d edsi · dari rata-rata curah hujan bulan maret selama 10 tahun terakhir ... jumlah curah hujan...

34

Upload: nguyennguyet

Post on 28-May-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DARI REDAKSI

iVol 3/2019

DITERBITKAN OLEHSTASIUN METEOROLOGI KELAS I

SOEKARNO-HATTA

PELINDUNGKEPALA STASIUN METEOROLOGI

PENASEHAT1. Kepala Seksi Observasi

2. Kepala Seksi Data dan Informasi3. Kepala Sub. Bag. Tata Usaha

PEMIMPIN REDAKSIBintoro Puspo AdiSekretaris Redaksi

Siswahyanti

Editor1. Heri Azhari Noor2. Ajeng Budi Ananti

Design dan Layout1. Yus Prihatinina

2. Jihan Nur Ramdhani

Anggota1. Edi Miswanto

2. M. Hidayat3. Soni Soeharsono

4. Marthin Dendy S.L.T5. M. Fachrurrozi6. Nur Fadilah S

7. Zakiah Munawaroh8. Eria Wahdatun Nangimah

9. Umi Saadah10. Rahmatia Dewi A

11. Yesi Ratnasari12. Fatimah Mega Sugihartati

Produksi dan Distribusi1. Tukijo

2. Abdul Akbar3. Kadek Ari Sudama

“Ha Em De...”

Hari Meteorologi Dunia (HMD) yang diperingati pada tanggal 23 Maret kali ini mengambil tema “Matahari, Bumi, dan Cuaca”. Tema ini diambil seiring dengan semakin meningkatnya frekuensi terjadi bencana yang disebabkan oleh faktor cuaca. Sehingga perlu adanya upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk kesejahteraan masyarakat.

Dengan momentum peringatan HMD 2019, BMKG ingin terus mengajak masyarakat untuk berpartispasi aktif dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.Perubahan iklim ekstrem merupakan masalah yang dihadapi setiap negara tanpa memandang batas teritorial. Setiap negara pasti merasakan efek buruknya. Oleh karenanya butuh adanya kesadaran dan peran seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi.

Sebagai informasi tambahan, kami akan menyampaikan informasi tentang salah satu peralatan yang digunakan oleh Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta untuk menghasilkan data maupun informasi cuaca untuk menambah wawasan Pembaca mengenai apa dan bagaimana informasi cuaca dihasilkan di bandara.

Informasi rutin seperti rangkuman kejadian cuaca ekstrim pada bulan Maret 2019 yang terjadi di wilayah Bandara Soekarno-Hatta Tangerang; profil cuaca; Aerodrome Climatological Summary di bulan Maret dan prakiraan cuaca bulan April 2019 tetap disajikan kepada pembaca. Beberapa kunjungan yang dilakukan di Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta akan melengkapi buletin ini.

Sebagai penutup, kami sajikan hasil penilitan tim Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta terkait kajian kejadian hujan es yang terjadi di wilayah Bandung-Jawa Barat.

Selamat membaca, semoga bermanfaat.......

ii Vol 3/2019

DAFTAR ISI

Prakiraan Cuaca Bulan April 2019

AWOS COASTAL ENVIRONMENTAL SYSTEMS

Praktik Kerja Lapangan Taruna STMKG

Informasi arah dan kecepatan angin merupakan param-eter yang sangat................................................[3]

AERONEWS

AEROTECH

Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta dalam mem-berikan pelayanan data meteorologi................[21]

Tangerang – Selasa (05/03), Taruna Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika..............[24]

Sudah sejak lama masyarakat Indonesia mengenal bulan Maret hingga Mei sebagai......................[10]

24

18

Profil Parameter Cuaca dan Aerodrome Climatological Summary Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta

AEROWATCH3

PENINGKATAN MUTU PELAYANANMETEOROLOGI JAKARTA – PADANGPada tanggal 13 Februari 2019 diadakan kegiatan studi banding pegawai Stasiun Meteorologi Soekar-no-Hatta .......................................................[26]

AEROSEARCH

AEROCOM

28

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES (HAIL) (STUDI KASUS 23 FEB-RUARI 2019)21Hujan es (hail) merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrem berupa presipitasi yang berbentuk bola-bola, potongan, maupun serpihan-serpihan es dan memiliki diameter ...................................[28]

ITCZ (Intertropical Convergence Zone)Pada tanggal 2 Maret 2019 BMKG mengeluarkan pernyataan melalui siaran pers tentang...........[14]

HYDROPLANINGDalam dunia penerbangan menjalankan prosedur keselamatan merupakan hal terpenting............[18]

3Vol 3/2019

1. ARAH DAN KECEPATAN ANGIN

Selain profil angin bulanan, terdapat pula Aerodrome Climatological Summary (ACS) yang menunjukkan kondisi angin bulan april selama 10 tahun (2009 – 2018). Pada Gambar 2, terlihat bahwa angin mulai didominasi dari arah selatan hingga Barat, dengan angin dari arah selatan mendominasi dengan persentase 15%. Kecepatan bervariasi antara 4 – 17 knots, dengan kecepatan angin 11-17 knot didominasi dari arah Barat Daya hingga Barat. Hal ini menunjukkan bahwa angin timuran sudah mulai bertiup walaupun masih didominasi angin baratan. Selain itu, berdasarkan gambar 2 perlu diwaspadai adanya angin dengan arah tegak lurus landasan (cross wind) dengan persentase

Informasi arah dan kecepatan angin merupakan parameter yang sangat diperhatikan dalam aktivitas penerbangan, baik untuk kegiatan take off dan landing

maupun untuk kepentingan pengembangan bandara. Pengamatan parameter cuaca yang dilakukan secara rutin dan kontinyu oleh BMKG Soekarno-Hatta dapat diolah dan dikembangkan menjadi informasi rata-rata atau frekuensi bulanan guna mendapatkan hasil perbandingan dari waktu ke waktu dan gambaran umum untuk keperluan perencanaan maupun tindakan preventif. Profil frekuensi kejadian arah dan kecepetan angin pada kategori tertentu dapat direpresentasikan seperti pada gambar 1. Warna-warna pada profil angin memperlihatkan kategori kecepatan angin sebagaimana ditunjukkan pada legenda, sedangkan arah angin ditunjukkan sesuai arah pada peta. Pada bulan Maret 2019 arah angin dominan berhembus dari arah Barat Daya – Barat, dengan kecepatan angin dominan sebesar 4-7 knots. Kategori kecepatan angin pada rentang 1-4 knots juga terjadi pada arah yang sama dengan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan kecepatan angin 4-7 knots. Jika dibandingkan dengan profil angin bulan sebelumnya, pada bulan Maret 2019 terjadi peningkatan hembusan angin dari arah Barat. Peningkatan frekuensi angin dari Barat tersebut dapat mendukung aktivitas take off dan landing karena searah landasan.

Gambar 1. Profil Arah dan Kecepatan Angin Bulan Maret 2019

Vol 3/20194

kejadian sebesar 5% pada bulan April. Informasi ACS ini sangat penting untuk memprakirakan arah dan kecepatan angin dominan sehingga kegiatan operasional penerbangan dapat berjalan secara optimal.

2. VISIBILITYInformasi jarak pandang dalam arah horizontal

bergantung pada kondisi cuaca dan kondisi siang/malam. Parameter ini sangat penting untuk diamati baik secara visual maupun menggunakan bantuan RVR (Runway Visual Range) pada saat visibility kurang dari 2 km. Rata-rata visibility pada bulan Maret 2019 pada pagi hingga siang hari (7-18 WIB) berkisar pada rentang 6-9 km, sedangkan pada malam-dini hari (19-6 WIB) mengalami penuruan pada rentang 5-6 km. Nilai minimum yang terjadi pada Bulan Maret 2019 mencapai 2 – 2,5 km sebanyak 4 kali kejadian yaitu pada tanggal 3, 6, 7, dan 15 Maret 2019.

Selain itu, Aerodrome Climatological Summary (ACS) juga memberikan informasi terkait kondisi visibility pada bulan April selama 10 tahun (2009 – 2018). Informasi ini berguna untuk memberikan gambaran keadaan visibility pada bulan April mendatang. Berdasarkan Gambar 4, nilai ACS visibility bulan April di wilayah bandara Soekarno –Hatta memiliki rata-rata sekitar 7.0 km dengan nilai maksimum 14 km pada tahun 2010, 2011, dan 2012 serta nilai minimum sebesar 300 meter pada tahun 2013. Rendahnya nilai visibility dapat disebabkan oleh adanya kabut saat pagi dan dini hari serta hujan dengan intesitas sedang hingga lebat. Maka dari itu, penting bagi pengguna jasa meteorologi untuk mengetahui bagaimana kondisi cuaca di bulan april yang dapat mempengaruhi keadaan visibility. Dimana visibility sangat penting bagi aktivitas penerbangan saat take off dan landing. Harap waspada saat dini hari hingga pagi hari serta saat terjadi cuaca buruk karena visibility dapat menurun secara signifikan.

3. CURAH HUJANCurah hujan 1 (satu) millimeter dalam pengertian

BMKG adalah dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Curah hujan yang melebihi kapasitas penampungan suatu wilayah, dapat menyebabkan banjir dan akhirnya merugikan masyarakat sekitar. Profil curah hujan pada bulan Maret 2019 menunjukkan jumlah curah hujan yang cukup besar yaitu 364.5 mm, jumlah ini jauh lebih besar dari rata-rata curah hujan bulan Maret selama 10 tahun terakhir (2009-2018) yang hanya mencapai 161,7 mm dan nilai ini merupakan jumlah curah hujan terbesar salama 11 tahun terakhir (2009-2019) dimana curah hujan maksimum dari tahun 2009 sampai 2018 hanya mencapai 258.3 mm pada

Gambar 2. ACS Arah dan Kecepatan Angin Bulan April 2009 - 2018

Gambar 3. Grafik Visibility Harian Bulan Maret 2019

Gambar 4. ACS Visibility Bulan April periode 2009 - 2018

5Vol 3/2019

tahun 2014 . Distribusi curah hujan bulan Maret 2019 pada dasarian I (10 hari pertama) adalah 170 mm, kemudian dasarian II sebesar 134.5 mm, dan mulai berkurang pada dasarian III dengan jumlah curah hujan sebesar 60 mm. Data curah hujan bulan Maret berikut disandingkan dengan data Aerodrome Climatological Summary (ACS) bulan April selama 10 tahun terakhir (2009 – 2018). Nilai rata-rata curah hujan ACS bulan April lebih kecil dibandingkan ACS pada bulan Maret, dimana rata-rata jumlah curah hujan bulan April selama 10 tahun sebesar 138.9 mm sedangkan pada bulan Maret sebesar 161.7 mm. Hal ini dikarenakan bulan Maret dan bulan April merupakan periode musim transisi atau pancaroba, namun karena bulan Maret merupakan bulan transisi yang paling dekat dengan musim penghujan sehingga curah hujannya masih cukup besar akibat pengaruh monsun Asia yang masih aktif. Grafik sebaran curah hujan pada bulan Maret 2019 dan curah hujan bulan April 10 tahun terakhir disajikan pada Gambar 5 dibawah ini.

4. TEMPERATUR UDARA Temperatur merupakan parameter yang

penting untuk diamati karena berpengaruh pada kebutuhan panjang landasan pesawat untuk lepas landas dan dapat mempengaruhi kenyamanan kegiatan penerbangan. Fluktuasi profil temperatur dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi siang/malam. Rata-rata temperatur udara di Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta pada bulan Maret 2019 sebesar 27,10C. Penurunan termperatur yang cukup signifikan terjadi pada tanggal 6 Maret 2019 dengan nilai termperatur rata-rata mencapai 24,3oC dan temperatur maksimum mencapai 26,0oC. Sedangkan nilai temperatur maksimum tertinggi dan nilai temperatur minimum terendah terjadi pada tanggal yang sama yakni 15 Maret 2019, masing-masing bernilai 33.5oC dan 21.4oC.

Hal tersebut dikarenakan pada tanggal 6 dan 15 Maret 2019 terjadi hujan dengan intensitas sedang-lebat sebagaimana didukung dengan nilai visibility minimum pada tanggal tersebut.

Bagi maskapai penerbangan sebagai salah satu pengguna jasa meteorologi, penting untuk mengetahui kondisi umum temperatur udara bulan April selama 10 tahun terakhir di bandara Soekarno Hatta. Informasi ini berguna untuk mengetahui gambaran keadaan suhu udara pada bulan April mendatang. Berdasarkan gambar 7, terlihat data temperatur udara di Bandara Soekarno-Hatta berupa nilai rata-rata temperatur udara bulan April sebesar 27.90C, dengan nilai maksimum mencapai 35.40C di tahun 2010 serta temperatur minimum mencapai 21.00C di tahun 2018. Nilai temperatur udara ini dipengaruhi oleh gerak semu matahari, dimana pada bulan April matahari mulai bergerak menuju ke Utara sehingga temperatur udara minimum di Bandara Soekarno-Hatta lebih rendah dari ACS bulan Maret, sedangkan untuk rata-rata temperatur udaranya masih cenderung stabil di angka 27,50C.

Gambar 5. Grafik Curah Hujan Bulan Maret 2019 dan ACS Bulan April 2009-2018

Gambar 6. Grafik Profil Temperatur Udara Bulan Maret 2019

Gambar 7. ACS Temperatur Udara Bulan April periode 2009 – 2018

Vol 3/20196

5. TEKANAN UDARAPada Bulan Maret 2019 rata-rata tekanan udara

di BMKG Soekarno-Hatta bernilai 1010,8 mb. Jika dibandingkan dengan bulan Februari 2019, nilai rata-rata tekanan udara bulan Maret mengalami penurunan dari bulan sebelumnya. Selain itu sebagaimana ditunjukkan pada grafik profil tekanan udara di atas nilai tekanan udara tertinggi tercatat pada tanggal dengan nilai 1014,8 mb pada tanggal 16 Maret 2019, sedangkan tekanan terendah mencapai 1006,2 mb yang terjadi pada tanggal 4 Maret 2019. Selain itu umumnya profil tekanan akan berkebalikan dengan profil temperatur udara, seperti halnya ditunjukkan bahwa pada tanggal 6 Maret 2019 terjadi kenaikan tekanan udara yang signifikan (gambar 8), sedangkan profil temperatur udara pada tanggal tersebut mengalami penurunan (gambar 6).

Gambar 9 menunjukkan grafik Aerodrome Climatological Summary (ACS) parameter tekanan udara pada bulan April dalam 10 tahun terakhir (2009 – 2018). Berdasarkan grafik tersebut, terlihat rata-rata tekanan udara sebesar 1009.6 hpa, dengan nilai tekanan maksimum mencapai 1016.3 hpa pada tahun 2012, serta tekanan minimum mencapai 1003.7 hpa pada tahun 2013. Bervariasinya nilai tekanan ini dipengaruhi oleh temperatur udara di sekitarnya. Semakin tinggi temperatur udara, maka tekanan udara akan semakin rendah dan pembentukan awan akan semakin aktif karena didukung penguapan yang tinggi. Maka dari itu, penting bagi pengguna jasa meteorologi termasuk maskapai penerbangan untuk mengetahui tekanan udara di suatu tempat pada suatu waktu.

6. KELEMBAPAN UDARAKelembapan relatif menunjukkan banyaknya uap

air yang terkandung dalam suatu sampel udara. Semakin tinggi nilai kelembapan relatif, maka udara menjadi semakin basah, dan sebaliknya. Pada bulan Maret 2019, profil kelembapan udara masih tergolong basah dengan nilai rata-rata 79.9 %. Kelembapan udara maksimum mencapai 96,0 % yang terjadi pada tanggal 26 Maret 2019. Kondisi udara yang sangat kering hingga mencapai 49,0 % kelembapan udara terjadi pada tanggal 28 Maret 2019.

Nilai kelembapan udara menunjukkan seberapa banyak kandungan uap air yang ada dalam parsel udara di wilayah tersebut. Kondisi kelembapan udara juga banyak dipengaruhi oleh terjadinya presipitasi ataupun monsun yang aktif melintasi wilayah tersebut. Pada Gambar 11, terlihat nilai Aerodrome Climatological Summary (ACS) untuk parameter kelembapan udara selama 10 tahun terakhir yang menunjukkan nilai rata-rata kelembapan udara sebesar 80.2 %, nilai maksimum mencapai 100% pada tahun 2009 dan 2010. Untuk nilai minimum

Gambar 8. Grafik Profil Tekanan Udara Bulan Maret 2019

Gambar 9. ACS Tekanan Udara April periode 2009 - 2018

Gambar 10. Grafik Profil Kelembapan Udara Bulan Maret 2019

7Vol 3/2019

kelembapan udara mencapai 41 % pada tahun 2011. Berdasarkan rata-rata kelembaban udara pada bulan April selama 10 tahun terakhir, menunjukkan bahwa pada bulan April monsun Asia yang melewati wilayah Indonesia mulai melemah dan berangsur

TGL PAGI HARI (06.00-11.00 WIB)

SIANG HARI (12.00-17.00 WIB)

MALAM HARI (18.00-23.00 WIB)

DINI HARI (00.00-05.00 WIB)

RAIN (mm)

1 HZ - FBL RA FBL RA 41.82 BR - - TSRA 10.53 TSRA FBL RA TSRA BR 18.34 BR - HZ TSRA 57.05 FBL RA - HZ TSRA 31.56 FBL RA - FBL RA FBL RA 7.27 BR - HZ HZ 08 HZ - HZ TSRA 1.79 HZ - TSRA - 2.010 HZ LIGHTNING - - 011 HZ FBL RA LIGHTNING FBL RA 6.512 FBL RA - FBL RA FBL RA 4.313 HZ - HZ TSRA 45.014 - - HZ HZ 015 HZ TSRA FBL RA HZ 23.516 FBL RA - HZ HZ 1.017 - TSRA HZ HZ 52.918 HZ TSRA HZ - 1.319 - FBL RA - - TTU20 - - HZ HZ 021 FBL RA - HZ HZ TTU22 - - FBL RA LIGHTNING 0.123 HZ - - FBL RA 4.024 FBL RA - HZ HZ TTU25 HZ TSRA HZ BR 9.526 HZ - TSRA FBL RA 44.227 BR TS FBL RA LIGHTNING 2.228 HZ LIGHTNING FBL RA HZ TTU29 HZ - HZ TS 030 - - - - 031 - - - HZ 0

berubah menjadi monsun Australia. Namun, kita harus tetap waspada terhadap adanya hujan lebat dan angin kencang yang terjadi saat musim transisi atau pancaroba.

7. KONDISI CUACA YANG MEMPENGARUHI PENERBANGAN

Kondisi cuaca merupakan gambaran keadaan udara yang terjadi di suatu wilayah pada waktu tertentu. Dalam dunia penerbangan kondisi cuaca merupakan hal yang sangat penting diketahui untuk kegiatan take-off dan landing serta dapat menunjang informasi pada saat kondisi en-route. Berikut adalah rangkuman kondisi cuaca yang mempengaruhi penerbangan di wilayah Bandara Soekarno-Hatta yang terjadi pada bulan Maret 2019:

Gambar 11. ACS Kelembapan Udara April Periode 2009 - 2018

Vol 3/201910

Sudah sejak lama masyarakat Indonesia mengenal bulan Maret hingga Mei sebagai masa transisi atau peralihan dari musim

penghujan menuju musim kemarau. Kondisi cuaca pada masa peralihan ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi cuaca lokal di setiap daerah, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca secara global. Pada tanggal 21 Maret lalu posisi matahari tepat berada di khatulistiwa/equator yang dikenal dengan istilah ekuinoks, sedangkan pada bulan april ini posisi matahari perlahan akan menuju ke utara menjauhi wilayah Indonesia. Lalu apa dampaknya bagi cuaca di Indonesia terutama bagi wilayah Bandara Soekarno Hatta dan sekitarnya?

Dalam ilmu meteorologi, matahari mempunyai peran penting yang mempengaruhi kondisi cuaca. Posisi matahari juga akan menentukan pergerakan angin secara global. Pada bulan April ini matahari akan melintas di belahan bumi utara, wilayah yang dilintasi matahari ini akan memiliki tekanan udara yang cenderung rendah,

sedangkan wilayah yang tidak dilewati matahari akan memiliki tekanan udara yang tinggi. Sehingga pada saat ini wilayah di Belahan Bumi Utara (BBU) memiliki tekanan udara yang lebih rendah dari pada wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS). Sifat masa udara adalah bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah, oleh karenanya pada bulan April ini secara umum masa udara akan beralih menuju ke BBU setelah beberapa bulan lalu masa udara bergerak dari BBU menuju BBS.

Salah satu fenomena cuaca skala global yang

Gambar 1. Posisi nino 3.4Sumber : http://www.bom.gov.au

11Vol 3/2019

perlu diperhatikan adalah El Nino dan La Nina. Kondisi El Nino atau La Nina didasarkan pada anomali suhu muka laut atau SST (Sea Surface Temperatur). Berikut merupakan posisi NINO 3.4 (Gambar 1) Untuk melihat apakah terjadi kejadian La Nina atau El Nino dapat dilihat dari nilai anomali Suhu Muka Laut daerah NINO 3.4, apabila nilai <-0,8 maka kejadian La Nina, apabila nilainya >+0,8 maka El Nino yang terjadi.

Berdasarkan pantuan BMKG dan beberapa lembaga Internasional pada bulan April ini diprakirakan anomali SST berada pada kondisi normal cenderung El Nino.

Selain parameter anomali SST, fenomena El

Nino atau La Nina juga dipantau melalui parameter SOI. Nilai SOI merupakan hasil dari perhitungan selisih tekanan udara di Tahiti dengan Darwin. Berdasar gambar 3 pergerakan nilai SOI selama 30 hari hingga 27 Maret 2019 menunjukkan nilai SOI -6.7 yang tergolong masih normal atau netral. Jika nilai SOI kurang dari -7 maka dapat diindikasikan terjadinya El Nino. Sedangkan jika nilai SOI lebih dari +7 maka hal ini mengindikasikan terjadinya La Nina. Selain itu, nilai SOI -6.7 juga menunjukkan bahwa masa udara bergerak dari pasifik barat ke pasifik timur.

cuaca dalam kondisi netral cenderung negatif. Hal ini menunjukkan bahwa masa udara menjalar dari Samudra Hindia bagian barat ke Samudra Hindia bagian timur. Jika nilai IOD kurang dari -0.4 akibatnya akan ada peningkatan curah hujan yang sigfinifan di wilayah Indonesia bagian barat. Pada bulan April ini diprakirakan tidak terdapat

Gambar 2. Prakiraan anomali SSTSumber : http://www.bom.gov.au

Gambar 3. Nilai SOI 30 hari terakhirSumber : http://www.bom.gov.au

Gambar 4. Prakiraan anomali nilai IODSumber : http://www.bom.gov.au

Vol 3/201912

peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat berdasar indeks IOD.

Berdasarkan peta normal wind BMKG pada lapisan 3000 feet (gambar 5), diprakirakan pada bulan April ini untuk wilayah Bandara Soekarno Hatta akan didominasi angin dari arah selatan hingga barat.

Kesimpulan :

1. Berdasarkan anomali nilai suhu muka laut dan indeks SOI, diprakirakan pada bulan

April ini terdapat potensi pengurangan curah hujan di wilayah Indonesia.

2. Pada bulan April hujan dengan intensitas sedang-lebat dan dapat disertai dengan petir diprakirakan masih terjadi di wilayah Bandara Soekarno Hatta pada sore hingga malam hari sebagai ciri khas masa peralihan.

3. Secara umum angin di wilayah Bandara Soekarno Hatta pada bulan April ini akan di dominasi dari arah selatan hingga barat.[eki]

Gambar 5. Peta rata-rata angin lapisan 3000 feetSumber : Achmad Zakir dan Mia Khusnul K (BMKG)

Vol 3/201914

gelombang tinggi 2.5 hingga 4.0 meter diperkirakan terjadi di Perairan Selatan Jawa Tengah hingga Jawa Timur, Selat Bali bagian Selatan, Samudera Hindia Barat Kepulauan Mentawai hingga Lampung, Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa hingga Bali.”

Pada narasi diatas BMKG mendeteksi adanya sirkulasi siklonik di samudera Hindia Barat Sumatera yang membentuk daerah pertemuan angin. Dalam hal ini yang dimaksud dengan daerah pertemuan angin sering disebut sebagai daerah konvergensi atau confluence. Pada tanggal 2 Maret 2019 BMKG mengeluarkan peta angin ketinggian 3000 kaki yang berupa tarikan garis angin yang dihubungkan antara satu titik stasiun pengamatan udara atas dengan stasiun yang lain menjadikannya analisis garis angin yang sering disebut juga sebagai peta streamline. Pada peta tersebut terdapat fenomena yang Nampak secara kasat mata terdapat pertemuan tarikan garis angin menuju suatu wilayah disepanjang Indonesia bagian selatan. Fenomena ini dalam istilah meteorologi disebut sebagai Intertropical Convergence Zone. Mengapa dalam meteorologi ITCZ dapat meningkatkan potensi curah hujan tinggi

Pada tanggal 2 Maret 2019 BMKG mengeluarkan pernyataan melalui siaran pers tentang Waspada Potensi Bencana Hidrometeorologi di Wilayah Indonesia (Periode 02 s/d 08 Maret 2019) dengan

narasi yang menyebutkan bahwa “Memasuki awal Maret beberapa fenomena atmosfer terpantau muncul secara bersamaan. Fenomena-fenomena tersebut dapat membawa konsekuensi meningkatnya potensi curah hujan tinggi di kawasan Indonesia. Saat ini teridentifikasi adanya aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) di Samudera Hindia. MJO merupakan fenomena gelombang atmosfer yang bergerak merambat dari barat (Samudera Hindia) ke timur dan dapat meningkatkan potensi curah hujan di daerah yang dilaluinya.

MJO diprakirakan akan bergerak melintas wilayah Indonesia yang dapat bertahan hingga satu minggu ke depan. Kondisi ini menyebabkan masuknya aliran massa udara basah dari Samudera Hindia ke wilayah Indonesia, khususnya di Indonesia bagian Barat dan Tengah, yang membawa dampak meningkatnya potensi curah hujan di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, hingga Sulawesi. Selain MJO, dari analisis pola pergerakan angin.

BMKG mendeteksi adanya sirkulasi siklonik di Samudera Hindia Barat Sumatera yang membentuk daerah pertemuan angin cukup konsisten di wilayah Sumatera, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jawa. BMKG menghimbau kepada masyarakat agar tetap waspada pada periode awal Maret, khususnya dampak dari potensi curah hujan tinggi yang dapat memicu Bencana Hidrometeorologi seperti banjir, longsor, banjir bandang, genangan, angin kencang, pohon tumbang dan jalan licin. Kondisi ini dapat meningkat hingga pertengahan Maret 2019.

Wilayah-wilayah yang berpotensi hujan lebat antara lain Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, Papua serta potensi

ITCZ (Intertropical Convergence Zone)

15Vol 3/2019

yang dapat memicu bencana hidrometeorologi? Menurut Threwartha dan Horn (1968), ITCZ

adalah garis atau zona yang berkaitan dengan pusat sirkulasi siklonik yang memiliki tekanan udara yang sangat rendah dari daerah sekitarnya dan berada di antara dua cekungan equatorial. ITCZ merupakan daerah pertemuan angin yang membentuk awan penghasil hujan yang berada di sekitar wilayah itu sehingga hujan turun cukup deras secara

berkesinambungan. ITCZ adalah sumbu arus angin pasat di daerah tropis yang memisahkan pasat timur laut dari pasat tenggara. ITCZ merupakan pertemuan antara angin pasat dari Belahan Bumi Utara (BBU) dengan angin pasat dari Belahan Bumi Selatan (BBS).

Sistem perawanan dalam ITCZ yang terbentuk adalah cluster awan dengan pertumbuhan vertikal yang luar biasa. Seperti halnya konvergensi yang terjadi di atas Bali dan Nusa Tenggara yang terjadi merupakan pemusatan pertumbuhan awan. Energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan keberadaan ITCZ diperoleh dari penguapan di permukaan laut yang dibawa oleh konvergensi angin troposfer bawah. Jadi ITCZ tidak lain adalah palung ekuatorial yang lokasinya berubah-ubah sesuai dengan perubahan thermal ekuatorial dan tergantung pada gerak matahari serta distribusi daratan dan lautan. Sabuk ITCZ pembawa hujan ini terbentuk akibat konvergensi angin pasat dekat ekuator yang akan bergerak melintasi ekuator dari utara ke selatan atau sebaliknya sesuai dengan pergerakan semu matahari.

Konvergensi pada ITCZ inilah yang dapat menciptakan hujan deras di kawasan yang dilaluinya. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di wilayah ekuator dan memiliki iklim tropis. Wilayah ekuator pada umumnya merupakan wilayah pusat tekanan rendah atau lebih dikenal dengan wilayah siklon. Wilayah siklon merupakan wilayah tempat berkembangnya awan-awan Gambar 1. Sirkulasi Umum Atmosfer

Gambar 2. Pergeseran Semu Matahari

ITCZ (Intertropical Convergence Zone)

Vol 3/201916

konvektif yang menjadi sumber pertumbuhan badai dan cuaca buruk lainnya. Wilayah ini lebih dikenal dengan nama Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Wilayah ini terletak antara lintang 5o sampai 23o baik utara maupun selatan. Ada beberapa istilah untuk menyebut wilayah ini, antara lain :

1. Intertropical Front2. Monsoon through3. Doldrums4. Equatorial Convergence Zone5. Daerah pumpunan awan aktif6. Zona Potensi Pertumbuhan Awan7. Daerah Konvergensi Lintas Tropis

Mempelajari ITCZ sangat diperlukan untuk menjelaskan beberapa fenomena-fenomana iklim yang terjadi di dunia, khususnya wilayah Indonesia. ITCZ mampu menjelaskan fenomena banjir yang telah melanda hampir sebagian besar wilayah di Indonesia. ITCZ memainkan peran penting pada keseimbangan energi atmospheric (Waliser Gautier dan 1993) dan di bumi iklim (Zhang 1993). Menyerap panas yang berlebihan di atas permukaan lautan tropis yang ditransfer ke troposphere rendah melalui penguapan kemudian diangkut ke altitudes tinggi melalui konveksi dan panas laten dan latitude tinggi melalui sirkulasi Hadley. Selain itu, peningkatan awan konvektiv terkait dengan sistem kontribusi yang signifikan pada albedo planet, kapasitas, dan transmisivity dari kejadian radiasi matahari. Di dalam dan di luar ITCZ, fluxes panas, kelembaban, dan momentum dan radiasi melalui permukaan laut dan dalam suasana berbeda. Dengan demikian, struktur, posisi, dan migrasi dari ITCZ adalah penting

dalam menentukan dan menganalisis iklim bumi pada skala global. Dengan demikian, kekuatan dan karakter dari kopeling udara-laut adalah penting dalam menentukan iklim bumi pada skala lokal.

Bumi dikelilingi oleh beberapa sabuk angin yang berlaku di bumi, yang dipisahkan oleh wilayah yang kenaikan atau penurunan kecil. Arah dan lokasi sabuk angin ditentukan oleh radiasi matahari dan rotasi di bumi. Tiga sirkulasi utama yang dikenal yaitu: sel Hadley, sel Ferrel dan sel Polar. Pada atau di dekat khatulistiwa, di mana rata-rata radiasi matahari paling besar, udara panas di permukaan dan meningkat. Band ini membuat tekanan udara yang rendah, pada khatulistiwa dikenal sebagai zona konvergensi intertropical (ITCZ). Zona ini mengacu di udara permukaan dari subtropis. Udara subtropis saat ini telah mencapai khatulistiwa, ia meningkat sampai ke atmosfer atas karena konvergensi dan konveksi. Ia mencapai ketinggian vertikal maksimum sekitar 14 kilometer (troposfer atas), dan kemudian mulai mengalir secara horizontal ke kutub Utara dan Selatan. Udara ini naik satu segmen terdiri dari pola sirkulasi disebut Hadley Cell (lihat gambar 1 di atas). Hadley Ceel yang akhirnya kembali ke permukaan air di bumi, dekat 300 Utara dan Selatan.

Posisi diatas menggambarkan bahwa pada bulan Juli, posisi ITCZ berada pada belahan bumi utara, sedangkan pada bulan Januari posisi ITCZ berada di belahan bumi selatan. Indonesia dilalui ITCZ pada bulan Januari, seperti terlihat pada gambar berwarna biru putus-putus di atas. Posisi ITCZ akan terus bergerak dalam garis tersebut mengikuti pergerakan matahari.

Gambar 3. Gambaran Ilustrasi Sabuk ITCZ

Gambar 4. Skema Sirkulasi Walker di sepanjang daerah ekuator, Salby (1992)

17Vol 3/2019

Gambar 5. Posisi ITCZ yang terjadi selama bulan Januari (garis biru putus-putus) dan bulan Juli (garis biru tebal)

ITCZ adalah tempat terjadi konveksi awan yang biasanya berasal dari laut sebelah utara ekuator. Namun, karena sifatnya fluktuatif, ITCZ bergeser ke selatan dan kembali ke utara ekuator. Energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan keberadaan ITCZ diperoleh dari penguapan di permukaan laut yang dibawa oleh konvergensi angin troposfer bawah. Jadi ITCZ tidak lain adalah palung ekuatorial yang lokasinya berubah-ubah sesuai dengan perubahan thermal ekuatorial dan tergantung pada gerak matahari serta distribusi daratan dan lautan. Sabuk ITCZ pembawa hujan ini terbentuk akibat konvergensi angin pasat dekat ekuator yang akan bergerak melintasi ekuator dari utara ke selatan atau sebaliknya sesuai dengan pergerakan semu matahari. Konvergensi pada ITCZ inilah yang dapat menciptakan hujan deras di kawasan yang dilaluinya.

Pada gambar 6 menjelaskan bila ITCZ dekat khatulistiwa, konvergensi dari angin permukaan di sepanjang ITCZ adalah kemungkinan terbentuk dari aliran paralel, dengan angin timur mendekati dari kedua arah utara dan selatan. Ketika Trade Winds (Angin Pasat) bertemu di suatu tempat di

ITCZ yang lemah dan hampir bersamaan ke sana, yang cenderung untuk mempersempit ITCZ, dan menunjukkan aktivitas sedikit hujan.

Ketika ITCZ terletak di sebelah selatan garis Khatulistiwa, karena tidak di Pasifik bagian barat dan lautan India, di daerah timur laut angin pasat memperoleh arah barat laut setelah persimpangan garis Khatulistiwa (karena Coriolis memaksa perubahan arah di bawah khatulistiwa) dalam situasi ini dengan konvergensi yang kuat dan menyerupai pembentukan sebuah Depresi Tropis. (gambar 7, diketahui bahwa arah angin masuk rendah mendorong rotasi searah jarum jam, yang berhubung dgn topan di Belahan Selatan Bumi).

Pada gambar 8 diatas menjelaskan bila ITCZ terletak di utara garis Khatulistiwa, di sebelah tenggara trade wind memperoleh arah ke arah barat daya setelah persimpangan khatulistiwa dan kembali pola konvergensi menyerupai pembentukan sebuah gangguan Depresi Tropis. [edi]

Gambar 6. Pita ITCZ dari pertemuan angin pasat BBU dan BBS

Gambar 7. Lokasi ITCZ di sebelah selatan garis Khatulistiwa

Gambar 8. Lokasi ITCZ di sebelah utara garis Khatulistiwa

18 Vol 3/2019

Dalam dunia p e n e r b a n g a n m e n j a l a n k a n p r o s e d u r k e s e l a m a t a n

merupakan hal terpenting yang harus diutamakan, prosedur keselamatan yang paling diperhatikan adalah saat pesawat udara melakukan fase take off dan landing. Performa pesawat sangat diperhatikan dalam hal ini seperti kondisi ban yang digunakan untuk melakukan proses pengereman, besarnya kecepatan yang digunakan saat akan mendarat serta hal yang terpenting adalah kondisi cuaca/ meteorologi yang akan mempengaruhi kondisi landasan. Jarak pandang mendatar dan magnitude vector angin menjadi poin penting yang menjadi bahan pertimbangan pilot penerbang dalam melakukan touch down zone dan take off roll. Jarak pandang mendatar yang sangat rendah umumnya diakibatkan

oleh hydrometeor seperti kabut dan hujan. Awan konvektif yang memiliki kategori severe umumnya terjadi pada masa transisi (periode Maret – April – Mei dan September – Oktober – November).

Permulaan musim hujan ditetapkan berdasarkan jumlah Curah Hujan dalam satu dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter dan diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Permulaan musim hujan, bisa terjadi lebih awal (maju ), sama atau lebih lambat ( mundur ) dari normalnya ( rata-rata dari tahun 1981 - 2010 ), namun dalam periode transisi ini fenomena hujan yang dihasilkan dalam satu waktu hempasan hujan disatu titik dapat melebihi 50mm.

Didalam periode masa transisi penulis mendeskripsikan sebagai fenomena cuaca yang terjadi akibat adanya mekanisme pembentukan awan dengan luasan skala messo (100km) seperti angin laut yang bergerak membawa masa udara melewati permukaan yang sangat tinggi seperti pegunungan, membentuk awan, atau awan yang

terbentuk karena proses pemanasan pada siang hari, umumnya hujan yang terjadi di masa transisi pada siang menjelang sore hari. Angin laut adalah angin yang bergerak dari arah laut menuju daratan karena adanya perbedaan panas permukaan antara lautan yang lebih lambat menyerap panas pada siang hari dan daratan yang cepat dalam menyerap panas sehingga terjadi perbedaan tekanan menciptakan pergerakan masa udara. Musim hujan berkaitan dengan angin baratan atau monsoon barat dan musim kemarau berkaitan dengan angin timuran atau monsoon timur, sedangkan pada masa transisi angin monsoon melemah mengakibatkan angin laut menguat. Awan yang dihasilkan pada periode ini dapat menghasilkan ketiga fenomena yang dapat membahayakan bagi kegiatan proses take off dan landing yaitu angin kencang, jarak pandang mendatar yang sangat rendah serta hujan lebat secara tiba-tiba (shower). Awan konvektif dapat menghasilkan intensitas hujan yang lebat sehingga dapat menurunkan jarak pandang hingga dibawah 1000-meter, microburst, gusty dan squall

HYDROPLANING

19Vol 3/2019

HYDROPLANINGline dapat menyebabkan crosswind maupun tail wind, sehingga seorang pilot penerbang ketika akan mendaratkan pesawat pada kondisi ini harus teliti dalam menetukan titik touchdown.

Selain itu, hujan yang jatuh sebagai endapan diatas landasan merupakan masalah tersendiri dalam melakukan fase landing. Curah Hujan (mm) adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar hujan pada tempat yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir. Unsur hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air hujan setinggi satu milimeter atau tertampung air hujan sebanyak satu liter.

Proses pergerakan aliran air yang lambat karena

penyerapan permukaan yang kurang dan mengalir ke permukaan yang lebih rendah akibat adanya fenomena hujan yang jatuh sebagai endapan dengan intensitas lebat dalam periode singkat menjadi sebuah permasalahan apabila terjadi diatas landasan pacu pesawat udara.

Ada beberapa kriteria landasan pacu seperti; Landasan pacu dianggap kering jika bebas dari kelembaban yang terlihat. Landasan pacu yang lembab, yang memiliki lapisan kelembaban yang tidak reflektif, juga dianggap kering. Landasan pacu dianggap basah ketika ada cukup kelembaban untuk membuatnya tampak reflektif tetapi kedalaman air tidak lebih dari 3 mm (0,125 in.). Landasan pacu yang terkontaminasi; Permukaan landasan pacu dianggap terkontaminasi ketika lebih dari 25% dari luas permukaan landasan pacu ditutupi dengan genangan air, lumpur, salju lepas (kering atau basah), salju atau es yang dipadatkan. Standing water jika kedalaman air lebih besar dari 3 mm (0.125 in).

Hydroplaning adalah suatu kondisi yang dapat terjadi ketika sebuah pesawat telah mendarat di permukaan landasan yang terkontaminasi oleh genangan air, lumpur, dan / atau salju basah.

Hydroplaning dapat memiliki efek buruk yang serius pada ground controllability dan breaking efficiency. Tiga jenis dasar hydroplaning adalah dynamic, viscous, dan reverted rubber hydroplanning. Salah satu dari ketiganya dapat membuat pesawat terbang sebagian atau seluruhnya tidak dapat dikendalikan kapanpun selama pendaratan. Hydroplaning adalah faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kemampuan berhenti atau kemudi pada landasan yang terkontaminasi atau terendam banjir. Hydroplaning tergantung pada kecepatan roda dan tekanan ban. Hydroplaning adalah fungsi dari kedalaman air, tekanan dan kecepatan ban. Selain itu, kecepatan minimum di mana ban non-rotating akan mulai hydroplane lebih rendah daripada kecepatan di mana ban rotating akan mulai hydroplane karena penumpukan air di bawah ban non-rotating meningkatkan efek hydroplaning. Ketika hydroplaning terjadi, ban pesawat benar-benar dipisahkan dari permukaan landasan pacu yang sebenarnya dengan lapisan air yang tipis dan mereka akan terus melakukan

20 Vol 3/2019

hydroplane sampai pengurangan kecepatan memungkinkan ban untuk mendapatkan kembali kontak dengan landasan pacu. Kecepatan ini akan jauh lebih rendah daripada kecepatan di mana hydroplaning dimulai. Jarak pandang yang terbatas dan arah angin yang berubah-ubah akan membahayakan pendaratan bila tidak diantisipasi oleh penerbang. Angin dari belakang akan menambah landing distance dan angin dari samping akan mempersulit pengendalian pesawat.

Penentuan jarak pendaratan

dalam penerbangan harus didasarkan pada laporan meteorologi atau landasan pacu terbaru yang tersedia, sebaiknya tidak lebih dari 30 menit sebelum waktu pendaratan yang diharapkan.

Lalu bagaimana untuk menghindari hydroplanning? Cara untuk menghindari terjadinya hydroplanning bila pesawat harus landing di landasan yang basah, pertama, menggunakan kecepatan landing yang benar (tidak over speed) sehingga landing distance tidak bertambah panjang. Dan hati-hati terhadap angin down/up draft, turbulence, dan lainnya karena akan membahayakan pesawat yang mempunyai ketinggian dan kecepatan rendah saat landing. Kedua adalah Firm Landing, yaitu melaksanakan landing dengan agak keras. Dengan cara ini ban pesawat akan punya daya cengkeraman yang kuat terhadap landasan, firm landing akan mampu mengurangi landing speed 10 sampai 15 knots.

Cara ketiga adalah dengan Aerodynamic breaking.

Setiap pesawat pesawat punya kemampuan untuk melakukan aerodynamic breaking dengan karakteristik yang dimiliki. Landing biasanya selalu memanfaatkan angin dari depan (headwind) untuk membantu menghentikan pesawat.

Aerodynamic breaking dilakukan dengan cara

menahan hidung pesawat tidak jatuh ke landasan, sehingga memiliki sudut permukaan yang besar untuk menahan kecepatan massa udara. Selain itu juga mencegah terjadinya hydroplanning pada roda depan, karena roda depan akan lebih mudah terkena hydroplanning dibanding roda utama. Keempat adalah pengereman yang benar. Dalam landasan basah harus hati-hati bila mengerem dan laksanakan aerodynamic breaking dulu sebelum memakai normal breake. Ban akan pecah bila pengereman dilakukan terlalu awal dan pesawat bisa terpelanting. Dengan demikian data aktual meteorologi merupakan poin penting yang sangat bermanfaat didalam proses kegiatan take off dan landing pesawat serta prakiraannya dalam menentukan suatu fenomena cuaca buruk akan berakhir sehingga skenario dalam mendaratkan pesawat pada kondisi prima dapat terjadi. [soni]

21Vol 3/2019

AWOS COASTAL ENVIRONMENTAL SYSTEMS

Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta dalam memberikan pelayanan data meteorologi tidak terlepas dari instrumen pengamatan cuaca yang akurat dan terkalibrasi. Peralatan meteorologi tersebut diantaranya

Automatic Weather Observation System (AWOS).AWOS merupakan suatu alat pengamatan

cuaca otomatis yang ditempatkan pada bagian-bagian tertentu yang ada pada landasan pacu di suatu bandara. Data yang dihasilkan oleh AWOS digunakan untuk kebutuhan layanan data cuaca penerbangan, terutama untuk take off dan landing pesawat terbang. Selain itu, data yang dihasilkan AWOS dapat digunakan sebagai pembanding alat-alat konvensional dalam proses pengamatan cuaca yang dilakukan di area bandara.

AWOS yang terpasang di daerah runway selatan dan utara Bandara Soekarno-Hatta saat ini merupakan produk yang didatangkan dari Amerika Serikat produksi Coastal Environmental Systems. AWOS tersebut dibekali dengan sensor-sensor pengamatan cuaca dengan kualitas yang sudah teruji. Sensor-sensor AWOS tersebut diantaranya yaitu:

a. Sensor Arah dan Kecepatan Angin

Sensor menggunakan gelombang ultrasonic untuk mengukur kecepatan dan arah angin. Pengukuran ini didasarkan pada waktu yang dibutuhkan untuk pulsa ultrasonic untuk transmit dari satu transduser ke lainnya, yang bervariasi tergantung pada faktor-faktor kecepatan angin. Waktu transmit diukur di kedua arah selama beberapa (biasanya dua atau tiga) pasang kepala transduser. Berdasarkan hasil tersebut, sensor menghitung kecepatan dan arah angin.

b. Sensor Runway Visual Range (RVR)

Transmissometers menggunakan sinar cahaya inframerah yang dikirim dari satu ujung sensor terhadap penerima. Jumlah cahaya tersebar oleh partikel di udara dan diterima oleh penerima menentukan koefisien kepunahan. Koefisien

Gambar.Sensor arah dan kecepatan angin

Gambar.Sensor RVR

22 Vol 3/2019

kepunahan berasal dari jumlah cahaya yang hilang di udara.

c. Sensor Present Weather Hasil data sensor tersebut berasal dari data

untuk beberapa parameter, termasuk suhu udara, titik embun, suhu, visibilitas, petir (bila tersedia), dan curah hujan. Menggunakan Light Emitting Diode Weather Identifier (LEDWI) untuk menentukan jenis curah hujan yang jatuh. Sensor LEDWI mengukur

pola kilau dari curah hujan yang jatuh melalui sensor sinar inframerah (berdiameter sekitar 50 milimeter) dan menentukan dari analisis pola ukuran partikel dan kecepatan jatuh apakah curah hujan hujan atau salju.d. Sensor Ceilometer ( sky condition) CL31

Pengukuran ketinggian awan dasar yang diambil oleh Ceilometer berupa penembakan sinyal laser ke atmosfer. Ceilometer CL31 didasarkan

pada pengukuran dari waktu yang diperlukan pulsa pendek laser untuk melintasi atmosfer dari pemancar ceilometer untuk hamburan balik awan dasar dan kembali ke penerima ceilometer tersebut.e. Sensor Temperature / Relative Humidity (AT/

RH)Sensor ini menampilkan nilai-nilai untuk Suhu ,

Dew Point (titik embun), dan Kelembaban Relatif. Sensor Temperature and Humidity ini beroperasi dengan pasokan tegangan DC arus rendah. Kelembaban relatif diukur dengan sensor kapasitor film tipis, sementara suhu diukur menggunakan Pt100 Resistance Temperature Detector (RTD) yang sangat akurat.

f. Sensor Barometric Pressure and AltimeterPengaturan Altimeter dihitung berdasarkan

tekanan udara, ketinggian tempat, ketinggian sensor dan suhu udara. Barometer menggunakan transduser tekanan dengan silikon peizoresistive. Sensor tekanan memiliki hysteresis dan pengulangan karakteristik yang sangat baik, ketergantungan suhu rendah, dan stabilitas jangka panjang yang sangat baik.

g. Sensor Tipping Bucket Rain GaugeAir hujan diukur dengan memasuki corong besar

yang dilindungi oleh cincin logam untuk mencegah distorsi. Pengukuran didasarkan pada banyaknya

Gambar.Sensor Present weather

GambarSensor Ceilometer

Gambar. Sensor AT/RH

Gambar. Sensor Tekanan Udara

23Vol 3/2019

tip yang memiliki resolusi tertentu sehingga menentukan jumlah curah hujan.

h. Lightning Sensor Sensor mendeteksi muatan listrik dalam radius

200 mil. Sensor pasif yang mendeteksi sinyal elektromagnetik dengan antena penerima. Tidak ada pemancar, dan karena itu tidak ada transmisi berbahaya.Dapat menghubungkan tanda listrik

dan magnetik dari sambaran petir lebih baik daripada sistem lain karena teknologi saluran yang cangih. Antena telah dirancang untuk membantu menyaring suara dari sumber selain muatan listrik atmosfer untuk memastikan pembacaan yang akurat. Prosesor deteksi petir mendigitalkan, analisis, mengubah sinyal dan menghasilkan data yang kemudian disimpan dalam memori.

i. Topologi Jaringan AWOSData-data dari sensor AWOS akan dikumpulkan

dan diolah di field data collection unit (FDCU) untuk seterusnya dikirim ke server maupun client. Client

Gambar.Sensor Curah Hujan (tipping bucket)

Gb. Lightning Sensor

AWOS ditempatkan dibeberapa tempat yaitu, di ATC, APP, Forcaster, dan Observer. AWOS menampilkan data cuaca secara realtime serta menghasilkan data METAR setiap 30 menit. Selain itu pada saat terjadi perubahan cuaca yang signifikan dan ekstrim AWOS dapat memberikan informasi cuaca berupa SPECI.

Data METAR yang dihasilkan AWOS kemudian diteruskan ke AFTN dan ATIS untuk kegiatan penerbangan.

Tampilan AWOS Coastal Environmental sudah berbasis web, sehingga dapat dengan mudah ditampilkan melalui web browser dan dapat dibuka dimana saja selama sudah terhubung dengan jaringan AWOS. Selain itu sistem ini juga dilengkapi dengan system user interface yang baik serta friendly user, sehingga sangat memudahkan dalam pengamatan parameter cuaca.

Untuk menjaga kodisi dan akurasi data pengamatan dari AWOS, dilakukan pemeliharan

rutin berkala, serta dilakukan kalibrasi setiap 6 bulan sekali oleh tim kalibrasi dari BMKG pusat yang sudah berkompeten untuk mengkalibrasi pembacaan data AWOS. [akb]

Gambar. Layout alur data AWOS, AFTN, ATIS

Gambar. Tampilan realtime client AWOS

24 Vol 3/2019

Tangerang – Selasa (05/03), Taruna Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) melakukan kegiatan

Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta. Kegiatan PKL ini berlangsung selama dua minggu dan dilaksanakan oleh taruna STMKG semester lima pada masa akhir perkuliahan guna mendapatkan gambaran secara langsung dunia kerja di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). STMKG merupakan tempat pendidikan bagi insan BMKG kedepannya sehingga kegiatan PKL dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang menjadi naungan BMKG itu sendiri. STMKG memiliki empat jurusan antara lain Meteorologi, Klimatologi, Geofisika dan Instrumentasi, dimana jurusan yang mendapatkan kesempatan untuk PKL di Stasiun Meteorologi kelas I Soekarno-Hatta adalah jurusan Meteorologi dan Instrumentasi dikarenakan berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta yang menaungi kegiatan meteorologi terkhusus meteorologi penerbangan. Kegiatan PKL berlangsung selama enam hari yaitu Selasa (05/03), Rabu (06/03), Jumat (08/03), Senin (11/03), Selasa (12/03) dan Jumat (15/03). Kunjungan yang dilakukan selama enam hari ini dilakukan oleh setiap kelas yang berbeda di setiap harinya dimana satu hari satu kelas diantara kelas taruna semester lima yang memiliki jurusan Meteorologi maupun Instrumentasi.

Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta memiliki empat sub bagian antara lain analisa dan ramalan (forecast), data dan informasi, pengamatan (observasi) serta peralatan teknis. Setiap kelas yang akan melaksanakan PKL di Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta didahului dengan kunjungan di gedung observasi untuk mengetahui kegiatan pengamatan / observasi kemudian dilanjutkan menuju ruangan analisa dan ramalan untuk mengetahui kegiatan analisis dan prakiraan cuaca kedepannya yang dijelaskan oleh observer dan forecaster on duty untuk jurusan

meteorologi. Technician on duty menjelaskan peralatan yang menunjang kegiatan operasional Stasiun Meteorologi kelas I Soekarno-Hatta untuk jurusan instrumentasi serta diselingi juga sekilas tentang kegiatan pengamatan dan analisis cuaca.

Kegiatan pengamatan terdiri dari udara permukaan yang menggunakan peralatan konvensional ataupun peralatan otomatis serta udara atas yang terdiri dari pengamatan menggunakan radiosonde maupun pilot balon. Peralatan konvensional yang menunjang pengamatan udara permukaan ini sebagian besar berada di taman alat dan terdiri dari termometer bola kering, termometer bola basah, termometer maksimum, termometer minimum, campbell stokes, panci penguapan, dan penakar hujan serta barograph dan termohygrograph. Sedangkan peralatan konvensional yang berada di dalam ruangan adalah barometer. Peralatan otomatis yang digunakan antara lain Automatic Weather Observation System (AWOS) yang digunakan untuk melaporkan nilai parameter cuaca secara real time sebagai pendukung kegiatan take off-landing pesawat dan digitalisasi. Taruna STMKG jurusan instrumentasi yang PKL di gedung observasi lebih terfokuskan pada bagaimana pemeliharaan dan perawatan rutin setiap peralatan yang menunjang kegiatan pengamatan tersebut serta sistem kerja AWOS

Praktik Kerja Lapangan Taruna STMKG

Vol 3/2019 25

Praktik Kerja Lapangan Taruna STMKGsehingga menghasilkan data parameter cuaca yang dapat membantu dalam pelaporan METAR Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta setiap 30 menit.

Kegiatan PKL di ruangan analisa dan ramalan (forecast) dijelaskan mengenai proses pelayanan informasi cuaca apa saja yang diberikan kepada stakeholder (penerima jasa layanan) terkait serta peralatan yang digunakan untuk menghasilkan informasi cuaca tersebut antara lain pemberian informasi cuaca signifikan berupa adanya Awan Cumulonimbus, Sebaran Debu Vulkanik serta Siklon Tropis di wilayah yang menjadi tanggung jawab Stasiun Meteorologi kelas I Soekarno-Hatta berupa sandi SIGMET dimana dalam pembuatan SIGMET WS dibantu oleh JMA Tools dan atau HKO Tools. Prakiraan cuaca berupa TAFOR yang dibuat setiap enam jam sekali dengan validitas 30 jam dan ROFOR apabila terdapat permintaan khusus serta Flight Doc yang digunakan sebagai bahan briefing ke pilot sebelum melakukan penerbangan dimana dilakukan update-in setiap enam jam sekali.

Taruna STMKG jurusan instrumentasi yang PKL di ruang analisa dan ramalan lebih terfokuskan pada peralatan meteorologi yang menunjang kegiatan

pemberian informasi cuaca kedepannya berupa Citra Radio Detection and Ranging (RADAR), Low Level Alert Wind Shear (LLAWS), Synergie dan dibantu dengan Weather Observation Display System (WODS) yang digunakan untuk mengetahui kondisi cuaca di masing-masing ujung runway yang tidak dapat dilihat langsung oleh mata dimana pemasangannya menggunakan jaringan komunikasi Fiber Optik (kabel FO). AWOS menggunakan jaringan komunikasi Fiber Optik sama seperti WODS. LLWAS digunakan untuk mendeteksi wind shear menggunakan jaringan komunikasi radiolink. Letak RADAR Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta yang tidak dekat dengan lokasi yaitu di Tanah Tinggi pada wilayah Stasiun Geofisika Tangerang, sehingga Taruna PKL STMKG dijelaskan sekilas terkait sistem kerja radar mengingat Taruna PKL STMKG ini belum menerima materi RADAR dalam proses belajar mengajar di STMKG dan sistem kerja LLAWS yang menggunakan sensor arah dan kecepatan angin sebanyak 12 sensor yang

dipasang disepanjang runway.Setelah enam hari melakukan

PKL di Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta, pada hari Jumat (15/03) Aditya Mulya , S.ST., M.Si. (pembina STMKG) memberikan piagam ucapan terima kasih dan kenang-kenangan kepada Eko Budianto, S. Kom. (Kepala Sub Bagian Tata Usaha Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta) selaku perwakilan pimpinan Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta atas partisipasi dan kerjasamanya dalam mensukseskan PKL Taruna STMKG semester lima. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dimana nantinya taruna STMKG ini akan terjun langsung di dunia kerja dalam UPT BMKG seluruh penjuru Indonesia sehingga dalam melakukan proses belajar mengajar semester selanjutnya lebih

tergambarkan antara ilmu yang dipelajari di dunia pendidikan dengan nantinya yang akan diterapkan dalam dunia kerja bagi taruna STMKG. [mga, kdk]

26 Vol 3/2019

Pada tanggal 13 Februari 2 0 1 9 d i a d a k a n k e g i a t a n

studi banding pegawai Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta yang terdiri dari 4 personil. Kegiatan ini dilakukan berdasarkan surat perintah tugas Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Soekarno-Hatta Nomor UM103/119/KCGK/II/2019 tanggal 11 Februari tahun 2019 yang bertujuan untuk meninjau lokasi daerah pengamatan cuaca yang berada di dalam naungan Flight Information Region Meteorological Watch Office Soekarno-Hatta serta sekaligus melakukan kegiatan Familiar Flight selama perjalanan didalam pesawat terbang. Pelaksanaan Fam Flight berdasarkan kepada Kerangka Acuan Kerja Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan dan Maritim No.

01/KPM/2011 tanggal 24 Juli tahun 2011. Kegiatan familiar flight bertujuan untuk

melakukan proses verifikasi data ketinggian dasar awan yang digunakan didalam data cuaca aktual untuk take off / landing pesawat (MET REPORT) dan data cuaca aktual bandara (METAR) yang nantinya

data cuaca aktual ini digunakan sebagai bahan p e r t i m b a n g a n dalam membuat data ketinggian awan didalam A e r o d o r o m Forecast (TAF) dan juga Route Forecast (ROFOR). Selama berada dalam pesawat petugas pengamat m e l a k u k a n pengamatan di dalam ruang kokpit pesawat sekaligus

berdiskusi dengan pilot penerbang pesawat udara dan memonitor posisi ketinggian jelajah pesawat pada panel dashboard pesawat.

Materi yang dijadikan bahan verifikasi di dalam

perjalanan fam flight adalah data citra radar cuaca, data citra satelit kemudian data METAR dibandingkan

dengan kondisi di lapangan saat pengamatan di kokpit. Sejauh ini data yang telah disajikan di dalam pembuatan ketinggian dasar awan berdasarkan pengamatan dan juga kuisioner dari pilot akurat.

Setelah mendarat di Stasiun Meteorologi Minangkabau petugas observasi melakukan kegiatan pengumpulan data setempat sebagai bahan kajian dan pembanding dari cara mereka mengolah dan menghasilkan data cuaca serta instrumen yang digunakan dalam melakukan

pengamatan. Sejauh pengumpulan data yang telah dilakukan di stasiun pengamat maka didapat bahwa instrumen yang digunakan di dalam taman alat oleh mereka dan yang digunakan di Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta serupa hanya terdapat beberapa yang tidak dimiliki oleh mereka seperti peralatan

Gambar. Personel Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta saat berada di dalam Kokpit Pesawat

PENINGKATAN MUTU PELAYANANMETEOROLOGI JAKARTA – PADANG

Gambar. Citra Radar dan Citra Satelit

Vol 3/2019 27

WODS (Weather Observing Display System) dan LLWAS (Low Level WindShear Alert System)

Selain dari pada itu, kegiatan studi banding yang dilakukan tidak hanya menyoroti kondisi dan keadaan instrumen dan metode p e n g a m a t a n , namun juga m e m a s u k a n poin karakeristik lokal stasiun pengamatan di Padang dan juga

secara geografis yang lebih luas.Secara tinjuan skala lokal, posisi Stasiun

Meteorologi Minangkabau terdapat perairan di sebelah barat dan dataran tinggi di sebelah timur yang menciptakan pola sirkulasi lokal angin laut dan angin darat dengan pola angin laut dominan pada saat

siang dan sore hari dan angin darat malam hingga dini hari pada periode tertentu. Angin laut pada siang hari yang bergerak hingga p e g u n u n g a n m e n c i p t a k a n kondisi daerah yang sering tertutup kabut memasuki siang hari dan relatif hujan sepanjang tahun.

Secara tinjauan skala regional posisi Stasiun M i n a n g k a b a u yang terletak di wilayah Sumatera Barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang terdampak langsung sirkulasi zona (Timur – Barat) skala besar. Sehingga wilayah ini sering tertutup oleh awan konvektif kuat. [soni]

28 Vol 3/2019

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES (HAIL) (STUDI KASUS 23 FEBRUARI 2019)

Yesi Ratnasari , Finkan Danitasari, Ai Nuryani, dan Soni Soeharsono

Stasiun Meteorologi Kelas 1 Soekarno-HattaE-mail: [email protected],

ABSTRAK - Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi cuaca ekstrem banyak mengalami penyim-pangan (anomali), salah satunya teori yang menyebutkan bahwa fenomena hujan es umumnya terjadi pada musim transisi. Namun pada tanggal 23 Februari 2019 yang mana masih tergolong musim hujan, justru terjadi hujan es (hail) di daerah Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul, Kota Bandung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data synoptic Stasiun Geofisika Bandung dan data radar cuaca dan upper air Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta, Tangerang pada saat kejadian hujan es (hail) den-gan menggunakan metode analisis deskriptif berdasarkan hasil kualitatif dan kuantitaif dari produk radar cuaca (MAX). Data observasi memperlihatkan kondisi atmosfer yang labil dan nilai reflectivity maksi-mum pada produk MAX serta kandungan uap air yang tinggi dari awan konvektif mendukung terjadinya penyebab hujan es di daerah Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul, Kota Bandung.Kata kunci : hujan es, freezing level, radar cuaca, MAX

I. LATAR BELAKANGHujan es (hail) merupakan salah satu

fenomena cuaca ekstrem berupa presipitasi yang berbentuk bola-bola, potongan, maupun serpihan-serpihan es dan memiliki diameter antara 5-50 mm (Byers, 1974). Secara teori, fenomena hujan es umumnya terjadi pada musim transisi, baik dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kondisi cuaca ekstrem banyak mengalami penyimpangan (anomali). Baru-baru ini, tepatnya pada bulan Februari 2019 yang mana masih tergolong musim hujan, justru terjadi hujan es (hail). Dikutip dari IDN Times dan Tribun Jabar, hujan lebat yang diselingi dengan hujan es (hail) dan angin kencang melanda daerah Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul, Kota Bandung pada tanggal 23 Februari 2019 sekitar pukul 13.30 WIB (06.30 UTC). Kejadian ini termasuk hal menarik yang wajib dianalisis lebih lanjut, karena berdasarkan peraturan Kepala BMKG Nomor Kep. 009 tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Desiminasi Informasi Cuaca Ekstrim menyatakan bahwa setiap kejadian cuaca ekstrim harus dilakukan analisa baik sementara maupun lengkap. Bertolak dari hal tersebut, maka peneliti bermaksud untuk menganalisis fenomena hujan

es (hail) yang terjadi di wilayah Bandung pada tanggal 23 Ferbruari 2019 menggunakan data observasi (synoptic dan upper air) dan radar cuaca. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan warning kepada masyarakat terkait dengan fenomena hujan es (hail).

II. METODOLOGI2.1 Lokasi Penelitian

Wilayah yang dikaji pada penelitian ini adalah daerah Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul, Kota Bandung. Lokasi penelitian didasarkan pada data observasi (synoptic dan upper air) dan radar cuaca Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta, Tangerang.

2.2 Data PenelitianData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data synoptic Stasiun Geofisika Bandung dan data radar cuaca dan upper air Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta, Tangerang pada saat kejadian hujan es (hail) tanggal 23 Februari 2019.

2.3 Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kondisi cuaca permukaan, teknik analisis data upper air (radiosonde), dan

29Vol 3/2019

teknik analisis data citra radar. Penggunaan ketiga teknik tersebut dinilai sangat responsif untuk analisis kejadian cuaca ekstrem hujan es (Fadholi, 2012). Analisis kondisi cuaca permukaan merupakan langkah awal yang dilakukan dalam rangka menyelidiki gejala-gejala pendukung terjadinya hujan es. Analisis data upper air dari radiosonde berperan sebagai pemberi informasi tentang profil udara atas sehingga didapatkan nilai-nilai indeks indikator cuaca signifikan. Sedangkan analisis data citra radar merupakan langkah untuk mengetahui kondisi perawanan yang berpotensi terjadi hujan es (hail) dalam area tertentu. Produk radar yang digunakan adalah MAX.

III HASIL DAN PEMBAHASANPembahasan diawali dengan melakukan

analisis data observasi baik synoptic maupun data upper air dari radiosonde. Analisis data synoptic lebih difokuskan pada unsur suhu udara. Hal ini dikarenakan suhu udara merupakan salah satu faktor dominan untuk melihat adanya potensi hujan es (hail) di suatu wilayah tertentu. Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa syarat terjadinya hujan es yaitu selisih suhu udara pada jam 07.00 hingga 10.00 WIB lebih dari atau sama dengan 4.50C. Grafik 1 di bawah ini memperlihatkan fluktuasi suhu udara dari Stasiun Geofisika Bandung pada tanggal 23 Februari 2019. Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa selisih suhu udara pada jam 00.00 UTC (07.00 WIB) dengan suhu udara pada jam 03.00

UTC (10.00 WIB) adalah 6,8°C. Kondisi tersebut menunjukkan adanya potensi hujan es (hail) di wilayah Bandung.

Selanjutnya analisis data upper air dari radiosonde Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta, Tangerang untuk melihat kondisi labilitas atmosfer saat terjadinya fenomena hujan es. Indeks yang digunakan dalam analisis ini antara lain Convective Available Potential Energy (CAPE) yang menggambarkan besarnya energi pembentukan awan konvektif, Lifted Index (LI) untuk mengetahui potensi badai Guntur, k-index (KI) menjelaskan tentang probabilitas kejadian badai Guntur akibat proses konvektif, Showalter Index (SI) yang sering digunakan untuk mengetahui stabilitas atmosfer berdasarkan kenaikan parsel udara, totals totals index digunakan untuk mencari potensi thunderstorm, HAIL untuk melihat potensi adanya hujan es serta FRZG Lvl severe untuk mengetahui ketinggian freezing level.

Indeks Labilitas Nilai KategoriCAPE (J/kg) 258 Energi Rendah

LI -1.5 Labil

KI 30.4 Konvektif Se-dang

SI 0.4 Kemungkinan Shower

TT 44.1 Konvektif Kuat & Potensi TS

HAIL 0.64 Potensi Hujan Es

FRZG Lvl 4951 Ketinggian Rendah

Tabel 1 menunjukkan bahwa 6 dari 7 indeks labilitas udara mengindikasikan adanya potensi aktivitas konvektif yang kuat. Ketidakstabilan atmosfer ini akan mendukung pembentukan awan konvektif terutama awan Cumulonimbus, dimana puncak awan ini memiliki suhu yang dingin dan terdiri dari kristal-kristal es yang akan jatuh dan tidak mengalami pencairan Grafik 1. Data suhu udara Stasiun Geofisika Bandung tanggal 23

Februari 2019

Tabel 1. Indeks labilitas Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta tanggal 23 Februari 2019 pukul 00.00 UTC

30 Vol 3/2019

sempurna, sehingga masih berbentuk batu es saat jatuh ke permukaan tanah. Dalam tabel tersebut indeks HAIL memiliki nilai 0,64 yang artinya terdapat potensi terjadinya hujan es (hail) dengan ukuran diameter hujan es sebesar 0,64 cm. Selain itu dapat diketahui bahwa ketinggian freezing level pada saat kejadian adalah 4951 m. Ketinggian tersebut tergolong lebih rendah dari kondisi normalnya (5 km). Ketinggian freezing level yang cenderung lebih rendah menyebabkan perjalanan jatuhnya partikel es menjadi lebih singkat, sehingga gesekan antara atmosfer dengan partikel es menjadi minim dan saat mencapai permukaan tanah partikel es umumnya masih berbentuk bola atau serpihan es yang padat.

Untuk mengetahui kondisi awan pada saat hujan es (hail) maka dilakukan analisis data radar cuaca. Hasil analisis produk MAX memperlihatkan adanya nilai reflectivity maksimum (52.5 dBZ) di daerah kejadian hingga ketinggian 10,7 km. Nilai reflectivity tersebut memperlihatkan adanya awan konvektif yang cukup kuat dengan ketinggian yang cukup besar. Kondisi ini memenuhi syarat terjadinya hujan es berdasarkan WMO. Menurut WMO dalam Guide to Meteorological Instruments and Methods of Observation, nilai reflectivity maksimum pada produk MAX untuk identifikasi hail yaitu > 45 dBZ. Selain itu, kondisi ini juga sesuai dengan pernyataan Wardoyo (2017) yang mengatakan bahwa hujan es ditandai dengan munculnya intensitas maksimum (>40 dBZ) pada ketinggian >6 km.

Pada jam 13.28 WIB (06.28 UTC) nilai reflectivity maksimum sebesar 52.5 dBZ hingga pada ketinggian 10.7 km. Pada jam-jam selanjutnya nilai reflectivity maksimum dan ketinggiannya cenderung semakin menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses hujan es yaitu jatuhnya presipitasi yang berbentuk bola-bola, potongan, maupun serpihan-serpihan es yang menuju permukaan juga sedang terjadi. Pada jam 13.36 WIB (06.36 UTC) reflectivity maksimum sebesar 52.5 dBZ hingga pada ketinggian 9.71 km, jam 13.44 WIB (06.44 UTC) reflectivity maksimum sebesar 47.5 dBZ hingga pada ketinggian 6.92 km, dan pada jam 13.52 WIB (06.52 UTC) reflectivity maksimum sebesar 48.5 dBZ hingga pada ketinggian 7.5 km.

MAX jam 13.36 WIB (06.36 UTC)

MAX jam 13.44 WIB (06.44 UTC)

MAX jam 13.52 WIB (06.52 UTC)

Gambar 1. Produk MAX dari data radar Stasiun Meterologi Soekar-no-Hatta tanggal 23 Februari 2019

31Vol 3/2019

IV. KESIMPULANBerdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada studi kasus hujan es di wilayah Bandung menggunakan data observasi (synoptic dan upper air) dan citra radar cuaca, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat kejadian:1. Data observasi memperlihatkan kondisi

atmosfer yang tidak stabil, ketinggian freezing level yang relatif lebih rendah serta fluktuasi unsur suhu udara yang mendukung potensi terjadinya hujan es (hail) di wilayah tersebut.

2. Data radar cuaca menunjukkan adanya awan konvektif yang berpotensi menghasilkan hujan es (hail). Hal ini terlihat dari adanya nilai reflectivity maksimum sebesar 52.5 dBZ hingga pada ketinggian 10,7 km tepat di daerah Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul, Kota Bandung.

V. DAFTAR PUSTAKABMKG, 2010, Peraturan KBMKG Nomor: Kep.

009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrem.

Byers, H.R., 1974, General Meteorology, New york: McGraw-Hill Book Company Inc. London.

Fadholi, A., (2012), Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail), Simetri, Jurnal Ilmu Fisika Indonesia, 1 (2(D)), hlm. 74-80.

IDN Times Jabar, 2019, Hujan Es dan Angin Kencang Landa Bandung (online), https://jabar.idntimes.com/news/jabar/debbie-sutrisno/hujan-es-dan-angin-kencang-landa-bandung/full, diakses tanggal 3 Maret 2019.

Tribun Jabar, 2019, Ini Penjelasan BMKG Terkait Fenomena Hujan Es di Cibeunying Kaler Kota Bandung (online), http://jabar.tribunnews.com/2019/02/23/ini-penjelasan-bmkg-terkait-fenomena-hujan-es-di-cibeunying-kaler-kota-bandung, diakses tanggal 3 Maret 2019.

Wardoyo, E., 2017, Radar Meteorologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.