korelasi jumlah kejadian bencana banjir terhadap jumlah kejadian curah hujan maksimum di sumatera...
TRANSCRIPT
1
KORELASI JUMLAH KEJADIAN BENCANA BANJIR TERHADAP JUMLAH KEJADIAN CURAH HUJAN
MAKSIMUM DI SUMATERA SELATAN
Disusun Oleh:
Bambang Beny SetiajiNIP. 19780110 199803 1001
Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Angka Kredit Bagi Pejabat Fungsional BMKG
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKABALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH II
STASIUN METEOROLOGI SMB II PALEMBANGJULI 2011
BMGBMG BMKG
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Makalah : KORELASI JUMLAH KEJADIAN BENCANA BANJIR
TERHADAP JUMLAH KEJADIAN CURAH HUJAN
MAKSIMUM DI SUMATERA SELATAN
Nama / NIP : Bambang Beny Setiaji/ 19780110 199803 1001
Asal Stasiun : Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang
KASI OBSERVASI DAN INFORMASI STASIUN METEOROLOGI SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II
PALEMBANG
A G U S S A N T O S A NIP. 19600920 198203 1001
Menyetujui :
Penilai 1 Penilai 2
(....................................) (......................................)
Catatan Tim Penilai :
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang memberi rahmat dan hidayah-Nya
sehingga dengan kehendak-Nya karya tulis ini dapat terselesaikan.
Karya tulis ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam memperoleh
angka kredit bagi pejabat fungsional BMKG.
Penulis mengambil tema : “Korelasi Jumlah Kejadian Bencana Banjir terhadap
Jumlah Kejadian Curah Hujan Maksimum di Sumatera Selatan” dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat hubungan secara linier antara jumlah kejadian bencana banjir
terhadap jumlah kejadian curah hujan maksimum di Sumatera Selatan. Dengan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kepala Stasiun Meteorologi SMB II Palembang, Arif Triono, ST
2. Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi SMB II Palembang,
Agus Santosa.
3. Kepala Kelompok Analis Stasiun SMB Meteorologi II Palembang,
Sirajul Munir, S.Mat
4. Seluruh pegawai Stasiun Meteorologi SMB II Palembang.
Palembang, 5 Juli 2011
Penulis
3
KORELASI JUMLAH KEJADIAN BENCANA BANJIR TERHADAP JUMLAH KEJADIAN CURAH HUJAN
MAKSIMUM DI SUMATERA SELATAN
ABSTRAK
Dalam periode tahun 2002 sampai dengan 2008 di Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat 37 kejadian bencana banjir di wilayah
propinsi Sumatera Selatan dan di Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II
Palembang tercatat 318 kejadian curah hujan maksimum yakni curah hujan lebih dari
50mm/hari.
Nilai koefisien korelasi antara jumlah kejadian bencana banjir terhadap jumlah
kejadian curah hujan maksimum sebesar +0,3 menunjukkan bahwa hubungan di
antaranya lemah dan memiliki kesamaan sedangkan dari grafik perbandingan kedua
kelompok data dapat ditarik kesimpulan puncak jumlah kejadian curah hujan maksimum
yakni bulan Maret dan Nopember selalu diikuti puncak jumlah kejadian bencana banjir
pada bulan berikutnya yakni Bulan Desember, Januari dan April.
4
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………...…ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..... iii
ABSTRAK…………………………………………………………………….……..iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………………v-vi
BAB I. PENDAHULUAN…………….…………………………………………..….1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………..…………………………………………3
BAB III. DATA DAN METODE……………………………………………….……8
3.1. DATA………………………………………….................................……8
3.2. METODE…………………………….…………...…………….….……..8
BAB IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN………………………………….....…...9
4.1. Hasil Koefisien Korelasi..............................................................................9
4.2. Hasil Grafik……………….........................................................................9
BAB V. PENUTUP…..…….………………………………………………………..10
5.1. KESIMPULAN…………………………………………………………10
5.2. SARAN……………………………………………………….…………10
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..11
5
BAB I
PENDAHULUAN
Letak geografis Indonesia berada pada posisi 11 lintang utara sampai dengan 6
lintang selatan dan posisi bujur 95 bujur timur sampai 141 bujur timur. Wilayah
Indonesia berada di antara benua Asia dan Benua Australia.Wilayah ini juga berada di
antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sebagai wilayah kepulauan terdiri atas
lebih dari 17.500 pulau. Sekitar 70 % wilayah Indonesia oleh permukaan laut. Pulau-
pulau di Indonesia pada umumnya permukaan daratan yang bergunung-gunung.
Terdapat dua barisan pegunungan yang melintasi wilayah Indonesia yang merupakan
bagian dari barisan pegunungan di dunia. Barisan pegunungan tersebut adalah Sirkum
Pasifik yang melintasi Pulau Irian dan Sirkum Mediterania yang melintasi Pulau
Sumatera, Jawa Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Kedua barisan pegunungan tersebut
bertemu di Kepulauan Maluku. Di Indonesia terdapat 180 gunung yang memiliki
ketinggian diatas 1500 meter secara umum Indonesia memiliki dua musim, yakni
musim hujan dan musim kemarau. Keadaan ini berkaitan dengan system Monsun.
Musim hujan biasanya terjadi selama bulan Oktober – Maret setiap tahunnya
(Swarinoto & Basuki, 2003).
Bencana banjir hampir setiap musim penghujan melanda Indonesia. Berdasarkan
nilai kerugian dan frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya peningkatan yang
cukup berarti. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam
6
berupa curah hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu
faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat
(pemukiman di daerah bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan hutan, dan
sebagainya), pembuangan sampah ke dalam sungai, pembangunan pemukiman di
daerah dataran banjir dan sebagainya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Endapan (Presipitasi) didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang
jatuh ke permukaan bumi. Meskipun kabut, embun, dan embun beku (frost) dapat
berperan dalam alih kebasahan (moisture) dari atmosfer ke permukaan bumi, unsur
tersebut tidak ditinjau sebagai endapan. Bentuk endapan adalah hujan, gerimis, salju,
dan batu es hujan(hail). Hujan adalah bentuk endapan yang sering dijumpai, dan di
Indonesia yang dimaksud endapan adalah curah hujan (Tjasyono, 2004).
Curah hujan dan suhu merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi
kehidupan di bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci = 2,54
mm). Jumlah curah hujan 1 mm, menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi
permukaan 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke
atmosfer (Tjasyono, 2004).
Terjadinya hujan dari awan diperlukan beberapa mekanisme yang berfungsi
mendinginkan udara sehingga menjadikannya jenuh dan selanjutnya jatuh menjadi
hujan. Secara umum pendinginan yang diperlukan ini diperoleh dari proses
pengangkatan massa udara vertikal keatas sampai mencapai ketinggian yang memenuhi
syarat. Adapun mekanisme pengangkatan ini terjadi melalui suatu sistem konvektif.
Dalam proses ini pengangkatan panas tidak hanya kearah vertical, tetapi juga kearah
horizontal. Proses gerakan udara vertical dan horizontal yang berkesinambungan
8
kemudian dikenal sebagai sel konvektif. Pada kondisi tersebut terdapat adanya aliran
udara vertical di bagian tengah. Aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi
menyebabkan perubahan kelembaban relative yang kemudian akan membentuk tetes air
dan pada akhirnya jatuh sebagai hujan (Tjasyono, 2004).
Berdasarkan proses pembentukannya hujan dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis, yakni :
1. Hujan konvektif, terjadi bila udara basah naik keatas pada ketinggian
tertentu menyebabkan udara terkondensasi. Hujan yang jatuh biasanya
berupa shower yang berasal dari jenis awan konveksi yaitu cumulus dan
cumulonimbus.
2. Hujan orografis, bila masa udara melalui pegunungan naik terkondesasi.
Hujan yang jatuh berupa Drizzle (gerimis) pada sisi pegunungan sepanjang
arah datangnya angin. Sedangkan pada sisi sebaliknya terdapat langit cerah
atau sedikit berawan.
3. Hujan siklon, disebabkan oleh kondensasi gerakan udara pada daerah
konvergensi. Massa udara basah yang terjadi ketika kurva isobar berbentuk
siklon akan terbentuk campuran awan cumulus dan menghasilkan hujan
lebat. Jika pergerakan sistem siklon lambat maka hujan akan terjadi selama
beberapa jam hingga hari.
4. Hujan Frontal yang diakibatkan oleh bertemunya dua massa udara yang
konvergen horizontal yang mempunyai temperature dan densitas yang
berbeda.
9
Ada dua pengertian mengenai banjir. (1) aliran air sungai yang tingginya
melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya
genangan pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin
meninggi, mengalir dan melimpas muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air;
(2) gelombang banjir berjalan kearah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan
kenaikan muka air dimuara akibat badai.
Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal,
sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta
sistem saluran drainase dan kanal penampungan banjir buatan yang ada tidak mampu
menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga meluap. Kemampuan/daya tampung
system pengaliran air dimaksud tidak selamanya sama, tetapi berubah akibat
sedimentasi, penyempitan sungai akibat phenomena alam dan ulah manusia, tersumbat
sampah hambatan lainnya. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan
(catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit/pasokan air
yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas
pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan
terjadinya sedimentasi di system pengaliran air dan wadah air lainnya. Disamping itu
berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir.
Pada daerah permukiman dimana telah padat dengan bangunan sehingga tingkat resapan
air kedalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi
10
sebagaian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk ke dalam
sistem pengaliran air sehingga kapasistasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir.
Untuk mengetahui hubungan linier antara jumlah kejadian bencana banjir
terhadap jumlah kejadian curah hujan maksimum maka dihitung koefesien korelasi
dimana semakin tinggi nilai koefesien korelasi positif (bersama fase) menunjukan
semakin kuat hubungan linier antara kedua kelompok data tersebut.
Adapun besarnya koefesien korelasi dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan seperti berikut Sugiyono, 2005:
Dengan: r(x,y) = nilai koefesien korelasi antara variabel xi = nilai evaporasi dengan
rumus Penman (EPenman ) dengan yi = nilai evaporasi dengan evaporimeter panci terbuka
klas A (Eobs).
Adapun kriteria nilai koefesien korelasi dari persamaan diatas dapat ditunjukan
sebagai berikut ini:
Jika harga r(x,y) bernilai positif berarti kedua variabel x dan y berbanding lurus dan
mendekati harga +1 berarti hubungan antara kedua variabel x dan y bersifat sangat
kuat bersamaan fase.
Jika harga r(x,y) bernilai negatif berarti kedua variabel berbanding terbalik dan
mendekati harga –1 berarti hubungan antara kedua variabel x dan y bersifat sangat
kuat berlawanan fase.
11
nxiyi – (xi)(yi)r(x,y) = _____________________________________________………………………….(2.1) nxi
2 – (xi)2nyi2 – (i)2
Jika harga r(x,y) ≥ +0,5 atau r(x,y) ≤ - 0,5 berarti hubungan antara kedua varibel x dan
y dianggap cukup kuat.
Jika harga r(x,y) < +0,5 atau r(x,y) >- 0,5 berarti hubungan antara kedua variabel x
dan y dianggap lemah.
12
BAB III
DATA DAN METODE
3.1.Data
Data yang dipergunakan adalah data jumlah kejadian bencana banjir dari 2002
hingga 2008 yang di peroleh dari BNPB dan data jumlah kejadian curah hujan maksium
>50mm/hari yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi SMB II Palembang.
Format Data
Jumlah Kejadian Bencana Banjir
Jumlah Kejadian Curah Hujan Maks >50mm
Jan B1 R1Feb B2 R2
… … …… … …
Dec B12 R3
Dimana B merupakan jumlah kejadian bencana banjir sedangkan R merupakan
jumlah kejadian curah hujan maksium >50mm/hari
3.2. Metode
Dalam tulisan ini digunakan metode-metode statistika antara lain dengan metode
korelasi. Dengan metode korelasi maka dapat dicari hubungan linier antara jumlah
kejadian bencana banjir terhadap jumlah kejadian curah hujan maksimum. Untuk
mengetahui hubungan liniernya maka dihitung koefesien korelasi dimana semakin
13
tinggi nilai koefesien korelasi positif (bersama fase) menunjukan semakin kuat
hubungan linier antara kedua kelompok data tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Koefisien Korelasi
Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari aplikasi
persamaan (2.1) antara jumlah kejadian bencana banjir terhadap jumlah kejadian curah
hujan maksimum terhadap kelompok data sampel 12 bulan adalah sebagai berikut :
r(x,y) = + 0.31
artinya derajat hubungan linear antara kedua kelompok data sampel ternyata lemah dan
memiliki kesamaan fase.
4.1. Hasil Grafik
14
Dari analisa grafik terlihat bahwa puncak jumlah kejadian curah hujan
maksimum yakni bulan Maret dan Nopember selalu diikuti puncak jumlah kejadian
bencana banjir pada bulan berikutnya yakni Bulan Desember, Januari dan April.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Bardasarkan pada uraian tersebut di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa
nilai koefisien korelasi antara jumlah kejadian bencana banjir terhadap jumlah kejadian
curah hujan maksimum sebesar +0,3 menunjukkan bahwa hubungan di antaranya
lemah dan memiliki kesamaan sedangkan dari grafik perbandingan kedua kelompok
data dapat ditarik kesimpulan puncak jumlah kejadian curah hujan maksimum yakni
bulan Maret dan Nopember selalu diikuti puncak jumlah kejadian bencana banjir pada
bulan berikutnya yakni Bulan Desember, Januari dan April.
5.2 Saran
1. Menggunakan data jumlah kejadian bencana banjir dan jumlah kejadian
curah hujan maksimum series yang lebih panjang.
2. Mencari penyebab mengapa lemahnya korelasi antara jumlah kejadian
bencana banjir terhadap jumlah kejadian curah hujan maksimum mengapa
puncak jumlah kejadian curah hujan maksimum yakni bulan Maret dan
15
Nopember selalu diikuti puncak jumlah kejadian bencana banjir pada bulan
berikutnya yakni Bulan Desember, Januari dan April
3. Menggunakan data curah hujan maksimum sesuai dengan tempat-tempat
terjadinya bencana banjir.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. SURYATNA RAFII. Meteorologi dan Klimatologi, Jakarta 1995.
BAYONG TJASYONO .HK. Klimatologi, Bandung 2004.
YUNUS S.SWARINOTO & BASUKI, Evaluasi Curah Hujan dalam 20 Tahun Terakhir di Surabaya, Jakarta 2003.
SUDJANA. Metode Statistik, Bandung 1996.
SUGIYONO. Statistik untuk Penelitian, Bandung 2005.
http://www.bnpb.go.id
16