koran pendidikan

60
Menjadi Ilmuwan dengan CTL Contextual Teaching and Learning (CTL) atau“pembelajaran kontekstual” merupakan suatu konsep pembelajaran yang membantu guru dan siswa menghubungkan kegiatan pembelajaran dengan situasi dunia nyata di mana dia hidup. Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pengajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa. Dalam kelas kontekstual, guru bertugas untuk membantu siswa mencapai tujuannya sendiri. Guru lebih banyak berusaha dengan berbagai strategi daripada sekedar memberikan informasi. Di sini guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota tim (siswa). Dengan pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih terfokus pada siswa. Pembelajaran CTL memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu: kebermaknaan (meaningfulness), penerapan ilmu (application of knowledge), berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), kurikulum yang digunakan harus standar (standards-based curricula), berfokus pada budaya (cultures focussed), keterlibatan siswa secara aktif (active engagement), dan asesmen autentik (authentic assessmen). Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, di dalam pembelajaran CTL, siswa belajar untuk mengerjakan pekerjaan yang berarti, mencari hubungan yang bermakna, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berfikir kritis dan kreatif. Pada dasarnya, CTL terimplementasi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan kepadanya. Karenanya, implementasi Pembelajaran CTL tidaklah sulit dan dapat diterapkan di berbagai mata pelajaran pada setiap jenjang pendidikan di sekolah. Selama ini, upaya pengaitan bahan ajar dengan pengalaman baru diterapkan dalam beberapa mata pelajaran tertentu, seperti pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Itu pun, belum optimal. Untuk mata pelajaran yang lain, para guru masih “terbelenggu” dengan teori-teori yang tidak mengakar dari kehidupan nyata dan pengalaman siswa. Mata pelajaran matematika misalnya, tetap saja tidak bisa dihadirkan sebagai “menu lokal alami” yang selalu menarik untuk

Upload: aanbhalian

Post on 20-Jun-2015

1.320 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: KORAN PENDIDIKAN

Menjadi Ilmuwan dengan CTL

Contextual Teaching and Learning (CTL) atau“pembelajaran kontekstual” merupakan suatu konsep pembelajaran yang membantu guru dan siswa menghubungkan kegiatan pembelajaran dengan situasi dunia nyata di mana dia hidup. Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pengajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa.

Dalam kelas kontekstual, guru bertugas untuk membantu siswa mencapai tujuannya sendiri. Guru lebih banyak berusaha dengan berbagai strategi daripada sekedar memberikan informasi. Di sini guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota tim (siswa). Dengan pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih terfokus pada siswa.

Pembelajaran CTL memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu: kebermaknaan (meaningfulness), penerapan ilmu (application of knowledge), berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), kurikulum yang digunakan harus standar (standards-based curricula), berfokus pada budaya (cultures focussed), keterlibatan siswa secara aktif (active engagement), dan asesmen autentik (authentic assessmen).

Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, di dalam pembelajaran CTL, siswa belajar untuk mengerjakan pekerjaan yang berarti, mencari hubungan yang bermakna, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berfikir kritis dan kreatif. Pada dasarnya, CTL terimplementasi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan kepadanya.

Karenanya, implementasi Pembelajaran CTL tidaklah sulit dan dapat diterapkan di berbagai mata pelajaran pada setiap jenjang pendidikan di sekolah. Selama ini, upaya pengaitan bahan ajar dengan pengalaman baru diterapkan dalam beberapa mata pelajaran tertentu, seperti pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Itu pun, belum optimal.

Untuk mata pelajaran yang lain, para guru masih “terbelenggu” dengan teori-teori yang tidak mengakar dari kehidupan nyata dan pengalaman siswa. Mata pelajaran matematika misalnya, tetap saja tidak bisa dihadirkan sebagai “menu lokal alami” yang selalu menarik untuk “dilahap” siswa. Padahal, materi ajar matematika sangat banyak ditemui di kehidupan nyata siswa sehari-hari.

Konsep CTL dapat menjadi alternatif strategi belajar yang memberi banyak keuntungan bagi siswa dibanding pendekatan pembelajaran lainnya. Siswa diajak untuk belajar mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Siswa terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri konstuk keilmuan yang diminati dan diamatinya.

Layaknya seorang peneliti, siswa mempresentasikan “hasil penelitian”-nya dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Dengan cara ini, belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Apabila di masa lalu siswa dididik untuk membaca, mengerti, atau menghafal teori-teori yang terkadang tidak terkait sama sekali dengan budaya lokal/nasional, maka di sini siswa diajar untuk memahami budayanya dan menjadi problem solver atas masalah-masalah di sekitarnya.

Page 2: KORAN PENDIDIKAN

Prinsip-prinsip CTL, semisal application of knowledge dan higher order thinking, senantiasa mendorong siswa memanfaatkan kemampuannya untuk berpikir kritis, analitis, dan sintetis terhadap suatu masalah berdasarkan pengetahuannya. Dengannya, siswa dapat membuktikan sendiri dan menemukan jawaban dalam menghadapi kehidupan di luar kelas yang penuh dengan masalah. Dan dengan konsep CTL ini pula, kita telah mendidik para siswa kita untuk menjadi seorang ilmuwan yang tidak hanya bergelut dengan teori-teori “melangit” yang tidak mengakar pada kondisi sosial dan budaya negeri ini. Tetapi menjadi ilmuan yang “mengakrabkan” teori dengan implementasi dan berperilaku lokal namun berpikir global.

POLA STRATEGI KOMUNIKASI GURU DI KELAS RSBI

Salah satu ciri has dari program KRBI (Kelas Rintisan Bertaraf Internasional), SNBI (Sekolah Nasional Bertaraf Internasional), atau istilah sekarang diganti lagi menjadi RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), yang merupakan program permintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki kompetisi global, adalah bahasa Inggris digunakan sebagai salah satu bahasa pengantar (a medium of instruction) dalam proses belajar mengajar MIPA (Matematika dan IPA). Penggunaan bahasa Inggris ini tidak terlepas dari fakta bahwa bahasa inggris adalah bahasa dunia dan alat untuk membuka kran kompetisi global. Selain itu, menguasai bahasa Inggris memungkinkan guru dan murid mengakses dan memahami materi-materi dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, kunci sukses di era global ini adalah penguasaan bahasa Inggris secara lisan dan tulis.

Dalam kontek penggunaan bahasa Inggris di kelas RSBI, guru diharapkan menggunakan bahasa Inggris dalam membuka pelajaran, menerangkan materi, memberi pertanyaan, memberi perintah, memberi contoh, menutup pelajaran dan lain-lain. Pada waktu bersamaan, murid juga diharapkan bertanya, menjawab, dan mengerjakan latihan-latihan dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, guru dan murid beriteraksi dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk mencapai tujuan belajar. Dalam tulisan ini, penulis akan mengangkat isu yang berhubungan dengan strategi komunikasi guru dalam mengajar MIPA menggunakan bahasa Inggris di kelas RSBI. Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian (studi kasus) di salah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Malang Jawa Timur. Penelitian tersebut dilakukan di tiga mata pelajaran: Matematika, Kimia dan Biologi dengan tiga instrument: observasi, wawancara dan kuesioner.

Strategi komunikasi dalam kontek ini adalah strategi guru MIPA dalam menyampaikan materi MIPA pada siswa dengan menggunakan bahasa Inggris. Tujuan penggunaan strategi secara umum adalah agar siswa memahami apa yang disampaikan guru. Fakta menunjukkan ada tiga strategi komunikasi yang dipakai guru Matematika, Kimia, dan Biologi dalam proses belajar mengajar. Tiga strategi ini meliputi penerjemahan, pindah bahasa, dan pengulangan.

Penerjemahan

Dalam penerjemahan ini, guru menerjemahkan kata, frase, dan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Polanya adalah pertama guru menjelaskan materi, memberi pertanyaan, atau memberi perintah dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada dua tipe

Page 3: KORAN PENDIDIKAN

penerjemahan dalam pola ini: penerjemahan sebagian dan penerjemahan penuh. Penerjemahan sebagian adalah guru menerjemahkan sebagian kalimat yang dianggap penting dan sulit dipahami siswa ke dalam bahasa Indonesia. Biasanya kalimat bahasa Inggrisnya panjang, berbentuk klausa, dan berisi konsep, teori atau formula. Selain itu, dalam penerjemahan ini, sumber bahasa Inggrisnya berasal dari materi yang telah dipersiapkan sebelumnya di handout atau worksheet. Guru hanya menyampaikan materi yang ditulis dalam bahasa Inggris dengan benar. Jadi guru tidak membuat atau menghasilkan kalimat bahasa Inggris sendiri. Tujuan penerjemahan ini adalah agar siswa mudah memahami konsep atau materi yang diajarkan. Jadi disini, siswa mengalami kesulitan konsep dan bahasa yang dipakai pada konsep tersebut.

Kedua, guru menerjemahkan semua kalimatnya ke dalam bahasa Indonesia. Kalimat bahasa Inggrisnya biasanya berbentuk kata, frase atau kalimat sederhana. Yang kedua ini, guru sendiri lebih banyak yang membuat bahasa sumbernya, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Namun, kadang kalimat yang dibuat guru salah secara gramatika dan membingungkan, sehingga siswa sulit menangkap maksudnya. Oleh karenanya, tujuan penerjemahan ini adalah memberi kemudahan pada siswa untuk memahami materi, pertanyaan, atau perintah secara langsung bukan dikarenakan konsep itu sendiri, melainkan bahasa yang dipakai guru membingungkan.

Dari segi manfaat, strategi penerjemahaan ini efektif dan membantu guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Bagi guru, penerjemahan tidak memakan waktu lama dan langsung. Guru bisa langsung menerjemahkan kalimat sumbernya ke dalam bahasa Indonesia. Konsep, teori, formula atau istilah bisa langsung disampaikan waktu itu juga tampa harus mencari cara lain. Bagi siswa, cara ini membantu mereka memahami konsep atau materi secara langsung dan mudah. Mereka tidak perlu berfikir dua kali atau menerjemahkan terlebih dahulu bahasa Inggrisnya. Sebanyak 44.4% siswa berpendapat bahwa penerjemahan sangat membantu mereka untuk memahami materi atau konsep yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini indikasi bahwa penerjemahan menjadi cara yang paling banyak diharapkan dalam proses belajar dan mengajar.

Pindah Bahasa

Cara yang kedua adalah pindah bahasa. Pindah bahasa ini adalah penggunaan dua bahasa (Inggris dan Indonesian) dalam satu kalimat atau klausa. Fakta menunjukkan bahwa selain penerjemahan, guru MIPA juga menggunakan pindah bahasa dalam proses belajar mengajar untuk memudahkan siswa memahami konsep atau materi yang disamapaikan dalam bahasa Inggris. Alur pindah bahasa ini yaitu pertama guru menggunakan bahasa Inggris, karena ada kesulitan, kemudian dilanjutkan dengan bahasa Indonesia. Kesulitan ini terjadi ketika guru menyampaikan materi, memberi pertanyaan, atau memberi perintah dalam bahasa Inggris pada siswa. Di tengah jalan, guru mengalami kesulitan, yaitu mereka tidak menemukan kata atau istilah bahasa Inggrisnya. Dalam keadaan darurat, guru akhirnya menggunakan kata atau istilah bahasa Indonesia untuk melanjutkan penjelasannya.

Pada dasarnya cara ini juga membantu guru dan siswa. Guru terbantu ketika mereka kesulitan menggunakan kata bahasa Inggris yang tepat. Tanpa mengurangi atau menghambat pemahaman siswa, guru bisa tetap melanjutkan materi yang disampaikan. Begitupula siswa, mereka tidak terhambat untuk

Page 4: KORAN PENDIDIKAN

memahami apa yang disampaikan guru. Sebanyak 25.92% siswa berpendapat bahwa pindah bahasa juga membantu mereka untuk memami materi dalam bahasa Inggris. Ini merupakan gambaran bahwa pindah bahasa bisa diaplikasikan dalam proses belajar mengajar. Namun, perlu diingat bahwa cara ini bukan semata-mata karena siswa, tapi karena guru yang tidak bisa mengunakan kata atau istilah yang sebenarnya dalam mengajar. Dengan kata lain, cara ini terbatas hanya ketika guru mengalami kesulitan.

Pengulangan

Cara berikutnya adalah pengulangan. Yaitu guru mengulangi kata, frase atau kalimat bahasa Inggrisnya berkali-kali. Biasanya pengulangan ini terjadi ketika guru menjelaskan konsep, memperkenalkan istilah baru, memberi pertanyaan, dan memberi perintah. Ada dua tujuan pengulangan yang dilakukan guru. Pertama adalah pengulangan untuk memberi penekanan pada kata atau istilah-istilah dan konsept tertentu yang sangat penting. Penekanan ini akan memberikan kemudahan pada siswa untuk mengenali dan memahami makna dari istilah tersebut. Kedua adalah pengulangan karena adanya kesulitan dan kebingungan dari bahasa Inggris guru. Ini banyak terjadi ketika guru memberi pertanyaan tentang materi. Sering kali guru harus mengulangi pertanyaannya karena siswa tidak memahami bahasa dan maksudnya.

Strategi ini juga membantu guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Seperti yang telah dijelaskan di atas, guru terbantu ketika ingin memberikan penekatan pada siswa dari istilah dan konsep tertentu yang penting dengan cara pengulangan. Selain itu, guru juga bisa membuat materinya mudah dipahami dengan cara diulangi. Bagi siswa, mereka bisa lebih mengetahui istilah atau konsep yang ditekankan termasuk pertanyaaan yang kurang dipahami. Sekitar 18.5% siswa beranggapan bahwa pengulangan juga membantu mereka untuk memahami materi dalam bahasa Inggris. Ini berarti pengulangan bisa dipakai dalam pembelajaran.

Namun, kelemahan cara ini adalah guru perlu waktu lama untuk mengulangi kata, frase atau kalimatnya. Sangat sulit atau tidak mungkin guru akan mengulangi setiap kata atau kalimat yang dirasa sulit dipahami siswa.

Kesimpulan

Dari fakta di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga strategi komunikasi guru MIPA dalam proses belajar mengajar menggunakan bahasa Inggris di kelas. Tiga strategi ini bisa dibilang membantu guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Dari tiga strategi, penerjemahan nampaknya yang paling efektif dalam hal penyampaian materi atau konsep pelajaran dan membantu pemahaman siswa. Penerjemahan bersifat langsung dan tepat, karena apa yang disampaikan guru bisa langsung dipahami siswa pada waktu itu juga. Siswa tidak perlu berfikir dua kali atau menerjemahkan bahasa Inggris guru untuk memahami materi.

Namun perlu diingat bahwa penerjemahan tidak bagus ketika dikaitkan dengan pengembangan bahasa siswa. Ketika guru menggunakan penerjemahan, ada kecenderungan siswa tidak memperhatikan materi yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Mereka lebih memilih versi bahasa Indonesianya. Hal sama juga

Page 5: KORAN PENDIDIKAN

terjadi jika pindah bahasa digunakan, siswa akan sering menjumpai kata atau istilah yang di-Indonesiakan. Sebaliknya, pengulangan sangat baik untuk pengenalan kata atau istilah baru pada siswa.

Saran

Dari kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pengembangan selanjutnya. Pertama, berkaitan dengan program RSBI, guru MIPA disarankan lebih meningkatkan kemampuan bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan guru berbahasa Inggris yang baik akan dapat mendukung program biligual dan mempermudah pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Semakin baik grammar, banyak kosa kata, dan lancar, semakin mudah guru dalam penyampaian materi. Peningkatan ini bisa dilakukan dengan cara kursus dan in house training yang lebih intensif di tingkat sekolah, regional atau nasional. Kedua, sehubungan dengan strategi komunikasi yang dipakai, para guru MIPA disarankan untuk mempertimbangkan keunggulan dan kelemahan masing-masing stretegi di atas. Penggunaan strategi harus ditetapkan berdasarkan efisiensi waktu yang digunakan dan kemudahan langsung dan manfaat bagi guru dan siswa.

Wali Kelas dan Keberhasilan Manajemen Kelas

Kelas merupakan suatu tempat anak belajar untuk mendapatkan ilmu, berinteraksi dengan teman serta pembentukan pribadi yang baik. Kegiatan belajar siswa yang berada di sekolah diharapkan harus intens untuk berada di kelas. Dalam lingkup kelas terdiri siswa yang dapat ditinjau dari cara belajar mereka, karakter siswa, hubungan sosial, kedisiplinan, tanggung jawab dalam Proses Belajar Mengajar.

Pada awal tahun pelajaran, pendidik mendapatkan pembagian jam mengajar yang tugas utamanya adalah mengajar sebagai tugas tambahan adalah wali kelas. Untuk kelancaran KBM maka yang harus dilakukan dengan penerapan empat fungsi dari manajemen; planning, organization, directing, dan controlling pengawasan atas kegiatan hasil pelaksanaan yang direncanakan dan ditargetkan.

Sebagai wujud perencanaan dari tugas tersebut dibentuklah Perangkat Kelas sebagai pelaksana aktifitas kelas sesuai fungsinya masing-masing dipilih secara demokrasi langsung memilih teman-temannya sendiri menjadi perangkat kelas.

Untuk pelaksanaan di kelas, maka pengelolaan yang dilakukan oleh perangkat kelas dievaluasi oleh wali kelas sebagai wujud pengawasan wali kelas, apabila ada permasalahan yang terjadi, apabila sangat diperlukan perlu adanya koordinasi dengan BK, dan keputrusan final/ akhir pada Kepala Madrasah atau Kepala Sekolah

Guru adalah sosok yang jadi panutan dan siswa perlu bimbingan demi keberhasilan masa depan mereka, apabila kita sebagai guru atau wali kelas bahwa dulu pernah seperti mereka yaitu juga pernah menjadi pelajar, pasti kita menginginkan keberhasilan cita-cita mereka, sehingga sesuatu yang dulu pernah gagal pada diri kita jangan terjadi pada mereka

Wali kelas harus jeli, kreatif dan inovatif pada situasi dan kondisi, agar anak dalam kelas selalu mendapatkan pengetahuan yang baik. Manajemen khusus yang harus dilakukan oleh wali kelas yang tidak mengesampingkan tugas utamanya sebagai guru. Yakni; Sebagai fasilitator, yang memberikan

Page 6: KORAN PENDIDIKAN

kemudahan- kemudahan bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar; Sebagai pembimbing, yang membantu siswa mengatasi kesulitan dalam proses belajar mengajar ; Sebagai penyedia lingkungan, yang berupaya menciptakan lingkungan yang menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar; Sebagai komunikator, yang melakukan komunikasi dengan siswa dan masyarakat; Sebagai model, yang mampu memberikan contoh yang baik kepada siswanya agar berperilaku yang baik; Sebagai evaluator, yang melakukan penilaian terhadap kemajuan belajar siswa; Sebagai motivator, yang turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaharuan kepada masyarakat; Sebagai agen moral dan politik, yang turut membina moral masyarakat, peserta didik serta menunjang upaya-upaya pembangunan; Sebagai agen kognetif , yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dan masyarakat; dan Sebagai manager, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga Proses Belajar Mengajar berhasil.

Selain hal yang di atas sebagai wali kelas mempunyai, pemikiran bahwa kelas harus dirancang dengan kondisi yang nyaman, agar peserta merasa in atau betah di kelas yang merupakan bagian penting, dalam upaya mendukung lancarnya pembelajaran di kelas, perduli dengan segala sesuatu yang terjadi di kelas.

Apabila kita tinjau bahwa perkembangan siswa selalu berubah setiap tahun, kita harus menyadari hal tersebut terjadi karena pergantian siswa setiap tahun yang masuk sebagai siswa baru dan keluar karena telah lulus dari sekolah tersebut, usia mereka yang semakin bertambah serta pergaulan dari lingkungan yang berbeda, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan cara pandang mereka, tingkah laku mereka , keinginan mereka, maka yang harus dilakukan oleh wali kelas bisa membaca keadaan yang terjadi, berpikir dinamis, selalu memberi penekanan secara bijaksana kepada siswa, supaya siswa dapat memilih mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, karena hal tersebut dapat mengakibatkan belajar, ibadah mereka menjadi teledor dan prestasi sekolah mereka turun.

Apabila kita memahami tugas kita sebagai tenaga kependidikan sangat menentukan keberhasilan siswa dan pembelajaran di sekolah, maka kita selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik serta memberikan manfaat bagi orang lain, karena apa yang kita lakukan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Dengan demikian kita akan menikmati apa yang kita kerjakan, dan tidak merasa terbebani serta berat dengan pekerjaan kita, Insya Alloh tujuan untuk mencapai keberhasilan manajemen kelas terwujud.

Melejitkan Potensi Anak Lewat Enneagram

Enneagram (baca: eni-e-grem), suatu tipologi kepribadian berawal dari Timur Tengah yang kemudian diadaptasi oleh Oscar Ichazo dan Claudio Naranjo pada tahun 1970-an. Dewasa ini minat terhadap Enneagram menyebar pesat di Amerika Serikat dan beberapa Negara lain.

Teori Enneagram membagi individu dalam kesembilan tipe, dengan tingkat yang berbeda-beda. Kesembilan tipe tersebut berurutan dari tipe satu sampai tipe kesembilan yaitu, Perfeksionis, Penolong, Pengejar Prestasi, Romantis, Pengamat, Pencemas, Petualang, Pejuang, Pendamai. Satu tipe bersifat primer (titik pusat Enneagram), dan lainnya merupakan sekunder (sayap). Sayap merupakan angka di kiri

Page 7: KORAN PENDIDIKAN

dan kanan angka Enneagram, sedangkan panah adalah tipe di ujung garis yang menghubungkan tiap-tiap angka.

Kecondongan yang tanpa disadari pada sayap dan bergerak mengikuti panah akan menimbulkan variasi dalam tiap tipe, misalnya seorang bertipe empat (Romantis) yang condong pada sayap lima (Pengamat) kemungkinan bersifat introvert, sementara jika condong pada sayap tiga (Pengejar Prestasi), kemungkinan menjadi ekstrovert. Dalam penggunaannya, manusia bisa bergerak secara sadar ke arah sayap dan panah untuk menguatkan karakter dan kemampuan tertentu.

Tipe kepribadian enneagram terbagi dalam 3 kelompok utama, yaitu Tipe 2,3 dan 4 dalam pusat jantung dan terkait dengan perkara citra dan hubungan

Tipe 5, 6, 7 berada dalam pusat kepala yang terkait dengan perkara rasa takut, tipe 8, 9 dan 1 berada dalam pusat perut dan terkait dengan perkara kemarahan

Pembelajaran pada kelas besar, akan tampak sangat ruwet jika guru belum dapat mengenal karakteristik siswa. Kelas dengan banyak murid 30- 40 siswa dengan guru 1 tentunya kan sangat membingungkan Guru, terutama saat pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu diperlukan pendekatan individual dengan enneagram untuk mengetahui potensi diri dari setiap siswa.

Misalnya ketika diskusi berlangsung, ada anak yang diam saja, mengamati only, ada anak yang berlarian, ada anak yang bertengkar dengan temannya yang lain tentu itu banyak faktor yang menyebabkannya. Nah enneagram ini membantu sejak dini para guru untuk dapat mengenal siswanya.

Dalam diskusi, ketika ada anak yang asyik mengamati, ada yang sibuk bertengkar, adalah dengan upaya pendekatan guru melalui type anak itu, misal anak tipe 1, perfeksionis, yang yakin bahwa hanya ada satu cara yang benar, untuk melakukan sesuatu, dia akan cenderung kesal dengan teman-temannya yang type 8, pejuang, (type ini anak akan melakukan berbagai cara untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang ada), bedanya dengan tipe 1, tipe 8 melihat berbagai peluang untuk menyelesaikan problem yang didiskusikan, kemudian type 6, pencemas, tipe anak yang dalam diskusi sering kali tertahan dalam pemikiran dan kecemasan, dan tidak mendapatkan kesimpulan,cenderung hati-hati dalam bersikap, takut apabila salah, tidak diterima, dan memliki temperamen yang berubah-rubah sesuai kondisi.

Nah apabila ketiga tipe tersebut ada dalam 1 kelompok diskusi, tentunya akan terjadi banyak permasalahan, yang satu ingin solusi A, yang 1 ingin solusi A, B, C dan yang lain sibuk dengan kecemasan dalam dirinya.

Nah dengan mengenal berbagai tipe ini diharapkan Guru mampu action mengarahkan ke arah positif cara berfikir mereka sesuai dengan tipe-tipe yang mereka miliki, tanpa menghilangkan ke’uniq’kan dalam diri mereka. Tetap menjunjung ke’uniq’an dan juga mem-bludak-kan kompetensi yang mereka miliki

Tujuan menggunakan Enneagram pada anak-anak adalah membantu kita (sebagai pendidik) mengalami diri atau semangat dasar anak dengan mengembangkan kesadaran kita akan tipe dan karakter yang ada.

Page 8: KORAN PENDIDIKAN

Dengan demikian kita tidak memaksakan suatu pembelajaran baik berupa substansi materi maupun cangkang pembelajaran (metode, gaya belajar, pendekatan) pada anak, karena sesungguhnya tiap anak memiliki karakteristik yang sangat unik.

Now, Misi kita adalah me’ledak’kan kompetensi Generasi Penerus untuk menjadi Agent Of Change, menuju Kebangkitan Bangsa, karena sesungguhnya kita semua adalah Pendidik. Pendidik bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar kita.

Urgensi MBS Menuju Keunggulan Sekolah

Salah satu bentuk reformasi pendidikan oleh pemerintah adalah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang merupakan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah secara mandiri. Indikasi MBS tampak pada wawasan segenap personal sekolah yang berorientasi pada mutu, pemberdayaan potensi sekolah yang dikoordinir oleh pimpinan sekolah secara transformasional, peran aktif semua pihak terkait dalam pelaksanaan, pengendalian mutu, dan keberhasilan pendidikan di sekolah bersama sekolah, masyarakat dan pemerintah secara proporsional.

Kebijakan MBS memberi peluang sekolah untuk menjadi makin unggul. Sekolah ber MBS artinya dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri sekolah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBS disusun sesuai tujuan sekolah, sebagai hasil kesepakatan kehendak sekolah, orang tua, dan masyarakat terutama pengguna lulusan sekolah.

Segala aktivitas pendidikan di sekolah diorientasikan berwawasan peningkatan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah lebih dari tanggung jawab financial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah tetapi juga tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan makin kentara oleh orang tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.

Wajah sekolah luar dan tampak dalam pengawasan mereka. Sekolah akan makin dituntut berbenah segala segi dalam menampakkan diri. Bermodal kejujuran, kesungguhan dan kemitraan terbuka bersama membangun sekolah menuju keunggulan semaksimal bisa . Semangat kerja tinggi meraih prestasi karena tujuan jelas untuk kepentingan bersama meraih cita-cita memajukan sekolah, inilah landasan kerja yang logikanya makin memacu kinerja mewujudkan keunggulan sekolah.

Bertambahnya sekolah berMBS di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan makin memunculan sekolah unggulan. Sebuah obsesi jika semua sekolah ber MBS maka kompetisi unggul dari yang unggul menjadi wacana . Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.

Kebijakan MBS memberi otonomi terhadap sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah secara mandiri. Tetapi otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari lembaga negara di bidang pendidikan , tentu tetap berlaku.

Page 9: KORAN PENDIDIKAN

Kondisi Negara Indonesia yang pluralistik dengan berbagai suku bangsa dan daerah dari kepulauan besar kecil serta wilayah terpisah di seluruh nusantara menjadi permasalahan tersendiri dalam mengimplementasikan kebijakan MBS. Untuk kepentingan pemetaan dan penentuan jenis pelayanan pemerintah dalam bidang pendidikan terhadap kebutuhan seluruh rakyat , maka ditetapkannya Standar Nasional Pendidikan ( SNP).

Asas persatuan dan kesatuan bangsa dengan semangat nasionalisme tak pernah tertinggalkan. Standar ini untuk memberi pedoman kriteria minimal pelayanan sekolah terhadap masyarakat dan untuk mencegah terjadinya ketimpangan kualitas pendidikan di masing-masing daerah di Indonesia. Standar yang dimaksud menjadi acuan agar sekolah tidak kualitas rendah dan standar juga tidak menjadi penghalang memuncaknya prestasi sekolah unggulan yang bisa jadi lebih dari standar yang ditetapkan.

MBS hendaknya diimplementasikan semua sekolah, karena melalui MBS sekolah tidak hanya berbenah tetapi juga memberdayakan potensi yang ada menuju keunggulan sekolah. Tidak ada alasan buat sekolah tidak bisa .Konsep MBS jelas menguntungkan sekolah. Penyelenggaraan MBS di sekolah artinya bahwa sekolah dikelola untuk kepentingan dan kemajuan sekolah, dedikasi yang tinggi untuk berprestasi dan pada akhirnya mencapai daya jual yang tinggi.

Tentu ini akan berdampak pada pemenuhan kesejahteraan personal sekolah baik secara material maupun spiritual. Tinggalkan kerangka berfikir lama, tidak perlu menunggu petunjuk pelaksanaan, jalankan MBS segera. Inovasi tiada henti benahi total quality secara mandiri dan terintegras. Jangan biarkan keberhasilan tertunda karena lambat menyikapi tuntutan era.yang makin diwarnai kemajuan teknologi dunia .

Ajaklah masyarakat bicara, kemana sekolah mau dibawa. Bersama memecahkan masalah, menentukan cita, satukan langkah meraih citra sekolah. Manajemen berbasis sekolah untuk meraih akuntabilitas sekolah dan pencitaan publik yang berharga bahkan secara nasional good government adalah indikasinya.

Belajar IPA Melalui Metode Puzzle Aktif (11)

KTSP memberi rambu-rambu pokok dalam pengembangan program dan pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu: 1) menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup dalam pemenuhan kebutuhan melalui pemecahan masalah, bukan sekedar menyerap produk IPA, 2) menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah serta dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiri) dan 3) dirancang agar siswa mengeksplorasi isu-isu sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat serta membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi kerja ilmiah.

Pengembangan kemampuan siswa dalam bidang IPA merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Metode Puzzle aktif (MPA) merupakan metode pembelajaran kolaborasi antara permainan jigsaw puzzel dengan metode PAKEMI, melalui metode puzzle aktif siswa mendapatkan pengalaman secara langsung, membuktikan konsep secara menyenangkan, menggali kreatifitas, melatih cara berfikir tingkat tinggi, menguatkan

Page 10: KORAN PENDIDIKAN

hafalan, belajar bekerja sama dengan teman dan akhirnya siswa memperoleh kebenaran secara nyata dan ganda. Dengan metode puzzle aktif siswa berfikir merangkaikan kepingan gambar dan tulisan sebuah konsep IPA tak beraturan sehingga membentuk konsep yang saling bertautan.

Pertimbangan penerapan MPA yang terpenting adalah penentuan materi didasarkan pada pertimbangan keluasan dan tingkat kesulitan, permasalahan yang sering timbul dalam pembelajaran hal tersebut bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk menerapkan MPA pada topik yang lain.

Secara skematis penerapan MPA dalam pembelajaran IPA terdiri atas 3 tahapan, yaitu: 1) tahap persiapan, 2) tahap pelaksanaan dan 3) tahap mengakhiri kegiatan. Keseluruhan tahapan digambarkan secara skematis dalam gambar.1 berikut ini:

Penerapan MPA untuk pembelajaran IPA telah meningkatkan hubungan yang positif antar individu. Individu-individu yang heterogen bekerja bersama untuk suatu tujuan, telah membuat mereka belajar sebagaimana yang lainnya. Kekuatan menonjol dari pembelajaran metode ini adalah pencapaian hasil yang positif, memperbaiki hubungan antar siswa, mampu meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa.dan meningkatkan prestasi belajar. Apek lainnya adalah penggunaan metode ini mudah, jika diikuti oleh perubahan paradigma mengajar dari behavioristik ke konstruktivistik dengan menggunakan berbagai metode (multi methods), multi media (multi media).

Penerapan MPA di kelas cukup mudah, apabila guru telah memahami kaidah-kaidahnya sebagai berikut:

Perubahan paradigma guru dari konsep belajar behavioristik ke konstruktifistik bahwa pemberdayaan siswa dalam pembelajaran dengan memberi kesempatan pada siswa, untuk sharing pengetahuan, mencari, mendialogkan, akhirnya mengkonstruksikan pengetahuan dan pengalaman serta ketrampilan baru secara aktif.

Pergunakan media kepingan gambar dan tulisan sebagai sumber belajar untuk untuk penerapan siswa aktif dan sarana menemukan konsep secara mendalam

Pemilihan materi yang tepat dan untuk mengajarkan topik sebaiknya dilaksanakan dengan kegiatan menggali dan menemukan sendiri

Berdayakan siswa untuk aktif melakukan, mengemukakan pendapat dan bertanya secara terbuka baik peda guru maupun teman

Ciptakan suasana diskusi mendalam antar siswa dan antara siswa-guru oleh karenanya upayakan untuk selalu belajar dalam kelompok

Berilah peserta didik kesempatan untuk melakukan refleksi sebelum pelajaran berakhir

Penilaian hendaknya tidak hanya berdasarkan tes tetapi proses dalam pembelajaran

Akhirnya semoga artikel ini dapat memberikan kontribusi dalam mendorong keberhasilan siswa dalam belajar IPA. Selamat mencoba dan pasti hasilnya lebih maksimal. Selamat berkarya.

Page 11: KORAN PENDIDIKAN

Peran Penting PTK dalam Keberhasilan Belajar

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang guru di kelasnya sendiri atau dilakukan dalam pembelajaran biasa bukan kelas khusus. PTK dijalankan dengan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja guru sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

Manfaat penelitian ini memberikan dampak positif ganda yaitu pertama, peningkatan kemampuan dalam menyelasaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata. Kedua, peningkatan kualitas isi, masukan, proses dan hasil belajar. Ketiga, peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan lainya. Keempat, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian sebagai upaya peningkatan kemampuan meneliti di masa lalu yang cenderung dirancang dengan pendekatan RDD (Research Development Dissemination).

Pendekatan ini lebih menekankan perencanaan penelitian yang bersifat topdown dan bersifat kuat orientasi teoritiknya. Paradigma demikian dirasakan tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran baru, khususnya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Pendekatan ini menitikberatkan pada upaya perbaikan mutu yang inisiatifnya berasal dari motivasi internal pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri (an effort to internally initiate endeavor for quality improvement) dan bersifat pragmatis naturalistik.

Melalui PTK masalah-masalah pendidik dan pembelajaran dapat dikaji, ditingkatkan dan dituntaskan sehingga proses pendidikan dan pembelajaran yang inovatif dan hasil belajar yang lebih baik dapat diwujudkan secara sistematis. Pelaksanaan PTK diharapkan dapat menciptakan sebuah budaya belajar (learning culture) di kalangan guru dan siswa di sekolah. PTK menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja sebab pendekatan penelitian ini menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan sebagai peneliti dan sebagai agen perubahan yang pola kerjanya bersifat kolaboratif.

Beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru yaitu PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka, tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakuan apa yang dia dan muridnya. PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional.guru tidak lagi sebagai seorang praktis yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi namun juga sebagai peneliti dibidangnya.

Dengan melaksankan tahapan-tahapan dalam PTK guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terjadi di kelasnya.Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang dikelasnya. Pelaksanaan PTK tidak mengganggu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.

Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk

Page 12: KORAN PENDIDIKAN

memperbaiki atau meningkatkan kualitas praktik pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatkan mutu hasil instruksional, mengembangkan ketrampilan guru, meningkatkan relevansi,meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.

Membangun Intuitif Moralistic pada Anak

Mencermati permasalahan yang dihadapi oleh anak masa puber sangat mengundang perhatian para pemerhati anak dan remaja. Peristiwa demi peristiwa mewarnai kehidupan anak-anak puber modern yang telah melampaui dan lebih jauh lagi keluar dari tatanan nilai-nilai moral yang telah dibangun ratusan tahun silam oleh nenek moyang dan agama. Mereka lebih senang membangun nilai-nilai baru yang berkembang masa kini.

Pendidikan yang berkembang selama ini cenderung mengandalkan pada kecerdasan intelektual. Model seperti ini hanya menekankan pada ketercapaian secara intelegensia dengan tolok ukur nilai ulangan, nilai tugas atau nilai rapor yang tinggi. Dengan kata lain pengembangan pendidikan di sekolah adalah kemampuan otak kiri (logis rasionalistic). Sedang intuitif moralistic (pembentukan moral) cenderung diabaikan.

Padahal pembentukan moral amat penting dalam pertumbuhan anak agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya tanpa harus terpengaruh dengan nilai-nilai negatif yang ada. Intuitif moralistic juga penting dalam mengasah kepekaan dan kemampuan emosi spiritual. Perubahan tatanan nilai memang tidak sekara terjadi pada anak namun juga terjadi pada pendidik.

Perubahan sikap negatif (negative attitude) terkadang murni tidak muncul dari keunikan yang dimiliki namun lebih dipengaruhi oleh external factor. Sikap yang muncul kebanyakan bentuk peniruan dari media tontonannya atau dikarenakan pada dunia global saat ini dimana media menjadi sangat bebas tersebar dikalangan anak-anak tanpa filter terhadap perilaku luar dirinya.

Media elektronik saat ini memang menjadi konsumsi harian dengan segala macam tontonannya yang tidak pantas ntuk anak-anak. Hasilnya dampak tontonan ini terwujud menjadi perilaku anak-anak. Pada prinsipnya anak banyak belajar dari apa yang dilihat daripada apa yang didengar dan akan lebih melekat dengan apa yang dilakukannya. Oleh karena itu tidak selamanya anak itu salah dan diberi hukuman atas perilakunya.

Selain external factor sebagai penyebab prubahan negative attitude, ada pula faktor unfocus dari pendidik yang harusnya lebih perhatian terhadap intuitif moralistic. Pendidik tidak memperhatikan kelebihan atas kemampuan masing-masing siswa sehingga pekerjaan utama pendidik telah lepas dari hakikat mengajar yaitu menjadikan anak mampu belajar dan memiliki moral terpuji.

Sikap seperti inilah yang menjadikan anak tidak bangga lagi dengan perubahan sikap positif dirinya namun lebih bangga dengan pengumpulan nilai tinggi terhadap mata pelajaran. Logis rasionalistic menjadi dominan dalam diri anak dan menguasai obsesi dirinya untuk mencapai nilai tertinggi tanpa memedulikan terhadap potensi intuitif moralistic yang dimiliki.

Page 13: KORAN PENDIDIKAN

Dengan pendidikan yang mengedepankan intuitif moralistic pada anak-anak akan menjadikan mereka bertahan dan mampu menghadapi efek globalisasi. Intuitif moralistic yang dimaksud adalah pendidikan moral melalui agama dan pembiasaan terhadap perbuatan baik anak, baik yang harus dimunculkan oleh pendidik maupun teman sejawatnya.

Intuitif moralistic terwujud dari aktivitas yang diberikan terhadap anak baik pada saat pembelajaran maupun aktivitas di luar pembelajaran dengan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kepekaan anak terhadap sikap orang lan maupun lingkungannya. Oleh karenanya perlu ada perhatian dan peningkatan penerapan intuitif moralistic yang berbentuk pemberian motivasi moral.

Tujuan pemberian materi tersebut dalam rangka mengetuk dan melembutkan hati pendidik dan anak-anak kerena prinsipnya kepekaan moral akan mudah masuk pada diri seseorang ketika hati mulai lembut dan peka terhadap kondisi lingkungan. Pelaksanaan materi atau kegiatan tersebut dapat dilakukan setiap saat di sekolah atau sesuai pengelompokan permasalahan anak.

Faktanya, seringkali sekolah melakukan self intropection kontemplasi hanya pada saat mendekati ujian nasional. Itu pun dalam rangka bisa lulus dalan ujian artinya nilai masih menjadi dominasi tujuan (value dominating). Jika intuitif moralistic diterapkan sejak dini maka sekolah atau lembaga pendidikan tidak akan lagi diibukkan dengan kenakalan anak dan pada saat persiapan ujian akhir mereka sudah memahami tanggung jawabnya.

Untuk melaksanakan intuitif moralistic perlu adanya komunikasi aktif antara pendidik dan anak-anak selaku peserta didik sehingga pelaku pendidikan saling memahami dan dipahami maka visi dan misi pendidikan yang diharapkan segera tercapai dengan baik

Membangun Mental Siswa dengan Asmaul Husna

Istilah Asmaul Husna tentu tidak asing bagi umat Islam terlebih bagi kalangan santri baik di pondok pesantren maupun sekolah keagamaan (madrasah). Asmaul Husna berasal dari bahasa Arab, yakni kata Asma (bentuk jamak dari kata ism) yang berarti nama-nama dan kata Husna yang artinya paling baik atau terbaik. Jadi Asmaul Husna dapat didefinisikan sebaga nama-nama Allah yang terbaik.

Menurut Prof DR Quraisy Shihab, Asmaul Husna bisa dijelaskan sebagai nama-nama Allah yang menunjukkan sifat-sifat Nya. Penyebutan dalam bentuk kata superlatif itu memberi pengertian bahwa nama-nama tersebut bukan hanya baik, tetapi yang terbaik jika dibandingkan dengan yang selain Allah SWT. Sifat Rohman (pengasih) misalnya, manusia juga punya tetapi tentu tidak sama dengan sifat pengasih yang dimiliki Allah.

Jumlah nama-nama Allah yang terbaik (Asmaul Husna) sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ada sembilan puluh sembilan. “Inna lillahi tis’un watis’ina isman, man ahshaha dakholal jannah”. Artinya : Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghafalnya niscaya Allah akan memasukkan dia ke surga (HR. Bukhari Muslim).

Arti yang tersurat dan tersirat dalam Asmaul Husna memaklumkan kepada kita bahwa betapa baiknya sifat-sifat Allah SWT dan betapa indah dan agungnya ketika kita renungkan dengan kondisi pikiran dan

Page 14: KORAN PENDIDIKAN

hati yang bersih. Nama nama Allah yang sembilan puluh sembilan itu perlu dibaca supaya keyakinan dan iman kita kepada Allah semakin kuat dan mantap serta dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang kita hafal.

Hati manusia selalu dipengaruhi dua kekuatan yaitu kekuatan Ilahiyah (ketuhanan) kekuatan syaithoniyah (setan). Apabila hati penuh dengan keimanan maka akan mengarah dan membimbing kita pada sikap dan tingkah laku yang positif. Sebaliknya bila hati kurang terisi keimanan tentu bisikan setanlah yang dominan, sehingga segala ucapan dan tingkah laku selalu mengarah pada kejelekan sebagaimana sifat setan.

Sifat dan perbuatan setan itu dilaknat oleh Allah SWT. Nabi telah bersabda dalam potongan haditsnya; “Inna fil jasadi mudghotan idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu, waidza fasadat fasadal jasadu kulluhu, ala wahiyal qolbu”, artinya sesungguhnya dalam tubuh (manusia) ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baiklah semua anggota tubuh dan apabila segumpal daging itu jelek maka jeleklah semua nya. Ingatlah, itu adalah hati.

Sebagian dari sifat-sifat Allah SWT Telah diberikan pula kepada manusia sejak ia dilahirkan. Sifat –sifat baik dan terpuji yang menjadi pembawaan sejak lahir itu dalam bahasa agamanya disebut dengan fitrah. Hati seseorang telah merekam sifat-sifat Allah, dan apabila rekaman itu dapat dipelihara sampai dewasa maka pancaran sifat uluhiyah yang terangkum dalam Asmaul Husna itu akan menjadikan dirinya mulya.

Namun jika fitrah itu sudah terkontaminasi dengan sifat-sifat yang buruk maka akan berkurang pula derajat kemulyaan yang dimiliki. Derajat kemulyaan yang dimiliki setiap orang tidak sama, ini sangat tergantung pada seberapa jauh mereka mampu mengimplementasikan sifat ketuhanan /fitrah dalam kehidupannya.

Fitrah yang dimiliki setiap orang dari kita menjadikan kita mengetahui dan juga sensitif

terhadap perbuatan yang salah . Ketika kita akan melakukan suatu perbuatan keji pastilah hati nurani mengetahui bahwa perbuatan itu salah dan membisikkan kepada kita agar tidak melakukannya. Ketika kita melakukan perbuatan keji maka pasti ada perasaan takut sehingga secara psikologis orang yang berbuat keji ,memiliki atau menyimpan suatu kesalahan maka akan muncullah perasaan was-was, khawatir,dan ketakutan, karena ia telah dihantui oleh perasaannya sendiri.

Berangkat dari sinilah perlunya kita menanamkan sifat-sifat Allah yang terangkum dalam asmaul husna untuk membentuk mental kita dan anak-anak kita agar selalu disinari dengan pancaran asmaul husna . pembentukan mental itu akan lebih baik dan lebih mudah ditanamkan pada saat usia masih muda, artinya ditanamkan sejak anak masih di bangku sekolah dasar. Krisis berkepanjangan yang terjadi di negara kita yang tercinta ini jika di teliti sebenarnya berasal dari krisis moral. Karena itu penanaman dan pembentukan moral dirasa sangat penting , sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini dijadikan barometer kualitas sumberdaya manusia.

CPNS, Siapkah Mengabdi

Page 15: KORAN PENDIDIKAN

Ada orang pernah cerita, dulu jarang orang yang mau jadi pegawai negeri sipil (PNS) sebab gajinya memang kecil. Setiap bulan dapat beras jatah yang kalau dimasak nasinya mekar dan kalau sudah dingin rasanya keras untuk dimakan. Hingga cukup banyak yang menyerah terutama kaum pria yang jadi tumpuan harapan keluarga terpaksa meninggalkan tugas kepegawaian dan memilih bekerja di pabrik demi mencapai nominal penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sekarang bersyukurlah bagi mereka yang telah telaten dan penuh kesabaran dalam mengabdi mendapatkan kesejahterahan yang semakin baik dari pemerintah. Dari fasilitas kesehatan,kemudahan kredit di bank, beasiswa, dan jaminan hari tua. Belum lagi gengsi yang juga meningkat. Sehubungan kebijakan tersebut minat untuk menjadi pegawai negeri dari para tenaga kerja tampaknya semakin tak terbendung. Terbukti jumlah pelamar tes CPNS selalu membludak tiap tahunnya.

Sayangnya kesejahteraan yang semakin meningkat tidak serta merta diikuti kesadaran untuk meningkatkan kinerja.Tidak jarang ditemui oknum pegawai pada instansi pemerintah pada jam kerja bukannya konsentrasi di ruangan tapi cari sarapan plus ‘ngopi’. Atau kalaupun di meja kerja asyik main game dan customer yang butuh layanan harus rela nunggu “game over”. Kalau di lembaga pendidikan memang berbeda. Ada juga guru yang selalu alergi dengan metode pembelajaran terbaru padahal metode tersebut applicable untuk diuji cobakan. Memang kedengaran ironi guru yang selalu memotivasi murid untuk rajin belajar kok (ternyata) malas belajar.

Memang hak siapapun dan sah saja orang ingin jadi pegawai negeri selama memenuhi kriteria yang ditentukan. Dan bila akhirnya diangkat jadi pegawai memang kita berhak untuk mendapatkan kesejahterahan yang lebih baik. Tapi alangkah bangga dan rela bangsa ini jika memberi kehidupan yang lebih baik bagi orang yang melayani masyarakat melebihi dirinya dan orang mendapat lebih banyak materi untuk orang tidak kenal lelah belajar untuk memberi bimbingan yang terbaik.

Sudah saatnya kita meniru para pegawai negeri layaknya di negara-negara maju.

Setiap hari mereka datang “on time” dan ditengah kesibukan mereka mengolah data di komputer sambil menjawab telepon, mereka masih sempat tersenyum dan bertanya pada customer,”What can I do for you?”. Bagi guru sudah saatnya membuka diri untuk lebih pro-aktif dalam pendekatan terhadap siswa apalagi untuk siswa yang bermasalah.

Tidak asing guru-guru di negara maju menghubungi orang tua murid baik via telepon maupun visitasi jika memang dianggap perlu,tidak harus merasa lebih dibutuhkan. Di samping itu mereka meng up grade kompetensi dan kapabilitas mereka dengan mengambil kuliah / pendidikan lanjutan agar bisa memberi ilmu yang lebih up to date kepada anak didik dan bukan sekedar untuk memenuhi prasyarat kepangkatan.

Akhirnya,siapkah kita menjadi pegawai negeri yang mengabdi, melayani, mendidik bukan hanya mengajar, dan do the best for always. Sanggupkah kita memegang amanah itu berpuluh-puluh tahun kemudian. Akan sangat mulia jika kita mampu menjaga dedikasi sejak awal hingga purna tugas nanti.

Perlukah Pengadilan Pendidikan

Page 16: KORAN PENDIDIKAN

Di negeri ini, sepanjang yang diketahui penulis, ada dua macam pengadilan; pertama pengadilan negeri yang menangani hukum pidana dan perdata, kedua pengadilan agama yang mengurusi NTR (nikah, talak, dan cerai). Lalu bagaimana dengan fenomena banyak siswi hamil yang tidak bisa ikut ujian, atau guru yang dilaporkan ke polisi gara-gara mencubit siswanya, perlukah dibentuk pengadilan pendidikan?

Bila dicermati dari tingkat ‘permasalahannya’ apa yang terjadi di lingkungan pendidikan memang bermacam. Pada kadar tertentu bisa masuk kategori pidana, namun tidak sedikit sebenarnya permasalahan yang ringan dan bisa diselesaikan dengan pendekatan pendidikan. Penulisa membayangkan adanya suatu pengadilan pendidikan yang secara khusus menangani kasus siswa dan guru.

Tujuan dari pengadilan pendidikan ini adalah pertama unsur punishment (hukuman) yang mendidik bagi para pelaku, baik pendidik (guru/orangtua) dan tenaga kependidikan serta peserta didik / siswa; kedua menemukan jalan keluar terbaik yang tentunya ada peraturan tersendiri dalam hukum pendidikan! Atau Undang-undang yang berisi kategori punishment yang berlaku.

Ketiga, adanya pemisahan permasalahan pendidikan dan masalah pendidikan yang menyangkut hukum pidana/perdata. Keempat tidak ada pihak yang merasa di rugikan atau di untungkan dalam perkara pendidikan yang sedang terbelit masalah. Tak dapat di pungkiri sistem pendidikan sekarang berbeda dengan jaman kakek/nenek atau bapak/ibu kita dahulu.

Zaman dulu siswa yang tidak memperhatikan guru pada saat KBM, ngantuk di kelas atau tak dapat menyelesaiakan soal, sudah biasa jika push up, skot jam, pukulan dengan penggaris, cubitan, mengepel KM/WC. Dan kejadian tersebut jarang sekali diangkat dalam media cetak/ elektronik permasalan ini kala itu. Penulis sempat mengalami sendiri jenis hukuman tersebut, namun sifat guru dahulu ngemong.

Setelah hukuman selesai di jalani siswa, guru memanggil siswa yang bersangkutan. Tugas sebagai konselor pun berperan, alasan sebab dan akibatnya mengapa sampai hukuman terjadi padanya di bicarakan. Pada akhirnya perdamaian terjadi dan tidak ada dendam/benci pada guru yang bersangkutan. Orang tuapun menanggapi biasa masalah di sekolah tersebut yang terjadi pada putra-putrinya.

Apalagi Orang tua jaman dulu percaya sepenuhnya pada guru dan sekolah yang bersangkutan. Di awal menyekolahkan putra-putrinya telah terjadi akad/kesepakatan tak tertulis ” Titip anak kulo supoyo dados lare pinter. Nek nakal njenengan jewer mboten nopo”. Gambaran tersebut salah satu sistem pendidikan jaman dahulu yang mana orang tua juga masih buta dengan metode pendidikan ini dan itu.

Tentu metode dulu yang berbau kekerasan di anggap tidak berlaku lagi karena tidak mendidik anak. Betulkah demikian! Perhatikan berbagai sistem pendidikan sekarang yang telah berkembang pesat, salah satunya ada Sekolah Ramah Anak (SERA). Komunikasi adalah jalan keluar, tak perlu penyelesaian masalah dengan kekerasan, demikian slogan singkatnya.

Pendidik tidak di perkenankan sama sekali memperlakukan siswanya secara kasar baik Psikologis maupun fisik. Tapi berapa banyak sekolah yang menerapkan sistem ini? Dan orang tua/wali murid sekarang makin pinter pula karena sarana prasarana sekarang makin canggih, bahkan adakalanya

Page 17: KORAN PENDIDIKAN

seorang wali murid berbantah-bantahan mengenai metode pendidikan dengan guru si anak. Karena visi misi yang tak sama.

Pengadilan pendidikan ini nantinya menangani semua masalah yang berada dalam lingkungan sekolah ataupun lembaga informal lainnya ( kursus/ pelatihan) mulai tingkat prasekolah (TK) sampai Perguruan tinggi yang di alami oleh pendidik dan peserta didik. Dalam kategori masalah pendidikan berat yang mengarah kriminalitas baru di ambil tindakan oleh pihak berwenang.

Contoh masalah pendidikan berat siswa pemakai NARKOBA, pelaku oknum guru koruptor, penyelewenagan Bos dll. Di harapkan pihak sekolah tetap berwibawa dan orang tua tak terdholimi oleh oknum. Kita berharap saja mudah-mudahan ada perubahan dan perhatian lebih serius dari pihak-pihak terkait untuk mengarah pendidikan yang labih baik.

Tiga Langkah Menguatkan Peran Komite Sekolah

Tanggung jawab pendidikan saat ini tidak mutlak milik pemerintah, peran serta masyarakat juga dilibatkan. Representasi dari keterwakilan masyarakat dalam pendidikan salah satunya adalah komite sekolah. Seperti tertuang dalam Keputusan Mendiknas No 044/U/2002, komite sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan.

Diharapkan dengan adanya payung hukum ini, fungsi komite sekolah sebagai unsur masyarakat yang mampu mendorong terciptanya kualitas pendidikan di setiap sekolah, akan menjadi lebih baik. Meskipun mempunyai wewenang yang sempit namun bila segenap daya dan upaya dari komite sekolah terus difasilitasi oleh pimpinan satuan pendidikan setempat maka dapat mensukseskan visi misi dan program yang telah direncanakan oleh pihak sekolah.

Ada beberapa langkah dalam upaya memaksimalkan peran komite sekolah tersebut. Pertama, di setiap sekolah hendaknya melaksanakan sistem manejemen yang dilandasi rasa kejujuran dan tanggung jawab. Dua hal ini menjadi modal awal dalam membangun kerjasama yang bagus antara komite sekolah dan sekolah, sebab kedua sikap itu sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diyakini mampu mewujudkan sikap optimis dalam membangun sekolah.

Apabila dalam sebuah satuan pendidikan tidak menemukan sikap kejujuran dan tanggung jawab, baik itu oleh kepala sekolah maupun komitenya, meskipun sekolah tersebut mempunyai dana yang besar dan personalia yang cerdas, bisa jadi keberlangsungan dari perkembangan sekolah tersebut akan berusia tidak lama. Bahkan dalam sekolah berkategori demikian bisa terjadi masalah korupsi dan kolusi yang merajalela.

Oleh karenanya, setiap seseorang yang diserahi menjadi komite sekolah hendaknya selalu berupaya mengawal dan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab kepada segenap personalia di satuan pendidikannya. Kedua, hendaknya di setiap satuan pendidikan, kriteria penyusunan komite sekolah dipenuhi dengan orang-orang yang paham mengenai pendidikan. Hal ini dilakukan agar dalam melakukan fungsinya, komite sekolah mampu mengerjakannya dengan profesional.

Page 18: KORAN PENDIDIKAN

Selama ini fungsi komite sekolah hanya kebanyakan sebagai “tukang stempel” sekolah. Misalnya saja, pada musim tahun ajaran baru komite sekolah hanya difungsikan sebagai pihak yang bertugas mengumpulkan sumbangan pembangunan untuk sekolah. Seakan-akan mereka menjadi pihak yang melegitimasi kebijakan sekolah dalam melaksanakan penarikan sumbangan. Padahal sesungguhnya fungsi komite sekolah tidak sekerdil itu.

Seharusnya komite sekolah difungsikan sebagai corong suara wali murid dan mediator antar sekolah serta masyarakat umum. Fungsi ini yang terlihat belum begitu menonjol. Akibatnya komite sekolah dalam sebuah satuan pendidikan hanya terlihat sebagai unsur pelengkap yang mempunyai fungsi dan kewenangan yang terbatas. Kontribusinya terhadap sekolah pun dianggap minim.

Ketiga, dirasa perlu adanya pembinaan dan pengembangan kompetensi komite sekolah baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Hal ini dilakukan agar mutu pelaksanaan fungsi komite sekolah lebih maksimal. Modal pembinaan dan pengembangan kompetensi komite sekolah bisa berupa workshop, seminar, maupun pendekatan lainnya yang berorientasi pada peningkatan kompetensi komite sekolah tersebut.

Dengan dimaksimalkan peran komite sekolah dalam membangun satuan pendidikan, diharapkan keterlibatan masyarakat dalam dunia pendidikan semakin intensif dan mempunyai kontribusi yang nyata.. Bila sekolah ingin maju, melibatkan komite sekolah merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditinggalkan Langkah ini juga sebagai dasar pelaksanaan undang-undang no 20 tahun 2003 yang mengamanatkan pentingnya melibatkan masyarakat dalam dunia pendidikan dan sebagai usaha nyata penerapan menejemen berbasis sekolah di seluruh Indonesia.

Membangun Pendidikan Berbasis Sinergi Keluarga dan Sekolah

Dalam Islam, pendidikan memperoleh tempat dan posisi sangat tinggi. Melalui pendidikan, orang dapat memperoleh ilmu yang berujung pada pencapaian makrifatullah. Atas dasar ini, proses pencarian ilmu harus terus menerus dilakukan; dimana dan kapanpun berada. Dengan sifat pendidikan yang berlangsung sepanjang hidup ini, prosesnya bisa dilakukan dalam keluarga, masyarakat, dan kelembagaan yang ada.

Sayangnya masyarakat masih beranggapan bahwa yang dikatakan pendidikan itu adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Sementara apa yang terjadi di luar sekolah, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sosial atau masyarakat, bukan dianggap sebagai suatu proses pendidikan. Siapakah yang bertanggung jawab ? dan siapakah yang bersalah?

Permasalahan di atas sebenarnya dapat diselesaikan jika masing-masing mengerti dan memahami tugas dan tanggung jawabnya, sebab itu harus ada kerja sama secara sinergis untuk pendidikan anak didiknya. Bukankah pendidikan itu merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat ?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain; Sutari Imam Barnandip (1983), Satyah Imam Sayono (1983), Sri Rahayu Haditomo (1983, 1984), Sumadi Suryabrata (1984), David

Page 19: KORAN PENDIDIKAN

McCelland (1973), memberikan kesimpulan bahwa pola asuh yang dilakukan oleh keluarga (orang tua) terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan anaknya.

Pola asuh otoriter akan menyebabkan anak menjadi penakut, tidak dapat gembira, dan semangatnya penjadi patah. Sementara pola asuh permisif, akan menyebabkan anak manja, sikap hidup yang bebas, susah diatur dan mau menangnya sendiri. Dari berbagai pola asuh yang ada maka yang paling sesuai untuk dilakukan adalah pola asuh demokratis.

Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan, perkawinan, persusuan dan pemerdekaan (Muhaimin, 1993:289). Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, dimana orang tua menjadi pendidiknya yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anaknya.

Secara sederhana, kewajiban orang tua hanyalah mengembangkan apa yang secara primordial sudah ada pada anak, yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya. tetapi di sisi lain orang tua juga mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggung jawab utama jika sampai terjadi si anak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya itu, sehingga menjadi manusia dengan ciri-ciri kualitas rendah.

Inilah salah satu makna sebuah hadis yang amat terkenal yang menegaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (nature,kesucian), kemudian ibu bapaknya-lah yang berkemungkinan membuatnya menyimpang dari fitrah itu.

Melihat tugas dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anaknya di atas, maka harus dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal, harus dilihat sebagai kelanjutan rumah tangga, sedangkan para pelaku pendidikan seperti guru-guru dan kaum pendidik adalah wakil-wakil orang tua dan pelanjut peran orang tua menumbuhkan dan mengembangkan anak mereka.

Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Karena itu, amanat logis bahwa dari para orang tua diharapkan adanya hubungan emosional yang positif dengan lembaga-lembaga dan para pelaku pendidikan anak mereka. Satu hal penting yang harus dipahami adalah bahwa, sikap dan prestasi anak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya, bukan tingkat status sosial secara umum. Wa Allah a’lamu bi al-shawab.

Menguji Kepedulian Pejabat Publik terhadap Pendidikan

Pemikir pendidikan berkebangsaan Prancis, Edgar Morin, pernah mengungkapkan bahwa pendidikan adalah ‘kekuatan masa depan’ yang memiliki daya ‘magis’ sebagai agen perubahan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemerintah sudah memegang kendali kebijakan melalui pendidikan agar masa depan anak negeri ini penuh kepastian. Hanya hingga saat ini kendali itu belum sepenuhnya bisa dilakukan.

Indikator gagalnya pemerintah menjalankan amanat ini di antaranya (1) kebijakan yang kontra produktif terjadi, seperti sekolah gratis ternyata belum bisa dijalankan optimal; (2) fasilitas vital berupa sarana

Page 20: KORAN PENDIDIKAN

prasarana pendidikan, seperti gedung sekolah yang memprihatinkan, meja dan kursi yang reyot, buku dan peralatan yang sudah usang, serta kondisi jalan yang semakin parah.

Gedung sekolah yang nyaman merupakan kebutuhan mutlak bagi terlaksananya proses pembelajaran yang efektif. Dengan ketersediaan sarana prasarana yang memadai akan sangat membantu keberlangsungan pembelajaran yang baik, efisien, efektif, dan akhirnya membuat ‘betah’ peserta didik berlama-lama di sekolah.

Namun sungguh ironis, sekolah yang seharusnya berfungsi sebagai rumah ke dua bagi peserta didik dalam mengikuti proses mencerahan pikir dan penambahan bekal ilmu kenyataannya jauh berbeda, kondisi bila sarana dan prasarananya masih buruk. Dampak itu diantaranyaPertama, dampak fisik yaitu efek dari gedung sekolah yang ambruk dan mengakibatkan siswa akan cedera atau bahkan kemungkinan bisa meninggal dunia karena tertimpa gedung yang sudah aus dan lapuk tersebut.

Kedua, dampak psikis yaitu munculnya rasa was-was dan khawatir dari berbagai pihak. Siswa, orang tua, dan dewan guru karena kecemasannya melihat kondsi bangunan yang memprihatinkan dan sewaktu-waktu menimpanya. Akibatnya bisa ditebak, proses pembelajaran yang diharapkan menyenangkan tidak mungkin bisa berjalan optimal.

Ketiga, dampak sosial yaitu yang berkaitan dengan nilai kepercayaan dari masyarakat terhadap sekolah (pemerintah), khususnya upaya serius dari pemerintah untuk melakukan pembenahan yang benar, sesuai dengan janji-janji pejabat publik. Ternyata, kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka belum bisa menyentuh akar masalah khususnya yang ada di lingkungan pendidikan.

Sebagai anak bangsa yang merdeka sudah sepatutnya memberikan jalan keluar kepada tindak kepura-puraan ini dengan memberi jalan keluar. DiantaranyaPertama, kita sebagai anak bangsa untuk tidak bosan-bosannya mengingatkan pemerintah khususnya dinas terkait dengan berbagai cara, untuk mengingatkan mereka yang ‘lupa’ seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal (31).

Kedua, pemerintah harus berani menghapus dan memangkas jalur birokrasi yang selama ini terlalu rumit dan melibatkan banyak orang sehingga menambah beban biaya tinggi (high cost). Dan bila tidak segera diatasi, konsep yang benar dalam melakukan perbaikan gedung yang rusak akan bisa bertahan lama. Dan keberanian menindak ‘oknum’ inilah yang kini di tunggu.

Ketiga, pendataan sekolah-sekolah oleh dinas terkait harus dilakukan secara rutin dan benar. Tidak membuat laporan yang ABS (asal bapak senang). Keempat, meningkatkan dan mengoptimalkan peran serta masyarakat sebagai komunitas belajar. Caranya lebih memberikan kesempatan pada Komite Sekolah sebagai mitra kerja, bukan hanya sebagai tukang stempel bagi kepala sekolah.

Kelima, pemberdayaan pihak swasta, untuk ikut terlibat secara nyata agar pengembangan kemandirian sekolah bisa berjalan baik. Keenam, memberikan subsidi terhadap sekolah-sekolah tertentu khususnya yang kesulitan dana, dengan penyediaan dana abadi. Ketujuh, melakukan restrukturisasi (penggabungan/koalisi) terhadap sekolah-sekolah negeri yang berdekatan (dimerger) karena faktor

Page 21: KORAN PENDIDIKAN

peserta didik, penghematan biaya, maupun faktor lain yang diharapkan bisa mengurangi anggaran pemerintah.

Kedelapan, pemerintah pusat melakukan penekanan terhadap pemda dengan memberikan sanksi yang tegas, atas ketidakpedulian mereka terhadap sektor pendidikan.

Akhirnya marilah kita semua belajar mengasah kepedulian terhadap buruknya kondisi sarana belajar anak-anak kita. Jangan sampai anak-anak mengalami guncangan jiwa karena buruknya sarana belajar yang sekarang dihadapi. Kini yang dibutuhkan adalah keterlibatan semua pihak. Kita tidak hanya dituntut berkata, mencela, dan berjanji. Melainkan sudah harus berbuat yang terbaik bagi anak bangsa ke depan. Mari kita ciptakan pendidikan yang memerdekakan anak bangsa dengan sesungguhnya, jangan hanya kepura-puraan. Bravo Pejabat Publik!

Memberdayakan Komik sebagai Media Pembelajaran

Komik, acapkali mendapat perlakuan kurang baik. Orang tua maupun guru biasanya kurang ‘respek’ terhadap siswa yang membawa apalagi membaca komik. Padahal, meskipun dilarang, siswa tetap menyukai komik ini. Secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi mereka akan tetap melahap komik ini sebagai sarana intermezo dan refreshing setelah jenuh mengikuti pelajaran seharian.

Seringkali orang tua melarang putra-putrinya membaca komik karena dianggap sebagai hal yang dapat mengganggu konsentrasi belajar. Padahal komik dapat menjadi sarana refreshing bagi siswa untuk menghilangkan kejenuhan ataupun mengisi waktu luang, dan dapat memberi inspirasi untuk mencipta karya sastra. Bahkan, ditinjau dari segi proses pembelajaran komik ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana dan media pembelajaran.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, penulis melihat bahwa siswa seringkali mengalami kesulitan dalm menerapkan ejaan yang disempurnakan (EYD). Misalnya penggunaan tanda baca koma, tanda kutip, huruf kapital, dan sebagainya. Mestinya kemampuan tersebut telah dimiliki dan dikuasai sejak kelas 4 SD. Namun, entah mengapa, saat duduk di kelas 8 atau 9 SMP pun siswa kurang menguasainya.

Secara teoritis, menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang sangat penting dan bermanfaat karena dapat mendorong seseorang untuk berkreasi, menyelesaikan studi, menyelesaikan administrasi perkantoran, dan tugas tulis lainnya. Kemampuan menulis ini tidak dikuasai secara otomatis, tetapi perlu dipelajari secara sadar dan sistematis serta diikuti dengan pelatihan yang intensif.

Selain itu menulis juga merupakan kemampuan kompleks yang melibatkan berbagai aspek kebahasaan, antara lain penguasaan kosa kata, pemahaman tentang kalimat dan paragraf, penggunaan ejaan, dan kaitan unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam membentuk suatu pesan secara utuh. Pembinaan dan pelatihan menulis harus menjadi upaya serius dan selalu diperbaiki agar siswa memiliki kompetensi secara maksimal.

Dalam kaitan pembelajaran apresiasi sastra diperlukan berbagai jenis materi sastra baik prosa, puisi, maupun drama. Materi sastra (misalnya cerpen) sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia ini,

Page 22: KORAN PENDIDIKAN

sebenarnya sangat mengasyikkan. Guru harus memiliki jurus jitu dalam pembelajaran agar suasana kelas menjadi hidup dan tidak texbooks belaka. Salah satu upayanya adalah dengan menggunakan komik.

Penulis pernah melaksanakan penelitian dengan menggunakan komik sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis kalimat langsung dialog cerpen. Hal ini dilatarbelakangi karena siswa kurang mampu menuliskan kalimat langsung dialog dalam cerpen. Dengan memanfaatkan komik yang dialog pelakunya berada pada balon kata, siswa diminta mengubah menjadi dialog yang ditulis dalam jenis kalimat langsung.

Menulis dialog antartokoh ini bukan merupakan hal mudah bagi siswa. Karena itu, menuliskan dialog dalam bentuk kalimat langsung dan tidak langsung inilah yang harus dijelaskan secara detail, baik melalui ceramah informatif maupun lewat contoh konkret. Hal ini berkaitan dengan penerapan ejaan, baik penempatan tanda baca koma, kutip, maupun penggunaan huruf kapital.

Apa yang dikatakan pelaku pada komik biasanya dikemas dalam balon kata. Mengubah balon kata pada komik menjadi kalimat langsung sebagai dialog antartokoh inilah yang menjadi sasaran pemanfaatan komik sebagai media dan sarana pembelajaran.

Siswa diminta mengubah cerita di dalam komik menjadi cerpen dengan memperhatikan penulisan kalimat langsung sebagai dialog antartokoh.

Dengan menggunakan komik (yang mengandung ’balon kata’ sebagai materi dialog antartokoh) ini kemampuan siswa dalam menulis kalimat langsung dialog antartokoh pada cerpen dapat diasah dan ditingkatkan. Siswa tinggal menyalin isi kalimat pada balon kata, ditulis kembali dengan diawali huruf kapital, kemudian ditambahkan tanda kutip pada awal dan akhir kalimat tersebut.

Jelasnya demikian. Pada balon kata tertulis pertanyaan: hai apa kabar. Siswa diminta menulis ulang diawali huruf kapital dan karena kalimat tanya harus diakhiri tanda tanya. Hai, apa kabar? Selanjutnya tambahkan tanda kutip pada awal dan akhir kalimat itu, menjadi “Hai apa kabar?”

Jika yang diutamakan adalah membuat cerita narasi, komik tersebut juga dapat dimanfaatkan. Dalam hal ini, setelah membaca komik, siswa diminta menulis ulang plot pada cerita komik dalam bentuk narasi. Mereka tidak perlu memperhatikan dialog pada komik yang berada di dalam balon kata. Bebas menggunakan versi mereka secara pribadi. Dengan demikian, siswa (mungkin sebagai pemula) yang semula blank, tidak memiliki ide cerita, dapat dengan mudah menuliskan cerita berdasarkan cerita pada komik. Komik pun telah menepis ketidakberanian siswa dalam menuliskan sebuah cerpen.

Jika di antara siswa ada yang pandai menggambar apalagi gambar model kartun, siswa tersebut dapat dimotivasi untuk mengembangkan bakat dan hobinya. Dengan menjadi kartunis, kelak siswa tersebut dapat memiliki keterampilan khusus yang dapat mendatangkan rezeki.

Pemanfaatan komik dalam pembelajaran ternyata membawa dampak positif. Siswa lebih kreatif dan berani menuangkan idenya secara variatif. Mereka mencoba-coba mengubah dan atau menambah dialog dengan kalimatnya sendiri. Dengan demikian, komik ini telah berjasa menggugah kreativitas dalam berimajinasi. Karenanya, melarang siswa membawa dan atau membaca komik dapat berarti

Page 23: KORAN PENDIDIKAN

membunuh kreativitas siswa. Biarlah kita ikuti kesenangan siswa dalam berkomik ria (‘tut wuri handayani’), namun kita modifikasi sehingga sang komik mampu berdaya guna, mampu memacu dan memicu aktivitas bersastra! Nah, siapa takut membawa atau membaca komik?

Menuju Pendidikan Agama yang Aplikatif

Salah satu tujuan penting dari pendidikan nasional seperti termaktub dalam UU Nomor 22 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Dalam hal ini ada capaian dari pendidikan agar peserta didik bisa menjadi insan yang agamis (religious) sekaligus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk membentuk peserta didik menjadi insan yang agamis, maka pendidikan agama di sekolah harus diarahkan mencapai empat pilar. UNESCO (badan PBB yang menaungi bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan –red) mencanangkan empat pilar itu sebagai learning to know (pemahaman), learning to be (pembentukan sikap), learning to do (keterampilan), dan learning to live together (kerukunan hidup).

Meski sudah ada rambu-rambu seperti ini namun kenyataan pendidikan agama di sekolah baru mencapai pilar pendidikan yang pertama. Tiga pilar yang lain sebagai penjelmaan hasil pendidikan agama dalam bentuk tindakan aplikatif (pengalaman) kebanyakan belum banyak yang berhasil. Indikasinya peserta didik memiliki kemampun menyelesaikan soal ujian tentang agama namun tindakan dan perilakukanya sehari-hari kerap menyimpang.

Menurut penulis, paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan agar keempat pilar tersebut bisa dicapai. Pertama, melakukan evaluasi (penilaian) terhadap pengalaman ajaran agama peserta didik di dalam kehidupannya sehari-hari. Kedua, adanya dukungan dari orang tua dan masyarakat terhadap pendidikan agama di sekolah. Tanpa dua hal ini memang cukup berat untuk bisa memaksimalkan capaian dari pendidikan agama.

Selama ini tes atau ujian mata pelajaran agama hanya ditekankan untuk mengukur kemampuan pemahaman peserta didik. Guru tidak menyertai dengan penilaian terhadap perilaku dan pengamalan ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya anak tidak termotivasi untuk mengamalkan ajaran agama sebab menurutnya mendapat nilai tinggi bisa diraih cukup dengan pemahaman saja.

Bila dicermati, mata pelajaran agama sesungguhnya berbeda dengan mata pelajaran umum lain. Dalam belajar agama sangat dituntut adanya tindakan nyata dalam perilaku kesehariannya. Apalah artinya bila seseorang yang hanya memahami bahwa mencuri itu dosa namun masih sering mengambil dan merampas hak milik orang lain? Dengan demikian perlu dibentuk kebiasaan anak untuk mengamalkan ajaran agama.

Langkah kedua agar hasil pendidikan agama dapat dijelmakan dalam bentuk tindakan aplikatif di dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik adalah dengan pemberian dukungan dari orang tua dan masyarakat terhadap pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah. Tanpa adanya dukungan dari

Page 24: KORAN PENDIDIKAN

orang tua dan masyarakat maka pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah tidak akan berhasil dengan baik.

Salah satu bentuk dukungan yang bisa diberikan adalah memberikan contoh yang baik dalam mengamalkan ajaran agama. Juga bisa dengan memberi nasihat serta bimbingan yang bisa berdampak positif untuk penguatan psikologi anak. Secara teori anak memang memiliki kecenderungan untuk belajar melalui proses modelling atau mengikuti kelakuan dan contoh dari orang lain.

Sebaliknya, kalau tindakan dan laku perbuatan orang tua, tokoh agama, pejabat dan tokoh masyarakat bertentangan dengan norma agama maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan agama dan jiwa anak. Lebih parah lagi bisa jadi anak akan mengalami konflik batin dan frustasi yang bila berlangsung terlalu lama maka bisa meledak dalam bentuk tindakan yang bertentangan dengan norma agama itu sendiri.

Dengan pemahaman dan aplikasi ajaran agama serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maka diharapkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa akan tumbuh menjadi ilmuwan yang agamis dan beraklak mulia seperti yang ingin dicapai oleh tujuan pendidikan nasional. Semoga.

Problem Possing juga Efektif untuk Pondok Ramadan

Senin, 7 September 2009 22:53:19 - oleh : redaksi - dilihat 99

Musni Yuliastuti SPd

Guru SMPN 1 Wagir

Masuk di bulan Ramadan, hampir semua sekolah melaksanakan pondok Ramadan. Soal waktunya, ada yang melaksanakan di awal Ramadan setelah libur puasa, ada pula yang di tengah bulan, bahkan ada yang mengambil di pengujung Ramadan atau mendekati saat libur hari raya Idul Fitri. Demikian juga tentang materi pondok Ramadan, sekolah rata-rata mendesain dengan kegiatan yang variatif.

Tidak jarang kegiatan pondok Ramadan ini disesuaikan dengan lamanya waktu pelaksanaan. Ada yang melaksanakan dua hari untuk satu kelas pararel, ada pula model satu hari dan ada yang menggunakan metode bermalam di sekolah. Meski pada kebanyakan sekolah terjadi perbedaan soal waktu pelaksanaan dan model pondok Ramadan, seringkali ada kesamaan pada materi yang diajarkan seperti tadarus Alquran, pengumpulan zakat fitrah, hikmah puasa, adab, dan akhlak.

Di sekolah tempat penulis mengajar, SMPN 1 Wagir kabupaten Malang, pondok Ramadan dilaksanakan pada tengah bulan. Sebagai guru Matematika, penulis kebetulan juga ditunjuk sebagai pemateri, lebih khusus tentang puasa. Bagi saya, ternyata mengajar tentang agama lebih sulit sebab harus mampu menemukan sumber yang bermacam-macam. Kadang pula butuh rujukan ayat dan hadits yang menerangkan tentang satu kajian.

Page 25: KORAN PENDIDIKAN

Memberikan materi di pondok Ramadan memang butuh perlakuan khusus. Dengan kondisi perut lapar tidak jarang model pembelajaran yang biasa disampaikan di kelas kurang bisa mendapat sambutan siswa. Metode tanya jawab yang direncanakan ternyata tidak berlangsung sesuai harapan dan akhirnya mengarah pada metode ceramah. Siswa pun lebih menikmati dengan duduk terdiam dan terpaku mendengarkan ceramah dari guru laiknya ustad/ustadah.

Di tengah kebuntuan merancang model pembelajaran yang menarik saat pondok Ramadan, tiba-tiba teringat model problem possing. Siswa diminta membuat pertanyaan beserta jawabannya terkait dengan satu materi tertentu. Pada pertemuan berikutnya pada kelas yang berbeda, problem possing ini dimodifikasi dengan permainan lain seperti cerdas cermat. Siswa dibagi menjadi empat kelompok, di beri nama laiknya lomba cerdas cermat betulan.

Masing-masing siswa lalu menuliskan sebuah pertanyaan tentang puasa beserta jawabannya disertai nama regunya. Setelah selesai pertanyaan dikumpulkan dan saya seleksi barangkali ada pertanyaan yang sama, bila ada yang sama maka siswa harus mengganti dengan pertanyaan yang lain. Setelah semua persiapan selesai maka kuis atau permainan cerdas cermat dimulai. Bila dibacakan pertanyaan dari regu A, yang berhak menjawab adalah regu B, regu C dan regu D.

Ternyata metode problem possing yang dimodifikasi cerdas cermat ini sangat berhasil. Semua siswa antusias dalam menjawab pertanyaan dari masing-masing regu. Bila ada perbedaan pendapat, siswa beradu argumentasi untuk mempertahankan pendapatnya. Pada saat tertentu juga diulas jawaban atau pertanyaan dari masing-masing regu. Walaupun hanyalah permainan cerdas cermat tetapi siswa bersungguh-sungguh dalam melaksanakan dan bersaing memperoleh nilai.

Suasana kelas yang sebelumnya terasa sepi menjadi ramai dan semarak. Dengan model pembelajaran problem possing yang dimodifikasi tersebut, siswa merasa terlibat karena mereka sendiri yang menuliskan atau membuat pertanyaan. Siswa juga sangat antusias karena mereka berlomba untuk tampil sebagai pemenang. Pada awal permainan disepakati bahwa yang menang akan diberi hadiah namun tidak disebutkan hadiahnya.

Ketika waktu tatap muka selesai ditandai dengan bunyi bel, beberapa siswa merasa agak kecewa terutama jika nilai yang diperoleh regunya kecil atau sedikit, dilain pihak siswa bersorak kegirangan ketika mengetahui bahwa regunya tampil sebagai pemenang. Akhir pelaksanaan, regu sebagai pemenang dimohon tampil kedepan untuk menerima hadiah yaitu harap menyanyikan sebuah lagu.

Suasana semakin meriah jika siswa dari regu lain juga ikut-ikutan bernyanyi. Saat berpisah wajah para siswa terlihat berbinar dan bahagia, sebagai guru saya juga merasa sangat puas. Semoga pengalaman ini bermanfaat bagi teman-teman yang lain terutama mata pelajaran sosial yang biasanya merasa lelah karena terlalu banyak bicara atau ceramah. Tentu saja untuk pelaksanan pada mata pelajaran bisa dimodifikasi dalam bentuk lain, saya juga berharap dengan model pembelajaran ini siswa lebih giat belajar karena siswa harus menguasai materi agar bisa membuat pertanyaan beserta jawabannya.

Etos Kerja Guru; Total Berdedikasi, Loyal Mengabdi

Page 26: KORAN PENDIDIKAN

Sebagai garda depan dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru menjadi sorotan masyarakat terkait dengan etos kerjanya, yaitu totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdian. Sorotan ini bermuara pada ketidakmampuan guru dalam proses pembelajaran hingga berimbas pada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan mengarah pada kelemahan guru, itu tidak sepenuhnya menjadi beban sebab mungkin ada sistem yang berpengaruh.

Etos kerja guru di atas akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari sistem pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut.

Selain itu, etos kerja guru juga sangat ditentukan oleh output dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK bertanggungjawab menciptakan guru berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk sumber daya manusia mandiri, cerdas, bertanggungjawab dan berkepribadian. Tentunya suatu ketika berdampak kepada pembentukan sumber daya manusia berkualitas pula.

Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya etos kerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada di sekolah. Etos Kerja terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami akan tugas dan kewajiban masing-masing.

Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik. Titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus. Ada kalanya kritik yang diberikan dapat menjadi penawar di dalam memperbaiki etos kerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan.

Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negatif hendaknya menjadi masukan yang sangat berarti bagi etos kerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, justru dengan adanya kritikan menjadikan pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik terhadap etos kerja guru perlu dilakukan untuk menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.

Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indikator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indikator tersebut sangat ditentukan oleh etos kerja guru.

Ukuran etos kerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran.

Page 27: KORAN PENDIDIKAN

Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi. Etos Kerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal oleh akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif.

Etos Kerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen yang ada di sekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Etos kerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan nawaitu yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Etos kerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari hari kemarin, dan tentunya etos kerja masa depan lebih baik dari etos kerja hari ini. Semoga bermanfaat dan dijauhkan dari kesia-siaan. Amin

Empat Langkah Menuju Merdeka Berbahasa

Menurut suatu hasil penelitian, ternyata bahasa yang paling banyak digunakan oleh manusia di bumi ini adalah bahasa Tionghoa, sedang bahasa yang paling populer adalah bahasa Inggris. Ini mungkin sebab negara bekas jajahan negara Inggris itu jumlahnya paling banyak, diikuti oleh negara Perancis dan Spanyol. Sebagai bahasa terpopuler, berbagai hasil penemuan dan informasi terkini umumnya ditulis dalam bahasa Inggris.

Sudah barang tentu, untuk bisa mengikuti perkembangannya kita harus bisa berbahasa Inggris. Sayangnya bagi kebanyakan orang, belajar bahasa Inggris masih menjadi momok. Ini mungkin karena motivasi belajar kurang kuat atau teknik belajar yang kurang efektif. Mari kita merdekakan diri dari keterbelangkangan informasi dengan kiat kilat belajar bahasa Inggris.

Langkah pertama; belajar membaca dari kamus. Jika seseorang belajar bahasa Inggris (maupun bahasa lain) tanpa belajar membaca dari kamus maka dapat dipastikan bahasa Inggrisnya adalah apa yang disebut sebagai “pidgin english” (bahasa Inggris pasaran). Barry Farber yang menguasai 25 bahasa termasuk bahasa Indonesia mengatakan bahwa belajar membaca dari kamus adalah langkah pertama didalam belajar bahasa asing.

Bagi yang masih menggunakan kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, disarankan untuk segera beralih ke kamus anak-anak (Children Dictionary) yang full Inggris-Inggris. Kamus Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris umumnya banyak yang selain salah arti katanya juga salah cara membacanya. Selain itu, dengan menggunakan kamus Inggris-Inggris maka perbendaharaan kata bahasa Inggris-nya akan cepat meningkat.

Kamus yang baik adalah yang di pinggir kata yang kita cari ada kode cara membaca IPA (International Phonetic Alphabet) seperti Orang awam banyak yang membaca dengan salah kata seperti “chic” yang mereka baca sebagai “cheek” padahal harusnya dibaca “sheek”. Salah bacaannya bisa memberikan arti yang berbeda.

Page 28: KORAN PENDIDIKAN

(saran penulis: software “talking dictionary” maka sangat membantu bagi yang mau belajar sendiri cara membaca dari kamus. Portable software dapat diunduh di http://www.ziddu.com/download/5903110/PortableTalkingDictionary.rar.html)

Langkah kedua; membaca buku yang topiknya disukai. Bagi lulusan SMA, bekal Grammar Bahasa Inggris sudah memadai, tapi bagi yang masih risih silahkan membaca bukunya George Woolard “Grammar with Laughter”. Dengan membaca buku bahasa Inggris yang topiknya anda sukai maka anda akan senang dan tidak jenuh membaca buku tersebut.

Di dalam perjalanan, maka perbendaharaan kata anda akan meningkat, grammar anda lebih terasah (grammar yang peraturannya sulit akan dengan sendirinya terserap ) dan yang penting anda akan belajar istilah-istilah bahasa Inggris yang tidak ada didalam bahasa Indonesia begitu juga sebaliknya. Sangat disarankan untuk membaca majalah/koran dari negara yang bersangkutan.

Langkah ketiga; menonton video/film/acara televisi yang disukai dalam bahasa Inggris. Software multimedia dari The Learning Company berisi film tour ke kota-kota besar di Amerika. Di film-film tersebut ada teksnya, jadi kita bisa belajar membaca teks tersebut sebelum melihat filmnya, sewaktu melihat filmnya, fungsi teks dimatikan untuk mengetest daya tangkap bahasa Inggris kita secara lisan.

Langkah keempat; bercakap-cakap dengan Native Speaker. Dengan menggunakan Voice Chat di Internet maka sangat mudah untuk mencari lawan bicara native speaker. Kalau di Yahoo Messenger, tinggal masuk ke Yahoo Chat. Tolok ukur keberhasilannya adalah lawan bicara bisa mengerti apa yang disampaikan begitu juga sebaliknya. Demikianlah kiat kilat belajar bahasa Inggris, selamat mencoba dan semoga bermanfaat.

Meningkatkan Prestasi Belajar dengan Model ARIAS

Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, model pembelajaran yang berkualitas dalam kegiatan belajar mengajar sangat diperlukan. Dari beberapa model pembelajaran yang dikembangkan, mayoritas lebih mengutamakan pada penilaian hasil akhir, belum banyak yang menyentuh aspek psikologis siswa apalagi yang mengacu pada metodologi pengajaran cara Rasulullah SAW.

Model pembelajaran ARIAS tampil beda dengan menggabungkan beberapa aspek penting. Pada dasarnya, model ini adalah modifikasi dari model ARCS (Attention, Relevance, Confidence dan Satisfaction) yang dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987). Modifikasi dilakukan dengan penggantian kata confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80).

Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Kata ARIAS merupakan akronim dari Assurance (percaya diri), Relevance (relevansi), Interest (minat), Assessment (Evaluasi) dan Satisfaction (kepuasan) adalah lima komponen penting dalam kegiatan pembelajaran.

Deskripsi singkat tentang model pembelajaran ARIAS adalah; Assurance (percaya diri) berhubungan dengan sikap percaya dan yakin akan berhasil. Sikap ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk

Page 29: KORAN PENDIDIKAN

mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Beberapa cara yang bisa dilakukan oleh guru untuk menumbuhkan sikap ini adalah dengan membantu siswa menyadari strengths (kekuatan) dan weakness (kelemahan) diri serta menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri.

Relevance (relevansi) berhubungan dengan kehidupan siswa. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu yang memiliki relevansi dengan kehidupan pribadi mereka. Dengan mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan mereka untuk saat ini maupaun masa yang akan datang, akan memotivasi mereka untuk lebih giat dalam belajar.

Interest (minat) menjadi salah satu faktor penting dalam kegiatan pembelajaran. Guru yang inovatif dan tidak monoton akan membuat siswa tertarik dengan pelajaran yang akan diajarkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran dan memberi kesempatan siswa untuk berpartisipasi secara aktif.

Assessment (evaluasi) dapat memberi keuntungan bagi guru maupun siswa. Bagi guru, evaluasi merupakan alat untuk memonitor perkembangan siswa terhadap materi yang diajarkan. Sedangkan bagi siswa, evaluasi dapat menjadi sarana mengetahui kemampuan diri dalam memahami suatu materi. Dengan memberikan evaluasi yang objektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi akan menjadi motivator siswa untuk meningkatkan prestasi belajar yang ingin dicapai.

Satisfaction (kepuasan) berhubungan dengan rasa bangga akan hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Pemberian reward (penghargaan) yang pantas atas keberhasilan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat menjadi sarana untuk mempengaruhi hasil belajar mereka. Penghargaan tidak selalu berbentuk materi. Doa, pujian, ucapan tulus maupun senyuman simpatik dari seorang guru akan menimbulkan rasa bangga pada diri siswa dan mendorong mereka untuk berusaha memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya serta memotivasi siswa lain untuk memperoleh hal serupa.

Dengan menggabungkan lima komponen diatas, model pembelajaran ARIAS menjadi jawaban dari pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Karena guru berusaha untuk menanamkan rasa percaya diri siswa dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran inovatif yang ada relevansinya dengan kehidupan mereka dan memberikan penguatan (reinforcement) sebagai hasil dari evaluasi.

Menyiapkan Diri Menjadi Garda Depan Bangsa

Sistem pendidikan nasional kita, oleh banyak kalangan dinilain masih karut marut seperti benang kusut. Dengan kondisi ini hampir susah untuk diketemukan bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk membenahinya, siapa yang harus memulainya, kapan itu bisa dimulai, dan dari mana mengawali perbaikannya. Bagi penulis, sosok guru lah yang menjadi aktor penting dalam mengangkat citra dan martabat pendidikan ini.

Page 30: KORAN PENDIDIKAN

Pada kondisi paling mendasar, kalau masing-masing elemen pendidikan menyadari, masing-masing memiliki kepedulian, dan semuanya mau berbagi rasa serta mengedepankan tepo seliro, maka kondisi pendidikan yang karut marut ini bisa diantisipasi. Karena itu dibutuhkan kesamaan persepsi serta satu langkah dan tujuan yang sama untuk mengangkat ‘batang terendam’ ini menjadi pendidikan bermutu.

Satu hal yang patut menjadi titik perhatian adalah bagaimana merancang guru sebagai garda depan bangsa. Sebagai garda depan guru harus memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam menciptakan hasil pembelajaran secara optimal yang selanjutnya memiliki kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya.

Bagi penulis, menjadikan guru sebagai garda depan dapat didefinisikan dengan kondisi sebagai berikut. Pertama, guru sebagai planner yaitu guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, tidak hanya berupa program rutin seperti menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran, juga mampu merencanakan setiap pembelajaran yang dilakukan agar berjalan maksimal. Lebih penting lagi perencanaan tersebut bisa terprogram dengan lebih baik.

Kedua, guru sebagai inovator, artinya guru memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan berkenaan dengan pola pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, serta sistem dan alat evaluasi. Secara individu maupun bersama-sama, guru harus mampu untuk mengubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan mengubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal.

Ketiga, guru sebagai motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya. Keempat, guru sebagai capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan, serta sikap yang lebih mantap sehinga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif;

Kelima, guru sebagai developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEK, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan komputer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.

Guru sebagai garda depan bangsa juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan siswa melalui pemahaman, keaktifan, dan pembelajaran sesuai kemajuan zaman. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin dan bertanggung jawab

Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ, SQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.

Page 31: KORAN PENDIDIKAN

Selain itu, guru garda depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru garda depan bagsa, bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya.

Oleh sebab itu, untuk menjadi guru garda depan bangsa diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama, yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai garda depan bangsa.

Hidup Anak Lebih Berarti dengan Sehari Tanpa TV

Potret Indonesia di masa datang, sebagian bisa diprediksi dari apa yang dikonsumsi oleh anak-anak melalui media, khususnya televisi yang berorientasi pada akumulasi dan ekspandi modal. Ungkapan ini dikemukakan Dedy N Hidayat PhD, ketua program pascasarjana departemen komunikasi pada FISIP Universitas Indonesia. Ungkapan ini setidaknya bisa menjadi bekal kita dalam menyikapi tontonan di televisi sekarang ini.

Rasa-rasanya, apa yang diungkap pakar komunikasi tersebut ada benarnya. Di masa sekarang ini hampir tidak ada anak-anak yang tidak gandrung bahkan kecanduan terhadap tayangan yang ada di televisi kita. Tayangan itu mulai dari sinetron hingga berbagai jenis iklan yang sebenarnya kurang pas untuk dilihat bahkan produknya dikonsumsi oleh anak.

Memeringati Hari Tanpa TV (HTT) pada tanggal 26 Juli 2009 lalu, rasanya ada yang tidak patut dibanggakan bagi generasi muda kita saat ini, yaitu karena anak-anak kita telah menjadi pecandu TV yang tingkatannya bisa dikategorikan high stadium.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemajuan dan perubahan banyak terjadi sejak TV ditemukan.

Kita dapat menyaksikan berbagai jenis film, dari film kartun, drama, biografi, aksi, edukasi, musik, liputan berita tentang berbagai peristiwa dari seluruh dunia dan lain sebagainya, dari dalam dan luar negeri. Jadi, jika memang begitu banyak kemajuan yang diberikan dengan adanya TV, lalu apa masalahnya ? Problemnya adalah berapa lama anak-anak kita menonton TV, dan apa pengaruhnya bagi mereka ?

Efek baik dari televisi bagi anak antara lain dapat menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari. Anak juga dapat belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi, walaupun persentasi acara televisi yang bersifat pendidikan masih sangat sedikit. Selain itu anak akan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya.

Film pun ada juga yang bagus dan mendidik, yang selain memberi hiburan juga mengajarkan anak berbagai hal yang baik, tentang sikap-sikap yang baik, tentang nilai-nilai kemanusiaan, tentang nilai keagamaan, tentang perilaku sehari-hari yang seharusnya kita lakukan, dan lain sebagainya.

Page 32: KORAN PENDIDIKAN

Adapun efek negatif yang ditimbulkan dari banyaknya menonton TV antara lain, pertama, adalah ketidakmampuan seorang anak untuk membedakan dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya, mereka dapat menganggap kekerasan yang terjadi di televisi boleh saja dilakakukan di dunia nyata. Terkadang, sinetron membuat anak menjadi berperilaku cepat dewasa untuk ukuran usianya. Pengaruh kedua, adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif.

Dengan hanya duduk di depan TV, mengakibatkan mereka kurang beraktivitas. Baik secara fisik maupun mental, anak menjadi pasif, karena mereka tidak tidak perlu berbuat apa-apa. Hanya duduk, mendengar dan melihat apa yang ada di TV. Kemampuan berpikir dan kreatifitas anak tidak terasah, karena ia tidak perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya bila ia membaca buku atau mendengar musik.

Efek ketiga, waktu belajar akan terpotong oleh jam-jam tertentu di mana acara TV sedang diputar. Kelanjutan dari berkurangnya waktu belajar ini tentunya akan mempengaruhi prestasi di sekolah. Anak yang belajarnya kurang, tentu nilai-nilainya di sekolah akan kurang baik dibanding teman-temannya yang lebih rajin. Efek selanjutnya, stimulasi berupa interaksi sesama anak dan orang dewasa di sekitarnya menjadi minimal, dan dapat berakibat anak jadi "kuper" (kurang pergaulan).

Bahkan ada sebagian orangtua yang menjadikan TV sebagai "Electronic babysitter" dengan dalih untuk melindungi mereka dari “kejahatan” dunia luar. Mereka menganggap dengan duduk di depan televisi keamanan anak akan lebih terjaga dan lebih mudah diawasi. Pada akhirnya si anak menjadi berkurang waktunya untuk bersama orang tuanya, dan tentunya mengurangi kedekatan antara si anak dan orang tua.

Untuk melindungi anak-anak kita dari pengaruh negatif televisi itulah, maka kita patut mendukung gerakan tanpa televisi ini, HARI TANPA TV, artinya: sehari tidak menonton TV. Bukan anti TV , tapi merupakan wujud nyata sikap kritis kita terhadap tayangan TV yang tidak bermutu, membodohi, dan tayangan yang tidak aman dan tidak sehat untuk anak. Fokusnya pada perlindungan anak dan kepentingan terbaik anak. Ini merupakan suatu gerakan awal untuk untuk tidak menonton TV selama sehari agar mereka dapat merasakan bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika banyak kegiatan lain dapat dilakukan ketimbang menonton TV. Pengalaman seperti ini penting dimiliki anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa hidup tetap menyenangkan tanpa harus tergantung pada TV.

Kecerdasan Gerak; Potensi yang Kerap Terabaikan

Gardner, pencetus teori Multiple Intelligence, menyebut bila sebenarnya tidak ada anak bodoh atau pintar. Yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Sebab kecerdasan seseorang tidak terbatas, setiap orang mempunyai berbagai macam kecerdasan tetapi dengan bobot yang berbeda-beda. Ada yang lemah di satu sisi, tetapi sangat kuat di sisi lain.

Kecerdasan multiple dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu keturunan (bawaan, genetik) dan lingkungan. Seorang anak dapat mengembangkan berbagai kecerdasan jika mempunyai faktor keturunan dan dirangsang oleh lingkungan terus menerus. Orangtua yang cerdas anaknya cenderung cerdas pula jika faktor lingkungan pengembangan kecerdasan sejak dalam kandungan, masa bayi dan balita.

Page 33: KORAN PENDIDIKAN

Walaupun kedua orangtuanya cerdas tetapi jika lingkungan tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk pengembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orangtua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (karena tidak ada kesempatan/hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas bila kebutuhan untuk pengembangan kecerdasannya bisa tercukupi.

Ada tiga kebutuhan pokok untuk mengembangkan kecerdasan, (1) Kebutuhan fisik-biologis (untuk pertumbuhan otak, sistem sensorik dan motorik). Kebutuhan ini mensyaratkan tercukupinya gizi sejak dalam kandungan sampai remaja terutama untuk perkembangan otak, pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan, dan keterampilan fisik untuk melakukan aktivitas seharí-hari;

(2) Kebutuhan emosi-kasih sayang, terutama dengan melindungi, menimbulkan rasa aman dan nyaman, memperhatikan dan menghargai anak, tidak mengutamakan hukuman dengan kemarahan tetapi lebih banyak memberikan contoh-contoh dengan kasih sayang; dan (3) Kebutuhan stimulasi dini yang meliputi rangsangan yang terus menerus dengan berbagai cara untuk merangsang semua sistem sensorik dan motorik.

Olah raga bisa menstimulasi dan mengembangkan seluruh kecerdasan anak, namun sangat disayangkan banyak yang mengabaikannya. Banyak orang tua yang merasa begitu khawatir jika anaknya tidak mendapat rangking di sekolah, sehingga berbagai upaya dilakukan, seperti mengikutkan anak pada bermacam-macam les agar bisa masuk peringkat atas di sekolahnya.

Orang tua lupa bahwa aktivitas gerak merupakan perantara yang efektif untuk mengembangkan kemampuan persepsi motorik. Dengan menguasai kegiatan motorik, pada diri anak akan timbul rasa senang dan percaya diri karena dapat berprestasi. Lewat olah raga pula, anak akan belajar bersaing, meningkatkan harga diri, belajar spotif dan keterampilan sosial.

Melalui olah raga anak bisa belajar sebab olah raga dapat memengaruhi aspek kognitif dan emosi-sosial anak. Secara naluri anak cenderung selalu aktif bergerak, mereka bergerak didasari oleh rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Aktivitas motorik pada anak akan tumbuh seiring proses tumbuh kembang yang mereka lalui. Kemampuan motorik akan berkembang sejauh pengalaman dari lingkungan.

Tubuh yang selalu aktif bergerak, ternyata tidak hanya bisa memberi pengaruh positif pada kondisi fisik, Ada pengaruh pada psikologis, intelektual, dan sosialnya. Anak-anak pun akan mempelajari segala macam yang ada melalui aktivitas motoriknya sesuai dengan tahapan perkembangan psikomotornya. Anak yang mendapat lingkungan kondusif akan menjadikannya sebagai anak yang aktif, bugar, kreatif, dan terampilan.

Anak cerdas gerak mempunyai intuisi alami dalam mengoptimalkan kemampuan fisiknya dan mengeksplorasi dunianya melalui interaksi dengan ruang. Anak cerdas gerak (kinestetik) biasanya

Page 34: KORAN PENDIDIKAN

menunjukkan kemampuan dan keterampilan gerak yang melebihi kemampuan anak seusianya. Anak cerdas gerak menampilkan integrasi yang baik antara pikiran dan tubuh secara bersamaan untuk mencapai suatu tujuan, karena berkaitan dengan keterampilan motorik, tidak saja menyangkut hanya gerakannya tetapi juga pemikirannya.

Mengonsep Peta Kurikulum di Awal Tahun

Salah satu peran yang menggerakkan mutu pendidikan adalah jelasnya konsep kurikulum. Secara garis besar, kurikulum menurut dasar artikulasi memiliki arti pengalaman belajar siswa. Pengalaman ini dimaksudkan sebagai lintasan pendidikan yang dilalui siswa di sekolah. Di dalamnya terdapat pembelajaran teoritis, sikap, moril, agama, perilaku, dan sosialisasi.

Kurikulum di Indonesia sendiri banyak mengalami perubahan, mulai dari kurikulum awal sampai dengan KBK (kurikulum berbasis kompetensi) dan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) sekarang ini. Dari pergantian tersebut memiliki tujuan yang sama yakni menciptakan mutu afektif, kognitif, dan psikomotor siswa tetapi konsep dan covernya yang berbeda.

Sebuah kurikulum akan terlaksana dengan baik apabila sekolah kritis dan mengerti konsep kurikulum yang akan dilaksankan. Seperti diulas Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA bahwa penciptaan kurikulum harus mengacu pada ketiga aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik serta memasukkan unsur pendidikan, moral, agama, estetika, teknologi, dan hal yang sifatnya universal.

Konsep kurikulum yang bermutu dapat dicapai dengan mereview kurikulum sebelumnya. Dalam membuat kurikulum, sekolah perlu memperhatikan beberapa hal yang meliputi universal, humanisty, culture dan religi. Unsur universal adalah unsur yang sangat diperlukan dalam menghadapi globalisasi pendidikan dunia, seperti matematika, sains, bahasa, dan teknologi.

Substansi tersebut diperlukan karena siswa diharapkan bisa mengikuti era globalisasi dunia dengan baik. Matematika sebagai dasar perhitungan yang sangat diperlukan dalam keseharian, bahasa sebagai salah satu unsur komunikasi verbal antar sesama , sains sebagai pengetahuan tentang kehidupan serta teknologi sebagai aplikasi kemajuan jaman.

Humanisty merupakan sifat kemanusiaan yang harus selalu dipupuk dan dipertahankan.

Sekolah dapat memasukkan hal ini dalam pembelajaran sebagai dasar bersosialisasi dengan lingkungan dan sesama manusia. Humanisty memiliki peranan penting karena siswa tidak hanya diciptakan ahli dalam teori tetapi juga harus memahami makna kehidupan dengan baik. Substansi tersebut akan menyeimbangkan antara kehidupan pendidikan dengan kehidupan nyata bermasyarakat pada nantinya.

Culture merupakan regenerasi untuk mempertahankan ciri khas bangsa. Manusia lahir dari peradaban yang tinggi dengan kreasi yang beragam, dan itu tidak boleh dilupakan agar muncul generasi yang mengerti sejarah awal kemajuan suatu bangsa. Sekolah perlu memunculkan sisi culture pada siswa agar pada nantinya output yang dihasilkan tidak melupakan ajaran dan pengalaman masa lalu serta sisi sosial yang tinggi.

Page 35: KORAN PENDIDIKAN

Pembelajaran di luar kelas dapat dimasukkan dalam substansi ini, seperti menggali sejarah bangsa bahkan membuat replika tentang segala hal yang berkaitan dengan budaya bangsa tentunya mengarah pada materi seni budaya. Budaya pada sekolah dapat juga dihasilkan dari pembelajaran yang sifatnya mengacu pada aspek psikomotor siswa seperti kegiatan seni.

Kegiatan ini sangat penting sekali dimana seni merupakan bahasa universal yang sangat diperlukan. Dalam sedikit ulasan, dikatakan bahwa manusia tidak hanya harus mengenal pendidikan tetapi juga mengenal seni akan menghasilkan sesuatu yang indah/ yang bermanfaat bagi kehidupan. Pentingya mengonsep kurikulum ini ditujukan agar output yang akan dihasilkan benar-benar bermutu.

Religi merupakan unsur kejiwaan dan ketuhanan yang diharuskan ada dalam pembelajaran siswa. Guru sebagai pelaku pendidikan tidak hanya mengoptimalkan sisi pengajaran tetapi guru juga harus bisa mendidik siswanya menjadi insan yang bermoral dan beragama. Pendidikan yang bermutu tidak ada artinya apabila individu yang berkaitan lupa akan prinsip ketuhanan.

Kepala sekolah harus mampu menyusun segala pengalam belajar siswa ini dengan baik, ini ditujukan agar output sekolah akan sesuai dengan kebutuhan. Kebijakan sekolah sangat berperan dalam memainkan kurikulum baru yang akan dilaksanakan. Konsep universal, humanisty, culture dan religi dalam menyusun kurikulum yang baru harus dimasukkan dan dikreasikan untuk mengembangkan pola pemikiran siswa.

Eduwisata Menuju Kewirausahaan Sekolah

Secara umum, eduwisata dapat dimaknai sebagai sebuah kegiatan rekreatif yang menghadirkan dunia pendidikan (sekolah) sebagai produk unggulan. Jadi sekolah tidak hanya berorientasi mengajar dan mendidik siswa sesuai kurikulum. Layaknya tempat wisata, sekolah juga memiliki peran memberikan pelayanan dan menghadirkan produk unggulan yang layak dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat.

Dengan budaya daerah, fasilitas, bahkan intake siswa yang berbeda, tentun sekolah menghasilkan output yang berbeda pula. Tidak akan pernah bisa disamakan lulusan sekolah yang berlokasi di pusat kota dengan lulusan sekolah di daerah pinggiran. Oleh karena memiliki latar belakang yang berbeda inilah maka hendaknya setiap sekolah dapat memberikan ’obyek wisata’ yang berbeda pula.

Konsep eduwisata sangat erat kaitannya dengan potensi lokal sekolah tersebut. Bahkan dengan penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) secara serius, akan memberikan brand/merk yang berbeda-beda pada masing masing sekolah. Namun yang perlu dicatat disini adalah, bahwa sekolah perlu membuat branding yang mendukung proses belajar mengajar.

Dengan kata lain, bahwa ’obyek wisata’ yang disuguhkan oleh sekolah merupakan salah satu bagian dari serangkaian proses belajar mengajar yang ditempuh, termasuk juga representasi muatan lokal dan atau ekstra kurikuler yang diselenggarakan di sekolah tersebut.

Eduwisata yang sempurna sebenarnya telah dipraktekkan oleh beberapa sekolah. Misalnya di SMPN 3 Lembang – Bandung. Di sekolah yang merupakan hasil perubahan dari STP (Sekolah Teknik Pertanian =

Page 36: KORAN PENDIDIKAN

sekolah kejuruan di tingkat SMP) ini tetap mengedepankan bidang pertanian sebagai unggulan yang dimiliki SMP tersebut.

Didukung oleh peralatan pertanian yang memadai dan lahan pertanian milik sekolah yang luas, memungkinkan SMPN 3 Lembang mengembangkan bidang pertanian sebagai ’obyek wisata’ unggulan sekolah. Apalagi sekolah tersebut menerapkan sektor budidaya pertanian (agronomi) sebagai ekstra kurikuler yang diberlakukan di sekolah, maka tepatlah bila sekolah ini memiliki brand / merk sebagai SMP yang tidak hanya menghasilkan output yang memiliki life skill di bidang pertanian, tetapi juga sekolah yang mampu mandiri dengan usaha sekolah di bidang pertanian.

Untuk sekolah di daerah pinggiran, pelaksanaan konsep eduwisata hendaknya diawali dengan mengidentifikasi potensi lokal sekolah tersebut yang layak untuk dikembangkan. Misalnya untuk sekolah di daerah pesisir pantai, bisa mengembangkan sektor perikanan sebagai ’obyek wisata’ yang bisa dijual ke masyarakat. Budidaya perikanan, atau pengolahan hasil laut bisa dikembangkan sebagai ekstra kurikuler sekaligus membangun brand sekolah tersebut sebagai sekolah di daerah pesisir pantai.

Mengingat besarnya tantangan kita, para pendidik di masa mendatang, penulis beranggapan bahwa sudah saatnya para guru dan sekolah untuk ’melek bisnis’. Kita harusnya malu, bila pendidikan selalu diidentikkan dengan sebuah sektor yang selalu perlu dibantu dan dikasihi. Seakan tanpa uang BOS (Bantuan Operasional Sekolah) seluruh sekolah di Indonesia akan gulung tikar.

Seakan kalangan guru dan masyarakat pendidikan lainnya selalu menjadi pihak lemah yang perlu terus disubsidi. Namun demikian pengertian ’melek bisnis’ bukan berarti menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis guru pada siswanya. Istilah lainnya adalah DIKTATOR = jual diktat (untuk) kredit motor. Ya. Melek bisnis bukan berarti para guru harus jualan buku/LKS untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tetapi hendaknya diartikan sebagai sebuah upaya sekolah untuk mengelola potensi yang ada supaya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan bagi sekolah.

Sudah selayaknyalah kita menyadari bahwa peran pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah ansich, tetapi juga menjadi tugas kita sebagai warga negara. Karena itu penulis memandang bahwa sudah saatnya ’virus’ enterpreneurship dalam bingkai EDUWISATA menjangkiti sekolah di Indonesia.

KKM; Antara Standarisasi dan Gengsi

KKM atau kriteria ketuntasan minimal atau dulu disebut SKM (standar ketuntasan minimal) merupakan sebuah acuan dalam menetapkan tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. KKM berbentuk deretan angka-angka yang tertulis dalam rapor akhir semester siswa. Kelihatannya mudah, guru tinggal memasukkan angka saja namun sebenarnya dalam penentuan angka-angka itu bukanlah hal yang mudah.

Guru perlu melakukan analisis terhadap kompleksitas materi, daya dukung belajar, serta intake siswa terlebih dulu. Rambu-rambunya; KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran dan ditetapkan oleh forum

Page 37: KORAN PENDIDIKAN

MGMP sekolah; nilai ketuntasan maksimal adalah 100 dan dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat; dan sekolah dapat menetapkan KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal.

Rambu-rambu ini saya yakin telah diterapkan semua sekolah. Namun analisa yang dilakukan guru pada setiap kompetensi dasar (KD) per mata pelajaran, masih jarang dilakukan. Memang cukup rumit, guru harus menentukan setiap kriteria dengan nilai tinggi, sedang, atau rendah. Itu pun masih harus dijumlah, lalu dibagi dengan 0 dan dikalikan 100. Hasil akhir itulah yang merupakan nilai dari salah satu kriteria.

Penghitungan seperti itu harus dilakukan pada masing-masing kreteria, masing-masing indikator, dan pada masing-masing KD. Bila semua KD sudah mendapatkan nilai, maka rata-rata hasil penetapan nilai KD dapat menjadi nilai minimal dari mata pelajaran. Tantangannya, setiap mata pelajaran memiliki ciri-ciri tersendiri, maka hasil penetapan KKM antara pelajaran yang satu dengan yang lain tidak sama.

Demikian juga dalam lingkup sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri, memungkinkan hasil penetapan KKM antar sekolah juga berbeda. Namun, permasalahannya bila sebagian besar sekolah menetapkan KKM pada sebagian besar mata pelajaran adalah 75 – 80 misalnya, maka maukah seorang guru/ sebuah sekolah menetapkan KKM-nya di bawah sekolah-sekolah lain?

Bila dengan jujur analis penetapan KKM yang dilakukan menghasilkan nilai 60 misalnya, maka masihkah 60 tetap dijadikan standar nilai minimal? Bila sekolah tersebut benar-benar jujur menuliskannya dalam rapor hasil belajar siswanya, berarti sekolah tersebut dengan jujur menyatakan bahwa ‘kualitas’ hasil belajar siswa di sekolahnya masih lebih rendah dibanding dengan sekolah lainnya.

Jika hal ini sampai menjadi opini mayarakat, maka daya saing sekolah juga dipandang ‘rendah’. Belum lagi tuntutan nilai untuk masuk perguruan tinggi (jalur PMDK), sudah tidak ada yang mematok nilai 60 sebagai nilai minimal, semua diatas 70. Jika sudah demikian, banyak sekolah yang menetapkan KKM dengan nilai ‘kira-kira’, yang penting output siswanya bisa diterima di perguruan tinggi, dan daya saing tetap terjaga.

Di sisi lain, jika KKM yang ditentukan terlalu tinggi bagi siswa maka ketidaktuntas belajar siswa pun menjadi tinggi. Idealnya guru harus memberikan pembelajaran remedial sampai siswa yang belum mencapai nilai minimal dapat mencapai nilai minimal. Namun, ini tidak dilakukan secara benar. Seringkali siswa cukup mendapatkan her/ ujian ulang satu kali, kemudian mendapatkan nilai ninimal sesuai KKM.

Ironis memang, bila nilai 75/80 tidak dapat mencerminkan kualitas belajar siswa yang sebenarnya. Karena itu orang tua pun sering terkecoh. Misalnya siswa yang mendapat nilai 80 oleh orang tua sudah dianggap bagus, padahal nilai tersebut adalah nilai terendah. Mungkin boleh dikatakan bahwa nilai tersebut sekualitas dengan nilai 60 sebelum ada aturan penetapan KKM (kurikulum KBK/KTSP).

Akhirnya KKM menjadi dilema, satu sisi sebuah sekolah harus memenuhi standarisasi mutu sebagaimana sekolah lainnya. Semua sekolah pasti tidak ingin diberi lebel ‘berkualitas rendah’, hanya karena KKM yang ditetapkan masih jauh lebih rendah dibanding sekolah lain Di sisi lain, sebuah sekolah yang secara

Page 38: KORAN PENDIDIKAN

kondisional masih perlu pembenahan, harus berani jujur menetapkan KKM yang sesuai dengan hasil analisis.

Untuk diperlukan sikap bijaksana para personil pendidikan di sekolah, agar nilai KKM benar-benar mencerminkan tingkat keberhasilan minimal siswa dalam belajar. Tidak harus KKM saja yang harus tinggi/ditingkatkan, tetapi yang lebih penting adalah teknik-teknik pembelajaran yang efektif, yang menarik perhatian siswa, serta keseriusan kepala sekolah/guru dalam menyelesaikan permasalahan belajar anak didik. (*)

Menerapkan Strategi ARCS untuk Motivasi Belajar Siswa

Motivasi diri bagi anak didik merupakan salah satu penentu keberhasilan pembelajaran. Untuk itu, guru hendaknya selalu berusaha memerhatikan motivasi ini sebelum proses pembelajaran berlangsung. Peran yang optimal akan membuat anak didik termotivasi mengembangkan kemampuan dan kreativitas belajarnya. Juga akan merasa senang dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas-tugas belajarnya.

Salah satu penerapan dan pengembangan sistem motivasi adalah model ARCS (attention, relevance, confidence, dan satisfiation. Attention (perhatian) artinya siswa yang mau belajar harus memiliki atensi atau perhatian pada materi yang akan dipelajari. Perhatian siswa dapat bangkit antara lain karena dorongan ingin tahu. Oleh sebab itu, rasa ingin tahu siswa perlu dirangsang.

Rasa ingin tahu pada diri siswa dapat dirangsang melalui cara-cara baru dan unik. Seperti metode diskusi, bermain peran, simulasi, demontrasi, dan sebagainya. Bisa juga dengan media film, tape, video, tranparansi, dan lainya. Relevance (kegunaan) artinya motivasi belajar akan tumbuh bila siswa merasakan bahwa apa yang dipelajari itu memunyai manfaat langsung secara pribadi.

Strategi untuk menunjukkan relevansi di antaranya; memberikan contoh, latihan, atau tes yang langsung berhubungan dengan kondisi siswa atau profesi tertentu; menyampaikan kepada siswa apa yang dapat mereka peroleh dan lakukan setelah mempelajari materi pembelajaran; menjelaskan manfaat pengetahuan, keterampilan; atau sikap serta nilai yang akan dipelajari dan bagaimana hal tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Confidence (kepercayaan diri) artinya belajar secara aktif, perlu dihilangkan kekhawatiran dan rasa ketidakmampuan dalam diri siswa. Siswa perlu percaya bahwa ia mampu dan bisa berhasil dalam mempelajari sesuatu. Strateginya antara lain; menyusun pembelajaran kebagian-bagian yang lebih kecil sehingga siswa tidak dituntut untuk mempelajari terlalu banyak konsep baru sekaligus.

Satisfaction (kepuasan) artinya bahwa motivasi belajar baru mampu menghasilkan rasa puas guna mendorong tumbuhnya keinginan untuk tetap belajar. Dengan demikian, siswa akan termotivasi mencapai tujuan yang serupa. Demi meningkatkan dan memelihara motivasi siswa, guru dapat memberikan reinforcement (penguatan) berupa pujian, pemberian, kesempatan, atau bahkan pemberian hadiah.

Page 39: KORAN PENDIDIKAN

Strateginya bisa dengan menggunakan pujian secara verbal, memberikan kesempatan siswa untuk menggunakan atau mempraktekkan pengetahuan yang baru dipelajarinya, meminta siswa yang sudah menguasai materi untuk membantu temannya yang belum menguasai. Dengan ini berarti dalam proses pembelajaran, guru perlu memasukkan aspek motivasional, sebab tidak adanya motivasi akan mengakibatkan buruknya hasil belajar.

Dengan menerapkan dan mengembangkan motivasi belajar model ARCS tersebut diharapkan guru mampu menyusun rencana pembelajaran yang dapat menumbuhkan mengembangkan serta menjaga motivasi para siswa. Pada akhirnya dapat mencapai hasil yang optimal, efektif sesuai dengan apa yang telah di tetapkan. (*)

Tiga Sentuhan Belajar Bahasa Inggris Jadi Menyenangkan

Banyak cara untuk mengajarkan Bahasa Inggris yang menyenangkan. Namun kenyataan, guru masih kesulitan mengantarkan siswanya mencapai nilai yang diharapkan. Setidaknya ada tiga hal yang perlu disentuh dalam proses belajar mengajar. Pertama, siswa harus merasa nyaman dalam pembelajaran. Kedua, siswa dan harus memiliki bahan ajar. Ketiga, adanya kesadaran bila belajar Bahasa Inggris itu sudah menjadi kebutuhan.

Penulis mencoba membagi pengalaman terkait praktik tiga sentuhan ini. Untuk sentuhan pertama, sebelum memulai pelajaran, penting kiranya guru menyapa dua atau tiga anak. Sedikit bualan atau lelucon juga bisa dipakai agar anak didik bisa tersenyum. Intinya mereka bisa unjuk gigi sebagai sinyal welcome atas kehadiran kita. Setidaknya guru tidak diangap sebagai monster tapi kawan untuk belajar.

Tidak bisa dipungkiri beberapa ada siswa yang berlebih dari yang kita harapkan. Mereka sebetulnya memang anak-anak yang haus perhatian. Karenannya perlu kita dekati, ajak bicara dengan sopan. Bila itu kita lakukan, berdasarkan pengalaman, mereka menjadi sungkan sendiri. Saya yakin sebagai seorang pengajar, kita bisa merasakan suasana kelas yang nyaman, kaku atau bertepuk sebelah tangan.

Untuk memraktikkan sentuhan kedua, kita harus benar-benar menyiapkan materi atau bahan ajar yang hendak diberikan. Sebab anak didik kita itu sekarang pandai dan bisa menilai sekaligus menyikapi persiapan bahan ajar dari guru. Mereka bisa bereaksi menentang kalau melihat guru tidak siap mengajar. Selain itu, bahan ajar juga penting untuk memandu kita untuk menerapkan metode tertentu ahar anak bisa belajar.

Kebetulan dua anak kandung saya sedang duduk di SMP dan SMA. Mereka berdualah inspirasi saya untuk mengembangkan metode mengajar di sekolah di mana saya mengajar. Saya yakin dunia anak saya tidak jauh beda dengan kondisi siswa/murid saya, maka saya pelajari karakter anak-anak saya, mulai dari cara bicara, menyebutkan istilah-istilah buat temannya sampai kegemaran mereka apa.

Terinspirasi dari kegemaran anak perempuan saya, yaitu mendownload film-film Korea, Jepang, dan Cina, saya coba mengikutinya. Awalnya sulit dan jadi bahan ketawaan anak saya; seperti ABG saja. Ternyata, film Korea tersebut menggunakan bahasa Korea tetapi subtitle-nya menggunakan bahasa Inggris sederhana, beberapa muncul kata-kata sulit yang memaksa anak saya membuka kamus.

Page 40: KORAN PENDIDIKAN

Kompetensi yang didapat adalah anak mau membaca, mencoba memahami, mencoba menganalisa dan berani menulis kesimpulan. Sebagai pendidik, jelas kita harus selektif dalam memilih isi cerita film-film Korea tersebut. Ada beberapa film yang tanpa disadari merupakan petuah, ada yang tidak layak ditonton dan ada yang murni humor.

Sedangkan anak laki-laki saya gemar sekali membaca Koran Bola. Di kelas, saya membagikan beberapa Koran Bola bekas, saya biarkan mereka menikmati bacaan tersebut kurang lebih sepuluh menit. Sesaat kemudian mereka asyik dengan artikel yang mereka sukai. Disaat seperti inilah saya meminta mereka untuk mencari judul sederhana dan menuliskan 10 judul untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Awalnya memang sulit, tapi mereka berusaha keras untuk mendapatkan tandatangan saya sebagai gurunya jika bisa menyelesaikan 10 judul bacaan. Kompetensi yang diharapkan adalah, siswa mampu menterjemahkan dalam bahasa Inggris, memperbanyak kosa kata, penerapan structure dengan tepat.

Sentuhan yang ketigabagaimana pendidik mengarahkan siswanya untuk menyadari bahwa belajar bahasa Inggris itu sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. Ini adalah tuntutan globalisasi dunia. Pengajar dituntut untuk kreatif dan inovatif, untuk membuat anak didik ketagihan belajar. Biasanya saya menerapkan sentuhan ini di luar jam pelajaran, misalnya ketika ada anak makan permen.

Saya dekati dia dan saya ajak dia untuk membahas tulisan yang tertera di bungkus permen tersebut dengan rilek, ketika ada murid dengan tas bertuliskan bahasa Inggris, saya ajak dia untuk menterjemahkan, dll. Ternyata, beberapa anak mulai berani menanyakan terjemahan sampul bukunya, judul nyanyian bahkan ada anak yang minta diajarkan marah menggunakan bahasa Inggris melalui SMS. (*)

Banyak Pendidik Belum Pahami Pentingnya EQ

Selama bertahun-tahun, IQ (Intellegencia Qoutient) telah diyakini sebagai standar kecerdasan. Namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.

Daniel Goleman (2003), salah seorang yang memopulerkan jenis kecerdasan manusia, menganggap adanya sebagai faktor lain yang penting dan memeengaruhi prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan social.

Siswa yang mengikuti program “emotional literacy” (untuk meningkatkan kecerdasan emosional) mengalami kemajuan/peningkatan dalam keberdayaan emosional (Goleman, 2003). Penelitian tentang hubungan EQ dengan prestasi belajar ini dilaksanakan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna.

Page 41: KORAN PENDIDIKAN

Di Indonesia, penelitian untuk melihat hubungan antara EQ dan IQ dengan prestasi belajar dilakukan oleh Sri Lanawati (1999) pada siswa SMA di Jakarta. Ia menggunakan tes intelegensi Culture Fair Intelligence Test (CFIT) dan untuk prestasi belajar yang tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil ujian caturwulan III tahun ajaran 1997-1998. Sedangkan EQ adalah skor yang diperoleh siswa pada alat Emotional Intelligence Inventory (EII) yang telah diadaptasi oleh peneliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Hasil yang diperoleh adalah 1). Ada hubungan bermakna antara IQ dan prestasi belajar siswa, 2). Tidak ada hubungan bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan inteligensi (IQ), dan 3). Tidak ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan prestasi belajar.

Hasil penelitian di Indonesia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian Goleman di sekolah di Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EQ dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Mungkin perbedaan ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses belajar mengajar. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah kemampuan rasional, seperti kemampuan berbahasa dan berhitung.

Pendidik ternyata juga salah satu penyebab perbedaan ini. Banyak tenaga pendidik yang belum mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi emosi yang dialami siswa.

Selain itu, siswa belum pernah memeroleh pendidikan pengenalan emosi sendiri, baik di sekolah maupun dalam keluarga, sehingga mereka cenderung buta emosi (emotional illiteracy), atau tidak sadar akan emosi yang muncul dan tidak tahu bagaimana mengendalikan emosi serta bagaimana mengungkapkan emosi secara benar.

Dari pengalaman dari luar maupun dalam negeri, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik serta orangtua secepatnya diberi kesempatan untuk mengikuti program yang dapat membantu mereka bagaimana memahami emosi diri dan emosi orang lain, terutama generasi muda yang menentukan masa depan bangsa dan negara. (*)