kualitas hidup klien ptrm
DESCRIPTION
Naskah ringkas yang mendeskripsikan kualitas hidup klien PTRMTRANSCRIPT
-
1
GAMBARAN KUALITAS HIDUP KLIEN
PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON
DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR TAHUN 2012
Ismi Adzani, Rita Damayanti
Departemen Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang menggambarkan kualitas hidup klien Program Terapi Rumatan
Metadon di Puskesmas Bogor Timur. Secara umum, temuan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan temuan
pada penelitian lain yang membahas efektivitas PTRM yang dinilai secara subjektif melalui penilaian kualitas hidup
klien PTRM. Persepsi klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur terhadap kualitas hidupnya cenderung positif selama
berada dalam program. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa PTRM berpengaruh pada kualitas hidup
pengguna opiat suntik ke arah yang lebih baik. Hasil penelitian ini menyarankan agar evaluasi rutin pada klien secara
komprehensif perlu lebih ditingkatkan dalam hal: kondisi medis, perilaku berisiko penggunaan Napza, perilaku
seksual berisiko, masalah psikososial dan masalah seksual klien. Sehingga diharapkan PTRM di Puskesmas Bogor
Timur dapat mencapai hasil dan tujuan program secara maksimal.
Abstract
The study was designed to describe the quality of life among clients of Methadone Maintenance Therapy Program in
Community Health Center Bogor Timur. In general, the findings in this study was not much different from the
findings in other studies related to the effectiveness of MMT which was considered subjectively through the
assessment of quality of life for MMT clients. Client's perception of the quality of life in general tend to be positive
while in the program. It captures that MMT effect on the quality of life of opiate users injecting into a better direction.
The results of this study suggest that routine evaluation of a comprehensive among client needs to be improved in
terms of: medical conditions, drug use risk behaviors, sexual risk behaviors, psychosocial and sexual problems. Thus
expected MMT in Community Health Center Bogor Timur can achieve outcomes and objectives of the program to its
full potential.
Keywords: methadone maintenance treatment, quality of life
Pendahuluan
Penyalahgunaan Napza masih menjadi masalah yang
kompleks baik di tingkat global, regional, maupun
nasional. National AIDS Commission (NAC)
menyatakan Indonesia sebagai negara dengan epidemi
terkonsentrasi HIV/AIDS, salah satu kasus yang
paling cepat berkembang di Asia dengan infeksi
rendah diantara populasi umum (0,16%) dan tingkat
tinggi diantara Penasun (52%).1 Survei Nasional
Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba yang
dilakukan oleh BNN pada tahun 2011 menyatakan
terdapat sekitar 3,7 sampai 4,7 juta orang di Indonesia
yang menggunakan Narkoba dalam satu tahun
terakhir. Dengan kata lain, 1 dari 45 orang di
Indonesia adalah pemakai narkoba (current users).
Angka tersebut menunjukkan peningkatan prevalensi
penyalahgunaan narkoba pada beberapa tahun
terakhir, yaitu dari 1,9% (2008) menjadi 2,2%.2
Salah satu dampak nyata penyalahgunaan Napza
dalam aspek kesehatan adalah perkembangan masalah
HIV/AIDS pada subpopulasi Penasun yang semakin
lama semakin mengkhawatirkan baik dari sisi
kuantitatif maupun kualitatif. Hingga saat ini, Penasun
masih termasuk subpopulasi berisiko jalur transmisi
HIV/AIDS terbesar kedua (14%) setelah hubungan
seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual
(50%). Dengan demikian, upaya memutus mata rantai
penularan HIV di kalangan Penasun menjadi sangat
penting. 3
Departemen Kesehatan RI dalam Rencana Strategis
Departemen Kesehatan (2003) menyebutkan bahwa
program harm reduction menjadi salah satu program
prioritas dan upaya pendekatan yang digunakan dalam
penanggulangan HIV/AIDS. Istilah pengurangan
dampak Napza (harm reduction) semakin banyak
-
2
digunakan ketika pola penularan HIV/AIDS bergeser
dari faktor penularan melalui perilaku seksual
berpindah ke perilaku penggunaan jarum suntik yang
tidak steril.4
Salah satu program harm reduction pada Penasun
adalah terapi substitusi. Terapi substitusi ini hanya
ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida.
Terapi substitusi opioida ini cocok untuk Penasun
yang hard core addict, yaitu pengguna opioida yang
telah bertahun-tahun menggunakan opioida suntik,
mengalami kekambuhan kronis dan berulang kali
menjalani terapi ketergantungan namun tidak berhasil.
Di banyak negara, termasuk sejumlah negara di Asia,
program terapi substitusi yang paling umum adalah
Methadone Maintenance Treatment (MMT), atau di
Indonesia lebih dikenal dengan Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM), yaitu suatu program
rumatan/ pemeliharaan bagi Penasun dengan
memberikan metadon cair dalam bentuk sedian oral
sebagai terapi pengganti adiksi opioida yang biasa
mereka gunakan dibawah supervisi medis yang
berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau
bahkan lebih lama lagi. Pasien yang mengikuti terapi
substitusi tidak memerlukan hospitalisasi (rawat
residensi) jangka panjang. Terapi ini akan berjalan
dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi
dan intervensi perilaku. Tujuan program ini adalah
untuk meminimalisir risiko atau kemungkinan tertular
HIV melalui jarum suntik. 4,5
Di Indonesia, PTRM pertama kali diterapkan pada
tahun 2003-2005 melalui pilot project di Rumah Sakit
Sanglah Bali dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) Jakarta. Suatu studi yang dilakukan Utami
dkk. (2005) untuk mengevaluasi dan melihat sejauh
mana uji coba PTRM tersebut dapat mempengaruhi
kualitas hidup dan perilaku berisiko Penasun yang
mengikuti program tersebut. Sebagian besar klien
PTRM dalam rentang waktu 2003-2005 yang direkrut
dari RSKO jakarta dan RS Sanglah Bali, menunjukkan
perbaikan kualitas hidup, baik dari segi fisik,
psikologi, hubungan sosial, penurunan angka
kriminalitas, penurunan status depresi hingga dapat
kembali menjalankan fungsinya sebagai anggota
masyarakat.4 Melihat keberhasilan tersebut, maka
pencegahan penularan HIV di kalangan Penasun
melalui PTRM di Indonesia terus dikembangkan.
Sampai saat ini tercatat jumlah layanan PTRM di
Indonesia telah mencapai 79 klinik yang tersebar di
sejumlah RS, puskesmas, lapas/ rutan dengan jumlah
pasien aktif sampai dengan Mei 2012 adalah 2.448
orang.3
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
meningkatnya keikutsertaan para Penasun jenis
opioida dalam PTRM ini lebih sering dikaitkan
dengan manfaatnya yang meliputi menurunnya tingkat
mortalitas dan morbiditas akibat infeksi HIV. Tetapi,
keberhasilan suatu program kesehatan tidak semata-
mata dinilai dari indikasi perubahan frekuensi dan
tingkat keparahan penyakit, estimasi kesejahteraan
para peserta program tersebut pun perlu dievaluasi.
Kesejahteraan ini dapat dinilai dengan mengukur
kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan.
Evaluasi terhadap kualitas hidup merupakan
penggambaran dampak program pada kesejahteraan
para peserta program yang merupakan drug users.
Ketergantungan pada opioid merupakan chronical
disorder dengan konsekuensi negatif multifaset baik
jika dilihat dari segi medis, psikologis, maupun sosial.
Sehingga untuk menilai kualitas hidup klien MMT
(Methadone Maintenance Treatment), maka tiap faset
tersebut perlu dikaji secara menyeluruh. Konsep
kualitas hidup yang komprehensif lebih memiliki
konotasi yang positif jika berfokus pada aspek
kesejahteraan dan kepuasan seseorang terhadap
kehidupannya secara menyeluruh. Selama ini
kebanyakan studi tentang drug users masih terfokus
kepada status fungsional tubuh mereka. Pendekatan
holistik terhadap kualitas hidup seperti perhatian
terhadap pengalaman dan harapan mereka belum
banyak digali dalam penelitian terkait penyalahgunaan
Napza. 6
Terapi substitusi metadon ini sebenarnya sudah sangat
intensif diteliti, namun umumnya dilakukan pada
negara-negara maju. Terdapat lebih dari 100 penelitian
randomisasi tentang terapi rumatan opioid dan secara
konsisten melaporkan manfaatnya bagi klien. Namun
di negara berkembang dan negara transisi seperti
Indonesia, hanya beberapa penelitian tentang terapi
metadon yang dilakukan secara konteks kulturalnya.7
Di Kota Bogor, Puskesmas Bogor Timur telah
ditetapkan sebagai salah satu satelit pelayanan PTRM
sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 350/Menkes/SK/VI/ 2008 Tentang
Penetapan Rumah Sakit Pengampu dan Satelit
Program Terapi Rumatan Metadon Serta Pedoman
Program Terapi Rumatan Metadon. Sampai saat ini
jumlah klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur
adalah berjumlah 61 orang. Jumlah tersebut termasuk
cukup besar bila dibandingkan dengan satelit PTRM
lainnya yang ada di Indonesia. Tetapi sampai saat ini
belum ada studi yang menilai efektivitas PTRM di
Puskesmas Bogor Timur. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui gambaran kualitas hidup klien PTRM di
Puskesmas Bogor Timur sebagai salah satu penilaian
dampak positif program tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang
menggunakan rancangan cross-sectional dengan
pendekatan descriptive analytical. Dalam penelitian
ini peneliti memberikan informasi tentang gambaran
kualitas hidup klien PTRM dan variabel lain yang
menunjang penelitian ini seperti: status depresi, fungsi
-
3
seksual, riwayat pemakaian Napza, riwayat
kriminalitas, riwayat perilaku menyutik berisiko dan
riwayat perilaku seksual berisiko. Responden dalam
penelitian ini adalah 50 orang klien aktif PTRM
Puskesmas Bogor Timur yang tercatat di medical
record sampai dengan bulan November 2012 dan
memenuhi kriteria inklusi penelitian. Penelitian ini
dilaksanakan di klinik PTRM Puskesmas Bogor
Timur, PTRM Puskesmas Kedung Badak dan Rumah
Singgah PEKA Bogor selama seminggu yaitu pada
tanggal 15-21 Desember 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kualitas hidup klien PTRM di Puskesmas Bogor
Timur dan gambaran aspek lain yang berkaitan dengan
kualitas hidup klien PTRM di Puskesmas Bogor
Timur.
Kuesioner yang digunakan alam penelitian ini adalah
modifikasi beberapa instrumen yang disesuaikan
dengan kebutuhan penelitian dan karakteristik
responden, antara lain: WHOQOL-Bref (World
Organization of Health Quality of Life - Bref) versi
Bahasa Indonesia untuk mengukur kualitas hidup,
beberapa poin pertanyaan OTI (Opiat Treatment
Index) versi Bahasa Indonesia untuk mengukur
riwayat penggunaan Napza; riwayat kesehatan;
riwayat perilaku seksual berisiko; perilaku menyuntik
berisiko; dan riwayat kriminalitas, IIEF (The
International Index of Erectile Function) untuk
mengukur fungsi seksual pria, FSFI (The Female
Sexual Function Index) untuk mengukur fungsi
seksual wanita, dan Zung SDS (A Self-rating
Depression Scale) untuk mengukur status depresi.
Semua kuesioner diatas adalah kuesioner yang
terstandardisasi dan seringkali digunakan di dalam
penelitain yang terkait dengan Napza di berbagai
negara termasuk Indonesia.
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini
adalah analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan
untuk mendeskripsikan karakteristik tiap variabel yang
diteliti yaitu data demografi dan domain dalam
kualitas hidup yang terdiri dari aspek fisik, psikologis,
sosial dan lingkungan.
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik responden. Tabel 1. menunjukkan
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin,
usia, domisili, status pernikahan, jumlah anak,
pendidikan terakhir, status kerja dan tempat tinggal.
Responden penelitian didominasi oleh pria yaitu
sebanyak 46 orang (92%), rentang usia berkisar antara
27 sampai 57 tahun dengan rata-rata usia 33,72 tahun
(SD=4.802), 94% berasal dari wilayah Bogor, 58%
telah menikah, 42% memiliki 1 orang anak, 48%
menyelesaikan pendidikannya sampai SLTA. 68%
responden mengaku bekerja, dan 52% masih tinggal
bersama orang tua mereka.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
Karakteristik Sosiodemografi
Karakteristik Frekuensi (n=50) %
Jenis kelamin
Pria
Wanita
46
4
92
8
Usia
21-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
>50 tahun
MeanSD =33,724.802
12
36
1
1
24
72
2
2
Domisili
Kota Bogor
Kabupaten Bogor
Luar Kota Bogor
34
13
3
68
26
6
Status pernikahan
Belum menikah
Menikah
Janda
Duda
11
29
3
7
22
58
6
14
Jumlah anak
Tidak punya anak
1
>1
17
21
12
34
42
24
Pendidikan terakhir
SD/sederajat
SLTP/sederajat
SLTA/sederajat
D3/S1
1
2
24
23
2
4
48
46
Status kerja
Tidak bekerja
Part-time
Full-Time
16
18
16
32
36
32
Tinggal dengan/ di
Rumah orang tua
Rumah sendiri
Tidak menetap
Panti rehabilitasi
26
18
4
2
52
36
8
4
Dominasi pria dalam mengikuti PTRM ini dikaitkan
dengan kecenderungan pria dalam penyalahgunaan
Napza. Penggunaan Napza lebih umum pada pria
dibandingkan wanita dihampir segala usia, baik usia
remaja maupun dewasa dan untuk hampir semua jenis
Napza.8 Rata-rata usia klien yang tergolong usia
dewasa pertengahan terkait dengan kriteria klien
PTRM yang direkomendasikan yaitu usia 18 tahun
keatas. Sehingga jarang ditemukan klien yang berusia
remaja, kecuali atas indikasi khusus. Banyaknya klien
yang berdomisili di Bogor dikaitkan dengan
aksesibilitas ke tempat pelayanan. Para Penasun
cenderung mengikuti PTRM di wilayah tempat
tinggalnya walaupun masih ada beberapa klien dari
luar kota. Puskesmas Bogor Timur disediakan sebagai
pelayanan kesehatan bagi Penasun di wilayah lokal
Bogor dimana prevalensi HIV/AIDS dan Penasun
menunjukkan peningkatan secara signifikan (hot spot
-
4
area). Berdasarkan status pernikahan, lebih dari
setengah klien telah menikah dan hampir setengahnya
mempunyai seorang anak. Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata klien mempunyai tanggungan seorang
istri dan seorang anak. Bila dilihat dari sisi sosial,
status menikah klien dapat dikaitkan dengan lebih
tingginya dukungan yang diterima dari keluarga
daripada klien yang belum menikah ataupun klien
dengan status duda/ janda. Berdasarkan tingkat
pendidikan, hampir setengah responden menyelesai-
kan pendidikan terakhirnya di jenjang D3 atau S1, hal
ini menunjukkan bahwa pada umumnya status
pendidikan klien cenderung tinggi. Sebagian besar
responden bekerja, baik full-time maupun part-time.
Status kerja ini menunjukkan bahwa tingkat
produktivitas klien PTRM sudah cukup tinggi.
Riwayat Penggunaan Heroin & Terapi. Median usia
responden saat pertama kali menggunakan heroin
adalah 17 tahun (SD=4,572). Berdasarkan kategori
usia, lebih dari setengah responden mulai memakai
heroin saat berusia antara 15-19 tahun. Sedangkan
median lama responden menggunakan heroin adalah
12 tahun (SD=3,81) dengan rentang tahun pemakaian
heroin terbanyak adalah 5-10 tahun dan 11-15 tahun.
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan
Riwayat Penggunaan Heroin
Karakteristik Frekuensi (n=50) %
Usia pertama kali
menggunakan heroin
10-14 tahun
15-19 tahun
20-24 tahun
25-29 tahun
30 tahun
MedianSD=174,572
6
27
12
2
3
12
54
24
4
6
Lama menggunakan
heroin
< 5 tahun
5-10 tahun
11-15 tahun
>15 tahun
MedianSD=123,81
1
20
20
9
2
40
40
18
Median lama terapi responden adalah 3 tahun dengan
lama terapi terbanyak adalah 1-2 tahun (38%). Rata-
rata dosis metadon responden pada saat ini adalah
135,44 mg (SD=89,583) dengan rentang penggunaan
dosis terbanyak adalah 20-100 mg (44%). Sedangkan
kecenderungan dosis metadon dalam 4 minggu
terakhir cenderung stabil pada 80% responden. Selain
mengikuti terapi metadon, sebanyak 21 orang (42%)
responden juga sedang menjalani terapi ARV
(Antiretroviral). Sebanyak 37 orang (74%) mengetahui
informasi tentang layanan PTRM dari teman mereka.
Hanya 11 orang (22%) yang mengetahui PTRM
melalui promosi petugas kesehatan. Hampir setengah
dari responden yaitu sebanyak 22 orang (48%) merasa
puas dan 7 orang (14%) merasa sangat puas terhadap
pelayanan PTRM di Puskesmas Bogor Timur. Hanya
1 orang (2%) yang menilai pelayanan PTRM di
Puskesmas Bogor Timur tidak memuaskan.
Lama penggunaan Napza terkait dengan tingkat
dependensi seseorang terhadap zat tersebut. Seseorang
yang mulai menggunakan obat-obatan, cenderung
untuk melanjutkan pemakaian jika mereka menyukai
pengalaman yang membuat mereka merasa baik' atau membantu mereka merasa lebih baik daripada
perasaan mereka sebelum memakai obat-obatan
tersebut.8 Hal inilah yang menyebabkan rata-rata lama
penggunaan heroin pada klien PTRM adalah lebih dari
10 tahun. Apabila dilihat dari riwayat terapi, setengah
responden telah mengikuti PTRM dalam rentang 1-4
tahun dan hanya sebagian kecil responden yang baru
memulai terapinya. Retensi klien MMT ini berkaitan
dengan outcome yang positif, terutama dalam hal
mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba dan
peningkatan status kesehatan.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan
Riwayat Terapi
Frekuensi (n=50) %
Lama terapi
metadon
< 6 bulan
6-12 bulan
1-2 tahun
3-4 tahun
5 tahun
MedianSD=31,136
6
6
19
14
5
12
12
38
28
10
Dosis metadon saat
ini
< 20 mg
20-100 mg
101-200 mg
201-300 mg
>300 mg
MeanSD=135,4489,583
1
22
18
6
3
2
44
36
12
6
Kecenderungan
dosis metadon
dalam 4 minggu
terakhir
Naik
Stabil
Turun
8
40
2
16
80
4
Terapi ARV
Ya
Tidak
Tidak diisi
21
24
5
42
48
10
Informasi tentang
PTRM
Promosi Petugas
Kesehatan
Keluarga
Teman
11
2
37
22
4
74
Penilaian terhadap
PTRM
Sangat memuaskan
Memuaskan
Biasa-biasa saja
7
24
18
1
14
48
36
2
-
5
Tidak memuaskan
Hal yang perlu diperhatikan adalah dosis metadon
pada klien yang juga sedang menjalani terapi ARV.
Pada umumnya, baik metadon ataupun ARV tidak
saling mempengaruhi kadar kedua obat tersebut dalam
darah. Tetapi, beberapa jenis ARV dapat berinteraksi
dengan metadon sehingga pemantauan efek dan
penyesuaian dosis sesuai kebutuhan dilakukan oleh
petugas PTRM. Begitu pula halnya yang diterapkan
di Bogor Timur. Rata-rata klien PTRM yang
mengikuti terapi ARV, dinaikkan dosisnya. Hal inilah
yang mempengaruhi rata-rata dosis harian metadon
klien di PTRM Puskesmas Bogor Timur yang
cenderung tinggi yaitu 135,44 mg (SD=89,583) jika
dibandingkan dengan PTRM lain di Jawa Barat
dengan rata-rata dosis harian yang digunakan adalah
79 mg. Sedangkan kecenderungan dosis metadon
dalam 4 minggu terakhir cenderung stabil pada
sebagian besar responden.
Terdapat beberapa saran yang disampaikan klien
melalui pertanyaan terbuka yang terdapat dalam
instrumen penelitian, antara lain: kebijakan Take
Home Dose (THD) yang kurang disesuaikan dengan
kebutuhan klien seperti jadwa kerja mereka. Selain itu,
beberapa responden menganggap perlu adanya
peningkatan pelayanan dan kompetensi petugas sesuai
prosedur pelayanan terapi metadon khususnya
mengenai dosis metadon yang dibutuhkan klien.
Dalam hal waktu pelayanan, beberapa responden
mengharapkan pelayanan yang lebih on time sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan, pemberitahuan
yang jelas tentang jadwal pengambilan obat jika
terdapat hari libur. Dalam hal aksesibilitas, terdapat
responden yang menyarankan pemberian metadon
tanpa dipungut biaya. Saran lainnya adalah responden
mengharapkan dihilangkannya stigma terhadap klien
PTRM oleh para petugas kesehatan di Puskesmas,
karena menurut responden masih ada beberapa
petugas kesehatan yang masih membeda-bedakan
dalam memberikan pelayanan antara pasien umum dan
klien PTRM yang berobat di Puskesmas Bogor Timur.
Sedangkan saran yang ditujukan untuk komunitas
adalah untuk meningkatkan prinsip kekeluargaan di
dalam komunitas, memperbanyak kegiatan
penyuluhan tentang masalah yang berhubungan
dengan terapi metadon, Napza, maupun HIV/AIDS,
pemberdayaan komunitas dan penyaluran kerja bagi
klien PTRM yang belum bekerja. Dari saran yang
dikemukakan oleh responden, dapat terlihat bahwa
responden mempunyai harapan di berbagai aspek
pelayanan dan penerimaan petugas Puskesmas
terhadap kehadiran mereka. Selain itu dapat terlihat
pula antusiasme responden untuk aktif dalam kegiatan
komunitas seperti pengadaan seminar atau penyuluhan
rutin, pemberdayaan klien dan penyaluran kerja. Hal
ini menunjukkan bahwa klien PTRM di Puskesmas
mempunyai kesadaran untuk mengembangkan potensi
dalam dirinya dan meningkatnya produktivitas
diantara mereka.
Kualitas Hidup. Tabel 4. menunjukkan rata-rata skor
tiap aspek yang berhubungan dengan kualitas hidup.
Rentang skor yang digunakan dalam kuesioner adalah
1-5, sesuai dengan teknik skoring kuesioner
WHOQOL-Bref yang terstandardisasi. Semakin besar
skor penilaian, menunjukkan kualitas hidup yang
semakin baik.
Tabel 4. Distribusi Skor Aspek Kualitas Hidup
Responden9
Aspek n=50
Min Max Mean SD
Persepsi terhadap kualitas
hidup secara umum 2 5 3.54 .613
Persepsi terhadap kesehatan
secara umum 1 5 3.28 .730
Kesehatan Fisik
1. Kesakitan & ketidaknyamanan
2. Dependensi terhadap medikasi (bantuan
medis)
3. Energi dan kelelahan 4. Mobilitas 5. Tidur dan istirahat 6. Aktivitas harian 7. Kapasitas kerja
2
1
2
3
1
1
1
5
3
5
5
5
5
5
3.44
2.02
4.16
3.96
2.86
3.28
3.48
.705
.979
.889
.755
.904
.701
.735
Psikologis
1. Afek positif 2. Afek negatif 3. Berpikir, belajar,
konsentrasi
4. Body image 5. Spiritualitas 6. Harga diri
2
1
2
3
3
1
5
5
5
5
5
5
4.24
3.38
3.94
4.42
4.70
3.42
.847
.945
.867
.835
.544
.758
Interaksi Sosial
1. Relasi personal 2. Aktivitas seksual 3. Dukungan sosial
2
1
3
5
5
5
3.46
3.28
3.58
.646
.809
.642
Lingkungan
1. Kebebasan dan keamanan fisik
2. Lingkungan rumah 3. Sumber finansial 4. Kesempatan
mendapatkan informasi
5. Waktu senggang/ kesempatan untuk
rekreasi
6. Lingkungan fisik 7. Pelayanan kesehatan
dan sosial
8. Transportasi
2
1
2
2
1
3
2
1
5
5
5
5
5
5
5
5
4.00
4.28
3.34
3.72
3.44
3.96
3.64
3.44
.833
.991
.872
.927
1.033
.669
.749
.884
-
6
Bila dilihat dari tiap aspek dalam dimensi kualitas
hidup, aspek spiritualitas memiliki rata-rata paling
besar dibandingkan aspek lain yaitu sebesar 4,70
(SD=0,544). Sedangkan aspek dependensi terhadap
medikasi memiliki rata-rata skor paling rendah yaitu
2,02 (SD=0,979), hal ini berkaitan dengan status
seluruh responden yang sedang menjalani terapi
metadon maupun ARV. Pengukuran kualitas hidup
dengan menggunakan instrumen WHOQOL-Bref yang
digunakan dalam penelitian ini hanya menggambarkan
skor pada tiap aspek dan dimensi yang berkaitan
dengan kualitas hidup secara terpisah. Sehingga tidak
ada pengelompokkan tingkat kualitas hidup dari
gabungan skor tiap dimensi. Tabel 5. menunjukkan
jumlah skor yang diperoleh dari tiap aspek yang
dijumlahkan kedalam masing-masing dimensinya dan
kemudian ditransformasikan kedalam skor dalam
rentang 0 sampai dengan 100.
Tabel 5. Distribusi Skor Dimensi Kualitas Hidup
Responden9
Dimensi n=50
Min Max Median SD
Fisik 38 88 63 10,172
Psikologis 44 94 72 9,636
Sosial 44 94 56 12,809
Lingkungan 44 100 69 13,372
Pada tabel 5. terlihat bahwa dimensi psikologis
memiliki memiliki median skor paling besar yaitu 72
(SD=9,430). Kemudian diikuti oleh dimensi
lingkungan dengan median skor 69 (SD=13,372),
dimensi fisik 63 (SD=9.430) dan paling rendah adalah
median skor dimensi sosial yaitu 56 (SD=12,809).
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan,
walaupun dalam penelitian ini tidak dapat disimpulkan
kualitas hidup klien PTRM secara kategorikal, tetapi
apabila dilihat dari transformasi skor, semua median
skor tiap dimensi menunjukkan nilai diatas median
skor. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi klien
PTRM di Puskesmas Bogor Timur terhadap kualitas
hidupnya cenderung positif. Bila dilihat dari masing-
masing dimensi, dimensi psikologis memiliki
memiliki median skor paling besar yaitu 72
(SD=9,430). Kemudian diikuti oleh dimensi
lingkungan dengan median skor 69 (SD=13,372),
dimensi fisik 63 (SD=10,172) dan paling rendah
adalah skor dimensi sosial yaitu 56 (SD=12,809). Hal
ini menggambarkan bahwa dimensi psikologis klien
PTRM dinilai cukup baik dibandingkan dengan
dimensi kualitas hidup lainnya.
Di beberapa penelitian yang menilai kualitas hidup
pada klien terapi metadon dengan menggunakan
instrumen WHOQOL-Bref, dimensi psikologis juga
mempunyai skor yang paling dominan. Walaupun
secara metodologi berbeda, dalam penelitian
prospektif kohort pada klien Methadone Maintenance
Therapy (MMT) di Malaysia mengungkapkan bahwa
domain psikologis menunjukkan peningkatan skor
paling besar pada bulan keenam dan kemudian
berturut-turut dikuti oleh domain fisik, lingkungan dan
sosial.10
Begitupun dua penelitian lainnya yang serupa
juga menunjukkan bahwa hubungan sosial memiliki
peningkatan terkecil di antara domain kualitas hidup
pada klien di program MMT.11,12
Di Indonesia
sendiri, dalam studi untuk mengevaluasi pilot project
PTRM di RS Sanglah Bali dan RSKO Jakarta,
ditemukan bahwa skor psikologis klien PTRM
cenderung meningkat tajam yang dinilai dari awal
terapi, pada bulan ketiga terapi, dan sampai bulan
keenam terapi. Sedangkan dimensi sosial memiliki
rata-rata paling rendah yaitu 60.72 (SD=12,809)
dibandingkan dimensi kualitas hidup lainnya.7 Para
pecandu opioid secara sosial masih dianggap sebagai
komunitas marginalis, sehingga ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa lebih sulit bagi mereka untuk
meningkatkan kualitas hidup pada dimensi sosial
diantara klien terapi substitusi ketergantungan obat
seperti Methadone Maintenance Therapy (MMT).10
Jika pada suatu studi ditemukan bahwa klien MMT
yang positif HIV memiliki skor kualitas hidup lebih
rendah. HIV dan AIDS yang dihubungkan dengan
status kesehatan yang lebih buruk dan depresi
sehingga mungkin tercermin dalam penilaian kualitas
hidup. Dalam studi ini, tidak terlihat bahwa status HIV
dapat mempengaruhi skor tiap domain secara
keseluruhan.13
Seperti halnya sebuah temuan terbaru
oleh yang menunjukkan bahwa status HIV tidak
secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup klien
MMT.14
Berbeda pula dengan suatu penelitian lainnya
yang menemukan bahwa status HIV dikaitkan dengan
perubahan domain psikologis dan lingkungan.10
Dalam
penelitian ini, skor domain psikologis dan lingkungan
tidak rendah walaupun setengah dari responden adalah
ODHA. Hal ini menunjukkan bahwa PTRM dapat
meningkatkan kualitas hidup klien PTRM baik ODHA
maupun bukan ODHA. Hal ini diperkuat dengan
rendahnya responden yang mengalami depresi dalam
penelitian ini.
Riwayat Penyakit & Keluhan Fisik. Pada
pertanyaan tentang riwayat HIV/AIDS, hanya 25
orang (50%) yang menyatakan bahwa dirinya positif
HIV. Setengah responden atau bahkan lebih positif
terinfeksi HIV. Jumlah penderita HIV pada penelitian
ini tidak dapat dipastikan karena beberapa responden
tidak mengisi pertanyaan tentang HIV dengan alasan
privasi. Prevalensi infeksi oportunistik seperti HIV
yang tinggi diantara pengguna opioid suntik berkaitan
dengan penggunaan alat suntik yang tidak steril
maupun perilaku seksual berisiko. Selain menjalani
terapi metadon, para ODHA ini juga menjalani terapi
ARV. Sampai saat ini belum ada bukti bahwa metadon
berbahaya bagi orang yang terinfeksi HIV, justru
metadon dapat memperlambat perkembangan penyakit
HIV. Selain itu mereka akan lebih mudah mengakses
-
7
perawatan dan pengobatan HIV dan memiliki
kepatuhan yang lebih baik terhadap terapi HIV. Hal
yang penting diperhatikan bahwa terdapat beberapa
obat ARV yang berinteraksi dengan metadon,
sehingga pada dokter atau pemberi pelayanan perlu
mengetahui riwayat terkait HIV/AIDS pada klien yang
sedang menjalani terapi ARV untuk menyesuaikan
dosis metadon yang akan diberikan.5
Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan
Riwayat Penyakit
Frekuensi
(n=50) %
HIV-AIDS
Ya
Tidak
Tidak diisi
25
22
3
50
44
6
Hepatitis B
Ya
Tidak
6
44
12
88
Hepatitis C
Ya
Tidak
23
27
46
54
Tingginya rata-rata dosis pemakaian metadon pada
klien PTRM juga dapat dihubungkan dengan terapi
ARV yang sedang dijalani klien selain karena
perbedaan tingkat toleransi terhadap metadon. Infeksi
lain yang banyak dialami oleh Penasun adalah
hepatitis C. Hampir setengahnya yaitu sebanyak 23
orang (46%) menderita Hepatitis C dan sebanyak 6
orang (12%) menderita Hepatitis B. Penularan virus
Hepatitis C ini juga berkaitan dengan penggunaan alat
suntik yang tidak steril seperti transmisi pada HIV.
Hal yang perlu diperhatikan oleh klien program
metadon yang menderita Hepatitis adalah penggunaan
alkohol dapat memperburuk dan mempercepat
kerusakan hati.5
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan
Keluhan Fisik Dalam Empat Minggu Terakhir
Frekuensi %
Konstipasi
Cepat lelah/ kehilangan energi
Nafsu makan buruk
Masalah tidur
Mudah lupa
Pusing
Sakit kepala
(n=50)
35
33
31
31
31
28
25
70
66
62
62
62
56
50
Siklus menstruasi tidak teratur
(n=4)
2
50
Keluhan fisik yang paling sering dialami oleh
sebagian besar klien adalah konstipasi, nafsu makan
yang buruk, masalah tidur, mudah lupa, pusing, sakit
kepala dan siklus menstruasi masih merupakan kondisi
yang wajar karena dihubungkan dengan efek samping
metadon itu sendiri maupun dangan kondisi klien yang
sebagian besar merupakan ODHA dan mengidap
Hepatitis C. Penggunaan zat lain dalam masa terapi
dan status depresi juga dapat dikaitkan dengan
keluhan fisik yang dialami klien. Keluhan fisik ini
bervariasi pada setiap orang tergantung dosis yang
digunakan dan lama terapi.5
Fungsi Seksual. Tabel 8. menunjukan fungsi seksual
pada responden pria dalam 4 minggu terakhir.
Berdasarkan fungsi ereksi, sebanyak 73,9% responden
mengalami disfungsi ereksi, 69,6% responden
mengalami disfungsi orgasme 91,3% responden
mengalami disfungsi libido. Berdasarkan kepuasan
hubungan seksual, sebanyak 78,3% responden
mengalami disfungsi, dan berdasarkan kepuasan
seksual secara umum, 71,7% responden mengalami
ketidakpuasan akan kehidupan seksualnya.
Tabel 8. Distribusi Responden Pria Berdasarkan
Fungsi Seksual Dalam Empat Minggu Terakhir15
Frekuensi
(n=46) %
Ereksi
Disfungsi ereksi berat
Disfungsi ereksi sedang
Disfungsi ereksi ringan-
sedang
Disfungsi ereksi ringan
Normal
9
2
11
12
12
19.6
4.3
23.9
26.1
26.1
Orgasme
Disfungsi berat
Disfungsi sedang
Disfungsi ringan-sedang
Disfungsi ringan
Normal
10
3
14
5
14
21.7
6.5
30.4
10.9
30.4
Hasrat seksual
Disfungsi berat
Disfungsi sedang
Disfungsi ringan-sedang
Disfungsi ringan
Normal
3
3
24
12
4
6.5
6.5
52.2
26.1
8.7
Kepuasan hubungan
seksual
Disfungsi berat
Disfungsi sedang
Disfungsi ringan-sedang
Disfungsi ringan
Normal
11
2
14
9
10
23.9
4.3
30.4
19.6
21.7
Kepuasan seksual
secara umum
Disfungsi berat
Disfungsi sedang
Disfungsi ringan-sedang
Disfungsi ringan
Normal
4
3
11
15
13
8.7
6.5
23.9
32.6
28.3
Banyak penelitian tentang fungsi seksual pada klien
program terapi rumatan metadon. Dan sebagian besar
-
8
hasilnya pun menunjukkan prevalensi yang tinggi
dalam disfungsi seksual. Suatu studi menemukan
bahwa pria dalam yang sedang menjalani program
MMT memiliki prevalensi tinggi mengalami disfungsi
ereksi.16
Studi lain juga menyatakan bahwa pemakaian
metadon sebagai terapi substitusi terkait dengan
disfungsi ereksi. Prevalensi ejakulasi dini juga
dilaporkan hampir 3 kali lebih besar daripada yang
dilaporkan oleh populasi umum pada pasien terapi
metadon. Disfungsi seksual pada klien PTRM ini
dihubungkan dengan dengan efek samping
penggunaan metadon yang menyebabkan kegagalan
pembentukan testis primer yang merupakan penyebab
utama hipogonadisme sehingga menyebabkan fungsi
seksual menurun, faktor usia, tidak adanya pasangan
seksual, penurunan kadar testosteron pada pria yang
menyebabkan penurunan libido, status depresi,
riwayat penggunaan heroin pada partner seks, faktor
psikologis dan sosial dan riwayat HIV.16,17
Suatu studi
menyatakan bahwa diantara efek samping metadon
yang paling banyak dialami oleh peserta program
rumatan metadon, seperti insomnia dan konstipasi,
disfungsi seksual dapat menjadi deal breaker atau sesuatu yang tidak dapat ditolerir oleh klien. Sehingga
disfungsi seksual pada pria dalam terapi metadon
harus dievaluasi apakah disfungsi seksual berdampak
negatif sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Dengan menghentikan terapi metadon, percobaan
pengurangan dosis jangka pendek dapat membantu
masalah ini. Adapun kejadian disfungsi seksual pada
pria klien MMT secara signifikan dikaitkan dengan
beberapa faktor seperti: usia, ada atau tidaknya mitra
seks, status depresi dan faktor lainnya.18
Tabel 9. Distribusi Responden Wanita
Berdasarkan Fungsi Seksual Dalam Empat
Minggu Terakhir19
Frekuensi
(n=4) %
Hasrat seksual
Disfungsi berat
Disfungsi sedang
Disfungsi ringan-sedang
2
1
1
50
25
25
Orgasme
Disfungsi berat 4 100
Lubrikasi
Abstinen 4 100
Nyeri saat berhubungan
seksual
Abstinen 4 100
Kepuasan seksual secara
umum
Disfungsi berat
Disfungsi sedang
1
3
25
75
Tabel 9. menunjukkan fungsi seksual responden
wanita dalam 4 minggu terakhir. Seluruh responden
wanita mengatakan tidak melakukan hubugan seksual
selama 4 minggu terakhir (abstinen). Hal inilah yang
berpengaruh pada beberapa poin penilaian seperti
orgasme, lubrikasi dan nyeri saat berhubungan
seksual. Responden yang tidak melakukan aktivitas
seksual diberi nilai 0 (nol) sehingga berpengaruh pada
penilaian fungsi seksual wanita tersebut. Adanya bias
pun tidak dapat dihindari karena pertanyaan tentang
seksualitas masih dianggap sesuatu yang bersifat
pribadi walaupun pertanyaan yang diajukan adalah
berupa angket yang diisi oleh individu masing-masing.
Hanya poin hasrat seksual dan kepuasan seksual
secara umum yang dapat dinilai. Berdasarkan
penilaian terhadap hasrat seksual, 2 orang responden
(50%) mengalami disfungsi berat, 1 orang (25%)
mengalami disfungsi sedang dan 1 orang lainnya
mengalami disfungsi ringan sampai sedang.
Berdasarkan kepuasan seksual secara umum, 3 orang
(75%) mengalami disfungsi sedang, dan 1 orang
lainnya (25%) mengalami disfungsi berat. Hal ini
dikarenakan seluruh responden wanita abstinen atau
tidak melakukan hubungan seksual selama 4 minggu
terakhir. Hal ini dapat dihubungkan dengan efek
penggunaan metadon pada sistem endokrin yang
menyebabkan perubahan hormon sex pada wanita
(kadar FSH dan LH rendah, peningkatan kadar
prolaktin) sehingga berdampak pada gangguan siklus
menstruasi dan penurunan libido. Penelitian mengenai
disfungsi seksual di antara wanita pada program
metadon pada umumnya lebih sedikit dibandingkan
pria. Seorang peneliti telah merangkum keterkaitan
fungsi seksual wanita dan pria dengan penggunaan
metadon dari berbagai studi. Disfungsi seksual pada
wanita tersebut terkait gangguan dengan produksi
siklik normal LH dan FSH, dan mungkin karena
peningkatan produksi prolaktin. Proses ini
mengganggu hormon yang diperlukan untuk
pemeliharaan siklus menstruasi normal (estrogen,
progesteron) dan untuk libido normal (androgen).
Interferensi dengan hormon seks diduga mengarah
pada tanda-tanda umum dan gejala disfungsi seksual
dan disregulasi hormon pada wanita dengan terapi
metadon. Sehingga menyebabkan penekanan libido
dan oligomenore atau amenore.18
Status Depresi. Status depresi diukur untuk
menunjang penilaian kualitas hidup responden dalam
dimensi psikologis. Berdasarkan status depresi,
hampir tiga perempat atau 74% responden tidak
mengalami depresi. Status depresi ringan pada 26%
responden masih dianggap hal yang lumrah karena
dikaitkan dengan riwayat penyakit HIV dan Hepatitis
responden.
Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan
Status Depresi12
Kategori Frekuensi
(n=50) %
Normal 37 74
Depresi ringan 13 26
-
9
Penggunaan Napza selama terapi juga dikaitkan
dengan kejadian depresi diantara klien PTRM. Dalam
suatu penelitian menyatakan bahwa depresi lazim
terjadi di kalangan mantan pecandu opioid yang
sedang menjalani pengobatan rumatan metadon
(MMT).21
Faktor risiko utama depresi pada klien
MMT adalah perempuan, mengkonsumsi psikotropika,
menggunakan benzodiazepin yang disalahgunakan
maupun yang diresepkan, dan dosis metadon >120 mg
per hari. Dalam konteks HIV/AIDS, depresi sering
diabaikan tetapi berpotensi menjadi kondisi berbahaya
yang dapat mempengaruhi tidak hanya kualitas hidup,
hubungan sosial, pekerjaan, dan kepatuhan terhadap
perawatan medis, tetapi mungkin juga kelangsungan
hidup. Adapun prevalensi depresi diantara ODHA
dapat mencapai 60%. Depresi dikaitkan dengan hidup
yang terisolir dari lingkungan, tidak adanya
kesenangan, gangguan sosial dan vokasional.22
Hal ini
dapat pula menjelaskan rendahnya skor dimensi sosial
pada klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur yang
setengahnya adalah ODHA.
Perilaku Berisiko. Tabel 11. menunjukkan perilaku
penggunaan Napza responden setelah mengikuti
PTRM. Adapun zat yang paling banyak digunakan
responden selama terapi adalah pada golongan
benzodiazepin yaitu sebanyak 54%, heroin 40%,
alkohol 28%, ganja dan amfetamin masing-masing
26%, kokain 6% dan halusinogen 4%.
Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan
Substansi yang Digunakan Selama Mengikuti
PTRM
Jenis Napza Frekuensi
(n=50) %
Heroin 30 60
Benzodiazepin 27 54
Amfetamin 13 26
Ganja 13 26
Kokain 3 6
Halusinogen (LSD) 2 4
Alkohol 14 28
Rokok
Tidak Merokok
20 batang
2
7
11
15
7
8
4
14
22
30
14
16
Alasan responden masih menggunakan heroin setelah
mengikuti terapi adalah craving (kangen), sugesti,
mengikuti ajakan teman, dan ada pula yang
mengatakan untuk menghilangkan sugesti terhadap
heroin dan sekedar coba-coba. Sedangkan alasan
responden menggunakan benzodiazepin adalah untuk
membantu masalah tidurnya, untuk dapat beraktivitas,
agar tidak gelisah, resep dari dokter, agar lebih relax,
dan karena rasa penasaran. Alasan penggunaan
amfetamin diakui responden untuk lebih percaya diri
dan badan terasa lebih bugar. Sedangkan penggunaan
ganja karena rasa penasaran, sugesti, ingin senang-
senang, dan membantu masalah tidur. Responden
menyatakan bahwa biasanya mereka mengkonsumsi
obat-obatan atau alkohol tersebut pada acara pesta
seperti ulang tahun atau disaat mereka berkumpul
dengan teman-temannya sesama pengguna Napza
dengan alasan tidak dapat menolak ajakan teman atau
hanya sekedar senang-senang dan ingin mabuk. Ada
pula yang beralasan sedang dalam masalah dan
alkohol membuatnya lebih merasa tenang. Beberapa
responden menyatakan bahwa terkadang mereka
menggunakan obat-obatan tersebut pada saat yang
bersamaan (mix) ataupun hanya berselang beberapa
saat setelah mengkonsumsi zat sebelumnya. Sebanyak
96% responden adalah perokok aktif dengan rata-rata
rokok yang dihisap setiap harinya adalah 30%
sebanyak 11-15 batang.
Berdasarkan jumlah zat yang digunakan, sebanyak
48% responden mengaku pernah menggunakan 2-6 zat
yang berbeda selain metadon selama mengikuti
PTRM, 20% responden mengaku hanya menggunakan
1 zat lain selain metadon selama mengikuti PTRM.
Tabel 12. hanya menunjukkan seberapa banyak zat
yang digunakan (polydrug use) responden setelah
mengikuti PTRM, tetapi tidak menunjukkan berapa
zat yang digunakan secara bersamaan (combine).
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan
Jumlah Substansi yang DigunakanSelama
Mengikuti PTRM
Jumlah zat
yang
digunakan
Jenis zat Frekuensi
(n=50) %
Tidak
menggunakan
Napza selama
terapi
- 16 32
1 zat Heroin/
benzodiazepin 10
20
2 zat
Heroin-benzo/
benzo-alkohol/
benzo-cannabis/
amfetamin-
alkohol
9 18
3 zat
Heroin-benzo-
amfetamin/
heroin-benzo-
alkohol/ heroin-
amfetamin-
alkohol/ benzo-
cannabis-alkohol
5 10
4 zat
Heroin-benzo-
cannabis-
alkohol/ heroin-
benzo-kokain-
alkohol/ benzo-
4 8
-
10
amfetamin-
cannabis-LSD/
amfetamin-
cannabis-LSD-
alkohol
5 zat
Heroin-benzo-
amfetamin-
cannabis-kokain/
heroin-benzo-
amfetamin-
cannabis-alkohol
5 10
6 zat
Heroin-benzo-
amfetamin-
cannabis-kokain-
alkohol
1 2
Tabel 13. menampilkan perilaku menyuntik setelah
mengikuti PTRM. Hal ini berkaitan dengan responden
yang masih menggunakan Napza setelah mengikuti
PTRM. Diantara 50 responden, sebanyak 54%
mengatakan tidak menyuntik setelah mengikuti
PTRM. Sisanya, sebanyak 46% masih melakukan
injeksi. Diantara mereka yang masih melakukan
injeksi, 4,3% responden masih menggunakan alat
suntik tidak steril, 21,7% memakai alat suntik secara
bergantian dan 9,05% tidak melakukan bleaching pada
alat suntik tidak steril yang dipakai untuk menyuntik.
Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan
Perilaku Menyuntik Selama Mengikuti PTRM
Frekuensi %
Penggunaan alat suntik
steril
Selalu
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
menggunakan alat suntik
steril
(n=23)
15
5
2
1
65,2
21,7
8,7
4,3
Penggunaan alat suntik
bergantian
Tidak pernah
Jarang
Kadang-kadang
Selalu
(n=23)
18
2
2
1
78,3
8,7
8,7
4,3
Bleaching (suci hama) pada
alat suntik
Selalu
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
(n=11)
3
3
3
1
1
27,3
27,3
27,3
9,05
9,05
Berdasarkan responden yang masih menyuntik,
responden dengan lama terapi kurang dari satu tahun
menyuntik dengan memakai alat suntik steril adalah
sebanyak 10 orang (45,5%), sisanya sebanyak 12
orang (54,5%) adalah responden dengan lama terapi
lebih dari 2 tahun. Sedangkan dari 10 orang responden
yang masih melakukan bleaching, sebanyak 8 orang
(80%) adalah responden dengan lama terapi kurang
dari satu tahun. Adapun 1 orang yang masih
menggunakan alat suntik tidak steril dan tidak
melakukan bleaching adalah responden dengan lama
terapi kurang dari 6 bulan.
Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan
Perilaku Menyuntik dan Lama Terapi
Frek
(n=33) %
Lama Terapi
2 tahun
n % n %
Pakai alat
suntik steril 22 66,7 10 45,5 12 54,5
Bleaching 10 30,3 8 80,0 2 20,0
Tidak pakai
alat suntik
steril & tidak
bleaching
1 3,0 1 100 - -
Tabel 15. menampilkan riwayat seksual responden
dalam 4 minggu terakhir yang meliputi jumlah
pasangan seksual dan perilaku penggunaan kondom.
Sebanyak 29 orang (58%) memiliki satu pasangan
seks. Sedangkan 13 orang (26%) mengakui tidak
memiliki pasangan seks dalam 4 minggu terakhir, 4
orang (8%) memiliki 2 pasangan seks dan 4 orang
lainnya (8%) memiliki 3-5 pasangan seks. Pada
riwayat penggunaan kondom, 11 orang (22%)
mengaku abstinen, hanya 9 orang (18%) selalu
menggunakan kondom setiap berhubungan seksual, 2
orang (4%) sering menggunakan kondom, 13 orang
(26%) kadang-kadang menggunakan kondom dan
hampir sepertiga yaitu 15 orang (30%) tidak pernah
memakai kondom saat berhubungan seksual.
Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan
Jumlah Pasangan Seks dan Penggunaan Kondom
Frekuensi
(n=50) %
Pasangan seks
Tidak ada
1 orang
2 orang
3-5 orang
13
29
4
4
26
58
8
8
Penggunaan Kondom
Tidak melakukan hubungan
seksual/penetrasi
Selalu
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
11
9
2
13
15
22
18
4
26
30
Perilaku seks pada beberapa responden ini terbilang
rentan dalam transmisi infeksi HIV mengingat
setengah dari responden adalah ODHA. Walaupun
sebanyak 22% responden mengaku abstinen dalam 4
minggu terakhir, proporsi responden yang konsisten
-
11
menggunakan kondom setiap berhubungan seksual
hanya 18% dan proporsi responden yang tidak pernah
menggunakan kondom adalah sebanyak 30%. Pisani
(2003) juga mengatakan bahwa konsistensi
penggunaan kondom diantara Penasun juga rendah,
hanya sekitar 10%. Berdasarkan temuan ini,
diperlukan suatu pendidikan yang lebih terfokus pada
perilaku seksual berisiko diantara klien PTRM.
Riwayat Kriminalitas. Adapun tindak kriminalitas
yang dilakukan menurut pengakuan responden selama
4 minggu terakhir meliputi: kriminalitas properti
dilakukan oleh 1 orang (2%), penipuan/pemalsuan
oleh 1 orang (2%), dan pengedaran Narkoba oleh 1
orang (2%). Tiap tindak kriminal tersebut dilakukan
oleh orang yang berbeda. Riwayat kriminalitas ini
tidak digali lebih dalam karena merupakan salah satu
pertanyaan yang sensitif. Sehingga, kemungkinan
adanya bias pun tidak dapat dihindari.
Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan
Riwayat Kriminalitas Selama Empat Minggu
Terakhir
Frekuensi
(n=50) %
Kriminalitas properti 1 2
Penipuan/ pemalsuan 1 2
Pengedaran Narkoba 1 2
Kesimpulan
Secara umum, temuan dalam penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan temuan pada penelitian lain terkait
efektivitas PTRM yang dinilai secara subjektif melalui
penilaian kualitas hidup klien PTRM. Persepsi klien
terhadap kualitas hidupnya secara umum cenderung
positif selama berada dalam program. Hal ini secara
tidak langsung menggambarkan bahwa PTRM
berpengaruh pada kualitas hidup pengguna opiat
suntik kearah yang lebih baik. Namun, penelitian ini
tidak dapat memberikan gambaran terkait peningkatan
kualitas hidup pada klien PTRM sehubungan dengan
metode penelitian yang digunakan dan keterbatasan
waktu penelitian. Rendahnya skor dimensi sosial dan
kesehatan fisik pada penelitian ini dapat dikaitkan
dengan status klien PTRM yang merupakan pengguna
opiat dan sebagian dari mereka yang positif terinfeksi
HIV. Sehingga, efek samping penggunaan metadon
dan keluhan fisik yang dirasakan terkait masalah HIV
sangat umum dirasakan oleh mereka dan secara tidak
langsung mempengaruhi skor pada dimensi kesehatan
fisik. Sedangkan rendahnya skor sosial, selain
dikaitkan dengan efek samping penggunaan metadon,
masih adanya stigma masyarakat terhadap status
mereka sebagai pengguna Napza dan ODHA juga
mempengaruhi interaksi sosial mereka dengan
lingkungannya. Temuan lain yang positif pada
penelitian ini adalah angka kriminalitas dan perilaku
menyuntik berisiko yang rendah. Dari 50 Penasun
yang telah mengikuti PTRM dengan median lama
terapi 3 tahun, setidaknya dapat mengurangi perilaku
berisiko penggunaan jarum suntik sebanyak 54%.
Sedangkan masalah yang ditemukan dalam penelitian
ini adalah masih tingginya penggunaan Napza selama
terapi, khususnya heroin dan zat sedatif seperti
benzodazepin. Penggunaan benzodizepin ini juga
dapat dikaitkan dengan kualitas tidur buruk yang
dikeluhkan oleh sebagian besar responden dan
berdampak pada rendahnya skor aspek tidur dan
istirahat dalam dimensi fisik. Masalah lain yaitu
tingginya prevalensi disfungsi seksual diantara klien
PTRM yang berdampak pula pada rendahnya skor
aspek aktifitas seksual dalam dimensi sosial. Perilaku
seksual berisiko diantara klien PTRM juga perlu
menjadi perhatian berdasarkan temuan bahwa klien
yang konsisten menggunakan kondom masih sangat
sedikit, padahal hampir sebagian mereka positif
terinfeksi HIV. Hal lain yaitu masih adanya klien yang
mempunyai pasangan seks tidak tetap.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa program
PTRM memiliki prospek yang besar dalam perbaikan
kualitas hidup pecandu opioid suntik. Intervensi pada
masalah yang ditemukan dalam penelitian ini,
diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas hidup
klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur.
Daftar Acuan
1. NAC. (2010). Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS
(UNGASS) Reporting Period 2008-2009. National
Aids Commission Republic of Indonesia.
2. Badan Narkotika Nasional. (2011). Ringkasan Eksekutif Survei Nasional Perkembangan
Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011
(Kerugian Sosial dan Ekonomi). Jakarta: BNN.
www.bnn.go.id/portal/uploads/.../20120529145842
-10263.pdf.
3. Kementrian Kesehatan RI. Subbagian Hubungan Masyarakat Ditjen Bina Upaya Kesehatan. (2012).
Peresmian Klinik Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM) RSUP dr. M. Djamil Padang.
Publikasi Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
http://buk.depkes.go.id.
4. Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza).
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
5. Menteri Kesehatan RI. (2008, 10 April). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
350/Menkes/SK/VI/2008 Tentang Penetapan
Rumah Sakit Pengampu dan Satelit Program
Terapi Rumatan Metadon Serta Pedoman Program
Terapi Rumatan Metadon. Jakarta: Kemenkes RI.
6. Heslin KC et al. (2011). Clinical correlates of health-related quality of life among opioid-
-
12
dependent patients. Quality Life Research
20:12051213. 7. Utami, D.S., dkk. (2005). Program Rumatan
Metadon di Indonesia Pada Tahap Uji Coba (Pilot
Project of Methadone Maintenance Program in
Indonesia). Buletin Ilmiah Populer Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO), 18-25.
8. Sarafino, EP. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Fifth Ed.). USA:
John Wiley & Sons, Inc.
9. WHO. (1996, December). WHOQOL-BREF - Introduction, Administration, Scoring and Generic
Version of The Assessment (Field Trial Version).
Geneva: Programme on Mental HealthWorld
Health Organization.
10. Baharom, et al. (2012). Improvement of quality of life following 6 months of methadone maintenance
therapy in Malaysia. Substance Abuse Treatment,
Prevention, and Policy,7:32.
http://www.substanceabusepolicy.com/content/7/1/
32.
11. Huong AGW, Ng CG, Amer SA. (2009). Quality of life assessment of opioid substance abusers on
methadone maintenance therapy (MMT) in
University Malaya Medical Centre. ASEAN
Journal of Psychiatry, 10:111. 12. Padaiga et al. (2007). Outpatient Methadone
maintenance treatment program quality of life and
health of opioid-dependent persons in Lithuania.
Medicina (Kaunas) 43(3), 235-241.
13. Fernandez-Miranda JJ, Gonzalez MP, Saiz PA, Gutierrez E, Bobes J. (1998). Quality of life,
psychopathological status and drug use in a
methadone maintenance treatment in Spain. Eur
Neuropsychopharmacol, 8: S285.
14. Lee TSH et al. (2011). Clinical characteristics and risk behavior as a function of HIV status among
heroin users enrolled in methadone treatment in
northern Taiwan. Substance Abuse Treatment,
Prevention, and Policy 6:6.
15. Rosen et al. (1997, June). The International Index of Erectile Function (IIEF): a multidimensional
scale for assessment of erectile dysfunction.
Urology Volume 49, Issue 6: 822-830.
16. Hallinan R, Byrne A et al. Erectile Dysfunction in Men Receiving Methadone and Buprenorphine
Maintenance Treatment J Sex Med (2008): 648-692
17. Xia Y, Zhang D, et al. Sexual Dysfunction During Methadone Maintenance Treatment and Its
Influence on Patient's Life and Treatment: A
Qualitative Study in South China. Psychology, Health and Medicine (2012): 1-9
18. Splete, Heidi. Methadones Impact on Libido Hurts Compliance. Addiction Psychiatry (2005): 63 http://www.clinicalpsychiatrynews.com
19. Rosen et al. (2000). The Female Sexual Function Index (FSFI):A multidimensional self-report
instrumentfor the assessment of female sexual
function. Journal of Sex & Marital Therapy,
26:191208. 20. Zung, WW. (1965). A self-rating depression scale.
Archives General Psychiatry 12, 63-70.
21. Peles et al. (2006, April). Variables associated with percieved sleep disorders in methadone
maintenance treatment (MMT) patients. Drug and
Alcohol Dependence; 82(2): 103-110.
22. Rabkin JG. (2008). HIV and depression. USA: Current HIV/AIDS Report, 5:163-171.