kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

152
PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG RI 2014 KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

Upload: ballon

Post on 11-Dec-2015

94 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI

2014

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

Page 2: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

LAPORAN PENELITIAN

Koordinator Peneliti :

MOCH. IQBAL, S.H.

PUSLITBANG HUKUM DAN KEADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI

2014

Page 3: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 4: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

LAPORAN PENELITIAN

KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

Koordinator Peneliti :

MOCH IQBAL, S.H.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI

2014

Page 5: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 6: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

i

KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan

dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

merupakan satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga

Peradilan Yaitu :

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Tata Usaha Negara;

4. Peradilan Militer;

berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI. Salah satu

tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Kumdil adalah

meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh

aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan

Jurusita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat

Struktural.

Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan

Litbang Diklat Kumdil meliput 4 (empat) unit kerja yakni :

1. Sekretariat Badan;

2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan

Peradilan;

3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;

4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan

Kepemimpinan;

Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah

Agung RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum

dan Peradilan adalah Penelitian (Puslitbang).

Berdasarkan DIPA 2014 Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah

melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi

tupoksinya. Salah satunya adalah Penelitian

"KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK" yang merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian

tersebut dilaksanakan diwilayah Hukum Pengadilan di

Page 7: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

ii

Jakarta. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk

Buku Laporan.

Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima

kasih atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai

dari pengumpulan bahan-bahan sampai dengan selesainya

penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan

Penelitian "KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT

PUBLIK".

Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal

sholeh dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

Jakarta, September 2014 KEPALA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

& PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

HUKUM DAN PERADILAN

NY. SITI NURDJANAH, SH., MH

Page 8: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT,

atas segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui

DIPA Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun

Anggaran 2014 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas

pokok dan fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan

penelitian.

Kegiatan tersebut diawali dengan Focus Grup

Discussion (FGD) untuk mendiskusikan Proposal Penelitian

berjudul "KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT

PUBLIK" kegiatan FGD Proposal tersebut berlangsung di

Jakarta. Setelah FGD Proposal, dilanjutkan dengan memulai

pelaksanaan kegiatan Penelitian Kepustakaan di Jakarta,

melalui kompilasi bahan dan data penelitian, seleksi serta

analisis terhadap berbagai data, bahan, referensi

kepustakaan, dan putusan-putusan pengadilan yang relevan,

serta dilengkapi sejumlah wawancara dengan para

narasumber yang kompeten. Terhadap hasil Penelitian

tersebut kemudian dilakukan Kegiatan Focus Grup

Discussion (FGD) untuk membahas dan mendiskusikan

Hasil Penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan masukan

dalam rangka penyempurnaan hasil penelitian.

FGD Proposal Penelitian, maupun FGD Hasil

Penelitian telah diikuti oleh para undangan, antara lain

meliputi beberapa Hakim Agung, Hakim Tinggi, Hakim

Tinggi Pengawasan, Hakim Tinggi yang diperbantukan pada

Balitbang Diklat, Hakim Yusitisial, Hakim Tingkat

Pertama, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung,

peneliti dari Instarisi atau Lembaga lain, Akademisi dari

Perguruan Tinggi dan Staf Puslitbang. Dengan tujuan untuk

mendapatkan berbagai masukan, kritik dan usulan bagi

penyempurnaan proposal maupun hasil penelitian.

Diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kemanfaatan

hasil penelitian, baik bagi kalangan internal Mahkamah

Page 9: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

iv

Agung beserta segenap jajaran dan hirarkinya, maupun bagi

para stake holder lainnya.

Buku Laporan Hasil Penelitian ini dibuat sebagai

bentuk pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan

Mahkamah Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah

selesainya pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya

dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.

NIP. 19590107 198303 1 005

Page 10: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas

segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya penulis

dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian yang berjudul

“Himpunan dan Anotasi Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI

tentang Sengketa Pajak”.

Kemudian Tim Peneliti melaksanakan penelitian tersebut

dengan beberapa tahapan seperti: Tahapan penyusunan proposal,

tahapan seminar hasil penelitian melalui FGD (Focus Discussion

Group), tahapan perbaikan proposal, tahapan penyiapan data dan

wawancara di lapangan, pengolah data dan penyiapan hasil laporan

penelitian.

Dalam penyusunan laporan penelitian ini penulis banyak

mendapat saran, dorongan, bimbingan serta keterangan-keterangan

dari berbagai pihak yang merupakan pengalaman yang tidak dapat

diukur secara materi, bahwa sesungguhnya pengalaman dan

pengetahuan tersebut adalah yang terbaik bagi penulis. Oleh karena itu

dengan segala hormat dan kerendahan hati perkenankanlah penulis

mengucapan terima kasih kepada :

1. Yang terhormat Ibu Ny. Hj. Siti Nurdjanah, SH., MH selaku

Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil dan Peradilan

2. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS

selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan

Peradilan

3. Yang terhormat Bapak H. Ariansyah B. Dali P, SH., MH, Bapak

H. Yahya Syam, SH., MH, Bapak Jan Manopo, SH, Bapak R. Iim

Nurohim, SH, Bapak Rukman Hadi, SH., M.Si, Bapak Purwadi,

SH., M. Hum, para peserta FGD proposal dan FGD Hasil

penelitian yang telah memberikan saran dan masukan terkait

proses penyempurnaan laporan hasil penelitian ini.

4. Terima kasih kepada Bapak Khaerul Saleh, SH dan Sdri Mariyam

Sugiarti, S.Sos selaku Anggota Tim Penelitian

Demi kesempurnaan laporan hasil penelitian, Oleh karena itu

saya harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan

Page 11: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

vi

atau saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan

laporan hasil penelitian ini.

Akhir kata semoga laporan hasil penelitian ini bermanfaat. Amin

Jakarta, Agustus 2014

Koordinator Peneliti,

Moch. Iqbal

Page 12: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT KUMDIL . i

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL ………... iii

KATA PENGANTAR PENULIS …………………………….... v

DAFTAR ISI ……………………………………………….….... vii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………… 1

A. Latar Belakang …………………………….…. 1

B. Pokok Permasalahan ……………………….… 6

C. Tujuan Penelitian …………………………….. 6

D. Kegunaan Penelitian ………………………..... 7

E. Kerangka Teori ………………………………. 7

F. Metode Penelitian ……………………………. 14

a. Tipe Penelitian ……………………………. 14

b. Sifat Penelitian ……………………………. 14

c. Data Penelitian ……………………………. 15

d. Teknis Pengumpulan Data ………………... 16

i. Teknis Analis Data …………………….. 16

ii. Lokasi, Waktu, dan Kelompok Sasaran . 16

BAB II KAJIAN TEORI KRIMINALISASI DAN

KONSEP KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK …... 17

A. Pengertian, Asas, dan Kriteria Kriminalisasi . 17

1. Pengertian Kriminalisasi ………………. 17

2. Asas-asas Kriminalisasi ……………….. 19

3. Kriteria Kriminalisasi ………………….. 26

B. Konsep dan Pengertian Kebijakan Publik … 30

1. Pengertian Kebijakan Publik ………….. 30

2. Jenis-jenis Kebijakan Publik ………….. 32

3. Tingkat-tingkat Kebijakan Publik ……. 34

a. Lingkup Nasional …………………. 34

Page 13: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

viii

b. Lingkup Wilayah Daerah ………….. 35

c. Pengertian Pejabat Publik …………. 41

BAB III ANALIS KASUS KRIMINALISASI

KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK ……………… 47

1. Kasus 1

Kasus Tunjangan Dewan Perwakilan Daerah

Kota Malang

Putusan Nomor 2698 K/Pid.Sus/2010 ………….. 49

2. Kasus 2

Putusan Nomor 146 PK/Pid.Sus/2009 ………….. 65

3. Kasus 3

Kasus Kriminalisasi terhadap Pejabat (Publik)

Bank Mandiri

Putusan Nomor 1144 k/Pid/2006 ………………. 77

4. Kasus 4

Putusan Nomor 572 K/Pid/2003………………… 90

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN …………………… 103

A. Kesimpulan ……………………………………... 103

B. Saran ……………………………………………. 104

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………... 107

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

INDONESIA NO. 24 TAHUN 2004 …………………………… 111

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN ………………………….. 129

Page 14: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berakhirnya rezim pemerintahan dan sistem pemerintahan

otoriter, di era Orde Baru, telah memunculkan era Rezim

Reformasi, yang mengedepankan sistem kekuasaan yang

demokratis dengan slogan serba keterbukaan / transparansi.

Keterbukaan, telah membawa kehidupan berbangsa dan bernegara

yang lebih egaliter dan equal, kesetaraan disegala bidang.

Untuk mewujudkan dan mewujudkan dan memenuhi hasrat

dan arus reformasi, atau lebih tepatnya disebut euforia reformasi,

berbagai produk perundang-undangan direvisi, demikian pula

berbagai perangkat kelembagaan pengelola negara diperbaharui,

bahkan diadakan lembaga-lembaga baru demi pemenuhan

kebutuhan dan tunturan suara dan denyut nafas reformasi, dalam

wujudnya, lahirlah berbagai lembaga-lembaga baru dengan

kewenangan baru serta beban kerja dan tanggung jawab yang baru

pula. Di bidang hukum, bermunculan berbagai organ baru yang

disebut komisi-komisi, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan

lembaga (komisi) lainnya.Upaya pelayanan publik dan

penyelenggaraan kenegaraan dan tata pemerintahan untuk

kesejahteraan rakyat pun senantiasa ditingkatkan melalui berbagai

kebijakan (beleid), diskresi, dengan / berdasarkan kewenangan

yang ada.

Pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dalam

melakukan tindakan di lapangan, peraturan maupun

penyelenggaraan administrasi negara tetaplah harus menjunjung

tinggi nilai-nilai hukum dan demokrasi, sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat

(3) UUD’45 pasca amandemen.1

1 Kedaulatan Negara RI, dilaksanakan menurut apa yang diatur dalam

UUD 1945, dan negara berdasarkan hukum.

Page 15: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

2

Dalam rangka melakukan tindakan hukum, pejabat publik,

sering melakukan tindakan diluar ketentuan hukum tertulis.

Keadaan ini adalah konsekuensi dari kenyataan, bahwa Undang-

Undang dan peraturan tertulis lainnya sering tertinggal dalam

mengantisipasi perkembangan zaman, perubahan nilai dan

meningkatnya kebutuhan hidup manusia seiring dengan kemajuan

yang dicapainya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut JP. Wind tidak ada ketentuan tertulis yang (dapat)

mengatur segala aspek secara konkrit, hanya garis besarnya saja

yang diatur, untuk mengantisipasinya diperlukan suatu kebijakan-

kebijakan terhadap adanya kefakuman atau ruang kosong dalam

menilai suatu permasalahan. Oleh karenanya agar prinsip legalitas

pada tahap operasionalnya dapat dilaksanakan secara dinamis,

efektif, dan efisien, maka diperlukan beleid/ diskresi.2

Membahas kebijakan publik perlu ditarik sejarah dan

perkembangannya menjelang tahun 1992-1997 terjadi apa yang

disebut post bureaucratie paradigm yang berbeda dengan

birokratik yang banyak dikritik, yaitu paradigma birokrasi yang

menekankan kepentingan publik, efisiensi, admisnistrasi, dan

kontrak, maka paradigma post bureaucratie menekankan pada

hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk dan

keterikatan pada norma. Paradigma birokratik mengutamakan

fungsi otoritas dan struktur, maka paradigma post bureaucratie

mengutamakan misi, pelayanan dan hasil akhir (out come). Kalau

paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggung jawab

(responsibility). Paradigma post bureaucratie menekankan

pemberian nilai bagi masyarakat, membangun akuntabilitas, dan

memperkuat hubungan kerja.3 Kalau paradigma birokratik

mengutamakan ketaatan pada peraturan dan prosedur, maka

paradigma post bureaucratie menekankan pemahaman dan

penerapan norma-norma identifikasi, dan pemecahan masalah,

2 Wind, JP. Enige Bestuurs rechtelijke Begrippen: En de Algemene

Wet Bestuursrecht. Sdu uit gever bv Den Haag. 2004 3 Yeremias Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:

Konsep, Teori, dan Isu. Jogjakarta.Gavamedia:2008. Edisi 1. Hal 35

Page 16: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

3

serta proses perbaikan yang berkesinambungan. Paradigma

birokratik mengutamakan beroperasinya sistem-sistem

administrasi, maka paradigma post bureaucratie menekankan

pemisahan antara pelayanan dengan kontrol, membangun

dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,

mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan

menganalisis hasil, dan memperkaya umpan balikpemerintah harus

memfasilitasi, memberdayakan masyarakat, mendorong semangat

kompetitif, berorientasi pada misi, mementingkan hasil dan bukan

cara, mengutamakan kepentingan pelanggan, berjiwa wirausaha,

selalu berupaya dalam mencegah masalah atau antisipatif,

desentralistis, dan berorientasi pada pasar.

Paradigma ini dikenal dengan nama New Public Management

(NPM) di Inggris. Paradigma NPM ini melihat bahwa paradigma

terdahulu yaitu administrasi klasik kurang efektif dalam

memecahkan masalah dan memberikan pelayanan publik, termasuk

membangun masyarakat. Hood (Vigoda, 2003: 813)

mengungkapkan bahwa ada tujuh komponen doktrin dalam NPM,

yaitu :

Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik

Penggunaan indikator kinerja

Penekanan yang lebih besar pada kontrol output

Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil

Pergerseran ke kompetisi yang lebih tinggi

Penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen, dan

Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi

dalam pennggunaan sumber daya.

NPM dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi

publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang

diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain

untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kinerja pelayanan

publik pada birokrasi modern (Vigoda, 2003:812).

NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi

(Ferlie, Ashburner, Fitzgerald, dan Pettigrew 1997). Orientasi

Page 17: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

4

pertama yang dikenal dengan the efficiency drive yaitu

mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja. Orientasi

kedua yang disebut sebagai downsizing and decentralization yang

mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi dan

mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar

dapat berfungsi secara cepat dan tepat. Orientasi ketiga yaitu in

search of excellence yang mengutamakan kinerja optimal dengan

memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Orientasi

terakhir yang dikenal sebagai public service orientation. Model

terakhir ini menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang

hendak dicapai organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih

besar kepada aspirasi, kebutuhan, dan partisipasi ‘user’ dan warga

masyarakat, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat

yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka.

Menekankan societal learning dalam pemberian pelayanan publik,

dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan,

serta partisipasi masyarakat dan akuntabilitas. Perlu diketahui

bahwa paradigma NPM atau Reinventing government ini muncul di

Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain

karena terjadi ketidak puasan masyarakat terhadap pemerintah.

Di tahun 2003, atau kurang lebih sepuluh tahun kemudian

muncul lagi paradigma baru yang oleh J.V.Denhardt dan

R.B.Denhardt (2003) diberi nama New Public Service (NPS).

Kedua tokoh ini menyarankan untuk meninggalkan prinsip

administrasi klasik dan NPM, dan beralih ke prinsip New Public

Service (NPS). Menurut Denhardt dan Denhardt (2003: 42-43),

administrasi publik harus:

1. Melayani warga masayarakat bukan pelanggan (serve

citizen, not customers)

2. Mengutamakan kepentingan publik (seek the public

interest)

3. Lebih menghargai kewarganegaraan dari pada

kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship)

4. Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think

strategically, act democratically)

Page 18: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

5

5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu

yang mudah (recognize that accountability is not simple)

6. Melayani dari pada mengendalikan (server rather than

steer), dan

7. Menghargai orang, bukan produktivitas semata (value

people, not just productivity)

Semua paradigma diatas menunjukkan bahwa dalam beberapa

dasawarsa terakhir telah terjadi perubahan orientasi administrasi

publik secara cepat.Kegagalan yang dialami oleh suatu negara

telah disadari sebagai akibat dari kegagalannya dalam merespons

perubahan paradigma administrasi publik. Karena itu, perhatian

khusus tidak hanya diberikan kepada peran penting administrasi

publik, tetapi juga kecepatan dan ketepatan dalam merespon

perubahan paradigma yang ukurannya ditentukan oleh tujuan

akhirnya itu apakah memenuhi kepentingan umum atau tidak;

karena dalam hal kewenangan tindakan pejabat public meskipun

faktanya merugikan namun berguna bagi masyarakat luas.4

Gambaran, dan refleksi kebijakan publik tersebut pada

akhirnya bermuara pada kebijakan pejabat publik; dan kebijakan-

kebijakan pejabat publik sebagai produk keputusan administrasi

publik ini, kini dipersoalkan, diuji, dan disoroti, bahkan banyak

yang menjadi obyek/sasaran pemidanaan, sehingga memunculkan

istilah yang sedang nge-trend saat ini, yang juga menjadi telaah

dalam penelitian ini, yaitu “kriminalisasi kebijakan pejabat

publik”, Menuruthematpenelitibanyak kebijakan-kebijakan pejabat

publik yang menjadi sasaran pemidanaan, atau yang

dikriminalisasikan. Argumen-argumen kebijakan seolah digugat,

sehingga penentu/ pembuat kebijakan perlu membuat penyataan-

pernyataan / argumen otoritatif5 yaitu pernyataan / penjelasan dari

pihak yang berwenang; ataupun ditunjang dengan pendapat pakar

4 Rumadhan Ismail ,jurnal legislasi Indonesia,Pengelolaan Keuangan

Negara dan Penerapan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi.Penerbit

Kemenkumham,2013,hlm.362. 5 Dunn, William N. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”. Gajah

Mada University Press. Edisi 2. Hal 155

Page 19: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

6

tertentu, agar rekomendasi kebijakan dapat diterima. Kasus-kasus

aktual kriminalisasi kebijakan pejabat publik, seperti skandal Bank

Century, penyewaan/ pembelian armada pesawat Merpati, kredit

Bank Mandiri, persoalan penggunaan anggaran daerah oleh DPRD

Kota Malang6, banyak memakan korban dengan dipenjaranya

banyak pejabat publik, yang sesungguhnya secara proporsional,

dan hakikat tujuan hukum dan esensi pemidanaan adalah

sebuahkesia-siaan belaka, sampai-sampai Mentri koordinator

perekonomian harus beradap tasi dengan keinginan dan

pemahaman komisi pemberantasan korupsi disalah satu takl show

di Metro TV. (Senin, 2 juni 2014) dengan menyatakan bahwa

kebijakan ekonomi nasional harus cepat disikapi oleh Dirut BUMN

kalau mau menjadikan Indonesia bangkit.

B. Pokok Permasalahan

Dari latar belakang, dan uraian-uraian terdahulu, maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan dan peran keputusan / kebijakan

pejabat publik dalam kaitannya dengan kebijakannya

yang dikriminalisasikan?

2. Apakah kebijakan pejabat publik dapat dipidanakan atau

dikriminalisasi?

3. Bagaimana pengaruh kriminalisasi terhadap kebijakan

pejabat publik, dalam kaintannya dengan fungsi serta

peran sebagai wewenang pemerintahan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka tujuan

utama penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis kedudukan dan peran kebijakan

pejabat publik.

6 Sukamto, Agus. “Agus Sukamto Menggugat” Sebuah Ironi

Keadilan. LSM for Publik Malang. 2012. Hal 302

Page 20: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

7

b. Untuk mengetahui problem-problem yang muncul, ketika

kebijakan pejabat publik dilakukan.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh

kriminalisasi atas kebijakan pejabat publik, serta faktor-

faktor penyebabnya.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini, dapat berguna bagi pimpinan Mahkamah

Agung dan para penegak hukum khususnya, serta para pejabat

publik pada umumnya, serta masyarakat yang peduli pada proses

penegakkan hukum pada umumnya; dan secara khusus berguna

untuk:

Memberi pengetahuan seputar eksistensi, tugas, fungsi,

dan peran pejabat publik pada umumnya

Untuk memberi pengetahuan, dan pemahaman tentang

kebijakan publik yang dapat dijadikan sebagai raw

material dalam menghadapi kasus-kasus kriminalisasi

terhadap kebijakan yang terjadi.

Untuk memberi penjelasan tentang pengaruh kriminalisasi

terhadap kebijakan pejabat publik, beserta segala

eksesnya, serta memberi kontribusi pemikiran dan

pemahaman terhadap kebijakan penegakkan hukum bagi

bangsa dan negara ini kedepan.

E. Kerangka Teori

Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum telah

ditentukan sejak awal, dalam konstitusi pasal 1 ayat (3),

menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Konsekuensi sebuah negara hukum menurut F.J. Stahll

mengandung ciri-ciri sebagai berikut:7

1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia

7 PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil

Mahkamah Agung RI. “Eksekutabilitas, Putusan Peradilan Tata Usaha

Negara (Laporan Penelitian)”.2010. hal 10

Page 21: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

8

2. Pemisahan kekuasaan negara

3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang

4. Adanya peradilan Administrasi

Dalam operasionalnya, dari ciri-ciri negara hukum

yang dianut, ada kriteria atau syarat yang disebutkan oleh

Albert Venn Dicey8 dalam bukunya “Introduction to The

Study of The Law of The Constitution” terdapat 3 (tiga) prinsip

dasar dari sebuah negara hukum, yaitu:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute

supremacy of predominance of regular law).

2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality

before the law, or the equal subjection of all cases to

the ordinary law of the led administrated by ordinary

Law of Court).

3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.

Dari pemahaman teori / konsep keberadaan Indonesia

sebagai negara hukum, sebagaimana rumusan yang

dikemukakan oleh Stahll, maupun Dicey, terdapat kesamaan

konsep recht staat, dan rule of law, keduanya mengharapkan

agar dalam suatu negara hukum diharuskan adanya supremasi

hukum sebagai panglima terhadap tindakan-tindakan

penguasa Negara, yaitu ketundukan pemerintahan Negara

beserta aktivitasnya terhadap peraturan perundang-undangan

sebagai hukum tertulis.

Pemahaman teori negara hukum, dimana pada unsur

pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan kesamaan

kedudukan dihadapan hukum, seharusnya pula kesamaan

perlakuan terhadap setiap pejabat publik, institusi publik, yang

memiliki kewenangan yang sama oleh Undang-Undang yang

sederajat. Dengan asumsi, dalam suatu negara hukum dimana

segala organ pemerintahan, dan struktur ketatanegaraannya

tercipta sudah berdasarkan hukum (Undang-Undang),

seharusnya antar organ / lembaga yang masing-masing

8 Ibid.

Page 22: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

9

memiliki kewenangan di bidangnya, tidak boleh saling

mendeligitimate satu dengan lainnya. Agar tidak terjadi

kekaburan dan pertentangan kewenangan antar lembaga, atau

terjadi kriminalisasi terhadap produk-produk keputusan

lembaga publik, kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat

publik. Fakta yang terjadi, telah begitu banyak upaya-upaya

atau tindakan yang mengkriminalisasi keputusan / kebijakan

pejabat publik, yang telah menghadirkan kekhawatiran umum

akan mandeknya, atau bahkan terhentinya kreatifitas dari agen

/ aparatur pejabat publik, yang justru kehadiran dan perannya

diharapkan memperkuat eksistensi keberadaan negara hukum

Indonesia, di sektor ekonomi, perpajakan, kerja sama

internasional, dan lain lain.

Ketika pejabat publik yang memegang kewenangan

penentuan kebijakan di bidang tugasnya, sesuai dengan

keahlian dan otoritas yang dimilikinya, ternyata kebijakan

yang diambil, dipandang sebagai sebuah kesalahan tersebut,

tidak hanya dipertanggung jawabkan secara administratif,

atau secara keperdataan, melainkan mengarah pada perbuatan

pidana, atau korupsi. Disitulah muncul proses kriminalisasi

Pejabat publik yang bekerja untuk kepentingan publik, dan

memiliki kewenangan publik yang diberikan oleh hukum dan

perundang-undangan, sebagai konsekuensi Indonesia sebagai

negara hukum. Maka, diaturlah Undang-Undang / berbagai

Undang-Undang yang memberi wewenang / mandat kepada

pejabat publik / pemerintahan, seperti kehadiran UU No.39

tahun 2008, tentang Kementrian Negara, yang menyebutkan

bahwa, sebagai Perangkat Pemerintahan Kementrian

mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam

pemerintahan dibawah dan bertanggung jawab kepada

Presiden.9Tugas-tugas dalam menyelenggarakan pemerintahan

9 Periksa pasal 1 angka (1), pasal 3, pasal 7, dan pasal 8 UU No.39

tahun 2008, tentangKementerian Negara

Page 23: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

10

Negara yang dilakukan oleh kementrianadalah sebagai

berikut:

1) Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan

kebijakan di bidangnya, mengelola barang milik /

kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.

Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan

tugas di bidangnya, dan melaksanakan kegiatan teknis

dari pusat sampai ke daerah.

2) Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan

kebijakan di bidangnya, mengelola barang milik /

kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya,

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di

bidangnya dan melaksanakan bimbingan teknis dan

supervisi atas pelaksanaan urusan kementrian di

daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala

nasional.

3) Merumuskan dan menetapkan kebijakan di

bidangnya, mengkoordinasi dan mensinkronisasi

pelaksanaan kebijakan di bidangnya, mengelola

barang milik / kekayaan yang menjadi tanggung

jawabnya, dan melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan tugas di bidangnya.

Dari konsep kaedah yang tercermin dari (contoh)

pemerintahan yang berdasarkan UU tersebut sebagai tertuang

dalam norma UU memberi peluang kementrian / pejabat publik

untuk melakukan kebijakan, atau beleid / yang disebut juga

diskresi dalam ilmu administrasi / pemerintahan. Oleh F.A.M

Stroink disebut bevoegheid (kewenangan), yang merupakan konsep

inti dalam hukum tata negara dan administrasi negara.

Dalam hukum tata negara bevoegheid10 dideskripsikan

sebagai “kekuasaan hukum” (techtement) atau yang berkaitan

dengan kekuasaan, sedangkan dalam hukum Administrasi Negara

10 Wojowarsito, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia - Belanda.

Jakarta. PT.Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Hal 78.

Page 24: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

11

membahas wewenang pemerintahan (bestuur bevoegheid).

Menurut Philipus Hadjom, dengan mengutip pendapat Henc Van

Maarseveen, konsep hukum publik kewenangan atau wewenang,

terdiri atas sekurang-kurangnya atas tiga komponen11, yaitu:

Pengaruh dasar hukum dan konformitas hukum komponen

pengaruh, ialah bahwa penggunaan kewenangan atau wewenang

dimaksud untuk mengendalikan pelaku subyek hukum. Komponen

dasar hukum, bahwa kewenangan atau wewenang tersebut harus

dapat ditunjukkan dasar hukumnya, dan komponen konformitas

hukum, mengandung makna adanya standar kewenangan, yaitu

standar umum (semua jenis wewenang) dan standar umum

kewenangan berupa norma hukum administrasi negara dan

seyogyanya dituangkan dalam aturan umum hukum administrasi

Negara, seperti yang berlaku di negeri Belanda, yaitu dalam AWB

(Algemene Bestuurrecht 1994). Meskipun di Indonesia belum

secara tegas dan rinci mencantumkan rumusan norma umum

hukum administrasi negara, melainkan masih dalam tahap RUU

etika pejabat publik, akan tetapi secara umum pengaturan

mengenai kewenangan ini tersebar di berbagai peraturan

perundang-undangan yang ada, sebagaimana diutarakan diatas

dalam UU No.39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara, yang

mengatur tentang kebijakan publik oleh pejabat publik /

kementrian, dan lain lain. Dengan memahami kerangka teoritis,

keberadaan sebuah negara hukum, serta konsep / teori kewenangan

dan kebijakan pejabat publik, dalam kaitan adanya kriminalisasi

terhadap kebijakan-kebijakan pejabat publik, dalam penelitian ini

akan dibahas keberlakuannya dan / atau manfaatnya dengan

menggunakan pisau analisa (metode) penafsiran (interpretasi).

Undang-undang, sebagaimana kaedah pada umumnya, adalah

untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena itu harus

dilaksanakan atau ditegakkan untuk dapat melaksanakannya.

Undang-Undang harus diketahui orang. Agar dapat memenuhi asas

11 Hadjon, Philip. Dikutip dari tulisannya di “Gema Peraturan” tahun

VI. No.12. Agustus 2000.

Page 25: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

12

setiap orang dianggap tahu akan undang-undang, maka harus

tersebar luas dan jelas pula. Kejelasan Undang-undang sangat

penting, oleh karena itu, setiap undang-undang selalu dilengkapi

dengan penjelasan yang dimuat dalam tambahan Lembaran

Negara. Namun sering kali terjadi bahwa penjelasan itu tidak juga

memberi kejelasan, karena hanya diterangkan dengan “cukup

jelas”, padahal teks Undang-undangnya tidak jelas dan masih

memerlukan penjelasan. Mungkin dengan demikian maksud

pembuat Undang-Undang hendak memberi kebebasan yang lebih

besar kepada hakim. Kalaupun Undang-Undang itu jelas, tidak

mungkin Undang-Undang itu lengkap dan tentu tidak mungkin

Undang-Undang itu mengatur segala aspek kehidupan kegiatan

manusia secara lengkap dantuntas12, karena kegiatan kehidupan

manusia itu tidak terhitung banyaknya, selain itu, Undang-undang

adalah hasil karya manusia yang terbatas kemampuannya.

Peristiwa hukum harus dicari lebih dahulu dari peristiwa

konkritnya, kemudian Undang-Undangnya ditafsirkan untuk dapat

diterapkan. Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak, karena

umum sifatnya, dan pasif, karena tidak akan menimbulkan akibat

hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang

abstrak itu memerlukan rangsangan, agar dapat aktif, agar dapat

diterapkan pada peristiwa yang cocok. Boleh dikatakan bahwa tiap

ketentuan Undang-Undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan /

diinterpretasi lebih dahulu, untuk dapat diterapkanpada

peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran, merupakan salah satu

metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang

gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup

kaedah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju

kepada pelaksanaan penjelasan yang dapat diterima oleh

masyarakat, mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang

12 Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo,A. “Bab-Bab Tentang Penemuan

Hukum”. PT. Citra Aditya Bakti, kerjasama dengan Konsorsium Hukum,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation. Cetakan

ke 1. 1993. Hal 12.

Page 26: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

13

konkrit. Metode interpretasi / penafsiran ini adalah sarana atau alat

untuk mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya

terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang

konkrit, dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri, oleh

karena itu dikaji dengan hasil yang diperoleh. Menjelaskan

ketentuan Undang-Undang akhirnya adalah untuk merealisir fungsi

agar hukum positif itu berlaku.13 Menafsirkan Undang-Undang

untuk menentukan hukumnya, bukan hanya dilakukan oleh hakim,

tetapi juga oleh ilmuan, peneliti hukum, juga para justisiabel yang

mempunyai kepentingan dengan perkara (kasus) di pengadilan,

terutama pengacara / advokat untuk melakukan interpretasi atau

penafsiran. Dalam literatur, lazimnya dibedakan beberapa metode

penafsiran / interpretasi mengenai definisi masing-masing metode

tidak ada kesesuaian pendapat. Akan tetapi, sebagai metode

penemuan hukum interpretasi / penafsiranyang ada; Peneliti

memilih interpretasi sitematis atau interpretasi logis dalam

menganalisa dan menemukan jawaban dan kesimpulan-kesimpulan

atas permasalahan dalam penelitian ini. Dengan asumsi bahwa

interpretasi sistematis (logis) mengundang terjadinya suatu

Undang-Undang (hukum positif) selalu berkaitan dan berhubungan

dengan peraturan perundang-undangan yang lain.Menurut hemat

peneliti tidak ada Undang-Undang yang berdiri sendiri lepas sama

sekali dari keseluruhan perundang-undangan.

Menafsirkan Undang-Undang sebagai bagian dari keseluruhan

sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya

dengan Undang-undang lain.Tegasnya yang disebut interpretasi

sistematis atau interpretasi logis; bahwa dalam hal-hal yang tidak

diatur secara tegas oleh Undang-undang, pemecahannya harus

dicari, yang disesuaikan dengan sistem perundang-undangan dan

sesuai pula dengan peristiwa yang diatur oleh Undang-Undang.

F. Metode Penelitian / Pendekatan Penelitian

A. Tipe Penelitian :

13 Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo,A. Ibid

Page 27: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

14

Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif dan

penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif adalah

penelitian yang mengacu pada kajian norma, asas-asas, dan teori

tentang kriminalisasi kebijakan pejabat publik; sedangkan

penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang mengacu pada

kenyataan dan fakta-fakta kasus yang dipandang kriminalisasi atas

kebijakan publik. Ulasan fakta dan berbagai contoh kasus yang

dikriminalisasi, dalam kaitannya dengan diterapkannya /

diberlakukan sebuah kebijakan publik merupakan kenyataan dan

fakta empiris yang patut dikaji dan dianalisis kebenarannya sesuai

norma-norma yang berlaku umum, maupun asas-asas dan teori

hukum yang universal; sebagai ilmu, maka ilmu hukum memiliki

ciri khas yaitu sifatnya yang normatif dan praktis, yang oleh Peter

Mahmud disebut dengan istilah lain, yaitu ilmu yang perspektif dan

terapan.14

Disebut bersifat perspektif, karena mempelajari tujuan hukum,

nilai-nilai keadilan validitas aturan-aturan hukum, konsep-konsep

hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu

hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-

rambu, dan melaksanakan aturan hukum.15 DHN Meuwissen

mengatakan bahwa, ilmu hukum dogmatik memiliki suatu karakter

tersendiri adalah sebuah ilmu “sui generis” yang tidak dapat

dibandingkan (diukur) dengan bentuk ilmu lain manapun.

B. Sifat Penelitian :

Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif

analitis. Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk

menggambarkan (description) suatu kondisi atau keadaan yang sedang

terjadi, yang tujuannya adalah untuk dapat memberikan data seteliti

mungkin, mengenai obyek penelitian, sehingga mampu menggali hal-

14 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit

Kencana. Hal 22 15 Hadin, H. M. dan Nuswardani, Nunuk. Penelitian Hukum Indonesia

Kontemporer. Genta Publishing. 2011 Hal 15

Page 28: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

15

hal yang bersifat ideal; kemudian dianalisis berdasarkan teori, asas,

dan norma hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini, hal tersebut

dilakukan dengan menguraikan kedudukan dan peran kebijakan

pejabat publik terkait dikriminalisasikan kebijakan-kebijakan yang

diterapkan.

Penelitian hukum yang bersifat deskriptif evaluatif, artinya

penelitian ini memberikan data seteliti mmungkin mengenai manusia

dan gejala-gejala lainnya, serta diuraikan sebagaimana keadaan

sesungguhnya. Secara umum data yang diperoleh dalam penelitian ini

akan dianalisis menggunakan metode kualitatif, dimana metode

kualitatif adalah sebuah model penelitian yang menghasilkan data

deskriptif.16

C. Data Penelitian:

i. Data Primer:

Data primer, berupa data hasil wawancara, dan interaksi

dengan sumber terkait, khususnya di lingkungan peradilan

dan penegak hukum.

ii. Data Sekunder:

a. Bahan Hukum Primer:

Adalah bahan hukum primer yang menyangkut regulasi

dan produk kebijakan pejabat publik, yang berkaitan dan

relevan dengan obyek penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Buku-buku, maupun tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang

berhubungan dengan penelitian ini

c. Bahan Hukum Tersier:

Bahan hukum tersier, yaitu berupa petunjuk atau

penjelasan mengenai bahan hukum primer atau pun bahan

hukum sekunder, yang berasal dari kamus, ensiklopedia,

majalah, koran, dan lain lain.

16 Komisi Hukum Nasional (KHN). Kebijakan Penegakan Hukum,

Suatu Rekomendasi. 2010. Hal 119

Page 29: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

16

D. Teknis Pengumpulan Data:

Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data

untuk penelitian ini adalah dengan:

1. Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian

kepustakaan (library research). Studi ini dilakukan

dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada

dengan mengumpulkan data dan informasi, baik yang

berupa buku-buku, karangan-karangan ilmiah, peraturan

perundang-undangan, dan lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini, kemudian mencari, mempelajari dan

mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang terkait

penelitian ini.

2. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran

kuisioner, dan wawancara/ interview pada informan di

lingkungan pengadilan, sehingga obyek permasalahan

dapat terungkap melalui jawaban informan secara terbuka

dan terarah, dan hasil wawancara dapat langsung ditulis

oleh peneliti.

i. Teknik Analisa Data

Berdasarkan sifat penelitian ini, yang

menggunakan metode penelitian deskriptif analitis,

maka analisa data yang digunakan adalah analisa

pendekatan secara kualitatif terhadap data sekunder

dan data primer. Deskripsi tersebut meliputi isi dan

struktur, isu hukum kriminalisasi kebijakan pejabat

publik.

ii. Lokasi, Waktu, Dan Kelompok Sasaran.

Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta selama 10 hari

kerja.

Page 30: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

17

BAB II

KAJIAN TEORI KRIMINALISASI DAN KONSEP

KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK

A. Pengertian, Asas, dan Kriteria Kriminalisasi

1. Pengertian Kriminalisasi :

Kriminalisasi dalam bahasa Inggris criminalization,

dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat

sebuah perubahan individu-individu yang cenderung untuk

menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.

Dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi

mengalami “neologisme”, yaitu menjadi sebuah keadaan saat

seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau

penjahat oleh karena hanya adanya pemaksaan interpretasi

atas sebuah perundang-undangan melalui anggapan mengenai

penafsiran terhadap perilaku, sebagai kriminalisasi formal

dalam peraturan perundang-undangan.17 Contohnya, dalam

perseteruan antara KPK dan Polisi beberapa tahun yang lalu,

kata kriminalisasi digunakan media (publik) untuk

mendefinisikan upaya Polisi menjerat Pimpinan KPK.

Dalam teori konvensional, kriminalisasi merupakan

obyek studi hukum pidana materiil (substantive criminal law)

yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam

dengan sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang

sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang

dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan

sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi

merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai

perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau

golongan-golongan tertentu masyarakat dianggap sebagai

17 Id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi, diunduh tgl. 21 juli 2014

Page 31: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

18

perbuatan yang dapat dipidana, menjadi perbuatan pidana.18

Atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminil

dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara

kerja atas normanya.19

Pengertian kriminalisasi, dapat pula dilihat dari

perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan

kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan

sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan

yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi

perbuatan yang dipandang tercela, dan perlu dipidana.

Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah

keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi

label terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau

tindak pidana.Kriminalisasi merupakan masalah yang

kompleks dan terpisah-pisah. Kompleksitas kriminalisasi

terletak pada begitu banyaknya faktor yang terkait dan perlu

dipertimbangkan dalam proses kriminalisasi, dan diantara

faktor-faktor tersebut adakalanya terdapat perbedaan yang

sangat tajam. Kompleksitas itu berkaitan dengan jenis

perbuatan yang dapat dikriminalisasi tersebut, bukan hanya

meliputi perbuatan yang secara esensial mengandung sifat

jahat, tapi juga mencakup perbuatan materiil yang secara

hakiki tidak mengandung unsur jahat.

Kompleksitas kriminalisasi juga berhubungan dengan

perbedaan nilai dan norma yang dianut oleh kelompok-

kelompok masyarakat, baik karena pengaruh latar belakang

agama, dan budaya, maupun karena pengaruh latar belakang

pendidikan dan kelas sosial dalam masyarakat. Perbedaan

nilai dan norma mempengaruhi penilaian terhadap perbuaan

apa yang patut dikriminalisasi dan berpengaruh juga terhadap

18 Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta:1981.

Percetakan Ghalia Indonesia. Cetakan pertama. Hal 61. 19 Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary. Saint Paul:1979.

West Publishing Co. Cetakan kelima. Hal 337.

Page 32: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

19

penilaian atas gradasi keseriusan perbuatan yang akan

dikriminalisasi.

Kompleksitas kriminalisasi juga tampak dalam

beragamnya pilihan instrumen pengaturan kehidupan

masyarakat, dimana hukum pidana hanya salah satu instrumen

pengaturan kehidupan sosial yang tersedia. Instrumen

pengaturan kehidupan sosial lainnya adalah hukum perdata,

hukum administrasi, nilai moral, agama, disiplin, dan

kebiasaan. Hukum pidana tidak boleh ditempatkan sebagai

instrumen pertama (Primum remedium) untuk mengatur

kehidupan masyarakat, melainkan sebagai instrumen terakhir

(Ultimum remedium), untuk mengontrak tingkah laku individu

dalam kehidupan bersama. Penggunaan hukum pidana untuk

mengatur masyarakat mengenai aktivitas tertentu bukan suatu

keharusan, melainkan hanya satu alternatif dari instrumen-

instrumen pengatur yang tersedia. Kompleksitas kriminalisasi

juga berkaitan dengan perubahan sosial dalam masyarakat

yang berlangsung secara cepat. Perubahan sosial merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan hukum, bila

masyarakat berubah, maka hukum pun berubah pula.

2. Asas-Asas Kriminalisasi

Asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau

landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan

mengenai aktivitas hidup manusia. Asas hukum merupakan

norma etis, konsepsi falsafah negara, dan doktrin politik.20

Disamping itu, asas hukum juga merupakan pikiran-pikiran

yang menuntun, pilihan terhadap kebijakan, prinsip hukum,

pandangan manusia dan masyarakat, kerangka harapan

masyarakat.

20 Saleh, Roeslan. “Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi:

Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Dalam Pembaruan Hukum Pidana

Indonesia”, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi

dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII.

Yogyakarta. 15 Juli 1993. Hal 38-39.

Page 33: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

20

Menurut Scholten, asas-asas hukum adalah pikiran-

pikiran yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam

undang-undang. Ukuran kepatutan menurut hukum dapat

dicari dalam pikiran-pikiran yang ada di belakang naskah

undang-undang. Sedangkan menurut Van Hoecke, asas-asas

hukum adalah opsi-opsi dasar bagi kebijakan

kemasyarakatan yang aktual, dan prinsip-prinsip etik

hukum.

Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan sebagai

konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-

prinsip hukum yang menuntun pembentukan norma-norma

hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-

undangan pidana. Dengan kata lain, asas hukum adalah

konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip-prinsip dasar

penggunaan hukum pidana sebagai sarana penganggulangan

kejahatan.

Ada tiga asas kriminalisasi yang perlu diperhatikan

pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu

perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi

pidananya, yakni: (1) asas legalitas; (2) asas subsidiaritas,

dan (3) asas persamaan/kesamaan.

Pertama, asas legalitas, yaitu asas yang esensinya

terdapat dalam ungkapan nullum delictum, nulla poena sie

praevia lege poenali yang dikemukakan oleh Von Feurbach.

Ungkapan itu mengandung pengertian bahwa “tidak ada

suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas

perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum

perbuatan itu dilakukan”. Asas legalitas adalah asas yang

paling penting dalam hukum pidana, khususnya asas pokok

dalam penetapan kriminalisasi.

Menurut Schafmeister dan J.E. Sahetapy21 asas

legalitas mengandung tujuh makna, yaitu: (i) tidak dapat

21 Sahetapy, J.E. (Ed.). Hukum Pidana. Yogyakarta:1996. Penerbit

Liberty. Hal 6-7

Page 34: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

21

dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut

undang-undang; (ii) tidak ada penerapan undang-undang

pidana berdasarkan analogi; (iii) tidak dapat dipidana hanya

berdasarkan kebiasaan; (iv) tidak boleh ada perumusan delik

yang kurang jelas (syarat lex certa); (v) tidak ada kekuatan

surut dari ketentuan pidana; (vi) tidak ada pidana lain

kecuali yang ditentukan undang-undang; dan (vii)

penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan

undang-undang.

Dalam doktrin hukum pidana ada enam macam

fungsi asas legalitas. Pertama, pada hakikatnya, asas

legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada publik

seluas mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum

pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah

lakunya.

Kedua, menurut aturan klasik, asas legalitas

mempunyai fungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum

pidana. Sedangkan dalam aliran modern asas legalitas

merupakan instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan

masyarakat.22

Ketiga, fungsi asas legalitas adalah untuk

mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara

(penguasa). Hal ini adalah tafsiran tradisional yang telah

mengenyampingkan arti asas legalitas sepenuhnya seperti

yang dimaksudkan oleh ahli-ahli hukum pidana pada abad

ke XVIII (delapan belas).23

Keempat, asas legalitas dikaitkan dengan peradilan

pidana mengharapkan lebih banyak lagi daripada hanya

akan melindungi warga masyarakat dari kesewenang-

22 Peters, Antonie A.G. “Main Current in Criminal Law Theori” in

Action, Gouda Quint by, Arnhem, 1986 hal.33. dikutip dari Kamariah,

“Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia”.

Pidato Pengukuhan Guru Besar UNPAD, Bandung, Maret 1994. Hal 43 23 Roeslan Saleh mengutip Antonie A. G. Peter, dalam Asas Hukum

Pidana Dalam Perspektif. Jakarta:1981. Penerbit Aksara Baru. Hal. 28

Page 35: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

22

wenangan pemerintah. Asas legalitas itu diharapkan

memainkan peranan yang lebih positif, yaitu harus

menentukan tingkatan-tingkatan dari persoalan yang

ditangani oleh suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak

dapat dipakai lagi.24

Kelima, tujuan utama asas legalitas adalah untuk

membatasi kesewenang-wenangan yang mungkin timbul

dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi

pelaksanaan dari kekuasaan itu atau menormakan fungsi

pengawasan dari hukum pidana itu. Fungsi pengawasan ini

juga merupakan fungsi asas kesamaan, asas subsidiaritas,

asas proporsionalitas, dan asas publisitas.25

Keenam, asas legalitas memberikan kepastian hukum

pada masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang

dilarang (tindak pidana) yang disertai dengan ancaman

pidana tertentu. Dengan adanya penetapan perbuatan

terlarang itu berarti ada kepastian (pedoman) dalam

bertingkah laku bagi masyarakat.

Dari enam fungsi asas legalitas tersebut, fungsi asas

legalitas yang paling relevan dalam konteks kriminalisasi

adalah fungsi kedua yang berkenaan dengan fungsi untuk

membatasi ruang lingkup hukum pidana, dan fungsi ketiga

yang berkaitan dengan fungsi mengamankan posisi hukum

rakyat terhadap negara. Fungsi asas legalitas untuk

mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara dan

fungsi untuk melindungi anggota masyarakat dari tindakan

sewenang-wenang pihak pemerintah merupakan dimensi

politik hukum dari asas legalitas.26

Keberadaan hukum pidana harus dibatasi karena

hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling keras

dengan sanksi yang sangat berat, termasuk sanksi pidana

24 Ibid, hal.35. 25 Ibid, hal. 14 26 Ibid, hal. 28

Page 36: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

23

mati. Hukum pidana digunakan hanya untuk melindungi

kepentingan masyarakat yang sangat vital bagi kehidupan

bersama. Perbuatan-perbuatan yang perlu dikriminalisasi

adalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung

mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.

Fungsi mengamankan posisi hukum rakyat terhadap

negara juga harus menjadi fokus perhatian hukum pidana.

Hukum pidana harus dapat menjadi hak-hak dasar setiap

warga negara, dan pembatasan terhadap hak-hak dasar

warga negara melalui instrumen hukum pidana semata-mata

dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar bagi semua

warga negara. Fungsi asas legalitas untuk mengamankan

posisi hukum rakyat terhadap negara dan fungsi untuk

melindungi anggota masyarakat dari tindakan sewenang-

wenangan pihak pemerintah yang merupakan dimensi

politik hukum dari asas legalitas.

Dalam praktek perundang-undangan asas legalitas

ternyata tidak dapat memainkan peranan untuk melindungi

posisi hukum rakyat terhadap penguasa dan untuk

membatasi kesewenang-wenangan pemerintah di dalam

membuat hukum dan proses penegakkan hukum.Asas

legalitas hanya berfungsi sebagai dasar hukum bagi

pemerintah untuk bertindak mengatur kehidupan

masyarakat melalui penetapan tindak pidana yang tidak

jarang merugikan kepentingan masyarakat, terutama pada

masa Orde Baru. Dengan bertambahnya tindak pidana,

bukan hanya merusak dimensi kegunaan dari asas lgalitas

menjadi rusak, tetapi juga asas perlindungan hukum.

Kedua, disamping berlandasakan kepada asas legalitas,

kebijakan kriminalisasi juga harus berdasarkan kepada asas

subsidiaritas. Artinya, hukum pidana harus ditempatkan

sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas) dalam

penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen

penal, bahkan sebagai primum remedium (senjata utama)

untuk mengatasi masalah kriminalitas.

Page 37: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

24

Penerapan asas subsidiaritas dalam kebijakan

kriminalisasi dan dekriminalisasi mengharuskan adanya

penyelidikan tentang efektivitas penggunaan hukum pidana

dalam penanggulangan kejahatan atau perbuatan-perbuatan

yang merugikan masyarakat. Pokok permasalahan yang

perlu diteliti adalah apakah tujuan-tujuan yang ingin dicapai

dengan menggunakan hukum pidana itu tidak dapat dicapai

juga dengan menggunakan cara-cara lain yang lebih kecil

ongkos sosial dan individualnya? Hal ini menghendaki agar

kita mengetahui tentang akibat-akibat dari penggunaan

hukum pidana itu, dan dapat menjamin bahwa campur

tangan hukum pidana itu memang sangat berguna.

Apabila dalam penyelidikan itu ditemukan bahwa

penggunaan sarana-sarana lain (saranan non penal) lebih

efektif dan lebih bermanfaat untuk menanggulangi

kejahatan, maka janganlah menggunakan hukum pidana.

Dalam praktek perundang-undangan, upaya untuk

mengadakan penyelidikan tersebut bukan hanya tidak

dilakukan, tapi juga tidak terpikirkan penggunaan asas

subsidiaritas dalam praktek perundang-undangan ternyata

tidak berjalan seperti diharapkan. Hukum pidana tidak

merupakan ultimum remedium, melainkan sebagai primum

remedium. Penentuan pidana telah menimbulkan beban

terlalu berat dan sangat berlebihan terhadap para justitiable

dan lembaga-lembaga hukum pidana.

Kenyataan yang terjadi dalam praktek perundang-

undangan adalah adanya keyakinan kuat di kalangan

pembentuk undang-undang bahwa penetapan suatu

perbuatan sebagai perbuatan terlarang yang disertai dengan

ancaman pidana berat mempunyai pengaruh otomatis

terhadap perliaku anggota masyarakat.

Dalam upaya menanggulangi kasus perjudian

misalnya, pemerintah mengira, bahwa dengan perubahan

sanksi pidana yang ringan menjadi sangat berat bagi bandar

judi dan juga penjudi, lalu perjudian menjadi lebih tertib.

Page 38: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

25

Tapi kenyataannya, perjudian tetap merajalela sampai

sekarang, beigu pula halnya dengan tindak pidana lalu

lintas. Dari pengalaman-pengalaman itu kemudian muncul

suatu keyakinan bahwa penghukuman yang keras tidak

mengendalikan kejahatan. Oleh karenanya mereka kembali

menggunakan asas subsidiaritas.27

Latar belakang semakin perlunya menggunakan asas

subsisdiaritas dalama penentuan perbuatan terlarang

didorong oleh dua faktor. Pertama, penggunaan asas

subsisdaritas akan mendorong lahirnya hukum pidana yang

adil. Kedua, praktek perundang-undangan menimbulkan

dampak negatif terhadap sistem hukum pidana akibat

“overkriminalisasi” dan “overpenalisasi” sehingga hukum

pidana menjadi kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat.

Disamping itu, overkriminalisasi dan overpenalisasi

semakin memperberat beban kerja aparatur hukum dalam

proses peradilan pidana. Akibat selanjutnya, hukum pidana

tidak dapat berfungsi dengan baik dan karenanya pula

kehilangan wibawa.

Ketiga, selain asaslegalitas dan asas subsidiaritas, ada

asas lain yang juga mempunyai kedudukan penting dalam

proses kriminalisasi, yaitu asas persamaan / kesamaan.

Kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan.

Kesederhanaan serta kejelasan itu akan menimbulkan

ketertiban. Menurut Servan dan Letrossne asas kesamaan

bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang hukum pidana

yang lebih adil. Asas kesamaan lebih merupakan suatu

keinginan diadakannya sistem hukum pidana yang lebih

jelas dan sederhana. Sedangkan Lacretelle berpendapat

bahwa asas kesamaan tidaklah hanya suatu dorongan bagi

hukum pidana yang bersifat adil, tetapi juga untuk hukuman

pidana yang tepat.

27 Sakidjo, Aruan dan Poernomo, Bambang. “Hukum Pidana”.

Jakarta.1990. Ghalia Indonesia. Hal. 45

Page 39: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

26

Asas-asas kriminalisasi tersebut ini adalah asas-asas

yang bersifat kritis normatif. Dikatakan kritis, oleh karena

dia dikemukakan sebagai ukuran untuk menilai tentang sifat

adilnya hukum pidana, dan normatif oleh karena dia

mempunyai fungsi mengatur terhadap kebijaksanaan

pemerintah dalam bidang hukum pidana.Secaragradual

dankonkret, kebijakandalampenggunaan hukum pidana28

berkolerasi erat dengan aspek kriminalisasi. Padaasasnya,

kriminalitas merupakan proses penetapan suatu perbuatan

sebagai yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi

siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Kriminalisasi

ini biasanya berakhir dengan terbentuknya Undang-undang

yang melarang dan mengancam dengan pidana

dilakukannya perbuatan-perbuatan tertentu.Sedangkan

dekriminalisasi adalah suatu proses yang menghilangkan

sifat dilarang dan diancam pidana dari suatu perbuatan

pidana, yang semula merupakan suatu perbuatan pidana lalu

menjadi perbuatan yang tidak dilarang dan tidak diancam

dengan pidana lagi. Dekriminalisasi harus dibedakan

dengan depenalisasi, dimana perbedaan itu semula diancam

pidana, ancaman pidana itu dibilangkan akan tetapi masih

dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain melalui

hukum perdata atau hukum administrasi.

3. Kriteria Kriminalisasi

Dalam membahas masalah kriminalisasi timbul dua

pertanyaan, yaitu: (i) apakah kriteria yang digunakan oleh

pembentuk undang-undang dalam mengkriminalisasi suatu

perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan

sanksi pidana tertentu?; (ii) apakah kriteria yang digunakan

pembentuk undang-undang untuk menetapkan ancaman

28 Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus,

PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm509

Page 40: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

27

pidana terhadap tindak pidana yang satu lebih tinggi

daripada ancaman terhadap tindak pidana yang lain.

Dalam menentukan perilaku apa yang akan

dikriminalisasi seharusnya diawali dengan pertanyaan:

apakah suatu perilaku selayaknya dapat diserahkan kepada

private ethics ataukah ia telah menjadi bagian dari ranah

(domain) publik?29 Perilaku-perilaku yang masuk wilayah

privat tidak perlu dikriminalisasi jika sangat merugikan

kepentingan masyarakat.

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan

kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada

faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan

bermacam-macam faktor termasuk:30

a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam

hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai

b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh

dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari

c. Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu

dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya

dalam pengalokasikan sumber-sumber tenaga manusia

d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi

yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-

pengaruhnya yang sekunder

Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang

mengungkapkan bahwa dalam menghadapi masalah

kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:31

29 Harkristuti Harkrisnowo mengutip Bentham dalam “Konsep

Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi di Indonesia”,

Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Jakarta. Hal. 20 30 Bassiouni, M. Cherif. “Substantive Criminal Law”. 1978. Hal. 82.

Dikutip dari Arief, Barda Nawawi. “Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana”.Bandung. 1996. Citra Aditya Bhakti 31 Soedarto. “Kapita Selekta Hukum Pidana”.Bandung, Alumni.

1986. Hal 31.

Page 41: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

28

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan

tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan

masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan

spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan

ini, (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk

menanggulangi kejahatan dan mengadakan

pengoderan terhadap tindakan penanggulangan itu

sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman

masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau

ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan

perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan

yang mendatangkan kerugian (materiil dan spiritual)

atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula

memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit

principle).

d. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhatikan

kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-

badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada

kelampauan beban tugas (overblasting).

Kriteria kriminalisasi yang dikemukakan Soedarto di

atas mempunyai persamaan dengan kriteria kriminaliasasi

hasil rumusan (kesimpulan) Simposium Pembaruan Hukum

Pidana (1976) yang menyebutkan beberapa kriteria umum

sebagai berikut:32

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh

masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan,

mendatangkan korban atau dapat mendatangkan

korban?

b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan

hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan

undang-undang, pengawasan dan penegakkan hukum,

32 Arif, Barda Nawawi, Op.Cit, hal 38-40

Page 42: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

29

serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku

kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi

tertib hukum yang akan dicapai?

c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak

hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak

dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?

d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau

menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga

merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?

Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang

perlu diperhatikan dalam proses kriminalisasi, yaitu sebagai

berikut:33

a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-

mata atas keinginan untuk melaksanakan suatu sikap

moral tertentu terhadap suatu bentuk perilaku

tertentu.

b. Alasan utama untuk menetapkan satu perbuatan

sebagai tindak pidana seharusnya tidak pernah

didirikan suatu kerangka untuk perlindungan atau

perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan potensial

dalam kepentingannya sendiri.

c. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi

kemampuan perlengkapan peradilan pidana.

d. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan

sebagai suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata

terhadap suatu masalah.

Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria

kriminalisasi dalam proses pembaruan hukum pidana.

Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan

terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan

hukum yang hidup dalam masyarakat. Kedua, apakah

33 Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, “Dari

Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana”. Jakarta. 1988. Penerbit Sinar

Grafika. Hal 87.

Page 43: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

30

ancaman pidana dan penjatuhaan pidana itu adalah jalan

yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-

larangan tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan

melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul

mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana

kalau ternyata ada yang melanggar larangan.34

Menurut Peter W. Low, dalam melakukan

kriminalisasi perlu mengukur efek-efek yang mungkin

timbul dari pelaksanaan kriminalisasi. Ada efek yang perlu

diukur, yaitu, manfaat kriminalisasi terhadap masyarakat.

Pertanyaannya adalah, apakah kriminalisasi lebih banyak

membawa manfaat atau tidak kepada masyarakat. Tidak

mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya

kesulitan membedakan

B. Konsep dan Pengertian Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa

Inggris "Public Policy". Kata "policy" ada yang

menerjemahkan menjadi "kebijakan" (Samodra Wibawa,

1994; Muhadjir Darwin, 1998) dan ada juga yang

menerjemahkan menjadi "kebijaksanaan" (Islamy, 2001;

Abdul Wahap, 1990). Meskipun belum ada "kesepakatan",

apakah policy diterjemahkan menjadi "Kebijakan" ataukah

"kebijaksanaan", akan tetapi tampaknya kecenderungan yang

akan datang untuk policy digunakan istilah kebijakan maka

dalam modul ini, untuk public policy diterjemahkan menjadi

"kebijakan publik".

Beberapa ahli memberikan pengertian / definisi kebijakan

publik, antara lain adalah:

34 Moeljatno. “Azas-Azas Hukum Pidana”.Jakarta:1985. PT.Bina

Cipta. Hal 5.

Page 44: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

31

a. Thomas R. Dye

Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai

berikut:

"Public Policy is whatever the government choose to do

or not to do". (Kebijakan publik adalah apapun pilihan

pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah

memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada

tujuannya, karena kebijakan publik merupakan

"tindakan" pemerintah. Apabila pemerintah memilih

untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan

kebijakan publik, yang tentunya memiliki tujuan. Sebagai

contoh: becak dilarang beroperasi di wilayah DKI

Jakarta, bertujuan untuk kelancaran lalu-lintas, karena

becak dianggap mengganggu kelancaran lalu-lintas, di

samping dianggap kurang manusiawi. Akan tetapi,

dengan dihapuskannya becak, kemudian muncul "ojek

sepeda motor". Meskipun "ojek sepeda motor" ini bukan

termasuk kendaraan angkutan umum, tetapi Pemerintah

DKI Jakarta tidak meiakukan tindakan untuk

melarangnya. Tidakadanya tindakan untuk melarang

"ojek" ini, dapat dikatakan kebijakan publik, yang dapat

dikategorikan sebagai "tidak melakukan sesuatu".

b. James E. Anderson

Anderson mengatakan:

"Public Policies are those policies developed by

governmental bodies and officials". (Kebijakan publik

adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh

badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).

c. David Easton

David Easton memberikan definisi publik sebagai:

“Public policy is the authoritative allocation of values

for the whole society”. (Kebijakan Publik adalah

pengalokasian nilai-nilai secara syah kepada seluruh

anggota masyarakat).

Page 45: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

32

Kesimpulan:

a. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa

tindakan tindakan pemerintah.

b. Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu itu mempunyai tujuan tertentu.

c. Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan

masyarakat.

2. Jenis-jenis Kebijakan Publik.

Jenis kebijakan publik menurut James E. Anderson

(1970) ada 4 :35

1) Substantive and Procedural Policies.

Substantive Policy.

Suatu kebijakan dilihatdari substansi

masalahyangdihadapi oleh pemerintah.Contoh:

kebijakanpendidikan, kebijakan ekonomi, dan

Iain-lain.

Procedural Policy.

Suatu kebijakan dilihatdari pihak-pihak yang

terlibat dalam perumusannya Policy

Stakeholders).

Contoh : dalam pembuatan suatu kebijakan

publik, meskipun ada Instansi/Organisasi

Pemerintah yang secara fungsional berwenang

membuatnya, misalnya Undang-undang tentang

Pendidikan, yang berwenang membuat adalah

Departemen Pendidikan Nasional, tetapi dalam

pelaksanaan pembuatannya, banyak

instansi/organisasi lain yang terlibat, baik

instansi/organisasi pemerintah maupun

organisasi bukan pemerintah, yaitu antara lain

DPR, Departemen Kehakiman, Departemen

Tenaga Kerja, Persatuan Guru Indonesia

35 http://www.academia.edu/4694245/diunduh 29 juli 2014

Page 46: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

33

(PGRI), dan Presiden yang mengesyahkan

Undang-undang tersebut. Instansi-instansi/

organisasi-organisasi yang terlibat tersebut

disebut policy stakeholders.

2) Distributive, Redistributive, and Regulatory

Policies.

Distributive Policy.

Suatu kebijakan yang mengatur tentang

pemberian pelayanan/keuntungan kepada

individu-individu, kelompok-kelompok, atau

perusahaan-perusahaan.

Contoh: kebijakan tentang "Tax Holiday"

Redistributive Policy

Suatu kebijakan yang mengatur tentang

pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan,

atau hak-hak.

Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah

untuk kepentingan umum.

Regulatory Policy.

Suatu kebijakan yang memgatur tentang

pembatasan/ pelarangan terhadap

perbuatan/tindakan.

Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki

dan menggunakan senjata api.

3) Material Policy.

Suatu kebijakan yang mengatur tentang

pengalokasian/penyediaan sumber-sumber

material yang nyata bagi

penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan

rumah sederhana.

4) Public Goods and Private Goods Policies.

Public Goods Policy.

Suatu kebijakan yang mengatur tentang

penyediaanbarang-barang/pelayanan-

Page 47: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

34

pelayanan oleh pemerintah,

untukkepentingan orang banyak.

Contoh: kebijakan tentang

perlindungan keamanan, penyediaan

jalan umum.

Private Goods Policy.

Suatu kebijakan yang mengatur tentang

penyediaan barang-barang / pelayanan

oleh pihak swasta, untuk kepentingan

individu-individi (perorangan) di pasar

bebas, dengan imbalan biaya tertentu.

Contoh: kebijakan pengadaan barang-

barang / pelayanan untuk keperluan

perorangan, misalnya tempat hiburan,

hotel, dan lain-lain.

3. Tingkat-tingkat Kebijakan Publik

Mengenai tingkat-tingkat kebijakan publik ini,

Lembaga Administrasi Negara (1997),

mengemukakan sebagai berikut:

a. Lingkup Nasional

1)Kebijakan Nasional

Kebijakan Nasional adalah adalah kebijakan negara

yang bersifat fundamental dan strategis dalam

pencapaian tujuan nasional/negara sebagaimana

tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Yang

berwenang menetapkan kebijakan nasional adalah

MPR, Presiden, dan DPR. Kebijakan nasional yang

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan

dapat berbentuk: UUD, Ketetapan MPR, Undang-

undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (Perpu).

2) Kebijakan Umum

Page 48: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

35

Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden sebagai

pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU,-untuk mencapai

tujuan nasional. Yang berwenang menetapkan

kebijakan umum adalah Presiden. Kebijakan umum

yang tertulis dapat berbentuk: Peraturan Pemerintah

(PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi

Presiden(Inpres).

3) Kebijakan Pelaksanaan.

Kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan

penjabaran dari kebijakan umumsebagai strategi

pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Berwenang

menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah

menteri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan

LPND.Kebijakan pelaksanaan yang tertulis dapat

berbentuk Peraturan, Keputusan, Instruksi pejabat

tersebut di atas.

b. Lingkup Wilayah Daerah

1) Kebijakan Umum.

Kebijakan umum pada lingkup Daerah adalah

kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan

azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan

Rumah Tangga Daerah.

Berwenang menetapkan kebijakan umum di Daerah

Provinsi adalah Gubernur dan DPRD Provinsi. Pada

Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati

Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan

umum pada tingkat Daerah dapat berbentuk Peraturan

Daerah (Perda) Provinsi dan PERDA

Kabupaten/Kota.

2) Kebijakan Pelaksanaan

Kebijakan pelaksanaan pada lingkup Wilayah/Daerah

ada 3 macam:

Page 49: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

36

a. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka

desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan

PERDA;

b. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka

dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan

nasional di Daerah;

c. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas

pembantuan (medebewind) merupakan

pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di Daerah

yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

Berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan

adalah:

a. Dalam rangka desentralisasi adalah Gubernur /

Bupati / Walikota

b. Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur /

Bupati / Walikota

c. Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur

/ Bupati / walikota

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

dan tugas pembantuan berupa Keputusan-keputusan

dan Instruksi Gubernur/Bupati/Walikota.Dalam

rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk

Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

Sementara itu pakar kebijakan publik

mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala

sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh

pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan

dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus

menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan

tersebut mengandung manfaat yang besar bagi

warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak

menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun

demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang

Page 50: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

37

dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus

bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas

Dye, 1992; 2-4).

Untuk memahami kedudukan dan peran

yang strategis dari pemerintah sebagai public actor,

terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan

pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya

diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada

kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan:

(Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):

“Bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau

tindakan untuk mempengaruhi sistem

pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya

dan tindakan dimaksud bersifat strategis

yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.”

Demikian pula berkaitan dengan kata

kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-

499)

“Bahwa kata kebijakan berasal dari

terjemahan kata policy, yang mempunyai

arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-

batas kompetensi actor dan lembaga yang

bersangkutan dan secara formal mengikat.”

Meski demikian kata kebijakan yang berasal

dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif

(Michael Hill, 1993: 8):

“The concept of policy has a particular

status in the rational model as the relatively

durable element against which other

Page 51: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

38

premises and actions are supposed to be

tested for consistency.”36

Mengutip pendapat Bill Jenkins, didalam

buku “The Policy Process”, mendefinisikan kebijakan

publik sebagai berikut:

“A set of interrelated decisions taken by a

political actor or group of actors concerning

the selection of goals and the means of

achieving them within a specified situation

where these decisions should, in principle,

be within the power of these actors to

achieve.”

Berdasarkan berbagai definisi para ahli

kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai

pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya

melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap pembuatan

kebijakan publik menurut William Dunn, adalah

sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan

proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan

publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk

memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik

dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.

Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai

masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam

agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan

36 http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakan-

publik.html,diunduh 4 agustus 2014

Page 52: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

39

alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu

lain.susah juga semua bisa nulis

Dalam agenda setting juga sangat penting

untuk menentukan suatu isu publik yang akan

diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue

kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai

masalah kebijakan (policy problem). Policy issues

biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat

di antara para aktor mengenai arah tindakan yang

telah atau akan ditempuh, atau pertentangan

pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.

Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan

merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan

baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun

penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak

semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda

kebijakan.

Ada beberapa Kriteria isu yang bisa

dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974;

Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan

Gunn, 1986) diantaranya:37

1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan,

akan menjadi ancaman yang serius;

2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu

3. berdampak dramatis jika tidak dilakukan

pemunculan kebijakan oleh pejabat berwenang;

4. menjangkau dampak yang amat luas ;

5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan

dalam masyarakat ;

6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit

dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

37 http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik, diunduh 4 agustus

2014

Page 53: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

40

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan

diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.

Banyak masalah tidak disentuh sama sekali,

sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya

menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan

ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk

dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite

dan tidak terpilih.

Penyusunan agenda kebijakan seyogianya

dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi

kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah

kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi,

esensi, dan keterlibatan stakeholder.

2. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda

kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat

kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.

Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama

halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk

dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan

kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk

dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk

memecahkan masalah.

3. Adopsi / Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan

otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika

tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur

oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti

arahan pemerintah. Namun warga negara harus

percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah

Page 54: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

41

mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung

berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik

terhadap tindakan pemerintah yang membantu

anggota mentolerir pemerintahan disonansi.

Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-

simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang

belajar untuk mendukung pemerintah.

4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat

dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi

atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,

implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi

dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,

evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap

akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses

kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa

meliputi tahap perumusan masalah-masalah

kebijakan, program-program yang diusulkan untuk

menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,

maupun tahap dampak kebijakan.

c. Pengertian Pejabat Publik

Dari segi etimologis istilah “pejabat publik” terdiri

dari kata “pejabat” dan “publik”. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), kata “pejabat” berarti pegawai

pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan

dan “publik” berarti orang banyak atau umum. Apabila

dipakai kata “jabatan”, istilah “jabatan” sendiri mempunyai

pengertian pekerjaan atau tegas di pemerintahan atau

organisasi.38

38 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa

Indonesia”. Jakarta. Balai Pustaka. Cetakan ke 2. Hal.198

Page 55: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

42

Selain istilah pejabat publik diatas, terdapat juga

istilah “pejabat publik” yang juga sering digunakan. Miftah

Thoha menyebutkan: “istilah jabatan politik baru kita kenal

setelah era reformasi ini karena banyak jabatan itu berasal dari

kekuatan partai politik. Dahulu pada zaman pemerintahan

Orde Baru jabatan itu dikenal sampai sekarang dengan istilah

jabatan negara, pejabatnya disebut sebagai pejabat negara.

Ketika itu dalam pemerintahan Orde Baru tidak dikenal

jabatan politik”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan

bahwa pada jaman Orde Baru jabatan politik dapat

dipersamakan dengan jabatan negara (pejabat negara).Jimly

Asshiddiqie menyatakan bahwa: “para pejabat merupakan

“political appointee” sedangkan pejabat negeri merupakan

“administrative appointee”. Artinya para pejabat negara itu

diangkat dan dipilih karena pertimbangan yang bersifat

politik, sedangkan para pejabat negeri itu dipilih murni karena

alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena

pertimbangan politik (political appointment) haruslah

bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan

rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang

kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik

kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang

demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara

yang dipilih atau “elected official”.39

Untuk lebih menyederhanakannya, kita bisa pakai

pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa lingkungan

jabatan dalam organisasi negara dapat dibedakan dengan

berbagai cara, yaitu:

(i) Dibedakan antara jabatan alat kelengkapan negara

(jabatan organ negara, jebatan lembaga negara), dan

jabatan penyelenggara administrasi negara;

(ii) Dibedakan antara jabatan politik dan bukan politik;

39 Asshiddiqie, Jimly. “Perihal Undang-Undang”. Jakarta:2010.

Rajawali Persa. Hal.373

Page 56: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

43

(iii) Dibedakan antara jabatan yang secara langsung

bertanggung jawab dan berada dalam kendali atau

pengawasan publik dan yang tidak langsung

bertanggung jawab dan tidak langsung berada dalam

pengawasan atau kendali publik;

(iv) Dibedakan pula antara jabatan yang secara langsung

melakukan pelayanan umum dan tidak secara

langsung melakukan pelayanan umum.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat

disimpulkan bahwa pengertian “pejabat publik” berbeda

secara substansial dengan istilah “pejabat politik”, sebab

jabatan publik tidak selalu diisi melalui proses pemilihan

umum atau layaknya mekanisme pemilihan pejabat melaluii

proses politik. Namun dapat juga diisi melalui pengangkatan

dengan model dan prosedur tertentu.

Istilah pejabat publik banyak digunakan dalam sistem

hukum asing dan lingkup hukum internasional. Hal ini dapat

ditemukan dalam United Nations Convention against

Corruption (UN Convention) dan Organization of Economic

Co-Operation and Development-convention on Combating

Bribery of Foreign Public Officials in International Business

Transactions (OECD Convention).

Menurut UN Conventiion, pejabat publik (public

officials) adalah: “any person holding a legislative, executive,

administrative or judicial office, whether appointed or

elected; any other persons who performs a public function or

provides a public service; any other person defined as a

public official in domestic law.40

Lalu, menurut OECD Convention, pejabat publik

berarti :

“any person holding a legislative, administrative or

judicial office of a country, whether appointed or elected; any

40 www.u4.no/themes/conventions/convdefpublicofficial.cfm,

“Conventions overview-defining public officials”.diunduh 6agustus 2014

Page 57: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

44

person exercising a public function for a foreign country,

including for a public agency or public enterprise; and any

official or agent of a public international

organization”. Apabila dilihat dari ruang lingkupnya kedua

pengertian tersebut pada dasarnya sama. Perbedaannya hanya

pada cakupan jabatan publik dalam lingkungan organisasi

internasional.

Dalam Black's Law Dictionary juga disebutkan bahwa

pejabat publik adalah “one who holds or is invested with a

public office; a person elected or appointed to carry out some

portion of a government's sovereign powers." Istilah “public

officials”dipersamakan dengan istilah “public officers”.

Mengenai pengertian istilah “pejabat negara”, dalam

literatur lain, juga dikenal istilah ini. Sepintas memang istilah

ini amat dekat atau sama dengan pengertian istilah “pejabat

publik”. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme diberikan batasan istilah “pejabat negara”.

Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggara negara

adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,

legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan

tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi lain dapat ditemukan dalam Undang-undang

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-

undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Kepegawaian. Dalam Pasal 1 ayat (4) diatur bahwa “pejabat

negara” adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi

negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat

negara yang ditentukan oleh undang-undang.

Oleh karena beragamnya istilah tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah “pejabat publik”

berbeda dengan pengertian “pejabat negara” dan “pejabat

politik”. Sebab cakupan pengertian “pejabat publik” lebih luas

dari kedua istilah lainnya, dan mencakup kedua istilah

Page 58: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

45

tersebut.Sebagai perbandingan, tidak selalu seseorang yang

diangkat melalui proses politik melalui pemilihan umum

(pejabat politik) dapat dikategorikan sebagai “pejabat negara”.

Hal tersebut dapat dicontohkan dengan kedudukan anggota

DPRD dan Bupati yang tidak dikategorikan sebagai pejabat

negara. Namun ada pejabat negara yang diangkat tidak

melalui proses politik yang sebagaimana lazimnya dikenal

melalui proses pemilu, seperti pejabat komisi negara, yaitu

anggota KPK. Penulis menyimpulkan, terdapat kesan bahwa

seseorang yang duduk sebagai “pejabat karir eksekutif” (PNS

senior) di sebuah kementerian dianggap sebagai “pejabat

negara”. Meskipun secara yuridis tidak demikian, sebab

kedudukannya hanya sebagai pejabat karir di lingkungan PNS.

Penulis beranggapan bahwa lebih tepat jika

menggunakan istilah “pejabat publik” dengan tujuan untuk

mengakomodasi semua jenis jabatan publik yang lain. Hal

inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa kemudian

istilah ”pejabat publik” menjadi lebih populer dipakai oleh

berbagai kalangan.

Page 59: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

46

Page 60: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

47

BAB III

ANALIS KASUS: KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT

PUBLIK

Setelah mencermati, dan memahami berbagai pengertian,

makna, dan esensi dari pada frase judul, kriminalisasi kebijakan

pejabat publik; maka pada bagian ini akan ditampilkan bentuk dan

model-model kasus dari hasil telaah / penelitian yang dikategorikan

sebagai kasus-kasus / peristiwa kriminalisasi yang terjadi terhadap

pejabat publik; yang pernah terjadi.

Sebagaimana dipahami, bahwa asas legalitas adalah salah satu

dari asas yang harus diperhatikan dalam sebuah penerapan pidana,

selain asas subsidiaritas dan asas persamaan; sehingga sebuah

penerapan pidana atau kriminalisasi wajib dibatasi, sesuai fungsi asas

legalitas dalam pemahaman dan pengertian pidana itu sendiri. Ini

sejalan pula dengan asas subsidiaritas yang artinya : Hukum pidana

harus ditempatkan sebagai Ultimum remidium (senjata pamungkas)

dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen penal,

bukan sebagai Primum remidium (senjata utama) untuk mengatasi

masalah kriminalitas.

Penerapan asas subsidiaritas dalam kebijjakan kriminalisasi

dan dekriminalisasi mengharuskan adanya penyelidikan tentang

efektivitas penggunaan hukum pidana.dalam penanggulangan

kejahatan atau perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat.

Pokok permasalahan yang perlu diteliti adalah apakah tujuan-tujuan

yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum pidana itu tidak dapat

dicapai juga dengan menggunakan cara-cara lain yang lebih kecil

ongkos sosialnya dan individunya. Hal ini mengkehendaki agar kita

mengetahui tentang akibat-akibat dari penggunaan hukum pidana itu,

dan dapat menjamin bahwa campur tangan hukum pidana itu memang

sangat berguna.41

41 Saleh, Ruslan, mengutip Antonie A.G.Peter dalam “Asas-asas

Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta: 1981. Aksara Baru. Hal.28

Page 61: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

48

Apabila dalam penyelidikan itu ditemukan penggunaan

sarana-sarana lain (sarana non penal) yang lebih efektif dan lebih

bermanfaat untuk menanggulangi kejahatan, maka janganlah

menggunakan hukum pidana. Dalam praktek perundang-undangan,

upaya untuk mengandalkan penyelidikan tersebut bukan hanya tidak

dilakukan, tapi juga tidak terpikirkan penggunaan asas subsidiaritas.

Dalam praktek perundang-undangan ternyata tidak berjalan seperti

yang diharapkan. Hukum pidana bukanlah sebagai Ultimum remidium,

melainkan sebagai Primum remidium. Penentuan pidana telah

menimbulkan beban terlalu berat dan sangat berlebihan terhadap

justitiable dan lembaga-lembaga hukum pidana. Demikian pula

dengan asas kesamaan, yang seharusnya mepunyai kedudukan

penting, dimana kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan,

dimana kesederhanaan dan kejelasan itu akan menimbulkan /

menghadirkan ketertiban, yang menurut Lacretille, asas (pidana)

kesamaan tidak hanya suatu dorongan bagi hukum pidana yang

bersifat adil, tetapi juga hukum pipdana yang tepat.

Pengabaian terhadap ketiga asas proses pemidanaan ini, atau

asas kriminalisasi, telah menghadirkan pemidanaan / kriminalisasi

secara berlebihan (over criminalisation) dalam wujud konkritnya.

Terjadi pidana yang dipaksakan, pidana yang dicari-cari; sengaja

mencari kesalahan pejabat-pejabat (publik) untuk dijadikan target

sebagai tersangka; serta berbagai macam dan jenis perilaku penegak

hukum yang negatif dalam penentuan proses pidana; kriminalisasi

pada akhirnya bermakna negatif. Mengacu pada berbagai inisiatif

pembuatan undang-undang setelah era reformasi, dengan semangat

anti korupsi yang tinggi; telah melahirkan produk legislasi yang

mencerminkan pengabaian terhadap asas-asas dan kriteria

kriminalisasi, sebagai bagian dari doktrin pemidanaan yang universal.

Penegak hukum terjebak pada mekanisme hukum undang-undang,

beserta kriteria hukuman yang ditentukan pembentuk undang-undang,

dengan alasan, begitulah hukum positif kita telah mengatur. Padahal,

betapapun hukum positif, atau undang-undang, menurut akal sehat

manusia “is merely declaratin”, atau sebagai mana dikatakan oleh

Rudolf Stammler, “All positive law, he says; is an attempt at just

Page 62: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

49

law”.42 Oleh karenanya, ketika semua hukum positif (undang-undang

masih merupakan upaya mendapatkan / menemukan hukum yang adil,

maka terbuka ruang untuk mengganti dan merubahnya. Dalam

kaitannya dengan kebijakan pejabat publik yang dipidana

(dikriminalisasi); beberapa contoh kasus dijadikan analisis dalam

penelitian ini, antara lain:

1. Kasus 1

Kasus Tunjangan Dewan Perwakilan Daerah Kota

Malang.

Putusan Kasasi MA No.2698 K/Pid.Sus/2010, tanggal 21

Februari 2011

Isi Putusan:

“Menolak Permohonan Kasasi Terdakwa, Drs. Agus

Sukamto, dan membebaskan Pemohon Kasasi untuk

membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini

sebesar Rp.2.500.000,-“

Kasus yang populer di Kota Malang, dengan sebutan

Mark up tunjangan DPRD ini, adalah produk dari sebuah

keputusan / kebijakan pejabat publik, antara Walikota

Malang dengan pejabat DPRD Kota Malang, dimana

berawal dari penyusunan pas-pas anggaran untuk DPRD

Kota Malang; yang secara administrasi sudah

dipertanggung jawabkan, dan sudah dilaksanakan.

Persoalannya muncul, bermula dari hasil pemeriksaan

BPK RI, Perwakilan V Jogjakarta atas laporan keuangan

Kota Malang tahun anggaran 2004, No. 80/R./XV.4/05

tanggal 12 Mei 2005, dimana didapati pemberian bantuan

tunjangan kepada anggota DPRD Kota Malang yang

dianggap merugikan keuangan Negara / Daerah sebesar

Rp 4.008.200.000,- dan Rp 1.012.500.000,- ; yang oleh

media sering disebut kasus Rp 5,02 Milyard. Menurut

42 Allen, C.K. Law In The Makin. Oxford University Press. 7th

edition. Hal 23

Page 63: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

50

kacamata BPK, kedua belanja tersebut tidak sesuai

dengan keputusan DPRD No.31/2002 tanggal 2

November 2004, tentang Tata Tertib DPRD Kota

Malang, dan Surat Edaran (SE) Mendagri

No.161/321.1/SJ tanggal 29 Desember 2003 perihal

pedoman tentang kedudukan keuangan pimpinan dan

anggota DPRD.43

Dalam kenyataannya; nominal belanja dan prosedur

keluarnya anggaran tersebut sesuai dengan PERDA

APBD, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Walikota

Malang saat itu, Drs.Peni Suparto. Anggaran diterima

oleh seluruh anggota dewan periode 1999-2004, dan tahun

2004-2009; sedangkan yang diterima oleh Terdakwa /

Terpidana Agus Sukamto, selama Januari 2004-Desember

2004. Aneh dan mengherankan dalam kasus ini,

pertanggung jawaban APBD 2004 oleh Walikota Malang

pada bulan Maret 2005 diterima secara aklamasi oleh

DPRD 2004-2009, bahkan laporan (audit BPK) tersebut

pun, telah dimasukkan dalam neraca keuangan Pemkot

Malang, dan dimasukkan sebagai piutang DPRD, untuk

mengetahui piutangnya telah dikembalikan atau belum

dikembalikan oleh DPRD 1999-2004 dan 2004-2009. Ini

berarti secara keadministrasian dan pengelolaan anggaran,

keputusan tersebut telah terkoreksi, dan ada payung

hukum, menjadi ranah administratif; dan seharusnya

pemegang otoritas keuangan daerah berada pada Kepala

Daerah, sedangkan terpidana kasus ini hanyalah sebagai

panitia anggaran dan wakilnya yang juga dipidana,

padahal yang menerima tunjangan yang menjadi masalah

(dipaksakan / dikriminalisasi) seharusnya seluruhnya

berjumlah 77 orang anggota DPRD, dan tentu Walikota

yang pada akhirnya sebagai penentu; Faktanya dari kasus

43 Sukamto, Agus. “Agus Sukamto Menggugat: Sebuah Ironi

Keadilan”. Malang:2012. LSM For Publik. Hal 4

Page 64: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

51

ini, hanya 11 orang DPRD yang sudah diproses hukum,

yang lainnnya tidak tersentuh, Walikota Malang saat itu,

Peni Suparto tidak disentuh oleh proses pemidanaan,

sehingga menimbulkan tanda tanya mengapa terjadi

diskriminasi dalam proses hukum hingga saat ini?

Ironisnya lagi, terpidana kasus ini justru telah

mengembalikan uang tunjangan dewan yang

dipermasalahkan, namun tetap dipidana selama 2 tahun

penjara dengan putusan finalnya MA menolak kasasi yang

bersangkutan.

Kasus kriminalisasi terhadap DPRD Kota Malang ini,

walaupun 11 (sebelas) orang dari 77 (tujuh puluh tujuh)

orang yang seharusnya bertanggung jawab telah

meninggalkan persoalan keadilan dan kepastian hukum,

serta menghadirkan diskriminasi tebang pilih di satu sisi,

dan memperlihatkan kriminalisasi / proses kriminalisasi

terhadap pejabat publik, dengan segala eksesnya. Dalam

pandangan dan pendapat hukum (legal opinion) nya

terhadap kasus ini, pakar hukum pidana Drs.Sholehudin

dari Universitas Bhayangkara Surabaya, menyampaikan

pendapat, sebagai berikut44:

1) Bahwa terdakwa, Drs. H. Agus Sukamto, M.Si

telah diajukan ke persidangan PN Kota Malang,

karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi,

baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama

dan berlanjut. Penuntut umum mengajukan

dakwaan berlapis (subsidair ten laste legging)

terhadap Terdakwa sebagaimana dirumuskan

dalam pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No.31

Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal

55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)

44 Agus Sukamto Menggugat, Ibid

Page 65: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

52

KUHP sebagai dakwaan primair. Terdakwa juga

didakwa dengan pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No. 31

Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal

55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHP sebagai dakwaan subsidair.

2) Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam uraian

dakwaannya menjelaskan, Terdakwa melakukan

tindak pidana korupsi menyuruh membuat

Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) DPRD

Kota Malang Tahun Anggaran 2003 dengan cara

meniru APBD Kota Malang Tahun Anggaran

2003 secara melawan hukum ke dalam RAPBD

Tahun 2004, baik yang dilakukan secara sendiri-

sendiri maupun bersama-sama dan berlanjut.

Dalam doktrin hukum piidana, suatu tindak

pidana bisasaja dilakukan oleh beberapa orang

yang masing-masing kapasitas dan kualitas

perbuatannya harus dibedakan dan diperjelas

Pertama, disebut sebagai orang yang

melakukan (pleger), yakni seseorang

yang secara sendiri telah berbuat

mewujudkan semua unsur dari tindak

pidana.

Kedua, orang yang menyuruh melakukan

(doen plegen), yakni orang yang

menggerakkan orang lain yang tidak

dapat dikenai pidana untuk melakukan

suatu tindak pidana.

Ketiga, orang yang turut melakukan

(medepleger), yakni orang yang

wederrechtelijkheid’ dalam Perspektif

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Page 66: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

53

Penyimpangan terhadap dua masalah ini yang

disebut perbuatan melawan hukum

(wederrechtelijkheids) dan / atau

menyalahgunakan kewenangan (detournement de

pouvoir). Selebihnya hanya dapat dikatakan

perbuatan melanggar hukum (onrechmatige

daad) yang dapat dikenakan sanksi keperdataan

dan / atau administratif.

3) Bahwa dalam konteks regulasi pengelolaan

keuangan daerah yang berkaitan dengan masalah

atau proses awal pembuktian bila terjadi

pelanggaran yang berindikasi melawan hukum

atau menyalahgunakan kewenangan, maka

instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan

adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Seperti yang tertuang dalam pasal 13 dan pasal 14

UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara, bahwa BPK berwenang melakukan

pemeriksaan investigativ guna mengungkap

adanya indikasi kerugian Negara / daerah. Dan

bila ditemukan unsur pidananya, maka BPK wajib

melaporkan terhadap instansi yang berwenang.

4) Bahwa interpretasi dari kedua pasal tersebut

dalam poin Nomor 13 adalah: dalam soal

pengelolaan keuangan Negara / Daerah, aparat

Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK tidak boleh

melakukan tindakan pemeriksaan “pro justicia”

sebelum ada laporan dari BPK atau telah terdapat

laporan hasil pemeriksaan BPK yang memuat

temuan unsur pidananya. Jadi alat bukti sah yang

dapat dijadikan pembuktian terhadap dugaan

terjadinya tindak pidana korupsi baik yang

berbentuk melawan hukum maupun

Page 67: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

54

menyalahgunakan kewenangan yang berkaitan

dengan pengelolaan keuangan Negara / Daerah

harus bersumber dari BPK sebagai Lemabaga

Negara satu-satunya yang berwenang melakukan

pemeriksaan dan penilaian terjadinya kerugian

keuangan Negara / Daerah.

Bahwa dengan demikian, dakwaan yang ditujukan

kepada Terdakwa dalam konteks perkara ini,

hanya didasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang bersifat administratif. Penggunaan

pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang dijuncto-kan dengan

pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 64 KUHP

adalah TIDAK RELEVAN dan karenanya berarti,

Jaksa Penuntut Umum salah dalam menerapkan

hukumannya, dan secara bersama-sama

melaksanakannya. Keempat-empatnya menurut

pasal 55 KUHP dipandang sebagai “para

pembuat” dari suatu tindak pidana.

5) Bahwa kedudukan Terdakwa tidak bisa

disamaratakan. Dan karenanya harus dipertegas

kapasitas pelaku dan kualitas perbuatannya.

Apakah sebagai “actor intelectualis” atau “turut

serta”, karena menyangkut soal pertanggung-

jawaban pidana pelaku dan permasalahan

pemidanaannya.

6) Bahwa unsur “melawan hukum” dalam dakwaan

primer merupakan bagian tertulis dari rumusan

delik. Ini maksudnya, pembentuk undang-undang

ingin membatasi supaya rumusan dan

pengertiannya tidak terlampau luas. Secara

doktrinal, rumusan delik seperti ini, sifat melawan

hukumnya harus dibuktikan secara hukum karena

bersifat khusus atau faset. Apakah perbuatan

terdakwa, benar-benar telah melawan hukum?

Page 68: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

55

Harus dipertanyakan, melawan hukum apa?

Hukum Administrasi, Hukum Perdata, Hukum

Tata Negara atau Hukum Pidana?

7) Bahwa dalam fakta hukumnya, perbuatan

Terdakwa tidak melanggar ketentuan yang terkait

dengan prosedur memasukkan Anggaran dalam

RAPBD (yang tanpa adanya DASK). Perbuatan

menyuruh untuk meniru konsep RASK meskipun

dianggap suatu pelanggaran, tidak termasuk ke

dalam pengertian yang bersifat melawan hukum

secara hukum pidana. Sifat melawan hukum

adalah suatu istilah yang dalam hukum pidana

disebut “wederrechtelijkheid” yang mempunyai 4

(empat) konsep. Pertama, sifat melawan hukum

umum, yakni syarat umum untuk dapat dipidana.

Kedua, sifat melawan hukum khusus, yakni syarat

tertulis untuk dapat dipidana, yang mempunyai

arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik yang

harus ditafsirkan menurut konteks sosialnya.

Ketiga, melawan hukum formil, yakni semua

bagian yang tertulis dari rumusan delik telah

dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum

materiil, yakni melanggar atau membahayakan

kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh

legislator dalam urusan delik tertentu (lihat

dalam: Hukum Pidana, Prof.DR. N. Keizer dan

MR. E. PH. Sutorius, hal 39-54)

8) Bahwa, istilah “sifat melawan hukum” yang

dicantumkan dalam urusan delik, tidak selalu

berarti sama. Untuk menentukan isinya harus

dicermati dalam arti apa pembentuk undang-

undang hendak mengadakan pembatasan dari

ketentuan pidana itu atau pengkhususan lebih

lanjut dari rumusan deliknya. Bila dilihat dari

penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun

Page 69: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

56

1999, unsur secara melawan hukum dimaksudkan

sebagai hal-hal yang mencakup bersepakat

dengan orang lain berencana melakukan suatu

tindak pidana perbuatan melawan hukum dalam

arti formil. Pengertian perbuatan melawan hukun

formil dikemukakan oleh Prof. D. Simons yang

secara tegas menyatakan bahwa untuk dapat

dipidana suatu perbuatan harus jelas terungkap

dalam uraian isi delik atau tindak pidana dalam

aturan-aturan undang-undang pidana yang sah.

9) Bahwa pelanggaran terhadap PP No. 110 dan PP

No.105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29

Tahun 2002 dan SE Mendagri 161/3211/SJ

tanggal 29 Desember 2003 dalam konteks perkara

ini, secara yuridis-normatif harus diberi sanksi

administratif karena peraturan perundang-

undangan tersebut memang menetapkan seperti

itu. Misalnya “Pembatalan Perda” atau

“Pengembalian Uang Negara”. Tidak ada

kriminalisasi tentang perbuatan-perbuatan

terhadap ketentuan atau norma-norma yang diatur

dalam kedua peraturan perundang-undangan

tersebut.

10) Bahwa dalam kerangka hukum Administrasi

Negara, parameter yang membatasi gerak bebas

kewenangan aparatur Negara (discretionary

power) adalah “Detournement de pouvoir”

(penyalahgunaan wewenang) dan ‘abus dedoit’

(sewenang-wenang). Sedangkan dalam hukum

pidana kriterianya berupa ‘wederrechtelijkheid’

(melawan hukum) dan menyalahgunakan

kewenangan.

11) Bahwa unsur “menyalahgunakan kewenangan ...

karena jabatan” dalam dakwaan subsidair

merupakan delik inti (bestanddeel delict),

Page 70: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

57

sedangkan unsur dengan tujuan menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau korporasi

hanyalah merupakan elemet delict dan karenanya

tidak menentukan perbuatan yang dirumuskan

sebagai ‘strafbarenhandeling’ (perbuatan yang

dapat dipidana). Setiap orang boleh saja

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

korporasi sepanjang tidak dilakukan dengan cara

menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan.

Itulah yang menjadi delik inti untuk menentukan

apakah suatu perbuatan termasuk kategori tindak

pidana.

12) Bahwa hukum pidana mempunyai otonomi untuk

memberikan pengertian yang berbeda dengan

pengertian yang terdapat dalam bidang ilmu

hukum lainnya. Tetapi jika hukum pidana tidak

menentukan lain maka dipergunakan pengertian

yang terdapat dalam bidang hukum lainnya (H.A.

Demeersemen tentang kajian “De autonomie van

het materiele strafrecht; dalam Indriyanto Seno

Adji. Overheidsbeleid & Asas “Materiele).

Seperti pengertian “menyalahgunakan

kewenangan” dalam hukum pidana yang diambil

dari pengertian ‘detournement de pouvoir’ dalam

hukum administrasi yakni menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud

diberikannya wewenang tersebut. Sedangkan

pengertian sifat melawan hukum

(wederrechtelijkheid) tidak diambil dari bidang

ilmu hukum lainnya sebagaimana pendapat Prof.

D. Simons yang telah dijelaskan pada poin ke-6

diatas.

13) Bahwa sumber dana tunjangan kesehatan dalam

bentuk asuransi bagi anggota DPRD Kota Malang

periode 1999-2004 berasal dari Perubahan

Page 71: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

58

Anggaran Keuangan (PAK) APBD Kota Malang

Tahun Anggaran 2004 sebagaimana ditetapkan

dalam PERDA No. 8 tahun 2004 yang tidak

mengatur sanksi pidana di dalamnya.

PERDA yang demikian dapat dikatakan tidak

termasuk ke dalam pengertian peraturan

perundang-undangan pidana. Konsekuensi

hukumny bila terjadi kesalahan atau pelanggaran

terhadap PERDA tersebut, penerapan sanksinya

harus mengacu pada peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Bila dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut

memuat sistem sanksi pidana, maka dapat

diterapkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya.

Tetapi bila tidak mengatur sanksi pidananya,

maka pelanggaran-pelanggaran yang

menimbulkan terjadinya kerugian keuangan

Negara / Daerah, sanksi yang diterapkan harus

bersifat administratif, yakni: diwajibkan

mengganti kerugian keuangan Negara kepada

setiap pejabat Negara yang melanggar hukum

atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau

tidak langsung yang merugikan keuangan Negara.

Misalnya kalau Perda tentang APBD, harus

mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang

keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2004

Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 15

Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan

Keuangan dan PP No. 8 tahun 2006 tentang

Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi

Pemerintah serta peraturan perundang-undangan

terkait, seperti Keppres / Perpres, Kepmen, dll.

14) Bahwa hanya terdapat dua masalah yang dapat

dikenai sanksi pidana penjara dan denda terhadap

Page 72: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

59

pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan

soal pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

Negara / Daerah, yakni pertama, penyimpangan

terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dalam

Perda tentang APBD. Kedua, penyimpangan

terhadap kegiatan Anggaran yang telah ditetapkan

dalam Perda tentang APBD.

Model dan bentuk-bentuk kriminalisasi terhadap

kebijakan pejabat publik di tingkat Pemerintah Daerahn

dan DPRD yang sering dilakukan oleh Penegak Hukum

secara salah kaprah sebagai diuraikan di atas, dalam

contoh kasus yang terkena pada ke-77 anggota DPRD

Kota Malang, namun hanya 11 orang yang diproses

hukum, dan salah satu diantaranya adalah Panitia

Anggaran, yang divonis 2 tahun penjara dengan putusan

kasasi Mahkamah Agung No. 2698 K/Pid.Sus/2010

tersebut, mengisahkan polemik yang tak kunjung selesai,

sebab kriminalisasi tersebut telah melahirkan wajah

buram penegakkan hukum berupa:

Diskriminasi perlakuan hukum / penegakkan

hukum terhadap warga / pejabat publik.

Merusak citra hukum / penegakkan hukum secara

luas.

Terkesan kuat mencari kesalahan dari pejabat

publik yang tidak disukai.

Masuknya unsur politis dalam proses penegakkan

hukum, karena didasari oleh fakta like and

dislike, dan lain lain.

Reaksi atas kriminalisasi tersebut telah memunculkan

pula perhatian DPR RI, melalui Komisi II dan III yang

akhirnya membentuk Panja (Panitia Kerja) berupa Panja

Penegakkan Hukum dan Pemerintah Daerah, yang

menyoroti dampak negatif dari proses kriminalisasi

terhadap kebijakan pejabat publik, yang telah begitu

Page 73: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

60

banyak memakan korban di penjaranya seseorang yang

seharusnya tidak bersalah, tetapi dipidana

(dikriminalisasi). Panja DPR RI tersebut, pada akhirnya

menyimpulkan dan merekomendasikan kepada presiden

RI, sebagai berikut:

Berdasarkan penjelasan-penjelasan dari pejabat /

pihak yang diundang Panja Penegakan Hukum dan

Pemerintahan Daerah dalam Rapat Kerja, Rapat Dengar

Pendapat, maupun Rapat Dengar Pendapat Umum,

bahan-bahan tertulis yang diterima Panja, serta masukan,

pandangan dan pemikiran para Anggota Panja, Rapat

Pleno Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan

Daerah pada tanggal 28 September 2006, mengambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum telah keliru memahami

posisi konstitusional DPRD sebagai badan

legislatif daerah sebagaimana ditentukan dalam

pasal 18 UUD 1945 juncto UU Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto UU

Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

2. Penerbitan Peraturan Pemerintah dan berbagai

Surat Edaran, Surat Keputusan, dan Peraturan

Menteri Dalam Negeri tentang keuangan daerah

telah mereduksi hak dan kewenangan

konstitusional DPRD yang diatur dan dijamin

Undang-Undang sehingga merusak sistem

pemerintahan daerah dan sistem hukum nasional.

3. Proses penegakan hukum yang mengacu kepada

Peraturan Pernerintah, Surat Edaran, Surat

Keputusan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri

telah mengakibatkan makin rusaknya sistem

hukum dan sistem pemerintahan daerah.

Page 74: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

61

4. Terdapat fakta yang kuat bahwa penegakan

hukum dilakukan secara tidak fair, tebang pilih

atau diskriminatif, tidak proporsional, dan

melanggar prinsip-prinsip negara hukum,

terutama prinsip kesetaraan di hadapan hukum

(equality before the law), dan prinsip penegakan

hukurn dengan cara-cara yang tidak bertentangan

dengan hukum.

5. Penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi

dengan menggunakan PP Nomor 110 Tahun 2000

tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan PP

Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah telah

melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat

(demokrasi) di tingkat lokal, karena anggota

DPRD yang dipilih melalui Pemilu Legislatif, dan

Gubernur/Bupati/walikota yang dipilih langsung

oleh rakyat adalah pelaksana kedaulatan rakyat

yang bertugas membuat kebijakan, antara lain

berupa Peraturan Daerah tentang APBD.

6. Tindak pidana korupsi menurut Panja Penegakan

Hukum dan Pemerintahan Daerah, adalah apabila

ditemukan unsur-unsur melawan hukum yang

terpenuhi dalam pelaksanaan APBD, bukan dalam

penyusunan dan penetapan APBD.

7. Terdapat fakta yang kuat bahwa telah terjadi

kriminalisasi terhadap politik kebijakan

pemerintahan daerah, yakni politik kebijakan di

bidang anggaran, bahwa suatu perbuatan hukum

yang masuk hukum perdata dan hukum

administrasi dipaksakan masuk dalam hukum

pidana yang berujung pada proses pidana.

8. Penerapan produk hukum berupa PP Nomor 110

Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD

Page 75: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

62

dalarn proses hukum terhadap anggota DPRD

maupun kepala daerah yang diduga melakukan

tindak pidana korupsi atas dana APBD adalah

tidak tepat karena PP Nomor 110 Tahun 2000

sudah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung

Nomor 04/C/HUM/2001 tanggal 9 September

2002.

9. Penerapan unsur perbuatan melawan hukum

materiil dalarn proses hukum terhadap anggota

DPRD maupun kepala daerah yang diduga

melakukan tindak pidana korupsi atas dana APBD

adalah tidak tepat karena ketentuan tentang unsur

melawan hukum materiil dalam penjelasan pasal

2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah

dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 003/PUU-IV/2006.

10. Penerapan produk hukum berupa PP Nomor 105

Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan

peraturan kebijakan dalam bentuk Surat Edaran

Mendagri, dalam proses hukum terhadap anggota

DPRD maupun kepala daerah yang diduga

melakukan tindak pidana korupsi atas dana

APBD, adalah tidak tepat karena substansi dari

PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Surat Edaran

Mendagri sepenuhnya bersifat administratif.

Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas, Rapat

Pleno Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah

pada tanggal 28 September 2006 menyampaikan

rekomendasi sebagai berikut:45

45 www.parlemen.net

Page 76: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

63

1. Mengingatkan Mahkamah Agung RI dan seluruh jajaran

peradilan umum dan peradilan tata usaha negara agar

senantiasa konsisten mengkaitkan Putusan Perkara Hak Uji

Materiil Mahkamah Agung RI Nomor 04/G/HUM/2001

tanggal 9 September 2002 yang membatalkan PP Nomor

110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD

manakala dihadapkan pada perkara-perkara yang

dihubungkan dan didasarkan pada PP Nomor 110 Tahun

2000.

2. Meminta agar Presiden RI untuk menginstruksikan kepada

para pembantunya di bidang penegakan hukum, yaitu

Jaksa Agung RI dan Kepala Polri, agar pemberantasan

korupsi dilakukan secara adil, tidak tebang pilih atau

diskriminatif, proporsional, dan dengan menjunjung tinggi

prinsip-prinsip negara hukum, serta segera mengeluarkan

izin-izin pemeriksaan terhadap para kepala daerah yang

diduga melakukan tindak pidana korupsi.

3. Meminta Presiden RI untuk memerintahkan kepada

Menteri Dalam Negeri agar:

3.1. mempercepat proses penyusunan peraturan yang

mengatur mekanisme pemeriksaan anggota DPR dan

kepala daerah yang diduga melakukan tindak

pidana;

3.2. dalam menyusun rancangan produk hukum berupa

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang DPRD

dan Kepala Daerah, dan dalam menerbitkan Surat-

surat Edaran harus menjunjung prinsip otonomi

daerah yang telah diberikan Konstitusi RI dan diatur

dalam undang-undang, harus tidak bertentangan

dengan pcraturan perundang-undangan yang Iebih

tinggi, dan berkoordinasi dengan departemen terkait

Iainnya sehingga produk hukum yang dihasilkan

menjadi kondusif bagi kepentingan daerah.

4. Meminta Presiden RI untuk memberi teguran keras kepada

Jaksa Agung RI karena tidak mampu memimpin dan

Page 77: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

64

mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang

kejaksaan dalam melakukan penanganan kasus dugaan

korupsi anggota DPRD dan kepala daerah yang

dihubungkan atau didasarkan pada PP Nomor 110 Tahun

2000.

5. Meminta Presiden RI untuk memerintahkan kepada Jaksa

Agung RI agar konsisten untuk tidak menggunakan PP

Nomor 110 Tahun 2000 (yang sudah dibatalkan oleh

Putusan Mahkarnah Agung Nornor 04/G/HUM/2001), PP

Nomor 105 Tahun 2000 (yang bersifat administratif), dan

Surat Edaran Mendagri (yang bersifat peraturan kebijakan)

sebagai dasar hukum penyelidikan, penyidikan, maupun

penuntutan kasus dugaan korupsi oleh anggota DPRD dan

kepala daerah, serta tidak menggunakan asas kepatutan

untuk mengkualifikasi adanya perbuatan melawan hukum

materiil (sudah dibatalkan oleh Putusan Uji Materiil

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006).

6. Meminta Presiden RI untuk memerintahkan kepada Kepala

Polri agar konsisten untuk tidak menggunakan PP Nomor

110 Tahun 2000 (yang sudah dibatalkan oleh Putusan

Mahkamah Agung Nomor 04/G/HUM/2001), PP Nomor

105 Tahun 2000 (yang bersifat administratif), dan Surat

Edaran Mendagri (yang bersifat peraturan kebijakan)

sebagai dasar hukum penyelidikan, penyidikan, maupun

penuntutan kasus dugaan korupsi oleh anggota DPRD dan

kepala daerah, serta tidak menggunakan asas kepatutan

untuk mengkualifikasi adanya perbuatan melawan hukum

materiil (sudah dibatalkan oleh Putusan Uji Materiil

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006).

7. Meminta Presiden RI agar dapat menghentikan

penanganan kasuskasus dugaan korupsi dana APBD oleh

anggota DPRD dan kepala daerah sesuai kewenangannya,

serta dapat segera memberikan rehabilitasi dan pemulihan

nama baik beserta segenap hak-haknya atas kerugian yang

diderita oleh anggota DPRD dan kepala daerah akibat

Page 78: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

65

penggunaan PP Nomor 110 Tahun 2000, PP Nomor 105

Tahun 2000, serta Surat Edaran Mendagri.

8. Meminta Pimpinan DPR RI menugaskan kepacl Komisi II

dan Komisi III DPR RI untuk membentuk tim kerja guna

mengawasi pelaksanaan rekomendasi panja tersebut di

atas.

2. Kasus 2

Putusan Nomor 146 PK/Pid.Sus/2009

Dengan terdakwa:

I. Nama : YORIS MARTHIANUS;

Tempat lahir : Batui ;

Umur/ tanggal lahir : 59 tahun/16 April 1950 ;

Jenis kelamin : Laki - laki ;

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : JI . Yos Sudarso No. 10, Kelurahan Luwuk,

Kec. Luwuk, Kab. Banggai ;

Agama : Kristen Protestan ;

Pekerjaan : Mantan Anggota DPRD Kab.Banggai Tahun

1999- 2004 ;

Bersama- sama dengan Para Terdakwa :

II. Nama : HUSEN MAHDALI ;

Tempat lahir : Bunta ;

Umur/ tanggal lahir : 57 tahun/10 Agustus 1953 ;

Jenis kelamin : Laki-laki ;

Kebangsaan : Indonesia ;

Tempat tinggal : Dahulu di Jalur Dua KM. 2 Kel . Bungin ,

Kec. Luwuk, Kab.Banggai , sekarang

bertempat tinggal di Dongkalan Jalan Datu

Adam, Kel. Luwuk, Kab.Banggai ;

Agama : Islam ;

Pekerjaan : Mantan Anggota DPRD Kab.Banggai Tahun

Page 79: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

66

1999- 2004 ;

III. Nama : MUSADDAD MILE;

Tempat lahir : Luwuk;

Umur/ tanggal lahir : 55 tahun/29 Oktober 1955;

Jenis kelamin : Laki - laki;

Kebangsaan : Indonesia ;

Tempat tinggal : Jl. G. Lompobatang No. 35, Kel .Baru,

Kec. Luwuk, Kab.Banggai;

Agama : Islam;

Pekerjaan : Mantan Anggota DPRD Kab.Banggai

Tahun 1999- 2004;

IV. Nama : JUSUF DJALIL ;

Tempat lahir : Luwuk ;

Umur / tanggal lahir : 64 tahun/20 Februari 1946 ;

Jenis kelamin : Laki-laki ;

Kebangsaan : Indonesia ;

Tempat tinggal : Jl . Sungai Musi No. 41 Kel .Soho, Kec.

Luwuk, Kab.Banggai;

Agama : Islam ;

Pekerjaan : Mantan Anggota DPRD Kab. Banggai

Tahun 1999- 2004

Gambaran umum perkara:

Mereka Terdakwa I . HUSEN MAHDALI, Terdakwa I I .YORIS

MARTHIANUS, Terdakwa I I I . MUSADDAD MILE dan Terdakwa

IV. JUSUF DJALIL selaku Anggota Panggar / Anggota DPRD

Kabupaten Banggai Periode 1999-2004 dengan Anggota Panggar /

Anggota DPRD Kabupaten Banggai lainnya telah melakukan

perbuatan melawan hukum yaitu pada hari Kamis tanggal 4 Desember

2003 di l akukan rapat Panitia Anggaran Legislatif dalam rangka

membahas Rencana Anggaran Satuan Kerja DPRD Kabupaten

Banggai Tahun 2004 yang dipimpin Drs. H. TADJUDDIN TJATO

(almarhum) selaku Wakil Ketua DPRD dan Ketua Badan Urusan

Page 80: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

67

Rumah Tangga (BURT) DPRD Kabupaten Banggai, hadir dalam

pembahasan tersebut antara lain Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selaku

Anggota. Dalam pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja

(RASK) tersebut telah disepakati tunjangan kesejahteraan Anggota

DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 sebesar Rp.3.968.600 .000 , -

(tiga milyar sembilan ratus enam puluh delapan juta enam ratus ribu

rupiah) dengan perincian sebagai berikut :

− Biaya asuransi Rp. 603.600.000 , -

− Biaya genera l cek up Rp. 320.000.000 , -

− Tunjangan kesejahteraan Rp. 3.045.000 .000 , -

Selanjutnya setelah disepakati besarnya tunjangan kesejahteraan

Anggota DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 tersebut sebesar Rp.

3.968.600.000 , - ( tiga milyar sembilan ratus enam puluh delapan juta

enam ratus ribu rupiah ) dilaporkan kepada Ketua DPRD Kabupaten

Banggai (Drs. H. DJAR'UN SIBAY) dan dituangkan didalam

Keputusan Panitia Anggaran DPRD Kabupaten Banggai Nomor :

1/KPTS/PAN/DPRD/2003 tanggal 4 Desember 2003. Kemudian

Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) Kabupaten Banggai tersebut

disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Banggai kepada Bupati

Banggai sesuai dengan surat Nomor : 173.1 /1000 /DPRD tangga l 4

Desember 2003 dan selanjutnya dibahas didalam Panitia Anggaran

Eksekutif. Setelah pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja

(RASK) Kabupaten Banggai dilakukan secara menyeluruh oleh

Panitia Anggaran Eksekutif, selanjutnya dibawa dalam rapat Paripurna

DPRD Kabupaten Banggai yang dipimpin oleh Ketua DPRD (Drs

.DJAR'UN SIBAY) yang dihadiri Panitia Anggaran Eksekutif dan

Panitia Anggaran Legislatif antara lain Terdakwa II. YORRIS

MARTHIANUS, Terdakwa III. MUSADDAD MILE, Terdakwa IV.

JUSUF DJALIL. Selanjutnya pembahasan Rencana Pendapatan dan

Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Banggai disepakati, maka pada

tanggal 12 Januari 2004 sampai dengan tanggal 29 Januari 2004

diadakan pembahasan RAPBD Kabupaten Banggai Tahun 2004 yaitu

Penggabungan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) DPRD

Kabupaten Banggai dengan anggaran eksekutif menjadi RAPBD.

Page 81: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

68

Pada tanggal 29 Januari 2004 Rapat Paripurna DPRD Kabupaten

Banggai dengan agenda pengambilan keputusan terhadap RAPBD

Tahun 2004 tersebut dihadiri oleh Para unsur Pimpinan DPRD,

anggota DPRD serta unsur Eksekutif Kabupaten Banggai dengan

mengesahkan/menetapkan RAPBD Tahun 2004 yang dituangkan

didalam Keputusan DPRD Kabupaten Banggai No.

1/KPTS/DPRD/2004 tanggal 29 Januari 2004 tentang Persetujuan atas

penetapan Peraturan Daerah Kabupaten Banggai tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten Banggai Tahun 2004 dan

Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No. 1 Tahun 2004 tangga l 29

Januari 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kabupaten Banggai Tahun 2004. Hasil rapat Paripurna tersebut

memutuskan besarnya tun jangan kesejahteraan / tunjangan kesehatan

bagi anggota DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 sebesar Rp.

3.123.600.000,- (tiga milyar seratus dua puluh tiga juta enam ratus

ribu rupiah). Bahwa dalam penyusunan dan penetapan maupun

penerimaan Anggaran Belanja DPRD Tahun 2004 berupa tunjangan

kesejahteraan dalam bentuk uang pesangon dan asuransi tidak

didasarkan atau menyimpang dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 110

Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri No. 161/321/SJ tanggal 29 Desember 2003

perihal Pedoman tentang Kedudukan Keuangan Pimpinan dan

Anggota DPRD. Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerin

tah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 161/321/SJ tanggal 29

Desember 2003 perihal Pedoman tentang Kedudukan Keuangan

Pimpinan dan Anggota DPRD, yang dimaksud tunjangan

kesejahteraan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun

2000 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 161/321/SJ tanggal

29 Desember 2003 tersebut adalah :

− Asuransi kesehatan;

− Perumahan / sewa rumah dinas beserta per lengkapannya;

− Pakaian dinas;

− Apabila ada Anggota DPRD yang meninggal diberi santunan uang

duka.

Page 82: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

69

Namun dalam pelaksanaannya tunjangan kesejahteraan Anggota

DPRD Kabupaten Banggai yang telah disahkan tersebut dibayarkan

kepada Anggota DPRD Kabupaten Banggai dalam bentuk uang

pesangon dan Asuransi Perkumpulan Bumi Putra 1912 Cabang

Manado serta Asuransi Idaman Prima Bumi Putra 1912 Cabang

Luwuk. Akibat dari persetujuan dan penerimaan Anggaran DPRD

Kabupaten Banggai, khususnya terhadap tunjangan

kesejahteraan/tunjangan kesehatan berdasarkan hasil perhitungan ahli

dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Negara

Cq. Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai mengalami kerugian

sebesar Rp.3.494.527 .933, - ( tiga milyar empat ratus sembilan puluh

empat juta lima ratus dua puluh tujuh ribu sembi lan ratus tiga puluh

tiga rupiah ) atau setidak - tidaknya sekitar jumlah itu. Dari kerugian

Negara sebesar Rp. 3.494.527.933 , - (tiga milyar empat ratus

sembilan puluh empat juta lima ratus dua puluh tujuh ribu sembilan

ratus tiga puluh tiga rupiah) masing-masing Terdakwa telah menerima

tunjangan kesejahteraan dalam bentuk uang pesangon dan Asuransi

Perkumpulan untuk kepentingan pribadi atau perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain, dengan rincian sebagai berikut:

− Terdakwa I. HUSEN MAHDALI sebesar Rp.87.100.444,-

(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh

empat rupiah ) atau setidak tidaknya sekitar jumlah itu;

− Terdakwa II . YORRIS MARTHIANUS sebesar Rp. 65.647.841 , -

(enam puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu delapan

ratus empat puluh satu rupiah ) atau setidak - tidaknya sekitar

jumlah itu;

− Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebesar Rp.87.100.444,-

(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh

empat rupiah ) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu;

− Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebesar Rp.65.647.841,- (enam

puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus

empat puluh satu rupiah ) atau setidak - tidaknya sekitar jumlah itu;

Perbuatan mereka Terdakwa tersebut di atas sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo . Pasal 18 ayat (1) huruf b

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah

Page 83: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

70

dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo . Pasal 55 ayat (1) ke-

1 KUHP.

Tuntutan jaksa

1. Menyatakan mereka Terdakwa I . HUSEN MAHDALI, Terdakwa

II . YORRIS MARTHIANUS, Terdakwa III . MUSADDAD MILE

dan Terdakwa IV. JUSUF DJALIL bersalah secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan

secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo . Pasal

17 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dan di tambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo . Pasal 55 ayat

(1) ke- 1 KUHP ;

2. Menjatuhkan terhadap Para Terdakwa tersebut oleh karenanya

masing-masing dengan pidana penjara yaitu :

- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI selama 4 (empat) tahun

dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara ;

- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS selama 3 (tiga) tahun

dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara ;

- Terdakwa III. MUSADDAD MILE selama 3 (tiga) tahun

Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor : 18/Pid .B /2005/

PN.Lwk. , tangga l 20 Juni 2005 yang amar lengkapnya sebagai

berikut :

1. Menyatakan Terdakwa I. HUSEN MAHDALI, Terdakwa II.

YORRIS MARTHIANUS, Terdakwa III. MUSADDAD

MILE, Terdakwa IV. YUSUF DJALIL tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Primair ;

2. Membebaskan Para Terdakwa dari dakwaan Primair tersebut ;

3. Menyatakan Terdakwa I. HUSEN MAHDALI, Terdakwa II

.YORRIS MARTHIANUS, Terdakwa III. MUSADDAD

MILE, Terdakwa IV. YUSUF DJALIL terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "korupsi yang

dilakukan secara bersama- sama" ;

Page 84: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

71

4. Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa tersebut oleh

karenanya masing-masing dengan pidana penjara yaitu:

- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI selama 1 (satu) tahun

dan 3 (tiga) bulan;

- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS selama 1 (satu)

tahun;

- Terdakwa III. MUSADDAD MILE selama 1 (satu) tahun;

- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selama 1 (satu ) tahun dan

3 ( tiga ) bulan;

5. Menetapkan masa penahanan yang sah terhadap Para

Terdakwa yang telah dijalaninya dikurangkan seluruhnya dari

Iamanya pidana yang di jatuhkan ;

6. Menghukum Para Terdakwa untuk membayar denda masing-

masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

Subsidair 2 (dua) bulan kurungan ;

7. Menghukum Para Terdakwa untuk membayar uang pengganti

masing- masing sebagai berikut :

- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI sebesar

Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu

empat ratus empat puluh empat rupiah) dan apabila

harta Terdakwa tidak mencukupi untuk membayar

uang pengganti tersebut maka ia harus menjalankan

pidana tambahan selama 3 (tiga) bulan ;

- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS sebesar

Rp.65.047.841, - (enam puluh lima juta empat puluh

tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu rupiah ) dan

apabila harta Terdakwa tidak mencukupi untuk

membayar uang pengganti tersebut maka ia harus

menjalankan pidana selama 3 (tiga) bulan;

- Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebesar

Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu

rupiah empat ratus empat puluh empat rupiah) dan

apabila harta Terdakwa tidak mencukupi untuk

membayar uang pengganti tersebut maka ia harus

menjalankan pidana tambahan selama 3 (tiga) bulan;

Page 85: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

72

- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebesar

Rp.65.647.841,- (enam puluh lima juta enam ratus

empat puluh tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu

rupiah) dan apabila harta Terdakwa tidak mencukupi

untuk membayar uang pengganti tersebut maka ia

harus menjalankan pidana tambahan selama 3 (tiga)

bulan;

Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu Nomor :

56/PID/2005/PT.PALU., tanggal 29 Desember 2005 yang amar

lengkapnya sebagai berikut :

- Menerima permintaan banding dari Para Pembanding :

1. JAKSA PENUNTUT UMUM pada Kejaksaan Negeri

Luwuk;

2. Terdakwa II . YORRIS MARTHIANUS dan;

3. Terdakwa I . HUSEN MAHDALI, Terdakwa III.

MUSADDAD MILE serta Terdakwa IV JUSUF

DJALI tersebut;

Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Luwuk tangga l 20 Juni

2005 Nomor : 18/Pid.B/2005/PN.Lwk. , yang dimohonkan banding

tersebut sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

1. Menyatakan Para Terdakwa :

I . HUSEN MAHDALI ;

II. YORRIS MARTHIANUS ;

III . MUSADDAD MILE dan

IV. YUSUF DJALIL tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan tersebut dalam dakwaan Primair;

2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena dari dakwaan Primair

tersebut ;

3. Menyatakan Para Terdakwa :

I. HUSEN MAHDALI ;

II. YORRIS MARTHIANUS ;

III. MUSADDAD MILE dan

Page 86: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

73

IV. YUSUF DJALIL tersebut diatas telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

"korupsi yang dilakukan secara bersama-sama" ;

4. Menghukum Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

masing-masing yaitu :

- Terdakwa I. HUSEN MAHDALI selama 2 (dua) tahun;

- Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS selama 2 (dua) tahun;

- Terdakwa III . MUSADDAD MILE selama 2 (dua) tahun;

- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selama 2 (dua) tahun;

5. Menetapkan bahwa pada waktu menjalankan putusan ini lamanya

Para Terpidana berada dalam tahanan sebelum putusan ini

mempunyai kekuatan hukum tetap akan dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang di jatuhkan itu ;

6. Menghukum pula Para Terdakwa dengan pidana denda masing-

masing sebanyak Rp.50.000.000 ,- ( lima puluh juta rupiah ) ;

7. Menetapkan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar

maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan ;

8. Menghukum pula Para Terdakwa untuk membayar uang pengganti

masing-masing :

1. Terdakwa I . HUSEN MAHDALI sebanyak Rp.87.100.444, -

(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh

empat rupiah);

2. Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS sebanyak

Rp.65.647.841,- (enam puluh lima juta enam ratus empat

puluh tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu rupiah);

3. Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebanyak Rp.87.100.444,-

(delapan puluh tujuh juta seratus ribu empat ratus empat puluh

empat rupiah);

4. Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebanyak Rp.65.647.841,-

(enam puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu

delapan ratus empat puluh satu rupiah);

8. Menetapkan bahwa apabila uang pengganti kerugian negara

tersebut tidak dibayarkan dalam tempo 1 (satu) bulan setelah

putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, atau dari harta

bendanya tidak mencukupi guna pembayaran uang pengganti

Page 87: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

74

tersebut, maka dipidana penjara masing-masing selama 3

(tiga) bulan;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 646K/Pid /2006 tanggal

10 Agustus 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi / Para

Terdakwa :

1. HUSEN MAHDALI,

2. YORRIS MARTHIANUS,

3. MUSADDAD MILE dan

4. JUSUF DJALIL tersebut;

Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor :

56/Pid/2005/PT.Palu., tanggal 29 Desember 2005, yang amar

selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

- Menerima permintaan banding dari Para Pembanding :

1. JAKSA PENUNTUT UMUM pada Kejaksaan Negeri Luwuk;

2. Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS dan;

3. Terdakwa I. HUSEN MAHDALI, Terdakwa III . MUSADDAD

MILE serta Terdakwa IV JUSUF DJALIL

tersebut ;

- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Luwuk tanggal 20

Juni 2005 Nomor : 18/Pid .B /2005/PN.Lwk., yang

dimohonkan banding tersebut sehingga amar selengkapnya

berbunyi sebagai berikut :

1. Menyatakan Para Terdakwa :

I. HUSEN MAHDALI;

II. YORRIS MARTHIANUS;

III. MUSADDAD MILE dan

IV. YUSUF DJALIL

tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

tersebut dalam dakwaan Primair;

2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena dari dakwaan

Primair tersebut;

3. Menyatakan Para Terdakwa;

Page 88: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

75

I. HUSEN MAHDALI;

II. YORRIS MARTHIANUS;

III. MUSADDAD MILE dan

IV. YUSUF DJALIL tersebut diatas telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

"korupsi yang di akukan secara bersama-sama";

4. Menghukum Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

masing-masing yaitu :

- Terdakwa I . HUSEN MAHDALI selama 2 (dua) tahun ;

- Terdakwa I I . YORRIS MARTHIANUS selama 2 (dua)

tahun ;

- Terdakwa I I I . MUSADDAD MILE selama 2 (dua) tahun ;

- Terdakwa IV. JUSUF DJALIL selama 2 (dua) tahun;

5. Menetapkan bahwa pada waktu menjalankan putusan ini lamanya

Para Terpidana berada dalam tahanan sebelum putusan ini

mempunyai kekuatan hukum tetap akan dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan itu ;

6. Menghukum pula Para Terdakwa dengan pidana denda masing -

masing sebanyak Rp. 50.000.000 , - ( lima puluh juta rupiah ) ;

7. Menetapkan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar

maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan ;

8. Menghukum pula Para Terdakwa untuk membayar uang pengganti

masing-masing :

1. Terdakwa I. HUSEN MAHDALI sebanyak

Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu

empat ratus empat puluh empat rupiah);

2. Terdakwa II. YORRIS MARTHIANUS sebanyak

Rp.65.647.841,- (enam puluh lima juta enam ratus empat

puluh tujuh ribu delapan ratus empat puluh satu rupiah);

3. Terdakwa III. MUSADDAD MILE sebanyak

Rp.87.100.444,- (delapan puluh tujuh juta seratus ribu

empat ratus empat puluh empat rupiah);

4. Terdakwa IV. JUSUF DJALIL sebanyak Rp.65.647.841,-

(enam puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu

delapan ratus empat puluh satu rupiah);

Page 89: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

76

9. Menetapkan bahwa apabila uang pengganti kerugian negara

tersebut tidak dibayarkan dalam tempo 1 (satu) bulan setelah

putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, atau dari harta

bendanya tidak mencukupi guna pembayaran uang pengganti

tersebut, maka dipidana penjara masing- masing selama 3

(tiga) bulan;

Alasan pemohon (Terdakwa) mengajukan Peninjauan kembali:

1. Bahwa terdapat fakta hukum baru tentang penegasan tidak

berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000

berdasarkan Surat-Surat Mahkamah Agung Republik

Indonesia

2. Bahwa terdapatnya Fakta hukum baru sebagaimana termuat

dalam LAPORAN DAN REKOMENDASI PANJA

PENEGAKAN HUKUM DAN PEMERINTAH DAERAH,

Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR R.I ., tanggal 10

Oktober 2006

3. Bahwa terdapatnya Fakta (Bukti) Baru (Novum) berdasarkan

putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 536

K/Pid/2005 , tanggal 10 Oktober 2007.

4. Bahwa terdapatnya Fakta Baru (Novum) berdasarkan putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

541K/Pid/2007, tanggal 12 Juni 2008.

Pertimbangan Peninjauan Kembali

1. Pasal 263 (2) huru f c jo pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4

KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan

Mahkamah Agung RI Nomor : 646 K/Pid /2006.

2. Pasal 191 ayat (2) KUHAP, Undang-Undang No. 48 Tahun

2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, dan Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana yang telah diubah

dan di tambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,

dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2009 serta peraturan perundang- undangan lain yang

bersangkutan.

Page 90: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

77

Amar Putusan:

MENGADILI

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon

Peninjauan Kembali / Terpidana II : YORIS MARTHIANUS tersebut;

Membatalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 646K/Pid /2006

tanggal 10 Agustus 2006 jo Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi

Tengah di Palu Nomor 56/PID/2005 /PT.PALU., tanggal 29

Desember 2005 jo Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor: 18/P

id.B /20051 PN.Lwk. , tanggal 20 Juni 2005.

MENGADILI KEMBALI

1. Menyatakan Terpidana II : YORIS MARTHIANUS tersebut di

atas terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,

akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana ;

2. Melepaskan Terpidana II dari segala tuntutan hukum (Onts l aag

Van Al leRechtvervolging);

3. Memulihkan hak Terpidana II dalam kemampuan, kedudukan dan

harkat serta martabatnya;

3. Kasus 3

Kasus Kriminalisasi terhadap Pejabat (Publik) Bank

Mandiri,

Atas nama Edward Cornelis William Neloe (E.C.W.

Neloe), adalah pejabat (Direktur Utama Bank Mandiri);

bersama dua terpidana lainnya, M. Sholeh Tasripan dan I

Wayan Pugreg, ketiganya sebagai pejabat Bank Mandiri

Pusat sebagai penentu pemberian kredit / pemutus kredit;

ketiganya didakwa penuntut umum, telah melakukan

tindakan pidana (kriminalisasi) karena telah memberikan

kredit kepada PT.CGN (Cipta Graha Nusantara) / PT.

Tata Medan, kredit / pinjaman sebesar Rp

160.000.000.000,- (seratus enam puluh milyard rupiah).

Kredit tersebut kemudian macet, atau pengembaliannya

tersendat tidak sesuai jadwal, yang kemudian berujung

dengan upaya pelelangan atas aset / penjadwalan kembali

hutang (novasi), dan lain lain yang kian rumit, dan

Page 91: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

78

memunculkan pula berbagai kepentingan pemilik modal

lain / penawar atas barang jaminan dan aset debitur.

Keadaan tersebut memunculkan dugaan korupsi, yang

dialamatkan pada pejabat Bank Mandiri dengan menjerat

ketiga pejabat publik tersebut diatas dengan tuduhan

korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Jo.

Pasal 18 Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-

undang No.20 Tahun 2001, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo.

Pasal 64 ayat (1) KUHP;

Berikut ini kutipan, beberapa poin dakwaan Jaksa dalam

kasus pemberian kredit ini, yang dianggap korupsi (proses

kriminalisasi), sebagai berikut:

Bahwa pada tanggal 24 Oktober 2002 para

Terdakwaselaku pemutus kredit telah menyetujui

untuk memberikan kredit Bridging Loan kepada PT.

Cipta Graha Nusantara sejumlah Rp.160 milyar

dengan tidak memenuhi norma-norma umum

perbankan dan tidak sesuai dengan asas-asas

perkreditan yang sehat sebagaimana diatur dalam

Artikel 520 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri

(KPBM) tahun 2000 karena fasilitas kredit Bridging

Loan dan pembiayaan secara refinancing

sebagaimana hasil Nota Analisa Kredit No.

CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002

perihal Permohonan fasilitas Bridging Loan atas

nama PT. Cipta Graha Nusantara, tidak diatur baik

oleh ketentuan Bank Indonesia maupun ketentuan

PT. Bank Mandiri. Ketentuan Bridging Loan dan

pembiayaan secara refinancing tersebut baru

diatur setelah para Terdakwa menyetujui kredit

Bridging Loan Rp.160 milyar kepada PT. CGN,

yaitu dalam KPBM tahun 2004 Artikel 620 tentang

Produk Perkreditan ;

Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit

dalam menyetujui untuk memberikan kredit

Page 92: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

79

Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha

Nusantara sejumlah Rp.160 milyar tersebut juga

tidak mengindahkan ketentuan Artikel 520 KPBM

Tahun 2000 yaitu tidak didasarkan pada

penilaian yang jujur, objektif, cermat dan

seksama karena Nota Analisa Kredit No.

CGR.CRM 314/2002 tanggal 23 Oktober 2002

perihal Permohonan fasilitas Bridging Loan atas

nama PT. Cipta Graha Nusantara hanya dibuat

dalam waktu satu hari oleh saksi Susana Indah

Kris lndriati menyimpang dari kebiasaan

pembuatan Nota Analisa yang membutuhkan

waktu satu minggu s/d satu bulan. Sehingga data

dan fakta dianalisa secara tidak cermat keliru dan

tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang

No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan;

Bahwa ketidakcermatan dan kekeliruan tersebut

terlihat dari dicantumkannya nama PT.

Manunggal Wiratama sebagai pemenang lelang

aset kredit atas nama PT. Tahta Medan, padahal

kenyataannya pemenang lelang adalah PT.

Trimanunggal Mardiri Persada. (PT. TMMP);

Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit dalam

menyetujui pemberian kredit Bridging Loan

sejumlah Rp.160 milyar kepada PT. Cipta Graha

Nusantara juga tidak melakukan penilaian atas

kelayakan jumlah permohonan kredit dengan

proyek atau kegiatan usaha yang dibiayai/akan

dibiayai dengan maksud untuk menghindari

kemungkinan terjadinya praktek mark up yang

dapat merugikan bank sebagaimana diatur dalam

Butir 7 Artikel 530 Kebijakan Perkreditan Bank

Page 93: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

80

Mandiri (KPBM) Tahun 2000, yaitu tidak

melakukan penelitian yang seksama berapa

sesungguhnya harga aset kredit PT. Tahta Medan

tersebut, namun langsung menyetujui pemberian

kredit Bridging Loan Rp. 160 milyar untuk

membiayai pembelian aset kredit PT. Tahta

Medan, padahal asset kredit PT. Tahta Medan

tersebut hanya dibeli oleh PT. Trimanunggal

Mandiri Persada dari BPPN hanya sejumlah USD.

10.855.289,52 equivalen ± Rp. 97 milyar,

sehingga kredit yang disetujui para Terdakwa

sejumlah Rp. 160 milyar untuk membiayai

pembelian asset kredit PT. Tahta Medan terlalu

mahal dengan kelebihan sekitar ± Rp. 63 milyar ;

Demikian pula dalam nota analisa kredit

Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha Nusantara

sejumlah Rp.160 milyar yang disetujui oleh para

Terdakwa selaku pemutus kredit, diuraikan bahwa

PT. CGN mengajukan fasilitas kredit lnvestasi

sebesar USD.18,500,000.00 (delapan belas juta lima

ratus ribu US Dollar) yang akan digunakan untuk

membeli hak tagih eks Badan Penyehatan

Perbankan Nasional atas nama PT. Tahta Medan

dari PT. Manunggal Wiratama sebesar Rp. 160

milyar dan sisanya sebesar equivalen Rp.5 milyar

ditambah self financing dari PT. Cipta Graha

Nusantara sebesar Rp. 22.500.000.000,- digunakan

untuk mentake over saham yang dimiliki oleh

pemegang saham PT.Tahta Medan yaitu Dana

Pensiun Bank Mandiri Tiga (DPBM3) dan

PT.Pengelola Investasi Mandiri (PT. PIM))

namun kenyataannya PT. Cipta Graha Nusantara

tidak pernah menyetor self financing sejumlah Rp.

22.500.000.000,- dan saham PT. Pengelola

Investama Mandiri tidak berhasil dibeli atau

Page 94: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

81

ditake over, demikian pula saham Dana Pensiun

Bank Mandiri Tiga baru dibayar sejumlah Rp

14.597,000.000 padahal seluruh harga saham

sejumlahRp. 18.246.250.00 sehingga masih sisa Rp.

3.649.250.000, yang tidak dibayar ;

Bahwa dalam nota analisa kredit Bridging Loan

kepada PT. Cipta Graha Nusantara sejumlah

Rp.160 milyar yang disetujui oleh para

Terdakwa tersebut diuraikan bahwa pembayaran

kepada PT. Manungggal Wiratama harus segera

dilaksanakan, padahal seharusnya sesuai dengan

Artikel 530 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri

(KPBM) Tahun 2000 sebagai pemutus kredit para

Terdakwa harus bertindak hati-hati sesuai dengan

prinsip kehati-hatian dan meneliti secara cermat

kebenaran seluruh lnformasi fakta dan data dan

tidak mengikuti keinginan pihak lain atau pihak

debitur ;

Bahwa dalam nota analisa kredit Bridging Loan

kepada. PT. Cipta Graha Nusantara sejumlah Rp.

160 milyar yang disetujui oleh para Terdakwa

selaku pemutus kredit, diuraikan bahwa agunan

berupa hak tagih kepada PT. Tahta Medan yang

akan diperoleh dari PT. Manunggal Wiratama

padahal para Terdakwa tidak mempunyai data dan

informasi yang lengkap tentang hak tagih tersebut

dibeli dari siapa karena ternyata data yang

diperoleh para Terdakwa bahwa yang menguasai

hak tagih PT. Manunggal Wiratama tidak benar,

karena kenyataannya yang menguasai adalah PT.

Trimanunggal Mandiri Persada (PT. TMMP). Oleh

karena itu para Terdakwa sebagai pemutus kredit

tidak mempunyai informasi yang lengkap tentang

agunan pokok yang dibiayai oleh kredit Bridging

Loan Rp.160 milyar tersebut ;

Page 95: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

82

Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit dalam

menyetujui pemberian kredit Bridging Loan

sejumlah Rp.160 milyar kepada PT. Cipta Graha

Nusantara dengan tidak memperhatikan

Ketentuan Pedoman Pelaksanaan Kredit PT. Bank

Mandiri Bab VI Buku II tentang Informasi dan

data dari debitur PT. Cipta Graha Nusantara yang

mana salah satu persyaratannya debitur PT. Cipta

Graha Nusantara harus mempunyai neraca

laba/rugi (tiga) tahun terakhir dan neraca tahun

yang sedang berjalan atau neraca pembukaan bagi

perusahaan yang baru berdiri. Untuk permohonan

kredit atas Rp. 1 Milyar laporan keuangan harus

diaudit oleh Akuntan Publik terdaftar, namun

kenyataannya para Terdakwa selaku pemutus kredit

tetap menyetujui memberikan kredit Bridging Loan

sejumlah Rp.160 milyar kepada PT. Cipta Graha

Nusantara padahal PT. Cipta Graha Nusantara

merupakan perusahaan baru yang didirikan tanggal

23 April 2002 (6 bulan sebelum para Terdakwa

menyetujui kredit) dan tidak pernah menyerahkan

neraca tahun berjalan atau neraca pembukaan

(audited) kepada PT. Bank Mandiri serta saham

yang disetor hanya sebesar Rp. 600.000.000,- ;

Bahwa para Terdakwa selaku pemutus kredit dalam

menyetujui pemberian kredit Bridging Loan

sejumlah Rp.160 milyar tersebut kepada PT.

Cipta Graha Nusatara dengan tidak

memperhatikan Ketentuan Pedoman Pelaksanaan

Kredit PT. Bank Mandiri Bab VI Buku II tentang

lntormasi dan data dari debitur, yang mana salah

satu persyaratannya, debitur harus menyerahkan

daftar jaminan yang menunjukkan jenis barang,

jumlah ukuran, lokasi, nilai (utama, tambahan,

sumber penilaian), status kepemilikan dan copy

Page 96: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

83

bukti kepemilikan, karena pada kenyataannya di

dalam nota analisa kredit Bridging Loan, agunan

hanya berupa tagihan dari PT. Tahta Medan kepada

PT. Manunggal Wiratama (PT. Manunggal

Wiratama tidak pernah ada) yang diikat secara

fidusia, namun para Terdakwa selaku pemutus

kredit tetap menyetujui kredit Bridging Loan

padahal agunan Fidusia Eigendom Overdracht

(FEO) tidak dibuatkan akta pengikatan FEO

secara notariil sebagaimana diatur dalam Pedoman

Pelaksanaan Kredit Bab IV Sub Bab F butir 3.b.

tentang Sifat Pengikatan ; dan seterusnya—

Atas dakwaan jaksa tersebut, Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan memutuskan dengan vonis bebas

murni, atas diri tersangka, namun ketika Jaksa

Penuntut Umum mengajukan Kasasi, Mahkamah

Agung justru memvonis tersangka dengan pidana

penjara 10 tahun dengan denda masing-masing Rp

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah); bagi putusan

MA. No.1144 k/Pid/2006 ini, yang menganulir

putusan PN. Jakarta Selatan No.

2068/Pid.B/2005/PN.Jak-Sel, ini meski pun telah

selesai, dan Terdakwa telah menjalani hukuman,

namun secara akademis dan teoritis menyisakan

pertanyaan besar seiring dengan perkembangan ilmu

hukum dan dinamika perubahan pandangan terhadap

hukum global dan hukum internasional dan nasional,

khususnya yang berkaitan dengan hukum ekonomi,

dan pengembangan bisnis dan perekonomian.

Pertanyaan mendasar dan penting, justru terletak

pada keberadaan BUMN sebagai badan hukum

privat yang harus tunduk pada hukum privat, di satu

sisi dan pada sisi lain pejabat-pejabatnya adalah

pejabat publik; yang mengelola uang negara yang

telah dipisahkan; pertimbangan hukuum yang

Page 97: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

84

diberikan MA atas pemidanaan tersebut antara lain [46]:

Bank Mandiri sebagai bank milik Negara.

Meskipun Bank Mandiri merupakan PT. Terbuka,

tetapi secara struktur, Bank Mandiri tetap sebagai

sebuah “Persero” yang menjadi ciri bahwa Bank

Mandiri adalah milik Negara. Perubahan-

perubahan kepemilikan saham, apalagi saham

negara menduduki jumlah terbesar dibandingkan

dengan pemegang saham lainnya (posisi

dominan), sama sekali tidak mengurangi status

hukum Bank Mandiri sebagai BUMN yang

mengelola kekayaan Negara. Dalam status yang

demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja

pada Bank Mandiri demikian pula BUMN

lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi

keperdataan tetapi juga fungsi publik yang

menjalankan tugas pemerintahan pada Bank

Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal tersebut

secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau

setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank

Mandiri, berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan, karena itu kepada

mereka dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan

mengenai penyelenggara pemerintah-an seperti

ketentuan tentang pemberantasan korupsi ;

Perbuatan merugikan Negara atau dapat merugikan

negara.

Seperti dikemukakan, sebagai BUMN, Bank

Mandiri mengelola kekayaan Negara, sebagai

pengelola kekayaan Negara, maka tindakan

melawan hukum yang dilakukan direksi atau

46 Dikutip dari Pertimbangan Hukum, Putusan Kasasi No. 1144

k/Pid/2006

Page 98: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

85

pegawai Bank Mandiri, yang merugikan atau

dapat merugikan Bank Mandiri, dapat

dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, karena

telah menimbulkan kerugian atau dapat merugikan

Negara yaitu kekayaan Negara yang dikelola

Bank Mandiri;

Dari cara-cara Terdakwa memproses sampai pada

pengeluaran pinjaman in casu, menunjukkan ketidak

hati-hatian para Terdakwa, suatu yang secara nyata

melanggar asas kehati-hatian perbankan. Ketidak

hati-hatian tersebut sama sekali tidak dilakukan

tanpa sengaja atau kelalaian, melainkan suatu

kebijakan yang dilakukan secara sadar dengan

alasan-alasan yang tidak memadai, karena tidak

terbukti ada keadaan obyektif atau kenyataan

yang mendesak untuk menyimpangi prinsip kehati-

hatian. Tidaklah sesuai dengan kehati-hatian,

memproses pinjaman dalam waktu yang begitu

cepat yang semata-mata menggantungkan pada

berbagai dokumen dari Pemohon tanpa

menganalisis keadaan nyata Pemohon. Bukanlah

suatu kehati-hatian, memberi pinjaman sebesar Rp

160.000.000.000,- sedangkan diketahui di PT.

Cipta Graha Nusantara sebagai pemohon pinjaman,

baru didirikan ± 6 bulan dengan modal setor Rp.

600.000.000,- suatu jumlah yang sangat kecil

dibandingkan dengan pinjaman. Lebih-lebih, para

Terdakwa menyetujui suatu pinjaman yang

disebut “dana talangan” atau “bridging loan”

sesuatu formula yang tidak dikenal dan tidak

mempunyai dasar hukum. Perbuatan ini sangat

nyata sebagai suatu yang tidak semata

menyalahgunakan wewenang yaitu menggunakan

wewenang tidak sesuai tujuan, tetapi sebagai

perbuatan di luar hukum (out of law) karena itu

Page 99: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

86

bersifat sewenang-wenang (willekeur atau arbitrary).

Terdakwa meletakkan diri diatas hukum, bukan

tunduk pada hukum ;

Alasan tindakan, untuk menghindari Bank

Mandiri akan dituntut membayar sejumlah US.$.

31 juta adalah suatu alasanyang dibuat-buat karena

bukan Bank Mandiri sebagai pemegang saham PT.

Tahta Medan. Pemegang saham adalah “Dana

Pensiun Bank Mandiri”, suatu badan yang

mempunyai kedudukan hukum di luar Bank

Mandiri (lihat keterangan Komisaris Dana Pensiun

Bank Mandiri). Walaupun seandainya Bank

Mandiri ikut bertanggung jawab, tindakan para

Terdakwa sangat tidak wajar untuk

membebaskan Bank Mandiri dari tanggung jawab,

dengan cara memberi pinjaman kepada pemohon

kredit untuk membeli PT. Tahta Medan. Kalau

Bank Mandiri dapat memberi pinjaman kepada

calon pembeli, mengapa tidak dilakukan sendiri

oleh Bank Mandiri, tidak perlu melalui tangan

pemohon kredit (peminjam). Lebih-lebih lagi,

pembelian tersebut tidak dilakukan pada saat

BPPN menjual, melainkan dari tangan pihak lain

yang membeli dari BPPN dengan harga yang lebih

murah yang memberi keuntungan lebih Rp. 6 milyar

kepada pembeli dari BPPN, tanpa dapat

menunjukkan bahwa PT.Tahta Medan sudah

dalam keadaan yang lebih baik dibandingkan

dengan saat dijual BPPN ;

Pengalihan utang pemohon kredit kepada PT.

Tahta Medan, Terdakwa menyetujui pengalihan

utang pemohon kredit kepada PT. Tahta Medan.

Persertujuan para Terdakwa sangat nyata

bertentangan dengan logika atau akal sehat. PT.

Tahta Medan dikuasai dan kemudian dijual BPPN

Page 100: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

87

karena bermasalah. Apakah masuk akal, kalau

semua pinjaman pemohon kredit dialihkan kepada

PT. Tahta Medan yang oleh BPPN dilelang

karena menjadi beban belaka. Apakah masuk

diakal kalau PT.Tahta Medan dapat disulap

begitu kilat sehingga mampu membayar kepada

Bank Mandiri, Dikatakan PT. Tahta Medan

mampu membayar, dibuktikan dengan angsuran

tetapi dari jumlah yang sudah dibayar sangat

kecil dibandingkan dengan kewajiban, itupun

dilakukan tidak tepat waktu.

Persoalan jatuh tempo.

Dikatakan masa pinjaman belum jatuh tempo,

persoalan hukum yang dihadapi adalah perbuatan

Terdakwa yang merugikan Negara, bukan soal

jatuh tempo. Perbuatan Terdakwa yang dengan

sengaja melanggar prinsip-prinsip perbankan

seperti asas kehati-hatian menciptakan pinjaman

yang tidak diatur oleh hukum, tanpa menyetujui

pengalihan utang kepada PT. Tahta Medan yang

bermasalah dan lain-lain hal seperti dipertimbangkan

di atas secara nyata telah merugikan Bank

Mandiri sebagai BUMN yang tidak lain dari

kerugian Negara ;

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, terbukti

Majelis Hakim Judex Facti telah salah menerapkan

hukum, khususnya dalam unsur merugikan atau

dapat merugikan keuangan negara/perekonomian

Negara. Bahwa Judex Facti secara jelas

menyatakan karena telah terbukti unsur

memperkaya orang lain/suatu korporasi yang

dalam hal ini PT. Cipta Graha Nusantara

(PT.CGN), karena telah menerima kucuran dana

sebesar Rp. 160 milyar sebagai akibat dari

perbuatan para Terdakwa secara kolektif didalam

Page 101: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

88

jabatannya yang bersifat melawan hukum karena

melanggar prinsip kehati-hatian tidak cermat

sebagaimana digariskan didalam Pasal 2 Undang-

Undang No. 7 Tahun 1992 sebagai-mana telah

diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.

10 Tahun 1998 ; PT. Cipta Graha Nusantara (PT.

CGN) melalui Bridging Loan yang bernilai Rp.

160 milyar yang dicairkan pada tanggal 28 dan 29

Oktober 2002, dengan tujuan untuk membeli PT.

Tahta Medan dan membangun Tiara Tower ; PT.

Tahta Medan dibeli oleh PT. Tri Manunggal Mandiri

Persada melalui BPPN sebesar Rp. 97 milyar atau

setara US.$. 10.855.289,52, sehingga dengan

Bridging Loan PT. CGN, telah memperoleh sisa

kredit sebesar Rp. 63 milyar yang kemudian

menjadi keuntungan PT. Tri Manunggal Mandiri

sebagai penjual PT. Tahta Medan kepada PT.

Cipta Graha Nusantara, suatu keuntungan yang

didapat karena Terdakwa tidak melaksanakan

secara benar asas-asas perbankan yang

mengakibatkan kerugian negara;

Dengan fakta tersebut, PT. Cipta Graha Nusantara

(PT. CGN) telah memperoleh kredit talangan yang

dikeluarkan secara melawan hukum dan diputuskan

oleh para Terdakwa ; dengan perkataan lain kerugian

Negara telah terjadi, karena fihak PT. CGN yang

telah menikmati keuntungan kredit talangan. Perbuatan

para Terdakwa tersebut telah selesai secara sempurna,

walaupun hutang talangan (Bridging Loan) tersebut

baru akan jatuh tempo tahun 2007, akan tetapi

Menara/Tiara Tower di Medan pembangunannya

terlantar sampai sekarang, artinya kerugian Negara

jelas terbukti ;

Gambaran yang diperoleh dari rasionalisasi

pertimbangan hukum dalam kasus krinimalisasi terhadap

Page 102: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

89

keputusan / kebijakan pejabat publik tersebut diatas,

betapa pun memasuki ruang hukum yang keliru, sebab

keputusan pemberian kredit perbankan dengan segala

kewenangan, dan persyaratan internal perbankan yang

ada, yang tentunya yang lebih memahami, dan lebih

mengerti adalah pejabat yang bersangkutan; Ketika

sebuah pemberian kredit ternyata macet, karena berbagai

faktor, seperti jaminan yang kurang, perbutan pembelian

asset / agunan, dll, tidak serta merta permasalahan kredit

tersebut menjadi tindak pidana karena di dalamnya ada

uang negara, dan pejabat pemerintahan / pejabat publik;

domainnya harus berlaku hukum unniversal; yaitu

domain keperdataan dengan pertanggung jawaban

perdata pula.

Apabila, rasionalisasi pemikiran yang tertuang dalam

pertimbangan hukum tersebut di atas dipertahankan,

secara teoritis semua debitur pada Bank-bank BUMN

adalah calon koruptor, meminjam ke bank pun terasa

traumatis disana ada sisi yang mengerikan akan

dikriminalisasikan, rakyat akan takut memanfaatkan

fasilitas kredit yang ada; sebaliknya pejabat perbankan

menjadi tumpul kreasi penciptaan produk perbankan,

karena salah sedikit bisa dikategorikan korupsi /

kriminalisasi akan terjadi; sedangkan prinsip dan asas-

asas pemidanaan tidak diterapkan. Padahal, dalam teori,

asas-asas dan prinsip pemidanaan (kriminalisasi) secara

hakiki kehadirannya adalah untuk membatasi kekuasaan

pemidanaan oleh negara yang cenderung menyimpang

dan berlebihan. Dalam konteks dunia bisnis perbankan,

proses dan persyaratan kredit, dan lain lain, adalah hal

baku yang patut dihormati keputusannya; kalaupun

muncul isu/dugaan penyimpangan kredit / proses kredit

yang berdampak pada kerugian Bank (BUMN) tidak ada

kerugian negara disana, dan tidak layak menggunakan

jurs korupsi (kriminil), karena sudah tidak ada uang

Page 103: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

90

negara (lagi), ini demi kepastian hukum, sebab uang

negara yang dikelola oleh BUMN sebagai modal yang

dipisahkan sudah bukan uang Negara lagi, tetapi uang

perusahaan. Konsekuensi dari uang / modal perusahaan,

untuk menjaga dan mengkreasinya adalah para pejabat

BUMN, dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki;

mencari solusi dan mempertanggung jawabkan dalam

ranah hukum yang benar, yaitu pertanggung jawaban

internal perusahaan dan pertanggung jawaban secara

hukum perdata perbankan adalah dunia bisnis, dalam

dunia bisnis ada untung, dan ada rugi; sebagai resiko

menjalankan sebuah bisnis, maka ketika Negara /

Pemerintah turut serta berbisnis, sudah tentu telah

memperhitungkan faktor resiko; ketika bisnisnya ada

kerugian / salah urus, dan lain lain, itulah resiko Negara

berdagang.

4. Kasus 4

Putusan Nomor: 572 K/Pid/2003

Dengan Terdakwa:

1. Nama : Ir. Akbar Tanjung

Tempat lahir : Sibolga

Umur/tanggal lahir : 57 tahun/14 agustus 1945

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Tempat tinggal : Jl. Widya Chandra III/10 Jakarta

selatan

Pekerjaan : Ketua DPR RI, Ketua Umum Partai

GOLKAR dan Mantan Menteri

Sekertaris Negara RI

2. Nama : H. Dadang Sukandar

Tempat lahir : Jakarta

Page 104: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

91

Umur/tanggal lahir : 54 tahun/12 September 1948

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Tempat tinggal : Perumahan Pesanggarahan Permai

Blok C-34 Kelurahan Pertukangan,

Kecamatan Pesanggarahan Selatan,

Jakarta selatan

Pekerjaan : Ketua Yayasan Raudatul Jamaah

3. Nama : Winfried Simatupang

Tempat lahir : Tapanuli

Umur/tanggal lahir : 64 tahun/09 Agustus 1938

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen

Tempat tinggal : Jl. Layur No. 1554, Rt. 011 Rw. 06,

Kelurahan Jati Pulogadung, Jakarta

timur

Pekerjaan : Pengusaha/Direktur PT. Bintang

Laut Timur Baru

Gambaran Umum Perkara:

Terdakwa 1 (Ir. Akbar Tanjung) dalam kedudukannya sebagai

Mensesneg RI yang diangkat berdasarkan surat keputusan presiden RI

nomor: 122/M tahun 1998 tanggal 22 mei 1998, bersama-sama dengan

terdakwa 2 (H. Dadang Sukandar selaku Ketua yayasan raudatul

jamaah, terdakwa 3 (Winfried Simatupang) selaku Direktur PT.

Bintang Laut timur baru dan selaku kuasa direksi PT. Trans Ligana

Service, PT. Arthalapan Bintang Jaya dan PT. Adiguna Cipta Sarana

atau selaku pribadi dengan kewenangan jabatannya melakukan

tindakan atau perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan

negara dan perekonomian negara untuk memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu badan, dalam hal menerima atau menggunakan

uang BULOG sebesar 40 milyar rupiah tidak sesuai dengan ketentuan

Page 105: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

92

yang berlaku, serta diluar kepentingan BULOG atau bertentangan

dengan tugas dan fungsi kantor sekertaris negara atau setidak-tidaknya

bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara

penggunaan uang negara.

JPU menuntut Para Terdakwa untuk dinyatakan bersalah

melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b UU 3 Tahun 1971 jo. Pasal 43 A UU

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dan menuntut Terdakwa I dihukum pidana penjara selama 4

Tahun, sedangkan Terdakwa II dan Terdakwa III masing-masing

dihukum pidana penjara 3 Tahun 6 Bulan. Judex Facti PN Jakarta

Pusat menjatuhkan hukuman lebih rendah dari tuntutan JPU tersebut

di atas, yaitu Terdakwa I dihukum pidana penjara selama 3 Tahun dan

pidana denda Rp. 10.000.000,-, sedangkan Terdakwa II dan Terdakwa

III masing-masing dihukum pidana penjara 1 Tahun 6 Bulan dan

pidana denda Rp. 10.000.000,-. Pada tingkat banding, judex facti PT

Jakarta memperberat dan menyamakan hukuman Para Terdakwa,

yaitu masing-masing pidana penjara selama 3 Tahun dan pidana denda

Rp. 10.000.000,-.

Pertimbangan Hakim:

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Menimbang bahwa terhadap tuntutan jaksa , para terdakwa 1,

terdakwa 2, terdakwa 3 telah dinyatakan bersalah bersama-

sama melakukan tindak pidana korupsi seperti yang tercantum

dalam putusan pengadilan negeri jakarta pusat tanggal 4

september 2002 No. 449/PID.B/2002/PNJKT.PST yang amar

putusan berbunyi:

Menyatakan :

Para terdakwa masing-masing:

- Terdakwa 1 Ir. Akbar Tanjung

- Terdakwa 2 H. Dadang Sukandar

- Terdakwa 3 Winfried Simatupang

Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara

bersama-sama melakukan tindak pidana KORUPSI.

Page 106: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

93

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1 Ir, Akbar

Tanjung dengan pidana penjara selama 3 tahun,

Terdakwa 2 H. Dadang Sukandar dan terdakwa 3

Winfried Simatupang dengan pidana penjara masing-

masing selama 1 tahun dan 6 bulan, dan denda

masing-masing 10 juta rupiah subsider 3 bulan

kurungan.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

Dalam putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta, menyatakan

bahwa sesuai dengan putusan No. 171/PID/2002/PT.DKI

membenarkan putusan pengadilan negeri jakarta pusat selain

itu juga memperberat hukumannya yaitu masing-masing

dipidana penjara 3 tahun.

Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berpendapat, terhadap Terdakwa I:

Bahwa Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, karena

dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan telah memenuhi syarat-

syart formil Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Bahwa dakwaan terhadap

para Terdakwa telah sesuai dengan tempus delicti perkara ini. Bahwa

kebijakan Terdakwa I tersebut diambil dalam keadaan darurat.Bahwa

kebijakan yang dilakukan Terdakwa I tersebut bukanlah tanggung

jawabnya, karena Terdakwa hanya menjalankan perintah jabatan,

dalam hal ini adalah perintah presiden, karena Terdakwa I adalah

Pembantu Presiden dan hubungan kerja antara Terdakwa I dan

Presiden itu bersifat sebagai hukum publik. Bahwa perbuatan

Terdakwa I yang melakukan penunjukan terhadap Terdakwa II untuk

melakukan pengadaan dan penyaluran sembako tidaklah memenuhi

unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, melainkan memenuhi

unsur rechtmatig dan legalitas. Bahwa dengan tidak terpenuhinya

unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang

ada padanya, maka tidak terpenuhi pula unsur ‘melawan hukum’ pada

perbuatan Terdakwa I, yang mana unsur tersebut merupakan unsur

Page 107: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

94

mutlak dalam dakwaan terhadap Terdakwa I. Terhadap Terdakwa II

dan III: Bahwa Para Terdakwa tersebut memenuhi unsur

“barangsiapa”. Bahwa perbuatan Terdakwa II dan III memenuhi unsur

“melawan hukum”, karena bertentangan dengan keharmonisan,

pergaulan hidup untu bertindak cermat erhadap orang lain. Bahwa

perbuatan Terdakwa II dan III tersebut memenuhi unsur “memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”, dengan demikian unsur

“yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan

negara dan atau perekonomian negara” menjadi terpenuhi, Terdakwa

II dan III memenuhi delik penyertaan dan tidak ada hal-hal yang dapat

meniadakan sifat tindak pidana Terdakwa. Berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tersebut, MA memutus bebas Terdakwa I namun

menghukum Terdakwa II dan III dengan pidana penjara selama 1

Tahun 6 Bulan dan pidana denda Rp. 10.000.000,- (HJN)

Amar Putusan

Mengadili

1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi 1 Ir.

Akbar Tanjung, 2 H. Dadang Sukandar, 3 Winfried

Simatupang tersebut

2. Membatalkan Putusan pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 17

januari 2003 Nomor: 171/Pid/2002/PT.DKI, yang telah

memperbaiki putusan pengadilan negeri jakarta pusat tanggal

4 september 2002 Nomor: 449/Pid.B/PN.Jkt.Pst.

Mengadili Sendiri

1. Menyatakan Terdakwa 1 Akbar Tanjung tersebut tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair

dan subsidair;

2. Membebaskan oleh karena itu terdakwa tersebut dari dakwaan

primair dan subsidair;

3. Menuliskan hak terdakwa tersebut dalam kemampuan dari

harkat serta martabatnya;

Page 108: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

95

4. Menyatakan terdakwa 2 H. Dadang Sukandar dan terdakwa 3

Winfried Simatupang tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair;

5. Membebaskan oleh karena itu terdakwa tersebut dari dakwaan

primair;

6. Menyatakan terdakwa 2 H. Dadang Sukandar dan terdakwa 3

Winfried Simatupang terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana: KORUPSI YANG

DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA;

7. Menghukum oleh karena itu kedua terdakwa tersebut, dengan

pidana penjara masing-masing selama: 1 tahun 6 bulan dan

denda masing-masing 10 juta rupiah dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar dan akan diganti dengan pidana

selama 3 bulan.

8. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa 2

dan terdakwa 3 tersebut dikurangkan seluruhnya dan pidana

yang dijatuhkan;

9. Menetapkan supaya barang-barang bukti berupa:

Uang tunai sebesar 40 milyar rupiah dirampas untuk

kepentingan negara;

Surat-surat, bundel-bundel/order dan surat-surat

berharga sebagaimana tercantum dalam daftar barang

bukti perkara ini dikembalikan kepada jaksa penuntut

umum untuk dipergunakan dalam perkara lain;

10. Membebankan perkara ini untuk semua tingkat peradilan

kepada terdakwa 2 dan terdakwa 3, yang untuk tingkat kasasi

masing-masing sebesar dua ribu ratus rupiah.

Analisa / kaidah hukum

Pertimbangan 1 (Keadaan Darurat & Tidak adanya Aturan)

Dalam putusannya di hal. 208 MA mengatakan:

Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti di atas MA

berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa I yaitu

menerima dana non budgeter sebesar 40 M yang kemudian

Page 109: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

96

diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam

pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin,

bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau

sarana, baik Terdakwa I baik selaku Mensesneg maupun sebagai

koordinator program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut,

TAPI MERUPAKAN SUATU TINDAKAN YANG HARUS

DILAKUKAN OLEH SEORANG KOORDINATOR /

MENSESNEG DALAM KEADAAN DARURAT (capital oleh

pen.) sesuai dengan kewenangan diskresioner yang ada padanya

untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa

dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menempuh

prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, TERLEBIH PULA

PENGGUNAAN DANA PENGELOLAAN KEUANGAN

NEGARA DALAM BENTUK DANA NON-BUDGETER

HANYA DIATUR OLEH APA YANG DISEBUT ‘KONVENSI’,

TIDAK SEPERTI HALNYA KEUANGAN NEGARA DALAM

BENTUK APBN YANG PENGGUNAAN DAN

PENGELOLAANNYA DIATUR OLEH KEPPRES (capital oleh

pen.), misalnya untuk pengadaan barang oleh pasal 21 sampai

dengan 30 dalam Keppres No. 16 Tahun 1999 dan Keppres No. 18

Tahun 2000 sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Dari alinea di atas terdapat ketidakjelasan oleh karena di dalamnya

terdapat 2 (dua) pokok pikiran yang mungkin tidak sinkron satu sama

lain kalau tidak bisa dikatakan kontradiktif. Pokok pikiran tersebut

yaitu;

1. Tindakan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana atau

setidaknya bukan merupakan penyalahgunaan wewenang karena

dilakukan dalam keadaan darurat;

2. Tindakan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana karena

tidak ada aturan yang mengaturnya sehingga tidak ada

pelanggaran atas aturan.

Pertimbangan 2 (Kesengajaan)

Dalam pertimbangan Majelis Kasasi hal. 208 dikatakan bahwa

Page 110: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

97

Menimbang bahwa MA tidak sependapat dengan

pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur

‘menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ itu

disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan

Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan

suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu

dengan baik, sehingga perbuatan materil Terdakwa I

menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan,

ketelitian, dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang

negara padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk

itu. Menurut pendapat MA haruslah dibuktikan terlebih

dahulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah Terdakwa I

memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan

perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa

memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met

willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi tetap

dilakukannya. (Bandingkan pendapat Prof. J. Remmelink,

dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 152 dst.)

Apabila pertimbangan Judex Factie yang dikutip oleh MA tersebut

diuraikan maka akan terlihat unsur-unsur pokok dari pertimbangan

Judex Factie tersebut, yaitu:

1. bahwa Terdakwa I tidak melakukan atau mengusahakan suatu

mekanisme koordinasi kerja yang terpadu dengan baik;

2. bahwa ketidakberbuatan tersebut di atas merupakan perbuatan

yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-

hatian dalam pengelolaan uang negara;

3. bahwa Terdakwa I memiliki wewenang untuk berlaku patut, teliti

dan hati-hati dalam mengelola uang negara;

4. bahwa perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan,

ketelitian, dan kehati-hatian merupakan bentuk dari perbuatan

menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan.

Page 111: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

98

Ketidaksependapat MA tersebut terhadap pertimbangan hukum Judex

Factie tidak jelas ditujukan kepada unsur yang mana, apakah unsur

yang (a), (b), (c) atau (d). Akan tetapi jika ketidaksepakatan tersebut

dikaitkan dengan kalimat selanjutnya dimana MA mengatakan bahwa

‘…harus dibuktikan terlebih dahulu apakah Terdakwa I memilki

kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan

kewenangan tersebut…’ maka maka dapat difatsirkan bahwa MA

mau mengatakan bahwa benar terjadi penyalahgunaan wewenang akan

tetapi penyalahgunaan wewenang tersebut tidak serta merta dapat

dipidana jika tidak terdapat unsur kesengajaan.

Dalam ilmu hukum pidana memang terdapat suatu asas yang

mengatakan bahwa tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan (geen straf

zonder schuld/ actus non facit reum nisi mens sit rea/ an act does not

constitute itself guilt unless the mind is guilty). Suatu perbuatan

walaupun memenuhi semua unsur yang didakwakan akan tetapi jika

tidak terdapat unsur kesalahan dari jiwa pelaku maka terhadap pelaku

tersebut tidak dapat dikenakan pemidanaan. Penghapusan pidana

tersebut dapat berupa pembenaran atau pemaafan (dasar pembenar dan

dasar pemaaf), dan hal tersebut tergantung bagaimana hukum positif

mengatur hal tersebut serta bagaimana kasusnya. Sementara itu

Pompe membagi kesalahan menjadi beberapa unsur, yaitu:

1. kelakuan yang bersifat melawan hukum

2. kesengajaan (dolus/culpa)

3. kemampuan bertanggung jawab pelaku

Pertimbangan 3 (Pembuktian Unsur Secara Melawan Hukum)

Mengenai Dakwaan Subsidari terhadap Terdakwa I MA hanya

terdapat 1 (satu) pertimbangan pokok, pada hal. 209-210 mulai alinea

ke-3 dikatakan:

Menimbang bahwa dalam penjelasan UU No. 3 Tahun 1971

dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘secara melawan

hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan

hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil,

yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

Page 112: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

99

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut

dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan

atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka

perbuatan tersebut dapat dipidana;

Menimbang bahwa sehubungan dengan pembuktian unsur

‘melawan hukum’ tersebut, Mahkamah Agung berpendapat

bahwa oleh karena perbuatan ‘menyalahgunakan

wewenang..dst.’ merupakan salah satu bentuk atau wujud

perbuatan melawan hukum, baik formil maupun materil,

maka dengan tidak terbuktinya unsur ‘menyalahgunakan

wewenang..dst’ hal tersebut berarti bahwa unsur

‘melawan hukum’ sebagaimana dimaksud dalam

dakwaan Subsidair tidak terpenuhi dalam perbuatan

Terdakwa I;

Menimbang bahwa pendapat Mahkamah Agung tersebut

sesuai pula dengan pendapat saksi ahli Prof. Dr. ANDI

HAMZAH, SH yang berpendapat ‘Bahwa terhadap kasus ini

apabila uang dari BULOG tersebut baru sampai ketangan

Terdakwa I maka belum ada tindak pidana dan baru ada

tindak pidana setelah uang tersebut ada pada terdakwa

lainnya, yang ternyata tidak dipergunakan sebagaimana

mestinya’, dan pendapat saksi ahli Prof. Dr. LOEBBY

LOQMAN, SH yang pihaknya berpendapat : ‘Bahwa

ajaran melawan hukum materil negatif ada

batasannya,yaitu harus dicari aturan formilnya dan orang

tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang

dilanggar.

Atas pertimbangan tersebut terdapat suatu kontradiksi yang sangat

mencolok, dengan mengutip Penjelasan UU No. 3 Tahun 1971 MA

ingin menyatakan bahwa tanpa suatu aturan formil pun maka suatu

perbuatan tetap dapat memenuhi unsur ‘melawan hukum’ jika

perbuatan tersebut melanggar norma masyarakat atau mengakui

Page 113: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

100

doktrin perbuatan hukum materil yang bersifat positif, akan tetapi

kemudian MA juga menyatakan dengan mengambil pendapat Prof.

Loebby Loqman SH yang mengatakan bahwa ‘melawan hukum’ harus

ditafsirkan hanya melawan hukum formal semata, atau dengan kata

lain menolak doktrin perbuatan hukum materil yang bersifat positif.

Pertimbangan 4 (Pertintah Jabatan)

Setelah beberapa pertimbangan di atas MA kemudian menambahkan

satu pertimbangan hukum lagi yang membebaskan Terdakwa I yang

intinya adalah Terdakwa I tidak terbukti bersalah oleh karena ia hanya

menjalankan perintah jabatan. Untuk lebih jelasnya akan dikutip kata-

kata MA sendiri yang terdapat dalam hal. 210 putusan Kasasi ini:

Menimbang hawa selain berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas

adalah tidak berlebihan apabila dikemukakan, bahwa menurut

Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 51 ayat 1 KUHP,

Terdakwa I tidak dapat dipidana berdasarkan perbuat yang telah

dilakukannya tersebut, oleh karena perbuatan a quo telah

dilakukan terdakwa I selaku MENSESNEG untuk melaksanakan

suatu perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang

berwenang, dalam hal ini adalah Presiden R.I. (cq. Saksi B.J.

HABIBIE). Suatu perintah jabatan (ambelijk bevel) dalam pengertian

Undang-Undang tersebut diisyaratkan harus diberikan berdasarkan

suatu jabatan kepada orang-orang bawahan, dalam hubungan kerja

yang bersifat ukum publik atau bersifat ‘publiek rechtelijk’. (Pendapat

Prof. POMPE dan prof. VAN HAMEL yang dimuat dalam buku

Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia karangan Drs. P.A.F.

LAMINANTANG, SH, alaman 526, terbitan PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1977). Dengan kriteria doktrin tersebut perbuatan yang

dilakukan oleh Terdakwa I dapat diklasifikasikan sebagai

menjalankan perintah jabatan. Sebab perintah Presiden RI tersebut

diberikan kepada Terdakwa I selaku pembantu Presiden dan hubungan

kerja antara Presiden dan Terdakwa I itu bersifat hukum publik.

Bahkan perintah jabatan itu tidak selalu mesti tertulis, karena ada juga

yang tidak tertulis. Bilamana perintah tersebut dilaksanakan dan

sekaligus tindak pidana terjadi maka sifat dapat dipidana tindakan

Page 114: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

101

tersebut akan hilang karena di dalam tindakan tersebut tidak

terkandung unsur melawan hukum. (Pendapat Prof. J. Remmelink,

dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta 2003, halaman 253). Pengertian ‘perintah jabatan’ juga

meliputi ‘instruksi jabatan’ seperti yang dimaksud oleh pasal 51

KUHP, demikian pendapat Prof. Pompe yang diperkuat oleh Prof.

Van Hamel, dan diikuti pula oleh Mahkamah Agung dalam kasus ini;

Untuk dapat menilai apakah pertimbangan MA tersebut layak atau

tidak maka yang perlu diketahui adalah mengenai Pasal 51 ayat (1)

KUHP tersebut, serta apakah bagaimana doktrin-doktrin hukum

pidana membatasinya.

Pasal 51 KUHP berbunyi:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah

jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak

boleh dihukum;

(2) Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak

tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang

dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa

perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan

sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai

yang dibawah perintah tadi.

Sementara itu mengenai penggunaan pasal 51 KUHP sebagai dasar

pembenar / penghapus pidana para Ahli Hukum Pidana mengatakan

bahwa tidak serta merta perintah jabatan yang sah sekalipun

menghapuskan pidana, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

“dalam pelaksanaan perintah-jabatan, seperti halnya yang diutarakan

pada ketentuan undang-undang, maka alat dan cara pelaksanaan itu

harus seimbang, patut dan layak.”

Page 115: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

102

Page 116: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

103

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diterangkan sebagaimana konteks

terdahulu, maka dapat disimpulkan tentang aspek-aspek, sebagai

berikut:

1. Proses kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik,

yang terjadi adalah akibat demokratisasi dan

keterbukaan/transparansi, sebagai buah dari era

Reformasi, pada satu sisi, dan pada sisi yang lain akibat

lemahnya pemahaman terhadap asas-asas prinsip, dan

teori kriminalisasi yang diterapkan oleh penegak hukum,

dalam proses pemidanaan secara benar dan adil.

2. Kriminalisasi yang terjadi terhadap kebijakan-kebijakan

pejabat publik, dapat menimbulkan berbagai

ketidakpastian hukum, bahkan dalam konteks yang lebih

luas dapat merusak hukum itu sendiri; karena telah men-

superiorkan aspek hukum tertentu (pidana) dan menegasi

fungsi dan peran yang seharusnya dijalankan oleh aspek /

domain hukum lain, seperti hukum perdata, dan

administrasi negara, dan segmen hukum lain yang ada.

3. Penonjolan pada peran kriminalisasi (pemidanaan)

terhadap sektor kebijakan pejabat publik, pada hakekatnya

merupakan pengingkaran terhadap dogma dan doktrin

pidana itu sendiri; sebagai Ultimum remidium (senjata

pamungkas / senjata terakhir), bukan sebagai senjata

utama / Primum remidium, oleh karenanya perbuatan-

perbuatan yang perlu dikriminalisasi, adalah perbuatan

yang secara langsung mengganggu ketertiban / kehidupan

masyarakat, melanggar aturan perundangan-undangan

yang berlaku serta ada niat jahat (mens rea ) dan ada

perbuatan jahat yang secara gamblang dapat dibuktikan.

4. Dari hasil penelitian ini, khusus dalam kasus-kasus yang

telah dijadikan analisa kriminalisasi terhadap kebijakan

Page 117: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

104

pejabat publik, menghadirkan diskriminalisasi hukum dan

perlakuan diskriminalisasi dalam penegakkan hukum.

5. Secara dogmatik hukum dan doktrin hukum, kebijakan

pejabat publik merupakan ruang lingkup hukum

administrasi negara sebagai fungsi pemerintahan, oleh

karenanya kebijakannya tidak dapat dipidana /

dikriminalisasi. Dalam kenyataannya, tindakan

kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik, telah

menimbulkan berbagai persoalan hukum baru, bahkan

mematikan kreativitas pejabat penentu kebijakan dalam

mencari terobosan bisnis; tumpulnya daya saing

perusahaan Negara (BUMN / BUMD) karena takut

kebijakannya akan dikriminalisasi / dipaksakan

pemidanaan, karena euforia dan lemahnya pemahaman

terhadap prinsip-prinsip / asas-asas dasar kriminalisasi

pada para penegak hukum, serta target-target pemidanaan

yang tidak jelas dan tidak terukur.

B. Saran

1. Sudah saatnya, era paska reformasi ini untuk

memfungsikan kembali semua bidang hukum pada tempat

secara benar dan proporsional..

2. Kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik perlu

ditinjau kembali dengan terlebih dahulu merevolusi

mental penegak hukum; agar dalam mengenakan /

menerapkan proses pemidanaan terhadap pejabat publik /

kebijakan publik harus mengutamakan domain hukum

non-pidana.

3. Perlu pembekalan ulang, terhadap setiap pelaksana /

penegakkan hukum pidana, tentang prinsip-prinsip dasar

dan asas-asas universal pemidanaan secara lebih

mendalam dan komprehensif, agar dalam menangani

sebuah kasus yang terkait dengan kebijakan pejabat

publik dapat lebih selektif, dan taat asas, terhadap nilai

Page 118: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

105

dan norma hukum universal, di bidang-bidang hukum

perdata, hukum bisnis, hukum administrasi negara.

4. Perlu penegasan secara nasional tentang aspek kebijakan

pejabat publik yang patut dihormati dan dinyatakan

sebagai tidak dapat dikriminalisasi.

5. Untuk para hakim di semua tingkatan peradilan, agar

lebih memperdalam dan memperluas wawasan hukum

dalam memahami aspek-aspek khusus, hukum ekonomi,

keperdataan, dan administrasi pemerintahan, sehingga

memiliki kapasitas dan keberanian dalam menegakkan

hukum terkait kriminalisasi kebijakan pejabat publik, dan

sengketa bisnis yang berpengaruh pada penilaian

internasional, dan keberlakuan prinsip, dan asas-asas

hukum universal.

6. Saatnya untuk meninjau kembali dan mengusulkan

perubahan-perubahan kaedah dan norma-norma hukum

yang dinilai saling bertentangan, baik dari sisi substansi

maupun peran/pemberian kewenangan.

7. Undang-undang tentang Administrasi Negara /

Pemerintahan, perlu segera diadakan agar memperjelas

garis-garis kewenangan dan koordinasi antar instansi, dan

mempermudah pemahaman bagi para penegak hukum

yang dapat meminimalisir kriminalisasi terhadap

kebijakan pejabat Negara, agar tercipta good governance;

dimana rule of law ada di dalamnya.

Page 119: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

106

Page 120: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

107

DAFTAR PUSTAKA

1. Allen, C.K. Law In The Makin. Oxford University Press. 7th

edition. Hal 23

2. Asshiddiqie, Jimly. “Perihal Undang-Undang”. Jakarta:2010.

Rajawali Persa. Hal.373

3. Bassiouni, M. Cherif. “Substantive Criminal Law”. 1978. Hal.

82. Dikutip dari Arief, Barda Nawawi. “Bunga Rampai

Kebijakan Hukum Pidana”.Bandung. 1996. Citra Aditya Bhakti

4. Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary. Saint Paul:1979.

West Publishing Co. Cetakan kelima. Hal 337.

5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa

Indonesia”. Jakarta. Balai Pustaka. Cetakan ke 2. Hal. 198

6. Dunn, William N. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”. Gajah

Mada University Press. Edisi 2. Hal 155

7. Hadin, H. M. dan Nuswardani, Nunuk. Penelitian Hukum

Indonesia Kontemporer. Genta Publishing. 2011 Hal 15

8. Harkristuti Harkrisnowo mengutip Bentham dalam “Konsep

Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi di

Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Jakarta. Hal. 20

9. Hadjon, Philip. Dikutip dari tulisannya di “Gema Peraturan”

Tahun VI. No. 12. Agustus 2000

10. Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, “Dari

Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana”. Jakarta. 1988. Penerbit

Sinar Grafika. Hal 87.

11. Komisi Hukum Nasional (KHN). Kebijakan Penegakan Hukum,

Suatu Rekomendasi. 2010. Hal 119

12. Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus,

PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm509

13. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit

Kencana. Hal 22

14. Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A. “Bab-Bab Tentang

Penemuan Hukum”. PT. Citra Aditya Bakti, kerjasama dengan

Konsorsium Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

dan The Asia Foundation. Cetakan ke 1. 1993. Hal 12.

Page 121: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

108

15. Moeljatno. “Azas-Azas Hukum Pidana”.Jakarta:1985. PT.Bina

Cipta. Hal 5.

16. Peters, Antonie A.G. “Main Current in Criminal Law Theori” in

Action, Gouda Quint by, Arnhem, 1986 hal.33. dikutip dari

Kamariah, “Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam

Hukum Pidana Indonesia”. Pidato Pengukuhan Guru Besar

UNPAD, Bandung, Maret 1994. Hal 43

17. Roeslan Saleh mengutip Antonie A. G. Peter, dalam Asas Hukum

Pidana Dalam Perspektif. Jakarta:1981. Penerbit Aksara Baru.

Hal. 28

18. Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil

Mahkamah Agung RI “Eksekutabilitas, Putusan Peradilan Tata

Usaha Negara (Laporan Penelitian)”. 2010.hal 10

19. Rumadhan Ismail, Jurnal Legislasi Indonesia, Pengelolaan

Keuangan Negara dan Penerapan Hukum dalam Tindak Pidana

Korupsi. Penerbit Kemenkumham, 2013, hlm.362.

20. Sahetapy, J.E. (Ed.). Hukum Pidana. Yogyakarta:1996. Penerbit

Liberty. Hal 6-7

21. Sakidjo, Aruan dan Poernomo, Bambang. “Hukum Pidana”.

Jakarta.1990. Ghalia Indonesia. Hal. 45

22. Saleh, Ruslan, mengutip Antonie A.G. Peter dalam “Asas-asas

Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta:1981. Aksara Baru. Hal

28

23. Soedarto. “Kapita Selekta Hukum Pidana”.Bandung, Alumni.

1986. Hal 31.

24. Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta:1981.

Percetakan Ghalia Indonesia. Cetakan pertama. Hal 61.

25. Sukamto, Agus. “Agus Sukamto Menggugat” Sebuah Ironi

Keadilan. LSM for Publik Malang. 2012. Hal 302

26. Wind, JP. Enige Bestuur Rechtelijke Begrippen: En de Algemene

Wet Bestuursrecht. Sdu uit gever bv Den Haag. 2004

27. Wojowarsito, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia - Belanda.

Jakarta. PT.Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Hal 78.

Page 122: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

109

28. Yeremias Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:

Konsep, Teori, dan Isu. Jogjakarta.Gavamedia:2008. Edisi 1. Hal

35

Makalah 1. Saleh, Roeslan. “Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi:

Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Dalam Pembaruan

Hukum Pidana Indonesia”, disampaikan dalam Seminar

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaruan Hukum

Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII. Yogyakarta. 15 Juli

1993. Hal 38-39.

Page 123: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

110

Page 124: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

111

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2004

Page 125: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

112

Page 126: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

113

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2004

TENTANG

KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN

DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 101 ayat

(3) Undang- undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan MajelisPermusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah

tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang

Protokol (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3363);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3839);

4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nornor 72 Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3848);

5. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara

Page 127: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

114

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003

tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4310);

7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1990

tentang Ketentuan Keprotokolan Mengenai

Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata

Penghormatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3952);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000

tentang Kewenangan Pemerintah dan

Kewenangan Provinsi sebagai Daerah

Otonom (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3952); 21

10. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000

tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban

Keuangan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Page 128: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

115

2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4090);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG

KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN

KEUANGAN PIMPINAN DAN

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD

adalah DPRD sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

2. Pimpinan DPRD adalah Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPRD.

3. Anggota DPRD adalah mereka yang diresmikan

keanggotaannya sebagai Anggota DPRD dan telah

mengucapkan sumpah/janji berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

4. Sekretariat DPRD adalah unsur pendukung DPRD

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

5. Sekretaris DPRD adalah Pejabat Perangkat Daerah yang

memimpin Sekretariat DPRD.

6. Kedudukan Kedudukan Protokoler adalah kedudukan yang

diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan

Page 129: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

116

penghormatan, perlakuan, dan tata tempat dalam acara resmi

atau pertemuan resmi.

7. Protokol adalah serangkaian aturan dalam acara kenegaraan

atau acara resmi yang meliputi aturan mengenai tata tempat,

tata upacara, dan tata penghormatan sehubungan dengan

penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan

dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan atau

masyarakat.

8. Acara resmi adalah acara yang bersifat resmi yang diatur dan

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah atau Lembaga

Perwakilan Daerah, dalam melaksanakan tugas dan fungsi

tertentu, dihadiri oleh pejabat negara, pejabat pemerintah,

pejabat pemerintah Daerah serta undangan lainnya.

9. Tata upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara

dalam acara kenegaraan dan acara resmi.

10. Tata tempat adalah aturan mengenai urutan tempat bagi

pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah

Daerah, dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara

kenegaraan atau acara resmi.

11. Tata penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan

pemberian hormat bagi pejabat negara, pejabat pemerintah,

pejabat pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat tertentu

dalam acara kenegaraan atau acara resmi.

12. Uang representasi adalah uang yang diberikan setiap bulan

kepada Pimpinan dan Anggota DPRD sehubungan dengan

kedudukannya sebagai pimpinan dan anggota DPRD.

13. Uang Paket adalah uang yang diberikan setiap bulan kepada

Pimpinan dan Anggota DPRD dalam menghadiri dan

mengikuti rapat-rapat dinas.

14. Tunjangan jabatan adalah uang yang diberikan setiap bulan

kepada Pimpinan dan Anggota DPRD karena kedudukannya

sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota DPRD.

15. Tunjangan alat kelengkapan DPRD adalah tunjangan yang

diberikan setiap bulan kepada Pimpinan atau Anggota DPRD

sehubungan dengan kedudukannya sebagai ketua atau wakil

Page 130: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

117

ketua atau sekretaris atau anggota panitia musyawarah, atau

komisi, atau badan kehormatan, atau panitia anggaran atau

alat kelengkapan lainnya.

16. Tunjangan Kesejahteraan adalah tunjangan yang disediakan

kepada Pimpinan dan Anggota DPRD berupa tunjangan

pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, rumah jabatan dan

perlengkapannya/rumah dinas, kendaraan dinas jabatan,

pakaian dinas, uang duka wafat/tewas dan bantuan biaya

pengurusan jenazah.

17. Uang jasa pengabdian adalah uang yang diberikan kepada

Pimpinan dan Anggota DPRD atas jasa pengabdiannya

setelah yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya

disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah

Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

19. Pejabat Pemerintah adalah pejabat Pemerintah pusat yang

diberi tugas tertentu di bidangnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

20. Pejabat Pemerintah Daerah adalah pejabat daerah otonom

yang diberi tugas tertentu di bidangnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

21. Instansi Vertikal adalah perangkat Departemen dan atau

Lembaga Pemerintah Non Departemen di Daerah.

BAB II

KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA

DPRD

Bagian Pertama

Acara Resmi

Pasal 2

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD memperoleh kedudukan Protokoler

dalam Acara Resmi.

(2) Acara Resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

Page 131: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

118

a. Acara Resmi Pemerintah yang diselenggarakan di Daerah;

b. Acara Resmi Pemerintah Daerah yang menghadirkan Pejabat

Pemerintah;

c. Acara Resmi Pemerintah Daerah yang dihadiri oleh Pejabat

Pemerintah Daerah.

Bagian Kedua

Tata Tempat

Pasal 3

Tata tempat Pimpinan dan Anggota DPRD dalam acara resmi yang

diadakan di ibukota Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai berikut :

a. Ketua DPRD di sebelah kiri Kepala Daerah;

b. Wakil-wakil Ketua DPRD bersama dengan Wakil Kepala

Daerah setelah pejabat instansi vertikal lainnya;

c. Anggota DPRD ditempatkan bersama dengan Pejabat

Pemerintah Daerah lainnya yang setingkat Asisten Sekretaris

Daerah dan Kepala Dinas/Badan dan atau Satuan Kerja

Daerah lainnya.

Pasal 4

Tata tempat dalam rapat-rapat DPRD sebagai berikut :

a. Ketua DPRD didampingi oleh Wakil-wakil Ketua DPRD;

b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditempatkan sejajar

dan di sebelah kanan Ketua DPRD;

c. Wakil-wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua

DPRD;

d. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan

untuk Anggota;Sekretaris DPRD, peninjau, dan undangan

sesuai dengan kondisi Ruang Rapat.

Pasal 5

Tata tempat dalam Acara Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai berikut :

Page 132: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

119

a. Ketua DPRD di sebelah kiri Pejabat yang akan mengambil

Sumpah/Janji dan Melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah;

b. Wakil-wakil Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;

c. Anggota DPRD menduduki tempat yang telah disediakan

untuk Anggota;

d. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lama, duduk di

sebelah kanan Pejabat yang akan mengambil Sumpah/Janji

dan melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

e. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akan

dilantik duduk di sebelah kiri Wakil-wakil Ketua DPRD;

f. Sekretaris DPRD, peninjau, dan undangan sesuai dengan

kondisi Ruangan Rapat;

g. Mantan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah setelah

pelantikan duduk di sebelah kiri Wakil-wakil Ketua DPRD;

h. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang baru dilantik

duduk di sebelah kanan Pejabat yang mengambil

Sumpah/Janji dan melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah.

Pasal 6

Tata tempat dalam Acara Pengucapan Sumpah/Janji Anggota DPRD

meliputi:

a. Pimpinan DPRD duduk di sebelah kiri Kepala Daerah dan

Ketua Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri atau Pejabat yang

ditunjuk duduk di sebelah kanan Kepala Daerah;

b. Anggota DPRD yang akan mengucapkan sumpah/janji, duduk

di tempat yang telah disediakan;

c. Setelah pengucapan sumpah/janji Pimpinan Sementara DPRD

duduk di sebelah kiri Kepala Daerah;

d. Pimpinan DPRD yang lama dan Ketua Pengadilan

Tinggi/Pengadilan Negeri atau Pejabat yang ditunjuk duduk di

tempat yang telah disediakan;

e. Sekretaris DPRD duduk di belakang Pimpinan DPRD;

Page 133: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

120

f. Para undangan dan anggota DPRD lainnya duduk di tempat

yang telah disediakan; dan

g. Pers/kru TV/Radio disediakan tempat tersendiri.

Pasal 7

Tata tempat dalam Acara Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan

Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPRD hasil Pemilihan Umum sebagai

berikut:

a. Pimpinan Sementara DPRD duduk di sebelah kiri Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

b. Pimpinan Sementara DPRD duduk di sebelah kanan Ketua

Pengadilan Tinggi / Ketua Pengadilan Negeri;

c. Setelah pelantikan, Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Wakil-wakil Ketua DPRD

duduk di sebelah kiri Ketua DPRD;

d. Mantan Pimpinan Sementara DPRD dan Ketua Pengadilan

Tinggi/Ketua Pengadilan Negeri duduk di tempat yang telah

disediakan.

Bagian Ketiga

Tata Upacara

Pasal 8

(1) Tata upacara dalam Acara Resmi dapat berupa upacara

bendera atau bukan upacara bendera.

(2) Untuk keseragaman, kelancaran, ketertiban dan kekhidmatan

jalannya acara resmi, diselenggarakan tata upacara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Tata Penghormatan

Pasal 9

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD mendapat penghormatan sesuai

dengan penghormatan yang diberikan kepada Pejabat Pemerintah.

(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Page 134: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

121

BAB III

BELANJA PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD

Bagian Pertama

Penghasilan

Pasal 10

Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri dari :

a. Uang Representasi;

b. Uang Paket;

c. Tunjangan Jabatan;

d. Tunjangan Panitia Musyawarah;

e. Tunjangan Komisi;

f. Tunjangan Panitia Anggaran;

g. Tunjangan Badan Kehormatan;

h. Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya.

Pasal 11

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Uang Representasi.

(2) Uang Representasi Ketua DPRD Provinsi setara dengan Gaji

Pokok Gubernur, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota setara dengan

Gaji Pokok Bupati/Walikota yang ditetapkan Pemerintah.

(3) Uang Representasi Wakil Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota

sebesar 80% (delapan puluh perseratus) dari Uang Representasi

Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.

(4) Uang Representasi Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota

sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Uang Representasi

Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.

(5) Selain Uang Representasi yang diberikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) juga diberikan Tunjangan Keluarga dan Tunjangan

Beras yang besarnya sama dengan ketentuan yang berlaku pada

Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 12

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Uang Paket.

(2) Uang Paket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 10%

(sepuluh perseratus) dari Uang Representasi yang bersangkutan.

Page 135: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

122

Pasal 13

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Tunjangan Jabatan.

(2) Tunjangan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar

145% (seratus empat puluh lima perseratus) dari masing-masing

Uang Representasi.

Pasal 14

(1) Pimpinan atau Anggota DPRD yang duduk dalam Panitia

Musyawarah atau Komisi atau Panitia Anggaran atau Badan

Kehormatan atau Alat kelengkapan lainnya yang diperlukan,

diberikan tunjangan sebagai berikut :

a. Ketua sebesar 7,5% (tujuh setengah perseratus) dari

Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

b. Wakil Ketua sebesar 5% (lima perseratus) dari Tunjangan

Jabatan Ketua DPRD;

c. Sekretaris sebesar 4% (empat perseratus) dari Tunjangan

Jabatan Ketua DPRD;

d. Anggota sebesar 3% (tiga perseratus) dari Tunjangan Jabatan

Ketua DPRD.

(2) Tunjangan Badan kehormatan unsur luar DPRD yang duduk dalam

Badan

Kehormatan, diberikan tunjangan sebagai berikut :

a. Ketua paling tinggi 50% (lima puluh perseratus) dari

Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

b. Wakil Ketua paling tinggi 45 % (empat puluh lima perseratus)

dari Tunjangan Jabatan Ketua DPRD;

c. Anggota paling tinggi 40% (empat puluh perseratus) dari

Tunjangan Jabatan Ketua DPRD.

Pasal 15

Pajak Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD dikenakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 136: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

123

Bagian Kedua

Tunjangan Kesejahteraan

Pasal 16

(1) Pimpinan. dan Anggota. DPRD beserta, keluarganya diberikan

tunjangan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan.

(2) Keluarga Pimpinan dan Anggota DPRD yang mendapat

pemeliharaan kesehatan dan pengobatan yaitu suami atau istri

beserta 2 (dua) orang anak.

(3) Tunjangan kesehatan dan pengobatan. sebagaimana, dimaksud

pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pembayaran premi asuransi

kesehatan kepada Lembaga Asuransi Kesehatan yang ditunjuk

Pemerintah Daerah.

Pasal 17

(1) Pimpinan DPRD disediakan masing-masing 1 (satu) rumah jabatan

beserta perlengkapannya dan 1 (satu) unit kendaraan dinas

jabatan.

(2) Belanja pemeliharaan rumah jabatan beserta perlengkapannya dan

kendaraan dinas jabatan dibebankan pada APBD.

(3) Dalam hal Pimpinan DPRD berhenti atau berakhir masa baktinya,

wajib mengembalikan rumah jabatan beserta perlengkapannya

dan kendaraan dinas dalam keadaan baik kepada Pemerintah

Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal pemberhentian.

Pasal 18

(1) Anggota DPRD dapat disediakan masing-masing 1 (satu) rumah

dinas beserta, perlengkapannya.

(2) Belanja pemeliharaan rumah dinas dan perlengkapannya

dibebankan pada APBD.

(3) Dalam hal Anggota DPRD diberhentikan atau berakhir masa

baktinya, wajib mengembalikan rumah dinas beserta

perlengkapannya dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah

paling lambat I (satu) bulan sejak tanggal Pemberhentian.

Page 137: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

124

Pasal 19

Rumah jabatan Pimpinan DPRD, rumah dinas Anggota DPRD beserta

perlengkapannya dan kendaraan dinas jabatan Pimpinan DPRD tidak

dapat disewabelikan atau digunausahakan atau dipindahtangankan

atau diubah struktur bangunan dan status hukumnya.

Pasal 20

(1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum dapat menyediakan rumah

jabatan pimpinan atau rumah dinas Anggota DPRD, kepada yang

bersangkutan diberikan tunjangan perumahan.

(2) Tunjangan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa uang sewa rumah yang besarnya disesuaikan dengan

standar harga setempat yang berlaku yang ditetapkan dengan

Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 21

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD disediakan pakaian dinas.

(2) Standar satuan harga dan kualitas bahan pakaian dinas ditetapkan

dengan Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 22

Dalam hal Pimpinan atau Anggota DPRD meninggal dunia, kepada

ahli waris diberikan :

a. Uang duka wafat sebesar 2 (dua) kali uang representasi atau apabila

meninggal dunia dalam menjalankan tugas diberikan uang duka

tewas sebesar 6 (enam) kali uang representasi;

b. Bantuan biaya pengurusan jenazah.

Bagian Ketiga

Uang Jasa Pengabdian

Pasal 23

(1) Pimpinan atau Anggota DPRD yang meninggal dunia atau

mengakhiri masa baktinya diberikan uang jasa pengabdian.

Page 138: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

125

(2) Besarnya uang jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disesuaikan dengan masa bakti Pimpinan dan Anggota DPRD

dengan ketentuan :

a. Masa bakti kurang dari 1 (satu) tahun, dihitung 1 (satu) tahun

penuh dan diberikan uang jasa pengabdian 1 (satu) bulan uang

representasi;

b. Masa bakti sampai dengan 1 (satu) tahun, diberikan uang jasa

pengabdian I (satu) bulan uang representasi;

c. Masa bakti sampai dengan 2 (dua) tahun, diberikan uang jasa

pengabdian 2 (dua) bulan uang representasi;

d. Masa bakti sampai dengan 3 (tiga) tahun, diberikan uang jasa

pengabdian 3 (tiga) bulan uang representasi;

e. Masa bakti sampai dengan 4 (empat) tahun, diberikan uang jasa

pengabdian 4 (empat) bulan uang representasi;

f. Masa bakti sampai dengan 5 (lima) tahun, diberikan uang jasa

pengabdian setinggi-tingginya 6 (enam) bulan uang

representasi.

(3) Dalam hal Pimpinan atau Anggota DPRD meninggal dunia, uang

jasa pengabdian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan

kepada ahli warisnya.

(4) Pembayaran uang jasa pengabdian dilakukan setelah yang

bersangkutan dinyatakan diberhentikan secara hormat sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV

BELANJA PENUNJANG KEGIATAN DPRD

Pasal 24

(1) Belanja Penunjang Kegiatan disediakan untuk mendukung

kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD.

(2) Belanja Penunjang Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disusun berdasarkan Rencana Kerja yang ditetapkan Pimpinan

DPRD.

Page 139: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

126

BAB V

PENGELOLAAN KEUANGAN DPRD

Pasal 25

(1) Sekretaris DPRD menyusun belanja DPRD yang terdiri atas

belanja penghasilanPimpinan dan Anggota DPRD, tunjangan

kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD danbelanja Penun

ang Kegiatan DPRD yang diformulasikan ke dalam Rencana

Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Sekretariat

DPRD.

(2) Belanja penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tersebut dalam ketentuan Pasal 10,

dianggarkan dalam Pos DPRD.

(3) Tunjangan kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dalam ketentuan

Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 2 1, Pasal 22, dan

Pasal 23 serta Belanja Penunjang Kegiatan DPRD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dianggarkan dalam Pos

Sekretariat DPRD yang diuraikan ke dalam jenis belanja sebagai

berikut :

a. Belanja Pegawai;

b. Belanja Barang dan Jasa;

c. Belanja Perjalanan Dinas;

d. Belanja Pemeliharaan;

e. Belanja Modal.

(4) Pengelolaan belanja DPRD dilaksanakan oleh Sekretaris DPRD

dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 26

Penganggaran atau tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban

belanja DPRD untuk tujuan lain di luar ketentuan yang ditetapkan

dalam peraturan Pemerintah ini, dinyatakan melanggar hukum.

Page 140: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

127

Pasal 27

(1) Anggaran belanja DPRD merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari APBD.

(2) Penyusunan, pelaksanaan tata usaha dan pertanggungjawaban

belanja DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disamakan

dengan belanja satuan kerja perangkat daerah lainnya.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 28

(1) Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

DPRD Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

(2) Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.

Pasal 29

(1) Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28 dapat dibatalkan apabila bertentangan

dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Pernbatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Peraturan

Daerah Provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30

Semua peraturan yang berkaitan dengan kedudukan protokoler dan

keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah ditetapkan,

disesuaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Peraturan

Pemerintah ini.

Page 141: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

128

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Dalam hal terjadi permasalahan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini,

penyelesaiannya difasilitasi oleh Mentai Dalam Negeri bagi Provinsi

dan Gubernur selaku Wakil Pemerintah bagi Kabupaten/Kota.

Pasal 32

Pada saat ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah

Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD

dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 33

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 28 Agustus 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Agustus 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004

NOMOR 90.

Page 142: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

129

LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN

Page 143: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf

130

Page 144: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 145: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 146: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 147: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 148: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 149: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 150: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 151: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf
Page 152: Kriminalisasi kebijakan pejabat publik.pdf