kuasa simbolik adat dan syarak dalam tradisi …

273

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …
Page 2: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

i

KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK

DALAM TRADISI MASYARAKAT MELAYU

Dr. Fuad Rahman, M.Ag.

Penerbit

Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi

Telp. (0741) 60731, email: [email protected]

Page 3: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

ii

Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi

Masyarakat Melayu

Penulis : Fuad Rahman

Editor : M.H. Abid

Sohiron

Layout : Cahaya Firdaus Design Cover : Cahaya Firdaus

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN : 978-602-60957-7-0

viii, 268 hal (15,5x23 cm)

Cetakan Tahun 2020

Alamat Penerbit :

Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi

Telp. (0741) 60731, email: [email protected]

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

1. Hak Cipta merupakan Hak Eklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak

Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang

timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundanga-undangan yang

berlaku

Lingkup Hak Cipta Pasal 72

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1

dan 2 dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau

denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- atau pidana penjara paling lama 7

tahun dan/atau paling banyak Rp. 5.000.000.000,-

2. Barang siapa dengan dengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,

atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil

pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dipidana

dengan penjara paling lam 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp.

500.000.000,-

Page 4: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

iii

KATA PENGANTAR

Buku Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi

Masyarakat Melayu adalah bagian dari ikhtiar penulis untuk

mengungkap fenomena keterhubungan antara adat dan

syarak. Masyarakat Melayu sebagai kelompok mayoritas yang

mendiami wilayah Indonesia serta merupakan bagian tak

terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku

Melayu berasal dari akar keturunan Mongoloid yang menjadi

nenek moyang bangsa Indonesia dan berkontribusi besar

dalam merumuskan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional

pemersatu bangsa. Masyarakat Melayu yang mendominasi

kepulauan Sumatera, Kalimantan dan sebagian Sulawesi

terkenal dengan komunitas masyarakat yang

mengimplementasikan adat dan syarak, sehingga lekat dengan

slogan adatnya “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi

Kitabullah; Adat Mengato Syarak Memakai. Setiap wilayah

yang didiami masyarakat Melayu mengklaim

mengimplementasikan syarak dan adat, sekaligus penggagas

dari filosofi adat itu sendiri.

Oleh karenanya, kajian mengenai adat dan syarak di

tanah Melayu dalam konteks kekinian masih relevan dan

menarik utamanya ketika dikaitkan dengan Islamisasi

Nusantara, sebagai titik awal peradaban Islam-Melayu. Sejak

abad ke-14, Islamisasi hukum adat kelihatan jelas pada

beberapa wilayah yang sebelumnya lebih mengedepankan

budaya lokal, yang pada akhirnya terjadi asimilasi bahkan

integrasi antar keduanya yaitu hukum Adat dan hukum Islam.

Komitmen untuk mengawal pemberlakuan keduanya

dibentuklah lembaga adat yang merupakan refresentasi dari

tiga kepentingan yaitu; regulasi pemerintah, hukum Adat dan

hukum Islam. Meskipun dalam perjalanannya terjadi tarik

menarik kepentingan yang mengakibatkan terjadinya

pertrungan kuasa. Melalui metode deskriptif-kualitatif,

penulis menelaah tiga hal: 1) integrasi, praktik dan

keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak melalui

Page 5: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

iv

teori resepsi, 2) negosiasi dan unifikasi sistem hukum dan

pemerintahan serta eksistensi kelembagaan adat melalui teori

maşlahah dan 3) kuasa simbolik, kontestasi dan relasi kuasa

kelembagaan adat serta yang mempengaruhi penerapan adat

dan syarak melalui teori habitus. Pendekatan Sosiologi Hukum

Islam penulis gunakan untuk mencermati praktik hukum dan

fenomena kontestasi dalam memperebutkan posisi dan

disposisi melalui kelembagaan adat internal maupun eksternal.

Menyadari banyaknya pembahasan yang disajikan,

maka buku ini penulis urai menjadi 3 tema besar. Bagian I,

menjelaskan ke pembaca proses adaptasi adat dengan syarak

yang berlangsung begitu cepat dan damai sejak kedatangan

Islam melalui perkawinan dengan penguasa lokal. Adat

dipersepsikan sebagai pola tutur, pola pikir dan pola tindak

yang berkaitan dengan etika, hukum dan kebiasaan yang

dilakukan oleh masyarakat. Sementara syarak dipersepsikan

oleh masyarakat Melayu Jambi sebagai sumber hukum teologis

karena mengandung pesan Allah dan Rasul-Nya, bersifat

universal, absolut, dan abadi. Keduanya diterima sebagai

aturan yang menjadi pegangan masyarakat Melayu Jambi

hingga saat ini, meski penerapannya berbeda berdasarkan

wilayah. Bagian II, menjelaskan sistem hukum dan

pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan masyarakat

Melayu lebih dipengaruhi oleh Islam dan adat lokal yang

dijalankan melalui kelembagaan adat Melayu Jambi, sebagai

penyedia modal politik, religius dan kultural, yang

memungkinkannya menjadi arena kontestasi kuasa antar

kelompok di dalam atau di luarnya dalam memperebutkan

legitimasi, posisi dan disposisi dengan mensubordinasi

kelompok lain meski hanya melahirkan hegemoni bukan

konflik.

Bagian III, kelembagaan adat berperan sebagai patron

masyarakat Melayu Jambi karena mampu memenuhi rasa

nyaman dan rasa keadilan dalam persoalan hukum (perdata

dan pidana), sosial dan agama. Selain itu, sebagai institusi

non-formal yang memproduksi dan mereproduksi hukum meski

ada institusi lain yang menangani persoalan yang sama

Page 6: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

v

sekaligus menjadi alasan menjadi potret ideal bagi daerah

maupun pusat dalam menyelesaikan persoalan kekinian

bidang agama, sosial, politik, dan budaya yang dihadapi

bangsa ini.

Akhirnya, penulis menyadari sajian buku ini sangat

sederhana dan sangat jauh dari harapan pembaca dalam

mengungkap gagasan tentang fenomena perberlakuan adat

dan syarak pada pada beberapa wilayah yang didominasi

masyarakat Melayu, karenanya kepada pembaca diharapkan

saran dan masukannya guna menambah khazanah keilmuan

dan kesempurnaan tulisan ini. Terima kasih buat ayah dan

bundaku tercinta, isteri dan anak-anakku tersayang, tak lupa

sahabat-sahabatku; Ahmad Fawaid (Probolinggo), Albert al-

Fikri (Lhoksumawe), Ridhotullah (Banjarmasin), dan teman-

teman seperjuangan serta semua pihak yang berkontribusi

dalam penyelesaian buku ini. Semoga karya ini menjadi bagian

dari pengabdian penulis terhadap tanah Jambi dan dunia

akademik pada umumnya.

Penulis

Dr. Fuad Rahman, M.Ag

NIP. 19730130200003 1 001

Page 7: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

vi

Daftar Isi

1 Pendahuluan ~ 1

2 Diskursus Syarak dan Adat: Mencari Dasar

Pijakan ~ 13

A Studi-studi Terdahulu ~ 13

B Relevansi, Kontribusi, dan Distingsi ~ 22

3 Rekonstruksi Syarak dan Adat: Resepsi, Maşlahah,

dan Habitus ~ 29

A Teori Resepsi ~ 30

B Teori Maşlahah dalam Yurisprudensi Islam ~ 33

C Teori Habitus ~ 36

4 Sejarah Singkat Melayu Jambi ~ 46

A Islamisasi dan Perkembangannya di Jambi ~ 47

B Akulturasi Syarak dengan Adat ~ 58

C Falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi

Kitabullah ~ 65

D Kelembagaan Adat Melayu Jambi ~ 74

E Realitas Aktual: Sosial, Agama, Politik, dan Budaya ~

80

5 Kontekstualisasi Syarak dan Adat dalam

Tradisi Masyarakat Melayu Jambi ~ 100

A Pemberlakuan Aturan Adat Melayu Jambi ~ 100

B Praktik Hukum dalam Masyarakat Melayu Jambi ~

111

C Sinkronisasi dan Diferensiasi Aturan Syarak

dengan Adat ~ 124

D Unifikasi sebagai Penjembatan Pergulatan

Syarak dengan Adat ~ 134

6 Pelembagaan Syarak dan Adat: Perspektif

Masyarakat Melayu Jambi ~ 144

A Persepsi Masyarakat Melayu Jambi tentang

Epistemologi Syarak dan Adat ~ 145

Page 8: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

vii

B Keberterimaan Masyarakat Melayu Jambi

terhadap Syarak dan Adat ~ 155

C Otoritas Pemerintah dalam Pelembagaan Syarak

dan Adat ~ 169

D Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat ~ 181

7 Kelembagaan Adat Melayu Jambi sebagai

Arena Pertar- ungan Kuasa ~ 189

A Modal dalam Kelembagaan Adat ~ 189

B Struktur Hierarkis Kelembagaan Adat ~ 196

C Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa ~ 201

D Relasi Kuasa Internal dan Eksternal

Kelembagaan Adat ~ 208

E Kuasa Simbolik Mengatasnamakan

Kepentingan Pemerintah, Syarak, dan Adat ~ 213

F Kontribusi Syarak, Adat Kelembagaan Adat

dalam Ruang Agama, Sosial, dan Politik

Kontemporer ~ 232

8 Penutup ~ 242

A Kesimpulan ~ 247

B Implikasi ~ 244

C Rekomendasi ~ 244

Daftar Pustaka ~ 246

Biodata Penulis ~ 264

Page 9: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan

B = ب Z = ز F = ف

T = ت S = س Q = ق

Th = ث Sh = ش K = ك

J = ج Ṣ = ص L = ل

Ḥ = ح Ḍ = ض M = م

Kh = خ Ṭ = ط N = ن

D = د Ẓ = ظ H = ه

Dh = ع = ‘ ذ W = و

R = ر Gh = غ Y = ى

Vokal Pendek : a = ‘ i = u =

Vokal Panjang : ā = ا ī = ى ū = و

Diftong : ay = اى

Page 10: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

1

1 Pendahuluan

Studi tentang konstruksi adat dengan syarak di beberapa

daerah di Nusantara masih dipandang layak dilakukan

terutama untuk mengakomodasi kepentingan budaya lokal

dalam masyarakat dan agama.1 Upaya tersebut biasanya

dilakukan oleh sebuah institusi yang mempertemukan

representasi penguasa (pemerintah), tokoh agama, dan

kelembagaan atau pemangku adat.2 Dalam konteks Jambi,

institusi tersebut berjasa mempersatukan masyarakat sejak

awal melalui ikatan agama dan adat dalam bingkai kerajaan

Islam Melayu Jambi serta mengakomodasi dan menyatukan

berbagai kepentingan. Institusi tersebut juga berhasil

membangun relasi secara internal maupun eksternal, meski

pada akhirnya mereka saling mempertaruhkan modal politik,

agama, dan budaya. Masing-masing menganggap tawaran

1Penggunaan istilah adat dalam buku ini adalah hukum adat Jambi,

sedangkan yang dimaksud syarak adalah hukum Islam. Penulis cenderung

menggunakan istilah syarak ketimbang hukum Islam karena terminologi tersebut

lebih akrab dan baku dalam masyarakat Jambi, terutama masyarakat adat.

Merujuk pada jargon adat, kedudukan syarak lebih tinggi ketimbang adat, meski

keduanya terangkum dalam falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi

Kitabullah. 2Menurut Parson, identitas sosial menduduki peran penting dalam

menentukan partisipasi seseorang dalam sistem sosialnya. Masyarakat yang

diwakili kelompok adat, agama, dan pemerintah memiliki gagasan umum tentang

konstruksi sosial terhadap apa yang mereka sebut masyarakat adat, umat, dan

warga negara yang bersifat total atau ideal berdasarkan evaluasi moral mereka

masing-masing. Dalam konteks ini, meminjam ide Michael E. Brown, konstruksi

itu akan menempatkan adat atau nilai-nilai yang terdapat di dalamnya menjadi

inisiator, yang dalam dinamika lanjutannya menyebabkan konflik, baik untuk

mengintegrasikan maupun menjadi ajang subordinasi semata. Lihat Adam dan

Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, edisi kedua

2000), hlm. 986.

Page 11: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

2

mereka meniscayakan lahirnya upaya harmonisasi dalam tata

nilai suatu masyarakat, sekaligus sebagai kebutuhan yang

sepatutnya diberlakukan secara bersamaan.

Peran penguasa kerajaan Islam Melayu ketika itu dan

pemerintahan saat ini, tokoh agama, serta pemangku adat,

dalam upaya mendialogkan adat dan syarak sebagai

konstruksi kontekstual, tidak hanya dilihat dari wacana yang

ditawarkan oleh ketiga pihak tersebut sebagai kebutuhan

masyarakat Melayu Jambi, tetapi adat juga memeroleh

justifikasi syar‘ī—yang dibenarkan secara metodologis—dalam

proses penemuan hukum Islam. Pada titik ini, syarak dapat

dikatakan sebagai produk hukum yang dinamis; meliputi nilai-

nilai tsubut (konstan) dan murūnah (fleksibel) sesuai

kebutuhan zaman, sehingga meniscayakan syarak dalam

memberi pembenaran nilai-nilai yang dipraktikkan oleh

masyarakat.

Peran tersebut dipandang sejalan dengan praktik Nabi

Muhammad pada periode awal Islam, yakni memberi peluang

bagi para intelektual Muslim menyeleksi mana adat yang

dipertahankan, dimodifikasi, atau justru diabaikan, sejauh

tidak bertentangan dengan prinsip fundamental ajaran Islam

(maqāsid al-syarī‘ah). Penetapan konsep sunnah taqrīrīyah

menjadi bukti Muhammad tidak membatasi ruang-gerak kaum

intelektual mempraktikkan hal tersebut. Penetapan hukum

berdasarkan pertimbangan tradisi pada beberapa aturan fikih,

seturut kategori berikut ini. Pertama, penerapan hukum

keluarga (ahwāl al-syahsiyyah). Di satu sisi Muhammad

mempertahankan praktik pertunangan dan menghapus

praktik poliandri, free seks, perselingkuhan, pembunuhan bayi

perempuan, perceraian yang berulang-ulang, dan lain

sebagainya. Di sisi lain, Muhammad mengkompromikan

aturan agama dan kebutuhan sosial; memodifikasi praktik-

praktik hukum, seperti poligami, pembayaran mahar (mas

kawin) dan iqrār (pemberitahuan) dalam perkawinan.3 Kedua,

penerapan hukum transaksional (mu‘āmalah). Muhammad

mempertahankan transaksi bai' al-salām yang dipraktikkan

masyarakat Madinah sebelum hijrah, karena dianggap relevan

3Muhammed ‗Ullah, The Muslim Law of Marriage, (New Delhi: Kitab

Bhavan, 1986), hlm. iii.

Page 12: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

3

dan disukai oleh masyarakat Arab ketika itu.4 Ketiga,

penerapan hukum pidana (jināyah), Rasul mengadopsi praktik

qişāş (balasan sama) dan pembayaran diyāt (kompensasi bagi

ahli waris korban), sebagaimana dipraktikkan masyarakat

Arab pra-Islam. Kompensasi diberikan sesuai dengan standar

moral keadilan bagi pihak korban.5 Meskipun Alquran dan

Sunah memodifikasi sanksi bagi pelaku, ide atau tema pokok

dan prinsip yang melandasinya telah ada dan dipraktikkan

jauh sebelum kedatangan Islam.

Praktik akomodasi dan ijtihad mandiri diteruskan

sahabat dan tābi‘īn, utamanya para mujtahid, seperti konsep

amal ahl al-madīnah-nya Imam Malik6 dan qaul qadīm dan

qaul jadīd-nya Imam Syafi‘i.7 Selanjutnya, seiring meluasnya

ajaran Islam dan Indonesia menjadi negara dengan penduduk

Muslim terbesar di dunia, Islam berkembang hingga mampu

mewarnai budaya kerajaan-kerajaan pada masa kerajaan.

Salah satu kerajaan Islam Nusantara yang berhasil

mengakomodasi dan mengintegrasikan adat dan syarak adalah

4Imam al-Bukhari, Shahīh al-Bukhāri, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981),

hlm. 44. 5N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1971), hlm. 18. 6Amal ahl al-madīnah adalah praktik hukum yang disepakati atau

minimal dipraktikkan oleh sebagian kebanyakan penduduk Madinah. Bagi

Imam Malik, amal penduduk Madinah merupakan destilasi atau kristalisasi

dan pengejawantahan sunah Rasulullah. Karena itu, menurut Imam Malik,

amal penduduk Madinah setara dengan Hadis mutawātir dan lebih dari

Hadis ahad. Ketika muatan Hadis ahad secara eksplisit bertentangan atau

tidak sejalan dengan Alquran atau Hadis mutawātir dan amal penduduk

Madinah, harus diabaikan karena diragukan kebenaran sumber atau asbāb

al-wurûd-nya. Hadis mutawātir diriwayatkan banyak sahabat dan

diamalkan dari generasi sahabat hingga generasi tābi‘īn dan tābi‘i at-tābi‘īn

seyogianya lebih meyakinkan dan lebih kuat dijadikan landasan hukum

ketimbang Hadis riwayat perorangan dan tidak menjadi amalan masyarakat

luas di Madinah. Lihat Yasin Dutton, Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk

Madinah, terj. Dedi Junaedi (Jakarta: Akademika Presindo, 1996), hlm. 11. 7Qaul qadīm adalah pendapat Imam Syafi‘i yang dikemukakan dan

ditulis ketika berada di Irak, sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam

Syafi‘i yang dikemukakan dan ditulis ketika berada di Mesir. Contoh-

contohnya adalah perubahan air yang terkena najis dengan kuantitas kurang

dari dua qullah, hukum azan ketika shalat sendirian, membaca talbiah

dalam tawaf, dan zakat terhadap buah-buahan yang tidak tahan lama. Lihat

Jaiz Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadīm dan

Qaul Jadīd, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.

Page 13: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

4

kerajaan Islam Melayu Jambi. Di bawah kepemimpinan Sayid

Ahmad Salim Tajuddin bergelar Datuk Paduko Berhalo (1460-

1500) yang berasal dari Turki, dilanjutkan putranya Sayid

Ahmad Kamil bergelar Datuk Orang Kayo Hitam (1500-1515),

Islam semakin menemukan identitasnya sebagai agama

kerajaan Melayu Jambi.8 Pencapaian tersebut tentu dengan

strategi jitu yang mengupayakan integrasi antara ajaran

agama yang ditawarkan dan budaya yang sejak lama telah

dipraktikkan. Langkah strategis yang dilakukan adalah

menggagas Rapat Besar Adat (RBA) dengan mengundang raja,

tokoh agama, dan tokoh adat yang ada di kerajaan Islam

Melayu Jambi dengan maksud mengupayakan integrasi agama

dan budaya. Rapat tersebut berlangsung pada 1 Muharam 920

H (1502) di Bukit Siguntang (perbatasan antara wilayah

Jambi-Sumatra Barat atau Damasraya sekarang), melahirkan

konvensi yang dituangkan melalui falsafah adat bersendi

syarak, syarak bersendi Kitabullah. Dilanjutkan dengan Rapat

Besar Adat (RBA) kedua pada 1530 di Bukit Sitinjau Laut,

Kerinci, melahirkan konvensi yang dituangkan melalui

falsafah undang datang dari hulu, teliti dari hilir. Penting

untuk dicatat bahwa falsafah adat bersendi syarak, syarak

bersendi Kitabullah tidak hanya ada di Jambi, tetapi juga

mengemuka di seluruh daerah yang berbasis etnik Melayu

seperti Minangkabau dan Riau.

Lebih jauh, lahirnya falsafah itu berimplikasi pada

polarisasi adat menjadi empat kategori, yaitu adat sebenar

adat, adat yang diadatkan, adat nan teradat, dan adat

istiadat.9 Kategorisasi itu diprediksi untuk membedakan

antara ruang hukum: universal, konstan dan harus dipatuhi

sebagaimana ruang hukum lokalistik, fleksibel, dan boleh

8Menurut W.B. Hallaq, sejak abad ke-7 syarak telah berinteraksi

dengan budaya lokal bahkan menjadi kekuatan moral sekaligus hukum yang

mengatur kehidupan masyarakat dan pemerintahan dalam Islam. Hukum

yang dinamis (harakah) tersebut merupakan bagian dari ciri hukum Islam,

yaitu takāmul, wasatiyah, dan harakah, senantiasa menjadi acuan bagi

masyarakat dalam berperilaku sehingga terbentuk tatanan masyarakat yang

aman dan teratur. Lihat Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politic,

and Modernity‘s Moral Predicament, terj. Akh Minhaji, (Yogyakarta: SUKA-

Press, 2015), hlm. 29. 9Sulaiman Abdullah, Agama dan Adat, (Jambi: Lembaga Adat Melayu

Jambi, 2010), hlm. 3-4;

Page 14: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

5

diabaikan. Persis dalam falsafah itulah terlihat sinkronisasi

dan diferensiasi serta upaya integrasi antara adat dan

syarak.10

Integrasi antara adat dan syarak juga melahirkan

konfigurasi hukum baru yang lebih komprehensif, yaitu

Undang Adat Jambi, aturan yang berlaku di wilayah dan

kesatuan masyarakat kerajaan Islam Melayu Jambi.

Menariknya, integrasi keduanya melalui kelembagaan adat,

yang dipandang sebagai institusi yang mumpuni dan

berkompeten melakukan ijtihad kolektif (ijtihād jama‘ī) dalam

bentuk verifikasi, modifikasi, dan lainnya ketika itu.

Kerajaan Islam Melayu Jambi juga mengintegrasikan

dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan kerajaan

(Tumenggung) dan sistem pemerintahan kerapatan adat

(Perpatih). Sistem pemerintahan kerajaan melaksanakan

pemerintahan monarki, yakni pemerintahan dipimpin oleh

seorang raja dan diteruskan oleh generasi setelahnya secara

turun-temurun. Sistem itu mengedepankan kepentingan

syarak dan berlaku di daerah Jambi wilayah Timur atau sering

disebut Jambi Hilir. Sedangkan pemerintahan kerapatan adat

melaksanakan pemerintahan kolektif kolegial, dengan

pemerintahan dipimpin oleh forum tiga tali sepilin

(pemerintah, pegawai syarak, dan pemangku adat). Sistem

pemerintahan ini ditengarai dipengaruhi tradisi Minangkabau

yang mengedepankan kepentingan adat dan juga berlaku di

daerah Jambi wilayah Barat atau Jambi Hulu. Kolaborasi

sistem hukum dan sistem pemerintahan melalui kelembagaan

adat tersebut membuat Islam dan ajarannya berkembang cepat

di Jambi dan bertahan hingga saat ini.

10Menurut Schacht, secara teoretis keberadaan adat dalam kerangka

hukum Islam tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam yurisprudensi

Islam, meskipun secara praksis adat memainkan peran signifikan dalam

proses kreasi dan legislasi hukum. Peran adat tidak terbatas dalam

pengambilan inisiatif ketika sumber hukum lain tidak mengkaver atau tidak

memberikan jawaban. Atas dasar itu, menurut el-Awa, naşş, Alquran

maupun Sunah, mengakui adanya ragam interpretasi yang muncul

terhadapnya, namun satu-satunya metode (manhaj) yang diterima dalam

mengaktualisasikan aturan dengan mempertimbangkan adat yang ada

ketika itu. Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford:

The Clarendon Press, 1964), hlm. 62; Mohammed S. el-Awa, The Place of

Custom (‗Urf) in Islamic Legal Theory, (Indianapolis: American Trust

Publications, 1973), hlm. 180.

Page 15: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

6

Menariknya, praktik dualisme hukum bahkan

―trilogisme‖ hukum terjadi, seperti dalam persoalan sistem

kekerabatan, di mana masyarakat Melayu Jambi

mempraktikkan dua model sistem kekerabatan dan kewarisan

berdasarkan letak geografis wilayah. Wilayah Timur atau Hilir

mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan patrilineal,

sedangkan sebagian Barat atau Hulu mempraktikkan sistem

kekerabatan dan kewarisan matrilineal. Begitu pula dalam

perkawinan, masyarakat Hilir membolehkan praktik eksogami,

sedangkan masyarakat Hulu, terutama suku Penghulu,

melarang praktik eksogami.

―Perberdayaan budaya‖ itu pada akhirnya melahirkan

―stereotipe‖ dan ―sentimen‖ kultural berbeda di kalangan

masyarakat Melayu Jambi. Anehnya, praktik itu justru

mendapat pembenaran adat melalui kelembagaan adat dan

dipandang tidak menyalahi syarak. Secara substansi terjadi

negosiasi antara pemilik modal politik, religi, dan sosial yang

pada akhirnya melahirkan kesepakatan untuk menjadikan

adat dan syarak berjalan seiring sesuai keinginan dan

kepentingan ketiganya, meskipun tidak menutup

kemungkinan terjadi subordinasi antara penguasa dan tokoh

agama di satu sisi dan kepentingan masyarakat adat di sisi

lain. Yang menarik, subordinasi tersebut tidak memunculkan

perseteruan atau konflik sebagaimana di Minangkabau.

Fenomena seperti itu sebenarnya dilematis mengingat

artikulasi dan implementasi syarak dalam kehidupan suatu

komunitas terkadang mengalami problem ideologis, kultural,

sosiologis, dan politik. Meskipun demikian, kenyataan inilah

yang dihadapi masyarakat sebuah kawasan yang dihuni oleh

mayoritas etnik Melayu.

Kelembagaan adat pada kenyataannya menjadi modal

sekaligus arena tarik-menarik kepentingan untuk

mendapatkan legitimasi atas suatu praktik hukum. Meskipun

demikian, patut diakui bahwa eksistensi kelembagaan adat

hingga saat ini masih dianggap penting oleh masyarakat

Melayu Jambi, bahkan berjasa dalam mempercepat masuk dan

berkembangnya Islam di Jambi. Kelembagaan adat

mempunyai hierarki mulai tingkat rukun tetangga (RT) hingga

provinsi dalam seloko bejenjang naik betanggo turun. Di

dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin yang terdiri atas

Page 16: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

7

pemerintahan desa/dusun, pegawai syarak, dan pemangku

adat.

Sebagaimana telah disebutkan, forum itu

merepresentasikan kepentingan tiga kelompok (pemerintah,

umat Islam, dan masyarakat adat), dengan tugas memproduksi

dan mereproduksi hukum atau melahirkan putusan melalui

kerapatan adat. Melalui institusi kerapatan adat, mereka

memiliki kewenangan menelaah, mempertimbangkan, dan

memutuskan perkara yang berlaku di kalangan masyarakat

Melayu Jambi. Pemerintah mempersiapkan institusi formal

(Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dan nonformal

(Majelis Ulama Indonesia) dalam rangka mengakomodasi dan

menyelesaikan kasus hukum, sosial, dan agama, walaupun

kelembagaan adat tetap menjadi pilihan utama. Terbukti

banyaknya kasus yang diselesaikan melalui oleh kelembagaan

adat (lihat Tabel 1.1).11

11Data diperoleh dari Lembaga Adat Melayu dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jambi serta telah dikonfirmasi melalui

Lembaga Adat Melayu Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun, dan Tanjung

Jabung Timur.

Page 17: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

Ta

bel

1.1

. R

ek

ap

itu

lasi

Pen

yele

saia

n K

asu

s d

i L

em

baga

Ad

at

Mela

yu

(L

AM

) K

ota

Ja

mb

i, B

ata

ngh

ari

,

Sa

rola

ngu

n, M

ua

ra S

ab

ak

No

. J

en

is K

asu

s

2012

2013

2014

2015

Ke

tera

ng

an

K

J

BT

S

R

MS

K

J

BT

S

R

MS

K

J

BT

S

R

MS

K

J

BT

S

R

MS

01.

02.

03.

04.

05.

06.

07.

08.

09.

10.

Perz

inah

an

Pers

eli

ngk

uh

an

Pen

gan

iay

aan

Pem

bu

nu

ha

n

Pen

curi

an

Hak

w

ari

s

Tan

ah

wil

ay

at

Bata

s ta

nah

Perk

ela

hia

n a

nta

r

Kam

pu

ng/s

uk

u

Pen

cem

ara

n N

am

a

Baik

/Fit

nah

5

2

1

0

2

5

0

0

1 2

8

1

2

1

3

6

2

5

1 4

7

2

3

1

4

4

1

2

0 3

8

2

2

0

5

3

2

2

1 3

4

1

2

1

2

2

1

1

1 1

4

2

3

1

2

2

3

2

2 2

5

2

1

2

2

3

2

2

1 2

6

3

2

0

1

4

1

0

0 1

3

2

1

3

2

2

2

2

1 1

3

1

2

3

2

3

3

2

1 2

4

1

1

4

3

2

3

1

0 2

4

2

2

4

5

3

4

2

0 1

3

3

4

2

2

2

1

4

1 2

7

3

1

3

3

2

2

1

2 2

6

3

4

4

3

2

2

1

1 3

6

4

4

3

4

3

2

2

3 6

Sele

sai

Mela

lui

Lem

baga A

dat

Dil

an

jutk

an

ke

Poli

si d

an

M

eja

Hij

au

Ju

mla

h T

ota

l 18

33

27

28

16

25

22

18

19

22

21

27

24

26

29

37

Ca

tata

n :

KJ

= K

ota

Ja

mb

i

SR

=

K

ab

up

ate

n S

aro

lan

gu

n

BT

=

K

ab

up

ate

n B

ata

ngh

ari

MS

=

K

ab

up

ate

n M

ua

ra S

aba

k

cf
Typewritten text
8
Page 18: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

9

Tabel 1.1 menunjukkan banyak kasus terkait

persoalan hukum, sosial, dan agama diselesaikan melalui

kelembagaan adat, sekaligus mengindikasikan minat atau

tingkat kepercayaan terhadap institusi tersebut yang relatif

tinggi. Penyelesaian kasus melalui institusi tersebut tentu

melalui tarik-menarik kepentingan atau subordinasi di

kalangan internal kelembagaan adat, sebagaimana diakui

oleh anggota tiga tali sepilin. Menurut mereka, sering

terjadi pergulatan panjang dalam presidium kerapatan adat

untuk menentukan jenis dan sanksi pelanggaran perdata

dan pidana adat, meskipun hasil akhirnya sangat

bergantung pada keputusan pemangku adat yang notabene

dijabat oleh unsur pemerintah (kepala desa).12

Di luar kelompok tersebut, terdapat kelompok lain

yang dalam beberapa hal merasa kecewa, misalnya

pimpinan Kementerian Agama kabupaten/kota dan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota. Mereka merasa

tidak dilibatkan dalam menyelesaikan persoalan sosial

keagamaan. Dalam kasus larangan duduk bersanding saat

akad dan kasus penistaan agama pada 2017, misalnya,

Lembaga Adat dianggap tidap berkonsultasi terlebih dahulu

kepada Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia

(MUI). Kecemburuan kelompok lain juga kentara ketika

para pimpinan adat selalu terdepan dan mendominasi

dalam kegiatan-kegiatan seremonial pemerintah.13

Praktik semacam itu, sekali lagi, mengindikasikan

adanya subordinasi antara tiga kelompok (pemerintah, umat

Islam, dan masyarakat adat) dalam memproduksi dan

mereproduksi hukum serta dominasi satu kelompok

terhadap kelompok lainnya. Meskipun demikian, perlu

12Wawancara dengan anggota forum tiga tali sepilin Kabupaten

Batanghari (Fathuddin Abdi, Ferri Wilman, Saukani, Muhammad Zen,

Hasbi, dan Ismail) serta anggota forum tiga tali sepilin Kota Jambi (H.

Azra‘i al-Basyari, Sayuti, Sayuti, Kemas Husin, Abdul Hamid, dan

Samsul), 2 April-15 Mei 2015. 13Wawancara dengan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan

kepala Kantor Kementerian Agama Kota Jambi, Kabupaten Batanghari,

Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (A.

Tarmizi Sibawaihi, Samsuddin Ali, M. Samin, Suhar, Ikbal, Herman,

Sulaiman, dan Umar Yusuf), 12 Mei-15 Juni 2015.

Page 19: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

10

dicatat, subordinasi tersebut selama ini tidak mengemuka

dan dipandang sebagai sesuatu yang wajar.

Buku ini mencermati berbagai fenomena di atas

sekaligus mengungkap praktik hukum yang terjadi selama

ini di dalam komunitas masyarakat Melayu Jambi:

hegemoni kuasa serta dominasi kelompok menggunakan

simbol agama (syarak) dan adat yang justru dijadikan

―tameng‖ untuk melegalkan posisi dan disposisi masing-

masing. Lebih spesifik, buku ini menelisik konstruksi dan

proses negosiasi antara adat dan syarak yang terjadi dalam

masyarakat Melayu Jambi berdasarkan tiga aspek teoretis.

Pertama, aspek historis-sosiologis; dengan menjadikan teori

resepsi sebagai dasar pijak, berusaha memperlihatkan

konstruksi antara adat dan syarak di masyarakat Melayu

Jambi. Kedua, aspek epistemologis yang berfungsi menelaah

hubungan antara adat dan syarak berdasarkan kerangka

maşlahah. Ketiga, aspek ideologis yang menunjukkan kuasa

simbolik terjadi dalam kelembagaan adat untuk

mempertahankan posisi mereka di lingkungan masyarakat

Melayu Jambi di satu sisi, dan untuk melihat secara

mendalam disposisi mereka terkait praktik adat dan syarak

di sisi lain.

Dalam aspek terakhir, teori habitus dari Pierre

Bourdieu digunakan sebagai dasar pijak menelusuri apa

yang tidak terlihat secara nyata di permukaan pada arena

kelembagaan adat. Forum tiga tali sepilin dalam

kelembagaan adat ini—meskipun sering berkumpul untuk

memecahkan persoalan adat dan syarak pada acara

kerapatan adat—tetap saja belum mampu mengakomodasi

keinginan kelompok pendukung penerapan agama dan

kelompok pendukung adat. Fenomena ini juga mengemuka

di luar kelembagaan adat. Tak jarang praktik perebutan

posisi dalam rangka memastikan tawarannya adalah yang

paling relevan dengan masyarakat Melayu Jambi

ditemukan. Negosiasi dan subordinasi antara ketiganya di

Jambi pada gilirannya memperlihatkan kelas dan hierarki

sosial yang bisa dibagi pada empat kelompok, yaitu elite

(pemangku adat), periperal (pegawai syarak), semi-periperal

(pemerintahan desa), dan marjinal (masyarakat hukum

Page 20: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

11

adat/awam).14 Di setiap kelompok dalam hierarki sosial ini,

pertaruhan utamanya adalah apa yang disebut oleh

Bourdieu sebagai modal (capital). Jika pemangku adat

memegang modal kultural, pemerintah daerah memegang

modal politik, dan pegawai syarak memiliki modal religius.

Ketiga kelompok tersebut saling berebut posisi dan modal-

modal itu saling diinvestasikan, ditukarkan, dan

diakumulasikan untuk mempertahankan posisi mereka.

Termasuk pula subordinasi kelembagaan adat dengan

institusi yang ada di luarnya dan penerimaan masyarakat

terhadap eksistensi mereka selama ini. Singkatnya, isu-isu

historis, epistemologis, sosial, dan ideologis dari konstruksi

syarak, adat, dan kelembagaan adat Melayu Jambi serta

kuasa simbolik di dalamnya perlu untuk dikaji secara

komprehensif. Isu-isu tersebut, internal dan eksternal

kelembagaan adat (pemerintah desa, pegawai syarak, dan

pemangku adat), dipilih karena mereka yang dianggap

paling bertanggung jawab memperlihatkan adat dan syarak

itu terbentuk sebagai diskursus yang berkelanjutan dalam

masyarakat Melayu Jambi.

Untuk itu, pertanyaan yang akan dijawab oleh buku

ini adalah bagaimana syarak sebagai produk hukum yang

datang kemudian begitu cepat beradaptasi dengan adat

lokal yang telah mapan; bagaimana persepsi dan

keberterimaan masyarakat terhadap keduanya? Apa saja

upaya untuk menjembatani dualisme sistem hukum dan

sistem pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan

oleh masyarakat Melayu Jambi agar sejalan dengan prinsip

syariat Islam? Sejauhmana relasi pemerintah, agama, dan

adat sebagai modal dalam subordinasi eksistensi (integrasi

dan subordinasi) masing-masing? Bagaimana peran

kelembagaan adat dalam memproduksi dan mereproduksi

hukum, melakukan relasi kuasa secara internal dan dengan

institusi lainnya, serta berkontribusi dalam penyelesaian

persoalan-persoalan sosial, politik, dan agama kontemporer?

14Charles Mills, The Power Elite, (London: Oxford University Press,

1956), hlm. 45.

Page 21: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

12

Buku ini diharapkan menjadi bagian dari khazanah

pengetahuan masyarakat Melayu Jambi tentang adat dan

syarak yang mereka implementasikan sehari-hari,

melengkapi apa yang sudah dibahas banyak penulis

sebelumnya, seperti Ismail Thalaby,15 Irma Sagala,16 Ied al-

Munir,17 Fahmi Sy,18 M. Husnul Abid,19 Yuliatin,20 dan

Albert al-Fikri.21 Buku ini memperlihatkan gejala-gejala

kultural terkait dengan bagaimana konstruksi adat dan

syarak itu bekerja secara ideologis-politis di tengah

kelembagaan adat, sekaligus menunjukkan sisi lain dari

sistem dan hierarki sosial masyarakat Jambi yang jarang

atau bahkan tidak diungkap penulis dan masyarakat

umumnya.

15 Islamil Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya

dengan Hukum Islam‖, disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000). 16 Irma Sagala, ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model

Pemerintahan Adat Tiga Tali Sepilin di Provinsi Jambi Pasca-Reformasi‖,

dalam Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies,

(Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013). 17 M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci

Kampung‖, Proceedings of the First International Conference on Jambi

Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013). 18 Fahmi SY., Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat

Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014). 19 M. Husnul Abid, ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional,

Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam Muhammad Iqbal

Ahnaf (ed.), Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan

Koeksistensi, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies

(CRCS) UGM, 2015). 20 Yuliatin, ―Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi Pembagian

Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi)‖, disertasi UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta (2015). 21 Albert Al-Fikri, ―Diskursus Hukum Kewarisan ‗An Tarādin:

Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di

Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, tesis UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta (2016).

Page 22: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

13

2 Diskursus Adat dan Syarak:

Mencari Dasar Pijakan

Bab ini membahas tentang kepustakaan-kepustakaan yang

pernah membahas mengenai adat dan syarak, topik yang

menjadi fokus buku ini, dengan tujuan memberikan dasar

pijakan yang kokoh bagi buku ini untuk menelisik proses

negosiasi, subordinasi, dan relasi kuasa yang terbangun

dalam konstruksi kelembagaan adat dalam forum tiga tali

sepilin di Jambi. Secara umum bab ini terdiri atas dua

bagian. Pertama-tama bab ini akan merangkum

kepustakaan-kepustaan yang pernah ada serta menjelaskan

signifikansi dan kontribusi masing-masing dalam

perdebatan mengenai topik konstruksi adat dan syarak.

Kepustakaan-kepustakaan tersebut juga akan dilihat

relevansi dan kontribusinya bagi buku ini, sekaligus

perbedaannya di antara mereka, yang akan disampaikan

dalam bagian kedua bab ini.

A. Studi-studi Terdahulu

Ada beberapa kepustakaan yang penting untuk diungkap

terutama terkait konstruksi adat dan syarak dalam tradisi

masyarakat Melayu Jambi. Kepustakaan-kepustakaan

tersebut dipilah menjadi tiga jenis, yaitu buku, disertasi,

dan proceeding.

Kepustakaan berupa buku yang relevan antara lain

ditulis Ratno Lukito, berjudul Islamic Law and Adat

Encounter: The Experience of Indonesia (1998). Pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan normatif, sosial-politik.

Lukito menganalisis bagaimana pergulatan antara syarak

Page 23: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

14

dan hukum adat di Indonesia. Di satu sisi ada yang

berpandangan selalu terjadi kontradiksi bahkan konflik

antara adat dan syarak. Pandangan semacam itu muncul

dari kalangan ahli hukum Barat, misalnya dengan

mengambil kasus Minangkabau. Di sisi lain, muncul

pandangan bahwa adat dan syarak di Indonesia berjalan

harmonis dan terintegrasi dengan baik, bahkan telah

menjadi bagian dari spirit hukum nasional. Lukito secara

tidak langsung menginformasikan stigma negatif terhadap

hukum Islam sebagaimana terjadi di Minangkabau tidak

seluruhnya benar, mengingat hampir di seluruh wilayah

Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim hukum

Islam dan hukum Adat berjalan harmonis. Untuk

menengahi pemikiran yang menyatakan adanya disparitas

bahkan konflik antara agama dan adat di satu sisi, serta

pemikiran yang menyatakan tidak ada konflik antar agama

dan adat di sisi lain, dilakukan pemetaan dari aspek masa

kemunculan pemikiran tersebut, yakni zaman kolonial yang

cenderung negatif dan zaman Kemerdekaan yang cenderung

positif, tentu dengan berpijak pada sisi dialogis, bukan

konfrontatif. Temuan Lukito menunjukkan bahwa secara

teoretis dan praktis kedua sistem hukum, yaitu hukum

Islam dan hukum adat, saling melengkapi. Dari satu segi,

hukum Islam secara substantif menerima keefektifan

hukum lokal (adat) dalam proses legislasinya. Dari segi lain,

hukum adat menerima hukum Islam sebagai titik kulmulasi

dan upaya penyempurnaan aturan yang ada. Fakta tersebut

guna mengeleminasi stigma negatif atas konfrontasi yang

berkepanjangan antara hukum Islam dan hukum adat yang

selama ini dimotori oleh sarjana Barat.22

Buku yang ditulis Yaswirman, Hukum Keluarga:

Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam

Masyarakat Matrilineal Minangkabau, mengkaji segala

persoalan yang terkait dengan hukum keluarga dalam adat

Minangkabau yang mencakup falsafah adat, sistem

kekerabatan, responsibilitas orang tua dalam keluarga, dan

22Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of

Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998).

Page 24: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

15

karakteristik serta prospek hukum keluarga Islam dan adat.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi

hukum dengan mencermati dan menganalisis produk

hukum-hukum keluarga yang muncul sejak zaman kolonial,

Kemerdekaan, dan saat ini. Temuan Yaswirman adalah

doktrin hukum keluarga di Indonesia dipengaruhi oleh

politik hukum ketika itu, mulai dari masa kolonial,

Kemerdekaan, hingga sekarang. Hukum senantiasa

berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang selalu

berubah dan berkembang. Idealnya, hukum yang ada

menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut. Berbeda

dengan yang terjadi saat ini, produk hukum yang ada hanya

mengedepankan kepentingan kolonial dan adat.23

A. Qodri Azizi menulis Eklektisisme Hukum Nasional:

Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Objek

kajiannya terfokus pada dikotomi yang begitu tajam antara

hukum Islam dan hukum umum atau positif. Termasuk

dalam hukum umum adalah hukum adat, yang pada masa

kolonial dipandang sebagai bagian dari politik ―culas‖

Belanda. Produk hukum adat yang ada kebanyakan tidak

sama dengan hukum kebiasaan (customary law) atau

hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law).

Pendekatan yang digunakan Azizi adalah deskriptif-analitik

dan empirik dengan maksud agar pembaca dapat berdiskusi

secara leluasa dengan kritis dan argumentatif. Kesimpulan

Azizi adalah syarak sedianya dapat menjadi sumber spirit

dan aspiratif bagi pembentukan hukum nasional, baik

menyangkut materi hukum, tataran operasional, maupun

sistem kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum (law

enforcement) yang lebih luas.24

Buku Integrasi antara Hukum Islam dan Hukum

Adat dalam Kewarisan Suku Melayu ditulis Abdullah

23Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin

Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2011). 24A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara

Syarakdan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).

Page 25: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

16

Syah,25 mengungkap titik temu dan saling pengaruh antara

hukum Islam dan hukum adat Melayu dalam persoalan

kewarisan. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis-

normatif untuk mengetahui bagaimana interaksi dan

integrasi antara hukum Islam dan hukum adat dapat

berjalan harmonis tanpa tarik-menarik secara berarti.

Kesimpulan buku ini adalah suku Melayu pada umumnya

menganut sistem kekeluargaan berdasarkan parental yang

sesuai dengan syarak yang dalam pembagian harta

menganut sistem individual bilateral. Dalam penerapan

hukum di dalam masyarakat senantiasa dikaitkan dengan

agama, sehingga pengaruh agama terlihat dominan. Suatu

persoalan yang timbul dalam masyarakat dilihat dari

kacamata agama; agama menjadi spirit hukum adat. Bila

terjadi ketidaksesuaian antara prinsip agama Islam dan

hukum adat, hukum Islam akan dikedepankan. Karena itu,

dalam tradisi masyarakat Melayu, pertentangan antara

syarak (agama) dan adat tidak terlihat atau tidak muncul.

Buku selanjutnya ditulis oleh Fahmi Sy, berjudul

Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu

Jambi. Pendekatan yang digunakan adalah antropologi

budaya, yang menekankan aspek budaya yang hidup dan

berkembang dalam komunitas masyarakat Melayu Jambi.

Buku ini mengkaji sekaligus mengungkap bagaimana pola

hidup masyarakat Melayu Jambi, terutama yang hidup di

wilayah pedesaan, yang merupakan bagian integral dari

suatu wilayah tertentu yang terikat dengan desa dan kota

yang ada di sekitarnya. Kehidupan dan budaya masyarakat

desa Melayu Jambi merupakan bagian dinamika kehidupan

masyarakat Melayu Jambi sejak ratusan tahun lalu, mulai

dari budaya kerja, kepemimpinan masyarakat, dan

pribumisasi Islam. Pola hidup tersebut menyatu dan

mengakar dalam kehidupan masyarakat yang bernuansa

islami. Integrasi antara budaya Islam dan budaya Melayu

pada akhirnya melahirkan budaya tersendiri yang dikenal

dalam falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi

25Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat

Dalam Kewarisan Melayu, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2009).

Page 26: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

17

Kitabullah. Falsafah adat tersebut merupakan wujud

konkret dari asimilasi dua budaya yang kompromistis, tanpa

dominasi atau saling tekan, yang sekarang lebih lekat

dengan istilah kearifan lokal (local wisdom). Pola dan

komunikasi yang dipraktikkan masyarakat Jambi yang

hidup dalam nuansa islami dianggap mampu meredam

berbagai konflik dan kepentingan, sehingga masyarakatnya

hidup harmonis. Kesimpulan Fahmi tersebut terasa wajar

karena pendekatan antropologi budaya yang digunakan

berupaya melihat hubungan yang sinergis antara satu

kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat lainnya

yang diikat oleh kesepakatan dan kebersamaan melalui

kesamaan rumpun dan kultur. Kesimpulan Fahmi tersebut

merupakan gagasan rekonsiliasi kultural untuk

mendistorsikan kesan negatif terhadap perilaku minoritas

masyarakat Muslim.26

Sementara itu, kepustakaan berupa disertasi yang

relevan dengan buku ini antara lain ditulis Saifuddin Zuhri,

berjudul ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun

Kasuran, Seyegan, Sleman‖.27 Zuhri menggunakan

pendekatan sosiologis Bourdieu dengan menitikberatkan

penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan

participant observation. Hasil studi Zuhri menunjukkan

bahwa tidur tanpa kasur di Dusun Kasuran berawal dari

tiga jalur: Sunan Kalijaga, agama Hindu, dan pasukan

Pangeran Diponegoro. Kepercayaan tidur tanpa kasur di

dusun itu, bagi para warga, bukan sebentuk syirik, namun

merupakan satu tradisi turun-temurun dari leluhur yang

mereka jaga karena memang ada berbagai bentuk sanksi

yang mereka dapatkan bila dilanggar. Generasi saat ini

menyingkirkan kasur kapuk lebih karena mengikuti

perintah orang tua. Klaim mitologi itu selalu direproduksi

oleh para agen yang bermain di dusun tersebut sehingga

terpelihara secara turun-temurun dan disalahkenali

(misrecognized).

26Fahmi SY, Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat

Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014). 27Saifuddin Zuhri, ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun

Kasuran, Seyegan, Sleman‖, disertasi UGM Yogyakarta (2015).

Page 27: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

18

Disertasi Ismail Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci

dan Akulturasinya dengan Hukum Islam‖,28 menggunakan

pendekatan deskriptif analitik dengan menitikberatkan

kepada survei normatif serta menggabungkan antara

penelitian kepustakaan dan lapangan. Objek penelitian

Thalaby adalah eksistensi hukum adat Kerinci dan

hubungannya dengan hukum Islam, seperti persoalan

kekerabatan, perkawinan, kewarisan, pertanahan, dan

pidana. Kesimpulannya, di dalam masyarakat Kerinci,

praktik adat dan syarak saling pengaruh-memengaruhi.

Penyesuaian adat dan syarak hanya dalam batas tertentu,

sedangkan dalam batas lain tetap saja adat yang berjalan.

Yuliatin menulis disertasi berjudul ―Hukum Islam

dan Hukum Adat: Studi Pembagian Harta Waris

Masyarakat Seberang Kota Jambi‖.29 Pendekatan yang

digunakan adalah sejarah sosial pemikiran Islam. Disertasi

ini mengkaji bagaimana pola pembagian harta waris di

kalangan masyarakat Muslim di Seberang Kota Jambi.

Kesimpulannya bahwa sistem kewarisan yang berlaku pada

masyarakat Seberang adalah individual, di mana harta

waris menjadi hak penuh ahli waris secara pribadi dan

bebas untuk dipergunakan. Ada tiga bentuk pembagian

harta waris di Seberang Kota Jambi. Pertama, sesuai

dengan hukum waris Islam: laki-laki mendapat bagian dua

kali lipat dibanding perempuan. Kedua, sesuai dengan waris

adat yang pelaksanaannya bervariasi: perolehan harta anak

laki laki sebanding dengan anak perempuan, atau anak

perempuan tertua mendapat jatah waris lebih banyak

karena ditugaskan merawat orang tua. Ketiga, harta

diberikan ketika orang tua masih hidup melalui hibah dan

realisasinya boleh pada saat itu dan setelah orang tua wafat.

Di samping buku dan disertasi, sumber kepustakaan

lainnya adalah artikel yang merupakan bagian dari buku

28Ismail Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya

dengan Hukum Syarak‖, disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(2000). 29Yuliatin, ―Hukum Islam dan Hukum Adat: Studi Pembagian

Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi‖, disertasi UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta (2014).

Page 28: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

19

(book chapter), artikel proceeding konferensi atau seminar,

dan artikel jurnal. Artikel-artikel tersebut antara lain

ditulis M. Husnul Abid, berjudul ―Kontestasi Kemelayuan:

Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu

Jambi‖. Menggunakan pendekatan fenomenologis yang

berupaya mengungkap subordinasi dan pencarian identitas

kemelayuan di Jambi, artikel ini memotret pemaknaan

Melayu atau Kemelayuan yang terjadi dalam masyarakat

Jambi pasca-Reformasi. Abid memaparkan fenomena yang

terjadi dalam masyarakat Jambi, yang dia sebut sebagai

kebangkitan (adat) Melayu. Dari sana dicari pemaknaan

Melayu yang muncul. Karena (pe)makna(an) tidak pernah

tunggal, Abid juga menampilkan pemaknaan alternatif oleh

beberapa kelompok masyarakat. Bagi masyarakat Melayu

Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah

dua hal yang tidak terpisah. Memang dalam sejarahnya

semula masyarakat Melayu Jambi bukan penganut Islam.

Namun, ketika telah datang ke daerah ini, Islam dianut

secara kuat oleh orang Melayu Jambi. Adat diverifikasi

melalui proses teliti sehingga menghasilkan rumusan adat

yang selaras atau sesuai dengan Islam. Kuatnya Islam

dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa

implikasi, antara lain, penolakan masyarakat Jambi

terhadap hal-hal yang mereka anggap bukan Islam.30

Artikel Albert Alfikri, “Diskursus Hukum Kewarisan

‗An-Tarād}in: Menjembatani Dialektika Kewarisan

Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun,

Provinsi Jambi‖, ingin menjawab pertanyaan esensial

tentang problem paradigmatis, sosiologis, dan epistemologis

dalam sistem kewarisan masyarakat Muslim Sarolangun

dengan menggunakan kerangka pikir paradigma terpadu

George Ritzer. Menurut Alfikri, di satu kesempatan hukum

Islam lebih memengaruhi pilihan masyarakat, namun dalam

kesempatan lain hukum adat yang lebih berpengaruh.

30M. Husnul Abid, ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional,

Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam M. Iqbal Ahnaf (ed.),

Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan

Koeksistensi, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies

(CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2015).

Page 29: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

20

Situasi semacam itu memunculkan pilihan materi hukum

yang tambal-sulam atau, meminjam istilah A. Qodry Azizi,

hukum yang eklektis; materi hukum yang digunakan

merupakan perbauran dari berbagai sistem hukum.31

Situasi subordinasi antarnorma masyarakat tersebut di

Indonesia tidak sepenuhnya diterima, terutama oleh

akademisi, pemuka adat, dan terlebih pemuka agama. Hal

itu terlihat dari perdebatan soal keberterimaan antara

hukum adat dan hukum Islam, termasuk dan terutama

dalam soal kewarisan. Meskipun demikian, interaksi dan

saling pengaruh antara hukum adat dan hukum Islam tak

bisa dihindari, sebagaimana terlihat dalam pembagian waris

dalam masyarakat Sarolangun. Mau tidak mau mereka

harus memilih antara mengikuti sistem hukum waris Islam

atau hukum adat.

Artikel ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model

Pemerintahan Adat Tiga tali sepilin di Provinsi Jambi Pasca

Reformasi‖ ditulis oleh Irma Sagala. Menggunakan

pendekatan struktural dan substansial, artikel ini

menemukan adanya reinvensi struktur pemerintahan adat

melalui forum tiga tali sepilin sebagai kebijakan menarik

yang terjadi di Jambi. Kebijakan itu memberi ruang bagi

penguatan kembali karakter budaya Melayu-Islam dalam

masyarakat Jambi, sekaligus menghidupkan kembali nilai-

nilai kearifan lokal (local wisdom) yang penting untuk

mewujudkan tatanan masyarakat yang bermartabat.

Reinvensi tradisi juga akan memberikan karakter unik bagi

daerah Jambi yang dapat dijadikan sebagai salah satu daya

tarik dalam pengembangan otonomi daerah, utamanya di

Jambi. Meskipun beberapa kabupaten/kota telah

menunjukkan komitmen ke arah tersebut, tampaknya tidak

demikian dengan Pemerintah Provinsi Jambi.32

31Albert Al-Fikri, ―Diskursus Hukum Kewarisan ‗An Tarādin:

Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di

Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, tesis UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta (2016). 32Irma Sagala, ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model

Pemerintahan Adat Tiga Tali Sepilin di Provinsi Jambi Pasca-Reformasi‖,

Page 30: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

21

Subhan MA Rahman menulis artikel ―Pergulatan

Wacana al-Qur'an Bergambar Kandidat‖, dengan objek

kajian studi relevansi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Jambi dengan kondisi masyarakat Jambi yang didominasi

oleh umat Islam. Temuan Rahman adalah fatwa MUI Jambi

memunculkan polemik antara kalangan internal MUI

sendiri dan masyarakat Jambi, yang pada akhirnya

melahirkan kelompok-kelompok pro dan kontra, yang

merupakan imbas kecurigaan terhadap putusan fatwa MUI

Jambi yang diyakini sarat kepentingan politik. Menurut

Rahman, masing-masing kelompok mempunyai basis

argumentasi yang dianggap paling benar tanpa mencermati

dampak yang muncul setelahnya.33

Artikel M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-nilai Moral

dalam Tradisi Cuci Kampung‖, menggunakan pendekatan

filosofis yang berpijak pada nilai-nilai moralitas suatu

masyarakat. Artikel ini menegaskan bahwa tradisi cuci

kampung merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh

masyarakat untuk membersihkan wilayah/kampung

tertentu dari ―kotoran‖ yang melekat pada mereka akibat

perbuatan asusila. Tujuannya agar terhindar dari balak

atau petaka. Tradisi tersebut masih dianggap penting dan

dilaksanakan karena tertuang dalam dasar-dasar hukum

adat Jambi, baik Induk Undang, Pucuk Undang nan

Delapan, maupun Anak Undang Nan Dua Belas. Nilai-nilai

moral agama yang menjadi pondasi dalam tradisi cuci

kampung terhimpun dalam syarak yang mengatur tentang

pidana (jināyah) baik perzinahan maupun pembunuhan.34

dalam Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies,

(Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013). 33Subhan MA Rahman, ―Pergulatan Wacana al-Qur'an Bergambar‖,

laporan penelitian individual, Pusat Penulisan IAIN Sulthan Thaha

Saifuddin Jambi (2007). 34M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci

Kampung‖, Proceedings of the First International Conference on Jambi

Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013).

Page 31: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

22

B. Relevansi, Kontribusi, dan Distingsi

Buku ini menyepakati temuan Ratno Lukito tentang

perlunya meluruskan stigma negatif tentang relasi antara

adat dan syarak. Hanya saja buku ini tidak menjelaskan

secara komprehensif relasi positif dan harmonis antara adat

dan syarak sebagaimana terjadi di Jambi, jauh sebelum

terjadinya pergumulan antara adat dan syarak seperti

terjadi di Minangkabau, yang selanjutnya digeneralisasi

secara negatif oleh Belanda. Minangkabau sendiri hanyalah

bagian kecil dari masyarakat Melayu yang

mempertentangkan adat dan syarak, yang pada akhirnya

memunculkan kesadaran untuk merekonsialisi keduanya.

Untuk menambah referensi tentang temuan Lukito sebagai

harmonisasi antara adat dan syarak, buku ini melihat

adanya harmonisasi antara adat dan syarak melalui proses

integrasi yang pada gilirannya melahirkan produk hukum

baru, yaitu Undang Adat Jambi. Proses integrasi tersebut

tentu melalui adaptasi dan tarik-menarik kepentingan,

namun tidak sampai kepada konflik.

Kontribusi riset Yaswirman tentang persilangan

hukum keluarga dalam konteks adat Minangkabau

terhadap buku ini bisa dilacak dari pendekatan yang

digunakan Yasirman dalam menyisir problem dualisme

hukum adat dan syarak. Namun, secara geografis Jambi

berbeda dari Minangkabau, meskipun secara kultural

keduanya memiliki persinggungan sejarah yang panjang,

utamanya sejak berkuasanya Putri Selaras Pinang Masak

(Minangkabau) dan Ahmad Salim bergelar Datuk Paduko

Berhalo (Jambi). Perbedaan lokus tersebut turut

memengaruhi perbedaan epistemologis dalam pengambilan

hukum di kedua daerah. Fenomena yang tidak disinggung

oleh Yasirman, dan berusaha dieksplorasi oleh buku ini,

adalah keberagaman kasuistik. Kalau Yasirman hanya

berfokus pada hukum keluarga, buku ini menyuguhkan isu-

isu lain yang lebih kompleks, termasuk penelusuran sejarah

lahirnya falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi

Kitabullah yang selama ini diklaim berasal dari

Minangkabau.

Page 32: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

23

Studi A. Qodri Azizi berkontribusi penting dalam hal

menjadikan hukum Islam dan hukum positif sebagai

bangunan teoretis untuk menjelaskan eklektisisme hukum

nasional. Namun, studi Azizi tidak terlalu terhubung secara

signifikan terhadap buku ini, bukan hanya karena luasnya

kasus-kasus yang disajikan di dalamnya, melainkan juga

penentuan sikap dan pengambilan hukum yang relatif

beragam pada masing-masing daerah. Sementara itu, buku

ini menampilkan bukan hanya proses pengambilan hukum,

melainkan juga proses politis yang melibatkan penguasa

ketika itu, dilanjutkan peran kelembagaan adat sebagai

institusi yang notabene bertanggung jawab terhadap

bagaimana dan apa yang seharusnya ditetapkan dari kedua

hukum tersebut. Hasil dari kesepakatan tersebut

melahirkan produk yang dipatuhi bersama oleh seluruh

stakeholders. Buku ini juga melihat terjadinya tambal-sulam

antara adat dan syarak, namun syarak tetap terdepan

dalam penentuan putusan yang diambil, meski tidak melalui

institusi formal.

Studi Abdullah Syah yang melihat harmonisasi

antara adat dan syarak yang melibatkan tiga orang penting

di dalamnya (tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh

masyarakat), mirip dengan kelembagaan adat Melayu

Jambi. Namun, buku ini tidak sepakat dengan prioritas

yang diberikan kepada syarak jika terdapat pertentangan

antara adat dan syarak, mengingat kondisi Jambi berbeda

dari masyarakat Melayu Riau yang sejak awal berbudaya

Islam. Jambi adalah kombinasi antara adat dan syarak.

Sebagian besar masyarakatnya lekat dengan adat, sehingga

memberi prioritas terhadap salah satu di antaranya bukan

perkara mudah. Meskipun demikian, syarak tetap menjadi

prioritas sekaligus dasar pijak dalam pengambilan setiap

keputusan, yang terlihat dari sumber adat dan falsafah adat

bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Secara formal

segala keputusan atau ketetapan lahir melalui kelembagaan

adat yang dijadikan corong dalam menyampaikan putusan

persoalan sosial keagamaan, namun kelembagaan itu juga

biasanya didominasi oleh orang yang mengerti syarak.

Page 33: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

24

Buku ini juga menyepakati apa yang disebut Fahmi

Sy sebagai rekonsiliasi hukum dan rekonsiliasi kultural

antara adat dan syarak atau antara budaya Islam dan

budaya Melayu, yang selanjutnya melahirkan kearifan lokal

(local wisdom). Kelemahan studi Fahmi adalah fokusnya

pada aspek antropologis untuk memunculkan kesan positif

konflik antara adat dan syarak serta perilaku masyarakat

Muslim yang tersudutkan oleh minoritas masyarakat

Muslim lain. Selain itu, tawaran rekonsiliatasi yang tidak

terbatas pada hukum, namun juga aspek kebudayaan

(kultur), memberi kontribusi signifikan pada dinamika

politik pengambilan adat dan syarak di Jambi yang

melibatkan kelembagaan adat. Buku ini melihat bagaimana

adat dan syarak pada awalnya semacam ―dipertentangkan‖

namun pada akhirnya direkonsiliasikan menjadi aturan

yang disepakati bersama tanpa ada yang merasa

tersudutkan. Upaya mengakrabkan keduanya dapat

dilakukan dengan ketentuan saling memahami substansi

hukum masing-masing dari aspek filosofis.

Selanjutnya studi yang dilakukan Saifuddin Zuhri

berkontribusi terhadap buku ini dalam hal melihat tradisi

menjadi habitus dan melembaga serta menjadi acuan bagi

masyarakat, meski produsennya sudah tidak ada bahkan jauh

ke belakang. Tradisi tersebut dilakukan secara berkelanjutan

dan turun-temurun tanpa mempersoalkan siapa yang

melahirkannya dan situasi yang mengitarinya. Hanya saja,

habitus yang terbentuk merupakan pola tindak pribadi, tidak

dilakukan secara sistemik dan institusional. Kenyataan

tersebut berbeda dengan Jambi yang menjadi tradisi sistemik

dan institusional, bahkan mampu melahirkan posisi dan

disposisi secara terstruktur dan berkelanjutan. Keberadaan

kelembagaan adat dan hukum yang diproduksinya bahkan

terus dipegangi oleh masyarakat hingga saat ini.

Sementara itu, studi Ahmad Thalaby sejalan dengan

studi ini, yakni menyoroti bagaimana terjadinya proses

tarik-menarik kepentingan antara adat dan syarak. Hanya

saja, disertasi Thalaby cenderung melihat pertarungan

keduanya, yang berjalan beriringan ketika terdapat

kesamaan teks maupun tujuan hukum. Smentara, ketika

Page 34: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

25

terjadi perbedaaan bahkan benturan, kepentingan adat atau

masyarakatlah yang seharusnya dimenangkan. Berbeda

dengan buku ini yang tidak hanya menyoroti tarik-menarik

teks hukum, tetapi lebih luas siapa yang berkontribusi

dalam produksi hukum dan memenangkan pertarungan

ketika kedua hukum lahir. Merekalah agen yang

sebenarnya berkontribusi dan memiliki kepentingan

terhadap perberlakuan hukum tersebut, yang masing-

masing akan tetap mempertahankan eksistensinya.

Kalau studi Yuliatin berfokus pada persoalan waris,

dengan objek penelitiannya adalah masyarakat Seberang

Kota Jambi, buku ini mengambil objek Kota Jambi,

Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, dan

Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Disertasi Yuliatin tentu

saja relevan dalam memberi gambaran antropologis-religius

tentang pembagian harta waris di Jambi, yang ternyata

terpecah menjadi tiga solusi (berdasarkan Islam, adat, dan

sukarela). Hal itu mempertegas asumsi awal tentang

perbedaan masyarakat Jambi dan masyarakat Melayu Riau;

Jambi selalu berada dalam subordinasi antara adat dan syarak.

Namun, ruang lingkup studi Yuliatin berfokus pada waris,

sedangkan buku ini lebih luas terkait konstruksi adat dan

syarak sekaligus bagaimana kelembagaan adat Melayu

Jambi memproduksi hukum kewarisan yang berbeda antara

Jambi bagian Barat dan Jambi bagian Timur. Kalau Jambi

wilayah Barat atau Jambi Hulu bercorak matrilineal, Jambi

bagian Timur atau Hilir bercorak patrilineal bahkan

sebagian parental-bilateral sebagaimana temuan Yuliatin di

Seberang Kota Jambi.

Studi Irma Sagala berfokus pada kelembagaan adat

Melayu Jambi yang di dalamnya terdapat forum tiga tali

sepilin sebagai subjek kajian. Artikel Sagala memberikan

relevansi bagi buku ini karena membuka peluang kritik

terhadap relasi kuasa yang bekerja dalam struktur hierarki

sosial masyarakat Jambi. Sayangnya, Sagala hanya

berupaya membuktikan efektivitas kerja kolektif dalam

kelembagaan adat tanpa memberi kasus tertentu yang

dimungkinkan bisa diselesaikan oleh kolektivitas ketiganya.

Buku ini juga tidak seluruhnya sepakat dengan gagasan

Page 35: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

26

reinvensi yang diusung Sagala. Kolektivitas dalam

kelembagaan adat juga memungkinkan pergumulan,

konstruksi, dan negosiasi yang tidak sederhana. Terlebih di

Jambi, struktur hierarki internal kelembagaan adat tidak

seimbang, dengan pemangku adat dan pemerintah desa

memiliki struktur hierarki yang jelas sehingga dapat

dikondisikan untuk berkoordinasi dan konsolidasi.

Sementara itu, pegawai syarak tidak mempunyai hierarki

dan organisasi yang secara khusus mewadahi, sehingga

tidak bisa dinilai kualitasnya secara pasti apakah laik atau

tidak untuk melakukan ijtihad atau menyelesaikan

persoalan sosial keagamaan.

Artikel M. Husnul Abid relatif memiliki kesamaan

dengan fokus buku ini yang juga menelisik identitas

masyarakat Melayu Jambi melalui berbagai tradisi yang

menunjukkan eksistensi masyarakat Melayu Jambi sejak

berdirinya kerajaan Islam Melayu Jambi. ―Totalitas‖

identitas Islam yang diterima masyarakat Melayu Jambi

membuatnya sangat ketat dalam menerima berbagai budaya

luar. Selain itu, pemberdayaan kelembagaan adat sebagai

institusi yang diberi kepercayaan untuk menyelesaikan

berbagai persoalan sosial keagamaan mengindikasikan

kebangkitan etnis Melayu dalam keragaman budaya

Nusantara. Kelembagaan adat itu pada awalnya menaungi

berbagai etnis yang menetap di Jambi, namun setelah

terjadi perubahan nomenklatur menjadi Lembaga Adat

Melayu Jambi terkesan hanya milik etnik Melayu secara

eksklusif. Perbedaaannya, buku ini mencermati bagaimana

adat dan syarak diproduksi oleh tokoh dominan dan

pertarungan dalam memperlihatkan atau memperebutkan

posisi dan eksistensi masing-masing. Upaya harmonisasi

keragaman tradisi yang datang dengan tradisi, misalnya,

diramu dan ditengahi menjadi satu melalui adaptasi,

negosiasi, bahkan subordinasi. Keberterimaan masyarakat

Melayu Jambi ditandai banyaknya kasus yang

menggunakan jasa Lembaga Adat untuk penyelesaiannya.

Studi Albert mencermati bagaimana kompromi

antara adat dan syarak meskipun harus melakukan apa

yang diistilahkan A Qodri Azizi sebagai tambal-sulam

Page 36: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

27

hukum. Albert juga menjelaskan persoalan keberterimaan

masyarakat Jambi, yang dalam buku ini ditelusuri dengan

teori resepsi. Yang tidak disinggung Albert dalam artikelnya

adalah kuasa simbolik dan relasi kuasa yang terjadi dalam

proses negosiasi tersebut. Buku ini justru memperlihatkan

betapa keberterimaan terhadap hukum tertentu tidak lepas

dari agen-agen dominan yang terlibat di dalamnya, yang

berperan dalam pengambilan setiap keputusan bahkan

saling berebut pengaruh.

Selanjutnya, buku ini juga menggunakan perspektif

relasi kuasa sebagaimana dipakai oleh Subhan MA Rahman

dalam artikelnya mengenai wacana Alquran bergambar

kontestan politik. Relevansinya terletak pada cara Rahman

melacak subordinasi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dan masyarakat, sesuatu yang juga akan dilakukan oleh

buku ini dalam menelusuri pergulatan politis antara ulama,

tokoh adat, dan pemerintah lokal. Sayangnya Rahman

hanya berfokus pada wacana Alquran yang sifatnya

sosiologis, sementara studi ini mengambil isu yang jauh

lebih kompleks terkait maşlahah dan relasinya dengan

hukum adat.

Terakhir, artikel M. Ied al-Munir tentang kasus cuci

kampung memungkinkan buku ini untuk melihat lebih jauh

negosiasi antara adat dan syarak serta implementasinya

dalam masyarakat Melayu Jambi. Namun, yang membuat

buku ini berbeda dibanding artikel al-Munir adalah gagasan

relasi kuasa yang dibangun dan subordinasi di dalamnya.

Jika al-Munir berfokus pada perbandingan nilai-nilai Islam

dan adat dalam kasus tertentu, buku ini berfokus bukan

hanya pada nilai-nilainya, tetapi juga memperlihatkan

bagaimana nilai-nilai itu diproduksi dan direproduksi oleh

otoritas-otoritas terkait.

Dari semua kepustakaan-kepustakaan yang telah

ada, dapat ditarik benang merah bahwa hampir semuanya

berpijak pada subordinasi kultural-politik-religius dalam

implementasi hukum. Meskipun ada yang bersentuhan

dengan hubungan interaktif dan interkonektif berbagai

elemen yang ada pada daerah tertentu, sifatnya global.

Sedangkan buku ini secara spesifik dan komprehensif

Page 37: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

28

menyelami bagaimana konstruksi adat dan syarak di Jambi

serta kuasa simbolik kelembagaan adat masyarakat Melayu

Jambi. Dari situ akan diketahui bagaimana proses tarik-

menarik kepentingan dan yang paling dominan dari

kepentingan tersebut. Setting politis, sosiologis, dan

fenomenologis yang muncul menjadi kajian intensif sehingga

dapat diketahui dengan benar konstruksi pemikiran yang ada.

Buku ini menemukan beberapa persoalan yang belum

terungkap selama ini mengenai Jambi sebagai pusat perdaban

Melayu tertua berlokasi di Candi Muarajambi, yang lebih awal

bersentuhan dengan Islam tepatnya pada Abad Ke-1 H

melalui pelabuhan internasional Muarasabak. Islamisasi di

Jambi yang bertolak dari istana juga berbeda dengan

kerajaan Islam di Nusantara umumnya, demikian pula

falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah

yang muncul justru dari Jambi. Akulturasi antara adat dan

syarak di Jambi sejak abad ke-15, ketika tranformasi

Kerajaan Melayu menjadi Kerajaan Islam Melayu, yang

melahirkan undang adat Jambi yang masih menjadi acuan

dalam menyelesaikan kasus sosial keagamaan melalui

kelembagaan adat hingga saat ini, juga akan dibahas.

Dengan demikian, buku ini jelas memposisikan diri

berbeda dari studi-studi terdahulu, tidak hanya

mengafirmasi studi-studi terdahulu dengan menekankan

interaksi, negosiasi, dan integrasi antara adat dan syarak,

tetapi juga menyangkut relasi, keberterimaan, dan respons

masyarakat serta peran kelembagan dalam memproduksi

dan mereproduksi hukum. Lebih dari itu, buku ini juga

mencermati bagaimana kelembagaan adat menjadi pusat

pertarungan kuasa di kalangan internal maupun eksternal,

bagaimana relasi kuasa dan dominasi antar-kelembagaan

adat. Isu-isu itu hampir tidak ditemukan dalam

keseluruhan studi-studi terdahulu, memperlihatkan

perbedaannya yang substansial antara buku ini dan studi-

studi sebelumnya. Artinya, buku ini menekankan sikap

kritis: menerima negosiasi antara adat dan syarak demi

kepentingan masyarakat banyak (maşlahah al-‗ammah),

sekaligus mengkritik negosiasi tersebut dalam konteks

relasi kuasa yang bekerja di dalamnya.

Page 38: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

29

3 Konstruksi Adat dan Syarak:

Resepsi, Maşlahah, dan Habitus

Sedikitnya terdapat tiga teori yang digunakan untuk

menganalisis problem akademik yang termuat dalam buku

ini, yakni teori resepsi, maşlahah, dan habitus. Teori resepsi

digunakan untuk mengetahui bagaimana proses

keberterimaan masyarakat terhadap syarak sejak

kedatangan Islam dan transformasi Kerajaan Melayu Jambi

menjadi Kerajaan Islam Melayu Jambi dan Kesultanan

Jambi, kolonisasi Belanda, Jepang, dan era Kemerdekaan.

Selain itu, untuk melihat seberapa besar peran penguasa

dalam mengkonstruksi hukum ketika itu.

Sedangkan teori maşlahah digunakan untuk

menyeleksi dan menilai konstruksi produk syarak dan

produk adat yang dinegosiasikan sedemikian rupa oleh

kelembagaan adat sehingga melahirkan konfigurasi hukum

baru Undang Adat Jambi. Selanjutnya, seberapa signifikan

integrasi keduanya dan kompetensi kelembagaan dalam

memproduksi dan mereproduksi hukum serta sejalan-

tidaknya dengan prinsip ajaran Islam. Adapun teori habitus

digunakan untuk mengetahui siapa yang berperan dan

berkuasa dalam memproduksi dan mereproduksi hukum

serta relasi dan subordinasi antar-mereka dan dengan

institusi di luarnya selama ini.

Page 39: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

30

A. Teori Resepsi

Untuk menganalisis adat dan syarak, digunakan

teori penerimaan hukum, yaitu receptio in complexu dan

receptie.35 Keduanya membahas tentang penerimaan hukum

Islam maupun hukum Adat untuk diterapkan di Indonesia

ketika itu.

Pertama, Teori receptio in complexu dipadankan

dengan sebutan teori penerimaan secara kompleks atau

sempurna atau utuh, digagas oleh Lodewijk Willem

Christian Van Den Berg (1845–1927), penasihat bahasa

Timur dan hukum Islam (1878-1887), guru besar Indische

Instelling, dan walikota di Deft, Belanda (1887-1900), serta

penasehat bagian jajahan (Department van Kalonien) di

Belanda (1900-1902). Menurut teori ini, bagi pemeluk agama

tertentu berlaku hukum agamanya. Untuk kaum Hindu

berlaku hukum Hindu, untuk kaum Kristen berlaku hukum

Kristen, dan untuk kaum Islam berlaku hukum Islam.

Hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang

seharmoni dengan agama yang diimaninya. Teori ini

menegaskan hukum Islam seharusnya diterima dan

diberlakukan secara utuh oleh seluruh warga negara sesuai

agamanya, terutama yang beragama Islam.36 Oleh sebab itu,

jika seseorang beragama Islam, maka secara langsung

hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian

35Kedua teori ini tidak disadur dari buku aslinya karena kesulitan

dalam perolehannya, namun beberapa pakar hukum yang dianggap

representatif memuat teori ini, antara lain: Hazairin, Soekamto, Sayuti

Thalib, dan lainnya. Selain itu, ini sebagai langkah menghindari plagiasi

dalam pengutipan. 36Buku asli karangan Van Den Berg berjudul ―De Behinselen van

het Mohammadaansche Recht, volgens de Imams Abu Hanifah en Syafi‘i

(Dasar-dasar Hukum Islam Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi‘i),

(Batavia: Ernsten Co.s‘ Gravenhage, 1883), diedit oleh M. Nijhorf.

Pemikiran Van Den Berg ini sebenarnya lebih terinspirasi pada

pemikiran pendahulunya yaitu Karel Frederik Winter (1799-1859) dan

Salomon Keyzer (1823-1868). Lihat H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam,

(Chicago: The University of Chicago, 1972), 116; Sajuti Thalib, Receptio a

Contrario, (Jakarta: Akademika, 1980), 5; dan Soekanto, Meninjau

Hukum Adat di Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum

Adat, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), 53.

Page 40: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

31

seterusnya.37 Hukum perkawinan dan kewarisan di sebuah

kerajaan Islam, misalnya, dinyatakan tetap berlaku, namun

penerapannya dapat dilihat dalam peraturan Resolutie der

Indische Regeering yang ditetapkan VOC pada 25 Mei 1760.

Begitu pula pemberlakuan hukum Islam bagi rakyat

pribumi yang beragama Islam sebagaimana termuat dalam

R.R Staatbblad 1855; 2 pasal 75, 78, 109. Diperkuat dengan

R.R Staatbblad 1882; 152 reorganisasi Lembaga Peradilan.38

Bahkan, menurut Ismail Suny, hukum Islam yang berlaku

sejak zaman VOC tidak jarang dijadikan dasar hukum

dalam penetapan Regeerning Ingsreglement (R.R) Tahun

1885. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 75: ―oleh hakim

Indonesia itu hendaknya diperlakukan undang-undang

agama (godsdientigewetten)...‖39

Kedua, teori receptie, dipadankan dengan sebutan

penerimaan atau pertemuan, yakni hukum adat sebagai

penerima dan hukum Islam sebagai yang diterima. Teori ini

digagas oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936),

penasihat orang Timur dan hukum Islam (adviseur voor

Oostersche en Mohammadaansch) pada 1891 dan berganti

menjadi Hindia Belanda (adviseur voor Inlandsch) serta

penasihat perdagangan orang Arab (adviseur voor Inlandsch

en Arabische).40 Teori ini berawal dari kesimpulan bahwa

37Gagasan ini pada dasarnya telah dimunculkan oleh Karel

Frederik Winter, pakar tentang persoalan Java-Javanici (1799-1859 M.)

yang lahir dan meninggal di Yogyakarta. Ia adalah Guru ilmu bahasa dan

kebudayaan Hindia Belanda yang produktif menulis tentang Islam

bahkan menterjemahkan al-Qur‘an ke dalam bahasa Belanda. Lihat

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam

dan Adat dalam Masyarakat Matrilinial Minangkabau, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2011), 64-65. 38Reorganisasi ini substansinya membentuk baru mendampingi

Pengadilan Negeri yaitu Pengadilan Agama untuk mewadahi kepentingan

umat Islam yang dinamakan ―Dewan Ulama‖ sama halnya dengan

―Dewan Pendeta‖. Lihat Mahadi, Kedudukan Pengadilan Agama di

Indonesia Sampai Tahun 1882, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Kemenag

RI, 1985), 99-113. 39Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta:

Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987), 5-6. 40Teori ini selanjutnya ditumbuh-kembangkan oleh pakar hukum

adat Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–

1941). Tujuannya adalah agar orang-orang pribumi tidak terlalu kokoh

Page 41: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

32

hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum

ketika hukum adat menerimanya. Oleh karena itu, jika

didapati syarak dipraktikkan di dalam kehidupan

masyarakat, pada hakikatnya ia bukanlah syarak,

melainkan adat. Adat sebagai penerima dan syarak sebagai

hukum yang datang. Artinya, syarak berlaku ketika telah

diterima atau masuk ke dalam hukum Adat, meskipun

sebenarnya hukum tersebut bukan lagi syarak tetapi telah

menjelma menjadi hukum adat. Teori ini berkebalikan

dengan teori sebelumnya, yang justru menyatakan bahwa

yang berlaku bagi rakyat pribumi seharusnya hukum adat,

bukan syarak. Syarak baru bisa berlaku jika telah diterima

atau masuk ke dalam hukum adat, dalam artian syarak

merupakan bagian dari hukum adat. Hal ini disebabkan

bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa yang tidak memiliki

tatanan hukum yang bersumber dari tradisi yang mengakar

selama ini, yaitu hukum adat. Hukum adat (Adatrecht)

merupakan terma yang dipopulerkan oleh Hurgronje.

Kedua gagasan inilah yang merepresentasikan

pandangan tentang variasi hubungan adat dan syarak

sekaligus sebagai bukti subordinasi antara keduanya dalam

arena sistem hukum. Selain itu, pergumulan itu dijadikan

sebagai alasan pembenar oleh Belanda bahwa kedua sistem

hukum tersebut tidak mungkin disatukan apalagi

diharmonisasikan. Alasan klasik yang dimunculkan adalah

memegang ajaran Islam karena mempersulit masuknya peradaban Barat.

Gagasan ini mendapat legitimasi melalui Undang-undang Dasar Hindia

Belanda yang dikenal Indische Staatsregeling (I.S). Syarak dicabut dari

tata hukum Belanda, sebagaimana tertuang pada Pasal 134 ayat 2 dari

I.S. tahun 1929: dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang

Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat

mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan

sesuatu ordonansi. Upaya penyebaran teori ini dilakukan dengan cara

mengembangkan negara Indonesia (yang dahulu dikenal dengan

nusantara) menjadi 19 wilayah hukum adat, antara adat satu dan yang

lainnya berbeda-beda. Bahkan, upaya kongkrit pemerintah Hindia

Belanda menghambat implementasi hukum Islam, sebagaimana temuan

Afdol dan Ichtijanto.Ichtiyanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum

lslam di Indonesia, dalam Juhaya S. Praja, Hukum lslam di Indonesia

Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),

97.

Page 42: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

33

kasus Perang Paderi, konflik antara kaum Muda dan kaum

Tua.

B. Teori Maşlahah dalam Yurisprudensi Islam

Metode penetapan syarak (hukum Islam) secara

sederhana dapat diartikan sebagai cara-cara menetapkan,

meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber

dari naşş hukum untuk diimplementasikan dalam

kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.

Metode ini terkandung dalam suatu disiplin ilmu yang

dikenal dengan ilmu uşūl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang

membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar

(ijmal), cara pemanfaatannya, dan keadaan orang yang

memanfaatkannya, yakni mujtahid.41

Kalangan ulama usūl al-fiqh mengklasifikasikan

metode penetapan syarak ke dalam dua bagian.42 Pertama,

metode verbal (at-turūq al-lafziyah), yaitu metode penetapan

hukum yang bertumpu pada analisis kebahasaan, misalnya

lafaz 'āmm, khās, mutlaq, muqayyad, ‗amar, nahī. Kedua,

metode substansial (at-turūq al-ma'nawiyah), yaitu metode

penetapan hukum yang bertumpu pada pengertian implisit

nass dengan penggalian substansi syarak (al-iltifāt ilā al-

41Menurut Atho‘ Mudzhar, uşul al-fiqh adalah pengetahuan yang

membahas tentang dalīl-dalīl hukum secara garis besar (ijmâl), cara

pemanfaatannya dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yaitu

mujtahid. Melalui ilmu ini pengetahuan tentang syarak dapat

diwujudkan, sehingga ilmu Uşūl al-Fiqh diidentifikasi sebagai metodologi

konvensional dalam studi hukum Islam, atau koleksi teori-teori hukum

Islam. Lihat M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan

Praktek, (Yogyakarta: Pusaka pelajar, 1998), 2. 42Dua aliran yang berbeda dalam merumuskan kaidah uşūl.

Pertama, aliran Mutakallimīn atau Syâfi'iyah, yang membangun kaidah

Uşūl al-Fiqh secara teoritis, logis dan rasional, didukung oleh

argumentasi yang kuat baik naqlī maupun 'aqlī. Kedua, aliran fuqahâ

atau Hanafiyah, yang membangun dan merumuskan kaidah-kaidahuşūl

berpijak pada masalah cabang dalam maźhab, setelah meneliti dan

menganalisis masalah cabang tersebut. Selanjutnya, muncullah aliran

konvergensi, yang berusaha memadukan metode perumusan kaidah yang

ditempuh dua aliran di atas. Lihat Zakariyâ Sabrī, Maşâdir al-Ahkâm al-

Islâmī, (Kairo: Kulliyah al-Huqūq Jâmi'ah al-Qâhirah, 1973), 11-12.

Page 43: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

34

ma'ānī wa al-maqāşid), seperti ijmā‘, qiyās, ‘urf (adat),

istihsān, maşlahah.43

Buku ini mengadopsi model terakhir dari metode

substansial tersebut, yaitu maşlahah.44 Secara etimologis

maşlahah semakna dengan manfaat atau suatu pekerjaan

yang mengandung manfaat.45 Menurut asy-Syātibi, ke-

maşlahah-an (al-masālih) haruslah merujuk pada dua aspek

yaitu: khiţāb syar‘ī (epistemologis) dan realitas sosial

(waqā‘i‗ al-wujūd). Terkait aspek khiţāb syar‘ī

(epistemologis), bagaimana hukum itu diproduksi dan

direproduksi oleh institusi tiga tali sepilin melalui

kerapatan adat dengan mencarikan argumentasi yang

sesuai dengan prinsip syar‘ī. Aspek khiţāb syar‘ī harus

berpijak pada konsep munāsib (kesesuaian), yakni ada atau

tidaknya kesesuaian antara maşlahah yang

dipertimbangkan dengan tujuan umum syarī‘ah (maqāsid

al-syarī‘ah) dan tidak dijumpai syāhid atau 'illah, indikator

yang membedakannya dengan qiyās, dan tidak ditemukan

dalīl khusus mengenai status hukumnya.46

Munāsib pada konteks ini mengandung tiga makna.

Pertama, munāsib yang keberadaannya diakui oleh syāri‘

dengan menyebutkan dalīl khusus, seperti disyari'atkannya

qişāş untuk memelihara jiwa manusia demi terjaminnya

keberlangsungan hidup dan memelihara anggota tubuh

manusia. Kedua, munāsib yang keberadaannya ditolak oleh

syāri‘ karena dianggap hasil pemikiran subjektif manusia

yang motivasinya hawa nafsu an sich dan bertentangan

43Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-

‗Arabī, 1958), 115. 44Substansi maşlahah adalah mengambil manfaat dan menolak

kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syarak (Jalb al-masâlih

wa Daf‘u al-Mafâsid li Muhâfazah Maqâsid al-Syari‘ah). Tujuan syarak

yang harus dipelihara mencakup lima hal, yaitu; memelihara agama,

jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-

Musytaşfâ fi ‗Ilm al-Ushūl, (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1983), I,

38. 45Husain Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maşlahah fi al-Fiqh al-

Islamīy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-‗Arabiyyah), 3-4. 46Abū Ishâq Ibrâhīm ibn Mūsâ Asy-Syâţibī, al-Muwâfaqât fī Uşūl

asy-Syarī‘ah, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973), II, 38.

Page 44: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

35

dengan dalīl-dalīl syarak. Ketiga, munāsib yang

keberadaannya tidak diakui ataupun ditolak oleh syāri‘,

dalam pengertian tidak dijumpai naşş khusus untuk

memegangi ataupun meninggalkannya. Dengan kata lain,

tidak dijumpai dalil partikular yang mengindikasikan boleh

atau tidaknya dipraktikkan oleh orang yang beriman.

Munāsib dalam konteks ini mengandung dua kemungkinan:

adanya naşş yang mengkonfirmasi, seperti 'illah yang

menghalangi pembunuh mendapatkan warisan, atau telah

sejalan dengan pandangan syarak secara universal, bukan

dengan dalīl partikular.47 Konteks terakhir inilah yang

dimaksud asy-Śyāţibī sebagai al-istidlāl al-mursal atau

al-maşlahah al-mursalah.48

Terkait realitas sosial (waqā‘i‗ al-wujūd), bagaimana

keinginan dan komitmen masyarakat Muslim Jambi untuk

mempraktikkan dan mengintegrasikan adat dan syarak

sehingga dapat dilaksanakan secara bersamaan,49

mengingat adanya hukum kausalitas dalam konteks adat

dan syarak, di mana adat merupakan sabab (penyebab) bagi

adanya musabbab (hukum), umpamanya tentang

kemampuan fisik untuk melakukan suatu perbuatan atau

keadaan bālig dan lain-lain. Hal-hal itu merupakan

47Ibid., 39-40. 48Menurut al-Ghazali maşlahah al-mursalah dapat diterima jika

memenuhi kriteria: sejalan dengan tindakan syarak, tidak meninggalkan

atau bertentangan dengan naşş; dan masuk dalam kategori dharurī, kullī

dan qath‘ī. Pertama,dharurī (pokok), keberadaan maşlahah terkait

dengan pemeliharaan kebutuhan esensi manusia yang mencakup

pemeliharaan lima hal pokok, yakni: agama, jiwa, akal, keturunan dan

harta. Kedua,qath‘ī (pasti), jika itu tidak dilakukan maka dapat

dipastikan akan terjadi kerusakan. Ketiga,kullī, yang dilindungi adalah

kepentingan umat secara umum (maşlahah al-ammah, bukan

kepentingan personal. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaşfâ ..., 394. 49Menurut asy-Syâţibī, taklif hukum terhadap Mukallaf didasarkan

kepada kontinyuitas adat, mengingat hukum terkait erat dengan

perbuatan mukallaf sebagai implementasi adat. Oleh karenanya,

keberadaan dan keberlangsungan adat dalam kaitan dengan hukum

merupakan keniscayaan, kalaupun terjadi perbedaan mengharuskan

perbedaan proses penentuan dan perbedaan klasifikasi hukum serta

al-khiţâb. Lihat Abū Ishâq Ibrâhīm ibn Mūsâ Asy-Syâţibī, al-

Muwâfaqât..., Juz II, 44,79.

Page 45: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

36

sebab-sebab langsung bagi musabbab (hukum) dan hal-hal

itu diatur oleh pembuat syarak (syāri‘).

Begitu pentingnya prinsip ini, sehingga

dirumuskanlah kaidah ikhtilāf al-ahkām ‗inda ikhtilāf

al-‗awā‘id.50 Artinya, perbedaan hukum ketika terjadi

perbedaan adat; jika adat berubah dan berbeda, hukum juga

dapat berubah dan berbeda.

C. Teori Habitus

Teori habitus digagas oleh Pierre Bourdieu (1930-

2002), sosiolog Prancis yang dikenal karena pandangan

―politiknya‖ yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu

publik.51 Habitus dipahami sebagai ―logika permainan‖,

―rasa praktis‖ yang mendorong agen-agen bertindak dan

bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara

yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan

bukan sekadar kepatuhan sadar kepada aturan-aturan.

Habitus merupakan kondisi internal dan dapat menjadi

semacam blueprint bagi seseorang atau semacam ―skenario

yang telah ditentukan‖ bagi kebiasaan hidup, bahkan karir

sosial, jika tidak terdapat kondisi eksternal yang

berpengaruh dan dapat mengubah skenario.

Habitus memiliki tiga prasyarat definitif. Pertama,

habitus adalah product of structure, hasil dari struktur

sosial/kultural/religius yang sudah ada. Kedua, habitus

adalah producer of practice, yang menciptakan sekaligus

memperkuat praktik yang sudah ada. Ketiga, habitus

adalah reproducer of structure, yang berarti habitus tersebut

secara tak langsung—melalui praktik yang telah dihasilkan

dan bekerja terus menerus—menciptakan kembali sekaligus

memperkuat struktur yang sudah ada sejak awal.

Singkatnya, meminjam istilah Bourdieu, ia dibentuk oleh

struktur dan sekaligus membentuk kembali struktur itu.

50Ibid. 51Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production: Essays on Art

and Literature, (Cambridge: Polity Press, 1990), diedit oleh Randal

Johnson, 53.

Page 46: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

37

Habitus bersifat sirkuler dalam ketegangan antara struktur

dan praktik.

Dalam konteks Jambi, masyarakatnya mayoritas

Muslim dan terkenal sebagai ―masyarakat agamis‖,52 namun

di sisi lain juga mengklaim sebagai masyarakat adat dan

tradisi yang dilakukan lebih kental berpijak pada aturan

yang tertuang dalam aturan adat (Undang Adat Jambi).

Aturan adat inilah yang menjadi panduan masyarakat

Jambi, dan untuk melegalkannya dibuatlah falsafah adat

bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah; undang datang

dari hulu, teliti dari hilir. Aturan yang tertuang dalam adat

dan kepatuhan masyarakat terhadapnya memberikan

pemahaman bahwa sebenarnya ada kekuatan kekuasaan

yang mampu membentuk budaya yang tetap kokoh dan

eksis menjadi habitus hingga saat ini. Apa yang

diperintahkan oleh aturan adat mereka laksanakan dan apa

yang dilarang oleh aturan adat mereka tinggalkan.

Perberlakuan aturan adat ini dalam perkembangan

selanjutnya membentuk kelas-kelas sosial dalam

masyarakat dan pada akhirnya mereka saling bernegosiasi

bahkan bersubordinasi dalam memperebutkan posisi dan

disposisi dalam masyarakat adat Melayu Jambi.

Ketiga teori tersebut diformulasikan menggunakan

pendekatan sosiologi hukum Islam, suatu pendekatan

mencermati proses integrasi adat dan syarak, praktik

dualisme hukum, dan eksistensi kelembagaan adat sebagai

produsen hukum yang senantiasa memproduksi dan

52Klaim masyarakat Jambi sebagai ―masyarakat agamis‖ agaknya

tidak berlebihan karena didasarkan pada beberapa hal. Pertama, realitas

bahwa hampir seratus persen masyarakat Jambi penganut agama Islam,

kecuali segelintir masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang awalnya

tidak mau dijajah lari dan menetap ke hutan dan kebanyakan migran

dari Minangkabau dan Palembang, teologi mereka masih bercampur

dengan ajaran animis. Dan saat ini telah kembali kepada ajaran Islam

Kedua, Jambi merupakan kerajaan Melayu pertama yang

memproklamirkan Islam sebagai agama kerajaan, tepatnya abad ke-15.

Sejak saat itu agama kerajaan adalah Islam dan seluruh rakyat Jambi

penganut Islam, bahkan segala aturan adat yang ada harus bersendikan

pada ajaran Islam (Syarak). Lihat Sulaiman Abdullah, Agama dan Adat

Masyarakat Jambi, (Jambi: LAM Jambi, 2010), 10.

Page 47: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

38

mereproduksi hukum melalui kerapatan adat, meskipun

terkadang terjadi subordinasi di internal institusi yang

bekerja di dalamnya dan dengan institusi di luarnya.

Mengingat fokus studi sosiologi adalah interaksi antara

individu dengan masyarakat, esensinya interaksi dalam

kehidupan sehari-hari,53 sedangkan fokus pendekatan

sosiologi hukum adalah hukum dan tindakan sosial, di mana

hukum adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi

masyarakatnya.54

Dalam konteks hukum Islam, M. Atho‘ Mudzhar

menjabarkan tiga segmen dalam penelitian hukum Islam

sebagai gejala sosial, yaitu doktrin asas, normatif, dan gejala

sosial.55 Pendekatan dalam buku ini lebih mendekati pada

53Pendekatan sosiologi juga penulis gunakan untuk mengamati

historis masyarakat tempo Jambi dulu, yang di dalamnya memuat kajian

bagaimana peran kelompok sosial tertentu, relasi, tarik menarik

kepentingan, pelapisan sosial dan sebagainya. Lihat Dudung

Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), 11. 54Menurut Geral Turkel sebagaimana dikutip Ahmad Ali bahwa

secara konvensional ada tiga pendekatan dalam mencermati hukum.

Pertama, pendekatan moralitas, focal concern-nya landasan moral

hukum, dan validitas hukumnya adalah konsistensi hukum dengan etika

eksternal atau nilai-nilai moral. Kedua, pendekatan yurisprudensi (ilmu

hukum normatif), focal concern-nya independensi hukum, dan validitas

hukumnya adalah konsistensi internal hukum dengan aturan, norma, dan

asas yang dimiliki hukum itu sendiri. Ketiga, pendekatan sosiologi, focal

concern-nya hukum dan tindakan sosial, dimana validitas hukumnya

adalah konsekuensi hukum bagi masyarakatnya. Lihat Ahmad Ali,

Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (legisprudence),

(Jakarta: Kencana, 2009), 176. 55Segmen penelitian hukum Islam, yaitu; Pertama, hukum Islam

sebagai doktrin asas, sasaran utamanya dasar-dasar konseptual syarak

seperti masalah sumber hukum, konsep Maqâsid al-Syarī‘ah, Qawâ‘id al-

Fiqhiyyah, Thurūq al-Istinbâth, dan Manhaj al-Ijtihâd. Kedua, hukum

Islam normatif, sasaran utamanya syaraksebagai norma atau aturan,

baik yang masih berbentuk naşş maupun yang sudah menjadi produk

pikiran manusia. Aturan dalam bentuk naşş meliputi ayat-ayat dan

hadits ahkâm. Sedangkan aturan yang sudah dipikirkan manusia antara

lain berbentuk fatwa-fatwa ulama dan bentuk-bentuk aturan lainnya

yang mengikat seperti kompilasi hukum Islam, dustūr, perjanjian

internasional, surat kontrak, kesaksian dan sebagainya. Ketiga, hukum

Islam sebagai fenomena sosial, sasaran utamanya perilaku hukum

masyarakat Muslim dan persoalan interaksi antar sesama manusia, baik

Page 48: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

39

segmen ketiga, yaitu penelitian hukum Islam sebagai gejala

sosial, pendekatan yang berupaya memahami secara dekat

mengenai konstruksi adat dan syarak dalam tradisi

masyarakat Melayu Jambi. Untuk itu, langkah-langkah

yang dilakukan sebagai berikut:

a. Membuat rumusan pertanyaan, sebagaimana dituangkan

dalam Bab 1, untuk melihat kontribusi akademik dari

buku ini.

b. Menjadikan kelembagaan adat sebagai subjek, mengingat

di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin yang sering

berebut pengaruh bahkan kuasa dalam menentukan

posisi dan disposisi masing-masing baik pada tataran

internal maupun eksternal.

c. Melacak, mengumpulkan, dan memilah data-data yang

terkait dengan topik buku ini untuk diklasifikasikan dan

diteliti sesuai kebutuhan.

d. Menganalisis data yang berhasil dikumpulkan dan

dijadikan bahan analisis.

e. Menyajikan data yang dianggap valid, selanjutnya

dinarasikan dengan cara yang baik sesuai kaidah

kebahasaan agar pembaca memahami isi tulisan dan

mendapatkan informasi baru dan merasa tertarik

sesama Muslim maupun dengan non Muslim. Ini mencakup persoalan-

persoalan seperti politik perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al-

syarī‘ah), perilaku penegak hukum, perilaku pemikir hukum seperti;

mujtahīd, fuqahâ‘, mufti dan anggota badan legislatif, persoalan

administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan dengan segala

graduasinya dan perhimpunan penegak serta pemikir hukum seperti

perhimpunan hakim agama, perhimpunan studi peminat hukum Islam,

lajnah-lajnah fatwa dari organisasi-organisasi keagamaan dan lembaga-

lembaga penerbitan atau pendidikan yang menspesialisasikan diri atau

mendorong studi-studi hukum Islam. Dalam jenis penelitian ini juga

tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum,

masalah pengaruh syarakterhadap perkembangan masyarakat atau

pemikiran hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah pemikiran

hukum, sejarah administrasi hukum serta masalah kesadaran dan sikap

hukum masyarakat. Lihat M. Atho‘ Mudzhar, Pendekatan Sosiologi dalam

Studi Hukum Islam‖, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai

Pendekatan, editor M. Amin Abdullah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),

34-35.

Page 49: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

40

melakukan kajian lebih intensif atau bahkan kajian

lanjutan.

f. Mencatat sumber data melalui referensi, dokumen,

informan, dan data otentik lainnya, sehingga informasi

yang disajikan konsisten kapan dan di mana pun.

g. Membuat simpulan terakhir sebagai hasil penulisan

minimal seirama dengan pertanyaan dalam rumusan

masalah, guna mempermudah memahami temuan.56

Melalui pendekatan tersebut, terungkap konstruksi

adat dan syarak dalam kelembagaan adat Melayu Jambi,

proses akulturasi, konstruksi, keberterimaan terhadap adat

dan syarak, kuasa simbolik dalam kelembagaan adat dalam

mengkonstruksi adat dan syarak dalam masyarakat Melayu

Jambi, serta relasi antar ketiganya dan dengan institusi di

luarnya.

Untuk penulis membuat desain kerangka teoretik

sebagaimana tertuang dalam bagan berikut ini.

56Akh Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori,

Metodologi dan Implementasi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2013),

180-226.

Page 50: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

41

cf
Typewritten text
41
Page 51: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …
cf
Typewritten text
42
Page 52: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

43

Berdasarkan teori yang dugunakan, terdapat tiga

unit analisis dalam buku ini. Pertama, akulturasi, persepsi,

dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap

adat dan syarak, yang akan dianalisis dengan teori resepsi.

Kedua, konstruksi, negosiasi, konfigurasi, sinkronisasi (titik

temu) dan diferensiasi (titik beda), prosedural lahirnya

putusan, serta unifikasi antara adat dan syarak, dianalisis

menggunakan teori maşlahah. Ketiga, persoalan sosiologis

mengenai peran kelembagaan adat melalui forum tiga tali

sepilin, yang mencakup kuasa simbolik, dominasi,

subordinasi, dan relasi kuasa antara ketiganya yang

memengaruhi struktur dan praktik penerapan adat dan

syarak di Jambi. Teori habitus digunakan untuk

menganalisisnya. Tiga unit tersebut secara sederhana sudah

diuraikan berdasarkan tiga kerangka teoretik yang telah

disebutkan di atas.

Dalam unit analisis pertama, akulturasi, persepsi

dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap

adat dan syarak melalui gagasan historis, teori resepsi

dijadikan sebagai pijakan historis untuk melihat

keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak

melalui lembaga-lembaga otoritatif di sana. Teori receptie in

complexu memberikan jawaban historis mengapa penguasa

Belanda saat itu menginginkan adanya penetapan syarak

dibanding adat, sementara teori receptie menawarkan

perspektif lain mengapa justru adat yang perlu

diberlakukan dibanding syarak. Namun, kesamaan dari dua

teori tersebut adalah bahwa dalam proses implementasi

kebijakan adat dan syarak, selalu ada kepentingan politis

yang berkuasa di baliknya. Jika dulu yang berkuasa adalah

Kerajaan Melayu Jambi, Kerajaan Islam Melayu Jambi,

Kesultanan Jambi, VOC, Belanda, dan Jepang, sekarang

penguasa menjelma dalam kelembagaan adat. Masing-

masing pihak dalam kelembagaan tersebut menawarkan

kebijakan yang diklaim lebih dekat atau lebih sesuai dengan

masyarakat Jambi, namun pada akhirnya kebijakan

tersebut tak lebih dari represi hegemonik yang mereka

jalankan atas kepentingan mereka sendiri.

Page 53: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

44

Dalam unit analisis kedua, konstruksi, negosiasi,

konfigurasi, sinkronisasi dan diferensiasi, eksistensi

kelembagaan adat, prosedural lahirnya putusan, unifikasi

antara syarak dengan adat, digunakan teori maşlahah

sebagai dasar pijak. Maşlahah merupakan bagian dari

metode ushūl fiqh, memberi peluang metodologis untuk

menelaah sinkronisasi dan diferensiasi antara adat dan

syarak di Jambi. Maşlahah memungkinkan untuk

mengetahui nilai-nilai hukum universal yang berlaku bagi

seluruh komunitas Muslim dan nilai-nilai hukum lokal

(kultural) yang berlaku untuk masyarakat tertentu,

sebagamana di Jambi. Terhadap nilai-nilai hukum yang

bersifat universal, bisa dibuktikan adanya homogenitas

penerimaan masyarakat Muslim di Jambi, baik yang

mendukung adat maupun tidak. Universalitas syarak juga

bisa ditarik kesamaan nilai-nilainya dengan hukum lain

yang berlaku bagi masyarakat adat non-Muslim di Jambi.

Sementara itu, terhadap nilai-nilai syarak yang bersifat

lokal, Islam dinegosiasikan sedemikian rupa agar sesuai

(mulā‘im) dengan hukum yang berlaku di daerah Jambi,

sebagaimana tertuang dalam hukum adat. Bahkan, tidak

menutup kemungkinan, berdasarkan dalil al-‗ādah al-

muhakkamah,57 adat di Jambi bisa menjadi dasar penetapan

syarak itu sendiri. Dalam konteks ini, buku ini melihat

adanya ruang bagi teori maşlahah, dengan mencermati adat

merupakan hukum yang hidup di masyarakat yang perlu

ditumbuh-kembangkan dengan ketentuan tidak

bertentangan atau menyalahi prinsip Islam.

Terkait unit analisis ketiga, persoalan sosiologis

mengenai peran kelembagaan adat yang di dalamnya forum

tiga tali sepilin, kuasa simbolik, dominasi, subordinasi, dan

relasi kuasa ketiganya dan institusi di luarnya sangat

memengaruhi struktur dan praktik penerapan adat dan

syarak di Jambi; digunakan teori habitus, yang

penerapannya sejalan dengan teori dan maşlahah

sebelumnya. Perbedaannya, jika teori sebelumnya

57Jalaluddin as-Suyuti, al-Asbâh wa al-Nazâ‘ir fi al-Furū‘,

(Semarang: Toha Putra, t.th), 32.

Page 54: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

45

menawarkan perspektif sosiologi historis, habitus

menawarkan pendekatan sosiologi politis yang

memungkinkan untuk melihat kondisi sosial-keagamaan di

Jambi dalam kerangka hierarki, dominasi, dan relasi kuasa.

Asumsinya adalah masing-masing kelompok dalam

kelembagaan adat saling berebut kuasa dalam sebuah arena

sosial-keagamaan di Jambi untuk memperkuat struktur

mereka di satu sisi dan membumikan praktik atas kebijakan

mereka di sisi lain. Disposisi hukum yang berhasil

dipraktikkan secara dominan oleh masyarakat Jambi akan

memastikan pula posisi mereka dalam hierarki sosial Jambi

itu sendiri. Begitu pula, siapa saja yang dianggap paling

berkuasa di daerah Jambi, punya peluang paling besar

untuk memperkuat praktik penerapan hukum yang

dikeluarkan. Persis di titik inilah struktur kelas sosial di

Jambi berkorelasi positif dengan praktik penerapan adat

dan syarak di Jambi itu sendiri.

Page 55: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

46

4 Sejarah Singkat Melayu Jambi

Jambi sebagai wilayah yang dihuni oleh mayoritas

masyarakat etnik Melayu, sejak abad ke-15 berhasil

mengakulturasikan dan mengrintegrasikan syarak dengan

adat secara mapan. Bahkan kuat dugaan falsafah―adat

bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖ justru lahir di

wilayah ini. Secara historis Jambi diakui oleh sejarahwan

sebagai pusat peradaban Melayu kuna di Nusantara.

Realitas tersebut berimplikasi pada pembentukan tatanan

keagamaan, sosial, politik, dan budaya sejak kedatangan

Islam hingga saat ini,58

Bab ini akan membahas secara singkat sejarah

Melayu dan Kemelayuan tersebut di Jambi. Cara yang

paling tepat untuk melacak dan menuliskannya tentu saja

dengan memandang sejarah tersebut sebagai sejarah sosial59

58Tahapan penelusuran sejarah sosial yaitu: Pertama,berorientasi

pada sejarah dan gerakan sosial (social movement) yang cenderung

marjinal dan menyempit dari arus utama masyarakat atau tatanan sosial

yang telah mapan; kedua, berorientasi pada studi historis yang sulit

diklasifikasikan, berkaitan dengan tata cara, adat istiadat, dan aktivitas

keseharian; ketiga, berorientasi pada kajian sejarah sosial dan ekonomi

yang memengaruhi perubahan struktur dan sosial masyarakat; dan

keempat, berorientasi pada akulturasi agama dan budaya

setempat.‖Ahmad Baso dalam Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan

Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), 17-20. 59Sejarah sosial berusaha mencari ―esensi‖ makna fenomena yang

dialami oleh individu atau kelompok pada wilayah dan masa tertentu.

Penelitian ini berusaha memahami teks-teks syarak dan adat Melayu

agar dapat dipadukan dan dibandingkan sehingga diketahui persamaan

dan perbedaannya untuk dikonfirmasikan kepada informan. Begitupula

subordinasi antar pihak yang terlibat dalam memproduksi dan

mereproduksi hukum, selanjutnya dianalisis secara intensif dengan

menggunakan argumentasi. Lihat Akh Minhaji, Sejarah Sosial ..., 50-51;

Page 56: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

47

yang diuji secara kritis dan analitis menyangkut

peninggalan dan rekaman masa lalu Melayu di Jambi. 60 Bab

ini pertama-tama akan mengetengahkan proses Islamisasi

dan perkembangannya di Jambi, disusul satu bagian

tentang akulturasi adat dan syarak. Falsafah adat bersendi

syarak, syarak bersendi Kitabullah, yang dipegangi secara

kuat oleh masyarakat Melayu Jambi, akan menjadi bahasan

dalam bagian selanjutnya, sebelum masuk ke bagian

mengenai kelembagaan adat Melayu di Jambi. Di bagian

paling akhir akan disampaikan tentang realitas terkini dari

masyarakat Melayu Jambi secara khusus dan masyarakat

Jambi secara umum, yang dibahas dari aspek sosial, agama,

politik, dan budaya.

A. Islamisasi dan Perkembangannya di Jambi

Perkembangan komunitas Muslim yang begitu pesat saat

ini, bahkan menjadi mayoritas di Nusantara menjadi salah

satu faktor penyebab sejarahwan (muarrikhîn) mengajukan

teori tentang asal usul kedatangan Islam di Nusantara,

tidak luput dari kajian tersebut adalah bagaimana

Islamisasi di Jambi.61 Setidaknya ada dua teori besar terkait

dengan kedatangan Islam di Nusantara sebagaimana

dikutip Azyumardi Azra.62

Azyumardi Azra, ―Historiografi Kontemporer Indonesia‖, dalam Henri

Chambert Loir dan Hasan Mu‘arif Ambong (ed), Panggung Sejarah,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 65. 60Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj. Noto Susanto, (Jakarta,

UI Press, 1986), 33; Bandingkan dengan Akh Minhaji, Ibid. 61Teori masuknya Islam sebetulnya bukan merupakan bangunan

teori (theory building) yang lengkap, yang mencakup paradigma,

konstruksi teori (kerangka konseptual), dan metodologi pemecahan

masalah, melainkan hanya sekedar merujuk kepada paradigma

(keyakinan ilmiah) tentang negeri tempat asal Islam yang diperkenalkan

ke Indonesia, tetapi di mana persisnya ―landing‖ Islam di daerah tujuan

tidak pernah ada kepastian dengan rujukan bukti-bukti sejarahnya yang

kuat, kecuali sangat fragmentaris. Karena alasan itu, maka dalam

wacana sejarah Islam Nusantara, para ahli biasanya membedakan secara

kasar dua konsep: ―Islam datang‖ dan ―Islam berkembang‖ (Islamisasi). 62Azyumardi Azra, Kajian Naskah Keagamaan Islamisasi

Nusantara: Penilaian Ulang, dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol.9. No.

Page 57: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

48

Pertama, Teori Gujarat (India), orang Arab

bermazhab Syafi‘i migrasi ke India dan anak benua India,

yakni; Gujarat dan Malabar, merekalah cikal-bakal

keturunan yang kemudian—melalui jalur perdagangan—

membawa Islam ke Nusantara. Teori ini didukung oleh

sarjana Belanda seperti; Pijnappel, Moquette, Kern,

Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, Hall dan

Snouck Hurgronje. Bahkan Marrison dan Arnold

menambahkan bahwa Islam Nusantara berasal dari

Coromandel dan Malabar, meski mereka tidak menampik

Islam Nusantara juga berasal dari Arabia.63

Kedua, Teori Arab, Islam Nusantara berasal dari

Arabia tepatnya Hadramaut-Yaman. Teori ini didukung oleh

Crawfurd, Niemann, De Hollander, meski mereka juga tidak

menampik peran ulama dari pantai Timur India bahkan

Mesir dalam penyebaran Islam di Nusantara. Naguib al-

Attas mengamini teori ini, menurutnya teori umum tentang

Islamisasi Nusantara seyogyanya mereferensi literatur

sejarah Islam Melayu-Indonesia dan sejarah dunia Melayu

sebagaimana terlihat melalui keyword dalam literatur

Melayu-Indonesia abad abad 10-11 H./14-17 M.

Kesimpulannya tidak satupun literatur keagamaan Islam

Melayu-Nusantara menyebutkan pengarang dari India,

kalaupun ada sebenarnya merupakan karya Arab atau

Persia, dan sebagian kecil lagi berasal dari Turki atau

Maroko.64

Teori kedua lebih tepat memposisikan asal asul

kedatangan Islam di Jambi, sejalan dengan Elisabeth

Locher yang menyebutkan titik tolak Islamisasi di Jambi

oleh pengusaha Turki bernama Ahmad Salim abad ke-14.65

1 Juni 2011, 4-8; Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan

Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 31. 63Berbeda dengan Nur Syam, yang mengungkap empat teori

Islamisasi di Nusantara yaitu: Arab, Gujarat, Persia, dan China.

Elaborasi lengkap lihat Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS,

2005). 64Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,

(Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan Melayu, 1972), 33-34. 65Elisabeth Locher Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial

Page 58: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

49

Bukti awal dijumpai melalui folklore,66 cerita rakyat seluruh

desa/dusun seluruh Jambi dan penemuan makam Ahmad

Salim alias ―Datuk Paduko Berhalo‖ di Pulau Berhala.67

Meskipun menurut M.D. Mansur Islam telah eksis di

Jambi sebagaimana dalam berita-berita Cina lama

disebutkan ―San-fotse‖ dekat sekali dengan kata ―Tembesi‖.

Bandar Utama Sriwijaya adalah Muara Sabak, dalam

pemberitaan Arab disebut ―Zabaq‖. Orang Arab

mentransliterasi ―Sriwijaya‖ sebagai ―Sribuzzi‖ dan berita-

berita Cina menuliskan ―che-li-foche‖. Berita tersebut

menyebutkan pada abad ke-7 M. saudagar-saudagar Cina

dan Arab telah sampai ke Sabak dan Minangkabau Timur.

Diduga pengusaha Arab ketika itu berbisnis sekaligus

melakukan kegiatan dakwah hingga pada abad ke-7 M,

diduga telah ada satu dua orang yang menganut agama

Islam di daerah sekitar ―Bandar Zabaq‖. Diperkuat dengan

bukti korespondensi Raja Melayu Jambi dengan Khalifah

Umar Bin Abdul Aziz (717-720) Dinasti Umayyah tersimpan

di Museum Spanyol Madrid berupa surat.68

State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism 1830-1907, terj. the Dutch

by Beverley Jackson, (USA: Conell SEAP, 2004), 38. 66Folklore atau cerita rakyat dapat berfungsi sebagai alat

pengesahan kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma

masyarakat dan pengendalian masyarakat. Lihat James Danandjaja,

Folklore Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 2002), 19. 67Gelar ―Datuk Paduko Berhalo‖ disandang Ahmad Salim karena

keberhasilannya memusnahkan semua berhala yang menjadi sesembahan

masyarakat di Pulau Berhala ketika itu. Meski, Pulau Berhala saat ini

menjadi bagian Provinsi Kepulauan Riau setelah terjadi gugatan atas hak

wilayah antara Jambi dan Kepulauan Riau (Kepri) dan dimenangkan oleh

Kepulauan Riau (Kepri) berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung

Nomor 49 P/HUM/2011. Lihat Syekh HMO Bafadhal, Pengungkapan

Sejarah Islam di Indonesia, disampaikan pada Pra Seminar Nasional

Masuk dan Berkembangnya Islam di Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi, 4-

5; Ian, Pulau Berhala Resmi Milik KEPRI, dalam www.indopos.co.id, 22

Februari 2013. 68Khalifah Umayyah (661-680) menjalin hubungan baik dengan

Raja Jambi di Muara Sabak, Sri Maha Raja Lokitawarman, ketika itu

menjadi pusat perdagangan Lada di Bandar Muara Sabak yang dikuasai

oleh Cina Tang. Pada tahun 715- 717 M. Khalifah Sulaiman bin Abdul

Malik memerintahkan angkatan lautnya di Teluk Persia yang terdiri atas

35 buah kapal menduduki Muara Sabak, dengan tujuan memonopoli

Page 59: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

50

Berbeda dengan apa yang tertuang dalam teks kitab

―Ajdib al-Hind‖, karangan Buzurg ibn Syahriyar al-

Ramahurmuzi tahun 390 H./1000 M., aslinya berbahasa

Persia, yang menyebutkan adanya komunitas muslim lokal

di wilayah kerajaan Hindu-Budha ―Zabag‖, kerajaan

Sriwijaya. Hasil perkawinan antara orang Arab dengan

penduduk lokal terbentuklah nucleus, komunitas muslim

Arab pendatang dan penduduk lokal. Pengusaha Arab

menyaksikan langsung tradisi masyarakat muslim lokal

maupun pendatang ketika itu yang ingin menghadap raja

harus bersila. Namun, tradisi ini dihapus setelah mendapat

protes keras dari pengusaha Oman karena dianggap

menyimpang dari ajaran Islam.69

Korespondensi Timur Tengah dan Cina juga terjadi

dengan kerajaan Minangkabau Timur dan Sumatera

Selatan, menurut K.H.O. Gadjahnata, perdagangan laut ke

Sumatera Selatan terlebih dahulu melewati pesisir Melayu

Jambi dan Semenanjung Selat Malaka dari Cina ke Timur

Tengah atau sebaliknya. Sebagai tempat transit, tentunya

terjalin komunikasi dan saling pengaruh dengan budaya

penduduk setempat, terlebih Islam yang mengajarkan

umatnya untuk senantiasa mendakwakan dan menyebarkan

Islam.70 Kedatangan Islam ke Sumatera Barat dan

Sumatera Selatan yang merupakan bagian wilayah rentetan

Islamisasi ke Jambi karena wilayah keduanya berdekatan

dan berbatasan langsung dengan Jambi. Jalur perdagangan

yang memungkinkan wilayah Jambi dan sekitarnya

dikunjungi pengusaha internasional dapat dilihat melalui

peta berikut:71

perdagangan Lada. Hampir bersamaan dengan serangan Cina Tang ke

kerajaan Jambi karena merasa kepentingan ekonominya di Sabak terusik

bahkan terancam oleh Dinasti Umayyah. Sejak saat itu pelabuhan Sabak

berhasil dikuasai oleh Cina Tang. Lihat M.D. Mansur, Sejarah

Minangkabau, (Jakarta: Bhatara, 1976), 12. 69Azra, Kajian Naskah Keagamaan ..., 6. 70K.H.O.Gajahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera

Selatan, (Jakarta: UI Press, 1996), 31. 71Peta sebagaimana dikutip Sri Purnama Syam, Kerajaan Melayu

Jambi telah berkorespondensi dengan Tiongkok tahun 644/645 ditandai

dengan pengiriman pasukan dan tahun 670 pendeta Budha bernama I-

Page 60: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

51

Gambar 4.1. Peta Jalur Perdagangan Asia Tenggara

Peta di atas merefleksikan kawasan Asia Tenggara

yang sejak awal Masehi menjadi bagian penting dari lokus

jaringan jalur lintas perdagangan Timur-Barat lewat ‗Jalan

Sutera‖ (Silk Road), yaitu jalur jalan Darat yang

menghubungkan Cina dan Roma.72 Cabang lain jalan Sutera

lewat jalan laut yang menghubungkan kawasan sekitar Asia

Timur dengan Asia Tenggara. Dari Asia Tenggara menuju

ke Asia Selatan. Selanjutnya terdapat hubungan pelayaran

antarbenua menuju ke Barat sebelum akhirnya mencapai

Eropa. Cabang lain dari Asia Tenggara menerobos ke utara

sampai ke Cina dan sebaliknya. Dalam hal ini ada dua jalur

utama yang menghubungkan Asia dan Eropa: (i) melalui

jalur darat lewat Jalan Sutera dan melalui jalur laut, Jalur

Maritim (India dan Cina).

Tsing dalam perjalanannya menuju India singgah di Sriwijaya dan

menetap di Melayu Jambi selama 2 bulan. I-Tsing menulis buku berjudul

―nan-hai Chi Kuei-nai fa-Ch‘uan‖ diterjemahkan Takakusu ke bahasa

Inggris, A Record of the Buddhist religion as practiced in India and the

Malay Archipelago, dan bukunya Ta-A‘ang-si-yu-ku-fa kao-seng Chuan

diterjemahkan Chavanco ke bahasa Ferancis: Memoire compose a‘lopoque

delagrande Cherher la loi dans les pays d‘Occident, disebutkan negeri

Melayu ketika itu bagian dari kerajaan Sriwijaya. Lihat Sri Purnama

Syam, Seni dan Budaya ..., 6-7. 72Jalur Sutera adalah jalur jalan terpanjang yang membentang di

antara dua benua, menghubungkan Tiongkok dengan dunia Barat yang

sejak dulu digunakan sebagai rute perdagangan melalui darat. Penamaan

Sutera dikarenakan Tiongkok terkenal sebagai penghasil kain sutera dan

perdagangannya melalui jalur ini. Diakses melalui Peradaban

Kuno.wordpress.com tanggal 10 November 2016.

Page 61: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

52

Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia

Tenggara mulai diperhitungkan dalam kancah

perekonomian internasional, utamanya abad ke-5 M.

Kehadiran pengusaha dan pelaut yang melintasi wilayah

tersebut dengan menggunakan teknologi pelayaran kuno

(astronomi dan teknologi kapal) membuat kawasan ini

dikenal di Eropa dan tercatat dalam sejarah kuno

(Ptolemeus: ingat the Golden Kehrsonesis).73

Peta tersebut tidak memberikan informasi yang jelas

dan tepat kapan permulaan kedatangan Islam di Nusantara,

namun dapat ditelusuri yang menjadi salah satu motivasi

pengusaha melakukan bisnis sampai ke Nusantara adalah

kondisi alam mereka yang tandus sehingga sulit

mengembangkan perekenomian, membentuk alam dan demi

kelangsungan hidup.74 Kota yang memungkinkan untuk

dikunjungi adalah kota yang berada di sekitar pesisir pantai

atau muara sungai. Sebab masyarakat kota pusat kerajaan

Maritim lebih menitikberatkan kehidupannya kepada

perdagangan, dari pada pertanian. Hubungan lalu-lintas

melalui sungai dan lautan dengan mempergunakan perahu

dan kapal layar dianggap lebih tepat dan mudah. Asumsi ini

didukung oleh Charles M. Cooley bahwa hubungan lalu-

lintas menjadi penyebab utama lokasi kota-kota besar di

muara atau pertemuan sungai-sungai menjadi rute bisnis.75

Referensi tentang masuknya Islam di atas tidak

menyebutkan secara detail sosok orang yang berjasa meng-

Islamisasi Jambi dan negara asalnya. Terlepas dari itu,

menurut Syekh HMO Bafadhal dan Elisabeth Locher,

kedatangan Ahmad Salim merupakan embrio Islamisasi di

Jambi dan berdirinya kerajaan Islam Melayu. Utamanya

setelah perkawinan Ahmad Salim dengan Ratu Putri

Selaras Pinang Masak, notabene Ratu kerajaan Melayu

73Ibid., 8. 74Al-Muhandis Zakaria Hasyim, al-Mustasyriqîn al-Islâm, (Kairo:

Maktabah Darul Ma‘arif, 1965), 161. 75Sebagaimana dimuat dalam Max Weber, The City Transleted and

Edited By Don Mardinal and Getrud Neurith, (New York: The free Press,

1966), 16.

Page 62: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

53

Jambi, sehingga kekuasaan kerajaan Melayu Jambipun

berpindah tangan kepadanya.76

Setelah Ahmad Salim wafat, tongkat kekuasaan

diteruskan putranya silih berganti hingga ke tangan Ahmad

Kamil alias ―Datuk Orang Kayo Hitam‖.77 Di tangannyalah

transformasi kerajaan Melayu Jambi menjadi kerajaan

Islam Melayu Jambi sekaligus meng-Islamisasi negeri

Melayu Jambi.78 Hal ini sebagaimana tertuang dalam

Piagam Jambi pasal 36.

76Sejarahwan berbeda pendapat mengenai sosok Ahmad Salim

Tajuddin, pertama, keturunan raja Turki Usmani yang sengaja dikirim

oleh Khilafah Usmaniyah untuk menaklukkan kerajaan Melayu Jambi

karena terdapat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh

pengusaha dari berbagai negara; kedua, pengusaha Turki yang terdampar

di Pulau Berhala, dan ketiga, pendakwa muslim yang sengaja

menyebarkan Islam di Jambi. Terlepas dari itu, yang jelas beliau singgah

dan menetap di Jambi, merupakan keturunan ketujuh dari Saidina Zainal

Abidin bin Sayyidina Husein putra Sayyidatuna Fatimah binti

Muhammad Saw. Beliau mengawini Ratu Putri Selaras Pinang Masak

dan dikaruniai tiga orang putra dan satu orang putri yaitu; Sayid Ibrahim

(Orang Kayo Pingai/1480-1490), Sayid Abdurrahman (Orang Kayo

Pedataran/1490-1500), Sayid Ahmad Kamil (Orang Kayo Hitam/1490-

1515) dan Syarifah Siti Alawiyah (Orang Kayo Gemuk). Lihat Tim

Penyusun, Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11 tentang

Sumatera Tengah, (Jakarta: Kemenpen RI, 1964), 70-74; Raden Abdullah,

Kenang-kenangan Jambi nan Betuah, (Jambi: ttp., 1970), 7. 77Gelar kebangsaan Melayu, seperti; wan, raja, datuk, orang kaya

(orang kayo), dan kejeruan. Lihat Luckman Sinar Basarshah dalam

―Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur‖.

http:/www.kerajaan nusantara.com/id/kesultanan-Serdang/article/ 117-

Perkembangan-Islam-di-Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur.

Diakses tanggal 12 Oktober 2016. 78Berikut nama Raja dan Sultan yang pernah memimpin kerajaan

dan kesultanan Jambi, yaitu; Putri Selaras Pinang Masak dan Ahmad

Salim (Datuk Paduko Berhalo/1460-1480 M.), Ibrahim (Datuk Orang Kayo

Pingai/1480-1490 M.), Abdurrahman (Datuk Orang Kayo Pedataran

/1490-1500 M.), Ahmad Kamil (Orang Kayo Hitam/1500-1515 M.),

Pangeran Hilang Diair (Pangeran Kabul di Bukit) disebut Panembangan

Rantau Kapas (1515-1540 M.), Panembahan Rengas Pandak (1540-1565

M.), Panembahan Kota Baru (1565-1590 M.), Pangeran Kedah gelar

Sultan Abdul Kahar (1590-1615 M.), Pangeran Depati Anom gelar Sultan

Abdul Djafri, disebut Sultan Agung (1615-1643 M.), Raden Penulis gelar

Sultan Abdul Mahji disebut Sultan Ingologo (1643-1665 M.), Raden

Tjakra Negara (Pangeran Depati) gelar Sultan Kiyai Gede (Sultan Raja

Kiai Gede (1665-1690 M.), Kiyai Singo Patih gelar Abdul Rachman,

Page 63: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

54

Gambar 4.2. Piagam Jambi

―Pasal yang tiga puluh enam: Peri menyatokan awal

Islam di Jambi zaman Datuk Orang Kayo Hitam bin

Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo.

Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700

tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan

kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada

waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi

mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo

waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah,

barulah berdiri rukun Islam yang limo‖.79

Langkah Islamisasi berawal dari proklamasi

kerajaan Melayu Jambi sebagai kerajaan Islam, dilanjutkan

dengan meng-Islamisasi lingkungan istana, sepupu

sekaligus menobatkan Sunan Muaro Pijoan, Sunan

Kembang Seri, dan Sunan Pulau Johor sebagai penguasa

wilayah masing-masing. Keluarga istana sejak awal telah

berkedudukan di Bangun Jayo; Raden Tjulip (Djurat), di Bukit Serpeh

Sumai (1690-1696 M.), Sultan Muhammad Syah (1696-1740 M.); Sultan

Sri Maharaja Batu (1690-1721 M.); Sultan Istera Ingologo (1740-1770 M.);

Sultan Ahmad Zainuddin (1770-1790 M.); Sultan Mas‘ud Badaruddin

(1790-1812 M.); Sultan Muhammad Mahiddin (1812-1833 M.); Sultan

Muhammad Fachruddin (1833-1841 M.); Sultan Abdurrahman

Nazaruddin (1841-1855 M.); dan Sultan Thaha Saifuddin (1855-1904 M.).

Junaidi T Noer, Mencari Jejak Sangkala; Mengirik Pernak Pernik Sejarah

Jambi, (Jambi: Jambi Heritage, 2007). 22-23. 79Ibid., 29.

Page 64: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

55

Muslim dan mempraktikkan tradisi ke-Islaman, ditandai

saling bertukar sorban saat penobatan sebagai Raja. Sejak

saat itu, Islam dikembangkan dari istana dan menurut

sejarahwan berkebalikan dari apa yang terjadi di

Minangkabau dan daerah lain sekitarnya, dimana Islam

datang dari rakyat bukan dari istana.80

Selanjutnya, Islam semakin kokoh dan berkembang

menjadi agama rakyat Jambi serta tersebar ke seluruh

pelosok kerajaan Islam Melayu Jambi, sekaligus bukti

keseriusan Ahmad Kamil membumikan syariat Islam

dengan menetapkan undang-undang bagi rakyat, yaitu

Undang Raja. Selain itu, ulama mulai mendapatkan posisi

penting di kerajaan dan rakyat, agama (syarak) dan adat

saling beradaptasi, saling melengkapi dan saling sandar

sesuai falsafah―adat bersendi syarak, syarak bersendi

Kitabullah‖. Sepeninggalan Ahmad Kamil, perkembangan

Islam di Jambi diteruskan oleh ulama berikutnya yang

datang dari Arab, Hadramaut-Yaman. Hal ini diperkuat

melalui penemuan beberapa makam di antaranya;

a. Makam ―Datuk Paduko Berhalo‖ di Pulau Berhala, pulau

kecil di gugusan daerah Kabupaten Tanjung Jabung

Timur provinsi Jambi.

b. Makam Putri Selaras Pinang Masak di desa

―Pemunduran‖ sebelah Timur Laut Jambi.

c. Makam Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M). di

Tambak, Seberang Kota Jambi.

d. Makam Syekh Muhammad Shoufi bin Umar Bafadhal

(1635 M)., di Tambak, Seberang Kota Jambi.

Dari sekian banyak ulama tersebut, Habib Husein

merupakan tokoh sentral yang berkontribusi besar dalam

pengembangan Islam di Jambi.81 Beliau menikah dengan

80Di penghujung abad ke-16, Islam menempuh perjalanan dan

perjuangan yang amat panjang untuk masuk ke Istana Pagarugung, dan

tersebar secara merata pada seluruh wilayah di Minangkabau pada abad

ke-19. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis

Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 104. 81Habib Husein Baragbah ke Jambi diprediksi tahun 1034 H atau

1088 H sekitar tahun 1615 atau 1668 M. pada masa pemerintahan Sultan

Abdul Kahar (1615-1665 M) dan putranya Abdul Muhyi gelar Sultan Sri

Angologo (1665-1690). Menikah dengan Putri Sintai dan wafat tahun 1173

Page 65: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

56

Nyai Resih binti Sintai, setelah 4 tahun menetap di Jambi

dan kembali ke Hadramaut. Sepulangnya ke Jambi

membawa ulama besar seperti; Syekh Muhammad Shoufi

bin Abdullah Bafadhal dan Said Alwi al-Baiti, dan diikuti

ulama lokal. Berikut nama ulama yang berkontribusi dalam

penyebaran Islam di Jambi.

a. Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M.)

b. Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal (1635

M.)

c. Sayyid Alwi al-Baiti (1637 M.)

d. H. Ishak bin H. Karim Mufti Jambi (1700 M.)

e. Kemas H. Muhammad Zen bin Kemas H. Abd. Rauf al-

Jambi Asy-Syafi‘i al-Naqsyabandi (1815 M.)

f. Pangeran Penghulu Noto Agamo Kampung Magatsari

(1852 M.)

g. Al-Qodi Abd. Gani bin H. Abd. Wahid ( 1888 M.)

h. K.H. Abd. Majid bin H. M. Yusuf Keramat (1893 M.).82

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan Islam

datang ke Jambi jauh sebelum kerajaan Melayu Jambi

menjadi kerajaan Islam, fakta ini didukung beberapa

argumentasi, yaitu: Pertama, sejak abad ke-7 Islam telah

menginjakkan kaki di tanah Jambi, bersamaan dengan

ramainya pelabuhan internasional Zabag (Sabak) yang

dikunjungi oleh pengusaha asing. Kedua, Kunjungan

pengusaha asing dan pengusaha muslim ke bandar

(pelabuhan) internasional Zabag (Sabak) dalam rangka

bisnis dan menjalin hubungan bilateral dan multilateral

seperti; Cina dan Semenanjung Arabia. Ketiga, Islamisasi

H, dimakamkan di perkuburan Keramat Tambak, Kecamatan

Pelayangan, seberang Kota Jambi. Habib Husein bin Ahmad Baragbah

dikenal sebagai Tuanku Keramat Tambak, merupakan turunan

Rasulullah Saw. Nama lengkapya Said Husein bin Abdurrahman bin

Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin al-Faqih al-

Muqaddam bin Muhammad bin Ali Ba‘lawi bin Muhammad bin Shohibu

Marbat bin Ali al-Khalil Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin

Abdullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad al-Wajib bin Ali

al-Uraidhi bin Ja`far As-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal

Abidin bin Husein bin Fatimah binti Rasulullah Saw. Lihat Syekh HMO

Bafadhal, Pengungkapan Sejarah Islam ..., 18-19. 82Ibid. 20.

Page 66: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

57

secara terbuka di Jambi berlangsung pada abad ke-14 M.

ketika kerajaan Islam Melayu Jambi dipimpin oleh Ahmad

Kamil.

Adapun pola Islamisasi sebagaimana penyebaran

Islam di Nusantara yang dipilah menjadi tiga pola yaitu;

integratif, dialogis dan integratif-dialogis. Pertama, pola

integratif, sebagian besar aspek kehidupan dan kebudayaan

suatu komunitas diintegrasikan dengan pandangan hidup,

gambaran dunia, sistem pengetahuan dan nilai-nilai Islam,

seperti pada masyarakat etnik-etnik Melayu di Sumatera

dan Kalimantan, termasuk Aceh, Palembang, Melayu Riau,

Banjar, dan sebagainya. Begitu pula pada masyarakat Jawa

Pesisir, seperti; Banten, Jawa Timur, dan Madura. Pola ini

dapat dilakukan karena sebelum raja atau penguasa

memeluk Islam, masyarakat sudah ramai memeluk agama

Islam dan mengembangkan kebudayaan bercorak Islam.

Kedua, pola dialogis, Islam dipaksa berdialog dengan tradisi

lokal seperti pada masyarakat Jawa pedalaman, yang

langsung berada di bawah pengaruh keraton. Mistisisme

Islam berkembang di wilayah ini berbaur dengan tradisi

mistik lama warisan zaman Hindu, seni dan sastra zaman

Hindu dipertahankan dengan memberi corak Islam. Pola ini

dilakukan karena sistem kekuasaan masih

mempertahankan sistem lama, dan masyarakat masih

belum sepenuhnya ter-Islamkan. Ketiga, pola dialogis-

integratif, kombinasi pola dialogis dan integratif yang

dilakukan secara bersamaan, seperti pada masyarakat

Jambi dan Sulawesi.

Adapun pola Islamisasi dan penyebaran Islam di

Jambi melalui pola dialogis-integratif, dimana Raja dan

bangsawan lebih dahulu masuk Islam selanjutnya diikuti

oleh rakyat, sehingga penyebaran Islam lebih cepat dan

komprehensif. Ini pulalah yang membedakan Islamisasi di

Jambi dengan wilayah yang didominasi etnik Melayu di

Sumatera, utamanya Minangkabau.

Page 67: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

58

B. Akulturasi Syarak dengan Adat Lokal

Syarak merupakan bagian inheren dari ajaran Islam

dan lahir bersamaan dengan hadirnya misi kerasulan

Muhammad, sumber teoretisnya adalah al-Qur‘an dan

sumber praktisnya adalah Rasul sendiri. Sebagai praktisi,

Rasul tidak hanya membawa ajaran baru dengan merombak

segala tradisi masyarakat Jahiliyah yang dianggap

menyimpang dari aturan Ilahi dan norma kemanusiaan saat

itu, tetapi juga menyempurnakan dan menyelesaikan segala

permasalahan yang dihadapi masyarakat. Menyikapi

kondisi ini, Rasul tidak hanya mengandalkan wahyu, akan

tetapi juga menggunakan nalar (al-ra'y) secara optimal.

Pada masa Rasul telah terjadi akulturasi antara

syarak dengan adat lokal (adat masyarakat setempat),

beliau menseleksi sekaligus memverifikasi adat mana yang

perlu diteruskan, dimodifikasi atau ditinggalkan. Meski,

bukan bentuk revolusi hukum melawan adat atau

menghancurkannya setelah diketahui bersumber dari

tradisi jahiliyah. Justru Rasulullah dalam kapasitasnya

sebagai ―pembuat hukum‖ banyak melegalisasi adat

masyarakat Arab dan memberi ruang bagi praktik adat

dalam sistem hukum Islam. Legalisasi hukum kewarisan

misalkan membuktikan Rasul tidak menghapuskan secara

total sistem hukum yang berlaku pada masyarakat ketika

itu, meski al-Qur‘an memperkenalkan model reformasi

hukum kewarisan. Tradisi pra-Islam manakala ayah wafat

maka yang berhak menerima harta warisan hanya ayah,

sedangkan ketentuan Islam mendistribusikan warisan tidak

hanya kepada ayah, tetapi juga garis keturunan ke atas

(kakek) atau menyamping (paman/bibi).83 Rasul tidak

menentang tradisi masyarakat yang sejalan dan sesuai

83Substansinya, kewarisan pada keluarga orang Arab pra Islam

diatur sebagai berikut: (i) Keturunan laki-laki dari jalur laki-laki yang

mewarisi harta; (ii) keturunan perempuan dan jalur perempuan tidak

dapat mewarisi; (iii) hubungan garis ke bawah lebih diutamakan daripada

hubungan ke atas dan hubungan menyamping; (iv) ketika keturunan laki-

laki mempunyai hubungan kekerabatan yang sama jauhnya, maka harta

warisan dibagikan dengan cara perkapita. Lihat A.A. Fyzee, Outlines of

Muhammadan Law, (London: Oxford University Press, 1949), 333.

Page 68: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

59

dengan prinsip Islam, seperti; pinangan, diyât, dan

lainnya.84

Setelah Rasul wafat (632 M),85 Sahabat

―mengkonstruksi‖ syarak dengan menjabarkan pesan al-

Qur‘an dan Sunnah Rasul agar mudah dipahami dan

diimplementasikan oleh umat Islam baik secara tekstual

maupun kontekstual. Sahabat sering dihadapkan pada

berbagai persoalan baru "rumit dan bertubi-tubi", yang tidak

ditemukan dalam naşş (al-Qur‘an dan Sunnah) secara

eksplisit. Oleh karenanya, mereka melakukan ijtihad

dengan meniru praktik-praktik yang pernah dilakukan oleh

Rasul. Upaya ijtihad dilakukan melalui beberapa langkah

strategis yaitu; mulai pelacakan terhadap al-Qur‘an,

diteruskan kepada Sunnah dan apabila juga tidak

ditemukan ketetapan hukumnya maka baru dilakukan

upaya ijtihad baik secara kolektif (ijma‘) maupun personal

(fardi).

Hal ini dapat dibenarkan mengingat otoritas ijtihad

saat ini berada pada masing-masing pribadi sahabat,

seluruh sahabat secara pribadi berhak melakukan ijtihad

apabila dianggap mampu. Keputusan yang diambil para

sahabat dalam perkembangan selanjutnya dipandang

84Menurut Schacht, Nabi Muhammad tidak mempunyai alasan

yang kuat untuk merubah hukum adat yang tumbuh dan hidup dalam

masyarakat sejalan dengan misinya yang bukan membuat sistem hukum

baru akan tetapi lebih berorientasi pada pengajaran kepada umat

manusia tentang bagaimana cara bertutur dan bertingkah laku serta

memilah dan memilih perbuatan mana yang harus dilakukan atau

dihindari agar mendapatkan kebahagian hakiki dunia dan akhirat. Lihat

Joseph Schacht, Origin and Development of Islamic Law, (Washington:

The Middle East, 1955), 31. 85Umat Islam saat itu dihadapkan pada persoalan pelik mengenai

siapa yang lebih tepat untuk menggantikan posisi Rasul sebagai

pemimpin umat (negara) ketika itu, sehingga memaksa mereka untuk

mencari pengganti Rasul paling tepat. Pada akhirnya sahabat terpecah

menjadi tiga golongan yaitu; golongan Muhâjirin, Anşâr dan Ahl al-Bait.

Golongan Muhâjirin dan Anşâr menggelar pertemuan di Saqifah Bani

Sa'idah dan melalui perdebatan yang alot berhasil merekomendasikan

Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasul (pemimpin umat

Islam), sedangkan golongan ahl al-Bait saat itu sedang sibuk mengurus

jenazah Rasul yang belum dimakamkan. Lihat Muhammad S. Elwa, On

Political System of Islam, (London: Edinburg, 1983), 33-34.

Page 69: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

60

sebagai bagian dari teks-teks suci meskipun dilakukan

tanpa acuan langsung kepada naşş, sebagaimana

dipraktikkan Umar ibn al-Khaţţab, yang mengakomodir dan

meneruskan sistem diwân (registrasi) yang dipraktikkan

kaisar Bizantium, dan institusi ini mengatur segala urusan

finansial (kharâj).86 Begitupula penggunaan timbangan (al-

kail) dan ukuran (al-wazn), biji-bijian dan buah-buahan (al-

hubub wa al-tsimar) tetap dipandang sebagai kaili (yang

diukur berdasarkan kapasitasnya), sementara emas dan

perak digolongkan sebagai wazn (yang diukur berdasarkan

beratnya). Meski, tidak jarang beliau menghapus tradisi

sebelumnya seperti praktik bai‘ al-salâm terhadap buah

yang belum muncul pada pohonnya.87

Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib

mempraktikkannya terhadap binatang, dengan menjual

untanya, ‗usfur, untuk mendapatkan dua puluh onta pada

waktunya sesuai kesepakatan Bai‘ al-Salâm. Abd Allah ibn

Umar juga mempraktikkan ini ketika menjual satu ontanya

untuk mendapatkan empat onta dengan pembayaran yang

ditunda sampai waktu tertentu.88

Begitupula pada praktik pembayaran uang darah

(diyât), jika Rasul mengadopsi praktik qişâş (balasan sama)

dan pembayaran diyât (kompensasi bagi ahli waris korban),

sebagaimana dipraktikkan masyarakat Arab pra-Islam.

Kompensasi diberikan sesuai dengan standar moral

keadilan bagi pihak korban.89 Sementara Umar

membedakan penggunaan koin emas dan koin perak dalam

pembayaran diyât, untuk emas 1000 Dinar dan untuk perak

12.000 Dirham.

Menurut Imam Malik, pembayaran uang darah

sesuai dengan jenis mata uang yang digunakan orang yang

terlibat, bagi masyarakat desa yang bentuk pembayarannya

86Ahmad Syalabi, Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islamîy, (Beirut: Dâr al-Fikr,

t.th), 319. 87Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî bi Syarh Shahih al-Bukhârî,

(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), V, 181. 88Al-Sarkhisi, Al-Mabsûth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), XII, 110. 89N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1971), 20.

Page 70: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

61

bukan uang, boleh melalui aset kekayaan, seperti onta.90

Begitupula pada apa yang dipraktikkan oleh asy-Syafi‘i

melalui qaul al-qadimnya ketika berada di Irak dan qaul al-

jadidnya ketika berada di Mesir.91 Praktik-praktik tersebut

merefleksikan akulturasi budaya Islam (syarak) dengan

budaya lokal (adat) yang dilakukan oleh Rasul, sahabat dan

tabi‘în dengan prinsip ajaran Islam.

Selain itu, penerimaan terhadap adat merupakan

bentuk akomodasi dari keinginan masyarakat Arab ketika

itu, mengingat hukum Adat dalam persoalan tertentu

dianggap mampu memberikan solusi terhadap keinginan

masyarakat. Oleh karenanya, aturan-aturan yang

bersumber dari adatpun idealnya diukur sesuai dengan

keinginan masyarakat atau sebaliknya. Manakala praktik

dan tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat maka

harus dipertahankan, manakala tidak sesuai dengan

keinginan masyarakat maka harus ditinggalkan. Menurut

Robert C. Ellickson, yang menentukan terealisasi atau

tidaknya suatu hukum bukan hukum itu sendiri melainkan

rakyat sebagai adresat hukum. Fungsi peraturan hanya

sebagai titik tolak (starting point), rakyatlah yang akan

menawar harga keuntungan yang didapat dari peraturan

tersebut untuk keuntungan mereka.92

Praktik semacam ini juga berlangsung di Jambi,

dimana terjadi akulturasi syarak dengan adat Melayu Jambi

sejak kedatangan Ahmad Salim. Oleh karenanya, Ia

dianggap berjasa dalam meletakkan dasar-dasar

membumikan ajaran Islam di tengah adat Melayu Jambi.

Diteruskan putranya Ahmad Kamil yang memverifikasi

adat yang ada untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip

Islam.

90Imam Malik, al-Muwaththa‘, (Beirut: al-Maktabah al-

Tsaqafiyyah, 1414 H), II, 850. 91Muhammad Mustafa Syalabi, Uşûl al-Fiqh al-Islamîy, (Beirut:

Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1986), 322. 92Sebagaimana dikutip Satcipto Raharjo, Biarkan Hukum

Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum,

(Jakarta: Kompas, 2007), 32.

Page 71: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

62

Gagasan ini sekilas kelihatan seirama dengan teori

―receptio in complexu‖-nya Van Den Berg, yang menyatakan

seharusnya hukum yang berlaku bagi masyarakat sesuai

dengan hukum agamanya.93Artinya, jika sebelumnya

kerajaan Melayu Jambi menganut agama Hindu dan hukum

yang berlaku sesuai ajaran agama Hindu maka setelah

kerajaan Islam Melayu Jambi menganut Islam seyogyanya

hukum yang berlaku sesuai dengan ajaran Islam.

Sebagaimana kebijakan hukum Belanda, yang

memberlakukan hukum sesuai dengan agama yang dianut

seseorang.94 Menurut Datuk Raden Jayo:95 ―Sebelum agama Islam tibo di Jambi, masyarakat Jambi la

punyo aturan berupo adat istiadat, namun sudah Islam

datang dan atas perintah Datuk Orang Kayo Hitam, adat

atau tradisi yang ado harus disesuaikan dengan syari‘at

Islam. Akhirnyo dikumpulkan seluruh kerajaan yang ado

di sekitar kekuasaan kerajaan Islam Melayu Jambi hingga

Pagaruyung Minangkabau untuk menentukan macam

mano adat yang sudah ado ko. Keputusannyo adat atau

undang yang ado harus diteliti, harus sesuai dengan

ajaran Islam. Sehinggonyo lahirlah seloko ―Undang datang

93Teori ini dibangun oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg

(1854-1927), yang pernah menetap di Indonesia tahun 1870-1887. Van

Den Berg, pakar hukum yang menemukan dan memperlihatkan

berlakunya syarak di Indonesia dan berjasa mengusahakan agar hukum

perkawinan dan kewarisan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda

dengan bantuan para penghulu, qadhi. Menurut Van Den Berg,

sebagaimana dikutip H.A.R. Gibb: ―Bagi rakyat pribumi, yang berlaku

bagi mereka adalah hukum agamanya.‖ Lihat H.A.R. Gibb, Modern

Trends In Islam, (Chicago: The University of Chicago, 1972), 115-116. 94Sebelum Islam tiba dan berkembang di Arab, sebenarnya telah

ada tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat seluruh penjuru bumi

secara turun temurun, bahkan tradisi itu lahir seiring dengan keberadaan

masyarakat itu sendiri yang dikenal hukum chthonic (hukum asli).

Menurut Edward Goldsmith, sebagaimana dikutip Ratno,

chthonic merupakan wujud harmonisasi kehidupan antara manusia dan

bumi, selanjutnya menjadi adat (tradisi) atau hukum adat. Tradisi ini

diteruskan ke generasi berikutnya secara berkesinambungan dan diyakini

kebenarannya dengan asumsi perbuatan tersebut baik untuk

diimplementasikan. Lihat Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia,

(Yogyakarta: Teras, 2008), 3-4. 95Wawancara, Salah seorang turunan Raja Jambi bergelar Raden

Pamuk, 20 Juni 2015.

Page 72: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

63

dari Hulu, Teliti dari Hilir‖. Maksudnyo, adat yang ado

harus disesuaikan dan sejalan dengan ajaran Islam.‖

Pandangan ini dipertegas oleh Dr. Ridwan:96 ―Akulturasi nilai Islam terhadap nilai adat telah lama

menyatu pada masyarakat Sepucuk Jambi Sembilan

Lurah. Atas dasar itu, masyarakat Jambi dikenal arif dan

bijaksana menghadapi problema sosial dan tidak pernah

terjadi konflik secara frontal. Inklusivitas masyarakat

Jambi dalam menerima nilai positif Islam menjadi modal

solidaritas dan spirit serta kebersamaan dalam

berinteraksi tanpa membedakan status sosial. Selain itu,

penghargaan terhadap nilai kemanusiaan tanpa

membedakan status sosial atau lainnya‖.

Kedua statemen di atas, mempertegas eksistensi adat

dan syarak sekaligus integrasi keduanya dalam tradisi

masyarakat Melayu Jambi. Syarak yang datang kemudian

justru memverifikasi hukum adat yang ada, dan praktik

semacam ini sejak masa Rasulullah. Banyak tradisi

Jahiliyah diverifikasi oleh Islam untuk selanjutnya

dilegalkan atau ditolak. Pada saat itu, syarak merupakan

hukum terdepan dalam menyelesaikan segala persoalan

keagamaan dan peran pegawai syarak sebagai refresentasi

dari kelompok agama sangat dominan.

Dipertegas dengan keinginan Masyarakat Melayu

Jambi ketika itu yang menghendaki perpaduan hukum dan

pemberlakuan keduanya secara bersamaan. Menyikapi hal

ini Ahmad Kamil mengambil jalan tengah dengan

menjembatani keduanya sehingga lahirlah falsafah ―adat

bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.‖ Pada periode

berikutnya untuk menguatkan akulturasi keduanya lahir

pula falsafah ―Undang datang dari Hulu teliti dari Hilir.‖

Dengan demikian, akulturasi adat dan syarak sejak

awal terjadi di Jambi meski tidak mudah dan memerlukan

proses, utamanya ketika Islam pertama kali masuk ke

Jambi, dimana masyarakatnya telah memiliki aturan yang

mapan baik hukum adat atau agama sebelumnya. Proses

96Wawancara, Ketua Laskar Melayu Jambi (LAMAJA), 15 Juli

2015.

Page 73: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

64

negosisasi dan konfigurasi tersebut melahirkan kompilasi

hukum yang mewakili aspirasi kepentingan syarak dan

kepentingan adat.

Selanjutnya Islam datang ke Jambi sebagaimana

agama lainnya seperti Budha dan Hindu membawa

perubahan besar pada aspek ideologis dan paradigma

berpikir masyarakat ketika itu, meski tidak secara totalitas.

Terbukti tradisi masyarakat Melayu yang ada sebelum

kedatangan agama tersebut tetap eksis hingga saat ini,

utamanya aturan dan simbol adat. Idealnya segala aturan

adat dirubah secara totalitas oleh Islam setelah kerajaan

Melayu Jambi bertransformasi menjadi kerajaan Islam

Melayu Jambi. Ahmad Salim dan Ahmad Kamil sebagai

penguasa sekaligus ahli dakwah, tidak memaksakan Islam

kepada rakyatnya yang terbiasa dengan adat. Namun,

mereka menunjukkan dan memperkenalkan keagungan

Islam, setelah masyarakat mengenal dan akrab dengan

Islam, selanjutnya tradisi masyarakat dibenahi melalui

verifikasi apakah telah sejalan dengan prinsip Islam atau

sebaliknya. Praktik ini sebagaimana dilakukan oleh Rasul

ketika menghadapi adat masyarakat Arab-Jahiliyah pra-

Islam, dimana langkah Rasul meneruskan atau

memodifikasi tradisi yang ada, jika tidak memungkinkan

baru dihapus.

Praktik inilah pada perkembangannya melahirkan

beragam corak pemikiran fikih, bila diidentifikasi faktor

penyebabnya antara lain.97 Pertama, adanya dorongan

keagamaan yang merupakan sumber norma dan nilai

normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga

upaya sosialisasi dan internalisasi senantiasa dibutuhkan.

Kedua, terjadinya perubahan sosial budaya sebagai

konsekuensi meluasnya imperium Islam terutama pada

masa kekhalifahan Umar ibn Khaţţab karena itu

dibutuhkan upaya penanganan terhadap persoalan hukum

secara serius, sehingga kelihatan dominasi beliau dalam

menetapkan keputusan baru melalui ijtihad. Ketiga, adanya

97Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi

Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung; Mizan, 1989), 33-35.

Page 74: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

65

independensi yang diberikan oleh penguasa kepada para

ahli hukum Islam untuk mengembangkan pemikiran

mereka. Keempat, adanya prinsip fleksibilitas (harakah)

yang terkandung dalam hukum Islam itu sendiri, sehingga

sesuai dengan segala masa dan keadaan tanpa terikat oleh

ruang dan waktu.

C. Falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi

Kitabullah

Pergumulan antara aturan yang termuat dalam

syarak dan aturan yang termuat dalam adat pada

perkembangan selanjutnya melahirkan aturan perundang-

undangan bagi masyarakat Melayu Jambi yang dikodifikasi

melalui keputusan Ahmad Kamil, raja kerajaan Islam

Melayu Jambi ketika itu. Syarak, sebagai produk hukum

yang datang pasca pembentukan aturan adat, dituntut

mampu beradaptasi dengan kondisi sosialnya. Meski

regulasi hukum yang ditawarkan oleh syarak tidak selalu

‗dianggap‘ sebagai aturan yang kompatibel bagi masyarakat

Muslim Melayu, tetapi justeru perlu dipelajari dan/atau

diseleksi untuk kemudian diakrabkan dengan adat mereka.

Upaya adaptasi inilah pada akhirnya melahirkan

falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖,

yang sangat populer di kalangan masyarakat etnik Melayu

di Nusantara bahkan Asia, begitu populernya memunculkan

klaim dari daerah-daerah yang dihuni oleh mayoritas etnik

Melayu di dalam maupun di luar wilayah Nusantara,

seperti; Aceh, Sumatera Barat (Minangkabau), Sumatera

Selatan, Lampung, Riau maupun mancanegara, seperti;

Malaysia, Brunai Darussalam, dan Singapura. Falsafah ini

berlaku pada seluruh wilayah kerajaan Melayu atau mereka

yang mengklaim sebagai bagian dari etnik Melayu, meski

klaim tersebut lebih dikenal lahir dalam tradisi

Minangkabau. Perebutan ini tentunya membuka ruang

analisis bahkan kritik bagi setiap kelompok yang

memperebutkan eksistensi keber-Islaman adat mereka.

Inilah yang oleh Ibn Khaldun (779 H.) dalam

Muqaddimah-nya, dikatakan:

Page 75: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

66

―Sering terjadi kesalahan dalam catatan sejarah

disebabkan sejarahwan hanya menukil tanpa memeriksa

benar-salahnya. Mereka tidak mengevaluasinya dengan

prinsip-prinsip yang berlaku pada situasi historis, dan

tidak pula membandingkannya dengan materi-materi yang

serupa. Misalnya, ketika menyatakan bahwa Nabi Musa

telah menghitung tentara Israel di padang pasir Tiih

berjumlah enam ratus ribu orang lebih, kebanyakan para

sejarahwan lupa menghitung apakah luas Mesir dan Syria

cukup memuat tentara sebanyak itu?‖98

Kerancuan ini juga terjadi pada masyarakat Melayu

ketika mereka saling klaim mengenai eksistensi falsafah

adat ini. Implikasinya terjadi kesimpangsiuran sejarah yang

menjadi acuan penerapan hukun masyarakat saat ini, untuk

menengahinya menurut penulis perlu dicermati melalui dua

sudut pandang, yaitu; perlunya mengkaji ulang dan

menduduk-benarkan klaim masyarakat Minangkabau atas

falsafah tersebut, mengingat sistem kekerabatan dan

kewarisan Minangkabau bercorak matrilineal dan jika benar

berasal dari Minangkabau, maka pembenaran itu hanya

mengafirmasi kemunculannya secara kultural, bukan secara

konstitusional, sebab rekonsiliasi antara agama dan adat di

Minangkabau terjadi pasca perang Paderi, tepatnya tahun

1830 di Bukit Marapalam.

Kekaburan sejarah tersebut dapat dilihat dari

beberapa aspek; Pertama, sejarahwan menulis raja

Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain

(Alexander de Grote) yang mempunyai tiga putra, yaitu;

Maharaja Alif, Maharaja Dipang dan Maharaja Diraja,

ketiganya terdampar di Puncak Gunung Merapi pada

pertengahan Pulau Sumatera. Maharaja Diraja menetap di

Minangkabau, Maharaja Dipang migran ke Cina dan

Maharaja Alif migran ke Anatolia (Turki), semuanya

menjadi raja di wilayah masing-masing. Kedua, sistem

kekerabatan dan kewarisan yang mereka anut bercorak

matrilineal, ada yang menghubungkan sistem ini

98‗Abd ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami,

Muqaddimah, terj. Ahmadie, cet-10, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 13.

Page 76: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

67

terpengaruh dengan pemikiran filosof Cina Meng Tze

(Mencius), yang hidup sezaman dengan Alexander de Grote,

mengembangkan prinsip ―persamaan‖ manusia di bawah

unsur alam yang dinaungi satu langit.99 Meski demikian,

kedua riwayat tersebut menurut A.A Nafis tidak dapat

ditelusuri secara jelas kapan dan siapa yang menggagas

tradisi ini.100

Kekaburan tersebut menurut penulis menyentuh

pada klaim terhadap falsafah adat,101 dimana Minangkabau

sejak awal mengklaim falsafah ini lahir dari tradisi mereka

sejak terjadinya kesepakatan rekonsiliasi antara Ulama

dengan tokoh adat melalui Traktat Bukit Marapalan 1830

M. Kesepakatan ini setelah terjadinya konplik yang pada

akhirnya terjadi Perang Paderi, yang oleh Belanda

diasumsikan sebagai ―Perang Hitam Putih‖ perang antara

kaum adat dengan kaum agama.102 Taufik Abdullah juga

99M. Rasyid Manggis, Minangkabau; Sejarah Ringkas dan Adatnya,

(Padang: Sri Dharma, 1971), 144 100Kekerabatan Matrilineal di Minangkabau adalah garis

keturunan yang disandarkan kepada perempuan (ibu lurus ke atas, anak

perempuan lurus ke bawah). Elaborasi lengkap lihat A.A. Nafis, Alam

Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:

Grafiti Press, 1984), 129-130. 101Beberapa tulisan yang memaparkan tentang falsafah ―Adat

bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖, tidak menjelaskan secara

detail waktu dan historis proses peralihan dan integrasi syarak dan adat,

di antaranya: Pertama, Hamka, berjudul ―Islam dan Adat Minangkabau‖,

(Jakarta: Pani Mas, 1984). Kedua, Taufik Abdullah, berjudul ―Sejarah dan

Masyarakat; Lintasan Historis Islam di Indonesia‖. Sejarah dan

Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1987); Taufik Abdullah, ―Adat and Islam: An Examination of

Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesa, Volume 2 Oktober 1966.

Ketiga, Yaswirman, berjudul ―Hukum Keluarga: Karakteristik dan

Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilinial

Minangkabau‖, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011). Dan Keempat

Ramayulis, berjudul ―Traktat Marapalam ―adat basandi syara‘, Syara‘

basandi Kitabullah‖, yang mengungkap terjadinya konsensus penyatuan

syarak dan adat di Minangkabau terjadi pada tahun 1830 bertempat di

Bukit Marapalam setelah terjadi perang Paderi antara Kaum Ulama

Puritan dengan Kaum Adat.‖ (2015). 102Ratno Lukito melalui disertasinya menyebutkan rekonsiliasi ini

berangkat dari konflik terbuka antara kelompok Kaum Tua (Old

Generation) yang mewakili kepentingan adat dengan Kaum Muda (Young

Page 77: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

68

sepakat bahwa dalam masyarakat Minangkabau terdapat

kesinambungan konflik antara kaum adat dan kaum

agama.Kesinambungan sejarah itu melahirkan berbagai

gerakan sosio-religius yang dimulai dengan gerakan

Wahabi. Gerakan ini merupakan usaha radikal untuk

meniadakan kesenjangan antara keharusan agama dengan

realitas hubungan dan kehidupan sosial.103 Namun gerakan

itu secara substansial tidak berhasil mengubah struktur

sosial, kultural, dan politik di Minangkabau. Perang Paderi

berimplikasi semakin menguat dan besarnya pengaruh

agama dalam sistem kemasyarakatan Minangkabau.

Pandangan ini dibantah oleh Hamka, menurutnya Perang

Paderi merupakan bentuk perlawanan ulama kepada

Belanda.104

Sebelumnya aturan adat mereka bersumber pada

―jumhur‖ yaitu penilaian berdasarkan baik dan buruk,

kemudian ―adat bersendi ke alur dengan patut, alur bersendi

ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran.‖ Sumber adat

ini juga berlaku pada wilayah yang didominasi etnik

Melayu, termasuk Jambi dan bahkan dalam beberapa

literatur dan informasi dari informan juga mengklaim

bahwa falsafah adat tersebut berasal dari Jambi.

Meskipun di Jambi dalam merespons falsafah ini ada

dua versi yang berkembang. Pertama, menurut Dr. Kemas

Arsyad Somad dalam bukunya ―Mengenal Adat Jambi dalam

Perspektif Modern‖ falsafah ini jika dilihat dari budaya

merupakan percampuran antara budaya Jambi dan

Minangkabau, sebagaimana seloka ―Adat dari

Minangkabau, Teliti dari Jambi‖ yaitu adat dari

Minangkabau, tetapi hukum dan undang-undang dari Jambi

yang cenderung bercorak paternalisitik.105 Kedua, menurut

Fahmi SY, M.Si dalam bukunya ―Silang Budaya Islam-

Generation) yang mewakili kepentingan kaum agama melahirkan Perang

Paderi. Lihat Lukito, Islamic Law..., 45. 103Taufik Abdullah, ―Adat and Islam: An Examination of Conflict in

Minangkabau‖, Jurnal Indonesa, Volume 2 Oktober 1966, 1. 104Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Panjimas,

1984), 173. 105Kemas Arsyad, Adat dan Budaya Jambi: Menelisik Akar Sejarah

JAmbi, (Jambi: Diknas Prov. Jambi, 1995), 20.

Page 78: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

69

Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi‖. Falsafah

adat ini lahir ketika terjadi transisi kebudayaan lama

Melayu Tua, Melayu Muda, hingga masa kerajaan Islam

Melayu Jambi yang jika bercermin pada pendapat yang

mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya berada di Jambi hari

ini menjadi identitas Sumatera Selatan meski bukti pusat

peradabannya ada di Jambi, maka besar kemungkinan

justru Minangkabau yang mengadopsi falsafah tersebut.

Terlebih hingga saat ini masyarakat Melayu Jambi

―mayoritas muslim dan budayanya‖ bercorak

paternalistik.106

Berbeda dengan Muchtar Agus Cholif,107 falsafah

adat ini telah dipraktikkan di Jambi sejak abad ke-15 jauh

sebelum terjadinya Traktat, meminjam istilah Ramayulis, di

Bukit Marapalam Tanah Datar pada paruh abad ke-19,

tepatnya pada tahun 1830 M.108 Traktat Marapalan

merupakan penegasan bagi masyarakat Minangkabau

untuk kembali kepada khittah menjadikan adat dan syarak

berjalan seiring dan harmoni. Hal senada juga disampaikan

Junaidi T Noer, berpijak pada studi sejarah Islam lahir di

Jambi lebih awal daripada Minangkabau, begitupula dengan

106Fahmi SY, Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat

Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014), 41. 107Wawancara, Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 20

September 2015. 108Ramayulis menyebutkan lahirnya falsafah Adat bersendi syarak,

Syarak bersendi Kitabullah merupakan bagian dari konsensus Traktat di

Bukit Marapalam-Tanah Datar yang memuat perjanjian damai antara

pemuka adat dengan pemuka agama (ulama Paderi) setelah terjadinya

konplik. Meskipun penggunaan istilah kurang tepat karena traktat

merupakan bagian perjanjian atau kesepakatan antar negara, sebelum

merdeka boleh disebut kerajaan. Traktat (treaties) sebagai segala bentuk

perjanjian internasional, namun secara khusus merujuk kepada

perjanjian internasional yang sangat formal dan penting. Biasanya

Traktat (treaties) digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat

multilateral, namun ada yang menggunakannya dalam tingkatan

bilateral sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman.

Lihat Ramayulis ―Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘-Syara‘

Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan

Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau –

Sumatera Barat), diakses tanggal 21 Januari 2017.

Page 79: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

70

penerapan falsafah adat tersebut sejak awal abad ke-15

M.109

Terlepas dari itu, yang jelas dalam perspektif

sejarahwan Jambi pada awal abad ke-15 Ahmad Kamil

(1500-1515 M.), sebagai raja kerajaan Islam Melayu Jambi

mendeklarasikan kerajaan Melayu Jambi bertransformasi

menjadi kerajaan Islam Melayu Jambi dan Islam sebagai

agama kerajaan. Selanjutnya Ia menghendaki agar seluruh

wilayah dalam kekuasaannya menjadikan Islam sebagai

agama sekaligus mempraktikkan ajarannya, digagaslah

Rapat Besar Adat (RBA) dengan mengundang raja, tokoh

agama dan tokoh adat, yang berada di sekitar kerajaan

Islam Melayu Jambi, dengan tujuan mengupayakan

integrasi antara agama dan adat. Rapat berlangsung pada

tanggal 1 Muharram tahun 920 H/1502 M bertempat di

Bukit Siguntang Damasraya, perbatasan antara wilayah

Jambi-Sumatera Barat.110 Rapat ini melahirkan konvensi

yang dituangkan dalam falsafah ―Adat bersendi syarak,

syarak bersendi Kitabullah‖.111

109Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015. 110Rapat ini mengundang raja dari kerajaan tetangga, antara lain;

Demang Selebar Daun Raja Palembang, Pat Petulay Raja Rejang Lebong,

Raja Inderapura Teluk Air Manis Muko-Muko, Raja Bakilat Alam Rajo

Minangkabau di Pagaruyung, dan seluruh kepala adat dalam wilayah

Tanah Pilih. Karena kesulitan transfortasi, yang hadir hanya Raja

Bakilat Alam Rajo Minangkabau dari Pagaruyung beserta para penghulu

dan kepala negeri. Setelah terjadi perundingan antara raja, kepala adat

dan tokoh agama yang dihadiri rakyat dari berbagai negeri, Ahmad Kamil

menyampaikan beberapa persoalan penting, yaitu; bahwa kerajaan

Melayu Jambi adalah kerajaan Islam, adat dipadu dengan syarak, Pucuk

undang adalah dasar negara, hukum dasar adalah Adat nan Empat,

hukum Adat Sembilan Pucuk, Islam merupakan agama kerajaan, Melayu

adalah Islam dan Islam adalah Melayu, dan bahasa resmi kerajaan

adalah bahasa Melayu Jambi. Lihat Muchtar Agus Kholif, Kodifikasi

Hukum Adat Jambi, (Jambi: Lembaga Adat Melayu (LAM), 2010), 140-

141. 111Deklarasi (Declaration) adalah suatu perjanjian yang berisi

ketentuanketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut

berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dimasa

yang akan datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta

menyampingkan ketentuan-ketentuan yang bersifat formal seperti

diperlukannya ―Surat Kuasa‖, atau persyaratan kualifikasi. Lihat

Page 80: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

71

Pada masa kerajaan Melayu falsafah adat Jambi

merujuk ke jumhur, yaitu penilaian umum tentang baik dan

buruk, yang sangat bergantung pada naluri kemanusiaan

(fitrah). Dalam konsep teologis Islam penilaian semacam ini

dikenal dengan terminlogi al-Husn (baik) dan al-Qabih

(buruk). Menurut kalangan al-Asy‘ariyah keduanya hanya

dapat diketahui melalui wahyu, kalaupun akal manusia

dapat membedakan perbuatan al-Husn dan al-Qabih serta

itu dijadikan landasan dalam melakukan perbuatan maka

perbuatan tersebut tidak dapat dinilai sebagai suatu pahala

atau dosa. Berbeda kelompok Mu‘tazilah yang

berpandangan manusia dengan akalnya dapat menentukan

sekaligus membedakan al-Husn dan al-Qabih baik dan yang

buruk.112

Pada perkembangan selanjutnya falsafah adat

tersebut beralih ke ―adat bersendi ke alur dengan patut, alur

bersendi ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran‖.

Setelah Islam datang dan ajarannya terintegrasi dengan

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta,

Bina Cipta, 1990), 79 & 84. 112Konsep baik (al-Husnu) dalam perspektif ulama Usul Fiqh

sebagaimana dirangkum oleh Nasrun Haroen mengandung empat makna,

yaitu: pertama, seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia

seperti rasa manis dan menolong orang lain; kedua, sifat yang sempurna

seperti pengetahuan dan kemuliaan; ketiga, sesuatu yang boleh

dikerjakan manusia dan dikenali kebalikannya serta sanggup dikerjakan;

keempat, sesuatu yang jika dikerjakan pelakunya mendapat pujian di

dunia dan ganjaran pahala di akhirat. Sedangkan buruk (al-Qabih)

mengandung makna sebaliknya yaitu; sesuatu yang tidak disenangi

tabiat manusia; sifat negatif yang merupakan kekurangan seseorang

seperti bodoh dan kikir; sesuatu yang tidak boleh dikerjakan manusia dan

tidak dapat dicapai oleh akal; atau sesuatu yang jika dikerjakkan maka

pelakunya mendapat cercaan di dunia dan ganjaran dosa di akhirat.

Menurut ulama al-Asy‘ariyah pengertian baik dan buruk pada point

ketiga dan keempat bersifat syar‘i dan harus ditentukan oleh syarak

karena keduanya hanya dapat diketahui oleh syarak. Baik dan buruk

tidak terdapat pada zat namun bersifat nisbi (relatif). Berbeda dengan

ulama Muktazilah yang meyakini baik dan buruk dapat dijangkau oleh

akal secara keseluruhan tanpa melalui informasi syarak. Baik dan buruk

satu sisi terdapat pada zat dan di sisi lain terletak pada manfaat dan

mudarat, serta baik dan buruk. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,

(Jakarta: Logos, 1996), 288-289.

Page 81: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

72

adat lokal falsafah adat masyarakat Melayu Jambi beralih

lagi ke Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.

Pada saat bersamaan sebagian besar wilayah

kekuasaan kerajaan Islam Melayu telah mempraktikkan

aturan hukum dan pemerintahan adat, utamanya wilayah

Timur, merealisasikan hasil konvensi tersebut serta

menjabarkannya melalui institusi kerapatan adat, di

dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin sebagai

representasi dari kepentingan raja alam (penguasa), raja

ibadat (agama) dan raja adat (pemangku adat), yang telah

ada sebelumnya diperkuat. Untuk itu, Ia mengeluarkan

kebijakan sebagai upaya mengawal eksistensi syarak

dengan mengganti kedudukan raja ibadat dengan pegawai

syarak.113 Pegawai syarak mendapat kompensasi (gaji) dari

pihak kerajaan atas pekerjaannya setiap bulan. Sejak saat

itu, adat dan syarak terintegrasi secara mapan dan tidak

dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi sehingga

terjadi keseimbangan.

Atas dasar itu, Ahmad Kamil merupakan tokoh

sentral yang berjasa mengkolaborasikan aturan hukum

kerajaan yang bernuansa Islami dengan aturan hukum adat

yang bernuansa Budha dan Hindu, meski menyatukan

kedua sistem hukum tersebut bukan pekerjaan mudah.

Terlebih harus merespons situasi dan kondisi serta

keinginan rakyat ketika itu. Upaya ini bertujuan memuat

113Kebijakan-kebijakan Ahmad Kamil menghidupkan tradisi Islam,

yaitu:1. Memerintahkan dan menghadiahkan siapa saja yang mampu

menulis dan memperbanyak al-Qur‘an, mempelajari al-Qur‘an dan

menkhatamkannya; 2. Merayakan tahun baru Hijriyah 1 Muharram , 10

Muharram, Awal bulan Ramadhan, Nuzul al-Qur‘an, menghidupkan

malam bulan Ramadhan dengan Tarawih dan Tadarusan Malam Lailah

al-Qadr, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Isra‘ Mi‘raj, Nispu

Sya‘ban, Idul Fitri, Idul Adha (Qurban); 3. Setiap anak lelaki yang telah

cukup usianya wajib dikhitan; 4. Setiap lelaki dewasa tanpa ‗uzur wajib

shalat Jum‘at dan puasa di bulan Ramadhan ; 5. Calon pengantin harus

bisa baca al-Qur‘an dan mengerti tentang tata cara shalat; 6. Syukuran

dan membayar zakat setelah memanen hasil pertanian dan perkebunan;

7. Setiap kampung harus ada mesjid; 8. Pegawai Syarak harus ada pada

setiap kampung yang digaji oleh kerajaan; 9. Setiap dusun harus ada

gelanggang (arena) untuk belajar beladiri; dan setiap dusun harus ada

pandai besi. Lihat Muchtar Agus Kholif, Kodifikasi Hukum ..., 163-164.

Page 82: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

73

aturan tentang tata cara bertutur, bertindak, berinteraksi,

dan memutuskan perkara sosial keagamaan yang berlaku

bagi seluruh rakyat, endingnya mewujudkan masyarakat

yang adil, makmur, sejahtera dan agamis.

Alhasil, tradisi syarak merupakan tradisi hukum

yang inheren dengan realitas dan nilai kebudayaan

setempat, selanjutnya penyandaran adat kepada syarak

memberikan pengaruh signifikan terhadap integritas

masyarakat Melayu. Meski implikasinya daerah yang

berbasis budaya Melayu justru saling-memperebutkan

eksistensinya sebagai yang lebih awal menjadi wilayah

Melayu Islam dan keber-Islaman adatnya. Masyarakat

Melayu Minangkabau misalkan mengklaim adatnya

bersendi syarak dan syaraknya bersendi al-Qur‘an,

sementara masyarakat Melayu Jambi dan Riau-pun

demikian, perebutan ini mengindikasikan klaim keber-

Islaman adat mereka. Masyarakat Melayu Jambi

mengklaim Ahmad Kamil-lah yang menjadi penggagas

pertama rekonsiliasi antara syarak dengan adat. Selain itu,

keberterimaan terhadap adat sebagai sebuah ruang

memperkenalkan prinsip fleksibilitas (murunah) syarak

sebagai bagian dari devine law yang mampu menjawab

berbagai situasi dan perkembangan zaman.114

Dengan demikian, tak dapat dipungkiri, Jambi

sebagai wilayah yang dihuni masyoritas masyarakat etnik

Melayu menjadi bagian penting dan integral dari sejarah

Islam Nusantara. Hal ini dapat ditelisik melalui beberapa

aspek, pertama, dari aspek kultural nenek moyang bangsa

Indonesia adalah Etnik Melayu dan bahasa nasional

diadopsi dari bahasa Melayu, sedangkan Jambi merupakan

pusat peradaban Melayu. Kedua, di antara jalur

perdagangan internasional terpenting dan pusat penyebaran

Islam di Sumatera pada abad ke-7 adalah Zabag, yang

secara geografis berada di Kabupaten Muara Sabak Provinsi

Jambi. Ketiga, Jambi merupakan kerajaan yang sejak awal

memproklamirkan sebagai kerajaan Islam serta

memadukan adat dan syarak menjadi undang negara, yang

114Lukito, Pergumulan ..., 17-18.

Page 83: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

74

diberlakukan terhadap seluruh rakyat. Pada bab

selanjutnya, penulis memaparkan kontekstualisasi adat dan

syarak dalam praktik keberagamaan masyarakat Melayu

Jambi.

D. Kelembagaan Adat Melayu Jambi

Kajian sejarah kelembagaan adat Melayu Jambi

dipandang signifi- kan dalam upaya mendudukkan-

benarkan akar sejarah Melayu Jambi dan kelembagaan

adatnya. Mengingat masih terjadi kekaburan di kalangan

peneliti dalam mempersepsikan etnis Melayu Jambi sebagai

salah satu suku tertua di Nusantara dan merupakan cikal

bakal berdirinya kerajaan Melayu. Selain itu, Jambi hingga

saat ini masih menjadikan Kelembagaan Adat sebagai

institusi pilihan masyarakat Melayu Jambi untuk

menyelesaikan kasus sosial keagamaan.

Kelembagaan adat mengandung makna yang luas,

baik menyangkut institusi adat maupun nilai nilai, asas

atau prinsip maupun norma norma yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat. Sebagai contoh nilai nilai

ketuhanan, kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan

sebagainya terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip

musyawarah mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya,

semuanya terdapat dalam kelembagaan adat. Norma norma

yang disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak

lingkungan hidup, dan sebagainya, telah disepakati sejak

dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku. Namun

dalam konteks Jambi adalah nama lembaga yang diberikan

kewenangan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang

dihadapi masyarakat Melayu Jambi yang mencakup aturan

formil dan materil. Aktor yang bekerja di dalamnya

representasi dari penguasa/pemerintah, pegawai syarak dan

pemangku adat.

Tak dapat dipungkiri, lahirnya kelembagaan adat ini

bersamaan dengan berdirinya kerajaan Melayu Jambi, jauh

sebelum kedatangan Islam ke Jambi. Bahkan hingga saat

ini masih eksis dan masih menjadi pilihan yang diminati

oleh kebanyakan masyarakat Melayu Jambi dalam

Page 84: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

75

menyelesaikan kasus sosial keagamaan. Pilihan ini berjalin

erat dengan kepercayaan masyarakat dan tradisi yang me-

lingkupinya, sekaligus merepresentasikan kepentingan yang

ada di dalamnya yaitu; penguasa, agama dan adat. Pada

awalnya institusi ini dikenal dengan nama Kerapatan Adat,

yang praktiknya hampir sama dengan tradisi Minangkabau,

bahkan ada yang mempersepsi- kan tradisi ini merupakan

adopsi tradisi Minangkabau atau bias Minangkabau. Meski,

sebenarnya sulit memisahkan antara budaya Jambi dan

Minangkabau, mengingat keduanya abad ke-12 sampai

dengan abad ke-14 menjadi bagian integral dari kerajaan

Pagaruyung, meski pada abad akhir abad ke-14

memisahkan diri setelah terjadi pertempuran di Padang si

Busuk.115

Kelembagaan adat menjadikan semua elemen

penting dan tak terpisahkan dalam pengambilan keputusan,

sehingga hasilnya di- anggap adil dan dipatuhi stakeholders.

Praktik semacam ini merupakan konsekuensi dari sistem

pemerintahan Perpatih (demokrasi), yang memberdayakan

semua komponen untuk terlibat dalam penetapan maupun

putusan melalui Kerapatan Adat. Sistem pemerintahan

yang berlangsung sejak masa kerajaan Melayu, kerajaan

Islam Melayu, dan kesultanan Jambi, dan berlanjut masa

115 Pusat kerajaan Melayu Jambi pada awalnya berada di Candi

Muaro Jambi di bawah kepemimpinan Raja Srinamat Trailokia Raja

Tiribuana Bhusana Mawarmadewa (1178-1210 M.) namun setelah

diserang kerajaan Singosari, implikasinya pusat kerajaan beralih ke

Damasraya dan berganti nama men- jadi kerajaan Melayu Swarnabumi.

Beberapa tahun kemudian kerajaan Ma- japahit berhasil menaklukkan

kerajaan Singosari, dan pusat kerajaan Melayu Swarnabumi dialihkan ke

Pagaruyung. Pada tahun 1347 M, Adityawarman yang ketika itu berada

di Melayu, daerah asal ibundanya, menggantikan Raja Mauliwarmadewa

dan dinobatkan menjadi Maharaja Diraja untuk kerajaan Melayu Jambi

seluruh Sumatera. Setelah mangkat tahun 1376 M. digantikan putranya

Maharaja Mauli (Ananggawarman), dan saat itu kerajaan Pagar- uyung

berusaha melepaskan diri dari kerajaan Majapahit. Perjuangan ber- hasil

dan kerajaan Pagaruyung pecah menjadi dua; Luhak Nan Bepenghulu ke

Minangkaba dan Alam nan Berajo ke kerajaan Melayu Jambi. Lihat Sri

Purnama Syam, Seni dan Budaya Melayu Jambi, makalah disampaikan

pada seminar ―Menggali Warisan Negeri Melayu Jambi‖, tanggal 10 Mei

2014, 5.

Page 85: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

76

kolonial Belanda. Berkebalikan dengan sistem Tumenggung

(otokrasi) yang menjadikan penguasa sebagai ujung tombak

pembuat putusan.

Pada masa kolonial Belanda melalui pasal 131 ayat 8

Indische Staatsregeling (IS) dikukuhkan oleh Belanda

sistem pemerintahan adat yang mengatur pemerintahan

sampai kepada desa. Dipertegas dengan Indische Gemonte

Ordonentic Buitengewesten (IGOB) yang diterbitkan pada

tanggal 3 September 1938 (Stbl. No. 490) yang diberi nama

Peraturan Negeri Otonom di luar Jawa dan Madura.116

Pasal 1 menegasi susunan dan hak-hak negeri dan susunan

badan pengurus negeri dan susunan dari alat negeri lainnya

terkecuali sebagaimana tersebut dalam pasal 8 akan diatur

menurut hukum adat (Adatrecht). Juga dijelaskan negeri

adalah suatu Indische Rechtspersoen yang diwakili oleh

kepala negeri, yang mempunyai Rechtsgebied (daerah

hukum) sendiri. Setelah masa kolonisasi Belanda be- rakhir,

tahun 1942 pemerintahan beralih ke tangan Jepang. Ketika

itu, sistem pemerintahan adat tidak mengalami perubahan.

Hanya saja beberapa nama diubah dan disesuaikan dengan

bahasa mereka. Seperti, istilah keresidenan ditukar menjadi

Syu, sedangkan residen disebut Syucukon.

Implementasi dari ketentuan ini, seluruh setiap desa

dibentuk marga yang dipimpin oleh Pasirah, di Kerinci

dibentuk mendapo dip- impin oleh Kepala Mendapo, dan di

Kota Jambi dibentuk kampung dipimpin oleh Kepala

Kampung. Kesemuanya menaungi beberapa dusun dan desa

serta merangkap sebagai kepala adat. Pada masa

kemerdekaan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22

tahun 1948 terbentuklah DPRD dan DP pada setiap marga,

mendapo, dan kampung.

Sayangnya, lembaga ini tidak bisa bertahan lama

karena adanya agresi Belanda I dan II, dan tahun 1965

Indische Gemonte Or- donentic (IGO) dan Indische Gemonte

Ordonentic Buitengewesten (IGOB) dicabut dan diganti

dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1965 tentang

116 A. Wahab Madjid, Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintah

di Jambi, (Jambi, Lembaga Adat Melayu Jambi, 1999), 3-4.

Page 86: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

77

Desapraja sebagai bentuk peralihan akselerasi terwu-

judnya daerah Tingkat II di seluruh wilayah Republik

Indonesia.

Materinya sarat nuansa politik kolonial dan belum

mampu memberi otonomi penuh kepada desa serta tidak

sejalan dengan spirit adat, pada akhirnya memunculkan

gejolak dari rakyat.117 Ditambah munculnya dualisme

pemerintahan pada level Desa dan Kecamatan karena

undang-undang ini menegasi struktur hierarki

pemerintahan mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota,

kecamatan dan desa. Oleh karenanya, sistem pemerintahan

marga hilang dan diambil alih oleh negara berdasarkan

peraturan pemerintahan, akhirnya pemberlakuan undang-

undang tersebut dibatalkan. Selanjutnya, pada tahun 1975

kelembagan adat disahkan menjadi institusi formal dengan

nama Lembaga Adat Provinsi Jambi, beberapa tahun

setelah itu pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor

5 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa,

yang menekankan pada pengaturan pemerintahan secara

administratif. Namun, persoalan keamanan, keadaan desa

dan adat istiadat belum diakomodir, sehingga masih

memunculkan gejolak dari masyarakat adat. Kemuncu- lan

Undang-undang ini justru menjadi pemicu

ketidakseimbangan atau terganggunya tatanan

pemerintahan adat pada level pemerintahan terkecil di

beberapa daerah di Indonesia. Jambi sebagai daerah yang

terkena imbasnya dengan kehilangan model pemerintahan

adatnya dan memudarnya nilai-nilai kearifan lokal yang

bercorak Melayu Islam.118

Untuk mengantisipasi gejolak pada tingkat grassroot,

diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11

tahun 1984 ten- tang Pembinaan dan Pengembangan Adat

Istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan. Peraturan ini

menyatakan bahwa adat istiadat adalah kebiasaan yang

hidup serta dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-

hari dalam masyarakat sesuai pancasila. Pada pasal 5

117 Asnawi AB, MM., Kedudukan Adat Dalam Rangka Menunjang

Penyelengga- raan Pemerintahan Desa, (Jambi, Pemprov Jambi, 2010), 2.

118 Irma Sagala, Peluang dan Tantangan ..., 1-2.

Page 87: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

78

dinyatakan bahwa Camat dan Kepala Desa/Lurah beserta

perangkatnya wajib melakukan pembinaan dan

pengembangan terhadap adat istiadat yang hidup di

kalangan masyarakatnya.

Problema-problema terkait kepentingan masyarakat

adat Melayu Jambi belum terwadahi secara kelembagaan

legal-formal, Lembaga Adat belum dikenal, mengingat

struktur pemerintahan Desa mencakupi tugas kelembagaan

adat. Kelembagaan Adat secara institusional baru eksis

setelah sistem hukum adat digantikan dengan

pemerintahan Desa. Adanya kekhawatirkan memudar

bahkan hilangnya budaya (adat) Melayu Jambi dibentuklah

Lembaga Adat berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)

Tingkat I Provinsi Jambi No. 11 Tahun 1991 tentang

Pembinaan dan Pengembangan Adat Istia- dat Kebiasaan

Masyarakat dan Lembaga Adat di Desa/Kelurahan dalam

Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. Mengacu pada Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1984 tentang

Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat

Desa/Kelurahan.

Berikutnya, lahir Undang-undang No. 22 tahun 1999

dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah dimana desa atau kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul

dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem

pemerintahan nasional berkedudukan di kabupaten/kota.

Substansi aturan tersebut melegalisasi sistem pemerintahan

(kepemimpinan) yang berlaku dalam tradisi masyarakat

adat, tak luput dari itu masyarakat Melayu Jambi, sehingga

kepemimpinan adat diaktifkan sesuai seloka ―berjenjang

naik bertanggo turun bak tali berjalin berpintal tigo, bak tigo

tungku sejerangan‖. Lebih jauh, mereka diberi ruang

memformulasi aturan untuk disesuaikan dengan kebutuhan

lokal (local wisdom). Artinya kelembagaan adat yang di

dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin (trilogi kuasa)

yang diakui oleh negara dan memiliki payung hukum yang

Page 88: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

79

kuat.119 Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa (Kades),

Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Perwakilan Desa

(LPM), sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat

memiliki kewenangan dalam mengelola pemerintahan di

desanya. Begitupula pegawai syarak terdiri dari; alim

ulama, imam, khatib dan bilal, memiliki kewenangan dalam

mengelola segala persoalan keagamaan. Sedangkan

pemangku adat terdiri dari; cerdik pandai, tuo tengganai

dan nenek mamak), memiliki kewenangan dalam mengelola

persoalan adat. Kesemuanya menyatu dalam musyawarah

dan mufakat melalui kerapatan adat.

Selanjutnya, Lembaga Adat Provinsi Jambi berubah

nama men- jadi Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi setelah

terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007

tentang Lembaga Adat Melayu Jambi. Perda ini merupakan

revisi dari Perda Nomor 11 Tahun 1992 tentang Pembinaan

dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan. Pemerintahan

di lingkungan provinsi Jambi memfasilitasi kelem- bagaan

adat dalam upaya mengakomodir dan menyelesaikan berba-

gai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di kalangan

masyarakat Melayu-Muslim Jambi. Hal ini dibuktikan

dengan diterbitkannya peraturan daerah (perda) tentang

legalitas lembaga adat dan aturan yang melekat di

dalamnya, sebagaimana tertuang dalam Perda No. 4 tahun

2014 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Sepucuk Jambi

Sembilan Lurah.

119 Dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi forum ini dikenal

dengan sebutan tigo tali sepilin, sedangkan dalam tradisi masyarakat

Melayu Minangkabau dikenal dengan tali tigo sepilin, ketiganya pada

awalnya merupakan refre- sentasi dari; Raja Alam, Raja Adat dan Raja

Ibadat. Pertama, Raja Alam adalah penguasa kerajaan ketika itu. Kedua,

Raja Adat, orang yang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat

mengerti tentang norma adat. Ke- tiga, Raja Ibadat, adalah orang sangat

memahami persoalan keagamaan. Di Minangkabau pada awalnya posisi

Raja Ibadat dijabat oleh ―pandito (pen- deta)‖, yang kemudian diganti

dengan alim ulama. Sedangkan di Jambi oleh Ahmad Kamil diganti

dengan istilah Pegawai Syarak, yang terdiri dari imam, khatib dan bilal.

Pegawai syarak dibebani tanggung jawab oleh kerajaan me- melihara

eksistensi dan keberlangsungan syarak. Sejak saat itulah muncul istilah

pegawai syarak sesuai falsafah adat. Lihat Asnawi AB, MM., Kedudu- kan

..., 10.

Page 89: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

80

Perda ini merupakan revisi dari Perda No. 11 Tahun

1992 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat,

Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di

Desa/Kelurahan dalam Provinsi Daerah Tingkat I Jambi.120

Perubahan nama lembaga adat berkonsekuensi pada

perubahan nomenklatur, jika nama Lembaga Adat Provinsi

Jambi bersifat netral menaungi seluruh masyarakat yang

berdomisili di Jambi tanpa membedakan rasial, etnik dan

agama yang mengemuka berdasarkan administrasi wilayah,

namun pada nama Lembaga Adat Melayu Jambi lebih

spesifik menaungi masyarakat Melayu Jambi. Dalam Pasal

1 Perda Nomor 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa ―Lembaga

Adat Melayu Jambi merupakan sebuah lembaga yang

berperan penting dalam membina dan menjaga kelestarian

adat istiadat Melayu Jambi.‖

Lembaga ini memiliki kewenangan mengurusi segala

persoalan terkait hukum adat dan tata cara

penyelesaiannya, yang mempunyai turunan hingga

desa/kampung. Keberadaan lembaga ini mengindikasikan

menguatnya eksistensi hukum Adat atau peraturan adat

sebagai aturan non-formal yang dipraktikkan masyarakat

Jambi.

E. Realitas Sosial, Agama, Politik dan Budaya

Aspek Sosial

Secara sosiologis, masyarakat Jambi adalah kumpulan

orang atau etnik Melayu yang berdiam di wilayah Jambi

mulai dari Ujung Jabung sampai Durian Betakuk Rajo,

dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa

Melayu. Masyarakat Melayu berasal dari Ras Melayu, yang

diasumsikan nenek moyang bangsa Indonesia, terbagi dua

yaitu Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro

Melayu).

120 M. Husnul Abid, Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional,

Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi, dalam Muhammad Iqbal

Asnaf ―Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia Kontesatasi dan

Koeksistensi‖, (Yogya- karta: Center for Religious and Cross-cultural

Studies/CRCS UGM, 2015), 181-182.

Page 90: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

81

Menurut AL. Kroeber sebagaimana dikutip Idris

Jakfar, ada 8 (delapan) ras terpenting di dunia yaitu; Ras

Caucasoid, Mongoloid, Negroid, Bushman, Veddoid,

Austroloid, Polynesian; dan Ras Ainu. Ras Mongoloid

menyebar ke Selatan benua Asia sampai ke benua Amerika

melalui Selat Bering.121 Sub-Ras Mongoloid, Malayan

Mongoloid, mendominasi penduduk Asia Tenggara lautan

dan daratan masyarakat yang berbudaya Melayu

percampuran orang Austro-Melanisoid dari Selatan dengan

Paleoo-Mongoloid dari Utara. Manusia Anstro-Melanisoid

awalnya mendiami kawasan dekat pantai dan sungai, hidup

dalam goa batu kerang atau abris sous roches, goa ini

dijumpai di Sumatera (Jambi, Medan, Langsa/Aceh),

Sulawesi, Irian, Kedah dan Pahang Malaysia. Migrasi

manusia Ras Mongoloid ke perairan Asia Tenggara

melahirkan manusia Proto Malay (Melayu Tua) dan Deutro

Malay (Melayu Muda).122

121Orang Melayu Tuo (Proto Melayu) diprediksi datang ke Jambi

sekitar 3500 SM dan orang Melayu Muda (Deutro Melayu) sekitar tahun

350 SM. Melayu Tua (Proto Malay) adalah suku yang kebudayaannya

sangat sedikit bercampur dengan kebudayaan asing dan tinggal di

dataran tinggi, sedangkan Melayu Muda (Deutro Malay) adalah suku

yang kebudayaannya telah bercampur dengan kebudayaan asing dan

tinggal di dataran rendah. Idris Jakfar, Akar Budaya Melayu Jambi,

(Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 1990), 10-15. 122Menurut G.E. Gerini kata ―Melayu‖ berasal bahasa Sanskrit

―malayakom atau malaikurram‖, yang merujuk pada Tanjung Kuantan di

Semenanjung Malaysia. Sebaliknya, Roland Bradell menganggap tempat

itu merujuk kepada Tanjung Penyabung. Istilah Malaya dvipa muncul

dalam kitab Purana, kitab Hindu purba yang ditulis sebelum zaman

Gautama Buddha sejak 500 M. Dwipa bermaksud ―tanah yang dikelilingi

air‖ dan Malaya dwipa terdapat di Pulau Sumatera yaitu Jambi. Istilah

―Mo-lo-yu‖ tercatat dalam buku pengembara Cina tahun 644-645 M.,

sezaman dengan ―Dinasti Tang‖. Mayoritas peneliti sejarah

menyimpulkan kata ―Mo-lo-yo‖ adalah kerajaan yang terletak di Jambi

Pulau Sumatera, Sriwijaya. Terma Melayu diprediksi adalah nama anak

Sungai Melayu di hulu Sungai Batang Hari, Sumatera, tempat berdirinya

―Kerajaan Melayu‖ sekitar 1500 tahun sebelum atau semasa adanya

Kerajaan Sriwijaya. Penggunaan terma ―Melayu‖ muncul sekitar tahun

100-150 Masehi dalam karya Ptolemy, Geographike Sintaxis, dikenal

dengan ―maleu-kolon‖. Melayu mengandung 4 makna yakni; sebagai

Etnis, sebagai Bahasa, sebagai Kebudayaan dan Melayu sebagai Kerajaan

Tua yang pernah ada tahun 644/645 M. Keempat makna tersebut

Page 91: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

82

Masyarakat Jambi yang didominasi etnik Melayu

saat ini terpolarisasi menjadi dua kelompok yaitu; penduduk

asli dan penduduk pendatang, kesemuanya terangkum

dalam 7 suku atau bangsa, yaitu:123 Pertama, Suku Kubu,

atau Suku Anak Dalam (SAD), hidup dalam keadaan

terasing (terisolasi), tingkat kebudayaannya masih rendah.

Hidup dalam komunitasnya sendiri dan kurang komunikasi

dengan masyarakat lain, jika berkomunikasi dengan pihak

luar melalui perantara yaitu Jenang. Kedua, Suku Bajau,

hidup terisolasi di pinggiran laut dan menjadikan laut

sebagai sentral kehidupan. Tingkat pendidikan dan

kebudayaan masih tergolong rendah dan mendiami daerah

pantai Utara wilayah Kabupaten Tanjung Jabung, dikenal

dengan Orang Laut. Ketiga, Suku Batin, mendiami sebagian

besar wilayah kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun dan

Bangko. Keempat, Suku Kerinci, mendiami Kota Sungai

Penuh dan Kabupaten Kerinci, hidup di daerah subur dan

pegunungan, sebagian besar mata pencahariannya bertani

dan berkebun. Tradisi masyarakatnya bidang kekerabatan,

waris, dan dialek hampir sama dengan Suku Penghulu.

Kelima, Suku Penghulu, migran dari Minangkabau dan

mendiami wilayah Suku Batin, kedatangan mereka ke

Jambi berawal dari misi mencari pekerjaan (penghidupan)

dengan menambang emas di hulu Sungai Batang Hari.

Kebanyakan mereka mendiami wilayah; Pelawan, Batang

Asai, Pangkalan Jambu, Limun, Ulu Tabir, Ting Ting,

Nibung, Sungai Abang dan di beberapa wilayah lain dalam

Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Merangin.

Keenam, Suku Pindah, orang pindahan dari Sumatera

Selatan yang berbatasan dengan Jambi, seperti Rupit dan

Rawas. Faktor pendorong mereka migran ke Jambi belum

diketahui secara pasti dan mereka mendiami wilayah Pauh,

diidentifikasi tercover dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi.

Kebudayaan Melayu Jambi dan masih dapat dikontruksikan

keberadaannya di Jambi. Kebudayaan Melayu Jambi yang diwarnai oleh

3 corak kebudayaan yakni, Kebudayaan Melayu Prasejarah, Kebudayaan

Melayu Budhis dan Kebudayaan Melayu Islam. Lihat Fahruddin

Saudagar, dalam ―Sejarah Adat ..., 9. 123Ibid., 7-8.

Page 92: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

83

Mandiangin dalam sebagian kecil wilayah Sarolangun,

Bangko dan Batanghari. Ketujuh, Suku Melayu Jambi,

mendiami sekitar sungai Batanghari yaitu; Kabupaten

Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, serta sebagian

Bungo dan Tebo, Muara Sabak (Tanjung Jabung Timur),

dan Tungkal (Tanjung Jabung Barat). Mereka diasumsikan

sebagai penduduk asli dari kerajaan Islam Melayu Jambi.124

Sedangkan Suku Pendatang merupakan migran dari

berbagai daerah di Indonesia seperti; Jawa, Sunda,

Tapanuli, Banjarmasin, Makasar, Palembang,

Minangkabau, dan daerah lainnya. Datang ke Jambi dengan

motivasi dan kepentingan berbeda serta dalam waktu yang

tidak bersamaan. Selain itu, yang termasuk penduduk

pendatang adalah orang asing migran dari; Arab, India,

Malaysia dan Cina, mendiami beberapa daerah dalam

provinsi Jambi, utamanya Kota Jambi. Diantara mereka ada

yang berasimilasi dengan penduduk setempat dikarenakan

adanya ikatan emosional dan persamaan agama dengan

penduduk asli Jambi, berbeda dengan Cina yang terkesan

eksklusif namun memegang tampuk perekonomian. Hampir

semua sektor ekonomi dipegang oleh orang Cina meski

mereka belum dapat berasimilasi secara total dengan

penduduk setempat, karena adanya perbedaaan keyakinan

dan budaya serta stratifikasi ekonomi. Orang Cina dikenal

sangat kuat memegang budaya, inilah faktor terpenting

menurut penulis sebagai penghambat terjadinya asimiliasi

dengan penduduk asli.

Dari sisi etnisitas, persentasi masyarakat Jambi

dapat dilihat melalui tabel berikut:

124Junaidi T. Noer, Mencari Jejak ..., 14-19.

Page 93: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

84

Tabel 4.1. Komposisi Etnisitas di Jambi

Etnisitas Persentase

Melayu 37,87

Jawa 27,64

Kerinci 10,56

Minangkabau 5,47

Banjar 3,47

Sunda 2,62

Bugis 2,59

Lain-lain 9,78

Porsentase etnis Jawa cukup besar di Jambi

dikarenakan sejak masa Orde Baru beberapa tempat di

Jambi menjadi tujuan transmigrasi, mayoritas peserta

transmigrasi dari Jawa disebar ke beberapa wilayah

transmigrasi seperti; Sungai Bahar di Kabupaten

Batanghari, Rimbo Bujang di Kabupaten Tebo, dan

Purwodadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Ditambah

dengan migran karena alasan mengikuti kerabat yang

sukses, mencari pekerjaan, perkawinan dan lainnya.125

Meski demikian, semua suku ini menyatu dalam

kebinekaan di Jambi, mengingat masyarakat Jambi

terkenal inklusif dan toleran dengan pendatang serta

budaya yang mereka bawa, ditandai dengan kebebasan

masyarakat pendantang menggunakan bahasa sehari-hari,

acara seremonial, dan tidak adanya konflik SARA yang

dipicu oleh perbedaan; kultur, etnisitas dan agama. Meski,

mayoritas etnik Melayu muslim, kecuali segelintir

masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) awalnya penganut

animis, saat ini secara gradual menjadi muslim atau

Kristiani.

125Sebagaimana dikutip M. Husnul Abid dalam Leo Suryadinata,

dkk. Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing

Political Landscape, (Singapura: ISEAS, 2013), 23.

Page 94: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

85

Aspek Agama

Dari aspek agama, sedikitnya tiga agama yang pernah

mewarnai kepercayaan masyarakat Jambi setelah ajaran

animisme, yakni; Budha, Hindu dan Islam. Pada abad

pertama Masehi datang agama Budha Hinayana dan diikuti

Budha Mahayana yang masuk ke Jambi dan berkembang

sebagai agama kerajaan dan rakyat. Perkembangan agama

Budha di kerajaan Melayu Jambi begitu pesat terbukti

ditemukannya candi-candi seperti; Candi Tinggi dan Candi

Astano di Kabupaten Muaro Jambi.126 Selanjutnya, abad ke-

3 M. agama Hindu tiba di Jambi dan semakin berkembang

ketika kerajaan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya abad

ke-7 dan ke-8 M. Inilah yang dikatakan Junaidi T. Noer

ketika menyebut Melayu Jambi adalah penanda satuan

wilayah keserumpunan dan kebudayaan Melayu,

masyarakatnya mengalami proses symbiotics relationship,

tidak hanya ajaran Islam, melainkan pengaruh Animisme,

Hindu, Budha dan bangsa-bangsa lain dalam semangat

pergaulan.127

Sejak kedatangannya, Islam dari aspek hukum dan

spirit telah memberi warna terhadap tradisi yang berlaku di

kerajaan Melayu Jambi, utamanya sejak kerajaan Islam

Melayu Jambi dipimpin oleh Ahmad Kamil. Sejak itu, adat

(hukum Adat) Jambi ada diyakini sebagai aturan hukum

kontekstual karena merupakan kesepakatan antar

penguasa, alim-ulama, dan tokoh adat Jambi. Bahkan adat

yang telah diverifikasi kedudukannya dianggap ―sejajar‖

dengan syarak, sejalan dengan falsafah adat.

Akulturasi keduanya justru memberi semangat

keagamaan masyarakat Jambi untuk mengimplementasikan

ajaran agama dan adat, karena dianggap sejalan. Pada

perkembangannya bersamaan kedatangan ulama Arab dan

126Yusuf Majid, Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau, Sekarang

dan yang Akan Datang, (Jambi: Lembaga Adat Tanah Kota Jambi, 1997),

7-8. 127Junaidi T. Noer, Sekilas tentang Sejarah dan

Peradaban/Kebudayaan Islam di Provinsi Jambi‖ Makalah, Silaturahim

Peradaban Islam Festival Maulid Nusantara 1431 di Palu-Sulawesi

Tengah, 1.

Page 95: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

86

munculnya ulama lokal yang terus mengembangkan Islam

melalui pendidikan formal maupun non-formal. Melalui

pendidikan formal ditandai maraknya pendirian pesantren

Salafi, di antaranya; Pesantren Nurul Iman, As‘ad,

Jauharain, Nurul Islam dan Sa‘adatuddarain, yang justru

berada di satu wilayah yaitu Seberang Kota Jambi.128

Pondok pesantren ini menjadi pelopor pengembangan Islam

dan berdirinya pondok pesantren di seluruh pelosok negeri

Jambi.129

Kitab-kitab yang menjadi referensi (maraji‘) di

pesantren ini berorientasi pada pemahaman dan

penghayatan terhadap isi al-Qur‘an dan Sunnah,

penelaahan terhadap keduanya melahirkan; Ilmu Tauhîd,

Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Badî‘, Bayân, dan lain-lain.

Adapun kurikulum pesantren di Jambi.130

Secara garis besar sistem pengajaran di pesantren

atau madrasah di Jambi dipilah menjadi dua pola; Pertama

Pola Salafi, memiliki ciri; tetap mempertahankan kitab-

kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya; sistem

sorogan; tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan

umum. Kedua Pola Khalaf, dengan ciri; adanya pelajaran

128Pemberian nama kelima Madrasah ini melalui musyawarah para

pendiri dan Ulama dari Mekkah. Guru Kemas H. Muhammad Soleh bin

Kemas H. Muhammad Yasin tinggal di Kampung Tanjung Pasir

(kampung paling Hulu), memilih nama Nurul Islam, guru Guru H.

Ibrahim bin Syekh Abdul Majid al-Jambi (Mudir Pertama Nurul Iman),

memilih nama Nurul Iman. Karena dua nama ini telah dipilih, maka guru

Guru H. Ahmad bin H. Abdus Syakur di Kampung Tahtul Yaman memilih

nama Madrasah Sa‘adatud Darain, dan Guru H. Usman bin H. Ali

memilih nama Madrasah Jauharain. Pada tahun 1926 Madrasah al-

Jauharain dipindahkan ke kampung Tanjung Johor Jambi.

129Pesantren di Jambi menekankan penguasaan Kitab kuning,

kitab-kitab berbasis aliran ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (aswaja) dan

bermadzhab Syafi‘i. Menurut Van Bruinessen, dalam persoalan hukum

dan doktrin, Muslim tradisionalis mengikuti ulama besar di masa lalu

ketimbang melakukan derivasi kesimpulan dari al-Qur‘an dan al-Hadits

secara langsung. Lihat Van Bruinessen, ―Tradisi Menyongsong Masa

Depan‖, Tradisionalis Radikal. (Yogyakarta: LKIS, 1997), 142.

130Husein Muhammad, Kontekstualisasi Kitab Kuning; Tradisi

Kajian dan Metode Pengajaran dalam Marzuki Wahid, et. al., Pesantren

Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 270.

Page 96: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

87

umum atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan

pesantren yang umumnya bersifat klasikal.131

Paradigma ke-Islaman yang berkembang di

pesantren ketika itu bidang teologi berorientasi pada

pemikiran Asy‘ari, bidang ushul fikih dan fikih berorientasi

pada pemikiran asy-Syafi‘i dan bidang tasawuf berorientasi

pada pemikiran al-Ghazali.132 Artinya, secara kultural

mayoritas masyarakat Melayu Jambi dan pesantren-

pesantren yang ada di Jambi berorientasi pada faham

keagamaan Ahl Sunnnah wa al-Jama‘ah plus Nahdhatul

Ulama (NU) kultural (NU oriented). Ditandai dengan

tradisi; pembacaan talqin dan tahlil, shalat tarawih 20

rakaat, pembacaan doa qunut ketika shalat subuh. Faham

keagamaan lain seperti; Muhammadiyah, Salafi (Wahabi),

Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) atau Jamaah

Islamiyah, dan al-Irsyad al-Islamiyyah relatif tidak

berkembang. Kalaupun ada hanya di wilayah perkotaan

sebagai implikasi pluralisme sosial keagamaan.

Di sisi lain, ini membuktikan begitu besar spirit

keagamaan masyarakat melalui pendirian institusi

pendidikan keagamaan guna melestarikan agama Islam di

Jambi, yang pada akhirnya membuat Islam semakin kokoh

di Jambi dan menjadi agama mayoritas masyarakat. Hal ini

sesuai dengan jumlah penganut agama Islam dan agama

lain, yaitu; 92,95 % beragama Islam, Katolik sebesar 2,31 %,

Protestan 2,26 %, Budha 1,17 %, Hindu 0,23 %, dan

Konghucu 1,08 %.133

131Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang

Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta, LP3ES, 1994), Cet. VI, 41–42. 132Abdul Kadir Sobur, Teologi Progreaif: Mengungkap Corak

Teologi dan Doktrin Aqidah Masyarakat Melayu, disertasi 2012, 244. 133Jambi in Figure, tahun 2016, 134-135.

Page 97: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

88

Grafik 4.1. Prosentase Agama yang Dianut

Grafik di atas merefleksikan mayoritas masyarakat

Jambi adalah Muslim dan sangat menjunjung tinggi

moralitas dan pengamalan keagamaan, karenanya Jambi

bahkan oleh sejarahwan pernah mendapat julukan Serambi

Mekah.134 Dengan demikian, kondisi keagamaan di Jambi

bervariasi namun masyarakat Jambi saat ini masuk

kategori masyarakat inklusif yang jauh dari konplik vertikal

maupun horizontal. Jika dijumpai adanya subordinasi

antara berbagai kelompok internal maupun eksternal masih

dipandang wajar sebagai dinamika kehidupan masyarakat.

Aspek Politik

Dari aspek politik, entry point sejarah perpolitikan di Jambi

ketika dipimpin oleh Raja Perempuan, Putri Selaras Pinang

Masak, yang kawin dengan Ahmad Salim dan dilanjutkan

134Gelar Serambi Mekah disandarkan ke Jambi karena merupakan

daerah awal penyebaran Islam di Sumatera melalui pelabuhan Muara

Sabak, yang sudah dikenal dunia Internasional sebagai pusat

perdagangan sejak abad ke-1 Masehi. Selain itu, sejak berdirinya

madrasah Islam banyak berdatangan ulama besar dari Mekkah yang

diundang oleh Mudir Madrasah untuk mengajar dan melakukan Imtihân

al-waqf (ujian akhir kelulusan kelas 7). Lihat Syekh HMO Bafadhal,

Pengungkapan Sejarah ..., 18-19.

Page 98: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

89

oleh ketiga putranya.135 Namun ketika tampuk kekuasaan di

tangan Ahmad Kamil perubahan besar terjadi melalui

inovasi dan langkah cerdas bidang politik, sosial, maupun

keagamaan.

Sepeninggalan Ahmad Kamil, kepemimpinan

kerajaan Islam Melayu Jambi berlanjut secara turun

temurun hingga kesultanan Jambi. Meski kepemimpinan

setelahnya tidak membawa perubahan politik signifikan

dalam upaya mendongkrak reputasi kerajaan Islam Melayu

atau kesultanan Jambi. Terlebih setelah Belanda berusaha

menginjakkan kaki di tanah Jambi dengan maksud

menjajah. Kalaupun ada hanya berupa perlawanan atau

gerilya dalam upaya mengusir kolonial, sebagaimana yang

dilakukan oleh Sultan Thaha Saifuddin.

Meski demikian, sejak abad ke-19 hingga awal abad

ke-20, pemerintah Hindia Belanda selalu menghadapi

berbagai pemberontakan dari penduduk asli di Jawa

maupun Sumatera.136 Seperti Perang Cirebon (1802–1806),

Perang Diponegoro (1825– 1830), Perang Padri (1821–1857),

135Pada abad ke-3 kerajaan Melayu Jambi pernah dikuasai oleh

kerajaan Koying dan Tupo, disusul kerajaan Kantoli abad ke-5. Setelah

ketiganya runtuh berdirilah kerajaan Melayu Jambi, pada abad ke-7

kembali dikuasai Kerajaan Sriwijaya meski mengalami kemunduran pada

abad ke-12 kerajaan Sriwijaya. Meski sejarahwan hingga saat ini belum

bisa memastikan pusat kerajaan Sriwijaya di Jambi atau Palembang,

saling klaimpun masih terjadi. Meski bukti pendukung adanya istana

kerajaan, tempat peribadatan, pusat pendidikan, pesanggrahan dan

pemandian raja beserta keluarga kerajaan Sriwijaya terbesar seluas + 600

hektar justru berlokasi di Jambi. Implikasinya jika pusat kerajaan

Sriwijaya berada di Jambi maka Palembanglah yang menjadi daerah

jajahan Jambi tempo dulu, begitupula sebaliknya. Lihat Ngebi Sutho

Dilogo, Alih Aksara dan Kajian Naskah Silsilah Raja Jambi, Undang-

Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi, terj. Syamawi Darahim et.al.,

(Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005), 5-6.

Buku ini telah dialih bahasakan dari aksara Arab Melayu, teks aslinya

berada di tangan Ratumas Siti Zahrah salah seorang turunan (ahli waris)

Sultan Thaha Saifuddin. 136Syamsir Salam, Mencari Ufuk Baru dalam Pengembangan

Masyarakat Jambi, dalam Kertas Kerja pada Diskusi LPKS tahun 1982,

3.

Page 99: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

90

Perang Aceh (1872-1908), dan Perang Jambi (1858-1906).137

Berbagai alasan menjadi pemicu pergolakan, seperti;

Pertama, gerakan petani, perang yang melambangkan

kepentingan kelas ekonomi ataupun sosial. Kedua, Perang

Sabil, perang yang melambangkan kepentingan agama.

Ketiga Perang Kekuasaan, perang yang melambangkan

kepentingan politik atau kekuasaan yang dipelopori oleh

Sultan atau bangsawan karena merasa kekuasaannya

terancam dengan kekuasaan Belanda. Perang Jambi masuk

pada kategori terakhir yaitu perang memperebutkan

kekuasaan, dimotori oleh Sultan Thaha Saifuddin.138

Menyikapi perlawanan berkepanjangan dari rakyat

pribumi, pemerintah Belanda mengangkat Cristian Snouck

Hurgronye menjadi penasehat politiknya. Snouck

Hurgronye, sebagai sosiolog handal, melakukan penelitian di

beberapa daerah di Nusantara mengamati fenomena

gerakan perlawanan dan sampai pada kesimpulan mengenai

langkah strategis menghadapi gerakan rakyat pribumi, yang

137Pemicu perang Jambi adalah keengganan Sultan Thaha

menandatangani perjanjian yang dibuat Belanda memuat; negeri Jambi

dikuasai dan dilindungi oleh Belanda dan Belanda berhak mendirikan

kekuatan militer di Jambi jika dianggap perlu. Perjanjian ini

mengindikasikan Belanda tidak hanya mempunyai kepentingan dagang

di Pantai Timur Jambi namun ingin menjajah daerah Jambi. Berlanjut

tanggal 15 Desember 1834, pemerintah Belanda melalui Residen

Palembang Practonis, memperluas perjanjian karena khawatir monopoli

perdagangan dikuasai atau diganggu oleh pengusaha Inggris, Portugis

dan Amerika, yang juga mempunyai kepentingan dagang di daerah

Pantai Timur sebagai penghasil rempah. Bahkan Amerika Serikat tahun

1851 mengirim kapal Flirt, di bawah komando Walter Gibson berhasil

memprovokasi Sultan Nazaruddin melawan Belanda meski akhirnya

gagal. Ibid., 5; Anonim, Kementerian Penerangan Republik Indonesia No.

11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954, 70–74. 138Gelar Saifuddin (pedang agama) diberikan kepada Sultan Thaha

oleh Sultan Aceh karena tekad dan ketekunannya menggali ilmu

pengetahuan dan keterampilan perang, setelah ayahandanya Sultan

Muhammad Fachruddin mengirimnya ke Aceh untuk menuntut ilmu.

Sultan Thaha juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasanya

membela bangsa dan negara berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI

No. 079/TK/1977 tertanggal 24 Oktober 1977. Lihat Junaidi T. Noor,

Mencari Jejak ..., 133.-141.

Page 100: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

91

dinamai garis politik etis.139 Perubahan fundamental

kebijakan politik yang sebelumnya mengedepankan konplik

militer melalui kontak senjata dialihkan menjadi ideologis-

etis, strategi Snouck Hurgronye dengan mengklasifikasikan

aktivitas ajaran Islam kepada tiga bentuk, yaitu;

keagamaan murni (ibâdah), kemasyarakatan (mu‘âmalah)

dan politik (siyâsah).

Oleh karenanya, nasihat Snouck Hurgronye kepada

pemerintahan Belanda terkait dengan persoalan ibâdah,

pemerintah jangan melakukan intervensi, terkait persoalan

mu‘âmalah pemerintah harus mendorong dan memberikan

fasilitas sesuai kebutuhan warga pribumi, sedangkan

terkait persoalan politik pemerintah harus bersikap tegas.

Selain itu, konversi pendekatan militer menuju pendekatan

sosio-kultural bertujuan mengambil hati rakyat agar merasa

nyaman dengan keberadaan dan peraturan pemerintahan

Belanda serta tidak melakukan gerakan yang dapat

mengganggu stabilitas politik. Gagasan ini diprediksi

menjadi referensi bagi pemerintah Hindia Belanda untuk

mempertahankan kekuasaannya di Nusantara. Kebijakan

ini juga berimbas ke Jambi ketika itu yang sedang gencar

melakukan gerakan perlawanan dipimpin kalangan

bangsawan dan ulama.140

139Cristian Snouck Hurgronye, Islam di Hindia Belanda, terj. S.

Gunawan, Judul asli tulisan ini De Islam in Nederlandsch Indie, Terbit

dalam ―Groote Godsdiensten‖, (Jakarta: Bhatara, 1973), Seri II, No. IX, 8-

9. 140Empat orang ulama yang mendukung gerakan perlawanan

terhadap kolonial yaitu; Guru Ibrahim, Guru Ahmad, Guru Usman dan

Guru Kms. H. M. Shaleh, semuanya murid Guru K.H. Abd. Majid Bin H.

M. Yusuf Keramat (1893 M). Guru K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf

Keramat adalah guru Sultan Thaha Saifuddin dan ulama besar yang

populer dan paling berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam ke

seluruh pelosok Jambi. Sebegitu besar pengaruhnya, sehingga ketika

menunaikan ibadah Haji Belanda melakukan pencekalan agar ia tidak

lagi kembali ke Jambi. Usaha Belanda berhasil dan akhirnya beliau

menetap di Mekkah dan menjadi guru pada salah satu serambi Masjidil

Harâm. Guru. H. Abd. Majid menjadi warga Mekkah, sambil mengajar

agama Islam dan melayani Umat Islam utamanya jama‘ah haji dari

Jambi. Lihat Syamsir Salam, Perukunan Tsamaratul Insan Sebagai

Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi, (Jakarta:

Badan Litbang Departemen Agama RI, 1979), 12.

Page 101: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

92

Tak lama kemudian, efek gerakan nasional di Jambi

memunculkan Gerakan Sarekat Islam (S.I) di bawah

pimpinan Roni bin Akib, yang terpolarisasi menjadi dua

yaitu; Kota dan Uluan.141 Sarekat Kota merupakan

refresentasi mayoritas pendatang yang tidak mempunyai

lahan pertanian dan bisnis mereka bergantung pada

perekonomian pasar, yang dikuasai China sebagai investor

(pemodal) dan Belanda sebagai penguasa. Sedangkan

gerakan Uluan merupakan refresentasi petani dan mantan

pengikut setia Sultan Thaha, sebagai bentuk protes

terhadap peraturan Belanda yang dianggap diskriminatif,

utamanya dalam penguasaan atas tanah. Selain itu,

gerakan ini dimanfaatkan pengikut setia Sultan Thaha yang

kalah untuk kembali menegakkan kesultanan Jambi.

Menyikapi kondisi ini dan sebagai upaya menghindari

gejolak sosial atau perang antara Belanda dan penduduk

pribumi. Pemerintah Belanda meminta nasihat Snouck

Hurgronye, akhirnya ia berhasil memetakan organisasi ini

sesuai misi yang diemban.142

Kedua gerakan dipolarisasi menjadi dua yaitu; Kota

dan Uluan. Gerakan Kota, cenderung bergerak pada bidang

doktrinasi dan pendidikan, harus dicermati secara serius

bentuk doktrinasi yang dikembangkan. Sedangkan gerakan

uluan, cenderung pada bidang politik sehingga harus

dihadapi dengan kekuatan militer. Selain itu, Belanda juga

berhasil dengan mudah membenturkan dua sistem yang

berkembang di kalangan umat Islam, yaitu Islam ortodok

dan Islam modern. Islam ortodok didukung warga pribumi,

sedangkan Islam Modern didukung pendatang dari Jawa

dan Minangkabau.143 Pihak Belanda menilai bahwa

141Jang A. Muttalib, Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan

Sosial di Jambi Pada Perempat Pertama Abad ke 20 Prisma, 1980, 77. 142Hurgronye, Islam ..., 359 – 392. 143Pola yang diterapkan Belanda dalam upaya mengorganisir

sekaligus membuat konflik antar keduanya dengan memberikan

kesempatan kepada Sarekat Islam Kota mengorganisir internal

organisasi agar tidak berbentuk disfuse, sehingga sulit dikendalikan.

Untuk itu, Belanda menerbitkan izin untuk perukunan Tsamaratul

Insan, yayasan sosial yang seluruh pengurus dan anggotanya adalah

Page 102: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

93

organisasi ini memungkinkan menjadi penyeimbang

sekaligus kontra produktif atas aktivitas Sarekat Kota,

melalui politik devide et impera-nya Belanda benturkan

kedua gerakan sehingga dengan mudah terjadi konplik.144

Langkah awal dengan menciptakan sistem dan

struktur ekonomi yang memposisikan kelompok pribumi-

pendatang sebagai kelompok ketiga dalam struktur

masyarakat. Slogan perbaikan sektor ekonomi pribumi yang

digaungkan oleh Sarekat Islam mendapat sambutan baik

kelompok ini, sehingga terbentuklah dua kekuatan sosial,

harapan pemerintah Belanda terjadi konflik di antara kedua

kubu, dan Belanda menjadi mediator atau arbitrase.145 Pola

managemen konflik tersebut untuk menghindari munculnya

ledakan sosial dalam bentuk violence, sehingga benturan

yang terjadi antara kelompok Kota dengan kelompok

Tsamaratul Insan, hanya berkisar pada tata nilai dan

sistem nilai yang dikembangkan oleh faksi masing-

masing.146 Sedangkan langkah menghadapi Sarekat Islam

Uluan, yang diklaim sebagai organisasi radikal dan fanatik,

tidak ada pilihan lain kecuali dengan kekuatan militer.

Mengingat kelompok ini sering melakukan penyerangan di

beberapa pusat militer Belanda.147

warga asli daerah Jambi dari kalangan Islam ortodok. Lihat Samsir

Salam, Perukunan Tsamaratul Insan ..., 25-26. 144Organisasi ini berdiri pada tahun 1914, atas persetujuan

pemerintah Belanda, SK nomor 1636 tanggal 10 September 1915, yang

dipimpin oleh H. A. Shomad bin H. Ibrahim H. A. Madjid, Kemas H. M.

Sholeh bin H. M. Yasin, H. Ahmad bin H. Sjakur dan H. Usman bin H. M.

Ali. Ibid. 145Nasrun, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial di

Indonesia, (Yogyakarta: Fak. Sospol UGM, 1974), 26-29. 146Berikutnya beberapa penyerangan ke pusat pemerintahan

Belanda di antaranya; penyerangan ke pusat pemerintahan di Muara

Tembesi tanggal 26 Agustus 1916, di Sarolangun tanggal 31 Agustus 1916

menewaskan Controleur Water dan pengawalnya. Berlanjut penyerangan

ke Muaro Tebo tanggal 12 September 1916, dan kembali berlanjut

penyerangan ke Bangko tanggal 11 September 1916. Anehnya,

keseluruhan daerah basis Sarekat Abang (SA) merupakan basis pengikut

Sultan Thaha Saifuddin. Muttalib, Suatu Tinjauan ..., 98. 147Ada lima daerah terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan

oleh Belanda yaitu; Aceh (1914), Nias (1914), Bali (1908), Tapanuli (1907),

Page 103: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

94

Menurut Jang A. Muttalib, pergerakan rakyat Jambi

terpolarisasi menjadi dua gerakan kekuasaan dan

messianistis. Gerakan yang murni mempertahankan

wilayah dan kekuasaan sejak abad ke-2 M. sampai abad ke-

19 dan gerakan pada abad ke-20 utamanya pada perempat

abad ke-20, baik di Jambi maupun pedalaman Palembang

melawan Belanda mengandung unsur Messianistis.148

Berbeda dengan Syamsir Salam, menurutnya tidak semua

perlawanan di Jambi dikategorikan sebagai Messianistis.

Perbedaan ini didasarkan perbedaan rentang waktu

peristiwa, Jang A. Muttalib menandai sejak perempat abad

ke-20, sedangkan Syamsir Salam sejak pembatalan

perjanjian oleh Sultan Thaha Tahun 1855 sampai dengan

1907.

Selanjutnya, sejak kedatangan Islam kerajaan

Melayu Jambi menjadi kuat dan sulit ditaklukkan oleh

kerajaan lain sekitarnya sampai kedatangan Belanda.

Perjuangan Belanda yang panjang dan menelan banyak

korban dalam menaklukkan Jambi tidak membuat

masyarakat Jambi menyerah begitu saja hingga pemimpin

mereka dari kalangan penguasa dan bangsawan gugur.

Bahkan para pejuang Jambi sanggup mengorbankan simbol-

simbol kekuasaan mereka untuk mempertahankan tanah

air.

Aspek Budaya

Dari aspek budaya (kultural), masyarakat Melayu Jambi

mempunyai budaya tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan

budaya lainnya, mengingat setiap kelompok masyarakat

memiliki identitas dan ciri khas tersendiri, baik itu

pengetahuan, norma maupun nilai budaya. Pengetahuan

dan nilai tersebut dijadikan pedoman dalam mensiasati pola

hidup, tutur dan tindak tidak hanya terkait dengan hal yang

dianggap penting dan berharga dalam hidup, begitu pula

sebaliknya. Selain itu, juga berfungsi sebagai pendorong

dan Jambi (1904). Sumber htttp. ―lima daerah terkuat di Indonesia yang

sulit ditaklukkan Belanda‖, diakses tanggal 10 Juli 2016. 148Samsir Salam, Perukunan Tsamaratul ..., 12.

Page 104: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

95

kelakuan manusia yang hidup dan membentuk siklus

kehidupan masyarakat sebagai suatu sistem dan tata nilai.

Di antara budaya masyarakat Melayu Jambi yaitu

ketika penyampaian pesan atau nasehat menggunakan

seloka adat. Seloka adalah ungkapan tradisional yang

mewarnai kultur masyarakat, sebagai bagian dari tradisi

lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk

tutur kata.149 Seloka adat Jambi merupakan ungkapan yang

mengandung pesan, amanat, petuah, atau nasehat yang

bernilai etik dan moral adat masyarakat Melayu Jambi.

Pesan yang terkandung di dalamnya berupa ungkapan yang

jelas maupun analogi sebagai tradisi masyarakat sehari-hari

sebagai pengokoh nilai-nilai dan norma-norma.150

Menurut Datuk Junaidi T Noer, seloka sebagai

memori kolektif tradisi tutur bijak masyarakat Melayu

Jambi.151 Seloka merupakan bagian dari nilai budaya

149Ada tujuh kategori seloka, yaitu; 1) Hukum Adat, 2) Perkawinan,

3) Kepemimpinan, 4) Perbuatan Buruk, 5) Kehidupan Bermasyarakat, 6)

Kewajiban Diri Sendiri, dan 7) Kehidupan Keluarga. Kultur ini masih

dapat dipertahankan oleh masyarakat Melayu Jambi hingga saat ini,

meski terjadi pergeseran imbas dari pengaruh budaya asing. 150Pada beberapa daerah penggunaan istilah ini bervariasi, seperti;

masyarakat Jawa menggunakan istilah seloka, dan masyarakat

Minangkabau menggunakan istilah petatah petitih. Dalam sastra Melayu

klasik, seloko termasuk jenis puisi yang berisi pepatah atau

perumpamaan yang mengandung olok-olok, ejekan, senda gurau, dan

sindiran. Biasanya seloka ditulis dalam empat baris dengan memakai

bentuk pantun atau syair, tetapi juga sering ditulis kurang atau lebih

dari empat baris. Menurut Hawkes seloka adalah kisah berisi petuah

dan amanat yang disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-

temurun tanpa diketahui siapa pengarangnya. Ajaran, petuah, dan pesan-

pesan itu disampaikan dengan bahasa rakyat. Lihat Terence Hawkes,

Structuralism and Semiotics, (Canada: Routledge, 2003), 104. 151Masyarakat Melayu Jambi menggunakan dialek yang sedikit

berbeda dalam pengungkapan kata berakhiran huruf ‗a‘. Jika mayoritas

masyarakat Melayu lain menggunakan ‗e‘, maka masyarakat Melayu

Jambi menggunakan huruf akhiran ‗o‘, seperti; apa menjadi ‗ape: apo‘,

kemana menjadi ‗kemane:kemano‘, paduka berhala menjadi ‗paduke

berhale;paduko berhalo‘ dan sebagainya. Sedangkan dalam

pengungkapan pesan moral mereka menggunakan seloka, adagium atau

slogan, contoh seloka Jambi ― Apabila berjalan memakai Tongkat,

takkan terasa Lelah dan Penat, apabila iman sudah Melekat, takkan

susah Dunia dan Akhirat: apabila halaman sudah di Sapu, tidakkan ada

Page 105: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

96

masyarakat Jambi yang mencerminkan pandangan hidup

(way of life), seperti; nilai religiuitas, nilai etik (moral) dan

nilai sosial. Nilai-nilai yang meliputi kaidah-kaidah, pranata

sosial dan tingkah laku yang diasumsikan sesuatu benar

dan pantas oleh masyarakat. Oleh karenanya, seloka Jambi

dipersepsikan bagian dari ayat Allah yang keluar dari lisan

orang Jambi. Karena apa yang disampaikan melalui seloka

dapat menyentuh dan menyadarkan orang lain. Mereka

yang menyimaknya akan mengerti kenapa ini diucapkan

tanpa ada perasaan tersinggung atau sakit hati.

Selain itu, salah satu budaya yang merupakan

identitas masyarakat Melayu Jambi adalah cuci kampung,

sebuah tradisi untuk membersihkan sebuah wilayah

(kampung) dari kotoran setelah terjadi perbuatan asusila

atau perbuatan mesum, tidak senonoh, atau amoral. Secara

umum cuci kampung dikenakan bagi siapa saja yang

melanggar larang pantang, tindak perdata maupun tindak

pidana adat. Praktiknya melalui doa bersama agar

terhindar dari bala dan malapetaka serta pelaksanaannya di

atas bumi sebagai simbol pembersihan bumi yang tercemar

karena perilaku manusia. Denda adat yang dikenakan

untuk mencuci kampung berupa 2 ekor ayam, 1 ekor

kambing, atau 1 ekor kerbau. Kambing adalah batasan yang

boleh dilakukan oleh nenek mamak. Sementara bila

melebihi kambing harus dengan putusan raja.152 Boleh jadi

pada kasus tertentu dikenakan denda melebihi kambing.

Contohnya, peristiwa dalam lingkup menikam bumi,

Sampah dan Debu, apabila iman sudah Menyatu, tentulah hilang

Bimbang dan Ragu; Ulat bulu dibatang Pisang, kena bulunya terasa

Miang, Nasehat guru dikenang-kenang, supaya hidup tiada Terbuang;

Mengail di Tanjung menjala di Pantai, bila mendapat makan Beramai,

Keadilan dijunjung Kebenaran dipakai, Dunia akhirat aman dan damai;

Bekato merendah rendah, mandi dibawah-bawah, bekato dulu sepatah,

bejalan dulu selangkah, rajo alim rajo disembah, rajo zalim rajo

disanggah, menyanggah rajo dengan undang, menyanggah alim dengan

kitab. Kota la Jambi dilintas sungai, Sungai benamo si Batanghari,

Baikla budi elok perangai, dimano-mano orang kasihi; Asal kapas

menjadi benang, Benang di tenun menjadi kain, Kasih yang lepas jangan

dikenang, sudah menjadi si orang lain.‖. 152Wawancara, Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jambi, 12

Mei 2015.

Page 106: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

97

mencarak telur, bersunting bungo setangkai, dan mandi di

pancuran gading. Atau peristiwa orang yang dituakan dan

dihormati di kampung, seperti imam mesjid melakukan

zina, maka hukumannya berupa 1 ekor kerbau, 100 gantang

beras dan diusir dari kampung. Hukumannya menjadi lebih

berat karena kampung menjadi sangat tercemar oleh karena

perilaku manusia yang menyerupai perilaku hewan. Orang

tua belaku budak, orang besak belaku kecik. Pelaku

dihukum seberat-beratnya. Sementara bila bujang gadis

hanya‘ didenda 1 ekor kambing, 20 gantang beras dan

dinikahkan.

Namun demikian, saat ini karena beralasan maksud

memudahkan tradisi cuci kampung diganti dengan uang

yang besarannya tergantung pada harga denda dan

perundingan serta batas kemampuan pihak yang didenda.

Uang dimasukkan ke dalam kas RT/kampung atau

diserahkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti

panti asuhan. Selain dalam persoalan denda, cuci kampung

juga memiliki perbedaan dalam hal perkara yang dikenakan

cuci kampung. Umumnya, perkara yang dikenakan denda

adalah perkara-perkara hubungan laki- laki dan perempuan

yang menjurus pada perzinaan atau perzinaan itu sendiri.

Padahal sebenarnya, cuci kampung juga dapat dilakukan

untuk semua bentuk kerusuhan, contoh, untuk

mendamaikan dua kelompok pemuda yang berkelahi atau

kasus pembunuhan.

Setelah denda dikenakan, maka yang paling penting

dalam tradisi cuci kampung adalah menanggulangi resiko

yang ditanggung oleh pihak korban, dan

mempersaudarakan antara pelaku dan korban. Lebam balu

ditepung tawar, luka lukih dipampas, mati dibangun. Luka

dipampas, bukan sekadar didamaikan dengan kambing,

namun juga pihak korban diobati hingga sembuh dan segala

kerugian diganti. Mati dibangun, maka dalam hal ini ruh

korbannya yang dibangunkan dalam bentuk ikut membantu

keluarga korban sehingga seakan-akan korban masih tetap

hidup.

Selanjutnya, sebagai bagian dari kebudayaan melayu

digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak

Page 107: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

98

perkotaan dan didominasi aktivitas perdagangan dan

kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang relasi Islam dan

Melayu dijumpai melalui makam-makam kuno bertulis

huruf Arab dan huruf daerah tentang ketokohan penguasa

dan bangsawan Melayu di berbagai wilayah Nusantara.

Fenomena legitimasi raja-raja Melayu Islam ini

mengindikasikan Islam menjadi bagian integral dari

kehidupan masyarakat Melayu.

Tak dapat dipungkiri, Islam memberi pengaruh amat

besar terhadap budaya pikir dan tindak serta kepribadian

masyarakat Melayu Jambi sehingga menjadi lebih arif,

toleran dan berkualitas. Pengaruh tersebut dapat dilihat

dari tiga aspek, yaitu; pertama, aspek bahasa, pengaruh

Islam pada budaya melayu seperti dipergunakannya aksara

Arab-melayu, Arab Gundul, pada literatur dan karya tulis

tentang kerajaan dan perdaban Melayu Jambi. Kedua, aspek

kesenian, masyarakat Jambi banyak mengadopsi kesenian

yang bernuansa Islami seperti; Zapin (Gambus), Qasidah,

burdah, kompangan, barzanji nazam dan Diba‘. Ketiga,

adat, suatu tradisi berpegang teguh pada falsafah―Adat

bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖. Ketentuan-

ketentuan adat yang bertentangan dengan syarak tak boleh

dipakai, syaraklah yang dominan karena dianggap memiliki

sandaran yang kuat yaitu al-Qur‘an dan Sunnah.153

Sejak saat itu, Islam memberi warna terhadap adat

sehingga melahirkan stereotipe kultural Islam-Melayu,

Melayu-Islam. Bahkan, Islam dan melayu menjadi dua kata

yang sering dan harus berjalan beriringan; Islam menjadi

bagian integral kehidupan masyarakat melayu, sebaliknya

masyarakat melayu juga menjadi identik dengan Islam.

Keduanya mengakar di kalangan masyarakat Melayu,

sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam dengan

sendirinya nilai Islami termanifestasi dalam kehidupan dan

perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam

mengekspresikan gagasan-gagasan sosial-politik, seperti

konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa

153Muhammad Yusrizal, Pola Sistem Pemerintahan Melayu.

Diakses 20 September 2016.

Page 108: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

99

dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah

sosial-politik.154

Dengan demikian, dari perspektif budaya identitas

Melayu Jambi ditentukan oleh tiga aspek, yaitu; berbahasa

melayu, beradat- istiadat melayu, dan beragama Islam. Atas

dasar itu, masyarakat Melayu nusantara dipersatukan oleh

adanya kerajaan-kerajaan melayu pada masa lampau.

Kebesaran kerajaan-kerajaan melayu telah meninggalkan

tradisi-tradisi dan simbol-simbol kebudayaan melayu yang

menyelimuti berbagai suasana kehidupan hampir sebagian

besar masyarakat wilayah kepulauan tersebut. Kerajaan-

kerajaan besar melayu tidak hanya terkonsentrasi di Pulau

Sumatera, namun penyebarannya mencapai sebagian besar

wilayah Nusantara.

Hal ini memungkinkan karena beberapa penguasa

beserta pengikutnya melarikan diri yang dipicu oleh

berbagai faktor, dan selanjutnya mendirikan kerajaan

Melayu baru di daerah lain. Simbol-simbol kebudayaan

Melayu digunakan dalam upaya menjembatani berbagai

suku bangsa dan golongan etnis yang berbeda sehingga

saling berinteraksi melalui bahasa dan etika Melayu.

Dengan kata lain, kebudayaan Melayu Jambi memiliki ciri-

ciri utama yang bersifat fungsional dan inklusif dalam

mengakomodasi perbedaan rasial, etnik dan agama.

Budaya inilah yang merupakan sebagian kecil dari

identitas budaya masyarakat Melayu Jambi yang masih

berlaku, tidak menutup kemungkinan terjadi perkembangan

atau pergeseran seiring dengan perkembangan zaman.

Meski mayoritas masyarakat Jambi muslim, namun

khazanah adat tetap terjaga dan menjadi bagian tak

terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

154Iswara N. Raditya, Menyoal (Kembali)―Dwitunggal‖, Islam dan

Melayu. Dunia Melayu Sedunia, Diakses 20 September 2016.

Page 109: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

100

5. Kontekstualisasi Adat dan Syarak

dalam Tradisi Masyarakat Melayu

Jambi

Syarak diformulasikan sebagai sekumpulan aturan agama

yang mengatur perilaku kehidupan kaum Muslim dalam

segala aspeknya individual maupun kolektif, seringkali

bertransformasi dari yang awalnya abstrak menuju yang

bersifat kongkret. Sementara adat sebagai seperangkat

aturan yang berlaku di masyakarat dalam waktu dan

tempat tertentu, namun terkadang tidak sesuai

diberlakukan oleh masyarakat di waktu dan tempat yang

berbeda.

Transformasi ini seringkali melalui proses saling

beradaptasi, beraktualisasi, dan bersinkronisasi antara

syarak dengan adat. Pada titik inilah terjadi dinamika

syarak antara nilai-nilai tsubut (konstan) dan murûnah

(fleksibel) sesuai kebutuhan zaman. Syarak dituntut selalu

adaptif dan menerima nilai-nilai baru dari masyarakat

secara kontekstual, mengingat syarak merupakan

seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan

Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui

dan diyakini mengikat seluruh umat muslim. Pada bab ini

penulis mengelaborasi kontekstualisasi adat dan syarak

dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi.

A. Pemberlakuan Aturan Adat Melayu Jambi

Pergulatan aturan ketetapan syarak dengan aturan

ketetapan adat dinegosiasikan sedemikian rupa melahirkan

Page 110: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

101

konfigurasi Undang Adat Jambi yang dikodifikasi melalui

keputusan Ahmad Kamil, raja kerajaan Islam Melayu Jambi

ketika itu. Sebagaimana aturan hukum lainnya, Undang

Adat Jambi memiliki falsafah, sumber, teks, institusi dan

teknis operasional tersendiri. Falsafah Undang Adat Jambi

adalah Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,

meskipun sebelumnya telah ada falsafah adat bersendi ke

alur dengan patut, alur bersendi ke mufakat, mufakat

bersendi ke kebenaran.

Konsep ini jika sejalan dengan pemikiran hukum

Socrates sebagaimana dikutip Bernard L. Tanya,

menurutnya hukum adalah tatanan kebajikan, sejatinya

hukum membuat usernya aman dan damai sejalan dengan

tujuan hidup manusia yaitu meraih kebahagiaan

(eudaimonia).155 Tangga menggapai kebahagiaan

(kesempurnaan jiwa) itu adalah kemampuan membedakan

mana yang baik dan buruk (arete) dan melakukan kebajikan

(virtue).156

Adapun sumber adat Melayu Jambi yaitu pucuk

undang lima,terdiri dari: Titian teras bertanggo batu;

Cermin nan idak kabur; Lantak nan idak goyah, kaping idak

tagenso; Kato mupakat dan Dak lapuk dek hujan dak lekang

dek panas.157 Secara spesifik menurut Junaidi T. Noer:158

155Dalam konsepsi Islam tujuan hidup manusia menggapai

kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Q.S. al-Baqarah [2]: 201-202. 156Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, (Yo gyakarta: Genta Publishing, 2013), 28. 157Menurut Zevenbergen sumber hukum merupakan sumber

terjadinya hukum. Pada hakekatnya sumber hukum secara konvensional

dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal.

Menurut Utrecht sumber hukum materil yaitu perasaan hukum

(keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang

menjadi determinan materil membentuk hukum, menentukan isi dari

hukum, sedangkan sumber hukum formil, yaitu menjadi determinan

formil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming),

menentukan berlakunya dari hukum. Sumber hukum formil antara lain:

Undang-Undang, Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam

keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi,

dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrina). Lihat E. Utrecht/Moh.

Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: 1989,

Djambatan), 84-85. 158Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.

Page 111: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

102

―Sumber atau sokoguru masyarakat Melayu Jambi adalah

lima Pucuk Undang atau lima undang-undang dasar.

Pertama, Titian teras bertanggo batu, yaitu segala syariat

Islam yang bersumber dari al-Qur‘an dan Hadits; Kedua,

Cermin nan idak kabur, yaitu ketentuan hukum adat yang

ada sejak dahulu dan dijadikan tradisi oleh masyarakat

setempat tidak boleh diubah; Ketiga, Lantak nan idak

goyah, kaping idak tagenso, yaitu ketentuan hukum adat

yang ada dari dulu harus dipelihara, jika diubah terjadi

kekacauan (chaos) sehingga harus dipelihara seoptimal

mungkin; Keempat, Kato mupakat, yaitu keputusan harus

melalui musyawarah adat. Kelima, Dak lapuk dek hujan

dak lekang dek panas, yaitu keputusan yang telah

disepakati melalui musyawarah harus dipatuhi dan

menjadi tanggung jawab bersama.‖

Sumber inilah sebagai dasar pijak (uşûl al-mazhab)

forum tiga tali sepilin dalam pengambilan setiap keputusan

melalui presidium kerapatan adat. Selanjutnya adat

terpolarisasi kepada empat kategori, yaitu; Adat Sebenar

Adat, Adat yang Diadatkan, Adat nan Teradat, dan Adat

Istiadat.159 Tidak dijumpai alasan kenapa dan kapan

159Pertama, Adat Sebenar Adat, aturan yang berhubungan dengan

persoalan; ibadah, bisnis (muâmalah), perdata (akhwâl al-syahsiyyah),

pidana (jinâyah), keluarga (munâkahât), dan ketatanegaraan (siyâsah).

Kesemuanya merujuk pada al-Qur‘an dan Hadits serta hasil ijtihad ulama

‗ahl Sunnah wa al-Jamâ‘ah; Kedua, Adat yang Diadatkan, aturan yang

bersumber dari budaya manusia dan ditetapkan menjadi hukum Adat

pada kasus pidana, perdata, dan tata negara sesuai keinginan

masyarakat adat. Seperti sanksi pembunuhan, penganiayaan, pencurian,

zina, dan model perdamaian antara pelaku dan korban; Ketiga, Adat nan

Teradat, aturan yang bersumber dari budaya suatu tempat atau daerah,

diubah hanya melalui musyawarah karena dianggap tidak relevan dengan

situasi dan kondisi. Contoh, sebelum menikah harus ada acara seremonial

pertunangan (letak tando) agar kepala desa dan ketua adat mau hadir

pada saat pesta pengantin. Aturan ini dapat berubah sesuai dengan

kesepakatan pengurus adat; dan Keempat, Adat Istiadat, aturan tradisi

warisan nenek moyang, contoh, setiap akan membaca doa pada acara

seremonial selamatan, kematian dan lainnya diawali dengan membakar

kemenyan. Tradisi ini dapat berubah kapanpun bergantung pada

keinginan masyarakat sebagai adresat hukum, termasuk meningkatkan

klasifikasi adat seperti peningkatan status adat istiadat atau adat nan

teradat naik levelnya menjadi adat yang diadatkan melalui. Hanya saja

Page 112: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

103

terjadinya polarisasi adat tersebut, oleh karenanya saling

klaim dan polemik tak terhindarkan. Versi Jambi, menurut

Sulaiman Abdullah dan Junaidi T. Noer polarisasi adat

munculnya bersamaan dengan kemunculan falsafah adat

meski penerapannya berawal dari wilayah Jambi bagian

Hilir.160 Setelah ekspansi kerajaan Islam Melayu Jambi ke

wilayah Barat pemberlakuan falsafah merata ke seluruh

wilayah kerajaan, meskipun pada beberapa kasus

penerapannya berbeda antara Barat/Hulu dan Timur/Hilir.

Versi Minangkabau, menurut Taufik Abdullah dan

Ramayulis polarisasi adat muncul bersamaan lahirnya

Traktat Marapalam.161

Terlepas dari itu, menurut penulis asumsi mengenai

polarisasi adat dipetakan menjadi dua berdasarkan

kronologisnya. Pertama, masa kerajaan Melayu

sebagaimana klaim masyarakat Melayu Jambi bahwa

falsafah dan polarisasi adat lahir sejak abad ke-15. Kedua,

masa kolonial Belanda sebagaimana klaim masyarakat

Melayu Minangkabau yang memungkinkan dua hal. Satu

sisi sebagai strategi umat Islam Minangkabau menghadapi

politik Belanda yang hanya mengakui keberadaan adat

sehingga disiasati agar Belanda tetap mengakui keberadaan

syarak melalui polarisasi adat. Di sisi lain, justru sebagai

strategi pemerintah Belanda yang menghendaki

pemberlakuan hukum mereka dan upaya mengkerdilkan

syarak sehingga yang mengemuka hanyalah adat bukan

syarak. Disinilah entitas adat semakin kelihatan jelas,

sebaliknya eksistensi syarak justru menjadi ―redup‖.

Secara substantif polarisasi adat sebagai upaya

memilah mana ruang hukum universal, konstan dan harus

perubahan status tersebut melalui kerapatan adat manakala dianggap

urgen. Lihat Sulaiman Abdullah, Agama ..., 5; Herman Basyir, Mengenal

Adat Budaya Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, (Jambi: LAM

Provinsi Jambi, 2005), 10-12.. 160Wawancara, Ketua MUI dan Ketua Lembaga Adat Melayu

Jambi, 21 Mei – 13 Juni 2015. 161Ramayulis, Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘- Syara‘

Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan

Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau –

Sumatera Barat), 3, diakses tanggal 21 Januari 2017.

Page 113: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

104

dipatuhi, dan mana ruang hukum lokalistik, fleksibel dan

boleh diabaikan. Aturan syarak dengan adat

dikompromikan sehingga lahirlah Undang Adat Jambi dan

Undang Kerajaan Islam Melayu Jambi, negara ketika itu,

yang dikodifikasi oleh Ahmad Kamil.162 Pada masa itu

hukum didominasi oleh syariat Islam, berbeda dengan masa

kolonial Belanda dimana hukum yang ada lebih didominasi

hukum Belanda utamanya hukum Pidana sehingga undang

adat Jambi mulai termarginalkan dan hanya dipahami oleh

tokoh adat. Setelah dihidupkannya kembali lembaga adat,

Undang Adat Jambi kembali dikumpulkan dan

disosialisasikan kepada masyarakat. Materi pokoknya

dalam Undang Duapuluh, terpolarisasi menjadi dua yaitu;

Undang Delapan (Induk Undang) dan Undang Duabelas

(Anak Undang). Polarisasi ini untuk menentukan sanksi

bagi pelaku, menetapkan nama atau tingkatan kesalahan

dan menentukan kompensasi yang patut diterima pihak

korban, yang dijabarkan dalam aturan lain sesuai domain,

motivasi dan bentuk pelanggaran.163

162Undang Adat Jambi termuat dalam Hukum Adat kabupaten/kota

mencakup adat istiadat, asas berlakunya hukum adat, hukum

kekerabatan, undang-undang adat, undang-undang hukum tentang adat,

bayyinah, ikrar, sumpah, waris dan bentuk perceraian. Aturan pokok adat

termuat dalam undang duapuluh, yang dipolarisasikan menjadi dua

yaitu; Pucuk Undang Delapan dan Anak Undang Duabelas. Namun

keduanya mengatur bentuk kejahatan (hukum publik) dan tata tertib

masyarakat yang berkaitan dengan paranata ekonomi (hukum

privat/sipil). Sedangkan Undang raja, yaitu peraturan yang ditetapkan

oleh raja yang berlaku bagi seluruh rakyat kerajaan, seperti delapan

ketetapan Raja Ahmad Kamil, mengenai ―larang pantang‖ bagi rakyat

Jambi, yaitu: pertama, Menikam Bumi, yaitu seorang anak laki-laki

berzina dengan ibu kandungnya; Kedua, Mencarak Telur, yaitu seorang

bapak menzinai anak kandungnya; Ketiga, Besunting Bungo Setangkai,

yaitu berzina dengan saudara kandungnya; Keempat Mandi di Pancuran

Gading, yaitu berzina dengan istri raja, atasan atau pejabat; Kelima,

Nutuh Kepayang Nubo Tepian, yaitu merusak fasilitas umum berupa;

pohon, air, atau sumber alam lainnya. Lihat Azra‘i Basyari, Adat Budaya

Jambi, (Jambi: LAM, 2005), 6-7. 163Aturan adat dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi berbeda

dengan tradisi Minangkabau, di Minangkabau mencakup empat bentuk

susunan nagari, yaitu; teratak, dusun, koto dan nagari. Empat bentuk

kata, yaitu; kata pusaka, kata mupakat, kata dahulu dan kata kemudian.

Page 114: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

105

Ketika mengelaborasi Undang Duapuluh, penulis

menambahkan contoh terkini agar pembaca memahami

kasus berikut contohnya.164 Undang Delapan terdiri dari:

Pertama, Dago Dagi. Dago yaitu kesalahan seseorang atau

sekelompok orang terhadap negeri (pemerintah), sementara

Dagi, yaitu kesalahan individu atau kelompok yang

memfitnah orang lain dan mengakibatkan terjadinya konflik

antar kelompok masyarakat, seperti konflik Ambon, Poso,

Sampit, Teroris Amrozi, Azhari Cs dan sebagainya.

Kedua, Sumbang Salah. Sumbang yaitu perbuatan

menurut penilaian umum masuk kategori perbuatan tercela,

seperti, pergaulan yang tidak etis antara laki-laki dan

perempuan bukan muhrim (ajnabi), dalam seloka adat

―tegak baduo-duo, bagandeng duo di tempat sepi, tegak

menanti lengah, duduk menunggu sepi. Perbuatan yang

dinilai tidak pantas dan lazim dalam pandangan

masyarakat setempat, satu kali melanggar dinamakan

sumbang dan kali dua kali pelaku mendapat tegur sapo dari

pemangku adat. Namun jika berulang kali menurut Amin

Khudori hukumnya berubah menjadi salah, pelaku

dikenakan sanksi cuci kampung.165

Sedangkan pada kasus perselingkuhan antara

perempuan dan lelaki lajang atau perselingkuhan antara

perempuan bersuami menurut Datuk Tabroni, M.Pd.I sanksi

adatnya berbeda:166

Empat tingkat adat, yaitu; adat yang sebana adat, adat yang diadatkan,

adat yang teradat dan adat istiadat. Empat bentuk hukum, yaitu; hukum

ilmu, hukum bayyinah (sumpah), hukum qarinah dan hukum

perdamaian. Empat bentuk undang-undang, yaitu; undang-undang luhak

dan rantau, undang-undang nagari, undang-undang dalam nagari dan

undang-undang duapuluh. Sistem kekerabatan, perkawinan, kewarisan

dan tanggung jawab terhadap ke keponakan, lihat Idrus Hakimi,

Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1991), 106-107. 164Azra‘i Basyari, Adat Budaya ..., 8-10; Fathuddin Abdi, dkk.,

Undang-undang ..., 7. 165Wawancara, Ketua Lembaga Adat Desa Rambutan Masam

Kabupaten Batanghari, 10 Mei 2015. 166Wawancara, Ketua Lembaga Adat Sungai Duren Jambi, 15 April

2015.

Page 115: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

106

―Jika terjadi perselingkuhan antara lelaki baik bujang,

duda atau beristeri dengan perempuan bersuami, maka

suami dapat mengajukan gugatan atas isterinya

dilengkapi bukti ke peradilan adat dan minta kepada

sidang adat menghukum isteri dan lelaki selingkuhannya.

Berdasarkan aturan adat mereka harus menjalani

persidangan dan jika terbukti maka peradilan adat

menghukum si istri dan lelaki selingkuhannya. Bagi isteri

dibebani biaya membayar tebus talak (‗iwadh) dan diusir

dari rumah dengan pakaian seadanya. Selanjutnya suami

meminta ganti rugi kepada lelaki yang menodai istrinya

untuk membayar ganti rugi dengan dua pilihan yaitu;

sepenyebutan atau sepenjemputan. Pertama, Sepenyebutan,

maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai keinginannya

karena laki-laki tersebut karena telah menodai isterinya

dan menjatuhkan martabatnya di tengah masyarakat.

Kedua, Sepenjemputan, maksudnya suami meminta ganti

rugi sesuai dengan jumlah uang yang ia keluarkan ketika

melamar isterinya.

Ketiga, Samun Sakal. Samun yaitu mengambil harta

benda orang lain dengan kekerasan, seperti; ancaman,

pencideraan dan pembunuhan. Sanksinya jika korban

meninggal, pemangku adat wajib melaporkan pelaku ke

aparat hukum (polisi) dan jika diperlukan ikut menangkap

pelaku dan jika korban hanya diteror/disakiti, pelaku

dikenakan sanksi ―salah ambik balikkan, salah makan

muntahkan, utang kecik dilunasi, utang gedang diangsur.‖

Keempat, Upas Racun. Upas yaitu meracuni korban

melalui makanan atau minuman mengakibatkan korban

mati secara perlahan. Sedangkan racun meracuni korban

dengan zat beracun sehingga korban mati seketika, seperti;

kasus Munir penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang

diracuni oleh Poli Carpus, pilot sebuah maskapai

penerbangan di Indonesia dan kasus I Wayan Mirna Solihin

yang diracuni oleh Jessica Kumala Wongso dengan zat yang

disebut sianida.

Kelima, Siur Bakar. Siur yaitu membumi-hanguskan

pemukiman penduduk, lahan perkebunan (pertanian), atau

tempat pengembalaan ternak merugikan orang lain, seperti

Page 116: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

107

kasus pembakaran hutan (karhutla) yang terjadi di wilayah

Sumatera dan Kalimantan.

Keenam, Tipu–Tepok. Tipu–Tepok yaitu tindakan

menipu individu atau kelompok dengan modus berbuat baik

mengakibatkan kerugian moril maupun materil, seperti;

korupsi, money laundring, human trafiking, coin mas, arisan

fiktif, bisnis narkoba, penggandaan uang oleh Kanjeng

Dimas Taat Pribadi, janji politik dalam pemilihan kepala

daerah, anggota legislatif dan presiden.

Ketujuh, Maling Curi. Maling yaitu mengambil hak

milik orang lain di tempat terkunci atau tersembunyi tanpa

sepengetahuan pemiliknya, seperti curanmor. Sementara

curi yaitu mengambil hak milik orang lain di tempat yang

tidak terkunci atau tersembunyi tanpa sepengetahuan

pemiliknya seperti; rampok dan begal.

Kedelapan, Tikam Bunuh. Tikam yaitu tindakan

menikam seseorang dengan senjata tajam atau tumbuh,

sementara Bunuh adalah tindakan menghilangkan nyawa

seseorang dengan sesuatu alat sehingga orang itu mati baik

seketika maupun setelah rentang waktu. Pelaku dikenakan

sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖. Menurut

Habib Muhammad, Denda adat disimbolkan dengan

binatang ternak berupa kerbau atau kambing, makanan

pokok, buah-buahan dan lain-lain. Tujuannya memberi efek

jera bagi pelaku dan menengahi konflik yang terjadi antara

pelaku dan korban, agar tidak menyisakan dendam bagi

korban dan terjalin hubungan persaudaraan antara pelaku

dan korban.167

Sedangkan Undang Duabelas, terdiri dari: Pertama,

Lebam-balu ditepung tawar, yaitu menyakiti tubuh orang

167Pada kasus besar seperti ini langkah awal Pemangku Adat

melaporkannya kepada aparat penguasa atau pemerintah. Selain itu,

pelaku dikenakan sanksi adat, yaitu: 1). 1 ekor kambing; 2). Selemak

semanis seasam segaram; 3). 20 gantang beras; 4). 5 hasta kain putih; 5).

20 tali/tandan kelapa. Jika kematian seseorang itu akibat upas, maka

pampasnya lebih berat menjadi seekor kerbau, 100 gantang beras, 8 hasta

kain, dan 100 tandan kelapa. Jika korban mengalami luka ringan maka

tidak perlu cuci kampung, cukup membayar denda adat, yaitu; 1). 1 ekor

ayam; 2). Selemak semanis seasam segaram; 3). 1 gantang beras.

Wawancara, Pemerhati Adat Jambi, 20 Agustus 2015.

Page 117: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

108

lain dan pelaku berkewajiban mengobatinya sampai sembuh

dan baik kembali sampai hilang bekasnya. Kedua, Luka-

lekih dipampas, yaitu melukai tubuh orang lain luka dan

pelaku dikenakan sanksi membayar pampas sesuai

tingkatan luka rendah, tinggi atau parah. Ketiga, Orang

gedang berlaku kecik, yaitu kesalahan orang yang

seharusnya menjadi contoh tauladan masyarakat seperti;

pemimpin, penguasa, pemangku adat, imam, khatib, kepala

desa. Keempat, Gawal menyembah, yaitu kesalahan yang

tidak disengaja seperti; kesalahan istri terhadap suami atau

sebaliknya. Kelima, Salah makan diludah, Salah bawak

dikembalikan, Salah pakai diluruskan, yaitu perbuatan

yang merugikan orang lain sehingga pelaku wajib

mengganti atau membayar senilai kerugian yang

ditimbulkan. Keenam, Hutang kecil dilunasi, Hutang Besar

diangsur, kewajiban melunasi hutang jika kuantitasnya

kecil dilunasi sekaligus, jika kuantitasnya besar boleh

diangsur. Ketujuh, Golok Gadai Timbang Lalu, harta benda

yang digadaikan sebagai jaminan beralih kepemiliknya jika

telah lewat waktu (taqâdum). Kedelapan, tegak mengintai

lengang, duduk menanti kelam, tegak begandeng duo, salah

bujang dengan gadis kawin, pergaulan antar orang bujang

dengan seorang gadis yang diduga kuat melanggar adat dan

memberi malu kampung tanah sisik siang harus

dikawinkan. Kesembilan, memekik mengentam tanah,

menggulung lengan baju, menyingsingkan kaki celana, yaitu

menantang orang lain berkelahi dikenakan sanksi sesuai

status sosial yang ditantang. Kesepuluh, menempuh nan

bersamo, mengungkai nan berebo, yaitu larangan memasuki

wilayah atau memanjat yang ada tanda larangannya baik

berupa pagar atau tanda khusus. Kesebelas, Meminang di

atas pinang, Menawar di atas tawar, yaitu larangan

meminang gadis yang telah dipinang orang lain Keduabelas,

Umo bekandang siang, Ternak bekandang malam, yaitu

petani harus menjaga kebun dan sawahnya di siang hari

dan peternak harus mengurung ternaknya di malam hari.168

168 Cholif, Hukum Pidana Adat..., 50-55.

Page 118: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

109

Undang Duapuluh secara konseptual menjadi spirit

masyarakat Melayu Jambi dalam menyelesaikan kasus

hukum, selain sebagai warisan leluhur yang harus

dipertahankan. Meski penetapan sanksinya bisa jadi

berbeda sesuai wilayah dan eco pakai. Secara umum segala

bentuk pelanggaran ―larang pantang‖ dalam Undang

Duapuluh dikenakan sanksi adat berupa ―denda adat atau

pampas‖, namun berbeda sesuai jenis dan tingkat

kesalahan, yang diklasifikasikan pada tiga kategori yaitu;

ringan, sedang dan berat.

Pada awalnya pemberlakuan aturan adat secara

universal pada bidang perdata, pidana, kelautan,

kehutanan, ketatanegaraan dan undang raja. Namun, sejak

Indonesia merdeka kompetensi peradilan adat hanya pada

bidang pidana dan perdata. Bidang perdata meliputi: 1).

Hukum Orang, yaitu hukum mengenai orang menurut adat

setempat yang dipakai meliputi orang perorangan sebagai

subjek hukum dan badan hukum, tempat tinggal,

kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan

pendewasaan dan pencatatan peristiwa hukum. 2). Hukum

Kekerabatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan

keluarga, darah, perkawinan, keturunan, kekuasaan orang

tua, harta benda perkawinan, warisan, pertalian, dan

perceraian. 3). Hukum perkawinan, yaitu hukum yang

mengatur tatacara melakukan ikatan suami istri dan

perceraian antar keduanya serta akibat hukum yang muncul

setelahnya.

Sedangkan bidang pidana adat berorientasi pada

hukum yang tidak terjangkau secara langsung oleh Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mencakup: 1)

pidana ringan seperti pencurian dan perkelahian; 2) Delik

aduan; perzinaan, penghinaan, pencurian dalam keluarga;

3) Delik adat seperti pemangku adat melanggar aturan adat.

Ketidakterjangkauan dimaksud disebabkan dua hal;

pertama, banyaknya kasus ringan yang harus ditangani oleh

aparat hukum setempat; kedua, keinginan dari masyarakat

sebagai adresat hukum memberdayakan dan

mengoptimalkan peran peradilan adat.

Page 119: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

110

Berikut urutan-turunan Struktur Hierarki Undang

Adat Jambi:169

Gambar 5.1. Struktur Hierarki Undang Adat Jambi 1502-

1906

Bagan struktur di atas merefleksikan hukum adat

Jambi meliputi berbagai persoalan hukum yang dihadapi

masyarakat kecuali bidang ibadah yang tidak dicover dalam

undang adat mengingat persoalan tersebut diatur secara

eksplisit oleh Islam melalui naşş al-Qur‘an maupun Sunnah.

Begitupula bidang perdata (akhwâl al-syahsiyyah) dan

bidang pidana (akhwâl al-janâ‘iyyah), bidang bisnis

169Struktur hukum adat ini merupakan simpulan dari beberapa

referensi tentang adat yang penulis baca dan pahami melalui Undang

Adat Jambi yang dipublis Lembaga Adat Melayu Jambi di wilayah

Provinsi Jambi utamanya Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun dan

Muara Sabak, utamanya tulisan Mucktar Agus Cholif.

Page 120: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

111

(muâmalah), dan ketatanegaraan (siyâsah), kesemuanya

termuat dalam aturan undang adat Jambi.170

Dengan demikian, aturan kerajaaan Islam Melayu

Jambi dalam bentuk Undang Adat ketika itu telah komplit

mengakomodir segala kebutuhan hukum rakyat, aturan

materil berupa peraturan tentang cara berinteraksi antar

personal, kelompok maupun penguasa dengan rakyat.

Begitupula dengan aturan formil yang mengatur tentang

cara beracara mulai dari gugatan terhadap orang yang

melanggar peraturan.

B. Praktik Hukum dalam Masyarakat Melayu Jambi

Kedatangan Islam ke kerajaan Melayu Jambi, memberi

pengaruh besar terhadap warna adat yang awalnya

bersendikan kepada alur, alur bersendikan ke patut dan

patut bersendi ke kebenaran menjadi ―Adat bersendi syarak,

dan syarak bersendi Kitabullah. Selanjutnya dijabarkan

menjadi ―Adat nan lazim syarak nan qawi; Syarak mengato

adat memakai, Haram kato syarak dihukum kata adat,

170Ibadah adalah segala usaha lahir dan batin sesuai dengan

perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup,

baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun alam semesta.

Terma ibadah sangat lekat dengan bahasa Melayu, sebagai perbuatan

untuk menyatakan bakti kepada Allah dilandasi ketaatan mengerjakan

perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan muamalah adalah

segala bentuk hubungan antara sesama manusia, terkait dengan harta

dan kebutuhannya kepada pemilikan harta yang melahirkan Fiqh

Muamalah, seperti; jual beli, sewa menyewa, serikat usaha dan

sebagainya. Hubungan antar sesama manusia berkaitan dengan

pelanggaran kasus dan sanksi pencegahan melahirkan Fiqh Jinayah

(Hukum Pidana), seperti; zina, teroris, penghinaan, pencurian,

perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Hubungan antar sesama

manusia berkaitan dengan penyaluran nafsu syahwat guna meneruskan

keturunan secara sah melairkan Fiqh Munakahat (Ahwal al-Syahsiyyah),

seperti nikah, cerai, waris, pengasuhan anak, dan sebagainya. Hubungan

antar sesama manusia sebagai kelompok dengan pemimpinnya dalam

kehidupan bernegara dan berbangsa melahirkan Fiqh Dusturiyah

(Hukum Tata Negara). Hubungan antar sesama manusia dalam suatu

negara dengan negara lain dalam masa perang maupun damai

melahirkan Fiqh Dualiyah (Hukum Internasional). Lihat Amir

Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 14-17.

Page 121: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

112

Larang kato syarak pantang kato adat.‖ Inilah dasar

ideologis dan sosiologis bagi masyarakat Melayu Jambi

dalam penerapan hukum sejak abad ke-15 hingga saat ini

yang cenderung mengupayakan integrasi keduanya, meski

tak luput dari tarik ulur memperebutkan kepentingan

masing-masing.

Secara umum masyarakat Melayu Jambi

mempraktikkan syarak sesuai ajaran Islam, komitmen

idealnya tertancap dalam lubuk hati setiap muslim. Meski

karena persoalan sosial-politik, historis dan tarik menarik

kepentingan akhirnya menyebabkan mereka dihadapkan

persoalan yang mengalihkannya kepada praktik hukum

lain. Kenyataan ini dialami masyarakat Jambi yang

menjadikan kelembagaan adat sebagai institusi

menyelesaikan kasus sosial keagamaan.

Konsistensi penerapan aturan adat dan menjadikan

kelembagaan adat sebagai alternatif dalam penyelesaian

kasus perdata maupun pidana adat dapat dilihat pada

kasus-kasus hukum yang diselesaikan melalui peradilan

adat, sebagaimana pada latar belakang. Menurut Datuk

Drs.Azrai Basyari,171 praktik hukum yang berlaku pada

masyarakat Melayu Jambi secara substantif terkait dengan

hubungan antar personal, kelompok dalam masyarakat

berupa kebiasaan, hukum atau etika bergaul mengacu pada

Undang Adat Jambi, meskipun pada beberapa kasus

penerapannya berbeda. Perbedaan tersebut sesuai wilayah

geografis provinsi Jambi, yaitu wilayah Timur dan Barat.

Posisi Provinsi Jambi di bagian tengah Pulau

Sumatera secara geografis sekaligus memetakan Jambi yang

terdiri dari wilayah Timur dan Barat, kedua wilayah ini

yang dalam stereotip-kultural masyarakat Jambi dikenal

dengan sebutan Hilir dan Hulu (Mudik).172 Wilayah Hilir

tradisi masyarakatnya cenderung pada tradisi masyarakat

Melayu Riau, Deli-Sumatera Utara bahkan Malaysia,

berlaku di Kota Jambi, Batanghari, Muara Jambi, Muara

Sabak, Tungkal, sebagian Muara Bungo dan Tebo. Berbeda

171Wawancara, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, 20 Mei 2015. 172Jambi dalam Angka 2015, 20.

Page 122: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

113

dengan wilayah Hulu, tradisi masyarakatnya cenderung

kepada tradisi Minangkabau, berlaku di sebagian besar

Sarolangun, Merangin, Sungai Penuh, Kerinci dan sebagian

kecil Muara Bungo dan Tebo. Wilayah ini terintegrasi

dengan Provinsi Jambi secara georgafis, namun tidak secara

kultural karena terjadi saling-pengaruh antar-kebudayaan

yang pada gilirannya justru melahirkan kebudayaan Jambi

bias Minangkabau.

Menurut Barbara Watson Andaya, Hilir dan Hulu

merupakan pemetaan wilayah dalam kerajaan Islam Melayu

Jambi.173 Hilir adalah wilayah Jambi bagian yang berada di

pinggir laut dan berdataran rendah berawa yang dihuni oleh

beragam etnisitas, daerah awalnya ini dihuni oleh etnis

Melayu, namun dalam perkembangannya migran dari

berbagai etnis utamanya Bugis, Jawa dan Banjar

berdatangan dan terjadi kompetisi budaya serta budayanya

lebih pluralistik. Sedangkan Hulu adalah wilayah Jambi

bagian Barat yang berdataran tinggi, kebudayaannya lebih

seragam. Selain di wilayah sentra transmigrasi, daerah ini

dihuni oleh mayoritas Melayu dan Minangkabau karena

berbatasan secara geografis dengan Sumatera Barat.174

Menariknya, pada kedua wilayah ini terjadi terjadi

dualisme (ambivalen) hukum, meminjam istilah George

Rizert hukum berparadigma ganda), antara Hilir dan Hulu.

Pada beberapa kasus masyarakatnya menerapkan hukum

berbeda satu dengan lainnya, seperti; sistem kekerabatan,

kewarisan dan perkawinan eksogami.175 Pertama, praktik

173Barbara Watson Andaya, ―Upstreams and Downstreams in Early

Modern Sumatera‖, dalam The Historian, 57, III, 1995, 537-552. 174Heinzpeter Znoj, ―Sons versus Nephews: A Highland Jambi

Alliance at War with the British East India Company, ca. 1800‖, dalam Indonesia, 97, 1998, 97-121.

175Masyarakat Arab Jahiliyah, membagi harta waris hanya kepada

laki-laki dewasa, sementara perempuan dan anak-anak tidak tergolong

ahli waris. Mereka berkata ―apakah kami perlu mewariskan harta kepada

orang yang tidak bisa memegang pedang dan menunggang kuda?‖

Perempuan yang ditinggal mati suaminya, hanya diberikan warisan

dalam bentuk nafkah dari harta yang ditinggalkan, selama setahun/masa

‗iddah. Pada awal mula Islam, mereka mulai mewariskan harta kepada

sadara laki-laki, keponakan, istri saudara dan paman dari ayah, secara

terpaksa. Kemudian, ketentuan iddah di-naskh dengan Q.S. al-Baqarah

Page 123: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

114

kekerabatan masyarakat Melayu Jambi wilayah Hilir

menggunakan sistem kekerabatan patrilineal, sementara

masyarakat Melayu Jambi wilayah Hulu sebagian besar

mempraktikkan sistem kekerabatan matrilineal, utamanya

Suku Penghulu. Menurut Hazairin ada tiga bentuk

kekerabatan yang dipraktikkan masyarakat Indonesia.176

1. Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menimbulkan

kesatuan kekeluargaan besar dengan suku, klan dan

marga yang dihubungkan hanya kepada ayah, dan

karenanya seseorang bernasab ke ayah, seperti di tanah

Batak, Palembang, dan di tanah Arab.

2. Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan dalam bentuk

kesatuan kekeluargaan besar dengan suku dan klan

yang dihubungkan hanya kepada ibu, dan karenanya

seseorang bernasab ke ibu, seperti di Minangkabau.

3. Bilateral atau Parental, sistem kekerabatan yang

menimbulkan satu kesatuan kekeluargaan besar, seperti

trible atau rumpun yang dihubungkan kepada keduanya,

ibu dan ayah, seperti di tanah Jawa.

Praktik kekerabatan Patrilineal berimplikasi pada

praktik kewarisan Patrilineal, dimana pihak laki-laki

mendapat jatah warisan dua kali lipat melebihi perempuan.

Begitupula dengan kekerabatan Matrilineal, dimana pihak

perempuan menerima bagian waris lebih besar ketimbang

laki-laki. Inilah yang dipraktikkan oleh masyarakat Jambi

bagian Hulu. Menurut penulis ada dua prediksi embrio

[2]: 234, wa yatarabbas}na bi‘anfusihinn arba‗ah asyhur wa ‗asyra, hak

perempuan ditetapkan dengan Q.S. an-Nisa‘ [4]:12, walahunn ar-rubu‗

dan mewariskan secara terpaksa di-naskh oleh ayat ―wala yahill lakum

an taris an-nisâ‘ karha. Selanjutnya, secara berkala, al-Qur‘an merubah

sistem kewarisan Jahiliyah. Dari hanya diberikan kepada keluarga

partisipan perang dengan dua syarat: pertama, dengan mengikrarkan

sumpah ―wa allazin ‗aqadat aimânakum fa‘tuhum nasibahum‖, Q.S. an-

Nisâ‘ [4]:33. Kedua, dengan berhijrah ―inna allazin âmanu wa hâjaru wa

jâhadu bi amwâlihim wa an fusihim sampai pada hatta yuhâjiru‖ al-Anfâl

[7]: 72. Setelah masyarakat beradaptasi dengan ketentuan tersebut,

diturunkan Q.S. an-Nisa‘ 4:11, sebagai afirmasi terhadap gagasan tiga

sebab kewarisan; nasab, nikah, dan wulâ‘. Lihat Ibrâhîm al-Bâjûri,

Hâsyiah al-Bâjûrî, (Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-Turâs| al-‗Arabi, 1426 H), II. 96. 176Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‘an dan

Hadith, cet-2, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), 11-12.

Page 124: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

115

lahirnya corak matrilineal dalam tradisi Minangkabau,

utamanya di kerajaan Pagaruyung. Pertama, strategi

masyarakat Minangkabau yang ingin menghilangkan bekas-

bekas dan tradisi kerajaan Majapahit yang pernah menjadi

kolonial di Minangkabau setelah kerajaan Pagaruyung dan

kerajaan kecil sekitarnya berhasil memisahkan diri dari

kerajaan Majapahit ketika dipimpin Ananggawarman

setelah perang terbuka di Padang Si Busuk. Kedua, strategi

Raja Beramah kerajaan Pagaruyung yang berkuasa pada

abad ke-4 M. yang tidak mempunyai anak laki-laki sebagai

penerus tahta, selanjutnya mendoktrinasi masyarakat

Minangkabau agar menerima kepemimpinan perempuan

dalam kerajaan.

Doktrin ini pada akhirnya merambah ke persoalan

sistem kekerabatan dan kewarisan, sebagaimana diakui

Ismail Zen:177 ―Tradisi masyarakat Hulu, utamanya

Kabupaten Sarolangun maupun Merangin

mengklasifikasikan harta warisan (peninggalan) menjadi

tiga bentuk yaitu; harta berat, harta ringan dan seko. Harta

Berat adalah harta yang oleh anak laki-laki dianggap berat

hati untuk dibawa pergi karena anak perempuan lebih

pantas menerimanya berupa benda keras, seperti; rumah,

sawah, kebun, toko, dan aset bernilai lainnya yang ditinggal

oleh orang tua (Muwarris) diperuntukkan bagi anak

perempuan. Begitupula rumah peninggalan orang tua

diberikan kepada anak perempuan bungsu. Sedangkan

harta ringan adalah harta bergerak diberikan kepada anak

laki-laki sebagai pencari nafkah, seperti; kendaraan, ternak

dan lainnya. Adapun seko adalah pangkat, gelar atau

jabatan yang diturunkan kepada anak laki-laki tertua.‖

Statemen ini diperkuat penelitian Albert al-Fikri

tentang kewarisan paradigmatik di Sarolangun,

menurutnya tidak mudah bagi masyarakat Muslim

Sarolangun—utamanya kelompok pendukung kewarisan

matrilineal—meninggalkan sistem kewarisan adat warisan

nenek moyang. Praktik adat mereka percayai sebagai

aturan ―dak lekang dek panas, dak lapuk dek hujan,‖

177Wawancara, Ketua Lembaga Adat Sarolangun, 25 Mei 2015.

Page 125: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

116

(sesuatu yang spontan dan tak akan pernah berubah

kapanpun). Bagi pendukung matrilineal falsafah adat

diyakini kompatibel dengan materi adat itu sendiri,

sedikitnya dua argumentasi untuk mengabsahkan praktik

tersebut: 1) Karena adat telah diverifikasi oleh syarak. 2)

Karena masyarakat adat tidak harus mempraktikkan

keduanya akan tetapi boleh memilih salah satunya.

Sementara itu, masyarakat Melayu Jambi bagian

Hilir pendukung praktik kewarisan patrilineal

menginginkan keselarasan syarak dengan adat sesuai pesan

Islam menuntut pemeluknya mengimplementasikan Islam

secara totalitas (kâffah).178 Kelompok ini menjadikan

falsafah adat sebagai cara pandang (frame of thinking)

dalam mempraktikkan sistem kewarisan sebagaimana

adanya, seperti di Batanghari dan Muara Sabak yang

mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan

Patrilineal, yaitu pemberian hak waris kepada anak laki-

laki dua kali lipat ketimbang anak perempuan. Hal ini

ditegaskan oleh Fathuddin Abdi dan Samsul:179 ―Masyarakat

Batanghari sejak awal komit dengan falsafah adat, oleh

karenanya apapun putusan syarak itulah yang harus

dijalani atau diamini adat. Tidak hanya itu, bahkan

pengurus adat Batanghari saat ini banyak memverifikasi

adat yang berlaku dianggap ganjil untuk disesuaikan

dengan syarak baik persoalan lama maupun persoalan baru.

Persoalan lama seperti; upacara pengantin menginjak

kerbau ditiadakan, mengambur beras kunyit diganti dengan

mengambur biji pinang. Sedangkan persoalan baru seperti;

larangan duduk bersanding saat aqad nikah, menulis

bismillah foto bersanding di undangan.‖

Berbeda dengan masyarakat Kota Jambi yang

mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan

bilateral/parental, yaitu kekerabatan yang bertumpu kepada

ayah dan ibu secara seimbang dan pemberian hak waris

178Albert al-Fikri, Diskursus Hukum ..., 24-25. 179Wawancara, Ketua Lembaga Adat Batanghari dan Muara Sabak,

23-25 Mei 2015.

Page 126: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

117

kepada anak laki-laki sama kuantitasnya dengan anak

perempuan baik diberikan melalui hibah ataupun wasiat.180

Sebagaimana dikatakan Azra‘i Basyari:181 ―Pada

umumnya masyarakat Melayu Jambi menganut prinsip

kekerabatan bilateral, dimana setiap individu ketika

menarik garis keturunannya selalu menghubungkan dirinya

kepada pihak ayah ataupun ibu. Kekerabatan seorang anak

dengan kerabat pihak ayah sebanding dengan kerabat pihak

ibunya, sehingga dikenal dalam adagium―Anak dipangku

kemenakan dijinjing‖. Sistem billateral juga tidak

mempunyai akibat yang selektif karena bagi setiap individu

semua kerabat ayah maupun ibu masuk dalam hubungan

kekerabatannya sehingga tidak mengenal batas. Garis

keturunan ditarik dengan menempatkan faktor keluarga

sebagai kelompok masyarakat terkecil dan menjadi basis

perhitungan batas hubungan kekerabatan di antara satu

sama lain. Statemen ini diperkuat penelitian Yuliatin yang

menyimpulkan praktik kewarisan msyarakat Kota Jambi

dan sekitarnya adalah parental/bilateral.182

180Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan tentang ketentuan

waris secara damai, sebagaimana termuat dalam Pasal 183 ―para ahli

waris dapat bersepakat mekakukan perdamaian dalam pembagian harta

warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.‖ Menurut Imâm

asy-Syâfi‗i kerelaan merupakan prioritas utama dalam perdamaian

(s}ulh), bahkan s}ulh tidak sah jika tidak diiringi tîb an-nafs (kerelaan).

Pendapat ini memperjelas kedudukan an-tarâd}in sebagai prasyarat

mutlak bagi penerapan waris secara damai. Kewarisan secara damai

tidak dapat dilakukan tanpa kerelaan, dasar argumentatifnya al-Qur‘an

pada kata‗‗an-tarâd}in‖ dan hadis ―innahu la yahill mâl imri‘in Muslim

illâ bi t}îbah min nafsih‖ Lihat Muhammad bin Ismâ‘îl bin al-Amîr al-

Yamani as-San‘ani, Subul as-Salâm Syarh Bulûg} al-Marâm min Adillah

al-Ahkâm, (Kairo: Dar al-Hadîs}, 1428 H), III, 80-81. 181Wawancara, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, 20 Mei 2015 182Penelitian Yuliatin menyimpulkan sistem kekerabatan yang

berlaku pada masyarakat Kota Jambi bilateral/parental, dimana garis

keturunan adari pihak Ayak dan ibu diperlakukan sama atau seimbang,

sehingga masyarakat setempat memiliki ikatan kekeluargaan yang luas

karena berasal dari keduanya. Sedangkan praktik kewarisan yang

berlaku ada dua bentuk, yaitu; patrilineal dengan merujuk kepada

aturan Islam, parental/bilateral dengan merujuk kepada aturan dan

pembagian waris dalam bentuk hibah yang diberikan secara merata saat

muwarris masih hidup. Lihat Disertasi Yuliatin, Hukum Islam dan

Page 127: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

118

Apapun perspektifnya, kompleksitas fenomena

patrilineal-matrilineal dalam pergulatan adat dan syarak

tetap saja berkontribusi memberikan gambaran umum

(common sense) tentang pengaruh adat terhadap kewarisan

matrilineal dan pengaruh syarak terhadap kewarisan

patrilineal masyarakat Melayu Jambi. Dapat dimaklumi

masing-masing kelompok memiliki cara pandang sendiri,

baik secara adat maupun syarak.

Substansinya, selagi tidak menimbulkan

perselisihan, sebagaimana dipraktikkan mayoritas

masyarakat Melayu Sarolangun melalui pembagian waris

secara adat, yakni matrilineal. Ketika pihak ahli waris laki-

laki merasa keberatan maka dapat menempuh jalur farâ‘id

melalui Pengadilan Agama. Keabsahan praktik ini

bergantung pada sudut pandang masing-masing, pendukung

matrilineal menganggap sistem kewarisannya sah secara

adat, sementara pendukung patrilineal justru menganggap

praktik waris mereka yang ‗sebenarnya‘ dan sejalan dengan

falsafah adat. Masing-masing kelompok mempunyai

argumentasi dan pandangan paradigmatik yang kemudian

melahirkan subordinasi kewarisan berparadigma ganda

antara Hilir dan Hulu.

Terlepas dari itu, Islam menerapkan sistem

kekerabatan yang mempunyai hubungan keluarga yang

dapat ditarik baik dari garis keturunan bapak (laki-laki)

maupun dari garis keturunan ibu (perempuan).183 Islam

memposisikan laki-laki dan perempuan setara dalam

masyarakat dan keluarga serta tidak mengutamakan garis

keturunan bapak atau menafikan garis ibu. Atas dasar itu,

menurut Sulaiman Abdullah:184 ―Praktik waris adat saat ini

secara umum ada dua yaitu komunitas masyarakat yang

cenderung mengamalkan sistem kewarisan Patrilineal yang

diasumsikan bersumber dari warisan Islam dan sistem

kewarisan Matrilineal yang diasumsikan bersumber dari

tradisi Minangkabau. Prinsip pembagian waris adalah

Hukum Adat (Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota

Jambi), 126-135. 183Syarifuddin, Hukum Kewarisan..., 188. 184Wawancara, Ketua MUI Jambi, 10 Agustus 2015.

Page 128: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

119

berdasarkan kerelaan dari kedua pihak, jika pihak laki-laki

merelakan harta warisan diberikan lebih banyak kepada

pihak perempuan maka hukumnya boleh, meskipun

praktiknya sangat bergantung pada keinginan dan

kenyamanan pelakunya karena keduanya memiliki

landasan hukum, terlepas landasan hukum tersebut sejalan

dengan syarak atau sebaliknya. Substansinya dan

terpenting masyarakat Melayu Jambi selama ini hidup

nyaman dan damai, jangan sampai terjadi konflik hanya

karena harta waris.‖

Statemen ini menjelaskan aturan hukum Adat Jambi

yang mencakup berbagai persoalan sosial keagamaan.

Segala aturan yang dibuat dalam upaya menjadikan

masyarakat Jambi hidup dalam suasana yang damai tanpa

melanggar pola tutur dan tindak yang mengakibatkan orang

lain terganggu. Artinya, secara substantif baik syarak

maupun adat menawarkan aturan sekaligus sanksi dengan

tujuan mengedepankan nilai ideologis, moralitas dan sosial.

Dari ketiga sistem kekerabatan dan kewarisan

tersebut masyarakat Melayu Jambi mempraktikkan

semuanya, hanya saja disesuaikan dengan kondisi wilayah.

Wilayah Hilir tradisinya ‗mirip‘ dengan Riau, Deli-Sumatera

Utara dan Malaysia, seperti; Kabupaten Muaro Bungo,

Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, Tanjung

Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, mempraktikkan

sistem kekerabatan patrilineal dan bilateral. Sedangkan

wilayah Hulu, seperti; Kabupaten Sarolangun, Merangin,

Sungai Penuh dan Kerinci, sebagian besar masyarakatnya

mempraktikkan sistem kekerabatan matrilineal.

Kedua, praktik perkawinan eksogami, yang berlaku

di kalangan masyarakat adat ber-penghulu yakni tidak

boleh kawin dengan satu klan atau marga. Padahal

implikasinya jika tidak dibolehkan perkawinan tersebut

berarti tidak sah alias batal. Larangan seperti ini tidak

didasari atau bersendi kepada syarak, hanya saja dianggap

―tidak baik, melanggar baso‖ (tidak baik, karena

bertentangan dengan budi-bahasa). Dengan kata lain,

adanya ketidakjelasan status hukum pada kasus ini, yang

seharusnya melahirkan hukum mubah. Menurut Hazairin

Page 129: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

120

ada tiga model perkawinan di Indonesia, yaitu; endogami,

eksogami, dan eleutherogami.185 Pertama Endogami, yaitu

ketentuan yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di

lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial, atau lingkungan

pemukiman. Praktik semacan ini dapat dijumpai di tanah

Toraja, meski jarang terjadi, terlebih di tengah era

globalisasi. Kedua Eksogami, ketentuan yang

mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan

sosial, kerabat, kelas sosial, atau lingkungan pemukiman,

sebagaimana terjadi di Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau,

Sumatera Selatan, Boru dan Seram. Ketiga Eleutherogami,

tidak mengenal larangan sebagaimana endogami dan

eksogami, yang dilarang jika terdapat hubungan nasab atau

keluarga (musahharah) sebagaimana yang diajarkan oleh

Islam.186 Praktik semacam ini dapat dijumpai di hampir

seluruh wilayah Nusantara seperti; Sumatera, Jawa,

Madura, Sulawesi, Lombok, termasuk masyarakat Melayu

Jambi.

Menurut A Lutfi di kalangan masyarakat adat yang

ber-penghulu berlaku larangan kawin dengan satu suku dan

sepupu se-ibu. Alasannya hubungan terlalu dekat

berimplikasi pada keluarga tidak berkembang dan perasaan

persaudaraan yang masih begitu terasa seperti saudara

sendiri.187 Meski aneh mengingat argumentasi yang

dikemukakan justru bukan adat, melainkan syarak.

Padahal dalam syarak, semua pernikahan kekerabatan

dibolehkan kecuali yang ditentukan oleh syarak itu sendiri.

Lutfi menambahkan bahwa kekhawatiran tersebut juga

pada susuan (rad}â‘ah) di masa kecil antara kedua

mempelai—ternyata—menjadi sebab larangan perkawinan

sepupu se-ibu dengan tujuan (sadd az|-z|arî‘ah). Di sinilah

(dis)fungsi syarak dipertanyakan; teliti (hukum syarak) yang

awalnya difungsikan sebagai korektor aturan yang termuat

185Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat,

(Jakarta: Masagung, 1982), 32. 186Q.S. an-Nisa‘ [3]: 23. 187Wawancara, Pegawai Syarak Desa Tanjung Kabupaten

Sarolangun, 25 Mei 2015.

Page 130: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

121

dalam adat untuk diteliti kemudian mengatur adat, justru

‗diperalat‘ untuk melegalkan kehendak adat.

Anehnya, pemetaan wilayah berdasarkan adat ini

berlangsung hingga saat ini dan tradisi mendua ini justru

mendapat ‗pembenaran-etis‘ dari adat dan syarak. Praktik

perberdayaan ―budaya‖ inilah yang akhirnya melahirkan

stereotipe-kultural bahkan ―sentimen kultural‖ berbeda di

kalangan masyarakat Melayu Jambi.188

Fenomena-fenomena inilah yang terjadi di Jambi

meski sebenarnya ―tidak dihendaki‖ oleh Islam, mengingat

syarak sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu

Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia.

Sementara adat seperangkat aturan yang berlaku bagi

suatu golongan masyarakat pada waktu dan tempat

tertentu. Secara umum, dapat diillustrasikan bahwa

pemberlakuan syarak bersifat mutlak, ia senantiasa

berstatus halal sejauh tidak ada faktor yang memaksanya

menjadi haram, seperti hukum berwudu dengan air curian.

Pada dasarnya wudhu‘ merupakan suatu kewajiban yang

berkonsekuensi pahala, namun jika air yang digunakan

untuk berwudu adalah air curian, hukumnya berubah

menjadi haram karena faktor yang mempengaruhinya.

Sebaliknya hukum memakan babi adalah haram, sampai

188Stereotipe adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang

atau sekelompok orang yang bercorak negatif, yang pembentukannya

didasarkan pada generalisasi, sehingga sifatnya subjektif. Lebih jauh,

stereotipe merupakan produk dari proses interaksi antarkelompok etnis

atau yang terdapat dalam masyarakat di dalamnya ada kelompok

mayoritas dan minoritas. Sedangkan ―Sentimen Kultural‖, yaitu

munculnya stigma negatif dari kedua kubu untuk menonjolkan diri dan

mendeskreditkan kelompok lain. Kenyataan ini dicermati ketika

masyarakat Hulu lebih akrab dan senang dipanggil ―Budak Mudik‖

ketimbang putra Jambi, karena ingin membuktikan diskriminasi,

keunggulan, atau superioritas ketimbang ―Budak Hilir‖. Persepsi ini bisa

jadi tidak berlaku bagi masyarakat Melayu Hilir yang masyarakatnya

heterogen dan lebih megedepankan pluralitas. Tidak ada referensi yang

menjelaskan tentang pihak mana yang memulai memunculkan paradigma

dikotomik ini, namun patut diakui bahwa ini terus terjadi bahkan pada

momen tertentu sering mengemuka. Tidak jelas faktor pemicu, kapan

dikotomi ini muncul dan siapa menjadi provokator atau penanggung

jawab manajemen konplik ini. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar

Studi Islam, (Yogyakarta: Akademia Tazaffa, 2009), 209.

Page 131: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

122

kondisi darurat memaksa untuk memakannya, maka

hukumnya menjadi boleh. Berbeda dengan adat yang pada

beberapa item penerapannya mensyaratkan nilai-nilai etik,

yakni di suatu tempat ia dapat dikatakan pantas, namun di

tempat yang lain ia bisa pula dikatakan sebaliknya.

Meski demikian, masyarakat Melayu Jambi tetap

mempraktikkan dualisme hukum bahkan ―trilogisme

hukum‖ yaitu hukum positif yang dioperasionalkan oleh

pemerintah melalui lembaga peradilan umum yang

merupakan produk hukum Belanda, hukum Islam yang

dioperasionalkan oleh pemerintah melalui lembaga

peradilan Agama yang merupakan produk hukum Islam,

dan hukum adat yang dioperasionalkan oleh kelembagaan

adat melalui presidium kerapatan adat (qadhi).189 Selain itu,

hukum Islam yang dioperasionalkan oleh Majelis Ulama

Indonesia (MUI) atas dasar permintaan masyarakat muslim,

sebagai organisasi non-formal.

Praktik semacam ini dalam perspektif Islam

mengundang problem signifikan menyangkut ideologi,

sosial, politik dan kultural. Pertama, Problem Ideologi, yaitu

umat Islam idealnya secara holistik mengimplementasikan

syarak tanpa memilah dan memilih atau bahkan

mencampuradukkan dengan aturan hukum lain termasuk

Adat. Selain itu, pemberlakuan kedua hukum secara

bersamaan merupakan refleksi terjadinya ambivalensi adat

dan syarak atau manipestasi dari praktik hukum

berparadigma ganda, meminjam istilah George Ritzer,

dalam memegangi hukum.190

189Menurut Bustanul Arifin ketiga hukum tersebut sebenarnya

hingga kini masih berlangsung, namun dengan argumen mengedepankan

kepentingan nasional dan disesuaikan dengan kasadaran hukum

masyarakat dibahasakanlah oleh sarjana hukum Indonesia bahwa hukum

nasional Indonesia diramu dari unsur hukum Islam, Adat dan Barat.

Lihat Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka

Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP IKAHA, 1994),

40. 190George Ritzer merupakan penggagas teori Paradigma Ganda

karena berhasil menjembatani dua paradigma filsafat dalam sosiologi.

Menurutnya, ada tiga faktor penyebab perbedaan paradigma dalam

sosiologi. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari

Page 132: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

123

Kedua, Problem Kultural, yaitu apakah seorang

muslim telah mengalami pembatinan (internalisasi) nilai-

nilai Islam dalam kepribadiannya sehingga benar-benar

menyadari bagaimana mengekspresikannya ke dalam pola

pikir, sikap, dan tindakan (eksternalisasi). Demikian pula

sebaliknya, sering terjadi keterputusan reflektif disebabkan

oleh desakan lingkungan yang sangat pluralistik, dikemas

dengan logika komunikasi yang menawan dan otoritas yang

kuat, terhadap komitmen individu muslim untuk

mengimplementasikan norma agama dan adat.

Ketiga, Problem Sosial, yaitu hukum yang

merupakan refleksi tata nilai masyarakat dijadikan sebagai

pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan beragama. Atas dasar itu, syarak

seharusnya perlu menangkap aspirasi umat yang

berkembang pada persoalan kekinian, dan menjadi pijakan

mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik

masa mendatang.

Keempat, Problem Politis, dalam sejarah Jambi sejak

abad ke-15 terjadi antara syarak dengan adat, sehingga

melahirkan berbagai kesepakatan melalui deklarasi yang

dituangkan dalam falsafah adat. Endingnya dimenangkan

oleh syarak meski mengatasnamakan adat. Selanjutnya

pada masa kolonial Belanda munculnya politik unifikasi

hukum yang memaksakan hukum mereka untuk

diberlakukan di negeri jajahan sehingga berimplikasi pada

lahirnya tiga sistem hukum, yaitu; syarak, adat dan hukum

Belanda. Artinya terjadi subordinasi antara tiga sistem

hukum yang pada awalnya dimenangkan oleh syarak

pemikiran komunitas masing-masing sosiolog tentang pelajaran yang

semestinya dipelajari. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perbedaan

pandangan itu, pendukung masing-masing sistem tidak hanya

mempertahankan pandangannya, tetapi juga melancarkan serangan

terhadap pandangan berbeda. Ketiga, metode memahami dan

menerangkan substansi disiplin itu pun berbeda pula. Inilah yang

menjadi dasar rupakan pijak penerapan teori paradigma terpadu

menjembatani dialektika dua paradigma kewarisan di kalangan

masyarakat Muslim Sarolangun. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu

Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Ali Mandan, (Jakarta;

Rajagrafindo Persada 2014), 6-8.

Page 133: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

124

berdasarkan masukan Christian Van Den Berg melalui teori

―Receptio in complexiunya‖, namun setelah kedatangan

Christian Snouck Hurgronje keadaan menjadi berbalik yang

dimenangkan oleh adat, hingga syarak dapat berlaku

manakala sesuai atau sejalan dengan adat, meski idealnya

syarak terdepan sebagai panduan terhadap pola tindak

umat Islam.191 Kondisi ini semakin ironi ketika intervensi

kolonial Belanda mempersempit ruang gerak praktik syarak

dengan menerapkan teori receptie Christian Snouck

Hurgronje. Gagasannya didasarkan pada fakta bahwa

syarak hanya diterima dan berlaku di Indonesia ketika ia

mendapatkan justifikasi adat. Persis ketika penguasa

kolonial Belanda, penguasa adat dan komunitas Muslim

saling subordinasi inilah adat dan syarak dihadapkan pada

persoalan eksistensi.

Pada masa berikutnya, setelah kemerdekaan dan

sampai saat ini pemerintah daerah Jambi belum menegasi

perlunya pemberlakuan syarak secara total atau merevisi

undang adat yang ada untuk disesuaikan dengan

perkembangan situasi, kondisi dan keinginan masyarakat

Jambi. Terlebih memberlakukannya ke seluruh warga

masyarakat Jambi tanpa memandang sekat etnik, domisili

dan agama.

C. Sinkronisasi dan Diferensiasi Aturan Syarak

dengan Adat

Aturan syarak sebagai produk hukum yang muncul

kemudian dipadukan dengan aturan adat yang telah mapan

pada suatu wilayah. Ketika keduanya terintegrasi dan

dikompilasi menjadi Undang Adat Jambi tentu dijumpai

sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi (titik beda) antar

keduanya.

191Syarak yang bersumber dari naşş al-Qur‘an maupun Sunnah,

keduanya memberikan skema kehidupan (the scheme of life) sangat jelas

bagi masyarakat muslim yang tunduk pada kehendak Ilahi. Nilai baik

dan buruk yang terkandung di dalamnya seyogyanya menjadi landasan

etis untuk pengembangan seluruh dimensi kehidupan. Lihat Amin Rais,

Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1987), 50- 51.

Page 134: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

125

Sinkronisasi Aturan Syarak dengan Adat

Sinkronisasi (titik temu) antara aturan adat dan syarak

dapat ditelisik dari dua aspek; Pertama, sinkronisasi dalam

artian produk hukum yang bersumber dari ajaran Islam

masuk pada klasifikasi Adat Sebenar Adat. Produk hukum

kategori ini bersendi kepada syarak dengan ideologi ahl

sunnah wa jama‘ah yang berorientasi pada pemahaman

keagamaan NU kultural (NU Cultural Oriented), praktiknya

hampir sama pada seluruh daerah sesuai dengan ―ideologi‖

masing-masing. Kedua, adat yang di-Islamisasi atau

terintegrasi dengan syarak karena substansi pesannya

sejalan dengan pesan syarak. Produk hukumnya

disandingkan dengan syarak, dalam artian aturan adat yang

ada dipaksakan sejalan dengan syarak meski praktiknya

berbeda. Keduanya dipadukan melahirkan konfigurasi

Undang Adat Jambi dan berlaku di seluruh wilayah Jambi.

Produk hukum kategori kedua ini sebagaimana

termuat dalam Undang Duapuluh dan beberapa kasus

hukum lain menjadi dasar pijak penetapan hukum di Jambi.

Pertama, Undang tentang Pampas, sebagaimana tertuang

dalam seloka adat: ―luka-lekih dipampas‖, pelaku yang

melukai badan/fisik orang lain diberi sanksi membayar

pampas (denda) yang dibedakan atas 3 kategori, yaitu:192

1. Luka Rendah, pampasnya seekor ayam, segantang beras,

dan kelapa setali (dua buah).

2. Luka Tinggi, pampasnya seekor kambing dan 20 gantang

beras, dan

3. Luka Parah, pampasnya dihitung setengah/separo

bangun. Mati Dibangun, pelaku yang membunuh orang

lain, dihukum membayar bangun dimana pelaku harus

membayar denda (diyât) sebesar 2.400 gram emas, dan

biaya cuci kampung berupa seekor kerbau, selemak

semanis seasam segaram, 20 gantang beras, 5 hasta kain

putih, dan 20 tandan kelapa.193

192Aulian Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, diakses

tanggal 6 Juni 2016. 193Nawawi, Hukum Adat Jambi, (Jambi: LAM Kota Jambi, 2005),

13.

Page 135: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

126

Sanksi pampas dikenakan terhadap pelaku tindak

kriminal (jarîmah) seperti; membunuh, melukai fisik orang

lain, atau menghilangkan bagian anggota tubuh korban.194

Pelaku pembunuhan dikenakan sanksi diyât (denda adat),

karena diupayakan seoptimal mungkin oleh unsur

pemerintahan desa, pegawai syarak dan tokoh adat

terjadinya perdamaian (işlâh) antara kedua belah pihak

yaitu pelaku dan ahli waris korban. Hanya saja, kuantitas

diyât yang harus dikeluarkan oleh pelaku berbeda dengan

ketentuan fikih dan disesuaikan dengan tradisi setempat.

Substansinya hukum tetap ditegakkan dan diharapkan

pelaku jera atas sanksi yang diberikan sehingga tidak

mengulanginya.195 Sedangkan dalam Islam diberlakukan

hukum Qişâş terhadap pelaku pembunuhan, terkecuali

dimaafkan oleh ahli waris korban sehingga sanksinya

dialihkan menjadi sanksi diyât.196 Dengan demikian,

penetapan sanksi adat dan syarak sejalan ketika ada upaya

mendamaikan antara pelaku dengan ahli waris korban.

Kedua, Penantang Berkelahi (dago dagi), pelaku

dikenakan sanksi denda sebagaimana adagiumadat

―Memekik Mengentam Tanah, Menggulung Lengan Baju,

Menyingsing Kaki Celana‖. Jika yang ditantang orang biasa

sanksinya 1 ekor ayam, 1 gantang beras dan 2 buah kelapa,

194Syarak mengenal tiga bentuk Jarîmah (pidana), yaitu; Jarîmah

Hudud, Jarîmah qişâş dan Jarîmah Ta‘zîr. Pertama, Jarîmah Hudud

yaitu pelanggaran tindak pidana yang telah ditentukan standar

sanksinya oleh Allah melalui naşş (al-Qur‘an dan Sunnah) berupa rajam

atau cambuk bagi pelaku zina, potong tangan bagi pencuri, li‘an dan

lainnya karena merupakan hak Allah. Kedua, Jarîmah qişâş yaitu

pelanggaran tindak pidana yang telah ditentukan standar sanksinya

sebagai hak adamî, seperti; berupa qişâş (balasan yang sama) terhadap

pelaku pembunuhan dengan sengaja. Ketiga, Jarîmah Ta‘zîr, yaitu

pelanggaran tindak pidana yang ketentuan dan kadar sanksinya

diberikan keleluasaan kepada pemerintah. Lihat Imam Nawawi, al-

Majmu‘: Syarh al-Muhazzab, (Jedah: Maktabah al-Irsyad, t.th.), XXII, 3-5. 195Dalam literatur fikih dijelaskan sanksi terhadap pelaku

pembunuhan adalah membayar diyât sebesar 100 onta dengan jenis yang

berbeda. Kalau tidak mampu dikenakan sanksi qişâş yaitu balas bunuh.

Lihat Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bajuri, (Beirut: Dar al-Ihya at-

Turats al-Araby, 1980), Jilid II, 280-281. 196Q.S. al-Baqarah [2]; 178.

Page 136: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

127

sedangkan yang ditantang atasan atau kedudukannya lebih

tinggi sanksinya 1 ekor kambing, 20 gantang beras dan 20

buah kelapa.197 Dalam kasus ini, tidak dijumpai naşş şahîh

yang secara eksplisit menjelaskan tentang status dan sanksi

hukum bagi pelaku yang menantang orang lain,

sebagaimana adat Melayu Jambi. Namun, spirit yang

termuat dalam naşş menunjukkan dorongan kepada umat

Islam untuk menjalin persaudaraan, hubungan baik

bertetangga, bahkan untuk mendamaikan konflik internal

maupun eksternal antar sesama muslim.198

Di sisi lain, banyak dijumpai naşş al-Qur‘an maupun

Sunnah Rasul melarang perilaku sombong, berbuat

keonaran dan kericuhan yang berujung pada

disharmonisasi, perselisihan bahkan konflik

berkepanjangan dengan orang lain.199 Dipertegas oleh hadis

Muslim mengenai larangan menantang orang lain,200 dan

larangan menakut-nakuti muslim lain (teror).201

197Azra‘i al-Basyari, Undang-undang Adat ..., 5-8. 198Q.S. al-Hujurat [49]: 9-10. 199Q.S. Luqman [31]: 18. 200Teks hadis:

نة، عن أيوب، عن عت أب ىريػرة، يػقول: قال أبو حدثن عمرو الناقد، وابن أب عمر، قال عمرو: حدثػنا سفيان بن عيػيػ ابن سيرين، سو من أشار إل أخيو بديدة، فإن الملئكة تػلعنو، حت يدعو وإن كان أخاه لبيو وأ »م: القاسم صلى الله عليو وسل م

―Telah menceritakan kepadaku 'Amr an-Naqd dan Ibn Abiy 'Umar, 'Amru

berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibn 'Uyainah dari

Ayyub dari Ibn Sirin Aku mendengar Abu Hurairah berkata; Abu Qasim

bersabda: "Barang siapa yang mengacungkan senjata kepada saudaranya,

maka malaikat akan melaknatinya hingga ia menurunkannya kembali.

Meski dia saudara sebapak atau saudara seibu. Telah menceritakan

kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada

kami Yazid bin Harun dari Ibnu 'Aun dari Muhammad dari Abu Hurairah

dari Nabi Saw dengan hadits yang serupa.‖ Lihat Abu al-Husain Muslim

ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, şahîh Muslim, hadis

No 2616 (125) juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 2020. 201Teks hadis:

، عن عبد ا ثػنا العمش، عن عبد الل بن يسار الهن ثػنا عبد الل بن نير، حد اب رسول الل صلى لرحن بن أب حد ثػنا أص لى قال: حد ليػهم، فانطلق بػعضهم إل نػبل معو فأخ الله عليو وسلم، أنػهم كانوا يسيرون مع رسول الل صلى الله عليو وسلم ف مسير، فػن ذىا، ام رجل منػ

ك القوم، فػقال: قظ الرجل فزع، فض ككم »فػلما استػيػ ، فػقالوا: ل، إل أن أخذن نػبل ىذا فػفزع، فػقال رسول الل صلى الله « ما يض «مسلمال يل لمسلم أن يػروع »عليو وسلم:

―Telah menceritakan kepada kami 'Abd Allah ibn Numair telah

menceritakan kepada kami al A'masy dari 'Abd Allah ibn Yasar al-

Page 137: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

128

Secara substantif Islam mengajarkan manusia saling

menolong, mengasihi, menyayangi, kedamaian, dan

melarang memicu konflik apalagi permusuhan, meski tanpa

menyebutkan secara spesifik tingkatan sanksi bagi pelaku.

Dorongan untuk berbuat baik dan larangan berbuat

kerusakan (jalb al-maşâlih wa daf‘ al-mafâşid) endingnya

menciptakan ke-maşlahah-atan bersama antar sesama

manusia dan makhluk hidup, sesuai tujuan hidup manusia

(maqâşid al-Syari‘ah).

Berpijak pada asas maşlahah dan menjaga diri

(Hifzun Nafs) dari segala mudarat itulah dalam hukum adat

Melayu Jambi diberlakukan beberapa standar hukum,

tujuannya memberi efek jera bagi para pelakunya agar tidak

mengulanginya dan menjaga ketentraman masyarakat.

Mengingat Islam tidak menolak pemberlakuan sanksi,

sejalan dengan kaidah ―Adat yang baik (yang sudah

diketahui secara umum) sebagai syariat dan bersifat

mengikat‖.202 Bahkan dalam kaidah lain ditegaskan bahwa

―al-Ma‘rûfu ‗urfan kal masyrûthi syarthan, al-Tsâbit bil ‗urfi

ka al-Tsâbit bi al-Naşş‖, (yang baik itu menjadi ‗urf,

sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat, dan yang

ditetapkan melalui ‗urf sama dengan ditetapkan melalui

naşş). Larangan melawan atasan, pemimpin, atau bahkan

melakukan kudeta terhadap penguasa (wali al-amr).203

Ketiga, tentang Pinangan, dimana pada adat Melayu

Jambi aturan peminangan sebelum menikah dimuat dalam

seloka adat: ―Meminang di atas Pinang, menawar di atas

Juhaniy dari 'Abd ar-Rahman ibn Abu Laila berkata: telah menceritakan

kepada kami para sahabat bahwa mereka berjalan bersama Rasulullah

Saw dalam suatu perjalanan lalu seseorang di antara mereka tidur,

sebagian dari mereka mendekati anak panahnya lalu mengambilnya

kemudian orang itu terbangun dan kaget, orang-orang tertawa kemudian

Rasul bersabda: "Apa yang membuat kalian tertawa?" mereka berkata:

Tidak, kami hanya mengambil anak panah orang ini lalu ia kaget.

Rasulullah Saw bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim menakut-

nakuti muslim lain." Lihat Ahmad ibn Hanbal Musnad Ahmad ibn

Hambal, hadis No-23064 (Beirut: ar-Risalah, t.th.), XXXVIII, 163. 202Ali Haidar, Durar al-Hukkâm: Syarh al-Majallah al-Ahkâm,

(Beirut: al-Kutub al-‗Alamiyah, t.th.), I, 66. 203Ahmad bin Ruslan, Shofwa al-Zubâd, (Madinah: t.tp., 1417 H.),

5.

Page 138: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

129

tawar. Artinya, jika seorang gadis telah dipinang oleh orang

lain dan jelas pinangan itu diterima, maka status gadis

tersebut adalah tunangan orang lain dan tidak boleh lagi

dipinang. Pelanggaran ketentuan ini, dihukum dengan 1

ekor kambing dan 20 gantang beras.‖ Penerapan sanksi adat

ini sejalan pesan Rasul yang secara tegas melarang

seseorang meminang perempuan yang dipinang oleh laki-

laki lain, kecuali setelah meminta izin dari peminang

sebelumnya atau peminangan dibatalkan.204

Menurut Kemas Husin, jika pembatalan pinangan

(lamaran) oleh pihak laki-laki secara sepihak maka

pembatalan tersebut diakui oleh adat maka barang

bawaannya ketika melamar berupa cincin dan barang

lamaran lainnya yang telah diberikan kepada pihak

perempuan dianggap hangus. Berbeda ketika inisiatif

pembatalan tunangan dari pihak perempuan maka pihak

perempuan dikenakan sanksi adat dengan mengembalikan

cincin dan barang lamaran dua kali lipat kepada pihak laki-

laki.205

Tradisi masyarakat Melayu Jambi mengenai

larangan meminang perempuan yang telah dipinang orang

lain, sejalan dengan ketentuan syarak. Sementara itu,

persoalan denda/hukuman yang ditentukan itu pada

prinsipnya hanyalah untuk menjaga dan mencegah

terjadinya permusuhan, prasangka buruk, kebebasan dan

moral (akhlak) yang tidak baik serta menjaga sikap saling

menghargai sehingga tercipta ketenangan dan kedamaian di

tengah masyarakat. Hal seperti ini tidak bertentangan

dengan Islam.206

Keempat, tradisi Cuci Kampung, yaitu ritual adat

ketika ada perbuatan salah (asusila) yang terjadi antara

204Teks hadis:

ثػنا مكي بن إبػراىيم، حد هما، كان يػقول: حد عنػ عت نفعا، يدث أن ابن عمر رضي الل نػهى النب صلى الله عليو »ثػنا ابن جريج، قال: سلو أو يذن لو الخاطب وسلم أن يبيع بػعضكم على بػيع بػعض، ول يطب الرجل على خطبة أ رك الخاطب قػبػ «خيو، حت يػتػ

Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Al-Jami‘ ash-

Shahîh. hadis No 5142 (t.th) (Kairo: Mathba‘ah as-Salafiyah, t.th), VII, 19. 205Wawancara, Ketua Adat Simpang Rimbo, 28 Mei 2015. 206Asy-Syafi‘i, al-Umm, (T. Tp: Dar al-Wafa‘ li al-Thoba‘ah wa al-

Nasyr wa al-Tauzi, 2001), VI, 107-108.

Page 139: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

130

sesama Bujang Gadis (perjaka-perawan), atau antara

Bujang Gadis dengan orang yang sudah menikah. Mengenai

Cuci Kampung tercermin dalam adagium adat: ―Tegak

mengintai Lenggang, Duduk Menanti Kelam, Tegak berdua

begandeng dua, Salah Bujang Gadis dikawinkan‖.

Pergaulan Bujang Gadis yang diduga kuat melanggar adat

dan memberi malu kampung tanpa sisik siang harus

dikawinkan. Sanksi pertama diberi nasehat, jika masih

mengulangi perbuatan tersebut maka dikenakan sanksi

berupa denda cuci kampung sebanyak 1 ekor kambing, dan

20 gantang beras serta dikawinkan. Secara tekstual sanksi

seperti ini tidak sejalan dengan pesan al-Quran.207

Penegasan al-Qur‘an terhadap sanksi bagi pelaku

zina harus dijilid (dicambuk), terkesan tidak sejalan dengan

sanksi yang diimplementasikan melalui adat. Padahal

secara substantif sanksi yang diterapkan sesuai dengan

spirit Islam, meski tidak persis dengan putusan syarak.

Menikahkan keduanya berarti telah menutup pintu maksiat

berikutnya dan memberi kesempatan pelaku bertobat

kepada Allah atas kekhilapannya. Sedangkan ritual cuci

kampung merupakan sanksi sosial yang harus dijalani

pelaku beserta keluarga yang memakan waktu tidak

terbatas bahkan ke beberapa generasi.208 Atas dasar itu,

solusinya dengan mengawinkan pelaku zina laki-laki dan

perempuan sebagai sanksi atas perbuatan mereka,

perkawinan sarana terbaik sekaligus langkah apresiatif

terhadap ajaran Islam. Pemberlakuan hukum rajam atau

cambuk dirasa berat, namun harus dicarikan solusi agar

tidak terulang kembali perbuatan asusila tersebut.209

Dengan demikian, terlihat adanya sinkronisasi (titik

temu) antara putusan syarak dan putusan adat yaitu;

pertama, dasar pijak keduanya adalah al-Qur‘an dan

Sunnah (ayat maktûbah) dan tradisi yang hidup dalam

207Q.S. an-Nur [24]: 3. 208Pelaku zina dalam Islam dikenakan sanksi, Muhsan sanksinya

adalah rajam jika telah terpenuhinya 4 syarat; baligh, berakal, merdeka

dan pernah berjima‘. Lihat Imam Nawawi, al-Majmu‘..., 320-322. 209Khotib Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat al-Fadh al-

Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), III, 492.

Page 140: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

131

masyarakat serta lingkungan sekitar (ayat kauniyah).

Kedua, materi teksnya mencakup semua aspek fikih, yaitu:

ibâdah, akhwâl al-syahsiyyah, jinâyah, muâmalat dan

siyâsah, berikut sanksi bagi pelaku serta konpensasi bagi

korban. Ketiga, paradigmanya menciptakan maşâlih dan

menghindari mafâsid, stabilitas sosial-politik, kompromistis,

dan ukhuwah. Keempat, subjek hukumnya adalah umat

Islam. Kelima, pada kasus tertentu memiliki institusi

yudikatif secara hierarkis.

Diferensiasi Aturan Syarak dengan Adat

Adat Melayu Jambi sejak awal abad ke-15 telah diverifikasi

oleh syarak dengan falsafah ―adat bersendi syarak, syarak

bersendi Kitabullah‖, dan ―undang datang dari hulu teliti

dari hilir‖, namun demikian tidak menutup kemungkinan

adanya diferensiasi (titik beda) antar-keduanya. Misalkan

dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan hukum pidana

mengatur pelaku dihukum Qişâş dan diyât, berbeda dengan

hukum adat yang mengatur pelaku dikenakan sanksi adat

berupa cuci kampung, membayar pampas dan meminta

maaf kepada korban serta membayar bangun atau diyât

sesuai dengan aturan adat.

Perbedaan putusan syarak dan putusan adat terlihat

pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat.210

Pertama, larangan kawin dengan satu klan atau marga.

Jika tidak boleh mafhûm-nya tidak sah. Larangan ini, pada

dasarnya tidak bersendi syarak, namun bagi masyarakat

wilayah Hulu (Barat) praktik semacan ini ―kurang baik,

melanggar baso‖ (sû‘u al-adab). Konsekuensinya, larangan

itu tidak ditentang tetapi juga tidak dianjurkan; nahy tapi

tidak tahrîm. Begitupula larangan menikahi sepupu se-ibu,

argumentasi yang dimunculkan justru bukan adat

melainkan syarak. Padahal ketetapan syarak membenarkan

seluruh pernikahan kecuali ditemukan ketentuan dalil yang

melarangnya.211 Kekhawatiran susuan (rad}â‘ah) di masa

210George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Terakhir Post Modern, alih bahasa Saut Pasaribu, et. al.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). 211Q.S. an-Nisa‘ [4]; 23.

Page 141: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

132

kecil antara kedua mempelai—ternyata—menjadi sebab

larangan perkawinan sepupu se-ibu dengan tujuan (sadd

az|-z|arî‘ah). Di sinilah (dis)fungsi syarak dipertanyakan;

apakah teliti (hukum syarak) difungsikan sebagai yang

meneliti kemudian mengatur adat, atau justru ‗diperalat‘

untuk melegalkan keinginan adat.

Kedua, perempuan yang pernah menikah (al-Tsaib)

tidak berhak mendapatkan lamaran (hantaran) alias tanpa

lamaran dari pihak lelaki, berbeda dengan gadis yang

berhak menerima lamaran bahkan ikut menentukan jumlah

lamaran. Dalam Islam perbedaan perempuan gadis dan

janda hanya saat menikah, dimana perempuan gadis

diberikan hak kepada orang tuanya menentukan calon

suami (wali al-mujbir), sedangkan perempuan janda

mempunyai hak sendiri memilih pasangan hidupnya. Hadis

ini tidak menetapkan perbedaan dalam nilai ataupun

jumlah lamaran, namun dalam adat Jambi dibedakan

jumlah dan nilai lamaran bagi perempuan janda.

Perempuan janda tidak berhak menentukan jumlah

lamaran, tergantung kemauan pihak laki-laki atau

sekedarnya saja Meski belum dijumpai alasan yang kuat

tentang dasar penetapan hukum tersebut.

Ketiga, dalam sistem kekerabatan dan kewarisan

terjadi dualisme penerapan hukum antara masyarakat

Melayu Jambi Hulu (Barat) menganut sistem kekerabatan

matrilineal menisbatkan anak kepada ibu, berbeda dengan

masyarakat Melayu Jambi wilayah Hilir (Timur) menganut

sistem patrilineal yang menisbatan anak kepada ayah dan

ini merupakan refleksi dari pemahaman terhadap konsep

Islam.

Keempat, sanksi perselingkuhan, penerapan sanksi

bagi istri dengan membayar tebus thalak sebagai syarat

perceraian dan diusir dari rumah dengan membawa pakaian

seadanya dan bagi selingkuhannya sanksi wajib membayar

tebus talak kepada suami agar suami dapat

menceraikannya atas dasar permintaan isteri, lalu isteri

diusir dari rumah dengan membawa pakaian yang sedang ia

pakai (sepelulusan). Selanjutnya suami meminta ganti rugi

kepada lelaki yang menodai isterinya untuk membayar

Page 142: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

133

ganti rugi dengan dua pilihan yaitu; sepenyebutan atau

sepenjemputan. Pertama, Sepenyebutan, maksudnya suami

meminta ganti rugi sesuai keinginannya karena laki-laki

tersebut karena telah menodai isterinya dan menjatuhkan

martabatnya di tengah masyarakat. Kedua, Sepenjemputan,

maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai dengan jumlah

uang yang ia keluarkan ketika melamar isterinya.

Berpijak pada beberapa contoh kasus tersebut

disimpulkan perbedaan antara syarak dengan adat dijumpai

pada beberapa aspek: pertama, penerapan sanksi hukum

Islam lebih mengedepankan praktik ijtihad istinbathy

(maksud naşş), sedangkan adat lebih mengedepankan

ijtihad tathbiqy (maksud adat).212 Kedua, penerapan sanksi

Islam lebih mengedepankan implementasi khiţâb syar‘i dan

aspek jera guna mewujudkan maqâsid al-syar>i‗ah,

sedangkan adat lebih mengedepankan, meminjam istilah

Pahmi Sy, kompromi antara pelaku dan korban. Adat selalu

selalu menginterpretasikan khiţâb syar‘i untuk disesuaikan

dengan keinginan masyarakat adat dan kondisi di lapangan

meski dalam persoalan tertentu tidak sejalan dengan khiţâb

syar‘i. Seperti pada kasus mengganti mati-bangun

pembunuhan dengan kerbau, sebagaimana dicontohkan

pada kasus penyembelihan Nabi Ismail As. digantikan

dengan Kibas. Begitupula dengan cuci kampung sebagai

bentuk pengakuan atas kesalahan dan permohonan ampun

sehingga disucikan dengan doa bersama.

Mencermati sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi

(titik beda) antara putusan syarak dan putusan adat,

beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, secara

umum syarak mengakomodir adat, baik dari aspek prinsip

maupun implementasi. Contoh, prosedur acara seremonial

sebelum acara pernikahan, mulai dari perkenalan,

pinangan, lamaran, dan tunjuk ajar (nasihat perkawinan).

Kedua, bila terjadi perbedaan prinsip terkait persoalan

212Ijtihad menurut asy-Śyâţibî

الجتهاد ىواستفراغ الهد وبذل غاية والوسع فى ادارك الحكام الشرعية―Pengetahuan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali

hukum syarak.‖ Lihat Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ Asy-Syâţibî, al-

Muwâfaqât ..., Juz. IV, 89.

Page 143: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

134

ideologis antara aturan adat dengan adat, maka aturan

syarak menjadi prioritas utama dan putusan adat dapat

dilaksanakan bila keadaan memungkinkan. Contoh kasus

perdata, kuantitas pembagian harta waris 2:1 atau lebih

bagi anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Ketiga,

memodifikasi berbagai bentuk sanksi terhadap pelanggaran

kasus pidana maupun perdata. Contoh kasus pidana,

menetapkan sanksi Dibangun bagi pelaku tindak pidana

pembunuhan dengan kewajiban membayar seekor kerbau

dan kain putih, beras, kelapa dan selemak semanis, dengan

tujuan memberikan modal penghidupan bagi keluarga

korban. Dalam bidang perdata, penetapan wajib nikah bagi

pelaku dan membayar denda cuci kampung berupa seekor

kambing dan peralatan dapur lainnya bagi pelaku sumbang

salah untuk ritual pembacaan doa dengan tujuan agar

kampung tersebut jauh dari balak bencana. Pengadopsian

terhadap adat seperti ini, pada hakikatnya yang berlaku

adalah syarak meskipun materinya diterima dari adat.

Meski antara syarak dengan adat berbeda dalam

definisi dan epistemologi sehingga memunculkan

sinkronisasi dan diferensiasi, namun misinya sama yaitu

mewujudkan tatanan masyarakat yang hidup damai dalam

perspektif politis maupun sosiologis.

D. Unifikasi sebagai Penjembatan Pergulatan Syarak

dengan Adat

Unifikasi merupakan upaya menyeragamkan aturan yang

awalnya berbeda menjadi satu baik berupa hukum dan

pemerintahan, sebagaimana terjadi di Jambi sejak abad ke-

15. Penyeragaman aturan syarak dengan aturan adat

melahirkan Undang Adat Jambi, begitupula dengan

penyeragaman aturan pemerintahan berdasarkan kerajaan

(Temenggung) dengan pemerintahan berdasarkan kerapan

adat (Perpatih) melahirkan Pemerintahan Adat Melayu.213

213Kedua aturan tersebut jelas, terarah dan sistemik sehingga

menjadi sistem. Sistem adalah batasan metode dimana metode tersebut

memkoridorkan batasan masalah yang di hubungkan atau komponen

yang memiliki suatu parameter kesamaan saling terhubung dalam suatu

Page 144: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

135

Pertama, unifikasi sistem hukum, dalam sejarah

kerajaan Islam Nusantara, salah satu kerajaan yang

berhasil menyunifikasi syarak dengan adat adalah kerajaan

Islam Melayu Jambi oleh Ahmad Kamil. Beliau berjasa

memadukan adat dan syarak menjadi aturan dan

dikodifikasi menjadi undang negara dengan nama Undang

Adat Jambi. Unifikasi ini justru jauh sebelum terbentuknya

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berawal dari

kedatangan Islam yang memberi pengaruh besar terhadap

warna adat yang awalnya bersendikan kepada alur, alur

bersendikan ke patut dan patut bersendi ke kebenaran

menjadi adat bersendi syarak, dan syarak bersendi

Kitabullah. Sejak saat itu, kerajaan Melayu Jambi

mendasarkan syariat Islam sebagai dasar ideologis dan

sosiologis sehingga muncul seloka ―Adat nan lazim syarak

nan qawi‖, syarak mengato adat memakai, haram kato

syarak dihukum kata adat, larang kato syarak pantang kato

adat.‖

Sementara wilayah Jambi bagian Barat tetap berlaku

―adat bersendi alur, alur bersendi patut, patut bersendi

kebenaran‖.214 Pada abad ke-15 M. mulailah kerajaan ini

berusaha memasukkan wilayah Barat sebagai bagian dari

wilayah kerajaan secara keseluruhan dan hukum yang

diberlakukan adalah hukum yang didasarkan pada syariat

Islam. Untuk mempercepat dan mempermudah penguasaan

wilayah Barat, seorang wakil raja ditempatkan di wilayah

Barat yang berkedudukan di Muaro Masumai – Bangko.

batasan. Ada dua sistem yang berhasil dikombinasikan pada masa

kerajaan Islam Melayu yaitu; sistem hukum dan sistem pemerintahan.

Pertama, sistem hukum yaitu kesatuan dari tatanan yang terdiri dari

bagian atau unsur yang saling berhubungan dan berkaitan secara erat.

Kedua, sistem pemerintahan, yaitu suatu sistem untuk menjaga

kestabilan masyarakat dalam banyak segi sosial, norma, dan ekonomi,

menjaga kestabilan sistem dalam menjaga kedaulatan negara, menjaga

kekuatan dari segi pertahanan, ekonomi, politik dan keamanan dimata

dunia sehingga menjadi berkelanjutan untuk memenuhi tugas esensial

dan fakultif dari Negara. Lihat Lilik Mulyadi, Sistem Hukum

Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaji dari Perspektif

Yurisprudensi dan Pergeseran ―kebijakan‖ Mahkamah Agung Republik

Indonesia, diakses tanggal 10 April 2017. 214Ibid.

Page 145: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

136

Ketika itu wilayah Sarolangun Bangko (Sarko) berada di

bawah sistem persekutuan adat Depati Setio Rajo, Depati

Setio Nyato dan Depati Setio Rajo.

Mengingat Jambi wilayah Barat tidak mempunyai

persekutuan sebagaimana sistem kerajaan, dengan mudah

dikuasai oleh kerajaan Islam Melayu Jambi. Wilayah Muaro

Masumai yang termasuk sistem persekutuan adat Depati

Setio Rajo harus tunduk kepada aturan kerajaan yang

dikepalai oleh Temenggung Kabul Dibukit pada awal abad

ke-15 M. Selanjutnya, atas perintah raja beliau

mengupayakan agar sistem hukum adat yang ada

disesuaikan dengan spirit ajaran Islam.

Sejak saat itu terjadi ambivalen dalam penerapan

hukum di wilayah Jambi bagian Barat, mereka mempunyai

hukum adat sendiri semenjak dulu kala dipaksakan untuk

menerapkan syarak. Sebelumya di Kerinci dan Sarko

semenjak tahun 1347-1526 M. memberlakukan hukum adat

yang disebut Undang berasal dari Pagaruyung. 215 Atas

dasar itu, menurut Junaidi T Noer muncul seloka―Undang

turun dari hulu, Teliti mudik dari Tanah Pilih, Undang

Tibo dulu Taliti Tibo kurian, Undang datang bertali gial,

Teliti tibo bertali tajuk, Undang talanjuo kile Teliti telanju

mudik‖.216

Implikasinya timbul kesulitan penerapan hukum

pidana adat, memberlakukan hukum pidana dari

Pagaruyung atau hukum pidana dari Tanah Pilih. Untuk

menengahinya digagaslah Rapat Besar Adat (RBA) kedua di

Bukit Sitinjau Laut tahun 1530 M. melalui konvensi yang

dituangkan dalam falsafah―Undang datang dari Hulu, Teliti

215Undang diasumsikan adat yang berasal dari Minangkabau,

sedangkan Teliti diasumsikan aturan yang bersumber dari ajaran Islam.

Asumsi pertama ini tidak seluruhnya benar dengan alasan, pertama, adat

Minangkabau dan adat Jambi pada awalnya inheren dalam kesatuan adat

Melayu di bawah kekuasaan kerajaan Melayu. Penggunaan bahasa

adatpun relatif sama sebagaimana termuat dalam undang duo puluh,

yang tidak hanya dipakai dalam terminologi Minangkabau akan tetapi

juga digunakan pada beberapa etnis dan bangsa Melayu di dalam dan

luar negeri. Kedua, jika bahasa Melayu yang dijadikan acuan maka cikal

bakal etnis Melayu justru dari Jambi. 216Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.

Page 146: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

137

dari Hilir.‖ Tujuannya adalah memadukan Undang dengan

Teliti yang penerapannya berbeda, sesuai seloka: ‗Apo kato

Teliti, apo pulo kato Undang, cukil mato pembunuh kato

Teliti, cukil mato kerbau kato Undang, potong tangan

pencuri kato Teliti, potong tangan kambing kato Undang‖.

Begitupula kesulitan menjatuhkan sanksi pada kasus

pembunuhan, menurut Teliti ahli waris korban mempunyai

pilihan satu diantara dua hukum, menerima uang denda

(diyât) atau qişâş yaitu pelaku dihukum mati. Berbeda

dengan sistem hukum menurut Undang pelaku wajib bayar

bangun, yaitu membayar kepada pihak korban dan denda

adat, serta cuci kampung, dan berdamai saling memaafkan

antara pihak korban dan pelaku, maka untuk menyatukan

Undang dengan Teliti diusulkan oleh adanya Rapat Adat

pada tahun 1530 bertempat di Bukti Sitinjau Laut

perbatasan antara Kerinci dengan Padang.

Sejak saat itu syarak dengan adat terintegrasi secara

mapan dan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling

melengkapi sehingga terjadi keseimbangan karena mampu

mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok sebagai

adresat hukum. Meskipun lahirnya falsafah ini

mengindikasikan terjadinya subordinasi antara dua hukum

dalam suatu arena yang disimbolkan dengan undang dan

teliti.217 Integrasi keduanya dirumuskan dalam Undang

Adat Jambi, yang di dalamnya memuat undang duapuluh

dan undang raja.218

217Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara ..., 25-27. 218Di antara undang kerajaan Jambi sebagai ditulis Ngebi Sutho

Dilogo, sebagai peraturan yang berlaku pada waktu itu dan harus ditaati

oleh semua masyarakat yang bernaung dalam kerajaan Jambi terdiri dari

33 pasal dan 70 pasal. Kesimpulan 33 pasal 1). Raja adalah pemegang

kekuasaan tertinggi, karena keputusan pengadilan harus disahkan oleh

raja; 2). Kedudukan setiap priyayi atau raja kecil sama dengan kerajaan

yang dua belas bangsa; 3). Rakyat dapat membantah priyayi yang berlaku

zalim baik secara perorangan maupun secara bersama-sama. 4).Tidak ada

hukum kurungan, yang ada hanya hukum denda, pukul, rantai, kerja

paksa, luka berpampas, mati membangun; 5). Hukuman yang dijatuhkan

tidak dapat diganggu gugat; 6). Hukuman yang tidak setimpal dengan

dakwaan maka dibolehkan naik banding dalam jangka tujuh hari; 7).

Hukum adat itu lebih kuat daripaada hukum celaga; dan 8). Semua

perkara yang diajukan haruslah dengan bukti yang lengkap. Ibid, 34.

Page 147: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

138

Kedua, Ahmad Kamil juga berhasil menyatukan dua

sistem pemerintahan otonom, yaitu; berdasarkan kerajaan

(Temenggung) dan berdasarkan kerapatan adat

(Perpatih).219 Sistem pemerintahan yang awalnya terpisah,

di wilayah Hilir menerapkan pemerintahan berdasarkan

kerajaan (Temenggung), sedangkan di wilayah Hulu

menerapkan pemerintahan berdasarkan kerapatan adat

(Perpatih).

Sedangkan pemerintahan Kerapatan Adat hanya

menetapkan pemerintahan adat berdasarkan falsafah

Berjenjang naik, Bertanggo turun. Sebagai bukti

ditemukannya gelar pemuka adat mulai dari Sigindo,

Pamuncak hingga Depati. Sistem ini mempunyai beberapa

ciri, yaitu; tidak mengenal raja dalam pengertian absolut

karena posisi raja bergantian, kepemimpinan adat

berdasarkan kesepakatan berdasarkan ‗alur dan waris‘

secara bergantian antar kaum kerabat dalam komunitas

tersebut. Sistem pemerintahan ini didasarkan pada adat

dan lembaga pemerintahannya disebut dengan Lembaga

Adat yang merepresentasikan kepentingan penguasa

(pemerintah), pegawai syarak dan pemangku adat.220 Sistem

219Aulia Tasman, Memahami Adat Lamo di Wilayah Jambi,

makalah dalam "Seminar Adat Melayu Jambi", 2014, 2. 220Kedua model pemerintahan baik Temenggung maupun Perpatih

diprediksi adopsi dari tradisi Minangkabau, keduanya yang diidentikkan

dengan otokrasi dan demokrasi. Pertama, Otokrasi adalah suatu bentuk

pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang.

Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani derivasi dari kata oto yang

berarti sendiri dan kratos berarti pemerintah. autokratôr yang secara

harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Otokrasi

merupakan Pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh seseorang

yang berkuasa secara penuh dan tidak terbatas masanya. Sedangkan

yang memegang kekuasaan disebut otokrat yang biasanya dijabat oleh

pemimpin yang berstatus sebagai raja atau yang menggunakan sistem

kerajaan. Para pendukung otokrasi biasanya mengajukan pendapat

bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif

untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses

pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang

beragam, atau persaingan antar kelompok menjadi relatif terkurangi oleh

sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan. Negara yang

mempraktikkan pemerintahan ini antara lain: Inggris, Swedia, Denmark,

Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol.

Page 148: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

139

pemerintahan ini dikenal dengan istilah Perpatih

(pemerintahan adat yang dipimpin oleh Pemangku Adat).

Pemangku Adat memimpin forum tiga tali sepilin yang ada

dalam kelembagaan adat melalui kerapatan adat dan

merupakan representasi dari; pertama, Raja Alam, Raja dari

kerajaan dan sedang berkuasa; kedua, Raja Ibadat, orang

sangat memahami persoalan keagamaan, dan ketiga, Raja

Adat, orang yang paling berpengaruh di masyarakat dan

sangat mengerti tentang norma adat. Raja ibadat awalnya

dalam tradisi Minangkabau adalah ―pandito (pendeta)‖,

kemudian diganti oleh Ahmad Kamil dengan istilah pegawai

syarak, yang terdiri dari imam, khatib dan bilal. Inilah kali

pertama munculnya istilah pegawai syarak sesuai falsafah

―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖. Pegawai

syarak dibebani tanggung jawab oleh kerajaan memelihara

eksistensi dan keberlangsungan syarak pada setiap marga

dan kampung. Kedua sistem hukum dan ―pemerintahan

adat‖ inilah yang masih berlaku di Jambi, meski kelihatan

unik namun tetap diakui dan dipraktikkan oleh masyarakat

Melayu Jambi.

Setelah kerajaan Islam Melayu yang mempraktikkan

sistem kerajaan (Temenggung) dengan berhasil

menaklukkan Kerinci dan Sarolangun-Bangko (Sarko) yang

ketika itu memberlakukan sistem kerapatan adat

(Perpatih), terjadi kolaborasi kedua sistem pemerintahan

sehingga lahirlah sistem pemerintahan Adat Melayu Jambi.

Struktur pemerintahan Melayu Jambi ini merupakan

kolaborasi dari dua sistem pemerintahan dan dipraktikkan

Di negara-negara ini, otokrasi menjadi instrumen pemersatu yang cukup

efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang

ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju

seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.

Kedua, Demokrasi, dimana kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat,

bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan

demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang

dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi

langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative

democracy). Lihat Carlton Clymer Rodee, dkk., Introducti on to Political

Science, terj. Zulkipli Hamid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 64,

159.

Page 149: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

140

secara bersamaan sesuai tugas masing-masing. Dalam

sistem pemerintahan Melayu Jambi, kerajaan dipimpin oleh

seorang Raja atau Sultan secara hierarkis merupakan

pemimpin tertinggi dibantu oleh Perdana Menteri, yang

bertugas mengendalikan administrasi kerajaan dan calon

pengganti Raja atau Sultan. Pendana menteri bergelar

Pangeran Ratu membawahi dua dewan, yaitu Dewan Patih

Dalam dan Dewan Patih Luar. Patih Dalam dan Patih Luar

sama dengan kedudukan Menteri dalam kabinet

presidensial. Anggota-anggota kerapatan Patih Dalam

terdiri dari Panggeran yang mempunyai gelar masing-

masing.221

Saat ini, sistem hukum yang ada di wilayah Jambi

bagian Barat masih tetap memberlakukan sistem hukum

221Sistem pemerintahan asli masyarakat Jambi tidak banyak

berbeda sejak dari kerajaan Melayu sampai zaman kesultanan Jambi,

kerajaan disusun berdasarkan adat, pada zaman kesultanan adat

bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah. Bentuk dan struktur

pemerintahan kerajaan adalah berjenjang naik bertanggo turun, asas

demokrasi berdasarkan kepribadian seorang raja, yang tercermin dalam

pepatah ―raja adil raja disembah raja zalim raja disanggah‖. Secara

hierarkis raja atau sulthan adalah pucuk pimpinan tertinggi yang dibantu

oleh seorang perdana menteri (Pangeran Ratu). Tugas perdana menteri

ini adalah mengendalikan administrasi kerajaan. Perdana menteri adalah

seorang bergelar Pangeran Ratu sebagai calon seorang pengganti Raja

atau Sultan. Pangeran Ratu atau perdana menteri membawahi dua

macam dewan, yaitu Dewan Patih Dalam dan Dewan Patih Luar, yang

mana pemerintahan Jambi terdiri dari Dewan kerajaan Melayu Islam

adalah sistem pemerintahan yaitu: Kuasa Sultan, Kuasa Patih Dalam,

Kuasa Patih Luar, Rantau Sekato Jenang, Negeri Sekato Batin, Luhak

Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, dan Rumah Sekato Tengganai.

Patih Dalam dan Patih Luar adalah merupakan kerapatan Sultan

(sistem) sekarang sama dengan kabinet dalam menjalankan

pemerintahan. Anggota-anggota kerapatan Patih Dalam terdiri dari

Panggeran-pangeran yang bergelar: 1. Pangeran Adipati Mangkuningrat

(Pangeran ratu) Calon Sultan; 2. Pangeran Soetie Nyato Kereno; 3.

Pangeran Djojoningrat; 4. Pangeran Ario Djoyo Kusumo; 5. Pangeran Noto

Manggolo; dan 6. Pangeran Wiro Kusumo. Sedangkan anggota kerapatan

patih luar terdiri dari: 1. Pangeran Soero Mangku Negoro; 2. Pangeran

Mangku Negoro; 3. Pangeran Prabunegoro; 4. Pangeran Joyokusumo; 5.

Pangeran Keromodelogo; dan 6. Pangeran Koesoemo Dilogo. Hierarki

pemerintahannya dikenal dengan adagium―berjenjang naik bertanggo

turun‖. Lihat Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara ..., 30.

Page 150: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

141

adat bias pemerintahan kerapatan adat (Perpatih),

sementara sistem pemerintahan yang awalnya kerajaan

(Temenggung) sejak kemerdekaan kembali kepada Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam konteks ini

pemerintah Indonesia telah yang mempunyai struktur

hierarkis dari pusat sampai daerah (lurah/desa) bahkan

sampai tingkat Rukun Tetangga (RT).222

Pengalaman ―mendamaikan‖ isi teks syarak dengan

adat sebagai hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah

sosial yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga

masyarakat lokal) dan sistem pemerintahan ini dipandang

sukses membawa masyarakat Melayu Jambi menuju

kedamaian, inklusifitas dan fluralitas. Pluralitas hukum

rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan

paham partikularisme pada zaman kerajaan Melayu

berlanjut pada masa kerajaan Islam Melayu dan kesultanan

hingga saat ini. Begitupula dengan mendamaikan kedua

sistem pemerintahan sebagai kesatuan hukum dan politik

substansinya menyerap aspirasi dari berbagai kelompok dan

kekuatan di tengah pluralitas masyarakat untuk

selanjutnya diganti dengan hukum flural yang

diunifikasikan dan bahkan dikodifikasikan.223 Berikut

222Pemerintahan Temenggung digagas oleh Datuk

Ketemenggungan yang dipraktikkan di seluruh wilayah Melayu seperti;

Jambi, Palembang, Riau dan Aceh dengan ciri, antara lain:

mempraktikkan sistem otokrasi, kekerabatan dan kewarisan patrilineal,

aturan hukum berorientasi kepada syarak, sanksi hukum berorientasi

pada pengajaran (efek jera). Sedangkan Pemerintahan Perpatih digagas

oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, yang dipraktikkan di wilayah

Minangkabau, Negeri Sembilan, Malaka dan sebagian wilayah Jambi

bagian Hulu dengan ciri, antara lain: mempraktikkan sistem demokrasi,

setiap suku bersaudara, kekerabatan dan kewarisan matrilineal, aturan

hukum berorientasi kepada adat dan sanksi hukum berorientasi pada

pemulihan dan persaudaraan. Lihat ―Sistem Perundangan Kerajaan

Melayu, diakses tanggal 25 Januari 2017. 223Unifikasi hukum adalah langkah penyeragaman hukum atau

penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di

suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara

tersebut. Sedangkan kodifikasi hukum adalah suatu langkah pengkitaban

hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab undang-undang

(codex) yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Beberapa contoh

hukum yang telah dikodifikasikan di Indonesia adalah: Hukum pidana

Page 151: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

142

refleksi unifikasi sistem hukum dan sistem pemerintahan

Melayu Jambi.

Gambar 5.2. Unifikasi Sistem Hukum dan Pemerintahan

Dalam konteks pembauran dan kolaborasi sistem

hukum dan sistem pemerintahan, oleh Mahfud MD

dikatakan sedikitnya ada dua yaitu karakter produk hukum

responsif (otonom) dan produk hukum konservatif

(ortodoks).224 Produk hukum responsif karakternya

mencerminkan pemenuhan atas tuntutan- tuntutan baik

individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam

masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa

keadilan di masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif

ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi

masyarakat, serta lembaga peradilan, hukum diberi fungsi

sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat;

sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak

terbuka untuk diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan

visi pemerintah sendiri.

yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP);Hukum perdata yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdsata); Hukum dagang yang telah

dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

dan Hukum acara pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 224Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta:

Gama Media, 1999), 8-9

Page 152: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

143

Sedangkan Produk hukum konservatif karakternya

mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan, sehingga

pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi

masyarakat secara serius. Pada produk demikian biasanya

diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau

menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program

penguasa. Rumusan materi hukum pokok-pokoknya saja

sehingga memungkinkan penguasa dapat

menginterpretasikan sesuai visi dan kehendaknya sendiri

dengan berbagai peraturan pelaksanaan.

Dengan demikian adat dan syarak di Jambi

mengalami dinamika yang cukup panjang sampai hari ini,

mulai dari mencari formulasi hukum dengan

mempertimbangkan kepentingan syarak, masyarakat

mempraktikkan ambivalensi hukum dalam kehidupan

meskipun pada kenyataan mengalami dilematis manakala

terjadi trigolisme (pemerintah, agama dan adat) hukum

pada tataran teoritis, dan dualisme hukum. Begitupula pada

aspek pemerintahan dengan mengkolaborasikan dua model

pemerintahan pada tataran praktis berdasarkan wilayah

geografis yaitu Hulu dan Hilir. Gagasan cemerlang dan luar

biasa yang patut diakui dan diteladani dalam rangka

menjaga stabilitas hukum, politik dan kepentingan

multikultural.

Gagasan ini pada akhirnya menyebabkan Islam

begitu cepat diterima dan berkembang di Jambi. Menurut

penulis, beberapa aspek penyebab Islam dan ajarannya

berkembang pesat di Jambi yaitu aspek internal dan

eksternal. Aspek Internal, yaitu budaya inklusif masyarakat

Jambi terhadap budaya luar, yang juga dimiliki masyarakat

Melayu Nusantara. Sedangkan aspek eksternal dimana

Islam mampu masuk ke dalam sistem hukum dan sistem

pemerintahan sehingga mempunyai legitimasi yang kuat

dari penguasa, adat dan masyarakat. Pada bab berikutnya

mengurai persepsi masyarakat Melayu Jambi terhadap

epistemologis adat dan syarak.

Page 153: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

144

6 Adat dan Syarak serta Pelembagaannya:

Perspektif Masyarakat Melayu Jambi

Syarak sebagai produk hukum yang muncul kemudian

inheren dengan agama Islam, dibawa oleh Ahmad Salim ke

tanah Jambi dan dibumikan Ahmad Kamil serta diikuti

ulama Arab berikutnya. Sementara adat merupakan produk

hukum yang lahir dari budaya masyarakat Melayu Jambi

yang terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu, keduanya

dipadukan melalui kelembagaan adat sehingga lahirlah

Undang Adat Jambi. Konfigurasi dan praktik keduanya

dalam konteks kekinian terkadang dilematis karena

masyarakat dihadapkan pada kecenderungan berteologi di

satu sisi dan kecenderungan melestarikan tradisi warisan

nenek moyang di sisi lain. Oleh karenanya penelusuran

mengenai persepsi, keberterimaan masyarakat terhadap

adat dan syarak, otoritas kelembagaan adat serta pola

penyelesaian konflik yang terkonstruksi dalam pergulatan

ideologis, sosial, dan kultural dewasa ini sangat diperlukan

sekaligus menjadi kajian bab ini.

Page 154: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

145

A. Persepsi Masyarakat Melayu Jambi tentang

Epistemologi Adat dan Syarak

Masyarakat Melayu Jambi sebagaimana masyarakat etnik

Melayu muslim lainnya sangat akrab dengan terminologi

adat dan syarak, sejalan dengan falsafah ―Adat bersendi

syarak, Syarak bersendi Kitabullah.‖ Namun, sejauhmana

persepsi mereka terhadap keduanya perlu pendalaman

dengan berpijak pemahaman terhadap substansi makna

keduanya.

Persepsi Masyarakat tentang Epistemologi Adat

Masyarakat Jambi sebagai masyarakat Melayu-Muslim

mempunyai persepsi tersendiri tentang adat, untuk itu

perlu penegasan terlebih dulu makna adat secara universal.

Terma adat derivasi dari kata عادة –يعود –عاد atau ―العادة‖

berarti ―kebiasaan atau tradisi‖, dalam bahasa Inggris

digunakan custom, practice, legal practice.225 Terma ini

diserap ke dalam bahasa Indonesia berarti kebiasaan, yakni

kebiasaan yang berulang dan terus-menerus (mengkristal)

dilakukan oleh masyarakat adatnya tanpa perubahan pada

sifatnya, mempunyai nilai atau norma yang dianut dan

dipatuhi bersama serta diberi sanksi bagi pelanggarnya.

Mustafa Ahmad Zarqa memaknai adat:226

الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية"Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa

ada hubungan dengan pemikiran (rasional).‖

Adat merupakan keberulangan sesuatu sehingga

mudah melaksanakannya bahkan dianggap bagaikan naluri

kedua, berbeda dengan keberulangan sesuatu yang

disebabkan hubungan pemikiran rasional atau konsekuensi

logis (تلزم المعقلى). Penyebutan adat biasanya dengan kata ‗urf

(ma‘rûf) yang berarti ―segala macam kebaikan yang

225Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York:

Sage Pub., 2002), 606. 226Mustafa Ahmad Zarqa, al-Fiqh al-Islamîy fi Tsaubih al-Jadîd:

al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, (Damsiq: Tharbin, 1968), Cet. X, 838.

Page 155: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

146

disetujui dan diterima oleh akal sehat serta disenangi oleh

jiwa yang tentram.‖227 Al-Jurjani dalam Ta‘rifât-nya

memaknai ‗urf :

ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول وتلقته الطبائع بالقبول

―Sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa

merasakan ketenangan dalam mengerjakannya

karena sejalan dengan logika dan dapat diterima

oleh watak kemanusian.‖228

Persoalan al-‗âdah sama atau semakna dengan

al-‗urf, di kalangan fuqahâ‘ berbeda pandangan ada yang

menyamakan dan ada yang membedakan.229 Terlepas dari

itu, Akh Minhaji memahami adat dari perspektif berbeda

dengan berpijak pada teks ayat yang mendorong berbuat

baik dan mencegah orang berbuat mungkar.230 Pada ayat ini

227Qurtubi, al-Jami‘ al-Ahkâm al-Qur‘ân, (Kairo: Dar al-Kitab al-

Arabiy, 1967), Juz VII, 346. 228Ali ibn Muhammad al-Sayyîd al-Syarif a-Jurjanîy, al-Ta‘rifât,

(Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 125. Pemaknaan ini sejalan dengan firman

Allah dalam Q.S. al-A‘râf [7]: 199 dan Q.S. al-A‘râf [7]:157. 229Fuqaha berbeda pandangan tentang pemaknaan al-‗âdah dan

al-‗urf: Pertama, fuqahâ‘ yang meyakini al-‗âdah berbeda dengan al-‗urf.

al-‗âdah adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa

adanya hubungan rasional. Pemaknaan ini memungkinkan al-‗âdah

ditafsirkan secara luas dan praktiknya sangat mungkin bersumber dari

empat kecenderungan: 1) kecenderungan pribadi, seperti; kebiasaan tidur,

makan, minum; 2) kecenderungan kolektif, seperti; kebiasaan melakukan

upacara-upacara tertentu; 3) kecenderungan alamiah, seperti; kebiasaan

cepat atau lambatnya seseorang menjadi bâlig, atau 4) kecenderungan

hawa nafsu dan akhlak maźmûmah, seperti; kebiasaan mabuk-mabukan.

Sementara itu, al-‗urf adalah kebiasaan mayoritas suatu kaum, berupa

perkataan maupun perbuatan. Kedua, fuqahâ‘ yang meyakini tidak ada

perbedaan antara al-‗âdah dan al-‗urf, sebagaimana dikemukakan Sobhi

Mahmassani al-‗urf dan al-‗âdah memiliki kesamaan makna (al-‗urf wa

al-‗âdah bi ma‘na al-wâhid). Oleh karena itu, apabila kedua itu

dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: ―hukum itu didasarkan pada

âdah dan ‗urf‖, tidaklah berarti kata âdah dan ‗urf itu berbeda

maksudnya. Kata ‗urf di sini adalah sebagai penguat terhadap kata âdah.

Lihat Ahmad Fahmî Abu Sunnah, al-‗Urf wa al-‗âdah fi Ra‗yi al Fuqahâ‘,

(Mesir: Dâr al-Fikr al-‗Arabî, t.th.); Sobhi Mahmassani, Falsafat at-

Tasyri‘al-Islamîy, (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1952), 179. 230Q.S. Ali Imran [3]: 104.

Page 156: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

147

terdapat dua kata kunci (key word) yaitu; al-khair dan al-

ma‘rûf, keduanya bermakna ‗kebaikan‘. Namun jika ditelisik

keduanya berbeda, al-khair merupakan kebaikan normatif-

universal, kebaikan tingkat tertinggi serta tidak terbatas

ruang dan waktu, sedangkan al-ma‘rûf merupakan

kebaikan yang terbatas pada ruang dan waktu.231

Ditambahkannya, al-khair merupakan kebenaran normatif,

sedangkan al-ma‘rûf merupakan kebenaran historis-

operasional.232

Berbeda dengan asy-Syâţibî yang memaknai adat

mencakup tiga hal yaitu;233 Pertama, kebiasaan dan prilaku

manusia semata-mata serta berlaku umum, seperti; makan,

minum, gembira, sedih, tidur, jaga, mendapatkan kebaikan

dan kesenangan, menghindari rasa sakit dan sebagainya.

Kedua, adat istiadat atau custom, seperti keadaan

berpakaian, tempat tinggal (bentuk rumah), keramah-

tamahan, lambat dan cepat dalam berbagai urusan, egositis

dan sebagainya. Ketiga, sebagai imbangan dari ibadah yaitu

mu‘amalat.

Bertolak dari kompleksitas pemaknaan adat di atas,

adat dirumuskan pada tiga aspek; Pertama, adat berarti

hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan, kesepakatan,

tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dan

sebagainya. Kedua, adat berarti kebiasaan yang

dipraktikkan oleh masyarakat dalam wilayah tertentu.

Ketiga, adat sebagai kumpulan dari literatur tentang

adat.234

Dalam konteks Jambi, menurut Datuk Ramli:

―Masyarakat Melayu Jambi memahami ada tiga arti adat

yaitu; pertama, adat berupa perintah maupun larangan,

ukurannya adalah hukum syarak dan hukum adat

sebagaimana termuat dalam Undang Adat Jambi seperti;

membunuh, mencuri, berzina dan lain sebagainya. Kedua,

adat sebagai kebiasaan masyarakat dalam bentuk etika,

ukurannya adalah kepantasan atau kepatutan seperti;

231 Akh Minhaji, et., al., Antologi ..., 8. 232Ibid., 9. 233Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ asy-Syâţibî, al-Muwâfaqât..., Jilid

II, 266. 234Lukito, Tradisi Hukum..., 5-6.

Page 157: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

148

sholat tidak pakai kopiah dan sarung, ta‘ziah tidak pakai

kopiah hitam dan sebagainya. Ketiga, adat sebagai

perbuatan yang didiamkan, tidak disuruh atau mendapat

celaan, seperti; acara tujuh bulanan, membaca surah

Yusuf dan Maryam saat hamil dan sebagainya.235

Pandangan senada disampaikan Datuk Roni: ―Inti

pemahaman masyarakat Melayu Jambi tentang adat

termuat dalam adat nan empat¸ yaitu; adat sebenar adat,

adat yang teradat, adat yang diadatkan dan adat istiadat.

Segala persoalan pribadi maupun kelompok tercakup di

dalamnya baik hukum, tingkah laku ataupun kebiasaan.236

Selain itu, adat sebagai sumber utama tata nilai yang

membentuk sikap mental atau pola pikir masyarakat serta

mempengaruhi dan membentuk pola tingkah dalam

berbagai aspek kehidupannya yang pada gilirannya

melahirkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Dinamika adat selanjutnya sangat bergantung pada

kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan

pemahaman para pengembannya, yaitu; politisi, hakim,

pengacara, birokrat dan masyarakat serta situasi dan

kondisi yang mengitarinya.237 Substansinya adat merupakan

gagasan kebudayaan mencakup; nilai, norma, kebiasaan,

kelembagaan, dan tradisi yang lazim dilakukan.

Pelanggaran terhadapnya memunculkan kerancuan yang

berdampak pada sanksi sosial karena dianggap melanggar

larang pantang.238 Sedangkan hukum Adat sebagai istilah

teknis ilmiah mereferensi pada kebiasaan pada masyarakat

235Wawancara, Salah seorang turunan Sultan Thaha Saifuddin, 21

Juni 2016. 236Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Muara Sabak, 22

April 2015. 237M.J Saptenno, Menata Kembali Hukum Adat dan Kelembagaan

Adat untuk Kedamaian dan Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat,

diakses tanggal 10 Januari 2017. 238Berbeda dengan fuqahâ‘ yang menetapkan kriteria tertentu agar

adat menjadi hukum, antara lain: Adat diterima oleh perasaan dan akal

sehat serta diakui oleh pendapat umum; Adat dilakukan berulangkali dan

berlaku umum dalam masyarakat; Adat telah ada saat transaksi

dilakukan; Tidak ada persetujuan atau pilihan lain dari kedua belah

pihak; dan Tidak bertentangan dengan nass. Lihat Mahmassani, Falsafat

at-Tasyri‘ ..., 185-186.

Page 158: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

149

tertentu dan tidak diundangkan. Substansi hukum adat

adalah refleksi dari keyakinan dalam masyarakat terhadap

tradisi untuk dijadikan pandangan hidup (way of life) sesuai

perasaan keadilan dan kepatutan. Inilah yang dipersepsikan

oleh masyarakat Melayu Jambi terhadap adat.

Selanjutnya, atas gagasan Snouck Hurgroyne sekitar

tahun 1900 nomenklatur adatpun berubah menjadi hukum

Adat (Adat Recht), yang dipopulerkan oleh C.Van Vollen

Hoven.239 Unger mendefinisikan hukum adat adalah setiap

pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara banyak

individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif

eksplisit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-

pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku

timbal-balik yang harus dipenuhi.240 Menurutnya, hukum

Adat pada umumnya tidak mesti sesuatu yang positif,

bersifat interaksionalis dan masih kaburnya batasan das

sein dan das sollennya, hukum adat juga lebih berorientasi

pada sesuatu yang implisit ketimbang eksplisit. Pengertian

ini mengindikasikan adat yang tumbuh dan berkembang di

Indonesia merupakan hukum asli atau hukum pribumi dan

tidak dilembagakan dalam bentuk perundang-undangan,

mengandung norma adat dan syarak serta telah menyatu

dalam kehidupan komunitas masyarakat. Sebagai produk

hukum, adat di Indonesia berpijak pada paradigma tertentu,

sehingga menjadi sebuah sistem yang mapan dan dipatuhi

masyarakat adat.241

Adat (hukum Adat) merupakan aturan hukum yang

sebagian besar sifatnya tidak tertulis dibentuk

berdasarkan kesepakatan bersama dan masyarakat

239I Gede Ab. Wiranata, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2005), 21. 240Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis:Posisi Hukum dalam

Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa

Media, cet. IV, 2010), 63-64. 241Ada banyak istilah yang digunakan menamai hukum lokal, di

antaranya; hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat,

dan khusus di Indonesia – hukum ―adat―. Lihat Keebet Von Benda-

Beckmann, Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan

Teoritis, dalam Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner,

(Jakarta: Ford Fondation, 2006), 21.

Page 159: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

150

tunduk dan patuh terhadapnya. Kesepakatan

tersebut mengalami dinamika berdasarkan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat, oleh

karenanya adat dipandang sebagai hukum yang

hidup (living law). Selain itu, aturan adat

sebagaimana hukum lainnya mengandung falsafah

dan norma yang mampu menata kehidupan

masyarakat adat secara baik dan teratur serta

bernilai manfaat yang dirasakan stakeholders agar

menjadi referensi dalam menyelesaikan berbagai

kasus yang dihadapi.

Persepsi Masyarakat tentang Epistemologi Syarak

Terma syarak semakna dengan hukum Islam, dalam

literatur Barat dikenal ‗Islamic Law‘,242 sementara literatur

uşûliyyîn menyebut tiga istilah: syariah Islam (al-Syarî‘ah

al-Islâmiyah), fikih Islam (al-fiqh al-Islâmîy) dan hukum

syar‘i (al-Hukm asy-Syar‘îy). Substansinya relatif sama

namun—dalam kaitannya dengan perspektif dan kerangka

keilmuan hukum secara umum—sering dikeliru-pahamkan

berupa ambiguitas antara fikih sebagai hukum praktis yang

diadopsi dari dalil tafsîlîy (terperinci) dan syariat sebagai

peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia

dalam relasi imanen-transenden.243 Karenanya, perlu

menduduk-benarkan definisinya, seturut penjelasan berikut:

Pertama, syariah derivasi dari شرع--يشرع-شريعة berarti

―jalan menuju ke tempat keluarnya air untuk diminum,

jalan setapak yang harus ditempuh atau jalan mengalirnya

air sungai (the clear path to the folowwed).244 Menurut

Mahmud Syaltut, syariah berarti hukum-hukum dan tata

aturan yang Allah syariatkan bagi hamba-Nya untuk

242Joseph Schacht, . An Introduction to Islamic Law, (USA; Oxford

University Press, 1964), 1. 243Akh Minhaji, Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas

(Perspektif Sejarah Sosial), dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada

Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga, 25 September 2004, 30-35. 244Louis Ma‘luf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, (Beirut: Da>r

al-Masyriq, 1986), 383.

Page 160: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

151

diikuti.‖245 Syariah terkadang diidentikkan dengan agama

meski dikhususkan untuk hukum amaliyah.246

Pengkhususan ini untuk membedakan agama dengan

syariah karena pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku

universal, sementara syariah berbeda antara satu umat

dengan umat lainnya.

Kedua, fikih, derivasi dari فقيه -يفقه -فقه berarti

―mengetahui hukum syarak secara detail.‖247 Menurut al-

Amidi, fikih berarti ‗ilmu tentang seperangkat hukum

syarak yang bersifat furu‘iyah yang didapatkan melalui

penalaran dan istidlâl.248 Ketiga, hukum Islam berarti

seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau

Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui

dan diyakini mengikat semua umat Islam. Sumber syarak

adalah wahyu mencakup al-Qur‘an dan Sunnah dan ra‘yu,

wahyu mencakup; rasio, akal, daya pikir, dan nalar. Akal

amat penting sebagai sumber dan piranti memahami wahyu,

terutama persoalan hukum yang tidak dinyatakan secara

tegas (sharih). Pada konteks inilah ruang ijtihad terbuka

terutama persoalan berdimensi instrumental.249

A.A. Fyzee menyebut syarî'ah sebagai canon law of

Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah berupa naşş,

245Mahmûd Syaltût, Aqîdah wa al-Syarî‘ah, (Kairo: Dâr al-Qalam,

T.Th), 5. 246Agama atau religi (Latin), Religion atau Religious (Inggris),

berasal dari relegere, dan ad-Dîn (Arab)berarti ―mengumpulkan dan

membaca‖. Makna terakhir, ad-Dîn berarti balasan dan pahala, taat,

adat, keadaan, ketundukan, kekuasaan dan paksaan. Dapat juga

diartikan ―tingkah laku, cara, jalan, adat, keadaan, kekuasaan,

ketetapan, keputusan, semakna dengan millat‖. Sedangkan menurut

Ibrahim Unais agama (ad-Dîn) :

وضع إلذى سائق لذوى العقول السليمة بإختيارىم إياه إل الصلح فى الحال والفلح فى الدال―Agama adalah "peraturan Ilahi yang mengantarkan orang yang berakal

sehat, atas kehendak mereka sendiri menuju kebahagiaan dunia akhirat."

Lihat Ibnu al-Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), Jil.

XIII, 170-171; Ibrahim Unais, Mu‘jam al-Wasith, (Mesir: Majma‘ al-

Lughah al-Arabiyyah, 1972), 307. 247Ibrahim Unais, Mu‘jam ..., II, 635. 248Saifuddin al-Amidi, al-Ih}kâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Kairo:

Muassasah al-Halabî, 1967), I, 8. 249Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir at-Tasyrî‗ al-Islâmîy fî Mâ lâ

nas}s{a Fîh, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1987), 8.

Page 161: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

152

sedangkan fikih atau hukum Islam yaitu pengetahuan

tentang hak dan kewajiban seseorang yang diketahui dari

al-Qur‘an dan Sunnah, disimpulkan dari keduanya, atau

kesepakatan pakar ahli hukum agama.250 Sri Wahyuni

mengartikan syariah sebagai hukum Tuhan (devine law)

mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa memilah

moralitas atau hukum, juga memuat aspek hukum seperti;

ibâdah, akhwâl al-syahsiyyah, jinâyah, muâmalat, siyâsah,

dualiyah dan dusturiyah. Inilah pembeda hukum Islam

(devine law)—yang mengatur antara manusia dengan Tuhan

dan hubungan antara manusia dengan lingkungan

sekitarnya—dengan hukum positif (legal positivism)—yang

hanya mengatur tata masyarakat dalam hubungan antar

sesama individu, kelompok dan negara.251

Pengertian terakhir sejalan dengan epistemologi

syarak yang dipersepsikan oleh masyarakat Melayu

Jambi,252 meski mereka cenderung menggunakan istilah

syarak, sebagaimana ditegaskan Prof. DR. KH. Sulaiman

Abdullah, adat Melayu Jambi merupakan warisan leluhur

250A.A. Fyzee, The Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Idarah-I

Adabiyah, 1981), 19-20. 251Sri mengemukakan hukum Islam merupakan hukum yang

bersumber dari Tuhan, tidak memisahkan antara law dan morality, dan

sanksinya bersifat eskalogis. Sedangkan hukum positif merupakan karya

manusia dalam masyarakatnya, memisahkan antara law dan morality

serta sanksinya tegas. Sri Wahyuni, ―Pengaruh Hukum Barat dalam

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-Negara Muslim‖, dalam

Akh Minhaji, et., al., Antologi Hukum Islam, (Yogyakarta: PPs UIN Sunan

Kalijaga, 2015), 120. 252Epistemologis umumnya mengarah pada epistemologi burhâni,

yaitu pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-

hukum logika. Episteme burhâni—sering disebut pendekatan rasional

argumentatif—adalah pendekatan yang mendasarkan kekuatan rasio

melalui instrumen logika, seperti induksi dan deduksi. Pendekatan ini

menjadikan realitas sebagai sumber kajian yang mencakup realitas alam

(kauniyyah), realitas sejarah (târîkhiyyah), realitas sosial (ijtimâ‘iyyah)

dan budaya (s|aqâfiyyah). Mengingat sumber kajian episteme adalah

realitas kehidupan sosial keagamaan secara lebih memadai, diperlukan

pendekatan-pendekatan lain, seperti; sosiologi, antropologi, budaya,

sejarah dan lain-lain. Lihat M. Amin Abdullah, ―al-Ta‘wiîl al-‗Ilm: Ke Arah

Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci‖ Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 39

No. 2 July-Desember 2001, 379-380.

Page 162: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

153

memuat pesan hukum, etika dan tradisi. Ketika Islam

datang dan mampu menyentuh jiwa masyarakat (volkgeist),

ia-pun diterima dan dijadikan panduan, terlebih setelah

keduanya dipadukan. Syarak dipersepsikan sebagai hukum

Tuhan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan menjadi

sandaran (sendi) adat sehingga keduanya saling melengkapi

dan menguatkan.253

Ditambahkan oleh Muhammad Zen, syarak

merupakan hukum Tuhan yang harus dipatuhi meski telah

menjelma menjadi adat, tak heran praktiknya masyarakat

ada menggunakan istilah berbeda syarak atau adat.

Masyarakat yang memahami ilmu agama menggunakan

kata syarak, sedangkan masyarakat yang kurang mengerti

ilmu agama menggunakan kata adat. Substansinya sama

dan syaraklah yang jadi pionir atau sendi dalam hukum

yang dipraktikkan masyarakat. Sah menurut syarak, sah

pula menurut adat, keduanya menyatu dan sulit

dibedakan.‖254

Kedua statemen ini mengindikasikan epistemolgi

syarak telah akrab di kalangan masyarakat Melayu Jambi,

meski pada tataran praksis syarak digunakan masyarakat

yang lebih faham tentang Islam, sedangkan masyarakat

awam terbiasa menggunakan terma adat.255 Menurut

253Wawancara, Ketua MUI Provinsi Jambi, 13 Juni 2015. 254Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Sarolangun, 19 Mei

2015. 255Syarak merupakan parsial dari agama, paradigma agama antara

lain; Pertama adanya kepercayaan kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang

diwujudkan dalam berbagai bentuk baik berupa; Tuhan atau Allah yang

dalam agama Islam sebagai Sang Pencipta, ruh atau jiwa, benda sakti,

atau lainnya; Kedua kepercayaan perolehan kebahagiaan di dunia dan

akhirat yang sangat bergantung pada komunikasi dengan kekuatan gaib

dimaksud; Ketiga respon emosional berupa perasaan cinta pada agama

monoteisme; dan Keempat keyakinan adanya kitab suci sebagai panduan

dalam menjalani kehidupan. Atas dasar itu, dua aspek yang menjadi

kewenangan agama yaitu keyakinan dan tradisi. Keyakinan mencakup

aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi

kehidupan beragama. Sedangkan tradisi mencakup eksternal keagamaan,

aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam

masyarakat. Kedua aspek ini sebagaimana dikutip M. Arfan Mu‘amar,

dikategorikan oleh Charles J. Adam sebagai inward experience dan

outward experience. Inward experience adalah hal yang bersifat batiniyah

Page 163: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

154

Mohammad Daud Ali, persepsi masyarakat Indonesia

tentang syarak diklasifikasikan ke dalam dua bentuk:256

a. Syarak bersifat normatif, yaitu berkaitan dengan aspek

ibadah murni yang pelaksanaannya mensyaratkan iman

dan kepatuhan umat Islam kepada agamanya.

b. Syarak bersifat yuridis formal, yaitu berkaitan dengan

aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan

diupayakan pula dalam bidang pidana sekalipun sampai

sekarang masih dalam tahap perjuangan) yang telah

menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.

Keduanya berbeda pada tataran implementatif,

namun esensinya syarak di Indonesia merupakan hukum

yang hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat

normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa

berupa Undang-undang, fatwa ulama dan yurisprudensi.257

Dengan demikian, persepsi masyarakat Melayu Jambi

terhadap syarak mencakup dua hal, yaitu: pertama, syarak

dipahami sebagai sumber hukum teologis, sebagai pesan

Allah dan Rasulnya yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Kedua, pesan syarak mencakup segala persoalan yang

diperintahkan Allah untuk dilaksanakan sebagai kewajiban

bidang perdata, pidana maupun lainnya. Melaksanakan

perintah syarak sama halnya melaksanakan perintah

agama karena substansi syarak merupakan bagian tak

terpisahkan dari agama. Segala putusan adat diafirmasi

dalam agama dan merupakan wilayah kesadaran perasaan dan tanggung

jawab yang bersifat personal, yang tidak dapat dikomunikasikan serta

hanya secara parsial dapat dipahami oleh orang lain. Sedangkan outward

experience adalah wujud luar atau manifestasi eksternal dari agama yang

dapat diamati dan dikomunikasikan. Lihat Abuddin Nata, Metodologi

Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 14-15; M. Arfan

Mu‘ammar dan Abdul Wahid Hasan, Studi Islam Perspektif

Insider/Outsider, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), 83. 256Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam dalam Negara

Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum pada Pendidikan Kader

Ulama di Jakarta, 17 Mei 1995, 3. 257Uraian lengkap mengenai eksistensi hukum Islam di Indonesia

melalui pendekatan historis, ataupun teoritis. Lihat Ichtijanto,

Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Tjum

Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1991), 101.

Page 164: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

155

melalui putusan syarak sehingga keduanya saling

menguatkan dan diterima dengan mudah.

B. Keberterimaan Masyarakat Melayu Jambi

terhadap Adat dan Syarak

Syarak merupakan produk hukum yang datang kemudian

dituntut mampu beradaptasi dengan adat sebagai produk

hukum yang mapan pada suatu wilayah. Studi sejarah

Islam Nusantara memperlihatkan proses Islamisasi di

Indonesia merefleksikan toleransi para penyiar Islam

terhadap realitas adat yang hidup dan berkembang sehingga

terjalin harmonisasi antara syarak dengan adat.258 Inilah

salah satu penyebab syarak begitu cepat terintegrasi dengan

hukum lokal (adat) karena tidak serta menghancurkan

tatanan hukum yang ada dan mapan.

Praktik ini mereferensi pada ajaran Rasulullah

ketika terjadi tranformasi dari tatanan budaya Jahiliyah

menuju budaya Islam, ditambah karakter fleksibel dan

universalitas syarak sehingga mudah diterima oleh

komunitas manapun. Selain itu, syarak masuk melalui

sistem hukum yang berada dalam kelembagaan adat, meski

setelah keduanya terkonstruksi menjadi satu pada akhirnya

mengundang respons berbeda dalam penerapan dan

penerimaan terhadap keduanya sebagaimana praktik

hukum di Jambi bagian Hilir dan Hulu.

Secara universal penerimaan adat dan syarak pada

beberapa wilayah Nusantara, utamanya Jambi, yang dihuni

mayoritas masyarakat muslim dipilah menjadi dua fase,

yaitu ; sebelum dan setelah kemerdekaan.259

Fase Pra-Kemerdekaan

Fase Pra-Kemerdekaan meliputi masa kerajaan

Islam, kesultanan, kolonial Belanda dan Jepang yang

dipilah menjadi dua: Pertama, berlakunya syarak secara

258Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam ..., 8. 259Ismail Sunny, ―Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia,‖ dalam Bustanul Arifin, Prospek Hukum

Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, 200.

Page 165: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

156

utuh sejak masa kerajaan Islam seperti; Kesultanan Aceh

Darussalam, Riau, Palembang, Padang, Deli, Siak,

Kesultanan Johor, Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan

Brunei dan lainnya. Meskipun kemunculan syarak sebagai

produk hukum baru tidak serta merta diterima masyarakat

yang ketika itu penganut agama Hindu.260 Dalam konteks

Jambi, kedatangan Islam dan penerimaan (resepsi)

terhadap syarak sejak kedatangan Ahmad Salim dan

dibumikan oleh putranya Ahmad Kamil. Masyarakat

Melayu Jambi menerima syarak secara utuh sebagai

kebutuhan ideologis-sosiologis dan meyakini penerimaan

terhadap agama berkonsekuensi terhadap penerimaan

segala aturan hukum di dalamnya, yaitu syarak (Hukum

Islam).261

Menurut Fathuddin Abdi, masyarakat muslim Jambi

sangat menyadari syarak bagian dari agama Islam,

sedangkan adat merupakan tradisi warisan nenek moyang.

Setelah keduanya dipadukan dan saling melengkapi harus

dipatuhi sebagai wujud menjunjung tinggi idealisme

keberagamaan dan keberadatan mereka.262 Pandangan

senada disampaikan KH. Samsuddin Ali, masyarakat

260Pada masa Pra-Kolonial corak adat masyarakat Melayu

Indonesia diwarnai budaya Hindu dan Budha yang merupakan corak asli,

dibuktikan dengan beberapa prasasti: Prasasti Raja Sanjaya tahun 734

M., ditemukan di Gunung Wukir dekat Kedu Jawa Tengah, tertulis dalam

aksara pahlawan tentang keagamaan perekonomian dan pertambangan;

Prasasti Buldi dari Rakai Gunung Talun tahun 860, memuat aturan

tentang peradilan perkara perdata; Prasasti Raja Tuladong tahun 919

berupa susunan lembaran tembaga mengatur jabatan pemerintah, hak

raja atas tanah, ganti rugi tanah dan keagamaan (zaman Mataram).

Sedangkan pada masa kolonial corak adat masyarakat Melayu Indonesia

diwarnai oleh budaya Islam sebagaimana dijumpai melalui: Catatan

hukum adat di keraton Bone dan Goa oleh Bosscchenaar Van Dirk

Chlootwisxk, Gubernur Pantai Sulawesi 1757-1755; Kitab hukum Freiser,

memuat hukum perkawinan dan waris menurut syarak untuk

pengadilan-pengadilan kompeni, dibuat atas perintah Gubernur Jenderal

Mossel dan disahkan 1679; Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu

Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), 51; Soerojo

Wignodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung

Agung, 1985), 35-36. 261Q.S. al-Baqarah [2]: 208. 262Wawancara, Ketua Adat Kabupaten Batanghari, 20 Juli 2015 .

Page 166: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

157

Melayu Jambi sejak Islam datang sepakat Islam sebagai

panduan hidup, sesuai falsafah ―adat bersendi syarak,

syarak bersendi Kitabulllah; syarak menetapkan suatu

hukum maka adat merealisasikannya, ketentuan syarak

direalisasikan oleh adat sehingga keduanya sejalan dan

tetap harmonis.263

Kedua statemen ini merefleksikan keberterimaan

terhadap syarak secara totalitas sebagai panduan hidup

(way of life), menurut H.A.R. Gibb umat Islam yang

menerima Islam sebagai agamanya secara otomatis

menerima otoritas pemberlakuan syarak terhadap

dirinya.264 Sejalan dengan Robert Van Niel, menurutnya di

Indonesia agama tidak bisa dipisahkan dari seluruh aspek

kehidupan begitupula dengan seluruh kebijakan yang

melekat di dalamnya harus seturut dengan apa yang

diterapkan terhadap masyarakat setempat. Artinya Islam

menjadi elemen penting dalam kultur kehidupan

masyarakat Indonesia.265 Terlebih setelah syarak

terintegrasi dengan adat masyarakat Melayu Jambi dan

melahirkan Undang Adat Jambi sebagai sumber hukum

otoritatif. Penerimaan tersebut diimplementasikan melalui

kepatuhan terhadap hukum berupa perintah melaksanakan,

perintah meninggalkan ataupun perintah memilih. Inilah

yang menjadi salah satu alasan keberterimaan masyarakat

Melayu Jambi yang mayoritas muslim dan religius.

Kedua, berlakunya syarak secara parsial sejak

kemunculan VOC. Pada awalnya Belanda memberlakukan

teori ―Receptio in Complexu‖, atas gagasan W.C. Van Den

Berg, yang mendukung pemberlakuan syarak terhadap

umat Islam. Setelah posisi Belanda semakin kokoh melalui

VOC-nya, pada tanggal 25 Mei 1760 M dikeluarkan

peraturan Resolutio der Indischer Regeering atau

Compendium Freijer, yang membatasi pemberlakuan syarak

pada bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan)

263Wawancara, Ketua MUI Kabupaten Batanghari, 21 Maret 2016. 264H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam, (Chicago: The University

of Chicago, 1972), 116. 265Akh Minhaji dalam ―Pemikiran dan implementasi hukum Islam

di Indonesia.‖ (Teori dan Respon), diakses tanggal 20 Juli 2016.

Page 167: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

158

ansich dan mengganti kewenangan peradilan Islam menjadi

peradilan Belanda.266 Selanjutnya Belanda memberlakukan

Teori Receptie gagasan Cristian Snouk Hurgronje (1857-

1936),267 yang justru mempersempit ruang gerak syarak

dengan memberlakukan adat terhadap umat Islam. Syarak

diverifikasi begitu ketat agar dapat legalisasi dari adat

sehingga baru dapat diterima dan diberlakukan setelah

diterima oleh adat.268 Jika asumsi kedua ini benar maka

gagasan ini diprediksi muncul setelah pemerintah Belanda

menerima masukan dari Christian Snouck Hurgronje,

melalui teori Receptie, menurutnya syarak hanya berlaku

setelah mendapat justifikasi dari adat dan melebur ke

dalam adat agar diakui sebagai hukum.269

266Keberadaan syarak di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh

Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-

angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 Nomor 354. Dalam

Staatsbled 1882 Nomor 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di

Jawa dan Madura dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam

melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fikih. Lihat M.

Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia,

(Jakarta: Risalah, 1984), 12. 267Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), 13;

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar ..., 28. 268Penguatan pemberlakuan Teori Resepsi diprediksi konspirasi

Snouck Hurgronje dengan Van Vollen Hoeven untuk mengkerdilkan

pemberlakuan syarak dan menomor-satukan adat. Usaha mereka berhasil

hingga Belanda menerapkan dualisme hukum yaitu; hukum Erofah dan

hukum adat, sedangkan syarak tidak muncul karena dianggap bagian

integral dari hukum adat. Van Vollen Hoeven juga berhasil memetakan

hukum adat di Indonesia menjadi 19 wilayah, yaitu; 1). Aceh, 2). Tanah

Gayo, Alas dan Batak, 3). Tanah Minangkabau, 4). Sumatera Selatan

yang terdiri dari Bengkulu (Rejang Lebong), Lampung (Abung, Peminggir,

Pubian, Rebang, Gedong Tataan, dan Tulang Bawang), Palembang (Anak

Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah dan Semendo), Jambi (penduduk

Batin dan Penghulu). 6). Tanah Melayu, 7). Bangka Belitung, 8).

Minahasa, 9). Gorontalo, 10). Tanah Toraja dan Sulawesi Tengah, 11).

Sulawesi Selatan, 12). Kepulauan Ternate, 13). Kepulauan Ambon, 14).

Irian, 15). Kepulauan Timor, 16). Bali dan Lombok, 17). Jawa Tengah,

Timur, dan Madura, 18). Daerah Kerajaan (Solo dan Yogyakarta), dan 19).

Jawa Barat. Sebagaimana dikutip Yaswirman dalam Cornelis Van Vollen

Hoeven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, (Leiden: E.J. Brill, 1928),

78. 269Snouck Hurgronje mengemukakan tidak hanya pada tataran

teoritis, namun lebih pada tataran praksis konsekuensi sebagai penasehat

Page 168: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

159

Menurut penulis kemunculan teori ini tidak luput

atau minimal ―terinspirasi‖ dari praktik hukum di Jambi

yang mengharuskan adat beradaptasi dengan syarak, meski

melalui kelembagaan adat. Berbeda dengan gagasan Snouck

Hurgronje yang mendistorsikan gagasan Ahmad Kamil dan

Islam secara umum dengan mengharuskan syarak

mendapat justifikasi dari adat. Argumentasi yang

mendukung prediksi ini, pertama, Snouck Hurgronje pernah

menetap di Jambi bersamaan kunjungannya ke Aceh

meneliti tentang tradisi Islam, rute perjalanan darat dari

pusat kolonial yaitu Batavia (Jakarta) ke Acehpun

memungkinkan ia melewati Jambi terlebih dahulu, minimal

tempat transit. Snouck selaku sosiolog sekaligus penasehat

Belanda tidak mungkin melewati momen mencermati

formulasi penerapan adat dan syarak di setiap rute daerah

yang dilaluinya.270 Kedua, Jambi sejak abad ke-15

mempraktikkan verifikasi aturan adat agar sejalan dengan

prinsip ajaran Islam sehingga melahirkan falsafah ―Adat

bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖ dan ―Undang

datang dari Hulu teliti dari Hilir.‖

Implementasi teori Receptie ini pada perkembangan

selanjutnya justru menjadi pemicu ketidak-seimbangan

artikulasi dan penerapan hukum, dominasi politik

berimplikasi pada ketidaksinkronan syarak dengan adat.

hukum Belanda bidang hukum Islam dan anak negeri (bumi putera)

(adviseur voor Inlandsch), penasehat orang Timur dan Hukum Islam

(adviseur voor Oostersche taken en Mohammedaansch) dan penasehat

perdagangan untuk orang Arab (adviseur voor Oostersche Inlandsch en

Arabische zaken). Lihat Soekanto, Meninjau Hukum ..., 36. 270E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje

Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936,

(Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS),

1995), XIV. Buku ini memuat nasehat Snouck Hurgronje kepada Belanda

mengenai strategi dan sikap pemerintah Belanda menghadapi rakyat

Jambi yang melakukan gerakan perlawanan secara maupun sosial.

Pembahasan tentang Jambi memuat 118 halaman. Di antara pesan

penting dalam buku ini adalah strategi Belanda menghadapi gejolak

berupa perlawanan atau gerakan masyarakat Jambi sehingga harus

dihadapi dengan Etis, yang tidak mengedepankan konflik senjata dan

tidak mengintervensi persoalan keagamaan masyarakat termasuk hukum

utamanya tentang ibadah.

Page 169: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

160

Sebegitu kuatnya pengaruh politis ini menyebabkan syarak

sulit berkembang secara natural di Indonesia, sementara

berbagai kebijakan Belanda menekan syarak bergerak

leluasa. Hal inilah memberi ruang terjadinya dominasi

terhadap produk hukum, bahkan antar produk hukum.271

Teori ini dan peraturan pelaksananya diprediksi

sebagai upaya melumpuhkan sistem dan kelembagaan

syarak serta membumikan hukum Barat di Indonesia.

Mengingat ruang gerak adat sangat terbatas dan pada

kasus-kasus tertentu membutuhkan hukum Barat. Sejak

saat itu syarak mengalami kemunduran sebagai rekayasa

Belanda yang sangat memahami letak kekuatan moral umat

Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya

terhadap ajaran Islam.272 Meski, kedua teori ini tidak

271Pergantian secara resmi dengan diterbitkannya Wetop de

Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling

(I.S), Stbl 1929: 212 memuat hukum Islam dicabut dari lingkungan tata

hukum Hindia Belanda sekaligus pembatalan Pasal 75 Regeerings

Reglement (RR) Tahun 1885, tentang legalitas hakim Indonesia yang

memberlakukan UU agama. Perkara perdata antar umat Islam

diselesaikan hakim muslim jika adat menghendakinya, begitu pula

pencabutan wewenang Pengadilan Agama dalam masalah waris

wewenang Pengadilan Negeri. Implementasi teori Receptie dan peraturan

pelaksanaannya diprediksi upaya melumpuhkan sistem dan kelembagaan

syarak serta membumikan hukum Barat di Indonesia. Mengingat ruang

gerak adat sangat terbatas dan pada kasus-kasus tertentu membutuhkan

hukum Barat. Sejak saat itu syarak mengalami kemunduran sebagai

rekayasa Belanda yang sangat kekuatan moral umat Islam pada

komitmen terhadap ajaran Islam. Langkah politis Belanda semakin

kentara dengan terbitnya Wetop de Staatsinrichting van Nederlands

Indie, Stbl 1929: 212 syarak dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia

Belanda sekaligus pembatalan Pasal 75 Regeerings Reglement (RR) Tahun

1885, tentang legalitas hakim Indonesia yang memberlakukan UU

Agama. Lihat Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan

Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1963), 9-12. 272Misi utama kolonialisasi adalah mengeruk keuntungan ekonomi

(gold) dari tanah jajahan (glory), selain itu missionaris (gospel), upaya

yang dilakukan Belanda dengan mengintervensi persoalan hukum di

Indonesia dan mempertentangkan syarak sebagai hukum yang hidup di

masyarakat ketika itu dengan adat sehingga pertumbuhan syarak

menjadi terhambat dan secara gradual tersingkirkan. Misi utama

Belanda mendeskriditkan syarak dan mengadu domba umat Islam

dengan kaum nasionalis berhasil melalui indoktrinasi seakan syarak

milik orang Asing dan adat milik kaum Nasionalis. Kompetisi antara

Page 170: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

161

berkembang di Jambi mengingat wilayah ini sangat sulit

ditaklukkan dan hanya dikuasai oleh Belanda dalam

rentang waktu 36 tahun (1906-1942) dan Jepang selama 3

tahun (1942-1945).

Kebijakan Belanda menyerahkan persoalan

masyarakat Melayu Jambi ke Badan Peradilan yaitu

Kerapatan Adat, kecuali bagi mereka yang tunduk pada

perundangan Hindia Belanda diadili berdasarkan Hukum

Perdata/Hukum Pidana. Berlanjut masa kolonisasi Jepang,

dimana perhatian terhadap pengembangan adat dan syarak

sangat kurang karena rakyat hidup dalam kondisi politik

dan ekonomi yang memprihatinkan. Pada masa ini politik

hukum yang mereka kembangkan tidak memberi pengaruh

signifikan terhadap tatanan hukum adat yang ada di Jambi

dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi secara

totalitas terhadap pemberlakuan adat dan syarak. Adat dan

syarak terintegrasi dan inheren laksana satu mata ruang

sesuai seloka ―syarak mengato, adat memakai‖. Meski

penerapannya terkadang berbeda antara Jambi wilayah

Hulu dan Hilir.

Menurut penulis dua alasan penyebab teori hukum

Belanda tidak berkembang di Jambi baik internal maupun

eksternal. Secara internal; Pertama, Jambi telah

mempunyai institusi, hukum dan peradilan adat yang

mumpuni untuk menyelesaikan segala persoalan hukum,

moral, sosial dan agama. Kedua, spirit dan moralitas cinta

tanah air merupakan salah satu indikator keberimanan

seorang muslim (Hubb al-Watan min al-Imân) dan pantang

syarak dengan adatpun dimenangkan adat, sedangkan gagasan unifikasi

hukum dianggap gagal, sehingga melahirkan stratifikasi penduduk

Indonesia menjadi tiga; Erofa, Timur Asing dan Inlanders. Bahkan

Belanda mempolarisasi golongan masyarakat berdasarkan status sosial

yaitu: Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, Indo (turunan pribumi dan

Eropa), Timur Asing (Cina) dan Bumiputera/pribumi (Inlanders)

merupakan golongan paling bawah itupun dibedakan berdasarkan

keturunan, pekerjaan dan pendidikan yaitu bangsawan, pemimpin agama

dan adat serta rakyat biasa. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas

Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum

Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),

Cet. 1, 23.

Page 171: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

162

dijajah senantiasa dikobarkan dan dibangkitkan oleh

penguasa, bangsawan dan ulama meski Jambi berhasil

ditaklukkan Belanda. Sedangkan secara eksternal; Pertama,

Belanda disibukkan dengan gerakan perlawanan dari

penguasa, bangsawan dan ulama secara terang-terangan

maupun gerilya seperti gerakan Kota dan Uluan. Kedua,

secara geografis wilayah Jambi berbukit dan dikelilingi

sungai yang panjang serta hutan lebat sehingga

memudahkan rakyat pribumi melakukan serangan terbuka

maupun gerilya serta mudah melarikan diri ke sungai atau

ke hutan. Ketiga, kolonial Belanda dan Jepang tidak perlu

menguras tenaga menginterversi institusi hukum adat

sebagai penyeimbang syarak sejalan dengan teori Receptie.

Fase Pasca-Kemerdekaan

Fase ini berawal dari diproklamirkannya Indonesia sebagai

negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan lahirnya

Piagam Jakarta sebagai sumber persuasif UUD-45 sekaligus

sebagai titik tolak peralihan hukum. Sarjana hukum

terkemuka saat itu berspekulasi tentang sifat dan corak

hukum yang berlaku untuk Bangsa Indonesia ke depan,

sebelumnya ―disetting‖ tunduk pada sistem hukum Belanda.

Kaum nasionalis menginginkan unifikasi adat dan hukum

positif atau minimal menjadi spirit atau sumber hukum

nasional. Keinginan ini wajar mengingat adat juga

merupakan sistem hukum yang dibangun dari bahan asli

yang konkrit dan ideal milik bangsa Indonesia.273 Meski di

balik ini ada upaya membatasi gerak syarak yang dibungkus

dengan pluralisme agama, sosial, dan budaya serta

dikondisikanlah seolah-olah terjadi tarik-menarik bahkan

konflik antara ketiga sistem hukum tersebut.

Implikasinya adat tetap eksis bahkan mendapat

legitimasi kuat dari pemerintah dengan argumen Indonesia

bukan negara agama (Islam) baik melalui undang-undang

maupun peraturan perundangan lainnya. Pemerintah

sebagai pemegang otoritas memberi ruang seluas-luasnya

273M. Koesno, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum,

(Bandung: Mandar Maju, 1992), 101-105.

Page 172: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

163

pemberlakuan adat di daerah. Kebijakan ini sedikit

ambivalen karena bagaimana mungkin satu masyarakat

menggunakan dua atau bahkan tiga hukum pada kasus

pidana maupun perdata yang sama.

Akhirnya pemerintah berusaha melepaskan diri dan

menggali hukum secara mandiri hingga lahirnya ―teori

Receptio a Cantrario‖ (penerimaan yang tidak bertentangan)

yang menghendaki hukum adat baru dapat diberlakukan

jika tidak bertentangan dengan syarak.274 Meski gagasan ini

awalnya muncul sebagai bentuk penentangan Hazairin

sekaligus upaya mengcounter teori Receptie Snouck

Hurgronje yang dikatakannya sebagai Teori ―Iblis‖,

menurutnya hukum yang berlaku bagi umat Islam di

Indonesia adalah adat dan syarak baru bisa berlaku kalau

tidak bertentangan dengan syarak. Gagasan Receptio a

Contrario sebenarnya bukan merupakan teori mapan

namun cenderung pada pemikiran yang sangat keberatan

dengan pemikiran Christian Snouck Hurgronje

memberlakukan hukum yang tidak sesuai dengan keinginan

dari user hukum. Lebih jauh, gagasan ini diasumsikan

sebagai kritik atas teori receptie yang dianggap

mengangkangi umat Islam secara terbuka karena tidak

mungkin umat Islam meninggalkan syarak sebagai ideologi

mereka.275

274Secara de jure dan de facto syarak telah eksis dan menjadi

entitas hukum negara pada masa kerajaan Islam Melayu-Nusantara.

Elaborasi lengkap lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. I, 12; Rahmat Djatmika,

Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Abdurrahman Wahid, et.,

al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung, Remaja

Rosdakarya, 1991), Cet. I, 230. 275Kritik terhadap teori Receptie disampaikan oleh Prof. Mr.

Hazairin (1905-1975), ketika mengikuti Konferensi Kementrian

Kehakiman Salatiga Tahun 1950, sebagai Guru Besar Hukum Islam dan

Hukum Adat Universitas Indonesia ia menyampaikan syarak hubungan

hukum agama dengan hukum adat. Melalui pernyataannya ―Hai orang

Islam, meski al-Qur‘an melarang perzinahan dengan ancaman pidana,

janganlah takut melakukannya selama tradisi masyarakat

mempraktikkannya. Begitupula jangan takut dihukum menurut

peraturan Gubernemen, selama tidak melanggar syarat-syarat acara

bebas dalam peraturan Gubernemen, misalnya dengan istri orang kecuali

Page 173: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

164

Gagasan ini mendorong ruang gerak syarak menjadi

lebih leluasa dan sejak saat itu, syarak banyak

berkontribusi terhadap lahirnya hukum nasional terutama

dalam menunjang Program Legislasi Nasional Repelita III

(1979-1984), BPHN ikut aktif dalam pembuatan peta hukum

nasional, hingga tahun 1989 tercatat berhasil menerbitkan

35 Undang-undang. Usaha mewujudkan hukum baru

nasional itu tetap berlangsung, meski berbagai kendala

untuk menghentikan proses kemunculan hukum baru

tersebut terus disuarakan oleh bukan hanya penganut teori

resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah elit politik

dan masyarakat Indonesia.276 Utamanya kalangan

perguruan tinggi umum yang tidak menginginkan dominasi

syarak dalam hukum nasional, melainkan juga oleh

kalangan ulama Islam sendiri yang ―masih dangkal‖

pengetahuannya tentang Islam dan terjebak dalam

kerangka fanatisme mazhab secara sempit (taklid buta),

sehingga lebih tersibukkan oleh berbagai konflik internal

dengan mengabaikan peningkatan kesadaran untuk

mengimplementasikan syarak dalam realitas kehidupan

umat.

Keberterimaan masyarakat Melayu Jambi didasari

pada keyakinan bahwa adat yang berlaku selama ini

bersumber dari syarak, mengamalkan adat sama halnya

melaksanakan agama itu sendiri. Menurut Suhar AM.,

Undang Adat Jambi merupakan kompilasi dari ijtihad forum

tiga tali sepilin yang memadukan syarak dengan adat

jika adat mengizinkan seperti di Minahasa, dengan orang yang belum

matang badannya dan dengan perkosaan.‖ Gagasan ini terus bergulir dan

menjadi titik awal pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‘ah

di luar Jawa dan Madura yang dimuat dalam lembaran negara Nomor 99

Tahun 1957. Lihat Hazairin terhadap gagasan Snouck Elaborasi lengkap

dapat dilihat Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Timtamas,

1986), 8-10; A. Qodri Azizi, Eklektisisme ..., 158. 276Teori ―Receptie‖ menggariskan bahwa syarak bukanlah "hukum"

dan tidak dapat menjadi "hukum" manakala belum diverifikasi dan

diresepsi oleh hukum adat. Meski sebenarnya sejak berlakunya UU

Perkawinan pada 1 Oktober 1974, eksistensi teori ini hilang dengan

sendirinya, spiritnya ternyata masih melekat dalam benak sebagian

sarjana hukum Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia:

Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 85.

Page 174: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

165

berpijak pada falsafah adat. Meski kenyataannya ada

rumusan hukum yang benar-benar bersendikan (bersandar)

kepada syarak dan ada yang hanya disendikan

(disandingkan) kepada syarak, kategori kedua ini yang

terkadang mengundang polemik di kalangan masyarakat,

seperti ritual perkawinan, sistem kekerabatan dan

kewarisan dan sebagainya. Namun, secara substantif

keduanya berbanding lurus dengan tujuan hukum yaitu

menciptakan kemaslahatan masyarakat.277

Penerimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap

keduanya semakin kokoh manakala di lapangan banyak

kasus konflik sosial dan keagamaan diselesaikan melalui

presedium kerapatan adat yang melahirkan fatwa atau

petuah adat. Kenyataan ini dialami Isro, SH. warga

masyarakat Kelurahan Bagan Pete Kecamatan Kota

Baru:278 ―Kami pernah kebingungan menghadapi masalah perilaku

warga pendatang yang berbeda keyakinan dan atnik

namun selalu meresahkan masyarakat hampir setiap

malam dengan pesta minum tuak dan miras hingga larut

malam bahkan subuh. Ketika ditegur oleh warga bahkan

bersama aparat hukum, jawabnya minuman ini bagi kami

biasa dan tidak dilarang agama. Akhirnya, kami meminta

pendapat tokoh agama beliau menyarankan agar

melibatkan tokoh adat. Selanjutnya, warga bersama

aparat, tokoh agama dan tokoh adat menjelaskan tentang

aturan adat di Jambi dan sanksi bagi pelanggarnya sesuai

seloka ―Dimana tembilang dicacak, Disitu tanaman

tumbuh, Dimana bumi dipijak, Disitu langit dijunjung.

Masalah yang kami hadapipun teratasi dengan damai

tanpa kekerasan.‖

Pengalaman ini mengindikasikan penerimaan aturan

adat sebagai bagian integral dari pesan agama, meski

masyarakat umumnya lebih memilih menggunakan simbol

adat ketimbang syarak. Menariknya, beberapa tahun

terakhir muncul penolakan terhadap praktik adat

277Wawancara, Ketua Majelis Ulama Sarolangun, 2 Februari 2016. 278Wawancara, Ketua Pemuda Kelurahan Bagan Pete Kota Baru

Jambi, 16 Maret 2015.

Page 175: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

166

sebagaimana temuan M. Husnul Abid.279 Menurutnya, pasca

Reformasi bermunculan kelompok-kelompok agama yang

oleh beberapa sarjana dikatakan sebagai gerakan trans-

nasional, seperti Tarbiyah. Gerakan ini berkembang pesat

tidak hanya di Jambi bahkan hampir di seluruh wilayah

Indonesia, utamanya di kampus-kampus. Diimbangi dengan

kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada

pendidikan Islam seperti madrasah, terlebih dengan

munculnya kebijakan Menteri Pendidikan Nasional

mengenai full day school. Kebijakan ini diasumsikan dapat

melemahkan pendidikan agama (Madrasah Diniyah

Takmiliyah) yang biasa diselenggarakan pada sore hari

sebagai tambahan bagi siswa yang sekolah pagi.

Perkembangan gerakan Tarbiyah cukup signifikan

terutama di kampus Universitas Jambi (UNJA) dan Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Jambi serta di sekolah yang

berbasis Tarbiyah seperti; Sekolah Islam Terpadu Nurul

Ilmi, Diniyah al-Azhar, ash-Shiddiqi dan lainnya. Kehadiran

gerakan ini belakangan memunculkan gesekan dengan

kalangan adat dengan memunculkan kritik terhadap klaim

keber-Islaman adat masyarakat Melayu Jambi selama ini

279Contoh kasus di Jambi pada pertengahan 2014, putri HS dilamar

seorang lelaki. HS mempersiapkan segala yang terkait dengan hajatan,

mulai dari undangan, membentuk panitia, memesan tenda dan sound

system, termasuk menghubungi kerabatnya di Lembaga Adat Melayu

untuk mengisi acara nasihat perkawinan berupa ―Tunjuk Ajar‖,

memimpin upacara adat, dan lainnya. Setelah persiapan lengkap dan

selesai, putrinya tiba-tiba menolak menikah dengan cara-cara adat dan

berdalih adat Melayu sebagaimana dilaksanakan dalam acara pernikahan

selama ini di Jambi tidak sesuai syariat Islam. HS marah dan putrinya

tetap tidak bergeming, alhasil daripada harus membatalkan undangan

yang sudah tersebar, HS terpaksa mengalah saat pernikahan

berlangsung, semua kerabat HS heran tidak ada upacara adat, tempat

tamu dipisah laki-laki dengan perempuan, panitianya teman-teman

putrinya. Setelah diselidiki putri HS menikah dijodohkan murabbiyyah-

nya. Anaknya mengisi formulir berisi biodata dirinya dan kriteria laki-

laki yang diinginkan, murabbiyah-nya mencocokkan formulir isian laki-

laki tersebut lewat murabbi-nya. Setelah cocok, mereka menikah melalui

arahan dan pengawasan murabbi-murabbiyah keduanya. Panitia

disiapkan oleh mereka, begitupula tatacara pernikahan dan musik

hiburan. Praktik inilah yang mereka klaim sebagai budaya Islami. Lihat

M. Husnul Abid, Kontestasi Kemelayuan ..., 193-195.

Page 176: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

167

terutama praktik adat dalam prosesi perkawinan mulai dari

lamaran sampai penganten (walimah al-‗arusy), mereka

menampilkan Islam secara ―berbeda‖ dengan identitas;

jilbab panjang, berbicara dengan istilah dalam bahasa Arab,

cenderung eksklusif, dan hanya peduli dengan sesama

mereka. Tampilan inilah yang mereka klaim sebagai Islam

yang sebenarnya sebagaimana dipraktikkan Nabi tempo

dulu.

Pandangan ini diamini oleh Dr. H. Husin Abdul

Wahab, Praktik hukum adat masyarakat Melayu Jambi

kekinian pada beberapa kasus tidak sejalan dengan prinsip

Islam, seperti; proses ta‘aruf antara calon pasangan dan

pihak keluarga, ritual perkawinan dengan menginjak kepala

kerbau dan mengambur beras kunyit, mencuci kampung

atas kasus perzinahan, larangan perkawinan eksogami,

praktik waris matrilineal dan bilateral dan sebagainya. Oleh

karenanya, perlu dicarikan solusi agar adat yang ada tidak

membuat masyarakat menjadi dilematis antara

keberpihakan terhadap syarak atau sebaliknya.280

Pandangan terakhir refleksi sebagian kecil

masyarakat yang mungkin mengklaim sebagai kelompok

―tercerdaskan‖ dengan ilmu agama namun belum tentu

dengan ilmu metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh), yang

memungkinkan kelompok etnik, ras, agama berbeda

mengkritisi praktik adat bahkan tidak patuh terhadap

putusan adat. Terlepas dari itu, masyarakat Jambi yang

beridentitas etnik Melayu menjadikan adat yang

bersendikan syarak sebagai panduan dalam menjalani

aktivitas kehidupan dan menerima secara total keberadan

kelembagaan adat sebagai sumber inspirasi moralitas dan

institusi penengah dari berbagai konflik hukum, agama dan

sosial. Meski perlu direformulasi agar menjadi obyektif dan

ideal sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman guna

mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Inilah yang oleh Kluckhon sebagaimana dikutip

Hilman Hadikusuma, nilai merupakan ―a conception of

desirable‖ (suatu konsepsi yang diinginkan) yang memuat

280Wawancara, Sekretaris MUI Kota Jambi, 20 Januari 2016.

Page 177: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

168

nilai primer dan sekunder.281 Singkatnya, nilai primer

memuat nilai luhur menyangkut etika, budi pekerti, dan

epistimologis-sosiologis, sedangkan nilai sekunder memuat

aturan tentang penghargaan sosial atas siapa saja yang

mengimplementasikan aturan adat. Syarak yang

merupakan produk Ilahi mencakup nilai ideologis-

epistemologis (vertikal dan horizontal), sedangkan adat

sebagai hukum yang dibangun berdasarkan nilai:

harmonisasi, keselarasan, keutuhan menentukan corak,

sifat, karakter hukumnya. Keduanya mengajarkan kebaikan

dan menghindari keburukan, jika syarak mengajarkan

kebaikan berdasarkan pada doktrin Islam, sedangkan adat

mengajarkan kebaikan berdasarkan kepantasan (eco pakai)

yang merupakan penilaian umum kemanusiaan.282

Implikasinya adat dan syarak dipersepsikan secara

positif dan relatif sama sebagai aturan hukum bertujuan

mewujudkan tatanan masyarakat yang hidup damai secara

politis-sosiologis, meski pada beberapa aspek tetap ada

perbedaan. Secara spesifik perbedaan syarak dengan adat

sebagaimana dihantarkan pada sub bab sebelumnya

diketahui melalui beberapa aspek. Kesamaan epistemologis

dan harmonisasi keduanya berimplikasi terhadap

penerimaan masyarakat secara utuh terhadap produk

hukum hasil konfigurasi adat dan syarak dan praktik

hukum, meski belakangan mendapat sorotan bahkan kritik

tajam dari sekelompok kecil masyarakat Jambi.

281Hilman Hadikusuma, PengantarIlmu Hukum ..., 8. 282Paradigama adat mencakup beberapa dimensi, yaitu; Pertama

keagamaan, yaitu adanya dunia ghaib yang mengatur kehidupan manusia

(magic religius) seperti tradisi cuci kampung; Kedua kebersamaan sebagai

mahluk sosial (zoon politicon); Ketiga dinamis dan fleksibel, struktur dan

fungsi masyarakat bergerak mengikuti situasi dan perkembangan zaman;

Keempat inklusif dan sederhana, keterbukaan dan kesederhanaan

memberi ruang bagi norma dan budaya lain untuk disinergikan dengan

adat yang ada; Kelima konvensi (tidak terkodifikasi), secara umum adat

tidak dikodifikasi dan ditulis dengan baik dan lengkap, hanya diketahui

oleh orang-orang tertentu; Keenam musyarawah dan mufakat, antara

komponen pemangku adat dan tokoh masyarakat; dan ketujuh

tradisional, dalam tradisi manapun adat merupakan produk warisan

turun-temurun. Ibid., 1-2.

Page 178: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

169

Syarak merealisasikan tujuan penciptaan manusia

yakni mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan

akhirat melalui aturan secara vertikal maupun horizontal,

sedangkan adat bertujuan menciptakan tatanan sosial,

tutur, sikap, perasaan agar terjadi keseimbangan sosiologis-

axiologis dalam setiap individu atau kelompok demi

ketentraman lahir maupun bathin. Keduanya menyatu

dalam sistem hukum sejak daerah Jambi menjadi kerajaan

Islam Melayu dipimpin oleh Ahmad Kamil, meskipun

memerlukan proses yang panjang tentunya untuk dapat

beradaptasi bahkan berasimilasi antara syarak dengan adat

setempat.

Pada praktiknya syaraklah yang menseleksi adat

mana yang relevan dengan ideologi Islam atau sebaliknya.

Jika adat yang berlaku sejalan dengan syarak (pesan

agama) diteruskan dan disesuaikan kondisi dan kebutuhan,

begitupula sebaliknya jika adat bertentangan dengan syarak

maka diverifikasi untuk disesuaikan dengan syarak. Proses

saling beradaptasi dengan damai inilah pada akhirnya

melahirkan Undang Adat Jambi.

C. Otoritas Pemerintah dalam Pelembagaan Adat dan

Syarak

Otoritas merupakan kemampuan seseorang atau

sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku

seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga

tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari

orang yang memiliki kekuasaan itu. Robert Bierstedt

memaknai otoritas sebagai suatu kekuasaan yang

dilembagakan (institutionalized power),283 pengertian ini

sejalan dengan yang dikemukakan oleh Laswell dan Kaplan

bahwa otoritas adalah kekuasaan formal (formal fower).284

Artinya, ada legitimasi yang dimiliki untuk mengharapkan

283Robert Bierstedt, ―Power and Progress: Essays on Sociological

Theory‖ (review), American Journal of Sociology, Vol. 81, No. 4 (Januari,

1976), 34. 284Harold Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Society: A

Framework for Political Inquiry, (Yale: Yale University Press, 2014), 56.

Page 179: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

170

kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya,

sedangkan legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota

masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang,

kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut

dihormati.285

Substansi kekuasaan adalah milik bersama dan

merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain menurut

kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan

terdapat di semua bidang kehidupan dan mencakup

kemampuan memerintah dan memberi keputusan yang

secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

tindakan pihak lainnya. Dengan kata lain, idealnya ia tidak

berdiri sendiri tetapi menuntut otoritas lain sebagai

pendukung.

Setiap lembaga mempunyai otoritas yang oleh

Bourdieu disebut posisi, sebagai tolok ukur kemampuan

seseorang atau sekelompok manusia memengaruhi tingkah

laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa

sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan

tujuan dari pemangku kekuasaan. Ketika dikatakan

seseorang memiliki kekuasaan atas orang lain, berarti orang

pertama membuat orang kedua tidak bisa memilih tindakan

lain.286

Kekuasaan idealnya netral sehingga bergantung

pada pemangkunya untuk menilai baik atau buruknya guna

kepentingan masyarakat, substansinya kekuasaan mesti

ada pada seluruh lapisan masyarakat. Pemangku

kekuasaan di Jambi awalnya adalah kerajaan dipimpin oleh

Raja, setelah kemerdekaan beralih menjadi pemerintahan

dipimpin oleh Presiden. Pemerintah mempunyai otoritas

kuat mengejewantahkan tujuan negara (pemerintah)

bekerjasama dengan rakyat demi mencapai cita-cita

bersama.287 Peran pemerintah sangat penting dalam

285Miriam Budiarjo, Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Gramedia,

1994), 90-91. 286Pierre Bourdieu, Mengungkap Kuasa Simbol, terj. Fauzi Fashri,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 25-26. 287Menurut Finer pemerintah mengandung empat pengertian; 1).

Pemerintah mengacu kepada proses memerintah yakni pelaksanaan

Page 180: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

171

mewujudkan cita-cita politik, stabilitas sosial, pembangunan

moral, pendidikan, agama, budaya.288 Pemerintahlah yang

memiliki kekuasaan mengimplementasikan sekaligus

memaksakan tujuan bernegara dalam upaya mewujudkan

stabilitas politik, kemakmuran, dan kesejahteraan

masyarakat. Meskipun sering dijumpai fenomena dalam

mengaktualisasikan kekuasaan di mana kemampuan

seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku

orang lain acapkali tidak disertai kewibawaan sehingga

tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak

dilandasi oleh kesadaran secara sukarela melainkan karena

pemaksaan oleh instrumen atau alat kekuasaan. Dalam

konteks ini, kajian mengenai otoritas (authority) dan

legitimasi (legitimacy) menjadi amat penting dan tidak bisa

dilepaskan dalam kekuasaan.

Atas dasar itu, menurut Ibnu Taimiyah nilai

(organisasi pemerintah) bagi kehidupan kolektif manusia

merupakan salah satu kebutuhan yang terpenting, tanpa

tumpangannya institusi sosial bahkan agama serta lainnya

tidak dapat tegak dengan kokoh. Lebih spesifik dalam

konteks ketatanegaraan Islam keberadaan pemerintah

dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik dan

sosial melalui konsep seruan kepada kebenaran dan celaan

terhadap keburukan (jalb al-maşâlih wa daf‘u al-

mafâsid).289

Menyikapi signifikansi pemerintah dalam menjaga

stabilitas hukum, sosial dan politik menurut Ibnu Khaldun

kekuasaan oleh yang berwenang; 2). Eksistensi dari proses pemerintahan

yang memiliki aturan; 3). Orang atau sekelompok orang yang menduduki

jabatan tertentu dalam masyarakat atau lembaga; dan 4). Bentuk,

metode, atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat, yakni

struktur dan pengelolaan dinas pemerintahan dan hubungan antara yang

memerintah dan yang diperintah. Lihat John Curtice, ―Pemerintah‖ dalam

Adam dan Jessica Kupper, The Social..., I, 418-419. 288April Carter, Otoritas dan Demokrasi, (Jakarta: Rajawali Press,

1979), 54-56. 289Ibnu Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dâr al-Kutub

al-'Arabi, 1952), 174; Ibnu Taimiyah, Majmu‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm

Ahmad Ibnu Taimiyah, (Riyadh: Mathba‘ al-Riyadh, 1963), Jilid XXVIII,

disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, 62.

Page 181: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

172

ada tiga kategorisasi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan

Natural (Siyâsah Thabî‘iyah), yaitu pemerintahan yang

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan syahwat dan

masyarakatnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang

sama (passion oriented). Pemerintahan lebih

mengedepankan kehendak dan hawa nafsunya tanpa

memperhatikan kepentingan rakyat sehingga rakyat tidak

patuh dan muncul teror pada berbagai tempat dan situasi,

tirani dan anarkis, mirip Pemerintahan Otoriter,

Individualis, Otokrasi, atau Inkonstitusional. Kedua,

Pemerintahan berdasarkan Nalar (Siyâsah ‗Aqliyah), yaitu

Pemerintahan yang mendorong rakyatnya untuk cerdas,

kreatif dan bermoral sesuai rasio mencapai kemaslahatan

duniawi dan mencegah kemudharatan, mirip Pemerintahan

Republik, atau Monarki, dan Insitusional. Ketiga,

Pemerintahan berlandaskan Agama (Siyâsah Dîniyyah),

yaitu pemerintahan yang mendorong rakyatnya untuk taat

menjalankan agama. Model terakhir menurut Ibnu Khaldun

terbaik dan ideal, karena muncul interaksi dalam

memandang komunitasnya sebagai sub sistem berupa

organisasi sosial maupun keagamaan.290

Ibnu Khaldun menambahkan untuk

mempertahankan kekuasaan atau kekuatan politik

manapun perlu support dari agama dan solidaritas sosial

(aşabiyah).291 Tanpa keduanya kekuasaan yang ada akan

segera hancur, karena tidak mendapat legitimasi yang kuat

dari arus bawah yang menjadi mayoritas user dari

kekuasaan itu sendiri. Selain itu, agama dan solidaritas

290‗Abd ar-Rahmân bin Muhammad bin Khaldun al-Had}rami,

Muqaddimah ..., 128-131. 291‗Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas

kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial,

dalam artian cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara

atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau

disakiti. Ibnu Khaldun dalam konteks ini hal ini memunculkan dua

kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة) (komunitas pedalaman,

masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)

(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena

yang alamiah dan Niscaya (dharury). Ibid.

Page 182: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

173

sosial dapat memperkuat eksistensi kekuasaan sehingga

terwujud kekuasaan yang solid dan kokoh.

Menariknya, model pemerintahan ideal dan integratif

versi Ibnu Khaldun ini secara substantif justru dipraktikkan

oleh masyarakat Melayu Jambi sejak masa kerajaan Islam

Melayu. Secara kultural kekuasaan dalam tradisi

masyarakat Jambi berada pada kelembagaan adat Melayu

Jambi melahirkan produk adat dan syarak sebagai

manifestasi hubungan sosial dalam dinamikanya yang

saling bersinergi hingga terwujud stabilisasi dan

harmonisasi untuk menjaga maupun mengubah tatanan

sosial. Institusi justru mengcover tiga sistem kekuasaan dan

kepentingan sekaligus melalui forum tiga tali sepilin (trilogi

kuasa). Forum ini merupakan representasi dari penguasa,

pegawai syarak dan pemangku adat, yang telah beberapa

kali mengalami perubahan nomenklatur. Forum ini

merepresentasikan kepentingan yaitu; pemerintah yang

diwakili oleh pemerintahan daerah, kepentingan agama dan

adat.

Praktik ini juga secara institusional mengakomodir

tiga pilar yaitu; pilar politik, religius dan kultural, inilah

yang oleh Bourdieu disebut sebagai modal yang dimiliki oleh

anggota kelembagaan adat sebagai subjek untuk

melanggengkan posisi dan disposisi mereka masing-masing,

yang terbentuk menjadi habitus dalam setiap momen

pengambilan kebijakan, terlepas ada yang mendominasi

atau sebaliknya.292 Pertama Pilar Politik, seberapa besar

292Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri

seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan

kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan

cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Habitus tumbuh

dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat

panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat

menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat

melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi

dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga

bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke

waktu. Habitus dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau

selama periode sejarah panjang. Lihat Pierre Bourdieu, Outline of Theory

of Practice, (England: Cambrige university Press, 1977), 170.

Page 183: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

174

dukungan pemerintah terhadap praktik kepemimpinan

kolegial (collegial management) dan mengawal

pemberlakuan adat dan syarak. Meski telah ada lembaga

yang mengurusi persoalan hukum, moralitas, sosial dan

keagamaan formal maupun non-formal. Eksistensi

kelembagaan adat tetap diakui pemerintah bahkan putusan

adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum oleh

pengadilan formal, begitupun kasus yang tidak dicover oleh

perundangan yang ada dapat diputuskan melalui peradilan

adat.293

Oleh karena itu, pemerintah pusat senantiasa

mendorong keberadaan kelembagaan adat sebagai bagian

potensial dan khazanah hukum Nusantara, terlebih setelah

Orde Reformasi sebagai babak baru bagi daerah

mendapatkan kewenangan mengatur sistem pemerintahan

dan pengelolaan keuangan sendiri.294 Otonomisasi

memberikan fleksibilitas bagi daerah merencanakan

pembangunan, khususnya dalam pembuatan Peraturan

293Secara substantif politik mengandung dua makna yaitu sebagai

instrumen manusia mencapai tujuan bersama dan kesadaran. Politik

sebagai instrumen manusia untuk mencapai tujuan implementasinya

melalui institusi formal dan organisasi masyarakat. Institusi formal yang

merujuk pada eksistensi sebuah negara yang menghendaki adanya

eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan organisasi masyarakat

merupakan perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik

yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang

berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan

bangsa dan negara. Adapun politik sebagai kesadaran, manusia sebagai—

subjek atau objek politik—menyadari pentingnya menjalin relasi dan

bertanggung jawab terhadap orang lain. Tanggung jawab berupa

kesadaran menentukan pilihan dan rencana untuk diwujudkan secara

bersama yaitu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, nyaman dan

sejahtera melalui pemenuhan hak dan kewajiban. Lihat Andreas Doweng

Bolo. dkk, Pancasila Kekuatan Pembebas, (Yogyakarta: Kanisius, 2012),

192. 294Sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 10 Ayat [1] dan [3]. Pemerintahan Daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi

urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan

Pemerintah sebagaimana dimaksud Ayat [1] meliputi (a) luar negeri, (h)

pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, (f)

agama‖.

Page 184: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

175

Daerah guna mencapai tujuan pembangunan nasional.

Pemerintah memberikan kewenangan kepada kepala desa

mempraktikkan sistem pemerintahan adat dalam konteks

penyelesaikan problem sosial keagamaan. Menyusul

lahirnya UU dan peraturan pemerintah lainnya sebagai

refleksi peran pemerintah dalam memberdayakan bahkan

melembagakan hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan

dari tata hukum nasional.295

Upaya merevitalisasi lembaga adat mulai dengan

komunikasi antar daerah yang difasilitasi beberapa lembaga

swadaya masyarakat di Indonesia sehingga lahir gerakan

295Peraturan pemerintah tentang otoritas adat dijumpai melalui: I.

UU Darurat Nomor 1 tahun 51 Pasal (5) ayat 3 huruf b, 1) ―bila suatu

kejahatan diatur oleh hukum Adat dan Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUHP); (a) ―bila suatu kejahatan diatur hukum Adat dan tidak

diatur Kitab UU Hukum Perdata (KUHP), maka yang dipakai hukum

Adat. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP dipakai hukum Adat

namun sanksinya maksimal 3 bulan kurungan; Jila masih dirasa kurang

adil atas pertimbangan hakim (hakim adat) maka hakim boleh

menjatuhkan hukuman maksimal 10 tahun. II. UU Adat Nomor 5 Tahun

1960, Pasal (2) Ayat 1 ―bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh

negara‖. Hak menguasai negara implementasinya dapat dikuasai daerah

dan masyarakat hukum adat. Selanjutnya pasal 3 ―pelaksanaan hak

ulayat masyarakat hukum Adat sepanjang masih ada, sesuai Pasal (4)

dan (5) Hukum Agraria juga berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan negara Republik

Indonesia. III. UU Nomor 41 Tahun 1999, Pasal [67] dan [68]

‖Masyarakat Adat berhak melaksanakan pungutan hasil hutan dan

berhak memperoleh kompensasi atas hilangnya akses hutan mereka. IV.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal [6]

Ayat 1 ―dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), perbedaan

dan kebutuhan masyarakat Adat harus diperhatikan, dilindungi oleh

hukum masyarakat dan pemerintah‖; dan ayat 2 ―Identitas budaya

masyarakat hukum Adat termasuk hak tanah ulayat dilindungi; serta

ayat 3 ―dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), identitas

budaya nasional masyarakat hukum Adat, hak-hak adat masih dipegang

teguh masyarakat hukum adat setempat. V. UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Otonomi Daerah, Pasal [22] huruf m ―dalam menyelenggarakan

otonomi, daerah berkewajiban melestarikan nilai budaya. Seterusnya

Pasal [23] Ayat 1 ―wakil kepala daerah punya tugas membantu kepala

daerah dalam upaya pengembangan dan pelestarian sosial budaya. VI.

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal (2) ―kewenangan adat,

pemerintahan secara adat, peraturan adat diakui oleh negara jo. Pasal

(103 - 111).

Page 185: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

176

masyarakat adat.296 Pada tanggal 21 Maret 1999

masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres

pertama di Jakarta dan mendeklarasikan tanggal 17 Maret

sebagai ―Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara.‖297

Untuk merealisasikan komitmen tersebut,

pemerintahan daerah (Pemda) Jambi sebagai perpanjangan

tangan pemerintah pusat berperan aktif mendorong

aktivitas kelembagaan adat melalui pemberian fasilitas

seperti; kantor yang representatif, kendaraan dan dana

operasional. Menurut Chumaidi Zaidi, Pemerintah Daerah

(Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Jambi senantiasa mendorong tumbuh kembangnya adat

melalui pemberdayaan organisasi dan kegiatan sosial-

keagamaan baik itu melalui Lembaga Adat Melayu Jambi

maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi. Tahun 2017

dana yang digelontorkan sebesar 1.9 Milyar, melebihi

anggaran untuk Musabaqah Tilawatil Qur‘an (MTQ) tingkat

provinsi Jambi sebesar 1.8 Milyar, dana operasional untuk

kegiatan Majelis Ulama Indonesia provinsi Jambi sebesar

500 Juta.298

Statemen ini seirama dengan Kailani dan Syargawi,

keduanya menyatakan pemerintah daerah kabupaten/kota

296Leena A Vonius dan Sehat Ihsan Shadiqin, "Revitalisasi Adat di

Indonesia dan Aceh", dalam Leena Avonius dan Sehat lhsan Shadiqin,

(ed.), Adat dalam Dinamika Aceh, (Banda Aceh: ICAIOS dan ARTI,

2010), 9. 297Hasil kongres menyepakati beberapa point keputusan: 1. Adat

adalah sesuatu yang bersifat luhur dan landasan kehidupan Masyarakat

Adat; 2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk sehingga tidak ada ruang

kebijakan Negara mensergamkannya; 3. Jauh sebelum negara berdiri,

Masyarakat Adat di Nusantara telah berhasil mengembangkan sistem

―ideal dan harmonis‖ oleh karenanya Negara harus menghormati

kedaulatan Masyarakat Adat; 4. Masyarakat adat sebagai kumpulan

manusia sehingga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut

nilai-nilai sosial yang berlaku. Segala bentuk tindakan dan kebijakan

negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan

melanggar rasa keadilan yang dipahami Masyarakat Adat harus segera

diakhiri. Keputusan masyarakat Adat ini dikutip dari tulisan Rosnidar

Sembiring, Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi, diakses

tanggal 5 Januari 2016, 5. 298Wawancara, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Provinsi Jambi, 27 September 2016.

Page 186: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

177

memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan dan

pelestarian adat budaya Jambi melalui kelembagaan adat.

Alasannya sederhana secara historis daerah Jambi lahir dan

berkembang karena identitas adatnya yang melahirkan

spirit moral, sosial dan agama sehingga hidup harmonis dan

aman tanpa konflik vertikal maupun horizontal. Selain itu,

pemerintah daerah sesuai aturan yang berlaku dituntut

mampu mendorong dan memfasilitasi tumbuh-kembangnya

adat dan budaya lokal sesuai nilai kearifan lokal.299

Statemen ini diamini Junaidi T. Noer, Azra‘i Basyari

dan Fathuddin Abdi, A. Roni dan Muhammad Zen, patut

diakui begitu besar dukungan pemerintah daerah dalam

memberdayakan Lembaga Adat Melayu (LAM) pada tingkat

provinsi maupun kabupaten/kota ditandai dengan

pemberian fasilitas kantor dan alokasi dana yang besar

serta kesempatan seluas-luasnya melaksanakan acara atau

momen seremonial adat, seperti; sosialisasi, pemberian

gelar, dan lainnya. Terakhir diterbitkannya peraturan

daerah (perda) tentang legalitas lembaga adat dan aturan

yang melekat di dalamnya, sebagaimana tertuang dalam

Perda No. 4 tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu

Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

Kedua Pilar Religius, dimainkan oleh Pegawai

Syarak yang notabene bagian dari ulama. Secara historis

dan sosiologis ulama dipahami sebagai ―orang yang berilmu‖

dan selalu dikaitkan dengan terma ilmu pengetahuan

agama baik pengertian gnosis maupun eksetoris hukum

agama. Legalisasi otoritas ulama dijumpai dalam al-Qur‘an

maupun Sunnah.300 Bahkan di Indonesia saat ini maknanya

lebih dipersempit melalui pengakuan masyarakat pada

organisasi struktural yang menggunakan simbol ulama

seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Nadhatul

299Wawancara, Sekda Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari, 23-

25 Maret 2016. 300Q.S. Fâtir [35]: 28 ― Sesungguhnya di antara hamba-hamba yang

takut kepada-Ku adalah ulama‖, sedangkan hadis ―Inna al-‗ulamâ

waratsah al-Anbiyâ‘ (sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi).

Uraian secara komprehensif mengenai legitimasi ulama tersebut lihat Ibn

Hajar al-Asqalany, Fath al-Bâriy, (Mesir: al-Baby al-Halaby, 1959), I,

169.

Page 187: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

178

Ulama (NU), terlepas dari keilmuan yang dimiliki benar-

benar dalam atau sebaliknya. Dengan kata lain, mereka

yang memberikan pengajian atau ceramah, sering berbicara

di muka umum tentang Islam, turunan ulama,

menggunakan atribut atau simbol ulama, organisaisi ulama

dilekatkan dengan terma ulama, bukan pada fungsionalnya

dan kemampuan substansialnya pada ilmu-ilmu agama.301

Secara umum tugas ulama mencerahkan umat atau

amar ma‘ruf nahi munkar, yang jika dirinci meliputi empat

hal, yakni : 1). Menyebarkan dan mempertahankan ajaran

dan nilai agama; 2). Melakukan kontrol dalam masyarakat

(social control); 3). Menyelesaikan segala persoalan yang

dihadapi umat; 4). Menjadi agen perubahan sosial (agent of

social change).302 Di bidang pemerintahan, ulama sebagai

penasihat pemerintah dalam pengambilan kebijakan

berkenaan dengan persoalan sosial keagamaan. Peran

ulama selanjutnya terus mengalami dinamika seiring

dengan perkembangan zaman dan keadaan sebagai

refresentasi kepentingan agama.

Ketiga, Pilar Kultural, yang dimainkan kelembagaan

adat sebagai institusi yang berwenang menangani berbagai

kasus hukum, sosial dan agama yang dihadapi oleh

masyarakat Melayu Jambi.303 Kelembagaan adat

301Di Indonesia terdapat dua lembaga formal maupun non-formal

yang menangani persoalan hukum, sosial dan agama. Lembaga formal

merupakan institusi yang dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah

seperti kementerian hukum, agama dan sosial. Sedangkan lembaga non-

formal yang concern mengurusi persoalan sosial-keagamaan, yaitu

lembaga sosial kemasyarakatan dan lembaga sosial keagamaan. Lembaga

sosial kemasyarakatan seperti; paguyuban, lembaga swadaya masyarakat

(LSM), lembaga adat, organisasi lingkungan hidup, dan lainnya.

Sedangkan organisasi sosial keagamaan seperti; Majelis Ulama Indonesia

(MUI), Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Irsyad al-Islamiyyah,

Tarbiyah Islamiyah, Front Pembela Islam (FPI) dan lainnya. Organisasi

kedua ini tidak bersentuhan langsung dengan kelembagaan adat Melayu

Jambi sehingga mereka betul-betul otonom dan independen dalam

pengambilan setiap keputusan. 302Masykuri Abdillah, Kiprah Ulama dalam Kehidupan

Masyarakat dan Negara Dewasa ini, dalam Mimbar Agama dan Budaya,

(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, (1999), 1. 303Terma lembaga mempunyai beberapa arti, antara lain : 1) asal

mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan);

Page 188: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

179

mengandung makna yang luas, baik menyangkut institusi

adat maupun nilai nilai, asas atau prinsip maupun norma

norma yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat. Sebagai contoh nilai nilai ke-Tuhanan,

kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan sebagainya

terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip musyawarah

mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya, semuanya

terdapat dalam kelembagaan adat. Norma norma yang

disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak

lingkungan hidup, dan sebagainya, telah disepakati sejak

dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku.

Kelembagaan ini lebih menekankan pada aturan

main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action)

untuk mewujudkan kepentingan bersama. Pada awalnya

institusi ini sebagai wahana mengkaji dan menyelesaikan

segala persoalan hukum, moral, sosial, politik dan agama,

namun pada masa pasca-kemerdekaan beralih menjadi

wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain

itu, awalnya kelembagaan adat merupakan institusi formal

berubah menjadi institusi non-formal, namun tetap diakui

oleh pemerintah Republik Indonesia (Rl) sebagai salah satu

alternatif penyelesaian sengketa/konflik horizontal antar

masyarakat.

Meskipun sejak berdirinya kelembagaan adat Melayu

Jambi mengalami beberapa kali perubahan nomenklatur

mulai dari Kerapatan Adat, Lembaga Adat Provinsi Jambi,

dan Lembaga Adat Melayu Jambi tentunya berimbas pada

perubahan paradigma. Institusi ini sejak masa kerajaan

Melayu memainkan perang penting dalam membantu

penguasa menyelesaikan berbagai kasus dengan pola dan

pendekatan tersendiri.304 Perubahan nomenklatur dan

(2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan; ikatan (tentang mata cincin

dan sebagainya); (4) badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan

penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola

perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di

suatu kerangka nilai yang relevan. Lihat W.J.S Poerwadarminta, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 1991), 979. 304Lembaga adat yang merupakan wadah atau organisasi

permusyawaratan/permufakatan para pengurus adat, pemuka-pemuka

Page 189: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

180

pasang surut kewenangannya tidak membuat institusi ini

kehilangan jati diri, ia tetap hidup dan menjadi wahana

alternatif dan patron bagi masyarakat Melayu Jambi.

Begitupula praktik adat bersendi syarak, awalnya

diapropriasi sebagai bagian budaya, bahkan sebagai faktor

determinan yang memproduksi budaya itu sendiri,

akhirnya tak lebih menjadi arena pertarungan politik.

Sejarah mencatat bagaimana pertarungan muncul sejak

Jambi dipimpin Puteri Selaras Pinang Masak yang

beragama Hindu dan Ahmad Salim yang beragama Islam,

keduanya menikah dan berhasil ―meng-Islamkan‖ kerajaan

Melayu, klimaksnya masa Ahmad Kamil hingga munculnya

otoritas pemerintah Belanda yang berupaya

―mengkerdilkan‖ syarak melalui politik hukumnya.

Begitupula otoritas pemerintah masa modern dan

pemerintah daerah yang juga ikut andil dalam

pembentukan praktik adat dan syarak.

Dengan demikian, dukungan terhadap pelembagaan

adat dan syarak sangat signifikan dan optimal, utamanya

sejak awal kerajaan Islam Melayu melahirkan kolaborsi

sistem pemerintahan dan sistem hukum, yang berimplikasi

pada pribumisasi ajaran Islam dan akselerasi penyebaran

Islam di Jambi. Dukungan ini berlanjut oleh pemerintah

pasca kemerdekaan sehingga syarak tetap bertahan meski

adat/masyarakat yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan,

tugas pokok Lembaga Adat sebagaimana termuat dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 1997 sebagai

berikut: Pasal 1 huruf e. (Permendagri No. 3 tahun 1997 dan Juklaknya

In-Mendagri Nomor 15 Tahun 1998 telah dicabut dengan Permendagri

Nomor 4 Tahun 1999 bersama 45 Peraturan, Keputusan, dan Instruksi

Menteri Dalam Negeri lainnya). Pertama, menampung dan menyalurkan

pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan

perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-

kebiasaan masyarakat. Kedua, memberdayakan, melestarikan, dan

mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat

dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan

masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan,

pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan. Ketiga,

menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif

antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka

adat dengan aparat pemerintah di daerah.

Page 190: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

181

menjadi hukum lokal, meski sebagian telah menjadi spirit

bagi hukum nasional.

D. Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat

Masyarakat Melayu Jambi merupakan bagian dari

masyarakat hukum Adat dengan indikator adanya kesatuan

dalam masyarakat yang bersifat tetap dan teratur,

anggotanya terikat ranah domisili tertentu dan hubungan

keturunan berupa pertalian darah atau kekerabatan.305

Penekanannya pada signifikansi kelompok kebangsaan agar

kewibawaan hukum dan kekuasaan kelompok tadi dapat

berjalan teratur, memiliki otoritas dan kewibawaan.

Masyarakat yang tidak teratur bukanlah masyarakat

hukum karena tidak adanya otoritas dan kewibawaan

karena setiap sistem hukum mengkaji siapa saja yang

menjadi stakeholders, pemberlakuan dan kontinuitas dan

kepatuhan stakeholders sehingga tercipta stabilitas sesuai

keinginan pembuat hukum.306

Konsekuensi dari masyarakat hukum adat adanya

pengakuan dan kepatuhan terhadap aturan terkait dengan

adat seperti; undang-undang adat, pemangku adat,

305Masyarakat hukum adat adalah komunitas sosial manusia yang

mempunyai aturan sebagai pedoman untuk dilaksanakan atau

ditinggalkan sesuai situasi dan kondisi serta mempunyai rasa persatuan

dan struktur masyarakat untuk menentukan sistem hukum. Masyarakat

hukum adat dipetakan menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama,

Genealogis, yaitu kesatuan masyarakat yang teratur, keanggotaannya

berasal dari dan terikat pada kesamaan keturunan melalui hubungan

darah maupun perkawinan, menganut sistem kekerabatan patrilineal,

matrilineal, dan parental/bilateral. Kedua, Territorial, yaitu masyarakat

yang tetap dan teratur terikat pada daerah kediaman tertentu, baik

jasmani sebagai tempat kehidupan maupun rohani tempat pemujaan

terhadap roh leluhur, terdiri dari persekutuan desa (dorpsgemeenschap);

segolongan atau komunitas sosial yang senantiasa hidup bersama

berasaskan pandangan, hidup dan sistem kepercayaan serta kediaman

yang sama. Ketiga, Territorial Genealogis, yaitu kesatuan masyarakat

yang bersifat tetap dan teratur serta terikat pada ranah domisili tertentu

dan hubungan keturunan dalam pertalian darah atau kekerabatan. Lihat

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Suatu Pengantar (Jakarta:

Pradya Paramita, 1997), 42; I Gede AB. Wiranata, Hukum Adat..., 113. 306Ibid.

Page 191: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

182

komunitas masyarakat adat, dan peradilan adat.307 Point

terakhir merupakan salah satu tugas kelembagaan adat

Melayu Jambi yaitu menengahi atau mengadili kasus-kasus

hukum, moralitas dan agama. Praktik peradilan adat

berlangsung sejak masa kerajaan Melayu, kerajaan Islam

Melayu, kesultanan, kolonialisme dan kemerdekaan, meski

telah ada kerajaan atau pemerintah.

Pada masa pra kolonialisme, kerajaan dan

kesultanan melayu, kewenangan peradilan adat sangat luas

mencakup segala persoalan yang dihadapi masyarakat

kecuali pelanggaran berat yang menghendaki putusan

penguasa. Selanjutnya masa kolonial Belanda sejak tahun

1930 terjadi perubahan politik hukum adat (adat recht

politic) guna mengantisipasi kemungkinan perubahan

kondisi hukum. Ditandai pengakuan secara formal terhadap

perangkat hukum adat, seperti: Hukum desa diberi

pengakuan oleh pemerintahan Belanda; peradilan adat di

daerah diperintah dan diatur melalui ordonansi (1928-1932)

serta dalam peraturan pelaksanaan yang dibuat residen

setempat; dan 1 Januari 1938, melalui Raad Justitie di kota

Betawi didirikan Adat Kamer (kamar adat) yang bertugas

mengadili tingkat banding perkara adat, hukum privat adat

yang ditentukan dan diputuskan oleh Landraden di Jawa,

Palembang, Jambi dan Kalimantan. Segala persoalan sosial

terkait dengan peradilan bagi Bumi Putera/Pribumi

diserahkan kepada Badan Peradilan (Kerapatan Adat)

kecuali mereka yang tunduk pada perundangan Hindia

Belanda diadili berdasarkan Hukum Perdata dan Pidana.

Sedangkan masa Kolonial Jepang, perhatian terhadap

pengembangan adat dan syarak sangat kurang karena

307Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 Ayat [1]

menyatakan Masyarakat (Hukum) Adat diakui keberadaanya jika

menurut kenyataanya memenuhi unsur antara lain: Masyarakatnya

masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschap); Ada kelembagaan

dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; Ada wilayah hukum adat

yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan

adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil

hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-

hari.

Page 192: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

183

rakyat hidup dalam kondisi politik dan ekonomi

memprihatinkan.308

Selanjutnya, masa kemerdekaan kewenangan

peradilan ini dikoordinir oleh pemerintahan pusat dengan

membentuk lembaga peradilan yang secara khusus

mengurusi persoalan perdata, pidana, administrasi negara

dan militer serta mendapat legitimasi melalui undang-

undang tentang kekuasaan kehakiman. Sistem

pemerintahan Republik Indonesia yang menganut trias

politika yaitu; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga

yudikatif di bawah payung Mahkamah Agung RI UU Nomor

14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

memetakan empat jenis pengadilan yaitu; Pengadilan

Agama (PA), Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (PM). Dalam

peradilan ini yang menentukan putusan dan melaksanakan

persidangan adalah hakim, panitera, penggugat,

tergugat,saksi dan alat bukti.

Meski demikian, peradilan adat tetap berjalan

dengan menyelesaikan berbagai kasus hukum, moral, sosial

dan agama di bawah payung kelembagaan adat Melayu.309

Menurut Ahmad Rasyid segala persoalan yang dihadapi

dapat diselesaikan melalui peradilan adat sesuai

seloka―tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan, keruh

308Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum: Bekal Pengantar, (Yogyakarta:

Liberty, 1981), 94. 309Pemerintah Belanda tidak mengintervensi persoalan adat dan

membiarkan konstruksi adat yang ―mapan‖ ketika itu bahkan

memberikan perhatian serius terhadap adat, ini dilihat pada beberapa

tulisan di antaranya: Kitab hukum Mogharaer, Tahun 1750, acuan

Pengadilan Negeri di Semarang, sebagian besar justru memuat pidana

Islam; Catatan hukum adat di keraton Bone dan Goa oleh Bosscchenaar

Van Dirk Chlootwisxk, Gubernur Pantai Sulawesi 1757-1755; Kitab

hukum Freiser, memuat hukum perkawinan dan waris menurut syarak

untuk pengadilan Kompeni, atas perintah Gubernur Jenderal Mossel dan

disahkan 1679; Tulisan Nicholasses Engelhard Gurbenur Pasundan

tentang penduduk asli dan pendatang di Pasundan Tahun 1805; Hasil

penelitian Dirk Van Hogendrop dan Gezaghebber tentang pantai Timur

Pulau Jawa (1794-1798) mengenai soal milik tanah. Lihat Soerojo

Wignodipuro, Pengantar ..., 36-37.

Page 193: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

184

yang tidak dapat dijernihkan.‖310 Peradilan adat di Jambi

aktif membantu pemerintah daerah menyelesaikan masalah

hukum, oleh karenanya banyak kasus terselesaikan secara

adat sehingga tidak perlu diteruskan kepada peradilan

umum (Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri).

Legalitas putusan peradilan adat diakui melalui

sistem perundangan yang berlaku di Indonesia dan oknum

yang bekerja di dalamnya adalah forum tiga tali sepilin

melalui presedium kerapatan adat. Forum ini merupakan

refresentasi dari kepentingan tiga kelompok yaitu;

pemerintahan desa, pegawai syarak dan pemangku adat.

Teknis operasionalnya terkait dengan aturan beracara dan

materi undang adat diatur sedemikian rupa laiknya suatu

peradilan seperti; proses beracara, prosedur pelaporan atau

pengaduan, persyaratan administratif, biaya sidang,

pelaksanaan sidang, sanksi bagi pelaku ataupun

kompensasi bagi korban, kekuatan hukum putusan,

perangkat yang melakukan eksekusi dan lainnya.

Penerapan aturan administratif dan denda terhadap pelaku

variatif sesuai situasi dan kondisi wilayah (eco pakai).

Peradilan adat Melayu Jambi, sebagaimana

peradilan lainnya, mempunyai kompetensi absolut (absolute

competency) dan kompetensi relatif (relative competency).311

Pertama, Kompetensi Absolut, yang terkait dengan cakupan

310Wawancara, Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari, 20 Mei 2015. 311Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan dalam

memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat

diperiksa oleh badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan

perundangan yang berlaku. Pertama, Peradilan Umum (UU Nomor 2

Tahun 1986) memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana

(umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga); Kedua, Peradilan

Agama (UU Nomor 7 Tahun 1989) memeriksa dan memutus perkara

perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah; Ketiga, Peradilan

Tata Usaha Negara (UU Nomor 5 Tahun 1986) memeriksa dan memutus

sengketa Tata Usaha Negara; Keempat, Peradilan Militer memeriksa dan

memutus perkara pidana anggota TNI. Sedangkan Kompetensi Relatif

adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara berdasarkan wilayah

perkara, sesuai tingkatan pengadilan yaitu: Pengadilan tingkat Pertama,

Pengadilan tingkat Kedua (Banding); dan Pengadilan tingkat Ketiga

(Kasasi).

Page 194: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

185

jenis kasus yang dapat diselesaikan oleh peradilan adat

yaitu; kasus pidana dan perdata sebagaimana tertuang

dalam Undang Adat Jambi, utamanya yang tidak

terjangkau oleh aturan hukum positif bidang Pidana dan

Perdata. Kasus pidana seperti; pembunuhan, perkelahian,

zina, pengrusakan, pencurian, penipuan, pencemaran nama

baik, perbuatan tidak menyenangkan dan lainnya.

Sedangkan kasus perdata seperti; kepemilikan tanah,

penetapan hak waris, wakaf, hibah, penentuan batas tanah,

perselingkuhan, konflik keluarga, perkawinan, perceraian

dan lainnya. Kedua, Kompetensi Relatif, yang terkait

dengan wilayah sesuai domisili penggugat dan tergugat

serta tingkatan peradilan adat, sesuai seloka ―Berjenjang

naik bertanggo turun,‖ sesuai dengan tingkatan masing-

masing yaitu; Kerapatan Tengganai pada tingkat rukun

tetangga (RT), Kerapatan Nenek Mamak pada tingkat

rukun warga (RW) atau dusun dan Kerapatan Desa/Lurah

pada tingkat desa/kelurahan.

Adapun tahapan pelaksanaan sidang mulai dari

pelaporan sebagaimana dijelaskan oleh Datuk Hasbi, Feri

Yulman, SE dan Drs. Sayuti Abdullah.312

1. Pihak penggugat mengajukan gugatannya secara lisan

maupun tertulis kepada pemerintahan desa, pegawai

syarak atau tokoh adat dengan memenuhi persyaratan

administrasi dan biaya sidang adat untuk honor,

konsumsi peserta sidang dan alat tulis kantor (ATK)

sesuai seloka ―Sirih secabik pinang setemih.‖ Pada kasus

pidana penggugat menyerahkan tanda patuh kepada

pemangku adat, kasus pampas (darah) sebilah keris dan

kasus bangun (nyawa) sebatang tombak, sebagai tanda

keseriusan penggugat mengharapkan keadilan ―kusut

diurai, keruh dijernihkan, angkang disusun, selang

dipasut.‖

2. Setelah persyaratan administratif terpenuhi dan gugatan

diterima pemangku adat menetapkan jadual sidang

Kerapatan Adat dan menunjuk Majelis Hakim (LID) yang

312Wawancara, Ketua Adat, Kepala Desa, dan Pegawai Syarak Desa

Kuap Kabupaten Batanghari Jambi, 12 Mei 2015.

Page 195: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

186

menyidangkan terdiri dari pimpinan dan dua orang

anggota refresentasi tiga tali sepilin.

3. Majelis hakim melalui presidium kerapatan adat

menjalani sidang sesuai tahapan dengan melibatkan

pihak penggugat, tergugat dan saksi-saksi serta alat

bukti.

4. Hasil sidang dilaporkan kembali ke Pemangku Adat

untuk disampaikan kepada pihak yang berperkara.

Setelah putusan disampaikan, pihak penggugat ataupun

tergugat yang keberatan atas hasil putusan sidang dapat

mengajukan banding ke tingkat yang lebih tinggi.

Ditambahkan Ambasri kehadiran pihak tergugat

dalam persidangan tidak mempengaruhi jalannya

persidangan dan eksekusi terhadap putusan sidang melalui

dua jalur, yaitu: diserahkan kepada penguasa untuk

mengambil keputusan atau Nenek mamak dari tersangka

mengambil alih tanggung jawab perbuatan hukum

tersangka.313 Menurut Arfan sesuai seloka adat: 314 ―Bilo seseorang keras tak dapat ditarik, runcing tanduk

untuk mengewang, gedang kelaso hendak mendorong,

lembut tidak bersudu maka nenek mamak menyerahkan

kepada ombak yang berderu, angin yang mendengung

(raja/penguasa) disebabkan mereka memegang bungkal

yang piawai teraju yang berkatok. Rajolah yang menetak

putus menyincang abis‖.

Para pihak yang berperkara baik penggugat ataupun

tergugat yang tidak dapat bekerjasama dengan pihak

peradilan adat maka putusannya dikembalikan kepada

penguasa sebagai pihak yang berkompeten mengeksekusi

sanksi pihak yang dinyatakan bersalah. Begitu pula, mereka

yang keberatan atas putusan peradilan adat dapat

mengajukan banding sesuai hierarki peradilan adat yaitu

tingkat kerapatan tengganai, kerapatan nenek mamak,

kerapatan kampung. Jika putusan tingkat kampung belum

313Wawancara, Pemangku Adat Kecamatan Batin XXXIV, 20

Februari 2016. 314Wawancara, Pemangku Adat Rambutan Masam, 21 Februari

2016.

Page 196: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

187

mampu memuaskan pihak yang berperkara maka dapat

mengajukan ke pengadilan lain agama ataupun umum,

artinya institusi yang menjadi wahana penyelesaian kasus

bergantung pada keinginan masyarakat, meminjam istilah

Satcipto sebagai adresat hukum. Oleh karena itu, setiap

akhir putusan peradilan adat ditutup dengan kalimat

demikianlah putusan ini dibuat dengan ketentuan ―Yang

patuh balik ke batin, Yang ingkar balik ke rajo.‖

Menurut Ambasri pihak berperkara yang mematuhi

putusan adat diakui sebagai masyarakat Melayu Jambi

yang berpegang kepada adat, sebaliknya pihak yang tidak

mematuhi putusan berarti ia telah keluar dari masyarakat

hukum adat dan disilahkan mengajukan kasusnya ke

pengadilan.315 Jika masyarakat menghendaki penyelesaian

kasusnya melalui peradilan adat maka berlakulah aturan

adat, sebaliknya jika masyarakat menghendaki Peradilan

Agama atau Umum maka berlakulah aturan perdata dan

pidana. Begitupula jika masyarakat merasa kurang puas

atas putusan peradilan adat maka dapat melaporkannya

kembali ke peradilan lain sesuai kewenangannya.

Praktik ini sejalan dengan aturan yang berlaku di

Indonesia yang memberikan alternatif pada masyarakat

untuk menyelesaikan persoalan internal melalui peradilan

adat. Hal ini mengindikasikan ada dua model penyelesaian

hukum yang berlaku bagi masyarakat Melayu Jambi yaitu

Litigasi dan Non- Litigasi.316 Litigasi yaitu gugatan atas

suatu konflik antara para pihak yang saling bertentangan

sehigga harus diambil keputusan dua pilihan yang

bertentangan. Litigasi sangat formal terkait pada hukum

acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling

beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga

(hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya

bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transparan,

hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau

pertimbangan hakim. Sedangkan Non-Litigasi yang sering

disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif

315Wawancara, Pimpinan Adat Batanghari, 20-22 Februari 2016 316Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan. (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), 8-9.

Page 197: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

188

Penyelesaian Sengketa untuk melindungi hak keperdataan

pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien, mengingat

penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung

membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak

sedikit sekaligus membantu menyelesaikan penumpukan

perkara di tingkat Mahkamah Agung.

Begitupula pada saat penyampaian putusan melalui

presidium kerapatan sidang, pihak kelembagaan adat

melalui perangkatnya mengundang instansi terkait untuk

menyaksikan hasil keputusan, seperti; Camat, Danramil,

Kapolsek, Ketua MUI serta semua pihak dan instansi

terkait dengan kasus yang dihadapi. Hal in i merefleksikan

dukungan pemerintah dan perangkatnya terhadap kinerja

dan pemberdayaan kelembagaan adat sebagai salah satu

pilar yang dapat membantu pemerintah dalam penyelesaian

masalah hukum dan konflik sosial-agama yang terjadi di

masyarakat. Pada bab berikutnya diurai tentang

kelembagaan adat yang menjadi arena tarik menarik atau

bahkan subordinasi internal dan dengan institusi di

luarnya.

Page 198: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

189

7 Kelembagaan Adat Melayu Jambi

sebagai Arena Pertarungan Kuasa

Kelembagaan Adat Melayu Jambi yang hadir sejak masa

kerajaan Melayu mempunyai peran signifikan dalam

membantu penguasa menyelesaikan persoalan hukum,

sosial, kenegaraan dan agama. Kelembagaan adat yang di

dalamnya forum tiga tali sepilin memainkan tiga peran

sekaligus yaitu ―eksekutif, legislatif dan yudikatif‖. Meski

dalam perkembangannnya peran ini bergeser menjadi

wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan

pemerintahan, pembangunan, sosial dan agama. Bahkan

terkadang justru menjadi arena subordinasi dalam

memperebutkan posisi bahkan disposisi melalui kuasa

simbolik.

Bab ini menjelaskan kuasa simbolik (symbolic power)

dalam kelembagaan adat dapat beroperasi dengan

mengubah sesuatu dan menciptakan realitas agar diakui

dan dikenal secara absah, yang pada akhirnya membentuk

suatu habitus. Habitus dibuat secara tidak sadar sehingga

diterima oleh masyarakat, meski di dalamnya terjadi

negosiasi bahkan subordinasi dalam memproduksi hukum

dan memperebutkan kuasa atau kepentingan.

A. Modal dalam Kelembagaan Adat

Modal dapat berupa; kultural, religius, pendidikan, sosial,

simbolis, politis dan ekonomis, namun bagi Bourdieu modal

bisa berupa kultural, sosial, simbolis, dan ekonomis serta

Page 199: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

190

tidak bisa dihubungkan oleh seperangkat materi semata.317

Sedangkan modal kultural bisa berupa; kompetensi, skill,

dan kualifikasi yang memungkinkan para agen dominan

memobilisasi otoritas kultural dan dapat menjadi sumber

salah pengenalan dan kekerasan simbolik. Selain itu, modal

kultural turut berpengaruh terhadap penciptaan modal

simbolik yang dimiliki oleh para agen.

Para pemegang modal simbolik bisa mempengaruhi

para agen lain yang tidak memiliki modal ini,

mendiseminasikan nilai-nilai sosial, yang diharapkan bisa

menjadi habitus yang tanpa disadari oleh mereka. Dalam

proses transformasi dan pengalih-rupaan inilah, dominasi

bahkan tekanan bekerja secara diam-diam. Karena berada

dalam sebuah arena yang di dalamnya para agen saling

berdialektika membentuk habitus, meskipun dominasi itu

tidak lagi dirasakan sebagai sebuah ‗tekanan‘, melainkan

sebagai praktik kultural yang given.

Modal kultural yang masih diakui oleh masyarakat

Melayu Jambi ada pada kelembagaan adat, yang

memainkan peran signifikan dalam percaturan agama dan

budaya.318 Fakta inilah yang terjadi dalam kelembagaan

317Bourdieu, ―The Forms of Capital‖, terj. dari bahasa Jerman oleh

Richard Nice, dalam J.G. Richardson (Ed.), Handbook for Theory and

Research for the Sociology of Education, (New York: Greenwood Press,

1986), 65. 318Menurut John Hick agama merupakan subyek yang amat luas

dan kompleks sehingga dapat dilihat dari berbagai perspektif sehingga

melahirkan teori tentang watak agama, seperti; antropologi, sosiologi,

psikologi, naturalis dan teori keagamaan (wahyu). Atas dasar itu, Titus

mengklasifikasikan agama kepada dua aspek; pertama, agama lahir dari

kemauan manusia untuk menjalani dan menyempurnakan kehidupannya.

Kedua, agama berasal dari kesadaran manusia untuk mengakui

keberadaan alam sekitarnya yang lebih sempurna dan memberi

kontribusi terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan budaya

(kebudayaan) menurut E.B Taylor merupakan sesuatu yang kompleks

mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum adat istiadat,

kesenia dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat manusia

sebagai anggota masyarakat. Lihat Ali Sunarso dan Mochlasin Sofyan,

Islam Doktrin dan Konteks; Studi Islam Komprehensif, (Yogyakarta:

Yayasan Ummul Qur‘an, 2006), 25-26; Tim Penyusun, Islam dan Budaya

Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2005), 8.

Page 200: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

191

adat Melayu Jambi sebagai institusi yang dibebani tanggung

jawab menyelesaikan persoalan sosio-religius yang dihadapi

oleh masyarakat. Institusi ini pada kenyataannya

merupakan bagian penyedia modal kultural untuk

mendapatkan kekuasaan ataupun status sosial, ketika agen

memiliki modal tertentu maka di titik awal dari sebuah

ranah agen lebih diuntungkan. Karena ranah bergantung

pada, dan juga menghasilkan lebih banyak lagi, modal.

Dengan demikian agen bisa menggunakan keuntungan

modalnya untuk mengakumulasi lebih banyak lagi dan

mencapai keberhasilannya dengan mudah ketimbang agen

lain.

Modal kultural ini dipandang signifikan karena di

dalamnya terdapat beberapa sub modal yaitu; modal politik,

modal religius dan modal sosial. Menurut Junaidi T. Noer,

kelembagaan adat sangat berjasa meng-unifikasi syarak

dengan adat sehingga melahirkan falsafah ―Adat bersendi

syarak, Syarak bersendi Kitabulllah,‖ meski nomenklatur

yang dimunculkan hanya adat hasil negosiasi antara

penguasa, pegawai syarak dan tokoh adat.319 Hal senada

disampaikan Lukman Hakim, menurutnya secara historis

kontribusi kelembagaan adat sangat besar terhadap

tegaknya hukum dan moralitas di negeri Sepucuk Jambi

Sembilan Lurah. Institusi ini bahkan berhasil

mempersatukan dua sistem hukum yaitu sistem syarak dan

sistem adat menjadi satu entitas, bahkan syarak dijadikan

sebagai korektor terhadap adat.320

Selanjutnya Datuk Sayuti dan Pakdo Ismail

menambahkan kinerja kelembagaan adat selama ini telah

terbukti dan teruji mampu membawa masyarakat Jambi

hidup rukun dan damai pada seluruh lapisan masyarakat

karena mengharmoniskan syarak dengan adat. Islampun

begitu pesat dan merata di Jambi setelah instiusi ini mampu

mengkolaborasikan syarak dengan adat menjadi entitas

319Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 5 April 2016. 320Wawancara, Ketua Ikatan Tarbiah Islamiyah Provinsi Jambi, 6

April 2016.

Page 201: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

192

hukum di bawah payung Undang Adat Jambi.321

Pandangan di atas secara substantif mengakui peran

signifikan kelembagaan adat sebagai korektor (nâqid) dan

mediator (wasâil) antar syarak dengan adat, bahkan

pemersatu masyarakat Melayu Jambi sebagai representasi

kepentingan pemilik modal politik, religius dan kultural.

Institusi ini memiliki otoritas agar ada legitimasi sehingga

dapat dipatuhi oleh pihak lain secara individual maupun

kolektif. Legitimasi dimaksud berupa keyakinan anggota-

anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada

seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut

dihormati.322 Dalam sistem pemerintahan berdasarkan

Kerapatan Adat (Perpatih), presidium yang dihadiri oleh

forum tiga tali sepilin ini memiliki otoritas tertinggi dalam

menyelesaikan berbagai persoalan sosial, moral dan agama,

memproduksi dan mereproduksi hukum bahkan

menentukan kebijakan strategis bahkan saat ini berperan

dalam memilih perangkat pelaksana harian pemerintahan

desa.

Ketiga modal dimaksud yaitu; pemerintahan desa,

pegawai syarak dan pemangku adat. Pertama, Pejabat

Pemerintahan Desa (Pemdes), sebagai organisasi terkecil

penyelenggara negara idealnya memiliki otoritas

mengejawantahkan tujuan negara (pemerintah)

bekerjasama dengan rakyat demi mencapai cita-cita

bersama. Sejalan dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat [1, 3].

Kepemimpinan desa adalah kepala desa yang dipilih oleh

masyarakat setempat dan dalam melaksanakan tugas,

dibantu oleh perangkat desa, kepala dusun dan ketua rukun

tetangga. Kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat

desa sebagai wujud demokrasi, bertugas merencanakan,

melaksanakan dan membuat kebijakan di desa. Kepala Desa

dan perangkatnya menjadi tumpuan utama bagi

masyarakat desa dalam mengatasi persoalan hidup, dari

321Wawancara, Tokoh Adat Kota Jambi dan Batanghari, 2 Mei

2016. 322Miriam Budiarjo, Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Gramedia,

1994), 90-91.

Page 202: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

193

persoalan pribadi sampai persoalan bersama.

Saat ini kepemimpinan desa adalah kepala desa yang

dipilih oleh masyarakat setempat, tugas kepala desa dibantu

oleh perangkat desa, kepala dusun dan ketua rukun

tetangga, yang memiliki peran signifikan dalam mengelola

desa. Untuk menjabat kepala desa, diperlukan kriteria

tertentu, disamping pendidikan yang baik, akhlak, dan juga

yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki ketrampilan

atau kemampuan dalam memimpin.323

Konsepsi umum kepemimpinan masyarakat Melayu

Jambi mensyaratkan seorang pemimpin memiliki beberapa

karakter umum. Pertama, kemuliaan budi pekerti atau

akhlak yang baik. Kedua, siap dan rela berkorban untuk

orang lain. Ketiga, siap menghadapi segala macam resiko

yang ditimbulkan, baik karena ditimbulkan oleh perbuatan

masyarakat maupun juga dampak dari keputusan yang

diambil. Keempat, tidak lari dari masalah bahkan selalu

siap menyelesaikan setiap persoalan. Kelima, seorang

pemimpin mesti berada dan berdiri di tiap-tiap kelompok

sehingga berguna bagi semuanya.324

Kedua, Pegawai Syarak, merupakan organ

kelembagaan adat yang masuk dalam sistem pemerintahan

Adat Melayu Jambi dengan fungsi memimpin urusan ibadah

dan pemberi pertimbangan aspek syariah pada pemerintah.

Pegawai Syarak merupakan refresentasi dari alim ulama,

imam, khatib, bilal, orang yang dalam struktur masyarakat

Melayu Jambi menempati posisi terhormat sebagai tokoh

agama yang memberikan pengetahuan keagamaan sekaligus

intelektual Muslim.

Meskipun peran ulama selanjutnya mengalami

dinamika seiring perkembangan zaman, berkontribusi besar

dan memainkan peran dalam percaturan pemikiran hukum

Islam di Jambi. Kontribusi ulama dapat ditelusuri sejak

peralihan kerajaan Melayu Jambi ke tangan Ahmad Salim,

dilanjutkan Ahmad Kamil. Islam menampakkan

323Ibrahim Lakoni, Adat Kepemimpinan Desa, Kampung, Dusun,

dan Pembangunan Arus Bawah Serta Peranan Tali Tigo Sepilin, (Jambi:

Lembaga Adat Melayu Jambi, 2001), 4. 324Ibid., 5-10.

Page 203: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

194

eksistensinya bahkan raja memproklamirkan kerajaan

Islam yang bersendikan syariat Islam. Setelahnya

penyebaran dan pribumisasi Islam melalui ulama Arab-

Yaman berkolaborasi dengan ulama lokal. Saat ini

pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jambi mengatur

berbagai kebijakan tentang tugas Pegawai Syarak yaitu

untuk meningkatkan penyelenggaraan dan pembinaan

ibadah ke-Islaman di mesjid.

Ketiga, Pemangku Adat, sekelompok orang pilihan

refresentasi dari Penghulu, Nenek Mamak, Tuo Tengganai

dan Cerdik Pandai, dipilih berdasarkan hubungan

keturunan dan memenuhi kriteria tertentu. Untuk menjadi

pemangku adat harus memiliki syarat-syarat tertentu,

seperti; memiliki pengetahuan tentang adat, baik itu

pengetahuan tentang hukum adat, falsafah dan seloka adat

maupun pengetahuan kondisi sosial budaya masyarakat

setempat.325 Syarat lain Pemangku Adat harus memiliki

integritas dan perilaku terpuji (akhlak al-karimah) sesuai

tugasnya yaitu; menggali, mengembangkan, memelihara

persoalan terkait dengan adat. Ketiganya bernaung di

bawah payung kelembagaan adat, melalui forum tiga tali

sepilin, yang eksis selama berabad-abad bersamaan adanya

kerajaan Melayu Jambi.326

325Pada masyarakat Melayu Jambi wilayah Hulu, Pemangku Adat

diangkat oleh Depati atau suatu Lembaga Adat untuk memimpin suatu

bagian dari wilayah adat tertentu, dan bertanggung jawab kepada kepala

wilayah kedepatian tertentu, atau menjalankan tugas ninek mamak

untuk hal-hal yang telah disepakati adat. Tugas Pamangku adalah

memangku segala urusan. Dari pemangku ini baru diteruskan kepada

yang berkepentingan, apakah untuk depati, ataukah orang tua cerdik

pandai, untuk alim ulama ataupun masyarakat dan lain-lainnya.

Pemangkulah yang bertugas membawa dan menyampaikannya. Lihat

Ismail Thalaby, Adat Sakti ..., 12. 326Sejak awal Pegawai Syarak bertanggung jawab mengawal

implementasi syarak sekaligus menjadi dewan pertimbangan syariah

pemerintah. Meski saat ini telah terjadi distorsi makna dan fungsi

utamanya setelah adanya institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

mengklaim sebagai lembaga otoritatif dalam menjawab persoalan

keumatan. Pegawai Syarak ini diangkat melalui SK Bupati meliputi

Imam, Khatib, Bilal, dan mudim (penjaga) masjid, bahkan pada beberapa

wilayah Pegawai Syarak hanya penanggung jawab kegiatan ibadah ritual,

atau lebih tepatnya shalat berjamaah. Defenisi dan ruang lingkup kerja

Page 204: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

195

Singkatnya, modal dalam kelembagaan adat ini

terkonstruksi menjadi modal politik, sosial dan agama, yang

disimbolkan dengan modal kultural. Modal kultural,

menempati posisi signifikan dalam relasi kekuasaan sosial,

karena ia menyediakan sejenis strategi dominasi dan

hierarki non-ekonomi terhadap kelas-kelas dalam tatanan

sosial.327 Dengan modal ini aspirasi stakeholders dapat

diakomodir dan bertahan terus yang pada akhirnya

menurut Bourdieu membentuk habitus. Modal kultural bagi

masyarakat Melayu Jambi disimbolkan melalui

kelembagaan adat yang di dalamnya sub-sub modal politik

dan agama serta kultural. Berbeda dengan Bourdieu yang

memisahkan modal menjadi ekonomi, budaya, sosial dan

simbolik serta tidak memasukkan agama dan politik sebagai

bagian dari modal.

Boudieu secara khusus tidak memasukkan agama

sebagai salah satu modal kapital, namun setidaknya 10

essay Bourdieu mengenai agama serta beberapa bagian

mengenai agama yang berserakan di berbagai karyanya,

salah satu karyanya The Algerians menunjukkan bahwa dia

sangatlah tertarik dengan pengaruh agama dalam

kehidupan orang-orang Algeria.328 Meski demikian, secara

substantif modal yang ada dalam kelembagaan adat Melayu

Jambi mengcover modal dimaksud, yang dipilah ke dalam

empat jenis yakni; modal ekonomi (uang, aset), budaya

(bentuk pengetahuan, kecenderungan dalam seni), sosial

(keluarga, agama, jaringan) dan simbolik (kejujuran,

kepercayaan).

Ketiga organ tersebut sebagai modal dalam

kelembagaan memiliki peran secara proporsional sesuai

Pegawai Syarak mengalami penyempitan dibandingkan dengan masa

lalu, meskipun sebagai organ kelembagaan adat Pegawai Syarak memiliki

ikatan emosional di tengah masyarakat Melayu yang notabene muslim. 327Pierre Bourdieu, Handbook for Theory and Research for the

Sociology of Education, (New York: Greenwood Press,1986), 65. 328Pierre Bourdieu, Habitus X Modal + Ranah = Praktik, editor

Richard Harker: pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre

Bourdieu, et. al., (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 48-50; Fauzi Fashri,

Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, (Yogyakarta: Jalasustra,

2014), 55; Pengantar Paling 50-52

Page 205: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

196

dengan kompetensi masing-masing, meski pada praktinya

tentu ada yang mendominasi. Dari aspek materi hukum

didominasi kepentingan agama, dari aspek fasilitator dan

penentu kebijakan didominasi kepentingan pemerintah dan

aspek institusional didominasi oleh kepentingan adat.

Kesemuanya berkolaborasi dalam membuat memproduksi

dan mereproduksi hukum serta meneyelesaikan segala

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Melayu Jambi.

B. Struktur Hierarkis Kelembagaan Adat

Habitus memiliki tiga prasyarat definitif. Pertama, habitus

adalah product of structure, hasil dari struktur

sosial/kultural/religius) yang sudah ada. Kedua, habitus

adalah producer of practice, menciptakan sekaligus

memperkuat praktik yang sudah ada. Ketiga, habitus adalah

reproducer of structure, secara tak langsung—melalui

praktik yang dihasilkan dan bekerja terus menerus—

menciptakan kembali sekaligus memperkuat struktur yang

sudah ada sejak awal.

Singkatnya, ia dibentuk oleh struktur dan sekaligus

membentuk kembali struktur itu (Structure of structure),

habitus bersifat sirkuler dalam ketegangan antara struktur

dan praktik.329 Struktur dalam kelembagaan inilah pada

akhirnya menjadi habitus dan membentuk hierarki, yang

melahirkan posisi dan disposisi yang mapan hingga saat ini.

Inilah yang nantinya dijadikan sebagai arena kekuasaan

yang di dalamnya terdapat beragam potensi yang eksis.

Potensi inilah yang dimiliki oleh aktor-aktor yang

melakukan perjuangan memperebutkan atau

mempertahankan posisi demi eksistensi dan situasi

kongkret.

Jika memang habitus adalah produk dari struktur

suatu masyarakat tertentu, sebenarnya struktur

masyarakat Melayu Jambi itu sendiri yang berhasil

menciptakan habitus ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi

329Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement

of Taste, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (London:

Routledge.1984), 170.

Page 206: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

197

Kitabullah; ―Undang datang dari Hulu, Teliti dari Hilir.

Secara struktural semua organ dalam kelembagaan adat

mempunyai posisi strategis dalam masyarakat bahkan

dapat menentukan sanksi terhadap pelanggar norma agama

dan adat. Sedangkan secara fungsional mereka mempunyai

disposisi terhadap kehidupan masyarakat dan memainkan

peran dominan dalam tradisi masyarakat bahkan dalam

perpolitikan di Jambi melalui simbol agama dan adat.

Selanjutnya, struktur hierarki kuasa yang dimiliki

kelembagaan adat menurut Kemas Husin dikemas dalam

seloka adat ―Berjenjang Naik Bertanggo Turun.‖330 Seloka

ini tidak hanya berlaku pada sistem kepemimpinan, dimana

hierarki kepemimpinannya terstruktur mulai dari raja,

patih, jenang, kepala kampung, penghulu, dan tiga tali

sepilin. Namun juga berlaku pada sistem peradilan adat,

dimana hierarkinya mulai dari kerapatan Tengganai,

kerapatan Nenek Mamak dan kerapatan Kampung.

Begitupula dengan posisi dan disposisi organ internal

kelembagaan adat mulai dari pemerintahan desa, pemangku

adat, pegawai syarak dan masyarakat adat.

Secara kongkret, struktur sosial kultural Jambi

dilihat berdasarkan hierarki atau segmentasi berikut.331

Pertama adalah kaum elit kultural, yang fanatik pada adat

dan syarak serta memiliki posisi strategis, seperti yang

diwakili oleh kelompok pemangku adat, Junaidi T. Noer,

Mukhtar Agus Cholif, Fathuddin Abdi, Azra‘i al-Basyari,

Pakdo Ismail, dan Hasbi. Dikatakan sebagai kaum elit

karena didukung oleh institusi kultural tertentu yang

memungkinkan mereka untuk mengakumulasi modalnya

masing-masing. Tidak hanya itu pada institusi inilah modal

tersebut bisa direproduksi, dilipatgandakan, bahkan

330Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Simpang Rimbo, 10

April 2016. 331Hierarki adalah suatu jenjang atau tatanan atau peringkat

kekuatan, prestise atau otoritas. Dalam pengertian yang umum, konsep

hierarki diserap oleh ilmu sosial dan menjadi istilah yang umum. Lihat

Adam dan Jessica Kupper, The Social Science..., 433; Charles Mills, The

Power ..., 39.

Page 207: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

198

dipindahkan untuk mencapai tujuan politis yang mungkin

tidak mereka sadari.

Kekuatan kaum elit ini hampir selalu berpijak pada

privasi tertentu yang anggota-anggotanya mampu

menunjukkan posisi tingginya di masyarakat.332 Untuk

mempertahankan posisinya dalam masyarakat, mereka

senantiasa menggunakan adat sebagai modal sosial-

kultural-politik untuk tampil dalam setiap momen acara

seremonial. Modal dasar yang dimiliki oleh kaum elit ini

menurut Mills adalah budaya, meski tidak seluruhnya benar

mengingat perebutan posisi bagi kaum elite berpijak pada

modal, status, dan kelas.333

Pada level kedua yaitu kaum elit organisasional yang

memiliki posisi struktural namun terkadang mengkritik

praktik dominasi adat, secara institusional diwakili

sebagian pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kepala

Kantor Kementerian Agama, kelompok tokoh masyarakat

dan tokoh muda lainnya, seperti: Tarmizi, Husin Abdul

Wahhab, Muallim, Abdul Hamid Bafadhal, Dahlan Malik,

Ikbal, dan Herman, Izzat, dan Husin Jufri. Mirip dengan

kaum elit kultural, kelompok ini juga mempertahankan

posisinya melalui kerjasama saling memahami satu sama

lain namun antarkelompok tak jarang terjadi ‗subordinasi‘.

Dalam perspektif Bourdieu, lembaga, jabatan, posisi, status,

memiliki peran penting dalam menentukan suatu disposisi.

Meski demikian, dalam konteks masyarakat Jambi, mereka

yang dikategorikan sebagai elit kultural dan organisasion al

dibedakan atas dasar bahwa keduanya memiliki level

kepercayaan, keyakinan, atau disposisi yang berbeda

332Elit adalah setiap orang yang berkuasa, berharga, cakap,

memiliki hak istimewa, atau kelompok yang mempunyai keunggulan.

Istilah ini untuk membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya

sesuai fakta mereka merupakan kelompok dengan jenis kekuasaan

khusus, orang yang menduduki posisi puncak dalam hierarki komando.

Lihat John Scott, Sociology ..., 99. 333Menurut Karl Marx, kelas-kelas yang ada dalam masyarakat

ditentukan oleh kepemilikan atau ketidak-pemilikan alat produksi yang

pada akhirnya akan menjadi modal. Modal ini yang dijadikan sumber

relasi sekaligus yang membedakan pemilik modal atau sebaliknya. Ibid.,

46.

Page 208: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

199

terhadap praktik adat bersendi syarak. Itulah mengapa

meskipun kedua kelompok dianggap memiliki posisi namun

disposisi yang mereka hasilkan berbeda dalam merespons

praktik tersebut.

Pada level ketiga yaitu kelompok semi-periperi yang

fanatik, tapi tidak memiliki posisi, seperti masyarakat

awam yang mendukung pemberlakuan adat bersendi

syarak, yang umumnya di wilayah Jambi bagian Barat

yaitu; Kerinci, Sungai Penuh, Sarolangun, Merangin,

sebagian Muaro Bungo dan Tebo. Dianggap sebagai

masyarakat semi-periperal karena syarat utama

pembentukan habitus, yakni posisi yang tidak dimiliki oleh

kelompok ini. Mereka hanya mengikuti disposisi dari orang

yang memiliki posisi institusional (elit kultural) dalam

struktur masyarakat Melayu Jambi. Meskipun kelompok ini

hanya memiliki satu syarat pembentukan habitus (disposisi)

sebagaimana kaum elit organisasional (posisi), tesis

Bourdieu yang menempatkan disposisi berada subordinat di

bawah posisi membuat kelompok semi periperi juga berada

subordinat di bawah elit organisasional. Dalam proses

reproduksi modal, mereka berperan membantu elit kultural

mengakumulasi putusan adat, sekaligus mengukuhkan

posisi elit kultural tanpa memberi dampak sebaliknya pada

diri mereka sendiri.

Pada level keempat yaitu kelompok periperal atau

marginal. Karena menurut Bourdieu ―kelas sosialmu

menentukan seleramu‖ atau ―posisimu menentukan

disposisimu‖, maka begitulah para pemangku adat Jambi

menjadi bourjuis kultural, dan masyarakat awam menjadi

proletar kultural. Inilah kelompok yang dalam kelas

Marxian-Bourdieu dianggap sebagai kaum ploretariat yang

tidak memiliki modal apapun khususnya modal kultural.

Peran kelompok ini ada dua, pertama mendukung disposisi

kelompok elit organisasional, namun dukungan mereka

terkendala oleh posisi mereka yang tidak punya efek pada

disposisi itu sendiri; dan kedua, mereka turut bertarung

dalam arena, namun potensi keberhasilannya sangat

terbatas.

Page 209: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

200

Gambar 7.1. Struktur Hierarkhis Kelembagaan Adat

Keterangan:

Positif/ mendukung atau didukung

Negatif/ tidak mendukung atau tidak

didukung

Praktik adat bersendi syarak ini bertahan lama

hingga saat ini, karena para elit kultural memiliki praktik

dan struktur kekuasaan atas praktik tersebut. Praktik ini

direproduksi terus oleh para elit kultural dan diikuti serta

diamini oleh kelompok periperal, sementara posisi elit

struktural meramaikan, kelompok yang mengcounter

praktik, dan mereproduksi perlawanan dan praktik ini.

Pada akhirnya melahirkan habitus dan struktur baru

(structure of structure).

Page 210: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

201

C. Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa

Laiknya sebuah pertarungan diperlukan suatu arena

(ranah), yang oleh Bourdieu diasumsikan sebagai field of

struggle. Para aktor berjuang sekuat tenaga dan dengan

berbagai strategi untuk meningkatkan posisi mereka. Inilah

yang dikatakan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus dalam

sambutannya pada hari Ulang Tahun Jambi tahun 2015:334 ―Jambi hari ini telah menjadi pondokan besar yang

terhampar luas bagi orang melayu dan suku-suku yang

berasal dari penjuru Indonesia, tidak hanya itu hadir juga

secara cukup lama bangsa-bangsa besar di dunia seperti

komunitas Arab, India, dan Cina, semuanya menyatu

menjadi masyarakat Jambi. Ikatan-ikatan sosial budaya

telah menyatukan mereka dalam naungan adat dan budaya

Jambi, hal ini menjadi kekuatan besar dalam mewujudkan

Jambi ke depan lebih baik dan lebih sejahtera‖. Pada

praktiknya tidak tertutup kemungkinan adanya gesekan

antar budaya, meski tradisi masyarakat Jambi yang inklusif

menerima fluralisme etnik, budaya maupun agama. Inilah

aset terbesar yang kita punya yang perlu diberdayakan dan

dimaksimalkan.‖

Statemen ini merefleksikan adanya keragaman

kultur dan struktur masyarakat yang mendiami wilayah

Jambi, di satu sisi, masyarakat dibentuk oleh perbedaan

distribusi dan penguasaan modal, di sisi lain, para individu

ini berjuang memperbesar modal mereka. Sehingga

hanya melalui field yang di dalamnya terjadi apa yang

disebut Bourdie sebagai field of struggle ditambah modal,

Bourdieu hendak menampilkan sosiologi kritisnya bahwa di

suatu masyarakat selalu ada praktik dominasi antara yang

mendominasi dan yang didominasi.

Pada masyarakat Melayu Jambi sebenarnya

kelembagaan adat memainkan peran dominan dalam

percaturan sosial dan agama yang melahirkan doxa, yaitu

kecenderungan keberpihakan atau lebih menguntungkan

tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa

pada agen dominan serta menganggap posisi dominan

334Koran Harian Jambi Independen, 8 Januari 2015.

Page 211: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

202

mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya

dan diinginkan secara universal.335 Secara lebih spesifik,

Bourdieu menyatakan doxa merupakan hubungan ketaatan

langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus

dan ranah dimana ia disesuaikan, diterima begitu saja

terhadap dunia yang terjadi secara praverbal yang berasal

dari rasa praktis.336

Menurut Mukhtar Latif, fenomena sosial di Jambi

hari ini memudarkan pemahaman nilai agama dan adat di

kalangan masyarakat Melayu Jambi, utamanya generasi

muda. Secara institusional ini tidak hanya menjadi

tanggung jawab pemerintah daerah melalui dinas

pendidikan namun juga tanggung jawab Majelis Ulama

Indonesia Jambi dan Lembaga Adat Melayu. Meskipun di

lapangan peran kelembagan adat lebih dominan ketimbang

Majelis Ulama Indonesia, mungkin ini disebabkan faktor

historis dan kemampuan komunikasi dari petinggi kedua

institusi tersebut.337

Realitas semacam ini diamini oleh Fachrori Umar,

menurutnya adat istiadat warisan pendiri negeri ini

mengandung nilai ideologis dan estetika yang sejalan

dengan prinsip agama. Oleh karenanya perlu dilestarikan

dan disosialisasikan kepada masyarakat terutama generasi

muda yang mulai terkontaminasi dengan budaya luar dan

kurang memahami budi pekerti. Tanggung jawab

menanamkan nilai agama dan moral tersebut tidak hanya

dibebankan pada pemerintah daerah, namun juga pada

335Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa

melalui proses pemikiran yang diasumsikan terbukti universal yang

menginformasikan tindakan dan pemikiran agen pada ranah tertentu.

Doxa cenderung menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan

perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi

dominan sebagai realitas kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan

kata lain doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi

dalam praktik antara sebuah habitus dengan ranah dimana ia

disesuaikan dan diterima secara given. Lihat Pierre Bourdieu, The Logic

of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (Stanford:

Stanford University Press 1992), 66-68. 336Ibid. 337Wawancara, Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

Jambi dan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi, 10 Januari 2016.

Page 212: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

203

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga adat.

Sementara yang keduanya terkesan berjalan sendiri-sendiri

dan saling memperebutkan posisi dan pengaruh dalam

menarik perhatian masyarakat.338

Ditambahkan Fachruddin Razi, satu sisi, tokoh

agama kurang kreativitas dalam membentuk dan

mengembangkan nilai moral masyarakat. Di sisi lain, tokoh

adat dengan segudang pengalaman terus bergerak

membangun komunikasi intensif dengan kepala daerah dan

masyarakat sehingga terdepan dalam acara seremonial serta

senantiasa dilibatkan dalam membahas persoalan sosial

keagamaan. Keduanya berjalan secara tidak seimbang

sehingga terkesan ada yang mendominasi.339

Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Husin

Abdul Wahab seharusnya lembaga adat mulai dari level

terendah senantiasa berkoordinasi dengan Majelis Ulama

Indonesia dalam menyelesaikan persoalan keagamaan,

mengingat ada banyak pegawai syarak yang tidak

memenuhi standar ―ulama apalagi mujtahid. Begitupula

dengan putusan yang terkadang bersinggungan dengan

kinerja dan kepentingan institusi di luarnya. Pandangan ini

diamini oleh Sulaiman Abdullah, Suhar, Ahmad Tarmizi,

Ikbal, Herman, dan Dahlan Malik.

Ditambahkannya, secara kelembagaan pengurus

Majelis Ulama Indonesia Jambi tidak mendapat konfirmasi

atau undangan dalam rapat adat. Padahal ada banyak

kasus yang ditangani oleh lembaga adat utamanya pada

tingkat desa, yang dominan bahkan murni syarak, seperti;

nikah, cerai, penetapan waris, perselingkuhan, zina, dan

lain sebagainya.340 Belum lagi, dominasi adat pada berbagai

momen seremonial. Hal ini menimbulkan kesan publik

terjadi fenomena dominasi atau bahkan subordinasi yang

sepertinya terus muncul meski tidak secara prontal, oleh

karenanya Bourdieu dengan tegas menyatakan pertarungan

338Wawancara, Wakil Gubernur Jambi, 10 Januari 2016. 339Wawancara, Cendikiawan, Rektor Universitas Batanghari

(UNBARI) Jambi, 11 Januari 2016. 340Wawancara, Pengurus MUI Kota, Batanghari, Sarolangun dan

Muara Sabak, 20-25 Januari 2016.

Page 213: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

204

sosial semacam ini seyogyanya dilenturkan melalui

klasifikasi-klasifikasi simbolik, praktik-praktik kultural

dengan menempatkan individu dan kelompok ke dalam

hierarki kelas dan status yang kompetitif, arena-arena

pertarungan itu pada akhirnya turut mempengaruhi upaya

memperebutkan sumber daya potensial, menerapkan

strategi-strategi mencapai kepentingan masing-masing

dalam arena tersebut, dan selanjutnya mereproduksi

kembali tatanan stratifikasi sosial. Endingnya bukan

sekedar bebas dari politik, melainkan sebuah ekspresi atas

politik itu sendiri.

Contoh kongkrit perdebatan yang tak kunjung usai

hingga saat ini adalah klaim falsafah adat, pemberlakuan

syarak dengan adat, penerapan sanksi, dualisme sistem

kekerabatan, praktik kewarisan, dan praktik hukum serta

upacara seremonial. Selain itu, konflik penentuan batas dan

hak atas tanah wilayat antara masyarakat Suku Anak

Dalam (SAD) Kabupaten Batanghari dengan perusahaan

sawit PT. Asiatik dan antara masyarakat Tungkal Ulu

(Merlung) Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan

perusahaan kertas PT. Wira Karya Sakti (WKS).

Rekonsiliasi antara masyarakat dan perusahaan telah

melibatkan semua komponen tiga tali sepilin, perdebatan

panjang dan tarik menarik kepentingan tak dapat dihindari.

Bahkan negosiasi antara pihak pemerintah daerah, lembaga

adat, dan PT. Asiatik di kabupaten Batanghari justru

berakhir pada kasus suap yang memasuki ranah hukum

pidana.

Di sini terlihat jelas bahwa praktik adat bersendi

syarak yang awalnya hanya dimanfaatkan sebagai modal

simbolik di level kultural secara perlahan bergeser nilai dan

fungsinya di level ekonomis. Posisi yang tidak melulu

merujuk pada posisi struktural di mana Pemangku Adat

hendak melengserkan posisi Pegawai Syarak atau

Pemerintah Desa, tetapi lebih merepresentasikan suatu

kondisi dimana semakin banyak social recognition yang

diperoleh, semakin besar kesempatan mempengaruhi

‗struktur berpikir‘ masyarakat di sekitarnya. Inilah yang

dikatakan Bourdieu mengenai pergeseran modal dari modal

Page 214: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

205

yang satu ke modal lain seperti ekonomi dan seberapa kuat

resistensi antar agen politik itu—menurut Bourdieu—

bergantung pada seberapa banyak modal yang mereka

miliki.

Untuk mendapatkan posisi ‗strategis secara kultural‘

itu, mereka perlu menerapkan strategi, upaya seseorang

untuk mendapat pengakuan atau sebagai produk intuitif

pengetahuan tentang aturan permainan di dalam ranah

tertentu. Dalam konteks politik-ekonomi, strategi ini bisa

berbentuk strategi reproduksi dan strategi penukaran

(reconversion). Kedua strategi ini sama-sama dimaksudkan

untuk memperoleh sumber daya dan/atau dukungan

masyarakat, sekali lagi pengakuan sosial, yang lebih luas di

kalangan penduduk Jambi.

Strategi reproduksi, ditunjukkan melalui akumulasi

praktik adat bersendi syarak dan akumulasi wacana tentang

adat bersendi syarakitu sendiri. Mereka yang mendukung

posisi dan atau disposisi Pemangku Adat terus menerus

melakukan praktik tersebut, sehingga dimungkinkan

menjadi model bagi masyarakat lain. Begitu pula, setiap kali

Pemangku Adat diwawancarai oleh orang asing terkait

dengan mitos itu, ia juga terus mengakumulasi wacana

untuk memastikan bahwa posisinya secara politik tak

tergantikan di wilayah Jambi. Hal yang sama juga

dilakukan oleh para pemuka agama dan/atau ormas lain.

Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan Junaidi T. Noer,

Hasip Kalimuddin Syam dan Azra‘i al-Basyari, Fathuddin

Abdi, M. Zen dan Samsul dalam berbagai momen seremonial

yang digelar oleh pemerintah daerah. Terlepas dari pro dan

kontra atau bahkan kekecewaan internal dan eksternal

kelembagaan adat, yang terpenting kelembagaan adat

memiliki posisi strategis dan modal simbolik yang besar

sehingga memungkinkannya menjadi agen atau pemilik

kuasa yang diyakini paling legitimate untuk menjelaskan

praktik adat. Artinya, posisinya dalam struktur hierarki

sosial masyarakat Jambi, yang membuat sebagian besar

orang merasa perlu mengkonfirmasi apapun yang terkait

dengan praktik adat bersendi syarak.

Parson menyebutnya sebagai identitas sosial yang

Page 215: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

206

menduduki peran penting dalam menentukan partisipasi

seseorang dalam sistem sosialnya.341 Masyarakat yang

diwakili kelompok pemerintah, agama, adat memiliki

gagasan umum tentang konstruksi sosial terhadap apa yang

mereka sebut masyarakat adat, umat, dan warga negara

yang bersifat total atau ideal berdasarkan evaluasi moral

mereka masing-masing.342 Dalam konteks ini, memakai ide

Michael E. Brown, maka konstruksi itu menempatkan adat

atau nilai-nilai di dalamnya menjadi inisiator, yang pada

dinamika lanjutannya menyebabkan konflik, baik untuk

mengintegrasi maupun ajang subordinasi semata.343

Sementara itu, strategi penukaran yang—dalam

konteks politik praktis—bisa diibaratkan sebagai ‗lobi-lobi

politik‘ melalui komunikasi informal, basa-basi, keakraban,

dan gurauan. Di belakang, baik Pemangku Adat maupun

pegawai syarak boleh saja saling berebut wacana hukum

adat dan syarak, begitupula yang terjadi dengan institusi di

luarnya berebut pengaruh dalam mengambil hati

masyarakat. Namun saat bertemu dan bertatap muka di

acara kerapatan adat dan momen seremonial serta rapat

dengan pemerintah daerah, misalkan, keduanya menjaga

diri untuk memastikan stabilitas masyarakat Jambi.

Kolektivitas kultural mereka sudah jelas, mitologisasi ‗adat

bersendi syarak; namun individualitas politik mereka juga

terang benderang, saling bermain dan berebut pengaruh di

belakang arena kekuasaan, agama dan adat Jambi.

Begitupula pada praktik adat bersendi syarak,

awalnya diapropriasi sebagai bagian budaya, bahkan

sebagai faktor determinan yang memproduksi budaya itu

sendiri, akhirnya tak lebih menjadi arena pertarungan

politik. Sejarah mencatat bagaimana pertarungan muncul

sejak Jambi dipimpin Puteri Pinang Masak yang beragama

Hindu dan Ahmad Salim yang beragama Islam, keduanya

menikah dan berhasil ―meng-Islamkan‖ kerajaan Melayu,

klimaksnya masa Ahmad Kamil hingga munculnya otoritas

341Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi ..., 986. 342Ibid., 743. 343Sebagaimana dikutip oleh Samsul Hadi dalam ―Disintegrasi

Pasca Orde Baru‖, (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), 23.

Page 216: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

207

pemerintah Belanda yang berupaya ―mengkerdilkan‖ syarak

melalui politik hukumnya. Begitupula otoritas pemerintah

masa modern dan pemerintah daerah yang juga ikut andil

dalam pembentukan praktik adat dan syarak.

Selanjutnya, bisa dilihat Jambi dibentuk oleh

serangkaian diskursus politik dari para agen sejarah yang

berbeda, sehingga berada di tapal batas antara politik dan

kebudayaan. Singkatnya, Jambi berada dalam subordinasi

genealogis antara Hindu (yang diwakili oleh Putri Pinang

Masak, yang kini menjelma menjadi para pemangku adat),

Islam (yang diwakili oleh Ahmad Salim, yang kini menjelma

sebagai lembaga syarak), dan nilai-nilai sekular (diwakili

oleh pemerintah daerah). Pada titik ini, harus mengamini

apa yang dikatakan Foucault genealogi pengetahuan itu

ternyata tak lepas dari pengaruh kekuasaan.344

Demikian pula, Jambi diproduksi oleh agen-agen

sejarah yang—meski tak bertemu langsung—terlibat dalam

pertarungan simbolik, dan pertarungan itu kini

mematerialkan diri menjadi pertarungan politik. Hal ini

pula yang tampaknya menjadi alasan mengapa praktik itu

menjadi sejenis ‗diskursus‘ yang terus diperebutkan oleh

subjek-subjek politik demi mencapai kepentingannya

masing-masing. Kepentingan di sini bukanlah kepentingan

perebutan jabatan administratif (job atau artefak),

melainkan minat tak sadar (uncounsciousness interests) atau

sejenis ideologi untuk mengakumulasi modal masing-

masing. Sederhananya, sebagaimana yang sudah disebutkan

di muka, kepentingan di sini adalah ruang sosial yang

memiliki daya tarik tersendiri bagi peminatnya, baik secara

sadar maupun tak sadar untuk merebut social

recognition. Perebutan itu bisa dilakukan secara terang

benderang ataupun samar-samar misalnya menolak

wacana simbolik atau disposisi yang dimiliki oleh subjek

lain.

Karena arena yang dihuni oleh subjek itu adalah

kebudayaan, lebih tepatnya ―praktik adat bersendi syarak,

344Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, (London:

Tavistock,1972), 117.

Page 217: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

208

syarak bersendi Kitabullah dan undang datang Hulu, Teliti

dari Hilir‖ sebagai habitus kultural, tidak mengherankan

jika pertarungan simboliknya lebih kuat dibanding

pertarungan struktural. Pertarungan antar kekuatan

simbolik—atau meminjam istilah Foucault ‗kekuatan

diskursus‘—itu sudah dijelaskan di bagian awal. Politik

selalu mensyaratkan perebutan posisi dan sumber daya,

yang dijalani setiap tokoh yang memiliki posisi struktural di

masyarakat Jambi, demi mengakumulasi modalnya masing-

masing, dengan keterlibatan dalam strategi reproduksi dan

pertukaran. Sumberdaya dan posisi tersebut bahkan tidak

hanya berwujud ruang immaterial melainkan materi itu

sendiri.

D. Relasi Kuasa Internal dan Eksternal Kelembagaan

Adat

Menurut Bourdieu, kekuasaan pada level teoritik adalah

kemampuan mempengaruhi orang lain atau kemampuan

menentukan keputusan sehingga orang lain mengikuti

keputusan tersebut sesuai dengan kehendak yang membuat

putusan.345 Kekuasaan selalu menjadi paradigma dalam

menilai atau menganalisis suatu kebijakan beserta aturan

yang terikat di dalamnya, yang termanipestasikan dalam

hubungan simetris dan asimetris. Hubungan simetris

berkaitan dengan persahabatan, hubungan sehari-hari, dan

hubungan bersifat ambivalen. Sedangkan hubungan

asimetris berkaitan dengan popularitas, peniruan,

mengikuti perintah, tunduk pada pemimpin formal atau

informal dan lainnya.

Oleh karenanya, kekuasaan idealnya tidak berdiri

sendiri dan menuntut otoritas lain sebagai pendukung

seperti agama (syarak) dan adat (solidaritas sosial).

Kekuasaan, agama dan adat terintegrasi dan mengakar

dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi, seyogyanya

bernaung dalam lembaga Pemerintah Daerah (Pemda),

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Adat Melayu

(LAM). Kekuasaan sebagai refresentasi dari kepentingan

345Pierre Bourdieu, Mengungkap ..., 27.

Page 218: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

209

penguasa, kepentingan agama, dan kepentingan masyarakat

adat, yang membutuhkan sinergitas dan relasi.

Wujud kongkret dari kerjasama kolaboratif organ ini

terlihat ketika kelembagaan adat pada level desa

dihadapkan pada kasus yang harus diselesaikan, setelah

menerima laporan atau pengaduan atas laporan masyarakat

pemangku adat sesuai mekanisme menentukan jadual

rapat dengan mengundang unsur tiga tali sepilin, yaitu;

representasi pemerintah diutuslah aparat desa atau Badan

Perwakilan Desa (BPD), representasi pegawai syarak

diutuslah alim ulama/ imam/khatib/bilal, dan representasi

adat diutuslah nenek mamak/tuo tengganai. Sekaligus

wujud pemberdayaan berbagai potensi yang ada di sekitar

dengan melaksanakan kepemimpinan kolegial (collegial

management).

Menurut Junaidi T. Noer, forum tiga tali sepilin

merupakan sarana masyarakat adat menyampaikan

aspirasi, keluhan, permasalahan dan meminta nasihat atau

petuah. Selama ini segala persoalan yang ditengahi melalui

kerapatan adat selalu sukses tanpa ada pihak yang merasa

dirugikan atau dizalimi. Karena penyelesaian kasus melalui

mekanisme yang tepat dan mengedepankan prinsip keadilan

dan kompromi serta kerjasama antar ketiganya harmonis.

Harmonisasi organ kelembagaan adat tersebut sejak awal

berdirinya kerajaan Melayu tetap terjaga karena semuanya

merupakan utusan pilihan dari kelompok masing-masing.

Meskipun, seiring perkembangan zaman dan

perubahan nomenklatur pemerintahan serta

bermunculannya kasus baru yang belum tercover dalam

aturan adat. Disparitas dan volume kerja yang terus

mengalami dinamika mempertanyakan integritas dan

kompetensi organ bahkan institusi ini mempoduksi hukum

utamanya syarak, mengingat telah ada institusi yang

mengurusi persoalan tersebut sebut saja Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Jambi. Menurut Herman saatnya

mereformulasi konsep pegawai syarak mengingat di

lapangan banyak pegawai syarak dalam kelembagaan adat

yang kapasitas keilmuan agamanya belum mumpuni untuk

Page 219: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

210

melakukan ijtihad.346

Pandangan serupa dilontarkan oleh Dahlan Malik,

MHI., menurutnya selama ini penentuan pegawai syarak

terkesan hanya didasarkan pada kegiatan ritual ibadah

seperti; imam shalat, pembaca doa, khatib atau bilal bukan

pada profesional pemahaman keilmuan agama sebagaimana

yang dipersyaratkan ulama terdahulu (salafi). Ditambahkan

KH. Lohot Hasibuan penetapan pegawai syarak sebagai

keterwakilan ulama harus diperketat sesuai dengan standar

minimal ulama seperti bisa membaca kitab sebagaimana

pegawai syarak terdahulu yang merangkap ulama pada

suatu wilayah bahkan bergelar Tuan Guru.347

Ditambahkan Pakdo Ismail konsep awal pegawai

syarak secara historis adalah orang yang mendampingi

penguasa agar mengimplementasi syarak sekaligus memberi

masukan kepada penguasa. Berawal dari kebijakan Ahmad

Kamil pada setiap kampung harus ada pegawai syarak,

sebagai ujung tombak mengawal pemberlakuan syarak dan

memberi nasihat atau masukan kepada kepala kampung,

marga, Mendapo, Rio dan seterusnya seturut ke atas sesuai

pangkat dan jabatan, membantu mereka menyelesaikan

berbagai kasus yang dihadapi serta memverifikasi adat

setempat untuk disesuaikan dengan prinsip ajaran Islam.348

Dengan kata lain, pegawai syarak adalah ulama yang

memiliki kapasitas keilmuan agama yang mumpuni, utusan

raja dan mendapat gaji bulanan dari kerajaan serta berhak

melakukan ijtihad sehingga melahirkan fatwa adat dan

fatwa hukum.349

346Wawancara, Ka-Kan Kemenag Batanghari, 2 Maret 2016. 347Wawancara, Tokoh masyarakat Jambi, 27 April 2016. 348Wawancara, Tokoh Adat Pemayung Batanghari, 2 Mei 2016. 349Fatwa الفتوى bermakna : petuah, nasehat dan jawaban terhadap

suatu pertanyaan. Dapat juga dipahami sebagai suatu pendapat yang

diperoleh melalui ijtihad sebagai respon terhadap suatu kasus hukum

yang muncul melalui peminta fatwa dan ketetapannya tidak mengikat.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak punya daya ikat namun

dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk membuat suatu

putusan, banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan

otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa yang

dijadikan rujukan bagi negara dalam mengambil keputusan baik dalam

Page 220: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

211

Selain itu, setelah lahirnya organisasi Majelis Ulama

Indonesia (MUI) tahun 1975 tugas melahirkan fatwa beralih

kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), idealnya segala

persoalan yang terkait dengan syarak diselesaikan melalui

institusi ini. Namun, pada praktiknya justru institusi ini

tidak pernah dilibatkan dalam menetapkan fatwa adat. Hal

ini sebagaimana diakui oleh A. Tarmizi, M. Samin, Husin

Abdul Wahab, Ikbal dan Herman, selaku pimpinan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama kami tidak

mendapatkan konfirmasi atau undangan dalam rapat adat

untuk menyelesaikan kasus atau meminta fatwa, meski

kami sering berjumpa dalam momen tertentu.350

Kenyataan ini sebenarnya juga terjadi pada organ

kelembagaan adat, dimana menueurt pengakuan Alwi Jufri,

Ahmad Ridwan, dan Saiful pegawai syarak pada beberapa

wilayah, menurut mereka dalam sidang kerapatan adat

pegawai syarak hanya memberikan pertimbangan dan

argumentasi namun kata putusnya didominasi putusan adat

dan bergantung pada pemangku adat.351 Pertimbangan yang

diberikan berpijak pada argumentasi aturan Islam, namun

tidak semua diterima dan diimplementasikan.

Menurut Fathuddin Abdi, patut diakui pada

beberapa kasus baru aturan adat perlu dibenahi karena

sudah melenceng dari prinsip syarak. Oleh karenanya,

melalui musyawarah adat dikaji kembali persoalan yang

perlu dilurus-benarkan agar jangan terjadi kesalahfahaman

dan permasalahan ideologis masyarakat. Di samping itu,

pembentukan hukum, kebijakan maupun peradilan. Hal ini dapat dilihat

pada hukum materil yang memberlakukan syarak sebagai acuan dalam

lalu lintas hukum bidang keuangan dan perbankan, asuransi, surat

berharga syari‘ah, jaminan produk halal dan lainnya. Sedikitnya terdapat

87 fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi rujukan hukum

dalam bisnis syari‘ah. Lihat Lihat Ibn Mandzur, Lisân ..., IV, 175; Abu

Husain, al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah,

1975), 357; Hamdan Zoelva, Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

(MUI) dalam Bingkai Kenegaraan, disampaikan pada seminar Nasional

IAIN STS Jambi, 10 Mei 2016, 3. 350Wawancara, Pimpinan MUI dan Kemenag Kota Jambi dan

Kabupaten Batanghari, 5-8 Mei 2016. 351Wawancara, Pegawai Syarak Kelurahan Beringin, Loundrang,

Sungai Baung Kota Jambi, Batanghari dan Sabak, 9-11 Mei 2016.

Page 221: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

212

pimpinan adat dan pegawai syarak sudah banyak yang

mumpuni mengkaji persoalan keagamaan tersebut.‖352

Statemen ini mendeskripsikan ―kurangnya

sinergitas‖ institusi ini dalam menyelesaikan berbagai

persoalan hukum yang dihadapi dengan institusi di luarnya.

Keterlibatan ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Jambi dan Kementerian Agama kalaupun

dilibatkan hanya sebatas saksi untuk mendengarkan hasil

putusan adat (fatwa adat), bersamaan dengan undangan

lainnya seperti; polsek, koramil, forum dai dan tokoh

masyarakat. Idealnya kelembagaan adat menjalin hubungan

interaktif-konektif secara internal namun juga dengan

institusi eksternal utamanya yang terkait langsung dengan

putusan yang dilahirkan seperti Majelis Ulama dan

Kementerian Agama. Secara implisit ini merefleksikan

terjadi pergulatan kuasa antar ketiganya dan institusi di

luarnya, meskipun sejauh ini masih dalam batas wajar.

Indikasinya belum dijumpai konflik apalagi konprontasi

secara prontal dan saling menjatuhkan.

Dengan demikian, sedikitnya ada lima proposisi

terkait relasi kuasa (kekuasaan): Pertama, kekuasaan

bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau

dibagikan sebagai sesuatu yang digenggam atau bahkan

punah; tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat

dengan relasi yang terus bergerak. Kedua, relasi kekuasaan

bukanlah relasi struktural hierarkhis yang mengandaikan

ada yang menguasai dan dikuasai. Ketiga, kekuasaan itu

datang dari bawah yang mengandaikan tidak ada lagi

distingsi binary opositions karena mencakup dalam

keduanya. Keempat, relasi kekuasaan itu bersifat

intensional dan non-subjektif. dan Kelima, dimana ada

kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance).

Resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap

orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalanpun

untuk keluar darinya.353

352Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari, 22 Mei 2016. 353Michael Foucault, Discipline and Punish; The Birth of the Prison,

(Pantheon: Penguin Book, 1975), 93.

Page 222: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

213

Terlepas dari tarik menarik tersebut, yang relasi

internal kelembagaan adat Melayu Jambi secara umum baik

dan terbukti dapat mempersatukan masyarakat dalam

ikatan politik, agama dan adat melalui forum tiga tali

sepilin. Ditambah dengan minat masyarakat yang cukup

tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus melalui

kelembagaan adat. Kekuasaan yang dimiliki kelembagaan

adat merupakan wujud dari kekuasaan, meminjam istilah

weber kekuasaan tradisional.354 Kekuasaan yang telah

mengakar di daerah Jambi dalam perspektif adat telah

turun temurun bahkan menjadi tradisi yang melembaga.

Meskipun, secara kelembagaan tidak semua organ

kelembagaan adat memiliki hierarki instruktif-koordinatif

sebagaimana Pemerintah daerah (Pemda) dan Lembaga

Adat Melayu (LAM).

E. Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Kepentingan

Pemerintah, Syarak, dan Adat

Kuasa simbolik (symbolic power) menurut Bourdieu adalah

kuasa mengubah sesuatu dan menciptakan realitas, yakni

mengubah dan menciptakannya agar diakui dan dikenal

secara absah. Kuasa simbolik yang terjadi pada suatu ranah

pada akhirnya membentuk suatu habitus, yang dibuat dan

direproduksi secara tidak sadar sehingga diterima oleh

masyarakat, meski di dalamnya terjadi negosiasi bahkan

354Menurut Weber ada tiga tipe kekuasaan, yaitu; kekuasaan

tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Pada konteks pertama

Kekuasaan Tradisional, menurut Weber berada dalam tata sosial yang

bersandar pada kebiasaan-kebiasaan lama dimana status dan hak

pemimpin ditentukan adat kebiasaan serta memerlukan unsur kesetiaan

pribadi (personal attachment) yang menghubungkan ―tuan‖ dan

―hambanya‖. Aturan-aturan yang menghubungkan mereka biasa- nya

tidak tertulis, namun masing-masing saling memahami tentang posisi

dan apa yang harus dilakukan.Tipe-tipe Weber tersebut dikaitkan dengan

bentuk aksi sosial dan hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai

kelompok masyarakat. Memang tipologi yang dirumuskan Weber

diletakkan dalam konteks kepemimpinan (politik). Namun, karena

kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari otoritas, maka tipologi ini juga

bisa kita adaptasi dalam melihat otoritas keagamaan. Sebagaimana

dikutip April Carter, Otoritas ..., 54-56..

Page 223: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

214

subordinasi dalam memproduksi hukum dan

memperebutkan kuasa atau kepentingan.

Penggunaan idiom-idiom dan simbol-simbol serta

logika, kekuasaan, keagamaan dan adat sebagai bentuk

kuasa simbolik yang pada akhirnya merupakan bentuk

hegemoni dengan mengatasnamakan kepentingan politik,

agama dan adat.355 Kenyataan ini sering disaksikan dalam

berbagai momentum seperti; pemilukada, bisnis advertising,

penggunaan stiker dalam al-Qur‘an dan surat yasin, sarana

pendidikan, pengalihfungsian tempat ibadah, tempat

pemakaman umum (TPU), larangan duduk bersanding saat

akad nikah, dan penistaan asma Allah serta penguatan

terhadap seloka adat.

Penulis mengelaborasi kuasa simbolik (symbolic

capital) dalam kaitannya perebutan kuasa, meski selama ini

secara simbolik pemerintah, adat dan syarak terintegrasi

355Hegemoni adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap

kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga

gagasan-gagasan yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap

kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common

sense). Teori ini menekankan bagaimana penerimaan kelompok terhadap

kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam proses damai, tanpa

reaksi kekerasan. Proses marjinalisasi wacana berlangsung wajar, apa

adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau

dimanipulasi oleh media. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi,

cara penerapan, mekanisme untuk mempertahankan dan

mengembangkan diri melalui para korbannya, sehingga berhasil dan

mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Melalui hegemoni,

ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan

dapat dipertukarkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi atau

indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, ketika orang menerima

sebagai kewajaran dan sukarela. Kebalikannya adalah Counter Hegemoni

(hegemoni tandingan), upaya melawan proses memunculkan kepatuhan

aktif terhadap penguasa tertentu. Munculnya sikap perlawanan

dikarenakan membaiknya aspek kognisi masyarakat, mencairnya

hubungan negara dan rakyat karena adanya faktor yang melahirkan

keterbukaan, dan nilai-nilai kepatuhan yang ingin didoktrinasi

berseberangan dengan nilai-nilai yang lebih sakral maupun universal.

Lihat Roger Simon, Gramsci‘s Political Thought, terj. Kamdani dan Imam

Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 19-22; Muhammad A.S.

Hikam, Bahasa dan Politik: Penghampiran ―Discursive Practice‖, dalam

Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor

Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, (Bandung : Mizan, 1996), 77.

Page 224: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

215

serta terjalin hubungan harmonis-interaktif. Kasus simbolik

yang terjadi di Jambi, terkait dengan dominasi pemerintah,

agama dan adat, di antaranya:

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Pemerintah

Pemerintah (Penguasa) adalah organisasi yang mempunyai

kekuatan besar dalam suatu negara mengurus masyarakat,

territorial dan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan

Negara. Tahapan membentuk atau membangun posisi-posisi

kekuasaan dalam masyarakat berguna sebagai pengambil

keputusan-keputusan terkait dengan kondisi masyarakat

dinamakan politik. Intervensi politik bahkan ‘politisasi‘

terhadap persoalan sosial keagamaan sejauh ini merupakan

hal yang lumrah dan dianggap epektif dalam upaya

memobilisasi berbagai kepentingan politik pihak tertentu.

Sejak abad ke-14 Islam Ahmad Salim dan putranya Ahmad

Kamil menggunakan kekuatan politik berhasil memadukan

adat dan syarak dan mengkolaborasikan dua sistem

pemerintahan Tumenggung (otokrasi) dan Perpatih

(demokratis) sehingga melahirkan konfigurasi hukum dan

sistem pemerintahan kolaboratif.

Praktik ini berlanjut masa kolonial Belanda yang

membatasi wilayah cakupan syarak hanya pada persoalan

perdata dan mengabaikan hukum pidana adat. Sementara

dalam bidang ―pemerintahan‖ pemerintah Belanda

mengambil alih secara total dan kelembagaan adat tetap

dihidupkan mengimbangi bahkan mempersempit gerak

syarak. Klaim tersebut didasari kekhawatiran politis

terhadap kelompok militan Islam, meski faktanya

masyarakat adat justru mengafirmasi hukum pidana Islam

agar beradaptasi dengan aturan-aturan adat. Mereka

menggunakan istilah ―tikam bunuh‖ untuk menyatakan

aturan qişâş, semua bentuk pelanggaran hukum dikenakan

sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖. Klimaksnya,

terjadi politisasi syarak dengan menjadikan syarak sebagai

hukum yang berada di balik adat atau berada di bawah

bayang-bayang adat.

Politisasi dalam konteks ini adalah upaya organ

kelembagaan adat di Jambi menjadikan aspirasi mereka

Page 225: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

216

diakomodir dan bertahan terus akhirnya menurut Bourdieu

membentuk habitus. Konsep ini juga dapat dilihat pada

budaya patrimonial dalam budaya masyarakat Jawa,

dimana ketundukan rakyat pada raja (penguasa) dan tabu

menentang segala titah raja. Pemimpin (raja, penguasa,

pemerintah) merupakan titisan Tuhan di muka bumi dan

budaya patrimonial pada pemerintahan orde baru dengan

sistem pemerintahan otoriter. Semua struktur

pemerintahan terpusat di bawah tampuk komando Soeharto,

segala titah Soeharto harus dilaksanakan. Budaya

―bapakisme‖ atau asal bapak senang sudah terinternalisasi

selama 32 tahun.

Kasus yang juga terkait dengan dominasi politik

adalah kasus pengalihfungsian tempat pemakaman umum

(TPU), dimana pada tahun 1992 atas permintaan

pemerintah daerah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi

Jambi mengeluarkan fatwa tentang kebolehan membongkar

kuburan Muslim (tempat pemakaman umum) yang

bertempat di Kelurahan Sungai Puteri Kecamatan

Telanaipura. Argumentasi melegalkan putusan ini dimana

letak tempat pemakaman umum (TPU) tersebut dianggap

sangat strategis guna pengembangan Kota Jambi karena

berdekatan dengan jalan protokol. Keputusannya lebih baik

dimanfaatkan bagi pembangunan sarana prasarana sosial

untuk kepentingan umum (maşlahah al-Ammah), meskipun

kenyataanya di atas tanah tersebut justru berdiri Gedung

Mercusuar yakni Hotel Tepian Ratu, yang saat ini berganti

nama menjadi "Ratu Convention".

Fatwa ini mengundang reaksi keras dan tendensius

dari kalangan ulama salaf dan sebagian masyarakat agamis

karena dianggap sangat menyinggung perasaan pihak

keluarga yang anggota keluarganya dimakamkan pada

pemakaman ini.356 Implikasi negatif lain yakni terjadi krisis

356Guru Zaini merupakan salah seorang ulama salaf yang

bermukim di seberang Kota Jambi sebagai salah seorang ulama yang

sangat terkemuka dan berpengaruh saat itu, beliau merasa sangat

tersinggung dengan lahirnya fatwa tersebut dan sempat berkirim surat

dengan menggunakan Bahasa Arab bernada tendensius kepada Ketua

Page 226: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

217

kepercayaan atau memudarnya pencitraan positif terhadap

eksisitensi lembaga dan ulama utamanya yang berada

dalam lingkaran institusi ini.

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Agama

Agama sebagai sistem simbol berperan mengukuhkan

suasana hati dan motivasi yang kuat serta mendalam pada

setiap diri manusia dengan memformulasikan konsepsi

tentang tatanan umum eksistensi dan membungkus

konsepsi itu dengan aura aktualitas bagi perasaan dan

motivasi realistis. Artinya, simbol keagamaan

memformulasikan adanya kesesuaian mendasar tentang

tipe kehidupan partikular dengan pola pikir yang

mensistesis tradisi, gagasan, estetika, nilai-nilai spiritual.

Selain itu, simbol agama mengandung makna yang dapat

dielaborasi dengan berbagai cara salah satunya melalui

ritual.357

Kuasa simbolik yang mengatasnamakan agama juga

terjadi di Jambi ketika beredarnya al-Qur'an bergambar

kandidat gubernur di Provinsi Jambi menjelang pemilihan

kepala daerah (pilkada) Mei 2005, melahirkan polemik

berkepanjangan di kalangan umat Islam Jambi. Kasus cover

al-Qur'an bergambar yang menuai respon pro dan kontra

dari berbagai lapisan masyarakat Jambi.358 Kelompok yang

pro diwakili oleh Sulaiman Abdullah, Said Magwie dan

kawan-kawan beragumentasi bahwa al-Qur'an tersebut

murni sumbangan, dan karena jauh dari masa Pilkada

berkisar delapan bulan, terhitung dari 30 Oktober 2004

sampai proses pemilihan 12 Juni 2005, maka al-Qur'an

tersebut bukan untuk Pilkada. Dan hanya ditempeli sticker

dengan photo ZN 1 dimensi dan berupa pas photo, bukan

melalui proses cetak al-Qur'an secara keseluruhan

Komisi Fatwa dan menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Provinsi. 357Haidar Nasier, Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah,

1998), 172-173. 358Naskah fatwa MUI No.05/KP-MUI/II/1992 dan No.01/KP-

MUI/VI/2005

Page 227: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

218

bersamaan dengan photo sejak awal.359

Kelompok yang kontra dan ekstrim diwakili Chatib

Quzwain, Buya Satar, Ahmad Tarmizi Sibawaihi, Husin

Wahhab dan kawan-kawan berpandangan tindakan

mencantumkan gambar pada kitab suci pada cover al-Qur'an

salah satu bentuk penghinaan (Ihânah) terhadap al-Kitab

Suci Qur'an dan bahkan bentuk ke-kufuran, zhalim,

penistaan agama dan sebagainya dengan menggunakan

argumentasi tertentu.360 Sedangkan kelompok moderat

berargumentasi tindakan ini bukan implementasi dari

penghinaan terhadap al-Qur'an ansich apalagi sampai kufr,

bahkan status hukum yang terjadi hanyalah mubah (boleh)

dengan argumentasi yang lain lagi.

Paling tidak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi

telah menggunakan simbol politik dan agama untuk

mengabsahkan putusannya. Simbol ini dianggap memiliki

kekuatan membentuk, melestarikan, dan mengubah realitas

sehingga mengandung energi magis yang bisa membuat

orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang

diciptakan oleh tata simbol. Bahkan kekuatan simbol

mampu mengarahkan siapapun untuk mengakui,

melestarikan atau mengubah persepsi hingga sampai pada

tingkah laku seseorang, kelompok saat bersentuhan dengan

realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada

kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi

realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan makna-

makna simbol.

Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol,

individu-individu terikat dalam proses pembentukan

(constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting)

makna yang sedang berlangsung. Keterikatan tersebut

dapat menjelaskan logika dan praktik permainan sosial

yang dipadati semangat kompetisi antar agen/pelaku sosial.

Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar

359Subhan MA Rahman, Pergulatan Wacana ..., 20. 360Kasus penistaan agama (Ihanah al-Din) dan simbol-simbol

agama merupakan perbuatan pelanggaran tindak pidana sebagaimana

termuat dalam pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP).

Page 228: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

219

kuasa yang dijalankan agen/pelaku sosial dalam berbagai

posisi yang ditempati, maupun yang sedang memperebutkan

posisi-posisi tertentu.361

Selain itu, dengan memberikan fatwa boleh (mubah)

tersebut, jelas Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki dan

memainkan modal religius, sejenis disposisi objektif yang

kepadanya masyarakat dibuat percaya objektivitas

pernyataan mereka tentang kebolehan itu. Di sini, umat

Muslim yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

mendukung fatwa tersebut, yang jelas posisi mereka tetap

berpijak pada agensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

memonopoli diskursus itu dalam konteks keberagamaan

masyarakat Jambi yang lebih luas. Mereka melihat fatwa

itu sebagai hukum, bukan mitos.

Kedua bentuk fatwa kontroversi tersebut

mengatasanamakan pemerintah ataupun agama menuai

kritikan tajam terhadap eksistensi dan kinerja Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, yang selama ini

dipercaya sebagai wadah atau kumpulan ulama yang sangat

dihormati. Meski, menurut pengakuan ketua Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, putusan tersebut tidak

dipengaruhi oleh pihak manapun dan sudah sesuai dengan

ketentuan Islam.362 Namun putusan kontroversial tersebut

tetap melahirkan polemik yang cukup dilematis bahkan

membuat sebagian masyarakat Jambi ada yang pro maupun

kontra.

Respon tersebut sampai pada mobilisasi umat dan

massa, meski dipandang wajar dalam proses politik

manapun terutama bagi masyarakat Indonesia yang masih

memegang teguh agama dan adat, meski dikhawatirkan

melahirkan polemik lanjutan antar keduanya. Persoalannya

masyarakat Muslim Jambi dibuat tidak sadar (miss-

recognized) fatwa tersebut hakikatnya hanya

menguntungkan pihak tertentu yaitu pemerintah dan

pemuka Majelis Ulama Indonesia (MUI). Merekalah yang

memonopoli fatwa itu sebagai produk religius demi menjaga

361Pierre Bourdieu dan Wacquant JD., An Invitation to Reflexive

Sociology, (Chicago: University Press, 1992), 75. 362Wawancara, Ketua MUI Jambi, 22 Juli 2015.

Page 229: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

220

akumulasi kerja simbolik yang berkelanjutan. Mereka inilah

sebagai religious specialists (para spesialis agama) yang

dianggap berwenang menentukan ‗versi religius‘ fatwa

tentang al-Qur‘an bergambar di Jambi, pengalihfungsian

Tempat Pemakaman Umum (TPU), dan lainnya.

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Adat

Proses adaptasi antara adat dan syarak di Jambi tidak serta

merta menjadikan adat yang ada berubah secara totalitas,

simbol adat tetap eksis dan bahkan mengalahkan simbol

agama meski filosofinya mengedepankan agama melalui

syarak sesuai falsafah adat. Kuasa simbolik mengataskan-

namakan adat tetap terjadi dan dianggap wajar padahal

simbol inilah yang memiliki kekuatan membentuk,

melestarikan, dan mengubah realitas sehingga mengandung

energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui,

serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata

simbol. Bahkan kekuatan simbol mampu mengarahkan

siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah

persepsi hingga sampai pada tingkah laku seseorang,

kelompok saat bersentuhan dengan realitas.

Pertama, Praktik Cuci Kampung, meski bukan

merupakan hal baru dalam budaya masyarakat Melayu,

bahkan juga berlaku di daerah yang dihuni etnik Melayu

lainnya seperti; Minangkabau, Bengkulu dan Palembang.

Namun, bagaimana tradisi tersebut diimplementasikan dan

berdampak terhadap persoalan ideologis dan sosiologis itu

yang menjadi pertanyaan. Mengingat substansi dari pesan

hukum terkesan bergeser atau bahkan terabaikan, menurut

Abdul Hamid kami sepakat dengan sanksi bagi pelanggar

aturan adat, namun perlu kejelian dan obyektivitas dalam

penerapan sanksi adat. Seperti aturan yang melarang lelaki

dan perempuan yang berduaan harus cuci kampung meski

belum tentu berbuat zina, ditambah prioritas sanksi berupa

denda adat cuci kampung bukan menikahkan kedua belah

pihak.363

363Wawancara, Tokoh Adat Kampung Manggis, 13 Mei 2016

Page 230: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

221

Ditambahkan Syarifuddin, akhir-akhir ini denda adat

tersebut yang katanya atas kesepakatan lembaga adat

digantikan dengan uang untuk dialihkan ke kepentingan

umum dan sosial. Pelaku tidak mesti nikah asal membayar

denda adat, praktik ini tidak sesuai lagi dengan apa yang

dipraktikkan oleh tua-tua adat tempo dulu.364

Statemen ini mengindikasikan adanya kritik atas

kebijakan tokoh adat yang ditengarai ―inkonsisten dan

kurang obyektif‖ dalam menerapkan hukum melalui

kelembagaan adat. Terlebih kasus zina merupakan bagian

dari kasus hudud yang harus disikapi secara serius dan

hati-hati karena menyangkut nama baik korban beserta

keluarga. Selain itu, polemik tentang penerapan tradisi cuci

kampung yang terkesan ―semaunya‖ dan berlaku pada

hampir seluruh bentuk pelanggaran adat.

Kedua, Larangan Duduk Bersanding, pada tahun

2014 dimana lembaga adat Melayu Kaupaten Batanghari

mengeluarkan fatwa adat tentang larangan duduk

bersanding bagi pasangan yang sedang melaksanakan akad

nikah.365 Fatwa adat tersebut berlaku bagi seluruh warga

masyarakat yang berdomisili di wilayah Kabupaten

Batanghari, menurut Fathuddin Abdi ada banyak fenomena

yang terjadi di masyarakat yang memerlukan inisiasi atau

kebijakan dari tokoh adat menyikapinya tentunya melalui

fatwa adat. Dalam rangka merespons fenomena inilah

lembaga adat Melayu Kabupaten mengkaji dan menetapkan

beberapa putusan sebagai panduan bagi masyarakat. Fatwa

tentang larangan duduk bersanding bagi pasangan yang

melaksanakan akad nikah, karena duduk berduaan lelaki

364Wawancara, Pegawai Syarak Desa Dusun Aro, 15 Mei 2016 365Ada beberapa fatwa adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat

Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari yang menyatakan larangan; duduk

bersanding saat akad nikah, poto pra wedding, dan menuliskan kalimat

bismillah dalam undangan pernikahan, mencantumkan foto dalam Surat

Yasin, mewajibkan bagi anak rantau yang menikah di Batanghari

memiliki ayah angkat dan lainnya, namun fatwa tersebut ada yang

bersinggungan dengan kompetensi institusi di luarnya sehingga menuai

pro dan kontra di masyarakat, begitupula sebaliknya.

Page 231: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

222

dan perempuan hakikatnya dilarang oleh agama, sedangkan

agama menjadi sendi adat masyarakat Batanghari.366

Meskipun pada akhirnya fatwa tersebut menuai

kritik dari pimpinan Kementerian Agama Kabupaten

Batanghari karena dianggap menyulitkan pihak Kemenag di

lapangan, utamanya Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Menurut Herman, seyogyanya sebelum mengeluarkan

fatwa, pimpinan lembaga adat berkoordinasi dengan

Kementerian Agama yang berkompeten mengurusi

persoalan pernikahan. Terlebih fatwa tersebut

menyebabkan pihak Penghulu kesulitan mendapatkan

informasi intensif mengenai status dan persetujuan

mempelai perempuan, mengingat pejabat harus memastikan

terlebih dahulu pernikahan tersebut apakah atas

kesepakatan bersama atau sebaliknya.367 Ditambahkannya

pada Bab IV Pasal 6 Peraturan Menteri Agama (PMA) RI

Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

dinyatakan bahwa ―Pernikahan harus didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai.‖ Persetujuan ini tidak

bisa diperoleh tanpa menghadirkan pihak mempela

perempuan saat akaad nikah.

Ketiga, Perdamaian Kasus Penistaan Asma Allah,

pada tanggal 25 Desember 2016 terjadi kasus penistaan

terhadap Asma Allah yang dilakukan oleh oknum di Hotel

Novita Jambi bertepatan dengan momen Natal umat

Kristiani. Dimana pihak manajemen hotel membuat

ornamen natal dengan menambahkan tulisan lapaz Allah

pada alas kaki ornamen tersebut.

Atas kasus ini, umat muslim Jambi yang diwakili

umat muslim Kota Jambi diikuti oleh kabupaten lainnya

tidak terima dan melakukan aksi demo menuntut

penutupan Hotel Novita dan meminta aparat hukum

mengadili pemilik beserta manajemen hotel serta dihukum

seberat-beratnya, karena telah menghina Tuhan umat

muslim, yang notabene mayoritas di Jambi. Mengamati

366Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari, 22 Mei 2016. 367Wawancara, Ka-Kan Kemenag Kabupaten Batanghari, 15 Juli

2015.

Page 232: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

223

kondisi ini, pimpinan Lembaga Adat Melayu berinisiasi dan

memediasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara

adat merekomendasikan agar pihak manajemen hotel

meminta maaf kepada umat Islam Jambi dan mengadakan

acara seremonial cuci kampung sebagai bentuk pelanggaran

Sumbang Salah yang difasilitasi oleh pemerintah provinsi

dan kota Jambi. Sedangkan aparat hukum diminta tetap

memproses kasus pidana ini hingga pelaku diadili sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku.

Rekomendasi lembaga adat direspon positif oleh

pemerintah daerah, lembaga adat dinilai tanggap terhadap

fenomena yang terkini.368 Meski demikian, pimpinan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) menilai persoalan ini tugas mereka,

seyogyanya pihak lembaga adat tidak ikut mencampuri

apalagi mengambil alih tugas yang bukan domain mereka.369

Alhasil, kelembagaan adat memainkan peran dominan

dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi dengan melahirkan

fatwa adat sekaligus merupakan modal kultural yang

memungkinkan untuk diinvestasi, diakumulasi, dan

dipertukarkan demi melipat-gandakan profit. Selain itu,

kelembagaan adat telah berhasil menggunakan dominasi

simbol adat melalui nomenklatur institusi, falsafah, dan

organ penentu putusan.

Pertama, aspek nomenklatur, sejak masa kerajaan

Melayu Jambi nomenklatur institusi yang berkompeten

mengurusi persoalan hukum, sosial dan agama adalah

kerapatan adat, seiring perkembangan zaman berubah

menjadi lembaga adat provinsi Jambi dan terakhir Lembaga

Adat Melayu (LAM) Jambi. Ditambah dengan hierarki

institusi dan peradilan adat yang begitu mapan. Kedua,

aspek falsafah, yang menjadi icon budaya Melayu-Islam

falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi

Kitabullah.‖ Falsafah inilah yang melahirkan polarisasi

adat nan empat¸ yaitu; adat sebenar adat, adat yang teradat,

adat yang diadatkan dan adat istiadat, yang tidak hanya

368Wawancara, Ketua Lembaga Adat dan Ketua Laskar Melayu

Jambi, 29 Desember 2016 369Wawancara, Sekretaris MUI Kota Jambi, 1 Januari 2017.

Page 233: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

224

diklaim oleh masyarakat Melayu Jambi namun juga

masyarakat Melayu Nusantara lainnya.370

Daya magis simbol tidak hanya terletak pada

kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi

realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan makna-

makna simbol. Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol,

individu-individu terikat dalam proses pembentukan

(constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting)

makna yang sedang berlangsung. Keterikatan tersebut

370Polarisasi adat juga berlaku di Melayu lainnya seperti;

Minangkabau, Aceh dan Bugis. Minangkabau mempolarisasi adat kepada

empat, sebagaimana di Jambi, yaitu; Pertama, adat nan sebenar

adat,yaitu hukum Alam atau Sunnatullah seperti adat tajam melukai,

adat air membasahi, adat api menghanguskan dan sebagainya; Kedua,

adat nan teradat, yaitu segala aturan yang merupakan karya cipta Datuk

Ketumenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang; Ketiga, adat nan

diadatkan yaitu adat setempat; dan Keempat, adat istiadat, yaitu tradisi

acara ritual. Sedangkan di Aceh mempolarisasi adat menjadi tiga;

Pertama, Adat bak Peuteu Merehum, yaitu tradisi yang merujuk kepada

kebiasaan dan tatacara upacara yang berlaku dalam lingkungan istana;

Kedua, Hukom bak Syiah Kuala, yaitu merujuk kepada hukum Islam,

fikih, atau hukum syariah di bawah kawalan dan pengurusan Syeikhul

Islam dan Kadi Malikul Adil, Syah di Kuala; dan Ketiga, Meujeuleueih

kanun bak puteu phang, Resam bak bentara-bentara, yaitu atau majelis

kanun, atau urusan kanun kebijaksanaan Maharani Puteri Pahang

(permaisuri Sultan Iskandar Muda). Keempat, resam bak bentara-bentara,

artinya urusan resam (adat tempatan) urusan Panglima, Bentara, atau

hulubang (ulebalang) masing-masing wilayah. Dengan kata lain, resam

semacam adat yang dijalankan oleh penguasa setempat, atau adat

tempatan, dalam tradisi Minangkabau disebut ―adat yang teradat.‖

Adapun di Bugis mempolarisasi adat menjadi lima; Pertama, Ade‘ pura

onro, yaitu peraturan yang sudah tetap mengatur hubungan antara raja

dengan rakyat disaksikan olah Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat diubah

lagi, perubahan dan pelanggaran terhadap adat ini boleh membuat

negara runtuh. Kedua, Ade‘ assituruseng yaitu peraturan yang telah

disepakati bersama melalui musyawarah boleh diubah harus melalui

musyawarah pula; Ketiga, Ade‘ maraja ri arunggo, adalah adat yang

berasaskan kepatutan yang berlaku terutama di kalangan raja dan kaum

bangsawan; Keempat, Ade‘ abiasane wanuae, yatu adat yang berlaku

untuk seluruh rakyat harus didasarkan atas persetujuan bersama dan

harus dilaksanakan oleh rakyat; Kelima, Ade‘ tanro anang, yaitu adat

yang lahir dari kepala-kepala kampung (tua-tua desa). Lihat Amri

Marzali, Adat Categories in Melayu-Nusantaran Culture, diakses tanggal

20 Januari 2017.

Page 234: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

225

dapat menjelaskan logika dan praktik permainan sosial

yang dipadati semangat kompetisi antar agen/pelaku sosial.

Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar

kuasa yang dijalankan agen/pelaku sosial dalam berbagai

posisi yang ditempati, maupun yang sedang memperebutkan

posisi-posisi tertentu.371

Keberadaan dan peran institusi ini mendominasi

persoalan sosial keagamaan masyarakat sejalan dengan

gagasan Snouck Hurgronje dalam teori Receptie-nya, yang

menghendaki agar syarak masuk ke dalam adat atau

menjadi bagian dari sistem adat dalam konteks ini

kelembagaan adat. Institusi inilah yang menjadi korektor

sekaligus corong penetapan syarak, artinya syarak yang

dipraktikkan masyarakat selama ini hakikatnya bukanlah

syarak melainkan adat. Adat sebagai penerima dan syarak

sebagai hukum yang datang, syarak berlaku manakala telah

diterima atau masuk ke dalam sistem adat dan menjelma

menjadi produk adat.

Dengan kata lain, sebenarnya kelembagaan adat

memainkan peran dominan dalam percaturan sosial dan

agama pada masyarakat Melayu Jambi yang melahirkan

doxa, yaitu kecenderungan keberpihakan atau lebih

menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan

perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap

posisi dominan mereka sebagai sesuatu yang terbukti

dengan sendirinya dan diinginkan secara universal.372

Secara lebih spesifik, Bourdieu menyatakan doxa

371Pierre Bourdieu dan Wacquant JD., An Invitation to Reflexive

Sociology, (Chicago: University Press, 1992), 75. 372Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa

melalui proses pemikiran yang diasumsikan terbukti universal yang

menginformasikan tindakan dan pemikiran agen pada ranah tertentu.

Doxa cenderung menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan

perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi

dominan sebagai realitas kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan

kata lain doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi

dalam praktik antara sebuah habitus dengan ranah dimana ia

disesuaikan dan diterima secara given. Lihat Pierre Bourdieu, The Logic

of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (Stanford:

Stanford University Press 1992), 66-68.

Page 235: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

226

merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam

praktik antara sebuah habitus dan ranah dimana ia

disesuaikan, diterima begitu saja terhadap dunia yang

terjadi secara praverbal yang berasal dari rasa praktis.373

Dalam perspektif maşlahah, menurut asy-Syâtibi ke-

maşlahah-an (al-mas}âlih) haruslah merujuk pada dua

aspek yaitu: khiţâb syar‘î (epistemologis) dan realitas sosial

(waqâ‘i‗ al-wujûd).374 Pertama aspek khiţâb syar‘î

(epistemologis), keberadaan kelembagaan adat dan

perannya selama ini dalam memproduksi dan mereproduksi

hukum merupakan prototipe yang belum ada referensinya

dalam studi hukum Islam sehingga tidak ditemukan dalîl

khusus mengenai status hukumnya. Kedua, realitas sosial

(waqâ‘i‗ al-wujûd), masyarakat Melayu Jambi berkomitmen

memberdayakan kelembagaan adat mempraktikkan hukum

adat hasil integrasi syarak dengan adat. Begitupula dengan

memfungsikan kelembagaan adat sebagai agen

memproduksi dan mereproduksi hukum.375

Selain itu, ada status hukum persoalan yang tidak

tercakup dalam naşş hukum partikular, sehingga perlu

diteliti berdasarkan naşş universal. Pada kasus yang

didiamkan Syâri‘ berupa al‘afwu (kema‘afan), ulama

memprediksi jawaban terhadap kasus diamnya Syâri‘,

dengan menyatakan setiap kasus dijelaskan oleh cakupan

makna naşş dan dapat dilacak melalui qiyâs. Dalam konteks

undang adat dan kelembagaan adat Jambi, kedua aspek

tersebut secara umum telah terpenuhi sehingga dapat

disimpulkan bahwa undang adat Jambi dan kelembagaan

adat Jambi memenuhi kriteria kemaşlahatan.

Menurut asy-Syâtibi adat diklasifikasikan dalam dua

bentuk: Pertama, al-‗awa`îd asy-syar‘iyah, yaitu adat yang

ditetapkan atau ditiadakan oleh dalîl syarak. Artinya,

373Ibid. 374Teori maşlahah menjadi referensi pemikir hukum Islam

kontemporer yang merespons dan menggunakan pemikiran asy-Syâţibî, di

antara pemikir dimaksud; Mahmûd Syaltût (w. 1971 M.), Fazlu Rahman

(w. 1988 M.), Abdullâh Darrâz dan Wael B. Hallaq. 375Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ Asy-Syâţibî, al-Muwâfaqât ..., Juz

II, 44,79.

Page 236: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

227

syarak memerintahkan sebagai sesuatu yang wajib atau

nadab, atau melarangnya sebagai larangan haram atau

makruh, atau syarak memberikan ruang pilihan untuk

dilakukan atau ditinggalkan (mubah). Mengingat adat

macam yang pertama ini sifatnya tetap, maka ia sama

dengan hukum-hukum syarî‘ah yang tetap dan

terus-menerus. Undang duapuluh dalam adat Jambi

mencakup aspek fikih mu‘amalah (sumbang salah, tipu

tepok), munakahat, siyasah (dago dagi, siur bakar) dan

jinayat (samun sakai, upas racun, maling curi, tikam

bunuh).

Kedua, al-‗âwa`id al-jâriyah, yaitu adat yang tanpa

ada dalîl syarak secara khusus yang menetapkan atau

meniadakannya. Model adat ini dikembangkan dalam kajian

tentang hubungan naşş-naşş dengan adat. Asy-Syâţibî

mengakui adanya perubahan hukum ketika terjadi

perubahan adat, praktik ini dijumpai dalam undang

duapuluh, dimana jenis sanksi (denda/pampas) yang

dikenakan bagi pelaku maupun kompensasi yang diterima

korban atau keluarga korban berbeda dengan ketentuan

syarak meski substansinya sama yaitu memberikan

hukuman dan epek jera. Seperti cuci kampung dengan

membayar pampas bagi pelaku atas segala bentuk

pelanggaran tindak pidana perdata, maupun

ketatanegaraan yang meliputi; bidang muamalah,

munakahat, jinayat maupun siyasah, pada konteks inilah

menjadi ruang kajian maşlahah.

Pandangan ini sejalan dengan Abd. al-Rahman Taj,

yang mengkategorisasi hukum dari perspektif sumber

mencakup siyâsah syar‘iyyah dan wad‘iyyah. Siyâsah

Syar‘iyyah adalah peraturan perundang-undangan yang

bersumber pada wahyu atau agama, sedangkan Siyâsah

Wad‘iyyah adalah peraturan perundang-undangan yang

bersumber pada manusia sendiri dan lingkungannya,

seperti; arâ‘ al-basyar (pendapat ahli atau pakar), ‗urf atau

adat, al-tajârib (pengalaman) dan al-auda‘ al-maurusah

Page 237: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

228

(aturan terdahulu yang merupakan warisan pendahulu).376

Sumber kedua ini senantiasa berkembang sesuai situasi dan

kondisi, ia dapat diterima jika memenuhi kriteria antara

lain:377

1. Mutâbaqah (sejalan) dan tidak bertentangan dengan

prinsip syariat Islam;

2. Raf‘u al-haraj, tidak memberatkan atau membebani

masyarakat di luar kemampuan mereka;

3. Tahqîq al-‗Adâlah, tujuannya menegakkan keadilan;

4. Tahqîq al-masâlih wa daf‘u al-madharr, dapat

merealisasikan kemaslahatan dan menghindari

kerusakan;

5. Menempatkan manusia pada posisi yang sama di mata

hukum dan pemerintahan kecuali pada kasus tertentu;

6. Peraturan atau kebijakan yang ditetapkan harus berpijak

pada asas musyawarah.

Adapun dari perspektif sosiologi, tugas sosiologi

mengeksplorasi produksi, sirkulasi, dan konsumsi berbagai

jenis modal ekonomi, kultural, dan—termasuk juga—agama.

Namun, berbeda dengan konsepsi tentang ―modal manusia‖

(human capital), ―modal kultural‖ Bourdieu lebih berfokus

pada variasi kelas dalam konteks makna dan fungsi modal

demi memperoleh tujuan akhir yang diinginkan. Bahkan, Ia

melampaui gagasan yang hanya melihat minat simbolik itu

sekadar ―perspektif‖ untuk melihat praktik-praktik kultural.

Menurutnya, kepemilikan modal itu justru menyimpan

dimensi kekuasaan, sehingga memungkinkannya

membentuk hierarki sosial.378

Sebagaimana modal kapital, modal kultural dan pada

hakikatnya berperan dalam menciptakan hierarki sosial itu.

Modal religius dapat berupa status atau posisi tertentu

dalam institusi-institusi keagamaan yang secara formal

376Abd. al-Rahman Taj, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah wa al-Fiqh al-

Islamîy, (Mesir: Matba‘ah Dâr al-Ta‘lif, 1953), 8. 377Abd. Wahhab Khallâf, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dâr al-

Ansar, 1977), 4; Muhammad Diya al-Din al-Ris, an-Nazariyyah al-Siyâsah

al-Islamiyyah, (Kairo: Dâr al-Mâ‘arif, 1967), 280-292. 378Elaborasi lengkap dapat dilihat dalam Gary Becker, The

Economic Approach To Human Behavior, (Chicago: University of Chicago

Press, 1976), 20.

Page 238: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

229

diakui oleh masyarakat Jambi. Status dan posisi inilah yang

membuat pemilik modal dan posisi, secara tidak langsung

mempengaruhi struktur berpikir atau disposisi masyarakat,

karena status individu dapat mempengaruhi kepercayaan

masyarakat. Kepada lembaga inilah masyarakat merasa

perlu untuk menyandarkan kepercayaannya terhadap isu-

isu sosial dan keagamaan di Jambi.

Hal ini berarti dengan modal kultural tersebut para

pemangku jabatan di kelembagaan adat Melayu sangat

berperan dalam membentuk persepsi, opini, disposisi, dan

selera masyarakat. Asumsinya, semakin masyarakat

percaya terhadap lembaga ini dan produk fatwa yang

dikeluarkan maka semakin kuat pula struktur sosial atau

religius masyarakat Jambi. Di sini, modal kultural harus

dipahami bukan sekadar sebagai pengetahuan tentang adat,

melainkan juga yang terpenting sebagai modal yang

fungsinya mirip dengan modal ekonomi dalam industri

kapital. Mereka yang memiliki modal berada dalam

posisi kelas yang lebih tinggi dibanding mereka yang

tidak memiliki modal atau status tertentu dalam

masyarakat Melayu Jambi.

Inilah yang menjadi dasar logis mengapa para

pemuka adat dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi

sebenarnya sedang menginvestasikan modal sosial dan

religius itu melalui posisi dan disposisi mereka kepada

masyarakat, implikasinya semakin kuatnya habitus dan

kelas-kelas sosial di Jambi. Begitu kuatnya pengaruh kedua

aspek tadi yaitu adat dan agama, seringkali menjadi

komuditas politik oleh sebagian orang menggapai ambisi

pribadi maupun kelompok. Intervensi politik bahkan

politisasi terhadap persoalan agama dan adat dan selama ini

merupakan hal yang lumrah dan dianggap epektif dalam

upaya memobilisasi berbagai kepentingan politik pihak

tertentu.

Selain itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat

mengarah kepada pembentukan cara lebih halus sebagian

masyarakat untuk menguasai mayoritas masyarakat lain.

Kegiatan mendominasi tersebut dengan menggiring

pemikiran mayoritas melalui diskursus dan pewacanaan.

Page 239: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

230

Permainan otoritas dapat dilakukan oleh kelembagaan adat

melalui forum tiga tali sepilin yang dalam masyarakat

dipandang memiliki keistimewaan dan kuasa.

Dalam kasus larangan duduk bersanding saat akad

nikah dan penistaan asma Allah, lembaga adat sedang

menggiring pemikiran khalayak kepada kebenaran

individual miliknya. Pengetahuan baru sedang diproduksi

menjadi satu kebenaran dengan kekuasaan dan kekayaan,

dan halayak sedang ‗dibimbing‘ untuk mengikuti kebenaran

yang telah ditetapkan tersebut. Begitupula yang dilakukan

oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kementerian

agama-pun dalam konteks ini sedang terlibat, baik sebagai

bagian pihak yang memproduksi wacana dan pemahaman

maupun mungkin korban dari wacana yang sedang

dikembangkan oleh otoritas yang lebih mendominasi

daripada organisasi tersebut.

Perasaan semacam ini yang tanpa disadari ini oleh

Gramsci melahirkan hegemoni kelompok kepada kelompok

lain dengan mengatasnamakan kepentingan politik, agama

atau adat. Melalui ini kekuasaan akan dapat dipertahankan

dalam jangka waktu lama bahkan permanen (abadan),

namun untuk merealisasikannya dibutuhkan minimal dua

piranti.379 Pertama, piranti kerja yang mampu melakukan

tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata

lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang

bernuansa law enforcemant. Piranti kerja yang biasanya

dipraktikkan oleh pranata negara (bilad) melalui lembaga

seperti; peradilan, hukum, militer, polisi dan bahkan

penjara. Kedua, piranti kerja untuk membujuk masyarakat

beserta pranata agar taat pada penguasa melalui kehidupan

beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.

Piranti kerja yang dipraktikkan masyarakat sipil (civil

379Pemetaan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik

sebagai pisau analisis. Kedua suprastruktur itu, pada kenyataannya

sangat diperlukan, satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa

kedua level itu sangat diperlukan bisa dilihat dengan gamblang dalam

konsepsi tentang negara yang lebih luas, dimana ia tunjuk sebagai

―negara integral‖ meliputi tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga

msyarakat politik yang didefinisikan negara = masyarakat politik +

masyarakat sipil. Lihat Roger Simon, Gramsci‘s ..., 99-100.

Page 240: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

231

society) melalui lembaga masyarakat seperti; majelis ulama,

lembaga adat, organisasi sosial-keagamaan, dan sebagainya.

Dengan demikian, praktik semacam ini bentuk lain

dari dominasi simbolik atau penindasan dengan

menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak

dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang

secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan

tersebut mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas

itu sendiri. Praktik penindasan juga dapat terjadi pada

seorang istri yang tidak dapat membela diri, meski

dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar,

telah menerima statusnya sebagai yang tertindas.380 Namun

konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat

dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon.

Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan

mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-

orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi

mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol

kekuasaan secara nyata.

Setiap sistem simbol memiliki kekuatan untuk

memberikan pemaknaan bagi realitas sosial, sebagai produk

perjuangan agen (individu, kelompok, institusi) dalam

mendapatkan modal dalam sebuah ranah tertentu. Ranah

tersebut merupakan arena sosial (field) yang di dalamnya

terdapat berbagai macam tindakan agen untuk

memperebutkan sumber pertaruhan dengan akses terbatas.

Arena dalam ranah, seperti dikatakan Bourdieu merupakan

ruang sosial yang terstruktur, terorganisir hierarkis, dan

menciptakan ketidaksetaraan objektif dalam

pendistribusian berbagai modal sekaligus spasial bagi

dominasi dan resistensi yang terkait secara relasional

dengan yang lain. Lewat proses pencitraan, sistem simbol

memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna,

menggiring cara pandang, hingga memengaruhi praktik

seseorang maupun kelompok.

Contoh, kekuasaan Keraton Yogyakarta dengan sosok

Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai simbol kekuasaan di

380Pierre Bourdieu, Mengungkap Kuasa ..., 21-22.

Page 241: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

232

masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung

rakyatnya, Sri Sultan sebagai simbol kekuasaan kerajaan

sangat dikagumi dan diakui kharismanya oleh masyarakat.

Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat

Yogyakarta, tanpa memberikan perintah sudah dengan

sendirinya masyarakat Yogyakarta hidup tertib, aman,

nyaman.

Contoh lainnya budaya ―Patriarki‖ atau kedudukan

perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam adat

budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu

menjadi subordinat dari laki–laki dalam berbagai hal. Posisi

subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami

dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga

sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada

dibawah laki–laki. Seaktif apapun peranan perempuan di

luar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis,

hukum, maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap

kedudukan perempuan menjadi istri rumah tangga, laki-laki

yang menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi kebiasaan

dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi

perempuan untuk melakukan tugas laki–laki, termasuk

dalam terjun dalam arena politik.

F. Kontribusi Syarak, Adat Kelembagaan Adat dalam

Ruang Agama, Sosial, dan Politik Kontemporer

Struktur masyarakat manapun pada awalnya berada dalam

ketidak-seimbangan, minimal terjadi dominasi antara yang

satu dengan lainnya. Kenyataan ini yang diungkap oleh

Roscoe Pound, oleh karenanya perlu penataan ulang hukum

agar aplikatif dan melingkupi semua kepentingan. Hukum

dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social

Engineering), karena berfungsi menata perubahan dan

kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kepentingan

dimaksud meliputi tiga aspek yaitu; umum, sosial dan

pribadi. Pertama kepentingan umum, yaitu kepentingan

negara sebagai badan hukum dan sebagai penjaga

kepentingan sosial. Kedua kepentingan sosial, yaitu

kepentingan yang terkait dengan keamanan umum, institusi

Page 242: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

233

sosial, moral umum, pengamanan sumber daya sosial,

kemajuan sosial, dan kehidupan individual. Ketiga

kepentingan pribadi/individual, yaitu kepentingan yang

terkait dengan integritas dan privasi, internal

keluarga/domestik, dan perlindungan hak milik serta

kebebasan melakukan transaksi dan komunikasi dengan

orang lain.381

Perubahan dalam struktur masyarakat seiring

dengan bermunculannya kasus-kasus hukum baru

setidaknya disebabkan beberapa faktor, antara lain:

perubahan situasi, perubahan anggota kelompok dan

perubahan-perubahan yang terjadi dalam situasi sosial dan

ekonomi. Kenyataan ini beralasan mengingat dinamika

masyarakat yang sering melahirkan persoalan-persoalan

baru. Untuk mencari solusi terhadap persoalan yang

dihadapi setidaknya ada dua hal yang harus dipahami.

Pertama, problema yang dihadapi telah dinyatakan tegas

status hukumnya melalui sumber formal atau non-formal.

Kedua, seberapa epektif penyelesaian problema tersebut

atau sanksi yang dijatuhkan sudahkah memberi epek jera

bagi pelaku, begitupula kepatuhan menjalani sanksi dan

implikasi setelahnya.

Pada kategori kedua inilah kelembagaan adat

memegang peran signifikan dan diharapkan mampu

memberikan jawaban dan menyelesaikan persoalan hukum

yang dihadapi umat Islam. Terlebih hukum yang berlaku di

Indonesia selama ini umumnya merupakan hukum warisan

kolonial Belanda, oleh A Qodri Azizi disebut hukum yang

dalam kajian ke-Indonesiaan kontemporer sebagai hukum

yang telah mati. Hukum masa depan adalah merupakan

perwujudan eklektisisme dalam ilmu hukum dan pengaruh

globalisasi yang selalu terjadi dan berkembang. Hampir

mustahil saat ini sebuah negara dapat lepas dari pengaruh

dunia Barat, namun demikian adat merupakan hukum yang

hidup di masyarakat (customary law).382

381Bernard L. Tanya., dkk, Teori Hukum .., 140-141. 382A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum ..., 175-176

Page 243: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

234

Banyaknya problem yang dihadapi bangsa ini pada

skala nasional maupun lokal yang sulit terselesaikan ketika

hanya mengandalkan salah satu elemen dalam satu wilayah

bahkan negara. Pada skala nasional, kasus yang melibatkan

Basuki Cahaya Purnama (Ahok) mengguncang stabilitas

politik nasional tidak hanya sejak diunggah oleh Bunyamin

melalui Media Sosial tetapi diprediksi akan terus berlanjut

sampai suksesi kepemimpinan nasional ke depan. Belum

lagi, bagaimana perekrutan kelompok teroris yang

melakukan berbagai pengeboman di Indonesia yang

dihubungkan dengan aksi teroris ISIS yang berpusat di

Sirya. Konflik sosial yang cenderung berbau SARA di

berbagai daerah seperti Poso, Ambon, Sampit, dan lainnya.

Belum lagi penumpukan kasus yang tidak terselesaikan oleh

Mahkamah Agung.383

Pada tingkat lokal menurut penulis ada banyak

persoalan sosial-agama lokal yang belum terselesaikan

bahkan belum tersentuh sama sekali oleh pemerintah

daerah, kalangan ulama dan tokoh adat di Jambi, seperti:

maraknya penambang emas tambang illegal (PETI), konflik

tanah wilayat (tanah adat) antara perseroan terbatas (PT)

dengan masyarakat, perselingkuhan, prostitusi,

pembakaran hutan milik negara maupun masyarakat

(karhutla), penghianatan terhadap komitmen oleh kepala

daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat, peredaran

narkoba dan sebagainya.

Langkah strategis yang harus dilakukan. Pertama,

menelisik problema yang dinyatakan dengan tegas status

hukumnya melalui sumber formal atau non-formal atau

tidak. Kedua, seberapa epektif penyelesaian problema

tersebut atau sanksi yang dijatuhkan sudahkah memberi

epek jera bagi pelaku, begitupula kepatuhan menjalani

383Detik News Jumat (29\/10\/2010) melansir berita tentang

kerepotan pihak Mahkamah Agung (MA) dalam menyelesaikan kasus-

kasus yang mereka hadapi, penumpukan ini bukan tanpa upaya

penyelesaian banyak yang telah dilakukan, namun menurut pengakuan

Ketua MA Harifin Tumpa hasilnya tetap belum optimal. Ditambahkan

Ketua MA yang baru Hatta Ali pada tahun 2016 sebanyak 2 juta perkara

yang dapat dilihat di direktorat putusan. Ini di dunia terbanyak yang

sampai 2 juta lebih Rabu (28/12/2016).

Page 244: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

235

sanksi dan implikasi setelahnya. Kenyataan seperti ini

sebenarnya sejalan dengan frame work politik hukum itu

sendiri, berupa pembangunan hukum yang berintikan

perbuatan dan pembaharuan terhadap materi hukum agar

sesuai dengan kebutuhan dan implementasi hukum yang

telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga.384 Selain itu,

dari perspektif formal eksistensi hukum tentunya tidak

hanya terkait erat dengan kebijakan hukum dan rumusan

produk hukum melainkan dapat juga dilihat dari kronologis,

setting sosial politik yang melatar-belakangi lahirnya legal

policy tersebut.

Begitupula yang terjadi di Jambi manakala terjadi

tarik menarik antara politik, hukum dan adat maka

hukumlah yang terpengaruh oleh politik karena sub sistem

politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar

daripada hukum. Jika terjadi benturan maka hukum berada

pada pihak yang lemah. Politik sering mengintervensi

hukum apakah hukum agama (hukum Islam) ataupun

hukum adat. Diskriminasi politik terhadap hukum

bermuara pada tujuan atau kepentingan tertentu, baik

sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, sarana

memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, atau sarana untuk

memfasilitasi proses rekayasa sosial (social engeenering).

Meski demikian, terjadi subordinasi internal dan

eksternal kelembagaan adat Melayu Jambi, pemerintahan

yang mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali

sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konflik

vertikal-horizontal. Menurut Jimly Asshiddiqie sebenarnya

kebudayaan Melayu telah memainkan peran dominan dalam

kebudayaan Nusantara. Sebelum pergerakan kemerdekaan,

bahasa, kebudayaan, serta adat Melayu telah berkembang

menjadi identitas dan entitas budaya bangsa Indonesia.

Bahkan sejak Sriwijaya, bahasa Melayu telah diterima

sebagai bahasa Nusantara dari Sabang sampai Merauke.385

384M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,

1998), 9. 385Jimly Asshiddiqie, Peranan Adat Melayu dalam Membangun

Identitas Budaya dan Upaya Pembinaan Karakter Bangsa, Makalah

Page 245: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

236

Menurut Clifford Geertz kebudayaan Melayu

digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak

perkotaan dan kegiatannya adalah perdagangan dan

kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang hubungan Islam

melayu diperoleh dari makam-makam kuno bertulis huruf

Arab dan huruf Melayu tentang ketokohan raja-raja atau

sultan melayu di berbagai wilayah nusantara. Fenomena

yang merupakan usaha legitimasi raja-raja melayu Islam ini

memberikan indikasi bahwa Islam telah menjadi bagian

dari kehidupan masyarakat melayu.386

Terlebih dengan lahirnya aturan yang memberikan

legitimasi yang kuat terhadap berlakunya adat pada

masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang-

undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa

daerah eksekutif maupun legislatif mendesain model

peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal. Putusan yang

lahir melalui musyawarah tali tiga sepilin dinilai bijak dan

adil demi meminimalisir konflik lanjutan dari korban

maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat

kesadaran dan kebersamaan. Lembaga-lembaga sosial

seperti lembaga pendidikan maupun agama menjadi sarana

strategis sekaligus mesin epektif dalam menjalankan

operasi penundukan tersebut.

Hal ini menjadikan kesadaran yang terbangun tidak

lebih sebagai kontrol simbolik terhadap kemungkinan

penyelewengan ataupun pengingkaran terhadap dominasi

kekuasaan. Aspek kritis yang berada dalam sistem kognitif

individu, sosial, maupun kolektif diredam, dan dibatasi

sehingga seolah-olah setiap pernyataan kritis yang bersifat

evaluatif terhadap kekuasaan menjadi asing dan kehilangan

maknanya. Hegemoni yang dilakukan kekuasaan telah

meniadakan kreativitas berpikir yang berwujud pada sikap

kritis menjadi sekedar pernyataan dan tindakan tanpa

pengaruh, karena tidak sesuai dengan nilai, carapikir yang

dipahami bersama yang sebenarnya ilusif.

disampaikan pada Musyawarah Besar VI Lembaga Adat Melayu,

Pekanbaru: 14 Februari 2012. 386Clifford Geertz, Local Knowledge, Further Essays in Interpretive

Anthropology, (New York, Basic Books. Inc. Publisher, 1983), 98.

Page 246: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

237

Contoh konkret yang bisa dilihat disini mulai

memudarnya kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air

dan pelbagai hasilnya karena adanya dorongan yang kuat

dari kapitalisme global. Akibatnya, terasa lebih bangga

menjadi konsumen barang-barang impor daripada tampil

sebagai bangsa yang memproduksi atau menggunakan

produk-produk dalam negeri. Selain itu ada dorongan untuk

tampil lebih percaya diri bila mengikuti icon-icon budaya

populer dalam berpakaian, berkomunikasi dibandingkan

tampil apa adanya serta bicara dengan bahasa resmi dan

sewajarnya.

Selain itu, rasa asketis berlebihan terhadap suatu

nilai keyakinan yang dipercayai dengan membedakan diri

dari yang lain melalui simbol yang dikenakan, seolah-olah

menjalankan misi suci (mission sacre) namun tetap

terindividualisasikan, terlepas dari tanggungjawab

sosialnya bahwa persoalan kemiskinan, menegakkan

kemashalatan bagi orang banyak seolah-olah bukan

tanggungjawabnya, meskipun setiap keyakinan

mengharuskan para pengikut-pengikutnya untuk

merealisasikan kewajiban-kewajiban sosial tersebut. Dalam

kaitan politik, kekuasaan tiga unsur yang berada pada

tingkat terendah dalam struktur pemerintahan yaitu

pemerintahan desa dalam setiap wilayah di daerah Jambi,

disimbolkan dengan kekuasaan tiga tali sepilin. Tiga

kekuasaan yang terdiri dari; pemerintahan desa desa,

pegawai syarak dan pemangku adat.

Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan

pelembagaan (institusionalisasi), diawali oleh proses

eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga

terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian

menghasilkan pembiasaan (habitus). Habitus yang

berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi.

Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke

generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah terdapat

peranan tokoh agama dan adat di dalam tatanan

kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan

pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman

tersebut. Artinya, mempresentasikan tatanan kelembagaan

Page 247: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

238

atau lebih jelasnya; pelaksanaan peran sebagai representasi

diri sendiri. Peran dalam mempresentasikan suatu

keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya

peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor

hukum.387

Pemerintahan yang mengaplikasikan sistem

pemerintahan model tiga tali sepilin dinilai kuat dalam

upaya meminimalisir konplik vertikal maupun horizontal.

Terlebih dengan lahirnya undang-undang yang memberikan

legitimasi yang kuat terhadap berlakunya hukum adat pada

masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang-

undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa

daerah eksekutif maupun legislatif mendesain model

peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal. Putusan yang

lahir melalui musyawarah tali tiga sepilin dinilai bijak dan

adil demi meminimalisir konplik lanjutan dari korban

maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat

kesadaran dan kebersamaan. Lembaga-lembaga social

seperti lembaga pendidikan maupun agama menjadi sarana

strategis sekaligus mesin efektif dalam menjalankan operasi

penundukkan tersebut.

Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai kearifan lokal

(local wisdom) merupakan fenomena menarik di berbagai

daerah Indonesia, yang berpijak pada norma agama dan

adat. Dalam konteks kesatuan masyarakat Melayu,

umumnya norma adat dikonsepsi dalam kepaduan dengan

norma agama, yaitu Islam. Maka falsafah ―Adat bersendi

387Sebagian daerah mengeluarkan peraturan daerah secara parsial

untuk tema-tema tertentu, namun ada juga yang membuat kebijakan

reinvensi nilai-nilai lokal sebagai sebuah sistem adat seperti masa lalu.

Pendekatan yang digunakan masing-masing daerah juga berbeda, antara

pendekatan struktural dan pendekatan substansial. Contoh pendekatan

struktural yang cukup fenomenal dalam mengembalikan sistem adat di

Era Reformasi sebagaimana di Sumatera Barat melalui Gerakan Kembali

ke Nagari-nya. Pada tahun 2000, dua tahun setelah reformasi, Sumatera

Barat segera meresmikan kembalinya sistem pemerintahan Nagari di

Sumatera Barat melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan

Pokok Pemerintahan Nagari. Pendekatan struktural yang digunakan

karena gerakan ini lebih menonjolkan pada pengaktifan kembali struktur

adat, ketimbang mengawalinya dengan penanaman kembali nilai-nilai

adat (tradisi).

Page 248: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

239

syarak, Syarak bersendi kitabullah‖ yang berarti adat

berdasarkan syariat dan syariat berdasarkan Kitabullah (al-

Qur‘an), tidak asing bagi masyarakat Melayu Jambi.

Upaya-upaya sejenis juga terjadi di Provinsi Jambi,

sebagaimana diuraikan di atas karakteristik Melayu-Islam

saat ini mulai tercerabut dari kehidupan masyarakat Jambi.

Realitas sosial dalam kelompok masyarakat, selalu ada

upaya pengendalian sosial (social control) terhadap perilaku

masyarakat. JS Roucek dalam Wulansari mengatakan

pengendalian sosial merupakan seluruh proses baik yang

direncanakan, bersifat mendidik, mengajak bahkan

memaksa warga masyarakat agar patuh pada nilai dan

kaidah kemasyarakatan yang berlaku, dimana menurut

Soekanto proses tersebut dapat dilakukan oleh satu

kelompok terhadap kelompok lainnya.

Upaya-upaya pengendalian sosial seringkali

dikaitkan tidak hanya dengan hukum positif melainkan juga

dengan hukum adat yang mengandung nilai-nilai kearifan

lokal. Sebagai sebuah tatanan nilai yang tumbuh dan

mengakar pada kehidupan masyarakat secara turun-

temurun, hukum adat diyakini memiliki kekuatan kontrol

yang lebih kuat dalam masyarakatnya. Kecenderungan ini

juga terjadi di Provinsi Jambi bahkan sejak awal tahun

1990-an dan semakin masif setelah reformasi yang

semangatnya mengembalikan hak-hak asal-usul daerah.

Studi sejarah memperlihatkan ketika masyarakat

menghadapi kerumitan sosial, ekonomi, politik, konflik

agama, dan lain-lain, banyak bangsa yang menemukan

solusi dari tradisi. Membangun tradisi berarti membangun

seperangkat institusi adat yang pernah berfungsi dalam

memenuhi kebutuhan sosial-politik pada masa tertentu

yang terus-menerus direvisi sesuai dengan perubahan

kebutuhan. Kebudayaan berfungsi sebagai kontrol dan

hampir semua unsur kebudayaan bertranformasi, ada yang

gugur dan munculnya yang baru, meski terkadang yang

gugur dapat muncul kembali dengan interpretasi baru.

Craig J. Calchoon dan AJ Francis menyebutkan ―individu

Page 249: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

240

yang lahir di tengah masyarakat tidak menciptakan

kulturnya sendiri, tetapi dibentuk kultur lingkungannya.388

Secara sosiologis kelembagaan adat tidak hanya

mampu memadukan dua sistem hukum yaitu adat dan

syarak, namun juga berhasil memadukan dua kekuatan

dalam masyarakat Melayu ketika itu yaitu masyarakat

Aristokrat dan Komunal.389 Masyarakat Aristokrat adalah

golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan

terhormat seperti raja dan keturunannya, pejabat kerajaan,

dan pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial.

Sedangkan Masyarakat Komunal adalah kelompok yang

memiliki perasaan atau sentimen bersama berdasarkan

ikatan kedaerahan, loyal, satu darah, dan asal-usul

keturunan, kekerabatan, dan kepercayaan terhadap

keyakinan batin tertentu. Keduanya menyatu dalam satu

institusi yang dikenal dengan kelembagaan adat.

Secara politis, kelembaganaan adat mampu

mengkolaborasikan dua sistem pemerintahan yaitu

Tumenggung dan Perpatih. Pemerintahan yang

mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali

sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konflik

vertikal maupun horizontal. Terlebih dengan lahirnya

undang-undang yang memberikan legitimasi berlakunya

hukum adat pada masyarakat hukum adat di beberapa

daerah dan undang-undang otonomisasi yang memberi

ruang bagi penguasa daerah baik eksekutif maupun

legislatif mendesain model peraturan lokal berdasarkan

kearifan lokal (local wisdom). Putusan yang lahir melalui

kerapatan adat dinilai bijak dan adil demi meminimalisir

konflik lanjutan dari korban maupun pelaku, sehingga

ditaati dengan semangat kesadaran dan kebersamaan.

Adapun aspek agama, secara internal keberadaan

kelembagaan adat selama ini mampu menjadi penengah

berbagai persoalan keumatan dan kemasyarakatan bahkan

kenegaraan serta untuk keberlangsungan adat diperlukan

388Craig J. Calchoon and Francis A.J., The Anthropological Study of

Education, (Paris: The Hague Movton Publisher, 1976), 12. 389Yusron Razak, Sosiologi sebuah Pengantar: Tujuan Pemikiran

Sosiologi Perspektif Islam, (Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008), 77.

Page 250: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

241

lembaga yang secara khusus mengelola aturan adat sesuai

tuntutan masyarakat agama maupun masyarakat adat.

Sedangkan secara eksternal pemerintah manapun

membutuhkan kekuatan agama dan kekuatan sosial sebagai

penopang kekuatannya dalam rangka mensukseskan

pembangunan, kedua kekuatan tersebut ada dalam

kelembagaan adat. Dengan demikian, model penyelesaian

kasus politik, sosial dan agama melalui kelembagaan

dianggap ideal karena melibatkan seluruh komponen

refresentasi dari pemerintah, agama dan adat. Meski berada

dalam subordinasi bahkan dominasi, institusi ini terbukti

mampu meredam berbagai konflik vertikal maupun

horizontal.

Lebih jauh, keberadaan sekaligus pengalaman

kelembagaan adat Jambi mampu ―mendamaikan‖ dua

sistem hukum yaitu syarak dengan adat dapat dikatakan

sukses. Meski pada kenyataannya pluralitas hukum rakyat

yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham

partikularisme pada kerajaan Melayu tidaklah mudah

diteruskan pada masa kerajaan Islam Melayu, kolonial,

kemerdekaan hingga saat ini.

Page 251: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

242

8 Penutup

A. Kesimpulan

Berpijak pada uraian mengenai kons truksi syarak dan adat

(mengungkap kuasa simbolik kelembagaan adat Melayu

Jambi), maka ada beberapa poin penting yang menjadi

kesimpulan disertasi ini.

Pertama, proses adaptasi syarak dengan adat di

Jambi berlangsung damai sejak kedatangan Islam,

terjadinya perkawinan dengan penguasa lokal dan integrasi

antar keduanya. Akselerasi perkembangan Islam yang

spektakuler dan merata di seluruh wilayah Jambi

dikarenakan Islam masuk melalui sistem hukum dan sistem

pemerintahan. Syarak sebagai produk hukum yang datang

pasca pembentukan aturan adat beradaptasi dengan budaya

lokal serta kondisi sosial sekitarnya. Syarak dipersepsikan

oleh masyarakat Melayu Jambi sebagai sumber hukum

teologis karena mengandung pesan Allah dan Rasul-Nya,

bersifat universal, absolut, dan abadi. Sementara adat

sebagai pola tutur, pola pikir dan pola tindak yang berkaitan

dengan etika, hukum dan kebiasaan yang dilakukan oleh

masyarakat. Oleh karenanya, keduanya dapat diterima

sebagai aturan yang menjadi pegangan masyarakat Melayu

Jambi hingga saat ini, meskipun dalam penerapannya

berbeda berdasarkan peta wilayah Barat/Hulu dan Timur

Hilir.

Kedua, sistem hukum dan sistem pemerintahan yang

dikonstruksi dan dipraktikkan oleh masyarakat Melayu

Jambi pada awalnya dipengaruhi oleh Islam dan adat lokal,

atas gagasan Ahmad Kamil keduanya dinegosiasikan

sedemikian rupa melalui dua kali Rapat Besar Adat (RBA)

melalui konvensi sebagaimana tertuang dalam adagium

―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah dan

Page 252: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

243

Undang datang dari Hulu, Teliti dari Hilir― sehingga

lahirlah konfigurasi hukum dan pemerintahan baru yaitu

Undang Adat Jambi dan Pemerintahan Adat Melayu Jambi.

Sejak saat itu tugas memverifikasi, memodifikasi dan

memproduksi hukum dibebankan kepada kelembagaan

adat, yang berganti nama mulai dari kerapatan adat,

lembaga adat Provinsi Jambi dan lembaga adat Melayu

Jambi, perubahan nama tersebut berimplikasi pada

perubahan nomenklatur. Upaya unifikasi sistem hukum dan

sistem pemerintahan melalui kelembagaan adat secara

substantif tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam.

Ketiga, kelembagaan adat Melayu Jambi

merepresentasikan kepentingan politik, agama dan adat

sebagai penyedia modal politik, religius dan kultural yang

memungkinkannya menjadi arena subordinasi kuasa antar

kelompok di dalam atau di luarnya untuk memperebutkan

legitimasi, posisi dan disposisi dengan mensubordinasi

kelompok lain sehingga menjadi habitus. Meskipun

subordinasi tersebut ini tidak melahirkan konflik seperti

terjadi di daerah lain, yang terjadi justru hanya hegemoni

atau dominasi.

Keempat, kelembagaan adat sejak awal merupakan

institusi yang sangat berjasa dalam membumikan syarak

dan memadukan syarak dengan adat dan hinggga saat ini

menjadi patron masyarakat Melayu Jambi karena dianggap

mampu memenuhi rasa nyaman dan rasa keadilan

masyarakat dalam penyelesaian kasus hukum (perdata dan

pidana), sosial dan agama. Selain itu, kelembagaan adat

diakui sebagai institusi non-formal yang memproduksi dan

mereproduksi hukum meski ada institusi lain yang

menangani persoalan yang sama sekaligus menjadi salah

satu alasan dapat menjadi potret ideal bagi daerah maupun

pusat dalam menyelesaikan persoalan kekinian bidang

agama, sosial, politik, dan budaya yang dihadapi bangsa ini.

Page 253: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

244

B. Implikasi

Ada beberapa implikasi dari kesimpulan sebagaimana di

atas. Pertama, pembentukan teks hukum dalam konteks apa

pun tentunya tidak terlepas dari kondisi dan keinginan dari

penguasa, kelompok tertentu (agama/adat) atau masyarakat

yang berkepentingan secara politis, sosial dan agamis

dengan eksistensi hukum tersebut. Dengan kata lain,

muatan teks, nilai atau konstruksi hukum yang lahir

ditentukan oleh seberapa besar power, kebijakan, dan

pengaruh kelompok yang menginginkan hukum itu

terbentuk. Kedua, hukum tetap berlaku selama adresat

hukum (user) merasa masih nyaman dan perlu

mempertahankannya. Ketiga, eksistensi kelembagaan

dianggap penting meski perlu mereformulasi paradigmanya

untuk disesuaikan dengan kepentingan stakeholders yang

menaungi berbagai kepentingan tanpa sekat aliran, eknik

dan agama sehingga dapat berlaku universal. Keempat,

perlu reformulasi nomenklatur pegawai syarak agar

produksi dan reproduksi hukum sejalan dengan prinsip

syariat Islam. Kelima, bagi para pakar sejarah dan sosiologi,

disertasi ini memberi refleksi betapa konstruksi hukum

adalah bagian inheren kekuasaan dan peristiwa masa lalu

serta selalu berada dalam setiap hierarki sosial masyarakat.

C. Rekomendasi

Buku ini tentu saja tidak lepas dari berbagai kelemahan

teoretis dan empiris. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi

yang dapat diberikan. Pertama, pemerintah daerah Jambi

perlu mengkaji dan merekonstruksi paradigma dan

nomenklatur aturan adat yang merupakan warisan

penguasa, ulama dan tokoh adat terdahulu untuk

disesuaikan dengan kondisi saat ini sehingga mendapat

legalisasi dan berkontribusi terhadap hukum lokal maupun

nasional.

Kedua, eksistensi kelembagaan adat dapat dijadikan

prototipe kepemimpinan dan penyelesaian kasus serta

sampai kapanpun dipandang penting bahkan amat penting

sebagai perekat kepentingan tiga tali sepilin yaitu penguasa,

Page 254: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

245

agama dan adat. Selain itu, sebagai perekat dari sekat etnik,

agama, budaya agar bangsa Indonesaia terhindar dari

kemungkinan disintegrasi.

Ketiga, dibutuhkan studi lebih lanjut terhadap

konstruksi politik dalam memproduksi dan mereproduksi

adat dan syarak di Jambi dengan lokasi penelitian yang

jauh lebih luas dibanding yang sudah dilakukan buku ini.

Keempat, diharapkan muncul suatu riset yang berusaha

melihat relasi kuasa bukan hanya di level kelembagaan

adat, tetapi juga di level pemerintahan pusat dan penguasa-

penguasa grassroot, seperti kepala dusun, kepala desa, atau

di beberapa komunitas agama dan adat.

Page 255: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

246

Daftar Pustaka

Tim Penyusun Kemenag RI. al-Qur‘an dan Terjemahnya.

Jakarta: Binbaga Islam, 1990.

‗Ullah, Muhammed. The Muslim Law of Marriage. New

Delhi: Kitab Bhavan, 1986.

A.A. Fyzee. Outlines of Muhammadan Law. London: Oxford

University Press, 1949.

Abdi, Fathuddin, dkk.. Undang-undang Adat Batanghari.

Muara Bulian: Lembaga Adat Melayu Batanghari,

2010.

Abdillah, Masykuri. ―Kiprah Ulama dalam Kehidupan

Masyarakat dan Negara Dewasa ini‖, dalam Mimbar

Agama dan Budaya. Jakarta, IAIN Syarif

Hidayatullah, 1999.

Abdullah, M. Amin. ―al-Ta‘wiîl al-‗Ilm: Ke Arah Perubahan

Paradigma Penafsiran Kitab Suci‖ Jurnal Al-

Jami‘ah, Vol. 39 No. 2 July-Desember 2001, 379-386.

Abdullah, Raden. Kenang-kenangan Jambi nan Betuah.

Jambi: ttp., 1970.

Abdullah, Sulaiman. Agama dan Adat Masyarakat Jambi.

Jambi: LAM Jambi, 2010.

Abdullah, Taufik. ―Adat and Islam: An Examination of

Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesia, Volume

2 Oktober 1966.

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan

Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1987.

Abdurrahman, Dudung. ―Metode Penelitian Sejarah‖.

Jakarta: Logos, 1999.

Abid, M. Husnul. ―Kontestasi Kemelayuan: Islam

Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas

Melayu Jambi‖, dalam Muhammad Iqbal Ahnaf

Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia

Kontesatasi dan Koeksistensi. Yogyakarta: Center for

Religious and Cross-cultural Studies/CRCS UGM,

2015.

Page 256: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

247

Abu Husain. al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-

Kutub al-Alamiyah, 1975.

Ahmad, Imam. Hadis No-23064.Beirut: ar-Risalah, t.th.

Al-Amidi, Saifuddin. al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Kairo:

Muassasah al-Halabî, 1967, I.

Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh Shahih al-

Bukhârî. V. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Al-Attas, Naguib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan

Melayu. Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan

Melayu, 1972.

Al-Bâjûri, Ibrâhîm. Hâsyiah al-Bâjûrî. Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-

Turâs| al-‗Arabi, 1426 H, II.

Al-Bukhari, Imam. Shahîh al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Fikr,

1981.

al-Bukhari. Imam. Al-Jami‘ ash-Shahîh. hadis No 5142. VII.

Kairo: Mathba‘ah as-Salafiyah, t.th.

Al-Fikri, Albert. Diskursus Hukum Kewarisan ‗an-tarâd}in

(Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik

dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun,

Provinsi Jambi), 2015.

Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Musytaşfâ fi ‗Ilm al-Ushûl, I.

Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1983.

Al-Hadrami, ‗Abd ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun.

Muqaddimah, terj. Ahmadie, cet-10. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2011.

Ali Haidar. Durar al-Hukkâm: Syarh al-Majallah al-Ahkâm,

I. Beirut: al-kutub al-‗Alamiyah, t.th.

Ali, Ahmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk

Interpretasi Undang-undang (legisprudence).

Jakarta: Kencana, 2009.

Ali, M. Daud. Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum

di Indonesia. Jakarta: Risalah, 1984.

Ali, M. Daud. Penerapan Hukum Islam dalam Negara

Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum pada

Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, 17 Mei 1995.

Al-Jurjanîy, Ali ibn Muhammad al-Sayyîd al-Syarif. al-

Ta‘rifât. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

Page 257: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

248

Al-Manzur, Ibnu. Lisân al-Arab. Jil. XIII. Beirut: Dar al-

Shadr, t.th.

Al-Muhandis Zakaria Hasyim. al-Mustasyriqîn al-Islâm.

Kairo: Maktabah Darul Ma‘arif, 1965.

Al-Ris, Muhammad Diya al-Din. an-Nazariyyah al-Siyasah

al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-MA‘arif, 1967.

Al-Sarkhisi. Al-Mabsûth. XII. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas;

Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman.

Bandung; Mizan, 1989.

Andaya, Barbara Watson. ―Upstreams and Downstreams in

Early Modern Sumatera‖, dalam The Historian, 57,

III, 1995.

Anonim. Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11

tentang Sumatera Tengah, (Jakarta: Kemenpen RI,

1964).

Anonim. Kementerian Penerangan Republik Indonesia No.

11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954.

Arifin, Bustanul. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka

Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia.

Jakarta: PP IKAHA, 1994.

Arikunto, Suharsimi. Metodologi Penulisan. Jakarta: Rineka

Cipta, 2000.

Arsyad, Kemas. Adat dan Budaya Jambi: Menelisik Akar

Sejarah Jambi. Jambi: Diknas Prov. Jambi, 1995.

Asnawi AB. Kedudukan Adat Dalam Rangka Menunjang

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jambi,

Pemprov Jambi, 2010.

As-San‘ani, Muhammad bin Ismâ‘îl bin al-Amîr al-Yamani.

Subul as-Salâm Syarh Bulûg al-Marâm min Adillah

al-Ahkâm III. Kairo: Dar al-Hadîs, 1428 H.

Asshiddiqie, Jimly. ―Peranan Adat Melayu dalam

Membangun Identitas Budaya dan Upaya

Pembinaan Karakter Bangsa‖ Makalah disampaikan

pada Musyawarah Besar VI Lembaga Adat Melayu,

Pekanbaru: 14 Februari 2012.

As-Suyuti, Jalaluddin. al-Asbâh wa al-Nazâ‘ir fi al-Furû‘.

Semarang: Toha Putra, t.th.

Page 258: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

249

Asy-Syafi‘i, Imam. al-Umm. VI. T. Tp: Dar al-Wafa‘ li al-

Thoba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 2001.

Asy-Syâţibî, Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ. al-Muwâfaqât fî

Uşûl asy-Syarî‘ah, II. Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973.

Azizi, A. Qodri. Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi

Antara Syarakdan Hukum Umum. Yogyakarta:

Gama Media, 2002.

Azra, Azyumardi. ―Historiografi Kontemporer Indonesia‖,

dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Mu‘arif

Ambong (ed), Panggung Sejarah. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1999.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan

Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:

Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di

Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Azra, Azyumardi. ―Kajian Naskah Keagamaan Islamisasi

Nusantara: Penilaian Ulang‖, Jurnal Lektur

Keagamaan Vol.9. No. 1 Juni 2011.

Bafadhal, Syekh HMO., ―Pengungkapan Sejarah Islam di

Indonesia‖, disampaikan pada Pra Seminar

Nasional Masuk dan Berkembangnya Islam di

Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi.

Basarshah, Luckman Sinar. ―Perkembangan Islam di

Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur‖.

http:/www. Kerajaan Nusantara.com/id /kesultanan-

Serdang/article/117-Perkembangan-Islam-di-

Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur.

Diakses tanggal 12 Oktober 2016.

Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama,

Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan,

2005.

Basyari, Azra‘i. Adat Budaya Jambi. Jambi: LAM, 2005.

Basyir, Herman. Mengenal Adat Budaya Bumi Sepucuk

Jambi Sembilan Lurah. Jambi: LAM Provinsi

Jambi, 2005.

Becker, Gary. The Economic Approach To Human Behavior.

Chicago: University of Chicago Press, 1976.

Benda-Beckmann, Keebet Von. „Pluralisme Hukum, Sebuah

Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis―, dalam

Page 259: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

250

Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan

Interdisipliner. Jakarta: Ford Fondation, 2006.

Bierstedt, Robert. ―Power and Progress: Essays on

Sociological Theory‖ (review), American Journal of

Sociology, Vol. 81, No. 4 (Januari, 1976).

Bolo, Andreas Doweng. dkk, Pancasila Kekuatan Pembebas,

(Yogyakarta: Kanisius, 2012).

Bourdieu, Pierre. ―The Forms of Capital‖, terj. dari bahasa

Jerman oleh Richard Nice, dalam J.G. Richardson

(Ed.), Handbook for Theory and Research for the

Sociology of Education. New York: Greenwood

Press, 1986.

Bourdieu, Pierre. Outline of Theory of Practice. England:

Cambridge University Press, 1977.

Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production: Essays

on Art and Literature. Cambridge: Polity Press,

1990, diedit oleh Randal Johnson

Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice, terj. dari bahasa

Prancis oleh Richard Nice. Stanford: Stanford

University Press 1992.

Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the

Judgement of Taste, terj. dari bahasa Prancis oleh

Richard Nice, London: Routledge, 1984.

Bourdieu, Pierre. Handbook for Theory and Research for the

Sociology of Education. New York: Greenwood

Press,1986.

Bourdieu, Pierre dan Wacquant JD.. An Invitation to

Reflexive Sociology. Chicago: University Press, 1992.

Bourdieu, Pierre. Habitus X Modal + Ranah = Praktik, editor

Richard Harker: pengantar Paling Komprehensif

kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, et. al.

Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Van Bruinessen, Martin. Tradisi Menyongsong Masa Depan:

Tradisionalis Radikal. Yogyakarta: LKIS, 1997.

Budiarjo, Miriam. Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia,

1994.

Bungin, Burhan. Analisis Data Penulisan Kualitatif:

Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah

Page 260: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

251

Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2006.

Calchoon, Craig J. and Francis A.J.. The Anthropological

Study of Education. Paris: The Hague Movton

Publisher, 1976.

Carter, April. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta: Rajawali

Press, 1979.

Coulson, N.J.. A History of Islamic Law. Edinburgh:

Edinburgh University Press, 1971.

Danandjaja, James. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka

Grafiti pers, 2002.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang

Pandangan Hidup Kyai. Cet. VI. Jakarta, LP3ES,

1994.

Dilogo, Ngebi Sutho. Alih Aksara dan Kajian Naskah

Silsilah Raja Jambi, Undang-Undang, Piagam dan

Cerita Rakyat Jambi, terj. Syamawi Darahim

et.al..Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Provinsi Jambi, 2005.

Djatmika, Rahmat. ―Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia‖,

dalam Abdurrahman Wahid, et., al, Kontroversi

Pemikiran Islam di Indonesia. Cet. I.Bandung,

Remaja Rosdakarya, 1991.

Dokumentasi Madrasah Nurul Iman, Nurul Islam,

Jauharain, dan Sa‘adatud Darain 2015.

Dutton, Yasin. Malik‘s Use of the Qur‘an in the Muwatha‘,

terj. oleh Dedi Junaedi, dengan judul: Sunnah,

Hadits dan Amal Penduduk Madinah. Jakarta:

Akademika Presindo, 1996.

El-Awa, Mohammed S.. The Place of Custom (‗Urf) in Islamic

Legal Theory. Indiana Polis: American Trust

Publications, 1973.

Elwa, Muhammad S.. On Political System of Islam. London:

Edinburg, 1983.

Eriyanto. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS, 2006.

Fahmi SY. Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika

Masyarakat Melayu Jambi. Ciputat: Pustaka

Kompas, 2014.

Page 261: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

252

Fauzi, Fashri. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol.

Yogyakarta: Jalasutra, 2014.

Fyzee, A.A. The Outlines of Muhammadan Law. Delhi:

Idarah-I Adabiyat-I, 1981.

Foucault, Michel. Discipline and Punish; The Birth of the

Prison. Pantheon: Penguin Book, 1975.

Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. London:

Tavistock,1972.

Gajahnata, K.H.O.. Masuk dan Berkembangnya Islam di

Sumatera Selatan. Jakarta: UI Press, 1996.

Geertz, Clifford. Local Knowledge, Further Essays in

Interpretive Anthropology. New York, Basic Books.

Inc. Publisher, 1983.

Gibb, H.A.R.. Modern Trends In Islam. Chicago: The

University of Chicago, 1972.

Gobee, E. dan C. Adriaanse. Nasihat-nasihat C. Snouck

Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada

Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. XIV

Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in

Islamic Studies (INIS), 1995.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Noto Susanto.

Jakarta, UI Press, 1986.

Hadi, Samsul. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta:

Yayasan Obor, 2007.

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat

Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1992.

Hakimi, Idrus. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di

Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.

Hallaq, Wael B.. The Impossible State: Islam, Politic, and

Modernity‘s Moral Predicament. alih bahasa Akh

Minhaji. Yogyakarta: SUKA-Press, 2015.

Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Panjimas,

1984.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos, 1996.

Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maşlahah fi al-Fiqh

al-Islamîy. Kairo: Dar al-Nahdhah al-‗Arabiyyah.

Hawkes, Terence. Structuralism and Semiotics. Canada:

Routledge, 2003.

Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tinta Mas, 1973.

Page 262: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

253

Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Timtamas,

1986.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‘an

dan Hadith, cet-2, Jakarta: Tintamas Indonesia,

1982.

Hikam, Muhammad A.S.. ―Bahasa dan Politik:

Penghampiran ―Discursive Practice‖, dalam Bahasa

dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde

Baru, Editor Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim.

Bandung : Mizan, 1996.

Hoeven, Cornelis Van Vollen. Het Adatrecht Van

Nederlandsch Indie. Leiden: E.J. Brill, 1928.

Hosen, Ibrahim, Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum

Pidana Islam, dalam Jamal D. Rahman, et. al,

Wacana Baru Fiqih Sosial; 70 Tahun Prof. Ali

Yafie. Bandung: Mizan, 1994, 33.

Hurgronye, Cristian Snouck. Islam di Hindia Belanda, terj.

S. Gunawan, Judul asli tulisan ini De Islam in

Nederlandsch Indie, Terbit dalam ―Groote

Godsdiensten‖., Seri II, No. IX. Jakarta: Bhatara,

1973.

Ian, Pulau Berhala Resmi Milik KEPRI, dalam

www.indopos.co.id, 22 Februari 2013.

Ichtiyanto. ―Pengembangan Teori Berlakunya Hukum lslam

di Indonesia‖, dalam Juhaya S. Praja, Hukum lslam

di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan.

Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.

Jakfar, Idris. Akar Budaya Melayu Jambi. Jambi: Lembaga

Adat Melayu Jambi, 1990.

Jambi dalam Angka 2015.

Khallâf, Abd al-Wahhâb. Masâdir at-Tasyri‗ al-Islâmiy fî Ma

la Nassa Fih. Kairo: Dâr al-Fikr, 1987.

Khallâf, Abd al-Wahhâb. Abd. Wahhab, al-Siyasah al-

Syar‘iyyah, Kairo: Dar al-Ansar, 1977.

Kholif, Muchtar Agus. Kodifikasi Hukum Adat Jambi.

Jambi: Lembaga Adat Melayu (LAM), 2010.

Koesno, M.. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum.

Bandung: Mandar Maju, 1992.

Page 263: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

254

Kuper, Adam dan Jessica. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial.

Edisi II. Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.

Jakarta: Bina Cipta, 1990.

Lakoni, Ibrahim. Adat Kepemimpinan Desa, Kampung,

Dusun, dan Pembangunan Arus Bawah Serta

Peranan Tali Tigo Sepilin. Jambi: Lembaga Adat

Melayu Jambi, 2001.

Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. Power and Society: A

Framework for Political Inquiry. Yale: Yale

University Press, 2014.

Lukito, Ratno. Islamic Law and Adat Encounter: The

Experience of Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.

Lukito, Ratno. Tradisi Hukum Indonesia. Yogyakarta:

Teras, 2008.

M.D., Mansur. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara,

1976.

Ma‘luf, Louis. al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm. Beirut:

Dar al-Masyriq, 1986.

Madjid, A. Wahab. Hukum Adat Dalam Pelaksanaan

Pemerintah di Jambi. Jambi, Lembaga Adat Melayu

Jambi, 1999.

Mahadi. Kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia

Sampai Tahun 1882. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam

Kemenag RI, 1985.

Mahmassani, Sobhi. Falsafat at-Tasyri‘al-Islamîy. Beirut:

Dar al-Kasysyaf, 1952.

Majid, Yusuf. Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau,

Sekarang dan yang Akan Datang. Jambi: Lembaga

Adat Tanah Kota Jambi, 1997.

Malik, Imam. al-Muwaththa‘. II.. Beirut: al-Maktabah al-

Tsaqafiyyah, 1414 H.

Manggis, M. Rasyid. Minangkabau; Sejarah Ringkas dan

Adatnya. Padang: Sri Dharma, 1971.

Marzali, Amri, Adat Categories in Melayu-Nusantaran

Culture, diakses tanggal 20 Januari 2017.

MD, Mahfud. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi.

Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Page 264: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

255

MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES,

1998.

Miles, Mattew B. dan Michael Huberman. Qualitative Data

Analysis: A Source Book of New Methods. London:

Sage Publication, 1994.

Mills, Charles. The Power Elite. London: Oxford University

Press, 1956.

Minhaji, Akh. dalam ―Pemikiran dan Implementasi Hukum

Islam di Indonesia (Teori dan Respon)‖, diakses

tanggal 25 April 2016.

Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori,

Metodologi dan Implementasi. Yogyakarta: Sunan

Kalijaga Press, 2013.

Minhaji, Akh. Hukum Islam antara Sakralitas dan

Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), dalam Pidato

Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syari‘ah

UIN Sunan Kalijaga, 25 September 2004.

Mu‘ammar, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan. Studi Islam

Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta: IRCiSoD,

2013.

Mubarak, Jaiz. Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang

Qaul Qadîm dan Qaul Jadîd. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2002.

Mudzhar, M. Atho‘. ―Pendekatan Sosiologi dalam Studi

Hukum Islam‖, dalam M. Amin Abdullah (ed),

Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai

Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Mudzhar, M. Atho‘. Pendekatan Studi Islam dalam Teori

dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998.

Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat, Suatu

Pengantar. Jakarta: Pradya Paramita, 1997.

Muhammad, Husein. ―Kontekstualisasi Kitab Kuning;

Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran‖ dalam

Marzuki Wahid, et. al., Pesantren Masa Depan:

Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren.

Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mulyadi, Lilik. Sistem Hukum Pemeriksaan Perkara Tindak

Pidana Korupsi Dikaji dari Perspektif Yurisprudensi

Page 265: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

256

dan Pergeseran ―kebijakan‖ Mahkamah Agung

Republik Indonesia, diakses tanggal 10 April 2017.

Munir, M. Ied. ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi

Cuci Kampung‖, dalam "The First International

Conference on Jambi Studies": 2013.

Muslim, Imam. Şahîh Muslim, hadis No 2616 (125) juz IV.

Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Muttalib, Jang A.. ―Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa

Gerakan Sosial di Jambi Pada Perempat Pertama

Abad ke 20‖, Prisma, 1980.

N.J. Coulson. A History of Islamic Law. Edinburgh:

Edinburgh University Press, 1971.

Nafis, A.A.. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan

Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press,

1984.

Nasier, Haidar. Atas Nama Agama. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1998.

Naskah fatwa MUI No.05/KP-MUI/II/1992 dan No.01/KP-

MUI/VI/2005

Nasrun. Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem

Sosial Di Indonesia. Yogyakarta: Fak. Sospol UGM,

1974.

Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:

Akademia Tazaffa, 2009.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2012.

Nawawi. Hukum Adat Jambi. Jambi: LAM Kota Jambi,

2005.

Nawawi, Imam. al-Majmu‘: Syarh al-Muhazzab, XXII.

Jedah: Maktabah al-Irsyad, t.th.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta:

Ekalia, 1988.

Noer, Junaidi T. Mencari Jejak Sangkala Mencari Jejak

Sangkala; Mengirik Pernak Pernik Sejarah Jambi.

Jambi: Jambi Heritage, 2007.

Noer, Junaidi T. ―Sekilas tentang Sejarah dan

Peradaban/Kebudayaan Islam di Provinsi Jambi‖,

Makalah, Silaturahim Peradaban Islam Festival

Maulid Nusantara 1431 di Palu-Sulawesi Tengah.

Page 266: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

257

Notosusanto. Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan

Agama di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada,

1963.

Peorwadarminta, W.J.S.. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta, Pustaka Pelajar, 1991.

Praja, S. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek.

Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Qurtubi. al-Jami‘ al-Ahkâm al-Qur‘ân, Juz VII. Kairo: Dar

al-Kitab al-Arabiy, 1967.

Raditya, Iswara N.. Menyoal (Kembali)―Dwitunggal‖, Islam

dan Melayu Sedunia, Diakses 20 September 2016.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1995.

Raharjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis

Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta:

Kompas, 2007.

Rahman, Subhan MA. Pergulatan Wacana al-Qur'an

Bergambar, dalam Laporan Penelitian Individual

Pusat Penulisan IAIN STS Jambi tahun 2007.

Rais, Amin. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta.

Bandung: Mizan, 1987.

Ramayulis. ―Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘-

Syara‘ Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat

Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama

dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau

– Sumatera Barat), diakses tanggal 21 Januari 2017.

Ramulyo, Mohd. Idris. Asas-Asas Hukum Islam Sejarah

Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum

Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Cet. 1.

Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Razak, Yusron. Sosiologi sebuah Pengantar: Tujuan

Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Tangerang:

Mitra Sejahtera, 2008.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma

Ganda, terj. Ali Mandan. Jakarta: Rajagrafindo

Persada 2014.

Rodee, Carlton Clymer dkk.. Intoducton to Political Science,

terj. Zulkiply Hamid. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 1995.

Page 267: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

258

Roger, Simon. Gramsci‘s Political Thought, terj. Kamdani

dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2014.

Ruslan, Ahmad. Shofwa al-Zubâd. Madinah: t.tp., 1417 H.

Sagala, Irma. ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model

Pemerintahan Adat Tiga tali sepilin di Provinsi

Jambi Pasca Reformasi‖, dalam The First

International Conference on Jambi Studies: 2013.

Salam, Syamsir. Mencari Ufuk Baru dalam Pengembangan

Masyarakat Jambi, dalam Kertas Kerja pada

Diskusi LPKS tahun 1982.

Salam, Syamsir. Perukunan Tsamaratul Insan Sebagai

Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya

Jambi. Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama

RI, 1979.

Saptenno, M.J.. Menata Kembali Hukum Adat dan

Kelembagaan Adat untuk Kedamaian dan

Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat, diakses

tanggal 10 Januari 2017.

Saudagar, Fahruddin. ―Sejarah Adat Budaya Melayu

Jambi‖, makalah disampaikan pada seminar

Mengungkap Cikal Bakal Adat Budaya Melayu

Jambi, 2014

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law. Oxford:

The Clarendon Press, 1964.

Schacht, Joseph. Origin and Development of Islamic Law.

Washington: The Middle East, 1955.

Scholten, Elisabeth Locher. Sumatran Sultanate and

Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch

Imperialism 1830-1907, terj. the Dutch by Beverley

Jackson. USA: Conell SEAP, 2004.

Sembiring, Rosnidar. Kedudukan Hukum Adat dalam Era

Reformasi, diakses tanggal 5 Januari 2016.

Sobur, Abdul Kadir. Teologi Progresif: Mengungkap Corak

Teologi dan Doktrim Aqidah Masyarakat Melayu.

disertasi 2012.

Soekanto. Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Suatu

Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat.

Jakarta: Rajawali Press, 1981.

Page 268: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

259

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja

Grafindo, 2001.

Shiddieqy, Nouruzzaman. Fiqih Indonesia Penggagas dan

Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, 65.

Sudiyat, Imam. Asas-asas Hukum: Bekal Pengantar.

Yogyakarta: Liberty, 1981.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum

(Teori dan Praktek). Bandung: Remaja Rosdakarya,

1997.

Sunarso, Ali dan Mochlasin Sofyan. Islam Doktrin dan

Konteks; Studi Islam Komprehensif. Yogyakarta:

Yayasan Ummul Qur‘an, 2006.

Sunny, Ismail. ―Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia,‖ dalam Bustanul Arifin,

Prospek Hukum Islam dalam Kerangka

Pembangunan Hukum Nasio nal di Indonesia.

Sunny, Ismail. Hukum Islam dalam Hukum Nasional.

Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987.

Suryadinata, Leo, dkk. Indonesia‘s Population: Ethnicity and

Religion in a Changing Political Landscape.

Singapura: ISEAS, 2013.

Syah, Abdullah. Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum

Adat Dalam Kewarisan Melayu. Bandung: Cita

Pustaka Media, 2009.

Syalabi, Ahmad. Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islamîy. Beirut: Dâr al-

Fikr, t.th.

Syalabi, Muhammad Mustafa. Uşûl al-Fiqh al-Islamîy.

Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1986.

Syaltût, Mahmûd. Aqîdah wa al-Syarî‘ah. Kairo: Dâr al-

Qalam, T.Th.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Syam, Sri Purnama. ―Seni dan Budaya Melayu Jambi‖,

makalah disampaikan pada seminar Menggali

Warisan Negeri Melayu Jambi, tanggal 10 Mei 2014.

Syarbini, Khotib. Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat al-Fadh al-

Minhaj, III. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana,

2003.

Page 269: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

260

Taimiyah, Ibnu. al-Siyâsah al-Syar‘iyyah. Kairo: Dâr al-

Kutub al-'Arabi, 1952.

Taimiyah, Ibnu. Majmu‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad

Ibnu Taimiyah. Jilid XXVIII, disunting oleh

Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim. Riyadh:

Mathba‘ al-Riyadh, 1963.

Taj, Abd. al-Rahman, al-Siyasah al-Syar‘iyyah wa al-Fiqh

al-Islamiy, Mesir: Matba‘ah Dar al-Ta‘lif, 1953.

Tanya, Bernard L. dkk.. Teori Hukum: Strategi Tertib

Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta:

Genta Publishing, 2013.

Tasman, Aulia. Memahami Adat Lamo di Wilayah Jambi,

makalah dalam "Seminar Adat Melayu Jambi",

2014.

Tasman, Aulian. Membongkar Adat Lamo Pusako Usang,

diakses tanggal 6 Juni 2016.

Thalaby, Ismail. ―Adat Sakti Alam Kerinci dan

Akulturasinya dengan Hukum Islam‖, Disertasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.

Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario. Jakarta: Akademika,

1980.

Tim Penyusun. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja

Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.

Unais, Ibrahim. Mu‘jam al-Wasith. Mesir: Majma‘ al-Lughah

al-Arabiyyah, 1972.

Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis:Posisi Hukum dalam

Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri

Widowatie. Bandung: Nusa Media, cet. IV, 2010.

Usman, Rachmadi. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar

Grafika, 2012.

Utrecht, E. dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar Dalam

Hukum Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1989.

Vonius, Leena A., dan Sehat Ihsan Shadiqin. "Revitalisasi

Adat di Indonesia dan Aceh", dalam Leena Avonius

dan Sehat lhsan Shadiqin, (ed.), Adat dalam

Dinamika Politik Aceh, Banda Aceh: ICAIOS dan

ARTI, 2010.

Wahyuni, Sri. ―Pengaruh Hukum Barat dalam

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-

Page 270: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

261

Negara Muslim‖, dalam Akh Minhaji, et., al.,

Antologi Hukum Islam. Yogyakarta: PPs UIN Sunan

Kalijaga, 2015.

Weber, Max.. The City Transleted and Edited By Don

Mardinal and Getrud Neurith. New York: The free

Press, 1966.

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. New

York: Sage Pub., 2002.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Azas-azas Hukum

Adat. Jakarta: Masagung, 1982.

Wignodipuro, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum

Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1985.

Wiranata, I Gede Ab.. Hukum Adat di Indonesia. Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2005.

Yaswirman. Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek

Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat

Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2011.

Yuliatin. ―Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi

Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota

Jambi)‖, Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2014.

Yusrizal, Muhammad. Pola Sistem Pemerintahan Melayu.

Diakses 20 September 2016.

Zahrah, Muhammad Abû. Uşûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Fikr

al-‗Arabî, 1958.

Zakariyâ Sabrî. Maşâdir al-Ahkâm al-Islâmîy. Kairo:

Kulliyah al-Huqûq Jâmi'ah al-Qâhirah, 1973.

Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Fiqh al-Islamîy fi Tsaubih al-

Jadîd: al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, Cet. X. Damsiq:

Tharbin, 1968.

Znoj, Heinzpeter. ―Sons versus Nephews: A Highland

Jambi Alliance at War with the British East India

Company, ca. 1800‖, dalam Indonesia, 97, 1998.

Zoelva, Hamdan. ―Eksistensi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) dalam Bingkai Kenegaraan‖,

disampaikan pada seminar Nasional IAIN STS

Jambi, 10 Mei 2016.

Page 271: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

262

Zuhri, Saifuddin. ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di

Dusun Kasuran, Seyegan, Sleman‖. Disertasi. UGM

Yogyakarta, 2015.

Media dan Sumber Internet

Harian Jambi Independen, 8 Januari 2015.

―Lima Daerah Terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan

Belanda‖, diakses tanggal 10 Juli 2016.

―Sistem Perundangan Kerajaan Melayu, diakses tanggal 25

Januari 2017.

Detik News, Jumat (29/10/2010)

Wawancara

Wakil Gubernur Jambi.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Provinsi Jambi.

Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jambi dan

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi.

Ketua Ikatan Tarbiah Islamiyah Provinsi Jambi.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi.

Ketua Lembaga Adat (LAM) Kota Jambi.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Sarolangun.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jambi.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Batanghari.

Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Muara Sabak.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Jambi.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten

Batanghari.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten

Sarolangun.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Muara

Sabak.

Ka-Kan Kemenag Kota Jambi.

Ka-Kan Kemenag Kabupaten Batanghari.

Ka-Kan Kemenag Kabupaten Sarolangun.

Ka-Kan Kemenag Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Sekretaris MUI Kota Jambi.

Page 272: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …

263

Tokoh Masyarakat Kampung Manggis.

Ketua Adat Desa Rambutan Masam.

Ketua LAM Kecamatan Batin Kabupaten Batanghari Jambi.

Ketua Laskar Melayu (LAMAJA) Jambi.

Ketua Lembaga Adat Desa Rambutan Masam Kabupaten

Batanghari.

Ketua Lembaga Adat Melayu Simpang Rimbo.

Ketua Lembaga Adat Sungai Duren Jambi.

Ketua Pemuda Kelurahan Bagan Pete Kota Baru Jambi.

Keturunan Raja Jambi bergelar Raden Pamuk.

Pegawai Syarak Desa Dusun Aro Kabupaten Batanghari.

Pegawai Syarak Desa Tanjung Kecamatan Bathin VIII

Sarolangun.

Pemangku Adat Desa Kuap.

Pemerhati Adat Jambi.

Penasehat Laskar Melayu Jambi (LAMAJA).

Penasehat Lembaga Adat Melayu Muara Sabak.

Rektor Universitas Batanghari (UNBARI) Jambi.

Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari.

Sekretaris Lembaga Adat Melayu Batanghari.

Tokoh Adat Kota Jambi.

Tokoh Adat Pemayung Batanghari.

Tokoh masyarakat Jambi.

Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Jambi.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sarolangun.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Tanjung

Jabung Timur.

Page 273: KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI …