konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan...
TRANSCRIPT
KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN
(Analisis Tentang Praktik Ziarah Makam Keramat di Lombok)
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister
Dalam Bidang Sosiologi dan Antropologi Agama
Oleh :
B A H W A N
Nim: 21151200100048
PEMBIMBING
ARIF ZAMHARI, M.Ag, Ph.D
Program Magister Pengkajian Islam
Konsentrasi Sosiologi dan Antropologi Agama
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
1439 H / 2019 M
ii
KATA PENGANTAR
ب م س م ح الر ه الل ن
الر م ي ح Segala puji bagi Allah ta’ālă, Tuhan semesta alam. Syukur Alhamdulillah
senantiasa penulis panjatkan atas limpahan rahmat, hidayah, dan inayahnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul KONSTRUKSI SOSIAL DALAM
TRADISI KEAGAMAAN (Analisis Tentang Praktik Ziarah Makam Keramat di
Lombok). Shalawat beserta salam atas keharibaan baginda Nabi Muhammad Saw,
keluarga, para sahabat dan kepada para pengikut setia beliau hingga ahkir zaman.
Amiin.
Selama proses penulisan tesis ini, peneliti menyadari banyaknya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan secara moril maupun materil demi
menyelesaikan tulisan ini. Karena itu, penulis mengucapkan banyak-banyak
terimakasih atas dukungan dan dorongan yang selama ini telah diberikan kepada
penulis, khususnya kepada yang terhormat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, MA dan yang terhormat Bapak Direktur SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Jamhari, MA dan segenap jajaran pimpinan yakni,
Bapak Prof. Dr. Didin Syaefuddin, MA., Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM., Bapak Arif
Zamhari, M. Ag. Ph.D, Dr. JM. Muslimin, MA, dan Dr. Kamarusdiana, MH. Kepada
seluruh civitas akademika, perpustakaan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
juga telah banyak memberikan kesempatan serta pelayanan menyangkut studi ini
dalam melayani kami sebagai mahasiswa pascasarjana demi selesainya tesis ini.
Selanjutnya, penulis haturkan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat Bapak Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing
penulis, berkat bimbingan, masukan, saran dan arahan beliau penulis dapat
menyelesaikan tesis ini sehingga memenuhi kualifikasi akademis baik secara
penulisan maupun substansinya. Ketika penulis berkonsultasi dan berkomunikasi,
beliau senantiasa memberikan waktu luangnya bagi penulis untuk berdiskusi demi
kelancaran penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih
kepada seluruh dosen-dosen di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
mendidik penulis, memeberikan ilmu dan pengetahuan bagi penulis, kepada yang
terhormat Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito MA, Prof. Dr. Atho
Mudzhar, MA, Alm. Prof. Dr. Bambang Pranowo, MA, Prof. Dr. Salman Harun, MA,
Prof. Dr. Zulkifli, MA, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, dan masih banyak lagi
dosen-dosen penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Selanjutnya, yang penulis hormati dan banggakan adalah Kedua Orang Tuaku
tercinta, mereka selalu tulus ikhlas dan penuh kasih sayang mengorbankan tenaga,
waktu, pikiran, hingga materi dalam merawat dan mendidik penulis hingga seperti
sekarang ini, tentu sebuah usaha dan upaya yang penulis tak akan mampu
membalasnya dengan apapun selain dengan rasa syukur, taat dan patuh kepadanya.
Untuk semua keluarga besarku terutama kepada Kakak dan adek-adeku tercinta.
Mereka adalah penyemangat sekaligus penghiburku dikala penulis lemah, meraka
juga selalu memberikan dukungan untuk capaian studi saya hingga selsai. Saya sangat
berterimakasih kepada semua saudara-saudaraku tercinta atas pengorbanan mereka
iii
selama ini baik secara tenaga, pikiran dan materi demi lancarnya study saya di SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Untuk semua shabat-sahabatku, penulis juga sangat berterimakasih atas
dukungan dan supot yang diberikan demi kelancaran penulisan tesis ini. Kepada
sahabat Sabolah al-Kalamby M.Pd. selaku Sekjen PB PMII. Aidil Aulia MA, Rofil
Kheruddin, Ust. Hulaimi MA, Anwar, MA, Hizbullah, MA, dan teman-teman
angkatan saya, Helmy Hidayatullah S.Thi, Miq Daud Azhari SH, Sopian Hadi,
Ahmad Hifni MA, Moh. Zainul Hasni Syarif, MA, Khaidir Hasram, Fahmi Zuhudi,
Oga Satria, Nur Mardiah MA, Zikra Fadilla, Nur Iklas MA, Izza, Nurul Aini, Silvi
dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, penulis berterimaksih kepada sahabat-
sahabatku yang juga turut membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini, kepada
sahabat Aziz Muslim, S. Kom.i, Khaerul Azmi, S.Sos, M. Solihin, S.Pd, dan juga
kepada saudara-saudaraku yang selalu setia menemani penulis mencari refrensi, buku,
jornal, artikel dan lainnya, kepada saudara saya Moh. Hamdi S.Pd, Eka Aprianto,
Maliki, Kohlik, Zaen dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
Rasa hormat dan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh informen
dilapangan karena telah banyak membantu penulis dalam memperoleh informasi dan
data-data dilapangan selama penelitian berlangsung dalam rangka mengambil
informasi dan data-data lapangan tersebut baik melalui wawncara, dokumentasi,
observasi, dll. Terutama Kepada bapak Kepala Desa Rembita, Juru Kunci Makam,
Petugas makam, Kepala Dusun, dan masyarakat Desa Rembitan Kecamatan Pujut,
Kabupaten Lombok Tengah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis
ini.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berdoa dan memohon agar bantuan dari
semua pihak dalam penulisan tesis ini baik secara langsung maupun tidak langsung
semoga dibalas oleh Allah dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga pula tesis ini
dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi pengembangan ilmu
Sosiologi dan Antropologi agama. Namun penulis menyadari bahwa tesis ini masih
jauh dari kata “sempurna” dikarenakan kekurangan dan keterbatasn penulis. Keritik
dan saran yang bersifat konstruktif sangat terbuka lebar untuk kesempurnaan dan
peningkatan kualitas tesisi ini.
Ciputat, 13 April, 2019. M
Penulis,
Bahwan
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
ALA-LC ROMANIZATION TABLES
A. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin
Alif A ا
Ba B ب
Ta T ت
Tha Th ث
Jim J ج
H{a h} ح
Kha kh خ
Dal d د
Dhal dh ذ
Ra r ر
Zay z ز
Sin s س
Shin sh ش
{S}ad s ص
Dad{ d ض
T{a t} ط
Z{a z} ظ
‘ Ayn‘ ع
Ghayn gh غ
Fa f ف
Qaf q ق
Kaf k ك
Lam l ل
Mim m م
Nun n ن
Wawu w و
Ha h هـ
Ya y ي
v
B. Vokal
Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab meliputi: vokal
tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].
1. Monoftong
Tanda Nama Huruf Latin
ــــ Fath}ah A
Kasrah I ــــ
ــــ D}ammah U
2. Diftong
Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf
ــــ ي Fath}ah dan Ya Ay
ـــــ و Fath}ah dan Wawu Aw
C. Maddah
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda
ـا ــىــــ ـ ـــــــ ـ Fath}ah dan Alif atau
Ya
a>
ــــ ي Kasrah dan Ya i>
و ــــ ـ D}ammah dan Wawu u>
D. Ta Marbut}ah
Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata lain [dalam
istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka transliterasinya t. Akan
tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain atau bukan sebagai posisi mud}a>f,
maka menggunakan h. Contoh:
ـــة al-Bi>’ah البيـئــــــــــــ
Kulli>yat al-A<da>b ك ل ية الآداب
vi
ABSTRAK
Tesis ini menganalisis praktik ziarah di makam keramat dengan melihat
proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau
legenda sehingga menjadi suatu pemahaman, persepsi, dan emosi keagamaan hingga
membentuk pradisposisi dalam menjalankan tradisi keagamaannya. Berdasrkan
dukungan dan kajian teori konstruksi sosial, tesis ini bertujuan untuk mengetahui
latar belakang masyarakat saat melakukan ziarah di makam tersebut dan menjadi
sebuah tradisi dalam kehidupan mereka.
Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data yaitu data primer yang
bersumber dari lapangan, observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data
sekunder adalah jenis data yang bersumber dari karya ilmiah seperti buku, artikel,
jurnal dan lainnya yang berkaitan dengan konteks penelitian ini terutama tentang
konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan. Sedangkan metode dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif-deskriptif yang menggunakan pendekatan fenomenologi,
interaksi simbolik, dan etnografis.
Pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang ziarah makam keramat,
akan selalu berkaitan dengan kedudukan para wali atau tokoh suci. Wali adalah
seseorang yang memiliki kedekatan dan kelebihan dengan Tuhan, maka di mata
manusia keberadaan para wali memiliki hubungan erat dengan agama. Sejalan
dengan Jamhari yang menyatakan bahwa “Praktik ziarah di makam orang suci Islam
(Wali) sebenarnya merupakan repleksi pemahaman keislaman.” (2001) Tesis ini
menganut analisis Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, ia
mengatakan pengetahuan individu membentuk pradisposisi sebagai bagian dari
tindakannya. (1966) Sedangkan Max Weber dan Keith A. Roberts (2004)
menyebutkan; ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama.
Agama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial.
Tesis ini berbeda dengan pandangan Robert MZ Lawang (2004) dan
Mannheim yang justru banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx (1930-an) yang
mengatakan bahwa lapisan sosial dalam masyarakat ditentukan oleh kriteria objektif
yang berhubungan dengan kesempatan hidup dan menekankan pada aspek kekuasaan
sebagai bagian dari stratifikasi sosialnya. Sedangkan bagi Mannheim, terdapat dua
dimensi yang berkembang dalam setiap kehidupan masyarakat yaitu ideologi sebagai
pengetahuan kelas yang berkuasa dan utopia sebagai pengetahuan yang berkembang
di antara kelas-kelas yang tertindas.
Keywords : Konstruksi, Praktik, Teradisi, Ziarah Makam, Keramat.
vii
ABSTRACT
This thesis analyzes pilgrimage practice to the sacred tomb through
exploring social process which construct belief pattern of the society in order to
generate perception, a clear and united understanding, and religious emotion that
develop a predisposition as a pattern of action in doing pilgrimage. Through the lens
of social construction theory, this thesis is aimed to understand the background of
pilgrimage to the sacred tomb by the people so this action transform into a religious
tradition.
This research applies two kinds of data resources namely the primary data
gathered from field research, observation, and in-depth interview, while the
secondary data are other scientific resources such as books, journals, articles and
others which has close relation to the context of this research particularly those
describing about social construction in religious traditions. Moreover, this research
applies qualitative-descriptive which employs the approach of phenomenology,
symbolic interaction, and ethnography.
The knowledge and understanding of someone about tomb pilgrimage will
relate with the standing of the saints in the society. The saint is someone who has
close relationship to the god and is bestowed upon him magical transcendence, so for
the ordinary people the existence of saint is closely related to the religion. According
to Jamhari who said “tomb of the saint pilgrimage is originally a reflection of Islamic
understanding” (2001). This thesis also uses analysis of social construction from
Peter L. Berger and Thomas Luckman who said that individual knowledge of an
individual mold their predisposition as a part of their action (1996). In other hand
Max Webber and Keith A. Roberts (2004) stated, “There is a correlation between
social and economical condition with religious devotion. Religion influences and be
influenced by social system”.
This thesis is inherently different with the view of Robert MZ Lawang
(2004) and Mannheim whose thoughts are profoundly influenced by Karl Marx
(1930s) who said that social layers in the society are determined by objective criteria
that relate to the living chances, they also emphasize on power aspect as an
indispensable part of social stratification. Furthermore for Mannheim, ideology as
knowledge for ruling class and utopia as a knowledge for suppressed class are two
inherent dimensions that thrive in the society.
Keywords : construction, practice, tradition, tomb pilgrimage, sacred.
viii
الملخص هذ عمليةالبحثاتحلل ةالمقابرزورةعن العملياتيةالنظربالمقدسة في
الاجتماعيةوأنماطثقةالمجتمعالتيتنشأعلىأساسالقصصأوالأساطيربحيثيصبحالفهموالإدراكوالعاطفةالدينيةلتشكيلاستعدادفيتنفيذتقاليدهاالدينية.استناداإلىدعم
رةليةزوعمإلىمعرفةخلفيةالمجتمععندالبحثاهدفهذيودراسةنظريةالبناءالاجتماعي، فيالمقبرةوتصبحتقليدافيحياتهم.
الملاحظةوالمقابلاتبالميدانفي،البياناتالبحثنوعاناهذفيمصادرالبياناتوالعلميةمثلالكتبوالمقالاتوالمجلاتعمليةالبياناتالمستمدةمنو.والاستبانةوالتوثيق
يبمدخلمنهجالكيفطريقةوصفيةيهالبحثاأنالطريقةفيهذ.هذاالبحثبالتيتتعلقرمزيااوإثنوغرافية.الوصفي وتفاعلاا
نالولي يإلىموقفتتعلقالمقبرةالمقدسة،شخسيةعنزيارةميهافالموفيرامعال الله،لذلكوجودالقديسينلهإلىأوالشخصياتالمقدسة.الواليهوشخصلديهتقارب
المقبرةالمقدسة)الوالي(هيزيارة"عمليةجمهريإنوهذايوافقبرأىعلاقةوثيقةبالدين.منبتحليلالبناءالاجتماعيلبحثاا(تلتزمهذ1002فيالواقعتكرارللفهمالإسلامي.")
)بيرغربيترل. ( Peter L. Berger )وتوماسلكمان (Thomas Luckmann وقالإنالمعرفةكجزءم )(بينماذكرماكسويبر2611نأفعاله.)الفرديةتشكلاستعدادا (Max Weber
روبرتستوكي Keith A.) (Roberts (1002) : الاقتأحوالهناكعلاقةبين صاديةالاجتماعية.الدينيؤثرويتأثربالأنظمةالاجتماعية.والاحتفالالدين
Robert MZ Lawang) )زلاوج.روبرتمينظرالعنوجهاتالبحثاختلفهذإكارلماركسييذال (Mannheim) (ومنهيم1002) (الذي2690)((Karl Marxأثربفكر
يقولإنالطبقةالاجتماعيةفيالمجتمعتتحددبمعاييرموضوعيةتتعلقبفرصالحياةوتؤكدكجزءمنالتقسيمالاجتماعي.أمابالنسبةلمانهايم ،فهناك(Mannheim)علىجوانبالقوة
ix
كلحياةفيالمجتمع،هماالأيديولوجيةباعتبارهامعرفةالطبقةالحاكمة بعدانيتطورانفيكمعرفةتتطوربينالطبقات .المطحونينواليوتوبيا
مقبرةالمقدسةالعادة،زورة،عمليات،البناء:كلماتمفتاحية
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
ABSTRACK ..................................................................................................... vii
viii ........................................................................................................ البحث ملخص
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................. 13
1. Identifikasi Masalah .............................................................. 13
2. Rumusan Masalah ................................................................. 14
3. Batasan Masalah .................................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 14
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 15
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................... 15
F. Metode Penelitian ....................................................................... 19
1. Desain Penelitian ................................................................... 19
a). Lokasi Penelitian ............................................................... 19
b). Jenis dan Sifat Penelitian ................................................... 19
2. Pendekatan ............................................................................ 21
3. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 22
4. Tehnik Pengumpulan Data .................................................... 22
a). Observasi ........................................................................... 22
b). Wawancara ........................................................................ 23
c). Dokumentasi ...................................................................... 24
5. Tehnik Analisis Data ............................................................. 24
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 26
BAB II KAJIAN TEORITIS KONSTRUKSI SOSIAL DAN
PERKEMBANGAN TRADISI-TRADISI KEAGAMAAN PADA
MASA AWAL
A. Agama dalam Kehidupan Manusia ............................................ 28
1. Agama Spiritualisme ............................................................. 29
a). Agama Ketuhanan ............................................................. 29
b). Agama Penyembah Roh .................................................... 31
2. Agama Materialisme ............................................................. 32
B. Perkembangan Tradisi-tradisi pada Masa Awal ........................ 32
xi
1. Pengorbanan .......................................................................... 34
2. Ibadah .................................................................................... 35
3. Tempat, Benda dan Orang yang dikeramatkan ..................... 35
4. Sihir ....................................................................................... 36
C. Sistem Sosial dan Realitas Kehidupan Masyarakat ................... 40
D. Proses Sosial dalam Dunia Sosio-Kultrual Masyarakat ............ 51
1. Eksternalisasi ......................................................................... 51
2. Objektivikasi ......................................................................... 54
3. Internalisasi ........................................................................... 56
BAB III DESKRIPSI UMUM MASYARAKAT KABUPATEN LOMBOK
TENGAH
A. Kondisi Geografis Masyarakat Kabupaten Lombok Tengah .... 66
B. Perkembangan Islam di Pulau Lombok ..................................... 71
C. Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal .................... 79
D. Dimensi-dimensi Keagamaan Masyarakat ................................ 89
1. Emosi Keagamaan ................................................................. 89
2. Sistem Kepercayaan .............................................................. 89
3. Sistem Upacara Keagamaan .................................................. 89
4. Kelompok Keagamaan dan Kekuatan-kekuatan Sosial ......... 89
BAB IV PROSES SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN
MASAYARAKAT
A. Makam sebagai Simbol dan Instrumental Akulturasi
Masyarakat ................................................................................ 97
B. Proses Sosial dan Ziarah Makam sebagai Tradisi Keagamaan
Masyarakat ................................................................................ 102
C. Praktik Keagamaan dan Pemahaman Masyarakat Tentang
Makam Keramat ........................................................................ 115
D. Fenomena Ziarah di Makam Keramat ....................................... 125
BAB V TRADISI ZIARAH PADA MAKAM KERAMAT
A. Ritual dalam Melakukan Ziarah Kubur atau Ziarah Makam
Keramat ..................................................................................... 140
1. Tahap Persiapan .................................................................... 143
2. Tahap Pelaksanaan ................................................................ 143
B. Motivasi dan Tujuan Melakukan Ziarah di Makam Keramat ... 145
1. Mengharap Berkah ................................................................ 149
2. Mengambil Pelajaran............................................................. 149
3. Mengenang Sejarah dan Penghormatan Terhadap Arwah
Para Leluhur ......................................................................... 151
4. Melakukan Tawassul atau Berwasillah ................................. 152
5. Sebagai Wisata Religi ........................................................... 155
xii
C. Pelaku Ritual Ziarah di Makam Keramat .................................. 160
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 166
B. Saran .......................................................................................... 167
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 168
GLOSSARY ..................................................................................................... 179
INDEKS ........................................................................................................... 182
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Dialektika; Eksternalisasi, Objektivikasi, Internalisasi ............................ 45
Tabel 2. Batas Administrasi Wilayah Kabupaten Lombok Tengah ....................... 68
Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2010 .................................................................. 69
Tabel 4. World View dan Dampak Sosial .............................................................. 83
Tabel 5. Motif Awal dan Tujuan Peziarah ............................................................. 95
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Ilustrasi Konsep Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger & Thomas
Lukckmman ...................................................................................... 37
Bagan 2. Dimensi Budaya ................................................................................ 64
Bagan 3. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia .................................... 74
Bagan 4. Konsep Tindakan Voluntarism Parson .............................................. 75
Bagan 5. Sebagian dari kerangka teori tindakan (Theory of Action) Telcott Parson
........................................................................................................ 127
Bagan 6. Kerangka Kebudayaan .................................................................... 128
Bagan 7. Motivasi awal dan tujuan akhir peziarah ......................................... 136
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penduduk Indonesia adalah mayoritas penganut agama Islam di Nusantara.1
Dalam catatan resmi badan statistik terdapat sekitar 87,18% masyarakat Indonesia
memeluk agama Islam yang tersebar di Nusantara. Islam datang ke wilayah Indonesia
diperkirakan sekitar abad pertama Hijriah atau abad ke-7 sampai abad ke-8, yang
ditandai dengan penemuan batu nisan seorang wanita muslimah bernama Fatimah
binti Maimun sekitar tahun 475H/1082 M di Leran Gersik Jawa Timur. Fakta ini
menunjukkan salah satu bukti sejarah kehadiran Islam di Indonesia.2
Masuknya agama Islam di Indonesia juga tidak disebabkan akibat peperangan
atau karena penjajahan, tetapi Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan,3
kultural,4 pendidikan5 dan kekuasaan politik.6 Penyebaran agama Islam memang
terbilang cukup panjang dan alot karena proses penyebarannya berawal dari wilayah
pesisir kemudian baru bergerak ke wilayah pedalaman.7
1Menurut catatan resmi Badan Statisik, pada akhir tahun 2010, masyarakat
Indonesia berjumlah sekitar 237. 641. 326 dan secara mayoritas mereka adalah penganut
agama Islam hingga mencapai 87.18%, sedangkan penganut agama Kristen sekitar 6.96%,
Katolik, 2.9%, Hindu, 1.69%, Budha, 0.72%, Kong Hucu, 0.05% dan lainnya sekitar 0.13%.
Sumber: http://www.bps.go.id. 2Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Menelusuri
Jejak-jejak Peradaban Islam di Barat dan Timur (Yogyakarta: Saufa, 2014), 448. 3Jalur ini terbentuk karena orang-orang Arab yang telah lama menjalin kontak dagang
dengan orang-orang Melayu. Selain itu, berdirinya kerajaan Islam di Malaka dan Samudra
Pasai yang terletak di Aceh juga mampu menjadikan para ulama dan pedagang Arab sering
berdatangan ke Nusantara untuk melakukan perdagangan dan menyiarkan agama Islam. 4Pemanfaatan media-media budaya sebagai sarana penyebaran Islam di Nusantara,
dapat digunakan oleh para ulama atau para waliyullah dalam menyebarkan ajaran Islam.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Wali Sanga di wilayah Jawa seperti Sunan Kalijaga yang
mengembangkan kesenian wayang dan Sunan Giri seni menciptakan mainan anak-anak berupa
jalungan, ilir-ilir, jamuran, cublak, suweng, dan lain sebagainya. 5Lembaga pendidikan seperti pesantren juga terus dibangun oleh para ulama untuk
mengembangkan syiar Islam. Para ulama yang menyebarkan lembaga-lembaga pendidikan
seperti pesantren tersebut adalah dari alumni pesantren itu sendiri. Oleh karena itu, pesantren
masih menjadi dominasi strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di Nusantara. 6Masa awal penyebaran Islam di Indonesia, para ulama telah mendapat dukungan dari
para sultan seperti kesultanan Demak di Jawa yang menjadi pusat dakwah sekaligus pelindung
perkembangan Islam. Demikian pula dengan keberadaan para sultan di wilayah Nusantara juga
melakukan komunikasi dan tolong-menolong dalam melindungi dakwah Islam. Hal ini telah
menjadi cikal bakal terbentuknya Negara Nasional Indonesia hingga di masa-masa mendatang.
Lihat: Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Jejak-jejak
Peradaban Islam di Barat dan Timur, 450-451. 7Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, Dari Analisis Historis Hingga Arkeologi
Tentang Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 15.
2
Namun perlu diketahui bahwa sebelum masuknya ajaran Islam di Indonesia,
masyarakat di nusantara telah memiliki kekayaan budaya dan unsur-unsur tradisi
lokal. Bahkan sebelum hadirnya Wali Sanga melalui dakwahnya dalam menyebarkan
agama Islam, masyarakat Jawa merupakan penganut taat agama Hindu sekaligus
pelaku budaya Jawa yang kental dengan corak Hinduisme dan sampai saat ini oleh
sebagian masyarakatnya masih dipedomani.8 Dalam hal ini, perlu adanya identifikasi
terhadap budaya dan unsur-unsur tradisi lokal termasuk perkembangan sosial budaya
lokal tatkala berlangsungnya proses Islamisasi di Indonesia.9
Adapun unsur-unsur budaya yang berasal dari zaman prasejarah atau zaman
Hindu Budha adalah pertanian dan irigasi, sistem mata uang, pengetahuan astronomi,
pengetahuan berlayar, memandai logam, metrum, sistem pemerintahan desa (dorp
republic), seni batik, seni gamelan, dan wayang. Unsur-unsur budaya ini, lazim
disebut “teen poin brandes”.10 Sedangkan unsur-unsur tradisi lainnya yaitu animisme-
dinamisme, pemujaan kepada arwah para leluhur dengan punden berundak, dan
menhir sebagai artefaknya.11 Unsur-unsur budaya tentang animisme-dinamisme12
serta pemujaan terhadap arwah para leluhur selalu berkaitan dengan pola kepercayaan
masyarakat dalam tradisi budaya lokal. Praktik pemujaan leluhur juga dimanifestasi
secara materi dalam ragam produk budaya karena pemujaan leluhur merupakan salah
satu aspek penting dalam konstruksi sosial masyarakat pada masa itu.13
Praktik ziarah makam adalah bagian dari cara menghormati arwah para
leluhur. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat praktik-
praktik keagamaan di mana masyarakat dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang
berkaitan dengan tradisi ziarah kubur atau makam. Makam dan segala aktivitas yang
berkaitan dengan ziarah akan senantiasa mengingatkan manusia bahwa setelah
kehidupan akan ada kematian. Dengan demikian setidaknya manusia akan sadar untuk
melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam menghadapi alam arwah. Aktivitas
ziarah oleh banyak pihak juga dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu,
misalnya mencari ketenangan, mencari keberuntungan, kesembuhan dan sebagainya
sesuai dengan kharisma dan kisah keistimewaan tokoh yang dimakamkan.14
8Muhamad Nurhidayat, Lebih Dalam Tentang NU (Surabaya: Bina Aswaja, 2012), 2. 9Taufik Abdullah, Sejarah dan Dialog Peradaban (Jakarta: LIPI Press, 2005), 1148. 10Koentjaraningrat, Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan-penyelidikan
Masyarakat Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 455. 11Unsur-unsur budaya itu merupakan milik bangsa Indonesia yang paling awal (the
national proper element) sebagai media penepis unsur-unsur budaya luar yang masuk seperti
Hindu-Budha, Islam, China, dan budaya Barat. Dalam Taufik Abdullah, Sejarah dan Dialog
Peradaban (Jakarta: LIPI Press, 2005), 1148-1149. 12Pola kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh yang terdapat dalam benda-benda,
termasuk kepercayaan pada fenomena-fenomena alam. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar
Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 44. 13 Marlon NR Ririmasse, Pemujaan Leluhur di Kepulauan Maluku Tenggara, Jejak
Budaya Materi dan Perannya Bagi Studi Arkeologi Kawasan, Jurnal Patarjala, Vol. 4, No. 3
September 2012, 1. 14 Titi Munfangati, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa” Jurnal
Jantra Vol. II. No 3 Juni 2007 (Yogyakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta), 152.
3
Ziarah makam merupakan salah satu tradisi yang masih terjaga dan terus
dilestarikan dalam kehidupan masyarakat luas. Berbagai maksud dan tujuan maupun
motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan masyarakat
selain karena kepercayaan mereka, juga akibat dari masih adanya pengaruh pada masa
Hindu-Budha. Pada masa itu, kedudukan seorang raja masih dianggap sebagai titisan
dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih dinilai
keramat termasuk makam, petilasan maupun benda-benda peninggalannya. Misalnya
Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk) diandaikan sebagai titisan Hyang Giri Nata yang
beristana di puncak Gunung Semeru.15
Ziarah di makam keramat atau makam orang yang dianggap suci mempunyai
tradisi yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Selain itu,
kegiatan ziarah kubur juga sudah ada sejak masa pra-Islam. Tradisi ziarah kubur pada
masa pra-Islam ditandai dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang telah
meninggal. Hal ini sejalan dengan penyembahan terhadap arwah para leluhur yang
terjadi di berbagai belahan dunia. Misalnya pada masa Jahiliyah masyarakat Arab
masih mempunyai tradisi menyembah, mengagungkan berhala dan arwah leluhur
mereka. Masyarakat Jahiliyah menganggap berhala dan arwah para leluhur memiliki
kendali atas kehidupan mereka dan bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Budaya mengagungkan arwah leluhur sudah menjadi tradisi yang mengakar kuat bagi
mereka di masa Jahiliyah. Hal inilah awal mulanya Rasulallah Saw melarang umat
Islam melakukan ziarah kubur. Larangan tersebut adalah bentuk kehati-hatian Nabi
dalam menjaga keimanan umat Islam karena saat itu umat Islam masih dekat dengan
budaya Jahiliyah dari berbagai tradisinya seperti menyembah berhala, pemujaan
terhadap arwah leluhur atau pengagungan terhadap nenek moyang mereka. Dengan
berziarah, dikhawatirkannya umat Islam akan mengarah pada perbuatan syirik.16
Seiring dengan kemajuan dakwahnya Nabi dalam menyebarkan Islam yang
disertai dengan keyakinan akan semakin kuatnya akidah umat Islam, maka Nabi
Muhammad Saw membolehkan umatnya untuk berziarah kubur. Diperbolehkannya
ziarah kubur ini didasarkan pada keyakinan bahwa dengan ziarah kubur, umat Islam
tidak meminta kepada ruh jenazah yang dikuburkan sebagaimana sebelumnya.17
Diperbolehkannya ziarah kubur pada masa Nabi, tentu disambut baik oleh
masyarakat luas yang juga memiliki tradisi ziarah kubur. Sehingga ketika Islam
masuk di suatu daerah yang memiliki kesamaan tradisi maka terjadilah proses saling
mengisi antar tradisi tersebut. Di Nusantara tradisi ziarah kubur sudah lazim dilakukan
oleh masyarakat luas. Ziarah kubur tidak hanya dilakukan di makam para leluhur,
tetapi juga di makam-makam orang yang dianggap berjasa bagi agama, negara dan
kehidupan umat manusia.
15 Erwin Arsadani, Islam dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi
Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa, Jurnal Esensia Vol. VIII No. 2 Juli 2012,
280. 16 M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,
Identitas Keagamaan dan Komersial, Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol 14. No. 2, Juli-
Desember 2016, 208. 17 Untuk itu, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Dahulu aku melarang kalian untuk
berziarah kubur. Ziarahlah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan
air mata dan mengingatkan pada kehidupan akhirat”. (H.R Hakim. Juz 1:376).
4
Dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, para penyebar Islam
banyak melakukan pendekatan secara kultural untuk mengisi ruang-ruang budaya
yang masih syarat dengan nuansa Hindu-Budha dengan memasukan nilai-nilai Islam.
Hal tersebut terus dilakukan oleh para ulama atau para penyebar Islam saat itu. Sarana-
sarana lokal dimodifikasi sebagai media penyebaran ajaran agama. Dengan demikian,
penyebaran Islam yang dijalankan oleh para ulama saat itu terkesan sangat adaptif dan
akomodatif terhadap aspirasi-aspirasi masyarakatnya.18
Kehadiran Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di Nusantara akhirnya
mampu membawa nuansa baru bagi kehidupan masyarakat yang sebelumnya berada
pada era kebudayaan Hindu-Budha menjadi era kebudayaan yang bernuansa Islami.
Wali Sanga menjadi simbol penyebar agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau
Jawa. Meskipun ada pula tokoh-tokoh lain yang berperan dalam menyebarkan Islam
di Nusantara, namun karena kebesaran serta pengaruh “Sembilan Wali” tersebut yang
telah mendirikan kerajaan Islam di pulau Jawa masih terasa kuat dan sulit dihilangkan
dalam kehidupan masyarakatnya. Karena itu, Wali Sanga lebih banyak mendapat
perhatian khusus sehingga banyak disebut-sebut oleh masyarakat Jawa dibandingkan
dengan tokoh-tokoh penyebar Islam lainnya.19
Dalam menyebarkan dakwahnya Wali Sanga memiliki cara yang bijaksana.
Cara tersebut diterapkan dengan penuh toleransi dalam menyebarkan agama Islam
dan tetap pada komitmen etika yang tinggi untuk menghormati dan menghargai tradisi
serta adat-istiadatnya termasuk kepercayaan mereka. Hal ini ditandai dengan lebih
kepada penyelarasan ajaran budaya setempat. Untuk itu, banyak tradisi atau budaya
lokal masyarakat yang justru difungsikan sebagai sarana ajaran Islam sehingga Islam
dengan mudah dapat diterima dikalangan masyarakat Jawa dan Nusantara.
Menurut KH. Said Aqil Siradj dalam ceramahnya, beliau menyebutkan bahwa
Wali Sanga saat menyebarkan ajaran Islam melalui dakwahnya, pun dilakukan secara
berangsur-angsur. Islam diajarkan tampa menyakiti dan menyinggung siapapun, tidak
mengintimidasi, dan tidak pula mengancam masyarakat. Para Wali dalam dakwahnya
selalu memperkecil perintah yang membebani umat Hindu bahkan meminimalisir
kewajibannya saat itu.20 Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga tidak pula
mengandung unsur kekerasan dan unsur pemaksaan. Namun demikian, mengenai
praktik-praktik keagamaan memang masih sangat beragam terutama menyangkut pola
kepercayaan yang masih dipengaruhi oleh adat-istiadat lama mereka yang masih
mencerminkan pola tindakan yang syarat dengan ritual-ritual mistis.21 Pernyataan ini
tidak terbantahkan dengan adanya ciri-ciri masyarakat lokal yang masih primitif.
18Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,
2011), 93. 19Masykur Arif, Wali Sanga Menguak Kisah Hingga Fakta Sejarah (Yogyakarta:
Laksana, 2016), 25. 20Mahbib, “Dengan Budaya Islam Kuat” http://www.nu.or.id/post/read/60389/kiai-
said-dengan-budaya-islam-kuat. Diakses pada tanggal 1 Maret 2017. 21Menggambarakan dimensi kehidupan yang memiliki keterkaitan dengan pesantern
dan keyakinan-keyakinan mistis terhadap keberadaan para Wali yang kepercayaannya telah
dianut oleh warga desa kebanyakan. Lihat Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa
(Jakarta: Pustaka Alpabet, 2009), 237.
5
Emile Durkheim menyebutkan bahwa ciri-ciri masyarakat lokal yang masih
tergolong primitif setidaknya ditandai dengan dua syarat utama yaitu sistem dalam
suatu organisasi masyarakat yang paling sederhana dan sistem religius yang lebih dulu
hadir dalam memperkenalkan unsur-unsur lain selain yang lebih tua dari agama.22
Sistem kepercayaan seperti ini biasanya akan menampilkan fenomena dalam praktik
keagamaan ketika mereka melakukan proses ritual yang bersifat mistis.
Indonesia yang dikenal sebagai mayoritas penganut agama Islam, memang
masih kental dengan nuansa kepercayaan dari pengaruh adat-istiadat lama mereka
sebagai warisan para leluhurnya. Karena itu, praktik-praktik keagamaan menjadi
sangat beragam dalam suatu budaya sesuai dengan unsur-unsur tradisi lokalnya.
Terlebih jika tradisi tersebut memiliki objek secara khusus sebagai simbol yang paling
dikeramatkan dalam ritualnya, maka dapat dipastikan bisa menimbulkan pradisposisi
(kecenderungan) yang akan mengarah pada pemaknaan spiritual dan dianggap
mengandung unsur kekuatan gaib. Geertz menyatakan bahwa simbol suci itu bersifat
normatif dan mempunyai konsekwensi besar dalam pelaksanaan sanksi-sankinya.23
Pelaksanaan dalam sebuah tradisi keagamaan, kadang terdapat proses ritual
yang hanya bersifat seremonial. Meskipun proses tersebut dijalankan sebagai bagian
dari cara untuk mengingatkan manusia pada eksistensi lingkungannya, tetapi ritual-
ritual tersebut tidak sebatas untuk diingat, melainkan bagaimana manusia dapat
mempergunakan simbol yang bersifat abstrak karena simbol tersebut timbul melalui
pemikiran sebagai suatu objek yang telah diinterpretasikan dalam sejumlah aktivitas
atau kegiatan sosial keagamaan seperti upacara kematian, pernikahan, maulid Nabi,
adat-istiadat dan lain sebagainya yang kongkrit dalam kehidupan mereka sehari-hari.24
Tradisi-tradisi keagamaan masyarakat yang usianya sejak kedatangan Islam
abad ke-7 Masehi, terdapat praktik-praktik yang dapat dijalankan setiap minggunya
atau bahkan pada waktu-waktu tertentu, seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad
Saw, Isra Mi’raj, perayaan Hari Asyura, Ziarah Kubur, perayaan Pernikahan, Haul,
22 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life (New York: Free
Press, 1992), 17. 23 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa
(Depok: Komunitas Bambu, 2017), 563. 24 Misalnya upacara selamatan yang menjadi aspek keagamaan, muncul sebagai
wadah dengan sistem yang menghadirkan dokterin agama dan berubah bentuk menjadi
serangkaian metapor dan simbol. Ritual-ritual keagamaan tersebut, bila dilihat secara aspek
sosiologis, penekananya justru lebih kepada tindakan sebagai suatu adat kebiasaan yang
dilakukan secara intensional sesuai dengan ketentuan waktu dan tempat disamping peristiwa
atau keperluan tertentu. Dalam Bryan S. Turner, Dramas, Fields, and Metaphors (Ithaca:
Cornell University Press, 1974), 17. Lihat juga Harsja W. Bachtiar, “The Rrligion of Java: A
Commentary Review” Jurnal Majalah Ilmu-ilmu Sastra, Volume 5. No. 1 1973, 85-118.
6
Tablig Akbar, Tahlilan,25 Tabarruk,26 Mujahadah, Istighosah, Tawassul,27 Ziarah,28
Ziarah Makam,29 dan sebagainya. Sejumlah aktivitas keagamaan ini disebut sebagai
tradisi keagamaan karena tiap-tiap kegiatan selalu memiliki unsur ajaran agama dan
budaya, bahkan tidak menutup kemungkinan ada diantara salah satu unsur yang lebih
dominan dari unsur yang lain. Kemungkinan lainnya adalah timbulnya suatu
25Tahlil berasal dari kata hallala yuhallilu tahlilalan yang berarti membaca kalimat
La Illaha Illallah. Artinya bahwa tahlil berati membaca ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, membaca
tasbih, tahmid, dan sebagainya. Maka tahlil diperbolehkan dalam syariat Islam. Dalam Hadis
Rasulallah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: bahwa Nabi menyuruh untuk
memperbaiki iman dengan memperbanyak kalimat La Illaha Ilallah. Lihat: Marzuqi A Idris,
Dalil-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdiyyah (Lirboyo: Tim Kodifikasi LBM PPL, 2011), 56. 26Tabarruk adalah mengharap berkah, contohnya seorang sahabat yang ketika itu
mengharap berkah dengan meminta burdah yaitu jenis selimut yang bagian ujungnya dibordir.
Dalam sebuah kajian Aswaja, KH. Zyakki Mubarak mengatakan sahabat-sahabat Nabi dan
para ulama-ulama tersokhor telah ikut memperaktikkan tabarruk sebagaimana yang sering kita
saksikan seperti ketika mencium tangan, berziarah, menghormati tempat, benda-benda tertentu
hingga dimanfaatkan sebagai sarana wasillah agar tujuannya berkah melalui tindakan tersebut.
Lihat Marzuqi A. Idris, Dalil-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdiyyah, 83. Lihat juga Khairon
Mahbib, “Tabarruk di Praktekkan Sejak Zaman Nabi”. Lihat:
http://www.nu.or.id/post/read/38189/tabarruk-dipraktekkan-sejak-zaman-nabi. Diakses pada
tanggal 5 Januari, 2018. 27Tawassul artinya berperantara. Jika seseorang tidak sanggup menghadap langsung
maka sebaiknya melalui prantara. Imam Asyaukani mengatakan berperantara melalui Nabi
atau orang shaleh baik ketika masih hidup atau sesudah meninggal adalah ijma’. Hal ini
dilakukan oleh para sahabat dimana ketika bertawassul bukan semata-semata mengharapkan
kekuatan mereka yang sudah mati atau yang masih hidup, tetapi ia berwasilah terhadap
kemuliaannya, kesalehannya dan kedekatan derajatnya dengan Allah karena yang demikian
itu bukanlah manfaat dari manusia tetapi karena Allah SWT yang menjadikan mereka sebagai
hamba yang shaleh, dan meskipun mereka sudah meninggal atau masih hidup tentu tidak
membatasi kekuasaan Allah kepadanya karena ketaqwaan mereka kepada Allah tetap abadi.
Lihat: H.M Cholil Nafis, “Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik”.
http://www.nu.or.id/post/read/20279/tawassul-apakah-bukan-termasuk-syirik. Diakses pada
tanggal 5 Januari, 2018. 28 Ziarah dalam bahasa Arab berarti kunjungan. Kata ini biasanya diterapkan untuk
semua jenis kunjungan di beberapa tempat atau orang. Dalam istilah lokal, kata ziarah lebih
mengarah pada suatu kunjungan yang bersifat formal atau resmi kepada seorang tokoh, Kyai,
pejabat atau bisa juga bermakna ke tempat-tempat suci seperti makam, masjid, atau benda
yang keramat peninggalan para Wali untuk memperoleh berkah. Lihat: AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), 228.
29Dalam bahasa Arab, kata makam berasal dari maqam dan memiliki arti sebagai
suatu tempat, hirarki atau status. Tempat menyimpan jenazah dalam istilah Arab adalah
Qabr, tetapi kebiasaan orang Indonesia menyebutnya kubur. Istilah makam dan kubur
memiliki akhiran an, sehingga menjadi kuburan. Makam biasanya disebut tempat penguburan
atau pemakaman jenazah. Tetapi keduanya dalam waktu tertentu dapat dibedakan dimana
sesorang yang ziarah dapat mengatakan akan ke kuburan atau pemakaman. Sebaliknya, jika
yang dikuburkan merupakan orang shaleh atau ulama (wali) maka kuburannya akan disebut
makam wali dan tidak disebut kuburan wali. Lihat: Nur Syam, Islam Pesisir. Yogyakarta,
2005, 139.
7
perbedaan pada subjek dan objek pelaksanaan tradisi keagamaannya yang disebabkan
oleh perbedaan suku, ras, demografi, geografi dan tingkat pemahaman keagamaan dan
budaya. Akan tetapi ia tetap berada dalam nuansa kebudayaan dan keislaman.30
Tradisi-tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat umumnya banyak
bersumber dari ajaran agama Islam. Walaupun dalam konteks tertentu ada pula tradisi
keagamaan yang masih menimbulkan pro-kontra terutama tentang praktek ziarah
kubur atau ziarah makam. Tradisi ziarah kubur atau makam memang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat untuk memperoleh berkah. Pada kalangan masyarakat Jawa
misalnya, mereka melakukan ziarah kubur atau ziarah makam karena keyakinan atau
kepercayaannya terhadap keberadaan para Wali masih begitu kuat.31 Kebiasaan ini
telah membudaya dan selalu dipertahankan hingga dilestarikan karena berbagai alasan
dan motif-motif tertentu dalam melakukan ziarah tersebut.
Contoh lainnya adalah tradisi ziarah yang juga dilakukan oleh masyarakat
Lombok khusunya masyarakat Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok
Tengah telah menunjukkan adanya hubungan yang melekat dalam diri masyarakat
dengan keberadaan sang Wali. Tidak terhindarkan dalam konversi agama lokal dari
Islam yang melibatkan kehadiran sang Wali atau tokoh agama yang sangat dihormati.
Kebanyakan para tokoh atau Wali datang dari luar dengan mewarisi bendawi dalam
bentuk keramat hingga membuat tradisi baru dalam bentuk ziarah. Konversi tahap
awal ditandai dengan kontekstualisasi Islam ke dalam simbol budaya dan kosmologi
lokal. Pernyataan ini sebenarnya diartikan sebagai seperangkat benda-benda spiritual
yang telah menekankan pada aspek kebudayaan orang Islam Sasak di Lombok.32
Di wilayah Lombok bagian Selatan terdapat bukti-bukti arkeologis seperti
masjid kuno yang terletak di gunung Pujut, makam keramat Wali Nyato’ di Desa
Rembitan dan sumur yang dulunya dibuat oleh sang Wali. Bentuk fisik dari bangunan
tersebut tidak jauh beda dari umur bangunannya. Adanya bukti-bukti tersebut telah
menandakan kehadiran seorang tokoh atau Wali yang sangat dimungkinkan bahwa di
wilayah Pujut dan Desa Rembitan adalah pusat pengajaran Islam di Lombok Tengah
bagian Selatan saat itu.33
Makam keramat Wali Nyato’34 yang terletak di Desa Rembitan adalah salah
satu bukti sejarah yang menandakan bahwa dulunya pernah hadir seorang ulama atau
30 Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno
Jakarta: Pendekatan Sejarah (Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang
2017), 1-2. 31 Sebagaimana yang dikutif dari Koentjaraningrat oleh Bambang Pranowo, dalam
bukunya Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alpabet, 2009), 218. 32Erni Budiwanti, The Role of Wali Heritage of Nusantara International Jornal of
Religions Literature and Hatage, Volume. 3 No. 1 Juni 2014, 14. 33 Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus
Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian
Agama RI, 2011), 36. 34Makam Wali Nayo’adalah makam seorang Wali yang terletak di Desa Rembitan.
Bagi masyarakat Lombok Tengah, sebutan Wali Nyato’ erat kaitannya dengan tanda-tanda
kewaliannya karena Nyato’ artinya kejadian yang “Nyata”. Oleh karena itu, masyarakat
meyakini bahwa makam Wali Nyato’ adalah makam seorang Wali. Lihat: M. Najamuddin
Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes: Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 13.
8
seorang Waliyullah di wilayah tersebut. Makam Wali Nyato adalah salah satu makam
keramat yang sudah sangat melegenda bagi masyarakatnya. Makam tersebut memiliki
keunikan dan kelebihan tersendiri bagi masyarakatnya, walaupun makam Wali Nyato’
hanya bisa diziarahi pada hari Rabu.35 Selain itu, makam ini juga diyakini mempunyai
kekeramatan yang luar biasa sehingga banyak masyarakat yang justru memanfaatkan
material-material disekitaran makam karena dinilai mengandung berkah dan kekuatan
spiritual. Untuk itu tidak sedikit dari mereka yang merasa perlu melakukan ziarah
karena maksud dan tujuan tertentu. Pemanfaatan material-material seperti tanah
makam atau sejenis kerikil-kerikil kecil disekitaran makam telah diyakini mampu
mengatasi persoalan yang dihadapi. Tradisi ini telah menjadi kepercayaan masyarakat
setempat dan umumnya masyarakat Lombok Tengah.36
Kekeramatan makam Wali Nyato’ memang sudah sangat populer, akan tetapi
tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang sejarah makam tersebut termasuk
identitas dari sang Wali. Dalam beberapa penelitian ilmiah pernah disebutkan bahwa
sang Wali adalah seorang ulama yang pernah menyebarkan ajaran Islam di Lombok
bagian Selatan, namun perlu diketahui bahwa Wali Nyato bukanlah nama aslinya.
Menurut Jamaluddin37 Wali Nyato’ bukan nama yang sebenarnya melainkan hanya
laqab (gelar) saja. Sedangkan Tawalinuddin Haris menyebutkan bahwa nama lain dari
Wali Nyato adalah Sayid Ali atau Sayid Abdurrahman38 tampa menjelaskan dari mana
nama itu diperoleh. Kendati demikian, masyarakat tetap saja melakukan ziarah di
makam kermat tersebut terlepas dari apakah mereka mengetahui atau memahami
sejarah dan peran penting sang Wali sebagai penyebar agama Islam pada masanya.
35Makam Wali Nyato’ terletak antara sekitar 49 km jika ditempuh dari Kota Mataram.
Menurut cerita dari masyarakat setempat, konon pernah ada wangsit dari Wali Nyato’ bahwa
bagi masyarakat yang ingin melakukan ziarah, baiknya ziarah pada hari Rabu karena sang
Wali mencurahkan berkah sepenuhnya. Oleh karena itu, ziarah ke makam tersebut hanya boleh
dilakukan pada hari Rabu. 36Menurut cerita dari masyarakat setempat. Air makam Wali Nyato’ sangat diyakini
mempunyai kekeramatan yang kuat. Oleh karena itu makam ini sering digunakan sebagai
media dalam mengungkap suatu kejadian yang menimpa masyarakat. Misalnya, ada yang
kecurian atau kehilangan ternak baik sapi, kerbau, kambing dan lain-lain. Dalam kejadian
seperti ini biasanya ada salah seorang warga yang dicurigai sebagai pelakunya sehingga orang
yang dicurigai tersebut akan dibawa ke makam Wali Nyato’ untuk disumpah. Dalam ritual
sumpah ini seseorang yang tadi dicurigai itu akan diminta meminum air makam. Tetapi kalau
ia merasa pernah mengambil barang tersebut, kemungkinan ia tidak akan siap meminum air
makam karena akan berakibat patal. Namun ada pula yang kadang-kadang nekat minum air
makam Wali Nayto’ tersebut hanya karena ingin menutupi diri dari perbuatan yang mereka
lakukan, akan tapi jika orang itu pernah mencuri dan berani meminum air makam, maka tidak
lama kemudian ia akan menderita sakit bahkan akan meninggal dunia. Hanya saja bagi yang
merasa dirinya pernah melakukan pencurian ia tidak akan bersedia meminum air tersebut. 37Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus
Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian
Agama RI, 2011), 37 38Lihat Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian
Data Arkeologi dan Sejarah, dalam Kajian: Journal Pemikiran Sosial Ekonomi Daerah NTB
(Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002), 18.
9
Penjelasan di atas tentu menimbulkan banyak pertanyaan tentang siapa Wali
Nyato’ sebenarnya; dari mana asalnya dan siapa keturunanya. Pertanyaan-pertanyaan
ini tidak mampu dijawab sekaligus oleh masyarakat yang ziarah ke makam tersebut.
Apabila demikian, lalu apa yang melatarbelakangi masyarakat berbondong-bondong
melakukan ziarah di makam tersebut? Ini artinya, bahwa tradisi ziarah di makam ini
nampaknya tidak terkonstruksi melalui pengetahuan secara komprehensif terhadap
keberadaan makam tersebut. Untuk itu, peneliti ingin mengungkap latar belakang
tradisi ziarah makam Wali Nyato’ yang berkembang di masyarakat khususnya bagi
masyarakat setempat dan umumnya masyarakat Lombok Tengah.
Dalam kaitannya dengan aktivitas keagamaan khususnya menyangkut tradisi
ziarah makam, maka dirasa sangat perlu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas terutama tentang latar belakang masyarakat dalam melakukan ziarah di makam
tersebut sehingga terkonstruksi dalam sebuah tindakan sosial keagamaan yang secara
intensionalitas dapat dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan digambarkan secara
naratif dan juga diarahkan pada serangkaian aktivitas ziarahnya seperti waktu ziarah,
tata cara berziarah, benda-benda yang diikutsertakan dalam ziarah, bacaan ketika
ziarah, nilai kekeramatan makam, tujuan berziarah, perilaku di sisi makam, asumsi
peziarah terhadap kewalian seseorang, dan asumsi tentang bentuk kekeramatan yang
dimiliki seorang Wali.
Serangkaian aktivitas ziarah saat masyarakat melakukan ziarah di makam
tersebut tentu akan didalami dan dikaji secara ilmiah berdasarkan persfektif keilmuan
dengan kerangka teoritik yang memadai. Misalnya secara teoritis bahwa suatu realitas
sosial keagamaan dalam masyarakat dibangun melalui sistem dialektika yang terjadi
antar pengetahuan dan pemahaman dari diri individu dan masyarakat melalui dunia
lingkungannya. Dialektika yang terjadi begitu lama biasanya tidak lepas dari berbagai
proses dengan tahapan atau momen tertentu dalam kehidupan mereka. Misalnya teori
konstruksi sosial dengan tiga momen pentingnya yaitu; eksternalisasi, objektivikasi
dan internalisasi dalam realitas sosial sebagai suatu kenyataan sosial. Kenyataan sosial
terjadi akibat dari adanya konstruksi sosial atau proses sosial buatan manusia akibat
dari perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini dan menuju masa depan.39
Makam keramat Wali Nyato’ adalah makam seorang ulama atau Wali yang
pernah hadir di Bumi Sasak Pulau Lombok. Sang Wali disebut-sebut sebagai sosok
karismatik yang pernah menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Lombok bagian
Selatan. Dengan demikian, makam ini tentu memiliki nilai historis tersendiri untuk
dapat dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat. Kehadiran peziarah selalu disertai
dengan tujuan-tujuan atau motivasi tertentu sehingga praktek ziarah di makam Wali
Nyato’ sudah menjadi tradisi yang sangat mengakar bagi masyarakat setempat dan
masyarakat Lombok Tengah.
Keberadaan sang Wali40 pada makam-makam keramat sangat diyakini oleh
masyarakat untuk memperoleh berkah dan manfaat bagi mereka. Walaupun ada juga
39Peter L. Berger and Thomas Luckamann, The Social Construction of Reality A
Treatise in The Socilogy of Knowledge (New York: Penguin Books, 1966), 208-209. 40Menurut al-Qusyayri, kata Wali mempunyai dua arti diantaranya: pertama dapat
berbentuk fa’il dan bermakna fa’il (pelaku pekerjaan) dengan menggunakan mubalaghah
(sangat menekankan). Artinya, Wali bisa didefinisikan sebagai orang yang benar-benar taat
10
sebagian dari mereka yang datang berkunjung hanya sebatas ingin mengenang jasa-
jasa sang Wali dengan cara merefleksikan kisah perjalanannya sebagai bentuk rasa
penghormatan dan untuk mengingat peran penting beliau saat masih hidup sebagai
penyebar agama Islam di tengah kehidupan masyarakatnya. Dalam setiap tindakan
sang Wali, biasanya mengandung makna dan pesan moral yang sangat baik sehingga
masyarakat akan selalu menjadikannya sebagai pedoman hidup bahkan tidak menutup
kemungkinan akan diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari.41
Perkembangan hidup masyarakat dalam sebuah tradisi yang syarat dengan
ritual-ritual keagamaan seringkali memperlihatkan suatu bentuk yang segmentasinya
bukan hanya terjadi secara vertikal, tetapi bisa juga secara horizontal. Pada segmentasi
horizontal ini bisa dilihat berdasarkan aspek politik, ekonomi, gaya hidup, agama,
budaya dan perilaku. Segmentasi ini biasanya akan berdampak pada pola fikir
masyarakat dan berpengaruh pada gaya hidup serta pola kepercayaan42 mereka.
Sebagai suatu realitas agama, maka ziarah adalah sebuah kenyataan sosial yang dijaga
kelestariannya oleh masyarakat dikarenakan memiliki hubungan antara stratifikasi
sosial dengan eksistensi agama.
Tradisi ziarah adalah bentuk akulturasi antara budaya dan agama43 yang telah
mendapatkan posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat. Alasanya karena ziarah
ke makam Wali atau orang suci44 merupakan suatu kebaikan dan akan mendapatkan
berkah sebab baginya dalam berhubungan langsung dengan Tuhan amatlah sulit dan
tetap merasa tidak terjangkau sehingga ia memerlukan perantara. Dalam hal ini Allah
SWT telah menjelaskan dalam (Q.S Al-Baqarah) yang berbunyi:
dalam menjalankan printah Allah dan tidak disertai perbuatan-perbuatan maksiat. Kedua
dapat berbentuk fa’il dengan arti maf’ul (orang yang dikenai pekerjaan). Wali adalah orang
yang selalu berada dalam penjagaan Allah. Lihat In’amuzzahidin Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila Antara Tasawuf dan Psikologi (Semarang, Syifa Press, 2007), 49.
41Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Sepiritual Sepanjang Masa (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007), 41.
42Muhammad Widda Djuhan, "Ritual Di Makam Ageng Besari Tegalsari Jetis
Ponorogo.," Jurnal Kodifikasia Vol. 5.No. 1, 2011, 1-20. Di Akses pada tangal 27 Juli 2017. 43Puji Kurniawan, Mengakhiri Pertentangan Budaya dan Agama (Bandung: Pustaka
Aura Semesta, 2014), 65. 44Sebenarnya tidak ada yang bersifat suci kecuali dia (Allah Swt). Di dalam Al-
Qur’an, bicara tentang kesucian Allah dan manusia sepertinya terdapat larangan dalam
menghubungkan kedua konsep ini, karena mengenai kesucian Allah, sebagaimana yang
terdapat didalam Al-Qur’an (59:23 dan 62:1). Sementara kata-kata yang menyebutkan
tentang kesucian manusia, tidak hanya dibentuk melalui akar kata yang berbeda, akan tetapi
ia berasal dari akar kata yang secara makna aslinya dinilai sangat bertolak belakang dengan
al-Qudūs. Sebaliknya Walȃyah justru muncul dua kali dalam ayat-ayat suci seperti yang
terdapat dalam (Q.S 8:27 dan Q.S 18:44). Ungkapan tersebut hanya menggambarkan sebagai
suatu ungkapan tentang kesetiakawanan terhadap sesama muslim, disamping menyebutkan
sebagai suatu bentuk perlindungan yang telah diberikan oleh Allah kepada umatnya.
Sedangkan kata Walī yang jamaknya awliyȃ justru disebutkan berkali-kali, hanya saja kata-
kata yang demikian itu perlu ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda selama tidak
melenceng dari konteksnya. Lihat: Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 10.
11
يستجيبوا لي اع اذا دعان فل
جيب دعوة الد ي قريب ا
ي فان ك عبادي عن لواذا سا
هم يرش عل
يؤمنوا بي ل
٦٨١دون ول
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran” (Q.S. Al- Baqarah 2: 186).45
Ayat di atas telah menerangkan bahwa Allah Swt begitu dekat dengan hamba-
Nya. Sebagaimana yang tersebutkan dalam firmannya “Aku adalah dekat hamba-
hamba-Ku.” Dan Allah sangatlah dekat dengan hamba-hamba-Nya, namun demikian
apakah setiap hamba telah mengenal kedudukan Allah Swt menurut pengertiannya,
sehingga ia dapat ikhlas dalam segala perbuatannya dengan tujuan untuk meluapkan
semua perasaan mereka terhadap Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw, sangat
mengenal salah seorang sahabat dekatnya yang menjadi Wali Allah.46
Wali-wali Allah adalah seseorang yang memiliki kelebihan dan kekuatan
batin melalui perjalanan spiritualnya karena selalu bertakwa kepada Allah Swt.
Dimata manusia seorang Waliyullah dinilai telah mampu menghimpun peribadinya
dengan berbagai kekuatan spiritual dan kesaktian hingga keistimewaannya yang
kemudian disebut dengan istilah mistik.47 Anggapan tersebut akibat dari adanya bakat
secara lahiriah yang dimiliki oleh sang Wali disamping kekuatan itu diperoleh melalui
suatu perjalanan batin secara khusus bagi sang Wali. Kemampuan spiritual yang
dimiliki oleh seorang Wali yang sebelumnya ada dan melekat pada dirinya, kemudian
dapat dipastikan oleh masyarakat bahwa kekuatan tersebut akan bersemayam pula di
makamnya. Oleh sebab itu, dengan beberapa pengecualian, tradisi ziarah ke makam
Wali hanya dapat dilakukan pada satu-satunya tempat yaitu dimakamnya48.
45 Lihat: Departemen Agama RI, Qur’an dan Terjemahan Juz 1-Juz 30, Departemen
Agama RI (Jakarta: Duta Surya, 2011), 35. 46Lihat:https://fgulen.com/id/karya-karya/tafsir-al-quran/1890-surah-al
baqarah/49549-surah-al-baqarah-2-186 diakses pada tanggal 16 Mei 2017. 47Ahmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin, Bukti-Bukti Gusdur Wali (Jakarta,
Renebook, 2016), 9. 48Menurut Yann Richarad, bahwa kuburan orang yang ditokohkan semasa hidupnya
disebut dengan istilah umum “keramat” dalam istilah Arab karomah yang berarti karamat
(keajaiban) sedangkan di Indonesia menunjukkan suatu tempat atau manusianya sendiri dan
tentu bukan hanya sekedar wali-wali Islam atau makamnya saja. Dalam konteks ini, kadang
kala jika seseorang mempunyai kemampuan atau kekuatan spiritual atau paranormal maka ia
dapat pula dikatakan orang yang keramat. Disisi lain nampak adanya keterhubungan dengan
makam-makam wali dan tempat-tempat keramat lainnya, hanya saja keterhubungan tersebut
belum tentu berkaitan dengan sosok manusia. Lihat: Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010) 229.
12
Namun perlu diketahui bahwa dalam konteks pelaksanaan ziarah makam atau
ziarah kubur sebenarnya tidak terkait secara langsung di dalam al-Qur’an. Akan tetapi
praktek dalam tradisi ziarah tersebut kadang-kadang sedemikian khas dibuat sehingga
bagi orang yang ingin menjustifikasinya seakan-akan tidak kekurangan alasan untuk
menentangnya karena dianggap sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang.
Prakteknya yang sering spektakuler terutama ketika para peziarah menampilkan pola
perilaku dengan luapan emosional keyakinan yang terlalu berlebihan sehingga bagi
peziarah yang lebih bersikap rasional dan sepiritual seringkali merasa terganggu.49
Praktek dalam suatu tradisi keagamaan seperti tradisi ziarah kubur atau ziarah
makam jika dilakukan dengan cara yang sangat berlebihan, maka bisa saja dikelaim
sebagai suatu tradisi yang menyimpang bahkan akan dijustifikasi sebagai suatu bentuk
praktek agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat serta ritus-ritusnya. Praktek
dalam tradisi-tradisi yang dijalankan dengan cara seperti itu dapat dikatakan sebagai
pola perilaku yang kurang murni dari sudut akidah bahkan disebut tidak cukup serius
hingga akhirnya hanya sebatas ditolerir menjadi bagian dari sarana yang dibutuhkan
bagi seseorang yang masih lemah keyakinannya untuk kemudian dapat mengamalkan
dan mempertebal rasa keimanan semata.50
Hal di atas adalah sebuah keniscayaan dari sudut pandang kita sebagai mahluk
sosial. Tetapi bagaimanapun juga fenomena ziarah sudah bukan rahasia umum karena
hampir semua kalangan masyarakat juga melakukannya. Tradisi ziarah di makam
keramat Wali Nyato51 juga diyakini oleh masyarakat bahwa makam tersebut memiliki
kekuatan sepiritual melalui berkah dari sang Wali. Kepercayaan ini akan berdampak
pada sistem tindakan sosial keagamaan dengan pola perilaku yang khas sesuai dengan
yang diketahuinya dari cerita-cerita yang berkembang bahkan melalui pengalaman,
perasaan, dan pemahaman mereka masing-masing. Fenomena ini terjadi pada semua
lapisan sosial masyarakat52 yang melakukan ziarah di makam tersebut.
Kehadiran peziarah dari berbagai lapisan sosial tersebut, tentu tidak luput dari
berbagai motif yang kadang-kadang sulit dapat diketahui. Sebagian besar masyarakat
percaya bahwa makam Wali itu sebagai tempat dimana orang melihat beliau terakhir
kali sebelum sang Wali pergi ketempat lain untuk menyebarkan Islam.53 Struktur
49Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, 2010, 1. 50Henri Chambert-Lior dan Claude Goillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2010,
2. 51Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: DIVA Press 2016), 256-257. 52Lapisan sosial sebenarnya kata lain dari stratifikasi sosial, yaitu suatu kedudukan
pada masyarakat dan di ukur berdasarkan beberapa unsur baik kekayaan, agama, kekuasaan,
kerhormatan dan pendidikan. Stratifikasi pada kenyataannya akan cendrung mempengaruhi
cara pandang dan pola pikir masyarakat sesuai dengan kedudukan mereka secara status sosial.
Lihat: Elly M. Stiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permaslahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), 399.
53Erni Budiwanti, The Role of Wali, Ancient Mosques and Sacred Tombs In The
Dynamics of Islamisation In Lombok, Heritage Of NUSANTARA International Journal of Religious Literature Heritage, Volume. 3 No. 1 Juni. 2014, 17.
13
masyarakat Lombok yang multikultural biasanya akan membentuk stratifikasi dalam
beberapa lapisan sosial54.
Tradisi ziarah makam keramat di Lombok dengan sejumlah kompleksitasnya
tampak nyata dalam kehidupan masyarakat dan menganggap bahwa di tempat-tempat
keramat telah bersemayam kekuatan-kekuatan gaib dan kekuatan sepiritual yang
pernah dimiliki oleh para tokoh atau leluhur mereka. Demikian juga secara tindakan
terhadap para peziarah yang dilakukan oleh seluruh struktur masyarakat Jawa, terlepas
dia seorang yang jika meminjam bahasanya Geertz yaitu; dari kalangan abangan,
priyayi, dan santri bahwa mereka memiliki motivasi yang berbeda-beda dan faktanya
telah menggambarkan pentingnya ziarah dalam kultur masyarakat Jawa.55
Kekeramatan makam telah membentuk sistem kepercayaan atau keyakinan
masyarakat luas. Demikian halnya dengan kekeramatan makam Wali Nyato’ yang ada
di Desa Rembitan Kabupaten Lombok Tengah dengan sejumlah konsepsi-konsepsi
terhadap pemaknaan para peziarah dalam mengartikulasikan perilaku ziarahnya pada
suatu tradisi keagamaan saat melakukan ritualnya. Oleh karena itu, fenomena ziarah
ke makam keramat ini telah menunjukan bahwa individu dan masyarakat memiliki
pola kepercayaan tersendiri dalam mengaktualisasikan perilaku ziarahnya.
Fenomena ziarah yang terjadi di makam keramat Wali Nyato’ ini kemudian
mengundang perhatian yang cukup menarik untuk diteliti melalui pendekatan atau
perspektif fenomenologi dan interaksi simbolik. Ketertarikan peneliti terhadap tradisi
ziarah tersebut tentu akan menjadi fokus peneliti dalam menganalisis latar belakang
masyarakat melakukan praktek ziarah di makam keramat tersebut sesuai dengan apa
yang mengkonstruksinya dalam menjalankan ritual-ritualnya saat berziarah sehingga
membentuk suatu pola kepercayaan atau keyakinan yang terkadang berbeda antar satu
dengan yang lainnya.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Merujuk pada latar belakang di atas, terdapat beberapa permaslahan yang bisa
di identifikasi diantaranya:
a. Tradisi ziarah telah menjadi suatu bentuk akulturasi antara agama dan budaya
pada masyarakat.
b. Timbulnya pola kepercayaan atau sistem keyakinan masyarakat yang menjadi
dasar dalam menjalankan ritual-ritual ziarah.
c. Faktor-faktor pengetahuan melalui cerita yang sudah melegenda juga mampu
mengkonstruksi masyarakat dalam melakukan ziarah di makam keramat Wali
Nyato’ sehingga memunculkan praktek keagamaan yang khas dari tradisi
leluhurnya sesuai dengan yang telah dipahaminya.
54Adapun stratifikasi sosial pada masyarakat jika dilihat secara hirarkis adalah
stratifikasi kelas yang meliputi; ekonomi, posisi pekerjaan, gaya hidup, jenis kelamin, usia,
asset dan etnis. Lihat: Jeffries dan Ransfrod, Social Stratification: a Multiple Hierarchy Approach, (INC: United States of America, 1980), 3-4.
55Fikria Najitama, Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah Pada Makam Santri
dan Priyayi) Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Volume, 11 No. 1 Januauri-Juni 2013. 24.
14
d. Terdapat sejumlah strukturasi aktivitas sosial keagamaan dalam bentuk ziarah
seperti waktu ziarah, tata cara berziarah, do’a berziarah, etika ziarah, perilaku
ziarah dan lain sebagainya.
e. Adanya keragaman motivasi serta tujuan para peziarah
f. Keramatnya makam juga dapat mendorong kepercayaan masyarakat untuk
merasa perlu melakukan ziarah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti merumuskan permasalahan
yang akan dibahas yakni: bagaimana masyarakat terkonstruksi dalam sebuah tradisi
keagamaan khususnya tentang ziarah makam keramat sehingga membentuk pola
kepercayaan mereka saat berziarah di makam keramat Wali Nyato’. Pertanyaan mayor
ini kemudian akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan minor sebagai berikut:
a. Bagaimana proses sosial itu terjadi dalam dunia sosio kultural masyararkat
hingga melatarbelakangi praktek ziarah di makam keramat Wali Nyato’?
b. Apa yang membentuk sistem keyakinan masyarakat melakukan praktik ziarah
di makam kermat Wali Nyato’ tersebut?
3. Batasan Masalah
Menyadari luasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti akan
membatasinya secara sepesifik supaya tidak melenceng dari alur pembahasan.
Oleh karena itu peneliti akan mengungkap secara rinci tentang konstruksi sosial
dalam tradisi keagamaan masyarakat sekaligus akan melihat dan menganalisis
praktek ziarah di makam keramat Wali Nyato’ dengan mendalami latar belakang
mereka ketika melakukan ziarah yang mampu memuat tindakan-tindakan sosial
keagamaan mereka khususnya tindakan ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di
Desa Rembitan, Kecamatan Pujut. Kabupaten Lombok Tengah melalui teori
social construction of reality.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap praktek ziarah
makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan yang telah menjadi bagian dari tradisi
keagamaan masyarakat Lombok Tengah. Terkonstruksinya masyarakat dalam sebuah
tradisi biasanya dapat mempengaruhi pola pikir atau pola kepercayaan mereka dari
sebuah realitas yang ada. Hasil analisis ini setidaknya dapat digunakan untuk:
1. Mengetahui bagaimana masyarakat terkonstruksi dalam sebuah teradisi
keagamaan dengan latar belakang pengetahuan serta pemahaman melalui
cerita, sejarah, atau agama yang dapat menimbulkan kecenderungan saat
melakukan ziarah di makam keramat tersebut.
2. Untuk melakukan identifikasi terhadap praktek-praktek ziarah kubur atau
ziarah makam keramat yang tercermin melalui tindakan sosial keagamaan
sesuai dengan sistem keyakinan atau pola kepercayaan mereka yang telah
berkembang lama dalam dunia sosio-kultrualnya.
3. Untuk menggambarkan secara karaktristik motif-motif serta tujuan para
peziarah ketika melakukan ziarah di makam keramat tersebut sesuai dengan
15
kepentingan yang harus mereka penuhi untuk mewujudkan suatu harapan atau
keinginan mereka masing-masing.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pikiran-pikiran
serta wawasan keilmuan demi kemajuan dan perkembangan ilmu sosiologi-
antropologi agama terutama mengenai konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan
masyarakat yang berkaitan dengan praktek ziarah kubur atau ziarah makam keramat
karena masih memiliki hubungan dengan pola kepercayaan atau sistem keyakinan
mereka, melalui pendekatan fenomenologi dan kajian teori the social construction of
reality.56
Manfaat secara praktis dalam penelitian ini adalah:
1. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan sekaligus
membuka cakrawala berpikir masyarakat dalam menjalankan tradisi-tradisi
keagamaannya terutama mengenai tindakan dalam berziarah di makam
keramat. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan
bagi para studi lanjutan mengenai tradisi ziarah makam bagi masyarakat.
2. Penelitian ini juga diharapkan menjadi bagian dari sumber informasi secara
konperhensif dalam kaitannya dengan konstruksi sosial pada sebuah tradisi
keagamaan masyarakat khususnya tentang praktik ziarah makam keramat.
3. Melalui penelitian ini, diharapkan mampu menumbuh kembangkan sudut
pandang atau paradigma baru untuk menambah wawasan keilmuan tentang
tradisi keagamaan bagi masyarakat dan bagi pemerintah setempat agar dapat
difungsikan sebagai konsep dalam mengembangkan wisata religi.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian ini akan mengamati proses sosial dalam tradisi keagamaan dengan
melihat latar belakang masyarakat dalam menjalankan praktik ziarahnya. Tradisi
keagamaan ini biasanya tidak terlepas dari pola kepercayaan mereka masing-masing.
Sebelumnya banyak penelitian-penelitian serupa yang juga membahas tentang tradisi-
tradisi keagamaan trutama tradisi ziarah makam keramat, hanya saja menurut peneliti
masih sangat kurang yang membahas tentang konstruksi sosial masyarakat dalam
tradisi keagamaan yang dapat membentuk pola tindakan sosial berdasarkan latar
belakangnya melalui pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan persepsi terhadap
proses sosial yang dialaminya dalam dunia lingkunganya sehingga membentuk suatu
kecenderungan (pradisposisi) bagi mereka.
Adapun penelitian-penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
Penelitian Ahmad Amir Aziz dkk, dalam penelitiannya ia membahas masalah
“Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kekeramatan
Makam-makam Kuno di Lombok). Dalam penelitian tersebut ia memfokuskannya
dengan mengambil bidang secara spesifik khususnya yang berkaitan dengan motif,
56Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality a
Treatise in The Sociology of Knowledge ((New York: Penguin Books, 1966), 33
16
keyakinan-kepercayaan dan sistem ritual yang diperagakan oleh peziarah. Mengenai
kata “Keramat” sebenarnya sebuah ucapan yang sudah baku atau lazim digunakan
oleh masyarakat luas ketika menyatakan tentang suatu hal yang berhubungan dengan
mistis. Bagi umat Islam, memang memiliki ragamnya cara pandang secara teologis
perihal keabsahan tentang suatu karāmah. Dalam konteks ini menyangkut persoalan
kekeramatan, tidak hanya sebatas masalah agama tetapi berkaitan dengan tradisi dan
budaya.57
Berikutnya adalah penelitian Mariatul Qibtiyah. Dalam penelitiannya yang
juga membahas “Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan; (Analisis atas Fenomena
Kekeramatan Makam di Kota Palembang). Penelitiannya juga mendeskripsikan pola
tindakan atau perilaku masyarakat ketika melakukan ziarah makam keramat di Kota
Palembang. Kemudian melakukan analisis terhadap hubungan stratifikasi sosial yang
dianggap memiliki pengaruh dalam membentuk suatu pola tindakan keagamaan yang
berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaan masyarakat tentang spiritualitas
makam keramat tersebut. Melalui penelitian ini diperoleh bahwa stratifikasi dan pola
kepercayaan masyarakat disebutkan memiliki interelasi yang sangat kuat. Oleh karena
itu, semakin tinggi status sosial seseorang, maka akan semakin rasional pula sistem
kepercayaannya.58
Dalam karyanya Nur Syam, mengenai “Tradisi Islam Lokal Pesisiran Jawa”,
ia menyebutkan bahwa pentingnya tiga unsur objek yang disakralkan oleh masyarakat
sehingga menjadi medium budaya (culture sphere) yang begitu kuat. Tiga lokus yang
dimaksud adalah masjid, sumur, dan makam. Seperti yang diketahui bahwa masjid
merupakan medium pertemuan umat Islam meskipun kadang terdapat perbedaan
pemahaman keagamaan, namun masjid menjadi sarana berkumpulnya umat Islam.
Untuk itu, sering mucul istilah pengelompokan atau penggolongan-penggolongan
yang menyebutkan adanya ‘wong NU’ dan Muhammadiyah’. Sedangkan makam dan
sumur sepertinya lebih melekat dengan sebutan bagi tradisi wong NU’ dan Abangan.
Diantara medium-medium budaya tersebut kemudian menjadi simbol dalam budaya
Islam lokal dan terdapat hubungan antar berbagai golongan sosial seperti aktor atau
agen hingga berbagai tindakan-tindakan lain di dalamnya. Tiga medan budaya ini
secara keseluruhan akan selalu memiliki keterkaitan dengan eksistensi para Wali atau
tokoh suci. Meskipuan seorang Wali atau tokoh suci tersebut telah meninggal, akan
tetapi keramatnya selalu diyakini memiliki berkah.59
Disertasinya Badruddin tentang “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian
Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif
Fenomenologis” yang melakukan analisis melalui kajian teori konstruksi sosial yang
berkaitan dengan kegiatan ziarah di makam Kyai Hamid. Perilaku individu terbentuk
dari motivasi tertentu dan didukung dengan teks-teks suci atau ajaran normatif dari
57Ahmad Amir Aziz, dkk. “Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat
terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok”), Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.
1, No. 1 Desember 2004, 59-77. 58Mariatul Qibtiyah, Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan (Analisis Atas
Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang. Tesis: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2014, 195-196. 59Nur Syam, Tradisi Islam Lokal Pesisir Jawa (Yogyakrta: LkiS, 2005), 145.
17
para leluhurnya. Kegiatan tersebut di laksankan secara terus-menerus hingga akan
menjadi pola tindakan tertentu dan dapat di pahami secara kolektif. Melalui teori
kounstruksi sosial ia menjelaskan tentang adanya proses sosialisasi tertentu. Dengan
demikian, secara substansi dan inti dari teori itu adalah telah menunjukkan tentang
terjadinya suatu proses dialektika dalam kehidupan sosial masyarakat yang ada dalam
suatu budaya atau tradisi itu sendiri. Harus diakui bahwa tradisi ziarah di makam Kyai
Hamid sebenarnya berawal dari suatu tindakan perseorangan dan terakumulasi
sebagai suatu realitas yang bersifat obyektif. Realitas obyektif tersebut kemudian
diserap kembali dalam diri seseorang sehingga ditafsirkan sesuai dengan pengetahuan
dan kepentingan mereka masing-masing.60
Karya lain yang juga pernah ditulis oleh Jamhari, mengenai “The Meaning
Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”,61 dalam studi lapangan di Bayat
Klaten Jawa Tengah, ia memfokuskannya terhadap suatu bentuk pemahaman tentang
barakah bagi para peziarah atau pengunjung makam Sunan Bayat. Adapun karya ini
juga lebih menekankan pada suatu aspek tentang tradisi ziarah yang selalu dapat
dipertahakan oleh individu dan masyarakat terutama dari segi ritualismenya dalam
melakukan pemujaan makam dan pemahamannya terhadap konsep tentang barakah
ziarah itu sendiri.
Selain penelitian-penelitan terdahulu di atas, ada pula sejumlah penelitian
yang memiliki relevansi dengan penelitian sebelumnya tentang ziarah. Hanya saja
penelitian-penelitian tersebut tidak banyak membicarakan tentang konstruksi sosial
yang didasari pada sejumlah aspek-aspek pengetahuan serta pemahaman mereka yang
mengarah pada pemaknaan terhadap apa yang telah diketahui dan dipahami bahkan
yang dirasakan dan dialaminya. Misalnya tradisi ziarah yang seringkali dihubungkan
dengan determinan-determinan kekuasaan, ekonomi, politik dan lain-lain. Padahal
praktek ziarah bisa saja timbul akibat suatu pengetahuan dan pemahaman seseorang
sehingga menjadi suatu tindakan atau perilaku yang akan membentuk kecenderungan
(pradisposisi) terhadap apa yang ia ketahui, pahami, alami, dan raskan sebagai suatu
tindakan yang nyata. Walaupun tidak sedikit dari para peneliti yang menggunakan
konsep ziarah menjadi pintu masuk utama dalam melakukan sebuah penelitiannya.
Tetapi mengenai sistem konstruksi sosial dengan praktek ziarah nampaknya masih
jarang dijumpai. Beberapa penelitian antropologi yang mengkaji atau menganalisis
tentang karakter individu dalam konsep keberagamaan suatu kelompok muslim
sesering mungkin menghindari penelusuran mengenai konstruksi sosial pengetahuan
serta pemahaman dalam tradisi keagamaan khususnya tentang perilaku ziarah.
The Religion of Java, sebuah karya yang dihasilkan oleh Clifford Geertz62
adalah hasil dari penelitian pertamanya yang pernah dilakukan selama kurang lebih
tiga tahun (1951-1954), dimana saat itu Geertz memilih tinggal di salah satu wilayah
60Badruddin, Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kiyai Abdul Hamid Bin
Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Perspektif Fenomenologis. Disertasi:
Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011, 115. 61Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah” Studia
Islamika (Indonesia Journal for Islamic Studies), Vol. 8, No. 1 2001, 87-123. 62Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priayayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983), 97.
18
Mojokuto tepatnya di sebuah Kota kecil yang terletak di wilayah Jawa Timur. Dalam
penelitiannya, Geertz memetakan lokus utama dalam melakukan penelitian tersebut
sehingga Geertz menemukan tiga tipe kelas dalam perekonomian masyarakat di Jawa
diantaranya masyarakat petani, buruh, pedagang, serta birokrat atau ningrat Jawa.
Mengenai budaya dan tradisi dari beberpa lokus tersebut, Geertz menilai masing-
masing telah menjalankan tipe kebudayaan mereka secara sendiri-sendiri terutama
menyangkut perilaku keagamaan seperti ritus-ritus dan keyakinan atau kepercayaan
yang dapat dilaksanakan oleh masing-masing tipe tersebut. Dengan demikian, Geertz
dalam hal ini memunculkan istilah Abangan dalam kategori pertama dan Santri untuk
kategori kedua, sedangkan Priyai merupakan kategori kelas ketiga. Meskipun terjadi
pengkelasifikasian terhadap istilah di atas, Geertz hanya bermaksud untuk sebatas
menggambarkan dimensi kepercayaan bagi masyarakat yang bukan lagi pada aspek
ekonomi. Itulah yang membuat Geertz menggarisbawahi bahwa trikotomi itu selalu
mencerminkan organisasi moral dalam kebudayaan Jawa.63
Dalam sistem tradisi ziarah makam, banyak para peneliti yang memusatkan
perhatiannya di Jawa. Sebagaimana yang tersebutkan di atas bahwa sejumlah peneliti
terdahulu menilai sangat penting untuk menjadikan tradisi ziarah sebagai pintu masuk
dalam melakukan penelitiannya. Mark Woodward misalnya, ia menemukan adanya
keragaman perilaku dalam tradisi ziarah kubur dimakam keluarga Kraton Yogyakarta
dibandingkan dengan tradisi ziarah makam secara umum seperti yang berlaku di Jawa
Timur. Biasanya peziarah hanya sebatas mengharapkan atau istilah Jawanya ngalap
barakah untuk mengatasi permasalahan hidup yang mereka hadapi. Sedangkan di
Yogyakarta dan Surakarta, para peziarah harus mentaati setiap aturan atau ketentuan
yang sudah diberlakukan oleh juru kunci makam. Selain itu, peziarah atau pengunjung
makam keluarga keraton harus menggunakan pakaian formal adat Jawa. Misalnya
untuk peziarah laki-laki harus membawa keris dan peziarah perempuan tidak harus
mengenakan kerudung. Para peziarah akan dipandu oleh penjaga makam yang telah
ditugaskan dari pihak keraton untuk menjaga atau mengelola makam tersebut.
Para peziarah tidak dibatasi dalam menjalankan ritual-ritual tertentu, hanya
saja setiap individu dari budaya mereka yang berlaku pada dua wilayah yang berbeda
ini telah menunjukan adanya unsur Islam dan unsur Jawa. Namun demikian, terdapat
pula unsur perbedaan yang cukup signifikan mengenai otoritas keagamaan dalam hal
ziarah. Sebagaimana yang berlaku di Jawa Timur bahwa Kyai merupakan pemegang
otoritas keagamaan bahkan pada aspek otoritas lain seperti politik yang kadang kala
dikendalikan oleh sang Kyai. Berbeda dengan tradisi yang berlaku di Yogyakarta
dimana pemegang otoritas keagamaan dan politik justru dikendalikan oleh Sultan.
Jika di wilayah Yogyakarta dan Surakarta perilaku ziarah dapat dikendalikan atau
dikontrol oleh pihak Sultan, maka di wilayah Jawa Timur tradisi ziarah selain
63Menurut Geertz, Abangan sebagai kelompok pertama, diposisikan pada dimensi
animinstik dari sinkritisme Jawa yang menjalankan keagamaan Jawa yang asli dan umumnya
ia di hubungakan melalui unsur petani. Sedangkan Santri diposisikan pada dimensi Islam
yang sinkritis dan dikaitkan melalui dagang. Terakhir kelompok Priyai diposisikan pada
dimensi birokratik. Lihat: Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab
Mahasin dan Bur Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), 112.
19
dikontrol oleh Kyai juga didasarkan pada tradisi yang telah berlaku dalam kehidupan
masyarakatnya.64
Di Lombok, juru kunci makam adalah satu-satunya orang yang memegang
otoritas ziarah termasuk atauran ziarah yang sudah ditentukan. Jika di wilayah
Yogyakarta perilaku ziarah syarat dengan adat Jawa, dan Jawa Timur lebih kepada
unsur tradisi Islam, maka di Lombok tradisi ziarah yang berlaku justru penekananya
lebih kepada hari atau waktu tertentu selain dari tradisi yang sudah berlaku dalam
kehidupan masyarakatnya. Misalnya ziarah ke makam keramat Wali Nyato’ hanya
boleh dilakukan pada hari Rabu. Pemegang otoritas di makam tersebut nampaknya
tidak harus dituntut secara familiar dengan nuansa pemahaman keagamaan yang luas,
bahkan tidak pula terlibat secara aktif dalam politik atau kekuasaan karena otoritas
sebagai juru kunci makam hanya dapat dipegang oleh keturunan dari sang juru kunci
secara turun- temurun.65
F. Metode Penelitian.
1. Desain Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Peneliti akan melakukan analisis praktik ziarah makam keramat Wali Nyato’
yang berlokasi di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Alasan peneliti mengambil Lombok Tengah sebagai lokasi penelitian ini karena
banyaknya masyarakat melakukan ziarah di makam keramat tersebut walaupun ada
pula makam-makam keramat lainnya. Jika dirunut kembali ke pertanyaan awal, maka
tentu sekali masyarakat melakukan ziarah di makam tersebut juga mempunyai alasan
tersendiri. Sebagai mana Peter L. Berger66 menyatakan bahwa proses sosial dalam
kehidupan masyarakat terjadi akibat adanya adaptasi, identifikasi dan penyerapan
kembali ke dalam diri atas realitas sosial tersebut sehingga cepat atau lambat akan
membentuk pengetahuan serta pemahaman bagi masyarakatnya dan akan membentuk
dialektika sebagai model sosialisasinya dalam lingkungannya. Oleh karena itu, semua
tradisi dalam kehidupan masyarakat akan melewati proses sosial sebagai konstruksi
sosial kehidupannya untuk menjalankan tradisinya. Proses dialektika dalam tradisi ini
kemudian akan mengarahkan seseorang pada sebuah kecendrungan (pradisposisi)
dalam perilakunya. Keseluruhan sikap dan tingkah laku tersebut diperoleh melalui
konsepsi-konsepsi dari realitas sosial melalui dunia sosio-kulturalnya.
Weber juga menyatakan bahwa kelas-kelas sosial tidak harus dititikberatkan
pada aspek ekonomi semata melainkan dapat dilihat berdasarkan status dan pola
keagamaanya. Bersandar pada argument ini, sebagai sebuah proses sosial yang akan
dilalui oleh setiap anggota masyarakat, maka sangat dimungkinkan akan melahirkan
berbagai pengetahuan, pengalaman, perasaan, emosi, hasrat dan lain sebagainya
dalam sebuah tradisi keagamaan terutama tentang tradisi ziarah makam keramat. Hal
64Mark Woodward, Java: Indonesia and Islam (New York: Springer, 2010), 134. 65Informasi yang diperoleh dari juru kunci makam sejak awal ketika dilapangan untuk
melakukan surve lokasi penelitian di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok
Tengah. 21 Juni 2017. 66Peter L. Berger, The Social Construction of Reality a Treatise in The Sociology of
Knowledge ((New York: Penguin Books, 1966), 33-34
20
ini akan diupayakan menjadi fokus penelitian dengan dibatasi pada posisi konstruksi
sosial dalam tradisi keagamaan masyarakat yang berkaitan dengan praktik ziarah di
makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, Lombok Tengah. Masih pada ruang
lingkup pembatasan masalah, untuk memperoleh hasil yang lebih fokus maka subjek
penelitian ini adalah praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’. Hal ini dilakukan
karena berhubungan dengan pola kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tradisi
keagamaannya sesuai dengan apa yang telah diketahui melalui cerita-cerita yang
berkembang sejak lama, hingga mampu membentuk sistem keyakinan mereka bahkan
diakui sebagai warisan nenek moyang mereka terdahulu.
b. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini mengkaji masalah tradisi keagamaan tentang praktik ziarah
makam keramat Wali Nyato’, Penelitian ini juga dilakukan secara kualitatif67 dan
bersifat deskriptif.68 Dalam penelitian ini, peneliti akan berupaya menemukan fakta-
fakta dilapangan dan akan menggambarkan suatu pengalaman atau peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’
ini, nantinya akan disesuaikan dengan latar belakang masyarakat dalam melakukan
ziarah sehingga proses sosial yang telah dilaluinya menjadi realitas sosial yang nyata
dalam kehidupan mereka dengan sistem kepercayaan yang telah tergambarkan dalam
keadaan yang wajar (natural setting).
Kerangka teori dalam penelitian ini akan disandarkan pada teori konstruksi
sosial dimana tindakan sosial sebagai realitas dalam kehidupan masyarakat dari apa
yang telah mereka pahami sebagai sebuah kenyataan sosial dalam kehidupan mereka
terutama mengenai tradisi keagamaan tentang praktik ziarah makam keramat dengan
latar belakang pengetahuan dan pemahaman mereka. Tradisi ziarah adalah realitas
sosial keagamaan masyarakat dalam kehidupannya yang selalu dijalankan secara
intensional oleh masyarakat itu sendiri.
Penelitian ini juga akan berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
kejadian atau peristiwa dalam tingkah laku seseorang sesuai dengan sudut pandang
peneliti sendiri. Oleh karena itu, secara teoritis dari latar belakang mereka melakukan
aktivitas keagamaan mengenai praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’ tersebut,
apakah benar-benar dapat melahirkan perasaan dan pengalaman yang berbeda-beda
antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikan bisa jadi tindakan subyektif
seseorang menjadi bagian dari realitas sosial sehingga ketika dilakukan oleh banyak
subyektif, maka akan menjadi intersubyektif dan akan berubah membentuk realitas
yang obyektif. Dalam konteks ini, peneliti menjadikannya sebagai dasar teori utama
disamping adanya teori pendukung lainnya. Pendekatan secara fenomenologi69 juga
67Bogdan dan Taylor mengartikan penelitian kualitatif sebagai konsep yang dapat
menghadirkan data-data deskriptif, baik secara lisan maupun tulisan termasuk tindakan atau
perilakunya yang dapat diamati. Lihat: Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010, 4. 68Penelitian diskriptif, (discriptive reserech) adalah penelitian yang bertujuan untuk
membuat gambaran dengan sistematis, faktual, dan akurasi mengenai fakta-fakta dan sifat-
sifat populasi tertentu. Lihat: Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 4.
69Fenomenologi adalah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Padangan
Breger tentang fenomenologi, justru menekankan pada aspek rasionalisme dan kenyataan
yang ada. Secara etnografi penelitian ini, senada dengan fenomenologi yang juga
21
peneliti akan jadikan sebagai dasar dalam melakukan analisis dan melatarbelakangi
teoritis untuk melakukan penelitian kualitatif ini. Selain itu, pendekatan etnografi70
dirasa sangat penting digunakan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana
mestinya dan akan berupaya mendalami suatu pristiwa budaya ketika memperlihatkan
pola kehidupan terhadap suatu objek tertentu sebagai studi. Oleh karena itu, peneliti
harus terlibat secara langsung dan berbaur dengan kesehari-harian masyarakat dalam
rangka melakukan analisis dari kehidupan masyarakat sekitar.
Selanjutnya di makam keramat Wali Nyato’ tersebut peneliti dapat secara
bebas melakukan analisis pada tiap-tiap perilaku peziarah baik peziarah lokal maupun
peziarah yang berdatangan dari luar Kabupaten Lombok Tengah atau bahkan bisa juga
berdatangan dari luar pulau Lombok. Oleh karena itu, dalam melakukan pengamatan
secara seksama setidaknya akan diperoleh gambaran tentang bagaimana tindakan para
peziarah di makam keramat Wali Nyato’ ketika berziarah, apa saja yang dilakukan
oleh peziarah, dan apa motivasi serta tujuan para peziarah sehingga melakukan ziarah
dimakam tersebut. Secara keseluruhan tentu akan dapat diamati atau dianlisis dalam
tradisi ziarah makam keramat Wali Nyato’ yang nantinya akan menjadi ruang tradisi
dan budaya ini.
2. Pendekatan.
Pendekatan dalam penelitian yang dilakukan secara kualitatif dan bersifat
deskriptif ini akan menggunakan pendekatan fenomenologi dan interaksi simbolik.
Pendekatan secara fenomenologi adalah bagaimana melihat realitas terhadap tindakan
atau perilaku yang tampak pada manusia secara intensionalitas.71 Pra-anggapan dasar
perspektif fenomenologi merupakan suatu kesadaran pada simbol-simbol atau objek,
pengetahuan, praktik-praktik, dan situasi atau keadaan dalam dunia lingkungannya
menitikberatkan pandangan masyarakat setempat. Yaitu; suatu kenyataan sosial justru
dianggap jauh lebih penting dan dominan dibandingkan dengan teori-teori melulu. Lihat:
Endrasuara, Metodologi Penelitian Kebudayaan 2006, 42. Selain itu, fenomenologi juga
merupakan suatu pendekatan utama dibandingkan dengan pendekatan secara etnografi karena
fenomenologi adalah suatu kerangka teoritis terhadap sebuah penelitian yang bersifat
kualitatif. Lihat: Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010, 14. 70Pendekatan etnografi juga mempunyai karakter secara khusus dengan sistem yang
khusus pula pada sebuah penelitian. Sebagaimana Spradley, menyatakan dalam bukunya
Metode Etnografi. Pertama: menentukan informen. Kedua: melaksanakan wawancara
terhadap informen. Ketiga: menyusun tulisan etnografis. Keempat: memunculkan pertanyaan
diskriptif. Kelima: melaksanakan pengamatan wawancara etnografis. Keenam: membentuk
analisis dominan. Ketujuh: memunculkan pertanyaan struktural. Kedelapan: membuat
analisis taksonomik. Kesembilan: memunculkan pertanyaan kontras. Kesepuluh: membuat
analisis komponen. Kesebelas: menemukan tema-tema budaya. Dan keduabelas: mencatat
etnografi. Lihat: Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2006), 54-57. 71Moh Dahlan, Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl Dan Aplikasinya Dalam
Dunia Sains Dan Studi Agama Jurnal: Ke-Islaman Sosiologi Agama Volume 13 Januari-Juni
2010, 24.
22
sehingga dikalangan sosiologi telah diakuinya sebagai hasil dari interaksi individu
melalui proses sosial.72
Kalangan sosiologi melakukan analisis pada praktik-praktik keberagamaan
untuk membuktikan keterkaitannya dengan suatu keadaan, kondisi, struktur, ideologi,
pengetahuan, status dan ketidaksamaan pada sebuah kelompok hingga kemudian
dengannya masyarakat dapat terbentuk. Selain itu, pendekatan interaksi simbolik73
juga difungsikan peneliti karena telah menjadi sebuah kajian teoritis dalam sosiologi
bahkan sangat berpengaruh dalam teori tentang interaksi simbolik itu sendiri. Teori
ini memang fokus terhadap perilaku pra-interaksi antar individu dan tindakan-
tindakan komunikasi yang dapat diamati. Oleh karena itu, pendekatan yang secara
spesifik ini peneliti dapat menjabarkan perkembangan sejarah dan manfaatnya bagi
individu maupun masyarakat.74
Adapun suatu fenomena dengan gejala-gejala sosial telah menjadi titik dasar
dalam sebuah penelitian.75 Sebagaimana yang dapat dilihat dari tradisi ziarah makam
hingga kemudian memiliki makna secara mendalam terhadap kegiatan tersebut.
Fenomena seperti ini harus diungkap dari berbagai perspektif berdasarkan penilaian
atau sudut pandang fenomenologis itu sendiri. Namun ketika masalah tersebut muncul
kesulitan atau kerumitan yang berhubungan dengan proses sosial, maka posisi
interaksi simbolik sebagai pertimbangannya sangat dibutuhkan agar dapat mengetahui
suatu keadaan, unsur pembentuk, sikap, sistem, dan dampaknya.
3). Jenis dan Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini adalah subyek dari mana data tersebut bisa
diperolah. Seperti yang disebutkan Lotfand, bahwa dalam sebuah penelitian kualitatif
terdapat dua sumber data utama yaitu data primer dan data sekunder.76
a. Data primer merupakan jenis data awal yang telah diperoleh melalui hasil
wawancara yang dilakukan secara detail dan di dalamnya juga memuat
tindakan untuk mendapatkan sejumlah informasi langsung dari informan
72 Dalam rangka memahami dan mengetahui suatu gambaran yang lengkap serta
tampak realistik tentang pola kehidupan masyarakat, setidaknya dibutuhkan pengetahuan
melalui proses sosial itu sendiri. Proses sosial merupakan pengaruh yang terjadi secara timbal
balik antara berbagai segi dalam kehidupan masyarakat bersama. Misalnya, pengaruh yang
terdapat dari segi kehidupan mereka yang telah diatur secara hukum dalam kehidupan yang
berhubungan dengan agama, kehidupan hukumnya dengan ekonomi dan lain sebagainya.
Lihat: H. M Ridwan Lubis, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama Dalam
Interaksi Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 55. 73 Menurut G. H Mead, interaksionisme simbolik adalah mengakui pentingnya
pengamatan pada tindakan individu. Interaksionisme simbolik modern yang tokohnya Herbert
Blumer juga menggambarkan adanya perbedaan dengan behaviorisme. Interaksionisme
simbolik menunjukan suatu sifat yang khas dari interaksi individu yang saling menerjemahkan
dan saling mendefinisikan terhadap tindakannya. Lihat: Yusron Razak, dkk. Sosiologi Sebuah
Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (Jakarta: Laboratorium Sosiologi
Agama, 2008), 44-45. 74Dadi Ahmad, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator, Volume. 9
No. 2. Desember, 2008, 302. 75Heddy Shri Ahimsa-Putra, Fenomena Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama Jornal: Walisongo Volume 20, No. 2. November, 2012. 76Moleong, Mentodologi Penelitian Kualitatif, 112.
23
yakni (dari para peziarah makam keramat Wali Nyato’) jenis data awal ini
kemudian akan di catat secara tertulis dan melakukan dokumentasi.
b. Data sekunder, adalah suatu jenis data yang dapat dihasilkan secara tidak
langsung, tetapi mampu melengkapi data primer. Yakni; data sekunder
yang didapati melalui sumber secara tertulis akan menjadi bagian dari
sumber pendukung pada sebuah penelitian secara kualitatif. Jenis data
yang dimaksud berupa karya-karya ilmiah baik itu buku, jurnal atau artikel
ilmiah, dokumentasi resmi atau pribadi yang memiliki keterkaitan dengan
penelitian.
4). Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara,
dan dokumentasi.77
a. Observasi.
Observasi78 dilakukan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini dengan
teknik participaction observation. Partisipasi tersebut dijalankan ketika menganalisis
suatu tindakan, pengalaman, praktik spiritual serta pandangan peziarah saat sedang
ziarah di makam keramat tersebut. Analisis ini menggunakan deskriptif etnografi,
dimana analisis tersebut akan dilakukan secara terus-menerus baik ketika dilapangan
maupun diluar lapangan. Saat menjalankan participaction observation, peneliti akan
merekam ucapan-ucapan informan dan menyusun keterangan secara berulang-ulang
melalui penegasan ucapan informen dan meminimalisir pertanyaan makna tetapi
gunanya.
Catatan dari apa yang dilihat oleh peneliti merupakan catatan sederhana dan
berkaitan dengan identitas pelaku, sikap pelaku, termasuk pernyataan-pernyataannya
yang mengarah pada suatu pemaknaan sehingga akan menjadi target pengamatan
peneliti. Mengenai nama dari sejumlah objek-objek tertentu yang berbentuk fisik juga
dirasa sangat penting untuk dapat mengetahui secara keseluruhan lingkungan dari
suatu tempat kejadian yang juga menjadi sasaran pengamatan terjadi. Catatan ini
ditulis sesederhana mungkin supaya tidak beralih fokus dari analisis pencatatan.79
Pengambilan gambar dirasa sangat penting sebagai pendukung dalam menjalankan
pengamatan, tetapi peneliti juga tidak sembarang mengambil foto atau gambar agar
tidak merusak konsentrasi para peziarah lainnya. Dan peneliti harus mengkofirmasi
terlebih dahulu kepada informan ketika ingin mengambil gambar dan gambar mana
saja yang diizinkan dan saat mana yang tidak diizinkan.
b. Wawancara mendalam (in-depth interview)
77Moleong, Mentodologi Penelitian Kualitatif, 135 78Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis dari gejala-
gejala yang ada terhadap suatu obyek penelitian tersebut. Obsevasi dapat dijalankan dengan
cara mengamati secara langsung dari sebuah kejadian atau peristiwa yang sedang diteliti,
disamping peneliti juga dapat menganalisis atau memusatkan perhatiannya dalam suatu objek
melalui indra (mata dan telinga). Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 176. 79 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1997), 114.
24
Metode yang dipakai oleh peneliti adalah metode wawancara terstruktur80 dan
tidak bersetruktur. Metode terseturktur adalah metode dengan cara memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah dirumuskan sebelum peneliti berhadapan dengan
informan. Sedangkan tidak berstruktur81 adalah metode memperoleh jawaban yang
lebih terbuka agar dapat mengetahui perilaku asli pelaku ziarah. Metode wawancara
ini akan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sasak. Metode ini dilakukan oleh
peneliti karena dimungkinkan ada ungkapan-ungkapan khusus yang akan diungkap
melalui bahasa Sasak. Dan yang menggunakan bahasa Indonesia nantinya akan
ditranskripkan. Sedangkan yang menggunakan bahasa Sasak akan diahlihbahasakan
menjadi bahasa Indonesia agar mempermudah analisis peneliti. Kemudian pedoman
wawancara akan disesuaikan dengan fokus penelitian dan dirumuskan sesuai dengan
kebutuhan peneliti. Misalnya, menyangkut pemahaman peziarah secara keagamaan,
pengetahuan peziarah dari segi sejarah atau cerita yang sudah melegenda sejak lama
hingga pada sistem keyakinannya yang masih bernuansa tradisional.
Pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun secara sistematis setidaknya akan
mempermudah peneliti dalam mengolah data. Proses wawancara nantinya dilakukan
kepada para informen yang terkait secara lansung dalam penelitian ini yaitu juru kunci
makam, pengunjung makam dan lain-lain. Wawancara ini akan dilaksanakan ketika
aktivitas ziarah berlangsung dan setelah kegiatan ziarahnya selesai. Pertama-tama,
wawancara ini ditujukan kepada informan kunci terutama kepada para peziarah dan
juru kunci makam. Setelah wawancara tersebut dilakukan, selanjutnya peneliti akan
melakukan wawancara sesuai arahan (rekomendasi) dari informen kunci secara
snowballing. Atas dasar rekomendasi tersebut peneliti akan kemabali melanjutkan
kepada informan lainnya hingga mendapatkan hasil “data jenuh”,82 dan tidak lagi
menemukan informasi baru lagi.
Dalam rangka memperoleh hasil data yang keradibilitas, peneliti juga akan
melakukan analisis secara terus menerus dan triangulasi.83 Dalam artian pengamatan
akan ditempuh dengan cara berkali-kali peneliti turun lapangan khususnya di makam
tersebut. Triangulasi yang dilakukan adalah mengecek kembali kepada informen
sesudah hasil wawancara ditranskip hingga berkonsultasi dengan pembimbing.
c. Dokumentasi.
Dokumentasi termasuk asas (dasar) bagi peneliti dalam melakukan penelitian.
Peneliti akan mengkaji banyak rujukan serta referensi yang memiliki hubungan
80 Wawancara tersetruktur dapat digunakan sebagai teknik dalam pengumpulan data,
pengumpulan data tersebut telah secara pasti dapat mengetahui tentang informen terhadap apa
yang akan diperoleh. Lihat: Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen Pendektatan:
Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi (Mixed Methods), Penelitian Tindakan (Action Research),
Penelitian Evaluasi (Bandung: Alfabeta, 2016), 386. 81 Wawancara tidak tersetuktur adalah wawancara bebas. Dalam hal ini pedoman
wawancara tidak dipakai, sebagaimana halnya yang dilakukan dalam wawancara tersetruktur.
Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan. Lihat: Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen Pendekatan: Kuantitatif,
Kualitatif, Kombinasi (Mixed Methods), Penelitian Tindakan (Action Research), Penelitian
Evaluasi (Bandung: Alfabeta, 2016), 387. 82 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan. 240. 83 Husaini dan Purnomo, Metodologoi Penelitian Sosial, 98.
25
dengan penelitian ini. Selain itu, dokumentasi juga menjadi sumber penguat untuk
menjawab tinjauan teoritis permasalahan yang diteliti.
5). Teknik Analisis Data.
Teknik analisis data menggunakan metode kualitatif berupa deskripsi secara
mendalam dari fenomena ziarah makam terutama menyangkut praktik ziarah. Dalam
hal ini peneliti menerapkan konsep analisis84 yang merujuk pada sistem yang pernah
diterapkan Geertz85 dimana sistemnya yang menggunakan model for dan model of
adalah konsep yang dijalankan dalam sebuah penelitian tentang realitas fenomena
sosial budaya. Kemudian realitas tersebut pada bagian of akan diinterpretasi agar
mudah dimengerti.
Sedangkan penelitian ini menggunakan model of dengan melibatkan peneliti
secara langsung dan mengadakan pengamatan terlibat secara emik. Keterlibatan
peneliti secara langsung akan menanyakan terhadap pelaku yang menjadi bagian dari
fenomena tersebut dengan maksud agar terungkapnya peran dan motivasinya sesuai
dengan yang diketahui dan dipahaminya. Selanjutnya peneliti kembali malakukan
refleksi kepada informan tentang perilaku dan ucapan peziarah tersebut sehingga
membentuk penafsiran intersubjektif. Dalam melakukan interpretasi ini, kemudian
akan dikaitkan secara teori yang telah dibangun untuk menemukan relevansi dari teori
konstruksi sosial atas tindakan atau praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat
secara universal.
Untuk mengungkap konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan masyarakat,
akan bertumpu pula pada konsep struktural fungsional,86 dengan menggunakan teknik
analisis kualitatif etnografik. Maka, peneliti akan berusaha menggambarkan secara
etnografik atas tindakan, sikap, ucapan, dari tindakan peziarah. Gambaran tersebut
akan dipaparkan secara holistik dan mendalam karena analisis ini juga menggunakan
cara yang bersifat terus menerus saat dilapangan.
Analisis data akan dilakukan secara deskriptif dan mendalam. Proses analisis
data dilakukan secara terus-menerus baik saat di lapangan maupun setelah diluar
lapangan. Dalam analisis data, peneliti akan melakukan cara-cara seperti mengatur,
mengelompokkan, mengurutkan, memberi tanda atau kode, hingga mengkategorikan
data. Kemudian peneliti akan berusaha menemukan tema-tema budaya yang menjadi
fokus dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti kemudian akan mendalaminya dengan
melakukan pengamatan dan wawancara berikutnya.
Dalam analisis ini, peneliti tidak melakukan penafsiran terlebih dahulu karena
yang berbicara adalah data. Namun jika terdapat penafsiran maka itu merupakan hasil
dari pemahaman interpretasi informan atas fenomena yang dialaminya. Melalui
analisis ini, kemudian konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan khususnya yang
84 Menurut Bogdan dan Biklen, untuk melakukan analisis data, maka diperlukan cara
untuk memperoleh penyusunnya dengan cara yang sistematis yang diawali dengan transkrip
hasil wawancara, dokumentasi, catatan lapangan secara akumulatif mampu memberikan
tambahan wawasan serta pemahaman peneliti atas temuannya. Lihat: Husaini Usman dan
Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, 32. 85Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudyaan, 89. 86 Struktural fungsional adalah strategi analisis terhadap gejala-gejala sosial yang
berhubungan dengan fungsi-fungsi dalam pelaksanaannya. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar
Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 749.
26
berkaitan dengan pola tindakan atau praktik ziarah yang dilakukan masyarakat akan
muncul sebagai realitas sosial (kenyataan sosial) dalam kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang telah dikonstruksi melalui dunia sosio-kultrualnya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari enam bab pembahasan. Bab I
Pendahuluan. Bab ini beriskan latar belakang masalah dan permasalahan yang terdiri
dari tiga sub tema yaitu: identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah.
Selanjutnya menjelaskan tentang tujuan dan manfaat penelitian, sekaligus dengan
penelitian terdahulu yang relevan dan metode penelitian. Dalam metode penelitian
terdapat lima bagian. Pertama: Desain penelitian, terdiri dari dua bagian yakni; lokasi
penelitian dan jenis penelitian. Kedua: Pendekatan. Ketiga: Jenis dan sumber data.
Keempat: Teknik pengumpulan data yang terdiri dari tiga bagian yaitu: observasi,
wawancara dan dokumentasi. Kelima: Tehnik analisis data, dan yang terakhir adalah
sistematika penulisan.
Pada Bab II peneliti menguraikan perdebatan akademik yaitu; Kajian Teoritis
Konstruksi Sosial dan Perkembangan Awal Tradisi-tradisi Keagamaan. Pada
pembahasan ini, akan di klasifikasikan ke dalam empat pokok pembahasan yaitu; A.
Agama dalam Kehidupan Manusia. Pada pembahasan ini, akan memunculkan dua
tema penting yakni 1. Agama Spritualisme yang meliputi dua tema diantaranya: a.
Agama ketuhanan dan b. Agama peyembah roh. 2. Agama Materialisme. Berikutnya
pada pembahasan kedua yaitu; B. Perkembangan Tradisi-tradisi pada Masa Awal.
Pembahasan ini juga meliputi empat tema yaitu: 1. Pengorbanan. 2. Ibadah. 3.
Tempat, Benda dan Orang yang dikeramatkan. 4. Sihir. Pembahasan selanjutnya
yaitu; C. Sistem Sosial dan Realitas Kehidupan Masyarakat. Dan terkahir D. Proses
Sosial dalam Dunia Sosio-Kultural Masyarakat. Dalam pembahasan terdapat tiga
tema pokok yaitu 1. Eksternalisasi. 2. Objektifikasi. 3. Internalisasi.
Pada Bab III peneliti akan memaparkan tentang Deskripsi Umum Masyarakat
Kabupaten Lombok Tengah. Bab ini akan dibagi menjadi empat pembahasan yaitu;
A. Kondisi Geografis Masyarakat Kabupaten Lombok Tengah. B. Perkembangan
Islam di Pulau Lombok. C. Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal. D.
Dimensi-dimensi Keagamaan Masyarakat. Pada pembahasan ini, dimunculkan empat
unsur religi dalam keagamaan masyarakat yaitu; 1. Emosi Keagamaan. 2. Sistem
Kepercayaan. 3. Sistem Upacara Keagamaan. 4. Kelompok Keagamaan atau
Kekuatan-keuatan Sosial.
Sedangkan pada Bab IV peneliti membahas tentang Proses Sosial dalam
Tradisi Keagamaan Masyarakat. Pada pembahasan ini, peneliti membaginya menjadi
empat pokok bahasan yaitu: A. Makam sebagai Simbol dan Instrumental Akulturasi
Masyarakat. B. Proses Sosial dan Ziarah Makam sebagai Tradisi Keagamaan
Masyarakat. C. Praktik Keagamaan dan Pemahaman Masyarakat Tentang Makam
Keramat. D. Fenomena Ziarah di Makam Keramat.
Berikutnya pada Bab V, Peneliti membahas Tradisi Ziarah pada Makam
Keramat. Pada Bab ini, peneliti akan membahasnya dalam tiga pokok bahasan yaitu;
A. Ritual dalam Melakukan Ziarah Kubur atau Ziarah Makam Keramat. Pembahasan
ini terdapat dua tema pemahasan yaitu: 1. Tahap Persiapan dalam ritual ziarah makam.
2. Tahap Pelaksanaannya dalam melakukan ritual ziarah. B. Motivasi dan Tujuan
27
Melakukan Ziarah di Makam Keramat Wali Nyato’. Pembahasan ini meliputi lima
tema pembahasan yaitu: 1. Mengharap Berkah. 2. Dapat Mengambil Pelajaran. 3.
Mengenang Sejarah dan Penghormatan Terhadap Arwah Para Leluhur. 4. Melakukan
Tawassul atau Berwasilah. Dan 5. Sebagai Wisata Religi. Dan pada sub bab terakhir
adalah C. Pelaku Ritual Ziarah di Makam Keramat.
Kemudian yang terakhir adalah Bab VI sebagai Bab Penutup dan Bab ini
hanya berisi dua bagian yaitu; A. Kesimpulan. B. Saran.
28
BAB II
KAJIAN TEORITIS KONSTRUKSI SOSIAL DAN PERKEMBANGAN
AWAL TRADISI-TRADISI KEAGAMAAN
Pembahasan mengenai konstruksi sosial dan perkembangan tradisi-tradisi
keagamaan masyarakat sebagai sebuah realitas dalam kehidupannya sering kali
dihubungkan dengan berbagai determinan lain seperti ekonomi, politik, media, dan
kekuasaan. Padahal konstruksi sosial dalam pola kehidupan masyarakat tidak terlepas
dari aspek-aspek keagamaan baik yang disebabkan oleh berbagi tindakan-tindakan
individu maupun kelompok masyarakat itu sendiri. Proses ini dapat terjadi secara
statis (struktur Sosial) dan dinamis (proses sosial)1 pada seseorang maupun
masyarakat. Oleh sebab itu, suatu pola tindakan dan interaksi yang dilakukan secara
terus-menerus dalam dunia sosio-kultural lambat laun akan dimiliki dan dialami
bersama secara subyektif.
A. Agama Dalam Kehidupan Manusia.
Sudut pandang kajian teologis telah menyepakati bahwa para agamawan
mengklasifikasikan asal-usul seluruh agama yang dianut oleh manusia yaitu; agama
Ardhi dan Samawi. Agama Ardhi atau sering disebut “agama kebudayaan” (cultural
religions) merupakan agama yang bukan berasal dari Tuhan melalui penurunan
wahyu-Nya, akan tetapi agama kebudayaan tersebut ada karena proses antropologis
yang terbentuk dari adat-istiadat dan melembaga dalam bentuk agama formal.
Sedangkan agama Samawi adalah agama “Wahyu” (revealed religions) merupakan
agama yang diyakini melalui penurunan wahyu dengan menggunakan perantara
(Malaikat-Nya) dan diteruskan kepada utusannya yang dipilih dari manusia (Nabi dan
Rasul-Nya). Agama wahyu ini dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu2:
ه فى بالل
ه وك
لين ك ى الد
ليظهره عل
حق هدى ودين ال
ه بال
رسول
رسل
ذي ا
هو ال
٨٢شهيدا Artinya: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama
yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah
Allah sebagai saksi” (Q.S. Al-Fath :28)
Ayat di atas menunjukan bahwa agama Samawi merupakan agama yang full
fledged yaitu; agama yang mempunyai Nabi dan Rasul, mempunyai kitab suci dan
umat atau pengikut. Secara historis penerapan agama wahyu ini diberikan kepada
1Menurut Comte, sosiologi perlu dipahami dengan cara observasi dan klasifikasi yang
sistematis, bukan melalui kekuasaan dan spekulasi. Comte yang telah menjauhkan teologi dan
metafisika justru menekankan unsur empiris yang berkaitan dengan masyarakat baik dalam
keadaan statis (strukturs sosial) maupun dalam aspek dinamis (proses sosial) yang menjadi
unsur bagi setiap masyarakat, bahkan akan bertahan sepanjang masa. Lihat: Fredian Tonny
Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 1. 2 Lihat: Departemen Agama Republik Indonesia RI, Al-Qur’an dan Terjemahan Juz
1-Juz 30 (Jakarta: Duta Surya, 2011), 737.
29
agama yang mengajarkan adanya wahyu yaitu agama Yahudi, Nasrani dan agama
Islam.3 Dalam perkembanganya, agama Ardhi maupun agama Samawi mengalami
beberapa perubahan secara dialektis terhadap aspek sosial kehidupan masyarakatnya
terutama mengenai sistem kepercayaan, ritual keagamaan dan lembaga keagamaan.
Perubahan tersebut bisa dalam bentuk kepercayaannya terhadap Tuhan yang mereka
sembah dari monoteisme beralih bentuk ke politeisme dan bisa juga dalam upacara-
upacara keagamaan yang mereka lakukan. Oleh karena itu dalam agama Islam dikenal
istilah bid’ah4 dan khurafat yaitu penambahan ajaran agama dari ajaran aslinya.5
Adanya perubahan dalam ajaran agama-agama tersebut, banyak disebabkan
oleh proses degenerasi (pemburukan) baik karena faktor manusia sebagai penganut
agama itu sendiri maupun faktor persentuhan agama dengan berbagai kepercayaan
atau keyakinan lain di suatu tempat. Dalam proses ajaran agama yang diyakininya,
seseorang penganut agama biasanya akan banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidup
dan berbagai pengetahuan lainnya dalam lingkungan sosial budaya di sekelilingnya.
Dalam pergaulan antar-pemeluk agama, seseorang penganut agama bergaul
dengan berbagai penganut agama yang berbeda dan bertemu dengan kepercayaan lain
selain agamanya sendiri, misalnya bertemu dengan ajaran-ajaran magis, mistik yang
subjektifistik, takhayul, dan fanatisme. Keyakinan-keyakinan lainnya juga banyak
dipengaruhi pandangan keberagmaannya bahkan praktik keagamaan seseorang yang
cenderung diikuti dan akhirnya diwariskan secara turun-temurun kepada generasi-
generasi berikutnya.6 Hal ini berbeda dengan kajian secara teologis dimana para
ilmuan yang diwakili oleh para pakar antropologi budaya dan sosiologi agama melalui
kajian keilmuan mereka (scientific aproach) membedakan agama yang ada di dunia
menjadi dua kelompok yaitu: spritualisme dan materialisme.
1. Agama Spritualisme
Spritualisme merupakan agama penyembah suatu (zat) yang gaib yang tidak
tampak secara lahiriah atau suatu zat yang tidak dapat dilihat dan tidak terbentuk.
Spritualisme ini terbagai menjadi dua kelompok yaitu:
a) Agama ketuhanan7 (theistic religion)
Agama ketuhanan mencakup asal-usul istilah dari semua sistem kepercayaan
terhadap satu atau banyak Tuhan dan meliputi dua perkembangan dalam sejarah
kehidupan manusia yaitu: Monotheisme dan Politheisme. Agama politheisme adalah
agama yang lahir karena interpretasi akal pikiran manusia tentang keperluannya
3Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 35. 4Bid’ah adalah penambahan dalam peribadahan dari yang ditetapkan oleh Nabi
Muhammad Saw. Sedangkan khurafat merupakan kepercayaan yang dianggap menyimpang
dari ajaran-ajaran dasar agama Islam. 5Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 23. 6Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 89 7Agama ketuhanan yaitu agama yang penganutnya penyembah Tuhan (Theos).
Agama ini mempunyai keyakinan bahwa Tuhan adalah tempat manusia menaruh kepercayaan,
dan kecintaan kepada-Nya baginya adalah kemuliaan dan kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan
fakta-fakta yang tidak terbantahkan dan dapat memperluas serta meningkatkan pengetahuan
moral manusia. Agama ketuhanan yang merupakan asal-usul istilah dari semua sistem
kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan yang mencakup kepercayaan terhadap satu atau banyak
Tuhan. Lihat Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 36.
30
terhadap kekuatan supranatural yang kemudian diberi nama sebagai Tuhan. Sebagai
kerangka awal berpikirnya, manusia mencari-cari makna esensial dalam kehidupan
yang dialaminya.8
Hal di atas menunjukkan bahwa, awalnya manusia mengenal Tuhan melalui
asumsi-asumsi dasar yang kemudian dikembangkan terhadap kekuatan-kekuatan
yang melekat di dalam “tubuh” benda-benda. Benda-benda itulah kemudian dianggap
atau diyakini memiliki kesakralan dan kekuatan gaib. Nalar beragama ini berkembang
secara terus menerus tanpa henti seiring dengan perkembangan akal-pikiran manusia.
Secara sederhana, nalar beragama9 ini ditunjukkan oleh manusia ketika berhadapan
dengan suatu peristiwa alam yang dirasakan olehnya sebagai kewajibannya.
Sedangkan Agama monotheisme adalah agama yang mengenal ke-esaan
Tuhan. Dalam istilah kajian agama-agama, monotheisme disebut juga sebagai agama
Samawi yaitu agama langit. Agama ini mengajarkan tentang konsep satu Tuhan atau
dengan istilah Tauhid. Agama tersebut dikenal dengan agama yang memiliki wahyu
dan kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan. Selain itu, agama Samawi juga
mempunyai Nabi dan Rasul sebagai utusan Tuhan untuk melakukan bimbingan Kitab
suci tersebut. Karena itulah kemudian Nabi dan Rasul diberikan kewenangan untuk
menyebarkan muatan-muatan ajaran yang terkandung di dalam kitab sucinya sebagai
upaya dalam membentuk keagamaan dan peradaban hidup manusia. Misalnya; Islam
merupakan kategori agama Samawi karena memiliki kitab suci al-Qur’an sebagai
bimbingan atau pedoman bagi para pemeluknya.10
Nabi dan Rasul-Nya mengajarkan umat manusia melalui kitab suci al-Qur’an
dalam rangka menjelaskan apa-apa yang terkandung di dalamnya. Nabi Muhammad
Saw, merupakan Nabi yang telah diutus oleh Allah Swt untuk menjelaskan tugas
tentang makna-makna dalam kitab suci tersebut. Oleh karena itu kehidupan manusia
sesungguhnya tidak bisa lepas dari rasa kebutuhan terhadap kekuatan lain yang lebih
berkuasa. Kekuatan lain tersebut, tentu berada diluar dirinya yang serba lemah. Untuk
itu, manusia sangat membutuhkan aturan yang bersifat universal bahkan absolut agar
manusia tidak merasa frustasi dalam menghadapi berbagai persoalan hidupnya. Pada
konteks inilah kemudian dikatakan bahwa agama muncul sebagai sepirit atau motivasi
khusus bagi batin dan jiwa manusia.
8 Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,
2011), 75. 9Nalar ini ditunjukkan ketika berahadapan dengan peristiwa alam yang dirasakan
olehnya sebagai kewajiban. Misalnya, batang kayu yang sangat besar, tempat-tempat yang sepi
atau yang dianggap angker termasuk kuburan atau tempat-tempat seperti yang sering di
interpretasikan olehnya sebagai tempat bersemayamnya Tuhan, atau kekuatan-kekuatan lain
yang luar biasa selain kekuatan manusia. Untuk memberikan penghormatan terhadap
“kekuatan lain” di dalam benda-benda keramat itu mereka melakukan “doa-doa” dan sesajian.
Mereka juga melakukan penyembahan. Tata cara penyembahan itu mereka lakukan sesuai
dengan “wangsit” yang diperoleh dari seseorang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat
setempat. Mereka berasumsi bahwa pelaksanaan ritual tersebut dapat menjamin keselamatan
bagi kehidupan seluruh manusia. Lihat: Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan
Agama (Bandung: Humaniora, 2011), 75. 10 Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,
2011), 74.
31
Secaras historis agama Yahudi merupakan agama yang memiliki hubungan
dengan agama Islam dan Kristen. Agama Islam, Kristen dan Yahudi disebut sebagai
agama tehisme. Seperti halnya penjelasn di atas, bahwa tehisme merupakan sistem
atau pola kepercayaan yang meyakini bahwa Tuhan itu terpisah dari manusia dan
benda-benda hidup lainnya yang ada di dunia. Maka monoteistik adalah bentuk agama
yang percaya bahwa Tuhan itu satu dan Tuhan itulah yang menentukan takdir manusia
dengan cara memohon rahmat dan hidayah-Nya melalui do’a.
Berbeda dengan Agama Hindu yang agak sedikit sulit dapat dikategorikan
sebagai agama monoteistik karena menganut banyak Tuhan seperti Tuhan pencipta
(Brahma), Tuhan Pemelihara (Wisnu) ada juga Tuhan Perusak (Siwa). Meskipun pada
dasarnya agama Hindu juga memiliki ajaran tentang adanya kekuasaan Tuhan yang
satu (an all-powerful God). Ketiga Tuhan tersebut selalu muncul dalam acara ritual
keagamaan dan seni. Fenomena banyak Tuhan memang lebih banyak dijumpai di
agama-agama kuno. Yahudi misalnya, dikenal dengan banyak Tuhan, seperti Ares
(Dewa perang), Artemis (Dewi berburu), Poseidon (Dewa laut), Athena (Dewi
Kecerdasan dan keterampilan) dan lain sebagainya. Bentuk keyakinan orang Yahudi
kuno, merupakan bentuk agama politeistik. Dimana agama politeistik ini merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan sistem kepercayaan teistik yang
mengakui banyak Tuhan.11
b) Agama Penyembah roh.12.
Agama penyembah roh dapat dibagi dalam beberapa bentuk pola kepercayaan
yaitu kepercayaan Animisme yang merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat
terhadap berbagai macam roh yang berkuasa dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau
upacara keagamaan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. E.B.Taylor, pernah
menyatakan bahwa animisme dalam perkembangannya mencakup kepercayaan akan
adanya roh atau jiwa dan kepercayaan dalam kehidupan mereka dimasa yang akan
datang (infuture state), untuk mengontrol peri, mambang, dan roh-roh yang menjadi
subordinasinya.
Dalam praktiknnya kepercayaan itu dicerminkan dalam bentuk ibadah atau
pemujaan yang dilakukan secara aktif. Beberapa suku di Afrika, dan Indian Amerika
penganut animisme mempercayai bahwa roh dan hantu mendiami objek suci seperti
berada di pohon, cadas atau pada binatang-binatang buas, dan binatang-binatang
ternak. Kemudian kepercayaan Praanimisme (dinamisme) adalah bentuk kepercayaan
masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan yang ada dalam segala hal. Penganut
kepercayaan ini biasanya mempunyai serangkaian aktivitas keagamaan dalam rangka
memperkuat keyakinan dan pola kepercayaan mereka dengan landasan ajaran yang
telah diyakini oleh mereka.
11M.Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk
Memahami Konsep-Konsep Dasar ( Jakarta: UIN Jakarata PRESS, 2006), 149. 12Agama penyembah roh merupakan kepercayaan masyarakat yang masih bersifat
primitif terutama kepada roh nenek moyang, roh pimpinan atau roh para pahlawan yang telah
meninggal. Mereka percaya bahwa yang sudah meninggal itu dapat memberikan pertolongan
dan perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan. Oleh karena itu, sebagai upaya dalam
menghadirkan roh-roh tersebut perlu diadakan upacara-upacara keagamaan yang khusus dan
kompleks. Lihat Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),
37.
32
Kepercayaan ini biasanya tercermin pada bangsa-bangsa primitif seperti
mereka dalam agamanya mengajarkan untuk menyembah alam. Penyembah kekuatan
alam merupakan salah satu bentuk kepercayaan bangsa primitif terhadap alam sekitar
dan mereka melakukannya akibat rasa takut terhadap malapetaka alam atau suatu
unsur alam yang dianggap memiliki banyak kekuatan. Oleh karena itu pemujaan ini
dilakukan untuk pemuliaan alam melalui aktivitas keagamaan.13
2. Agama Materialisme
Agama materialisme adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya
terhadap Tuhan yang telah dilambangkan dalam wujud benda-benda material seperti
patung-patung manusia, binatang, dan berhala atau bisa juga terhadap sesuatu yang
dibangun dan dibuat untuk disembah. Tentang agama materliasme ini, dapat dilihat
dalam literatur tentang agama bangsa Arab sebelum Islam atau dalam kepercayaan
sebagian umat Nabi Musa yang membuat patung lembu yang dipimpin oleh Samiri
untuk disembah atau dalam kepercayaan penganut agama Majusi yang menyembah
api suci.14
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, sistem keprcayaan terhadapa agama
materialisme ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem kepercayaan terhadap
agama Spiritualisme dimana keyakinan mereka sangat mempercayai jiwa-jiwa atau
sesuatu yang gaib. Hanya saja agama materialisme titik tekannya adalah lebih kepada
pemuliaan atau pengagungan fisik material dibandingkan dengan pengagungan
kekuatan jiwa yang terdapat dalam benda-benda fisik seperti berhala atau patung
sebagai buatan manusia itu sendiri.
Menyadari keberadaan manusia dewasa ini yang tidak lagi berada pada posisi
peradaban yang tersebutkan di atas, tetapi harus diakui bahwa peradaban manusia
sebelum era modern adalah agama menjadi dominan dalam kehidupan manusia
bahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal itu terjadi karena agama merupakan
otoritas tunggal dalam rangka menentukan kebijakan atau sebuah keputusan baik
dalam aspek agama maupun aspek ilmiah. Oleh karena itu, agama merupakan simbol
penting dalam kehidupan umat manusia karena agama memuat serangkaian aturan,
nilai, norma, hukum, dan pelajaran-pelajaran lainnya yang menuntun tingkah laku
manusia dalam kehidupan beragama dan berbudaya.
B. Perkembangan Tradisi-Tradisi Keagamaan pada Masa Awal
Sejak awal perbincangan tentang agama dari segi sosial budaya nampaknya
masih tetap hangat hingga sekarang. Meskipun ada banyak dugaan bahwa relevansi
membicarakan agama sepertinya sudah sangat berkurang pada masa kini, namun
dugaan-dugaan tersebut nampaknya kurang terbukti. Agama yang dulunya dikatakan
sebagai inti (core) dan sentral bagi kehidupan manusia, kini tergeser ke periferi sistem
sosial dan tampaknya mulai goyah. Mungkin agama tidak lagi menjadi sentral dalam
konteks kehidupan individual. Karena itu, pergeseran yang ditengarai sebagian ahli
barangkali hanya berlaku pada rentang kolektif individual.15
13Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 38. 14Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 40. 15 M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama dalam
Interaksi sosial, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), v.
33
Jika agama menyangkut tentang kepercayaan atau sebuah keyakinan dengan
berbagai praktik atau ritual-ritual di dalamnya, maka agama juga tidak akan lepas dari
aspek-aspek sosial dalam kehiduapan manusia. Fenomena kehidupan masyarakat jika
ditinjau dari aspek agama dan budaya, keduanya memiliki hubungan yang erat saling
keterkaitan dan saling melengkapi antar keduanya. Agama dan budaya tidak berdiri
sendiri karena keduanya selalu berdampingan dalam dialektikanya, selaras dalam
menciptakan dan kemungkinan saling menegasikan.16
Berbicara mengenai perkembangan tradisi pada masa awal, setidaknya akan
menyinggung tentang masyarakat Primitif dimana secara etimologi Primitif berarti
“sesuatu yang sederhana” dan bersahaja. Robert H. Lowie seorang antropolog asal
Amerika dalam bukunya Primitive Religion, menyatakan bahwa masyarakat primitif
sebagai masyarakat yang sederhana dan bersahaja merupakan suatu kesimpulan dan
bukan menjadi suatu data yang tepat dari pengalaman. Lagi pula perbedaan tingkat
kebudayaan yang bersahaja dengan yang sudah maju sepertinya agak sulit dikaji.
Baginya, suatu kebudayaan yang sangat sederhana sekalipun ia tetap memiliki akar
sejarah panjang dalam kehidupan manusia. Untuk itu, agak sulit untuk menentukan
priodesasi secara tegas dari sejarah awal perkembangan budaya atau tradisi manusia
baik yang sifatnya sederhana sampai dengan tingkat modern.17
Jika masyarakat primitif dianggap sebagai masyarakat yang sederhana tingkat
kebudayaannya, apakah akan selamanya begitu? selalu dalam keadaan statis? Padahal
kita mengetahui bahwa perubahan akan selalu terjadi pada setiap waktu atau keadaan-
keadaan tertentu meskipun sangat lamban dalam perkembangannya dan bahkan tanpa
dorongan dari luar. Hal ini bukan suatu hal yang mustahil dapat terjadi karena usaha
dari setiap anggota masyarakatnya yang ingin meningkatkan taraf hidup yang lebih
baik, terutama hasil dari variasi dan inovasi diantara generasi ke generasi berikutnya
terus akan berkembang.
Bagi kalangan yang berpendapat bahwa sesuatu yang primitif adalah sesuatu
yang sudah lewat dan kuno karena jika dipadukan dengan konteks masa kini atau masa
modern, maka tentu mereka menganggap bahwa agama primitif adalah agama yang
sudah kuno yaitu agama tingkat pertama dari stadium keagamaan umat manusia. Tapi
menurut A.G. Honig, bagi kalangan yang berpendapat seperti yang tersebutkan di
atas, tentu tidak bisa dibenarkan begitu saja karena hal itu merupakan suatu cara
pembenaran dari suatu teori evolusi. Namun demikian, atas dasar pandangan tersebut
kemudian agama dibedakan menjadi dua tingkatan yaitu pertama; tingkat agama yang
tinggi dimana manusia akan mengalami kemajuan yang tinggi dan kedua; tingkat
agama yang rendah yaitu; manusia sama sekali tidak mengalami kemajuan apapun.
Istilah lainnya adalah agama itu setingkat dengan kemajuan budaya manusia yang
banyak mengalami berbagai perkembangan dari tingkat awal dan tingkat sederhana
ke tingkat akhir atau sempurna. Oleh karena itu, agama primitif adalah agama manusia
16Laode Monto Bauto, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jurnal, JPIS, Pendidikan Ilmu
Sosial, Vol 23. No. 2. Desember, 2014, 23-24. 17A. Singgih Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988), 15.
34
pada tingkatan yang pertama, dan kemudian akan mengalami kemajuan-kemajuan
melalui politeisme dan monoteisme.18
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir
ini, ditemukan suatu pengertian tentang istilah primitif yang sama sekali berbeda dari
pengertian sebelumnya di mana hasil temuan tersebut telah digambarkan dari adanya
sifat-sifat primitif orang-orang modern dan begitu pula sebaliknya terdapat corak-
corak modern pada manusia primitif. Ini berarti bahwa sifat-sifat primitif tidak hanya
berada pada manusia dengan tingkatan pertama sebagaimana yang dinyatakan oleh
kalangan evolusionis.
Agama dengan segala ritualitasnya adalah bagian terpenting dari kehidupan
manusia dan tidak dapat dipisahkan dari seluruh bagian dalam hidupnya. Hal ini telah
banyak menyita perhatian para peneliti sebelumnya terutama pada abad 19 yang lalu.
Banyak ahli dari berbagai bidang ilmu mengadakan studi dan penelitian tentang dasar
dan asal-usul agama. Kegiatan ini berjalan dengan priode pertama dari sejarah
perkembangan teori antropologi dalam dasa warsa akhir abad 19 dan awal abad 20 di
mana obyek pokok penelitiannya adalah budaya dari masyarakat sederhana.
Pada masa awal perkembangan tradisi atau praktik keagamaan, manusia saat
itu lebih siap berpindah keyakinan daripada ia berpindah kebiasaan. Tidak ada yang
peduli dengan keyakinan yang dianut, mereka akan tetap disebut orang yang beriman
selama mereka masih melakukan ritual-ritual pemujaan, kecuali mereka menentang
ritual-ritual atau praktik tersebut secara terang-terangan. Berikut contoh yang dapat
digambarkan dalam perkembangan tradisi atau praktik keagamaan pada masa awal.19
1. Pengorbanan
Pengorbanan merupakan ritualitas yang paling pokok dan sangat penting
dalam kehidupan manusia pada masa awal, karena mereka mempercayai adanya
kekuatan sang dewa dan kekuatan-keuatan mahluk halus yang tidak dapat tertangkap
oleh indra manusia. Mereka dapat melakukan penghormatan dan pemujaan kepadanya
melalui berbagai ritual dan upacara seperti berdo’a, sesaji atau korban. Kepercayaan
semacam ini oleh Tylor disebut dengan animisme.20 Selain itu, mereka melakukan
18A. Singgih Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988), 16-17. 19 Lihat: Allan Menzies, Sejarah Agama-Agama; Studi Sejarah, Karakteristik dan
Praktik Agama-Agama Besar di Dunia, (Yogyakarta: Forum Group Relasi Media, Anggota
IKAPI, 2014), 70-80. 20Animisme berasal dari kata “anima” yang berarti “nyawa” dalam bahasa Latin
disebut animus, dan bahasa Yunani di sebut avepos, sedangkan dalam bahasa Sanskerta
disebut Prana. Kesemuanya berarti nafas atau jiwa. Animisme adalah ajaran atau doktrin
tentang realitas jiwa. Dalam studi tentang sejarah agama primitif ada beberapa istilah yang
pengertiannya hampir sama, yaitu; pertama: Necrolarty; Pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa
manusia dan binatang terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah mati. Kedua:
Naturisme yaitu; pemujaan terhadap mahluk spiritual yang dikatakan dengan fenomena alam
dan kekuatan kosmis yang besar seperti angin, sungai, binatang-binatang dan juga objek-objek
yang menyelimuti bumi, yaitu tanam-tanaman dan binatang. Ketiga: yaitu; Animisme yang
titik-berat pemujaannya adalah pada mahluk-mahluk spiritual yang tidak dapat dilihat oleh
mata manusia. Lihat: Romdhon, A. Singgih Basuki, Alef Theria Wasim dkk, Agama-Agama
di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 36.
35
ritual berupa pemberian hadian atau sesajen. Praktik seperti ini, telah diyakini bahwa
manusia akan dapat memperbaiki keadaannya, memperkuat atau memperkokoh
hubungan mereka dengan sesembahannya. Pada masa awal, tradisi sebagai suatu pola
kepercayaan masyarakat dan tidak terlepas dari ritual-ritual yang dijalankan dengan
melakukan pengorbanan dan peribadahan yang merupakan dua hal penting dan sangat
identik. Meski bentuk dari cara atau ritual dalam pengaturan persembahan tersebut
kadang bervariasi, tetapi dapat dipastikan bahwa mereka akan selalu ada pengorbanan
dalam satu atau lain bentuk.
2. Ibadah
Sebagaimana yang disebutkan di atas, ibadah merupakan ritual yang saling
keterkaitan dengan pengorbanan atau dengan istilah memberi sesajen. Para pemuja
mengemukakan alasan mereka memberikan persembahan bahkan mendesak hingga
dewa sesembahannya dapat dengan segera menerima pemberiannya untuk kemudian
berharap semua kebutuhannya cepat dikabulkan oleh sang dewa. Para pemuja akan
melakukan pemujaan disaat mereka sedang dalam bahaya. Dalam pemujaannya
mereka meminta hal-hal yang biasa dan bersifat sederhana seperti makanan yang
berlimpah, keberhasilan dalam berburu, seperti menangkap ikan, kekuatan tangan,
turunnya hujan, panen yang bagus, memiliki anak yang banyak dan lain sebagainya.
Para pemuja atau para penyembah saat itu memiliki prioritas permohonan, di mana
mereka percaya prioritas permohonan tersebut telah dijamin oleh sang dewa untuk
dikabulkan ketika memintanya. Mereka memuja kekuatan dan beragam tindakan
agung yang pernah dilakukan oleh para dewa dan menghiba agar sang dewa berkenan
untuk dapat mengabulkan permohonannya demi para pengikutnya (dan juga para
musuhnya). Tetapi setelah keadaan mereka semakin membaik, maka kebutuhan untuk
melakukan peribadahan dan pemujaan mulai memudar. Oleh karena itu, pemujaan
akhirnya berganti menjadi semacam ritual rutin yang dapat dikerjakan pada waktu-
waktu tertentu, hingga cenderung berkembang menjadi norma-norma, bersifat tetap
(pasti) dan juga memiliki tata cara tersendiri.21
Ritual-ritual yang mereka jalani pun lantas dianggap keramat, hingga timbul
asumsi bahwa keberhasilan dalam melaksanakan upacara pengorbanan tersebut yaitu
tergantung dari tata cara yang dapat mereka lakukan. Dalam proses ritual-ritualnya
tentu terdapat mantra-mantra yang tidak dapat ditolak oleh dewa yaitu bacaan dalam
bentuk mantra-mantra yang sudah dijamin permintaan mereka sebagai penyembah
sang dewa untuk dapat dikabulkan kala itu.
3. Tempat, Benda dan Orang yang Dikeramatkan
Dunia primitif pada masa awal tidak mensyaratkan adanya sebuah tempat dan
benda-benda khusus untuk melakukan ritual-ritual religiusnya. Karena benda dan juga
tempat-tempat di alam, baginya adalah objek yang mengandung unsur-unsur keramat
sehingga ritual pemujaan pun dilakukan di tempat yang mengandung unsur gaib dan
unsur yang mengandung kekuatan supranatural. Hal ini membuktikan bahwa manusia
sadar dengan selain dunia yang fana, juga banyak terdapat sesuatu yang tidak tampak
oleh indranya. Masyarakat awalnya juga didominasi oleh sistem kepercayaan gaib
21Lihat: Allan Menzies, Sejarah Agama-Agama; Studi Sejarah, Karakteristik dan
Praktik Agama-Agama Besar di Dunia, (Yogyakarta: Forum Group Relasi Media, Anggota
IKAPI, 2014), 70-80.
36
yang dihuni oleh berbagi mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Menurut
Koentjaraningrat, penganut kepercayaan gaib baik mereka yang percaya adanya
dewa-dewa yang baik dan jahat atau mahluk-mahluk halus yang baik dan jahat, dan
percaya adanya kekuatan-kekuatan dari alam yang dapat bermanfaat bagi manusia dan
bisa juga mendatangkan bencana22 adalah objek-objek yang selalu didatanginya baik
itu pohon-pohon besar, gunung, laut, dan lain sebagainya untuk membawa sesajen.
Selain pohon-pohon besar, mata air juga sering menjadi target untuk melakukan
pemujaan atau persembahannya. Jika mereka menganggap dewa berada jauh di atas
bumi, maka puncak bukit adalah tempat terdekat untuk meletakkan sesajen. Di semua
daerah tempat-tempat yang tinggi baik gunung, hutan dan juga wilayah-wilayah
terpencil akan tetap dianggap keramat.23
4. Sihir
Di sisi lain, kita juga akan menemukan suatu golongan di mana ritual-ritual
atau upacara pemujaan umumnya tidak diperlukan adanya pelayanan dari golongan
masyarakat tertentu. Di berbagai tempat, kita akan menemukan orang-orang yang
mempunyai pengetahuan atau kemampuan secara khusus dengan adanya kemampuan
tersebut, biasanya seseorang akan meminta pertolongan dengan cara melakukan
sebuah ritual mendekatkan diri padanya. Selain itu, orang yang memiliki kemampuan
menyihir akan dapat membuat seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan
lain sebagainya yang dengannya mampu merubah karakter seseorang. Seperti khimar
(hipnotis) akan tetapi hal ini tidak bersifat nyata, karena sebuah ilusi.24 Mereka akan
minta bantuan terkait hal-hal di luar pemujaan. Setiap agama primitif, biasanya
memiliki berbagai unsur atau praktik-praktik sihir25 di dalamnya, yang dipercayai
sebagai suatu wujud dari kemampuan seseorang di mana ia dapat mempengaruhi atau
meramalkan kejadian-kejadian di dunia nyata. Manusia pada masa awal tidak
memiliki batasan menyangkut hal-hal apa saja yang mungkin terjadi karena mereka
belum mempunyai pengetahuan yang akurat terkait hukum-hukum alam atau hukum
sebab akibat sehingga mereka merasa mampu memengaruhi alam dengan berbagai
cara. Mereka juga meniru apa saja yang menurut mereka menjadi penyebab terjadinya
sesuatu, sehingga mereka menganggap bahwa ada efek yang akan terjadi dari sesuatu
tersebut.
22Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolgi. Jakarta: 1997, 203. 23Dalam KBBI ada dua pengertian keramat yaitu; 1. Suci dan dapat mengadakan
sesuatu di luar kemampuan manusaia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang
yang bertakwa) 2. Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan pisikologis kepada
pihak lain (tentang barang atau tempat suci). 24 Lihat: Al-Ragib Al-Asfahani, “Mujam Al-Mufradat li Alfaz Al-Qur’an” (Beirut:
Dar al-Fikr), 231. 25 Sihir tidak akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang dapat digunakan
oleh orang-orang yang tidak mengerti mengenai dampak dari perbuatan tersebut. sihir adalah
suatu perbuatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu (disebut tukang sihir) dengan
syarat-sayarat tertentu dalam mempergunakan peralatan yang tidak lazim untuk dipakai baik
dengan cara yang sangat rahasia untuk menimbulkan efek jahat kepada orang lain yang
menjadi sasarannya. Sihir dalam banyak sebutan, bisa berarti santet, teluh, magic, voodoo dan
lain sebagainya. Lihat: IAIN Syarif Hidayatullah “Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), 856.
37
Mereka menggunakan kekuatan untuk menaklukan para roh, memohon atau
membujuk para roh agar dapat dikabulkan semua permohonannya, ia manipulasi
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan tersembunyi, karena mereka yakin
akan memperoleh hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, sihir juga mempunyai kaitan
yang erat dengan pemujaan kepada roh dan benda-benda keramat, baik dalam
animisme maupun fetisme. Menurut Ibnu Qadamah, sihir terjadi akibat dari adanya
pengaruh roh jahat (syetan, jin dan manusia) yang dapat menjalankan aksi pesihir
melalui angin, dengan sarana bermacam-macam seperti buhul, mantra, tulisan, rajah,
patung, gambar-gambar dan lain sebagainya.26 Dalam setiap suku biasanya terdapat
salah seorang yang pinter dengan mengetahui hal-hal yang gaib dan mampu berurusan
dengannya. Bisa jadi orang tersebut adalah raja atau kepala suku. Dalam berbagai
kasus, kepala suku dianggap memiliki kekuatan untuk memanggil hujan dan bisa juga
orang pinter ini adalah sosok yang memiliki peran tertentu disukunya baik karena
kemampuan sihir-nya, perdukunan, meramal dan lain-lain. Dengan demikian, meski
terdapat satu cara yang kadang berbeda-beda di setiap suku, namun figur semacam ini
berperan penting dalam setiap praktik keagamaan di masa awal.
Gambaran di atas, menunjukkan suatu keadaan atau kondisi masyarakat pada
masa awal dengan berbagi praktik atau ritual-ritual keagamaanya, tapi bukan berarti
mereka akan terus berada dalam pusaran primitif tersebut. karena mereka pasti akan
mengalami perubahan atau kemajuan yang dihasilkan melalui upaya-upaya dari setiap
generasinya hingga akan melahirkan pola keberagamaan yang dilatarbelakangi oleh
perkembangan dan kemajuan zaman meskipun perkembangan tersebut kadang sangat
lamban. Lahirnya agama yang membentuk suatu pola kepercayaannya karena ada
kekuatan-kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari kekuatan dalam dirinya sehingga
mereka akan mencari lebih dalam dari mana sumber kekuatan tersebut bersemayam
baik seperti kekuatan-kekuatan di gunung, batu-batu besar, pohon, laut, mata air dan
langit. Jika mereka tidak dapat menemukannya maka mereka akan menyembahnya
karena menganggap bahwa kekutan alam itu memiliki kekuatan yang luar biasa
hingga mampu menghidupi berjuta-juta manusia. Karena itulah, muncul keyakinan
atau kepercayaan manusia sebagai usahanya dalam mendekatkan diri pada kekuatan-
kekuatan supranatural itu.27
Dalam kaitannya dengan kepercayaan atau keyakinan, manusia tidak dapat
hidup tanpa mitologi, sakralitas dan mistifikasi melalui penjelasan alam hingga pada
kenyataannya, utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan dan
utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai28 dan dengan
26 Lihat: Hurmain, Sihir dalam Pandangan Al-Qur’an, dalam Jurnal Ushuluddin Vol.
XXI No.1 Januari 2014, 38. 27 Lihat: Laode Monto Bauto, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama) JPIS Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,
Volume 23, No. 2, Desember 2014, 12. 28 Nilai merupakan pedoman normatif yang dapat memengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan normatif (Kuperman, 1983), nilai dilihat
dalam posisinya merupakan subjektif, di mana setiap orang disesuaikan dengan tingkat
kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan suatu nilai dan tindakan
yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas nilai dapat merujuk kepada sekumpulan
kebaikan yang disepakati bersama. Intinya nilai adalah harga yang dituju dari suatu perilaku
38
utuhnya sistem nilai, maka akan dapat memberikan kejelasan tentang apa yang baik
dan buruk hingga menjadi dasar seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.29
Di Indonesia, mengenai sakralisasi, mitologi dan mistifikasi dalam tindakan
dan praktik-praktik keagamaan, di mana alam sebagai subjek-objek nampaknya
menjadi tempat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya masjid, makam
dan sumur adalah lokus penting dalam prosesi upacara pada masyarakat lokal.
Sebagai medan budaya, ketiganya memiliki keunikan masing-masing yakni sebagai
tempat yang memiliki aura yang berbeda dengan yang profan atau duniawi. Di sinilah
kemudian masyarakat melakukan aktivitas ritualnya untuk memperoleh berkah.30
Penempatan sumur, makam dan masjid sebagai tempat yang sakral adalah
pemikiran yang didasari oleh mitologi. Artinya bahwa kesakralan itu “dimitoskan”.31
Ia kemudian menjadi sakralitas karena dimitoskan sebagai sesuatau yang sakral. Perlu
diketahui bahwa di dalam kehidupan ini tidak semua dapat dikelaim sebagai sebuah
realitas yang profan, namun terdapat tempat atau lokus yang dianggap sebagai sakral
atau sacred. Dalam rangka menjadi sesuatu yang sakral, memang harus memenuhi
persyaratan sebagai suatu yang sakral, misalnya; sesuatu yang layak untuk disakralkan
dan kesakralannya itu melekat pada suatu benda.32
Di dunia Islam, makam dianggap sakral jika ia merupakan makam seorang
wali atau seorang penyebar agama Islam yang diyakini memiliki kelebihan-kelebihan
supranatural. Dalam cerita-cerita atau legenda yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat, biasanya terdapat tokoh-tokoh mitos dengan segala kekuatan-kekuatan
supranaturalnya dapat mengubah suatu benda menjadi sesuatu yang lain. Misalnya;
Sunan Bonang dapat mengubah kelapa menjadi koin mas dan karamahnya tentang
sumur srumbung, menaklukan prampok kebondanu, mengubah dan sebagainya.33
Contoh lainnya adalah Maulana Ishak dapat menyembuhkan putri Blambangan
dengan kekuatan gaib, Sultan Agung dapat berjamaah di Makkah dan lain seterusnya.
Bersandar pada argumen di atas, ketiga lokus yang dimaksudkan baik itu
masjid, sumur dan makam, nampaknya tidak semua dapat dianggap sebagai suatu
yang sakral ketika tidak memenuhi persyaratan sebagai sesuatu yang layak untuk
disakralkan. Oleh karena itu, memitologikan masjid, sumur dan makam juga harus
melalui ligitimasi tertentu baik itu kekuasaan, elit desa dan pengakuan bersama atas
kesakralan sesuatu benda yang dimitoskan.
yang sesuai dengan norma yang telah disepakati yaitu; suatu cara yang dianggap sah dan secara
moral dapat diterima jika harmonisasi dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi
oleh masyarakat ketika cara itu dilakukan. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar Sosiologi
(Bandung: Pustaka Setia, 2016), 515. 29Agung Setiyawan, Budaya Lokal dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat
(‘Urf) dalam Islam, Jurnal ESENSIA. Volume. XIII No. 2. Juli 2012, 204. 30 Lihat: Nur Syam, Islam Pesisir (Yograyakarta: LKiS, 2005), 258. 31 Para sejarawan sering menggunakan istilah “mitos” untuk merujuk kepada cerita
yang tidak benar, yang dibedakan secara tegas dari cerita yang buatan mereka, atau “sejarah”.
Menurut Martono (2014) salah satu definisi mitos adalah “sebuah kebenaran yang belum benar
adanya”. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 477. 32 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 259. 33 Tentang Sunan Bonang, lihat: Masykur Arif, Wali Sanga Menguak Tabir Kisah
Hingga Fakta Sejarah (Jakarta: Laksana, 2016) 137-140.
39
Di sisi lain mistifikasi bisa terjadi disaat seseorang atau benda mempunyai
kekuatan yang diyakini melebihi dari kekuatan manusia atau benda lainnya. Misteri
ini biasanya terdapat pada sosok manusia yang memiliki suatu kelebihan pada bidang
tertentu dan bersifat supra natural. Misteri yang dimaksudkan tentunya berada di luar
sifat kemanusiaan lainnya. Sebagaimana halnya wali yang memiliki mistifikasinya
masing-masing. Misalnya, Sunan Bonang memiliki misteri lebih besar dibandingkan
dengan Sysikh Ibrahim Asmaraqandi, padahal Syikh Ibrahim merupakan kakeknya.34
Pandangan mistifikasi dan mitologi terhadap makam, sumur dan masjid
hakikatnya adalah memposisikan alam sebagai subjek, di mana alam memiliki aura
keunikan, misteri dan kekuatan. Oleh karena itu, alam harus ditempatkan menjadi
fenomena yang bukan profan. Alam bukan dunia mutatis mutandis atau ipso pacto.
Akan tetapi alam adalah subjek yang mengatur, menjaga dan menumbuhkembangkan
sesuatu yang lain, karena makam bisa memecahkan berkah.
Dalam pandangan tentang demistifikasi dan demitologi di alam, hakekatnya
adalah kecenderungan berpikir orang modern yang menganggap bahwa alam adalah
objek. Alam difungsikan untuk kepentingan manusia dan bukan alam memanfaatkan
manusia. Alam bukan pengatur, karena alam adalah dijaga dan ditumbuhkembangkan,
sebab alam merupakan bagian dari dunia karena dapat dimanfaatkan secara maksimal
bagi kehidupan manusia. Itulah sebabnya tidak ada penghormatan manusia terhadap
alam. Makam, sumur dan masjid adalah tempat yang profan karena bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia, tetapi makam juga tidak lebih dari sekedar tempat
penyimpanan jasad manusia yang sudah mati. Sedangkan sumur ialah tempat
mengambil air dan tidak mempunyai misteri kekuatan apapun. Sedangkan masjid,
dianggap suci tidak lebih karena tempat ibadah. Jadi, makam, sumur dan masjid tak
ubahnya sebagaimana benda-benda lain di dunia yang tidak memiliki dunia keunikan,
misteri dan juga kekuatan apapun.35
Mengenai re-mistifikasi dan re-mitologi timbul di mana orang mulai melihat
kembali dunia spiritualnya yang hilang. Terlalu menganggap bahwa alam adalah
semata-mata objek akan menyebabkan berbagai kurangnya penghargaan manusia
terhadap alam, bahkan akan bermunculan di sana sini untuk merendahkan alam. Jika
demikian, maka alam akan mengalami kemerosotan dan dunia kesakralan alam pun
akan mengalami pelunturan. Pencurian benda seperti maesan-maesan di makam-
makam tertentu sebagai komuditas yang diperjualbelikan hakekatnya adalah
pandangan dan sikap yang melihat dalam sebagai objek an sich. Jadi, alam dipandang
menjadi objek yang rasional dan juga menjadi subjek yang dapat dimistifikasikan.
Misalnya dalam konteks dialektika, sebagai gambarannya adalah sebagai berikut.36
34 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 260. 35 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 261-262. 36 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 263.
40
Bagan 1.
Hubungan antar Konsep: Interaksi antara Abangan dan NU
dengan Lokus Sakral, Alam sebagai Subjek dan berkah
Dalam hubungan antar konsep tersebut kiranya dapat dirumuskan satu bentuk
porposisi tentang “Sakralisasi, mistifikasi dan mitologi terhadap makam, sumur dan
masjid dapat terjadi ketika alam dianggap sebagai subjek sehingga bisa menimbulkan
tindakan spiritualisasi berkah. Dengan demikian, melalui prosesi awal ini ketika
dirumuskan proposisi setingkat lebih abstrak sebagaimana yang tersebutkan di atas,
maka dapat menimbulkan tindakan magis.” Proposisi ini kemudian dapat menguatkan
tindakan-tindakan magis yang dijalankan oleh masyarakat tradisional, yakni ketika
manusia tidak lagi menghadapi kenyataan-kenyataan duniawi sebagai sesuatu yang
realistis sehingga akan dilakukan tindakan untuk “menuhankan” alam karena alam
sebagai objeknya.37
C. Sistem Sosial dan Realitas Kehidupan Masyarakat Sistem sosial sebagai realitas sosial (Social Construction of Reality38) dalam
kehidupan masyarakat, sebenarnya bisa diartikan sebagai sebuah proses sosial melalui
tindakan dan interaksi.39 Individu yang satu akan banyak dipengaruhi oleh individu
yang lainnya sehingga saling mempengaruhi dan membentuk suatu pola tindakan atau
kebiasaan ketika dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam situasi
dan kondisi tertentu hingga menjadi sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama
37 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 263. 38Lihat: Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality
A Tratise in The Sociology of Knowledge (New York: Doubleday, 1966), 16. 39Interaksi sosial biasanya menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasinya,
tetapi bisa juga melalui ekspresi wajah dan gerak tubuh yang biasa dikenal dengan istilah
komunikasi non-verbal. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi
Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN Jakarata PRESS, 2006),
56.
Sakralisasi
Mistifikasi
Mitologis
Alam
sebagai
subjek
Spiritua
lisasi
Berkah
Makam
Sumur
Masjid
41
secara subyektif.40 Sebuah realitas sosial dalam kehidupan manusia tentu merupakan
fakta sosial41 yang tidak bisa dipisahkan secara subyektif dari realitas yang ada.
Kehidupan sehari-hari muncul sebagai kenyataan sosial dan selalu dapat ditafsirkan
oleh manusia karena mempunyai makna subyektif bagi mereka sebagai suatu dunia
yang koheren.42 Intinya, konstruksi sosial mempunyai definisi yang kompleks dalam
ilmu sosial. Hal ini dibuktikan dengan pengaruh sosial dalam pengalaman hidup
manusia karena asumsi dasarnya adalah “realitas merupakan konstruksi sosial”.43
Konstruksi sosial juga merupakan suatu pernyataan keyakinan (a claim) dan
menjadi paradigma (a viewpoint) yang mempunyai makna terhadap suatu kesadaran
sehingga cara berhubungan dengan orang lain sesungguhnya telah diajarkan melalui
kebudayaan dan masyarakat. Menurut Ian Rory, terdapat pandangan bahwa semua
kuantitas metafisik riil dan abstrak dapat dinilai menjadi suatu kepastian karena bisa
dipelajari dari orang lain.44
Teori konstruksi sosial berkembang pada abad ke 20 dan berkembang pesat
sekitar tahun 1970-an. Teori ini dipelopori oleh ide-idenya Foucault yang selanjutnya
disebut konstruksionisme sosial45 atau sosio konstruksionisme. Konstruksionisme ini
40Teori ini bermula dari paradigma konstruktivis yang menilai relitas sosial sebagai
konstruksi sosial yang diwujudkan oleh individu di mana individu merupakan manusia bebas.
Dalam banyak hal, individu memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur
dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial dikatakan bahwa individu dilihat sebagai pembuat
realitas sosial. Lihat: Laura Chistina Luzar, Teori Konstruksi Realitas Sosial (Jakarta: Binus
University School of Design, 2015), 1. 41Fakta sosial oleh Emile Durkheim dibagi menjadi dua. (1) bentuk material atau
dapat dikatakan sebagai bagian dari dunia nyata (external world) seperti: arsitektur dan norma
hukum. (2) bentuk nonmaterial, di mana timbulnya sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial
adalah fenomena yang bersifat intersubjektif dan hanya muncul dari dalam kesadaran individu
baik ego, altruism, dan opini. Fakta sosial pertama kali dipopulerkan oleh seorang ahli sosiolog
Prancis, yakni Emile Durkheim. Lihat: Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan
Modern. Terj, Rober M. Z Lawang (Jakarta: PT Grapindo, 1981), 21. 42Namun perlu dicatat bahwa dunia kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang dapat
diterima begitu saja sebagai kenyataan sosial oleh manusia karena dalam setiap perilaku
individu ia memiliki makna secara subyektif dalam kehiduapan mereka. Oleh karena itu, ia
merupakan suatu dunia yang tidak luput dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka
sehingga dikelola sebagai suatu “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan stersebut. Lihat: Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality A Tratise in The
Sociology of Knowledge (New York: Doubleday, 1966), 33. 43Konstruksi sosial memiliki aturan tersendiri di mana bahasa menjadi peran sentral
dalam memberikan mekanisme kongkerit sehingga budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah
laku manusia. Selain itu, konstruksi sosial juga mewakili kompleksitas dalam budaya tunggal,
artinya, cenderung tidak mengasumsikan keseragaman. Dan terakhir adalah konstruksi sosial
selalu bersifat konsisten pada masyarakat dan waktu. Lihat: Charles R. Ngangi, Konstruksi
Sosial Dalam Realitas Sosial. Jurnal ASE, Volume 7 No. 2 Mei, 2011: 1-4. 44 Charles R. Ngangi, Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial Jurnal ASE, Volume
7 No. 2 Mei, 2011: 1. 45 Konstruksionisme adalah gagasan di mana fakta-fakta itu tidak ditemukan, tetapi
diciptakan. Hal ini merupakan sudut pandang efistemologis yang telah diberlakukan pada ilmu
alam dan ilmu sosial. Pada konteks ini konstruksionisme adalah sosiologi yang sebenarnya,
para ahli sosiologi berpendapat bahwa apa yang hadir menjadi suatu fenomena atas kejadian
42
muncul dari beberapa sumber seperti interaksionisme sosial, antropologi simbolik,
dan para ilmuan bidang feminis.46 Teori ini menekankan pada pengaruh budaya dan
memberikan suatu kerangka bagi pengalaman dan pemaknaan. Pemahaman individu
terhadap dunia pengetahuan adalah karena individu terbentuk dari dalam keadaan
sosial historis yang nyata (konkrit).
Selain itu, konstruksi sosial juga menganut sistem analisis yang sistematis
mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan
menjadi suatu tinjauan sejarah tentang perkembangan disiplin ilmu. Karena itu,
banyak yang menganggap teori konstruksi sosial dipandang sebagai teori sosiologi
kontemporer dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Pemikiran Berger dan
Luckmann, sebenarnya banyak mengadaptasi pemikiran-pemikiran sosiologi lainnya
seperti Schutzian tentang fenomenologi47, Weberian tentang teori tindakan sosial,48
Durkheim tentang struktur,49 dan Herbert Mead tentang interaksi simbolik.50
Berbicara tentang ilmu sosial yang merupakan cabang dari ilmu pengetahuan
nampaknya berbeda dari yang pernah dinyatakan oleh Thomas Kuhn.51 Menurutnya,
ilmu sosial lebih layak dikategorikan sebagai ilmu yang belum bisa menjadi sebuah
yang wajar sebenarnya telah menjadi bagian dari produk hubungan sosial. Konstruksionisme
menawarkan kita pada sebuah asumsi bahwa semua fakta itu niscaya merupakan fakta sosial
dalam artian komunitas sosiallah yang menghasilkan fakta-fakta tersebut. Lihat: Alex Sobur,
Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 408. 46 Charles R. Ngangi, Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial Jornal ASE, Volume
7 No. 2 Mei, 2011: 2. 47Umumnya fenomenologi adalah suatu pendekatan yang sering digunakan dalam
memahami berbagai gejala dalam kehidupan masyarakat. Schtz dengan tegas menawarkan
cara pandang baru mengenai fokus kajian penelitan dan panggilan terhadap makna yang timbul
akibat realitas sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga akan ada di dalam
penelitian secara khusus bahkan kerangka luas dalam pengembangan ilmu sosial. Lihat:
Stefanus Nindito, Fenomenologi Alfre Schutz: Studi Tentang Konstruksi Makna dan Realitas
Dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 2, No. 1 Juni 2005, 79-88. 48 Bagi Weber, dunia seperti yang dapat dilihat oleh setiap manusia terwujud atas
tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu disebabkan karena bertujuan untuk mencapai apa
yang mereka inginkan. Setelah menentukan sasaran, mereka juga mempertimbangkan situasi
dan kondisi sehingga mereka memilih suatu tindakan. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar
Sosilogi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 816. 49 Menurut Durkheim, sosiologi mengkaji tentang lembaga-lembaga masyarakat dan
proses-proses sosial. Dalam beberapa kategori-kategorinya Durkheim membagi sosiologi
menjadi beberapa bagian yaitu: sosiologi umum yang meliputi kajian kepribadian individu dan
manusia, sosiologi agama, sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi-organisasi
politik, organisasi sosial, perkawinan dan keluarga. Sedangkan sosiologi ekonomi meliputi
masyarakat-masyarakat perkotaan dan pedesaan dan terkahir adalah sosiologi estetika. Lihat:
Alex Sobur, Kamus Besar Sosilogi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 168. 50Interaksi simbolik adalah suatu kajian yang lebih cenderung pada proses interpretasi
yang dilakukan oleh setiap orang hingga memaknai suatu objek, kejadian, dalam situasi yang
membentuk pola kehidupan dunia sosial mereka. Lihat: M Amin Nurdin dan Ahmad Abrori,
Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN
Jakarata PRESS, 2006), 58. 51Thomas S Khun, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: The University
of Chicago Press, 1979), 1962.
43
paradigma yang utuh (pre-paradigma). Akan tetapi wacana Kuhn ini menuai reaksi
keras bagi kalangan sosiolog karena pandangan yang dilontarkan oleh Thomas Kuhn
bukanlah menjadi wacana atau pandangan baru. Perdebatan ontologis, epistimologis,
dan metodologis merupakan bagian integral dalam sejarah sosiologi sebagai bagian
dari ilmu sosial. Sejak awal disiplin ilmu sosiologi muncul mewarnai perdebatan yang
relatif sama dengan yang berlangsung hingga saat ini.
Berkaitan dengan ilmu sosial, rasanya tidak lengkap jika tidak melibatkan
seorang tokoh muslim bernama Ibnu Khaldun yang justru disebut-sebut sebagai
perintis ilmu sosial, bahkan Ibnu Khaldun disebut pula sebagai orang pertama yang
telah merumuskan hukum-hukum kemasyarakatan.52 Tentang kemasyarakatan telah
menjadi pembahasan utama dalam pemikiran Ibnu Khaldun. Dalam karyanya Al-
Muqaddimah banyak menjelaskan persoalan-persoalan masyarakat yang disertai
dengan sebab akibatnya. Ibnu Khaldun membahas fenomena dan realitas sosial dalam
masyarakat dengan sudut pandang sosiologi.53 Mengenai sosial kemasyarakatan, Ibnu
Khaldun menguraikannya dengan istilah Al-ijtima’ Al-Insani.54
Bertolak dari penjelasan di atas, Ibnu Khaldun (1333-1406 M) telah lebih
dulu melahirkan teori tentang solidaritas yang selanjutnya disebut Ashobiyah dalam
konsep Islam, sebelum lahirnya Auguste Comte. Ibnu Khaldun mencoba menafsirkan
makna dimana manusia yang beriman seperti jasad yang satu, (kāljasād al-wāhid)
teori ini telah melahirkan sikap toleransi dalam kehidupan kelompok masyarakat dan
dalam istilah Islam dikenal dengan konsep Tasamuh, yaitu suatu prinsip toleransi
yang dibangun di atas takaful al-ījtimā’. Melalui teori ini, dapat dijadikan sebagai asas
(dasar) dalam melakukan analisis tindakan suatu kelompok masyarakat beragama.55
Bahkan dalam Hadis Rasulullah Saw dijelaskan tentang solidaritas bagi umat Islam
yang harus saling menguatkan antar sesamanya.56
Sedangkan dikalangan sosiologi Barat menganggap bahwa istilah sosiologi
pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Auguste Comte (1798-1857)
seorang ahli filsafat sosial Perancis tahun 1838 dalam bukunya Positive Philosophy.57
Saat itu sosiologi tumbuh dan berkembang pesat di Eropa melalui pemikiran filsafat
Comte. Karena itu, Auguste Comte disebut-sebut sebagai “Bapak Sosiologi”. Selain
itu, Auguste Comte juga memiliki komitmen yang sejak awal ingin mengambil alih
penamaan sosiologi menjadi istilah fisika sosial. Namun demikian, komitmennya
52 Lihat: Wendy Melfa dan Solihin Siddiq, Paradigma Pengembangan Masyarakat
Islam Studi Epistimologis Pemikiran Ibnu Khaldun (Bandar Lampun: Matakata, 2006), 64. 53Seorang ahli sejarah bernama Ibn Khaldun dalam bukunya Mukadimah telah
banyak mengisahkan masyarakat serta keruntuhan dan kehancuran gubernur-gubernur militer
Arab di Afrika Utara dan Sepanyol Selatan. Lihat: “Mukaddimah” Ibn Khaldun Tej, Ahmadie
Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 438-440. 54Lihat: Fauzie Nurdin, Studi Pembangunan Agama di Desa Tertinggal, dalam
Khaeroni (ed) Islam dan Hegemoni Sosial (Jakarta: Mediacita, 2002), 95. 55Lihat: Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), 139. 56Hadis Rasulullah Saw, yang diriwayatkan Imam Muslim. Yaitu: “orang mukmin
dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian
yang lain.” (HR. Shahih Muslim.) 57Lihat: Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015), 1.
44
terpatahkan oleh Quetelet dimana harapan dan keinginannya tersebut telah lebih dulu
dipakai oleh seorang ahli statistik sosial bernama Quetelet. Bagi Quetelet fenomena
sosial tidak dapat diketahui secara pasti aspek-aspek penyebab terjadinya melainkan
hanya dapat diperkirakan kecenderungannya atau social regularitiesnya.58
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa, sebagai sebuah ilmu yang telah berdiri
sendiri sosiologi sudah seharusnya mempunyai metodologi tersendiri dan terpisah
dari metodologi ilmu alam. Sosiologi tidak mengabaikan realitas sosial yang obyektif
dengan menggali pola-pola yang dihasilkan melalui data statistik akan tetapi ia harus
melalui sejarah perkembangan masyarakat secara keseluruhan sebagi realitas yang
tidak dapat ditangkap melalui pemolaan statistik terhadap perilaku individu-individu.
Tetapi Corser menilai bahwa pandangan Comte dan Quetelet telah merepresentasikan
dua sisi pemikiran yang berbeda bahkan bertolak belakang dalam disiplin sosiologi.59
Tokoh besar dalam ilmu sosiologi setelah Auguste Comte, adalah Emile
Durkheim, ia seorang tokoh berkebangsaan Prancis telah melahirkan sosiologi dengan
seperangkat asumsi-asumsi metodologis yang dikonsepsikan oleh Comte. Sosiologi
adalah ilmu dengan orientasi yang holistik. Berbeda dengan fisika sosial yang
menganilisis data individu yang aktual (empiris) dan mencari kecenderungan sosial
dari data tersebut. Menurut Durkheim seharusnya sosiologi menganalisis fakta sosial
bersifat sui generis, koersif, dan asumsinya. Fakta sosial tidak berasal dari kesadaran
individu tetapi berasal dari kesadaran sekelompok orang. Oleh karena itu sosiologi
seharusnya memiliki pendekatan yang berbeda dengan fisika sosial.60
Pandangan Emile Durkheim berbeda dengan Max Weber seorang sosiologi
asal Jerman yang menganggap bahwa sosiologi semestinya menjadi sebuah ilmu yang
mempelajari realitas sosial yang subyektif melalui analisis tindakan sosial. Bagi
Weber fakta sosial bukanlah realitas yang ada di luar kesadaran individu tetapi berasal
dari pengalaman individu yang sifatnya subyektif. Konsep tentang fakta sosial adalah
realitas yang terbayang bukan suatu yang obyektif dan mengekang tindakan manusia
sebagai mahluk rasional dengan pemahaman yang subyektif.61
Kedua tokoh di atas seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim kemudian
dikenal sebagai sosiolog dengan mementingkan pendektan holistik. Dan Max Weber
tetap pada pendiriannya sebagai sosiolog individualistik. Dalam kapasitasnya sebagai
sosiologi yang individualistik, Weber menolak pendekatan holistik karena
menurutnya bisa berimplikasi pada generalisasi yang bias dan tidak empiris. Untuk
58Stuart G Shanker, Philosophy of Science, Logic and Mathematics in The Twenteth
Century (London: Routledge, 1996), 269. 59Lewis Coser, Masters of Socioloical Thought: Ideas in Historical and Social Contex
(New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1977), 29. 60Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,
2009), 4. 61Nampaknya sisi Weber dengan aspek penekananya yang satu ini justru agak jarang
dapat ditemukan pada buku-buku teori sosiologi, tetapi Goldthorpe telah mampu membuktikan
pernyataan Weber ini dengan jelas pada karyanya yang pernah ditulis dengan judul, On
Socilogy: Numbers, Narratives, and the Integration of Reserarch (Oxford: Oxford University
Press, 2000), dalam Geger Riyanto, Perspektif Metateori Pemikiran. 2001, 5.
45
menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu empiris, Weber mendukung pemanfaatan
sosiologi dari filsafat probabilistik dalam sosiologi.62
Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sejarah sosiologi juga
terjadi, bahkan memiliki pola perdebatan yang relatif sama seperti yang terjadi di
Eropa. Hanya saja hasil pemikiran Durkheim dan Weber cenderung tidak membuming
dalam sosiologi Amerika sebelum munculnya karya Talcott Parsons yang berjudul
The Structure of Social Action pada tahun 1937.63 Maka perdebatan yang terjadi di
Amerika ini harus diposisikan pada alur sejarah yang berbeda meskipun secara esensi
persoalannya tampak sama. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi memiliki orientasi yang
mengejar kaidah-kaidah atau hukum-hukum kebenaran. Tetapi persoalannya adalah
bagaimana cara menggali kaidah dan hukum kebenaran tersebut? dengan metodologi
seperti apa realitas sosial dapat dipahami secara akurat.?
Sebagaimana yang telah terjadi di Eropa, para sosiolog Amerika juga terbelah
pandangannya. Hal ini ditandai dengan pemetaan Robert C Bannister bahwa terdapat
dua pandangan yang berbeda dikalangan sosiologi Amerika yaitu nominalisme dan
realisme.64 Dalam pandangan nominalisme masyarakat merupakan entitas yang dapat
direduksi menjadi aspirasi individu-individu. Oleh karena itu, disebutkan bahwa
sosiologi semestinya menjadi ilmu yang melakukan pengukuran statistik perilaku
individu terhadap perubahan lingkungannya dan menjadi ilmu yang memetakan trend
dari pada mencari penyebab obyektif pada sebuah fenomena sosial.
Berbeda dengan pandangan realisme yang menganggap sosiologi hanya dapat
mempelajari entitas obyektif yang dapat menimbulkan kontrol sosial dan seharusnya
mengandalkan imajinasi sosiologi untuk melakukan analisis lebih jauh dan mendalam
daripada sebatas analisis trend. Sepanjang perdebatan itu, akhirnya memunculkan dua
asumsi yang berbeda di kalangan sejarah sosiologi Amerika baik kalangan Chicago
maupun Columbia. Kalangan Chicago seperti yang diketahui bahwa mereka lebih
dikenal dengan pendekatan holistik dengan realismenya. Dan kalangan Columbia
dikenal dengan pendekatan individualistik dengan nominalisnya yang di dalamnya
juga melibatkan tokoh-tokoh sosiologi lainnya seperti F Stuart Chapin, Wiliam F
62Goldthorpe menyatakan bahwa Weber secara metodologis memiliki kecenderungan
pada penelitian yang sifatnya kuantitatif, Weber juga mendirikan Deutsche Gesselschaft fur
Soziologie (DGfS) yang bertujuan mendorong penelitian-penelitian ilmiah. Weber berusaha
menjalin kerja sama dengan sosiologi dan asosiasi statistic di Jerman untuk membantu
menciptakan penelitian ilmiah. Dalam On Sociology: Numbers, Narratives, and The
Integration of Research and Theory (Oxford: Oxford University Press, 2000), 287-288. 63Pemikiran Weber dan Durkheim belum begitu membuming secara luas dikalangan
sosiolog Amerika, hal itu dikarenakan buku Durkheim baru pertama kali diterjemahkan pada
tahun 1983 dengan karyanya yang berjudul The Rules of Sociological Method. Sementara buku
Max Weber terlebih dahulu diterjemahkan pada tahun 1930 oleh Talcott Parsons, yang
membahas tentang etika, bukan tentang asumsi-asumsi sosiologi mendasarnya. Lihat: Jennifer
Platt, A History of Sociological Research Methods in America 1920-1960 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 69. 64Robert C Bannister, Sociology and Scientism: The American Quest for Objectivity,
(Chapel Hill: The University of California Press, 1987), 6.
46
Ogburn dan Franklin yang juga lebih menekankan pada aspek statistik dengan
menggunakan analisis sosiologi empiris.65
Seputar perdebatan tentang perspektif di dalam tubuh sosiologi umumnya
hanya berkisar pada perdebatan antara metodologi kuantitatif dan kualitatif yaitu
suatu perdebatan yang mempersoalkan apakah sosiologi sebagai ilmu positif atau
humanis. Dan apakah sosiologi harus membangun analisis yang bebas nilai ataukah
harus relevan dengan kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut
merupakan suatu perdebatan yang sebenarnya pada substansinya sama. Meskipun
demikian perdebatan-perdebatan itu hingga saat ini belum ada titik temu yang benar-
benar mendamaikan pertentangan di antara kedua pandangan tersebut.
Bertolak dari perdebatan panjang di atas, menurut Ritzer pada tahun 1980-an
muncul pemikiran methodological relationism dari upaya-upaya untuk menjembatani
atau mengintegrasikan asumsi-asumsi yang terpisah di antara methodological
individualism dan methodological holism. Methodological relationism berupaya
untuk membangun integrasi keilmuan dari ilmu sosial yang selama ini terus
mengalami perdebatan di dalam tubuhnya sendiri. Dalam sosiologi, methodological
relationism yang direpresentasikan oleh Giddens dan Ritzer, bahwa methodological
relationism agen atau struktur tidak bersifat dominan dalam hubungannya antara satu
dengan yang lain melainkan saling mempengaruhi.
Merujuk dari istilah Ritzer, dalam pemikiran Berger yang merupakan aliran
methodological relationism yang lahir sebelum tahun 1980-an, bahwa bagi Berger
memang tidak secara eksplisit mensistematisasi karyanya sebagai sebuah karya yang
membahas dikotomi agen dengan struktur atau mikro dan makro, melainkan karya
yang betolak dari permaslahan sosiologi pengetahuan.66 Seperti halnya filsafat, bahwa
sosiologi pengetahuan berangkat dari pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah realitas
itu? Apakah hal-hal yang kita tahu adalah benar demikian adanya? Dan benarkah apa
yang selama ini kita yakini benar? Oleh karena itu, kemudian Berger di sebut-sebut
sebagai salah seorang yang beraliran sosiologi pengetahuan atau sosiologi agama.
Dalam membangun sosiologi pengetahuan dari teori konstruksi sosialnya, Berger
berupaya membuktikan pandangan Weber yang mengatakan realitas sosial berasal
dari individu yang bersifat subyektif, dan Durkheim yang mengatakan realitas sosial
masyarakat itu bersifat obyektif. Bagi Berger, sebenarnya bukanlah dua pandangan
yang saling bertentangan karena individu dan masyarakat saling mempengaruhi.
Dalam sosiologi pengetahuan, Berger adalah salah satu tokoh yang melawan
arus pemikiran pada masanya. Dalam perkembangan wacana sosiologi pengetahuan
yang sedang trend saat itu, di mana ketika pemikiran Mannheimian yang menganggap
bahwa pengetahuan ditentukan oleh posisi sosial, justru Berger hendak mengubahnya
dengan menekankan pada manusia yang memiliki peranan aktif dalam memperoduksi
pengetahuan. Meskipun sosiologi pengetahuan pertama kali didefinisikan secara
formal oleh Max Seheler, akan tetapi Mannheim adalah tokoh yang memberikan arah
65 Robert C Bannister, Sociology, and Scientism: The American Quest for Objectivity
(Chapel Hill: The University of Clifornia Press, 1987), 6-7. 66Karena persoalan inilah yang dipaparkan secara tegas dan jelas oleh Berger melalui
kata pengantar buku yang ditulisnya bersama Luckmaan. Dalam The Social Constuction of
Reality: A Treatise in The Socilogy of Knowledge (New York: Douleday, 1966), 14-15.
47
bagi pengembangan disiplin ini.67 Melalui buku yang berjudul Ideology dan Utopia,
Mannheim mengkaji dua dimensi pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat,
yaitu ideologi dan utopia. Idologi adalah pengetahuan kelas yang berkuasa dan utopia
adalah pengetahuan yang berkembang di antara kelas-kelas yang tertindas.
Dalam bukunya, Mannheim menetapkan arah sosiologi pengetahuan sebagai
disiplin yang mempelajari bagaimana posisi sosial sekelompok orang menentukan
pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Pengaruh pemikiran Marx yang
materialistik dapat terlihat dalam pemikiran Mannheim selama tahun 1930-an dan
tahun 1936. Buku Mannheim diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa
Inggris samapai dengan tahun 1960-an, di mana sosiologi pengetahuan bisa dipahami
berdasarkan kanon yang ditetapkan oleh Mannheim.68
Pada tahun 1966 sosiologi pengetahuan mengalami perubahan pada kanonnya
yang ditandai dengan terbitnya karya Peter L Berger dan Thomas Lucmann dalam
bukunya yang berjudul; “The Social Construction of Reality A Treatise in The
Socilogy of Knowledge.” Keduanya menggagas perubahan dalam dua hal penting
terhadap sosiologi pengetahuan yaitu; pertama Peter L. Berger berusaha mengubah
persepsi bahwa sosiologi pengetahuan merupakan disiplin yang hanya mengkaji
sejarah perkembangan sebuah gagasan atau ideologi. Berger melihat bahwa sosiologi
pengetahuan cenderung lebih terorientasi mengkaji sejarah munculnya suatu gagasan
atau ide-ide intelektual. Oleh sebab itu, bagi Berger mengenai gagasan dan ideologi
hanya mencakup sebagian kecil dari perosalan yang hendak dikaji oleh sosiologi
pengetahuan dan bukan sesuatu yang sepatutnya menjadi sentral dari pokok
permasalahnya. Menurut Berger sosiologi pengetahuan seharusnya mengkaji segala
dimensi pengetahuan dalam masyarakat, termasuk pengetahuan awam, atau
pengetahuan sehari-hari yang telah ditekankan oleh Berger sebagai subyek analisis
dalam bukunya.
Selain itu, Berger juga telah menetapkan sosiologi pengetahuan sebagai ilmu
yang mempelajari hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan manusia.69 Pada
konteks ini, Berger meletakkan titik pandangannya yang berbeda dengan Mennheim,
di mana Berger justru menekankan hubungan antara manusia dengan pengetahuan dan
realitasnya sebagai hubungan yang bersifat resiprokal atau hubungan timbal balik. Ini
bararti manusia yang hidup bersama dan membentuk masyarakat sebagai sebuah
pengetahuan sehingga pengetahuan menjadi realitas yang sebaliknya membentuk
67Sebelum keduanya, sebenarnya Marx telah mendahuluinya dengan teori sosiologi
pengetahunnya, yaitu ideologi sebagai suprastruktur. Ideologi merupakan aparatus yang
dibentuk dari praktik sosial-ekonomi suatu masyarakat. Dalam teori-teori klasik lainnya,
gagasan sosiologi pengetahuanpun dapat dilihat dalam pemikiran Durkheim tentang agama
sebagai kesadaran kolektif, atau dalam pemikiran Weber ketika ia membahas mengenai etika
Protestan yang mendorong terjadinya kapitalisme. Lebih jelasnya baca: Max Weber, Etika
Protestan & Spirit Kapitalisme, dan Emile Durkheim tentang The Elementary Forms of The
Religious Life (New York: Free Press, 1992),126. 68 Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,
2009), 37. 69Lihat: Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality
(New York: Doubleday, 1966), 4.
48
manusia.70 Penjelasan ini memang sangat bertumpu secara mendasar pada pertanyaan
seperti bagaimanakah proses dari realitas itu dikonstruksikan secara sosial? Sosiologi
pengetahuan tentang kehidupan sehari-haripun kemudian menjadi pintu masuk Berger
ke perdebatan paradigmatik sosiologi tersebut.
Posisi paradigmatik sebagai teoritisi seperti Berger, tentu tidak bisa diterka
begitu saja dalam kerangka pemetaan Bannister, apakah Berger merupakan seorang
nominalis ataukah seorang realis? Dalam penggolongan Purdue, Berger dikategorikan
sebagai bagian dari paradigma plural. Sebagai bagian dari paradigma plural, Berger
diasumsikan menjadi teoritisi yang menekankan manusia sebagi mahluk rasional dan
subyektif. Manusia bukanlah aktor yang melayani kepentingan keteraturan struktur
sebagaimana diasumsikan oleh paradigma order tetapi ia merupakan mahluk yang
berusaha memenuhi kepentingannya yang subyektif.71
Berangkat dari pemikian Berger di atas, maka realitas sosial telah menjadi
sebuah kenyataan sosial dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Individu tidak
dilahirkan sebagai anggota masyarakat begitu saja. Akan tetapi individu terbentuk
dengan pradisposisi (kecenderungan-kecenderungan) ke arah sosialitasnya sehingga
individu menjadi anggota masyarakat.72 Dengan demikian, setiap individu akan
melewati proses sosial yang panjang atau dan berlangsung secara terus-menerus
hingga melebur ke dalam partisipasi dialektika masyarakat hingga pada titik awal
inilah kemudian dikatakan sebagai konstruksi sosial eksternalisasi.
Berger mendefinisikan realitas sosial sebagai makna dari sebuah fenomena
walaupun makna itu tidak serta merta dapat diubah begitu saja oleh manusia.73 Meski
sedikit berbeda jika dibandingkan dengan definisi kamus Oxford, yang mengartikan
realitas sebagai sesuatu yang benar-benar dapat dirasakan (actually experienced).74
Jika pengetahuan dalam definisi Berger merupakan unsur yang menjamin bahwa
suatu fenomena itu ada sebagaimana ia ada, disamping memiliki ciri-ciri tertentu
seperti yang disebutkan dalam pengetahuan itu sendiri, maka manusia itu hadir dalam
dunia sosial baginya adalah “nyata” dan dalam ranah yang berbeda ia “tahu” bahwa
perbedaan itu akan melahirkan karakteristik-karakteristik yang berbeda pula.75
Penjelasan di atas, sebenarnya menunjukan bahwa manusia disebut sebagai
mahluk yang memiliki kesadaran terlampau bebas dalam memberikan pemaknaan
70Pernah disebutkan oleh Ann Swidler dan Jorge Arditi 2005, bahwa ada dua macam
sosiologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan lama yang ditetapkan oleh Mannheim, dan
sosiologi pengetahuan baru yang menjadi trend menggantikan paradigma Mennheim dalam
sosiologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan baru mengkritik sosiologi pengetahuan lama
karena menempatkan pengetahuan sebagai variabel pasif. Sedangkan sosiologi pengetahuan
baru melihat bagaimana pengetahuan juga berperan dalam membentuk institusi sosial. 71 Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,
2009), 39. 72Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New
York: Doubleday, 1966), 146. 73Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran. 2009, 84. 74Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran. 2009, 85. 75
Aimie Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Pteter L. Berger Jurnal
Society, Volume VI, No. I Juni, 2016, 16.
49
pada suatu kenyataan yang dihadapinya,76 sehingga kesadaran manusia dalam
memaknai dirinya dan obyek-obyek dalam kehidupanya di dasari pada sifat-sifat yang
telah diperolehnya atau sesuai yang dialaminya ketika berhubungan dengan obyek
tersebut.77 Berangkat dari kerangka teoritisnya tentang masyarakat sebagai kenyataan
obyektif dan individu sebagai kenyataan subyektif, maka untuk dapat memahami teori
yang memadai mengenai individu dan masyarakat setidaknya dimulai dari kedua
aspek tersebut. Adapun aspek-aspek yang dimaksud kemudian akan memperoleh
pengakuan yang semestianya ketika masyarakat dipahami melalui proses dialektis
yang berlangsung secara terus-menerus dengan melewati tahapan-tahapan atau tiga
momen penting yaitu momen eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.78
Dalam momen internalisasi misalnya, yang mendefinisikan manusia menjadi
produk dari pada dibentuk oleh masyarakat.79 Untuk itu, Internalisasi ini kemudian
akan berfungsi sebagai penyalur satu tujuan yang terlembaga untuk menjadi realitas
yang berdiri sendiri khususnya kepada anggota-anggota masyarakat baru, sehingga
institusi tersebut senantiasa dapat dipertahankan walaupun pada dasarnya institusi itu
juga dirumuskan oleh anggota masyarakat itu sendiri.
Sedangkan objektivasi adalah suatu institusi yang dengan sendirinya akan
membentuk kesadaran masyarakat hingga tetap dipertahankan. Proses ini kemudian
membentuk suatu hubungan antara manusia dengan masyarakat. Jika sebelumnya
pernah dikatakan bahwa manusia membentuk masyarakat dan sebaliknya, masyarakat
membentuk manusia,80 maka antara keduanya tetap saling keterkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Berikut ini merupakan ilustrasi terhadap eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi menurut pandangan Peter L. Berger.
76Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, 2009, 106. 77Sebagai contoh yang dapat dipahami dari gambaran di atas adalah misalkan si A
terluka dan berdarah dan meraskan gejolak emosi sakit dari luka tersebut, maka kesadarannya
akan cendrung menghubungkan rasa sakit dengan cairan yang berwarna merah yang menetes
dari luka tersebut. Maka, semua hal yang memiliki warna merah mungkin akan menjadi
elemen yang menceritakan kesakitan dalam benak si A. Lihat: Geger Riyanto, Peter L. Berger
Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES 2009), 106. 78Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New
York: Doubleday & Company, 1966), 146. 79Peter L Breger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion
(New York: Doubledy, 1967), 4. Terminologi eksternalisasi dan obyektifikasi berasal dari
Hegel, namun Berger memahami berdasarkan terminologi yang sudah diadaptasi oleh Marx
ke dalam filsafat materialisnya yang humanis. Sementara istilah internalisasi merupakan istilah
yang dipinjamnya dari Harberet Mead. Dalam Peter L. Berger Elements of a Sociological
Theory of Religion (New York: Doubledy, 1967), 188. 80Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, 85.
50
Bagan 2. Ilustrasi Konsep Konstruksi Sosial Peter L. Berger81
Internalisasi terjadi melalui mekanisme sosialisasi. Berger yang mengikuti
teori Mead dari aliran interaksionisme simbolik yang menyebutkan bahwa manusia
hidup dalam institusi dan mengatur posisinya dari posisi ego-ego yang lain. Teori
interaksionisme simbolik berkembang pertama kali di Universitas Chicago, dan
dikenal pula sebagai aliran Chicago. Banyak tokoh yang menjadi bagian dari teori
interaksionisme simbolik ini seperti John Dwewy, C.H. Cooley, W.I Thomas, G.H.
Mead, Eilliam James, dan lain-lain. Teori ini agak sulit disimpulkan meskipun dapat
dikatakan memiliki sumber yang cukup banyak, namun kebanyakan di antara sumber-
sumber tersebut tidak dapat memberikan pernyataan tunggal dari apa yang menjadi
isi dalam teori ini kecuali satu hal, yakni ide dasar teori interaksionisme simbolik yang
bersifat menentang behaviorisme radikal yang juga di plopori oleh J.B Waston.82
Adapun behaviorisme radikal melihat bahwa perilaku individu merupakan
sesuatu yang dapat diamati. Tetapi Mead berpandangan lain dari behaviorisme di
mana Mead lebih menekankan pada pengakuan terhadap pentingnya pengamatan dari
tindakan individu. Mead yang disebut sebagai tokoh utama dalam interaksionisme
simbolik juga merasa bahwa tindakan (action) merupakan aspek yang terselubung
dari perilaku (behavior) dan justru menurutnya diabaikan oleh penganut behaviorisme
radikal. Secara konsepsional istilah action mempunayai perbedaan makna dengan
behavior. Behaviorisme mempelajari tingkah laku (behavior) manusia secara objektif
dari luar. Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari tindakan sosial dengan
mempergunakan teknik intropeksi untuk mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi
tindakan sosial itu dari sudut aktor.83
81Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, 112. 82Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, 2008, 44. 83Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, 2008, 45.
Dimensi Manusia
Rasionalitas - Subjektif
Dimensi struktur Sosial
Keteraturan - Objektif
Eksternalisasi Internalisasi Objektifikasi
51
D. Proses Sosial dalam Dunia Sosio-Kultural Masyarakat.
1. Eksternalisasi
Proses awal yang terjadi dalam dunia sosio-kultrual masyarakat adalah apa
yang disebut dengan eksternalisasi. Eksternalisasi merupakan momen adaptasi yang
dilakukan oleh setiap anggota masyarakat dimana sarana yang digunakan adalah
bahasa84 dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi sekaligus
proses melakukan adaptasi melalui dunia sosio-kultural bersama dengan tindakan-
tindakan yang telah disesuaikan pada lingkungannya.85
Bahasa menjadi sangat penting dalam melakukan interaksi. Oleh karena itu,
setiap manusia harus mempunyai kemampuan berbahasa untuk menjalankan kegiatan
berpikirnya secara sistematis. Jika manusia tidak mempunyai kemampuan berbahasa,
maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam melakukan interaksi dan sulit dalam
mengembangkan budayanya termasuk tidak dapat meneruskan nilai-nilai budaya dari
generasi ke generasi berikutnya dan tidak menutup kemungkinan nilai dari budaya
tersebut akan hilang atau memudar.86 Aldous Huzxley pernah mengatakan “Tanpa
Bahasa” manusia tidak berbeda dengan hewan.87 Dalam pandangan Ernst Cassirer,
manusia sebagai Animal symbollicum, yaitu mahluk yang mempergunakan simbol,88
di mana manusia dalam kegiatan berpikirnya cenderung mempergunakan simbol.
Dalam momen eksternalisasi ini kadang terdapat orang-orang yang mampu
melakukannya secara maksimal, tapi ada pula orang yang tidak mampu melakukannya
dengan baik bahkan ada tidak melakukannya sama sekali. Antara penerimaan dan
penolakan tersebut tergantung dari mampu atau tidaknya individu menyesuaikan
dirinya dengan dunia sosio-kulturalnya. Menurut Nur Syam, momen tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut. Pertama: penyesuaian dengan teks-teks suci. Ungkapan
terhadap kebenaran al-Qur’an dan Hadis-Rasulullah Saw dapat dijadikan sebagai
landasan atau pedoman untuk memberikan suatu pengakuan atas benar dan tidaknya
suatu tradisi yang dilakukan sebelumnya oleh para leluhur kita seperti “ulama-ulama
salaf yang shalih”, ahli-ahli agama Islam yang terkenal kesalehannya dan memiliki
kemampuan saat menerjemahkan ajaran Islam sesuai dengan interpretasinya masing-
masing.
Berkaitan dengan hal di atas, ungkapan atau pernyataan-pernyataan ini dapat
dijumpai dalam berbagai momen, misalnya pengajian-pengajian temporal, khutbah
Jum’at, walimat al khitan, walimat al arusy, upacara keagamaan, dan upacara-upacara
84Menurut ahli bahasa Edwar Sapir dan Benjamin Whorf, bahasa membentuk cara
berpikir manusia dan cara mereka melihat kenyataan. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad
Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN
Jakarata PRESS, 2006), 63. 85Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 249. 86Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2009), 171. 87Aldous Huxley, Words and Theri Meaning The Importance of Language (ed). Max
Black (Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall, 1962), 5. 88Simbol merupakan bentuk suatu objek atau tanda yang akan membentuk reaksi
sosial setelah diasosiasikan secara kolektif. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori,
Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN
Jakarata PRESS, 2006), 62.
52
lainnya. Ini menunjukkan bahwa hakekatnya dalam pelaksanaan tradisi Islam lokal
tidak terlepas dari teks-teks suci yang menjadi pegangan teguh bagi masyarakat itu
sendiri. Untuk itu al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw merupakan tuntunan agama
Islam yang harus menjadi pedoman kuat bagi umat manusia agar mereka senantiasa
memperoleh nikmat-nikmat Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
م يك
ه عل
روا نعمت الل
قوا واذك ا تفر
ل ه جميعا و
بل الل عداء ا واعتصموا بح
تم ا
ذ ك
نق ار فا ن الن ى شفا حفرة م
تم عل
صبحتم بنعمته اخوانا وك
م فا
وبك
ف بين قل
لم فا
ذك
م تهتدون ك عليته ل
م ا
كه ل ن الل ذلك يبي
نها ك ٣٠١م
Artitnya: “Dan berpeganglah kamu sekalian semuanya terhadap tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah akan nikmat-nikmat Allah kepada
kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hati kalian lalu jadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian
agar kalian mendapat petunjuk” (Q.S: 'Āli 'Imrān: 103).89
Ayat tersebut menggambarkan tentang suatu perintah agar seluruh umat Islam
bersatu di atas kebenaran (jalan Allah Swt) dan melarang kita berpecah belah. Dalam
firmannya di atas, persatuan yang dimaksudkan adalah perintah Allah atas kitab dan
sunnah atau di atas tali Allah. Jika ada di antara manusia yang melepaskan diri atau
mengambil jalan lain selaian jalan Allah, sesungguhnya mereka adalah orang yang
telah memisahkan diri dari umat Islam dan berarti merekalah penyebab dari timbulnya
perpecahan.
Tradisi kaum Nahdiyin (NU) seringkali mengungkapkan pentingnya menjaga
tradisi Islam lokal seperti membaca tahlil, membaca al-Qur’an, membaca zikir atau
wirid,90 membaca Asmāul Husna dan sebagainya. Memperbanyak zikir dengan
jumlah bilangan yang melebihi jumlah yang ada di dalam hadis merupakan sunnah,
89 Departemen Agama Ripublik Indonesia RI, AL-Qur’an dan Terjemahan Juz 1-
Juz 30 (Jakarta: Duta Surya, 2011), 79 90Ibnu Hajar al-Hatsani berkata, “jika seseorang selalu menjaga wirid layaknya shalat,
membaca Al-Qur’an, Zikir dan Do’a di siang dan malam hari maka (ketahuilah bahwa)
perbuatan itu merupakan kebiasaan Rasululllah Saw. Termasuk para ulama dahulu dan ulama
sekarang. Maka apa yang dianjurkan untuk diamalkan secara berjamaah seperti shalat fardhu,
ia harus mengerjakannya. Dan apa yang diajarkan untuk dilestarikan sendirian seperti wirid,
ia pun harus melakukannya. Sebagaimana dahulu ketika para sahabat pernah berkumpul, dan
mereka meminta salah satu di antara mereka untuk membaca al-Qur’an, sedangkan yang
lainnya akan mendengar bacaan tersebut dengan hening. Lihat: Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), 196.
53
bahkan diperintakan dengan jelas dalam al-Qur’an91 bahwa membaca tahlil, membaca
Surat Yasin, ditujukan kepada orang tua, kerabat, sahabat dan jamaah Islam yang
sudah meninggal merupakan tindakan yang sangat terpuji.
Sebenarnya kita bisa melihat bahwa setiap upacara maupun tradisi keagamaan
sangat jelas memiliki dasar yang kuat sebagai ligitimasi dalam menjalankan tradisi-
tradisi Islam lokal. Ligitimasi tersebut tentu bersumber dari teks-teks suci seperti al-
Qur’an, Hadist, dan pendapat para ulama. Meskipun ada pula yang bersumber dari
sejarah, kitab-kitab kuno, naskah, babat, bahkan cerita-cerita lisan dari orang lain.
Kesemuanya adalah pedoman yang dapat menuntun mereka dalam melaksanakan
aktivitas keagamaan terhadap tradisi atau budaya masyarakat Islam lokal. Hanya saja
al-Qur’an dan hadis merupakan pedoman utama bagi umat Islam di dunia.
Kedua: penyesuaian dengan nilai dalam tradisi lama. Pada posisi ini ada dua
tindakan yang dapat dilihat sebagai proses penyesuaian individu dengan nilai92 yaitu;
penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap nilai dalam tradisi lama biasanya
berwujud dalam bentuk tindakan di berbagai ruang budaya.93 Misalnya; banyak
masyarakat yang terlibat di dalam kegiatan ratiban dan khaul di makam-makam
keramat, menandakan bahwa masyarakat itu mampu menerima tradisi lama yang telah
dikemas sedemikian rupa. Selain itu, ada juga masyarakat yang terlibat dalam sedekah
bumi di sumur Wali juga menunjukkan bahwa mereka menerima tradisi lama yang
telah dikemas oleh elit Desa. Dan ada pula keterlibatan masyarakat dalam berbagai
upacara lingkaran hidup yang memberikan gambaran bahwa masyarakat menerima
terhadap pelestarian tradisi Islam.
Masyarakat yang tidak menerima pelestarian nilai-nilai dalam tradisi lama,
menurutnya sangat beralasan karena mereka juga merujuk pada teks-teks suci sesuai
dengan sudut pandang mereka masing-masing. Misalnya; bentuk penolakannya
adalah penggunaan bahasa, sego neroko dalam memaknai upacara kematian,
menurutnya aktivitas itu adalah bentuk takhayul, bid’ah dan khurafat, hingga pada
sebuah tindakan pembakaran ditempat-tempat yang dianggap suci oleh sebagian
lainnya. Selain itu, berupa percobaan melanggar sebagai sarana untuk membuktikan
bahwa kepercayaan tersebut tidak benar adanya. Kepercayaannya dianggap sebagai
mitos-mitos yang dilestarikan.94
Sebenarnya ada juga masyarakat yang menginginkan bahwa agama mestinya
bebas dari budaya. Sudut pandang masyarakat seperti ini adalah mereka yang tidak
ingin mencari solusi hidup terhadap agama. Karena mereka mengutamakan solusi atau
penyelesaian masalah (problem solving) dengan cara yang rasional melalui
91Artinya “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. (Q.S. al-Ahzaab.41). Lihat: Departeman Agama
Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan Juz 1-Juz 30 (Jakarta: Duta Surya, 2012), 599. 92Ide umum dijadikan sebagai pegangan oleh manusia tentang apa yang dianggap baik
dan tidak baik. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar
Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN Jakarata PRESS, 2006), 70. 93Menurut ilmu Antropologi kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang telah diperolehnya
dengan cara belajar. Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), 144. 94Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 150.
54
teknologi.95 Dalam ungkapan yang pernah disebutkan Evelyn L. Bush, kelompok
masyarakat yang dikendalikan oleh sistem rasionalitas karena selalu berbasis pada
sistem tersebut, biasanya disebut sebagai masyarakat sekuler.96
2. Objektifikasi
Objektivasi merupakan momen interaksi diri dengan dunia sosio-kulturalnya.
Momen ini melihat realitas sosial seakan-akan berada di luar diri manusia. Realitas
tersebut kemudian muncul sebagai suatu kenyataan objektif karena menganggap
adanya perbedaan dari realitas objektif, seperti halnya ketika ia melihat realitas diri
yang subjektif dan realitas lain yang berada di luar dirinya yang bersifat objektif.
Antara kedua realitas tersebut kemudian akan melakukan jaringan interaksi yang
disebut intersubjektif melalui proses pelembagaan. Contohnya Wali dan manusia
biasa adalah dua manusia yang berbeda.
Pertama Wali.97 Wali mempunyai kelebihan dibandingkan dengan manusia
biasa. Menyadari tentang keberadaan Wali, tentu butuh kesadaran yang tinggi untuk
dapat mengetahuinya karena Wali dekat dengan Allah Swt. Wali menjadi wasilah atau
perantara yang dapat menghubungkan manusia dengan sang pencipta (Allah Swt).
Kedekatannya diperoleh melalui upaya-upaya individual yang dilakukan ketika
berhubungan dengan Allah Swt melalui dzhikir, wirid, dan riyadah yang sistematis
dan terstruktur. Melalui kedekatan (taqarrub) inilah seorang Wali melahirkan aura
kesuciannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulallah Saw yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari98
95Masyarakat yang memiliki sudut pandang seperti ini merupakan masyarakat yang
seringkali diistilahkan dengan positivisme, yaitu sekelompok manusia yang hanya bertitik
tolak pada yang riil sesuai dengan ilmu positif (science positive), observasi, dan eksperimen.
Sedangkan teknologi dan sains hanyalah institusi terkahir untuk menemukan solusi dalam
menyelesaikan maslah dan tidak disertai dengan aspek transendental. Lihat: Hasan Bakti
Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Madia Pratama, 2001), 178. 96Evelyn L. Bush, “Measuring Religion in Global Civil Society” Journal Social
Forces Vol. 85, No. 4 2007, 1645. 97Al-wīlāyah. Secara etimologi merupakan bentuk masdar dari lafash walā’ Yuli,
walīyyān wa wīlayatān. Kata tersebut mengandung beberapa arti seperti: dekat, menempati,
menguasai perkaranya, menolong dan cinta kepadanya, pengampunan dosa, kekuasaan dan
pemerintahan. Sedangkan kata Wali itu dalam pandangan al-Qusyayri, dapat diartikan dengan
dua pengertian yaitu: Pertama bisa berbentuk fa’il dan bermakna fa’il (pelaku pekerjaan)
dengan menggunakan arti mubalagah (sangat menekankan). Wali berarti orang yang selalu
taat kepada perintah Allah Swt tampa disertai maksiat. Kedua dapat berbentuk fa’al dan maful
(orang yang diberikan pekerjaan). Wali adalah orang yang selalu mendapat penjagaan dari
Allah Swt. Sebagaimana firmannya dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 196, yang artinya:
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dia
melindungi orang-orang shaleh. Lihat: In’amuzzahidin Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi
Wali Gila Antara Tasawuf dan Psikologi (Semarang: Syifa Press, 2007), 49-50. 98 Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata; Rasulallah Saw, telah bersabda:
“artinya: Sesungguhnya Allah SWT, berfirman: “Barang siapa yang memusuhi Wali-ku, maka
Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-
Ku yang lebih aku cintai keculai dengan beribadah terhadap apa yang telah aku wajibkan
kepadanya. Dan hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil
(perkara-perkara sunnah) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya
55
Kesucian yang dimaksud kemudian menjadi level kedua yang diperoleh oleh
sesorang setelah level pertamanya terpenuhi. Melalui kesucian dan wasilah ini dapat
dimaknai dengan sendirinya. Dalam berbagai acara khaul misalnya; yang paling
penting adalah pembacaan riwayat hidup orang suci karena penuh dengan
“Keajaiban”, “Misteri”, yang “lain” dari yang “biasa” baik menyangkut kegiatan-
kegiatan keagamaan individu maupun ibadah lainnya.
Kedua Wali mempunyai kekuatan supranatural, sedangkan manusia biasa
hanya mempunyai kekuatan natural. Untuk sampai terhadap kesadaran tersebut maka
diperlukan penyadaran yang diimbangi dengan pengetahuan atau “kelebihan” melalui
dalil-dalil dan nash yang memiliki rujukan sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
Misalnya banyak sumur sebagai ilustrasi yang dinisbahkan kepada Wali, hakekatnya
berasal dari sunnah sahabat yang memiliki kecenderungan untuk membikin sumur. Di
tanah Arab banyak sumur yang dinisbahkan kepada para sahabat Nabi bahkan
dhurriyah Nabi Muhammad telah membuat sumur di tempat-tempat Nabi pernah
berhenti dalam perjalanan dakwahnya.
Ketiga pelembagaan atau institusionalisasi, yaitu proses untuk membangun
kesadaran menjadi tindakan. Dalam proses pelembagaan tersebut nilai-nilai yang
menjadi pedoman di dalam melakukan interpretasi dari tindakan dan tidak terpisahkan
sehingga apa yang disadari tersebut adalah apa yang dilakukan. Melakukan upacara
tentunya bukan hanya sekedar tindakan sengaja atau berpura-pura, tetapi ia
melakukan tindakan itu atas dasar tujuan yang jelas bagi mereka karena ia mengetahi
apa manfaat dari tindakan itu bagi dirinya.
Dalam melakukan suatu perbuatan dengan menggunakan wasilah para Wali,
mereka telah mengetahui siapa Wali tersebut dan apa yang akan diperolehnya dengan
menggunakan wasilah itu. Misalnya mengambil air sumur sebagai ilustrasi yang di
antara kebanyakan masyarakat ketika mengambil air sumur Wali, setidaknya mereka
sudah mengetahui arti penting air yang diambil untuk dirinya. Termasuk ketika
mereka melakukan upacara-upacara (ritual atau seremonial), yang mereka ketahui
arti penting upacara tersebut baginya. Sebenarnya proses pelembagaan ini, tindakan
individu dan masyarakat yang dipertimbangkan secara mapan dan konseptual adalah
tindakan yang rasional dan terarah sekaligus memiliki tujuan yang jelas.
Keempat habitus99 atau pembiasaan adalah suatu proses yang menunjukkan
suatu tindakan rasional yang dapat dilakukan dalam kehidupannya sehari-hari. Pada
posisi ini kadang tidak membutuhkan penafsiran terhadap tindakan tersebut karena
telah menjadi bagian dari sistem evaluatifnya sendiri. Kesadaran dalam menerima
sistem tersebut yang bersumber dari nilai kemudian menjadi bagian dari mekanisme
kehidupannya.
maka Aku adalah pendengarnya yang dia gunakan untuk mendengar, pengelihatanya yang
dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakan untuk memukul dan kakinya yang
digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika
dia meminta perlindungan dari-ku niscaya akan aku lindungi” (HR. Imam Bukhari). 99 Habitualisasi merupakan proses yang menjadikan suatu perilaku menjadi kebiasaan
atau biasa untuk seseorang. Lihat: Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus
Embodiment, Religion, and Socilogical Theory. Lihat: Bryan S. Turner, Sociology of Religion
(United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2010), 201.
56
Suatu tindakan habitus biasanya akan menjadi tindakan mekanis setiap orang
yang merasa butuh dari tindakan tersebut, maka ia cenderung dapat kembali dilakukan
begitu saja. Misalnya seseorang akan datang ke makam, sumur, atau masjid pada saat
ada hal-hal yang berkaitan dengannya. Contoh lainnya adalah ketika seseorang yang
berkali-kali mendatanginya hany untuk melaksanakan shalat berjamaah. Pada posisi
ini ia menunjukkan di mana ketika hal itu sudah menjadi habitus dalam tindakannya
maka cenderung akan dilakukannya secara terus-menerus.
Adapun tindakan-tindakan individu akan muncul saat merasa membutuhkan
sesuatu, karena itu dia akan mendatangi tempat-tempat suci seperti makam atau sumur
Wali. Seseorang yang datang berkali-kali ke tempat acara ratiban juga didasari oleh
kenyataan adanya habitualisasi tersebut. Gambaran seperti ini jelas menunjukan
bahwa ketika tindakan itu sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada individu atau
kelompok individu maka tindakan-tindakan tersebut senantiasa akan dikelolanya
sehingga menjadi sebuah tradisi yang hidup dan dilestarikan.
Proses habitualitas di atas, menggambarkan adanya agen yang memainkan
peran penting sebagai individu atau sekelompok individu untuk proses penyadaran,
pelembagaan, atau pembiasaan. Sebab kita bisa melihat bahwa hampir pada semua
proses pelembagaan dan habitualisasi memerlukan peranan agen. Oleh karena itu,
dalam proses membangun mitologi dan mistifikasi terhadap makam, sumur, dan
masjid juga melibatkan jaringan agen-agen tersebut.
Dalam kegiatan jam’iyah tahlil di masing-masing tempat kita juga melihat
bagaimana individu (agen) memiliki peran penting dalam rangka membangun dan
menjaga bangunan-bangunan suci100 sebagai lambang atau simbol dalam tradisi Islam.
Menjaga makam berarti turut serta melestarikan warisan leluhur yang berupa simbol-
simbol Islam. Makam para Wali juga merupakan lambang suci bagi masyarakat yang
telah berperan menjadi penyebar Islam di masa lalu. Oleh karena itu, agar “kesucian”
mereka terus terjaga sehingga dari kalangan kaum Nahdiyiin (NU) sendiri sering kita
jumpai berbagai ceramah atau pengajian yang diselenggarakan di mana ajakan-ajakan
mereka agar senatiasa melestarikan warisan ritual dan budaya itu sekaligus.101
3. Internalisasi.
Internalisasi merupakan tahapan untuk melakukan identifikasi diri dalam
dunia sosio-kultural. Internalisasi sebenarnya momen penarikan realitas sosial dalam
diri seseorang atau realitas sosial menjadi kenyataan subyektif. Realitas sosial itu
berada di dalam diri manusia dan melalui cara itu kemudian diri manusia akan
teridentifikasi di dalam dunia sosio-kultrualnya. Sudah menjadi keniscayaan bagi
setiap manusia yang dilahirkan dengan memiliki kecenderungan untuk selalu hidup
berkelompok. Pada konteks ini, tergambarkan bahwa manusia senantiasa berada
dalam kelompok atau golongan, apalagi mereka merasa sesama ideologi, golongan
atau seidentitas, maka sudah pasti tidak ada sekat dalam melakukan interaksi.
100 Lihat: Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah Wali Di Dunia Islam (ed)
Jean Couteau dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 19. Tentang nama Al-qudus banyak
terdapat dalam Lisan al-Arab, jilid 4, 168-170. Lihat juga komentar klasik tentang ke-99 nama
Agung Allah (asma al-husna), dalam Ghazali, Al-maqshad al-asna; dan D Gimaret, al- 1993),
202-204. 101Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 252-255.
57
Sebagai contoh kecil adalah ketika merasa sesama warga NU, maka jalinan
interaksi mereka dengan leluasa dapat terjadi secara intensif. Begitu pula dengan
kalangan Muhammadiyah. Tetapi sebaliknya, sekat bisa saja terjadi dalam interaksi
antara orang Muhammadiyah dan NU menjadi agak terbatas pada persoalan-persoalan
segmental atau sesuatu yang bersifat krusial, tidak terkecuali pada hal-hal biasa yang
sifatnya tidak urgen.
Padangan seperti ini kadang terasa sangat berlebihan. Akan tetapi hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa kodrat manusia sebagai mahluk yang berkecenderungan
dalam melakukan pengelompokan jika merasa dirinya seidentitas terhadap golongan
tersebut. Itulah sebenarnya bahwa penggolongan sosial itu bisa terjadi, misalnya wong
Muhammadiayah dan wong NU, orang tradisional dan orang modern, penggolongan
sosial terjadi bukan tampa alasan, karena penggolongan-penggolongan sosial tersebut
juga sudah memiliki basis nilai dan historis.
Basis historis antara wong NU dan Muhammadiyah tentu dapat dirunut dalam
sejarah panjang antar keduanya. Misalnya wong NU yang berbasis pada nilai-nilai
tradisi yang dianggapnya sebagai cabang fur’iyah102 dan bukan persoalan asasiah
(dasar) atau teologis. Sementara wong Muhammadiyah menilai bahwa masalah
tradisi-tradisi lokal yang dianggap sebagai Islam adalah persoalan dasar atau teologis,
dan sangat menentukan Islam yang genuin atau Islam yang ditambah-tambahi.103
Meskipun Muhammadiyah sejak awal berkomitmen untuk membatasi diri terhadap
bid’ah104 takhayul dan khurafat yang didasarkan pada kenyataan tentang “banyaknya”
amalan-amalan wong NU yang penuh sesak dengan tradisi-tradisi lokal, sehingga
antar keduanya bisa berbenturan. Namun NU tetap sibuk dalam melakukan resistensi
dengan memperkuat tradisi-tradisi Islam lokalnya. Dan Muhammadiyah justru
opensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuin. Terhadap dua pandangan
yang berbeda mengenai tradisi Islam lokal tersebut, tentunya tidak bisa disalahkan
begitu saja sebab secara basis nilai historis keduanya memiliki cara pandang yang
berbeda-beda.
102Urf’ adalah sebuah kebiasaan yang sudah diketahui oleh manusia dan menjadi
tradisi mereka seperti perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan
perbuatan tertentu. Urf’ juga disebut dengan adat. Dalam pandangan ulama syara’ tidak ada
perbedaan antara urf’ dan adat kebiasaan. Urf’ yang bersifat perbuatan seperti jual beli yang
dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan cara memberikan namun tampa ada shighat
lafzhiyyah (ungkapan melalui perkataan). Sedangkan urf’ yang bersifat perkataan, misalnya
pemutlakan lafal “al-walad” yang berarti anak laki-laki dan bukan anak perempuan, juga
pemutlakan lafal “al-lahm” (daging) yang digunakan untuk daging ikan. Lihat: Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), 148. 103 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 256. 104Ibnu Atsir berkata, “Bid’ah ada dua macam: bid’ah petunjuk (hudaa) dan bid’ah
sesat. Untuk itu, bid’ah yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, masuk
kedalam kategori yang dicela dan diingkari. Sedangkan bid’ah yang masuk ke dalam makna
umum perkara yang disunnahkan atau dianjurkan maka termasuk dalam kategori yang dipuji.
Sedangkan bid’ah yang tidak memiliki contoh dalam agama seperti salah kedermawanan,
kemurahan hati, dan usaha melakukan kebaikan, termasuk perbuatan yang terpuji. Lihat: Ali
Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ (Jakarta: Khatulistiwa Perss, 20016), 98.
58
Sedangkan wong Muhammadiyah beranggapan bahwa persoalan nilai-nilai
tradisi lokal yang dinyatakan sebagai Islam adalah persoalan teologis dan sangat
menentukan Islam yang geniun atau Islam yang ditambah-tambahi. Oleh karena itu,
yang melakukan tradisi Islam Lokal (berbagai upacara dalam Islam Lokal) adalah
wong NU dan yang tidak melakukannya adalah Muhammadiyah. Atas dasar ini maka
muncul kategori Wong NU dan Wong Muhammadiyah.105
Tabel 1
Dialektika: Eksternalisasi, Objektifikasi, dan Internalisasi106
Momen Proses Fenomena
Eksternalisasi Penyesuaian
diri dengan
dunia sosio-
kultural
Menyesuaikan dengan teks sesuai dengan
interpretasi elit terdahulu bahwa semua tindakan
upacara memiliki basis historis, ajaran dan nilai.
Menyesuaikan dengan bahasa dan tindakan
upacara sebagaimana dicontohkan oleh ulama salaf
yang saleh.
Objektivasi Interaksi diri
dengan dunia
sosio kultural
Penyadaran bahwa Wali bukan manusia biasa,
sehingga apapun yang ditinggalkan (berupa benda-
benda) memiliki perbedaan dengan benda-benda
lainnya. Penyadaran bahwa Wali memiliki
kekuatan berbeda dengan manusia biasa maka ia
memiliki kedekatan yang berbeda dengan manusia
biasa sehingga bisa menjadi perantara hubungan
dengan Allah SWT. Pembiasaan tindakan melalui
pengulangan tradisi dan pelembagaan tradisi
melalui berbagai varian tindakan (pengajian di
dalam berbagai ruang budaya).
Internalisasi Identifikasi
diri dengan
dunia sosio
kultural
Adanya penggolongan sosial yang berbasis historis
dan teologis-ideologis, sehingga amalan-amalan
antara wong NU dan Muhammadiyah dan abangan
berbeda dengan memunculkan ungkapan seperti
Muhammadiyah Tus dan NU Tus.
Adanya perbedaan pandangan dari kelompok-kelompok masyarakat seperti
organisasi-organisasi sosial keagamaan maupun kelompok masyarakat tradisional dan
masyarakat modern, tentu berbasis pada sebuah landasan masing-masing sebagai
ligitimasinya untuk dapat menerima dan menolak tradisi Islam lokal tersebut. Dalam
hal ini, kita dapat melihat posisi masing-masing yang telah terakumulasi dalam sebuah
kelompok yang sudah menjadi bagian dari organisasi tersebut. Misalnya masyarakat
105Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 256. 106Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 257.
59
tradisional yang secara intensional dapat menjalankan habitus (kebiasaan) hingga
dilestarikan sebagai perilaku keagamaan mereka yang hidup dan berkelanjutan.
Sementara bagi masyarakat modern perilaku keagamaan seperti itu, dianggap sebagai
perilaku menyimpang atau berlebih-lebihan.
Di dunia modern, agama tampak bertentangan dengan paham konvensional,
dan modernisasi sebagai sekularisasi, bahkan menjadi aktor dalam kepentingan politik
masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat modern lahir sekitar abad ke-17, dan dapat
dilihat sebagai epos sejarah yang terus berkembang dan bertahan dari waktu-waktu
tertentu. Modernitas telah diakui oleh lembaga sosial khusus dari masyarakat pasca-
Abad Pertengahan. Lembaga sosial tersebut memiliki kekuatan dan kenaikan yang
menekankan pada perhatian rasional yang murni dan penurunan yang sesuai dalam
tradisi dan tradisionalisme. Situasi dan kondisi sosial modern terlihat jelas dari cara
pengorganisasian secara rasional dalam kehidupannya di mana ketika perilaku sosial
mengambil strategi dengan menggunakan alat yang tepat untuk mewujudkan harapan
atau tujuan mereka.107
Perkembangan masyarakat modern telah membawa dampak dan pengaruh
besar dalam kehidupan umat manusia, perkembangan dan pertumbuhan yang semakin
serba modern kadang tidak terhindarkan sehingga mampu menyentuh ruang-ruang
kehidupan masyarakat yang masih dipengaruhi oleh tradisi108 lama mereka, walaupun
tidak dalam semua aspek-aspek kehidupannya dapat dipengaruhi dari perkembangan
tersebut. Situasi semacam ini, tidak dapat dibendung lagi dalam kehidupan manusia
seperti sekarang ini. Pengaruh modernitas tersebut bukannya menurun, justru semakin
meningkat dan berkembang pesat. Oleh karena itu, fenomena ini telah mendapat
sorotan utama dikalangan akademisi terutama seputar gagasan-gagasan tentang
“agama politik”, “nasionalisme keagamaan” dan “masyarakat pasca sekuler”. Dalam
tema yang lebih luas agama tampak menjadi komponen kebudayaan publik yang
sangat penting dari sekedar urusan kepercayaan dan praktik pribadi.109
Gambaran ini seakan-akan menunjukkan bahwa arus perkembangan dunia
modern sepertinya sulit dibendung ketika masuk pada semua kompleksitas kehidupan
masyarakat khususnya agama. Beberapa kalangan sosiologi yang menganggap sangat
lazim jika dikaitkan dengan rasionalisme110 pasca-pencerahan positivisme111 dan
107 Alex Sobur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 488-489. 108 Tradisi merupakan nilai dan norma yang telah diyakini secara turun temurun dari
satu generasi ke generasi lainnya. Lihat: Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial:
Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Edisi Revisi, Cet. Ke-Tiga. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014), 43. 109Bryan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, (UK:
Oxford, 2010), 1. 110 Jika kesadaran yang tumbuh dan berkembang terhadap rasionalisasi justru terletak
pada akar sosiologi substantif Weber, maka Weber bekerja dengan sejumlah definisi terhadap
istilah-istilah yang berbeda, walaupun sering kali gagal dalam menguraikan secara spesifik
dari definisi mana yang digunakan pada diskusi-diskusi tertentu sehingga memberikan definisi
dari istilah rasionalisme tersebut menjadi dua tipe yaitu: Rasionalitas alat-tujuan dan
Rasionalitas nilai. Lihat: George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 231-232. 111 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), 178.
60
secara instrumentalisasi dari masyarakat modern. Pernyataan ini mengetengahkan
unsur perbedaan dari cara hidup manusia yang tidak rasional khususnya tentang
perilaku agama. Akan tetapi perbedaan tersebut sering kali mengabaikan kemunculan
disiplin sosiologi dengan banyaknya tokoh pendiri sosiologi yang juga melakukan
analisis terhadap dasar-dasar ontologis manusia. Melalui dasar-dasar ontologis ini
kemudian menjiwai emosi, gairah, dan ikatan kolektif yang tidak hanya menopang
dan akan hidup berdampingan dengan aspek-aspek rasional masyarakat saja, namun
ada celah untuk menentang parameter rasional tersebut. Padahal yang berkonstribusi
besar bagi perhatian secara umum adalah karena pernah dicetuskan oleh kalangan
sosiologi klasik yaitu; fenomena agama.112
Ketika banyak dari kalangan sosiolog memperediksikan bahwa modernisasi
akan menghilangkan peran agama di masyarakat, bahkan Weber sempat menyatakan
modernisasi memarjinalkan agama, sampai pernyataan yang dilontarkan oleh Dmitri,
yang menyebutkan bahwa “Penerimaan terhadap ilmu pengetahuan” sebagai bentuk
kekalahan Tuhan. Tetapi Robert H. Leuer menolak pandangan-pandangan tersebut.
Karena menurutnya, meskipun modernisasi menyangkut sekularisasi, akan tetapi
tidak perlu harus dikaitkan dengan kemunduran agama. Hal ini diperkuat oleh
pandangan Harvy Cox, yang juga meyebutkan bahwa modernisasi adalah sebuah
keharusan, sebuah proses sejarah dan pandangan metafisika yang statis, akan tetapi
agama dan skularisasi tidaklah bersifat “antitesa” bahkan Cox yakin bahwa agama
akan terus berkembang karena manusia membutuhkan dan memeliharanya untuk
alasan-alasan tertenu.113
Berkembangnya wacana global civil society (masyarakat sipil global) yang
ditandai dengan sistem kehidupan masyarakat yang terbilang kosmopolit, empiris,
teknologis, sains, demokratis, hukum dan hak asasi manusia, merupakan wacana yang
harus menghadapkan masyarakat pada sebuah tantangan terbesar, karena agama
menempati posisi sebagai tantangan bagi masyarakat sipil global untuk memperkuat
kepentingan politik dan ekonomi mereka, karena pada kenyataannya wacana global
civil cociety beresonasi pada prinsip-prinsip renaisans.114
Kendati demikian, para pemikir Islamologi telah menaruh perhatianya dengan
merespon paham keagamaan masyarakat dari sudut tekstual dan liberal.115 Islamologi
menyatakan bahwa agama itu muncul dalam kehidupan masyarakat karena agama
juga mampu beradaptasi bahkan senantiasa menyatu sesuai dengan perkembangan
zaman. Karena itu, agama dipandang menjadi representasi wahyu murni yang dibatasi
secara subjektifitas atas penafsiran manusia sehingga pandangan tersebut dinilai akan
112 Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment, Religion,
and Socilogical Theory. Lihat: Bryan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The
Sociology Of Religion, (United Kingdom: Oxford, 2010), 201. 113 Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, 2008, 193. 114Evelyn L. Bush, “Measurung Religion in Global Civil Society” Journal Social
Forces 85. No. 4 2007, 1645. 115Leonard Binder, Islamic Liberalsm: A Critique of Development Ideologies (
London: The University of Chicago Press, 1988), 243-244. Pandangan Fazlur Rahman tentang
liberal juga hampir sama dengan Leonar Binder dalam bukunya. Menurut Binder sikap liberal
dan demokratis adalah sesuai dengan spirit Islam.
61
mampu melebur bahkan bersinergi bersama manusia plural. Oleh karena itu, perilaku
keberagamaan masyarakat disinyalir sebagai bentuk awal pertemuan kompromistik
antara ajaran Tuhan (agama) dan penalaran subjektif manusia yang disebut budaya.116
Menurut kalangan antropologi, agama juga dikatakan sebagai sistem budaya
karena agama adalah nilai dan harus dipertahankan aspek otoritasnya. Agama dapat
mengatur manusia dalam melakukan tindakan atas suatu perilaku yang baik. Agama
kemudian tampil sebagai nilai positif yang tidak hanya melihat dari tradisi besarnya,
yaitu melihat teks-teks suci sebagai pegangan semata tetapi agama juga melihat sisi
perilaku atau tindakan dan pengalaman sosial keagamaan masyarakat itu sendiri
khususnya agama yang telah banyak dipengaruhi oleh tradisi kecil. Pandangan ini
diperkuat oleh Ernest Gellner yang mengatakan bahwa dalam setiap wilayah tradisi
besar pasti disertai dengan tradisi kecil.117
Salah satu fenomena agama yang tercermin melalui praktik ziarah makam
sesungguhnya telah menunjukkan bahwa agama tetap menjadi bagian dari tradisi dan
sistem budaya dalam masyarakat. Praktik ziarah makam merupakan tindakan atau
perilaku masyarakat yang tidak terpisahkan dari paham keagamaan, sesuai dengan
tingkat keyakinan spiritul mereka masing-masing. Menurut Emile Durkheim agama
merupakan bagian dari fakta sosial (nonmaterial) karena baginya agama adalah satu
dan sama. Agama merupakan sistem bagi masyarakat dalam mengekspresikan dirinya
menjadi suatu bentuk fakta sosial. Untuk itu, agama hadir menjadi realitas yang
bersifat obyektif dan sebagai pedoman bagi manusia yang harus dipatuhi oleh setiap
anggota masyarakatnya.118
Misalnya; munculnya adat itu dihukumkan, adalah hukum yang tidak tertulis,
tetapi memuat seperangkat aturan hidup manusia yang ditaati dan dipatuhi oleh
masyarakat sesuai dengan keyakinannya karena adat memiliki kekuatan hukum,
meskipun tidak secara tertulis dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwajib.119 Adat
itu dihukumkan mengakibatkan terjadinya hubungan timbal balik antara Islam dengan
budaya lokal atau dengan istilah habitus (kebiasaan). Oleh karena itu, adat atau
kebiasaan pada suatu masyarakat adalah bagian dari hukum Islam itu sendiri. Banyak
pula disebutkan bahwa kedatangan Islam pada suatu tempat (wilayah) mengakibatkan
terjadinya tajdid (pembaharuan) terhadap masyarakat menuju kearah yang lebih baik.
Meskipun demikian, Islam bukan berarti memangkas atau memotong tradisi
lama masyarakat akan tetapi Islam masuk dan melestarikan apa yang dianggap baik
116Dari sudut pandang Islamologi seperti halnya Fazlur Rahman, dengan konsep neo-
modernismenya, Muhammad Abid al-Jabiri, dengan Post-tradisionalismenya, Mohammed
Arkoun dengan Pos-modernismenya, Nasr Abu Zaid dengan Strukturalismenya, Hasan Hanafi
dengan oksidentalismenya dan Muhammad Shahrur dengan marxismenya. Lihat: Muhammad
al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (ed) Ahmad Baso (Yogjakarta: LkiS, 2000), V-LIV
Mohammad Arkoun, Al-Fikru al-Ushuli Wasti al-Halatu al-TA’SILI Nahwa Tarikhin Akharin
Li-al Fikri al-Islami terj. Hasyim Shaleh (Daru al-Shaqi, tt), 239-349. 117Eenest Gellner, Post Modernism Reason and Religion (London: Routledeg 1992),
11. 118George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul: Krasi Wacana, 2011),
19-20. 119 Lihat: Ahmad Tahali, Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurnal: Jurisprudentie
Volume. 5 No. 2 Juni 2018, 32.
62
dan benar dalam tradisi lama tersebut sehingga dipertahankan dalam ajaran universal
sesuai dengan istilah Urf.120 Yakni tradisi lokal yang hakekatnya dikatakan sebagai
budaya lokal. Dalam konteks ini, perilaku keagamaan yang tampak melalui ziarah
makam mengandung unsur Urf sehingga menjadi budaya lokal.121 Namun kebiasaan
yang tampak pada perilaku keagamaan masyarakat khususnya pada upacara-upacara
keagamaan sering kali menimbulkan pro dan kontra karena dianggap sebagai perilaku
menyimpang oleh masyarakat modern atau masyarakat sekuler.
Sekularisasi erat kaitanya dengan eksistensial kehidupan manusia. George
Jacob Holyoake, mendefinisikan sekularisasi sebagai sistem etik yang didasari pada
prinsip-prinsip moral alami (duniawi), terlepas dari agama atau prinsip
supranatural.122 Menjadi sebuah kenyataan bahwa sekularisasi yang hadir sebagai
fenomena universal tidak dapat terbantahkan dan dalam banyak aspek kehidupan
manusia sekularisasi kian berkembang dan berperoses melalui kehidupan politik,
ekonomi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan.123
Pandangan di atas banyak ditentang dari kalangan pemikir Timur. Mereka
menyebutkan bahwa sekularisasi bukan sebagai fenomena universal dan tidak dapat
terbantahkan. Meski demikian kondisi ini harus diakui di mana sekularisasi sudah
masuk dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat hingga melebur ke dalam
tubuh umat muslim. Misalnya Turki adalah negara Islam pertama yang menerapkan
doktrin sekularisme sebagai bentuk kebijakan politik, konstitusi, pendidikan, dan
budaya. Konsep negara sekuler ini, menyangkut bagian-bagian lainya seperti agama,
hukum, dan ekonomi. Kebijakan tersebut tidak banyak mendapat persetujuan dari
bangsa muslim hingga kemudian secara individu umumnya umat muslim menolak
kebijakan tersebut. Di Turki sendiri banyak masyarakat yang justru menentang
kebijakan tersebut karena doktrin sekularisme ini dianggap tidak sejalan dengan
Islam.
Seiring dengan berjalannya waktu pada akhirnya semua menyepakati bahwa
Islam tidak bisa hanya menjadi kepercayaan bagi individu melainkan Islam juga
menjadi bagian dari semua sistem sosial. Islam adalah agama yang sangat lentur
dengan setiap institusi sosial yang telah ada. Walaupun para penentang sekularisme
membuat dua kelompok yang saling bertentangan yaitu: kaum tradisionalis124 yang
melihat ke belakang pada masa pertengahan Islam sebagai Islam yang “nyata” atau
Islam yang “murni”. Sedangkan pandangan kaum modernis125 memberikan reaksi
120 Lihat: Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, 2014, 148-149. 121M. Dahlan, Islam dan Budaya Lokal Adat Perkawinan Bugis Sinjai. Jurnal
Diskursus Islam, Volume 1. No. 1 April, 2013, 22. 122Imron Mustofa, Turki Antara Sekularisme dan Aroma Islam: Studi Atas Pemikiran
Nijyazi Berkes. Jurnal El-Banat Volume 6. No.1 Januuari-Juni 2016, 1. 123Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), 21. 124Para penganut agama tradisional ini menyakini bahwa benda-benda itu akan
menyelamatkan dan memusnahkan kehidupan manusia. Clane (2005), Menambahakan bahwa
proses tersebut, sangat terlihat jelas di mana terhadap diri manusia sudah ada nalar beragama
yang sangat kuat. Lihat: Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung:
Humaniora, 2011), 75. 125Pandangan secara global yang berkembang di negara-negara Eropa Barat, dan
Amerika Utara sekitar abad ke-17 hingga abad ke-19, ditandai dengan dominasi sistem-sistem
63
positif terhadap kebijakan sekularisme dan dianggap telah mampu membangkitkan
banyak inspirasi untuk membangun ideologi totalitarian yang akan berguna sebagai
suatu pengganti terhadap bentuk-bentuk totaliarisme orang-orang Eropa.126
Di Indeonesia kata sekularisasi atau sekularisme adalah kata yang “haram”
untuk dibicarakan. Masyarakat Indonesia memberikan label atas kedua kata tersebut
sebagai suatu kata yang mengandung makna pemahaman yang anti terhadap agama.
Mengenai isu sekularisasi, awal mulanya dimunculkan sekitar tahun 1970-an oleh
Nurcholish Madjid. Munculnya sekularisasi di Indonesia faktanya telah memicu
perdebatan panjang sehingga telah menimbulkan dikotomi kelompok, baik kelompok
yang pro maupun kelompok yang kontra. Kelompok yang menerima sekularisasi
disebut sebagai kelompok reformis karena menerima eksistensi sekularisasi yang
dianggap sebagai pembebasan masyarakat dari berbagai unsur magis dan takhayul,
namun ia juga tetap menolak sekularisme sebagai paham anti agama. Sedangkan
kelompok yang tidak menerima (kontra), yang disebut sebagai kelompok konservatif
menentang sama sekali sekularisasi yang dianggap sama dengan sekularisme.127
Walaupun sekularisasi dipahami sebagai proses pelepasan kehidupan yang
tidak lagi didominasi oleh institusi agama, namun seringkali sekularisme diartikan
sebagai gerakan pemisahan diri terhadap kekuasaan institusi agama dalam berbagai
aspeknya. Oleh karena itu, sekularisme dianggap sebagai suatu ideologi atau paham
yang menolak eksistensi pengaturan sakral. Dalam konteks ini, pengaruh sekularisme
memang telah mampu merubah struktur masyarakat di dunia moderen menjadi lebih
jauh dari konsep sosialis atau bahkan tidak perduli terhadap sesama. Ketidak pedulian
ini tentu merupakan salah satu bentuk masyarakat modernis yang selalu mengarah
pada prinsip ekonomi dan kekuasaan dibanding dengan prinsip-prinsip kemanusiaan
atau agama.
Konsep sekularisme berbeda dengan konsep Islam tradisional yang justru
lebih mengedepankan toleransi, solidaritas, hormat-menghormati, gotong royong, dan
harga-menghargai terhadap sesama daripada prinsip-prinsip modernis yang rasional.
Hal itu terbukti dengan penempatan tokoh agama seperti kyai, atau tokoh masyarakat
sebagai agen sentral yang dapat dipatuhi oleh kelompok Islam tradisional. Bahkan
berfungsi sebagai otoritas tertinggi yang senantiasa dihormati, dihargai dan dipatuhi
oleh masyarakat tradisional.128
Masyarakat tradisional cenderung stabil dalam kehidupan budaya dan tradisi
yang masih dipegang kuat hingga saat ini. Masyarakat-masyarakat tradisional seperti
ini bisa kita jumpai di pelosok-pelosok desa, atau di berbagai daerah-daerah pinggiran.
Meskipun dalam masyarakat modern telah banyak memasukkan unsur-unsur dalam
sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain. Proses modernisasi mencakup proses yang
sangat luas. Bahkan di Indonesia, modernisasi lebih ditekankan pada sektor pertanian, di
samping sektor-sektor lainnya. Lihat: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:
Rajagrafindo Pesada, 2006), 303. 126Imron Mustofa, Turki Antara Sekularisme dan Aroma Islam: Studi Atas Pemikiran
Nijyazi Berkes. Jurnal El-Banat Volume 6. No.1 Januuari-Juni, 2016, 4. 127Rd. Datock A. Pachoer, Sekularisasi dan Sekularisme Agama Jurnal Agama dan
Lintas Budaya, Volume. 1. No 1- September 2016, 92. 128Robby Darwis Nasution, Kyai Sebagai Agen Perubahan Sosial dan Perdamaian
Dalam Masyarakat Tradisional Jurnal Humaniora, Volume 19 No. 2 Juli 2017, 177.
64
perkembangan dunia teknologi informasi serta kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
lainnya, namun bisa dikatakan bahwa tidak secara keseluruhan pengaruh modernisasi
tersebut masuk dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat tradisional khususnya
terhadap ritual-ritual keagamaan mereka.129
Gambaran di atas, menunjukkan bahwa masyarakat tradisional merupakan
masyarakat yang hidupnya masih dinaungi oleh adat istiadat lama. Adat-istiadat yang
peneliti maksudkan adalah aturan-aturan yang sudah mapan dan mencakup segala
konsepsi agama dan budayanya yang kemudian mengatur tindakan atau perbuatan
manusia dalam kehidupan sosialnya termasuk dalam perilaku-perilaku keagamaan
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat tradisional merupakan masyarakat
yang kehidupannya didasarai dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang pernah diwarisi
oleh nenek moyang mereka.
Menurut Emile Dukheim, agama merupakan suatu sistem yang terintegrasi
antara kepercayaan dan ritual suci yang mengikat orang secara kolektif dalam sebuah
kelompok sosial atau dengan istilah umat beragama. Definisi di atas menunjukan
bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut secara umum mengkelasifikasikan alam
dan seisinya menjadi frofan (tidak bersangkutan dengan agama, kotor, tidak suci) dan
sacred (kudus, suci, dan keramat). Agama juga berfungsi sebagai ikatan sosial dan
kepercayaan sebagai bentuk keimanan seseorang terhadap sesuatu yang bersifat
sakral. Selain itu, agama bertujuan untuk mebentuk hubungan yang harmonis antara
manusia dengan Tuhan yang telah diyakini. Pendapat di atas, setidaknya menekankan
pada dua aspek yaitu agama dan kepercayaan.130
Istilah sakral pertama kali dipopulerkan oleh sosiolog bernama Durkhiem
sebagai lawan dari profan.131 Sakral berarti menyangkut hal-hal yang bersifat suci,
keramat, ukhrawi, dan kudus. Sakral biasanya digunakan sebagai istilah untuk
menggambarkan suatu fenomena yang dianggap luar biasa, seperti supernatural,
transenden, dan sesuatu yang berada di luar atas apa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.132 Bagi umat Islam sakral itu ada yang bersifat gaib, seperti Allah swt,
malaikat, rasul-rasul terdahulu, surga, neraka, siksa kubur dan lain sebagainya. Tentu
sekali pada posisi ini umat Islam diwajibkan untuk mempercayainya. Di sisi lain, ada
juga yang bersifat suci dan keramat seperti al-Qur’an, Masjid, Ka’bah, Hajar Aswad,
Makam, Sumur dan lain-lain.
Berkenaan dengan hal di atas maka sakral selalu dapat dipertahankan melalui
praktek-praktek upacara keagamaan, seremonial, atau aktiviktas keagamaan yang
diistilahkan dalam ilmu sosiologi sebagai ritual keagamaan. Ritual adalah pola
kegiatan formal yang mengekspresikan secara simbolik terhadap seperangkat makna
129Robby Darwis Nasution, Kyai Sebagai Agen Perubahan Sosial dan Perdamaian
Dalam Masyarakt Tradisional Jurnal Humaniora, Volume 19 No. 2 Juli 2017, 178. 130Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam (Tangerang: Laboratorium Sosiolgi Agama, 2008), 75. 131Profan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena yang tidak
dianggap bersifat sakral. Dalam M.Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi
Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar 2006, 163. 132M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk
Memahami Konsep-Konsep Dasar 2006, 146.
65
yang diyakini secara kolektif atau bersama.133 Dalam hal ini, ritual-ritual keagamaan
seperti tawasul, ziarah makam, tampak sebagai perilaku keagamaan yang tidak
terpisahkan dari tatanan sosial kehidupan masyarakat meskipun perilaku-perilaku
tersebut dianggap sebagai perilaku menyimpang. Namun, kenyataannya perilaku itu
menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai bentuk
kepercayaan mereka sesuai dengan tingkat sepiritualitasnya masing-masing.
Sejumlah kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut baik kebiasaan yang
sifatnya mendasar pada aspek keagamaan sebagaimana yang tampak pada ritual-ritual
keagamaan mereka sesungguhnya tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional
merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan sosial sekitarnya tampa menerima
pengaruh dari luar. Sehingga kebudayaan masyarakat tradisional kadang tidak
mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
133M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk
Memahami Konsep-Konsep Dasar 2006, 146-147.
66
BAB III
DESKRIPSI UMUM MASARAKAT KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Bab ini membahas proses sosial dan sistem kepercayaan masyarakat sebagai
suatu gambaran di mana timbulnya unsur-unsur tradisi lokal pada masyarakat.
Kepercayaan dalam sebuah tradisi keagamaan, terutama tradisi ziarah biasanya tidak
lepas dari adanya pengaruh tradisi lama yang sebelumnya telah lebih dulu
dipraktikkan oleh para leluhur mereka. Selain itu, praktik ziarah kubur atau ziarah
makam keramat yang dilakukan oleh masyarakat juga karena adanya proses sosial
dalam kehidupan mereka sehingga mampu melahirkan suatu pemahaman dan
pengetahuan serta unsur-unsur keagamaan lainnya. Namun sebelum memasuki inti
pembahasan, terlebih dahulu peneliti akan membahas sekilas kondisi geografis
masyarakat Kabupaten Lombok Tengah. Selanjutkan akan membahas Perkembangan
Islam di Pulau Lombok, Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal. kemudian
Dimensi-dimensi Keagamaan dalam Kehidupan Masyarakat.
A. Kondisi Geografis Masyarakat Kabupaten Lombok Tengah.
Suku Sasak merupakan nama Suku yang mendiami pulau Lombok.1 Pulau
Lombok merupakan pulau utama yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan
terletak di wilayah Tenggara Indonsesia dengan dua buah pulau utamanya yaitu; Pulau
Lombok dan Sumbawa. Sedangkan batas wilayah pulau ini adalah sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sebelah Selatan Samudra Indonesia,
sebelah Timur Selat Sape/Provinsi NTT dan sebelah Barat, Selat Lombok/Provinsi
Bali.2
Provinsi Nusa Tenggara Barat juga diapit oleh dua Provinsi yaitu; Provinsi
Bali dengan mayoritas penduduk agama Hindu, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur
dengan mayoritas agama Kristen. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
yang letaknya ditengah kedua Provinsi tersebut adalah mayoritas penduduk agama
Islam dengan persentase 94% penganut Agama Islam. 2,6% Agama Hindu, 0,9%
Agama Kristen dan 0,3% Agama Budha.3
1Nama Sasak dan Lombok secara makna dan filosofis memiliki keterkaitan yang
baik dengan tradisi dan kebudayaan Sasak. Dalam masyarakat Sasak, Sasak berarti bambu-
bambu yang dijadikan satu kemudian dirakit dengan kuat sehingga akan menjadi rakitan yang
kokoh. Sedangkan Lombok memiliki arti lurus atau konsisten. Lihat: Lalu Muhammad Azhar,
Sejarah Daerah Lombok: Arya Banjar Getas (Mataram: Yaspen Pariwisata Pejanggiq, 1997),
21. 2Badan Pusat Statistik Prov. NTB. NTB Dalam Angka 2005 (Mataram: UD Fajar
Indah, 2005), 4. 3Total penduduk NTB adalah 2 juta 600 ribu jiwa dengan hunian terbesar di Pulau
Lombok. Yaitu: 2 juta 100 ribu jiwa. Dalam Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, 6. Penduduk
Islam yang terdapat di Provinsi ini merupakan orang Sasak. Karena Islam sebagai sebuah
agama yang dianut oleh keseluruhan orang Sasak. Maka dari itu muncul sebuah istilah yang
menyebutkan bahwa “dengan Sasak no dengan Islam” atau orang Sasak itu adalah orang
Islam. Dalam Djalaluddin Azhari dkk, Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku
Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat: Sebuah Kajian Antropologi-
Sosiologi Agama (Mataram: Pokja Redam NTB-Indonesia, 2001), 1.
67
Menurut catatan A.R. Wallace, masyarakat Suku Sasak dikelompokkan ke
dalam jenis keturuan Melayu hingga mencapai lebih dari 90% secara keseluruhan
penduduk di Pulau Lombok. Sedangkan kelompok-kelompok etnis lain seperti Bali,
Sumbawa, Jawa, Arab dan Cina adalah para pendatang. Bali merupakan salah satu
etnis terbesar kedua setelah suku Sasak di mana jumlahnya mencapai 3% diantara
keseluruhan penduduk masyarakat Lombok. Hanya saja orang Bali kebanyakan
mendiami Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Tengah.4
Kabupaten Lombok Tengah yang pusat pemerintahannya tereletak di Kota
Praya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi
Nusa Tenggara Barat NTB. Posisinya terletak di antara 116◦05’ sampai 116◦24’ Bujur
Timur dan 8◦24’ sampai 8◦57’ Lintang Selatan dengan luas wilayah 1.208,39 km²
(120.839 ha).5 Di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Timur dan
Kabupaten Lombok Utara, di sebelah Selatan terbentang Samudra Indonesia, dan di
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat, sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Lombok Timur. Berikut ini tabel batas administrasi Kabupaten
Lombok Tengah.
Tabel 2. Batas Administrasi Kabupaten Lombok Tengah.
Sebelah Utara : Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten
Lombok Utara
Sebelah Selatan dengan : Samudera Indonesia
Sebelah Barat dengan : Kabupaten Lombok Barat
Sebelah Timur dengan : Kabupaten Lombok Timur
Adapun luas wilayah Kabupaten Lombok Tengah mencapai 1.208,39 km²
dengn penduduk berjumlah 860.209 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
berjumlah 407.079 jiwa, penduduk perempuan mencapai 453.130 jiwa dan rumah
tangga berjumlah 256.070 RT. Sedangkan kepadatan penduduk mencapai 712
jiwa/km², dan Kecamatan Praya merupakan Kecamatan dengan kepadatan penduduk
mencapai 1.688 jiwa/km², sedangkan Kecamatan yang paling rendah tingkat
kepadatannya adalah Kecamatan Batukeliang Utara dengan jumlah penduduk 260
jiwa/km². Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lombok Tengah pertahun
periode 2000-2010 sebesar 1,45% di mana angka ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pertahun periode 1990-2000 yaitu
sebesar 0,98%.
Pada akhir tahun 2010, Kabupaten Lombok Tengah mengalamai pemekaran
wilayah Desa sebanyak 15 Desa, sehingga jumlah Desa di Kabupaten Lombok
4A.R. Wallace, The Malay Archipelago. The Land of the Orang Utan, and the Bird
of Paradise (Singapura/Oxford: Oxford University Perss, 1986), 182. 5Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah (BPS Kabupaten Lombok
Tengah). https://lomboktengahkab.bps.go.id dan ppsp.nawasis.info. diakses pada tanggal 19
Desember 2017 pukul: 04:00 WIB.
68
Tengah berjumlah 139 Desa. Sedangkan jumlah Kecamatan tetap berjumlah 12
Kecamatan dengan luas wilayah berkisar antara 50 hingga 234 km² di mana
Kecamatan Pujut merupakan salah satu Kecamatan yang paling luas wilayahnya
hingga mencapai 19,33% dari luas wilayah Kabupaten.6
Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2010.
No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Penduduk Kepadatan
1 Praya Barat 152,75 69.106 452
2 Praya Barat Daya 124,97 51.280 410
3 Pujut 233,55 96.913 415
4 Praya Timur 82,57 62.736 760
5 Janapria 69,05 70.176 1.016
6 Kopang 61,66 75.719 1.228
7 Praya 61,26 103.405 1.688
8 Praya Tengah 65,92 59.891 909
9 Jonggat 71,55 89.362 1.249
10 Pringgarata 52,78 62.841 1.191
11 Batukliang 50,37 71.512 1.420
12 Batukliang Utara 181,96 47.268 260
Jumlah: 1.208,39 860.209 712
Sumber: Lombok Tengah Dalam Angka 2011.7
Kecamatan Pujut adalah bagian dari wilayah Kabupaten Lombok Tengah
Provinsi NTB dengan kondisi alam yang cukup kering. Namun demikian, Kecamatan
ini memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi di Kabupaten Lombok Tengah. Misalnya; keberadaan Bandara Internasional
(BIL), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Resort dan Pelabuahan Ikan
Internasional Awang yang merupakan perusahan-perusahan besar di wilayah Pujut,
Kabupaten Lombok Tengah. Keberadaanya tentu menjadi faktor pendukung dalam
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat Lombok Tengah.
Kecamatan Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat
eksotis seperti adanya upacara adat Bau Nyale (Legenda Mandalika Nyale), Kampung
Tradisional Sade, Ziarah Makam Wali Nyato’ dan Masjid Kuno di Gunung Pujut.
Desa Rembitan yang kemudian menjadi bukti sejarah bahwa di wilayah ini, dulunya
telah berkembang ajaran Islam yang mengajarakan ilmu-ilmu makrifat. Ilmu makrifat
6Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah 2011. www.depkes.go.id
diakses pada tanggal 3 November 2017. Pukul: 09:21. 7Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah (BPS Kabupaten Lombok
Tengah). https://lomboktengahkab.bps.go.id dan ppsp.nawasis.info. diakses pada tanggal 19
Desember 2017 pukul: 04:00 WIB.
69
tersebut diajarkan dalam bentuk pasoan dengan mempelajari ajaran makrifat melalui
tembang-tembang mencapat yang tertulis pada kitab-kitab daun lontar.8
Kitab-kitab ajaran makrifat yang diajarkan oleh para Waliyullah di antaranya,
Jatisware, Brambang Wulung, Langit Gite, Wirid Widayat Jati, Jimat Kalimosodo,
Indarjaya dan lain-lain. Penyampain ajaran makrifat ini dalam bentuk tembang, baik
tembang yang menggunakan Sinom, Maskumbang, Dandang Gendis, Pangkur, dan
Durme. Budaya paosan ini sampai sekarang masih tetap dilestarikan oleh paguyuban-
paguyuban Paosan seperti Paguyuban Pembasak Kabupaten Lombok Tengah,
Paguyuban Pangeran Sangupati Desa Batujai, Paguyuban Kise Jati Desa Gapura, dan
Paguyuban Puji Bakti Desa Sengkol.9
Desa Rembitan merupakan bagian dari Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok
Tengah dengan wilayah yang cukup luas dibanding wilayah atau Kecamatan lainnya.
Di wilayah inilah kemudian lokasi penelitian ini dilakukan. Luas wilayah Kecamatan
Pujut mencapai 1475 Hektar, dan salah satu wilayahnya adalah Desa Rembitan. Desa
Rembitan adalah lokasi keberadaan makam keramat Wali Nyato’. Wilayah ini terdiri
dari 15 dusun dengan jumlah KK mencapai 2.801 dengan total jumlah berdasarkan
jenis kelamin laki-laki mencapai 4.354 orang, dan perempuan sebanyak 4.692 orang.10
Di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, atau sekitar 49 km dari Kota Mataram,
terdapat sebuah makam keramat bernama makam Wali Nyato’ yang sudah sangat
melegenda. Makam Nyato’ letaknya tidak jauh dari keberadaan masjid tua Rembitan,
yang menambah keyakinan masyarakat bahwa di wilayah tersebut pernah hadir sosok
Wali yang membawa ajaran agama Islam. Bagi masyarakat Lombok Tengah, makam
keramat Wali Nyato’ telah menjadi bagian penting bagi kehidupan mereka karena
sang Wali dianggap telah berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam. Untuk itu, makam
ini dinilai keramat dan memiliki kekuatan spiritual juga berkah yang luar biasa.
Masyarakat yang datang melakukan ziarah atau istilah Jawa disebut nyekar,
adalah seringkali kedapatan dari motif-motif dan tujuan ziarahnya hanya untuk
meminta keselamatan, dimudahkan rezki, usahanya menjadi lancar, disembuhkan dari
penyakit, mendapat jodoh dan lain sebagainya. Para peziarah yang berkunjung sudah
pasti dengan niat yang tulus serta keiklasan untuk memohon berkah agar apa yang
dihajatkan cepat terkabulkan. Percaya atau tidak, realitas keagamaan dalam praktik
ziarah makam khususnya di makam keramat Wali Nyato’ ini faktanya terjadi.
Adapun masyarakat yang berziarah ke makam tersebut tentu tidak hanya dari
masyarakat lokal, tetapi ada pula yang datang dari Jawa karena informasi keberadaan
makam tersebut di peroleh bukan hanya dari cerita mulut ke mulut, tetapi bisa saja
8Almaidata, Identifikasi Masjid Kuno Gunung Pujut di Desa Sengkol, Pujut Lombok,
Nusa Tenggara Barat, sebagai bahan pengembangan bahan belajar Sejarah Lokal Jurnal:
Widya Winayata, Vol. 1 No. 1 2013 1-10. 9Lihat: Almaidata, Identifikasi Masjid Kuno Gunung Pujut di Desa Sengkol, Pujut,
Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagai bahan pengembangan Bahan Belajar Sejarah Lokal,
Jurnal Widya Winayata, Vol 1 No. I 2013 1-10. Lihat juga
http://dev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jornalvol3no2_06_dick.pdf. 10Profil Desa Rembitan, Kecamatan Pujut. Kabupaten. Lombok Tengah. Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB). http://www.prodeskol.binapemdes.kemedagri.go.id/mds/ di
akses pada tanggal 24 Januari 2018. Dan hasil wawancara Kepala Desa Rembitan tertanggal 7
Februari 2018.
70
bersumber dari petunjuk spiritual. Mengenai tradisi ziarah pada hari Rabu, kadang
menjadi buah bibir masyarakat. Konon hari Rabu adalah hari baik di mana sang Wali
akan memberikan berkahnya secara utuh. Beberapa warga mengaku pernah ada
wangsit dari Wali Nytao’ yang menyebutkan bahwa sang Wali ada pada hari itu.
Karena itulah kebiasaan melakukan ziarah pada hari Rabu kemudian terus dilestarikan
hingga saat ini.11
Salah satu ritual yang menjadi tolak ukur masyarakat dalam meyakini makam
Wali Nyato’ sangat luar biasa adalah air makamnya yang dikeramatkan. Air makam
tersebut acapkali digunakan sebagai sarana dalam mengungkap kasus atau kejadian
yang meresahkan masyarakat. Misalnya ketika ada warga yang kecurian, kemudian ia
mencurigai salah satu anggota masyarakatnya, maka orang yang dicurigainya akan
digelandang ke makam untuk disumpah. Di sana, di hadapan warga, orang tersebut
akan diminta meminum air tanah makam. Namun bagi mereka yang merasa mencuri,
sudah pasti tidak akan bersedia untuk meminmunya karena akan terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan pada dirinya. Untuk itu, air makam tersebut sangat diistimewakan
oleh masyarakat setempat.12
Sebagaimana yang diketahui bahwa keberadaan makam keramat Wali Nyato’
identik dengan keberadaan masjid tua Rembitan yang terletak di gunung Pujut dan
usianya diduga hampir sama dengan masjid tua yang berada di Bayan Lombok Utara.
Secara bangunan fisik dari masjid tersebut adalah ciri khas fondasi bangunan yang
terbuat dari tanah. Selain itu, gambaran secara karaktertistik yang khas dari masjid
tersebut adalah tali-temalinya yang juga terbuat dari bahan ijuk dan tali saot sejenis
akar gantung pada tumbuhan aren di hutan. Sedangkan tali pengikat dibagian atapnya
yang dari alang-alang disebut male.
Bangunan fisik dengan karakter yang khas dari keberadaan masjid tua
Rembitan yang terletak di gunung Pujut dengan model atap tumpeng yang tidak
memiliki serambi depan diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16. Dalam banyak
versi memang disebutkan bahwa Islam hadir di Lombok sekitar abad ke 16 yang
dibawa oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri dari Gersik.13 Adanya bangunan masjid
tua Rembitan yang terletak digunung Pujut seringkali dikaitkan dengan kehadiran
tokoh yang menyebarkan agama Islam di wilayah Rembitan waktu itu. Telah diyakini
pula bahwa Wali Nyato’ adalah sosok Wali yang pernah menyebarkan ajaran agama
Islam yang masuk ke wilayah Lombok bagian Selatan, di mana masyarakatnya saat
itu masih menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Dalam menyebarkan agama
Islam, Wali Nyato’ selalu memperlihatkan tingkah laku yang sangat terpuji, sopan
santun, bertutur bahasa yang baik, darmawan dan sangat berbudi pekerti.14
Melalui cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, konon ketika Wali
Nyato’ meninggal, jenazah beliau ditandu untuk dimakamkan, namun saat jenazahnya
akan dimakamkan tiba-tiba jasadnya menghilang. Cerita tersebut begitu melekatnya
11Wawancara dengan Lalu. Gnr, Juru Kunci Makam, 29 November 2017. 12Wawancara dengan L. Mrjn Guru, 12 Januari, 2018. 13Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus
Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2011), 3. 14M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes Darul
Muhajirin Praya, 1406), 5.
71
dalam benak masyarakat hingga memuat suatu keyakinan atau kepercayaan atas
kewalianya. Akibat dari adanya keyakinan tersebut maka timbullah pemahaman yang
mengarah pada suatu pemaknaan atas kekuatan spiritualitas yang dimiliki oleh sang
Wali. Akhirnya keberadaan Wali Nyato’ telah membentuk hubungan yang sangat kuat
dengan makamnya dan sulit dipisahkan. Untuk itu tidak ada satupun orang yang
berani menggugat keberadaan makam keramat Wali Nyato’, karena makam tersebut
telah diyakini oleh masyarakat sebagai makam seorang Waliyullah. “Memang sudah
menjadi kepercayaan masyarakat, barang siapa yang berani mengusik makam keramat
ini sudah jelas nyawa taruhannya. Apapun alasanya sulit diterima secara rasional.”15
B. Perkembangan Islam di Pulau Lombok
Munculnya pedagang-pedagang muslim yang menyebarkan Islam ke seluruh
penjuru dunia telah membawa dampak positif bagi perkembangan sosial kepercayaan
kehidupan manusia. Pertumbuhan agama Islam di berbagai belahan dunia termasuk
di Asia Tenggara dan nusantara juga tidak luput dari sasaran para pedagang-pedagang
muslim hingga masuk ke wilayah Sumatara Utara yang merupakan wilayah pertama
dimulainya perjalanan Islam ke Nusantara. Wilayah ini memiliki peran strategis
karena adanya pelabuhan besar yang membuat para pedagang muslim banyak
berlabuh di wilayah tersebut. Selain itu, wilayah Sumatra Utara juga berdiri Kerajaan
Islam pertama yang dikenal dengan Kerajaan Perlak dan Kerajaan Samudra Pasai.
Dari wilayah ini, Islam terus berjalan ke arah Timur yaitu Pulau Jawa.
Penyebaran Islam di pulau Jawa dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat
karena mereka sangat antosias dengan kedatangan Islam saat itu. Setelah Jawa,
penyebaran Islam juga terjadi di berbagai wilayah lainnya seperti di Sulawesi,
Kalimantan, Maluku dan sekitarnya. Selanjutnya menyebar ke wilayah Bali, Lombok,
NTT dan sekitarnya.16 Pulau Lombok yang terletak di sebelah timur Provinsi Bali dan
berbatasan dengan laut Selat Bali-Lombok, juga nampaknya tidak membedakan
bahwa masyarakat Lombok pada masa pra-Islam tidak berbeda dengan masyarakat
Bali dalam hal kepercayaan, yaitu menganut kepercayaan animisme17 dinamisme18
dan Hindu.19
Islam masuk pertama kali ke pulau Lombok diperkirakan sekitar abad ke 16
yang dibawa oleh Sunan Prapen. Dalam sejumlah catatan, Sunan Prapen disebutkan
tidak begitu lama tinggal di Lombok. Kemungkinan setelah melakukan pengislaman
terhadap Prabu Rangkesari, lalu Sunan Prapen melanjutkan perjalanan dakwahnya ke
Sumbawa dan Bima hingga ia menyerahkan tugas penyebaran Islam pada dua orang
15Wawancara dengan Lalu Ginsir, Penjaga makam dan Rs, 27 Desember 2917. 16Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis
tentang Penyebaran Islam di Nusantara, 2016), 5-6. 17 Animisme adalah ajaran tentang realitas jiwa, yakni titik berat pemujaan pada
mahkluk-mahkluk sepiritual yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Lihat: Romdhon, A.
Singgih Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia, 1988), 36. 18Kata dinamisme berasal dari Bahasa Yunani yaitu: “dunamos”. Istilah Inggrisnya
adalah “dynamis”. Dalam bahasa Indonesia adalah kekuatan, kekuasaan. Lihat: A. Singgih
Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 43. 19Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis
tentang Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), 254.
72
kepercayaanya yaitu Raden Sumuliya dan Raden Salut. Lima abad kemudian,
Lombok dan Sumbawa menjadi Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan mayoritas
penduduknya penganut agama Islam. Dari sekitar 4 juta jiwa lebih penduduknya, saat
ini tercatat sekitar 80% masyarakat Lombok memeluk agama Islam dan sisanya 20%
adalah agama Hindu, Budha, dan Kristen.20
Adapun sumber secara tertulis dan terbilang paling tua tentang salah satu
informasi yang menjelaskan proses islamisasi di Lombok adalah Babad Lombok.21
Pada naskah tersebut banyak dijelaskan tentang penyebaran Islam di Lombok.22
Kendati demikian, secara historis nampaknya ada dua versi yang berbeda tentang
penyebaran Islam di pulau Lombok, di mana jika dihubungkan dengan Islam di Jawa,
maka tidak terbantahkan dengan kehadiran Wali Sanga yang banyak berperan dalam
menyebarkan Islam di wilayah Nusantara. Sedangkan versi berikutnya adalah Islam
yang berasal dari wilayah Sumatra Utara, yaitu; Islam tidak langsung datang ke pulau
Lombok, tetapi prosesnya melalui Goa Makasar.
Di wilayah Makasar terdapat tokoh-tokoh yang sudah memeluk agama Islam
sekitar tahun 1600 M, salah satunya adalah Dato’ Ri Bandang dan Dato’ Ri Fatming.
Tokoh-tokoh tersebut kemudian menyebarkan agama Islam ke Bima dan Sumbawa,
lalu setelahnya menuju Pulau Lombok. Menurut Jamaludin, Islam yang datang dari
arah Timur dan Barat ke Lombok adalah sama karena Dato’ Ri Bandang23 merupakan
salah satu murid Sunan Giri yang datang ke Lombok dan lebih dahulu mengislamkan
Makasar, Sulawesi, Bima dan Sumbawa. Sedangakan kedatangan Islam dari Jawa
yang dibawa oleh Sunan Prapen putra Sunan Ratu Giri untuk menyebarkan Islam di
pulau Lombok, diperkirakan datang dari arah Barat-Utara hingga mendarat melalui
pelabuhan Carik atau Anyar Lombok Barat yang saat ini pelabuhan tersebut tidak lagi
menjadi wilayah Lombok Barat (Lobar) tetapi menjadi wilayah Kabupaten Lombok
Utara.24
Pendapat di atas diperkuat oleh Geoffrey Stewart Morrison yang menyatakan
bahwa Islam datang ke pulau Lombok dibawa oleh Sunan Prapen. Setelah Sunan
Prapen menyebarkan Islam di pulau Lombok, lalu beliau melanjutkan perjalanannya
ke Bima dan Sumbawa hingga beliau kembali lagi ke Pulau Lombok.25 Menurut
Yusuf Tantowi, secara mitologi lokal yang ditulis dalam berbagai babad atau sejarah
bahwa Sunan Giri disebut-sebut sebagai salah seorang yang paling bertanggung jawab
atas penyebaran Islam di Nusantara termasuk ketika memperkenalkan Islam di Pulau
Lombok sekitar tahun 1545. Kedatangan Sunan Giri baru berhasil saat kedatangannya
20Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis
tentang Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), 254-255. 21Tentang naskah ini lihat Edi S. Ekajati, Direktori Naskah Nusantara (Jakarata:
Yayasan Obor Indonesia, 2000), 444. 22 Lalu. Wacana. Babad Lombok, (Jakarta: Depdikbud, 1979), 17. 23Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX),
Jurnal Indo-Islamika Vol. 1, No. 1, 2011, 76. 24 Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus
terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kemenag RI, 2011), 59. 25Geoffrey Stewart Morrison, Sasak and Javanese Literature of Sasak (Netherlands:
KILTV Press, 1999), 4.
73
yang kedua ke pulau Lombok. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa Islam
masuk ke Lombok sekitar abad 16 M atau menjelang awal abad ke 17 M, dimana saat
itu adalah abad runtuhnya kerjaan Majapahit yang digantikan dengan kekuasaan
kerajaan-kerajaan kecil Muslim yang mengikat perdagangan hingga ke pesisir utara
Lombok.26
Dalam tulisan Lalu Wacana, dijelaskan pula tentang awal kedatangan Sunan
Prapen melalui jalur darat dengan melintasi laut dan mendarat pertama kali tepatnya
di perkampungan tua bagian pesisir utara dengan nama kampungnya adalah kampung
Salut.27 Kampung Salut merupakan salah satu wilayah yang terletak di daerah pesisir
utara. Kampung ini memiliki peran strategis dalam proses Islamisasi di wilayah
Lombok. Dari Salut, kemudian masuk ke kerajaan Lombok dan menyebar ke berbagai
wilayah lainnya yaitu di bagian Utara masuk di kerajaan Bayan, dan ke arah barat
masuk di kerajaan Pejanggik, dan beberapa kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sedangkan ke arah selatan masuk di wilayah Pujut, Rembitan dan sekitarnya.
Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya ke Labuan Lombok di Menaga
Baris. Kedatangannya disambut baik oleh Prabu Rangke Sari beserta patih dan para
punggawa-punggawanya. Awal mula kedatanganya tidak diterima oleh raja Lombok
saat itu namun setelah menjelaskan maksud kedatangannya untuk menjalankan misi
suci yang akan dilakukan secara damai dan tidak menggunakan kekerasan, barulah
kemudian Sunan Prapen dapat diterima dengan baik oleh sang raja.28
Versi lain menyebutkan bahwa Islam datang ke pulau Lombok disebarkan
oleh Pangeran Sangupati. Banyak pendapat mengenai siapa Pangeran Sangupati ini,
akan tetapi Pangeran Sangupati disebut sebagai salah seorang Pangeran yang berasal
dari Kudus, dan menyebarkan ajaran Islam yang bernuansa mistik dan sinkeritis
Hindu-Budha yang mendatangi salah satu wilayah di Lombok bagian utara tepatnya
di kampung Bayan. Mengenai kedatangan Pangeran Sangupati ada pendapat yang
mengatakan bahwa beliau merupakan seorang Pedande yang berasal dari Bali.
Meskipun ada yang menyebutkan Pangeran Sangupati adalah muridnya Walisonga,
tapi ada pula yang mengatakan Pangeran Sangupati adalah putra asli kerajaan
Selaparang29 dan dianggap sebagai seorang Wali.30 Berdasarkan penjelasan ini
Morrison mengatakan: Pangeran Sangopati membawa Islam jenis mistik dari Jawa
dan diperhitungkan oleh orang Sasak sebagai pendiri waktu telu (“He brought mystic
26Yusuf Tantowi, “Mengurai Konflik Sunnah dan Bidah di Bumi Seribu Masjid”
dalam Alamsyah M. Dja‘far, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi
di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), 16. 27 Salut adalah kampung tua yang menjadi bagian dari wilayah pesisir dan terletak di
pinggir pantai bagian utara. Bukan Salut yang di Narmada, karena selain letaknya yang berada
di tengah, kemungkinan itu juga adalah kampung baru. Akan tetapi Salut yang dimaksud di
sini adalah Salut yang ada di pesisir utara pulau ini dan mempunyai peran yang sangat strategis
terhadap keberhasilan dakwah Sunan Prapen di Pulau Lombok. 28Lalu Wacana. Babad Lombok, 17. 29Selaparang merupakan nama lain dari Lombok. 30Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus
terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kemenag RI, 2011), 50.
74
type of Islam from Java and is reckoned by the Sasak as the founder of the waktu
telu”.31)
Berdasarkan hal tersebut, dalam kajian mengenai kepercayaan masyarakat
Suku Sasak pada masa awal penyebaran agama Islam di Lombok adalah munculnya
istilah Wetu Telu dan Wetu Lima, istilah ini dikategorikan sebagai kepercayaan
masyarakat pribumi atau oleh sebagian kalangan menyebutnya dengan sinkretisme.32
Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakan istilah tersebut.
Yang jelas dalam beberapa temuan historis bahwa Pangeran Sangupati adalah seorang
Pangeran yang memiliki dua orang anak yaitu Nurcahya dan Nursada. Kedua anaknya
sama-sama memiliki peran penting yaitu Nurcahya mengajarkan Islam Wetu Lima dan
Nursada mengajarkan Islam Wetu telu.
Adapun rujukan utama dalam kajian Islam Wetu Telu dan Wetu Lima di
Lombok adalah penelitian Erni Budiwanti (2000). Catatan Erni dalam M. Harfin
Zuhdi dijelaskan bahwa dikalangan masyarakat Suku Sasak terdapat tiga kelompok
praktik keberagamaan yaitu Sasak Boda, Wektu Telu, dan Wektu Lima.33 Adapun
pendapat yang mengatakan bahwa Sasak Boda disebut sebagai agama pribumi suku
Sasak masyarakat Lombok, meskipun sebutan yang mirip dengan kata Budha akan
tetapi mereka bukanlah penganut agama Budha. Hal ini ditandai dengan tidak
meyakini Kitab Sidharta Gutama sebagai figur utama pemujaanya ataupun terhadap
ajaran pencerahannya.34 Dalam catatan Jamaluddin, Sasak Boda bukanlah sebagai
agama asli orang pribumi Suku Sasak seperti halnya yang dipahami oleh kebanyakan
peneliti selama ini. Karena Boda merupakan agama Budha yang terdistori, terlebih
pada perkembangnya justru orang Boda lebih memilih menjadi pengikut Budha
daripada memeluk agama Islam.35
31Morrison, Sasak and Javanese Literature of Sasak (Netherlands: KILTV Press,
1999), 4. 32Sinkretis adalah sistem budaya yang menggambarkan percampuran antar budaya
Islam dengan budaya lokal. Budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre
keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permissif tehadap
unsur budaya lokal. Oleh karena sifat kebudayaan itu dinamis, maka budaya sinkretis juga
dinamis. Sebagai contoh: budaya sinkretis yang diwujudkan antara lain dalam bentuk tradisi
selametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, tedun, wayangan, sesaji, ngalap berkah, sari dukun,
dan seterusnya. Dari dulu hingga sekarang tidaklah sama. Orang sekarang mengetahui
kebiasaan-kebiasaan itu merupakan sesuatu dari apa yang dilihatnya saat ini. Bahkan mereka
tidak tau kebiasaan tersebut sudah secara turun-temurun mengalami berbagai tahap perubahan.
Akan tetapi tradisi-tradisi yang turun-temurun tetap mencerminkan adanya benang merah,
yaitu adanya doa-doa Islam sebagai roh serta seperangkat-seperangkat lokal sebagai wadah
dalam budaya Islam sinkretis. Lihat: Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis
(Jakarta: Kompas Media Nusantar, 2010), 5. 33Muhammad Harfin Zuhdi, “Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika Islam
Normatif dan Islam Kultural”, Religia: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 12, No.1 (2009), 21. 34 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS,
2000), 76. 35 Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus
terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kemenag RI, 2011), 46.
75
Islam Wetu Telu identik dengan ajaran animisme. Maka tidak salah kemudian
jika muncul beragam asumsi yang menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu merupakan
Islam yang menganut kepercayaan dengan nilai budaya Hindu maupun Budha. Hal
ini sangat beralasan karena telah terjadinya interaksi sosiologis bahkan religius
tentang keyakinan dan kepercayaan yang cukup lama terjadi pada masa lampau.
Bahkan di sebuah desa di Kecamatan Narmada yang bernama Desa Golong, agama
Hindu tidak disebut Hindu tetapi agama Bali, sedangkan orang Hindu yang masuk
Islam disebut beselam.36
Di wilayah bagian selatan tepatnya di Desa Rembitan Kecamatan Pujut,
Kabupaten Lombok Tengah juga dikisahkan tentang hadirnya seorang Waliyullah
yang memiliki peran penting dalam menyebarkan agama Islam. Dalam catatan M.
Najamuddin Makmun,37 masyarakat Desa Rembitan dulunya menganut kepercayaan
Islam Wetu Telu. Kemungkinan penganut Islam Wetu Telu masih dapat dijumpai dari
sebagian kecil masyarakat Desa Rembitan terutama kepada para sesepuh (tertua)
mereka. Namun seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, masyarakat
Desa Rembitan mulai mengalami teransisi kepercayaan yang tadinya menganut
kepercayaan Islam Wetu Telu beralih menjadi penganut Islam Wetu Lima (Islam yang
taat) yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist. Kemudian disebutkan bahwa
masyarakat Desa Rembitan merupakan penganut pertama Islam Wektu Lima.
Keberhasilan dakwah Islam di pulau Lombok karena cara penyebarannya
kepada masyarakat Lombok yang tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama
masyarakat setempat hingga membentuk akulturasi antara Islam dan budaya. Hanya
saja penyebar Islam tersebut banyak menggunakan sarana adat-istiadat setempat
untuk mempermudah ajaran Islam. Kitab-kitabnya pada masa itu kembali ditulis
dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dan syahadat bagi para penganut
kepercayaan Wetu Telu dilengkapi kalimat dalam bahasa Jawa Kuno dan hanya para
pemangku adat atau Kyai yang diwajibkan melakukan peribadatan.38
Kepercayaan Wetu Telu merupakan praktek keberagamaan masyarakat Suku
Sasak di Lombok dalam menjalankan agama Islam. Diduga bahwa praktek ini terjadi
karena para penyebar Islam pada masa lampau memperkenalkan Islam ke masyarakat
Sasak pada waktu itu belum sepenuhnya berjalan dengan baik, lalu para penyebar
ajaran Islam secara bertahap meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan
Islam dengan lengkap. Saat ini penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan
hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu. Sebagai akibat gencarnya
para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktek tersebut.39
36Muhamad Iwan Fitriani Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas Islam Pribumi
Versus Islam Salafi di Sasak Lombok. Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume. 5,
Desember 2015, 250. 37Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:
Darul Muhajirin Praya, 1406), 1. 38Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis
tentang Penyebaran Islam di Nusatara (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), 255. 39Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1933 Studi Kasus
Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama, 2011), 45-47.
76
Kepercayaan masyarakat terhadap ajaran para leluhur atau nenek moyang
mereka terdahulu kadang masih mengakar bahkan tidak menutup kemungkinan masih
dapat dijumpai di beberapa wilayah-wilayah tertentu di pulau Lombok khususnya
pada kalangan generasi tua atau yang sudah lanjut usia. Melalui kepercayaan terhadap
ajaran para leluhur ini, berkembang pula suatu tradisi atau ritual-ritual keagamaan
seperti upacara kematian, peringatan ke-9 hari setelah meninggal, ziarah ke kubur atau
ziarah makam dan lain sebagainya dalam kehidupan masyarakatnya.
Makam Wali Nyato’ yang berlokasi di Desa Rembitan merupakan salah satu
makam keramat yang sampai saat ini masih ramai diziarahi oleh masyarakat setempat.
Sejumlah masyarakat yang berdatangan melakukan ziarah di makam tersebut karena
dianggap memiliki nilai historis dan kekuatan spiritual yang luar biasa sebab jasa-jasa
sang Wali dalam menyebarkan ajaran Islam. Oleh karena itu, makamnya diyakini
sebagai makam keramat yang jika melakukan ziarah dan berdoa di makam tersebut
maka doa-doa yang dipanjatkan akan cepat dikabulkan.
Dalam keyakinan masyarakat setempat, jika ziarah di makam keramat Wali
Nyato’ setidaknya akan mampu memberikan ketenangan batin atau kedamaian jiwa
serta rasa tentram dan kenyamanan dalam hidup mereka sehari-hari. Ziarah dalam
tradisi Islam merupakan salah satu perjalanan spiritual (the advanture of spirituality)
dalam rangka memperoleh sumber berkah dari para Wali yang memiliki kedekatan
dengan sang pencipta (Allah swt).40
Pengakuan masyarakat tentang rasa kesejukan hati yang diperolehnya setelah
berziarah di makam tersebut semakin memperkuat bahwa makam itu adalah makam
seorang Waliyullah yang dulunya pernah hadir membawa ajaran Islam di bumi Sasak
bagian Selatan. Masyarakat yang berziarah di tempat itu, tidak lepas dari motif-motif
awal karena mengharap berkah dari sang Wali dengan berdoa meminta keselamatan,
disembuhkan dari penyakit, dipermudahkan rizkinya, berdoa agar cepat mendapatkan
jodoh bagi anak-anak muda, dan lain sebagainya.41
Di sisi lain, paham keagamaan lokal, di masa orde baru dapat dikelompokkan
dalam aliran kepercayaan di mana agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap
sesuatu yang bersifat adikodrati dan selalu menyertai manusia dalam ruang lingkup
kehidupannya. Ajaran yang terkandung dalam agama sesungguhnya dapat mengatur
kehidupan manusia saat hubungannya dengan masyarakat.42
Indonesia yang dikenal sebagai negara pluralis dalam bidang pemahaman
agama sebagaimana yang diyakini oleh masing-masing penganutnya faktanya telah
melahirkan berbagai tradisi dan kepercayaan lokal. Tradisi dan kepercayaan lokal ini
terjadi karena akulturasi43 antara tradisi besar dan tradisi kecil yang berlangsung
40 Mohammad Takdir Ilahi, Ziarah dan Cinta Rasa Islam Nusantara Jurnal Pemikiran
Islam, Volume 21 No. 1 2016, 117. 41Wawancara dengan Yn, Peziarah dan I.r, Pedagang, 3 Januari 2018. 42Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2012), 3. 43Akulturasi terjadi apa bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian ruapa
sehingga unsur-unsru kebudayaan asing itu, lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri, tanpa menhapus kebudayaan yang sudah mapan. Lihat: Soerjono
Soekanto, Sosiologi Sutau Pengantar (Jakarta: RajaGrapindo, 2006), 168.
77
cukup lama. Tradisi dan kepercayaan lokal ini sering kali menjadi pelengkap agama
yang dianut oleh mereka. Agama dan tradisi lokal diwariskan secara turun temurun
melalui sosialisasi dan enkulturasi.44
Berkenaan dengan hal tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam The
Oxford English Dictionary bahwa pertama: agama merupakan tindakan atau perilaku
yang selalu menggambarkan suatu bentuk kepercayaan dan penghormatan atas hasrat
dalam mewujudkan rasa ketenangan jiwa dari suatu kekuatan yang maha menguasai
perilaku atau perbuatan atas ritual dan ibadat tersebut. Kedua: agama merupakan suatu
sistem keyakinan dan ibadah tertentu. Ketiga: kesadaran dan pengakuan manusia atas
kekuatan yang tidak dapat dicerna oleh indra yang lebih tinggi sebagai yang berhak
atas ketaatan, penghormatan, dan ibadat dari kepercayaan tersebut. Hal ini berkaitan
langsung dengan pengaruhnya atas eksistensi individu dan masyarkat sehingga
mampu diterima secara kolektif hingga perasaan tersebut menjadi standar kehidupan
sepiritual dan kehidupan praktis. Keempat: ketaatan terhadap beberapa prinsip yaitu
suatu ketaatan dan kesetiaan yang sempurna baik itu sifat mendengarkan, sifat kehati-
hatian, kasih sayang, dan cinta yang suci.45
Gambaran di atas menunjukkan bahwa di negara manapun terdapat suatu
keyakinan atau kepercayaan yang mungkin saja berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Namun perbedaan yang terlihat hanyalah dari segi pelaksanaan ibadah atau
tata cara berdo’a karena setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu menuju pada
kebaikan, perdamaian, kebersamaan, dan mendapat kasih sayang dari Tuhan. Ajaran
agama memiliki pengaruh besar dalam menyatukan persepsi kehidupan masyarakat
tentang semua harapan hidup adalah bagian dari proses atau cara yang sistematis dan
mendarah daging terhadap ajaran tersebut. Perilaku sosial agama memasuki hati
nurani manusia sehingga akal pikiran utama mencari makna hidup yang belum
sempurna apabila substansi ajaran agama tidak dijadikan rujukan terpenting secara
epistimologis46 ataupun aksiologis.47
Kesamaan ideologis dalam beragama disosialisasikan melalui wadah yang
dibangun melalui cita rasa yang sama sehingga terbentuknya organisasi atau institusi
44Istilah yang sesuai untuk kata “Enkulturasi” adalah “Pembudayaan” (dalam bahasa
Inggris digunakan istilah institutionalization). Proses enkulturasi adalah proses seorang
individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem
norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Lihat: Koentjaraningrat Pengantar
Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 189. 45Hillary Rodrigues and John S. Harding, Introduction to the Study of Religion,
(London & New York: Routledge, 2009), 3. 46Epistimologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan
pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu,
termasuk di dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan lainnya
seperti seni dan agama. Lihat: Jujun S. Suryasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2017), 104. 47Aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu. Ilmu merupakan hasil karya individu
dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat
keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan
oleh masyarakat tersebut. Lihat: Jujun S. Suryasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2017), 237.
78
keagamaan yang dengan prosesnya bila mana terjadi secara terus-menerus melalui
sistem kepemimpinan yang telah diligitimasi oleh doktrin agama, maka dalam setiap
perilakunya akan membentuk kolektivitas dan homognitas perilaku yang dominan.48
Institusi keagamaan banyak berfungsi sebagai tempat untuk melakukan ritual-
ritual agama atau ibadah. Pentingnnya sebuah institusi keagamaan dalam kehidupan
masyarakat akan menjadi wadah yang dinilai efektif dalam menjembatani berbagai
permasalahan-permasalahan soisal yang dihadapi oleh manusia. Sebagaimana halnya
presiden Amerika Serikat yang bernama Bill Clinton, bahwa ia menyadari pentingnya
institusi keagamaan hingga praktek-praktek keagamaan di negaranya dinilai sangat
berpengaruh pada maslah-maslah sosial. Menurutnya institusi keagamaan setidaknya
mampu mengurangi persoalan-persoalan sosial seperti hamil di luar nikah, tindak
kekerasan dan pecandu narkoba.49 Institusi agama juga memiliki pengaruh terhadap
budaya dan sosial kehidupan masyarakat.50
Institusi agama juga dipandang sebagai tempat untuk menyampaikan ajaran-
ajaran Tuhan melalui kitab sucinya, tempat berdoa, dan sarana untuk mengajarkan
umat manusia sebagai mahluk sosial sekaligus memperatekkan misi Tuhan di dunia.51
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa agama merupakan satu bentuk legitimasi yang
paling efektif sekaligus merupakan semesta simbolik yang bisa memberi makna pada
kehidupan umat manusia serta memberikan penjelasan yang paling sempurna dan
komprehensif tentang seluruh realitas yang ada.
Nurcholis Madjid mengatakan bahwa agama merupakan salah satu sistem
pandangan yang menawarkan makna dan tujuan hidup manusia. Inti persoalanya
adalah bukan pada apakah dalam menjalani kehidupan manusia mempunyai tujuan
atau mempunyai makna, melainkan pada bagaimana manusia memilih makna dan
tujuan hidup, karena hidup bukanlah suatu lingkaran yang tidak jelas ujungnya, akan
tetapi berpangkal dan akan berujung pada kematian. Melalui kematian itu kemudian
manusia akan bertemu dengan Tuhan sebagai pemberi kehidupan ini.52
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pandangan atas suatu kepercayaan atau
keyakinan setiap orang sudah tentu memiliki tujuan dan makna dalam setiap tindakan
sosial keagamaan yang mereka praktekan dalam kehidupannya. Praktek ziarah kubur
atau ziarah makam misalnya, adalah salah satu bagian dari suatu tindakan keagamaan
yang memiliki banyak makna. Misalnya, untuk mengingat akan datangnya kematian
48Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional
dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung: Refika Aditama 2007), 2. 49 Patrick F. Fagan. “Why Religion Matters: The Impact of Religioun Practice on
,Social Stability” The Heritage Foundation 25 January 2014.
http://www.heritage.org/research/reports/1996/01/bg1064nbsp-why-religion-matters (diakses
pada tanggal 27 February 2018). 50 ‘Alā’ al-Dīn z’atarī, ”Wazīfah al-Masjid al-Thaqāfiyah”, ‘Alā’ al-Dīn Z’atari
(2007-2015), http://www.alzatari.net/print-research/231.html (akses 12 Januari 2018). 51 Ray Gilder, “Focus on the Basic Functions of the Church”, Life Way (2001-2015),
http//www. Lifeway.com/Article/Focus-on-the-Basic-Functions-of–the-Church, (diakses pada
tanggal 27 Febwari 2018). 52 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Maslah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
2006), 26-27.
79
disamping dapat mengambil pelajaran dari keadaan mereka, termasuk memperoleh
kebaikan atau pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak berdosa bagi yang tidak
melakukannya. Mengingat kematian adalah sebuah perenungan manusia untuk selalu
mengingat akan akhirat. Dengan mengingat akhirat berarti manusia harus menyiapkan
amal kebaikan untuk menghadapi kematiannya.
Ziarah kubur atau ziarah makam juga memberi pelajaran kepada kita untuk
senantiasa mempersiapkan diri dengan berbekal iman dan takwa, amal dan ibadah kita
kepada Allah Swt, untuk menghadapi datangnya kematian yang tidak dapat diketahui
oleh siapapun kecuali Allah Swt. Namun demikian, ziarah kubur atau ziarah makam
oleh sebagian masyarakat kadang masih dipandang sebagai praktek keagamaan yang
kurang murni atau bahkan dikelaim sebagai perilaku menyimpang dalam ajaran
agama Islam. Akan tetapi ziarah kubur telah dianjurkan oleh Rasulallah Saw53 selama
tidak berbuat syirik atau meminta kepada orang yang dimakamkan.
Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah ini kemudian menjadi sebuah tradisi
Islam, walaupun sebagaian golongan menyebutnya sebagai perbuatan bidah. Namun
ketika Islam masuk di Indonesia, tradisi ziarah kemudian menemukan relevansinya
dengan budaya. Sebagaimana yang dipahami bersama bahwa tradisi ziarah sangat
melekat dengan kepercayaan animisme-dinamisme pada masa pra-Islam. Akulturasi
Islam dan budaya dalam bentuk ziarah kubur inipun berjalin kelindan, di mana tradisi
ziarah kubur termasuk ajaran tentang kematian. Bagi sebagaian masyarakat suku
Sasak Lombok kadang tradisi ziarah dipahami lebih kepada melakukan komunikasi
dengan arwah para leluhur. Sehingga dari pemahaman ini kemudian menimbulkan
distorsi tujuan ziarah. Untuk itu, motivasi berziarahpun menjadi sangat beragam, di
mana ziarah tidak hanya untuk mengingat kematian dan mendekatkan diri kepada
Allah Swt semata, tetapi ada tujuan-tujuan tertentu yang hendak ingin dicapai seperti
kepentingan-kepentingan duniawi dan ukhrawi oleh para peziarah itu sendiri.54
C. Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal
Sentuhan-sentuhan Islam dalam ajarannya maupun hukum Islam itu sendiri
seringkali mewarnai berbagai ritual dan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
telah menunjukkan tentang adanya keberadaptasiannya antara budaya dengan agama.
Meskipun dalam konteks teologis dan fiqih normatif kadang-kadang menghadirkan
kontroversi, tetapi realitasnya tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat selalu
dapat dilakukan oleh kalangan muslim tradisional pada umumnya. 55
Kalangan muslim tradisional juga melihat bahwa aturan-aturan dalam Islam
bukan hanya dimengerti sebagai ideologi yang bersifat stagnan terhadap objek-objek
sehingga kemudian bertindak sebagai oposisi dalam tradisi kehidupan masyarakatnya,
53Dalam hadist sahih riwayat Bukhari dan Muslim, diriwayatkan bahwa Rasulallah
Saw, pernah bersabda: “dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kubur, maka sekarang
ziarahlah”. (H.R Imam Bukhari dan Muslim). 54Lihat: Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para
Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)
Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 153. 55K.H Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Jakarta: Suka Buku,
2010), 20.
80
tetapi Islam diakui sebagai agama yang sangat lentur, dinamis dan sangat akomodatif
terhadap budaya-budaya lokal masyarakat. Secara konsepsi dalam menyelaraskan
unsur-unsru budaya tersebut terutama mengenai unsur-unsur yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat adalah bagian dari aturan Islam
dalam budaya lokal.56
Pernyataan di atas, menggambarkan tentang hubungan Islam dengan budaya
lokal yang pada kenyataanya dapat menimbulkan kecenderungan beradaptasi kultural.
Adaptasi menurut Giddens dari Rappaport, adalah sistem suatu kelompok organisme
yang disertai dengan transisi reaktif atau responsif dalam situasi dan kondisinya yang
tersetruktur beserta komponen-komponennya mampu mempertahankan homesostasis
di antara mereka sendiri dalam menghadapi fluktuasi lingkuangan jangka pendek atau
perubahan jangka panjang pada komponen atau struktur lingkungannya.57
Adaptasi suatu komunitas lokal bukan hanya dengan alam atau komunitas
lokal lainnya, tetapi juga dengan budaya global, sebagaimana yang kita ketahui bahwa
lazimnya persentuhan antara budaya lokal dengan budaya global menjadi salah satu
fenomena baru yang tidak dapat dibendung oleh masyarakat. Al-Jabiri mengatakan
bahwa kebudayaan atau tradisi merupakan eksistensi yang muncul dan dipengaruhi
oleh kondisi kekinian. Munculnya tradisi bukan sebatas dinilai sebagai serpihan-
serpihan masa lalu, tetapi sebagai masa lalu dan masa kini karena sifatnya yang utuh
dengan tindakannya sekaligus pola pikir masyarakat itu sendiri.58
Sejalan dengan apa yang di definisikan oleh Edward Burnett Tylor, bahwa
budaya meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan
lain-lain. Sederhananya adalah kebudayaan merupakan serangkaian peraturan atau
norma-norma yang dimiliki secara kolektif oleh anggota masyarakatnya, dan ketika
dijalankan oleh anggota masyarakat tersebut biasanya akan menimbulkan perilaku
yang dianggap layak dan dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. Kroeber juga
menambahkan bahwa kebudayaan tidak hanya memperlihatkan perilaku yang tampak
secara lahiriah dengan sikap dan tindakan yang ada pada diri manusia, akan tetapi ia
berupa nilai dan kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk memberikan suatu
penafsiran atau interpretasi terhadap pengalamannya yang melahirkan perilaku dan
mencerminkan perilaku itu sendiri.59
56Islam dalam sudut pandang teologis, merupakan sistem nilai-nilai sekaligus ajaran
yang bersifat Ilahiyah, maka dalam konteks ini kemudian Islam dikenal dengan sifatnya yang
sangat transinden. Disamping itu, Islam juga dapat dilihat dalam aspek sosiologis, karena
menjadi suatu fenomena peradaban kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ini
berarti bahwa Islam dalam sebuah realitas sosial tidak hanya dipandang sebagai doktrin yang
bersifat universal, tetapi ia mengaktualisasikan dirinya dalam institusi-instiusi sosial yang
banyak dipengaruhi oleh kondisi dan budaya lokal itu sendiri. Jornal Diskursus Islam Volume
1 (April 2013), 57. Lihat: Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina,
1996), 47. 57Anthony Giddens, The Constitution Of Society Teori Struturasi Untuk Analisis
Sosial (Pasuruan: Pedati, 2003), 283. 58Tabroni dan Syamsul Arifin, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi
Untuk Aksi dalam Kebergantungan dan Pendidikan, (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), 174. 59E.B. Tylor, Primitive Culture (London: J. Murray 1997), 135. Lihat: Nuruddin,
dkk. Agama Tradisional: Potert Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger
81
Sistem tradisi keberagamaan masyarakat secara plural juga telah membentuk
keyakinan masing-masing terutama agama-agama yang paling banyak dikenal seperti
agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagai agama-agama dunia.
Durkheim, pernah menyatakan bahwa proses fundamental yang menjadi sarana untuk
membangun kehidupan sosial sesungguhnya memiliki watak agamis. Kemunculan
masyarakat juga ditandai dengan sirkulasi menular energi-energi emosional yang
membuahkan pengalaman unik dan representasi kolektif atas apa yang disebutnya
sebagai “dunia sakral.”60
Dalam pengalaman keagamaan yang bersifat pribadi (individual experience)
dan unik merupakan pengalaman keagamaan yang dialami oleh setiap manusia dari
penganut suatu agama yang berbeda dengan penganut agama lainnya. Oleh karena itu,
hakekatnya terhadap setiap orang yang memiliki pengalaman keagamaan baik melalui
ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan biasanya memperoleh pengalaman yang
derajatnya sangat individual. Misalnya; timbulnya perasaan religius yang merupakan
keadaan batin manusia dan timbul sebagai akibat dari konsekuensi-konsekuensi logis
terhadap keberagamaanya. Durkheim sendiri menyebutkan bahwa perasaan religius
tersebut merupakan inti dari keberagamaan seseorang yang muncul dari emosi
keagamaannya. Dalam hal ini Islam telah mengajarkan umatnya dari apa yang disebut
dengan ihsan yang berarti merasakan kehadiran Tuhan di hati seseorang.
Pengalaman dan rasa religius akan hadir ketika seseorang memanjatkan do’a
atau melakukan ibadah di tempat-tempat tertentu. Akibat dari adanya spiritual yang
ditimbulkan oleh praktik-praktik ibadah atau ritual-ritual keagamaan yang dilakukan
tersebut kebanyakkan melahirkan berbagai pengalaman yang sangat menarik, unik,
berciri khas dan berbeda-beda. Misalnya; tentang pengalaman seseorang muslim yang
pernah melaksanakan ibadah haji, pengalaman sesorang ketika melaksanakan wirid,
membaca al-Qur’an berziarah ke makam, melaksanakan Shalat malam dan lain-lain.61
Fenomena ziarah makam kemudian muncul menjadi suatu tradisi keagamaan
dan memiliki berbagai dimensi keyakinan yaitu dimensi yang berisikan pengharapan
sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Selain itu, ada dimensi praktik
keagamaan yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang
terkandung di dalamnya. Aktivitas-aktivitas keagamaan ini akan menghasilkan suatu
pengalaman penting dan membentuk keyakinanya dari ajaran yang dianutnya. Oleh
karena itu, seseorang akan merasa puas dengan praktik-praktik keagamaan yang
pernah dijalankannya tersebut.
Agama itu hadir sebagai suatu kenyataan, di mana kehadiranya selalu ditandai
dengan keyakinan terhadap kekuatan dari luar diri manusia terutama kapada sang
Ilahi. Keyakinan terhadap sang Ilahi ini kemudian menumbuhkembangkan kesadaran
religius yang secara terus-menerus mewarnai sejarah kehidupan manusia, sebab mau
tidak mau harus diakui bahwa berbagai agama di dunia juga membutuhkan kondisi
(Yogyakarta: LkiS, 2003), 126. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI
Press, 77. 60Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment, Religion,
and Socilogical Theory. Dalam Brayan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, (UK: Oxford, 2010), 206.
61 Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 108.
82
religiusitas itu sendiri.62 Seperti halnya Comte yang memandang agama sebagai aspek
fundamental kehidupan sosial, karena agama terlibat secara kreatif di dalam aspek-
aspek pengejawantahan manusia yang wajib terhadap sebuah keniscayaan dengan
perkembangan makna dan tatanan kehidupan sosialnya.63
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan akan senantiasa berhubungan secara
dialektik, selalu berdampingan dan tidak terpisahkan. Ketiganya berhimpitan saling
menciptakan dan meniadakan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat itu telah ada
sebelum seseorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu itu mati.
Oleh kerenanya, melalui masyarakatlah dapat dikatakan proses dari hasil sosial suatu
identitas. Selain itu, manusia tidak akan pernah eksis jika terpisah dari masyarakat.
Hal ini memperlihatkan adanya dialektika inheren dari fenomena masyarakat itu
sendiri.64
Kalangan ilmuan sosial sering kali melihat kebudayaan sebagai realitas yaitu
sesuatu yang telah ada dan diciptakan, dihasilkan, dibentuk, atau sudah dilembagakan
karena ia merupakan produk masyarakat. Menurut Koentjaranigrat ada tiga wujud
dalam konteks kebudayaan yaitu: sebagai sistem ide-ide, sistem tingkah laku, dan
sebagai perwujudan benda-benda budaya.65 Dawam Rahardjo, menyatakan bahwa
dimensi-dimensi yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia adalah dimensi Islam,
dimensi tradisi dan dimensi modernitas. Oleh karena itu, ketiga dimensi yang dihadapi
umat Islam dalam gerakan Islam sebenarnya masih berada pada proses belajar untuk
menemukan identitasnya.66 Berikut ini adalah bagan dari ketiga dimensi tersebut.
Bagan 3. Dimensi Budaya
Tradisi Modernitas
Islam
62 Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001),
16. 63Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment, Religion,
and Socilogical Theory. Dalam Brayan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, (UK: Oxford, 2010), 205.
64 Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES,
1991), 4. 65Koentjaraningrat, Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan (Jakarata:
Granmedia 1974), 23. Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas
Djakarta, 1964), 80. 66 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 219.
83
Ilmuan sosial berpandangan bahwa kehidupan manusia yang terbentang
sepanjang sejarah selalu dibayang-bayangi oleh apa yang disebut dengan agama.
Kendati demikian, kehidupan yang serba modern, manusia tidak luput dari agama.
Menurut Peter L. Berger, agama muncul pada babak serjarah pra-modern, sebelum
masyarakat dan dunia diwarnai dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan
teknologi informasi. Terlebih jika agama diasumsikan sebagai kebutuhan dasar
manusia, maka agama akan menjadi sarana penting untuk membela diri terhadap
segala kekacauan hidup manusia.67 Hanya saja arus besar dalam kemajuan teknologi
memang telah melahirkan konsekuensi logis dan berpengaruh sangat besar bagi
perkembangan hidup manusia yang membuatnya semakin rasional dan sekuler.
Dalam pandangan Stave Bruce yang menyatakan bahwa masyarakat pra-industri
merupakan masyarakat religius (the peoples of pre-industial were deeply religious).
Setiap warga dibaptis, dikristenkan, menikah dan dimakamkan dengan cara Kristiani.
Setelah era industri, masyarakat terbelah dalam dua kategori yaitu: masyarakat yang
shaleh dan masyarakat yang menjauhi agama. Arus besar modernitas cenderung
mengikuti kelompok yang kedua, yaitu masyarakat mulai meninggalkan agama. Hal
ini terjadi pada abad 19, bahwa umat yang hadir ke gereja turun drastis dari 50%
menjadi 7%.68
Perkembangan arus gelobalisasi, sekularisasi, dan moderenisasi ternyata telah
berdampak ke negara-negara Asia termasuk negara Indonesia yang mempunyai
jumlah penduduk terbesar ke-Tiga setelah China dan India, akibatnya Indonesia juga
banyak mengalami pasang surut perkembangan budaya dan agama. Sebagaimana
yang diketahui bahwa masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah dan
terdiri dari berbagai suku-bangsa yang besar pula jumlahnya. Suku-suku tersebut tidak
kurang dari 450 yang notabeninya mengaku sebagai bagian dari bangsa Indonesia,69
dan telah menunjukkan keragaman hidup masyarakat yang terlahir dari berbagai suku,
etink, ras, kelompok, dan lain-lain. Aspek-aspek sosial lainnya seperti agama, budaya,
adat-istiadat, interaksi sosial, perilaku keagamaan, norma, hukum, dan kebiasaan juga
menandakan suatu kompleksitas keragaman hidup masyarakat itu sendiri. Keragaman
tersebut kemudian tidak terhindarkan dari pengaruh dunia moderenisasi hingga ada
masyarakat yang bertahan dan ada pula yang tergerus dengan pengaruh tersebut.
Terlepas dari pandangan di atas, dan seberpengaruh apa pun dunia teknologi
atau dunia modern, yang jelas semua bangsa pada dasarnya mempunyai agama dan
kepercayaan terhadap magis. Bangsa manapun dan seperimitif apapun masih dapat
dipastikan ia mempunyai agama. Sebagaimana yang disebutkan oleh Bronislaw
Malinowski.70 Oleh karena itu, agama dikatakan sebagai suatu sistem kepercayaan
67 Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 54. 68Bryan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion,
(United Kingdom: Oxford, 2010), 126. 69Siti Chamamah Suranto, Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam-
Nasional. Dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: PSB Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003), 23.
70“There are no people however without religion and magic, in every primitive community, studied by trust-worthy and competent observers, there have been found two clearly distinguishable domains, the Sacred and the Profane, in other words, the domain of
84
bagi setiap anggota masyarakat dalam mengatasi sejumlah masalah-masalah penting
yang tidak mampu diselesaikan dengan teknologi informasi. Maka untuk mengatasi
masalah tersebut, tidak heran jika masyarakat bertolak dari kekuatan supranatrual.
Harus diakui bahwa manusia selalu memiliki keyakinan dan kepercayaan
mengenai adanya wujud yang Maha Tinggi, benda gaib dan hal-hal yang bersifat
metafisik hingga kemudian mereka mengembangkan suatu cara untuk melaksanaan
pemujaan dan penyembahan yang diekspresikan dalam bentuk ritual keagamaan.
Selain itu, Islam juga hadir dengan membawa misi tauhid,71 suatu kepercayaan yang
anti mitologi. Tauhid adalah inti sari ajaran Islam yang menuntun manusia bagaimana
berketuhanan yang baik dan benar. Ajaran Tauhid menjadi pegangan pokok yang
membimbing dan mengarahkan manusia untuk selalu berperilaku baik, baik ketika
berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan dengan alam semesta. Jika seseorang
dapat menjalankan konsep Tauhid secara benar, tentu akan mengantarkannya menuju
kebebasan asasi yang paling fundamental.72
Dengan karaktristik dasarnya yang anti mitologi (amythical) dan juga anti
sakramentalisme,73 maka Islam adalah ajaran yang bersifat langsung dan lurus, alami,
wajar, sederhana dan mudah dimengerti. Dengan kualitas-kualitas tersebut kemudian
agama Islam memiliki pangkal vitalitas yang kuat, selain dari dinamikanya yang
memiliki daya sebar tersendiri dan sangat dahsyat.74 Oleh karena itu, Islam pada masa
awal dalam sejarahnya dengan cepat memperoleh kemenangan bahkan tidak ada
tandingannya dengan sejarah agama-agama lain.75
Pada perkembangan selanjutnya, Islam harus berhadapan dengan berbagai
aspek sosial dalam kehidupan masyarakat yang menuntutnya untuk mampu bersikap
bijak dan relevan dengan pola kehidupan yang berlaku pada masyarakat. Untuk itu,
proses akulturasi antara agama dan budaya pun tak dapat dielakkan. Secara perlahan-
lahan mainstream utama Islam mulai terdistorasi dari kepercayaan-kepercayaan
tradisional yang telah lebih dulu mengakrar kuat dalam tradisi lokal. Fenomena ini,
kemudian hingga sekarang acapkali masih tercermin dalam kehidupan keberagamaan
masyarakat awam, di mana umumnya mereka masih menghubungkan pola keyakinan
keagamaan dengan kejadian-kejadian supranatural dari orang-orang yang mereka
anggap “suci” atau mulia (Wali).
Kita menyadarai bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
mempunyai sistem keberagamaan yang sangat plural, bahkan tidak hanya sekedar
agama mainsteram dan sudah terstruktur atau terlembaga tetapi juga menyangkut
Magic and Religion and that of Science”. Dalam Bronislaw Malinowski, Magic, Science, and Religion and Other Essays (New York: Doubleday Anchor Books, 1954), 17.
71 Menyangkut hal ini, di dalam Al-Qur’an menyebut kata Allah hingga mencapai
2.799 kali dengan menerangkan keesaan Tuhan dan mengakhiri dengan keesaan Tuhan pula.
Misalnya di dalam surat Al-A’raf, (7):59, 65,73, 85 dan lihat juga surat Hud (11):26, 50, 61,84. 72 Lihat: Muhammad Widda Djuhan, Ritual di Makam Ki Ageng Besari Tegalsari
Jetis Penorogo, Jurnal Kodifikasi. Volume. 5. No. 1 Tahun 2011. 73Andrew Rippin, Muslims Their Religious Beliefes and Practise (New York:
Routledge, 1991), 99. 74Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 202. 75Lihat: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
1992), xliii.
85
masalah kepercayaan lokal yang masih utuh dapat dipertahankan hingga saat ini.
Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, kebiasaan, adat-istiadat dan lain-lain
faktanya masih hidup dan dilestarikan diberbagai daerah.76
Di pulau Lombok, yang juga terdiri dari berbagi suku seperti suku Sasak, suku
Sumbawa, suku Bali, suku Jawa, Arab, Cina, Bugis dan Banjar juga mempunyai
sistem kebudayaan tersendiri. Di antara mereka ada yang fanatik, ada yang masih
berpegang teguh terhadap adat istiadat mereka masing-masing, tetapi ada pula yang
lebih longgar hingga membaur dengan masyarakat setempat dan mengikuti adat
istiadat masyarakat setempat. Namun, di antara suku-suku tersebut yang dianggap
sebagai suku asli adalah suku Sasak, saedangkan suku-suku lainnya adalah suku
pendatang.77 Perspektif masyarakat tentang kebudayaan memang bermacam-macam,
sesuai dengan lingkungannya. Hanya saja dalam konteks ini, kebudayaan akan dilihat
dari segi lingkungan agama di mana ia cenderung berpandangn bahwa kebudayaan
selalu berasaskan nilai-nilai Ketuhanan. Atau dengan istilah “Kebudayaan itu tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama.78
Sebelum kedatangan Islam di pulau Lombok, tradisi atau budaya keagamaan
masyarakat suku Sasak telah lebih dulu dipengaruhi oleh ajaran kepercayaan
Animisme, Dinamisme dan Hindu-Budha.79 Akan tapi setalah Islam hadir, perlahan-
lahan masyarakat Suku Sasak beralih kepercayaan menjadi penganut agama Islam.
Islam adalah agama yang berkembang pesat dan tersebar di seluruh penjuru dunia.
Islam merupakan agama universal,80 dan berlaku bagi seluruh umat manusia yang
bukan hanya dianut oleh bangsa Arab saja, tetapi oleh berbagai bangsa yang ada di
dunia, termasuk bangsa suku Sasak yang ada di pulau Lombok. Hanya saja proses
perkembangan dan penyebarannya, Islam harus berdinamika dengan budaya atau
tradisi lokal masyarakat karena beragamnya sistem penerimaan ajaran agama di setiap
daerah.
Seperti yang tersebutkan di atas, bahwa penyebaran agama memang sangat
beragam, terkadang masyarakat dapat menerima kehadiran agama itu sepenuhnya dan
ada pula sebagian masyarakat yang menerima secara setengah-setengah karena harus
76Wakhid Sugyarto dan Asnawati, Dinamika Kepercayaan Parmalim di Kabupaten
Samosir dan Toba Samosir Sumatra Utara. Dalam Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2012), 11. 77 H. Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang Akulturasi
Nilai-nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak) Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2002, 1. 78 Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Peranan Pendidikan dalam
Pembinaan Kebudayaan Nasional di Daerah Nusa Tenggara Barat, (Mataram: Depdikbud,
1993), 113. 79 H. Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang Akulturasi
Nilai-nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak) Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2002, 7. 80 Mengenai keuniversalan agama Islam, dapat dilihat di dalam Al-Qur’an suarat al-
Anbiya: 107 yang artinya “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. Lihat Al-Qur’an dan Terjemahannya juz 1-30,
Departemen Agama RI 2012, hlm 461.
86
menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan kelompoknya, bahkan ada masyarakat yang
menolak sama sekali. Sikap penerimaan dan penolakan agama tersebut bukan hanya
dapat dilihat di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga di Indonesia.81
Misalnya; Minangkabau adalah suatu wilayah yang dalam penerimaan agama
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: Pertama; Kelompok pemurnian atau kelompok
purifikasi agama. Mereka adalah kelompok konservatif yang sangat tegas dengan
ajaran agama. Ini menunjukkan bahwa sikap tegasnya yang tidak ada kompromistik
terhadap perilaku jika dianggap bertentangan dengan sumber Islam yakni al-Qur’an
dan as-Sunnah. Kedua; kelompok masyarakat yang masih bersikap kompromistik.
Hal ini ditandai dengan adanya upaya untuk menyesuaikan ajaran agama Islam ke
dalam bahasa-adat setempat. Kelompok masyarakat yang terbilang kompromistik ini
dapat dilihat dari salah satu aspek tradisinya seperti masalah warisan “ala” adat
Minangkabau yang masih terus diaktualisasikan hingga saat ini. Ketiga; Kelompok
masyarakat yang sudah terligitimasi dengan adat-istiadat mereka, ia merasa sudah
sejalan dan sesuai dengan tradisinya sehingga kelompok masyarakat ini cenderung
ekskelusif dari kemungkinan masuknya ajaran agama.
Selain itu, penerimaan kehadiran agama juga ditemukan pada etnik Cina
Tionghoa. Di antara mereka ada yang bersikap konservatif dari ajaran agama yang
dianutnya. Sikap konservatif dari sebagian masyarakat ini, membuat mereka apatis
bahkan meninggalkan tradisi-tradisi kecinaan dan menggantinya dengan ajaran agama
yang dianutnya. Meskipun sebagiannya masih bisa dijumpai kelompok-kelompok
masyarakat yang dapat mendialogkan tradisi kecinaan itu dengan ajaran agama. Hal
ini dikarenakan adanya penduduk Tanah Melayu Cina yang menganut agama Kristen,
Islam, Budha, dan Hindu. Tetapi mereka tidak meninggalkan tradisi Cinanya karena
mereka ajaran tradisi itu sangat terinternalisasi dalam dirinya. Sehingga dikatakan
tradisi itu banyak memberikan kepuasan terhadap diri penduduk bahkan mengikat
mereka dalam sejarah nenek moyangnya.
Di Lombok, fenomena dialektika Islam dengan varian kultural terhadap pola
keberagamaan masyarakat sebagai sikap penerimaan agama Islam adalah Pertama,
dalam kehidupan masyarakat suku Sasak, ada sebagian yang menerima ajaran Islam
secara penuh. Kategori masyarakat yang menerima ajaran Islam secara penuh ini
disebut sebagai Islam Sunni (ortodoks) yang pada akhirnya populer dengan istilah
Islam waktu lima. Kedua, ada masyarakat yang menerima agama tidak sepenuhnya
Pada sistem kepercayaan ini, nampaknya ada kolaborasi beragam agama seperti Boda,
Hindu dan Islam yang pada akhirnya disebut dengan penganut ajaran Islam waktu
telu.82 Dan ketiga, ada masyarakat yang tidak menerima Islam sama sekali, dan
81 Agama yang diterima sepenuhnya adalah agama yang dominan dalam kehidupan
manusia. Sedangkan agama yang diterima secara setengah adalah, karena
mencampuradukkan pelaksanaan rutinitas kehidupan antara ajaran agama dan kebiasaan
tradisi lokal. Berbeda dengan masyarakat yang menolak, di mana ia memperlihatkan
penolakan tersebut terhadap ajaran agama karena mereka lebih mencintai tradisi-tradisi lokal
yang telah berurat-akar dalam kehidupannya. Lihat: Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora, 2011), 78.
82 Lihat: Kamarudin Zaelani, “Dialektika Islam dengan Varian Kultrual Lokal dalam
Pola Keberagamaan Muslim Sasask”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol. IX edisi 15 No. 1
Januari-Juni, 2005, 48-69.
87
masyarakat ini disebut kaum Boda. Sebenarnya Boda dapat dikatakan sebagai pola
keberagamaan primordial dan pengejawantahan adat dan tradisi yang masih sangat
kuat.83
Salah satu yang menarik dari tiga varian dalam dialektika Islam dengan kultur
masyarakat suku Sasak adalah istilah keberagamaan waktu telu. Kata “Waktu Telu”
bermakna “waktu tiga”. Dalam catatan Fathurrahman, ia menemukan sebutan “waktu
telu” karena mereka hanya mengenal tiga rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat,
shalat dan puasa. Shalat yang dilaksanakan adalah Shalat jenazah dan Shalat Jum’at,
shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha. Sedangkan puasa hanya akan dilaksanakan tiga
hari yaitu, awal, tengah dan akhir bulan.84
Sedangkan dalam catatan Heru, ia mengatakan bahwa ungkapan “waktu telu”
sesungguhnya berkaitan dengan sikap mereka yang masih belum sepenuhnya dalam
memahami dan melaksanakan rukun Islam. Artinya rukun Islam yang lima tersebut
(arkanul-Islam al-Khamsah) belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat setempat.
Warga masyarakat beru menerima tiga rukun Islam, yaitu Syahadad, Shalat, dan juga
Puasa. Oleh karena itu, masyarakat yang masih mengerjakan shalat pada tiga waktu
itu saja disebut sebagai masyarakat penganut ajaran Islam waktu telu.85
Penganut kepercayaan Waktu Telu percaya pada Tuhan yang menciptakan
Adam dan Hawa sebagai manusia-manusia pertama. Dalam praktiknya, keagamaan
masyarakat ini sarat diwarnai dengan berbagai macam kepercayaan tentang roh,
sebagai mediator mereka saat melakukan kontemplasi dengan Tuhan. Selain itu,
meraka juga percaya dan sangat menghargai ritual siklus kehidupan. Bagi mereka,
setiap siklus selalu diawali dengan suatu ritual khusus sebagai pertanda mengharap
pada status yang lebih tinggi. Ini terbukti dari adanya ritus-ritus yang masih dapat
dipraktikkan baik ritus buangan (upacara kelahiran), ngurisang (upacara pemotongan
rambut) ngitanan (khitanan), merosok atau berkikir (meretakkan gigi), merarik
(melarikan perempuan pada malam hari untuk dinikahi), begawe pati (ritual kematian
dan pasca kematian) dan sebagainya.86
Seiring perjalanan waktu penganut kepercayaan Waktu Telu kemudian mulai
berkurang karena banyak yang melaksanakan ajaran Islam dengan baik (sempurna).
Hal ini disebabkan karena upaya-upaya yang dilakukan oleh para tokoh agama atau
Tuan Guru (Kiyai) yang sudah menimba ilmu di Haramain Makkah sejak abad ke 19.
Mereka melakukan dakwah dan membimbing masyarakat dengan cara-cara ritual
Islam Waktu lima atau ajaran Islam yang sebenarnya. Seperti halnya yang dilakukan
oleh Tuan Guru H. Ali Batu, Guru Bangkol, TGH. Muhammad Siddiq, TGH.
Zainuddin Abdul Madjid, TGH. Saleh Hambali, TGH. Makmun dan juga masih
83 Lihat: Ahmad Amir Aziz, Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam
Lokal di Lombok, Jurnal Millah, Vol. VIII No. 2 Februari 2009, 246. 84Fahurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Yayasan
Sumurmas Al-Hamidy, 1998), 139. 85Departeman pariwisata dan kebudayaan menyebut masyarakat wetu telu sebagai
salah satu keunikan budaya masyarakat Lombok, karena sistem budaya dan peninggalan-
peninggalan sejarahnya masih dapat diakses sampai sekarang. Lihat: Zuhri Humaidi, Islam
dan Lokalitas Dalam Bingkai Postmodernisme. Jurnal Universum Vol 9. No. 2 Juli 2015, 8. 86 Lihat: Team Penyusun, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), 78-89.
88
banyak yang lainnya. Mereka adalah penyebar agama Islam yang lebih menekankan
kepada aspek fiqih berupa kewajiban melaksnakan shalat, puasa, zakat, haji bahkan
ditambah dengan wirid thriqat bagi mereka yang dianggap sudah layak. Tarekat ini
pada akhir abad ke-19 berperan penting dalam pemberontakan melawan Belanda.87
Para tokoh agama atau para Tuan Guru inilah yang kemudian menjadi pelopor
pembaharuan Islam dengan tidak mengekang adanya budaya-budaya atau tradisi lokal
masyarakat setempat. TGH. Mutawalli misalnya; yang melakukan dakwahnya dengan
cara pendekatan secara kultural, di mana keyakinan lokal masyarakat dibiarkan saja
tetap hidup. Beliau mempelajari mitologi pada komunitas lokal Waktu Telu, yang
awalnya dengan cara mengutus murid-murid kepercayaan beliau untuk menghimpun
cerita-cerita atau legenda dan mitos setempat dari para elit atau tetua desa.88 Beliau
memahami bahwa penganut kepercayaan Waktu Telu sangat suka memuja masa lalu,
dan karena itu, beliau mencerminkan diri bahkan beminat untuk mempelajari silsilah
masyarakat. Oleh karena itu, beliau dapat secara leluasa mengenal kharakter, budaya,
dan kepercayaan masyarakat setempat yang membuatnya dapat begitu merakyat.
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Tuan Guru tersebut akhirnya
mampu menampilkan wajah Islam yang bernuansa Islam Sunni (ortodoks) atau Islam
Waktu Lima yang membumi.89 Dalam pribumisasi Islam, tergambarkan bagaimana
Islam menjadi ajaran yang sangat normatif dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam
budaya yang berasal dari manusia tanpa menghilangkan identitas mereka masing-
masing. Dengan demikian, segala kelenturan yang dimiliki oleh ajaran Islam pada
kenyataannya telah mampu menyandingkan pola kehidupan agama dan budaya lokal
masyarakat.
Dari penjelasan di atas, tentu dapat kita pahami bahwa proses dialektika Islam
dengan varian kultrual keagamaan masyarakat lokal, kadang masih sering dijumpai
ajaran agama yang harus bersesuaian dengan tradisi-tradisi lokal masyarakat. Dalam
konteks ini adalah agama etnik yaitu kepercayaan masyarakat lokal dan kepercayaan
tersebut memberikan pandangan hidup kepada para penganutnya.90 Dalam perspektif
sosiologi, agama juga dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam
perilaku sosial tertentu.91 Oleh karena itu, ketika sekelompok masyarakat tidak dapat
menerima kehadiran agama sepenuhnya, maka harus bisa disesuaikan dengan tradisi-
tradisi lokal masyarakat setempat, sehingga pada momen inilah kemudian akan terjadi
akulturasi antara agama dan budaya.
87 Lihat: Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabaniyah di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1992), 28. 88Lihat: Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta:
LKiS, 2000), 292. 89 Dalam perkembangannya muncul gagasan Islam yang diketengahkan oleh Gus
Dur. Lebih jauh lagi, lihat: Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan
(Jakarta: Desantara, 2001). 90Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,
2011), 77-80. 91L. Tischler, Introduction to Sociologi (Chicago:Rinehart Winston, 1990), 380.
89
D. Dimensi-Dimensi Keagamaan Masyarakat
Umumnya aktivitas-aktivitas manusia yang berkaitan dengan konsep religi92
adalah tidak terlepas dari getaran jiwa dan menjadi ligitimasi kepercayaan mereka atas
pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dijalaninya. Menurut Koentjaraningrat
emosi keagamaan yang membentuk unsur-unsur religi93 adalah sebagai berikut:
1. Emosi Keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalakan
perilaku keagamaan.
2. Sistem kepercayaa atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia,
alam, alam gaib, hidup, mati dan sebagainya.
3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia
gaib yang didasari melalui sistem kepercayaan tersebut.
4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan
dan mengaktifkan religi beserta sistem-sistem upacara keagamaannya.
Selain unsur-unsur pembentuk religi, Koentjaraningrat juga mengetengahkan
lima komponen dari sistem religi yaitu, emosi keagamaan, umat beragama, sistem
keyakinan, sistem ritus, upacara keagamaan dan peralatan upacara. Komponen ini
saling keterkaitan antar satu dengan lainnya. Berikut ilustrasinya di bawah ini:
Bagan 4.
Lima Komponen Sistem Religi
92 Menurut Mangun Wijaya, perbedaan agama dengan religiusitas adalah “agama
lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang
resmi. Sedangkan religiusitas bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang
tampak formal dan resmi.” Lihat: Y. B. Mangun Wijaya, Sastra dan religiusitas, (Yogyakarta:
Kanisus, 1994), 12. 93 Lihat: Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Diyan
Rakyat, 1992), 239.
Sistem
keyakin
an
Emosi
Keagam
aan
Peralatan,
Ritus dan
Upacara
Umat
beragama
Sistem
ritus dan
upacara
90
Ilustrasi di atas, menunjukkan bahwa emosi keagamaan merupakan pusat atas
komponen dari sistem religi. Emosi keagamaan yang dirasakan oleh umat beragama,
akan mendorong mereka untuk melakukan upacara sesuai dengan sistem ritus dalam
upacara keagamaannya. Upacara-upacara tersebut kemudian akan dilakukan dengan
sistem keyakinan dan peralatan ritus dari proses upacara yang mendukung jalannya
upacara tersebut. Pada diri manusia, terdapat emosi keagamaan. Emosi keagamaan
adalah suatu getaran yang juga menggerakkan jiwa manusia untuk bersikap religius
dan melakukan aktivitas yang lebih bersifat religius. Pada setiap emosi keagamaan
yang ada dalam diri seseorang kemudian dengan banyak hal akan menjadi sacred atau
memiliki nilai-nilai keramat.94
Pada saat emosi keagamaan menghinggapi diri manusia maka proses-proses
fisiologi dan psikologi akan terjadi,95 di mana secara psikologi emosi keagamaan akan
mendorong manusia untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat keagamaan.
Eksistensi emosi keagamaan menjadi sangat penting karena ia menjadi komponen
utama dalam sistem religi. Jika tak ada emosi keagamaan yang kuat pada diri manusia,
maka seseorang tidak akan bisa melaksanakan kegiatan religius dengan baik. Dalam
konsep “Religius Emotion” dari Emile Durkheim, bahwa emosi keagamaan adalah
gejala individual yang dimiliki oleh setiap manusia penganut agama yang membuat
dirinya merasa sebagai mahluk Tuhan. Dimensi religiositas adalah inti keberagmaan.
Hal ini dapat membangkitkan solidaritas keagamaan, dan menumbuhkembangkan
kesadaran beragama, hingga dapat menjadikan seseorang lebih saleh dan beriman.96
Berikutnya adalah umat beragama. Pelaku dalam ritual-ritual keagamaan
ialah umat beragama. Umat beragama tentu akan menjalankan kegiatan atau aktivitas
ritual keagamaan yang didasari pada kepercayaan mereka masing-masing. hal ini
terdeskripsi melalui pemaparan Kontjaraningrat yaitu “secara antropologi dan
sosiologi yang bersifat umat agama itu dapat berwujud seperti; keluarga inti atau
kerabat dekat, kelompok kekeluargaan yang lebih besar, kesatuan kelompok atau
komunitas desa atau gabungan dari desa, organisasi politik, organisasi masyarakat,
organisasi gereja dan seterusnya yang memiliki ideologi agama”.97 Oleh karena itu,
jika kelompok-kelompok organisasi yang ada dalam suatu tempat peribadatan seperti
masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnya dapat dikatakan sebagai wujud
umat beragama.
Selanjutnya sistem keyakinan, pada prinsipnya sistem keyakinan merupakan
kumpulan konsepsi manusia menyangkut dunia gaib dan dunia spiritual yang berada
mengelilinginya. Konsepsi-konsepsi tersebut termasuk tentang dewa-dewa, mahluk
halus, kekuatan sakti, dan kesusastraan suci. Misalnya, keberadaan agama Shinto
yang memiliki banyak dewa. Dewa dalam Bahasa Jepang disebut Kami. Dalam agama
Shinto’ kami adalah “Tuhan” dan kekuatan yang berada di luar jangkauan terhadap
94 Lihat: Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Diyan
Rakyat, 1992), 239. 95 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987), 80. 96 Lihat: Emile Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Beragama, Terj. The
Elementary Forms of The Regligious Life, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 63-65. 97Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987), 82.
91
pengertian manusia. Kami berarti sesuatu yang paling tinggi, the superior one. Kami
juga bermanifestasi ke dalam wujud laut (dewa laut), sungai, gunung dan lain-lain.98
Sedangkan sistem ritus dan upacara, yaitu mengatur kelakuan keagamaan dan
pelaksanaan religi. Dalam pernyataan Koentjaraningrat99, bahwa upacara keagamaan
setidaknya terdiri dari empat komponen antara lain: pertama, tempat upacara. Kedua,
momen pada saat upacara. Ketiga, benda-benda dan alat upacara. Keempat, orang-
orang yang melakukan upacara. Keempat komponen kelakukan keagamaan dalam
pelaksanaan religi, tentunya memiliki fungsi atau manfaat masing-masing.
Suatu sistem religi dalam sebuah kebudayaan masyarakat selalu mempunyai
ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan tersebut di antara para
penganutnya. Untuk itu, emosi keagamaan adalah menjadi unsur penting dalam suatu
religi bersama dengan tiga unsur lainnya baik itu, sistem keyakinan, sistem upacara
keagamaan dan komunitas umat yang menganut religi tersebut. Sistem kepercayaan
secara khusus mengandung banyak subunsur. Menyangkut hal ini, para antropologi
banyak menaruh perhatiannya terhadap konsepsi-konsepsi tentang dewa-dewa yang
baik dan yang jahat; konsepsi tentang sifat dan tanda dewa-dewa, konsepsi tentang
makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang
jahat, hantu dan lain-lain, kemudian konsepsi-konsepsi tentang dewa tertinggi dan
pencipta alam, konsepsi tentang terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah
mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup
dan mati, dunia roh, akherat dan lain sebagainya.100 Adapun sistem kepercayaan dan
gagasan, pelajaran, aturan-aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa
(mitologi), biasanya terdapat dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga
dianggap sebagai kesusasteraan suci.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa sistem kepercayaan
keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus
dari para ahli antropologi ialah: (a) tempat upacara keagamaan dilakukan; (b) saat-
saat upacara keagamaan dilakukan; (c) benda-benda dan alat upacara; (d) orang-orang
yang melakukan dan memimpin upacara. Pada penjelasannya, bahwa pada aspek yang
pertama adalah berkaitan dengan tempat-tempat keramat upacara dapat dilaksanakan
seperti; makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Pada
aspek kedua adalah berhubungan dengan saat-saat beribadah, hari-hari keramat, dan
suci. Sedangkan aspek ketiga adalah menyangkut benda-benda yang digunakan dalam
upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian
seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci, dan sebagainya. Sementara aspek
yang terakhir adalah mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta,
biksu, syaman, dukun dan lain-lain.
Upacara-upacara tersebut juga memiliki banyak unsur seperti; sesaji, berdoa,
berkorban, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, menari tarian
98 Lihat: Jeremy Robert, Japanese Mythology A to Z: Second Edition. (New York:
Chelsea Publising House, 2010), 66. 99Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Diyan Rakyat,
1992), 252. 100Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), 295.
92
suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci,
berpuasa, bertapa, bersemadi dan lain sebagainya. Tentu sekali di antara unsur-unsur
keagamaan tersebut ada yang dianggap sangat penting dalam suatu agama, walaupun
tidak dikenal dalam agama lain dan demikian pula sebaliknya. Selain itu, suatu acara
upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur-unsur
tersebut.
Berkaitan dengan ritual-ritual itu,101 ketika kita berfikir menyangkut perilaku
religius, berfikir tentang ritual, sesuatu yang menakjubkan, warna warni keindahan,
dan juga kegiatan-kegiatan simbolik yang mengekspresikan kepercayaan religius
sehingga dapat menggerakan perilaku atau kekuatan religius. Maka, ritual tersebut
merupakan tindakan atau perilaku yang dijalankan atas dasar petimbangan tertentu.
Menurut Eller, tidak ada tipologi yang sempurna dan universal dari tipologi ritual.
Dan bagi Eller, ia menggunakan istilah Wallace yang membedakan ritual menjadi
technical, therapeutic/antitherapeutic, salvation, ideological dan revitalization.102
Menurut C.Y. Glock dan R. Srark bahwa dimensi keberagamaan terbagi
dalam beberapa kategori di antaranya: pertama, dimensi keyakinan yaitu suatu
dimensi yang berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu.
Kedua, dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna
keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan
yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang
suci dari suatu agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama yaitu; orang beragama
memiliki pengetahuan tentang keyakinan ritus, kitab, suci, dan tradisi. Dan kelima,
dimensi konsekuensi yang mengacu pada identifikasi akibat keyakinan, praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.103
Masih dalam pandangan Wach, relasi interdependensi antara agama dan
masyarakat menunjukkan adanya pengaruh timbal balik antara kedua faktor tersebut.
Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat, sebagaimana yang terlihat dalam
pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang
baru. Kedua, adalah pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam konteks ini, Wach
memusatkan perhatiannya pada faktor sosial yang memberikan nuansa keragaman
perasaan dan tindakkan atau sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan
atau kelompok sosial tersebut.104
Bagi masyarakat suku Sasak, terdapat sedikit perbedaan antara ziarah kubur
dan ziarah makam. Ziarah kubur lebih mengarah kepada makam kekeluargaan atau
makam kerabat yang sudah meninggal dan didasari oleh ikatan emosional (nuansa
kekerabatan/kekeluargaan). Sedangkan ziarah makam lebih mengarah kepada ziarah
spiritual ke tempat-tempat makam bersejarah atau dianggap keramat. Di pulau
101 Eller, menyatakan bahwa: “When we think of religious behavior, we think of ritual,
that fascinating, colorful, and symbolic activity that espresses religious beliefs and directs
toward religious beings or forces. Ritual is usually multipartie and multimedia”. Dalam Jack
David Eller, Introducing Antropology of Religion: Culture to the Ulitmate (New York and
London: Taylor-Francise Group, 2007), 110. 102Lihat: Jack David Eller, Introducing Antropology of Religion: Culture to the
Ulitmate (New York and London: Taylor-Francise Group, 2007), 116. 103Dadang Khamad, Sosiologi Agama, Bandung, 2009, 53. 104 Dadang Khamad, Sosiologi Agama, Bandung, 2009, 54.
93
Lombok, terdapat beberapa makam yang terkenal sebagai tempat ziarah spritual yaitu,
makam Batu Layar, Makam Loang Baloq, Makam Wali Nyato’ Makam Selaparang
dan lain-lain.105 Namun, dewasa ini sering kali tradisi ziarah dianggap sebagai wisata
religus (spritual tourism).
Sebagai salah satu tujuan melakuan ziarah adalah mencari berkah atau bisa
juga melakukan tawassul dan berwasilah terhadap orang suci, orang yang saleh saat
dikunjungi.106 Bagi masyarakat suku Sasak, tuduhan syirik atau perbuatan bid’ah
sama sekali tidak dihiraukan bahkan dibiarkan begitu saja, sebab baginya adalah apa
yang mereka kerjakan dibalik tradisi-tradisi tersebut telah terpatri suatu keyakinan
yang sangat kuat, karena tindakan tersebut sebagai upaya untuk “mempercepat” hajat
mereka yang ingin diwujudkan atau dicapai. Dalam konteks ini, menarik apa yang
pernah diketengahkan oleh al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Mălikī, sebagaimana
yang dikutif oleh Aziz Manshur bahwa orang yang bertawassul atau berwasilah,
adalah orang yang tidak menyembah Nabi, Wali, atau Sălihin yang dikunjung, tetapi
mereka oleh para pengunjung hanya menjadikannya sebagai perantara dengan dasar
kecintaan pada mereka.107 Seperti yang pernah disebutkan sebelumnya bahwa, secara
psikologi antropologis, ziarah mengandung kemampuan untuk meningkatkan getaran
jiwa atau getaran religius (religious emotion) bagi para penganutnya.
Jika menyinggung mengenai tindakan atau sikap keagamaan terhadap diri
individu atau kelompok masyarakat, maka erat kaitannya dengan motivasi, di mana
akan menjadi sublimasi yang kuat bagi individu atau kelompok masyarakt itu sendiri.
Dalam konteks ini tindakan atau sikap keagamaan merupakan serangkaian kegiatan
yang ada pada diri individu atau kelompok individu yang disengaja dan terpola dan
kemampuan tersebut di hasilkan melalui belajar. Tindakan atau sikap keagamaan itu
mengandung implikasi budaya sekaligus makna-makna subyektif sebagai mereka.
Mengenai hal yang tersebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa agama adalah
sumber nilai dari sistem budaya masyarakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman
terpola bagi kehidupan masyarakatnya dalam rangka melakukan suatu tindakan yang
terkontrol. Posisi ini, menghadapakan kita pada sebuah metode dalam melakukan
analisis dengan berbagai tindakan yang bersifat sosial pada masyarakat dan diperkuat
oleh motivasi keyakinan agama yang mereka anut. Ketika Wach menyampaikan
gagasanya tentang hubungan antara agama dan masyarakat tersebut, maka dimensi
esotirik merupakan suatu kepercayaan yang sebenaranya tidak secara independen atau
berdiri dengan sendirinya, akan tetapi individu masih memiliki keterkaitan dengan
dimensi-dimensi lain yang berada di luar diri individu tersebut. Dengan demikian,
substansi ajarannya juga telah dibentuk dan dipengaruhi oleh struktur sosial yang
menyangkut masalah keyakinan yang dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Oleh
karena itu, dalam keadaan tertentu, agama atau kepercayaan dapat beradaptasi dan
105 Lihat: Muhammad Iwan Fitriani, Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas
Islam Pribumi Versus Islam Salafi di Sasak Lombok, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam,
Vol. 5, No. 2 Desember, 2015, 527. 106 Lihat: Abdul Aziz Manshur, Menjawab Vonis Bid’ah: Kajian Pesantren dan
Tradisi Adat Masyarakat, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), 74. 107 Abdul Aziz Manshur, Menjawab Vonis Bid’ah: Kajian Pesantren dan Tradisi
Adat Masyarakat, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), 76.
94
berfungsi sebagai penguat dari proses perubauahan yang terjadi pada lingkungan
sekitar para pemeluknya.
Pandangan di atas, sejalan dengan Peter L. Berger dan Thomas Luchkman,
bahwa hubungan antara manusia dengan masyarakat itu terjadi secara dialektis.108
Berger memberikan alternatif dari determinan yang meyakini bahwa individu akan
dibentuk berdasarkan struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan
struktur sosial tersebut. Ia juga menolak kausalitas sepihak, di mana pandangan
Berger tersebut sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa manusia dapat mengubah
struktur sosial sehingga manusia senantiasa dipengaruhi oleh institusi sosialnya itu.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, yang sejak awal menyebutkan bahwa
hubungan manusia dan masyarakat terjadi melalui proses dialektis dengan melewati
proses eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi sehingga manusia akan senantiasa
mengeksperesikan dirinya dengan membangun dunianya melalui proses tersebut
hingga dapat dikatakan bahwa masyarakat akan menjadi kenyataan buatan manusia.
Kenyataan inilah yang menjadi sebuah realitas objektif, di mana kenyataan yang
terpiasah dari manusia meskipun tetap harus berhadapan dengan manusia itu sendiri.
Masyarakat dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi perilaku manusia.
Oleh karena itu masyarakat diserap kembali oleh manusia lainnya melalui proses
internalisasi.109
Berangkat dari pandangan Berger di atas, praktik keagamaan yang tampak
melalui ritual-ritual keagamaan biasanya cenderung akan membentuk instiusi secara
tersetruktur bila mana pengakuan terhadap suatu objek yang diyakini tersebut telah
meligitimasi keyakinan mereka untuk melakukan praktik-praktik keagamaan. Oleh
karena itu, indvidu dan masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh institusi-institusi
keagamaan atau institusi sosial dalam kehidupannya yang beragama dan berbudaya.
Dalam kaitannya dengan sistem keyakinan beragama, maka praktik-praktik
keagamaan atau ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat tentu sangat
bervariasi. Di Indonesia misalnya, praktik ziarah sebagai salah satu bagian dari ritual
atau praktIk keagamaan masyarakat yang masih hidup dan berkembang nampaknya
memiliki posisi penting bagi mereka dalam melakukan upacara-upacara keagamaan
tersebut. Indonesia sendiri telah mengakui adanya agama lokal dan agama samawi
yang juga memiliki tradisi ziarah masing-masing. Tradisi ziarah yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat sepertinya sudah bukan rahasia umum bagi masyarakat
luas.
Kajian-kajian tentang tradisi ziarah sesuai sistem keyakinan umat beragama
juga banyak ditemukan. Misalnya tradisi ziarah yang dilakukan oleh umat Katolik,110
108 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New
York: Doubleday & Company, 1966), 149. 109 Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 54-55. 110 Misalnya, kajian ziarah umat Katolik, lihat: R.L. Soemijantoro, Ziarah ke Gua
Maria di Jawa, (Jakarta: Dian Tirat, 2004), kemudian baca juga, M. Budi Sarjono, Ziarah dari
Sendangsono sampai Puh Sarang, Kediri; Sebuah Renungan, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara, 2002).
95
Hindu,111 Budha,112 dan kajian agama atau sistem kepercayaan masyarakat lokal.113
Sementara itu, konsep ziarah di kalangan Muslim Indonesia, nampaknya lebih bersifat
khusus dari kalangan agama lain. Praktik ziarahnya, lebih mendekati jenis yang dalam
istilah kontemporer adalah apa yang disebut dengan Dark Pilgrimage, yaitu konsep
penziarahan yang menghadirkan situs-situs yang terkait dengan kematian, bencana
ataupun lokasi yang wingit. Studi tentang ziarah Wali di Indonesia merentang lebar
dari mulai kajian-kajian tentang tradisi, budaya, agama, ataupun sosial ekonomi dan
politik.114
Ziarah yang menghadirkan situs-situs tentang kematian adalah ziarah kubur
atau ziarah makam keramat (Wali). Di Lomobk, praktik ziarah ke makam keramat
sudah menjadi tradisi masyarakat lokal. Agama pastinya tidak bisa lepas dari kultus
terhadap sesuatu karena memiliki sakralitas dan sangat suci, baik itu roh-roh yang
sudah mati, orang, benda, tempat, dan waktu.115 Meskipun hal ini tentunya berbeda
dengan ajaran Islam, karena dalam kultus selain kepada Allah Swt, Malaikat tentunya
adalah perbuatan syirik dan dosa. Akhirnya, masyarakat melakukan modifikasi, agar
kultus tersebut tidak mengandung perbuatan syirik atau berdosa, sehingga diperlukan
konstruksi yang berbeda yaitu dikemas melalui berkah, karomah, kesalehan,
kesaktian, yang kesemuanya bersumber dari Allah Swt. Untuk itu mereka meminta
atau memohon berkah kepada makhluk atau benda tersebut atas dasar ridho Allah Swt.
Sebagaimana halnya orang yang juga memanjatkan doa kepada Allah Swt dihadapan
Ka’bah, Hajjar Aswad dan Masjidilharam, agar menambah berkah dan karomah dari
benda dan tempat tersebut yang kemudian oleh sebagian besar orang menyebutnya
mustajabah (diterima, atau dikabulkan).
Islam dan budaya memang mempunyai relasi yang sangat kuat dan tidak
terpisahkan, seperti yang diketahui bahwa Islam sendiri mengandung nilai-nilai
universal dan absolut sepanjang zaman. Tetapi, Islam pun sebagai dogma tidak kaku
dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam sendiri selalu tampil dengan
bentuknya yang sangat terbuka dan luas ketika menghadapi masyarakat yang
beraneka ragam kebudayaannya, adat kebiasaann atau tradisinya. Dalam kenyataan
111 Kajian ziarah pada sistem keyakinan umat beragama, khususnya bagi umat Hindu,
lihat: Martin Ramsted (Terj), Hinuism in Modern Indonesia, (London: Routledge, 2004),
selain itu, baca, Brigitta Hauser-Schaublin, “Ritual, Pilgrimage and The Reconciliation of The
State; Sacred Journeys in The Political Landscape of Bali (Indonesia),” dalam Jorg
Gengnagel, (Koln: Bohlau Velag Koln Weimar, 2008), 288-311. 112 Sedangkan contoh kajian ziarah umat Budha, lihat: John Miksic, et. al.,
Borobudur, Golden Thales of the Budha, (Tokyo: Tuttle Publishing, 1990) 113 Pada kajian ziarah tentang agama atau kepercayaan masyarakat lokal, terbilang
cukup lengkap, dalam hal ini, silahkan baca bukunya Nenri Chambert-Loir and Claude Guillot,
Ziarah dan Wali di Dunia Islam, (Terj) Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin dan
Andrĕe Feillard, (Jakarta: Serambi, 2007), dan baca juga Henry Chambert-Loir dan Anthony
Reid (ed), the Potent Dead; Ancestors, Saints and Heroes De Jonge, “Pilgrimages and Local
Islam on Java,” Studia Islamika, Vol. 2, No 5 1998. 114 Lihat: Anwar Masduki, Ziarah Wali di Indonesia dalam Perspektif Pilgrimage
Studies, Jurnal, Studi Agama-Agama, Vol. 4. No. 2 September, 2014, 261. 115 Lihat: Sardjuningsih, Islam Mitos Indonesia (Kajian Antropologi-Sosiologi),
Jurnal Kodivikasia, Vol, 9 No. 1 2015, 86.
96
sejarahnya, agama dan kebudayaan selalu dapat saling mempengaruhi antar keduanya
karena Islam dan budaya juga sama-sama memiliki nilai dan simbol.116
Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Dan
kebudayaan mengandung nilai dan simbol agar manusia dapat hidup di dalamnya.
Agama memerlukan sistem simbol, atau istilah lainnya adalah agama memerlukan
kebudayaan agama. Hanya saja keduanya perulu dibedakan, sebab agama merupakan
sesuatu yang final, universal, abadi (perennial) dan tidak mengenal perubahan
(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif, dan temporer. Memang,
agama tanpa kebudayaan masih dapat berkembang sebagai agama pribadi, akan tetapi
tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.117 Islam
merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, Islam juga
membuka diri untuk dapat menerima budaya lokal, adat atau tradisi sepanjang budaya
lokal tersebut tidak bertentangan dengan spirit nash Al-Qur’an dan Sunnah.118
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa agama dan budaya memang selalu
hidup berdampingan, saling mengisi dan mempengaruhi. Praktik ziarah di makam
keramat yang dilakukan oleh masyarakat suku Sasak, khususnya praktik ziarah di
makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, juga demikian adanya bahwa mereka
para peziarahnya menjalankan serangkaian aktivitas-aktivitas ritual dalam ziarah
kubur atau ziarah makam keramat, umumnya tidak terlepas dari mengharapkan ridho-
Nya Allah Swt. Meski terkadang secara praktiknya masih dapat dijumpai pola-pola
lama atau kebiasaan-kebiasaan lama dari tradisi nenek moyang mereka terdahulu,
akan tetapi menurut sebagian besar responden yang peneliti wawancarai menyatakan
bahwa semua aktivitas ziarah yang kita lakukan di makam keramat ini tentu karena
Allah Swt semata.119
116 Kastolani dan Abdullah Yusof, Relasi Islam dan Budaya Lokal Study Tentang
Tradisi Nyadaran di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Jurnal
Kontemplasi, Vol, 4. No. 1. Agustus 2016, 52. 117 Lihat: Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Terj. (Yogyakarta: Gama
Media, 2000), 11. 118 Lihat; Baedhowi, Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalam Agama dan Kearifan
Lokal dalam Tantangan Global (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 65. 119 Wawancara dengan Rpwn, 45 Thn, Iin, 24 Thn, dan Tsn, 44 Thn, Peziarah makam
Keramat Wali Nyato’ 27, Desember 2017.
97
BAB IV
PROSES SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN MASYARAKAT
Proses sosial itu terjadi melalui tindakan dan interaksi. Tindakan dan interaksi
tersebut biasanya membentuk kecenderungan secara kontinuitas. Suatu tindakan yang
terjadi melalui proses sosial pada masyarakat jika dilakukan secara terus-menerus,
maka cepat atau lambat tindakan tersebut akan terakumulasi menjadi suatu kebiasan
baik karena kebiasaan atas tindakan-tindakanya sendiri maupun pengaruh dari
tindakan orang lain. Kebiasan tersebut selanjutnya muncul menjadi sebuah tradisi atau
budaya dalam kehidupan sosial masyarakat yang akan dimiliki dan dialami bersama
secara subyektif.1
A. Makam Sebagai Simbol dan Instrumental Akulturasi Masyarakat Dalam konteks kehidupan masyarakat beragama dan berbudaya, sebenarnya
banyak tradisi-tradisi yang dapat dilihat pada masyarakat salah satunya adalah tradisi
ziarah yang merupakan akulturasi budaya Hindu dan Islam.2 Tradisi ziarah telah
menjadi bagian dari dimensi kebudayaan dalam agama karena menjadi simbol yang
selalu bertindak untuk membentuk rasa dan perasaan serta motif atau tujuan tertentu
di mana individu akan memformulasikan sistem simbol mengenai aturan universal
dari eksistensinya dalam memaknai sistem simbol tersebut baik secara formal maupun
seremonial sehingga ia tampak sebagai sebuah fakta yang realistik.3
Ziarah makam tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi dapat dilakukan
secara massal. Praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat baik dari kaum laki-
laki, maupun kaum perempuan, masyarakat plosok, maupun masyarakat kota, dari
kalangan pejabat, hingga masyarakat biasa, golongan orang-orang terdidik dan juga
masyarakat awam faktanya telah menjadi bagian dalam kegiatan keagamaan tersebut
baik yang sifatnya formal, nonformal dan teroganisir. Berziarah dalam perpektif Islam
adalah perilaku yang baik dan sikap sopan. Misalnya; ketika memasuki area makam
harus mengucapkan salam, melepas alas kaki dan masuk dengan hati yang tunduk.
Ziarah juga dikatakan sebagai suatu bentuk keterhubungan yang mutlak untuk
mencerminkan nilai-nilai kekerabatan serta keakraban bersama anggota masyarakat
lainnya terhadap sejumlah tokoh atau orang shalih (ulama) yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal karena diyakini akan mendapatkan karamah atau keberkahan.4
1Laura Christiana Luzar, Teori Konstruksi Realitas Sosial (Jakarta: Binus University
School of Design, 2015), 1 2 Seperti yang dilakukan oleh orang-orang suci (Wali) pada masa lampau bahwa
tradisi ziarah juga telah membentuk perpaduan dalam budaya lokal untuk mensyiarkan agama
Islam. Lihat: Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 105. 3 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, 1970, 91. 4 Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Sossie Andezian di kawasan Magribi
tepatnya di Aljazair, Maroko, dan Tunisia, dia menyebutkan bahwa berkah (barakah) dalam
kepercayaan masyarakat magribi, merupakan suatu kekuatan yang bersumber dari kekuasaan
spiritual dan akan sangat bermanfaat hingga memberikan kebaikan yang berlimpah ruah pada
semua bidang keilmuan. Konon berkah itu terpusat dalam diri Nabi Muhammad Saw, hingga
turun ke para wali sebagai perantara dalam memberikan berkah tersebut bagi para pemohon
98
Oleh karena itu, masyarakat akan senantiasa menyebutnya sebagai awliyā’, murabitūn
(rābitīn), syurafah (chorfa), shalihīn (sālihīn), asyād, atau syuyūkh (chyoūkh, plural
dari syekh) yaitu suatu istilah yang mempunayi makna secara simbolis atau beragam
(berbeda-beda).5 Makam adalah simbol suci yang diyakini mempunyai kekuatan-
kekuatan sepiritual dan mengandung berkah. Untuk itu, setiap orang yang melakukan
ziarah dinilainya akan mampu memberikan rasa ketenangan hati atau batin. Seseorang
yang berziarah ke makam, tentu karena adanya motif atau tujuan yang umumnya tidak
lepas dari harapan dan keinginan yang akan dicapai oleh para peziarah. Berikut ini
merupakan tabel atas motif dan tujuan peziarah makam keramat.6
Tabel 4. Motif dan Tujuan Peziarah
No Motif dan Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Meminta kesembuhan dan keselamatan
Membalas rasa syukur atas terwujudnya harapan dan cita-citanya
Meminta berkah
Meminta agar cepat mendapatkan jodoh
Sebagai rutinitas atau kebiasaan
Mengenang jasa-jasa sang Wali
Agar diberikan keturunan yang pinter
Lulus dalam ujian
Agar rumah tangganya terjalin harmonis
Ikut-ikutan karena diajak oleh teman, kerabat dan atau tetangganya
Sebagai bentuk penghormatan kepada orang alim dan berkarismatik
Karena kagum terhadap sang tokoh
Mencari keberuntungan
Mengambil/mengembalikan kerikil makam
Meminta kedudukan, pangkat dan atau jabatan
Bayar nazar
Syukuran (selamatan atas bayinya yang baru lahir)
Meminta restu karena akan melakukan perjalanan jauh.
Motivasi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat juga akan berkaitan dengan
serangkaian aktifitas atau kegiatan ziarahnya seperti upacara atau ritual yang dapat
dijalankan sesuai dengan kebutuah atau kepentingan para peziarah. Misalnya sebagai
sebuah bentuk penghormatan kepada jasad yang dikuburkan karena memiliki karisma
(peziarah). Lihat: Sossie Andezian dalam Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 95. 5 Sossie Andezian dalam Loir dan Guillot, (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 96.
6 Hasil wawancara dan analisis data yang pernah dilakukan oleh peneliti ketika
dilapangan bersama sejumlah responden seperti Aq. Rn 45 Thn, Rh. 33 Thn, Iq, In 40 Thn dan
lain-lain. 17, Oktober 2017. Pukul: 10:12-Selesai.
99
dalam kehidupannya atau dengan istilah primus interpares.7 Penghormatan terhadap
arwah leluhur dalam tradisi pra-Islam, tradisi Hindu-Budha yang sudah berkembang
dan berlanjut ke masa Islam di mana ia bersumber dari serangkaian aktifitas-aktifitas
penghormatan sehingga telah membentuk sebuah proses budaya. Namun yang penting
diketahui bahwa dalam tradisi ziarah kubur atau ziarah makam ini memiliki dimensi
keduniaan dan keakheratan. Misalnya tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’
biasanya masayarakat melakukan ziarah untuk memanjatkan doa-doa agar selamat
dunia akhirat melalui perantara Wali Nyato’ selain karena adanya tujuan khusus untuk
kepentingan duniawi seperti kekuasaan, jabatan, pangkat atau kedudukan.8
Tradisi ziarah kubur merupakan tradisi keagamaan Islam. Namun demikian,
tradisi ziarah ini telah mengalami proses akulturasi budaya yang juga berdampak pada
beragamanya bentuk serta pola tindakan yang menyertainya. Oleh karena itu, pola
keberagamaan tersebut dinyatakan sebagai suatu sistem tindakan dan juga simbol
yang akan memantapkan perasaan serta motivasi dan tujuan peziarah secara universal.
Simbol akan berfungsi menjadi kerangka awal yang dapat digunakan dari apa yang
disebut dengan konsepsi. Konsepsi adalah simbol, karena konsepsi ini merupakan ide,
sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman yang tertuang
dalam representasi yang kongkrit.9
Jika di awal telah digambarkan tentang adanya proses sosial yang membentuk
suatu tradisi keagamaan masyarakat khususnya menyangkut tentang tradisi ziarah di
makam keramat, maka hal yang demikian adalah suatu abstraksi yang menaungi
segala pikiran, hasarat, perasaan, emosi, dan pengalaman masyarakat ketika
menjalakan ritual-ritual keagamaannya dalam bentuk ziarah. Di pulau Lombok,
konsepsi ziarah makam keramat, tidak terlepas dari berkembangnya cerita-cerita atau
legenda tentang sosok yang Wali atau orang suci yang memiliki keramat. Hal tersebut
terus menguasai perasaan dan hasrat setiap orang untuk dapat melakukan ziarah di
makam keramat tersebut. Sebagaimana halnya dengan tradisi ziarah di makam
keramat Wali Nyato’ yang dipraktikkan oleh masyarakat Lombok Tengah. Menurut
sebagian besar responden, mereka melakukan ziarah dan tau kekeramatan makam
tersebut juga melalui cerita-cerita yang berkembang dari nenek moyang mereka
terdahulu.10
Mengenai konteks budaya atau tradisi-tradisi lokal yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat, umumnya masih sangat terligitimasi oleh kekuatan-kekuatan
adat-istiadat lama mereka sebagai warisan budaya para leluhurnya. Pada setiap tradisi
atau budaya lokal masyarakat, tingkat keantusiasannya terhadap proses ritual-ritual
dalam menjalankannya pun masih begitu kuat. Hanya saja perlu dicatat bahwa ketika
berbicara mengenai tradisi lokal, kapanpun dan dimanapun sepertinya tidak lepas dari
peranan seorang aktor sebagai pengendali dan pengatur bahkan menjadi pengelola
7Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno
Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah
Palembang 2017), 23. 8 Wawancara dengan Kr. 53 Thn, Peziarah makam, 17, Desember, 2017. 9Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa
(Depok: Komunitas Bambu, 2014), 563. 10 Wawancara dengan L. Bn, 47 Thn, Peziarah Makam, 10 Januari, 2018.
100
dari suatu objek (makam) atau benda pada suatu wilayah atau batas tertentu. Berkaitan
dengan hal tersebut, jika makam keramat adalah simbol suci, maka dapat dipastikan
bahwa makam tersebut akan selalu memiliki otoritas kendalai sebagai juru kuci atas
eksistensinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap makam keramat sudah
pasti memiliki juru kunci sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam mengatur
jalannya sebuah tradisi saat orang-orang akan melakukan ritual-ritualnya.
Begitu pula dengan keberadaan makam keramat Wali Nyato’ yang berlokasi
di Desa Rembitan, juga memiliki juru kunci. Seorang juru kunci akan banyak berperan
dalam mengelola, merawat dan menjaga makam keramat tersebut. Saat para peziarah
makam berkunjung atau berziarah, peran juru kunci sangat penting untuk mengatur
serta menjamin para peziarah dengan aturan-aturan yang sudah berlaku. Petugas-
petugas makam diperintahkan untuk mengatur pengunjung makam saat melakukan
ziarah agar proses ziarah berjalan secara tartib, aman, dan teorganisir.11
Kemungkinan diberbagai wilayah, bahkan di belahan dunia manapun hampir
dapat dipastikan bahwa semua makam kermat memiliki juru kunci. Misalanya; di Irak,
juru kunci makam disebut khādim atau mutawaĪĪi. Pada makam ulama-ulama besar,
khādim merupakan posisi yang sangat strategis. Posisi tersebut merupakan suatu
bentuk penghormatan bagi sesorang yang diberikan tugas tersebut. Oleh karena itu
posisi atau jabatan khādim senantiasa diberikan kepada ulama atau syaikh. Seperti
halnya Ibn Battuta pada saat menyebutkan bahwa khādim makam Ibrāhim Ibn Adham
di Jabala adalah orang shaleh. Posisi juru kunci (khādim) adalah posisi yang secara
turun termurun diwariskan pada keluarga yang sama. Oleh karena itu, ada kewajaran
jika keturunan dari sang wali atau orang terdekatnya tetap menjaga makamnya.12
Menurut Hefner, juru kunci makam adalah kasus kompromis yang terjadi
pada budaya dan agama Islam beserta tradisi-tradisi yang ada sebelumnya. Sehingga
dapat meningkatkan pengetahuan tentang Islam saat itu, maka sangat diperlukan atau
dibutuhkan para ahli. Biasanya para ahli tersebut mampu menguasai bahasa dan doa-
doa yang berbahasa Arab yang pernah dipelajari dari pedoman agama.13
Makam-makam keramat diberbagai wilayah, tentu memiliki juru kunci atau
khādim. Seorang juru kunci makam lebih banyak mengetahui asal muasal atau sejarah
dari keberadaan makam. Oleh karena itu, ia banyak berperan dalam memandu tata
cara berziarah, aturan ziarah, waktu ziarah, termasuk memandu para peziarah dalam
berdoa sesuai dengan tuntunan Islam.14 Tempat tinggal juru kunci makam biasanya
tidak jauh dari lokasi makam hingga senantiasa dimintai bantuannya untuk memandu
para peziarah dalam melafalkan doa-doa baik doa keselamatan dunia akhirat atau doa
tolak balak.
Dalam perspektif Islam setidaknya ada tiga tempat yang secara formal dapat
diakui sebagai tempat yang paling suci, yaitu di Arab dengan mengakui Haramain
(“dua tempat suci”) dan satunya di Palestina. Di Haramain terdapat dua tempat suci
11 Wawancara dengan Mg, Juru Kunci Makam, 18 Oktober, 2017. 12Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu,
2010), 54. 13Hifner Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (Princeton: Princeton
University Press, 1999), 139. 14Wawancara dengan, L. Maswa. Tokoh agma, 15, Desember 2017.
101
yaitu Masjid al-Haram yang terletak di Makkah dengan salah satu objeknya yang
paling dipuja-puja adalah Ka’bah, atau Rumah Allah (baitūllah). Di Madinah terdapat
Masjid Nabi (Masjid al-Nabawy) sebagai tempat Rasulallah dimakamkan. Sedangkan
di Palestina terdapat Masjid al-Aqso (Kubah Batu) yang saat itu merupakan kiblatnya
umat muslim dan sebagai tempat persinggahan Nabi dalam perjalanan Isra’ al-Mi’roj.
Tempat-tempat suci tersebut, telah membentuk kepercayaan bahwa makam orang suci
atau bekas peninggalan Waliullah senantiasa mendapatkan posisi istimewa dihati
masyarakat dengan meninggikan derajatnya meskipun derajatnya itu jauh dibawah
tempat-tempat suci sebagaimana halnya di atas.15
Masyarakat telah meyakini bahwa keberadaan makam bukan hanya sebagai
tempat penyimpanan jenazah tetapi menjadi suatu simbol suci dan sangat keramat.16
Dalam persepektif antropologi, pengkultusan makam-makam keramat yang diyakini
sebagai tempat bersemayamnya orang-orang suci adalah tempat yang telah membawa
ingatan bersama dengan segenap hubungan antara “orang suci” dan “tempat suci”
dalam pemaknaan ruang dan waktu.17 Nampaknya tidak ada satu tempat suci dalam
tradisi ritus agama-agama besar yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah
dalam hidup orang-orang suci atau para Wali.
Makam keramat Wali Nyato’ telah mendapat pengakuan dari masyarakat luas
bahwa beliau adalah seorang Waliyullah. Dalam kisahnya,18 kehadiran beliau selalu
menjadi panutan dan inspirasi bagi setiap sahabat dan kerabatnya atas kebaikan dan
jasa-jasanya yang selalu dengan kedermawanannya, sopan santun, berbudi perkerti,
sangat mengharagi orang lain dan sebagainya. Kehadiranya tentu menjadi sejarah
penting bagi masyarakat setempat bahwa beliau pernah hadir di wilayah Lombok
bagian Selatan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Karena itu, keberadan makam
15AG. Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal (Jakarta: Logos, 2002), 253. 16Tempat-tempat yang dianggap suci dan diaktualisasikan menjadi suatu karomah,
karena dinilai sebagai keajaiban yang berasal dari sang kuasa dan telah dianugrahkan kepada
sang Wali. Dalam bahasa Arab karomah berarti “keilmuan” atau bisa juga berarti “kehormatan
dari Allah” lalu mengalami pergeseran dan dalam lidah orang Indonesia menjadi “keramat”.
Kata haramat dan karamat digabungkan menjadi istilah keramat, yang mengandung arti
tempat suci atau keajaiban (karamat) yang menyangkut kehidupan para Wali Allah. Lihat. AG.
Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal (Jakarta: Logos, 2002), 254. 17Ahmad Falah, Sepiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata Jurnal
Walisongo Volume 20, No 2, November 2012, 430. 18Raden Firnas dan Raden Datang adalah anak angkat Mamiq Butuh (Bapak Butuh)
dan Inaq Butuh (Ibu Butuh). Kedua putra angkatnya telah lama membantunya mengembala
karbau selama kurang lebih 8 tahun. Suatu hari kedua putranya minta untuk khitan. Dan
Permintaannyapun dipenuhi oleh orang tuanya. Kedua orang tuanya lalu menggelar pesta tujuh
hari tujuh malam hingga menyembeleh karbau sebanyak 7 ekor. Konon acara khitan itu baru
pertama kali dilakukan di Desa Rembitan tepatnya hari kamis, tanggal 12 bualn Rajab tampa
disebutkan tahunnya. Petugas kesehatan waktu itu bernama Syaikh Muhammad Saleh bin
Muhammad Ali. Saat itu masyarakat tumpah ruah dalam acara pesta (begawe) tersebut. Ketika
itu masyarakat kagum dan heran dengan acaranya tersebut. Dari itulah kemudian masyarakat
mengenal namanya “Besunat” (Kihtan) yang pernah dilakukan oleh Raden Pirnas dan Raden
Dateng anak angkat dari Mamiq Butuh dan Inaq Butuh. Lihat: TGH. M. Najamuddin Makmun,
Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes: Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 5.
102
Wali Nyato’ menjadi simbol suci yang sangat dikermatkan oleh masyarakat Lombok
Tengah khususnya masyarakat Desa Rembitan.
Ziarah makam merupakan salah satu budaya spiritual sebagai konsep religius
masyarakat. Tradisi ziarah makam juga bagian dari sisa-sisa warisan tradisi leluhur,
yang tentunya sangat berkaitan dengan kepercayaan dan penghormatan terhadap roh
para leluhur mereka.19 Sisa-sisa dari kepercayaan terhadap para leluhur itupun masih
ada hingga saat ini yang kemudian direalisasikan dalam bentuk budaya spiritual yaitu
ziarah makam. Dalam kehidupan masyarakat suku Sasak di Lombok, tradisi ziarah
makam dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan antara tradisi lokal dengan ajaran
agama Islam. Dalam ajaran agama Islam menyebutkan bahwa Adam dan Hawa adalah
manusia pertama sebagai nenek moyang manusia di bumi. Tetapi, terkait dengan soal
keyakinan, masyarakat Sasak di Lombok membedakan antara nenek moyang yang
sudah lama meninggal dibanding dengan yang belum lama meninggal. Nenek moyang
yang sudah lama meninggal, dan dianggap memiliki jasa atau peran penting dalam
kehidupan masyarakat, biasanya memiliki makam khusus yang sangat dikeramatkan.
Sedangkan nenek moyang yang baru-baru meninggal dan tidak memiliki peran khusus
dimasyarakat, akan dimakamkan dengan makam atau kubur masyarakat biasa.20
Keberadaan makam keramat Wali Nyato’ merupakan salah satu makam kuno
yang terletak di sebuah bukit di pulau Lombok bagian Selatan Lombok Tengah, tentu
menjadi simbol suci bagi masyarakat setempat dan masyarakat Lombok Tengah
secara umum. Konon makam tersebut merupakan makam seorang ulama yang
bernama Abdullah alhaddad, yang dulunya menyebarkan ajaran Islam di wilayah
Lombok bagian Selatan. Disekitaran makam juga terdapat bangunan masjid kuno
bertumpang tiga yang terbuat dari kayu, dan beratapkan ilalang. Sebagai makam kuno
yang sudah dibangun lama, masyarakat mulai berziarah di makam tersebut karena
dianggap memiliki kekuatan adikodrati.21
Selanjutnya makam orang-orang suci atau makam para ulama yang dibuatkan
makam secara khusus adalah mereka yang tentunya memiliki jasa serta peran penting
lainnya dalam kehidupan masyarakat luas. Makam-makam yang kemudian dikenal
sebagai makam keramat akan banyak diziarahi atau dikunjungi oleh masyarakat untuk
berdoa, zikir, membaca Qur’an dan lain sebagainya. Untuk itu, makam keramat Wali
Nyato’ menjadi simbol suci bagi masyarakat, selain karena beliau adalah sosok ulama
yang pernah mengajarkan Islam bagi masyarakat pada masanya.
B. Proses Sosial dan Ziarah Makam Sebagai Tradisi Keagamaan Masyarakat
Realitas yang berkembang di tengah kehiduapan masyarakat merupakan fakta
sosial karena tidak dapat dipisahkan secara subyektif dari berbagai realitas yang ada.
Kehidupan sehari-hari muncul sebagai kenyataan sosial yang selalu dapat di tafsirkan
19 Lihat: R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, (Yogyakarta:
2012), 73. 20 Lihat: Harpandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Persepsi Tradisional dan
Modern. (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004), 159. 21 Lihat: I Gusti Ayu Armini, Tradisi Ziarah dan Berkaul pada Makam Keramat di
Lombok Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional, Vol. 23. No.
1 Maret 2016, 86.
103
oleh manusia karena mempunyai makna subjektif sebagai suatu dunia yang koheren.
Misalnya; tradisi ziarah kubur atau ziarah makam keramat dapat dikatakan sebagai
bagian dari pengejawantahan dari proses sosial yang terjadi dalam realitas kehidupan
manusia.
Praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’ merupakan salah fakta sosial
karena terus berkembang dalam kehidupan masyarakatnya, dan tidak bisa dipisahkan
secara subyektif dari tindakan ritual-ritual keagamaan yang telah dilakukan oleh para
peziarah. Hal tersebut dilakukan karena mereka percaya bahwa Wali Nyato’ adalah
seorang ulama atau waliyullah yang membawa Islam di wilayah Lombok bagian
Selatan. Untuk itu, keberadaan makamnya tetap dinilai mengandung keramat dan
kekuatan-kekuatan spiritual sehingga praktik ziarah di makamnya muncul sebagai
tradisi keagamaan bagi masyarakatnya.
Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa Wali Nyato’ bukan nama
yang sebenarnya tetapi hanya laqab (gelar) semata.22 Meskipun oleh Tawalinuddin
Haris menyebutkan nama lain dari Wali Nyato’ yaitu; Sayid Ali atau Sayid
Abdurrahman23 tampa menjelaskan dari mana nama itu diperoleh. Namun praktik
ziarah di makam tersebut telah berlangsung lama hingga menjadi tradisi masyarakat
yang berkembang secara kontinuitas sesuai dengan aturan yang berlaku. Meskipun
ada di antara mereka yang kadang-kadang tidak mengetahui asal usul atau sejarah
makam tersebut. Tetapi keberadaan makamnya telah mampu membentuk hubungan
yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakatnya.
Adapun penyebutan nama makam Wali Nyato’ sebenarnya karena ada suatu
kejadian pada diri sang Wali. Konon, saat beliau meninggal, jenazahnya ditandu untuk
dimakamkan. Saat jenazahnya akan dimakamkan tiba-tiba jasadnya telah menghilang.
Berangkat dari kejadian tersebut, kemudian orang tua terdahulu selalu menceritakan
peristiwa itu kepada anak cucu mereka hingga ke gnerasi-generasi berikutnya. Oeh
karena itu, diketahuinya makam keramat tersebut melalui cerita dari orang-orang tua
terdahulu hingga bersebar luas dari mulut ke mulut. Cerita tersebut begitu melekatnya
dalam benak masyarakat dan membentuk suatu keyakinan dari kejadian itu sehingga
masyarakat percaya bahwa beliau adalah sosok seorang ulama atau Waliyullah.24
Selain itu, suatu peristiwa juga terjadi tepatnya pada hari Selasa bulan Syaban
tampa disebutkan tahunnya di mana sang Wali pada saat itu mengumpulkan kerabat,
sahabat dan teman-teman terdekatnya. Konon, sang Wali menyampaikan kepada para
semua kerabat dan sahabatnya bahwa beliau sudah memasuki usia tua dan beliau akan
segera meninggalkan dunia, sambil menasehati sahabat-sahabatnya. Tentu semua para
kerabat dan sahabatnya dirundung rasa kesedihan sambil meneteskan air mata.25
22Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus
Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian
Agama RI, 2011), 37 23Lihat Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian
Data Arkeologi dan Sejarah, dalam Kajian: Journal Pemikiran Sosial Ekonomi Daerah NTB
(Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002), 18. 24Wawancara dengan Lalu Gnr. Juru Kunci Makam 29 November 2017. 25Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:
Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 14.
104
Kemudian tepatnya pada hari Rabu bulan Syaban sekitar kurang lebih pukul
08:00, sang Wali menggali tanah bersama dua orang kerabatnya bernama Aman Dona
dan Aman Demin. Kedua kerabatnya lalu bertanya kepada sang Wali, untuk apa tanah
ini digali? Jawab sang Wali “sebagai tempat saya beristirahat nanti” kedua sahabatnya
terus menggali sampai selesai. Sesudah selesai, lalu sang Wali mengatakan “jangan
kalian tidur, karena saya mau istirahat”. Sekitar kurang lebih pukul 03:00 sang Wali
beristirahat. Kedua kerabatnya mulai gelisah, bingung dan keduanya tidak tahu harus
berbuat apa? Keduanya lalu melihat sang Wali dan beliau masih ada di dalam lubang
tersebut. Setelah shalat Magrib, keduanya kembali melihat dan sang Wali juga masih
ada. Tetapi setelah melihat untuk yang ketiga kalinya, ternyata beliau (sang Wali)
sudah tidak ada. Tentu keduanya sangat kaget sambil berteriak kencang memanggil
sang Wali, namun sang Wali tak kunjung muncul sampai semua para kerabat, sahabat
dan teman-teman terdekatnya berkumpul di bukit gunung tersebut di mana peristiwa
itu terjadi. Semua kerabat dan sahabatnya mengatakan “sang Wali hilang di gunung
ini”, “sang Wali nyata hilang di gunung ini” sampai menyatakan kalimat yang sama
berkali-kali terucap dari bibir mereka. Oleh karena itu, sebutan nama makam keramat
Wali Nyato’ sejak saat itu dilekatkan karena “Nyato” artinya “Nyata”.26
Melalui peristiwa atau kejadian tersebut kemudian masyarakatnya membuat
pager pembatas disekitar makamnya sekaligus mengakuinya sebagai makam seorang
Waliyullah. Meskipun jasadnya telah menghilang (moksa), akan tetapi kewaliannya
tetap diyakini akan melekat di dalam makamya. Cerita demi cerita terus berkembang
dan bersebar luas di kalangan masyarakat sehingga keberadaan makamnya pun mulai
diakui sebagai makam seorang ulama atau makam seorang Waliyullah yang akhirnya
membentuk hubungan sosial keagamaan masyarakat setempat untuk melakukan
ziarah di makamnya.27 Oleh karena itu, ziarah di makam keramat Wali Nyato hingga
saat ini masih dijalankan oleh masyarakat.
Ziarah di makam keramat tersebut kemudian oleh masyarakat terus dijalankan
hingga menjadi salah satu tradisi keagamaan dengan sejumlah aktivitas ziarah yang
terdapat di dalamnya. Namun demikian, ritual ziarah yang dilakukan kadang berbeda-
berbeda sesuai dengan motif dan tujuan para peziarah itu sendiri. Intinya keberadaan
makam keramat Wali Nyato’ tersebut, setidaknya telah menggambarkan suatu simbol
suci bagi masyarakat untuk diziarahi. Ritual ziarah yang umumnya dilakukan seperti
berdoa di sisi makam, membaca suarat Yasin, berzikir, membaca shalawat, seraqalan,
dan menabur bunga, adalah serangkaian aktivitas ziarah yang berlangsung di makam
keramat tersebut.28 Praktik ziarah di makam ini, sealu dimaknai sebagi sistem sosial
keagamaan masyarakat dengan melestarikan budaya ziarah kubur atau ziarah makam
dalam kehidupan mereka.
Ziarah atau “nyekar” dalam bahasa Jawa berarti kunjungan pada suatu tempat
yang dianggap suci atau mulia.29 Kata ziyārah dalam bahasa Arab berarti berpergian,
26Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:
Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 15. 27 Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ 16. 28Wawancara dengan Lalu Gsr. Penjaga Makam 29 November 2017. 29Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-
3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 1280.
105
atau berjalan dari suatu tempat ketempat lain.30 Secara terminologi, ziarah merupakan
kunjungan kepada seorang yang telah meninggal dan dimakamkan dengan maksud
agar yang telah meninggal tersebut dilapangkan kuburnya oleh Allah SWT. Karena
itu, peziarah dapat mengambil pelajaran (‘itibār) agar peziarah (zāir) selalu ingat akan
datangnya kematian.31 Ziarah juga bisa berarti kunjungan ke makam para Wali dan
bisa digunakan untuk menyebut kunjungan kepada pemimpin suatu kelompok atau
golongan (tarekat) dari para pnegikutnya.32
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ziarah ke kubur atau makam orang yang
sudah meninggal dunia seakan-akan dapat menimbulkan kontak sehingga orang yang
diziarahi ke makamnya akan merasa tenang dan bahagia.33 Hanya saja para peziarah
lebih memaknai bahwa dengan dirasakan adanya kontak tersebut akhirnya meyakini
bahwa ziarah kubur atau ziarah ke makam akan banyak memperoleh berkah dan
keberuntungan.34 Padahal ziarah kubur hanya sekedar mendoakan penghuni kubur
agar mereka yang masih hidup selalu mengingat akan datangnya kematian disamping
memperkuat keimanan mereka karena ziarah kubur adalah suatu perbuatan yang baik.
Pandangan di atas nampak sebagai sebuah realitas keagamaan yang mengarah
kepada pemaknaan atas suatu pengalaman yang dirasakan atau dialami oleh seseorang
ketika melakukan ziarah. Pemaknaan tersebut lambat laun akan membentuk suatu
pola dari konsepsi-konsepsi yang dirasakan atau yang dialami sehingga menjadi suatu
pemahaman dari pengalaman-pengalaman tersebut. Sejalan dengan hal tersebut,
Hasan Hanafi35 menyatakan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang ditransformasikan
kepada manusia kemudian menjadi suatu pemahaman dan mengarah kepada perilaku
kehidupan.
Tradisi keagamaan dalam bentuk ziarah kubur atau makam umumnya sudah
menjadi kebiasaan masyarakat yang secara turun temurun berkembang dan mengakar
kuat dikalangan umat muslim.36 Ziarah ke makam para Waliyullah seolah-olah sedang
menyelami hikmah-hikmah kehidupan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad agar
selalu mengingat Allah sekaligus momen untuk mengintropeksi diri dari perliaku
kehidupannya sehari-hari. Namun perbedaan-perbedaan dalam tindakan atau perilaku
ziarah kadang tercermin melalui ekspresi-ekspresi dengan ciri khas mereka masing-
30Syekh Muhammad Hisyām Kabbānī, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semsta, 2007), 199. 31Rasulallah Saw, bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad), melarang kamu
menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad Saw menziarahi kubur Ibu-
nya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari
kiamat” (H.R. Tirmizi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban, dan Hakim). Abu Umar Shalih,
Ziarah Kubur yang dicontohkan Rasulallah Saw” (Solo: at-Tibyan 2001), 115. 32Henri Chambert-Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010), 95. 33M. Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Ziarah Kubur Menurut al-Qur’an dan al-Hadist
(Semarang: Krya Toha Putra, 2010), 7-9. 34Ibnul Batanji, Bila Kuburan Didewakan. Al-Marfu’I, Terj (Solo: Pustaka Arafah,
2013), 20. 35 Hasan Nanafi, Islamologi 2 dari Rasional ke Empirisme. Yogyakarta, 2005, 5. 36Muhammad Wida Djuhan, Ritual di Makam Ki Ageng Besari Tegalsari Jeti
Ponorogo Jurnal Kodifikasi, Volume. 5 No. 1 Tahun 2011, 1.
106
masing. Pemaknaan atas pengalaman, perasaan, dan pengetahuan yang dialaminya
sering menjadi pemahaman yang membentuk perilakunya. Jika pemahaman tersebut
berpegang pada ajaran agama, maka seseorang akan berperilaku sewajaranya sesuai
dengan ajaran agama. Tapi jika didasarkan pada tradisi-tradisi para leluhur atau nenek
moyang terdahulu maka tidak menutup kemungkinan pemahamannya akan memiliki
makna yang berbeda.
Tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ juga telah melahirkan tingkat
pengetahuan, pengalaman dan pemahaman yang kadang kala berbeda-beda. Terlebih
lagi makam tersebut tidak memiliki tulisan sejarah secara komprehensif. Namun
demikian keberadaan makam tersebut masih tetap dikunjungi atau diziarahi oleh
masyarakat, meskipun awal mulanya keberadaan makam ini tersebar melalui cerita-
cerita yang berkembang dari mulut ke mulut seperti yang tersebutkan sebelumnya.
Dalam proses sosial masyarakat, pengalaman, perasaan pikiran-pikiran dan
tindakan biasanya memiliki makna subyektif sehingga dapat diterjemahkan secara
internal dalam dirinya dan membentuk pola kepercayaan tersendiri. Pengalaman,
pengetahuan dan pemahamannya tersebut kemudian akan terkonsepsi secara baik,
terutama ketika motif peziarah itu terpenuhi. Oleh karena itu, pengalaman-pegalaman
tersebut tidak menutup kemungkinan untuk tidak diceritakan pada orang lain melalui
tindakan dan interaksi, sehingga konsepsi mengenai eksistensi makam-makam yang
keramat kemudian akan menciptakan suatu tatanan sistem simbol yang terorientasi
pada suatu tindakkan atau perilaku bagi individu untuk mengatasi permasalahan yang
mereka hadapi.
Beberapa tradisi tertentu yang ditransformasikan menuju tradisi yang dinamis
akan menegakkan kesadaran historis, eidetis, dan kesadaran praksis.37 Dalam tradisi
ziarah, baik ziarah kubur atau ziarah makam tampak adanya perilaku atau tindakan
yang sangat beragam. Perilaku tersebut tentu tidak serta merta muncul begitu saja,
tetapi perilaku itu terjadi karena telah dibentuk dari suatu pemaknaan atas pemahaman
tentang sejarah, pengalaman, pengetahuan, dan atau cerita-cerita yang berkembang
dari orang lain.
Proses sosial dalam sebuah tradisi keagamaan masyarakat, lambat laun akan
menimbulkan realitas yang dapat ditafsirkan oleh individu karena memiliki makna
subyektif bagi mereka. Tradisi tersebut kadang-kadang tidak hanya diterima begitu
saja sebagai sebuah kenyataan sosial oleh anggota masyarakatnya. Akan tetapi harus
melalui suatu proses yang berasal dari pikiran-pikiran, pengalaman, pemahaman dan
tindakan-tindakan mereka sehingga dapat dipelihara sebagai suatu “yang nyata” oleh
pikiran dan tindakan tersebut.38
37Kesadaran historis adalah menentukan keaslian dari kitab-kitab suci, dan tingkat
kepastiannya. Sedangkan kesadaran eidetis menjelaskan makna teks menjadi kesadaran
rasional. Dan kesadaran praksis merupakan penggunaan dari makna tersebut sebagai dasar
teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan
manusia dan dunia sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia. Lihat:
Penjelasan Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial Mengenai
Kebudayaan: Edmund Husserl dan Jejak-Jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter L.
Berger, Jurnal, Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013. 22 38Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Constuction of Reality A
Treatise in The Sociology of Knowledge (New York: Doubleday & Company, 1966), 33-34
107
Menurut Durkheim, tidak mungkin ada masyarakat tanpa perasaan fisik dan
kognitif tentang dunia sakral di mana polaritas sakral telah menjadi bagian utama
dalam pemikiran dan kebudayaan manusia sepanjang sejarahnya.39 Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa manusia bukanlah produk dari nenek moyang semata,
melainkan produk dari kebiasaan-kebiasaan sosial.40 Kendati demikian, sebagai suatu
tradisi yang sudah merasuk jiwa serta pikiran manusia cepat atau lambat tradisi itu
akan membentuk ligitimasi keyakinan dan kepercayaan terhadap dunia yang sakral
atau keramat.
Tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, Kecamatan
Pujut, Lombok Tengah, telah memperlihatkan adanya kebiasaan-kebiasaan sosial
serta keragaman pemahaman dan pengalaman yang berbeda-beda sesuai dengan
tingkat kesadaran historis, eidetis, dan kesadaran praksisnya. Terlebih lagi makam
keramat Wali Nyato’ tersebut tidak dapat dikunjungi pada hari-hari lain kecuali pada
hari Rabu.41
Hari Rabu adalah hari di mana suatu peristiwa pernah terjadi pada diri sang
Wali, sehingga tradisi ziarah ke makam keramat Wali Nyato’ hanya dapat dilakukan
pada hari Rabu saja. Menurut juru kunci makam, jika ingin memperoleh berkah dari
beliau maka berkunjunglah pada hari Rabu karena hari itu beliau ada di tempatnya
(makam). “Ibaratnya kalau kita ingin menemui sesorang ke rumahnya dan orang
tersebut tidak ada di rumah, lalu buat apa kita kesana”. Konon, hari Rabu adalah hari
baik di mana sang Wali mencurahkan berkahnya. Sebelumnya, pernah ada wangsit
dari sang Wali, bahwa beliau ada pada hari Rabu. Akhirnya kebiasaan melakukan
ziarah pada hari Rabu terus dilekatkan hingga saat ini.42
Dalam tradisi keagamaan masyarakat lokal, ziarah kubur atau ziarah makam
merupakan salah satu tradisi yang paling menonjol karena ziarah dapat dilakukan oleh
hampir semua lapisan masyarakat tampa batas waktu yang tidak ditentukan bahkan
dapat dikunjungi setiap harinya, tidak terkecuali di makam keramat Wali Nyato’ Desa
Rembitan, Lombok Tengah yang hanya bisa dikunjungi pada hari Rabu saja. Dalam
pandangan NU, tradisi adalah perilaku, kebiasaan, dan aturan-aturan tidak tertulis
yang dipegang oleh para Kyai NU. Tradisi juga mengandung sejumlah kompleksitas
atau konsepsi tentang ide, gagasan, nilai-nilai, moral dan peraturan wujud ideal dari
kebudayaan yang sifatnya abstrak dan terdapat dalam alam pikiran manusia.43 Karena
keberadaan para ulama (wali) diyakini oleh masyarakat sebagai tokoh mata rantai
penyambung ajaran Islam sampai kepada ajaran Nabi.44 Rasulallah Saw pernah
bersabda:
39Philip A. Mellor dan Chris Shilling dalam Brayan S. Turner, The New Blackwell
Copanion To The Sociology Of Religion, (UK: Oxford, 2010), 206. 40Wendy Melfa & Solhin Siddiq, Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam Studi
Epistimologis Pemikiran Ibnu Khaldun (Bandar Lampung: Matakata, 2006), 68. 41Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkas Deside Makam Wali NYato’
(Ponpes Darul Muhajirin Praya, 1406 H.), 6. 42Wawancara dengan L gr, Juru Kunci Makam, 29 November 2017. 43Anwar Ali, “Advonturisme” NU, (Bandung: Humaniora Utama Press, 2014), 134. 44Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013), 309.
108
إ اء ن م
عل
م ال ف م
ل ع
ثواال ر او ن م إ
ما ره د
لا راو
ينا ثواد
ر ميو ل ء
يا نب
لأا
ن ،إ اء ي نب لأةا ث ر نو
ر اف و ظ ح ب د ق .ف
Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barang
siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak” (H.R. At-
Tirmidzi dari Abu Ad-Darda R.A).
Kata ulama, adalah jama’ dari kata ‘alim, yang mempunyai arti “orang yang
memiliki ilmu” para ulama telah menempati posisi terhormat dalam khazanah ilmu
dan peradaban Islam. Eksistensi ulama juga tidak bisa dipisahkan dari keberadaan
para jamaah atau para pengikutnya karena ulama selalu memberikan nasehat-nasehat,
dan tausyiah yang senantiasa menuntun manusia ke jalan yang benar. Dalam hadis
tersebut telah memberikan gambaran yang jelas mengenai orang-orang yang berilmu
(ulama).45
Keberadaan makam para ulama atau makam Waliyullah akan mendorong
lahirnya tradisi keagamaan masyarakat. Tradisi keagamaan tersebut terjadi melalui
proses sosial baik secara tindakan maupun interaksi. Proses sosial ini sebagai tahap
awal untuk mengasosiasikan sebuah praktik keberagamaannya terhadap suatu objek
tertentu yang dinilai keramat atau suci seperti makam para Waliyullah, masjid, sumur
dan lain sebagainya. Meskipun seorang ulama atau tokoh itu telah meninggal dunia,
tetapi aura kesuciannya diyakini akan tetap bersemayam di dalam makamnya.
Sebagaimana dengan keberadaan makam keramat Wali Nyato’ yang juga
disebut-sebut sebagai makam seorang Wali oleh masyarakat setempat dan umumnya
masyarakat Lombok Tengah. Makam tersebut telah diakui oleh masyarakat memiliki
nilai historis dan keramat yang luar biasa bagi para peziarahnya. Kisah atau cerita-
cerita yang berkembang dahulunya, bahwa masyarakat masih banyak menganut
istilah kepercayaan Wetu telu, karena belum banyak yang mengenal Islam, tetapi
dengan kehadiran sang Wali sebagai penyebar agama Islam di Lombok bagian Selatan
justru masyarakatnya beralih menjadi penganut Islam Waktu Lime (Islam yang taat).46
Menurut ceritanya, Wali Nyato’ sering bersilaturahim kepada para sahabat-
sahabatnya di Dusun Selanglet (nama sebuah kampung di Lombok Tengah) yang
bernama Balo’ Data atau sering disebut Balo’ Tasih. Satunya lagi bernama Balo’
Sambar, kedua sahabatnya ini masing-masing diwarisi beberapa peninggalan beliau.
Balo’ Date’ atau Balo’ Tasih diwariskan satu lampu kecil (sejenis lampu lentera) al-
Qur’an, Penyalin belo (sejenis tongkat), Jubah kain hitam (sejenis Rok panjang), dan
dua Mangkok yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan Balo’ Sambar diwariskan Al-
Qur’an, Golok dan Sujaddah kecil (alat untuk solat).47 Peninggalan sang Wali tentu
45Eric Geoffroy dalam Loir dan Fuillot ed, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010), 33. 46 Lihat: TGH. M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’
(Ponpes: Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 1. 47 Lihat TGH. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkas Deside Wali Nyato (Ponpes:
Darul Muhajirin Praya, 1046 H), 9-10
109
menjadi bukti sejarah akan kehadirannya di wilayah Lombok bagian Selatan dalam
menyebarkan ajaran Islam. Oleh karena itu keberadan makamnya merupakan salah
satu simbol suci yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Lombok Tengah
khususnya masyarakat setempat. Tentang asal-usul sang Wali, memang tidak cukup
banyak yang tahu. Tetapi keberadaan makamnya telah membentuk hubungan yang
melekat dengan eksistensi para peziarah. Peninggalannya tetap dinilai sebagai bukti
sejarah di bumi Sasak pulau Lombok bagian Selatan.48
Tradisi ziarah kubur atau ziarah makam keramat yang terjadi melalu proses
sosial sebenarnya telah menghadapkan kita pada sejumlah objek tentang keberadaan
sang Wali atau para ulama yang diketahui sebagai penyambung ajaran-ajaran yang
dibawa oleh Nabi melalui kitab sucinya yaitu al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu,
keberadaan Nabi dan Rasul sebagai utusan Allah dapat dibenarkan melalui kitab
sucinya yaitu al-Qur’an, sehingga ketika para Nabi dan Rasul sudah tidak ada, maka
diwariskannya kepada para ulama-ulama atau orang-orang suci (mulia).
Dalam tradisi-tradisi keagamaan, kadang terdapat proses-proses ritual atau
tahapan-tahapan tertentu yang harus dilakukan seperti menyiapkan bunga rampai,
sesaji, makanan, air bersih, dan lain-lain. Disamping melakukan zikir, doa, membaca
solawat, dan sebagainya. Dalam tradisi-tradisi tersebut terdapat pula doa-doa yang
biasa dibaca dalam ibadah, termasuk upacara jenazah sewaktu akan diberangkatkan
ke makam.49 Sementara itu, sebagai salah satu tujuan dalam melakukan ziarah makam
adalah untuk mengingat adanya kematian, tujuan tersebut sebagai cerminan dari
adanya asumsi-asumi yang dianggap sebagai perbuatan syirik50 di sekitaran makam
48 Erni Budiwanti, The Role of Wali Ancient Mosques and Sacred Tombs in The
Dynamics of Islamisation in Lombok, Senior Researcher at the Indonesian Institute of
Sciences, Haritage of NUSANTARA International Jornal of Religious Literature and
Heritage, Volume, 3 No 1, 2014, 20. 49Lihat: Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis (Jakarta: Kompas,
2010), 289. 50Ada di antara sebagian masyarakat modern meskipun memeluk agama Islam yang
mengatakan ziarah makam adalah perbuatan bid’ah sehingga berpotensi untuk memicu
timbulnya keyakinan atau kepercayaan syirik di dalamnya. Gerakan anti ziarah ini diperkirakn
muncul sekitar abad ke XIV. Muhammad Ibn. Abd. Al-Wahab yang mendapat dukungan kuat
dari keluaga kerajaan Su’ud Emir saat itu memulai dengan gencarnya gerakan pembaharuan
Islam yang bersifat puritan (pemurnian), disamping didasari dengan mazhab Hambali yang
sederhana dan pelajaran anti sufi yang bersumber dari Ibn Taimiyah beserta pengikut-
pengikutnya pada saat itu. Munculnya istilah gerakan Wahabiyah yang lebih sebagai semangat
untuk mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, ditujukan untuk menghadapi degradasi
kepercayaan manusia terutama bagi mereka yang berada di wilayah pedesaan atau suku-suku
terpencil, dengan mengutuk perbuatan mereka yang memuja-muja orang suci, atau perbuatan
bid’ah-bid’ah lainnya yang dianggap sebagai penyimpangan atau kekufuran. Gerakan ini juga
akhirnya menjustifikasi mazhab-mazhab lain dengan asumsi bahwa adanya kompromi
terhadap bid’ah-bid’ah lain yang sangat dibenci oleh mereka. Dalam Purwadi dkk, Jejak Para
Wali dan Ziarah Spritual, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), 4. Lihat juga Subhan
S.J. Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas
Paham Wahabi, (Jakarta: Pustaka al-Hidayah, 1989), 7. Baca juga Sutiyono Benturan Budaya
Islam: Puritan dan Sinkretis (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 8.
110
atau kuburan, karena syirik merupakan perbuatan yang sangat dimurkai Allah Swt.51
Imam Syaukani mengatakan tawassul kepada Nabi Muhammad Saw ataupun kepada
yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah
merupakan ijma.52
Tradisi keagamaan dalam bentuk ziarah makam keramat Wali Nyato’ di Desa
Rembitan, juga telah memperlihatkan praktik keagamaan yang tentunya disesuaikan
dengan tuntunan syariat Islam seperti bertawassul, berwasilah, wirud, berdoa dan lain-
lain. Walaupun ada juga masyarakat yang kadang tidak melakukannya. Para sahabat
melakukan tawassul bukanlah meminta kekuatan orang yang telah mati atau yang
masih hidup, tetapi berperantara pada kesalehan seseorang atau kedekatan derajatnya
kepada Allah karena kedekatan dan ketakwaan mereka tetap abadi walaupun mereka
telah meninggal dunia.53 Karena itu, tradisi ziarah nampaknya sulit dihilangkan dalam
budaya kepercayaan masyarakat lokal. Bahkan tradisi ziarah sudah menyatu dengan
sangat baik dalam kehidupan setiap anggota masyarakat.
Harus diakui bahwa makam para Wali atau orang suci selalu dibanjiri oleh
para peziarah sebagai tempat ritual keagamaan mereka dengan cara bertawassul atau
berwasilah hingga melakukan wirid, membaca doa, membaca Yasin, Istigozah, dan
berzikir. Selain itu, ada pula makam yang dijadikan sebagai pusat alternatif kegiatan
keagamaan seperti pengajian akbar, kahtmul al-Qur’an, atau peringatan hari-hari
besar Islam. Makam yang dijadikan sebagai pusat alternatif kegiatan keagamaan
tersebut biasanya makam seorang tokoh atau ulama yang terletak disekitaran pondok
pesantren, masjid bahkan berdampingan dengan gedung-gedung sekolah.54 Tetapi
makam Wali Nyato’ bukanlah makam yang letaknya bersebelahan dengan pondok
pesantren atau masjid seperti yang disebutkan di atas.
Makam Wali Nyato’ adalah makam keramat yang memiliki lahan yang cukup
luas hingga mampu menampung ratusan peziarah dan memenuhi sebahagian proses
ritual keagamaan seperti berzikir, berdoa, tawassul, atau berwasilah, membaca Yasin,
dan sholawat Nabi. Hanya saja makam Wali Nyato’ tidak berdampingan dengan
pondok pesantren, masjid, dan gedung-gedung sekolah sebagaimana yang disebutkan
di atas. Berarti tidak semua makam selalu berdampingan dengan pondok pesantren,
masjid atau gedung-gedung sekolah. Tetapi makam Wali Nyato’ terletak di sebuah
bukit tepatnya di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam pandangan Islam, ziarah memang dianjurkan sebagai bagian dari cara
manusia untuk mengingat akan adanya kematian. ‘Abd al-Haqq al-Isybilī menyatakan
51Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup,
Pedoman Merawat Jenazah Syar’iat Islam (Jakarta: Suara Bebas, 2006), 115. 52Ijma’ menurut istilah para hali Ushul Fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada
suatu masa dikalangan umat Islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah
wafatnya Rasulallah Saw. Lihat: Abdul Wahhb Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina
Utama, 2014), 66. 53H. M. Cholil Nafis, “Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik”,
http://www.nu.or.id/post/read/38189/tabarruk-dipraktikkan-sejak-zaman-nabi (diakses, pada
tanggal 5 Januari 2018). 54Lihat: Mariatul Qibtiyah, “Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan (Analisis atas
Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang”, Tesis: Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, 122.
111
bahwa ziarah merupakan suatu sunnah yang diharuskan (sunnah wajibah).55 Akan
tetapi tidak dengan cara-cara yang berlebihan seperti meluapkan emosi keagamaan
yang mengarah pada perbuatan-perbuatan syirik. Misalnya; salah seorang peziarah
yang menyebutkan bahwa tradisi ziarah itu perbuatan baik. Maka setiap kebaikan itu
akan ada ganjaran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ziarah di makam keramat
Wali Nyato’ adalah agar mengingatkan kita pada akherat, kematian, atau memberikan
pelajaran (ibrah). Karena ziarah termasuk cara kita mengamalkan dan menghidupkan
sunnah Rasulallah dan sahabatnya. Secara umum tradisi ziarah itu boleh dilakukan
oleh setiap orang kapan saja. Tidak terkecuali mereka yang melakukan ziarah dengan
tujuan berbuat syirik maka itu dilarang dalam ajaran Islam.56
Hubungan manusia dengan ulama’ adalah hubungan yang didasari dengan
dimensi keagamaan dan dimensi sosial.57 Dimensi keagamaan adalah suatu hubungan
yang dilaksanakan atas dasar ajaran agama, seperti ketaqwaan dengan cara berwasilah
atau tawassul.58 Walaupun pandangan umat Islam tentang tawassul kepada para
Waliyullah masih belum dapat disepakati seutuhnya. Hal ini akibat dari cara pandang
mereka yang berbeda-beda.
Sebagian kalangan menyebutkan tawassul itu tidak ada masalah, namun
sebagian lainnya mengatakan kunjungan seperti ini bisa merusak akidah, terutama
menyangkut keterkagumannya dengan cara yang “berlebihan” terhadap karomah
yang dimiliki para kekasih Allah tersebut. Memang mengenai al-wasilah tidak cukup
banyak dijumpai di dalam al-Qur’an. Namun ada beberapa ayat saja yang menjelaskan
tentang wasilah tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an surah al-Maidah:
Allah SWT berfirman:59
مك ل ع
ل ه يل ب
س ي ف دوا اه ج و ة يل س و
ال ي
ل ا غوا ت ا و ه
الل قوا ات نوا م
ا ين ذ
ال ا ه ي
يا
حون ٥٣تفل
55Rasulallah Saw, bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad), melarang kamu
menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad Saw menziarahi kubur Ibu-
nya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari
kiamat” (H.R. Tirmizi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban, dan Hakim). Abu Umar Shalih,
Ziarah Kubur yang dicontohkan Rasulallah Saw” (Solo: at-Tibyan, 2001). 115. 56Wawancara dengan, Ar, Ust. Pimpinan Ponpes RUA, Rabu. 10 Janwari 2018. 57Mudjahirin Tohir, Orang Islam Jawa Pesisiran (Semarang: Fasindo Press, 2006),
41-42. 58Al-wassilah memang tidak cukup banyak dapat dijumpai di dalam al-Qur’an, akan
tetapi setidaknya ada dua tempat yang menyebutkan tentang al-wassilah. Dalam surat lain juga
dijelaskan bahwa “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan Tuhan
mereka setiap di antara mereka yang lebih dekat kepada (Allah) dan mengharapkan rahmat-
Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti” (Q.S al-Isra’: 57). Lihat: Purwadi, dkk Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2006), 4. 59Lihat: Departeman Kementerian Agama RI. Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:
Duta Surya, 2011), 150.
112
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwallah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu
mendapat keberuntung”. (Q.S. al-Maidah: 35).
Para Imam mazhab, nampaknya berbeda pendapat tentang ziarah makam.
Misalnya; mazhab yang berpendapat antara wajib (menurut beberapa ulama Mālikī
dan Zhāhirī), sedangkan mendekati wajib (menurut ulama Hanafī), sunnah mandūbah
(menurut ulama Syāfi.’ī dan Hanbalī).60 Kendati demikian, sebagian ulama mengatakan
bahwa hukum ziarah bagi permpuan adalah makruh.61
Tradisi telah menjadi bagian dari identitas masyarakat dengan ragam cara
yang khas sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka. Tradisi ini terdiri atas
perilaku, kebiasaan, atau khazanah dan wawasan yang dipahami secara turun temurun
yang juga bersumber dari ajaran nenek moyang mereka. Shils, menyatakan bahwa
masyarakat tidak akan pernah menjadi masyarakat jika keterkaitannya dengan masa
lalunya kosong. Oleh karena itu kaitan antara masa kini dengan masa lalu adalah basis
tradisi. tradisi adalah segala sesuatu yang dilahirkan dan tersalurkan kepada generasi-
generasi baik pada masa lalu hingga masa kini.62
Tradisi ziarah kubur atau ziarah makam adalah tradisi keagamaan masyarakat
yang disebut-sebut sebagai warisan budaya leluhur mereka. Sebelumnya, banyak pula
penjelasan tentang tradisi ziarah sebagai warisan nenek moyang terdahulu. Praktik
keagamaan dalam bentuk ziarah di makam keramat Wali Nyato’ selain dengan pola
tindakan yang dipraktikan sesuai dengan ajaran syari’at Islam, juga ada sebagiannya
yang tampak melakukannya dengan pola tradisi lama mereka yang masih dipengaruhi
oleh budaya leluhurnya.
Pengertian tradisi dalam konteks yang paling sederhana sebenarnya dapat
dikatakan sebagai bagian dari warisan sosial budaya yang hanya memenuhi syarat
60Berkaitan dengan ziarah makam, khususnya tentang ziarah ke makam Rasulallah
Saw. Oleh sebagian besar, bahkan secara mayoritas mazhab-mazhab dari kalangan ulama
memperbolehkan hal tersebut, karena dianggap baik dalam Islam. Pandangan secara mayoritas
dari aliran/paham fiqhiyah yang terkait dengan hal ini adalah ziyārat qabr al-Nabi shalla Allah
‘alayhi wa sallama masyrū’āh bi al-ijmā’ wa hiya min afdal al-a’māl bi al-ijmā’ (ziarah ke
makam Nabi Saw. Itu disyariatkan berdasarkan ijmak, dan termasuk amal paling utama
berdasarkan ijmak). Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi.
112-114. 61Ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum perempuan dan tetap menjaga kesopanan
untuk mencegah terjadinya fitnah. Hendaknya bagi perempuan agar mampu menghindari
ratapan-ratapan secara berlebihan. Rasulallah SAW pernah bersabda: “Bahwasanya Siti Asyah
pada suatu hari kembali dari perkuburan, maka aku bertanya: Wahai Ummul Mukminin, dari
mana engkau? Kemudian Siti Aisyah menjawab, aku dari kubur saudarku Abdurrahman. Lalu
aku bertanya lagi: bukankah Rasulallah telah melarang kita menziarahi kubur? Lalu ia
menjawab, ia benar bahwa Nabi telah melarang kita menziarahi kubur, kemudian Nabi
menyuruh kita menziarahinya” (H.R. Asra) (Hadist ini juga diriwayatkan oleh Hakim dan Ibn
Majjah). Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur yang Dicontohkan Rasulallah SAW, (Solo:
At-Tibyan, 2001), 118. 62 Lihata: Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenadamadia
Group, 2014), 65.
113
ketika masih bertahan hidup hingga masa kini. Misalkan dengan melihat kembali
masa lalu terhadap adanya bangunan-bangunan kuno bersejarah, bangunan istana,
tembok kota abad pertengahan, bangunan candi, puing kuno, dan lainnya yang
merupakan warisan peninggalan masa lalu. Sedangkan dari segi gagasan, di dalamnya
memuat kepercayaan, keyakinan, norma, nilai, simbol, aturan, dan ideologi yang
merupakan suatu sistem dan harus bisa dipastikan sebagai unsur yang berpengaruh
terhadap perilaku serta pikiran sehingga dapat menggambarkan makna secara khusus
dan meligitimasi masa lalunya. Contoh kecil dari tradisi pertama yang lahir melalui
pemikiran adalah mengenai gagasan kuno demokrasi, keadilan, teknik perdukunan,
dan resep masakan kuno. Sedangkan dalam gagasan baru adalah sesuatu yang diyakini
dan berasal dari masa lalu sehingga dapat diperlakukan secara khidmat.63
Gambaran di atas, menjelaskan tentang proses sosial yang memuat pikiran-
dan tindakan manusia atas suatu objek yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual.
Makam keramat Wali Nyato’ merupkan salah satu bukti sejarah yang telah dimiliki
oleh masyarakat Lombok Tengah, khususnya masyarakat Desa Rembitan karena
adanya bangunan fisik seperti masjid kuno yang letaknya tidak jauh dari makam Wali
Nyato’, sumur yang dibuat oleh Wali Nyato’ dan warisan-warisan peninggalan sang
Wali seperti al-Qur’an, alat shalat, mangkok tanah, lampu dan lain sebagainya.64
Berdasarkan penjelasan di atas, maka makam adalah tradisi yang dapat dilihat
sebagai benda material dengan memperlihatkan kehidupan masa lalunya. Oleh karena
itu, makam dapat dikatkan sebagai simbol keagamaan sehingga dalam Islam muncul
menjadi tradisi keagamaan masyarakat. Adapun dari sisi gagasan, makam memuat
kepercayaan serta keyakinan bahwa ziarah makam juga mengandung makna tersendiri
bagi para peziarah. Oleh karena itu, para peziarah tentu akan melakukan penafsiran-
penafsiran makna sesuai dengan motif atau tujuan tertentu sehingga saat motif atau
tujuan tersebut dapat terwujud maka ia akan meligitimasi tradisi ziarah sebagai suatu
kegiatan keagamaan yang mengandung makna luar biasa sehingga cepat atau lambat
tindakan itu akan dilakukan secara intensional.
Namun penting untuk diketahui bahwa tradisi-tradisi yang dipahami secara
oral history (cerita dari mulut ke-mulut) melalui bahasa lisan, sebenarnya memiliki
sifat yang terbatas pada ungkapan fakta-fakta sejarah dibanding dengan tradisi yang
diketahui atau dipahami melalui tulisan-tulisan, naskah, buku, dan lain sebagainya
karena akan lebih luas wawasan pengetahuan dan pemahamanya. Meskipun demikian,
sebuah tradisi yang berkembang dan diketahui berdasarkan lisan seringkali digunakan
untuk mengobjektivikasi pengalaman-pegalaman individu terhadap orang lain dari
sesuatu yang diketahuinya, padahal ia sangat terbatas ruang lingkup penerimaannya
bahkan terbatas jangka waktunya.
Tradisi ziarah makam Wali Nyato’ juga diyakini mempunyai keramat yang
luar biasa oleh masyarakat Lombok Tengah khususnya masyarakat Desa Rembitan.
Tentang salah satu keramatnya adalah keunikan di luar batas kemampuan manusia
63 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 2014, 65-70. 64Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:
Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 9.
114
biasa.65 Selain itu, kebanyakan masyarakat yang datang ziarah karena mereka pernah
bernazar atau berjanji untuk berziarah ke makam tersebut sehingga mereka datang
berziarah hanya sekedar untuk memenuhi janji atau nazarnya saja.66
Tidak dapat dipungkiri bahwa ziarah telah menjadi bagian dari serangkaian
aktivitas keagamaan masyarakat di belahan dunia Islam.67 Ritual ziarah ini hanya
sebatas ritual yang disunnahkan bahkan tidak menjadi keharusan bagi setiap orang
muslim, namun tidak sedikit dari kalangan muslim yang justru menjadikannya sebagai
proses ritual yang sangat penting dengan salah satu tujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt, terlebih ketika berziarah ke makam para ulama atau orang suci
yang dianggap mulia.
Sebagian besar budaya masyarakat Islam di Indonesia tentang ziarah telah
mewarnai kehidupan sosial keagamaan dengan beragam motivasi yang khas dan unik
sesuai dengan proses sosial yang dilaluinya dalam dunia lingkungannya. Suatu budaya
yang terdapat dalam masyarakat akan hidup dan berkembang jika secara intensional
dapat dilakukan dengan baik oleh setiap anggota masyarakatnya. Tetapi suatu tradisi
akan hilang jika tidak dihidupkan atau dilestarikan dengan baik.
Ziarah kubur atau makam akhirnya muncul sebagai tradisi keagamaan dalam
kehidupan masyarakat yang mengandung unsur kebudayaan dan kebudayaan tersebut
akan membentuk struktur. Setiap struktur akan memberi makna dan dalam struktur
tersebut terdapat unsur yang hakiki secara partikular sehingga cenderung menjauhi
pertentangan-pertentangan atau perselisihan yang ada. Struktur dalam kebudayaan
seperti ini biasanya akan bertahan sangat lama, dan bukan seperti kehidupan manusia
yang senantiasa berubah. Kadang manusia yang hidup dalam sebuah masyarakat tidak
menyadari bahwa masyarakat juga memiliki struktur.68
Pelestarian suatu tradisi atau budaya sebagai aktivitas keagamaan masyarakat
lokal, baik dari masa lalu hingga masa kini tentu akibat dari adanya proses sosial yang
terjadi dalam perkembangan hidup manusia. Tradisi timbul oleh berbagai kebiasaan-
kebiasaan yang dapat dijalankan oleh masyarakat secara kontinuitas dan berulang-
65Misalnya: jika seseorang telah mengalami suatu musibah atau kehilangan barang
berharganya, maka sering kali pemanfaatan material-material disekitaran makam seperti air
makam digunakan sebagai media untuk mengungkap kasus tersebut. Sebagaimana yang sudah
dituliskan sebelumnya. 66Kalau menyangkut motivasi kenapa kita merasa perlu berziarah, itu karena kita
pernah ada hajat atau nazar. Apakah kita bernazar terhadap apa yang pernah kita inginkan,
baik ketika kita menginginkan sembuh dari penyakit, mendapatkan jodoh, memiliki keturunan
berdasarkan jenis kelamin, dan lain-lain. Itulah yang kemudian menjadi beberapa alasan atau
motif-motif kita dalam melakukan ziarah ke makam tersebut. Wawancara dengan S mn, Guru
Mts. 3, Januari, 2018. 67Banyaknya tradisi-tradisi keagamaan seperti ziarah yang dapat dilakukan oleh
masyarakat di berbagai negara-negara Islam, telah menjelaskan kepada kita bahwa tradisi
ziarah nampaknya sulit dihilangkan dari kehidupan umat manusia. Lebih jelasnya lihat
sejumlah kumpulan tulisan dari, Henri Chambert Loir dan Claude Guillot, tentang Ziarah dan
Wali di Dunia Islam, seperti yang terjadi di negara Timur Tengah, Mesir, Sudan, Kawasan
Magribi, Afrika Barat, Iran, India, Turki, Tiongkok, dan Indonesia. 68Lihat: Pritchart, dalam Mar’I Nggeto-Nggete dalam Perspektif Budaya (Denpasar:
Universitas Udayana Denpasar, 2006), 91.
115
ulang. Selain itu, suatu peristiwa yang terjadi pada seorang yang dinilai suci (mulia)
acapkali diasumsiakan sebagai sesuatu yang sakralitas sehingga akan dikeramatkan
menjadi suatu objek suci karena berbagai kelebihan yang dimilikinya. Demikian
halnya, dengan berbagai kejadian atau pertistiwa yang pernah terjadi pada Wali
Nyato’ sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, melalui proses
sosial kehidupan masyarakat tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ juga terjadi
dan muncul sebagai aktivitas keagamaan masyarakat di Desa Rembitan, Kecamatan
Pujut, dan umumnya masyarakat Kabupaten Lombok Tengah.
C. Praktik Keagamaan dan Pemahaman Masyarakat Tentang Makam Keramat.
Realitas kehidupan masyarakat adalah sebuah kenyataan dinamis yang
meliputi ragamnya cara pandang dan variasi perilaku yang walaupun realitas tersebut
seakan-akan dikotomi melalui kenyataan lain, sebab manusia adalah creator dalam
kehidupan sosial yang potensial ketika melakukan satu tindakan yang disesuaikan
dengan hasratnya masing-masing. Hanya saja perilaku individu tersebut tidak akan
lepas dari norma-norma sosial69 dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan berlakunya
sistem hidup masyarakat yang berbudaya, secara tidak langsung potensi individu itu
akan terjebak pada kehidupan normatif sehingga dapat menahan proses dinamis dari
berbagai potensi individual yang dimaksud.
Dalam setiap praktik keagamaan, seseorang telah dibentuk melalui norma-
norma kehidupan masyarakat, tapi bukan berarti potensi individu secara kultural dapat
diabaikan begitu saja. Karena potensi kultural individual justru diadaptasikan dan
diitegrasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang membentuk
simbolik dan dapat diterima hingga menjadi citra khas masyarakat tertentu. Praktik
keagamaan seseorang, mungkin saja telah menjadi personifikasi institusional yang
merepresentasikan madzhab tertentu. Karena bisa saja suatu pola tindakan sosial
keagamaan seseorang muncul bukan semata-mata hasil pemahaman individu terhadap
sumber ajaran Islam semata, tetapi bisa dari faktor genetis, ideologis, sosiologis, dan
intelektualitas yang telah dibangun lama secara turun-temurun.70
Praktik keagamaan seperti ziarah makam keramat Wali Nyato’ misalnya;
bahwa tidak terbantahkan dengan adanya faktor-faktor secara sosiologis dan ajaran
dari nenek moyang mereka terdahulu selain dari intelektual keagamaan yang
bersumber dari syari’at Islam. Karena itu, ziarah di makam keramat tersebut dapat
dipastikan bahwa tidak semua masyarakat melakukan ziarah atau berkunjung di
makam tersebut secara keseluruhannya dibangun atas dasar ajaran syari’at Islam.
Dalam konteks ini, sebagian besar responden menyatakan bahwa tradisi ziarah di
makam keramat Wali Nyato’ sesungguhnya dibentuk melalui pemahaman atau
pengetahuan yang telah lama dipraktikkan oleh leluhur mereka hingga diceritakan
69Norma merupakan kaidah atau aturan yang difungsikan menjadi tolak ukur dalam
menilai sesuatu, termasuk menilai tingkah laku manusia. Menurut Alvin L. Bertrand, norma
adalah suatu standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Lihat: Alex
Sobur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 518. 70Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional
dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung: Refika Aditama, 2007), 1.
116
kepada semua generasi-generasi beriktunya.71 Meskipun demikian, praktik atau
perilaku ziarah yang dibarengi dengan pemhaman dan pengalaman bisa saja berbeda-
beda, intinya para peziarah memiliki tujuan atau keinginan yang sama. Misalnya;
memperoleh berkah, dimudahkan rezkinya, memohon agar sembuh dari penyakit,
mendapat jodoh dan lain sebaginya.
Dinamika dari tindakan atau perilaku keagamaan tersebut lambat laun akan
membentuk kebudayaan dan saling mempengaruhi yang disebabkan oleh tingkat
kesamaan tujuan yang ingin dicapai, terlebih jika diperkuat dengan hubungan
fungsional dan pilihan sosial yang teruji serta generalisasi kepentingan transformatif
dan stabilitas untuk dijadikan sebagai norma-norma kehiduapn dalam masyarakat.
Hanya saja, secara logika perilaku atau praktik keagamaan yang berbeda-beda dengan
kesepakatan social normatif akan berpotensi mengarah pada konflik hingga berakhir
pada penolakan dari sistem sosial yang telah lebih dulu ada.
Budaya baru sekalipun logis, tapi jika diakui sebagai bentuk penyimpangan
dari kemampan kultural yang telah akut, walaupun dapat memberikan dampak secara
positif atau bisa lebih menguntungkan, tetapi karena budaya sosial yang berlaku telah
dirasakan manfaatnya, maka penerimaan terhadap budaya baru pun tidak segampang
yang diharapkan, karena membutuhkan waktu yang cukup lama, disamping dengan
sistem yang mampu meyakinkan harapan masyarakat yang bersangkutan, sekalipun
sistem sosialnya justru akan menjadi semakin kuat dengan nilai-nilai religius atas
ajaran agama yang dapat diinternalisasikan secara sistematis dan kontemplatif karena
memuat konsekuensi tertentu seperti pahala dan sanki, baik secara sosial maupun
metafisikal72
Kita menyadari sepenuhnya bahwa ajaran agama sangat berpengaruh dalam
menyatukan persepsi kehidupan masyarakat mengenai semua harapan hidup. Agama
juga menjadi bagian dari sistem budaya, dalam artian agama adalah tuntunan yang
selalu difungsikan sebagai kerangka penafsiran tindakan manusia.73 Selain itu, agama
juga menjadi sistem simbol yang berguna untuk memperkuat suasana batin dan
motivasi pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang tatanan sosial
atas motif-motif tersebut sehingga menjadi realistis.
Setiap objek atau simbol suci74 biasanya akan terinternalisasi dalam sebuah
tradisi masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai tradisi keagamaan. Setiap tradisi
keagamaan membentuk simbol-simbol suci yang dengannya seseorang akan selalu
71 Wawancara dengan Lgr, penjaga makam keramat Wali Nyato’ 27, November 2017. 72Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional
dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, 2007, 2. 73Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1970), 87. 74Nur Syam, dalam ungkapannya tentang simbol suci atau sakral adalah sesuatu yang
dinilai berbeda dari apa yang disebut dengan istilah profan. Jika suci lingkupnya menyangkut
tentang keyakinan, mitos, legenda-legenda, dan dogma merupakan sistem representasi dari
hakekat yang suci bahwa terdapat kekuatan-kekuatan yang dilambangkan saling berhubungan
di dalam dunia profan. Akan tetapi untuk dapat memahami dunia yang sakral tersebut tidaklah
mudah. Karena banyak juga benda-benda perofan yang tersalurkan melalui dunia kesakralan,
misalnya pohon-pohon besar, gunung, batu dan lain-lain yang juga mempunyai spirit atau
bahkan diasosiasikan sebagai Tuhan. Lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of The
Religious Life (London: George Allen and Uniwn, 1976), 37.
117
menjalankan serangkaian perilaku atau tindakan dalam rangka menumpahkan rasa
keyakinan mereka melalui suatu pola dalam melakukan ritual, penghambaan dan
penghormatan. Praktik keagamaan antara seseorang dengan yang lainnya kadang
tidaklah sama. Kecuali mereka yang dibentuk pemahaman dan pengetahuannya atas
dasar ajaran agama yang kuat sehingga dapat dilihat dari cara yang dipraktikannya
dalam menjalankan ritual-ritual keagamaanya. Akan tetapi ada anggota masyarakat
yang kadang-kadang kurang memahami atau mengetahui ajaran agama sehingga ada
kecenderungan berperilaku dengan nuansa tradisionalnya akibat dari masih adanya
pengaruh tradisi nenek moyang mereka terdahulu.
Berbicara mengenai praktik keagamaan yang terjadi pada makam-makam
keramat, selain dari yang diakibatkan oleh pemahaman atas dasar tradisi lama meraka,
makam keramat juga acapkali dinilai sebagai simbol suci. Misalnya; ketika berbicara
mengenai makam secara umum, maka ia memunculkan konsepsi khusus terhadapnya
dan menjadi kurang menarik perhatian seseorang atau sekelompok orang yang
mendengarnya. Tetapi ketika bicara makamWali atau makam orang suci, ia akan
berubah menjadi simbol yang dapat dikonsepsikan sebagai suatu makam keramat.
Gambaran ini menunjukkan posisi makam sebagai suatu simbol hingga kemudian
masyarakat akan memperlakukan simbol itu melalui pola tindakan atau perilakunya
sesuai dengan pengetahuannya yang tertuang melalui representasi kongkrit terhadap
makam tersebut. Maka, simbol akan terinternalisasi dalam individu dan masyarakat.
Dalam pola budaya masyarakat (sistem-sistem simbol) terdapat karakter yang
kuat bahkan menjadi sumber informasi eksternal sehingga memuat konsepsi terhadap
apa yang dapat diterjemahkan secara internal. Karena itu, seseorang atau masyarakat
akan selalu membutuhkan konsepsi-konsepsi tersebut secara internal dari apa yang
dilihat atau dirasakannya melalui proses simbol secara eksternal. Simbol-simbol itu
kemudian akan membentuk suatu perasaan dan motivasi yang kuat dan cenderung
bertahan dalam kehidupan masyarakatnya.75 Untuk itu, makam keramat merupakan
simbol suci, sehingga membuat masyarakat dapat terinternalisasi dengan baik melalui
disposisi aktivitas-aktivitas ziarah. Posisi ini sesungguhnya bagiarn dari motif yang
berupa kecenderungan di mana seseorang mampu melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
Para peziarah yang melakukan kunjungan ke makam keramat Wali Nyato’
bukan semata-mata dikarenakan tingkat pengetahuan atau pemahaman mereka yang
bersumber dari ajaran Islam sepenuhnya, tetapi mereka melakukan ziarah karena
warisan dari nenek moyangnya. Mh76 misalnya; ia datang berziarah karena tradisi dari
nenek moyangnya, tradisi ziarah ini terus dipraktikkan oleh orang tuanya hingga ke
75 Simbol-simbol suci, biasanya mengandung unsur-unsur normatif dan memiliki
daya kekuatan yang dahsyat dalam pelaksanaan sanksi-sangsinya. Simbol tersebut berpusat
pada etos serta pandangan hidup manusia yang paling hakiki karena simbol itu terintegrasi
pada simbol-simbol lain yang digunakan manusia dalam kehidupan sehai-hari. Keterjalinan
simbol-simbol suci dengan simbol biasa hanya mungkin akan terwujud karena simbol suci itu
befungsi menyintesiskan etos dan pandangan hidup manusia. Akan tetapi simbol-simbol suci
yang berada pada tingkat pemikiran yang sebenarnya dan jauh dari kenyataan yang ada maka
akan menjadi sesuatu yang terasa nyata. Lihat Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri,
Priyayi dalam Kebudayaan Jawa ed (Depok: Komunitas Bambu, 2014), 563. 76Wawancara dengan Mh, peziarah dan Ls, Peziarah, lulus SMA. 18 Januari, 2017.
118
anak-anak mereka. Nampaknya agak sulit bagi mereka memberikan jawaban ketika
diwawancarai mengenai sumber pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap teks-
teks suci tentang perilaku ziarah, dan mereka cenderung menjawab secara gamblang
bahwa ziarah adalah tradisi nenek moyangnya, tanpa memberikan penjelasan lebih
luas yang berkaitan dengan teks-teks suci tentang perilaku ziarah di makam keramat
tersebut.
Pola tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, telah menjadi realitas
sosial keagamaan di mana struktur fungsionalismenya tentang tindakan tersebut dapat
dilihat berdasarkan organisme, personality, sistem sosial, dan sistem cultural.
Keempatnya tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic orders) dan dalam
pandangan seorang sosiolog, seperti Parsons adalah sejumlah faktor atau unsur yang
dapat mengendalikan tindakan-tindakan manusia.77 Praktik keagamaan dalam bentuk
ziarah kubur atau ziarah makam keramat, khususnya ziarah makam keramat Wali
Nyato’ di Desa Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah sesungguhnya telah memenuhi
keempat bagian dari teori di atas. Artinya, sistem-sistem yang disebut sebagai unsur
pengendalian tindakan manusia tersebut telah memiliki nilai-nilai, norma-norma serta
aturan hidup manusia sesuai dengan situasi dan kondisi sosial lingkungannya.
Munculnya tradisi keagamaan dalam bentuk praktik ziarah di makam keramat
Wali Nyato’ juga akibat dari adanya pengaruh secara kultural yang ditransformasikan
melalui kepercayaan, ide, pemahaman, pengetahuan, nilai, dan simbol-simbol. Atas
dasar itu, tindakan ziarah menjadi suatu tradisi atau budaya yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat di Lombok Tengah, khususnya masyarakat di Desa Rembitan.
Perilaku ziarah makam akan tercermin melalui tindakan atas pengetahuan yang telah
memberikan makna-makna kongkrit dalam dirinya.
Dalam hal ini, masyarakat yang melakukan ziarah di makam keramat yang
oleh sebagian besar peziarah tersebut menganggap tradisi itu sebagai tradisi yang
pernah dijalankan oleh orang-orang terdahulu. Rn78 misalnya, ia melakukan ziarah di
makam keramat Wali Nyato’ karena ajaran dari orang tuanya. Menurutnya ziarah ke
makam keramat Wali Nyato adalah perbuatan yang baik karena makam seorang Wali.
Oleh karena itu, jika ziarah ke makam keramat tersebut biasanya doa-doa yang
dipanjatkan cepat dikabulkan.
Praktik keagamaan di makam keramat tersebut sebenarnya diperoleh melalui
proses sosial dari berbagai sistem pemahaman yang telah ditanamkan dari generasi-
ke generasi. Tindakan tradisional ini akhirnya telah membudaya atau terenkulturasi
sehingga mereka secara terus-menerus dapat menjalankan tradisi ziarah di makam
keramat tersebut. Seperti halnya masyarakat setempat dan umumnya masyarakat
Lombok Tengah dalam mempraktikkan tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’
yang juga terkadang nampak cara-cara yang masih tradisional.
Adanya peziarah yang kadang kala memanfaatkan material-material yang ada
disekitaran makam seperti mengambil kerikil atau tanah makam untuk kepentingan
tertentu, adalah suatu jenis tindakan yang sudah membudaya karena orang-orang
sebelum mereka pernah melakukan hal yang sama. Karena itu, tradisi ini melekat
77 Narwoko dan Suyanto Tej, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 262. 78Wawncara dengan Rhn, peziarah. 29 November, 2017.
119
pada masyarakat sebab pengalaman mereka telah banyak memperoleh keberkahan
dari praktik ziarah makam tersebut.79
Sementara itu, jenis tindakan yang dipengaruhi oleh pemahaman, perasaan,
emosi dan kepura-puraan pelaku adalah suatu jenis tindakan yang biasanya agak sulit
dapat dipahami karena kurang rasional. Dalam tindakan ini peziarah tidak lepas dari
adanya motif saat melakukan ziarah. Selain itu, ada pula jenis tindakan yang kadang-
kadang sulit dinilai apakah cara-cara yang dipilihnya adalah cara yang tepat atau
bahkan lebih tepat dari cara mencapai tujuannya. Dalam tindakan ini, tujuan dari cara-
cara yang ingin dicapai nampaknya agak susah untuk dapat dibedakan. Akan tetapi,
tindakannya dibilang cukup rasional karena pilihannya memuat cara-cara yang sudah
menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan ini bisa disebut rasional karena dapat
dipertanggung jawabkan untuk dimengerti dan dipahami.
Dalam praktiknya, tampak suatu tindakan-tindakan rasional dan irasional.
Misalnya; seseorang yang berkunjung ke makam Wali Nyato, bersama keluarga dan
sanak saudaranya karena motif dari adanya konflik dalam rumah tangga. Tujuan
ziarah ke makam Wali Nyato’, tidak lain karena mengharapkan ketentraman dalam
rumah tangganya.80 Biasanya peziarah akan mengundang tokoh agama sebagai
pemimpin doa untuk melepas bala’ yang dihadapinya, selain itu mereka melakukan
tawassul atau berwasillah termasuk berdoa dan berzikir. Tapi sebenarnya, tindakan
ini, antara tujuan dan cara yang dilakukan dirasa tidak sinkron. Meskipun cenderung
bersifat rasional dikarenakan tujuannya, sebab makam merupakan tempat suci dan
cocok untuk menghadirkan suasana tenang.
Selain itu, terdapat pula suatu jenis tindakan sosial murni, yaitu suatu tindakan
pelaku yang tidak sebatas menilai cara yang baik dalam mewujudkan tujuannya tetapi
memilih dan menentukan nilai dari tujuan tersebut. Meskipun demikian tujuan dalam
tidakan secara murni ini tidak absolut karena sewaktu-waktu bisa saja menjadi suatu
cara untuk tujuan lain selanjutnya. Artinya ketika aktor berekspresi dengan cara yang
rasional maka dengan mudah dapat memahami tindakannya. Cara yang dimaksudkan
di sini adalah cara yang dilakukan oleh kaum modernis dalam tindakan ziarah, di mana
terdapat suatu pola yang berbeda dari tindakan masyarakat tradisional lainnya.
Pandangan di atas, menggambarkan bahwa para peziarah yang hadir dalam
melakukan ziarah di makam Keramat Wali Nyato’ sebenarnya salah satu dari bentuk
pemahaman melalui proses sosial sehingga dapat menimbulkan praktik keagamaan
dengan serangkaian ritual atau praktik yang sangat beragam. Oleh karena itu, cara
yang dapat dilihat sebagai ciri khas atau karakter dari tindakan para peziarah, adalah
tergantung pada sistem tindakan atau proses ritual yang dapat dijalankan oleh para
peziarah sesuai dengan kebutuhan mereka baik dari segi tujuan ataupun cara dalam
menjalankan sebuah praktik keagamaan dalam bentuk ziarah di makam keramat.
Adapun ritual-ritual yang dijalankan saat melakukan ziarah seperti tawassul
atau wasilah, zikir, berdoa, baca Yasin dan sebagainya merupakan cara atau perilaku
seseorang dari kebiasaan-kebiasaan yang di dasari oleh pengetahuan dan pengalaman
mereka masing-masing dalam melakukan ziarah.81 Setiap cara atau perilaku terhadap
79Wawancara dengan Bs, peziarah dan Az, 17 Desember 2018. 80Wawancara dengan Sp Tokoh Masyaraka dan As, 26 Desember, 2018. 81Wawancara dengan Mq.N, petani dan I. dt, 18 Desember, 2017.
120
seseorang tentunya memiliki alasan tersendiri sehingga kita tidak dapat memaksakan
setiap individu untuk dapat memberikan penjelasan tentang kenapa harus mengambil
tindakan-tindakan tersebut ketika melakukan ziarah di makam keramat tersebut.
Pola tindakan manusia dalam berperilaku selalu diwarnai dengan gagasan dan
ide sehingga memiliki sumber informasi yang kuat namun cukup lemah dengan energi
bahkan aksi. Dalam rangka mencapai tindakan yang nyata dan bersifat personality
maka sistem sosial cenderung berfungsi sebagai mediator dalam sistem kultural, di
mana simbol-simbol budaya selalu diinterpretasikan sedemikian rupa dalam sistem
sosial yang kemudian disampaikan kepada individu dan masyarakat melalui proses
sosialisasi dan internalisasi. Dengan demikian semakin rasional tindakan sosial, maka
semakin mudah untuk dipahami.82
Dalam kehidupan bermasyarakat, praktik keagamaan cenderung bersifat
komulatif dan kohesif yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem
keyakinan beragama. Namun demikian, pengaruh eksternal dalam memahami sumber
ajaran Islam, tidak hanya disebabkan oleh situasi dan kondisi sosial politik yang
dialami oleh setiap pemikir muslim yang berada pada masa kehidupannya. Akan
tetapi ada faktor secara latar belakang pendidikan dan tempat mereka menuntut ilmu
(thalabul ilminya). Hal ini menjadi salah satu faktor yang cukup signifikan dalam
membentuk karakteristik serta corak pemahaman mereka yang beragam.83 Manusia
telah dibentuk melalui pemikiran rasional terhadap segala hal yang perlu dan harus
rasional disamping mengikuti arus kebudayaan lokal yang berlaku sehingga ajaran
Islam lebih mudah beradaptasi dengan kebudayaan yang lebih dahulu tumbuh dan
berlaku sebagai hukum yang hidup dan mudah dimengerti, atau mudah dipahami
untuk pengamalannya.
Menarik jika digaris bawahi tentang Islam lebih mudah beradaptasi dengan
kebudayaan yang lebih dahulu tumbuh, bahkan berlaku sebagai hukum hidup karena
mudah dimengerti. Suatu tradisi yang memuat serangkaian perilaku hidup manusia
memang agak sulit dapat dipisahkan. Oleh karena itu, Islam pun harus melakukan
penyesuaian dengan budaya masyarakat yang sudah ada sesuai dengan karakter
masyarakat dengan kemampuan, penghayatan dan tingkat pemahaman manusia dalam
membimbing dan menyebarkan ajaranya.84
Islam bukan hanya mengandung ajaran yang rasional dan profesional, tetapi
juga mengandung ajaran sosiologis, sebab secara keseluruhan dari segala sesuatu yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan masyarakat termasuk
kelembagaan dengan sejumlah anggotanya, tentu masih dapat diselesaikan dengan
pendekatan secara keislaman.85
82George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pnegetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta:
RajaGrafindo, 2007), 39. 83Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional
dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung, Refika Aditama, 2007), 73. 84Dalam hadist Rasulallah SAW, dijelaskan bahwa “Aku perintahkan kepadamu
untuk menyampaikan pesan-pesan Allah dalam khutbah, ceramah, atau tablig dengan
disesuaikan pada ukuran dan tingkat pemahaman masyarakat pendengar”. 85Yusuf Burhanuddin, Siapkah Persis Menjadi Mujaddid Lagi: Upaya Mewujudkan
Wacana Persis Baru (Bandung: al-Qa Print, 2000), 10.
121
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa agama adalah sistem
simbol, maka budaya merupakan seperangkat makna atau ide yang ada di dalam
simbol tersebut. Melalui simbol inilah kemudian orang memperoleh pengetahuan dan
pengalaman hidup serta pengeksperesikan suatu tindakan atau sikapnya. Oleh karena
itu, agama terdiri atas pandangan dunia dan etos yang saling mempengaruhi satu sama
lain. Di dalamnya terdapat aspek-aspek hukum, moral, budaya, dan lain sebagainya
maka tingkat pengetahuan serta pemahaman juga telah menjadi rangkaian dalam
aspek tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut pengetahuan dan pemahaman seseorang yang
didasari oleh sumber pengetahuan atas suatu realitas yang ada sesungguhnya tidak
terlepas dari sumber-sumber itu sendiri seperti teks suci, ajaran agama, pengalaman,
pemikiran, ajaran nenek moyang, dan sebagainya adalah serangkain dari asas
pengetahuan dan pemahaman setiap individu. Maka, setiap individu atau masyarakat
akan melakukan tindakan yang disesuaikan dengan tingkat pengetahuan mereka
masing-masing dan dengan sumber-sumber dari mana pengetahuan dan pemahaman
tersebut diperoleh.
Penjelasan di atas, juga menegaskan bahwa yang utama itu bukanlah tindakan
atau perilaku seorang, akan tetapi karena adanya norma-norma dan nilai-nilai sosial
yang menuntut dan mengatur perilaku individu itu sendiri. Dalam kondisi yang
bersifat objektif jika disatukan dengan komitmen kolektif terhadap satu nilai atau
norma, maka akan menjadi suatu bentuk tindakan atau perilaku sosial tertentu. Karena
itu, jika merujuk konsepnya Parsons bahwa akan memunculkan suatu kecenderungan
atas suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh banyak sistem.86
Bellah dalam artikelnya tentang Religious Evolution mengatakan bahwa
evolusi dalam agama meningkatkan diferinsiasi dan kompleksitas sistem simbol. Dan
menurutnya, ritual adalah basis tindakan sosial.87 Dalam suatu tradisi keagamaan, ia
cenderung memuat serangkaian tindakan dan pola perilaku yang terdapat di dalam diri
individu atau kelompok masyarakat. Sehingga agama menjadi pedoman dan kerangka
interpretasi atas tindakan atau perilaku manusia.88
Agama merupakan sistem simbol yang mempertahankan semangat atau
motivasi seseorang dengan membentuk ide-ide tentang kehidupan dalam suatu “aura
faktualitas” untuk membuat motif-motif menjadi “realitas unik.” Dengan demikian
budaya adalah seperangkat makna atau ide yang ada dalam simbol-simbol di mana
orang memperoleh pengetahuan dan pengalaman hidupnya untuk mengeksperesikan
sikapnya.89 Perbedaan dalam suatu tindakan atau perilaku keagamaan tentu tidak
terlepas dari pengaruh status sosial dan tingkat kehidupan masing-masing lapisan
sosial tersebut. Pelapisan sosial90 sebenarnya kata lain dari stratifikasi sosial.
86Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson’ Convergence Concept, The
American Sociologist Vol. 44, No. 3. September 2013, pp-233-244. Published by: Springer.
http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada tanggal 23, November 2017). 87Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern 2015, 78-79. 88Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Book Inc. 1973),
90. 89Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern , 2015, 83. 90Pelapisan sosial merupakan keadaan dalam struktur suatu masyarakat yang
menggambarkan keadaan sosial suatu masyarakat. Pelapisan sosial bisa didasari pada keadaan
122
Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah di makam Wali Nyato’ sebenarnya
sebuah ritual yang dilakukan seseorang untuk mengejar tujuan dalam keadaan dan
situasi di mana norma-norma mengarahkan dirinya untuk memilih alternatif baik cara
ataupun media (alat) untuk mencapai tujuannya. Hanya saja, norma-norma tersebut
sebenarnya tidak dapat menentukan pilihannya dari cara atau alat tersebut, tetapi
pilihan itu ditentukan oleh kemampuan seseorang itu sendiri. Dalam hal ini, sesuai
dengan apa yang disampaikan Parsons bahwa kemampuan adalah volunterism, yaitu
kemampuan seseorang dalam melakukan tindakan yang telah disesuaikan dengan
lingkungannya, pengalamannya, persepsi, pemahaman atas penafsiran suatu objek
stimulus atau situasi tertentu seperti kondisi situasional dari lingkungan budaya,
tradisi, dan agama.
Kemampuan manusia dalam melakukan sebuah tindakan, sebenarnya tidak
bisa lepas dari dunia lingkungannya, baik dari segi pengalaman, pemahaman, persepsi
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tindakan atau perilaku dalam tradisi ziarah
makam keramat Wali Nyato’ merupakan tindakan dengan ciri khasnya yang telah
disesuaikan dengan pengalaman, pemahaman, atau persepsi atas tafsiran-tafsiran
mereka tentang tradisi ziarah tersebut.91
Harus diakui bahwa tradisi keagamaan juga lahir dan berkembang dalam
suatu komunitas masyarakat adalah sebagai akibat dari dinamika dialektis lingkungan
masyarakat itu sendiri. Selain itu, tradisi merupakan identitas dan ciri khas komunitas
masyarakat yang terdiri dari tindakan atau perilaku, kebiasaan, atau khazanah yang
dapat ditemukan secara turun-temurun dan merupakan warisan para pendahulunya.
Oleh karena itu, tradisi-tradisi yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat
sudah sangat membudaya dengan baik bagi kehidupannya.
Pembudayaan suatu tradisi dalam kehidupan masyarakat adalah bagian dari
cara mereka untuk mempelajari baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kebudayaan masyarakatnya. M.J. Herskovits92 medefinisikan pembudayaan atau
enkulturasi sebagai suatu proses bagi setiap inidividu baik antara sadar dan tidak
sadar, mereka telah mempelajari suatu kebudayaan yang ada di dalam kehidupannya.
Dengan demikian pembudayaan atau enkulturasi ini merupakan suatu proses sosial di
mana manusia sebagai mahluk yang intuitif, responsihf, punya daya refleksi dan
intelgensi, belajar untuk memhami, menyesuaikan pola pikir, pengetahuan, dan
pemahamannya atas kebudayaan sekelompok manusia lain.93
ekonomi, tingkat kesempatan dalam menempuh pendidikan formal, mendapatkan hak politik,
atau tingkat kedalaman pengetahuan keagamaan. Lihat: Dadang Khamad, Sosiologi Agama
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 105. 91Wawancara dengan Mr, guru. 3 Desember, 2018. 92Herskovits, Man and His Work, 39, dikutip dalam Herbert Alphonso and Rober
Farcy, Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of
Priesthood in a United States Context, (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29. 93Dalam catatan Peter Poole, mendefinisikan dengan sederhana yaitu: “enculturation
refers to the process of learning a culture consisting in socially distribute and shared
knowledge manifested in those perceptions, understandings, feeling intentionas, and
orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life.” Dalam Peter
Poole,”Socialisation Enculturation and the Development of Personal Identitiy”, in tim ingold
123
Dalam pandangan Parsons, kebudayaan sebagai tindakan manusia yang
berpola, selanjutnya disebut sebagai kerangka tindakan atau dengan istilah (Frame of
the Theory of Action). Dalam pandangan itu terdapat konsepsi yang membutuhkan
analisis terhadap suatu kebudayaan yang sifatnya menyeluruh dan perlu dibedakan
secara tajam. Antara keempat komponen yang dari awal sudah disebutkan di atas,
seperti sistem budaya, sistem sosial, sistem keperibadian, dan sistem organisme, yang
mana keempat komponen tersebut meskipun memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lainnya, tetapi masing-masing dengan sifat-sifanya secara tersendiri.94 Berikut
ini merupakan kerangka kebudayaan atau tradisi masyarakat.
Bagan. 5 Kerangka Kebudayaan95
Ket: Ketiga lingkaran konsentrik di atas, menggambarkan sistem budaya
(lingkaran dalam), sistem sosial (lingkaran kedua) dan kebudayaan fisik (lingkaran
fisik). Ketujuh sektor menggambarkan ketujuh unsur kebudayaan universal.
Adapun individu yang belajar tentang kerangka tersebut, tentu berawal dari
cara individu itu sendiri yang secara terus-menerus melakukan penyesuaian diri
dengan lingkungannya. Proses awal inidividu dalam belajar dengan menanamkan
kepribadiannya dalam segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang dibutuhkan
dalam hidupnya. Selain itu, individu juga belajar melalui proses sosialisai, di mana
individu melakukan interaksi antar individu yang lain pada lingkungan sosialnya
(masyarakat) untuk mengetahui pola-pola tindakan dan interaksi dengan sejumlah
individu di sekelilingnya yang menduduki berbagai macam peranan sosial dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, individu secara terus-menerus menyesuaikan
perilakunya, sikap, tindakan, terhadap nilai dan norma dalam kehidupan kebudayaan
masyarakatnya.96
(ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. London
and New York: Routledge. 831 94 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 180 95 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 183 96 Koentjaraningrat, edisi revisi 2009, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), 181.
124
Perlu disasari bahwa relasi manusia dan masyarakat terjadi sangat dialektis.
Maka hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses yang terdiri
melalui adaptasi, kelembagaan, dan penerimaan kembali atas realita yang ada. Dalam
momen adaptasi, manusia selalu mengeksperesikan dirinya dengan membangun
dunianya sehingga melalui momen tersebut masyarakat menjadi sebuah kenyataan
buatan manusia. Kenyataan ini kemudian menjadi realitas objektif, di mana kenyataan
yang berpisah dari manusia tapi juga berhadapan dengan manusia sehingga akan
membentuk pelembagaan atau objektivikasi. Masyarakat dengan segala peranata
sosialnya, akan mempengaruhi perilaku manusia. Dan akhirnya masyarakat diserap
kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.97
Ziarah merupakan salah satu bentuk dari religious institutions. Sebagai suatu
proses pembudayaan, ziarah awalnya merupakan suatu kunjungan biasa yang berubah
menjadi tradisi atau kebiasaan. Dalam tradisi-tradisi seperti ini biasanya cenderung
dinaungi oleh motif dan tujuan tertentu. Berdasarkan hal ini, ketika keinginan peziarah
terwujud maka tidak menutup kemungkinan masyarakat yang lain akan melakukan
hal yang serupa atau imitasi (peniruan) mulai dari niat hingga tindakannya.
Tradisi-tradisi seperti ini tidak lagi terhindarkan karena seseorang seringkali
belajar dengan meniru berbagai macam perilaku individu yang satu dan lainnya baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu tindakan yang dimaksud. Oleh
karena itu, perasaan dan nilai budaya sebagai pemberi motivasi akan tindakan meniru,
cepat atau lambat akan membentuk tindakan menjadi suatu pola yang mapan sehingga
membentuk norma bahkan cenderung mengatur tindakan tersebut untuk kemudian
“dibudayakan”. Berbagai norma dipelajari oleh setiap anggota masyarakat dengan
cara mendengar, menghayati, meresapi dari orang lain dalam lingkungan sosialnya
pada saat yang berbeda-beda, menyinggung atau membicarakan norma tadi.98
Pada penjelasan sebelunya, pemahaman terhadap suatu budaya untuk menjadi
pembudayaan adalah proses individu untuk melakukan penyesuaian alam pikiran,
melalui adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan
masyarakatnya. Proses ini sebenarnya disebut sebagai pembudayaan yang sudah
dimulai sejak kecil dalam alam pikiran masyarakat, yaitu; bermula dari orang-orang
dalam lingkungan keluarganya hingga ke lingkungan sosial.
Praktik keagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah makam sesungguhnya,
telah dibentuk melalui pemahaman melalui proses sosial yang telah dialami atau
dijalaninya bersama masyarakatnya. Tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’
adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat dengan dibentuk oleh banyak
sistem sehingga tampak sebagai suatu praktik keagamaan yang kadang antara cara
dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai berbeda-beda. Sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya bahwa seseorang banyak dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya,
dan sistem keperibadian. Untuk itu seseorang atau masyarakat yang melakukan ziarah
di makam keramat tersebut biasanya cenderung berperilaku sesuai dengan pengaruh
dari sistem tersebut karena akan membentuk suatu pemahaman atas tindakan mereka
ketika menjalankan ritual-ritual ziarahnya di makam keramat Wali Nyato’ tersebut.
97Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,
2009), 110-112. 98Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 189.
125
D. Fenomena Ziarah di Makam Keramat.
Fenomena ziarah tentunya sudah bukan rahasia umum bagi masyarakat luas.
Ziarah kubur atau ziarah makam telah berkembang sejak lama bahkan sebelum Islam
datang ke Nusantara. Pada saat Islam masuk dan berkembang di Nusantara, tidak juga
menyebabkan adanya benturan terhadap kebudayaan yang ada sebelum pra-Islam
(prasejarah Hindu-Budha). Kehadirannya justru mewarnai keragaman budaya karena
adanya kebudayaan pra-Islam yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan
agama sehingga dapat dipertahankan dan disejajarkan dengan sistem budaya Islam
untuk dipadukan antar keduanya sehingga dapat membentuk akulturasi kebudayaan.
Percampuran kedua budaya tersebut, tercermin melalui banyak dimensi kehidupuan
masyarakat. Salah satunya adalah dimensi ziarah sebagai bentuk akulturasi budaya
Hindu-Budha dan Islam.99
Berkenaan dengan hal yang tersebutkan di atas, maka fenomena ziarah kubur
atau ziarah makam, khususnya fenomena ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di
Desa Rembitan, Lombok Tengah, sebagian besar peziarah masih mencerminkan pola-
pola tradisi lama. Hal ini ditandai dengan adanya praktik atau ritual yang dijalankan
oleh para peziarah seperti membawa peralatan ziarah baik berupa air bersih, bunga,
makanan, uang, mengorban hewan dan lain sebagainya. Menurut beberapa responden,
mereka menyatakan bahwa para peziarah yang berkunjung di makam keramat Wali
Nyato’ akan menjalankan sesi ritualnya sesuai dengan hajatan atau nazar awal mereka
masing-masing.100
Secara histori-antropologis, juga diakui bahwa masyarakat Indonesia telah
lama mengenal tradisi ziarah, sejak zaman prasejarah. Hal ini terbukti secara arkeologi
dari adanya “Pandusa dan Candi” (kubur atau makam batu dan bangunan tempat
ibadah). Pandusa berasal dari zaman prasejarah yang memiliki kijingan atau jirat. Di
samping jirat terdapat nisan yang pada masa prasejarah berupa menhir dan di bawah
pendusa tersimpan mayat yang dikuburkan, lalu pada bagian atasnya memiliki tempat
untuk meletakan bunga yang dikhususkan bagi para peziarah yang hendak melakukan
ziarah. Untuk itu, tradisi ziarah atau berkunjug ke kuburan sebenarnya sudah ada sejak
zaman prasejarah.101
Salah satu tempat yang dianggap sakral adalah makam. Kata makam dan
kuburan seringkali dibedakan karena kuburan tempat penyimpanan jenazah orang
biasa. Dan makam adalah istilah yang digunakan untuk penyimpanan jenazah para
Wali, atau tokoh yang dihormati.102 Secara aspek sosial, keberadaan tokoh-tokoh
99Tradisi ziarah adalah suatu bentuk akulturasi budaya yang dulunya telah dijalankan
oleh para penyebar Islam pada masanya. Koentjaraningrat menyatakan bahwa ziarah ke
makam suci merupakan tradisi leluhur hingga diwariskan kepada generasi berikutnya jauh
sebelum Islam datang. Ziarah pada makam wali dapat dikatakan sebagai perpanjangan tradisi
Hinduisme yang disebut upacara srada. Lihat: Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta:
Balai Pustaka 1994), 105. 100 Wawancara dengan Iq. Ts. 29 Thn, Rs, 34, Thn. Ln, 25, Thn. Peziarah Makam
Keramat Wali Nyato. 25, Desember, 2017. 101
Irwan Evarial, Tafsir al-Qur’an dan Tradisi Sunda: Studi Pemikiran Moh. E.
Hsyim dalam Tafsir Ayat Suci dalam Renungan Indonesian Journal of Islamic Literature and
Muslim Society, Vol. 2, No. 1, 2017, 98. 102Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 139.
126
terhormat selalu direpresentasikan sebagai Nabi, Wali sampai pada Kyai, karena
dianggap orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Tuhan sehingga mereka
menilai akan lebih mudah dikabulkan permohonannya. Logika ini adalah alasan
utama bagi umat Islam yang memepercayai bahwa Wali adalah orang yang telah
dianugrahkan kelebihan oleh Allah. Mereka memposisikannya sebagai orang yang
sangat istimewa, terutama Nabi dan ulama sebagai mutawassul (mediator) dalam
banyak aktivitas keagamaan maupun upacara semi keagamaan masyarakat lainnya.
Fenomena ziarh makam keramat, terutama di makam keramat Wali Nyato’
merupakan salah satu dari wujud keberagamaan masyarakat dalam konteks ziarah.
Hal ini dilakukan karena mereka mempercayai bahwa Wali Nyato’ merupakan salah
seorang tokoh atau ulama yang memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat
Lombok Tengah bagian Selatan. Oleh karena itu, masyarakat yang melakukan ziarah
ke makam tersebut, bukan semata-mata meminta kepada sang Wali, tetapi meraka
menjadikan sang Wali Nyato’ sebagai media atau perantara dalam memanjakan doa-
doa yang mereka lafalkan agar memperoleh kemudahan untuk dikabulkan oleh Allah
Swt.
Konsep tawassul (mediasi) dan mutawassul (mediator) didorong melalui
sistem berpikir bipolar yaitu suatu hubungan yang terjadai pada diri manusia tentang
Tuhan sampai manusia yaitu, atas dan bawah, suci dan kotor, sakral dan profan, dekat
dan jauh. Proses pengkelasifikasian secara simbolik yang digunakan dalam rangka
menjelaskan tingkat atau suatu bentuk tentang hubungan Tuhan dengan manusia
menciptakan moderasi (penengah), sehingga melahirkan klasifikasi tiga (trikotomi).
Began 6. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia
Hubungan Hubungan
Langsung Berperantara
Fenomena ziarah makam merupakan pendekatan kultural untuk suatu agama
tertentu. Geertz, mengartikanya sebagai suatu kompleksitas yang memiliki sejumlah
objek-objek suci dan akan menggerakkan manusia untuk menciptakan perasaan dan
motivasi sehingga diformulasikan oleh norma-norma universal terhadap eksistensinya
dengan penggunaan konsepsi melalui nuansa faktualitas untuk membentuk perasaan
dan motivasi secara khas sehingga tampak realistik.103 Perilaku individu biasanya
dikendalikan oleh keinginan material dan idealnya terjadi secara langsung yang bukan
103Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books, 1970),
91.
Tuhan
Tokoh Suci
Umat
127
hanya berasal dari gagasan-gagasan atau ajaran semata. Untuk itu, ritual-ritual atau
ucapan-ucapan yang dilaksanakan memiliki hubungan dengan motif atau tujujuan dari
tindakan mereka. Perilaku tersebut adalah eksistensi yang terbentuk secara alamiah
oleh keinginannya. Selain itu, secara stratifikasi sosial juga bisa menjadi salah satu
faktor pendukung dalam sejarah hidupnya. Hanya saja, untuk memahami tidakan-
tindakan sosial tersebut, terlebih dahulu harus melihat nilai-nilai serta kepentingan
subyektif atas perilaku sosialnya. Meskipun tindakan itu biasanya terbentuk secara
alami melalui kondisi sosial dan ekonomi.104
Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah makam terutama di makam keamat
Wali Nyato’ tentu sekali setiap peziarah memiliki keinginan-keinginan yang bersifat
duniawi dan ukkrawi. Karena itu, mereka datang bersama dengan motif dan tujuan
yang juga melatarbelakangi kehadirannya di makam tersebut. Misalnya; mereka yang
datang bersama kepentingan duniawi, maka ia akan memohon atau meminta agar
dipermudah untuk meraih suatu jabatan atau kekuasaan dengan menjalankan ritual-
ritual yang umumnya juga banyak dipraktikkan oleh peziarah lainnya, seperti berdoa,
berzikir, membaca Al-Qur’an dan lain sebaginya. Sedangkan peziarah yang datang
bersama dengan kepentingan secara ukrawi, biasanya lebih bersifat tertutup, i’tikaf,
bermeditasi dengan maksud meminta ampun kepada sang Kholik.
Fenomena ziarah tampak sebagai sebuah praktik keagamaan masyarakat serta
muncul bersama dengan motif-motif yang sangat beragam. Dalam praktiknya selalu
diwarnai oleh kelompok-kelompok atau golongan dari berbagai kalangan, mulai dari
pengusaha, petani, pedagang, nelayan, pegawai negeri, Kyai, masyarakat biasa, buruh,
pejabat, anggota DPR maupun masyarakat lainnya yang juga hadir dengan motif atau
tujuan tertentu. Umumnya mereka mempercayai bahwa ziarah ke makam adalah cara
yang dianggap tepat untuk menyampaikan hajatnya. Hajat atau janji yang pernah
mereka ucapkan akan dijalankan sesuai dengan motivasi awalnya.105
Tak dapat dipungkiri bahwa tradisi ziarah memang sudah menjadi kebiasaan
masyarakat luas, di mana bagi sebagian orang menganggap bahwa kebiasaan dalam
menjalankan ritual-ritual yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural
benda-benda keramat, benda gaib dan sebaginya akan dapat melindungi manusia dari
rasa ketidakpastian.106 Eksistensi peziarah saat melakukan ritual-ritual keagamaan
adalah pengejawantahan dari melepaskan rasa ketidakpastian tersebut. Motif-motif
yang beragam ini baik seperti meminta keberhasilan dalam sebuah usaha, mudah
mendapatkan jodoh, kesembuhan dari penyakit dan lain sebagainya merupakan hal-
hal yang tidak pasti.
Makam memiliki nilai sakralitas sebagai tempat diletakkan jasad orang yang
sudah meninggal. Meskipun jasad tersebut telah mati, namun roh akan tetap hidup.
Oleh karena itu, ketika jasad berada di ruang profan, maka roh berada pada ruang
sakral. Dalam rangka menghubungkan yang sakral, manusia harus melakukan upacara
agar dapat berkomunikasi, sebab makam diyakini sebagai tempat yang hierofani
tampa ruang dan waktu. Untuk itu, makam melambangkan kemuliaan, kekuasaan, dan
104Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 31. 105Wawancara dengan L. Shr, Petugas Makam, 6 Desember 2017. 106Geger Riyanto, Peter L. Berger, Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,
2009), 107.
128
keabadian yang berasal dari sang ilahi.107 Itulah sebabnya masyarakat melakukan
ziarah di makam-makam keramat termasuk di makam keramat Wali Nyato’ di Desa
Rembitan, Lombok Tengah.
Suatu budaya atau tradisi keagamaan dalam Islam yang berkembang dan
sangat berdampak pada perkembangan sosial keagamaan, sosial politik, ekonomi dan
sosial budaya adalah tradisi ziarah kubur.108 Menurut Henri Chambert-Loir & Claude
Guillot, bahwa beragamnya kegiatan dalam ziarah kubur adalah pencerminan yang
sempurna suatu tradisi atau kebudayaan masyarakat setempat.109 Banyak suku-suku
di Indonesia, seperti suku Toraja, Bali, Sumatra Selatan, Dayak Ngaju dan sebagainya
yang menggambarkan bagimana suku-suku tersebut memberi penghormatan melalui
kuburan dan bagaimana ekspresi kepercayaan dan agama yang tumbuh di masyarakat
Indonesia.
Masyarakat Suku Sasak juga memperaktikkan tradisi-tradisi keagamaan baik
tradisi ziarah kubur, tradisi hari ke-sembilan, ketujuh, ketigapuluh, dan keseratus hari
sesudah kematian dengan cara memanjatkan doa, berzikir, membaca surat Yasin yang
dikhususkan kepada arwah yang dimakamkan dan masih banyak praktik-praktik
keagamaan dalam tradisi-tradisi lainnya. Hal ini tidak lepas dari tradisi keagamaan
akan keberadaan dirinya dengan kepercayaan masa lalunya yang diawali dengan
zaman sejarah karena sebelumnya juga dipraktikan oleh para leluhur mereka.
Warisan budaya masa lalu masyarakat Suku Sasak juga ditandai dengan situs-
situs budaya seperti makam, masjid, sumur dan lain-lain yang diyakini memiliki akar
sejarah panjang hingga memunculkan kepercayaan untuk dikeramatkan dan diamini
sebagai tempat sakral. Banyak cara yang dipraktikan di sisi makam, baik berdasarkan
tradisinya secara turun temurun, berdasar pada ajaran Islam murni, bahkan campuran
antar keduanya yang membentuk suatu tradisi ziarah.110
Tradisi ziarah merupakan salah satu ritus Islam yang sudah lama mengakar
dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Luwis Ma’luf mendefinisikan kata ziarah
dengan istilah “datang dengan maksud menemuinya”.111 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ziarah merupakan kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap keramat atau
mulia untuk berkirim doa.112 Makam adalah objek suci dan menjadi sarana instrumen
bagi masyarakat dalam mewujudkan harapan dan keinginannya. Secara terminologi,
ziarah adalah aktivitas mengunjungi kubur atau makam untuk mendoakan penghuni
107Afghoni, Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan
di Makam Gunung Jati Cirebon) Jurnal, Studi Agama dan Masyarakat Vol. 13, No. 1 Juni
2017, 49. 108Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno
Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah
Palembang 2017), 3. 109 Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam
(Jakarta: Serambi, 2017), 14. 110Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno
Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah
Palembang 2017), 4. 111Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-lughah wa-al-‘Alam (Beirut Libanon: Darul
Masyrak, 1996), 310. 112Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), 1018.
129
kubur supaya dapat mengambil pelajaran dari keadaan mereka.113 Untuk itu, salah satu
makna melakukan ziarah sebenarnya tidak sebatas mengunjungi makam semata tetapi
ada niat untuk mendoakan sekaligus mengambil pelajaran dari aktivitas tersebut.
Ziarah kubur dapat secara intens dilakukan oleh masyarakat untuk berkunjung
ke makam-makam keluarga, kerabat, tokoh masyarakat, ulama, wali dan nabi yang
dianggap telah berjasa terhadap perkembangan agama Islam. Praktik ziarah kubur ini
dapat dilakukan kapan saja tampa batas waktu dalam pelaksanaanya. Secara intensitas
peziarah makam justru marak terlihat berbondong-bondong melakukan ziarah pada
saat menjelang hari raya Idul Fitri, atau pada bulan-bulan tertentu saat perayaan hari-
hari besar Islam.114 Di makam keramat Wali Nyato’ intensitas pengunjung makam
yang mencapai ratusan hingga mendekati ribuan pengunjung adalah menjelang hari
raya Idul Fitri, pada saat musim haji, dan saat memasuki bulan Maulid Nabi termasuk
setelah selesai pelaksanaan hari raya Idul Fitri yang kesemuanya dilakukan dengan
hari pelaksanaan ziarah yang sudah ditentukan.115
Ziarah kubur atau ziarah makam memang telah menjadi aktivitas masyarakat
di berbagai wilayah bahkan hampir di seluruh umat Islam dibelahan dunia. Para ulama
dan kalangan ilmuan Islam juga telah memperbolehkan praktik ziarah kubur atau
ziarah makam dengan berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis-hadis nabi. Ziarah kubur
adalah suatu perbuatan yang memiliki keutamaan, terutama adalah praktik ziarah ke
makam para Nabi dan orang-orang shaleh.116
Fenomena ziarah makam memiliki motif dan tujuan yang sangat beragam, di
mana kehadiran setiap peziarah selalu bersama dengan motif-motifnya untuk mencari
tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, para peziarah saat melakukan ziarah kubur atau
ziarah makam juga selalu memiliki alternatif yang dapat melengkapi keperluannya
dalam mewujudkan tujuan ziarahnya. Selanjutnya para peziarah juga mesti akan
berhadapan dengan kondisi-kondisi atau keadaan yang dapat menahan perilakunya
untuk mewujudkan tujuannya. Meskipun para peziarah akan selalu berada di bawah
tindensi nilai-nilai dan norma dari berbagai ide abstrak yang bisa mempengaruhinya
dalam memilih dan menentukan tujuannya menyangkut tindakan alternatifnya dalam
rangka mewujudkan tujuan tersebut.117
Para peziarah, bersama dengan motifnya yang sangat beragam ini bukanlah
menjadi sesuatu yang diperolehnya dari karakter individu semata, tetapi diakibatkan
oleh adanya eksperimen atau pengalaman yang telah didapatinya dari orang lain yang
113Lihat: Imam al-Qadli, Iyadl, al-Matla’ ‘ala Abwab al-Fiqh. Juz 1: 119. 114Lihat: M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi
Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, Jurnal Ibda’ Kebudayaan Islam. Volume 14,
No. 2, Juli-Desember, 2016, 207. 115Wawancara dengan M.gnr. Juru Kunci Makam, 6 Desember 2017. 116 Syekh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Makam Karamah Wali Kritik
Sanad Atas Faham Wahabi (Bandung: 1995), 47. 117Sebagai tokoh teori aksi Talcot Parson, mementingkan pemisahan teori aksi
dengan aliran behaviorisme. Bagi Parson, keduanya memiliki konotasi yang berbeda, karena
suatu teori yang meniadakan karakter-karakter kemanusiaan dan tidak mengindahkan
dimensi secara subjektif atas perilaku manusia, maka bukan menjadi bagian dari teori aksi.
Lihat: George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarata:
RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49.
130
pernah membuktikan kesakralannya dan menganggap keinginan dari seseorang
tersebut telah terwujud. Karena itulah seseorang akan mengejar tujuannya dalam
situasi dan kondisi tertentu dimana norma-norma menjadi pengarahnya untuk memilih
alternatif melalui cara dan alat dalam mewujudkan tujuan tersebut. Berikut merupakan
began dari konsep Voluntarism Parson.118
Began 7. Konsep Tindakan Voluntarism Parson
Dalam perspektif fenomenologi,119 masyarakat merupakan realitas yang nyata
dengan pola interaksinya, karena individu yang satu banyak dipengaruhi oleh individu
yang lain. Interaksi yang terjadi antar individu tersebut biasanya akan berpengaruh
pada pola pikir dan tingkah laku seseorang. Sama halnya ketika individu berhubungan
dengan orang lain di tempat kerja atau ditempat-tempat lain maka cepat atau lambat
pasti akan melahirkan pengalaman-pengalaman tersendiri.
Pada intinya, apapun cara yang dipraktikan dalam ziarah kubur atau ziarah
makam keramat, baik yang dilakukannya atas dasar pengalaman, pola interaksi, tradisi
nenek moyang mereka atau atas dasar syariat Islam adalah kesemuanya memiliki
hubungan yang erat dengan konsep pencarian berkah. Kehadiran berkah bukan hanya
berada pada wali-wali yang masih hidup, tetapi mereka yang sudah meninggalpun
dinilai masih memiliki berkah. Wali bagi masyarakat suku Sasak dipandang sebagai
entitas yang menjadi bagian dalam kehiduapn agama dan sosial.120
118Sumber gambar: http://en.wikibooks.org/wiki/Social _Psychology Action_and
Parson. Di akses pada tanggal 11 Desember, 2017. 119Fenomenologi berpijak pada seluruh sistem konsep kehidupan masnusia sehari-
hari yang dapat diamati (observable everyday life). Fenomenologi juga merupakan suatu
sistem pengetahuan radikal, dan menganggap bahwa tidak ada yang ia terima kecuali sesuatu
hal yang sesungguhnya dapat diamati. Seperti halnya struktur sosial, yang tidak hanya mitos
dapat dibentuk oleh manusia, akan tetapi struktur yang nyata dan telah dihasilkan dalam
setiap tindakannya sehari-hari sebagai suatu realitas sosial yang bisa diamati khususnya
mengenai interaksi yang dilakukan secara berulang-ulang. Collins dalam Billah dkk, Kelas Menengah digugat (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993), 43.
120Lihat: Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas
Para Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu
Demak) Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154.
131
Wali merupakan sosok pribadi yang dekat dengan Allah Swt. Kedekatannya
karena pencapaian-pencapaian tertentu, wali menerima kemampunan dari Tuhan yang
tidak hanya dibebaskan dari hawa nafsu, tetapi wali juga memiliki apa yang disebut
dengan keramat. Para wali bisa mentransformasikan diri, memindahkan diri, melintasi
jarak tertentu, bicara dengan lidah yang luas, memunculkan diri dari obyek tanah,
membaca pikiran, dan panggilan satu jarak.121
Penghormatan kepada para wali, dengan melakukan ziarah ke makamnya
juga memainkan peran sentral sebagai bagian dari ketaatan beragama dalam bentuk
ritual mistis Islam suku Sasak di Lomobk. Penghormatan terhadap wali terkait pula
dengan pemahaman teologis tentang seputar kenabian, kosmologi dan kesempurnaan
manusia. Para pengikut Islam tradisional dalam konteks ini mempercayai bahwa
ziarah adalah tradisi Islam, selama tidak bertentangan dengan akidah, seperti meminta
kepada yang diziarahi.122
Makam para wali selalu dimanifestasikan menjadi media untuk memperoleh
kesaktian dan keramat. Kesaktian berkaitan dengan timbulnya kekuatan yang berada
di luar diri manusia. Salah satu orientasi dari kesaktian tersebut adalah terwujudnya
tujuan-tujuan pribadi, agar mendapatkan suatu kekuasaan dan mempertahankan diri
dari perlawanan musuh. Dalam rangka mewujudkan pencapaian-pencapaian tersebut
tentu seseorang akan menjalankan ritual-ritual seperti puasa, tidak tidur pada malam
hari, bertapa, ruwatan dan lain sebagainya.123
Sedangkan konsep keramat, biasanya berkaitan dengan keberadaan makam
suci, di mana wali bisa menjadi prantara untuk berdoa dan memohon secara khusuk.
Masyarakat Desa Rembitan umumnya masyarakat Lombok Tengah sangat yakin dan
percaya bahwa para wali memiliki kekuatan untuk memberi berkah dan membantu
mereka dalam menghadapi persoalan hidup baik menyangkut keduniawian maupun
keagamaan. Oleh karena itu, praktik ziarah akan selalu dapat dijalankan secara intens
karena memiliki motivasi untuk mengejar berkah dengan harapan bahwa maslah yang
mereka hadapi setidaknya mampu terpecahkan dan harapan untuk hidup lebih baik
dari sebelumnya mampu terkabulkan.
Kesadaran manusia dalam menjalankan ritual-ritual keberagamaan seperti ini
sangat beralasan meskipun belum pasti adanya. Namun demikian, pengalaman yang
telah diperolehnya melalui ritual-ritual tersebut seakan-akan mampu mengahdirkan
ketenangan batin sehingga mereka melakukannya secara intensionalitas. Pengalaman
seseorang juga tentu akan menghadirkan pengetahuan atau pemahaman baru terhadap
suatu tindakan yang pernah dilakukannya. Konsep empirisme,124 tentang pengetahuan
atau kesadaran berpikir manusia dapat berlangsung dari yang khusus menuju general,
121 Lihat: Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia
Kewalianya (Yogyakarta: Galang Perss, 2010), 171. 122Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para
Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)
Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154. 123Lihat: Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia
Kewalianya (Yogyakarta: Galang Perss, 2010), 173. 124Empirisme adalah kepercayaan eksklusif terhadap indra manusia, khususnya
pengamatan, untuk menggambarkan keberadaan berbagai hal. Dalam Alex Sobur, Kamus
Besar Sosiologi, 2016, 189.
132
dari pengalaman yang spesifik ke klasifikasi abstrak. Memaknai konsep kesadaran
pada manusia, kesadaran berfungsi sebagai pencari penyebab di balik suatu peristiwa
yang terjadi. Oleh karena itu, fenomena akan menentukan suatu kebenaran dari apa
yang dianggap nyata. Kesadaran manusia umumnya selalu bias dalam menentukan
kebenaran. Hanya saja kelemahan manusia muncul sebagai akibat dari pandanganya
yang terbatas karena memiliki sentimen emosional terhadap suatu obyek tertentu.
Dalam hal ini, adalah ketika seseorang pernah merasakan sakit ketika tersulut
api, maka seseorang cenderung menganalogikan bahwa api adalah jelmaan binatang
buas yang pernah membuat manusia merasakan sakit. Untuk itu, kebenaran obyektif
sesungguhnya menjiwai unsur penalaran awam (common sense), karena seseorang
dalam aksesnya terhadap dunia di luar dirinya hanya sebatas melalui kesadaran yang
sifatnya bias dan gagasan ini bersifat kantian.125 Suatu fenomena dalam kehidupan
masyarakat selalu mengarah pada pemaknaan atau interpretasi dari setiap objek yang
terus membayanginya dalam kehidupan mereka. Dalam suatu peristiwa atau kejadian
yang dialami seseorang pasti memiliki dampak atau pengaruh pada pola pikirnya yang
sewaktu-waktu bisa bersifat positif atau negatif.
Sebuah fenomena yang menjadi realitas dalam kehidupan umat beragama dan
berbudaya, akan selalu mengarah pada penekanan yang bersifat intensional. Karena
manusia memiliki referensi (intention), sehingga ia mengetahui bahwa suatu realitas
dapat dikonstruksikan oleh kesadaran manusia melalui referensinya antara hubungan-
hubungan logis di antara fakta-fakta atau objek tertentu yang pernah dipersepsikan
atau dialaminya.126
Fenomenologi merupakan sarana atau media yang menggunakan pendekatan
perbandingan sebagai sarana interpretasi utama dalam rangka memahami arti terhadap
ekspresi-ekspresi keberagamaan seperti persembahan, upacara kematian, upacara
keagamaan, ziarah kubur, mahluk gaib, dan lain sebagainya. Asumsi dasarnya adalah
bentuk luar dari ungkapan manusia yang dapat mendeskripsikan kerangkanya yang
menggunakan metode fenomenolgi. Asumsi tersebut kemudian berusaha untuk
menemukan struktur yang mendasar pada suatu kenyataan keagamaan dan memahami
makna yang lebih dalam sebagaimana yang dimanifestasikan lewat struktur tersebut
dengan norma-norma dan pengertian yang khas.127
Fenomena ziarah, kadang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme
dan dinamisme. Meskipun sudah banyak mengalami perkembangan, tetapi nuansa
praktik-praktik keagamaannya seringkali dapat dilihat pada tradisi-tradisi masyarakat
lokal. Fenomena ziarah di makam keramat Wali Nyato’ nampaknya masih terdapat
pola-pola lama yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat dengan karakter atau ciri
khas mereka dalam melakukan ziarah. Misalnya, peziarah melepmar uang di atas
makam, menaruh air dipinggir makam sembari melafalkan hajat atau doa, lalu air itu
akan diberikan kepada keluarganya, mengikat tali atau benang pada dinding makam,
125Geger Riyanto, Peter L. Berger, Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,
2009), 86. 126Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif (Yoyakarta: Jalasutra, 2006), 142. 127Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 93.
133
mengambil material-material seperti tanah atau kerikil kecil di sekitaran makam untuk
tujuan tertentu dan lain sebagainya.
Hal di atas, menggambarkan bahwa fenomena sebenarnya meliputi tentang
fakta-fakta religius yang bersifat subjektif, baik itu pemikiran, perasaan, maksud, dan
tujuan dari seseorang yang diungkapkan melalui tindakan-tindakan luar. Ungkapan
tersebut akan selalu bersifat subjektif dan menjadi sebuah fakta atas tindakan sosial
keagamaan mereka seperti ibadah, yang menyangkut tentang shalat, zikir sebagi cara
banyak mengingat Allah, ziarah menyangkut cara untuk memperoleh berkah, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu ungkapan bukanlah sebatas gerakan-gerakan semata atau
tindakan-tindakan tanpa makna.
Kesadaran selalu intensional dan senantiasa mengarah kepada suatu obyek,
meskipun kita tidak akan pernah bisa memahami apa yang sesungguhnya dianggap
sebagai suatu substratum (dasar) dari kesadaran itu sendiri, kecuali hanya kesadaran
tentang sesuatu. Hal itu berlaku sebagai obyek kesadaran dan dialami sebagai suatu
yang termasuk dalam dunia fisik baik secara lahiriah maupun dipahami sebagai suatu
kenyataan subyektif batiniah.128
Fenomena ziarah merupakan salah satu bentuk fakta sosial yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Ungkapan dan tindakan-tindakan secara intensional terhadap
suatu obyek tertentu telah mencerminkan perilaku individu atau sekelompok individu
yang diakuinya sebagai kebutuhan lahiriah maupun batiniahnya. Kehadiran agama
memang sangat berpengaruh, meskipun ada pengaruh lainnya seperti sistem sosial
ekonomi129 masyarakat itu sendiri. Bahkan keagamaan seseorang dipengaruhi secara
signifikan oleh agama karena posisinya dalam sistem stratifikasi sosialnya.
Di sisi lain, memang faktor ekonomi tidak dapat menjelaskan ciri-cirinya
secara spesifik dari keberadaan kolektivitas atau komunitas tertentu. Untuk itu,
dibutuhkan pengujian ranking status dan kepercayaan mereka atas aktivitas-aktivitas
keagamaan serta objek yang memeperlihatkan ide dan kedudukan sosial itu sendiri.130
Dalam konteks ini, antara agama dan ekonomi bila mana dihubungakan dalam praktik
keagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah, maka tentu tidak dapat disamakan, sebab
keagamaan menekankan pada aspek agama karena posisinya dalam sistem strafitikasi
sosial dan ekonomi menekankan pada perilaku eknomilah yang mempengaruhi
keagamaan.131
Dewasa ini, fenomena keagamaan menjadi ciut, dan masuk pada ranah-ranah
kecil kehidupan manusia sehari-hari. Masyarakat dalam fenomena ini dipengaruhi
oleh timbulnya dampak budaya modern yang kadang kala mendekati modernisme132
128Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New
York: Doubleday & Company, 1966), 34. 129Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective (USA: Wadsworth, 2004),
218. 130 Lihat: Bryan S Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 148 131 Keith A. Roberts, Religion In Sociological Perspectiv, 148 132Moderenisme dan modern memiliki perbedaan. Modern adalah paham yang sering
kali digunakan untuk melihat eksistensi manusia, alam secara keseluruhan. Modernisme
disandingkan dengan tradisionalisme, karena suatu karakter pada masyarakat yang orientasi
rasionalitasnya yang konkerit, otomatis, dan cenderung pada perubahan-perubahan. Modern
134
dan sekularisme. Tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia, ditandai dengan
kemajuan teknologi dan informasi, menyebabkan agama semakin surut dari area
kehidupan sosial yang dikendalikannya secara tradisional. Bahkan disebutkan bahwa
agama akan mati secara perlahan-lahan dalam arus perkembangan dunia modern
akibat ilmu pengetahuan dan teknologi modern.133 Masyarakat yang dipengaruhi oleh
budaya modern, akan memiliki pola pikir yang jauh lebih rasional dan ilmiah. Hal ini
berdampak pada pola kepercayaan mereka terhadap suatu yang sakral bahkan bersifat
irasional dan jauh dari kata ilmiah. Timbulnya perubahan intelektual pada masyarakat
secara irasional ke rasional akan berdampak pada fungsi sosial di dalam masyarakat
itu sendiri.
Eksistensi agama dalam proses sosial budaya bukan hanya dapat dijumpai
dari setiap perilaku masyarakatnya tetapi muncul sebagai ekspresi religius yang dapat
ditemukan dalam budaya-budaya meterialnya seperti ekonomi, teknologi-informasi,
nilai, norma, seni dan sebagainya. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada aspek
kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya bagi
kehidupan manusia134 karena agama dianggap sebagai sistem kepercayaan dalam
menyelesaikan masalah-maslah yang sejatinya tidak dapat dipecahkan oleh dunia
teknologi. Untuk itu, manusia dalam mengatasi keterbatasan tersebut akan berpaling
pada kekuatan supernatural.135
Fenomea ziarah di makam keramat Wali Nyato’ tentu karena berbagai alasan
dan motif awal yang menyebabkan terjadinya praktik keagamaan tersebut. Misalnya;
karena kekeramatan makam sang Wali, karean ketokohan dari seorang wali sebagai
penyebar agama Islam, karena sejarah dan atau cerita-cerita yang berkembang atas
kekuatan dan kelebihan-kelebihan lain yang dimiliki oleh sang wali, karena hari atau
waktu pelaksanaan yang kadang tidak sama dengan makam-makam keramat lainnya.
Keunikan makam tersebut kemudian membentuk kepercayaan masyarakat sehingga
mereka akan selalu menampilkan ekpresi-ekspresi keagamaan sesuai dengan ciri khas
masing-masing.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa agama merupakan sistem
simbol, karena masyarakat sadar dengan sendirinya dan cenderung akan membentuk
pola pikir dengan eksistensinya secara kolektif. Dalam konteks ini, agama menjadi
proyeksi masyarakat dari kesadaran manusia. Pada prinsipnya masyarakat akan tetap
tidak lebih dari sekedar sikap yang bersedia untuk memfungsikan sarana atau produk yang
dihasilkan dunia teknologi modern dalam melakukan suatu pekerjaan menjadi lebih hemat.
Islam sendiri mengajarkan manusia berlaku hemat. Namun demikian, masyarakat dilarang
menganut hidup atau berideologi modernisme karena dikhawatirkan mereka mengabaikan
Allah dan agama sebagai pegangan hidup. Lihat: Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarata: RajaGrapindo Persada, 2006), 10.
133Stephen K Sanderson, Macrosociology, ed Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta:
RajaGrapindo Persada, 2000), 555. 134Malefijt dalam Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta:
Raja Grapindo Persada 2006), 201. 135Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 119.
135
melahirkan simbol-simbol dari pengertian dirinya secara kolektif. Oleh karenanya,
manusia akan membentuk suatu lembaga keagamaan yang diciptakannya.136
Aspek lain dalam sebuah institusi keagamaan yang tidak kalah penting adalah
menyangkut keyakinan dan intelektual.137. Sistem kepercayaan atau istilah worldview,
pada realitas sosial sesungguhnya dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian yaitu:
magic, religion, dan science.138 Dalam pengalaman manusia, mitos akan berkembang
dengan cara membentuk pemahaman serta pola pikir dan modenya untuk menjelaskan
yang lainnya. Perkembangan yang demikian, sering kali dihubungkan dengan konteks
budaya dan perbedaan individu dari sejumlah transisi batin yang muncul pada
masyarakat ke dalam status sosial dengan pola serta eksperimen hidup yang berbeda-
beda. Sebagai ilustrasinya adalah World View dan Dampak Sosial139
Tabel 4. Worldview dan Dampak Sosial
World-
views
Cara Tujuan Dampak Sosial
Magis Tidak rasional
(misalnya: Sesaji,
Membakar
kemenyan. Dan
lain-lain.
Rasional
(misalnya: minta
keselamatan
dunia, sehat, kaya
dan lain-lain
Otoritas dukun atau
magician, pengokohan
hubungan-hubungan
sosial, struktur sosial
komunitas magis
136Emile Durkheim, menaruh perhatianya terhadap aspek-aspek sosial dan
melahirkan nilai kolektivitas. Prinsipnya adalah agama muncul menjadi bagian dari faktor
utama atas kedudukan dan selalu berhubungan dengan masyarakat. Utamanya bagi
masyarakat primitif adalah untuk menolong mereka dalam berhubungan dengan Tuhannya.
Upacara keagamaan yang dilakukan akan membantu mereka dalam melestarikan rasa yang
sama (sense of community) yaitu ketika mereka secara bersama-sama mengambil peran dan
turut serta dalam pesta perkawinan, kelahiran, dan kematian, bahkan mereka secara kolektif
melakukan pesta tanam dan panen rayanya. Manusia cenderung mempersatukan diri secara
berkelompok secara kontraksi religius. Lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (Free Press of Glencoe, 1961), 315.
137Sedikitnya dua hal penting pembagian intelektual baik secara mitos dan rasional.
Tapi Weber menilai bahwa tingkat intelektual ini lebih kepada istilah dengan sifat
rasionalitas yang kemudian terbagi menjadi tiga pokok penting yaitu: mitos, agama, dan
rasional. Lihat: Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama terj. Yasogama (Jakarta: Rajawali,
2002), xi. 138Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegmoni Sistem Keprcayaan (terj). Ratna
Noviani (Yogyakarta: Kanisius, 2000), xi. 139Heru Nugroho, Rasionalisasi, dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk
Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), xi.
136
Agama Rasional (misalnya:
Puasa, Zakat,
Ziarah dan lain-lain
Tidak rasional
(misalnya: masuk
Surga. Dan lain-
lain
Otoritas ulama atau elit
agama, pengokohan
kekuasaan elit politik,
struktur sosial,
keagamaan, perubahan
budaya
Ilmu
Pengetahuan
Rasional
(menggunakan
metode yang
ilmiah.
Rasional
(misalnya:
pemecahan
masalah-masalah
duniawi, dan
lain-lain.
Otoritas ilmuan,
pengukuhan hubungan
politis, struktur sosial
komunitas keilmuan,
perubahan budaya, dan
disenchantment
Ilustrasi ini telah memperlihatkan varian-varianya di mana antara keagamaan,
metafisik, dan positif memiliki titik tekannya masing-masing. Misalnya pada tahap
keagamaan (theological), dilihatnya sebagai titik tolak pemahaman mistis dan tahapan
metafisik, adalah suatu tahapan yang difungsikan sebagai pembentuk institusi atau
pelembagaan dunia pengalamannya dan bukan menjadi kategori rasional subjektif,
melainkan kategori yang abstrak. Sedangkan tahap terakhir adalah positif, tahap ini
diakui sebagai periode untuk mengembangkan paham ilmiah dan membentuk konsep
modern.140
Melihat sistem perkembangan melalui konsep di atas, nampaknya Hukum tiga
tahap, tidak perlu mempostulatkan hukum gerak pada kemajuan, dan tidak seharusnya
mengabaikan realitas yang ada sebab sangat dimungkinkan momen-momen tertentu
kadang terjadi secara tumpang tindih dari pengalaman hidup manusia bahkan bisa saja
terjadi secara kolektif. Sehingga dalam hal ini, Weber justru melihat momen tersebut
sebagai suatu perkembangan linier, walaupun asumsinya juga bisa tumpang tindih
(overlapping) pada suatu masa tertentu. Titik awal perkembangan rasionalitas
sesungguhnya dimulai dan didominasi oleh magis, karena bentuk nyata dari magis itu
adalah objek sucinya dan cara pemujaannya, di samping orangnya itu sendiri
(magician). Sedangkan pengaruh dari kekuatan magis dalam sistem kehidupan sosial
adalah meningkatnya stabilitas relevansi magis pada manusia yang dimanipulasi
untuk tujuan duniawi.
Kepercayaan masyarakat tentang dunia magis, memang tidak dapat dielakkan
di mana mereka cenderung menghadirkan dimensi-dimensi lain dalam pikiran dan
sistem kepercayaan seseorang. Pada masyarakat suku Sasak kepercayaan tentang
dunia magis tidak hanya ditonjolkan pada praktik ziarah kubur atau ziarah di makam-
makam keramat, tetapi mengenai dunia magis juga masih berhubungan dengan benda-
benda, binatang, bercocok tanam dan lain sebagainya.141
140Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama terjemah tim Yasogama, 2002, 82. 141 Lihat: Ayatullah Humaeni, Ritual Magi dalam Budaya Masyarakat Muslim
Banten, Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2015.
137
Jika mengacu pada konsep Peter L. Berger tentang suatu kebiasaan akan dapat
melindungi manusia dari ketidakpastian di mana eksistensi peziarah dalam melakukan
ritual-ritual keagamaan adalah pengejawantahan dari melepaskan rasa ketidakpastian
tersebut. Maka mitos142 yang diklaim sebagai sistem penemuan intelektual primordial
terhadap adanya aspek kehidupan dan kepercayaan keagamaan, dapat pula dikatakan
sebagai konsep primitif karena timbulnya bentuk pengungkapan pemikiran dalam
konteks yang paling sederhana dan menjadi serangkaian upaya dalam memahami
dunia untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa
dan ibadah, di samping menjadi bentuk pernyataan manusia yang sangat kompleks.
Mitos merupakan jenis pernyataan yang dramatis dan bukan hanya sekedar menjadi
pernyataan yang bersifat rasional.143
Dalam determinan agama, yang membedakannya secara kontras antara agama
dan magis adalah agama akan selalu membimbing kehidupan penganutnya sehingga
menjadi lebih sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai seperti keselamatan,
mendapat rezki, dan sebagainya. Refleksitas batin, manusia bisa berbeda atas perilaku
luarnya sehingga mampu membuatnya kembali dalam hubungan-hubungan sosial dan
berpengaruh pada perubahan sosial ekonomi. Akumulasi kekuatan yang meligitimasi
agama kemudian beralih terhadap sumber-sumber yang sakaral dan transendental
yakni kepada Tuhan dan Dewa. Sumber-sumber tersebut dilepas dari wujudnya yang
abstrak sehingga mampu sebagai subjek interpretasi pada jenjang yang nyata.144
Timbulnya sistem kepercayaan baru yang telah disebabkan oleh sistem ilmu
pengetahuan (science) dengan menyajikan sistem rasional145 lebih sering diibaratkan
142Cassier, telah menyebutkan bahwa mitos berasal dari emosi. Umumnya emosi
mengilhami semua hasil dengan warnanya yang khusus. Manusia juga tidak kurang memiliki
kemauan dalam memahami banyaknya perbedaan empiris terhadap sesuatu. Namun dapat
dipastikan bahwa secara konseptual tentang dunia dan kehidupan, di mana perbedaannya
dapat diabaikan oleh perasaan yang lebih tinggi, karena kepercayaan pada unsur kebersamaan
yang fundamental tidak terelakkan. Hal ini sebagai perantara keberagamaan dalam versi
tunggal. Namun, ia menjadi pola pikir universal dari pemikiran mitos. Lihat: Ernst Cassier,
An Essay on Man (Garden City, New York: Doubleday Anchor Books, 1953), 109. Lihat juga
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama, terj. 2002, 80. 143Sebagai sebuah pernyataan yang dramatis karena disandingkan dengan pikiran,
perasaan, sikap dan sentimen. Maka, mitos adalah suatu unsur dalam memahami dunia yang
“cair dan tidak tetap” karena ia menujukkan perbedaanya dengan dunia menurut teori filsafat
tradisional. Mitos adalah dunia dramatis, di mana tindakan, kekuatan, yang saling
bertentangan sehingga banyak hal yang dapat dirasakan disekelilingnya oleh suasana khusus.
Konteks ini, tidak memberikan “sesuatu” sebagai yang kaku dan tidak perlu ditanggapi
karena semua objek bersifat ganda, punya titik temu, betentangan, memikat, menjemukan,
menjanjikan bahkan ada yang menakutkan. Lihat: Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama terj.
Yasogama (Jakarta: Rajawali, 2002), 81. 144Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan (terj). Ratna
Noviani (Yogyakarta: Kanisius, 2000), xii. 145Weber, melihat rasionalitas menjadi tawaran dengan kemungkinan bahwa akan
ada evaluasi yang dinilai efektif terhadap alam dan masyarakat, sehingga akan dapat
menolong manusia dari rasa takut, cemas, dan kahawatir pada kejadian alam yang dengan
segala kemungkinannya tidak dapat diperhitungakan. Berbeda dengan problem yang dihadapi
oleh manusia modern yaitu dunia privat, yaitu sosialnya secara fundamental telah menjadi
138
sebagai kalkulasi dengan alat untuk mencapai suatu tujuan (means-ends calculation)
yang melemahkan kedudukan magis terhadap agama untuk mengetahui realitas dunia.
Hal ini muncul sebagai gejala yang mengakibatkan pemudaran daya magis dalam
dunianya. Sistem pendekatan metode ilmu untuk mengungkap banyaknya fenomena
yang sebelumya dinilai misteri kemudian dapat dijelaskan secara rasional.
Weber melihat realitas di atas sebagai disenchantment of the world. Karena
prinsipnya, realitas dunia sesungguhnya bisa dipahami dari pengetahuan (knowaldge)
dan dapat dipelajari, atau dipertimbangkan (calculable) hingga diprdeksi kemana arah
kecenderungan pada suatu gejala yang ada. Artinya, suatu ungkapan tentang realitas
memang secara drastis dapat berubah baik melalui cara berpikir atau dengan istilah
irasional menjadi rasional. Karena itu, eliminasi kekuatan-kekuatan irasional telah
menciptakan efisiensi pada administrasi dan organisasi.146
Kehadiran sistem rasionalitas sebenaranya diketahui melalui sistem sosial
yang berbeda-beda. Dalam perkembangan magis misalnya, selalu dapat dibuktikan
dengan cara individu melakukan adaptasi pada norma-norma dan kekuatan di luar
kemampuan manusia itu sendiri. Dalam sistem kepercayaan magis manusia dikuasi
oleh kekuatan-kekuatan gaib yang belum disistematiskan sehingga kekuatan tersebut
bersifat konstruktif atau destruktif bagi diri manusia.147 Tingkat perkembangan agama
yang ditandai dengan adanya norma-norma yang diinternalisasikan secara sistematis
adalah munculnya sebagai pemurnian atas perilaku sosial bagi pemeluknya. Untuk
itu, norma menjadi pijakan interpretasi atas realitas yang ada di masyarakat sehingga
perubahan-perubahan sosial terjadi dan dapat diinterpretasikan melalui norma itu
sendiri.148
Bersandar pada argument-argumen besar di atas, fenomena ziarah kubur atau
ziarah makam yang dijalankan secara intensional oleh setiap individu atau masyarakat
tentu bukan hanya timbul atas dasar pengetahuan secara rasional tetapi ia juga muncul
sebagai pengetahuan serta ekspresi-ekspresi awam yang masih bersifat tradisional
karena makam diyakini sebagai suatu objek suci yang dianggap memiliki unsur-unsur
gaib (magis). Oleh karena itu, praktik keberagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah
kubur atau ziarah makam adalah tujuannya tentu bersifat rasioanl karena mengharap
berkah dari sang waliyullah yang diakuinya memiliki kedekatan dan kelebihan dengan
Tuhan melalui perjalanan batin dan sepiritualitasnya. Praktik ziarah yang juga terjadi
di makam keramat Wali Nyato’ yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut.
Kabupaten Lombok Tengah, juga umumnya adalah untuk mendapatkan berkah dari
tidak bermakna. Mengenai kekuatan hukum, pengetahuan ilmiah, organisasi, rasional
sesungguhnya dapat menolong dan merumuskan cara-cara yang tepat dalam mengatasi
tujuan-tujuan sosial serta tujuan hidupnya. Namun prosedur seperti itu faktanya tidak juga
mampu menolong manusia pada pilihan di antara nilai-nilai yang absolut atau semacam
tujuan-tujuan yang saling diperebutkan. Ilmu pengetahuan tidak relevan untuk
mempermaslahkan rumusan kehidupan manusia yang baik. Lihat: Bryan S. Turner, Weber and Islam (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 231-234.
146Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan (terj). Ratna
Noviani (Yogyakarta: Kanisius, 2000), xii. 147Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, 2000, 1. 148Lihat: Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Terj. Yusup
Priyadisudiarja (Yogyakarata: Jejak, 2007), 98.
139
sang Wali. Wali Nyato’ adalah seorang ulama yang pernah hadir di bumi suku Sasak
Lombok bagian Selatan untuk menyebarkan ajaran Islam.
Terdapat bukti-bukti sejarah peninggalannya bahkan beliau wariskan pada
sahabat atau teman terdekatnya beliau. Misalnya, dalam penuturan M. Najmmudin
Makmun, konon Wali Nyato’ sering menjenguk salah seorang sahabatnya di Selanglet
(nama sebuah dusun). Di Dusun ini Wali Nyato’ memiliki dua orang sahabat bernama
Balo’ Data atau biasa disebut Balo’ Taseh, dan satunya lagi bernama Balo’ Samber.
Di dusun ini Wali Nyato’ biasa dipanggil Sayid Abdullah. Selain di antara dua sahabat
beliau yang ada di Selanglet, Wali Nyato’ juga sering mendatangi Belamung (nama
sebuah dusun juga) di sekitaran Penujak. Di Belamung juga Wali Nyato’ mempunayi
salah seorang sahabat bernama Balo’ Dati. Balo’ Dati adalah saudara dari Balo’ Data,
tetapi Balo’ Data tinggalnya di Selanglet dan Balo’ Dati tinggalnya di Belamung.
Keduanya diwariskan beberapa benda-benda sebagai pusaka atau kenangan dari Sayid
Abdullah yang konon, hingga sekarang benda-benda tersebut masih utuh. Balo’ Dati
diberikan satu buah lampu kecil, Al-Qur’an, Penyalin belo (sejenis tongkat), Jubah
kain hitam dan dua buah mangkok yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan Balo Data’
beliau diberikan Al-Qur’an, Golok dan Sujadah ukuran Kecil oleh Sayid Abdullah
(Wli Nyato’).149
Berkaitan dengan pemaparan di atas, seiring berjalannya waktu, makam Wali
Nyato’ kian hari menyebar luas di tengah-tengah kehiduapn masyarakat di pulau
Lombok. Tak dapat dielakkan bahwa cerita demi cerita atas kekeramatan beliau terus
bersebaran dan berkembang dari mulut ke-mulut hingga generasi ke-generasinya.
Untuk itu, praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’ oleh hampir semua para
peziarah yang peneliti wawancarai menyatakan bahwa “ziarah di makam ini adalah
tradisi dari para orang tua kita terdahulu atau nenek moyang kita” karena beliau adalah
seorang wali yang sangat keramat. Dengan demikian tradisi keagamaan dalam bentuk
ziarah di makam keramat Wali Nyato’ sebenarnya dapat dikatakan menjadi sebuah
tradisi yang berkembang melalui cerita-cerita yang sudah melegenda di tengah-tengah
kehidupan masyarakatnya. Ditambah lagi dengan semakin menguatnya pemahaman
keagamaan masyarakat melalui ajaran-ajaran agama Islam tentang diperbolehkannya
dalam melakukan ziarah kubur atau ziarah makam. Sehingga hal ini akan semakin
menguatkan kapasitas peziarah dalam menjalankan ritual keagamaanya dalam bentuk
ziarah. Khususnya tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan,
Kecamatan Pujut. Kabupaten Lombok Tengah. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
149 Mengenai sejumlah kejadian-kejadian atau cerita-cerita yang pernah terjadi pada
diri sang Wali (Wali Nyato’) silahkan baca kumpulan cerita yang pernah dituliskan oleh Alm.
TGH. M. Najmuddin Makmun dalam tulisannya yang berjudul “Sejarah Ringkes Deside Wali
Nyato.” Tetapi mengenai cerita yang peneliti sebutkan di atas silahkan di lihat dalam buku
yang sama. (Praya: Pengurus Madrasah “Darul Muhajirin” Praya Lombok Tengah,
1406/1986), 9.
140
BAB V
TRADISI ZIARAH PADA MAKAM KERAMAT
Sebagai salah satu praktik keagamaan dalam kehidupan masyarakat yang
sudah mengakar panjang dalam ajaran Islam adalah ziarah kubur atau ziarah makam.1
Tradisi keagamaan seperti praktik ziarah kubur atau ziarah makam keramat ini tidak
selalu berwajah tunggal, tetapi ia berkelindan antara ketaatan serta kepatuhan atas
identitas ke-Islamannya dengan menonjolkan sistem keyakinan atau kepercayaan
mereka masing-masing. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan lebih menonjolkan
dimensi-dimensi ritual atau praktik ziarahnya yang bukan hanya terkonstruk melalui
ajaran-ajaran Islam semata, tetapi juga bersumber dari ajaran leluhur mereka sebagai
warisan budaya yang kuat.
A. Ritual Dalam Melakukan Ziarah Kubur atau Ziarah Makam Keramat
Ritual-ritual yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat saat melakukan
ziarah kubur atau ziarah makam, sebenarnya telah menggambarkan suatu kegiatan
keagmaan secara formal dan terorganisir yang dapat dijalankan secara priodik.
Norma-norma dalam agama dapat mewujudkan kesatuan sistem kepercayaan beserta
ritual-ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral, disamping adanya praktik
yang menyatukan seluruh orang secara solidaritas yang menganut kepercayaan dalam
komunitas agama tertentu. Sebagai titiktolaknya adalah unsur-unsur sosial yang
menghasilkan solidaritas di mana agama adalah faktor esensial bagi identitas dan
integritas masyarakat karena agama dipandang sebagai sistem interpretasi diri secara
kolektif.2
Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa kata “ziarah” secara
bahasa berarti menengok. Secara syariat Islam, ziarh kubur tentu bukan hanya sekedar
menegok kubur, melainkan kedatangan seseorang baik secara individu ataupun secara
berjamaah adalah untuk mendoakan kepada yang telah dikuburkan serta mengirimkan
pahala atas bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan kalimat-kalimat thayyibah seperti tahlil,
tahmid, tasbih, shalawat dan lain sebagainya. Membaca do’a, maksudnya adalah tidak
meminta kepada kuburan, akan tetapi seseorang meminta kepada Allah untuk dirinya
dan orang yang diziarahi. Bila seseorang melakukan ziarah kepada kubur atau makam
para Wali dan Ulama’, maka berdoa untuk diri sendiri dengan melakukan wasilah atau
tawassul (berperantara) melalui para Wali dan Ulama’, adalah agar doa-doa yang
dipanjatkan tersebut, setidaknya cepat terkabulakan berkat wasilah kepada kekasih
Allah Swt tersebut.3
Ritual ziarah yang dilakukan oleh masyarakat, saat berziarah di makam Wali
Nyato’ juga demikian halnya seperti yang dijelaskan di atas bahwa mereka banyak
1 M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,
Identitas Keagamaan dan Komersial. Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol 14, No. 2 Juli-
Desember 2016, 206. 2Emile Durkheim, The Elementary Formas of The Religious Life (New York: Free
Press, 1992), 76. 3Lihat: Sutejo Ibnu Pakar, Panduan Ziarah Kubur (Cerbon: Kamu Nu, 2015), 39-40.
141
melakukan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, disamping mengucapkan kalimat-kalimat
thayyibah seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain sebagainya. Meskipun ada
pula ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat dengan maksud atau tujuan tertentu.
Hanya saja umumnya ritual ziarah kubur atau ziarah makam adalah dianjurkan untuk
membaca Al-Qur’an atau yang lainnya.4
Selain itu, ritual merupakan hal ihwal ritus atau tata cara ketika menjalankan
upacara keagamaan. Selain itu, ritual juga didefinisikan sebagai sebuah perilaku yang
sudah ditetapkan atau telah diatur secara sistematis, ketat dan harus dijalankan sesuai
dengan atruan yang berlaku. Sebab apabila dijalankan sesuai dengan ketentuan atau
aturan yang berlaku, maka ritual-ritual tersebut diyakini akan mampu mendatangkan
keberkahan, dikarenakan keyakinan akan timbul sesuatu yang sakral.5 Adapun secara
tujuan, ritual-ritual yang dilakukan karena mengharap rida Allah semata serta balesan
yang ingin dicapai adalah menyangkut kebahagiaan ukhrawi, atau ingin memperoleh
sesuatu yang bersifat duniawi dan memohon ampun atas segala perbuatan dosa yang
pernah dilakukannya.
Praktik atau ritual perseorangan, biasanya mengisolasi diri dari keramaian.
Sedangkan ritual yang dilakukan secara kolektif adalah dzikir, sholat berjamaah,
Ibadah Haji, khutbah dan sebagainya. Menurut Homans, ritual berawal dari adanya
rasa kecemasan. Dalam tingkatannya kecemasan dibagi menjadi dua tingkatan yaitu;
- Kecemasan yang bersifat sangat, dan selanjutnya disebut kecemasan
primer. Kecemasan primer adalah kesadaran akan ketidak mampuan
untuk mencapai suatu tujuan melalui kemampuan dan keterampilan yang
dimiliki.
- Kecemasan biasa, atau kecemasan sekunder. Kecemasan sekunder adalah
kekhawatiran kalau ritual yang dijalankan kurang tepat atau suatu tradisi
yang dijalankannya tersebut tidak semestinya.
Homans menjelaskan bahwa ritual primer sebagai upacara yang bertujuan
untuk mengatasi rasa kecemasan, merskipun tidak langsung berpengaruh terhadap
tercapainya tujuan. Sedangkan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk
kompetnsi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam melakukan ritual primer
tersebut.
Secara Islam, ritual dalam tingkatannya juga dibagi menjadi tiga bagian yaitu
pertama; ritual Islam primer, kedua; ritual Islam sekunder dan ketiga; ritual Islam
trisier.6 Ritual Islam primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam seperti
shalat lima waktu sehari semalam, puasa, dan zakat. Kewajiban dalam menjalankan
ritual ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qu’ran dan hadis Rasulallah
Saw. Sedangkan ritual sekunder adalah ibadah sunnah seperti bacaan-bacaan dalam
rukuk, sujud, shalat berjamah, shalat tahajud dan shalat-shalat sunnah lainnya. Dan
4 Ma’qil Bin Yasar meriwayatkan. Rasulallah Saw bersabda: Bacalah surat Yasin
pada orang-orang mati di antara kamu (HR Abu Daud). 5 Lihat: Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), 125-126. 6 Lihat: Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), 128-129.
142
terkahir adalah ritual trisier yaitu ritual berupa anjuran tidak sampai pada tingkatan
sunnah.7
Ziarah yang dipraktikkan di makam keramat Wali Nyato’ nampaknya telah
melatarbelakangi munculnya ritual-ritual tertentu dalam pola budaya lokal, terutama
menyangkut ritual trisier. Keberadaan makam keramat biasanya adalah simbol suci
yang merupakan objek budaya bagi masyarakat untuk dapat dikunjungi atau diziarahi
oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, ritual-ritual ziarah acapkali akan dipraktikkan
sesuai dengan ajaran yang diyakininya. Di makam keramat Wali Nyato’ meskipun
ziarah hanya diperbolehkan pada hari Rabu saja,8 tetapi, pengunjung makam selalu
ramai memadati area makam terutama menjelang perayaan hari-hari besar agama
Islam dengan hari yang sudah ditentukan.9 Sedangkan ritual-ritual yang dijalankan
tentu akan sesuai dengan motif dan tujuan mereka masing-masing.
Di makam keramat Wali Nyato’ tampak proses ritualitas yang umumnya
banyak dilakukan oleh masyarakat seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
masyarakat membaca tahlil, tahmid, tasbih dan dzikir, membaca Yasin dan bedoa.
Ritual saat melakukan ziarah di makam keramat tersebut, biasanya dimulai dengan
peziarah mengucapkan salam terlebih dahulu kepada ahli kubur atau jasad yang telah
dimakamkan, setelah itu, membaca al-fatihah kepada Nabi Muhammad Saw, para
sahabat dan para Waliyullah khususnya Wali Nyato. Selanjutnya sang Kiyai akan
memimpin bacaan tahlil yang diawali dengan bacaan surat al-fatihah sampai selesai
berdoa.10
Secara Islami, dalam melakukan ziarah kubur atau ziarah makam seharusnya
berwudhu lebih dulu sebelum mendatangi kubur atau makam, mengucapkan salam
serta mendoakan ahli kubur, dalam berziarah hendaknya dilakukan dengan penuh
hormat, khidmat dan khusu’, tidak mencela kepada ahli kubur, berpakaian yang sopan,
tidak trasparan, atau pakaian yang menutupi semua aurat, menjauhi ucapan-ucapan
yang batil, seperti tidak meratap atau menagis dengan meraung-raung, tidak duduk di
batu nisan atau tidak melangkahi di atasnya karena hal tersebut adalah perbuatan yang
idza’ (menyakitkan) terhadap si mayit dan ziarah kubur atau ziarah makam tentunya
dapat mengambil pelajaran yaitu; untuk mengingatkan peziarah akan kematian.11
Umumnya ritual ziarah kubur ataupun ziarah makam, sebenarnya sama saja
dengan proses ritual yang juga dilakukan oleh masyarakat di berbagai wilayah, tidak
terkecuali bagi masyarakat yang memiliki motif atau tujuan tertentu. Misalnya; di
makam keramat Wali Nyato’ Desa Rembitan, Lombok Tengah, kadang-kadang ada
sebagian masyarakat ingin melakukan ritual khusus dengan motif atau tujuan tertentu.
Biasanya masyarakat yang ingin menjalankan ritual tersebut karena sudah bernazar
7Misalnya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Nasa’I dan Ibn Hibban,
“Orang yang membaca ayat kursi setelah shalat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya
masuk surga”. Meskipun, dalam hadis ini ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursi
stelah shalat wajib adalah sunah. Tetapi membaca ayat kursi setelah melaksanakan shalat wajib
hanya bersifat tahsini. 8 Wawancara dengan Gnr. Penjaga Makam 27, November 2017. 9Wawncara dengan M.gnr. Juru Kunci Makam, 6 Desember 2017. 10 Lihat: Fikria Najitama, Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah Pada Makam
Santri dan Makamf Priyayi) Jurnal, Ibda’ Vol. 11. No 1 Januari, 2013, 26-27. 11Lihat: Sutejo Ibnu Pakar, Panduan Ziarah Kubur (Cerbon: Kamu Nu, 2015), 42.
143
sebab pernah menderita sakit atau sedang mengalami musibah seperti kehilangan Sapi
atau Kerbau. Masyarakat yang kehilangan sapi, biasanya akan menjalankan ritual
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika dalam kejadian tersebut terdapat salah
seorang wraga yang dicurigai sebagai pelaku pencurian, pelaku akan digelandang ke
makam Wali Nyato’ untuk disumpah.12
Kekeramatan makam, telah membentuk sistem kepercayaan atau keyakinan
masyarakat luas. Demikian halnya dengan kekeramatan makam Wali Nyato’ dengan
sejumlah konsepsi-konsepsi terhadap pemaknaan peziarah dalam mengartikulasikan
praktik ziarahnya pada suatu tradisi keagamaan saat melakukan ritualnya. Oleh karena
itu, praktik ziarah di makam keramat tersebut telah menunjukan bahwa individu dan
masyarakat memiliki pola kepercayaan tersendiri dalam mengaktualisasikan perilaku
ziarahnya. Dalam setiap ritual yang dijalankan oleh para peziarah, biasanya memiliki
dua tahapan utama yaitu:
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan saat akan melakukan ziarah di makam keramat, umumnya
menyangkut masalah penetapan waktu dan tempat pelaksanaan, termasuk syarat atau
benda-benda ritual yang harus dipersiapkan.13 Tetapi tahap persiapan saat melakukan
ziarah di makam Wali Nyato’ khususnya mengenai hari pelaksanaan, memang sudah
ditetapkan yaitu harus pada hari Rabu. Tidak seperti penetapan waktu pelaksanaan
ziarah makam keramat lainnya yang terkadang kapanpun dapat dilaksanakan tanpa
batas ruang dan waktu seperti yang terjadi pada makam-makam keramat lainnya.
Peziarah yang memerulukan persiapan saat melakukan ziarah di makam keramat Wali
Nyato’ adalah mereka yang sudah bernazar terlebih dahulu untuk melakukan ziarah
misalnya; mereka akan melakukan pemotongan hewan di area makam. Peziarah yang
memiliki nazar seperti ini, tentu akan mempersiapkan jenis hewan yang akan dipotong
terlebih dulu disamping mempersiapkan syarat atau benda-benda ritual lainnya untuk
melaksanakan nazar atau janjinya.
2. Tahap Pelaksanaan
Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa pelaksanaan saat melakukan
ziarah di makam keramat Wali Nyato’ sesuai dengan janji atau nazar para peziarah,
tentu terdapat berbagai kegiatan yang menjadi rangkaian dari proses ritual yang akan
dijalankan seperti pemotongan hewan baik Sapi, Kambing atau Kerbau, masak-masak
diarea makam hingga selesai. Setelah acara masak selesai, selanjutnya sang Kiyai
akan memimpin dzikir, membaca tahlil, dan melakukan doa bersama sebagai penutup
acaranya. Setelah ritual bacaan-bacaan tersebut selesai, maka acara makan bersama
pun dilakukan bersama dengan rombongannya.
Sebenarnya jika diinventarisir, ritual-ritual yang terkait dengan praktik ziarah
kubur atau ziarah di makam keramat pastinya tidak terlepas dari perlengakapan atau
peralatan ziarah dan juga bacaan berziarah seperti tahlilan, yasinan, ngalap berkah,14
12 Wawancara dengan Juru Kunci Makam, L. Gnr, 27, Nobeber, 2017. 13 Mirta Irmasari, Makna Ritual Ziarah Kubur Angku Keramat Junjung Sirih Oleh
Masyarakat Nagari Paninggahan. Lihat: ejournal.unp.ac.id. 2012, 3-4. 14 Lihat: Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkeritis (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010), 5.
144
istighatsahan, tabarrukan, tawassulan, membaca Al-Qur’an, Shalawatan, membaca
dzikir dan wirid, membaca doa serta adab atau tatacara berziarah.15
Keberadaan makam-makam keramat di berbagai daerah biasanya memiliki
hubungaan yang sangat erat secara kontekstual melalui cerita-cerita atau legenda yang
telah berkembang dalam kehidupan masyarakatnya sejak lama. Sebagaimana yang
telah di jelaskan sebelumnya bahwa makam keamat Wali Nyato’ juga memiliki cerita
atau legenda yang telah membentuk hubungan dinamis dari keberadaannya dengan
kehidupan masyarakatnya sehingga makam tersebut dijadikan sebagai simbol suci
untuk dapat diziarahi oleh masyarakat luas.
Menyangkut pandangan atau asumsi para peziarah terhadap para tokoh, Wali
atau para ulama selaku pengembang ajaran agama Islam, sebenarnya tergantung pada
sisi kewaliannya, ketokohannya, keulamaannya dan juga kekeramatannya. Selain itu,
yang paling pokok adalah menyangkut keberkahan yang dimiliki oleh para tokoh, wali
atau para ulama di mana berkah-berkah itu bersumber dari Allah Swt. Keberkahan-
keberkahan tersebut kemudian ditrasnfer keapada para peziarah. Umumnya praktik
ziarah yang dilakukan oleh seseorang hanya untuk memperoleh berkah. Keyakinan
dan kepercayaan para peziarah ini bisa juga berasal melalui cerita atau legenda yang
berkembang dari keramatnya para wali atau tokoh tersebut.16
Dalam praktik ziarah kubur atau ziarah makam, masyarakat selalu memiliki
bacaan-bacaan atau amalan, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun al-Hadis.
Dan rangkaian yang paling akhir dalam ritual ziarah adalah membaca do’a. Adapun
doa-doa yang dipanjatkan oleh setiap peziarah kadang sangat beragam diantara para
peziarah yang satu dengan kelompok peziarah yang lainnya sesuai dengan pemandu
atau pemimpin doa saat melakukan ziarah. Selain itu, adab berziarah juga menjadi hal
pokok yang perlu diperhatikan oleh para peziarah. Seperti yang pernah dijelaskan
sebelumnya bahwa peziarah baiknya berwudhu dulu sebelum memasuki area kubur
atau area makam, kemudian melepas alas kaki, mengucapkan salam dan seterusnya.
Sebagai sebuah tradisi keagamaan yang terus berkembang dalam kehidupan
masyarakat yang juga merupakan kesinambungan dari tradisi-tradisi ziarah sebelum
kedatangan Islam di nusantara, perlengkapan ziarah juga telah menjadi bagian dari
syarat-syarat ziarah, di mana yang paling umum dibawa saat melakukan ziarah adalah
bunga, air, sesaji, minyak wangi disamping membawa perlengkapan secara khsus
untuk tujuan tertentu.17
Di makam keramat Wali Nyato’ praktik ziarah umumnya dilakukan dengan
cara-cara yang sangat Islami karena membaca tahlil, dzikir, membaca yasin dan do’a.
Meskipun pada saat-saat tertentu ada pula ritual yang dijalankan oleh peziarah dengan
motif dan juga tujuan tertentu. Oleh karena itu, praktik ziarah di makam keramat Wali
15 Lihat: Sutejo Ibnu Pakar, Panduan Ziarah Kubur (Cirbon: Kamu Nu, 2015), 42. 16 Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno
Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembnag: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah
Palembang, 2017), 19. 17Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno
Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembnag: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah
Palembang, 2017), 20.
145
Nyato’ terkadang terdapat proses ritual yang akan disesuaikan dengan tradisi nenek
moyang mereka atau ajaran yang diyakininya.
Kehadiran para pengunjung atau para peziarah di makam keramat Wali Nyato
memang sudah sangat tersetruktur sesuai dengan waktu atau hari diperbolehkannya
melakukan ziarah. Kehadiran peziarah tentu sekali akan disesuaikan dengan proses
ritual yang akan dilaksanakannya. Tetapi jika peziarah datang hanya untuk melakukan
tawassul, wasillah, dzikir, tahlilan, yasinan, shalwatan dan berdo’a maka tentu tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berada di sekitaran makam. Kecuali bagi
peziarah yang datang di makam keramat Wali Nyato’ karena ingin menjalankan ritual
seperti melakukan pemotongan hewan, maka mereka membutuhkan waktu berjam-
jam bahkan bisa seharian penuh dalam menjalankan kegiatan tersebut. Karena itu,
ritual ziarah di makam keramat Wali Nyato’ sebenaranya masih terdapat ritual-ritual
yang kadang-kadang tidak harus berjalan seperti yang disunnahkan oleh Rasulallah
Saw, karena peziarah dalam menjalankan ritualnya kadang masih dipengaruhi oleh
nuansa tradisi lama atau ajaran nenek moyang mereka terdahulu.
B. Motivasi dan Tujuan Melakukan Ziarah di Makam Keramat
Kepribadian seseorang terbentuk karena pengetahuan melalui penggambaran,
konsepsi, persepsi, apresiasi, pengamatan, dan fantasi mengenai berbagai hal dalam
dunia lingkungannya. Sebenarnya bukan hanya pengetahuan, akan tetapi kepribadian
seseorang juga dapat dibentuk dari berbagai perasaan, emosi, dan keinginan tentang
bermacam-macam hal yang terdapat disekelilingnya.18 Untuk itu, sejumlah kalangan
pisikologi mengatakan kesadaran seseorang juga mengandung berbagai perasaan
yang tidak ditimbulkan oleh pengetahuan karena sudah terkandung di dalam organnya
terutama gennya sebagai naluri. Keinginan yang sudah ada, telah menjadi bagian dari
naluri pada seseorang dan ahli pisikologi menyebutnya sebagai “dorongan” (drive).19
Jika halnya demikian, maka praktik ziarah yang terjadi di makam keramat
Wali Nyato’ tampaknya bukan hanya disebabkan oleh adanya pengetahuan melalui
penggambaran sebagaimana yang tersebutkan di atas, tapi praktik ziarah yang dapat
dilakukan oleh masyarakat juga karena faktor gennya sebagai naluri. Ada sebagian
responden yang menyatakan bahwa; ziarah yang dilakukan di makam keramat Wali
Nyato’ tersebut atas kemauan sendiri, bukan berdasarkan pengetahuan dari orang lain
semata, tetapi karena faktor keinginan secara pribadi semata.20 Secara premis dalam
teori sosialpun bahwa semua hal yang berhubungan dengan serangkaian aktivitas-
aktivitas masyarakat juga berawal dari individu. Yakni; dari individu nyata dan juga
aktivitas-aktivitas mereka, termasuk situasi dan kondisi akan kehidupan mereka,
temuan mereka yang sudah ada, dan kegiatan-kegiatan sebagai hasil cipta mereka.
Premis ini dapat dibuktikan secara empiris.21 Oleh sebab itu, individu tidak ditandai
dengan ciri-ciri universal, namun lebih ditandai dengan kehususan hubungannya pada
18 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi edisi revisi, Jakarta: 2009, 90. 19Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi edisi revisi, Jakarta: 2009, 88. 20 Wawancara dengan Rsln. 35 Thn, Mir, 33 Thn dan Ls, 22, Thn, Peziarah Makam
Keramat Wali Nyato’ 27, Desember 2017. 21Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014),
190.
146
lingkungan yaitu, berupa cara berhubungan dengan alam dan mahluk sosial lainnya
dimana ia hidup. Individu juga ditandai dengan jaringan hubungannya pada alam dan
masyarakat karena menjadi anggotanya. Manusia dengan lingkungannya memang
sifatnya universal, tetapi dalam bentuk konkret cara berhubungan tersebut berbeda-
beda dan akan menghasilkan pengalaman, peristiwa, sejarah dan kultur yang berbeda
pula.
Berkaitan dengan tradisi ziarah pada makam keramat, nampaknya memiliki
hubungan yang sangat erat dengan pengalaman setiap orang dalam pelaksanaanya. Di
makam keramat Wali Nyato, beberapa peziarah menyatakan bahwa, ziarah di makam
tersebut tergantung pada hajatan atau keingian yang ingin dicapai. Mislanya; hajatan
untuk dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupannya, apakah baik,
buruk, gagal, berhasil, susah, senang dan lain sebagainya sebenarnya dapat dilakukan
dengan meminta atau memohon petunjuk kepadanya (Wali Nyato’) sebagai seorang
waliyullah yang memiliki kedekatan dengan sang Maha Kuasa yaitu Allah Swt.22
Eksistensi individu sebagai mahluk sosial yang memiliki kesadaran untuk
mendorong dirinya dalam melakukan hubungan dengan alam, lingkungan, manusia
dan lain-lain karena adanya dorongan kuat dalam bergaul atau berinteraksi terhadap
sesama manusia, bahkan dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan
ini sebenarnya sebagai dasar biologis dalam kehidupan manusia sebagai mahluk
sosial. Selain dari akibat munculnya kebudayaan yang bermacam-macam di antara
manusia. Melalui dorongan ini, manusia mengembangkan suatu pola kebiasaan, adat-
istiadat, kebudayaan, perilaku keagamaan, tradisi dan lainnya yang kadang-kadang
memaksanya untuk melakukan penyesuaian diri (conform) dengan manusia yang ada
disekitarnya.23
Tindakan-indakan individu saat melakukan hubungan dengan manusia yang
lainnya tampak dalam suatu ikatan sosial, sehingga akan membentuk ligitimasi yang
berkecenderungan terhadap apa yang telah dialamai, diraskan, dan dijalaninya sebagai
suatu realitas sosial dalam kehidupannya. Oleh karena itu, mengenai tindakan atau
praktik keagamaan individu dan masyarakat juga dapat dikatakan sebagai akibat dari
adanaya berbagai perasaan, pemahaman, pengalaman, pemikiran yang berbeda pula
sehingga senantiasa menampilkan suatu pola yang beragam.
Jika bersandar pada argument di atas, maka seseorang akan terus merasa
terdorong untuk melakukan tindakannya hingga menjadi suatu kebiasaan dalam
berperilaku. Pada konteks ini, tradisi keagamaan masyarakat dalam bentuk praktik
ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, Lombok Tengah, tentunya
berawal dari suatu tindakan individu, kemudian oleh individu-individu lainnya akan
mengikuti atau cenderung meniru tindakan seseorang lainnya hingga muncul menjadi
kebiasaan bersama dan menjadi sebuah tradisi dalam masyarakatnya.
Praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’, oleh beberapa responen juga
menyatakan bahwa peziarah makam, tidak hanya disebabkan oleh pengetahuan secara
historis yang secara konperhensif tentang sang Wali yang diziarahinya semata. Tetapi
mereka dapat mengetahi ke-Waliannya serta kekeramatan makamnya karena cerita-
22 Wawancara dengan Amr. 29 Thn, salah seorang Pimpinan Ponpes Riadlul Ulum
(RA) Peziarah Makam Wali Nyato’ 24, Januari 2018 23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, edisi revisi. 2009, 89.
147
cerita atau legenda yang telah lama berkembang dari orang tua mereka termasuk
kerabat, sahabat dan tetangganya yang pernah melakukan ziarah di makam tersebut.24
Untuk itu, dapat dipastika bahwa seseorang akan berkecenderungan melakukan hal
yang sama. Hal ini menggambarkan pengetahuan dan pemahaman bagi orang lain
untuk dapat melakukan suatu tindakan yang sama dalam mewujudkan harapan dan
tujuan yang ingin dicapai.
Praktik ziarah yang terjadi pada makam-makam keramat sesungguhnya telah
secara jelas memperlihatkan berbagai motif yang kadangkala dilakukan secara massal
maupun secara personal. Dorongan atau motif yang dilakukan secara massl, akan
menjadi pengikat atau faktor terbentuknya kelompok-kelompok sosial.25 Akan tetapi,
jika tidak ada motif yang sama dari pelaku ziarah secara massal tersebut, nampaknya
agak sulit dapat membentuk kelompok-kelompok sosial yang khas.
Keberadaan makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembita, setidaknya dapat
menjadi media atau sarana bagi masyarakat untuk melakukan silaturrahmi karena bisa
bertemu dengan masyarakat yang lainnya termasuk kerabat, sehabat dan tetangganya
yang juga sedang melakukan ziarah pada hari dan waktu yang sama. Oleh karena itu,
keberadaan makam keramat bukan hanya menjadi objek husus untuk dapat melakukan
ziarah, melainkan bisa berfungsi sebagai medium untuk mempertemukan individu dan
masyarakat untuk saling bersilaturahmi.
Melalui proses sosial, tradisi ziarah kubur atau ziarah makam keramat secara
aspek sosial keagamaan masyarakat selalu dapat mencerminkan adanya motivasi serta
tujuan-tujuan tertentu, selain sebagai medium untuk bisa bersilaturrahmi dengan para
peziarah lainnya. Motivasi serta tujuan-tujuan tersebut kadang kala timbul akibat dari
adanya proses sosial dalam dunia lingkungannya. Dengan demikian masyarakat atau
individu merasa terdorong untuk menjalankan tradisi tersebut karena ada motif dan
keinginan yang kuat bagi mereka.26
Individu dan masyarakat sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pelaku-pelaku
sosial lainnya, sehingga akan menjadi gejala awal dalam melatarbelakangi indentitas
sosial budaya pelaku ziarah. Sedangkan motif yang bersifat personal bentuknya tampil
sangat bergam yang nantinya akan membentuk pradisposisi (kecenderungan) bagi
peziarah itu sendiri.27 Oleh karena itu, motif yang sesungguhnya paling mendasar
ketika melakukan ziarah ke makam keramat adalah motif untuk mendapatkan berkah
karena makam merupakan simbol mediatornya.
Berkah dalam perspektif Islam berasal dari kata Baraka (kata kerja, atau fi’il
madhi) yang berarti telah mendapatkan karunia dan mengandung makna kebaikan.
Barakah merupakan kata benda (isim), yang mempunyai arti kebahagiaan (saidah)
dan nilai tambah (ziyadah).28 Barakah merupakan hasil yang didapat setelah seseorang
24 Wawancara dengan Lk, Guru dan Pt, Peziarah. 29 Januari 2018. 25W. A Gerungan, Pisikologi Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), 151. 26Saya berziarah karena pernah mendengar teman saya bahwa ketika pergi ziarah ke
makam kermat Wali Nyato’ maka insyallah doa-doa kita akan cepat terkabulkan. Wawancara
dengan Ld, Pelajar, Rd Pelajar dan Ns. 16 Januari, 2018. 27Ahmad Falah, Sepiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata Jurnal
Walisongo Volume 20, No 2, November, 436. 28Barakah meliputi dua jenis yaitu pertama: barakatus sama’ (berkah-berkah dari
langit) yang berupa ilmu pengetahuan produk akal yang berdasarkan wahyu dan anugerah Ilahi
148
melakukan ziarah. Berkah tersebut bersumber dari Tuhan, baik secara langsung
ataupun melalui prantara sang Wali yang memberikan manfaat pada kedamaian dan
ketenangan jiwa. Lebih dari itu, berkah seperti halnya pahala yang diperoleh ketika
melaksanakan ibadah nantinya akan memberikan manfaat pada hari kiamat.
Sedangankan “perolehan” merupakan hasil yang didapat dari ziarah yang hanya
bersifat duniawi, yaitu, “sesuatu” yang digunakan untuk mencari kekayaan, sukses
dalam usaha, menarik lawan jenis maupun sukses dalam sekolah. Jadi berkah bersifat
suci dan mungkin saja didapat secara tidak kasat mata, sedangkan perolehan bersifat
duniawi. Tidak seperti berkah, perolehan yang memiliki sifat “panas” dan sewaktu-
waktu dapat membahayakan manusia yang mencarinya.29
Nilai yang diperoleh tentang kebaikan, ketenangan, dan kebahagiaan oleh
seseorang yang bilamana tidak mensyukurinya maka tidak dapat dikatkan sebagai
berkah. Misalnya, seseorang yang telah banyak memperoleh rizki dari pekerjaan yang
dihasilkannya, tetapi orang tersebut tidak merasakan kebahagiaan atas rizki yang
diperolehnya, maka tidak bisa dinyatkan memperoleh barakah atau berkah. Artinya,
untuk dapat mengetahui nilai tambahan yang dimaksud adalah apakah membawa
kebahagiaan atau tidak, dan apakah membawa kebaikan atau tidak, setidaknya dilihat
dari cara seseorang itu apakah pandai bersyukur atau tidak. Oleh karena itu, barakah
berubah menjadi berkah yang memiliki banyak arti, seperti memperoleh jodoh,
mendapatkan kenikmatan hidup, tercapainya cita-cita, usahanya berhasil, hasil panen
melimpah ruah dan lain sebaginya.30
Makam Wali Nyato’ yang selalu ramai saat dikunjungi para peziarah, tentu
karena adanya berkah yang diperoleh bagi seseorang tersebut. Makam keramat Wali
Nyato’ adalah makam yang sangat keramat dan sakral bagi masyarakatnya. Hal ini
ditandai dengan jumlah pengunjung yang selalu ramai berdatangan dari berbagai
Kecamatan, Kabupaten hingga pengunjung dari luar pulau Lombok. Ini berarti
makam keramat Wali Nyato’ memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengunjung atau
peziarahnya.31
Jika peziarah yang dari luar pulau Lombok ingin melakukan ziarah di makam
tersebut, biasanya mereka terlebih dahulu mencari informasi-informasi tentang waktu
diperbolehkannya melakukan ziarah. Karena makam keramat Wali Nyato’ tidak boleh
di ziarahi atau di kunjungi pada hari-hari lain selain hari Rabu. Oleh karena itu, untuk
yang berupa ilham-ilham dan juga hujan dan sebagainya yang menyebabkan kesuburan dan
timbulnya kekayaan di muka bumi. Kedua: Barakatul fil ardhi (berkah-berkah dari bumi)
ialah kesuburan, hasil tambang dan sebagainya. Untuk memperoleh berkah tersebut, maka
penduduk bumi harus bertqwa kepada Allah Swt, sehingga akan dibuka pintu-pintu
kenikmatan dan keberkahan, yaitu dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat yang dapat
menyuburkan tanah dan memberi kemakmuran hidup dalam negeri dan akan didatangkan
ilmu-ilmu, dengan beragam pengetahuan tentang banyak hal. Lihat: Ahmad Mustafa al-
Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz VII, (Mesir. Darul Hikmah, 1974), 14-15. 29Lihat: Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”
Journal, Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, 2001, 87. 30 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 158. 31 Wawancara dengan Mq. Gnr. Penjaga Makam, 27 Desember 2017.
149
dapat berziarah ke makam tersebut harus pad hari Rabu sesuai dengan ketentuan dan
aturan yang sudah ditetapkan oleh juru kunci makam.32
Kebanyakan para peziarah yang datang di makam keramat tersebut memiliki
dasar yang kuat serta dilandasi dengan motif dan tujuan yang menutut batin mereka
melakukan ziarah. Meskipun demikian, motif diantara individu yang satu dengan
yang individu yang lainnya kadang berbeda, tetapi seorang melakukan ziarah di
makam keramat, umumnya hanya mengharapakan berkah. Gambaran tentang motif
dan tujuan seseorang atau masyarakat dalam melakukan ziarah makam adalah;
1. Mengharap Berkah
Umumnya tujuan ziarah adalah mengharap berkah, selain sebagai bagian dari
cara pengungkapan doa seklaigus pengenalan akan sejarah nenek moyang terdahulu.
Wali adalah sosok pribadi yang memiliki kedektan dengan Allah. Kedekatannya
karena pencapaian-pencapaian tertentu, di mana sang Wali menerima kemampunan
dari Tuhan yang tidak hanya dibebaskan dari hawa nafsu, tetapi wali juga memiliki
apa yang disebut dengan keramat.33
Masyarakat yang melakukan ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa
Rembitan, tentu karena ingin memperoleh berkah. Rs misalnya; ia melakukan ziarah
di makam keramat Wali Nyato’ dengan harapan bahwa maslah yang sedang menimpa
dirinya dapat terselesaikan dengan baik. Rs, datang berziarah ke makam tersebut
dengan tujuan agar berkah dari sang Wali, dapat membantu permaslahan hidupnya.34
Penghormatan kepada para Waliyullah, dengan melakukan ziarah ke makamnya juga
memainkan peran sentral sebagai bagian dari ketaatan beragama dalam bentuk ritual
mistis Islam di Lomobk. Penghormatan pada makam para Wali, sebenarnya terkait
dengan pemahaman secara teologis tentang kenabian, kosmologi dan kesempurnaan
manusia. Para pengikut Islam tradisional dalam konteks ini mempercayai bahwa
ziarah adalah tradisi Islam, selama tidak ada pertentangan dengan akidah, seperti
meminta kepada yang diziarahi.35
Pada intinya, apapun cara yang dipraktikan dalam ziarah kubur atau ziarah
makam keramat, baik yang dilakukannya secara syariat Islam, atau berdasarkan tradisi
para leluhur adalah memiliki hubungan yang erat dengan konsep pencarian berkah.
Wali bagi masyarakat suku Sasak dipandang sebagai entitas yang menjadi bagian
dalam kehiduapn agama dan sosial.36
2. Mengambil Pelajaran
Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa ziarah kubur atau
ziarah makam adalah bagian dari cara untuk mengingat akan datangnya kemataian.
Semua manusia pasti akan meraskan yang namanya mati. Karena itu, ziarah kubur
32 Wawancara dengan Mq. Gn. Penjaga makam, 27 Desember 2017. 33 Lihat: Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia
Kewalianya (Yogyakarta: Galang Perss, 2010), 171. 34Wawancara dengan Rs, 34, Thn peziarah Makam Wali Nyato’ 29 November 2017. 35Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para
Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)
Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154. 36Lihat: Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para
Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)
Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154.
150
atau makam sebenarnya mengingatkan manusia pada keadaan jasad atau arwah yang
telah di makamkan sehingga senantiasa akan mengingat akan kehiduapan akherat.
mengingat mati adalah sebuah perenungan manusia agar selalu dapat mengingat akan
kehidupan abadi yaitu kehiduapn akherat. Jika manusia banyak mengingat kehidupan
akherat, setidaknya manusia akan memperbanyak amal ibadahnya sebagi bekal untuk
menghadapi kematian. Ziarah makam telah memberikan pelajaran agar manusia yang
masih hidup senantiasa memperbanyak amal ibadahnya kepada Allah Swt. Memang,
sebelumnya Islam melarang ziarah kubur, tetapi larangan itu di nasakh (ditiadakan).37
Sebuah tradisi dimulai dengan proses sosial yaitu penyesuaian diri secara
kontinuitas baik dalam aktiviktas fisik maupun mental. Pada proses ini sarana yang
digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk
melakukan komunikasi dan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya.38 Proses ini,
secara tidak langsung akan membentuk habitus dan akhirnya akan menjadi suatu
sistem yang cenderung dapat dipahami secara kolektif (bersama). Habitus ini
menyerap kedalam diri manusia sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam budaya atau
tradisi.39
Berkaitan dengan hal di atas, keberadaan makam keramat Wali Nyato’ tentu
bukanlah sekedar makam yang muncul secara tiba-tiba. Tetapi keberadaanya melalui
proses panjang, karena beliau adalah sosok ulama pembawa ajaran Islam di wialayah
Lombok bagian Selatan. Keberadaan makamnya muncul sebagai suatu objek suci
yang mampu melahirkan tradisi ziarah kemudian ia berkembang dalam kehidupan
masyaraktnya. Masyarakat dapat mengetahui suatu objek tertentu karena adanya
proses sosial.
Harus diakui bahwa tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
cepat atau lambat akan muncul menjadi sebuah realitas sosial. Seperti halnya makam
Wali Nyato’, sebagai objek suci yang dianggap memiliki kekuatan spiritual dan
keramat oleh masyarakat, akan muncul menjadi realitas sosial keagamaan.40 Makam
Wali Nyato’ adalah makam seorang Waliyullah yang memiliki daya tarik tersendiri
untuk dapat diziarahai oleh masyarakat luas. Konon, jika seseorang melakukan ziarah
ke makam tersebut, insyallah hajatnya akan cepat terkabul.41 Hal tersebut diyakini
karena keramat atau berkah dari sang Wali. Sehingga orang yang melakukan ziarah
di makam tersebut akan selalu mengharapkan berkah disamping mengambil pelajaran
sehingga dapat di teladani dalam kehidupanya.
Ziarah kubur atau ziarah makam, selain difungsikan sebagai media untuk
mendapatkan pelajaran dalam hidupannya, ziarah juga dimanfaatkan untuk emosional
keagamaannya dengan berharap memperoleh kekuatan-kekuatan gaib atau kesaktian
37Awalnya, islam melarang tradisi ziarah kubur, karena saat itu masyarakat Islam
baru saja terbebas dari peribadatan kepada berhala. Akan tetapi larangan tersebut kemudian
telah di nasakh (ditiadakan.) Sebagaimana Sabda Rasulallalah SAW, “Dahulu aku melarang
kalian berziarah kubur. Kemudian aku menyuruhmu berziarah, karena ziarah mengingatkan
kalian akan hari akhirat” HR. Muslim. 38Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 249. 39Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Constuction of Reality A
Treatise in The Sociology of Knowledge (New York: Doubleday & Company 1966), 70. 40Wawancara dengan Ls, guru SMP Islam dan Id, guru Mi. 24 Januari 2018. 41Wawncara dengan S mn, peziarah. Rabu, 3 Janwari 2018.
151
untuk kepentingan-kepentingan tertentu melalui ritual-ritual, doa, tawassul, wasilah,
wirid, zikir dan lain sebagainya.
Seorang Waliyullah dalam perspektif masyarakat adalah satu entitas penting
yang menjadi bagian dalam kehidupannya baik kehidupan agama dan sosial. Makam
para Wali juga dianggap sebagai sumber berkah karena dapat digunakan untuk
berbagai tujuan yang tidak terkira banyaknya, seperti keberuntungan, mendapat rizki,
kekuatan, kekuasaan dan kemajuan sepiritual.42 Dalam konteks tertentu, Wali juga
berkaitan dengan wahyu atau wangsit.43 Melalui wahyu seseorang dapat melakukan
komunikasi dengan para Nabi yang menurut sebagaian besar tradisi Islam akan turun
kepada para wali, karena Wali merupakan kekasih Tuhan. Dengan demikian melalui
perantara wali inilah kemudian wahyu (wangsit) itu turun.
Sedangkan keramat dari sang wali, juga diyakini mampu memenuhi harapan-
harapan para peziarah, sperti kepandaian, kekayaan, kekuasaan dan lain sebagainya.
Hal ini kemudian muncul sebagai tradisi spiritual yang sengat lekat di masyarakat.
Oleh karena itu, ziarah bukan hanya sebatas mengingat kematian. Tetapi ziarah juga
dapat dimaknai sebagai media untuk pemenuhan kebutuah baik yang bersifat material
maupun sepiritual.44
3. Mengenang Sejarah dan Penghormatan Terhadap Arwah Para Leluhur
Beragam manfaat serta tujuan selalu menyertai aktivitas-aktivitas peziarah.
Sebagaimana yang di sebutkan sebelumnya bahwa jika ziarah makam yang dilakukan
oleh masyarakat adalah sebagai tradisi para leluhur mereka, maka hal tersebut dapat
dikatakan sebagai akibat dari pengaruh masa Hindu-Budha. Pada masa tersebut
kedudukan seorang raja masih dianggap sebagai titisan dewa sehingga segala sesuatu
yang berhubungan dengan seorang raja masih dinilai keramat. Misalnya Raja Rajasa
Nagara (Hayam Wuruk) diandaikan sebagai titisan Hyang Giri Nata yang beristana di
puncak Gunung Semeru.45
Tradisi ziarah kubur atau ziarah makam pada masa pra-Islam ditandai dengan
adanya permohonan kepada arwah orang yang telah meninggal. Pada masa Jahiliyah
tradisi menganggungkan berhala dan menyembah arwah leluhur, karena menganggap
arwah para leluhur memiliki kendali atas kehidupan mereka dan bisa mewujudkan apa
yang mereka inginkan. Tetapi dalam kontek sekarang ini tradisi ziarah kubur atau
ziarah ke makam para leluhur sesungguhnya bukanlah unntuk mengaggungkan arwah
para leluhur melainkan refleksitas akan sejarah atau peran penting dari sang leluhur
tersebut ketika masih hidup. Terlebih jika arwah leluhur yang di ziarahi tersebut
adalah tokoh atau ulama yang pernah membawa ajaran Islam pada masanya maka
seolah-olah menjdai keharusan bagi masyarakatnya.
42 Suwardi Endraswara, Mistis Kejawen: Sinkritik, Simbolisme dan uSfisme Dalam
Budaya Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi 2006), 18. 43 Arti kata wangsit dalam KBBI adalah pesan (amanat) gaib. Misalnya, “menurut
wangsit yang diterimanya, benda itu harus disimpan dalam keraton”. 44 Hikmatul Mustagfiroh dan Muhamad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para Pencari
Berkah (Studi Atas Motivasi Peziarah di Makam Sunan Kalijaga Kdilangu Demak, Jurnal
Penelitian, Vol. 8. No. 1 Febrari, 2014. 155. 45 Erwin Arsadani, Islam dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi
Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa, Jurnal Esensia Vol. VIII No. 2 Juli 2012,
280.
152
Tradisi ziarah di makam Wali Nyato’ di Desa Rembitan, oleh sebagian besar
msayarakat kadang kala mereka melakukan ziarah hanya sebatas ingin mengenang
jasa-jasa dari sang Wali sebagai penyebar agama Islam pada masanya. Sang Wali
Nyato’ adalah seorang yang sangat mulia (suci), berkarisma, berbudi perkerti, sikap
dan tutur sapanya santun serta penuh kasih sayang terhadap kerabat dan sahabatnya.46
Berkaitan dengan keberadaan orang-orang shaleh atau orang suci, sebenarnya
tidak akan lepas dari karismatiknya, kemuliaanya, bahkan tidak jarang ia memiliki
kekuatan atau kelebihan dan keramat disamping pengaruh dari ketokohannya. Oleh
karena itu, orang suci atau ulama acapkali dipandang sebagai bagian dari suatu entitas
keagamaan yang selalu dapat dijadikan sebagai pijakan bersama oleh masyarakat.
Karena itu, ualama atau orang suci meskipun telah meningga dunia, kesuciannya akan
tetap bersemayam pada makamnya.
Sebuah realitas sosial keagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah adalah
suatu yang nyata adanya dan berproses melalui kaidah-kaidah sosial yang berlaku
serta berpedoman terhadap kebenaran teks-teks suci seperti al-Qur’an, al-Hadist,
kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai, aturan, dan lain sebagainya. Kesemuanya
itu, berada di luar diri inidvidu sehingga melibatkan momen adaptasi dengan teks-teks
tersebut. Keterlibatannya tentu disertai dengan tindakan dan bahasa sebagai sarana
yang digunakan untuk disampaikan kepada orang lain sehingga membentuk suatu
pengetahuan tentang tradisi (pentradisian/enkulturasi47).
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa tradisi ziarah terbentuk atas dasar suatu
proses yang panjang sehingga menjadi sebuah realitas sosial keagamaan yang berada
dalam kehidupan masyarakat. Melalui proses sosial inilah setiap anggota masyarakat
dapat mengetahui tentang ketokohan atau pengaruh dari seorang ulama atau orang
suci (wali). Demikian halnya dengan keberadaan makam keramat Wali Nyato’ yang
juga dapat diketahui oleh masyarakat luas karena proses sosial yang terjadi dalam
kehidupan mereka.
4. Melakukan Tawassul atau Berwasilah
Istilah “Kekasih Aallah” identik dengan suatu pemahaman tentang “dekat”
kepada Allah. Istilah ini sering kali dipahami atau dimaknai sebagai suatu kelebihan
yang dimiliki oleh orang-orang shaleh atau para wali. Keberadaan para Wali bisa
menjadi prantara untuk menyampaikan komunikasi orang biasa kepada sang Khaliq.
Ssecara aspek sosial, keberadaan para tokoh yang sangat dihormati kadang kala selalu
direpresentasikan sebagai Nabi, Wali dan Kyai, karena kedekatannya dengan Allah
Swt hingga mereka meyakini akan lebih mudah dikabulkan permohonannya. Logika
46 Wawncara dengan Sln. 59 Thn, Pengunjung Makam, 25 November 2017. 47Enkulturasi (enculturastion) merupakan proses bagi seseorang baik secara sadar
maupun tidak sadar dalam mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat. Enkulturasi terjadi
melalui proses sosial marena manusia adalah mahluk yang bernalar, punya daya refleksi dan
intelegensia, belajar memhami serta menyesuiakan diri pada pola pikir, pengetahuan, dan
kebudayaan dari sekelompok masyarakat manusia yang lain. Lihat: M.J. Herskovits, Man and
His Work, 39, dikutif dalam Herber Alphonso and Rober Faricy, Priest as Leader: “The
Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States
Context” (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29. Lihat juga Peter Poole, Socialisation,
Enculturation and the Development of Personal Identity, 52.
153
ini adalah alasan utama bagi seseorang yang memepercayai bahwa Wali adalah orang
yang dianugrahkan kelebihan oleh Allah.
Manusia akan selalu memiliki hubungan dengan cara berperantara bila mana
suatu hubungannya merasa tidak terjangkau. Karena itulah kemudian setiap orang
dalam berziarah dengan melakukan tawassul atau berwasilah kepada sang Wali adalah
karena ia merasa tidak mampu berhubungan langsung dengan Tuhan. Sebagian besar
responeden menyatakan bahwa dengan melakukan ziarah ke makam Wali Nyato’
maka doa mereka akan sampai kepada Allah Swt, dan cepat dikabulkan.48
Terlepas dari motif serta tujuan para peziarah di atas, jelasnya bahwa praktik
keagamaan dalam bentuk ziarah adalah tidak meminta kepada jasad atau arwah sang
Wali. Tetapi mereka melakukan perantara (tawassul) untuk menyampaikan hajatnya.
Fenomena ziarah memang bagian dari pendekatan secara kultural untuk suatu agama
tertentu. Karena praktik ziarah mengandung kompleksitas dan sejumlah objek-objek
suci sehingga dapat menggerakkan manusia untuk menciptakan perasaan atau motif
tertentu hingga akan diformulasikan oleh norma-norma universal dari keberadaannya
yang disertai dengan penggunaan konsepsi melalui nuansa faktualitas dan membentuk
perasaan dari adanya motif-motif secara khas sehingga tampak realistik.49
Dalam setiap praktik keagamaan, masyarakat tidak lepas dari proses interaksi
masyarakat hingga membentuk hubungan timbal balik antara agen atau struktur.
Misalnya, tokoh agama, kekuasaan politik, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Dari
adanya proses ini kemudian dapat dikatakan sebagai bagian dari interaksi sosial secara
kelembagaan atau institusionalisasi.50 Agen atau aktor tersebut bisa saja berasal dari
peziarah atau bisa pula dalam suatu kelompok masyarakat tertentu yang sudah
terorganisir. Misalnya; lembaga Nahdlatul Ulama,51 dan Muhammadiyah.52
48 Wawancara dengan Ms, 45 Thn, Rik, 65 Thn, Peziarah Makam Wali Nyato’ 10,
Desember 2017. 49Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books, 1970), 91. 50Institusionalisasi merupakan suatu proses pelestarian perilaku secara struktural dan
terorganisir melalui proses interaksi yang dilakukan secara tersu-menerus sehingga menjadi
perilaku melalui berbagai simbol-simbol yang dapat dimaknai dan dipahami secara dialogis
praktis oleh individu sebagai pelaku yang ada dalam dunia sosio-kulturalnya, atau berada pada
wadah suatu organisasi keagamaan yang sama. Lihat: Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama
Kajian Tentang Perilaku Institusional dalam Beragama Persis dan Nahdlatul Ulama
(Bandung; Refika Aditama, 2007), 25. 51Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu ormas Islam yang justru sangat dekat
dengan tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara dalam
mempertahankan tradisi untuk menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam
pada masa lampau. Sebagai kaidah yang paling sering kita dengar adalah “mempertahankan
warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”. Lihat: Zada dan
A. Fawaid Sjadzili Terj, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan
(Jakarta: Kompas, 2010), 131. 52Muhammadiyah sendiri sejak awal merespon kondisi sosial keagamaan masyarakat
Islam yang tidak memperaktikkan agama secara purifikasi (pemurnian) dengan melihat adanya
praktik-praktik mistisme, ritual-ritual keagamaan dan sebagainya. Maka pengamalan praktik-
praktik Islam yang dinilai bercampur aduk dengan hal-hal yang bersifat takhayul, bid’ah dan
khurafat seakan tidak bisa berbuat banyak terhadap maraknya tradisi yang terus diwarnai
dengan sistem-sistem scara taktis dan pasif. Namun pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad
154
Secara internalisasi atas sebuah realitas yang ada pada kehidupan masyarakat,
tak dapat dipungkiri bahwa terdapat proses yang secara subyektif telah terjadi di mana
terserapnya kembali suatu realitas ke dalam diri individu sehingga proses yang terjadi
pada dunia lingkungannya akan berada pada diri mereka masing-masing. Dalam
rangka untuk menghidupkan kembali identifikasinya, maka dijalankan sistem
sosialisasi53 pada apa yang telah diketahuinya sebagai sebuah realitas sosial tersebut.
Karena itulah, suatu realitas yang ada akan selalu hadir bersama identifikasi atau
tafsirannya sehingga seseorang akan menjadi bagian dari suatu tradisi secara
institusional dalam sebuah kelompok tersebut, seperti kelompok keagamaan, sosial,
budaya, pendidikan politik dan lain-lain.
Dalam sebuah tradisi, masyarakat akan melakukan adaptasi dimana peroses
penyesuaiannya atas sesuatu yang telah diketahui, muncul sebagai pemahaman yang
kemudian dapat di tafsirakan ketika melihat, mengalami, meraskan, dan mempelajari
realitas sosial itu sendiri melalui kaidah-kaidah sosial. Termasuk Al-Qur’an dan al-
Hadist. Keberadaan makam Wali Nyato’54 nampaknya telah membentuk suatu
pemahaman masyarakat tentang kekeramatannya. Hingga muncul sebagai realitas
sosial yang nyata adanya dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Pemahaman masyarakat tentang tradisi keagamaan biasanya menimbulkan
kepercayaan tersendiri tergantung pada sisi mana pemahaman tersebut dititikberatkan
sehingga ritual atau praktik yang dijalankan dalam tradisi tersebut dapat dilihat saat
melakukan ziarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat banyak mengetahui dan
memahami kekeramatan makam juga melalui cerita dari nenek moyang mereka.55
Dahlan mendapatkan metode yang dianggap tepat untuk melepaskan masyarakat Islam dari
praktik-praktik taktis dalam menjag masyarakat dari pengaruh-pengaruh luar dengan cara yang
lebih rasional. Lihat: Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad
Muhammadiyah (Jakarta: Kompas, 2010), xiii. 53Dalam sosialisasi, terdapat setiap makna. Makna tersebut memerlukan tafsiran
sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh individu. Melalui kerangka sosialisasi ini pula,
dibutuhkan ligitimasi kognitif, yaitu ligitimasi yang dapat menjelaskan realitas sosial normatif
yang bertujuan memberikan perdoman tentang tata cara seseorang berperilaku yang berlaku
atau diterima secara institusional. Dalam Dadang Khamad, Metode Penelitian Agama,
Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung, Pustaka Setia, 2000), 16. 54Makam yang dianggap mempunyai karomah (keramat) oleh masyarakat ini, telah
berkembang menjadi sebuah pemahaman dan pengetahuan masyarakat untuk kemudian dapat
di interpretasikan melalui tindakan dan atau perilaku mereka masing-masing. Tradisi ziarah
ini juga terus berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Akhirnya individu dan
masyarakat akan melakukan ziarah tersebut sesuai dengan apa yang diketahui berdasarkan
cerita, pengetahuan, pengalaman, baik melalui dari seseorang, maupun dari cerita dan tindakan
orang lain. Wawancara dengan Z.rp, Dosen. 4 Desember 2017. 55Pemahaman keagamaan adalah sistem pendekatan yang digunakan untuk menggali
kandungan makna, hukum, maksud-maksud, dan isyarat yang terdapat dalam sumber utama
ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-Sunnah atau pendapat ulama yang dipandang sejalan dan
sepaham atau representasi dari seluruh cara pandang umat Islam yang berada dalam tubuh
yang sama. Dalam Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku
Institusional dalam Beragama Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung; Refika Aditama,
2007), 25.
155
Suatu bentuk pemahaman dalam sebuah tradisi keagamaan nampaknya sudah
menjadi keniscayaan dalam kehidupan masyarakat sehingga bisa melahirkan beragam
motif tertentu. Ziarah di makam keramat Wali Nyato’ telah menggambarkan adanya
pemahaman, pengetahuan dan pengalaman tentang kekeramatan makam sehingga
praktik keagamaan dalam bentuk ziarah kadang disesuaikan dengan pengetahuan
mereka masing-masing, baik pemahaman yang bersumber dari sejarah, cerita nenek
moyang, pengalaman, dan paham keagamaannya.56
Seorang peziarah yang dikonstruksi pengetahuan dan pemahamanya oleh
suatu objek dari adanya realitas yang dilihat sebagai kenyataan dalam hidupnya, maka
orang tersebut akan memperlihatkan pola tindakan atau praktik keagamaannya sesuai
dengan apa yang telah diketahui atau dipahaminya. Seperti halnya seorang peziarah
dengan pola tindakan yang agak mencolok. Misalnya, kebiasaan peziarah mengambil
material di sekeliling makam untuk keperluan tertentu, menabur bunga, melempar
uang diatas makam, menepuk-nepuk batu nisan makam dengan air, membasuh muka
dengan percikan air batu nisan di makam, dan seterusnya tanpa melakukan tawassul
atau berwasilah.57
Berbagai ritual atau praktik keagamaan yang terjadi pada diri seseorang atau
masyarakat, sebenarnya dapat dikatakan sebagai pengaruh dari adanya sistem sosial,
budaya, termasuk sistem kepribadian seseorang masing-masing.58 Misalnya, Ld,59
datang melakukan ziarah karena ingin mendapatkan kemudahan saat ujian sidang
sekripsi sebagai tugas akhir di sebuah perguruan tingginya. Peziarah seperti ini,
biasanya disebabkan karena situasi atau kondisi tertentu sehingga melaksanakan
ziarah. Namun demikian, kondisi tersebut bukanlah menjadi awal tindakan yang
menuntutnya melaksanakan ziarah, tetapi karena adanya motivasi sebagai penuntun
dalam tindakan atau praktik keagamaan untuk mencari keberkahan atau karomah dari
sang Wali.
Selain itu dalam ziarah terdapat pula norma-norma dan nilai-nilai yang telah
ditanamkan oleh orang tua dan keluarganya kepada peziarah tersebut. Oleh karena itu,
peziarah akan menganggap bahwa ziarah adalah salah satu tradisi yang di jalankan
oleh keluarga dan orang tuanya pada saat menghadapi masalah-masalah dalam hidup
yang apabila hajatnya tersebut dapat tercapai, maka ia akan datang melakukan ziarah
untuk mengucapkan rasa syukur atau terimakasih karena telah selesainya maslah-
maslah yang dihadapinya. Eksistensi para peziarah pada makam-makam keramat
senantiasa menampilkan beragamnya latar belakang yang dengannya membentuk
praktik atau ritual keagamaan tertentu.
5. Sebagai Wisata Religi
Perkembangan suatu tradisi atau budaya dalam kehidupan masyarakat, pasti
tidak akan lepas dari proses sosial yang telah membentuk tradisi atau budaya tersebut,
misalnya sejarah terjadinya sebuah tradisi, perkembangan tradisi dan pelestarian suatu
56Wawancara dengan A rfn. Sekdes, 27 Desember, 2017. 57Wawancara dengan Sn, peziarah. 17 Desember, 2017. 58Bruce C Wearne, Exegetical Exploration: Parson’s Convergence Concept, The
American Socioloist Vol. 44, Nomor 3, September 2013, (pp. 233-244), Published by:
Springer. http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada tanggal 23, November 2017). 59Wawancara dengan Ld, Mahasiswa. 24 Janwari, 2017.
156
tradisi atau budaya dalam kehidupan masyarakat. Adanya makam-makam keramat
diberbagai wilayah, faktanya telah mampu menarik perhatian masyarakat luas untuk
dapat dikunjungi atau diziarahi. Keberadaan makam keramat, bukan hanya menjadi
tempat untuk berdoa, berzikir dan bertawassul. Tetapi makam keramat juga dapat
berfungsi sebagai tempat wisata religi.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kususnya di Kabupaten Lombok
Tengah, sebagaimana yang tersebutkan sebelumnya bahwa terdapat beberapa makam
yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat. Misalnya makam keramat Wali Nyato’
yang terletak di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah dan makam keramat Ketaq
yang berlokasi di Desa Monggas, Kopang, Lombok Tengah. Kedua makam tersebut
memiliki pengunjung atau peziarah yang terbilang fantastis. Di makam keramat Wali
Nyato’ banyak peziarah yang datang berkunjung dengan menggunakan bus, truk, dan
mobil mini lainnya, disamping menggunakan roda dua (Sepeda Motor).60
Dewasa ini, muncul tren baru yang dimaknai sebagai istilah wisata religi. Di
Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, juga tercatat sebagai salah satu Provinsi yang
memperoleh predikat sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia.61 Kekayaan budaya
dan sejumlah pesona alam sebagai objek wisata telah mampu menarik para wisatawan
dari berbagai daerah baik lokal, nasional maupun internasional. Selain itu, di Lombok
Tengah, Kecamatan Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat
eksotis seperti adanya upacara adat Bau Nyale (Legenda Mandalika Nyale), Kampung
Tradisional Sade, Ziarah Makam Wali Nyato’ dan Masjid Kuno di Gunung Pujut.
Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu objek yang bernuansa religi,
biasanya akan selalu menarik perhatian masyarakat luas untuk melakukan kunjungan
atau berziarah ditempat tersebut. Di makam karamat Wali Nyato’, menurut beberapa
responden, mereka melakukan ziarah selain untuk berdoa, juga ingin mengetahui
tentang makam keramat Wali Nyato’ tampa melakukan tawassul atau berwsilah.62
Biasnya, masyarakat yang datang berkunjung di makam keramat Wali Nyato’ dengan
tidak melakukan tawassul, berdoa atau berwasilah, adalah masyarakat atau peziarah
yang beru pertama kali melakukan ziarah di makam tersebut.
Terlepas dari pandangan di atas, eksistensi para peziarah di makam-makam
keramat akan senantiasa menampilkan beragamnya latar belakang yang dengannya
membentuk pola tindakan atau perilaku tertentu. Sebagaimana halnya Ralph Linton
yang mengatakan bahwa latar belakang yang ada semenjak manusia lahir adalah tanpa
melihat unsur perbedaan dari individu yang lain bahkan dari sisi kemampuannya.63
Misalnya, latar belakang berdasarkan jenis kelamin.64
60 Wawancara dengan L.Rs, 49 Thn, petugas makam, 17 Desember, 2017. 61 Lihat: https://www.cnnindonesia.com di akses pada tanggal 25, Desember 2018. 62 Wawancara dengan, Ln, 32 Thn, peziarah makam, Krn, 24 Thn, dan Iq. Rni 49 Thn
Peziarah makam Wali Nyato’ 13 Januari, 2018. 63Karmanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, 1993), 85-86. Lihat juga Yānīk Lūmūl, al-Tabaqāt al-Ijtimā’iyah, (Fāransiyah:
Dār al-Kitāb al-Jadīd al-Muttahidah, 2008). 112-113. 64Jenis kelamin didasarkan pada faktor perolehan, bahwa semenjak lahir baik antara
laki-laki dan perempuan telah memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Antara perbedaan
tersebut sering kali mengarah pada tingkatan yang bersifat hierarki. Joan Huber, “Lenski
Effects on Sex Stratification Theory”, Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion,
157
Jenis kelamin juga merupakan salah satu bentuk latar belakang secara status
sosial yang paling mendasar, selain terdapat unsur-unsur pendukung lainnya seperti
tingkat kemampuan, warna kulit, rambut, bentuk fisik, pekerjaan, ekonomi dan lain-
lain. Unsur dari latar belakang tersebut sudah menjadi suatu keniscayaan dalam hidup
manusia. Selain itu, agama adalah salah satu esensial terpenting dalam melihat latar
belakang individu-individu tersebut karena agama65 memiliki ajaran-ajaran suci dan
mengandung makna sebagai unsur kepercayaan atau keyakinan dalam suatu hubungan
dengan penciptanya.
Berdasarkan gambaran di atas, adanya setatus sosial yang sejatinya dimiliki
oleh masyarakat, di mana secara konsep fenomenologi bahwa unsur-unsur perbedaan
yang terjadi baik secara status sosial maupun individual, biasanya menggambarkan
suatu sifat baik secara obyektif maupun subyektif. Misalnya masyarakat dikatakan
sebagai realitas obyektif sehingga dapat diamati dari suatu komunitas kehidupannya.
Sedangkan individu dilihat sebagai realitas subyektif atas perilaku kehidupannya
sehari-hari. Oleh karena itu, perbedaan status kadang kala bisa memiliki satu titik
kesamaan, disamping adanya perbedaan secara tingkah laku, kelas golongan dan lain
sebaginya.66 Oleh karena itu, praktik keagamaan atau tindakan-tindakan sosial dalam
kehidupan masyarakat banyak dipengaruhi oleh rangkaian pengetahuan dalam realitas
sosial kehidupannya.
Secara keseluruhan tentang suatu tradisi keagamaa atau budaya masyarakat
khususnya yang berkaitan dengan tradisi ziarah makam keramat merupakan sistem
sarana pengikat bagi masyarakat awam dalam status sosial yang berbeda, termasuk
pada status sosial tentang tingkat pengetahuan dan pemahaman yang membentuk pola
kepercayaan mereka pada suatu objek tertentu. Dalam kehidupan masyarakat selalu
diwarnai dengan ketidaksamaan (inequality) baik ketidaksamaan cara pandang, motif
dan tujuan, penafsiran dan pengetahuan, pengalaman dan pemahaman terhadap suatu
realitas sosial kehidupan manusia. Ziarah adalah salah satu realitas sosial keagamaan
dalam kehidupan manusia yang tidak terelakkan.
Setiap anggota masyarakat akan selalu menjalankan serangkaian aktivitas-
aktivitas keagamaannya disaat merasa terdesak atau bahkan merasa cemas67 dengan
Stratification, and Evolution in Human Societies: Essayas in Honor of Gerhanrd E. Lenski
(Jun, 2004), pp. 258-268, Published by: American Sociological Association,
http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal 29 November, 2017). 65Pengertian al-dîn yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya
agama tidak ditunjukan terhadap salah satu agama, akan tetapi ia merupakan bentuk dari setiap
kepercayaan yang ada di dunia. Lihat Q.S. AL-Kāfirûn ayat 7 yang artinyan. “Bagimu al-dîn
kamu dan bagiku al-dîn aku”. Ini menunjukkan bahwa kata al-dîn itu bisa berarti agama Islam
dan bisa juga selain agama Islam itu sendiri. 66Billah, dkk, Kelas Menengah digugat (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993), 43. 67Peter L. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut merupakan
eksistensialisasi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama.
Manusia adalah makhluk yang tersu-menerus membangun dunianya melalui eksternalisasi,
yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan membentuk masyarakat. Apa yang
dihasilkan manusia dalam interaksinya dengan dunia itu memperoleh bentuknya yang objekitf,
menjadi realitas sui generis. Ini merupakan proses objektivikasi. Dunia objektif yang telah
dicipta manusia, akhirnya harus diserap kembali dalam proses internalisasi sehingga dunia
158
kondisi dan keadaan tertentu untuk segera meminta pertolongan agar mendapatkan
keberkahan atau keberuntungan. Misalnya peziarah yang datang karena menghadapi
masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga, kemudian datang melakukan ziarah
karena anaknya sering sakit-sakitan, keluraganya akan berhaji, meminta pertolongan,
meminta agar rizkinya dipermudah dan lain sebagainya.68 Oleh karena itu, seseorang
biasanya akan melakukan ziarah ke makam keramat jika seseorang itu benar-benar
mengharapkan pertolongan. Upaya mencari pertolongan di makam-makam keramat
dijalankan sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman mereka masing-masing.
Keberadaan makam keramat Wali Nyato’ tentu merupakan media atau sarana
bagi masyarakat setempat, untuk melepaskan rasa gelisah, atau persoalan-persoalan
hidupnya. Di antara beragamanya motif serta manfaat melakukan ziarah di makam
Wali Nyato’ di Desa Rembitan tersebut, banyak responden yang menyatakan bahwa
ziarah di makam ini seseungguhnya dapat memberikan rasa ketenangan, hati, merasa
nyaman, tentram dan seakan-akan merasa lepas dari beban yang mereka hadapi.69
Dari beragamnya doa-doa yang dipanjatkan oleh para peziarah, demi
memperoleh berkah (barakah) seringkali dapat dilihat dengan konsep tawassul atau
berdoa melalui perantara. Namun demikian, kebanyakan peziarah justru tidak
mengindahkan konsep normatif ini, kecuali dengan cara-cara yang lebih praktis dalam
membaca doa yang terangkum dalam tahlil. Artinya, mereka hanya membaca doa
tanpa tahlil. Para peziarah juga lebih memahami tawassul secara praktis dan hanya
berdoa disisi makam. Oleh karena itu, jika berdoa disamping makam menurutnya akan
mendapatkan berkah dan doanya akan cepat dikabulkan.
Berziarah ke makam keramat Wali Nyato’ yang dianggap suci lebih banyak
dilakukan secara massal dibandingkan secara personal. Motivasi ziarah secara masal,
dilakukan oleh sejumlah anggota keluarga, kerabat, dan tetangganya. Mereka diajak
untuk melakukan ziarah sebagai bagian dari kelompok atau rombongan mereka agar
ritual ziarah saat berdzikir, yasinan, tahlilan dan berdoa bisa mencukupi jumlah saat
melakukan ritualnya sesuai dengan yang disyariatkan dalam Islam.
Bila dilhiat dari keutamaannya, bahwa setiap sesuatu yang dikerjakan secara
kolektif (berjamaah) jauh lebih utama dibandingkan dengan menjalankan secara
perseorangan. Seperti halnya keutamaan melaksankan shalat berjamaah, di mana para
makmum akan terhubung dengan shalat imamnya.70 Diasumsikan bahwa ziarah yang
dilakukan secara kolektif juga memiliki keutamaan yang jauh lebih baik dibandingkan
secara personal. Karena itulah ziarah merupakan suatu kesempatan untuk mengalami
perasaan secara kebersamaan dan menghidupkan kembali hubungan keakraban yang
sulit dipertahankan di tengah kehidupan modern. Ziarah secara massal juga dapat
menghubungkan individu pada suatu kelompok-kelompok spiritual.
objektif menjadi dunia subyektif. Lihat: Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas
Sosial (Jakarta: LP3ES, 1991), 157. 68 Wawancara dengan Hrt guru Tk dan Ta Pedagang. 30 Desember, 2017. 69 Wawancara dengan Sn, 35 Thn, peziarah makam, Rr 47 Thn peziarah, 27 Desember
2018. 70 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Adul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah
terj. Kamran As’at Irsyady, dkk (Jakarta Amzah, 2010), 145.
159
Ziarah tampaknya memainkan peran perekat kebersamaan kolektif yang
sangat dimungkinkan oleh adanya ruang dan waktu. Secara fungsional masih sangat
dimungkinkan modus pertukaran secara massal (kolektif), baik ekonomi sosial
maupun simbolis yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.71 Sesungguhnya ziarah
makam yang dilakukan oleh setiap orang atau suatu kelompok masyarakat dengan
keseluruhan motif-motifnya umumnya bersumber dari sistem kepercayaan atau
keyakinan bahwa makam keramat adalah makam orang suci (Wali), sebab Wali itu
dekat dengan sang pencipta (Allah swt) hingga menjadikan sebagai media tawassul
mereka dalam rangka menyampaikan doa atau hajat mereka. Oleh sebab itu, setiap
wali atau orang suci dianggap sebagai mediator yang dapat menghubungkan dirinya
dalam relasinya dengan Allah SWT. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
ا لا
ولياءان ها
االل
ل يهمخوف
اعل
زنون همول ذين٢٦يح
لمنواا
انواا
قون وك ٢٦يت
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Q.S.Yunus: 62-63)72
Ayat di atas menjelaskan bahwa wali-wali Allah, adalah orang-orang yang
selalu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Wali juga memiliki kedekatan dengan sang
pencipta. Dalam kehidupan kelompok masyarakat biasanya terdapat sosok figur yang
sangat dihormati bahkan dianggap istimewa dari yang lainnya. Keberadaan orang
yang terpilih (orang suci) biasanya dianggap memiliki kelebihan atau keistimewaan
karena kedekatannya dengan Allah Swt. Oleh karena itu, ketika tokoh tersebut telah
meninggal, maka diyakini pula bahwa dengan berdoa dimakamnya, akan memilik
berkah dan doanya akan cepat terkabulkan. Konsep “orang suci” merujuk pada konsep
“wali Allah” yang berarti dekat dan ditolong Allah.73 Definisi ini nampak sejalan
dengan pengertian secara terminologi dalam ayat Al-Qur’an yang tersebutkan di atas.
Kedudukan para wali, Allah Swt tidak memberi tanda yang menunjukkan
bahwa orang itu adalah wali, tidak ada orang yang mengetahui bahwasanya seseorang
itu adalah wali, begitu juga sebaliknya. Wali merupakan keistimewaan yang telah
dianugrahkan Allah kepada hambanya dan hanya orang-orang yang berm’rifat tinggi
yang dapat mengetahuinya. Itupun tidak semua, karena hanya wali yang dapat
mengetahui seseorang itu wali. Namun kita sebagai manusia biasa tetap meyakini dan
percaya bahwa manusia memiliki kekutangan dan kelebihan masing-masing. karena
Wali memiliki kekuatan supranatural dan manusia biasa memiliki kekuatan natural.74
Sebagaimana yang peranah dijelaskan sebelumnya bahwa keberadaan makam
Wali Nyato’ merupakan simbol suci bagi masyarakat. Karena beliau adalah seorang
71Lior dan Guillot Terj. Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu,
2010), 6. 72Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: 2011, 289. 73Lihat: Henri Chambert-Loir and Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam.
Terj, Jean Couteau dkk, (Jakarta: Serambi, 2007), 25. 74Lihat: Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 252.
160
ulama pembawa ajaran Islam. Wali Nyato’ diyakini memiliki kekuatan-kekuatan
speiritual dan berbagai kelebihan lain yang tidak dapat dijangkau oleh idra manusia.
Oleh karena itu, ziarah di makam tersebut, telah menjadi salah satu tradisi keagamaan
masyarakat dengan sejumlah aktivitas ziarah yang terdapat di dalamnya. Misalnya;
berdoa di sisi makam, membaca suarat Yasin, berzikir, membaca shalawat Nabi,
seraqalan, menabur bunga, menaruh uang logam dan kertas di atas makam, menaruh
air di sisi makam dan sebagainya.75 Praktik ziarah di makam tersebut tentu dimaknai
sebagi tradisi yang dapat memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat setempat
terutama masyarakat Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, dan umumnya masyarakat
Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
C. Pelaku Ritual Ziarah di Makam Keramat.
Ziarah kubur atau ziarah makam keramat hingga saat ini masih menjadi
kegiatan yang banyak dilakukan oleh hampir seluruh umat Islam di berbagai belahan
dunia. Para ulama dan kalangan ilmuan Islam juga telah memperbolehkan praktik
ziarah kubur atau ziarah makam berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.
Ziarah kubur adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, terutama adalah ketika
praktik ziarah yang dilakukan ke makam para Nabi dan orang yang shaleh.76
Pelaku ziarah selalu memiliki motif tertentu untuk mewujudkan tujuannya.
Pelaku ritual ziarah kubur atau ziarah makam tidak dibatasi secara status sosialnya,
baik itu kaya, miskin, tingkat pendidikan, pekerjaan atau pangkat dan golongannya.
Sebagai pelaku ziarah, bukan hanya dibatasi pada status sosial ekonomi yaitu; kaya
dan miskin. Tetapi pelaku ritual tersebut juga bisa dilihat berdasarkan status sosial
dari jenis kelamin, baik itu laki-laki, perempuan, tua, muda, orang dewasa, remaja,
anak-anak, atau bahkan dalam kategori status sosial lainnya yang diperolehnya dalam
dunia lingkungan masyarakatnya seperti tokoh agama, kepala desa, kepala suku, dan
lain-lain. Kesemuanya adalah dalam kapasitas yang sama untuk dapat melaksanakan
ritual-ritual keagamaan tersebut.
Khadiran inidividu, kelompok atau golongan masyarakat dalam ritual ziarah
adalah menjadi pelaku. Ziarah kubur atau ziarah makam keramat terkadang muncul
sebagai suatu tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh setiap pelakunya. Peziarah
merupakan aktor yang selalu memainkan peran pada panggung drama di dalam
kehidupannya, karena memiliki hasrat, keinginan, harapan dan kehidupan yang yang
ingin dicapati.77 Mereka membentuk dunia dan struktur sosialnya sendiri termasuk
dunia simbolnya.
Ziarah kubur atau ziarah makam keramat, tentu saja merupakan upaya yang
dapat dilakukan oleh seseorang untuk mengingat kebaikan atau jasa-jasa orang yang
telah mati dengan berdoa dan memintakan ampun agar kesalahan-keslahan yang telah
diperbuatnya dapat diterima oleh Allah Swt. Sebagian besar responden menyatakan
75Wawncara dengan Lalu Gsr. Penjaga Makam 29 November 2017. 76 Syekh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Makam Karamah Wali Kritik
Sanad Atas Faham Wahabi (Bandung: 1995), 47. 77 Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah Priuk
Jakarta Utara) Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume, 13, No. 1 Juni 2017.
161
bahwa mereka melakukan ziarah di makam keramat selain memanjatkan doa untuk
jasad yang telah meninggal, mereka juga memohon kepada Allah Swt, melalui
perantara atau jasad orang yang telah meninggal di makam keramat tersebut. Karena
mereka menganggap bahwa melakukan perantara dalam memohon dan berdoa kepada
roh-roh atau jasad yang bersemayam di makam tersebut, telah diyakini sebagai sbuah
tindakan yang mamapu membantunya dalam menghadapi berbagai kesulitan hingga
dibeikan perlindungan dari mara bahaya, malapetaka, kesialan dan lain sebagainya.78
Makam Wali Nyato’ adalah situs keramat bagi masyarakat sehingga layak
untuk dijadikan tempat bermunadjat, memohon denagn berwasilah kepada sang Wali.
Pengunjung makam Nyato’ tidak hanya dari masyarakat setempat tetapi juga dari
berbagai daerah.79 Hal ini menunjukkan indikator akan tingginya keyakinan mereka
terhadap keberadaan makam keramat tersebut sebagai tempat untuk mencari berkah.
Oleh karena itu, setiap pelaku ritual ziarah pada makam-makam keramat akan selalu
mengejar tujuannya melalui serangkian aktivitas yang telah diyakininya sebagai
tradisi keagamaan meraka. Praktik ziarah makam semacam ini, cenderung berangkat
dari pemahaman secara telogis atau keyakinan yang berasal dari ajaran tasawuf karena
menggambarkan tentang sosok seorang yang mempunyai karamah/keramat, sosok
yang memiliki keberkatan dan dapat memberi syafaah (penolong) bagi para peziarah,
sehingga makamnya selalu menjadi salah satu tujuan masyarakat untuk melakukan
ziarah.
Jika dilihat dari berbagai kegiatan-kegiatan ritual pelaku ziarh termasuk di
dalam catatan-catatan atau dokumen yang berkaitan dengan situs makam keramat
Wali Nyato’ tersebut, para pelaku ziarah datang dari berbagai latar belakang sosial
sebagaimana yang telah disinggung di atas. Misalnya; status sosial berdasarkan usia
remaja, seperti para pelajar yang akan melaksanakan ujian nasional (UN), menjelang
pelaksanaan UN, makam keramat Wali Nyato’ akan sangat ramai dikungungi atau
diziarahi oleh para pelajar yang akan melaksnakan ujian nasional tersebut. Mererka
datang berziarah untuk memohon petunjuk dan berdoa di samping makam agar
diberikan kemudahan serta kelancaran dalam menjawab soal saat ujian berlangsung.80
Dalam ritualnya, umumnya para pelajar tersebut datang dan berkumpul, bermunajat
bersama di depan makam, berdzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an, membaca Shalawat
nabi, serakalan dan lain sebagainya. Ritual-ritual ziarah seperti ini, tentunya sudah
sangat umum dilakukan oleh para peziarah pada makam-makam keramat lainnya,
tidak terkecuali dengan motivasi atau tujuan dari peziarah yang berbeda-beda. Status
sosial berdasarkan pekerjaan atau tingkat pendidikan, biasanya lebih kepada motif
untuk memperoleh pangkat, kedudukan atau jabatan tertinggi pada sebuah institusi
tempatnya berkerja. Misalnya Sm, yang datang berziarah ke makam tersebut, karena
mengharapkan dirinya diangkat sebagai wakil kepala sekolah di tempatnya mengajar,
78 Wawancara dengan Rs. 35 Thn, Mn, 55 Thn dan Li 28 Thn Peziarah makam
keramat Wali Nyato’ 10 Januari 2018. 79 Wawancara dengan Miq. Gnsr, Pejaga Makam, 17, Desember 2018. 80 Wawancara dengan M. Hd, Kepala Sekolah MA Riyadlul Anwar, Kateng Praya
Barat, yang mengajak semua siswa dan siswinya untuk berziarah ke makam keramat Wali
Nyato’ agar dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) semua peserta didiknya dapat diberikan
kemudahan dan kelulusan dalam ujian tersebut. 17 Deseber 2017.
162
tanpa menyebtukan nama sekolah tersebut. kemudian ia datang berziarah untuk
memohon kepada Allah Swt, melalui jasad sang Wali (berperantara) agar doa-doa
yang dipanjatkannya akan cepat terkabulkan.81
Di sisi lain, ritual ziarah juga memiliki alternatif dari segi sistem atau cara dan
perlengkapan ritual-ritualnya untuk mewujudkan tujuannya. Perbedaan dari segi cara
atau model ritual yang dipraktikan oleh para peziarah untuk mewujudkan tujuannya,
tergantung pada kebiasaan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu dari orang tua
atau para leluhur mereka yang sering melakukan ziarah.82
Tradisi ziarah pada makam keramat lainnya, kadang-kadang memunculkan
perbedaan-perbedaan cara di dalam praktiknya. Proses ritual yang dijalankan kadang
terlihat agak mencolok antara peziarah yang satu dengan peziarah lainnya, tergantung
pada pola kebiasaan yang sebelumnya pernah dipraktikan oleh para pendahulu mereka
masing-masing. Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Islam atau ajaran para
ulama, tapi tidak sedikit ritual yang justru menjadi bagian dari warisan para leluhur
mereka masing-masing. Dalam konteks ini, banyak responeden menyatakan bahwa
tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ adalah warisan nenek moyang mereka
terdahulu.83
Di berbagi wialyah di Lombok, terdapat sejumlah makam-makam keramat
yang dinilai memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang membentuk pola kepercayaan
masyarakat dalam melakukan ziarah. Misalnya, di makam Selaparang di Kabupaten
Lombok Timur, dan makam Loang Baloq, yang terletak di wialayah Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat ritual yang dilakukan oleh para peziarah dengan
mengingakat tali dipohon, menaruh sesaji, menguasp kepala dan membasuh muka
dengan air, menaruh air di atas makam dan dibawa pulang untuk anggota keluarganya
yang sedang sakit dengan harapan agar segera sembuh dari penyakitnya. Selain itu,
terdapat pula ritual yang dilakukan oleh peziarah dengan memotong kambing di area
makam, disertai dengan acara makan bersama hingga menulis di kelambu makam dan
selanjutnya membaca tahlil, dzikir dan doa yang dipimpin oleh sang Kyai pada saat
melakukan ziarah.84
Di makam keramat Wali Nyato’ peneliti juga menemukan proses ritual yang
hampir sama secara keseluruhan seperti praktik atau ritual yang dilakukan di makam
keramat Loang Baloq Ampenan Kota Matarm. Dalam konteks ini, peneliti saat berada
di lapangan, turut menyaksikan ritual-ritual yang dilakukan oleh sebagian besar
peziarah di makam tersebut. Misalnya, mereka menguasp kepala dan membasuh muka
dengan air, menaruh air di atas makam dan dibawa pulang untuk anggota keluarganya
yang sedang sakit dengan harapan agar segera sembuh dari penyakitnya, kemudian
sebagian peziarah lainnya juga melakukan ritual pemotongan hewan berupa Kambing,
Sapi atau Kerbu di sekitaran area makam untuk di masak dan akan melakukan makan
81 Wawancara dengan Lr, 45 Thn, Guru SMP, Peziarah Makam Keramat Wali Nyato’
17 Desember 2017. 82Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah Priuk
Jakarta Utara) Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume, 13, No. 1 Juni 2017. 83 Wawancara dengan Rn, 35 Thn, peziarah dan Ipn, 27 Thn, peziarah makam 15,
Januari, 2018. 84Lihat: Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah
Priuk Jakarta Utara), Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. Vol. 13. No. 1 Juni, 2013, 83-84.
163
bersama setelah dzikir dan berdoa sesuai dengan nazar atau hajat mereka sebelumnya.
Selanjutnya peziarah juga menaruh uang di atas makam, membasuh mukanya dengan
air dengan memasukkan bunga rampai, kembang dan beberapa bunga lainnya untuk
mengusap kepalanya, hingga ada sebagian peziarah yang juga membawa material
berupa tanah atau kerikil kecil disekitaran makam untuk kepentingan tertentu.
Masih dalam proses ritual yang juga terjadi di makam keramat Wali Nyato’
di mana peneliti juga menyaksikan secara langsung bahwa di area makam dijadikan
sebagi tempat untuk ngurisang (memotong rambut atau mengakekahkan anak yang
baru lahir). Hal ini dilakukan tentu sesuai dengan nazar atau janji peziarah yang
sebelumnya pernah diucapkan. Selain dari motif-motif yang umumnya dilakukan oleh
para peziarah lainnya seprti berdoa, berdzikir, membaca Al-Qur’an dan lain-lain.
Faktanya masih ada praktik atau ritual-ritual ziarah dengan nuansa tradisi-tradisi lama
mereka sebagai warisan para leluhurnya.
Selanjutnya bagi pelaku ritual ziarah kubur atau ziarah makam keramat akan
selalu berada di bawah nilai-nilai,85 norma-norma86 dan berbagai ide abstrak yang
dapat memengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuannya menyangkut
tindakan alternatifnya dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut.87 Jika merujuk pada
argumen ini, maka praktik ziarah atau ritual ziarah jelasnya berada dibawah aturan
atau norma-norma yang sudah menjadi ketentuan dalam pelaksanaannya, baik tempat,
waktu, hari, tanggal dan bulan pelaksanaannya, seperti yang sudah disinggung pada
bab-bab sebelumnya bahwa makam keramat Wali Nyato’ hanya boleh diziarahi pada
hari Rabu saja.
Berkaitan dengan pelaku ritual ziarah, kemudian kita dapat memahami bahwa
umumnya kedatangan para peziarah ke makam keramat Wali Nyato’ berdasarkan
pernyataan sebagian informan yang peneliti bisa tangkap dan simpulkan adalah untuk
memanjatkan doa atau berdzikir. Dalam melakukan aktivitas ritual di sisi makam Wali
Nyato’ terkadang doa-doa yang dipanjatkan berbeda sesuai dengan kepentingan para
peziarah masing-masing. Misalnya, berdoa untuk keselamatan keluarganya yang
sedang di timpa musibah, doa untuk kesehatan bayi dalam kandungannya, doa untuk
keselamatan suaminya yang akan melakukan perjalanan jauh, doa untuk keutuahan
dan kerukungan rumah tangganya dan lain sebagainya. Inilah gambaran ritual atau
praktik yang dilakukan oleh pelaku ziarah di makam keramat Wali Nyato’, meskipun
di tempat-tempat lain mungkin dalam melakukan doa atau membaca al-Qur’an harus
85 Nilai adalah gagasan tentang apakah suatu pengalaman penting atau tidak penting.
Dalam Alex Soubur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 515. 86Noram merupakan aturan-aturan yang dianut secara sosial yang melarang perilaku
tertentu yang dianggap buruk dan menganjurkan perilaku lain yang dianggap baik. Dalam Alex
Soubur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 518. 87Sebagai tokoh teori aksi Talcot Parson, mementingkan pemisahan teori aksi
dengan aliran behaviorisme. Bagi Parson, keduanya memiliki konotasi yang berbeda, karena
suatu teori yang meniadakan karakter-karakter kemanusiaan dan tidak mengindahkan
dimensi secara subjektif atas perilaku manusia, maka bukan menjadi bagian dari teori aksi.
Lihat: George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarata:
RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49.
164
menghadap kiblat.88 Tapi di makam Wali Nyato’ tidak harus menghadap kiblat dalam
memanjatkan doa atau dzikir dan lain sebagainya.
Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah kubur atau ziarah makam keramat
yang terjadi diberbagai wilayah di Indonesia, sebenarnya telah banyak memunculkan
aktivitas-aktivitas ziarah yang berbeda-beda. Aktivitas ziarah pada makam-makam
keramat telah menjadi sebuah agenda tersendiri untuk memenuhi atau mewujudkan
kegiatan keagamaannya. Ziarah juga telah menjadi salah satu bagian dari kegiatan
spiritual masyarakat muslim sebagai bentuk kebebasan beribadah kepada Allah Swt,
bahkan telah menjadi kegiatan rutin yang dapat dijalankan pada waktu-waktu tertentu
baik secara personal maupun secara masal.89
Di makam keramat Wali Nyato’ ziarah tidak hanya dilakukan secara masal
tapi juga secara personal. Hanya saja pelaksanaan ziarah ke makam keramat tersebut,
baru dapat dilakukan pada hari Rabu. Timbulnya motif diluar tujuan ziarah, yaitu
ketika pelaku ritual ziarah mencerminkan perilakunya yang masih dipengaruhi oleh
tradisi pra-Islam sebagai warisan budaya leluhur mereka. Maka, dalam hal ini, terlihat
jeals bahwa ritual ziarah di makam keramat Wali Nyato’ kadang ada sebagian diantara
mereka yang sangat menonjolkan identitas ke-Islamannya, tapi tidak sedikit diantara
mereka yang juga melakukan ritual-ritual yang kental dengan nuansa tradisionalnya.
Jika merujuk kepada pembahasan pada sub-sub bab sebelumnya, bahwa pada
masyarakat Sasak di pulau Lombok, secara dialektika Islam dengan varian kultrualnya
terhadap pola keberagamaan masyarakat sebagai sikap penerimaan agama adalah
masyarakat suku Sasak, yang sebagiannya menerima ajaran Islam secara penuh. Di
dalam konteks ini, masyarakat yang menerima ajaran Islam secara penuh, bisa disebut
sebagai Islam Sunni (ortodoks) yang pada akhirnya berkembang atau populer dengan
istilah Islam waktu lima. Selain itu, ada pula masyarakat yang menerima agama tidak
sepenuhnya adalah disebut Islam waktu telu, karena pada sistem kepercayaannya,
tampaknya ada kolaborasi beragam agama seprti Boda, Hindu dan Islam. Sedangkan
diantara sebagian masyarakat yang tidak menerima Islam sama sekali, disebut kaum
Boda.90
Bersandar pada argument di atas, ritual-ritual keagamaan yang dijalankan
oleh sebagian pelaku ziarah di makam tersebut, tentu akan dipadukan dengan nuansa
tradisioanl yang sudah sejak awal sering kali dilakukan, meskipuan ada pula nuansa-
nuansa Islamnya. Sebelum Islam disebarkan oleh para ulama atau para waliyullah,
masyarakat Rembitan umumnya menganut Islam wetu telu pada saat itu. Bahkan tidak
menutup kemungkinan masih dapat dijumpai dari beberapa tetua-tetua mereka hingga
88 Mengenai tata cara dan model ritual baik dengan volume suara keras, sedang dan
rendah termasuk dalam meanjatkan doa-doa, membaca Al-Qur’an harus menghadap kiblat,
silahkan lihat: Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah
Priuk Jakarta Utara) Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume, 13, No. 1 Juni 2017. 87-
88. 89 M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,
Identitas Keagamaan dan Komersial. Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol 14, No. 2 Juli-
Desember 2016, 210. 90 Lihat: Kamarudin Zaelani, “Dialektika Islam dengan Varian Kultrual Lokal dalam
Pola Keberagamaan Muslim Sasask”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol. IX edisi 15 No. 1
Januari-Juni, 2005, 48-69.
165
saat ini.91 Oleh karena itu, jika masih terdapat ritual-ritual seperti menaruh uang di
atas makam, mengambil material berupa tanah atau sejenis kerikil kecil di area makam
untuk kepentingan-kepentingan tertentu, membawa atau membeli air untuk didoakan
sesudah ditaruh disisi makam lalu setelahnya difungsikan untuk mencuci muka atau
mengusap kepala dan kadang-kadang sisanya akan dibawa pulang untuk keluarganya
yang sedang sakit untuk diminum, menabur bunga di atas makam dan lain sebagainya
adalah dapat disebut sebagai perpaduan diantara tradisi lama dan tradisi Islam.
Selain itu, keberadaan makam keramat Wali Nyato’ menurut sebagian besar
responden yang peneliti wawancarai bahwa mereka menyatakan “Wali Nyato” adalah
seorang ulama yang membawa ajaran Islam pada masanya dan beliau juga seorang
waliyullah yang memiliki keramat beserta kelebihan-kelebihan supranatural yang
sulit dapat dijangkau oleh indra manusia biasa.92 Sebagaimana yang pernah dijelaskan
sebelumnya bahwa, dalam perkembangannya makam keramat Wali Nyato’ banyak
diketahui melalu cerita-cerita atau legenda yang berkembang dari mulut ke-kemulut
tentang peristiwa atau kejadian yang terjadi pada diri sang Wali. Misalnya, jasadnya
menghilang (moksa), pergi ke Makkah mengambil korma, pergi sahalat jumat di
Makkah dan lain sebagainya. Melalui peristiwa atau kejadian tersebut kemudian
masyarakat percaya dan yakin bahwa beliau adalah seorang ulama atau Wali yang
memiliki berbagai kelebihan-kelebihan supranatural yang diberikan oleh Allah Swt.
Itulah sebabnya masyarakat mengakuinya sebagai makam seorang Wali.
Meskipun jasadnya telah menghilang (moksa), akan tetapi kewaliannya tetap diyakini
akan melekat di dalam makamya. Cerita demi cerita terus berkembang dan bersebar
luas di kalangan masyarakat sehingga keberadaan makamnya mulai diakui sebagai
makam ulama atau makam seorang Wali yang akhirnya membentuk hubungan sosial
keagamaan masyarakat setempat untuk melakukan ziarah.93 Melalui cerita-cerita atau
legenda inilah kemudian masyarakat terkonstruksi untuk melakukan ziarah di makam
tersebut dan hingga saat ini praktik ziarah di makam Wali Nyato’ masih dijalankan
oleh masyarakat setempat dan umumnya masyarakat Lombok Tengah.
91 Lihat: M. Najmuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Praya:
Ponpes Darul Muhajirin, 1986/1406 H.), 1. 92 Wawancara dengan Rn, 45 Thn, L. Krm, 33 Thn, Guru, Mrj. 28 Thn Guru, Rd. 25
Thn, tamat SMA, Anh, 20, Thn Mahasiswa, Miq, Tn, 61 Thn tamat SD, peziarah makam
keramat Wali Nyato’ 17 November 2017. 93 Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ 16.
166
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan masyarakat baik yang bersifat
subyektif maupun obyektif dalam praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’,
sebenarnya telah menjadi realitas sosial keagamaan bagi masyarakat yang saling
mempengaruhi baik individu sebagai realitas subjektif maupun masyarakat
sebagai realitas objektif. Proses sosial dalam tradisi keagamaan itu terjadi karena
adanya momen adaptasi yang dapat dilakukan oleh individu dan ia membaur
dalam dunia sosio kultrual masyarakat. Momen adaptasi ini, cenderung
membentuk intersubjektif hingga adanya pengakuan bersama dari sebuah realitas
yang ada, baik dikarenakan hasil interkasinya, tindakannya, pemahamannya,
pengalaman, perasan dan sebagainya. Setelah ada pengakuan bersama, kemduian
secara perseorangan akan melakukan identifikasi diri terhadap suatu realitas yang
ada tadi dan akan melakukan pemaknaan secara internal ke dalam diri mereka
masing-masing sehingga realitas itu menjadi kenyataan sosial yang bersifat
subjektif. Oleh karena itu, proses sosial yang terjadi pada seseorang melalui
tindakan dan interaksi tersebut, biasanya akan melahirkan berbagai pengetahuan
dan pemahaman yang berbeda-beda, terutama pemahaman dan pengetahuan yang
diperolehnya melalui cerita atau legenda yang lama berkembang dalam kehidupan
masyarakatnya. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi keagamaan masyarakat
terutama tentang tradisi ziarah, tidak selamanya berasal dari pemahaman secara
keagamaan semata, tetapi bisa saja bersumber dari ajaran para leluhur mereka
terdahulu. Sehingga bisa menjadi latarbelakang mereka untuk melakukan ziarah
pada makam keramat, khususnya menyangkut praktik ziarah di makam keramat
Wali Nyato’, di Desa Rembitan, Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.
Adapun temuan di lapangan dan hasil analisis data yang telah dilakukan
bahwa dalam sistem keyakinan masyarakat, praktik ziarah di makam keramat
Wali Nyato’ di Desa Rembitan adalah:
1. Karena keramatnya makam, hingga acapkali dijadikan media untuk mengharap
petunjuk dalam rangka mengungkap kejadian-kejadian atau musibah yang
menimpa masyarakat, sehingga masyarakat datang melakukan ziarah untuk
motif dan tujuan tertentu baik tujuan secara duniawi maupun ukhrawi.
2. Karena kewaliannya yang dinilai memiliki kekuatan spiritual dan kelebihan-
kelebihan yang bersumber dari Allah Swt, akhirnya masyarakatpun meyakini
bahwa berwasilah atau bertawassul (berperantara) melalui jasad waliyullah,
setidaknya doa yang mereka panjadkan akan cepat terkabulkan.
3. Kadang sebatas ingin mengenang jasa seorang ulama yang pernah mengajarkan
Islam pada masanya, dan ia datang untuk mendoakannya agar selalu di ampuni
segalah kesalahan dan dosa-dosa yang pernah diperbuatnya baik secara sengaja
atau tidak dengan melakukan dzikir, membaca Al-Qur’an, Tahlil, berdoa dan
lain sebagainya.
167
Pernyataan di atas, tentu sekali tidak bersifat generalisasi, karena sangat
mungkin bisa bersifat overlapping. Hal ini dilihat berdasarkan pola kepercayaan
masyarakat tentang praktik ziarah di makam keramat bukanlah hal yang bersifat
tunggal. Konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan dapat terjadi secara signifikan
sehingga dalam realisasinya mampu membentuk pradisposisi (kecendrungan)
bagi setiap anggota masyarakatnya dalam bertindak terutama mengenai tindakan
ziarah di makam keramat Wali Nyato’. Konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan
dapat dinilai sebagai bentuk tindakan yang bersifat mistis atau magic, agama atau
tradisi Islam, dan science atau rasional.
Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa konstruksi sosial atas suatu
objek suci sesungguhnya akan menimbulkan pradisposisi (kecendrungan) untuk
menjadi sebuah tradisi dalam kehidupan masyarakat terutama tradisi keagamaan,
yang berkaitan dengan praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato. Namun
sekali lagi peneliti tegaskan bahwa ia bukanlah bersifat mutlak bahkan bisa terjadi
overlapping dari suatu keadaan atau situasi dan kondisi tertentu. Dalam hal ini,
peneliti tekankan bahwa tidak ada generalisasi atau justifikasi secara kongkerit
atas tindakan atau praktik ziarah di makam keramat tersebut bagi peziarahnya.
B. Saran
Tesis ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang menggunakan
pendekatan fenomenologi dan interaksi simbolik sehingga proposisi-proposisi
yang dihasilkan telah memasuki tahapan sebagai hipotesis yang sebenarnya masih
membutuhkan kajian lebih lanjut. Praktik ziarah nampaknya perlu dikemas lebih
lengkap lagi sehingga para peziarah juga dapat memperoleh berbagai pengetahuan
serta pemahaman yang lebih baik terhadap peran penting dari sang Wali atau
ulama yang menjadi panutan mereka sebagai tokoh penyebar Islam. Selain itu,
peziarah juga akan memperoleh sensai spiritual yang dapat memberikan rasa
kedamaian dan kesejukan hati.
Pengetahuan, pemahaman dan pengalaman masyarakat atas suatu realitas
yang ada, faktanya telah menimbulkan pola kepercayaan masyarakat sebagaimana
yang telah terdeskripsikan melalui tesis ini. Namun bukan semata-mata klaim
yang bersifat mutlak. Karena pengetahuan, pemahaman dan pengalaman individu
dan masyarakat dapat bersifat terbuka dan tidak menutup kemungkinan pola
tindakan atau praktik yang telah dilakukannya akan mengalami transisi. Oleh
karena itu, melalui penelitian ini saya berharap bisa memberikan manfaat yang
baik serta memperluas wawasan dan pemahaman secara komperhensif tentang
praktik ziarah di makam kermat tersebut yang telah tertulis secara deskriptif oleh
peneliti dalam bab-bab dan sub-babnya. Sekalai lagi harapan peneliti dalam tesis
ini akan mempu memberikan wawasan budaya tentang pola tindakan dalam
melakukan ziarah makam agar mampu mewujudkan masyarakat yang religious
dan rasional.
168
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif, Yoyakarta: Jalasutra, 2006. Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarata: Raja Grapindo
Persada, 2006.
Al-Attas, Naquib, Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka 1981.
Ali, Anwar, “Advonturisme” NU, Bandung: Humaniora Utama Press, 2014.
Al-Jabiri, Muhammad, Post-Tradisionalisme Islam, Terjemahan Ahmad Baso
Yogyakarta: LkiS, 2000.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Juz VII, Mesir. Darul Hikmah,
1974.
Andezian, Sossie, dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Andrew, Beatty Hifner, Varieties of Javanese Religion, Princeton: Princeton
University Press, 1999.
Arkoun, Mohammad, Al-Fikru al-Ushuli Wasti al-Halatu al-TA’SILI Nahwa
Tarikhin Akharin Li-al Fikri al-Islami, Terjemahan Hasyim Shaleh
Daru al-Shaqi.
Azhar, Lalu Muhammad, Sejarah Daerah Lombok: Arya Banjar Getas,
Mataram: Yaspen Pariwisata Pejanggiq, 1997.
Azhari, Djalaluddin dkk., Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku
Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat: Sebuah
Kajian Antropologi-Sosiologi Agama, Mataram: Pokja Redam NTB-
Indonesia, 2001.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013.
Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, NTB Dalam Angka 2005 (Mataram: UD
Fajar Indah, 2005.
Badruddin, “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kiyai Abdul Hamid Bin
Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Perspektif
Fenomenologis” Desirtasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2011.
Batanji, Ibnul, Bila Kuburan Didewakan. Al-Marfu’I, Terj, Solo: Pustaka
Arafah, 2013.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality
New York: Doubleday & Company 1966.
Berger, Peter L., Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial Jakarta: LP3ES
1991.
Billah, dkk., Kelas Menengah digugat Jakarta: Fikahati Aneska, 1993.
169
Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies
Chicago, London: The University of Chicago Press, 1988.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS,
2000.
Bruinessen, Van Martin, Tarekat Naqsyabaniyah di Indonesia, Bandung: Mizan,
1992.
Chambert-Lior, Henri dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
______________, Henri dan Claude Guillot, Ziarah Wali Di Dunia Islam,
terjemahan Jean Couteau dkk., Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Cassirer, Ernst, An Essay on Man Garden City, New York: Doubleday Anchor
Books 1953.
Chamamah, Suranto Situ, Agama dan Dialektika Pemberdayaan Budaya Islam-
Nasional. Dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama
dan Pluralitas Budaya Lokal Surakarta: PSB Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2003.
Chistina, Luzar Laura, Teori Konstruksi Realitas Sosial. Jakarta: BINUS
UNIVERSITY School of Design, 2015.
Collins, Billah, dkk., Kelas Menengah digugat, Jakarta: Fikahati Aneska 1993. Connoly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta; LkiS, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Duta Surya,
2011.
Dahri Harpandi, Wali dan Keramat dalam Persepsi Tradisioan dan Modern,
Mataram: IAIN Mataram Press, 2004.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life Free Press of
Glencoe, 1961.
Ekajati, Edi S., Direktori Naskah Nusantara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2000.
Elly, M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya
Jakarta: Kencana, 2011.
Endrasuara, Metodologi Penelitian Kebudayaan , 2006.
Farcy, Rober and Alphonso, Priest as Leader: The Process of the Inculturation
of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States
Context, Rome: Gregorian University Press, 1997.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983.
_____________, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan
Jawa ed. Depok: Komunitas Bambu, 2014.
_____________, The Interpretation of Culture New York: Basic Books, 1970.
_____________, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin dan Bur
Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
170
Gellner, Eenerst, Post Modernism, Reason and Religion London: Routledeg,
1992.
Gerungan, W. A, Pisikologi Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Giddens, Anthony, Metode Sosiologi Kaedah-Kaedah Baru, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2010. _______________, New Rules of Sociological Method, Standford University
Press, California 1993.
_______________, The Constitution of Society; Teori Struturasi Untuk Analisis
Sosial, Pasuruan: Pedati 2003.
Hadi, Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006.
Hakim, dan Ibn Majjah, dalam Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur yang
Dicontohkan Rasulallah SAW, Solo: At-Tibyan, 2001.
Hanafi, Hasan, Islamologi 2 dari Rasional ke Empirisme, Yogyakarta: LkiS,
2005.
Hanani, Silfia, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama. Bandung: humaniora
2011.
Hansfered, Kellner dan Peter L. Berger The Homeless Mind: Modernization and Consiousness, Harmondsworth: Penguin Books, 1973.
Harding, John S. dan Hillary Rodrigues, Introduction to the Study of Religion,
London & New York: Routledge, 2009.
Haryanto, Sindung, Sosiologi Agama dari Klasik hingga Postmodern
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015.
Hawwas, Sayyed Wahhab Abdul dan Azzam Muhammad Aziz Abdul, Fiqih
Ibadah terj. Kamran As’at Irsyady, dkk, Jakarta Amzah, 2010.
Huda, Nor, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.
Husaini, Usman dan Purnomo Setiady Akbar. “Metodologi Penelitian Sosial”
Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Husserl, Edmund, The Basic Problems of Phenomenology Dordrecht: Springer,
2006.
Huxley, Aldous, Words and Theri Meaning The Importance of Language
Terjemahan. Max Black Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall, 1962.
Idris, Marzuqi A., Dali-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdiyyah, Lirboyo: Tim
Kodifikasi LBM PPL, 2011.
In’amuzzahidin, Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila Antara Tasawuf
dan Psikologi, Semarang, Syifa Press, 2007.
In’amuzzahidin, Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila Antara Tasawuf
dan Psikologi, Semarang: Syifa Press 2007.
Iyadl, al-Qadli, Imam, Iyadl, al-Matla’ ‘ala Abwab al-Fiqh. Juz 1
J. Subhan S., Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk
Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi, Jakarta: Pustaka al-Hidayah,
1989.
171
Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus
terhadap Tuan Guru, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011.
Jauzi, Ibnu, Shahih Bukhori, Kairo: Darul Hadist, 2008.
Jeffries dan Ransfrofd, Social Stratification: a Multiple Hieranchy Approach,
Allyn and Bacon, INC. United States of America, 1980.
Jum’ah, Ali, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ Jakarta: Khatulistiwa Pers20016.
Kabbānī, Syekh Muhammad Hisyām, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semsta, 2007.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih Semarang: Dina Utama Semarang
2014.
Khamad, Dadang, Metode Penelitian Agama, Persfektif Ilmu Perbandingan
Agama Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Khamad, Dadang, Sosiologi Agama Bandung: Remaja Rosdakarya 2009.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta: Balai Pustaka 1994.
______________, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
______________, Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
______________, Sejarah Teori Antropologi II Jakarta: UI Press, 1990.
______________, Sejarah Teori Antropologi I Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1987,
______________, Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta: PT Diyan
Rakyat, 1992.
Kurniawan, Puji, Mengakhiri Pertentangan Budya dan Agama, Bandung,
Pustaka Aura Semesta, 2014.
Lawang, Robert M.Z., Stratifkasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat
Tahun 1950-an dan 1980-an. Jakarta: FISIP UI Press, 2004.
Lenski, G.E., Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification. New
York: McGraw-Hill, 1966.
Luckmann, Thomas & Peter L. Berger, The Social Construction Of Reality
New York: Doubleday & Company, 1966. Lūmūl, Yānīk, al-Tabaqāt al-Ijtimā’iyah, Fāransiyah: Dār al-Kitāb al-Jadīd al-
Muttahidah, 2008. Lubis, Ridwan H. M, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama Dalam
Interaksi Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015 Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Tentang Maslah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2006.
Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah
Jakarta: Kompas, 2010.
Makmun, TGH. Najamuddin, Sejarah Ringkas Deside Wali Nyato’, Pengasuh
Pondok Pesantrn “Darul Muhajirin” Praya Lombok Tengah NTB, 1986
Malinowski, Bronislaw, Magic, Science, and Religion and Other Essays New
York: Doubleday Anchor Books 1954.
172
Mar’i dalam Pritchart, Nggeto-Nggete dalam Perspektif Budaya, Denpasar:
Universitas Udayana Denpasar, 2006.
Mark, Woodward, Java, Indonesia and Islam New York: Springer, 2010.
Mellor, Philip A. and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment,
Religion, and Socilogical Theory. Dalam Brayan S. Turner, The New
Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, United Kingdom:
Oxford, 2010.
Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Bandung: remaja Rosdakarya,
2010.
Morrison, Geoferry E., Sasak and Javanese Literature of Sasak, Netherlands:
KILTV Press, 1999.
Manshur, Aziz, Abdul, Menjawab Vonis Bid’ah: Kajian Pesntern dan Tradisi
Adat Maysyarakat, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010.
Muhaimin, AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon
Jakarta: Logos, 2002.
Ma’luf, Luwis al-Munjid fi al-lughah wa-al-‘Alam, Beirut Libanon: Darul
Masyrak, 1996.
Muslih, M. Hanif, Kesahihan Dalili Ziarah Kubur Menurut al-Qur’an dan al-
Hadist, Semarang: Krya Toha Putra, 2010.
Nadel, S.F, dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Rinke
Cipta, 2009.
Narowoko, Dwi J. dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan
Jakarta: Kencana, 2011.
Nasdian, Fredian Tonny, Sosiologi Umum, Jakarta: Pustaka Obor, 2015.
Nasution, Hasan Bakti, Filsafat Umum Jakarta: Gaya Madia Pratama, 2001.
Niam, Ahmad Mukafi & Syaifullah Amin. Bukti-bukti Gusdur Wali, Jakarta,
renebook, 2016.
Nugroho, Heru, Rasionalisasi, dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk
Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegmoni Sistem
Kepercayaan Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Nurdin, M. Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk
Memahami Konsep-Konsep Dasar Jakarta: UIN Jakarata PRESS 2006.
Nuruddin, dkk., Agama Tradisional: Potert Kearifan Hidup Masyarakat Samin
dan Tengger Yogyakarta: LkiS, 2003.
O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama terjemah tim Yasogama Jakarta: Rajawali,
2002.
Parsons, Talcott, The Social System, New York: Free Press, 1951.
Pendidikan Departemen Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-
3 Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Poole, Peter, ”Socialisation Enculturation and the Development of Personal
Identitiy”, in tim ingold (ed). Companion Encyclopedia of
Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp 831-860.
London and New York: Routledge, 1981.
Pranowo, Bambang, “Memahami Islam Jawa” , Jakarta: Pustaka Alpabet, 2009.
173
Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup,
Pedoman Merawat Jenazah Syar’iat Islam, Jakarta: Suara Bebas,
2006.
Purwadi dkk., Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2006.
Purwadi, Jejak Para Wali dan Ziarah Spritual. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2006.
Rahardjo, Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1999.
Rahmawati, Nur, Budaya Ziarah Makam Raden Ayu Putri Ontjat Tandha
Wurung Di Desa Terungwetan Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo.
Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016. Razak, Yusron, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Ritzer, Douglas J George Goodman, Teori Sosiologi, Bantul: Krasi Wacana,
2011.
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarata:
Raja Grafindo Persada, 2007.
____________, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Riyanto, Geger, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran Jakarta: LP3ES
2009.
Rizem, Aizid, Sejarah Islam Nusantara, Yogyakarta, DIVA Press 2016.
Rober, Faricy, Herber and Alphonos, Priest as Leader: The Process of the
Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a
United States Context, Rome: Gregorian University Press, 1997.
Robert, Keith A., Religion In Sociological Perspective USA: Wadsworth 2004.
Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature Princeton: University
Press, 1979.
Robert, Jeremy, Japanese Mythology A to Z: Second Edition. New York:
Chelsea Publising House, 2010.
Ruslan, dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Sepiritual Sepanjang
Masa Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007.
Syakur Ahmad Abd. H., Isalam dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang
Akulturasi Nilai-nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak) Disertasi:
Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002.
Sobur, Alex Kamus Besar Sosiologi, Bandung Pustaka Setia, 2011.
Saebani, Ahmad Beni, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional
dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, Bandung:
Refika Aditama, 2007.
Saefuddin, Ahmad, Antropologi Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2001.
Soekmono R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, Yogyakarta: 2012.
Sanderson, Stephen K., Macrosociology, Terjemahan Farid Wajidi, S. Menno
Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2000.
174
Schroeder, Ralph, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan Terjemahan.
Ratna Noviani Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Shalih, Abu Umar, Ziarah Kubur yang dicontohkan Rasulallah SAW, Solo: at-
Tibyan, 2001.
Soko Nuril Gus Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia
Kewalianya Yogyakarta: Galang Perss, 2010.
Sholikhin, K.H Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa Jakarta: Suka Buku
2010.
Sjadzili, A. Fawaid dan Zada Terj, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan
Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010.
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Rajagrafindo Pesada,
2006.
Solihin, Siddiq, & Melfa Wendy, Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam
Studi Epistimologis Pemikiran Ibnu Khaldun, Bandar Lampung:
Matakata, 2006.
Stephen, Sanderson K., Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid Wajidi, S.
Menno, Jakarta: PT RajaGrapindo, 2000
Sugyarto, Wakhid dan Asnawati, Dinamika Kepercayaan Parmalim di
Kabupaten Samosir dan Toba Samosir Sumatra Utara. Dalam
Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, 1993.
Sarjono, Budi, M., Ziarah dari Sendangsono sampai Puh Sarang, Kediri;
Sebuah Renungan, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2002.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2017.
____________________, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2009.
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Kompas
Media Nusantar, 2010.
Suwardi, Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudyaan, Yogyakarta, Gadjah
Mada University Press, 2006
Syafii, Ahmad Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kpercayaan Lokal di
Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2012.
Syam, Nur, Islam Pesisir Yogyakarta: LkiS, 2011.
_________, Islam Pesisir, Yogyakarta: LkiS, 2005.
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenadamadia Group,
2014.
Tabroni dan Arifin Syamsul, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi
Untuk Aksi dalam Kebergantungan dan Pendidikan, Yogyakarta:
SIPRESS, 1994.
175
Tantowi, Yusuf, “Mengurai Konflik Sunnah dan Bidah di Bumi Seribu Masjid”
dalam Alamsyah M. Dja‘far, Agama dan Pergeseran Representasi:
Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute,
2009.
Tischler, L., Introduction to Sociologi Chicago: Holt Rinehart adan Winston,
1990.
Tohir, Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo Press,
2006.
Tonny, Nasdian Ferdinan, dalam Sosiologi Umum Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2015.
Turner, Bryan S., Agama dan Teori Sosial Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
_____________, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion
United Kingdom: Oxford, 2010.
_____________, Weber and Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam, 1983. Tylor, E.B., Primitive Culture London: J. Murray, 1997.
Wacana, Lalu, Babad Lombok, Jakarta: Depdikbud, 1979.
Wallace, A.R, The Malay Archipelago. The Land of the Orang Utan, and the
Bird of Paradise, Singapura/Oxford: Oxford University Perss, 1986.
Weber, Max, Economy and Society, Berkeley: University of California Press,
1978.
_________, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Terjemahan, Yusup
Priyadisudiarja, Yogyakarata: Jejak, 2007. Wahid Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta:
Desantara, 2001.
Wijaya, Mangun, Y. B, Sastra dan religiusitas, (Yogyakarta: Kanisus, 1994
Wulandari, Eka Amelia. Islam Dan Tradisi Lokal: Makna Tradisi Slametan
Perspektif NU Dan Muhammadiyah di Wilayah Lakarsantri Surabaya.
Disertasi. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
Yatim Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997
Jurnal, dan Hasil Penelitian
Afghoni, “Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan
di Makam Gunung Jati Cirebon)”, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat. Volume 13, Nomor 1, Juni 2017.
Ali, Yunasril, "Kewalian Dalam Tasawuf Nusantara." Kanz Philosophia: A
Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. 2013.
Aziz, Amir, Ahmad, Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal
di Lombok, Jurnal Millah, Vol. VIII No. 2 Februari 2009.
Alifian, Muhammad, “Tradisi Ziarah Kubur Ke Makam Keramat Raden Ayu Siti
Khadijah di Desa Pemecutan, Kec. Denpasar Barat, Kota Denpasar
Bagi Umat Hindu dan Islam”.
176
Armini Ayu Gusti I, Tradisi Ziarah dan Berkaul pada Makam Keramat di
Lombok Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai
Tradisional, Vol. 23. No. 1 Maret 2016.
Almaidata, I., “Identifikasi Masjid Kuno Gunung Pujut di Desa Sengkol, Pujut,
Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagai bahan pengembangan Bahan
Belajar Sejarah Lokal”, Jurnal Widya Winayata. Volume 1 No I 2013.
Ashadi, "Sinkretisme dalam Tata Ruang Masjid Wali Songo" Jurnal NALARs
Volume. 12. No. 1 2013.
Asmara, Amanda Destianty Poetri, “Makam Keramat Karang Rupit Syeikh
Abdul Qodir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan
Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Perkembangannya
Sebagai Objek Wisata Spritual)”, Jurnal ISSN 1412. No 3 Tahun 2012.
Aziz, Ahmad Amir, dkk., “Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan
Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di
Lombok)”, Jurnal Penelitian Keislaman. Vol. 1, No. 1 Desember
2004.
Arsadani, Erwin, Islam dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi
Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa, Jurnal Esensia Vol.
VIII No. 2 Juli 2012, 280.
Bruce Weame dan C. Wearne, “Exegetical Explorations: Parson’ Convergence
Concept”, The American Sociologist. Vol. 44, No. 3. September 2013.
Budiwanti Erni, “The Role OF Wali, Ancient Mosques and Sacred Tombs In
The Dynamics of Islamisation in Lombok”, Journal Heritage of
Nusantara. Volume 3. No 1 Juni 2014.
Bush, Evelyn L., “Measuring Religion in Global Civil Society”, Social Forces.
Vol. 85, No.4 tahun 2007.
Bauto Monto Laode, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jurnal, JPIS,
Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 23. No. 2. Desember, 2014, 23-24.
Chaer, Moh Toriqul, and STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron Ngawi.
"Mengharap Barokah Dan Karomah". Dadi Ahmad, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator. Volume 9
No 2 Desember 2008
Dahlan, M., “Islam dan Budaya Lokal Adat Perkawinan Bugis Sinjai”, Jurnal
Diskursus Islam. Volume 1, 2013.
Darwis Nasution Robby, “Kiyai Sebagai Agen Perubahan Sosial dan
Perdamaian Dalam Masyarakt Tradisional”, Jurnal Humaniora.
Volume 19 No. 2 Juli 2017.
Djuhan, Muhammad Widda, "Ritual Di Makam Ageng Besari Tegalsari Jetis
Ponorogo", Jurnal Kodifikasia 5.1, 2011
Fagan, Patrick F., “Why Religion Matters: The Impact of Religioun Practce on
Social Stability”, The Heritage Foundation. 2014.
Falah, Ahmad, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata”, Jurnal
Walisongo. Volume 20, No 2, 2012.
177
Fitriani, Muhammad Iwan, “Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas Islam
Pribumi Versus Islam Salafi di Sasak Lombok”, Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam. Volume. 5, 2015.
Gilder, Ray, “Focus on the Basic Functions of the Church”, Life Way. 2001-
2015.
Huber, Joan, “Lenski Effects on Sex Stratification Theory”, Sociological
Theory.Vol. 22, No. 2.
Humaidi Zuhri, Islam dan Lokalitas Dalam Bingkai Postmodernisme. Jurnal
Universum Vol 9. No. 2 Juli 2015.
Hudaningsih, Ashmi, dkk., “Studi Kelayakan Makam Keramat Agung
Pemecutan Sebagai Daya Tarik Wiasata Pilgrim di Denpasar (Analisis
Aspek Pasar dan Pemasaran)”, Jurnal IPTA. Vol. 2, No. I, 2014.
Irwan, Evarial, “Tafsir al-Qur’an dan Tradisi Sunda: Studi Pemikiran Moh. E.
Hasyim dalam Tafsir Ayat Suci dalam Renungan”, Indonesian Journal
of Islamic Literature and Muslim Society. Vol. 2, No. 1, 2017.
Ilahi Takdir Mohammad, Ziarah dan Cinta Rasa Islam Nusantara Jurnal
Pemikiran Islam, Volume 21 No. 1 2016.
Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”, Studia
Islamika (Indonesia Journal for Islamic Studies). Vol. 8, No. 1 2001
Jerosen, Peeters, “Kaum-Tuo Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang
1821-1942”, INIS, 1997
Mas’udi, Kudus, "Genealogi Petilasan Sunan Kudus", Jurnal Al-Qalam. Vol. 19.
No. 2. Tahun 2012.
Masduki Anwar, Ziarah Wali di Indonesia dalam Perspektif Pilgrimage Studies,
Jurnal, Studi Agama-Agama, Vol. 4. No. 2 September, 2014.
Mujib, M Misbahul, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi
Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, Ibda’ Jurnal
Kebudayaan Islam Vol 14. No. 2, Juli-Desember 2016.
Mulyadi, "Kepercayaan Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Makam Datu Insad
Di Kabupaten Tanah Laut", Jurnal Islam. IAIN Antasari Banjarmasin
tahun 2014.
Mumpangati, Titi, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”,
Jurnal Jantra Sejarah dan Budaya. Vol II No. 3, tahun 2010.
_______________, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”
Jurnal Jantra Vol. II. No 3 Juni 2007 (Yogyakarta: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta).
Mustofa, Imron, “Turki Antara Sekularisme dan Aroma Islam: Studi Atas
Pemikiran Nijyazi Berkes”, Jurnal El-Banat. Volume 6 No.1, 2016.
Najitama, Fikria, “Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah Pada Makam
Santri dan Priyayi)”, Ibda’ Jornal Kebudayaan Islam. Volume, 11 No.
1, Januari-Juni, 2013.
Ngangi, Charles R., “Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial”, Journal ASE.
Volume 7 No 2, Mei, 2011.
178
Nindito, Stefanus, “Fenomenologi Alfre Schutz: Studi Tentang Konstruksi
Makna dan Realitas Dalam Ilmu Sosial”, Jornal Ilmu Komunikasi.
Volume 2, Nomor 1, Juni 2005.
Nutini, Hogu G., “Social Stratification and Mobility in Central Veracruz”, Social
Sciences-Anthropology, 2009.
Rd., Pachoer Datock A., “Sekularisasi dan Sekularisme Agama”, Jurnal Agama
dan Lintas Budaya. Volume. 1. No 1, September, 2016.
Riley, Matilda White, “The Perspective of Age Stratification”, The School
Review. Vol. 83, No. 1, tahun 1974.
Royyan, Moh., Tradisi Ziarah Dalam Islam: Studi Kasus Di Makam Batu
Ampar Proppo Pamekasan Madura. Disertasi: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2011.
Rothschild, Constaniana Safilios, “Family and Stratification: Some
Macrosocidological Observations and Hypotheses”, The Jornal of
Marriage and Family. Vol. 37, No. 4, tahun 1975.
Shri, Heddy dan Ahimsa Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan
Fenomenologi untuk Memahami Agama”, Jurnal Walisongo. Volume
20, No 2, November 2012.
Sulaiman, Aimie, “Memahami Teori Konstruksi Sosial Pteter L. Berger”,
Journal Society. Volume VI, Nomor I, Juni, 2016.
Sulistiono, Budi, "Arkeologi Islam Nusantara: Masalah dan Solusinya", tahun
2014.
Sardjuningsih, Islam Mitos Indonesia (Kajian Antropologi-Sosiologi), Jurnal
Kodivikasia, Vol, 9 No. 1 2015
_____________, "Wali Songo Dalam Pentas Sejarah Nusantara", tahun 2014.
Tahir, Masnun, “ Pergumulan Hukum Islam dan Budaya Sasak (Mengarifi Fiqih
Islam Watu Telu di Pulau Lombok)”, tahun 2011.
Tahali, Ahmad Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurnal: Jurisprudentie
Volume. 5 No. 2 Juni 2018.
Wearne, C. Bruce, “Exegetical Exploration: Parson’s Convergence Concept”,
The American Socioloist. Vol. 44, Nomor 3, September, 2013.
Qibtiyah, Mariatul Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan (Analisis Atas
Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang. Tesis: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014,
Z’atarī, ‘Alā’ al-Dīn, ”Wazīfah al-Masjid al-Thaqāfiyah”, ‘Alā’ al-Dīn
Z’atari. 2007-2015.
Zuhdi, Muhammad Harfin, “Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika
Islam Normatif dan Islam Kultural”, Religia: Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman. Vol. 12, No. 1, 2009
Zaelani Kamarudin, “Dialektika Islam dengan Varian Kultrual Lokal dalam Pola
Keberagamaan Muslim Sasask”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol.
IX edisi 15 No. 1 Januari-Juni, 2005.
179
GELOSARIUM
Fenomenologi : Cabang ilmu filsafat yang mengkaji manusia dan masyarakat
sebagai sebuah fenomena atau fakta
Agama : Sistem atau prinsip kepercayaan pada Tuhan dengan ajaran
kebaktian serta kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan
keyakinan itu
Emosi keagamaan : Getaran jiwa yang membuat sesorang menjadi bersikap religius
Akulturasi : Percampuran budaya tanpa menghilangkan unsur budaya yang
lama
Enkulturasi : Peroses pembudayaan
Asimilasi : Percampuran dua budaya dan yang asli ditiadakan
Diameteral : Pandangan para tokoh yang bervariasi
Empiris : Berdasarkan pengalaman dan kenyataan melalui uji coba
Hermeneutic : Ilmu yang mengkaji tentang interpretasi makna atau hakikat dari
segala sesuatu
Kognitif : berdasarkan pengetahuan
Koherensi : Tersusunya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya
berkaitan dengan yang lain
Konservatif : Bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang
berlaku
Habitualisasi : Proses menjadi semakin terbiasa atau efektif menyesuaikan diri
kapada kondisi yang berhubungan dengan pengalaman,
perasaan, pekerjaan, atau penghayatan termasuk proses belajar
Keramat : Suci atau bertuah yang diyakini mampu memberikan efek magis
dan pisikologis bagi orang yang mempercayainya; suci-
pemisahan segala unsur kehidupan biasa, karena memiliki
signifikasi supranatural
Hierarki : Urutan, struktur, bertingkat/bertahap (jabatan, kedudukan, kelas
sosial, maupun ekonomi)
Keyakinan : Bagian agama atau relegi yang berwujud konsep-konsep yang
menjadi kepercayaan penganutnya
Interaksi sosial : Hubungan sosial yang dinamis antara orang perorangan, antara
perseorangan dengan kelompok
Kelas sosial : Penggolongan masyarakat/kelompok masyarakat berdasarkan
kedudukan dalam masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan lain-
lain
Interdependensi : Keadaan saling bergantung; suatu pola hubungan antara unit-unit
sosial tertentu yang saling bergantung antara satu sama lain
Magic/magis : Istilah yang selalu dipakai dalam praktek-praktek takhayul
berdasarkan kepercayaan dalam perantara supranatural dimana
dapat menimublkan kekuatan gaib dan dapat mempengaruhi atau
180
menguasai alam di sekitarnya termasuk alam pikiran dan tingkah
laku manusia
Masyarakat : Jumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh
suatu kebudayaan yang mereka anggap sama
Motif : Faktor afektif-konatif (hasrat dan keinginan) yang dapat
digunakan dalam menentukan arah tingkah laku individu
terhadap akhir atau tujuan, dengan sadar dilihat atau tidak sadar
Masyarakat modern: Masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara
luas, spesialisasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi
canggih
Mobilitas sosial : Gerakan perubahan yang terjadi di antara masyarakat baik secara
fisik maupun sosial; perubahan kedudukan warga masyarakat
Nilai : Sifat-sifat atau sejumlah hal-hal yang sangat penting dan
bermanfaat bagi manusia
Masyarakat tradisional : Masyarakat yang masih banyak digandrungi oleh adat
istiadat lama
Modernisasi : proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntuan zaman masa
kini
Motivasi : Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak
untuk melakukan suatu tindakan dengan atruran tertentu
Norma : Pola atau nilai strandar yang bersifat mewakili bagian kelompok
atau jenis; aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok
dalam masyarakat, di gunakan sebagai panduan, tatanan dan
pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima oleh kaidah-
kaidah sosial masyarakat
Persepsi : Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca
indranya; tanggapan langsung dari sesuatu
Rasional : Menurut pikiran dan pertimbangan akal, kemampuan untuk
mempertimbangkan yang berkaitan dengan kepercayaan
terhadap sesuatu yang disertai dengan pembuktian
Perilaku : Tanggapan atau reaksi individu terhadap lingkungannya
Ritual : Suatu sistem upacara atau prosudur magis atau religius yang
biasanya dengan bentuk-bentuk khusus dan biasanya
dihubungkan dengan tindakan-tindakan penting
Tradisional : Sikap dan cara berpikir serta bertindak yang senantias berpegang
teguh pada norma-norma dan adat istiada atau kebiasaan yang
telah ada secara turun-temurun; menurut tradisi atau bercorak
tradisi
Skularisasi : Hal-hal yang membawa kea rah kehidupan yang tidak didasarkan
pada aturan agama
Tradisi : Adat kebiasaan turun temurun yang masih terus dilestarikan
dalam masyarakat
181
Simbol : Suatu benda atau aktifitas yang melambangkan dan sebagai
pengganti sesuatu yang lain
Tawassul : Memohon pada prantara agar doanya cepat terkabul
Sosio kultural : Berkenaan dengan segi-segi sosial dan budaya masyarakat
Stratifikasi : Pembedaan (penggolongan) penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat berdasarkan setatus sosial
ekonomi, kekuasaan, prestise, agama, pendidikan, dan lain
sebagainya
182
DAFTAR INDEKS
A
A.R. Wallace · 66
Abdul Wahhab Khallaf ·
52, 57, 61
Afghoni · 128
akulturasi · 10, 13, 75, 76,
84, 88, 97, 99, 125
Aldous Huzxley · 51
Ali Jum’ah · 57
Al-Jabiri · 80
al-Sayyid Muhammad bin
‘Alawi al-Mălikī · 93
Ardhi · 27, 28
Auguste Comte · 43, 44
B
Berger · 9, 14, 19, 40, 41,
44, 46, 47, 48, 49, 50,
82, 94, 106, 107, 123,
124, 127, 132, 133, 136,
150, 158
berkah · 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12,
16, 37, 38, 39, 69, 73,
76, 93, 95, 97, 98, 105,
107, 116, 130, 131, 133,
138, 143, 144, 147, 148,
149, 150, 151, 159, 160,
162, 167
berwsilah · 157
Bronislaw Malinowski · 83
Bryan S. Turner · 5, 55, 59,
60, 83, 127, 137
budaya · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
10, 13, 15, 16, 17, 18,
20, 21, 24, 25, 28, 31,
32, 33, 37, 40, 41, 51,
52, 53, 56, 58, 60, 61,
62, 63, 68, 73, 74, 75,
78, 79, 80, 79, 82, 83,
84, 85, 87, 88, 93, 95,
97, 98, 99, 100, 102,
103, 105, 110, 113, 115,
116, 117, 118, 120, 121,
122, 123, 124, 125, 128,
133, 134, 135, 136, 139,
141, 146, 147, 150, 152,
154, 156, 157, 158, 165,
167, 168
C
Clifford Geertz · 5, 17, 97,
99, 100, 117, 121, 126,
153
D
Desa Rembitan · 7, 13, 14,
18, 19, 68, 69, 74, 75,
100, 101, 102, 107, 108,
110, 111, 113, 114, 115,
118, 124, 125, 128, 131,
138, 142, 143, 146, 148,
149, 152, 157, 159, 161,
162, 167
Dewa · 30, 90, 137
dimensi · 4, 17, 46, 47, 65,
81, 82, 92, 93, 97, 98,
111, 125, 129, 136, 139,
164
Durkheim · 40, 42, 44, 45,
46, 80, 81, 107, 134, 140
E
Edmund Husserl · 21, 106
eksternalisasi · 9, 48, 49,
50, 51, 94, 158
Emile Durkheim · 4, 5, 40,
44, 46, 61, 90, 117, 134,
140
emosi · 48, 59, 81, 88, 89,
90, 91, 99, 111, 118,
123, 136, 145, 146
emosional · 11, 80, 92, 132,
151
F
fenomena · 2, 5, 12, 13, 22,
24, 25, 33, 38, 40, 41,
42, 43, 45, 48, 59, 60,
61, 62, 64, 79, 80, 82,
85, 86, 125, 132, 133,
138
fenomenologi · 13, 14, 20,
21, 42, 130, 158, 168
G
gaib · 5, 12, 28, 29, 31, 34,
36, 37, 64, 83, 89, 90,
127, 132, 138, 151
Giddens · 46, 80
H
habitualitas · 56
Hasan Hanafi · 60, 105
Henri Chambert-Loir &
Claude Guillot · 128
I
Ibn Battuta · 100
Ibnu Hajar al-Hatsani · 52
Ibnu Khaldun · 42, 43, 107
Ibnu Qadamah · 36
Ibnu Qayyim al-Jauziyah ·
105
ideologi · 21, 46, 47, 56, 63,
79, 90, 113
183
internalisasi · 9, 49, 94,
120, 124, 154, 158
J
John Dwewy · 50
K
kepercayaan · 2, 4, 5, 8, 10,
12, 13, 14, 15, 17, 19,
20, 28, 30, 31, 32, 34,
35, 36, 53, 59, 62, 64,
65, 70, 71, 73, 74, 75,
76, 77, 78, 79, 80, 83,
84, 85, 86, 87, 88, 89,
91, 92, 93, 95, 97, 101,
102, 106, 107, 109, 110,
113, 114, 118, 128, 131,
132, 133, 134, 135, 136,
137, 138, 139, 140, 143,
144, 155, 158, 160, 163,
167, 168
KH. Said Aqil Siradj · 4
khurafat · 28, 53, 57, 154
Koentjaraningrat · 2, 7, 23,
35, 53, 76, 80, 82, 88,
89, 90, 91, 97, 123, 124,
125, 145, 146
konservatif · 63, 85, 86
konstruksi · 9, 14, 15, 16,
17, 19, 20, 25, 27, 40,
41, 40, 46, 48, 95, 166,
167
Konstruksi · 25, 26, 40, 41,
42, 48, 49, 97, 106, 167
kultural · 1, 3, 13, 50, 56,
58, 79, 80, 87, 116, 118,
120, 122, 126, 153
L
leluhur · 2, 3, 12, 51, 56, 65,
75, 79, 91, 98, 102, 106,
113, 116, 125, 128, 139,
152, 154, 163, 165
M
makam · 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, 13, 14, 15, 16,
18, 19, 20, 21, 22, 23,
24, 26, 37, 38, 39, 53,
55, 56, 61, 65, 69, 70,
75, 76, 78, 81, 91, 92,
95, 97, 98, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 105, 106,
107, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 121, 122,
124, 125, 126, 127, 128,
129, 130, 131, 132, 133,
134, 136, 138, 139, 140,
141, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 148, 149, 150,
151, 152, 153, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 164, 165, 166,
167, 168
Mannheim · 46, 47
Max Weber · 44, 45, 46,
138
Mead · 21, 42, 49, 50
metodologi · 43, 45
mistifikasi · 36, 37, 38, 39,
56
mistis · 4, 5, 15, 131, 136,
149, 167
mitologi · 36, 37, 38, 39,
56, 72, 84, 87, 91
monotheisme · 29
motivasi · 2, 9, 12, 13, 16,
21, 29, 79, 93, 99, 114,
115, 117, 121, 124, 126,
127, 131, 147, 156, 162
Muhammadiyah · 16, 56,
57, 58, 83, 154, 155
murni · 12, 58, 60, 62, 73,
78, 110, 119, 128
N
NU · 2, 16, 39, 52, 56, 57,
58, 108, 110, 154
Nur Syam · 6, 16, 37, 38,
39, 40, 50, 51, 53, 56,
57, 117, 125, 148, 150,
161
Nurcholis Madjid · 78
O
obyektivasi · 49
P
Parsons · 118, 121, 122
pemuja · 34
pendusa · 125
Politheisme · 28
positif · 45, 61, 62, 70, 116,
132, 136
Prabu Rangkesari · 71
pradisposisi · 14, 15, 17, 19,
48, 147, 167
praktik · 13, 28, 32, 33, 34,
35, 36, 37, 46, 59, 61,
64, 65, 81, 92, 94, 116,
118, 125, 129, 132, 133,
134, 136, 139, 154, 161,
162, 163, 164, 166
primitif · 4, 30, 31, 32, 33,
34, 35, 36, 134, 137
profan · 37, 38, 64, 117,
126, 127, 153
R
rasional · 11, 16, 39, 44, 47,
53, 55, 58, 59, 63, 70,
82, 106, 118, 119, 120,
134, 135, 136, 137, 138,
154, 167, 168
religius · 4, 74, 81, 82, 90,
92, 93, 102, 116, 133,
134, 134
ritual · 4, 5, 8, 10, 13, 15,
18, 28, 29, 30, 32, 33,
34, 35, 36, 55, 56, 64,
65, 69, 75, 76, 77, 79,
184
81, 83, 87, 90, 92, 94,
95, 98, 99, 103, 104,
109, 110, 111, 114, 117,
119, 121, 124, 125, 126,
127, 131, 136, 139, 140,
141, 142, 143, 144, 145,
149, 151, 154, 155, 156,
159, 161, 162, 163, 164,
165
ritus · 11, 17, 87, 89, 91, 92,
101, 128, 140
S
sakral · 37, 38, 63, 64, 80,
107, 117, 125, 126, 127,
128, 134, 140, 141, 148,
153
sakralisasi · 37
Samawi · 27, 29
Sasak · 7, 9, 23, 65, 66, 72,
73, 74, 75, 76, 79, 84,
85, 86, 88, 92, 93, 95,
102, 109, 128, 130, 136,
138, 149, 152, 165
Sayid Abdurrahman · 8,
103
simbol · 4, 5, 7, 16, 21, 31,
51, 56, 97, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 106, 109,
113, 114, 117, 118, 120,
121, 134, 141, 144, 147,
154, 161
spiritualitas · 70
suci · 3, 5, 6, 10, 16, 27, 29,
30, 31, 35, 38, 51, 52,
53, 54, 55, 56, 61, 64,
73, 77, 84, 90, 91, 92,
93, 95, 97, 99, 100, 101,
102, 103, 105, 106, 108,
109, 110, 115, 117, 119,
121, 125, 126, 128, 131,
138, 141, 144, 148, 150,
151, 152, 153, 158, 159,
160, 161, 167
Sunan Prapen · 70, 71, 72,
73
supranatrual · 83
T
takhayul · 28, 53, 57, 63,
154
Talcott Parsons · 44, 45
tawassul · 6, 93, 110, 111,
112, 119, 126, 140, 145,
151, 153, 156, 157, 159,
160
TGH Mutawalli · 87
TGH. Makmun · 87
TGH. Saleh Hambali · 87
TGH. Zainuddin Abdul
Madjid · 87
Tradisi · 2, 3, 5, 6, 8, 10, 12,
13, 15, 16, 18, 20, 25,
26, 31, 52, 59, 65, 76,
79, 82, 93, 94, 97, 98,
99, 101, 102, 103, 106,
107, 108, 109, 110, 113,
114, 115, 124, 125, 128,
129, 139, 144, 147, 151,
152, 155, 165
tradisional · 39, 57, 58, 62,
63, 64, 65, 79, 84, 117,
118, 119, 131, 134, 137,
138, 149
Tylor · 33, 80
U
upacara · 5, 28, 30, 33, 34,
35, 37, 51, 52, 53, 55,
57, 58, 61, 64, 68, 75,
81, 87, 88, 89, 91, 94,
109, 125, 126, 127, 132,
140, 141, 157
Urf · 37, 57, 61
W
Wali · 1, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, 13, 14, 16, 18,
19, 20, 21, 22, 24, 26,
37, 53, 54, 55, 56, 58,
68, 69, 70, 71, 73, 74,
75, 76, 84, 92, 93, 95,
97, 98, 99, 100, 101,
102, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 108, 109,
110, 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 119,
121, 122, 124, 125, 126,
127, 128, 129, 130, 132,
134, 138, 139, 140, 141,
142, 143, 144, 145, 146,
147, 148, 149, 150, 151,
152, 153, 155, 156, 157,
159, 160, 161, 162, 163,
164, 165, 166, 167, 168
Wali Nyato’ · 7, 8, 9, 12,
13, 14, 18, 19, 20, 21,
22, 24, 26, 68, 69, 70,
74, 75, 92, 98, 99, 100,
101, 102, 101, 103, 104,
106, 107, 108, 109, 110,
111, 113, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 121, 122,
124, 125, 126, 127, 128,
129, 132, 134, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 144,
145, 146, 147, 148, 149,
150, 152, 153, 155, 157,
159, 161, 162, 163, 164,
165, 166, 167
Weber · 19, 42, 44, 45, 46,
59, 60, 133, 135, 136,
137, 138
Wetu Lima · 73, 74, 75
Wetu Telu · 73, 74, 75, 88