alcoholic anonymous dan kecemasan pada pasien …eprints.ums.ac.id/72310/10/naskah publikasi.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
ALCOHOLIC ANONYMOUS DAN KECEMASAN PADA
PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II
pada Jurusan Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana
Oleh :
NADYA PUSPITA ADRIAN
S300150018
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
3
4
1
ALCOHOLIC ANONYMOUS DAN KECEMASAN PADA PASIEN
PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris pengaruh alcoholic
anonymous terhadap kecemasan pada pasien program terapi rumatan metadon.
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah 20 pasien program terapi rumatan
metadon yang berada di klinik PTRM rumah sakit dr. Moewardi Surakarta dan
klinik PTRM di Puskesmas Manahan Surakarta yang mengalami kecemasan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eskperimen dengan rancangan
pre-test and post-test with control group design. Metode pengumpulan data
menggunakan skala ukur (kuesioner) STAI (State Trait Anxiety Inventory). Hasil
penelitian menunjukkan model teoritis dan didukung oleh data empiris bahwa ada
pengaruh alcoholic anonymous terhadap penurunan kecemasan pada pasien
PTRM.
Kata Kunci: alcoholic anonymous, kecemasan, metadon
Abstract
This study aims to prove empirically the effect of alcoholic anonymous on anxiety
in patients on methadone maintenance therapy programs. The research subjects in
this study were 20 patients on methadone maintenance therapy programs who
were in the PTRM clinic at the hospital. Moewardi Surakarta and PTRM clinic at
Manahan Surakarta Health Center who experienced anxiety. This study used a
quasi-experimental research design with a pre-test and post-test with control
group design. Methods of collecting data using a measuring scale (questionnaire)
STAI (State Trait Anxiety Inventory). The results of the study show a theoretical
model and are supported by empirical data that there is an influence of alcoholic
anonymous on decreasing anxiety in MMT patients.
Keywords: alcoholic anonymous, anxiety, methadone
1. PENDAHULUAN
Penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA)
merupakan kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional maupun
internasional. Berdasarkan latar belakang pendidikan terdapat peningkatan
penyalahgunaan penggunaan narkoba pada lulusan SD sebesar 37,1 %, lulusan
SLTP 31,9%, lulusan PT 12,87%. Penurunan terjadi pada lulusan SLTA sebesar
5,1 %seperti grafik 3 dibawah ini. Berdasarkan usia, terdapat peningkatan jumlah
tersangka dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2017 sebesar 7,38% pada
tersangka di bawah 16 tahun, 27,27%, pada usia 16-19 tahun, 13,4% usia 20-24
tahun, dan 41% usia 25-29 tahun. Penurunan sebesar 11% pada usia di atas 29
2
tahun. Hasil survey berdasarkan jenis kelamin juga membuktikan bahwa
pengguna narkoba di Indonesia lebih banyak pria dibandingkan wanita.
Sepuluh kabupaten atau kota di Jawa tengah yang rawan peredaran NAPZA
adalah kota Semarang, Solo, kabupaten Banyumas, Cilacap, Magelang, Sragen,
Jepara, Batang, Pemalang, danWonosobo (Tvonenews, 2012). Satuan Reserse
Narkoba Polresta Solo mengungkapkan bahwa selama tahun 2016 terungkap 133
kasus peredaran narkoba dan penyalahgunaan narkoba (SoloPos, 2016). Jumlah
kasus itu meningkat 40% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 109 kasus.
Seringkali seseorang yang mengkonsumi NAPZA mengalami gejala-gejala
yang tidak menyenangkan baik medis maupun psikis. Berbagai masalah medis
yang dapat timbul akibat penyalahgunaan NAPZA adalah infeksi human
immunodeficiency virus/autoimmunodeficiency syndrome (HIV/ AIDS), hepatitis
C atau B. Dampak penyalahgunaan NAPZA bagi tubuh dan kesehatan yang
ditemukan Anggraeni (2015) adalah badan kurus, senyum-senyum sendiri, mudah
gelisah, serba salah, menghindari tatapan mata ketika diajak bicara, mata sering
jelalatan, badan berkeringat meskipun berada di ruangan AC, mudah marah dan
mudah mencurigai lingkungan, terutama lingkungan baru.
Adapun permasalahan secara psikis yang dialami oleh pengguna NAPZA
adalah kecemasan, depresi, dan psikosis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Deykin.,Levy.,&Wells (1987) menjelaskan bahwa kecemasan
terjadi setelah individu mengkonsumsi NAPZA. Hal ini juga didukung oleh
penelitian Joshua & Sarah (2008) bahwa gangguan kecemasan lebih berkaitan
dengan ketergantungan NAPZA, dibandingkan dengan penyalahgunaan NAPZA,
walaupun ada seseorang yang menggunakan NAPZA dengan alasan dirinya
mengalami kecemasan sehingga orang tersebut mengambil jalan pintas dengan
mengkonsumsi NAPZA dan akhirnya merasa tergantung dengan NAPZA karena
dengan NAPZA dirinya merasa tenang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kushner & Sher (1993) yang menjelaskan bahwa ketergantungan
terhadap NAPZA terjadi karena individu tersebut mengalami kecemasan.
Menurut Hawari (dalam Firdaus 2010) dalam penelitiannya tentang
pemeriksaan klinis terhadap pasien penyalahgunaan zat di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta menyatakan bahwa ada hubungan yang
3
bermakna antara penyalahgunaan zat dengan gangguan kepribadian antisosial,
kecemasan, depresi, dan kondisi keluarga. Resiko relatif (estimated relative risk)
penyalahgunaan zat terhadap gangguan kepribadian antisosial sebesar 19,9%;
kecemasan sebesar 13,8%; depresi sebesar 18,8%; dan kondisi keluarga sebesar
7,9%. Hasil penelitian Hawari diperkuat oleh Ahmadi., dkk (2013) bahwa
pecandu narkoba memiliki faktor resiko tinggi terhadap kecemasan.
Studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada hari selasa tanggal 27
september 2016 di klinik PTRM Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo
pada dua orang pasien dengan pendekatan wawancara informal. PTRM adalah
rangkaian kegiatan terapi yang menggunakan Metadon disertai dengan intervensi
psikososial bagi pasien ketergantungan opioid sesuai kriteria diagnostik Pedoman
Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwake-III (Peraturan Menteri Kesehatan
no 57 tahun 2013). Metadon sendiri adalah Narkotika berupa obat jadi dalam
bentuk sediaan tunggal. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk
menggantikan zat yang biasanya disalahgunakan, dan obat ini menekan gejala
putus zat (Kaplan&Sadock, 1997).
Metadon ditemukan pertama kali di Jerman pada tahun1937. Secara kimiawi
metadon tidak sama dengan heroin dan morpin, namun menimbulkan efek yang
sama dengan kedua zat tersebut. Didalam tubuh, metadon dapat menstabilkan
kondisi penyalahguna NAPZA dari sindrom ketergantungan obat-obatan
(Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Kesehatan, 2007).
Terapi metadon dapat membantu pecandu NAPZA mencapai keadaan bebas
obat dengan cara detoksifikasi dan mencapai tujuan akhir yakni meningkatnya
status kesehatan dan produktivitas pasien. Sekaligus juga efektif menekan dampak
buruk narkoba suntik yakni menurunkan prevalensi penularan HIV dan penyakit
menular lainnya di kalangan pengguna jarum suntik (Kompas, 2008).
Kecemasan juga menyertai pasien yang menjalani treatmen program terapi
rumatan metadon (PTRM). Menurut Solimani., Najafi.,& Shargi (2013)
kecemasan dan depresi menyertai pasien terapi metadon. Di satu sisi terapi
metadon berdampak buruk, namun di pihak lain terapi metadon dapat
membebaskan pasien dari ketergantungan NAPZA, dan dapat meningkatkan
4
kualitas hidup. Kualitas hidup klien menjadi baik setelah menjalani terapi
metadon di program terapi rumatan metadon (PTRM).
Kecemasan menurut Spielberger (1972) adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang disertai dengan
perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai “tekanan”,
“ketakutan”, dan “kegelisahan”. Spielberger (1976) membagi kecemasan menjadi
dua, yaitu: a) State anxiety (A-State) yaitu emosi tidak menyenangkan karena
dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam dan berbahaya. A-State merupakan
kondisi atau reaksi emosional yang kompleks dan relatif unik yang dapat
bervariasi dalam intensitas dan berfluktuasi dari waktu ke waktu. State
anxiety bersifat sementara, dimana kecemasan itu muncul ketika individu
menerima stimulis yang berpotensi untuk melukai dirinya. b) Trait anxiety (B-
State) lebih mengarahkan pada kestabilan perbedaan kepribadian dalam
kecenderungan untuk merasa cemas. B-State tidak langsung telihat pada tingkah
laku individu, tetapi dapat dilihat dari frekuensi states anxiety individu yaitu
perbedaan antara orang-orang dalam kecenderungan untuk merasakan stres situasi
yang berbahaya atau mengancam dan untuk menanggapi situasi dalam intensitas
reaksi keadaan cemas mereka (S-Anxiety).
Aspek kecemasan menurut Spielberg (1972) aspek A-State adalah: a)
perasaan yang tidak menyenangkan, b) perasaan yang muncul akibat ketegangan
dan ketakutan dengan aktivasi atau gairah yang terkait dari sistem saraf otonom.
Kecemasan sesaat tersusun dari suatu yang kompleks, yang secara relatif
merupakan kondisi atau reaksi emosional yang unik, bervariasi dalam intensitas
dan setiap saat berubah-ubah. Lebih spesifik lagi, kecemasan sesaat ini di
konseptualiskan sebagai munculnya perasaan tidak senang (unpleasant) , perasaan
tegang (tension) dan perasaan takut (apprehension) yang di sertai dengan adanya
peningkatan aktifitas sistem saraf pusat.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa kedua pasien
menyatakan merasakan cemas dan tertekan dengan keadaanya saat ini ketakutan
akan ketidakberhasilan dalam proses penyembuhan terlebih pada anggota
keluarganya dia merasa takut tidak diterima oleh lingkungannya, dan satu orang
pasien lain yang mengatakan bahwa dirinya merasa tidak akan berhasil sembuh
5
dan tidak berharga lagi dan tidak dapat melanjutkan hidup normal. Ada rasa
kurang percaya diri untuk membaur dengan tetangga dan keluarga besar. Mereka
sudah pernah datang pada salah satu konselor di rumah sakit tersebut namun tidak
dapat membantu. Kedua responden tersebut menyatakan membutuhkan dukungan
dari orang-orang yang ada di sekitarnya dan ingin terbebas dari perasaan bersalah
atas apa yang telah mereka lakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bukhari (2016) pada 41 responden yang
mengikuti rehabilitasi narkoba di sibolangit Center Rehabilitation For Drug
Addict Kecamatan Sibolangit Provinsi Sumatra Utara Tahun 2015 yang hasil
penelitiannya adalah menunjukkan responden yang tidak mengalami cemas
(9,8%), Cemas Ringan (43,9%), Cemas Sedang (36,6%),Cemas Berat (9,8%),
Cemas Berat Sekali (0%).Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
Adriana (2014) survey awal di Puskesmas Manahan solo dengan menyebarkan 30
angket kepada pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon terdapat
23 pasien yang mengalami kecemasan selama mengikuti terapi. Sikap negatif
penasun inilah yang merupakan faktor internal yang disebabkan evaluasi penasun
terhadap dampak pandangan masyarakat umum yang masih negatif, dan membuat
terapi yang dilakukan tidak berjalan dengan baik.
Observasi yang dilakukan oleh peneliti di 2 tempat yaitu Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi Surakarta, dan Puskesmas Manahan Surakarta. Klinik
PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) RSUD. Dr. Moewardi didirikan pada
tahun 2008, klinik ini dibuka karena mengikuti program dari pemerintah. Terapi
ini dipimpin oleh 2 dokter yang terdiri dari 1 DPJP (Dokter Penanggung Jawab
Paisen) yaitu dr. Suwito, SPKj dibantu oleh 4 dokter Residen, ada 1 perawat yaitu
Bp. Agus Supriyatno, dan 2 apoteker untuk memberikan obat metadon. Klinik
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Puskesmas Manahan Surakarta
didirikan pada tahun 2009. Terapi di Puskesmas Manahan ini ditangani oleh 1
dokter /psikiater, 4perawat dan 2 asisten apoteker, sama dengan Rumah Sakit
Daerah Moewardi. Program ini hanya dilakukan pada penderita ketergantungan
heroin jika ketergantunggannya sabu tidak dapat mengikuti program terapi
rumatan metadon. Setelah sembuh akan dilakukan tappring off atau penurunan
dosis.
6
Kesembuhan penyalahguna NAPZA bergantung pada motivasi, dukungan
keluarga, dukungan teman, dan kepatuhan (keteraturan) dalam menjalani terapi
metadon (Rodiyah, 2011). Sedangkan faktor yang mempengaruhi kepatuhan
penyalahguna terhadap terapi metadon yaitu pengetahuan, sikap, dukungan
keluarga dan dukungan petugas kesehatan (Pratiwi., Arsyad., & Ansar, 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti di RS Dr. Moewardi, dari 50 peserta
PTRM, 38 peserta tidak aktif. Artinya 76% dari peserta PTRM tidak patuh
menjalani terapi metadon. Salah satu hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya terhadap ketidakpatuhan pasien menjalani
terapi metadon adalah kurangnya konseling psikososial yang rutin. Konseling
yang biasa dilakukan lebih berupa konseling untuk kenaikan atau penurunan
dosis(Jaya, 2015).
Terapi alchoholic anonymous (AA) adalah program perawatan yang memberi
penekanan pada tujuan dan aktivitas yang diselesaikan melalui urutan 12
langkah. Terapi ini dikenaldengan 12 langkah (the 12 steps recovery program).
Program ini didesain dengan kegiatan yang bervariasi seperti edukasi ketrampilan,
meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional, edukasi moral dan
spiritual. Fokus dalam program ini adalah menerapkan setiap langkahnya dalam
kehidupan sehari-hari. Materi yang diberikan AA ditekankan pada perilaku
penyalahguna narkoba.
Hasil penelitian Sutton (1994) di antara 200 peserta alcoholic anonymous
tidak lagi mengkonsumsi NAPZA dan cenderung teratur dalam mengikuti
program terapi. Hal ini juga di katakan oleh Timko., Moos., Finney.,&Moos
(1994) menunjukkan bahwa individu yang menghadiri AA memiliki
kecenderungan mempertahankan pantangan mereka dan memiliki lebih sedikit
masalah terkait alkohol pada follow-up satu tahun.
Mc. Kellar., Stewart.,& Humphreys (2003) mengemukakan bahwa peserta
menemukan manfaat program AA. Manfaat pertama, setelah menghadiri program
alcoholic anonymous, peserta mengkonsumsi lebih sedikit alkohol dan memiliki
lebih sedikit masalah kesehatan dan masalah sosial. Kedua, individu yang tidak
kambuh merasa lebih nyaman hadir dipertemuan, dan karena itu terus hadir,
mempromosikan siklus positif dan dukungan kepada anggota lainnya.
7
Penelitian yang dilakukan Ando, Almos, Nemet, dkk (2016) menyatakan
bahwa alcoholic anonymous sangat efektif dalam menunjukkan efek
menguntungkan dalam mengurangi kekambuhan untuk jangka panjang dan
keteraturan dalam kehadiran dalam kelompok
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, peneliti terdorong
untuk menggunakan pendekatan terapi AA karena mencakup keseluruhan dari
terapi lainnya, seperti terapi spiritual, terapi kelompok, dan konseling, yang mana
dapat dilakukan dalam satu waktu dan metode sehingga dengan AA, pasien dapat
berbagi dengan sesama pengguna napza, atau teman yang dipercaya untuk
mencurahkan yang dirasakan untuk dapat memberikan saran, dan menguatkan,
sehingga terdorong keinginan dalam diri pasien sendiri untuk sembuh dan
mendekatkan diri dengan Tuhan (spiritual meningkat) guna tercapainya
keberhasilan.
Melihat fenomena di atas maka muncul permasalahan apakah ada pengaruh
alcoholic anonymous terhadap kecemasan pada pasien program terapi rumatan
metadon? Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh alcoholic anonymous terhadap penurunan kecemasan pada
pasien program terapi rumatan metadon.
2. METODE
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan populasi pasien Program Terapi
Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di
Rumah Sakit Daerah Moewardi Solo. Menurut Notoadmojo (2010) sampel
merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan subjek yang diteliti. Sampel
pada penelitian ini adalah pasien Program Terapi Rumatan Metadon di Klinik
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Rumah Sakit Daerah Solo dan
Puskesmas Manahan Solo. Pengambilan sampel didasarkan pada karakteristik
sebagai berikut: pasien aktif program terapi rumatan metadon di klinik PTRM
RSUD Moewardi dan Puskesmas Manahan Surakarta, responden minimal sudah
melakukan 5 (lima) kali kunjungan secara berturut-turut, bersedia menjadi
responden, mengalami kecemasan dengan skor STAI lebih dari 20.
8
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian intervensi pengaruh alcoholic
anonymous terhadap kecemasan pada pasien Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM) di Surakarta. Penelitian ini telah dilakukan pada 20 orang responden
yang merupakan pasien Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Surakarta.
Pada penelitian ini uji normalitas data yang digunakan adalah dengan
menggunakan uji Saphirowilk karena jumlah subjek 20 responden. Data
berdistribusi normal jika p value > 0,05. Dijelaskan bahwa semua variabel
kecemasan state dan trait dalam penelitian ini berdistribusi normal. Dengan p
value > 0.05. Dengan demikian analisis bivariat dapat dilakukan dengan uji
parametric.
Hasil analisis pretest-posttest digunakan untuk mengetahui perbedaan rata-
rata skor kecemasan State kelompok eksperimen Pre (sebelum diberikan
perlakuan) dan Post (sesudah diberikan perlakuan) dan Follow Up. Berdasarkan
uji normalitas data, uji statistic yang digunakan adalah paired t-test.
Tabel 2. Hasil kelompok eksperimen dan kelompok Kontrol
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Variabel Pengukuran SD P
value
Variabel Pengukuran SD P
value
Cemas
State
Pre-Post 3.894 0.001 Cemas
State
Pre-Post 0.667 0.678
Post-Follow
Up
2.221 0.049 Post-Follow
Up
0.738 1.000
Cemas
Trait
Pre-Post 9.367 0.695 Cemas
Trait
Pre-Post 0.667 0.678
Post-
FollowUp
4.695 0.794 Post-
FollowUp
0.738 0.193
Hasil analisa didapatkan p value kelompok eksperimen kecemasan state
sebelum diberikan intervensi dengan sesudah pemberian intervensi (pre-post)
yaitu p value =0.001 dan setelah pemberian intervensi dengan follow up (post-
follow up) adalah p value = 0.049 yang berarti bahwa ada perbedaan yang
signifikan skor rata-rata kecemasan state kelompok eksperimen sebelum dengan
sesudah dan sesudah dengan follow up. Hasil analisa didapatkan nilai p value
kelompok eksperimen kecemasan trait sebelum pemberian intervensi dengan
sesudah pemberian intervensi (pre-post) yaitu p value =0,695 dan setelah
9
pemberian intervensi dengan follow up (post-follow up) adalah p value = 0,794
yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan skor rata-rata kecemasan
trait kelompok eksperimen sebelum dengan sesudah dan sesudah dengan follow
up. Hasil analisa didapatkan nilai p value kelompok kontrol kecemasan state
sebelum pemberian intervensi dengan sesudah pemberian intervensi (pre-post)
yaitu p value =0.678 dan setelah pemberian intervensi dengan follow up (post-
follow up) adalah p value = 1.000 yang berarti tidak memiliki perbedaan yang
bermakna sebelum, sesudah pemberian dan follow up. Hasil analisa didapatkan
nilai p value kelompok kontrol kecemasan trait sebelum pemberian intervensi
dengan sesudah pemberian intervensi (pre-post) yaitu p value =0,678 dan setelah
pemberian intervensi dengan follow up (post-follow up) adalah p value = 0,193,
dijelaskan bahwa kecemasan trait kelompok kontrol sebelum diberi perlakuan
dengan sesudah diberi perlakuan dan sesudah diberi perlakuan dengan follow up
memiliki p value > 0,05 yang berarti tidak memiliki perbedaan yang bermakna
sebelum, sesudah pemberian dan follow up.
Uji signifikansi kecemasan state dan trait kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol
Tabel 3. Hasil posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol kecemasan
state dan kecemasan trait
Kecemasan State Kecemasa Trait
P Value Leven’s test O,713 0,884
P Value 0,036 0,041
Hasil didapatkan nilai signifikansi kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol kecemasan state = 0,713 dan kecemasan trait = 0,884 yang berarti nilai p>
0,05 maka data varians kedua kelompok sama. Dilihat p value 0,036. Karena nilai
kecemasan state p = 0,036 dan kecemasan trait p = 0,041 maka p < 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor kecemasan state dan trait
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, yang artinya ada perbedaan skor
kelompok eksperimen yang diberikan intervensi dengan kelompok kontrol yang
tidak diberi intervensi yang artinya bahwa alcoholic anonymous berpengaruh
dalam menurunkan kecemasan state dan trait pada pasien program terapi rumatan
metadon.
10
Analisis gain skor kecemasan state dan trait kelompok eksperimen dan
kontrol
Berdasarkan data hasil penelitian terdapat perbedaan skor pada subjek
kelompok eksperimen. Hal tersebut dapat diartikan bahwa mayoritas pasien yang
diberikan perlakuan berupa alcoholic anonymous mengalami penurunan skor
kecemasan pada pengukuran post-test maupun follow up. Hal ini dapat dilihat dari
angka gain skor yang menunjukkan nilai negative
Gambar 1. kecemasan state kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
Gambar diatas menunjukkan bahwa rerata skor pretest kecemasan pada
kelompok eksperimen yaitu 36,9. Kemudian pada saat post-test terjadi penurunan
rerata skor kecemasan state menjadi 30,4. Selain itu pasien juga mengalami
penurunan skor dari tahap post-test ke tahap follow up yaitu 28,8. penurunan skor
yang terjadi menunjukkan adanya penurunan. Pada pengukuran follow up (2
minggu setelah pelatihan) rerata skor kecemasan state pada kelompok eksperimen
mengalami penurunan dari 30,4 menjadi 28,8, menujukkan bahwa skor
kecemasan state kelompok eksperimen menurun meskipun tidak ada intervensi,
karena pasien menerapkan apa yang telah dipelajari selama pemberian intervensi
berlangsung. Sehingga dapat di simpulkan bahwa terdapat penurunan signifikan
skor kecemasan state secara bertahap setelah diberikan intervensi alcoholic
aonymous. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan skor
namun terjadi kenaikan skor yaitu 38,3. Kemudian pada saat post-test skor
36,9
30,4 28,8
38,3 38,3 38,4
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Pre Post Follow Up
Kecemasan State
eksperimen
kontrol
11
relative tetap yaitu 38,3 yang berarti tidak terdapat selisih skor dari pretest ke
post-test. Pada pengukuran follow up (2 minggu setelah pemberian intervensi
untuk kelompok eksperimen) rerata skor kecemasan state pada kelompok kontrol
mengalami kenaikan dari 38,3 menjadi 38,4. Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi alcoholic anonymous tidak
mengalami penurunan skor kecemasan.
Gambar 2. kecemasan trait kelompok eksperimen dan kelompok control
Gambar diatas menunjukkan bahwa rerata skor pretest kecemasan trait
pada kelompok eksperimen yaitu 38,9. Kemudian pada saat post-test terjadi
penurunan rerata skor kecemasan state menjadi 37,7. Selain itu pasien juga
mengalami penurunan skor dari tahap post-test ke tahap follow up yaitu 37,3.
penurunan skor yang terjadi menunjukkan adanya penurunan walaupun relatif
tetap. Pada pengukuran follow up (2 minggu setelah pelatihan) rerata skor
kecemasan state pada kelompok eksperimen mengalami penurunan dari 37,7
menjadi 37,3. Hal ini menujukkan bahwa skor kecemasan trait kelompok
eksperimen menurun meskipun tidak ada intervensi, karena pasien menerapkan
apa yang telah dipelajari selama pemberian intervensi berlangsung. Sedangkan
pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan skor namun terjadi kenaikan skor
yaitu 44,9. Kemudian pada saat post-test skor relative tetap yaitu 45 yang berarti
tidak terdapat selisih skor dari pretest ke post-test. Pada pengukuran follow up (2
minggu setelah pemberian intervensi untuk kelompok eksperimen) rerata skor
kecemasan trait pada kelompok kontrol mengalami penurunan dari 45 menjadi
38,9 37,7 37,3
44,9 45 44,7
0
10
20
30
40
50
Pre Post Follow Up
Kecemasan Trait
eksperimen
kontrol
12
44,7. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol yang tidak diberikan
intervensi alcoholic anonymous tidak mengalami penurunan skor kecemasan.
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
alcoholic anonymous dapat menurunkan kecemasan pada pasien program terapi
rumatan metadon, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Firdaus
(2010) bahwa kecemasan berhubungan positif terhadap penggunaan terapi
metadon. Pasien mengalami kecemasan dalam hal ketakutan akan relapse atau
kambuh lagi dalam mengkonsumsi putaw atau nge-mix dengan obat lain yang
dijual bebas di apotek. Hal ini akan menganggu pasien dalam proses pengobatan
dikarenakan pasien akan mengulang pengobatan lagi dari awal dan tidak bisa
lepas dari metadon. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Piacentine (2013) yang menyatakan bahwa kecemasan dapat meningkatkan
kecenderungan pasien untuk kembali relapse. Dengan demikian peneliti
memberikan alcoholic anonymous agar dapat menurunkan kecemasan yang
dirasakan oleh pasien agar pengobatannya lancar. Dengan demikian, hipotesis
yang diasumsikan oleh Peneliti dapat dinyatakan diterima.
Alcoholic anonymous merupakan program perawatan yang memberi
penekanan pada tujuan dan aktivitas yang diselesaikan melalui urutan 12
langkah. Ini adalah sebuah program swadaya yang biasanya dilakukan dalam
lingkungan kelompok, dan bertujuan untuk membantu orang dalam menyadari
bahwa mereka tidak berdaya atas substansi. Pasien rumatan metadon sulit
mengidentifikasi, menerima, dan menahan emosi negatif seperti kecemasan atau
depresi, pasien menggunakan benzodiazepine sebagai strategi coping untuk
menyelesaikan kecemasannya setelah putus zat (Posternak, MA., Mueller, TI,
2001)., sehingga pasien mengobati diri sendiri (tidak menggunakan resep doter)
menggunakan obat antidepresan seperti benzodiazepine(Emjik, M. et al, 2017).
Hasil penelitian Chen, (2011) menunjukkan bahwa 47% subjek memiliki
riwayat penggunaan benzodiazepine. 39,8% dari subjek tersebut menggunakan
benzodiazepine tanpa resep dokter. 54% dari subjek tersebut mulai menggunakan
benzodiazepine setelah mengikuti terapi metadon. Ditemukan juga fenomena
peningkatan dosis dan penggunaan kembali benzodiazepine pada 61% dari subjek
tersebut.
13
Penelitian ini membuktikan bahwa kecemasan yang muncul pada pasien lebih
disebabkan efek samping dari pemberian metadon. Kecemasan dalam hal ini tidak
berkaitan dengan kepribadian. Pasien justru merasa cemas setelah konsumsi
metadon, subjek SNG yang mengatakan bahwa dulunya ia sering relapse
dikarenakan meminum metadon dan meminum benzodiazepam yang dapat
menurunkan efek tidak nyaman di badan maupun pikiran karena setelah
meminum benzo dirinya merasa nyaman, tidak ada pikiran dan hanya ingin tidur,
jika dirinya tidur maka ketidaknyaman yang dirasakan ia saat setelah minum
metadon tidak akan terlalu dirasakan. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Solimani., Najafi.,& Shargi (2013) kecemasan dan depresi
menyertai pasien terapi metadon. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Simunovic, et al (2014) membandingkan antara pengobatan metadon dan
buprenorphin pada pecandu NAPZA, hasilnya pasien metadon secara signifikan
lebih cemas dibandingkan dengan pasien buprenorphin.
Berdasarkan hasil secara kualitatif ditemukan fenomena adanya peningkatan
kecemasan trait pada 2 pasien pada tahap post tests, namun 1 pasien menurun dan
1 pasien meningkat pada tahap follow up. 2 pasien yang mengalami penurunan
kecemasan trait pada tahap post tests, 1 orang menurun dan 1 orang meningkat
pada tahap follow up. Sekalipun demikian keempat pasien tersebut mengalami
penurunan kecemasan statepada tahap post dan follow up. Artinya AA efektif
menurunkan intensitas kecemasan (kecemasan state), namun kurang efektif
menurunkan frekuensi kecemasan (kecemasan trait). Hal ini menunjukkan bahwa
AA efektif untuk menurunkan kecemasan karena keadaan emosi pada saat
tertentu, di waktu tertentu dengan tingakatan intensitas tertentu. Seperti dijelaskan
oleh Spielberger (1979) bahwa kecemasan trait berkaitan erat dengan masa lalu.
Spielberger juga menjelaskan bahwa kecemasan state bisa berubah menjadi trait
apabila berlangsung secara terus menerus. Berdasarkan pada hasil penelitian
Spielberger ini dapat dianalogikan bahwa dengan melakukkan AA secara terus
menerus dapat menyelesaikan permasalahan psikologis, sehingga menurunkan
kecemasan trait. Fenomena ini menunjukkan bahwa keempat subjek tersebut
memiliki permasalahan psikologis tertentu, karena dari data rekam medis
diketahui bahwa keempat pasien tersebut berungkali relapse. Terakhir relapse
14
adalah satu tahun yang lalu. Zat yang pernah digunakan oleh pasien tersebut di
antaranya benzodiasepam, opioid, dan nikotin.
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh alcoholic
anonymous terhadap kecemasan pada pasien program terapi rumatan metadon.
Didukung dari hasil penelitian secara kualitatif didapatkan pasien yang mengikuti
program terapi rumatan metadon mengalami kecemasan dikarenakan putus zat
(putus menggunakan narkoba digantikan dengan metadon) hal ini memunculkan
kecemasan pada setiap pasien maka diberikan alcoholic anonymous sebagai
intervensi yang diharapkan dapat memberikan efek ketenangan batin pada pasien
agar pasien tidak mengalami kecemasan hal ini berpengaruh pada keteraturan
pasien dalam mengikuti program metadon
Berdasarkan hasil data penelitian yang telah dikemukakan, ada beberapa
saran yang dapat diajukan sebagai tindak lanjut penelitian ini. Beberapa saran
yang diajukan adalah: a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
pada pasien untuk dapat belajar mengolah emosi dan memberikan ketenangan
batin pada saat pasien mengalami kecemasan dan membantu pasien agar dapat
mengikuti program terapi rumatan metadon dengan teratur. b) Untuk penelitian
selanjutnya dapat lebih mendalami secara longitudinal tentang alcoholic
anonymous dimana didalamnya terdiri dari dukungan sosial, spiritual, dan
konseling secara individual, sehingga tidak hanya dapat membantu menurunkan
kecemasan state namun juga membantu menurunkan kecemasan trait. c) Bagi
Instansi pemerintah, dapat memberikan informasi baru tentang alcoholic
anonymous dan seberapa berpengaruhnya intervensi ini untuk mengatasi
kecemasan pada pasien program terapi rumatan metadon, serta dapat dijadikan
masukan agar setiap klinik PTRM khususnya di RSUD Moewardi dan Puskesmas
Manahan untuk menggunakan metode dengan pemberian alcoholic anonymous
yang sangat dibutuhkan oleh pasien.Memberikan jadwal pada pasien agar pasien
dapat berkumpul dan dapat diberikan intervensi secara berkelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, P.N. (2014). Pengaruh Konseling terhadap Penurunan Kecemasan Pada
Pasien Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Manahan Solo.
Tidak dipublikasikan
15
Aflakseir, A. (2010). The Role of Social Support and Coping Strategies on Mental
Health of a Group of Iranian Disabled War Veterans. Iranian J Psychiatry,
5:3.
Ahmadi, N.H., Fitri, R., & Elly, N.H. (2013). 5(1), hal. 34-37.
Amato, L., et al. (2004). Psychosocial combined with agonist maintenance
treatments versus agonist maintenance treatments alone for treatment of
opioid dependence. PubMed, 18(4). Anggraeni, D. (2015). Dampak Bagi Pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif (NAPZA) di Kelurahan Gunung Kelua Samarinda Ulu. e.Journal
Sosiatri-Sosiologi, 3(3), 37-51.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2014). Jakarta
Chen, KW., Berger, CC., Forde, PD., D'Adamo,C., Weintraub, E.,& Gandhi,V.
(2011). Benzodiazepine Use and Misuse Among Patients in a Methadone
Program. BMC Psychiatry, 11(90), 1-7. Diambil kembali dari
http://www.biomedcentral.com/1471-244X/11/90
Dahlan, S.M. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Humanika.
Emjik, M.,Zarif, D.,Tajjodini, S.,Baniasad, A.,& Dadpour, B. (2017, June).
Concomitant Drug Use in Patients on Methadone Maintenance Therapy.
Asia Pacifik Journal of Medical Toxicology, 6(2).
Hawari, D (1991). Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Groh, D.R., Jason, L.A., & Keys, C.B. (2008). Social Network Variables in
Alcoholics Anonymous: A Literature Review. Clin Pychol Rev., 28 (3):
430-450.
Kaplan & Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC
McDowell, I. (2006). Measuring Health A Guide to Rating Scales and
Questionnaires. Oxford University Press.
Mc. Kellar, J., Stewart, E.,& Humphreys, K. (2003 , May). Alcoholics
Anonymous involvement and positive alcohol-related outcomes: Cause,
consequence, or just a correlate? A prospective 2-year study of 2,319
alcohol-dependent men. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 2,
8-302.
Montalto, M. (2015). Alcoholics Anonymous: One Treatment Program to Rule
Them All?. Journal Alchohol Drug Depend. Vol. 3. Issue.6.