konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan...

198
KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN (Analisis Tentang Praktik Ziarah Makam Keramat di Lombok) Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Sosiologi dan Antropologi Agama Oleh : B A H W A N Nim: 21151200100048 PEMBIMBING ARIF ZAMHARI, M.Ag, Ph.D Program Magister Pengkajian Islam Konsentrasi Sosiologi dan Antropologi Agama Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H / 2019 M

Upload: others

Post on 27-Nov-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN

(Analisis Tentang Praktik Ziarah Makam Keramat di Lombok)

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister

Dalam Bidang Sosiologi dan Antropologi Agama

Oleh :

B A H W A N

Nim: 21151200100048

PEMBIMBING

ARIF ZAMHARI, M.Ag, Ph.D

Program Magister Pengkajian Islam

Konsentrasi Sosiologi dan Antropologi Agama

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

1439 H / 2019 M

Page 2: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

ii

KATA PENGANTAR

ب م س م ح الر ه الل ن

الر م ي ح Segala puji bagi Allah ta’ālă, Tuhan semesta alam. Syukur Alhamdulillah

senantiasa penulis panjatkan atas limpahan rahmat, hidayah, dan inayahnya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul KONSTRUKSI SOSIAL DALAM

TRADISI KEAGAMAAN (Analisis Tentang Praktik Ziarah Makam Keramat di

Lombok). Shalawat beserta salam atas keharibaan baginda Nabi Muhammad Saw,

keluarga, para sahabat dan kepada para pengikut setia beliau hingga ahkir zaman.

Amiin.

Selama proses penulisan tesis ini, peneliti menyadari banyaknya bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan secara moril maupun materil demi

menyelesaikan tulisan ini. Karena itu, penulis mengucapkan banyak-banyak

terimakasih atas dukungan dan dorongan yang selama ini telah diberikan kepada

penulis, khususnya kepada yang terhormat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, MA dan yang terhormat Bapak Direktur SPs UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Jamhari, MA dan segenap jajaran pimpinan yakni,

Bapak Prof. Dr. Didin Syaefuddin, MA., Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM., Bapak Arif

Zamhari, M. Ag. Ph.D, Dr. JM. Muslimin, MA, dan Dr. Kamarusdiana, MH. Kepada

seluruh civitas akademika, perpustakaan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

juga telah banyak memberikan kesempatan serta pelayanan menyangkut studi ini

dalam melayani kami sebagai mahasiswa pascasarjana demi selesainya tesis ini.

Selanjutnya, penulis haturkan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya

kepada yang terhormat Bapak Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing

penulis, berkat bimbingan, masukan, saran dan arahan beliau penulis dapat

menyelesaikan tesis ini sehingga memenuhi kualifikasi akademis baik secara

penulisan maupun substansinya. Ketika penulis berkonsultasi dan berkomunikasi,

beliau senantiasa memberikan waktu luangnya bagi penulis untuk berdiskusi demi

kelancaran penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih

kepada seluruh dosen-dosen di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

mendidik penulis, memeberikan ilmu dan pengetahuan bagi penulis, kepada yang

terhormat Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito MA, Prof. Dr. Atho

Mudzhar, MA, Alm. Prof. Dr. Bambang Pranowo, MA, Prof. Dr. Salman Harun, MA,

Prof. Dr. Zulkifli, MA, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, dan masih banyak lagi

dosen-dosen penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Selanjutnya, yang penulis hormati dan banggakan adalah Kedua Orang Tuaku

tercinta, mereka selalu tulus ikhlas dan penuh kasih sayang mengorbankan tenaga,

waktu, pikiran, hingga materi dalam merawat dan mendidik penulis hingga seperti

sekarang ini, tentu sebuah usaha dan upaya yang penulis tak akan mampu

membalasnya dengan apapun selain dengan rasa syukur, taat dan patuh kepadanya.

Untuk semua keluarga besarku terutama kepada Kakak dan adek-adeku tercinta.

Mereka adalah penyemangat sekaligus penghiburku dikala penulis lemah, meraka

juga selalu memberikan dukungan untuk capaian studi saya hingga selsai. Saya sangat

berterimakasih kepada semua saudara-saudaraku tercinta atas pengorbanan mereka

Page 3: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

iii

selama ini baik secara tenaga, pikiran dan materi demi lancarnya study saya di SPs

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Untuk semua shabat-sahabatku, penulis juga sangat berterimakasih atas

dukungan dan supot yang diberikan demi kelancaran penulisan tesis ini. Kepada

sahabat Sabolah al-Kalamby M.Pd. selaku Sekjen PB PMII. Aidil Aulia MA, Rofil

Kheruddin, Ust. Hulaimi MA, Anwar, MA, Hizbullah, MA, dan teman-teman

angkatan saya, Helmy Hidayatullah S.Thi, Miq Daud Azhari SH, Sopian Hadi,

Ahmad Hifni MA, Moh. Zainul Hasni Syarif, MA, Khaidir Hasram, Fahmi Zuhudi,

Oga Satria, Nur Mardiah MA, Zikra Fadilla, Nur Iklas MA, Izza, Nurul Aini, Silvi

dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, penulis berterimaksih kepada sahabat-

sahabatku yang juga turut membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini, kepada

sahabat Aziz Muslim, S. Kom.i, Khaerul Azmi, S.Sos, M. Solihin, S.Pd, dan juga

kepada saudara-saudaraku yang selalu setia menemani penulis mencari refrensi, buku,

jornal, artikel dan lainnya, kepada saudara saya Moh. Hamdi S.Pd, Eka Aprianto,

Maliki, Kohlik, Zaen dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

Rasa hormat dan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh informen

dilapangan karena telah banyak membantu penulis dalam memperoleh informasi dan

data-data dilapangan selama penelitian berlangsung dalam rangka mengambil

informasi dan data-data lapangan tersebut baik melalui wawncara, dokumentasi,

observasi, dll. Terutama Kepada bapak Kepala Desa Rembita, Juru Kunci Makam,

Petugas makam, Kepala Dusun, dan masyarakat Desa Rembitan Kecamatan Pujut,

Kabupaten Lombok Tengah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis

ini.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis berdoa dan memohon agar bantuan dari

semua pihak dalam penulisan tesis ini baik secara langsung maupun tidak langsung

semoga dibalas oleh Allah dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga pula tesis ini

dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi pengembangan ilmu

Sosiologi dan Antropologi agama. Namun penulis menyadari bahwa tesis ini masih

jauh dari kata “sempurna” dikarenakan kekurangan dan keterbatasn penulis. Keritik

dan saran yang bersifat konstruktif sangat terbuka lebar untuk kesempurnaan dan

peningkatan kualitas tesisi ini.

Ciputat, 13 April, 2019. M

Penulis,

Bahwan

Page 4: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

ALA-LC ROMANIZATION TABLES

A. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin

Alif A ا

Ba B ب

Ta T ت

Tha Th ث

Jim J ج

H{a h} ح

Kha kh خ

Dal d د

Dhal dh ذ

Ra r ر

Zay z ز

Sin s س

Shin sh ش

{S}ad s ص

Dad{ d ض

T{a t} ط

Z{a z} ظ

‘ Ayn‘ ع

Ghayn gh غ

Fa f ف

Qaf q ق

Kaf k ك

Lam l ل

Mim m م

Nun n ن

Wawu w و

Ha h هـ

Ya y ي

Page 5: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

v

B. Vokal

Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab meliputi: vokal

tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].

1. Monoftong

Tanda Nama Huruf Latin

ــــ Fath}ah A

Kasrah I ــــ

ــــ D}ammah U

2. Diftong

Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf

ــــ ي Fath}ah dan Ya Ay

ـــــ و Fath}ah dan Wawu Aw

C. Maddah

Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda

ـا ــىــــ ـ ـــــــ ـ Fath}ah dan Alif atau

Ya

a>

ــــ ي Kasrah dan Ya i>

و ــــ ـ D}ammah dan Wawu u>

D. Ta Marbut}ah

Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata lain [dalam

istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka transliterasinya t. Akan

tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain atau bukan sebagai posisi mud}a>f,

maka menggunakan h. Contoh:

ـــة al-Bi>’ah البيـئــــــــــــ

Kulli>yat al-A<da>b ك ل ية الآداب

Page 6: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

vi

ABSTRAK

Tesis ini menganalisis praktik ziarah di makam keramat dengan melihat

proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau

legenda sehingga menjadi suatu pemahaman, persepsi, dan emosi keagamaan hingga

membentuk pradisposisi dalam menjalankan tradisi keagamaannya. Berdasrkan

dukungan dan kajian teori konstruksi sosial, tesis ini bertujuan untuk mengetahui

latar belakang masyarakat saat melakukan ziarah di makam tersebut dan menjadi

sebuah tradisi dalam kehidupan mereka.

Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data yaitu data primer yang

bersumber dari lapangan, observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data

sekunder adalah jenis data yang bersumber dari karya ilmiah seperti buku, artikel,

jurnal dan lainnya yang berkaitan dengan konteks penelitian ini terutama tentang

konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan. Sedangkan metode dalam penelitian ini

adalah metode kualitatif-deskriptif yang menggunakan pendekatan fenomenologi,

interaksi simbolik, dan etnografis.

Pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang ziarah makam keramat,

akan selalu berkaitan dengan kedudukan para wali atau tokoh suci. Wali adalah

seseorang yang memiliki kedekatan dan kelebihan dengan Tuhan, maka di mata

manusia keberadaan para wali memiliki hubungan erat dengan agama. Sejalan

dengan Jamhari yang menyatakan bahwa “Praktik ziarah di makam orang suci Islam

(Wali) sebenarnya merupakan repleksi pemahaman keislaman.” (2001) Tesis ini

menganut analisis Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, ia

mengatakan pengetahuan individu membentuk pradisposisi sebagai bagian dari

tindakannya. (1966) Sedangkan Max Weber dan Keith A. Roberts (2004)

menyebutkan; ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama.

Agama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial.

Tesis ini berbeda dengan pandangan Robert MZ Lawang (2004) dan

Mannheim yang justru banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx (1930-an) yang

mengatakan bahwa lapisan sosial dalam masyarakat ditentukan oleh kriteria objektif

yang berhubungan dengan kesempatan hidup dan menekankan pada aspek kekuasaan

sebagai bagian dari stratifikasi sosialnya. Sedangkan bagi Mannheim, terdapat dua

dimensi yang berkembang dalam setiap kehidupan masyarakat yaitu ideologi sebagai

pengetahuan kelas yang berkuasa dan utopia sebagai pengetahuan yang berkembang

di antara kelas-kelas yang tertindas.

Keywords : Konstruksi, Praktik, Teradisi, Ziarah Makam, Keramat.

Page 7: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

vii

ABSTRACT

This thesis analyzes pilgrimage practice to the sacred tomb through

exploring social process which construct belief pattern of the society in order to

generate perception, a clear and united understanding, and religious emotion that

develop a predisposition as a pattern of action in doing pilgrimage. Through the lens

of social construction theory, this thesis is aimed to understand the background of

pilgrimage to the sacred tomb by the people so this action transform into a religious

tradition.

This research applies two kinds of data resources namely the primary data

gathered from field research, observation, and in-depth interview, while the

secondary data are other scientific resources such as books, journals, articles and

others which has close relation to the context of this research particularly those

describing about social construction in religious traditions. Moreover, this research

applies qualitative-descriptive which employs the approach of phenomenology,

symbolic interaction, and ethnography.

The knowledge and understanding of someone about tomb pilgrimage will

relate with the standing of the saints in the society. The saint is someone who has

close relationship to the god and is bestowed upon him magical transcendence, so for

the ordinary people the existence of saint is closely related to the religion. According

to Jamhari who said “tomb of the saint pilgrimage is originally a reflection of Islamic

understanding” (2001). This thesis also uses analysis of social construction from

Peter L. Berger and Thomas Luckman who said that individual knowledge of an

individual mold their predisposition as a part of their action (1996). In other hand

Max Webber and Keith A. Roberts (2004) stated, “There is a correlation between

social and economical condition with religious devotion. Religion influences and be

influenced by social system”.

This thesis is inherently different with the view of Robert MZ Lawang

(2004) and Mannheim whose thoughts are profoundly influenced by Karl Marx

(1930s) who said that social layers in the society are determined by objective criteria

that relate to the living chances, they also emphasize on power aspect as an

indispensable part of social stratification. Furthermore for Mannheim, ideology as

knowledge for ruling class and utopia as a knowledge for suppressed class are two

inherent dimensions that thrive in the society.

Keywords : construction, practice, tradition, tomb pilgrimage, sacred.

Page 8: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

viii

الملخص هذ عمليةالبحثاتحلل ةالمقابرزورةعن العملياتيةالنظربالمقدسة في

الاجتماعيةوأنماطثقةالمجتمعالتيتنشأعلىأساسالقصصأوالأساطيربحيثيصبحالفهموالإدراكوالعاطفةالدينيةلتشكيلاستعدادفيتنفيذتقاليدهاالدينية.استناداإلىدعم

رةليةزوعمإلىمعرفةخلفيةالمجتمععندالبحثاهدفهذيودراسةنظريةالبناءالاجتماعي، فيالمقبرةوتصبحتقليدافيحياتهم.

الملاحظةوالمقابلاتبالميدانفي،البياناتالبحثنوعاناهذفيمصادرالبياناتوالعلميةمثلالكتبوالمقالاتوالمجلاتعمليةالبياناتالمستمدةمنو.والاستبانةوالتوثيق

يبمدخلمنهجالكيفطريقةوصفيةيهالبحثاأنالطريقةفيهذ.هذاالبحثبالتيتتعلقرمزيااوإثنوغرافية.الوصفي وتفاعلاا

نالولي يإلىموقفتتعلقالمقبرةالمقدسة،شخسيةعنزيارةميهافالموفيرامعال الله،لذلكوجودالقديسينلهإلىأوالشخصياتالمقدسة.الواليهوشخصلديهتقارب

المقبرةالمقدسة)الوالي(هيزيارة"عمليةجمهريإنوهذايوافقبرأىعلاقةوثيقةبالدين.منبتحليلالبناءالاجتماعيلبحثاا(تلتزمهذ1002فيالواقعتكرارللفهمالإسلامي.")

)بيرغربيترل. ( Peter L. Berger )وتوماسلكمان (Thomas Luckmann وقالإنالمعرفةكجزءم )(بينماذكرماكسويبر2611نأفعاله.)الفرديةتشكلاستعدادا (Max Weber

روبرتستوكي Keith A.) (Roberts (1002) : الاقتأحوالهناكعلاقةبين صاديةالاجتماعية.الدينيؤثرويتأثربالأنظمةالاجتماعية.والاحتفالالدين

Robert MZ Lawang) )زلاوج.روبرتمينظرالعنوجهاتالبحثاختلفهذإكارلماركسييذال (Mannheim) (ومنهيم1002) (الذي2690)((Karl Marxأثربفكر

يقولإنالطبقةالاجتماعيةفيالمجتمعتتحددبمعاييرموضوعيةتتعلقبفرصالحياةوتؤكدكجزءمنالتقسيمالاجتماعي.أمابالنسبةلمانهايم ،فهناك(Mannheim)علىجوانبالقوة

Page 9: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

ix

كلحياةفيالمجتمع،هماالأيديولوجيةباعتبارهامعرفةالطبقةالحاكمة بعدانيتطورانفيكمعرفةتتطوربينالطبقات .المطحونينواليوتوبيا

مقبرةالمقدسةالعادة،زورة،عمليات،البناء:كلماتمفتاحية

Page 10: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................... vi

ABSTRACK ..................................................................................................... vii

viii ........................................................................................................ البحث ملخص

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii

DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................... 1

B. Permasalahan ............................................................................. 13

1. Identifikasi Masalah .............................................................. 13

2. Rumusan Masalah ................................................................. 14

3. Batasan Masalah .................................................................... 14

C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 14

D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 15

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................... 15

F. Metode Penelitian ....................................................................... 19

1. Desain Penelitian ................................................................... 19

a). Lokasi Penelitian ............................................................... 19

b). Jenis dan Sifat Penelitian ................................................... 19

2. Pendekatan ............................................................................ 21

3. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 22

4. Tehnik Pengumpulan Data .................................................... 22

a). Observasi ........................................................................... 22

b). Wawancara ........................................................................ 23

c). Dokumentasi ...................................................................... 24

5. Tehnik Analisis Data ............................................................. 24

G. Sistematika Penulisan ................................................................ 26

BAB II KAJIAN TEORITIS KONSTRUKSI SOSIAL DAN

PERKEMBANGAN TRADISI-TRADISI KEAGAMAAN PADA

MASA AWAL

A. Agama dalam Kehidupan Manusia ............................................ 28

1. Agama Spiritualisme ............................................................. 29

a). Agama Ketuhanan ............................................................. 29

b). Agama Penyembah Roh .................................................... 31

2. Agama Materialisme ............................................................. 32

B. Perkembangan Tradisi-tradisi pada Masa Awal ........................ 32

Page 11: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

xi

1. Pengorbanan .......................................................................... 34

2. Ibadah .................................................................................... 35

3. Tempat, Benda dan Orang yang dikeramatkan ..................... 35

4. Sihir ....................................................................................... 36

C. Sistem Sosial dan Realitas Kehidupan Masyarakat ................... 40

D. Proses Sosial dalam Dunia Sosio-Kultrual Masyarakat ............ 51

1. Eksternalisasi ......................................................................... 51

2. Objektivikasi ......................................................................... 54

3. Internalisasi ........................................................................... 56

BAB III DESKRIPSI UMUM MASYARAKAT KABUPATEN LOMBOK

TENGAH

A. Kondisi Geografis Masyarakat Kabupaten Lombok Tengah .... 66

B. Perkembangan Islam di Pulau Lombok ..................................... 71

C. Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal .................... 79

D. Dimensi-dimensi Keagamaan Masyarakat ................................ 89

1. Emosi Keagamaan ................................................................. 89

2. Sistem Kepercayaan .............................................................. 89

3. Sistem Upacara Keagamaan .................................................. 89

4. Kelompok Keagamaan dan Kekuatan-kekuatan Sosial ......... 89

BAB IV PROSES SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN

MASAYARAKAT

A. Makam sebagai Simbol dan Instrumental Akulturasi

Masyarakat ................................................................................ 97

B. Proses Sosial dan Ziarah Makam sebagai Tradisi Keagamaan

Masyarakat ................................................................................ 102

C. Praktik Keagamaan dan Pemahaman Masyarakat Tentang

Makam Keramat ........................................................................ 115

D. Fenomena Ziarah di Makam Keramat ....................................... 125

BAB V TRADISI ZIARAH PADA MAKAM KERAMAT

A. Ritual dalam Melakukan Ziarah Kubur atau Ziarah Makam

Keramat ..................................................................................... 140

1. Tahap Persiapan .................................................................... 143

2. Tahap Pelaksanaan ................................................................ 143

B. Motivasi dan Tujuan Melakukan Ziarah di Makam Keramat ... 145

1. Mengharap Berkah ................................................................ 149

2. Mengambil Pelajaran............................................................. 149

3. Mengenang Sejarah dan Penghormatan Terhadap Arwah

Para Leluhur ......................................................................... 151

4. Melakukan Tawassul atau Berwasillah ................................. 152

5. Sebagai Wisata Religi ........................................................... 155

Page 12: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

xii

C. Pelaku Ritual Ziarah di Makam Keramat .................................. 160

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 166

B. Saran .......................................................................................... 167

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 168

GLOSSARY ..................................................................................................... 179

INDEKS ........................................................................................................... 182

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................

Page 13: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dialektika; Eksternalisasi, Objektivikasi, Internalisasi ............................ 45

Tabel 2. Batas Administrasi Wilayah Kabupaten Lombok Tengah ....................... 68

Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten

Lombok Tengah Tahun 2010 .................................................................. 69

Tabel 4. World View dan Dampak Sosial .............................................................. 83

Tabel 5. Motif Awal dan Tujuan Peziarah ............................................................. 95

Page 14: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Ilustrasi Konsep Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger & Thomas

Lukckmman ...................................................................................... 37

Bagan 2. Dimensi Budaya ................................................................................ 64

Bagan 3. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia .................................... 74

Bagan 4. Konsep Tindakan Voluntarism Parson .............................................. 75

Bagan 5. Sebagian dari kerangka teori tindakan (Theory of Action) Telcott Parson

........................................................................................................ 127

Bagan 6. Kerangka Kebudayaan .................................................................... 128

Bagan 7. Motivasi awal dan tujuan akhir peziarah ......................................... 136

Page 15: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penduduk Indonesia adalah mayoritas penganut agama Islam di Nusantara.1

Dalam catatan resmi badan statistik terdapat sekitar 87,18% masyarakat Indonesia

memeluk agama Islam yang tersebar di Nusantara. Islam datang ke wilayah Indonesia

diperkirakan sekitar abad pertama Hijriah atau abad ke-7 sampai abad ke-8, yang

ditandai dengan penemuan batu nisan seorang wanita muslimah bernama Fatimah

binti Maimun sekitar tahun 475H/1082 M di Leran Gersik Jawa Timur. Fakta ini

menunjukkan salah satu bukti sejarah kehadiran Islam di Indonesia.2

Masuknya agama Islam di Indonesia juga tidak disebabkan akibat peperangan

atau karena penjajahan, tetapi Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan,3

kultural,4 pendidikan5 dan kekuasaan politik.6 Penyebaran agama Islam memang

terbilang cukup panjang dan alot karena proses penyebarannya berawal dari wilayah

pesisir kemudian baru bergerak ke wilayah pedalaman.7

1Menurut catatan resmi Badan Statisik, pada akhir tahun 2010, masyarakat

Indonesia berjumlah sekitar 237. 641. 326 dan secara mayoritas mereka adalah penganut

agama Islam hingga mencapai 87.18%, sedangkan penganut agama Kristen sekitar 6.96%,

Katolik, 2.9%, Hindu, 1.69%, Budha, 0.72%, Kong Hucu, 0.05% dan lainnya sekitar 0.13%.

Sumber: http://www.bps.go.id. 2Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Menelusuri

Jejak-jejak Peradaban Islam di Barat dan Timur (Yogyakarta: Saufa, 2014), 448. 3Jalur ini terbentuk karena orang-orang Arab yang telah lama menjalin kontak dagang

dengan orang-orang Melayu. Selain itu, berdirinya kerajaan Islam di Malaka dan Samudra

Pasai yang terletak di Aceh juga mampu menjadikan para ulama dan pedagang Arab sering

berdatangan ke Nusantara untuk melakukan perdagangan dan menyiarkan agama Islam. 4Pemanfaatan media-media budaya sebagai sarana penyebaran Islam di Nusantara,

dapat digunakan oleh para ulama atau para waliyullah dalam menyebarkan ajaran Islam.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Wali Sanga di wilayah Jawa seperti Sunan Kalijaga yang

mengembangkan kesenian wayang dan Sunan Giri seni menciptakan mainan anak-anak berupa

jalungan, ilir-ilir, jamuran, cublak, suweng, dan lain sebagainya. 5Lembaga pendidikan seperti pesantren juga terus dibangun oleh para ulama untuk

mengembangkan syiar Islam. Para ulama yang menyebarkan lembaga-lembaga pendidikan

seperti pesantren tersebut adalah dari alumni pesantren itu sendiri. Oleh karena itu, pesantren

masih menjadi dominasi strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di Nusantara. 6Masa awal penyebaran Islam di Indonesia, para ulama telah mendapat dukungan dari

para sultan seperti kesultanan Demak di Jawa yang menjadi pusat dakwah sekaligus pelindung

perkembangan Islam. Demikian pula dengan keberadaan para sultan di wilayah Nusantara juga

melakukan komunikasi dan tolong-menolong dalam melindungi dakwah Islam. Hal ini telah

menjadi cikal bakal terbentuknya Negara Nasional Indonesia hingga di masa-masa mendatang.

Lihat: Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Jejak-jejak

Peradaban Islam di Barat dan Timur, 450-451. 7Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, Dari Analisis Historis Hingga Arkeologi

Tentang Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 15.

Page 16: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

2

Namun perlu diketahui bahwa sebelum masuknya ajaran Islam di Indonesia,

masyarakat di nusantara telah memiliki kekayaan budaya dan unsur-unsur tradisi

lokal. Bahkan sebelum hadirnya Wali Sanga melalui dakwahnya dalam menyebarkan

agama Islam, masyarakat Jawa merupakan penganut taat agama Hindu sekaligus

pelaku budaya Jawa yang kental dengan corak Hinduisme dan sampai saat ini oleh

sebagian masyarakatnya masih dipedomani.8 Dalam hal ini, perlu adanya identifikasi

terhadap budaya dan unsur-unsur tradisi lokal termasuk perkembangan sosial budaya

lokal tatkala berlangsungnya proses Islamisasi di Indonesia.9

Adapun unsur-unsur budaya yang berasal dari zaman prasejarah atau zaman

Hindu Budha adalah pertanian dan irigasi, sistem mata uang, pengetahuan astronomi,

pengetahuan berlayar, memandai logam, metrum, sistem pemerintahan desa (dorp

republic), seni batik, seni gamelan, dan wayang. Unsur-unsur budaya ini, lazim

disebut “teen poin brandes”.10 Sedangkan unsur-unsur tradisi lainnya yaitu animisme-

dinamisme, pemujaan kepada arwah para leluhur dengan punden berundak, dan

menhir sebagai artefaknya.11 Unsur-unsur budaya tentang animisme-dinamisme12

serta pemujaan terhadap arwah para leluhur selalu berkaitan dengan pola kepercayaan

masyarakat dalam tradisi budaya lokal. Praktik pemujaan leluhur juga dimanifestasi

secara materi dalam ragam produk budaya karena pemujaan leluhur merupakan salah

satu aspek penting dalam konstruksi sosial masyarakat pada masa itu.13

Praktik ziarah makam adalah bagian dari cara menghormati arwah para

leluhur. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat praktik-

praktik keagamaan di mana masyarakat dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang

berkaitan dengan tradisi ziarah kubur atau makam. Makam dan segala aktivitas yang

berkaitan dengan ziarah akan senantiasa mengingatkan manusia bahwa setelah

kehidupan akan ada kematian. Dengan demikian setidaknya manusia akan sadar untuk

melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam menghadapi alam arwah. Aktivitas

ziarah oleh banyak pihak juga dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu,

misalnya mencari ketenangan, mencari keberuntungan, kesembuhan dan sebagainya

sesuai dengan kharisma dan kisah keistimewaan tokoh yang dimakamkan.14

8Muhamad Nurhidayat, Lebih Dalam Tentang NU (Surabaya: Bina Aswaja, 2012), 2. 9Taufik Abdullah, Sejarah dan Dialog Peradaban (Jakarta: LIPI Press, 2005), 1148. 10Koentjaraningrat, Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan-penyelidikan

Masyarakat Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 455. 11Unsur-unsur budaya itu merupakan milik bangsa Indonesia yang paling awal (the

national proper element) sebagai media penepis unsur-unsur budaya luar yang masuk seperti

Hindu-Budha, Islam, China, dan budaya Barat. Dalam Taufik Abdullah, Sejarah dan Dialog

Peradaban (Jakarta: LIPI Press, 2005), 1148-1149. 12Pola kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh yang terdapat dalam benda-benda,

termasuk kepercayaan pada fenomena-fenomena alam. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar

Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 44. 13 Marlon NR Ririmasse, Pemujaan Leluhur di Kepulauan Maluku Tenggara, Jejak

Budaya Materi dan Perannya Bagi Studi Arkeologi Kawasan, Jurnal Patarjala, Vol. 4, No. 3

September 2012, 1. 14 Titi Munfangati, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa” Jurnal

Jantra Vol. II. No 3 Juni 2007 (Yogyakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai

Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta), 152.

Page 17: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

3

Ziarah makam merupakan salah satu tradisi yang masih terjaga dan terus

dilestarikan dalam kehidupan masyarakat luas. Berbagai maksud dan tujuan maupun

motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan masyarakat

selain karena kepercayaan mereka, juga akibat dari masih adanya pengaruh pada masa

Hindu-Budha. Pada masa itu, kedudukan seorang raja masih dianggap sebagai titisan

dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih dinilai

keramat termasuk makam, petilasan maupun benda-benda peninggalannya. Misalnya

Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk) diandaikan sebagai titisan Hyang Giri Nata yang

beristana di puncak Gunung Semeru.15

Ziarah di makam keramat atau makam orang yang dianggap suci mempunyai

tradisi yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan agama Islam. Selain itu,

kegiatan ziarah kubur juga sudah ada sejak masa pra-Islam. Tradisi ziarah kubur pada

masa pra-Islam ditandai dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang telah

meninggal. Hal ini sejalan dengan penyembahan terhadap arwah para leluhur yang

terjadi di berbagai belahan dunia. Misalnya pada masa Jahiliyah masyarakat Arab

masih mempunyai tradisi menyembah, mengagungkan berhala dan arwah leluhur

mereka. Masyarakat Jahiliyah menganggap berhala dan arwah para leluhur memiliki

kendali atas kehidupan mereka dan bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan.

Budaya mengagungkan arwah leluhur sudah menjadi tradisi yang mengakar kuat bagi

mereka di masa Jahiliyah. Hal inilah awal mulanya Rasulallah Saw melarang umat

Islam melakukan ziarah kubur. Larangan tersebut adalah bentuk kehati-hatian Nabi

dalam menjaga keimanan umat Islam karena saat itu umat Islam masih dekat dengan

budaya Jahiliyah dari berbagai tradisinya seperti menyembah berhala, pemujaan

terhadap arwah leluhur atau pengagungan terhadap nenek moyang mereka. Dengan

berziarah, dikhawatirkannya umat Islam akan mengarah pada perbuatan syirik.16

Seiring dengan kemajuan dakwahnya Nabi dalam menyebarkan Islam yang

disertai dengan keyakinan akan semakin kuatnya akidah umat Islam, maka Nabi

Muhammad Saw membolehkan umatnya untuk berziarah kubur. Diperbolehkannya

ziarah kubur ini didasarkan pada keyakinan bahwa dengan ziarah kubur, umat Islam

tidak meminta kepada ruh jenazah yang dikuburkan sebagaimana sebelumnya.17

Diperbolehkannya ziarah kubur pada masa Nabi, tentu disambut baik oleh

masyarakat luas yang juga memiliki tradisi ziarah kubur. Sehingga ketika Islam

masuk di suatu daerah yang memiliki kesamaan tradisi maka terjadilah proses saling

mengisi antar tradisi tersebut. Di Nusantara tradisi ziarah kubur sudah lazim dilakukan

oleh masyarakat luas. Ziarah kubur tidak hanya dilakukan di makam para leluhur,

tetapi juga di makam-makam orang yang dianggap berjasa bagi agama, negara dan

kehidupan umat manusia.

15 Erwin Arsadani, Islam dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi

Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa, Jurnal Esensia Vol. VIII No. 2 Juli 2012,

280. 16 M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,

Identitas Keagamaan dan Komersial, Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol 14. No. 2, Juli-

Desember 2016, 208. 17 Untuk itu, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Dahulu aku melarang kalian untuk

berziarah kubur. Ziarahlah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan

air mata dan mengingatkan pada kehidupan akhirat”. (H.R Hakim. Juz 1:376).

Page 18: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

4

Dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, para penyebar Islam

banyak melakukan pendekatan secara kultural untuk mengisi ruang-ruang budaya

yang masih syarat dengan nuansa Hindu-Budha dengan memasukan nilai-nilai Islam.

Hal tersebut terus dilakukan oleh para ulama atau para penyebar Islam saat itu. Sarana-

sarana lokal dimodifikasi sebagai media penyebaran ajaran agama. Dengan demikian,

penyebaran Islam yang dijalankan oleh para ulama saat itu terkesan sangat adaptif dan

akomodatif terhadap aspirasi-aspirasi masyarakatnya.18

Kehadiran Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di Nusantara akhirnya

mampu membawa nuansa baru bagi kehidupan masyarakat yang sebelumnya berada

pada era kebudayaan Hindu-Budha menjadi era kebudayaan yang bernuansa Islami.

Wali Sanga menjadi simbol penyebar agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau

Jawa. Meskipun ada pula tokoh-tokoh lain yang berperan dalam menyebarkan Islam

di Nusantara, namun karena kebesaran serta pengaruh “Sembilan Wali” tersebut yang

telah mendirikan kerajaan Islam di pulau Jawa masih terasa kuat dan sulit dihilangkan

dalam kehidupan masyarakatnya. Karena itu, Wali Sanga lebih banyak mendapat

perhatian khusus sehingga banyak disebut-sebut oleh masyarakat Jawa dibandingkan

dengan tokoh-tokoh penyebar Islam lainnya.19

Dalam menyebarkan dakwahnya Wali Sanga memiliki cara yang bijaksana.

Cara tersebut diterapkan dengan penuh toleransi dalam menyebarkan agama Islam

dan tetap pada komitmen etika yang tinggi untuk menghormati dan menghargai tradisi

serta adat-istiadatnya termasuk kepercayaan mereka. Hal ini ditandai dengan lebih

kepada penyelarasan ajaran budaya setempat. Untuk itu, banyak tradisi atau budaya

lokal masyarakat yang justru difungsikan sebagai sarana ajaran Islam sehingga Islam

dengan mudah dapat diterima dikalangan masyarakat Jawa dan Nusantara.

Menurut KH. Said Aqil Siradj dalam ceramahnya, beliau menyebutkan bahwa

Wali Sanga saat menyebarkan ajaran Islam melalui dakwahnya, pun dilakukan secara

berangsur-angsur. Islam diajarkan tampa menyakiti dan menyinggung siapapun, tidak

mengintimidasi, dan tidak pula mengancam masyarakat. Para Wali dalam dakwahnya

selalu memperkecil perintah yang membebani umat Hindu bahkan meminimalisir

kewajibannya saat itu.20 Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga tidak pula

mengandung unsur kekerasan dan unsur pemaksaan. Namun demikian, mengenai

praktik-praktik keagamaan memang masih sangat beragam terutama menyangkut pola

kepercayaan yang masih dipengaruhi oleh adat-istiadat lama mereka yang masih

mencerminkan pola tindakan yang syarat dengan ritual-ritual mistis.21 Pernyataan ini

tidak terbantahkan dengan adanya ciri-ciri masyarakat lokal yang masih primitif.

18Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,

2011), 93. 19Masykur Arif, Wali Sanga Menguak Kisah Hingga Fakta Sejarah (Yogyakarta:

Laksana, 2016), 25. 20Mahbib, “Dengan Budaya Islam Kuat” http://www.nu.or.id/post/read/60389/kiai-

said-dengan-budaya-islam-kuat. Diakses pada tanggal 1 Maret 2017. 21Menggambarakan dimensi kehidupan yang memiliki keterkaitan dengan pesantern

dan keyakinan-keyakinan mistis terhadap keberadaan para Wali yang kepercayaannya telah

dianut oleh warga desa kebanyakan. Lihat Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa

(Jakarta: Pustaka Alpabet, 2009), 237.

Page 19: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

5

Emile Durkheim menyebutkan bahwa ciri-ciri masyarakat lokal yang masih

tergolong primitif setidaknya ditandai dengan dua syarat utama yaitu sistem dalam

suatu organisasi masyarakat yang paling sederhana dan sistem religius yang lebih dulu

hadir dalam memperkenalkan unsur-unsur lain selain yang lebih tua dari agama.22

Sistem kepercayaan seperti ini biasanya akan menampilkan fenomena dalam praktik

keagamaan ketika mereka melakukan proses ritual yang bersifat mistis.

Indonesia yang dikenal sebagai mayoritas penganut agama Islam, memang

masih kental dengan nuansa kepercayaan dari pengaruh adat-istiadat lama mereka

sebagai warisan para leluhurnya. Karena itu, praktik-praktik keagamaan menjadi

sangat beragam dalam suatu budaya sesuai dengan unsur-unsur tradisi lokalnya.

Terlebih jika tradisi tersebut memiliki objek secara khusus sebagai simbol yang paling

dikeramatkan dalam ritualnya, maka dapat dipastikan bisa menimbulkan pradisposisi

(kecenderungan) yang akan mengarah pada pemaknaan spiritual dan dianggap

mengandung unsur kekuatan gaib. Geertz menyatakan bahwa simbol suci itu bersifat

normatif dan mempunyai konsekwensi besar dalam pelaksanaan sanksi-sankinya.23

Pelaksanaan dalam sebuah tradisi keagamaan, kadang terdapat proses ritual

yang hanya bersifat seremonial. Meskipun proses tersebut dijalankan sebagai bagian

dari cara untuk mengingatkan manusia pada eksistensi lingkungannya, tetapi ritual-

ritual tersebut tidak sebatas untuk diingat, melainkan bagaimana manusia dapat

mempergunakan simbol yang bersifat abstrak karena simbol tersebut timbul melalui

pemikiran sebagai suatu objek yang telah diinterpretasikan dalam sejumlah aktivitas

atau kegiatan sosial keagamaan seperti upacara kematian, pernikahan, maulid Nabi,

adat-istiadat dan lain sebagainya yang kongkrit dalam kehidupan mereka sehari-hari.24

Tradisi-tradisi keagamaan masyarakat yang usianya sejak kedatangan Islam

abad ke-7 Masehi, terdapat praktik-praktik yang dapat dijalankan setiap minggunya

atau bahkan pada waktu-waktu tertentu, seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad

Saw, Isra Mi’raj, perayaan Hari Asyura, Ziarah Kubur, perayaan Pernikahan, Haul,

22 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life (New York: Free

Press, 1992), 17. 23 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa

(Depok: Komunitas Bambu, 2017), 563. 24 Misalnya upacara selamatan yang menjadi aspek keagamaan, muncul sebagai

wadah dengan sistem yang menghadirkan dokterin agama dan berubah bentuk menjadi

serangkaian metapor dan simbol. Ritual-ritual keagamaan tersebut, bila dilihat secara aspek

sosiologis, penekananya justru lebih kepada tindakan sebagai suatu adat kebiasaan yang

dilakukan secara intensional sesuai dengan ketentuan waktu dan tempat disamping peristiwa

atau keperluan tertentu. Dalam Bryan S. Turner, Dramas, Fields, and Metaphors (Ithaca:

Cornell University Press, 1974), 17. Lihat juga Harsja W. Bachtiar, “The Rrligion of Java: A

Commentary Review” Jurnal Majalah Ilmu-ilmu Sastra, Volume 5. No. 1 1973, 85-118.

Page 20: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

6

Tablig Akbar, Tahlilan,25 Tabarruk,26 Mujahadah, Istighosah, Tawassul,27 Ziarah,28

Ziarah Makam,29 dan sebagainya. Sejumlah aktivitas keagamaan ini disebut sebagai

tradisi keagamaan karena tiap-tiap kegiatan selalu memiliki unsur ajaran agama dan

budaya, bahkan tidak menutup kemungkinan ada diantara salah satu unsur yang lebih

dominan dari unsur yang lain. Kemungkinan lainnya adalah timbulnya suatu

25Tahlil berasal dari kata hallala yuhallilu tahlilalan yang berarti membaca kalimat

La Illaha Illallah. Artinya bahwa tahlil berati membaca ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, membaca

tasbih, tahmid, dan sebagainya. Maka tahlil diperbolehkan dalam syariat Islam. Dalam Hadis

Rasulallah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: bahwa Nabi menyuruh untuk

memperbaiki iman dengan memperbanyak kalimat La Illaha Ilallah. Lihat: Marzuqi A Idris,

Dalil-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdiyyah (Lirboyo: Tim Kodifikasi LBM PPL, 2011), 56. 26Tabarruk adalah mengharap berkah, contohnya seorang sahabat yang ketika itu

mengharap berkah dengan meminta burdah yaitu jenis selimut yang bagian ujungnya dibordir.

Dalam sebuah kajian Aswaja, KH. Zyakki Mubarak mengatakan sahabat-sahabat Nabi dan

para ulama-ulama tersokhor telah ikut memperaktikkan tabarruk sebagaimana yang sering kita

saksikan seperti ketika mencium tangan, berziarah, menghormati tempat, benda-benda tertentu

hingga dimanfaatkan sebagai sarana wasillah agar tujuannya berkah melalui tindakan tersebut.

Lihat Marzuqi A. Idris, Dalil-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdiyyah, 83. Lihat juga Khairon

Mahbib, “Tabarruk di Praktekkan Sejak Zaman Nabi”. Lihat:

http://www.nu.or.id/post/read/38189/tabarruk-dipraktekkan-sejak-zaman-nabi. Diakses pada

tanggal 5 Januari, 2018. 27Tawassul artinya berperantara. Jika seseorang tidak sanggup menghadap langsung

maka sebaiknya melalui prantara. Imam Asyaukani mengatakan berperantara melalui Nabi

atau orang shaleh baik ketika masih hidup atau sesudah meninggal adalah ijma’. Hal ini

dilakukan oleh para sahabat dimana ketika bertawassul bukan semata-semata mengharapkan

kekuatan mereka yang sudah mati atau yang masih hidup, tetapi ia berwasilah terhadap

kemuliaannya, kesalehannya dan kedekatan derajatnya dengan Allah karena yang demikian

itu bukanlah manfaat dari manusia tetapi karena Allah SWT yang menjadikan mereka sebagai

hamba yang shaleh, dan meskipun mereka sudah meninggal atau masih hidup tentu tidak

membatasi kekuasaan Allah kepadanya karena ketaqwaan mereka kepada Allah tetap abadi.

Lihat: H.M Cholil Nafis, “Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik”.

http://www.nu.or.id/post/read/20279/tawassul-apakah-bukan-termasuk-syirik. Diakses pada

tanggal 5 Januari, 2018. 28 Ziarah dalam bahasa Arab berarti kunjungan. Kata ini biasanya diterapkan untuk

semua jenis kunjungan di beberapa tempat atau orang. Dalam istilah lokal, kata ziarah lebih

mengarah pada suatu kunjungan yang bersifat formal atau resmi kepada seorang tokoh, Kyai,

pejabat atau bisa juga bermakna ke tempat-tempat suci seperti makam, masjid, atau benda

yang keramat peninggalan para Wali untuk memperoleh berkah. Lihat: AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), 228.

29Dalam bahasa Arab, kata makam berasal dari maqam dan memiliki arti sebagai

suatu tempat, hirarki atau status. Tempat menyimpan jenazah dalam istilah Arab adalah

Qabr, tetapi kebiasaan orang Indonesia menyebutnya kubur. Istilah makam dan kubur

memiliki akhiran an, sehingga menjadi kuburan. Makam biasanya disebut tempat penguburan

atau pemakaman jenazah. Tetapi keduanya dalam waktu tertentu dapat dibedakan dimana

sesorang yang ziarah dapat mengatakan akan ke kuburan atau pemakaman. Sebaliknya, jika

yang dikuburkan merupakan orang shaleh atau ulama (wali) maka kuburannya akan disebut

makam wali dan tidak disebut kuburan wali. Lihat: Nur Syam, Islam Pesisir. Yogyakarta,

2005, 139.

Page 21: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

7

perbedaan pada subjek dan objek pelaksanaan tradisi keagamaannya yang disebabkan

oleh perbedaan suku, ras, demografi, geografi dan tingkat pemahaman keagamaan dan

budaya. Akan tetapi ia tetap berada dalam nuansa kebudayaan dan keislaman.30

Tradisi-tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat umumnya banyak

bersumber dari ajaran agama Islam. Walaupun dalam konteks tertentu ada pula tradisi

keagamaan yang masih menimbulkan pro-kontra terutama tentang praktek ziarah

kubur atau ziarah makam. Tradisi ziarah kubur atau makam memang sudah menjadi

kebiasaan masyarakat untuk memperoleh berkah. Pada kalangan masyarakat Jawa

misalnya, mereka melakukan ziarah kubur atau ziarah makam karena keyakinan atau

kepercayaannya terhadap keberadaan para Wali masih begitu kuat.31 Kebiasaan ini

telah membudaya dan selalu dipertahankan hingga dilestarikan karena berbagai alasan

dan motif-motif tertentu dalam melakukan ziarah tersebut.

Contoh lainnya adalah tradisi ziarah yang juga dilakukan oleh masyarakat

Lombok khusunya masyarakat Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok

Tengah telah menunjukkan adanya hubungan yang melekat dalam diri masyarakat

dengan keberadaan sang Wali. Tidak terhindarkan dalam konversi agama lokal dari

Islam yang melibatkan kehadiran sang Wali atau tokoh agama yang sangat dihormati.

Kebanyakan para tokoh atau Wali datang dari luar dengan mewarisi bendawi dalam

bentuk keramat hingga membuat tradisi baru dalam bentuk ziarah. Konversi tahap

awal ditandai dengan kontekstualisasi Islam ke dalam simbol budaya dan kosmologi

lokal. Pernyataan ini sebenarnya diartikan sebagai seperangkat benda-benda spiritual

yang telah menekankan pada aspek kebudayaan orang Islam Sasak di Lombok.32

Di wilayah Lombok bagian Selatan terdapat bukti-bukti arkeologis seperti

masjid kuno yang terletak di gunung Pujut, makam keramat Wali Nyato’ di Desa

Rembitan dan sumur yang dulunya dibuat oleh sang Wali. Bentuk fisik dari bangunan

tersebut tidak jauh beda dari umur bangunannya. Adanya bukti-bukti tersebut telah

menandakan kehadiran seorang tokoh atau Wali yang sangat dimungkinkan bahwa di

wilayah Pujut dan Desa Rembitan adalah pusat pengajaran Islam di Lombok Tengah

bagian Selatan saat itu.33

Makam keramat Wali Nyato’34 yang terletak di Desa Rembitan adalah salah

satu bukti sejarah yang menandakan bahwa dulunya pernah hadir seorang ulama atau

30 Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno

Jakarta: Pendekatan Sejarah (Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang

2017), 1-2. 31 Sebagaimana yang dikutif dari Koentjaraningrat oleh Bambang Pranowo, dalam

bukunya Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alpabet, 2009), 218. 32Erni Budiwanti, The Role of Wali Heritage of Nusantara International Jornal of

Religions Literature and Hatage, Volume. 3 No. 1 Juni 2014, 14. 33 Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus

Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian

Agama RI, 2011), 36. 34Makam Wali Nayo’adalah makam seorang Wali yang terletak di Desa Rembitan.

Bagi masyarakat Lombok Tengah, sebutan Wali Nyato’ erat kaitannya dengan tanda-tanda

kewaliannya karena Nyato’ artinya kejadian yang “Nyata”. Oleh karena itu, masyarakat

meyakini bahwa makam Wali Nyato’ adalah makam seorang Wali. Lihat: M. Najamuddin

Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes: Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 13.

Page 22: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

8

seorang Waliyullah di wilayah tersebut. Makam Wali Nyato adalah salah satu makam

keramat yang sudah sangat melegenda bagi masyarakatnya. Makam tersebut memiliki

keunikan dan kelebihan tersendiri bagi masyarakatnya, walaupun makam Wali Nyato’

hanya bisa diziarahi pada hari Rabu.35 Selain itu, makam ini juga diyakini mempunyai

kekeramatan yang luar biasa sehingga banyak masyarakat yang justru memanfaatkan

material-material disekitaran makam karena dinilai mengandung berkah dan kekuatan

spiritual. Untuk itu tidak sedikit dari mereka yang merasa perlu melakukan ziarah

karena maksud dan tujuan tertentu. Pemanfaatan material-material seperti tanah

makam atau sejenis kerikil-kerikil kecil disekitaran makam telah diyakini mampu

mengatasi persoalan yang dihadapi. Tradisi ini telah menjadi kepercayaan masyarakat

setempat dan umumnya masyarakat Lombok Tengah.36

Kekeramatan makam Wali Nyato’ memang sudah sangat populer, akan tetapi

tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang sejarah makam tersebut termasuk

identitas dari sang Wali. Dalam beberapa penelitian ilmiah pernah disebutkan bahwa

sang Wali adalah seorang ulama yang pernah menyebarkan ajaran Islam di Lombok

bagian Selatan, namun perlu diketahui bahwa Wali Nyato bukanlah nama aslinya.

Menurut Jamaluddin37 Wali Nyato’ bukan nama yang sebenarnya melainkan hanya

laqab (gelar) saja. Sedangkan Tawalinuddin Haris menyebutkan bahwa nama lain dari

Wali Nyato adalah Sayid Ali atau Sayid Abdurrahman38 tampa menjelaskan dari mana

nama itu diperoleh. Kendati demikian, masyarakat tetap saja melakukan ziarah di

makam kermat tersebut terlepas dari apakah mereka mengetahui atau memahami

sejarah dan peran penting sang Wali sebagai penyebar agama Islam pada masanya.

35Makam Wali Nyato’ terletak antara sekitar 49 km jika ditempuh dari Kota Mataram.

Menurut cerita dari masyarakat setempat, konon pernah ada wangsit dari Wali Nyato’ bahwa

bagi masyarakat yang ingin melakukan ziarah, baiknya ziarah pada hari Rabu karena sang

Wali mencurahkan berkah sepenuhnya. Oleh karena itu, ziarah ke makam tersebut hanya boleh

dilakukan pada hari Rabu. 36Menurut cerita dari masyarakat setempat. Air makam Wali Nyato’ sangat diyakini

mempunyai kekeramatan yang kuat. Oleh karena itu makam ini sering digunakan sebagai

media dalam mengungkap suatu kejadian yang menimpa masyarakat. Misalnya, ada yang

kecurian atau kehilangan ternak baik sapi, kerbau, kambing dan lain-lain. Dalam kejadian

seperti ini biasanya ada salah seorang warga yang dicurigai sebagai pelakunya sehingga orang

yang dicurigai tersebut akan dibawa ke makam Wali Nyato’ untuk disumpah. Dalam ritual

sumpah ini seseorang yang tadi dicurigai itu akan diminta meminum air makam. Tetapi kalau

ia merasa pernah mengambil barang tersebut, kemungkinan ia tidak akan siap meminum air

makam karena akan berakibat patal. Namun ada pula yang kadang-kadang nekat minum air

makam Wali Nayto’ tersebut hanya karena ingin menutupi diri dari perbuatan yang mereka

lakukan, akan tapi jika orang itu pernah mencuri dan berani meminum air makam, maka tidak

lama kemudian ia akan menderita sakit bahkan akan meninggal dunia. Hanya saja bagi yang

merasa dirinya pernah melakukan pencurian ia tidak akan bersedia meminum air tersebut. 37Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus

Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian

Agama RI, 2011), 37 38Lihat Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian

Data Arkeologi dan Sejarah, dalam Kajian: Journal Pemikiran Sosial Ekonomi Daerah NTB

(Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002), 18.

Page 23: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

9

Penjelasan di atas tentu menimbulkan banyak pertanyaan tentang siapa Wali

Nyato’ sebenarnya; dari mana asalnya dan siapa keturunanya. Pertanyaan-pertanyaan

ini tidak mampu dijawab sekaligus oleh masyarakat yang ziarah ke makam tersebut.

Apabila demikian, lalu apa yang melatarbelakangi masyarakat berbondong-bondong

melakukan ziarah di makam tersebut? Ini artinya, bahwa tradisi ziarah di makam ini

nampaknya tidak terkonstruksi melalui pengetahuan secara komprehensif terhadap

keberadaan makam tersebut. Untuk itu, peneliti ingin mengungkap latar belakang

tradisi ziarah makam Wali Nyato’ yang berkembang di masyarakat khususnya bagi

masyarakat setempat dan umumnya masyarakat Lombok Tengah.

Dalam kaitannya dengan aktivitas keagamaan khususnya menyangkut tradisi

ziarah makam, maka dirasa sangat perlu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di

atas terutama tentang latar belakang masyarakat dalam melakukan ziarah di makam

tersebut sehingga terkonstruksi dalam sebuah tindakan sosial keagamaan yang secara

intensionalitas dapat dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan digambarkan secara

naratif dan juga diarahkan pada serangkaian aktivitas ziarahnya seperti waktu ziarah,

tata cara berziarah, benda-benda yang diikutsertakan dalam ziarah, bacaan ketika

ziarah, nilai kekeramatan makam, tujuan berziarah, perilaku di sisi makam, asumsi

peziarah terhadap kewalian seseorang, dan asumsi tentang bentuk kekeramatan yang

dimiliki seorang Wali.

Serangkaian aktivitas ziarah saat masyarakat melakukan ziarah di makam

tersebut tentu akan didalami dan dikaji secara ilmiah berdasarkan persfektif keilmuan

dengan kerangka teoritik yang memadai. Misalnya secara teoritis bahwa suatu realitas

sosial keagamaan dalam masyarakat dibangun melalui sistem dialektika yang terjadi

antar pengetahuan dan pemahaman dari diri individu dan masyarakat melalui dunia

lingkungannya. Dialektika yang terjadi begitu lama biasanya tidak lepas dari berbagai

proses dengan tahapan atau momen tertentu dalam kehidupan mereka. Misalnya teori

konstruksi sosial dengan tiga momen pentingnya yaitu; eksternalisasi, objektivikasi

dan internalisasi dalam realitas sosial sebagai suatu kenyataan sosial. Kenyataan sosial

terjadi akibat dari adanya konstruksi sosial atau proses sosial buatan manusia akibat

dari perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini dan menuju masa depan.39

Makam keramat Wali Nyato’ adalah makam seorang ulama atau Wali yang

pernah hadir di Bumi Sasak Pulau Lombok. Sang Wali disebut-sebut sebagai sosok

karismatik yang pernah menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Lombok bagian

Selatan. Dengan demikian, makam ini tentu memiliki nilai historis tersendiri untuk

dapat dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat. Kehadiran peziarah selalu disertai

dengan tujuan-tujuan atau motivasi tertentu sehingga praktek ziarah di makam Wali

Nyato’ sudah menjadi tradisi yang sangat mengakar bagi masyarakat setempat dan

masyarakat Lombok Tengah.

Keberadaan sang Wali40 pada makam-makam keramat sangat diyakini oleh

masyarakat untuk memperoleh berkah dan manfaat bagi mereka. Walaupun ada juga

39Peter L. Berger and Thomas Luckamann, The Social Construction of Reality A

Treatise in The Socilogy of Knowledge (New York: Penguin Books, 1966), 208-209. 40Menurut al-Qusyayri, kata Wali mempunyai dua arti diantaranya: pertama dapat

berbentuk fa’il dan bermakna fa’il (pelaku pekerjaan) dengan menggunakan mubalaghah

(sangat menekankan). Artinya, Wali bisa didefinisikan sebagai orang yang benar-benar taat

Page 24: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

10

sebagian dari mereka yang datang berkunjung hanya sebatas ingin mengenang jasa-

jasa sang Wali dengan cara merefleksikan kisah perjalanannya sebagai bentuk rasa

penghormatan dan untuk mengingat peran penting beliau saat masih hidup sebagai

penyebar agama Islam di tengah kehidupan masyarakatnya. Dalam setiap tindakan

sang Wali, biasanya mengandung makna dan pesan moral yang sangat baik sehingga

masyarakat akan selalu menjadikannya sebagai pedoman hidup bahkan tidak menutup

kemungkinan akan diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari.41

Perkembangan hidup masyarakat dalam sebuah tradisi yang syarat dengan

ritual-ritual keagamaan seringkali memperlihatkan suatu bentuk yang segmentasinya

bukan hanya terjadi secara vertikal, tetapi bisa juga secara horizontal. Pada segmentasi

horizontal ini bisa dilihat berdasarkan aspek politik, ekonomi, gaya hidup, agama,

budaya dan perilaku. Segmentasi ini biasanya akan berdampak pada pola fikir

masyarakat dan berpengaruh pada gaya hidup serta pola kepercayaan42 mereka.

Sebagai suatu realitas agama, maka ziarah adalah sebuah kenyataan sosial yang dijaga

kelestariannya oleh masyarakat dikarenakan memiliki hubungan antara stratifikasi

sosial dengan eksistensi agama.

Tradisi ziarah adalah bentuk akulturasi antara budaya dan agama43 yang telah

mendapatkan posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat. Alasanya karena ziarah

ke makam Wali atau orang suci44 merupakan suatu kebaikan dan akan mendapatkan

berkah sebab baginya dalam berhubungan langsung dengan Tuhan amatlah sulit dan

tetap merasa tidak terjangkau sehingga ia memerlukan perantara. Dalam hal ini Allah

SWT telah menjelaskan dalam (Q.S Al-Baqarah) yang berbunyi:

dalam menjalankan printah Allah dan tidak disertai perbuatan-perbuatan maksiat. Kedua

dapat berbentuk fa’il dengan arti maf’ul (orang yang dikenai pekerjaan). Wali adalah orang

yang selalu berada dalam penjagaan Allah. Lihat In’amuzzahidin Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila Antara Tasawuf dan Psikologi (Semarang, Syifa Press, 2007), 49.

41Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Sepiritual Sepanjang Masa (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007), 41.

42Muhammad Widda Djuhan, "Ritual Di Makam Ageng Besari Tegalsari Jetis

Ponorogo.," Jurnal Kodifikasia Vol. 5.No. 1, 2011, 1-20. Di Akses pada tangal 27 Juli 2017. 43Puji Kurniawan, Mengakhiri Pertentangan Budaya dan Agama (Bandung: Pustaka

Aura Semesta, 2014), 65. 44Sebenarnya tidak ada yang bersifat suci kecuali dia (Allah Swt). Di dalam Al-

Qur’an, bicara tentang kesucian Allah dan manusia sepertinya terdapat larangan dalam

menghubungkan kedua konsep ini, karena mengenai kesucian Allah, sebagaimana yang

terdapat didalam Al-Qur’an (59:23 dan 62:1). Sementara kata-kata yang menyebutkan

tentang kesucian manusia, tidak hanya dibentuk melalui akar kata yang berbeda, akan tetapi

ia berasal dari akar kata yang secara makna aslinya dinilai sangat bertolak belakang dengan

al-Qudūs. Sebaliknya Walȃyah justru muncul dua kali dalam ayat-ayat suci seperti yang

terdapat dalam (Q.S 8:27 dan Q.S 18:44). Ungkapan tersebut hanya menggambarkan sebagai

suatu ungkapan tentang kesetiakawanan terhadap sesama muslim, disamping menyebutkan

sebagai suatu bentuk perlindungan yang telah diberikan oleh Allah kepada umatnya.

Sedangkan kata Walī yang jamaknya awliyȃ justru disebutkan berkali-kali, hanya saja kata-

kata yang demikian itu perlu ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda selama tidak

melenceng dari konteksnya. Lihat: Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 10.

Page 25: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

11

يستجيبوا لي اع اذا دعان فل

جيب دعوة الد ي قريب ا

ي فان ك عبادي عن لواذا سا

هم يرش عل

يؤمنوا بي ل

٦٨١دون ول

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka

(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang

yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi

(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu

berada dalam kebenaran” (Q.S. Al- Baqarah 2: 186).45

Ayat di atas telah menerangkan bahwa Allah Swt begitu dekat dengan hamba-

Nya. Sebagaimana yang tersebutkan dalam firmannya “Aku adalah dekat hamba-

hamba-Ku.” Dan Allah sangatlah dekat dengan hamba-hamba-Nya, namun demikian

apakah setiap hamba telah mengenal kedudukan Allah Swt menurut pengertiannya,

sehingga ia dapat ikhlas dalam segala perbuatannya dengan tujuan untuk meluapkan

semua perasaan mereka terhadap Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw, sangat

mengenal salah seorang sahabat dekatnya yang menjadi Wali Allah.46

Wali-wali Allah adalah seseorang yang memiliki kelebihan dan kekuatan

batin melalui perjalanan spiritualnya karena selalu bertakwa kepada Allah Swt.

Dimata manusia seorang Waliyullah dinilai telah mampu menghimpun peribadinya

dengan berbagai kekuatan spiritual dan kesaktian hingga keistimewaannya yang

kemudian disebut dengan istilah mistik.47 Anggapan tersebut akibat dari adanya bakat

secara lahiriah yang dimiliki oleh sang Wali disamping kekuatan itu diperoleh melalui

suatu perjalanan batin secara khusus bagi sang Wali. Kemampuan spiritual yang

dimiliki oleh seorang Wali yang sebelumnya ada dan melekat pada dirinya, kemudian

dapat dipastikan oleh masyarakat bahwa kekuatan tersebut akan bersemayam pula di

makamnya. Oleh sebab itu, dengan beberapa pengecualian, tradisi ziarah ke makam

Wali hanya dapat dilakukan pada satu-satunya tempat yaitu dimakamnya48.

45 Lihat: Departemen Agama RI, Qur’an dan Terjemahan Juz 1-Juz 30, Departemen

Agama RI (Jakarta: Duta Surya, 2011), 35. 46Lihat:https://fgulen.com/id/karya-karya/tafsir-al-quran/1890-surah-al

baqarah/49549-surah-al-baqarah-2-186 diakses pada tanggal 16 Mei 2017. 47Ahmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin, Bukti-Bukti Gusdur Wali (Jakarta,

Renebook, 2016), 9. 48Menurut Yann Richarad, bahwa kuburan orang yang ditokohkan semasa hidupnya

disebut dengan istilah umum “keramat” dalam istilah Arab karomah yang berarti karamat

(keajaiban) sedangkan di Indonesia menunjukkan suatu tempat atau manusianya sendiri dan

tentu bukan hanya sekedar wali-wali Islam atau makamnya saja. Dalam konteks ini, kadang

kala jika seseorang mempunyai kemampuan atau kekuatan spiritual atau paranormal maka ia

dapat pula dikatakan orang yang keramat. Disisi lain nampak adanya keterhubungan dengan

makam-makam wali dan tempat-tempat keramat lainnya, hanya saja keterhubungan tersebut

belum tentu berkaitan dengan sosok manusia. Lihat: Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010) 229.

Page 26: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

12

Namun perlu diketahui bahwa dalam konteks pelaksanaan ziarah makam atau

ziarah kubur sebenarnya tidak terkait secara langsung di dalam al-Qur’an. Akan tetapi

praktek dalam tradisi ziarah tersebut kadang-kadang sedemikian khas dibuat sehingga

bagi orang yang ingin menjustifikasinya seakan-akan tidak kekurangan alasan untuk

menentangnya karena dianggap sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang.

Prakteknya yang sering spektakuler terutama ketika para peziarah menampilkan pola

perilaku dengan luapan emosional keyakinan yang terlalu berlebihan sehingga bagi

peziarah yang lebih bersikap rasional dan sepiritual seringkali merasa terganggu.49

Praktek dalam suatu tradisi keagamaan seperti tradisi ziarah kubur atau ziarah

makam jika dilakukan dengan cara yang sangat berlebihan, maka bisa saja dikelaim

sebagai suatu tradisi yang menyimpang bahkan akan dijustifikasi sebagai suatu bentuk

praktek agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat serta ritus-ritusnya. Praktek

dalam tradisi-tradisi yang dijalankan dengan cara seperti itu dapat dikatakan sebagai

pola perilaku yang kurang murni dari sudut akidah bahkan disebut tidak cukup serius

hingga akhirnya hanya sebatas ditolerir menjadi bagian dari sarana yang dibutuhkan

bagi seseorang yang masih lemah keyakinannya untuk kemudian dapat mengamalkan

dan mempertebal rasa keimanan semata.50

Hal di atas adalah sebuah keniscayaan dari sudut pandang kita sebagai mahluk

sosial. Tetapi bagaimanapun juga fenomena ziarah sudah bukan rahasia umum karena

hampir semua kalangan masyarakat juga melakukannya. Tradisi ziarah di makam

keramat Wali Nyato51 juga diyakini oleh masyarakat bahwa makam tersebut memiliki

kekuatan sepiritual melalui berkah dari sang Wali. Kepercayaan ini akan berdampak

pada sistem tindakan sosial keagamaan dengan pola perilaku yang khas sesuai dengan

yang diketahuinya dari cerita-cerita yang berkembang bahkan melalui pengalaman,

perasaan, dan pemahaman mereka masing-masing. Fenomena ini terjadi pada semua

lapisan sosial masyarakat52 yang melakukan ziarah di makam tersebut.

Kehadiran peziarah dari berbagai lapisan sosial tersebut, tentu tidak luput dari

berbagai motif yang kadang-kadang sulit dapat diketahui. Sebagian besar masyarakat

percaya bahwa makam Wali itu sebagai tempat dimana orang melihat beliau terakhir

kali sebelum sang Wali pergi ketempat lain untuk menyebarkan Islam.53 Struktur

49Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, 2010, 1. 50Henri Chambert-Lior dan Claude Goillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2010,

2. 51Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: DIVA Press 2016), 256-257. 52Lapisan sosial sebenarnya kata lain dari stratifikasi sosial, yaitu suatu kedudukan

pada masyarakat dan di ukur berdasarkan beberapa unsur baik kekayaan, agama, kekuasaan,

kerhormatan dan pendidikan. Stratifikasi pada kenyataannya akan cendrung mempengaruhi

cara pandang dan pola pikir masyarakat sesuai dengan kedudukan mereka secara status sosial.

Lihat: Elly M. Stiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permaslahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), 399.

53Erni Budiwanti, The Role of Wali, Ancient Mosques and Sacred Tombs In The

Dynamics of Islamisation In Lombok, Heritage Of NUSANTARA International Journal of Religious Literature Heritage, Volume. 3 No. 1 Juni. 2014, 17.

Page 27: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

13

masyarakat Lombok yang multikultural biasanya akan membentuk stratifikasi dalam

beberapa lapisan sosial54.

Tradisi ziarah makam keramat di Lombok dengan sejumlah kompleksitasnya

tampak nyata dalam kehidupan masyarakat dan menganggap bahwa di tempat-tempat

keramat telah bersemayam kekuatan-kekuatan gaib dan kekuatan sepiritual yang

pernah dimiliki oleh para tokoh atau leluhur mereka. Demikian juga secara tindakan

terhadap para peziarah yang dilakukan oleh seluruh struktur masyarakat Jawa, terlepas

dia seorang yang jika meminjam bahasanya Geertz yaitu; dari kalangan abangan,

priyayi, dan santri bahwa mereka memiliki motivasi yang berbeda-beda dan faktanya

telah menggambarkan pentingnya ziarah dalam kultur masyarakat Jawa.55

Kekeramatan makam telah membentuk sistem kepercayaan atau keyakinan

masyarakat luas. Demikian halnya dengan kekeramatan makam Wali Nyato’ yang ada

di Desa Rembitan Kabupaten Lombok Tengah dengan sejumlah konsepsi-konsepsi

terhadap pemaknaan para peziarah dalam mengartikulasikan perilaku ziarahnya pada

suatu tradisi keagamaan saat melakukan ritualnya. Oleh karena itu, fenomena ziarah

ke makam keramat ini telah menunjukan bahwa individu dan masyarakat memiliki

pola kepercayaan tersendiri dalam mengaktualisasikan perilaku ziarahnya.

Fenomena ziarah yang terjadi di makam keramat Wali Nyato’ ini kemudian

mengundang perhatian yang cukup menarik untuk diteliti melalui pendekatan atau

perspektif fenomenologi dan interaksi simbolik. Ketertarikan peneliti terhadap tradisi

ziarah tersebut tentu akan menjadi fokus peneliti dalam menganalisis latar belakang

masyarakat melakukan praktek ziarah di makam keramat tersebut sesuai dengan apa

yang mengkonstruksinya dalam menjalankan ritual-ritualnya saat berziarah sehingga

membentuk suatu pola kepercayaan atau keyakinan yang terkadang berbeda antar satu

dengan yang lainnya.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Merujuk pada latar belakang di atas, terdapat beberapa permaslahan yang bisa

di identifikasi diantaranya:

a. Tradisi ziarah telah menjadi suatu bentuk akulturasi antara agama dan budaya

pada masyarakat.

b. Timbulnya pola kepercayaan atau sistem keyakinan masyarakat yang menjadi

dasar dalam menjalankan ritual-ritual ziarah.

c. Faktor-faktor pengetahuan melalui cerita yang sudah melegenda juga mampu

mengkonstruksi masyarakat dalam melakukan ziarah di makam keramat Wali

Nyato’ sehingga memunculkan praktek keagamaan yang khas dari tradisi

leluhurnya sesuai dengan yang telah dipahaminya.

54Adapun stratifikasi sosial pada masyarakat jika dilihat secara hirarkis adalah

stratifikasi kelas yang meliputi; ekonomi, posisi pekerjaan, gaya hidup, jenis kelamin, usia,

asset dan etnis. Lihat: Jeffries dan Ransfrod, Social Stratification: a Multiple Hierarchy Approach, (INC: United States of America, 1980), 3-4.

55Fikria Najitama, Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah Pada Makam Santri

dan Priyayi) Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Volume, 11 No. 1 Januauri-Juni 2013. 24.

Page 28: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

14

d. Terdapat sejumlah strukturasi aktivitas sosial keagamaan dalam bentuk ziarah

seperti waktu ziarah, tata cara berziarah, do’a berziarah, etika ziarah, perilaku

ziarah dan lain sebagainya.

e. Adanya keragaman motivasi serta tujuan para peziarah

f. Keramatnya makam juga dapat mendorong kepercayaan masyarakat untuk

merasa perlu melakukan ziarah.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti merumuskan permasalahan

yang akan dibahas yakni: bagaimana masyarakat terkonstruksi dalam sebuah tradisi

keagamaan khususnya tentang ziarah makam keramat sehingga membentuk pola

kepercayaan mereka saat berziarah di makam keramat Wali Nyato’. Pertanyaan mayor

ini kemudian akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan minor sebagai berikut:

a. Bagaimana proses sosial itu terjadi dalam dunia sosio kultural masyararkat

hingga melatarbelakangi praktek ziarah di makam keramat Wali Nyato’?

b. Apa yang membentuk sistem keyakinan masyarakat melakukan praktik ziarah

di makam kermat Wali Nyato’ tersebut?

3. Batasan Masalah

Menyadari luasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti akan

membatasinya secara sepesifik supaya tidak melenceng dari alur pembahasan.

Oleh karena itu peneliti akan mengungkap secara rinci tentang konstruksi sosial

dalam tradisi keagamaan masyarakat sekaligus akan melihat dan menganalisis

praktek ziarah di makam keramat Wali Nyato’ dengan mendalami latar belakang

mereka ketika melakukan ziarah yang mampu memuat tindakan-tindakan sosial

keagamaan mereka khususnya tindakan ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di

Desa Rembitan, Kecamatan Pujut. Kabupaten Lombok Tengah melalui teori

social construction of reality.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap praktek ziarah

makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan yang telah menjadi bagian dari tradisi

keagamaan masyarakat Lombok Tengah. Terkonstruksinya masyarakat dalam sebuah

tradisi biasanya dapat mempengaruhi pola pikir atau pola kepercayaan mereka dari

sebuah realitas yang ada. Hasil analisis ini setidaknya dapat digunakan untuk:

1. Mengetahui bagaimana masyarakat terkonstruksi dalam sebuah teradisi

keagamaan dengan latar belakang pengetahuan serta pemahaman melalui

cerita, sejarah, atau agama yang dapat menimbulkan kecenderungan saat

melakukan ziarah di makam keramat tersebut.

2. Untuk melakukan identifikasi terhadap praktek-praktek ziarah kubur atau

ziarah makam keramat yang tercermin melalui tindakan sosial keagamaan

sesuai dengan sistem keyakinan atau pola kepercayaan mereka yang telah

berkembang lama dalam dunia sosio-kultrualnya.

3. Untuk menggambarkan secara karaktristik motif-motif serta tujuan para

peziarah ketika melakukan ziarah di makam keramat tersebut sesuai dengan

Page 29: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

15

kepentingan yang harus mereka penuhi untuk mewujudkan suatu harapan atau

keinginan mereka masing-masing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pikiran-pikiran

serta wawasan keilmuan demi kemajuan dan perkembangan ilmu sosiologi-

antropologi agama terutama mengenai konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan

masyarakat yang berkaitan dengan praktek ziarah kubur atau ziarah makam keramat

karena masih memiliki hubungan dengan pola kepercayaan atau sistem keyakinan

mereka, melalui pendekatan fenomenologi dan kajian teori the social construction of

reality.56

Manfaat secara praktis dalam penelitian ini adalah:

1. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan sekaligus

membuka cakrawala berpikir masyarakat dalam menjalankan tradisi-tradisi

keagamaannya terutama mengenai tindakan dalam berziarah di makam

keramat. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan

bagi para studi lanjutan mengenai tradisi ziarah makam bagi masyarakat.

2. Penelitian ini juga diharapkan menjadi bagian dari sumber informasi secara

konperhensif dalam kaitannya dengan konstruksi sosial pada sebuah tradisi

keagamaan masyarakat khususnya tentang praktik ziarah makam keramat.

3. Melalui penelitian ini, diharapkan mampu menumbuh kembangkan sudut

pandang atau paradigma baru untuk menambah wawasan keilmuan tentang

tradisi keagamaan bagi masyarakat dan bagi pemerintah setempat agar dapat

difungsikan sebagai konsep dalam mengembangkan wisata religi.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian ini akan mengamati proses sosial dalam tradisi keagamaan dengan

melihat latar belakang masyarakat dalam menjalankan praktik ziarahnya. Tradisi

keagamaan ini biasanya tidak terlepas dari pola kepercayaan mereka masing-masing.

Sebelumnya banyak penelitian-penelitian serupa yang juga membahas tentang tradisi-

tradisi keagamaan trutama tradisi ziarah makam keramat, hanya saja menurut peneliti

masih sangat kurang yang membahas tentang konstruksi sosial masyarakat dalam

tradisi keagamaan yang dapat membentuk pola tindakan sosial berdasarkan latar

belakangnya melalui pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan persepsi terhadap

proses sosial yang dialaminya dalam dunia lingkunganya sehingga membentuk suatu

kecenderungan (pradisposisi) bagi mereka.

Adapun penelitian-penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

Penelitian Ahmad Amir Aziz dkk, dalam penelitiannya ia membahas masalah

“Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kekeramatan

Makam-makam Kuno di Lombok). Dalam penelitian tersebut ia memfokuskannya

dengan mengambil bidang secara spesifik khususnya yang berkaitan dengan motif,

56Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality a

Treatise in The Sociology of Knowledge ((New York: Penguin Books, 1966), 33

Page 30: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

16

keyakinan-kepercayaan dan sistem ritual yang diperagakan oleh peziarah. Mengenai

kata “Keramat” sebenarnya sebuah ucapan yang sudah baku atau lazim digunakan

oleh masyarakat luas ketika menyatakan tentang suatu hal yang berhubungan dengan

mistis. Bagi umat Islam, memang memiliki ragamnya cara pandang secara teologis

perihal keabsahan tentang suatu karāmah. Dalam konteks ini menyangkut persoalan

kekeramatan, tidak hanya sebatas masalah agama tetapi berkaitan dengan tradisi dan

budaya.57

Berikutnya adalah penelitian Mariatul Qibtiyah. Dalam penelitiannya yang

juga membahas “Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan; (Analisis atas Fenomena

Kekeramatan Makam di Kota Palembang). Penelitiannya juga mendeskripsikan pola

tindakan atau perilaku masyarakat ketika melakukan ziarah makam keramat di Kota

Palembang. Kemudian melakukan analisis terhadap hubungan stratifikasi sosial yang

dianggap memiliki pengaruh dalam membentuk suatu pola tindakan keagamaan yang

berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaan masyarakat tentang spiritualitas

makam keramat tersebut. Melalui penelitian ini diperoleh bahwa stratifikasi dan pola

kepercayaan masyarakat disebutkan memiliki interelasi yang sangat kuat. Oleh karena

itu, semakin tinggi status sosial seseorang, maka akan semakin rasional pula sistem

kepercayaannya.58

Dalam karyanya Nur Syam, mengenai “Tradisi Islam Lokal Pesisiran Jawa”,

ia menyebutkan bahwa pentingnya tiga unsur objek yang disakralkan oleh masyarakat

sehingga menjadi medium budaya (culture sphere) yang begitu kuat. Tiga lokus yang

dimaksud adalah masjid, sumur, dan makam. Seperti yang diketahui bahwa masjid

merupakan medium pertemuan umat Islam meskipun kadang terdapat perbedaan

pemahaman keagamaan, namun masjid menjadi sarana berkumpulnya umat Islam.

Untuk itu, sering mucul istilah pengelompokan atau penggolongan-penggolongan

yang menyebutkan adanya ‘wong NU’ dan Muhammadiyah’. Sedangkan makam dan

sumur sepertinya lebih melekat dengan sebutan bagi tradisi wong NU’ dan Abangan.

Diantara medium-medium budaya tersebut kemudian menjadi simbol dalam budaya

Islam lokal dan terdapat hubungan antar berbagai golongan sosial seperti aktor atau

agen hingga berbagai tindakan-tindakan lain di dalamnya. Tiga medan budaya ini

secara keseluruhan akan selalu memiliki keterkaitan dengan eksistensi para Wali atau

tokoh suci. Meskipuan seorang Wali atau tokoh suci tersebut telah meninggal, akan

tetapi keramatnya selalu diyakini memiliki berkah.59

Disertasinya Badruddin tentang “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian

Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif

Fenomenologis” yang melakukan analisis melalui kajian teori konstruksi sosial yang

berkaitan dengan kegiatan ziarah di makam Kyai Hamid. Perilaku individu terbentuk

dari motivasi tertentu dan didukung dengan teks-teks suci atau ajaran normatif dari

57Ahmad Amir Aziz, dkk. “Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat

terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok”), Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.

1, No. 1 Desember 2004, 59-77. 58Mariatul Qibtiyah, Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan (Analisis Atas

Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang. Tesis: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2014, 195-196. 59Nur Syam, Tradisi Islam Lokal Pesisir Jawa (Yogyakrta: LkiS, 2005), 145.

Page 31: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

17

para leluhurnya. Kegiatan tersebut di laksankan secara terus-menerus hingga akan

menjadi pola tindakan tertentu dan dapat di pahami secara kolektif. Melalui teori

kounstruksi sosial ia menjelaskan tentang adanya proses sosialisasi tertentu. Dengan

demikian, secara substansi dan inti dari teori itu adalah telah menunjukkan tentang

terjadinya suatu proses dialektika dalam kehidupan sosial masyarakat yang ada dalam

suatu budaya atau tradisi itu sendiri. Harus diakui bahwa tradisi ziarah di makam Kyai

Hamid sebenarnya berawal dari suatu tindakan perseorangan dan terakumulasi

sebagai suatu realitas yang bersifat obyektif. Realitas obyektif tersebut kemudian

diserap kembali dalam diri seseorang sehingga ditafsirkan sesuai dengan pengetahuan

dan kepentingan mereka masing-masing.60

Karya lain yang juga pernah ditulis oleh Jamhari, mengenai “The Meaning

Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”,61 dalam studi lapangan di Bayat

Klaten Jawa Tengah, ia memfokuskannya terhadap suatu bentuk pemahaman tentang

barakah bagi para peziarah atau pengunjung makam Sunan Bayat. Adapun karya ini

juga lebih menekankan pada suatu aspek tentang tradisi ziarah yang selalu dapat

dipertahakan oleh individu dan masyarakat terutama dari segi ritualismenya dalam

melakukan pemujaan makam dan pemahamannya terhadap konsep tentang barakah

ziarah itu sendiri.

Selain penelitian-penelitan terdahulu di atas, ada pula sejumlah penelitian

yang memiliki relevansi dengan penelitian sebelumnya tentang ziarah. Hanya saja

penelitian-penelitian tersebut tidak banyak membicarakan tentang konstruksi sosial

yang didasari pada sejumlah aspek-aspek pengetahuan serta pemahaman mereka yang

mengarah pada pemaknaan terhadap apa yang telah diketahui dan dipahami bahkan

yang dirasakan dan dialaminya. Misalnya tradisi ziarah yang seringkali dihubungkan

dengan determinan-determinan kekuasaan, ekonomi, politik dan lain-lain. Padahal

praktek ziarah bisa saja timbul akibat suatu pengetahuan dan pemahaman seseorang

sehingga menjadi suatu tindakan atau perilaku yang akan membentuk kecenderungan

(pradisposisi) terhadap apa yang ia ketahui, pahami, alami, dan raskan sebagai suatu

tindakan yang nyata. Walaupun tidak sedikit dari para peneliti yang menggunakan

konsep ziarah menjadi pintu masuk utama dalam melakukan sebuah penelitiannya.

Tetapi mengenai sistem konstruksi sosial dengan praktek ziarah nampaknya masih

jarang dijumpai. Beberapa penelitian antropologi yang mengkaji atau menganalisis

tentang karakter individu dalam konsep keberagamaan suatu kelompok muslim

sesering mungkin menghindari penelusuran mengenai konstruksi sosial pengetahuan

serta pemahaman dalam tradisi keagamaan khususnya tentang perilaku ziarah.

The Religion of Java, sebuah karya yang dihasilkan oleh Clifford Geertz62

adalah hasil dari penelitian pertamanya yang pernah dilakukan selama kurang lebih

tiga tahun (1951-1954), dimana saat itu Geertz memilih tinggal di salah satu wilayah

60Badruddin, Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kiyai Abdul Hamid Bin

Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Perspektif Fenomenologis. Disertasi:

Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011, 115. 61Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah” Studia

Islamika (Indonesia Journal for Islamic Studies), Vol. 8, No. 1 2001, 87-123. 62Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priayayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:

Pustaka Jaya, 1983), 97.

Page 32: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

18

Mojokuto tepatnya di sebuah Kota kecil yang terletak di wilayah Jawa Timur. Dalam

penelitiannya, Geertz memetakan lokus utama dalam melakukan penelitian tersebut

sehingga Geertz menemukan tiga tipe kelas dalam perekonomian masyarakat di Jawa

diantaranya masyarakat petani, buruh, pedagang, serta birokrat atau ningrat Jawa.

Mengenai budaya dan tradisi dari beberpa lokus tersebut, Geertz menilai masing-

masing telah menjalankan tipe kebudayaan mereka secara sendiri-sendiri terutama

menyangkut perilaku keagamaan seperti ritus-ritus dan keyakinan atau kepercayaan

yang dapat dilaksanakan oleh masing-masing tipe tersebut. Dengan demikian, Geertz

dalam hal ini memunculkan istilah Abangan dalam kategori pertama dan Santri untuk

kategori kedua, sedangkan Priyai merupakan kategori kelas ketiga. Meskipun terjadi

pengkelasifikasian terhadap istilah di atas, Geertz hanya bermaksud untuk sebatas

menggambarkan dimensi kepercayaan bagi masyarakat yang bukan lagi pada aspek

ekonomi. Itulah yang membuat Geertz menggarisbawahi bahwa trikotomi itu selalu

mencerminkan organisasi moral dalam kebudayaan Jawa.63

Dalam sistem tradisi ziarah makam, banyak para peneliti yang memusatkan

perhatiannya di Jawa. Sebagaimana yang tersebutkan di atas bahwa sejumlah peneliti

terdahulu menilai sangat penting untuk menjadikan tradisi ziarah sebagai pintu masuk

dalam melakukan penelitiannya. Mark Woodward misalnya, ia menemukan adanya

keragaman perilaku dalam tradisi ziarah kubur dimakam keluarga Kraton Yogyakarta

dibandingkan dengan tradisi ziarah makam secara umum seperti yang berlaku di Jawa

Timur. Biasanya peziarah hanya sebatas mengharapkan atau istilah Jawanya ngalap

barakah untuk mengatasi permasalahan hidup yang mereka hadapi. Sedangkan di

Yogyakarta dan Surakarta, para peziarah harus mentaati setiap aturan atau ketentuan

yang sudah diberlakukan oleh juru kunci makam. Selain itu, peziarah atau pengunjung

makam keluarga keraton harus menggunakan pakaian formal adat Jawa. Misalnya

untuk peziarah laki-laki harus membawa keris dan peziarah perempuan tidak harus

mengenakan kerudung. Para peziarah akan dipandu oleh penjaga makam yang telah

ditugaskan dari pihak keraton untuk menjaga atau mengelola makam tersebut.

Para peziarah tidak dibatasi dalam menjalankan ritual-ritual tertentu, hanya

saja setiap individu dari budaya mereka yang berlaku pada dua wilayah yang berbeda

ini telah menunjukan adanya unsur Islam dan unsur Jawa. Namun demikian, terdapat

pula unsur perbedaan yang cukup signifikan mengenai otoritas keagamaan dalam hal

ziarah. Sebagaimana yang berlaku di Jawa Timur bahwa Kyai merupakan pemegang

otoritas keagamaan bahkan pada aspek otoritas lain seperti politik yang kadang kala

dikendalikan oleh sang Kyai. Berbeda dengan tradisi yang berlaku di Yogyakarta

dimana pemegang otoritas keagamaan dan politik justru dikendalikan oleh Sultan.

Jika di wilayah Yogyakarta dan Surakarta perilaku ziarah dapat dikendalikan atau

dikontrol oleh pihak Sultan, maka di wilayah Jawa Timur tradisi ziarah selain

63Menurut Geertz, Abangan sebagai kelompok pertama, diposisikan pada dimensi

animinstik dari sinkritisme Jawa yang menjalankan keagamaan Jawa yang asli dan umumnya

ia di hubungakan melalui unsur petani. Sedangkan Santri diposisikan pada dimensi Islam

yang sinkritis dan dikaitkan melalui dagang. Terakhir kelompok Priyai diposisikan pada

dimensi birokratik. Lihat: Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab

Mahasin dan Bur Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), 112.

Page 33: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

19

dikontrol oleh Kyai juga didasarkan pada tradisi yang telah berlaku dalam kehidupan

masyarakatnya.64

Di Lombok, juru kunci makam adalah satu-satunya orang yang memegang

otoritas ziarah termasuk atauran ziarah yang sudah ditentukan. Jika di wilayah

Yogyakarta perilaku ziarah syarat dengan adat Jawa, dan Jawa Timur lebih kepada

unsur tradisi Islam, maka di Lombok tradisi ziarah yang berlaku justru penekananya

lebih kepada hari atau waktu tertentu selain dari tradisi yang sudah berlaku dalam

kehidupan masyarakatnya. Misalnya ziarah ke makam keramat Wali Nyato’ hanya

boleh dilakukan pada hari Rabu. Pemegang otoritas di makam tersebut nampaknya

tidak harus dituntut secara familiar dengan nuansa pemahaman keagamaan yang luas,

bahkan tidak pula terlibat secara aktif dalam politik atau kekuasaan karena otoritas

sebagai juru kunci makam hanya dapat dipegang oleh keturunan dari sang juru kunci

secara turun- temurun.65

F. Metode Penelitian.

1. Desain Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Peneliti akan melakukan analisis praktik ziarah makam keramat Wali Nyato’

yang berlokasi di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Alasan peneliti mengambil Lombok Tengah sebagai lokasi penelitian ini karena

banyaknya masyarakat melakukan ziarah di makam keramat tersebut walaupun ada

pula makam-makam keramat lainnya. Jika dirunut kembali ke pertanyaan awal, maka

tentu sekali masyarakat melakukan ziarah di makam tersebut juga mempunyai alasan

tersendiri. Sebagai mana Peter L. Berger66 menyatakan bahwa proses sosial dalam

kehidupan masyarakat terjadi akibat adanya adaptasi, identifikasi dan penyerapan

kembali ke dalam diri atas realitas sosial tersebut sehingga cepat atau lambat akan

membentuk pengetahuan serta pemahaman bagi masyarakatnya dan akan membentuk

dialektika sebagai model sosialisasinya dalam lingkungannya. Oleh karena itu, semua

tradisi dalam kehidupan masyarakat akan melewati proses sosial sebagai konstruksi

sosial kehidupannya untuk menjalankan tradisinya. Proses dialektika dalam tradisi ini

kemudian akan mengarahkan seseorang pada sebuah kecendrungan (pradisposisi)

dalam perilakunya. Keseluruhan sikap dan tingkah laku tersebut diperoleh melalui

konsepsi-konsepsi dari realitas sosial melalui dunia sosio-kulturalnya.

Weber juga menyatakan bahwa kelas-kelas sosial tidak harus dititikberatkan

pada aspek ekonomi semata melainkan dapat dilihat berdasarkan status dan pola

keagamaanya. Bersandar pada argument ini, sebagai sebuah proses sosial yang akan

dilalui oleh setiap anggota masyarakat, maka sangat dimungkinkan akan melahirkan

berbagai pengetahuan, pengalaman, perasaan, emosi, hasrat dan lain sebagainya

dalam sebuah tradisi keagamaan terutama tentang tradisi ziarah makam keramat. Hal

64Mark Woodward, Java: Indonesia and Islam (New York: Springer, 2010), 134. 65Informasi yang diperoleh dari juru kunci makam sejak awal ketika dilapangan untuk

melakukan surve lokasi penelitian di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok

Tengah. 21 Juni 2017. 66Peter L. Berger, The Social Construction of Reality a Treatise in The Sociology of

Knowledge ((New York: Penguin Books, 1966), 33-34

Page 34: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

20

ini akan diupayakan menjadi fokus penelitian dengan dibatasi pada posisi konstruksi

sosial dalam tradisi keagamaan masyarakat yang berkaitan dengan praktik ziarah di

makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, Lombok Tengah. Masih pada ruang

lingkup pembatasan masalah, untuk memperoleh hasil yang lebih fokus maka subjek

penelitian ini adalah praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’. Hal ini dilakukan

karena berhubungan dengan pola kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tradisi

keagamaannya sesuai dengan apa yang telah diketahui melalui cerita-cerita yang

berkembang sejak lama, hingga mampu membentuk sistem keyakinan mereka bahkan

diakui sebagai warisan nenek moyang mereka terdahulu.

b. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini mengkaji masalah tradisi keagamaan tentang praktik ziarah

makam keramat Wali Nyato’, Penelitian ini juga dilakukan secara kualitatif67 dan

bersifat deskriptif.68 Dalam penelitian ini, peneliti akan berupaya menemukan fakta-

fakta dilapangan dan akan menggambarkan suatu pengalaman atau peristiwa yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat. Praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’

ini, nantinya akan disesuaikan dengan latar belakang masyarakat dalam melakukan

ziarah sehingga proses sosial yang telah dilaluinya menjadi realitas sosial yang nyata

dalam kehidupan mereka dengan sistem kepercayaan yang telah tergambarkan dalam

keadaan yang wajar (natural setting).

Kerangka teori dalam penelitian ini akan disandarkan pada teori konstruksi

sosial dimana tindakan sosial sebagai realitas dalam kehidupan masyarakat dari apa

yang telah mereka pahami sebagai sebuah kenyataan sosial dalam kehidupan mereka

terutama mengenai tradisi keagamaan tentang praktik ziarah makam keramat dengan

latar belakang pengetahuan dan pemahaman mereka. Tradisi ziarah adalah realitas

sosial keagamaan masyarakat dalam kehidupannya yang selalu dijalankan secara

intensional oleh masyarakat itu sendiri.

Penelitian ini juga akan berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu

kejadian atau peristiwa dalam tingkah laku seseorang sesuai dengan sudut pandang

peneliti sendiri. Oleh karena itu, secara teoritis dari latar belakang mereka melakukan

aktivitas keagamaan mengenai praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’ tersebut,

apakah benar-benar dapat melahirkan perasaan dan pengalaman yang berbeda-beda

antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikan bisa jadi tindakan subyektif

seseorang menjadi bagian dari realitas sosial sehingga ketika dilakukan oleh banyak

subyektif, maka akan menjadi intersubyektif dan akan berubah membentuk realitas

yang obyektif. Dalam konteks ini, peneliti menjadikannya sebagai dasar teori utama

disamping adanya teori pendukung lainnya. Pendekatan secara fenomenologi69 juga

67Bogdan dan Taylor mengartikan penelitian kualitatif sebagai konsep yang dapat

menghadirkan data-data deskriptif, baik secara lisan maupun tulisan termasuk tindakan atau

perilakunya yang dapat diamati. Lihat: Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010, 4. 68Penelitian diskriptif, (discriptive reserech) adalah penelitian yang bertujuan untuk

membuat gambaran dengan sistematis, faktual, dan akurasi mengenai fakta-fakta dan sifat-

sifat populasi tertentu. Lihat: Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 4.

69Fenomenologi adalah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Padangan

Breger tentang fenomenologi, justru menekankan pada aspek rasionalisme dan kenyataan

yang ada. Secara etnografi penelitian ini, senada dengan fenomenologi yang juga

Page 35: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

21

peneliti akan jadikan sebagai dasar dalam melakukan analisis dan melatarbelakangi

teoritis untuk melakukan penelitian kualitatif ini. Selain itu, pendekatan etnografi70

dirasa sangat penting digunakan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana

mestinya dan akan berupaya mendalami suatu pristiwa budaya ketika memperlihatkan

pola kehidupan terhadap suatu objek tertentu sebagai studi. Oleh karena itu, peneliti

harus terlibat secara langsung dan berbaur dengan kesehari-harian masyarakat dalam

rangka melakukan analisis dari kehidupan masyarakat sekitar.

Selanjutnya di makam keramat Wali Nyato’ tersebut peneliti dapat secara

bebas melakukan analisis pada tiap-tiap perilaku peziarah baik peziarah lokal maupun

peziarah yang berdatangan dari luar Kabupaten Lombok Tengah atau bahkan bisa juga

berdatangan dari luar pulau Lombok. Oleh karena itu, dalam melakukan pengamatan

secara seksama setidaknya akan diperoleh gambaran tentang bagaimana tindakan para

peziarah di makam keramat Wali Nyato’ ketika berziarah, apa saja yang dilakukan

oleh peziarah, dan apa motivasi serta tujuan para peziarah sehingga melakukan ziarah

dimakam tersebut. Secara keseluruhan tentu akan dapat diamati atau dianlisis dalam

tradisi ziarah makam keramat Wali Nyato’ yang nantinya akan menjadi ruang tradisi

dan budaya ini.

2. Pendekatan.

Pendekatan dalam penelitian yang dilakukan secara kualitatif dan bersifat

deskriptif ini akan menggunakan pendekatan fenomenologi dan interaksi simbolik.

Pendekatan secara fenomenologi adalah bagaimana melihat realitas terhadap tindakan

atau perilaku yang tampak pada manusia secara intensionalitas.71 Pra-anggapan dasar

perspektif fenomenologi merupakan suatu kesadaran pada simbol-simbol atau objek,

pengetahuan, praktik-praktik, dan situasi atau keadaan dalam dunia lingkungannya

menitikberatkan pandangan masyarakat setempat. Yaitu; suatu kenyataan sosial justru

dianggap jauh lebih penting dan dominan dibandingkan dengan teori-teori melulu. Lihat:

Endrasuara, Metodologi Penelitian Kebudayaan 2006, 42. Selain itu, fenomenologi juga

merupakan suatu pendekatan utama dibandingkan dengan pendekatan secara etnografi karena

fenomenologi adalah suatu kerangka teoritis terhadap sebuah penelitian yang bersifat

kualitatif. Lihat: Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010, 14. 70Pendekatan etnografi juga mempunyai karakter secara khusus dengan sistem yang

khusus pula pada sebuah penelitian. Sebagaimana Spradley, menyatakan dalam bukunya

Metode Etnografi. Pertama: menentukan informen. Kedua: melaksanakan wawancara

terhadap informen. Ketiga: menyusun tulisan etnografis. Keempat: memunculkan pertanyaan

diskriptif. Kelima: melaksanakan pengamatan wawancara etnografis. Keenam: membentuk

analisis dominan. Ketujuh: memunculkan pertanyaan struktural. Kedelapan: membuat

analisis taksonomik. Kesembilan: memunculkan pertanyaan kontras. Kesepuluh: membuat

analisis komponen. Kesebelas: menemukan tema-tema budaya. Dan keduabelas: mencatat

etnografi. Lihat: Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta,

Gadjah Mada University Press, 2006), 54-57. 71Moh Dahlan, Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl Dan Aplikasinya Dalam

Dunia Sains Dan Studi Agama Jurnal: Ke-Islaman Sosiologi Agama Volume 13 Januari-Juni

2010, 24.

Page 36: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

22

sehingga dikalangan sosiologi telah diakuinya sebagai hasil dari interaksi individu

melalui proses sosial.72

Kalangan sosiologi melakukan analisis pada praktik-praktik keberagamaan

untuk membuktikan keterkaitannya dengan suatu keadaan, kondisi, struktur, ideologi,

pengetahuan, status dan ketidaksamaan pada sebuah kelompok hingga kemudian

dengannya masyarakat dapat terbentuk. Selain itu, pendekatan interaksi simbolik73

juga difungsikan peneliti karena telah menjadi sebuah kajian teoritis dalam sosiologi

bahkan sangat berpengaruh dalam teori tentang interaksi simbolik itu sendiri. Teori

ini memang fokus terhadap perilaku pra-interaksi antar individu dan tindakan-

tindakan komunikasi yang dapat diamati. Oleh karena itu, pendekatan yang secara

spesifik ini peneliti dapat menjabarkan perkembangan sejarah dan manfaatnya bagi

individu maupun masyarakat.74

Adapun suatu fenomena dengan gejala-gejala sosial telah menjadi titik dasar

dalam sebuah penelitian.75 Sebagaimana yang dapat dilihat dari tradisi ziarah makam

hingga kemudian memiliki makna secara mendalam terhadap kegiatan tersebut.

Fenomena seperti ini harus diungkap dari berbagai perspektif berdasarkan penilaian

atau sudut pandang fenomenologis itu sendiri. Namun ketika masalah tersebut muncul

kesulitan atau kerumitan yang berhubungan dengan proses sosial, maka posisi

interaksi simbolik sebagai pertimbangannya sangat dibutuhkan agar dapat mengetahui

suatu keadaan, unsur pembentuk, sikap, sistem, dan dampaknya.

3). Jenis dan Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini adalah subyek dari mana data tersebut bisa

diperolah. Seperti yang disebutkan Lotfand, bahwa dalam sebuah penelitian kualitatif

terdapat dua sumber data utama yaitu data primer dan data sekunder.76

a. Data primer merupakan jenis data awal yang telah diperoleh melalui hasil

wawancara yang dilakukan secara detail dan di dalamnya juga memuat

tindakan untuk mendapatkan sejumlah informasi langsung dari informan

72 Dalam rangka memahami dan mengetahui suatu gambaran yang lengkap serta

tampak realistik tentang pola kehidupan masyarakat, setidaknya dibutuhkan pengetahuan

melalui proses sosial itu sendiri. Proses sosial merupakan pengaruh yang terjadi secara timbal

balik antara berbagai segi dalam kehidupan masyarakat bersama. Misalnya, pengaruh yang

terdapat dari segi kehidupan mereka yang telah diatur secara hukum dalam kehidupan yang

berhubungan dengan agama, kehidupan hukumnya dengan ekonomi dan lain sebagainya.

Lihat: H. M Ridwan Lubis, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama Dalam

Interaksi Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 55. 73 Menurut G. H Mead, interaksionisme simbolik adalah mengakui pentingnya

pengamatan pada tindakan individu. Interaksionisme simbolik modern yang tokohnya Herbert

Blumer juga menggambarkan adanya perbedaan dengan behaviorisme. Interaksionisme

simbolik menunjukan suatu sifat yang khas dari interaksi individu yang saling menerjemahkan

dan saling mendefinisikan terhadap tindakannya. Lihat: Yusron Razak, dkk. Sosiologi Sebuah

Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (Jakarta: Laboratorium Sosiologi

Agama, 2008), 44-45. 74Dadi Ahmad, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator, Volume. 9

No. 2. Desember, 2008, 302. 75Heddy Shri Ahimsa-Putra, Fenomena Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk

Memahami Agama Jornal: Walisongo Volume 20, No. 2. November, 2012. 76Moleong, Mentodologi Penelitian Kualitatif, 112.

Page 37: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

23

yakni (dari para peziarah makam keramat Wali Nyato’) jenis data awal ini

kemudian akan di catat secara tertulis dan melakukan dokumentasi.

b. Data sekunder, adalah suatu jenis data yang dapat dihasilkan secara tidak

langsung, tetapi mampu melengkapi data primer. Yakni; data sekunder

yang didapati melalui sumber secara tertulis akan menjadi bagian dari

sumber pendukung pada sebuah penelitian secara kualitatif. Jenis data

yang dimaksud berupa karya-karya ilmiah baik itu buku, jurnal atau artikel

ilmiah, dokumentasi resmi atau pribadi yang memiliki keterkaitan dengan

penelitian.

4). Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara,

dan dokumentasi.77

a. Observasi.

Observasi78 dilakukan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini dengan

teknik participaction observation. Partisipasi tersebut dijalankan ketika menganalisis

suatu tindakan, pengalaman, praktik spiritual serta pandangan peziarah saat sedang

ziarah di makam keramat tersebut. Analisis ini menggunakan deskriptif etnografi,

dimana analisis tersebut akan dilakukan secara terus-menerus baik ketika dilapangan

maupun diluar lapangan. Saat menjalankan participaction observation, peneliti akan

merekam ucapan-ucapan informan dan menyusun keterangan secara berulang-ulang

melalui penegasan ucapan informen dan meminimalisir pertanyaan makna tetapi

gunanya.

Catatan dari apa yang dilihat oleh peneliti merupakan catatan sederhana dan

berkaitan dengan identitas pelaku, sikap pelaku, termasuk pernyataan-pernyataannya

yang mengarah pada suatu pemaknaan sehingga akan menjadi target pengamatan

peneliti. Mengenai nama dari sejumlah objek-objek tertentu yang berbentuk fisik juga

dirasa sangat penting untuk dapat mengetahui secara keseluruhan lingkungan dari

suatu tempat kejadian yang juga menjadi sasaran pengamatan terjadi. Catatan ini

ditulis sesederhana mungkin supaya tidak beralih fokus dari analisis pencatatan.79

Pengambilan gambar dirasa sangat penting sebagai pendukung dalam menjalankan

pengamatan, tetapi peneliti juga tidak sembarang mengambil foto atau gambar agar

tidak merusak konsentrasi para peziarah lainnya. Dan peneliti harus mengkofirmasi

terlebih dahulu kepada informan ketika ingin mengambil gambar dan gambar mana

saja yang diizinkan dan saat mana yang tidak diizinkan.

b. Wawancara mendalam (in-depth interview)

77Moleong, Mentodologi Penelitian Kualitatif, 135 78Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis dari gejala-

gejala yang ada terhadap suatu obyek penelitian tersebut. Obsevasi dapat dijalankan dengan

cara mengamati secara langsung dari sebuah kejadian atau peristiwa yang sedang diteliti,

disamping peneliti juga dapat menganalisis atau memusatkan perhatiannya dalam suatu objek

melalui indra (mata dan telinga). Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 176. 79 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1997), 114.

Page 38: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

24

Metode yang dipakai oleh peneliti adalah metode wawancara terstruktur80 dan

tidak bersetruktur. Metode terseturktur adalah metode dengan cara memunculkan

pertanyaan-pertanyaan yang sudah dirumuskan sebelum peneliti berhadapan dengan

informan. Sedangkan tidak berstruktur81 adalah metode memperoleh jawaban yang

lebih terbuka agar dapat mengetahui perilaku asli pelaku ziarah. Metode wawancara

ini akan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sasak. Metode ini dilakukan oleh

peneliti karena dimungkinkan ada ungkapan-ungkapan khusus yang akan diungkap

melalui bahasa Sasak. Dan yang menggunakan bahasa Indonesia nantinya akan

ditranskripkan. Sedangkan yang menggunakan bahasa Sasak akan diahlihbahasakan

menjadi bahasa Indonesia agar mempermudah analisis peneliti. Kemudian pedoman

wawancara akan disesuaikan dengan fokus penelitian dan dirumuskan sesuai dengan

kebutuhan peneliti. Misalnya, menyangkut pemahaman peziarah secara keagamaan,

pengetahuan peziarah dari segi sejarah atau cerita yang sudah melegenda sejak lama

hingga pada sistem keyakinannya yang masih bernuansa tradisional.

Pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun secara sistematis setidaknya akan

mempermudah peneliti dalam mengolah data. Proses wawancara nantinya dilakukan

kepada para informen yang terkait secara lansung dalam penelitian ini yaitu juru kunci

makam, pengunjung makam dan lain-lain. Wawancara ini akan dilaksanakan ketika

aktivitas ziarah berlangsung dan setelah kegiatan ziarahnya selesai. Pertama-tama,

wawancara ini ditujukan kepada informan kunci terutama kepada para peziarah dan

juru kunci makam. Setelah wawancara tersebut dilakukan, selanjutnya peneliti akan

melakukan wawancara sesuai arahan (rekomendasi) dari informen kunci secara

snowballing. Atas dasar rekomendasi tersebut peneliti akan kemabali melanjutkan

kepada informan lainnya hingga mendapatkan hasil “data jenuh”,82 dan tidak lagi

menemukan informasi baru lagi.

Dalam rangka memperoleh hasil data yang keradibilitas, peneliti juga akan

melakukan analisis secara terus menerus dan triangulasi.83 Dalam artian pengamatan

akan ditempuh dengan cara berkali-kali peneliti turun lapangan khususnya di makam

tersebut. Triangulasi yang dilakukan adalah mengecek kembali kepada informen

sesudah hasil wawancara ditranskip hingga berkonsultasi dengan pembimbing.

c. Dokumentasi.

Dokumentasi termasuk asas (dasar) bagi peneliti dalam melakukan penelitian.

Peneliti akan mengkaji banyak rujukan serta referensi yang memiliki hubungan

80 Wawancara tersetruktur dapat digunakan sebagai teknik dalam pengumpulan data,

pengumpulan data tersebut telah secara pasti dapat mengetahui tentang informen terhadap apa

yang akan diperoleh. Lihat: Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen Pendektatan:

Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi (Mixed Methods), Penelitian Tindakan (Action Research),

Penelitian Evaluasi (Bandung: Alfabeta, 2016), 386. 81 Wawancara tidak tersetuktur adalah wawancara bebas. Dalam hal ini pedoman

wawancara tidak dipakai, sebagaimana halnya yang dilakukan dalam wawancara tersetruktur.

Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan

ditanyakan. Lihat: Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen Pendekatan: Kuantitatif,

Kualitatif, Kombinasi (Mixed Methods), Penelitian Tindakan (Action Research), Penelitian

Evaluasi (Bandung: Alfabeta, 2016), 387. 82 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan. 240. 83 Husaini dan Purnomo, Metodologoi Penelitian Sosial, 98.

Page 39: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

25

dengan penelitian ini. Selain itu, dokumentasi juga menjadi sumber penguat untuk

menjawab tinjauan teoritis permasalahan yang diteliti.

5). Teknik Analisis Data.

Teknik analisis data menggunakan metode kualitatif berupa deskripsi secara

mendalam dari fenomena ziarah makam terutama menyangkut praktik ziarah. Dalam

hal ini peneliti menerapkan konsep analisis84 yang merujuk pada sistem yang pernah

diterapkan Geertz85 dimana sistemnya yang menggunakan model for dan model of

adalah konsep yang dijalankan dalam sebuah penelitian tentang realitas fenomena

sosial budaya. Kemudian realitas tersebut pada bagian of akan diinterpretasi agar

mudah dimengerti.

Sedangkan penelitian ini menggunakan model of dengan melibatkan peneliti

secara langsung dan mengadakan pengamatan terlibat secara emik. Keterlibatan

peneliti secara langsung akan menanyakan terhadap pelaku yang menjadi bagian dari

fenomena tersebut dengan maksud agar terungkapnya peran dan motivasinya sesuai

dengan yang diketahui dan dipahaminya. Selanjutnya peneliti kembali malakukan

refleksi kepada informan tentang perilaku dan ucapan peziarah tersebut sehingga

membentuk penafsiran intersubjektif. Dalam melakukan interpretasi ini, kemudian

akan dikaitkan secara teori yang telah dibangun untuk menemukan relevansi dari teori

konstruksi sosial atas tindakan atau praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat

secara universal.

Untuk mengungkap konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan masyarakat,

akan bertumpu pula pada konsep struktural fungsional,86 dengan menggunakan teknik

analisis kualitatif etnografik. Maka, peneliti akan berusaha menggambarkan secara

etnografik atas tindakan, sikap, ucapan, dari tindakan peziarah. Gambaran tersebut

akan dipaparkan secara holistik dan mendalam karena analisis ini juga menggunakan

cara yang bersifat terus menerus saat dilapangan.

Analisis data akan dilakukan secara deskriptif dan mendalam. Proses analisis

data dilakukan secara terus-menerus baik saat di lapangan maupun setelah diluar

lapangan. Dalam analisis data, peneliti akan melakukan cara-cara seperti mengatur,

mengelompokkan, mengurutkan, memberi tanda atau kode, hingga mengkategorikan

data. Kemudian peneliti akan berusaha menemukan tema-tema budaya yang menjadi

fokus dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti kemudian akan mendalaminya dengan

melakukan pengamatan dan wawancara berikutnya.

Dalam analisis ini, peneliti tidak melakukan penafsiran terlebih dahulu karena

yang berbicara adalah data. Namun jika terdapat penafsiran maka itu merupakan hasil

dari pemahaman interpretasi informan atas fenomena yang dialaminya. Melalui

analisis ini, kemudian konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan khususnya yang

84 Menurut Bogdan dan Biklen, untuk melakukan analisis data, maka diperlukan cara

untuk memperoleh penyusunnya dengan cara yang sistematis yang diawali dengan transkrip

hasil wawancara, dokumentasi, catatan lapangan secara akumulatif mampu memberikan

tambahan wawasan serta pemahaman peneliti atas temuannya. Lihat: Husaini Usman dan

Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, 32. 85Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudyaan, 89. 86 Struktural fungsional adalah strategi analisis terhadap gejala-gejala sosial yang

berhubungan dengan fungsi-fungsi dalam pelaksanaannya. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar

Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 749.

Page 40: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

26

berkaitan dengan pola tindakan atau praktik ziarah yang dilakukan masyarakat akan

muncul sebagai realitas sosial (kenyataan sosial) dalam kehidupan suatu kelompok

masyarakat yang telah dikonstruksi melalui dunia sosio-kultrualnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari enam bab pembahasan. Bab I

Pendahuluan. Bab ini beriskan latar belakang masalah dan permasalahan yang terdiri

dari tiga sub tema yaitu: identifikasi masalah, batasan masalah dan rumusan masalah.

Selanjutnya menjelaskan tentang tujuan dan manfaat penelitian, sekaligus dengan

penelitian terdahulu yang relevan dan metode penelitian. Dalam metode penelitian

terdapat lima bagian. Pertama: Desain penelitian, terdiri dari dua bagian yakni; lokasi

penelitian dan jenis penelitian. Kedua: Pendekatan. Ketiga: Jenis dan sumber data.

Keempat: Teknik pengumpulan data yang terdiri dari tiga bagian yaitu: observasi,

wawancara dan dokumentasi. Kelima: Tehnik analisis data, dan yang terakhir adalah

sistematika penulisan.

Pada Bab II peneliti menguraikan perdebatan akademik yaitu; Kajian Teoritis

Konstruksi Sosial dan Perkembangan Awal Tradisi-tradisi Keagamaan. Pada

pembahasan ini, akan di klasifikasikan ke dalam empat pokok pembahasan yaitu; A.

Agama dalam Kehidupan Manusia. Pada pembahasan ini, akan memunculkan dua

tema penting yakni 1. Agama Spritualisme yang meliputi dua tema diantaranya: a.

Agama ketuhanan dan b. Agama peyembah roh. 2. Agama Materialisme. Berikutnya

pada pembahasan kedua yaitu; B. Perkembangan Tradisi-tradisi pada Masa Awal.

Pembahasan ini juga meliputi empat tema yaitu: 1. Pengorbanan. 2. Ibadah. 3.

Tempat, Benda dan Orang yang dikeramatkan. 4. Sihir. Pembahasan selanjutnya

yaitu; C. Sistem Sosial dan Realitas Kehidupan Masyarakat. Dan terkahir D. Proses

Sosial dalam Dunia Sosio-Kultural Masyarakat. Dalam pembahasan terdapat tiga

tema pokok yaitu 1. Eksternalisasi. 2. Objektifikasi. 3. Internalisasi.

Pada Bab III peneliti akan memaparkan tentang Deskripsi Umum Masyarakat

Kabupaten Lombok Tengah. Bab ini akan dibagi menjadi empat pembahasan yaitu;

A. Kondisi Geografis Masyarakat Kabupaten Lombok Tengah. B. Perkembangan

Islam di Pulau Lombok. C. Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal. D.

Dimensi-dimensi Keagamaan Masyarakat. Pada pembahasan ini, dimunculkan empat

unsur religi dalam keagamaan masyarakat yaitu; 1. Emosi Keagamaan. 2. Sistem

Kepercayaan. 3. Sistem Upacara Keagamaan. 4. Kelompok Keagamaan atau

Kekuatan-keuatan Sosial.

Sedangkan pada Bab IV peneliti membahas tentang Proses Sosial dalam

Tradisi Keagamaan Masyarakat. Pada pembahasan ini, peneliti membaginya menjadi

empat pokok bahasan yaitu: A. Makam sebagai Simbol dan Instrumental Akulturasi

Masyarakat. B. Proses Sosial dan Ziarah Makam sebagai Tradisi Keagamaan

Masyarakat. C. Praktik Keagamaan dan Pemahaman Masyarakat Tentang Makam

Keramat. D. Fenomena Ziarah di Makam Keramat.

Berikutnya pada Bab V, Peneliti membahas Tradisi Ziarah pada Makam

Keramat. Pada Bab ini, peneliti akan membahasnya dalam tiga pokok bahasan yaitu;

A. Ritual dalam Melakukan Ziarah Kubur atau Ziarah Makam Keramat. Pembahasan

ini terdapat dua tema pemahasan yaitu: 1. Tahap Persiapan dalam ritual ziarah makam.

2. Tahap Pelaksanaannya dalam melakukan ritual ziarah. B. Motivasi dan Tujuan

Page 41: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

27

Melakukan Ziarah di Makam Keramat Wali Nyato’. Pembahasan ini meliputi lima

tema pembahasan yaitu: 1. Mengharap Berkah. 2. Dapat Mengambil Pelajaran. 3.

Mengenang Sejarah dan Penghormatan Terhadap Arwah Para Leluhur. 4. Melakukan

Tawassul atau Berwasilah. Dan 5. Sebagai Wisata Religi. Dan pada sub bab terakhir

adalah C. Pelaku Ritual Ziarah di Makam Keramat.

Kemudian yang terakhir adalah Bab VI sebagai Bab Penutup dan Bab ini

hanya berisi dua bagian yaitu; A. Kesimpulan. B. Saran.

Page 42: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

28

BAB II

KAJIAN TEORITIS KONSTRUKSI SOSIAL DAN PERKEMBANGAN

AWAL TRADISI-TRADISI KEAGAMAAN

Pembahasan mengenai konstruksi sosial dan perkembangan tradisi-tradisi

keagamaan masyarakat sebagai sebuah realitas dalam kehidupannya sering kali

dihubungkan dengan berbagai determinan lain seperti ekonomi, politik, media, dan

kekuasaan. Padahal konstruksi sosial dalam pola kehidupan masyarakat tidak terlepas

dari aspek-aspek keagamaan baik yang disebabkan oleh berbagi tindakan-tindakan

individu maupun kelompok masyarakat itu sendiri. Proses ini dapat terjadi secara

statis (struktur Sosial) dan dinamis (proses sosial)1 pada seseorang maupun

masyarakat. Oleh sebab itu, suatu pola tindakan dan interaksi yang dilakukan secara

terus-menerus dalam dunia sosio-kultural lambat laun akan dimiliki dan dialami

bersama secara subyektif.

A. Agama Dalam Kehidupan Manusia.

Sudut pandang kajian teologis telah menyepakati bahwa para agamawan

mengklasifikasikan asal-usul seluruh agama yang dianut oleh manusia yaitu; agama

Ardhi dan Samawi. Agama Ardhi atau sering disebut “agama kebudayaan” (cultural

religions) merupakan agama yang bukan berasal dari Tuhan melalui penurunan

wahyu-Nya, akan tetapi agama kebudayaan tersebut ada karena proses antropologis

yang terbentuk dari adat-istiadat dan melembaga dalam bentuk agama formal.

Sedangkan agama Samawi adalah agama “Wahyu” (revealed religions) merupakan

agama yang diyakini melalui penurunan wahyu dengan menggunakan perantara

(Malaikat-Nya) dan diteruskan kepada utusannya yang dipilih dari manusia (Nabi dan

Rasul-Nya). Agama wahyu ini dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu2:

ه فى بالل

ه وك

لين ك ى الد

ليظهره عل

حق هدى ودين ال

ه بال

رسول

رسل

ذي ا

هو ال

٨٢شهيدا Artinya: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama

yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah

Allah sebagai saksi” (Q.S. Al-Fath :28)

Ayat di atas menunjukan bahwa agama Samawi merupakan agama yang full

fledged yaitu; agama yang mempunyai Nabi dan Rasul, mempunyai kitab suci dan

umat atau pengikut. Secara historis penerapan agama wahyu ini diberikan kepada

1Menurut Comte, sosiologi perlu dipahami dengan cara observasi dan klasifikasi yang

sistematis, bukan melalui kekuasaan dan spekulasi. Comte yang telah menjauhkan teologi dan

metafisika justru menekankan unsur empiris yang berkaitan dengan masyarakat baik dalam

keadaan statis (strukturs sosial) maupun dalam aspek dinamis (proses sosial) yang menjadi

unsur bagi setiap masyarakat, bahkan akan bertahan sepanjang masa. Lihat: Fredian Tonny

Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 1. 2 Lihat: Departemen Agama Republik Indonesia RI, Al-Qur’an dan Terjemahan Juz

1-Juz 30 (Jakarta: Duta Surya, 2011), 737.

Page 43: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

29

agama yang mengajarkan adanya wahyu yaitu agama Yahudi, Nasrani dan agama

Islam.3 Dalam perkembanganya, agama Ardhi maupun agama Samawi mengalami

beberapa perubahan secara dialektis terhadap aspek sosial kehidupan masyarakatnya

terutama mengenai sistem kepercayaan, ritual keagamaan dan lembaga keagamaan.

Perubahan tersebut bisa dalam bentuk kepercayaannya terhadap Tuhan yang mereka

sembah dari monoteisme beralih bentuk ke politeisme dan bisa juga dalam upacara-

upacara keagamaan yang mereka lakukan. Oleh karena itu dalam agama Islam dikenal

istilah bid’ah4 dan khurafat yaitu penambahan ajaran agama dari ajaran aslinya.5

Adanya perubahan dalam ajaran agama-agama tersebut, banyak disebabkan

oleh proses degenerasi (pemburukan) baik karena faktor manusia sebagai penganut

agama itu sendiri maupun faktor persentuhan agama dengan berbagai kepercayaan

atau keyakinan lain di suatu tempat. Dalam proses ajaran agama yang diyakininya,

seseorang penganut agama biasanya akan banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidup

dan berbagai pengetahuan lainnya dalam lingkungan sosial budaya di sekelilingnya.

Dalam pergaulan antar-pemeluk agama, seseorang penganut agama bergaul

dengan berbagai penganut agama yang berbeda dan bertemu dengan kepercayaan lain

selain agamanya sendiri, misalnya bertemu dengan ajaran-ajaran magis, mistik yang

subjektifistik, takhayul, dan fanatisme. Keyakinan-keyakinan lainnya juga banyak

dipengaruhi pandangan keberagmaannya bahkan praktik keagamaan seseorang yang

cenderung diikuti dan akhirnya diwariskan secara turun-temurun kepada generasi-

generasi berikutnya.6 Hal ini berbeda dengan kajian secara teologis dimana para

ilmuan yang diwakili oleh para pakar antropologi budaya dan sosiologi agama melalui

kajian keilmuan mereka (scientific aproach) membedakan agama yang ada di dunia

menjadi dua kelompok yaitu: spritualisme dan materialisme.

1. Agama Spritualisme

Spritualisme merupakan agama penyembah suatu (zat) yang gaib yang tidak

tampak secara lahiriah atau suatu zat yang tidak dapat dilihat dan tidak terbentuk.

Spritualisme ini terbagai menjadi dua kelompok yaitu:

a) Agama ketuhanan7 (theistic religion)

Agama ketuhanan mencakup asal-usul istilah dari semua sistem kepercayaan

terhadap satu atau banyak Tuhan dan meliputi dua perkembangan dalam sejarah

kehidupan manusia yaitu: Monotheisme dan Politheisme. Agama politheisme adalah

agama yang lahir karena interpretasi akal pikiran manusia tentang keperluannya

3Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 35. 4Bid’ah adalah penambahan dalam peribadahan dari yang ditetapkan oleh Nabi

Muhammad Saw. Sedangkan khurafat merupakan kepercayaan yang dianggap menyimpang

dari ajaran-ajaran dasar agama Islam. 5Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 23. 6Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 89 7Agama ketuhanan yaitu agama yang penganutnya penyembah Tuhan (Theos).

Agama ini mempunyai keyakinan bahwa Tuhan adalah tempat manusia menaruh kepercayaan,

dan kecintaan kepada-Nya baginya adalah kemuliaan dan kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan

fakta-fakta yang tidak terbantahkan dan dapat memperluas serta meningkatkan pengetahuan

moral manusia. Agama ketuhanan yang merupakan asal-usul istilah dari semua sistem

kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan yang mencakup kepercayaan terhadap satu atau banyak

Tuhan. Lihat Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 36.

Page 44: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

30

terhadap kekuatan supranatural yang kemudian diberi nama sebagai Tuhan. Sebagai

kerangka awal berpikirnya, manusia mencari-cari makna esensial dalam kehidupan

yang dialaminya.8

Hal di atas menunjukkan bahwa, awalnya manusia mengenal Tuhan melalui

asumsi-asumsi dasar yang kemudian dikembangkan terhadap kekuatan-kekuatan

yang melekat di dalam “tubuh” benda-benda. Benda-benda itulah kemudian dianggap

atau diyakini memiliki kesakralan dan kekuatan gaib. Nalar beragama ini berkembang

secara terus menerus tanpa henti seiring dengan perkembangan akal-pikiran manusia.

Secara sederhana, nalar beragama9 ini ditunjukkan oleh manusia ketika berhadapan

dengan suatu peristiwa alam yang dirasakan olehnya sebagai kewajibannya.

Sedangkan Agama monotheisme adalah agama yang mengenal ke-esaan

Tuhan. Dalam istilah kajian agama-agama, monotheisme disebut juga sebagai agama

Samawi yaitu agama langit. Agama ini mengajarkan tentang konsep satu Tuhan atau

dengan istilah Tauhid. Agama tersebut dikenal dengan agama yang memiliki wahyu

dan kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan. Selain itu, agama Samawi juga

mempunyai Nabi dan Rasul sebagai utusan Tuhan untuk melakukan bimbingan Kitab

suci tersebut. Karena itulah kemudian Nabi dan Rasul diberikan kewenangan untuk

menyebarkan muatan-muatan ajaran yang terkandung di dalam kitab sucinya sebagai

upaya dalam membentuk keagamaan dan peradaban hidup manusia. Misalnya; Islam

merupakan kategori agama Samawi karena memiliki kitab suci al-Qur’an sebagai

bimbingan atau pedoman bagi para pemeluknya.10

Nabi dan Rasul-Nya mengajarkan umat manusia melalui kitab suci al-Qur’an

dalam rangka menjelaskan apa-apa yang terkandung di dalamnya. Nabi Muhammad

Saw, merupakan Nabi yang telah diutus oleh Allah Swt untuk menjelaskan tugas

tentang makna-makna dalam kitab suci tersebut. Oleh karena itu kehidupan manusia

sesungguhnya tidak bisa lepas dari rasa kebutuhan terhadap kekuatan lain yang lebih

berkuasa. Kekuatan lain tersebut, tentu berada diluar dirinya yang serba lemah. Untuk

itu, manusia sangat membutuhkan aturan yang bersifat universal bahkan absolut agar

manusia tidak merasa frustasi dalam menghadapi berbagai persoalan hidupnya. Pada

konteks inilah kemudian dikatakan bahwa agama muncul sebagai sepirit atau motivasi

khusus bagi batin dan jiwa manusia.

8 Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,

2011), 75. 9Nalar ini ditunjukkan ketika berahadapan dengan peristiwa alam yang dirasakan

olehnya sebagai kewajiban. Misalnya, batang kayu yang sangat besar, tempat-tempat yang sepi

atau yang dianggap angker termasuk kuburan atau tempat-tempat seperti yang sering di

interpretasikan olehnya sebagai tempat bersemayamnya Tuhan, atau kekuatan-kekuatan lain

yang luar biasa selain kekuatan manusia. Untuk memberikan penghormatan terhadap

“kekuatan lain” di dalam benda-benda keramat itu mereka melakukan “doa-doa” dan sesajian.

Mereka juga melakukan penyembahan. Tata cara penyembahan itu mereka lakukan sesuai

dengan “wangsit” yang diperoleh dari seseorang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat

setempat. Mereka berasumsi bahwa pelaksanaan ritual tersebut dapat menjamin keselamatan

bagi kehidupan seluruh manusia. Lihat: Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan

Agama (Bandung: Humaniora, 2011), 75. 10 Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,

2011), 74.

Page 45: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

31

Secaras historis agama Yahudi merupakan agama yang memiliki hubungan

dengan agama Islam dan Kristen. Agama Islam, Kristen dan Yahudi disebut sebagai

agama tehisme. Seperti halnya penjelasn di atas, bahwa tehisme merupakan sistem

atau pola kepercayaan yang meyakini bahwa Tuhan itu terpisah dari manusia dan

benda-benda hidup lainnya yang ada di dunia. Maka monoteistik adalah bentuk agama

yang percaya bahwa Tuhan itu satu dan Tuhan itulah yang menentukan takdir manusia

dengan cara memohon rahmat dan hidayah-Nya melalui do’a.

Berbeda dengan Agama Hindu yang agak sedikit sulit dapat dikategorikan

sebagai agama monoteistik karena menganut banyak Tuhan seperti Tuhan pencipta

(Brahma), Tuhan Pemelihara (Wisnu) ada juga Tuhan Perusak (Siwa). Meskipun pada

dasarnya agama Hindu juga memiliki ajaran tentang adanya kekuasaan Tuhan yang

satu (an all-powerful God). Ketiga Tuhan tersebut selalu muncul dalam acara ritual

keagamaan dan seni. Fenomena banyak Tuhan memang lebih banyak dijumpai di

agama-agama kuno. Yahudi misalnya, dikenal dengan banyak Tuhan, seperti Ares

(Dewa perang), Artemis (Dewi berburu), Poseidon (Dewa laut), Athena (Dewi

Kecerdasan dan keterampilan) dan lain sebagainya. Bentuk keyakinan orang Yahudi

kuno, merupakan bentuk agama politeistik. Dimana agama politeistik ini merupakan

istilah yang digunakan untuk menggambarkan sistem kepercayaan teistik yang

mengakui banyak Tuhan.11

b) Agama Penyembah roh.12.

Agama penyembah roh dapat dibagi dalam beberapa bentuk pola kepercayaan

yaitu kepercayaan Animisme yang merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat

terhadap berbagai macam roh yang berkuasa dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau

upacara keagamaan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. E.B.Taylor, pernah

menyatakan bahwa animisme dalam perkembangannya mencakup kepercayaan akan

adanya roh atau jiwa dan kepercayaan dalam kehidupan mereka dimasa yang akan

datang (infuture state), untuk mengontrol peri, mambang, dan roh-roh yang menjadi

subordinasinya.

Dalam praktiknnya kepercayaan itu dicerminkan dalam bentuk ibadah atau

pemujaan yang dilakukan secara aktif. Beberapa suku di Afrika, dan Indian Amerika

penganut animisme mempercayai bahwa roh dan hantu mendiami objek suci seperti

berada di pohon, cadas atau pada binatang-binatang buas, dan binatang-binatang

ternak. Kemudian kepercayaan Praanimisme (dinamisme) adalah bentuk kepercayaan

masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan yang ada dalam segala hal. Penganut

kepercayaan ini biasanya mempunyai serangkaian aktivitas keagamaan dalam rangka

memperkuat keyakinan dan pola kepercayaan mereka dengan landasan ajaran yang

telah diyakini oleh mereka.

11M.Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk

Memahami Konsep-Konsep Dasar ( Jakarta: UIN Jakarata PRESS, 2006), 149. 12Agama penyembah roh merupakan kepercayaan masyarakat yang masih bersifat

primitif terutama kepada roh nenek moyang, roh pimpinan atau roh para pahlawan yang telah

meninggal. Mereka percaya bahwa yang sudah meninggal itu dapat memberikan pertolongan

dan perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan. Oleh karena itu, sebagai upaya dalam

menghadirkan roh-roh tersebut perlu diadakan upacara-upacara keagamaan yang khusus dan

kompleks. Lihat Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),

37.

Page 46: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

32

Kepercayaan ini biasanya tercermin pada bangsa-bangsa primitif seperti

mereka dalam agamanya mengajarkan untuk menyembah alam. Penyembah kekuatan

alam merupakan salah satu bentuk kepercayaan bangsa primitif terhadap alam sekitar

dan mereka melakukannya akibat rasa takut terhadap malapetaka alam atau suatu

unsur alam yang dianggap memiliki banyak kekuatan. Oleh karena itu pemujaan ini

dilakukan untuk pemuliaan alam melalui aktivitas keagamaan.13

2. Agama Materialisme

Agama materialisme adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya

terhadap Tuhan yang telah dilambangkan dalam wujud benda-benda material seperti

patung-patung manusia, binatang, dan berhala atau bisa juga terhadap sesuatu yang

dibangun dan dibuat untuk disembah. Tentang agama materliasme ini, dapat dilihat

dalam literatur tentang agama bangsa Arab sebelum Islam atau dalam kepercayaan

sebagian umat Nabi Musa yang membuat patung lembu yang dipimpin oleh Samiri

untuk disembah atau dalam kepercayaan penganut agama Majusi yang menyembah

api suci.14

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, sistem keprcayaan terhadapa agama

materialisme ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem kepercayaan terhadap

agama Spiritualisme dimana keyakinan mereka sangat mempercayai jiwa-jiwa atau

sesuatu yang gaib. Hanya saja agama materialisme titik tekannya adalah lebih kepada

pemuliaan atau pengagungan fisik material dibandingkan dengan pengagungan

kekuatan jiwa yang terdapat dalam benda-benda fisik seperti berhala atau patung

sebagai buatan manusia itu sendiri.

Menyadari keberadaan manusia dewasa ini yang tidak lagi berada pada posisi

peradaban yang tersebutkan di atas, tetapi harus diakui bahwa peradaban manusia

sebelum era modern adalah agama menjadi dominan dalam kehidupan manusia

bahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal itu terjadi karena agama merupakan

otoritas tunggal dalam rangka menentukan kebijakan atau sebuah keputusan baik

dalam aspek agama maupun aspek ilmiah. Oleh karena itu, agama merupakan simbol

penting dalam kehidupan umat manusia karena agama memuat serangkaian aturan,

nilai, norma, hukum, dan pelajaran-pelajaran lainnya yang menuntun tingkah laku

manusia dalam kehidupan beragama dan berbudaya.

B. Perkembangan Tradisi-Tradisi Keagamaan pada Masa Awal

Sejak awal perbincangan tentang agama dari segi sosial budaya nampaknya

masih tetap hangat hingga sekarang. Meskipun ada banyak dugaan bahwa relevansi

membicarakan agama sepertinya sudah sangat berkurang pada masa kini, namun

dugaan-dugaan tersebut nampaknya kurang terbukti. Agama yang dulunya dikatakan

sebagai inti (core) dan sentral bagi kehidupan manusia, kini tergeser ke periferi sistem

sosial dan tampaknya mulai goyah. Mungkin agama tidak lagi menjadi sentral dalam

konteks kehidupan individual. Karena itu, pergeseran yang ditengarai sebagian ahli

barangkali hanya berlaku pada rentang kolektif individual.15

13Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 38. 14Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 40. 15 M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama dalam

Interaksi sosial, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), v.

Page 47: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

33

Jika agama menyangkut tentang kepercayaan atau sebuah keyakinan dengan

berbagai praktik atau ritual-ritual di dalamnya, maka agama juga tidak akan lepas dari

aspek-aspek sosial dalam kehiduapan manusia. Fenomena kehidupan masyarakat jika

ditinjau dari aspek agama dan budaya, keduanya memiliki hubungan yang erat saling

keterkaitan dan saling melengkapi antar keduanya. Agama dan budaya tidak berdiri

sendiri karena keduanya selalu berdampingan dalam dialektikanya, selaras dalam

menciptakan dan kemungkinan saling menegasikan.16

Berbicara mengenai perkembangan tradisi pada masa awal, setidaknya akan

menyinggung tentang masyarakat Primitif dimana secara etimologi Primitif berarti

“sesuatu yang sederhana” dan bersahaja. Robert H. Lowie seorang antropolog asal

Amerika dalam bukunya Primitive Religion, menyatakan bahwa masyarakat primitif

sebagai masyarakat yang sederhana dan bersahaja merupakan suatu kesimpulan dan

bukan menjadi suatu data yang tepat dari pengalaman. Lagi pula perbedaan tingkat

kebudayaan yang bersahaja dengan yang sudah maju sepertinya agak sulit dikaji.

Baginya, suatu kebudayaan yang sangat sederhana sekalipun ia tetap memiliki akar

sejarah panjang dalam kehidupan manusia. Untuk itu, agak sulit untuk menentukan

priodesasi secara tegas dari sejarah awal perkembangan budaya atau tradisi manusia

baik yang sifatnya sederhana sampai dengan tingkat modern.17

Jika masyarakat primitif dianggap sebagai masyarakat yang sederhana tingkat

kebudayaannya, apakah akan selamanya begitu? selalu dalam keadaan statis? Padahal

kita mengetahui bahwa perubahan akan selalu terjadi pada setiap waktu atau keadaan-

keadaan tertentu meskipun sangat lamban dalam perkembangannya dan bahkan tanpa

dorongan dari luar. Hal ini bukan suatu hal yang mustahil dapat terjadi karena usaha

dari setiap anggota masyarakatnya yang ingin meningkatkan taraf hidup yang lebih

baik, terutama hasil dari variasi dan inovasi diantara generasi ke generasi berikutnya

terus akan berkembang.

Bagi kalangan yang berpendapat bahwa sesuatu yang primitif adalah sesuatu

yang sudah lewat dan kuno karena jika dipadukan dengan konteks masa kini atau masa

modern, maka tentu mereka menganggap bahwa agama primitif adalah agama yang

sudah kuno yaitu agama tingkat pertama dari stadium keagamaan umat manusia. Tapi

menurut A.G. Honig, bagi kalangan yang berpendapat seperti yang tersebutkan di

atas, tentu tidak bisa dibenarkan begitu saja karena hal itu merupakan suatu cara

pembenaran dari suatu teori evolusi. Namun demikian, atas dasar pandangan tersebut

kemudian agama dibedakan menjadi dua tingkatan yaitu pertama; tingkat agama yang

tinggi dimana manusia akan mengalami kemajuan yang tinggi dan kedua; tingkat

agama yang rendah yaitu; manusia sama sekali tidak mengalami kemajuan apapun.

Istilah lainnya adalah agama itu setingkat dengan kemajuan budaya manusia yang

banyak mengalami berbagai perkembangan dari tingkat awal dan tingkat sederhana

ke tingkat akhir atau sempurna. Oleh karena itu, agama primitif adalah agama manusia

16Laode Monto Bauto, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan

Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jurnal, JPIS, Pendidikan Ilmu

Sosial, Vol 23. No. 2. Desember, 2014, 23-24. 17A. Singgih Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Press, 1988), 15.

Page 48: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

34

pada tingkatan yang pertama, dan kemudian akan mengalami kemajuan-kemajuan

melalui politeisme dan monoteisme.18

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir

ini, ditemukan suatu pengertian tentang istilah primitif yang sama sekali berbeda dari

pengertian sebelumnya di mana hasil temuan tersebut telah digambarkan dari adanya

sifat-sifat primitif orang-orang modern dan begitu pula sebaliknya terdapat corak-

corak modern pada manusia primitif. Ini berarti bahwa sifat-sifat primitif tidak hanya

berada pada manusia dengan tingkatan pertama sebagaimana yang dinyatakan oleh

kalangan evolusionis.

Agama dengan segala ritualitasnya adalah bagian terpenting dari kehidupan

manusia dan tidak dapat dipisahkan dari seluruh bagian dalam hidupnya. Hal ini telah

banyak menyita perhatian para peneliti sebelumnya terutama pada abad 19 yang lalu.

Banyak ahli dari berbagai bidang ilmu mengadakan studi dan penelitian tentang dasar

dan asal-usul agama. Kegiatan ini berjalan dengan priode pertama dari sejarah

perkembangan teori antropologi dalam dasa warsa akhir abad 19 dan awal abad 20 di

mana obyek pokok penelitiannya adalah budaya dari masyarakat sederhana.

Pada masa awal perkembangan tradisi atau praktik keagamaan, manusia saat

itu lebih siap berpindah keyakinan daripada ia berpindah kebiasaan. Tidak ada yang

peduli dengan keyakinan yang dianut, mereka akan tetap disebut orang yang beriman

selama mereka masih melakukan ritual-ritual pemujaan, kecuali mereka menentang

ritual-ritual atau praktik tersebut secara terang-terangan. Berikut contoh yang dapat

digambarkan dalam perkembangan tradisi atau praktik keagamaan pada masa awal.19

1. Pengorbanan

Pengorbanan merupakan ritualitas yang paling pokok dan sangat penting

dalam kehidupan manusia pada masa awal, karena mereka mempercayai adanya

kekuatan sang dewa dan kekuatan-keuatan mahluk halus yang tidak dapat tertangkap

oleh indra manusia. Mereka dapat melakukan penghormatan dan pemujaan kepadanya

melalui berbagai ritual dan upacara seperti berdo’a, sesaji atau korban. Kepercayaan

semacam ini oleh Tylor disebut dengan animisme.20 Selain itu, mereka melakukan

18A. Singgih Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Press, 1988), 16-17. 19 Lihat: Allan Menzies, Sejarah Agama-Agama; Studi Sejarah, Karakteristik dan

Praktik Agama-Agama Besar di Dunia, (Yogyakarta: Forum Group Relasi Media, Anggota

IKAPI, 2014), 70-80. 20Animisme berasal dari kata “anima” yang berarti “nyawa” dalam bahasa Latin

disebut animus, dan bahasa Yunani di sebut avepos, sedangkan dalam bahasa Sanskerta

disebut Prana. Kesemuanya berarti nafas atau jiwa. Animisme adalah ajaran atau doktrin

tentang realitas jiwa. Dalam studi tentang sejarah agama primitif ada beberapa istilah yang

pengertiannya hampir sama, yaitu; pertama: Necrolarty; Pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa

manusia dan binatang terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah mati. Kedua:

Naturisme yaitu; pemujaan terhadap mahluk spiritual yang dikatakan dengan fenomena alam

dan kekuatan kosmis yang besar seperti angin, sungai, binatang-binatang dan juga objek-objek

yang menyelimuti bumi, yaitu tanam-tanaman dan binatang. Ketiga: yaitu; Animisme yang

titik-berat pemujaannya adalah pada mahluk-mahluk spiritual yang tidak dapat dilihat oleh

mata manusia. Lihat: Romdhon, A. Singgih Basuki, Alef Theria Wasim dkk, Agama-Agama

di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 36.

Page 49: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

35

ritual berupa pemberian hadian atau sesajen. Praktik seperti ini, telah diyakini bahwa

manusia akan dapat memperbaiki keadaannya, memperkuat atau memperkokoh

hubungan mereka dengan sesembahannya. Pada masa awal, tradisi sebagai suatu pola

kepercayaan masyarakat dan tidak terlepas dari ritual-ritual yang dijalankan dengan

melakukan pengorbanan dan peribadahan yang merupakan dua hal penting dan sangat

identik. Meski bentuk dari cara atau ritual dalam pengaturan persembahan tersebut

kadang bervariasi, tetapi dapat dipastikan bahwa mereka akan selalu ada pengorbanan

dalam satu atau lain bentuk.

2. Ibadah

Sebagaimana yang disebutkan di atas, ibadah merupakan ritual yang saling

keterkaitan dengan pengorbanan atau dengan istilah memberi sesajen. Para pemuja

mengemukakan alasan mereka memberikan persembahan bahkan mendesak hingga

dewa sesembahannya dapat dengan segera menerima pemberiannya untuk kemudian

berharap semua kebutuhannya cepat dikabulkan oleh sang dewa. Para pemuja akan

melakukan pemujaan disaat mereka sedang dalam bahaya. Dalam pemujaannya

mereka meminta hal-hal yang biasa dan bersifat sederhana seperti makanan yang

berlimpah, keberhasilan dalam berburu, seperti menangkap ikan, kekuatan tangan,

turunnya hujan, panen yang bagus, memiliki anak yang banyak dan lain sebagainya.

Para pemuja atau para penyembah saat itu memiliki prioritas permohonan, di mana

mereka percaya prioritas permohonan tersebut telah dijamin oleh sang dewa untuk

dikabulkan ketika memintanya. Mereka memuja kekuatan dan beragam tindakan

agung yang pernah dilakukan oleh para dewa dan menghiba agar sang dewa berkenan

untuk dapat mengabulkan permohonannya demi para pengikutnya (dan juga para

musuhnya). Tetapi setelah keadaan mereka semakin membaik, maka kebutuhan untuk

melakukan peribadahan dan pemujaan mulai memudar. Oleh karena itu, pemujaan

akhirnya berganti menjadi semacam ritual rutin yang dapat dikerjakan pada waktu-

waktu tertentu, hingga cenderung berkembang menjadi norma-norma, bersifat tetap

(pasti) dan juga memiliki tata cara tersendiri.21

Ritual-ritual yang mereka jalani pun lantas dianggap keramat, hingga timbul

asumsi bahwa keberhasilan dalam melaksanakan upacara pengorbanan tersebut yaitu

tergantung dari tata cara yang dapat mereka lakukan. Dalam proses ritual-ritualnya

tentu terdapat mantra-mantra yang tidak dapat ditolak oleh dewa yaitu bacaan dalam

bentuk mantra-mantra yang sudah dijamin permintaan mereka sebagai penyembah

sang dewa untuk dapat dikabulkan kala itu.

3. Tempat, Benda dan Orang yang Dikeramatkan

Dunia primitif pada masa awal tidak mensyaratkan adanya sebuah tempat dan

benda-benda khusus untuk melakukan ritual-ritual religiusnya. Karena benda dan juga

tempat-tempat di alam, baginya adalah objek yang mengandung unsur-unsur keramat

sehingga ritual pemujaan pun dilakukan di tempat yang mengandung unsur gaib dan

unsur yang mengandung kekuatan supranatural. Hal ini membuktikan bahwa manusia

sadar dengan selain dunia yang fana, juga banyak terdapat sesuatu yang tidak tampak

oleh indranya. Masyarakat awalnya juga didominasi oleh sistem kepercayaan gaib

21Lihat: Allan Menzies, Sejarah Agama-Agama; Studi Sejarah, Karakteristik dan

Praktik Agama-Agama Besar di Dunia, (Yogyakarta: Forum Group Relasi Media, Anggota

IKAPI, 2014), 70-80.

Page 50: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

36

yang dihuni oleh berbagi mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Menurut

Koentjaraningrat, penganut kepercayaan gaib baik mereka yang percaya adanya

dewa-dewa yang baik dan jahat atau mahluk-mahluk halus yang baik dan jahat, dan

percaya adanya kekuatan-kekuatan dari alam yang dapat bermanfaat bagi manusia dan

bisa juga mendatangkan bencana22 adalah objek-objek yang selalu didatanginya baik

itu pohon-pohon besar, gunung, laut, dan lain sebagainya untuk membawa sesajen.

Selain pohon-pohon besar, mata air juga sering menjadi target untuk melakukan

pemujaan atau persembahannya. Jika mereka menganggap dewa berada jauh di atas

bumi, maka puncak bukit adalah tempat terdekat untuk meletakkan sesajen. Di semua

daerah tempat-tempat yang tinggi baik gunung, hutan dan juga wilayah-wilayah

terpencil akan tetap dianggap keramat.23

4. Sihir

Di sisi lain, kita juga akan menemukan suatu golongan di mana ritual-ritual

atau upacara pemujaan umumnya tidak diperlukan adanya pelayanan dari golongan

masyarakat tertentu. Di berbagai tempat, kita akan menemukan orang-orang yang

mempunyai pengetahuan atau kemampuan secara khusus dengan adanya kemampuan

tersebut, biasanya seseorang akan meminta pertolongan dengan cara melakukan

sebuah ritual mendekatkan diri padanya. Selain itu, orang yang memiliki kemampuan

menyihir akan dapat membuat seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan

lain sebagainya yang dengannya mampu merubah karakter seseorang. Seperti khimar

(hipnotis) akan tetapi hal ini tidak bersifat nyata, karena sebuah ilusi.24 Mereka akan

minta bantuan terkait hal-hal di luar pemujaan. Setiap agama primitif, biasanya

memiliki berbagai unsur atau praktik-praktik sihir25 di dalamnya, yang dipercayai

sebagai suatu wujud dari kemampuan seseorang di mana ia dapat mempengaruhi atau

meramalkan kejadian-kejadian di dunia nyata. Manusia pada masa awal tidak

memiliki batasan menyangkut hal-hal apa saja yang mungkin terjadi karena mereka

belum mempunyai pengetahuan yang akurat terkait hukum-hukum alam atau hukum

sebab akibat sehingga mereka merasa mampu memengaruhi alam dengan berbagai

cara. Mereka juga meniru apa saja yang menurut mereka menjadi penyebab terjadinya

sesuatu, sehingga mereka menganggap bahwa ada efek yang akan terjadi dari sesuatu

tersebut.

22Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolgi. Jakarta: 1997, 203. 23Dalam KBBI ada dua pengertian keramat yaitu; 1. Suci dan dapat mengadakan

sesuatu di luar kemampuan manusaia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang

yang bertakwa) 2. Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan pisikologis kepada

pihak lain (tentang barang atau tempat suci). 24 Lihat: Al-Ragib Al-Asfahani, “Mujam Al-Mufradat li Alfaz Al-Qur’an” (Beirut:

Dar al-Fikr), 231. 25 Sihir tidak akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang dapat digunakan

oleh orang-orang yang tidak mengerti mengenai dampak dari perbuatan tersebut. sihir adalah

suatu perbuatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu (disebut tukang sihir) dengan

syarat-sayarat tertentu dalam mempergunakan peralatan yang tidak lazim untuk dipakai baik

dengan cara yang sangat rahasia untuk menimbulkan efek jahat kepada orang lain yang

menjadi sasarannya. Sihir dalam banyak sebutan, bisa berarti santet, teluh, magic, voodoo dan

lain sebagainya. Lihat: IAIN Syarif Hidayatullah “Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1992), 856.

Page 51: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

37

Mereka menggunakan kekuatan untuk menaklukan para roh, memohon atau

membujuk para roh agar dapat dikabulkan semua permohonannya, ia manipulasi

benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan tersembunyi, karena mereka yakin

akan memperoleh hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, sihir juga mempunyai kaitan

yang erat dengan pemujaan kepada roh dan benda-benda keramat, baik dalam

animisme maupun fetisme. Menurut Ibnu Qadamah, sihir terjadi akibat dari adanya

pengaruh roh jahat (syetan, jin dan manusia) yang dapat menjalankan aksi pesihir

melalui angin, dengan sarana bermacam-macam seperti buhul, mantra, tulisan, rajah,

patung, gambar-gambar dan lain sebagainya.26 Dalam setiap suku biasanya terdapat

salah seorang yang pinter dengan mengetahui hal-hal yang gaib dan mampu berurusan

dengannya. Bisa jadi orang tersebut adalah raja atau kepala suku. Dalam berbagai

kasus, kepala suku dianggap memiliki kekuatan untuk memanggil hujan dan bisa juga

orang pinter ini adalah sosok yang memiliki peran tertentu disukunya baik karena

kemampuan sihir-nya, perdukunan, meramal dan lain-lain. Dengan demikian, meski

terdapat satu cara yang kadang berbeda-beda di setiap suku, namun figur semacam ini

berperan penting dalam setiap praktik keagamaan di masa awal.

Gambaran di atas, menunjukkan suatu keadaan atau kondisi masyarakat pada

masa awal dengan berbagi praktik atau ritual-ritual keagamaanya, tapi bukan berarti

mereka akan terus berada dalam pusaran primitif tersebut. karena mereka pasti akan

mengalami perubahan atau kemajuan yang dihasilkan melalui upaya-upaya dari setiap

generasinya hingga akan melahirkan pola keberagamaan yang dilatarbelakangi oleh

perkembangan dan kemajuan zaman meskipun perkembangan tersebut kadang sangat

lamban. Lahirnya agama yang membentuk suatu pola kepercayaannya karena ada

kekuatan-kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari kekuatan dalam dirinya sehingga

mereka akan mencari lebih dalam dari mana sumber kekuatan tersebut bersemayam

baik seperti kekuatan-kekuatan di gunung, batu-batu besar, pohon, laut, mata air dan

langit. Jika mereka tidak dapat menemukannya maka mereka akan menyembahnya

karena menganggap bahwa kekutan alam itu memiliki kekuatan yang luar biasa

hingga mampu menghidupi berjuta-juta manusia. Karena itulah, muncul keyakinan

atau kepercayaan manusia sebagai usahanya dalam mendekatkan diri pada kekuatan-

kekuatan supranatural itu.27

Dalam kaitannya dengan kepercayaan atau keyakinan, manusia tidak dapat

hidup tanpa mitologi, sakralitas dan mistifikasi melalui penjelasan alam hingga pada

kenyataannya, utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan dan

utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai28 dan dengan

26 Lihat: Hurmain, Sihir dalam Pandangan Al-Qur’an, dalam Jurnal Ushuluddin Vol.

XXI No.1 Januari 2014, 38. 27 Lihat: Laode Monto Bauto, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan

Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama) JPIS Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,

Volume 23, No. 2, Desember 2014, 12. 28 Nilai merupakan pedoman normatif yang dapat memengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan normatif (Kuperman, 1983), nilai dilihat

dalam posisinya merupakan subjektif, di mana setiap orang disesuaikan dengan tingkat

kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan suatu nilai dan tindakan

yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas nilai dapat merujuk kepada sekumpulan

kebaikan yang disepakati bersama. Intinya nilai adalah harga yang dituju dari suatu perilaku

Page 52: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

38

utuhnya sistem nilai, maka akan dapat memberikan kejelasan tentang apa yang baik

dan buruk hingga menjadi dasar seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.29

Di Indonesia, mengenai sakralisasi, mitologi dan mistifikasi dalam tindakan

dan praktik-praktik keagamaan, di mana alam sebagai subjek-objek nampaknya

menjadi tempat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya masjid, makam

dan sumur adalah lokus penting dalam prosesi upacara pada masyarakat lokal.

Sebagai medan budaya, ketiganya memiliki keunikan masing-masing yakni sebagai

tempat yang memiliki aura yang berbeda dengan yang profan atau duniawi. Di sinilah

kemudian masyarakat melakukan aktivitas ritualnya untuk memperoleh berkah.30

Penempatan sumur, makam dan masjid sebagai tempat yang sakral adalah

pemikiran yang didasari oleh mitologi. Artinya bahwa kesakralan itu “dimitoskan”.31

Ia kemudian menjadi sakralitas karena dimitoskan sebagai sesuatau yang sakral. Perlu

diketahui bahwa di dalam kehidupan ini tidak semua dapat dikelaim sebagai sebuah

realitas yang profan, namun terdapat tempat atau lokus yang dianggap sebagai sakral

atau sacred. Dalam rangka menjadi sesuatu yang sakral, memang harus memenuhi

persyaratan sebagai suatu yang sakral, misalnya; sesuatu yang layak untuk disakralkan

dan kesakralannya itu melekat pada suatu benda.32

Di dunia Islam, makam dianggap sakral jika ia merupakan makam seorang

wali atau seorang penyebar agama Islam yang diyakini memiliki kelebihan-kelebihan

supranatural. Dalam cerita-cerita atau legenda yang berkembang dalam kehidupan

masyarakat, biasanya terdapat tokoh-tokoh mitos dengan segala kekuatan-kekuatan

supranaturalnya dapat mengubah suatu benda menjadi sesuatu yang lain. Misalnya;

Sunan Bonang dapat mengubah kelapa menjadi koin mas dan karamahnya tentang

sumur srumbung, menaklukan prampok kebondanu, mengubah dan sebagainya.33

Contoh lainnya adalah Maulana Ishak dapat menyembuhkan putri Blambangan

dengan kekuatan gaib, Sultan Agung dapat berjamaah di Makkah dan lain seterusnya.

Bersandar pada argumen di atas, ketiga lokus yang dimaksudkan baik itu

masjid, sumur dan makam, nampaknya tidak semua dapat dianggap sebagai suatu

yang sakral ketika tidak memenuhi persyaratan sebagai sesuatu yang layak untuk

disakralkan. Oleh karena itu, memitologikan masjid, sumur dan makam juga harus

melalui ligitimasi tertentu baik itu kekuasaan, elit desa dan pengakuan bersama atas

kesakralan sesuatu benda yang dimitoskan.

yang sesuai dengan norma yang telah disepakati yaitu; suatu cara yang dianggap sah dan secara

moral dapat diterima jika harmonisasi dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi

oleh masyarakat ketika cara itu dilakukan. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar Sosiologi

(Bandung: Pustaka Setia, 2016), 515. 29Agung Setiyawan, Budaya Lokal dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat

(‘Urf) dalam Islam, Jurnal ESENSIA. Volume. XIII No. 2. Juli 2012, 204. 30 Lihat: Nur Syam, Islam Pesisir (Yograyakarta: LKiS, 2005), 258. 31 Para sejarawan sering menggunakan istilah “mitos” untuk merujuk kepada cerita

yang tidak benar, yang dibedakan secara tegas dari cerita yang buatan mereka, atau “sejarah”.

Menurut Martono (2014) salah satu definisi mitos adalah “sebuah kebenaran yang belum benar

adanya”. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 477. 32 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 259. 33 Tentang Sunan Bonang, lihat: Masykur Arif, Wali Sanga Menguak Tabir Kisah

Hingga Fakta Sejarah (Jakarta: Laksana, 2016) 137-140.

Page 53: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

39

Di sisi lain mistifikasi bisa terjadi disaat seseorang atau benda mempunyai

kekuatan yang diyakini melebihi dari kekuatan manusia atau benda lainnya. Misteri

ini biasanya terdapat pada sosok manusia yang memiliki suatu kelebihan pada bidang

tertentu dan bersifat supra natural. Misteri yang dimaksudkan tentunya berada di luar

sifat kemanusiaan lainnya. Sebagaimana halnya wali yang memiliki mistifikasinya

masing-masing. Misalnya, Sunan Bonang memiliki misteri lebih besar dibandingkan

dengan Sysikh Ibrahim Asmaraqandi, padahal Syikh Ibrahim merupakan kakeknya.34

Pandangan mistifikasi dan mitologi terhadap makam, sumur dan masjid

hakikatnya adalah memposisikan alam sebagai subjek, di mana alam memiliki aura

keunikan, misteri dan kekuatan. Oleh karena itu, alam harus ditempatkan menjadi

fenomena yang bukan profan. Alam bukan dunia mutatis mutandis atau ipso pacto.

Akan tetapi alam adalah subjek yang mengatur, menjaga dan menumbuhkembangkan

sesuatu yang lain, karena makam bisa memecahkan berkah.

Dalam pandangan tentang demistifikasi dan demitologi di alam, hakekatnya

adalah kecenderungan berpikir orang modern yang menganggap bahwa alam adalah

objek. Alam difungsikan untuk kepentingan manusia dan bukan alam memanfaatkan

manusia. Alam bukan pengatur, karena alam adalah dijaga dan ditumbuhkembangkan,

sebab alam merupakan bagian dari dunia karena dapat dimanfaatkan secara maksimal

bagi kehidupan manusia. Itulah sebabnya tidak ada penghormatan manusia terhadap

alam. Makam, sumur dan masjid adalah tempat yang profan karena bisa dimanfaatkan

untuk kepentingan manusia, tetapi makam juga tidak lebih dari sekedar tempat

penyimpanan jasad manusia yang sudah mati. Sedangkan sumur ialah tempat

mengambil air dan tidak mempunyai misteri kekuatan apapun. Sedangkan masjid,

dianggap suci tidak lebih karena tempat ibadah. Jadi, makam, sumur dan masjid tak

ubahnya sebagaimana benda-benda lain di dunia yang tidak memiliki dunia keunikan,

misteri dan juga kekuatan apapun.35

Mengenai re-mistifikasi dan re-mitologi timbul di mana orang mulai melihat

kembali dunia spiritualnya yang hilang. Terlalu menganggap bahwa alam adalah

semata-mata objek akan menyebabkan berbagai kurangnya penghargaan manusia

terhadap alam, bahkan akan bermunculan di sana sini untuk merendahkan alam. Jika

demikian, maka alam akan mengalami kemerosotan dan dunia kesakralan alam pun

akan mengalami pelunturan. Pencurian benda seperti maesan-maesan di makam-

makam tertentu sebagai komuditas yang diperjualbelikan hakekatnya adalah

pandangan dan sikap yang melihat dalam sebagai objek an sich. Jadi, alam dipandang

menjadi objek yang rasional dan juga menjadi subjek yang dapat dimistifikasikan.

Misalnya dalam konteks dialektika, sebagai gambarannya adalah sebagai berikut.36

34 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 260. 35 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 261-262. 36 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 263.

Page 54: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

40

Bagan 1.

Hubungan antar Konsep: Interaksi antara Abangan dan NU

dengan Lokus Sakral, Alam sebagai Subjek dan berkah

Dalam hubungan antar konsep tersebut kiranya dapat dirumuskan satu bentuk

porposisi tentang “Sakralisasi, mistifikasi dan mitologi terhadap makam, sumur dan

masjid dapat terjadi ketika alam dianggap sebagai subjek sehingga bisa menimbulkan

tindakan spiritualisasi berkah. Dengan demikian, melalui prosesi awal ini ketika

dirumuskan proposisi setingkat lebih abstrak sebagaimana yang tersebutkan di atas,

maka dapat menimbulkan tindakan magis.” Proposisi ini kemudian dapat menguatkan

tindakan-tindakan magis yang dijalankan oleh masyarakat tradisional, yakni ketika

manusia tidak lagi menghadapi kenyataan-kenyataan duniawi sebagai sesuatu yang

realistis sehingga akan dilakukan tindakan untuk “menuhankan” alam karena alam

sebagai objeknya.37

C. Sistem Sosial dan Realitas Kehidupan Masyarakat Sistem sosial sebagai realitas sosial (Social Construction of Reality38) dalam

kehidupan masyarakat, sebenarnya bisa diartikan sebagai sebuah proses sosial melalui

tindakan dan interaksi.39 Individu yang satu akan banyak dipengaruhi oleh individu

yang lainnya sehingga saling mempengaruhi dan membentuk suatu pola tindakan atau

kebiasaan ketika dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam situasi

dan kondisi tertentu hingga menjadi sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama

37 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 263. 38Lihat: Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality

A Tratise in The Sociology of Knowledge (New York: Doubleday, 1966), 16. 39Interaksi sosial biasanya menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasinya,

tetapi bisa juga melalui ekspresi wajah dan gerak tubuh yang biasa dikenal dengan istilah

komunikasi non-verbal. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi

Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN Jakarata PRESS, 2006),

56.

Sakralisasi

Mistifikasi

Mitologis

Alam

sebagai

subjek

Spiritua

lisasi

Berkah

Makam

Sumur

Masjid

Page 55: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

41

secara subyektif.40 Sebuah realitas sosial dalam kehidupan manusia tentu merupakan

fakta sosial41 yang tidak bisa dipisahkan secara subyektif dari realitas yang ada.

Kehidupan sehari-hari muncul sebagai kenyataan sosial dan selalu dapat ditafsirkan

oleh manusia karena mempunyai makna subyektif bagi mereka sebagai suatu dunia

yang koheren.42 Intinya, konstruksi sosial mempunyai definisi yang kompleks dalam

ilmu sosial. Hal ini dibuktikan dengan pengaruh sosial dalam pengalaman hidup

manusia karena asumsi dasarnya adalah “realitas merupakan konstruksi sosial”.43

Konstruksi sosial juga merupakan suatu pernyataan keyakinan (a claim) dan

menjadi paradigma (a viewpoint) yang mempunyai makna terhadap suatu kesadaran

sehingga cara berhubungan dengan orang lain sesungguhnya telah diajarkan melalui

kebudayaan dan masyarakat. Menurut Ian Rory, terdapat pandangan bahwa semua

kuantitas metafisik riil dan abstrak dapat dinilai menjadi suatu kepastian karena bisa

dipelajari dari orang lain.44

Teori konstruksi sosial berkembang pada abad ke 20 dan berkembang pesat

sekitar tahun 1970-an. Teori ini dipelopori oleh ide-idenya Foucault yang selanjutnya

disebut konstruksionisme sosial45 atau sosio konstruksionisme. Konstruksionisme ini

40Teori ini bermula dari paradigma konstruktivis yang menilai relitas sosial sebagai

konstruksi sosial yang diwujudkan oleh individu di mana individu merupakan manusia bebas.

Dalam banyak hal, individu memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur

dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial dikatakan bahwa individu dilihat sebagai pembuat

realitas sosial. Lihat: Laura Chistina Luzar, Teori Konstruksi Realitas Sosial (Jakarta: Binus

University School of Design, 2015), 1. 41Fakta sosial oleh Emile Durkheim dibagi menjadi dua. (1) bentuk material atau

dapat dikatakan sebagai bagian dari dunia nyata (external world) seperti: arsitektur dan norma

hukum. (2) bentuk nonmaterial, di mana timbulnya sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial

adalah fenomena yang bersifat intersubjektif dan hanya muncul dari dalam kesadaran individu

baik ego, altruism, dan opini. Fakta sosial pertama kali dipopulerkan oleh seorang ahli sosiolog

Prancis, yakni Emile Durkheim. Lihat: Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan

Modern. Terj, Rober M. Z Lawang (Jakarta: PT Grapindo, 1981), 21. 42Namun perlu dicatat bahwa dunia kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang dapat

diterima begitu saja sebagai kenyataan sosial oleh manusia karena dalam setiap perilaku

individu ia memiliki makna secara subyektif dalam kehiduapan mereka. Oleh karena itu, ia

merupakan suatu dunia yang tidak luput dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka

sehingga dikelola sebagai suatu “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan stersebut. Lihat: Peter

L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality A Tratise in The

Sociology of Knowledge (New York: Doubleday, 1966), 33. 43Konstruksi sosial memiliki aturan tersendiri di mana bahasa menjadi peran sentral

dalam memberikan mekanisme kongkerit sehingga budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah

laku manusia. Selain itu, konstruksi sosial juga mewakili kompleksitas dalam budaya tunggal,

artinya, cenderung tidak mengasumsikan keseragaman. Dan terakhir adalah konstruksi sosial

selalu bersifat konsisten pada masyarakat dan waktu. Lihat: Charles R. Ngangi, Konstruksi

Sosial Dalam Realitas Sosial. Jurnal ASE, Volume 7 No. 2 Mei, 2011: 1-4. 44 Charles R. Ngangi, Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial Jurnal ASE, Volume

7 No. 2 Mei, 2011: 1. 45 Konstruksionisme adalah gagasan di mana fakta-fakta itu tidak ditemukan, tetapi

diciptakan. Hal ini merupakan sudut pandang efistemologis yang telah diberlakukan pada ilmu

alam dan ilmu sosial. Pada konteks ini konstruksionisme adalah sosiologi yang sebenarnya,

para ahli sosiologi berpendapat bahwa apa yang hadir menjadi suatu fenomena atas kejadian

Page 56: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

42

muncul dari beberapa sumber seperti interaksionisme sosial, antropologi simbolik,

dan para ilmuan bidang feminis.46 Teori ini menekankan pada pengaruh budaya dan

memberikan suatu kerangka bagi pengalaman dan pemaknaan. Pemahaman individu

terhadap dunia pengetahuan adalah karena individu terbentuk dari dalam keadaan

sosial historis yang nyata (konkrit).

Selain itu, konstruksi sosial juga menganut sistem analisis yang sistematis

mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan

menjadi suatu tinjauan sejarah tentang perkembangan disiplin ilmu. Karena itu,

banyak yang menganggap teori konstruksi sosial dipandang sebagai teori sosiologi

kontemporer dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Pemikiran Berger dan

Luckmann, sebenarnya banyak mengadaptasi pemikiran-pemikiran sosiologi lainnya

seperti Schutzian tentang fenomenologi47, Weberian tentang teori tindakan sosial,48

Durkheim tentang struktur,49 dan Herbert Mead tentang interaksi simbolik.50

Berbicara tentang ilmu sosial yang merupakan cabang dari ilmu pengetahuan

nampaknya berbeda dari yang pernah dinyatakan oleh Thomas Kuhn.51 Menurutnya,

ilmu sosial lebih layak dikategorikan sebagai ilmu yang belum bisa menjadi sebuah

yang wajar sebenarnya telah menjadi bagian dari produk hubungan sosial. Konstruksionisme

menawarkan kita pada sebuah asumsi bahwa semua fakta itu niscaya merupakan fakta sosial

dalam artian komunitas sosiallah yang menghasilkan fakta-fakta tersebut. Lihat: Alex Sobur,

Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 408. 46 Charles R. Ngangi, Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial Jornal ASE, Volume

7 No. 2 Mei, 2011: 2. 47Umumnya fenomenologi adalah suatu pendekatan yang sering digunakan dalam

memahami berbagai gejala dalam kehidupan masyarakat. Schtz dengan tegas menawarkan

cara pandang baru mengenai fokus kajian penelitan dan panggilan terhadap makna yang timbul

akibat realitas sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga akan ada di dalam

penelitian secara khusus bahkan kerangka luas dalam pengembangan ilmu sosial. Lihat:

Stefanus Nindito, Fenomenologi Alfre Schutz: Studi Tentang Konstruksi Makna dan Realitas

Dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 2, No. 1 Juni 2005, 79-88. 48 Bagi Weber, dunia seperti yang dapat dilihat oleh setiap manusia terwujud atas

tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu disebabkan karena bertujuan untuk mencapai apa

yang mereka inginkan. Setelah menentukan sasaran, mereka juga mempertimbangkan situasi

dan kondisi sehingga mereka memilih suatu tindakan. Lihat: Alex Sobur, Kamus Besar

Sosilogi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 816. 49 Menurut Durkheim, sosiologi mengkaji tentang lembaga-lembaga masyarakat dan

proses-proses sosial. Dalam beberapa kategori-kategorinya Durkheim membagi sosiologi

menjadi beberapa bagian yaitu: sosiologi umum yang meliputi kajian kepribadian individu dan

manusia, sosiologi agama, sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi-organisasi

politik, organisasi sosial, perkawinan dan keluarga. Sedangkan sosiologi ekonomi meliputi

masyarakat-masyarakat perkotaan dan pedesaan dan terkahir adalah sosiologi estetika. Lihat:

Alex Sobur, Kamus Besar Sosilogi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 168. 50Interaksi simbolik adalah suatu kajian yang lebih cenderung pada proses interpretasi

yang dilakukan oleh setiap orang hingga memaknai suatu objek, kejadian, dalam situasi yang

membentuk pola kehidupan dunia sosial mereka. Lihat: M Amin Nurdin dan Ahmad Abrori,

Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN

Jakarata PRESS, 2006), 58. 51Thomas S Khun, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: The University

of Chicago Press, 1979), 1962.

Page 57: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

43

paradigma yang utuh (pre-paradigma). Akan tetapi wacana Kuhn ini menuai reaksi

keras bagi kalangan sosiolog karena pandangan yang dilontarkan oleh Thomas Kuhn

bukanlah menjadi wacana atau pandangan baru. Perdebatan ontologis, epistimologis,

dan metodologis merupakan bagian integral dalam sejarah sosiologi sebagai bagian

dari ilmu sosial. Sejak awal disiplin ilmu sosiologi muncul mewarnai perdebatan yang

relatif sama dengan yang berlangsung hingga saat ini.

Berkaitan dengan ilmu sosial, rasanya tidak lengkap jika tidak melibatkan

seorang tokoh muslim bernama Ibnu Khaldun yang justru disebut-sebut sebagai

perintis ilmu sosial, bahkan Ibnu Khaldun disebut pula sebagai orang pertama yang

telah merumuskan hukum-hukum kemasyarakatan.52 Tentang kemasyarakatan telah

menjadi pembahasan utama dalam pemikiran Ibnu Khaldun. Dalam karyanya Al-

Muqaddimah banyak menjelaskan persoalan-persoalan masyarakat yang disertai

dengan sebab akibatnya. Ibnu Khaldun membahas fenomena dan realitas sosial dalam

masyarakat dengan sudut pandang sosiologi.53 Mengenai sosial kemasyarakatan, Ibnu

Khaldun menguraikannya dengan istilah Al-ijtima’ Al-Insani.54

Bertolak dari penjelasan di atas, Ibnu Khaldun (1333-1406 M) telah lebih

dulu melahirkan teori tentang solidaritas yang selanjutnya disebut Ashobiyah dalam

konsep Islam, sebelum lahirnya Auguste Comte. Ibnu Khaldun mencoba menafsirkan

makna dimana manusia yang beriman seperti jasad yang satu, (kāljasād al-wāhid)

teori ini telah melahirkan sikap toleransi dalam kehidupan kelompok masyarakat dan

dalam istilah Islam dikenal dengan konsep Tasamuh, yaitu suatu prinsip toleransi

yang dibangun di atas takaful al-ījtimā’. Melalui teori ini, dapat dijadikan sebagai asas

(dasar) dalam melakukan analisis tindakan suatu kelompok masyarakat beragama.55

Bahkan dalam Hadis Rasulullah Saw dijelaskan tentang solidaritas bagi umat Islam

yang harus saling menguatkan antar sesamanya.56

Sedangkan dikalangan sosiologi Barat menganggap bahwa istilah sosiologi

pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Auguste Comte (1798-1857)

seorang ahli filsafat sosial Perancis tahun 1838 dalam bukunya Positive Philosophy.57

Saat itu sosiologi tumbuh dan berkembang pesat di Eropa melalui pemikiran filsafat

Comte. Karena itu, Auguste Comte disebut-sebut sebagai “Bapak Sosiologi”. Selain

itu, Auguste Comte juga memiliki komitmen yang sejak awal ingin mengambil alih

penamaan sosiologi menjadi istilah fisika sosial. Namun demikian, komitmennya

52 Lihat: Wendy Melfa dan Solihin Siddiq, Paradigma Pengembangan Masyarakat

Islam Studi Epistimologis Pemikiran Ibnu Khaldun (Bandar Lampun: Matakata, 2006), 64. 53Seorang ahli sejarah bernama Ibn Khaldun dalam bukunya Mukadimah telah

banyak mengisahkan masyarakat serta keruntuhan dan kehancuran gubernur-gubernur militer

Arab di Afrika Utara dan Sepanyol Selatan. Lihat: “Mukaddimah” Ibn Khaldun Tej, Ahmadie

Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 438-440. 54Lihat: Fauzie Nurdin, Studi Pembangunan Agama di Desa Tertinggal, dalam

Khaeroni (ed) Islam dan Hegemoni Sosial (Jakarta: Mediacita, 2002), 95. 55Lihat: Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), 139. 56Hadis Rasulullah Saw, yang diriwayatkan Imam Muslim. Yaitu: “orang mukmin

dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian

yang lain.” (HR. Shahih Muslim.) 57Lihat: Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2015), 1.

Page 58: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

44

terpatahkan oleh Quetelet dimana harapan dan keinginannya tersebut telah lebih dulu

dipakai oleh seorang ahli statistik sosial bernama Quetelet. Bagi Quetelet fenomena

sosial tidak dapat diketahui secara pasti aspek-aspek penyebab terjadinya melainkan

hanya dapat diperkirakan kecenderungannya atau social regularitiesnya.58

Lebih jauh Comte berpendapat bahwa, sebagai sebuah ilmu yang telah berdiri

sendiri sosiologi sudah seharusnya mempunyai metodologi tersendiri dan terpisah

dari metodologi ilmu alam. Sosiologi tidak mengabaikan realitas sosial yang obyektif

dengan menggali pola-pola yang dihasilkan melalui data statistik akan tetapi ia harus

melalui sejarah perkembangan masyarakat secara keseluruhan sebagi realitas yang

tidak dapat ditangkap melalui pemolaan statistik terhadap perilaku individu-individu.

Tetapi Corser menilai bahwa pandangan Comte dan Quetelet telah merepresentasikan

dua sisi pemikiran yang berbeda bahkan bertolak belakang dalam disiplin sosiologi.59

Tokoh besar dalam ilmu sosiologi setelah Auguste Comte, adalah Emile

Durkheim, ia seorang tokoh berkebangsaan Prancis telah melahirkan sosiologi dengan

seperangkat asumsi-asumsi metodologis yang dikonsepsikan oleh Comte. Sosiologi

adalah ilmu dengan orientasi yang holistik. Berbeda dengan fisika sosial yang

menganilisis data individu yang aktual (empiris) dan mencari kecenderungan sosial

dari data tersebut. Menurut Durkheim seharusnya sosiologi menganalisis fakta sosial

bersifat sui generis, koersif, dan asumsinya. Fakta sosial tidak berasal dari kesadaran

individu tetapi berasal dari kesadaran sekelompok orang. Oleh karena itu sosiologi

seharusnya memiliki pendekatan yang berbeda dengan fisika sosial.60

Pandangan Emile Durkheim berbeda dengan Max Weber seorang sosiologi

asal Jerman yang menganggap bahwa sosiologi semestinya menjadi sebuah ilmu yang

mempelajari realitas sosial yang subyektif melalui analisis tindakan sosial. Bagi

Weber fakta sosial bukanlah realitas yang ada di luar kesadaran individu tetapi berasal

dari pengalaman individu yang sifatnya subyektif. Konsep tentang fakta sosial adalah

realitas yang terbayang bukan suatu yang obyektif dan mengekang tindakan manusia

sebagai mahluk rasional dengan pemahaman yang subyektif.61

Kedua tokoh di atas seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim kemudian

dikenal sebagai sosiolog dengan mementingkan pendektan holistik. Dan Max Weber

tetap pada pendiriannya sebagai sosiolog individualistik. Dalam kapasitasnya sebagai

sosiologi yang individualistik, Weber menolak pendekatan holistik karena

menurutnya bisa berimplikasi pada generalisasi yang bias dan tidak empiris. Untuk

58Stuart G Shanker, Philosophy of Science, Logic and Mathematics in The Twenteth

Century (London: Routledge, 1996), 269. 59Lewis Coser, Masters of Socioloical Thought: Ideas in Historical and Social Contex

(New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1977), 29. 60Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,

2009), 4. 61Nampaknya sisi Weber dengan aspek penekananya yang satu ini justru agak jarang

dapat ditemukan pada buku-buku teori sosiologi, tetapi Goldthorpe telah mampu membuktikan

pernyataan Weber ini dengan jelas pada karyanya yang pernah ditulis dengan judul, On

Socilogy: Numbers, Narratives, and the Integration of Reserarch (Oxford: Oxford University

Press, 2000), dalam Geger Riyanto, Perspektif Metateori Pemikiran. 2001, 5.

Page 59: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

45

menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu empiris, Weber mendukung pemanfaatan

sosiologi dari filsafat probabilistik dalam sosiologi.62

Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sejarah sosiologi juga

terjadi, bahkan memiliki pola perdebatan yang relatif sama seperti yang terjadi di

Eropa. Hanya saja hasil pemikiran Durkheim dan Weber cenderung tidak membuming

dalam sosiologi Amerika sebelum munculnya karya Talcott Parsons yang berjudul

The Structure of Social Action pada tahun 1937.63 Maka perdebatan yang terjadi di

Amerika ini harus diposisikan pada alur sejarah yang berbeda meskipun secara esensi

persoalannya tampak sama. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi memiliki orientasi yang

mengejar kaidah-kaidah atau hukum-hukum kebenaran. Tetapi persoalannya adalah

bagaimana cara menggali kaidah dan hukum kebenaran tersebut? dengan metodologi

seperti apa realitas sosial dapat dipahami secara akurat.?

Sebagaimana yang telah terjadi di Eropa, para sosiolog Amerika juga terbelah

pandangannya. Hal ini ditandai dengan pemetaan Robert C Bannister bahwa terdapat

dua pandangan yang berbeda dikalangan sosiologi Amerika yaitu nominalisme dan

realisme.64 Dalam pandangan nominalisme masyarakat merupakan entitas yang dapat

direduksi menjadi aspirasi individu-individu. Oleh karena itu, disebutkan bahwa

sosiologi semestinya menjadi ilmu yang melakukan pengukuran statistik perilaku

individu terhadap perubahan lingkungannya dan menjadi ilmu yang memetakan trend

dari pada mencari penyebab obyektif pada sebuah fenomena sosial.

Berbeda dengan pandangan realisme yang menganggap sosiologi hanya dapat

mempelajari entitas obyektif yang dapat menimbulkan kontrol sosial dan seharusnya

mengandalkan imajinasi sosiologi untuk melakukan analisis lebih jauh dan mendalam

daripada sebatas analisis trend. Sepanjang perdebatan itu, akhirnya memunculkan dua

asumsi yang berbeda di kalangan sejarah sosiologi Amerika baik kalangan Chicago

maupun Columbia. Kalangan Chicago seperti yang diketahui bahwa mereka lebih

dikenal dengan pendekatan holistik dengan realismenya. Dan kalangan Columbia

dikenal dengan pendekatan individualistik dengan nominalisnya yang di dalamnya

juga melibatkan tokoh-tokoh sosiologi lainnya seperti F Stuart Chapin, Wiliam F

62Goldthorpe menyatakan bahwa Weber secara metodologis memiliki kecenderungan

pada penelitian yang sifatnya kuantitatif, Weber juga mendirikan Deutsche Gesselschaft fur

Soziologie (DGfS) yang bertujuan mendorong penelitian-penelitian ilmiah. Weber berusaha

menjalin kerja sama dengan sosiologi dan asosiasi statistic di Jerman untuk membantu

menciptakan penelitian ilmiah. Dalam On Sociology: Numbers, Narratives, and The

Integration of Research and Theory (Oxford: Oxford University Press, 2000), 287-288. 63Pemikiran Weber dan Durkheim belum begitu membuming secara luas dikalangan

sosiolog Amerika, hal itu dikarenakan buku Durkheim baru pertama kali diterjemahkan pada

tahun 1983 dengan karyanya yang berjudul The Rules of Sociological Method. Sementara buku

Max Weber terlebih dahulu diterjemahkan pada tahun 1930 oleh Talcott Parsons, yang

membahas tentang etika, bukan tentang asumsi-asumsi sosiologi mendasarnya. Lihat: Jennifer

Platt, A History of Sociological Research Methods in America 1920-1960 (Cambridge:

Cambridge University Press, 1996), 69. 64Robert C Bannister, Sociology and Scientism: The American Quest for Objectivity,

(Chapel Hill: The University of California Press, 1987), 6.

Page 60: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

46

Ogburn dan Franklin yang juga lebih menekankan pada aspek statistik dengan

menggunakan analisis sosiologi empiris.65

Seputar perdebatan tentang perspektif di dalam tubuh sosiologi umumnya

hanya berkisar pada perdebatan antara metodologi kuantitatif dan kualitatif yaitu

suatu perdebatan yang mempersoalkan apakah sosiologi sebagai ilmu positif atau

humanis. Dan apakah sosiologi harus membangun analisis yang bebas nilai ataukah

harus relevan dengan kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut

merupakan suatu perdebatan yang sebenarnya pada substansinya sama. Meskipun

demikian perdebatan-perdebatan itu hingga saat ini belum ada titik temu yang benar-

benar mendamaikan pertentangan di antara kedua pandangan tersebut.

Bertolak dari perdebatan panjang di atas, menurut Ritzer pada tahun 1980-an

muncul pemikiran methodological relationism dari upaya-upaya untuk menjembatani

atau mengintegrasikan asumsi-asumsi yang terpisah di antara methodological

individualism dan methodological holism. Methodological relationism berupaya

untuk membangun integrasi keilmuan dari ilmu sosial yang selama ini terus

mengalami perdebatan di dalam tubuhnya sendiri. Dalam sosiologi, methodological

relationism yang direpresentasikan oleh Giddens dan Ritzer, bahwa methodological

relationism agen atau struktur tidak bersifat dominan dalam hubungannya antara satu

dengan yang lain melainkan saling mempengaruhi.

Merujuk dari istilah Ritzer, dalam pemikiran Berger yang merupakan aliran

methodological relationism yang lahir sebelum tahun 1980-an, bahwa bagi Berger

memang tidak secara eksplisit mensistematisasi karyanya sebagai sebuah karya yang

membahas dikotomi agen dengan struktur atau mikro dan makro, melainkan karya

yang betolak dari permaslahan sosiologi pengetahuan.66 Seperti halnya filsafat, bahwa

sosiologi pengetahuan berangkat dari pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah realitas

itu? Apakah hal-hal yang kita tahu adalah benar demikian adanya? Dan benarkah apa

yang selama ini kita yakini benar? Oleh karena itu, kemudian Berger di sebut-sebut

sebagai salah seorang yang beraliran sosiologi pengetahuan atau sosiologi agama.

Dalam membangun sosiologi pengetahuan dari teori konstruksi sosialnya, Berger

berupaya membuktikan pandangan Weber yang mengatakan realitas sosial berasal

dari individu yang bersifat subyektif, dan Durkheim yang mengatakan realitas sosial

masyarakat itu bersifat obyektif. Bagi Berger, sebenarnya bukanlah dua pandangan

yang saling bertentangan karena individu dan masyarakat saling mempengaruhi.

Dalam sosiologi pengetahuan, Berger adalah salah satu tokoh yang melawan

arus pemikiran pada masanya. Dalam perkembangan wacana sosiologi pengetahuan

yang sedang trend saat itu, di mana ketika pemikiran Mannheimian yang menganggap

bahwa pengetahuan ditentukan oleh posisi sosial, justru Berger hendak mengubahnya

dengan menekankan pada manusia yang memiliki peranan aktif dalam memperoduksi

pengetahuan. Meskipun sosiologi pengetahuan pertama kali didefinisikan secara

formal oleh Max Seheler, akan tetapi Mannheim adalah tokoh yang memberikan arah

65 Robert C Bannister, Sociology, and Scientism: The American Quest for Objectivity

(Chapel Hill: The University of Clifornia Press, 1987), 6-7. 66Karena persoalan inilah yang dipaparkan secara tegas dan jelas oleh Berger melalui

kata pengantar buku yang ditulisnya bersama Luckmaan. Dalam The Social Constuction of

Reality: A Treatise in The Socilogy of Knowledge (New York: Douleday, 1966), 14-15.

Page 61: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

47

bagi pengembangan disiplin ini.67 Melalui buku yang berjudul Ideology dan Utopia,

Mannheim mengkaji dua dimensi pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat,

yaitu ideologi dan utopia. Idologi adalah pengetahuan kelas yang berkuasa dan utopia

adalah pengetahuan yang berkembang di antara kelas-kelas yang tertindas.

Dalam bukunya, Mannheim menetapkan arah sosiologi pengetahuan sebagai

disiplin yang mempelajari bagaimana posisi sosial sekelompok orang menentukan

pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Pengaruh pemikiran Marx yang

materialistik dapat terlihat dalam pemikiran Mannheim selama tahun 1930-an dan

tahun 1936. Buku Mannheim diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa

Inggris samapai dengan tahun 1960-an, di mana sosiologi pengetahuan bisa dipahami

berdasarkan kanon yang ditetapkan oleh Mannheim.68

Pada tahun 1966 sosiologi pengetahuan mengalami perubahan pada kanonnya

yang ditandai dengan terbitnya karya Peter L Berger dan Thomas Lucmann dalam

bukunya yang berjudul; “The Social Construction of Reality A Treatise in The

Socilogy of Knowledge.” Keduanya menggagas perubahan dalam dua hal penting

terhadap sosiologi pengetahuan yaitu; pertama Peter L. Berger berusaha mengubah

persepsi bahwa sosiologi pengetahuan merupakan disiplin yang hanya mengkaji

sejarah perkembangan sebuah gagasan atau ideologi. Berger melihat bahwa sosiologi

pengetahuan cenderung lebih terorientasi mengkaji sejarah munculnya suatu gagasan

atau ide-ide intelektual. Oleh sebab itu, bagi Berger mengenai gagasan dan ideologi

hanya mencakup sebagian kecil dari perosalan yang hendak dikaji oleh sosiologi

pengetahuan dan bukan sesuatu yang sepatutnya menjadi sentral dari pokok

permasalahnya. Menurut Berger sosiologi pengetahuan seharusnya mengkaji segala

dimensi pengetahuan dalam masyarakat, termasuk pengetahuan awam, atau

pengetahuan sehari-hari yang telah ditekankan oleh Berger sebagai subyek analisis

dalam bukunya.

Selain itu, Berger juga telah menetapkan sosiologi pengetahuan sebagai ilmu

yang mempelajari hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan manusia.69 Pada

konteks ini, Berger meletakkan titik pandangannya yang berbeda dengan Mennheim,

di mana Berger justru menekankan hubungan antara manusia dengan pengetahuan dan

realitasnya sebagai hubungan yang bersifat resiprokal atau hubungan timbal balik. Ini

bararti manusia yang hidup bersama dan membentuk masyarakat sebagai sebuah

pengetahuan sehingga pengetahuan menjadi realitas yang sebaliknya membentuk

67Sebelum keduanya, sebenarnya Marx telah mendahuluinya dengan teori sosiologi

pengetahunnya, yaitu ideologi sebagai suprastruktur. Ideologi merupakan aparatus yang

dibentuk dari praktik sosial-ekonomi suatu masyarakat. Dalam teori-teori klasik lainnya,

gagasan sosiologi pengetahuanpun dapat dilihat dalam pemikiran Durkheim tentang agama

sebagai kesadaran kolektif, atau dalam pemikiran Weber ketika ia membahas mengenai etika

Protestan yang mendorong terjadinya kapitalisme. Lebih jelasnya baca: Max Weber, Etika

Protestan & Spirit Kapitalisme, dan Emile Durkheim tentang The Elementary Forms of The

Religious Life (New York: Free Press, 1992),126. 68 Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,

2009), 37. 69Lihat: Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality

(New York: Doubleday, 1966), 4.

Page 62: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

48

manusia.70 Penjelasan ini memang sangat bertumpu secara mendasar pada pertanyaan

seperti bagaimanakah proses dari realitas itu dikonstruksikan secara sosial? Sosiologi

pengetahuan tentang kehidupan sehari-haripun kemudian menjadi pintu masuk Berger

ke perdebatan paradigmatik sosiologi tersebut.

Posisi paradigmatik sebagai teoritisi seperti Berger, tentu tidak bisa diterka

begitu saja dalam kerangka pemetaan Bannister, apakah Berger merupakan seorang

nominalis ataukah seorang realis? Dalam penggolongan Purdue, Berger dikategorikan

sebagai bagian dari paradigma plural. Sebagai bagian dari paradigma plural, Berger

diasumsikan menjadi teoritisi yang menekankan manusia sebagi mahluk rasional dan

subyektif. Manusia bukanlah aktor yang melayani kepentingan keteraturan struktur

sebagaimana diasumsikan oleh paradigma order tetapi ia merupakan mahluk yang

berusaha memenuhi kepentingannya yang subyektif.71

Berangkat dari pemikian Berger di atas, maka realitas sosial telah menjadi

sebuah kenyataan sosial dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Individu tidak

dilahirkan sebagai anggota masyarakat begitu saja. Akan tetapi individu terbentuk

dengan pradisposisi (kecenderungan-kecenderungan) ke arah sosialitasnya sehingga

individu menjadi anggota masyarakat.72 Dengan demikian, setiap individu akan

melewati proses sosial yang panjang atau dan berlangsung secara terus-menerus

hingga melebur ke dalam partisipasi dialektika masyarakat hingga pada titik awal

inilah kemudian dikatakan sebagai konstruksi sosial eksternalisasi.

Berger mendefinisikan realitas sosial sebagai makna dari sebuah fenomena

walaupun makna itu tidak serta merta dapat diubah begitu saja oleh manusia.73 Meski

sedikit berbeda jika dibandingkan dengan definisi kamus Oxford, yang mengartikan

realitas sebagai sesuatu yang benar-benar dapat dirasakan (actually experienced).74

Jika pengetahuan dalam definisi Berger merupakan unsur yang menjamin bahwa

suatu fenomena itu ada sebagaimana ia ada, disamping memiliki ciri-ciri tertentu

seperti yang disebutkan dalam pengetahuan itu sendiri, maka manusia itu hadir dalam

dunia sosial baginya adalah “nyata” dan dalam ranah yang berbeda ia “tahu” bahwa

perbedaan itu akan melahirkan karakteristik-karakteristik yang berbeda pula.75

Penjelasan di atas, sebenarnya menunjukan bahwa manusia disebut sebagai

mahluk yang memiliki kesadaran terlampau bebas dalam memberikan pemaknaan

70Pernah disebutkan oleh Ann Swidler dan Jorge Arditi 2005, bahwa ada dua macam

sosiologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan lama yang ditetapkan oleh Mannheim, dan

sosiologi pengetahuan baru yang menjadi trend menggantikan paradigma Mennheim dalam

sosiologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan baru mengkritik sosiologi pengetahuan lama

karena menempatkan pengetahuan sebagai variabel pasif. Sedangkan sosiologi pengetahuan

baru melihat bagaimana pengetahuan juga berperan dalam membentuk institusi sosial. 71 Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,

2009), 39. 72Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New

York: Doubleday, 1966), 146. 73Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran. 2009, 84. 74Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran. 2009, 85. 75

Aimie Sulaiman, Memahami Teori Konstruksi Sosial Pteter L. Berger Jurnal

Society, Volume VI, No. I Juni, 2016, 16.

Page 63: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

49

pada suatu kenyataan yang dihadapinya,76 sehingga kesadaran manusia dalam

memaknai dirinya dan obyek-obyek dalam kehidupanya di dasari pada sifat-sifat yang

telah diperolehnya atau sesuai yang dialaminya ketika berhubungan dengan obyek

tersebut.77 Berangkat dari kerangka teoritisnya tentang masyarakat sebagai kenyataan

obyektif dan individu sebagai kenyataan subyektif, maka untuk dapat memahami teori

yang memadai mengenai individu dan masyarakat setidaknya dimulai dari kedua

aspek tersebut. Adapun aspek-aspek yang dimaksud kemudian akan memperoleh

pengakuan yang semestianya ketika masyarakat dipahami melalui proses dialektis

yang berlangsung secara terus-menerus dengan melewati tahapan-tahapan atau tiga

momen penting yaitu momen eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.78

Dalam momen internalisasi misalnya, yang mendefinisikan manusia menjadi

produk dari pada dibentuk oleh masyarakat.79 Untuk itu, Internalisasi ini kemudian

akan berfungsi sebagai penyalur satu tujuan yang terlembaga untuk menjadi realitas

yang berdiri sendiri khususnya kepada anggota-anggota masyarakat baru, sehingga

institusi tersebut senantiasa dapat dipertahankan walaupun pada dasarnya institusi itu

juga dirumuskan oleh anggota masyarakat itu sendiri.

Sedangkan objektivasi adalah suatu institusi yang dengan sendirinya akan

membentuk kesadaran masyarakat hingga tetap dipertahankan. Proses ini kemudian

membentuk suatu hubungan antara manusia dengan masyarakat. Jika sebelumnya

pernah dikatakan bahwa manusia membentuk masyarakat dan sebaliknya, masyarakat

membentuk manusia,80 maka antara keduanya tetap saling keterkaitan dan tidak dapat

dipisahkan. Berikut ini merupakan ilustrasi terhadap eksternalisasi, objektivasi, dan

internalisasi menurut pandangan Peter L. Berger.

76Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, 2009, 106. 77Sebagai contoh yang dapat dipahami dari gambaran di atas adalah misalkan si A

terluka dan berdarah dan meraskan gejolak emosi sakit dari luka tersebut, maka kesadarannya

akan cendrung menghubungkan rasa sakit dengan cairan yang berwarna merah yang menetes

dari luka tersebut. Maka, semua hal yang memiliki warna merah mungkin akan menjadi

elemen yang menceritakan kesakitan dalam benak si A. Lihat: Geger Riyanto, Peter L. Berger

Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES 2009), 106. 78Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New

York: Doubleday & Company, 1966), 146. 79Peter L Breger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion

(New York: Doubledy, 1967), 4. Terminologi eksternalisasi dan obyektifikasi berasal dari

Hegel, namun Berger memahami berdasarkan terminologi yang sudah diadaptasi oleh Marx

ke dalam filsafat materialisnya yang humanis. Sementara istilah internalisasi merupakan istilah

yang dipinjamnya dari Harberet Mead. Dalam Peter L. Berger Elements of a Sociological

Theory of Religion (New York: Doubledy, 1967), 188. 80Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, 85.

Page 64: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

50

Bagan 2. Ilustrasi Konsep Konstruksi Sosial Peter L. Berger81

Internalisasi terjadi melalui mekanisme sosialisasi. Berger yang mengikuti

teori Mead dari aliran interaksionisme simbolik yang menyebutkan bahwa manusia

hidup dalam institusi dan mengatur posisinya dari posisi ego-ego yang lain. Teori

interaksionisme simbolik berkembang pertama kali di Universitas Chicago, dan

dikenal pula sebagai aliran Chicago. Banyak tokoh yang menjadi bagian dari teori

interaksionisme simbolik ini seperti John Dwewy, C.H. Cooley, W.I Thomas, G.H.

Mead, Eilliam James, dan lain-lain. Teori ini agak sulit disimpulkan meskipun dapat

dikatakan memiliki sumber yang cukup banyak, namun kebanyakan di antara sumber-

sumber tersebut tidak dapat memberikan pernyataan tunggal dari apa yang menjadi

isi dalam teori ini kecuali satu hal, yakni ide dasar teori interaksionisme simbolik yang

bersifat menentang behaviorisme radikal yang juga di plopori oleh J.B Waston.82

Adapun behaviorisme radikal melihat bahwa perilaku individu merupakan

sesuatu yang dapat diamati. Tetapi Mead berpandangan lain dari behaviorisme di

mana Mead lebih menekankan pada pengakuan terhadap pentingnya pengamatan dari

tindakan individu. Mead yang disebut sebagai tokoh utama dalam interaksionisme

simbolik juga merasa bahwa tindakan (action) merupakan aspek yang terselubung

dari perilaku (behavior) dan justru menurutnya diabaikan oleh penganut behaviorisme

radikal. Secara konsepsional istilah action mempunayai perbedaan makna dengan

behavior. Behaviorisme mempelajari tingkah laku (behavior) manusia secara objektif

dari luar. Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari tindakan sosial dengan

mempergunakan teknik intropeksi untuk mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi

tindakan sosial itu dari sudut aktor.83

81Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, 112. 82Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam, 2008, 44. 83Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam, 2008, 45.

Dimensi Manusia

Rasionalitas - Subjektif

Dimensi struktur Sosial

Keteraturan - Objektif

Eksternalisasi Internalisasi Objektifikasi

Page 65: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

51

D. Proses Sosial dalam Dunia Sosio-Kultural Masyarakat.

1. Eksternalisasi

Proses awal yang terjadi dalam dunia sosio-kultrual masyarakat adalah apa

yang disebut dengan eksternalisasi. Eksternalisasi merupakan momen adaptasi yang

dilakukan oleh setiap anggota masyarakat dimana sarana yang digunakan adalah

bahasa84 dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi sekaligus

proses melakukan adaptasi melalui dunia sosio-kultural bersama dengan tindakan-

tindakan yang telah disesuaikan pada lingkungannya.85

Bahasa menjadi sangat penting dalam melakukan interaksi. Oleh karena itu,

setiap manusia harus mempunyai kemampuan berbahasa untuk menjalankan kegiatan

berpikirnya secara sistematis. Jika manusia tidak mempunyai kemampuan berbahasa,

maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam melakukan interaksi dan sulit dalam

mengembangkan budayanya termasuk tidak dapat meneruskan nilai-nilai budaya dari

generasi ke generasi berikutnya dan tidak menutup kemungkinan nilai dari budaya

tersebut akan hilang atau memudar.86 Aldous Huzxley pernah mengatakan “Tanpa

Bahasa” manusia tidak berbeda dengan hewan.87 Dalam pandangan Ernst Cassirer,

manusia sebagai Animal symbollicum, yaitu mahluk yang mempergunakan simbol,88

di mana manusia dalam kegiatan berpikirnya cenderung mempergunakan simbol.

Dalam momen eksternalisasi ini kadang terdapat orang-orang yang mampu

melakukannya secara maksimal, tapi ada pula orang yang tidak mampu melakukannya

dengan baik bahkan ada tidak melakukannya sama sekali. Antara penerimaan dan

penolakan tersebut tergantung dari mampu atau tidaknya individu menyesuaikan

dirinya dengan dunia sosio-kulturalnya. Menurut Nur Syam, momen tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut. Pertama: penyesuaian dengan teks-teks suci. Ungkapan

terhadap kebenaran al-Qur’an dan Hadis-Rasulullah Saw dapat dijadikan sebagai

landasan atau pedoman untuk memberikan suatu pengakuan atas benar dan tidaknya

suatu tradisi yang dilakukan sebelumnya oleh para leluhur kita seperti “ulama-ulama

salaf yang shalih”, ahli-ahli agama Islam yang terkenal kesalehannya dan memiliki

kemampuan saat menerjemahkan ajaran Islam sesuai dengan interpretasinya masing-

masing.

Berkaitan dengan hal di atas, ungkapan atau pernyataan-pernyataan ini dapat

dijumpai dalam berbagai momen, misalnya pengajian-pengajian temporal, khutbah

Jum’at, walimat al khitan, walimat al arusy, upacara keagamaan, dan upacara-upacara

84Menurut ahli bahasa Edwar Sapir dan Benjamin Whorf, bahasa membentuk cara

berpikir manusia dan cara mereka melihat kenyataan. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad

Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN

Jakarata PRESS, 2006), 63. 85Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 249. 86Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2009), 171. 87Aldous Huxley, Words and Theri Meaning The Importance of Language (ed). Max

Black (Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall, 1962), 5. 88Simbol merupakan bentuk suatu objek atau tanda yang akan membentuk reaksi

sosial setelah diasosiasikan secara kolektif. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori,

Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN

Jakarata PRESS, 2006), 62.

Page 66: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

52

lainnya. Ini menunjukkan bahwa hakekatnya dalam pelaksanaan tradisi Islam lokal

tidak terlepas dari teks-teks suci yang menjadi pegangan teguh bagi masyarakat itu

sendiri. Untuk itu al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw merupakan tuntunan agama

Islam yang harus menjadi pedoman kuat bagi umat manusia agar mereka senantiasa

memperoleh nikmat-nikmat Allah Swt. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

م يك

ه عل

روا نعمت الل

قوا واذك ا تفر

ل ه جميعا و

بل الل عداء ا واعتصموا بح

تم ا

ذ ك

نق ار فا ن الن ى شفا حفرة م

تم عل

صبحتم بنعمته اخوانا وك

م فا

وبك

ف بين قل

لم فا

ذك

م تهتدون ك عليته ل

م ا

كه ل ن الل ذلك يبي

نها ك ٣٠١م

Artitnya: “Dan berpeganglah kamu sekalian semuanya terhadap tali (agama) Allah,

dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah akan nikmat-nikmat Allah kepada

kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah

mempersatukan hati kalian lalu jadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang

bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan

kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian

agar kalian mendapat petunjuk” (Q.S: 'Āli 'Imrān: 103).89

Ayat tersebut menggambarkan tentang suatu perintah agar seluruh umat Islam

bersatu di atas kebenaran (jalan Allah Swt) dan melarang kita berpecah belah. Dalam

firmannya di atas, persatuan yang dimaksudkan adalah perintah Allah atas kitab dan

sunnah atau di atas tali Allah. Jika ada di antara manusia yang melepaskan diri atau

mengambil jalan lain selaian jalan Allah, sesungguhnya mereka adalah orang yang

telah memisahkan diri dari umat Islam dan berarti merekalah penyebab dari timbulnya

perpecahan.

Tradisi kaum Nahdiyin (NU) seringkali mengungkapkan pentingnya menjaga

tradisi Islam lokal seperti membaca tahlil, membaca al-Qur’an, membaca zikir atau

wirid,90 membaca Asmāul Husna dan sebagainya. Memperbanyak zikir dengan

jumlah bilangan yang melebihi jumlah yang ada di dalam hadis merupakan sunnah,

89 Departemen Agama Ripublik Indonesia RI, AL-Qur’an dan Terjemahan Juz 1-

Juz 30 (Jakarta: Duta Surya, 2011), 79 90Ibnu Hajar al-Hatsani berkata, “jika seseorang selalu menjaga wirid layaknya shalat,

membaca Al-Qur’an, Zikir dan Do’a di siang dan malam hari maka (ketahuilah bahwa)

perbuatan itu merupakan kebiasaan Rasululllah Saw. Termasuk para ulama dahulu dan ulama

sekarang. Maka apa yang dianjurkan untuk diamalkan secara berjamaah seperti shalat fardhu,

ia harus mengerjakannya. Dan apa yang diajarkan untuk dilestarikan sendirian seperti wirid,

ia pun harus melakukannya. Sebagaimana dahulu ketika para sahabat pernah berkumpul, dan

mereka meminta salah satu di antara mereka untuk membaca al-Qur’an, sedangkan yang

lainnya akan mendengar bacaan tersebut dengan hening. Lihat: Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu

Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), 196.

Page 67: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

53

bahkan diperintakan dengan jelas dalam al-Qur’an91 bahwa membaca tahlil, membaca

Surat Yasin, ditujukan kepada orang tua, kerabat, sahabat dan jamaah Islam yang

sudah meninggal merupakan tindakan yang sangat terpuji.

Sebenarnya kita bisa melihat bahwa setiap upacara maupun tradisi keagamaan

sangat jelas memiliki dasar yang kuat sebagai ligitimasi dalam menjalankan tradisi-

tradisi Islam lokal. Ligitimasi tersebut tentu bersumber dari teks-teks suci seperti al-

Qur’an, Hadist, dan pendapat para ulama. Meskipun ada pula yang bersumber dari

sejarah, kitab-kitab kuno, naskah, babat, bahkan cerita-cerita lisan dari orang lain.

Kesemuanya adalah pedoman yang dapat menuntun mereka dalam melaksanakan

aktivitas keagamaan terhadap tradisi atau budaya masyarakat Islam lokal. Hanya saja

al-Qur’an dan hadis merupakan pedoman utama bagi umat Islam di dunia.

Kedua: penyesuaian dengan nilai dalam tradisi lama. Pada posisi ini ada dua

tindakan yang dapat dilihat sebagai proses penyesuaian individu dengan nilai92 yaitu;

penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap nilai dalam tradisi lama biasanya

berwujud dalam bentuk tindakan di berbagai ruang budaya.93 Misalnya; banyak

masyarakat yang terlibat di dalam kegiatan ratiban dan khaul di makam-makam

keramat, menandakan bahwa masyarakat itu mampu menerima tradisi lama yang telah

dikemas sedemikian rupa. Selain itu, ada juga masyarakat yang terlibat dalam sedekah

bumi di sumur Wali juga menunjukkan bahwa mereka menerima tradisi lama yang

telah dikemas oleh elit Desa. Dan ada pula keterlibatan masyarakat dalam berbagai

upacara lingkaran hidup yang memberikan gambaran bahwa masyarakat menerima

terhadap pelestarian tradisi Islam.

Masyarakat yang tidak menerima pelestarian nilai-nilai dalam tradisi lama,

menurutnya sangat beralasan karena mereka juga merujuk pada teks-teks suci sesuai

dengan sudut pandang mereka masing-masing. Misalnya; bentuk penolakannya

adalah penggunaan bahasa, sego neroko dalam memaknai upacara kematian,

menurutnya aktivitas itu adalah bentuk takhayul, bid’ah dan khurafat, hingga pada

sebuah tindakan pembakaran ditempat-tempat yang dianggap suci oleh sebagian

lainnya. Selain itu, berupa percobaan melanggar sebagai sarana untuk membuktikan

bahwa kepercayaan tersebut tidak benar adanya. Kepercayaannya dianggap sebagai

mitos-mitos yang dilestarikan.94

Sebenarnya ada juga masyarakat yang menginginkan bahwa agama mestinya

bebas dari budaya. Sudut pandang masyarakat seperti ini adalah mereka yang tidak

ingin mencari solusi hidup terhadap agama. Karena mereka mengutamakan solusi atau

penyelesaian masalah (problem solving) dengan cara yang rasional melalui

91Artinya “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)

Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. (Q.S. al-Ahzaab.41). Lihat: Departeman Agama

Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan Juz 1-Juz 30 (Jakarta: Duta Surya, 2012), 599. 92Ide umum dijadikan sebagai pegangan oleh manusia tentang apa yang dianggap baik

dan tidak baik. Lihat: M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar

Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar (Jakarta: UIN Jakarata PRESS, 2006), 70. 93Menurut ilmu Antropologi kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang telah diperolehnya

dengan cara belajar. Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka

Cipta, 2009), 144. 94Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 150.

Page 68: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

54

teknologi.95 Dalam ungkapan yang pernah disebutkan Evelyn L. Bush, kelompok

masyarakat yang dikendalikan oleh sistem rasionalitas karena selalu berbasis pada

sistem tersebut, biasanya disebut sebagai masyarakat sekuler.96

2. Objektifikasi

Objektivasi merupakan momen interaksi diri dengan dunia sosio-kulturalnya.

Momen ini melihat realitas sosial seakan-akan berada di luar diri manusia. Realitas

tersebut kemudian muncul sebagai suatu kenyataan objektif karena menganggap

adanya perbedaan dari realitas objektif, seperti halnya ketika ia melihat realitas diri

yang subjektif dan realitas lain yang berada di luar dirinya yang bersifat objektif.

Antara kedua realitas tersebut kemudian akan melakukan jaringan interaksi yang

disebut intersubjektif melalui proses pelembagaan. Contohnya Wali dan manusia

biasa adalah dua manusia yang berbeda.

Pertama Wali.97 Wali mempunyai kelebihan dibandingkan dengan manusia

biasa. Menyadari tentang keberadaan Wali, tentu butuh kesadaran yang tinggi untuk

dapat mengetahuinya karena Wali dekat dengan Allah Swt. Wali menjadi wasilah atau

perantara yang dapat menghubungkan manusia dengan sang pencipta (Allah Swt).

Kedekatannya diperoleh melalui upaya-upaya individual yang dilakukan ketika

berhubungan dengan Allah Swt melalui dzhikir, wirid, dan riyadah yang sistematis

dan terstruktur. Melalui kedekatan (taqarrub) inilah seorang Wali melahirkan aura

kesuciannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulallah Saw yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari98

95Masyarakat yang memiliki sudut pandang seperti ini merupakan masyarakat yang

seringkali diistilahkan dengan positivisme, yaitu sekelompok manusia yang hanya bertitik

tolak pada yang riil sesuai dengan ilmu positif (science positive), observasi, dan eksperimen.

Sedangkan teknologi dan sains hanyalah institusi terkahir untuk menemukan solusi dalam

menyelesaikan maslah dan tidak disertai dengan aspek transendental. Lihat: Hasan Bakti

Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Madia Pratama, 2001), 178. 96Evelyn L. Bush, “Measuring Religion in Global Civil Society” Journal Social

Forces Vol. 85, No. 4 2007, 1645. 97Al-wīlāyah. Secara etimologi merupakan bentuk masdar dari lafash walā’ Yuli,

walīyyān wa wīlayatān. Kata tersebut mengandung beberapa arti seperti: dekat, menempati,

menguasai perkaranya, menolong dan cinta kepadanya, pengampunan dosa, kekuasaan dan

pemerintahan. Sedangkan kata Wali itu dalam pandangan al-Qusyayri, dapat diartikan dengan

dua pengertian yaitu: Pertama bisa berbentuk fa’il dan bermakna fa’il (pelaku pekerjaan)

dengan menggunakan arti mubalagah (sangat menekankan). Wali berarti orang yang selalu

taat kepada perintah Allah Swt tampa disertai maksiat. Kedua dapat berbentuk fa’al dan maful

(orang yang diberikan pekerjaan). Wali adalah orang yang selalu mendapat penjagaan dari

Allah Swt. Sebagaimana firmannya dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 196, yang artinya:

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dia

melindungi orang-orang shaleh. Lihat: In’amuzzahidin Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi

Wali Gila Antara Tasawuf dan Psikologi (Semarang: Syifa Press, 2007), 49-50. 98 Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata; Rasulallah Saw, telah bersabda:

“artinya: Sesungguhnya Allah SWT, berfirman: “Barang siapa yang memusuhi Wali-ku, maka

Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-

Ku yang lebih aku cintai keculai dengan beribadah terhadap apa yang telah aku wajibkan

kepadanya. Dan hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil

(perkara-perkara sunnah) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya

Page 69: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

55

Kesucian yang dimaksud kemudian menjadi level kedua yang diperoleh oleh

sesorang setelah level pertamanya terpenuhi. Melalui kesucian dan wasilah ini dapat

dimaknai dengan sendirinya. Dalam berbagai acara khaul misalnya; yang paling

penting adalah pembacaan riwayat hidup orang suci karena penuh dengan

“Keajaiban”, “Misteri”, yang “lain” dari yang “biasa” baik menyangkut kegiatan-

kegiatan keagamaan individu maupun ibadah lainnya.

Kedua Wali mempunyai kekuatan supranatural, sedangkan manusia biasa

hanya mempunyai kekuatan natural. Untuk sampai terhadap kesadaran tersebut maka

diperlukan penyadaran yang diimbangi dengan pengetahuan atau “kelebihan” melalui

dalil-dalil dan nash yang memiliki rujukan sampai kepada Nabi Muhammad Saw.

Misalnya banyak sumur sebagai ilustrasi yang dinisbahkan kepada Wali, hakekatnya

berasal dari sunnah sahabat yang memiliki kecenderungan untuk membikin sumur. Di

tanah Arab banyak sumur yang dinisbahkan kepada para sahabat Nabi bahkan

dhurriyah Nabi Muhammad telah membuat sumur di tempat-tempat Nabi pernah

berhenti dalam perjalanan dakwahnya.

Ketiga pelembagaan atau institusionalisasi, yaitu proses untuk membangun

kesadaran menjadi tindakan. Dalam proses pelembagaan tersebut nilai-nilai yang

menjadi pedoman di dalam melakukan interpretasi dari tindakan dan tidak terpisahkan

sehingga apa yang disadari tersebut adalah apa yang dilakukan. Melakukan upacara

tentunya bukan hanya sekedar tindakan sengaja atau berpura-pura, tetapi ia

melakukan tindakan itu atas dasar tujuan yang jelas bagi mereka karena ia mengetahi

apa manfaat dari tindakan itu bagi dirinya.

Dalam melakukan suatu perbuatan dengan menggunakan wasilah para Wali,

mereka telah mengetahui siapa Wali tersebut dan apa yang akan diperolehnya dengan

menggunakan wasilah itu. Misalnya mengambil air sumur sebagai ilustrasi yang di

antara kebanyakan masyarakat ketika mengambil air sumur Wali, setidaknya mereka

sudah mengetahui arti penting air yang diambil untuk dirinya. Termasuk ketika

mereka melakukan upacara-upacara (ritual atau seremonial), yang mereka ketahui

arti penting upacara tersebut baginya. Sebenarnya proses pelembagaan ini, tindakan

individu dan masyarakat yang dipertimbangkan secara mapan dan konseptual adalah

tindakan yang rasional dan terarah sekaligus memiliki tujuan yang jelas.

Keempat habitus99 atau pembiasaan adalah suatu proses yang menunjukkan

suatu tindakan rasional yang dapat dilakukan dalam kehidupannya sehari-hari. Pada

posisi ini kadang tidak membutuhkan penafsiran terhadap tindakan tersebut karena

telah menjadi bagian dari sistem evaluatifnya sendiri. Kesadaran dalam menerima

sistem tersebut yang bersumber dari nilai kemudian menjadi bagian dari mekanisme

kehidupannya.

maka Aku adalah pendengarnya yang dia gunakan untuk mendengar, pengelihatanya yang

dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakan untuk memukul dan kakinya yang

digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan dan jika

dia meminta perlindungan dari-ku niscaya akan aku lindungi” (HR. Imam Bukhari). 99 Habitualisasi merupakan proses yang menjadikan suatu perilaku menjadi kebiasaan

atau biasa untuk seseorang. Lihat: Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus

Embodiment, Religion, and Socilogical Theory. Lihat: Bryan S. Turner, Sociology of Religion

(United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2010), 201.

Page 70: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

56

Suatu tindakan habitus biasanya akan menjadi tindakan mekanis setiap orang

yang merasa butuh dari tindakan tersebut, maka ia cenderung dapat kembali dilakukan

begitu saja. Misalnya seseorang akan datang ke makam, sumur, atau masjid pada saat

ada hal-hal yang berkaitan dengannya. Contoh lainnya adalah ketika seseorang yang

berkali-kali mendatanginya hany untuk melaksanakan shalat berjamaah. Pada posisi

ini ia menunjukkan di mana ketika hal itu sudah menjadi habitus dalam tindakannya

maka cenderung akan dilakukannya secara terus-menerus.

Adapun tindakan-tindakan individu akan muncul saat merasa membutuhkan

sesuatu, karena itu dia akan mendatangi tempat-tempat suci seperti makam atau sumur

Wali. Seseorang yang datang berkali-kali ke tempat acara ratiban juga didasari oleh

kenyataan adanya habitualisasi tersebut. Gambaran seperti ini jelas menunjukan

bahwa ketika tindakan itu sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada individu atau

kelompok individu maka tindakan-tindakan tersebut senantiasa akan dikelolanya

sehingga menjadi sebuah tradisi yang hidup dan dilestarikan.

Proses habitualitas di atas, menggambarkan adanya agen yang memainkan

peran penting sebagai individu atau sekelompok individu untuk proses penyadaran,

pelembagaan, atau pembiasaan. Sebab kita bisa melihat bahwa hampir pada semua

proses pelembagaan dan habitualisasi memerlukan peranan agen. Oleh karena itu,

dalam proses membangun mitologi dan mistifikasi terhadap makam, sumur, dan

masjid juga melibatkan jaringan agen-agen tersebut.

Dalam kegiatan jam’iyah tahlil di masing-masing tempat kita juga melihat

bagaimana individu (agen) memiliki peran penting dalam rangka membangun dan

menjaga bangunan-bangunan suci100 sebagai lambang atau simbol dalam tradisi Islam.

Menjaga makam berarti turut serta melestarikan warisan leluhur yang berupa simbol-

simbol Islam. Makam para Wali juga merupakan lambang suci bagi masyarakat yang

telah berperan menjadi penyebar Islam di masa lalu. Oleh karena itu, agar “kesucian”

mereka terus terjaga sehingga dari kalangan kaum Nahdiyiin (NU) sendiri sering kita

jumpai berbagai ceramah atau pengajian yang diselenggarakan di mana ajakan-ajakan

mereka agar senatiasa melestarikan warisan ritual dan budaya itu sekaligus.101

3. Internalisasi.

Internalisasi merupakan tahapan untuk melakukan identifikasi diri dalam

dunia sosio-kultural. Internalisasi sebenarnya momen penarikan realitas sosial dalam

diri seseorang atau realitas sosial menjadi kenyataan subyektif. Realitas sosial itu

berada di dalam diri manusia dan melalui cara itu kemudian diri manusia akan

teridentifikasi di dalam dunia sosio-kultrualnya. Sudah menjadi keniscayaan bagi

setiap manusia yang dilahirkan dengan memiliki kecenderungan untuk selalu hidup

berkelompok. Pada konteks ini, tergambarkan bahwa manusia senantiasa berada

dalam kelompok atau golongan, apalagi mereka merasa sesama ideologi, golongan

atau seidentitas, maka sudah pasti tidak ada sekat dalam melakukan interaksi.

100 Lihat: Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah Wali Di Dunia Islam (ed)

Jean Couteau dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 19. Tentang nama Al-qudus banyak

terdapat dalam Lisan al-Arab, jilid 4, 168-170. Lihat juga komentar klasik tentang ke-99 nama

Agung Allah (asma al-husna), dalam Ghazali, Al-maqshad al-asna; dan D Gimaret, al- 1993),

202-204. 101Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 252-255.

Page 71: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

57

Sebagai contoh kecil adalah ketika merasa sesama warga NU, maka jalinan

interaksi mereka dengan leluasa dapat terjadi secara intensif. Begitu pula dengan

kalangan Muhammadiyah. Tetapi sebaliknya, sekat bisa saja terjadi dalam interaksi

antara orang Muhammadiyah dan NU menjadi agak terbatas pada persoalan-persoalan

segmental atau sesuatu yang bersifat krusial, tidak terkecuali pada hal-hal biasa yang

sifatnya tidak urgen.

Padangan seperti ini kadang terasa sangat berlebihan. Akan tetapi hal ini tidak

dapat dipungkiri bahwa kodrat manusia sebagai mahluk yang berkecenderungan

dalam melakukan pengelompokan jika merasa dirinya seidentitas terhadap golongan

tersebut. Itulah sebenarnya bahwa penggolongan sosial itu bisa terjadi, misalnya wong

Muhammadiayah dan wong NU, orang tradisional dan orang modern, penggolongan

sosial terjadi bukan tampa alasan, karena penggolongan-penggolongan sosial tersebut

juga sudah memiliki basis nilai dan historis.

Basis historis antara wong NU dan Muhammadiyah tentu dapat dirunut dalam

sejarah panjang antar keduanya. Misalnya wong NU yang berbasis pada nilai-nilai

tradisi yang dianggapnya sebagai cabang fur’iyah102 dan bukan persoalan asasiah

(dasar) atau teologis. Sementara wong Muhammadiyah menilai bahwa masalah

tradisi-tradisi lokal yang dianggap sebagai Islam adalah persoalan dasar atau teologis,

dan sangat menentukan Islam yang genuin atau Islam yang ditambah-tambahi.103

Meskipun Muhammadiyah sejak awal berkomitmen untuk membatasi diri terhadap

bid’ah104 takhayul dan khurafat yang didasarkan pada kenyataan tentang “banyaknya”

amalan-amalan wong NU yang penuh sesak dengan tradisi-tradisi lokal, sehingga

antar keduanya bisa berbenturan. Namun NU tetap sibuk dalam melakukan resistensi

dengan memperkuat tradisi-tradisi Islam lokalnya. Dan Muhammadiyah justru

opensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuin. Terhadap dua pandangan

yang berbeda mengenai tradisi Islam lokal tersebut, tentunya tidak bisa disalahkan

begitu saja sebab secara basis nilai historis keduanya memiliki cara pandang yang

berbeda-beda.

102Urf’ adalah sebuah kebiasaan yang sudah diketahui oleh manusia dan menjadi

tradisi mereka seperti perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan

perbuatan tertentu. Urf’ juga disebut dengan adat. Dalam pandangan ulama syara’ tidak ada

perbedaan antara urf’ dan adat kebiasaan. Urf’ yang bersifat perbuatan seperti jual beli yang

dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan cara memberikan namun tampa ada shighat

lafzhiyyah (ungkapan melalui perkataan). Sedangkan urf’ yang bersifat perkataan, misalnya

pemutlakan lafal “al-walad” yang berarti anak laki-laki dan bukan anak perempuan, juga

pemutlakan lafal “al-lahm” (daging) yang digunakan untuk daging ikan. Lihat: Abdul Wahhab

Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), 148. 103 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 256. 104Ibnu Atsir berkata, “Bid’ah ada dua macam: bid’ah petunjuk (hudaa) dan bid’ah

sesat. Untuk itu, bid’ah yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, masuk

kedalam kategori yang dicela dan diingkari. Sedangkan bid’ah yang masuk ke dalam makna

umum perkara yang disunnahkan atau dianjurkan maka termasuk dalam kategori yang dipuji.

Sedangkan bid’ah yang tidak memiliki contoh dalam agama seperti salah kedermawanan,

kemurahan hati, dan usaha melakukan kebaikan, termasuk perbuatan yang terpuji. Lihat: Ali

Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ (Jakarta: Khatulistiwa Perss, 20016), 98.

Page 72: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

58

Sedangkan wong Muhammadiyah beranggapan bahwa persoalan nilai-nilai

tradisi lokal yang dinyatakan sebagai Islam adalah persoalan teologis dan sangat

menentukan Islam yang geniun atau Islam yang ditambah-tambahi. Oleh karena itu,

yang melakukan tradisi Islam Lokal (berbagai upacara dalam Islam Lokal) adalah

wong NU dan yang tidak melakukannya adalah Muhammadiyah. Atas dasar ini maka

muncul kategori Wong NU dan Wong Muhammadiyah.105

Tabel 1

Dialektika: Eksternalisasi, Objektifikasi, dan Internalisasi106

Momen Proses Fenomena

Eksternalisasi Penyesuaian

diri dengan

dunia sosio-

kultural

Menyesuaikan dengan teks sesuai dengan

interpretasi elit terdahulu bahwa semua tindakan

upacara memiliki basis historis, ajaran dan nilai.

Menyesuaikan dengan bahasa dan tindakan

upacara sebagaimana dicontohkan oleh ulama salaf

yang saleh.

Objektivasi Interaksi diri

dengan dunia

sosio kultural

Penyadaran bahwa Wali bukan manusia biasa,

sehingga apapun yang ditinggalkan (berupa benda-

benda) memiliki perbedaan dengan benda-benda

lainnya. Penyadaran bahwa Wali memiliki

kekuatan berbeda dengan manusia biasa maka ia

memiliki kedekatan yang berbeda dengan manusia

biasa sehingga bisa menjadi perantara hubungan

dengan Allah SWT. Pembiasaan tindakan melalui

pengulangan tradisi dan pelembagaan tradisi

melalui berbagai varian tindakan (pengajian di

dalam berbagai ruang budaya).

Internalisasi Identifikasi

diri dengan

dunia sosio

kultural

Adanya penggolongan sosial yang berbasis historis

dan teologis-ideologis, sehingga amalan-amalan

antara wong NU dan Muhammadiyah dan abangan

berbeda dengan memunculkan ungkapan seperti

Muhammadiyah Tus dan NU Tus.

Adanya perbedaan pandangan dari kelompok-kelompok masyarakat seperti

organisasi-organisasi sosial keagamaan maupun kelompok masyarakat tradisional dan

masyarakat modern, tentu berbasis pada sebuah landasan masing-masing sebagai

ligitimasinya untuk dapat menerima dan menolak tradisi Islam lokal tersebut. Dalam

hal ini, kita dapat melihat posisi masing-masing yang telah terakumulasi dalam sebuah

kelompok yang sudah menjadi bagian dari organisasi tersebut. Misalnya masyarakat

105Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 256. 106Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 257.

Page 73: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

59

tradisional yang secara intensional dapat menjalankan habitus (kebiasaan) hingga

dilestarikan sebagai perilaku keagamaan mereka yang hidup dan berkelanjutan.

Sementara bagi masyarakat modern perilaku keagamaan seperti itu, dianggap sebagai

perilaku menyimpang atau berlebih-lebihan.

Di dunia modern, agama tampak bertentangan dengan paham konvensional,

dan modernisasi sebagai sekularisasi, bahkan menjadi aktor dalam kepentingan politik

masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat modern lahir sekitar abad ke-17, dan dapat

dilihat sebagai epos sejarah yang terus berkembang dan bertahan dari waktu-waktu

tertentu. Modernitas telah diakui oleh lembaga sosial khusus dari masyarakat pasca-

Abad Pertengahan. Lembaga sosial tersebut memiliki kekuatan dan kenaikan yang

menekankan pada perhatian rasional yang murni dan penurunan yang sesuai dalam

tradisi dan tradisionalisme. Situasi dan kondisi sosial modern terlihat jelas dari cara

pengorganisasian secara rasional dalam kehidupannya di mana ketika perilaku sosial

mengambil strategi dengan menggunakan alat yang tepat untuk mewujudkan harapan

atau tujuan mereka.107

Perkembangan masyarakat modern telah membawa dampak dan pengaruh

besar dalam kehidupan umat manusia, perkembangan dan pertumbuhan yang semakin

serba modern kadang tidak terhindarkan sehingga mampu menyentuh ruang-ruang

kehidupan masyarakat yang masih dipengaruhi oleh tradisi108 lama mereka, walaupun

tidak dalam semua aspek-aspek kehidupannya dapat dipengaruhi dari perkembangan

tersebut. Situasi semacam ini, tidak dapat dibendung lagi dalam kehidupan manusia

seperti sekarang ini. Pengaruh modernitas tersebut bukannya menurun, justru semakin

meningkat dan berkembang pesat. Oleh karena itu, fenomena ini telah mendapat

sorotan utama dikalangan akademisi terutama seputar gagasan-gagasan tentang

“agama politik”, “nasionalisme keagamaan” dan “masyarakat pasca sekuler”. Dalam

tema yang lebih luas agama tampak menjadi komponen kebudayaan publik yang

sangat penting dari sekedar urusan kepercayaan dan praktik pribadi.109

Gambaran ini seakan-akan menunjukkan bahwa arus perkembangan dunia

modern sepertinya sulit dibendung ketika masuk pada semua kompleksitas kehidupan

masyarakat khususnya agama. Beberapa kalangan sosiologi yang menganggap sangat

lazim jika dikaitkan dengan rasionalisme110 pasca-pencerahan positivisme111 dan

107 Alex Sobur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 488-489. 108 Tradisi merupakan nilai dan norma yang telah diyakini secara turun temurun dari

satu generasi ke generasi lainnya. Lihat: Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial:

Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Edisi Revisi, Cet. Ke-Tiga. (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2014), 43. 109Bryan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, (UK:

Oxford, 2010), 1. 110 Jika kesadaran yang tumbuh dan berkembang terhadap rasionalisasi justru terletak

pada akar sosiologi substantif Weber, maka Weber bekerja dengan sejumlah definisi terhadap

istilah-istilah yang berbeda, walaupun sering kali gagal dalam menguraikan secara spesifik

dari definisi mana yang digunakan pada diskusi-diskusi tertentu sehingga memberikan definisi

dari istilah rasionalisme tersebut menjadi dua tipe yaitu: Rasionalitas alat-tujuan dan

Rasionalitas nilai. Lihat: George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 231-232. 111 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), 178.

Page 74: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

60

secara instrumentalisasi dari masyarakat modern. Pernyataan ini mengetengahkan

unsur perbedaan dari cara hidup manusia yang tidak rasional khususnya tentang

perilaku agama. Akan tetapi perbedaan tersebut sering kali mengabaikan kemunculan

disiplin sosiologi dengan banyaknya tokoh pendiri sosiologi yang juga melakukan

analisis terhadap dasar-dasar ontologis manusia. Melalui dasar-dasar ontologis ini

kemudian menjiwai emosi, gairah, dan ikatan kolektif yang tidak hanya menopang

dan akan hidup berdampingan dengan aspek-aspek rasional masyarakat saja, namun

ada celah untuk menentang parameter rasional tersebut. Padahal yang berkonstribusi

besar bagi perhatian secara umum adalah karena pernah dicetuskan oleh kalangan

sosiologi klasik yaitu; fenomena agama.112

Ketika banyak dari kalangan sosiolog memperediksikan bahwa modernisasi

akan menghilangkan peran agama di masyarakat, bahkan Weber sempat menyatakan

modernisasi memarjinalkan agama, sampai pernyataan yang dilontarkan oleh Dmitri,

yang menyebutkan bahwa “Penerimaan terhadap ilmu pengetahuan” sebagai bentuk

kekalahan Tuhan. Tetapi Robert H. Leuer menolak pandangan-pandangan tersebut.

Karena menurutnya, meskipun modernisasi menyangkut sekularisasi, akan tetapi

tidak perlu harus dikaitkan dengan kemunduran agama. Hal ini diperkuat oleh

pandangan Harvy Cox, yang juga meyebutkan bahwa modernisasi adalah sebuah

keharusan, sebuah proses sejarah dan pandangan metafisika yang statis, akan tetapi

agama dan skularisasi tidaklah bersifat “antitesa” bahkan Cox yakin bahwa agama

akan terus berkembang karena manusia membutuhkan dan memeliharanya untuk

alasan-alasan tertenu.113

Berkembangnya wacana global civil society (masyarakat sipil global) yang

ditandai dengan sistem kehidupan masyarakat yang terbilang kosmopolit, empiris,

teknologis, sains, demokratis, hukum dan hak asasi manusia, merupakan wacana yang

harus menghadapkan masyarakat pada sebuah tantangan terbesar, karena agama

menempati posisi sebagai tantangan bagi masyarakat sipil global untuk memperkuat

kepentingan politik dan ekonomi mereka, karena pada kenyataannya wacana global

civil cociety beresonasi pada prinsip-prinsip renaisans.114

Kendati demikian, para pemikir Islamologi telah menaruh perhatianya dengan

merespon paham keagamaan masyarakat dari sudut tekstual dan liberal.115 Islamologi

menyatakan bahwa agama itu muncul dalam kehidupan masyarakat karena agama

juga mampu beradaptasi bahkan senantiasa menyatu sesuai dengan perkembangan

zaman. Karena itu, agama dipandang menjadi representasi wahyu murni yang dibatasi

secara subjektifitas atas penafsiran manusia sehingga pandangan tersebut dinilai akan

112 Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment, Religion,

and Socilogical Theory. Lihat: Bryan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The

Sociology Of Religion, (United Kingdom: Oxford, 2010), 201. 113 Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam, 2008, 193. 114Evelyn L. Bush, “Measurung Religion in Global Civil Society” Journal Social

Forces 85. No. 4 2007, 1645. 115Leonard Binder, Islamic Liberalsm: A Critique of Development Ideologies (

London: The University of Chicago Press, 1988), 243-244. Pandangan Fazlur Rahman tentang

liberal juga hampir sama dengan Leonar Binder dalam bukunya. Menurut Binder sikap liberal

dan demokratis adalah sesuai dengan spirit Islam.

Page 75: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

61

mampu melebur bahkan bersinergi bersama manusia plural. Oleh karena itu, perilaku

keberagamaan masyarakat disinyalir sebagai bentuk awal pertemuan kompromistik

antara ajaran Tuhan (agama) dan penalaran subjektif manusia yang disebut budaya.116

Menurut kalangan antropologi, agama juga dikatakan sebagai sistem budaya

karena agama adalah nilai dan harus dipertahankan aspek otoritasnya. Agama dapat

mengatur manusia dalam melakukan tindakan atas suatu perilaku yang baik. Agama

kemudian tampil sebagai nilai positif yang tidak hanya melihat dari tradisi besarnya,

yaitu melihat teks-teks suci sebagai pegangan semata tetapi agama juga melihat sisi

perilaku atau tindakan dan pengalaman sosial keagamaan masyarakat itu sendiri

khususnya agama yang telah banyak dipengaruhi oleh tradisi kecil. Pandangan ini

diperkuat oleh Ernest Gellner yang mengatakan bahwa dalam setiap wilayah tradisi

besar pasti disertai dengan tradisi kecil.117

Salah satu fenomena agama yang tercermin melalui praktik ziarah makam

sesungguhnya telah menunjukkan bahwa agama tetap menjadi bagian dari tradisi dan

sistem budaya dalam masyarakat. Praktik ziarah makam merupakan tindakan atau

perilaku masyarakat yang tidak terpisahkan dari paham keagamaan, sesuai dengan

tingkat keyakinan spiritul mereka masing-masing. Menurut Emile Durkheim agama

merupakan bagian dari fakta sosial (nonmaterial) karena baginya agama adalah satu

dan sama. Agama merupakan sistem bagi masyarakat dalam mengekspresikan dirinya

menjadi suatu bentuk fakta sosial. Untuk itu, agama hadir menjadi realitas yang

bersifat obyektif dan sebagai pedoman bagi manusia yang harus dipatuhi oleh setiap

anggota masyarakatnya.118

Misalnya; munculnya adat itu dihukumkan, adalah hukum yang tidak tertulis,

tetapi memuat seperangkat aturan hidup manusia yang ditaati dan dipatuhi oleh

masyarakat sesuai dengan keyakinannya karena adat memiliki kekuatan hukum,

meskipun tidak secara tertulis dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwajib.119 Adat

itu dihukumkan mengakibatkan terjadinya hubungan timbal balik antara Islam dengan

budaya lokal atau dengan istilah habitus (kebiasaan). Oleh karena itu, adat atau

kebiasaan pada suatu masyarakat adalah bagian dari hukum Islam itu sendiri. Banyak

pula disebutkan bahwa kedatangan Islam pada suatu tempat (wilayah) mengakibatkan

terjadinya tajdid (pembaharuan) terhadap masyarakat menuju kearah yang lebih baik.

Meskipun demikian, Islam bukan berarti memangkas atau memotong tradisi

lama masyarakat akan tetapi Islam masuk dan melestarikan apa yang dianggap baik

116Dari sudut pandang Islamologi seperti halnya Fazlur Rahman, dengan konsep neo-

modernismenya, Muhammad Abid al-Jabiri, dengan Post-tradisionalismenya, Mohammed

Arkoun dengan Pos-modernismenya, Nasr Abu Zaid dengan Strukturalismenya, Hasan Hanafi

dengan oksidentalismenya dan Muhammad Shahrur dengan marxismenya. Lihat: Muhammad

al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (ed) Ahmad Baso (Yogjakarta: LkiS, 2000), V-LIV

Mohammad Arkoun, Al-Fikru al-Ushuli Wasti al-Halatu al-TA’SILI Nahwa Tarikhin Akharin

Li-al Fikri al-Islami terj. Hasyim Shaleh (Daru al-Shaqi, tt), 239-349. 117Eenest Gellner, Post Modernism Reason and Religion (London: Routledeg 1992),

11. 118George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul: Krasi Wacana, 2011),

19-20. 119 Lihat: Ahmad Tahali, Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurnal: Jurisprudentie

Volume. 5 No. 2 Juni 2018, 32.

Page 76: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

62

dan benar dalam tradisi lama tersebut sehingga dipertahankan dalam ajaran universal

sesuai dengan istilah Urf.120 Yakni tradisi lokal yang hakekatnya dikatakan sebagai

budaya lokal. Dalam konteks ini, perilaku keagamaan yang tampak melalui ziarah

makam mengandung unsur Urf sehingga menjadi budaya lokal.121 Namun kebiasaan

yang tampak pada perilaku keagamaan masyarakat khususnya pada upacara-upacara

keagamaan sering kali menimbulkan pro dan kontra karena dianggap sebagai perilaku

menyimpang oleh masyarakat modern atau masyarakat sekuler.

Sekularisasi erat kaitanya dengan eksistensial kehidupan manusia. George

Jacob Holyoake, mendefinisikan sekularisasi sebagai sistem etik yang didasari pada

prinsip-prinsip moral alami (duniawi), terlepas dari agama atau prinsip

supranatural.122 Menjadi sebuah kenyataan bahwa sekularisasi yang hadir sebagai

fenomena universal tidak dapat terbantahkan dan dalam banyak aspek kehidupan

manusia sekularisasi kian berkembang dan berperoses melalui kehidupan politik,

ekonomi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan.123

Pandangan di atas banyak ditentang dari kalangan pemikir Timur. Mereka

menyebutkan bahwa sekularisasi bukan sebagai fenomena universal dan tidak dapat

terbantahkan. Meski demikian kondisi ini harus diakui di mana sekularisasi sudah

masuk dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat hingga melebur ke dalam

tubuh umat muslim. Misalnya Turki adalah negara Islam pertama yang menerapkan

doktrin sekularisme sebagai bentuk kebijakan politik, konstitusi, pendidikan, dan

budaya. Konsep negara sekuler ini, menyangkut bagian-bagian lainya seperti agama,

hukum, dan ekonomi. Kebijakan tersebut tidak banyak mendapat persetujuan dari

bangsa muslim hingga kemudian secara individu umumnya umat muslim menolak

kebijakan tersebut. Di Turki sendiri banyak masyarakat yang justru menentang

kebijakan tersebut karena doktrin sekularisme ini dianggap tidak sejalan dengan

Islam.

Seiring dengan berjalannya waktu pada akhirnya semua menyepakati bahwa

Islam tidak bisa hanya menjadi kepercayaan bagi individu melainkan Islam juga

menjadi bagian dari semua sistem sosial. Islam adalah agama yang sangat lentur

dengan setiap institusi sosial yang telah ada. Walaupun para penentang sekularisme

membuat dua kelompok yang saling bertentangan yaitu: kaum tradisionalis124 yang

melihat ke belakang pada masa pertengahan Islam sebagai Islam yang “nyata” atau

Islam yang “murni”. Sedangkan pandangan kaum modernis125 memberikan reaksi

120 Lihat: Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, 2014, 148-149. 121M. Dahlan, Islam dan Budaya Lokal Adat Perkawinan Bugis Sinjai. Jurnal

Diskursus Islam, Volume 1. No. 1 April, 2013, 22. 122Imron Mustofa, Turki Antara Sekularisme dan Aroma Islam: Studi Atas Pemikiran

Nijyazi Berkes. Jurnal El-Banat Volume 6. No.1 Januuari-Juni 2016, 1. 123Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), 21. 124Para penganut agama tradisional ini menyakini bahwa benda-benda itu akan

menyelamatkan dan memusnahkan kehidupan manusia. Clane (2005), Menambahakan bahwa

proses tersebut, sangat terlihat jelas di mana terhadap diri manusia sudah ada nalar beragama

yang sangat kuat. Lihat: Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung:

Humaniora, 2011), 75. 125Pandangan secara global yang berkembang di negara-negara Eropa Barat, dan

Amerika Utara sekitar abad ke-17 hingga abad ke-19, ditandai dengan dominasi sistem-sistem

Page 77: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

63

positif terhadap kebijakan sekularisme dan dianggap telah mampu membangkitkan

banyak inspirasi untuk membangun ideologi totalitarian yang akan berguna sebagai

suatu pengganti terhadap bentuk-bentuk totaliarisme orang-orang Eropa.126

Di Indeonesia kata sekularisasi atau sekularisme adalah kata yang “haram”

untuk dibicarakan. Masyarakat Indonesia memberikan label atas kedua kata tersebut

sebagai suatu kata yang mengandung makna pemahaman yang anti terhadap agama.

Mengenai isu sekularisasi, awal mulanya dimunculkan sekitar tahun 1970-an oleh

Nurcholish Madjid. Munculnya sekularisasi di Indonesia faktanya telah memicu

perdebatan panjang sehingga telah menimbulkan dikotomi kelompok, baik kelompok

yang pro maupun kelompok yang kontra. Kelompok yang menerima sekularisasi

disebut sebagai kelompok reformis karena menerima eksistensi sekularisasi yang

dianggap sebagai pembebasan masyarakat dari berbagai unsur magis dan takhayul,

namun ia juga tetap menolak sekularisme sebagai paham anti agama. Sedangkan

kelompok yang tidak menerima (kontra), yang disebut sebagai kelompok konservatif

menentang sama sekali sekularisasi yang dianggap sama dengan sekularisme.127

Walaupun sekularisasi dipahami sebagai proses pelepasan kehidupan yang

tidak lagi didominasi oleh institusi agama, namun seringkali sekularisme diartikan

sebagai gerakan pemisahan diri terhadap kekuasaan institusi agama dalam berbagai

aspeknya. Oleh karena itu, sekularisme dianggap sebagai suatu ideologi atau paham

yang menolak eksistensi pengaturan sakral. Dalam konteks ini, pengaruh sekularisme

memang telah mampu merubah struktur masyarakat di dunia moderen menjadi lebih

jauh dari konsep sosialis atau bahkan tidak perduli terhadap sesama. Ketidak pedulian

ini tentu merupakan salah satu bentuk masyarakat modernis yang selalu mengarah

pada prinsip ekonomi dan kekuasaan dibanding dengan prinsip-prinsip kemanusiaan

atau agama.

Konsep sekularisme berbeda dengan konsep Islam tradisional yang justru

lebih mengedepankan toleransi, solidaritas, hormat-menghormati, gotong royong, dan

harga-menghargai terhadap sesama daripada prinsip-prinsip modernis yang rasional.

Hal itu terbukti dengan penempatan tokoh agama seperti kyai, atau tokoh masyarakat

sebagai agen sentral yang dapat dipatuhi oleh kelompok Islam tradisional. Bahkan

berfungsi sebagai otoritas tertinggi yang senantiasa dihormati, dihargai dan dipatuhi

oleh masyarakat tradisional.128

Masyarakat tradisional cenderung stabil dalam kehidupan budaya dan tradisi

yang masih dipegang kuat hingga saat ini. Masyarakat-masyarakat tradisional seperti

ini bisa kita jumpai di pelosok-pelosok desa, atau di berbagai daerah-daerah pinggiran.

Meskipun dalam masyarakat modern telah banyak memasukkan unsur-unsur dalam

sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain. Proses modernisasi mencakup proses yang

sangat luas. Bahkan di Indonesia, modernisasi lebih ditekankan pada sektor pertanian, di

samping sektor-sektor lainnya. Lihat: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:

Rajagrafindo Pesada, 2006), 303. 126Imron Mustofa, Turki Antara Sekularisme dan Aroma Islam: Studi Atas Pemikiran

Nijyazi Berkes. Jurnal El-Banat Volume 6. No.1 Januuari-Juni, 2016, 4. 127Rd. Datock A. Pachoer, Sekularisasi dan Sekularisme Agama Jurnal Agama dan

Lintas Budaya, Volume. 1. No 1- September 2016, 92. 128Robby Darwis Nasution, Kyai Sebagai Agen Perubahan Sosial dan Perdamaian

Dalam Masyarakat Tradisional Jurnal Humaniora, Volume 19 No. 2 Juli 2017, 177.

Page 78: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

64

perkembangan dunia teknologi informasi serta kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan

lainnya, namun bisa dikatakan bahwa tidak secara keseluruhan pengaruh modernisasi

tersebut masuk dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat tradisional khususnya

terhadap ritual-ritual keagamaan mereka.129

Gambaran di atas, menunjukkan bahwa masyarakat tradisional merupakan

masyarakat yang hidupnya masih dinaungi oleh adat istiadat lama. Adat-istiadat yang

peneliti maksudkan adalah aturan-aturan yang sudah mapan dan mencakup segala

konsepsi agama dan budayanya yang kemudian mengatur tindakan atau perbuatan

manusia dalam kehidupan sosialnya termasuk dalam perilaku-perilaku keagamaan

masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat tradisional merupakan masyarakat

yang kehidupannya didasarai dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang pernah diwarisi

oleh nenek moyang mereka.

Menurut Emile Dukheim, agama merupakan suatu sistem yang terintegrasi

antara kepercayaan dan ritual suci yang mengikat orang secara kolektif dalam sebuah

kelompok sosial atau dengan istilah umat beragama. Definisi di atas menunjukan

bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut secara umum mengkelasifikasikan alam

dan seisinya menjadi frofan (tidak bersangkutan dengan agama, kotor, tidak suci) dan

sacred (kudus, suci, dan keramat). Agama juga berfungsi sebagai ikatan sosial dan

kepercayaan sebagai bentuk keimanan seseorang terhadap sesuatu yang bersifat

sakral. Selain itu, agama bertujuan untuk mebentuk hubungan yang harmonis antara

manusia dengan Tuhan yang telah diyakini. Pendapat di atas, setidaknya menekankan

pada dua aspek yaitu agama dan kepercayaan.130

Istilah sakral pertama kali dipopulerkan oleh sosiolog bernama Durkhiem

sebagai lawan dari profan.131 Sakral berarti menyangkut hal-hal yang bersifat suci,

keramat, ukhrawi, dan kudus. Sakral biasanya digunakan sebagai istilah untuk

menggambarkan suatu fenomena yang dianggap luar biasa, seperti supernatural,

transenden, dan sesuatu yang berada di luar atas apa yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari.132 Bagi umat Islam sakral itu ada yang bersifat gaib, seperti Allah swt,

malaikat, rasul-rasul terdahulu, surga, neraka, siksa kubur dan lain sebagainya. Tentu

sekali pada posisi ini umat Islam diwajibkan untuk mempercayainya. Di sisi lain, ada

juga yang bersifat suci dan keramat seperti al-Qur’an, Masjid, Ka’bah, Hajar Aswad,

Makam, Sumur dan lain-lain.

Berkenaan dengan hal di atas maka sakral selalu dapat dipertahankan melalui

praktek-praktek upacara keagamaan, seremonial, atau aktiviktas keagamaan yang

diistilahkan dalam ilmu sosiologi sebagai ritual keagamaan. Ritual adalah pola

kegiatan formal yang mengekspresikan secara simbolik terhadap seperangkat makna

129Robby Darwis Nasution, Kyai Sebagai Agen Perubahan Sosial dan Perdamaian

Dalam Masyarakt Tradisional Jurnal Humaniora, Volume 19 No. 2 Juli 2017, 178. 130Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam (Tangerang: Laboratorium Sosiolgi Agama, 2008), 75. 131Profan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena yang tidak

dianggap bersifat sakral. Dalam M.Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi

Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar 2006, 163. 132M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk

Memahami Konsep-Konsep Dasar 2006, 146.

Page 79: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

65

yang diyakini secara kolektif atau bersama.133 Dalam hal ini, ritual-ritual keagamaan

seperti tawasul, ziarah makam, tampak sebagai perilaku keagamaan yang tidak

terpisahkan dari tatanan sosial kehidupan masyarakat meskipun perilaku-perilaku

tersebut dianggap sebagai perilaku menyimpang. Namun, kenyataannya perilaku itu

menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai bentuk

kepercayaan mereka sesuai dengan tingkat sepiritualitasnya masing-masing.

Sejumlah kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut baik kebiasaan yang

sifatnya mendasar pada aspek keagamaan sebagaimana yang tampak pada ritual-ritual

keagamaan mereka sesungguhnya tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan

yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional

merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan sosial sekitarnya tampa menerima

pengaruh dari luar. Sehingga kebudayaan masyarakat tradisional kadang tidak

mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.

133M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk

Memahami Konsep-Konsep Dasar 2006, 146-147.

Page 80: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

66

BAB III

DESKRIPSI UMUM MASARAKAT KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Bab ini membahas proses sosial dan sistem kepercayaan masyarakat sebagai

suatu gambaran di mana timbulnya unsur-unsur tradisi lokal pada masyarakat.

Kepercayaan dalam sebuah tradisi keagamaan, terutama tradisi ziarah biasanya tidak

lepas dari adanya pengaruh tradisi lama yang sebelumnya telah lebih dulu

dipraktikkan oleh para leluhur mereka. Selain itu, praktik ziarah kubur atau ziarah

makam keramat yang dilakukan oleh masyarakat juga karena adanya proses sosial

dalam kehidupan mereka sehingga mampu melahirkan suatu pemahaman dan

pengetahuan serta unsur-unsur keagamaan lainnya. Namun sebelum memasuki inti

pembahasan, terlebih dahulu peneliti akan membahas sekilas kondisi geografis

masyarakat Kabupaten Lombok Tengah. Selanjutkan akan membahas Perkembangan

Islam di Pulau Lombok, Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal. kemudian

Dimensi-dimensi Keagamaan dalam Kehidupan Masyarakat.

A. Kondisi Geografis Masyarakat Kabupaten Lombok Tengah.

Suku Sasak merupakan nama Suku yang mendiami pulau Lombok.1 Pulau

Lombok merupakan pulau utama yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan

terletak di wilayah Tenggara Indonsesia dengan dua buah pulau utamanya yaitu; Pulau

Lombok dan Sumbawa. Sedangkan batas wilayah pulau ini adalah sebelah utara

berbatasan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sebelah Selatan Samudra Indonesia,

sebelah Timur Selat Sape/Provinsi NTT dan sebelah Barat, Selat Lombok/Provinsi

Bali.2

Provinsi Nusa Tenggara Barat juga diapit oleh dua Provinsi yaitu; Provinsi

Bali dengan mayoritas penduduk agama Hindu, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

dengan mayoritas agama Kristen. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

yang letaknya ditengah kedua Provinsi tersebut adalah mayoritas penduduk agama

Islam dengan persentase 94% penganut Agama Islam. 2,6% Agama Hindu, 0,9%

Agama Kristen dan 0,3% Agama Budha.3

1Nama Sasak dan Lombok secara makna dan filosofis memiliki keterkaitan yang

baik dengan tradisi dan kebudayaan Sasak. Dalam masyarakat Sasak, Sasak berarti bambu-

bambu yang dijadikan satu kemudian dirakit dengan kuat sehingga akan menjadi rakitan yang

kokoh. Sedangkan Lombok memiliki arti lurus atau konsisten. Lihat: Lalu Muhammad Azhar,

Sejarah Daerah Lombok: Arya Banjar Getas (Mataram: Yaspen Pariwisata Pejanggiq, 1997),

21. 2Badan Pusat Statistik Prov. NTB. NTB Dalam Angka 2005 (Mataram: UD Fajar

Indah, 2005), 4. 3Total penduduk NTB adalah 2 juta 600 ribu jiwa dengan hunian terbesar di Pulau

Lombok. Yaitu: 2 juta 100 ribu jiwa. Dalam Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, 6. Penduduk

Islam yang terdapat di Provinsi ini merupakan orang Sasak. Karena Islam sebagai sebuah

agama yang dianut oleh keseluruhan orang Sasak. Maka dari itu muncul sebuah istilah yang

menyebutkan bahwa “dengan Sasak no dengan Islam” atau orang Sasak itu adalah orang

Islam. Dalam Djalaluddin Azhari dkk, Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku

Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat: Sebuah Kajian Antropologi-

Sosiologi Agama (Mataram: Pokja Redam NTB-Indonesia, 2001), 1.

Page 81: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

67

Menurut catatan A.R. Wallace, masyarakat Suku Sasak dikelompokkan ke

dalam jenis keturuan Melayu hingga mencapai lebih dari 90% secara keseluruhan

penduduk di Pulau Lombok. Sedangkan kelompok-kelompok etnis lain seperti Bali,

Sumbawa, Jawa, Arab dan Cina adalah para pendatang. Bali merupakan salah satu

etnis terbesar kedua setelah suku Sasak di mana jumlahnya mencapai 3% diantara

keseluruhan penduduk masyarakat Lombok. Hanya saja orang Bali kebanyakan

mendiami Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Tengah.4

Kabupaten Lombok Tengah yang pusat pemerintahannya tereletak di Kota

Praya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi

Nusa Tenggara Barat NTB. Posisinya terletak di antara 116◦05’ sampai 116◦24’ Bujur

Timur dan 8◦24’ sampai 8◦57’ Lintang Selatan dengan luas wilayah 1.208,39 km²

(120.839 ha).5 Di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Timur dan

Kabupaten Lombok Utara, di sebelah Selatan terbentang Samudra Indonesia, dan di

sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat, sebelah Timur berbatasan

dengan Kabupaten Lombok Timur. Berikut ini tabel batas administrasi Kabupaten

Lombok Tengah.

Tabel 2. Batas Administrasi Kabupaten Lombok Tengah.

Sebelah Utara : Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten

Lombok Utara

Sebelah Selatan dengan : Samudera Indonesia

Sebelah Barat dengan : Kabupaten Lombok Barat

Sebelah Timur dengan : Kabupaten Lombok Timur

Adapun luas wilayah Kabupaten Lombok Tengah mencapai 1.208,39 km²

dengn penduduk berjumlah 860.209 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki

berjumlah 407.079 jiwa, penduduk perempuan mencapai 453.130 jiwa dan rumah

tangga berjumlah 256.070 RT. Sedangkan kepadatan penduduk mencapai 712

jiwa/km², dan Kecamatan Praya merupakan Kecamatan dengan kepadatan penduduk

mencapai 1.688 jiwa/km², sedangkan Kecamatan yang paling rendah tingkat

kepadatannya adalah Kecamatan Batukeliang Utara dengan jumlah penduduk 260

jiwa/km². Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lombok Tengah pertahun

periode 2000-2010 sebesar 1,45% di mana angka ini lebih tinggi jika dibandingkan

dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pertahun periode 1990-2000 yaitu

sebesar 0,98%.

Pada akhir tahun 2010, Kabupaten Lombok Tengah mengalamai pemekaran

wilayah Desa sebanyak 15 Desa, sehingga jumlah Desa di Kabupaten Lombok

4A.R. Wallace, The Malay Archipelago. The Land of the Orang Utan, and the Bird

of Paradise (Singapura/Oxford: Oxford University Perss, 1986), 182. 5Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah (BPS Kabupaten Lombok

Tengah). https://lomboktengahkab.bps.go.id dan ppsp.nawasis.info. diakses pada tanggal 19

Desember 2017 pukul: 04:00 WIB.

Page 82: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

68

Tengah berjumlah 139 Desa. Sedangkan jumlah Kecamatan tetap berjumlah 12

Kecamatan dengan luas wilayah berkisar antara 50 hingga 234 km² di mana

Kecamatan Pujut merupakan salah satu Kecamatan yang paling luas wilayahnya

hingga mencapai 19,33% dari luas wilayah Kabupaten.6

Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten

Lombok Tengah Tahun 2010.

No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Penduduk Kepadatan

1 Praya Barat 152,75 69.106 452

2 Praya Barat Daya 124,97 51.280 410

3 Pujut 233,55 96.913 415

4 Praya Timur 82,57 62.736 760

5 Janapria 69,05 70.176 1.016

6 Kopang 61,66 75.719 1.228

7 Praya 61,26 103.405 1.688

8 Praya Tengah 65,92 59.891 909

9 Jonggat 71,55 89.362 1.249

10 Pringgarata 52,78 62.841 1.191

11 Batukliang 50,37 71.512 1.420

12 Batukliang Utara 181,96 47.268 260

Jumlah: 1.208,39 860.209 712

Sumber: Lombok Tengah Dalam Angka 2011.7

Kecamatan Pujut adalah bagian dari wilayah Kabupaten Lombok Tengah

Provinsi NTB dengan kondisi alam yang cukup kering. Namun demikian, Kecamatan

ini memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan

ekonomi di Kabupaten Lombok Tengah. Misalnya; keberadaan Bandara Internasional

(BIL), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Resort dan Pelabuahan Ikan

Internasional Awang yang merupakan perusahan-perusahan besar di wilayah Pujut,

Kabupaten Lombok Tengah. Keberadaanya tentu menjadi faktor pendukung dalam

pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat Lombok Tengah.

Kecamatan Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat

eksotis seperti adanya upacara adat Bau Nyale (Legenda Mandalika Nyale), Kampung

Tradisional Sade, Ziarah Makam Wali Nyato’ dan Masjid Kuno di Gunung Pujut.

Desa Rembitan yang kemudian menjadi bukti sejarah bahwa di wilayah ini, dulunya

telah berkembang ajaran Islam yang mengajarakan ilmu-ilmu makrifat. Ilmu makrifat

6Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah 2011. www.depkes.go.id

diakses pada tanggal 3 November 2017. Pukul: 09:21. 7Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Tengah (BPS Kabupaten Lombok

Tengah). https://lomboktengahkab.bps.go.id dan ppsp.nawasis.info. diakses pada tanggal 19

Desember 2017 pukul: 04:00 WIB.

Page 83: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

69

tersebut diajarkan dalam bentuk pasoan dengan mempelajari ajaran makrifat melalui

tembang-tembang mencapat yang tertulis pada kitab-kitab daun lontar.8

Kitab-kitab ajaran makrifat yang diajarkan oleh para Waliyullah di antaranya,

Jatisware, Brambang Wulung, Langit Gite, Wirid Widayat Jati, Jimat Kalimosodo,

Indarjaya dan lain-lain. Penyampain ajaran makrifat ini dalam bentuk tembang, baik

tembang yang menggunakan Sinom, Maskumbang, Dandang Gendis, Pangkur, dan

Durme. Budaya paosan ini sampai sekarang masih tetap dilestarikan oleh paguyuban-

paguyuban Paosan seperti Paguyuban Pembasak Kabupaten Lombok Tengah,

Paguyuban Pangeran Sangupati Desa Batujai, Paguyuban Kise Jati Desa Gapura, dan

Paguyuban Puji Bakti Desa Sengkol.9

Desa Rembitan merupakan bagian dari Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok

Tengah dengan wilayah yang cukup luas dibanding wilayah atau Kecamatan lainnya.

Di wilayah inilah kemudian lokasi penelitian ini dilakukan. Luas wilayah Kecamatan

Pujut mencapai 1475 Hektar, dan salah satu wilayahnya adalah Desa Rembitan. Desa

Rembitan adalah lokasi keberadaan makam keramat Wali Nyato’. Wilayah ini terdiri

dari 15 dusun dengan jumlah KK mencapai 2.801 dengan total jumlah berdasarkan

jenis kelamin laki-laki mencapai 4.354 orang, dan perempuan sebanyak 4.692 orang.10

Di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, atau sekitar 49 km dari Kota Mataram,

terdapat sebuah makam keramat bernama makam Wali Nyato’ yang sudah sangat

melegenda. Makam Nyato’ letaknya tidak jauh dari keberadaan masjid tua Rembitan,

yang menambah keyakinan masyarakat bahwa di wilayah tersebut pernah hadir sosok

Wali yang membawa ajaran agama Islam. Bagi masyarakat Lombok Tengah, makam

keramat Wali Nyato’ telah menjadi bagian penting bagi kehidupan mereka karena

sang Wali dianggap telah berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam. Untuk itu, makam

ini dinilai keramat dan memiliki kekuatan spiritual juga berkah yang luar biasa.

Masyarakat yang datang melakukan ziarah atau istilah Jawa disebut nyekar,

adalah seringkali kedapatan dari motif-motif dan tujuan ziarahnya hanya untuk

meminta keselamatan, dimudahkan rezki, usahanya menjadi lancar, disembuhkan dari

penyakit, mendapat jodoh dan lain sebagainya. Para peziarah yang berkunjung sudah

pasti dengan niat yang tulus serta keiklasan untuk memohon berkah agar apa yang

dihajatkan cepat terkabulkan. Percaya atau tidak, realitas keagamaan dalam praktik

ziarah makam khususnya di makam keramat Wali Nyato’ ini faktanya terjadi.

Adapun masyarakat yang berziarah ke makam tersebut tentu tidak hanya dari

masyarakat lokal, tetapi ada pula yang datang dari Jawa karena informasi keberadaan

makam tersebut di peroleh bukan hanya dari cerita mulut ke mulut, tetapi bisa saja

8Almaidata, Identifikasi Masjid Kuno Gunung Pujut di Desa Sengkol, Pujut Lombok,

Nusa Tenggara Barat, sebagai bahan pengembangan bahan belajar Sejarah Lokal Jurnal:

Widya Winayata, Vol. 1 No. 1 2013 1-10. 9Lihat: Almaidata, Identifikasi Masjid Kuno Gunung Pujut di Desa Sengkol, Pujut,

Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagai bahan pengembangan Bahan Belajar Sejarah Lokal,

Jurnal Widya Winayata, Vol 1 No. I 2013 1-10. Lihat juga

http://dev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jornalvol3no2_06_dick.pdf. 10Profil Desa Rembitan, Kecamatan Pujut. Kabupaten. Lombok Tengah. Provinsi

Nusa Tenggara Barat (NTB). http://www.prodeskol.binapemdes.kemedagri.go.id/mds/ di

akses pada tanggal 24 Januari 2018. Dan hasil wawancara Kepala Desa Rembitan tertanggal 7

Februari 2018.

Page 84: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

70

bersumber dari petunjuk spiritual. Mengenai tradisi ziarah pada hari Rabu, kadang

menjadi buah bibir masyarakat. Konon hari Rabu adalah hari baik di mana sang Wali

akan memberikan berkahnya secara utuh. Beberapa warga mengaku pernah ada

wangsit dari Wali Nytao’ yang menyebutkan bahwa sang Wali ada pada hari itu.

Karena itulah kebiasaan melakukan ziarah pada hari Rabu kemudian terus dilestarikan

hingga saat ini.11

Salah satu ritual yang menjadi tolak ukur masyarakat dalam meyakini makam

Wali Nyato’ sangat luar biasa adalah air makamnya yang dikeramatkan. Air makam

tersebut acapkali digunakan sebagai sarana dalam mengungkap kasus atau kejadian

yang meresahkan masyarakat. Misalnya ketika ada warga yang kecurian, kemudian ia

mencurigai salah satu anggota masyarakatnya, maka orang yang dicurigainya akan

digelandang ke makam untuk disumpah. Di sana, di hadapan warga, orang tersebut

akan diminta meminum air tanah makam. Namun bagi mereka yang merasa mencuri,

sudah pasti tidak akan bersedia untuk meminmunya karena akan terjadi sesuatu yang

tidak diinginkan pada dirinya. Untuk itu, air makam tersebut sangat diistimewakan

oleh masyarakat setempat.12

Sebagaimana yang diketahui bahwa keberadaan makam keramat Wali Nyato’

identik dengan keberadaan masjid tua Rembitan yang terletak di gunung Pujut dan

usianya diduga hampir sama dengan masjid tua yang berada di Bayan Lombok Utara.

Secara bangunan fisik dari masjid tersebut adalah ciri khas fondasi bangunan yang

terbuat dari tanah. Selain itu, gambaran secara karaktertistik yang khas dari masjid

tersebut adalah tali-temalinya yang juga terbuat dari bahan ijuk dan tali saot sejenis

akar gantung pada tumbuhan aren di hutan. Sedangkan tali pengikat dibagian atapnya

yang dari alang-alang disebut male.

Bangunan fisik dengan karakter yang khas dari keberadaan masjid tua

Rembitan yang terletak di gunung Pujut dengan model atap tumpeng yang tidak

memiliki serambi depan diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16. Dalam banyak

versi memang disebutkan bahwa Islam hadir di Lombok sekitar abad ke 16 yang

dibawa oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri dari Gersik.13 Adanya bangunan masjid

tua Rembitan yang terletak digunung Pujut seringkali dikaitkan dengan kehadiran

tokoh yang menyebarkan agama Islam di wilayah Rembitan waktu itu. Telah diyakini

pula bahwa Wali Nyato’ adalah sosok Wali yang pernah menyebarkan ajaran agama

Islam yang masuk ke wilayah Lombok bagian Selatan, di mana masyarakatnya saat

itu masih menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Dalam menyebarkan agama

Islam, Wali Nyato’ selalu memperlihatkan tingkah laku yang sangat terpuji, sopan

santun, bertutur bahasa yang baik, darmawan dan sangat berbudi pekerti.14

Melalui cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, konon ketika Wali

Nyato’ meninggal, jenazah beliau ditandu untuk dimakamkan, namun saat jenazahnya

akan dimakamkan tiba-tiba jasadnya menghilang. Cerita tersebut begitu melekatnya

11Wawancara dengan Lalu. Gnr, Juru Kunci Makam, 29 November 2017. 12Wawancara dengan L. Mrjn Guru, 12 Januari, 2018. 13Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus

Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2011), 3. 14M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes Darul

Muhajirin Praya, 1406), 5.

Page 85: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

71

dalam benak masyarakat hingga memuat suatu keyakinan atau kepercayaan atas

kewalianya. Akibat dari adanya keyakinan tersebut maka timbullah pemahaman yang

mengarah pada suatu pemaknaan atas kekuatan spiritualitas yang dimiliki oleh sang

Wali. Akhirnya keberadaan Wali Nyato’ telah membentuk hubungan yang sangat kuat

dengan makamnya dan sulit dipisahkan. Untuk itu tidak ada satupun orang yang

berani menggugat keberadaan makam keramat Wali Nyato’, karena makam tersebut

telah diyakini oleh masyarakat sebagai makam seorang Waliyullah. “Memang sudah

menjadi kepercayaan masyarakat, barang siapa yang berani mengusik makam keramat

ini sudah jelas nyawa taruhannya. Apapun alasanya sulit diterima secara rasional.”15

B. Perkembangan Islam di Pulau Lombok

Munculnya pedagang-pedagang muslim yang menyebarkan Islam ke seluruh

penjuru dunia telah membawa dampak positif bagi perkembangan sosial kepercayaan

kehidupan manusia. Pertumbuhan agama Islam di berbagai belahan dunia termasuk

di Asia Tenggara dan nusantara juga tidak luput dari sasaran para pedagang-pedagang

muslim hingga masuk ke wilayah Sumatara Utara yang merupakan wilayah pertama

dimulainya perjalanan Islam ke Nusantara. Wilayah ini memiliki peran strategis

karena adanya pelabuhan besar yang membuat para pedagang muslim banyak

berlabuh di wilayah tersebut. Selain itu, wilayah Sumatra Utara juga berdiri Kerajaan

Islam pertama yang dikenal dengan Kerajaan Perlak dan Kerajaan Samudra Pasai.

Dari wilayah ini, Islam terus berjalan ke arah Timur yaitu Pulau Jawa.

Penyebaran Islam di pulau Jawa dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat

karena mereka sangat antosias dengan kedatangan Islam saat itu. Setelah Jawa,

penyebaran Islam juga terjadi di berbagai wilayah lainnya seperti di Sulawesi,

Kalimantan, Maluku dan sekitarnya. Selanjutnya menyebar ke wilayah Bali, Lombok,

NTT dan sekitarnya.16 Pulau Lombok yang terletak di sebelah timur Provinsi Bali dan

berbatasan dengan laut Selat Bali-Lombok, juga nampaknya tidak membedakan

bahwa masyarakat Lombok pada masa pra-Islam tidak berbeda dengan masyarakat

Bali dalam hal kepercayaan, yaitu menganut kepercayaan animisme17 dinamisme18

dan Hindu.19

Islam masuk pertama kali ke pulau Lombok diperkirakan sekitar abad ke 16

yang dibawa oleh Sunan Prapen. Dalam sejumlah catatan, Sunan Prapen disebutkan

tidak begitu lama tinggal di Lombok. Kemungkinan setelah melakukan pengislaman

terhadap Prabu Rangkesari, lalu Sunan Prapen melanjutkan perjalanan dakwahnya ke

Sumbawa dan Bima hingga ia menyerahkan tugas penyebaran Islam pada dua orang

15Wawancara dengan Lalu Ginsir, Penjaga makam dan Rs, 27 Desember 2917. 16Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis

tentang Penyebaran Islam di Nusantara, 2016), 5-6. 17 Animisme adalah ajaran tentang realitas jiwa, yakni titik berat pemujaan pada

mahkluk-mahkluk sepiritual yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Lihat: Romdhon, A.

Singgih Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia, 1988), 36. 18Kata dinamisme berasal dari Bahasa Yunani yaitu: “dunamos”. Istilah Inggrisnya

adalah “dynamis”. Dalam bahasa Indonesia adalah kekuatan, kekuasaan. Lihat: A. Singgih

Basuki dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 43. 19Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis

tentang Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), 254.

Page 86: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

72

kepercayaanya yaitu Raden Sumuliya dan Raden Salut. Lima abad kemudian,

Lombok dan Sumbawa menjadi Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan mayoritas

penduduknya penganut agama Islam. Dari sekitar 4 juta jiwa lebih penduduknya, saat

ini tercatat sekitar 80% masyarakat Lombok memeluk agama Islam dan sisanya 20%

adalah agama Hindu, Budha, dan Kristen.20

Adapun sumber secara tertulis dan terbilang paling tua tentang salah satu

informasi yang menjelaskan proses islamisasi di Lombok adalah Babad Lombok.21

Pada naskah tersebut banyak dijelaskan tentang penyebaran Islam di Lombok.22

Kendati demikian, secara historis nampaknya ada dua versi yang berbeda tentang

penyebaran Islam di pulau Lombok, di mana jika dihubungkan dengan Islam di Jawa,

maka tidak terbantahkan dengan kehadiran Wali Sanga yang banyak berperan dalam

menyebarkan Islam di wilayah Nusantara. Sedangkan versi berikutnya adalah Islam

yang berasal dari wilayah Sumatra Utara, yaitu; Islam tidak langsung datang ke pulau

Lombok, tetapi prosesnya melalui Goa Makasar.

Di wilayah Makasar terdapat tokoh-tokoh yang sudah memeluk agama Islam

sekitar tahun 1600 M, salah satunya adalah Dato’ Ri Bandang dan Dato’ Ri Fatming.

Tokoh-tokoh tersebut kemudian menyebarkan agama Islam ke Bima dan Sumbawa,

lalu setelahnya menuju Pulau Lombok. Menurut Jamaludin, Islam yang datang dari

arah Timur dan Barat ke Lombok adalah sama karena Dato’ Ri Bandang23 merupakan

salah satu murid Sunan Giri yang datang ke Lombok dan lebih dahulu mengislamkan

Makasar, Sulawesi, Bima dan Sumbawa. Sedangakan kedatangan Islam dari Jawa

yang dibawa oleh Sunan Prapen putra Sunan Ratu Giri untuk menyebarkan Islam di

pulau Lombok, diperkirakan datang dari arah Barat-Utara hingga mendarat melalui

pelabuhan Carik atau Anyar Lombok Barat yang saat ini pelabuhan tersebut tidak lagi

menjadi wilayah Lombok Barat (Lobar) tetapi menjadi wilayah Kabupaten Lombok

Utara.24

Pendapat di atas diperkuat oleh Geoffrey Stewart Morrison yang menyatakan

bahwa Islam datang ke pulau Lombok dibawa oleh Sunan Prapen. Setelah Sunan

Prapen menyebarkan Islam di pulau Lombok, lalu beliau melanjutkan perjalanannya

ke Bima dan Sumbawa hingga beliau kembali lagi ke Pulau Lombok.25 Menurut

Yusuf Tantowi, secara mitologi lokal yang ditulis dalam berbagai babad atau sejarah

bahwa Sunan Giri disebut-sebut sebagai salah seorang yang paling bertanggung jawab

atas penyebaran Islam di Nusantara termasuk ketika memperkenalkan Islam di Pulau

Lombok sekitar tahun 1545. Kedatangan Sunan Giri baru berhasil saat kedatangannya

20Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis

tentang Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), 254-255. 21Tentang naskah ini lihat Edi S. Ekajati, Direktori Naskah Nusantara (Jakarata:

Yayasan Obor Indonesia, 2000), 444. 22 Lalu. Wacana. Babad Lombok, (Jakarta: Depdikbud, 1979), 17. 23Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX),

Jurnal Indo-Islamika Vol. 1, No. 1, 2011, 76. 24 Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus

terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang

dan Diklat Kemenag RI, 2011), 59. 25Geoffrey Stewart Morrison, Sasak and Javanese Literature of Sasak (Netherlands:

KILTV Press, 1999), 4.

Page 87: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

73

yang kedua ke pulau Lombok. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa Islam

masuk ke Lombok sekitar abad 16 M atau menjelang awal abad ke 17 M, dimana saat

itu adalah abad runtuhnya kerjaan Majapahit yang digantikan dengan kekuasaan

kerajaan-kerajaan kecil Muslim yang mengikat perdagangan hingga ke pesisir utara

Lombok.26

Dalam tulisan Lalu Wacana, dijelaskan pula tentang awal kedatangan Sunan

Prapen melalui jalur darat dengan melintasi laut dan mendarat pertama kali tepatnya

di perkampungan tua bagian pesisir utara dengan nama kampungnya adalah kampung

Salut.27 Kampung Salut merupakan salah satu wilayah yang terletak di daerah pesisir

utara. Kampung ini memiliki peran strategis dalam proses Islamisasi di wilayah

Lombok. Dari Salut, kemudian masuk ke kerajaan Lombok dan menyebar ke berbagai

wilayah lainnya yaitu di bagian Utara masuk di kerajaan Bayan, dan ke arah barat

masuk di kerajaan Pejanggik, dan beberapa kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sedangkan ke arah selatan masuk di wilayah Pujut, Rembitan dan sekitarnya.

Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya ke Labuan Lombok di Menaga

Baris. Kedatangannya disambut baik oleh Prabu Rangke Sari beserta patih dan para

punggawa-punggawanya. Awal mula kedatanganya tidak diterima oleh raja Lombok

saat itu namun setelah menjelaskan maksud kedatangannya untuk menjalankan misi

suci yang akan dilakukan secara damai dan tidak menggunakan kekerasan, barulah

kemudian Sunan Prapen dapat diterima dengan baik oleh sang raja.28

Versi lain menyebutkan bahwa Islam datang ke pulau Lombok disebarkan

oleh Pangeran Sangupati. Banyak pendapat mengenai siapa Pangeran Sangupati ini,

akan tetapi Pangeran Sangupati disebut sebagai salah seorang Pangeran yang berasal

dari Kudus, dan menyebarkan ajaran Islam yang bernuansa mistik dan sinkeritis

Hindu-Budha yang mendatangi salah satu wilayah di Lombok bagian utara tepatnya

di kampung Bayan. Mengenai kedatangan Pangeran Sangupati ada pendapat yang

mengatakan bahwa beliau merupakan seorang Pedande yang berasal dari Bali.

Meskipun ada yang menyebutkan Pangeran Sangupati adalah muridnya Walisonga,

tapi ada pula yang mengatakan Pangeran Sangupati adalah putra asli kerajaan

Selaparang29 dan dianggap sebagai seorang Wali.30 Berdasarkan penjelasan ini

Morrison mengatakan: Pangeran Sangopati membawa Islam jenis mistik dari Jawa

dan diperhitungkan oleh orang Sasak sebagai pendiri waktu telu (“He brought mystic

26Yusuf Tantowi, “Mengurai Konflik Sunnah dan Bidah di Bumi Seribu Masjid”

dalam Alamsyah M. Dja‘far, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi

di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), 16. 27 Salut adalah kampung tua yang menjadi bagian dari wilayah pesisir dan terletak di

pinggir pantai bagian utara. Bukan Salut yang di Narmada, karena selain letaknya yang berada

di tengah, kemungkinan itu juga adalah kampung baru. Akan tetapi Salut yang dimaksud di

sini adalah Salut yang ada di pesisir utara pulau ini dan mempunyai peran yang sangat strategis

terhadap keberhasilan dakwah Sunan Prapen di Pulau Lombok. 28Lalu Wacana. Babad Lombok, 17. 29Selaparang merupakan nama lain dari Lombok. 30Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus

terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang

dan Diklat Kemenag RI, 2011), 50.

Page 88: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

74

type of Islam from Java and is reckoned by the Sasak as the founder of the waktu

telu”.31)

Berdasarkan hal tersebut, dalam kajian mengenai kepercayaan masyarakat

Suku Sasak pada masa awal penyebaran agama Islam di Lombok adalah munculnya

istilah Wetu Telu dan Wetu Lima, istilah ini dikategorikan sebagai kepercayaan

masyarakat pribumi atau oleh sebagian kalangan menyebutnya dengan sinkretisme.32

Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakan istilah tersebut.

Yang jelas dalam beberapa temuan historis bahwa Pangeran Sangupati adalah seorang

Pangeran yang memiliki dua orang anak yaitu Nurcahya dan Nursada. Kedua anaknya

sama-sama memiliki peran penting yaitu Nurcahya mengajarkan Islam Wetu Lima dan

Nursada mengajarkan Islam Wetu telu.

Adapun rujukan utama dalam kajian Islam Wetu Telu dan Wetu Lima di

Lombok adalah penelitian Erni Budiwanti (2000). Catatan Erni dalam M. Harfin

Zuhdi dijelaskan bahwa dikalangan masyarakat Suku Sasak terdapat tiga kelompok

praktik keberagamaan yaitu Sasak Boda, Wektu Telu, dan Wektu Lima.33 Adapun

pendapat yang mengatakan bahwa Sasak Boda disebut sebagai agama pribumi suku

Sasak masyarakat Lombok, meskipun sebutan yang mirip dengan kata Budha akan

tetapi mereka bukanlah penganut agama Budha. Hal ini ditandai dengan tidak

meyakini Kitab Sidharta Gutama sebagai figur utama pemujaanya ataupun terhadap

ajaran pencerahannya.34 Dalam catatan Jamaluddin, Sasak Boda bukanlah sebagai

agama asli orang pribumi Suku Sasak seperti halnya yang dipahami oleh kebanyakan

peneliti selama ini. Karena Boda merupakan agama Budha yang terdistori, terlebih

pada perkembangnya justru orang Boda lebih memilih menjadi pengikut Budha

daripada memeluk agama Islam.35

31Morrison, Sasak and Javanese Literature of Sasak (Netherlands: KILTV Press,

1999), 4. 32Sinkretis adalah sistem budaya yang menggambarkan percampuran antar budaya

Islam dengan budaya lokal. Budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre

keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permissif tehadap

unsur budaya lokal. Oleh karena sifat kebudayaan itu dinamis, maka budaya sinkretis juga

dinamis. Sebagai contoh: budaya sinkretis yang diwujudkan antara lain dalam bentuk tradisi

selametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, tedun, wayangan, sesaji, ngalap berkah, sari dukun,

dan seterusnya. Dari dulu hingga sekarang tidaklah sama. Orang sekarang mengetahui

kebiasaan-kebiasaan itu merupakan sesuatu dari apa yang dilihatnya saat ini. Bahkan mereka

tidak tau kebiasaan tersebut sudah secara turun-temurun mengalami berbagai tahap perubahan.

Akan tetapi tradisi-tradisi yang turun-temurun tetap mencerminkan adanya benang merah,

yaitu adanya doa-doa Islam sebagai roh serta seperangkat-seperangkat lokal sebagai wadah

dalam budaya Islam sinkretis. Lihat: Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis

(Jakarta: Kompas Media Nusantar, 2010), 5. 33Muhammad Harfin Zuhdi, “Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika Islam

Normatif dan Islam Kultural”, Religia: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 12, No.1 (2009), 21. 34 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS,

2000), 76. 35 Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus

terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang

dan Diklat Kemenag RI, 2011), 46.

Page 89: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

75

Islam Wetu Telu identik dengan ajaran animisme. Maka tidak salah kemudian

jika muncul beragam asumsi yang menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu merupakan

Islam yang menganut kepercayaan dengan nilai budaya Hindu maupun Budha. Hal

ini sangat beralasan karena telah terjadinya interaksi sosiologis bahkan religius

tentang keyakinan dan kepercayaan yang cukup lama terjadi pada masa lampau.

Bahkan di sebuah desa di Kecamatan Narmada yang bernama Desa Golong, agama

Hindu tidak disebut Hindu tetapi agama Bali, sedangkan orang Hindu yang masuk

Islam disebut beselam.36

Di wilayah bagian selatan tepatnya di Desa Rembitan Kecamatan Pujut,

Kabupaten Lombok Tengah juga dikisahkan tentang hadirnya seorang Waliyullah

yang memiliki peran penting dalam menyebarkan agama Islam. Dalam catatan M.

Najamuddin Makmun,37 masyarakat Desa Rembitan dulunya menganut kepercayaan

Islam Wetu Telu. Kemungkinan penganut Islam Wetu Telu masih dapat dijumpai dari

sebagian kecil masyarakat Desa Rembitan terutama kepada para sesepuh (tertua)

mereka. Namun seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, masyarakat

Desa Rembitan mulai mengalami teransisi kepercayaan yang tadinya menganut

kepercayaan Islam Wetu Telu beralih menjadi penganut Islam Wetu Lima (Islam yang

taat) yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist. Kemudian disebutkan bahwa

masyarakat Desa Rembitan merupakan penganut pertama Islam Wektu Lima.

Keberhasilan dakwah Islam di pulau Lombok karena cara penyebarannya

kepada masyarakat Lombok yang tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama

masyarakat setempat hingga membentuk akulturasi antara Islam dan budaya. Hanya

saja penyebar Islam tersebut banyak menggunakan sarana adat-istiadat setempat

untuk mempermudah ajaran Islam. Kitab-kitabnya pada masa itu kembali ditulis

dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dan syahadat bagi para penganut

kepercayaan Wetu Telu dilengkapi kalimat dalam bahasa Jawa Kuno dan hanya para

pemangku adat atau Kyai yang diwajibkan melakukan peribadatan.38

Kepercayaan Wetu Telu merupakan praktek keberagamaan masyarakat Suku

Sasak di Lombok dalam menjalankan agama Islam. Diduga bahwa praktek ini terjadi

karena para penyebar Islam pada masa lampau memperkenalkan Islam ke masyarakat

Sasak pada waktu itu belum sepenuhnya berjalan dengan baik, lalu para penyebar

ajaran Islam secara bertahap meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan

Islam dengan lengkap. Saat ini penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan

hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu. Sebagai akibat gencarnya

para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktek tersebut.39

36Muhamad Iwan Fitriani Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas Islam Pribumi

Versus Islam Salafi di Sasak Lombok. Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume. 5,

Desember 2015, 250. 37Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:

Darul Muhajirin Praya, 1406), 1. 38Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara dari Analisis Historis hingga Arkeologis

tentang Penyebaran Islam di Nusatara (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), 255. 39Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1933 Studi Kasus

Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama, 2011), 45-47.

Page 90: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

76

Kepercayaan masyarakat terhadap ajaran para leluhur atau nenek moyang

mereka terdahulu kadang masih mengakar bahkan tidak menutup kemungkinan masih

dapat dijumpai di beberapa wilayah-wilayah tertentu di pulau Lombok khususnya

pada kalangan generasi tua atau yang sudah lanjut usia. Melalui kepercayaan terhadap

ajaran para leluhur ini, berkembang pula suatu tradisi atau ritual-ritual keagamaan

seperti upacara kematian, peringatan ke-9 hari setelah meninggal, ziarah ke kubur atau

ziarah makam dan lain sebagainya dalam kehidupan masyarakatnya.

Makam Wali Nyato’ yang berlokasi di Desa Rembitan merupakan salah satu

makam keramat yang sampai saat ini masih ramai diziarahi oleh masyarakat setempat.

Sejumlah masyarakat yang berdatangan melakukan ziarah di makam tersebut karena

dianggap memiliki nilai historis dan kekuatan spiritual yang luar biasa sebab jasa-jasa

sang Wali dalam menyebarkan ajaran Islam. Oleh karena itu, makamnya diyakini

sebagai makam keramat yang jika melakukan ziarah dan berdoa di makam tersebut

maka doa-doa yang dipanjatkan akan cepat dikabulkan.

Dalam keyakinan masyarakat setempat, jika ziarah di makam keramat Wali

Nyato’ setidaknya akan mampu memberikan ketenangan batin atau kedamaian jiwa

serta rasa tentram dan kenyamanan dalam hidup mereka sehari-hari. Ziarah dalam

tradisi Islam merupakan salah satu perjalanan spiritual (the advanture of spirituality)

dalam rangka memperoleh sumber berkah dari para Wali yang memiliki kedekatan

dengan sang pencipta (Allah swt).40

Pengakuan masyarakat tentang rasa kesejukan hati yang diperolehnya setelah

berziarah di makam tersebut semakin memperkuat bahwa makam itu adalah makam

seorang Waliyullah yang dulunya pernah hadir membawa ajaran Islam di bumi Sasak

bagian Selatan. Masyarakat yang berziarah di tempat itu, tidak lepas dari motif-motif

awal karena mengharap berkah dari sang Wali dengan berdoa meminta keselamatan,

disembuhkan dari penyakit, dipermudahkan rizkinya, berdoa agar cepat mendapatkan

jodoh bagi anak-anak muda, dan lain sebagainya.41

Di sisi lain, paham keagamaan lokal, di masa orde baru dapat dikelompokkan

dalam aliran kepercayaan di mana agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap

sesuatu yang bersifat adikodrati dan selalu menyertai manusia dalam ruang lingkup

kehidupannya. Ajaran yang terkandung dalam agama sesungguhnya dapat mengatur

kehidupan manusia saat hubungannya dengan masyarakat.42

Indonesia yang dikenal sebagai negara pluralis dalam bidang pemahaman

agama sebagaimana yang diyakini oleh masing-masing penganutnya faktanya telah

melahirkan berbagai tradisi dan kepercayaan lokal. Tradisi dan kepercayaan lokal ini

terjadi karena akulturasi43 antara tradisi besar dan tradisi kecil yang berlangsung

40 Mohammad Takdir Ilahi, Ziarah dan Cinta Rasa Islam Nusantara Jurnal Pemikiran

Islam, Volume 21 No. 1 2016, 117. 41Wawancara dengan Yn, Peziarah dan I.r, Pedagang, 3 Januari 2018. 42Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2012), 3. 43Akulturasi terjadi apa bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian ruapa

sehingga unsur-unsru kebudayaan asing itu, lambat laun diterima dan diolah ke dalam

kebudayaan sendiri, tanpa menhapus kebudayaan yang sudah mapan. Lihat: Soerjono

Soekanto, Sosiologi Sutau Pengantar (Jakarta: RajaGrapindo, 2006), 168.

Page 91: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

77

cukup lama. Tradisi dan kepercayaan lokal ini sering kali menjadi pelengkap agama

yang dianut oleh mereka. Agama dan tradisi lokal diwariskan secara turun temurun

melalui sosialisasi dan enkulturasi.44

Berkenaan dengan hal tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam The

Oxford English Dictionary bahwa pertama: agama merupakan tindakan atau perilaku

yang selalu menggambarkan suatu bentuk kepercayaan dan penghormatan atas hasrat

dalam mewujudkan rasa ketenangan jiwa dari suatu kekuatan yang maha menguasai

perilaku atau perbuatan atas ritual dan ibadat tersebut. Kedua: agama merupakan suatu

sistem keyakinan dan ibadah tertentu. Ketiga: kesadaran dan pengakuan manusia atas

kekuatan yang tidak dapat dicerna oleh indra yang lebih tinggi sebagai yang berhak

atas ketaatan, penghormatan, dan ibadat dari kepercayaan tersebut. Hal ini berkaitan

langsung dengan pengaruhnya atas eksistensi individu dan masyarkat sehingga

mampu diterima secara kolektif hingga perasaan tersebut menjadi standar kehidupan

sepiritual dan kehidupan praktis. Keempat: ketaatan terhadap beberapa prinsip yaitu

suatu ketaatan dan kesetiaan yang sempurna baik itu sifat mendengarkan, sifat kehati-

hatian, kasih sayang, dan cinta yang suci.45

Gambaran di atas menunjukkan bahwa di negara manapun terdapat suatu

keyakinan atau kepercayaan yang mungkin saja berbeda antara satu dengan yang

lainnya. Namun perbedaan yang terlihat hanyalah dari segi pelaksanaan ibadah atau

tata cara berdo’a karena setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu menuju pada

kebaikan, perdamaian, kebersamaan, dan mendapat kasih sayang dari Tuhan. Ajaran

agama memiliki pengaruh besar dalam menyatukan persepsi kehidupan masyarakat

tentang semua harapan hidup adalah bagian dari proses atau cara yang sistematis dan

mendarah daging terhadap ajaran tersebut. Perilaku sosial agama memasuki hati

nurani manusia sehingga akal pikiran utama mencari makna hidup yang belum

sempurna apabila substansi ajaran agama tidak dijadikan rujukan terpenting secara

epistimologis46 ataupun aksiologis.47

Kesamaan ideologis dalam beragama disosialisasikan melalui wadah yang

dibangun melalui cita rasa yang sama sehingga terbentuknya organisasi atau institusi

44Istilah yang sesuai untuk kata “Enkulturasi” adalah “Pembudayaan” (dalam bahasa

Inggris digunakan istilah institutionalization). Proses enkulturasi adalah proses seorang

individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem

norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Lihat: Koentjaraningrat Pengantar

Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 189. 45Hillary Rodrigues and John S. Harding, Introduction to the Study of Religion,

(London & New York: Routledge, 2009), 3. 46Epistimologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan

pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu,

termasuk di dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan lainnya

seperti seni dan agama. Lihat: Jujun S. Suryasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2017), 104. 47Aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu. Ilmu merupakan hasil karya individu

dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat

keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan

oleh masyarakat tersebut. Lihat: Jujun S. Suryasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar

Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2017), 237.

Page 92: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

78

keagamaan yang dengan prosesnya bila mana terjadi secara terus-menerus melalui

sistem kepemimpinan yang telah diligitimasi oleh doktrin agama, maka dalam setiap

perilakunya akan membentuk kolektivitas dan homognitas perilaku yang dominan.48

Institusi keagamaan banyak berfungsi sebagai tempat untuk melakukan ritual-

ritual agama atau ibadah. Pentingnnya sebuah institusi keagamaan dalam kehidupan

masyarakat akan menjadi wadah yang dinilai efektif dalam menjembatani berbagai

permasalahan-permasalahan soisal yang dihadapi oleh manusia. Sebagaimana halnya

presiden Amerika Serikat yang bernama Bill Clinton, bahwa ia menyadari pentingnya

institusi keagamaan hingga praktek-praktek keagamaan di negaranya dinilai sangat

berpengaruh pada maslah-maslah sosial. Menurutnya institusi keagamaan setidaknya

mampu mengurangi persoalan-persoalan sosial seperti hamil di luar nikah, tindak

kekerasan dan pecandu narkoba.49 Institusi agama juga memiliki pengaruh terhadap

budaya dan sosial kehidupan masyarakat.50

Institusi agama juga dipandang sebagai tempat untuk menyampaikan ajaran-

ajaran Tuhan melalui kitab sucinya, tempat berdoa, dan sarana untuk mengajarkan

umat manusia sebagai mahluk sosial sekaligus memperatekkan misi Tuhan di dunia.51

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa agama merupakan satu bentuk legitimasi yang

paling efektif sekaligus merupakan semesta simbolik yang bisa memberi makna pada

kehidupan umat manusia serta memberikan penjelasan yang paling sempurna dan

komprehensif tentang seluruh realitas yang ada.

Nurcholis Madjid mengatakan bahwa agama merupakan salah satu sistem

pandangan yang menawarkan makna dan tujuan hidup manusia. Inti persoalanya

adalah bukan pada apakah dalam menjalani kehidupan manusia mempunyai tujuan

atau mempunyai makna, melainkan pada bagaimana manusia memilih makna dan

tujuan hidup, karena hidup bukanlah suatu lingkaran yang tidak jelas ujungnya, akan

tetapi berpangkal dan akan berujung pada kematian. Melalui kematian itu kemudian

manusia akan bertemu dengan Tuhan sebagai pemberi kehidupan ini.52

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pandangan atas suatu kepercayaan atau

keyakinan setiap orang sudah tentu memiliki tujuan dan makna dalam setiap tindakan

sosial keagamaan yang mereka praktekan dalam kehidupannya. Praktek ziarah kubur

atau ziarah makam misalnya, adalah salah satu bagian dari suatu tindakan keagamaan

yang memiliki banyak makna. Misalnya, untuk mengingat akan datangnya kematian

48Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional

dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung: Refika Aditama 2007), 2. 49 Patrick F. Fagan. “Why Religion Matters: The Impact of Religioun Practice on

,Social Stability” The Heritage Foundation 25 January 2014.

http://www.heritage.org/research/reports/1996/01/bg1064nbsp-why-religion-matters (diakses

pada tanggal 27 February 2018). 50 ‘Alā’ al-Dīn z’atarī, ”Wazīfah al-Masjid al-Thaqāfiyah”, ‘Alā’ al-Dīn Z’atari

(2007-2015), http://www.alzatari.net/print-research/231.html (akses 12 Januari 2018). 51 Ray Gilder, “Focus on the Basic Functions of the Church”, Life Way (2001-2015),

http//www. Lifeway.com/Article/Focus-on-the-Basic-Functions-of–the-Church, (diakses pada

tanggal 27 Febwari 2018). 52 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang

Maslah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,

2006), 26-27.

Page 93: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

79

disamping dapat mengambil pelajaran dari keadaan mereka, termasuk memperoleh

kebaikan atau pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak berdosa bagi yang tidak

melakukannya. Mengingat kematian adalah sebuah perenungan manusia untuk selalu

mengingat akan akhirat. Dengan mengingat akhirat berarti manusia harus menyiapkan

amal kebaikan untuk menghadapi kematiannya.

Ziarah kubur atau ziarah makam juga memberi pelajaran kepada kita untuk

senantiasa mempersiapkan diri dengan berbekal iman dan takwa, amal dan ibadah kita

kepada Allah Swt, untuk menghadapi datangnya kematian yang tidak dapat diketahui

oleh siapapun kecuali Allah Swt. Namun demikian, ziarah kubur atau ziarah makam

oleh sebagian masyarakat kadang masih dipandang sebagai praktek keagamaan yang

kurang murni atau bahkan dikelaim sebagai perilaku menyimpang dalam ajaran

agama Islam. Akan tetapi ziarah kubur telah dianjurkan oleh Rasulallah Saw53 selama

tidak berbuat syirik atau meminta kepada orang yang dimakamkan.

Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah ini kemudian menjadi sebuah tradisi

Islam, walaupun sebagaian golongan menyebutnya sebagai perbuatan bidah. Namun

ketika Islam masuk di Indonesia, tradisi ziarah kemudian menemukan relevansinya

dengan budaya. Sebagaimana yang dipahami bersama bahwa tradisi ziarah sangat

melekat dengan kepercayaan animisme-dinamisme pada masa pra-Islam. Akulturasi

Islam dan budaya dalam bentuk ziarah kubur inipun berjalin kelindan, di mana tradisi

ziarah kubur termasuk ajaran tentang kematian. Bagi sebagaian masyarakat suku

Sasak Lombok kadang tradisi ziarah dipahami lebih kepada melakukan komunikasi

dengan arwah para leluhur. Sehingga dari pemahaman ini kemudian menimbulkan

distorsi tujuan ziarah. Untuk itu, motivasi berziarahpun menjadi sangat beragam, di

mana ziarah tidak hanya untuk mengingat kematian dan mendekatkan diri kepada

Allah Swt semata, tetapi ada tujuan-tujuan tertentu yang hendak ingin dicapai seperti

kepentingan-kepentingan duniawi dan ukhrawi oleh para peziarah itu sendiri.54

C. Akulturasi Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal

Sentuhan-sentuhan Islam dalam ajarannya maupun hukum Islam itu sendiri

seringkali mewarnai berbagai ritual dan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini

telah menunjukkan tentang adanya keberadaptasiannya antara budaya dengan agama.

Meskipun dalam konteks teologis dan fiqih normatif kadang-kadang menghadirkan

kontroversi, tetapi realitasnya tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat selalu

dapat dilakukan oleh kalangan muslim tradisional pada umumnya. 55

Kalangan muslim tradisional juga melihat bahwa aturan-aturan dalam Islam

bukan hanya dimengerti sebagai ideologi yang bersifat stagnan terhadap objek-objek

sehingga kemudian bertindak sebagai oposisi dalam tradisi kehidupan masyarakatnya,

53Dalam hadist sahih riwayat Bukhari dan Muslim, diriwayatkan bahwa Rasulallah

Saw, pernah bersabda: “dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kubur, maka sekarang

ziarahlah”. (H.R Imam Bukhari dan Muslim). 54Lihat: Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para

Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)

Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 153. 55K.H Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Jakarta: Suka Buku,

2010), 20.

Page 94: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

80

tetapi Islam diakui sebagai agama yang sangat lentur, dinamis dan sangat akomodatif

terhadap budaya-budaya lokal masyarakat. Secara konsepsi dalam menyelaraskan

unsur-unsru budaya tersebut terutama mengenai unsur-unsur yang tidak bertentangan

dengan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat adalah bagian dari aturan Islam

dalam budaya lokal.56

Pernyataan di atas, menggambarkan tentang hubungan Islam dengan budaya

lokal yang pada kenyataanya dapat menimbulkan kecenderungan beradaptasi kultural.

Adaptasi menurut Giddens dari Rappaport, adalah sistem suatu kelompok organisme

yang disertai dengan transisi reaktif atau responsif dalam situasi dan kondisinya yang

tersetruktur beserta komponen-komponennya mampu mempertahankan homesostasis

di antara mereka sendiri dalam menghadapi fluktuasi lingkuangan jangka pendek atau

perubahan jangka panjang pada komponen atau struktur lingkungannya.57

Adaptasi suatu komunitas lokal bukan hanya dengan alam atau komunitas

lokal lainnya, tetapi juga dengan budaya global, sebagaimana yang kita ketahui bahwa

lazimnya persentuhan antara budaya lokal dengan budaya global menjadi salah satu

fenomena baru yang tidak dapat dibendung oleh masyarakat. Al-Jabiri mengatakan

bahwa kebudayaan atau tradisi merupakan eksistensi yang muncul dan dipengaruhi

oleh kondisi kekinian. Munculnya tradisi bukan sebatas dinilai sebagai serpihan-

serpihan masa lalu, tetapi sebagai masa lalu dan masa kini karena sifatnya yang utuh

dengan tindakannya sekaligus pola pikir masyarakat itu sendiri.58

Sejalan dengan apa yang di definisikan oleh Edward Burnett Tylor, bahwa

budaya meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan

lain-lain. Sederhananya adalah kebudayaan merupakan serangkaian peraturan atau

norma-norma yang dimiliki secara kolektif oleh anggota masyarakatnya, dan ketika

dijalankan oleh anggota masyarakat tersebut biasanya akan menimbulkan perilaku

yang dianggap layak dan dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. Kroeber juga

menambahkan bahwa kebudayaan tidak hanya memperlihatkan perilaku yang tampak

secara lahiriah dengan sikap dan tindakan yang ada pada diri manusia, akan tetapi ia

berupa nilai dan kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk memberikan suatu

penafsiran atau interpretasi terhadap pengalamannya yang melahirkan perilaku dan

mencerminkan perilaku itu sendiri.59

56Islam dalam sudut pandang teologis, merupakan sistem nilai-nilai sekaligus ajaran

yang bersifat Ilahiyah, maka dalam konteks ini kemudian Islam dikenal dengan sifatnya yang

sangat transinden. Disamping itu, Islam juga dapat dilihat dalam aspek sosiologis, karena

menjadi suatu fenomena peradaban kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ini

berarti bahwa Islam dalam sebuah realitas sosial tidak hanya dipandang sebagai doktrin yang

bersifat universal, tetapi ia mengaktualisasikan dirinya dalam institusi-instiusi sosial yang

banyak dipengaruhi oleh kondisi dan budaya lokal itu sendiri. Jornal Diskursus Islam Volume

1 (April 2013), 57. Lihat: Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina,

1996), 47. 57Anthony Giddens, The Constitution Of Society Teori Struturasi Untuk Analisis

Sosial (Pasuruan: Pedati, 2003), 283. 58Tabroni dan Syamsul Arifin, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi

Untuk Aksi dalam Kebergantungan dan Pendidikan, (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), 174. 59E.B. Tylor, Primitive Culture (London: J. Murray 1997), 135. Lihat: Nuruddin,

dkk. Agama Tradisional: Potert Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger

Page 95: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

81

Sistem tradisi keberagamaan masyarakat secara plural juga telah membentuk

keyakinan masing-masing terutama agama-agama yang paling banyak dikenal seperti

agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagai agama-agama dunia.

Durkheim, pernah menyatakan bahwa proses fundamental yang menjadi sarana untuk

membangun kehidupan sosial sesungguhnya memiliki watak agamis. Kemunculan

masyarakat juga ditandai dengan sirkulasi menular energi-energi emosional yang

membuahkan pengalaman unik dan representasi kolektif atas apa yang disebutnya

sebagai “dunia sakral.”60

Dalam pengalaman keagamaan yang bersifat pribadi (individual experience)

dan unik merupakan pengalaman keagamaan yang dialami oleh setiap manusia dari

penganut suatu agama yang berbeda dengan penganut agama lainnya. Oleh karena itu,

hakekatnya terhadap setiap orang yang memiliki pengalaman keagamaan baik melalui

ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan biasanya memperoleh pengalaman yang

derajatnya sangat individual. Misalnya; timbulnya perasaan religius yang merupakan

keadaan batin manusia dan timbul sebagai akibat dari konsekuensi-konsekuensi logis

terhadap keberagamaanya. Durkheim sendiri menyebutkan bahwa perasaan religius

tersebut merupakan inti dari keberagamaan seseorang yang muncul dari emosi

keagamaannya. Dalam hal ini Islam telah mengajarkan umatnya dari apa yang disebut

dengan ihsan yang berarti merasakan kehadiran Tuhan di hati seseorang.

Pengalaman dan rasa religius akan hadir ketika seseorang memanjatkan do’a

atau melakukan ibadah di tempat-tempat tertentu. Akibat dari adanya spiritual yang

ditimbulkan oleh praktik-praktik ibadah atau ritual-ritual keagamaan yang dilakukan

tersebut kebanyakkan melahirkan berbagai pengalaman yang sangat menarik, unik,

berciri khas dan berbeda-beda. Misalnya; tentang pengalaman seseorang muslim yang

pernah melaksanakan ibadah haji, pengalaman sesorang ketika melaksanakan wirid,

membaca al-Qur’an berziarah ke makam, melaksanakan Shalat malam dan lain-lain.61

Fenomena ziarah makam kemudian muncul menjadi suatu tradisi keagamaan

dan memiliki berbagai dimensi keyakinan yaitu dimensi yang berisikan pengharapan

sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Selain itu, ada dimensi praktik

keagamaan yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang

terkandung di dalamnya. Aktivitas-aktivitas keagamaan ini akan menghasilkan suatu

pengalaman penting dan membentuk keyakinanya dari ajaran yang dianutnya. Oleh

karena itu, seseorang akan merasa puas dengan praktik-praktik keagamaan yang

pernah dijalankannya tersebut.

Agama itu hadir sebagai suatu kenyataan, di mana kehadiranya selalu ditandai

dengan keyakinan terhadap kekuatan dari luar diri manusia terutama kapada sang

Ilahi. Keyakinan terhadap sang Ilahi ini kemudian menumbuhkembangkan kesadaran

religius yang secara terus-menerus mewarnai sejarah kehidupan manusia, sebab mau

tidak mau harus diakui bahwa berbagai agama di dunia juga membutuhkan kondisi

(Yogyakarta: LkiS, 2003), 126. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI

Press, 77. 60Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment, Religion,

and Socilogical Theory. Dalam Brayan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, (UK: Oxford, 2010), 206.

61 Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 108.

Page 96: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

82

religiusitas itu sendiri.62 Seperti halnya Comte yang memandang agama sebagai aspek

fundamental kehidupan sosial, karena agama terlibat secara kreatif di dalam aspek-

aspek pengejawantahan manusia yang wajib terhadap sebuah keniscayaan dengan

perkembangan makna dan tatanan kehidupan sosialnya.63

Manusia, masyarakat, dan kebudayaan akan senantiasa berhubungan secara

dialektik, selalu berdampingan dan tidak terpisahkan. Ketiganya berhimpitan saling

menciptakan dan meniadakan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat itu telah ada

sebelum seseorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu itu mati.

Oleh kerenanya, melalui masyarakatlah dapat dikatakan proses dari hasil sosial suatu

identitas. Selain itu, manusia tidak akan pernah eksis jika terpisah dari masyarakat.

Hal ini memperlihatkan adanya dialektika inheren dari fenomena masyarakat itu

sendiri.64

Kalangan ilmuan sosial sering kali melihat kebudayaan sebagai realitas yaitu

sesuatu yang telah ada dan diciptakan, dihasilkan, dibentuk, atau sudah dilembagakan

karena ia merupakan produk masyarakat. Menurut Koentjaranigrat ada tiga wujud

dalam konteks kebudayaan yaitu: sebagai sistem ide-ide, sistem tingkah laku, dan

sebagai perwujudan benda-benda budaya.65 Dawam Rahardjo, menyatakan bahwa

dimensi-dimensi yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia adalah dimensi Islam,

dimensi tradisi dan dimensi modernitas. Oleh karena itu, ketiga dimensi yang dihadapi

umat Islam dalam gerakan Islam sebenarnya masih berada pada proses belajar untuk

menemukan identitasnya.66 Berikut ini adalah bagan dari ketiga dimensi tersebut.

Bagan 3. Dimensi Budaya

Tradisi Modernitas

Islam

62 Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001),

16. 63Philip A. Mellor and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment, Religion,

and Socilogical Theory. Dalam Brayan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, (UK: Oxford, 2010), 205.

64 Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES,

1991), 4. 65Koentjaraningrat, Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan (Jakarata:

Granmedia 1974), 23. Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas

Djakarta, 1964), 80. 66 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan

Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 219.

Page 97: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

83

Ilmuan sosial berpandangan bahwa kehidupan manusia yang terbentang

sepanjang sejarah selalu dibayang-bayangi oleh apa yang disebut dengan agama.

Kendati demikian, kehidupan yang serba modern, manusia tidak luput dari agama.

Menurut Peter L. Berger, agama muncul pada babak serjarah pra-modern, sebelum

masyarakat dan dunia diwarnai dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan

teknologi informasi. Terlebih jika agama diasumsikan sebagai kebutuhan dasar

manusia, maka agama akan menjadi sarana penting untuk membela diri terhadap

segala kekacauan hidup manusia.67 Hanya saja arus besar dalam kemajuan teknologi

memang telah melahirkan konsekuensi logis dan berpengaruh sangat besar bagi

perkembangan hidup manusia yang membuatnya semakin rasional dan sekuler.

Dalam pandangan Stave Bruce yang menyatakan bahwa masyarakat pra-industri

merupakan masyarakat religius (the peoples of pre-industial were deeply religious).

Setiap warga dibaptis, dikristenkan, menikah dan dimakamkan dengan cara Kristiani.

Setelah era industri, masyarakat terbelah dalam dua kategori yaitu: masyarakat yang

shaleh dan masyarakat yang menjauhi agama. Arus besar modernitas cenderung

mengikuti kelompok yang kedua, yaitu masyarakat mulai meninggalkan agama. Hal

ini terjadi pada abad 19, bahwa umat yang hadir ke gereja turun drastis dari 50%

menjadi 7%.68

Perkembangan arus gelobalisasi, sekularisasi, dan moderenisasi ternyata telah

berdampak ke negara-negara Asia termasuk negara Indonesia yang mempunyai

jumlah penduduk terbesar ke-Tiga setelah China dan India, akibatnya Indonesia juga

banyak mengalami pasang surut perkembangan budaya dan agama. Sebagaimana

yang diketahui bahwa masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah dan

terdiri dari berbagai suku-bangsa yang besar pula jumlahnya. Suku-suku tersebut tidak

kurang dari 450 yang notabeninya mengaku sebagai bagian dari bangsa Indonesia,69

dan telah menunjukkan keragaman hidup masyarakat yang terlahir dari berbagai suku,

etink, ras, kelompok, dan lain-lain. Aspek-aspek sosial lainnya seperti agama, budaya,

adat-istiadat, interaksi sosial, perilaku keagamaan, norma, hukum, dan kebiasaan juga

menandakan suatu kompleksitas keragaman hidup masyarakat itu sendiri. Keragaman

tersebut kemudian tidak terhindarkan dari pengaruh dunia moderenisasi hingga ada

masyarakat yang bertahan dan ada pula yang tergerus dengan pengaruh tersebut.

Terlepas dari pandangan di atas, dan seberpengaruh apa pun dunia teknologi

atau dunia modern, yang jelas semua bangsa pada dasarnya mempunyai agama dan

kepercayaan terhadap magis. Bangsa manapun dan seperimitif apapun masih dapat

dipastikan ia mempunyai agama. Sebagaimana yang disebutkan oleh Bronislaw

Malinowski.70 Oleh karena itu, agama dikatakan sebagai suatu sistem kepercayaan

67 Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 54. 68Bryan S. Turner, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion,

(United Kingdom: Oxford, 2010), 126. 69Siti Chamamah Suranto, Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam-

Nasional. Dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: PSB Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003), 23.

70“There are no people however without religion and magic, in every primitive community, studied by trust-worthy and competent observers, there have been found two clearly distinguishable domains, the Sacred and the Profane, in other words, the domain of

Page 98: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

84

bagi setiap anggota masyarakat dalam mengatasi sejumlah masalah-masalah penting

yang tidak mampu diselesaikan dengan teknologi informasi. Maka untuk mengatasi

masalah tersebut, tidak heran jika masyarakat bertolak dari kekuatan supranatrual.

Harus diakui bahwa manusia selalu memiliki keyakinan dan kepercayaan

mengenai adanya wujud yang Maha Tinggi, benda gaib dan hal-hal yang bersifat

metafisik hingga kemudian mereka mengembangkan suatu cara untuk melaksanaan

pemujaan dan penyembahan yang diekspresikan dalam bentuk ritual keagamaan.

Selain itu, Islam juga hadir dengan membawa misi tauhid,71 suatu kepercayaan yang

anti mitologi. Tauhid adalah inti sari ajaran Islam yang menuntun manusia bagaimana

berketuhanan yang baik dan benar. Ajaran Tauhid menjadi pegangan pokok yang

membimbing dan mengarahkan manusia untuk selalu berperilaku baik, baik ketika

berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan dengan alam semesta. Jika seseorang

dapat menjalankan konsep Tauhid secara benar, tentu akan mengantarkannya menuju

kebebasan asasi yang paling fundamental.72

Dengan karaktristik dasarnya yang anti mitologi (amythical) dan juga anti

sakramentalisme,73 maka Islam adalah ajaran yang bersifat langsung dan lurus, alami,

wajar, sederhana dan mudah dimengerti. Dengan kualitas-kualitas tersebut kemudian

agama Islam memiliki pangkal vitalitas yang kuat, selain dari dinamikanya yang

memiliki daya sebar tersendiri dan sangat dahsyat.74 Oleh karena itu, Islam pada masa

awal dalam sejarahnya dengan cepat memperoleh kemenangan bahkan tidak ada

tandingannya dengan sejarah agama-agama lain.75

Pada perkembangan selanjutnya, Islam harus berhadapan dengan berbagai

aspek sosial dalam kehidupan masyarakat yang menuntutnya untuk mampu bersikap

bijak dan relevan dengan pola kehidupan yang berlaku pada masyarakat. Untuk itu,

proses akulturasi antara agama dan budaya pun tak dapat dielakkan. Secara perlahan-

lahan mainstream utama Islam mulai terdistorasi dari kepercayaan-kepercayaan

tradisional yang telah lebih dulu mengakrar kuat dalam tradisi lokal. Fenomena ini,

kemudian hingga sekarang acapkali masih tercermin dalam kehidupan keberagamaan

masyarakat awam, di mana umumnya mereka masih menghubungkan pola keyakinan

keagamaan dengan kejadian-kejadian supranatural dari orang-orang yang mereka

anggap “suci” atau mulia (Wali).

Kita menyadarai bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang

mempunyai sistem keberagamaan yang sangat plural, bahkan tidak hanya sekedar

agama mainsteram dan sudah terstruktur atau terlembaga tetapi juga menyangkut

Magic and Religion and that of Science”. Dalam Bronislaw Malinowski, Magic, Science, and Religion and Other Essays (New York: Doubleday Anchor Books, 1954), 17.

71 Menyangkut hal ini, di dalam Al-Qur’an menyebut kata Allah hingga mencapai

2.799 kali dengan menerangkan keesaan Tuhan dan mengakhiri dengan keesaan Tuhan pula.

Misalnya di dalam surat Al-A’raf, (7):59, 65,73, 85 dan lihat juga surat Hud (11):26, 50, 61,84. 72 Lihat: Muhammad Widda Djuhan, Ritual di Makam Ki Ageng Besari Tegalsari

Jetis Penorogo, Jurnal Kodifikasi. Volume. 5. No. 1 Tahun 2011. 73Andrew Rippin, Muslims Their Religious Beliefes and Practise (New York:

Routledge, 1991), 99. 74Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 202. 75Lihat: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,

1992), xliii.

Page 99: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

85

masalah kepercayaan lokal yang masih utuh dapat dipertahankan hingga saat ini.

Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, kebiasaan, adat-istiadat dan lain-lain

faktanya masih hidup dan dilestarikan diberbagai daerah.76

Di pulau Lombok, yang juga terdiri dari berbagi suku seperti suku Sasak, suku

Sumbawa, suku Bali, suku Jawa, Arab, Cina, Bugis dan Banjar juga mempunyai

sistem kebudayaan tersendiri. Di antara mereka ada yang fanatik, ada yang masih

berpegang teguh terhadap adat istiadat mereka masing-masing, tetapi ada pula yang

lebih longgar hingga membaur dengan masyarakat setempat dan mengikuti adat

istiadat masyarakat setempat. Namun, di antara suku-suku tersebut yang dianggap

sebagai suku asli adalah suku Sasak, saedangkan suku-suku lainnya adalah suku

pendatang.77 Perspektif masyarakat tentang kebudayaan memang bermacam-macam,

sesuai dengan lingkungannya. Hanya saja dalam konteks ini, kebudayaan akan dilihat

dari segi lingkungan agama di mana ia cenderung berpandangn bahwa kebudayaan

selalu berasaskan nilai-nilai Ketuhanan. Atau dengan istilah “Kebudayaan itu tidak

boleh bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama.78

Sebelum kedatangan Islam di pulau Lombok, tradisi atau budaya keagamaan

masyarakat suku Sasak telah lebih dulu dipengaruhi oleh ajaran kepercayaan

Animisme, Dinamisme dan Hindu-Budha.79 Akan tapi setalah Islam hadir, perlahan-

lahan masyarakat Suku Sasak beralih kepercayaan menjadi penganut agama Islam.

Islam adalah agama yang berkembang pesat dan tersebar di seluruh penjuru dunia.

Islam merupakan agama universal,80 dan berlaku bagi seluruh umat manusia yang

bukan hanya dianut oleh bangsa Arab saja, tetapi oleh berbagai bangsa yang ada di

dunia, termasuk bangsa suku Sasak yang ada di pulau Lombok. Hanya saja proses

perkembangan dan penyebarannya, Islam harus berdinamika dengan budaya atau

tradisi lokal masyarakat karena beragamnya sistem penerimaan ajaran agama di setiap

daerah.

Seperti yang tersebutkan di atas, bahwa penyebaran agama memang sangat

beragam, terkadang masyarakat dapat menerima kehadiran agama itu sepenuhnya dan

ada pula sebagian masyarakat yang menerima secara setengah-setengah karena harus

76Wakhid Sugyarto dan Asnawati, Dinamika Kepercayaan Parmalim di Kabupaten

Samosir dan Toba Samosir Sumatra Utara. Dalam Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

RI, 2012), 11. 77 H. Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang Akulturasi

Nilai-nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak) Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Sunan

Kalijaga, Yogyakarta, 2002, 1. 78 Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Peranan Pendidikan dalam

Pembinaan Kebudayaan Nasional di Daerah Nusa Tenggara Barat, (Mataram: Depdikbud,

1993), 113. 79 H. Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang Akulturasi

Nilai-nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak) Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Sunan

Kalijaga, Yogyakarta, 2002, 7. 80 Mengenai keuniversalan agama Islam, dapat dilihat di dalam Al-Qur’an suarat al-

Anbiya: 107 yang artinya “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk

(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. Lihat Al-Qur’an dan Terjemahannya juz 1-30,

Departemen Agama RI 2012, hlm 461.

Page 100: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

86

menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan kelompoknya, bahkan ada masyarakat yang

menolak sama sekali. Sikap penerimaan dan penolakan agama tersebut bukan hanya

dapat dilihat di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga di Indonesia.81

Misalnya; Minangkabau adalah suatu wilayah yang dalam penerimaan agama

terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: Pertama; Kelompok pemurnian atau kelompok

purifikasi agama. Mereka adalah kelompok konservatif yang sangat tegas dengan

ajaran agama. Ini menunjukkan bahwa sikap tegasnya yang tidak ada kompromistik

terhadap perilaku jika dianggap bertentangan dengan sumber Islam yakni al-Qur’an

dan as-Sunnah. Kedua; kelompok masyarakat yang masih bersikap kompromistik.

Hal ini ditandai dengan adanya upaya untuk menyesuaikan ajaran agama Islam ke

dalam bahasa-adat setempat. Kelompok masyarakat yang terbilang kompromistik ini

dapat dilihat dari salah satu aspek tradisinya seperti masalah warisan “ala” adat

Minangkabau yang masih terus diaktualisasikan hingga saat ini. Ketiga; Kelompok

masyarakat yang sudah terligitimasi dengan adat-istiadat mereka, ia merasa sudah

sejalan dan sesuai dengan tradisinya sehingga kelompok masyarakat ini cenderung

ekskelusif dari kemungkinan masuknya ajaran agama.

Selain itu, penerimaan kehadiran agama juga ditemukan pada etnik Cina

Tionghoa. Di antara mereka ada yang bersikap konservatif dari ajaran agama yang

dianutnya. Sikap konservatif dari sebagian masyarakat ini, membuat mereka apatis

bahkan meninggalkan tradisi-tradisi kecinaan dan menggantinya dengan ajaran agama

yang dianutnya. Meskipun sebagiannya masih bisa dijumpai kelompok-kelompok

masyarakat yang dapat mendialogkan tradisi kecinaan itu dengan ajaran agama. Hal

ini dikarenakan adanya penduduk Tanah Melayu Cina yang menganut agama Kristen,

Islam, Budha, dan Hindu. Tetapi mereka tidak meninggalkan tradisi Cinanya karena

mereka ajaran tradisi itu sangat terinternalisasi dalam dirinya. Sehingga dikatakan

tradisi itu banyak memberikan kepuasan terhadap diri penduduk bahkan mengikat

mereka dalam sejarah nenek moyangnya.

Di Lombok, fenomena dialektika Islam dengan varian kultural terhadap pola

keberagamaan masyarakat sebagai sikap penerimaan agama Islam adalah Pertama,

dalam kehidupan masyarakat suku Sasak, ada sebagian yang menerima ajaran Islam

secara penuh. Kategori masyarakat yang menerima ajaran Islam secara penuh ini

disebut sebagai Islam Sunni (ortodoks) yang pada akhirnya populer dengan istilah

Islam waktu lima. Kedua, ada masyarakat yang menerima agama tidak sepenuhnya

Pada sistem kepercayaan ini, nampaknya ada kolaborasi beragam agama seperti Boda,

Hindu dan Islam yang pada akhirnya disebut dengan penganut ajaran Islam waktu

telu.82 Dan ketiga, ada masyarakat yang tidak menerima Islam sama sekali, dan

81 Agama yang diterima sepenuhnya adalah agama yang dominan dalam kehidupan

manusia. Sedangkan agama yang diterima secara setengah adalah, karena

mencampuradukkan pelaksanaan rutinitas kehidupan antara ajaran agama dan kebiasaan

tradisi lokal. Berbeda dengan masyarakat yang menolak, di mana ia memperlihatkan

penolakan tersebut terhadap ajaran agama karena mereka lebih mencintai tradisi-tradisi lokal

yang telah berurat-akar dalam kehidupannya. Lihat: Silfia Hanani, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora, 2011), 78.

82 Lihat: Kamarudin Zaelani, “Dialektika Islam dengan Varian Kultrual Lokal dalam

Pola Keberagamaan Muslim Sasask”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol. IX edisi 15 No. 1

Januari-Juni, 2005, 48-69.

Page 101: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

87

masyarakat ini disebut kaum Boda. Sebenarnya Boda dapat dikatakan sebagai pola

keberagamaan primordial dan pengejawantahan adat dan tradisi yang masih sangat

kuat.83

Salah satu yang menarik dari tiga varian dalam dialektika Islam dengan kultur

masyarakat suku Sasak adalah istilah keberagamaan waktu telu. Kata “Waktu Telu”

bermakna “waktu tiga”. Dalam catatan Fathurrahman, ia menemukan sebutan “waktu

telu” karena mereka hanya mengenal tiga rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat,

shalat dan puasa. Shalat yang dilaksanakan adalah Shalat jenazah dan Shalat Jum’at,

shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha. Sedangkan puasa hanya akan dilaksanakan tiga

hari yaitu, awal, tengah dan akhir bulan.84

Sedangkan dalam catatan Heru, ia mengatakan bahwa ungkapan “waktu telu”

sesungguhnya berkaitan dengan sikap mereka yang masih belum sepenuhnya dalam

memahami dan melaksanakan rukun Islam. Artinya rukun Islam yang lima tersebut

(arkanul-Islam al-Khamsah) belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat setempat.

Warga masyarakat beru menerima tiga rukun Islam, yaitu Syahadad, Shalat, dan juga

Puasa. Oleh karena itu, masyarakat yang masih mengerjakan shalat pada tiga waktu

itu saja disebut sebagai masyarakat penganut ajaran Islam waktu telu.85

Penganut kepercayaan Waktu Telu percaya pada Tuhan yang menciptakan

Adam dan Hawa sebagai manusia-manusia pertama. Dalam praktiknya, keagamaan

masyarakat ini sarat diwarnai dengan berbagai macam kepercayaan tentang roh,

sebagai mediator mereka saat melakukan kontemplasi dengan Tuhan. Selain itu,

meraka juga percaya dan sangat menghargai ritual siklus kehidupan. Bagi mereka,

setiap siklus selalu diawali dengan suatu ritual khusus sebagai pertanda mengharap

pada status yang lebih tinggi. Ini terbukti dari adanya ritus-ritus yang masih dapat

dipraktikkan baik ritus buangan (upacara kelahiran), ngurisang (upacara pemotongan

rambut) ngitanan (khitanan), merosok atau berkikir (meretakkan gigi), merarik

(melarikan perempuan pada malam hari untuk dinikahi), begawe pati (ritual kematian

dan pasca kematian) dan sebagainya.86

Seiring perjalanan waktu penganut kepercayaan Waktu Telu kemudian mulai

berkurang karena banyak yang melaksanakan ajaran Islam dengan baik (sempurna).

Hal ini disebabkan karena upaya-upaya yang dilakukan oleh para tokoh agama atau

Tuan Guru (Kiyai) yang sudah menimba ilmu di Haramain Makkah sejak abad ke 19.

Mereka melakukan dakwah dan membimbing masyarakat dengan cara-cara ritual

Islam Waktu lima atau ajaran Islam yang sebenarnya. Seperti halnya yang dilakukan

oleh Tuan Guru H. Ali Batu, Guru Bangkol, TGH. Muhammad Siddiq, TGH.

Zainuddin Abdul Madjid, TGH. Saleh Hambali, TGH. Makmun dan juga masih

83 Lihat: Ahmad Amir Aziz, Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam

Lokal di Lombok, Jurnal Millah, Vol. VIII No. 2 Februari 2009, 246. 84Fahurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Yayasan

Sumurmas Al-Hamidy, 1998), 139. 85Departeman pariwisata dan kebudayaan menyebut masyarakat wetu telu sebagai

salah satu keunikan budaya masyarakat Lombok, karena sistem budaya dan peninggalan-

peninggalan sejarahnya masih dapat diakses sampai sekarang. Lihat: Zuhri Humaidi, Islam

dan Lokalitas Dalam Bingkai Postmodernisme. Jurnal Universum Vol 9. No. 2 Juli 2015, 8. 86 Lihat: Team Penyusun, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), 78-89.

Page 102: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

88

banyak yang lainnya. Mereka adalah penyebar agama Islam yang lebih menekankan

kepada aspek fiqih berupa kewajiban melaksnakan shalat, puasa, zakat, haji bahkan

ditambah dengan wirid thriqat bagi mereka yang dianggap sudah layak. Tarekat ini

pada akhir abad ke-19 berperan penting dalam pemberontakan melawan Belanda.87

Para tokoh agama atau para Tuan Guru inilah yang kemudian menjadi pelopor

pembaharuan Islam dengan tidak mengekang adanya budaya-budaya atau tradisi lokal

masyarakat setempat. TGH. Mutawalli misalnya; yang melakukan dakwahnya dengan

cara pendekatan secara kultural, di mana keyakinan lokal masyarakat dibiarkan saja

tetap hidup. Beliau mempelajari mitologi pada komunitas lokal Waktu Telu, yang

awalnya dengan cara mengutus murid-murid kepercayaan beliau untuk menghimpun

cerita-cerita atau legenda dan mitos setempat dari para elit atau tetua desa.88 Beliau

memahami bahwa penganut kepercayaan Waktu Telu sangat suka memuja masa lalu,

dan karena itu, beliau mencerminkan diri bahkan beminat untuk mempelajari silsilah

masyarakat. Oleh karena itu, beliau dapat secara leluasa mengenal kharakter, budaya,

dan kepercayaan masyarakat setempat yang membuatnya dapat begitu merakyat.

Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Tuan Guru tersebut akhirnya

mampu menampilkan wajah Islam yang bernuansa Islam Sunni (ortodoks) atau Islam

Waktu Lima yang membumi.89 Dalam pribumisasi Islam, tergambarkan bagaimana

Islam menjadi ajaran yang sangat normatif dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam

budaya yang berasal dari manusia tanpa menghilangkan identitas mereka masing-

masing. Dengan demikian, segala kelenturan yang dimiliki oleh ajaran Islam pada

kenyataannya telah mampu menyandingkan pola kehidupan agama dan budaya lokal

masyarakat.

Dari penjelasan di atas, tentu dapat kita pahami bahwa proses dialektika Islam

dengan varian kultrual keagamaan masyarakat lokal, kadang masih sering dijumpai

ajaran agama yang harus bersesuaian dengan tradisi-tradisi lokal masyarakat. Dalam

konteks ini adalah agama etnik yaitu kepercayaan masyarakat lokal dan kepercayaan

tersebut memberikan pandangan hidup kepada para penganutnya.90 Dalam perspektif

sosiologi, agama juga dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam

perilaku sosial tertentu.91 Oleh karena itu, ketika sekelompok masyarakat tidak dapat

menerima kehadiran agama sepenuhnya, maka harus bisa disesuaikan dengan tradisi-

tradisi lokal masyarakat setempat, sehingga pada momen inilah kemudian akan terjadi

akulturasi antara agama dan budaya.

87 Lihat: Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabaniyah di Indonesia (Bandung:

Mizan, 1992), 28. 88Lihat: Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta:

LKiS, 2000), 292. 89 Dalam perkembangannya muncul gagasan Islam yang diketengahkan oleh Gus

Dur. Lebih jauh lagi, lihat: Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan

(Jakarta: Desantara, 2001). 90Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama (Bandung: Humaniora,

2011), 77-80. 91L. Tischler, Introduction to Sociologi (Chicago:Rinehart Winston, 1990), 380.

Page 103: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

89

D. Dimensi-Dimensi Keagamaan Masyarakat

Umumnya aktivitas-aktivitas manusia yang berkaitan dengan konsep religi92

adalah tidak terlepas dari getaran jiwa dan menjadi ligitimasi kepercayaan mereka atas

pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dijalaninya. Menurut Koentjaraningrat

emosi keagamaan yang membentuk unsur-unsur religi93 adalah sebagai berikut:

1. Emosi Keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalakan

perilaku keagamaan.

2. Sistem kepercayaa atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia,

alam, alam gaib, hidup, mati dan sebagainya.

3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia

gaib yang didasari melalui sistem kepercayaan tersebut.

4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan

dan mengaktifkan religi beserta sistem-sistem upacara keagamaannya.

Selain unsur-unsur pembentuk religi, Koentjaraningrat juga mengetengahkan

lima komponen dari sistem religi yaitu, emosi keagamaan, umat beragama, sistem

keyakinan, sistem ritus, upacara keagamaan dan peralatan upacara. Komponen ini

saling keterkaitan antar satu dengan lainnya. Berikut ilustrasinya di bawah ini:

Bagan 4.

Lima Komponen Sistem Religi

92 Menurut Mangun Wijaya, perbedaan agama dengan religiusitas adalah “agama

lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang

resmi. Sedangkan religiusitas bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang

tampak formal dan resmi.” Lihat: Y. B. Mangun Wijaya, Sastra dan religiusitas, (Yogyakarta:

Kanisus, 1994), 12. 93 Lihat: Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Diyan

Rakyat, 1992), 239.

Sistem

keyakin

an

Emosi

Keagam

aan

Peralatan,

Ritus dan

Upacara

Umat

beragama

Sistem

ritus dan

upacara

Page 104: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

90

Ilustrasi di atas, menunjukkan bahwa emosi keagamaan merupakan pusat atas

komponen dari sistem religi. Emosi keagamaan yang dirasakan oleh umat beragama,

akan mendorong mereka untuk melakukan upacara sesuai dengan sistem ritus dalam

upacara keagamaannya. Upacara-upacara tersebut kemudian akan dilakukan dengan

sistem keyakinan dan peralatan ritus dari proses upacara yang mendukung jalannya

upacara tersebut. Pada diri manusia, terdapat emosi keagamaan. Emosi keagamaan

adalah suatu getaran yang juga menggerakkan jiwa manusia untuk bersikap religius

dan melakukan aktivitas yang lebih bersifat religius. Pada setiap emosi keagamaan

yang ada dalam diri seseorang kemudian dengan banyak hal akan menjadi sacred atau

memiliki nilai-nilai keramat.94

Pada saat emosi keagamaan menghinggapi diri manusia maka proses-proses

fisiologi dan psikologi akan terjadi,95 di mana secara psikologi emosi keagamaan akan

mendorong manusia untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat keagamaan.

Eksistensi emosi keagamaan menjadi sangat penting karena ia menjadi komponen

utama dalam sistem religi. Jika tak ada emosi keagamaan yang kuat pada diri manusia,

maka seseorang tidak akan bisa melaksanakan kegiatan religius dengan baik. Dalam

konsep “Religius Emotion” dari Emile Durkheim, bahwa emosi keagamaan adalah

gejala individual yang dimiliki oleh setiap manusia penganut agama yang membuat

dirinya merasa sebagai mahluk Tuhan. Dimensi religiositas adalah inti keberagmaan.

Hal ini dapat membangkitkan solidaritas keagamaan, dan menumbuhkembangkan

kesadaran beragama, hingga dapat menjadikan seseorang lebih saleh dan beriman.96

Berikutnya adalah umat beragama. Pelaku dalam ritual-ritual keagamaan

ialah umat beragama. Umat beragama tentu akan menjalankan kegiatan atau aktivitas

ritual keagamaan yang didasari pada kepercayaan mereka masing-masing. hal ini

terdeskripsi melalui pemaparan Kontjaraningrat yaitu “secara antropologi dan

sosiologi yang bersifat umat agama itu dapat berwujud seperti; keluarga inti atau

kerabat dekat, kelompok kekeluargaan yang lebih besar, kesatuan kelompok atau

komunitas desa atau gabungan dari desa, organisasi politik, organisasi masyarakat,

organisasi gereja dan seterusnya yang memiliki ideologi agama”.97 Oleh karena itu,

jika kelompok-kelompok organisasi yang ada dalam suatu tempat peribadatan seperti

masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnya dapat dikatakan sebagai wujud

umat beragama.

Selanjutnya sistem keyakinan, pada prinsipnya sistem keyakinan merupakan

kumpulan konsepsi manusia menyangkut dunia gaib dan dunia spiritual yang berada

mengelilinginya. Konsepsi-konsepsi tersebut termasuk tentang dewa-dewa, mahluk

halus, kekuatan sakti, dan kesusastraan suci. Misalnya, keberadaan agama Shinto

yang memiliki banyak dewa. Dewa dalam Bahasa Jepang disebut Kami. Dalam agama

Shinto’ kami adalah “Tuhan” dan kekuatan yang berada di luar jangkauan terhadap

94 Lihat: Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Diyan

Rakyat, 1992), 239. 95 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987), 80. 96 Lihat: Emile Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Beragama, Terj. The

Elementary Forms of The Regligious Life, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 63-65. 97Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987), 82.

Page 105: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

91

pengertian manusia. Kami berarti sesuatu yang paling tinggi, the superior one. Kami

juga bermanifestasi ke dalam wujud laut (dewa laut), sungai, gunung dan lain-lain.98

Sedangkan sistem ritus dan upacara, yaitu mengatur kelakuan keagamaan dan

pelaksanaan religi. Dalam pernyataan Koentjaraningrat99, bahwa upacara keagamaan

setidaknya terdiri dari empat komponen antara lain: pertama, tempat upacara. Kedua,

momen pada saat upacara. Ketiga, benda-benda dan alat upacara. Keempat, orang-

orang yang melakukan upacara. Keempat komponen kelakukan keagamaan dalam

pelaksanaan religi, tentunya memiliki fungsi atau manfaat masing-masing.

Suatu sistem religi dalam sebuah kebudayaan masyarakat selalu mempunyai

ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan tersebut di antara para

penganutnya. Untuk itu, emosi keagamaan adalah menjadi unsur penting dalam suatu

religi bersama dengan tiga unsur lainnya baik itu, sistem keyakinan, sistem upacara

keagamaan dan komunitas umat yang menganut religi tersebut. Sistem kepercayaan

secara khusus mengandung banyak subunsur. Menyangkut hal ini, para antropologi

banyak menaruh perhatiannya terhadap konsepsi-konsepsi tentang dewa-dewa yang

baik dan yang jahat; konsepsi tentang sifat dan tanda dewa-dewa, konsepsi tentang

makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang

jahat, hantu dan lain-lain, kemudian konsepsi-konsepsi tentang dewa tertinggi dan

pencipta alam, konsepsi tentang terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah

mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup

dan mati, dunia roh, akherat dan lain sebagainya.100 Adapun sistem kepercayaan dan

gagasan, pelajaran, aturan-aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa

(mitologi), biasanya terdapat dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga

dianggap sebagai kesusasteraan suci.

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa sistem kepercayaan

keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus

dari para ahli antropologi ialah: (a) tempat upacara keagamaan dilakukan; (b) saat-

saat upacara keagamaan dilakukan; (c) benda-benda dan alat upacara; (d) orang-orang

yang melakukan dan memimpin upacara. Pada penjelasannya, bahwa pada aspek yang

pertama adalah berkaitan dengan tempat-tempat keramat upacara dapat dilaksanakan

seperti; makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Pada

aspek kedua adalah berhubungan dengan saat-saat beribadah, hari-hari keramat, dan

suci. Sedangkan aspek ketiga adalah menyangkut benda-benda yang digunakan dalam

upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian

seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci, dan sebagainya. Sementara aspek

yang terakhir adalah mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta,

biksu, syaman, dukun dan lain-lain.

Upacara-upacara tersebut juga memiliki banyak unsur seperti; sesaji, berdoa,

berkorban, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, menari tarian

98 Lihat: Jeremy Robert, Japanese Mythology A to Z: Second Edition. (New York:

Chelsea Publising House, 2010), 66. 99Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Diyan Rakyat,

1992), 252. 100Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta,

2009), 295.

Page 106: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

92

suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci,

berpuasa, bertapa, bersemadi dan lain sebagainya. Tentu sekali di antara unsur-unsur

keagamaan tersebut ada yang dianggap sangat penting dalam suatu agama, walaupun

tidak dikenal dalam agama lain dan demikian pula sebaliknya. Selain itu, suatu acara

upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur-unsur

tersebut.

Berkaitan dengan ritual-ritual itu,101 ketika kita berfikir menyangkut perilaku

religius, berfikir tentang ritual, sesuatu yang menakjubkan, warna warni keindahan,

dan juga kegiatan-kegiatan simbolik yang mengekspresikan kepercayaan religius

sehingga dapat menggerakan perilaku atau kekuatan religius. Maka, ritual tersebut

merupakan tindakan atau perilaku yang dijalankan atas dasar petimbangan tertentu.

Menurut Eller, tidak ada tipologi yang sempurna dan universal dari tipologi ritual.

Dan bagi Eller, ia menggunakan istilah Wallace yang membedakan ritual menjadi

technical, therapeutic/antitherapeutic, salvation, ideological dan revitalization.102

Menurut C.Y. Glock dan R. Srark bahwa dimensi keberagamaan terbagi

dalam beberapa kategori di antaranya: pertama, dimensi keyakinan yaitu suatu

dimensi yang berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu.

Kedua, dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna

keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan

yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang

suci dari suatu agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama yaitu; orang beragama

memiliki pengetahuan tentang keyakinan ritus, kitab, suci, dan tradisi. Dan kelima,

dimensi konsekuensi yang mengacu pada identifikasi akibat keyakinan, praktik,

pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.103

Masih dalam pandangan Wach, relasi interdependensi antara agama dan

masyarakat menunjukkan adanya pengaruh timbal balik antara kedua faktor tersebut.

Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat, sebagaimana yang terlihat dalam

pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang

baru. Kedua, adalah pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam konteks ini, Wach

memusatkan perhatiannya pada faktor sosial yang memberikan nuansa keragaman

perasaan dan tindakkan atau sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan

atau kelompok sosial tersebut.104

Bagi masyarakat suku Sasak, terdapat sedikit perbedaan antara ziarah kubur

dan ziarah makam. Ziarah kubur lebih mengarah kepada makam kekeluargaan atau

makam kerabat yang sudah meninggal dan didasari oleh ikatan emosional (nuansa

kekerabatan/kekeluargaan). Sedangkan ziarah makam lebih mengarah kepada ziarah

spiritual ke tempat-tempat makam bersejarah atau dianggap keramat. Di pulau

101 Eller, menyatakan bahwa: “When we think of religious behavior, we think of ritual,

that fascinating, colorful, and symbolic activity that espresses religious beliefs and directs

toward religious beings or forces. Ritual is usually multipartie and multimedia”. Dalam Jack

David Eller, Introducing Antropology of Religion: Culture to the Ulitmate (New York and

London: Taylor-Francise Group, 2007), 110. 102Lihat: Jack David Eller, Introducing Antropology of Religion: Culture to the

Ulitmate (New York and London: Taylor-Francise Group, 2007), 116. 103Dadang Khamad, Sosiologi Agama, Bandung, 2009, 53. 104 Dadang Khamad, Sosiologi Agama, Bandung, 2009, 54.

Page 107: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

93

Lombok, terdapat beberapa makam yang terkenal sebagai tempat ziarah spritual yaitu,

makam Batu Layar, Makam Loang Baloq, Makam Wali Nyato’ Makam Selaparang

dan lain-lain.105 Namun, dewasa ini sering kali tradisi ziarah dianggap sebagai wisata

religus (spritual tourism).

Sebagai salah satu tujuan melakuan ziarah adalah mencari berkah atau bisa

juga melakukan tawassul dan berwasilah terhadap orang suci, orang yang saleh saat

dikunjungi.106 Bagi masyarakat suku Sasak, tuduhan syirik atau perbuatan bid’ah

sama sekali tidak dihiraukan bahkan dibiarkan begitu saja, sebab baginya adalah apa

yang mereka kerjakan dibalik tradisi-tradisi tersebut telah terpatri suatu keyakinan

yang sangat kuat, karena tindakan tersebut sebagai upaya untuk “mempercepat” hajat

mereka yang ingin diwujudkan atau dicapai. Dalam konteks ini, menarik apa yang

pernah diketengahkan oleh al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Mălikī, sebagaimana

yang dikutif oleh Aziz Manshur bahwa orang yang bertawassul atau berwasilah,

adalah orang yang tidak menyembah Nabi, Wali, atau Sălihin yang dikunjung, tetapi

mereka oleh para pengunjung hanya menjadikannya sebagai perantara dengan dasar

kecintaan pada mereka.107 Seperti yang pernah disebutkan sebelumnya bahwa, secara

psikologi antropologis, ziarah mengandung kemampuan untuk meningkatkan getaran

jiwa atau getaran religius (religious emotion) bagi para penganutnya.

Jika menyinggung mengenai tindakan atau sikap keagamaan terhadap diri

individu atau kelompok masyarakat, maka erat kaitannya dengan motivasi, di mana

akan menjadi sublimasi yang kuat bagi individu atau kelompok masyarakt itu sendiri.

Dalam konteks ini tindakan atau sikap keagamaan merupakan serangkaian kegiatan

yang ada pada diri individu atau kelompok individu yang disengaja dan terpola dan

kemampuan tersebut di hasilkan melalui belajar. Tindakan atau sikap keagamaan itu

mengandung implikasi budaya sekaligus makna-makna subyektif sebagai mereka.

Mengenai hal yang tersebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa agama adalah

sumber nilai dari sistem budaya masyarakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman

terpola bagi kehidupan masyarakatnya dalam rangka melakukan suatu tindakan yang

terkontrol. Posisi ini, menghadapakan kita pada sebuah metode dalam melakukan

analisis dengan berbagai tindakan yang bersifat sosial pada masyarakat dan diperkuat

oleh motivasi keyakinan agama yang mereka anut. Ketika Wach menyampaikan

gagasanya tentang hubungan antara agama dan masyarakat tersebut, maka dimensi

esotirik merupakan suatu kepercayaan yang sebenaranya tidak secara independen atau

berdiri dengan sendirinya, akan tetapi individu masih memiliki keterkaitan dengan

dimensi-dimensi lain yang berada di luar diri individu tersebut. Dengan demikian,

substansi ajarannya juga telah dibentuk dan dipengaruhi oleh struktur sosial yang

menyangkut masalah keyakinan yang dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Oleh

karena itu, dalam keadaan tertentu, agama atau kepercayaan dapat beradaptasi dan

105 Lihat: Muhammad Iwan Fitriani, Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas

Islam Pribumi Versus Islam Salafi di Sasak Lombok, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam,

Vol. 5, No. 2 Desember, 2015, 527. 106 Lihat: Abdul Aziz Manshur, Menjawab Vonis Bid’ah: Kajian Pesantren dan

Tradisi Adat Masyarakat, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), 74. 107 Abdul Aziz Manshur, Menjawab Vonis Bid’ah: Kajian Pesantren dan Tradisi

Adat Masyarakat, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010), 76.

Page 108: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

94

berfungsi sebagai penguat dari proses perubauahan yang terjadi pada lingkungan

sekitar para pemeluknya.

Pandangan di atas, sejalan dengan Peter L. Berger dan Thomas Luchkman,

bahwa hubungan antara manusia dengan masyarakat itu terjadi secara dialektis.108

Berger memberikan alternatif dari determinan yang meyakini bahwa individu akan

dibentuk berdasarkan struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan

struktur sosial tersebut. Ia juga menolak kausalitas sepihak, di mana pandangan

Berger tersebut sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa manusia dapat mengubah

struktur sosial sehingga manusia senantiasa dipengaruhi oleh institusi sosialnya itu.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, yang sejak awal menyebutkan bahwa

hubungan manusia dan masyarakat terjadi melalui proses dialektis dengan melewati

proses eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi sehingga manusia akan senantiasa

mengeksperesikan dirinya dengan membangun dunianya melalui proses tersebut

hingga dapat dikatakan bahwa masyarakat akan menjadi kenyataan buatan manusia.

Kenyataan inilah yang menjadi sebuah realitas objektif, di mana kenyataan yang

terpiasah dari manusia meskipun tetap harus berhadapan dengan manusia itu sendiri.

Masyarakat dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi perilaku manusia.

Oleh karena itu masyarakat diserap kembali oleh manusia lainnya melalui proses

internalisasi.109

Berangkat dari pandangan Berger di atas, praktik keagamaan yang tampak

melalui ritual-ritual keagamaan biasanya cenderung akan membentuk instiusi secara

tersetruktur bila mana pengakuan terhadap suatu objek yang diyakini tersebut telah

meligitimasi keyakinan mereka untuk melakukan praktik-praktik keagamaan. Oleh

karena itu, indvidu dan masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh institusi-institusi

keagamaan atau institusi sosial dalam kehidupannya yang beragama dan berbudaya.

Dalam kaitannya dengan sistem keyakinan beragama, maka praktik-praktik

keagamaan atau ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat tentu sangat

bervariasi. Di Indonesia misalnya, praktik ziarah sebagai salah satu bagian dari ritual

atau praktIk keagamaan masyarakat yang masih hidup dan berkembang nampaknya

memiliki posisi penting bagi mereka dalam melakukan upacara-upacara keagamaan

tersebut. Indonesia sendiri telah mengakui adanya agama lokal dan agama samawi

yang juga memiliki tradisi ziarah masing-masing. Tradisi ziarah yang berkembang

dalam kehidupan masyarakat sepertinya sudah bukan rahasia umum bagi masyarakat

luas.

Kajian-kajian tentang tradisi ziarah sesuai sistem keyakinan umat beragama

juga banyak ditemukan. Misalnya tradisi ziarah yang dilakukan oleh umat Katolik,110

108 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New

York: Doubleday & Company, 1966), 149. 109 Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 54-55. 110 Misalnya, kajian ziarah umat Katolik, lihat: R.L. Soemijantoro, Ziarah ke Gua

Maria di Jawa, (Jakarta: Dian Tirat, 2004), kemudian baca juga, M. Budi Sarjono, Ziarah dari

Sendangsono sampai Puh Sarang, Kediri; Sebuah Renungan, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusantara, 2002).

Page 109: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

95

Hindu,111 Budha,112 dan kajian agama atau sistem kepercayaan masyarakat lokal.113

Sementara itu, konsep ziarah di kalangan Muslim Indonesia, nampaknya lebih bersifat

khusus dari kalangan agama lain. Praktik ziarahnya, lebih mendekati jenis yang dalam

istilah kontemporer adalah apa yang disebut dengan Dark Pilgrimage, yaitu konsep

penziarahan yang menghadirkan situs-situs yang terkait dengan kematian, bencana

ataupun lokasi yang wingit. Studi tentang ziarah Wali di Indonesia merentang lebar

dari mulai kajian-kajian tentang tradisi, budaya, agama, ataupun sosial ekonomi dan

politik.114

Ziarah yang menghadirkan situs-situs tentang kematian adalah ziarah kubur

atau ziarah makam keramat (Wali). Di Lomobk, praktik ziarah ke makam keramat

sudah menjadi tradisi masyarakat lokal. Agama pastinya tidak bisa lepas dari kultus

terhadap sesuatu karena memiliki sakralitas dan sangat suci, baik itu roh-roh yang

sudah mati, orang, benda, tempat, dan waktu.115 Meskipun hal ini tentunya berbeda

dengan ajaran Islam, karena dalam kultus selain kepada Allah Swt, Malaikat tentunya

adalah perbuatan syirik dan dosa. Akhirnya, masyarakat melakukan modifikasi, agar

kultus tersebut tidak mengandung perbuatan syirik atau berdosa, sehingga diperlukan

konstruksi yang berbeda yaitu dikemas melalui berkah, karomah, kesalehan,

kesaktian, yang kesemuanya bersumber dari Allah Swt. Untuk itu mereka meminta

atau memohon berkah kepada makhluk atau benda tersebut atas dasar ridho Allah Swt.

Sebagaimana halnya orang yang juga memanjatkan doa kepada Allah Swt dihadapan

Ka’bah, Hajjar Aswad dan Masjidilharam, agar menambah berkah dan karomah dari

benda dan tempat tersebut yang kemudian oleh sebagian besar orang menyebutnya

mustajabah (diterima, atau dikabulkan).

Islam dan budaya memang mempunyai relasi yang sangat kuat dan tidak

terpisahkan, seperti yang diketahui bahwa Islam sendiri mengandung nilai-nilai

universal dan absolut sepanjang zaman. Tetapi, Islam pun sebagai dogma tidak kaku

dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam sendiri selalu tampil dengan

bentuknya yang sangat terbuka dan luas ketika menghadapi masyarakat yang

beraneka ragam kebudayaannya, adat kebiasaann atau tradisinya. Dalam kenyataan

111 Kajian ziarah pada sistem keyakinan umat beragama, khususnya bagi umat Hindu,

lihat: Martin Ramsted (Terj), Hinuism in Modern Indonesia, (London: Routledge, 2004),

selain itu, baca, Brigitta Hauser-Schaublin, “Ritual, Pilgrimage and The Reconciliation of The

State; Sacred Journeys in The Political Landscape of Bali (Indonesia),” dalam Jorg

Gengnagel, (Koln: Bohlau Velag Koln Weimar, 2008), 288-311. 112 Sedangkan contoh kajian ziarah umat Budha, lihat: John Miksic, et. al.,

Borobudur, Golden Thales of the Budha, (Tokyo: Tuttle Publishing, 1990) 113 Pada kajian ziarah tentang agama atau kepercayaan masyarakat lokal, terbilang

cukup lengkap, dalam hal ini, silahkan baca bukunya Nenri Chambert-Loir and Claude Guillot,

Ziarah dan Wali di Dunia Islam, (Terj) Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin dan

Andrĕe Feillard, (Jakarta: Serambi, 2007), dan baca juga Henry Chambert-Loir dan Anthony

Reid (ed), the Potent Dead; Ancestors, Saints and Heroes De Jonge, “Pilgrimages and Local

Islam on Java,” Studia Islamika, Vol. 2, No 5 1998. 114 Lihat: Anwar Masduki, Ziarah Wali di Indonesia dalam Perspektif Pilgrimage

Studies, Jurnal, Studi Agama-Agama, Vol. 4. No. 2 September, 2014, 261. 115 Lihat: Sardjuningsih, Islam Mitos Indonesia (Kajian Antropologi-Sosiologi),

Jurnal Kodivikasia, Vol, 9 No. 1 2015, 86.

Page 110: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

96

sejarahnya, agama dan kebudayaan selalu dapat saling mempengaruhi antar keduanya

karena Islam dan budaya juga sama-sama memiliki nilai dan simbol.116

Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Dan

kebudayaan mengandung nilai dan simbol agar manusia dapat hidup di dalamnya.

Agama memerlukan sistem simbol, atau istilah lainnya adalah agama memerlukan

kebudayaan agama. Hanya saja keduanya perulu dibedakan, sebab agama merupakan

sesuatu yang final, universal, abadi (perennial) dan tidak mengenal perubahan

(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif, dan temporer. Memang,

agama tanpa kebudayaan masih dapat berkembang sebagai agama pribadi, akan tetapi

tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.117 Islam

merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, Islam juga

membuka diri untuk dapat menerima budaya lokal, adat atau tradisi sepanjang budaya

lokal tersebut tidak bertentangan dengan spirit nash Al-Qur’an dan Sunnah.118

Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa agama dan budaya memang selalu

hidup berdampingan, saling mengisi dan mempengaruhi. Praktik ziarah di makam

keramat yang dilakukan oleh masyarakat suku Sasak, khususnya praktik ziarah di

makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, juga demikian adanya bahwa mereka

para peziarahnya menjalankan serangkaian aktivitas-aktivitas ritual dalam ziarah

kubur atau ziarah makam keramat, umumnya tidak terlepas dari mengharapkan ridho-

Nya Allah Swt. Meski terkadang secara praktiknya masih dapat dijumpai pola-pola

lama atau kebiasaan-kebiasaan lama dari tradisi nenek moyang mereka terdahulu,

akan tetapi menurut sebagian besar responden yang peneliti wawancarai menyatakan

bahwa semua aktivitas ziarah yang kita lakukan di makam keramat ini tentu karena

Allah Swt semata.119

116 Kastolani dan Abdullah Yusof, Relasi Islam dan Budaya Lokal Study Tentang

Tradisi Nyadaran di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Jurnal

Kontemplasi, Vol, 4. No. 1. Agustus 2016, 52. 117 Lihat: Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Terj. (Yogyakarta: Gama

Media, 2000), 11. 118 Lihat; Baedhowi, Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalam Agama dan Kearifan

Lokal dalam Tantangan Global (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 65. 119 Wawancara dengan Rpwn, 45 Thn, Iin, 24 Thn, dan Tsn, 44 Thn, Peziarah makam

Keramat Wali Nyato’ 27, Desember 2017.

Page 111: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

97

BAB IV

PROSES SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN MASYARAKAT

Proses sosial itu terjadi melalui tindakan dan interaksi. Tindakan dan interaksi

tersebut biasanya membentuk kecenderungan secara kontinuitas. Suatu tindakan yang

terjadi melalui proses sosial pada masyarakat jika dilakukan secara terus-menerus,

maka cepat atau lambat tindakan tersebut akan terakumulasi menjadi suatu kebiasan

baik karena kebiasaan atas tindakan-tindakanya sendiri maupun pengaruh dari

tindakan orang lain. Kebiasan tersebut selanjutnya muncul menjadi sebuah tradisi atau

budaya dalam kehidupan sosial masyarakat yang akan dimiliki dan dialami bersama

secara subyektif.1

A. Makam Sebagai Simbol dan Instrumental Akulturasi Masyarakat Dalam konteks kehidupan masyarakat beragama dan berbudaya, sebenarnya

banyak tradisi-tradisi yang dapat dilihat pada masyarakat salah satunya adalah tradisi

ziarah yang merupakan akulturasi budaya Hindu dan Islam.2 Tradisi ziarah telah

menjadi bagian dari dimensi kebudayaan dalam agama karena menjadi simbol yang

selalu bertindak untuk membentuk rasa dan perasaan serta motif atau tujuan tertentu

di mana individu akan memformulasikan sistem simbol mengenai aturan universal

dari eksistensinya dalam memaknai sistem simbol tersebut baik secara formal maupun

seremonial sehingga ia tampak sebagai sebuah fakta yang realistik.3

Ziarah makam tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi dapat dilakukan

secara massal. Praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat baik dari kaum laki-

laki, maupun kaum perempuan, masyarakat plosok, maupun masyarakat kota, dari

kalangan pejabat, hingga masyarakat biasa, golongan orang-orang terdidik dan juga

masyarakat awam faktanya telah menjadi bagian dalam kegiatan keagamaan tersebut

baik yang sifatnya formal, nonformal dan teroganisir. Berziarah dalam perpektif Islam

adalah perilaku yang baik dan sikap sopan. Misalnya; ketika memasuki area makam

harus mengucapkan salam, melepas alas kaki dan masuk dengan hati yang tunduk.

Ziarah juga dikatakan sebagai suatu bentuk keterhubungan yang mutlak untuk

mencerminkan nilai-nilai kekerabatan serta keakraban bersama anggota masyarakat

lainnya terhadap sejumlah tokoh atau orang shalih (ulama) yang masih hidup maupun

yang sudah meninggal karena diyakini akan mendapatkan karamah atau keberkahan.4

1Laura Christiana Luzar, Teori Konstruksi Realitas Sosial (Jakarta: Binus University

School of Design, 2015), 1 2 Seperti yang dilakukan oleh orang-orang suci (Wali) pada masa lampau bahwa

tradisi ziarah juga telah membentuk perpaduan dalam budaya lokal untuk mensyiarkan agama

Islam. Lihat: Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 105. 3 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, 1970, 91. 4 Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Sossie Andezian di kawasan Magribi

tepatnya di Aljazair, Maroko, dan Tunisia, dia menyebutkan bahwa berkah (barakah) dalam

kepercayaan masyarakat magribi, merupakan suatu kekuatan yang bersumber dari kekuasaan

spiritual dan akan sangat bermanfaat hingga memberikan kebaikan yang berlimpah ruah pada

semua bidang keilmuan. Konon berkah itu terpusat dalam diri Nabi Muhammad Saw, hingga

turun ke para wali sebagai perantara dalam memberikan berkah tersebut bagi para pemohon

Page 112: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

98

Oleh karena itu, masyarakat akan senantiasa menyebutnya sebagai awliyā’, murabitūn

(rābitīn), syurafah (chorfa), shalihīn (sālihīn), asyād, atau syuyūkh (chyoūkh, plural

dari syekh) yaitu suatu istilah yang mempunayi makna secara simbolis atau beragam

(berbeda-beda).5 Makam adalah simbol suci yang diyakini mempunyai kekuatan-

kekuatan sepiritual dan mengandung berkah. Untuk itu, setiap orang yang melakukan

ziarah dinilainya akan mampu memberikan rasa ketenangan hati atau batin. Seseorang

yang berziarah ke makam, tentu karena adanya motif atau tujuan yang umumnya tidak

lepas dari harapan dan keinginan yang akan dicapai oleh para peziarah. Berikut ini

merupakan tabel atas motif dan tujuan peziarah makam keramat.6

Tabel 4. Motif dan Tujuan Peziarah

No Motif dan Tujuan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Meminta kesembuhan dan keselamatan

Membalas rasa syukur atas terwujudnya harapan dan cita-citanya

Meminta berkah

Meminta agar cepat mendapatkan jodoh

Sebagai rutinitas atau kebiasaan

Mengenang jasa-jasa sang Wali

Agar diberikan keturunan yang pinter

Lulus dalam ujian

Agar rumah tangganya terjalin harmonis

Ikut-ikutan karena diajak oleh teman, kerabat dan atau tetangganya

Sebagai bentuk penghormatan kepada orang alim dan berkarismatik

Karena kagum terhadap sang tokoh

Mencari keberuntungan

Mengambil/mengembalikan kerikil makam

Meminta kedudukan, pangkat dan atau jabatan

Bayar nazar

Syukuran (selamatan atas bayinya yang baru lahir)

Meminta restu karena akan melakukan perjalanan jauh.

Motivasi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat juga akan berkaitan dengan

serangkaian aktifitas atau kegiatan ziarahnya seperti upacara atau ritual yang dapat

dijalankan sesuai dengan kebutuah atau kepentingan para peziarah. Misalnya sebagai

sebuah bentuk penghormatan kepada jasad yang dikuburkan karena memiliki karisma

(peziarah). Lihat: Sossie Andezian dalam Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam

(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 95. 5 Sossie Andezian dalam Loir dan Guillot, (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam

(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 96.

6 Hasil wawancara dan analisis data yang pernah dilakukan oleh peneliti ketika

dilapangan bersama sejumlah responden seperti Aq. Rn 45 Thn, Rh. 33 Thn, Iq, In 40 Thn dan

lain-lain. 17, Oktober 2017. Pukul: 10:12-Selesai.

Page 113: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

99

dalam kehidupannya atau dengan istilah primus interpares.7 Penghormatan terhadap

arwah leluhur dalam tradisi pra-Islam, tradisi Hindu-Budha yang sudah berkembang

dan berlanjut ke masa Islam di mana ia bersumber dari serangkaian aktifitas-aktifitas

penghormatan sehingga telah membentuk sebuah proses budaya. Namun yang penting

diketahui bahwa dalam tradisi ziarah kubur atau ziarah makam ini memiliki dimensi

keduniaan dan keakheratan. Misalnya tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’

biasanya masayarakat melakukan ziarah untuk memanjatkan doa-doa agar selamat

dunia akhirat melalui perantara Wali Nyato’ selain karena adanya tujuan khusus untuk

kepentingan duniawi seperti kekuasaan, jabatan, pangkat atau kedudukan.8

Tradisi ziarah kubur merupakan tradisi keagamaan Islam. Namun demikian,

tradisi ziarah ini telah mengalami proses akulturasi budaya yang juga berdampak pada

beragamanya bentuk serta pola tindakan yang menyertainya. Oleh karena itu, pola

keberagamaan tersebut dinyatakan sebagai suatu sistem tindakan dan juga simbol

yang akan memantapkan perasaan serta motivasi dan tujuan peziarah secara universal.

Simbol akan berfungsi menjadi kerangka awal yang dapat digunakan dari apa yang

disebut dengan konsepsi. Konsepsi adalah simbol, karena konsepsi ini merupakan ide,

sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman yang tertuang

dalam representasi yang kongkrit.9

Jika di awal telah digambarkan tentang adanya proses sosial yang membentuk

suatu tradisi keagamaan masyarakat khususnya menyangkut tentang tradisi ziarah di

makam keramat, maka hal yang demikian adalah suatu abstraksi yang menaungi

segala pikiran, hasarat, perasaan, emosi, dan pengalaman masyarakat ketika

menjalakan ritual-ritual keagamaannya dalam bentuk ziarah. Di pulau Lombok,

konsepsi ziarah makam keramat, tidak terlepas dari berkembangnya cerita-cerita atau

legenda tentang sosok yang Wali atau orang suci yang memiliki keramat. Hal tersebut

terus menguasai perasaan dan hasrat setiap orang untuk dapat melakukan ziarah di

makam keramat tersebut. Sebagaimana halnya dengan tradisi ziarah di makam

keramat Wali Nyato’ yang dipraktikkan oleh masyarakat Lombok Tengah. Menurut

sebagian besar responden, mereka melakukan ziarah dan tau kekeramatan makam

tersebut juga melalui cerita-cerita yang berkembang dari nenek moyang mereka

terdahulu.10

Mengenai konteks budaya atau tradisi-tradisi lokal yang berkembang dalam

kehidupan masyarakat, umumnya masih sangat terligitimasi oleh kekuatan-kekuatan

adat-istiadat lama mereka sebagai warisan budaya para leluhurnya. Pada setiap tradisi

atau budaya lokal masyarakat, tingkat keantusiasannya terhadap proses ritual-ritual

dalam menjalankannya pun masih begitu kuat. Hanya saja perlu dicatat bahwa ketika

berbicara mengenai tradisi lokal, kapanpun dan dimanapun sepertinya tidak lepas dari

peranan seorang aktor sebagai pengendali dan pengatur bahkan menjadi pengelola

7Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno

Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah

Palembang 2017), 23. 8 Wawancara dengan Kr. 53 Thn, Peziarah makam, 17, Desember, 2017. 9Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa

(Depok: Komunitas Bambu, 2014), 563. 10 Wawancara dengan L. Bn, 47 Thn, Peziarah Makam, 10 Januari, 2018.

Page 114: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

100

dari suatu objek (makam) atau benda pada suatu wilayah atau batas tertentu. Berkaitan

dengan hal tersebut, jika makam keramat adalah simbol suci, maka dapat dipastikan

bahwa makam tersebut akan selalu memiliki otoritas kendalai sebagai juru kuci atas

eksistensinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap makam keramat sudah

pasti memiliki juru kunci sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam mengatur

jalannya sebuah tradisi saat orang-orang akan melakukan ritual-ritualnya.

Begitu pula dengan keberadaan makam keramat Wali Nyato’ yang berlokasi

di Desa Rembitan, juga memiliki juru kunci. Seorang juru kunci akan banyak berperan

dalam mengelola, merawat dan menjaga makam keramat tersebut. Saat para peziarah

makam berkunjung atau berziarah, peran juru kunci sangat penting untuk mengatur

serta menjamin para peziarah dengan aturan-aturan yang sudah berlaku. Petugas-

petugas makam diperintahkan untuk mengatur pengunjung makam saat melakukan

ziarah agar proses ziarah berjalan secara tartib, aman, dan teorganisir.11

Kemungkinan diberbagai wilayah, bahkan di belahan dunia manapun hampir

dapat dipastikan bahwa semua makam kermat memiliki juru kunci. Misalanya; di Irak,

juru kunci makam disebut khādim atau mutawaĪĪi. Pada makam ulama-ulama besar,

khādim merupakan posisi yang sangat strategis. Posisi tersebut merupakan suatu

bentuk penghormatan bagi sesorang yang diberikan tugas tersebut. Oleh karena itu

posisi atau jabatan khādim senantiasa diberikan kepada ulama atau syaikh. Seperti

halnya Ibn Battuta pada saat menyebutkan bahwa khādim makam Ibrāhim Ibn Adham

di Jabala adalah orang shaleh. Posisi juru kunci (khādim) adalah posisi yang secara

turun termurun diwariskan pada keluarga yang sama. Oleh karena itu, ada kewajaran

jika keturunan dari sang wali atau orang terdekatnya tetap menjaga makamnya.12

Menurut Hefner, juru kunci makam adalah kasus kompromis yang terjadi

pada budaya dan agama Islam beserta tradisi-tradisi yang ada sebelumnya. Sehingga

dapat meningkatkan pengetahuan tentang Islam saat itu, maka sangat diperlukan atau

dibutuhkan para ahli. Biasanya para ahli tersebut mampu menguasai bahasa dan doa-

doa yang berbahasa Arab yang pernah dipelajari dari pedoman agama.13

Makam-makam keramat diberbagai wilayah, tentu memiliki juru kunci atau

khādim. Seorang juru kunci makam lebih banyak mengetahui asal muasal atau sejarah

dari keberadaan makam. Oleh karena itu, ia banyak berperan dalam memandu tata

cara berziarah, aturan ziarah, waktu ziarah, termasuk memandu para peziarah dalam

berdoa sesuai dengan tuntunan Islam.14 Tempat tinggal juru kunci makam biasanya

tidak jauh dari lokasi makam hingga senantiasa dimintai bantuannya untuk memandu

para peziarah dalam melafalkan doa-doa baik doa keselamatan dunia akhirat atau doa

tolak balak.

Dalam perspektif Islam setidaknya ada tiga tempat yang secara formal dapat

diakui sebagai tempat yang paling suci, yaitu di Arab dengan mengakui Haramain

(“dua tempat suci”) dan satunya di Palestina. Di Haramain terdapat dua tempat suci

11 Wawancara dengan Mg, Juru Kunci Makam, 18 Oktober, 2017. 12Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu,

2010), 54. 13Hifner Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (Princeton: Princeton

University Press, 1999), 139. 14Wawancara dengan, L. Maswa. Tokoh agma, 15, Desember 2017.

Page 115: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

101

yaitu Masjid al-Haram yang terletak di Makkah dengan salah satu objeknya yang

paling dipuja-puja adalah Ka’bah, atau Rumah Allah (baitūllah). Di Madinah terdapat

Masjid Nabi (Masjid al-Nabawy) sebagai tempat Rasulallah dimakamkan. Sedangkan

di Palestina terdapat Masjid al-Aqso (Kubah Batu) yang saat itu merupakan kiblatnya

umat muslim dan sebagai tempat persinggahan Nabi dalam perjalanan Isra’ al-Mi’roj.

Tempat-tempat suci tersebut, telah membentuk kepercayaan bahwa makam orang suci

atau bekas peninggalan Waliullah senantiasa mendapatkan posisi istimewa dihati

masyarakat dengan meninggikan derajatnya meskipun derajatnya itu jauh dibawah

tempat-tempat suci sebagaimana halnya di atas.15

Masyarakat telah meyakini bahwa keberadaan makam bukan hanya sebagai

tempat penyimpanan jenazah tetapi menjadi suatu simbol suci dan sangat keramat.16

Dalam persepektif antropologi, pengkultusan makam-makam keramat yang diyakini

sebagai tempat bersemayamnya orang-orang suci adalah tempat yang telah membawa

ingatan bersama dengan segenap hubungan antara “orang suci” dan “tempat suci”

dalam pemaknaan ruang dan waktu.17 Nampaknya tidak ada satu tempat suci dalam

tradisi ritus agama-agama besar yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah

dalam hidup orang-orang suci atau para Wali.

Makam keramat Wali Nyato’ telah mendapat pengakuan dari masyarakat luas

bahwa beliau adalah seorang Waliyullah. Dalam kisahnya,18 kehadiran beliau selalu

menjadi panutan dan inspirasi bagi setiap sahabat dan kerabatnya atas kebaikan dan

jasa-jasanya yang selalu dengan kedermawanannya, sopan santun, berbudi perkerti,

sangat mengharagi orang lain dan sebagainya. Kehadiranya tentu menjadi sejarah

penting bagi masyarakat setempat bahwa beliau pernah hadir di wilayah Lombok

bagian Selatan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Karena itu, keberadan makam

15AG. Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal (Jakarta: Logos, 2002), 253. 16Tempat-tempat yang dianggap suci dan diaktualisasikan menjadi suatu karomah,

karena dinilai sebagai keajaiban yang berasal dari sang kuasa dan telah dianugrahkan kepada

sang Wali. Dalam bahasa Arab karomah berarti “keilmuan” atau bisa juga berarti “kehormatan

dari Allah” lalu mengalami pergeseran dan dalam lidah orang Indonesia menjadi “keramat”.

Kata haramat dan karamat digabungkan menjadi istilah keramat, yang mengandung arti

tempat suci atau keajaiban (karamat) yang menyangkut kehidupan para Wali Allah. Lihat. AG.

Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal (Jakarta: Logos, 2002), 254. 17Ahmad Falah, Sepiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata Jurnal

Walisongo Volume 20, No 2, November 2012, 430. 18Raden Firnas dan Raden Datang adalah anak angkat Mamiq Butuh (Bapak Butuh)

dan Inaq Butuh (Ibu Butuh). Kedua putra angkatnya telah lama membantunya mengembala

karbau selama kurang lebih 8 tahun. Suatu hari kedua putranya minta untuk khitan. Dan

Permintaannyapun dipenuhi oleh orang tuanya. Kedua orang tuanya lalu menggelar pesta tujuh

hari tujuh malam hingga menyembeleh karbau sebanyak 7 ekor. Konon acara khitan itu baru

pertama kali dilakukan di Desa Rembitan tepatnya hari kamis, tanggal 12 bualn Rajab tampa

disebutkan tahunnya. Petugas kesehatan waktu itu bernama Syaikh Muhammad Saleh bin

Muhammad Ali. Saat itu masyarakat tumpah ruah dalam acara pesta (begawe) tersebut. Ketika

itu masyarakat kagum dan heran dengan acaranya tersebut. Dari itulah kemudian masyarakat

mengenal namanya “Besunat” (Kihtan) yang pernah dilakukan oleh Raden Pirnas dan Raden

Dateng anak angkat dari Mamiq Butuh dan Inaq Butuh. Lihat: TGH. M. Najamuddin Makmun,

Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes: Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 5.

Page 116: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

102

Wali Nyato’ menjadi simbol suci yang sangat dikermatkan oleh masyarakat Lombok

Tengah khususnya masyarakat Desa Rembitan.

Ziarah makam merupakan salah satu budaya spiritual sebagai konsep religius

masyarakat. Tradisi ziarah makam juga bagian dari sisa-sisa warisan tradisi leluhur,

yang tentunya sangat berkaitan dengan kepercayaan dan penghormatan terhadap roh

para leluhur mereka.19 Sisa-sisa dari kepercayaan terhadap para leluhur itupun masih

ada hingga saat ini yang kemudian direalisasikan dalam bentuk budaya spiritual yaitu

ziarah makam. Dalam kehidupan masyarakat suku Sasak di Lombok, tradisi ziarah

makam dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan antara tradisi lokal dengan ajaran

agama Islam. Dalam ajaran agama Islam menyebutkan bahwa Adam dan Hawa adalah

manusia pertama sebagai nenek moyang manusia di bumi. Tetapi, terkait dengan soal

keyakinan, masyarakat Sasak di Lombok membedakan antara nenek moyang yang

sudah lama meninggal dibanding dengan yang belum lama meninggal. Nenek moyang

yang sudah lama meninggal, dan dianggap memiliki jasa atau peran penting dalam

kehidupan masyarakat, biasanya memiliki makam khusus yang sangat dikeramatkan.

Sedangkan nenek moyang yang baru-baru meninggal dan tidak memiliki peran khusus

dimasyarakat, akan dimakamkan dengan makam atau kubur masyarakat biasa.20

Keberadaan makam keramat Wali Nyato’ merupakan salah satu makam kuno

yang terletak di sebuah bukit di pulau Lombok bagian Selatan Lombok Tengah, tentu

menjadi simbol suci bagi masyarakat setempat dan masyarakat Lombok Tengah

secara umum. Konon makam tersebut merupakan makam seorang ulama yang

bernama Abdullah alhaddad, yang dulunya menyebarkan ajaran Islam di wilayah

Lombok bagian Selatan. Disekitaran makam juga terdapat bangunan masjid kuno

bertumpang tiga yang terbuat dari kayu, dan beratapkan ilalang. Sebagai makam kuno

yang sudah dibangun lama, masyarakat mulai berziarah di makam tersebut karena

dianggap memiliki kekuatan adikodrati.21

Selanjutnya makam orang-orang suci atau makam para ulama yang dibuatkan

makam secara khusus adalah mereka yang tentunya memiliki jasa serta peran penting

lainnya dalam kehidupan masyarakat luas. Makam-makam yang kemudian dikenal

sebagai makam keramat akan banyak diziarahi atau dikunjungi oleh masyarakat untuk

berdoa, zikir, membaca Qur’an dan lain sebagainya. Untuk itu, makam keramat Wali

Nyato’ menjadi simbol suci bagi masyarakat, selain karena beliau adalah sosok ulama

yang pernah mengajarkan Islam bagi masyarakat pada masanya.

B. Proses Sosial dan Ziarah Makam Sebagai Tradisi Keagamaan Masyarakat

Realitas yang berkembang di tengah kehiduapan masyarakat merupakan fakta

sosial karena tidak dapat dipisahkan secara subyektif dari berbagai realitas yang ada.

Kehidupan sehari-hari muncul sebagai kenyataan sosial yang selalu dapat di tafsirkan

19 Lihat: R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, (Yogyakarta:

2012), 73. 20 Lihat: Harpandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Persepsi Tradisional dan

Modern. (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004), 159. 21 Lihat: I Gusti Ayu Armini, Tradisi Ziarah dan Berkaul pada Makam Keramat di

Lombok Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional, Vol. 23. No.

1 Maret 2016, 86.

Page 117: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

103

oleh manusia karena mempunyai makna subjektif sebagai suatu dunia yang koheren.

Misalnya; tradisi ziarah kubur atau ziarah makam keramat dapat dikatakan sebagai

bagian dari pengejawantahan dari proses sosial yang terjadi dalam realitas kehidupan

manusia.

Praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’ merupakan salah fakta sosial

karena terus berkembang dalam kehidupan masyarakatnya, dan tidak bisa dipisahkan

secara subyektif dari tindakan ritual-ritual keagamaan yang telah dilakukan oleh para

peziarah. Hal tersebut dilakukan karena mereka percaya bahwa Wali Nyato’ adalah

seorang ulama atau waliyullah yang membawa Islam di wilayah Lombok bagian

Selatan. Untuk itu, keberadaan makamnya tetap dinilai mengandung keramat dan

kekuatan-kekuatan spiritual sehingga praktik ziarah di makamnya muncul sebagai

tradisi keagamaan bagi masyarakatnya.

Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa Wali Nyato’ bukan nama

yang sebenarnya tetapi hanya laqab (gelar) semata.22 Meskipun oleh Tawalinuddin

Haris menyebutkan nama lain dari Wali Nyato’ yaitu; Sayid Ali atau Sayid

Abdurrahman23 tampa menjelaskan dari mana nama itu diperoleh. Namun praktik

ziarah di makam tersebut telah berlangsung lama hingga menjadi tradisi masyarakat

yang berkembang secara kontinuitas sesuai dengan aturan yang berlaku. Meskipun

ada di antara mereka yang kadang-kadang tidak mengetahui asal usul atau sejarah

makam tersebut. Tetapi keberadaan makamnya telah mampu membentuk hubungan

yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakatnya.

Adapun penyebutan nama makam Wali Nyato’ sebenarnya karena ada suatu

kejadian pada diri sang Wali. Konon, saat beliau meninggal, jenazahnya ditandu untuk

dimakamkan. Saat jenazahnya akan dimakamkan tiba-tiba jasadnya telah menghilang.

Berangkat dari kejadian tersebut, kemudian orang tua terdahulu selalu menceritakan

peristiwa itu kepada anak cucu mereka hingga ke gnerasi-generasi berikutnya. Oeh

karena itu, diketahuinya makam keramat tersebut melalui cerita dari orang-orang tua

terdahulu hingga bersebar luas dari mulut ke mulut. Cerita tersebut begitu melekatnya

dalam benak masyarakat dan membentuk suatu keyakinan dari kejadian itu sehingga

masyarakat percaya bahwa beliau adalah sosok seorang ulama atau Waliyullah.24

Selain itu, suatu peristiwa juga terjadi tepatnya pada hari Selasa bulan Syaban

tampa disebutkan tahunnya di mana sang Wali pada saat itu mengumpulkan kerabat,

sahabat dan teman-teman terdekatnya. Konon, sang Wali menyampaikan kepada para

semua kerabat dan sahabatnya bahwa beliau sudah memasuki usia tua dan beliau akan

segera meninggalkan dunia, sambil menasehati sahabat-sahabatnya. Tentu semua para

kerabat dan sahabatnya dirundung rasa kesedihan sambil meneteskan air mata.25

22Jamaluddin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 Studi Kasus

Terhadap Tuan Guru (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian

Agama RI, 2011), 37 23Lihat Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian

Data Arkeologi dan Sejarah, dalam Kajian: Journal Pemikiran Sosial Ekonomi Daerah NTB

(Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002), 18. 24Wawancara dengan Lalu Gnr. Juru Kunci Makam 29 November 2017. 25Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:

Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 14.

Page 118: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

104

Kemudian tepatnya pada hari Rabu bulan Syaban sekitar kurang lebih pukul

08:00, sang Wali menggali tanah bersama dua orang kerabatnya bernama Aman Dona

dan Aman Demin. Kedua kerabatnya lalu bertanya kepada sang Wali, untuk apa tanah

ini digali? Jawab sang Wali “sebagai tempat saya beristirahat nanti” kedua sahabatnya

terus menggali sampai selesai. Sesudah selesai, lalu sang Wali mengatakan “jangan

kalian tidur, karena saya mau istirahat”. Sekitar kurang lebih pukul 03:00 sang Wali

beristirahat. Kedua kerabatnya mulai gelisah, bingung dan keduanya tidak tahu harus

berbuat apa? Keduanya lalu melihat sang Wali dan beliau masih ada di dalam lubang

tersebut. Setelah shalat Magrib, keduanya kembali melihat dan sang Wali juga masih

ada. Tetapi setelah melihat untuk yang ketiga kalinya, ternyata beliau (sang Wali)

sudah tidak ada. Tentu keduanya sangat kaget sambil berteriak kencang memanggil

sang Wali, namun sang Wali tak kunjung muncul sampai semua para kerabat, sahabat

dan teman-teman terdekatnya berkumpul di bukit gunung tersebut di mana peristiwa

itu terjadi. Semua kerabat dan sahabatnya mengatakan “sang Wali hilang di gunung

ini”, “sang Wali nyata hilang di gunung ini” sampai menyatakan kalimat yang sama

berkali-kali terucap dari bibir mereka. Oleh karena itu, sebutan nama makam keramat

Wali Nyato’ sejak saat itu dilekatkan karena “Nyato” artinya “Nyata”.26

Melalui peristiwa atau kejadian tersebut kemudian masyarakatnya membuat

pager pembatas disekitar makamnya sekaligus mengakuinya sebagai makam seorang

Waliyullah. Meskipun jasadnya telah menghilang (moksa), akan tetapi kewaliannya

tetap diyakini akan melekat di dalam makamya. Cerita demi cerita terus berkembang

dan bersebar luas di kalangan masyarakat sehingga keberadaan makamnya pun mulai

diakui sebagai makam seorang ulama atau makam seorang Waliyullah yang akhirnya

membentuk hubungan sosial keagamaan masyarakat setempat untuk melakukan

ziarah di makamnya.27 Oleh karena itu, ziarah di makam keramat Wali Nyato hingga

saat ini masih dijalankan oleh masyarakat.

Ziarah di makam keramat tersebut kemudian oleh masyarakat terus dijalankan

hingga menjadi salah satu tradisi keagamaan dengan sejumlah aktivitas ziarah yang

terdapat di dalamnya. Namun demikian, ritual ziarah yang dilakukan kadang berbeda-

berbeda sesuai dengan motif dan tujuan para peziarah itu sendiri. Intinya keberadaan

makam keramat Wali Nyato’ tersebut, setidaknya telah menggambarkan suatu simbol

suci bagi masyarakat untuk diziarahi. Ritual ziarah yang umumnya dilakukan seperti

berdoa di sisi makam, membaca suarat Yasin, berzikir, membaca shalawat, seraqalan,

dan menabur bunga, adalah serangkaian aktivitas ziarah yang berlangsung di makam

keramat tersebut.28 Praktik ziarah di makam ini, sealu dimaknai sebagi sistem sosial

keagamaan masyarakat dengan melestarikan budaya ziarah kubur atau ziarah makam

dalam kehidupan mereka.

Ziarah atau “nyekar” dalam bahasa Jawa berarti kunjungan pada suatu tempat

yang dianggap suci atau mulia.29 Kata ziyārah dalam bahasa Arab berarti berpergian,

26Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:

Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 15. 27 Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ 16. 28Wawancara dengan Lalu Gsr. Penjaga Makam 29 November 2017. 29Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-

3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 1280.

Page 119: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

105

atau berjalan dari suatu tempat ketempat lain.30 Secara terminologi, ziarah merupakan

kunjungan kepada seorang yang telah meninggal dan dimakamkan dengan maksud

agar yang telah meninggal tersebut dilapangkan kuburnya oleh Allah SWT. Karena

itu, peziarah dapat mengambil pelajaran (‘itibār) agar peziarah (zāir) selalu ingat akan

datangnya kematian.31 Ziarah juga bisa berarti kunjungan ke makam para Wali dan

bisa digunakan untuk menyebut kunjungan kepada pemimpin suatu kelompok atau

golongan (tarekat) dari para pnegikutnya.32

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ziarah ke kubur atau makam orang yang

sudah meninggal dunia seakan-akan dapat menimbulkan kontak sehingga orang yang

diziarahi ke makamnya akan merasa tenang dan bahagia.33 Hanya saja para peziarah

lebih memaknai bahwa dengan dirasakan adanya kontak tersebut akhirnya meyakini

bahwa ziarah kubur atau ziarah ke makam akan banyak memperoleh berkah dan

keberuntungan.34 Padahal ziarah kubur hanya sekedar mendoakan penghuni kubur

agar mereka yang masih hidup selalu mengingat akan datangnya kematian disamping

memperkuat keimanan mereka karena ziarah kubur adalah suatu perbuatan yang baik.

Pandangan di atas nampak sebagai sebuah realitas keagamaan yang mengarah

kepada pemaknaan atas suatu pengalaman yang dirasakan atau dialami oleh seseorang

ketika melakukan ziarah. Pemaknaan tersebut lambat laun akan membentuk suatu

pola dari konsepsi-konsepsi yang dirasakan atau yang dialami sehingga menjadi suatu

pemahaman dari pengalaman-pengalaman tersebut. Sejalan dengan hal tersebut,

Hasan Hanafi35 menyatakan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang ditransformasikan

kepada manusia kemudian menjadi suatu pemahaman dan mengarah kepada perilaku

kehidupan.

Tradisi keagamaan dalam bentuk ziarah kubur atau makam umumnya sudah

menjadi kebiasaan masyarakat yang secara turun temurun berkembang dan mengakar

kuat dikalangan umat muslim.36 Ziarah ke makam para Waliyullah seolah-olah sedang

menyelami hikmah-hikmah kehidupan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad agar

selalu mengingat Allah sekaligus momen untuk mengintropeksi diri dari perliaku

kehidupannya sehari-hari. Namun perbedaan-perbedaan dalam tindakan atau perilaku

ziarah kadang tercermin melalui ekspresi-ekspresi dengan ciri khas mereka masing-

30Syekh Muhammad Hisyām Kabbānī, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi (Jakarta:

PT Serambi Ilmu Semsta, 2007), 199. 31Rasulallah Saw, bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad), melarang kamu

menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad Saw menziarahi kubur Ibu-

nya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari

kiamat” (H.R. Tirmizi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban, dan Hakim). Abu Umar Shalih,

Ziarah Kubur yang dicontohkan Rasulallah Saw” (Solo: at-Tibyan 2001), 115. 32Henri Chambert-Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta:

Komunitas Bambu, 2010), 95. 33M. Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Ziarah Kubur Menurut al-Qur’an dan al-Hadist

(Semarang: Krya Toha Putra, 2010), 7-9. 34Ibnul Batanji, Bila Kuburan Didewakan. Al-Marfu’I, Terj (Solo: Pustaka Arafah,

2013), 20. 35 Hasan Nanafi, Islamologi 2 dari Rasional ke Empirisme. Yogyakarta, 2005, 5. 36Muhammad Wida Djuhan, Ritual di Makam Ki Ageng Besari Tegalsari Jeti

Ponorogo Jurnal Kodifikasi, Volume. 5 No. 1 Tahun 2011, 1.

Page 120: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

106

masing. Pemaknaan atas pengalaman, perasaan, dan pengetahuan yang dialaminya

sering menjadi pemahaman yang membentuk perilakunya. Jika pemahaman tersebut

berpegang pada ajaran agama, maka seseorang akan berperilaku sewajaranya sesuai

dengan ajaran agama. Tapi jika didasarkan pada tradisi-tradisi para leluhur atau nenek

moyang terdahulu maka tidak menutup kemungkinan pemahamannya akan memiliki

makna yang berbeda.

Tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ juga telah melahirkan tingkat

pengetahuan, pengalaman dan pemahaman yang kadang kala berbeda-beda. Terlebih

lagi makam tersebut tidak memiliki tulisan sejarah secara komprehensif. Namun

demikian keberadaan makam tersebut masih tetap dikunjungi atau diziarahi oleh

masyarakat, meskipun awal mulanya keberadaan makam ini tersebar melalui cerita-

cerita yang berkembang dari mulut ke mulut seperti yang tersebutkan sebelumnya.

Dalam proses sosial masyarakat, pengalaman, perasaan pikiran-pikiran dan

tindakan biasanya memiliki makna subyektif sehingga dapat diterjemahkan secara

internal dalam dirinya dan membentuk pola kepercayaan tersendiri. Pengalaman,

pengetahuan dan pemahamannya tersebut kemudian akan terkonsepsi secara baik,

terutama ketika motif peziarah itu terpenuhi. Oleh karena itu, pengalaman-pegalaman

tersebut tidak menutup kemungkinan untuk tidak diceritakan pada orang lain melalui

tindakan dan interaksi, sehingga konsepsi mengenai eksistensi makam-makam yang

keramat kemudian akan menciptakan suatu tatanan sistem simbol yang terorientasi

pada suatu tindakkan atau perilaku bagi individu untuk mengatasi permasalahan yang

mereka hadapi.

Beberapa tradisi tertentu yang ditransformasikan menuju tradisi yang dinamis

akan menegakkan kesadaran historis, eidetis, dan kesadaran praksis.37 Dalam tradisi

ziarah, baik ziarah kubur atau ziarah makam tampak adanya perilaku atau tindakan

yang sangat beragam. Perilaku tersebut tentu tidak serta merta muncul begitu saja,

tetapi perilaku itu terjadi karena telah dibentuk dari suatu pemaknaan atas pemahaman

tentang sejarah, pengalaman, pengetahuan, dan atau cerita-cerita yang berkembang

dari orang lain.

Proses sosial dalam sebuah tradisi keagamaan masyarakat, lambat laun akan

menimbulkan realitas yang dapat ditafsirkan oleh individu karena memiliki makna

subyektif bagi mereka. Tradisi tersebut kadang-kadang tidak hanya diterima begitu

saja sebagai sebuah kenyataan sosial oleh anggota masyarakatnya. Akan tetapi harus

melalui suatu proses yang berasal dari pikiran-pikiran, pengalaman, pemahaman dan

tindakan-tindakan mereka sehingga dapat dipelihara sebagai suatu “yang nyata” oleh

pikiran dan tindakan tersebut.38

37Kesadaran historis adalah menentukan keaslian dari kitab-kitab suci, dan tingkat

kepastiannya. Sedangkan kesadaran eidetis menjelaskan makna teks menjadi kesadaran

rasional. Dan kesadaran praksis merupakan penggunaan dari makna tersebut sebagai dasar

teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan

manusia dan dunia sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia. Lihat:

Penjelasan Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial Mengenai

Kebudayaan: Edmund Husserl dan Jejak-Jejaknya pada Maurice Merleau-Ponty dan Peter L.

Berger, Jurnal, Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013. 22 38Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Constuction of Reality A

Treatise in The Sociology of Knowledge (New York: Doubleday & Company, 1966), 33-34

Page 121: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

107

Menurut Durkheim, tidak mungkin ada masyarakat tanpa perasaan fisik dan

kognitif tentang dunia sakral di mana polaritas sakral telah menjadi bagian utama

dalam pemikiran dan kebudayaan manusia sepanjang sejarahnya.39 Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa manusia bukanlah produk dari nenek moyang semata,

melainkan produk dari kebiasaan-kebiasaan sosial.40 Kendati demikian, sebagai suatu

tradisi yang sudah merasuk jiwa serta pikiran manusia cepat atau lambat tradisi itu

akan membentuk ligitimasi keyakinan dan kepercayaan terhadap dunia yang sakral

atau keramat.

Tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, Kecamatan

Pujut, Lombok Tengah, telah memperlihatkan adanya kebiasaan-kebiasaan sosial

serta keragaman pemahaman dan pengalaman yang berbeda-beda sesuai dengan

tingkat kesadaran historis, eidetis, dan kesadaran praksisnya. Terlebih lagi makam

keramat Wali Nyato’ tersebut tidak dapat dikunjungi pada hari-hari lain kecuali pada

hari Rabu.41

Hari Rabu adalah hari di mana suatu peristiwa pernah terjadi pada diri sang

Wali, sehingga tradisi ziarah ke makam keramat Wali Nyato’ hanya dapat dilakukan

pada hari Rabu saja. Menurut juru kunci makam, jika ingin memperoleh berkah dari

beliau maka berkunjunglah pada hari Rabu karena hari itu beliau ada di tempatnya

(makam). “Ibaratnya kalau kita ingin menemui sesorang ke rumahnya dan orang

tersebut tidak ada di rumah, lalu buat apa kita kesana”. Konon, hari Rabu adalah hari

baik di mana sang Wali mencurahkan berkahnya. Sebelumnya, pernah ada wangsit

dari sang Wali, bahwa beliau ada pada hari Rabu. Akhirnya kebiasaan melakukan

ziarah pada hari Rabu terus dilekatkan hingga saat ini.42

Dalam tradisi keagamaan masyarakat lokal, ziarah kubur atau ziarah makam

merupakan salah satu tradisi yang paling menonjol karena ziarah dapat dilakukan oleh

hampir semua lapisan masyarakat tampa batas waktu yang tidak ditentukan bahkan

dapat dikunjungi setiap harinya, tidak terkecuali di makam keramat Wali Nyato’ Desa

Rembitan, Lombok Tengah yang hanya bisa dikunjungi pada hari Rabu saja. Dalam

pandangan NU, tradisi adalah perilaku, kebiasaan, dan aturan-aturan tidak tertulis

yang dipegang oleh para Kyai NU. Tradisi juga mengandung sejumlah kompleksitas

atau konsepsi tentang ide, gagasan, nilai-nilai, moral dan peraturan wujud ideal dari

kebudayaan yang sifatnya abstrak dan terdapat dalam alam pikiran manusia.43 Karena

keberadaan para ulama (wali) diyakini oleh masyarakat sebagai tokoh mata rantai

penyambung ajaran Islam sampai kepada ajaran Nabi.44 Rasulallah Saw pernah

bersabda:

39Philip A. Mellor dan Chris Shilling dalam Brayan S. Turner, The New Blackwell

Copanion To The Sociology Of Religion, (UK: Oxford, 2010), 206. 40Wendy Melfa & Solhin Siddiq, Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam Studi

Epistimologis Pemikiran Ibnu Khaldun (Bandar Lampung: Matakata, 2006), 68. 41Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkas Deside Makam Wali NYato’

(Ponpes Darul Muhajirin Praya, 1406 H.), 6. 42Wawancara dengan L gr, Juru Kunci Makam, 29 November 2017. 43Anwar Ali, “Advonturisme” NU, (Bandung: Humaniora Utama Press, 2014), 134. 44Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,

2013), 309.

Page 122: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

108

إ اء ن م

عل

م ال ف م

ل ع

ثواال ر او ن م إ

ما ره د

لا راو

ينا ثواد

ر ميو ل ء

يا نب

لأا

ن ،إ اء ي نب لأةا ث ر نو

ر اف و ظ ح ب د ق .ف

Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak

mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barang

siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak” (H.R. At-

Tirmidzi dari Abu Ad-Darda R.A).

Kata ulama, adalah jama’ dari kata ‘alim, yang mempunyai arti “orang yang

memiliki ilmu” para ulama telah menempati posisi terhormat dalam khazanah ilmu

dan peradaban Islam. Eksistensi ulama juga tidak bisa dipisahkan dari keberadaan

para jamaah atau para pengikutnya karena ulama selalu memberikan nasehat-nasehat,

dan tausyiah yang senantiasa menuntun manusia ke jalan yang benar. Dalam hadis

tersebut telah memberikan gambaran yang jelas mengenai orang-orang yang berilmu

(ulama).45

Keberadaan makam para ulama atau makam Waliyullah akan mendorong

lahirnya tradisi keagamaan masyarakat. Tradisi keagamaan tersebut terjadi melalui

proses sosial baik secara tindakan maupun interaksi. Proses sosial ini sebagai tahap

awal untuk mengasosiasikan sebuah praktik keberagamaannya terhadap suatu objek

tertentu yang dinilai keramat atau suci seperti makam para Waliyullah, masjid, sumur

dan lain sebagainya. Meskipun seorang ulama atau tokoh itu telah meninggal dunia,

tetapi aura kesuciannya diyakini akan tetap bersemayam di dalam makamnya.

Sebagaimana dengan keberadaan makam keramat Wali Nyato’ yang juga

disebut-sebut sebagai makam seorang Wali oleh masyarakat setempat dan umumnya

masyarakat Lombok Tengah. Makam tersebut telah diakui oleh masyarakat memiliki

nilai historis dan keramat yang luar biasa bagi para peziarahnya. Kisah atau cerita-

cerita yang berkembang dahulunya, bahwa masyarakat masih banyak menganut

istilah kepercayaan Wetu telu, karena belum banyak yang mengenal Islam, tetapi

dengan kehadiran sang Wali sebagai penyebar agama Islam di Lombok bagian Selatan

justru masyarakatnya beralih menjadi penganut Islam Waktu Lime (Islam yang taat).46

Menurut ceritanya, Wali Nyato’ sering bersilaturahim kepada para sahabat-

sahabatnya di Dusun Selanglet (nama sebuah kampung di Lombok Tengah) yang

bernama Balo’ Data atau sering disebut Balo’ Tasih. Satunya lagi bernama Balo’

Sambar, kedua sahabatnya ini masing-masing diwarisi beberapa peninggalan beliau.

Balo’ Date’ atau Balo’ Tasih diwariskan satu lampu kecil (sejenis lampu lentera) al-

Qur’an, Penyalin belo (sejenis tongkat), Jubah kain hitam (sejenis Rok panjang), dan

dua Mangkok yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan Balo’ Sambar diwariskan Al-

Qur’an, Golok dan Sujaddah kecil (alat untuk solat).47 Peninggalan sang Wali tentu

45Eric Geoffroy dalam Loir dan Fuillot ed, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta:

Komunitas Bambu, 2010), 33. 46 Lihat: TGH. M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’

(Ponpes: Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 1. 47 Lihat TGH. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkas Deside Wali Nyato (Ponpes:

Darul Muhajirin Praya, 1046 H), 9-10

Page 123: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

109

menjadi bukti sejarah akan kehadirannya di wilayah Lombok bagian Selatan dalam

menyebarkan ajaran Islam. Oleh karena itu keberadan makamnya merupakan salah

satu simbol suci yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Lombok Tengah

khususnya masyarakat setempat. Tentang asal-usul sang Wali, memang tidak cukup

banyak yang tahu. Tetapi keberadaan makamnya telah membentuk hubungan yang

melekat dengan eksistensi para peziarah. Peninggalannya tetap dinilai sebagai bukti

sejarah di bumi Sasak pulau Lombok bagian Selatan.48

Tradisi ziarah kubur atau ziarah makam keramat yang terjadi melalu proses

sosial sebenarnya telah menghadapkan kita pada sejumlah objek tentang keberadaan

sang Wali atau para ulama yang diketahui sebagai penyambung ajaran-ajaran yang

dibawa oleh Nabi melalui kitab sucinya yaitu al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu,

keberadaan Nabi dan Rasul sebagai utusan Allah dapat dibenarkan melalui kitab

sucinya yaitu al-Qur’an, sehingga ketika para Nabi dan Rasul sudah tidak ada, maka

diwariskannya kepada para ulama-ulama atau orang-orang suci (mulia).

Dalam tradisi-tradisi keagamaan, kadang terdapat proses-proses ritual atau

tahapan-tahapan tertentu yang harus dilakukan seperti menyiapkan bunga rampai,

sesaji, makanan, air bersih, dan lain-lain. Disamping melakukan zikir, doa, membaca

solawat, dan sebagainya. Dalam tradisi-tradisi tersebut terdapat pula doa-doa yang

biasa dibaca dalam ibadah, termasuk upacara jenazah sewaktu akan diberangkatkan

ke makam.49 Sementara itu, sebagai salah satu tujuan dalam melakukan ziarah makam

adalah untuk mengingat adanya kematian, tujuan tersebut sebagai cerminan dari

adanya asumsi-asumi yang dianggap sebagai perbuatan syirik50 di sekitaran makam

48 Erni Budiwanti, The Role of Wali Ancient Mosques and Sacred Tombs in The

Dynamics of Islamisation in Lombok, Senior Researcher at the Indonesian Institute of

Sciences, Haritage of NUSANTARA International Jornal of Religious Literature and

Heritage, Volume, 3 No 1, 2014, 20. 49Lihat: Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis (Jakarta: Kompas,

2010), 289. 50Ada di antara sebagian masyarakat modern meskipun memeluk agama Islam yang

mengatakan ziarah makam adalah perbuatan bid’ah sehingga berpotensi untuk memicu

timbulnya keyakinan atau kepercayaan syirik di dalamnya. Gerakan anti ziarah ini diperkirakn

muncul sekitar abad ke XIV. Muhammad Ibn. Abd. Al-Wahab yang mendapat dukungan kuat

dari keluaga kerajaan Su’ud Emir saat itu memulai dengan gencarnya gerakan pembaharuan

Islam yang bersifat puritan (pemurnian), disamping didasari dengan mazhab Hambali yang

sederhana dan pelajaran anti sufi yang bersumber dari Ibn Taimiyah beserta pengikut-

pengikutnya pada saat itu. Munculnya istilah gerakan Wahabiyah yang lebih sebagai semangat

untuk mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, ditujukan untuk menghadapi degradasi

kepercayaan manusia terutama bagi mereka yang berada di wilayah pedesaan atau suku-suku

terpencil, dengan mengutuk perbuatan mereka yang memuja-muja orang suci, atau perbuatan

bid’ah-bid’ah lainnya yang dianggap sebagai penyimpangan atau kekufuran. Gerakan ini juga

akhirnya menjustifikasi mazhab-mazhab lain dengan asumsi bahwa adanya kompromi

terhadap bid’ah-bid’ah lain yang sangat dibenci oleh mereka. Dalam Purwadi dkk, Jejak Para

Wali dan Ziarah Spritual, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), 4. Lihat juga Subhan

S.J. Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas

Paham Wahabi, (Jakarta: Pustaka al-Hidayah, 1989), 7. Baca juga Sutiyono Benturan Budaya

Islam: Puritan dan Sinkretis (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 8.

Page 124: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

110

atau kuburan, karena syirik merupakan perbuatan yang sangat dimurkai Allah Swt.51

Imam Syaukani mengatakan tawassul kepada Nabi Muhammad Saw ataupun kepada

yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah

merupakan ijma.52

Tradisi keagamaan dalam bentuk ziarah makam keramat Wali Nyato’ di Desa

Rembitan, juga telah memperlihatkan praktik keagamaan yang tentunya disesuaikan

dengan tuntunan syariat Islam seperti bertawassul, berwasilah, wirud, berdoa dan lain-

lain. Walaupun ada juga masyarakat yang kadang tidak melakukannya. Para sahabat

melakukan tawassul bukanlah meminta kekuatan orang yang telah mati atau yang

masih hidup, tetapi berperantara pada kesalehan seseorang atau kedekatan derajatnya

kepada Allah karena kedekatan dan ketakwaan mereka tetap abadi walaupun mereka

telah meninggal dunia.53 Karena itu, tradisi ziarah nampaknya sulit dihilangkan dalam

budaya kepercayaan masyarakat lokal. Bahkan tradisi ziarah sudah menyatu dengan

sangat baik dalam kehidupan setiap anggota masyarakat.

Harus diakui bahwa makam para Wali atau orang suci selalu dibanjiri oleh

para peziarah sebagai tempat ritual keagamaan mereka dengan cara bertawassul atau

berwasilah hingga melakukan wirid, membaca doa, membaca Yasin, Istigozah, dan

berzikir. Selain itu, ada pula makam yang dijadikan sebagai pusat alternatif kegiatan

keagamaan seperti pengajian akbar, kahtmul al-Qur’an, atau peringatan hari-hari

besar Islam. Makam yang dijadikan sebagai pusat alternatif kegiatan keagamaan

tersebut biasanya makam seorang tokoh atau ulama yang terletak disekitaran pondok

pesantren, masjid bahkan berdampingan dengan gedung-gedung sekolah.54 Tetapi

makam Wali Nyato’ bukanlah makam yang letaknya bersebelahan dengan pondok

pesantren atau masjid seperti yang disebutkan di atas.

Makam Wali Nyato’ adalah makam keramat yang memiliki lahan yang cukup

luas hingga mampu menampung ratusan peziarah dan memenuhi sebahagian proses

ritual keagamaan seperti berzikir, berdoa, tawassul, atau berwasilah, membaca Yasin,

dan sholawat Nabi. Hanya saja makam Wali Nyato’ tidak berdampingan dengan

pondok pesantren, masjid, dan gedung-gedung sekolah sebagaimana yang disebutkan

di atas. Berarti tidak semua makam selalu berdampingan dengan pondok pesantren,

masjid atau gedung-gedung sekolah. Tetapi makam Wali Nyato’ terletak di sebuah

bukit tepatnya di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Dalam pandangan Islam, ziarah memang dianjurkan sebagai bagian dari cara

manusia untuk mengingat akan adanya kematian. ‘Abd al-Haqq al-Isybilī menyatakan

51Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup,

Pedoman Merawat Jenazah Syar’iat Islam (Jakarta: Suara Bebas, 2006), 115. 52Ijma’ menurut istilah para hali Ushul Fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada

suatu masa dikalangan umat Islam atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian setelah

wafatnya Rasulallah Saw. Lihat: Abdul Wahhb Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina

Utama, 2014), 66. 53H. M. Cholil Nafis, “Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik”,

http://www.nu.or.id/post/read/38189/tabarruk-dipraktikkan-sejak-zaman-nabi (diakses, pada

tanggal 5 Januari 2018). 54Lihat: Mariatul Qibtiyah, “Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan (Analisis atas

Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang”, Tesis: Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, 122.

Page 125: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

111

bahwa ziarah merupakan suatu sunnah yang diharuskan (sunnah wajibah).55 Akan

tetapi tidak dengan cara-cara yang berlebihan seperti meluapkan emosi keagamaan

yang mengarah pada perbuatan-perbuatan syirik. Misalnya; salah seorang peziarah

yang menyebutkan bahwa tradisi ziarah itu perbuatan baik. Maka setiap kebaikan itu

akan ada ganjaran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ziarah di makam keramat

Wali Nyato’ adalah agar mengingatkan kita pada akherat, kematian, atau memberikan

pelajaran (ibrah). Karena ziarah termasuk cara kita mengamalkan dan menghidupkan

sunnah Rasulallah dan sahabatnya. Secara umum tradisi ziarah itu boleh dilakukan

oleh setiap orang kapan saja. Tidak terkecuali mereka yang melakukan ziarah dengan

tujuan berbuat syirik maka itu dilarang dalam ajaran Islam.56

Hubungan manusia dengan ulama’ adalah hubungan yang didasari dengan

dimensi keagamaan dan dimensi sosial.57 Dimensi keagamaan adalah suatu hubungan

yang dilaksanakan atas dasar ajaran agama, seperti ketaqwaan dengan cara berwasilah

atau tawassul.58 Walaupun pandangan umat Islam tentang tawassul kepada para

Waliyullah masih belum dapat disepakati seutuhnya. Hal ini akibat dari cara pandang

mereka yang berbeda-beda.

Sebagian kalangan menyebutkan tawassul itu tidak ada masalah, namun

sebagian lainnya mengatakan kunjungan seperti ini bisa merusak akidah, terutama

menyangkut keterkagumannya dengan cara yang “berlebihan” terhadap karomah

yang dimiliki para kekasih Allah tersebut. Memang mengenai al-wasilah tidak cukup

banyak dijumpai di dalam al-Qur’an. Namun ada beberapa ayat saja yang menjelaskan

tentang wasilah tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an surah al-Maidah:

Allah SWT berfirman:59

مك ل ع

ل ه يل ب

س ي ف دوا اه ج و ة يل س و

ال ي

ل ا غوا ت ا و ه

الل قوا ات نوا م

ا ين ذ

ال ا ه ي

يا

حون ٥٣تفل

55Rasulallah Saw, bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad), melarang kamu

menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad Saw menziarahi kubur Ibu-

nya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari

kiamat” (H.R. Tirmizi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban, dan Hakim). Abu Umar Shalih,

Ziarah Kubur yang dicontohkan Rasulallah Saw” (Solo: at-Tibyan, 2001). 115. 56Wawancara dengan, Ar, Ust. Pimpinan Ponpes RUA, Rabu. 10 Janwari 2018. 57Mudjahirin Tohir, Orang Islam Jawa Pesisiran (Semarang: Fasindo Press, 2006),

41-42. 58Al-wassilah memang tidak cukup banyak dapat dijumpai di dalam al-Qur’an, akan

tetapi setidaknya ada dua tempat yang menyebutkan tentang al-wassilah. Dalam surat lain juga

dijelaskan bahwa “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan Tuhan

mereka setiap di antara mereka yang lebih dekat kepada (Allah) dan mengharapkan rahmat-

Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)

ditakuti” (Q.S al-Isra’: 57). Lihat: Purwadi, dkk Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual (Jakarta:

Kompas Media Nusantara, 2006), 4. 59Lihat: Departeman Kementerian Agama RI. Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:

Duta Surya, 2011), 150.

Page 126: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

112

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwallah kepada Allah dan carilah jalan

yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu

mendapat keberuntung”. (Q.S. al-Maidah: 35).

Para Imam mazhab, nampaknya berbeda pendapat tentang ziarah makam.

Misalnya; mazhab yang berpendapat antara wajib (menurut beberapa ulama Mālikī

dan Zhāhirī), sedangkan mendekati wajib (menurut ulama Hanafī), sunnah mandūbah

(menurut ulama Syāfi.’ī dan Hanbalī).60 Kendati demikian, sebagian ulama mengatakan

bahwa hukum ziarah bagi permpuan adalah makruh.61

Tradisi telah menjadi bagian dari identitas masyarakat dengan ragam cara

yang khas sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka. Tradisi ini terdiri atas

perilaku, kebiasaan, atau khazanah dan wawasan yang dipahami secara turun temurun

yang juga bersumber dari ajaran nenek moyang mereka. Shils, menyatakan bahwa

masyarakat tidak akan pernah menjadi masyarakat jika keterkaitannya dengan masa

lalunya kosong. Oleh karena itu kaitan antara masa kini dengan masa lalu adalah basis

tradisi. tradisi adalah segala sesuatu yang dilahirkan dan tersalurkan kepada generasi-

generasi baik pada masa lalu hingga masa kini.62

Tradisi ziarah kubur atau ziarah makam adalah tradisi keagamaan masyarakat

yang disebut-sebut sebagai warisan budaya leluhur mereka. Sebelumnya, banyak pula

penjelasan tentang tradisi ziarah sebagai warisan nenek moyang terdahulu. Praktik

keagamaan dalam bentuk ziarah di makam keramat Wali Nyato’ selain dengan pola

tindakan yang dipraktikan sesuai dengan ajaran syari’at Islam, juga ada sebagiannya

yang tampak melakukannya dengan pola tradisi lama mereka yang masih dipengaruhi

oleh budaya leluhurnya.

Pengertian tradisi dalam konteks yang paling sederhana sebenarnya dapat

dikatakan sebagai bagian dari warisan sosial budaya yang hanya memenuhi syarat

60Berkaitan dengan ziarah makam, khususnya tentang ziarah ke makam Rasulallah

Saw. Oleh sebagian besar, bahkan secara mayoritas mazhab-mazhab dari kalangan ulama

memperbolehkan hal tersebut, karena dianggap baik dalam Islam. Pandangan secara mayoritas

dari aliran/paham fiqhiyah yang terkait dengan hal ini adalah ziyārat qabr al-Nabi shalla Allah

‘alayhi wa sallama masyrū’āh bi al-ijmā’ wa hiya min afdal al-a’māl bi al-ijmā’ (ziarah ke

makam Nabi Saw. Itu disyariatkan berdasarkan ijmak, dan termasuk amal paling utama

berdasarkan ijmak). Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi.

112-114. 61Ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum perempuan dan tetap menjaga kesopanan

untuk mencegah terjadinya fitnah. Hendaknya bagi perempuan agar mampu menghindari

ratapan-ratapan secara berlebihan. Rasulallah SAW pernah bersabda: “Bahwasanya Siti Asyah

pada suatu hari kembali dari perkuburan, maka aku bertanya: Wahai Ummul Mukminin, dari

mana engkau? Kemudian Siti Aisyah menjawab, aku dari kubur saudarku Abdurrahman. Lalu

aku bertanya lagi: bukankah Rasulallah telah melarang kita menziarahi kubur? Lalu ia

menjawab, ia benar bahwa Nabi telah melarang kita menziarahi kubur, kemudian Nabi

menyuruh kita menziarahinya” (H.R. Asra) (Hadist ini juga diriwayatkan oleh Hakim dan Ibn

Majjah). Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur yang Dicontohkan Rasulallah SAW, (Solo:

At-Tibyan, 2001), 118. 62 Lihata: Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenadamadia

Group, 2014), 65.

Page 127: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

113

ketika masih bertahan hidup hingga masa kini. Misalkan dengan melihat kembali

masa lalu terhadap adanya bangunan-bangunan kuno bersejarah, bangunan istana,

tembok kota abad pertengahan, bangunan candi, puing kuno, dan lainnya yang

merupakan warisan peninggalan masa lalu. Sedangkan dari segi gagasan, di dalamnya

memuat kepercayaan, keyakinan, norma, nilai, simbol, aturan, dan ideologi yang

merupakan suatu sistem dan harus bisa dipastikan sebagai unsur yang berpengaruh

terhadap perilaku serta pikiran sehingga dapat menggambarkan makna secara khusus

dan meligitimasi masa lalunya. Contoh kecil dari tradisi pertama yang lahir melalui

pemikiran adalah mengenai gagasan kuno demokrasi, keadilan, teknik perdukunan,

dan resep masakan kuno. Sedangkan dalam gagasan baru adalah sesuatu yang diyakini

dan berasal dari masa lalu sehingga dapat diperlakukan secara khidmat.63

Gambaran di atas, menjelaskan tentang proses sosial yang memuat pikiran-

dan tindakan manusia atas suatu objek yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual.

Makam keramat Wali Nyato’ merupkan salah satu bukti sejarah yang telah dimiliki

oleh masyarakat Lombok Tengah, khususnya masyarakat Desa Rembitan karena

adanya bangunan fisik seperti masjid kuno yang letaknya tidak jauh dari makam Wali

Nyato’, sumur yang dibuat oleh Wali Nyato’ dan warisan-warisan peninggalan sang

Wali seperti al-Qur’an, alat shalat, mangkok tanah, lampu dan lain sebagainya.64

Berdasarkan penjelasan di atas, maka makam adalah tradisi yang dapat dilihat

sebagai benda material dengan memperlihatkan kehidupan masa lalunya. Oleh karena

itu, makam dapat dikatkan sebagai simbol keagamaan sehingga dalam Islam muncul

menjadi tradisi keagamaan masyarakat. Adapun dari sisi gagasan, makam memuat

kepercayaan serta keyakinan bahwa ziarah makam juga mengandung makna tersendiri

bagi para peziarah. Oleh karena itu, para peziarah tentu akan melakukan penafsiran-

penafsiran makna sesuai dengan motif atau tujuan tertentu sehingga saat motif atau

tujuan tersebut dapat terwujud maka ia akan meligitimasi tradisi ziarah sebagai suatu

kegiatan keagamaan yang mengandung makna luar biasa sehingga cepat atau lambat

tindakan itu akan dilakukan secara intensional.

Namun penting untuk diketahui bahwa tradisi-tradisi yang dipahami secara

oral history (cerita dari mulut ke-mulut) melalui bahasa lisan, sebenarnya memiliki

sifat yang terbatas pada ungkapan fakta-fakta sejarah dibanding dengan tradisi yang

diketahui atau dipahami melalui tulisan-tulisan, naskah, buku, dan lain sebagainya

karena akan lebih luas wawasan pengetahuan dan pemahamanya. Meskipun demikian,

sebuah tradisi yang berkembang dan diketahui berdasarkan lisan seringkali digunakan

untuk mengobjektivikasi pengalaman-pegalaman individu terhadap orang lain dari

sesuatu yang diketahuinya, padahal ia sangat terbatas ruang lingkup penerimaannya

bahkan terbatas jangka waktunya.

Tradisi ziarah makam Wali Nyato’ juga diyakini mempunyai keramat yang

luar biasa oleh masyarakat Lombok Tengah khususnya masyarakat Desa Rembitan.

Tentang salah satu keramatnya adalah keunikan di luar batas kemampuan manusia

63 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 2014, 65-70. 64Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Ponpes:

Darul Muhajirin Praya, 1406 H), 9.

Page 128: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

114

biasa.65 Selain itu, kebanyakan masyarakat yang datang ziarah karena mereka pernah

bernazar atau berjanji untuk berziarah ke makam tersebut sehingga mereka datang

berziarah hanya sekedar untuk memenuhi janji atau nazarnya saja.66

Tidak dapat dipungkiri bahwa ziarah telah menjadi bagian dari serangkaian

aktivitas keagamaan masyarakat di belahan dunia Islam.67 Ritual ziarah ini hanya

sebatas ritual yang disunnahkan bahkan tidak menjadi keharusan bagi setiap orang

muslim, namun tidak sedikit dari kalangan muslim yang justru menjadikannya sebagai

proses ritual yang sangat penting dengan salah satu tujuan untuk mendekatkan diri

kepada Allah Swt, terlebih ketika berziarah ke makam para ulama atau orang suci

yang dianggap mulia.

Sebagian besar budaya masyarakat Islam di Indonesia tentang ziarah telah

mewarnai kehidupan sosial keagamaan dengan beragam motivasi yang khas dan unik

sesuai dengan proses sosial yang dilaluinya dalam dunia lingkungannya. Suatu budaya

yang terdapat dalam masyarakat akan hidup dan berkembang jika secara intensional

dapat dilakukan dengan baik oleh setiap anggota masyarakatnya. Tetapi suatu tradisi

akan hilang jika tidak dihidupkan atau dilestarikan dengan baik.

Ziarah kubur atau makam akhirnya muncul sebagai tradisi keagamaan dalam

kehidupan masyarakat yang mengandung unsur kebudayaan dan kebudayaan tersebut

akan membentuk struktur. Setiap struktur akan memberi makna dan dalam struktur

tersebut terdapat unsur yang hakiki secara partikular sehingga cenderung menjauhi

pertentangan-pertentangan atau perselisihan yang ada. Struktur dalam kebudayaan

seperti ini biasanya akan bertahan sangat lama, dan bukan seperti kehidupan manusia

yang senantiasa berubah. Kadang manusia yang hidup dalam sebuah masyarakat tidak

menyadari bahwa masyarakat juga memiliki struktur.68

Pelestarian suatu tradisi atau budaya sebagai aktivitas keagamaan masyarakat

lokal, baik dari masa lalu hingga masa kini tentu akibat dari adanya proses sosial yang

terjadi dalam perkembangan hidup manusia. Tradisi timbul oleh berbagai kebiasaan-

kebiasaan yang dapat dijalankan oleh masyarakat secara kontinuitas dan berulang-

65Misalnya: jika seseorang telah mengalami suatu musibah atau kehilangan barang

berharganya, maka sering kali pemanfaatan material-material disekitaran makam seperti air

makam digunakan sebagai media untuk mengungkap kasus tersebut. Sebagaimana yang sudah

dituliskan sebelumnya. 66Kalau menyangkut motivasi kenapa kita merasa perlu berziarah, itu karena kita

pernah ada hajat atau nazar. Apakah kita bernazar terhadap apa yang pernah kita inginkan,

baik ketika kita menginginkan sembuh dari penyakit, mendapatkan jodoh, memiliki keturunan

berdasarkan jenis kelamin, dan lain-lain. Itulah yang kemudian menjadi beberapa alasan atau

motif-motif kita dalam melakukan ziarah ke makam tersebut. Wawancara dengan S mn, Guru

Mts. 3, Januari, 2018. 67Banyaknya tradisi-tradisi keagamaan seperti ziarah yang dapat dilakukan oleh

masyarakat di berbagai negara-negara Islam, telah menjelaskan kepada kita bahwa tradisi

ziarah nampaknya sulit dihilangkan dari kehidupan umat manusia. Lebih jelasnya lihat

sejumlah kumpulan tulisan dari, Henri Chambert Loir dan Claude Guillot, tentang Ziarah dan

Wali di Dunia Islam, seperti yang terjadi di negara Timur Tengah, Mesir, Sudan, Kawasan

Magribi, Afrika Barat, Iran, India, Turki, Tiongkok, dan Indonesia. 68Lihat: Pritchart, dalam Mar’I Nggeto-Nggete dalam Perspektif Budaya (Denpasar:

Universitas Udayana Denpasar, 2006), 91.

Page 129: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

115

ulang. Selain itu, suatu peristiwa yang terjadi pada seorang yang dinilai suci (mulia)

acapkali diasumsiakan sebagai sesuatu yang sakralitas sehingga akan dikeramatkan

menjadi suatu objek suci karena berbagai kelebihan yang dimilikinya. Demikian

halnya, dengan berbagai kejadian atau pertistiwa yang pernah terjadi pada Wali

Nyato’ sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, melalui proses

sosial kehidupan masyarakat tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ juga terjadi

dan muncul sebagai aktivitas keagamaan masyarakat di Desa Rembitan, Kecamatan

Pujut, dan umumnya masyarakat Kabupaten Lombok Tengah.

C. Praktik Keagamaan dan Pemahaman Masyarakat Tentang Makam Keramat.

Realitas kehidupan masyarakat adalah sebuah kenyataan dinamis yang

meliputi ragamnya cara pandang dan variasi perilaku yang walaupun realitas tersebut

seakan-akan dikotomi melalui kenyataan lain, sebab manusia adalah creator dalam

kehidupan sosial yang potensial ketika melakukan satu tindakan yang disesuaikan

dengan hasratnya masing-masing. Hanya saja perilaku individu tersebut tidak akan

lepas dari norma-norma sosial69 dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan berlakunya

sistem hidup masyarakat yang berbudaya, secara tidak langsung potensi individu itu

akan terjebak pada kehidupan normatif sehingga dapat menahan proses dinamis dari

berbagai potensi individual yang dimaksud.

Dalam setiap praktik keagamaan, seseorang telah dibentuk melalui norma-

norma kehidupan masyarakat, tapi bukan berarti potensi individu secara kultural dapat

diabaikan begitu saja. Karena potensi kultural individual justru diadaptasikan dan

diitegrasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang membentuk

simbolik dan dapat diterima hingga menjadi citra khas masyarakat tertentu. Praktik

keagamaan seseorang, mungkin saja telah menjadi personifikasi institusional yang

merepresentasikan madzhab tertentu. Karena bisa saja suatu pola tindakan sosial

keagamaan seseorang muncul bukan semata-mata hasil pemahaman individu terhadap

sumber ajaran Islam semata, tetapi bisa dari faktor genetis, ideologis, sosiologis, dan

intelektualitas yang telah dibangun lama secara turun-temurun.70

Praktik keagamaan seperti ziarah makam keramat Wali Nyato’ misalnya;

bahwa tidak terbantahkan dengan adanya faktor-faktor secara sosiologis dan ajaran

dari nenek moyang mereka terdahulu selain dari intelektual keagamaan yang

bersumber dari syari’at Islam. Karena itu, ziarah di makam keramat tersebut dapat

dipastikan bahwa tidak semua masyarakat melakukan ziarah atau berkunjung di

makam tersebut secara keseluruhannya dibangun atas dasar ajaran syari’at Islam.

Dalam konteks ini, sebagian besar responden menyatakan bahwa tradisi ziarah di

makam keramat Wali Nyato’ sesungguhnya dibentuk melalui pemahaman atau

pengetahuan yang telah lama dipraktikkan oleh leluhur mereka hingga diceritakan

69Norma merupakan kaidah atau aturan yang difungsikan menjadi tolak ukur dalam

menilai sesuatu, termasuk menilai tingkah laku manusia. Menurut Alvin L. Bertrand, norma

adalah suatu standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Lihat: Alex

Sobur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 518. 70Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional

dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung: Refika Aditama, 2007), 1.

Page 130: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

116

kepada semua generasi-generasi beriktunya.71 Meskipun demikian, praktik atau

perilaku ziarah yang dibarengi dengan pemhaman dan pengalaman bisa saja berbeda-

beda, intinya para peziarah memiliki tujuan atau keinginan yang sama. Misalnya;

memperoleh berkah, dimudahkan rezkinya, memohon agar sembuh dari penyakit,

mendapat jodoh dan lain sebaginya.

Dinamika dari tindakan atau perilaku keagamaan tersebut lambat laun akan

membentuk kebudayaan dan saling mempengaruhi yang disebabkan oleh tingkat

kesamaan tujuan yang ingin dicapai, terlebih jika diperkuat dengan hubungan

fungsional dan pilihan sosial yang teruji serta generalisasi kepentingan transformatif

dan stabilitas untuk dijadikan sebagai norma-norma kehiduapn dalam masyarakat.

Hanya saja, secara logika perilaku atau praktik keagamaan yang berbeda-beda dengan

kesepakatan social normatif akan berpotensi mengarah pada konflik hingga berakhir

pada penolakan dari sistem sosial yang telah lebih dulu ada.

Budaya baru sekalipun logis, tapi jika diakui sebagai bentuk penyimpangan

dari kemampan kultural yang telah akut, walaupun dapat memberikan dampak secara

positif atau bisa lebih menguntungkan, tetapi karena budaya sosial yang berlaku telah

dirasakan manfaatnya, maka penerimaan terhadap budaya baru pun tidak segampang

yang diharapkan, karena membutuhkan waktu yang cukup lama, disamping dengan

sistem yang mampu meyakinkan harapan masyarakat yang bersangkutan, sekalipun

sistem sosialnya justru akan menjadi semakin kuat dengan nilai-nilai religius atas

ajaran agama yang dapat diinternalisasikan secara sistematis dan kontemplatif karena

memuat konsekuensi tertentu seperti pahala dan sanki, baik secara sosial maupun

metafisikal72

Kita menyadari sepenuhnya bahwa ajaran agama sangat berpengaruh dalam

menyatukan persepsi kehidupan masyarakat mengenai semua harapan hidup. Agama

juga menjadi bagian dari sistem budaya, dalam artian agama adalah tuntunan yang

selalu difungsikan sebagai kerangka penafsiran tindakan manusia.73 Selain itu, agama

juga menjadi sistem simbol yang berguna untuk memperkuat suasana batin dan

motivasi pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang tatanan sosial

atas motif-motif tersebut sehingga menjadi realistis.

Setiap objek atau simbol suci74 biasanya akan terinternalisasi dalam sebuah

tradisi masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai tradisi keagamaan. Setiap tradisi

keagamaan membentuk simbol-simbol suci yang dengannya seseorang akan selalu

71 Wawancara dengan Lgr, penjaga makam keramat Wali Nyato’ 27, November 2017. 72Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional

dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, 2007, 2. 73Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1970), 87. 74Nur Syam, dalam ungkapannya tentang simbol suci atau sakral adalah sesuatu yang

dinilai berbeda dari apa yang disebut dengan istilah profan. Jika suci lingkupnya menyangkut

tentang keyakinan, mitos, legenda-legenda, dan dogma merupakan sistem representasi dari

hakekat yang suci bahwa terdapat kekuatan-kekuatan yang dilambangkan saling berhubungan

di dalam dunia profan. Akan tetapi untuk dapat memahami dunia yang sakral tersebut tidaklah

mudah. Karena banyak juga benda-benda perofan yang tersalurkan melalui dunia kesakralan,

misalnya pohon-pohon besar, gunung, batu dan lain-lain yang juga mempunyai spirit atau

bahkan diasosiasikan sebagai Tuhan. Lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of The

Religious Life (London: George Allen and Uniwn, 1976), 37.

Page 131: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

117

menjalankan serangkaian perilaku atau tindakan dalam rangka menumpahkan rasa

keyakinan mereka melalui suatu pola dalam melakukan ritual, penghambaan dan

penghormatan. Praktik keagamaan antara seseorang dengan yang lainnya kadang

tidaklah sama. Kecuali mereka yang dibentuk pemahaman dan pengetahuannya atas

dasar ajaran agama yang kuat sehingga dapat dilihat dari cara yang dipraktikannya

dalam menjalankan ritual-ritual keagamaanya. Akan tetapi ada anggota masyarakat

yang kadang-kadang kurang memahami atau mengetahui ajaran agama sehingga ada

kecenderungan berperilaku dengan nuansa tradisionalnya akibat dari masih adanya

pengaruh tradisi nenek moyang mereka terdahulu.

Berbicara mengenai praktik keagamaan yang terjadi pada makam-makam

keramat, selain dari yang diakibatkan oleh pemahaman atas dasar tradisi lama meraka,

makam keramat juga acapkali dinilai sebagai simbol suci. Misalnya; ketika berbicara

mengenai makam secara umum, maka ia memunculkan konsepsi khusus terhadapnya

dan menjadi kurang menarik perhatian seseorang atau sekelompok orang yang

mendengarnya. Tetapi ketika bicara makamWali atau makam orang suci, ia akan

berubah menjadi simbol yang dapat dikonsepsikan sebagai suatu makam keramat.

Gambaran ini menunjukkan posisi makam sebagai suatu simbol hingga kemudian

masyarakat akan memperlakukan simbol itu melalui pola tindakan atau perilakunya

sesuai dengan pengetahuannya yang tertuang melalui representasi kongkrit terhadap

makam tersebut. Maka, simbol akan terinternalisasi dalam individu dan masyarakat.

Dalam pola budaya masyarakat (sistem-sistem simbol) terdapat karakter yang

kuat bahkan menjadi sumber informasi eksternal sehingga memuat konsepsi terhadap

apa yang dapat diterjemahkan secara internal. Karena itu, seseorang atau masyarakat

akan selalu membutuhkan konsepsi-konsepsi tersebut secara internal dari apa yang

dilihat atau dirasakannya melalui proses simbol secara eksternal. Simbol-simbol itu

kemudian akan membentuk suatu perasaan dan motivasi yang kuat dan cenderung

bertahan dalam kehidupan masyarakatnya.75 Untuk itu, makam keramat merupakan

simbol suci, sehingga membuat masyarakat dapat terinternalisasi dengan baik melalui

disposisi aktivitas-aktivitas ziarah. Posisi ini sesungguhnya bagiarn dari motif yang

berupa kecenderungan di mana seseorang mampu melakukan tindakan-tindakan

tertentu.

Para peziarah yang melakukan kunjungan ke makam keramat Wali Nyato’

bukan semata-mata dikarenakan tingkat pengetahuan atau pemahaman mereka yang

bersumber dari ajaran Islam sepenuhnya, tetapi mereka melakukan ziarah karena

warisan dari nenek moyangnya. Mh76 misalnya; ia datang berziarah karena tradisi dari

nenek moyangnya, tradisi ziarah ini terus dipraktikkan oleh orang tuanya hingga ke

75 Simbol-simbol suci, biasanya mengandung unsur-unsur normatif dan memiliki

daya kekuatan yang dahsyat dalam pelaksanaan sanksi-sangsinya. Simbol tersebut berpusat

pada etos serta pandangan hidup manusia yang paling hakiki karena simbol itu terintegrasi

pada simbol-simbol lain yang digunakan manusia dalam kehidupan sehai-hari. Keterjalinan

simbol-simbol suci dengan simbol biasa hanya mungkin akan terwujud karena simbol suci itu

befungsi menyintesiskan etos dan pandangan hidup manusia. Akan tetapi simbol-simbol suci

yang berada pada tingkat pemikiran yang sebenarnya dan jauh dari kenyataan yang ada maka

akan menjadi sesuatu yang terasa nyata. Lihat Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri,

Priyayi dalam Kebudayaan Jawa ed (Depok: Komunitas Bambu, 2014), 563. 76Wawancara dengan Mh, peziarah dan Ls, Peziarah, lulus SMA. 18 Januari, 2017.

Page 132: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

118

anak-anak mereka. Nampaknya agak sulit bagi mereka memberikan jawaban ketika

diwawancarai mengenai sumber pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap teks-

teks suci tentang perilaku ziarah, dan mereka cenderung menjawab secara gamblang

bahwa ziarah adalah tradisi nenek moyangnya, tanpa memberikan penjelasan lebih

luas yang berkaitan dengan teks-teks suci tentang perilaku ziarah di makam keramat

tersebut.

Pola tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, telah menjadi realitas

sosial keagamaan di mana struktur fungsionalismenya tentang tindakan tersebut dapat

dilihat berdasarkan organisme, personality, sistem sosial, dan sistem cultural.

Keempatnya tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic orders) dan dalam

pandangan seorang sosiolog, seperti Parsons adalah sejumlah faktor atau unsur yang

dapat mengendalikan tindakan-tindakan manusia.77 Praktik keagamaan dalam bentuk

ziarah kubur atau ziarah makam keramat, khususnya ziarah makam keramat Wali

Nyato’ di Desa Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah sesungguhnya telah memenuhi

keempat bagian dari teori di atas. Artinya, sistem-sistem yang disebut sebagai unsur

pengendalian tindakan manusia tersebut telah memiliki nilai-nilai, norma-norma serta

aturan hidup manusia sesuai dengan situasi dan kondisi sosial lingkungannya.

Munculnya tradisi keagamaan dalam bentuk praktik ziarah di makam keramat

Wali Nyato’ juga akibat dari adanya pengaruh secara kultural yang ditransformasikan

melalui kepercayaan, ide, pemahaman, pengetahuan, nilai, dan simbol-simbol. Atas

dasar itu, tindakan ziarah menjadi suatu tradisi atau budaya yang berkembang dalam

kehidupan masyarakat di Lombok Tengah, khususnya masyarakat di Desa Rembitan.

Perilaku ziarah makam akan tercermin melalui tindakan atas pengetahuan yang telah

memberikan makna-makna kongkrit dalam dirinya.

Dalam hal ini, masyarakat yang melakukan ziarah di makam keramat yang

oleh sebagian besar peziarah tersebut menganggap tradisi itu sebagai tradisi yang

pernah dijalankan oleh orang-orang terdahulu. Rn78 misalnya, ia melakukan ziarah di

makam keramat Wali Nyato’ karena ajaran dari orang tuanya. Menurutnya ziarah ke

makam keramat Wali Nyato adalah perbuatan yang baik karena makam seorang Wali.

Oleh karena itu, jika ziarah ke makam keramat tersebut biasanya doa-doa yang

dipanjatkan cepat dikabulkan.

Praktik keagamaan di makam keramat tersebut sebenarnya diperoleh melalui

proses sosial dari berbagai sistem pemahaman yang telah ditanamkan dari generasi-

ke generasi. Tindakan tradisional ini akhirnya telah membudaya atau terenkulturasi

sehingga mereka secara terus-menerus dapat menjalankan tradisi ziarah di makam

keramat tersebut. Seperti halnya masyarakat setempat dan umumnya masyarakat

Lombok Tengah dalam mempraktikkan tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’

yang juga terkadang nampak cara-cara yang masih tradisional.

Adanya peziarah yang kadang kala memanfaatkan material-material yang ada

disekitaran makam seperti mengambil kerikil atau tanah makam untuk kepentingan

tertentu, adalah suatu jenis tindakan yang sudah membudaya karena orang-orang

sebelum mereka pernah melakukan hal yang sama. Karena itu, tradisi ini melekat

77 Narwoko dan Suyanto Tej, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 262. 78Wawncara dengan Rhn, peziarah. 29 November, 2017.

Page 133: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

119

pada masyarakat sebab pengalaman mereka telah banyak memperoleh keberkahan

dari praktik ziarah makam tersebut.79

Sementara itu, jenis tindakan yang dipengaruhi oleh pemahaman, perasaan,

emosi dan kepura-puraan pelaku adalah suatu jenis tindakan yang biasanya agak sulit

dapat dipahami karena kurang rasional. Dalam tindakan ini peziarah tidak lepas dari

adanya motif saat melakukan ziarah. Selain itu, ada pula jenis tindakan yang kadang-

kadang sulit dinilai apakah cara-cara yang dipilihnya adalah cara yang tepat atau

bahkan lebih tepat dari cara mencapai tujuannya. Dalam tindakan ini, tujuan dari cara-

cara yang ingin dicapai nampaknya agak susah untuk dapat dibedakan. Akan tetapi,

tindakannya dibilang cukup rasional karena pilihannya memuat cara-cara yang sudah

menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan ini bisa disebut rasional karena dapat

dipertanggung jawabkan untuk dimengerti dan dipahami.

Dalam praktiknya, tampak suatu tindakan-tindakan rasional dan irasional.

Misalnya; seseorang yang berkunjung ke makam Wali Nyato, bersama keluarga dan

sanak saudaranya karena motif dari adanya konflik dalam rumah tangga. Tujuan

ziarah ke makam Wali Nyato’, tidak lain karena mengharapkan ketentraman dalam

rumah tangganya.80 Biasanya peziarah akan mengundang tokoh agama sebagai

pemimpin doa untuk melepas bala’ yang dihadapinya, selain itu mereka melakukan

tawassul atau berwasillah termasuk berdoa dan berzikir. Tapi sebenarnya, tindakan

ini, antara tujuan dan cara yang dilakukan dirasa tidak sinkron. Meskipun cenderung

bersifat rasional dikarenakan tujuannya, sebab makam merupakan tempat suci dan

cocok untuk menghadirkan suasana tenang.

Selain itu, terdapat pula suatu jenis tindakan sosial murni, yaitu suatu tindakan

pelaku yang tidak sebatas menilai cara yang baik dalam mewujudkan tujuannya tetapi

memilih dan menentukan nilai dari tujuan tersebut. Meskipun demikian tujuan dalam

tidakan secara murni ini tidak absolut karena sewaktu-waktu bisa saja menjadi suatu

cara untuk tujuan lain selanjutnya. Artinya ketika aktor berekspresi dengan cara yang

rasional maka dengan mudah dapat memahami tindakannya. Cara yang dimaksudkan

di sini adalah cara yang dilakukan oleh kaum modernis dalam tindakan ziarah, di mana

terdapat suatu pola yang berbeda dari tindakan masyarakat tradisional lainnya.

Pandangan di atas, menggambarkan bahwa para peziarah yang hadir dalam

melakukan ziarah di makam Keramat Wali Nyato’ sebenarnya salah satu dari bentuk

pemahaman melalui proses sosial sehingga dapat menimbulkan praktik keagamaan

dengan serangkaian ritual atau praktik yang sangat beragam. Oleh karena itu, cara

yang dapat dilihat sebagai ciri khas atau karakter dari tindakan para peziarah, adalah

tergantung pada sistem tindakan atau proses ritual yang dapat dijalankan oleh para

peziarah sesuai dengan kebutuhan mereka baik dari segi tujuan ataupun cara dalam

menjalankan sebuah praktik keagamaan dalam bentuk ziarah di makam keramat.

Adapun ritual-ritual yang dijalankan saat melakukan ziarah seperti tawassul

atau wasilah, zikir, berdoa, baca Yasin dan sebagainya merupakan cara atau perilaku

seseorang dari kebiasaan-kebiasaan yang di dasari oleh pengetahuan dan pengalaman

mereka masing-masing dalam melakukan ziarah.81 Setiap cara atau perilaku terhadap

79Wawancara dengan Bs, peziarah dan Az, 17 Desember 2018. 80Wawancara dengan Sp Tokoh Masyaraka dan As, 26 Desember, 2018. 81Wawancara dengan Mq.N, petani dan I. dt, 18 Desember, 2017.

Page 134: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

120

seseorang tentunya memiliki alasan tersendiri sehingga kita tidak dapat memaksakan

setiap individu untuk dapat memberikan penjelasan tentang kenapa harus mengambil

tindakan-tindakan tersebut ketika melakukan ziarah di makam keramat tersebut.

Pola tindakan manusia dalam berperilaku selalu diwarnai dengan gagasan dan

ide sehingga memiliki sumber informasi yang kuat namun cukup lemah dengan energi

bahkan aksi. Dalam rangka mencapai tindakan yang nyata dan bersifat personality

maka sistem sosial cenderung berfungsi sebagai mediator dalam sistem kultural, di

mana simbol-simbol budaya selalu diinterpretasikan sedemikian rupa dalam sistem

sosial yang kemudian disampaikan kepada individu dan masyarakat melalui proses

sosialisasi dan internalisasi. Dengan demikian semakin rasional tindakan sosial, maka

semakin mudah untuk dipahami.82

Dalam kehidupan bermasyarakat, praktik keagamaan cenderung bersifat

komulatif dan kohesif yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem

keyakinan beragama. Namun demikian, pengaruh eksternal dalam memahami sumber

ajaran Islam, tidak hanya disebabkan oleh situasi dan kondisi sosial politik yang

dialami oleh setiap pemikir muslim yang berada pada masa kehidupannya. Akan

tetapi ada faktor secara latar belakang pendidikan dan tempat mereka menuntut ilmu

(thalabul ilminya). Hal ini menjadi salah satu faktor yang cukup signifikan dalam

membentuk karakteristik serta corak pemahaman mereka yang beragam.83 Manusia

telah dibentuk melalui pemikiran rasional terhadap segala hal yang perlu dan harus

rasional disamping mengikuti arus kebudayaan lokal yang berlaku sehingga ajaran

Islam lebih mudah beradaptasi dengan kebudayaan yang lebih dahulu tumbuh dan

berlaku sebagai hukum yang hidup dan mudah dimengerti, atau mudah dipahami

untuk pengamalannya.

Menarik jika digaris bawahi tentang Islam lebih mudah beradaptasi dengan

kebudayaan yang lebih dahulu tumbuh, bahkan berlaku sebagai hukum hidup karena

mudah dimengerti. Suatu tradisi yang memuat serangkaian perilaku hidup manusia

memang agak sulit dapat dipisahkan. Oleh karena itu, Islam pun harus melakukan

penyesuaian dengan budaya masyarakat yang sudah ada sesuai dengan karakter

masyarakat dengan kemampuan, penghayatan dan tingkat pemahaman manusia dalam

membimbing dan menyebarkan ajaranya.84

Islam bukan hanya mengandung ajaran yang rasional dan profesional, tetapi

juga mengandung ajaran sosiologis, sebab secara keseluruhan dari segala sesuatu yang

berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan masyarakat termasuk

kelembagaan dengan sejumlah anggotanya, tentu masih dapat diselesaikan dengan

pendekatan secara keislaman.85

82George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pnegetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta:

RajaGrafindo, 2007), 39. 83Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional

dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung, Refika Aditama, 2007), 73. 84Dalam hadist Rasulallah SAW, dijelaskan bahwa “Aku perintahkan kepadamu

untuk menyampaikan pesan-pesan Allah dalam khutbah, ceramah, atau tablig dengan

disesuaikan pada ukuran dan tingkat pemahaman masyarakat pendengar”. 85Yusuf Burhanuddin, Siapkah Persis Menjadi Mujaddid Lagi: Upaya Mewujudkan

Wacana Persis Baru (Bandung: al-Qa Print, 2000), 10.

Page 135: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

121

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa agama adalah sistem

simbol, maka budaya merupakan seperangkat makna atau ide yang ada di dalam

simbol tersebut. Melalui simbol inilah kemudian orang memperoleh pengetahuan dan

pengalaman hidup serta pengeksperesikan suatu tindakan atau sikapnya. Oleh karena

itu, agama terdiri atas pandangan dunia dan etos yang saling mempengaruhi satu sama

lain. Di dalamnya terdapat aspek-aspek hukum, moral, budaya, dan lain sebagainya

maka tingkat pengetahuan serta pemahaman juga telah menjadi rangkaian dalam

aspek tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut pengetahuan dan pemahaman seseorang yang

didasari oleh sumber pengetahuan atas suatu realitas yang ada sesungguhnya tidak

terlepas dari sumber-sumber itu sendiri seperti teks suci, ajaran agama, pengalaman,

pemikiran, ajaran nenek moyang, dan sebagainya adalah serangkain dari asas

pengetahuan dan pemahaman setiap individu. Maka, setiap individu atau masyarakat

akan melakukan tindakan yang disesuaikan dengan tingkat pengetahuan mereka

masing-masing dan dengan sumber-sumber dari mana pengetahuan dan pemahaman

tersebut diperoleh.

Penjelasan di atas, juga menegaskan bahwa yang utama itu bukanlah tindakan

atau perilaku seorang, akan tetapi karena adanya norma-norma dan nilai-nilai sosial

yang menuntut dan mengatur perilaku individu itu sendiri. Dalam kondisi yang

bersifat objektif jika disatukan dengan komitmen kolektif terhadap satu nilai atau

norma, maka akan menjadi suatu bentuk tindakan atau perilaku sosial tertentu. Karena

itu, jika merujuk konsepnya Parsons bahwa akan memunculkan suatu kecenderungan

atas suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh banyak sistem.86

Bellah dalam artikelnya tentang Religious Evolution mengatakan bahwa

evolusi dalam agama meningkatkan diferinsiasi dan kompleksitas sistem simbol. Dan

menurutnya, ritual adalah basis tindakan sosial.87 Dalam suatu tradisi keagamaan, ia

cenderung memuat serangkaian tindakan dan pola perilaku yang terdapat di dalam diri

individu atau kelompok masyarakat. Sehingga agama menjadi pedoman dan kerangka

interpretasi atas tindakan atau perilaku manusia.88

Agama merupakan sistem simbol yang mempertahankan semangat atau

motivasi seseorang dengan membentuk ide-ide tentang kehidupan dalam suatu “aura

faktualitas” untuk membuat motif-motif menjadi “realitas unik.” Dengan demikian

budaya adalah seperangkat makna atau ide yang ada dalam simbol-simbol di mana

orang memperoleh pengetahuan dan pengalaman hidupnya untuk mengeksperesikan

sikapnya.89 Perbedaan dalam suatu tindakan atau perilaku keagamaan tentu tidak

terlepas dari pengaruh status sosial dan tingkat kehidupan masing-masing lapisan

sosial tersebut. Pelapisan sosial90 sebenarnya kata lain dari stratifikasi sosial.

86Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson’ Convergence Concept, The

American Sociologist Vol. 44, No. 3. September 2013, pp-233-244. Published by: Springer.

http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada tanggal 23, November 2017). 87Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern 2015, 78-79. 88Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Book Inc. 1973),

90. 89Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern , 2015, 83. 90Pelapisan sosial merupakan keadaan dalam struktur suatu masyarakat yang

menggambarkan keadaan sosial suatu masyarakat. Pelapisan sosial bisa didasari pada keadaan

Page 136: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

122

Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah di makam Wali Nyato’ sebenarnya

sebuah ritual yang dilakukan seseorang untuk mengejar tujuan dalam keadaan dan

situasi di mana norma-norma mengarahkan dirinya untuk memilih alternatif baik cara

ataupun media (alat) untuk mencapai tujuannya. Hanya saja, norma-norma tersebut

sebenarnya tidak dapat menentukan pilihannya dari cara atau alat tersebut, tetapi

pilihan itu ditentukan oleh kemampuan seseorang itu sendiri. Dalam hal ini, sesuai

dengan apa yang disampaikan Parsons bahwa kemampuan adalah volunterism, yaitu

kemampuan seseorang dalam melakukan tindakan yang telah disesuaikan dengan

lingkungannya, pengalamannya, persepsi, pemahaman atas penafsiran suatu objek

stimulus atau situasi tertentu seperti kondisi situasional dari lingkungan budaya,

tradisi, dan agama.

Kemampuan manusia dalam melakukan sebuah tindakan, sebenarnya tidak

bisa lepas dari dunia lingkungannya, baik dari segi pengalaman, pemahaman, persepsi

dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tindakan atau perilaku dalam tradisi ziarah

makam keramat Wali Nyato’ merupakan tindakan dengan ciri khasnya yang telah

disesuaikan dengan pengalaman, pemahaman, atau persepsi atas tafsiran-tafsiran

mereka tentang tradisi ziarah tersebut.91

Harus diakui bahwa tradisi keagamaan juga lahir dan berkembang dalam

suatu komunitas masyarakat adalah sebagai akibat dari dinamika dialektis lingkungan

masyarakat itu sendiri. Selain itu, tradisi merupakan identitas dan ciri khas komunitas

masyarakat yang terdiri dari tindakan atau perilaku, kebiasaan, atau khazanah yang

dapat ditemukan secara turun-temurun dan merupakan warisan para pendahulunya.

Oleh karena itu, tradisi-tradisi yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat

sudah sangat membudaya dengan baik bagi kehidupannya.

Pembudayaan suatu tradisi dalam kehidupan masyarakat adalah bagian dari

cara mereka untuk mempelajari baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap

kebudayaan masyarakatnya. M.J. Herskovits92 medefinisikan pembudayaan atau

enkulturasi sebagai suatu proses bagi setiap inidividu baik antara sadar dan tidak

sadar, mereka telah mempelajari suatu kebudayaan yang ada di dalam kehidupannya.

Dengan demikian pembudayaan atau enkulturasi ini merupakan suatu proses sosial di

mana manusia sebagai mahluk yang intuitif, responsihf, punya daya refleksi dan

intelgensi, belajar untuk memhami, menyesuaikan pola pikir, pengetahuan, dan

pemahamannya atas kebudayaan sekelompok manusia lain.93

ekonomi, tingkat kesempatan dalam menempuh pendidikan formal, mendapatkan hak politik,

atau tingkat kedalaman pengetahuan keagamaan. Lihat: Dadang Khamad, Sosiologi Agama

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 105. 91Wawancara dengan Mr, guru. 3 Desember, 2018. 92Herskovits, Man and His Work, 39, dikutip dalam Herbert Alphonso and Rober

Farcy, Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of

Priesthood in a United States Context, (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29. 93Dalam catatan Peter Poole, mendefinisikan dengan sederhana yaitu: “enculturation

refers to the process of learning a culture consisting in socially distribute and shared

knowledge manifested in those perceptions, understandings, feeling intentionas, and

orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life.” Dalam Peter

Poole,”Socialisation Enculturation and the Development of Personal Identitiy”, in tim ingold

Page 137: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

123

Dalam pandangan Parsons, kebudayaan sebagai tindakan manusia yang

berpola, selanjutnya disebut sebagai kerangka tindakan atau dengan istilah (Frame of

the Theory of Action). Dalam pandangan itu terdapat konsepsi yang membutuhkan

analisis terhadap suatu kebudayaan yang sifatnya menyeluruh dan perlu dibedakan

secara tajam. Antara keempat komponen yang dari awal sudah disebutkan di atas,

seperti sistem budaya, sistem sosial, sistem keperibadian, dan sistem organisme, yang

mana keempat komponen tersebut meskipun memiliki keterkaitan antara satu dengan

yang lainnya, tetapi masing-masing dengan sifat-sifanya secara tersendiri.94 Berikut

ini merupakan kerangka kebudayaan atau tradisi masyarakat.

Bagan. 5 Kerangka Kebudayaan95

Ket: Ketiga lingkaran konsentrik di atas, menggambarkan sistem budaya

(lingkaran dalam), sistem sosial (lingkaran kedua) dan kebudayaan fisik (lingkaran

fisik). Ketujuh sektor menggambarkan ketujuh unsur kebudayaan universal.

Adapun individu yang belajar tentang kerangka tersebut, tentu berawal dari

cara individu itu sendiri yang secara terus-menerus melakukan penyesuaian diri

dengan lingkungannya. Proses awal inidividu dalam belajar dengan menanamkan

kepribadiannya dalam segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang dibutuhkan

dalam hidupnya. Selain itu, individu juga belajar melalui proses sosialisai, di mana

individu melakukan interaksi antar individu yang lain pada lingkungan sosialnya

(masyarakat) untuk mengetahui pola-pola tindakan dan interaksi dengan sejumlah

individu di sekelilingnya yang menduduki berbagai macam peranan sosial dalam

kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, individu secara terus-menerus menyesuaikan

perilakunya, sikap, tindakan, terhadap nilai dan norma dalam kehidupan kebudayaan

masyarakatnya.96

(ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. London

and New York: Routledge. 831 94 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 180 95 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 183 96 Koentjaraningrat, edisi revisi 2009, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka

Cipta, 2009), 181.

Page 138: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

124

Perlu disasari bahwa relasi manusia dan masyarakat terjadi sangat dialektis.

Maka hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses yang terdiri

melalui adaptasi, kelembagaan, dan penerimaan kembali atas realita yang ada. Dalam

momen adaptasi, manusia selalu mengeksperesikan dirinya dengan membangun

dunianya sehingga melalui momen tersebut masyarakat menjadi sebuah kenyataan

buatan manusia. Kenyataan ini kemudian menjadi realitas objektif, di mana kenyataan

yang berpisah dari manusia tapi juga berhadapan dengan manusia sehingga akan

membentuk pelembagaan atau objektivikasi. Masyarakat dengan segala peranata

sosialnya, akan mempengaruhi perilaku manusia. Dan akhirnya masyarakat diserap

kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.97

Ziarah merupakan salah satu bentuk dari religious institutions. Sebagai suatu

proses pembudayaan, ziarah awalnya merupakan suatu kunjungan biasa yang berubah

menjadi tradisi atau kebiasaan. Dalam tradisi-tradisi seperti ini biasanya cenderung

dinaungi oleh motif dan tujuan tertentu. Berdasarkan hal ini, ketika keinginan peziarah

terwujud maka tidak menutup kemungkinan masyarakat yang lain akan melakukan

hal yang serupa atau imitasi (peniruan) mulai dari niat hingga tindakannya.

Tradisi-tradisi seperti ini tidak lagi terhindarkan karena seseorang seringkali

belajar dengan meniru berbagai macam perilaku individu yang satu dan lainnya baik

secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu tindakan yang dimaksud. Oleh

karena itu, perasaan dan nilai budaya sebagai pemberi motivasi akan tindakan meniru,

cepat atau lambat akan membentuk tindakan menjadi suatu pola yang mapan sehingga

membentuk norma bahkan cenderung mengatur tindakan tersebut untuk kemudian

“dibudayakan”. Berbagai norma dipelajari oleh setiap anggota masyarakat dengan

cara mendengar, menghayati, meresapi dari orang lain dalam lingkungan sosialnya

pada saat yang berbeda-beda, menyinggung atau membicarakan norma tadi.98

Pada penjelasan sebelunya, pemahaman terhadap suatu budaya untuk menjadi

pembudayaan adalah proses individu untuk melakukan penyesuaian alam pikiran,

melalui adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan

masyarakatnya. Proses ini sebenarnya disebut sebagai pembudayaan yang sudah

dimulai sejak kecil dalam alam pikiran masyarakat, yaitu; bermula dari orang-orang

dalam lingkungan keluarganya hingga ke lingkungan sosial.

Praktik keagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah makam sesungguhnya,

telah dibentuk melalui pemahaman melalui proses sosial yang telah dialami atau

dijalaninya bersama masyarakatnya. Tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’

adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat dengan dibentuk oleh banyak

sistem sehingga tampak sebagai suatu praktik keagamaan yang kadang antara cara

dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai berbeda-beda. Sebagaimana yang dijelaskan

sebelumnya bahwa seseorang banyak dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya,

dan sistem keperibadian. Untuk itu seseorang atau masyarakat yang melakukan ziarah

di makam keramat tersebut biasanya cenderung berperilaku sesuai dengan pengaruh

dari sistem tersebut karena akan membentuk suatu pemahaman atas tindakan mereka

ketika menjalankan ritual-ritual ziarahnya di makam keramat Wali Nyato’ tersebut.

97Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,

2009), 110-112. 98Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 189.

Page 139: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

125

D. Fenomena Ziarah di Makam Keramat.

Fenomena ziarah tentunya sudah bukan rahasia umum bagi masyarakat luas.

Ziarah kubur atau ziarah makam telah berkembang sejak lama bahkan sebelum Islam

datang ke Nusantara. Pada saat Islam masuk dan berkembang di Nusantara, tidak juga

menyebabkan adanya benturan terhadap kebudayaan yang ada sebelum pra-Islam

(prasejarah Hindu-Budha). Kehadirannya justru mewarnai keragaman budaya karena

adanya kebudayaan pra-Islam yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan

agama sehingga dapat dipertahankan dan disejajarkan dengan sistem budaya Islam

untuk dipadukan antar keduanya sehingga dapat membentuk akulturasi kebudayaan.

Percampuran kedua budaya tersebut, tercermin melalui banyak dimensi kehidupuan

masyarakat. Salah satunya adalah dimensi ziarah sebagai bentuk akulturasi budaya

Hindu-Budha dan Islam.99

Berkenaan dengan hal yang tersebutkan di atas, maka fenomena ziarah kubur

atau ziarah makam, khususnya fenomena ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di

Desa Rembitan, Lombok Tengah, sebagian besar peziarah masih mencerminkan pola-

pola tradisi lama. Hal ini ditandai dengan adanya praktik atau ritual yang dijalankan

oleh para peziarah seperti membawa peralatan ziarah baik berupa air bersih, bunga,

makanan, uang, mengorban hewan dan lain sebagainya. Menurut beberapa responden,

mereka menyatakan bahwa para peziarah yang berkunjung di makam keramat Wali

Nyato’ akan menjalankan sesi ritualnya sesuai dengan hajatan atau nazar awal mereka

masing-masing.100

Secara histori-antropologis, juga diakui bahwa masyarakat Indonesia telah

lama mengenal tradisi ziarah, sejak zaman prasejarah. Hal ini terbukti secara arkeologi

dari adanya “Pandusa dan Candi” (kubur atau makam batu dan bangunan tempat

ibadah). Pandusa berasal dari zaman prasejarah yang memiliki kijingan atau jirat. Di

samping jirat terdapat nisan yang pada masa prasejarah berupa menhir dan di bawah

pendusa tersimpan mayat yang dikuburkan, lalu pada bagian atasnya memiliki tempat

untuk meletakan bunga yang dikhususkan bagi para peziarah yang hendak melakukan

ziarah. Untuk itu, tradisi ziarah atau berkunjug ke kuburan sebenarnya sudah ada sejak

zaman prasejarah.101

Salah satu tempat yang dianggap sakral adalah makam. Kata makam dan

kuburan seringkali dibedakan karena kuburan tempat penyimpanan jenazah orang

biasa. Dan makam adalah istilah yang digunakan untuk penyimpanan jenazah para

Wali, atau tokoh yang dihormati.102 Secara aspek sosial, keberadaan tokoh-tokoh

99Tradisi ziarah adalah suatu bentuk akulturasi budaya yang dulunya telah dijalankan

oleh para penyebar Islam pada masanya. Koentjaraningrat menyatakan bahwa ziarah ke

makam suci merupakan tradisi leluhur hingga diwariskan kepada generasi berikutnya jauh

sebelum Islam datang. Ziarah pada makam wali dapat dikatakan sebagai perpanjangan tradisi

Hinduisme yang disebut upacara srada. Lihat: Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta:

Balai Pustaka 1994), 105. 100 Wawancara dengan Iq. Ts. 29 Thn, Rs, 34, Thn. Ln, 25, Thn. Peziarah Makam

Keramat Wali Nyato. 25, Desember, 2017. 101

Irwan Evarial, Tafsir al-Qur’an dan Tradisi Sunda: Studi Pemikiran Moh. E.

Hsyim dalam Tafsir Ayat Suci dalam Renungan Indonesian Journal of Islamic Literature and

Muslim Society, Vol. 2, No. 1, 2017, 98. 102Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 139.

Page 140: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

126

terhormat selalu direpresentasikan sebagai Nabi, Wali sampai pada Kyai, karena

dianggap orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Tuhan sehingga mereka

menilai akan lebih mudah dikabulkan permohonannya. Logika ini adalah alasan

utama bagi umat Islam yang memepercayai bahwa Wali adalah orang yang telah

dianugrahkan kelebihan oleh Allah. Mereka memposisikannya sebagai orang yang

sangat istimewa, terutama Nabi dan ulama sebagai mutawassul (mediator) dalam

banyak aktivitas keagamaan maupun upacara semi keagamaan masyarakat lainnya.

Fenomena ziarh makam keramat, terutama di makam keramat Wali Nyato’

merupakan salah satu dari wujud keberagamaan masyarakat dalam konteks ziarah.

Hal ini dilakukan karena mereka mempercayai bahwa Wali Nyato’ merupakan salah

seorang tokoh atau ulama yang memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat

Lombok Tengah bagian Selatan. Oleh karena itu, masyarakat yang melakukan ziarah

ke makam tersebut, bukan semata-mata meminta kepada sang Wali, tetapi meraka

menjadikan sang Wali Nyato’ sebagai media atau perantara dalam memanjakan doa-

doa yang mereka lafalkan agar memperoleh kemudahan untuk dikabulkan oleh Allah

Swt.

Konsep tawassul (mediasi) dan mutawassul (mediator) didorong melalui

sistem berpikir bipolar yaitu suatu hubungan yang terjadai pada diri manusia tentang

Tuhan sampai manusia yaitu, atas dan bawah, suci dan kotor, sakral dan profan, dekat

dan jauh. Proses pengkelasifikasian secara simbolik yang digunakan dalam rangka

menjelaskan tingkat atau suatu bentuk tentang hubungan Tuhan dengan manusia

menciptakan moderasi (penengah), sehingga melahirkan klasifikasi tiga (trikotomi).

Began 6. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia

Hubungan Hubungan

Langsung Berperantara

Fenomena ziarah makam merupakan pendekatan kultural untuk suatu agama

tertentu. Geertz, mengartikanya sebagai suatu kompleksitas yang memiliki sejumlah

objek-objek suci dan akan menggerakkan manusia untuk menciptakan perasaan dan

motivasi sehingga diformulasikan oleh norma-norma universal terhadap eksistensinya

dengan penggunaan konsepsi melalui nuansa faktualitas untuk membentuk perasaan

dan motivasi secara khas sehingga tampak realistik.103 Perilaku individu biasanya

dikendalikan oleh keinginan material dan idealnya terjadi secara langsung yang bukan

103Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books, 1970),

91.

Tuhan

Tokoh Suci

Umat

Page 141: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

127

hanya berasal dari gagasan-gagasan atau ajaran semata. Untuk itu, ritual-ritual atau

ucapan-ucapan yang dilaksanakan memiliki hubungan dengan motif atau tujujuan dari

tindakan mereka. Perilaku tersebut adalah eksistensi yang terbentuk secara alamiah

oleh keinginannya. Selain itu, secara stratifikasi sosial juga bisa menjadi salah satu

faktor pendukung dalam sejarah hidupnya. Hanya saja, untuk memahami tidakan-

tindakan sosial tersebut, terlebih dahulu harus melihat nilai-nilai serta kepentingan

subyektif atas perilaku sosialnya. Meskipun tindakan itu biasanya terbentuk secara

alami melalui kondisi sosial dan ekonomi.104

Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah makam terutama di makam keamat

Wali Nyato’ tentu sekali setiap peziarah memiliki keinginan-keinginan yang bersifat

duniawi dan ukkrawi. Karena itu, mereka datang bersama dengan motif dan tujuan

yang juga melatarbelakangi kehadirannya di makam tersebut. Misalnya; mereka yang

datang bersama kepentingan duniawi, maka ia akan memohon atau meminta agar

dipermudah untuk meraih suatu jabatan atau kekuasaan dengan menjalankan ritual-

ritual yang umumnya juga banyak dipraktikkan oleh peziarah lainnya, seperti berdoa,

berzikir, membaca Al-Qur’an dan lain sebaginya. Sedangkan peziarah yang datang

bersama dengan kepentingan secara ukrawi, biasanya lebih bersifat tertutup, i’tikaf,

bermeditasi dengan maksud meminta ampun kepada sang Kholik.

Fenomena ziarah tampak sebagai sebuah praktik keagamaan masyarakat serta

muncul bersama dengan motif-motif yang sangat beragam. Dalam praktiknya selalu

diwarnai oleh kelompok-kelompok atau golongan dari berbagai kalangan, mulai dari

pengusaha, petani, pedagang, nelayan, pegawai negeri, Kyai, masyarakat biasa, buruh,

pejabat, anggota DPR maupun masyarakat lainnya yang juga hadir dengan motif atau

tujuan tertentu. Umumnya mereka mempercayai bahwa ziarah ke makam adalah cara

yang dianggap tepat untuk menyampaikan hajatnya. Hajat atau janji yang pernah

mereka ucapkan akan dijalankan sesuai dengan motivasi awalnya.105

Tak dapat dipungkiri bahwa tradisi ziarah memang sudah menjadi kebiasaan

masyarakat luas, di mana bagi sebagian orang menganggap bahwa kebiasaan dalam

menjalankan ritual-ritual yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural

benda-benda keramat, benda gaib dan sebaginya akan dapat melindungi manusia dari

rasa ketidakpastian.106 Eksistensi peziarah saat melakukan ritual-ritual keagamaan

adalah pengejawantahan dari melepaskan rasa ketidakpastian tersebut. Motif-motif

yang beragam ini baik seperti meminta keberhasilan dalam sebuah usaha, mudah

mendapatkan jodoh, kesembuhan dari penyakit dan lain sebagainya merupakan hal-

hal yang tidak pasti.

Makam memiliki nilai sakralitas sebagai tempat diletakkan jasad orang yang

sudah meninggal. Meskipun jasad tersebut telah mati, namun roh akan tetap hidup.

Oleh karena itu, ketika jasad berada di ruang profan, maka roh berada pada ruang

sakral. Dalam rangka menghubungkan yang sakral, manusia harus melakukan upacara

agar dapat berkomunikasi, sebab makam diyakini sebagai tempat yang hierofani

tampa ruang dan waktu. Untuk itu, makam melambangkan kemuliaan, kekuasaan, dan

104Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 31. 105Wawancara dengan L. Shr, Petugas Makam, 6 Desember 2017. 106Geger Riyanto, Peter L. Berger, Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,

2009), 107.

Page 142: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

128

keabadian yang berasal dari sang ilahi.107 Itulah sebabnya masyarakat melakukan

ziarah di makam-makam keramat termasuk di makam keramat Wali Nyato’ di Desa

Rembitan, Lombok Tengah.

Suatu budaya atau tradisi keagamaan dalam Islam yang berkembang dan

sangat berdampak pada perkembangan sosial keagamaan, sosial politik, ekonomi dan

sosial budaya adalah tradisi ziarah kubur.108 Menurut Henri Chambert-Loir & Claude

Guillot, bahwa beragamnya kegiatan dalam ziarah kubur adalah pencerminan yang

sempurna suatu tradisi atau kebudayaan masyarakat setempat.109 Banyak suku-suku

di Indonesia, seperti suku Toraja, Bali, Sumatra Selatan, Dayak Ngaju dan sebagainya

yang menggambarkan bagimana suku-suku tersebut memberi penghormatan melalui

kuburan dan bagaimana ekspresi kepercayaan dan agama yang tumbuh di masyarakat

Indonesia.

Masyarakat Suku Sasak juga memperaktikkan tradisi-tradisi keagamaan baik

tradisi ziarah kubur, tradisi hari ke-sembilan, ketujuh, ketigapuluh, dan keseratus hari

sesudah kematian dengan cara memanjatkan doa, berzikir, membaca surat Yasin yang

dikhususkan kepada arwah yang dimakamkan dan masih banyak praktik-praktik

keagamaan dalam tradisi-tradisi lainnya. Hal ini tidak lepas dari tradisi keagamaan

akan keberadaan dirinya dengan kepercayaan masa lalunya yang diawali dengan

zaman sejarah karena sebelumnya juga dipraktikan oleh para leluhur mereka.

Warisan budaya masa lalu masyarakat Suku Sasak juga ditandai dengan situs-

situs budaya seperti makam, masjid, sumur dan lain-lain yang diyakini memiliki akar

sejarah panjang hingga memunculkan kepercayaan untuk dikeramatkan dan diamini

sebagai tempat sakral. Banyak cara yang dipraktikan di sisi makam, baik berdasarkan

tradisinya secara turun temurun, berdasar pada ajaran Islam murni, bahkan campuran

antar keduanya yang membentuk suatu tradisi ziarah.110

Tradisi ziarah merupakan salah satu ritus Islam yang sudah lama mengakar

dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Luwis Ma’luf mendefinisikan kata ziarah

dengan istilah “datang dengan maksud menemuinya”.111 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia ziarah merupakan kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap keramat atau

mulia untuk berkirim doa.112 Makam adalah objek suci dan menjadi sarana instrumen

bagi masyarakat dalam mewujudkan harapan dan keinginannya. Secara terminologi,

ziarah adalah aktivitas mengunjungi kubur atau makam untuk mendoakan penghuni

107Afghoni, Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan

di Makam Gunung Jati Cirebon) Jurnal, Studi Agama dan Masyarakat Vol. 13, No. 1 Juni

2017, 49. 108Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno

Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah

Palembang 2017), 3. 109 Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam

(Jakarta: Serambi, 2017), 14. 110Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno

Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah

Palembang 2017), 4. 111Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-lughah wa-al-‘Alam (Beirut Libanon: Darul

Masyrak, 1996), 310. 112Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), 1018.

Page 143: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

129

kubur supaya dapat mengambil pelajaran dari keadaan mereka.113 Untuk itu, salah satu

makna melakukan ziarah sebenarnya tidak sebatas mengunjungi makam semata tetapi

ada niat untuk mendoakan sekaligus mengambil pelajaran dari aktivitas tersebut.

Ziarah kubur dapat secara intens dilakukan oleh masyarakat untuk berkunjung

ke makam-makam keluarga, kerabat, tokoh masyarakat, ulama, wali dan nabi yang

dianggap telah berjasa terhadap perkembangan agama Islam. Praktik ziarah kubur ini

dapat dilakukan kapan saja tampa batas waktu dalam pelaksanaanya. Secara intensitas

peziarah makam justru marak terlihat berbondong-bondong melakukan ziarah pada

saat menjelang hari raya Idul Fitri, atau pada bulan-bulan tertentu saat perayaan hari-

hari besar Islam.114 Di makam keramat Wali Nyato’ intensitas pengunjung makam

yang mencapai ratusan hingga mendekati ribuan pengunjung adalah menjelang hari

raya Idul Fitri, pada saat musim haji, dan saat memasuki bulan Maulid Nabi termasuk

setelah selesai pelaksanaan hari raya Idul Fitri yang kesemuanya dilakukan dengan

hari pelaksanaan ziarah yang sudah ditentukan.115

Ziarah kubur atau ziarah makam memang telah menjadi aktivitas masyarakat

di berbagai wilayah bahkan hampir di seluruh umat Islam dibelahan dunia. Para ulama

dan kalangan ilmuan Islam juga telah memperbolehkan praktik ziarah kubur atau

ziarah makam dengan berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis-hadis nabi. Ziarah kubur

adalah suatu perbuatan yang memiliki keutamaan, terutama adalah praktik ziarah ke

makam para Nabi dan orang-orang shaleh.116

Fenomena ziarah makam memiliki motif dan tujuan yang sangat beragam, di

mana kehadiran setiap peziarah selalu bersama dengan motif-motifnya untuk mencari

tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, para peziarah saat melakukan ziarah kubur atau

ziarah makam juga selalu memiliki alternatif yang dapat melengkapi keperluannya

dalam mewujudkan tujuan ziarahnya. Selanjutnya para peziarah juga mesti akan

berhadapan dengan kondisi-kondisi atau keadaan yang dapat menahan perilakunya

untuk mewujudkan tujuannya. Meskipun para peziarah akan selalu berada di bawah

tindensi nilai-nilai dan norma dari berbagai ide abstrak yang bisa mempengaruhinya

dalam memilih dan menentukan tujuannya menyangkut tindakan alternatifnya dalam

rangka mewujudkan tujuan tersebut.117

Para peziarah, bersama dengan motifnya yang sangat beragam ini bukanlah

menjadi sesuatu yang diperolehnya dari karakter individu semata, tetapi diakibatkan

oleh adanya eksperimen atau pengalaman yang telah didapatinya dari orang lain yang

113Lihat: Imam al-Qadli, Iyadl, al-Matla’ ‘ala Abwab al-Fiqh. Juz 1: 119. 114Lihat: M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi

Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, Jurnal Ibda’ Kebudayaan Islam. Volume 14,

No. 2, Juli-Desember, 2016, 207. 115Wawancara dengan M.gnr. Juru Kunci Makam, 6 Desember 2017. 116 Syekh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Makam Karamah Wali Kritik

Sanad Atas Faham Wahabi (Bandung: 1995), 47. 117Sebagai tokoh teori aksi Talcot Parson, mementingkan pemisahan teori aksi

dengan aliran behaviorisme. Bagi Parson, keduanya memiliki konotasi yang berbeda, karena

suatu teori yang meniadakan karakter-karakter kemanusiaan dan tidak mengindahkan

dimensi secara subjektif atas perilaku manusia, maka bukan menjadi bagian dari teori aksi.

Lihat: George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarata:

RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49.

Page 144: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

130

pernah membuktikan kesakralannya dan menganggap keinginan dari seseorang

tersebut telah terwujud. Karena itulah seseorang akan mengejar tujuannya dalam

situasi dan kondisi tertentu dimana norma-norma menjadi pengarahnya untuk memilih

alternatif melalui cara dan alat dalam mewujudkan tujuan tersebut. Berikut merupakan

began dari konsep Voluntarism Parson.118

Began 7. Konsep Tindakan Voluntarism Parson

Dalam perspektif fenomenologi,119 masyarakat merupakan realitas yang nyata

dengan pola interaksinya, karena individu yang satu banyak dipengaruhi oleh individu

yang lain. Interaksi yang terjadi antar individu tersebut biasanya akan berpengaruh

pada pola pikir dan tingkah laku seseorang. Sama halnya ketika individu berhubungan

dengan orang lain di tempat kerja atau ditempat-tempat lain maka cepat atau lambat

pasti akan melahirkan pengalaman-pengalaman tersendiri.

Pada intinya, apapun cara yang dipraktikan dalam ziarah kubur atau ziarah

makam keramat, baik yang dilakukannya atas dasar pengalaman, pola interaksi, tradisi

nenek moyang mereka atau atas dasar syariat Islam adalah kesemuanya memiliki

hubungan yang erat dengan konsep pencarian berkah. Kehadiran berkah bukan hanya

berada pada wali-wali yang masih hidup, tetapi mereka yang sudah meninggalpun

dinilai masih memiliki berkah. Wali bagi masyarakat suku Sasak dipandang sebagai

entitas yang menjadi bagian dalam kehiduapn agama dan sosial.120

118Sumber gambar: http://en.wikibooks.org/wiki/Social _Psychology Action_and

Parson. Di akses pada tanggal 11 Desember, 2017. 119Fenomenologi berpijak pada seluruh sistem konsep kehidupan masnusia sehari-

hari yang dapat diamati (observable everyday life). Fenomenologi juga merupakan suatu

sistem pengetahuan radikal, dan menganggap bahwa tidak ada yang ia terima kecuali sesuatu

hal yang sesungguhnya dapat diamati. Seperti halnya struktur sosial, yang tidak hanya mitos

dapat dibentuk oleh manusia, akan tetapi struktur yang nyata dan telah dihasilkan dalam

setiap tindakannya sehari-hari sebagai suatu realitas sosial yang bisa diamati khususnya

mengenai interaksi yang dilakukan secara berulang-ulang. Collins dalam Billah dkk, Kelas Menengah digugat (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993), 43.

120Lihat: Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas

Para Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu

Demak) Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154.

Page 145: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

131

Wali merupakan sosok pribadi yang dekat dengan Allah Swt. Kedekatannya

karena pencapaian-pencapaian tertentu, wali menerima kemampunan dari Tuhan yang

tidak hanya dibebaskan dari hawa nafsu, tetapi wali juga memiliki apa yang disebut

dengan keramat. Para wali bisa mentransformasikan diri, memindahkan diri, melintasi

jarak tertentu, bicara dengan lidah yang luas, memunculkan diri dari obyek tanah,

membaca pikiran, dan panggilan satu jarak.121

Penghormatan kepada para wali, dengan melakukan ziarah ke makamnya

juga memainkan peran sentral sebagai bagian dari ketaatan beragama dalam bentuk

ritual mistis Islam suku Sasak di Lomobk. Penghormatan terhadap wali terkait pula

dengan pemahaman teologis tentang seputar kenabian, kosmologi dan kesempurnaan

manusia. Para pengikut Islam tradisional dalam konteks ini mempercayai bahwa

ziarah adalah tradisi Islam, selama tidak bertentangan dengan akidah, seperti meminta

kepada yang diziarahi.122

Makam para wali selalu dimanifestasikan menjadi media untuk memperoleh

kesaktian dan keramat. Kesaktian berkaitan dengan timbulnya kekuatan yang berada

di luar diri manusia. Salah satu orientasi dari kesaktian tersebut adalah terwujudnya

tujuan-tujuan pribadi, agar mendapatkan suatu kekuasaan dan mempertahankan diri

dari perlawanan musuh. Dalam rangka mewujudkan pencapaian-pencapaian tersebut

tentu seseorang akan menjalankan ritual-ritual seperti puasa, tidak tidur pada malam

hari, bertapa, ruwatan dan lain sebagainya.123

Sedangkan konsep keramat, biasanya berkaitan dengan keberadaan makam

suci, di mana wali bisa menjadi prantara untuk berdoa dan memohon secara khusuk.

Masyarakat Desa Rembitan umumnya masyarakat Lombok Tengah sangat yakin dan

percaya bahwa para wali memiliki kekuatan untuk memberi berkah dan membantu

mereka dalam menghadapi persoalan hidup baik menyangkut keduniawian maupun

keagamaan. Oleh karena itu, praktik ziarah akan selalu dapat dijalankan secara intens

karena memiliki motivasi untuk mengejar berkah dengan harapan bahwa maslah yang

mereka hadapi setidaknya mampu terpecahkan dan harapan untuk hidup lebih baik

dari sebelumnya mampu terkabulkan.

Kesadaran manusia dalam menjalankan ritual-ritual keberagamaan seperti ini

sangat beralasan meskipun belum pasti adanya. Namun demikian, pengalaman yang

telah diperolehnya melalui ritual-ritual tersebut seakan-akan mampu mengahdirkan

ketenangan batin sehingga mereka melakukannya secara intensionalitas. Pengalaman

seseorang juga tentu akan menghadirkan pengetahuan atau pemahaman baru terhadap

suatu tindakan yang pernah dilakukannya. Konsep empirisme,124 tentang pengetahuan

atau kesadaran berpikir manusia dapat berlangsung dari yang khusus menuju general,

121 Lihat: Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia

Kewalianya (Yogyakarta: Galang Perss, 2010), 171. 122Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para

Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)

Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154. 123Lihat: Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia

Kewalianya (Yogyakarta: Galang Perss, 2010), 173. 124Empirisme adalah kepercayaan eksklusif terhadap indra manusia, khususnya

pengamatan, untuk menggambarkan keberadaan berbagai hal. Dalam Alex Sobur, Kamus

Besar Sosiologi, 2016, 189.

Page 146: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

132

dari pengalaman yang spesifik ke klasifikasi abstrak. Memaknai konsep kesadaran

pada manusia, kesadaran berfungsi sebagai pencari penyebab di balik suatu peristiwa

yang terjadi. Oleh karena itu, fenomena akan menentukan suatu kebenaran dari apa

yang dianggap nyata. Kesadaran manusia umumnya selalu bias dalam menentukan

kebenaran. Hanya saja kelemahan manusia muncul sebagai akibat dari pandanganya

yang terbatas karena memiliki sentimen emosional terhadap suatu obyek tertentu.

Dalam hal ini, adalah ketika seseorang pernah merasakan sakit ketika tersulut

api, maka seseorang cenderung menganalogikan bahwa api adalah jelmaan binatang

buas yang pernah membuat manusia merasakan sakit. Untuk itu, kebenaran obyektif

sesungguhnya menjiwai unsur penalaran awam (common sense), karena seseorang

dalam aksesnya terhadap dunia di luar dirinya hanya sebatas melalui kesadaran yang

sifatnya bias dan gagasan ini bersifat kantian.125 Suatu fenomena dalam kehidupan

masyarakat selalu mengarah pada pemaknaan atau interpretasi dari setiap objek yang

terus membayanginya dalam kehidupan mereka. Dalam suatu peristiwa atau kejadian

yang dialami seseorang pasti memiliki dampak atau pengaruh pada pola pikirnya yang

sewaktu-waktu bisa bersifat positif atau negatif.

Sebuah fenomena yang menjadi realitas dalam kehidupan umat beragama dan

berbudaya, akan selalu mengarah pada penekanan yang bersifat intensional. Karena

manusia memiliki referensi (intention), sehingga ia mengetahui bahwa suatu realitas

dapat dikonstruksikan oleh kesadaran manusia melalui referensinya antara hubungan-

hubungan logis di antara fakta-fakta atau objek tertentu yang pernah dipersepsikan

atau dialaminya.126

Fenomenologi merupakan sarana atau media yang menggunakan pendekatan

perbandingan sebagai sarana interpretasi utama dalam rangka memahami arti terhadap

ekspresi-ekspresi keberagamaan seperti persembahan, upacara kematian, upacara

keagamaan, ziarah kubur, mahluk gaib, dan lain sebagainya. Asumsi dasarnya adalah

bentuk luar dari ungkapan manusia yang dapat mendeskripsikan kerangkanya yang

menggunakan metode fenomenolgi. Asumsi tersebut kemudian berusaha untuk

menemukan struktur yang mendasar pada suatu kenyataan keagamaan dan memahami

makna yang lebih dalam sebagaimana yang dimanifestasikan lewat struktur tersebut

dengan norma-norma dan pengertian yang khas.127

Fenomena ziarah, kadang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme

dan dinamisme. Meskipun sudah banyak mengalami perkembangan, tetapi nuansa

praktik-praktik keagamaannya seringkali dapat dilihat pada tradisi-tradisi masyarakat

lokal. Fenomena ziarah di makam keramat Wali Nyato’ nampaknya masih terdapat

pola-pola lama yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat dengan karakter atau ciri

khas mereka dalam melakukan ziarah. Misalnya, peziarah melepmar uang di atas

makam, menaruh air dipinggir makam sembari melafalkan hajat atau doa, lalu air itu

akan diberikan kepada keluarganya, mengikat tali atau benang pada dinding makam,

125Geger Riyanto, Peter L. Berger, Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES,

2009), 86. 126Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif (Yoyakarta: Jalasutra, 2006), 142. 127Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 93.

Page 147: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

133

mengambil material-material seperti tanah atau kerikil kecil di sekitaran makam untuk

tujuan tertentu dan lain sebagainya.

Hal di atas, menggambarkan bahwa fenomena sebenarnya meliputi tentang

fakta-fakta religius yang bersifat subjektif, baik itu pemikiran, perasaan, maksud, dan

tujuan dari seseorang yang diungkapkan melalui tindakan-tindakan luar. Ungkapan

tersebut akan selalu bersifat subjektif dan menjadi sebuah fakta atas tindakan sosial

keagamaan mereka seperti ibadah, yang menyangkut tentang shalat, zikir sebagi cara

banyak mengingat Allah, ziarah menyangkut cara untuk memperoleh berkah, dan lain

sebagainya. Oleh karena itu ungkapan bukanlah sebatas gerakan-gerakan semata atau

tindakan-tindakan tanpa makna.

Kesadaran selalu intensional dan senantiasa mengarah kepada suatu obyek,

meskipun kita tidak akan pernah bisa memahami apa yang sesungguhnya dianggap

sebagai suatu substratum (dasar) dari kesadaran itu sendiri, kecuali hanya kesadaran

tentang sesuatu. Hal itu berlaku sebagai obyek kesadaran dan dialami sebagai suatu

yang termasuk dalam dunia fisik baik secara lahiriah maupun dipahami sebagai suatu

kenyataan subyektif batiniah.128

Fenomena ziarah merupakan salah satu bentuk fakta sosial yang ada dalam

kehidupan masyarakat. Ungkapan dan tindakan-tindakan secara intensional terhadap

suatu obyek tertentu telah mencerminkan perilaku individu atau sekelompok individu

yang diakuinya sebagai kebutuhan lahiriah maupun batiniahnya. Kehadiran agama

memang sangat berpengaruh, meskipun ada pengaruh lainnya seperti sistem sosial

ekonomi129 masyarakat itu sendiri. Bahkan keagamaan seseorang dipengaruhi secara

signifikan oleh agama karena posisinya dalam sistem stratifikasi sosialnya.

Di sisi lain, memang faktor ekonomi tidak dapat menjelaskan ciri-cirinya

secara spesifik dari keberadaan kolektivitas atau komunitas tertentu. Untuk itu,

dibutuhkan pengujian ranking status dan kepercayaan mereka atas aktivitas-aktivitas

keagamaan serta objek yang memeperlihatkan ide dan kedudukan sosial itu sendiri.130

Dalam konteks ini, antara agama dan ekonomi bila mana dihubungakan dalam praktik

keagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah, maka tentu tidak dapat disamakan, sebab

keagamaan menekankan pada aspek agama karena posisinya dalam sistem strafitikasi

sosial dan ekonomi menekankan pada perilaku eknomilah yang mempengaruhi

keagamaan.131

Dewasa ini, fenomena keagamaan menjadi ciut, dan masuk pada ranah-ranah

kecil kehidupan manusia sehari-hari. Masyarakat dalam fenomena ini dipengaruhi

oleh timbulnya dampak budaya modern yang kadang kala mendekati modernisme132

128Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality (New

York: Doubleday & Company, 1966), 34. 129Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective (USA: Wadsworth, 2004),

218. 130 Lihat: Bryan S Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 148 131 Keith A. Roberts, Religion In Sociological Perspectiv, 148 132Moderenisme dan modern memiliki perbedaan. Modern adalah paham yang sering

kali digunakan untuk melihat eksistensi manusia, alam secara keseluruhan. Modernisme

disandingkan dengan tradisionalisme, karena suatu karakter pada masyarakat yang orientasi

rasionalitasnya yang konkerit, otomatis, dan cenderung pada perubahan-perubahan. Modern

Page 148: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

134

dan sekularisme. Tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia, ditandai dengan

kemajuan teknologi dan informasi, menyebabkan agama semakin surut dari area

kehidupan sosial yang dikendalikannya secara tradisional. Bahkan disebutkan bahwa

agama akan mati secara perlahan-lahan dalam arus perkembangan dunia modern

akibat ilmu pengetahuan dan teknologi modern.133 Masyarakat yang dipengaruhi oleh

budaya modern, akan memiliki pola pikir yang jauh lebih rasional dan ilmiah. Hal ini

berdampak pada pola kepercayaan mereka terhadap suatu yang sakral bahkan bersifat

irasional dan jauh dari kata ilmiah. Timbulnya perubahan intelektual pada masyarakat

secara irasional ke rasional akan berdampak pada fungsi sosial di dalam masyarakat

itu sendiri.

Eksistensi agama dalam proses sosial budaya bukan hanya dapat dijumpai

dari setiap perilaku masyarakatnya tetapi muncul sebagai ekspresi religius yang dapat

ditemukan dalam budaya-budaya meterialnya seperti ekonomi, teknologi-informasi,

nilai, norma, seni dan sebagainya. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada aspek

kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya bagi

kehidupan manusia134 karena agama dianggap sebagai sistem kepercayaan dalam

menyelesaikan masalah-maslah yang sejatinya tidak dapat dipecahkan oleh dunia

teknologi. Untuk itu, manusia dalam mengatasi keterbatasan tersebut akan berpaling

pada kekuatan supernatural.135

Fenomea ziarah di makam keramat Wali Nyato’ tentu karena berbagai alasan

dan motif awal yang menyebabkan terjadinya praktik keagamaan tersebut. Misalnya;

karena kekeramatan makam sang Wali, karean ketokohan dari seorang wali sebagai

penyebar agama Islam, karena sejarah dan atau cerita-cerita yang berkembang atas

kekuatan dan kelebihan-kelebihan lain yang dimiliki oleh sang wali, karena hari atau

waktu pelaksanaan yang kadang tidak sama dengan makam-makam keramat lainnya.

Keunikan makam tersebut kemudian membentuk kepercayaan masyarakat sehingga

mereka akan selalu menampilkan ekpresi-ekspresi keagamaan sesuai dengan ciri khas

masing-masing.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa agama merupakan sistem

simbol, karena masyarakat sadar dengan sendirinya dan cenderung akan membentuk

pola pikir dengan eksistensinya secara kolektif. Dalam konteks ini, agama menjadi

proyeksi masyarakat dari kesadaran manusia. Pada prinsipnya masyarakat akan tetap

tidak lebih dari sekedar sikap yang bersedia untuk memfungsikan sarana atau produk yang

dihasilkan dunia teknologi modern dalam melakukan suatu pekerjaan menjadi lebih hemat.

Islam sendiri mengajarkan manusia berlaku hemat. Namun demikian, masyarakat dilarang

menganut hidup atau berideologi modernisme karena dikhawatirkan mereka mengabaikan

Allah dan agama sebagai pegangan hidup. Lihat: Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarata: RajaGrapindo Persada, 2006), 10.

133Stephen K Sanderson, Macrosociology, ed Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta:

RajaGrapindo Persada, 2000), 555. 134Malefijt dalam Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta:

Raja Grapindo Persada 2006), 201. 135Dadang Khamad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 119.

Page 149: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

135

melahirkan simbol-simbol dari pengertian dirinya secara kolektif. Oleh karenanya,

manusia akan membentuk suatu lembaga keagamaan yang diciptakannya.136

Aspek lain dalam sebuah institusi keagamaan yang tidak kalah penting adalah

menyangkut keyakinan dan intelektual.137. Sistem kepercayaan atau istilah worldview,

pada realitas sosial sesungguhnya dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian yaitu:

magic, religion, dan science.138 Dalam pengalaman manusia, mitos akan berkembang

dengan cara membentuk pemahaman serta pola pikir dan modenya untuk menjelaskan

yang lainnya. Perkembangan yang demikian, sering kali dihubungkan dengan konteks

budaya dan perbedaan individu dari sejumlah transisi batin yang muncul pada

masyarakat ke dalam status sosial dengan pola serta eksperimen hidup yang berbeda-

beda. Sebagai ilustrasinya adalah World View dan Dampak Sosial139

Tabel 4. Worldview dan Dampak Sosial

World-

views

Cara Tujuan Dampak Sosial

Magis Tidak rasional

(misalnya: Sesaji,

Membakar

kemenyan. Dan

lain-lain.

Rasional

(misalnya: minta

keselamatan

dunia, sehat, kaya

dan lain-lain

Otoritas dukun atau

magician, pengokohan

hubungan-hubungan

sosial, struktur sosial

komunitas magis

136Emile Durkheim, menaruh perhatianya terhadap aspek-aspek sosial dan

melahirkan nilai kolektivitas. Prinsipnya adalah agama muncul menjadi bagian dari faktor

utama atas kedudukan dan selalu berhubungan dengan masyarakat. Utamanya bagi

masyarakat primitif adalah untuk menolong mereka dalam berhubungan dengan Tuhannya.

Upacara keagamaan yang dilakukan akan membantu mereka dalam melestarikan rasa yang

sama (sense of community) yaitu ketika mereka secara bersama-sama mengambil peran dan

turut serta dalam pesta perkawinan, kelahiran, dan kematian, bahkan mereka secara kolektif

melakukan pesta tanam dan panen rayanya. Manusia cenderung mempersatukan diri secara

berkelompok secara kontraksi religius. Lihat: Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (Free Press of Glencoe, 1961), 315.

137Sedikitnya dua hal penting pembagian intelektual baik secara mitos dan rasional.

Tapi Weber menilai bahwa tingkat intelektual ini lebih kepada istilah dengan sifat

rasionalitas yang kemudian terbagi menjadi tiga pokok penting yaitu: mitos, agama, dan

rasional. Lihat: Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama terj. Yasogama (Jakarta: Rajawali,

2002), xi. 138Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegmoni Sistem Keprcayaan (terj). Ratna

Noviani (Yogyakarta: Kanisius, 2000), xi. 139Heru Nugroho, Rasionalisasi, dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk

Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan (Yogyakarta:

Kanisius, 2002), xi.

Page 150: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

136

Agama Rasional (misalnya:

Puasa, Zakat,

Ziarah dan lain-lain

Tidak rasional

(misalnya: masuk

Surga. Dan lain-

lain

Otoritas ulama atau elit

agama, pengokohan

kekuasaan elit politik,

struktur sosial,

keagamaan, perubahan

budaya

Ilmu

Pengetahuan

Rasional

(menggunakan

metode yang

ilmiah.

Rasional

(misalnya:

pemecahan

masalah-masalah

duniawi, dan

lain-lain.

Otoritas ilmuan,

pengukuhan hubungan

politis, struktur sosial

komunitas keilmuan,

perubahan budaya, dan

disenchantment

Ilustrasi ini telah memperlihatkan varian-varianya di mana antara keagamaan,

metafisik, dan positif memiliki titik tekannya masing-masing. Misalnya pada tahap

keagamaan (theological), dilihatnya sebagai titik tolak pemahaman mistis dan tahapan

metafisik, adalah suatu tahapan yang difungsikan sebagai pembentuk institusi atau

pelembagaan dunia pengalamannya dan bukan menjadi kategori rasional subjektif,

melainkan kategori yang abstrak. Sedangkan tahap terakhir adalah positif, tahap ini

diakui sebagai periode untuk mengembangkan paham ilmiah dan membentuk konsep

modern.140

Melihat sistem perkembangan melalui konsep di atas, nampaknya Hukum tiga

tahap, tidak perlu mempostulatkan hukum gerak pada kemajuan, dan tidak seharusnya

mengabaikan realitas yang ada sebab sangat dimungkinkan momen-momen tertentu

kadang terjadi secara tumpang tindih dari pengalaman hidup manusia bahkan bisa saja

terjadi secara kolektif. Sehingga dalam hal ini, Weber justru melihat momen tersebut

sebagai suatu perkembangan linier, walaupun asumsinya juga bisa tumpang tindih

(overlapping) pada suatu masa tertentu. Titik awal perkembangan rasionalitas

sesungguhnya dimulai dan didominasi oleh magis, karena bentuk nyata dari magis itu

adalah objek sucinya dan cara pemujaannya, di samping orangnya itu sendiri

(magician). Sedangkan pengaruh dari kekuatan magis dalam sistem kehidupan sosial

adalah meningkatnya stabilitas relevansi magis pada manusia yang dimanipulasi

untuk tujuan duniawi.

Kepercayaan masyarakat tentang dunia magis, memang tidak dapat dielakkan

di mana mereka cenderung menghadirkan dimensi-dimensi lain dalam pikiran dan

sistem kepercayaan seseorang. Pada masyarakat suku Sasak kepercayaan tentang

dunia magis tidak hanya ditonjolkan pada praktik ziarah kubur atau ziarah di makam-

makam keramat, tetapi mengenai dunia magis juga masih berhubungan dengan benda-

benda, binatang, bercocok tanam dan lain sebagainya.141

140Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama terjemah tim Yasogama, 2002, 82. 141 Lihat: Ayatullah Humaeni, Ritual Magi dalam Budaya Masyarakat Muslim

Banten, Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2015.

Page 151: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

137

Jika mengacu pada konsep Peter L. Berger tentang suatu kebiasaan akan dapat

melindungi manusia dari ketidakpastian di mana eksistensi peziarah dalam melakukan

ritual-ritual keagamaan adalah pengejawantahan dari melepaskan rasa ketidakpastian

tersebut. Maka mitos142 yang diklaim sebagai sistem penemuan intelektual primordial

terhadap adanya aspek kehidupan dan kepercayaan keagamaan, dapat pula dikatakan

sebagai konsep primitif karena timbulnya bentuk pengungkapan pemikiran dalam

konteks yang paling sederhana dan menjadi serangkaian upaya dalam memahami

dunia untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa

dan ibadah, di samping menjadi bentuk pernyataan manusia yang sangat kompleks.

Mitos merupakan jenis pernyataan yang dramatis dan bukan hanya sekedar menjadi

pernyataan yang bersifat rasional.143

Dalam determinan agama, yang membedakannya secara kontras antara agama

dan magis adalah agama akan selalu membimbing kehidupan penganutnya sehingga

menjadi lebih sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai seperti keselamatan,

mendapat rezki, dan sebagainya. Refleksitas batin, manusia bisa berbeda atas perilaku

luarnya sehingga mampu membuatnya kembali dalam hubungan-hubungan sosial dan

berpengaruh pada perubahan sosial ekonomi. Akumulasi kekuatan yang meligitimasi

agama kemudian beralih terhadap sumber-sumber yang sakaral dan transendental

yakni kepada Tuhan dan Dewa. Sumber-sumber tersebut dilepas dari wujudnya yang

abstrak sehingga mampu sebagai subjek interpretasi pada jenjang yang nyata.144

Timbulnya sistem kepercayaan baru yang telah disebabkan oleh sistem ilmu

pengetahuan (science) dengan menyajikan sistem rasional145 lebih sering diibaratkan

142Cassier, telah menyebutkan bahwa mitos berasal dari emosi. Umumnya emosi

mengilhami semua hasil dengan warnanya yang khusus. Manusia juga tidak kurang memiliki

kemauan dalam memahami banyaknya perbedaan empiris terhadap sesuatu. Namun dapat

dipastikan bahwa secara konseptual tentang dunia dan kehidupan, di mana perbedaannya

dapat diabaikan oleh perasaan yang lebih tinggi, karena kepercayaan pada unsur kebersamaan

yang fundamental tidak terelakkan. Hal ini sebagai perantara keberagamaan dalam versi

tunggal. Namun, ia menjadi pola pikir universal dari pemikiran mitos. Lihat: Ernst Cassier,

An Essay on Man (Garden City, New York: Doubleday Anchor Books, 1953), 109. Lihat juga

Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama, terj. 2002, 80. 143Sebagai sebuah pernyataan yang dramatis karena disandingkan dengan pikiran,

perasaan, sikap dan sentimen. Maka, mitos adalah suatu unsur dalam memahami dunia yang

“cair dan tidak tetap” karena ia menujukkan perbedaanya dengan dunia menurut teori filsafat

tradisional. Mitos adalah dunia dramatis, di mana tindakan, kekuatan, yang saling

bertentangan sehingga banyak hal yang dapat dirasakan disekelilingnya oleh suasana khusus.

Konteks ini, tidak memberikan “sesuatu” sebagai yang kaku dan tidak perlu ditanggapi

karena semua objek bersifat ganda, punya titik temu, betentangan, memikat, menjemukan,

menjanjikan bahkan ada yang menakutkan. Lihat: Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama terj.

Yasogama (Jakarta: Rajawali, 2002), 81. 144Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan (terj). Ratna

Noviani (Yogyakarta: Kanisius, 2000), xii. 145Weber, melihat rasionalitas menjadi tawaran dengan kemungkinan bahwa akan

ada evaluasi yang dinilai efektif terhadap alam dan masyarakat, sehingga akan dapat

menolong manusia dari rasa takut, cemas, dan kahawatir pada kejadian alam yang dengan

segala kemungkinannya tidak dapat diperhitungakan. Berbeda dengan problem yang dihadapi

oleh manusia modern yaitu dunia privat, yaitu sosialnya secara fundamental telah menjadi

Page 152: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

138

sebagai kalkulasi dengan alat untuk mencapai suatu tujuan (means-ends calculation)

yang melemahkan kedudukan magis terhadap agama untuk mengetahui realitas dunia.

Hal ini muncul sebagai gejala yang mengakibatkan pemudaran daya magis dalam

dunianya. Sistem pendekatan metode ilmu untuk mengungkap banyaknya fenomena

yang sebelumya dinilai misteri kemudian dapat dijelaskan secara rasional.

Weber melihat realitas di atas sebagai disenchantment of the world. Karena

prinsipnya, realitas dunia sesungguhnya bisa dipahami dari pengetahuan (knowaldge)

dan dapat dipelajari, atau dipertimbangkan (calculable) hingga diprdeksi kemana arah

kecenderungan pada suatu gejala yang ada. Artinya, suatu ungkapan tentang realitas

memang secara drastis dapat berubah baik melalui cara berpikir atau dengan istilah

irasional menjadi rasional. Karena itu, eliminasi kekuatan-kekuatan irasional telah

menciptakan efisiensi pada administrasi dan organisasi.146

Kehadiran sistem rasionalitas sebenaranya diketahui melalui sistem sosial

yang berbeda-beda. Dalam perkembangan magis misalnya, selalu dapat dibuktikan

dengan cara individu melakukan adaptasi pada norma-norma dan kekuatan di luar

kemampuan manusia itu sendiri. Dalam sistem kepercayaan magis manusia dikuasi

oleh kekuatan-kekuatan gaib yang belum disistematiskan sehingga kekuatan tersebut

bersifat konstruktif atau destruktif bagi diri manusia.147 Tingkat perkembangan agama

yang ditandai dengan adanya norma-norma yang diinternalisasikan secara sistematis

adalah munculnya sebagai pemurnian atas perilaku sosial bagi pemeluknya. Untuk

itu, norma menjadi pijakan interpretasi atas realitas yang ada di masyarakat sehingga

perubahan-perubahan sosial terjadi dan dapat diinterpretasikan melalui norma itu

sendiri.148

Bersandar pada argument-argumen besar di atas, fenomena ziarah kubur atau

ziarah makam yang dijalankan secara intensional oleh setiap individu atau masyarakat

tentu bukan hanya timbul atas dasar pengetahuan secara rasional tetapi ia juga muncul

sebagai pengetahuan serta ekspresi-ekspresi awam yang masih bersifat tradisional

karena makam diyakini sebagai suatu objek suci yang dianggap memiliki unsur-unsur

gaib (magis). Oleh karena itu, praktik keberagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah

kubur atau ziarah makam adalah tujuannya tentu bersifat rasioanl karena mengharap

berkah dari sang waliyullah yang diakuinya memiliki kedekatan dan kelebihan dengan

Tuhan melalui perjalanan batin dan sepiritualitasnya. Praktik ziarah yang juga terjadi

di makam keramat Wali Nyato’ yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut.

Kabupaten Lombok Tengah, juga umumnya adalah untuk mendapatkan berkah dari

tidak bermakna. Mengenai kekuatan hukum, pengetahuan ilmiah, organisasi, rasional

sesungguhnya dapat menolong dan merumuskan cara-cara yang tepat dalam mengatasi

tujuan-tujuan sosial serta tujuan hidupnya. Namun prosedur seperti itu faktanya tidak juga

mampu menolong manusia pada pilihan di antara nilai-nilai yang absolut atau semacam

tujuan-tujuan yang saling diperebutkan. Ilmu pengetahuan tidak relevan untuk

mempermaslahkan rumusan kehidupan manusia yang baik. Lihat: Bryan S. Turner, Weber and Islam (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 231-234.

146Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan (terj). Ratna

Noviani (Yogyakarta: Kanisius, 2000), xii. 147Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, 2000, 1. 148Lihat: Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Terj. Yusup

Priyadisudiarja (Yogyakarata: Jejak, 2007), 98.

Page 153: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

139

sang Wali. Wali Nyato’ adalah seorang ulama yang pernah hadir di bumi suku Sasak

Lombok bagian Selatan untuk menyebarkan ajaran Islam.

Terdapat bukti-bukti sejarah peninggalannya bahkan beliau wariskan pada

sahabat atau teman terdekatnya beliau. Misalnya, dalam penuturan M. Najmmudin

Makmun, konon Wali Nyato’ sering menjenguk salah seorang sahabatnya di Selanglet

(nama sebuah dusun). Di Dusun ini Wali Nyato’ memiliki dua orang sahabat bernama

Balo’ Data atau biasa disebut Balo’ Taseh, dan satunya lagi bernama Balo’ Samber.

Di dusun ini Wali Nyato’ biasa dipanggil Sayid Abdullah. Selain di antara dua sahabat

beliau yang ada di Selanglet, Wali Nyato’ juga sering mendatangi Belamung (nama

sebuah dusun juga) di sekitaran Penujak. Di Belamung juga Wali Nyato’ mempunayi

salah seorang sahabat bernama Balo’ Dati. Balo’ Dati adalah saudara dari Balo’ Data,

tetapi Balo’ Data tinggalnya di Selanglet dan Balo’ Dati tinggalnya di Belamung.

Keduanya diwariskan beberapa benda-benda sebagai pusaka atau kenangan dari Sayid

Abdullah yang konon, hingga sekarang benda-benda tersebut masih utuh. Balo’ Dati

diberikan satu buah lampu kecil, Al-Qur’an, Penyalin belo (sejenis tongkat), Jubah

kain hitam dan dua buah mangkok yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan Balo Data’

beliau diberikan Al-Qur’an, Golok dan Sujadah ukuran Kecil oleh Sayid Abdullah

(Wli Nyato’).149

Berkaitan dengan pemaparan di atas, seiring berjalannya waktu, makam Wali

Nyato’ kian hari menyebar luas di tengah-tengah kehiduapn masyarakat di pulau

Lombok. Tak dapat dielakkan bahwa cerita demi cerita atas kekeramatan beliau terus

bersebaran dan berkembang dari mulut ke-mulut hingga generasi ke-generasinya.

Untuk itu, praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’ oleh hampir semua para

peziarah yang peneliti wawancarai menyatakan bahwa “ziarah di makam ini adalah

tradisi dari para orang tua kita terdahulu atau nenek moyang kita” karena beliau adalah

seorang wali yang sangat keramat. Dengan demikian tradisi keagamaan dalam bentuk

ziarah di makam keramat Wali Nyato’ sebenarnya dapat dikatakan menjadi sebuah

tradisi yang berkembang melalui cerita-cerita yang sudah melegenda di tengah-tengah

kehidupan masyarakatnya. Ditambah lagi dengan semakin menguatnya pemahaman

keagamaan masyarakat melalui ajaran-ajaran agama Islam tentang diperbolehkannya

dalam melakukan ziarah kubur atau ziarah makam. Sehingga hal ini akan semakin

menguatkan kapasitas peziarah dalam menjalankan ritual keagamaanya dalam bentuk

ziarah. Khususnya tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan,

Kecamatan Pujut. Kabupaten Lombok Tengah. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

149 Mengenai sejumlah kejadian-kejadian atau cerita-cerita yang pernah terjadi pada

diri sang Wali (Wali Nyato’) silahkan baca kumpulan cerita yang pernah dituliskan oleh Alm.

TGH. M. Najmuddin Makmun dalam tulisannya yang berjudul “Sejarah Ringkes Deside Wali

Nyato.” Tetapi mengenai cerita yang peneliti sebutkan di atas silahkan di lihat dalam buku

yang sama. (Praya: Pengurus Madrasah “Darul Muhajirin” Praya Lombok Tengah,

1406/1986), 9.

Page 154: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

140

BAB V

TRADISI ZIARAH PADA MAKAM KERAMAT

Sebagai salah satu praktik keagamaan dalam kehidupan masyarakat yang

sudah mengakar panjang dalam ajaran Islam adalah ziarah kubur atau ziarah makam.1

Tradisi keagamaan seperti praktik ziarah kubur atau ziarah makam keramat ini tidak

selalu berwajah tunggal, tetapi ia berkelindan antara ketaatan serta kepatuhan atas

identitas ke-Islamannya dengan menonjolkan sistem keyakinan atau kepercayaan

mereka masing-masing. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan lebih menonjolkan

dimensi-dimensi ritual atau praktik ziarahnya yang bukan hanya terkonstruk melalui

ajaran-ajaran Islam semata, tetapi juga bersumber dari ajaran leluhur mereka sebagai

warisan budaya yang kuat.

A. Ritual Dalam Melakukan Ziarah Kubur atau Ziarah Makam Keramat

Ritual-ritual yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat saat melakukan

ziarah kubur atau ziarah makam, sebenarnya telah menggambarkan suatu kegiatan

keagmaan secara formal dan terorganisir yang dapat dijalankan secara priodik.

Norma-norma dalam agama dapat mewujudkan kesatuan sistem kepercayaan beserta

ritual-ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral, disamping adanya praktik

yang menyatukan seluruh orang secara solidaritas yang menganut kepercayaan dalam

komunitas agama tertentu. Sebagai titiktolaknya adalah unsur-unsur sosial yang

menghasilkan solidaritas di mana agama adalah faktor esensial bagi identitas dan

integritas masyarakat karena agama dipandang sebagai sistem interpretasi diri secara

kolektif.2

Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa kata “ziarah” secara

bahasa berarti menengok. Secara syariat Islam, ziarh kubur tentu bukan hanya sekedar

menegok kubur, melainkan kedatangan seseorang baik secara individu ataupun secara

berjamaah adalah untuk mendoakan kepada yang telah dikuburkan serta mengirimkan

pahala atas bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan kalimat-kalimat thayyibah seperti tahlil,

tahmid, tasbih, shalawat dan lain sebagainya. Membaca do’a, maksudnya adalah tidak

meminta kepada kuburan, akan tetapi seseorang meminta kepada Allah untuk dirinya

dan orang yang diziarahi. Bila seseorang melakukan ziarah kepada kubur atau makam

para Wali dan Ulama’, maka berdoa untuk diri sendiri dengan melakukan wasilah atau

tawassul (berperantara) melalui para Wali dan Ulama’, adalah agar doa-doa yang

dipanjatkan tersebut, setidaknya cepat terkabulakan berkat wasilah kepada kekasih

Allah Swt tersebut.3

Ritual ziarah yang dilakukan oleh masyarakat, saat berziarah di makam Wali

Nyato’ juga demikian halnya seperti yang dijelaskan di atas bahwa mereka banyak

1 M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,

Identitas Keagamaan dan Komersial. Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol 14, No. 2 Juli-

Desember 2016, 206. 2Emile Durkheim, The Elementary Formas of The Religious Life (New York: Free

Press, 1992), 76. 3Lihat: Sutejo Ibnu Pakar, Panduan Ziarah Kubur (Cerbon: Kamu Nu, 2015), 39-40.

Page 155: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

141

melakukan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, disamping mengucapkan kalimat-kalimat

thayyibah seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain sebagainya. Meskipun ada

pula ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat dengan maksud atau tujuan tertentu.

Hanya saja umumnya ritual ziarah kubur atau ziarah makam adalah dianjurkan untuk

membaca Al-Qur’an atau yang lainnya.4

Selain itu, ritual merupakan hal ihwal ritus atau tata cara ketika menjalankan

upacara keagamaan. Selain itu, ritual juga didefinisikan sebagai sebuah perilaku yang

sudah ditetapkan atau telah diatur secara sistematis, ketat dan harus dijalankan sesuai

dengan atruan yang berlaku. Sebab apabila dijalankan sesuai dengan ketentuan atau

aturan yang berlaku, maka ritual-ritual tersebut diyakini akan mampu mendatangkan

keberkahan, dikarenakan keyakinan akan timbul sesuatu yang sakral.5 Adapun secara

tujuan, ritual-ritual yang dilakukan karena mengharap rida Allah semata serta balesan

yang ingin dicapai adalah menyangkut kebahagiaan ukhrawi, atau ingin memperoleh

sesuatu yang bersifat duniawi dan memohon ampun atas segala perbuatan dosa yang

pernah dilakukannya.

Praktik atau ritual perseorangan, biasanya mengisolasi diri dari keramaian.

Sedangkan ritual yang dilakukan secara kolektif adalah dzikir, sholat berjamaah,

Ibadah Haji, khutbah dan sebagainya. Menurut Homans, ritual berawal dari adanya

rasa kecemasan. Dalam tingkatannya kecemasan dibagi menjadi dua tingkatan yaitu;

- Kecemasan yang bersifat sangat, dan selanjutnya disebut kecemasan

primer. Kecemasan primer adalah kesadaran akan ketidak mampuan

untuk mencapai suatu tujuan melalui kemampuan dan keterampilan yang

dimiliki.

- Kecemasan biasa, atau kecemasan sekunder. Kecemasan sekunder adalah

kekhawatiran kalau ritual yang dijalankan kurang tepat atau suatu tradisi

yang dijalankannya tersebut tidak semestinya.

Homans menjelaskan bahwa ritual primer sebagai upacara yang bertujuan

untuk mengatasi rasa kecemasan, merskipun tidak langsung berpengaruh terhadap

tercapainya tujuan. Sedangkan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk

kompetnsi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam melakukan ritual primer

tersebut.

Secara Islam, ritual dalam tingkatannya juga dibagi menjadi tiga bagian yaitu

pertama; ritual Islam primer, kedua; ritual Islam sekunder dan ketiga; ritual Islam

trisier.6 Ritual Islam primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam seperti

shalat lima waktu sehari semalam, puasa, dan zakat. Kewajiban dalam menjalankan

ritual ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qu’ran dan hadis Rasulallah

Saw. Sedangkan ritual sekunder adalah ibadah sunnah seperti bacaan-bacaan dalam

rukuk, sujud, shalat berjamah, shalat tahajud dan shalat-shalat sunnah lainnya. Dan

4 Ma’qil Bin Yasar meriwayatkan. Rasulallah Saw bersabda: Bacalah surat Yasin

pada orang-orang mati di antara kamu (HR Abu Daud). 5 Lihat: Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2011), 125-126. 6 Lihat: Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2011), 128-129.

Page 156: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

142

terkahir adalah ritual trisier yaitu ritual berupa anjuran tidak sampai pada tingkatan

sunnah.7

Ziarah yang dipraktikkan di makam keramat Wali Nyato’ nampaknya telah

melatarbelakangi munculnya ritual-ritual tertentu dalam pola budaya lokal, terutama

menyangkut ritual trisier. Keberadaan makam keramat biasanya adalah simbol suci

yang merupakan objek budaya bagi masyarakat untuk dapat dikunjungi atau diziarahi

oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, ritual-ritual ziarah acapkali akan dipraktikkan

sesuai dengan ajaran yang diyakininya. Di makam keramat Wali Nyato’ meskipun

ziarah hanya diperbolehkan pada hari Rabu saja,8 tetapi, pengunjung makam selalu

ramai memadati area makam terutama menjelang perayaan hari-hari besar agama

Islam dengan hari yang sudah ditentukan.9 Sedangkan ritual-ritual yang dijalankan

tentu akan sesuai dengan motif dan tujuan mereka masing-masing.

Di makam keramat Wali Nyato’ tampak proses ritualitas yang umumnya

banyak dilakukan oleh masyarakat seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa

masyarakat membaca tahlil, tahmid, tasbih dan dzikir, membaca Yasin dan bedoa.

Ritual saat melakukan ziarah di makam keramat tersebut, biasanya dimulai dengan

peziarah mengucapkan salam terlebih dahulu kepada ahli kubur atau jasad yang telah

dimakamkan, setelah itu, membaca al-fatihah kepada Nabi Muhammad Saw, para

sahabat dan para Waliyullah khususnya Wali Nyato. Selanjutnya sang Kiyai akan

memimpin bacaan tahlil yang diawali dengan bacaan surat al-fatihah sampai selesai

berdoa.10

Secara Islami, dalam melakukan ziarah kubur atau ziarah makam seharusnya

berwudhu lebih dulu sebelum mendatangi kubur atau makam, mengucapkan salam

serta mendoakan ahli kubur, dalam berziarah hendaknya dilakukan dengan penuh

hormat, khidmat dan khusu’, tidak mencela kepada ahli kubur, berpakaian yang sopan,

tidak trasparan, atau pakaian yang menutupi semua aurat, menjauhi ucapan-ucapan

yang batil, seperti tidak meratap atau menagis dengan meraung-raung, tidak duduk di

batu nisan atau tidak melangkahi di atasnya karena hal tersebut adalah perbuatan yang

idza’ (menyakitkan) terhadap si mayit dan ziarah kubur atau ziarah makam tentunya

dapat mengambil pelajaran yaitu; untuk mengingatkan peziarah akan kematian.11

Umumnya ritual ziarah kubur ataupun ziarah makam, sebenarnya sama saja

dengan proses ritual yang juga dilakukan oleh masyarakat di berbagai wilayah, tidak

terkecuali bagi masyarakat yang memiliki motif atau tujuan tertentu. Misalnya; di

makam keramat Wali Nyato’ Desa Rembitan, Lombok Tengah, kadang-kadang ada

sebagian masyarakat ingin melakukan ritual khusus dengan motif atau tujuan tertentu.

Biasanya masyarakat yang ingin menjalankan ritual tersebut karena sudah bernazar

7Misalnya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Nasa’I dan Ibn Hibban,

“Orang yang membaca ayat kursi setelah shalat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya

masuk surga”. Meskipun, dalam hadis ini ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursi

stelah shalat wajib adalah sunah. Tetapi membaca ayat kursi setelah melaksanakan shalat wajib

hanya bersifat tahsini. 8 Wawancara dengan Gnr. Penjaga Makam 27, November 2017. 9Wawncara dengan M.gnr. Juru Kunci Makam, 6 Desember 2017. 10 Lihat: Fikria Najitama, Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah Pada Makam

Santri dan Makamf Priyayi) Jurnal, Ibda’ Vol. 11. No 1 Januari, 2013, 26-27. 11Lihat: Sutejo Ibnu Pakar, Panduan Ziarah Kubur (Cerbon: Kamu Nu, 2015), 42.

Page 157: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

143

sebab pernah menderita sakit atau sedang mengalami musibah seperti kehilangan Sapi

atau Kerbau. Masyarakat yang kehilangan sapi, biasanya akan menjalankan ritual

sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika dalam kejadian tersebut terdapat salah

seorang wraga yang dicurigai sebagai pelaku pencurian, pelaku akan digelandang ke

makam Wali Nyato’ untuk disumpah.12

Kekeramatan makam, telah membentuk sistem kepercayaan atau keyakinan

masyarakat luas. Demikian halnya dengan kekeramatan makam Wali Nyato’ dengan

sejumlah konsepsi-konsepsi terhadap pemaknaan peziarah dalam mengartikulasikan

praktik ziarahnya pada suatu tradisi keagamaan saat melakukan ritualnya. Oleh karena

itu, praktik ziarah di makam keramat tersebut telah menunjukan bahwa individu dan

masyarakat memiliki pola kepercayaan tersendiri dalam mengaktualisasikan perilaku

ziarahnya. Dalam setiap ritual yang dijalankan oleh para peziarah, biasanya memiliki

dua tahapan utama yaitu:

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan saat akan melakukan ziarah di makam keramat, umumnya

menyangkut masalah penetapan waktu dan tempat pelaksanaan, termasuk syarat atau

benda-benda ritual yang harus dipersiapkan.13 Tetapi tahap persiapan saat melakukan

ziarah di makam Wali Nyato’ khususnya mengenai hari pelaksanaan, memang sudah

ditetapkan yaitu harus pada hari Rabu. Tidak seperti penetapan waktu pelaksanaan

ziarah makam keramat lainnya yang terkadang kapanpun dapat dilaksanakan tanpa

batas ruang dan waktu seperti yang terjadi pada makam-makam keramat lainnya.

Peziarah yang memerulukan persiapan saat melakukan ziarah di makam keramat Wali

Nyato’ adalah mereka yang sudah bernazar terlebih dahulu untuk melakukan ziarah

misalnya; mereka akan melakukan pemotongan hewan di area makam. Peziarah yang

memiliki nazar seperti ini, tentu akan mempersiapkan jenis hewan yang akan dipotong

terlebih dulu disamping mempersiapkan syarat atau benda-benda ritual lainnya untuk

melaksanakan nazar atau janjinya.

2. Tahap Pelaksanaan

Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa pelaksanaan saat melakukan

ziarah di makam keramat Wali Nyato’ sesuai dengan janji atau nazar para peziarah,

tentu terdapat berbagai kegiatan yang menjadi rangkaian dari proses ritual yang akan

dijalankan seperti pemotongan hewan baik Sapi, Kambing atau Kerbau, masak-masak

diarea makam hingga selesai. Setelah acara masak selesai, selanjutnya sang Kiyai

akan memimpin dzikir, membaca tahlil, dan melakukan doa bersama sebagai penutup

acaranya. Setelah ritual bacaan-bacaan tersebut selesai, maka acara makan bersama

pun dilakukan bersama dengan rombongannya.

Sebenarnya jika diinventarisir, ritual-ritual yang terkait dengan praktik ziarah

kubur atau ziarah di makam keramat pastinya tidak terlepas dari perlengakapan atau

peralatan ziarah dan juga bacaan berziarah seperti tahlilan, yasinan, ngalap berkah,14

12 Wawancara dengan Juru Kunci Makam, L. Gnr, 27, Nobeber, 2017. 13 Mirta Irmasari, Makna Ritual Ziarah Kubur Angku Keramat Junjung Sirih Oleh

Masyarakat Nagari Paninggahan. Lihat: ejournal.unp.ac.id. 2012, 3-4. 14 Lihat: Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkeritis (Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, 2010), 5.

Page 158: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

144

istighatsahan, tabarrukan, tawassulan, membaca Al-Qur’an, Shalawatan, membaca

dzikir dan wirid, membaca doa serta adab atau tatacara berziarah.15

Keberadaan makam-makam keramat di berbagai daerah biasanya memiliki

hubungaan yang sangat erat secara kontekstual melalui cerita-cerita atau legenda yang

telah berkembang dalam kehidupan masyarakatnya sejak lama. Sebagaimana yang

telah di jelaskan sebelumnya bahwa makam keamat Wali Nyato’ juga memiliki cerita

atau legenda yang telah membentuk hubungan dinamis dari keberadaannya dengan

kehidupan masyarakatnya sehingga makam tersebut dijadikan sebagai simbol suci

untuk dapat diziarahi oleh masyarakat luas.

Menyangkut pandangan atau asumsi para peziarah terhadap para tokoh, Wali

atau para ulama selaku pengembang ajaran agama Islam, sebenarnya tergantung pada

sisi kewaliannya, ketokohannya, keulamaannya dan juga kekeramatannya. Selain itu,

yang paling pokok adalah menyangkut keberkahan yang dimiliki oleh para tokoh, wali

atau para ulama di mana berkah-berkah itu bersumber dari Allah Swt. Keberkahan-

keberkahan tersebut kemudian ditrasnfer keapada para peziarah. Umumnya praktik

ziarah yang dilakukan oleh seseorang hanya untuk memperoleh berkah. Keyakinan

dan kepercayaan para peziarah ini bisa juga berasal melalui cerita atau legenda yang

berkembang dari keramatnya para wali atau tokoh tersebut.16

Dalam praktik ziarah kubur atau ziarah makam, masyarakat selalu memiliki

bacaan-bacaan atau amalan, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun al-Hadis.

Dan rangkaian yang paling akhir dalam ritual ziarah adalah membaca do’a. Adapun

doa-doa yang dipanjatkan oleh setiap peziarah kadang sangat beragam diantara para

peziarah yang satu dengan kelompok peziarah yang lainnya sesuai dengan pemandu

atau pemimpin doa saat melakukan ziarah. Selain itu, adab berziarah juga menjadi hal

pokok yang perlu diperhatikan oleh para peziarah. Seperti yang pernah dijelaskan

sebelumnya bahwa peziarah baiknya berwudhu dulu sebelum memasuki area kubur

atau area makam, kemudian melepas alas kaki, mengucapkan salam dan seterusnya.

Sebagai sebuah tradisi keagamaan yang terus berkembang dalam kehidupan

masyarakat yang juga merupakan kesinambungan dari tradisi-tradisi ziarah sebelum

kedatangan Islam di nusantara, perlengkapan ziarah juga telah menjadi bagian dari

syarat-syarat ziarah, di mana yang paling umum dibawa saat melakukan ziarah adalah

bunga, air, sesaji, minyak wangi disamping membawa perlengkapan secara khsus

untuk tujuan tertentu.17

Di makam keramat Wali Nyato’ praktik ziarah umumnya dilakukan dengan

cara-cara yang sangat Islami karena membaca tahlil, dzikir, membaca yasin dan do’a.

Meskipun pada saat-saat tertentu ada pula ritual yang dijalankan oleh peziarah dengan

motif dan juga tujuan tertentu. Oleh karena itu, praktik ziarah di makam keramat Wali

15 Lihat: Sutejo Ibnu Pakar, Panduan Ziarah Kubur (Cirbon: Kamu Nu, 2015), 42. 16 Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno

Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembnag: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah

Palembang, 2017), 19. 17Lihat: Parlindungan Siregar, Tradisi Ziarah Kubur Pada Makam Keramat/Kuno

Jakarta: Pendekatan Sejarah (Palembnag: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah

Palembang, 2017), 20.

Page 159: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

145

Nyato’ terkadang terdapat proses ritual yang akan disesuaikan dengan tradisi nenek

moyang mereka atau ajaran yang diyakininya.

Kehadiran para pengunjung atau para peziarah di makam keramat Wali Nyato

memang sudah sangat tersetruktur sesuai dengan waktu atau hari diperbolehkannya

melakukan ziarah. Kehadiran peziarah tentu sekali akan disesuaikan dengan proses

ritual yang akan dilaksanakannya. Tetapi jika peziarah datang hanya untuk melakukan

tawassul, wasillah, dzikir, tahlilan, yasinan, shalwatan dan berdo’a maka tentu tidak

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berada di sekitaran makam. Kecuali bagi

peziarah yang datang di makam keramat Wali Nyato’ karena ingin menjalankan ritual

seperti melakukan pemotongan hewan, maka mereka membutuhkan waktu berjam-

jam bahkan bisa seharian penuh dalam menjalankan kegiatan tersebut. Karena itu,

ritual ziarah di makam keramat Wali Nyato’ sebenaranya masih terdapat ritual-ritual

yang kadang-kadang tidak harus berjalan seperti yang disunnahkan oleh Rasulallah

Saw, karena peziarah dalam menjalankan ritualnya kadang masih dipengaruhi oleh

nuansa tradisi lama atau ajaran nenek moyang mereka terdahulu.

B. Motivasi dan Tujuan Melakukan Ziarah di Makam Keramat

Kepribadian seseorang terbentuk karena pengetahuan melalui penggambaran,

konsepsi, persepsi, apresiasi, pengamatan, dan fantasi mengenai berbagai hal dalam

dunia lingkungannya. Sebenarnya bukan hanya pengetahuan, akan tetapi kepribadian

seseorang juga dapat dibentuk dari berbagai perasaan, emosi, dan keinginan tentang

bermacam-macam hal yang terdapat disekelilingnya.18 Untuk itu, sejumlah kalangan

pisikologi mengatakan kesadaran seseorang juga mengandung berbagai perasaan

yang tidak ditimbulkan oleh pengetahuan karena sudah terkandung di dalam organnya

terutama gennya sebagai naluri. Keinginan yang sudah ada, telah menjadi bagian dari

naluri pada seseorang dan ahli pisikologi menyebutnya sebagai “dorongan” (drive).19

Jika halnya demikian, maka praktik ziarah yang terjadi di makam keramat

Wali Nyato’ tampaknya bukan hanya disebabkan oleh adanya pengetahuan melalui

penggambaran sebagaimana yang tersebutkan di atas, tapi praktik ziarah yang dapat

dilakukan oleh masyarakat juga karena faktor gennya sebagai naluri. Ada sebagian

responden yang menyatakan bahwa; ziarah yang dilakukan di makam keramat Wali

Nyato’ tersebut atas kemauan sendiri, bukan berdasarkan pengetahuan dari orang lain

semata, tetapi karena faktor keinginan secara pribadi semata.20 Secara premis dalam

teori sosialpun bahwa semua hal yang berhubungan dengan serangkaian aktivitas-

aktivitas masyarakat juga berawal dari individu. Yakni; dari individu nyata dan juga

aktivitas-aktivitas mereka, termasuk situasi dan kondisi akan kehidupan mereka,

temuan mereka yang sudah ada, dan kegiatan-kegiatan sebagai hasil cipta mereka.

Premis ini dapat dibuktikan secara empiris.21 Oleh sebab itu, individu tidak ditandai

dengan ciri-ciri universal, namun lebih ditandai dengan kehususan hubungannya pada

18 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi edisi revisi, Jakarta: 2009, 90. 19Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi edisi revisi, Jakarta: 2009, 88. 20 Wawancara dengan Rsln. 35 Thn, Mir, 33 Thn dan Ls, 22, Thn, Peziarah Makam

Keramat Wali Nyato’ 27, Desember 2017. 21Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014),

190.

Page 160: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

146

lingkungan yaitu, berupa cara berhubungan dengan alam dan mahluk sosial lainnya

dimana ia hidup. Individu juga ditandai dengan jaringan hubungannya pada alam dan

masyarakat karena menjadi anggotanya. Manusia dengan lingkungannya memang

sifatnya universal, tetapi dalam bentuk konkret cara berhubungan tersebut berbeda-

beda dan akan menghasilkan pengalaman, peristiwa, sejarah dan kultur yang berbeda

pula.

Berkaitan dengan tradisi ziarah pada makam keramat, nampaknya memiliki

hubungan yang sangat erat dengan pengalaman setiap orang dalam pelaksanaanya. Di

makam keramat Wali Nyato, beberapa peziarah menyatakan bahwa, ziarah di makam

tersebut tergantung pada hajatan atau keingian yang ingin dicapai. Mislanya; hajatan

untuk dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupannya, apakah baik,

buruk, gagal, berhasil, susah, senang dan lain sebagainya sebenarnya dapat dilakukan

dengan meminta atau memohon petunjuk kepadanya (Wali Nyato’) sebagai seorang

waliyullah yang memiliki kedekatan dengan sang Maha Kuasa yaitu Allah Swt.22

Eksistensi individu sebagai mahluk sosial yang memiliki kesadaran untuk

mendorong dirinya dalam melakukan hubungan dengan alam, lingkungan, manusia

dan lain-lain karena adanya dorongan kuat dalam bergaul atau berinteraksi terhadap

sesama manusia, bahkan dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan

ini sebenarnya sebagai dasar biologis dalam kehidupan manusia sebagai mahluk

sosial. Selain dari akibat munculnya kebudayaan yang bermacam-macam di antara

manusia. Melalui dorongan ini, manusia mengembangkan suatu pola kebiasaan, adat-

istiadat, kebudayaan, perilaku keagamaan, tradisi dan lainnya yang kadang-kadang

memaksanya untuk melakukan penyesuaian diri (conform) dengan manusia yang ada

disekitarnya.23

Tindakan-indakan individu saat melakukan hubungan dengan manusia yang

lainnya tampak dalam suatu ikatan sosial, sehingga akan membentuk ligitimasi yang

berkecenderungan terhadap apa yang telah dialamai, diraskan, dan dijalaninya sebagai

suatu realitas sosial dalam kehidupannya. Oleh karena itu, mengenai tindakan atau

praktik keagamaan individu dan masyarakat juga dapat dikatakan sebagai akibat dari

adanaya berbagai perasaan, pemahaman, pengalaman, pemikiran yang berbeda pula

sehingga senantiasa menampilkan suatu pola yang beragam.

Jika bersandar pada argument di atas, maka seseorang akan terus merasa

terdorong untuk melakukan tindakannya hingga menjadi suatu kebiasaan dalam

berperilaku. Pada konteks ini, tradisi keagamaan masyarakat dalam bentuk praktik

ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembitan, Lombok Tengah, tentunya

berawal dari suatu tindakan individu, kemudian oleh individu-individu lainnya akan

mengikuti atau cenderung meniru tindakan seseorang lainnya hingga muncul menjadi

kebiasaan bersama dan menjadi sebuah tradisi dalam masyarakatnya.

Praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’, oleh beberapa responen juga

menyatakan bahwa peziarah makam, tidak hanya disebabkan oleh pengetahuan secara

historis yang secara konperhensif tentang sang Wali yang diziarahinya semata. Tetapi

mereka dapat mengetahi ke-Waliannya serta kekeramatan makamnya karena cerita-

22 Wawancara dengan Amr. 29 Thn, salah seorang Pimpinan Ponpes Riadlul Ulum

(RA) Peziarah Makam Wali Nyato’ 24, Januari 2018 23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, edisi revisi. 2009, 89.

Page 161: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

147

cerita atau legenda yang telah lama berkembang dari orang tua mereka termasuk

kerabat, sahabat dan tetangganya yang pernah melakukan ziarah di makam tersebut.24

Untuk itu, dapat dipastika bahwa seseorang akan berkecenderungan melakukan hal

yang sama. Hal ini menggambarkan pengetahuan dan pemahaman bagi orang lain

untuk dapat melakukan suatu tindakan yang sama dalam mewujudkan harapan dan

tujuan yang ingin dicapai.

Praktik ziarah yang terjadi pada makam-makam keramat sesungguhnya telah

secara jelas memperlihatkan berbagai motif yang kadangkala dilakukan secara massal

maupun secara personal. Dorongan atau motif yang dilakukan secara massl, akan

menjadi pengikat atau faktor terbentuknya kelompok-kelompok sosial.25 Akan tetapi,

jika tidak ada motif yang sama dari pelaku ziarah secara massal tersebut, nampaknya

agak sulit dapat membentuk kelompok-kelompok sosial yang khas.

Keberadaan makam keramat Wali Nyato’ di Desa Rembita, setidaknya dapat

menjadi media atau sarana bagi masyarakat untuk melakukan silaturrahmi karena bisa

bertemu dengan masyarakat yang lainnya termasuk kerabat, sehabat dan tetangganya

yang juga sedang melakukan ziarah pada hari dan waktu yang sama. Oleh karena itu,

keberadaan makam keramat bukan hanya menjadi objek husus untuk dapat melakukan

ziarah, melainkan bisa berfungsi sebagai medium untuk mempertemukan individu dan

masyarakat untuk saling bersilaturahmi.

Melalui proses sosial, tradisi ziarah kubur atau ziarah makam keramat secara

aspek sosial keagamaan masyarakat selalu dapat mencerminkan adanya motivasi serta

tujuan-tujuan tertentu, selain sebagai medium untuk bisa bersilaturrahmi dengan para

peziarah lainnya. Motivasi serta tujuan-tujuan tersebut kadang kala timbul akibat dari

adanya proses sosial dalam dunia lingkungannya. Dengan demikian masyarakat atau

individu merasa terdorong untuk menjalankan tradisi tersebut karena ada motif dan

keinginan yang kuat bagi mereka.26

Individu dan masyarakat sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pelaku-pelaku

sosial lainnya, sehingga akan menjadi gejala awal dalam melatarbelakangi indentitas

sosial budaya pelaku ziarah. Sedangkan motif yang bersifat personal bentuknya tampil

sangat bergam yang nantinya akan membentuk pradisposisi (kecenderungan) bagi

peziarah itu sendiri.27 Oleh karena itu, motif yang sesungguhnya paling mendasar

ketika melakukan ziarah ke makam keramat adalah motif untuk mendapatkan berkah

karena makam merupakan simbol mediatornya.

Berkah dalam perspektif Islam berasal dari kata Baraka (kata kerja, atau fi’il

madhi) yang berarti telah mendapatkan karunia dan mengandung makna kebaikan.

Barakah merupakan kata benda (isim), yang mempunyai arti kebahagiaan (saidah)

dan nilai tambah (ziyadah).28 Barakah merupakan hasil yang didapat setelah seseorang

24 Wawancara dengan Lk, Guru dan Pt, Peziarah. 29 Januari 2018. 25W. A Gerungan, Pisikologi Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), 151. 26Saya berziarah karena pernah mendengar teman saya bahwa ketika pergi ziarah ke

makam kermat Wali Nyato’ maka insyallah doa-doa kita akan cepat terkabulkan. Wawancara

dengan Ld, Pelajar, Rd Pelajar dan Ns. 16 Januari, 2018. 27Ahmad Falah, Sepiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata Jurnal

Walisongo Volume 20, No 2, November, 436. 28Barakah meliputi dua jenis yaitu pertama: barakatus sama’ (berkah-berkah dari

langit) yang berupa ilmu pengetahuan produk akal yang berdasarkan wahyu dan anugerah Ilahi

Page 162: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

148

melakukan ziarah. Berkah tersebut bersumber dari Tuhan, baik secara langsung

ataupun melalui prantara sang Wali yang memberikan manfaat pada kedamaian dan

ketenangan jiwa. Lebih dari itu, berkah seperti halnya pahala yang diperoleh ketika

melaksanakan ibadah nantinya akan memberikan manfaat pada hari kiamat.

Sedangankan “perolehan” merupakan hasil yang didapat dari ziarah yang hanya

bersifat duniawi, yaitu, “sesuatu” yang digunakan untuk mencari kekayaan, sukses

dalam usaha, menarik lawan jenis maupun sukses dalam sekolah. Jadi berkah bersifat

suci dan mungkin saja didapat secara tidak kasat mata, sedangkan perolehan bersifat

duniawi. Tidak seperti berkah, perolehan yang memiliki sifat “panas” dan sewaktu-

waktu dapat membahayakan manusia yang mencarinya.29

Nilai yang diperoleh tentang kebaikan, ketenangan, dan kebahagiaan oleh

seseorang yang bilamana tidak mensyukurinya maka tidak dapat dikatkan sebagai

berkah. Misalnya, seseorang yang telah banyak memperoleh rizki dari pekerjaan yang

dihasilkannya, tetapi orang tersebut tidak merasakan kebahagiaan atas rizki yang

diperolehnya, maka tidak bisa dinyatkan memperoleh barakah atau berkah. Artinya,

untuk dapat mengetahui nilai tambahan yang dimaksud adalah apakah membawa

kebahagiaan atau tidak, dan apakah membawa kebaikan atau tidak, setidaknya dilihat

dari cara seseorang itu apakah pandai bersyukur atau tidak. Oleh karena itu, barakah

berubah menjadi berkah yang memiliki banyak arti, seperti memperoleh jodoh,

mendapatkan kenikmatan hidup, tercapainya cita-cita, usahanya berhasil, hasil panen

melimpah ruah dan lain sebaginya.30

Makam Wali Nyato’ yang selalu ramai saat dikunjungi para peziarah, tentu

karena adanya berkah yang diperoleh bagi seseorang tersebut. Makam keramat Wali

Nyato’ adalah makam yang sangat keramat dan sakral bagi masyarakatnya. Hal ini

ditandai dengan jumlah pengunjung yang selalu ramai berdatangan dari berbagai

Kecamatan, Kabupaten hingga pengunjung dari luar pulau Lombok. Ini berarti

makam keramat Wali Nyato’ memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengunjung atau

peziarahnya.31

Jika peziarah yang dari luar pulau Lombok ingin melakukan ziarah di makam

tersebut, biasanya mereka terlebih dahulu mencari informasi-informasi tentang waktu

diperbolehkannya melakukan ziarah. Karena makam keramat Wali Nyato’ tidak boleh

di ziarahi atau di kunjungi pada hari-hari lain selain hari Rabu. Oleh karena itu, untuk

yang berupa ilham-ilham dan juga hujan dan sebagainya yang menyebabkan kesuburan dan

timbulnya kekayaan di muka bumi. Kedua: Barakatul fil ardhi (berkah-berkah dari bumi)

ialah kesuburan, hasil tambang dan sebagainya. Untuk memperoleh berkah tersebut, maka

penduduk bumi harus bertqwa kepada Allah Swt, sehingga akan dibuka pintu-pintu

kenikmatan dan keberkahan, yaitu dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat yang dapat

menyuburkan tanah dan memberi kemakmuran hidup dalam negeri dan akan didatangkan

ilmu-ilmu, dengan beragam pengetahuan tentang banyak hal. Lihat: Ahmad Mustafa al-

Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz VII, (Mesir. Darul Hikmah, 1974), 14-15. 29Lihat: Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”

Journal, Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, 2001, 87. 30 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 158. 31 Wawancara dengan Mq. Gnr. Penjaga Makam, 27 Desember 2017.

Page 163: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

149

dapat berziarah ke makam tersebut harus pad hari Rabu sesuai dengan ketentuan dan

aturan yang sudah ditetapkan oleh juru kunci makam.32

Kebanyakan para peziarah yang datang di makam keramat tersebut memiliki

dasar yang kuat serta dilandasi dengan motif dan tujuan yang menutut batin mereka

melakukan ziarah. Meskipun demikian, motif diantara individu yang satu dengan

yang individu yang lainnya kadang berbeda, tetapi seorang melakukan ziarah di

makam keramat, umumnya hanya mengharapakan berkah. Gambaran tentang motif

dan tujuan seseorang atau masyarakat dalam melakukan ziarah makam adalah;

1. Mengharap Berkah

Umumnya tujuan ziarah adalah mengharap berkah, selain sebagai bagian dari

cara pengungkapan doa seklaigus pengenalan akan sejarah nenek moyang terdahulu.

Wali adalah sosok pribadi yang memiliki kedektan dengan Allah. Kedekatannya

karena pencapaian-pencapaian tertentu, di mana sang Wali menerima kemampunan

dari Tuhan yang tidak hanya dibebaskan dari hawa nafsu, tetapi wali juga memiliki

apa yang disebut dengan keramat.33

Masyarakat yang melakukan ziarah di makam keramat Wali Nyato’ di Desa

Rembitan, tentu karena ingin memperoleh berkah. Rs misalnya; ia melakukan ziarah

di makam keramat Wali Nyato’ dengan harapan bahwa maslah yang sedang menimpa

dirinya dapat terselesaikan dengan baik. Rs, datang berziarah ke makam tersebut

dengan tujuan agar berkah dari sang Wali, dapat membantu permaslahan hidupnya.34

Penghormatan kepada para Waliyullah, dengan melakukan ziarah ke makamnya juga

memainkan peran sentral sebagai bagian dari ketaatan beragama dalam bentuk ritual

mistis Islam di Lomobk. Penghormatan pada makam para Wali, sebenarnya terkait

dengan pemahaman secara teologis tentang kenabian, kosmologi dan kesempurnaan

manusia. Para pengikut Islam tradisional dalam konteks ini mempercayai bahwa

ziarah adalah tradisi Islam, selama tidak ada pertentangan dengan akidah, seperti

meminta kepada yang diziarahi.35

Pada intinya, apapun cara yang dipraktikan dalam ziarah kubur atau ziarah

makam keramat, baik yang dilakukannya secara syariat Islam, atau berdasarkan tradisi

para leluhur adalah memiliki hubungan yang erat dengan konsep pencarian berkah.

Wali bagi masyarakat suku Sasak dipandang sebagai entitas yang menjadi bagian

dalam kehiduapn agama dan sosial.36

2. Mengambil Pelajaran

Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa ziarah kubur atau

ziarah makam adalah bagian dari cara untuk mengingat akan datangnya kemataian.

Semua manusia pasti akan meraskan yang namanya mati. Karena itu, ziarah kubur

32 Wawancara dengan Mq. Gn. Penjaga makam, 27 Desember 2017. 33 Lihat: Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia

Kewalianya (Yogyakarta: Galang Perss, 2010), 171. 34Wawancara dengan Rs, 34, Thn peziarah Makam Wali Nyato’ 29 November 2017. 35Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para

Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)

Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154. 36Lihat: Hikmatul Mustagfiroh dan Muhammad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para

Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Penziarah di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak)

Jurnal Penelitian, Volume 8, N0. 1 Februari, 2014. 154.

Page 164: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

150

atau makam sebenarnya mengingatkan manusia pada keadaan jasad atau arwah yang

telah di makamkan sehingga senantiasa akan mengingat akan kehiduapan akherat.

mengingat mati adalah sebuah perenungan manusia agar selalu dapat mengingat akan

kehidupan abadi yaitu kehiduapn akherat. Jika manusia banyak mengingat kehidupan

akherat, setidaknya manusia akan memperbanyak amal ibadahnya sebagi bekal untuk

menghadapi kematian. Ziarah makam telah memberikan pelajaran agar manusia yang

masih hidup senantiasa memperbanyak amal ibadahnya kepada Allah Swt. Memang,

sebelumnya Islam melarang ziarah kubur, tetapi larangan itu di nasakh (ditiadakan).37

Sebuah tradisi dimulai dengan proses sosial yaitu penyesuaian diri secara

kontinuitas baik dalam aktiviktas fisik maupun mental. Pada proses ini sarana yang

digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk

melakukan komunikasi dan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya.38 Proses ini,

secara tidak langsung akan membentuk habitus dan akhirnya akan menjadi suatu

sistem yang cenderung dapat dipahami secara kolektif (bersama). Habitus ini

menyerap kedalam diri manusia sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam budaya atau

tradisi.39

Berkaitan dengan hal di atas, keberadaan makam keramat Wali Nyato’ tentu

bukanlah sekedar makam yang muncul secara tiba-tiba. Tetapi keberadaanya melalui

proses panjang, karena beliau adalah sosok ulama pembawa ajaran Islam di wialayah

Lombok bagian Selatan. Keberadaan makamnya muncul sebagai suatu objek suci

yang mampu melahirkan tradisi ziarah kemudian ia berkembang dalam kehidupan

masyaraktnya. Masyarakat dapat mengetahui suatu objek tertentu karena adanya

proses sosial.

Harus diakui bahwa tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat

cepat atau lambat akan muncul menjadi sebuah realitas sosial. Seperti halnya makam

Wali Nyato’, sebagai objek suci yang dianggap memiliki kekuatan spiritual dan

keramat oleh masyarakat, akan muncul menjadi realitas sosial keagamaan.40 Makam

Wali Nyato’ adalah makam seorang Waliyullah yang memiliki daya tarik tersendiri

untuk dapat diziarahai oleh masyarakat luas. Konon, jika seseorang melakukan ziarah

ke makam tersebut, insyallah hajatnya akan cepat terkabul.41 Hal tersebut diyakini

karena keramat atau berkah dari sang Wali. Sehingga orang yang melakukan ziarah

di makam tersebut akan selalu mengharapkan berkah disamping mengambil pelajaran

sehingga dapat di teladani dalam kehidupanya.

Ziarah kubur atau ziarah makam, selain difungsikan sebagai media untuk

mendapatkan pelajaran dalam hidupannya, ziarah juga dimanfaatkan untuk emosional

keagamaannya dengan berharap memperoleh kekuatan-kekuatan gaib atau kesaktian

37Awalnya, islam melarang tradisi ziarah kubur, karena saat itu masyarakat Islam

baru saja terbebas dari peribadatan kepada berhala. Akan tetapi larangan tersebut kemudian

telah di nasakh (ditiadakan.) Sebagaimana Sabda Rasulallalah SAW, “Dahulu aku melarang

kalian berziarah kubur. Kemudian aku menyuruhmu berziarah, karena ziarah mengingatkan

kalian akan hari akhirat” HR. Muslim. 38Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2011), 249. 39Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Constuction of Reality A

Treatise in The Sociology of Knowledge (New York: Doubleday & Company 1966), 70. 40Wawancara dengan Ls, guru SMP Islam dan Id, guru Mi. 24 Januari 2018. 41Wawncara dengan S mn, peziarah. Rabu, 3 Janwari 2018.

Page 165: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

151

untuk kepentingan-kepentingan tertentu melalui ritual-ritual, doa, tawassul, wasilah,

wirid, zikir dan lain sebagainya.

Seorang Waliyullah dalam perspektif masyarakat adalah satu entitas penting

yang menjadi bagian dalam kehidupannya baik kehidupan agama dan sosial. Makam

para Wali juga dianggap sebagai sumber berkah karena dapat digunakan untuk

berbagai tujuan yang tidak terkira banyaknya, seperti keberuntungan, mendapat rizki,

kekuatan, kekuasaan dan kemajuan sepiritual.42 Dalam konteks tertentu, Wali juga

berkaitan dengan wahyu atau wangsit.43 Melalui wahyu seseorang dapat melakukan

komunikasi dengan para Nabi yang menurut sebagaian besar tradisi Islam akan turun

kepada para wali, karena Wali merupakan kekasih Tuhan. Dengan demikian melalui

perantara wali inilah kemudian wahyu (wangsit) itu turun.

Sedangkan keramat dari sang wali, juga diyakini mampu memenuhi harapan-

harapan para peziarah, sperti kepandaian, kekayaan, kekuasaan dan lain sebagainya.

Hal ini kemudian muncul sebagai tradisi spiritual yang sengat lekat di masyarakat.

Oleh karena itu, ziarah bukan hanya sebatas mengingat kematian. Tetapi ziarah juga

dapat dimaknai sebagai media untuk pemenuhan kebutuah baik yang bersifat material

maupun sepiritual.44

3. Mengenang Sejarah dan Penghormatan Terhadap Arwah Para Leluhur

Beragam manfaat serta tujuan selalu menyertai aktivitas-aktivitas peziarah.

Sebagaimana yang di sebutkan sebelumnya bahwa jika ziarah makam yang dilakukan

oleh masyarakat adalah sebagai tradisi para leluhur mereka, maka hal tersebut dapat

dikatakan sebagai akibat dari pengaruh masa Hindu-Budha. Pada masa tersebut

kedudukan seorang raja masih dianggap sebagai titisan dewa sehingga segala sesuatu

yang berhubungan dengan seorang raja masih dinilai keramat. Misalnya Raja Rajasa

Nagara (Hayam Wuruk) diandaikan sebagai titisan Hyang Giri Nata yang beristana di

puncak Gunung Semeru.45

Tradisi ziarah kubur atau ziarah makam pada masa pra-Islam ditandai dengan

adanya permohonan kepada arwah orang yang telah meninggal. Pada masa Jahiliyah

tradisi menganggungkan berhala dan menyembah arwah leluhur, karena menganggap

arwah para leluhur memiliki kendali atas kehidupan mereka dan bisa mewujudkan apa

yang mereka inginkan. Tetapi dalam kontek sekarang ini tradisi ziarah kubur atau

ziarah ke makam para leluhur sesungguhnya bukanlah unntuk mengaggungkan arwah

para leluhur melainkan refleksitas akan sejarah atau peran penting dari sang leluhur

tersebut ketika masih hidup. Terlebih jika arwah leluhur yang di ziarahi tersebut

adalah tokoh atau ulama yang pernah membawa ajaran Islam pada masanya maka

seolah-olah menjdai keharusan bagi masyarakatnya.

42 Suwardi Endraswara, Mistis Kejawen: Sinkritik, Simbolisme dan uSfisme Dalam

Budaya Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi 2006), 18. 43 Arti kata wangsit dalam KBBI adalah pesan (amanat) gaib. Misalnya, “menurut

wangsit yang diterimanya, benda itu harus disimpan dalam keraton”. 44 Hikmatul Mustagfiroh dan Muhamad Mustaqim, Analisis Spiritualitas Para Pencari

Berkah (Studi Atas Motivasi Peziarah di Makam Sunan Kalijaga Kdilangu Demak, Jurnal

Penelitian, Vol. 8. No. 1 Febrari, 2014. 155. 45 Erwin Arsadani, Islam dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi

Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa, Jurnal Esensia Vol. VIII No. 2 Juli 2012,

280.

Page 166: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

152

Tradisi ziarah di makam Wali Nyato’ di Desa Rembitan, oleh sebagian besar

msayarakat kadang kala mereka melakukan ziarah hanya sebatas ingin mengenang

jasa-jasa dari sang Wali sebagai penyebar agama Islam pada masanya. Sang Wali

Nyato’ adalah seorang yang sangat mulia (suci), berkarisma, berbudi perkerti, sikap

dan tutur sapanya santun serta penuh kasih sayang terhadap kerabat dan sahabatnya.46

Berkaitan dengan keberadaan orang-orang shaleh atau orang suci, sebenarnya

tidak akan lepas dari karismatiknya, kemuliaanya, bahkan tidak jarang ia memiliki

kekuatan atau kelebihan dan keramat disamping pengaruh dari ketokohannya. Oleh

karena itu, orang suci atau ulama acapkali dipandang sebagai bagian dari suatu entitas

keagamaan yang selalu dapat dijadikan sebagai pijakan bersama oleh masyarakat.

Karena itu, ualama atau orang suci meskipun telah meningga dunia, kesuciannya akan

tetap bersemayam pada makamnya.

Sebuah realitas sosial keagamaan masyarakat dalam bentuk ziarah adalah

suatu yang nyata adanya dan berproses melalui kaidah-kaidah sosial yang berlaku

serta berpedoman terhadap kebenaran teks-teks suci seperti al-Qur’an, al-Hadist,

kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai, aturan, dan lain sebagainya. Kesemuanya

itu, berada di luar diri inidvidu sehingga melibatkan momen adaptasi dengan teks-teks

tersebut. Keterlibatannya tentu disertai dengan tindakan dan bahasa sebagai sarana

yang digunakan untuk disampaikan kepada orang lain sehingga membentuk suatu

pengetahuan tentang tradisi (pentradisian/enkulturasi47).

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa tradisi ziarah terbentuk atas dasar suatu

proses yang panjang sehingga menjadi sebuah realitas sosial keagamaan yang berada

dalam kehidupan masyarakat. Melalui proses sosial inilah setiap anggota masyarakat

dapat mengetahui tentang ketokohan atau pengaruh dari seorang ulama atau orang

suci (wali). Demikian halnya dengan keberadaan makam keramat Wali Nyato’ yang

juga dapat diketahui oleh masyarakat luas karena proses sosial yang terjadi dalam

kehidupan mereka.

4. Melakukan Tawassul atau Berwasilah

Istilah “Kekasih Aallah” identik dengan suatu pemahaman tentang “dekat”

kepada Allah. Istilah ini sering kali dipahami atau dimaknai sebagai suatu kelebihan

yang dimiliki oleh orang-orang shaleh atau para wali. Keberadaan para Wali bisa

menjadi prantara untuk menyampaikan komunikasi orang biasa kepada sang Khaliq.

Ssecara aspek sosial, keberadaan para tokoh yang sangat dihormati kadang kala selalu

direpresentasikan sebagai Nabi, Wali dan Kyai, karena kedekatannya dengan Allah

Swt hingga mereka meyakini akan lebih mudah dikabulkan permohonannya. Logika

46 Wawncara dengan Sln. 59 Thn, Pengunjung Makam, 25 November 2017. 47Enkulturasi (enculturastion) merupakan proses bagi seseorang baik secara sadar

maupun tidak sadar dalam mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat. Enkulturasi terjadi

melalui proses sosial marena manusia adalah mahluk yang bernalar, punya daya refleksi dan

intelegensia, belajar memhami serta menyesuiakan diri pada pola pikir, pengetahuan, dan

kebudayaan dari sekelompok masyarakat manusia yang lain. Lihat: M.J. Herskovits, Man and

His Work, 39, dikutif dalam Herber Alphonso and Rober Faricy, Priest as Leader: “The

Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States

Context” (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29. Lihat juga Peter Poole, Socialisation,

Enculturation and the Development of Personal Identity, 52.

Page 167: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

153

ini adalah alasan utama bagi seseorang yang memepercayai bahwa Wali adalah orang

yang dianugrahkan kelebihan oleh Allah.

Manusia akan selalu memiliki hubungan dengan cara berperantara bila mana

suatu hubungannya merasa tidak terjangkau. Karena itulah kemudian setiap orang

dalam berziarah dengan melakukan tawassul atau berwasilah kepada sang Wali adalah

karena ia merasa tidak mampu berhubungan langsung dengan Tuhan. Sebagian besar

responeden menyatakan bahwa dengan melakukan ziarah ke makam Wali Nyato’

maka doa mereka akan sampai kepada Allah Swt, dan cepat dikabulkan.48

Terlepas dari motif serta tujuan para peziarah di atas, jelasnya bahwa praktik

keagamaan dalam bentuk ziarah adalah tidak meminta kepada jasad atau arwah sang

Wali. Tetapi mereka melakukan perantara (tawassul) untuk menyampaikan hajatnya.

Fenomena ziarah memang bagian dari pendekatan secara kultural untuk suatu agama

tertentu. Karena praktik ziarah mengandung kompleksitas dan sejumlah objek-objek

suci sehingga dapat menggerakkan manusia untuk menciptakan perasaan atau motif

tertentu hingga akan diformulasikan oleh norma-norma universal dari keberadaannya

yang disertai dengan penggunaan konsepsi melalui nuansa faktualitas dan membentuk

perasaan dari adanya motif-motif secara khas sehingga tampak realistik.49

Dalam setiap praktik keagamaan, masyarakat tidak lepas dari proses interaksi

masyarakat hingga membentuk hubungan timbal balik antara agen atau struktur.

Misalnya, tokoh agama, kekuasaan politik, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Dari

adanya proses ini kemudian dapat dikatakan sebagai bagian dari interaksi sosial secara

kelembagaan atau institusionalisasi.50 Agen atau aktor tersebut bisa saja berasal dari

peziarah atau bisa pula dalam suatu kelompok masyarakat tertentu yang sudah

terorganisir. Misalnya; lembaga Nahdlatul Ulama,51 dan Muhammadiyah.52

48 Wawancara dengan Ms, 45 Thn, Rik, 65 Thn, Peziarah Makam Wali Nyato’ 10,

Desember 2017. 49Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books, 1970), 91. 50Institusionalisasi merupakan suatu proses pelestarian perilaku secara struktural dan

terorganisir melalui proses interaksi yang dilakukan secara tersu-menerus sehingga menjadi

perilaku melalui berbagai simbol-simbol yang dapat dimaknai dan dipahami secara dialogis

praktis oleh individu sebagai pelaku yang ada dalam dunia sosio-kulturalnya, atau berada pada

wadah suatu organisasi keagamaan yang sama. Lihat: Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama

Kajian Tentang Perilaku Institusional dalam Beragama Persis dan Nahdlatul Ulama

(Bandung; Refika Aditama, 2007), 25. 51Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu ormas Islam yang justru sangat dekat

dengan tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara dalam

mempertahankan tradisi untuk menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam

pada masa lampau. Sebagai kaidah yang paling sering kita dengar adalah “mempertahankan

warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”. Lihat: Zada dan

A. Fawaid Sjadzili Terj, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan

(Jakarta: Kompas, 2010), 131. 52Muhammadiyah sendiri sejak awal merespon kondisi sosial keagamaan masyarakat

Islam yang tidak memperaktikkan agama secara purifikasi (pemurnian) dengan melihat adanya

praktik-praktik mistisme, ritual-ritual keagamaan dan sebagainya. Maka pengamalan praktik-

praktik Islam yang dinilai bercampur aduk dengan hal-hal yang bersifat takhayul, bid’ah dan

khurafat seakan tidak bisa berbuat banyak terhadap maraknya tradisi yang terus diwarnai

dengan sistem-sistem scara taktis dan pasif. Namun pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad

Page 168: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

154

Secara internalisasi atas sebuah realitas yang ada pada kehidupan masyarakat,

tak dapat dipungkiri bahwa terdapat proses yang secara subyektif telah terjadi di mana

terserapnya kembali suatu realitas ke dalam diri individu sehingga proses yang terjadi

pada dunia lingkungannya akan berada pada diri mereka masing-masing. Dalam

rangka untuk menghidupkan kembali identifikasinya, maka dijalankan sistem

sosialisasi53 pada apa yang telah diketahuinya sebagai sebuah realitas sosial tersebut.

Karena itulah, suatu realitas yang ada akan selalu hadir bersama identifikasi atau

tafsirannya sehingga seseorang akan menjadi bagian dari suatu tradisi secara

institusional dalam sebuah kelompok tersebut, seperti kelompok keagamaan, sosial,

budaya, pendidikan politik dan lain-lain.

Dalam sebuah tradisi, masyarakat akan melakukan adaptasi dimana peroses

penyesuaiannya atas sesuatu yang telah diketahui, muncul sebagai pemahaman yang

kemudian dapat di tafsirakan ketika melihat, mengalami, meraskan, dan mempelajari

realitas sosial itu sendiri melalui kaidah-kaidah sosial. Termasuk Al-Qur’an dan al-

Hadist. Keberadaan makam Wali Nyato’54 nampaknya telah membentuk suatu

pemahaman masyarakat tentang kekeramatannya. Hingga muncul sebagai realitas

sosial yang nyata adanya dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Pemahaman masyarakat tentang tradisi keagamaan biasanya menimbulkan

kepercayaan tersendiri tergantung pada sisi mana pemahaman tersebut dititikberatkan

sehingga ritual atau praktik yang dijalankan dalam tradisi tersebut dapat dilihat saat

melakukan ziarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat banyak mengetahui dan

memahami kekeramatan makam juga melalui cerita dari nenek moyang mereka.55

Dahlan mendapatkan metode yang dianggap tepat untuk melepaskan masyarakat Islam dari

praktik-praktik taktis dalam menjag masyarakat dari pengaruh-pengaruh luar dengan cara yang

lebih rasional. Lihat: Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad

Muhammadiyah (Jakarta: Kompas, 2010), xiii. 53Dalam sosialisasi, terdapat setiap makna. Makna tersebut memerlukan tafsiran

sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh individu. Melalui kerangka sosialisasi ini pula,

dibutuhkan ligitimasi kognitif, yaitu ligitimasi yang dapat menjelaskan realitas sosial normatif

yang bertujuan memberikan perdoman tentang tata cara seseorang berperilaku yang berlaku

atau diterima secara institusional. Dalam Dadang Khamad, Metode Penelitian Agama,

Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung, Pustaka Setia, 2000), 16. 54Makam yang dianggap mempunyai karomah (keramat) oleh masyarakat ini, telah

berkembang menjadi sebuah pemahaman dan pengetahuan masyarakat untuk kemudian dapat

di interpretasikan melalui tindakan dan atau perilaku mereka masing-masing. Tradisi ziarah

ini juga terus berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Akhirnya individu dan

masyarakat akan melakukan ziarah tersebut sesuai dengan apa yang diketahui berdasarkan

cerita, pengetahuan, pengalaman, baik melalui dari seseorang, maupun dari cerita dan tindakan

orang lain. Wawancara dengan Z.rp, Dosen. 4 Desember 2017. 55Pemahaman keagamaan adalah sistem pendekatan yang digunakan untuk menggali

kandungan makna, hukum, maksud-maksud, dan isyarat yang terdapat dalam sumber utama

ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-Sunnah atau pendapat ulama yang dipandang sejalan dan

sepaham atau representasi dari seluruh cara pandang umat Islam yang berada dalam tubuh

yang sama. Dalam Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku

Institusional dalam Beragama Persis dan Nahdlatul Ulama (Bandung; Refika Aditama,

2007), 25.

Page 169: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

155

Suatu bentuk pemahaman dalam sebuah tradisi keagamaan nampaknya sudah

menjadi keniscayaan dalam kehidupan masyarakat sehingga bisa melahirkan beragam

motif tertentu. Ziarah di makam keramat Wali Nyato’ telah menggambarkan adanya

pemahaman, pengetahuan dan pengalaman tentang kekeramatan makam sehingga

praktik keagamaan dalam bentuk ziarah kadang disesuaikan dengan pengetahuan

mereka masing-masing, baik pemahaman yang bersumber dari sejarah, cerita nenek

moyang, pengalaman, dan paham keagamaannya.56

Seorang peziarah yang dikonstruksi pengetahuan dan pemahamanya oleh

suatu objek dari adanya realitas yang dilihat sebagai kenyataan dalam hidupnya, maka

orang tersebut akan memperlihatkan pola tindakan atau praktik keagamaannya sesuai

dengan apa yang telah diketahui atau dipahaminya. Seperti halnya seorang peziarah

dengan pola tindakan yang agak mencolok. Misalnya, kebiasaan peziarah mengambil

material di sekeliling makam untuk keperluan tertentu, menabur bunga, melempar

uang diatas makam, menepuk-nepuk batu nisan makam dengan air, membasuh muka

dengan percikan air batu nisan di makam, dan seterusnya tanpa melakukan tawassul

atau berwasilah.57

Berbagai ritual atau praktik keagamaan yang terjadi pada diri seseorang atau

masyarakat, sebenarnya dapat dikatakan sebagai pengaruh dari adanya sistem sosial,

budaya, termasuk sistem kepribadian seseorang masing-masing.58 Misalnya, Ld,59

datang melakukan ziarah karena ingin mendapatkan kemudahan saat ujian sidang

sekripsi sebagai tugas akhir di sebuah perguruan tingginya. Peziarah seperti ini,

biasanya disebabkan karena situasi atau kondisi tertentu sehingga melaksanakan

ziarah. Namun demikian, kondisi tersebut bukanlah menjadi awal tindakan yang

menuntutnya melaksanakan ziarah, tetapi karena adanya motivasi sebagai penuntun

dalam tindakan atau praktik keagamaan untuk mencari keberkahan atau karomah dari

sang Wali.

Selain itu dalam ziarah terdapat pula norma-norma dan nilai-nilai yang telah

ditanamkan oleh orang tua dan keluarganya kepada peziarah tersebut. Oleh karena itu,

peziarah akan menganggap bahwa ziarah adalah salah satu tradisi yang di jalankan

oleh keluarga dan orang tuanya pada saat menghadapi masalah-masalah dalam hidup

yang apabila hajatnya tersebut dapat tercapai, maka ia akan datang melakukan ziarah

untuk mengucapkan rasa syukur atau terimakasih karena telah selesainya maslah-

maslah yang dihadapinya. Eksistensi para peziarah pada makam-makam keramat

senantiasa menampilkan beragamnya latar belakang yang dengannya membentuk

praktik atau ritual keagamaan tertentu.

5. Sebagai Wisata Religi

Perkembangan suatu tradisi atau budaya dalam kehidupan masyarakat, pasti

tidak akan lepas dari proses sosial yang telah membentuk tradisi atau budaya tersebut,

misalnya sejarah terjadinya sebuah tradisi, perkembangan tradisi dan pelestarian suatu

56Wawancara dengan A rfn. Sekdes, 27 Desember, 2017. 57Wawancara dengan Sn, peziarah. 17 Desember, 2017. 58Bruce C Wearne, Exegetical Exploration: Parson’s Convergence Concept, The

American Socioloist Vol. 44, Nomor 3, September 2013, (pp. 233-244), Published by:

Springer. http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada tanggal 23, November 2017). 59Wawancara dengan Ld, Mahasiswa. 24 Janwari, 2017.

Page 170: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

156

tradisi atau budaya dalam kehidupan masyarakat. Adanya makam-makam keramat

diberbagai wilayah, faktanya telah mampu menarik perhatian masyarakat luas untuk

dapat dikunjungi atau diziarahi. Keberadaan makam keramat, bukan hanya menjadi

tempat untuk berdoa, berzikir dan bertawassul. Tetapi makam keramat juga dapat

berfungsi sebagai tempat wisata religi.

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kususnya di Kabupaten Lombok

Tengah, sebagaimana yang tersebutkan sebelumnya bahwa terdapat beberapa makam

yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat. Misalnya makam keramat Wali Nyato’

yang terletak di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah dan makam keramat Ketaq

yang berlokasi di Desa Monggas, Kopang, Lombok Tengah. Kedua makam tersebut

memiliki pengunjung atau peziarah yang terbilang fantastis. Di makam keramat Wali

Nyato’ banyak peziarah yang datang berkunjung dengan menggunakan bus, truk, dan

mobil mini lainnya, disamping menggunakan roda dua (Sepeda Motor).60

Dewasa ini, muncul tren baru yang dimaknai sebagai istilah wisata religi. Di

Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, juga tercatat sebagai salah satu Provinsi yang

memperoleh predikat sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia.61 Kekayaan budaya

dan sejumlah pesona alam sebagai objek wisata telah mampu menarik para wisatawan

dari berbagai daerah baik lokal, nasional maupun internasional. Selain itu, di Lombok

Tengah, Kecamatan Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat

eksotis seperti adanya upacara adat Bau Nyale (Legenda Mandalika Nyale), Kampung

Tradisional Sade, Ziarah Makam Wali Nyato’ dan Masjid Kuno di Gunung Pujut.

Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu objek yang bernuansa religi,

biasanya akan selalu menarik perhatian masyarakat luas untuk melakukan kunjungan

atau berziarah ditempat tersebut. Di makam karamat Wali Nyato’, menurut beberapa

responden, mereka melakukan ziarah selain untuk berdoa, juga ingin mengetahui

tentang makam keramat Wali Nyato’ tampa melakukan tawassul atau berwsilah.62

Biasnya, masyarakat yang datang berkunjung di makam keramat Wali Nyato’ dengan

tidak melakukan tawassul, berdoa atau berwasilah, adalah masyarakat atau peziarah

yang beru pertama kali melakukan ziarah di makam tersebut.

Terlepas dari pandangan di atas, eksistensi para peziarah di makam-makam

keramat akan senantiasa menampilkan beragamnya latar belakang yang dengannya

membentuk pola tindakan atau perilaku tertentu. Sebagaimana halnya Ralph Linton

yang mengatakan bahwa latar belakang yang ada semenjak manusia lahir adalah tanpa

melihat unsur perbedaan dari individu yang lain bahkan dari sisi kemampuannya.63

Misalnya, latar belakang berdasarkan jenis kelamin.64

60 Wawancara dengan L.Rs, 49 Thn, petugas makam, 17 Desember, 2017. 61 Lihat: https://www.cnnindonesia.com di akses pada tanggal 25, Desember 2018. 62 Wawancara dengan, Ln, 32 Thn, peziarah makam, Krn, 24 Thn, dan Iq. Rni 49 Thn

Peziarah makam Wali Nyato’ 13 Januari, 2018. 63Karmanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi UI, 1993), 85-86. Lihat juga Yānīk Lūmūl, al-Tabaqāt al-Ijtimā’iyah, (Fāransiyah:

Dār al-Kitāb al-Jadīd al-Muttahidah, 2008). 112-113. 64Jenis kelamin didasarkan pada faktor perolehan, bahwa semenjak lahir baik antara

laki-laki dan perempuan telah memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Antara perbedaan

tersebut sering kali mengarah pada tingkatan yang bersifat hierarki. Joan Huber, “Lenski

Effects on Sex Stratification Theory”, Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion,

Page 171: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

157

Jenis kelamin juga merupakan salah satu bentuk latar belakang secara status

sosial yang paling mendasar, selain terdapat unsur-unsur pendukung lainnya seperti

tingkat kemampuan, warna kulit, rambut, bentuk fisik, pekerjaan, ekonomi dan lain-

lain. Unsur dari latar belakang tersebut sudah menjadi suatu keniscayaan dalam hidup

manusia. Selain itu, agama adalah salah satu esensial terpenting dalam melihat latar

belakang individu-individu tersebut karena agama65 memiliki ajaran-ajaran suci dan

mengandung makna sebagai unsur kepercayaan atau keyakinan dalam suatu hubungan

dengan penciptanya.

Berdasarkan gambaran di atas, adanya setatus sosial yang sejatinya dimiliki

oleh masyarakat, di mana secara konsep fenomenologi bahwa unsur-unsur perbedaan

yang terjadi baik secara status sosial maupun individual, biasanya menggambarkan

suatu sifat baik secara obyektif maupun subyektif. Misalnya masyarakat dikatakan

sebagai realitas obyektif sehingga dapat diamati dari suatu komunitas kehidupannya.

Sedangkan individu dilihat sebagai realitas subyektif atas perilaku kehidupannya

sehari-hari. Oleh karena itu, perbedaan status kadang kala bisa memiliki satu titik

kesamaan, disamping adanya perbedaan secara tingkah laku, kelas golongan dan lain

sebaginya.66 Oleh karena itu, praktik keagamaan atau tindakan-tindakan sosial dalam

kehidupan masyarakat banyak dipengaruhi oleh rangkaian pengetahuan dalam realitas

sosial kehidupannya.

Secara keseluruhan tentang suatu tradisi keagamaa atau budaya masyarakat

khususnya yang berkaitan dengan tradisi ziarah makam keramat merupakan sistem

sarana pengikat bagi masyarakat awam dalam status sosial yang berbeda, termasuk

pada status sosial tentang tingkat pengetahuan dan pemahaman yang membentuk pola

kepercayaan mereka pada suatu objek tertentu. Dalam kehidupan masyarakat selalu

diwarnai dengan ketidaksamaan (inequality) baik ketidaksamaan cara pandang, motif

dan tujuan, penafsiran dan pengetahuan, pengalaman dan pemahaman terhadap suatu

realitas sosial kehidupan manusia. Ziarah adalah salah satu realitas sosial keagamaan

dalam kehidupan manusia yang tidak terelakkan.

Setiap anggota masyarakat akan selalu menjalankan serangkaian aktivitas-

aktivitas keagamaannya disaat merasa terdesak atau bahkan merasa cemas67 dengan

Stratification, and Evolution in Human Societies: Essayas in Honor of Gerhanrd E. Lenski

(Jun, 2004), pp. 258-268, Published by: American Sociological Association,

http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal 29 November, 2017). 65Pengertian al-dîn yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya

agama tidak ditunjukan terhadap salah satu agama, akan tetapi ia merupakan bentuk dari setiap

kepercayaan yang ada di dunia. Lihat Q.S. AL-Kāfirûn ayat 7 yang artinyan. “Bagimu al-dîn

kamu dan bagiku al-dîn aku”. Ini menunjukkan bahwa kata al-dîn itu bisa berarti agama Islam

dan bisa juga selain agama Islam itu sendiri. 66Billah, dkk, Kelas Menengah digugat (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993), 43. 67Peter L. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut merupakan

eksistensialisasi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama.

Manusia adalah makhluk yang tersu-menerus membangun dunianya melalui eksternalisasi,

yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan membentuk masyarakat. Apa yang

dihasilkan manusia dalam interaksinya dengan dunia itu memperoleh bentuknya yang objekitf,

menjadi realitas sui generis. Ini merupakan proses objektivikasi. Dunia objektif yang telah

dicipta manusia, akhirnya harus diserap kembali dalam proses internalisasi sehingga dunia

Page 172: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

158

kondisi dan keadaan tertentu untuk segera meminta pertolongan agar mendapatkan

keberkahan atau keberuntungan. Misalnya peziarah yang datang karena menghadapi

masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga, kemudian datang melakukan ziarah

karena anaknya sering sakit-sakitan, keluraganya akan berhaji, meminta pertolongan,

meminta agar rizkinya dipermudah dan lain sebagainya.68 Oleh karena itu, seseorang

biasanya akan melakukan ziarah ke makam keramat jika seseorang itu benar-benar

mengharapkan pertolongan. Upaya mencari pertolongan di makam-makam keramat

dijalankan sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman mereka masing-masing.

Keberadaan makam keramat Wali Nyato’ tentu merupakan media atau sarana

bagi masyarakat setempat, untuk melepaskan rasa gelisah, atau persoalan-persoalan

hidupnya. Di antara beragamanya motif serta manfaat melakukan ziarah di makam

Wali Nyato’ di Desa Rembitan tersebut, banyak responden yang menyatakan bahwa

ziarah di makam ini seseungguhnya dapat memberikan rasa ketenangan, hati, merasa

nyaman, tentram dan seakan-akan merasa lepas dari beban yang mereka hadapi.69

Dari beragamnya doa-doa yang dipanjatkan oleh para peziarah, demi

memperoleh berkah (barakah) seringkali dapat dilihat dengan konsep tawassul atau

berdoa melalui perantara. Namun demikian, kebanyakan peziarah justru tidak

mengindahkan konsep normatif ini, kecuali dengan cara-cara yang lebih praktis dalam

membaca doa yang terangkum dalam tahlil. Artinya, mereka hanya membaca doa

tanpa tahlil. Para peziarah juga lebih memahami tawassul secara praktis dan hanya

berdoa disisi makam. Oleh karena itu, jika berdoa disamping makam menurutnya akan

mendapatkan berkah dan doanya akan cepat dikabulkan.

Berziarah ke makam keramat Wali Nyato’ yang dianggap suci lebih banyak

dilakukan secara massal dibandingkan secara personal. Motivasi ziarah secara masal,

dilakukan oleh sejumlah anggota keluarga, kerabat, dan tetangganya. Mereka diajak

untuk melakukan ziarah sebagai bagian dari kelompok atau rombongan mereka agar

ritual ziarah saat berdzikir, yasinan, tahlilan dan berdoa bisa mencukupi jumlah saat

melakukan ritualnya sesuai dengan yang disyariatkan dalam Islam.

Bila dilhiat dari keutamaannya, bahwa setiap sesuatu yang dikerjakan secara

kolektif (berjamaah) jauh lebih utama dibandingkan dengan menjalankan secara

perseorangan. Seperti halnya keutamaan melaksankan shalat berjamaah, di mana para

makmum akan terhubung dengan shalat imamnya.70 Diasumsikan bahwa ziarah yang

dilakukan secara kolektif juga memiliki keutamaan yang jauh lebih baik dibandingkan

secara personal. Karena itulah ziarah merupakan suatu kesempatan untuk mengalami

perasaan secara kebersamaan dan menghidupkan kembali hubungan keakraban yang

sulit dipertahankan di tengah kehidupan modern. Ziarah secara massal juga dapat

menghubungkan individu pada suatu kelompok-kelompok spiritual.

objektif menjadi dunia subyektif. Lihat: Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas

Sosial (Jakarta: LP3ES, 1991), 157. 68 Wawancara dengan Hrt guru Tk dan Ta Pedagang. 30 Desember, 2017. 69 Wawancara dengan Sn, 35 Thn, peziarah makam, Rr 47 Thn peziarah, 27 Desember

2018. 70 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Adul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah

terj. Kamran As’at Irsyady, dkk (Jakarta Amzah, 2010), 145.

Page 173: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

159

Ziarah tampaknya memainkan peran perekat kebersamaan kolektif yang

sangat dimungkinkan oleh adanya ruang dan waktu. Secara fungsional masih sangat

dimungkinkan modus pertukaran secara massal (kolektif), baik ekonomi sosial

maupun simbolis yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.71 Sesungguhnya ziarah

makam yang dilakukan oleh setiap orang atau suatu kelompok masyarakat dengan

keseluruhan motif-motifnya umumnya bersumber dari sistem kepercayaan atau

keyakinan bahwa makam keramat adalah makam orang suci (Wali), sebab Wali itu

dekat dengan sang pencipta (Allah swt) hingga menjadikan sebagai media tawassul

mereka dalam rangka menyampaikan doa atau hajat mereka. Oleh sebab itu, setiap

wali atau orang suci dianggap sebagai mediator yang dapat menghubungkan dirinya

dalam relasinya dengan Allah SWT. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

ا لا

ولياءان ها

االل

ل يهمخوف

اعل

زنون همول ذين٢٦يح

لمنواا

انواا

قون وك ٢٦يت

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran

terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang

beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Q.S.Yunus: 62-63)72

Ayat di atas menjelaskan bahwa wali-wali Allah, adalah orang-orang yang

selalu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Wali juga memiliki kedekatan dengan sang

pencipta. Dalam kehidupan kelompok masyarakat biasanya terdapat sosok figur yang

sangat dihormati bahkan dianggap istimewa dari yang lainnya. Keberadaan orang

yang terpilih (orang suci) biasanya dianggap memiliki kelebihan atau keistimewaan

karena kedekatannya dengan Allah Swt. Oleh karena itu, ketika tokoh tersebut telah

meninggal, maka diyakini pula bahwa dengan berdoa dimakamnya, akan memilik

berkah dan doanya akan cepat terkabulkan. Konsep “orang suci” merujuk pada konsep

“wali Allah” yang berarti dekat dan ditolong Allah.73 Definisi ini nampak sejalan

dengan pengertian secara terminologi dalam ayat Al-Qur’an yang tersebutkan di atas.

Kedudukan para wali, Allah Swt tidak memberi tanda yang menunjukkan

bahwa orang itu adalah wali, tidak ada orang yang mengetahui bahwasanya seseorang

itu adalah wali, begitu juga sebaliknya. Wali merupakan keistimewaan yang telah

dianugrahkan Allah kepada hambanya dan hanya orang-orang yang berm’rifat tinggi

yang dapat mengetahuinya. Itupun tidak semua, karena hanya wali yang dapat

mengetahui seseorang itu wali. Namun kita sebagai manusia biasa tetap meyakini dan

percaya bahwa manusia memiliki kekutangan dan kelebihan masing-masing. karena

Wali memiliki kekuatan supranatural dan manusia biasa memiliki kekuatan natural.74

Sebagaimana yang peranah dijelaskan sebelumnya bahwa keberadaan makam

Wali Nyato’ merupakan simbol suci bagi masyarakat. Karena beliau adalah seorang

71Lior dan Guillot Terj. Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu,

2010), 6. 72Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: 2011, 289. 73Lihat: Henri Chambert-Loir and Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam.

Terj, Jean Couteau dkk, (Jakarta: Serambi, 2007), 25. 74Lihat: Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 252.

Page 174: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

160

ulama pembawa ajaran Islam. Wali Nyato’ diyakini memiliki kekuatan-kekuatan

speiritual dan berbagai kelebihan lain yang tidak dapat dijangkau oleh idra manusia.

Oleh karena itu, ziarah di makam tersebut, telah menjadi salah satu tradisi keagamaan

masyarakat dengan sejumlah aktivitas ziarah yang terdapat di dalamnya. Misalnya;

berdoa di sisi makam, membaca suarat Yasin, berzikir, membaca shalawat Nabi,

seraqalan, menabur bunga, menaruh uang logam dan kertas di atas makam, menaruh

air di sisi makam dan sebagainya.75 Praktik ziarah di makam tersebut tentu dimaknai

sebagi tradisi yang dapat memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat setempat

terutama masyarakat Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, dan umumnya masyarakat

Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).

C. Pelaku Ritual Ziarah di Makam Keramat.

Ziarah kubur atau ziarah makam keramat hingga saat ini masih menjadi

kegiatan yang banyak dilakukan oleh hampir seluruh umat Islam di berbagai belahan

dunia. Para ulama dan kalangan ilmuan Islam juga telah memperbolehkan praktik

ziarah kubur atau ziarah makam berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.

Ziarah kubur adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, terutama adalah ketika

praktik ziarah yang dilakukan ke makam para Nabi dan orang yang shaleh.76

Pelaku ziarah selalu memiliki motif tertentu untuk mewujudkan tujuannya.

Pelaku ritual ziarah kubur atau ziarah makam tidak dibatasi secara status sosialnya,

baik itu kaya, miskin, tingkat pendidikan, pekerjaan atau pangkat dan golongannya.

Sebagai pelaku ziarah, bukan hanya dibatasi pada status sosial ekonomi yaitu; kaya

dan miskin. Tetapi pelaku ritual tersebut juga bisa dilihat berdasarkan status sosial

dari jenis kelamin, baik itu laki-laki, perempuan, tua, muda, orang dewasa, remaja,

anak-anak, atau bahkan dalam kategori status sosial lainnya yang diperolehnya dalam

dunia lingkungan masyarakatnya seperti tokoh agama, kepala desa, kepala suku, dan

lain-lain. Kesemuanya adalah dalam kapasitas yang sama untuk dapat melaksanakan

ritual-ritual keagamaan tersebut.

Khadiran inidividu, kelompok atau golongan masyarakat dalam ritual ziarah

adalah menjadi pelaku. Ziarah kubur atau ziarah makam keramat terkadang muncul

sebagai suatu tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh setiap pelakunya. Peziarah

merupakan aktor yang selalu memainkan peran pada panggung drama di dalam

kehidupannya, karena memiliki hasrat, keinginan, harapan dan kehidupan yang yang

ingin dicapati.77 Mereka membentuk dunia dan struktur sosialnya sendiri termasuk

dunia simbolnya.

Ziarah kubur atau ziarah makam keramat, tentu saja merupakan upaya yang

dapat dilakukan oleh seseorang untuk mengingat kebaikan atau jasa-jasa orang yang

telah mati dengan berdoa dan memintakan ampun agar kesalahan-keslahan yang telah

diperbuatnya dapat diterima oleh Allah Swt. Sebagian besar responden menyatakan

75Wawncara dengan Lalu Gsr. Penjaga Makam 29 November 2017. 76 Syekh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Makam Karamah Wali Kritik

Sanad Atas Faham Wahabi (Bandung: 1995), 47. 77 Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah Priuk

Jakarta Utara) Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume, 13, No. 1 Juni 2017.

Page 175: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

161

bahwa mereka melakukan ziarah di makam keramat selain memanjatkan doa untuk

jasad yang telah meninggal, mereka juga memohon kepada Allah Swt, melalui

perantara atau jasad orang yang telah meninggal di makam keramat tersebut. Karena

mereka menganggap bahwa melakukan perantara dalam memohon dan berdoa kepada

roh-roh atau jasad yang bersemayam di makam tersebut, telah diyakini sebagai sbuah

tindakan yang mamapu membantunya dalam menghadapi berbagai kesulitan hingga

dibeikan perlindungan dari mara bahaya, malapetaka, kesialan dan lain sebagainya.78

Makam Wali Nyato’ adalah situs keramat bagi masyarakat sehingga layak

untuk dijadikan tempat bermunadjat, memohon denagn berwasilah kepada sang Wali.

Pengunjung makam Nyato’ tidak hanya dari masyarakat setempat tetapi juga dari

berbagai daerah.79 Hal ini menunjukkan indikator akan tingginya keyakinan mereka

terhadap keberadaan makam keramat tersebut sebagai tempat untuk mencari berkah.

Oleh karena itu, setiap pelaku ritual ziarah pada makam-makam keramat akan selalu

mengejar tujuannya melalui serangkian aktivitas yang telah diyakininya sebagai

tradisi keagamaan meraka. Praktik ziarah makam semacam ini, cenderung berangkat

dari pemahaman secara telogis atau keyakinan yang berasal dari ajaran tasawuf karena

menggambarkan tentang sosok seorang yang mempunyai karamah/keramat, sosok

yang memiliki keberkatan dan dapat memberi syafaah (penolong) bagi para peziarah,

sehingga makamnya selalu menjadi salah satu tujuan masyarakat untuk melakukan

ziarah.

Jika dilihat dari berbagai kegiatan-kegiatan ritual pelaku ziarh termasuk di

dalam catatan-catatan atau dokumen yang berkaitan dengan situs makam keramat

Wali Nyato’ tersebut, para pelaku ziarah datang dari berbagai latar belakang sosial

sebagaimana yang telah disinggung di atas. Misalnya; status sosial berdasarkan usia

remaja, seperti para pelajar yang akan melaksanakan ujian nasional (UN), menjelang

pelaksanaan UN, makam keramat Wali Nyato’ akan sangat ramai dikungungi atau

diziarahi oleh para pelajar yang akan melaksnakan ujian nasional tersebut. Mererka

datang berziarah untuk memohon petunjuk dan berdoa di samping makam agar

diberikan kemudahan serta kelancaran dalam menjawab soal saat ujian berlangsung.80

Dalam ritualnya, umumnya para pelajar tersebut datang dan berkumpul, bermunajat

bersama di depan makam, berdzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an, membaca Shalawat

nabi, serakalan dan lain sebagainya. Ritual-ritual ziarah seperti ini, tentunya sudah

sangat umum dilakukan oleh para peziarah pada makam-makam keramat lainnya,

tidak terkecuali dengan motivasi atau tujuan dari peziarah yang berbeda-beda. Status

sosial berdasarkan pekerjaan atau tingkat pendidikan, biasanya lebih kepada motif

untuk memperoleh pangkat, kedudukan atau jabatan tertinggi pada sebuah institusi

tempatnya berkerja. Misalnya Sm, yang datang berziarah ke makam tersebut, karena

mengharapkan dirinya diangkat sebagai wakil kepala sekolah di tempatnya mengajar,

78 Wawancara dengan Rs. 35 Thn, Mn, 55 Thn dan Li 28 Thn Peziarah makam

keramat Wali Nyato’ 10 Januari 2018. 79 Wawancara dengan Miq. Gnsr, Pejaga Makam, 17, Desember 2018. 80 Wawancara dengan M. Hd, Kepala Sekolah MA Riyadlul Anwar, Kateng Praya

Barat, yang mengajak semua siswa dan siswinya untuk berziarah ke makam keramat Wali

Nyato’ agar dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) semua peserta didiknya dapat diberikan

kemudahan dan kelulusan dalam ujian tersebut. 17 Deseber 2017.

Page 176: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

162

tanpa menyebtukan nama sekolah tersebut. kemudian ia datang berziarah untuk

memohon kepada Allah Swt, melalui jasad sang Wali (berperantara) agar doa-doa

yang dipanjatkannya akan cepat terkabulkan.81

Di sisi lain, ritual ziarah juga memiliki alternatif dari segi sistem atau cara dan

perlengkapan ritual-ritualnya untuk mewujudkan tujuannya. Perbedaan dari segi cara

atau model ritual yang dipraktikan oleh para peziarah untuk mewujudkan tujuannya,

tergantung pada kebiasaan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu dari orang tua

atau para leluhur mereka yang sering melakukan ziarah.82

Tradisi ziarah pada makam keramat lainnya, kadang-kadang memunculkan

perbedaan-perbedaan cara di dalam praktiknya. Proses ritual yang dijalankan kadang

terlihat agak mencolok antara peziarah yang satu dengan peziarah lainnya, tergantung

pada pola kebiasaan yang sebelumnya pernah dipraktikan oleh para pendahulu mereka

masing-masing. Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Islam atau ajaran para

ulama, tapi tidak sedikit ritual yang justru menjadi bagian dari warisan para leluhur

mereka masing-masing. Dalam konteks ini, banyak responeden menyatakan bahwa

tradisi ziarah di makam keramat Wali Nyato’ adalah warisan nenek moyang mereka

terdahulu.83

Di berbagi wialyah di Lombok, terdapat sejumlah makam-makam keramat

yang dinilai memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang membentuk pola kepercayaan

masyarakat dalam melakukan ziarah. Misalnya, di makam Selaparang di Kabupaten

Lombok Timur, dan makam Loang Baloq, yang terletak di wialayah Kota Mataram,

Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat ritual yang dilakukan oleh para peziarah dengan

mengingakat tali dipohon, menaruh sesaji, menguasp kepala dan membasuh muka

dengan air, menaruh air di atas makam dan dibawa pulang untuk anggota keluarganya

yang sedang sakit dengan harapan agar segera sembuh dari penyakitnya. Selain itu,

terdapat pula ritual yang dilakukan oleh peziarah dengan memotong kambing di area

makam, disertai dengan acara makan bersama hingga menulis di kelambu makam dan

selanjutnya membaca tahlil, dzikir dan doa yang dipimpin oleh sang Kyai pada saat

melakukan ziarah.84

Di makam keramat Wali Nyato’ peneliti juga menemukan proses ritual yang

hampir sama secara keseluruhan seperti praktik atau ritual yang dilakukan di makam

keramat Loang Baloq Ampenan Kota Matarm. Dalam konteks ini, peneliti saat berada

di lapangan, turut menyaksikan ritual-ritual yang dilakukan oleh sebagian besar

peziarah di makam tersebut. Misalnya, mereka menguasp kepala dan membasuh muka

dengan air, menaruh air di atas makam dan dibawa pulang untuk anggota keluarganya

yang sedang sakit dengan harapan agar segera sembuh dari penyakitnya, kemudian

sebagian peziarah lainnya juga melakukan ritual pemotongan hewan berupa Kambing,

Sapi atau Kerbu di sekitaran area makam untuk di masak dan akan melakukan makan

81 Wawancara dengan Lr, 45 Thn, Guru SMP, Peziarah Makam Keramat Wali Nyato’

17 Desember 2017. 82Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah Priuk

Jakarta Utara) Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume, 13, No. 1 Juni 2017. 83 Wawancara dengan Rn, 35 Thn, peziarah dan Ipn, 27 Thn, peziarah makam 15,

Januari, 2018. 84Lihat: Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah

Priuk Jakarta Utara), Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. Vol. 13. No. 1 Juni, 2013, 83-84.

Page 177: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

163

bersama setelah dzikir dan berdoa sesuai dengan nazar atau hajat mereka sebelumnya.

Selanjutnya peziarah juga menaruh uang di atas makam, membasuh mukanya dengan

air dengan memasukkan bunga rampai, kembang dan beberapa bunga lainnya untuk

mengusap kepalanya, hingga ada sebagian peziarah yang juga membawa material

berupa tanah atau kerikil kecil disekitaran makam untuk kepentingan tertentu.

Masih dalam proses ritual yang juga terjadi di makam keramat Wali Nyato’

di mana peneliti juga menyaksikan secara langsung bahwa di area makam dijadikan

sebagi tempat untuk ngurisang (memotong rambut atau mengakekahkan anak yang

baru lahir). Hal ini dilakukan tentu sesuai dengan nazar atau janji peziarah yang

sebelumnya pernah diucapkan. Selain dari motif-motif yang umumnya dilakukan oleh

para peziarah lainnya seprti berdoa, berdzikir, membaca Al-Qur’an dan lain-lain.

Faktanya masih ada praktik atau ritual-ritual ziarah dengan nuansa tradisi-tradisi lama

mereka sebagai warisan para leluhurnya.

Selanjutnya bagi pelaku ritual ziarah kubur atau ziarah makam keramat akan

selalu berada di bawah nilai-nilai,85 norma-norma86 dan berbagai ide abstrak yang

dapat memengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuannya menyangkut

tindakan alternatifnya dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut.87 Jika merujuk pada

argumen ini, maka praktik ziarah atau ritual ziarah jelasnya berada dibawah aturan

atau norma-norma yang sudah menjadi ketentuan dalam pelaksanaannya, baik tempat,

waktu, hari, tanggal dan bulan pelaksanaannya, seperti yang sudah disinggung pada

bab-bab sebelumnya bahwa makam keramat Wali Nyato’ hanya boleh diziarahi pada

hari Rabu saja.

Berkaitan dengan pelaku ritual ziarah, kemudian kita dapat memahami bahwa

umumnya kedatangan para peziarah ke makam keramat Wali Nyato’ berdasarkan

pernyataan sebagian informan yang peneliti bisa tangkap dan simpulkan adalah untuk

memanjatkan doa atau berdzikir. Dalam melakukan aktivitas ritual di sisi makam Wali

Nyato’ terkadang doa-doa yang dipanjatkan berbeda sesuai dengan kepentingan para

peziarah masing-masing. Misalnya, berdoa untuk keselamatan keluarganya yang

sedang di timpa musibah, doa untuk kesehatan bayi dalam kandungannya, doa untuk

keselamatan suaminya yang akan melakukan perjalanan jauh, doa untuk keutuahan

dan kerukungan rumah tangganya dan lain sebagainya. Inilah gambaran ritual atau

praktik yang dilakukan oleh pelaku ziarah di makam keramat Wali Nyato’, meskipun

di tempat-tempat lain mungkin dalam melakukan doa atau membaca al-Qur’an harus

85 Nilai adalah gagasan tentang apakah suatu pengalaman penting atau tidak penting.

Dalam Alex Soubur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 515. 86Noram merupakan aturan-aturan yang dianut secara sosial yang melarang perilaku

tertentu yang dianggap buruk dan menganjurkan perilaku lain yang dianggap baik. Dalam Alex

Soubur, Kamus Besar Sosiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 518. 87Sebagai tokoh teori aksi Talcot Parson, mementingkan pemisahan teori aksi

dengan aliran behaviorisme. Bagi Parson, keduanya memiliki konotasi yang berbeda, karena

suatu teori yang meniadakan karakter-karakter kemanusiaan dan tidak mengindahkan

dimensi secara subjektif atas perilaku manusia, maka bukan menjadi bagian dari teori aksi.

Lihat: George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarata:

RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49.

Page 178: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

164

menghadap kiblat.88 Tapi di makam Wali Nyato’ tidak harus menghadap kiblat dalam

memanjatkan doa atau dzikir dan lain sebagainya.

Praktik keagamaan dalam bentuk ziarah kubur atau ziarah makam keramat

yang terjadi diberbagai wilayah di Indonesia, sebenarnya telah banyak memunculkan

aktivitas-aktivitas ziarah yang berbeda-beda. Aktivitas ziarah pada makam-makam

keramat telah menjadi sebuah agenda tersendiri untuk memenuhi atau mewujudkan

kegiatan keagamaannya. Ziarah juga telah menjadi salah satu bagian dari kegiatan

spiritual masyarakat muslim sebagai bentuk kebebasan beribadah kepada Allah Swt,

bahkan telah menjadi kegiatan rutin yang dapat dijalankan pada waktu-waktu tertentu

baik secara personal maupun secara masal.89

Di makam keramat Wali Nyato’ ziarah tidak hanya dilakukan secara masal

tapi juga secara personal. Hanya saja pelaksanaan ziarah ke makam keramat tersebut,

baru dapat dilakukan pada hari Rabu. Timbulnya motif diluar tujuan ziarah, yaitu

ketika pelaku ritual ziarah mencerminkan perilakunya yang masih dipengaruhi oleh

tradisi pra-Islam sebagai warisan budaya leluhur mereka. Maka, dalam hal ini, terlihat

jeals bahwa ritual ziarah di makam keramat Wali Nyato’ kadang ada sebagian diantara

mereka yang sangat menonjolkan identitas ke-Islamannya, tapi tidak sedikit diantara

mereka yang juga melakukan ritual-ritual yang kental dengan nuansa tradisionalnya.

Jika merujuk kepada pembahasan pada sub-sub bab sebelumnya, bahwa pada

masyarakat Sasak di pulau Lombok, secara dialektika Islam dengan varian kultrualnya

terhadap pola keberagamaan masyarakat sebagai sikap penerimaan agama adalah

masyarakat suku Sasak, yang sebagiannya menerima ajaran Islam secara penuh. Di

dalam konteks ini, masyarakat yang menerima ajaran Islam secara penuh, bisa disebut

sebagai Islam Sunni (ortodoks) yang pada akhirnya berkembang atau populer dengan

istilah Islam waktu lima. Selain itu, ada pula masyarakat yang menerima agama tidak

sepenuhnya adalah disebut Islam waktu telu, karena pada sistem kepercayaannya,

tampaknya ada kolaborasi beragam agama seprti Boda, Hindu dan Islam. Sedangkan

diantara sebagian masyarakat yang tidak menerima Islam sama sekali, disebut kaum

Boda.90

Bersandar pada argument di atas, ritual-ritual keagamaan yang dijalankan

oleh sebagian pelaku ziarah di makam tersebut, tentu akan dipadukan dengan nuansa

tradisioanl yang sudah sejak awal sering kali dilakukan, meskipuan ada pula nuansa-

nuansa Islamnya. Sebelum Islam disebarkan oleh para ulama atau para waliyullah,

masyarakat Rembitan umumnya menganut Islam wetu telu pada saat itu. Bahkan tidak

menutup kemungkinan masih dapat dijumpai dari beberapa tetua-tetua mereka hingga

88 Mengenai tata cara dan model ritual baik dengan volume suara keras, sedang dan

rendah termasuk dalam meanjatkan doa-doa, membaca Al-Qur’an harus menghadap kiblat,

silahkan lihat: Syahdan, Ziarah Perspektif Kajian Budaya (Studi Pada Situs Makam Mbah

Priuk Jakarta Utara) Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume, 13, No. 1 Juni 2017. 87-

88. 89 M. Misbahul Mujib, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,

Identitas Keagamaan dan Komersial. Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol 14, No. 2 Juli-

Desember 2016, 210. 90 Lihat: Kamarudin Zaelani, “Dialektika Islam dengan Varian Kultrual Lokal dalam

Pola Keberagamaan Muslim Sasask”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol. IX edisi 15 No. 1

Januari-Juni, 2005, 48-69.

Page 179: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

165

saat ini.91 Oleh karena itu, jika masih terdapat ritual-ritual seperti menaruh uang di

atas makam, mengambil material berupa tanah atau sejenis kerikil kecil di area makam

untuk kepentingan-kepentingan tertentu, membawa atau membeli air untuk didoakan

sesudah ditaruh disisi makam lalu setelahnya difungsikan untuk mencuci muka atau

mengusap kepala dan kadang-kadang sisanya akan dibawa pulang untuk keluarganya

yang sedang sakit untuk diminum, menabur bunga di atas makam dan lain sebagainya

adalah dapat disebut sebagai perpaduan diantara tradisi lama dan tradisi Islam.

Selain itu, keberadaan makam keramat Wali Nyato’ menurut sebagian besar

responden yang peneliti wawancarai bahwa mereka menyatakan “Wali Nyato” adalah

seorang ulama yang membawa ajaran Islam pada masanya dan beliau juga seorang

waliyullah yang memiliki keramat beserta kelebihan-kelebihan supranatural yang

sulit dapat dijangkau oleh indra manusia biasa.92 Sebagaimana yang pernah dijelaskan

sebelumnya bahwa, dalam perkembangannya makam keramat Wali Nyato’ banyak

diketahui melalu cerita-cerita atau legenda yang berkembang dari mulut ke-kemulut

tentang peristiwa atau kejadian yang terjadi pada diri sang Wali. Misalnya, jasadnya

menghilang (moksa), pergi ke Makkah mengambil korma, pergi sahalat jumat di

Makkah dan lain sebagainya. Melalui peristiwa atau kejadian tersebut kemudian

masyarakat percaya dan yakin bahwa beliau adalah seorang ulama atau Wali yang

memiliki berbagai kelebihan-kelebihan supranatural yang diberikan oleh Allah Swt.

Itulah sebabnya masyarakat mengakuinya sebagai makam seorang Wali.

Meskipun jasadnya telah menghilang (moksa), akan tetapi kewaliannya tetap diyakini

akan melekat di dalam makamya. Cerita demi cerita terus berkembang dan bersebar

luas di kalangan masyarakat sehingga keberadaan makamnya mulai diakui sebagai

makam ulama atau makam seorang Wali yang akhirnya membentuk hubungan sosial

keagamaan masyarakat setempat untuk melakukan ziarah.93 Melalui cerita-cerita atau

legenda inilah kemudian masyarakat terkonstruksi untuk melakukan ziarah di makam

tersebut dan hingga saat ini praktik ziarah di makam Wali Nyato’ masih dijalankan

oleh masyarakat setempat dan umumnya masyarakat Lombok Tengah.

91 Lihat: M. Najmuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ (Praya:

Ponpes Darul Muhajirin, 1986/1406 H.), 1. 92 Wawancara dengan Rn, 45 Thn, L. Krm, 33 Thn, Guru, Mrj. 28 Thn Guru, Rd. 25

Thn, tamat SMA, Anh, 20, Thn Mahasiswa, Miq, Tn, 61 Thn tamat SD, peziarah makam

keramat Wali Nyato’ 17 November 2017. 93 Lihat: M. Najamuddin Makmun, Sejarah Ringkes Deside Wali Nyato’ 16.

Page 180: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

166

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan masyarakat baik yang bersifat

subyektif maupun obyektif dalam praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato’,

sebenarnya telah menjadi realitas sosial keagamaan bagi masyarakat yang saling

mempengaruhi baik individu sebagai realitas subjektif maupun masyarakat

sebagai realitas objektif. Proses sosial dalam tradisi keagamaan itu terjadi karena

adanya momen adaptasi yang dapat dilakukan oleh individu dan ia membaur

dalam dunia sosio kultrual masyarakat. Momen adaptasi ini, cenderung

membentuk intersubjektif hingga adanya pengakuan bersama dari sebuah realitas

yang ada, baik dikarenakan hasil interkasinya, tindakannya, pemahamannya,

pengalaman, perasan dan sebagainya. Setelah ada pengakuan bersama, kemduian

secara perseorangan akan melakukan identifikasi diri terhadap suatu realitas yang

ada tadi dan akan melakukan pemaknaan secara internal ke dalam diri mereka

masing-masing sehingga realitas itu menjadi kenyataan sosial yang bersifat

subjektif. Oleh karena itu, proses sosial yang terjadi pada seseorang melalui

tindakan dan interaksi tersebut, biasanya akan melahirkan berbagai pengetahuan

dan pemahaman yang berbeda-beda, terutama pemahaman dan pengetahuan yang

diperolehnya melalui cerita atau legenda yang lama berkembang dalam kehidupan

masyarakatnya. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi keagamaan masyarakat

terutama tentang tradisi ziarah, tidak selamanya berasal dari pemahaman secara

keagamaan semata, tetapi bisa saja bersumber dari ajaran para leluhur mereka

terdahulu. Sehingga bisa menjadi latarbelakang mereka untuk melakukan ziarah

pada makam keramat, khususnya menyangkut praktik ziarah di makam keramat

Wali Nyato’, di Desa Rembitan, Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.

Adapun temuan di lapangan dan hasil analisis data yang telah dilakukan

bahwa dalam sistem keyakinan masyarakat, praktik ziarah di makam keramat

Wali Nyato’ di Desa Rembitan adalah:

1. Karena keramatnya makam, hingga acapkali dijadikan media untuk mengharap

petunjuk dalam rangka mengungkap kejadian-kejadian atau musibah yang

menimpa masyarakat, sehingga masyarakat datang melakukan ziarah untuk

motif dan tujuan tertentu baik tujuan secara duniawi maupun ukhrawi.

2. Karena kewaliannya yang dinilai memiliki kekuatan spiritual dan kelebihan-

kelebihan yang bersumber dari Allah Swt, akhirnya masyarakatpun meyakini

bahwa berwasilah atau bertawassul (berperantara) melalui jasad waliyullah,

setidaknya doa yang mereka panjadkan akan cepat terkabulkan.

3. Kadang sebatas ingin mengenang jasa seorang ulama yang pernah mengajarkan

Islam pada masanya, dan ia datang untuk mendoakannya agar selalu di ampuni

segalah kesalahan dan dosa-dosa yang pernah diperbuatnya baik secara sengaja

atau tidak dengan melakukan dzikir, membaca Al-Qur’an, Tahlil, berdoa dan

lain sebagainya.

Page 181: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

167

Pernyataan di atas, tentu sekali tidak bersifat generalisasi, karena sangat

mungkin bisa bersifat overlapping. Hal ini dilihat berdasarkan pola kepercayaan

masyarakat tentang praktik ziarah di makam keramat bukanlah hal yang bersifat

tunggal. Konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan dapat terjadi secara signifikan

sehingga dalam realisasinya mampu membentuk pradisposisi (kecendrungan)

bagi setiap anggota masyarakatnya dalam bertindak terutama mengenai tindakan

ziarah di makam keramat Wali Nyato’. Konstruksi sosial dalam tradisi keagamaan

dapat dinilai sebagai bentuk tindakan yang bersifat mistis atau magic, agama atau

tradisi Islam, dan science atau rasional.

Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa konstruksi sosial atas suatu

objek suci sesungguhnya akan menimbulkan pradisposisi (kecendrungan) untuk

menjadi sebuah tradisi dalam kehidupan masyarakat terutama tradisi keagamaan,

yang berkaitan dengan praktik ziarah di makam keramat Wali Nyato. Namun

sekali lagi peneliti tegaskan bahwa ia bukanlah bersifat mutlak bahkan bisa terjadi

overlapping dari suatu keadaan atau situasi dan kondisi tertentu. Dalam hal ini,

peneliti tekankan bahwa tidak ada generalisasi atau justifikasi secara kongkerit

atas tindakan atau praktik ziarah di makam keramat tersebut bagi peziarahnya.

B. Saran

Tesis ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang menggunakan

pendekatan fenomenologi dan interaksi simbolik sehingga proposisi-proposisi

yang dihasilkan telah memasuki tahapan sebagai hipotesis yang sebenarnya masih

membutuhkan kajian lebih lanjut. Praktik ziarah nampaknya perlu dikemas lebih

lengkap lagi sehingga para peziarah juga dapat memperoleh berbagai pengetahuan

serta pemahaman yang lebih baik terhadap peran penting dari sang Wali atau

ulama yang menjadi panutan mereka sebagai tokoh penyebar Islam. Selain itu,

peziarah juga akan memperoleh sensai spiritual yang dapat memberikan rasa

kedamaian dan kesejukan hati.

Pengetahuan, pemahaman dan pengalaman masyarakat atas suatu realitas

yang ada, faktanya telah menimbulkan pola kepercayaan masyarakat sebagaimana

yang telah terdeskripsikan melalui tesis ini. Namun bukan semata-mata klaim

yang bersifat mutlak. Karena pengetahuan, pemahaman dan pengalaman individu

dan masyarakat dapat bersifat terbuka dan tidak menutup kemungkinan pola

tindakan atau praktik yang telah dilakukannya akan mengalami transisi. Oleh

karena itu, melalui penelitian ini saya berharap bisa memberikan manfaat yang

baik serta memperluas wawasan dan pemahaman secara komperhensif tentang

praktik ziarah di makam kermat tersebut yang telah tertulis secara deskriptif oleh

peneliti dalam bab-bab dan sub-babnya. Sekalai lagi harapan peneliti dalam tesis

ini akan mempu memberikan wawasan budaya tentang pola tindakan dalam

melakukan ziarah makam agar mampu mewujudkan masyarakat yang religious

dan rasional.

Page 182: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

168

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:

Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif, Yoyakarta: Jalasutra, 2006. Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarata: Raja Grapindo

Persada, 2006.

Al-Attas, Naquib, Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka 1981.

Ali, Anwar, “Advonturisme” NU, Bandung: Humaniora Utama Press, 2014.

Al-Jabiri, Muhammad, Post-Tradisionalisme Islam, Terjemahan Ahmad Baso

Yogyakarta: LkiS, 2000.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Juz VII, Mesir. Darul Hikmah,

1974.

Andezian, Sossie, dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam

Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Andrew, Beatty Hifner, Varieties of Javanese Religion, Princeton: Princeton

University Press, 1999.

Arkoun, Mohammad, Al-Fikru al-Ushuli Wasti al-Halatu al-TA’SILI Nahwa

Tarikhin Akharin Li-al Fikri al-Islami, Terjemahan Hasyim Shaleh

Daru al-Shaqi.

Azhar, Lalu Muhammad, Sejarah Daerah Lombok: Arya Banjar Getas,

Mataram: Yaspen Pariwisata Pejanggiq, 1997.

Azhari, Djalaluddin dkk., Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku

Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat: Sebuah

Kajian Antropologi-Sosiologi Agama, Mataram: Pokja Redam NTB-

Indonesia, 2001.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, NTB Dalam Angka 2005 (Mataram: UD

Fajar Indah, 2005.

Badruddin, “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kiyai Abdul Hamid Bin

Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Perspektif

Fenomenologis” Desirtasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel,

Surabaya, 2011.

Batanji, Ibnul, Bila Kuburan Didewakan. Al-Marfu’I, Terj, Solo: Pustaka

Arafah, 2013.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Construction Of Reality

New York: Doubleday & Company 1966.

Berger, Peter L., Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial Jakarta: LP3ES

1991.

Billah, dkk., Kelas Menengah digugat Jakarta: Fikahati Aneska, 1993.

Page 183: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

169

Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies

Chicago, London: The University of Chicago Press, 1988.

Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS,

2000.

Bruinessen, Van Martin, Tarekat Naqsyabaniyah di Indonesia, Bandung: Mizan,

1992.

Chambert-Lior, Henri dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam

Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

______________, Henri dan Claude Guillot, Ziarah Wali Di Dunia Islam,

terjemahan Jean Couteau dkk., Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Cassirer, Ernst, An Essay on Man Garden City, New York: Doubleday Anchor

Books 1953.

Chamamah, Suranto Situ, Agama dan Dialektika Pemberdayaan Budaya Islam-

Nasional. Dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama

dan Pluralitas Budaya Lokal Surakarta: PSB Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2003.

Chistina, Luzar Laura, Teori Konstruksi Realitas Sosial. Jakarta: BINUS

UNIVERSITY School of Design, 2015.

Collins, Billah, dkk., Kelas Menengah digugat, Jakarta: Fikahati Aneska 1993. Connoly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta; LkiS, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Duta Surya,

2011.

Dahri Harpandi, Wali dan Keramat dalam Persepsi Tradisioan dan Modern,

Mataram: IAIN Mataram Press, 2004.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life Free Press of

Glencoe, 1961.

Ekajati, Edi S., Direktori Naskah Nusantara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2000.

Elly, M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya

Jakarta: Kencana, 2011.

Endrasuara, Metodologi Penelitian Kebudayaan , 2006.

Farcy, Rober and Alphonso, Priest as Leader: The Process of the Inculturation

of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States

Context, Rome: Gregorian University Press, 1997.

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta:

Pustaka Jaya, 1983.

_____________, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan

Jawa ed. Depok: Komunitas Bambu, 2014.

_____________, The Interpretation of Culture New York: Basic Books, 1970.

_____________, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin dan Bur

Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

Page 184: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

170

Gellner, Eenerst, Post Modernism, Reason and Religion London: Routledeg,

1992.

Gerungan, W. A, Pisikologi Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Giddens, Anthony, Metode Sosiologi Kaedah-Kaedah Baru, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar 2010. _______________, New Rules of Sociological Method, Standford University

Press, California 1993.

_______________, The Constitution of Society; Teori Struturasi Untuk Analisis

Sosial, Pasuruan: Pedati 2003.

Hadi, Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006.

Hakim, dan Ibn Majjah, dalam Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur yang

Dicontohkan Rasulallah SAW, Solo: At-Tibyan, 2001.

Hanafi, Hasan, Islamologi 2 dari Rasional ke Empirisme, Yogyakarta: LkiS,

2005.

Hanani, Silfia, Menggali Interaksi Sosiologi dan Agama. Bandung: humaniora

2011.

Hansfered, Kellner dan Peter L. Berger The Homeless Mind: Modernization and Consiousness, Harmondsworth: Penguin Books, 1973.

Harding, John S. dan Hillary Rodrigues, Introduction to the Study of Religion,

London & New York: Routledge, 2009.

Haryanto, Sindung, Sosiologi Agama dari Klasik hingga Postmodern

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015.

Hawwas, Sayyed Wahhab Abdul dan Azzam Muhammad Aziz Abdul, Fiqih

Ibadah terj. Kamran As’at Irsyady, dkk, Jakarta Amzah, 2010.

Huda, Nor, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.

Husaini, Usman dan Purnomo Setiady Akbar. “Metodologi Penelitian Sosial”

Jakarta: Bumi Aksara. 2008.

Husserl, Edmund, The Basic Problems of Phenomenology Dordrecht: Springer,

2006.

Huxley, Aldous, Words and Theri Meaning The Importance of Language

Terjemahan. Max Black Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall, 1962.

Idris, Marzuqi A., Dali-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdiyyah, Lirboyo: Tim

Kodifikasi LBM PPL, 2011.

In’amuzzahidin, Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila Antara Tasawuf

dan Psikologi, Semarang, Syifa Press, 2007.

In’amuzzahidin, Masyhudi, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila Antara Tasawuf

dan Psikologi, Semarang: Syifa Press 2007.

Iyadl, al-Qadli, Imam, Iyadl, al-Matla’ ‘ala Abwab al-Fiqh. Juz 1

J. Subhan S., Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk

Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi, Jakarta: Pustaka al-Hidayah,

1989.

Page 185: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

171

Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935: Studi Kasus

terhadap Tuan Guru, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011.

Jauzi, Ibnu, Shahih Bukhori, Kairo: Darul Hadist, 2008.

Jeffries dan Ransfrofd, Social Stratification: a Multiple Hieranchy Approach,

Allyn and Bacon, INC. United States of America, 1980.

Jum’ah, Ali, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ Jakarta: Khatulistiwa Pers20016.

Kabbānī, Syekh Muhammad Hisyām, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi

Jakarta: PT Serambi Ilmu Semsta, 2007.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih Semarang: Dina Utama Semarang

2014.

Khamad, Dadang, Metode Penelitian Agama, Persfektif Ilmu Perbandingan

Agama Bandung, Pustaka Setia, 2000.

Khamad, Dadang, Sosiologi Agama Bandung: Remaja Rosdakarya 2009.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta: Balai Pustaka 1994.

______________, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1997.

______________, Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

______________, Sejarah Teori Antropologi II Jakarta: UI Press, 1990.

______________, Sejarah Teori Antropologi I Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 1987,

______________, Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta: PT Diyan

Rakyat, 1992.

Kurniawan, Puji, Mengakhiri Pertentangan Budya dan Agama, Bandung,

Pustaka Aura Semesta, 2014.

Lawang, Robert M.Z., Stratifkasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat

Tahun 1950-an dan 1980-an. Jakarta: FISIP UI Press, 2004.

Lenski, G.E., Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification. New

York: McGraw-Hill, 1966.

Luckmann, Thomas & Peter L. Berger, The Social Construction Of Reality

New York: Doubleday & Company, 1966. Lūmūl, Yānīk, al-Tabaqāt al-Ijtimā’iyah, Fāransiyah: Dār al-Kitāb al-Jadīd al-

Muttahidah, 2008. Lubis, Ridwan H. M, Sosiologi Agama Memahami Perkembangan Agama Dalam

Interaksi Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015 Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis

Tentang Maslah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta:

Yayasan Wakaf Paramadina, 2006.

Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah

Jakarta: Kompas, 2010.

Makmun, TGH. Najamuddin, Sejarah Ringkas Deside Wali Nyato’, Pengasuh

Pondok Pesantrn “Darul Muhajirin” Praya Lombok Tengah NTB, 1986

Malinowski, Bronislaw, Magic, Science, and Religion and Other Essays New

York: Doubleday Anchor Books 1954.

Page 186: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

172

Mar’i dalam Pritchart, Nggeto-Nggete dalam Perspektif Budaya, Denpasar:

Universitas Udayana Denpasar, 2006.

Mark, Woodward, Java, Indonesia and Islam New York: Springer, 2010.

Mellor, Philip A. and Chris Shilling, The Religious Habitus Embodiment,

Religion, and Socilogical Theory. Dalam Brayan S. Turner, The New

Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion, United Kingdom:

Oxford, 2010.

Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Bandung: remaja Rosdakarya,

2010.

Morrison, Geoferry E., Sasak and Javanese Literature of Sasak, Netherlands:

KILTV Press, 1999.

Manshur, Aziz, Abdul, Menjawab Vonis Bid’ah: Kajian Pesntern dan Tradisi

Adat Maysyarakat, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010.

Muhaimin, AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon

Jakarta: Logos, 2002.

Ma’luf, Luwis al-Munjid fi al-lughah wa-al-‘Alam, Beirut Libanon: Darul

Masyrak, 1996.

Muslih, M. Hanif, Kesahihan Dalili Ziarah Kubur Menurut al-Qur’an dan al-

Hadist, Semarang: Krya Toha Putra, 2010.

Nadel, S.F, dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Rinke

Cipta, 2009.

Narowoko, Dwi J. dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan

Jakarta: Kencana, 2011.

Nasdian, Fredian Tonny, Sosiologi Umum, Jakarta: Pustaka Obor, 2015.

Nasution, Hasan Bakti, Filsafat Umum Jakarta: Gaya Madia Pratama, 2001.

Niam, Ahmad Mukafi & Syaifullah Amin. Bukti-bukti Gusdur Wali, Jakarta,

renebook, 2016.

Nugroho, Heru, Rasionalisasi, dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk

Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegmoni Sistem

Kepercayaan Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Nurdin, M. Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk

Memahami Konsep-Konsep Dasar Jakarta: UIN Jakarata PRESS 2006.

Nuruddin, dkk., Agama Tradisional: Potert Kearifan Hidup Masyarakat Samin

dan Tengger Yogyakarta: LkiS, 2003.

O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama terjemah tim Yasogama Jakarta: Rajawali,

2002.

Parsons, Talcott, The Social System, New York: Free Press, 1951.

Pendidikan Departemen Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-

3 Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Poole, Peter, ”Socialisation Enculturation and the Development of Personal

Identitiy”, in tim ingold (ed). Companion Encyclopedia of

Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp 831-860.

London and New York: Routledge, 1981.

Pranowo, Bambang, “Memahami Islam Jawa” , Jakarta: Pustaka Alpabet, 2009.

Page 187: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

173

Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup,

Pedoman Merawat Jenazah Syar’iat Islam, Jakarta: Suara Bebas,

2006.

Purwadi dkk., Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2006.

Purwadi, Jejak Para Wali dan Ziarah Spritual. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2006.

Rahardjo, Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan

Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1999.

Rahmawati, Nur, Budaya Ziarah Makam Raden Ayu Putri Ontjat Tandha

Wurung Di Desa Terungwetan Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo.

Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016. Razak, Yusron, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam, Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.

Ritzer, Douglas J George Goodman, Teori Sosiologi, Bantul: Krasi Wacana,

2011.

Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarata:

Raja Grafindo Persada, 2007.

____________, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan

Terakhir Postmodern Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Riyanto, Geger, Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran Jakarta: LP3ES

2009.

Rizem, Aizid, Sejarah Islam Nusantara, Yogyakarta, DIVA Press 2016.

Rober, Faricy, Herber and Alphonos, Priest as Leader: The Process of the

Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a

United States Context, Rome: Gregorian University Press, 1997.

Robert, Keith A., Religion In Sociological Perspective USA: Wadsworth 2004.

Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature Princeton: University

Press, 1979.

Robert, Jeremy, Japanese Mythology A to Z: Second Edition. New York:

Chelsea Publising House, 2010.

Ruslan, dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Sepiritual Sepanjang

Masa Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007.

Syakur Ahmad Abd. H., Isalam dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang

Akulturasi Nilai-nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak) Disertasi:

Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002.

Sobur, Alex Kamus Besar Sosiologi, Bandung Pustaka Setia, 2011.

Saebani, Ahmad Beni, Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional

dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, Bandung:

Refika Aditama, 2007.

Saefuddin, Ahmad, Antropologi Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2001.

Soekmono R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, Yogyakarta: 2012.

Sanderson, Stephen K., Macrosociology, Terjemahan Farid Wajidi, S. Menno

Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2000.

Page 188: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

174

Schroeder, Ralph, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan Terjemahan.

Ratna Noviani Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Shalih, Abu Umar, Ziarah Kubur yang dicontohkan Rasulallah SAW, Solo: at-

Tibyan, 2001.

Soko Nuril Gus Tunggal dan Khoirul Risyadi, Ritual Gusdur dan Rahasia

Kewalianya Yogyakarta: Galang Perss, 2010.

Sholikhin, K.H Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa Jakarta: Suka Buku

2010.

Sjadzili, A. Fawaid dan Zada Terj, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan

Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010.

Smith, Huston, Agama-Agama Manusia Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Rajagrafindo Pesada,

2006.

Solihin, Siddiq, & Melfa Wendy, Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam

Studi Epistimologis Pemikiran Ibnu Khaldun, Bandar Lampung:

Matakata, 2006.

Stephen, Sanderson K., Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid Wajidi, S.

Menno, Jakarta: PT RajaGrapindo, 2000

Sugyarto, Wakhid dan Asnawati, Dinamika Kepercayaan Parmalim di

Kabupaten Samosir dan Toba Samosir Sumatra Utara. Dalam

Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia

Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi UI, 1993.

Sarjono, Budi, M., Ziarah dari Sendangsono sampai Puh Sarang, Kediri;

Sebuah Renungan, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2002.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2017.

____________________, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2009.

Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Kompas

Media Nusantar, 2010.

Suwardi, Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudyaan, Yogyakarta, Gadjah

Mada University Press, 2006

Syafii, Ahmad Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kpercayaan Lokal di

Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2012.

Syam, Nur, Islam Pesisir Yogyakarta: LkiS, 2011.

_________, Islam Pesisir, Yogyakarta: LkiS, 2005.

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenadamadia Group,

2014.

Tabroni dan Arifin Syamsul, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi

Untuk Aksi dalam Kebergantungan dan Pendidikan, Yogyakarta:

SIPRESS, 1994.

Page 189: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

175

Tantowi, Yusuf, “Mengurai Konflik Sunnah dan Bidah di Bumi Seribu Masjid”

dalam Alamsyah M. Dja‘far, Agama dan Pergeseran Representasi:

Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute,

2009.

Tischler, L., Introduction to Sociologi Chicago: Holt Rinehart adan Winston,

1990.

Tohir, Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo Press,

2006.

Tonny, Nasdian Ferdinan, dalam Sosiologi Umum Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, 2015.

Turner, Bryan S., Agama dan Teori Sosial Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

_____________, The New Blackwell Copanion To The Sociology Of Religion

United Kingdom: Oxford, 2010.

_____________, Weber and Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan

Tinggi Agama Islam, 1983. Tylor, E.B., Primitive Culture London: J. Murray, 1997.

Wacana, Lalu, Babad Lombok, Jakarta: Depdikbud, 1979.

Wallace, A.R, The Malay Archipelago. The Land of the Orang Utan, and the

Bird of Paradise, Singapura/Oxford: Oxford University Perss, 1986.

Weber, Max, Economy and Society, Berkeley: University of California Press,

1978.

_________, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Terjemahan, Yusup

Priyadisudiarja, Yogyakarata: Jejak, 2007. Wahid Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta:

Desantara, 2001.

Wijaya, Mangun, Y. B, Sastra dan religiusitas, (Yogyakarta: Kanisus, 1994

Wulandari, Eka Amelia. Islam Dan Tradisi Lokal: Makna Tradisi Slametan

Perspektif NU Dan Muhammadiyah di Wilayah Lakarsantri Surabaya.

Disertasi. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.

Yatim Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997

Jurnal, dan Hasil Penelitian

Afghoni, “Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan

di Makam Gunung Jati Cirebon)”, Jurnal Studi Agama dan

Masyarakat. Volume 13, Nomor 1, Juni 2017.

Ali, Yunasril, "Kewalian Dalam Tasawuf Nusantara." Kanz Philosophia: A

Journal for Islamic Philosophy and Mysticism. 2013.

Aziz, Amir, Ahmad, Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal

di Lombok, Jurnal Millah, Vol. VIII No. 2 Februari 2009.

Alifian, Muhammad, “Tradisi Ziarah Kubur Ke Makam Keramat Raden Ayu Siti

Khadijah di Desa Pemecutan, Kec. Denpasar Barat, Kota Denpasar

Bagi Umat Hindu dan Islam”.

Page 190: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

176

Armini Ayu Gusti I, Tradisi Ziarah dan Berkaul pada Makam Keramat di

Lombok Nusa Tenggara Barat, Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai

Tradisional, Vol. 23. No. 1 Maret 2016.

Almaidata, I., “Identifikasi Masjid Kuno Gunung Pujut di Desa Sengkol, Pujut,

Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagai bahan pengembangan Bahan

Belajar Sejarah Lokal”, Jurnal Widya Winayata. Volume 1 No I 2013.

Ashadi, "Sinkretisme dalam Tata Ruang Masjid Wali Songo" Jurnal NALARs

Volume. 12. No. 1 2013.

Asmara, Amanda Destianty Poetri, “Makam Keramat Karang Rupit Syeikh

Abdul Qodir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan

Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Perkembangannya

Sebagai Objek Wisata Spritual)”, Jurnal ISSN 1412. No 3 Tahun 2012.

Aziz, Ahmad Amir, dkk., “Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan

Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di

Lombok)”, Jurnal Penelitian Keislaman. Vol. 1, No. 1 Desember

2004.

Arsadani, Erwin, Islam dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi

Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa, Jurnal Esensia Vol.

VIII No. 2 Juli 2012, 280.

Bruce Weame dan C. Wearne, “Exegetical Explorations: Parson’ Convergence

Concept”, The American Sociologist. Vol. 44, No. 3. September 2013.

Budiwanti Erni, “The Role OF Wali, Ancient Mosques and Sacred Tombs In

The Dynamics of Islamisation in Lombok”, Journal Heritage of

Nusantara. Volume 3. No 1 Juni 2014.

Bush, Evelyn L., “Measuring Religion in Global Civil Society”, Social Forces.

Vol. 85, No.4 tahun 2007.

Bauto Monto Laode, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan

Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jurnal, JPIS,

Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 23. No. 2. Desember, 2014, 23-24.

Chaer, Moh Toriqul, and STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron Ngawi.

"Mengharap Barokah Dan Karomah". Dadi Ahmad, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator. Volume 9

No 2 Desember 2008

Dahlan, M., “Islam dan Budaya Lokal Adat Perkawinan Bugis Sinjai”, Jurnal

Diskursus Islam. Volume 1, 2013.

Darwis Nasution Robby, “Kiyai Sebagai Agen Perubahan Sosial dan

Perdamaian Dalam Masyarakt Tradisional”, Jurnal Humaniora.

Volume 19 No. 2 Juli 2017.

Djuhan, Muhammad Widda, "Ritual Di Makam Ageng Besari Tegalsari Jetis

Ponorogo", Jurnal Kodifikasia 5.1, 2011

Fagan, Patrick F., “Why Religion Matters: The Impact of Religioun Practce on

Social Stability”, The Heritage Foundation. 2014.

Falah, Ahmad, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata”, Jurnal

Walisongo. Volume 20, No 2, 2012.

Page 191: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

177

Fitriani, Muhammad Iwan, “Kontestasi Konsepsi Religius dan Ritualitas Islam

Pribumi Versus Islam Salafi di Sasak Lombok”, Jurnal Tasawuf dan

Pemikiran Islam. Volume. 5, 2015.

Gilder, Ray, “Focus on the Basic Functions of the Church”, Life Way. 2001-

2015.

Huber, Joan, “Lenski Effects on Sex Stratification Theory”, Sociological

Theory.Vol. 22, No. 2.

Humaidi Zuhri, Islam dan Lokalitas Dalam Bingkai Postmodernisme. Jurnal

Universum Vol 9. No. 2 Juli 2015.

Hudaningsih, Ashmi, dkk., “Studi Kelayakan Makam Keramat Agung

Pemecutan Sebagai Daya Tarik Wiasata Pilgrim di Denpasar (Analisis

Aspek Pasar dan Pemasaran)”, Jurnal IPTA. Vol. 2, No. I, 2014.

Irwan, Evarial, “Tafsir al-Qur’an dan Tradisi Sunda: Studi Pemikiran Moh. E.

Hasyim dalam Tafsir Ayat Suci dalam Renungan”, Indonesian Journal

of Islamic Literature and Muslim Society. Vol. 2, No. 1, 2017.

Ilahi Takdir Mohammad, Ziarah dan Cinta Rasa Islam Nusantara Jurnal

Pemikiran Islam, Volume 21 No. 1 2016.

Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”, Studia

Islamika (Indonesia Journal for Islamic Studies). Vol. 8, No. 1 2001

Jerosen, Peeters, “Kaum-Tuo Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang

1821-1942”, INIS, 1997

Mas’udi, Kudus, "Genealogi Petilasan Sunan Kudus", Jurnal Al-Qalam. Vol. 19.

No. 2. Tahun 2012.

Masduki Anwar, Ziarah Wali di Indonesia dalam Perspektif Pilgrimage Studies,

Jurnal, Studi Agama-Agama, Vol. 4. No. 2 September, 2014.

Mujib, M Misbahul, Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi

Kesalehan, Identitas Keagamaan dan Komersial, Ibda’ Jurnal

Kebudayaan Islam Vol 14. No. 2, Juli-Desember 2016.

Mulyadi, "Kepercayaan Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Makam Datu Insad

Di Kabupaten Tanah Laut", Jurnal Islam. IAIN Antasari Banjarmasin

tahun 2014.

Mumpangati, Titi, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”,

Jurnal Jantra Sejarah dan Budaya. Vol II No. 3, tahun 2010.

_______________, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”

Jurnal Jantra Vol. II. No 3 Juni 2007 (Yogyakarta: Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai

Tradisional Yogyakarta).

Mustofa, Imron, “Turki Antara Sekularisme dan Aroma Islam: Studi Atas

Pemikiran Nijyazi Berkes”, Jurnal El-Banat. Volume 6 No.1, 2016.

Najitama, Fikria, “Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah Pada Makam

Santri dan Priyayi)”, Ibda’ Jornal Kebudayaan Islam. Volume, 11 No.

1, Januari-Juni, 2013.

Ngangi, Charles R., “Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial”, Journal ASE.

Volume 7 No 2, Mei, 2011.

Page 192: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

178

Nindito, Stefanus, “Fenomenologi Alfre Schutz: Studi Tentang Konstruksi

Makna dan Realitas Dalam Ilmu Sosial”, Jornal Ilmu Komunikasi.

Volume 2, Nomor 1, Juni 2005.

Nutini, Hogu G., “Social Stratification and Mobility in Central Veracruz”, Social

Sciences-Anthropology, 2009.

Rd., Pachoer Datock A., “Sekularisasi dan Sekularisme Agama”, Jurnal Agama

dan Lintas Budaya. Volume. 1. No 1, September, 2016.

Riley, Matilda White, “The Perspective of Age Stratification”, The School

Review. Vol. 83, No. 1, tahun 1974.

Royyan, Moh., Tradisi Ziarah Dalam Islam: Studi Kasus Di Makam Batu

Ampar Proppo Pamekasan Madura. Disertasi: UIN Sunan Ampel

Surabaya, 2011.

Rothschild, Constaniana Safilios, “Family and Stratification: Some

Macrosocidological Observations and Hypotheses”, The Jornal of

Marriage and Family. Vol. 37, No. 4, tahun 1975.

Shri, Heddy dan Ahimsa Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan

Fenomenologi untuk Memahami Agama”, Jurnal Walisongo. Volume

20, No 2, November 2012.

Sulaiman, Aimie, “Memahami Teori Konstruksi Sosial Pteter L. Berger”,

Journal Society. Volume VI, Nomor I, Juni, 2016.

Sulistiono, Budi, "Arkeologi Islam Nusantara: Masalah dan Solusinya", tahun

2014.

Sardjuningsih, Islam Mitos Indonesia (Kajian Antropologi-Sosiologi), Jurnal

Kodivikasia, Vol, 9 No. 1 2015

_____________, "Wali Songo Dalam Pentas Sejarah Nusantara", tahun 2014.

Tahir, Masnun, “ Pergumulan Hukum Islam dan Budaya Sasak (Mengarifi Fiqih

Islam Watu Telu di Pulau Lombok)”, tahun 2011.

Tahali, Ahmad Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurnal: Jurisprudentie

Volume. 5 No. 2 Juni 2018.

Wearne, C. Bruce, “Exegetical Exploration: Parson’s Convergence Concept”,

The American Socioloist. Vol. 44, Nomor 3, September, 2013.

Qibtiyah, Mariatul Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan (Analisis Atas

Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang. Tesis: Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014,

Z’atarī, ‘Alā’ al-Dīn, ”Wazīfah al-Masjid al-Thaqāfiyah”, ‘Alā’ al-Dīn

Z’atari. 2007-2015.

Zuhdi, Muhammad Harfin, “Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika

Islam Normatif dan Islam Kultural”, Religia: Jurnal Ilmu-ilmu

Keislaman. Vol. 12, No. 1, 2009

Zaelani Kamarudin, “Dialektika Islam dengan Varian Kultrual Lokal dalam Pola

Keberagamaan Muslim Sasask”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol.

IX edisi 15 No. 1 Januari-Juni, 2005.

Page 193: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

179

GELOSARIUM

Fenomenologi : Cabang ilmu filsafat yang mengkaji manusia dan masyarakat

sebagai sebuah fenomena atau fakta

Agama : Sistem atau prinsip kepercayaan pada Tuhan dengan ajaran

kebaktian serta kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan

keyakinan itu

Emosi keagamaan : Getaran jiwa yang membuat sesorang menjadi bersikap religius

Akulturasi : Percampuran budaya tanpa menghilangkan unsur budaya yang

lama

Enkulturasi : Peroses pembudayaan

Asimilasi : Percampuran dua budaya dan yang asli ditiadakan

Diameteral : Pandangan para tokoh yang bervariasi

Empiris : Berdasarkan pengalaman dan kenyataan melalui uji coba

Hermeneutic : Ilmu yang mengkaji tentang interpretasi makna atau hakikat dari

segala sesuatu

Kognitif : berdasarkan pengetahuan

Koherensi : Tersusunya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya

berkaitan dengan yang lain

Konservatif : Bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang

berlaku

Habitualisasi : Proses menjadi semakin terbiasa atau efektif menyesuaikan diri

kapada kondisi yang berhubungan dengan pengalaman,

perasaan, pekerjaan, atau penghayatan termasuk proses belajar

Keramat : Suci atau bertuah yang diyakini mampu memberikan efek magis

dan pisikologis bagi orang yang mempercayainya; suci-

pemisahan segala unsur kehidupan biasa, karena memiliki

signifikasi supranatural

Hierarki : Urutan, struktur, bertingkat/bertahap (jabatan, kedudukan, kelas

sosial, maupun ekonomi)

Keyakinan : Bagian agama atau relegi yang berwujud konsep-konsep yang

menjadi kepercayaan penganutnya

Interaksi sosial : Hubungan sosial yang dinamis antara orang perorangan, antara

perseorangan dengan kelompok

Kelas sosial : Penggolongan masyarakat/kelompok masyarakat berdasarkan

kedudukan dalam masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan lain-

lain

Interdependensi : Keadaan saling bergantung; suatu pola hubungan antara unit-unit

sosial tertentu yang saling bergantung antara satu sama lain

Magic/magis : Istilah yang selalu dipakai dalam praktek-praktek takhayul

berdasarkan kepercayaan dalam perantara supranatural dimana

dapat menimublkan kekuatan gaib dan dapat mempengaruhi atau

Page 194: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

180

menguasai alam di sekitarnya termasuk alam pikiran dan tingkah

laku manusia

Masyarakat : Jumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh

suatu kebudayaan yang mereka anggap sama

Motif : Faktor afektif-konatif (hasrat dan keinginan) yang dapat

digunakan dalam menentukan arah tingkah laku individu

terhadap akhir atau tujuan, dengan sadar dilihat atau tidak sadar

Masyarakat modern: Masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara

luas, spesialisasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi

canggih

Mobilitas sosial : Gerakan perubahan yang terjadi di antara masyarakat baik secara

fisik maupun sosial; perubahan kedudukan warga masyarakat

Nilai : Sifat-sifat atau sejumlah hal-hal yang sangat penting dan

bermanfaat bagi manusia

Masyarakat tradisional : Masyarakat yang masih banyak digandrungi oleh adat

istiadat lama

Modernisasi : proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga

masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntuan zaman masa

kini

Motivasi : Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak

untuk melakukan suatu tindakan dengan atruran tertentu

Norma : Pola atau nilai strandar yang bersifat mewakili bagian kelompok

atau jenis; aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok

dalam masyarakat, di gunakan sebagai panduan, tatanan dan

pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima oleh kaidah-

kaidah sosial masyarakat

Persepsi : Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca

indranya; tanggapan langsung dari sesuatu

Rasional : Menurut pikiran dan pertimbangan akal, kemampuan untuk

mempertimbangkan yang berkaitan dengan kepercayaan

terhadap sesuatu yang disertai dengan pembuktian

Perilaku : Tanggapan atau reaksi individu terhadap lingkungannya

Ritual : Suatu sistem upacara atau prosudur magis atau religius yang

biasanya dengan bentuk-bentuk khusus dan biasanya

dihubungkan dengan tindakan-tindakan penting

Tradisional : Sikap dan cara berpikir serta bertindak yang senantias berpegang

teguh pada norma-norma dan adat istiada atau kebiasaan yang

telah ada secara turun-temurun; menurut tradisi atau bercorak

tradisi

Skularisasi : Hal-hal yang membawa kea rah kehidupan yang tidak didasarkan

pada aturan agama

Tradisi : Adat kebiasaan turun temurun yang masih terus dilestarikan

dalam masyarakat

Page 195: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

181

Simbol : Suatu benda atau aktifitas yang melambangkan dan sebagai

pengganti sesuatu yang lain

Tawassul : Memohon pada prantara agar doanya cepat terkabul

Sosio kultural : Berkenaan dengan segi-segi sosial dan budaya masyarakat

Stratifikasi : Pembedaan (penggolongan) penduduk atau masyarakat ke dalam

kelas-kelas secara bertingkat berdasarkan setatus sosial

ekonomi, kekuasaan, prestise, agama, pendidikan, dan lain

sebagainya

Page 196: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

182

DAFTAR INDEKS

A

A.R. Wallace · 66

Abdul Wahhab Khallaf ·

52, 57, 61

Afghoni · 128

akulturasi · 10, 13, 75, 76,

84, 88, 97, 99, 125

Aldous Huzxley · 51

Ali Jum’ah · 57

Al-Jabiri · 80

al-Sayyid Muhammad bin

‘Alawi al-Mălikī · 93

Ardhi · 27, 28

Auguste Comte · 43, 44

B

Berger · 9, 14, 19, 40, 41,

44, 46, 47, 48, 49, 50,

82, 94, 106, 107, 123,

124, 127, 132, 133, 136,

150, 158

berkah · 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12,

16, 37, 38, 39, 69, 73,

76, 93, 95, 97, 98, 105,

107, 116, 130, 131, 133,

138, 143, 144, 147, 148,

149, 150, 151, 159, 160,

162, 167

berwsilah · 157

Bronislaw Malinowski · 83

Bryan S. Turner · 5, 55, 59,

60, 83, 127, 137

budaya · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,

10, 13, 15, 16, 17, 18,

20, 21, 24, 25, 28, 31,

32, 33, 37, 40, 41, 51,

52, 53, 56, 58, 60, 61,

62, 63, 68, 73, 74, 75,

78, 79, 80, 79, 82, 83,

84, 85, 87, 88, 93, 95,

97, 98, 99, 100, 102,

103, 105, 110, 113, 115,

116, 117, 118, 120, 121,

122, 123, 124, 125, 128,

133, 134, 135, 136, 139,

141, 146, 147, 150, 152,

154, 156, 157, 158, 165,

167, 168

C

Clifford Geertz · 5, 17, 97,

99, 100, 117, 121, 126,

153

D

Desa Rembitan · 7, 13, 14,

18, 19, 68, 69, 74, 75,

100, 101, 102, 107, 108,

110, 111, 113, 114, 115,

118, 124, 125, 128, 131,

138, 142, 143, 146, 148,

149, 152, 157, 159, 161,

162, 167

Dewa · 30, 90, 137

dimensi · 4, 17, 46, 47, 65,

81, 82, 92, 93, 97, 98,

111, 125, 129, 136, 139,

164

Durkheim · 40, 42, 44, 45,

46, 80, 81, 107, 134, 140

E

Edmund Husserl · 21, 106

eksternalisasi · 9, 48, 49,

50, 51, 94, 158

Emile Durkheim · 4, 5, 40,

44, 46, 61, 90, 117, 134,

140

emosi · 48, 59, 81, 88, 89,

90, 91, 99, 111, 118,

123, 136, 145, 146

emosional · 11, 80, 92, 132,

151

F

fenomena · 2, 5, 12, 13, 22,

24, 25, 33, 38, 40, 41,

42, 43, 45, 48, 59, 60,

61, 62, 64, 79, 80, 82,

85, 86, 125, 132, 133,

138

fenomenologi · 13, 14, 20,

21, 42, 130, 158, 168

G

gaib · 5, 12, 28, 29, 31, 34,

36, 37, 64, 83, 89, 90,

127, 132, 138, 151

Giddens · 46, 80

H

habitualitas · 56

Hasan Hanafi · 60, 105

Henri Chambert-Loir &

Claude Guillot · 128

I

Ibn Battuta · 100

Ibnu Hajar al-Hatsani · 52

Ibnu Khaldun · 42, 43, 107

Ibnu Qadamah · 36

Ibnu Qayyim al-Jauziyah ·

105

ideologi · 21, 46, 47, 56, 63,

79, 90, 113

Page 197: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

183

internalisasi · 9, 49, 94,

120, 124, 154, 158

J

John Dwewy · 50

K

kepercayaan · 2, 4, 5, 8, 10,

12, 13, 14, 15, 17, 19,

20, 28, 30, 31, 32, 34,

35, 36, 53, 59, 62, 64,

65, 70, 71, 73, 74, 75,

76, 77, 78, 79, 80, 83,

84, 85, 86, 87, 88, 89,

91, 92, 93, 95, 97, 101,

102, 106, 107, 109, 110,

113, 114, 118, 128, 131,

132, 133, 134, 135, 136,

137, 138, 139, 140, 143,

144, 155, 158, 160, 163,

167, 168

KH. Said Aqil Siradj · 4

khurafat · 28, 53, 57, 154

Koentjaraningrat · 2, 7, 23,

35, 53, 76, 80, 82, 88,

89, 90, 91, 97, 123, 124,

125, 145, 146

konservatif · 63, 85, 86

konstruksi · 9, 14, 15, 16,

17, 19, 20, 25, 27, 40,

41, 40, 46, 48, 95, 166,

167

Konstruksi · 25, 26, 40, 41,

42, 48, 49, 97, 106, 167

kultural · 1, 3, 13, 50, 56,

58, 79, 80, 87, 116, 118,

120, 122, 126, 153

L

leluhur · 2, 3, 12, 51, 56, 65,

75, 79, 91, 98, 102, 106,

113, 116, 125, 128, 139,

152, 154, 163, 165

M

makam · 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10,

11, 12, 13, 14, 15, 16,

18, 19, 20, 21, 22, 23,

24, 26, 37, 38, 39, 53,

55, 56, 61, 65, 69, 70,

75, 76, 78, 81, 91, 92,

95, 97, 98, 99, 100, 101,

102, 103, 104, 105, 106,

107, 108, 109, 110, 111,

112, 113, 114, 115, 116,

117, 118, 119, 121, 122,

124, 125, 126, 127, 128,

129, 130, 131, 132, 133,

134, 136, 138, 139, 140,

141, 142, 143, 144, 145,

146, 147, 148, 149, 150,

151, 152, 153, 155, 156,

157, 158, 159, 160, 161,

162, 163, 164, 165, 166,

167, 168

Mannheim · 46, 47

Max Weber · 44, 45, 46,

138

Mead · 21, 42, 49, 50

metodologi · 43, 45

mistifikasi · 36, 37, 38, 39,

56

mistis · 4, 5, 15, 131, 136,

149, 167

mitologi · 36, 37, 38, 39,

56, 72, 84, 87, 91

monotheisme · 29

motivasi · 2, 9, 12, 13, 16,

21, 29, 79, 93, 99, 114,

115, 117, 121, 124, 126,

127, 131, 147, 156, 162

Muhammadiyah · 16, 56,

57, 58, 83, 154, 155

murni · 12, 58, 60, 62, 73,

78, 110, 119, 128

N

NU · 2, 16, 39, 52, 56, 57,

58, 108, 110, 154

Nur Syam · 6, 16, 37, 38,

39, 40, 50, 51, 53, 56,

57, 117, 125, 148, 150,

161

Nurcholis Madjid · 78

O

obyektivasi · 49

P

Parsons · 118, 121, 122

pemuja · 34

pendusa · 125

Politheisme · 28

positif · 45, 61, 62, 70, 116,

132, 136

Prabu Rangkesari · 71

pradisposisi · 14, 15, 17, 19,

48, 147, 167

praktik · 13, 28, 32, 33, 34,

35, 36, 37, 46, 59, 61,

64, 65, 81, 92, 94, 116,

118, 125, 129, 132, 133,

134, 136, 139, 154, 161,

162, 163, 164, 166

primitif · 4, 30, 31, 32, 33,

34, 35, 36, 134, 137

profan · 37, 38, 64, 117,

126, 127, 153

R

rasional · 11, 16, 39, 44, 47,

53, 55, 58, 59, 63, 70,

82, 106, 118, 119, 120,

134, 135, 136, 137, 138,

154, 167, 168

religius · 4, 74, 81, 82, 90,

92, 93, 102, 116, 133,

134, 134

ritual · 4, 5, 8, 10, 13, 15,

18, 28, 29, 30, 32, 33,

34, 35, 36, 55, 56, 64,

65, 69, 75, 76, 77, 79,

Page 198: KONSTRUKSI SOSIAL DALAM TRADISI KEAGAMAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...proses sosial dan pola kepercayaan masyarakat yang timbul atas dasar cerita atau legenda

184

81, 83, 87, 90, 92, 94,

95, 98, 99, 103, 104,

109, 110, 111, 114, 117,

119, 121, 124, 125, 126,

127, 131, 136, 139, 140,

141, 142, 143, 144, 145,

149, 151, 154, 155, 156,

159, 161, 162, 163, 164,

165

ritus · 11, 17, 87, 89, 91, 92,

101, 128, 140

S

sakral · 37, 38, 63, 64, 80,

107, 117, 125, 126, 127,

128, 134, 140, 141, 148,

153

sakralisasi · 37

Samawi · 27, 29

Sasak · 7, 9, 23, 65, 66, 72,

73, 74, 75, 76, 79, 84,

85, 86, 88, 92, 93, 95,

102, 109, 128, 130, 136,

138, 149, 152, 165

Sayid Abdurrahman · 8,

103

simbol · 4, 5, 7, 16, 21, 31,

51, 56, 97, 99, 100, 101,

102, 103, 104, 106, 109,

113, 114, 117, 118, 120,

121, 134, 141, 144, 147,

154, 161

spiritualitas · 70

suci · 3, 5, 6, 10, 16, 27, 29,

30, 31, 35, 38, 51, 52,

53, 54, 55, 56, 61, 64,

73, 77, 84, 90, 91, 92,

93, 95, 97, 99, 100, 101,

102, 103, 105, 106, 108,

109, 110, 115, 117, 119,

121, 125, 126, 128, 131,

138, 141, 144, 148, 150,

151, 152, 153, 158, 159,

160, 161, 167

Sunan Prapen · 70, 71, 72,

73

supranatrual · 83

T

takhayul · 28, 53, 57, 63,

154

Talcott Parsons · 44, 45

tawassul · 6, 93, 110, 111,

112, 119, 126, 140, 145,

151, 153, 156, 157, 159,

160

TGH Mutawalli · 87

TGH. Makmun · 87

TGH. Saleh Hambali · 87

TGH. Zainuddin Abdul

Madjid · 87

Tradisi · 2, 3, 5, 6, 8, 10, 12,

13, 15, 16, 18, 20, 25,

26, 31, 52, 59, 65, 76,

79, 82, 93, 94, 97, 98,

99, 101, 102, 103, 106,

107, 108, 109, 110, 113,

114, 115, 124, 125, 128,

129, 139, 144, 147, 151,

152, 155, 165

tradisional · 39, 57, 58, 62,

63, 64, 65, 79, 84, 117,

118, 119, 131, 134, 137,

138, 149

Tylor · 33, 80

U

upacara · 5, 28, 30, 33, 34,

35, 37, 51, 52, 53, 55,

57, 58, 61, 64, 68, 75,

81, 87, 88, 89, 91, 94,

109, 125, 126, 127, 132,

140, 141, 157

Urf · 37, 57, 61

W

Wali · 1, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10,

11, 12, 13, 14, 16, 18,

19, 20, 21, 22, 24, 26,

37, 53, 54, 55, 56, 58,

68, 69, 70, 71, 73, 74,

75, 76, 84, 92, 93, 95,

97, 98, 99, 100, 101,

102, 101, 102, 103, 104,

105, 106, 107, 108, 109,

110, 111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 119,

121, 122, 124, 125, 126,

127, 128, 129, 130, 132,

134, 138, 139, 140, 141,

142, 143, 144, 145, 146,

147, 148, 149, 150, 151,

152, 153, 155, 156, 157,

159, 160, 161, 162, 163,

164, 165, 166, 167, 168

Wali Nyato’ · 7, 8, 9, 12,

13, 14, 18, 19, 20, 21,

22, 24, 26, 68, 69, 70,

74, 75, 92, 98, 99, 100,

101, 102, 101, 103, 104,

106, 107, 108, 109, 110,

111, 113, 114, 115, 116,

117, 118, 119, 121, 122,

124, 125, 126, 127, 128,

129, 132, 134, 138, 139,

140, 141, 142, 143, 144,

145, 146, 147, 148, 149,

150, 152, 153, 155, 157,

159, 161, 162, 163, 164,

165, 166, 167

Weber · 19, 42, 44, 45, 46,

59, 60, 133, 135, 136,

137, 138

Wetu Lima · 73, 74, 75

Wetu Telu · 73, 74, 75, 88