kualitas hidup klien ptrm

12
1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP KLIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR TAHUN 2012 Ismi Adzani, Rita Damayanti Departemen Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang menggambarkan kualitas hidup klien Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Bogor Timur. Secara umum, temuan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan temuan pada penelitian lain yang membahas efektivitas PTRM yang dinilai secara subjektif melalui penilaian kualitas hidup klien PTRM. Persepsi klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur terhadap kualitas hidupnya cenderung positif selama berada dalam program. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa PTRM berpengaruh pada kualitas hidup pengguna opiat suntik ke arah yang lebih baik. Hasil penelitian ini menyarankan agar evaluasi rutin pada klien secara komprehensif perlu lebih ditingkatkan dalam hal: kondisi medis, perilaku berisiko penggunaan Napza, perilaku seksual berisiko, masalah psikososial dan masalah seksual klien. Sehingga diharapkan PTRM di Puskesmas Bogor Timur dapat mencapai hasil dan tujuan program secara maksimal. Abstract The study was designed to describe the quality of life among clients of Methadone Maintenance Therapy Program in Community Health Center Bogor Timur. In general, the findings in this study was not much different from the findings in other studies related to the effectiveness of MMT which was considered subjectively through the assessment of quality of life for MMT clients. Client's perception of the quality of life in general tend to be positive while in the program. It captures that MMT effect on the quality of life of opiate users injecting into a better direction. The results of this study suggest that routine evaluation of a comprehensive among client needs to be improved in terms of: medical conditions, drug use risk behaviors, sexual risk behaviors, psychosocial and sexual problems. Thus expected MMT in Community Health Center Bogor Timur can achieve outcomes and objectives of the program to its full potential. Keywords: methadone maintenance treatment, quality of life Pendahuluan Penyalahgunaan Napza masih menjadi masalah yang kompleks baik di tingkat global, regional, maupun nasional. National AIDS Commission (NAC) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan epidemi terkonsentrasi HIV/AIDS, salah satu kasus yang paling cepat berkembang di Asia dengan infeksi rendah diantara populasi umum (0,16%) dan tingkat tinggi diantara Penasun (52%). 1 Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh BNN pada tahun 2011 menyatakan terdapat sekitar 3,7 sampai 4,7 juta orang di Indonesia yang menggunakan Narkoba dalam satu tahun terakhir. Dengan kata lain, 1 dari 45 orang di Indonesia adalah pemakai narkoba (current users). Angka tersebut menunjukkan peningkatan prevalensi penyalahgunaan narkoba pada beberapa tahun terakhir, yaitu dari 1,9% (2008) menjadi 2,2%. 2 Salah satu dampak nyata penyalahgunaan Napza dalam aspek kesehatan adalah perkembangan masalah HIV/AIDS pada subpopulasi Penasun yang semakin lama semakin mengkhawatirkan baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif. Hingga saat ini, Penasun masih termasuk subpopulasi berisiko jalur transmisi HIV/AIDS terbesar kedua (14%) setelah hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual (50%). Dengan demikian, upaya memutus mata rantai penularan HIV di kalangan Penasun menjadi sangat penting. 3 Departemen Kesehatan RI dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan (2003) menyebutkan bahwa program harm reduction menjadi salah satu program prioritas dan upaya pendekatan yang digunakan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Istilah pengurangan dampak Napza (harm reduction) semakin banyak

Upload: ismi-adzani

Post on 03-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Naskah ringkas yang mendeskripsikan kualitas hidup klien PTRM

TRANSCRIPT

  • 1

    GAMBARAN KUALITAS HIDUP KLIEN

    PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON

    DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR TAHUN 2012

    Ismi Adzani, Rita Damayanti

    Departemen Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat,

    Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

    E-mail: [email protected]

    Abstrak

    Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang menggambarkan kualitas hidup klien Program Terapi Rumatan

    Metadon di Puskesmas Bogor Timur. Secara umum, temuan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan temuan

    pada penelitian lain yang membahas efektivitas PTRM yang dinilai secara subjektif melalui penilaian kualitas hidup

    klien PTRM. Persepsi klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur terhadap kualitas hidupnya cenderung positif selama

    berada dalam program. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa PTRM berpengaruh pada kualitas hidup

    pengguna opiat suntik ke arah yang lebih baik. Hasil penelitian ini menyarankan agar evaluasi rutin pada klien secara

    komprehensif perlu lebih ditingkatkan dalam hal: kondisi medis, perilaku berisiko penggunaan Napza, perilaku

    seksual berisiko, masalah psikososial dan masalah seksual klien. Sehingga diharapkan PTRM di Puskesmas Bogor

    Timur dapat mencapai hasil dan tujuan program secara maksimal.

    Abstract

    The study was designed to describe the quality of life among clients of Methadone Maintenance Therapy Program in

    Community Health Center Bogor Timur. In general, the findings in this study was not much different from the

    findings in other studies related to the effectiveness of MMT which was considered subjectively through the

    assessment of quality of life for MMT clients. Client's perception of the quality of life in general tend to be positive

    while in the program. It captures that MMT effect on the quality of life of opiate users injecting into a better direction.

    The results of this study suggest that routine evaluation of a comprehensive among client needs to be improved in

    terms of: medical conditions, drug use risk behaviors, sexual risk behaviors, psychosocial and sexual problems. Thus

    expected MMT in Community Health Center Bogor Timur can achieve outcomes and objectives of the program to its

    full potential.

    Keywords: methadone maintenance treatment, quality of life

    Pendahuluan

    Penyalahgunaan Napza masih menjadi masalah yang

    kompleks baik di tingkat global, regional, maupun

    nasional. National AIDS Commission (NAC)

    menyatakan Indonesia sebagai negara dengan epidemi

    terkonsentrasi HIV/AIDS, salah satu kasus yang

    paling cepat berkembang di Asia dengan infeksi

    rendah diantara populasi umum (0,16%) dan tingkat

    tinggi diantara Penasun (52%).1 Survei Nasional

    Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba yang

    dilakukan oleh BNN pada tahun 2011 menyatakan

    terdapat sekitar 3,7 sampai 4,7 juta orang di Indonesia

    yang menggunakan Narkoba dalam satu tahun

    terakhir. Dengan kata lain, 1 dari 45 orang di

    Indonesia adalah pemakai narkoba (current users).

    Angka tersebut menunjukkan peningkatan prevalensi

    penyalahgunaan narkoba pada beberapa tahun

    terakhir, yaitu dari 1,9% (2008) menjadi 2,2%.2

    Salah satu dampak nyata penyalahgunaan Napza

    dalam aspek kesehatan adalah perkembangan masalah

    HIV/AIDS pada subpopulasi Penasun yang semakin

    lama semakin mengkhawatirkan baik dari sisi

    kuantitatif maupun kualitatif. Hingga saat ini, Penasun

    masih termasuk subpopulasi berisiko jalur transmisi

    HIV/AIDS terbesar kedua (14%) setelah hubungan

    seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual

    (50%). Dengan demikian, upaya memutus mata rantai

    penularan HIV di kalangan Penasun menjadi sangat

    penting. 3

    Departemen Kesehatan RI dalam Rencana Strategis

    Departemen Kesehatan (2003) menyebutkan bahwa

    program harm reduction menjadi salah satu program

    prioritas dan upaya pendekatan yang digunakan dalam

    penanggulangan HIV/AIDS. Istilah pengurangan

    dampak Napza (harm reduction) semakin banyak

  • 2

    digunakan ketika pola penularan HIV/AIDS bergeser

    dari faktor penularan melalui perilaku seksual

    berpindah ke perilaku penggunaan jarum suntik yang

    tidak steril.4

    Salah satu program harm reduction pada Penasun

    adalah terapi substitusi. Terapi substitusi ini hanya

    ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida.

    Terapi substitusi opioida ini cocok untuk Penasun

    yang hard core addict, yaitu pengguna opioida yang

    telah bertahun-tahun menggunakan opioida suntik,

    mengalami kekambuhan kronis dan berulang kali

    menjalani terapi ketergantungan namun tidak berhasil.

    Di banyak negara, termasuk sejumlah negara di Asia,

    program terapi substitusi yang paling umum adalah

    Methadone Maintenance Treatment (MMT), atau di

    Indonesia lebih dikenal dengan Program Terapi

    Rumatan Metadon (PTRM), yaitu suatu program

    rumatan/ pemeliharaan bagi Penasun dengan

    memberikan metadon cair dalam bentuk sedian oral

    sebagai terapi pengganti adiksi opioida yang biasa

    mereka gunakan dibawah supervisi medis yang

    berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau

    bahkan lebih lama lagi. Pasien yang mengikuti terapi

    substitusi tidak memerlukan hospitalisasi (rawat

    residensi) jangka panjang. Terapi ini akan berjalan

    dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi

    dan intervensi perilaku. Tujuan program ini adalah

    untuk meminimalisir risiko atau kemungkinan tertular

    HIV melalui jarum suntik. 4,5

    Di Indonesia, PTRM pertama kali diterapkan pada

    tahun 2003-2005 melalui pilot project di Rumah Sakit

    Sanglah Bali dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat

    (RSKO) Jakarta. Suatu studi yang dilakukan Utami

    dkk. (2005) untuk mengevaluasi dan melihat sejauh

    mana uji coba PTRM tersebut dapat mempengaruhi

    kualitas hidup dan perilaku berisiko Penasun yang

    mengikuti program tersebut. Sebagian besar klien

    PTRM dalam rentang waktu 2003-2005 yang direkrut

    dari RSKO jakarta dan RS Sanglah Bali, menunjukkan

    perbaikan kualitas hidup, baik dari segi fisik,

    psikologi, hubungan sosial, penurunan angka

    kriminalitas, penurunan status depresi hingga dapat

    kembali menjalankan fungsinya sebagai anggota

    masyarakat.4 Melihat keberhasilan tersebut, maka

    pencegahan penularan HIV di kalangan Penasun

    melalui PTRM di Indonesia terus dikembangkan.

    Sampai saat ini tercatat jumlah layanan PTRM di

    Indonesia telah mencapai 79 klinik yang tersebar di

    sejumlah RS, puskesmas, lapas/ rutan dengan jumlah

    pasien aktif sampai dengan Mei 2012 adalah 2.448

    orang.3

    Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,

    meningkatnya keikutsertaan para Penasun jenis

    opioida dalam PTRM ini lebih sering dikaitkan

    dengan manfaatnya yang meliputi menurunnya tingkat

    mortalitas dan morbiditas akibat infeksi HIV. Tetapi,

    keberhasilan suatu program kesehatan tidak semata-

    mata dinilai dari indikasi perubahan frekuensi dan

    tingkat keparahan penyakit, estimasi kesejahteraan

    para peserta program tersebut pun perlu dievaluasi.

    Kesejahteraan ini dapat dinilai dengan mengukur

    kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan.

    Evaluasi terhadap kualitas hidup merupakan

    penggambaran dampak program pada kesejahteraan

    para peserta program yang merupakan drug users.

    Ketergantungan pada opioid merupakan chronical

    disorder dengan konsekuensi negatif multifaset baik

    jika dilihat dari segi medis, psikologis, maupun sosial.

    Sehingga untuk menilai kualitas hidup klien MMT

    (Methadone Maintenance Treatment), maka tiap faset

    tersebut perlu dikaji secara menyeluruh. Konsep

    kualitas hidup yang komprehensif lebih memiliki

    konotasi yang positif jika berfokus pada aspek

    kesejahteraan dan kepuasan seseorang terhadap

    kehidupannya secara menyeluruh. Selama ini

    kebanyakan studi tentang drug users masih terfokus

    kepada status fungsional tubuh mereka. Pendekatan

    holistik terhadap kualitas hidup seperti perhatian

    terhadap pengalaman dan harapan mereka belum

    banyak digali dalam penelitian terkait penyalahgunaan

    Napza. 6

    Terapi substitusi metadon ini sebenarnya sudah sangat

    intensif diteliti, namun umumnya dilakukan pada

    negara-negara maju. Terdapat lebih dari 100 penelitian

    randomisasi tentang terapi rumatan opioid dan secara

    konsisten melaporkan manfaatnya bagi klien. Namun

    di negara berkembang dan negara transisi seperti

    Indonesia, hanya beberapa penelitian tentang terapi

    metadon yang dilakukan secara konteks kulturalnya.7

    Di Kota Bogor, Puskesmas Bogor Timur telah

    ditetapkan sebagai salah satu satelit pelayanan PTRM

    sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan

    RI Nomor 350/Menkes/SK/VI/ 2008 Tentang

    Penetapan Rumah Sakit Pengampu dan Satelit

    Program Terapi Rumatan Metadon Serta Pedoman

    Program Terapi Rumatan Metadon. Sampai saat ini

    jumlah klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur

    adalah berjumlah 61 orang. Jumlah tersebut termasuk

    cukup besar bila dibandingkan dengan satelit PTRM

    lainnya yang ada di Indonesia. Tetapi sampai saat ini

    belum ada studi yang menilai efektivitas PTRM di

    Puskesmas Bogor Timur. Tujuan penelitian ini adalah

    mengetahui gambaran kualitas hidup klien PTRM di

    Puskesmas Bogor Timur sebagai salah satu penilaian

    dampak positif program tersebut.

    Metode Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang

    menggunakan rancangan cross-sectional dengan

    pendekatan descriptive analytical. Dalam penelitian

    ini peneliti memberikan informasi tentang gambaran

    kualitas hidup klien PTRM dan variabel lain yang

    menunjang penelitian ini seperti: status depresi, fungsi

  • 3

    seksual, riwayat pemakaian Napza, riwayat

    kriminalitas, riwayat perilaku menyutik berisiko dan

    riwayat perilaku seksual berisiko. Responden dalam

    penelitian ini adalah 50 orang klien aktif PTRM

    Puskesmas Bogor Timur yang tercatat di medical

    record sampai dengan bulan November 2012 dan

    memenuhi kriteria inklusi penelitian. Penelitian ini

    dilaksanakan di klinik PTRM Puskesmas Bogor

    Timur, PTRM Puskesmas Kedung Badak dan Rumah

    Singgah PEKA Bogor selama seminggu yaitu pada

    tanggal 15-21 Desember 2012.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

    kualitas hidup klien PTRM di Puskesmas Bogor

    Timur dan gambaran aspek lain yang berkaitan dengan

    kualitas hidup klien PTRM di Puskesmas Bogor

    Timur.

    Kuesioner yang digunakan alam penelitian ini adalah

    modifikasi beberapa instrumen yang disesuaikan

    dengan kebutuhan penelitian dan karakteristik

    responden, antara lain: WHOQOL-Bref (World

    Organization of Health Quality of Life - Bref) versi

    Bahasa Indonesia untuk mengukur kualitas hidup,

    beberapa poin pertanyaan OTI (Opiat Treatment

    Index) versi Bahasa Indonesia untuk mengukur

    riwayat penggunaan Napza; riwayat kesehatan;

    riwayat perilaku seksual berisiko; perilaku menyuntik

    berisiko; dan riwayat kriminalitas, IIEF (The

    International Index of Erectile Function) untuk

    mengukur fungsi seksual pria, FSFI (The Female

    Sexual Function Index) untuk mengukur fungsi

    seksual wanita, dan Zung SDS (A Self-rating

    Depression Scale) untuk mengukur status depresi.

    Semua kuesioner diatas adalah kuesioner yang

    terstandardisasi dan seringkali digunakan di dalam

    penelitain yang terkait dengan Napza di berbagai

    negara termasuk Indonesia.

    Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini

    adalah analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan

    untuk mendeskripsikan karakteristik tiap variabel yang

    diteliti yaitu data demografi dan domain dalam

    kualitas hidup yang terdiri dari aspek fisik, psikologis,

    sosial dan lingkungan.

    Hasil dan Pembahasan

    Karakteristik responden. Tabel 1. menunjukkan

    karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin,

    usia, domisili, status pernikahan, jumlah anak,

    pendidikan terakhir, status kerja dan tempat tinggal.

    Responden penelitian didominasi oleh pria yaitu

    sebanyak 46 orang (92%), rentang usia berkisar antara

    27 sampai 57 tahun dengan rata-rata usia 33,72 tahun

    (SD=4.802), 94% berasal dari wilayah Bogor, 58%

    telah menikah, 42% memiliki 1 orang anak, 48%

    menyelesaikan pendidikannya sampai SLTA. 68%

    responden mengaku bekerja, dan 52% masih tinggal

    bersama orang tua mereka.

    Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan

    Karakteristik Sosiodemografi

    Karakteristik Frekuensi (n=50) %

    Jenis kelamin

    Pria

    Wanita

    46

    4

    92

    8

    Usia

    21-30 tahun

    31-40 tahun

    41-50 tahun

    >50 tahun

    MeanSD =33,724.802

    12

    36

    1

    1

    24

    72

    2

    2

    Domisili

    Kota Bogor

    Kabupaten Bogor

    Luar Kota Bogor

    34

    13

    3

    68

    26

    6

    Status pernikahan

    Belum menikah

    Menikah

    Janda

    Duda

    11

    29

    3

    7

    22

    58

    6

    14

    Jumlah anak

    Tidak punya anak

    1

    >1

    17

    21

    12

    34

    42

    24

    Pendidikan terakhir

    SD/sederajat

    SLTP/sederajat

    SLTA/sederajat

    D3/S1

    1

    2

    24

    23

    2

    4

    48

    46

    Status kerja

    Tidak bekerja

    Part-time

    Full-Time

    16

    18

    16

    32

    36

    32

    Tinggal dengan/ di

    Rumah orang tua

    Rumah sendiri

    Tidak menetap

    Panti rehabilitasi

    26

    18

    4

    2

    52

    36

    8

    4

    Dominasi pria dalam mengikuti PTRM ini dikaitkan

    dengan kecenderungan pria dalam penyalahgunaan

    Napza. Penggunaan Napza lebih umum pada pria

    dibandingkan wanita dihampir segala usia, baik usia

    remaja maupun dewasa dan untuk hampir semua jenis

    Napza.8 Rata-rata usia klien yang tergolong usia

    dewasa pertengahan terkait dengan kriteria klien

    PTRM yang direkomendasikan yaitu usia 18 tahun

    keatas. Sehingga jarang ditemukan klien yang berusia

    remaja, kecuali atas indikasi khusus. Banyaknya klien

    yang berdomisili di Bogor dikaitkan dengan

    aksesibilitas ke tempat pelayanan. Para Penasun

    cenderung mengikuti PTRM di wilayah tempat

    tinggalnya walaupun masih ada beberapa klien dari

    luar kota. Puskesmas Bogor Timur disediakan sebagai

    pelayanan kesehatan bagi Penasun di wilayah lokal

    Bogor dimana prevalensi HIV/AIDS dan Penasun

    menunjukkan peningkatan secara signifikan (hot spot

  • 4

    area). Berdasarkan status pernikahan, lebih dari

    setengah klien telah menikah dan hampir setengahnya

    mempunyai seorang anak. Hal ini menunjukkan

    bahwa rata-rata klien mempunyai tanggungan seorang

    istri dan seorang anak. Bila dilihat dari sisi sosial,

    status menikah klien dapat dikaitkan dengan lebih

    tingginya dukungan yang diterima dari keluarga

    daripada klien yang belum menikah ataupun klien

    dengan status duda/ janda. Berdasarkan tingkat

    pendidikan, hampir setengah responden menyelesai-

    kan pendidikan terakhirnya di jenjang D3 atau S1, hal

    ini menunjukkan bahwa pada umumnya status

    pendidikan klien cenderung tinggi. Sebagian besar

    responden bekerja, baik full-time maupun part-time.

    Status kerja ini menunjukkan bahwa tingkat

    produktivitas klien PTRM sudah cukup tinggi.

    Riwayat Penggunaan Heroin & Terapi. Median usia

    responden saat pertama kali menggunakan heroin

    adalah 17 tahun (SD=4,572). Berdasarkan kategori

    usia, lebih dari setengah responden mulai memakai

    heroin saat berusia antara 15-19 tahun. Sedangkan

    median lama responden menggunakan heroin adalah

    12 tahun (SD=3,81) dengan rentang tahun pemakaian

    heroin terbanyak adalah 5-10 tahun dan 11-15 tahun.

    Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan

    Riwayat Penggunaan Heroin

    Karakteristik Frekuensi (n=50) %

    Usia pertama kali

    menggunakan heroin

    10-14 tahun

    15-19 tahun

    20-24 tahun

    25-29 tahun

    30 tahun

    MedianSD=174,572

    6

    27

    12

    2

    3

    12

    54

    24

    4

    6

    Lama menggunakan

    heroin

    < 5 tahun

    5-10 tahun

    11-15 tahun

    >15 tahun

    MedianSD=123,81

    1

    20

    20

    9

    2

    40

    40

    18

    Median lama terapi responden adalah 3 tahun dengan

    lama terapi terbanyak adalah 1-2 tahun (38%). Rata-

    rata dosis metadon responden pada saat ini adalah

    135,44 mg (SD=89,583) dengan rentang penggunaan

    dosis terbanyak adalah 20-100 mg (44%). Sedangkan

    kecenderungan dosis metadon dalam 4 minggu

    terakhir cenderung stabil pada 80% responden. Selain

    mengikuti terapi metadon, sebanyak 21 orang (42%)

    responden juga sedang menjalani terapi ARV

    (Antiretroviral). Sebanyak 37 orang (74%) mengetahui

    informasi tentang layanan PTRM dari teman mereka.

    Hanya 11 orang (22%) yang mengetahui PTRM

    melalui promosi petugas kesehatan. Hampir setengah

    dari responden yaitu sebanyak 22 orang (48%) merasa

    puas dan 7 orang (14%) merasa sangat puas terhadap

    pelayanan PTRM di Puskesmas Bogor Timur. Hanya

    1 orang (2%) yang menilai pelayanan PTRM di

    Puskesmas Bogor Timur tidak memuaskan.

    Lama penggunaan Napza terkait dengan tingkat

    dependensi seseorang terhadap zat tersebut. Seseorang

    yang mulai menggunakan obat-obatan, cenderung

    untuk melanjutkan pemakaian jika mereka menyukai

    pengalaman yang membuat mereka merasa baik' atau membantu mereka merasa lebih baik daripada

    perasaan mereka sebelum memakai obat-obatan

    tersebut.8 Hal inilah yang menyebabkan rata-rata lama

    penggunaan heroin pada klien PTRM adalah lebih dari

    10 tahun. Apabila dilihat dari riwayat terapi, setengah

    responden telah mengikuti PTRM dalam rentang 1-4

    tahun dan hanya sebagian kecil responden yang baru

    memulai terapinya. Retensi klien MMT ini berkaitan

    dengan outcome yang positif, terutama dalam hal

    mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba dan

    peningkatan status kesehatan.

    Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan

    Riwayat Terapi

    Frekuensi (n=50) %

    Lama terapi

    metadon

    < 6 bulan

    6-12 bulan

    1-2 tahun

    3-4 tahun

    5 tahun

    MedianSD=31,136

    6

    6

    19

    14

    5

    12

    12

    38

    28

    10

    Dosis metadon saat

    ini

    < 20 mg

    20-100 mg

    101-200 mg

    201-300 mg

    >300 mg

    MeanSD=135,4489,583

    1

    22

    18

    6

    3

    2

    44

    36

    12

    6

    Kecenderungan

    dosis metadon

    dalam 4 minggu

    terakhir

    Naik

    Stabil

    Turun

    8

    40

    2

    16

    80

    4

    Terapi ARV

    Ya

    Tidak

    Tidak diisi

    21

    24

    5

    42

    48

    10

    Informasi tentang

    PTRM

    Promosi Petugas

    Kesehatan

    Keluarga

    Teman

    11

    2

    37

    22

    4

    74

    Penilaian terhadap

    PTRM

    Sangat memuaskan

    Memuaskan

    Biasa-biasa saja

    7

    24

    18

    1

    14

    48

    36

    2

  • 5

    Tidak memuaskan

    Hal yang perlu diperhatikan adalah dosis metadon

    pada klien yang juga sedang menjalani terapi ARV.

    Pada umumnya, baik metadon ataupun ARV tidak

    saling mempengaruhi kadar kedua obat tersebut dalam

    darah. Tetapi, beberapa jenis ARV dapat berinteraksi

    dengan metadon sehingga pemantauan efek dan

    penyesuaian dosis sesuai kebutuhan dilakukan oleh

    petugas PTRM. Begitu pula halnya yang diterapkan

    di Bogor Timur. Rata-rata klien PTRM yang

    mengikuti terapi ARV, dinaikkan dosisnya. Hal inilah

    yang mempengaruhi rata-rata dosis harian metadon

    klien di PTRM Puskesmas Bogor Timur yang

    cenderung tinggi yaitu 135,44 mg (SD=89,583) jika

    dibandingkan dengan PTRM lain di Jawa Barat

    dengan rata-rata dosis harian yang digunakan adalah

    79 mg. Sedangkan kecenderungan dosis metadon

    dalam 4 minggu terakhir cenderung stabil pada

    sebagian besar responden.

    Terdapat beberapa saran yang disampaikan klien

    melalui pertanyaan terbuka yang terdapat dalam

    instrumen penelitian, antara lain: kebijakan Take

    Home Dose (THD) yang kurang disesuaikan dengan

    kebutuhan klien seperti jadwa kerja mereka. Selain itu,

    beberapa responden menganggap perlu adanya

    peningkatan pelayanan dan kompetensi petugas sesuai

    prosedur pelayanan terapi metadon khususnya

    mengenai dosis metadon yang dibutuhkan klien.

    Dalam hal waktu pelayanan, beberapa responden

    mengharapkan pelayanan yang lebih on time sesuai

    dengan jadwal yang telah ditentukan, pemberitahuan

    yang jelas tentang jadwal pengambilan obat jika

    terdapat hari libur. Dalam hal aksesibilitas, terdapat

    responden yang menyarankan pemberian metadon

    tanpa dipungut biaya. Saran lainnya adalah responden

    mengharapkan dihilangkannya stigma terhadap klien

    PTRM oleh para petugas kesehatan di Puskesmas,

    karena menurut responden masih ada beberapa

    petugas kesehatan yang masih membeda-bedakan

    dalam memberikan pelayanan antara pasien umum dan

    klien PTRM yang berobat di Puskesmas Bogor Timur.

    Sedangkan saran yang ditujukan untuk komunitas

    adalah untuk meningkatkan prinsip kekeluargaan di

    dalam komunitas, memperbanyak kegiatan

    penyuluhan tentang masalah yang berhubungan

    dengan terapi metadon, Napza, maupun HIV/AIDS,

    pemberdayaan komunitas dan penyaluran kerja bagi

    klien PTRM yang belum bekerja. Dari saran yang

    dikemukakan oleh responden, dapat terlihat bahwa

    responden mempunyai harapan di berbagai aspek

    pelayanan dan penerimaan petugas Puskesmas

    terhadap kehadiran mereka. Selain itu dapat terlihat

    pula antusiasme responden untuk aktif dalam kegiatan

    komunitas seperti pengadaan seminar atau penyuluhan

    rutin, pemberdayaan klien dan penyaluran kerja. Hal

    ini menunjukkan bahwa klien PTRM di Puskesmas

    mempunyai kesadaran untuk mengembangkan potensi

    dalam dirinya dan meningkatnya produktivitas

    diantara mereka.

    Kualitas Hidup. Tabel 4. menunjukkan rata-rata skor

    tiap aspek yang berhubungan dengan kualitas hidup.

    Rentang skor yang digunakan dalam kuesioner adalah

    1-5, sesuai dengan teknik skoring kuesioner

    WHOQOL-Bref yang terstandardisasi. Semakin besar

    skor penilaian, menunjukkan kualitas hidup yang

    semakin baik.

    Tabel 4. Distribusi Skor Aspek Kualitas Hidup

    Responden9

    Aspek n=50

    Min Max Mean SD

    Persepsi terhadap kualitas

    hidup secara umum 2 5 3.54 .613

    Persepsi terhadap kesehatan

    secara umum 1 5 3.28 .730

    Kesehatan Fisik

    1. Kesakitan & ketidaknyamanan

    2. Dependensi terhadap medikasi (bantuan

    medis)

    3. Energi dan kelelahan 4. Mobilitas 5. Tidur dan istirahat 6. Aktivitas harian 7. Kapasitas kerja

    2

    1

    2

    3

    1

    1

    1

    5

    3

    5

    5

    5

    5

    5

    3.44

    2.02

    4.16

    3.96

    2.86

    3.28

    3.48

    .705

    .979

    .889

    .755

    .904

    .701

    .735

    Psikologis

    1. Afek positif 2. Afek negatif 3. Berpikir, belajar,

    konsentrasi

    4. Body image 5. Spiritualitas 6. Harga diri

    2

    1

    2

    3

    3

    1

    5

    5

    5

    5

    5

    5

    4.24

    3.38

    3.94

    4.42

    4.70

    3.42

    .847

    .945

    .867

    .835

    .544

    .758

    Interaksi Sosial

    1. Relasi personal 2. Aktivitas seksual 3. Dukungan sosial

    2

    1

    3

    5

    5

    5

    3.46

    3.28

    3.58

    .646

    .809

    .642

    Lingkungan

    1. Kebebasan dan keamanan fisik

    2. Lingkungan rumah 3. Sumber finansial 4. Kesempatan

    mendapatkan informasi

    5. Waktu senggang/ kesempatan untuk

    rekreasi

    6. Lingkungan fisik 7. Pelayanan kesehatan

    dan sosial

    8. Transportasi

    2

    1

    2

    2

    1

    3

    2

    1

    5

    5

    5

    5

    5

    5

    5

    5

    4.00

    4.28

    3.34

    3.72

    3.44

    3.96

    3.64

    3.44

    .833

    .991

    .872

    .927

    1.033

    .669

    .749

    .884

  • 6

    Bila dilihat dari tiap aspek dalam dimensi kualitas

    hidup, aspek spiritualitas memiliki rata-rata paling

    besar dibandingkan aspek lain yaitu sebesar 4,70

    (SD=0,544). Sedangkan aspek dependensi terhadap

    medikasi memiliki rata-rata skor paling rendah yaitu

    2,02 (SD=0,979), hal ini berkaitan dengan status

    seluruh responden yang sedang menjalani terapi

    metadon maupun ARV. Pengukuran kualitas hidup

    dengan menggunakan instrumen WHOQOL-Bref yang

    digunakan dalam penelitian ini hanya menggambarkan

    skor pada tiap aspek dan dimensi yang berkaitan

    dengan kualitas hidup secara terpisah. Sehingga tidak

    ada pengelompokkan tingkat kualitas hidup dari

    gabungan skor tiap dimensi. Tabel 5. menunjukkan

    jumlah skor yang diperoleh dari tiap aspek yang

    dijumlahkan kedalam masing-masing dimensinya dan

    kemudian ditransformasikan kedalam skor dalam

    rentang 0 sampai dengan 100.

    Tabel 5. Distribusi Skor Dimensi Kualitas Hidup

    Responden9

    Dimensi n=50

    Min Max Median SD

    Fisik 38 88 63 10,172

    Psikologis 44 94 72 9,636

    Sosial 44 94 56 12,809

    Lingkungan 44 100 69 13,372

    Pada tabel 5. terlihat bahwa dimensi psikologis

    memiliki memiliki median skor paling besar yaitu 72

    (SD=9,430). Kemudian diikuti oleh dimensi

    lingkungan dengan median skor 69 (SD=13,372),

    dimensi fisik 63 (SD=9.430) dan paling rendah adalah

    median skor dimensi sosial yaitu 56 (SD=12,809).

    Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan,

    walaupun dalam penelitian ini tidak dapat disimpulkan

    kualitas hidup klien PTRM secara kategorikal, tetapi

    apabila dilihat dari transformasi skor, semua median

    skor tiap dimensi menunjukkan nilai diatas median

    skor. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi klien

    PTRM di Puskesmas Bogor Timur terhadap kualitas

    hidupnya cenderung positif. Bila dilihat dari masing-

    masing dimensi, dimensi psikologis memiliki

    memiliki median skor paling besar yaitu 72

    (SD=9,430). Kemudian diikuti oleh dimensi

    lingkungan dengan median skor 69 (SD=13,372),

    dimensi fisik 63 (SD=10,172) dan paling rendah

    adalah skor dimensi sosial yaitu 56 (SD=12,809). Hal

    ini menggambarkan bahwa dimensi psikologis klien

    PTRM dinilai cukup baik dibandingkan dengan

    dimensi kualitas hidup lainnya.

    Di beberapa penelitian yang menilai kualitas hidup

    pada klien terapi metadon dengan menggunakan

    instrumen WHOQOL-Bref, dimensi psikologis juga

    mempunyai skor yang paling dominan. Walaupun

    secara metodologi berbeda, dalam penelitian

    prospektif kohort pada klien Methadone Maintenance

    Therapy (MMT) di Malaysia mengungkapkan bahwa

    domain psikologis menunjukkan peningkatan skor

    paling besar pada bulan keenam dan kemudian

    berturut-turut dikuti oleh domain fisik, lingkungan dan

    sosial.10

    Begitupun dua penelitian lainnya yang serupa

    juga menunjukkan bahwa hubungan sosial memiliki

    peningkatan terkecil di antara domain kualitas hidup

    pada klien di program MMT.11,12

    Di Indonesia

    sendiri, dalam studi untuk mengevaluasi pilot project

    PTRM di RS Sanglah Bali dan RSKO Jakarta,

    ditemukan bahwa skor psikologis klien PTRM

    cenderung meningkat tajam yang dinilai dari awal

    terapi, pada bulan ketiga terapi, dan sampai bulan

    keenam terapi. Sedangkan dimensi sosial memiliki

    rata-rata paling rendah yaitu 60.72 (SD=12,809)

    dibandingkan dimensi kualitas hidup lainnya.7 Para

    pecandu opioid secara sosial masih dianggap sebagai

    komunitas marginalis, sehingga ini mungkin dapat

    menjelaskan mengapa lebih sulit bagi mereka untuk

    meningkatkan kualitas hidup pada dimensi sosial

    diantara klien terapi substitusi ketergantungan obat

    seperti Methadone Maintenance Therapy (MMT).10

    Jika pada suatu studi ditemukan bahwa klien MMT

    yang positif HIV memiliki skor kualitas hidup lebih

    rendah. HIV dan AIDS yang dihubungkan dengan

    status kesehatan yang lebih buruk dan depresi

    sehingga mungkin tercermin dalam penilaian kualitas

    hidup. Dalam studi ini, tidak terlihat bahwa status HIV

    dapat mempengaruhi skor tiap domain secara

    keseluruhan.13

    Seperti halnya sebuah temuan terbaru

    oleh yang menunjukkan bahwa status HIV tidak

    secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup klien

    MMT.14

    Berbeda pula dengan suatu penelitian lainnya

    yang menemukan bahwa status HIV dikaitkan dengan

    perubahan domain psikologis dan lingkungan.10

    Dalam

    penelitian ini, skor domain psikologis dan lingkungan

    tidak rendah walaupun setengah dari responden adalah

    ODHA. Hal ini menunjukkan bahwa PTRM dapat

    meningkatkan kualitas hidup klien PTRM baik ODHA

    maupun bukan ODHA. Hal ini diperkuat dengan

    rendahnya responden yang mengalami depresi dalam

    penelitian ini.

    Riwayat Penyakit & Keluhan Fisik. Pada

    pertanyaan tentang riwayat HIV/AIDS, hanya 25

    orang (50%) yang menyatakan bahwa dirinya positif

    HIV. Setengah responden atau bahkan lebih positif

    terinfeksi HIV. Jumlah penderita HIV pada penelitian

    ini tidak dapat dipastikan karena beberapa responden

    tidak mengisi pertanyaan tentang HIV dengan alasan

    privasi. Prevalensi infeksi oportunistik seperti HIV

    yang tinggi diantara pengguna opioid suntik berkaitan

    dengan penggunaan alat suntik yang tidak steril

    maupun perilaku seksual berisiko. Selain menjalani

    terapi metadon, para ODHA ini juga menjalani terapi

    ARV. Sampai saat ini belum ada bukti bahwa metadon

    berbahaya bagi orang yang terinfeksi HIV, justru

    metadon dapat memperlambat perkembangan penyakit

    HIV. Selain itu mereka akan lebih mudah mengakses

  • 7

    perawatan dan pengobatan HIV dan memiliki

    kepatuhan yang lebih baik terhadap terapi HIV. Hal

    yang penting diperhatikan bahwa terdapat beberapa

    obat ARV yang berinteraksi dengan metadon,

    sehingga pada dokter atau pemberi pelayanan perlu

    mengetahui riwayat terkait HIV/AIDS pada klien yang

    sedang menjalani terapi ARV untuk menyesuaikan

    dosis metadon yang akan diberikan.5

    Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan

    Riwayat Penyakit

    Frekuensi

    (n=50) %

    HIV-AIDS

    Ya

    Tidak

    Tidak diisi

    25

    22

    3

    50

    44

    6

    Hepatitis B

    Ya

    Tidak

    6

    44

    12

    88

    Hepatitis C

    Ya

    Tidak

    23

    27

    46

    54

    Tingginya rata-rata dosis pemakaian metadon pada

    klien PTRM juga dapat dihubungkan dengan terapi

    ARV yang sedang dijalani klien selain karena

    perbedaan tingkat toleransi terhadap metadon. Infeksi

    lain yang banyak dialami oleh Penasun adalah

    hepatitis C. Hampir setengahnya yaitu sebanyak 23

    orang (46%) menderita Hepatitis C dan sebanyak 6

    orang (12%) menderita Hepatitis B. Penularan virus

    Hepatitis C ini juga berkaitan dengan penggunaan alat

    suntik yang tidak steril seperti transmisi pada HIV.

    Hal yang perlu diperhatikan oleh klien program

    metadon yang menderita Hepatitis adalah penggunaan

    alkohol dapat memperburuk dan mempercepat

    kerusakan hati.5

    Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan

    Keluhan Fisik Dalam Empat Minggu Terakhir

    Frekuensi %

    Konstipasi

    Cepat lelah/ kehilangan energi

    Nafsu makan buruk

    Masalah tidur

    Mudah lupa

    Pusing

    Sakit kepala

    (n=50)

    35

    33

    31

    31

    31

    28

    25

    70

    66

    62

    62

    62

    56

    50

    Siklus menstruasi tidak teratur

    (n=4)

    2

    50

    Keluhan fisik yang paling sering dialami oleh

    sebagian besar klien adalah konstipasi, nafsu makan

    yang buruk, masalah tidur, mudah lupa, pusing, sakit

    kepala dan siklus menstruasi masih merupakan kondisi

    yang wajar karena dihubungkan dengan efek samping

    metadon itu sendiri maupun dangan kondisi klien yang

    sebagian besar merupakan ODHA dan mengidap

    Hepatitis C. Penggunaan zat lain dalam masa terapi

    dan status depresi juga dapat dikaitkan dengan

    keluhan fisik yang dialami klien. Keluhan fisik ini

    bervariasi pada setiap orang tergantung dosis yang

    digunakan dan lama terapi.5

    Fungsi Seksual. Tabel 8. menunjukan fungsi seksual

    pada responden pria dalam 4 minggu terakhir.

    Berdasarkan fungsi ereksi, sebanyak 73,9% responden

    mengalami disfungsi ereksi, 69,6% responden

    mengalami disfungsi orgasme 91,3% responden

    mengalami disfungsi libido. Berdasarkan kepuasan

    hubungan seksual, sebanyak 78,3% responden

    mengalami disfungsi, dan berdasarkan kepuasan

    seksual secara umum, 71,7% responden mengalami

    ketidakpuasan akan kehidupan seksualnya.

    Tabel 8. Distribusi Responden Pria Berdasarkan

    Fungsi Seksual Dalam Empat Minggu Terakhir15

    Frekuensi

    (n=46) %

    Ereksi

    Disfungsi ereksi berat

    Disfungsi ereksi sedang

    Disfungsi ereksi ringan-

    sedang

    Disfungsi ereksi ringan

    Normal

    9

    2

    11

    12

    12

    19.6

    4.3

    23.9

    26.1

    26.1

    Orgasme

    Disfungsi berat

    Disfungsi sedang

    Disfungsi ringan-sedang

    Disfungsi ringan

    Normal

    10

    3

    14

    5

    14

    21.7

    6.5

    30.4

    10.9

    30.4

    Hasrat seksual

    Disfungsi berat

    Disfungsi sedang

    Disfungsi ringan-sedang

    Disfungsi ringan

    Normal

    3

    3

    24

    12

    4

    6.5

    6.5

    52.2

    26.1

    8.7

    Kepuasan hubungan

    seksual

    Disfungsi berat

    Disfungsi sedang

    Disfungsi ringan-sedang

    Disfungsi ringan

    Normal

    11

    2

    14

    9

    10

    23.9

    4.3

    30.4

    19.6

    21.7

    Kepuasan seksual

    secara umum

    Disfungsi berat

    Disfungsi sedang

    Disfungsi ringan-sedang

    Disfungsi ringan

    Normal

    4

    3

    11

    15

    13

    8.7

    6.5

    23.9

    32.6

    28.3

    Banyak penelitian tentang fungsi seksual pada klien

    program terapi rumatan metadon. Dan sebagian besar

  • 8

    hasilnya pun menunjukkan prevalensi yang tinggi

    dalam disfungsi seksual. Suatu studi menemukan

    bahwa pria dalam yang sedang menjalani program

    MMT memiliki prevalensi tinggi mengalami disfungsi

    ereksi.16

    Studi lain juga menyatakan bahwa pemakaian

    metadon sebagai terapi substitusi terkait dengan

    disfungsi ereksi. Prevalensi ejakulasi dini juga

    dilaporkan hampir 3 kali lebih besar daripada yang

    dilaporkan oleh populasi umum pada pasien terapi

    metadon. Disfungsi seksual pada klien PTRM ini

    dihubungkan dengan dengan efek samping

    penggunaan metadon yang menyebabkan kegagalan

    pembentukan testis primer yang merupakan penyebab

    utama hipogonadisme sehingga menyebabkan fungsi

    seksual menurun, faktor usia, tidak adanya pasangan

    seksual, penurunan kadar testosteron pada pria yang

    menyebabkan penurunan libido, status depresi,

    riwayat penggunaan heroin pada partner seks, faktor

    psikologis dan sosial dan riwayat HIV.16,17

    Suatu studi

    menyatakan bahwa diantara efek samping metadon

    yang paling banyak dialami oleh peserta program

    rumatan metadon, seperti insomnia dan konstipasi,

    disfungsi seksual dapat menjadi deal breaker atau sesuatu yang tidak dapat ditolerir oleh klien. Sehingga

    disfungsi seksual pada pria dalam terapi metadon

    harus dievaluasi apakah disfungsi seksual berdampak

    negatif sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.

    Dengan menghentikan terapi metadon, percobaan

    pengurangan dosis jangka pendek dapat membantu

    masalah ini. Adapun kejadian disfungsi seksual pada

    pria klien MMT secara signifikan dikaitkan dengan

    beberapa faktor seperti: usia, ada atau tidaknya mitra

    seks, status depresi dan faktor lainnya.18

    Tabel 9. Distribusi Responden Wanita

    Berdasarkan Fungsi Seksual Dalam Empat

    Minggu Terakhir19

    Frekuensi

    (n=4) %

    Hasrat seksual

    Disfungsi berat

    Disfungsi sedang

    Disfungsi ringan-sedang

    2

    1

    1

    50

    25

    25

    Orgasme

    Disfungsi berat 4 100

    Lubrikasi

    Abstinen 4 100

    Nyeri saat berhubungan

    seksual

    Abstinen 4 100

    Kepuasan seksual secara

    umum

    Disfungsi berat

    Disfungsi sedang

    1

    3

    25

    75

    Tabel 9. menunjukkan fungsi seksual responden

    wanita dalam 4 minggu terakhir. Seluruh responden

    wanita mengatakan tidak melakukan hubugan seksual

    selama 4 minggu terakhir (abstinen). Hal inilah yang

    berpengaruh pada beberapa poin penilaian seperti

    orgasme, lubrikasi dan nyeri saat berhubungan

    seksual. Responden yang tidak melakukan aktivitas

    seksual diberi nilai 0 (nol) sehingga berpengaruh pada

    penilaian fungsi seksual wanita tersebut. Adanya bias

    pun tidak dapat dihindari karena pertanyaan tentang

    seksualitas masih dianggap sesuatu yang bersifat

    pribadi walaupun pertanyaan yang diajukan adalah

    berupa angket yang diisi oleh individu masing-masing.

    Hanya poin hasrat seksual dan kepuasan seksual

    secara umum yang dapat dinilai. Berdasarkan

    penilaian terhadap hasrat seksual, 2 orang responden

    (50%) mengalami disfungsi berat, 1 orang (25%)

    mengalami disfungsi sedang dan 1 orang lainnya

    mengalami disfungsi ringan sampai sedang.

    Berdasarkan kepuasan seksual secara umum, 3 orang

    (75%) mengalami disfungsi sedang, dan 1 orang

    lainnya (25%) mengalami disfungsi berat. Hal ini

    dikarenakan seluruh responden wanita abstinen atau

    tidak melakukan hubungan seksual selama 4 minggu

    terakhir. Hal ini dapat dihubungkan dengan efek

    penggunaan metadon pada sistem endokrin yang

    menyebabkan perubahan hormon sex pada wanita

    (kadar FSH dan LH rendah, peningkatan kadar

    prolaktin) sehingga berdampak pada gangguan siklus

    menstruasi dan penurunan libido. Penelitian mengenai

    disfungsi seksual di antara wanita pada program

    metadon pada umumnya lebih sedikit dibandingkan

    pria. Seorang peneliti telah merangkum keterkaitan

    fungsi seksual wanita dan pria dengan penggunaan

    metadon dari berbagai studi. Disfungsi seksual pada

    wanita tersebut terkait gangguan dengan produksi

    siklik normal LH dan FSH, dan mungkin karena

    peningkatan produksi prolaktin. Proses ini

    mengganggu hormon yang diperlukan untuk

    pemeliharaan siklus menstruasi normal (estrogen,

    progesteron) dan untuk libido normal (androgen).

    Interferensi dengan hormon seks diduga mengarah

    pada tanda-tanda umum dan gejala disfungsi seksual

    dan disregulasi hormon pada wanita dengan terapi

    metadon. Sehingga menyebabkan penekanan libido

    dan oligomenore atau amenore.18

    Status Depresi. Status depresi diukur untuk

    menunjang penilaian kualitas hidup responden dalam

    dimensi psikologis. Berdasarkan status depresi,

    hampir tiga perempat atau 74% responden tidak

    mengalami depresi. Status depresi ringan pada 26%

    responden masih dianggap hal yang lumrah karena

    dikaitkan dengan riwayat penyakit HIV dan Hepatitis

    responden.

    Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan

    Status Depresi12

    Kategori Frekuensi

    (n=50) %

    Normal 37 74

    Depresi ringan 13 26

  • 9

    Penggunaan Napza selama terapi juga dikaitkan

    dengan kejadian depresi diantara klien PTRM. Dalam

    suatu penelitian menyatakan bahwa depresi lazim

    terjadi di kalangan mantan pecandu opioid yang

    sedang menjalani pengobatan rumatan metadon

    (MMT).21

    Faktor risiko utama depresi pada klien

    MMT adalah perempuan, mengkonsumsi psikotropika,

    menggunakan benzodiazepin yang disalahgunakan

    maupun yang diresepkan, dan dosis metadon >120 mg

    per hari. Dalam konteks HIV/AIDS, depresi sering

    diabaikan tetapi berpotensi menjadi kondisi berbahaya

    yang dapat mempengaruhi tidak hanya kualitas hidup,

    hubungan sosial, pekerjaan, dan kepatuhan terhadap

    perawatan medis, tetapi mungkin juga kelangsungan

    hidup. Adapun prevalensi depresi diantara ODHA

    dapat mencapai 60%. Depresi dikaitkan dengan hidup

    yang terisolir dari lingkungan, tidak adanya

    kesenangan, gangguan sosial dan vokasional.22

    Hal ini

    dapat pula menjelaskan rendahnya skor dimensi sosial

    pada klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur yang

    setengahnya adalah ODHA.

    Perilaku Berisiko. Tabel 11. menunjukkan perilaku

    penggunaan Napza responden setelah mengikuti

    PTRM. Adapun zat yang paling banyak digunakan

    responden selama terapi adalah pada golongan

    benzodiazepin yaitu sebanyak 54%, heroin 40%,

    alkohol 28%, ganja dan amfetamin masing-masing

    26%, kokain 6% dan halusinogen 4%.

    Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan

    Substansi yang Digunakan Selama Mengikuti

    PTRM

    Jenis Napza Frekuensi

    (n=50) %

    Heroin 30 60

    Benzodiazepin 27 54

    Amfetamin 13 26

    Ganja 13 26

    Kokain 3 6

    Halusinogen (LSD) 2 4

    Alkohol 14 28

    Rokok

    Tidak Merokok

    20 batang

    2

    7

    11

    15

    7

    8

    4

    14

    22

    30

    14

    16

    Alasan responden masih menggunakan heroin setelah

    mengikuti terapi adalah craving (kangen), sugesti,

    mengikuti ajakan teman, dan ada pula yang

    mengatakan untuk menghilangkan sugesti terhadap

    heroin dan sekedar coba-coba. Sedangkan alasan

    responden menggunakan benzodiazepin adalah untuk

    membantu masalah tidurnya, untuk dapat beraktivitas,

    agar tidak gelisah, resep dari dokter, agar lebih relax,

    dan karena rasa penasaran. Alasan penggunaan

    amfetamin diakui responden untuk lebih percaya diri

    dan badan terasa lebih bugar. Sedangkan penggunaan

    ganja karena rasa penasaran, sugesti, ingin senang-

    senang, dan membantu masalah tidur. Responden

    menyatakan bahwa biasanya mereka mengkonsumsi

    obat-obatan atau alkohol tersebut pada acara pesta

    seperti ulang tahun atau disaat mereka berkumpul

    dengan teman-temannya sesama pengguna Napza

    dengan alasan tidak dapat menolak ajakan teman atau

    hanya sekedar senang-senang dan ingin mabuk. Ada

    pula yang beralasan sedang dalam masalah dan

    alkohol membuatnya lebih merasa tenang. Beberapa

    responden menyatakan bahwa terkadang mereka

    menggunakan obat-obatan tersebut pada saat yang

    bersamaan (mix) ataupun hanya berselang beberapa

    saat setelah mengkonsumsi zat sebelumnya. Sebanyak

    96% responden adalah perokok aktif dengan rata-rata

    rokok yang dihisap setiap harinya adalah 30%

    sebanyak 11-15 batang.

    Berdasarkan jumlah zat yang digunakan, sebanyak

    48% responden mengaku pernah menggunakan 2-6 zat

    yang berbeda selain metadon selama mengikuti

    PTRM, 20% responden mengaku hanya menggunakan

    1 zat lain selain metadon selama mengikuti PTRM.

    Tabel 12. hanya menunjukkan seberapa banyak zat

    yang digunakan (polydrug use) responden setelah

    mengikuti PTRM, tetapi tidak menunjukkan berapa

    zat yang digunakan secara bersamaan (combine).

    Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan

    Jumlah Substansi yang DigunakanSelama

    Mengikuti PTRM

    Jumlah zat

    yang

    digunakan

    Jenis zat Frekuensi

    (n=50) %

    Tidak

    menggunakan

    Napza selama

    terapi

    - 16 32

    1 zat Heroin/

    benzodiazepin 10

    20

    2 zat

    Heroin-benzo/

    benzo-alkohol/

    benzo-cannabis/

    amfetamin-

    alkohol

    9 18

    3 zat

    Heroin-benzo-

    amfetamin/

    heroin-benzo-

    alkohol/ heroin-

    amfetamin-

    alkohol/ benzo-

    cannabis-alkohol

    5 10

    4 zat

    Heroin-benzo-

    cannabis-

    alkohol/ heroin-

    benzo-kokain-

    alkohol/ benzo-

    4 8

  • 10

    amfetamin-

    cannabis-LSD/

    amfetamin-

    cannabis-LSD-

    alkohol

    5 zat

    Heroin-benzo-

    amfetamin-

    cannabis-kokain/

    heroin-benzo-

    amfetamin-

    cannabis-alkohol

    5 10

    6 zat

    Heroin-benzo-

    amfetamin-

    cannabis-kokain-

    alkohol

    1 2

    Tabel 13. menampilkan perilaku menyuntik setelah

    mengikuti PTRM. Hal ini berkaitan dengan responden

    yang masih menggunakan Napza setelah mengikuti

    PTRM. Diantara 50 responden, sebanyak 54%

    mengatakan tidak menyuntik setelah mengikuti

    PTRM. Sisanya, sebanyak 46% masih melakukan

    injeksi. Diantara mereka yang masih melakukan

    injeksi, 4,3% responden masih menggunakan alat

    suntik tidak steril, 21,7% memakai alat suntik secara

    bergantian dan 9,05% tidak melakukan bleaching pada

    alat suntik tidak steril yang dipakai untuk menyuntik.

    Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan

    Perilaku Menyuntik Selama Mengikuti PTRM

    Frekuensi %

    Penggunaan alat suntik

    steril

    Selalu

    Sering

    Kadang-kadang

    Tidak pernah

    menggunakan alat suntik

    steril

    (n=23)

    15

    5

    2

    1

    65,2

    21,7

    8,7

    4,3

    Penggunaan alat suntik

    bergantian

    Tidak pernah

    Jarang

    Kadang-kadang

    Selalu

    (n=23)

    18

    2

    2

    1

    78,3

    8,7

    8,7

    4,3

    Bleaching (suci hama) pada

    alat suntik

    Selalu

    Sering

    Kadang-kadang

    Jarang

    Tidak pernah

    (n=11)

    3

    3

    3

    1

    1

    27,3

    27,3

    27,3

    9,05

    9,05

    Berdasarkan responden yang masih menyuntik,

    responden dengan lama terapi kurang dari satu tahun

    menyuntik dengan memakai alat suntik steril adalah

    sebanyak 10 orang (45,5%), sisanya sebanyak 12

    orang (54,5%) adalah responden dengan lama terapi

    lebih dari 2 tahun. Sedangkan dari 10 orang responden

    yang masih melakukan bleaching, sebanyak 8 orang

    (80%) adalah responden dengan lama terapi kurang

    dari satu tahun. Adapun 1 orang yang masih

    menggunakan alat suntik tidak steril dan tidak

    melakukan bleaching adalah responden dengan lama

    terapi kurang dari 6 bulan.

    Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan

    Perilaku Menyuntik dan Lama Terapi

    Frek

    (n=33) %

    Lama Terapi

    2 tahun

    n % n %

    Pakai alat

    suntik steril 22 66,7 10 45,5 12 54,5

    Bleaching 10 30,3 8 80,0 2 20,0

    Tidak pakai

    alat suntik

    steril & tidak

    bleaching

    1 3,0 1 100 - -

    Tabel 15. menampilkan riwayat seksual responden

    dalam 4 minggu terakhir yang meliputi jumlah

    pasangan seksual dan perilaku penggunaan kondom.

    Sebanyak 29 orang (58%) memiliki satu pasangan

    seks. Sedangkan 13 orang (26%) mengakui tidak

    memiliki pasangan seks dalam 4 minggu terakhir, 4

    orang (8%) memiliki 2 pasangan seks dan 4 orang

    lainnya (8%) memiliki 3-5 pasangan seks. Pada

    riwayat penggunaan kondom, 11 orang (22%)

    mengaku abstinen, hanya 9 orang (18%) selalu

    menggunakan kondom setiap berhubungan seksual, 2

    orang (4%) sering menggunakan kondom, 13 orang

    (26%) kadang-kadang menggunakan kondom dan

    hampir sepertiga yaitu 15 orang (30%) tidak pernah

    memakai kondom saat berhubungan seksual.

    Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan

    Jumlah Pasangan Seks dan Penggunaan Kondom

    Frekuensi

    (n=50) %

    Pasangan seks

    Tidak ada

    1 orang

    2 orang

    3-5 orang

    13

    29

    4

    4

    26

    58

    8

    8

    Penggunaan Kondom

    Tidak melakukan hubungan

    seksual/penetrasi

    Selalu

    Sering

    Kadang-kadang

    Tidak pernah

    11

    9

    2

    13

    15

    22

    18

    4

    26

    30

    Perilaku seks pada beberapa responden ini terbilang

    rentan dalam transmisi infeksi HIV mengingat

    setengah dari responden adalah ODHA. Walaupun

    sebanyak 22% responden mengaku abstinen dalam 4

    minggu terakhir, proporsi responden yang konsisten

  • 11

    menggunakan kondom setiap berhubungan seksual

    hanya 18% dan proporsi responden yang tidak pernah

    menggunakan kondom adalah sebanyak 30%. Pisani

    (2003) juga mengatakan bahwa konsistensi

    penggunaan kondom diantara Penasun juga rendah,

    hanya sekitar 10%. Berdasarkan temuan ini,

    diperlukan suatu pendidikan yang lebih terfokus pada

    perilaku seksual berisiko diantara klien PTRM.

    Riwayat Kriminalitas. Adapun tindak kriminalitas

    yang dilakukan menurut pengakuan responden selama

    4 minggu terakhir meliputi: kriminalitas properti

    dilakukan oleh 1 orang (2%), penipuan/pemalsuan

    oleh 1 orang (2%), dan pengedaran Narkoba oleh 1

    orang (2%). Tiap tindak kriminal tersebut dilakukan

    oleh orang yang berbeda. Riwayat kriminalitas ini

    tidak digali lebih dalam karena merupakan salah satu

    pertanyaan yang sensitif. Sehingga, kemungkinan

    adanya bias pun tidak dapat dihindari.

    Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan

    Riwayat Kriminalitas Selama Empat Minggu

    Terakhir

    Frekuensi

    (n=50) %

    Kriminalitas properti 1 2

    Penipuan/ pemalsuan 1 2

    Pengedaran Narkoba 1 2

    Kesimpulan

    Secara umum, temuan dalam penelitian ini tidak jauh

    berbeda dengan temuan pada penelitian lain terkait

    efektivitas PTRM yang dinilai secara subjektif melalui

    penilaian kualitas hidup klien PTRM. Persepsi klien

    terhadap kualitas hidupnya secara umum cenderung

    positif selama berada dalam program. Hal ini secara

    tidak langsung menggambarkan bahwa PTRM

    berpengaruh pada kualitas hidup pengguna opiat

    suntik kearah yang lebih baik. Namun, penelitian ini

    tidak dapat memberikan gambaran terkait peningkatan

    kualitas hidup pada klien PTRM sehubungan dengan

    metode penelitian yang digunakan dan keterbatasan

    waktu penelitian. Rendahnya skor dimensi sosial dan

    kesehatan fisik pada penelitian ini dapat dikaitkan

    dengan status klien PTRM yang merupakan pengguna

    opiat dan sebagian dari mereka yang positif terinfeksi

    HIV. Sehingga, efek samping penggunaan metadon

    dan keluhan fisik yang dirasakan terkait masalah HIV

    sangat umum dirasakan oleh mereka dan secara tidak

    langsung mempengaruhi skor pada dimensi kesehatan

    fisik. Sedangkan rendahnya skor sosial, selain

    dikaitkan dengan efek samping penggunaan metadon,

    masih adanya stigma masyarakat terhadap status

    mereka sebagai pengguna Napza dan ODHA juga

    mempengaruhi interaksi sosial mereka dengan

    lingkungannya. Temuan lain yang positif pada

    penelitian ini adalah angka kriminalitas dan perilaku

    menyuntik berisiko yang rendah. Dari 50 Penasun

    yang telah mengikuti PTRM dengan median lama

    terapi 3 tahun, setidaknya dapat mengurangi perilaku

    berisiko penggunaan jarum suntik sebanyak 54%.

    Sedangkan masalah yang ditemukan dalam penelitian

    ini adalah masih tingginya penggunaan Napza selama

    terapi, khususnya heroin dan zat sedatif seperti

    benzodazepin. Penggunaan benzodizepin ini juga

    dapat dikaitkan dengan kualitas tidur buruk yang

    dikeluhkan oleh sebagian besar responden dan

    berdampak pada rendahnya skor aspek tidur dan

    istirahat dalam dimensi fisik. Masalah lain yaitu

    tingginya prevalensi disfungsi seksual diantara klien

    PTRM yang berdampak pula pada rendahnya skor

    aspek aktifitas seksual dalam dimensi sosial. Perilaku

    seksual berisiko diantara klien PTRM juga perlu

    menjadi perhatian berdasarkan temuan bahwa klien

    yang konsisten menggunakan kondom masih sangat

    sedikit, padahal hampir sebagian mereka positif

    terinfeksi HIV. Hal lain yaitu masih adanya klien yang

    mempunyai pasangan seks tidak tetap.

    Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa program

    PTRM memiliki prospek yang besar dalam perbaikan

    kualitas hidup pecandu opioid suntik. Intervensi pada

    masalah yang ditemukan dalam penelitian ini,

    diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas hidup

    klien PTRM di Puskesmas Bogor Timur.

    Daftar Acuan

    1. NAC. (2010). Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS

    (UNGASS) Reporting Period 2008-2009. National

    Aids Commission Republic of Indonesia.

    2. Badan Narkotika Nasional. (2011). Ringkasan Eksekutif Survei Nasional Perkembangan

    Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011

    (Kerugian Sosial dan Ekonomi). Jakarta: BNN.

    www.bnn.go.id/portal/uploads/.../20120529145842

    -10263.pdf.

    3. Kementrian Kesehatan RI. Subbagian Hubungan Masyarakat Ditjen Bina Upaya Kesehatan. (2012).

    Peresmian Klinik Program Terapi Rumatan

    Metadon (PTRM) RSUP dr. M. Djamil Padang.

    Publikasi Direktorat Jenderal Bina Upaya

    Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

    http://buk.depkes.go.id.

    4. Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk

    Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza).

    Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

    5. Menteri Kesehatan RI. (2008, 10 April). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

    350/Menkes/SK/VI/2008 Tentang Penetapan

    Rumah Sakit Pengampu dan Satelit Program

    Terapi Rumatan Metadon Serta Pedoman Program

    Terapi Rumatan Metadon. Jakarta: Kemenkes RI.

    6. Heslin KC et al. (2011). Clinical correlates of health-related quality of life among opioid-

  • 12

    dependent patients. Quality Life Research

    20:12051213. 7. Utami, D.S., dkk. (2005). Program Rumatan

    Metadon di Indonesia Pada Tahap Uji Coba (Pilot

    Project of Methadone Maintenance Program in

    Indonesia). Buletin Ilmiah Populer Rumah Sakit

    Ketergantungan Obat (RSKO), 18-25.

    8. Sarafino, EP. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Fifth Ed.). USA:

    John Wiley & Sons, Inc.

    9. WHO. (1996, December). WHOQOL-BREF - Introduction, Administration, Scoring and Generic

    Version of The Assessment (Field Trial Version).

    Geneva: Programme on Mental HealthWorld

    Health Organization.

    10. Baharom, et al. (2012). Improvement of quality of life following 6 months of methadone maintenance

    therapy in Malaysia. Substance Abuse Treatment,

    Prevention, and Policy,7:32.

    http://www.substanceabusepolicy.com/content/7/1/

    32.

    11. Huong AGW, Ng CG, Amer SA. (2009). Quality of life assessment of opioid substance abusers on

    methadone maintenance therapy (MMT) in

    University Malaya Medical Centre. ASEAN

    Journal of Psychiatry, 10:111. 12. Padaiga et al. (2007). Outpatient Methadone

    maintenance treatment program quality of life and

    health of opioid-dependent persons in Lithuania.

    Medicina (Kaunas) 43(3), 235-241.

    13. Fernandez-Miranda JJ, Gonzalez MP, Saiz PA, Gutierrez E, Bobes J. (1998). Quality of life,

    psychopathological status and drug use in a

    methadone maintenance treatment in Spain. Eur

    Neuropsychopharmacol, 8: S285.

    14. Lee TSH et al. (2011). Clinical characteristics and risk behavior as a function of HIV status among

    heroin users enrolled in methadone treatment in

    northern Taiwan. Substance Abuse Treatment,

    Prevention, and Policy 6:6.

    15. Rosen et al. (1997, June). The International Index of Erectile Function (IIEF): a multidimensional

    scale for assessment of erectile dysfunction.

    Urology Volume 49, Issue 6: 822-830.

    16. Hallinan R, Byrne A et al. Erectile Dysfunction in Men Receiving Methadone and Buprenorphine

    Maintenance Treatment J Sex Med (2008): 648-692

    17. Xia Y, Zhang D, et al. Sexual Dysfunction During Methadone Maintenance Treatment and Its

    Influence on Patient's Life and Treatment: A

    Qualitative Study in South China. Psychology, Health and Medicine (2012): 1-9

    18. Splete, Heidi. Methadones Impact on Libido Hurts Compliance. Addiction Psychiatry (2005): 63 http://www.clinicalpsychiatrynews.com

    19. Rosen et al. (2000). The Female Sexual Function Index (FSFI):A multidimensional self-report

    instrumentfor the assessment of female sexual

    function. Journal of Sex & Marital Therapy,

    26:191208. 20. Zung, WW. (1965). A self-rating depression scale.

    Archives General Psychiatry 12, 63-70.

    21. Peles et al. (2006, April). Variables associated with percieved sleep disorders in methadone

    maintenance treatment (MMT) patients. Drug and

    Alcohol Dependence; 82(2): 103-110.

    22. Rabkin JG. (2008). HIV and depression. USA: Current HIV/AIDS Report, 5:163-171.