perusahaan berdasarkan izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Khusus untuk bidang pengangkutan dan niaga gas bumi melalui pipa
diberlakukan pengaturan prinsip usaha terpisah (unbundling) untuk
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen baik dalam
segi harga maupun kualitas. Selanjutnya untak mengawasi kegiatan
sektor hilir tersebut Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan
dan Pendistribusian Bahan bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi
melalui Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas.
3. Menciptakan dan menjamin penerimaan Pusat dan penerimaan Daerah
yang lebih nyata dari hasil produksi, sehingga penerimaan negara dari
sektor minyak dan gas bumi dapat dinikmati secara langsung oleh rakyat
110
di daerah yang bersangkutan. Untuk maksud tersebut Perusahaan atau
Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan bagian negara, pungutan
negara, membayar bonus, pajak-pajak, pajak daerah dan retribusi
daerah, serta kewajiban kepabeanan yang berlaku.
Atas pungutan negara, bagian negara dan bonus diperuntukkan sebagai
penerimaan Pusat dan penerimaan Daerah.
4. Menumbuhkembangkan perusahaan nasional minyak dan gas bumi baik
di dalam maupun di luar negeri serta dapat mengakomodir
perkembangan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang akan datang.
Di samping memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap
pemanfaatan barang, jasa, dan kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri.
5. Memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai jaminan kelangsungan
atas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekaligus
pengaturan yang berkaitan dengan mekanisme subsidi BBM.
6. Menjamin penyediaan data yang cukup, tenaga kerja profesional,
peningkatan fungsi penelitian dan pengembangan serta menggiatkan
investasi melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif.
7. Terdapatnya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah kerja oleh
Pemerintah yang akan diusahakan oleh Perusahaan atau Bentuk Usaha
Tetap. Selanjutnya dalam rangka penyediaan lahan guna menunjang
penetapan Wilayah Kerja tersebut, Pemerintah dapat melaksanakan
Survei Umum sebagai upaya meningkatkan nilai lahan yang ditawarkan
kepada para peminat.
8. Adanya jaminan kepastian hukum, yang lebih mantap (pengaturan yang
sederhana, tegas, dan konsisten) serta menghilangkan campur tangan
Pemerintah yang terlalu besar, sehingga iklim usaha diharapkan dapat
lebih sehat dan kompetitif. Untuk itu Pemerintah dalam waktu secepat-
cepatnya akan menyelesaikan peraturan pelaksanaan dari Undang-
undang ini.
9. Terwujudnya antisipasi pencegahan dan penanggulangan meningkatnya
tindak pidana , dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi baik secara
111
kuantitas maupun kualitas melalui pengangkatan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS).
Secara umum Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi memuat 8 (delapan) bagian pengaturan yang terdiri dari:
1. Pola penguasaan dan pengaturan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
2. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hulu;
3. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hilir;
4. Pola pengaturan usaha pengangkutan dan niaga minyak dan gas bumi;
5. Pengaturan penerimaan negara;
6. Hubungan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah;
7. Status hukum Pertamina; dan
8. Pembinaan dan pengawasan.
Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi kami pandang sebagai instrumen hukum yang sangat
penting di dalam dunia usaha yang mampu memberikan jaminan
kepastian hukum untuk berusaha dan sekaligus mewujudkan amanat
Pasal 33 UUD 1945 yaitu adanya kemakmuran rakyat yang merata.
II. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Dalam surat permohonan disebutkan beberapa pemohon, yakni:
1. APHI (Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia);
2. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia);
3. Yayasan 324;
4. Serikat Pekerja KEP-FSPSI Pertamina;
5. Dr. In Pandji R. Hadinoto, PE,MH.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
112
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;atau
d. lembaga negara.
Jika para Pemohon yang mengatasnamakan sebagai badan hukum privat,
kecuali Pemohon angka 5, maka perlu dipertanyakan apakah badan hukum
tersebut sudah terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Jika para pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi a quo, maka perlu dipertanyakan siapa yang sebenarnya
dirugikan ? Apakah badan hukum privatnya, pengurusnya, atau anggota dari
badan hukum privat tersebut yang dirugikan? Selain itu, hak-hak
konstitusional yang mana yang dirugikan karena pemohon tidak
menjelaskan hak dan/atau kewenangan konstitusional siapa yang dirugikan
? Pertanyaan ini berlaku pula bagi pemohon perorangan di atas.
Pemerintah meminta para pemohon untuk membuktikan dengan sah
kerugian yang diaiami oleh kelima pemohon.
Mohon kiranya dapat dijelaskan kepada pemohon bahwa keempat pemohon
sebagai yang mewakili badan hukum privat dan satu pemohon perorangan
dapat dianggap bukan sebagai yang mewakili masyarakat secara
keseluruhan karena Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi diperuntukkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, para pemohon di atas tidak relevan untuk mewakili
masyarakat dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
III. Keterangan Pemerintah atas Argumen Hukum Pemohon Mengenai Hak Konstitusional Pemohon yang Dirugikan dengan Berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi
113
1. Pemerintah tidak sependapat dengan argumen Pemohon yang
menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip
prosedur penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang. Fakta
yang terjadi adalah bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 telah
disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan telah mendapat persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden
(lihat Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2) huruf a
dan ayat (5) Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD jo. Keputusan DPR RI No.03A/DPR
RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI.
2. Mengenai argumen Pemohon yang menyatakan bahwa sejak awal
adanya RUU tentang Minyak dan Gas Bumi telah mendapat tantangan
dari masyarakat karena tidak saja telah bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945 tetapi juga dapat merugikan perekonomian Indonesia,
Pemerintah berpendapat bahwa argumen tersebut harus ditolak karena
tidak ada relevansinya dengan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi.
Di samping itu, Pemerintah berpendapat bahwa opini-opini yang tidak
setuju terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi lebih merupakan
sebagai wacana yang lazim dijumpai dalam masyarakat demokratis.
Pemohon hanya mengutip dan mengemukakan opini-opini yang tidak
setuju saja. Sementara itu opini-opini lain (mayoritas) yang setuju
dengan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana tercermin
dalam proses pembahasan RUU tersebut di DPR dan forum-forum
akademis di Universitas, sama sekali tidak dikutip oleh Pemohon. Opini
masyarakat terhadap RUU tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk
menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
3. Berkenaan dengan permohonan Pemohon mengenai pengujian materil
atas seluruh pasal Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Pemerintah
berpendapat bahwa permohonan Pemohon tersebut obscuur libel karena
tidak memenuhi persyaratan dan bahkan bertentangan dengan Pasal 51
114
ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak
berdasar dan karenanya harus ditolak.
4. Untuk lebih melengkapi keterangan kami di atas, kaitannya dengan
pendapat Pemohon yang secara keseluruhan bersifat obscuur libel,
dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:
1) Penyusunan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tetap dilandasi
dan mengacu kepada filosofi dasar sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yaitu cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara; bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penyusunan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 diperlukan agar filosofi dasar tersebut
dapat senantiasa teraktualisasikan mengingat adanya berbagai
perubahan lingkungan strategis yang terjadi pada berbagai aspek
seperti perdagangan bebas, anti monopoli, lingkungan hidup, hak
azasi manusia, demokratisasi dan reformasi, sehingga
mempengaruhi atau melemahkan penerapan/pelaksanaan Undang-
undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971.
Keberadaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah
dimaksudkan untuk mengantisipasi tuntutan perubahan yang ada
sehingga kemampuan nasional dapat disejajarkan atau dapat
bersaing dengan pihak asing, sehingga diharapkan kemampuan
nasional senantiasa dapat tetap menjadi tuan di negeri sendiri.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 telah menjawab tantangan
adanya berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungan strategis
dan telah memberikan landasan berpijak bagi terciptanya kegiatan
usaha minyak dan gas bumi yang berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
115
keseimbangan kemajum dan kesatuan ekonomi nasional, sesuai
tuntutan perkembangan yang ada.
Berbagai pengaturan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
yang menjawab tantangan perubahan dengan tetap
mengaktualisasikan filosofi dasar Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) adalah sebagai berikut:
a. Pasal 4 ayat (1), Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya
alam strategis merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara;
b. Pasal 4 ayat (2), Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh
Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
c. Pasal 4 ayat (3), Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan
pengendalian dan pengawasan Kegiatan Usaha Hulu.
d. Pasa16 ayat (2), Kontrak Kerja Sama memuat persyaratan:
(1) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah
sampai pada titik penyerahan.
(2) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan
Pelaksana.
(3) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap.
e. Pasa18 ayat (1), Pemerintah memberikan prioritas untuk
pemanfaatan gas bumi dan menyediakan cadangan strategis
minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
f. Pasal 8 ayat (2), Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan
kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital
dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah
NKRI.
g. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), memberikan kesempatan yang
sama kepada BUMN, BUMD, Koperasi/UKM dan badan usaha
swasta untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu dan hilir namun
116
membatasi Bentuk Usaha Tetap hanya untuk kegiatan usaha hulu
saja.
h. Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Menteri menetapkan dan
menawarkan Wilayah Kerja serta menetapkan Badan Usaha dan
Bentuk Usaha Tetap sebagai kontraktor.
i. Pasal 20 ayat (1), data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau
kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi milik negara dan dikuasai
Pemerintah.
j. Pasal 21 ayat (1), sebagai wujud penguasaan oleh pemerintah,
maka setiap pengembangan lapangan pertama wajib mendapat
persetujuan Menteri.
k. Pasal 22 ayat (1), adanya kewajiban untuk memenuhi Minyak dan
Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
l. Pasal 38, Pembinaan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi dilakukan oleh Pemerintah.
m. Pasal 41 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah melakukan
pengawasan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi atas
ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Alasan Pemohon bahwa Undang-undang No. 22 Tahun 2001
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang didasarkan pada
fakta sejarah adalah tidak tepat, mengingat bahwa dari segi filosofis
dan sosiologis pada saat itu sangat berbeda dengan tuntutan dan
tantangan kondisi saat ini. Namun demikian filosofi dasar yang
merupakan landasan perjuangan tersebut tetap dipertahankan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (4).
3) Selanjutnya mengenai pengertian "dikuasai negara" sebagaimana
dikemukakan pemohon dalam angka 3 butir 1 huruf c, butir 2 huruf a,
huruf b, dan huruf c, dan butir 4, tidak tepat mengingat menurut
pendapat Soepomo sendiri pengertian dikuasai negara adalah
"...termasuk pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan
terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi...".
117
Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 terjemahan dikuasai
negara adalah penyelenggaraan kegiatan usaha migas terdiri dari
kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, pembinaan,
pengawasan, dan pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan
badan-badan yang dibentuk oleh Pemerintah (eksekutif) dan DPR-RI
(legislatif) sebagai representatif dari negara. Pada kegiatan usaha
Hulu, migas sebagai bahan galian strategis dikuasai negara (mineral
right), diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan (mining right) dan sebagai pelaksanaannya dibentuk
Badan Pelaksana (BPMIGAS) yang merupakan badan hukum milik
negara yang pimpinaimya (Kepala BPMIGAS) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR-RI.
Pada kegiatan usaha hilir Pemerintah membentuk BPH Migas
sebagai lembaga pemerintah yang independen yang melakukan
pengaturan dan pengawasan atas pelaksanaan penyediaan dan
pendistribusian BBM dan pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang
pimpinannya (Komite BPH Migas) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden setelah mendapat persetujuan DPR-RI.
4) Mengenai "kuasa pertambangan" dan "dikuasai negara"
sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam angka 3 butir 3 dan butir
5, pada dasarnya Pemohon menyampaikan substansi yang sama,
oleh karenanya dapat kami sampaikan keterangan bahwa interpretasi
Pemohon mengenai pengertian "dikuasai negara" dengan menunjuk
Pasal 1 angka 5 dan Pasal 4 ayat (2) serta Pasal 12 ayat (3) dan
Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah
sangat tidak tepat karena pasal-pasal tersebut di atas justru
merupakan implementasi dari pengertian "dikuasai negara" dalam
pengaturan pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dapat kami sampaikan pula pada kegiatan usaha hulu ketentuan
"dikuasai negara" pada sumber daya alam dapat diartikan sebagai
118
pemilikan oleh negara sampai dengan saat terjadinya penyerahan
hak kepada perusahaan/badan usaha.
Sedangkan "mining right" yaitu hak pengelolaan/Kuasa
Pertambangan tetap dipegang Pemerintah atas nama negara.
Kepada perusahaan hanya diberikan hak keekonomian (economic
interest) yang tentunya masih harus dibagi dengan Pemerintah.
Konsepsi Pemohon mengenai pengertian "dikuasai negara" yang
masih didasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960
dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang bersifat monopolistik
sudah tidak sesuai lagi.
Pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2
(dua) tahun terakhir hanya terdapat 1 (satu) kontrak kerjasama yang
ditandatangani adalah sangat tidak benar. Pada kenyataannya
setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Btuni sampai dengan akhir tahun 2003 telah
disetujui sebanyak 17 (tujuh belas) kontrak kerjasama (KPS) di
bidang minyak dan gas bumi.
Penilaian liberalisasi yang dikemukakan oleh Pemohon terhadap
kegiatan usaha hilir adalah tidak tepat, mengingat dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk kegiatan usaha hilir masih ada
campur tangan Pemerintah yang pelaksanaannya diatur serta
diawasi oleh Pemerintah dan BPH Migas yang dijabarkan lebih lanjut
dalam Peratuan Pemerintah.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 pemrosesan gas bumi
menjadi LNG dimungkinkan pada kegiatan usaha hulu atau kegiatan
usaha hilir. LNG pada kegiatan usaha hulu mengikuti aturan-aturan
kontrak pada kegiatan hulu yang masih menganut pada pola cost
center melalui cost recovery (merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kegiatan usaha hulu). Sedangkan LNG pada
kegiatan usaha hilir mengikuti aturan kegiatan usaha hilir melalui izin
usaha dan dapat memberikan laba pada Badan Usaha serta
119
pendapatan negara berupa pajak, yang merupakan pola profit center
dengan semua pembiayaannya ditanggung oleh Badan Usaha.
Harga LNG pada kegiatan usaha hulu ditetapkan oleh Pemerintah
berdasarkan kesepakatan penjual dan pembeli, harga pasar dan
keuntungan yang maksimal bagi negara.
Sedangkan Harga LNG pada kegiatan usaha hilir ditetapkan
berdasarkan mekanisme pasar.
Baik pada kegiatan usaha hulu maupun kegiatan usaha hilir LNG,
Pemerintah tetap memperoleh pendapatan dari Bagian Negara dan
pajak-pajak. Dengan demikian penilaian Pemohon terhadap adanya
pengalihan sebagian pendapatan negara menjadi laba pengusaha
swasta dan asing adalah tidak benar.
5) Mengenai kewenangan penjualan minyak dan gas bumi bagian
Pemerintah sebagaimana dikemukakan Pemohon pada angka 3 butir
6, dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002
BPMIGAS mempunyai tugas menunjuk penjual Minyak Bumi
dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Selanjutnya BPMIGAS
mengeluarkan surat penunjukan.
Sesuai dengan Surat Penunjukan dari BPMIGAS, KPS yang ditunjuk
sebagai Penjual Bagian Negara wajib untuk berkonsultasi dan
meminta persetujuan BPMIGAS terlebih dulu atas syarat-syarat yang
akan disepakati dalam kontrak penjualan dengan pembeli gas.
Berkaitan dengan Penerbitan Standby Letter of Credit oleh pembeli
untuk menjamin pembayaran telah disyaratkan sejak dimulainya
penjualan gas ke pasar domestik dimana Pertamina bertindak
sebagai penjual.
Persyaratan untuk adanya jaminan pembayaran (dalam bentuk
Standby Letter of Credit) bukan merupakan hal diluar kebiasaan
perdagangan pada umumnya yang berkaitan dengan "credit rating"
dari pembeli yang bersangkutan.
120
BPMIGAS adalah Badan Hukum Milik Negara yang merupakan "legal
person". Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa aset negara dapat
disita jika terjadi sengketa dalam Kontrak Kerja Sama adalah tidak
berdasar.
Mengingat keberadaan BPMIGAS merupakan pengganti fungsi MPS
Pertamina maka pada dasarnya bukan merupakan penambahan
mata rantai karena BPMIGAS merupakan pihak dalam Kontrak Kerja
Sama yang bersangkutan. Keterlibatan BPMIGAS dalam Kontrak
Kerja Sama adalah dalam rangka pengendalian dan pengawasan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal
44 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.
Sedangkan keterlibatan BPMIGAS dalam pemasaran/perundingan
penjualan gas/LNG tidak berarti bahwa BPMIGAS menjadi "business
player" tetapi bertujuan untuk melakukan fungsi pengawasan agar
dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara
(BPMIGAS bersifat nirlaba).
Berkaitan dengan Kontrak Kerja Sama yang akan berakhir mengingat
BPMIGAS bukan merupakan suatu badan usaha yang tidak
memegang kuasa pertambangan dan melakukan kegiatan usaha
hulu, maka terhadap suatu wilayah kerja yang akan dikembalikan
kepada Pemerintah, maka terhadap suatu Wilayah Kerja yang akan
dikembalikan maka proses pengembalian tersebut kembali kepada
pemegang Kuasa Pertambangan yaitu Pemerintah. Terhadap
Wilayah Kerja yang telah habis masa Kontrak Kerja Samanya,
Pemerintah dapat menunjuk BUMN atau perusahaan nasional
lainnya untuk meneruskan operasi di wilayah dimaksud.
6) Berkaitan dengan "potensi disintegrasi" sebagaimana dikemukakan
Pemohon pada angka 3 butir 7, dapat kami sampaikan bahwa
penilaian Pemohon tidak logis dan berlebihan.
Kebijakan pembukaan pasar di sektor hilir, tidak selalu berdampak
pada kenaikan harga apabila pengaturan dan pengawasan dilakukan
121
secara benar. Dalam hal penentuan harga pasar, Pemerintah masih
dapat melakukan pengendalian harga antara lain melalui kebijakan
fiskal, insentif.
Di lain pihak, untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang mungkin
terjadi, Pemerintah mempunyai tanggung jawab sosial terhadap
golongan masyarakat/ konsumen tertentu sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.
Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pembukaan pasar,
Pemerintah telah mempertimbangkan dampak sosial yang mungkin
terjadi melalui kebijakan pembukaan pasar secara bertahap, dengan
tetap memperhatikan kondisi masing-masing daerah. Disamping itu
BPH Migas mempunyai kewenangan mengatur pendistribusian BBM
yang menjadi kewajiban Badan Usaha sampai ke daerah terpencil di
wilayah NKRI dan memberikan sanksi terhadap Badan Usaha yang
tidak memenuhi kewajibannya.
7) Mengenai penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 dapat membuka peluang penjualan dan degradasi
BUMN sebagaimana dikemukakan Pemohon pada angka 3 butir 7,
dapat kami sampaikan bahwa penilaan tersebut tidak benar karena
salah satu tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi adalah dalam rangka mengembangkan BUMN
Migas menjadi world wide company, antara lain dengan memisahkan
fungsi Pemerintah (wasit) dan fungsi bisnis (pemain) yang selama ini
diperankan oleh BUMN Migas. Hal ini terbukti bahwa untuk lebih
mendukung pengembangan BUMN Migas Pemerintah telah
memberikan privelege kepada BUMN Migas seperti:
- pembagian hasil 60 : 40 sudah termasuk pajak-pajak, pungutan-
pungutan dan iuran lainnya.
- untuk daerah-daerah yang low risk dapat diberikan langsung
kepada BUMN Migas melalui penawaran langsung.
122
- BUMN Migas dapat ditunjuk langsung sebagai penjual Minyak dan
Gas Bumi bagian negara.
- Penguasaan aset-aset kegiatan usaha hilir yang saat ini ada
melalui penyertaan modal negara (PMN).
Adapun retensi fee sebesar 5% dari penerimaan kegiatan usaha
hulu tidak terkait dengan adanya tugas Pertamina dalam rangka
penyediaan dan pelayanan BBM seluruh Indonesia. Retensi fee
yang diperoleh Pertamina sebesar 5% merupakan fee atas
manajemen yang dilakukan Pertamina dalam rangka pelaksanaan
KPS. Sedangkan tugas Pertamina dalam rangka penyediaan dan
pendistribusian BBM keseluruh NKRI semua cost yang
dikeluarkan oleh Pertamina diganti oleh Pemerintah dan
Pertamina mendapatkan fee atas tugas tersebut (nirlaba) dan
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 penugasan
Pertamina dalam penyedian dan pendistribusian BBM ke NKRI
hanya sampai pada masa transisi sampai dengan mekanisme
pasar terbentuk, selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah
yang akan dilaksanakan oleh BPH Migas.
Dengan kondisi tersebut di atas BUMN Migas akan lebih leluasa
melakukan bisnisnya secara profesional dan mampu bersaing
dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengacu pada prinsip
profit making, sedangkan tugas-tugas sosial menjadi tanggung
jawab Pemerintah.
8) Sehubungan dengan pendapat Pemohon bahwa Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 dapat melemahkan daya saing industri LNG
nasional sebagaimana dikemukakan pada angka 3 butir 9, dapat
kami kemukakan bahwa justru Undang-undang No. 22 Tahun 2001
sangat memperhatikan dasar-dasar demokrasi ekonomi
sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Untuk menjamin keadilan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam
UUD 1945, Pasal 9 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
123
menetapkan bahwa kegiatan usaha migas (termasuk niaga LNG)
dapat dilaksanakan tidak hanya oleh BUMN. Penunjukan kepada
hanya suatu perusahaan tertentu untuk melaksanakan niaga LNG
Indonesia dapat menimbulkan conflict of interest khususnya apabila
perusahaan tersebut juga sebagai penjual LNG yang tentunya lebih
mengutamakan penjualan LNG dari kegiatannya sendiri. Disamping
itu dalam pasar LNG telah terjadi pergeseran dari "seller's market" ke
"buyer's market" dimana dalam penjualan LNG harus lebih
memperhatikan keinginan pembeli/pasar yang mungkin menghendaki
perusahaan tertentu sebagai partnernya. Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 pada dasarnya justru mendukung dan mengembangkan
industri migas yang efisien, modern dan mempunyai daya saing, tidak
hanya di tingkat nasional tetapi juga mampu bersaing ditingkat
Internasional, antara lain melalui pemberian kesempatan kepada
semua Badan Usaha yang memiliki kemampuan dana dan teknologi
untuk melakukan niaga LNG.
Pernyataan Pemohon mengenai satu-satunya BUMN yang mengelola
migas tidak benar, karena selama ini disamping Pertamina terdapat
BUMN lain (PGN) yang juga bergerak dibidang transportasi dan
distribusi gas bumi.
9) Mengenai penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara
sebesar 69 trilyun rupiah per tahun sebagaimana dikemukakan
Pemohon pada angka 3 butir 10, dengan ini kami sampaikan bahwa
penilaian tersebut sangat prematur, asumtif, dan tidak mempunyai
dasar perhitungan yang akurat karena tidak semua jenis BBM
diimpor. Dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Badan
Usaha 'selain Pertamina dapat ikut serta untuk penyediaan dan
pendistribusian BBM di dalam negeri sehingga tercipta harga BBM
dalam negeri melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat, dan transparan.
124
Sebagai konsekuensi dibukanya pasar BBM, maka secara bisnis
pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan, namun dilain pihak
Pemerintah akan mendapatkan penerimaan pajak dan penghapusan
beban subsidi BBM.
Kenyataan yang ada, dengan harga BBM mengikuti harga pasar
secara bertahap berdampak pada pengurangan subsidi BBM yang
selama ini menjadi beban bagi APBN dan juga diperoleh penerimaan
negara dari pajak-pajak.
Namun demikian pada dasarnya subsidi tetap diberikan oleh
Pemerintah melalui subsidi kepada BBM jenis-jenis tertentu, terutama
minyak tanah untuk keperluan rumah tangga dan usaha kecil
diberikan subsidi relatif lebih besar. Disamping itu subsidi harga BBM
dialihkan secara langsung kepada sektor-sektor (BULOG, Kesehatan,
Pendidikan, Sosial, Koperasi dan Usaha Kecil, Keagamaan,
Perhubungan, Kimpraswil, Kelautan Kelautan dan Perikanan,
Nakertrans, BKKBN, dan Dep. Dalam Negeri untuk monitoring dan
evaluasi penyaluran dana Program Dana Kompensasi Subsidi BBM)
melalui Program Dana Kompensasi Subsidi BBM.
10) Berkaitan dengan penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 dapat mengakibatkan kepentingan industri dalam
negeri dikalahkan oleh kepentingan asing dalam mendapatkan gas
alam, dapat kami sampaikan bahwa penilaian tersebut tidak benar.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 8 ayat (1) justru
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk memberikan
prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam
negeri yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 22 yang mewajibkan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk menyerahkan
maksimum 25% bagiannya dari hasil produksi Gas Bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap tidak dapat secara bebas menjual Gas
Bumi tanpa persetujuan Pemerintah.
125
11) Mengenai pendapat "terancamnya aset milik negara yang ada di
KPS" sebagaimana dikemukakan oleh Pemohon pada angka 3 butir
12, dapat kami kemukakan bahwa pendapat tersebut tidak benar.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 dan
peraturan pelaksanaannya mengenai kepemilikan, pengelolaan dan
pemanfaatan aset milik negara dalam kegiatan usaha migas justru
lebih jelas status dan pengaturannya. Khususnya mengenai aset milik
negara yang ada di KPS dimana pengelolaannya oleh BPMIGAS dan
setelah berakhirnya Kontrak Kerja Sama pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah. Hal ini jelas lebih mengamankan dan memudahkan
pemanfaatan atas aset negara tersebut mengingat pengaturan
mengenai pengelolaan aset negara telah secara tegas diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat
dihindari penguasaan atas aset negara oleh orang atau pihak yang
tidak bertanggung jawab. Sedangkan pengelolaan aset negara oleh
suatu BUMN justru akan menimbulkan kerancuan dan pada
gilirannya akan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab.
12) Mengenai penilaian "beroperasinya Badan Pelaksana Migas
menyebabkan pengurangan perolehan negara" sebagaimana
dikemukakan oleh Pemohon pada angka 3 butir 13, dapat kami
sampaikan bahwa biaya pengelolaan sektor hulu minyak dan gas
bumi yang dikeluarkan oleh BPMIGAS sebenarnya lebih rendah dari
biaya Pertamina untuk melakukan kegiatan serupa. Berdasarkan
Undang-undang No. 8 Tahun 1971, pembiayaan Pertamina untuk
pengelolaan sektor hulu yang dilakukan oleh Direktorat MPS berasal
dari retensi yang besarnya ekuivalen dengan 2% dari Net Operating
Income (NOI) yang besarnya setiap tahun kurang lebih 2 s/d 3 triliun
rupiah (sebelum pajak 5%). Disamping itu banyak pos-pos
pembiayaan Direktorat MPS yang dibebankan pada anggaran
126
Pertamina Korporat yang sulit dihitung dan dipisahkan secara
proporsional yang jumlahnya cukup signifikan seperti benefit
kesehatan, pesangon, fasilitas telepon, dan lain-lain.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Pasal 6,
BPMIGAS memperoleh sumber pembiayaan berupa imbalan atas
pelaksanaan fungsi dan tugasnya yang besarnya maksimum hanya 1
% dari penerimaan negara dari setiap kegiatan usaha hulu (1 % dari
Penerimaan Negara) yang nilainya kurang lebih hanya 400 miliar
rupiah. Oleh karena itu, tuduhan bahwa biaya BPMIGAS lebih tinggi
dari biaya Pertamina lewat Direktorat Management Production
Sharing adalah absurd dan tidak berdasar.
Berkurangnya penerimaan negara hanya akan terjadi jika penjual
yang ditunjuk menuntut adanya `fee" atau imbalan. Sebagai contoh
bahwa pada saat ini Pertamina meminta imbalan/kompensasi:
- untuk minyak mentah sebesar 2,72% dari harga dalam US$ per
barrel;
- gas alam dan LNG sebesar 8,40% dari harga dalam US$ per
mscf.
Nilai kompensasi untuk minyak mentah, gas, dan LNG adalah nilai
persentase tersebut dikalikan nilai minyak mentah yang di ekspor
maupun yang dikirim ke kilang Pertamina atau nilai gas yang dijual
atau diolah di kilang LNG.
Berdasarkan perhitungan tersebut diperkirakan pada masa
mendatang sebagai contoh gross revenue dari penjualan LNG
Tangguh kira-kira US $ 700 juta dengan fee yang harus dibayarkan
kepada Pertamina US $ 56 juta per tahun, sedangkan untuk LNG
Badak/Arun kira-kira US $ 6,025 miliar dan fee nya adalah kira-kira
US $ 506 juta per tahun.
Apabila kontraktor KPS yang ditunjuk sebagai penjual, Pemerintah
tidak perlu membayar kompensasi/fee sehingga jumlah uang seperti
contoh tersebut di atas menjadi penerimaan negara.
127
13) Terhadap penilaian Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 dapat memicu timbulnya salah pemahaman diantara
lembaga-lembaga terkait sebagaimana dikemukakan pada angka 3
butir 14, dapat kami sampaikan bahwa penilaian tersebut tidak benar.
Keterlibatan BPMIGAS dalam pemasaran/perundingan penjualan
gas/LNG tidak berarti bahwa BPMIGAS menjadi "business player".
Keterlibatan tersebut bertujuan agar negara (bukan BPMIGAS sendiri
yang nirlaba) mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari gas/LNG
yang dimilikinya.
Keterlibatan tersebut juga tidak bisa dihindari mengingat bahwa
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,
BPMIGAS adalah pihak dalam Kontrak Kerja Sama. Kontrak-kontrak
penjualan gas/LNG adalah kontrak-kontrak yang secara erat
dikaitkan dengan Kontrak Kerja Sama dari mana gas/LNG tersebut
diproduksi. Besarnya cadangan-cadangan yang diproduksikan
berdasarkan Kontrak Kerja Samalah yang memberikan "security"
bagi pembeli sehubungan dengan kemampuan penjual untuk
memasok gas/LNG sebagaimana akan diperjanjikan dalam kontrak
penjualan.
Pembeli LNG di Jepang saat ini justru mempertanyakan peran
Pertamina sebagai penjual mengingat bahwa Pertamina bukan lagi
merupakan pihak dari Kontrak Kerja Sama yang bersangkutan.
Pembeli justru menuntut keterlibatan secara aktif dari BPMIGAS (dan
KPS yang bersangkutan) sebagai pihak-pihak dalam Kontrak Kerja
Sama.
Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Hulu dan Pedoman
tentang Tugas Pokok dan Fungsi yang saat ini sedang digodok oleh
Pemerintah akan menjernihkan "overlapping responsibilities" antara
instansi terkait dan menghilangkan "confussion" yang disinyalir oleh
Fereidun Fesharaki.
128
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 sendiri sebenarnya telah
menentukan secara garis besar apa yang menjadi tugas dan fungsi
dari instansi-instansi terkait.
Adapun "politicization of the process" yang dikatakan oleh Fereidun
Fesharaki justru dilakukan oleh pihak-pihak yang karena adanya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 telah kehilangan wewenang
yang dulu diberikan kepada mereka.
14) Mengenai pendapat Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 menyebabkan negara membayar negara sebagaimana
dikemukakan pada angka 3 butir 15, dapat kami kemukakan bahwa
pada dasarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 memberikan
perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha (Badan Usaha
dan Bentuk Usaha Tetap). Permasalahan yang dikemukakan oleh
pemohon dalam pembayaran "signature bonus" dari BUMN kepada
negara diartikan sebagai "Negara membayar Negara" adalah sangat
tidak tepat karena secara hukum kekayaan, BUMN terpisah dari
kekayaan negara. Pembayaran "signature bonus" pada dasarnya
seperti halnya pembayaran pajak, sehingga tidak dapat dikatakan
sebagai negara membayar negara.
15) Sehubungan dengan pendapat Pemohon bahwa perubahan status
Pertamina dari pelaksana kuasa pertambangan menjadi hanya
sebatas PT. Persero akan mengakibatkan munculnya tuntutan dari
pihak lain yang dapat mengakibatkan berkurangnya pendapatan
negara dari sektor LNG sebagaimana dikemukakan pada angka 3
butir 16, dapat kami kemukakan bahwa pendapat tersebut tidak
benar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
dan perubahan Pertamina menjadi PT. Persero secara hukum tidak
membatalkan agreement yang telah di tandatangani bersama,
bahkan dalam Pasal 63 huruf d Ketentuan Peralihan Undang-undang
tersebut menjamin bahwa semua agreement yang telah
129
ditandatangani tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya
berakhir sehingga kekhawatiran adanya tuntutan para pihak terhadap
agreement tersebut tidak beralasan mengingat bahwa hak dan
kewajiban para pihak dalam agreement tetap akan dipenuhi
/dilaksanakan.
16) Mengenai pendapat Pemohon bahwa BPH Migas akan menambah
mata rantai pemenuhan BBM masyarakat sebagaimana dikemukakan
pada angka 3 butir 17, dapat kami sampaikan bahwa pendapat
tersebut tidak benar karena pembentukan BPH Migas justru untuk
memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) yaitu
sebagai wujud penguasaan negara atas Kegiatan Uasaha Hilir
adalah melalui pengaturm jalur distribusi BBM dan Gas bumi.
Disamping hal tersebut, Pasal 8 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001 menetapkan:
(1) Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas
Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan
cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan
Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran
pendistribusian Bahan Bakar minyak yang merupakan komoditas
vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang
menyangkut kepentingan umum. Pengusahaannya diatur agar
pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
(4) Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPH Migas.
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, BPH Migas melaksanakan
wewenang yang diberikan oleh Pemerintah dalam rangka
130
mengatur dan mengawasi pelaksanaan penyediaan dan
pendistribusian BBM di seluruh NKRI dan pengangkutan gas bumi
melalui pipa agar pelaksanaannya dapat memenuhi kebutuhan
dan hajat hidup orang banyak.
Selanjutnya mengingat kegiatan usaha hilir tidak lagi bersifat
monopoli yang memungkinkan banyaknya pelaku usaha dan di
lain pihak perlu tetap dijaga mekanismenya agas sejalan dengan
Pasal 33 UUD 1945 maka dibentuk Badan yang independen untuk
mengatur dan mengawasi kegiatan usaha yang menyangkut hajat
hidup orang banyak yaitu BPH Migas.
17) Mengenai pendapat Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 akan menumpukkan kuasa negara pada tangan Menteri
ESDM sebagai pengawas, pembina, regulator, dan pelaku
sebagaimana dikemukakan pada angka 3 butir 18, dapat kami
sampaikan bahwa pendapat tersebut tidak benar. Penumpukan
Kuasa Negara kepada satu tangan yaitu Menteri ESDM tidak akan
pernah terjadi, mengingat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
2001 sudah sangat jelas mengenai pembagian tugas antara tugas
pembinaan dan pengawasan, regulator dan pelaku usaha.
Pemerintah/Menteri ESDM bertugas sebagai pembuat kebijakan-
kebijakan yang berkaitan dengan pengusahaan Minyak dan Gas
Bumi dan melakukan pembinaan dan pengawasan atas ditaatinya
peratuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.
Pada kegiatan usaha hulu, dalam rangka pelaksanaan BPMIGAS
melakukan penandatanganan kontrak kerja sama dan mengendalikan
serta mengawasi atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama itu sendiri,
disamping itu juga memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada
pemerintah dalam rangka penawaran wilayah kerja maupun
pengembangan lapangan yang pertama.
131
Pada kegiatan usaha hilir dibentuklah BPH Migas yang merupakan
badan independen dimana dalam menentukan kebijakan yang terkait
dengan tugas dan fungsinya yaitu penyediaan dan pendistribusian
BBM di seluruh wilayah NKRI tidak ada intervensi Pemerintah dalam
pengambilan keputusan tersebut sehingga BPH Migas akan
mengakomodasikan semua kepentingan stakeholder baik
Pemerintah, pengusaha, maupun konsumen. Sehingga dapat kami
tegaskan bahwa penilaian penumpukan Kuasa Negara pada Menteri
ESDM sangatlah tidak beralasan.
18) Terhadap pendapat Pemohon bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 mengandung ketidak pastian hukum dan merusak iklim
investasi sektor hulu migas sebagaimana dikemukakan pada angka 3
butir 19, dengan ini kami sampaikan bahwa pendapat tersebut tidak
benar.
Kewajiban bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk
membayar bea masuk, pungutan atas impor dan cukai,
pajak/restribusi daerah, iuran eksplorasi dan eksploitasi (Pasal 31
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001) sudah diberlakukan sejak
lama (Pasal 13, 14, dan 15 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971).
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 justru menjamin adanya
kepastian hukum mengingat bahwa Undang-undang ini memisahkan
antara fungsi regulasi (wasit) dan fungsi pelaksana (pemain)
sehingga dengan demikian kegiatan usaha minyak dan gas bumi
pasca Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 lebih menarik investor.
Terbukti bahwa sampai pada saat ini telah disetujui sejumlah 17
(tujuh belas) KPS.
Keputusan mengenai pengembangan lapangan yang pertama yang
akan diproduksikan dari suatu wilayah kerja merupakan keputusan
yang sangat strategis karena menentukan apakah suatu wilayah
kerja yang diberikan kepada perusahaan migas layak atau tidaknya
untuk dikembangkan/diproduksikan agar dapat memberikan
132
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara. Oleh karena itu,
keputusan tersebut harus ditetapkan oleh Pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan (dalam hal ini Menteri).
Konsultasi dengan Pemerintah Daerah terkait dimaksudkan untuk
mendapatkan kepastian hukum kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas agar dapat berjalan tanpa hambatan dan mendapat dukungan
dari daerah. Konsultasi dengan daerah bukan untuk mendapatkan
izin dari Pemerintah Daerah.
Ketentuan mengenai DMO gas bumi akan diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksanaan.
Sesuai ketentuan Pasl 63 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,
kontrak-kontrak lama tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
kontrak yang bersangkutan.
19) Mengenai pendapat Pemohon bahwa Indonesia memerlukan adanya
undang-undang energi nasional yang menjadi undang-undang
payung bagi pengembangan semua jenis energi termasuk
menyangkut migas sebagaimana dikemukakan pada angka 3 butir
20, dapat kami kemukakan bahwa pendapat tersebut bertentangan
dengan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1999 yang tidak mengenal
adanya undang-undang payung. Semua undang-undang secara
hukum mempunyai kedudukan yang setara sehingga tidak diperlukan
lagi undang-undang payung di bidang Energi.
IV. Keterangan Pemerintah atas Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi yang Dinyatakan Pemohon Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar 1945
Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon atas uraian
"kuasa pertambangan" dan "dikuasai negara" sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 5 dan Pasal 4 ayat (2) serta Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 23
ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 yang dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
133
1. Karena pasal-pasal tersebut di atas justru merupakan implementasi dari
pengertian "dikuasai negara" dalam pengaturan pembinaan dan
pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dapat kami sampaikan pula pada kegiatan usaha hulu ketentuan
"dikuasai negara" pada sumber daya alam dapat diartikan sebagai
pemilikan oleh negara sampai dengan saat terjadinya penyerahan hak
kepada perusahaan/badan usaha.
Sedangkan "mining right" yaitu hak pengelolaan/Kuasa Pertambangan
tetap dipegang Pemerintah atas nama negara. Kepada perusahaan
hanya diberikan hak keekonomian (economic interest) yang tentunya
masih harus dibagi dengan Pemerintah.
Konsepsi Pemohon mengenai pengertian "dikuasai negara" yang masih
didasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang bersifat monopolistik sudah
tidak sesuai lagi.
2. Walaupun Undang-undang ini lahir sebelum amandemen ke-empat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-undang ini telah berhasil merumuskan secara normatif
konstitusional intent yang tumbuh dalam kehidupan perekonomian
nasional. Ketika amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 berakhir, Konstitusional intent dari
perekonomian nasional belum seluruhnya tertampung dalam
amandemen tersebut, sehingga Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 masih berada dalam kelompok judul
Bab Kesejahteraan Rakyat. Bahwa setelah amandeman keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal
33 berada dalam Judul Bab yang menjadi Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Rakyat. Dengan demikian maka amandemen keempat
Undang-Undang Dasar Negara . Republik Indonesia Tahun 1945 telah
memuat konstitusional intent yang tumbuh dalam perekonomian nasional
khususnya mengenai pemberian kesempatan yang sama kepada setiap
Badan Usaha. Hal inilah yang menjadi dasar ketentuan di dalam
134
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 yang secara normatif berhasil
merumuskan konstitusional intent sehingga sejalan dengan rumusan
konstitusional dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
V. Kesimpulan
Berdasarkan Keterangan Pemerintah tersebut di atas dan setelah
mencermati dengan seksama isi dan maksud permohonan para Pemohon
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi dibuat sejalan dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah dibahas dan
mendapat persetujuan bersama antara DPR RI dengan Presiden.
2. Bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi telah mangakomodir amanat yang terkandung dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
3. Bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
4. Bahwa para Pemohon tidak menguraikan dengan jelas tentang hak
dan/atau konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga
Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
51 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemerintah memohon kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat yang memeriksa dan
memutus permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk
berkenan menerima Keterangan Pemerintah baik lisan maupun tertulis untuk
keseluruhannya.
135
Selanjutnya memutuskan:
1. Dalam kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon:
- menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai Legal Standing;
2. Dalam permohonan pengujian formil Para Pemohon:
- menyatakan pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi telah sejalan dengan konstitusi.
3. Dalam permohonan pengujian materiil Para Pemohon:
- menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi sah dan berlaku sebagai Undang-undang yang mempunyai
kekuatan hukum di wilayah Republik Indonesia.
Keterangan Tertulis Pemerintah (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) tanggal 29 Juli 2004
Sebagai penjelasan, disampaikan pola pembangunan ekonomi nasional
sebagaimana tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, dimana
telah digariskan arah kebijakan ekonomi yang harus dijalankan oleh
Pemerintah. Kebijakan tersebut kemudian dijabarkan dalam peraturan-
perundangan seperti Undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, dan lain lain.
Penjelasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kesesuaian pola
pembangunan ekonomi nasional dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar 1945 yang telah diamendemen, khususnya Pasal 33.
Sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33 UUD 1945, Perekonomian
Nasional disusun dengan berlandaskan pada:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
136
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang
telah diamendemen tersebut di atas: perekonomian nasional disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal ini merupakan dasar
dari prinsip demokrasi ekonomi, bahwa aktifitas ekonomi dikerjakan oleh
semua, untuk semua masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan
dan bukan kemakmuran perorangan atau kelompok. Asas kekeluargaan
dalam UUD 1945 mengamanatkan semangat solidaritas sosial. Yang
besar/kuat dan yang kecil/lemah harus hidup dalam hubungan yang serasi
dan saling menunjang dalam wujud kemitraan. Dalam hubungan kekeluargaan
tidak ada tindas menindas dan saling mematikan. Kenikmatan yang diperoleh
dari penderitaan yang lain atau dengan membuat penderitaan bagi yang lain
tidak sesuai dengan asas kekeluargaan. Dalam hal ini pemerintah selalu
memperhatikan perkembangan usaha melalui koperasi, usaha kecil dan
menengah.
Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai negara. Dalam penjelasannya lebih lanjut diingatkan bahwa
jangan sampai tampuk produksi jatuh ke tangan perorangan atau kelompok
yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasnya. Yang dimaksud dengan
berkuasa, bukan hanya yang memiliki kekuasaan politik, tetapi juga
kekuasaan ekonomi, melalui kekuatan yang dimilikinya dalam penguasaan
pasar serta faktor-faktor produksi. Penguasaan oleh negara, memang tidak
diartikan sebagai sepenuhnya pemilikan, tetapi harus menjamin adanya
137
kemampuan dan kewenangan bagi negara untuk melindungi kepentingan
umum dan kepentingan ekonomi masyarakat. Negara mempunyai kendali
penuh atas kegiatan produksi tersebut sehingga kepentingan negara dan hajat
hidup orang banyak akan tetap terjaga. Dafam konteks ini, kegiatan usaha hilir
migas dan kegiatan usaha di bidang ketenagalistrikan yang terkait dengan
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, negara tidak wajib melakukan sendiri kegiatan
produksi tadi, tetapi yang lebih penting dapat melakukan pengaturan dan
pengawasan atas kegiatan tersebut sehingga tetap berada di tangan negara.
Lebih lanjut pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai
pokok-pokok kemakmuran rakyat, dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pernyataan ini mengisyaratkan
bahwa tanah air dan kekayaan alam adalah karunia Tuhan bagi rakyat
Indonesia dan menjadi sumber bagi kemakmurannya. Dengan keterbatasan
yang ada pada negara, maka pengembangan sumber-sumber kekayaan alam
tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan perorangan atau
kelompok masyarakat atau usaha swasta, namun harus tetap dalam kendali
pengawasan pemerintah. Dalam kaitan ini peranan hukum dan pengaturan
amatlah penting, untuk menjamin bahwa potensi kekayaan alam dapat
dikembangkan dengan memberikan imbalan yang layak bagi yang
mengusahakan sesuai dengan pengorbanan dan risiko yang diambilnya,
tetapi juga terjamin bahwa hasil akhirnya adalah kemakmuran yang sebesar-
besarnya bagi rakyat banyak. Dalam konteks ini, kegiatan hulu migas yang
terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara memiliki sumber daya
alam tersebut untuk dapat mengatur dan memelihara kekayaan tersebut
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan tersebut.
Dalam ayat (4) Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen, kegiatan
ekonomi dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, yang dijalankan
dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan, berkelanjutan dan dengan
memperhatikan prinsip kemandirian, sehingga setiap warga negara
138
mempunyai kesempatan yang sama dalam berusaha. Kegiatan ekonomi
dilakukan berdasarkan prinsip kebersamaan. Dalam hal ini arah kebijakan
ekonomi merujuk kepada usaha bersama dengan memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada badan usaha, baik yang berskala besar, menengah,
maupun kecil yang berbentuk BUMN, BUMD, koperasi, usahan kecil dan
badan usaha swasta, dan pemberian fasilitas kepada pengusaha kecil dan
menengah.
Dalam ayat (5) Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen dinyatakan:
bahwa penjabaran mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan
sosial dituangkan dalam Undang-undang, sehingga dengan demikian usaha
penyediaan tenaga listrik dan kegiatan usaha migas yang telah ditetapkan
dalam Undang-undang sudah tepat.
Bertitik tolak dari prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem
perekonomian negara yang telah diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945
tersebut, sebagaimana tercantum dalam strategi pembangunan, salah-satu
misi bangsa Indonesia, adalah: Terlaksananya pemberdayaan masyarakat
dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil,
menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis
pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri,
maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
Tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sesuai dengan
arahan tersebut di atas, adalah tercapainya taraf hidup masyarakat dan
kesejahteraan yang lebih baik dan merata melalui upaya percepatan
pemulihan ekonomi untuk mewujudkan landasan pembangunan yang
berkelanjutan. Pembangunan ekonomi harus adil dan merata, mencerminkan
peningkatan peran daerah dan pemberdayaan seluruh rakyat, berdaya saing
dengan basis efisiensi, serta menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan hidup, yang dilaksanakan sebagai berikut:
139
1. Pembangunan ekonomi dilaksanakan berdasarkan sistem ekonomi
kerakyatan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang meningkat, merata
dan berkeadilan.
2. Pembangunan ekonomi berlandaskan pengembangan otonomi daerah
dan peran serta aktif masyarakat secara nyata dan konsisten.
3. Pembangunan ekonomi harus menerapkan prinsip efisiensi yang didukung
oleh peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi untuk
memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan
daya saing nasional.
4. Pembangunan ekonomi berorientasi pada perkembangan globalisasi
ekonomi internasional dengan tetap mengutamakan kepentingan ekonomi
nasional.
5. Pembangunan ekonomi makro harus dikelola secara berhati-hati, disiplin,
dan bertanggungjawab dalam rangka menghadapi ketidakpastian yang
meningkat akibat proses globalisasi.
6. Pembangunan ekonomi dilaksanakan berlandaskan kebijakan yang
disusun secara transparan dan bertanggung-gugat, baik dalam
pengelolaan publik, pemerintahan, maupun masyarakat.
7. Pembangunan ekonomi harus berlandaskan keberlanjutan sistem sumber
daya alam, lingkungan hidup, dan sistem sosial kemasyarakatan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Agar tujuan pembangunan ekonomi dapat tercapai, maka arah
kebijakan pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana tersebut di atas
yang berkaitan dengan sistem ekonomi nasional antara lain adalah:
1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada
mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan
memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan
sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha
dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil
bagi seluruh masyarakat.
Adapun ciri-ciri utama ekonomi kerakyatan antara lain adalah:
140
• Penegakkan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi disertai
kepedulian terhadap yang lemah. • Pemihakan, pemberdayaan dan perlindungan terhadap yang lemah oleh
potensi bangsa, terutama pemerintah sesuai dengan kemampuannya.
• Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang
ramah pasar.
• Pemberdayaan kegiatan ekonomi rakyat, yang sangat terkait dengan
upaya menggerakkan perekonomian perdesaan.
• Pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya
dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
2. Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan
terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar yang
distortif, yang merugikan masyarakat.
3. Mengoptimalkan peran Pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan
pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu
mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang
dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang.
4. Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang
adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar
dengan mengembangkan sistem jaminan sosial melalui program Pemerintah
serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang
pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta
ditetapkan dengan undang-undang.
5. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan
teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan
keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris, sesuai
kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian
dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta
industri kecil dan kerajinan rakyat.
141
6. Mengelola kebijakan makro dan mikroekonomi secara terkoordinasi dan
sinergis guna menentukan tingkat suku bunga wajar, tingkat inflasi
terkendali, tingkat kurs rupiah yang stabil dan realistis, menyediakan
kebutuhan pokok terutama perumahan dan pangan rakyat, menyediakan
fasilitas publik yang memadai dan harga terjangkau, serta memperlancar
perizinan yang transparan, mudah, murah dan cepat.
7. Mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip keadilan,
efisiensi, efektivitas, untuk negara dan mengurangi ketergantungan
transparansi, disiplin, menambah penerimaan dana dari luar negeri.
8. Mengembangkan pasar modal yang sehat, transparan, efisien, dan
meningkatkan penerapan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
standar internasional dan diawasi oleh lembaga independen.
9. Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah produktif
yang dilaksanakan secara efisien. Mekanisme dan prosedur harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan diatur dengan undang-undang.
10. Mengembangkan kebijakan industri, perdagangan dan investasi dalam
rangka meningkatkan daya saing global dengan membuka aksesibilitas
yang sama terhadap kesempatan kerja dan berusaha bagi segenap rakyat
dan seluruh daerah melalui keunggulan kompetitif terutama berbasis
keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan
menghapus segala bentuk perlakuan diskriminatif dan hambatan.
11. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih
efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha
yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas
dari negara diberikan secara selektif terutama dalam bentuk perlindungan
dari persaingan tidak sehat, pendidikan dan pelatihan, informasi bisnis
dan teknologi, permodalan, dan lokasi berusaha.
12. Menata Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara efisien, transparan
dan professional terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan
umum yang bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri
142
pertahanan dan keamanan, pengelolaan aset strategis, dan kegiatan lain
yang tidak dilakukan oleh swasta dan koperasi. Keberadaan dan
pengelolaan BUMN ditetapkan dengan undang-undang.
13. Mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha
yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta dan
Badan Usaha Milik Negara, serta antara usaha besar, menengah dan kecil
dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional.
14. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada
keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal
dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan
mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan
memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta
peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang.
15. Meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumber energi dan tenaga
listrik dengan harga yang wajar dan ramah lingkungan dan secara
berkelanjutan yang pengelolaannya diatur dengan undang-undang.
16. Mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan
dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan
mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan
masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan
seimbang.
17. Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
publik, termasuk transportasi, telekomunikasi, energi dan listrik, dan air
bersih guna mendorong pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan
masyarakat dengan harga terjangkau, serta membuka keterisolasian
wilayah pedalaman dan terpencil.
18. Mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang
diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian tenaga kerja,
peningkatan pengupahan, penjaminan kesejahteraan, perlindungan kerja,
dan kebebasan berserikat.
143
19. Meningkatkan kuantitas dan kualitas penempatan tenaga kerja ke luar
negeri dengan memperhatikan kompetensi, perlindungan, pembelaan
tenaga kerja yang dikelola secara terpadu dan mencegah timbulnya
eksploitasi tenaga kerja.
20. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bangsa sendiri dalam
dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna
meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
21. Melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat proses
pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran,
yang merupakan dampak krisis ekonomi.
22. Mempercepat penyelamatan dan pemulihan ekonomi guna
membangkitkan sektor riil terutama bagi pengusaha kecil, menengah, dan
koperasi melalui upaya pengendalian laju inflasi, stabilitas kurs rupiah
pada tingkat yang realistis, dan suku bunga yang wajar serta didukung
oleh tersedianya likuiditas sesuai kebutuhan.
23. Menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan
mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran,
pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap,
peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta
penghematan pengeluaran.
24. Mempercepat rekapitalisasi sektor perbankan dan restrukturisasi utang
swsta secara transparan agar perbankan nasional dan perusahaan swasta
menjadi sehat, terpercaya, adil, dan efisien dalam melayani masyarakat
dan kegiatan perekonomian.
25. Melaksanakan restrukturisasi aset negara, terutama asset yang berasal
dari likuidasi perbankan dan perusahaan, dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan produktivitas secara transparan dan pelaksanaannya
dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengelolaan aset
negara diatur dengan undang-undang.
144
26. Melakukan renegosiasi dan mempercepat restrukturisasi utang luar negeri
bersama-sama dengan Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, lembaga
keuangan internasional lainnya, dan negara donor dengan memperhatikan
kemampuan bangsa dan negara, yang pelaksanaannya dilakukan secara
transparan dan dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
27. Melakukan secara proaktif negosiasi dan kerjasama ekonomi bilateral dan
multilateral dalam rangka meningkatkan volume dan nilai ekpsor, terutama
dari sektor industri yang berbasis sumber daya alam, serta menarik
investasi finansial dan investasi asing langsung tanpa merugikan
pengusaha nasional.
28. Menyehatkan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. Bagi
BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum
didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.
Menghadapi masalah dan tantangan serta berpedoman kepada arah
kebijakan pembangunan ekonomi tersebut di atas; dan menyadari
keterbatasan sumber daya yang tersedia, maka ditetapkan prioritas program-
program pembangunan ekonomi. Prioritas jangka pendek adalah: program-
program untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan upaya
mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat selama
krisis. Bersamaan dengan upaya pemulihan ekonomi: dilaksanakan program
pembangunan ekonomi jangka menengah untuk meletakkan landasan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan berlandaskan sistem ekonomi
kerakyatan.
Pembangunan sistem ekonomi kerakyatan terutama dan secara
langsung dilakukan melalui berbagai upaya dalam rangka penanggulangan
kemiskinan, pembangunan ketenagakerjaan, pengembangan sistem jaminan
sosial dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi,
pembangunan pertanian, pangan dan pengairan, pembangunan sarana dan
prasarana perdesaan, serta yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
145
Keterpaduan di antara pembangunan bidang ekonomi dengan bidang
pembangunan lainnya merupakan suatu keharusan. Seperti misalnya di
bidang hukum, adanya kepastian hukum dalam upaya pemulihan ekonomi
diperlukan tidak hanya untuk menjamin kepemilikan tetapi juga untuk
menumbuhkan praktek usaha yang sehat dan berkelanjutan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Undang-Undang No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 UUD
1945, mengingat secara substansi materi telah mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
2. Tenaga listrik sangat bermanfaat untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan perekonomian dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
3. Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang dikuasai
negara dan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga
pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
4. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional yang meningkat dan berkelanjutan.
5. Dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun
internasional dibutuhkan perundang-undangan yang dapat menciptakan
kegiatan-kegiatan usaha yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing,
efisien, dan berwawasan lingkungan, serta mendorong perkembangan
potensi dan peranan nasional.
146
Secara umum, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi telah mengatur apa yang menjadi tugas Pemerintah dan apa
yang menjadi tugas perusahaan. Minyak dan gas bumi sebagai sumber
kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia dikuasai negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai
pemegang Kuasa Pertambangan. Hal ini telah sesuai dengan dengan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh
Pemerintah dengan maksud agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara
dan menggunakan kekayaan nasional tersebut untuk kemakmuran rakyat.
Selanjutnya Pemerintah membentuk Badan Pelaksana. Adapun di bidang
usaha hilir yang terdiri dari usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,
dan niaga, dapat dilaksanakan oleh badan usaha berdasarkan izin usaha
yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Khusus untuk bidang pengangkutan dan
niaga gas bumi melalui pipa diberlakukan pengaturan prinsip usaha terpisah
(unbundling) untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen
baik dalam segi harga maupun kualitas serta pengaturan dan pengawasan
penyediaan dan pendistribusian BBM untuk menjamin pengadaannya di
seluruh wilayah NKRI. Selanjutnya, untuk melaksanakan kegiatan tersebut di
atas, maka Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui
Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas. Hal ini sesuai dengan Pasal 33
ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, bagi Pemerintah UU Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah instrumen hukum yang
sangat penting di dalam usaha yang mampu memberikan jaminan kepastian
hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sesuai ayat (4) Pasal 33 UUD 1945
dicantumkan: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
147
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah memohon
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan para Pemohon.
Dengan demikian supaya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, telah sejalan dengan UUD 1945 dan Undang-undang tersebut
tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keterangan Tertulis Pemerintah (Menteri Badan Usaha Milik Negara) tanggal 29 Juli 2004
1. Pendahuluan 1.1. Maksud dan Tujuan Maksud : Memberikan landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan
usaha hulu dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Tujuan : Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam migas untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, melalui:
1. tersedianya dan terdistribusikannya energi-migas dalam negeri
dalam jumlah cukup, berkualitas baik dan dengan harga yang
wajar;
2. termanfaatkannya energi-migas secara optimal sesuai
perkembangan pembangunan berkelanjutan.
1.2. Latar Belakang Pembangunan perekonomian nasional diselenggarakan atas dasar
demokrasi ekonomi yang mengacu pada prinsip-prinsip: kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan
kemandirian, dengan tetap mempertahankan kesinambungan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional, sesuai tuntutan perkembangan.
148
Pembangunan hukum di sektor-sektor lain telah diubah dan sampai
pada tahapan implementasi seperti:
♦ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
♦ UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, dan
♦ UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berbagai perubahan tersebut harus dapat diantisipasi agar
kemampuan nasional dapat sejajar dan bersaing dengan pihak asing,
sehingga diharapkan kemampuan nasional dapat tetap menjadi tuan di
negeri sendiri.
UU Migas lahir untuk menyikapi berbagai perubahan eksternal dan
internal, baik pengaruh globalisasi dan liberalisasi maupun perubahan
lingkungan strategis seperti otonomi daerah. Globalisasi bercirikan:
persaingan ketat perkembangan teknologi pesat, dan komunikasi
meningkat berdampak pada nyaris tiadanya batas negara (borderless).
UU Migas bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam yang
harus dilaksanakan berdasarkan pemikiran filosofis, pragmatis dan
strategis dengan terdapatnya berbagai perubahan lingkungan strategis
dalam berbagai aspek seperti perdagangan bebas, anti-monopoli,
lingkungan hidup, hak asasi manusia, demokratisasi dan reformasi.
Tanpa perubahan, penyempurnaan atau penyesuaian terhadap
ketentuan dan peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya,
berbagai perubahan lingkungan strategis tersebut cenderung akan
menimbulkan benturan-benturan karena terdapat perbedaan materi
substansial pada tataran implementasi yang tidak mungkin dilaksanakan
secara bersamaan.
Sebagai pelaku usaha, BUMN dituntut untuk mampu menghadapi
perkembangan ekonomi dunia yang terus berubah, terutama liberalisasi
149
perdagangan dan globalisasi ekonomi. Untuk dapat bersaing, setiap
kekuatan ekonomi nasional termasuk BUMN dituntut untuk meningkatkan
produktivitas sumber daya manusia, efisiensi dan efektivitas usaha dalam
rangka memperkokoh ketahanan dan pertumbuhan ekonomi nasional
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Filosofi: 2.1. Regulator dan Operator
Sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD
1945, Pemerintah mempunyai fungsi sebagai penquasa (regulator) dan
fungsi selaku pengusaha operator). Fungsi regulator dilakukan oleh
Menteri-Menteri teknis yang mengatur sektor-sektor dalam
kewenangannya, sedangkan fungsi operator dilakukan oleh Kantor Menteri
Negara atan Badan yang ditunjuk/diberi kuasa untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya kepengusahaan, seperti
BUMN, yang saat ini fungsi tersebut dilakukan oleh Menteri BUMN.
Pada saatnya kelak, Pemerintah akan harus lebih memfokuskan
fungsinya sebagai regulator, dan secara bertahap akan melepaskan
fungsinya sebagai operator dalam artian sebagai pelaksana-langsung
kegiatan, sesuai prinsip "government function is to govern". Sejalan
dengan makin meningkatnya kemampuan swasta, fungsi operator akan
diserahkan kepada swasta terutama nasional, sedangkan Pemerintah
sebagai regulator menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan.
Selain itu, Pemerintah hanya akan memiliki BUMN yang benar-
benar penting dan harus dimiliki oleh Pemerintah sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 77 UU BUMN. Kriteria BUMN yang tidak dapat diprivatisasi,
yaitu:
150
(i) Persero yang bidang usahanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
(ii) Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan
pertahanan dan keamanan negara;
(iii) Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah
diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan
(iv) Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang
secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang
untuk diprivatisasi.
2.2. Penguasaan dan Pengusahaan Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap
mengacu pada amanat UUD 1945 Pasal 33:
ayat (2) : "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara", dan
ayat (3) : "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Kedua ayat menegaskan "penguasaan oleh negara" terhadap
sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak. Dikuasai oleh negara mengandung
pengertian: (1) pemilikan, (2) pengaturan, pembinaan dan pengawasan,
dan (3) penyelenggaraan kegiatan usaha dilakukan di bidang energi
(energi-migas) oleh Pemerintah.
Filosofi "penguasaan oleh negara" adalah terciptanya Ketahanan
Nasional (National Security) di bidang energi (energi migas, listrik dan
energilainnya) di NKRI dengan sasaran-utama penyediaan dan
pendistribusian energi di dalam negeri. Pemerintah dari negara manapun
juga berkewajiban menyediakan dan mendistribusikan energi ke seluruh
wilayahnya. Ketahanan Nasional di bidang energi adalah kemampuan
151
Pemerintah untuk melakukan pengelolaan energi, tanpa memperhatikan
besar-kecilnya dan kaya-miskinnya negara, juga tidak memandang apakah
suatu negara memiliki sumber-daya alam energi atau tidak.
Singapura merupakan contoh negara tanpa sumber-daya-alam
energi (natural resources), namun memiliki ketahanan nasional di bidang
energi yang sangat tinggi. Sebagai negara tanpa sumber-daya-alam
energi, Singapura mempunyai kemampuan tinggi dalam mengelola energi,
mulai dari menyediakan dan mendistribusikan energi di dalam negeri
sampai dengan melakukan impor-ekspor energi, disamping memiliki kilang
berkapasitas 1,5 juta barel per hari (sebagai perbandingan, negara
Indonesia mengoperasikan 7 kilang dengan kapasitas total 1 juta barel per
hari).
Contoh yang kami kemukakan sekaligus memberikan gambaran
implementasi prinsip "government function is to govern" secara murni,
dimana Pemerintah hanya menjalankan fungsinya sebagai regulator,
sedangkan fungsinya sebagai operator diserahkan kepada swasta.
Manfaat ekonomis maksimal diperoleh secara-langsung dari pajak dan
secara tak-langsung dari intangibles lainnya (multiplier-effects di industri
terkait, termasuk tenaga kerja).
UU Migas merupakan undang-undang sektoral yang mengatur,
mengelola, menyediakan-mendistribusikan termasuk kualitas dan harga
pasar yang sehat dan wajar, dan memanfaatkan sumber daya alam migas
agar dapat memberikan manfaat ekonomis maksimal (tertinggi) untuk
sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
UU Migas tetap tunduk pada UUD 1945 Pasal 33, yang dinyatakan
sebagai:
1. Kegiatan Usaha Hulu
a) Penguasaan migas di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
152
b) Kegiatan Usaha Hulu eksplorasi dan eksploitasi dilaksanakan dan
dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang paling sedikit
memuat persyaratan:
♦ kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah
sampai pada titik penyerahan,
♦ pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana,
dan
♦ modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha (BU) atau
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
c) Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk
melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak
dan Gas Bumi.
Penguasaan (kepemilikan) migas dari kegiatan hulu di wilayah
hukum pertambangan Indonesia tetap berada dalam penguasaan negara
yang diselenggarakan dan diawasi oleh Pemerintah cq. Badan Pelaksana
Migas sampai pada titik penyerahan (penjualan), di dalam atau di luar
negeri. Pelaksanaan pengusahaan kegiatan hulu dapat dilakukan oleh
BUMN/BUMD, swasta Nasional dan/atau Asing melalui Kontrak Kerjasama
dengan BPMigas. Dalam hal pengusahaan kegiatan hulu dikerjasamakan
dengan swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah bertindak sebagai
regulator, namun memegang kendali-penuh atas keberhasilan mitra
kerjasamanya, dan Pemerintah tidak berfungsi sebagai operator.
Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hulu diselenggarakan oleh
BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator dan sebagai
operator termasuk memegang kendali-penuh atas keberhasilan
BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS dan pengawasan BP Migas.
2. Kegiatan Usaha Hilir:
a) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan dan Niaga;
153
b) Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha dan
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat, dan transparan;
c) Izin Usaha diberikan kepada BU untuk melaksanakan Pengolahan,
Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan
memperoleh keuntungan dan/atau Laba;
d) Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan
penclistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan
Usaha Hilir.
Kegiatan Usaha Hilir diselenggarakan segera setelah titik-
penyerahan (penjualan, delivery-point) kegiatan hulu. Migas setelah titik-
penyerahan bukan milik negara, disamping dapat pula berasal dari
pembelian minyak impor. Penguasaan oleh negara dalam kegiatan usaha
hilir adalah pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah sebagai regulator
mengeluarkan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui mekanisme
persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Dalam hal. pengusahaan kegiatan hilir diselenggarakan oleh
BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator, juga sebagai
operator termasuk memegang kendali-penuh atas keberhasilan
BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS. Badan Pengatur berperan
dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan
pendistribusian BBM dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir.
Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hilir dikerjasamakan dengan
swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah hanya bertindak sebagai
regulator dengan menerbitkan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan, namun
tidak melaksanakan fungsinya sebagai operator. Pelaksanaan Public
Service Obligation (PSO) untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM
154
di daerah-daerah terpencil (remote) cenderung harus ditangani oleh
Pemerintah, baik sebagai regulator maupun sebagai operator, meskipun
tidak menutup kemungkinan dapat dikerjasamakan dengan swasta
Nasional/Asing.
2.3. Korporasi Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa "cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Ketentuan tersebut merupakan legitimasi keberadaan berbagai
perusahaan milik negara yang dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). BUMN merupakan institusi yang modalnya berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan, baik seluruhnya atau sebagian (minimal 51 %).
Sebagai pelaku ekonomi di samping badan usaha milik daerah (BUMD),
swasta dan koperasi, BUMN melaksanakan peran saling memberi
dukungan di antara pelaku-pelaku ekonomi tersebut. Peranan BUMN
dalam pembangunan ekonomi Indonesia dirasakan semakin penting dan
strategis, antara lain karena melaksanakan:
a) peran pelopor atau perintis dalam sektor-sektor usaha dimana swasta
belum tertarik untuk menggelutinya;
b. peran pengelola bidang-bidang usaha yang strategis;
c. peran sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-
kekuatan swasta besar, dan
d. peran sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam bentuk
penyetoran berbagai pajak maupun sebagai sumber setoran dividen
bagi negara sebagai pemilik/Pemegang Saham.
Pemerintah selaku regulator dan fasilitator dalam kegiatan
perekonomian nasional menetapkan kebijakan untuk mendorong semua
pelaku usaha agar dapat memberikan peranan-terbaiknya dalam
155
mengembangkan perekonomian nasional secara efisien dan mampu
bersaing baik secara nasional, regional maupun global. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka Pemerintah bersama-sama dengan DPR
mengesahkan berbagai undang-undang, termasuk UU Migas.
BUMN seperti pelaku usaha lainnya harus tunduk kepada peraturan
perundang-undangan yang mengatur sektor dalam melaksanakan
kegiatan usahanya. Dengan demikian, bidang-bidang usaha yang dapat
dilakukan BUMN akan sangat tergantung kepada Undang-Undang sektoral
yang mengaturnya. Saat ini, BUMN bergerak hampir di seluruh sektor
perekonomian termasuk di dalamnya sektor pertambangan dan energi.
Dari sifat usahanya, BUMN bergerak di: (a) bidang usaha yang
bersifat kompetitif, (b) bidang usaha yang bersifat kemanfaatan umum
(public service obligation, dan (c) gabungan dari keduanya. Di sisi lain,
sebagai badan usaha (operator), BUMN, dalam hal ini yang berbentuk
Perusahaan Perseroan (Persero), tunduk kepada peraturan perundang-
undangan di bidang korporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN (UU BUMN). Demikian pula, BUMN yang berbentuk
Perusahaan Umum (Perum) tunduk kepada UU BUMN yang secara
mutatis mutandis menganut prinsip-prinsip korporasi sebagaimana diatur
dalam UUPT.
Sebagai badan hukum korporasi, BUMN dikelola oleh organ-organ
perusahaan yang terdiri dari Direksi, Komisaris/Dewan Pengawas, dan
RUPS/Pemilik Modal. Bertindak sebagai RUPS/Pemilik Modal adalah
Menteri BUMN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2003 mengenai pengalihan kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri
Keuangan selaku RUPS/Pemilik Modal BUMN kepada Menteri BUMN.
Kedudukan ketiga organ BUMN tersebut adalah independen, bebas dari
campur tangan dari pihak manapun.
156
Selain organ BUMN, pihak manapun dilarang untuk campur tangan
dalam kepengurusan BUMN (Pasal 91 UU BUMN). Sebagai suatu
korporasi, tujuan usaha BUMN khususnya persero adalah mengejar
keuntungan, sedangkan titik berat usaha BUMN yang berbentuk Perum
dan Pelayanan kemanfaatan umum, namun tetap harus mendapatkan laba
agar terjaga kelangsungannya dan dapat hidup berkelanjutan. Meskipun
BUMN bertujuan memperoleh keuntungan/laba, tidak tertutup
kemungkinan bagi Persero ataupun Perum untuk diberikan penugasan
khusus oleh Pemerintah dengan menyelenggarakan kewajiban pelayanan
umum (public service obligation, PSO). Dalam hal kajian finansial
penugasan PSO tersebut tidak feasible, maka Pemerintah harus
memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN
tersebut termasuk marjin yang wajar.
3. Implementasi: 3.1. Restrukturisasi:
Restrukturisasi merupakan hal yang lazim dilakukan di dalam
dunia usaha, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan,
agar going concern perusahaan dapat dipertahankan, bahkan
ditingkatkan. Restrukturisasi terdiri dari restrukturisasi sektoral
(eksternal) dan restrukturisasi perusahaan (internal). Restrukturisasi
sektoral terutama ditujukan kepada sektor-sektor yang mendapat
proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli alamiah. Restrukturisasi
sektoral dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat,
terjadinya kompetisi sehat, efisiensi, dan pelayanan optimal.
Restrukturisasi perusahaan (internal) terdiri dari restrukturisasi di
bidang keuangan, operasional, SDM, organisasi, dan manajemen
termasuk melakukan restrukturisasi terhadap aset-aset yang ada di
perusahaan.
Restrukturisasi sektoral agar tercipta iklim yang kondusif bagi
semua pelaku usaha merupakan upaya Pemerintah untuk
157
meningkatkan perekonomian nasional. Apabila dalam restrukturisasi
tersebut mempunyai ekses yang kurang menguntungkan terhadap
BUMN pada suatu sektor, maka masalah tersebut harus dilihat dari
sudut kepentingan nasional yang lebih luas, tidak hanya dilihat dari
kepentingan BUMN itu sendiri atau kelompok-kelompok yang
mempunyai kepentingan terhadap BUMN seperti karyawan, serikat
pekerja dan pensiunan karyawan. Segala masalah yang timbul di
perusahaan sebagai dampak restrukturisasi sektoral, penyelesaiannya
sudah diatur dalam Undang-undang tersendiri, yaitu di dalam Undang-
undang korporasi, termasuk di dalamnya Undang-undang
ketenagakerjaan. Dengan demikian, kepentingan nasional yang lebih
luas yang diutamakan. Dengan demikian, penyelesaiannya tidak
relevan apabila diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan alasan
melanggar hak-hak konstitusional seperti disampaikan oleh Pemohon.
Sehubungan dengan permohonan pengujian formil dan materil
UU Migas PT. Pertamina (Persero) sebagai operator, diberikan
kesempatan yang sama seperti badan usaha lainnya untuk melakukan
kegiatan usaha di bidang migas. Sebagai pelaku usaha, BUMN tidak
berbeda dengan Swasta.
Dengan dibukanya usaha migas secara kompetitif, maka PT
Pertamina (Persero) didorong untuk melakukan efisiensi, peningkatan
kinerja, sehingga dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Peningkatan kinerja akan
berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan karyawan, sehingga
tidak ada lagi kekhawatiran Pemohon terhadap jaminan uang pensiun
dan pelayanan kesehatan bagi pensiunan perusahaan, karena
perusahaan tetap eksis.
Untuk mempertahankan keberadaan dan pengembangannya ke
depan, PT. Pertamina (Persero) dapat membentuk anak perusahaan
atau bekerja sama dengan pihak swasta, BUMD atau koperasi untuk
berperan di bidang-bidang usaha yang tidak dapat lagi dilakukan
158
sendiri, seperti yang telah dirintis selama ini, dengan memperhatikan
UndangUndang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3.2. Privatisasi: Privatisasi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan strategis
bahwa asas kemanfaatan lebih diutamakan daripada asas kepemilikan.
Maksud dan tujuan privatisasi pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan peran Persero dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan masyarakat
atas Persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian nasional.
Pelaksanaan privatisasi dilakukan secara transparan, baik
dalam proses penyiapannya maupun dalam pelaksanaannya. Proses
privatisasi dilaksanakan dengan berpedoman pada prosedur privatisasi
yang telah ditetapkan tanpa ada intervensi dari pihak lain di luar
mekanisme korporasi serta ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Proses privatisasi juga dilakukan dengan berkonsultasi secara
intensif dengan pihak-pihak terkait sehingga proses dan
pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Selain itu privatisasi dilakukan dengan maksud supaya terjadi
perubahan atas budaya perusahaan sebagai akibat dari masuknya
pemegang saham baru, baik melalui penawaran umum (go public)
ataupun melalui penyertaan Iangsung (direct placement). Perusahaan
akan dihadapkan pada kewajiban pemenuhan persyaratan-persyaratan
keterbukaan (disclosure) yang merupakan persyaratan utama dari
suatu proses go public, atau adanya sasaran-sasaran perusahaan
yang harus dicapai sebagai akibat masuknya pemegang saham baru.
Budaya perusahaan yang berubah tersebut akan dapat mendorong
peningkatan kinerja perusahaan yang selanjutnya akan dapat
mempertinggi daya saing perusahaan dalam berkompetisi dengan
159
pesaing-pesaing, baik nasional, regional, bahkan global sehingga pada
akhirnya akan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap
perekonomian nasional dalam bentuk barang dan jasa yang semakin
berkualitas dan terjangkau harganya, serta penerimaan negara dalam
bentuk pajak yang akan semakin besar pula.
Meskipun Privatisasi bertujuan untuk melakukan efisiensi,
sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan.
Oleh karena itu dalam melaksanakan Privatisasi sejauh mungkin perlu
diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK
hanya dapat dilakukan setelah jangka waktu tertentu setelah
pelaksanaan privatisasi, kecuali karyawan melakukan tindakan-
tindakan yang melanggar ketentuan hukum. Selanjutnya apabila PHK
terjadi pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sehubungan dengan itu, dalam upaya agar karyawan dan
serikat pekerja maupun masyarakat dapat memahami manfaat
Privatisasi Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang manfaat
privatisasi secara terarah dan konsisten.
Selalu timbul pertanyaan mana yang lebih baik bila kita memiliki
BUMN secara mayoritas tapi kontribusi kepada perekonomian nasional
adalah marginal atau bila BUMN dimiliki secara kurang dari mayoritas
tetapi memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian
nasional. Kenyataan dan pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
Persero yang diprivatisasi, baik dalam bentuk pembayaran pajak
kepada negara, pembayaran dividen maupun dalam penyerapan
tenaga kerja. Dengan dilakukannya privatisasi, bukan berarti kendali
atau kedaulatan negara menjadi berkurang atau hilang, negara tetap
memegang kendali melalui regulasi sektoral. Pengertian penguasaan
oleh negara tidak berarti hanya sebagai pemilikan, tetapi juga termasuk
di dalamnya penguasaan melalui regulasi. Ini artinya, semua
perusahaan yang berada di Indonesia, siapapun pemiliknya, harus
160
tunduk kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia yang berdaulat.
UU BUMN telah menetapkan BUMN yang dapat dan tidak dapat
diprivatisasi (Pasal 76 dan Pasal 77). Di samping itu, privatisasi hanya
bersifat pengalihan kepemilikan dan/atau pengelolaan perusahaan,
tidak mengakibatkan hilangnya suatu perusahaan. Perusahaan
tersebut masih berada di Indonesia, tunduk kepada semua regulasi
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia yang berdaulat termasuk
tunduk terhadap ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan
Indonesia, siapapun pemiliknya. Ketentuan ketenagakerjaan di
perusahaan termasuk mengenai pensiun tunduk pada regulasi yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal-hal yang terkait dengan
hak-hak tenaga kerja, termasuk pengupahan dan pensiun merupakan
kewajiban setiap perusahaan baik perusahaan nasional maupun
perusahaan yang dimiliki oleh asing yang beroperasi di Indonesia untuk
memenuhi hak-hak tersebut berdasarkan hukum atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
3.3. Ketenagakerjaan Berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadi pengurangan
karyawan PT. Pertamina (Persero), kiranya permasalahan ini harus
dilihat dari kacamata masalah ketenagakerjaan secara nasional.
Masalah ketenagakerjaan dan kesejahteraan sosial merupakan
masalah bersama yang dihadapi bangsa dan negara ini, bukan
permasalahan yang dihadapi dan harus diselesaikan sendiri oleh PT.
Pertamina (Persero). Apabila PHK terpaksa harus dilakukan, maka
tenaga-tenaga profesional yang berasal dari PT. Pertamina (Persero)
akan terserap di perusahaan-perusahaan yang baru (BUMD, BUMS,
dan Koperasi). Di samping itu, apabila terjadi PHK, maka kepada
karyawan akan diberikan hak-haknya sesuai dengan ketentuan di
161
bidang ketenagakerjaan yang berlaku. Hak-hak ketenagakerjaan bagi
karyawan BUMN juga diatur dalam Pasal 87 UU BUMN.
Kiranya perlu ditambahkan bahwa apabila berdasarkan kajian
yang seksama memang terpaksa harus dilakukan PHK untuk
mempertahankan going concern perusahaan, maka PHK bukan hal
yang tabu (dilarang) untuk dilakukan. PHK dapat dilakukan asalkan
dilakukan sesuai dengan ketentuan di bidang ketenagakerjaan.
Berkaitan dengan hak-hak konstitusi Pemohon yang merasa
dirugikan dengan adanya UU Migas, yaitu antara lain hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja, hak untuk hidup sejahtera lahir batin, hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan, hak atas jaminan sosial, hak untuk hidup serta
untuk mempertahankan hidup dan penghidupannya, hak berserikat,
berkumpul dan berpendapat, kiranya tidak relevan apabila dikaitkan
dengan Undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut hanya
mengatur mengenai kegiatan usaha di sektor migas. Undang-undang
tersebut merupakan reformasi atau restrukturisasi sektoral di bidang
migas yang memang mempunyai kaitan langsung dengan seluruh
pelaku usaha di Indonesia, termasuk PT. Pertamina (Persero).
3.4. Audit BUMN Untuk mendorong pengelolaan manajemen secara profesional,
efisien dan transparan, serta memberdayakan fungsi, dan
meningkatkan kemandirian organ-organ perseroan, dalam waktu 5
bulan setelah tahun buku Persero ditutup, PT. Pertamina (Persero)
wajib menyampaikan Laporan Tahunan kepada Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) untuk memperoleh pengesahan. Sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, laporan tahunan dimaksud adalah
laporan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
162
Di dalam melakukan evaluasi kinerja manajemen BUMN, RUPS
dapat meminta dilakukan 4 jenis audit, yaitu General Audit, Internal
Audit, Management Audit dan Complience Audit.
General Audit adalah pemeriksaan catatan akuntansi perseroan
oleh akuntan publik yang berijazah independen. Auditor harus
mengikuti prosedur pemeriksaan yang diterima secara umum.
Dokumen sumbernya diperiksa untuk mendapatkan keabsahan
transaksi yang kuat. Dalam General Audit tersebut, akuntan publik
akan memberikan pendapat (opini) atas kewajaran dari laporan
keuangan Perseroan.
Internal Audit adalah pemeriksaan terhadap prosedur dan
operasi perusahaan oleh internal auditor untuk memastikan bahwa
prosedur tersebut sesuai dengan kebijakan perusahaan.
Management Audit adalah penilaian terhadap efisiensi manajemen.
Complience Audit adalah pemeriksaan terhadap ketaatan
perusahaan didalam melaksanakan seluruh ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa UU Migas
adalah merupakan penjabaran lebih lanjut yang telah sesuai dan tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945, mengingat hal-hal sebagai berikut:
1. Regulasi di sektor migas sebagaimana tertuang dalam Undang-undang
tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 33 UUD Tahun
1945 yang telah sesuai dengan ayat (5) Pasal 33 yang mengamanatkan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 33 ayat (1) sampai dengan
(4) diatur lebih lanjut dengan undang-undang, yaitu bentuk penguasaan
oleh negara diwujudkan melalui penguasaan secara regulasi.
2. Sesuai dengan sistem ketatanegaraan berdasarkan Pasal 33 UUD
Tahun 1945, Pemerintah melaksanakan fungsi selaku penguasa
163
(regulator) dan pengusaha (operator). Selaku operator, Pemerintah
melaksanakan tugasnya sebagai pembina dan pengawas BUMN
(RUPS/Pemilik Modal) bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya
tunduk kepada regulasi yang dikeluarkan oleh regulator. Fungsi
Pemerintah selaku operator akan lepas secara bertahap dan diserahkan
kepada sektor swasta. Pemerintah akan lebih memfokuskan diri pada
fungsi regulator. Hanya BUMN tertentu yang dianggap penting dan
strategis yang dimiliki negara.
3. BUMN sebagai salah satu pelaku usaha di Indonesia, selain BUMD,
swasta dan koperasi, merupakan badan usaha yang tunduk kepada
ketentuan dan mekanisme korporasi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bidang korporasi, yaitu UU PT, UU
Pasar Modal, dan UU BUMN. Sebagai korporasi BUMN berbeda dengan
swasta hanya dari segi kepemilikan modalnya. Modal BUMN dimiliki oleh
negara. Mekanisme kepengurusan dan pengawasan BUMN tidak
berbeda dengan mekanisme kepengurusan dan pengawasan yang
berlaku terhadap pelaku usaha lainnya.
4. Dalam rangka penyehatan BUMN, termasuk PT. Pertamina (Persero),
Pemerintah telah menetapkan kebijakan pada tataran normatif, yaitu
dengan disahkannya UU BUMN pada tanggal 19 Juni 2003. Sedangkan
pada tataran operasional, Pemerintah telah menyusun Master Plan
BUMN Tahun 2002-2006 yang pada intinya mendorong penyehatan
BUMN melalui 3 pilar utama reformasi, yaitu restrukturisasi, privatisasi,
dan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
5. Restrukturisasi terdiri dari restrukturisasi eksternal (sektoral) dan
restrukturisasi internal (perusahaan) yang terdiri dari restrukturisasi di
bidang keuangan, operasional, SDM, organisasi, dan manajemen.
Restrukturisasi perusahaan dimaksudkan agar perusahaan dapat
mencapai kinerja yang optimal, mempunyai daya saing yang kuat dalam
menghadapi perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan
kompetitif, sehingga dapat hidup berkelanjutan, memberikan kontribusi
164
kepada negara dan masyarakat berupa dividen, pajak, penyerapan
tenaga kerja dan layanan berupa barang dan jasa yang optimal.
Sedangkan restrukturisasi sektoral terutama ditujukan kepada sektor-
sektor yang dilakukan proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli
alamiah. Restrukturisasi merupakan kewenangan regulator untuk
menciptakan iklim usaha yang sehat, sehingga terjadi kompetisi yang
sehat, efisiensi, dan pelayanan yang optimal.
6. Dalam kaitannya dengan privatisasi, privatisasi dilaksanakan
berdasarkan pertimbangan strategis bahwa asas kemanfaatan lebih
diutamakan daripada asas kepemilikan. Privatisasi dilakukan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban dan kewajaran melalui konsultasi dengan DPR
dengan memperhatikan regulasi sektoral yang berlaku.
7. Ketenagakerjaan atau status karyawan BUMN, sebagaimana dinyatakan
dalam UU BUMN, bahwa karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN
yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya
ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dengan
demikian, karyawan BUMN statusnya sama seperti karyawan badan
usaha lainnya, termasuk segi profesionalismenya.
a) Berkaitan dengan PHK, di dalam UU BUMN telah dijelaskan bahwa
PHK merupakan upaya terakhir, yaitu hanya dilakukan dalam
keadaan yang sangat terpaksa apabila upaya-upaya restrukturisasi
internal lainnya tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan.
Namun demikian, sedapat mungkin PHK tidak akan merugikan atau
mengabaikan hak-hak karyawan yang terkena PHK. Hak-hak
karyawan akan dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
b) Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak konstitusional Pemohon,
yang dengan diundangkannya UU Migas merasa bahwa hak-haknya
165
tersebut akan terkurangi atau dirugikan, maka dapat disampaikan
bahwa Undang-Undang tersebut tidak terkait langsung dengan hak-
hak konstitusional dimaksud. Undang-Undang tersebut mengatur
kegiatan usaha di sektor migas, serta merupakan reformasi atau
restrukturisasi sektoral di bidang migas yang mempunyai kaitan
langsung dengan seluruh pelaku usaha di Indonesia, termasuk PT.
Pertamina (Persero). Tujuannya adalah menciptakan iklim
perekonomian yang sehat dengan lebih memfungsikan dan
memperkuat fungsi Pemerintah selaku regulator yang mempunyai
kewenangan mengatur dan melakukan law enforcement terhadap
semua pelaku usaha demi terciptanya iklim usaha yang kondusif
dalam menghadapi persaingan global.
8. BUMN didirikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
hal ini sesuai dengan UU BUMN (Pasal 2) bahwa maksud dan tujuan
pendirian BUMN adalah untuk: (i) memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan
negara pada khususnya; (ii) mengejar keuntungan; (iii)
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak; (iv) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang
belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; (v) turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
9. Bila dalam restrukturisasi terdapat ekses yang kurang menguntungkan
terhadap BUMN pada suatu sektor, dalam hal ini dan migas, maka
masalah tersebut harus dilihat dari sudut kepentingan nasional yang
lebih luas. Penyelesaian terhadap masalah yang berkaitan dengan
kepentingan karyawan, serikat pekerja, dan pensiunan, sudah diatur
dalam Undang-undang tersendiri, yaitu diatur dalam Undang-undang
korporasi, termasuk di dalamnya Undang-undang ketenagakerjaan.
Dengan demikian, penyelesaiannya tidak relevan apabila diajukan
166
kepada Mahkamah Konstitusi dengan alasan melanggar hak-hak
konstitusional seperti disampaikan oleh Pemohon.
10. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami memohon kepada Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat yang memeriksa dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk berkenan menerima
keterangan kami ini seluruhnya dan untuk selanjutnya memutuskan:
a) Menyatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar
1945.
b) Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi sah dan berlaku sebagai undang-undang yang
mempunyai kekuatan hukum di wilayah Republik Indonesia.
Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah telah
mengajukan Ahli yang semuanya dibawah sumpah/janji pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Soedjana Safei, M.sc., SE. - Bahwa masalah yang paling pertama dan yang paling harus
mendapatkan perhatian utama adalah kalau membicarakan dunia
kompetisi adalah permainan yang harus dapat dilakukan dalam aturan
main yang demikian ini. Bagaimana membuat aturan main inilah menjadi
segi-segi utama dari pada sesuatu yang harus dilaukan. Akan tetapi satu
hal yang perlu di catat di sini pula bahwa kita tidak mulai dari titik nol.
Kita mulai dari pengalaman-pengalaman bermacam dunia, pasarannya
di dunia tercatat ada yang dalam laporan-laporan yang sifatnya ilmiah
dalam jurnal-jurnal prosesnya dan sebagainya, sehingga kita bisa mulai
mempelajari market rules ini untuk kemudian melewati masalah-maslah
167
itu, sehingga kita bisa membuat apa yang namanya market rules yang
cocok untuk kepentingan kita. Salah satu point yang penting di dalam
market rules yang nantinya harus kita lakukan adalah yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 dimana perekonomian
nasional diselenggarakan dan salah satu point adalah efisiensi
berkeadilan. Apa itu yang namanya efisiensi berkeadilan. Kalau bicara
efisiensi berkeadilan dalam dunia listrik di mana dilakukan dalam suatu
pasar, maka ini pengertian efisiensi di dalam ekonomi itu mempunyai
suatu pengertian khas, pengertian khusus. Dia melihat terutama kepada
percaturan antara supply and demand, lalu di situ dilihat pertama-tama
kalu kita mengatakan kompetisi diberikan kepada para suplyer tenaga
listrik itu berarti mereka akan kompititif di dalam harga dan di sini yang
penting adalah harga-harga tersebut diajukan dalam suatu pelelangan
biasanya. Orang-orang itu mengajukan harga jelas ingin menuju kepada
harga yang rendah. Akan tetapi suatu suplyer tidak bisa menurunkan
harganya serendah mungkin dia ada suatu batas yang dia harus tidak
bisa lampaui istilahnya batas tersebut secara ilmiahnya adalah yang
namanya margin of course of production itu adalah satu harga yang dia
tidak bisa turun dari situ, kalau dia turun itu tidak rasional karena the
margin of production itu adalah harga dari pada masing-masing genset.
Kalau sekarang suplyer itu biasanya aturan prakteknya adalah bahwa
masing-masing suplyer harus mengajukan kurva-kurva dari pada biaya-
biaya mereka. Kalau harus tersebut kemudian dilelangkan yang
pertama-tama masuk adalah yang cost yang paling murah sampai dia
mendapatkan maksimal power yang diambil. Kemudian baru yang
kedua, yang ketiga dan yang keempat sampai titik dicapai bahwa jumlah
daya itu adalah daya yang diminta pada suatu saat. Pada saat daya
yang diminta pada suatu saat tersebut itulah harganya yaitu kalau secara
teori mengatakan titik keseimbangan kompetisi. Yaitu titik keseimbangan
antara yang diminta (demand) dan apa yang bisa di suply jelas yang
paling akhir masuk adalah harga yang termahal. Itu berarti bahwa genset
yang paling murah mendapatkan suatu keuntungan yang dalam istilah
168
ekonominya disebutkan adalah escacity rent yaitu sewa kelangkaan
karena pada waktu dia masuk dayanya itu lebih besar dari pada saat dia
masuk yang pertama-tama dia menjadi generator yang langka akan
tetapi pada saat akhir dia mendapatkan beda antara harga yang terjadi,
harga dia itulah keuntungan dia. Dan ini yang penting bahwa pada saat
keseimbangan itu terjadi di dalam ekonomi dikatakan adalah an economic equilibrium, economic equilibrium is efisien itulah dalam teori
ekonomi dikatakan bahwa suatu keseimbangan kompetisi adalah efisien.
Ini perlu penjelasan sedikit, apa artinya suatu keseimbangan kompetisi is
efisien itu berarti bahwa harga ditentukan atas dasar supply dan
demand. Para suplyer pada saat itu mengajukan harga listrik semampu
mereka masing-masing sesuai dengan yang mahal mendapatkan harga
yang terakhir akan dinilai dia tidak mendapatkan surplus khusus, akan
tetapi kalau harga itu kemudian terbentuk maka apa yang terjadi? Yang
terjadi dua hal ditinjau dari segi pemakai itu adalah suatu harga titik
dimana para pemakai mengatakan inilah harga daya, ini yang saya sukai
yang bisa saya capai. Para suplyer mengatakan inilah harga yang bisa
kita berikan. Titik keseimbangan tersebut itu kemudian mengatakan
ditinjau dari segi suply yaitu adalah dia mendapatkan suatu keuntungan
karena daya, karena buat dia itulah harga yang terbaik yang dia bisa
capai dari segi pemakai itu ada juga demikian, yaitu adalah yang
namanya consumer surplus itu adalah titik itu yang dia capai karena dia
tidak bisa mendapatkan titik lebih baik dari pada titik itu. Dengan
demikian, maka kedua keseimbangan tersebut yang dalam istilah-istilah
ilmiahnya mengatakan memaksimalkan keuntungan baik itu ditinjau pada
segi pemakai maupun ditinjau dari segi supply. Dengan demikian titik itu
yang kita sebut sesuatu titik berkeadilan. Keadilan efisiensi yang
berkeadilan dan titik ini kalau itu dicapai dalam satu sistem kompetisi
adalah yang paling baik, baik suplyer maupun baik oleh pemakai, dua-
duanya pada titik itu maka itu suatu sistem kompetisi harus dilihat pada
skala panjang, tidak bisa dilihat pada skala pendek karena harga rata-
rata yang diambil oleh seorang suplyer adalah yang terbaik pada
169
akhirnya untuk masyarakat. Dengan demikian, maka pada titik itu suatu
efisiensi untuk yang berkeadilan dicapai.
2. Dr. Soetomo Soedomo - Bahwa ahli menekankan pada terjadinya perubahan dalam kaitannya
dengan very time ship. Undang-undang Migas maupun kelistrikan itu
muncul atau mau tidak mau harus dilahirkan kembali oleh karena harus
menyikapi berbagai perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan yang
terjadi itu adalah hanya terutama ditujukan pada keseimbangan-
keseimbangan baru dan tatanan-tatanan baru untuk atau pun dalam
rangka meningkatkan nilai ekonomis. Nilai ekonomis itu adalah titik temu
keseimbangan antara berbagai pihak, baik itu nilai ekonomis dari sisi
produser maupun consumer juga nilai-nilai yang didapat oleh Pemerintah
dalam hal ini. Dalam hal ini lebih ditekankan pada ketahanan nasional.
National security itu adalah sesuatu yang harus dipunyai oleh setiap
negara dan pernah juga terjadi terdapat ketidak seimbangan itu bahkan
di negara besar, negara Amerika itu pernah ditahun 1973 mengalami
energy crisis dimana tahun 1973 tersebut bahkan di Hari Raya Natal
terpaksa dipadamkan dan tidak dapat merayakan Natal dengan
semestinya. Ini adalah satu sejarah bahwa bukan hanya negara kecil
atau pun besar bukan juga tadi disebutkan miskin atau kaya, semua
negara itu harus tinggi ketahanan nasionalnya dalam hal ini lebih
ditekankan dengan sendirinya ketahanan nasional di bidang energi.
- Bahwa Undang-undang Migas dan Kelistrikan itu tetap menjamin
tersedianya baik itu BBM maupun listrik yang memadai bagi seluruh
wilayah Indonesia dengan sendirinya itu akan ada tahapan-tahapannya
dan kalau itu dikaitkan dengan pengusahaan, maka di daerah-daerah
yang sudah memungkinkan untuk berkompetisi itu akan dibuka iklim
kompetisi tadi, sehingga fungsi regulasi, fungsi Pemerintah itu akan lebih
tertuju dan lebih difokuskan pada regulasi. Sebagai regulator akan tetap
memegang kendali dari semuanya, sehingga penguasaan oleh
Pemerintah, oleh negara dalam hal ini juga tetap akan seperti yang
170
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi dalam Undang-
undang Migas maupun Kelistrikan secara konstitusi kedua undang-
undang tadi tidak bertentangan sama sekali bahkan itu mendukung dan
menjabarkan lebih lanjut amanat Undang-Undang Dasar 1945. Mungkin
dalam realitanya di sana-sini itu masih ada berbagai ekses seperti
misalnya saja dalam hal di berita ada kelangkaan bahan bakar dan
sebagainya, tetapi itu adalah masalah implementasi teknisnya. Jadi, kita
harus dalam very time ship ini harus betul-betul bisa memilahkan dan
membedakan mana yang berkaitan langsung dengan konstitusi dan
mana yang sifatnya adalah implementasi yang mungkin saja itu adalah
dapat disebabkan oleh karena belum semestinya suatu tatanan yang
baru atau pun juga mungkin dari pelaku-pelakunya. Ahli berpendapat
bahwa secara konstitusi Undang-undang Migas dan Undang-undang
Kelistrikan dalam hal ini adalah justru mendukung sepenuhnya Undang-
Undang Dasar 1945.
3. Dr. Mohammad Ikhsan - Bahwa kata kuncinya adalah efisiensi. Teori ekonomi menunjukkan
bahwa hanya kompetisi saja yang memungkinkan efisiensi itu bisa
tercapai. Tetapi di dalam kasus listrik memang karakteristiknya unik, dia
punya sifat monopoli alamiah, sehingga tidak bisa sepenuhya dilepas
kepada pasar. Dalam sejarahnya ada 2 (dua) mazhab di dunia, yang di
Eropa melalui pemilikan Pemerintah, sedangkan yang di Amerika Serikat
melalui regulasi yang lebih ketat. Yang di Eropa ini yang kira-kira yang
mendasari pemikiran founding father Mohammad Hatta yang mewarnai
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi pengalaman sejarah
menunjukkan asumsi-asumsi yang dipakai dalam pemilikan Pemerintah
itu salah, asumsi bahwa BUMN akan dipegang oleh Anas Broker
ternyata pengalaman sejarah Pertamina penuh dengan skandal, PLN
juga lebih kurang dalam degree yang lebih rendah, kemudian BUMN itu
juga rugi lalu sasaran elektrifikasi sukar dicapai kemudian teknologi dan
ilmu ekonomi juga berkembang merespon dari perubahan-perubahan
171
yang ada di sini yang tadinya monopoli alamiah ternyata bisa dipilah-
pilah makanya kenapa muncul unbundling. Gelombang itu kembali mulai
berubah banyak di Eopa dimulai dengan di Inggris, mereka melakukan
unbundling, kemudian privatisasi yang terakhir dilakukan juga oleh
Prancis. Prancis ini kebetulan yang menjadi mazhab dari PLN dan
sekarang tahun ini mereka melakukan langkah yang lebih maju. Dewasa
ini memang ada gugatan terhadap kompetisi di listrik, tetapi tak ada satu
pun negara yang melakukan perubahan itu balik lagi kepada single
integrated monopoly, yang ada hanya perubahan dalam market rules.
Market rules yang kira-kira cocok diganti yang lain, kemudain parameter
kedua, apakah menguntungkan negara atau tidak, kita lihat pada
kontribusi kepada pajak. Untuk Migas ada 2 parameternya, yang
pertama sejauh mana undang-undang ini bisa menginkaris produksi
Migas, yang kedua bisa melalui Pertamina itu bisa meningkatkan
penerimaan baik dividen maupun pajak. Kalau dilihat trend yang ada,
undang-undang yang lama tidak akan mampu menginkaris orang untuk
masuk ke dalam kegaitan produksi Migas.
Kemudian yang kedua, kalau dilihat kontribusi Pertamina sukar sekali
mencari berapa banyak Pertamina mampu masuk ke dalam memberikan
kontribusi ke negara. Kalau dibandingkan antara Pertamina dengan
Medco misalnya sama-sama perusahaan yang dikelola oleh orang
Melayu, yang satu produksinya terus meningkat, yang satu Pertamina
produksinya terus menurun, jadi sukar untuk mengharapkan kontribusi
dari BUMN ini. Kemudian kontribusi PLN pun dari sisi pajak sepanjang
ahli menjabat Komisaris Independen di sana selama 3 tahun PLN itu
mengalami kerugian, mungkin baru tahun ini PLN itu bisa mendapatkan
keuntungan yang sangat kecil. Oleh karena itu, dari segi untuk
mempertahankan produksi undang-undang ini sangat baik karena
menghilangkan beban Pertamina yang punya macam-macam tugasnya
sehingga mereka bisa konsentrasi pada kegiatan produksi. Jadi undang-
undang ini menjawab amanat efisiensi, amanat dari penerimaan negara
dan juga memperkuat fungsi regulasi. Kalau untuk mencegah ekses dari
172
kompetisi bukan di undang-undangnya yang harus diperbaiki tetapi
bagaimana memperkuat fungsi regulatornya.
Jadi Pemerintah itu yang harus diperkuat fungsi regulatornya melalui
Badan Pengawas Tenaga Listrik, kemudian BP MIGAS dan BP Hilir
Migas itu yang harus diperkuat supaya kepentingan dari negara itu bisa
tercapai. Kemudian parameter ketiga adalah, apakah merugikan
masyarakat atau tidak. Harus dilihat dari 2 (dua) indikator, pertama
adalah aksesibilitas masyarakat dan harga. Seperti yang dikatakan tadi,
bahwa kalau hanya mengandalkan kepada Pemerintah, pada PLN dalam
hal ini, untuk mencapai elektrivikasi ratio 100% membutuhkan mungkin
15 atau 20 tahun lagi. Jadi sangat sukar diharapkan, oleh karena itu
harus memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk meningkatkan
eksesibilitas, karena dengan eksesibilitas yang sangat rendah itu sangat
tidak menguntungkan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap
listrik itu.
Jadi ada unsur-unsur untuk mensuport masyarakat yang miskin. Jadi
kalau dilihat dari sini justru undang-undang ini lebih memperjelas
sasaran dari subsidi, dan yang kedua adalah menguntungkan dari rumah
tangga miskin yang selama ini tidak menikmati listrik. Adalah tidak adil
kalau misalnya digunakan sistem sekarang yang biaya kerugian dari
PLN itu harus ditanggung oleh semua masyarakat Indonesia lewat
anggaran selama ini disubsidi oleh Pemerintah semuanya harus
menanggung. Padahal seharusnya hanya konsumen listrik saja atau
konsumen BBM yang menanggung beban subsidi ini. Sama seperti
kasus BBM menunjukan dari data Susenas yang diterbitkan oleh BPS
yang dikumpulkan BPS 80% subsidi BBM kecuali minyak tanah itu
dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak menerima subsidi itu. Jadi
undang-undang ini jelas memberikan kesempatan mengarahkan kembali
subsidi itu agar benar-benar mencapai kepada sasarannya.
4. Bambang Brojenegoro
173
- Bahwa mengenai kompetisi, kaitannya dengan unbundling, maka
hendaknya menggunakan kondisi yang sama, dan di sini intinya adalah
keterbukaan transparansi dan perlakuan yang sama, sehingga untuk
BUMN itu juga sudah dipikirkan dan juga sudah diterapkan sebetulnya
yang disebut sebagai pemberian free vilik, jadi meskipun pada dasarnya
itu akan diperlakukan sama dengan kontraktor yang lain, BUMN dalam
hal ini Pertamina akan tetap mendapatkan hak istimewa dari Pemerintah.
Untuk masalah hilir tatanan yang ada saat ini bisa dilihat bahwa sebagai
contoh PBN, harga di Jakarta dengan harga di Puncak Gunung
Jayawijaya misalnya itu sama, apabila itu sentral listrik maka untuk
menjangkau daerah-daerah terpencil dan sebagainya akan tinggi sekali
dan itulah juga subsidi yang meningkat, yang sudah ditelaah.
Saat ini adalah konsep regionalisasi dimana sebagai contoh misalnya
untuk wilayah barat oleh karena itu dekat dengan pasar, maka sumber-
sumber itu akan diambilkan dari pasar, tetapi kalau untuk wilayah timur
misalnya saja BBM itu akan bisa diadakan atau pun dibeli dari negara
tetangga yang terdekat, itu antara lain akan mengurangi juga masalah
transportasi.
Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan dipersidangan,
Ahli yang diajukan Pemerintah juga memberikan Tambahan Keterangan Secara
Tertulis yang diserahkan oleh Pemerintah pada Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 11 Agustus 2004, yaitu Keterangan Tambahan Secara
Tertulis dari: Dr. Mohammad Ikhsan, Dr. Ir. Rachmat Sudibjo, Dr. Ir. Kardaya
Warnika, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Dan Dr. Sutomo Sudomo;
Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah selain
mengajukan Ahli juga mengajukan dokumen-dokumen yang antara lain berupa:
1. Dokumen berjudul “Kebijakan Investasi Bidang Migas” beserta lampirannya;
2. Daftar Kontrak Kerjasama (KPS) Migas;
3. Daftar Investasi Pengembangan Lapangan (POD) Migas;
4. Daftar Kontrak Jual Beli Gas Bumi;
174
5. Realisasi Penerimaan Negara Dari Sektor Migas;
6. Data Pendukung Judicial Review Undang-Undang No.22 Tahun 2001
Tentang Minyak Dan Gas Bumi;
7. Fotokopi Daftar Hadir Anggota Dalam Acara Rapat Paripurna DPR RI,
Tahun Sidang 2001 – 2002, Masa Persidangan I, Ke 17, Hari Selasa,
tanggal 23 Oktober 2001;
8. Fotokopi Dafta Kehadiran Pejabat Departemen/Lembaga/Instansi
Pemerintah Dalam Rapat Paripurna Dewan Masa Persidangan I Tahun
2001 – 2002, Ke 17, Hari Selasa, tanggal 23 Oktober 2001;
9. Fotokopi Daftar Hadir Anggota Dalam Acara Rapat Paripurna DPR-RI,
Tahun Sidang 2002 – 2003, Masa Persidangan I, Ke 5, Hari Rabu, tanggal 4
September 2002;
10. Fotokopi Butir-Butir Kesepakatan Antara Pemerintah Indonesia Dengan
IMF, Universitas Widya Gama;
11. Surat bertanggal 10 September 2004 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat, tanggal 10 September 2004.
Keterangan Tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bertanggal 10 Pebruari 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2004
I. Mengenai Syarat Permohonan 1. Kapasitas Pemohon:
Bahwa Pemohon I, II, III, dan IV, dan VI bukan merupakan pihak yang
dapat dianggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon: a. Bahwa para Pemohon I, II, III, dan IV menguraikan hak
konstitusionalnya secara kabur bahkan tidak jelas. Mereka semata-
mata ingin melakukan perjuangan untuk dan atas nama orang/pihak
lain tanpa hak kuasa dan oleh karena itu tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
175
b. Bahwa Pemohon V sebagai badan hukum mengajukan permohonan
atas dasar perkiraan atau asumsi, bukan fakta hukum dengan
menyatakan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akan
menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan pekerja PT.
Pertamina khususnya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya maupun bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
c. Bahwa Pemohon VI sebagai individu semata-mata ingin menguraikan
dan meperjuangkan hak atas kebutuhan dasar manusia secara umum
seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, bukan memperjuangkan
hak dan atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh UU
No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
3. Syarat formalitas permohonan a. Bahwa pembahasan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi dilakukan
sesuai dengan mekanisme pembahasan dan pengambilan keputusan
berdasarkan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Keberatan seorang atau beberapa anggota DPR dalam pengambilan
keputusan adalah salah satu sikap dalam pengambilan yang dihargai
oleh DPR.
b. Bahwa para Pemohon tidak menjelaskan bagian mana dari UU No. 22
tahun 2001 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon
membuat uraian yang bersifat umum dan kabur dengan membuat
perkiraan fakta sejarah pengelolaan dan pengusahaan minyak dan gas
bumi, kuasa pertambangan, pengertian penguasaan negara,
kewenangan penjualan minyak dan gas bumi tanpa menguraikan
perubahan-perubahan dari sejarah perminyakan itu sendiri. Pemohon
semata-mata ingin mempertahankan suatu perilaku atau norma hukum
yang berlaku pada masa lalu, padahal nilai atau norma itu sendiri sudah
tidak cocok dengan keadaan masa sekarang, apalagi jika diprediksikan
pada masa depan (futuristik). Oleh karena itu syarat formalitas
176
permohonan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (3).
Berdasarkan uraian di atas permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 karenanya permohonan Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima. II. Mengenai Pokok Materi Permohonan
1. Mengenai Formil Pengesahan Undang-undang
Bahwa setiap rancangan undang-undang yang dibahas oleh DPR
bersama dengan Pemerintah didasarkan pada mekanisme sebagaimana
diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Rancangan Undang-Undang
tentang Minyak dan Gas Bumi yang sekarang menjadi Undang-Undang
No. 22 tahun 2001 pembahasannya dilakukan berdasarkan mekanisme
yang lama atau sebelum diadakan perubahan tingkat pembahasan RUU
di DPR dari empat tahap menjadi dua tahap yaitu tahap pertama
keterangan pemerintah, kedua pandangan fraksi-fraksi, ketiga
pembahasan dalam Komisi VIII, dan keempat pengambilan putusan
dalam rapat Paripurna. Berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPR pembahasan atas RUU tentang Minyak dan
Gas Bumi tidak terdapat kekurangan atau penyimpangan. Setiap
pengambilan keputusan baik dalam Rapat Komisi VIII yang merupakan
pembahasan tingkat III berdasarkan data absensi kuorum rapat selalu
terpenuhi. Demikian juga pada saat pengambilan keputusan atas
persetujuan DPR terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi pada
Rapat Paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 telah sesuai dengan
kuorum Rapat yaitu dihadiri oleh 348 orang dari 483 orang anggota DPR.
Dengan demikian kuorum rapat dan pengambilan keputusan atas RUU
tentang Minyak dan Gas Bumi telah terpenuhi dan keputusan yang
diambil adalah sah sesuai dengan Paraturan Tata Tertib DPR No.
03A/DPR RI/2001-2002 serta tidak terdapat pertentangan dengan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 UU No. 4 tahun 1999 tentang
177
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Bahwa terdapat sebanyak 12 orang anggota yang menyatakan
keberatan atau yang lazim dikenal "minderheidsnota" pada saat
pengambilan keputusan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi dalam
Rapat Paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 dapat diterangkan
bahwa sikap seperti itu merupakan suatu bentuk dan praktek demokrasi
dalam pengambilan keputusan di DPR. Selain "minderheidsnota"
seorang atau beberapa orang atau fraksi dalam pengambilan keputusan
dapat menyatakan persetujuan, penolakan/tidak sejutu, atau abstain atas
sebagian atau keseluruhan hal yang dimintakan persetujuan dalam rapat
untuk diambil keputusan. Minderheidsnota bukan merupakan
penolakan/tidak setuju secara penuh, tetapi memperkenankan
dilaksanakan pengambilan keputusan dimana dalam keputusan
diberikan catatan dari anggota yang menyatakan "minderheidsnota"
tersebut. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atas RUU
tentang Minyak dan Gas Bumi pernyataan 12 orang anggota Dewan
dijadikan catatan "nota" dan itu dibacakan sebagai "minderheidsnota".
Dengan demikian "minderheidsnota" kendati dihargai sebagai sikap dan
praktek dalam pengambilan keputusan, namun tidak mempunyai sifat
menghambat atau membatalkan suatu persetujuan.
3. Bahwa berdasarkan uraian di atas, tidak terdapat alasan untuk
menyatakan pembahasan RUU tentang Minyak dan Gas Bumi
bertentangan atau menyimpang dari prosedur formil.
4. Mengenai Pokok Materi Permohonan
1. Bahwa filosofi suatu undang-undang dapat diperhatikan dari dua hal
yaitu pertama berkenaan dengan badan yang membentuk dan kedua
substansi undang-undang itu sendiri. Apabila suatu undang-undang
dihasilkan berdasarkan kewenangan membentuk undang-undang,
maka secara formil undang-undang tersebut dilandasi filososi negara
yang bersangkutan. Sedangkan secara substantif jelas filosofi suatu
178
undang-undang dapat diperhatikan dalam konsideran menimbang
dan pada batang tubuh undang-undang yang bersangkutan.
Undang-undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah, itu berarti bahwa secara
filosofis pembentukan Undang-undang No.22 tahun 2002 sesuai
dengan filosofi yang terkandung dalam UUD 1945. Selanjutnya
Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
secara tegas mencantumkan asas dalam Bab II yaitu berasaskan
ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keseimbangan,
kemakmuran bersama, dan kesejahteraan rakyat banyak,
keamanan, keselamatan, kepastian hukum serta berwawasan
lingkungan dan tidak ada satu pasal atau ayat dalam Undang-
undang ini yang menyatakan "berdasarkan pada filosofi liberalisme".
Oleh karena itu dapat dikatakan sepenuhnya Undang-uUndang ini
berlandaskan pada filosofi negara Republik Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945.
2. Bahwa UUD 1945 sesungguhnya tidak menolak liberalisme sebagai
suatu ajaran atau teori dalam ilmu pengetahuan. Namun liberalisme
jelas tidak merupakan ideologi dalam UUD 1945. Pernyataan para
Pemohon bahwa Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi berlandaskan ideologi liberalisme sesungguhnya tidak
menggunakan cara pandang yuridis, melainkan cara pandang filsafat
dengan mencoba menguji suatu fakta atau norma dengan nilai-nilai
atau teori-teori yang ada misalnya Undang-undang dinilai dari sudut
disiplin ilmu tertentu, contoh liberalisme dari sudut ilmu ekonomi.
Cara pandang seperti itu jelas akan memungkinkan terjadinya
kesewenangan bagi setiap orang untuk melakukan penafsiran yang
pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian di dalam
penyelenggaraan hak uji formil dan materiel atas suatu Undang-
undang.
Apabila liberal dipahami sebagai kebebasan sebagaimana
dikemukakan oleh Pemohon, menurut DPR justru UUD 1945
179
memberikan jaminan kebebasan dan hal itu hendaknya dipahami
secara positif. Oleh karena itu filosofi dalam Undang-undang No. 22
tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945, Undang-uUndang tersebut justru
membagi tugas dan peran negara kepada badan-badan lain serta
memberikan peran kepada masyarakat berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU N0. 22 tahun 2001.
3. Bahwa Pasal 33 ayat (2) menyatakan, Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Dalam hubungan pengertian negara terdapat
unsur rakyat, wilayah, pemerintah. Dalam konteks pemerintahan
dengan sistem demokrasi, kedaulatan rakyat dihargai clan diberikan
posisi yang kuat. UUD 1945 sebagai hukum dasar negara tertinggi
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pertanyaan
sekarang apa yang dimaksud dengan dikuasai negara di dalam
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Dilihat dari perngertian kedaulatan,
maka kata dikuasai negara bukan berarti memiliki, tetapi sebagai
organisaasi yang bernama negara diberikan kewenangan.
Berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) dapat dimungkinkan timbulnya hak-hak, misalnya
hak pengelolaan, hak pengusahaan. Hak menguasai negara dalam
hubungan minyak dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan
menentukan status hukum pengelolaan dan pengusahaan atas
minyak clan gas bumi. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi hak menguasai negara diatur
berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha migas yang
terdiri dari kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Menurut
pendapat DPR sebagian kewenangan negara dalam pengelolaan
dan pengusahaan migas dapat diserahkan kepada badan usaha dan
bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No.22 tahun 2001, sedangkan pengaturan clan pengawasan
kegiatan usaha migas tetap ada pada Pemerintah sebagai
180
pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Dilihat dari
aspek kedaulatan rakyat serta hak mengatur dan menentukan
kegiatan usaha migas, maka pengaturan hak menguasai negara
tidak hilang dan Undang-undang ini jelas tidak bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 bahkan dapat dikatakan ini merupakan
bentuk dan implementasi asas ekonomi kerakyatan dan demokrasi.
Pengertian cabang-cabang produksi yang penting dan strategis serta
menguasai hajat hidup orang banyak, menurut pendapat DPR tidak
berarti bahwa negara memiliki dan mengusahakan tetapi
pengusahaan dari sudut pandang ekonomi dapat diserahkan kepada
pihak lain, namun hak pertambangan "mining rights tetap ada pada
Pemerintah dalam bentuk pengaturan dan pengawasan dan hal
tersebut jelas sudah diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun
2001.
4. Bahwa Undang-undang No. 22 tahun 2001 mengatur mengenai
Badan Pelaksana. Salah satu tugas Badan Pelaksana adalah
menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara.
Penunjukan tersebut dilakukan dengan persyaratan harus
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Dari aspek
hukum perjanjian penunjukan tersebut mengharuskan dibuat dalam
bentuk kontrak/perjanjian dengan pembeli minyak dan/atau gas,
karena itu DPR berpendapat tidak ada alasan hukum untuk
meragukan akan terjadi kerugian negara sebagai akibat penunjukan
penjualan bagian negara atas minyak dan/atau gas bumi.
Standby Letter of Credit justru merupakan suatu jaminan dari si
Pembeli minyak dan gas dan hal tersebut merupakan salah satu
persyaratan bagi pembeli yang harus dimulai sejak penjualan minyak
dan gas dalam pasar domestik. Persyaratan seperti di atas dari
sudut hukum dagang adalah lazim dalam perdagangan.
BP MIGAS adalah badan hukum milik negara menjadi pihak dalam
Kontrak Kerja Sama. Keterlibatannya adalah dalam rangka
pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 44 ayat (1)
181
Undang-undang No.22 tahun 2001. Dengan demikian menurut DPR
keberadaan BP MIGAS dalam pemasaran dan penjualan gas
berkaitan dengan pengawasan, tidak bertindak sebagai pemain
bisnis dan karena itu tidak akan menambah mata rantai
pemasaran/penjualan migas bagian negara sebagaimana
dikemukakan oleh Pemohon.
Perubahan bentuk usaha Pertamina menjadi PT. Pertamina
(Persero) merupakan perubahan bentuk status badan hukum, tidak
berhubungan dengan keterbukaan dan kemudahan untuk menjual
perusahaan tersebut. Privatisasi atau penjualan suatu perusahaan
tidak semata-mata tergantung pada suatu perusahaan berbentuk
badan usaha milik negara atau swasta, tetapi tergantung pada
hukum yang mengaturnya. Demikian juga Kontrak Kerja Sama tidak
didasarkan pada ada tidaknya BUMN negara, tetapi bagaimana
negara atau Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan
memberikan kewenangan dalam jangka waktu tertentu kepada
Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap untuk melakukan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi. Dalam Pasal 14 Undang-undang No. 22
tahun 2001, telah diatur jangka waktu KKS selama 30 tahun dan
dapat diperpanjang selama 20 tahun. Oleh karena menurut pendapat
DPR tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa jika negara tidak
memiliki BUMN migas maka penggarapan wilayah kerja tidak lagi 30
tahun tetapi selamanya.
5. Bahwa Undang-undang No. 22 tahun 2001 merupakan kebijakan
nasional dibentuk dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Dalam pembentukan suatu undang-undang terdapat tiga aspek
penting meliputi filosofis, sosiologis, dan yuridis dan ketiga aspek
tersebut telah terdapat dalam Undang-undang No.22 tahun 2001.
Penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas bumi pada
mekanisme pasar menurut DPR didasarkan pada pertimbangan
ekonomi dan sosial. Secara ekonomis penyerahan harga
berdasarkan mekanisme pasar akan menguntungkan negara,
182
sehingga negara tidak lagi menanggung beban dalam bentuk subsidi
harga yang nyata-nyata lebih menguntungkan pengguna minyak dan
gas secara langsung melalui subsidi harga. Secara sosilogis
kebijakan dengan mensubsidi harga justru tidak akan dapat dinikmati
masyarakat yang memerlukan subsidi langsung. Oleh karena itu
ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang
No.22 tahun 2001 sudah tepat dimana negara tetap tidak
menghilangkan tanggung jawab sosialnya pada golongan
masyarakat tertentu yaitu pelangggan rumah tangga dan pelanggan
kecil. Penetapan harga migas melalui mekanisme pasar dalam
beberapa tahun terakhir ini telah dipraktekkan oleh Pemerintah dan
dalam penerapannya tidak muncul gejolak sosial yang dapat
menimbulkan disintegrasi negara. Pernyataan Pemohon bahwa
Undang-undang No. 22 tahun 2001 akan berpotensi memunculkan
disintegrasi menurut DPR adalah suatu sikap dan penilaian yang
berlebihan. Pasal 28 hendaknya dipelajari secara keseluruhan ayat.
Pada ayat (1) ditentukan bahwa Pemerintah wajib membuat
ketetapan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan
bahan bakar minyak sesuai dengan standar clan mutu dan pada ayat
(3) tanggung jawab sosial Pemerintah tidak berkurang terhadap
golongan masyarakat tertentu termasuk tentunya disini adalah
daerah yang berpendapatan rendah. Disamping itu dalam Undang-
undang ini juga diatur tentang Badan Pengatur dimana salah satu
tugasnya adalah mengatur distribusi bahan bakar minyak yang
menjadi kewajiban badan usaha.
6. Bahwa dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001 secara tegas
dirumuskan tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas
bumi. Dari enam tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak
dan gas bumi, salah satu adalah menjamin efektivitas pelaksanaan
dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi secara
berdaya guna, berhasil guna, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan
atas minyak dan gas bumi milik negara yang strategis dan tidak
183
terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan. Selain
tujuan yang telah dirumuskan secara tersurat, pembentukan
Undang-undang No. 22 tahun 2001 menurut DPR mempunyai
maksud justru untuk mengembangkan BUMN migas pada lingkup
yang lebih luas "word wide" dengan memisahkan fungsi wasit dan
pemain yang selama ini diperankan oleh BUMN migas. Hal tersebut
dapat diperhatikan dari kebijakan Pemerintah memberikan privelege
kepada BUMN misalnya:
- pembagian hasil 60 : 40 sudah termasuk pajak-pajak,
pungutan-pungutan dan iuran lainnya;
- untuk daerah-daerah yang "low risk" dapat diberikan langsung
kepada BUMN melalui penawaran langsung;
- BUMN dapat ditunjuk langsung sebagai penjual minyak dan gas
bumi bagian negara.
Dengan demikian menurut DPR, pendapat Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan Undang-undang No. 22 tahun
2001 akan membuka peluang penjualan BUMN migas dan hanya
akan menjadikan BUMN migas sebagai pemain minoritas di sektor
hulu tidak dapat dibenarkan. Mengenai retensi fee sebesar 5% dari
penerimaan kegiatan usaha hulu. Menurut DPR hal itu tidak terkait
dengan tugas Pertamina dalam rangka penyediaan dan distribusi
BBM untuk seluruh Indonesia. Retensi 5% terkait dengan fee atas
menejemen yang dilakukan Pertamina dalam rangka pelaksanaan
KPS. Tugas Pertamina dalam rangka penyediaan dan distribusi BBM
ke seluruh Indonesia semua biayanya ditanggung oleh Pertamina
dan atas pelaksanaan tugas tersebut Pertamina memperoleh fee.
Sesuai dengan Peraturan Peralihan Undang-undang No. 22 tahun
2001 tugas Pertamina tersebut hanya untuk masa transisi yang
selanjutnya tanggung jawab akan beralih kepada Pemerintah melalui
Badan Pengatur.
Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 2001, DPR berpendapat
bahwa BUMN Migas akan lebih leluasa melakukan kegiatan bisnis
184
secara profesional dan diharapkan akan mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan lain dengan landasan pemikiran "profit
making" dan peran sosialnya menjadi tanggung jawab Pemerintah.
7. Bahwa Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 yang dinyatakan para
Pemohon dapat melemahkan daya saing industri LNG nasional,
menurut DPR tidak benar. Undang-undang No. 22 tahun 2001 justru
membuka peluang daya saing industri LNG karena Undang-undang
ini sangat memperhatikan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana
diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Dalam Pasal 9 Undang-undang
No. 22 tahun 2001 dirumuskan bahwa kegiatan usaha minyak dan
gas bumi termasuk LNG dapat dilaksanakan tidak hanya oleh
BUMN. Penunjukan kepada hanya satu perusahaan tertentu untuk
melaksanakan niaga LNG Indonesia justru akan dapat menimbulkan
konflik kepentingan "conflict of interest" khususnya apabila
perusahaan tersebut juga sebagai penjual LNG yang tentu saja lebih
mengutamakan penjualan LNG dari kegiatannya sendiri. Selain itu
dalam pasar LNG telah terjadi pergeseran dari "seller's market" ke
buyer's market". Dalam hal ini penjual LNG hendaknya lebih
memperhatikan keinginan pembeli/pasar dimana kemungkinan pasar
lebih menghendaki perusahaan tertentu sebagai partnernya.
Undang-undang No. 22 tahun 2001 pada dasarnya sesuai dengan
tujuan pembentukan Undang-undang tersebut justru mengandung
maksud untuk mengembangkan industri minyak dan gas bumi yang
efisien, modern, dan mempunyai daya saing baik di tingkat nasional
maupun internasional. Oleh karena itu Undang-undang ini akan
memberikan kesempatan kepada setiap Badan Usaha yang memiliki
kemampuan dana dan teknologi untuk melakukan niaga LNG.
8. Bahwa pernyataan Pemohon mengenai Undang-undang No. 22
tahun 2001 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara
sebesar 69 triliun per tahun adalah suatu penilaian yang terlalu dini
dan tidak memiliki alasan yang kuat serta dapat dikatakan semata-
mata perkiraan karena tidak semua jenis BBM diimpor. Selain
185
Pertamina berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 2001 Badan
Usaha dapat ikut serta untuk penyediaan dan pendistribusian BBM
dalam negeri sehingga akan tercipta harga BBM dalam negeri
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan.
Sejak harga BBM mengikuti harga pasar, menurut pendapat DPR
tampak keuntungan secara bertahap yaitu adanya pengurangan
subsidi harga BBM yang selama bertahun-tahun dipertahankan
menjadi beban APBN. Disamping itu negara juga memperoleh
penerimaan dari pajak-pajak penjualan. Selanjutnya kendati harga
BBM mengikuti mekanisme harga pasar, hal terpenting menurut DPR
bahwa kebijakan tersebut tidak mengurangi tanggung jawab sosial
negara terhadap golongan masyarakat/konsumen tertentu yakni
masyarakat miskin.
9. Bahwa pendapat para Pemohon tentang Undang-undang No. 22
tahun 2001 dapat mengakibatkan kepentingan industri dalam negeri
dikalahkan oleh kepentingan asing dalam mendapatkan gas alam
menurut pendapat DPR adalah tidak benar. Undang-undang No. 22
tahun 2001 dalam Pasal 8 ayat (1) justru memberikan kewenangan
kepada Pemerintah untuk memberikan prioritas pemanfaatan gas
bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan hal tersebut diperkuat lagi
oleh ketentuan dalam Pasal 22 yang mewajibkan Badan Usaha dan
Bentuk Usaha Tetap untuk menyerahkan maksimum 25% bagiannya
dari hasil produksi gas bumi dalam rangka pemenuhan kebutuhan
dalam negeri. Berdasarkan ketentuan tersebut Badan Usaha dan
Bentuk Usaha Tetap justru tidak dapat secara bebas untuk menjual
gas bumi tanpa persetujuan Pemerintah dimana hal ini nantinya
menjadi salah satu obyek dalam pengawasan DPR.
10. Bahwa aset negara yang ada pada KPS sejak berlakunya Undang-
undang No. 22 tahun 2001 dikemukakan oleh para Pemohon
menjadi terancam sama sekali menurut DPR tidak benar. Menganai
kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan aset milik negara dalam
186
kegiatan usaha minyak dan gas bumi akan semakin jelas baik status
maupun pengaturannya. Aset milik negara yang ada di KPS yang
pengelolaannya dilakukan oleh BPMIGAS dan setelah berakhirnya
kontrak kerja sama, pembinaannya akan dilakukan oleh Pemerintah.
Itu berarti akan lebih mengamankan dan memudahkan pemanfaatan
aset negara tersebut. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22
tahun 2001 akan dapat dihindari penguasaan aset negara oleh orang
atau pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengelolaan aset negara
oleh suatu BUMN justru akan menimbulkan kerancuan yang pada
akhirnya dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab tersebut.
11. Bahwa penilaian para Pemohon mengenai beroperasinya Badan
Pelaksana Minyak dan Gas Bumi pada kegiatan hulu migas akan
menyebabkan pengurangan perolehan negara sama sekali tidak
benar. Dari segi pembiayaan, menurut DPR biaya yang dikeluarkan
oleh BPMIGAS akan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
biaya yang dikeluarkan oleh Pertamina sebagaimana dilakukan pada
masa lalu. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2001
justru banyak pos-pos pembiayaan Pertamina atau Direktorat
Management Production Sharing (MPS) yang akan berkurang yang
pada gilirannya akan meningkatkan perolehan negara. Oleh karena
itu jika diperhatikan dari aspek kebijakan, maka pengoperasian
Badan Pelaksana Migas pada sektor hulu justru akan
menguntungkan bagi negara. Selanjutnya apabila KPS ditunjuk
sebagai penjual, maka Pemerintah tidak lagi perlu untuk membayar
kompensasi/fee sehingga akan terjadi penerimaan negara dari pos-
pos yang seharusnya dibebankan kepada negara.
12. Bahwa penilaian para Pemohon terhadap Undang-undang No. 22
tahun 2001 akan memicu salah pemahaman di antara lembaga-
lembaga terkait sesunggungnya menurut DPR tidak merupakan
alasan yuridis, artinya bahwa dalam Undang-undang No. 22 tahun
2001 tidak terdapat hal-hal yang dapat menjadikan konflik antar
187
lembaga terkait. Jika terjadi kesalahan pemahaman terhadap
undang-undang menurut DPR itu bukan terletak pada norma, tetapi
itu terletak pada persepsi seseorang. Oleh karena itu jika terdapat
kesalahan pemahaman yang dibutuhkan adalah memberikan
penjelasan sehingga tidak terjadi lagi kesalahan serupa. Khusus
mengenai adanya sinyalemen pembeli di Jepang tidak mau
melakukan negosiasi dengan BPMIGAS tentu saja sinyalemen
seperti ini tidak baik, para pembeli di Jepang dapat diyakini sangat
menghormati prinsip-prinsip perdagangan dan kedaulatan negara
lain. Pemasaran LNG ke Jepang menurut pendapat DPR adalah
murni perdagangan. Oleh karena itu aspek bisnis akan lebih
dominan dari pada politik sehingga dapat dikatakan tidak cukup
alasan untuk menyatakan bahwa para pembeli di Jepang tidak mau
melakukan negosiasi dengan BPMIGAS.
13. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai Undang-undang No. 22
tahun 2001 menyebabkan negara membayar kepada negara
berdasarkan pendapat DPR adalah bahwa para Pemohon kurang
memahami mengenai stasus dan fungsi suatu badan hukum.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 2001
terdapat perlakuan yang sama terhadap semua pelaku usaha baik
dalam bentuk Badan Usaha maupun Bentuk Usaha Tetap.
Pembayaran dalam bentuk "signature bonus" dari BUMN yang
dipermasalahkan oleh para Pemohon dan disebut sebagai negara
membayar negara, justru secara hukum adalah sangat tepat, artinya
kendati BUMN merupakan milik negara, namun kekayaannya sudah
dipisahkan. Dengan demikian BUMN tetap harus memiliki kewajiban
sebagaimana layaknya badan hukum lainnya. Hanya saja, dalam
pengembangan BUMN, Pemerintah sebagai pemilik dapat
menetapkan kebijakan tertentu sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan menguntungkan
bagi negara.
188
14. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai perubahan status
Pertamina menjadi PT. Persero akan mengakibatkan tuntutan dari
pihak lain menurut pendapat DPR pemikiran seperti itu semata-mata
merupakan perkiraan-perkiraan Pemohon. Apabila yang dimaksud
para Pemohon pihak lain adalah para pihak yang telah melakukan
pengikatan kontrak dengan Pertamina sebelum Undang-undang ini
berlaku, pemikiran seperti yang dikemukakan para Pemohon tidak
perlu, karena dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 2001
dan adanya perubahan status Pertamina, pengikatan kontrak yang
telah ada dan telah ditandatangani secara hukum tidak berakhir.
Dalam Pasal 63 huruf d Ketentuan Peralihan Undang-undang No. 22
tahun 2001 telah dirumuskan dengan tegas bahwa semua
agreement yang telah ditandatagani tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya jangka waktu kontrak dimaksud. Sehingga tidak ada
kekhawatiran bahwa dengan berlakunya Undang-undang No.22
tahun 2001 akan ada tuntutan dari pihak lain, karena hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian tetap dapat dilaksanakan.
15. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai Badan Pengatur hanya
akan menambah mata rantai pemenuhan BBM masyarakat,
pendapat seperti itu menurut DPR semata-mata merupakan asumsi.
Dalam Pasal 1 angka 24 ditegaskan bahwa Badan Pengatur adalah
suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar
Minyak dan Gas Bumi serta pengangkutan Gas Bumi melalui pipa
pada Kegiatan Usaha Hilir. Dalam Pasal 46 secara tegas diatur
mengenai fungsi dan tugas Badan Pengatur. Fungsinya adalah
melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar
Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat
terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi dalam negeri. Tugasnya
meliputi pengaturan dan penetapan mengenai ketersediaan dan
distribusi Bahan Bakar Minyak, cadangan Bahan Bakar Minyak
189
nasional, pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan
Bahan Bakar Minyak, tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa,
harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, dan
pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. Apabila diperhatian
ketentuan mengenai Badan Pengatur dalam Undang-uUndang No.
22 tahun 2001 sesungguhnya hanya menjalankan sebagian
kewenangan Pemerintah yang dalam pemerintahan lazim dipahami
"desentralisasi fungsional". Hal seperti ini justru memiliki tujuan yang
baik yaitu melimpahkan suatu kewenangan Pemerintah kepada
suatu pihak untuk menjalankan suatu kegiatan secara profesional.
Oleh karena itu, Badan Pengatur justru dibentuk untuk menjalankan
fungsi clan tugas Pemerintah dalam rangka pengaturan dan
pengawasan penyedian dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak
dan Gas Bumi secara profesional.
16. Bahwa pendapat para Pemohon, Undang-undang No. 22 tahun 2001
akan menumpukkan kuasa negara pada tangan Menteri Energi
Sumber Daya Mineral sebagai Pengawas, Pembina, Regulator, dan
Pelaku, menurut DPR pendapat seperti itu tidak benar sama sekali.
Dalam Pasal 4 UU No. 22 tahun 2001 telah dirumuskan bahwa
minyak clan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis
takterbarukan yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
Penguasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang kuasa pertambangan. Untuk kegiatan usaha
minyak dan gas bumi pada sektor hulu berdasarkan Undang-undang
No. 22 tahun 2001 dibentuk Badan Pelaksana, sedangkan untuk
kegiatan usaha pada sektor hilir dibetuk Badan Pengatur. Dengan
demikian Undang-undang No. 22 tahun 2001 tidak melakukan
penumpukan kuasa negara pada Menteri ESDM yang terjadi justru
dengan Undang-undang ini terdapat pembagian tugas. Namun
Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan tetap
memegang kekuasaan regulasi , menetapkan kebijakan sebagai
190
bentuk pembinaan sekaligus pengawasan dalam rangka kegiatan
usaha minyak clan gas bumi. Pemberian kewenangan kepada
Menteri ESDM dalam kegiatan usaha pertambangan khususnya
dalam penandatanganan kontrak kerjasama, sama sekali tidak
menghilangkan kewenangan Presiden sebab sesuai dengan UUD
1945 menteri adalah pembantu Presiden yang diangkat oleh
Presiden, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dengan demikian tidak terdapat penumpukan kuasa negara pada
Menteri ESDM dan tidak benar kewenangan Presiden hilang dalam
kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
17. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai Undang-undang No.22
tahun 2001 mengandung ketidak pastian hukum, merusak iklim
investasi sektor hulu migas menurut DPR adalah suatu pendapat
yang prematur dan keliru. Undang-undang No. 22 tahun 2001 justru
dibentuk untuk lebih menjamin kepastian hukum dan mendorong
investasi di sektor migas ke arah yang lebih baik. Mengenai
pembayaran bea masuk, pungutan atas impor dan cukai,
pajak/retribusi daerah, iuran eksplorasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 Undang-undang No. 22 tahun 2001 adalah kewajiban dari
Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap kepada negara dan
kewajiban tersebut bukan hal baru tetapi sudah dipraktekkan jauh
sebelum Undang-undang ini berlaku. Salah satu bukti dari kepastian
hukum dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001 yakni keterlibatan
Pemerintah Daerah dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.
Keterlibatan tersebut adalah dalam bentuk konsultasi artinya bahwa
untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas diharuskan
berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah dengan maksud agar
kegiatan tersebut berjalan dengan mendapatkan dukungan
masyarakat dan tanpa mendapatkan hambatan.
18. Bahwa pendapat para Pemohon mengenai semestinya sebelum
Undang-undang Migas ada, terlebih dahulu harus disusun Undang-
Undang Energi Nasional, menurut pendapat DPR bahwa dalam
191
politik pembentukan perundang-undangan di Indonesia setiap
undang-undang memiliki derajat yang sama. Di atas undang-undang
hanya ada Ketetapan MPR dan kemudian UUD. Oleh karena itu satu
undang-undang tidak memayungi undang-undang lain. Sifat suatu
undang-undang mengatur suatu atau beberapa hal tertentu. Salah
satu hal yang sudah diatur dalam suatu undang-undang seharusnya
tidak lagi diatur dalam undang-undang lain, kecuali itu bersifat
melengkapi, tetapi manakala terdapat perbedaan, hal seperti itu
harusnya dihindari. Dengan demikian pembentukan Undang-undang
No. 22 tahun 2001 yang mengatur berbagai aspek mengenai minyak
dan gas bumi tidak perlu harus menunggu undang-undang mengenai
Energi Nasional karena kedua undang-undang tersebut memiliki
pengaturan atas hal-hal yang berbeda, tidak mempunyai hierarkhi
antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan keterangan sebagaimana diuraikan di atas DPR berpendapat
bahwa Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik sebagian
maupun keseluruhannya karena itu permohonan yang diajukan oleh para
Pemohon tidak beralasan dan permohonan harus dinyatakan ditolak.
Menimbang bahwa Pemohon VI untuk mendukung dalil-dalil
permohonannya telah pula mengajukan surat-surat berupa “Keterangan
Tambahan” dan “Ad Informandum Ad Referendum”, yaitu:
1. Surat bertanggal 9 Agustus 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada hari Senin, tanggal 9 Agustus 2004, lampirannya fotokopi
opini berjudul “Menyoal UU MiGas” oleh Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE,
M.H.;
2. Surat bertanggal 19 Agustus 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 20 Agustus 2004, lampirannya fotokopi “Pernyataan
Sikap” bertanggal 03 Oktober 2001, dari Solidaritas Peduli Migas Dan
Konsumen BBM (SPMK-BBM), opini berjudul “Komentar terhadap UU
192
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU MIGAS)” oleh
Soeyono, fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Bab VI, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Bab VI dan Bab VII;
3. Surat bertanggal 25 Agustus 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 26 Agustus 2004, lampirannya fotokopi Risalah
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Ke-18 Masa
Persidangan I Tahun Sidang 1999-2000, fotokopi opini berjudul “Ancaman
Globalisasi Dibalik RUU Migas” oleh Firdaus Ibrahim, MHRM, artikel
berjudul “Konspirasi Pembangkrutan Indonesia” oleh Ir. Bambang E.
Budhiyono, Msc., “Kelangkaan Bensin di Lampung Kian Parah”, “Minyak
Tanah Langka di Jayapura” Harian Sinar Harapan tanggal 23 Agustus 2004,
“Harga Minyak Melambung, Ekonomi Dunia Melambat” Koran Tempo
tanggal 23 Agustus 2004, “Asia Hadapi Masalah Serius Subsidi Minyak”
Koran Tempo tanggal 23 Agustus 2004;
4. Surat bertanggal 23 Agustus 2004, lampirannya artikel berjudul “Butuh
Keajaiban untuk Memenangkan Pasar Minyak”, “Harga Minyak Tinggi
Ancaman bagi Industri”, “Harga Minyak Dekati 50 Dollar AS/Barrel”, Koran
Kompas 23 Agustus 2004, “Presiden Kembalikan RPP Hulu dan Hilir Migas”
Koran Tempo tanggal 16 Agustus 2004, “Warisan Kesalahan Pemerintah
Lama ‘Kenaikan Harga Minyak Dinikmati Kontraktor Asing’” Koran Kompas
tanggal 25 September 2000, “Birokrat Bertarung, Indonesia Mati di Tengah”
Koran Mingguan Metro tanggal 9 – 15 Juli 1999, “Rincian Langkah dan
Jadwal Reformasi RI-IMF” Koran Kompas tanggal 24 Januari 2000, “Tarik –
Ulur, ‘Selain Habibie, sekelompok ahli perminyakan juga menolak RUU
Migas tersebut karena dianggap bisa merugikan kepentingan nasional.
Perang lobi dan duit pun marak’” Perspektif, No.21/Tahun 1, 17-24 Maret
1999, “Negosiasi Karaha Bodas gagal” Koran Tempo tanggal 18 Agustus
2004, “Harapan Kami, Suara Pertamina Didengar” Perspektif, No.17/Tahun
1, 18-24 Februari 1999, “RUU Migas Tidak Punya Visi” Koran Kompas
tanggal 27 Februari 2001, “Hal-hal Yang Kontroversial Dalam RUU Migas”,
“Monopoli Jadikan Pertamina Raksasa Kerdil”, “salah Arah RUU Migas”
Forum Keadilan No.01, 11 April 1999, “Yang Gemuk dari RUU Migas”,
193
“Pertamina vs BP Migas” Montly Magazine Petrominer No.05 Vol.XXX. May
15, 2003, “Pelaku Usaha Sektor Migas Keluhkan Dominasi Asing”, Econit:
Tunda Pembahasan RUU Migas”, fotokopi “Orasi Politik Rakyat” bertanggal
09 Oktober 2001 oleh Solidaritas Peduli Migas Dan Konsumen BBM
(SPMK-BBM), fotokopi “Pernyataan Sikap” bertanggal 09 Oktober 2001 oleh
SPMK-BBM, fotokopi Ringkasan Hasil Pertemuan Antara DHN 45 Dengan
Kelompok Pemerhati/Praktisi/Ahli Dan Aktivis Peduli Migas Tentang
Pemberdayaan Dan Memposisikan Visi Dan Misi Jiwa, Semangat, Dan
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam UUD 1945, Dalam Pembahasan
“Substansi” RUU Migas 2001 bertanggal 27 September 2001, dari Dewan
Harian Nasional 45, fotokopi Laporan Kemajuan Pembahasan RUU Migas
bertanggal 22 September 2001, dari Ketua Tim Asistensi RUU Migas
Pertamina, fotokopi opini berjudu “Menjual BUMN Untuk Bayar Utang
Haram Berarti Korupsi Gila Yang Harus Dibasmi” bertanggal 08 Oktober
2001, oleh Koordinator Front Aksi Masyarakat Pemantau Privatisasi
(FAMPP);
5. Surat bertanggal 6 September 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 7 September 2004, lampirannya fotokopi artikel
berjudul “Pertamina Terpaksa Subsidi Konsumen Elpiji Rp.1 Triliun” Koran
Kompas tanggal 6 September 2004, “Krisis BBM Landa Provinsi Babel”,
“Antre Seharian demi Mendapatkan 10 Liter Minyak tanah” Koran Suara
Pembaruan, tanggal 4 September 2004, “BPH Migas Minta Pemerintah
Naikkan Harga BBM” Koran Suara Pembaruan tanggal 2 September 2004,
“Harga Minyak Tinggi Perburuk RAPBN 2005” Koran Kompas tanggal 26
Agustus 2004, “Beramai-ramai Masuk ke Bisnis Hilir”, “Investasi Migas
Terganjal UU” Majalah Hukum & Bisnis, Juni 2004;
6. Surat bertanggal 25 Oktober 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2004, lampirannya fotokopi
Bagan Tatanan Hak Pengelolaan Usaha MiGas Berdasarkan UU
No.44/1960, UU No.8/1971 dan UU MiGas No.22/2001, fotokopi artikel
berjudul “Produsen Pupuk Minta Penjadwalan Ulang Pasokan Gas” Koran
Tempo tanggal 19 Oktober 2004, “Penghapusan Subsidi BBM Tidak Perlu!”
194
Koran Kompas tanggal 19 Oktober 2004, “Memperindag Minta UU Migas
Diamandemen” Koran Media tanggal 19 Oktober 2004, “Harga Minyak
Terus Naik” Koran Tempo tanggal 10 Oktober 2004, “Harga Minyak Capai
Rekor 55,50 Dollar AS per Barrel” Koran Kompas tanggal 25 Oktober 2004;
7. Surat bertanggal 28 Oktober 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober 2004, lampirannya fotokopi
artikel berjudul “Bisnis Migas Indonesia di Ujung Tanduk?” Koran Suara
Pembaruan tanggal 28 Oktober 2004, “Pertanian Menjadi Prioritas yag
Pertama” Koran Kompas tanggal 25 Oktober 2004;
8. Surat bertanggal 9 Nopember 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 10 Nopember 2004, lampirannya Bagan
Konstalasi Pengembangan Industri Migas Nasional (Berdasarkan UU No.22
Tahun 2001) dari Setjen DESDM, 8/10/2004, fotokopi artikel berjudul
“Momentum Penegakan Hukum” Koran Kompas tanggal 7 Nopember 2004;
9. Surat bertanggal 22 Nopember 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada hari Senin, tanggal 22 November 2004;
10. Surat bertanggal 14 Desember 2004, diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 14 Desember 2004.
Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, Mahkamah juga telah
menerima Ad Informandum yang diajukan oleh:
1. Suharto, S.H. dengan suratnya bertanggal 04 Agustus 2004 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, tanggal 9 Agustus
2004;
2. Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (FORTAS-MPM) dengan
suratnya bertanggal 06 Agustus 2004 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 06 Agustus 2004;
3. Drs. H. Ramli Sukarman dengan suratnya bertanggal 11 Agustus 2004 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Agustus
2004;
4. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 13 Agustus 2004 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Agustus 2004;
195
5. Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H. dengan suratnya bertanggal 20 Agustus
2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa,
tanggal 24 Agustus 2004;
6. Suharto, S.H. dengan suratnya bertanggal 22 Agustus 2004 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Agustus 2004;
7. Delegasi Pensiunan Pertamina dengan suratnya bertanggal 24 Agustus
2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 26
Agustus 2004;
8. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 26 Agustus 2004 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, tanggal 26 Agustus
2004;
9. Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH) Angkatan 45 DHD DKI
Jakarta dengan suratnya bertanggal 6 September 2004 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 7 September
2004;
10. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 06 September 2004 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 8
September 2004;
11. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 14 September 2004 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 21
September 2004;
12. D.I. Nocolas Laa, S.H. dengan suratnya bertanggal 20 September 2004
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa,
tanggal 21 September 2004;
13. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 29 Oktober 2004 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober
2004;
14. Soeharto, S.H. dengan suratnya bertanggal 22 Nopember 2004 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, tanggal 22
Nopember 2004;
196
15. FORTAS-MPM dengan suratnya bertanggal 24 Nopember 2004 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 24
Nopember 2004;
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk pada berita acara persidangan
perkara a quo, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok perkara,
Mahkamah terlebih dahulu harus memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus
permohonan a quo;
2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak selaku pemohon dalam permohonan a quo;
Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
TENTANG KEWENANGAN MAHKAMAH
Menimbang bahwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 juncto Pasal 10 UUMK, salah satu kewenangan Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan Pasal 50
UUMK dan Penjelasannya menyatakan, undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
197
perubahan UUD 1945, yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999. Sementara itu,
UU Nomor 22 Tahun 2001 yang dimohonkan kepada Mahkamah untuk diuji
diundangkan pada tanggal 23 November 2001. Dengan demikian, terlepas dari
adanya perbedaan pendapat di kalangan para hakim konstitusi mengenai Pasal
50 UUMK, Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan
ini;
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
Menimbang bahwa Pasal 51 UUMK menyatakan, Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara,
yang dengan demikian berarti bahwa untuk dapat diterima sebagai Pemohon
dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 seseorang
atau suatu pihak terlebih dahulu harus menjelaskan:
1. kualifikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga
negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum (publik
atau privat), ataukah sebagai lembaga negara;
2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dideritanya dalam
kualifikasi tersebut;
198
Menimbang bahwa yang diartikan sebagai hak konstitusional menurut
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK adalah hak-hak yang diatur dalam UUD
1945;
Menimbang bahwa Pemohon I, Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia (APHI), adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang menurut ketentuan Anggaran Dasarnya melakukan kegiatan-
kegiatan, antara lain, adalah memberikan perlindungan, pembelaan dan
penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia;
Menimbang bahwa Pemohon II, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia (PBHI), adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang menurut ketentuan anggaran dasarnya adalah didirikan dengan
tujuan, antara lain, untuk melayani kebutuhan bantuan hukum bagi warga
negara Indonesia yang hak asasinya dilanggar, mewujudkan negara dengan
sistem yang sesuai dengan cita-cita negara hukum, mewujudkan sistem politik
yang demokratis dan berkeadilan sosial, mewujudkan sistem hukum yang
memberikan perlindungan luas atas hak-hak asasi manusia;
Menimbang bahwa Pemohon III, Yayasan 324, adalah sebuah yayasan
yang bertujuan, antara lain, mempromosikan cita-cita/semangat demokrasi,
perdamaian, dan pelestarian lingkungan hidup;
Menimbang bahwa Pemohon IV, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), adalah
sebuah yayasan yang menurut anggaran dasarnya bertujuan, antara lain,
menciptakan tatanan masyarakat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai persaudaraan dan persamaan manusia serta martabat manusia;
menciptakan masyarakat yang mempunyai pola pikir, sikap, dan pola tindak
yang tidak membeda-bedakan (diskriminatif) berdasarkan ras, suku, suku
bangsa, warna kulit, dan keturunan serta golongan; membina dan memperbarui
aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis dan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang mengandung muatan-muatan atau materi-materi
199
yang bersifat diskriminasi ras; memberikan bantuan hukum terhadap setiap
orang yang hak-hak dan atau kepentingannya dilanggar karena perbedaan ras,
suku, suku bangsa, warna kulit, dan keturunan serta golongan;
Menimbang bahwa Pemohon V adalah Serikat Pekerja Kimia, Energi
dan Pertambangan FSPSI Pertamina, yang menurut anggaran dasarnya
bertujuan untuk, antara lain, menghimpun dan mempersatukan kaum pekerja di
Pertamina guna mewujudkan rasa setia kawan dan persaudaraan sesama
kaum pekerja; turut serta aktif dalam mengisi dan mewujudkan
dilaksanakannya UUD 1945 setelah diamandemen secara murni dan
konsekuen terutama hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk memperoleh
kehidupan dan penghasilan yang layak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UUD
1945 setelah diamanademen, hak pekerja dalam kebebasan berserikat sesuai
dengan Pasal 28 UUD 1945 setelah diamanademen; hak asasi manusia sesuai
dengan Bab XA UUD 1945 setelah diamandemen, hak atas kesejahteraan
pekerja dan keluarga dan kesejahteraan sosial dalam mewujudkan masyarakat
adil dan makmur sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 setelah diamandemen;
meningkatkan kehidupan dan penghidupan pekerja di Pertamina yang adil dan
makmur;
Menimbang bahwa Pemohon I sampai dengan V, terlepas dari tidak
dapat dibuktikannya apakah Para Pemohon dimaksud berstatus sebagai badan
hukum atau tidak, namun berdasarkan anggaran dasar masing-masing
perkumpulan yang mengajukan permohonan ini (Pemohon I sampai dengan V)
telah ternyata bahwa tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk
memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) yang di
dalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo, sehingga Mahkamah
berpendapat Pemohon I sampai dengan V memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;
Menimbang bahwa Pemohon VI, DR. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE., M.H.
adalah Wakil Rektor II Universitas Kejuangan 45, tidak menerangkan dengan
200
jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya berkenaan dengan
kualifikasinya sebagai Pembantu Rektor II Universitas Kejuangan 45 akibat
diberlakukannya undang-undang a quo, sehingga tidak tampak adanya
hubungan kepentingan antara substansi permohonan dan kualifikasi Pemohon
yang bertindak atas nama Universitas Kejuangan 45, dan oleh karenanya
Mahkamah berpendapat, terlepas dari adanya 2 (dua) Hakim Konstitusi yang
berpendapat lain, Pemohon VI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo;
POKOK PERKARA
Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon memohon agar
Mahkamah melakukan pengujian terhadap undang-undang a quo baik yang
bersifat formil, dengan dalil bahwa prosedur persetujuan RUU Minyak dan Gas
Bumi bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2)
huruf a dan ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD jo. Keputusan DPR RI Nomor
03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, maupun secara
materiil, dengan dalil bahwa materi muatan undang-undang a quo bertentangan
dengan UUD 1945, maka Mahkamah terlebih dahulu akan memeriksa dan
mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon yang berkenaan dengan prosedur
pembentukan undang-undang a quo (pengujian formil);
1. PENGUJIAN FORMIL
Menimbang bahwa pada intinya Pemohon mendalilkan, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan
dengan UUD 1945 karena prosedur persetujuannya bertentangan dengan
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kesimpulan tersebut didasarkan atas
201
konstruksi pemikiran Para Pemohon bahwa DPR dalam melaksanakan
kekuasaannya membentuk undang-undang, sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, terikat oleh ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (5)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 20
UUD 1945, serta Peraturan Tata Tertib DPR, sebagaimana tertuang dalam
Keputusan DPR RI Nomor: 03A/DPR RI/I/2001-2002, yang merupakan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (5) undang-undang yang bersangkutan;
Menimbang bahwa, menurut Para Pemohon, tindakan Pimpinan
Rapat Paripurna DPR yang memaksakan pengambilan putusan dengan
cara mufakat pada saat persetujuan RUU Minyak dan Gas Bumi menjadi
undang-undang adalah bertentangan dengan Pasal 192 dan 193 Peraturan
Tata Tertib DPR. Pasal 192 Peraturan Tata Tertib DPR menyatakan,
“Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat
yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 189 ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir”. Sedangkan Pasal
193 menentukan, “Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila
keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya
pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi
dengan pendirian anggota rapat yang lain”. Pemohon mendalilkan, dalam
rapat paripurna dimaksud, terdapat sejumlah anggota DPR yang tidak setuju
terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi tersebut, yang bahkan sampai
melakukan walk out, sehingga menurut Pemohon seharusnya putusan
diambil dengan suara terbanyak;
Menimbang bahwa guna membuktikan kebenaran dalil Pemohon
tersebut Mahkamah telah memeriksa Risalah Rapat Paripurna Ke-17 DPR
Masa Persidangan I Tahun Sidang 2001-2002, bertanggal 23 Oktober 2001,
yakni rapat paripurna yang mengesahkan RUU Minyak dan Gas Bumi
menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
202
Bumi. Dalam risalah dimaksud, dalil Pemohon yang menyebutkan ada 12
(dua belas) anggota DPR yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
RUU Minyak dan Gas Bumi dengan mengajukan minderheidsnota terbukti
benar (vide Risalah hal. 70-74). Namun, dalam risalah yang sama,
Mahkamah juga menemukan fakta bahwa pada bagian akhir rapat paripurna
dimaksud, tatkala seluruh fraksi telah menyampaikan Pendapat Akhir-nya
dan pimpinan rapat (A.M. Fatwa) menanyakan apakah RUU a quo dapat
disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, risalah mencatat bahwa
seluruh anggota DPR setuju tanpa ada lagi pernyataan keberatan atau tidak
setuju, sehingga pimpinan rapat kemudian mempersilahkan wakil
pemerintah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk
menyampaikan sambutannya (vide Risalah hal. 158);
Menimbang bahwa guna lebih meyakinkan Mahkamah akan
kebenaran dalil-dalil Para Pemohon, Mahkamah selain mendengar
keterangan lisan pihak Dewan Perwakilan Rakyat telah pula membaca
keterangan tertulis dari yang bersangkutan (Dewan Perwakilan Rakyat)
bertanggal 10 Februari 2004 yang pada intinya menerangkan sebagai
berikut:
a. bahwa setiap Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibahas oleh
DPR bersama dengan Pemerintah didasarkan pada mekanisme
sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. RUU tentang
MIGAS, yang sekarang menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001,
pembahasannya dilakukan berdasarkan mekanisme yang lama atau
sebelum diadakan perubahan tingkat pembahasan RUU di DPR dari
empat tahap menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama keterangan
pemerintah, tahap kedua pandangan fraksi-fraksi, tahap ketiga
pembahasan dalam Komisi VIII, dan tahap keempat putusan dalam rapat
paripurna;
b. bahwa berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR, pembahasan atas RUU MIGAS tidak terdapat kekurangan
atau penyimpangan. Setiap pengambilan keputusan, baik dalam Rapat
203
Komisi VIII yang merupakan pembahasan tingkat III, berdasarkan data
absensi, kuorum rapat selalu terpenuhi. Demikian juga pada saat
pengambilan keputusan atas persetujuan DPR terhadap RUU tentang
MIGAS pada Rapat Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 telah sesuai
dengan kuorum rapat, yaitu dihadiri oleh 348 orang dari 483 orang
anggota DPR. Dengan demikian, kuorum rapat dan pengambilan
keputusan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi telah terpenuhi dan
keputusan yang diambil adalah sah sesuai dengan Peraturan Tata Tertib
DPR No. 03A/DPR RI/2001-2002 serta tidak terdapat pertentangan
dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bahwa terdapat sebanyak 12 orang anggota yang menyatakan
keberatan atau lazim dikenal minderheidsnota pada saat pengambilan
keputusan atas RUU tentang MIGAS dalam Rapat Paripurna DPR
tanggal 23 Oktober 2001 dapat diterangkan bahwa sikap seperti itu
merupakan suatu bentuk dan praktik demokrasi dalam pengambilan
keputusan di DPR. Selain minderheidsnota, seorang atau beberapa
orang atau fraksi dalam pengambilan keputusan dapat menyatakan
persetujuan, penolakan/tidak setuju, atau abstain atas sebagian atau
keseluruhan hal yang dimintakan persetujuan rapat untuk diambil
keputusan. Minderheidsnota bukan merupakan penolakan/tidak setuju
secara penuh, tetapi memperkenankan dilaksanakan pengambilan
keputusan di mana dalam keputusan diberikan catatan dari anggota
yang menyatakan minderheidsnota tersebut. Oleh karena itu, dalam
pengambilan keputusan atas RUU tentang MIGAS, pernyataan 12 orang
anggota Dewan dijadikan catatan “nota” dan itu dibacakan sebagai
minderheidsnota. Dengan demikian, minderheidsnota, kendati dihargai
sebagai sikap dan praktik dalam pengambilan keputusan, tidak
mempunyai sifat menghambat atau membatalkan suatu persetujuan;
204
d. bahwa berdasarkan uraian tadi, tidak terdapat alasan untuk menyatakan
pembahasan RUU tentang MIGAS bertentangan dengan atau
menyimpang dari prosedur formil;
Berdasarkan Risalah Sidang Paripurna tanggal 23 Oktober 2001
yang mengesahkan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi
menjadi undang-undang, keterangan tertulis DPR maupun keterangan lisan
yang disampaikan dalam persidangan, ternyata Para Pemohon tidak dapat
meyakinkan Mahkamah dalam membuktikan kebenaran dalil
permohonannya, sehingga dengan demikian permohonan pengujian formil
Pemohon terhadap undang-undang a quo harus ditolak;
2. PENGUJIAN MATERIIL
Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk
dilakukan pengujian secara materiil adalah Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 secara keseluruhan, dengan dalil bahwa pasal-pasal dalam
undang-undang a quo tidak dapat dipisahkan oleh karena filosofi
diadakannya undang-undang tersebut adalah untuk meliberalisasi sektor
minyak dan gas bumi di Indonesia sehingga menurut Para Pemohon
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 (vide
Permohonan hal. 16), yang perinciannya lebih lanjut oleh Pemohon
dijelaskan dalam bagan dengan membandingkan antara Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, dan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 (vide Permohonan hal. 37-41);
Menimbang bahwa sebelum memeriksa dalil Para Pemohon,
Mahkamah harus menjelaskan beberapa pengertian penting yang terdapat
dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan:
Ayat (2) : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”;
205
Ayat (3) : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”;
Menimbang bahwa titik pusat dari permasalahan yang terkandung
dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya sebagaimana tertuang dalam ayat
(2) dan (3) yang dijadikan dasar permohonan Para Pemohon, adalah
terletak pada kata-kata “dikuasai oleh negara”, maka Mahkamah terlebih
dahulu harus menjelaskan pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal
33 ayat (2) dan (3) tersebut;
Menimbang bahwa berkenaan dengan pengertian “dikuasai oleh
negara” sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD 1945, Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah
Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari Rabu, 16 Desember 2004 sebagai berikut:
Bahwa dalam menemukan pengertian dan/atau maksud dari suatu
ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 tidaklah cukup
apabila hanya berpegang pada bunyi teks pasal yang bersangkutan dan
hanya dengan menggunakan satu metode interpretasi tertentu. UUD 1945,
sebagaimana halnya setiap undang-undang dasar atau konstitusi, adalah
sebuah sistem norma dasar yang memberikan landasan konstitusional bagi
pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan
dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai suatu sistem, UUD 1945 adalah
susunan kaidah-kaidah konstitusional yang menjabarkan Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD
1945, alinea keempat:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
206
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh
karena itu, setiap interpretasi terhadap suatu ketentuan dalam Pasal-pasal
UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan hidup berbangsa dan
bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945
tersebut;
Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem
sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33
UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada
pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh
negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik
(demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham
kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan
sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara,
sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam
pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan
publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah
milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara
untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
207
Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai
pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi
dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk
“memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin
diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri
harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara
yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh
negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk
mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam
fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-
undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945,
sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi
liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam
konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan
fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak
mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur
perekonomian. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan
penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata
maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara
itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak
oleh Mahkamah.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh
negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara
dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
208
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)
dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan
(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan
oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh
DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi
pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham
(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai
instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah,
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula
fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh
Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat.
Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan
dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi
kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang
menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada
dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi.
Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii)
penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau
(iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.
Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-
209
besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah
bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu
cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat
hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain
dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi
menguasai hajat hidup orang banyak;
Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau
cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak
lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak,
maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu
diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya
kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh
Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan
menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur,
mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam
pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata
sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh
Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi
minyak dan gas bumi dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan
privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan
dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan
tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu,
negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang
dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang
210
menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara
mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi
yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD
1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka penguasaan dalam
arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak
mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q.
Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap
terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki
saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses
pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan,
maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah
dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi,
asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q.
Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak.
Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku
usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara
yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus
(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
211
Menimbang bahwa konsiderans “Menimbang” huruf b Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “bahwa minyak dan gas bumi
merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh
negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang
banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional
sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian, Mahkamah
berkesimpulan, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, selaku lembaga
negara yang oleh undang-undang dasar diberi kewenangan membentuk
undang-undang, berpendirian bahwa minyak dan gas bumi adalah cabang
produksi yang penting dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak,
sehingga oleh karenanya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 9 Desember 2003
Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah, yang dalam hal ini
diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang telah pula menyerahkan
keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada bulan
Januari 2004 dan tanggal 29 Juli 2004, serta keterangan tertulis Menteri
Negara BUMN, yang uraian selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk
Perkara putusan ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menerangkan hal-hal antara lain
sebagai berikut:
• Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap
mengacu kepada tujuan dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana
yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3), bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, demikian pula bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu,
hal tersebut dilakukan dalam kerangka upaya untuk membangun
212
perekonomian nasional yang diselenggarakan atas dasar demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga
keseimbangan kemajuan ekonomi nasional;
• Selama kurun waktu empat dasawarsa ternyata tujuan dan cita-cita
bangsa dan negara di atas, yang diterjemahkan melalui Undang-undang
Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971,
dirasakan belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan
adanya kelemahan dan kendala pada kedua peraturan perundang-
undangan tadi yaitu antara lain: (1) ruang lingkup pengaturannya lebih
terfokus pada kegiatan dalam negeri sehingga kurang memberikan
dorongan berusaha di luar negeri; (2) mempunyai sifat usaha yang
monopolistis (hanya Perusahaan Negara/BUMN) dan sarat misi sosial
(penugasan Pemerintah); (3) tidak mendukung kemandirian, pemupukan
dana, dan kemampuan bersaing dalam era keterbukaan; (4) terdapat
ketentuan khusus (perpajakan dan kepabeanan) yang sering
menimbulkan kesulitan dalam penerapannya;
• Di samping kelemahan dan kendala tadi, perangkat perundang-
undangan yang ada juga mempunyai kerancuan/tumpang tindih antara
pengaturan sektor dan pengaturan perusahaan yang mengakibatkan
tugas Pemerintah dan tugas perusahaan menjadi tidak jelas. Peran
perusahaan terhadap pengaturan sektor sangat besar dan sebaliknya
peran Pemerintah terhadap pengaturan operasional perusahaan juga
cukup besar, meskipun Pemerintah selama ini telah melakukan upaya
dan langkah-langkah kebijaksanaan baik melalui deregulasi maupun
debirokratisasi, namun disadari bahwa untuk mewujudkan kondisi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak cukup dicapai dengan
kebijakan tersebut;
• Ruang lingkup, maksud dan tujuan secara lebih menyeluruh filosofi dan
konsepsi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah:
213
1. Minyak dan gas bumi sebagai kekayaan alam yang terkandung
dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia dikuasai Negara dan
diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan. Sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD
1945, Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh Pemerintah dengan
maksud agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara, dan
menggunakan kekayaan nasional tersebut bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Selanjutnya Pemerintah membentuk Badan
Pelaksana;
2. Menghilangkan usaha yang bersifat monopolistik baik di sektor hulu
maupun hilir. Dalam bidang usaha hulu yang terdiri atas ekplorasi
dan eksploitasi yang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
pengurasan kekayaan alam berupa bahan galian minyak dan gas
bumi, pihak swasta hanya dapat melakukan kegiatan secara tidak
langsung yaitu sebagai kontraktor melalui kerjasama dengan Badan
Pelaksana. Sedangkan di bidang usaha hilir yang terdiri atas
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga, dapat
dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan izin usaha yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Khusus untuk bidang pengangkutan
dan niaga gas bumi melalui pipa diberlakukan pengaturan prinsip
usaha terpisah (unbundling) untuk memberikan pelayanan yang lebih
baik kepada konsumen, baik dalam segi harga maupun kualitas.
Selanjutnya untuk mengawasi kegiatan sektor hilir tersebut,
Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi
melalui Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas;
3. Menciptakan dan menjamin penerimaan Pusat dan penerimaan
Daerah yang lebih nyata dari hasil produksi, sehingga penerimaan
Negara dari sektor minyak dan gas bumi dapat dinikmati secara
langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Untuk maksud
tersebut, Perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan
bagian Negara, pungutan Negara, membayar bonus, pajak-pajak,
214
pajak daerah dan retribusi daerah, serta kewajiban kepabeanan yang
berlaku. Atas pungutan Negara, bagian Negara dan bonus
diperuntukkan sebagai penerimaan Pusat dan Daerah;
4. Menumbuhkembangkan perusahaan nasional minyak dan gas bumi
baik di dalam maupun di luar negeri serta dapat mengakomodir
perkembangan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang akan
datang. Di samping memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap
pemanfaatan barang, jasa, dan kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri;
5. Memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai jaminan
kelangsungan atas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak
(BBM) sekaligus pengaturan yang berkaitan dengan mekanisme
subsidi BBM;
6. Menjamin penyediaan data yang cukup, tenaga kerja profesional,
peningkatan fungsi penelitian dan pengembangan serta menggiatkan
investasi melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif;
7. Terdapatnya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah kerja oleh
Pemerintah yang akan diusahakan oleh Perusahaan atau Bentuk
Usaha Tetap. Selanjutnya, dalam rangka penyediaan lahan guna
menunjang penetapan Wilayah Kerja, Pemerintah dapat melakukan
Survei Umum sebagai upaya peningkatan nilai lahan yang ditawarkan
kepada peminat;
8. Adanya jaminan kepastian hukum yang lebih mantap (pengaturan
yang sederhana, tegas, dan konsisten) serta menghilangkan campur
tangan Pemerintah yang terlalu besar, sehingga iklim usaha
diharapkan dapat lebih sehat dan kompetitif. Untuk itu, Pemerintah
dalam waktu secepat-cepatnya akan menyelesaikan peraturan
pelaksanaan dari undang-undang ini;
9. Terwujudnya antisipasi pencegahan dan penanggulangan
meningkatnya tindak pidana dalam kegiatan usaha minyak dan gas
bumi, baik secara kuantitas maupun kualitas, melalui pengangkatan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
215
• Secara umum Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 memuat 8
(delapan) bagian pengaturan:
1. Pola penguasaan dan pengaturan kegiatan usaha minyak dan gas
bumi;
2. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hulu;
3. Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hilir;
4. Pola pengaturan usaha pengangkutan dan niaga minyak dan gas
bumi;
5. Pengaturan penerimaan Negara;
6. Hubungan minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah;
7. Status hukum Pertamina;
8. Pembinaan dan pengawasan;
Sementara itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara telah
menerangkan hal-hal antara lain sebagai berikut:
• Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (dan juga
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan) lahir
sebagai kebutuhan karena adanya perubahan lingkungan strategis di
dalam maupun di luar negeri, yang apabila hal itu tidak dilakukan maka
berbagai perubahan lingkungan strategis dimaksud cenderung akan
menimbulkan benturan-benturan karena terdapat perbedaan materi
substansial pada tataran implementasi yang tidak mungkin dilaksanakan
secara bersamaan;
• Maksud diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah
memberikan landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan usaha
hulu dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tujuannya adalah
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam migas untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat melalui: (1) tersedianya dan
terdistribusikannya energi migas dalam negeri dalam jumlah cukup,
berkualitas baik, dan dengan harga yang wajar;
216
• “Penguasaan oleh negara” terhadap sumber daya alam dan cabang-
cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak
mengandung pengertian : (1) pemilikan, (2) pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan, dan (3) penyelenggaraan kegiatan usaha dilakukan di
bidang energi (energi migas dan energi listrik) oleh Pemerintah. Filosofi
“penguasaan oleh negara” adalah terciptanya ketahanan nasional
(national security) di bidang energi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan sasaran utama penyediaan dan pendistribusian energi
ke seluruh wilayahnya;
• Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tetap tunduk pada Pasal 33 UUD
1945, yang dinyatakan sebagai:
1. Kegiatan Usaha Hulu
a) Penguasaan migas di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;
b) Kegiatan Usaha Hulu eksplorasi dan eksploitasi dilaksanakan dan
dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang paling sedikit
memuat persyaratan: kepemilikan sumber daya alam tetap di
tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; pengendalian
manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan modal
dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha (BU) atau Bentuk
Usaha Tetap (BUT);
c) Badan Pelaksana adalah badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas
Bumi.
Penguasaan (kepemilikan) migas dari kegiatan hulu di wilayah hukum
pertambangan Indonesia tetap berada dalam penguasaan Negara
yang diselenggarakan dan diawasi oleh Pemerintah c.q. Badan
Pelaksana Migas sampai pada titik penyerahan (penjualan), di dalam
atau di luar negeri. Pelaksanaan pengusahaan kegiatan hulu dapat
dilakukan oleh BUMN/BUMD, swasta Nasional dan/atau Asing
melalui Kontrak Kerjasama dengan BP Migas. Dalam hal
217
pengusahaan kegiatan hulu dikerjasamakan dengan swasta Nasional
dan/atau Asing, Pemerintah bertindak sebagai regulator, namun
memegang kendali penuh atas keberhasilan mitra kerjasamanya, dan
Pemerintah tidak berfungsi sebagai operator. Sedangkan dalam hal
pengusahaan kegiatan hulu diselenggarakan oleh BUMN/BUMD,
Pemerintah bertindak sebagai regulator dan sebagai operator,
termasuk memegang kendali penuh atas keberhasilan BUMN/BUMD-
nya melalui mekanisme RUPS dan pengawasan BP Migas.
2. Kegiatan Usaha Hilir
a) Kegiatan Usaha Hilir mencakup: Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan, dan Niaga;
b) Kegiatan Usaha Hilir dilakukan dengan Izin Usaha dan
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat, dan transparan;
c) Izin Usaha diberikan kepada BU untuk melaksanakan
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga
dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;
d) Badan Pengatur adalah badan yang dibentuk untuk melakukan
pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan
pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada
Kegiatan Usaha Hilir;
Kegiatan Usaha Hilir diselenggarakan segera setelah titik penyerahan
(penjualan, delivery point) kegiatan hulu. Migas setelah titik
penyerahan bukan milik negara, di samping dapat pula berasal dari
pembelian minyak impor. Penguasaan oleh negara dalam kegiatan
usaha hilir adalah pada cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah
sebagai regulator mengeluarkan Izin Usaha dan diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan.
Dalam hal pengusahaan kegiatan hilir diselenggarakan oleh
BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator, juga sebagai
218
operator, termasuk memegang kendali atas keberhasilan
BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS. Badan Pengatur
berperan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
penyediaan dan pendistribusian BBM dan Gas Bumi pada Kegiatan
Usaha Hilir.
Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hilir dikerjasamakan
dengan swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah hanya bertindak
sebagai regulator dengan menerbitkan Izin Usaha dan
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat, dan transparan, namun tidak melaksanakan fungsinya sebagai
operator. Pelaksanaan Public Service Obligation (PSO) untuk
menyediakan dan mendistribusikan BBM di daerah-daerah terpencil
(remote) cenderung harus ditangani oleh Pemerintah, baik sebagai
regulator maupun sebagai operator, meskipun tidak tertutup
kemungkinan dapat dikerjasamakan dengan swasta Nasional/Asing.
Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan
Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah pula menyerahkan keterangan tertulis
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 Februari 2004,
yang selengkapnya telah pula dikemukakan dalam bagian Duduk Perkara
putusan ini dan pada pokoknya menerangkan hal-hal antara lain sebagai
berikut:
• Secara substantif, filosofi suatu undang-undang dapat dilihat dalam
konsideran bagian Menimbang dan batang tubuh undang-undang yang
bersangkutan. Asas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,
sebagaimana dicantumkan dalam Bab II-nya, adalah ekonomi
kerakyatan, keterpaduan, manfaat, kemakmuran bersama, dan
kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, kepastian hukum
serta berwawasan lingkungan;
• Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 membagi tugas dan peran
negara kepada badan-badan lain serta memberikan peran kepada
masyarakat berdasarkan asas-asas di atas;
219
• Hak menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 bukan berarti
memiliki, tetapi negara sebagai organisasi diberi kewenangan yang
darinya dimungkinkan timbulnya hak-hak, seperti hak pengelolaan, hak
pengusahaan. Hak menguasai negara dalam hubungan dengan minyak
dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan menentukan status
hukum pengelolaan dan pengusahaan atas minyak dan gas bumi.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, penguasaan negara
diatur berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan
gas bumi yang terdiri atas kegiatan usaha hulu dan usaha hilir.
Sebagian kewenangan negara dalam pengelolaan dan pengusahaan
minyak dan gas bumi dapat diserahkan kepada badan usaha dan bentuk
usaha tetap, sedangkan pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha
minyak dan gas bumi tetap ada pada pemerintah sebagai pemegang
kuasa pertambangan atas minyak dan gas bumi;
• Penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas bumi pada mekanisme
pasar didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial. Secara
ekonomi, penyerahan harga kepada mekanisme pasar akan
menguntungkan negara karena negara tidak lagi menanggung beban
dalam bentuk subsidi harga yang nyata-nyata lebih menguntungkan
pengguna minyak dan gas secara langsung melalui subsidi harga.
Secara sosiologis, kebijakan dengan mensubsidi harga justru tidak akan
dapat dinikmati masyarakat yang memerlukan subsidi langsung.
Namun, negara tetap tidak menghilangkan tanggung jawab sosialnya
pada golongan masyarakat tertentu yaitu pelanggan rumah tangga dan
pelanggan kecil;
Menimbang bahwa dalam memeriksa permohonan ini Mahkamah
telah pula mendengar keterangan para ahli sebagaimana tersebut dalam
duduk perkara a quo;
Menimbang bahwa berdasarkan pengertian “penguasaan oleh
negara” yang telah menjadi pendirian Mahkamah dalam hubungannya
220
dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, ditambah
dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah maupun Dewan
Perwakilan Rakyat serta pendapat para ahli, telah nyata bagi Mahkamah
bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Para Pemohon tidak cukup beralasan,
sehingga tidak terbukti pula undang-undang a quo secara keseluruhan
bertentangan dengan UUD 1945. Karena substansi penguasaan oleh
negara tampak cukup jelas dalam alur pikiran undang-undang a quo baik
pada sektor hulu maupun hilir, kendatipun menurut Mahkamah masih ada
hal-hal yang harus dipastikan jaminan penguasaan oleh negara tersebut
sebagaimana nanti akan tampak dalam butir-butir pertimbangan Mahkamah
atas pasal-pasal yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut berbeda
dengan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah
dengan Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan
pada tanggal 15 Desember 2004, yang alur pikir tentang prinsip
penguasaan negara dimaksud tidak tampak dengan jelas penjabarannya
dalam pasal-pasal Undang-undang Ketenagalistrikan tersebut yang
seharusnya menjadi acuan pertama dan utama sesuai dengan amanat
Pasal 33 UUD 1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin dalam
konsiderans “Menimbang” kedua undang-undang yang bersangkutan, yang
kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua undang-undang a quo;
Menimbang bahwa meskipun demikian, dengan pendirian Mahkamah
sebagaimana tersebut di atas, tidak dengan sendirinya mengakibatkan
seluruh dalil Para Pemohon menjadi tidak beralasan, sehingga oleh
karenanya Mahkamah selanjutnya harus memeriksa seluruh butir dalil Para
Pemohon satu demi satu dengan mengujinya terhadap UUD 1945;
Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon mendasarkan seluruh
butir atau perincian permohonannya yang mendalilkan sejumlah substansi
undang-undang a quo bertentangan UUD 1945 dengan bertumpu pada
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan telah ternyata bahwa baik
Pemerintah, DPR, maupun para ahli memandang minyak dan gas bumi
221
adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak, maka dalam mempertimbangkan permohonan
dimaksud Mahkamah akan menilainya berdasarkan pengertian penguasaan
oleh negara sebagaimana diuraikan di atas dan keharusan tujuan
penguasaan oleh negara itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat:
1. Para Pemohon mendalilkan, Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan
argumentasi bahwa perusahaan asing akan menguasai industri minyak
dan gas nasional, di samping mengurangi wewenang Presiden dan
menumpukkan kekuasaan atas sumber daya minyak dan gas bumi di
tangan Menteri ESDM. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha
Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2)”. Terhadap hal ini Mahkamah tidak sependapat dengan
Para Pemohon yang menganggap ketentuan tersebut menyebabkan
terjadinya penumpukan kekuasaan yang sangat besar pada Menteri
ESDM, karena hal itu merupakan masalah internal Pemerintah yang
tidak relevan dalam perkara a quo. Namun, Mahkamah menilai
ketentuan dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) undang-
undang a quo yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara
diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan. Secara yuridis, wewenang penguasaan oleh negara
hanya ada pada Pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan
usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a
quo. Sementara, Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap hanya
melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan
hak ekonomi terbatas, yaitu pembagian atas sebagian manfaat minyak
dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam
lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang
(delegation of authority) adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi
wewenang, yaitu negara, sehingga dengan pencantuman kata “diberi
222
wewenang kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap” maka
penguasaan negara menjadi hilang. Oleh karena itu, kata-kata “diberi
wewenang” tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di
mana wilayah kerja sektor hulu adalah mencakup bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya
adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan hak negara untuk
menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur (regelen), mengurus
(bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden).
Oleh karena itu, adanya kata-kata “diberi wewenang” dalam Pasal 12
ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945;
2. Para Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan
dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan
pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar
minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah
meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap
dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada
tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai
secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal
lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang
berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan
Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang
Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan
implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD
1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi,
yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah
untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon
223
ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks
pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan
dalam pasal-pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian
Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4
ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) tampak jelas
hal-hal sebagai berikut:
- bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara;
- penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah
Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;
- Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk
Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi
(Pasal 1 angka 23);
- Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan
Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja
Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain
dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 19);
- Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat
persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan
Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan
minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada
pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian
manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah
pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana
pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari
rencana tersebut;
- Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,
dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan dengan Izin Usaha;
224
Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam
pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen),
mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi
(toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai
penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan
yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat, dalil Para Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan
karenanya harus ditolak;
3. Para Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang
memisahkah antara kegiatan hulu dan hilir (unbundling), sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 undang-undang a quo, akan berakibat lebih
mahalnya biaya/harga produk bahan bakar minyak dan non-bahan bakar
minyak karena setiap sektor kegiatan mempunyai biaya dan profit
tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai bertentangan dengan
trend industri minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud menyatakan,
“(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan
Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha
yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan
Usaha Hulu”. Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak
terjadi pemusatan penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan
sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan kepentingan
masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak
berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang
justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin
kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus
ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina
untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai
Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan
kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus
dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir”
yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur pikir demikian,
kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan;
225
4. Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 60 undang-undang a quo
yang mengubah fungsi perusahaan negara minyak dan gas
mengakibatkan negara tidak lagi menyelenggarakan pengusahaan
minyak dan gas bumi karena wewenang melakukan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi diserahkan Pemerintah langsung kepada swasta
(asing/nasional), sedangkan pada sektor hilir, kegiatan dilakukan
berdasarkan mekanisme pasar. Pasal 60 dimaksud menyatakan, “Pada
saat undang-undang ini berlaku: a. dalam jangka waktu paling lama 2
(dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah; b. selama Persero
sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran
Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta
mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya
yang diperlukan; c. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban
Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada
Persero yang bersangkutan”. Dengan memperhatikan bunyi Pasal 60
undang-undang a quo dan penjelasannya serta pertimbangan
Mahkamah yang diuraikan pada angka 2 dan 3 di atas, maka
permohonan Para Pemohon tidak cukup beralasan karena ketentuan
peralihan tersebut diperlukan untuk mencegah kekosongan hukum
(rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid);
5. Para Pemohon mendalilkan, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a
quo, dalam hal ini yang berkait dengan diberikannya tugas kepada
Badan Pelaksana (BHMN) untuk menunjuk penjual minyak dan/atau gas
bumi bagian negara kepada pihak lain yang bukan BUMN, menurut Para
Pemohon, di satu sisi akan merugikan negara karena fee penjualan akan
diperoleh swasta dan membuka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme,
dan di lain pihak akan membuka persaingan antar sesama LNG
Indonesia di pasar internasional. Terhadap dalil Para Pemohon ini,
Mahkamah berpendapat bahwa masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme
226
memang harus diberantas dalam rangka mewujudkan prinsip good
corporate governance dalam BUMN, namun hal tersebut bukan
merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, 2
(dua) Hakim Konstitusi berpendapat bahwa terlepas dari masalah
tersebut di atas, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo tidak
menggambarkan adanya penguasaan oleh negara sebagaimana
diperintahkan Pasal 33 UUD 1945, karena memberikan kewenangan
diskresioner untuk menunjuk penjual selain Badan Usaha Milik Negara
yang seharusnya diberdayakan oleh negara sendiri sebagai instrumen
penguasaan oleh negara dalam kegiatan penjualan Migas. Namun
demikian, Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan pasal tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945, tetapi harus ditafsirkan dalam
penunjukan penjual oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud,
harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu,
Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud
diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya;
6. Para Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak
dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) undang-undang a quo, di samping
akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut
Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan
sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di
setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai
dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara,
karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap
dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur
tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi
kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat
mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga
tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal
28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo mengutamakan mekanisme
227
persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas
menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin
makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33
ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat
memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan
Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh
Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat
tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang
sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
7. Pemohon mendalilkan bahwa pembebanan kewajiban bagi Badan
Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu
(eksplorasi dan eksploitasi) untuk membayar berbagai penerimaan
negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak,
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 undang-undang a quo, akan
merusak iklim usaha, antara lain, membuat investor tidak tertarik untuk
menanamkan modalnya di bidang ekplorasi dan ekploitasi. Terhadap
dalil Pemohon ini Mahkamah dapat membenarkan sepanjang
menyangkut usaha eksplorasi karena masih berupa pencarian sumber
migas yang belum pasti menghasilkan, sehingga secara konstitusional
tidak adil bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang
bersangkutan untuk dikenakan pajak sehingga dapat mengurangi minat
investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan eksplorasi yang
pada gilirannya akan berdampak mengurangi kesempatan untuk
mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi
terhadap usaha eksploitasi tidak terdapat alasan untuk menyatakan
ketentuan dimaksud bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena
kegiatan usaha hulu di bidang eksploitasi sudah menghasilkan migas.
Dengan pertimbangan demikian, meskipun Mahkamah sependapat
dengan sebagian dalil Para Pemohon, akan tetapi Mahkamah tidak
mungkin mengabulkan permohonan Para Pemohon, karena ketentuan
pengenaan pajak dalam pasal a quo mencakup kegiatan eksplorasi
228
maupun eksploitasi. Oleh karena Mahkamah tidak berwenang
melakukan perubahan atau perbaikan rumusan pasal dalam undang-
undang, maka Mahkamah menganjurkan pada pembentuk undang-
undang untuk melakukan amandemen terhadap pasal undang-undang a
quo (legislative review). Berdasarkan pertimbangan tersebut
permohonan Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 31 ayat (1)
undang-undang a quo tidak mungkin dikabulkan;
8. Para Pemohon mendalilkan, undang-undang a quo, melalui ketentuan
Pasal 23 ayat (2), telah meliberalisasi sektor hilir pengusahaan minyak
dan gas bumi. Para Pemohon menilai, dengan cara itu berarti undang-
undang a quo mendahulukan kepentingan pengusaha yang berorientasi
pada laba maksimum serta mengabaikan kepentingan hajat hidup orang
banyak. Padahal sebelumnya, kegiatan demikian dilakukan oleh
Pemerintah melalui BUMN sehingga Pemerintah senantiasa dapat
menyediakan bahan bakar minyak di mana saja di seluruh Indonesia
dengan harga yang seragam dan terjangkau karena hal itu merupakan
misi Badan Usaha Milik Negara. Karenanya Para Pemohon berpendapat
bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (2) tersebut bertentangan dengan Pasal
33 UUD 1945. Pasal 23 ayat (2) dimaksud menyatakan, “Izin usaha yang
diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha
Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin
Usaha Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha
Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”. Dalil permohonan Para Pemohon
tersebut tidak beralasan, karena Pasal 23 ayat (2) dimaksud meskipun
memang mengatur unbundling, namun ketentuan unbundling tersebut
tidak merugikan BUMN (Pertamina) karena haknya telah dijamin
berdasarkan Pasal 61 huruf b sebagaimana telah diuraikan pada
pertimbangan nomor 3 di atas. Pasal 61 huruf b tersebut berbunyi, “Pada
saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha
milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan
Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada
bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah
229
mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan, dan Niaga”. Dengan demikian, kekhawatiran Para
Pemohon terhadap berlakunya Pasal 23 ayat (2) dimaksud tidak
beralasan;
9. Para Pemohon, meskipun tidak secara jelas mendalilkan dalam
permohonannya akan tetapi di depan persidangan tanggal 16 Februari
2004 telah mempermasalahkan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo
yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib
menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari
hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri” sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Dari
bunyi pasal tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
wajib menyerahkan paling banyak 25% (duapuluh lima persen)
bagiannya dari hasil produksi migas untuk menehui kebutuhan dalam
negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk turut memenuhi
kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka
19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-
besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam
negeri. Mahkamah menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan
hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan
ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang
mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas
(patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu
terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan
yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase
serendah-rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Oleh karena itu,
Mahkamah menganggap kata-kata “paling banyak” dalam anak kalimat
“.... wajib menyerahkan paling banyak 25% (duapuluh lima persen) ...”
230
harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25%
bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) undang-undang a quo;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan saran-saran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan untuk amar
putusan ini, yang ditujukan baik kepada pembentuk undang-undang maupun
pelaksana undang-undang, maka permohonan Para Pemohon tentang
pengujian formil harus dinyatakan ditolak sedangkan permohonan pengujian
materiil harus dikabulkan untuk sebagian sebagaimana akan disebut dalam
amar putusan di bawah, sementara bagian-bagian lainnya harus dinyatakan
ditolak karena tidak cukup beralasan, dan bagian-bagian selebihnya dari
permohonan a quo yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas
tidak dipertimbangkan lebih lanjut;
Mengingat Pasal 56 ayat (1), (3) dan (5) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
M E N G A D I L I
Menyatakan permohonan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet
onvantkelijk verklaard);
Menolak permohonan Para Pemohon dalam pengujian formil;
Mengabulkan permohonan Para Pemohon dalam pengujian materiil
untuk sebagian;
Menyatakan:
- Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”;
- Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”;
231
- Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan Bakar
Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung
jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”;
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi
wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”,
dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menolak permohonan Para Pemohon selebihnya;
Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara paling
lambat 30 hari kerja sejak putusan ini diucapkan;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan 9 (sembilan)
Hakim Konstitusi pada hari: Rabu, tanggal 15 Desember 2004, dan diucapkan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari ini Selasa, tanggal 21
Desember 2004 oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., sebagai Ketua
merangkap Anggota dan didampingi oleh Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.,
Prof. H. A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., MS.,
Soedarsono, S.H., Dr. Harjono, S.H., MCL., H. Achmad Roestandi, S.H.,
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dan Maruarar Siahaan, S.H., masing-masing
sebagai Anggota dan dibantu oleh Jara Lumbanraja S.H., M.H. sebagai
232
Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Para Pemohon/Kuasanya,
Pemerintah/Kuasanya.
KETUA,
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. ANGGOTA-ANGGOTA,
Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. Prof. H. A.S. Natabaya, S.H., LLM. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., MS. Dr. Harjono, S.H., MCL. H. Achmad Roestandi, S.H. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Maruarar Siahaan, S.H. Soedarsono, S.H.
PANITERA PENGGANTI,
Jara Lumbanraja, S.H., M.H.
233
PUTUSAN Nomor 20/PUU-V/2007
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, diajukan oleh:
[1.2] 1) Zainal Arifin, 2) Sonny Keraf, 3) Alvin Lie, 4) Ismayatun, 5)
Hendarso Hadiparmono, 6) Bambang Wuryanto, 7) Dradjad Wibowo, 8) Tjatur Sapto Edy, seluruhnya adalah warga negara Indonesia dalam kedudukannya
masing-masing selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (“DPR-RI”) beralamat kantor di Gedung Nusantara I, Jalan Jenderal
Gatot Subroto, Jakarta 10270, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor
050/SK/ZJ/VI/2007 bertanggal 7 Juni 2007, memberi kuasa kepada Januardi
S. Haribowo, S.H., Bayu Prasetio, S.H., M.H., Kartini Amir, S.H., M.H., Erni Rasyid,
S.H., dan Ahmad Waluya M, S.H., advokat dan konsultan hukum yang
tergabung dalam Tim Advokat Pengujian Undang-Undang Migas baik bertindak
secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, beralamat kantor di Plaza
DM Lantai 12, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 25, Jakarta Selatan 12920.
Selanjutnya disebut sebagai ........................................................... para Pemohon;
[1.3] Telah membaca permohonan dari para Pemohon;
Telah mendengar keterangan dari para Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan
Perwakilan Rakyat;
2
Telah mendengar keterangan para ahli dari para Pemohon dan
Pemerintah;
Telah memeriksa bukti-bukti;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon, telah mengajukan permohonan
dengan surat permohonannya bertanggal 9 Juli 2007 yang diterima dan terdaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13 Juli 2007, dengan registrasi Perkara
Nomor 20/PUU-V/2007, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 14 Agustus 2007, mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.1. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”.
1.2. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
(a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
(b) .….dst.
1.3. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(UU Migas) terhadap UUD 1945, maka secara hukum, Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian atas materi muatan UU
Migas tersebut.
3
2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
2.1. Berdasarkan Pasal 51 UU MK, para Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a) Perorangan warga negara Indonesia (WNI);
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga Negara.
2.2. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005, adanya kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b) Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji;
c) Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan
terjadi;
d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
2.3. Dalam perkara ini, para Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI, memenuhi
kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam huruf a Pasal 51 Ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi, untuk mengajukan permohonan pengujian materiil
atas materi muatan suatu undang-undang ke Mahkamah Konstitusi
dengan alasan-alasan sebagai berikut:
4
2.3.1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI yang telah dirugikan dengan berlakunya UU Migas, yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial akan terjadi Bahwa DPR-RI sebagai suatu lembaga negara merupakan
kumpulan dari anggota-anggota DPR-RI yang membentuk suatu
dewan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewajiban, hak dan
kewenangannya, DPR-RI sebagai suatu entitias yang abstrak,
diwakili oleh anggota-anggota DPR-RI selaku pemangku jabatan
secara bersama-sama yang tidak lain adalah pribadi-pribadi atau
perorangan warga negara Indonesia. Tanpa adanya para anggota
DPR-RI tersebut sebagai perwujudan/perwakilan dari DPR-RI,
maka pelaksanaan fungsi, tugas, kewajiban, hak dan kewenangan
DPR-RI sebagai suatu lembaga negara tidak akan dapat
terlaksana.
Dengan demikian, hak-hak konstitusional DPR-RI sebagai suatu lembaga hanya akan ada atau dapat dilaksanakan jika hak tersebut dilaksanakan oleh Anggota DPR sebagai pemangku jabatan. Artinya, jika DPR-RI kehilangan hak
konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan terhadap
perjanjian internasional lainnya sebagaimana ketentuan Pasal 11
Ayat (2) UUD 1945, maka secara otomatis para Pemohon selaku
Anggota DPR-RI juga akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk
ikut memberikan persetujuan atas suatu perjanjian internasional.
Hilangnya hak konstitusional DPR-RI sebagai suatu lembaga
otomatis berarti hilangnya hak konstitusional setiap Anggota DPR-
RI, karena hak konstitusional DPR-RI sebagai lembaga melekat pada para Anggota DPR-RI. Dengan demikian, hak-hak
konstitusional Anggota DPR-RI lebih luas dari dan bukan hanya
hak-hak yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 20A Ayat (3)
dan Pasal 21 UUD 1945, yakni hak untuk mengajukan pertanyaan,
hak untuk menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, serta
hak untuk mengajukan rancangan undang-undang. Hak-hak
5
konstitusional Anggota DPR-RI yang tercantum dalam Pasal 20A
Ayat (3) dan Pasal 21 UUD 1945 tersebut, adalah hak perorangan
Anggota DPR-RI yang dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri
oleh setiap Anggota DPR-RI tanpa harus secara bersama-sama
dengan Anggota DPR-RI yang lainnya. Sedangkan, di lain pihak
setiap Anggota DPR-RI juga memiliki hak-hak konstitusional secara
bersama-sama dengan Anggota DPR-RI yang lainnya dalam
kedudukan sebagai anggota dari lembaga DPR-RI.
Hak konstitusional Anggota DPR-RI yang melekat pada hak
konstitusional DPR-RI sebagai lembaga dan merupakan hak secara
bersama-sama tersebut di atas antara lain:
Pasal 11 Ayat (2) yang berbunyi, “Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A Ayat (1) yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”.
Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 33 Ayat (4) yang berbunyi, “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat
(1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 tersebut
sebagaimana dikutip di atas, ada beberapa hak konstitusional para
Pemohon terkait dengan Permohonan ini, yaitu antara lain:
1. Hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk
ikut memberikan atau tidak ikut memberikan persetujuan atas
6
“perjanjian internasional lainnya” sebagai dimaksudkan oleh
Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945;
2. Hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk
melakukan ”fungsi pengawasan” atas jalannya pemerintahan;
3. Hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota DPR-RI untuk
melakukan pengawasan agar kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat;
4. Hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan,
menikmati dan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari
kekayaan alam Indonesia;
5. Hak konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi
pengelolaan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan
air Indonesia agar diselenggarakan berdasarkan sistem
demokrasi ekonomi sesuai prinsip-prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
Bahwa dengan berlakunya UU Migas, maka hak-hak konstitusional
para Pemohon dalam kedudukannya selaku Anggota DPR-RI telah
dirugikan atau telah dilanggar karena:
i. Telah ada begitu banyak kontrak-kontrak atau perjanjian-
perjanjian internasional yang ditandatangani oleh Pemerintah,
dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) yang mempunyai
akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Dalam hal ini antara lain berupa perjanjian atau Kontrak Kerja
Sama/KKS antara BP MIGAS dengan para Kontraktor usaha
minyak dan gas bumi. Di mana, pengelolaan dan eksploitasi
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia,
dalam hal ini minyak dan gas bumi, akan memberikan
pendapatan bagi negara yang sangat besar dan akan dapat
mempengaruhi perubahan pada Undang-Undang tentang
7
APBN. Sebaliknya dalam hal adanya kerugian yang timbul
akibat pengelolaan sumber daya alam dari minyak dan gas bumi
secara langsung maupun tidak langsung juga akan merugikan
negara, yang berarti juga merugikan rakyat untuk mendapatkan
sebesar-besarnya manfaat atas pengelolaan sumber daya alam
Indonesia.
ii. Secara aktual dan spesifik, kerugian konstitusional yang dialami
para Pemohon sudah terjadi, karena para Pemohon selaku
Anggota DPR-RI kehilangan hak konstitusionalnya untuk
memberikan persetujuan atau menolak memberikan persetujuan
atas berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau kontrak-kontrak
internasional yang mempunyai akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang, khususnya perjanjian-perjanjian
internasional yang terkait dengan pengelolaan sumber daya
alam minyak dan gas bumi.
2.3.2. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan berlakunya UU Migas Bahwa terdapat hubungan sebab akibat yang sangat nyata antara
kerugian yang dialami para Pemohon dengan keberlakuan UU
Migas, karena dengan berlakunya UU Migas, para Pemohon
sebagai Anggota dan/atau bagian dari DPR-RI, telah kehilangan
hak konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan atau untuk
menolak memberikan persetujuan atas perjanjian-perjanjian
internasional (dalam hal ini Kontrak Kerja Sama atau KKS) yang
telah ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak
Kontraktor. Padahal kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian
tersebut mempunyai nilai nominal sangat besar dan nyata-nyata
memiliki akibat atau dampak luas bagi kehidupan rakyat, yang
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
sebagaimana disebutkan di atas.
8
2.3.3. Jika permohonan para Pemohon dikabulkan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tidak akan atau tidak terjadi lagi Jika permohonan para Pemohon ini dikabulkan, tentunya kerugian
konstitusional yang dialami oleh para Pemohon dalam
kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI tidak akan ada atau terjadi
lagi, karena hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk
memberikan persetujuan atau untuk menolak memberikan
persetujuan sebelum Pemerintah cq. BP MIGAS menandatangani
suatu kontrak atau perjanjian internasional (KKS) menjadi tidak
hilang atau telah terpulihkan.
3. ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL TERHADAP UU MIGAS
3.1. Materi UU Migas yang Bertentangan dengan UUD 1945 Bahwa materi muatan dari ayat dan pasal UU Migas yang diajukan untuk
pengujian materiil, yaitu:
Pasal 11 Ayat (2), yang selengkapnya berbunyi:
“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus
diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia”.
3.2. Ayat, Pasal atau Bagian UUD 1945 yang Dilanggar Bahwa materi muatan UUD 1945 yang telah dilanggar, yaitu:
Pasal 11 Ayat (2), yang selengkapnya berbunyi:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 20A Ayat (1), yang selengkapnya berbunyi:
“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan”.
Pasal 33 Ayat (3), yang selengkapnya berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
9
Pasal 33 Ayat (4), yang selengkapnya berbunyi:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
3.3. Materi Muatan UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945 Materi Muatan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap
Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan
secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945
a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut
di atas, Perjanjian atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pemerintah
cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor usaha minyak dan gas bumi
hanya diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI, setelah
perjanjian tersebut ditandatangani, bukannya terlebih dahulu
dimintakan persetujuan kepada DPR-RI. Dalam hal ini, pihak DPR-RI
secara pasif hanya menerima salinan atau fotokopi kontrak/perjanjian
yang sudah selesai ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS
dengan pihak Kontraktor;
b. Bahwa faktanya, salinan atau fotokopi kontrak-kontrak kerja sama
yang dikirimkan ke DPR-RI cq. Komisi yang membidangi Minyak dan
Gas Bumi itupun baru dikirimkan berselang cukup lama setelah
penandatanganan kontrak atau perjanjian antara pihak Pemerintah cq.
BP MIGAS dengan pihak Kontraktor. Misalnya Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Lasmo Indonesioa Limited dan Unocal Muara Bakau, Ltd yang telah ditandatangani pada 30 Desember
2002, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11
Maret 2004 (vide Bukti P-11), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Sebana, Ltd yang telah ditandatangani pada 14 Oktober
2003, namun baru dikirim/diterima oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11
Maret 2004 (vide Bukti P-112), Kontrak Kerja Sama antara BP MIGAS dengan Tately N.V. (Company No.87301) yang telah
10
ditandatangani pada 30 Desember 2003, namun baru dikirim/diterima
oleh DPR-RI cq. Komisi VIII pada 11 Maret 2004 (vide Bukti P-13);
c. Bahwa KKS yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU
Migas yakni Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain
dalam kegiatan Eksplorasi (kegiatan yang bertujuan memperoleh
informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja
yang ditentukan) dan Eksploitasi (rangkaian kegiatan yang bertujuan
untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang
ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,
pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan
untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya) yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
d. Bahwa kontrak-kontrak atau perjanjian antara BP MIGAS dengan
Kontraktor nyata-nyata menimbulkan pendapatan atau minimal potensi
pendapatan yang sangat besar bagi negara. Sebagai contoh antara
lain:
1) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Lasmo
Indonesia Limited dan Unocal Muara Bakau, Ltd. tertanggal 30
Desember 2002 dengan area kontrak Muara Bakau (vide Bukti
P-11);
2) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Sebana Ltd.
tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak Bulu (vide Bukti
P-12);
3) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dengan Santos
(NTH Bali I) Pty. Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area
kontrak North Bali I;
4) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemone
Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company dan
SK Corporation tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak
North East Madura I;
11
5) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Knoc Nemtwo
Ltd. dan Petrovietnam Investment & Development Company
tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area kontrak North East
Madura II;
6) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Provident
Indonesia Energy LLC tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area
kontrak Tarakan Offshore Block;
7) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately N.V.
(Company No.87301) tertanggal 30 Desember 2003 dengan area
kontrak Palmerah (vide BUkti P-13);
8) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Pearloil
(Salawati) Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area
kontrak West Salawati;
9) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Elnusa
Bangkanai Energy Ltd. tertanggal 30 Desember 2003 dengan area
kontrak Bangkanai;
10) Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Halmahera
Petroleum Limited tertanggal 30 Desember 2003 dengan area
kontrak Halmahera;
e. Bahwa di lain pihak, ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 secara
tegas mensyaratkan bahwa segala perjanjian internasional lain
(selain perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
Ayat (1) UUD 1945, yakni perjanjian internasional terkait dengan
pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain),
sejauh perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, maka perjanjian internasional sedemikian, menurut
UUD 1945, sebelum ditandatangani oleh Presiden/Pemerintah, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR-RI, bukan hanya
sekadar pengiriman salinan atau copy perjanjian atau kontrak secara
tertulis saja yang dikirimkan kepada DPR-RI;
f. Bahwa filosofi dasar harus disetujuinya setiap perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah bahwa
12
secara materiil dan secara formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh Pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
g. Hal tersebut adalah sangat logis dan mendasar mengingat konsep
dasar yang dibangun oleh UUD 1945 adalah keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia yang selalu mengedepankan kemakmuran
dan kesejahteraan kehidupan rakyat, sehingga karenanya segala
tindakan Pemerintah yang terkait atau membawa akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat luas harus mendapatkan persetujuan
DPR-RI sebagai lembaga negara yang sah mewakili rakyat;
h. Bahwa dengan tanpa disetujuinya terlebih dahulu perjanjian-perjanjian
yang akan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS dengan
pihak Kontraktor tersebut, maka:
1. DPR-RI menjadi tidak dapat mengetahui dan mengawasi lebih awal
berapa banyak kontrak-kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah cq.
BP MIGAS, dan seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari
pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi tersebut.
Akibatnya, DPR-RI tidak dapat mengetahui seberapa besar hasil
pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi
memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
2. Faktanya, ternyata dari kontrak-kotrak yang ada, nampak jelas
betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan
minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang
apabila tanpa dikelola secara baik dan benar serta diawasi secara
ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan
sangat berpotensi merugikan Negara, yang berarti tidak
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-
besarnya bagi rakyat.
13
3. Ketiadaan persetujuan DPR-RI tersebut, mengakibatkan hilang dan
terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon selaku Anggota
DPR-RI untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengelolaan kekayaan alam yang ada di bumi dan air Indonesia
yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Di samping itu, tanpa adanya persetujuan DPR-RI, mengakibatkan
hilangnya hak konstitusional para Pemohon untuk ikut mengawasi
pengelolaan sumber daya alam dari sektor minyak dan gas bumi,
apakah telah dikelola, dilaksanakan dan diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
i. Bahwa lebih jauh lagi, ukuran atau tolok ukur dari perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga harus dengan persetujuan
DPR-RI sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD
1945, yaitu:
- Terkait dengan beban keuangan negara; dan/atau
- Mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
1) Terkait dengan beban keuangan negara, berarti ada uang atau
pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara yang dapat
menjadi beban rakyat atau negara harus mengeksploitasi sumber
daya alamnya untuk menutupi beban keuangan negara yang
terjadi;
2) Mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang. Dalam hal ini Undang-Undang tentang APBN, dimana
ada kejadian yang sedemikian rupa menimbulkan pendapatan
negara yang sangat besar sehingga merubah atau setidak-
tidaknya mempengaruhi sisi pendapatan APBN. Artinya, dalam
hal terjadi suatu pendapatan yang sangat besar di luar yang
tercantum dalam Undang-Undang tentang APBN yang telah
disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, maka Undang-
Undang APBN tersebut harus diubah untuk menyesuaikan
14
dengan besarnya jumlah pendapatan yang baru tersebut, dan hal
ini juga akan berakibat atau mengakibatkan perubahan APBN
pada sisi pengeluaran atau belanja negara;
j. Sesuai dengan fakta tersebut di atas, kontrak-kontrak/KKS tersebut
telah menimbulkan tambahan pendapatan negara yang luar biasa
besar dan signifikan sehingga mempengaruhi atau menyebabkan
perubahan Undang-Undang APBN pada sisi pendapatan, dan juga
secara langsung merubah komposisi APBN pada sisi belanja negara.
Dengan demikian, perjanjian-perjanjian antara BP MIGAS dengan Kontraktor tersebut, secara konstitusional harus mendapatkan persetujuan DPR-RI yang dalam hal ini diwakili oleh para Anggota DPR-RI.
k. Bahwa lebih jauh lagi, kekayaan negara yang sangat besar dari sektor
minyak dan gas bumi yang dikelola oleh BP MIGAS tersebut,
menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat besar jika tidak
dikelola secara benar, efisien dan efektif.
l. Namun demikian, faktanya tidak ada satupun lembaga negara atau
intitusi yang dapat melakukan tindakan pre-emptive atau preventive
(pencegahan) untuk menghindari kerugian keuangan negara akibat
salah kelola atau pengelolaan yang tidak efisien oleh Pemerintah cq.
BP MIGAS atas keuangan negara yang sangat besar tersebut sebagai
suatu bentuk pengawasan atas pengelolaan kekayaan negara. Bahkan
pengawasan secara dinamis pasca penandatanganan kontrak dan
implementasinya di lapangan, faktanya juga sangat sulit untuk
dilakukan karena prosedur permintaan data/keterangan maupun
pengiriman salinan atau fotokopi kontrak yang relatif lambat dan
berbelit-belit. Sehingga terkesan kuat bahwa BP MIGAS telah menjadi
suatu lembaga super body yang tidak dapat dikontrol/diawasi oleh
pihak manapun juga. Hal tersebut tercermin dari kewenangan atau
tugas dari BP MIGAS yang begitu besar, yaitu antara lain:
- Penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS oleh BP MIGAS;
- Penandatanganan KKS;
- Persetujuan atas rencana kerja dan anggaran;
- Monitoring pelaksanaan KKS;
15
- Penunjukan penjual minyak bumi dan/atau gas alam bagian negara;
- Pelaksanaan tender-tender untuk proses eksplorasi dan eksploitasi
oleh Kontraktor;
- Persetujuan besaran dan pembayaran Cost Recovery kepada
Kontraktor.
m. Bahwa terkait dengan kekhawatiran banyak kalangan atas dampak
dari keharusan adanya persetujuan DPR-RI terlebih dahulu atas setiap
kontrak/KKS yang akan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP MIGAS
dengan Kontraktor, dalam hubungannya dengan iklim atau tingkat
investasi di Indonesia, maka hal tersebut hanyalah kekhawatiran yang
berlebihan mengingat hal yang menjadi perhatian utama para investor
yang akan menanamkan modal di Indonesia adalah masalah kepastian
hukum dan jaminan keamanan berinvestasi. Persetujuan DPR-RI atas
penandatanganan kontrak-kontrak/KKS antara Pemerintah cq. BP
MIGAS dengan Kontraktor jangan dilihat sebagai perpanjangan rantai
birokrasi sehingga mengakibatkan inefisiensi berinvestasi, melainkan
justru lebih memperkuat kedudukan hukum dan kepastian hukum dari
kontrak/KKS. Karena dalam praktik di negara manapun juga, justru
menunjukkan bahwa kepentingan negara dan rakyat dalam
pengelolaan kekayaan negara adalah hal pokok yang harus selalu
diutamakan dan dikedepankan.
Dengan demikian sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan lagi
bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang hanya mewajibkan Pemerintah cq. BP MIGAS untuk memberitahukan atau menyampaikan salinan atau fotokopi dari kontrak atau perjanjian yang telah selesai ditandatangani oleh pihak Pemerintah cq. BP MIGAS dengan pihak Kontraktor, bertentangan dengan UUD 1945.
4. PETITUM Berdasarkan segala dalil, pertimbangan dan alasan tersebut di atas, para
Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan
memeriksa dan memutuskan permohonan pengujian materiil para Pemohon
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;
16
2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) serta Pasal 33 Ayat (3) dan
Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana
tersebut dalam angka 2 di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, para
Pemohon telah mengajukan bukti tertulis yang telah disahkan oleh Mahkamah,
diberi tanda P-1 sampai dengan P-13, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Zainal Arifin.
Bukti P-4 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Sonny Keraf.
Bukti P-5 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Alvin Lie.
Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Ismayatun.
Bukti P-7 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Hendarso Hadiparmono.
Bukti P-8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Bambang Wuryanto.
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Drajad Wibowo.
Bukti P-10 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan fotokopi Kartu Anggota DPR-
RI Pemohon a/n Sapto Edy.
17
Bukti P-11 : Fotokopi Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan
Lasmo Indonesia Limited dan Unocal Muara Baku, Ltd. tertangal 30
Desember 2002.
Bukti P-12 : Fotokopi Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan
Sebana Ltd. tertanggal 14 Oktober 2003.
Bukti P-13 : Fotokopi Production Sharing Contract antara BP MIGAS dan Tately
N.V. (Company No.87301) tertanggal 30 Desember 2003.
Bukti P-14 : Fotokopi print out artikel dari website www.kompas.com tanggal 26
Oktober 2006 dengan judul “Audit Migas, Mengejar Kebenaran
Hingga ke San Ramon”.
Bukti P-15 : Fotokopi print out artikel dari website www.tempointeraktif.com
tanggal 23 Januari 2007 dengan judul “BPKP: Industri Hulu Migas
Tidak Efisien”.
Bukti P-16 : Fotokopi print out artikel dari website www.detikfinance.com
tanggal 3 Agustus 2007 dengan judul “Rancu, BP Migas Harus
dibubarkan”.
Bukti P-17 : Fotokopi artikel dari harian Bisnis Indonesia halaman 7 tanggal 3
Agustus 2007 dengan judul “Standarisasi & Transparansi Cost
Recovery Migas”.
Bukti P-18 : Fotokopi artikel dari harian Bisnis Indonesia halaman 1-2 tanggal 5
November 2007 dengan judul “Menyongsong Harga Minyak Dunia
US$ 100 per Barel, diperlukan Penyempurnaan Manajemen
Migas”.
Bukti P-19 : Hasil print out Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa (Resolution of The General Assembly of United Nations)
Nomor 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962 dari website
www.un.org dengan judul Permanent Sovereignty over Natural
Resources.
Bukti P-20 : Fotokopi risalah rapat pleno ke-30 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang diberi tanda
catatan.
[2.3] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon
mengajukan dua orang ahli bernama Ir. Ryad Areshman Chairil, MSc., PhD., dan
Muhammad Sair Nisar, SH., MH., yang telah memberi keterangan di bawah
18
sumpah pada persidangan tanggal 7 November 2007, dan telah pula menyerahkan
keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22
November 2007, sebagai berikut:
Keterangan Ahli Ir. Ryad Areshman Chairil, MSc., PhD.
Pokok-pokok pikiran, pendapat dan keterangan ahli difokuskan pada
argumentasi materi pengujian materiil Pasal 11 Ayat (2) UU Migas terhadap UUD
1945, terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Fungsi Pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR).
Sebelum memberikan pendapat atas pengujian materiil Pasal 11 Ayat (2)
UU Migas tersebut di atas, ahli membuka kembali amar putusan MK atas
pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dalam perkara Nomor
002/PUU-I/2003 untuk memberikan gambaran betapa pentingnya keterlibatan DPR
sebagai perwakilan rakyat dalam konteks pengertian penguasaan negara atas
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya MK
berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana
dimaksud, maka penguasaan oleh Negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki
pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi
hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh Negara merupakan konsepsi
hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut
dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi
(demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui
sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”.
Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian
pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalam wilayah hukum Negara pada hakikatnya adalah
milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada Negara untuk
menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Karena itu, Pasal 33 Ayat (3) menentukan “bumi dan air kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
19
Selanjutnya Pengertian “dikuasai oleh Negara” haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan
dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: termasuk pula di dalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD
1945 memberikan mandat kepada Negara untuk melakukan fungsinya dalam
mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (bestuursdaad) oleh Negara. Fungsi
pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad) ditujukan dalam rangka
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Atas prinsip pengertian penguasaan Negara atas sumber daya alam, maka MK
berpendapat bahwa prinsip yang harus dikedepankan adalah paham kedaulatan
rakyat, dimana rakyat harus diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara. Kekuasaan tertinggi
mencakup pengertian kepemilikan publik secara kolektif yang dimandatkan kepada
Negara guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, berdasarkan penafsiran dari Putusan MK tersebut,
sebuah lembaga kolektif yang beranggotakan perwakilan rakyat dimaksud adalah
lembaga DPR yang harus mendapat posisi penting dalam menentukan
penguasaan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, lembaga DPR menempati posisi lembaga penting dalam proses
pengambilan keputusan pengusahaan dan pengelolaan sumber daya minyak dan
gas bumi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya hal ini dapat
dilihat dari pendapat MK sebagai berikut:
Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang
produksi minyak bumi dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang
terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945, oleh pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi
negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-
cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan,
pengelolaan dan pengawasannya kepada pasar.
20
Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan
DPR dinilai masih penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat hidup orang
banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang
produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan
mengawasinya agar sunguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Atas penafisran pendapat MK tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,
lembaga DPR sebagai institusi penting di dalam Negara, dengan demikian secara mutlak wajib dilibatkan di dalam setiap pengambilan keputusan untuk mengusahakan dan mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berkenaan dengan hal di atas, sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ahli
memberikan pendapat yang berkaitan dengan permohonan Judicial Review atas
UU Migas yang diajukan oleh para Pemohon. Pendapat ini disajikan dengan
melakukan pengkajian atas struktur dan materi muatan KKS berupa Kontrak Bagi
Hasil (KBH) antara BP Migas dan Lasmo Indonesia Limited dan Unocal Muara
Bakau Ltd, sebagaimana Bukti P-11 yang diajukan para Pemohon, yang dikaitkan
dengan materi permohonan Judicial Review pihak pemohon dan tanggapan dari
pihak Pemerintah. Pengkajian juga dilakukan dengan struktur dan materi muatan
Kontrak Karya (KK) untuk mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk batubara, yang kontraknya ditandatangani
oleh Pemerintah setelah mendapat rekomendasi/persetujuan DPR.
Argumentasi dasar yang diajukan di dalam pendapat ini ditujukan untuk
melihat betapa pentingnya melibatkan lembaga DPR sebagai pewakilan rakyat
untuk mengawasi proses dan mekanisme sebelum penandatangan KKS. Fungsi
pengawasan dimaksud ditujukan untuk menghindari atau paling tidak
meminimalisasi kesalahan dalam perumusan materi KKS baik kesalahan
perumusan dalam merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maupun kesalahan perumusan bahasa atau materi kontrak berdasarkan
filosofi dasar perikatan/perjanjian antara kedua belah pihak. Sebagian dari hasil
kajian dapat disampaikan sebagai berikut:
21
I. PERBANDINGAN KKS DENGAN KK/PKP2B YANG TERLEBIH DAHULU MEMINTA REKOMENDASI/PERSETUJUAN DPR
Sebagaimana dimaklumi, bahwa banyak sekali terdapat kesamaan
pengaturan antara kegiatan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara
(minerba) dan minyak dan gas bumi, baik mulai dari sisi hulu seperti penyelidikian
umum, eksplorasi sampai dengan eksploitasi produksi, maupun pada sisi hilir
seperti pengangkutan dan penjualan. Kedua kegiatan pengusahaan tersebut juga
mengusahakan sumber daya alam yang berdasarkan ketentuan Pasal 33 UUD
1945 merupakan sumber daya alam strategis dan menguasai hajat hidup orang
banyak.
Namun demikian, jika dikaji lebih mendalam proses pengambilan keputusan
pengusahaan khususnya proses sebelum penandatanganan kontrak, akan
didapati perbedaan antara proses penandatanganan KKl dan PKP2B, dengan
Kontrak Kerja Sama (KKS) minyak dan gas bumi. Sesuai ketentuan Pasal 10 UU
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum
diatur bahwa setiap Perjanjian/Kontrak Karya (KK dan PKP2B) ditandatangani Pemerintah setelah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR. Ketentuan
Pasal 10 tersebut berbunyi:
(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan
sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan
selaku pemegang kuasa pertambangan.
(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini, Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus
berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-perunjuk dan syarat-syarat yang
diberikan oleh Menteri.
(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disyahkan
oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
apabila menyangkut eksploitasi bahan galian golongan a (bahan galian
strategis) sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam
pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk
penanaman modal asing.
Penjabaran kata ”konsultasi” dalam ayat (3) di atas dilakukan dengan
mendapatkan rekomendasi dari DPR. Sebagai contoh misalnya, pada setiap
22
naskah KK maupun PKP2B selalu terdapat lembar persetujuan Presiden yang
didalamnya merujuk kepada rekomendasi/persetujuan DPR. Hal tersebut dapat
dilihat dalam naskah KK antara Pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara, dimana pada lampiran halaman depan terdapat surat Presiden RI
menugaskan kepada Menteri Pertambangan dan Energi (sekarang Energi dan
Sumberdaya Mineral) untuk menandatangani KK. Selanjutnya Paragraf I surat dari
Presiden RI tersebut menyatakan (disalin sesuai aslinya):
”Sehubungan dengan surat Saudara Nomor 0435/03/M.DJP/86 tanggal 27 Oktober
1986 serta menunjuk surat-surat rekomendasi Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Nomor KS.02/2007/DPRRI/1986 tanggal 27 September 1986 dan surat
Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 211/A./1986 tanggal 8
September 1986 sampai dengan nomor 245/A.1/1986 tanggal 8 September 1986,
dengan ini diberitahukan bahwa kami dapat menyetujui Kontrak Karya dibidang
Pertambangan Umum di luar batubara untuk perusahaan yang namanya
tercantum di dalam lampiran surat ini.”
Terlihat jelas bahwa Pemerintah memandang rekomendasi DPR sebagai elemen
penting dalam proses pengambilan keputusan ditandatangani atau tidaknya KK
dan PKP2B. Kata ”konsultasi” pada ketentuan Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 1967
diatas dijabarkan oleh Pemerintah dengan meminta rekomendasi/persetujuan dari
DPR sebelum KK dan PKP2B ditandatangani.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas
yang hanya memberitahu secara tertulis kepada DPR setelah KKS ditandatangani,
telah keluar dari kebiasaan dan kelaziman penandatanganan kontrak-kontrak
pertambangan, maka seharusnya Pemerintah terlebih dahulu meminta
rekomendasi/persetujuan DPR sebelum memutuskan memberikan persetujuan
dan penandatanganan KKS, mengingat tidak ada perbedaaan mendasar dari sisi
pengaturan industri pengusahaan pertambangan mineral/batubara dengan minyak
dan gas bumi. Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut bertentangan
dengan filosofis dan spirit fungsi pengawasan DPR sesuai Pasal 20A Ayat (1) UUD
1945 diatas dan pendapat MK pada amar Putusan MK atas pengujian UU Nomor
22 Tahun 2001 tentang Migas dalam perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang
menyimpulkan bahwa Pemerintah dan DPR harus secara bersama-sama
memutuskan untuk mengusahakan sumber daya alam strategis milik negara.
23
Seharusnya DPR sebagai sebuah lembaga kolektif perwakilan rakyat
sebagaimana dikonstruksikan dalam UUD 1945, mendapat ruang untuk
memberikan persetujuan kepada Pemerintah atau Negara sebelum
menandatangani kontrak pengusahaan sumberdaya alam strategis. Selanjutnya
Pemerintah melaksanakan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(bestuursdaad). Bentuk rekomendasi DPR tersebut merupakan perwujudan dari
fungsi pengawasan rakyat atau DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat
(toezichthoudensdaad) yang ditujukan untuk mengawasi dan mengendalikan
agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud
benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat dan
bangsa Indonesia.
II. FORMAT HUKUM KKS TIDAK SEBAIK KK/PKP2B Akibat tidak dilakukan pengawasan dalam proses pengambilan keputusan
penandatangan KKS, maka terlihat bahwa format hukum KKS belum
mencerminkan sebuah standar kontrak pertambangan yang baik. Bahkan jika
dibandingkan dengan KK, terlihat ketidaksempurnaan ketentuan-ketentuan dan
kelemahan-kelemahan dari sisi materi pengaturan Kontraknya. Secara umum,
tabel dibawah adalah perbandingan pasal-per pasal antara KKS yang
ditandatangani setelah berlakunya UU Migas (Bukti P11) dengan Kontrak Karya
antara Pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, sebagai berikut:
PASAL KONTRAK KERJA SAMA KONTRAK KARYA
INTRODUCTION
I SCOPE AND DEFINITIONS DEFINITIONS
II TERMS APPOINTMENT AND
RESPONSIBILITY OF COMPANY
III EXCLUSION OF AREAS MODUS OPERANDI
IV WORK PROGRAM AND
EXPENDITURE CONTRACT AREA
V RIGHTS AND OBLIGATIONS OF
THE PARTIES GENERAL SURVEY PERIOD
VI
RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF
PRODUCTION EXPLORATION PERIOD
24
VII VALUATION OF CRUDE OIL
AND NATURAL GAS REPORT AND SECURITY DEPOSIT
VIII COMPENSATION, ASSISTANCE
AND PRODUCTION BONUS FEASIBILITY STUDY PERIOD
IX PAYMENTS CONSTRUCTION PERIOD
X TITLE TO EQUIPMENT OPERATING PERIOD
XI CONSULTATION AND
ARBITRATION MARKETING
XII EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL
IMPORT AND RE EXPORT FACILITIES
XIII TERMINATION TAXES AND OTHER FINANCIAL OBLIGATIONS OF COMPANIES
XIV BOOKS AND ACCOUNTS, AND
AUDITS RECORD, INSPECTION AND WORK
PROGRAMS
XV OTHER PROVISIONS CURRENCY EXCHACNGE
XVI PARTICIPATIONS SPECIAL RIGHTS OF THE
GOVERNMENT
XVII EFFECTIVENESS EMPLOYMENT AND TRAINING OF
INDONESIAN PERSONNEL
XVIII EXHIBITS ENABLING PROVISIONS
XIX “A” = DESCRIPTON OF
CONTRACT AREA FORCE MAJEURE
XX “B” = MAP CONTRACT AREA DEFAULT
XXI “C” = ACCOUNTNG
PROCEDURE SETTLEMENT OF DISPUTE
XXII “D” = MEMORANDUM OF
PARTICIPATION TERMINATION
XXIII COOPERATION OF THE PARTIES
XXIV PROMOTION OF NATIONAL
INTEREST
XXV REGIONAL COOPERATION IN
REGARD TO ADDITIONAL INFRASTRUCTURE
XXVI ENVIRONMENTAL MANAGEMENT
AND PROTECTION
25
XXVII LOCAL BUSINESS DEVELOPMENT
XXVIII MISCELANOUS PROVISIONS
XXIX ASSISGNMENT
XXX FINANCING
XXXI TERMS
XXXII GOVERNING LAW
XXXIII ANNEX A; “CONTRACT AREA”
XXXIV ANNEX B : “MAP OF CONTRACT
AREA”
XXXV ANNEX C: “LIST OF
OUTSTANDING MINING AUTHORIZATION
XXXVI ANNEX D : “DEAD RENT OF
VARIOUS STAGE OF ACTIVITIES”
XXXVII ANNEX E: “FEASIBILITY STUDY
REPORT”
XXXVIII ANNEX F: “ROYALTY ON MINERAL
PRODUCTION
XXXIX ANNEX G: “ADDITIONAL
ROYALTIES ON MINERALS EXPORTED
XL ANNEX H: “RULES FOR
COMPUTATION OF INCOME TAXES”
Dari perbandingan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Format pasal per pasal KKS tidak selengkap KK/PKP2B Jumlah total pasal di dalam KKS adalah 22 pasal (17 buah pasal batang tubuh
dan 5 buah pasal lampiran), sementara pasal di dalam KK/PKP2B berjumlah 40
pasal (32 pasal batang tubuh dan 8 buah pasal lampiran). Dengan demikian
pengaturan KKS tidak selengkap KK/PKP2B
b. Pengaturan KKS tidak selengkap KK/PKP2B. Pasal KKS tidak mengatur hal-hal teknis selengkap KK, di antaranya:
- tahapan Penyeldikian Umum (General Survey)
- tahapan Eksplorasi (Exploration)
- tahapan Konstruksi (Construction)
26
- tahapan Operasi (Operation)
- Perlindungan terhadap lingkungan hidup
- Pemberdayaan masyarakat setempat
- Pengembangan bisnis lokal
- Keadaan Kahar (Force Majeure)
- dll
Ketidaklengkapan materi pengaturan di atas terjadi karena lemahnya fungsi
pengawasan dalam perumusan naskah KKS. Kelemahan tersebut di atas tidak
terlihat pada naskah KK/PKP2B mengingat naskah kontrak tersebut terlebih
dahulu dikaji dan dibahas bersama oleh Pemerintah dan DPR sebelum
ditandatangani Pemerintah. Dengan adanya pengkajian dan pembahasan
tersebut, maka DPR dapat mengawasi secara langsung perumusan naskah
KK/PKP2B. Hal ini tidak terjadi pada perumusan naskah KKS.
III. KKS BELUM MENJALANKAN AMANAH UU MIGAS Pengkajian detail terhadap ketentuan pokok KKS menyimpulkan bahwa
KKS ternyata belum menjalankan amanah UU Migas secara sepenuhnya. Hal ini
dapat dilihat bahwa ternyata materi KKS belum memenuhi ketentuan Pasal 11
Ayat (3) UU Migas yang menetapkan persyaratan minimum yang wajib dimuat
dalam sebuah KKS. Tabel di bawah ini memperlihatkan akan kealpaan KKS
memuat ketentuan pokok sebagaimana ditetapkan pada ketentuan Pasal 11 Ayat
(3) UU Migas tersebut di atas, sebagai berikut:
PASAL AMANAH PASAL 11 AYAT (3)
KONTRAK KERJA SAMA
I PENERIMAAN NEGARA SCOPE AND DEFINITIONS II WILAYAH KERJA DAN
PENGEMBALIANNYA TERMS
III KEWAJIBAN PENGELUARAN DANA EXCLUSION OF AREAS IV PERPINDAHAN KEPEMILIKAN HASIL
PRODUKSI ATAS MINYAK DAN GAS BUMI
WORK PROGRAM AND EXPENDITURE
V JANGKA WAKTU DAN KONDISI PERPANJANGAN KONTRAK
RIGHTS AND OBLIGATIONS OF THE PARTIES
VI PENYELESAIAN PERSELISIHAN RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF PRODUCTION
VII KEWAJIBAN PEMASOKAN MINYAK BUMI DAN/ATAU GAS BUMI UNTUK
KEBUTUHAN DALAM NEGERI
VALUATION OF CRUDE OIL AND NATURAL GAS
27
VIII BERAKHIRNYA KONTRAK COMPENSATION, ASSISTANCE AND PRODUCTION BONUS
IX KEWAJIBAN PASKA OPERASI PENAMBANGAN
PAYMENTS
X KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
TITLE TO EQUIPMENT
XI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP CONSULTATION AND ARBITRATION
XII PENGALIHAN HAK DAN KEWAJIBAN EMPLOYMENT AND TRAINING OF INDONESIAN PERSONNEL
XIII PELAORAN YANG DIPERLUKAN TERMINATION XIV RENCANA PENGEMBANGAN
LAPANGAN BOOKS AND ACCOUNTS, AND
AUDITS XV PENGUTAMAAN PEMANFAATAN
BARANG DAN JASA DALAM NEGERI OTHER PROVISIONS
XVI PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEKITARNYA DAN JAMINAN HAK-
HAK MASYARAKAT ADAT
PARTICIPATIONS
XVII PENGUTAMAAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA INDONESIA
EFFECTIVENESS
XVIII EXHIBITS XIX “A” = DESCRIPTON OF CONTRACT
AREA XX “B” = MAP CONTRACT AREA XXI “C” = ACCOUNTNG PROCEDURE XXII “D” = MEMORANDUM OF
PARTICIPATION
Setidaknya ada tiga ketentuan pokok yang diamanahkan oleh UU Migas dan
menjadi persyaratan wajib bagi sebuah KKS, namun belum tertuang di dalam KKS
yang ditandatangani setelah diterbitkannya UU Migas, sebagai berikut:
i. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri
ii. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat
iii. Pengelolaan lingkungan hidup
Dimana ketiga hal tersebut adalah menyangkut permasalahan publik dan
kedaulatan negara yang sangat vital dan penting. Hal tersebut terjadi karena tidak
adanya fungsi dalam perumusan materi naskah KKS. Dengan tidak
dicantumkannya persyaratan wajib tersebut di atas, maka dapat saja KKS tersebut
dinyatakan batal demi hukum karena bertentangan dengan UU Migas.
28
IV. KKS BELUM MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 002/PUU-I/2003 TENTANG UJI MATERIIL UU MIGAS
Didalam amar putusannya MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat
(2) UU Migas sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak” bertentangan
dengan UUD 1945. Dengan demikian Pasal 22 Ayat (1) tersebut seharusnya
berbunyi:
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25%
(dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas
Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri”.
Implikasinya adalah Pemerintah harus mengubah UU Migas dengan mewajibkan
Badan Usaha maupun Bentuk Usaha Tetap menyerahkan 25% dari total
produksinya kepada pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri (Domestic
Market Obligation/DMO).
Namun mengingat hingga saat ini, amanah MK tersebut di atas belum
dijalankan oleh Pemerintah dengan melakukan perubahan atas pasal-pasal yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka hal ini akan berakibat pada
kekosongan pengaturan DMO terutama pada jumlah yang diwajibkan untuk
dipasok ke pasar dalam negeri. Ketentuan Pasal 5.2.16 KKS misalnya menyatakan
sebagai berikut:
“after commercial production commences, fulfill its obligation towards the supply of
the domestic market in Indonesia”.
(setelah melaksanakan produksi komersial, kontraktor memenuhi kewajibannya
untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri Indonesia)
Pasal tersebut mewajibkan kontraktor untuk memberi pasokan kepada pasar
dalam negeri, namun tidak menetapkan berapa jumlah produk migas yang wajib
dipasok ke pasar dalam negeri. Mengingat belum dilakukan perubahan atas UU
Migas sebagai implikasi pembatalan Pasal 22 Ayat (1) di atas, maka secara yuridis
nya telah terjadi kekosongan pengaturan atas jumlah yang wajib dipasok ke pasar
dalam negeri. Bila hal ini tidak segera diantisipasi, maka secara nasional hal ini
akan berdampak pada keamanan pasokan energi bagi masyarakat Indonesia.
Kami berpendapat, jika dilakukan pengawasan oleh DPR sebelum
penandatanganan KKS tersebut, setidaknya masalah tersebut bisa diantisipasi
dan DPR pun dapat mendesak Pemerintah RI untuk segera melakukan perubahan
UU Migas untuk disesuaikan dengan Putusan MK. DPR dapat pula menggunakan
29
hak inisiatifnya untuk melakukan perubahan UU Migas sesuai dengan Putusan MK
dimaksud.
V. KESALAHAN DALAM PERUMUSAN
Pengkajian mendalam atas materi KKS mendapati beberapa kesalahan
mendasar yang secara yuridis dapat berimplikasi terhadap konstruksi pengaturan
industri hulu migas secara menyeluruh. Kami berpendapat, kesalahan-kesalahan
mendasar dibawah ini dapat diantisipasi jika DPR terlibat dalam proses
pengawasan perumusan materi KKS, sebagai berikut:
1) Kekurangakuratan dalam merumuskan status Badan Pelaksana Migas (BP Migas). Ketentuan Pasal 45 UU Migas juncto ketentuan Pasal 2 PP Nomor 42 Tahun
2002 menetapkan status BP Migas sebagai Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut sebagai State Owned Legal
Entity. Namun demikian, sebagaimana dapat dilihat pada halaman pembukaan
KKS, ternyata BP MIGAS dinyatakan sebagai State Owned Body (atau dapat
ditafsirkan sebagai Badan Milik Negara atau juga Badan Usaha Milik Negara).
Selengkapnya, pembukaan KKS tersebut menyebutkan:
“THIS CONTRACT; made and entered into on this 30th day of December 2002
by and between Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(hereinafter called BP Migas), a State-Owned Body, established under the
Government Regulation No. 42/2002 with a reference to Law No. 22/2001,
…..”
Penetapan BP Migas sebagai State Owned Body jelas dapat menimbulkan
kerancuan penafsiran akan status BP Migas. Apakah State Owned Body itu
berarti Badan Milik Negara seperti BPPT, BPK, dll atau Badan Usaha Milik
Negara seperti Pertamina, dll, atau Badan Hukum Milik Negara sebagaimana
ditetapkan dalam UU Migas? Jika kerancuan ini tidak diklarifikasi akan
menimbulkan permasalahan hukum yang mendasar mengingat BP Migas
adalah salah satu fondasi penting bagi konstruksi bangunan KKS.
2) Ketidakkonsistenan antara definisi dalam UU Migas dan KKS Ditemukan adanya perbedaan antara definisi di dalam UU Migas dan KKS.
Misalnya, minyak mentah didefinisikan di dalam KKS sebagai berikut:
30
Crude Oil means crude mineral oil, asphalt, ozokerite and all kinds of
hydrocarbons and bitumens, both in solid and in liquid form, in their natural
state or obtained from Natural Gas by condensation or extraction.
(Minyak Mentah berarti minyak bumi mentah, aspal, ozokerit dan semua jenis
hidrokarbon dan bitumen, baik yang berbentuk padat atau cair, dalam keadaan
alamiahnya atau diperolehnya dari gas bumi melalui kondensasi atau ekstraksi)
Sementara itu UU Migas menetapkan definisi Minyak Mentah (minyak bumi)
sebagai berikut:
Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfir berupa fasa cair atau padat termasuk aspal,
lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain
yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan
dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Mengingat minyak mentah/minyak bumi adalah produk utama dari hasil
eksploitasi Migas, maka perbedaan dalam penentuan definisi tersebut jelas
akan mempunyai dampak yang mendasar baik secara yuridis, teknis dan
ekonomis:
- secara yuridis, perbedaan tersebut dapat berimplikasi atas pelanggaran
terhadap ketentuan UU Migas
- secara teknis, perbedaan tersebut berimplikasi atas metode dan proses
produksi minyak mentah
- secara ekonomis, bisa saja negara tidak dapat menambahkan nilai tambah
ekonomis akibat adanya perbedaan tersebut.
3) Ketidak konsistenan antara Pasal dan Isi Kami juga mendapati adanya ketidak konsistenan dalam penetapan pasal dan
isi KKS. Sebagai contoh misalnya pada Pasal III mengenai Exclusion of Areas
(area/wilayah yang dipisahkan). Secara sepintas orang akan menafsirkan
bahwa pengertian pasal itu sebagai adanya sebagian wilayah yang akan
dipisahkan dari wilayah kerja/kontrak. Namun setelah membaca dengan detail
pasal itu, maka pada hakikatnya pasal tersebut menetapkan kewajiban
kontraktor untuk mengembalikan atau menciutkan sebagian wilayah yang tidak
ekonomis kepada Pemerintah (Reliquishment).
31
Di dalam KK, pasal tersebut dinyatakan secara tegas sebagai Reliquishment
(atau penciutan wilayah) yang mengatur kewajiban Kontraktor untuk
menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pemerintah.
4) Penggunaan Bahasa Dalam KKS Bahasa yang digunakan di dalam KKS hanya Bahasa Inggris. Mengingat di
dalam materi muatan KKS ada kewajiban untuk melaksanakan kegiatan
Konstruksi, maka seyogianya KKS juga memenuhi ketentuan UU Jasa
Konstruksi (UU Nomor 18 Tahun 1999) beserta peraturan pelaksanaannya,
yang mewajibkan menggunakan bahasa Indonesia atau minimal dua bahasa,
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, di dalam setiap kontrak pelaksanaan
kegiatan konstruksi. Sementara itu, baik KK maupun PKP2B yang terlebih
dahulu mendapat persetujuan DPR, menggunakan bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kontraknya.
5) Ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa Inggris Misalnya, ditemukan juga terjadi kesalahan penggunaan bahasa Inggris di KKS
pada bagian yang menjelaskan Map Contract Area (maksudnya Peta Wilayah
Kerja). Baik KK maupun PKP2B menjelaskan Peta Wilayah Kerja dengan
menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar yaitu Map of Contract
Area. 6) Ketidakkonsistenan dalam penulisan
Misalnya di dalam halaman depan KBH (Bukti P-11) tertulis: Production Sharing Contract
Between Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak Dan Gas Bumi (BP MIGAS)
And Lasmo INDONESIA Limited
And Unocal Muara Bakau, Ltd.
Adanya ketidakkonsistenan pada penulisan pada bentuk/entitas hukum
kontraktor sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada bagian Limited dan Ltd
(garis miring) tentunya akan menyebabkan kerancuan dalam menafsirkan
entitas Limited dan Ltd.
VI. KETERLIBATAN RAKYAT/PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAKSANAKAN KETENTUAN KKS
Didalam KKS terdapat banyak pasal yang mengatur kewajiban Pemerintah
cq. BP Migas untuk selalu berkoordinasi, baik secara langsung maupun tidak
32
langsung, dengan Pemerintah Daerah maupun rakyat setempat dalam
melaksanakan ketentuan KKS, seperti misalnya:
a. Penetapan Wilayah Kerja maupun Wilayah Penciutan dimana Pemerintah
harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang berkaitan dengan
kepentingan daerah dan masyarakat setempat khususnya pada masalah
pengaturan tata ruang.
b. Pelaksanaan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, rencana pengembangan
(Plan of Development/PoD) maupun kegiatan eksploitasi migas dimana
Pemerintah dan Kontraktor harus berkoordinasi dengan aparat pusat, daerah
maupun masyarakat untuk menjamin pelaksanaan eksploitasi sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
c. Penetapan partisipasi Pemerintah Daerah di dalam kepemilikan “interest” dari
pengusahaan Migas.
d. Pelaksanaan dan perhitungan lifting Migas yang berkoordinasi dengan
pemerintah daerah untuk memastikan penerimaan Negara yang optimal.
e. Pelaksanaan restorasi/rehabilitasi lapangan migas (Abandoment and Site
Restoration) paca produksi yang membutuhkan pengawasan dari pemerintah
daerah dan masyarakat.
Untuk menjamin pelaksanaan ketentuan pasal tersebut dengan baik, maka
seharusnya DPR sebagai perwakilan rakyat mendapat ruang untuk melakukan
pengawasan perumusan KKS guna menetapkan metode dan mekanisme
pelaksanaan ketentuan pasal tersebut di atas sebaik-baiknya sesuai dengan
pengaturan di Pemerintah Daerah maupun kondisi masyarakat setempat.
KESIMPULAN Berdasarkan paparan tersebut di atas, ahli memandang bahwa terdapat
banyak kelemahan dalam ketentuan KKS yang nantinya dapat menimbulkan
permasalahan hukum, teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan. Ahli berpendapat
bahwa permasalahan tersebut terjadi karena tidak adanya pengawasan dalam
perumusan sebelum KKS ditandatangani Pemerintah cq. BP Migas. Sebagaimana
hal yang berlaku pada proses dan mekanisme penandatanganan KKS dan atau
PKP2B, maka seharusnya lembaga DPR juga terlibat secara aktif untuk
memberikan rekomendasi persetujuan atas penandatanganan KKS oleh
Pemerintah.
33
Untuk itu sesuai dengan keahlian ahli, dan hasil kajian atas pengaturan
pengusahaan industri hulu migas serta pengaturan pada KKS dan atau PKP2B,
maka ahli dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penandatanganan KKS tanpa melalui persetujuan atau pengawasan DPR telah
mengakibatkan konstruksi pengaturan industri hulu migas menjadi tidak sejalan
dengan semangat pengaturan dan ketentuan UUD 1945 dan UU Migas itu
sendiri;
2. Permasalahan tersebut diakibatkan karena ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU
Migas telah mengindahkan fungsi DPR sebagai komponen penting dari Negara
untuk melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad), sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945, atas
cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat
hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
3. Dengan demikian ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas harus diubah/direvisi
dengan memasukkan fungsi pengawasan DPR sebelum KKS ditandatangani
guna memenuhi persyaratan dalam UUD 1945 di atas.
Keterangan Ahli Muhammad Said Nisar, SH., LL.M.
A. Pemahaman Konsep Hukum Internasional secara umum. Secara akademik hukum internasional itu kebanyakan dipahami seolah-olah
memiliki kekuatan mengikat (legal binding) sama halnya dengan hukum
nasional. Bahkan ada argumentasi lebih menekan lagi bahwa meskipun
tidak ada bukti hukum tertulis yang mengikat, tetapi ada praktik negara yang
sudah dikategorikan menjadi hukum kebiasaan internasional atau dikenal
dengan istilah “Jus Cogens”, maka hukum internasional dengan sebutan
seperti itu harus ditaati. Pemahaman seperti ini sangat merugikan negara-
negara sedang berkembang. Apalagi jika berlakunya hukum internasional itu
dipaksakan oleh Negara Maju, didorong dengan berbagai argumentasi dan
tipu muslihat, maka tentu berlakunya hukum internasional seperti itu harus
diwaspadai. Sebab banyak yang menganggap bahwa hukum internasional itu
tidak lain dari hukum yang dibuat oleh negara-negara yang memenangkan
peperangan atau “Victorious Law “
1. Negara-negara industri maju memahami dan menerima hukum
internasional sepanjang hukum itu dapat melindungi kepentingannya.
Sebagai contoh Amerika Serikat menolak secara terang-terangan
34
pengertian “Jus Cogens“ atau hukum kebiasaan internasional dengan
mengatakan bahwa:
• Kandungan normatif dari suatu hukum kebiasaan internasional itu
bersifat kebetulan ( incidentally);
• Penggunaan hukum kebiasaan internasional digantungkan kepada
suatu asumsi;
• Asumsi itu sulit dipahami dan kabur;
• Posisi hukum kebiasaan internasional pada hakikatnya masih
terombang-ambing antara keinginan disatu pihak untuk membangun
argumentasi atas dasar keadilan dan dilain pihak berargumentasi atas dasar kesepakatan.
2. Di negara Inggris sendiri yang terang-terangan menerima hukum
kebiasaan International sebagai bagian dari hukum yang berlaku di tanah
Inggris, tidak secara otomatis hukum kebiasaan internasional itu berlaku.
Pemahaman hukum kebiasaan seperti ini dikenal sebagai “Blackstonian
Doctrine” yang menegaskan bahwa The Law of nations, wherever any
question arises which is properly the object of its jurisdiction is here
adopted in this full extent by the common law, and it is held to be a part of
the law of the land”.
Untuk berlakunya suatu hukum Kebiasaan Internasional ditentukan oleh
sejumlah syarat antara lain, yaitu:
English Court could not give any effect to rules of International law
unless such rules were proved to have been adopted by Great Britain,
in common with other nations, in positive manner;
Moreover, if such rules conflicted with established principles of
the English court was bound not to apply them;
Customary rules of international law could never be applied by British
Municipal Courts unless they had been embodied in a British Statute,
but so far reaching an opinion is contradicted by the whole current of
recent authority.
B. Hukum internasional dalam konteks dagang, investasi dan jasa (services). Dari segi akademik hukum internasional dibagi kedalam hukum yang bersifat
publik dan yang bersifat privat. Pembagian hukum seperti ini sudah banyak
35
berubah. Namun perubahan itu nampaknya belum banyak dipahami bahwa
hukum publik internasional sekarang mengalami privatizierung dan hukum
privat mengalami publicizierung dan pemahaman seperti ini sudah populer
sejak tahun 1970.
Perkembangan pemahaman ini secara operasional di lapangan telah
menggeser batas-batas pemahaman akademik antara Hukum Perjanjian
Internasional (treaty) yang bersifat publik dan International Contract yang
bersifat perdata. Ada sejumlah alasan mengapa antara Perjanjian
Internasional dan Contract itu sudah tidak bisa dipahami secara terisolasi
dalam konteks hubungan dagang internasional, antara lain dapat disebutkan
sebagai berikut:
• Pemakaian istilah “International Law“ itu selalu merujuk kepada
“International Economic Law “ (almost all International Law could be called
international economic law, almost every aspect of international relations
touches in one way or another on economics. Indeed, it can be argued
from the latter observation that there cannot be any separate subject
denominated as international economic law.
• Negara-negara industri maju (highly industrial countries) Amerika dan
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sudah mempersiapkan sejumlah
instrumen hukum untuk mengawal investasi mereka di negara-negara
sedang berkembang. Jadi sebelum terjadi suatu kontrak dagang atau
investasi sudah terlebih dahulu disiapkan instrumen hukum yang meliputi
sebagai berikut:
1) International Code of Fair Treatment of Foreign Investment;
2) Uniform Domestic Legislation;
3) The Metigation of National Exchange Controls which Hamper the
Repartriation of Capital or of Income;
4) A Scheme of Multilateral Investment Insurance;
5) Agreed International Process for Resolution of Dispute between
Investor and Investment Receiving State;
6) Convention on the Settlement of Investment Disputes between States
and National of Other States;
36
7) Rules Governing the Additional Facility for the Administration of
Proceeding by the Secretariat of the International Centre for
Settlement of Investment Disputes Covering the following schedules:
Schedule A: Administrative and Financial Rules;
Schedule B: Conciliation Rules ;
Schedule C: Arbitration Rules;
Schedule D: Fact-Finding Rules
8) Foreign Sovereign Immunities Act;
9) United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards;
10) Multilateral Investment Guarantee–Agency (MIGA), 11 October 1985;
11) United Nations Commission on International Trade Law ;
12) The Overseas Private Investment Corporation Act ;
13) Foriegn Assistance Act ;
14) Agreement Concerning the Settlement of Claims, May 11, 1979
15) United Nations Department of Economic & Social Development;
16) International Emergency Economic Power Act (IEEPA).
17) Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 May 1969;
18) Vienna Convention on the Law of Treaties between States and
International Organizations or between International Organizations
(21 March 1986);
19) Uniform Customs and Practice for Documentary Credits yang telah
direvisi secara berulang-ulang oleh International Chamber of
Commerce (ICC);
Jika dibaca secara saksama seluruh klausul dari sejumlah konvensi atau
instrumen hukum yang tertera di atas, akan ditemukan banyak
penggunaan kata (wordings) dan perumusan yang mirip satu sama lain
yang dilakukan secara berulang.
Akibat lebih jauh dari adanya sejumlah instrumen hukum yang disebutkan
di atas itu mengaburkan kepastian hukum yang tertanam dalam setiap
klausul kontrak dalam negeri. Penggunaan kata yang sama dan strategi
menyembunyikan makna dari setiap kata membuka peluang terjadinya
pemahaman yang berbeda. Perbedaan pemahaman memerlukan
penafsiran yang dijadikan alasan untuk menarik kontrak itu ke tingkat
37
internasional. Penarikan kontrak itu ke tingkat internasional dasar
hukumnya sudah tersedia dalam perjanjian yang ditandatangani oleh
Pemerintah Indonesia sebelumnya yang mungkin tidak disadarinya.
Kekuatan menarik kontrak yang dibuat di dalam negeri ke tingkat
internasional itu adalah suatu pola permainan yang digambarkan dengan
kata-kata berikut: “Rules and reasons of law are twisted, inverted,
diverted, converted, deviated and innovated according to their
interest”. Permainan kata-kata sebagai bagian dari hukum digambarkan
oleh Winston Churchill sekitar 60 tahun yang lalu bahwa “The Empires of
the Future is the Empires of the Mind”. Jadi dengan pemahaman ini
dapat dipertanyakan dimana letak perbedaan kontrak secara perdata dan
perjanjian yang berisifat publik di bidang perdagangan, perindustrian dan
jasa.
Di Masyarakat Ekonomi Eropa sendiri pengawalan yang dilakukan oleh
Negara kepada setiap modal mereka yang diinvestasikan di luar negeri
dilaksanakan dengan melibatkan berbagai lembaga bentukan mereka
sendiri seperti:
i. Comission;
ii. The Council;
iii. The European Council;
iv. The Court - European Court of Justice;
v. Member States;
vi. European Parliament.
Dari beberapa tema instrumen hukum yang tertera di atas tampak sangat
jelas bahwa pengawalan modal investasi dan perdagangan internasional
dilakukan secara ketat yang dilukiskan oleh Pengamat dalam konteks ini
sebagai “a sort of dance power contest & struggle.“ Lebih khusus lagi
negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
bertindak keluar sebagai “one city government”. Dari gambaran ini pula
maka dikatakan bahwa perjanjian internasional di bidang investasi dan perdagangan bagaikan binatang gurita (octopus), yang memiliki jari jemari yang banyak dan kuat sehingga begitu suatu kontrak internasional ditanda tangani maka pada saat itu seluruh klausul kontrak menyangkut moneter, pembayaran, asuransi, arbitrase,
38
termasuk soal interpretasi, pilihan hukum, jurisdiksi pengadilan dan
sebagainya sudah terpegang erat dalam genggaman kuat dari sang Gurita. Dalam konteks ini kejelian membaca suatu kontrak bukan hanya
syarat mutlak yang diperlukan, tetapi pemahaman yang luas tentang
berbagai instrumen hukum yang berlaku dalam hubungan dagang antar
negara merupakan suatu keharusan untuk diketahui. Sebab jika semua
latar belakang kontrak ini tidak diketahui, artinya sama saja dengan
membiarkan kaki dan tangan bangsa ini diikat oleh bangsa lain.
• Pemahaman yang terisolasi antara “international treaty” yang bersifat
publik dan “international contract” yang bersifat perdata dalam soal
dagang, investasi, dan services (jasa) sangat tidak menguntungkan
posisi Indonesia. Sebab pada kenyataannya secara operasional dan
praktik di lapangan peraturan domestik dan peraturan internasional dan
lembaga hukum lainnya dalam urusan ekonomi saling terkait satu sama
lain (inextricably intertwined);
• Sulit dipahami peranan hukum ini (Hukum Internasional dan Hukum
Nasional atau international trearty dan international contract) untuk
melindungi kepentingan nasional jika ada pemahaman yang terisolasi;
• Apalagi jika diingat bahwa ketika berhubungan dengan hukum
internasional di bidang perdagangan dan investasi (international trade law
and investment) maka pada saat itu kita dihadapkan dengan suatu
“international treaty”.
C. Pemahaman Kontrak Kerja Sama (KKS) dan Production Sharing
Contract ( PSC) adalah Suatu Kontruksi atau Rekonstruksi Hukum Adalah sangat sulit untuk diterka dan dicari dasar hukum dari KKS dan PSC
dalam Buku III KUHPerdata. Kontrak ini disebut sebagai suatu “Standard
Form Contract”. Atau sering juga juga disebut “take it or leave it contract“,
you like it, you take it. If you don’t like it just leave it.
Dari segi teori bangunan (building theory), Konstruksi Kontrak PSC yang kemudian direkonstruksi menjadi KKS bukanlah suatu pola bangunan yang sempurna:
• Sebab lembaga eksekutif yang menjunjung tinggi demokrasi menuntut
terbukanya berbagai pilihan yang sifatnya tentative dan flexible. Bahkan
39
cenderung untuk berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan
yang berbeda yang dialami suatu bangsa;
• Dari segi sosial-ekonomi, KKS dan PSC adalah suatu transformasi sosial
yang terjadi karena keterlambatan perkembangan hukum di Indonesia.
Era perdagangan bebas dan kehancuran kelas-kelas menengah di
Indonesia harus dapat dijadikan pertimbangan untuk membuat perubahan;
• KKS sebagai suatu desain kontrak yang strategis tidak seharusnya
masuk dalam domain eksekutif secara eksklusif, tetapi komisi terkait yang
ada di DPR bahkan yang ada di luar DPR, seperti Perguruan Tinggi harus
dapat turut memberikan pertimbangan sebelum ditanda tanganinya suatu
kontrak. Sebab jika setelah kontrak ditandatangani baru disampaikan kepada DPR, sama halnya dengan menjadikan DPR sebagai sekadar lembaga stempel karet.
D. Perjuangan Negara-negara Sedang Berkembang Untuk Mengoreksi “Hubungan Dagang” Dengan Negara Industri Maju Negara-negara sedang berkembang yang jumlahnya kurang lebih 117 negara
yang tergabung dalam forum UNTAD (United Nations Trade and
Development) berhasil melahirkan konsep Tatanan Hukum Ekonomi
International baru yang dikenal dengan The NIEO (The New International Economic Order). The NIEO ini merupakan suatu upaya yang sadar dari
negara-negara sedang berkembang untuk mengoreksi secara total seluruh
hubungan dagang yang selama ini dipandang sangat merugikan dan tidak
adil. Koreksi yang dilakukan ini berhasil menelurkan sejumlah prinsip dan
aturan hukum yang meliputi:
Prinsip Rebus Sic Stantibus (artinya: Perjanjian itu berubah jika keadaan
berubah) untuk melawan prinsip “Pacta Sunt Servanda“ (artinya:
Perjanjian itu mengikat);
United Nations Charter of Economic Rights and Duties of States yang
memuat kurang lebih 15 prinsip dan yang terkait dengan kasus MIGAS
ini antara lain dapat disebutkan:
Sovereign Equality of All States;
Mutual and Equitable Benefits;
40
Remedying the Injustice which have been brought about by force and
which deprive nations of the natural means necessary for its normal
development;
Fulfillment in good faith of international obligations;
Promotion of International Justice;
No attempt to seek hegemony and sphere of influence.
E. United Nations General Assembley Resolution on Permanent
Sovereignty over Natural Resources Prinsip-prinsip hukum yang terkadung dalam Resolusi PBB ini secara jelas
dan tegas mengakui/menegaskan bahwa:
1) Setiap Negara berdaulat atas sumber kekayaan alamnya sendiri; 2) Pembagian keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya
alam tidak boleh merusak kedaulatan suatu negara;
3) Kerja sama internasional untuk pembangunan ekonomi dilaksanakan atas
dasar penghormatan terhadap Kedaulatan Negara atas sumber kekayaan
alam yang dimilikinya;
4) Hak dan kedaulatan rakyat dan bangsa atas kekayaan alam yang
dimilikinya, harus dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan
pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat dari negara yang
bersangkutan.
F. Kedudukan Pasal 33 UUD 1945. Terkait dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945, permasalahannya adalah
apakah ketentuan Pasal 33 UUD 1945 bersifat mandatory rule, dan apakah isi Pasal 33 UUD 1945 ini dapat dikontrakkan dengan gampang. Hal utama yang harus selalu dipegang teguh adalah bahwa ketentuan Pasal
33 UUD 1945 terkait dengan persoalan ekonomi yang sangat penting dan
vital bagi pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, bangsa dan
negara Republik Indonesia. Atau dapat diibaratkan bahwa letak kedaulatan
ekonomi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia berada di dalam
konteks Pasal 33 UUD 1945 tersebut.
PENUTUP DAN KESIMPULAN Dari penjelasan dan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
menjadi pertanyaan ialah apakah kesimpulan yang dibuat dapat bersifat conclusive
41
atau inconclusive. Sebab ada sejumlah akumulasi informasi yang sudah
terkumpul.
Di samping itu persoalan yang ingin dipecahkan bukanlah persoalan hitam – putih,
sehingga harus ada terobosan dan perubahan cara pandang. Bukan sekadar
mencari argumentasi yang bersandar pada kaki kursi yang mendukung adanya
suatu dudukan, dan bukan pula mencari jaringan dari suatu mata rantai (The
reason like the legs of the chair, not the links of the chain).
Dalam perkara ini, konsep mengenai perjanjian internasional tidak dapat lagi
hanya dilihat secara hitam putih dari bentuk perjanjiannya saja, melainkan juga
harus dilihat sifat dan muatan (content) dari perjanjian/kontrak tersebut, apakah
bersifat atau mengandung unsur-unsur publik, karena suatu perjanjian atau
kontrak yang mempunyai sifat, muatan atau terkait dengan unsur-unsur publik,
seperti kedaulatan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan lain-lain, harus
dipastikan dan diawasi benar-benar untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat,
bangsa dan negara Indonesia.
Lebih jauh lagi, dengan sistem ketatanegaraan baru pascaamandemen UUD 1945,
dimana Sistem Pertanggungjawaban Presiden/Pemerintah kepada MPR sebagai
Lembaga Tertinggi Negara sudah diubah menjadi Sistem Checks and Balances
antara cabang-cabang kekuasaan negara, maka transparansi adalah hal pokok
dan utama dalam proses penyelenggaraan dan pengelolaan negara. Dalam
perkara ini, terkait dengan kontrak/perjanjian MIGAS, interaksi/hubungan antara
lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah) dalam bingkai UUD 1945 tidak
berjalan sesuai dengan sistem Checks and Balances tetapi justru yang terjadi
adalah Blank Check dalam permasalahan pengelolaan kekayaan alam minyak
dan gas bumi.
Perlu ada suatu keputusan dalam perkara ini yang dapat memberikan perubahan
ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat/masyarakat yang merupakan
kandungan normatif-imperatif dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana
digambarkan oleh argumentasi berikut, Why we should think of proof only in terms
of the single analytic model of formal logic. Another kind of reasoning was available
very much like a piece of cloth, the total strength of enters into its warp and woof.
[2.4] Menimbang bahwa Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis
yang dibacakan pada persidangan tanggal 19 September 2007, yang menguraikan
hal-hal sebagai berikut:
42
I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) menegaskan
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat minyak dan gas bumi
merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai negara
dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam
penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam
negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya
perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
setelah empat dasawarsa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44
Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara, dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai kendala
karena substansi materi kedua Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan sekarang maupun kebutuhan masa depan.
Dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa yang akan
datang, kegiatan usaha minyak dan gas bumi dituntut untuk lebih mampu
mendukung kesinambungan pembangunan nasional dalam rangka
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah sepakat menyusun suatu
Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi untuk memberikan landasan
hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi. Pada tanggal 23 November 2001 telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152).
43
Penyusunan undang-undang ini bertujuan sebagai berikut:
1. Menjamin terlaksana dan terkendalinya minyak dan gas bumi sebagai
sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis
dan vital;
2. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih
mampu bersaing;
3. Meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang
sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan
memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4. Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Undang-undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan bahwa
minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di
dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh negara, dan penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha
Hulu. Sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha
setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.
Agar fungsi Pemerintah sebagai pengatur, pembina dan pengawas dapat
berjalan lebih efisien maka pada Kegiatan Usaha Hulu dibentuk Badan
Pelaksana, sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dibentuk Badan Pengatur.
Kegiatan sektor migas dalam kurun waktu 40 (empat puluh) tahun terakhir,
sektor minyak dan gas bumi telah memberikan kontribusi yang besar bagi
perekonomian nasional dan mempunyai peranan penting sebagai penghasil
devisa dan penerimaan negara, penyedia energi untuk kebutuhan dalam
negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih teknologi, menciptakan
lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor non migas, dan
pendukung pengembangan wilayah.
Sebagai modal utama untuk pembangunan jangka panjang selanjutnya,
kondisi industri minyak dan gas bumi diharapkan masih memberikan harapan
yang optimistik. Seperti diketahui bahwa potensi sumber daya minyak dan
gas bumi kita masih sangat besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan,
dimana dari sekitar 60 (enam puluh) cekungan sedimen yang berpotensi
44
mengandung minyak dan gas bumi, baru 16 (enam) cekungan yang telah
berproduksi.
Namun demikian, produksi minyak dan gas bumi sejak tahun 1995 sampai
sekarang cenderung menunjukkan penurunan yang signifikan. Hal ini
dikarenakan produksi minyak dan gas bumi kita masih berasal dari lapangan-
lapangan yang relatif telah tua umurnya yang telah diproduksikan sejak tahun
1970-1980. Penemuan dan penambahan cadangan minyak dan gas bumi
tersebut tidak sebanding dengan laju pengurasan produksi.
Di lain pihak, kebutuhan energi domestik dari minyak dan gas bumi dari tahun
ketahun meningkat tajam sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini harus
ditemukannya cadangan-cadangan minyak dan gas bumi baru untuk
menggantikan lapangan-lapangan yang mengalami penurunan produksi agar
paling tidak tingkat produksi dapat dipertahankan.
Selanjutnya untuk menemukan cadangan baru diperlukan investasi yang
tinggi sesuai dengan sifat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang
padat modal (high cost), berisiko tinggi (high risk) dan menggunakan
teknologi tinggi (high tech). Dalam rangka menghindari adanya pembebanan
terhadap keuangan negara, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah mengambil suatu
keputusan bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang
sesuai adalah Kontrak Bagi Hasil atau Kontrak lain yang menguntungkan bagi
negara. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa Kontrak
Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil,
Pemerintah tidak dibebani atas risiko apabila tidak ditemukan cadangan
Minyak dan Gas Bumi secara komersial dalam masa eksplorasi (risiko
ditanggung oleh Kontraktor), selain itu pula Kontraktor wajib menyediakan
biaya-biaya yang diperlukan, sumber daya manusia dan teknologi yang
dibutuhkan [vide Pasal 1 angka 19 juncto Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi].
Di samping itu, dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari sektor
minyak dan gas bumi yang berasal dari kontrak-kontrak baru yang akan
memasuki masa eksploitasi, maka apabila dalam masa eksplorasi ditemukan
cadangan Minyak dan Gas Bumi secara komersial, sesuai ketentuan Undang-
45
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa
pengembangan lapangan untuk yang pertama kalinya atau Plan of
Development (POD Pertama) wajib mendapatkan persetujuan Pemerintah cq.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini dimaksudkan agar jumlah
produksi minyak dan gas bumi selama masa ekploitasi, yang meliputi
besaran bagian negara, besaran operating cost, dan besaran pajak yang
akan didapat oleh negara sudah dapat diketahui sejak awal pada saat POD
Pertama disetujui, sehingga apabila Pemerintah memandang usulan POD
Pertama tersebut pendapatan negara dari bagi hasil tersebut tidak signifikan
(tidak ekonomis), maka POD Pertama tersebut tidak akan disetujui oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Perlu kita ketahui bahwa kontrak-kontrak yang baru ditandatangani tidak
sedikitpun membebani keuangan negara, bahkan meningkatkan penerimaan
negara bukan pajak berupa bonus tanda tangan dari setiap Kontraktor yang
menandatangani Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi tersebut. Lebih
lanjut apabila ditemukan cadangan minyak dan gas bumi secara komersial
pada masa eksplorasi, hal itu justru akan menambah devisa negara dari
produksi Minyak dan Gas Bumi yang dihasilkan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ditegaskan bahwa kegiatan usaha
hulu dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan
Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Pelaksana, dan
dalam 5 (lima) tahun terakhir ini telah banyak Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi yang ditandatangani (80 Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas
Bumi) antara Badan Pelaksana dan Bentuk Usaha Tetap dan/atau Badan
Usaha, termasuk Badan Usaha Nasional.
Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi pada dasarnya merupakan suatu
kontrak/perjanjian yang bersifat komersial antara para pihak (business to
business), yaitu antara Badan Pelaksana mewakili Pemerintah dengan Badan
Usaha/Bentuk Usaha Tetap sebagai institusi bisnis, yang hasil produksinya
dibagi sesuai dengan Kontrak Kerja Samanya.
46
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
b. badan hukum publik atau privat;atau
c. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan ″hak konstitusional″ adalah hak-hak yang diatur dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian
agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji.
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya),
yang harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
47
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Para Pemohon (yang kesemuanya warga negara Indonesia dalam
kedudukannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat), dalam
permohonannya menyatakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 11
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena
ketentuan-ketentuan a quo dianggap telah menghilangkan, membatasi atau
setidak-tidaknya telah mengurangi hak-hak para Pemohon untuk memberikan
atau tidak memberikan (menolak) persetujuan atas “perjanjian internasional
lainnya”. Selain itu ketentuan a quo juga dianggap telah menghilangkan hak-
hak para Pemohon untuk ikut serta melakukan pengawasan agar kekayaan
alam yang terkandung didalam bumi dan air dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, dan karena itu ketentuan a quo dianggap
bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33
Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Juga apakah terdapat kerugian
konstitusional para Pemohon yang dimaksud tersebut bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang terjadi dengan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
48
Pemerintah juga mempertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas
keberlakuan undang-undang a quo, karena para Pemohon tidak menguraikan
secara jelas kedudukan dan kepentingan hukumnya, apakah sebagai
perorangan warga negara Indonesia atau sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat secara perorangan (individu), lebih-lebih lagi atau sebagai
lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pemerintah ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maupun ketentuan Pasal 11 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
berlaku untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai institusi lembaga
Negara (vide Pasal 20 s.d 22B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945), kemudian hak dan kewajiban anggota Dewan
Perwakilan Rakyat telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri maupun tata tertib (vide Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Mejelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah).
Di sisi lain, Pemerintah menganggap para Pemohon yang kedudukannya
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, telah bertindak tidak konsisten
dan ambigu, disatu sisi para Pemohon adalah merupakan bagian dari pihak
yang mempunyai kewenangan membuat dan mengesahkan undang-undang
(fungsi legislasi), di sisi lain para Pemohon mempersoalkan produk undang-
undang itu sendiri. Sehingga menurut hemat Pemerintah, yang seharusnya
dilakukan oleh para Pemohon adalah dengan mengajukan prioritas usul
perubahan (amandemen) sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Dengan perkataan lain mekanisme legislative review dipandang lebih
bijaksana, dibandingkan dengan mengajukan judicial review atau
constitutional review atas peraturan perundang-undangan yang telah dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, karena dengan
permohonan pengujian untuk “membatalkan“ ketentuan a quo, maka sama
saja para Pemohon ingin membatalkan keputusan yang telah dibuatnya
sendiri (meminjam istilah jeruk makan jeruk atau istilah anak haram yang lahir
dari induk semangnya).
49
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah meminta kepada para Pemohon
melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan
membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon
sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.
Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian
terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon atas
keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam
permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah memohon agar
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan
penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.
Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan lebih lanjut atas
permohonan pengujian undang-undang a quo, terlebih dahulu disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa permohonan pengujian seluruh materi Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pernah diajukan oleh
Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia (Pemohon I), Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pemohon II), Yayasan 324 (Pemohon III),
Solidaritas Nusa Bangsa (Pemohon IV), Serikat KEP-FSPSI Pertamina
(Pemohon V), Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH, Wakil Rektor Universitas
Kejuangan 45 (Pemohon VI), seperti terdaftar pada registrasi
50
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 bertanggal 15
Oktober 2003, dengan perbaikan tanggal 14 Nopember 2003.
2. Terhadap permohonan pengujian tersebut telah diperiksa, diadili dan
diputus oleh Mahkamah Konstitusi, diucapkan dalam sidang pleno
Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum, pada tanggal 21
Desember 2004, dengan putusan:
- menyatakan permohonan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
- menolak permohonan para Pemohon dalam pengujian formil;
- mengabulkan permohonan Para Pemohon dalam pengujian materiil
untuk sebagian yaitu:
• Pasal 12 Ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata ”diberi wewenang”;
• Pasal 22 Ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata ”paling banyak”;
• Pasal 28 Ayat (2) dan (3) yang berbunyi ”(2) Harga Bahan Bakar
Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung
jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”;
3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan dipertegas dalam Pasal 10
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sehingga
terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
4. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
5. Pemerintah berpendapat bahwa permohonan pengujian undang-undang
a quo yang diajukan oleh para Pemohon sekarang (register perkara
Nomor 20/PUU-V/2007) memiliki kesamaan syarat-syarat konstitusionalitas dengan permohonan para Pemohon terdahulu yang
51
diajukan oleh Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia, dkk (register perkara
Nomor 002/PUU-I/2003), sehingga sepatutnyalah permohonan tersebut
untuk dikesampingkan [vide Pasal 42 Ayat (2) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang].
Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat permohonan pengujian
undang-undang a quo tidak dapat diajukan kembali (ne bis in idem), namun apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut
disampaikan Keterangan Pemerintah selengkapnya sebagai berikut:
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan:
“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan
secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
Ketentuan tersebut di atas dianggap bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2),
Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan sebagai
berikut:
Pasal 11 Ayat (2) yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 20A Ayat (1) yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.
Pasal 33 yang menyatakan:
Ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Ayat (4): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
52
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Karena menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dianggap telah menghilangkan,
membatasi atau setidak-tidaknya telah mengurangi hak-hak para
Pemohon untuk memberikan atau tidak memberikan (menolak)
persetujuan atas “perjanjian internasional lainnya”, sebagaimana dijamin
oleh konstitusi.
2. Bahwa ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, juga dianggap telah menghilangkan
hak-hak para Pemohon untuk ikut serta melakukan pengawasan
(controlling) agar kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan
karenanya ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 11 Ayat
(2), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut diatas, Pemerintah dapat
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen Pemohon yang
menyatakan bahwa Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi dianggap telah merugikan atau melanggar hak
dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, Karena ketentuan a quo
dianggap telah menghilangkan, membatasi atau setidak-tidaknya telah
mengurangi hak-hak para Pemohon untuk memberikan atau tidak
memberikan (menolak) persetujuan atas “perjanjian internasional lainnya”,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah berpendapat bahwa Perjanjian Internasional yang dimaksud
dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 adalah instrumen yang selama
ini dikenal dalam hukum tata negara dan hukum internasional sesuai dengan
53
Konvensi Winna tahun 1969 dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional.
Istilah “Perjanjian Internasional” yang digunakan dalam Konvensi Wina
adalah “Treaty”.
UN Treaty Collection-Treaty Reference Guide menegaskan bahwa “The term
"treaty" has regularly been used as a generic term embracing all instruments
binding at international law concluded between international entities,
regardless of their formal designation” sehingga treaty merupakan istilah yang
umum disepakati pada seluruh instrumen yang mengikat secara hukum
internasional.
Dalam Pasal 1 Konvensi Wina tahun 1986 ditegaskan bahwa lingkup dari
perjanjian internasional adalah perjanjian antara satu atau lebih negara dan
satu atau lebih organisasi internasional, dan perjanjian antar organisasi
internasional.
Lebih lanjut Pasal 2 Ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang
perjanjian internasional, mendefinisikan Perjanjian Internasional, "treaty
means an international agreement governed by international law and
concluded in written form: (i) between one or more States and one or more
international organizations; or (ii) between international organizations,
whether that agreement is embodied in a single instrument or in two or more
related instruments and whatever its particular designation”, sehingga
berdasarkan definisi tersebut yang menjadi subjek hukum perjanjian
internasional adalah negara atau beberapa negara dan organisasi
internasional.
Selain itu, dapat dikemukakan literatur hukum dan pendapat beberapa ahli
hukum internasional, serta berdasarkan konvensi-konvensi internasional
tentang pengertian perjanjian internasional, yaitu sebagai berikut:
- Black Laws Dictionary mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “An
agreement formally signed, ratified, or adhered to between to nations or
sovereigns; an international agreement concluded between two or more
states in written form and governed by international law”.
- Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa perjanjian internasional
adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-
54
bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu
(1996, hal.38);
- Menurut Dr. Oppenheim Lauterpacht mendefinisikan sebagai “International
treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal
rights and obligations between the parties” (perjanjian internasional sebagai
suatu persetujuan yang memiliki karakter kontraktual antar negara yang
menimbulkan hak & kewajiban diantara para pihak (negara) (Oppenheim,
London, hal.887);
- Lord Templeman dalam Maclaine Watson v. Dept of Treaty and Industry
memberikan defenisi treaty sebagai berikut: “Treaty is a contract between
governments of two or more sovereign states”. ( Textbook on International
Law Third Edition Martin Dixon MA, Blackstone Press Limited, 1996, hal
26);
Mengacu pada literatur dan pendapat tersebut di atas, Pemerintah
berpendapat bahwa subjek hukum dalam Perjanjian Internasional (treaty)
adalah Negara (state).
Bahwa menurut Pemerintah dalam memahami terminologi Perjanjian
Internasional tersebut harus dibedakan dari istilah perjanjian perdata yang
dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
atau hukum kontrak internasional. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 1
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang merupakan amanat Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperoleh definisi tentang
perjanjian internasional yaitu perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, disebutkan bahwa elemen-elemen dari
perjanjian internasional adalah:
a. dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subjek hukum
internasional lain;
b. diatur oleh hukum internasional (governed by international law );
c. menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
55
Bahwa istilah perjanjian internasional dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah harus ditafsirkan dalam nafas
yang sama dengan konteks Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 itu sendiri, yaitu kewenangan Presiden
sebagai Kepala Negara dalam kaitannya dengan politik luar negeri dan
berhubungan dengan negara lain.
Bahwa menyatakan perang, membuat perdamaian serta membuat perjanjian
internasional adalah rangkaian wewenang tradisional Kepala Negara (hak
prerogatif) di seluruh dunia dalam hubungannya dengan negara lain. Dalam
kaitan ini maka interpretasi hukum menjadi tidak tepat jika perjanjian
komersial dan perdata seperti seperti Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas
Bumi (KKS) masuk dalam konteks Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga menurut hemat Pemerintah
hubungan komersial Pemerintah dengan perusahaan asing bukan merupakan
domain Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, karena Pemerintah pada konteks ini merupakan pelaku komersial (iure
gestionis) bukan sebagai negara dengan atribut kedaulatan (iure imperii).
Pemerintah dapat menyampaikan pula bahwa berdasarkan latar belakang
penyusunan istilah “perjanjian internasional lainnya” sebagaimana tercantum
dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, adalah merujuk pada perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah
Indonesia dengan subjek hukum internasional yang bukan negara, yaitu
antara lain perjanjian dengan organisasi-organisasi internasional, seperti
World Bank (IBRD), International Monteray Fund (IMF) dan lain sebagainya,
yang kesemuanya seperti telah diuraikan di atas adalah subjek hukum
internasional.
Bahwa Kontrak Kerja Sama adalah kontrak yang bersifat keperdataan dan
tunduk pada hukum perdata bukan pada hukum internasional, sehingga
kedua belah pihak yang membuat kontrak kerja sama (Badan Pelaksana dan
Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap) bukan merupakan subjek hukum
internasional.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kontrak Kerja
Sama Minyak dan Gas Bumi tidak memenuhi kriteria untuk dapat disebut
56
sebagai perjanjian internasional sebagaimana dimaksud oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sehingga
dengan demikian anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, adalah tidak tepat dan tidak berdasar.
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen para Pemohon yang
menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon dalam kapasitasnya selaku Anggota DPR- RI,
utamanya hak untuk memberikan persetujuan atau menolak memberikan
persetujuan atas Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi telah hilang atau
setidak-tidaknya menjadi terganggu, maka menurut hemat Pemerintah alasan
para Pemohon tidak mendasar dan tidak tepat, karena sebagaimana telah
diuraikan di atas, bahwa Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi adalah
merupakan kontrak bisnis (keperdataan) dan bukan merupakan perjanjian
internasional.
Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD juncto Keputusan DPR RI
Nomor 03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka
hak-hak para Pemohon selaku Anggota DPR telah terpenuhi pada saat
penyusunan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi dengan telah
disetujuinya materi muatan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga dengan demikian
anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
adalah tidak tepat dan tidak berdasar.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 11
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi tidak menghilangkan atau setidak-tidaknya telah menghalangi hak-hak
para Pemohon untuk memberikan persetujuan terhadap perjanjian
internasional lainnya, dan kewenangan untuk melakukan pengawasan
57
terhadap kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, justru ketentuan
a quo telah memberikan penegasan dan/atau kepastian hukum
(rechtszekerheid) tentang hak-hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik
sebagai perorangan (individu) maupun Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
institusi lembaga negara. Di sisi lain ketentuan a quo juga telah memberikan
batasan yang tegas kepada Pemerintah untuk melakukan kontrak-kontrak
internasional yang dilakukan antara Pemerintah dan international company.
Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 11 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan
karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1),
dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
(constitutional review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Pasal 11 Ayat
(2), Pasal 20A Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku
diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
58
Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah telah
mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M.,
dan Prof. Dr. Zen Umar Purba, SH., LL.M., yang telah memberi keterangan di
bawah sumpah pada persidangan tanggal 7 November 2007, dan telah pula
menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 4 Desember 2007, sebagai berikut:
Keterangan Ahli Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M.
Jika berbicara tentang Pasal 11 Ayat (2) tentu kita juga harus berbicara
Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Di situ terdapat kata negara lain,
yang bunyinya seperti ini, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Memang kata negara
lain di sini seolah-olah dalam hukum internasional, subjek hukum internasional,
hanya negara tidak masuk organisasi internasional, Vatikan Suci, Dikolisi, Palang
Merah Internasional, dan seterusnya. Oleh karena itu, saya menduga pada waktu
diamandemen ada ketentuan Pasal 11 Ayat (2) —ini amandemen ketiga— yang
hendak mengakomodasi subjek hukum internasional bukan hanya negara, seperti
organisasi internasional, Tahta Suci, Belligerent, dan lain sebagainya. Di sini
Presiden disebutkan dalam membuat perjanjian internasional lainnya, ada kata
lainnya di situ.
Memang kemudian Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang Dasar menyebutkan
bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam undang-undang, dan rujukan yang
berikutnya adalah Undang-Undang Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000. Di dalam Pasal 4 Ayat (1), dan ini sudah dikemukakan di
dalam statement sebelumnya oleh Pemerintah dan DPR, bahwa Pemerintah
Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih lalu
kemudian organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain. Kemudian
yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan subjek hukum
internasional lainnya. Apakah private entity, subjek hukum perdata juga termasuk
itu. Jika diperhatikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
59
tersebut dalam Pasal 4 Ayat (1) disebutkan di situ bahwa yang dimaksud dengan
subjek hukum internasional lain dalam pasal ini adalah suatu entitas hukum yang
diakui oleh hukum internasional. Jadi, pertama entitas hukum ini yang harus diakui
oleh hukum internasional dan kemudian yang kedua syaratnya mempunyai
kapasitas membuat perjanjian internasional dengan negara, karena yang membuat
perjanjian internasional itu adalah negara.
Dua hal tersebut sangat penting untuk dicermati bersama, namun sebelum
itu, perlu ahli jelaskan, bahwa subjek hukum internasional yang didapati dalam
berbagai textbook dan juga dijalankan, katakanlah di dalam hubungan
internasional adalah negara organisasi internasional, Palang Merah Intenasional,
Vatikan Suci, belligerent, belligerent dimaksud dibedakan dengan insurgent—
pemberontak yang katakanlah tidak diakui oleh masyarakat internasional,
sementara kalau belligerent harus diakui oleh masyarakat internasional, dan
berikutnya adalah individu, individu yang melakukan kejahatan internasional.
Dengan demikian bukan kita perorangan menjadi subjek hukum internasional
tetapi kalau mereka melakukan kejahatan internasional.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kata perjanjian internasional
lainnya ini merujuk pada mitra negara, negara RI sebagai subjek hukum
internasional untuk membuat perjanjian dengan subjek hukum internasional selain
negara. Dalam konteks demikian dan diakui oleh hukum internasional yang dapat
menjadi mitra negara dalam membuat perjanjian internasional adalah organisasi
internasional, Vatikan Suci, Palang Merah Internasional, dan kemudian belligerent.
Kalau individu tidak dapat karena mereka yang melakukan kejahatan internasional.
Perlu dipahami bersama bahwa kalau berbicara mengenai subjek hukum,
seringkali orang membuat kesalahan termasuk kita sebagai staf pengajar. Menurut
ahli subjek hukum internasional seharusnya dibedakan dengan subjek hukum
perdata bahkan juga berbeda dengan subjek hukum pidana, subjek hukum tata
negara, dan subjek hukum administrasi negara. Hal tersebut merupakan
kesalahan permanen dalam pemberian kuliah pengantar ilmu hukum kepada
mahasiswa, bahwa subjek hukum itu adalah orang dan badan hukum. Padahal
yang dibicarakan sebenarnya adalah subjek hukum perdata. Karena kalau
misalnya diperhatikan cabang ilmu hukum, ada pembagian hukum perdata dan
hukum publik. Hukum publik berbau negara sehingga ada pecahannya lagi, hukum
pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum internasional.
60
Dalam konteks hukum perdata memang ada hukum perdata nasional tetapi
ada juga hukum perdata internasional. Sebenarnya merupakan hukum perdata
nasional tetapi karena ada elemen atau unsur asing sehingga disebut sebagai
hukum perdata internasional. Di dalam konteks hukum perdata internasional ada
masalah keluarga, perkawinan, warisan dan seterusnya, tetapi sekarang ini marak
masalah bisnis yang kemudian diistilahkan dalam berbagai textbook sebagai
transaksi bisnis internasional, dimana salah satunya dibicarakan tentang kontrak
bisnis internasional bukan perjanjian internasional dalam konteks hukum publik
yang masuk di dalam hukum internasional.
Berikutnya perlu diketahui bahwa kalau kita bicara negara maka negara itu
dapat berperan, baik sebagai hukum internasional, sebagai subjek hukum perdata,
misalnya saja Pemerintah harus membeli kendaraan bagi para pejabatnya, tentu
Pemerintah harus membuat kontrak yang bersifat perdata. Mahkamah Konstitusi
membuat gedung kepada kontraktor, maka Mahkamah Konstitusi tidak berperan
sebagai Mahkamah Konstitusi tentunya, tetapi berperan sebagai subjek hukum
perdata. Kemudian juga sebagai subjek hukum tata negara karena negara
biasanya atau dalam hal ini penguasa berhadapan dengan rakyatnya. Dan
kemudian subjek hukum administrasi negara bagaimana para pejabat membuat
aturan-aturan bagi rakyatnya dan itu dapat di-challenge tentunya dan kemudian
juga subjek hukum pidana negara, karena negaralah yang membuat apa yang
disebut sebagai jahat yang kemudian tertuang di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan undang-undang pidana lainnya seperti tindak pidana korupsi,
ekonomi, dan seterusnya.
Untuk mengetahui kapan negara berperan sebagai subjek hukum yang
mana dalam cabang ilmu hukum maka kita harus melihat konteksnya, tidak bisa
kemudian kita bicara bahwa negara dalam waktu yang bersamaan mereka akan
berperan dalam berbagai cabang ilmu hukum, meskipun tadi sudah disampaikan
bahwa di dalam dunia sekarang ini seolah-olah tidak ada pemisahan yang tegas.
Memang betul tidak ada pemisahan yang tegas tetapi perlu di dalam proses kita
ketahui sendi-sendi, asas-asas, bahkan subjek, objek dari setiap cabang ilmu
hukum bukan berarti kemudian semuanya dijadikan satu.
Dalam konteks negara, dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum
internasional maka dia disebut sebagai jure imperi yang kemudian negara sebagai
konstitusi publik yang bisa mengklaim kekebalan immunity. Sementara negara
61
sebagai subjek hukum perdata yang disebut jure gestiones dimana negara tidak
dapat sebenarnya mengklaim kekebalan, karena negara di situ dia berperan
sebagai subjek hukum perdata atau dalam istilah populernya negara sebagai
pedagang bukan negara sebagai suatu institusi publik yang bisa membuat aturan-
aturan ‘sepihak’ dimana kita warga negara harus kemudian tunduk pada aturan-
aturan tersebut. Jadi tidak ada kesetaraan, sementara jure gestiones
mengindikasikan harus ada kesetaraan antara negara dengan mitranya.
Subjek hukum perdata menurut hukum Indonesia, ada beberapa, misalnya
PT, dapat kita melihat di dalam Undang-Undang PT, koperasi—Undang-Undang
Koperasi, yayasan—Undang-Undang Yayasan, Perum dalam Undang-Undang
Badan Usaha Milik Negara, partai politik dalam Undang-Undang Politik, lalu ada
juga badan hukum milik negara. Kemudian universitas negeri yang dinyatakan
sebagai badan hukum milik negara. Tentang BP Migas yang pembentukannya
berdasarkan Undang-Undang Migas, didasarkan pada badan hukum milik negara
dan tentu kemudian sebagai subjek hukum lainnya adalah negara. Kalau misalnya
dalam konteks nasional, Departemen membeli kendaraan, tetapi dalam konteks
perdata internasional bisa juga dalam hal Departemen Pertahanan membeli
persenjataan dari perusahaan yang ada di Amerika, perusahaan yang ada di
Rusia, dan seterusnya sehingga akhirnya mereka tunduk hukum sebenarnya
perdata, bukan hukum internasional.
Dalam kontrak karya kalau misalnya melihat Undang-Undang
Pertambangan, peran pemerintah di situ bukan merupakan subjek hukum
internasional melainkan subjek hukum perdata, karena hubungan Pemerintah
dengan investor bersifat perdata. Ini Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun
1967 mengatakan bahwa “menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor
apabila diperlukan”. Dan kemudian di dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1)
dikatakan “pasal ini menjadi dasar untuk kontrak karya, baik dengan pihak modal
dalam negeri maupun dengan modal asing”. Jadi di sini tidak membedakan siapa
mitranya bisa dalam negeri maupun luar negeri. Perjanjian dengan pihak investor
harus diperlakukan sebagai istilah dalam bahasa Inggris government contract,
government contract ini tunduk pada hukum perdata termasuk perdata
internasional dan tidak tunduk pada hukum internasional publik.
Karena government contract ini ada mitra dimana salah satunya adalah
Pemerintah, maka dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kontrak bisnis
62
atau kontrak saja yang berdimensi publik, dimensi publiknya karena Pemerintah,
tentu dia harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi Pemerintah. Misalnya
saja dalam hal pengadaan barang dan jasa, maka Pemerintah harus
memperhatikan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dimensi publik ini karena salah satu pihak
adalah sekali lagi Pemerintah. Sementara untuk kegiatan di bidang Migas kontrak
tidak dilakukan oleh Pemerintah, melainkan oleh subjek hukum perdata yang
memang ditunjuk oleh undang-undang. Pasal 4 Ayat (3) UU Migas yang
menyebutkan bahwa peran Pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dengan
investor dilakukan oleh BP Migas—Badan Pelaksana Minyak dan Gas. Pasal 4
Ayat (3) juga mengatakan, “Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan
membentuk badan pelaksana”, dan apabila dilihat dalam Pasal 45 Ayat (1)
disebutkan bahwa badan pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4
Ayat (3) mengatakan, “Badan Hukum Milik Negara dan kemudian penjelasannya
adalah BHMN dalam ketentuan ini mempunyai status sebagai subjek hukum
perdata”.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat sampaikan sebagai berikut,
perjanjian antara pemerintah dalam bentuk kontrak karya atau perjanjian antara
pihak yang mendapat delegasi dari negara, BP Migas dalam bentuk kontrak kerja
sama tidak merupakan perjanjian yang berada dalam kategori perjanjian
internasional dalam konteks hukum internasional publik. Kontrak karya dimana
Pemerintah sebagai subjek hukum perdata ataupun kontrak kerjasama tunduk
kepada ketentuan hukum perdata internasional. Dimana salah satu yang paling
berarti adalah para pihak harus mempunyai kedudukan yang sama secara hukum,
kesetaraan. Meskipun secara sosiologis biasanya tidak seperti itu, tetapi
persyaratan bahwa harus ada kesepakatan menunjukkan bahwa harus ada
kesetaraan.
Menurut ahli, kontrak karya ataupun kontrak kerja sama tidak dapat masuk
dalam kategori perjanjian lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2)
Undang-Undang Dasar. Sehingga tidak perlu ada persetujuan dari DPR apabila
akan dibuat kontrak karya ataupun kontrak kerja sama. Sekali lagi karena rujukan
subjek hukum bukan subjek hukum internasional, tetapi kalau kita bicara soal BP
Migas atau Pemerintah dalam subjek hukum perdata, maka rujukannya adalah
negara sebagai subjek hukum perdata.
63
Menurut ahli, fungsi pengawasan oleh DPR dalam kaitan dengan kontrak
kerja sama tidak dapat dikaitkan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar.
Fungsi pengawasan oleh DPR bila hendak dikuatkan dari apa yang sudah ada
sekarang dalam proses kontrak kerja sama dapat dilakukan dengan
mengamandemen (legislative review) dari ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-
Undang Migas, dimana mungkin kata “diberitahukan secara tertulis” diganti dengan
kata atau kalimat yang lebih memberi peran, lebih kuat, dan luas kepada DPR.
Dengan kesimpulan ahli, bahwa pengawasan tidak kemudian dapat dikaitkan
dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar dan oleh karenanya persetujuan
yang diminta kepada DPR, tidak dapat dilakukan.
Terkait dengan Pemohon mengenai apakah Pemohon memiliki legal
standing, ahli tidak memiliki kompetensi pengetahuan untuk hal tersebut, dan
terkait dengan uji materil terhadap Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
ahli sampaikan bahwa Pemohon tidak memiliki dasar untuk mengatakan Pasal 11
Ayat (2) Undang-Undang Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-
Undang Dasar.
Kemudian Terkait dengan dikuasai oleh negara, saya sependapat dengan
apa yang disampaikan Prof. Zen. Bahwa ini sangat bergantung pada interpretasi
dari DPR dan Pemerintah, karena kalau kita perhatikan di dalam Konstitusi Pasal
33 dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang, mengingat undang-undang dibuat oleh Pemerintah dengan
Presiden, maka tafsiran tentang negara diserahkan kepada dua (lembaga) negara
ini. Di dalam penelitian saya terhadap undang-undang ini yang menggunakan kata
yang dikuasai oleh negara. Ada undang-undang tentang penerbangan,
perkeretaapian, tenaga nuklir, jalan tol dan seterusnya, di situ memang kesimpulan
saya adalah tidak ada interpretasi tunggal dari DPR dan Pemerintah terhadap
istilah dikuasai oleh negara, karena terkait dengan konteks pada saat itu. Ahli tidak
bicara dalam konteks setelah reformasi, tetapi ahli ke belakang juga dan lain
sebagainya, dan dalam penelitian ahli itu ada yang dikuasai oleh negara seperti
misalnya Migas dahulu, kalau saya tidak salah Undang-Undang Nomor 44 Prp
tentang Pertambahan Minyak dan Gas Bumi, itu negara tetapi kemudian
diserahkan kepada Pertamina. Di sini Pertamina berperan sebagai regulator dan
player, tetapi ada juga dimana negara menyerahkan kepada Pemerintah,
64
melakukan pembinaan kepada Pemerintah nanti Pemerintah menunjuk Badan
Usaha Milik Negara.
Dalam penelitian ahli hal itu terlihat bahwa memang tidak ada interpretasi
tunggal bagaimana negara itu menjalankan fungsinya karena semuanya akan
dikatakan dikuasai oleh negara. Kalau ditanya apakah di dalam Undang-Undang
Pertambangan, DPR dilibatkan dalam proses, sementara di dalam KKS tidak
diberitahukan secara tertulis. Kembali lagi, kita harus pahami bahwa undang-
undang dibuat dalam konteks. Undang-undang tahun 1967 dibuat pada tahun
1967. Di situ dikatakan bahwa DPR dilibatkan, sebelum kontrak itu katakanlah
ditandatangani oleh Pemerintah, tetapi yang sekarang kesepakatannya adalah
diberitahukan secara tertulis, dengan melihat konteksnya.
Kalau setiap kali dalam implementasi, misalnya kontrak kerja sama atau
nantipun kontrak karya, DPR harus dilibatkan terus menerus, itu akan sangat lama
prosesnya. Seharusnya undang-undang memberikan rambu-rambu apa yang
dimaksud dengan kepentingan rakyat. Atau kalau misalnya hal itu akan diserahkan
kepada Pemerintah tentu Pemerintah akan membuat peraturan pemerintah apa
yang dimaksud dengan kepentingan rakyat. Dari situlah kemudian negosiator
siapapun dia akan merujuk apa yang dimaksud dengan kepentingan rakyat. Kalau
misalnya ada pengawasan, instansi atau institusi Pemerintah mereka
didelegasikan Pemerintah, tidak sesuai dengan koridor itu maka DPR dapat
melakukan pengawasan, bahkan sebenarnya pengawasan tidak dilakukan hanya
oleh DPR tetapi juga oleh Kejaksaan. Siapa tahu dalam proses tersebut ada uang
yang bermain sehingga kontrak dibuat tidak memenuhi, mengikuti aturan-aturan
dan rambu-rambu yang ada.
Ahli tidak mengatakan kapan DPR memberikan persetujuan atau tidak,
tetapi bagaimana konsensus Pemerintah dengan DPR membuat aturan-aturan.
Memang kalau misalnya tadi ada masalah cheating dan sebagainya, perlu
diketahui bahwa di dalam praktik menegosiasikan kontrak itu harus ada
kehandalan dari pihak negosiator dan mereka yang pandai merumuskan kalimat-
kalimat hukum ke dalam kontrak. Kalau kita lihat generasi-generasi awal dari
kontrak kerja sama, kontrak karya, kebanyakan adalah kontrak-kontrak yang
sebenarnya akan diberlakukan oleh multinational corporation di berbagai negara.
Lalu kemudian disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara tersebut. Di sini memang kelihatan bahwa ada bargaining position yang
65
berbeda, tetapi pada saat itu memang karena kita baru mulai, ahli belum ada dan
lain sebagainya kita harus terima. Sekarang tentu kita sudah perbaiki dan ahli
melihat BP Migas punya peranan. Karena kalau ini diserahkan kepada Pemerintah
katakanlah begitu, maka sulit orang yang bergaji tiga juta, katakanlah begitu,
sebagai pegawai negeri harus berhadapan dengan lawyer ulung yang rate-nya
satu jam 500 dolar. BP Migas dapat memainkan peran karena BP Migas
pegawainya tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di pegawai
negeri sipil. Oleh karena itu, hal ini dapat lebih baik.
Pada waktu Pertamina digugat oleh buruh di New York. Sebenarnya
Pertamina mungkin digugat tetapi dugaan ahli, ahli belum melihat kasusnya, yang
menjadi permasalahan bukan apa yang dilakukan oleh Pertamina, tetapi kebijakan
Pemerintah Indonesia yang meminta Pertamina untuk menghasilkan sekian barel
minyak. Kalau itu merupakan perintah dari Pemerintah, maka itu masuk dalam act
of state doctrine, karena memang Pemerintah masuk dalam OPEC, bukan
Pertamina yang masuk dalam OPEC, tetapi Pemerintah dan Pemerintah ini terikat
dengan perjanjian dengan negara-negara yang tergabung dalam OPEC tentang
jumlah barel yang bisa dikeluarkan. Pertamina hanya menjalankan instruksi yang
disepakati oleh Pemerintah. Karena di dalam kasus Karaha Bodas, Pemerintah
memang dapat digugat, tidak dapat Pertamina sebagai sebuah PT mengaku diri
mempunyai kekebalan dan merupakan act of state doctrine. Act of state doctrine
terkait kebijakan yang dibuat oleh suatu negara berdaulat yang di-challenge oleh
mungkin warga negara dari negara lain, maka biasanya pengadilan akan
mengatakan bahwa kita tidak mempunyai kompetensi karena itu merupakan act of
state doctrine. Sebagai referensi, Pemerintah Cina yang membuat aturan
melarang dipraktikkannya Fulan Gong di Cina itu di-challenge oleh Warga Negara
Indonesia, asal Cina di Indonesia ke pengadilan negeri dan oleh pengadilan negeri
dikatakan bahwa karena ini merupakan kebijakan Pemerintah Cina, maka
pengadilan negeri tidak mempunyai kompetensi untuk memeriksa hal tersebut.
Keterangan ahli Prof. Dr. Zen Umar Purba, SH., LL.M. Menurut ahli mengenai apakah Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Migas
bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20A
dan Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang diubah,
dan apakah Kontrak Kerja Sama (KKS) merupakan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 seperti yang diubah,
66
jawaban ahli tegas bahwa ini bukanlah hukum internasional yang sebagaimana
yang dimaksud Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Bahwa Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan, “perjanjian-
perjanjian lainnya”, hendaklah yang pertama, dibaca satu nafas dalam rangka
Undang-Undang Dasar 1945 dalam pengertian dikaitkan dengan Ayat (1)-nya dan
yang kedua, bahwa Ayat (2) ini juga mesti difahami dalam skema sistematika
Undang-Undang Dasar 1945 itu, yakni bahwa yang dimaksud dengan perjanjian
internasional Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 adalah disamping yang sudah
dibicarakan, yaitu oleh subjek hukum internasional dan tunduk pada hukum
internasional publik, akan tetapi juga penting diperhatikan adalah sifatnya, yakni
bersifat publik. Jadi sangat berbeda dengan transaksi-transaksi seperti KKS
(termasuk di dalamnya production sharing contract) yang sifatnya sendiri memang
sudah privat. Negara sebagai contoh dapat bertindak sebagai pihak dalam
transaksi yang privat kalau sifat dari transaksi itu adalah memang privat.
Seperti contoh yang telah diberikan yaitu kalau seumpamanya negara
mengimpor mobil, itu sama saja juga dengan kalau umpamanya BP Migas
melakukan kontrak dengan pihak lain, (dan pihak lain tidak semata-mata pihak
asing tetapi berdasarkan Undang-Undang Migas dapat juga badan usaha
nasional). Di sini BP Migas bertindak sebagai subjek hukum perdata.
Ahli teringat akan pendapat seorang hakim Inggris yang mengatakan bahwa
kalau sekali negara memulai sebagai trader maka seterusnya (dalam transaksi itu)
dia adalah trader. Ini sudah menjadi doktrin yang diakui dalam hukum
internasional, yakni negara-pun dapat menjadi subjek hukum privat dalam keadaan
tertentu. Hal ini untuk menunjukkan bahwa sifat perjanjian itu penting. Jadi
disamping tadi kita bicara subjek hukum internasional (negara dan juga lembaga
internasional), tetapi juga hukum yang berlaku (hukum internasional) dan sifatnya.
Kemudian satu hal yang amat penting, tetapi belum disinggung disini adalah
bahwa KKS tidak mesti dilakukan hanya dengan perusahaan asing atau dalam
undang-undang disebut Bentuk Usaha Tetap. Tetapi seperti dinyatakan dengan
tegas dalam UU Migas Pasal 9 Ayat (1) juncto Pasal 11 Ayat (1), dapat juga dibuat
dengan badan usaha atau perusahaan nasional, termasuk BUMN serta swasta.
Kalau sudah begini, di mana lagi unsur internasionalnya, yang oleh para Pemohon
diasosiasikan dengan “perjanjian internasional.” Ini tambah menunjukkan betapa
67
teramat lemahnya pandangan dari para Pemohon yang dengan anggapan mereka
bahwa KKS merupakan perjanjian internasional.
Mengenai Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan perjanjian internasional lainnya yang menyangkut hajat hidup rakyat
yang penting, misalnya Indonesia kadang-kadang impor beras tetapi juga sering
ekspor kelapa sawit, CPO (crude palm oil), ekspor yang lain-lain yang dilakukan
badan-badan usaha milik negara mengekspor ke negara lain yang diterima
perusahaan lain, apakah hal tersebut juga termasuk perjanjian internasional
lainnya seperti dimaksud Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, jawaban
ahli adalah sejalan yang telah dikemukakan bahwa berbagai transaksi semacam
itu jelas tidak merupakan transaksi dalam lingkup hukum internasional. Tentang
BUMN, yang melakukan kontrak-kontrak itu perlu dicermati dari dua perspektif.
Pertama, berbagai transaksi itu sifatnya privat atau komersial. Kedua, BUMN di
sini adalah apa yang dinamakan sebagai Perusahaan Perseroan disingkat Persero
sebagai lawan dari Perusahaan Umum (Perum). Persero itu berdasarkan UU
BUMN (UU Nomor 19 Tahun 2003) tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas
(sekarang UU Nomor 40 Tahun 2007). Itulah sebabnya Persero disebut juga
dengan PT. Persero. Jadi sebagai PT. Persero tidak ubahnya seperti perusahaan
swasta, modalnya saja yang dari Negara. Atau dalam ungkapan lain, secara
operasional PT, Persero berperilaku privat, perilaku perdata. Jadi dengan sifat
transaksi yang privat dan status PT. Persero. Menanggapi pertanyaan, jelaslah
bahwa berbagai transaksi itu sama sekali bukan dalam konteks perjanjian
internasional sebagaimana yang dimaksud dalam permasalahan yang dibawakan
di Mahkamah Konstitusi ini.
Pasal 33 Ayat (3) dan Pasal 33 Ayat (4) merupakan isu yang sudah lama
dan ahli sefaham dengan satu pendapat bahwa hal itu sama sekali tidak
menghalangi Pemerintah yang mewakili Negara untuk melakukan berbagai macam
transaksi yang dianggapnya perlu dengan tujuan untuk menyumbangkan hasil
transaksi itu bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara adalah penguasa,
penguasa memiliki kebijakan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang
dianggapnya penting dalam rangka mengelola sumber daya alam (SDA)-nya.
Ahli sebelumnya telah menegaskan bahwa KKS ini, tidak selamanya
dilakukan dengan pihak asing. Namun sekalipun dengan pihak asing, dalam hal ini
perusahaan minyak asing (Bentuk Usaha Tetap) ini hanya sebagai “kontraktor”.
68
Ahli sekalian ingin menjelaskan bahwa kedudukan “kontraktor” bagi perusahaan
asing itu adalah satu wujud kemenangan negara-negara berkembang dalam
perjuangan mereka mendapatkan kemerdekaan ekonomi setelah kemerdekaan
politik.
Berkait dengan Permanent Sovereignity over Natural Resources, yang
merupakan satu Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1962 – sebagai bagian
langkah kedua dan bersifat multilateral dari negara-negara berkembang dalam
menuju satu tatanan ekonomi baru (New International Economic Order) yang
dasarnya bukan hukum internasional yang sudah ada sebelum mereka lahir.
Langkah pertama yang dilakukan adalah nasionalisasi. Langkah kedua ini adalah
jaminan secara multilateral bahwa SDA mereka benar-benar dapat mereka kelola
sendiri. Implikasi dari langkah multilateral negara-negara berkembang yang
menghasilkan beberapa Resolusi Majelis Umum PBB ini bagi persidangan
Mahkamah Konstitusi ialah penegasan bagi negara-negara berkembang bahwa
negara itu dalam memanfaatkan SDA-nya, berhak untuk mengundang investasi
asing, namun transaksi itu yang tunduk pada hukum nasional, kontrak itu sendiri
dan hukum internasional. Tidak seperti sebelumnya, hukum internasional tidak
satu-satunya rujukan. Kalau tidak, maka berbagai prinsip hukum kebiasaan
internasional publik akan berlaku, umpamanya mengenai tanggung jawab negara
(state responsibility), yang oleh negara-negara berkembang ditolak untuk
diterapkan dalam dunia usaha transnasional. Sebab dunia usaha sudah difasilitasi
untuk menyadari sendiri kegiatan usahanya di negara lain (ada untung, ada rugi)
dan karena itu harus tunduk pada hukum negara itu. UU Migas yang kita bahas
sekarang adalah refleksi dari capaian pada tingkat multilateral tadi. Dan perlu
diingat bahwa hukum yang berlaku bagi KKS adalah hukum Indonesia. Konkretnya
kegiatan pengelolaan SDA yang menggandeng pihak asing tidak bertentangan
dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945. Dalam KKS, hukum yang
dipakai adalah hukum Indonesia.
Mengenai apakah dengan adanya kontrak-kontrak kerja sama antara BP
Migas dengan perusahaan-perusahaan asing dalam kaitannya dengan isi Pasal 33
Ayat (3) maupun Ayat (4), dikaitkan dengan hak Pemohon sebagai anggota DPR-
RI itu secara konstitusional spesifik dan secara langsung causal verband mereka
dirugikan dengan adanya kontrak-kontrak tersebut. Kemudian apakah isi
pelaksanaan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
69
Migas itu bertentangan dengan isi Pasal 33 Ayat (3) maupun Ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945. Ahli menjawab bahwa Pertama, pandangan ahli jelas positif
bahwa para Pemohon tidak seharusnya merasa dirugikan secara konstitusional
dengan adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Migas tersebut,
karena sifat dari transaksi itu, seperti yang telah panjang lebar diungkapkan di atas
adalah transaksi perdata. Dan tidak pula semua KKS dilakukan dengan pihak
asing dan hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia.
Kedua, sejalan dengan benang merah di atas, isi Pasal 11 Ayat (2) UU Migas
sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Telah dijelaskan sebelumnya oleh pihak DPR sendiri bahwa mekanisme
untuk masalah yang disampaikan Pemohon sebenarnya sudah ada
mekanismenya, dan sangat tidak tepat dibahas di Mahkamah Konstitusi. Jadi
secara positif pada pandangan ahli adalah tidak ada yang merasa dirugikan
karena mekanisme untuk itu sendiri memang sudah ada.
Menurut ahli, bunyi Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang tentang Migas tidak
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Ahli menambahkan sebagai klarifikasi
untuk menanggapi Ahli dari Pemohon, bahwa memang betul pada saat sekarang
ini praktis terlihat mixing antara hukum internasional publik dengan hukum
internasional privat. Ahli sendiri sebagai pengajar Transaksi Bisnis Internasional
merasakan hal itu bahwa terjadinya percampuran dari kedua disiplin ilmu itu. Akan
tetapi sama sekali tidak melenyapkan diri masing-masing, hukum internasional
publik tetap hukum internasional publik, sama juga dengan hukum perdata
internasional tetap dengan jati dirinya, keduanya berinteraksi dalam perbedaan.
Dalam ungkapan lain tetap dibedakan mana yang publik mana yang privat. Ini
sekedar kontribusi mengenai perkembangan hukum lintas negara khususnya
dalam rangka transaksi bisnis transnasional pada masa sekarang ini.
Mengenai Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, hal itu telah banyak dibahas,
meminta pandangan dari sudut Pasal 20A, dan terutama Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945 -- dikaitkan dengan pertanyaan negara itu siapa. Pada faham ahli bahwa
negara itu dikonkretkan dengan pembagian kewenangan ke berbagai cabang
pelaksanaan fungsi kenegaraan, eksekutif dan legislatif adalah salah satu refleksi
pelaksanan fungsi kenegaraan itu sehingga diharapkan menimbulkan check and
balances. Dalam hal pengawasan sejauh mana itu dapat dilakukan, tergantung
70
dari substansi dan kesepakatan antara keduanya. Dalam hal KKS telah disepakati
bahwa karena itu bukan perjanjian internasional menurut UUD 1945, cukup
dilaporkan saja. Kesepakatan atas ketentuan yang demikian adalah manifestasi
dari sistem check and balances juga.
Berkenaan dengan multinational corporations (MNC) atau yang oleh negara
berkembang dinamakan transnational corporations (TNC). sudah sering kita
dengar, sehingga pandangan umum terhadap MNC/TNC adalah demikian. Itulah
sebabnya mengapa negara-negara berkembang berupaya keras menumbuhkan
sistem NIEO seperti yang ahli ungkapkan di atas, dan dalam rangka ini juga
mengupayakan adanya satu Code of Conduct of Transnational Corporations.
Namun upaya ini gagal, karena tidak mendapat dukungan dari negara-negara
maju yang merupakan induk dari MNC/TNC. Sementara itu negara-negara
berkembang terus dalam keterdesakan untuk meneruskan pembangunan
nasionalnya. Indonesia yang sakit karena krisis ekonomi 1997 lebih-lebih lagi. Jika
dilihat sekarang, kita benar-benar menengadahkan tangan agar investor masuk
sebanyak-banyaknya. Alternatif pemberdayaan SDA kita masih belum ada selain
dari mengandalkan partisipasi pihak asing. Namun demikian seperti telah
diungkapkan serta berdasarkan UU Migas, KKS terbuka untuk perusahaan
nasional. Kemudian apa yang dapat kita lakukan saat ini yaitu manfaatkan modal
asing dengan kesadaran tinggi bahwa kita harus menggunakan hasil investasi itu
bukan saja untuk pembangunan fisik, tetapi lebih lagi itu pengembangan investasi
pengembangan sumber daya manusia. Investasi asing harus diikuti dengan alih
teknologi, betapapun itu sulit dilakukan. Dengan kemampuan sumber daya
manusia yang prima kita dapat mengimbangi potensi MNC/TNC secara seimbang.
Mengenai mana yang lebih efektif pengawasan sebelum perjanjian
ditandatangani atau setelahnya. Jika pertanyaan ini independen dari masalah
perjanjian internasional, ahli khawatir bahwa ahli tidak akan kompeten
menjawabnya, sebab acuan pertanyaan ini bersifat teknis. Dalam kaitan dengan
objek yang kita bicarakan, tergantung pada SDA jenis apa, bagaimana potensi
kompetitif SDA itu dibandingkan dengan SDA yang dimiliki negara lain, artinya ini
juga menyangkut aspek pasar, bagaimana kemungkinan opportunity lost -nya
sehingga kita harus bertindak cepat menjaring investor, dan karena itu apakah
persetujuan lebih dahulu akan dapat realistis, serta lebih penting apakah tidak
71
akan menjebak DPR sendiri dalam kemungkinan beban liabilitas DPR, kalau KKS
yang disetujui yaitu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pengawasan pun dapat dilakukan dengan mekanisme lain, yang telah
diuraikan oleh pihak DPR sebelumnya dalam uraian imofredif. Sementara itu kita
juga selalu keliru seolah-olah pengawasan hanya dapat dilakukan DPR. Padahal
ada lembaga-lembaga lain seperti BPK, BPKP, pers LSM dan masyarakat pada
umumnya.
Ahli menambahkan, bahwa oleh ahli Pemohon disebutkan bahwa ada
keterkaitan antara KKS dengan ICC Rules. Untuk meluruskan saja, kalaupun
disebut ICC Rules, ini sekedar aturan/prosedur acara untuk arbitrase sebagai
forum penyelesaian sengketa. Ini suatu hal yang lazim dalam suatu transaksi
komersial internasional yang sifatnya privat. Yang jelas itu bukan hukum
internasional publik, kemudian jangan lupa yaitu seperti yang telah diungkapkan
di atas, KKS tunduk pada hukum Indonesia.
[2.6] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan
keterangan tertulis yang dibacakan pada persidangan tanggal 7 November 2007,
yang menguraikan sebagai berikut:
A. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang dimohonkan untuk diuji materiil.
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas ketentuan Pasal
11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, yang berbunyi:
“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus
diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia”.
B. Hak Konstitusional yang menurut Pemohon dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Pemohon dalam permohonannya mengemukakan, bahwa hak
konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yakni dalam ketentuan Pasal 11
Ayat (2).
72
Adapun hak konstitusional yang menurut para Pemohon dirugikan dengan
berlakunya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ialah, ”Bahwa para pemohon dirugikan
selaku Anggota DPR RI kehilangan hak konstitusionalnya untuk
memberikan persetujuan atas berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau
kontrak-kontrak internasional yang mempunyai akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang, khususnya perjanjian-perjanjian internasional yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi”.
Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi oleh Pemohon dinilai bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya ketentuan:
1. Pasal 11 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”.
2. Pasal 20A Ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.
3. Pasal 33 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
4. Pasal 33 Ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
73
C. Keterangan DPR-RI
Atas dasar permohonan para Pemohon a quo dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon.
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal
51 Ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Ketentuan penjelasan Pasal 51 Ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hak-
hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak
konstitusional”.
Sehingga menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana disebut dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
“Penjelasan Pasal 51 Ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang diuji.
74
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undang-undang menurut
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yaitu harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005)
sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon
dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka
para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)
sebagai pihak.
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa
dengan berlakunya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan yaitu selaku Anggota DPR RI
kehilangan hak konstitusionalnya untuk meberikan persetujuan atas
berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau kontrak-kontrak internasional
yang mempunyai akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang,
75
khususnya perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi”. Oleh karenanya
menurut para Pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 11
Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Dalam hal ini, terhadap permohonan para Pemohon a quo perlu
dipertanyakan dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon yaitu:
Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak (kualifikasi Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 Ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian atas berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai Pihak.
Apabila para Pemohon menganggap sudah memenuhi syarat yang
ditentukan sebagai Pihak yaitu adanya hak konstitusionalnya yang dirugikan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, maka hal ini perlu dipertanyakan siapa yang sebenarnya
dirugikan, apakah Anggota DPR RI atau DPR RI sebagai Lembaga Negara.
Mengenai batasan hak konstitusional sangat jelas dijabarkan dalam
Penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang
mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan “hak konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menjelaskan bahwa
76
hanya hak-hak yang secara eksplisit yang diatur dalam UUD Tahun 1945
termasuk dalam pengertian “hak konstitusional”.
Perlu juga dipahami bahwa syarat sebagai Pemohon sebagaimana
yang ditentukan dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Perkara Nomor 010/PUU-III/2005) salah satunya ialah “adanya hak
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Bahwa memang benar menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dn Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
tercermin bahwa DPR terdiri dari Anggota DPR yang tergabung dalam
Fraksi-Fraksi Partai Politik, sehingga secara tidak langsung Anggota DPR –
lah yang memberikan persetujuan atas Perjanjian Internasional. Hal ini tidak
berarti bahwa Anggota DPR juga memiliki hak dan/atau kewenangan
konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian internasional.
Oleh karena itu, harus dipahami adanya pembedaan antara hak dan/atau
kewenangan DPR sebagai Lembaga Negara dengan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Anggota DPR sebagaimana tercermin dalam
Pasal 22A UUD 1945. Jadi jangan dicampuradukkan dan identikan antara
hak dan/atau kewenangan DPR sebagai Lembaga Negara dengan hak
dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR. Karena itu perlu
dicermati kembali siapakah yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945
yang diberikan hak/kewenangan konstitusional untuk memberikan
persetujuan atas Perjanjian Internasional, apakah DPR atau Anggota DPR.
Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu dipandang perlu untuk
merinci Hak DPR dan Hak Anggota DPR yang diatur dalam UUD 1945.
Pemisahan hak konstitusional antara Hak DPR dan Hak Anggota DPR
diperjelas dalam Pasal 20A Ayat (4) yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang
Hak DPR dan Hak Anggota DPR diatur dalam undang-undang”.
Undang-undang yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dengan demikian tergambar jelas, bahwa UUD 1945 membedakan dan
memisahkan adanya Hak DPR sebagai Lembaga Negara dan Hak
Anggota DPR.
77
Pembedaan dan pemisahan Hak Konstitusional DPR sebagai Lembaga
Negara dan Hak Konstitusional Anggota DPR secara rinci diatur dalam
Pasal 11, 13 Ayat (2) dan (3), 14 Ayat (2), Pasal 19, 20 Ayat (1), 20A Ayat
(1), Ayat (2) dan Ayat (3), 21, 22 Ayat (2), 23F Ayat (1), 24A Ayat (3), 24B
Ayat (3), 24C Ayat (3) yang dapat dikelompokan sebagai berikut:
Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional DPR yang diatur dalam UUD 1945 a. Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain; [vide: Pasal 11 Ayat
(1)]. b. Memberikan persetujuan atas perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang [vide
Pasal 11 Ayat (2)]. c. Memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Duta [vide Pasal
13 Ayat (2)]. d. Memberikan pertimbangan dalam menerima penempatan Duta dari
Negara lain [vide Pasal 13 Ayat (3)]. e. Memberikan pertimbangan dalam pemberian Amnesti dan Abolisi
[vide Pasal 14 Ayat (2)]. f. Memegang kakuasaan membentuk undang-undang [vide Pasal 20
Ayat (1)]. g. Memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
[vide Pasal 20 Ayat (1)]. h. Mempunyai hak interpelasi [vide Pasal 20A Ayat (2)]. i. Mempunyai hak angket [vide Pasal 20A Ayat (2)]. j. Mempunyai hak menyatakan pendapat [vide Pasal 20A Ayat (2)]. k. Memberikan persetujuan atas Perpu [vide Pasal 22 Ayat (2)]. l. Memilih Anggota BPK [vide Pasal 23F Ayat (1)]. m. Memberikan persetujuan atas calon Hakim Agung yang diusulkan
Komisi Yudisial [vide Pasal 24A Ayat (3)]. n. Memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian
Anggota Komisi Yudisial [vide Pasal 24B Ayat (3)].
78
o. Pengajuan 3 orang calon Hakim Konstitusi [vide Pasal 24C Ayat (3)].
Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Anggota DPR yang diatur dalam UUD Tahun 1945 a. Hak memilih dan dipilih [vide Pasal 19 Ayat (1)]. b. Hak mengajukan RUU (vide Pasal 21). c. Hak mengajukan pertanyaan [vide Pasal 20A Ayat (3)]. d. Hak menyampaikan usul dan pendapat [vide Pasal 20A Ayat (3)]. e. Hak imunitas [vide Pasal 20A Ayat (3)].
Berdasarkan pada UUD 1945 tersebut, sudah jelas apa yang menjadi
hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR sebagai Lembaga Negara,
dan apa yang menjadi hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota
DPR. Hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana tersebut, tidak
diatur bahwa Anggota DPR diberikan hak untuk memberikan persetujuan
atas perjanjian internasional. Tetapi yang diatur dalam UUD 1945 adalah
DPR sebagai Lembaga Negara yang diberikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian internasional.
Dengan demikian secara konstitusional, yang diberikan hak dan/atau
kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan atas perjanjian
internasional berdasarkan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 ialah DPR sebagai
Lembaga Negara, dan bukan Anggota DPR.
Selain itu, dalam hal ini perlu juga dipertanyakan apakah para
Pemohon selaku Anggota DPR dalam permohonannya, sudah dapat
dikatakan “atas nama DPR ataupun mewakili DPR secara
kelembagaan”. Oleh karena sesuai mekanisme kerja di DPR sebagaimana
tercermin dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, bahwa DPR sebagai suatu
lembaga negara maka setiap pernyataan DPR ataupun pernyataan yang
mengatasnamakan DPR harus melalui mekanisme yang diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPR RI yaitu melalui rapat-rapat DPR.
Apakah Terdapat Kerugian Konstitusional Para Pemohon.
Dalam hal ini perlu dipertanyakan, apakah memang nyata ada
kerugian konstitusional para Pemohon, dan siapakah yang sebenarnya
dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang
79
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, apakah para
Pemohon selaku Anggota DPR sebagaimana dikemukakan dalam
permohonan a quo, ataukah DPR sebagai Lembaga Negara.
Pertanyaan ini sangat terkait dengan pertanyaan di atas yaitu apakah para
Pemohon sudah memenuhi syarat-syarat legal standing sebagai Pihak
dalam pengujian undang-undang a quo.
Apabila para Pemohon selaku Anggota DPR (sebagaimana
dikemukakan dalam permohonan a quo), tidak memenuhi syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagai Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi dan batasan menurut Putusan Perkara
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), maka
logika hukumnya jelas tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon.
Oleh karena salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagai pihak untuk
memiliki kedudukan hukum (legal standing) yaitu harus ada hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-
undang a quo.
Menurut DPR, para Pemohon selaku Anggota DPR walaupun
merupakan bagian dari DPR sebagai Lembaga Negara, UUD 1945 tidak
memberikan kepada Anggota DPR hak dan/atau kewenangan konstitusional
untuk memberikan persetujuan atas Perjanjian Internasional, oleh karena
yang diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 ialah hak dan/atau
kewenangan konstitusional DPR untuk memberikan persetujuan atas
Perjanjian Internasional.
Bahwa sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu
sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk
menguji undang-undang terhadap UUD 1945, baru kali ini Anggota DPR
yang merupakan bagian dari DPR sebagai Lembaga Negara yang
memegang kekuasaan legislasi, mengajukan permohonan pengujian atas
undang-undang yang dibuatnya. Oleh karena undang-undang a quo sudah
disetujui bersama DPR dan Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-
undang dalam forum Rapat Paripurna DPR.
80
DPR berpendapat, bahwa jika para Pemohon menganggap
ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD
1945, dan tidak sesuai dengan perkembangan politik hukum ekonomi saat
ini, maka sebaiknya para Pemohon selaku Anggota DPR yang memiliki hak
dan/atau kewenangan konstitusional mengajukan RUU, hendaknya
mengajukan legislative review atas Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, di DPR.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR meminta kepada para
Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar
para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan.
DPR berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul
kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi. Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan batasan menurut Putusan
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005
terdahulu.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR RI mohon agar Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan Keterangan
DPR RI mengenai materi pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.
2. Pengujian Materiil Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
1. Bahwa sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam permohonan a quo,
yaitu hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan
81
Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, yakni ”Bahwa para pemohon dirugikan selaku
Anggota DPR RI kehilangan hak konstitusionalnya untuk meberikan
persetujuan atas berbagai perjanjian-perjanjian dan/atau kontrak-
kontrak internasional yang mempunyai akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang, khususnya perjanjian-perjanjian
internasional yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam
minyak dan gas bumi”.
2. Bahwa Pemohon juga berpendapat, kontrak kerja sama internasional
mengenai minyak dan gas bumi yang dibuat Pemerintah cq. Badan
Pelaksana juga mempunyai akibat luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang, sehingga menurut Pemohon penandatanganan kontrak kerja
sama tersebut harus mendapat persetujuan DPR. Sedangkan ketentuan
Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi menyatakan, “Setiap Kontrak Kerja Sama yang
sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
3. Bahwa terhadap hal-hal yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR
berpendapat perlu dipahami dahulu makna dari Perjanjian Internasional
yang dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dengan makna
Kontrak Kerja Sama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
4. Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
5. Pasal 11 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut
tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan amanat Pasal 11 Ayat (3) UUD Tahun 1945 ini, telah
82
dibentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sehingga dengan demikian untuk memahami makna dari
perjanjian internasional yang dimaksud Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945
tersebut, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
6. Bahwa pengertian perjanjian internasional menurut ketentuan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional adalah “Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik”.
Ketentuan ini mengandung makna bahwa perjanjian internasional
berdasarkan pada hukum internasional dan mengatur kepentingan
publik, artinya mengikat antara Negara sebagai badan hukum publik
yang menandatangani perjanjian internasional oleh karena subjek
hukum internasional dalam perjanjian internasional ini adalah Negara,
bukan mengikat badan hukum perdata seperti Badan Usaha yang
menandatangani kontrak kerja sama dengan Pemerintah.
7. Bahwa menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, “Pemerintah Republik Indonesia
membuat perjanjian internasional dengan satu Negara atau lebih,
organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain
berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik”.
8. Bahwa perjanjijan internasional termasuk lingkup hukum publik, hal ini
ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu “Perjanjian internasional
yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian
di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan
dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional,
atau subjek hukum internasional lain”.
9. Mengenai bentuk dan nama Perjanjian Internasional juga dijelaskan
dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, yaitu dalam praktiknya antara lain:
83
treaty, convention, agreement, memorandum of understanding,
protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of
notes, agreed minutes, summary record, process verbal, modus
vivendi, dan letter of intent.
sedangkan kontrak kerja sama adalah bentuk kontrak bagi hasil
sehingga jelas tidak termasuk dalam bentuk perjanjian internasional
tersebut.
10. Bahwa oleh karena itu, dalam memahami terminologi perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam konteks dan kontent Pasal
11 Ayat (2) UUD Tahun 1945 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, perlu dibedakan dengan istilah
kontrak kerja sama dalam Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
11. Bahwa berdasarkan Konvensi Wina (Vienna Convention on The Law
of Treaties 1969) perjanjian internasional dilakukan oleh para pihak di
dalam hukum internasional yakni negara dan organisasi internasional.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) juncto Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
yang pada intinya menekankan bahwa perjanjian internasional diatur
dengan hukum internasional sehingga yang menjadi para pihak dalam
perjanjian internasional adalah subjek hukum internasional yaitu
Pemerintah dengan Negara organisasi internasional.
12. Oleh karena perjanjian internasional itu termasuk dalam ranah hukum
publik berdasarkan konteks dan kontent perjanjian internasional itu
sendiri, maka perjanjian internasional ini menimbulkan hak dan
kewajiban dibidang hukum public. (vide Pasal 1 angka 1).
13. Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, menyebutkan bahwa:
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-
undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
Republik Indonesia;
84
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri”.
Ketentuan Pasal 10 ini mengidentifikasikan bahwa perjanjian
internasional yang terkait dengan hal-hal tersebut yang perlu mendapat
persetujuan DPR karena pengesahannya dilakukan dengan undang-
undang.
Ketentuan Pasal 10 ini berbeda dengan materi muatan kontrak kerja
sama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sehingga dari ketentuan tersebut, maka kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk dalam materi yang
diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.
14. Sedangkan pengertian kontrak kerja sama dalam Pasal 1 angka 19
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
yaitu “Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk
kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi
yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini dipertegas
dalam Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi.
15. Selanjutnya pengertian dari Kontrak Bagi Hasil menurut Pasal 1 angka
4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi, adalah “suatu bentuk kontrak kerja sama
dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil
produksi”. Ketentuan ini mengandung unsur komersial yaitu terletak
pada frase “berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi” antara
Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
(Perusahaan asing). Hal ini jelas bukan merupakan domain dari rezim
perjanjian internasional yang bercirikan unsur kedaulatan dan hak
berdaulat suatu negara menurut UUD Tahun 1945, sebagaimana
85
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional.
16. Bahwa kontrak kerja sama adalah kontrak yang bersifat keperdataan
sehingga tunduk pada hukum perdata, hal ini tercermin dalam nama
dan bentuk kontrak kerja sama yaitu kontrak bagi hasil, dan yang
menjadi para pihak dalam kontrak kerja sama ini adalah subjek hukum
perdata yaitu Pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap.
17. Bahwa kontrak kerja sama tidak diatur dengan rezim hukum
internasional ditegaskan dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor
35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi,
yang mengatakan “terhadap kontrak kerja sama tunduk dan berlaku
hukum Indonesia”. Sehingga dengan demikian, kontrak kerja sama
tunduk pada hukum perdata Indonesia, dan tidak tunduk pada hukum
internasional, maka para pihak yang membuat kontrak kerja sama ini
yaitu Badan Pelaksana dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
ialah bukan merupakan subjek hukum internasional, melainkan subjek
hukum perdata.
18. Berbeda dengan materi muatan perjanjian internasional sebagaimana
diuraikan pada angka 13, materi muatan kontrak kerja sama menurut
ketentuan Pasal 11 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi paling sedikit memuat:
a. penerimaan negara;
b. wilayah kerja dan pengembaliannya;
c. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi;
d. jangka waktu dan perpanjangan kontrak;
e. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
86
h. berakhirnya kontrak;
i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia;
Materi muatan tersebut mencerminkan bahwa kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam minyak dan gas bumi dikuasai oleh
Negara, yang penguasaannya diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang Kuasa Pertambangan yang diberikan undang-
undang a quo, agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat Pasal 33
Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi bersifat teknis,
sehingga kontrak kerja sama dalam bidang tersebut merupakan bentuk
perjanjian perdata yang tunduk pada hukum keperdataan, tidak tunduk
pada hukum internasional publik, maka tidak diperlukan persetujuan
DPR.
19. Bahwa dalam Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional juga
diatur bentuk Perjanjian Internasional yang tidak harus memerlukan
persetujuan DPR yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
yang berbunyi, Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan
salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu
perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
dievaluasi”.
87
20. Bahwa dalam penjelasan Pasal 11 Ayat (2) tersebut ialah “Dewan
Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap
Pemerintah, walaupun tidak diminta persetujuan sebelum
pembuatan perjanjian internasional tersebut karena pada umumnya
pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi
perjanjian internasional di bidang teknis. Di dalam melaksanakan
fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta
pertanggungjawaban atau keterangan Pemerintah mengenai
perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang
merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut
dapat dibatalkan atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat”.
21. Namun demikian, dalam hal kontrak kerja sama yang ditandatangani
oleh para pihak yakni Badan Pelaksana dengan Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap, yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 11
Ayat (2) Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut, karena tidak
disahkan dengan Keputusan Presiden, maka sesuai dengan fungsi dan
kewenangan DPR tetap dapat melakukan pengawasan terhadap
Pemerintah dengan meminta pertanggungjawaban Pemerintah atau
keterangan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama yang telah dibuat
Pemerintah .
Apabila DPR memandang bahwa kontrak kerja sama tersebut telah
merugikan kepentingan nasional maka dalam rangka melaksanakan
fungsi pengawasan, terhadap kontrak kerja sama tersebut dapat ditinjau
kembali/dievaluasi atas permintaan DPR.
22. Selain itu dalam melaksanakan fungsi legislasi, DPR (Anggota DPR)
dapat melakukan legislative review dengan mengajukan Rancangan
Undang-Undang Usul Inisiatif untuk mengubah atau meningkatkan
efektivitas undang-undang yang telah ada.
23. Bahwa berdasarkan seluruh uraian dan keterangan tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa kontrak kerja sama yang tunduk dan berlaku
hukum Indonesia, (vide Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), tidak dapat diidentikan dengan perjanjian internasional yang tunduk dan
berlaku hukum internasional, (vide Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4
88
Ayat (1) dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). Oleh karena kontrak kerja
sama bukan merupakan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud
Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, maka tidak diperlukan
persetujuan DPR. Namun DPR tetap dapat menjalankan fungsi
konstitusionalnya untuk melakukan pengawasan terhadap kontrak kerja
sama yang dibuat oleh Pemerintah.
24. Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut, maka ketentuan Pasal 11 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
tidak bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1), Pasal
33 Ayat (3), Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
25. Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, dalam persidangan pengujian
materiil atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, DPR memohon agar Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon
ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Namun demikian,
apabila Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon diputuskan yang seadil-adilnya.
[2.7] Menimbang bahwa para Pemohon dan Pemerintah telah menyerahkan
kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29
November 2007 dan 4 Desember 2007, pada pokoknya tetap pada pendapatnya
masing-masing, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam berkas perkara;
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi dipersidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan;
89
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk
menguji Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi (LNRI Tahun 2001 Nomor 136, TLNRI Nomor 4152, selanjutnya
disebut UU Migas) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh Pokok
Permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)
terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo kepada Mahkamah;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
KEWENANGAN MAHKAMAH
[3.3] Menimbang bahwa perihal kewenangan Mahkamah, Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945 menyatakan Mahkamah berwenang antara lain, untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut
ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto
Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (LNRI Tahun 2004 Nomor 8, TLNRI Nomor 4358);
[3.4] Menimbang bahwa objek permohonan yang diajukan oleh para
Pemohon a quo adalah pengujian undang-undang, in casu Pasal 11 Ayat (2)
UU Migas yang diundangkan pada tanggal 23 November 2001, terhadap UUD
1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo;
90
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
[3.5] Menimbang bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, yang
dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
ialah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu a) perorangan warga negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara;
[3.6] Menimbang hingga saat ini Mahkamah berpendirian bahwa kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus memenuhi lima syarat,
yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
[3.7] Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu
pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK,
orang atau pihak dimaksud haruslah:
a. menjelaskan kualifikasinya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara
Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga
negara;
91
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian terhadap ketentuan Pasal 51
Ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon sesuai
dengan uraian para Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang
relevan;
[3.9] Menimbang para Pemohon pada pokoknya mendalilkan sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR yang
hak konstitusionalnya melekat pada hak konstitusional DPR, sebab, menurut para
Pemohon, hak konstitusional DPR hanya akan ada atau dapat dilaksanakan oleh
Anggota DPR sebagai pemangku jabatan. Hak konstitusional DPR yang sekaligus
merupakan hak konstitusional Anggota DPR, menurut para Pemohon, adalah hak
konstitusional untuk:
• ikut atau tidak ikut memberikan persetujuan atas “perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara …” sebagaimana
tercantum dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945;
• melakukan fungsi pengawasan atas jalannya pemerintahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945;
• melakukan pengawasan agar kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan
air Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat [Pasal
33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945].
Kerugian hak konstitusional para Pemohon dimaksud disebabkan oleh adanya
ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang berbunyi, “Setiap Kontrak Kerja Sama
yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian para Pemohon di atas, maka
dalam menilai apakah para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal
92
standing) menurut Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Mahkamah harus
mempertimbangkan dua hal, yaitu:
(1) Apakah para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang
bertindak selaku Anggota DPR-RI dapat dikualifikasi sebagai Pemohon
perorangan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 51
Ayat (1) UU MK;
(2) Apakah para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang
bertindak selaku Anggota DPR dirugikan hak konstitusionalnya oleh
berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas;
[3.11] Menimbang bahwa baik Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat,
telah memberikan keterangan berkait dengan kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon yang selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara
putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Keterangan Pemerintah
• Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 maupun
ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, berlaku untuk DPR sebagai institusi/
lembaga negara vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 22B UUD 1945.
• Hak dan kewajiban Anggota DPR telah diatur secara rinci dalam peraturan
perundangan-undangan sendiri maupun dalam Tata Tertib DPR (vide Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut UU
Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD).
• Para Pemohon yang kedudukannya sebagai Anggota DPR sebagaimana
dinyatakan oleh para Pemohon sendiri vide permohonan halaman 2 telah
bertindak tidak konsisten dan ambigu, di satu sisi para Pemohon adalah
merupakan bagian dari pihak yang mempunyai kewenangan membentuk dan
mengesahkan undang-undang (fungsi legislasi), di sisi lain para Pemohon
mempersoalkan produk undang-undang yang dibentuknya sendiri.
• Jika terjadi perubahan paradigma berpikir atau mindset changes terhadap
peraturan perundang-undangan yang telah dibahas dan disahkan bersama
93
antara Presiden dan DPR, in casu UU Migas, maka yang seharusnya dilakukan
oleh para Pemohon adalah dengan mengajukan prioritas usul perubahan atau
amandemen sebagai inisiatif DPR terhadap UU Migas. Dengan kata lain,
mekanisme legislative review dipandang lebih bijaksana dibandingkan dengan
mengajukan suatu judicial review atau constitutional review karena dengan
mengajukan permohonan pengujian untuk membatalkan ketentuan a quo,
maka sama saja para Pemohon ingin membatalkan keputusan yang telah
dibuatnya sendiri. Hal ini tentunya sangat berbeda jika para Pemohon
kedudukannya sebagai warga negara biasa atau perorangan warga negara
Indonesia.
• Fungsi pengawasan atau controlling yang dimiliki oleh DPR tidak terhalang
atau tidak terkurangi sedikit pun karena DPR tetap dapat melakukan kontrol
dengan mekanisme rapat kerja dan hak untuk bertanya atau hak interpelasi.
Keterangan DPR
• Berkait dengan kedudukan hukum para Pemohon terlebih dahulu dipandang
perlu untuk merinci hak DPR dan hak Anggota DPR yang diatur dalam UUD
1945. Hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR secara kelembagaan
setidak-tidaknya menyangkut 15 hal;
1. memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain, Pasal 11 Ayat (1);
2. memberikan persetujuan atas perjanjian International lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan
pembentukan undang-undang, Pasal 11 Ayat (2);
3. memberikan pertimbangan dalam pengangkatan duta, Pasal 13 Ayat (2);
4. memberikan pertimbangan dalam menerima penempatan duta negara lain,
Pasal 13 Ayat (3);
5. memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi, Pasal 14
Ayat (2);
6. memegang kekuasaan membentuk undang-undang, Pasal 20 Ayat (1);
7. memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, Pasal 20
Ayat (1);
8. mempunyai hak interpelasi, Pasal 20A Ayat (2);
94
9. mempunyai hak angket, Pasal 20A Ayat (2); 10. mempunyai hak menyatakan pendapat, Pasal 20A Ayat (2); 11. memberikan persetujuan atas Perpu, Pasal 22 Ayat (2); 12. memilih anggota BPK, Pasal 23F Ayat (1); 13. memberikan persetujuan atas calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi
Yudisial, Pasal 24A Ayat (3); 14. memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian anggota
Komisi Yudisial, Pasal 24B Ayat (3); dan 15. pengajuan tiga orang calon Hakim Konstitusi, Pasal 24C Ayat (3).
• Sementara hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR yang diatur dalam UUD 1945, menyangkut lima hal: 1. hak memilih dan dipilih, Pasal 19 Ayat (1); 2. hak mengajukan rancangan undang-undang, Pasal 21; 3. hak mengajukan pertanyaan, Pasal 20A Ayat (3); 4. hak menyampaikan usul dan pendapat, Pasal 20A Ayat (3); dan 5. hak imunitas, Pasal 20A Ayat (3).
Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon selaku Anggota DPR tidak memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai para Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK;
• Jika para Pemohon menganggap ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak sesuai dengan perkembangan politik hukum ekonomi saat ini, maka para Pemohon selaku Anggota DPR yang memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional mengajukan rancangan undang-undang, hendaknya mengajukan legislative review atas Pasal 11 Ayat (2) UU Migas kepada DPR.
[3.12] Menimbang bahwa dalam persidangan telah didengar pula keterangan
ahli dari para Pemohon dan Pemerintah, namun keterangan para ahli tersebut tidak terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;
Pendapat Mahkamah
[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian
permohonan dan dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, bukti-bukti yang
95
diajukan, keterangan lisan maupun tertulis DPR dan Pemerintah berkait dengan
kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Mahkamah berpendapat:
• Bahwa pengertian “perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat
(1) huruf a UU MK tidak sama dengan “perorangan warga negara Indonesia
dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR” sebagaimana didalilkan para
Pemohon. Sebab, perorangan warga negara Indonesia yang bukan Anggota
DPR tidak mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 11
Ayat (2) dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yaitu hak-hak yang dijadikan
sebagai dalil kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan a quo.
Bahkan sesungguhnya konstruksi pemikiran yang dibangun oleh para
Pemohon sendiri pun dengan sendirinya menjelaskan perbedaan tersebut.
Dengan mengasumsikan Kontrak Kerja Sama termasuk ke dalam pengertian
perjanjian internasional, para Pemohon kemudian mendalilkan bahwa
berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tersebut telah menyebabkan DPR,
sebagai lembaga, kehilangan hak konstitusionalnya untuk memberikan
persetujuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945. Artinya,
jika pun benar kerugian konstitusional itu ada, yakni jika Kontrak Kerja Sama itu
dianggap perjanjian internasional, sehingga mengharuskan adanya persetujuan
DPR dan bukan sekadar pemberitahuan secara tertulis setelah ditandatangani,
quod non, maka pihak yang menderita kerugian tersebut adalah DPR sebagai
lembaga negara bukan Anggota DPR selaku perorangan warga negara
Indonesia;
• Bahwa UUD 1945 secara eksplisit telah menentukan hak konstitusional bagi
warga negara Indonesia, Anggota DPR, maupun DPR. Hak konstitusional
setiap Anggota DPR tercantum dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang
Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas”. Kemudian hak konstitusional DPR untuk melaksanakan fungsinya,
baik fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan tercantum dalam
Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang
Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat”, serta Pasal 21 UUD 1945, yang berbunyi,
96
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang”.
• Bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR dan Anggota DPR diatur
dalam undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A Ayat (4)
UUD 1945, yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan
Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam
undang-undang”. Penjabaran lebih lanjut Pasal 20A Ayat (4) UUD 1945
dituangkan dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang selanjutnya
berdasarkan Pasal 31 undang-undang tersebut diturunkan lagi dalam
Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam Peraturan Tata Tertib DPR, hak Anggota
DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang (hak inisiatif) pun
disyaratkan harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota DPR
[vide Pasal 130 Ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR 2005-2006]. Dengan
demikian terbukti dalam Peraturan Tata Tertib DPR bahwa seorang Anggota
DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk mengusulkan suatu rancangan
undang-undang (RUU) secara perseorangan, melainkan harus secara kolektif.
RUU yang disusun Anggota DPR tersebut untuk menjadi RUU usul inisiatif
DPR pun harus disetujui dalam Rapat Paripurna DPR;
• Bahwa yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan
Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai institusi/lembaga. Sehingga,
sungguh janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi
kekuasaan DPR untuk membentuknya, masih dapat dipersoalkan
konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri in casu oleh Anggota DPR yang telah
ikut membahas dan menyetujuinya bersama Presiden. Memang benar ada
kemungkinan kelompok minoritas di DPR yang merasa tidak puas dengan
undang-undang yang telah disetujui oleh mayoritas di DPR dalam Rapat
Paripurna. Namun, secara etika politik (politieke fatsoen) apabila suatu undang-
undang yang telah disetujui oleh DPR sebagai institusi yang mencakup seluruh
anggotanya dengan suatu prosedur demokratis dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tentunya harus dipatuhi oleh seluruh
Anggota DPR, termasuk oleh kelompok minoritas yang tidak setuju;
• Bahwa dalam pada itu, DPR sebagai suatu organisasi yang berbentuk majelis
(college), terdapat sejumlah pemangku jabatan tunggal (eenmansambten)
97
namun masing-masing anggota tidak mewakili dirinya sendiri, melainkan dalam
bentuk kerja sama secara kelembagaan (institutie). Sebagai keputusan
kelembagaan jabatan majemuk (DPR), maka keputusan dimaksud merupakan
hasil yang dicapai secara bersama-sama. Hal dimaksud senada dengan
pendapat J.H.A. Logemann, Ambten kunnen zijn éénmansambt, d.i.
vertegenwoordigd door enkele ambsdrager, of veelhoofdig ambt. Hier is een
veelheid van ambtsdragers, die echter niet ieder voor zich het ambt
vertegenwoordigen, maar slechts in samenwerking. Als besluit van het ambt
geldt slechts een door hen in samenwerking gevonden formule (J.H.A.
Logemann, 1954: 105). Dengan demikian, jabatan Anggota DPR tidak
tergolong pemangku jabatan tunggal (éénmansambt) tetapi merupakan jabatan
majemuk atau samengesteldeambt. Para anggotanya tidak dapat mewakili
lembaga secara sendiri-sendiri tetapi harus secara kolegial. Oleh karena itu,
DPR secara kelembagaan tidak dapat diwakili oleh para Pemohon secara
sendiri-sendiri;
• Bahwa dari uraian tersebut di atas, ternyata terdapat perbedaan antara hak
dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR dengan hak dan/atau
kewenangan konstitusional DPR selaku lembaga (institutie). Dalam UUD 1945
hak dan/atau kewenangan konstitusional Anggota DPR terdiri dari lima hal
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 20A Ayat (3).
Sementara itu, hak dan/atau kewenangan konstitusional DPR selaku lembaga
terdiri atas lima belas hal sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat
(2), Pasal 12 Ayat (3), Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1),
Pasal 20A Ayat (2), Pasal 22 Ayat (2), Pasal 24B Ayat (1), Pasal 24A Ayat (3),
serta Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945;
• Bahwa DPR merupakan satu lembaga yang terdiri atas Anggota DPR dan
Keputusan DPR sebagai lembaga bersumber dari Anggota DPR memang
benar. Tetapi tidak berarti setiap suara Anggota DPR dengan sendirinya
merupakan suara DPR sebagai lembaga. Suara DPR sebagai lembaga
memang bersumber dari Anggota DPR, tetapi suara seluruh Anggota DPR itu
baru menjadi suara DPR harus dikonversi melalui Rapat Paripurna DPR dan
diputus melalui musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara (voting).
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon
yang dirugikan adalah hak yang diberikan kepada DPR selaku lembaga, bukan
98
hak yang diberikan kepada Anggota DPR selaku perorangan. Dengan kata lain,
para Pemohon selaku Anggota DPR tidak mempunyai hak dan/atau
kewenangan yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas.
• Bahwa, dengan uraian di atas, jika para Pemohon sebagai perorangan Anggota
DPR menganggap Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 33
Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUD 1945, para Pemohon berhak
mengajukan usul perubahan terhadap ketentuan undang-undang a quo. Hak
demikian tidak dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia yang bukan
Anggota DPR. Hal dimaksud sekaligus mempertegas bahwa pengertian
“perorangan warga negara Indonesia” dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK
bukanlah sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon;
• Bahwa dengan uraian tersebut di atas, telah nyata bahwa substansi persoalan
dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative review, bukan judicial
review. Sebab, jika DPR menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, sementara kewenangan untuk
membentuk dan mengubah undang-undang ada di tangannya sendiri, maka
tentu sangatlah ganjil jika DPR mengajukan permohonan pengujian undang-
undang kepada Mahkamah. Sebab, jika demikian, berarti DPR mempersoalkan
konstitusionalitas hasil tindakannya sendiri di hadapan Mahkamah. Jika
seandainya DPR alpa, sehingga membentuk undang-undang yang merugikan
hak konstitusionalnya sendiri, sesuatu yang sulit dibayangkan dapat terjadi, maka tidak terdapat halangan konstitusional apa pun baginya untuk melakukan
perubahan terhadap undang-undang tersebut;
• Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah
berpendapat, bahwa para Pemohon sebagai perorangan warga negara
Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi
sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, sehingga tidak
mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang a quo;
99
• Bahwa seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing), quod non, permohonan a quo juga tidak dapat dikabulkan, karena
dengan dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan
adanya pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih
merugikan DPR sebagai lembaga maupun Anggota DPR;
4. KONKLUSI
Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan uraian tersebut di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan pengujian undang-undang a quo, sehingga
permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
[4.2] bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dinyatakan tidak dapat
diterima, maka Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Mengadili:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi
pada hari Kamis, 13 Desember 2007 oleh sembilan Hakim Konstitusi, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini, Senin, 17
Desember 2007, oleh kami, Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota,
H.A.S. Natabaya, H.M. Laica Marzuki, H. Achmad Roestandi, H. Abdul Mukthie
100
Fadjar, Soedarsono, H. Harjono, dan Maruarar Siahaan, masing-masing sebagai
Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh para Pemohon/Kuasa para Pemohon, Pemerintah atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait
Langsung;
KETUA,
ttd.
Jimly Asshiddiqie
ANGGOTA-ANGGOTA
ttd. H.A.S. Natabaya
ttd. H. M. Laica Marzuki
ttd. H. Achmad Roestandi
ttd. H. Abdul Mukthie Fadjar
ttd. Soedarsono
ttd.
H. Harjono
ttd. Maruarar Siahaan
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)
Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, dua orang Hakim
Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi H. Harjono dan Hakim Konstitusi Maruarar
Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions) yang selengkapnya
sebagai berikut:
101
[6.1] Hakim Konstitusi H. Harjono
Untuk dapat menentukan apakah Pemohon dalam hal ini perorangan
Anggota DPR mempunyai legal standing pada kasus a quo maka haruslah
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pemohon mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau yang
dikenal dengan judicial review terhadap undang-undang, yang mana kewenangan
tersebut diberikan oleh Pasal 24C UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Judicial Review atau pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 pada
hakikatnya didasarkan atas prinsip bahwa sebuah undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945. Mengapa suatu UUD 1945 tidak boleh dilanggar,
karena UUD 1945 adalah hukum tertinggi yang di dalam hukum tertinggi tersebut
dimuat antara lain hak-hak konstitusi. Sebuah undang-undang yang kedudukannya
lebih rendah dari UUD 1945 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila
ada hak-hak konstitusi, yaitu hak yang terdapat di dalam konstitusi, dilanggar oleh
undang-undang, karena ternyata undang-undang yang bersangkutan telah
mengganggu, mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan hak yang terdapat
dalam konstitusi. Dengan demikian, dalam suatu uji undang-undang faktor hak
konstitusional sangat penting karena menjadi condition sine quo non.
Untuk menentukan apakah Anggota DPR mempunyai legal standing dalam
pengujian undang-undang haruslah dikaitkan dengan ada tidaknya hak-hak
konstitusional anggota DPR. UUD 1945 dalam Pasal 20A Ayat (3) menyatakan,
“… setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas“, dan Pasal 21
menyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul
rancangan undang-undang. Di samping hak Anggota DPR yang disebutkan dalam
ke dua pasal tersebut, UUD 1945 menetapkan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20A, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan. UUD 1945 telah secara jelas dan logis mengatur
hubungan antara fungsi DPR dengan hak-hak Anggota DPR. Bahwa DPR terdiri
atas anggota-anggota DPR adalah hal yang sangat jelas dan untuk itu UUD 1945
menetapkan bahwa keanggotaan DPR itu dipilih dalam pemilihan umum (vide
Pasal 19 UUD 1945). Agar DPR dapat melaksanakan fungsi legislasi maka
menjadi hal yang sangat esensial untuk memberikan hak kepada Anggota DPR
102
mengajukan usul rancangan undang-undang, hal demikian dinyatakan oleh Pasal
21 UUD 1945. Akanlah merupakan suatu hal yang sangat tidak masuk akal
dengan adanya fungsi legislasi DPR tersebut justru kepada anggota tidak diberi
hak untuk dapat mengusulkan rancangan undang-undang, karena kemudian
mengharapkan dari siapa rancangan undang-undang tersebut datang, apakah
DPR tanpa anggota kemudian dapat membuat rancangan undang-undang.
Sebuah rancangan undang-undang pada hakikatnya adalah sebuah pendapat dari
orang yang mengajukan rangcangan tersebut, sehingga dengan adanya hak untuk
mengajukan RUU maka sekaligus di dalamnya memberikan hak kepada anggota
untuk menyampaikan pendapatnya dalam hal ini berwujud usul RUU.
Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. Pertanyaannya adalah bagaimana DPR dapat
memberikan persetujuan, tentunya hal tersebut dilakukan setelah mendengar
pendapat dari anggotanya. Oleh karenanya hak untuk menyampaikan pendapat
yang dimiliki oleh Anggota DPR merupakan dasar dari seluruh kekuasaan dan
fungsi yang dipunyai oleh DPR sebagai lembaga.
Di samping fungsi legislasi, DPR juga mempunyai fungsi pengawasan. Hakekat
pengawasan adalah berupa “pendapat“ DPR tentang objek yang diawasinya. DPR
menyatakan pengawasannya terhadap objek yang diawasi melalui pendapatnya
apakah terhadap objek tersebut terdapat persoalan, atau tidak terdapat persoalan.
Dari mana pendapat DPR tersebut dirumuskan tentu dari pendapat para Anggota
DPR. Dengan demikian, terbukti bahwa terdapat suatu hubungan yang sangat
erat antara hak menyatakan pendapat DPR [Pasal 20A Ayat (2)] dan hak
menyampaikan pendapat Anggota DPR [Pasal 20A ayat (3)], oleh karenanya
sangatlah logis UUD 1945 memberikan hak kepada Anggota DPR untuk
menyampaikan pendapat. Demikian halnya menjadi hal yang tidak masuk akal
pula jika kepada DPR diberi fungsi pengawasan yang isinya adalah pendapat DPR
tetapi kepada Anggota DPR tidak diberi hak untuk menyampaikan pendapat.
Pertanyaannya tentunya dari mana hasil pengawasan tersebut dirumuskan kalau
bukan dari pendapat para Anggota DPR.
Hubungan fungsional antara hak DPR dan hak Anggota DPR dapat dinyatakan
dalam suatu proposisi sebagai berikut, apabila fungsi pengawasan DPR terhadap
objek tertentu dihilangkan, maka akan berakibat bahwa hak berpendapat Anggota
103
DPR terhadap objek tersebut pun menjadi hilang. Sebaliknya, apabila fungsi
pengawasan DPR ditambah objeknya maka akan berakibat diperlukannya
pendapat Anggota DPR pada objek tersebut atau bertambahnya pendapat
Anggota DPR yang diperlukan.
Dari uraian tersebut di atas, maka hak menyampaikan pendapat Anggota DPR
adalah condition sine qua non agar DPR dapat melaksanakan fungsi pengawasan
DPR. Dari hakikat demokrasi yang tumbuh dari rakyat, pendapat Anggota DPR
adalah cerminan dari suara rakyat karena ia mewakili rakyat, oleh karenanya
justeru pendapat Anggota DPR lah yang menjadi dasar atau fondasi dari hak-hak
DPR, dan bukan sebaliknya bahwa hak berpendapat Anggota DPR merupakan
derivasi/turunan dari hak DPR.
UUD dengan jelas dan tegas serta logis mengatur hal yang demikian, sehingga
tidak memerlukan kecanggihan berpikir analitis untuk memahaminya. Urutan ayat
dalam Pasal 20A menggambarkan hal demikian dimulai dengan Ayat (1) yang
menyebutkan fungsi DPR, kemudian diikuti oleh Ayat (2) yang dengan jelas pula
menyatakan “untuk melaksanakan fungsinya” DPR mempunyai hak interpelasi,
hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak Anggota DPR yang disebut pada
Ayat (3) yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas tentu dalam kaitan dengan Ayat (1) demikian membaca pasal
yang benar menurut ajaran hukum. Seluruh uraian tersebut bukanlah hasil sebuah
reka-reka karena secara kasat mata, tegas, lugas, dan jelas terdapat dalam UUD
1945.
Persoalan berikutnya adalah apakah hak konstitusional Anggota DPR yang
tersurat secara ekplisit di dalam UUD 1945 harus dijaga agar tidak dilanggar.
Apabila maksud dari pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah
menegakkan konstitusi, maka jelas bahwa hak tersebut termasuk hak yang harus
ditegakkan. Aturan yang diperlukan adalah tentang tata cara penegakannya atau
dikenal dengan hukum acara. Hukum acara yang disebut sebagai hukum formil
harus mengacu kepada hukum materiil, oleh karenanya hukum acara terkait dan
terikat hukum materiil. Konstitusi yang merupakan hukum materiil telah
memberikan hak konstitusional kepada Anggota DPR yang terhadap hak tersebut,
sebagaimana hak-hak konstitusional lain, berpotensi untuk dilanggar. Hukum
acara harus memberi jalan agar terhadap subjek yang dilanggar hak
104
konstitusionalnya dapat mempertahankan haknya dengan tata cara yang
ditentukan.
Pasal 51 UU MK yang menentukan sekaligus membatasi pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang harus merujuk kepada hukum
materiil yaitu UUD 1945 untuk menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan pengujian. Apabila subjek hukum tertentu diberi hak oleh konstitusi,
maka hukum acara UU MK harus memberi peluang kepada subjek tersebut untuk
dapat mengajukan gugatan. Di dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf b UU MK
disebutkan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia ditetapkan sebagai pihak yang dapat menjadi Pemohon.
Penetapan yang demikian tidaklah tanpa dasar atau dilakukan tanpa pertimbangan
sama sekali justru hal itu ditetapkan karena di dalam UUD 1945 dijamin hak
masyarakat hukum adat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18B Ayat (2).
Susunan kata-kata dalam kalimatnya, UUD 1945 diulangi lagi oleh Pasal 51 Ayat
(1) huruf b UU MK. Penetapan bahwa lembaga negara dapat sebagai pihak
Pemohon oleh UU MK disebabkan hukum materiil UUD 1945 di dalamnya
mengatur kewenangan lembaga negara, demikian halnya badan hukum publik dan
privat yang oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya telah
digunakan untuk memberi legal standing kepada Lembaga Swadaya Masyarakat
sebagai badan hukum privat.
Kepada Anggota DPR yang jelas-jelas disebut mempunyai hak konstitusional tidak
sebagaimana halnya hak Lembaga Swadaya Masyarakat, seharusnya hukum
acara juga memberi hak untuk menjadi Pemohon sebagaimana masyarakat hukum
adat tersebut di atas. Apabila kemudian ternyata hukum acara tidak memberikan
hak kepada Anggota DPR, maka jelas ada kesalahan dalam penyusunan hukum
acara karena tidak mengacu kepada UUD 1945 sebagai hukum materiil dan
terhadap undang-undang yang demikian dapat diajukan judicial review. Di dalam
penentukan kualifikasi Anggota DPR untuk dapat mengajukan permohonan, di
antara empat kualifikasi yang disebutkan dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK yang
paling tepat adalah diberi kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia,
karena jelas Anggota DPR tidak termasuk dalam badan hukum privat atau publik,
masyarakat hukum adat, atau lembaga negara. Mahkamah untuk memberikan
legal standing kepada perorangan dalam putusan-putusannya sebenarnya telah
105
menerapkan dua kriteria tambahan setelah Pemohon memenuhi kualifikasi
sebagai perorangan warga negara Indonesia. Pertama adalah dalam kedudukan
atau kapasitas apa perorangan tersebut mengajukan permohonan. Seorang dokter
yang dia adalah warga negara Indonesia dalam kapasitasnya sebagai dokter oleh
Mahkamah diberi legal standing untuk mengajuan pengujian Undang-Undang
Praktik Kedokteran karena undang-undang tersebut memberikan kewajiban,
larangan serta hak kepada dokter. Sedangkan seorang pasien yang sama-sama
juga warga negara Indonesia ditolak legal standing-nya oleh MK karena ia tidak
berkapasitas sebagai dokter (Vide Putusan Perkara Nomor 4/PUU-V/2007).
Seorang Anggota DPR adalah memenuhi syarat sebagai perorangan warga
negara Indonesia dan untuk memberikan legal standing seharusnya dikaitkan
kapasitas apa ia mengajukan uji undang-undang a quo dan jawabnya adalah
sebagai Anggota DPR karena yang dipersoalkan hak yang terkait hak Anggota
DPR. Legal standing seharusnya diberikan kepada Anggota DPR karena UUD
1945 telah memberikan hak konstitusional dan hal tersebut sejajar dengan logika
ketika Mahkamah membedakan status antara dokter dan pasien dalam pemberian
legal standing untuk pengujian Undang-Undang Praktik Kedokteran. Setelah dapat
ditetapkan kapasitas Pemohon yang berkait dengan hak konstitusional yang
dimiliki, kemudian yang kedua, Mahkamah mempertimbangkan apakah Pemohon
tersebut dapat mendalilkan, yang cukup berupa sebuah anggapan saja, bahwa
hak konstitusionalnya secara potensial dilanggar, dalam pengertian tidak perlu
dibuktikan dahulu apakah memang benar-benar pemohon dirugikan karena hal
tersebut menjadi bagian dari pemeriksaan Pokok Permohonan.
Pasal 11 UUD 1945 menyebutkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Maksud dari Pasal 11 UUD 1945 ini tentunya agar Presiden tidak semaunya
sendiri untuk menyatakan perang dan sebagainya, artinya Presiden perlu diawasi
oleh DPR dalam menggunakan kewenangan yang ditujukan ke luar. UUD 1945
tidak menentukan apakah pernyataan perang harus dalam bentuk undang-undang
karena adanya syarat persetujuan DPR. Persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD
1945 adalah merupakan hak pengawasan atau kontrol dari DPR yang berbeda
dengan hak legislasi yang memang menjadi hak DPR dalam pembuatan suatu
undang-undang. Presiden mewakili negara untuk urusan yang ditujukan kepada
pihak keluar, hanya saja dalam menggunakan kewenangan tersebut perlu
106
pengawasan DPR yaitu dengan cara pemberian persetujuan. Hal demikian adalah
berbeda dengan posisi Presiden pada saat membuat undang-undang, karena hak
untuk membuat UU ada pada DPR sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 20 Ayat
(1) UUD 1945. Pasal 11 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden
dengan kontrol atau pengawasan DPR. Pada pasal-pasal lain UUD 1945 juga
diatur hak pengawasan DPR kepada Presiden yang sifatnya lebih lunak, yaitu
berupa hak untuk memberikan pertimbangan, bukan persetujuan, apabila Presiden
mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain [Pasal 13 Ayat (2)
dan (3) UUD 1945], dan dalam pemberian amnesti dan abolisi [Pasal 14 Ayat (2)
UUD 1945].
Hubungan antara hak pengawasan yang dimiliki oleh DPR dan adanya hak
menyampaikan pendapat yang merupakan hak Anggota DPR sebagai dasar
dimungkinkannya DPR untuk melaksanakan hak pengawasannya serta
diperlukannya persetujuan DPR, yang pada hakikatnya merupakan hak
pengawasan yang ditujukan kepada Presiden dalam hal menggunakan
kewenangannya untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945, cukup
memberikan dasar secara prima facie bahwa DPR mempunyai legal standing. Hal
demikian terlepas dari isu hukum dalam kasus a quo yang belum sampai diperiksa.
Isu hukum tersebut adalah:
• Apakah hak pengawasan Anggota DPR melalui hak berpendapat yang
berujung kepada pemberian persetujuan kepada Presiden sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 telah dihilangkan oleh Pasal 11 UU
Migas, atau
• Apakah hak pengawasan Anggota DPR melalui hak penyampaian pendapat
yang berujung kepada persetujuan DPR dalam pemberian hak Kuasa
Pertambangan sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Pertambangan
tidak memberikan dasar konstitusional pula dalam penerbitan Kontrak Kerja
Sama sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU Migas, karena baik UU Migas dan
Undang-Undang Pertambangan mempunyai dasar pada pasal yang sama
yaitu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang memberikan hak penguasaan negara
atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya.
Dengan uraian sebagaimana tersebut di atas seharusnya Mahkamah memberikan
legal standing kepada Anggota DPR karena memenuhi syarat sebagai perorangan
107
warga negara Indonesia yang berkapasitas sebagai Anggota DPR. Apabila
terhadap Anggota DPR tidak diberi legal standing dalam kualifikasi perorangan
warga negara Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran MK terhadap
Pasal 51 Ayat (1) UU MK menutup sama sekali Anggota DPR untuk mengajukan
permohonan, yang berarti tidak ada saluran hukum bagi seorang Anggota DPR,
padahal hak konstitusionalnya jelas-jelas disebut oleh UUD 1945. Penafsiran
demikian akan menyebabkan bahwa UU MK telah cacat hukum sebagai hukum
acara karena tidak memfasilitasi hukum materiilnya yaitu UUD 1945 yang di
dalamnya memberikan hak konstitusional kepada Anggota DPR, dan undang-
undang yang demikian dalam hal ini Pasal 51 Ayat (1) dapat diajukan untuk diuji
karena menghilangkan hak konstitusional Anggota DPR. Dengan cara tidak
memberi legal standing kepada Anggota DPR, Mahkamah Konstitusi telah gagal
untuk menjaga Konstitusi karena melalui penafsirannya yang tidak logis
Mahkamah Konstitusi menggunakan hukum acara untuk menjagal Konstitusi. Hal
demikian tidak akan terjadi apabila Mahkamah dengan konsisten menerapkan
penafsiran yang selama ini telah dibangunnya sendiri.
Seharusnya pula, Mahkamah dalam perkara a quo tidak sampai pada suatu
pendapat bahwa Anggota DPR harus kehilangan hak konstitusionalnya untuk
memasalahkan undang-undang di depan Mahkamah melalui uji undang-undang
karena Anggota DPR tersebut telah ikut membahas dan mengesahkan undang-
undang karena secara etika politik, menurut Mahkamah, seharusnya anggota
tersebut mematuhi meskipun mereka termasuk kelompok minoritas yang tidak
setuju. Mahkamah tidak memberi alasan atau dasar konstituional mengapa hak
Anggota DPR tersebut menjadi hilang setelah ia ikut membahas dan
mengesahkan tetapi hanya berdasarkan etika politik. Apakah Mahkamah akan
memberikan hak konstitusional Anggota DPR apabila ternyata ia tidak ikut
membahas dan mengesahkan artinya ia tidak menghadiri persidangan sama
sekali. Persoalan berikutnya adalah etika politik yang mana yang menjadi dasar
demikian. Mahkamah harus dengan saksama mempertimbangkan pendapatnya
tersebut. Apabila sebuah undang-undang melanggar UUD 1945, maka apa yang
disebut Mahkamah sebagai etika tersebut dipertaruhkan keberadaannya.
Pertanyaannya, apakah Mahkamah akan menolak memberikan legal standing
kepada Anggota DPR hanya karena alasan etika politik sebagaimana ditafsirkan
oleh Mahkamah sendiri, padahal pada saat yang bersamaan Mahkamah dapat
108
menemukan dasar konstitusional yang mendukung pemberian legal standing
kepada Anggota DPR. Dalam uji undang-undang terhadap UUD 1945, nilai etika
politik yang tertinggi adalah penghargaan dan penghormatan terhadap hak yang
dijamin oleh UUD 1945, dan bukan nilai etika politik lainnya. Sehingga UUD 1945
sebagai hukum tertinggi negara yang di dalamnya terkandung dasar negara
seharusnya menjadi sumber etika politik dan bukan sumber etika politik yang lain
yang diutamakan yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Adapun terhadap pandangan bahwa seharusnya Pemohon menempuh legislative
review dan bukan judicial review, saya berpendapat sebagai berikut:
Kedua cara tersebut memang dapat melakukan perbaikan atau perubahan
substansi undang-undang. Namun adalah suatu hal yang tidak tepat bahwa
masalah konstitusionalitas undang-undang selalu dapat diselesaikan dengan
legislative review. Dapat saja terjadi legislative review dilakukan tetapi tetap saja
undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
telah pernah menguji undang-undang perubahan dari undang-undang yang ada
sebelumnya, namun demikian masih tetap saja ditemukan substansi yang
bertentangan dengan UUD 1945 (vide Putusan Perkara Nomor 67/PUU-II/2004).
Hal demikian berbeda dengan judicial review. Dalam persoalan konstitusionalitas,
Mahkamah telah beberapa kali memutus pengujian undang-undang yang
kemudian atas dasar Putusan Mahkamah tersebut pembuat undang-undang perlu
menyesuaikan, dan pembuat undang-undang kemudian menyiapkan rancangan
perubahan undang-undang (vide Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 dan
Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006), yang artinya untuk konstitusionalitas
undang-undang, judicial review memang cara yang harus dilakukan. Pemohon
dalam permohonannya tidak hanya sekadar ingin mengubah Pasal 11 UU Migas,
yang kemudian oleh karenanya dilakukan dengan mengadakan legislative review
yang nasibnya ditentukan oleh dukungan di DPR dan persetujuan Presiden, tetapi
yang dipersoalkan Pemohon adalah apakah Pasal 11 UU Migas konstitusional
atau tidak, yang jawabannya secara hukum hanya dimungkinkan apabila dilakukan
judicial review. Tom Ginsburg menyatakan dalam kesimpulan tulisannya bahwa
“By ensuring that losers in the legislative arena will be able to bring claims to court,
judivial review lowers the cost of constitution making and allows drafters to
conclude constitutional bargains that would otherwise be unobtainable“ (Judicial
Review in New Democraties, Constitutional Courts in Asian Cases. h. 33).
109
Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa terhadap mereka yang kalah dalam
arena legislative dapat membawanya ke depan pengadilan, tentu yang
bersangkutan dengan persoalan konstitusionalitas dan bukan pilihan kebijakan
hukum, dan cara tersebut dapat mengakhiri tawar-menawar konstitusional yang
tidak dapat dicapai dalam arena legislative. Usulan Mahkamah agar kasus a quo
diselesaikan secara legislative review mengambarkan pandangan Mahkamah yang
ambigu karena pada saat menilai legal standing Pemohon, Mahkamah menolak
dengan alasan Pemohon adalah Anggota DPR dan bukan DPR yang dapat
memasalahkan hak pengawasan, tetapi justru pada saat bersamaan Mahkamah
menyatakan supaya pada perkara a quo, artinya yang melibatkan Pemohon
secara langsung, dilakukan dengan legislative review yang jelas-jelas hak legislasi
ada di DPR dan bukan Pemohon.
Adanya Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 130 Ayat (1) yang mensyaratkan bahwa
hak inisiatif rancangan undang-undang harus diusulkan sekurang-kurangnya 13
orang, saya berpendapat berbeda kalau hal tersebut digunakan oleh Mahkamah
untuk membuktikan bahwa seorang Anggota DPR tidak dapat menggunakan
haknya secara perorangan atau telah menghilangkan hak perorangan Anggota
DPR. Kalau saja pemikiran Mahkamah yang diikuti tentunya akan timbul persoalan
hukum lagi. Tata Tertib DPR adalah hukum acara/formil untuk melengkapi
pelaksanaan hak yang dijamin oleh UUD 1945. Apabila hukum acara kemudian
menghilangkan hak perorangan Anggota DPR yang disebut dalam UUD 1945
maka hukum acara tersebut yang harus disisihkan, hal demikian adalah asas yang
berlaku umum bagi hukum formil. Tatib tersebut menurut pendapat saya tidak
menghilangkan substansi hak perorangan Anggota DPR. Ketentuan tersebut harus
dimaknai bahwa meskipun seorang Anggota DPR mempunyai hak mengajukan
usul RUU atau menyampaikan pendapat, namun agar supaya RUU perorangan
menjadi RUU atau pendapat DPR tentunya diperlukan dukungan yang cukup di
dalam forum DPR. Adanya syarat 13 anggota dimaksudkan untuk memberi bukti
awal bahwa telah cukup dukungan terhadap suatu rancangan RUU atau pendapat
seorang Anggota DPR, sehingga usul tersebut dianggap perlu yang kemudian
dibahas di DPR dan Tatib tersebut tidak bermaksud untuk menghilangkan hak
perorangan. Ketentuan diusulkan sekurang-kurangnya 13 orang tidak diberi syarat
bahwa usul tersebut haruslah hasil bersama dari ketiga belas Anggota DPR.
Apabila ada usul yang dirancang atau pendapat yang berasal dari satu orang saja
110
yang kemudian ada dua belas orang mendukungnya maka usul rancangan atau
pendapat tersebut harus diterima oleh DPR dan kemudian dilakukan pembahasan.
Dengan demikian masih ada hak seorang Anggota DPR. Peraturan Tata Tertib
tersebut tetap berinduk pada hukum materiil yaitu UUD 1945. Pandangan
Mahkamah pun juga tidak jelas maksudnya apakah untuk dapat menggunakan hak
konstitusional di depan Mahkamah ini Pemohon harus berjumlah 13 anggota oleh
karenanya perlu dirujuk Peraturan Tata Tertib DPR. Kalau demikian halnya berarti
permasalahan Pemohon adalah kurang jumlah pendukungnya. Perlu diingat
bahwa selain Pemohon a quo pernah ada permohonan dari banyak Anggota DPR
lain untuk bergabung sebagai Pemohon, tetapi Rapat Permusyawaratan Hakim
menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa tidak relevan jumlah
Pemohon dalam permohonan a quo karena hal yang dipersoalkan menyangkut
masalah hukum yang sama. Dengan dasar uraian sebagaimana tersebut di atas,
maka seharusnya Mahkamah memberikan legal standing kepada Pemohon.
[6.2] Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan
Para Pemohon sebanyak delapan orang, yang mengkualifikasi dirinya sebagai
perorangan Anggota DPR hemat kami memiliki legal standing atas alasan-alasan
berikut:
1. Satu lembaga negara yang terdiri dari banyak anggota seperti DPR, masing-
masing merupakan jabatan, yang memikul dan melaksanakan hak dan
kewenangan lembaga secara sama dengan seluruh anggota lainnya. Lembaga
sebagai satu struktur yang dikonstruksi dari para anggota, hanya mungkin
dapat melaksanakan hak dan kewenangannya melalui anggota, dan tanpa
keanggotaan demikian sebagai pendukung lembaga yang menjalankan hak
dan kewenangannya, DPR sebagai lembaga tidak dapat menjalankan
fungsinya. Anggota-anggota melaksanakan fungsinya baik secara serempak
atau sendiri-sendiri dalam hubungan timbal balik, sebagaimana
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
2. Hak dan kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada DPR antara lain untuk
membentuk undang-undang [Pasal 20 Ayat (1), fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan [Pasal 20A Ayat (1)], hak interpelasi, hak
angket dan hak menyatakan pendapat [Pasal 20A Ayat (2)] dan hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat ... [Pasal 20A Ayat
111
(4)] di samping yang secara tegas diberikan kepada Anggota DPR, maka yang
juga tidak disebut secara tegas diberikan kepada anggota, adalah merupakan
hak konstitusional yang dengan sendirinya dimiliki dan dijalankan oleh anggota,
agar hak dan kewenangan DPR sebagai lembaga atau organ dengan jabatan
ganda, dapat dijalankan.
3. Oleh karena ternyata hak dan kewenangan konstitusional anggota DPR
diberikan oleh konstitusi, maka tafsiran yang harus diberikan kepada Pasal 51
Ayat (1) UU MK yang mengatur tentang masalah standing, harus dilakukan
sedemikian rupa dalam rangka menegakkan konstitusi yang memuat hak dan
kewenangan Anggota DPR tersebut, dan bukan sebaliknya.
4. Sebagai perorangan Anggota DPR maupun sebagai jabatan (ambt) yang tidak
tunggal, maka Anggota DPR yang terpilih sebagai representasi rakyat pemilih
yang terdiri dari perorangan warga negara, diberi hak dan kewenangan
konstitusional adalah untuk kepentingan dan perlindungan rakyat yang
diwakilinya, baik dalam rangka perlindungan hak dan kebebasan rakyat secara
individual, maupun perlindungan hak-hak dan hajat hidup orang banyak secara
kolektif yang telah dijamin dalam UUD 1945.
5. Terjadinya pergeseran sebagai negara demokrasi setelah perubahan UUD
1945 dari supremasi parlemen, yang digambarkan oleh bunyi Pasal 1 Ayat (2)
UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi, “Kedaulatan adalah ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”,
kearah supremasi konstitusi dalam bunyi Pasal 1 Ayat (2) setelah
amandemen “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, telah dilanjutkan dengan pemberian kewenangan
menguji konstitusionalitas undang-undang tersebut terhadap UUD 1945 kepada
Mahkamah Konstitusi.
6. Substansi constitutional democracy, adalah demokrasi yang dijalankan sesuai
dengan prinsip konstitusionalisme, di mana pemerintahan dibatasi konstitusi,
yang juga merupakan hal yang diakui dalam paham demokrasi dalam
supremasi parlementer. Akan tetapi, secara berbeda constitutional democracy
tidak lagi hanya mengandalkan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat
dan politik ditentukan wakil-wakil yang dipilih rakyat. Bagian lain dari demokrasi
yang meliputi nilai-nilai dasar yang khusus (particular fundamental values)
112
berupa hak perseorangan dan hak kolektif yang dijamin konstitusi, diperlakukan
menjadi constitutional boundaries, yang harus dipatuhi pembentuk undang-
undang. Implikasi yang timbul dan menjadi tugas setiap Anggota DPR dalam
sistim yang demikian adalah kewajiban dan hak konstitusionalnya untuk
menjaga bagaimana mayoritas dalam DPR tetap berada dalam constitutional
bounds yang ditentukan.
7. Oleh karena hak dan kewenangan konstitusional Anggota DPR jelas
dirumuskan dan diberikan dalam UUD 1945, tugas Pasal 51 Ayat (1) UU MK
yang mengatur standing Pemohon, baik sebagai perorangan warga negara
Indonesia, yang berkedudukan sebagai Anggota DPR dan pasti mewakili hak
dan kepentingan kelompok orang sebagai konstituen pemilih, maupun sebagai
lembaga negara dalam kedudukan Anggota DPR dalam organ dengan jabatan
yang ganda, maka setiap pembatasan, pengurangan dan penghapusan sama
sekali hak-hak konstitusional Anggota DPR yang disebut dalam UUD 1945,
oleh berlakunya satu undang-undang, akan memenuhi kriteria dalam Pasal 51
Ayat (1) UU MK tersebut maupun kriteria standing yang diuraikan secara rinci
dalam putusan-putusan tetap Mahkamah.
8. Dipilihnya lembaga MK untuk menjalankan kewenangan Judicial Review
undang-undang, mengikuti model Hans Kelsen yang secara dominan diikuti di
Eropa, menyebabkan perlunya tafsir studi perbandingan (comparative study
interpretation) dalam menerapkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK. Secara hampir
merata, legal standing dalam pengujian undang-undang dalam jurisdiksi MK di
Eropa, pertama-tama diberikan kepada lembaga negara, baik eksekutif,
minoritas dalam legislatif maupun yudikatif, dalam bentuk rujukan (referral) dari
peradilan umum kepada MK. Barulah kemudian standing diberikan kepada
individu atau perorangan dalam concrete-norm control, dengan syarat-syarat
yang ketat, di mana atas dasar prinsip subsidiaritas, MK berperan hanya
setelah semua jalur hukum yang tersedia telah dipergunakan (exhausted).
Dilihat dari sifat pengujian, bobot maupun isinya maka pemberian standing
pada kualifikasi Pemohon yang berbeda demikian akan turut menentukan
tercapainya tujuan mekanisme checks and and balance secara efektif.
9. Seandainyapun ada ketentuan undang-undang dan aturan Tata Tertib DPR
tentang siapa yang berhak tampil mewakili DPR di dalam Pengadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 22
113
Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 27 huruf f
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka
tugas dan wewenang Pimpinan mewakili DPR di Pengadilan adalah dalam
konteks sebagai Penggugat atau Tergugat di depan peradilan biasa, dan
sebagai lembaga pemberi keterangan di depan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara pengujian undang-undang. Karena DPR sebagai lembaga negara yang
membentuk undang-undang dalam mekanisme demokrasi yang wajib memberi
keterangan di depan MK dalam hal adanya permohonan pengujian undang-
undang, maka ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan untuk menafsirkan
bahwa seorang Anggota DPR yang memperoleh wewenang dan haknya dari
UUD 1945, tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian
undang-undang di depan Mahkamah Konstitusi, karena hal itu telah menjadi
hak dan kewenangan serta kewajiban anggota DPR dalam rangka
mempertahankan constitutional bounds dalam pembuatan undang-undang,
untuk mencegah mayoritas atau kompromi politik yang terjadi berada di luar
constitutional bounds tersebut. Pernyataan bahwa Anggota DPR berhak
mengajukan RUU perubahan sebagai satu mekanisme legislative review yang
lebih layak, meskipun benar hal itu menjadi hak Anggota DPR, namun
merupakan lembaga yang berbeda, yang penggunaannya dibanding dengan
judicial review akan didasarkan pada perimbangan kekuatan politik, sehingga
pilihan secara rasional dalam mencapai tujuan yang sama-sama konstitusional,
tidak ditutup;
10. Akan tetapi menjadi pertanyaan, apakah Anggota DPR yang telah turut
menyetujui satu RUU menjadi undang-undang juga diberikan standing, dan
apakah ada satu jumlah tertentu yang harus ditentukan minimal untuk dapat
memberi standing kepada Anggota DPR sebagai perorangan dalam jabatannya
demikian. Hemat kami anggota yang telah turut menyetujui RUU menjadi
undang-undang, tidaklah memiliki dasar untuk mengajukan uji materil atas
undang-undang yang telah disetujuinya, sebab dia juga terikat pada konsensus
yang diberikan, dan kalau tidak hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Meskipun satu jumlah minimal tertentu sebagai syarat legal standing
bagi Anggota DPR dapat memberi rasionalisasi atas bobot penting uji
konstitutionalitas norma yang diajukan, namun paralel dengan bunyi Pasal 51
Ayat (1) UU MK yang memberi standing juga pada perorangan, maka seorang
114
Anggota DPR pun yang mengajukan uji materi undang-undang terhadap UUD
1945 tidak akan mempengaruhi keabsahan permohonan tersebut sepanjang
dapat ditunjukkan adanya constitusional bounds yang telah dilanggar.
Berdasar seluruh uraian tersebut di atas, hemat kami seyogianya
Mahkamah memutuskan bahwa para Pemohon memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan ini dan mempertimbangkan Pokok Permohonan
sebagaimana diuraikan di bawah;
Pokok Permohonan
Materi UU Migas yang dimohon untuk diuji, adalah Pasal 11 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang bunyinya sebagai berikut, “Setiap kontrak
kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Ketentuan mana dianggap telah
bertentangan dengan pasal-pasal:
1. Pasal 11 Ayat (2);
2. Pasal 20 Ayat (1); 3. Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Terhadap hal itu kami berpendapat sebagai berikut:
1. Meskipun bunyi Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, kami dapat menyetujui pendapat
Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang
dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam Pasal 1
dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties)
dan Pasal 2 Ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian
Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional
yang merupakan ruang lingkup Pasal 11 UUD 1945, dan karena itu
permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup
beralasan.
2. Akan tetapi, bunyi Pasal 11 Ayat (2) tersebut dikaitkan dengan Pasal 20A Ayat
(1) UUD 1945, sesungguhnya menekankan pentingnya pengawasan Dewan
115
Perwakilan Rakyat dilakukan atas tindakan-tindakan pemerintahan yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, terutama berkenaan dengan Pasal 33
Ayat (3) yang menyangkut sumber daya alam, yang harus dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya
alam, yang menjadi potensi yang tidak terbarukan dalam kehidupan sosial dan
ekonomi bangsa dan negara, yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dan yang merupakan milik kolektif rakyat, harus dilihat
kembali dalam konsepsi yang diletakkan Mahkamah Konstitusi sebagai tafsir
atas Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dalam Putusan Nomor 01-02-022/PUU-I/
2003 sebagai berikut ini:
“...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana
dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian
yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum
perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik
yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945,
baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).
Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber,
pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian
pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara, pada hakikatnya
adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada
negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 Ayat (3) menentukan, “bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
“... pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari
konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di
dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber
sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan
116
oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan
fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) oleh
negara. ...fungsi pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad)
dilakukankan oleh Negara, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber kekayaan
dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat”.
3. Pengalaman Negara-Negara di dunia, baik negara maju apalagi negara
berkembang, dalam kontrak-kontrak pengusahaan minyak dan sumber daya
mineral pada umumnya, sebagaimana diungkapkan dari hasil penelitian
ekonom dunia, bahwa terlalu sering negara tidak mendapat nilai penuh dari
sumber daya alamnya, karena harus tergantung pada aparat pemerintahan dan
kontraktor swasta yang mempunyai tujuan lain, yaitu memaksimalkan
penghasilan mereka sendiri sebesar-besarnya, yang pada gilirannya berarti
memperkecil jumlah pembayaran yang harus disetorkan kepada Pemerintah.
Dikatakan bahwa tantangan utama yang dihadapi tiap pemerintahan adalah
untuk mencari cara bagaimana bekerja sama dengan para aktor di luar
pemerintahan, yang tujuan utamanya sangat berbeda secara radikal dari
Pemerintah, dan bagaimana seharusnya Pemerintah bekerja sama dengan
sektor swasta untuk memaksimalkan total penerimaan pendapatan dari
kekayaan alam negaranya (Joseph E Stiglitz, dalam Escaping The Resource
Curse, 2007, hal. 28).
4. Pemilik dikatakan harus berhati-hati, karena pada umumnya prospek
kecurangan sangat nyata dan sangat besar, dan dapat muncul pada tiap
tahapan transaksi. Risiko berhubungan dengan kontrak yang kompleks adalah
bahwa perusahaan minyak sering lebih memahami nilai pasar sebenarnya dari
kontrak itu dibanding Pemerintah. Pengalaman empirik negara maju dan
berkembang yang diungkapkan dari penelitian yang dilakukan, dihubungkan
dengan keterangan ahli yang diajukan Pemohon, telah membuktikan
diperlukannya kemampuan untuk membentengi diri dalam pengusahaan
sumber daya alam berhadapan dengan pengusaha swasta yang biasanya
memiliki kemampuan negosiasi dan drafting kontrak yang jauh lebih baik, agar
117
amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dapat tercapai melalui efektivitas fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh (Anggota) DPR.
5. Yang menjadi pertanyaan, apakah metode yang diatur dalam Pasal 11 Ayat (2)
UU Migas sebagai “bentuk pengawasan” dalam rangka mengoptimalkan
pengusahaan sumber daya alam bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat,
sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 20A Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945, yang telah dirumuskan pengertiannya oleh MK dalam putusan-
putusannya, telah dipandang memadai dan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya Kontrak
Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani,
tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik
kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan
dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan
oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan
mengandung di dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi
dan kenyataan tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-
aspek mendasar dalam kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun
kontrak kerja sama bidang migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan
tertulis saja kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU
Migas, maka pasal tersebut telah tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
6. Keterangan ahli yang diajukan Pemerintah, tentang pengawasan yang
dilakukan, apakah lebih efektif sebelum atau sesudah perjanjian
ditandatangani, yang menyatakan bahwa hal itu akan tergantung pada potensi
kompetitif SDA yang dimiliki negara lain, hemat kami tidak relevan, karena sifat
minyak dan gas bumi yang tidak terbarukan serta permintaan yang selalu lebih
besar dari supply, yang bukan pula tidak terbatas, menyebabkan kehati-hatian
dalam eksploitasi SDA menuntut seluruh proses harus benar-benar diawasi,
sehingga kesempatan terbatas untuk memanfaatkannya dalam mendanai
pembangunan bagi kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya tidak hilang begitu
saja. Oleh karenanya prinsip yang juga harus dipedomani bersama, dengan
memperhitungkan kecepatan dalam pengambilan keputusan dan kepastian
hukum yang dibutuhkan dalam kegiatan investasi, kami tetap merujuk pada
118
perlunya transparansi akan syarat-syarat perjanjian yang diajukan, yang
menyangkut hal yang sangat mendasar dalam jaminan untuk memperoleh
bagian yang adil dan layak bagi Negara, dengan memperhitungkan tingkat
pengembalian investasi yang wajar dibanding kewajiban dan risiko yang
dihadapi penanam modal.
7. Mekanisme pengawasan DPR dalam Kontrak Karya di bidang Pertambangan
lain sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967, pada Ayat (3) menyatakan bahwa kontrak karya tersebut berlaku
sesudah berkonsultasi dengan DPR, apabila menyangkut bahan galian:
unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan
termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam.
Mekanisme demikian, yang lebih sesuai dengan amanat Pasal 20A dan Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945, jelas merujuk pada kedaulatan rakyat sebagai pemilik
kolektif yang berkepentingan bagi terpenuhinya kesejahteraan rakyat yang
sebesar-besarnya, seyogianya secara konsisten dijadikan standard sebagai
maksud Pasal 20A dikaitkan dengan Pasal 33 Ayat (3) dalam pengertian yang
telah dirumuskan Mahkamah sendiri;
Berdasar seluruh uraian di atas, kami berpendirian bahwa Pasal 11 Ayat (2) UU
Migas bertentangan dengan Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dan
karenanya Mahkamah Konstitusi seyogianya mengabulkan sebagian
permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir
PUTUSANNomor 36/PUU-X/2012
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] I. Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang didirikan berdasarkan
Ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 5 Staatsblaad 1870 Nomor
64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang
kemudian disahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Nomor 81 tertanggal 22 Agustus 1914 selanjutnya
disesuaikan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor
AHU-88.AH.01.07. Tahun 2010. Berkedudukan di Jalan Cik di Tiro
Nomor 23, Yogyakarta dan Jalan Menteng Raya Nomor 62 Jakarta
Pusat dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin,
MA dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas
nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai Pemohon I;
II. Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, yang terdaftar dalam
Kementerian Dalam Negeri Republik Direktorat Jenderal Kesatuan
Bangsa dan Politik Nomor 44/D.III.2/VI/2006. Berkedudukan di
Jakarta dalam hal ini diwakili oleh Ir. Rahmat Kurnia. M.Si dalam
kedudukannya sebagai Ketua, oleh karenanya sah bertindak untuk
dan atas nama Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, sebagai
Pemohon II;
III. Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, yang Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Nomor JA/5/86/23 dan
terdaftar ulang di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
2
Nomor 104/DIII.3/XII/2006. Berkedudukan di Jakarta, sebagai
Pemohon III;
IV. Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia yang terdaftar dalam
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Kesatuan Bangsa dan Politik Nomor 117/D.III.3/III/2010.
Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini diwakili oleh H. Muhammad
Mufti dalam kedudukannya sebagai Presiden Lajnah Tanfidziyah
Syarikat Islam Indonesia, dan oleh karenanya sah bertindak untuk
dan atas nama Dewan Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia,
sebagai Pemohon IV;
V. Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam yang
didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor
C-266.HT.03.06-Th. 2004 tertanggal 23 September 2004 dan
keterangan terdaftar berdasarkan keterangan Kementerian Dalam
Negeri Nomor 09/D.III.3/II/2006. Berkedudukan di Jalan Taman
Amir Hamzah Nomor 2 Jakarta Pusat 10320 dalam hal ini diwakili
oleh Drs. Djauhari Syamsuddin dalam kedudukannya sebagai
Ketua Umum PP Syarikat Islam, oleh karenanya sah bertindak
untuk dan atas nama PP Syarikat Islam, sebagai Pemohon V;
VI. Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia yang
terdaftar berdasarkan keterangan Kementerian Dalam Negeri
Nomor 82/D.I/VI/2003. Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini
diwakili Drs. H. Imam Suhardjo HM oleh dalam kedudukannya
sebagai Sekretaris Jenderal dan oleh karenanya sah bertindak
untuk dan atas nama PP Persaudaraan Muslimin Indonesia,
sebagai Pemohon VI;
VII. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah yang terdaftar melalui
Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik
Indonesia Nomor 80/D.I/VI/2001. Berkedudukan di Jakarta dalam
hal ini diwakili oleh KH Abdullah Djaidi dalam kedudukannya
sebagai Ketua Umum PP Al Irsyad Al Islamiyah, oleh karenanya
sah bertindak untuk dan atas nama PP Al Irsyad Al Islamiyah,
sebagai Pemohon VII;
3
VIII. Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia yang
Berkedudukan di Jakarta dalam hal ini diwakili oleh H. Muhtadin
Sabili dalam kedudukannya sebagai Ketua PB Pemuda Muslimin
Indonesia, oleh karenannya sah bertindak untuk dan atas nama
PB Pemuda Muslimin Indonesia, sebagai Pemohon VIII;
IX. AL Jami’yatul Washliyah, berdasarkan hak hukum menurut
penetapan Menteri Kehakiman tanggal 17 Oktober 1956 Nomor J-
A-/74/25 telah diperbaharui dengan Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 9 Mei 2006 Nomor
C-20.HT.01.06. TH.2006 dan tercatat di Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia tanggal 19 Desember 2006 Nomor
101. Yang dalam hal ini diwakili oleh Drs. HA. Aris Banadji dalam
kedudukannya sebagai Ketua, oleh karenannya sah bertindak
untuk dan atas nama PB AL Jami’yatul Washliyah, sebagai
Pemohon IX;
X. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan
Karyawan (SOJUPEK), berdasarkan Akta Pendirian Nomor 05
tanggal 9 September 2011 Notaris Hanita Sentono, SH,
berkedudukan di Jalan Gadjah Mada Nomor 16B Jakarta Pusat,
yang diwakili oleh Lieus Sungkharisma dalam kedudukannya
sebagai koordinator, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas
nama SOJUPEK, sebagai Pemohon X;
XI. K.H. Achmad Hasyim Muzadi, Warga Negara Indonesia, Guru,
Jalan Cengger Ayam Nomor 25 RT001/RW0014, Tulus Redjo,
Lowokwaru, Malang, sebagai Pemohon XI;
XII. Drs. H. Amidhan, Warga Negara Indonesia, Pensiunan, Komplek
Departemen Agama Nomor 26, Kedaung Kali Angke, Cengkareng,
Jakarta Barat, sebagai Pemohon XII;
XIII. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Warga Negara Indonesia, PNS,
Jalan Semanggi II Nomor 3 RT 003/RW 003 Cempaka Putih,
Ciputat Timur, Tangerang, sebagai Pemohon XIII;
4
XIV. Dr. Eggi Sudjana. SH, M.Si, Warga Negara Indonesia, Advokat,
VIP Jalan Sultan Agung Nomor 1 RT 005/RW 006, Babakan, Kota
Bogor Tengah, Bogor, sebagai Pemohon XIV;
XV. Marwan Batubara, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan
Depsos I Nomor 21, RT 001, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta
Selatan, sebagai Pemohon XV;
XVI. Drs. Fahmi Idris, MH, Warga Negara Indonesia, Jalan Mampang
Prapatan IV/20, RT015/RW002 Tegal Parang, Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan, sebagai Pemohon XVI;
XVII. Moch. Iqbal Sullam, Warga Negara Indonesia, Swasta, jalan
Petojo Sabangan V Nomor 10, RT 004/RW 004, Petojo Selatan,
Gambir, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XVII;
XVIII. Drs. H. Ichwan Sam, Warga Negara Indonesia, Dosen,
Komplek Patriajaya Blok A Nomor 90B RT 002/RW 013, Jati
Rahayu, Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, sebagai
Pemohon XVIII;
XIX. Ir. H. Salahuddin Wahid, Warga Negara Indonesia, Jalan Irian
Jaya 10 Tebu Ireng RW 11 RW 009, Jombang, Jawa Timur,
sebagai Pemohon XIX;
XX. Nirmala Chandra Dewi M, SH, Warga Negara Indonesia,
Wiraswasta, Jalan Cemara Nomor 21, RT 003/RW 003,
Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XX;
XXI. HM. Ali Karim OEI, SH, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,
Jalan Duri Mas Raya I/221 RT 003/RW 010, Duri Kepa, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat, sebagai Pemohon XXI;
XXII. Adhie M. Massardi, Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta,
Pondok Timur Mas A Nomor 22, RT 009/RW 013, Bekasi Selatan,
Kota Bekasi, sebagai Pemohon XXII;
XXIII. Ali Mochtar Ngabalin, Warga Negara Indonesia, Karyawan
Swasta, Jalan Menteng Raya Nomor 58 RT 001/RW 009, Kebon
Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XXIII;
5
XXIV. Hendri Yosodiningrat, SH, Warga Negara Indonesia, Advokat,
Jalan Margasatwa Raya, Nomor 888 HY Pondok Labu, Cilandak,
Jakarta Selatan, sebagai Pemohon XXIV;
XXV. Laode Ida, Warga Negara Indonesia, Anggota DPD RI, Jalan
Batas Barat III Nomor 58, RT 006/RW 003, Kalisari, Pasar Rebo,
Jakarta Timur, sebagai Pemohon XXV;
XXVI. Sruni Handayani, Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta,
Jalan Cianjur Nomor 10 RT 007/RW 004, Menteng, Jakarta Pusat,
yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon XXVI;
XXVII. Juniwati T. Maschun S, Warga Negara Indonesia, Anggota DPD,
Jalan Kolonel Sugiono BLK D/17, Duren Sawit, Jakarta Timur,
sebagai Pemohon XXVII;
XXVIII. Nuraiman, Warga Negara Indonesia, Mahasiswa, Kedaung Hijau
Blik D 11/43 RT001/RW005, Desa Kedaung, Pamulang,
Tangerang Selatan, sebagai Pemohon XXVIII;
XXIX. Sultana Saleh, Warga Negara Indonesia, Jalan Kebon Jahe III/2
RT 002/RW 001, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, sebagai
Pemohon XXIX;
XXX. Marlis, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan Kramat Pulo
GG, RT 002/RW 003, Kramat, Senen, Jakarta Pusat, sebagai
Pemohon XXX;
XXXI. Fauziah Silvia Thalib, Warga Negara Indonesia, Jalan Tamansari
IV Nomor 33 RT 001/RW 003, Maphar, Tamansari, Jakarta Barat,
sebagai Pemohon XXXI;
XXXII. King Faisal Sulaiman, SH. LL.M, Warga Negara Indonesia,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, Alamat di
Jalan Pertamina Gambesi Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai
Pemohon XXXII;
XXXIII. Soerasa, BA, Warga Negara Indonesia, Wartawan, Jalan Empang
Bahagia, RT 009/RW 006, Jelambar, Grogol, Jakarta Barat,
sebagai Pemohon XXXIII;
6
XXXIV. Mohammad Hatta, Warga Negara Indonesia, Karyawan, Jalan
Empang Bahagia, RT 004 RW 002, Petukangan Utara,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan, sebagai Pemohon XXXIV;
XXXV. M. Sabil Raun, Warga Negara Indonesia, Wartawan, GG.
Bahasawan, RT 003/RW 007, Kebon Kacang, Tanah Abang,
Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XXXV;
XXXVI. Edy Kuscahyanto, S.SI, Warga Negara Indonesia, Karyawan,
Jalan Danau Banggaibaiba D II Nomor 57, RT.004, Bendungan
Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai Pemohon XXXVI;
XXXVII. Yudha Ilham, SH, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, Jalan
Kapten Baharudin RT 001/RW 004, Cianjur, sebagai PemohonXXXVII;
XXXVIII. Joko Wahono, Warga Negara Indonesia, swasta, Kaliwangan,
Temon Wetan, RT 025/RW 003, Kulon Progo Yogyakarta, sebagai
Pemohon XXXVIII;
XXXIX. Dwi Saputro Nugroho, Warga negara Indonesia, Swasta, Jalan
Bumi Pratama Timur, B Blok R/7 RT 007 RW 006 Dukuh, Kramat
jati, Jakarta Timur, sebagai Pemohon XXXIX;
XL. A.M Fatwa, Warga Negara Indonesia, Jalan Kramat Pulo Gundul
RT 002/RW 009, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, sebagai
Pemohon XL;
XLI. Hj. Elly Zanibar Madjid, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,
Bilimun Blok IV/12, RT 008/RW 10, Pondok Kelapa, Duren Sawit,
Jakarta Timur, sebagai Pemohon XLI;
XLII. Jamilah, Warga Negara Indonesia, Karyawati, Jalan Tamansari III
Nomor 31 RT 004/RW 003, Maphar Taman Sari, Jakarta Barat,
sebagai Pemohon XLII;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Maret 2012, memberi
kuasa kepada 1) Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H., 2) Drs. Muchtar Luthfi, S.H.Sp.N., 3) Zulhendri Hasan, S.H., M.H., 4) Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.,5) Najamudin Lawing, S.H. MH., 6) Maryogi, S.H., M.H., 7) Hendra Muchlis,
7
S.H., M.H., 8) Umar Husin, S.H., M.H., 9) Feri Anka Sugandar, S.H., M.H.,10) Jurizal Dwi, S.H., M.H., 11) Noor Ansyari, S.H., 12) Jaja Setiadijaya, S.H.,13) Sutedjo Sapto Jalu, S.H., 14) Ibnu Sina Chandranegara, S.H., 15) Bachtiar,S.H., dan 16) Umar Limbong, S.H., kesemuanya Advokat dan Pembela Umum,
yang tergabung dalam TIM MAJELIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAPIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH, memilih domisili hukum di Jalan Menteng
Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun
sendiri-sendiri untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Seluruhnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;
Mendengar keterangan para ahli para Pemohon dan Pemerintah serta
saksi Pemerintah;
Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon dan Pemerintah;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
dengan surat permohonan bertanggal 29 Maret 2012, yang kemudian didaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)
pada tanggal 29 Maret 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan
Nomor 112/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
pada tanggal 10 April 2012 dengan Nomor 36/PUU-X/2012, yang telah diperbaiki
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 30 April 2012, menguraikan
hal-hal sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(UU Migas), sebelumnya telah dilakukan pengujian secara formil maupun
materiil oleh Mahkamah, sebagaimana putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-
I/2003 dan Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-V/2005;
8
2. Adapun amar putusan uji formil maupun materiil perkara Nomor 002/PUU-
I/2003 adalah menolak permohonan para Pemohon dalam uji formil dan
memutuskan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberiwewenang”; - Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “palingbanyak”; - Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan
Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab
sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”; Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945; Menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang
mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang
mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat”; dan putusan Nomor 20/PUU-V/2005, Mahkamah
menyatakan permohonan tidak dapat diterima;
3. Bahwa para Pemohon sebelumnya pada perkara Nomor 002/PUU-I/2003,
menguji UU Migas secara keseluruhan, namun demikian faktanya putusan
norma yang diujikan mengkrucut menjadi Pasal 12 ayat (3) sepanjang
mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang
mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas.
Walapun alasan atau syarat konstitusional yang diajukan oleh Pemohon
sebelumnya sama dengan para Pemohon kali ini yakni Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1) Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945; namun demikian norma yang diuji berbeda dengan para Pemohon kali
ini, adapun norma dimaksud adalah Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2),Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas;
4. Begitu juga dengan Pemohon sebelumnya pada perkara Nomor 20/PUU-
V/2005, meskipun terdapat beberapa persamaan batu uji yakni Pasal 11 ayat
9
(2), Pasal 20A dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dengan para
Pemohon kali ini, namun demikian masih terdapat perbedaan batu uji yakni
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945;
5. Bahwa, selain daripada itu meskipun terdapat persamaan batu uji secara
keseluruhan dengan perkara Nomor 20/PUU-V/2005, namun dikarenakan para
Pemohon perkara Nomor 20/PUU-V/2005, oleh Mahkamah dinyatakan tidak
dapat diterima, karena tidak memiliki legal standing, maka demikian
pemeriksaan perkara a quo belum dapat dikatakan sebagai nebis in idem,
karena belum memutuskan mengenai pokok perkara;
6. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) diatur
dalam (a) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; (b) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) Pasal 29
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman; dan (d) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
7. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
8. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”;
9. Bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”;
10. Bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang. Hal ini jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai
10
kewenangan untuk menguji UU Migas terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan
oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
2. Bahwa dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut “Yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
11
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
4. Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh
Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam
pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm
59), yang menyatakan, “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI,
terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003)
berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-
Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga
negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-
Undang terhadap UUD 1945”.
5. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon X adalah subjek hukum yang
telah berbadan hukum di Indonesia yang umumnya mempunyai tujuan untuk
mewujudkan terbentuknya tatanan masyarakat madani atau masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya (al-mujtama’ al-madani), yang dilakukan melalui
berbagai usaha-usaha pembinaan, pengembangan, advokasi dan pembaruan
kemasyarakatan di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan
sosial, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya.
Pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo dalam UU
Migas merupakan mandat organisasi dalam melakukan upaya-upaya
perwujudan masyarakat madani atau masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya melalui penegakan konstitusi. Hal ini tercermin di dalam Anggaran
Dasar dan/atau akta pendirian. (vide bukti P-1 s.d. bukti P-10);
6. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah
organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan
tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
7. Bahwa Pemohon XI sampai dengan Pemohon XLII merupakan warga negara
Indonesia dalam kapasitasnya sebagai para Pemohon perorangan yang oleh
12
Undang-Undang Dasar 1945 diberikan hak-hak konstitusional antara lain tetapi
tidak terbatas pada:
a.Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
b.Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 ”Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untukmembangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
8. Bahwa selain Pasal 28D ayat (1), di atas para Pemohon juga memiliki hak
konstitusional yang lain sebagaimana dimaksud dalam:
a.Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 ”Presiden dalam membuat perjanjianinternasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat”
b.Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ” Dewan Perwakilan Rakyat memilikifungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
c.Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak hidup sejahteralahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanankesehatan”
d.Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 ”Perlindungan, Pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,terutama pemerintah”
e.Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
9. Bahwa para Pemohon adalah perorangan dan badan hukum privat yang
dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka
13
23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas yang berbunyi sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 19 UU Migas: ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak BagiHasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi
dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnyadipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
b. Pasal 1 angka 23 UU Migas:“Badan Pelaksana adalah suatu badanyang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di
bidang Minyak dan Gas Bumi”;c. Pasal 3 huruf b UU Migas: ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas
dan Gas Bumi bertujuan:.....(b)Menjamin efektifitas pelaksanaan danpengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan
Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanismepersaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”
d. Pasal 4 ayat (3) UU Migas:”Pemerintah sebagai pemegang KuasaPertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud
Pasal 1 angka 23”e. Pasal 6 UU Migas:”(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melaluiKontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2)
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) palingsedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap
di tangan Pemerintah sampai pada titik peyerahan; (b). Pengendalianmanajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan
risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”.f. Pasal 9 UU Migas: ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakanoleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk UsahaTetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”.
g. Pasal 10 UU Migas: ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2)Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat
melakukan usaha Hulu”.
14
h. Pasal 11 ayat (2) UU Migas: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudahditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.i. Pasal 13 UU Migas: ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam halbadan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa
wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiapwilayah kerja.”
j. Pasal 44 UU Migas:”(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan KontrakKerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap KegiatanUsaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas
Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yangmaksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3)
Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya
dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak KerjaSama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapanganyang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja
kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikanpersetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dananggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri
mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjualMinyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
10. Bahwa bentuk-bentuk kerugian konstitusional yang dialami atau potensial
dialami para Pemohon, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Bahwa norma-norma yang dikandung dalam Pasal 1 angka 19 dan angka23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas, mempunyai makna yang
15
ambigu dan multitafsir, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum dan mereduksi hak konstitusional para Pemohon dalam memperoleh
jaminan dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945;
b. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 19, dan Pasal 6 UU Migas, secara nyata
telah merendahkan martabat negara, karena ketentuan tersebut
memberikan ruang bagi penggunaan sistem kontrak kerjasama dalam
pengelolaan migas, yang mana dalam kontrak-kontrak tersebut pada
umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa dan
mengadili sengketa, sehingga akibat hukumnya apabila negara kalah berarti
kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat
negara. Oleh karena itu, hak konstitusional para Pemohon menjadi
terabaikan dan bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD
1945;
c. Bahwa dengan adanya Pasal 11 ayat (2) UU Migas, secara nyata telah
mengkerdilkan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) sebagai lembaga representasi rakyat in casu para Pemohon,
baik pada tataran pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran maupun
fungsi pengawasan. Hal demikian jelas menunjukan bahwa ketentuan Pasal
a quo sangat merugikan hak konstitusional dari para Pemohon
sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 20A
UUD 1945;
d. Bahwa bilamana permohonan para Pemohon dikabulkan, tentunya DPR-
RI sebagai representasi dari para Pemohon memiliki dasar hukum untuk
melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20A UUD
1945, sehingga kerugian konstitusional para Pemohon tidak terjadi lagi.
e. Bahwa berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b,Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13,dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi telah secara nyata mereduksi kepemilikan rakyat ataskekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yangberada dalam penguasaan negara, sehingga tujuan ”dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat” menjadi tidak terpenuhi, atau
16
dengan kata lain hak para Pemohon untuk dapat menikmati dan
memperoleh manfaat dari kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan
air yang berada dalam penguasaan negara tidak para Pemohon dapatkan
sebagaimana mestinya yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945;
f. Bahwa para Pemohon merasakan bahwa meskipun Mahkamah telah
membatalkan beberapa norma UU Migas melalui Putusan Nomor 002/PUU-
I/2003, namun tidaklah memberikan pengaruh positif bagi para Pemohon
dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, karena Pemerintah kerap kali
membuat peraturan di bawah UU dan kebijakan liberalisasi Industri Migas
yang jelas bertentangan dengan makna substantif dari Putusan Mahkamah
Nomor 002/PUU-I/2003, sehingga sangat merugikan hak konstitusional para
Pemohon sebagaimana yang diidealkan dalam Pasal 28C ayat (2) dan
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
11. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian UU Migas dan
mempunyai hubungan hukum (causal verband) khususnya Pasal 1 angka 19
dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UU Migas terhadap Pasal 28D ayat
(1), Pasal 11 ayat (2) Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat
(1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
12. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan para Pemohon telah
memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai para Pemohon pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 51 huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah
Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi
Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Karenanya, jelas pula keseluruhan para Pemohon memiliki hak dan
kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan
permohonan pengujian UU Migas terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 11 ayat
(2), Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28 ayat
(4), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
17
III. ALASAN DAN POKOK PERMOHONAN
Bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara mempunyai cita hukum (rechtsidee). Cita hukum
bangsa Indonesia inilah yang merupakan pemandu arah kehidupan bangsa
Indonesia. Pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum bangsa Indonesia untuk
membangun negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Di dalam
Pembukaan UUD 1945 terdapat Pancasila yang merupakan sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, yakni (1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. UUD 1945 adalah konstitusi bagi bangsa Indonesia yang dijiwai
oleh Pancasila norma fundamental bagi konstitusi itu sendiri. Pembentukan
hukum dalam perspektif ke-Indonesiaan adalah penjabaran Pancasila kedalam
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak
boleh tidak dijiwai Pancasila, dengan tidak munculnya suatu Undang-Undang
yang tidak menjiwai Pancasila maka Undang-Undang tersebut telah
mengkhianati nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, kebhinekaan dalam
ketunggal-ikaan hukum, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
UU Migas sejak awal pembentukannya menuai kontroversi, dikarenakan
tidak menjiwai Pancasila. Ketika reformasi bergulir, salah satu agenda
reformasi yang dibangun yang juga mempengaruhi konfigurasi politik ketika
pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi
sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain
menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan
pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya
pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk
memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah
bisnis migas di Indonesia.
Salah satu upaya desakan internasional melalui Memorandum of
Economic and Finance Policies (letter of Intent IMF) tertanggal 20 Januari
2000 adalah mengenai monopoli penyelenggaraan Industri Migas yang pada
18
saat itu dituding sebagai penyebab inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu
merajalela. Oleh karena itu, salah satu faktor pendorong pembentukan UU
Migas di tahun 2001 adalah untuk mengakomodir tekanan asing dan bahkan
kepentingan asing. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui Badan
Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU Nomor 8
Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi
berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.
Kepentingan internasional yang menyusupi dalam setiap pertimbangan politik
yang diambil dalam UU Migas menjadikan pembentukan UU Migas meskipun
dianggap melalui prosedur formal yang telah ditentukan, tetapi bisa menjadi
cacat ketika niat pembentukan UU Migas adalah untuk menciderai amanat
Pasal 33 UUD 1945. Sehingga penguasaan negara terhadap cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak hanyalah menjadi sebuah
ilusi konstitusional semata;
Selain dari itu, UU Migas telah cacat hukum sejak lahir atau bahkan
dapat dikatakan palsu, ini dikarenakan didalam konsideran mengingat
disebutkan bahwa UU Migas merujuk kepada ”Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah pada perubahan keduaUndang-Undang Dasar Tahun 1945”, Padahal di dalam kenyataannya Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3) tidak pernah mengalami perubahan, justru yang terjadi
adalah Penambahan Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) yang terjadi padaPerubahan Keempat UUD 1945.
Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6,Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyakdan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2),Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
1. Bahwa saat ini pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggunakan sistem Kontrak Kerja
Sama (KKS). Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang
dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq.
19
Menteri ESDM dan menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan migas nasional
sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Samasebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (19);
(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) palingsedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alamtetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; (b).Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;(c). modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atauBentuk Usaha tetap”;
Yang selanjutnya, diatur pendefinisiannya pada Pasal 1 angka 19 UU Migas.
”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrakkerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebihmenguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.“
Frasa ”atau bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU
Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak
lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Dengan frasa yang multitafsir tersebut, maka kontrak kerja sama akan
dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan didalam Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa “atau dikendalikan melalui Kontrak
Kerja Sama” menunjukkan adanya penggunaan sistem kontrak yang
multitafsir dalam pengendalian pengelolaan migas nasional. Keadaan yang
demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat
umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan
asas proporsionalitas kepada negara. Asas keseimbangan dinyatakan oleh
Herlien Budiono sebagai (i) asas yang bersifat etikal, sehingga keadaan
pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang, dan (ii)
asas keseimbangan sebagai asas yuridikal dan justice, maka ketika suatu
kontrak berkonstruksi tidak seimbang bagi para pihak, maka kontrak tersebut
dapat dinilai tidak seimbang. Asas Proporsionalitas menurut Sogar Simamora
didalam disertasinya mengemukakan bahwa adanya kewajiban yang setimpal
sepenanggungan. Keadaan yang demikian ini jelas sangat merendahkanmartabat negara, karena dalam kontrak kerja sama dalam UU Migas yang
berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi
20
atau korporasi swasta sehingga apabila terjadi sengketa, yang kontrak pada
umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa dan
mengadili sengketa sehingga, akibat hukumnya apabila negara kalah berarti
kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat
negara. Oleh karena itu, sebaiknya pihak yang mewakili Indonesia adalah
BUMN semacam pertamina tetapi tidak tunggal. Konsepsi yang demikian ini
cukup mencerminkan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi
yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana termaktub didalam
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, secara garis besar Mahkamah
menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tentang pengertian
”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh
negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula didalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)
dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya menurut
Mahkamah cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah
jika: “(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak; atau (iii) penting bagi negara tetapi tidak
menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara
tetapi menguasai hajat hidup orang banyak”. Hingga saat ini pengelolaan
Migas berdasarkan UU a quo tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid),
tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Lima ketentuan
tersebut merupakan satu kesatuan sehingga, hak untuk terpenuhi hajat hidup
para Pemohon yang juga merupakan hajat hidup bangsa Indonesia menjadi
terhambat dikarenakan sistem kontrak tidak memenuhi unsur-unsur kebijakan
(beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).
(tabel.1)
21
Tabel.1 Pemaknaan Pasal 33 UUD 1945
2. Bahwa lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas) adalah atas perintah
Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai
pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksanasebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa
Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang
bertugas mewakili negara untuk menandatangani kontrak, mengontrol dan
mengendalikan cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di
dalam Pasal 44 UU Migas bahwa:
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama KegiatanUsaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (3);
(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agarpengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara
Pasal 33UUD 1945
Pengawasan
Pengaturan
Kebijakan
Pengelolaan
Pengurusan
BentukPenguasaan
Dikuasai olehNegara
Kemanfaatanbagi rakyat
Pemerataanmanfaat bagi
rakyat
Partisipasirakyat
Penghormatanhak
masyarakatadat
Hukumyang
berkeadilan
Dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat
TujuanPenguasaan
KEA
DIL
AN
SO
SIA
L B
AG
I SEL
UR
UH
RA
KY
AT
IND
ON
ESIA
22
dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal baginegara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.;
(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)adalah:a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas
kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran WilayahKerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Samac. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan
yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu WilayahKerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapanganselain sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri
mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian
negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnyabagi negara.”
hal ini jelas-jelas mereduksi makna negara dalam frasa ”dikuasai negara”
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sistem
yang dibangun oleh Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 44 UU Migas menjadikan
seolah-olah BP Migas sama dengan negara, ini jelas berbeda dengan
makna pengelolaan sebagaimana yang dikehendaki Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3) UUD 1945. Selain itu, BP Migas bukan operator (badan usaha)
namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga
kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan
eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker,
truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara
sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri.
Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas telah menbonsai Pasal 33 ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang
telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan
tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi
mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan,
hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional;
3. Bahwa kedudukan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang mewakili
pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki komisaris/pengawas.
Padahal BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jelas ini
berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan
23
secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada
cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan yang
sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008
potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas
yang tidak tepat mencapai Rp. 345,996 triliun rupiah per tahun atau 1,7
milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali
menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti
akan merugikan negara yang tidak sedikit;
4. Bahwa Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan ”Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjaminefektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan pengolahan,
pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yangdiselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah
telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar
Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persainganusaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan
jantung dari UU a quo belum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan
Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu para Pemohon
merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo untuk mencabut
keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan liberalisasi
migas yang sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat (2)
yang menyatakan ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan ayat
(3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”;
5. Bahwa Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan ”PenyelenggaraanKegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjaminefektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan pengolahan,
pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yangdiselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukkan bahwa walaupun
24
Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat (2) tentang penetapan ”HargaBahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3 huruf b yang
merupakan jantung dari UU a quo belum dibatalkan secara bersamaan
dengan putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu
para Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo untuk
mencabut keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan
liberalisasi migas yang sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945 ayat (2) yang menyatakan ”cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara” dan ayat (3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”;
6. Bahwa Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan Usaha Hulu
dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan
Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usahaswasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan
Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukkan
bahwa Badan Usaha Milik Negara hanya menjadi salah satu pemain saja
dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri
untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan
bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai
hajat hidup orang banyak
7. Bahwa Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukanKegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan
Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas
menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk UsahaTetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan
usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayahkerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah
kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas
25
penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Badan
Usaha Milik Negara harus melakukan pemecahan organisasi secaravertikal dan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemenbaru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnyamasing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persainganterbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yangmenguntungkan, namun merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas
Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003
yang tidak mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan untuk
harga minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau tidak mau
sistem yang terbangun dalam Pasal 10 dan Pasal 13 bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945 dan tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
002/PUU-I/2003;
8. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan bahwa “Setiap Kontrak
Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secaratertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A menyatakan “(1) Dewan Perwakilan
Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan;
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur didalam pasal-
pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; (4)
Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur didalam undang-undang”.
Berdasarkan konstruksi yang demikian itu, maka KKS merupakan tergolong
26
ke dalam perjanjian internasional lainnya yang sebagaimana dimaksud
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yakni yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara harus mendapatkan persetujuan DPR. Pengaturan yang terdapat di
dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2)
dikarenakan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan berdasarkan UUD,
sedangkan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam
setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia.
Selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang
adanya Kontrak Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah
ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat
sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi
toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan mengandung di
dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi dan
kenyataan tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-aspek
mendasar dalam kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun kontrak
kerja sama bidang migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan tertulis
saja kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas,
maka pasal tersebut telah tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan kepada yang diungkapkan di atas, maka sampai pada
kesimpulan bahwa UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara,
kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga
menjadikan suatu UU yang tidak adil terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas
yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk
dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’.
Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia
ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan
aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-
korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD
27
1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia. Apabila DPR dan
Presiden hanya mampu diam dan membuat rakyat menunggu datangnya UU
Migas yang lebih bercorak ”merah putih” adalah suatu kenisbian, maka para
Pemohon berharap bahwa palu yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
palu yang diharapkan untuk dapat membatalkan UU yang bertentangan dengan
UUD 1945.
IV. PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, mohon kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 1 angka 19, Pasal 3 huruf b, Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13,
dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu:
Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan GasBumi Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 Oleh Karenanya Tidak Mempunyai Kekuatan HukumMengikat Secara Keseluruhan.
Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon
mengajukan alat bukti surat/tulisan sebagai berikut:
1 Bukti P – 1.1 Fotokopi Perubahan Anggaran Dasar Persyarikatan
28
Muhammadiyah Tahun 2010;
2 Bukti P – 1.2 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon I;
3 Bukti P – 1.3 Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia tentang Perubahan Anggaran Dasar
Persyarikatan Muhammadiyah Tahun 2010;
4 Bukti P – 2.1 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon II;
5 Bukti P – 2.2 Fotokopi Akta Pendirian Organisasi Hizbut Tahrir
Indonesia Nomor 09 Tahun 2005 di Notaris
Sarinandhe, Dj. S.H., Notaris Bekasi;
6 Bukti P – 2.3 Fotokopi Akta Perubahan Organisasi Hizbut Tahrir
Indonesia Nomor 03 Tahun 2008 di Notaris
Sarinandhe, Dj. S.H., Notaris Bekasi;
7 Bukti P – 2.4 Fotokopi Akta Pengesahan Susunan Pengurus
DPP Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia Periode
2007-2013 Nomor 09 Tahun 2008 di Notaris
Sarinandhe, Dj. S.H., Notaris Bekasi;
8 Bukti P – 2.5 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Organisasi
Hizbut Tahrir Indonesia di Dirjen Kesbangpol
DEPDAGRI Nomor 139/D.III.3/XII/2008 tertanggal 22
Desember 2008;
9 Bukti P – 3.1 Fotokopi AD/ART Persatuan Umat Islam (PUI);
10 Bukti P – 3.2 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Persatuan
Umat Islam (PUI) di Dirjen Kesbangpol Depdagri
Nomor 104/D.III.3/XII/2006 tertanggal 13 Desember
2006;
11 Bukti P – 4.1 Fotokopi KTP dan NPWP Pemohon IV;
12 Bukti P – 4.2 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Organisasi
Syarikat Islam Indonesia di Dirjen Kesbangpol
DEPDAGRI Nomor 117/D.III.3/III/2010 tertanggal 30
Maret 2010;
13 Bukti P – 4.3 Fotokopi Akta Perubahan AD Partai Syarikat Islam
Indonesia 1905 Nomor 64 Tahun 2004 di Notaris
29
Yonsah Minanda, SH., MH, Notaris Jakarta;
14 Bukti P – 4.4 Fotokopi AD/ART Syarikat Islam Indonesia;
15 Bukti P – 5.1 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon V;
16 Bukti P – 5.2 Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar PP Syarikat
Islam di Dirjen Kesbangpol Depdagri Nomor
09/D.III.3/II/ 2006 tertanggal 17 Februari 2006;
17 Bukti P – 5.3 Fotokopi Akta Pendirian Syarikat Islam Nomor 2
Tahun 2005 di Notaris Yudo Paripurno, SH. Notaris
Jakarta;
18 Bukti P – 6.1 Tidak diserahkan;
19 Bukti P – 6.2 Fotokopi Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan
Organisasi Persaudaraan Muslimin Indonesia
Dirjen Kesbangpol Depdagri Nomor Inventarisasi
82/D.I/IV/2003 tertanggal 17 Juni 2003;
20 Bukti P – 6.3 Fotokopi Akta Perubahan AD/ART dan Susunan
Pengurus Parmusi, Nomor 07 Tahun 2010. Notaris
Tatyana Indrati Hasjim, SH. Notaris Jakarta;
21 Bukti P – 7.1 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon VII;
22 Bukti P – 7.2 Fotokopi AD/ART Al-Irsyad AI-Islamiyyah Periode
1427-1432 H / 2006-2011 M;
23 Bukti P – 8.1 Fotokopi KTP Pemohon VIII;
24 Bukti P – 8.2 Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Majlis Tahkim
Luar Biasa (XXXVI) Syarikat Islam Indonesia Nomor
3 Tahun 2009 Notaris Dewi Maya Rachmandani
Sobari, SH., M.Kn. Notaris Tangerang;
25 Bukti P – 8.3 Fotokopi Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah
Tangga Pemuda Muslimin Indonesia. Tahun 2009;
26 Bukti P – 9 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon IX (Al
Jami'yatul Washliyah);
27 Bukti P – 10 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon X (Sojupek);
28 Bukti P – 11 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Achmad Hasyim Muzadi, H;
30
29 Bukti P – 12 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Drs. H. Amidhan;
30 Bukti P – 13 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Komaruddin Hidayat;
31 Bukti P – 14 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan DR. Eggi Sudjana, SH.,M.Si;
32 Bukti P – 15 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP
Pemohon Perorangan Marwan Batubara, M.Sc;
33 Bukti P – 16 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Fahmi Idris;
34 Bukti P – 17 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Moch Igbal Sullam;
35 Bukti P – 18 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Ichwan Sam;
36 Bukti P – 19 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Ir. H. Salahuddin Wahid;
37 Bukti P – 20 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Nirmala Chandra Dewi M, SH;
38 Bukti P – 21 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan H.M. Ali Karim, SH;
39 Bukti P – 22 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Adhie M. Massardi;
40 Bukti P – 23 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Ali Mochtar Ngabalin;
41 Bukti P – 24 Tidak diserahkan;
42 Bukti P – 25 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Laode Ida;
43 Bukti P – 26 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Sruni Handayani;
44 Bukti P – 27 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Hj. Juniwati T. Masjghun. S;
45 Bukti P – 28 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP
Pemohon Perorangan Nuraiman;
46 Bukti P – 29 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
31
Pemohon Perorangan Sultana Saleh;
47 Bukti P – 30 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Marlis;
48 Bukti P – 31 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP
Pemohon Perorangan Fauziah Silvia Thalib;
49 Bukti P – 32 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP
Pemohon Perorangan King Faisal Sulaiman, SH;
50 Bukti P – 33 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Soerasa, BA;
51 Bukti P – 34 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Mohammad Hatta;
52 Bukti P – 35 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan M. Sabil Raun;
53 Bukti P – 36 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan NPWP
Pemohon Perorangan Edy Kuscahyanto, S.Si;
54 Bukti P – 37 Tidak diserahkan;
55 Bukti P – 38 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Joko Wahono;
56 Bukti P – 39 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Dwi Saputro Nugroho;
57 Bukti P – 40 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan DR. A.M. Fatwa;
58 Bukti P – 41 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Hj. Elly Zanibar Madjid;
59 Bukti P – 42 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama
Pemohon Perorangan Jamilah;
60 Bukti P – 43.1 Fotokopi Kumpulan Tulisan Media, Harian Kompas,
Selasa 27 Maret 2012 Rubrik Opini, Judul:
1. Sulit Bertahan Jika Kebijakan Energi Minim
(Penulis: Ratna Sri Widyastuti/Litbang Kompas);
2. Menggugat Politik Anggaran;
3. Pertegas Politik Energi;
4. Ancaman Krisis Minyak;
Fotokopi Kumpulan Tulisan Media, Harian Kompas,
32
Bukti P – 43.2 Kamis 22 Maret 2012 Rubrik Opini, Judul:
1. Salah Kelola Sektor Migas (Penulis: M Kholid
Syeirazi);
2. Membangkitkan Potensi Panas Bumi;
61 Bukti P – 44 Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
62 Bukti P – 45 Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.
Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang telah didengar
keterangannya dalam persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai
berikut:
1. Ahli Dr. Kurtubi
Bahwa terdapat empat alasan utama mengapa Undang-Undang
Migas ini merugikan negara dan melanggar konstitusi yaitu:
1. Undang-Undang Migas ini telah menghilangkan kedaulatan negara atas
sumber daya migas yang ada di perut bumi negara indonesia.
2. Undang-Undang Migas ini telah merugikan negara secara finansial.
3. Undang-Undang Migas ini memecah struktur perusahaan dan industri
minyak nasional yang terintegrasi dipecah atas kegiatan usaha hulu dan
kegiatan usaha hilir atau unbundling.
4. Dengan Undang-Undang Migas ini sistem pengelolaan cost recovery
yang diserahkan BP Migas merugikan negara.
Berdasarkan empat alasan tersebut, Ahli akan menjelaskan satu
persatu, pertama, Undang-Undang Migas ini menganut pola hubungan
business to government (B to G) dengan pihak investor atau perusahaan
minyak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 angka 23 tentang definisi BP
Migas yang dibentuk untuk mengendalikan kegiatan usaha hulu. Pasal 4
ayat (3) tentang Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan lalu
membentuk BP Migas. Pasal 11 ayat (1) tentang kegiatan usaha hulu yang
dilaksanakan oleh investor berdasarkan kontrak dengan BP Migas. Pasal 44
ayat (3) huruf b menugaskan kepada BP Migas untuk melaksanakan
penandatangan kontrak dengan pihak investor atau perusahaan minyak.
Ketentuan dalam Undang-Undang Migas tersebut di atas menentukan yang
menandatangani kontrak kerja sama dengan kontraktor atau perusahaan
33
minyak adalah pemerintah yang diwakili oleh BP Migas, oleh karena
pemerintah yang berkontrak maka kedaulatan negara menjadi hilang sebab
posisi pemerintah menjadi sejajar dengan kontraktor. Pemerintah menjadi
bagian dari para pihak yang berkontrak. Pemerintah men-downgrade dirinya
sendiri untuk sejajar dengan perusahaan minyak atau investor.
Klausula dalam produk sosiaring contract yang standar, yang dapat
menjamin kedaulatan negara menjadi tidak berlaku, menjadi tidak
diterapkan karena pemerintah ikut berkontrak. Klausula yang standar itu
adalah:
1. The law of the republic of Indonesia shale apply to this contract.
2. No term or perfition of this contract including the agreement of the parties
to submit arbitration here under shale prevent or limit the government of
the republic of the Indonesia from exercising in alienable rights.
Pola hubungan dengan investor atau kontraktor menurut Undang-
Undang Migas yang berpola B to G menyebabkan pemerintah sejajar. Jadi
tidak bisa mengeksekusi kebijakan ataupun regulasi atas pengelolaan
kekayaan migas kalau pihak kontraktornya tidak setuju.
Jika polanya B to B dan pemerintah berada di atas kontrak, dapat
menjamin kedaulatan negara. Pemerintah bisa mengeksekusi regulasi
undang-undang untuk kepentingan bangsa dan negara tanpa persetujuan
kontraktor, karena itu berdaulat, sedangkan B to G tidak.
Kedua, Undang-Undang Migas menciptakan sistem yang jelas-jelas
merugikan negara secara finansial, sehingga pengelolaan kekayaan migas
nasional kemudian menyimpang, yang berakibat tidak lagi untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat karena dikelola secara tidak benar, tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang efisien untuk
kepentingan pemiliknya (stakeholder-nya). Hal itu terjadi karena bagian
negara yang berupa minyak dan gas yang berasal dari kontraktor minyak
dengan perbandingan 85%:15%, 85%-nya bagian negara tidak dapat dijual
langsung oleh BP Migas, namun menunjuk pihak ketiga. Ini jelas-jelas
merugikan negara, sekalipun di dalam Undang-Undang Migas disebutkan
ada anak kalimat untuk sebesar-besar keuntungan negara. Tetapi begitu
menunjuk pihak ketiga, pihak ketiga ini akan memperoleh fee, memperoleh
keuntungan yang mengurangi pendapatan negara yang kalau dijual sendiri
34
oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negaranya, akan dapat jauh lebih
efrisien, sehingga sesuai dengan amanat konstitusi. Sementara untuk gas,
di lapangan tangguh ditemukan dan dioperasikan oleh perusahaan minyak
asing yang menurut product session sharing contract 60% negara, 40%
perusahaan asing.
Ketiga, Undang-Undang Migas ini mendesain secara terpecah
struktur perusahaan minyak nasional atau struktur industri migas nasional,
devide et impera, metode kolonial. Usaha hulu dipisahkan dengan usaha
hilir, ini ada dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Migas. Pengelolaan unbundling bertentangan
dengan konstitusi, secara jelas Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
menyebutkan bahwa kekayaan migas diperut bumi dikuasai negara.
Kekayaan migas, kekayaan apapun diperut bumi dikuasai negara dan
dipakai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Studi-studi di bidang
ekonomi perminyakan menunjukkan bahwa perusahaan minyak yang
terintegrasi, yang beroperasi di hulu dan hilir jauh lebih bagus, lebih efisien
daripada perusahaan minyak yang hanya bergerak di hilir atau bergerak di
hulu.
Berikutnya, Undang-Undang Migas ini menjadikan sistem
perminyakan Indonesia sangat tidak efesien, tidak sejalan dengan prinsip
good cooperate governments, menggiring terbukanya lubang inefisiensi
yang sangat menganga. Pengelolan cost recovery oleh BP Migas, sekarang
sekitar $15 miliar. Cost recovery itu adalah biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh perusahaan minyak/investor. Baik biaya dalam rangka
mencari minyak, biaya eksplorasi, biaya eksploitasi, biaya memproduksikan
minyak, maintenance sumur dan seterusnya, dikembalikan lagi oleh negara
biaya-biaya itu. Proses cost recovery mulai dari awal, perusahaan minyak
asing mengajukan plain of development ke BP Migas. BP Migas
memproses, lalu keluar work program and budget. Lalu authority search
ekspenditur, otoritas untuk menggunakan uang. Lalu eksekusinya
pengadaan barang dan jasa untuk perusahaan minyak asing, semua
dibawah BP Migas. Sementara, secara struktur organisasi, BP Migas ini
tidak dilengkapi oleh lembaga dewan komisaris. Ini sistem yang jelas-jelas
35
tidak efisien, mengundang markup luar biasa yang merugikan bangsa dan
negara, menyebabkan pengelolaan migas kita tidak bisa lagi untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Mungkin quote-unquote menjadi sebesar-besar
kemakmuran oknum-oknum tertentu, seperti itu. Tidak ada di dunia ini
perusahaan yang hanya dewan direksi, tidak ada komisaris, BP Migas tidak
memiliki alat mekanisme kontrol terhadap perusahaan.
2. Ahli Dr. Ichsanudin Noorsy
Bahwa tesis yang disampaikan oleh Konfrensi Meja Bundar yang
menyatakan dominasi perusahaan asing itu menghambat pertumbuhan
ekonomi nasional, sebagaimana diminta oleh state department melalui
Konferensi Meja Bundar itu, hingga sekarang tetap berjalan.
Berdasarkan suatu penelitian, semakin dominan perusahaan asing,
investasi asing dan korporasi asing di suatu negara, maka semakin timpang
perekonomian, semakin kuat konflik sosial dan konflik korporasi. Tesis
kedua, dominasi asing semakin terus mengakibatkan denasionalisasi dan
akan mengakibatkan surplus ekonomi nasional keluar. Lalu yang ketiga,
industri domestik seperti yang dirasakan sekarang oleh banyak pihak akan
berhadapan dengan posisi kekuatan asing, dan pangsa pasar domestik
akan dibanjiri barang impor.
Bahwa government to business sesungguhnya baik pada production
contract maupun kontrak karya, karena mereka menyatakan kontrak-
kontrak karya mereka bisa disetarakan dengan konstitusi karena itu
kemudian sulit sekali pemerintah melakukan renegosiasi.
Bahwa sesuai dokumen yang ahli miliki sangat jelas dibuktikan
bahwa yang merancang Undang-Undang Migas adalah US Departement
Energy (USAID). Dalam dokumen ini bahkan dibuktikan jika masyarakat
marah karena kenaikan energi, suap secara politik. Oleh karena itu, USAID
bekerja sama dengan Eddy Bidden dari Bank Dunia, termasuk dengan
sejumlah lembaga multilateral, bagaimana merealisasikan Undang-Undang
ini. hal tersebut juga menjadi salah satu bukti bagaimana diterjemahkan ke
dalam perjanjian hutang luar negeri dengan pemerintah, yaitu perjanjian
Pemerintah Republik Indonesia dengan Bank Dunia yang memerintahkan
agar diberikan BLT hanya karena kenaikan BBM. Adapun perjanjian
36
tersebut bernomor 4712-IND, dibuat Desember 2003 dan ditandatangani
oleh Prof. Dr. Boediono.
Bahwa latar belakang itu melahirkan dua Undang-Undang, yaitu
Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2001.
Bahwa istilah yang dimainkan oleh pemerintah ada tiga istilah. Istilah
pertama, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Kita akan menemukan
pemerintah mengganti istilah, lalu kemudian pemerintah sendiri mengakui
bahwa istilah-istilah tersebut minimal diakui oleh Alm. Widjajono
Partowidagdo dan diakui oleh Bambang Brodjonegoro yang pada
hakikatnya adalah memberlakukan mekanisme pasar bebas.
Istilah ke dua, harga keekonomian. Istilah ini diaplikasikan dengan
rancangan blueprint BPH Migas. BPH Migas menurut blueprint BPH 2004-
2020 menyatakan, “Pasar tahap pasar terbuka 2010, harga BBM
diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.”
Merujuk pendapat almarhum, merujuk pendapat Bambang Sumerang
Brodjonegoro, dan bahkan dalam perdebatan dengan Purnomo Yusgiantoro
sebagai Menteri ESDM di Soegeng Sarjadi, yang tunduk adalah mekanisme
pasar bebas.
Berikutnya pada blueprint pengelolaan energi nasional yang dibuat
oleh Kementerian ESDM dengan rujukan Perpres 5 Tahun 2006. Isinya
sama, dari mulai sasaran kendala sampai dengan strategi, bahkan sampai
pada program utama menuju pada mekanisme pasar bebas total.
Yang kedua, seperti yang terdapat Undang-Undang 30 Tahun 2007
dalam Pasal 7 menyatakan, “Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai
keekonomian berkeadilan.” Yang dimaksud nilai keekonomian berkeadilan
adalah suatu nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi, termasuk
biaya lingkungan, dan biaya konservasi, serta keuntungan yang dikaji
berdasarkan kemampuan masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah.
Kasus yang sama tentang penggunaan istilah harga merujuk pada
persaingan usaha yang sehat dan wajar ditetapkan lagi dalam Undang-
Undang 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 33 ayat (1)
menyatakan, harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik
37
ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat. Harus diterjemahkan
bahwa pengertian usaha yang sehat seluruhnya tunduk pada pengertian
ekonomi dan itu berarti keuntungan adalah segala-galanya.
Bahwa bahasa-bahasa yang muncul dalam The National Security
Strategy of US seluruhnya diaplikasikan dengan baik dalam rujukan
perundang-undangan, khususnya dalam rangka liberalisasi. Hal ini
ditandatangani oleh George Walker Bush, White House, 17 September
2002.
Berikutnya adalah bagaimana Indonesia ditagih janjinya oleh Sekjen
OECD dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk
memenuhi komitmennya mencabut subsidi BBM, ada dua kalimat penting di
sini. Diminta memenuhi komitmen, yang kedua mencabut subsidi. Dalam
bahasa yang lain ini merupakan bukti bahwa Pemerintah Republik
Indonesia mempunyai komitmen untuk mencabut subsidi. Ada dua alasan
Sekjen OECD menyatakan ini, yaitu pertama, pertumbuhan ekonomi, yang
kedua meningkatnya purchasing power. Dari hal tersebut sesungguhnya
ada persoalan sangat strategis yang dibangun oleh investor asing dari hulu
sampai dengan ke hilir, yang dalam pandangan Dr. Kurtubi disebut sebagai
unbundling yakni, metode deviden imperal, tetapi dalam pandangan ahli,
unbundling dalam perspektif keuangan, unbundling dalam perspektif
kelembagaan sama dengan bertentangan dengan teori skala ekonomi.
Fakta sekarang, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara penghasil gas
tetapi tidak berdaya untuk memenuhi gas bagi rakyatnya sendiri.
Pada 15 Juli 1974 Majalah Time bertanya, “siapa pemimpin besar
paling berpengaruh di dunia?” Semua orang menjawab seorang Yahudi
bernama Jelius Marseman mengatakan, “Bukan nama, tapi kriteria.”
Diterima, kriterianya 3:
1. Melindungi pengikut atau rakyatnya.
2. Mencerdaskan atau mensejahterakan pengikut atau rakyatnya.
3. Menumbuhkan dan mengembangkan keyakinan pengikut atau rakyat
bahwa perjalanan di depan adalah benar.
Butir ketiga ini adalah konstitusi, tetapi kata kuncinya adalah betapa
hebatnya apa yang dirumuskan oleh Michael Hart di Amerika yang menjadi
38
buku sebagai 100 tokoh ternama di dunia, ternyata Indonesia telah
merumuskannya pada 18 Agustus 1945.
3. Ahli Kwik Kian Gie
Dalam angka-angka dikatakan bahwa dalam hal harga minyak
Indonesia yang dikenal dengan nama Indonesian Crude Price (ICP). US
Dollar 105 per barel, penyedotan atau lifting minyak Indonesia 930.000
barel per hari. Konsumsi BBM rakyat Indonesia 63.000.000 kiloliter per
tahun dan beberapa asumsi lainnya. Pemerintah Indonesia harus
mengeluarkan subsidi dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 123,6 triliun.
Uang tunai sebesar ini tidak dimiliki oleh pemerintah sehingga APBN
jebol. Maka pemerintah harus menaikan harga BBM jenis premium yang
selalu disebut dengan istilah BBM bersubsidi. Pemerintah, para ilmuan,
pengamat, pers, dan komponen elit bangsa lainnya meyakinkan rakyat
Indonesia tentang pendapatnya yang sama sekali tidak benar dan bahkan
menyesatkan itu. Pemerintah yang dalam berbagai pernyataan dan
penjelasannya mengatakan, “Harus mengeluarkan uang tunai untuk subsidi
BBM,” ternyata menulis yang bertentangan di dalam nota keuangan dan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun
2012.
Dalam nota keuangan tahun 2012 ini, tercantum angka subsidi
sebesar Rp123,6 triliun yang tercantum pada halaman 4.VII dalam bentuk
tabel nomor 4.III dengan judul “Subsidi sebesar Rp 123,5997 triliun” atau
dibulatkan menjadi Rp 123,6 triliun.
Dalam nota keuangan terdapat tiga halaman lainnya yang
mencantumkan pemasukan uang tunai dari BBM yang sama sekali tidak
pernah disebut oleh pemerintah. Tiga halaman itu sebagai berikut.
Pada halaman 3.VI, terdapat tabel III.3 dengan judul “Penerimaan
Perpajakan Tahun 2012.” Dalam tabel ini terdapat pos pajak penghasilan
migas sebesar Rp 60,9156 triliun. Jadi, ada uang tunai yang masuk dari
pajak penghasilan migas sebesar Rp 60,9156 triliun yang oleh pemerintah
sendiri ditulis di dalam nota keuangan sebuah dokumen resmi.
Pada halaman III.12, terdapat tabel III.7 dengan judul
“Perkembangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Migas) Tahun 2012.”
39
Dalam tabel ini terdapat pos penerimaan SDA migas sebesar Rp159,4719
triliun. Jadi, ada uang tunai yang masuk lagi sejumlah Rp 159,4719 triliun.
Pada halaman 4.43, terdapat tabel IV.5 dengan judul “Transfer ke
Daerah” dengan penjelasan dana bagi hasil sejumlah Rp 32,3762 triliun.
Kita lihat ada dua angka penerimaan, yaitu dari pajak penghasilan
migas sebesar Rp 60,9156 triliun dan dari pemasukan negara bukan pajak
sebesar Rp 159,4719 triliun. Dua angka ini merupakan arus uang tunai yang
masuk ke dalam kas negara sejumlah Rp 220,3875 triliun yang tidak pernah
disebut dalam kaitannya dengan mengemukakan apa yang dinamakan
subsidi.
Nota keuangan mencantumkan dua angka pengeluaran, yaitu yang
disebut subsidi sebesar Rp 123,5997 triliun dan yang dinamakan dana bagi
hasil migas sebesar Rp 32,3267 triliun. Kita lihat bahwa dua angka
pemasukan, jumlahnya Rp 220,3875 triliun dikurangi dengan dua angka
pengeluaran yang Rp 155,879 triliun, menghasilkan kelebihan uang tunai
sejumlah Rp 64,5116 triliun. Namun, pengeluaran uang tunai yang
dinamakan dana bagi hasil bukan pengeluaran oleh rakyat Indonesia, ini
adalah pemasukan uang tunai ke dalam kas negara yang diteruskan
kepada daerah dalam rangka otonomi keuangan, maka seyogianya angka
ini dianggap sebagai pemasukan uang tunai. Sehingga kalau ditambahkan,
keseluruhan kelebihan uang tunai atau surplusnya menjadi Rp 96,7878
triliun. Jadi, kalau dikatakan pemerintah mengeluarkan uang tunai sejumlah
Rp 123,5997 triliun guna membayar subsidi BBM, jelas tidak benar. Yang
benar ialah pemasukan uang tunai netto sebesar Rp 96,8 triliun.
Fraksi-fraksi koalisi di DPR menyimpulkan bahwa jika harga ICP di
pasar internasional mencapat US$105 per barel ditambah dengan 5% atau
mencapai US$ 120,75 per barel, maka APBN akan jebol. Karena itu,
pemerintah diperbolehkan menaikkan harga bensin premium tanpa
persetujuan dari DPR. Kesepakatan ini dituangkan dalam apa yang terkenal
dengan Pasal 7 ayat (6a). Kenaikan harga di pasar internasional hanya
berdampak pada volume minyak mentah yang harus diimpor, hanya yang
harus diimpor.
Kesepakatan DPR mengatakan bahwa bilamana harga ICP
mencapai 150% atau plus 15% dari $150 per barel, pemerintah boleh
40
menaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR karena devisit yang
diakibatkan oleh subsidi terlampau besar, sehingga tidak tertahankan lagi.
Dari susunan angka-angka dalam tabel II, terlihat jelas bahwa pemerintah
masih kelebihan uang tunai sejumlah Rp 74,1915 triliun, walaupun harga
ICP mencapai $ 120,75 per barel. Dari tabel dapat dilihat bahwa kenaikan
negara ICP di pasar internasional hanya berdampak pada bagian yang
harus diimpor saja atau hanya berdampak untuk 25,1292 miliar liter.
Kebutuhan lainnya yang 37,7808 miliar liter dipenuhi dari minyak yang ada
dalam perut bumi Indonesia sendiri. Maka dampaknya pengelolaan ekstra
sebesar 22,563 triliun. Sehingga masih ada kelebihan uang tunai sebesar
Rp 74,1915 triliun, walaupun harga ICP menjadi $ 120,75 per barel.
Secara ideologis, elit bangsa Indonesia telah berhasil di brainwash.
Sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau
refleks, merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam
BBM harus dinilai dengan harga yang tertentu oleh mekanisme pasar yang
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Pasal 28 ayat (2) disebut
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Harga yang terbentuk di pasar internasional melalui institusi New
York Mercantile Exchange yang terkenal dengan nama NYMEX, tidak ada
hubungannya dengan harga pokok BBM yang minyak mentahnya milik kita
sendiri.
Harga pokok pengadaan bensin yang berasal dari minyak mentah
milik sendiri karena digali dalam perut bumi Indonesia, terdiri dari
pengeluaran-pengeluaran uang tunai untuk kegiatan-kegiatan penyedotan
atau lifting, pengilangan atau refining, dan biaya pengangkutan rata-rata ke
pompa-pompa bensin atau transporting. Keseluruhan biaya-biaya ini
sebesar $10 per barel. 1 barel sama dengan 195 liter dan dengan asumsi
nilai tukar $1 sama dengan Rp 9.000,00 maka biaya dalam bentuk uang
tunai yang harus dikeluarkan sebesar 10 dibagi 159 dikalikan Rp 9.000,00
atau Rp 566,00. Uang tunai yang harus dikeluarkan untuk mengadakan
bensin dari minyak mentah, dari bawah perut bumi Indonesia adalah
Rp 566,00.
Dengan demikian harga pokok dari satu liter bensin premium sebesar
Rp 6.509,00. Yaitu, atas dasar harga minyak mentah di pasar internasional
41
sebesar $105 per barel, 1 barel sama dengan 159 liter. Sehingga dengan
asumsi $1 sama dengan Rp 9.000,00 yang diambil oleh APBN 2012.
Komponen minyak dalam satu liter bensin premium adalah 105 dibagi 159
dikali Rp 9.000,00 sama dengan Rp 5.934,3 ditambah dengan biaya lifting,
refining, dan transporting sebesar Rp 566,00 per liter menjadilah bensin
premium dengan harga pokok sebesar Rp 6.509,00 per liter.
Seperti diketahui harga bensin premium Rp 4.500,00 per liter.
Sehingga pemerintah merasa merugi, merasa merugi Rp 2.009,00 per
liternya. Yaitu, Rp 6.509,00 dikurangi Rp 4.500,00. Dengan kata lain,
pemerintah merasa memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang
membeli bensin premium sebesar Rp 2.009,00 untuk setiap liternya. Karena
menurut pemerintah, konsumsi BBM dengan harga Rp 4.500,00 per liter itu
seluruhnya 61,62 juta kilo liter atau 61,62 miliar liter, pemerintah merasa
merugi memberikan subsidi kepada rakyat pengguna bensin sejumlah
123,59 triliun. Angka inilah yang tercantum dalam nota keuangan tahun
2012. Tabel 4. III, dengan judul subsidi halaman 4.7.
Jelas bahwa pola pikir ini didasarkan atas ideologi fundamentalisme
mekanisme pasar yang diterapkan pada minyak dan BBM yaitu bahwa
harga BBM harus ditentukan oleh mekanisme pasar. Pemerintah tidak boleh
ikut campur tangan dalam menentukan harga BBM yang diberlakukan buat
rakyatnya, walaupun minyak mentah yang diolah menjadi BBM adalah milik
rakyat itu sendiri, pemerintah yang mewakili rakyat pemilik minyak di bawah
perut bumi tanah airnya, tidak boleh menentukan harga yang diberlakukan
buat rakyat.
Secara logis deduktif dan objektif dapat dikenali bahwa
pemberlakuan harga minyak di pasar dunia buat rakyat Indonesia yang
membeli minyaknya sendiri dimaksud untuk membuat rakyat Indonesia
secara mendarah daging berkeyakinan bahwa harga yang dibayar untk
BBM dengan sendirinya haruslah harga yang berlaku di pasar dunia. Kalau
ini sudah merasuk ke dalam otak dan darah dagingnya seluruh bangsa
Indonesia, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia bisa menjual
BBM di Indonesia dengan memperoleh laba besar.
Seperti diketahui, sekitar 90% dari minyak Indonesia di eksploitasi
oleh perusahaan-perusahaan asing atas dasar kontrak bagi hasil. Pihak
42
Indonesia memperoleh 85% dan asing 15%, tetapi dalam kenyataannya,
pembagian yang sekarang ini, pihak Indonesia memperoleh 70% dan para
kontaktor asing memperoleh 30%. Sebabnya ialah adanya ketentuan bahwa
biaya eksplorasi harus dibayar terlebih dahulu dalam natura atau dalam
bentuk minyak mentah yang digali dari bumi Indonesia.
Para kontraktor asing menggelembungkan, mark-up biaya-biaya
eksplorasinya sehingga sampai saat ini setelah sekian lamanya tidak ada
eksplorasi lagi, biaya-biaya eksplorasi yang dinamakan recovery cost
masih saja dibayar terus. Jumlahnya 15% dari minyak mentah yang digali,
maka kalau volume seluruh penggalian minyak sebanyak 930.000 barel per
hari, yang digali oleh kontraktor asing sebanyak 90% atau 837.000 barel per
hari. Hak kontraktor asing 30%, tetapi karena yang 15% dianggap sebagai
penggantian biaya-biaya eksplorasi yang disebut recovery cost, artinya
diikuti saja jalan pikiran mereka, dengan menganggap netto-nya
memperoleh 15%. Ini berarti bahwa keseluruhan kontraktor asing yang
beroperasi di Indonesia setiap harinya mendapat minyak sebanyak 15%
dari 837.000 barel atau 125.500 barel per hari atau 19.954.500 liter per hari.
Sebagaimana disaksikan bahwa Shell, Petronas dan lain-lain, sudah
membuka pompa-pompa bensinnya. Mereka hanya menjual jenis bensin
yang setara dengan Pertamax dengan harga sekitar Rp 10.000,00 per liter,
artinya mereka mempunyai hak memiliki 19.954.500 liter per hari. Biaya
untuk melakukan pengedukan, pengilangan, dan transportasi sampai ke
pompa-pompa bensin mereka sebesar Rp. 566,00 per liter, dijual dengan
harga Rp. 10.000,00 per liter, labanya Rp. 9.434,00 per liter. Volumenya
19.954.500 liter per hari, maka labanya per hari dari konsumen Indonesia
dengan menjual bensin yang minyak mentahnya dari perut bumi Indonesia
sebesar Rp. 185.255.847.000,00 per hari, yaitu Rp. 19.954.500,00 x Rp.
10.000,00 dipotong dengan jumlah yang sama dikali uang tunai yang
dikeluarkan Rp. 566 atau Rp. 188.255.847.000,00 per hari. Dengan
demikian dalam satu tahun laba keseluruhan kontraktor asing yang bekerja
di Indonesia sebesar Rp. 68,71 triliun.
4. Ahli Irman Putra Sidin
Bahwa salah satu unsur kemakmuran rakyat selain ketersediaan
yang cukup, distribusi yang merata, yaitu mutu yang berkualitas dan
43
harganya murah dari bumi, air, serta kekayaan alam, serta cabang produksi
yang dikuasai oleh negara. Kalau membandingkan Rp 4.500,00 per liter
dengan harga Rp 9.500,00 per liter, maka pasti kualifikasi murah adalah
harga yang lebih rendah dengan asumsi perbedaan kualitas dan dampak
yang tak signifikan.
Bahwa Putusan Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 Pengujian Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meletakkan kerangka
konstitusional yang kongkrit akan sistem ekonomi konstitusional. Dalam
putusan tersebut, konsep frasa dikuasai oleh negara, haruslah diartikan
mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang bersumber
dan berasal dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan, bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektifitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif
dikonstruksikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memberikan mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan,
pengaturan, pengelolaan, pengawasan, untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan,
lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR dan bersama dengan pemerintah, dan
regulasi oleh eksekutif. Fungsi pengelolaan dilakukan oleh mekanisme
pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen
badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara sebagai
instrumen kelembagaan melalui makna negara c.q. pemerintah
mendayagunakan penguasaanya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q.
pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
44
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar
dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari 5 konsep frasa dikuasai negara seperti yang terbangun dalam
putusan MK tersebut, yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasan hanya konsep pengaturan yang secara
tegas menyebutkan keterlibatan institusi perwakilan rakyat seperti DPR. Hal
ini bisa jadi semata karena DPR hanya dipandang sebagai pranata legislasi
belaka, padahal di sampingnya juga melekat pranata anggaran dan pranata
pengawasan.
Sedangkan konsep lainnya frasa dikuasai negara, seperti kebijakan,
pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan seolah memberikan
pembenaran otoritas otonom pemerintah dalam segala wujudnya untuk bisa
bertindak secara mandiri. Kemandirian dalam bertindak cukup dengan
mendapatkan pembenaran atribusi atau delegasi dalam teori perundang-
undangan dari sebuah undang-undang yang dilahirkan bersama Presiden
dan DPR. Hal ini pun perlu menjadi kontemplasi generik dalam hukum
ketatanegaraan bahwa konsepsi kata negara tidak bisa direduksi hanya
pemerintahanan, cukup dengan kekuatan teori atribusi atau delegasi dalam
ilmu perundang-undangan, maka putuslah peran konstitusional institusi
daulat rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat dalam penjabaran konsep-
konsep frasa dikuasai negara.
Bahwa karena negara Indonesia dianggap sudah eksis sehingga
yang perlu dipertegas adalah pemerintahnya, mengingat teori keberadaan
sebuah negara yaitu terpenuhi wilayah, penduduk, dan pengakuan.
Sehingga afirmasi dari pembukaan konstitusi adalah pemerintah negara
Indonesia atau asumsi kedua bisa juga bahwa pusat gravitasi negara
Indonesia nantinya adalah pemerintah. Dimana pemegang kekuasaan
pemerintahan adalah presiden sekaligus sebagai kepala negara yang juga
memegang kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Artinya bahwa
negara otomatis adalah c.q. pemerintah c.q. presiden c.q. menteri c.q.
lembaga yang berada dalam kendali presiden, kendali eksekutif yang salah
satu implikasinya bisa melakukan tindakan kepenguasaan oleh negara
terhadap bumi, air, kekayaan alam, serta cabang produksi penting dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak.
45
Konsepsi konstitusional yang berlaku saat ini tentang dikuasai
negara seperti yang ditafsirkan MK dalam putusannya, ada 2 konsep. Frasa
dikuasai negara yang tidak serta-merta hal tersebut menjadi otoritas otonom
pemerintah atau setidak-tidaknya dibenarkan secara konstitusional. Kedua
konsepsi tersebut adalah pertama fungsi pengelolaan dilakukan melalui
mekanisme pemilikian saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara
sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara pemerintah harus
melakukan relasi kelembagaan dengan institusi perwakilan rakyat baik
DPR, DPD, dan/atau DPRD provinsi kabupaten/kota dalam
mendayagunakan kepenguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu
untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Yang kedua adalah fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh
negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar
dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya
fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat dalam
kontrak kerja sama haruslah terlebih dahulu melalui relasi konstitusional
yang terbangun antara pemerintah dengan institusi perwakilan rakyat
tersebut. Bentuk dari relasi tersebut bentuknya dapat konsultasi atau
konfirmasi. Sehingga forum konsultasi tidak menghambat bagi institusi
perwakilan rakyat untuk mengeluarkan sikap tidak menyetujui atau menolak
proposal tersebut.
Sebuah kontrak kerja sama yang mau ditandatangani tidaklah harus
mengalami lompatan tafsir menjadi konstruksi perjanjian internasional.
Bahwa hanya dengan konsepsi perjanjian internasional saja untuk
kemudian mendapatkan pembenaran bahwa kontrak kerja sama dengan
pihak lain harus sepengetahuan bahkan persetujuan DPR terlebih dahulu.
Bahwa dalam rezim Pasal 33 UUD 1945 ketika negara melakukan relasi
dalam rangka pelaksanaan konsep dikuasai negara, sering harus
melakukan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan pihak lain. Namun,
tidaklah dengan sendirinya semua perjanjian atau kontrak yang dilakukan
oleh negara adalah terkonstruksi sebagai perjanjian internasional. Namun,
46
meski bukan terkonstruksi sebagai perjanjian internasional, ketika dikaitkan
dengan konsepsi dikuasai negara kemudian ditransplantasikan fungsi
pengawasan oleh wakil rakyat, maka mekanisme persetujuan adalah
mekanisme yang harus dijalankan.
Konsep persetujuaan lembaga perwakilan rakyat lainnya untuk
sebuah kontrak kerja sama dalam rangka pelaksanaan penguasaan oleh
negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak, atau bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Konsep persetujuan ini adalah persetujuan wakil rakyat
lainnya terhadap segala kebijakan pemerintah tersebut dalam rangka fungsi
pengawasan lembaga perwakilan rakyat. Namun sebagai catatan jikalau
sebuah kontrak kerja sama melibatkan subjek hukum internasional atau
lainnya yang ternyata menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka
kontrak kerja sama tersebut haruslah dikonstruksikan sebagai perjanjian
internasional.
konsepsi negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak
bisa dilepaskan dengan konsepsi rakyat yang hidup nyata sebagai
instrumen manajemen ketatanegaraan. Instrumen rakyat dalam
ketatanegaraan adalah lembaga yang anggotanya dipilih melalui pemilu
sebagai anggota yang terkirim mewakili rakyat. Oleh karenanya rakyat
dalam konsepsi frasa dikuasai negara tak bisa diputus konsepsi
kepemilikannya atas bumi, air, kekayaan alam, serta cabang produksi
penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk kemudian ikut
mengambil bagian dalam relasi putusan dengan pemerintah akan fungsi
pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan dari konsep frasa dikuasai
negara.
Oleh karenanya institusi perwakilan rakyat memang harus tegas
terlibat dalam menjalankan konsepsi kepenguasaan negara. Tidak hanya
dalam hal pengaturan, namun juga pengelolaan dan pengawasan meski
dalam batas tertentu perannya tak perlu terlalu jauh.
47
Antara Pasal 11 UUD 1945 mengenai Perjanjian Internasional
dengan Pasal 33 UUD 1945, tidak harus disatukan untuk mendapatkan
istilah persetujuan DPR. Sebab bisa jadi sebuah kontrak kerja sama itu
tidak tergolong sebagai perjanjian internasional tetapi karena konsepsi
dikuasai oleh negara maka harus mendapatkan persetujuan DPR.
5. Ahli Margarito Kamis
Berkenaan dengan penunjukkan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak pernah diubah itu, namun
dinyatakan dalam undang-undang yang kita uji sekarang ini sebagai yang
telah diubah. Hal ini merupakan kesalahan fatal. Dengan nalar
konstitusionalisme macam apa, ahli-ahli hukum konstitusi harus membenar
pasal dan/atau ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pernah
diubah baik oleh pembentuknya maupun melalui tafsir hakim, memiliki nilai
hukum sebagai telah diubah.
Menunjuk pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik untuk
memastikan membenarkan kewenangan organ pembentuk Undang-Undang
maupun materi muatan untuk memastikan organ pembentuk undang-
undang maupun materi muatan yang hendak diatur, sama sekali tidak
memastikan mutu keabsahan, kegunaan, wewenang para pembentuk
Undang-Undang dan legitimasi atas materi undang-undang yang dibuat.
Menujuk pasal dan ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah
memastikan bahwa tindakan hukum para pembentuk Undang-Undang
adalah memiliki dasar hukum, dasar konstitusional. Bila dasar materinya
salah, bagaimana mungkin menentukan keabsahan konstitusional atas
bukan hanya materi muatan, tetapi juga Undang-Undang itu.
Sesuatu yang legitim tidak serta-merta legal, legalitas bersadar pada
dua hal yang berbeda timbangan hukumnya dalam ilmu hukum. Legalitas
bersandar pada norma, sementara legitim atau legitimasi bersandar pada
pertimbangan-pertimbangan politik, sesuatu yang abstrak secara politik
tidak serta-merta absah secara hukum. Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), sampai saat ini tidak pernah diubah baik formil maupun materiil. Tak
sekalipun dalam sidang-sidang umum MPR tahun 1999 sampai dengan
2002 yang menyepakati perubahan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
48
Undang-Undang Dasar 1945 yang mana di Indonesia ini yang diubah oleh
MPR, yang ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 sebagai
dasar pembentukan Undang-Undang itu.
Usaha mengolah, mengangkut, menyimpan, penyimpanan, dan
niaga norma yang diuji dalam persidangan ini, kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, khususnya minyak dan gas bumi (migas) adalah
satu urusan pemerintahan. Sebagai urusan pemerintahan, maka tindakan
hukum berupa usaha pengelolaan, penyimpanan, dan niaga harus
diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Salah
satunya adalah untuk kemanfaatan umum atau dalam terminologi Undang-
Undang Dasar Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk
kemakmuran rakyat dalam rangka menyejahterakan rakyat itu.
Frasa kemakmuran rakyat dalam Pasal 33, bukan saja bernilai
sebagai norma, tapi juga sebagai tujuan etik konstitusional didirikannya
negara ini. Keadaan-keadaan itulah yang harus dipakai sebagai pijakan
dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam bernegara ini.
Mengurus kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam hal ini
minyak dan gas bumi merupakan bentuk konkrit pemerintah menunaikan
kewajiban konstitusional dalam menyejahterakan rakyat. Bagaimana
mungkin tindakan pemerintahan yang secara konstitusional merupakan
kewajiban konstitusionalnya itu dikendalikan melalui kontrak kerjasama.
Seharusnya tindakan-tindakan pemerintah atas kekayaan alam yang tidak
lain merupakan konkritisasi urusan pemerintahan didasarkan semata-mata
pada prinsip-prinsip konstitusi dan asas-asas pemerintahan yang baik yang
berlaku di Indonesia, bukan kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama yang
tidak lain adalah pernjanjian antara kedua belah pihak yang secara
universal diakui secara hukum, bagi kedua belah pihak yang berkontrak itu
bermakna pihak lain yang berkontrak itu ikut menentukan tindakan-tindakan
hukum pihak lain, dalam hal ini Indonesia atas kekayaan alamnya sendiri,
padahal tindakan hukum dilakukan oleh pihak Indonesia atas kekayaan
alamnya itu adalah penunaian kewajiban konstitusionalnya yang harus
didasarkan pada konstitusi.
Ada berapa jenis kontrak yang diatur dalam Undang-Undang ini yang
tidak dinyatakan secara jelas. Apakah norma bentuk kontrak kerjasama lain
49
juga diatur dalam Undang-Undang lainnya yang serupa yang ada di
Indonesia, yang memungkinkan para pihak yang berkontrak melakukan
interpretasi sistematik atau akontrario ketika menghadapi masalah dalam
kontrak itu.
Pengertian kontrak-kontrak yang telah ditangani kepada DPR setelah
berlakunya Undang-Undang, secara hukum nilai pemberitahuan tidak lebih
sebagai konfirmasi. Konsekuensinya norma ini hanya sebatas pada
bentuknya bukan materinya, melibatkan DPR pembuat Undang-Undang
hanya berkualifikasi pemberitahuan, tidak pantas secara konstitusional,
Tindakan berkontrak antara pemerintah dengan pihak lain terutama asing
sesuai asal-usul konsep treaty, bukan executive agreement tetapi adalah
tindakan mempertaruhkan kedaulatan bangsa ini.
Dalam persetujuan, daya ikat hukum atas tindakan perjanjian itu
muncul setelah diberi kualitas hukum oleh badan pembuat hukum,
sementara nilai hukum pada pemberitahuan seperti dalam Undang-Undang
telah ada semenjak kedua belah pihak menyepakati. Pada persetujuan,
badan pembuat hukum memiliki kewenangan menilai materi muatan
perjanjian, menyetujui pada pemberitahuan sebagaimana dalam Undang-
Undang, kedua hal itu tidak dapat dilakukan oleh DPR. Dalam kasus
berkontrak dengan pihak asing untuk mengelola alam yang terkandung di
dalamnya karena bobot sosial itu pantas diberi kualitas sebagai tindakan
pemerintahan yang memerlukan persetujuan, bukan pemberitahuan.
Bahwa dengan menyerahkan kewenangan mengendalikan dan/atau
mengawasi kepada badan pelaksana menunjukan tidak bisa lain,
pembentuk Undang-Undang menyepelekan konstitusional minyak dan gas
bumi yang tidak lain adalah kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Sesuai unsurnya badan-badan seperti ini BP Migas misalnya
dibentuk karena satu hal yang diurus itu kecil sifatnya tetapi nilai
berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat. Dua, para
pembentuk Undang-Undang dalam sistem pembentuk Undang-Undang
yang tidak menyertakan pemerintah, tidak terbiasa membuat atau mengatur
hal-hal yang bersifat umum karena tidak punya waktu sehingga pengaturan
lebih lebih jauh diserahkan dengan cara mendelegasikan kewenangan itu
50
kepada pembentuk Undang-Undang itu atau pada badan itu. Ini berkenaan
dengan doktrin delegasi kewenangan.
6. Ahli Rizal Ramli
Yang pertama adalah proses pembuatan Undang-Undang Migas ini.
Undang-Undang Migas ini dibiayai dan disponsori oleh USAID dengan
motif:
1. Agar sektor migas diliberalisasi.
2. Agar terjadi internasionalisasi harga, agar harga-harga domestik migas
disesuaikan dengan harga internasional.
3. Agar asing boleh masuk sektor hilir yang sangat menguntungkan dan
bahkan risikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.
Pembuatan Undang-Undang yang dibiayai oleh asing biasanya
banyak prasyarat, dan conditionalities-nya, dan sering diiming-imingi
dengan pinjaman, apa yang dikenal sebagai long type lost, Undang-Undang
yang dikaitkan dengan pinjaman. Nah, jadi Undang-Undang yang dikaitkan
dengan pinjaman luar negeri, penuh prasyarat, itu tidak mungkin tujuannya
untuk menyejahterakan rakyat dan negara Indonesia. Sudah pasti ada
kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut
persyaratan daripada Undang-Undang tersebut.
Menyangkut harga, harga itu sama dengan harga internasional.
Contoh yang sangat sederhana, pulpen ini ongkos produksinya Rp. 90,00.
Kalau dijual di Indonesia, harganya Rp.100,00. Tetapi seandainya pulpen ini
dijual di New York, harganya Rp 1.000,00. Para ekonom neoliberal akan
mengatakan, “Indonesia rugi karena kalau dijual di dalam negeri hanya
Rp.100,00, kalau dijual di luar negeri, di New York, menjadi Rp.1.000,00.”
Hal tersebut yang menjadi latar belakang dasar dari banyak pikiran supaya
harga di dalam negeri disamakan dengan harga internasional, dan itu sudah
terjadi di dalam bidang kesehatan, pendidikan, migas, dan sebagainya.
Harganya harga internasional, tetapi pendapatan rakyatnya, pendapatan
Melayu, pendapatan lokal. Kebijakan atau strategi seperti ini adalah jalur
cepat untuk mendorong proses pemiskinan struktural. Kenapa? Kalau
memang mau demikian, kenapa rakyat Indonesia tidak meminta, “Naikkan
dulu dong pendapatan kami dengan di New York,” yaitu rata-rata U$.
40.000 atau Rp. 400.000.000,00. Kalau sudah segitu, rakyat Indonesia tidak
51
akan keberatan, harga apa pun sama dengan di New York tidak ada
masalah.
Negara-negara di Asia yang berhasil mengejar ketinggalannya dari
barat, tidak menggunakan langkah pertama yaitu dengan menyesuaikan
dengan harga internasional, tapi mendorong, memacu pertumbuhan
ekonomi di atas 10%, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan, baru kemudian harga-harga disesuaikan. Sehingga ada
perbedaan mendasar dengan yang dilakukan di Indonesia yaitu seolah-olah
satu-satunya solusi hanya dengan menyesuaikan harga internasional. hal
ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama untuk
komoditi-komoditi yang strategis, seperti migas, pendidikan, dan kesehatan.
Kalau misalnya menyangkut mobil, elektronik, dan lain-lain, tidak ada
masalah, serahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi kalau menyangkut
kepentingan yang strategis, negara berhak menentukan dan melakukan
intervensi agar harga itu tidak selalu sesuai dengan harga internasional.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, “Bumi, air, dan
kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.” Di Undang-Undang yang
asli itu tidak ada kata-kata dimiliki oleh rakyat Indonesia dan dikuasai dan
dikelola oleh negara, sehingga sering akibatnya, istilah dikuasai itu bisa
dimanipulasi, bisa direkayasa, akhirnya yang berkuasa adalah swasta,
terutama asing.
Semoho setelah pemerintahan ini berakhir kita mengajukan
amandemen Pasal 33, sehingga kata-katanya menjadi lengkap. “Bumi dan
air dan kekayaan alam Indonesia dimiliki oleh rakyat Indonesia, dikuasai
dan dikelola oleh negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia”, supaya tidak ada lagi multitafsir dan
interpretasi.
Bahwa pernyataan ahli pemerintah yang menyatakan pemerintah
tidak memberikan apa-apa kepada asing dan hanya memberikan ekonomi
right, menurut ahli merupakan interpretasi yang sangat berbahaya karena
harusnya itu dikuasai oleh Pemerintah Indonesia.
Kemudian dalam Pasal 3 Undang-Undang Migas menyatakan,
penyelenggaraan harus accountable yang diselenggarakan dengan
52
mekanisme persaingan usaha dan wajar, dan sehat, dan transparan.
Padahal yang paling penting adalah prinsip dan tujuan sebagaimana
termuat dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.”
Kemudian menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut
sistem production sharing arrangement (PSA). Sebetulnya ini bukan satu-
satunya modus, ada kerja sama operasi, ada kepemilikan, negara-negara
yang berhasil di sektor migas dan cukup kuat dan besar terutama di negara-
negara Arab dan Latin Amerika tidak menggunakan PSA, tetapi
menggunakan kepemilikan (ownership), contohnya, saham mayoritas
Aramco dikuasai oleh Pemerintah Saudi Arabia. Menurut ahli sistem
pemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSA karena cost
control-nya dapat dilakukan secara internal, tidak perlu pakai audit lagi,
karena wakil dari pemerintah Saudi Arabia duduk di dalam manajemen, ikut
melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan control cost, proses alih
teknologi juga lumayan bagus, dan sebagainya. Dengan demikian, banyak
raksasa-raksasa atau BUMN milik negara di negara-negara berkembang
yang besar itu kebanyakan karena ada ownership mayoritasnya, saham
asing hanya sebagian minoritas. Kedua, produksi anjlok dari 1.300.000
barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, tapi cost recovery-nya
naik hampir dua kali dan tidak pernah ada penjelasan. Ketiga, birocratic
habit, semua mau dikontrol, semua mau diperiksa, dan mohon maaf kultur
di Indonesia kontrol dan periksa ini juga bias, karena sebagian besar identik
dengan pemerasan. Semakin banyak kontrolnya, semakin banyak
diperiksa-diperiksanya, semakin banyak yang harus diservis pejabatnya,
jangan diartikan kontrol oleh negara itu hebat dan dasyat karena cara
kontrolnya tidak canggih. Padahal sederhana, cost menghasilkan oil di
mana, kedalaman berapa-berapa, itu saja tidak usah sampai detail.
Sehingga tidak aneh Pemerintah Indonesia sejak 8 tahun terakhir telah
memberikan ratusan konsesi di sektor minyak bumi dan gas, tetapi tingkat
eksplorasi sangat rendah, new finding nyaris tidak ada. Hal itu disebabkan
karena birokrasinya ruwet, ribet, sebagaimana dimuat dalam salah satu
majalah oil and gas, bahwa iklim investasi di Indonesia sangat ribet karena
53
terlalu banyak kontrol, terlalu banyak macam-macam, tetapi tidak kontrol
terhadap cost, kadang-kadang kontrol BP migas supaya nanti temannya
bisa masuk sebagai pemasok atau hal lainnya;
Dalam kaitannya dengan BP Migas, pada dasarnya fungsi BP migas
dapat diambil alih oleh Dirjen Migas, oleh ESDM, perbedaanya hanya dua,
yaitu biaya BP migas sangat besar dibandingkan biaya Dirjen Migas karena
dianggap profesional pegawainya harus biaya mahal. Kedua, dalam Pasal
10 Undang-Undang Migas menyatakan, “Badan usaha atau bentuk usaha
tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir”,
tetapi dalam praktiknya tetap terjadi integrasi vertikal, misalnya Shell dapat
membuat PT di hilir, tetapi di hulu tetap.
Bahwa ahli setuju mengenai DPR hanya diberitahu tidak dimintai
persetujuannya.
Bahwa kekhawatiran terjadi pertamina model sebelumnya jika
Undang-Undang Migas ini dihapus dapat diselesaikan dengan membuat
dua perusahaan negara yang besar supaya saling berkompetisi sehingga
manfaatnya buat rakyat besar sekali.
Kemudian tentang arbitrase internasional, berdasarkan penelitian
Prof. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, ternyata 99% dari hasil arbitrase
internasional merugikan negara berkembang dan selalu menguntungkan
negara maju. Demikian juga menurut Prof. Paul Krugman yang melakukan
penyelidikan tentang arbitrase internasional dan disampaikan kepada
Presiden SBY, 99% dari arbitrase internasional merugikan negara
berkembang. Oleh karena itu, mungkin penyelesaian arbitrase jangan
dimasukkan dalam penyelesaian sengketa perjanjian migas dan diharuskan
hanya menggunakan undang-undang di dalam negeri.
Kemudian, soal investasi asing, jangan terlalu mendewa-dewakan
investasi asing karena Negara Jepang dibangun sama sekali tidak ada
investasi asing. Setelah Perang Dunia Kedua, Jepang dibangun tanpa
pinjaman luar negeri, tetapi pinjaman domestik. China contoh lain, pakai
modal asing, tapi sangat restriktif sekali. Negaranya sangat berperan,
memang ada asing, tapi terbatas, negara masih sangat berkuasa. China
tidak dibangun dengan utang, sementara Indonesia dibangun dengan
utang, dibangun dengan modal asing. Dan karena dua-duanya saling
54
terkait, yang memberi utang selalu kemudian memesan Undang-Undang,
termasuk Undang-Undang Migas yang dibiayai oleh USAID dan memesan
Undang-Undang yang lain. Pinjaman dipakai sebagai conditionalities,
prasyarat untuk semakin mempermudah asing menguasai ekonomi
Indonesia.
Ahli menyarankan agar ada pilihan selain production sharing
arrangement. Jangan sampai mendewa-dewakan production sharing
arrangement seolah ini paling hebat, tetapi kenyataannya production
sharing arrangement semakin lama cost recovery-nya semakin tidak dapat
dikontrol. Produksi anjlok dari Rp. 1.300.000,00 per barel ke Rp. 900.000,00
per barel, tetapi cost recovery naik dua kali.
Ada model lain yang sukses di Amerika Latin dan di negara-negara
Arab, yaitu negara memiliki saham perusahaan joint venture dengan asing,
Saudi Aramco misalnya, saham mayoritasnya negara Saudi Arabia dan
asingnya sekitar 30%. Dengan demikian negara Saudi Arabia ikut di dalam
manajemen Aramco, sehingga pejabat Saudi Arabia belajar tentang bisnis
oil yang benar, memahami risikonya, dan sebagainya.
Menurut ahli ketergantungan terhadap model PSA yang justru sangat
berbahaya karena birokrat Indonesia tidak canggih-canggih sekali sehingga
suka ditipu-tipu soal cost. Misalnya biaya main golf dimasukan cost
recovery, biaya headquarter masuk cost recovery, dan fungsi regulasi dari
BP Migas bisa dikembalikan kepada Dirjen Migas.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah
menyampaikan keterangan yang disampaikan dalam persidangan tanggal 24 Mei
2012, sebagai berikut:
I. TENTANG POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON
1. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 UU Migas
telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kata “kontrak
lainnya”. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan frasa yang multitafsir tersebut, maka kontrak kerja sama akan
dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan didalam Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
55
2. Bahwa menurut para Pemohon, lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP
Migas) sebagai perintah Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 44
UU Migas menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur
(obscuur) karena mereduksi makna negara dalam frasa “dikuasa negara”
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
3. Bahwa menurut para Pemohon, walaupun Mahkamah Konstitusi telah
membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU Migas mengenai penetapan “Harga
Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar”, tetapi Pasal 3 huruf b yang
merupakan jantung dari UU a quo belum dibatalkan secara bersamaan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Pasal
tersebut mengakomodir gagasan liberalisasi Migas yang sudah tentu
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945;
4. Bahwa menurut para Pemohon, frasa “dapat” di dalam Pasal 9 UU Migas
jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,
dikarenakan pasal ini menunjukkan bahwa Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas.
Sehingga, BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat
mengelola Migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk
penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat
hidup orang banyak;
5. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas
mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam
(dalam hal ini Migas) dikarenakan BUMN harus melakukan pemecahan
organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga
menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan
cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya
persaingan terbuka dan lebih menguntungkan korporasi asing, namun
merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas Mahkamah Konstitusi melalui
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang tidak
mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan untuk harga
minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau tidak mau
sistem yang terbangun dalam Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas
56
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan
tentunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/ 2003;
6. Bahwa menurut para Pemohon Pasal 11 ayat (2) UU Migas tergolong ke
dalam konstruksi perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara haruslah mendapatkan persetujuan DPR, pengaturan yang
terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas dianggap telah mengingkari
posisi DPR sebagai perwakilan rakyat dan juga mengingkari keikutsertaan
rakyat sebagai pemilik sumber daya alam sehingga bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945;
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon, apakah
para Pemohon sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan dirugikan atas berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka 23; Pasal
3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal
13, Pasal 44 UU Migas. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para
Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap pertanyaan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat sebagai
berikut:
1. Menurut Pemerintah, materi yang dimohonkan untuk diuji yaitu UU Migas
telah pernah dilakukan uji materi (constitutional review) dan diputus oleh
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 002/PUU-I/2003 dan putusan
Nomor 20/PUU-V/2007.
Bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali, kecuali dengan alasan lain atau berbeda (vide Pasal 60 UU MK,
Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang);
Bahwa Pemerintah tidak melihat adanya alasan lain atau berbeda antara
57
permohonan dalam perkara Nomor 002/PUU-I/2003 dan perkara Nomor
20/PUU-V/2007, dengan alasan yang diajukan oleh para Pemohon dalam
permohonan a quo. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka menurut
Pemerintah permohonan para Pemohon untuk menguji konstitusionalitas
pasal-pasal a quo harus dinyatakan ne bis in idem;
2 Menurut Pemerintah, para Pemohon tidak dapat mendalilkan kerugian
konstitusional yang dideritanya atas keberlakuan Pasal 1 angka 19 dan
angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 44 UU Migas dengan pasal-pasal UUD
1945 yang dijadikan batu uji. Lebih lanjut tidak ada hubungan sebab akibat
(causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji
Uraian tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, akan
dijelaskan secara lebih rinci dalam Keterangan Pemerintah secara lengkap
yang akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat, para Pemohon
dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonanpara Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya
apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak,
sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007).
III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIANUNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DANGAS BUMI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
Sebelum Pemerintah menguraikan penjelasan secara rinci atas materi muatan
norma yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon tersebut di atas,
58
Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis, yuridis, dan
sosiologis dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagai berikut:
A. UMUM
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah
menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, demikian
pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Mengingat minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis
tak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan merupakan kornoditas vital
yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri,
penghasil devisa negara yang penting, dan pemenuhan kebutuhan energi
di dalam negeri maka pengelolaannya harus dilaksanakan dengan
seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Bahwa untuk menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa
yang akan datang, kegiatan usaha minyak dan gas bumi selalu dituntut
untuk lebih mampu mendukung kesinambungan pembangunan nasional
dalam rangka peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat telah sepakat untuk menyusun suatu Undang-Undang
tentang minyak dan gas bumi agar dapat memberikan landasan hukum
bagi Iangkah-langkah pembaharuan dan penataan kembali kegiatan usaha
di bidang minyak dan gas bumi. Bahwa kesepakatan tersebut akhirnya
ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152) pada
tanggal 23 November 2001.
Bahwa penyusunan Undang-Undang ini pada dasarnya bertujuan untuk:
1. Menjamin terlaksananya dan terkendalinya pengelolaan minyak dan
gas bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan
yang bersifat strategis dan vital;
59
2. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk
lebih mampu bersaing;
3. Meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang
sebesarbesarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan
memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4. Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, serta
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Undang-Undang ini memuat substansi-substansi pokok mengenai
ketentuan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam
strategis yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan nasional, yang dikuasai oleh negara, dan
penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang
Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha Hulu, sedangkan pada
Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah sebelumnya
mendapat Izin Usaha dari Pemerintah. Selain itu agar fungsi Pemerintah
sebagai pengatur, pembina, dan pengawas dapat berjalan lebih efisien
maka dibentuk pula Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(BP Migas) dan Badan Pengatur Kegiatan Penyediaan dan Pendistribusian
Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi
Melalui Pipa (BPH Migas).
Perlu diperhatikan, kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi dalam
kurun waktu 50 (lima puluh) tahun terakhir telah memberikan kontribusi
yang besar bagi perekonomian nasional dan mempunyai peranan penting
sebagai penghasil devisa dan penerimaan negara, penyedia energi untuk
kebutuhan dalam negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih
teknologi, penciptaan lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor
non minyak dan gas bumi, dan sebagai pendukung pengembangan
wilayah.
Industri minyak dan gas bumi sebagai modal utama pembangunan jangka
panjang diharapkan masih dapat memberikan harapan yang optimistik,
karena sebagaimana diketahui potensi sumber daya minyak dan gas bumi
kita masih bisa untuk dimanfaatkan dan dikembangkan dimana dari sekitar
60 (enam puluh) cekungan sedimen yang berpotensi mengandung minyak
dan gas bumi baru 16 (enam belas) cekungan yang telah dioperasikan.
60
Namun demikian, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa produksi minyak
dan gas bumi kita sejak tahun 1995 sampai sekarang cenderung
mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan produksi
minyak dan gas bumi kita sebagian terbesar masih berasal dari lapangan-
lapangan yang relatif tua yang telah berproduksi sejak tahun 1970-1980.
Penemuan dan penambahan cadangan minyak dan gas bumi tersebut
tidak sebanding dengan laju pengurasan produksinya. Sedangkan di lain
pihak, kebutuhan energi domestik dari minyak dan gas bumi dari tahun ke
tahun meningkat tajam sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini harus
ditemukannya cadangan-cadangan minyak dan gas bumi yang baru untuk
menggantikan Iapangan-lapangan yang telah mengalami penurunan
produksi, agar paling tidak tingkat produksi dapat dipertahankan.
Selanjutnya untuk menemukan cadangan baru diperlukan investasi yang
tinggi sesuai dengan sifat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang
padat modal (high cost), beresiko tinggi (high risk), dan menggunakan
teknologi tinggi (high tech), sehingga dalam rangka menghindari adanya
pembebanan terhadap keuangan negara, Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Pakyat (DPR) sebagaimana dituangkan dalam UU Migas telah
mengambil suatu keputusan bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi yang sesuai adalah Kontrak Bagi Hasil atau kontrak lain
yang menguntungkan bagi negara. Keputusan ini diambil dengan
mempertimbangkan bahwa Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), maka
Pemerintah tidak dibebani atas resiko apabila tidak ditemukan cadangan
minyak dan gas bumi secara komersial dalam masa eksplorasi (resiko
ditanggung oleh kontraktor), selain itu kontraktor juga wajib menyediakan
biaya-biaya yang diperlukan, sumber daya manusia, dan teknologi yang
dibutuhkan.
B. TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS PASAL-PASAL YANG DIAJUKANUJI MATERIIL OLEH PARA PEMOHON
Terhadap anggapan para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 1 angka 19
dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dianggap bertentangan dengan
61
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4)
serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya
yang menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 UU Migas telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kata “kontrak
lainnya”, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa terkait dengan konsep “dikuasai oleh negara” sebagaimana
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, dalam Undang-Undang Migas dikenal
konsep Kuasa Pertambangan (mining right) yang diberikan oleh
negara kepada Pemerintah. Selanjutnya Pemerintah memberikan
hak pengusahaan (business right) kepada Badan Usaha dan/atau
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiataan usaha hulu migas
berdasarkan Kontrak Kerja Sama, yang syarat dan ketentuannya
(terms and conditions) ditetapkan oleh Pemerintah.
Penandatanganan Kontrak Kerja Sama tersebut dilakukan oleh BP
Migas dan Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap.
Penggunaan sistem kontrak dalam kegiatan usaha hulu minyak dan
gas bumi merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh banyak
negara yang memiliki sumber daya alam minyak dan gas bumi
dikarenakan justru sistem kontrak akan lebih memberikan kepastian
hukum atas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang
berkontrak.
b. Bahwa hingga saat ini ada dua model sistem kontrak yang lazim
digunakan di dunia yaitu Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Jasa. Pada
mekanisme Kontrak Jasa, kontraktor dibayar atas pengerjaan
operasi perminyakan dalam bentuk uang, dan hasil produksi minyak
dan gas bumi seluruhnya menjadi milik Pemerintah. Sedangkan
pada mekanisme kontrak bagi hasil, baik Pemerintah maupun
kontraktor memperoleh bagian atas hasil produksi kegiatan usaha
hulu yang dilaksanakan oleh kontraktor.
c. Bahwa di Indonesia pengusahaan kegiatan usaha hulu di bidang
62
minyak dan gas bumi pada umumnya menggunakan kontrak bagi
hasil mengingat adanya pertimbangan minyak dan gas bumi
sebagai sumber daya alam yang vital dan strategis. Penggunaan
kontrak bagi hasil dipilih dikarenakan kegiatan usaha hulu di bidang
minyak dan gas bumi mempunyai kriteria high risk, high tecnology,
dan high capital sehingga baik modal, teknologi, dan resiko yang
tinggi tersebut ditanggung oleh kontraktor sehingga tidak
membebani keuangan negara dan besaran bagi hasil atas minyak
dan gas bumi sesuai kontrak-kontrak yang umum berlaku adalah:
Minyak bumi: 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor;
Gas bumi: 70% untuk negara dan 30% untuk kontraktor.
d. Bahwa adanya frasa “atau bentuk kontrak kerja sama Iainnya”
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas
dimaksudkan untuk diterapkannya penggunaan bentuk kontrak lain
selain kontrak bagi hasil (misal bentuk Kontrak Jasa) atau
diterapkannya sistem kontrak baru yang dianggap akan dapat Iebih
menguntungkan negara. Saat ini Pemerintah telah menerapkan
sistem Kontrak Jasa untuk wilayah-wilayah kerja yang resikonya
Iebih kecil sehingga akan Iebih menguntungkan negara mengingat
seluruh hasil sepenuhnya menjadi milik negara.
e. Disamping itu, penggunaan kontrak kerja sama baik dalam bentuk
kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama Iainnya tidak
dapat dilepaskan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Migas yang
menyatakan kontrak kerja sama dimaksud paling sedikit harus
memuat persyaratan:
a) Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah
sampai pada titik penyerahan;
b) Pengendalian manajemen operasi berada pada badan
pelaksana;
c) Modal dan resiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap.
dan berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UU Migas bahwa dalam kontrak
kerja sama diatur 17 ketentuan-ketentuan yang wajib tercantum di
dalamnya.
63
Berdasarkan penjelasan Pemerintah di atas, maka pernyataan para
Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 UU Migas
telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
adalah tidak berdasar dan tidak benar.
2. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas) adalah atas
perintah Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 44 UU Migas
menjadikan konsep kuasa pertambangan menjadi kabur (obscuur)
karena mereduksi makna negara dalam frasa “dikuasai negara” yang
terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap
anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan
penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa BP Migas sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi memiliki hak manajemen dalam
kontrak kerja sama untuk dapat melaksanakan tugas yang
diamanatkan berdasarkan kontrak kerja sama, sedangkan
Pemerintah adalah pemegang Kuasa Pertambangan (mining right)
yang akan menetapkan syarat dan ketentuan (terms and conditions)
dan kebijakan-kebijakan lain di bidang minyak dan gas bumi, seperti
kebijakan pemanfaatan minyak dan gas bumi yang diproduksi dari
kegiatan usaha hulu tersebut.
b. Pihak yang ditunjuk sebagai pelaksana dan pengendali hulu minyak
dan gas bumi tidak berbentuk BUMN, dengan tujuan agar BUMN
dapat Iebih fokus melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas
bumi, dan melakukan pengelolaan BUMN secara lebih efisien.
c. Bahwa pembentukan BP Migas tidak dimaksudkan untuk
mengalihkan kuasa pertambangan, melainkan untuk melaksanakan
tugas yang diberikan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan dalam pengendalian kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi melalui kontrak kerja sama.
d. Pembentukan BP Migas sebagai pengendali kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi juga sebenarnya bertujuan agar negara
sebagai pemegang kuasa pertambangan tidak Iangsung berkontrak
dengan Badan Usaha (BU)/Bentuk Usaha Tetap (BUT), sehingga
64
tidak ada posisi yang setara antara kontraktor dengan negara,
dengan demikian diharapkan dapat menghindarkan negara dari
permasalahan keperdataan yang timbul dari adanya sengketa
terhadap kontrak kerja sama tersebut. Di samping itu, pengalihan
tugas dari Pertamina ke BP Migas bertujuan agar Pertamina dapat
Iebih fokus menjalankan bisnisnya sebagai BUMN.
e. Bahwa apabila pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi tetap berada di tangan Pertamina, maka justru sangat
dikhawatirkan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
tidak dapat tercapai, mengingat keberadaan Pertamina sebagai
badan usaha yang memiliki tujuan untuk mencari keuntungan dalam
melaksanakan kegiatan usahanya, sehingga dibentuklah BP Migas
yang berfungsi sebagai badan yang bersifat netral yang merupakan
perwakilan Pemerintah dalam menandatangani kontrak kerja sama
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, dan badan ini tidaklah
bertujuan untuk mencari keuntungan melainkan ikut mengelola
penggunaan minyak dan gas bumi bagi kepentingan dan
kemakmuran rakyat.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebagaimana telah disampaikan
di atas, maka Pemerintah berpendapat bahwa dalil-dalil para Pemohon
yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal
44 UU Migas adalah mereduksi makna negara dalam frasa “dikuasai
negara” tidak benar dan tidak berdasar.
3. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa walaupun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 28
ayat 2 UU Migas tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari
UU a quo belum dibatalkan sehingga bertentangan dengan Pasal 33
ayat (2) UUD 1945. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut,
Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa pada dasarnya Pasal 3 huruf b UU Migas mengatur
mengenai tujuan dari penyelenggaraan kegiatan usaha minyak
dan gas bumi baik untuk kegiatan usaha hulu maupun untuk
kegiatan usaha hilir. Sedangkan khusus untuk. Pasal 3 huruf b UU
Migas mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hilir, sebagaimana
65
dengan jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 3 huruf b UU Migas
yang menyatakan “Menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian usaha dan pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan“.
b. Menurut Pemerintah ketentuan ini berbeda dengan ketentuan
Pasal 28 ayat (2) UU Migas yang pada intinya menyatakan tentang
penetapan harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan
kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, yang
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor
002/PUU-I/2003. Untuk menindaklanjuti putusan tersebut
Pemerintah telah merevisi dengan menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 dimana ditetapkan
bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan/atau
ditetapkan oleh Pemerintah.
c. Bahwa frase “penyelenggaraan melalui mekanisme persaingan
usaha yang wajar, sehat, dan transparan” dalam Pasal 3 huruf b
UU Migas merupakan penjabaran dari pelaksanaan keterbukaan
dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. Kegiatan usaha
hilir di bidang minyak dan gas bumi dilaksanakan dengan
mekanisme pemberian Izin Usaha kepada Badan Usaha Swasta,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), Koperasi, dan juga usaha kecil yang bergerak di bidang
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga minyak dan
gas bumi.
d. Hal ini berarti membuka peluang bisnis kepada perusahaan-
perusahaan nasional atau perusahaan yang berbadan hukum
Indonesia dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di
seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan adanya asas “melalui
mekanisme persaingan usaha yang sehat, wajar, dan transparan”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b UU Migas, maka
dijamin kepastian hukum bagi penyediaan dan pendistribusian
66
minyak dan gas bumi kepada masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia.
e. Bahwa ketentuan Pasal 3 huruf b UU Migas ini juga menjamin
tidak adanya monopoli oleh suatu badan usaha tertentu dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha hilir di bidang minyak dan gas
bumi sesuai amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Yang
Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999).
f. Lebih lanjut, Pemerintah tetap melakukan pembinaan dan
pengawasannya melalui mekanisme pemberian izin usaha
kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi dan pengaturan dan
penetapan harga minyak dan gas bumi.
Dengan demikian Pemerintah tetap mempunyai fungsi-fungsi
kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan
atas minyak dan gas bumi pada sektor hilir di bidang minyak dan gas
bumi sehingga amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 pun tetap
terjaga. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil-dalil
para Pemohon yang menyatakan Pasal 3 huruf b bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak benar dan tidak
berdasar.
4. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan
penggunaan frasa “dapat” di dalam Pasal 9 UU Migas bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dikarenakan
konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara
terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah
dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa sebenarnya Pasal 9 UU Migas dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional (Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, usaha kecil, dan juga
badan usaha swasta) untuk berpartisipasi dalam kegiatan usaha
minyak dan gas bumi (khususnya kegiatan usaha hulu).
b. Khusus untuk Pertamina sebagai BUMN, UU Migas dan peraturan
pelaksanaannya memberikan keistimewaan dalam bentuk sebagai
67
berikut:
a) Pasal 61 huruf b UU Migas, pada saat terbentuknya persero
sebagai pengganti Pertamina, BUMN tersebut mengadakan
kontrak kerja sama dengan BP Migas untuk melanjutkan
eksplorasi dan eksploitasi pada bekas wilayah kuasa
pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan
izin usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 UU Migas untuk usaha pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga. Ketentuan ini lebih lanjut dijelaskan
dalam Penjelasan bahwa yang dimaksud kontrak kerja sama
dalam ketentuan ini memuat kewajiban pembayaran kepada
negara yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
pada wilayah kuasa pertambangan Pertamina.
b) Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 61 huruf b UU
Migas, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 2004 (PP Nomor 35 Tahun 2004), dalam Pasal 104
huruf k kewajiban pembayaran Pertamina dan anak
perusahaannya kepada negara, besarnya adalah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku pada Wilayah Kuasa
Pertambangan selama ini yaitu 60%. Ketentuan ini
memberikan keistimewaan kepada Pertamina dibandingkan
dengan kontraktor lain yang wajib membayarkan kepada
negara dengan persentase yang jauh lebih besar.
c) Pasal 5 PP Nomor 35 Tahun 2004 bahwa pada dasarnya
Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri
untuk mendapatkan Wilayah Terbuka tertentu sepanjang
saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara, sehingga tidak
harus melalui mekanisme lelang terlebih dahulu.
d) Pasal 28 ayat (9) PP Nomor 35 Tahun 2004 dimana pada
dasarnya Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada
menteri untuk wilayah kerja yang akan habis masa kontraknya
sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara,
sehingga tidak harus melalui mekanisme lelang terlebih
dahulu.
68
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah berpendapat
bahwa Pasal 9 UU Migas sama sekali tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
5. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas telah mengurangi kedaulatan
negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini migas)
dikarenakan Badan Usaha Milik Negara harus melakukan pemecahan
organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga
menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan
menentukan cost dan profitnya masing-masing dan bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Terhadap anggapan
para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan
sebagai berikut:
a. Bahwa konsep unbundling bertujuan untuk mengoptimalisasi
pengusahaan baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir, dengan
konsep ini diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus
pada tujuannya untuk mencari minyak dan gas bumi serta
optimalisasi kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak
dan gas bumi.
b. Bahwa dikarenakan karakteristik kegiatan usaha hilir Iebih kepada
sifat bisnis dan tidak mengenal adanya mekanisme pengembalian
biaya operasi, maka konsep unbundling dalam kegiatan usaha hilir
memungkinkan berjalannya mekanisme persaingan usaha yang
sehat dan wajar.
c. Bahwa kegiatan usaha hulu dan usaha hilir di bidang minyak dan
gas bumi memiliki karakteristik yang berbeda. Pada kegiatan
usaha hulu yang sebagian besar dilaksanakan berdasarkan
kontrak bagi hasil, terkandung unsur biaya yang dikembalikan
(cost recovery), sedangan kegiatan usaha hilir Iebih bersifat bisnis
pada umumnya, sehingga dengan karakteristik yang berbeda
tersebut perlu dihindari adanya konsolidasi biaya dan pajak melalui
mekanisme pemisahan kegiatan usaha hulu dan hilir (unbundling).
69
Dengan demikian penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi tetap optimal.
d. Bahwa ketentuan Pasal 13 UU Migas yang mengatur mengenai
“BU ataupun BUT hanya diberikan satu Wilayah Kerja” adalah
untuk memastikan bahwa pembebanan biaya-biaya operasi dan
pajak dalam satu Wilayah Kerja tidak dapat dikonsolidasikan
dengan pembebanan biaya-biaya operasi dan pajak di Wilayah
Kerja yang lainnya sehingga dalam hal ini justru akan
mengoptimalkan penerimaan negara.
Bahwa dengan demikian dari uraian tersebut di atas, Pemerintah pada
akhirnya berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 dan Pasal 13 UU
Migas tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para
Pemohon, dan karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945.
6. Sehubungan dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas tergolong ke dalam konstruksi
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
haruslah mendapatkan persetujuan DPR, Terhadap anggapan para
Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai
berikut:
a. Bahwa Pemerintah berpendapat bahwa Perjanjian Internasional
yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah
instrumen yang selama ini dikenal dalam hukum tata negara dan
hukum internasional sesuai dengan Konvensi Winna tahun 1969
dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Istilah Perjanjian
Internasional yang digunakan dalam Konvensi Winna adalah
Treaty. Pasal 1 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian (Law of Treaties) mendefinisikan ruang lingkup dari
Konvensi ini adalah berlaku untuk treaties between states.
Selanjutnya dalam Pasal 2 treaty diartikan sebagai:
Treaty means an international agreement concluded between
states in written form and governed by international law, whether
-
70
embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation.
Disamping itu dalam Pasal 1 Konvensi Winna tahun 1986
ditegaskan bahwa lingkup dari perjanjian internasional adalah
perjanjian antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih
organisasi internasional, dan perjanjian antar organisasi
internasional.
b. Parameter tentang governed by international law merupakan
elemen yang sangat penting untuk membedakan perjanjian
internasional dari sifat perjanjian perdata yang governed by
national law seperti kontrak kerja sama minyak dan gas bumi.
Dalam pembahasan tentang Konvensi Winna tahun 1969, suatu
dokumen disebut sebagai governed by international law jika
memenuhi dua elemen, yaitu intended to create obligation and
legal realtions under international law. Di lain pihak sekalipun
dibuat antar negara, suatu perjanian dapat saja tunduk pada
hukum nasional bukan pada hukum internasional.
c. Bahwa dengan mengacu kepada pendapat-pendapat di atas,
Pemerintah berpendapat bahwa subjek hukum dalam perjanjian
internasional (treaty) adalah negara (state) dan subjek hukum
dalam perjanjian internasional Iainnya adalah organisasi
internasional. Sedangkan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi
yang bersifat perdata dan governed by national.
d. Bahwa sesuai dengan Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Nomor 24 Tahun
2000) yang merupakan amanat Pasal 11 ayat (3) UUD 1945,
diperoleh definisi tentang perjanjian internasional yaitu:
Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam
hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000,
disebutkan elemen-elemen dari perjanjian internasional adalah:
a) Dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subjek
hukum internasional lainnya;
71
b) Diatur oleh hukum internasional;
c) Menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
e. Bahwa istilah perjanjian internasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 UUD 1945 harus ditafsirkan dengan mengkaitkan
kewenangan Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya
dengan politik luar negeri dan berhubungan dengan negara lain.
Apabila dikaitkan dengan wewenang-wewenang tradisional kepala
negara seperti menyatakan perang, membuat perdamaian serta
membuat perjanjian internasional (hak-hak prerogatif) dimana hal-
hal ini adalah dalam hubungannya dengan negara lain. Jika
dikaitkan dengan hak-hak prerogatif ini maka interpretasi hukum
menjadi tidak tepat jika perjanjian komersil dan perdata seperti
kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dimasukkan dalam
konteks Pasal 11 UUD 1945. Sehingga menurut hemat
Pemerintah, hubungan komersial Pemerintah dengan perusahaan
asing bukanlah domain Pasal 11 UUD 1945, karena Pemerintah
dalam konteks ini merupakan pelaku kegiatan komersil dan bukan
sebagai negara dengan atribut kedaulatan.
f. Bahwa kontrak kerja sama adalah kontrak yang bersifat
keperdataan dan tunduk pada hukum internasional, sehingga
kedua belah pihak yang membuat kontrak kerja sama (Badan
Pelaksana dan Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap) bukan
merupakan subjek hukum internasional.
g. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kontrak kerja sama minyak dan gas bumi tidak memenuhi kriteria
untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2000,
sehingga dengan demikian anggapan para Pemohon yang
menyatakan bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak tepat dan tidak
berdasar.
h. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen para
Pemohon yang menyatakan bahwa KKS tergolong dalam
perjanjian internasional Iainnya yang menimbulkan akibat yang
72
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan harus mendapatkan persetujuan
DPR, dikarenakan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai
tembusan dalam setiap KKS maka jelas konstruksi Pasal 11 ayat
(2) UU Migas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia dan
keikutsertaan rakyat Indonesia sebagai pemilik kolektif sumber
daya alam.
i. Bahwa Pemerintah berpendapat alasan para Pemohon
sebagaimana disebutkan di atas adalah tidak berdasar disebabkan
kontrak kerja sama minyak dan gas bumi adalah kontrak bisnis
yang bersifat keperdataan dan bukan merupakan perjanjian
internasional.
j. Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD juncto
Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/2001-2002 tentang
Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka hak-hak para anggota DPR
telah terpenuhi pada saat penyusunan rancangan UU Migas
dengan disetujuinya materi muatan Pasal 11 ayat (2) UU Migas.
k. Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
Pasal 11 ayat (2) UU Migas sama sekali tidak mengingkari
kedaulatan rakyat Indonesia, sebaliknya ketentuan Pasal 11 ayat
(2) UU Migas telah memberikan penegasan dan/atau kepastian
hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi
lembaga negara yang mewakili kepentingan rakyat Indonesia.
Pada sisi lain ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas juga telah
memberikan batasan yang tegas kepada Pemerintah untuk
melaksanakan kontrak-kontrak internasional antara Pemerintah
dan international company.
Bahwa dari uraian tersebut di atas, Pemerintah pada akhirnya
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas tidak
merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon,
dan karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11
ayat (2), dan Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
73
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa
dan memutus permohonan pengujian (constitutional review) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum;
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet onvankelik verklaard);
3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat
(3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat
(3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keterangan Tambahan Pemerintah
1. Ahli Rudi Rubiandini
Bahwa pendapatan dari kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi
disingkat Migas, dan pengeluaran dalam rangka subsidi bahan bakar
minyak disingkat BBM menjadi, pertama, pendapatan dari pajak migas
adalah Rp 60,9 triliun, pendapatan dari PNBP sebesar Rp 159,5 triliun.
Sehingga pemasukan total dari migas pada tahun 2012 ini diperkirakan
Rp 220,4 triliun. Pengeluaran, yaitu subsidi BBM sebesar Rp 123,6 triliun,
sehingga ada selisih sebesar Rp 96,8 triliun surplus. Artinya pendapatan
negara lebih besar daripada pengeluaran untuk subsidi BBM.
74
“Melakukan pembohongan publik dan penyesatan adalah sebuah
pandangan yang keliru dan didramatisir karena beberapa hal sebagai
berikut.” Pertama, pendapatan dari sumber daya alam minyak ditambah
sumber daya alam gas yang totalnya Rp 220,4 triliun tersebut semuanya
dipakai untuk mendanai subsidi adalah penyesatan pendapat. Karena
pendapatan dari sumber daya alam minyak dan sumber daya alam gas juga
dipakai untuk kebutuhan APBN dalam menggerakkan roda pemerintahan
seperti untuk gaji PNS, tentara, polisi, kehakiman, keagamaan,
pengembangan seni, budaya, pembangunan infrastruktur, belanja
operasional, dan yang lain-lain sesuai dengan peruntukkan belanja negara
lainnya.
Kedua, analogi tersebut bisa saja dipertanyakan kenapa sumber
daya alam batu bara juga tidak sekalian saja dimasukkan sebagai
pendapatan, toh sama-sama menghasilkan energi? Sehingga seolah-olah
surplusnya akan semakin besar, akan di atas Rp 96,8 triliun. Ketiga, apabila
berpendapat sumber daya alam minyak saja yang dipakai untuk
mengadakan BBM seluruhnya, itu pun masih keliru. Karena di dalam
perencanaan APBN tidak ada dedikasi khusus dari pendapatan komoditas
dipakai balik hanya untuk komoditas yang sejenis.
Terakhir, pendapat bahwa seluruh minyak mentah Indonesia harus
dipakai untuk rakyat dengan gratis, sehingga beban kepada masyarakat
cukup hanya biaya LRT yang nilainya cuma Rp 566,00 saja adalah sebuah
informasi yang menyesatkan.
Kedua, perbandingan harga BBM versus biaya pengadaan. Dengan
mengambil beberapa asumsi yang selama ini dipakai:
1. Minyak mentah atau yang disebut sebagai crude bagian negara adalah
sekitar 63% dari produksi minyak mentah nasional, artinya 63% dari
930.000 rencana, maka akan diperoleh 586.000 barel per hari.
2. Harga minyak mentah Indonesia atau disebut ICP adalah US$ 105 per
barel dan kurs adalah Rp 9.000,00 per US$.
3. Alokasi premium dan solar 38,3 juta kiloliter, minyak tanah 1,7 juta
kiloliter, BBM nonsubsidi 23 juta kiloliter.
4. Impor crude 265.000 barel per hari, impor BBM 537.000 barel per hari.
75
5. Biaya lifting, refining, transportation atau yang disingkat LRT sebesar
US$ 24,1 per barel, yang terdiri dari processing sebesar US$ 12,8 dan
transporting sebesar US$ 11,3.
Dari perhitungan, terlihat bahwa pendapatan yang dapat diperoleh
dari penjualan crude dan BBM sebesar Rp 573 triliun. Sedangkan
pengeluaran pengadaan crude, mengimpor crude BBM, mengimpor BBM,
dan mengolah, serta mengirim sampai SPBU adalah sebesar Rp 577,88
triliun, sehingga terjadi defisit sebesar Rp 5,8 triliun.
Yang ketiga, keuntungan versus kerugian harga BBM Rp 4.500,00.
Dengan perhitungan sederhana, apabila harga minyak dunia sebesar US$
105 per barel atau ekuivalen dengan Rp 5.943,00 per liter, ditambah
dengan biaya kilang, serta transportasi sebesar US$ 24,1 per barel atau
setara dengan Rp 1.364,00 per liter, maka harga pokok BBM adalah Rp
7.307,00 per liter. Dan setelah dikenai pajak 15%, maka harga jualnya
sekitar Rp 8.404,00 per liter. Keempat, peraturan yang menyangkut
pengelolaan sumber daya alam migas. Dalam pengelolaan sumber daya
alam migas di sisi hulu, Indonesia menggunakan metode PSC (production
sharing contract) atau di Bahasa Indonesiakan menjadi kontrak bagi hasil.
Yaitu ada beberapa poin yang utama dari kontrak bagi hasil:
1. Kontraktor menyediakan dana eksplorasi, pembangunan, sampai
operasi, pemerintah tidak menyediakan satu rupiah pun.
2. Kontraktor menanggung resiko 100% bila tidak ditemukan migas,
pemerintah tidak memiliki kewajiban membayar ganti rugi.
3. Pemerintah menjadi pemilik tunggal hasil produksi migas sampai titik
serah penjualan, kontraktor akan dapat imbalan berupa pengembalian
investasi yang sudah dikeluarkan dan keuntungan 15% dari minyak,
serta 30% dari gas dalam bentuk crude atau yang disebut konsep bagi
hasil tadi.
4. BP Migas dalam rangka mengontrol recoverable cost atau biaya
investasi yang dikembalikan menggunakan kisaran antara 22 sampai
29%.
5. Untuk mengontrol recoverable cost, dipergunakan perangkat plan of
development world program and budget yang keluarnya tahunan, AFE
(authorization for expenditure) yang keluar untuk masing-masing project
76
dengan dilakukan pre audit, current audit maupun post audit, dan
akhirnya diperiksa pula oleh BPKP serta BPK.
Terakhir, komponen tambahan pendapatan negara selain PNBP
(Pendapatan Negara Bukan Pajak) atau disebut government equity share,
kalau digambar ini pemerintah equity share juga pajak pendapatan serta
domestic market obligation (DMO), dari potret tahun berjalan, yang halaman
berikutnya, dapat dilihat bahwa pendapatan bagian negara sekitar 62%,
yaitu tahun 2012, sampai dengan April bulan … tahun ini. Sementara
kontraktor sebesar 15%, dan investasi yang pernah berputar sebesar 23%,
hal ini menunjukkan bahwa kontraktor yang telah membawa modal sebesar
23% mendapatkan imbalan sebesar 15%, dan Pemerintah Indonesia
mendapatkan keuntungan sebesar 62%, dari setiap minyak yang keluar dari
perut Ibu Pertiwi. Jauh di atas 51%, seperti yang dimohonkan oleh anggota
DPR, agar memenuhi napas Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa harga internasional sebagai patokan penghitungan harga
BBM. Di dunia banyak sekali institusi yang mengeluarkan patokan harga
setiap hari, diantaranya ada Nymex dari New York, WTI, Brand, dan lain-
lain. Dimana harga satu berbeda dengan harga lainnya, minyak Indonesia
juga memiliki harga yang bervariasi, ada yang lebih murah dari harga WTI,
malah ada yang lebih mahal dari brand, maka untuk kemudahan dalam
bertransaksi, maka dibuatlah satu istilah yang namanya ICP (Indonesian
Crude Price), yang diperoleh dari pengrata-rataan dari semua jenis minyak
yang ada di Indonesia. Karena masing-masing minyak Indonesia juga
bergantung pada berpergerakan harga minyak dunia, maka ICP pun
tergantung pada pergerakan harga dunia. Akhirnya harga crude dari
masing-masing lapangan akan ada yang berharga ICP minus artinya harga
di bawah ICP, ada juga yang berharga ICP plus, artinya di atas harga ICP.
[2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah
mengajukan ahli dan saksi yang didengar keterangannya di bawah sumpah,
sebagai berikut:
1. Ahli Dr. Ir. Rachmat Sudibyo
Bahwa dalam Undang-Undang Migas, kuasa pertambangannya dipegang
oleh pemerintah dan tidak diberikan kepada pelaku usaha, dengan
demikian yang mempunyai kuasa untuk menguras kekayaan alam ini
77
adalah pemerintah, sedangkan pelaku usaha hanya diberikan status
sebagai kontraktor, sebagai pihak yang harus melakukan kontrak dengan
pihak pemerintah. Namun Undang-Undang Migas juga memberikan suatu
batasan atau pengamanan berupa buffer, yaitu dengan membentuk
badan pelaksana. Pemerintah membentuk badan pelaksana untuk
melakukan pengendalian. Pemerintah cq menteri menyiapkan dan
menetapkan kontrak kerja sama yang dianggap sesuai dengan wilayah
kerja yang diduga mengandung kekayaan alam berupa potensi dari
sumber daya migas. Pemerintah lah yang menyiapkan dan menetapkan
wilayah kerja, bukan BP Migas yang untuk itu dilakukanlah suatu tender
atau penawaran dari pihak Pemerintah cq menteri kepada pelaku usaha.
Badan pelaksana memang memberikan pertimbangan kepada
pemerintah mengenai syarat-syarat atau ketentuan dari kontrak kerja
sama berdasarkan pengalaman yang mereka miliki dari sekian ratus
kontrak kerja sama yang ada. Kemudian, untuk melaksanakan
pengendalian tersebut, badan pelaksana menandatangani kontrak kerja
sama. Peran pelaku usaha disini sangat minim, karena pelaku usaha
tidak mempunyai kendali manajemen operasi. Apabila mereka mau
mengembangkan suatu lapangan, mereka tidak dapat menentukan
sendiri harus mendapat persetujuan dari badan pelaksana, dan
sebagainya. Para pelaku usaha hanya menikmati economy right, mereka
tidak memiliki mineral right. Dalam sistem yang dianut Indonesia selama
ini adalah kontrak bagi hasil, yaitu imbalan dari keringat yang dikeluarkan
oleh pelaku usaha adalah hasil produksi, baik berupa in kind yang selama
ini diterapkan di dalam kontrak bagi hasil ataupun kontrak lain.
Bentuk kontrak kerjasama di dalam Undang-Undang Migas adalah
kontrak bagi hasil yang sudah diterapkan sejak tahun 1968 dan
kemungkinan ada bentuk kontrak kerjasama lain. Kontrak bagi hasil ini
adalah prinsip kontrak yang membagi hasil produksi secara in kind,
pemerintah sama sekali tidak pernah mengeluarkan cash bahkan cost
recovery, pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor itu dibayar
juga dengan in kind. Bagaimana menghitung volume in kind dengan cost-
nya tentu dengan harga standar pemerintah, yaitu Indonesian Crude
Price.
78
Bahwa Pasal 6 ayat (2) adalah pasal yang paling penting di dalam
Undang-Undang Migas dalam rangka menjaga penguasaan negara
sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu pertama, kepemilikan sumber daya alam harus tetap ditangan
pemerintah, tentu sampai titik ekspor. Kedua, pengendalian manajemen
harus ada di tangan pemerintah c.q. badan pelaksana. Kontraktor tidak
mempunyai hak untuk mengendalikan, semua harus mendapat
persetujuan. Artinya, ada work programing budget, plan of development,
bahkan di dalam Peraturan Pemerintah juga ada otoritation for
expenditure untuk setiap proyek yang lebih besar dari $5.000.000,00.
Ketiga, modal dan risiko harus ditanggung oleh kontraktor bukan oleh
pemerintah.
Bahwa terkait dengan satu wilayah kerja (range fencing), menurut ahli,
pertama, hal tersebut diatur agar pelaku usaha pertambangan tidak boleh
menggunakan uang yang didapat dalam satu wilayah kerja untuk
eksplorasi di wilayah kerja yang lain, karena akan mengurangi
penerimaan negara, terutama penerimaan pemerintah daerah dimana
wilayah kerja tersebut berada. Jika pelaku usaha ingin memiliki lebih dari
satu wilayah kerja, hal itu boleh saja tetapi harus membentuk badan
hukum berlainan, misalnya PT. Cevron Riau atau PT. Cevron Selat
Makasar. Pengaturan yang demikian justru mengamankan penerimaan
negara dari kegiatan ekplorasi dan eksploitasi sesuai dengan amanat
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kedua, aturan tersebut dibuat karena sudah
disepakati bahwa negara tidak tidak boleh membiayai dan tidak boleh
menanggung risiko. Jika pasal a quo dibatalkan maka akan menjadi
kacau, yaitu negara akan menanggung semua biaya dan menanggung
semua resiko dalam kegiatan penambangan minyak;
Bahwa mengenai usaha hulu dan usaha hilir, Undang-Undang Dasar
1945 sudah mengaturnya, yaitu terkait hulu menyangkut kekayaan alam
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sedangkan hilir adalah cabang-cabang produksi. Demikian halnya
dengan BBM, maka kegiatan di hulu adalah dikuasai oleh negara dalam
hal ini oleh pemerintah. Tetapi di hilir tidak dimiliki. Artinya, hanya
dilakukan pembinaan dan pengawasan yang diatur sesuai dengan
79
undang-undang yang berlaku seperti layaknya industri hanya saja
dilakukan lebih ketat;
Bahwa menurut ahli, usaha minyak dan gas bumi bukan dipecah-pecah,
menurut Undang-Undang a quo, badan atau pelaku usaha yang ingin
mempunyai semuanya diperbolehkan meminta dengan izin yang dibuat
sekaligus. Tetapi kalau ada pelaku usaha yang tidak mempunyai modal
besar dan hanya mempunyai modal untuk transportasi maka dapat
berpartisipasi dalam industri hilir;
Bahwa Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Migas mengatur, Kegiatan
Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. koperasi; usaha kecil;
d. badan usaha swasta.
Pengaturan tersebut berbeda dengan sebelumnya yang secara de jure
hanya memperbolehkan satu BUMN yang melakukan kegiatan dalam
minyak dan gas bumi meskipun secara de facto ada pelaku usaha yang
melakukan kegiatan dalam minyak dan gas bumi. Ketentuan tersebut
justru membuka peluang pelaku usaha untuk bersaing dengan BUMN
dalam mengelola kegiatan minyak dan gas bumi;
2. Ahli Prof. Dr. Erman Rajagukguk
Bahwa Pasal 33 UUD 1945 menyatakan:
“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asaskekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yangmenguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasiekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta denganmenjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalamundang-undang.”
Dengan demikian, tidak benar bahwa Undang-Undang Migas
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan peluang
80
kepada korporasi internasional untuk memasuki bisnis Migas di
Indonesia. Yang benar adalah Indonesia tidak mempunyai cukup modal
untuk menggali minyak dan gas bumi karena sektor ini memerlukan
modal yang besar, mempunyai risiko yang tinggi, dan memerlukan
keahlian khusus. Perlu waktu 6 sampai 10 tahun untuk memastikan
apakah suatu eksplorasi dapat dilanjutkan menuju eksploitasi dan perlu
waktu 1 sampai 3 tahun lagi untuk membangun fasilitas. Segala biaya
yang diperlukan dalam masa eksplorasi dan eksploitasi tersebut menjadi
beban kontraktor. Pengembalian biaya tersebut semata-mata
diperhitungkan dari hasil Migas, yaitu jika Migas itu ada dan dapat
diproduksi secara komersil.
Bahwa dalam hal satu wilayah kerja tidak berhasil menemukan cadangan
minyak atau Migas yang komersil maka wilayah kerja tersebut
dikembalikan kepada pemerintah, dan biaya kontraktor yang telah keluar
menjadi tanggungan dan risikonya sendiri.
Bahwa sebagai sumber daya alam tidak terbarukan, produktivitas akan
menurun secara alamiah dan memproduksi Migas semakin lama semakin
mahal, sedangkan biaya produksinya semakin tinggi. Memberikan
kesempatan kepada korporasi internasional tidak bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945 karena Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak melarang
modal asing.
Bahwa dalam perkembangan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi
menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 tersebut sebagai berikut. Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk
mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan,
lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan
regulasi oleh pemerintah.
81
Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen badan usaha
milik negara atau badan hukum milik negara sebagai instrumen
kelembagaan melalui mana negara c.q. pemerintah mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikianlah fungsi pengawas oleh negara dilakukan oleh negara c.q.
Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksana pembelaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi
yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Demikian juga, Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4
ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, menurut ahli tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),
Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Migas. Kontrak kerja sama adalah
kontrak dan bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lainnya dan
seterusnya, tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945 karena bentuk kerja sama lain adalah seperti servis
kontrak dan enhanced oil recovery contract yang menggali kembali
sumur minyak lama, dan hasilnya diperdayakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dengan pasal ini, UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan,
tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dengan tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Migas. Badan pelaksana adalah
suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan
usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi, tidak bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena badan
pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu di bidang
minyak dan gas bumi. Ini adalah implementasi Undang-Undang
82
Dasar 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk
pengelolaan.
c. Pasal 3 huruf b Undang-Undang Migas. Penyelenggara kegiatan
usaha migas bumi bertujuan menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian usaha pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan, dan
menyediakan, serta accountable yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan,
tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
karena mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan adalah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
d. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Migas. Pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan membentuk badan pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23, tidak bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena badan
pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu di bidang
minyak dan gas bumi ini. Ini adalah implementasi Undang-Undang
Dasar 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk
pengelolaan.
e. Pasal 6 Undang-Undang Migas. Pertama, kegiatan usaha hulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan
dikendalikan melalui kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dan
seterusnya, tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945 karena melalui kontrak kerja sama memuat persyaratan-
persyaratan sebagai implementasi UUD 1945 yang memberi mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan,
pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
f. Pasal 9 Undang-Undang Migas, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 14,
keseluruhannya tersebut di atas, tidak bertentangan dengan Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena pasal-pasal tersebut sebagai
implementasi UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan,
83
pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pembagian hasil antara Pemerintah Republik Indonesia dan koperasi
asing adalah 71,1538% berbanding dengan 24,8462% dimana modal
untuk mencari dan menggali minyak tersebut menjadi beban korporasi
asing, begitu juga risiko yang mungkin timbul. Di samping itu, korporasi
asing masih dibebankan pajak pemerintah sebesar 48%. Sehingga
korporasi asing hanya menerima 15% dan negara menerima 85%.
Bahwa kesimpulan ahli adalah pasal-pasal yang disebutkan oleh
Pemohon tidaklah bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. Ahli Prof. Dr. Hikmahanto Juwana
Bahwa ada dua hal pokok yang ingin disampaikan oleh Ahli, yaitu terkait
dengan keberadaan dari perjanjian, dalam hal ini KKS (Kontrak Kerja
Sama) apakah merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2). Kedua, terkait dengan keberadaan dari BP Migas.
Bahwa dalam membuat perjanjian atau kontrak, maka negara dapat
bertindak dalam dua kapasitas. Pertama sebagai subjek hukum perdata
dan kedua, sebagai subjek hukum internasional. Hal itu akan ditentukan
bergantung kepada siapa yang dihadapi dalam suatu perjanjian. Bila
yang dihadapi adalah subjek hukum perdata, maka negara menjadi
subjek hukum perdata, dimana perjanjian yang dilakukan tunduk pada
ketentuan perikatan dalam lapangan hukum perdata. Sementara bila
yang dihadapi oleh negara yang merupakan subjek hukum internasional,
maka perjanjian yang dilangsungkan tunduk pada Undang-Undang
tentang Perjanjian Internasional, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan
dengan perjanjian.
Bahwa terkait dengan kontrak kerja sama dalam Undang-Undang Migas,
ahli berpendapat bahwa kontrak kerja sama tersebut merupakan kontrak
perdata bukan perjanjian internasional. Ada pun pihak dalam kontrak
kerja sama adalah Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) yang
merupakan badan hukum tersendiri dalam bentuk badan hukum millik
negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang
84
Migas yang berbunyi, “Badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.” Selanjutnya
dalam penjelasan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Migas disebutkan
bahwa “badan hukum milik negara dalam ketentuan ini mempunyai status
sebagai subjek hukum perdata dan merupakan institusi yang tidak
mencari keuntungan, serta dikelola secara profesional”. Terlebih lagi
perjanjian KKS (kontrak kerja sama) tidak bisa dianggap perjanjian
internasional lainnya karena mitra BP Migas dalam KKS bukan subjek
hukum internasional selain negara yang berupa organisasi internasional,
palang merah internasional, atau pun belligerent. Sebagaimana diketahui
bahwa mitra BP Migas dalam KKS adalah perusahaan kontraktor, baik
domestik maupun internasional yang merupakan subjek hukum perdata.
Sehingga dalam lapanagan ilmu hukum, kontrak kerja sama merupakan
kontrak bisnis internasional yang merupakan bagian dari hukum perdata
internasional dan bukan merupakan bagian dari ilmu hukum
internasional.
Bahwa asas keseimbangan dalam kontrak kerja sama bergantung pada
posisi tawar dan kecermatan merancang kontrak. Kontrak kerja sama
sebagai sebuah perjanjian substansinya akan bergantung pada apa yang
disepakati oleh para pihak, meski para pihak dari segi hukum harus
memiliki kedudukan yang sejajar agar dapat terpenuhi unsur pertama dari
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya
kesepakatan, namun dalam kenyataanya secara sosiologis para pihak
dalam perjanjian ada yang memiliki posisi tawar yang tinggi, rendah,
maupun keduanya sama. Apabila salah satu pihak memiliki posisi tawar
yang tinggi, maka pihak tersebut dapat menentukan isi kesepakatan.
Sementara yang memiliki posisi tawar yang lemah hanya mempunyai
kesempatan untuk setuju atau tidak setuju atas isi kesepakatan yang
telah dibuat. Kontrak atau perjanjian seperti ini kerap disebut sebagai
kontrak atau perjanjian baku (standard contract).
Bahwa dalam perjanjian baku, pihak memiliki posisi tawar yang rendah
akan dilindungi dari eksploitasi yang eksesif oleh pihak yang memiliki
posisi tawar yang tinggi oleh negara. Perlindungan oleh negara dilakukan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau pun putusan
85
pengadilan. Sementara apabila para pihak memiliki posisi tawar yang
relatif sama secara sosiologis, maka para pihak akan terlibat dalam
proses negosiasi yang panjang. Kontrak atau perjanjian akan berisi hasil
negosiasi atau kompromi-kompromi dari para pihak, disini dituntut
kecermatan dan kecerdasan dalam menegosiasikan dan merumuskan
kesepakatan. Oleh karenanya asas keseimbangan dalam sebuah
perjanjian dimana para pihak memiliki posisi tawar yang relatif sama tidak
datang dengan sendirinya atau given, namun harus diupayakan oleh
masing-masing pihak yang hendak berkontrak.
Bahwa dalam lapangan hukum perjanjian, negara dapat saja menjadi
pihak dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian antara negara dan
korporasi atau individu dapat disepakati klausul penyelesaian sengketa.
Klausul ini untuk mengantisipasi apabila ada sengketa di kemudian hari.
Klausul sengketa berisi 2 tahapan, yaitu penyelesaian secara
musyawarah mufakat dan apabila tidak bisa diselesaikan, penyelesaian
melalui lembaga penyelesaian sengketa.
Bahwa penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa
dapat dipilih melalui pengadilan atau arbitrase. Pengadilan atau pun
arbitrase pun dapat dipilih apakah di dalam negeri ataupun di luar negeri.
Sehingga ketika BP Migas berkontrak dengan mitranya di KKS (kontrak
kerja sama), pilihan ini tentu harus disepakati dalam proses sampai pada
kesepakatan tersebut apabila posisi tawar para pihak relatif sama maka
dilakukan negosiasi. Hasil negosiasi untuk menyelesaikan sengketa
dapat saja dipilih arbitrase dan dilakukan di luar negeri. Apabila BP Migas
ternyata memang harus bersengketa di luar negeri melalui arbitrase
dengan mitranya dan BP Migas dinyatakan kalah, ini tidak berarti
merupakan kekalahan Negara Republik Indonesia dan terjadi
perendahan martabat bangsa. Dalam hukum kontrak, kekalahan BP
Migas tidak berarti kekalahan negara. Kekalahan BP Migas bermakna
lembaga penyelesaian sengketa menganggap BP Migas melakukan
cedera janji sebagaimana yang dituduhkan oleh mitranya. Penyelesaian
melalui arbitrase pun tidak berarti merendahkan martabat bangsa
mengingat arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa antar
subjek hukum perdata. BP Migas dalam kontrak kerja sama bertindak
86
sebagai subjek hukum perdata yang tidak membawa-bawa martabat
bangsa.
Bahwa keberadaan dari BP Migas sebagai badan hukum adalah untuk
membatasi pertanggungan kerugian. BP Migas dalam cabang ilmu
hukum perdata merupakan subjek berupa badan hukum. BP Migas
masuk dalam jenis statutory body atau badan hukum yang dibentuk oleh
pemerintah, yang pendiriannya didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang khusus. Hal ini berbeda dengan perseroan terbatas yang
merupakan badan hukum persero yang merupakan badan hukum yang
didirikan oleh pemerintah berdasarkan salah satu bentuk badan hukum
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang umum berlaku,
dalam hal ini Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Bahwa di Indonesia, sejak lama telah dikenal statutory body atau badan
hukum yang dibentuk oleh pemerintah, melalui peraturan perundang-
undangan khusus, semisal Pertamina yang awalnya, sebelum berlakunya
Undang-Undang Migas, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara. Di dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan dengan nama perusahaan
pertambangan minyak dan gas bumi negara, disingkat Pertamina,
selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut perusahaan, didirikan
suatu perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang dimiliki
Negara Republik Indonesia. Contoh lain dari statutory body adalah
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan yang mendirikan lembaga penjamin simpanan. Dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan
Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan yang
selanjutnya disebut LPS.
Bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mendirikan
atau menetapkan badan hukum oleh negara, tidak hanya dengan
Undang-Undang, tetapi juga bisa dengan peraturan pemerintah. Sebagai
contoh status badan hukum dari sejumlah universitas negeri, ditetapkan
dengan peraturan pemerintah. Universitas Indonesia diberi status badan
hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 yang
di dalam Pasal 2 ayat (1) nya menyebutkan bahwa dengan peraturan
87
pemerintah ini, ditetapkan Universitas Indonesia sebagai badan hukum
milik negara yang menyelenggarakan pendidikan. Selanjutnya,
ditegaskan dalam Pasal 4 bahwa universitas sebagai badan hukum milik
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah badan hukum
yang bersifat nirlaba.
Bahwa sejarah didirikannya BP Migas, tidak terlepas dari keberadaan
universitas negeri sebagai badan hukum milik negara. BP Migas
dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang Migas menjadi badan
hukum yang terpisah dari negara, namun tidak mengambil bentuk
sebagai perseroan terbatas atau perusahaan umum yang merupakan dua
bentuk badan usaha milik negara. Ide pembentukan BP Migas adalah
agar tanggung jawab negara ketika harus menangung kerugian dibatasi
pada aset-aset yang dimiliki oleh BP Migas dan tidak terkonsolidasi
dengan aset-aset yang dimiliki oleh negara.
Bahwa BP Migas sebagai wakil dari negara, memiliki kedudukan berbeda
dengan negara ketika berkontrak dengan perusahaan mitra. Negara
dalam Undang-Undang Pertambangan Umum, misalnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967, melakukan kontrak dengan perusahaan kontraktor
yang disebut kontrak karya. Berdasarkan kontrak karya, negara dapat
digugat oleh perusahaan kontraktor ke lembaga penyelesaian sengketa
yang disepakati oleh para pihak. Bila negara dikalahkan dan harus
menanggung kerugian, maka aset negara untuk membayar kerugian
tersebut, tidak bisa dibatasi.
Bahwa untuk dipahami, dalam industri pertambangan, termasuk
pertambangan minyak dan gas bumi, investasi yang dilakukan oleh
perusahaan mitra itu sangat besar, sehingga bila pembatasan atas
kerugian tidak dibatasi, maka aset negara dapat dijadikan aset untuk
menutupi kerugian dari perusahaan kontraktor. Oleh karenanya,
berdasarkan uraian di atas, keberadaan BP Migas penting untuk
memitigasi tanggung jawab negara ketika terjadi gugatan ganti rugi dari
perusahaan kontraktor.
Bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971
disebutkan bahwa definisi perusahaan negara yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 khususnya Pasal 1, harus
88
dibaca perusahaan dalam pengertian Undang-Undang ini. Berdasarkan
ketentuan di atas, maka Pertamina merupakan kuasa pertambangan.
Namun demikian, dalam kenyataannya, disamping menjadi kuasa
pertambangan yang berkontrak dengan perusahaan kontraktor, dalam
kenyataannya, Pertamina juga bertindak sebagai badan usaha yang
melakukan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak
dan gas bumi. Sehingga Pertamina memiliki dua peran sekaligus,
sebelum adanya Undang-Undang Migas, yaitu selaku kuasa
pertambangan dan selaku pelaku bisnis.
Undang-Undang Migas hendak memisahkan dua peran Pertamina ini,
yang kerap antara peran yang satu dengan peran yang lainnya
mempunyai potensi konflik kepentingan (conflict of interest). Terkait
dengan hal tersebut kemudian Pertamina, selaku kuasa pertambangan
digantikan kedudukannnya oleh BP Migas. Sementara Pertamina
mempertahankan kedudukannya sebagai pelaku bisnis. Kedudukan BP
Migas sebagai kuasa pertambangan didasarkan pada ketentuan Pasal 4
ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3), Undang-Undang Migas. Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Migas menyatakan, “Penguasaan oleh negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang kuasa pertambangan.” Kemudian ayat (3)-nya
menyatakan, ”Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan
membentuk badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 23” dan Pasal 1 angka 23 menyatakan, “Badan pelaksana adalah
suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan
usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.”
Bahwa selaku pelaku bisnis, Pertamina berdasarkan Undang-Undang
Migas diwajibkan untuk berubah bentuk menjadi badan usaha milik
negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas,
hal ini mendapat pengaturan dalam Pasal 60 huruf a, yang berbunyi,
“Dalam jangka waktu paling lama dua tahun, Pertamina dialihkan
bentuknya menjadi perusahaan perseroan atau Persero dengan
Peraturan Pemerintah.”
89
Saksi Sampe L. Purba
Bahwa industri Migas ini adalah industri yang sangat panjang,
memerlukan spektrum waktu atau type life time span yang sangat
panjang. Apabila untuk satu kegiatan dari kegiatan eksplorasi saja butuh
waktu tiga sampai enam tahun, kemudian apabila itu ada hasil untuk
memastikan apakah hasil itu cukup komersil butuh satu sampai dua
tahun, dan untuk rencana pengembangannya butuh sekitar tiga sampai
enam tahun, dan baru kegiatan produksi sekitar 10-20 tahun, dan setelah
selesai mungkin satu-dua tahun.
Bahwa mengingat jangka waktu yang sangat panjang yaitu sekitar tiga
sampai lima tahun hanya untuk kegiatan eksplorasi, maka oleh karena itu
diperlukan suatu kepastian, karena minyak dan gas bumi adalah bisnis
yang sangat jangka panjang, berisiko tinggi, padat modal, serta
memerlukan teknologi tinggi, yang artinya untuk itu sangat dibutuhkan
kepastian hukum maupun kepastian dalam aturan main. Kerja sama di
sektor hulu migas dibuka kesempatan seluas-luasnya baik kepada BUMN
atau BUMD, swasta, koperasi, asing, maupun usaha kecil, tinggal
seberapa kuat dan seberapa jauh masing-masing pihak mengakses
kemampuannya untuk masuk di dalam industri ini. diperlukan waktu
minimal sekitar tujuh tahun untuk kemungkinan berproduksi;
Bahwa jika ada sengketa (dispute) atau apapun maka akan kembali
kepada ketentuan yang diatur oleh kontrak;
Bahwa wilayah kerja migas Indonesia dari tahun ke tahun berkembang
sedemikian rupa. Tidak saja semata-mata upaya untuk menggali minyak
dan gas bumi, tetapi lebih dari itu untuk mencoba menemukan cadangan-
cadangan minyak baru, migas yang baru, kemudian untuk mencari dan
menggerakkan roda ekonomi sedemikian rupa, sehingga memenuhi
kebutuhan, tidak saja untuk kebutuhan domestik, tetapi untuk kebutuhan
ekspor, dan lain sebagainya sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Bahwa wilayah kerja tersebut dalam perkembangan 2002-2012, terdapat
kira-kira 107 wilayah kerja pada tahun 2002 dan pada tahun 2012
terdapat sekitar 293 wilayah kerja. Artinya, hal tersebut menunjukkan
bahwa ada intensitas, ada peningkatan volume, ada peningkatan effort
yang dibutuhkan di dalam mengelola kegiatan industri hulu migas. Oleh
90
karena itu, tidak dapat dibandingkan keadaan pada tahun 2002 dengan
keadaa saat ini. Ada dinamika yang berkembang, ada juga pertambahan
bobot dan beban kerja institusi. Jika pada tahun sebelum 2002, sebelum
ada otonomi daerah, seluruh kegiatan diputuskan dari Jakarta. Tetapi
sekarang ini, dalam melaksanakan kegiatan hulu Migas harus
berinteraksi dengan kementerian, dan lembaga lainnya, termasuk dengan
Pemda yang keseluruhan itu membutuhkan upaya, membutuhkan tenaga
kerja, membutuhkan effort, itulah yang membuat dan disesuaikan dengan
kebutuhan atas tenaga kerja yang dibutuhkan atau pun karyawan yang
dibutuhkan di BP Migas untuk mengelola kegiatan hulu Migas.
Bahwa dalam 5-6 tahun terakhir, Pemerintah dan seluruh Pemerintah
Daerah, dan yang terkait di dalamnya melakukan upaya (effort)
sedemikan rupa untuk memastikan supaya banyak investasi di sektor
hulu Migas. Investasi ini seluruhnya adalah dari sektor atau kontraktor
kontrak kerja sama itu sendiri, tidak ada dari investasi ini yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Untuk bisnis yang panjang, effort yang
dibutuhkan bagaimana supaya mereka dapat bekerja, baik untuk
kegiatan eksporasi, administrasi, pengembangan, maupun produksi yang
angka-angkanya dapat dilihat, kalau pada tahun 2006 sekitar U$
7.500.000,00, dan di tahun 2012 lebih kurang U$ 20.900.000,00.
Investasi ini bukan dari negara atau pun APBN, tetapi sepenuhnya murni
dari para pelaku usaha bisnis itu sendiri. Untuk itulah, sangat dibutuhkan
kepastian hukum dan kondusifitas supaya dapat meningkat terus. Tidak
saja untuk mencari produksi, tetapi mengganti produksi dan
menggerakkan roda ekonomi.
Bahasan yang kedua mengenai tata kelola organisasi BP Migas, bahwa
dari sisi kebijakan, regulasi, maupun operasional, sampai kepada
penunjang usaha Migas, industri ini adalah industri dari negara sebagai
pemegang kedaulatan sumber daya alam bersama masyarakat yang
kemudian menurunkan kuasa pertambangan kepada Pemerintah, dan
Pemerintah membuat kebijakannya, lalu regulasi teknis dan bisnisnya
pun ada pada Pemerintah, implementasinya ada pada kontraktor kontrak
kerja sama itu sebagai pemegang kepentingan ekonomi. Karena
memang merekalah yang melakukan investasi sesuai dengan syarat-
91
syarat dan kondisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan kerja sama
itu diterima oleh kontraktor. Lalu untuk implementasinya, Pemerintah
membentuk BP Migas.
BP Migas di satu sisi semata-mata merupakan pelaksana kebijakan
pemerintah, di sisi lain BP Migas merupakan penangkap aspirasi
sekaligus fasilitasi kegiatan usaha bisnis Migas, sehingga ada titik temu
antara kepentingan bisnis di satu pihak dengan kepentingan pemerintah
yang membuat regulasi atau pun kebijakan di pihak lainnya. Institusi BP
Migas bukan institusi di ruang vakum atau yang tidak punya akuntabilitas,
karena kebijakan yang diambilnya tidak terlepas atau tidak terawasi oleh
institusi-institusi lain dalam sistem kenegaraan Indonesia. Kepala BP
Migas diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden setelah
berkonsultasi dengan DPR, dalam hal ini komisi yang membidangi energi.
Bahwa struktur organisasi personalia mekanisme kerjanya diatur di dalam
peraturan pemerintah. Pengelolaan kekayaannya, anggaran pendapatan,
dan belanja, serta rencana kerja tahunan ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kementerian
Energi. Terhadap pelaksanaan BP Migas sendiri sebagai institusi
maupun pelaksanaan tugas BP Migas dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan kegiatan usaha hulu Migas, ada audit internal dari
Pemerintah maupun dari eksternal untuk pengelolaan kinerja maupun
pengelolaan keuangan.
Bahwa dalam skema hulu Migas, BP Migas tidak semata-mata hanya
untuk mengawasi pengeluaran biaya, tetapi dalam semua sekmen baik
dalam rencana kerja dan anggarannya kontraktor tersebut. Hal Itu
mencerminkan bahwa kontraktor pihak swasta atau pihak KKS yang
berkontrak itu tidak semata-mata melakukan pembelanjaan sesuai
dengan keinginannya, tetapi harus disesuaikan dengan kebijakan
pemerintah. Demikian juga di dalam eksekusi, pengawasan
pengendalian, teknis operasi, ketenagakerjaan, ketaatan peraturan
instansi terkait, lalu terhadap biaya operasi sendiri. Biaya operasi ini yang
diperkenankan sebagai biaya operasi Migas, juga diperiksa dan diaudit
oleh para pihak, termasuk oleh pihak di KKS, Karena dalam KKS ada
yang menjadi operator, ada yang hanya menaruh modal. Mereka juga
92
harus saling memastikan bahwa modal operator ataupun tujuan yang
disepakati dilaksanakan, hal itu yang disebut audit oleh para partner.
Kemudian BP Migas dalam konteks itu juga harus melaksanakan bagian
dari manajemen karena kontroling adalah salah satu bagian dari fungsi
pengawasan. BPK, BPKP, Dirjen Pajak, seluruh instansi institusi yang
dibentuk oleh pemerintah melakukan tugasnya masing-masing dalam
rangka pengawasan pengendalian kegiatan dimaksud. Kepemilikan atas
dan kebijakan atas kegiatan pun ditentukan oleh negara.
Bahwa komponen penerimaan negara di dalamnya sepenuhnya juga
seperti di sini, dia ada dalam bentuk penerimaan bukan pajak, dalam
bentuk in kind dan juga ada dalam bentuk pajak. Secara umum ini lebih
kurang pada range 65% sampai 85% daripada penerimaan bersih untuk
negara. Inilah di industri kita ini yang menopang APBN lebih kurang 30%
setiap tahun secara langsung di luar pajak-pajaknya.
Bahwa pengelolaan industri hulu Migas ini berdimensi makro dan mikro.
Perspektif waktunya mulai jangka pendek sampai dengan jangka
panjang, dan tidak semata-mata ditujukan untuk memastikan biaya cost
recovery atau memastikan produksi, tetapi juga harus dilihat sebagai
secara keseluruhan, serta penggunaan fasilitas teknologi, menjaga
keekonomian proyek, multiplier effect yang tidak semata-mata hanya
untuk mengejar uang atau keuntungan, tetapi menyesuaikan dengan
kebijakan pemerintah.
Bahwa peningkatan produksi Migas dilakukan tidak semata-mata hanya
untuk meningkatkan produksi atau hanya untuk memenuhi kebutuhan
sesaat APBN, tetapi juga menjaga keseimbangan cadangan, kebutuhan
domestik, dan lain sebagainya. Namun demikian karena industri hulu
Migas adalah industri yang strategis dan komoditas vital yang merupakan
amanat APBN yang harus dilakukan maka tugas itu pun tetap
dilaksanakan. Faktanya dalam lima sampai enam tahun terakhir, tugas
yang diembankan negara melalui APBN, Pemerintah selalu
mengusahakan dengan effort dan tentunya dengan dengan kondusifitas
seluruh stakeholders yang terkait.
Bahwa kalau melihat biaya atau hasil di dalam industri atau perkonomian
maka yang dilihat adalah rasio. Oleh karena itu, ketika membandingkan
93
biaya dengan hasil harus selalu dalam perbandingan yang tidak boleh
keluar dari konteks. Bahwa sisi distribusi penerimaan negara sedemikian
rupa sehingga tetap terjaga pada level yang lebih kurang sekitar 60%-an.
Terlepas berapa pun biayanya karena memang tidak terlepas dari 3 hal,
yaitu faktor biaya, ada faktor harganya, dan faktor volumenya;
Bahwa mengenai LNG juga tidak terlepas dengan ruang vakum dari
hukum permintaan penawaran. Naik turunnya harga dipengaruhi oleh
pembeli, kemampuan pasar, prediksi pasar, dan juga penjual. Dengan
demikian industri hulu Migas, termasuk LNG-nya, tidak terlepas dari
hukum-hukum umum penawaran-permintaan;
Bahwa pelaksanaan usaha kegiatan hulu itu terbuka, tidak eksklusif
hanya kepada asing. Undang-undang memberikan kesempatan yang
sama kepada BUMN, BUMD, swasta, maupun pelaku asing dengan
memberi prioritas kepada BUMNd dan BUMD, hanya terpulang
bagaimana para pihak mengakses kemampuannya terhadap resiko
permodalan, dan sebagainya;
Bahwa BP Migas sebagai institusi yang dibentuk oleh Pemerintah
berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang
diimplementasikan dalam PP Nomor 40 Tahun 2002, memiliki
akuntabilitas dan tata kelola yang terukur serta dapat
dipertanggungjawabkan dalam sistem administrasi publik.
Bahwa manajemen kegiatan usaha hulu meliputi sisi penerimaan
keuangan, pengendalian biaya, penemuan cadangan baru, serta
diharapkan menjadi berfungsi sebagai lokomotif ekonomi.
Bahwa harga minyak, gas, dan LNG tunduk kepada hukum-hukum
mekanisme supply and demand di pasar, seperti halnya komoditas
lainnya.
[2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2012 yang pada
pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya;
[2.6] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan kesimpulan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Agustus 2012 yang pada
pokoknya menyatakan tetap dengan keterangannya;
94
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon
adalah menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b,
Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal
44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152, selanjutnya disebut UU Migas)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama
95
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji
konstitusionalitas Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat
(3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU
Migas terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah,
sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
96
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi
lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya para Pemohon terdiri atas tiga
kelompok, yaitu:
1. Pemohon I sampai dengan Pemohon IX adalah perkumpulan-perkumpulan
berbadan hukum yang secara umum mempunyai tujuan untuk mewujudkan
terbentuknya tatanan masyarakat madani atau masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya (al-mujtama’ al-madani), yang dilakukan melalui berbagai usaha-
usaha pembinaan, pengembangan, advokasi dan pembaruan kemasyarakatan
di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan
masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya. Usaha-usaha tersebut
merupakan wujud pembelaan dan perjuangan terhadap kepentingan publik
pada umumnya dan kepentingan umat pada khususnya (vide bukti P-1 s.d. bukti
P-10);
2. Pemohon X sampai dengan Pemohon XXIV, Pemohon XXVI, Pemohon XXVIII
sampai dengan Pemohon XLII adalah perorangan warga negara Indonesia;
3. Pemohon XXV dan Pemohon XXVII adalah perorangan yang merupakan
anggota DPD-RI;
Terhadap para Pemohon tersebut Mahkamah memberi pertimbangan sebagai
berikut:
Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK
dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing)
97
serta dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut
Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang
secara potensial dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal
dari UU MIgas yang dimohonkan pengujian dan apabila permohonan dikabulkan
maka kerugian kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permononan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Pemohonan
Pendapat Mahkamah
[3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca
dengan saksama keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan
ahli dan saksi dari para Pemohon, keterangan ahli dari Pemerintah, serta
memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Pemerintah,
Mahkamah menemukan beberapa permasalahan konstitusional yang diajukan
dalam permohonan a quo, yaitu:
1. Kedudukan dan wewenang Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi,
selanjutnya disebut BP Migas;
2. Kontrak kerja sama Migas;
3. Frasa “yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat, dan transparan”;
4. Posisi BUMN yang tidak bisa lagi monopoli;
5. Larangan penyatuan usaha hulu dan hilir;
6. Pemberitahuan KKS kepada DPR;
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan
konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan bahwa Minyak
dan Gas Bumi (selanjutnya disebut Migas) adalah termasuk cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan
98
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Mahkamah
telah memberi makna mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945,
sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003,
tanggal 21 Desember 2004 mengenai pengujian UU Migas, yang menyatakan
bahwa,
“...penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebihtinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsipenguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan denganprinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik(demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatanrakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegangkekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebuttercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi danair dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara padahakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkankepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnyakemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dalam putusan tersebut dipertimbangkan pula bahwa makna “dikuasai oleh negara”
tidak dapat diartikan hanya sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah
dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara
khusus dalam Undang-Undang Dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam
UUD 1945, kewenangan negara untuk mengatur tetap ada pada negara, bahkan
dalam negara yang menganut paham ekonomi liberal sekalipun. Oleh karena itu,
dalam putusan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa,
“...pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaanoleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatanrakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publikoleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secarakolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untukmengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untukmengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dankonsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melaluikewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah.Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham(share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan
99
Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan,yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atassumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuranrakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad)dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi danmengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumberkekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuranseluruh rakyat.
Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikanperdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara,c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumidimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas sahamdalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang pentingbagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikanatau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifatkumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu,negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinyasendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orangbanyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atassumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuranrakyat.
[3.11] Menimbang bahwa pengertian “penguasaan negara” sebagaimana
dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21
Desember 2004 tersebut, perlu diberikan makna yang lebih dalam agar lebih
mencerminkan makna Pasal 33 UUD 1945. Dalam putusan Mahkamah tersebut,
penguasaan negara dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah,
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh
negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
100
sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat. Kelima bentuk penguasaan negara dalam putusan
tersebut yaitu fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan
pengawasan ditempatkan dalam posisi yang sama. Dalam hal Pemerintah melakukan
salah satu dari empat fungsi penguasaan negara, misalnya hanya melaksanakan
fungsi mengatur, dapat diartikan bahwa negara telah menjalankan penguasaannya
atas sumber daya alam. Padahal, fungsi mengatur adalah fungsi negara yang umum
di negara mana pun tanpa perlu ada Pasal 33 UUD 1945. Jika dimaknai demikian,
makna penguasaan negara tidak mencapai tujuan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat sebagaimana maksud Pasal 33 UUD 1945.
Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara
itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini,
“pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk
“sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945. Hal
ini memperoleh landasannya yang lebih kuat dari Undang-Undang Dasar 1945
yang dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat”.
Dalam putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011,
Mahkamah mempertimbangkan bahwa, “...dengan adanya anak kalimat
“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar
kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan
tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya...” (vide paragraf [3.15.4] hal. 158 putusan
Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010). Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan
secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat
maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak tepat. Artinya, negara
sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara
penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di
satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun
di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas
sumber daya alam. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional
untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat
pada frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;
101
[3.12] Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar
kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian
penguasaan negara sebagaimana telah diuraikan di atas, jika tidak dimaknai
sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan
efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut
Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling
penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya
alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat
kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara
dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang
negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam
mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan
pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara
langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk
menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat
lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam
bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha
Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya
alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara,
keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan
berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal
33 UUD 1945 seperti diungkapkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding
leaders Indonesia yang mengemukakan, “... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal
33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan
oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak
berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam
modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah... Apabila
tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing
dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak
bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk
menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh
Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama
menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap
102
terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja
dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing,
sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”... (Mohammad
Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 202 s.d. 203, PT. Toko Gunung Agung Tbk.
Jakarta 2002). Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa
pemberian kesempatan kepada asing karena kondisi negara/pemerintah belum
mampu dan hal tersebut bersifat sementara. Idealnya, negara yang sepenuhnya
mengelola sumber daya alam;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah selanjutnya memberi penilaian konstitusionalitas atas isu-isu
konstitusional yang dipersoalkan dalam permohonan a quo;
Mengenai BP Migas
[3.13.1] BP Migas adalah badan hukum milik negara yang secara khusus
berdasarkan undang-undang dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa
Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang
Minyak dan Gas Bumi [vide Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) UU Migas].
Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, dilaksanakan
oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama
dengan Badan Pelaksana [vide Pasal 11 ayat (1) UU Migas]. BP Migas berfungsi
melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja
Sama Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas
Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal
bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 44 ayat (1) dan
ayat (2) UU Migas]. Untuk melaksanakan fungsi tersebut BP Migas bertugas:
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama
kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk
mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain
sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
103
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. [vide Pasal 44 ayat
(3) UU Migas].
Memperhatikan konsepsi BP Migas menurut Undang-Undang a quo, dikaitkan
dengan pengelolaan sumber daya alam Migas, BP Migas merupakan organ
pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (selanjutnya
disebut BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah
melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu
(ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang
dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha,
pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran badan
usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual Migas bagian
negara kepada badan hukum lain. Oleh karena BP Migas hanya melakukan fungsi
pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas
maka negara dalam hal ini Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan secara
langsung atas sumber daya alam Migas pada kegiatan hulu. Pihak yang secara
langsung dapat mengelola sumber daya alam Migas menurut UU Migas hanya
Badan Usaha (yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), Koperasi serta badan usaha swasta) dan Bentuk Usaha Tetap.
Dengan demikian konstruksi hubungan antara negara dan sumber daya alam
Migas menurut UU Migas dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa
Pertambangan yang dilaksanakan oleh BP Migas. Dalam hal ini, BP Migas
melakukan fungsi penguasaan negara berupa tindakan pengendalian dan
pengawasan atas pengelolaan Migas yang dilakukan oleh Badan Hukum yang
dapat berupa BUMN, BUMD, Koperasi, usaha kecil atau badan hukum swasta
maupun Bentuk Usaha Tetap. Hubungan antara BP Migas dan Badan Hukum atau
Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja
Sama (selanjutnya disebut KKS) atau kontrak kerja sama lainnya dengan syarat
minimal, yaitu: i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai
pada titik penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP
Migas, dan iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap (vide Pasal 6 UU Migas). Dari konstruksi hubungan yang demikian
104
terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, Penguasaan
negara atas Migas diselenggarakan oleh Pemerintah melalui BP Migas. Kedua,
bentuk penguasaan negara terhadap Migas oleh BP Migas hanya sebatas
tindakan pengendalian dan pengawasan.
[3.13.2] Menimbang bahwa pembentukan BP Migas dilatarbelakangi oleh
kehendak untuk memisahkan antara badan yang melakukan regulasi atau badan
yang membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis Migas yang kedua
fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. BP Migas diharapkan
dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan
gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri,
tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya
pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi
pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu Migas yang sebelumnya
dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi
Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang menyelenggarakan
penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. BP Migas adalah Badan
Hukum Milik Negara yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang
mengendalikan dan mengawasi bisnis Migas di sektor hulu. BP Migas oleh
Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara
langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara
langsung dengan pelaku usaha;
[3.13.3] Menimbang bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada paragraf
[3.11] dan paragraf [3.12], bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang
harus dilakukan oleh negara adalah Pemerintah melakukan pengelolaan secara
langsung atas sumber daya alam dalam hal ini Migas. Dari konstruksi hubungan
sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.13.1], BP Migas hanya melakukan
fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak
melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor
hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara
maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha
yang sehat, efisien, dan transparan. Menurut Mahkamah model hubungan antara
BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas
105
sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Walaupun UU Migas, menentukan tiga syarat minimal dalam KKS, yakni
i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan iii)
modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap,
tetapi ketiga syarat minimal tersebut tidak serta merta berarti bahwa penguasaan
negara dapat dilakukan dengan efektif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat
secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan
usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan
usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu
pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan
kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan
dengan isi KKS; Ketiga, tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan Migas keuntungan
besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan
berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan. Dalam
hal ini, dengan konstruksi penguasaan Migas melalui BP Migas, negara kehilangan
kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung
Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber daya alam Migas, padahal
fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama
dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena konstruksi hubungan yang demikian maka menurut Mahkamah
keberadaan BP Migas menurut Undang-Undang a quo, bertentangan dengan
konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat
sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan penguasaan
negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap sumber
daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Menurut
Mahkamah, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha
yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945.
Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan
kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola
sumber daya alam Migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan
kepada badan swasta.
106
Bahwa untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber
daya alam Migas, negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan
kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga
mempunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah, pemisahan antara badan
yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang
melakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan
terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. Walaupun
terdapat prioritas pengelolaan Migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana
telah menjadi pendirian Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal
21 Desember 2004, efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila
Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy)
tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Dalam posisi
demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan,
pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam Migas. Dalam
menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah
melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan
memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk
mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara
itulah yang akan melakukan KKS dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi,
Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan model
seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD
1945 terlaksana dengan nyata.
[3.13.4] Menimbang bahwa tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” sehingga implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan
pemerintahan pun harus menuju ke arah tercapainya tujuan tersebut. Oleh sebab
itu setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun
berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang
inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena keberadaan BP Migas
sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah
membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut
Mahkamah keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan
dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam
pengorganisasian pemerintahan. Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti
107
bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah
alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal
31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007,
bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar konstitusi
pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas. Jikalau
diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau
kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu
tidak mengurangi keyakinan Mahkamah untuk memutuskan pengembalian
pengelolaan sumber daya alam ke Pemerintah karena dengan adanya putusan
Mahkamah ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang
untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang
berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Dengan putusan
Mahkamah yang demikian maka Pemerintah dapat segera memulai penataan
ulang pengelolaan sumber daya alam berupa Migas dengan berpijak pada
“penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat yang
sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien dan di bawah
kendali langsung Pemerintah. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalil para
Pemohon sepanjang mengenai BP Migas beralasan hukum;
[3.13.5] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon hanya memohon pengujian
Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena
putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam Undang-
Undang a quo diatur juga dalam berbagai pasal yang lain maka Mahkamah tidak
bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang
“Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana”dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalamPasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “BadanPelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63,serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
108
Kontrak Kerja Sama
[3.14] Menimbang bahwa Undang-Undang a quo, mengkonstruksikan
hubungan antar negara dengan badan usaha yang melakukan pengelolaan Migas
dengan hubungan keperdataan dalam bentuk KKS. Menurut UU Migas, KKS
adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan dan hasilnya dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (vide Pasal 1 angka 19 UU Migas).
Dalam KKS, BP Migas bertindak mewakili Pemerintah sebagai pihak dalam KKS
dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas. Dalam
posisi yang demikian, hubungan antara BP Migas (negara) dengan Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap adalah hubungan yang bersifat keperdataan yaitu
menempatkan posisi negara dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
mengelola Migas dalam posisi yang sederajat. Dalam hal ini ketika kontrak telah
ditandatangani, negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan
diskresi untuk membuat regulasi bagi kepentingan rakyat yang bertentangan
dengan isi KKS, sehingga negara kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan
sumber daya alam yaitu kedaulatan untuk mengatur Migas yang bertentangan
dengan isi KKS. Padahal negara, sebagai representasi rakyat dalam penguasaan
sumber daya alam harus memiliki keleluasaan membuat aturan yang membawa
manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah
hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam
tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus
merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau
perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak
keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam,
dalam hal ini Migas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah,
hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi
dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai
pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo adalah
bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.
Untuk menghindari hubungan yang demikian negara dapat membentuk atau
menunjuk BUMN yang diberikan konsensi untuk mengelola Migas di Wilayah
hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja, sehingga BUMN tersebut
109
yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sehingga
hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap, tetapi antara Badan Usaha dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 6 UU
Migas, merupakan pengaturan yang bersifat umum yang apabila tidak dikaitkan
dengan BP Migas selaku Pemerintah adalah tidak bertentangan dengan konstitusi.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 19 UU
Migas sepanjang frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain” bertentangan
dengan konstitusi dengan alasan yang pada pokoknya bahwa frasa tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir karena memposisikan negara
sederajat dengan badan usaha sehingga berakibat melemahkan posisi negara.
Menurut Mahkamah frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain” dalam Pasal 1
angka 19 UU Migas merupakan bentuk kontrak yang sengaja dibuat oleh
pembentuk Undang-Undang agar selain KKS dalam bentuk kontrak bagi hasil, juga
dimungkinkan KKS dalam bentuk yang lain, asalkan menguntungkan bagi negara,
misalnya yang sekarang ini dikenal yaitu KKS dalam bentuk kontrak jasa. Bentuk
KKS selain kontrak bagi hasil adalah tidak bertentangan dengan konstitusi
sepanjang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan tidak
melanggar prinsip penguasaan negara yang dimaksud dalam konstitusi. Dengan
demikian sepanjang frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain “ dalam Pasal 1
angka 19 UU Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Persaingan Usaha yang Wajar, Sehat, dan Transparan
[3.16] Menimbang bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha
Migas menurut Pasal 3 huruf b UU Migas adalah, “Untuk menjamin efektivitas
pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan,
dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui persaingan usaha yang
wajar, sehat, dan transparan”. Menurut Mahkamah Pasal 3 huruf b tersebut sangat
berbeda dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Migas. Pasal 28 ayat (2) a quo
yang menentukan bahwa penetapan harga bahan bakar minyak dan gas bumi
diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar telah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-
110
I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Frasa “penyelenggaraan melalui mekanisme
persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan” dalam Pasal 3 huruf b UU
Migas merupakan penjabaran dari pelaksanaan keterbukaan dalam kegiatan
usaha hilir minyak dan gas bumi. Kegiatan usaha hilir di bidang minyak dan gas
bumi dilaksanakan dengan mekanisme pemberian Izin Usaha kepada Badan
Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), Koperasi, dan juga usaha kecil yang bergerak di bidang pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, dan niaga minyak dan gas bumi. Berdasarkan Pasal
9 ayat (2) UU Migas kegiatan usaha hilir tidak dimungkinkan bagi Bentuk Usaha
Tetap. Hal ini berarti membuka peluang bisnis kepada perusahaan-perusahaan
nasional atau perusahaan yang berbadan hukum Indonesia, dalam kegiatan usaha
hilir minyak dan gas bumi di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan adanya
frasa “melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b UU Migas, menjamin tidak adanya
monopoli oleh suatu badan usaha tertentu dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
hilir di bidang minyak dan gas bumi. Dengan demikian, hal itu sudah sesuai
dengan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat. Pasal 3 huruf b berkait
dengan Pasal 23 ayat (2) UU Migas yang menyatakan “Izin usaha yang diperlukan
untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin Usaha Pengolahan;
b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”.
Dengan demikian, Pasal 3 huruf b Undang-Undang a quo membuka peluang
usaha kepada siapa saja yang ingin berkecimpung dalam usaha minyak dan gas
bumi, apakah akan melakukan usaha secara keseluruhan atau melakukan usaha
hanya pengolahan, atau pengangkutan, atau penyimpanan, atau usaha niaga,
kesemuanya terpulang kepada kemampuan modal dari para pelaku usaha itu
sendiri. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Posisi BUMN
[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas
sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik
111
Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas,
dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas.
Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk
berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam
putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah
mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan
Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hakmendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana
mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP
Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana
dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka
posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan
dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha
hulu Migas. Dengan demikian, anggapan para Pemohon bahwa BUMN harus
bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut
tidak beralasan menurut hukum;
[3.18] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 10 dan Pasal 13
UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan alasan yang pada
pokoknya bahwa norma dalam pasal-pasal tersebut mengurangi kedaulatan
negara atas penguasaan sumber daya alam (Migas) karena pemecahan
organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) akan menciptakan
manajemen baru yang akan menentukan cost dan profit masing-masing. Terhadap
dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003,
tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangan mengenai pemisahan
(unbundling) kegiatan usaha, yaitu “... ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan
tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang justru
harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal 61
yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan
dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak
menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap
melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha
112
hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu”
dan “Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai oleh negara”. Meskipun Pasal
13 UU Migas tidak termasuk dalam putusan Mahkamah tersebut, namun oleh
karena substansinya sama dengan Pasal 10 UU Migas yaitu mengenai unbundling
secara horizontal maka pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis
berlaku untuk pengujian Pasal 13 UU Migas. Oleh karena itu, menurut Mahkamah,
pemisahan dalam kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dalam kegiatan
minyak dan gas bumi sudah tepat. Adapun alasan kemungkinan hal itu akan
menciptakan manajemen baru yang akan menentukan cost dan profit masing-
masing, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak terkait dengan permasalahan
konstitusionalitas. Dengan demikian, dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan
menurut hukum;
[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 11 ayat (2) UU
Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A dan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya bahwa KKS
tergolong dalam perjanjian internasional, sehingga pemberitahuan KKS secara
tertulis kepada DPR telah mengingkari kedaulatan rakyat dan mengingkari
keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam. Menurut
Mahkamah, KKS dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi merupakan kontrak
yang bersifat keperdataan dan tunduk pada hukum keperdataan. Hal ini jelas
berbeda dengan perjanjian internasional yang dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD
1945. Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang merupakan penjabaran dari Pasal 11 ayat (3) UUD 1945, telah
memberikan definisi tentang perjanjian internasional, yaitu “Perjanjian dalam
bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”
Kemudian dalam Pasal 1 huruf a dan Pasal 4 ayat (1) UU 24/2000, menyebutkan
elemen-elemen dari perjanjian internasional yaitu:
a) dalam bentuk dan nama tertentu;
b) diatur dalam hukum internasional;
c) dibuat secara tertulis;
d) dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional
lainnya;
e) menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
113
Di samping itu, Article 1 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian
Internasional menyatakan, “The present Convention applies to treaties between
states”. Kemudian dalam Article 2 (a) treaty diartikan “treaty” means an
international agreement concluded between states in written form and governed by
international law, whether embodied in a single instrument or in two or more
related instruments and whatever its particular designation. Selain itu, dalam
Article 1 Konvensi Wina Tahun 1986 dinyatakan “The present Convention applies
to: (a) treaties between one or more States and one or more international
organizations, and (b) treaties between international organizations.”
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, KKS Migas tidak
memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak
memerlukan persetujuan DPR.
Bahwa selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 20/PUU-V/2007, tanggal 17
Desember 2007, yang antara lain mempertimbangkan, “...karena dengan
dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan adanya
pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih merugikan
DPR sebagai lembaga ...”;
Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Mengingat posisi
minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan
yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat
hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian
nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (vide konsiderans huruf b UU Migas) maka
pemberitahuan kontrak-kontrak tertulis kepada DPR adalah dalam rangka fungsi
pengawasan DPR sebagai mekanisme yang melibatkan peran serta rakyat melalui
wakil-wakilnya di DPR apabila terdapat kontrak yang merugikan bangsa dan
negara Indonesia. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum;
[3.20] Menimbang bahwa oleh karena putusan ini menyangkut status hukum
BP Migas yang oleh Undang-Undang a quo diposisikan sangat penting dan
114
strategis, maka Mahkamah perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah
putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh
Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat
mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak
dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena
kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh
karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ
negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya
aturan yang baru;
[3.21] Menimbang bahwa sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan akibat hukum dari putusan ini.
Bahwa berdasar Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum” maka putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum dan berlaku secara prospektif. Dengan demikian segala KKS
yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa
yang lain sesuai dengan kesepakatan;
[3.22] Menimbang bahwa untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya
lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan
melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru.
Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh
Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian
yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak
serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh
Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah;
115
[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di
atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan
hukum untuk sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian hukum dan fakta tersebut di atas, Mahkamah
berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
116
1.2 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
1.3 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui
Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan
pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa
“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui
Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan
pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa
“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
1.6 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.7 Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan
oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya
Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut;
117
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi, yaitu, Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, MuhammadAlim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima, bulan November,tahun dua ribu dua belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno MahkamahKonstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulanNovember, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu, Moh.
Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono,Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan
Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh
Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya,Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang
mewakili. Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Harjono mempunyai
pendapat berbeda (dissenting opinion).
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.Achmad Sodiki
ttd.Harjono
ttd.Hamdan Zoelva
ttd.M. Akil Mochtar
ttd.Muhammad Alim
ttd.Maria Farida Indrati
118
ttd.Ahmad Fadlil Sumadi
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Harjono mempunyai pendapat
berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:
I. Bahwa Mahkamah kurang saksama dalam mempertimbangkan legal standing
para Pemohon sebagaimana disampaikan dalam paragraf [3.5] sampai
dengan paragraf [3.7]. Meskipun Mahkamah telah mendasarkan pada Pasal
51 ayat (1) UU MK dan Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007, namun Mahkamah tidak mengemukakan
argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas
yang dimohonkan untuk diuji. Argumentasi Mahkamah dalam memberikan
legal standing sangatlah penting sekali, karena menyangkut hal yang sangat
esensial dalam proses peradilan, yaitu bahwa hanya yang punya kepentingan
secara langsung sajalah yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan.
Mahkamah tidak menguraikan argumentasi yuridis yang cukup, karena tidak
tergambarkan proses deduktif yang dilakukan oleh Mahkamah untuk sampai
pada kesimpulan bahwa para Pemohon mempunyai legal standing;
II. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD). Sistem UUD
dalam mengatur pelaksanaan kedaulatan tersebut menentukan bahwa
kewenangan untuk menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar
diberikan kepada lembaga negara MPR [vide Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37
UUD 1945]. Sedangkan untuk membuat Undang-Undang diserahkan kepada
DPR dan Presiden (vide Pasal 20 UUD 1945). Adanya badan-badan
pemerintahan yang tidak ditetapkan dalam UUD tidaklah menyebabkan
badan pemerintahan yang demikian secara serta merta menjadi
inkonstitusional. UUD hanya menetapkan lembaga-lembaga konstitusi,
artinya lembaga negara yang keberadaannya dicantumkan dalam konstitusi
dan tidak ada satu ketentuan dalam UUD yang melarang pembentukan
badan pemerintahan. Hal demikian adalah wajar karena tidak mungkin
119
sebuah UUD menetapkan secara limitatif badan-badan pemerintahan secara
rinci. Kementerian negara yang dicantumkan dalam UUD pun tidak
ditentukan jenis dan jumlahnya. Praktik pelaksanaan pemerintahan
membutuhkan badan pemerintahan, dan Undang-Undang menjadi dasar
yang kuat karena tidak ada produk hukum yang lebih tinggi lagi. Kalau
kebutuhan akan badan pemerintahan tersebut demikian penting maka MPR
dapat melakukan perubahan UUD dengan memasukkan ketentuan tentang
badan pemerintahan tersebut dalam UUD sehingga menjadi lembaga
konstitusi. Sistem UUD dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat menetapkan
dua fungsi yang berbeda yaitu menetapkan dan mengubah UUD diserahkan
kepada MPR, dan membuat Undang-Undang kepada DPR dan Presiden.
Pada dua lembaga tersebut tercerminkan kedaulatan rakyat karena MPR
anggotanya terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung
oleh rakyat dan fungsi pembuatan Undang-Undang dilakukan oleh DPR dan
Presiden yang keduanya pun dipilih secara langsung oleh rakyat pula.
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bukan
merupakan lembaga perwakilan yang tugasnya melaksanakan peradilan tata
negara harus menghormati dan menegakkan sistem kedaulatan rakyat yang
dibangun oleh UUD tersebut;
III. Pembentukan badan-badan pemerintahan secara konstitusional menjadi
ranah pembuat Undang-Undang yang mendapat amanat langsung dari rakyat
yang berdaulat karena pembuat Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Hal demikian tidak menutup pintu secara mutlak
bahwa Mahkamah tidak dapat menjamah sama sekali penggunaan
kewenangan membuat Undang-Undang yang berhubungan dengan
pembentukan badan atau lembaga pemerintah dalam uji Undang-Undang.
Mahkamah harus mempunyai alasan yang kuat dan terukur mengapa
Undang-Undang pembentukan suatu badan pemerintah harus dibatalkan
sehingga alasan tersebut dapat digunakan oleh pembuat Undang-Undang
dalam membentuk badan-badan pemerintahan lainnya yang di masa akan
datang pasti akan lebih banyak kebutuhan untuk dibentuknya badan-badan
serupa. Sebagai proses politik yang sah, produk Undang-Undang haruslah
dihargai. Pembentuk Undang-Undang, DPR dan Presiden, lebih mengetahui
badan pemerintah apa yang diperlukan dan dalam urusan apa, karena kedua
120
lembaga negara tersebut terlibat secara langsung secara aktual;
IV. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan ayat (5) menyatakan
ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang. Pasal 33 ayat (3) UUD tidak menentukan badan negara mana dalam
kedudukannya sebagai negara yang akan menguasai, tetapi jelas bahwa UU
memberikan delegasi berdasarkan ayat (5) untuk diatur pelaksanaannya
dalam UU. Pertanyaannya kalau pembuat Undang-Undang telah mengatur
pelaksanaannya dengan membuat UU Migas yang di dalamnya diatur
tentang Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang dimasalahkan oleh para
Pemohon, di mana letak kesalahannya secara struktur menurut UUD. Bahkan
dalam pembentukan BP Migas, kadar negara di dalamnya adalah sangat kuat
karena menurut Pasal 45 ayat (3) UU Migas, Kepala Badan Pelaksana
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR
dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.
Ketentuan ini jelas mempunyai dasar bahwa BP Migas adalah sangat penting
oleh karenanya dalam penunjukan Kepala BP, dua lembaga perwakilan yang
dipilih oleh rakyat secara langsung dilibatkan. Hal demikian menjadikan kadar
negara lebih kuat, bahkan dibandingkan dengan menteri yang disebutkan
dalam UUD hanya diangkat oleh Presiden saja. Putusan Mahkamah Nomor
002/PUU-I/2003 bertanggal 21 Desember 2004 yang berkaitan dengan Pasal
33 UUD menyatakan, penguasaan negara dimaknai rakyat secara kolektif
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberi mandat kepada negara. Dengan
frasa "rakyat secara kolekif memberi mandat kepada negara", dan mandat
tersebut dilakukan dalam pemilihan umum maka jelas Kepala BP Migas lebih
kuat dan legitimate mewakili negara karena Presiden berkonsultasi dengan
DPR. Mengapa hal tersebut terjadi karena memang itu ranah pembuat
Undang-Undang untuk mempertimbangkan dan menentukan yang terbaik di
antara pilihan yang ada;
V. Bahwa dalam hubungannya dengan Kontrak Kerja Sama pendapat mayoritas
Mahkamah dalam putusan ini menyatakan dalam paragraf [3.14]: "hubungan
antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak
dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, tetapi harus merupakan
121
hubungan bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang
sepenuhnya dikontrol negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi
kedaulatan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas”. Tentang
kemungkinan negara dapat mengontrol sepenuhnya memang menjadi
persoalan sendiri kalau hanya mungkin dengan hukum publik berupa konsesi
dan perizinan. Konsesi telah lama ditinggalkan karena justru konsesi sangat
merugikan negara dan dapat menciptakan penguasaan wilayah secara de
facto. Sedangkan perizinan memungkinkan negara untuk mengontrol
sepenuhnya tidaklah benar, karena negara Indonesia adalah negara hukum,
maka demi adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum perbuatan
negara yang dilakukan oleh administrasi negara pun dapat dipersengketakan
secara hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga negara tidak
dapat sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya termasuk dalam hal
perizinan. Kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan penanaman modal
asing tidak semata-mata menjadi kewenangan peradilan nasional, bahkan
menjadi kasus yang diselesaikan dengan arbitrase internasional. Pada kasus
yang demikian seringkali negara menjadi pihak dalam sengketa yang tidak
ada bedanya dengan badan hukum biasa. Apabila penandatangan perjanjian
Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah BP Migas, maka sengketa yang timbul
tidak langsung dengan negara, tetapi kalau menteri atau jajaran
kementeriannya yang membuat kontrak akan menjadikan negara secara
langsung bersengketa dengan badan hukum yang mau tidak mau akan
diposisikan secara sederajat;
VI. Saya sependapat dengan mayoritas yang disampaikan dalam paragraf[3.12] yang menyatakan bentuk penguasaan negara tingkat pertama dan
yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung.
Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, tekhnologi, dan
manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih
untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. KKS
bukanlah model yang dibuat oleh BP Migas, tetapi oleh Undang-Undang yang
dalam pelaksanaannya BP Migas yang mewakili pihak Indonesia. KKS
dilakukan memang karena negara tidak mampu untuk menyediakan
pembiayaan, apalagi dalam eksplorasi mengandung resiko yang tidak ringan,
karena biaya eksplorasi tidak sedikit tetapi belum dapat dipastikan
122
menemukan sumber minyak atau gas. Dengan demikian KKS adalah bersifat
sementara sampai negara mampu untuk melakukan pengelolaan secara
mandiri. Adapun kapan negara telah mampu untuk melakukan sendiri,
lembaga negara Presiden dan DPR yang lebih mengetahui dan bukannya
Mahkamah sebagai lembaga peradilan;
VII. Pada paragraf [3.13.4] dinyatakan bahwa, "sekiranya pun dikatakan bahwa
belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan
kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP
Migas inkonstitusional karena berdasar Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-
III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-
V/2007 bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar
konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara
konstitusionalitas. Terhadap pernyataan tersebut timbul pertanyaan apa
sebenarnya yang menjadi dasar alasan memutus eksistensi
inkonstitusionalitas BP Migas, karena dikatakan cukup alasan dengan hanya
merujuk Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-
V/2007. Mahkamah tidak mempermasalahkankan ada tidaknya
penyalahgunaan kekuasaan di BP Migas. Namun hal yang sangat keliru ialah
putusan berdasar adanya frasa "yang berpotensi melanggar konstitusi pun
bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas". Frasa
tersebut berhubungan dengan pemberian legal standing kepada Pemohon
bukan untuk memutus dalam pokok perkara. Pemohon yang mendalilkan
bahwa suatu pasal, atau bagian dari Undang-Undang yang menurut
pendapatnya berpotensi melanggar konstitusi sehingga hak konstitusionalnya
dirugikan cukup menjadi dasar bagi Mahkamah memberikan legal standing.
Sedangkan pada pokok perkara kerugian tersebut harus nyata terdapat dan
harus dibuktikan oleh Pemohon, karena putusan akan mempunyai akibat
erga omnes maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemohon secara pribadi
tetapi juga menjadi kerugian seluruh mereka yang mempunyai hak
konstitusional;
VIII. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pembentukan badan pemerintahan
c.q.BP Migas tidak bertentangan dengan struktur UUD. BP Migas mempunyai
kadar sebagai entitas negara yang cukup kuat karena dibentuk berdasarkan
UU, lebih-lebih lagi penunjukkan Kepala BP Migas melibatkan dua lembaga
123
negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yaitu Presiden dan DPR.
Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara eksplisit kerugian
konstitusionalnya namun hanya merupakan konstatasi, dan Mahkamah juga
belum cukup mempertimbangkan kerugian konstitusional apa sebenarnya
yang dialami para Pemohon, oleh karenanya permohonan para Pemohon
tidak terbukti secara hukum dan oleh karenannya harus ditolak.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir