kumpulan makalah dan hasil konsultasi regional 2011...

15
Kumpulan Makalah dan Hasil Konsultasi Regional 2011 Lembaga Alkitab Indonesia dan Mitra

Upload: duongkhue

Post on 06-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Kumpulan Makalah dan HasilKonsultasi Regional 2011Lembaga Alkitab Indonesia dan Mitra

, ,

"Kata/og Da/am Terbitan (KDT)

Firman Allah Untuk Semua: Bermitra Menebar Sabda bagi BangsaKumpulan Makalah dan Hasil Konsultasi Regional 2011Lembaga Alkitab Indonesia dan MitraCet. 1 - Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2012xxx,392 him.; 17,5 x 22 em

ISBN 978-979-463-158-4IBS 70; INDO;760P;1.lM-2012;HVS 60

1. KristenII. Perkembangan - Indonesia

I. Judul'220.5

Dilarang menggandakan tulisan ini dengan eara apa pun dan untuk keperluan apa pun,dalam bentuk eetak maupun elektronik, tanpa izin tertulis dari Lembaga Alkitab Indonesia.

Firman Allah Untuk Semua: Bermitra Menebar Sabda bagi Bangsa

Lembaga Alkitab IndonesiaAnggota IKAPI No. 067/DKI/97JI. Salemba Raya 12, Jakarta 10430Tel. (021) 3142890, Faks. (021) 3101061E-mail: [email protected]

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

© LAI 2012

Foto: Dokumentasi LAIDesain SampullTata Letak: Unit PPC LAI

Dieetak olehPereetakan Lembaga Alkitab Indonesia

Daftar lsi

Sekapur Sirih viiJadwal Konsultasi Regional viiiKerangka Acuan Konsultasi Regional xPengantar Konsultasi Regional xivRekomendasi Konsultasi Regional Lembaga Alkitab Indonesia xvii

KONSULTASI REGIONAL DI JAYAPURADominikus Dulione Hodo, Pr.: Alkitab Dan Umat Allah Di Tanah Papua 2Pdt. Alberth Yoku, STh.: Alkitab Dan Umat Allah Di Tanah Papua . 12Pdt. Dr. Joas Adiprasetya: Kekristenan Indonesia: Masa Kini dan Masa Depan . '15Drs. Onesimus Warwer, M.Si.: Bahasa dan Kebudayaan di Papua ... 25Pdt. Markus Kilungga, STh.: Penerjemahan Alkitab Di Tanah Papua.. 32Pdt. Dr. Wenas Kalangit: Dinamika Menerjemahkan Alkitab di Indonesia. . . .. 3}Alpha Martyanta, S.E.: Firman Allah Untuk Semua. . 46Harsiatmo Duta Pranowo, MBA: Lembaga Alkitab Indonesia Sebagai Mitra Gereja 52Output Konsultasi Regional di Jayapura .. . . 5}Daftar Peserta .. .. .. . 59Susunan Panitia .. 64

KONSULTASI REGIONAL DI PONTIANAKDrs. Supardan, MA: Kehidupan Kekristenan Di Indonesia: Kini Dan Esok 66Pdt. Dr. Marko Mahin, MA: Menerjemahkan Alkitab Bagi Masyarakat Dayak

01 Kalimantan. . .. . ... }5Pdt. Dr. Marko Mahin, MA: Pengalaman Menerjemahkan Kabar Baik Bergambar 8}Kareasi H. Tambur, MTh.: Tantangan Menerjemahkan Alkitab bagi umat di Kalimantan 91Alpha Martyanta, S.E.: Firman Allah Untuk Semua .93Output Konsultasi Regional di Pontianak .. .. . ..97Oaftar Peserta.... 100Susunan Panitia . ... 104

KONSULTASI REGIONAL DI TORAJA UTARAPdt. Dr. Andreas A. Yewangoe: Kekristenan Di Indonesia: Kini Dan Masa Depan .108Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow Alkitab Terjemahan . . 115Pdt. Atok Saramang, STh.: Penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru dalam Bahasa Selayar. 128Pitter Maanana, S.E.: Tantangan Menabur Firman di Nusantara . 132Output Konsultasi Regional di Toraja Utara .. 135Daftar Peserta........................................... 139Susunan Panitia . ..... 142

Doftor lsi vKONSULTASI REGIONAL 01 BOGOR

Pdt. Dr. Nus Reimas: Alkitab dan Umat Allah 334Thomas Aquino Deshi Ramadhani, SJ,STD.: Alkitab dan Umat Allah:

Sebuah Perspektif Katolik Roma 336Pdt. Dr. Karel Phil Erari: Kekristenan dan Kepemimpinan Kristen Sekarang dan

Masa Depan............ . 342Pdt. Dr. Yonky Karman: Sebuah Catatan dari Revisi Kitab Rut dan Samuel 353Dr. Martin Harun, OFM: Revisi Terjemahan Kitab-Kitab Deuterokanonika (2002-2011) 359Alpha Martyanta, S.E.:Tantangan Menabur Firman di Nusantara 367Arkhimandrit Romo Daniel Byantoro Ph.D.: Alkitab dan Karya Pewartaan Injil 370Output Konsultasi Regional di Bogor 375Daftar Peserta 380Susunan Panitia 386

Dr. Martin Harun, OFM: Lembaga Alkitab Indonesia: Milik kita bersama 389

,

IV Firman Allah Untuk ~emua

KONSULTASI REGIONAL 01 MANAOODr. I Made Miasa, Pr.: Dunia Bukan Panggung Sandiwara, Melainkan Pentas

Umat Allah Digodok Oleh Firman Allah . 146Pdt. D.K. Lolowang, MTh.: Alkitab Dan Umat Allah. .. 162Pdt. Dr. Joas Adiprasetya: Menemukan Model Kehadiran Kristen di Masa Depan 167Prof. Drs. A B. G. Rattu Bahasa Dan Identitas Sulawesi Utara..... .. 178Pdt S. S Londo: Penerjemahan Alkitab Bahasa Siau.. . 185Pdt. Salenti Dasinangon, STh. Sebuah Pengalaman Menerjemahkan Alkitab

Ke Dalam Bahasa Mongondow. . 191Alpha Martyanta, S.E.: Tantangan Menabur Firman di Nusantara 200Output Konsultasi Regional di Manado.. .. , 203Daftar Peserta.......... . 207Susunan Panitia 21 0

KONSUlTASI REGIONAL 01 MEOANElias S. Sembiring, OFMCap., LicTM: Maka Firman Tuhan Makin Tersebar Dan Makin

Banyak Didengar Orang (Kis 12:24).. . 214Pdt. Dr. J.R. Hutauruk : Revisi Bibel Toba: Pengalaman Selama Proses Revisi 217Pdt Mangara H. Sipayung,STh.: Serba-serbi dalam Revisi Bibel Simalungun 222Pdt. Nurcahaya Gea, MTh Pengalaman Merevisi SURA Ni'AMONi'O

(Alkitab berbahasa Nias) 226Pdt. Anwar Tjen, Ph.D. : Penerjemahan Alkitab: Pendekatan Dan Kebijakan Dalam

Konteks LAI/UBS . 235Satrio Wahyutomo, S.E.: Menabur Firman Di Nusantara . .. . 243Output Konsultasi Regional di Medan .. . . 246Daftar Peserta.. .. 250Susunan Panitia 254

KONSULTASI REGIONAL 01 BAOUNGMgr. Dr. Hubertus Leteng: Alkitab & Umat Allah Nusra 258Bishop Drs. I WayanSudira Husada, M.M. Alkitab Dan UmatTuhan Di Bali 264Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo Ke-kristen-an di Indonesia:

Masa Kini dan Masa Depan. .. . 268Pdt. Em. Dr. Sutarno Penerjemahan Alkitab Dalam Bahasa Jawa 277Kitab Suci dalam Bahasa Bali. . 283Pdt. Dr. Tjatra Puspitha: Pengalaman Dalam Penerjemahan Alkitab Ke Dalam

Bahasa Daerah Bali Dan Manfaat Terjemahan Itu 288David Dewu, S.H, MA: Penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Bima 305Hortensius Florimond, S.SL.: Dinamika Penerjemahan Alkitab di Indonesia 309Output Konsultasi Regional di Badung. . 322Daftar Peserta.... . 327Susunan Panitia , 330

Kekristenan Indonesia:Masa Kini dan Masa Depan

Pdt. Dr. Joas Adiprasetya

In corde et in memoria nostra sempereka darmaputera, 1942-2005

Pendahuluan: Tiga Kesulitan Awal

S aya selalu mengalami kesulitan jika harus menyampaikan sebuah ceramah dengantopik yang sangat umum, seperti pad a kesempatan kali ini. Apalagi jika topik yangdibahas adalah potret kekristenan Indonesia yang sangat majemuk dan kompleks.

Lebih-lebih lagi, topik tersebut harus disorot dari dua lensa waktu yang berbeda, masakini dan masa depan. Maka, makalah ini tentu dengan sendirinya menyimpan kelemah-an mendasar, sebagaimana lazimnya makalah generalis lainnya. Pertama, saya pastilahtidak akan mampu menjanjikan kedalaman analitis, sebab yang diutamakan adalah ke-luasan cara pandang. Hanya orang-orang sekaliber almarhum Eka Darmaputera yangbisa menyajikan keduanya secara apik. Dan kita kehilangan orang-orang seperti itu. Un-tuk beliaulah paper ini didedikasikan.

Kedua, hampir bisa dipastikan bahwa akan muncul banyak scotomata atau blindspotsatau titik-titik buta yang tidak mampu saya tengarai dengan baik. Semoga diskusi kitananti dapat membantu saya mengenali titik-titik buta, yang sangat mungkin menjadikeprihatinan khusus Anda. Ketiga, tidak seorang pun yang memiliki hak untuk meng-klaim sebuah deskripsi netral ten tang kekristenan Indonesia. Tidak pernah ada sebuahperspektif mata elang (atau bahkan mata Allah) yang dengan tajam dan jeli mengamatisituasi kekristenan Indonesia dari atas sana. Siapa pun yang berbicara mengenai topikseluas ini pastilah berbicara dari perspektifnya, dari balik jendela sempit yang memba-tasinya. Jika ketika disclaimer ini disepakati, atau minimal dimaklumi, maka dengan le-bih bebas dan tanpa beban saya akan melanjutkan tugas saya melalui makalah ini.

Isu 1: Mencari Mode.1 MenggerejaDalam sebuah wawancara dalam rangka penerbitan buku Pergulaian kehadiran Kristendi Indonesia (2001), Eka Darmaputera menyatakan pengamatannya terhadap T.B. Sima-tupang. Ia berujar, "Saya bisa katakan beliau [Pak Sim] meninggal dalam kekecewaan"(77). Saya sungguh-sungguh tergoda pada hari ini untuk menyatakan hal yang sarna ten-tang Pak Eka. Beliau meninggal di dalam kekecewaan, khususnya setelah menengarai

firman Allah Untuk ~emua

Pdt. Dr. Joas Adiprasetya

bahwa gereja-gereja Indonesia selama beberapa dekade ternyata telah salah memaknaikehadiran mereka di bumi Indonesia. Tahap pertama pemikiran Pak Eka bisa kita namaisebagai tahap "partisipatif." maksudnya. ia percaya bahwa orang-orang Kristen harussungguh-sungguh terlibat dan berpartisipasi secara "positif kritis, kreatif dan realistis."Pada tahap ini pemikiran Reinhold Niebuhr dan James Gustafson sangat memengaruhietika sosial Eka-sebuah etika yang menekankan partisipasi kristiani ke dalam jalannyasejarah bangs a atas nama karya Allah mendatangkan Kerajaan-Nya. Akan tetapi, tahapkedua pemikiran sosial Eka muncul setelah ia mengalami kekecewaan y,ang mendasarterhadap gereja-gereja Indonesia yang menurutnya sudah kehilangan kredibilitas sosialpolitisnya. Atau, dengan mernakai klaim yang dipakai Eka berkali-kali, kekristenan In-donesia tengah mengalami "insignifikansi internal dan irelevansi eksternal." Bagi umatsudah tidak punya makna, bagi masyarakat sudah tidak teras a kehadirannya.

Pemicunya adalah ketika sekelompok orang Kristen, mengatasnamai PGI danumat Kristen Indonesia, mernberikan "upeti" emas seberat 2 kg ke istana presiden pad atahun 1998. Pemberian upeti itu dipandangnya sebagai sebuah sisi kelam ekstrim daripemaknaan partisipasi yang keliru. Sejak itulah, Eka menelikung dari jalur "partisi-pasi" dan meneriakkan seruan agar gereja-gereja Indonesia menjadi sebuah komunitasteladan, yaitu "suatu komunitas yang eksemplaris serta mempunyai kesadaran sosialyang tinggi" (Ceramah di GKI Pondok Indah, 16 September 2000). Gereja tak lagi bolehmendambakan diri menjadi garam yang larut dan kemudian hanyut tanpa jejak, namunjuga (dan terlebih) menjadi terang yang menegaskan identitas dirinya, namun tanpa

I(ekristenan Indonesia: Masa Kini dan Masa Depan 17terjebak ke dalam sektarianisme yang lari dari situasi so sial. Atau, dalam kalimat Yesus,gereja bukan berasal dari dunia namun berada di dalam dunia. Sayangnya, Eka mening-galkan kita sebelum sempat mengartikulasi pemikiran "eksemplarisnya" secara lebihtajamdan komprehensif.

Cara membaca pernik iran Eka Darmaputera yang saya usulkan di atas setidaknyamemudahkan kita untuk mengevaluasi kehadiran gereja-gereja di Indonesia pada masakini, demi merumuskan model kehadiran kita di masa depan. Selama beberapa dekadeterakhir, tak terhitung jumlah seminar yang membahas tema partisipasi kristiani bagipembangunan bangsa atau bagi masyarakat, tak terbilang kotbah yang membahas temayang sama. Namun, situasi tidak juga berubah, jika tidak malah lebih buruk. lnterpre-tasi atas makna partisipasi sebagai pembentukan partai politik Kristen, misalnya, lebihmemperburuk keadaan, apalagi ketika partai politik Kristen tersebut terbelit situasi"tanpa damai sejahtera" akibat ketidakdewasaan berpolitiknya.

Mungkin, kita perlu memperhitungkan naluri iman dan sosial Eka tentang perlu-nya menelikung ke arah yang berbeda, yaitu pencitraan ulang kekristenan Indonesiasebagai komunitas eksemplaris, yaitu sebuah komunitas yang menunjukkan kepadamasyarakat gaya hidup so sial serna cam apa yang perlu dimiliki jika bangsa ini mau ber-tahan hidup secara beradab. Sebagai sebuah komunitas eksemplaris, cara terbaik untukterlibat di dalam kehidupan bersama adalah dengan menjadi dirinya sendiri-let thechurch be the church.

Isu 2: Insignifikansi InternalKedua isu yang saya bahas berikut ini merupakan pembahasan lanjutan yang lebihmendalam atas isu utama sebelumnya. Sejauh mana insignifikansi internal gereja-gerejasungguh-sungguh menjadi masalah yang sampai pada tahap mencemaskan? Tentu kitaharus melakukan survei menyeluruh dan mendalam, sehubungan dengan kemajemuk-an kekristenan Indonesia. Namun, izinkan saya mengamati beberapa tanda umum dariinsignifikansi tersebut.

Pertama, institusionalisasi gereja-gereja agaknya makin mengental dan menjuruske arah institusionalisme yaitu, sebuah sikap gerejawi bahwa jati diri gereja diternu-kan pada institusi yang hadir dalam struktur-struktur kekuasaan formal (misalnya: PCI,sinode, majelis jemaat dan sebagainya). Bukan berita baru jika kita mendengar bagaima-na para kepemimpinan gerejawi merupakan ajang perebutan kekuasaan yang warna-warninya tidak berbeda jauh dari perebutan kekuatan politik di institusi-institusi politis.Maka, perselingkuhan tak senonoh (unholy alliance) antara "mimbar, tahta dan pasar"gereja, kekuasaan dan uang merupakan godaan paling menggiurkan sekaligus palingmematikan gereja. Maka, tidak heran jika kita menyaksikan bagaimana pemilihan pe-mimpin politis di banyak daerah di Indonesia ternyata sangat erat dipengaruhi ataumemengaruhi kepemimpinan gerejawi. Kita sudah menyaksikan di sepanjang sejarahkekristenan bagaimana pola perselingkuhan tak senonoh serna cam ini adalah benih dariluruhnya kredibilitas gereja di mata umatnya sendiri, maupun akhir-akhirnya di matapara politikus sekular.

Kedua, uniformisme menjadi masalah lain yang tak kalah menjengkelkannya. Takjarang kita tak sungguh-sungguh memahami bahwa kesatuan dan penyatuan tidak

Firman allah Untuk Semua

sama dan malah berlawanan artinya dengan penyeragaman. Sangat sering saya men-dengar bagaimana institusionalisme yang melanda gereja-gereja (khususnya arus utama)di Indonesia menunjukkan taringnya melalui instruksi-instruksi "pusat" berbentuk pe-nyeragaman di kornunitas-komunitas lokal yang sebenarnya sangat majemuk.

Uniformisme ini bisa muncul juga dalam ranah hubungan antar gereja, di manaperbedaan diabaikan dan kesatuan dipaksakan di bawah sebuah payung yang domi-nan dan yang menyingkirkan siapa saja umat Kristen lain yang tidak sepaham dengandirinya. Singkatnya, uniformisme adalah sebentuk monopoli kebenaran kristiani yangjustru menjadi musuh dari ekumenisme sejati.

Ketiga, umat merasa gereja tak lagi relevan bagi pergumulan hidupnya sebab ge-reja dan para pemimpinnya terlalu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan gereja yangrutin dan tak punya cukup waktu menyapa pergumulan konkret umatnya. Rutinismeatau ritualisme ini semacam sebuah mesin "treadmill pelayanan" (ministerial treadmill)yang berputar terus dan kita berada di atasnya, tanpa kuasa untuk berhenti; bahkan me-sin rutin itu makin lama makin kencang berjalan. Yang tercipta akhirnya adalah keter-pisahan total antara gereja dan kehidupan real. Gereja menjadi tempat urn at melarikandiri dari kegersangan hidup (flight), namun di sana mereka tidak menemukan jawabanyang memampukan mereka berjuang (fight) di dalam kehidupan.

Rutinisme ritual atau ritualisme rutin ini ternyata jauh lebih parah dari yang kitabayangkan sebelurnnya. Menurut hemat saya, inilah salah satu penyebab terbesar keke-cewaan umat terhadap gereja. Gereja meneriakkan selalu transformasi tanpa sungguh-sungguh membuktikan dirinya sendiri telah mengalami transformasi tersebut. Yangmuncullantas hanyalah aktivitas tanpa visi; kotbah sloganistis tanpa kuasa; etiket yangditonjolkan tanpa etika sarna sekali.

Kekristenan Indonesia: Masa Kini dan Masa Oepan 19Isu 3: Irelevansi Eksternal

Gereja juga mengalami irelevansi serius di tengah kehidupan bangsa. Saya sudahmenunjukkan bagairnana Eka Darmaputera pada akhirnya menyadari hal ini, khusussetelah agenda partisipasi gagal total. Partisipasi "garam" Kristen di tengah belangabangsa ini tidak mengasinkan seluruh belanga selain malah menghanyutkannya hilangtak berbekas atau malah membuat masakan yang dihasilkan tak lezat karena kristal-kristal garam yang tak sungguh-sungguh larut menyedapkan. Transformasi sosial yangdiimpikan gereja tidak berhasil dan malah berakhir dengan asimilasi gereja ke dalam tatasosial yang korup. Kerinduan para tokoh sosial Kristen untuk mencari dasar bersama(common ground) dengan elernen-elemen bangs a lainnya justru berujung pada hilangnyadasar keberadaan gereja itu sendiri.

Ada beberapa segmen dari masalah irelevansi gereja secara sosial. Yang pertamaadalah krisis kredibilitas; rnasyarakat yang haus teladan ternyata tidak menemukannya didalam komunitas bernama gereja, sebab yang dilihat hanyalah bongkahan-bongkahan ba-ngunan bersimbol Kristen yang tidak kena-mengena dengan pergumulan rakyat ban yak. Didalarn bongkahan-bongkahan Kristen tersebut mereka justru menjumpai manusia-manusiayang entah tuli pada penderitaan getir rakyat banyak atau, sebaliknya, justru sangat doyanmendekatkan diri pada kekuasaan - politik maupun ekonomi yang justru menjadi sumberpenderitaan rakyat tersebut.

Kedua, saya juga mengamati proses pemandulan intelektual Kristen yang berlang-sung secara gradual namun tak pernah teratasi dengan baik. Kita menyelenggarakanterlalu banyak seminar mengenai partisipasi kristiani ke dalam pembangunan, namundengan terlalu sedikit usaha memberdayakan para partisipannya. Atau, saluran-saluranpemberdayaan para partisipan ternyata dimonopoli oleh mereka yang justru masuk kedalam birokrasi gereja. Para birokrat gereja lupa bahwa tugas mereka adalah mencip-takan umat khususnya generasi muda yang mumpuni dari segi intelektualitas, integritasmoral dan iman Kristen. Maka, tak heran, jika gagapnya orang-orang Kristen di dalamdiskursus dan diskusi akademis dan intelektual menjadi pemandangan yang makin ja-mak dijumpai. Paling-paling mereka menjadi "jago kandang" yang berani bersuara Ian-tang di acara-acara yang dibuat "untuk kalangan sendiri."

Masih banyak bukti irelevansi eksternal yang mampu saya kupas. Namun, sayamembatasi diri untuk sampai pada yang contoh yang ketiga saja, yaitu apa yang seringsaya sebut sebagai penyakit mediokritas (posisi serba tanggung) yang menghinggapipola-pola pelayanan sosial Kristen. Tak ada kreativitas dalam mengelola masalah yangsenantiasa baru dan makin kompleks. Kita lupa bahwa extreme problems need extremesolutions. Sementara saudara-saudara yang beragama lain, maupun yang berlatar nonreligius seperti banyak LSM, mampu dengan kreatif dan berani menyajikan program-program pernberdayaan sosial yang mantap, kita hanya menyajikan "solusi-solusi"yang itu-itu saja dan bisa jadi malah menambah rumit persoalan.

Kekristenan Indonesia Masa DepanMasih adakah harapan bagi kekristenan Indonesia di masa mendatang? Sayangnya, per-tanyaan kita selama ini hanyalah terarah pada bagaimanakah nasib gereja-gereja yang

20 firman hllah Untuk ~emua

tampaknya masih tertekan, tertindas dan terdiskriminasi. Pertanyaan semaeam ini tentusaja sah, sebab memang dalam kenyataannya tak sedikit gereja yang mengalami kesu-litan untuk hidup dan bernapas. Tetapi kita lupa bertanya: Mengapa semua ini terjadi?Kita kerap meneari titik soalnya pada pihak lain, khususnya pada radikalisme dan eks-tremisme Islam, misalnya, dan lupa meneari titik soal lain pada pihak kita sendiri. Apayang saya coba sajikan sejauh ini adalah sebuah kritik diri atas hilangnya kredibilitasinternal dan eksternal gereja. Kritik diri semaeam ini rasanya memang menjadi langkahpertama dan utama untuk mengatasi seluruh soal yang rumit ini. Sebabnya, kita tidakbisa sungguh-sungguh mengontrol dan mengendalikan sikap pihak lain terhadap gereja;namun kita bisa mengubah dan mentransformasi pihak kita sendiri.

Solusi yang ditawarkan Pak Eka agaknya perlu sungguh-sungguh diperhatikan,yaitu sebuah rekonstruksi gereja sebagai sebuah komunitas eksemplaris. Beberapa earastrategis sebenarnya sudah sempat diusulkan oleh Eka. Dan saya berkewajiban untukmembagikannya kepada Anda semua. Setidaknya, ada empat hal yang Eka bayangkansebagai ciri dari gereja sebagai komunitas eksemplaris. Keempatnya saya jumput daribanyak tulisan Eka yang berserakan di beberapa makalah.

1. Pertama, perubahan paradigma dari orientasi kepada kekuasaan menjadi orien-tasi kepada rakyat keeil. Semen tara seluruh dinamika politik di negeri ini tidakkuasa melepaskan diri dari cengkeraman "politik kekuasaan," gereja sebagaikomunitas eksemplaris perlu menghidupkan dan menghidupi "politik kehidup-an," yaitu sebuah politik yang bertujuan untuk meruwat dan merawat kehidup-an bersama ini.

2. Kedua, perubahan posisi gereja negara yang diusulkan oleh Pak Sim (positif, kri-tis, kreatif, realistis) menjadi posisi gereja masyarakat (dan rakyat miskin) yangmemakai rumus "pembaruan, kebangsaan dan kerakyatan" atau "demokrasi,persatuan dan keadilan."

3. Ketiga, gereja sebagai komunitas eksemplaris perlu menegaskan eirinya yanginklusif, inspiratif dan rekonsiliatif. Ketiga ciri ini berlawanan dengan gereja se-bagai "jawatan" yang lebih menyibukkan diri dengan urusan institusional yangsudah barang tentu bersifat sangat eksklusif dan malah ekspansif.

4. Yang keernpat, yang juga sarna pentingnya, model eksemplaris mengunggulkanintegritas moral, komitmen berbasis nurani dan konsistensi tindakan. Itu sebab-nya berulang kali Eka menegaskan bahwa pembentukan komunitas eksemplarisselalu "mulai dari diri sendiri."

Kita bisa melihat dari keempat ciri komunitas eksemplaris di atas, bahwa Eka me-mang mau menggabungkan kedua jalan utama tersebut. Ia tetap bergeming pada posisidasarnya: Gereja ada uniuk dunia; gereja harus memikirkan kebaikan bersama. Hanya saja,strategi partisipatif murni agaknya gaga!, karena malah mengasimilasi gereja ke dalamstruktur yang busuk, yaitu ketika gereja berorientasi pada kekuasaan. Maka modifikasi

I<ekristenan Indonesia: Masa Kini dan Masa Oepan 21

Ibu Ch .rtstina fvJ

ana dari Ja ...yapura

yang diusulkannya lewat jalan eksemplaris adalah: Alihkan orientasi gereja, bukan lagikepada kekuasaan, melainkan kepada rakyat kecil. Juga, alihkan kecenderungan gerejauntuk mengurusi lembaga dan struktur dan berubahlah rnenjadi gerakan moral. Sing-katnya, partisipasi terbaik harus dilakukan dengan cara menjadi tela dan atau contoh.Usulan saya, kita uji coba saja usulan dari Eka ini, semen tara kita tak mampu merancangbangun jalan kita sendiri. Untuk itu, terdapat lima ciri lain dari komunitas eksemplarisyang perlu saya tambahkan terhadap empat ciri yang sudah Eka sampaikan.

1. Komunitas eksemplaris yang berwawasan sosial haruslah melawan kebiasaanburuk di dalam masyarakat untuk menyiasati kepelbagaian dengan cara penye-ragaman. Perbedaan haruslah dirayakan, bukan diseragamkan. Tendensi penye-ragaman di dalam masyarakat itu, celakanya, telah menggarami gereja-gerejakita secara efektif. Para petinggi gereja-gereja Indonesia memang belum bisamemahami sungguh bahwa penyatuan tidak sama artinya bahkan sering berla-wanan arti dengan penyamaan.

2. Yang keenam, komunitas eksemplaris perlu mengurai kompleksitas organisasi-nya, lengkap segala pemiknya, untuk kembali ke bentuk organisme yang dinamis

22 Firman Allah Untuk Semuadan cair. Lupakanlah urusan membangun gedung-gedung baru, jika demi itukita malah kehilangan tujuan utama hidup menggereja. Agaknya, kita perlu be-lajar dari banyak gereja pentakostal-karismatik yang mengambil sikap pragmatisuntuk menyewa saja gedung-gedung yang ada dan tak mau direpotkan denganurusan perizinan gedung gereja. Tentu, sikap sedemikian perlu diimbuhi denganorientasi sosial. Atau, singkatnya, sebuah pragmatisme sosial, yang hanya maudirepotkan dengan pelaksanaan visi dan misi bagi dunia ini.

3. Ketujuh, gereja sebagai komunitas eksemplaris harus melakukan secara seriusdiet gerejawi, bukan dengan cara membakar kalori/energi kita dengan menarn-bah kegiatan gerejawi di dalam (ministerial treadmill), namun mengalihkan ener-gi tersebut untuk urusan-urusan yang lebih substansial. Maka, dibutuhkan se-buah alat bantu bagi jemaat-jemaat untuk menyortir apa-apa saja yang memangsubstansial dan yang hanya asesoris; yang wajib dimiliki (must-have) dan yangsekadar baik jika ada (nice to have); yang bergizi dan yang justru merusak; yangpenuh nutrisi dan yang memunculkan "radikal bebas" yang sangat berbahayabagi kelangsungan hidup gereja.

4. Menjadi komunitas eksemplaris bakal tak tercapai jika tidak dibarengi denganusaha membentuk pribadi-pribadi eksemplaris. Sejauh ini kita sangat bergan-tung pada tokoh-tokoh eksemplaris masa kini dan melupakan tugas untuk men-ciptakan tokoh-tokoh eksemplaris masa depan. Arahkanlah energi besar kitapad a penciptaan sistem pendidikan yang berkarakter eksemplaris sosial; sebuahsistem yang tidak sarna dengan model Christian character building (CCB) yangjustru cenderung sektarian, serta yang tidak sarna dengan model pendidikanteknokratis ekonokratis dari banyak sekolah Kristen kita. Mengapa pendidikansangat penting? Sebab, mengubah tiadanya respek dan kredibilitas di mata umatdan masyarakat mengubah insignifikansi dan irelevansi bukanlah pekerjaanmembalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu panjang, kesabaran dan visi yangjernih untuk menuntaskannya. Dan tentu saja, dibutuhkan pernain-pemain baruyang telah dipersiapkan sejak dini. Dengan menggantungkan diri pada tokoh-tokoh eksemplaris masa kini, kita akan kehilangan kesempatan emas untuk me-nyiapkan tokoh-tokoh eksemplaris masa depan, sementara yang tersedia padamasa kini paling-paling akan luruh dalam satu dekade atau lebih sedikit. Danketika mereka undur, kita akan terkejut sebab tak ada pengganti-pengganti yangmumpuni dan siap sebagaimana kita dikejutkan dan dibuat limbung dengan ke-pergian Eka Darmaputera. Lebih dari itu, yang harus disiapkan bukanlah para(calon) aktivis gereja, namun aktivis kehidupan. Sebab, sebagaimana saya masihmemercayainya hingga kini, gereja yang sehat adalah gereja yang sepi kegiat-an, sebab anggota-anggota jematnya terlalu sibuk mengurusi persoalan duniaini. Maka, jika pun gereja memiliki kegiatan, itu pastilah kegiatan-kegiatan yangsungguh-sungguh terpilih yang mampu menginspirasi anggota jemaat untukmenjadi warga dunia yang baik. Sebaliknya, jangan sampai gereja dipenuhioleh kegiatan-kegiatan yang dinikmati orang-orang yang hanya mengisi waktu

Kekristenan Indonesia: Masa Kini dan Mese Depan 23kosong tanpa karya sosial yang berarti, apalagi untuk mencari popularitas, pe-ngaruh dan posisi gerejawi. Sebab, tak bisa dicegah, konflik internal gereja seba-gaimana menjamur akhir-akhir ini di banyak jemaat kita akan tumbuh dengansangat subumya di sa at gereja dihuni oleh orang-orang Kristen semacam itu. Ge-reja yang mustinya menjadi tempat "servis mobil," agar mobil itu bisa berfungsitokcer di jalan raya, berubah menjadi sebuah "showroom mobil," atau malah se-buah "arena balap mobil."

5. Terhadap dua set posisi rangkap tiga Eka (lih. No.2 di atas: "Pembaruan, ke-bangsaan dan kerakyatan" atau "demokrasi, persatuan dan keadilan"), yangkesembilan, kita perlu menambahkan posisi rangkap tiga lain: penatalayananhidup, persahabatan sosial dan keramahtamahan. Menatalayani kehidupan me-musatkan seluruh hidup Kristiani sebagai pelayan dan pengelola kehidupan -kehidupan bersama! - dalam kesetiaan, pelayanan dan hikmat. Kesediaan untukmenatalayani kehidupan membuat benda (termasuk aset, harta, dan lainnya)tak lagi diunggulkan dan manusia tak lagi dibendakan. Persahabatan sosial me-musatkan relasi antar pribadi sebagai cara terjitu untuk menghargai sesama, tan-pa mempedulikan latar sosial, kultural dan religiusnya. Persahabatan sosial me-letakkan filia sebagai ruh dalam relasi tersebut, bukan agape. Sebab, kasih agapeberarti penerimaan tanpa syarat, walau sesama itu tak layak (maka, harus adapenilaian terlebih dahulu bahwa yang lain itu memang tak layak). Sebaliknya,filia atau kasih persahabatan justru mengandaikan pengakuan bahwa yang lainitu bernilai dan berharga (dan karenanya kita bersahabat dengan mereka). Akhir-nya, keramahtamahan ekologis menilai segala ciptaan selalu memiliki nilai sakra-mental. Segal a sesuatu dirahmati dan direngkuh oleh Allah. Karenanya, duniamenjadi arena untuk menghidupi iman. Kita tak lagi mencari-cari rumah kekalkita, karena kita merasa at home hidup di dalam dunia ini. Posisi rangkap tigaini 'merupakan bahasa Kristen untuk menolak tiga kecenderungan dunia yangmengancam kemanusiaan, yaitu: Pembedaan manusia akibat ekonomi kapitalis,dominasi sosial politik dari satu kelompok atas kelompok lain, serta kebencianpada yang lain yang muncul sebagai akibat dari ketidaksanggupan mengakuinilai sakramental dari mereka yang berbeda dengan diri sendiri.

Usulan yang saya sampaikan di atas, di satu sisi, berhutang banyak pada insightsyang diwariskan Pak Eka bagi kita semua sekaligus, di sisi lain, berusaha melampaui pe-mikiran Eka, Beberapa hari lalu, saya memulai pembacaan sebuah buku yang menawandari James Davison Hunter, To Change the World: The Irony, Tragedy, and Possibility ofChristianity in the Late Modern World (Oxford, 2010). Buku ini secara tepat mengartiku-lasikan apa yang menurut pandangan saya menjadi pemahaman Eka dan saya. Huntermengajukan kritik terhadap tiga model relasi kekristenan dan dunia. Yang pertamaadalah model defensive against yang diwakili oleh kelompok Injili fundamentalis yangdengan superioritas kristianinya berusaha melawan dunia sekular begitu saja dan de-ngan demikian berambisi menobatkan dunia ini bagi Kristus. Yang kedua adalah modelrelevance to yang tampil paling jelas di dalam mentalitas partisipatoris dari kelompok

24 Firman hllah Untuk ~emua

liberal moderato Keinginan mereka untuk menjadi relevan dan berpartisipasi ke dalamdunia tidak jarang berujung pad a pengaburan dan terasimilasinya identitas kristiani didalam dunia. Model yang ketiga adalah pure from, yang tamoillewat sekte-sekte yangmemisahkan diri dari dunia yang dianggap kotor.

Apa yang ditawarkan Eka tahap akhir hidupnya, dan yang saya coba kembangkandalam makalah ini, diartikulasikan oleh james Hunter sebagai model faithful present. Si-kap ini menegaskan identitas kristiani di tengah keanekaragaman identitas lain, danmenegaskan diri sebagai komunitas eksemplaris yang memiliki watak moral yang kuat,lantas memasuki dunia sebagai pembawa warta indah tersebut, tanpa memiliki pretensimengambil alih karya Allah mengubah dunia. Saya percaya, itulah masa depan kekris-tenan yang perlu kita upayakan pula. Dunia tidak akan berubah sepenuhnya karenakehadiran kita. Narnun, setidaknya, potret kekristenan Indonesia masa depan terwakilioleh kalimat terakhir buku Hunter,

Pastilah orang-orang Kristen, sebaik mungkin, tidak akan menciptakan sebuah dunia yangsempurna atau dunia yang sepenuhnya baru; namun dengan memberlakukan shalom danmengusahakannya atas nama semua orang lainnya melalui praktik kehadiran yang setia(jaith/ul presence), menjadi mungkin, sungguh mung kin, bahwa mereka akan membantumembuat dunia ini sedikit lebih baik. (286)