korelasi
DESCRIPTION
korelasiTRANSCRIPT
KORELASI (disarikan dari J Marvin Weller. 1960. Stratigraphic Principles and
Practice. New York: Haper & Brothers. 540-569)
Korelasi secara umum diartikan sebagai proses penentuan hubungan timbal
balik. Dalam stratigrafi, istilah tersebut memiliki pengertian yang lebih terbatas,
yakni proses penentuan ekivalensi waktu. Salah satu tugas utama dari stratigrafi
adalah mengkorelasikan endapan-endapan yang ada di bumi ini. Dalam penelitian
stratigrafi, korelasi merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan setelah semua
tahap pengamatan dan pemerian selesai dilakukan. Dengan sarana ini kita akan
mengetahui batuan-batuan mana saja yang seumur, walaupun batuan-batuan itu
mungkin terpisah jauh, dan akan mengetahui urut-urutan pembentukan batuan.
Tanpa korelasi, kita tidak akan pernah dapat menyusun sejarah geologi karena
korelasi merupakan satu-satunya cara untuk mengaitkan berbagai peristiwa yang
terjadi pada berbagai tempat dan, oleh karena itu, merupakan sarana untuk menyusun
sintesa geologi.
1. INDIKATOR DAN METODA KORELASI
Korelasi hendaknya didasarkan pada setiap indikator kesamaan waktu yang
ada dalam batuan yang akan dikorelasi-kan. Hingga dewasa ini, indikator-indikator
paleontologi lebih banyak digunakan sebagai dasar korelasi. Memang, hingga
sekarang indikator-indikator itu merupakan sarana terbaik yang kita miliki untuk
korelasi jarak jauh. Namun jangan dilupa-kan bahwa indikator-indikator fisik sangat
berguna untuk korelasi jarak dekat. Bahkan untuk kasus-kasus tertentu, misal-nya
untuk korelasi antar strata yang ada dalam satu cekungan pengendapan, nilainya
lebih tinggi daripada indikator paleontologi. Di atas itu semua, harus disadari bahwa
kedua kategori indikator itu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Semua indikator yang berguna untuk mengenal formasi juga berguna untuk
korelasi. Jenis-jenis indikator korelasi terpenting yang banyak digunakan oleh para
ahli adalah:
A. Indikator-indikator Fisik:
1. Kemiripan litologi.
2. Kesinambungan strata.
3. Posisi stratigrafi.
4. Variasi litologi.
5. Sifat listrik.
6. Ketidakselarasan.
7. Tingkat deformasi.
8. Metamorfisme.
9. Radioaktivitas.
B. Indikator-indikator Paleontologi:
1. Fosil penunjuk.
2. Urut-urutan paleontologi.
3. Kemiripan paleontologi.
4. Tingkat perkembangan evolusi.
A. Indikator-Indikator Fisik
Indikator-indikator fisik umumnya dapat diharapkan kehandalannya untuk
korelasi jarak dekat. Meskipun fosil tidak jarang dapat dimanfaatkan untuk tujuan
korelasi jarak dekat, namun penelusuran tipe-tipe lapisan kunci tertentu (misalnya
lapisan bentonit) dapat memberikan hasil yang lebih dapat diandalkan daripada
korelasi dengan memakai indikator paleontologi.
Makin bertambah jarak antar paket stratigrafi yang akan dikorelasikan, makin
rendah kehandalan hasil korelasinya, kecuali apabila indikator-indikator lain
digunakan sebagai tambahan untuk indikator utama.
1. Kemiripan Litologi
Batuan-batuan yang ada di bumi ini sebagian memperlihatkan kemiripan
dalam aspek-aspek tertentu seperti warna, komposisi, tekstur, struktur, dsb.
Kemiripan itu dapat digunakan sebagai indikator korelasi, khususnya apabila paket-
paket stratigrafi yang akan dikorelasikan terletak pada posisi stratigrafi yang satu
sama lain berkorespondensi.
Sebenarnya, kemiripan litologi lebih mengindikasikan kemiripan genesis,
bukan kesamaan umur. Pada satu cekungan pengendapan, kondisi-kondisi
pengendapan yang lebih kurang sama dapat terjadi:
a. Pada wilayah yang luas dan pada satu rentang waktu yang lebih kurang sama.
b. Pada wilayah yang luas, namun rentang waktunya berbeda dari satu tempat ke
tempat lain.
c. Pada beberapa tempat terpisah, namun berlangsung pada rentang waktu yang
hampir lebih kurang sama.
d. Pada beberapa tempat terpisah dan terjadi pada rentang waktu yang berbeda pula.
Untuk keempat kasus di atas, pada semua wilayah itu akan terbentuk batuan
yang litologinya mirip satu sama lain. Sejak jaman Werner, banyak korelasi
dilakukan semata-mata berdasarkan kemiripan litologi. Beberapa korelasi jarak jauh,
misalnya antara Eropa Barat dengan bagian timur Amerika Utara, berdasarkan
kemiripan litologi terbukti cukup akurat untuk satuan-satuan stratigrafi tingkat
tinggi. Contoh tersebut mengindikasikan bahwa pada waktu-waktu tertentu di masa
lalu, kedua wilayah transaltantik itu memiliki sejarah geologi yang mirip. Korelasi
pada tingkatan stratigrafi yang lebih rendah pun sebagian memberikan hasil yang
cukup baik.
Pada umumnya korelasi berdasarkan kemiripan litologi diakui bersifat
tentatif dan akan tetap dipertahankan, kecuali apabila kemudian diketahui bahwa
korelasi itu tidak sahih.
Sebagian besar penelitian lapangan stratigrafi, yang mencakup usaha
penelusuran formasi dari satu singkapan ke singkapan lain, sebenarnya sudah
melibatkan aktivitas korelasi. Dalam penelitian seperti itu, kemiripan litologi
biasanya menjadi kriterion utama, ditambah dan dikoreksi oleh kriterion
paleontologi. Dengan cara yang sama, korelasi itu dapat diteruskan hingga mencapai
batas-batas cekungan.
Perlu diketahui bahwa di alam ini ada strata khas yang relatif tipis namun
memiliki penyebaran yang sangat luas dan praktis terbentuk pada waktu yang hampir
bersamaan. Strata seperti itu dapat berupa bentonit, debu vulkanik, batubara, dan
batugamping. Apabila ditemukan, jadikanlah itu sebagai lapisan kunci karena
nilainya sangat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kriteria paleontologi.
2. Kesinambungan Strata
Penelusuran strata sebenarnya merupakan kegiatan korelasi litologi jarak
dekat, dari satu singkapan ke singkapan lain atau dari satu sumur pengeboran ke
sumur pengeboran lain. Kegiatan itu tidak sukar dilakukan pada daerah-daerah
dimana satuan-satuan stratigrafi memperlihatkan keseragaman litologi di setiap
tempat. Namun, kesulitan akan muncul pada tempat-tempat dimana terjadi
perubahan fasies secara berangsur. Pada kondisi seperti itu, proses penelusuran
biasanya hanya akan dapat dilanjutkan apabila kita memiliki aspek lain yang dapat
digunakan sebagai indikator korelasi.
Dalam kaitannya dengan cara ini, ada satu hal yang perlu disadari yaitu
bahwa, pada saat melakukan penelusuran, kita sebenarnya akan sulit untuk
mengetahui apakah strata yang ditelusuri itu masih tetap berada pada satu level
stratigrafi atau telah pindah pada level stratigrafi lain. Hal ini terjadi karena proses
penelusuran itu didasarkan pada pengenalan satuan stratigrafi yang didasarkan pada
kemiripan litologi. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan di atas, hal itu
mengandung permasalahan dan ketidakpastian. Proses penelusuran juga dapat
didasarkan pada posisi suatu satuan, relatif terhadap suatu lapisan atau kelompok
lapisan yang khas. Hal ini akan dibahas nanti.
Korelasi yang didasarkan pada kesinambungan lateral sering dilakukan oleh
para praktisi stratigrafi. Hal ini terutama penting artinya dalam studi stratigrafi
bawah permukaan. Pengujian paleontologi terhadap hasil korelasi bawah permukaan
umumnya tidak mungkin dilakukan, kecuali apabila strata yang dikorelasikan
mencakup strata bahari yang mengandung mikrofosil serta apabila mikrofosil itu
dapat diketahui dari hasil analisis keratan pengeboran.
3. Posisi Stratigrafi
Setelah sejumlah strata dikorelasikan dengan hasil yang cukup memuaskan,
maka berbagai strata itu dapat berperan sebagai datum-datum pengontrol untuk
mengkorelasikan strata lain. Jika pada paket endapan-endapan yang dikorelasi-kan
itu tidak terdapat ketidakselarasan, maka strata yang terletak relatif dekat dengan
datum-datum pengontrol dapat dikorelasikan, meskipun berbeda litologinya. Jika
datum-datum itu terletak saling berdekatan, maka kita akan memiliki dua bidang
yang dapat digunakan untuk saling mengontrol satu sama lain. Jadi, misalnya saja,
apabila kita memiliki dua lapisan pengandung fosil yang terletak satu di atas yang
lain, maka strata nirfosil (unfossiliferous strata) yang terletak diantara kedua lapisan
itu dapat dikorelasikan, walaupun strata itu memperlihatkan perbedaan fasies yang
menyolok.
Derajat keyakinan terhadap hasil korelasi akan makin menurun dengan makin
jauhnya letak strata yang dikorelasikan dari datum pengontrol. Dalam kegiatan
korelasi, ada satu hal yang perlu dipahami dengan benar yaitu bahwa laju
pengendapan dari satu tempat ke tempat lain dapat berbeda-beda, meskipun
berlangsung pada lingkungan pengendapan dan rentang waktu yang sama.
Kelemahan dalam memahami prinsip ini telah menyebabkan banyaknya kekeliruan
dalam korelasi stratigrafi. Ketidakselarasan kemungkinan besar akan memotong
strata yang lebih tua kemudian ditutupi secara berangsur oleh endapan transgresi.
Dengan demikian, ketidakselarasan merupakan faktor yang menyebabkan
komplikasi. Karena itu kita perlu memberikan perhatian khusus pada
ketidakselarasan pada saat akan melakukan korelasi yang didasarkan pada posisi
stratigrafi.
4. Keteraturan Variasi Litologi
Pada kondisi-kondisi tertentu, kita dapat melihat adanya pola perubahan
litologi ke arah lateral. Fenomenon itu berkaitan dengan proses pengendapan.
Sebagai contoh, partikel sedimen umumnya makin halus dengan makin jauhnya
tempat pengendapan sedimen tersebut dari wilayah pantai sehingga, apabila dilihat
secara keseluruhan, proses pengendapan pada wilayah pantai-paparan menghasilkan
sabuk-sabuk endapan yang makin halus ke arah paparan (gambar 1). Dengan
demikian, batupasir akan berubah, melalui batulanau dan serpih, menjadi
batugamping dalam satu satuan kronostratigrafi. Jika kondisi-kondisi pengendapan
berubah dari waktu ke waktu sedemikian rupa sehingga batupasir tua kemudian
tertindih oleh serpih, maka urut-urutan yang sama akan terjadi pada semua bagian
sistem pengendapan tersebut. Korelasi yang didasarkan pada perubahan karakter
litologi seperti ini memerlukan pengetahuan mengenai kondisi-kondisi paleogeografi
dan, sudah barang tentu, hanya dapat dilakukan pada satu cekungan pengendapan.
5. Sifat Listrik
Dalam kegiatan korelasi bawah permukaan yang bersifat rutin, electric well
logs telah menggantikan posisi log litologi. Sifat listrik batuan yang terekam dalam
electric logs tergantung pada sifat-sifat fisik tertentu dari batuan, misalnya porositas,
permeabilitas, kandungan fluida, dsb, serta faktor-faktor luar seperti temperatur,
khuluk lumpur pengeboran, diameter lubang bor, dsb. Karena itu, korelasi electric
logs sebenarnya merupakan metoda tidak langsung untuk menelusuri zona-zona
yang litologinya mirip atau untuk menelusuri zona-zona yang secara lateral bersifat
menerus dan dikenali keberadaannya berdasarkan posisi relatifnya terhadap satuan
atau horizon pengontrol tertentu (gambar 2). Korelasi itu tidak mengungkapkan
kesebandingan waktu dengan pasti, dan keterbatasannya secara praktis identik
dengan keterbatasan metoda-metoda tersebut di atas. Penentuan zona stratigrafi
tertentu yang dikenali keberadaannya dari electric logs memerlukan
pembandingannya dengan log litologi dan singkapan. Keandalan hasil korelasi ini
hendaknya diperiksa ulang dengan menggunakan metoda-metoda paleontologi,
kecuali untuk korelasi jarak dekat.
6. Ketidakselarasan
Pengenalan dan penelusuran ketidakselarasan dapat membantu kegiatan
korelasi karena kontak itu menyatakan limit-limit tertentu dari umur strata yang
terletak di atas dan dibawahnya. Jika kita dapat mengetahui adanya dua ketidak-
selarasan, maka keduanya akan dapat berperan sebagai pengontrol dalam
menentukan umur batuan-batuan yang diapitnya. Walau demikian, terjadinya erosi di
bawah ketidakselarasan serta adanya kemungkinan transgressive onlap oleh strata
yang terletak diatasnya menyebabkan korelasi yang eksak tidak dapat dilakukan atas
dasar ini.
Korelasi berdasarkan ketidakselarasan jarang dilakukan. Korelasi ini
terutama dilakukan untuk batuan-batuan yang tidak mengandung fosil, khususnya
batuan Prakambrium.
7. Tingkat Deformasi
Korelasi yang didasarkan pada tingkat deformasi agak mirip dengan korelasi
yang didasarkan pada ketidakselarasan karena keduanya berkaitan dengan episode
diastrofisme dan, pada gilirannya, dengan pembentukan ketidakselarasan menyudut.
Untuk melakukan korelasi berdasarkan tingkat deformasi batuan, maka pertama-
tama perlu dilakukan pembagian paket batuan berdasarkan tingkat deformasinya.
Misalnya saja sejumlah paket batuan dibedakan menjadi batuan-batuan yang
terdeformasi kuat, terdeformasi sedang, dan tidak terdeformasi. Setelah itu, batuan-
batuan yang tingkat deformasinya sama dihubungkan oleh garis-garis korelasi.
Jika episode-episode diastrofisme itu diyakini saling berkorespondensi, maka
korelasi umum antar penampang itu dapat dibenarkan. Walau demikian, intensitas
deformasi kemungkinan besar akan menurun dengan cepat dari pusat-pusat
distrofisme. Karena itu, korelasi jarak jauh dengan mendasarkan pada aspek ini tidak
dapat diandalkan.
8. Metamorfisme
Metamorfisme yang dihasilkan oleh diastrofisme jauh lebih intensif
dibanding dengan metamorfisme yang disebabkan oleh deformasi sederhana atau
akibat aktivitas magma. Sebagaimana intensitas deformasi, derajat metamorfisme
sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain meskipun berada pada batuan-
batuan yang praktis sama. Jadi, derajat metamorfisme yang berbeda bukan
merupakan dasar yang dapat diandalkan untuk korelasi, kecuali untuk korelasi jarak
dekat. Selain itu, beberapa tipe batuan lebih mudah terpengaruh oleh metamorfisme
dibanding batuan lain. Sebagai contoh, serpih yang terubah menjadi sekis tidak akan
memperlihatkan jejak-jejak serpih asalnya, sedangkan batupasir yang telah terubah
menjadi kuarsit dengan jelas masih memperlihatkan jejak-jejak batupasir asalnya.
Jadi, jika perbedaan tingkat metamorfisme akan dipakai sebagai kriteria korelasi,
maka proses itu hendaknya hanya dilakukan pada batuan metamorf yang berasal dari
tipe batuan yang sama.
Di masa lalu, banyak korelasi pada ranah Prakambrium dilakukan
berdasarkan tingkat metamorfisme. Batuan-batuan metamorf tingkat tinggi, terutama
sekis dan gneis, pernah dikorelasikan dan dirujuk sebagai batuan Arkeum, sedangkan
batuan-batuan dengan tingkat metamorfisme yang lebih rendah dianggap sebagai
batuan Proterozoikum. Selain itu, batuan sedimen yang tidak termetamorfosakan dan
terletak diantara batuan Proterozoikum dan strata Kambrium yang banyak
mengandung fosil dianggap sebagai tipe ketiga dari batuan Prakambrium. Korelasi
jarak jauh yang hanya didasar-kan pada perbedaan tingkat metamorfisme seperti itu
terbukti kurang dapat diyakini kesahihannya.
9. Radioaktivitas
Sebagaimana telah diketahui, peluruhan unsur-unsur radioaktif telah menjadi
sarana untuk menentukan umur batuan tertentu yang dinyatakan dalam satuan tahun.
Sebelum 1940, proses penentuan umur itu praktis hanya didasarkan pada uranium.
Namun, adanya perkembangan yang spetrakuler dalam kimia isotop sejak saat itu
serta adanya penyempurnaan terhadap spektrometer massa telah memperbesar
kemungkinan kita untuk menentukan umur batuan berdasarkan tipe unsur radioaktif
lain. Unsur-unsur radioaktif yang paling sering digunakan sebagai sarana penentuan
umur pada masa kini adalah Carbon-14 dan Kalium-40.
Mineral-mineral pengandung uranium yang pernah diamati di masa lalu
terdapat atau berkaitan dengan intrusi batuan beku tertentu. Karena itu, pentarikhan
uranium dapat diterapkan pada batuan beku atau endapan yang disusun oleh mineral-
mineral tersebut. Walau demikian, nilai umur itu belum dapat dikaitkan dengan skala
waktu relatif secara memuas-kan. Jadi, pentarikhan uranium memang dapat
memberikan informasi mengenai nilai pendekatan untuk mengkalibrasi skala waktu
stratigrafi, namun tidak banyak membantu dalam pentarikhan aktual atau dalam
korelasi batuan berlapis.
Berbeda dengan uranium, karbon dan kalium banyak terdapat dalam batuan
sedimen sehingga dapat berperan sebagai sarana untuk menentukan umur batuan
tersebut secara langsung. Carbon-14, dengan umur paruh sekitar 5500 tahun,
idealnya hanya digunakan untuk menentukan umur endapan yang sangat muda,
misalnya endapan akhir Plistosen. Limit tertua dari endapan yang dapat ditentukan
umurnya berdasarkan metoda ini adalah sekitar 60.000 tahun. Kalium-40, dengan
waktu paruh 1,3 juta tahun, dapat digunakan untuk menentukan umur batuan yang
lebih tua, termasuk batuan-batuan Prakambrium. Semua umur radioaktif
mengandung ketidakpastian dan galat yang besarnya mungkin sekitar 10%. Korelasi
yang didasarkan pada Carbon-14, meskipun mengandung galat, hasilnya jauh lebih
akurat dibanding dengan korelasi yang didasarkan pada umur paleontologi karena
waktu paruh isotop itu jauh lebih singkat dibanding laju evolusi.
Keakuratan metoda pentarikhan dan metoda korelasi yang didasarkan pada
unsur-unsur radioaktif makin rendah dengan makin tuanya umur batuan, bahkan
pada waktu geologi tertentu (kemungkinan untuk batuan yang lebih muda dari akhir
Paleozoikum), hasil yang diperoleh dari metoda radioaktif lebih rendah akurasinya
daripada metoda pentarikhan dan metoda korelasi yang didasarkan pada fosil. Walau
demikian, hal itu masih tergantung pada jenis fosilnya. Apabila memungkinkan,
alangkah baiknya apabila hasil korelasi yang didasarkan pada metoda radioaktif
diperiksa ulang dengan metoda paleontology, demikian sebaliknya.
Karena adanya berbagai kesulitan teknis dan karena biayanya mahal,
penentuan umur yang didasarkan pada unsur radioaktif sangat jarang digunakan
untuk korelasi lokal. Korelasi lokal kemungkinan besar akan terus dilakukan
berdasar-kan metoda-metoda konvensional. Walau demikian, korelasi yang
didasarkan pada unsur-unsur radioaktif tidak diragukan lagi akan makin sering
digunakan di masa mendatang untuk berbagai strata yang terpisah jauh.
B. Indikator-Indikator Paleontologi
Fosil makin sering digunakan untuk korelasi stratigrafi sejak William Smith
menemukan bahwa strata tertentu dapat dikenal berdasarkan fosil yang ada
didalamnya.
1. Fosil Penunjuk
Fosil penunjuk (index fosssil; guide fossil) adalah suatu spesies, genus, atau
tingkat taksonomi lain yang dipandang bermanfaat karena diyakini hanya muncul
pada rentang waktu geologi tertentu. Fosil penunjuk sejak lama digunakan sebagai
alat korelasi dan korelasi yang didasarkan pada aspek ini merupakan bentuk korelasi
paleontologi yang paling sederhana. Metoda ini juga dipakai sebagai sarana untuk
mengenal dan menelusuri keberadaan zona-zona biostratigrafi. Prinsip dasar yang
melandasi metoda ini adalah bahwa kehadiran suatu fosil penunjuk dalam suatu
batuan mengindikasi-kan bahwa batuan itu diendapkan pada kisaran hidup fosil
tersebut. Dalam kaitannya dengan prinsip ini, ada dua hal yang perlu dicamkan
bersama. Pertama, prinsip itu hanya dapat diterapkan apabila proses identifikasi fosil
dilakukan dengan akurat. Kedua, hanya kehadiran fosil yang memiliki kebenaan,
sedangkan ketidakhadirannya tidak memiliki arti apa-apa. Jadi, ketidakhadiran suatu
fosil penunjuk dalam suatu strata tidak mengandung pengertian bahwa umur strata
itu berada di luar kisaran umur fosil penunjuk itu.
Sebuah fosil penunjuk yang ideal hendaknya: (1) mudah dikenal dan mudah
dibedakan dari fosil lain; (2) memiliki kisaran umur yang pendek; (3) memiliki
penyebaran geografis yang luas; (4) mampu beradaptasi dengan lingkungan yang
beragam sehingga fosil itu dapat ditemukan dalam endapan lingkungan sedimentasi
yang bermacam-macam; dan (5) memiliki kelimpahan tinggi. Sayang sekali, fosil
yang dapat memenuhi semua kriteria itu sangat terbatas. Secara khusus, organisme
yang mampu beradaptasi pada lingkungan yang beragam biasanya dapat hidup
dengan sukses untuk rentang waktu yang lama.
Hingga dewasa ini diketahui banyak fosil muncul dalam zona stratigrafi yang
pendek, bahkan sebagian diantaranya muncul dalam zona stratigrafi yang sangat
pendek. Fosil-fosil itu sering dianggap sebagai fosil penunjuk yang sangat baik.
Namun, sebenarnya kita patut meragukan bahwa zona yang diketahui sekarang ini
telah merepresentasikan kisaran stratigrafi total dari fosil itu. Zona stratigrafi yang
sangat pendek seperti ini, dan biasa disebut teilzone, umumnya ekivalen dengan
suatu bagian biozona. Limit-limit ekstrim dari suatu biozona biasanya jarang
diketahui karena hal itu sangat dipengaruhi oleh tipe, jumlah, dan posisi sampel yang
dijadikan sebagai sumber informasi untuk menentukan kisaran stratigrafi dari
biozona itu.
Organisme hanya dapat hidup di bawah kondisi-kondisi lingkungan yang
lebih kurang sesuai untuk kehidupannya. Secara geografis, fosil penunjuk hanya
akan menyebar pada tempat-tempat tertentu dimana terdapat kondisi lingkungan
yang sesuai untuk kehidupan fosil penunjuk itu serta pada tempat-tempat yang
mungkin dicapai oleh fosil tersebut melalui proses migrasi. Kisaran vertikal atau
kisaran stratigrafi fosil penunjuk pun dikontrol oleh lingkungan. Jika kondisi
lingkungan di suatu tempat berubah sedemikian rupa sehingga kondisi baru menjadi
tidak sesuai lagi untuk kehidupan suatu populasi organisme, maka populasi
organisme itu akan hilang dan tidak akan dapat digantikan kembali atau populasi itu
akan bermigrasi ke tempat lain dimana terdapat kondisi lingkungan yang sesuai
dengan kehidupannya. Jika terjadi proses migrasi seperti itu, maka kisaran geografis
fosil penunjuk dapat meluas hingga ke tempat yang baru itu. Walau demikian, proses
migrasi hanya dapat berlangsung apabila terhadap sarana yang memungkinkan
berpindahnya suatu populasi organisme dari satu tempat ke tempat lain.
Hingga disini, kita dapat memahami bahwa kisaran geografis dan kisaran
stratigrafi suatu fosil penunjuk atau fosil lain ditentukan oleh (1) kisaran waktu
kehidupannya, yang dibatasi oleh perubahan evolusioner atau oleh kepunahan; (2)
lingkungan; dan (3) ada tidaknya rute migrasi atau penghalang yang tidak dapat
ditembus. Faktor pertama dan faktor ketiga tersebut di atas telah diketahui sejak
lama dan telah banyak dibahas oleh para ahli. Di lain pihak, pengaruh lingkungan
atau kontrol ekologi masih sering terabaikan dalam paleontologi. Banyak ahli
paleontologi telah merasa puas apabila sudah dapat membedakan kondisi-kondisi
bahari dan non-bahari. Padahal, setiap lingkungan raksasa itu terdiri dari sekian
banyak lingkungan yang lebih kecil yang masing-masing merupakan lingkungan
yang sesuai atau lingkungan yang tidak sesuai untuk organisme tertentu. Mungkin
banyak ketidaksinambungan rekaman fosil, yang sekarang sering dijelaskan sebagai
akibat hambatan fisik yang tidak memungkinkan terjadinya migrasi atau akibat
perkembangan evolusioner, sebenarnya mencerminkan perbedaan-perbedaan
lingkungan.
Adanya kontrol lingkungan terhadap penyebaran organisme dalam ruang dan
waktu menyebabkan semua fosil dapat berperan sebagai penunjuk lingkungan.
Faktor-faktor yang sebenarnya memungkinkan atau menghambat keberadaan
organisme tertentu pada suatu lingkungan mungkin belum dapat dipahami
sepenuhnya, namun kita perlu berusaha terus-menerus untuk mengetahuinya karena
hal itu sangat penting. Fosil mirip dengan karakter litologi: keduanya menjaddi alat
bantu untuk mengenal daerah-daerah yang memperlihatkan kemiripan dalam segi-
segi tertentu.
Dari seluruh penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa korelasi
litologi dan korelasi paleontologi sebenarnya memiliki banyak kemiripan.
Perbedaannya terletak pada “fakta” bahwa evolusi dan kepunahan menjadi salah satu
faktor lain yang memberikan batasan tersendiri pada nilai korelasi suatu fosil
penunjuk. Fosil penunjuk memungkin-kan diperolehnya diagram korelasi yang lebih
cermat dibanding korelasi litologi, selama korelasi itu dilakukan dalam limit-limit
biozona fosil penunjuk itu.
2. Urut-urutan Paleontologi
Banyak korelasi dilakukan berdasarkan zona-zona fosil yang sebenarnya
tidak merepresentasikan keseluruhan kisaran stratigrafi dari suatu fosil penunjuk.
Apabila dilakukan pada endapan yang terbentuk pada lingkungan terbatas dan
seragam atau pada endapan yang terbentuk pada suatu bagian lingkungan yang
seragam, korelasi itu dapat akurat. Walau demikian, hendaknya kita selalu ingat
bahwa suatu lingkungan biologi dapat bergeser secara berangsur dari waktu ke
waktu sehingga suatu zona yang tampak menerus hingga jarak yang cukup jauh
kemungkinan memotong bidang waktu. Pada daerah-daerah yang terpisah, tidak ada
jaminan bahwa zona-zona lokal, yang ditentukan keberadaannya berdasarkan
kesamaan spesies fosil, memang saling berhubungan atau memiliki ekivalensi waktu
tertentu. Bukti yang lebih kuat diperoleh dari zona-zona lokal yang muncul berulang-
ulang secara sempurna pada tempat yang berbeda-beda. Walau demikian, sekali lagi,
urut-urutan zona lokal seperti itupun dapat bergeser secara geografis dari waktu ke
waktu.
Banyak orang menggunakan fosil sebagai indikator korelasi tanpa memiliki
pengetahuan yang memadai mengenai keseluruhan kisaran stratigrafi dari fosil-fosil
itu. Salah satu diantara sekian banyak fosil yang sering digunakan untuk korelasi
adalah foraminifera yang banyak ditemukan di daerah penghasil minyak. Fosil kecil
seperti itu seringkali mampu berperan sebagai indikator korelasi pada saat indikator
lain justru gagal diterapkan. Sebagian besar zona dari fosil kecil itu bersifat empiris.
Perubahan kondisi-kondisi lingkungan yang berangsur dapat mempengaruhi
daerah yang luas pada waktu yang bersamaan sehingga berbagai perubahan biologi
yang merupakan efek dari perubahan-perubahan lingkungan itu dapat digunakan
sebagai indikator korelasi untuk kisaran geografi atau kisaran stratigrafi yang
terbatas. Untuk kala Plistosen, perubahan-perubahan yang paling banyak dipelajari
adalah perubahan-perubahan yang mencerminkan fluktuasi temperatur atau
kelembaban. Sebagai contoh, perbedaan tipe serbuksari yang ditemukan dalam
postglacial bogs seringkali berlangsung dalam wilayah yang luas sehingga hal itu
dapat digunakan sebagai indikator korelasi.
Perubahan temperatur di laut tidak sehebat seperti yang terjadi di darat.
Walau demikian, zona-zona fosil laut-dangkal dalam endapan pesisir Plistosen yang
terangkat dapat memperlihatkan pola migrasi yang diadaptasikan secara berbeda
oleh berbagai organisme. Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam endapan
pesisir Plistosen yang ada di pantai California, Amerika Serikat. Dengan demikian,
perubahan-perubahan tersebut dapat dikaitkan dengan zaman es (glacial age) dan
antar-zaman es (interglacial age) Plistosen. Dalam kaitannya dengan hal ini, para ahli
menemukan pula bahwa nisbah isotop-isotop oksigen yang terperangkap dalam
rangka atau cangkang foraminifera yang disusun oleh material karbonatan juga
mencerminkan variasi temperatur muka air laut Plistosen. Nisbah tersebut kemudian
digunakan oleh para ahli untuk mengkorelasikan paket-paket sedimen yang
diperoleh dari hasil pengeboran laut dalam (gambar 3).
Korelasi litologi pada beberapa lapangan batubara sangat sukar untuk
dilaksanakan dan tidak memberikan nilai kepastian yang dapat diandalkan karena
strata pada lapangan itu biasanya demikian monoton sehingga posisi stratigrafi dari
suatu strata seringkali sukar untuk ditentukan. Walau demikian, serbuksari dan spora
yang tersimpan dalam batubara tidak jarang memperlihatkan perbedaan yang berarti
dari satu zona ke zona lain sehingga kedua jenis fosil itu sering digunakan oleh para
ahli geologi batubara untuk mengkorelasikan batuan-batuan yang ada di lapangan
batubara. Jika kondisinya memungkinkan, urut-urutan zona spora yang ada dalam
suatu lapisan batubara pun dapat digunakan untuk mengenal lapisan batubara
tersebut pada suatu wilayah yang relatif luas.
Pada semua kasus yang disebutkan di atas, fosil-fosil itu bukan merupakan
fosil penunjuk dalam arti kata yang sebenarnya. Tipe korelasi tersebut di atas
umumnya melibatkan proses pembandingan strata yang merepresentasikan interval-
interval waktu yang dicirikan oleh jenjang-jenjang fluktuasi iklim yang lebih kurang
tersebar luas. Peranan fosil sebagai indikator perbedaan lingkungan tidak dapat
dimunculkan melalui proses-proses tersebut di atas. Suatu urutan lingkungan yang
unik mungkin dapat diketahui, namun satu siklus dalam suatu deretan yang teratur,
misalnya dalam endapan Plistosen, tidak akan dapat diketahui kecuali apabila posisi
stratigrafi relatifnya dalam sekuen yang lebih besar telah diketahui.
3. Kemiripan Paleontologi
Pada saat kita tidak dapat mengenal adanya fosil penunjuk, banyak korelasi
dapat dilaksanakan dengan cara membandingkan keseluruhan flora atau fauna yang
ada dalam batuan-batuan yang akan dikorelasikan. Pembandingan seperti itu
umumnya digunakan untuk menentukan umur relatif zona fosil atau formasi daerah
yang terletak di luar kisaran rekaman flora atau fauna yang kisaran stratigrafinya
telah diketahui dengan baik (gambar 4). Metoda ini, yang dapat disebut sebagai
metoda prosentase spesies (percentage species method), didasarkan pada jumlah
kesamaan berbagai spesies flora dan fauna yang ada dalam paket-paket batuan yang
akan dikorelasikan dengan spesies flora dan fauna yang masih hidup dewasa ini atau
dengan spesies flora dan fauna yang ada dalam paket stratigrafi baku. Makin banyak
jumlah spesies yang sama, makin tinggi pula kemungkinan paket batuan tersebut
untuk mendekati umur paket stratigrafi baku yang menjadi pembandingnya.
Karena jumlah ril dari spesies yang ada dalam suatu paket batuan hampir
dapat dipastikan selalu berbeda, maka untuk membuat pembandingan itu sahih, maka
perlu dilakukan pembandingan dengan merujuk pada prosentase spesies flora atau
fauna tersebut; bukan dengan cara membandingkan jumlahnya. Proses pengubahan
nilai jumlah fosil menjadi prosentase dapat dilaksanakan dengan banyak cara dan
masing-masing cara itu dapat memberikan angka prosentase yang berbeda-beda dan,
pada gilirannya, akan membawa kita untuk sampai pada kesimpulan yang juga
berbeda-beda. Sebagai contoh, persentase spesies yang sama dalam (1) fauna dan
flora masa kini; (2) flora dan fauna dalam paket stratigrafi baku; atau (3) kombinasi
flora dan fauna dapat ditentukan dengan cara-cara yang diperlihatkan pada tabel 1.
Hasilnya jelas berbeda-beda, namun angka prosentase yang terakhir agaknya yang
merupakan indikator yang paling penting.
Sebagian ahli paleontologi lebih menyukai metoda ini dibanding dengan
metoda korelasi yang didasarkan pada fosil penunjuk. Hubungan umur, katanya,
terlihat lebih akurat jika penentuan hubungan umur itu dilakukan berdasarkan
keseluruhan flora dan fauna, bukan hanya didasarkan pada beberapa spesies. Walau
demikian, penelaahan yang seksama pada berbagai tipe spesies menunjukkan bahwa
kebenaan waktu geologinya berbeda-beda. Sebagai contoh, kehadiran spesies yang
memiliki kisaran stratigrafi yang panjang ke dalam dua flora dan fauna bukan
merupakan bukti yang baik dari kemiripan umur, sedangkan ketidakhadiran salah
satu diantaranya merupakan bukti yang lebih baik bahwa umurnya berbeda (lihat
tabel 2).
Pembahasan di atas mengindikasikan bahwa, berdasarkan kebenaannya
dalam korelasi, spesies dapat dibedakan menjadi 3 kategori, yakni:
1. Spesies yang memiliki kisaran stratigrafi yang pendek dan kehadirannya
mengindikasikan kedekatan umur, namun yang ketidakhadirannya tidak memiliki
arti yang berarti. Spesies seperti itu merupakan fosil penunjuk dalam arti
konvensional.
2. Spesies yang banyak ditemukan di berbagai tempat serta kemungkinan besar dapat
ditemukan dalam banyak kumpulan fauna dan flora. Spesies seperti ini umumnya
merupakan indikator yang sangat baik untuk zona-zona stratigrafi inklusif, namun
hanya memiliki nilai korelasi yang sedikit. Ketidakhadiran spesies seperti ini
kemungkinan besar memiliki arti yang justru lebih penting dibanding
kehadirannya.
3. Spesies yang relatif jarang ditemukan dan penyebarannya memiliki kaitan yang
erat dengan lingkungan tertentu. Sebagian besar flora dan fauna termasuk ke
dalam spesies seperti ini. Kehadiran dan ketidakhadiran spesies seperti ini tidak
memiliki kebenaan tersendiri dalam korelasi mendetil.
Ada beberapa kelebihan tersendiri apabila kita menggunakan keseluruhan
flora dan fauna sebagai indikator korelasi dibanding dengan korelasi yang hanya
didasarkan pada fosil penunjuk tertentu. Walau demikian, tidak semua spesies
memiliki kebenaan yang sama. Karena itu, persentase spesies bukan merupakan
jawaban terbaik untuk memecahkan masalah korelasi. Jika semua fosil dapat
dinisbahkan secara pasti pada kategori-kategori spesies tersebut di atas, maka kita
akan dapat memperoleh diagam korelasi yang lebih dapat diandalkan. Sayang sekali,
penggolongan spesies dengan cara seperti itu bukan merupakan hal yang mudah
karena kualitas semua spesies merupakan hal yang relatif serta karena kisarannya
sangat beragam. Selain itu, penggolongan seperti tersebut di atas tidak bersifat
ekslusif. Meskipun tampaknya jelas bahwa spesies tertentu memiliki kebenaan yang
lebih tinggi dalam korelasi dibanding spesies yang lain, namun kebenaan relatifnya
tidak dapat diketahui secara pasti dan kebijaksanaan yang baik merupakan faktor
yang esensil yang harus menjadi bahan pertimbangan.
Apapun pertimbangannya, pembandingan flora dan fauna hanya akan
memiliki arti apabila dilakukan diantara kumpulan litologi dan biologi yang mirip.
Jika fasies menjadi lebih beragam, maka perbedaan-perbedaan dalam kandungan
flora dan fauna kurang memiliki arti karena sejumlah besar spesies mungkin
beradaptasi pada lingkungan-lingkungan yang ekslusif. Dengan demikian, dalam
limit-limit stratigrafi yang relatif tinggi, perbedaan-perbedaan dalam kandungan
flora dan fauna kemungkinan besar lebih berkaitan dengan perbedaan fasies, bukan
dengan perbedaan umur. Banyak contoh seperti itu muncul dalam kasus-kasus
paleontologi.
2. LIMITASI KORELASI PALEONTOLOGI
Kebenaan korelasi paleontologi jarang dipertanyakan lagi sejak William
Smith menunjukkan bahwa batuan dapat dikenal keberadaannya berdasarkan fosil
yang terkandung didalamnya. Paleontologi makin sering digunakan untuk tujuan
korelasi dan korelasi paleontologi itu makin lama makin luas dan makin cermat
sejalan dengan terus meningkatnya pengetahuan mengenai fosil. Banyak ahli geologi
dan sebagian ahli paleontologi tampaknya berkeyakinan bahwa proses
perkembangan itu akan terus berlanjut sampai tak berhingga sehingga makin lama
akan diperoleh korelasi yang makin mendetil dan makin sempurna. Dasar-dasar
pemikiran yang menyebabkan timbulnya keyakinan seperti itu perlu dikaji bersama.
Pentarikhan batuan berdasarkan fosil yang terkandung didalamnya
sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan fakta bahwa kehidupan di dunia ini
selalu berubah. Beberapa lineage organisme tertentu terbukti berhasil dalam
kompetisinya dengan organisme lain. Mereka mampu mengadaptasikan diri terhadap
berbagai kesempatan yang ada dalam lingkungan-lingkungan baru, meningkatkan
penyebaran geografisnya, dan kemudian melakukan diferensiasi morfologis dengan
berbagai cara, sehingga akhirnya menghasilkan jenis-jenis organisme baru yang
berbeda dengan organisme leluhurnya. Lineage organisme lain gagal dalam
perjuangannya untuk tetap eksis. Kisaran geografisnya menyempit dan akhirnya
punah. Dua proses yang sebenarnya memiliki kaitan yang erat itu terus berlangsung
sejak kehidupan pertama muncul di muka bumi. Hasil dari proses-proses itu adalah
munculnya aneka ragam flora dan fauna sebagaimana yang kita lihat dewasa ini.
Evolusi dan kepunahan berbagai kelompok organisme berlangsung pada laju
yang beragam dan pada waktu yang berbeda-beda. Salah satu tanggungjawab utama
dari paleontologi adalah menentukan laju evolusi itu serta merekonstruksikan detil-
detil pola evolusi. Hingga dewasa ini telah banyak waktu dan tenaga digunakan
untuk mencapai tujuan itu dan banyak pengetahuan dapat diperoleh dari hasil-hasil
perjuangan itu. Walau demikian, hasil-hasil penelitian itu masih bersifat fragmental,
tidak sedikit diantaranya menjadi bahan penafsiran yang beragam, serta masih begitu
banyak hal yang perlu dipelajari sebelum akhirnya kita dapat memahami kehidupan
di muka bumi ini.
1. Status Pengetahuan Paleontologi Dewasa Ini
Dari penjelasan di atas jelas bahwa kecermatan korelasi yang didasarkan
pada kriteria paleontologi tidak dapat melebihi akurasi pengetahuan dan tafsiran
paleontologi yang menjadi landasannya. Sebagian besar ahli paleontologi menyadari
adanya kelemahan dan kekurangan dalam pengetahuan paleontologi yang ada
sekarang ini. Namun, di lain pihak, ada juga ahli geologi yang agaknya tidak
menyadari kekurangan atau kelemahan tersebut. Mereka tidak menyadari bahwa ada
formasi-formasi geologi yang telah dipelajari dan dipetakan lebih dari 100 tahun,
namun fosil yang terkandung didalamnya masih belum diketahui dan dipelajari
secara cermat. Hal itu tidak hanya terjadi pada negara-negara berkembang, namun
terjadi pula di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan wilayah-wilayah lain dimana
penelitian geologi sebenarnya telah menjadi sebuah tradisi.
Meskipun masih terdapat sekian banyak lubang besar yang perlu ditutupi,
namun karakter-karakter utama dari sejarah kehidupan di bumi ini telah dapat
diketahui sekarang ini.
3. SUBJEKTIVITAS KORELASI
Korelasi menujukan perhatiannya pada fakta. Strata yang terletak pada
tempat yang berbeda-beda memiliki umur yang sama atau berbeda. Korelasi strata
tersebut hendaknya didasarkan pada semua bukti yang ada serta dilakukan secara
bijaksana. Hingga dewasa ini sangat jarang, atau bahkan tidak pernah, ada satupun
bukti yang bersifat konklusif. Karena itu, semua bentuk korelasi pada dasarnya
merupakan ungkapan dari pendapat orang yang mengkorelasikannya, bukan
ungkapan fakta dari batuan-batuan itu sendiri.
Kemiripan fosil umumnya dianggap sebagai indikator ekivalensi umur.
Namun, sebenarnya akan lebih akurat dan realitstis apabila kita memandang
kemiripan itu dengan sudut pandang yang lain: sebagai bukti yang menggugurkan
pandangan bahwa keduanya berbeda umur. Sebaiknya strata yang mengandung fosil
yang mirip diartikan sebagai strata yang memiliki posisi stratigrafi yang berbeda
dalam kolom stratigrafi. Keduanya memiliki umur yang berbeda. Kondisi seperti itu
dinamakan homotaksis (homotaxis). Penentuan ekivalensi umur yang aktual dan
eksak, atau kronotaksis (chronotaxis), umumnya merupakan sebuah ideal yang tidak
akan pernah dapat tercapai. Satuan-satuan stratigrafi yang terletak pada tempat yang
berbeda-beda kemungkinan besar memiliki umur yang tidak persis sama. Meskipun
kedua satuan itu sebagian besar berkorespondensi satu sama lain, namun salah satu
diantara satuan itu kemungkinan besar akan memiliki bagian-bagian yang agak lebih
muda atau agak lebih tua dibanding dengan bagian-bagian yang ada dalam satuan
lain.
Pernyataan yang lebih formal adalah bahwa kemiripan fosil pada daerah-
daerah yang relatif berjauhan bukan merupakan bukti positif dari ekivalensi waktu,
melainkan bukti dari perbedaan umur. Argumen yang disajikan untuk mendukung
pernyataan tersebut adalah bahwa suatu rentang waktu diperlukan untuk
memungkinkan organisme bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. Tidak ada
seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti seberapa cepat organisme
bermigrasi di masa lalu. Walau demikian, sejumlah contoh masa kini telah disitir
untuk menunjukkan bahwa kisaran geografis penyebaran organisme tertentu
demikian luas dengan laju yang demikian cepat sehingga secara praktis kemiripan
kandungan fosil dapat dikatakan mengindikasikan waktu yang sama menurut standar
geologi.
Catatan:
1. Dalam pembukaan bab ini, Weller (h. 383) mengartikan ketidakselarasan sebagai
sebuah bidang yang mencirikan ketidaksinambungan rekaman stratigrafi.
Pengertian seperti ini pula yang tampaknya dipahami oleh banyak ahli dewasa ini
(lihat ISSC, 1994, h. 48). Sebagaimana yang dijelaskan dalam AGI Glossary serta
oleh Friedman dkk (1992), pengertian seperti ini sebenarnya kurang tepat karena
ketidakselarasan sebernya menyatakan gagasan mengenai hubungan
ketidaksinambungan, bukan bidang ketidaksinambungan. Bidang dimana terjadi
ketidaksinambungan itu disebut bidang ketidakselarasan.
2. Dalam pembahasannya mengenai indikator kemiripan litologi, Weller menyatakan
adanya tiga kasus yang mungkin terjadi pada waktu pengendapan batuan, namun
dia tidak menganalisis apa pengaruh dari setiap kasus tersebut terhadap
metodologi korelasi dengan indikator kemiripan litologi. Disini saya akan
mencoba menganalisisnya. Untuk kasus pertama (batuan-batuan diendapkan pada
suatu wilayah yang luas pada rentang waktu yang sama) maka korelasi
berdasarkan kemiripan litologi dapat menghasilkan gambaran yang mendekati
kenyataannya. Untuk kasus kedua (batuan-batuan diendapkan pada wilayah yang
luas, namun berlangsung pada rentang waktu yang berbeda-beda), korelasi
berdasarkan litologi akan menghasilkan gambaran yang tidak tepat karena
korelasi itu akan memotong bidang waktu. Untuk kasus ketiga (batuan-batuan
diendapkan pada tempat-tempat yang berbeda, namun pada waktu yang
bersamaan), korelasi berdasarkan litologi akan menghasilkan gambaran yang
tidak tepat karena korelasi itu akan menimbulkan kesan seolah-olah endapan-
endapan itu merupakan satu kesatuan tubuh batuan dan menyebabkan fenomena
lain yang ada diantara tempat-tempat pengendapan itu menjadi tidak
tergambarkan. Untuk kasus yang keempat (batuan-batuan diendapkan pada
tempat-tempat yang berbeda dan diendapkan pada rentang waktu yang berbeda
pula), maka korelasi berdasarkan kemiripan litologi akan menghasilkan gambaran
ruang-waktu yang salah sama sekali dan berbeda dari kenyataannya. Dari analisis
ini, kita dapat mengambil satu pelajaran penting yakni bahwa korelasi hendaknya
dilakukan setelah kita menafsirkan sifat litologinya (terutama kesinambungan
lateralnya) serta lingkungan pembentukan batuan-batuan tersebut (terutama
dimensi ruang dan waktu dari lingkungan pembentukannya).
3. Bersamaan dengan pembahasan mengenai korelasi berdasarkan posisi stratigrafi,
Weller menjelaskan bahwa makin ke arah pusat cekungan, endapan makin
menebal. Prinsip tersebut dewasa ini terbukti tidak selalu benar adanya. Hal ini
antara lain terbukti dari hasil-hasil survey seismik refleksi dan hasil-hasil analisis
seismik-sekuen stratigrafi. Oleh karena itu, penjelasan tersebut tidak dimasukkan
ke dalam ringkasan ini karena keliru.
4. Dari penjelasan Weller mengenai pengkorelasian yang didasarkan pada variasi
litologi (pada arah lateral), sebenarnya ada satu hal yang mungkin baik sekali
untuk diketahui bahwa metoda korelasi itu menurut hemat saya sebenarnya telah
termasuk di dalam hukum korelasi fasies yang dicetuskan oleh Johannes Walther
pada 1893-1894 (lihat Middleton, 1973).
5. Dari penjelasan Weller mengenai korelasi yang didasarkan pada tingkat
deformasi, terkandung pengertian bahwa korelasi itu didasarkan pada satu asumsi
bahwa deformasi batuan berlangsung secara simultan pada semua tubuh batuan
yang dikorelasikan. Asumsi ini perlu dikaji secara cermat mengingat,
sebagaimana dikemukakan sendiri oleh Weller (h. 546), tingkat deformasi batuan
berbeda-beda, relatif terhadap posisinya terhadap pusat diastrofisme. Makin jauh
dari pusat diastrofisme, makin rendah tingkat deformasi batuan. Dengan
demikian, perlu dikaji lagi apakah korelasi dengan cara ini memang
mencerminkan ekivalensi waktu dan bukan mencerminkan posisi suatu batuan,
relatif terhadap posisi pusat diastrofisme. Hal kedua yang perlu diingat adalah
bahwa pengkajian metoda korelasi ini jelas erat kaitannya dengan konsep
tektonik, padahal pada saat Weller menerbitkan bukunya itu, teori tektonik
lempeng belum berkembang. Untuk itu, lakukan pengkajian metodologi ini dari
kacamata tektonik lempeng.
6. Ketika membahas tentang persyaratan dari fosil penunjuk ideal, Weller secara
tersirat telah mengungkapkan bahwa sebenarnya ada “kontradiksi” di dalam
persyaratan tersebut dengan memberikan contoh bahwa organisme yang mampu
beradaptasi dalam lingkungan yang beragam kemungkinan besar akan sukses
sehingga dapat hidup dalam rentang waktu yang lama. Ini merupakan suatu hal
yang menarik sekali dan menurut hemat saya agaknya tidak akan ada fosil yang
dapat memenuhi semua persyaratan tersebut.