konstruksi haji

36
139 KONSTRUKSI BUDAYA DALAM PRAKTEK HAJI ORANG BUGIS DI BONE Subair Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon Jl. Dr. Tamidzi Taher, Kebun Cengkeh Batu Merah Atas Telp. 0911-344816 Ambon 97123 Email: [email protected] Abstrak: Artikel ini mendeskripsikan tiga tema pokok: (1) kons- truksi simbolik haji pada orang Bugis; (2) interaksi konstruksi sosial dan budaya orang Bugis; (3) konstruksi makna dan implikasinya pada pelaksanaan ibadah haji dan keseluruhan budaya orang Bugis. Studi ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pen- dekatan interaksi simbolik. Tingginya angka jamaah haji setiap tahun bukan semata indikasi dari tingginya mutu religiusitas. Haji bagi orang Bugis adalah sebuah pranata yang sangat kompleks, merupakan simbol transformasi tertinggi bagi seorang individu Bugis. Mereka sangat terobsesi pada aspek-aspek simbolik haji, khususnya pada pakaian, atribut, dan gelar. Umumnya mereka mempunyai cita-cita naik haji sejak kecil dan keinginan itu semakin menguat setelah menikah atau telah memasuki usia lebih dari 30 tahun, terutama bagi perempuan yang belum menikah. Status haji merupakan salah satu simbol untuk seseorang disebut sebagai panrita (ulama), sekaligus salah satu indikasi untuk seseorang disebut to sugi (orang kaya). Bagi orang Bugis Bone, haji merupakan simbol transformasi kedirian seseorang, di mana dengan naik haji berarti dia telah mencapai posisi tertinggi yang mampu diraihnya. Kata kunci: Orang Bugis, simbolik haji, mappatoppo, siri’, panngadereng

Upload: helmyayuradimiharja

Post on 15-Apr-2016

68 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

haji ogi

TRANSCRIPT

Page 1: Konstruksi Haji

139

KONSTRUKSI BUDAYA DALAM PRAKTEK HAJIORANG BUGIS DI BONE

SubairInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon

Jl. Dr. Tamidzi Taher, Kebun Cengkeh Batu Merah AtasTelp. 0911-344816 Ambon 97123

Email: [email protected]

Abstrak: Artikel ini mendeskripsikan tiga tema pokok: (1) kons-truksi simbolik haji pada orang Bugis; (2) interaksi konstruksi sosialdan budaya orang Bugis; (3) konstruksi makna dan implikasinyapada pelaksanaan ibadah haji dan keseluruhan budaya orangBugis. Studi ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pen-dekatan interaksi simbolik. Tingginya angka jamaah haji setiaptahun bukan semata indikasi dari tingginya mutu religiusitas. Hajibagi orang Bugis adalah sebuah pranata yang sangat kompleks,merupakan simbol transformasi tertinggi bagi seorang individuBugis. Mereka sangat terobsesi pada aspek-aspek simbolik haji,khususnya pada pakaian, atribut, dan gelar. Umumnya merekamempunyai cita-cita naik haji sejak kecil dan keinginan itu semakinmenguat setelah menikah atau telah memasuki usia lebih dari 30tahun, terutama bagi perempuan yang belum menikah. Status hajimerupakan salah satu simbol untuk seseorang disebut sebagaipanrita (ulama), sekaligus salah satu indikasi untuk seseorangdisebut to sugi (orang kaya). Bagi orang Bugis Bone, haji merupakansimbol transformasi kedirian seseorang, di mana dengan naik hajiberarti dia telah mencapai posisi tertinggi yang mampu diraihnya.

Kata kunci: Orang Bugis, simbolik haji, mappatoppo, siri’,panngadereng

Page 2: Konstruksi Haji

140

THE CULTURAL CONSTRUCTION OF THE HAJJAMONG THE BUGIS IN BONE

SubairInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon

Jl. Dr. Tamidzi Taher, Kebun Cengkeh Batu Merah Atas,Telp. 0911-344816 Ambon 97123

Email: [email protected]

Abstract: This article discusses three main issues. First, symbolicconstruction of the hajj among the Bugis; Second, the interactionof social and cultural construction of the Bugis; and third themeaning of the hajj and its implication for the whole cultural systemof the Bugis. Building on the theory of symbolic interaction, thisqualitative research argues that the high number of hajj does notautomatically relate to the religiosity of the people performing it.For the Bugis, the hajj embodies complex meanings which signifysymbolic transformation of Bugis self-personality. The Bugis areexcessively obsessed by the hajj’s symbols, such as clothe, attributesand a title attired and received after performing this ritual. To theBugis, the hajj is a dream that they have envisioned since childhood.After they get married or reach thirty years old, the appeal toperform the hajj become stronger. The eagerness to conduct thisritual seems to be more tangible especially for unmarried women.By holding the title as Haji, one who has visited Mecca to do thehajj, the Bugis deserve two titles; religious as panrita (ulama) andcultural as to sugi (rich). Therefore, to the Bugis in Bone, the hajjescorts them to attain the highest personal transformation.

Keywords: Bugineese, hajj simbolics, mappatoppo, siri’,panngadereng

Page 3: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

141

PENDAHULUAN

Minat dan semangat orang Bugis di Kabupaten Bone untukmenunaikan ibadah haji tergolong sangat tinggi. Sebagai salahsatu indikator, dari jumlah kuota 745 orang pada tahun 2010(setelah mendapat tambahan kuota sebanyak 35 orang dari kuotatahun sebelumnya), jumlah calon jamaah haji kabupaten Boneyang terdaftar dalam daftar tunggu (waiting list) mencapai 8.717orang.1 Jumlah tersebut merupakan angka terbesar kedua untukwilayah provinsi Sulawesi Selatan setelah kota Makassar denganjumlah 10.241 penabung/daftar tunggu (1.086 kuota), dan sebelumkabupaten Gowa dengan 6.853 penabung/daftar tunggu (599kuota). Data ini menunjukkan bahwa kalau dirata-ratakan, de-ngan kuota yang sama setiap tahun dan asumsi tidak ada penam-bahan penabung baru, maka dibutuhkan waktu 11 tahun lebihuntuk memberangkatkan seluruh calon jamaah haji yang sudahterdaftar pada waiting list.2

Tingginya angka jamaah haji idealnya dapat digunakansebagai indikasi dari dua hal penting. Pertama, meningkatnya ke-taqwaan dengan memenuhi rukun Islam kelima, sebuah indikatorkehidupan beragama yang semakin membaik. Kedua, menunjukkanmembaiknya kemampuan ekonomi, karena untuk menunaikanibadah haji dibutuhkan biaya yang cukup banyak, apalagi bagipetani tradisional. Pada kasus ini, tampaknya kedua indikator itukurang relevan. Haji sebagai ibadah wajib dalam agama Islam -yang syarat dan tata cara pelaksanaannya telah tertulis dalamteks-teks agama Islam- telah mengalami fluiditas ketika berinteraksidengan kebudayaan orang Bugis. Salah satu perwujudan fluiditasitu terlihat dari realitas haji dalam bentuk aspek-aspek simbolikyang penuh makna, cenderung mistis dan kontemplatif. Padaakhirnya, diduga ibadah haji bagi orang Bugis tidak hanya sekedarpelaksanaan rukun Islam yang kelima. Sarjan menemukan bahwabanyak orang Bone menunaikan ibadah haji karena terobsesi padaaspek-aspek simbolik seperti busana dan gelar haji serta paham-paham keberkahan benda-benda Tanah Suci.3

Untuk mengungkap makna yang tersembunyi di baliksimbol-simbol haji itu memang bukan perkara mudah karenamakna tersebut lebih bersandar pada keyakinan dari pada rasional-isme. Makna merujuk kepada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja

1Http://www.ujungpandangekspres.com, diakses 25 Oktober 2010.2Tribun Timur, 10 Juni 2010.3Lihat Andi Sarjan, Studi tentang Paham dan Kepercayaan Suku Bugis (Bone) di

Sekitar Pelaksanaan Ibadah Haji (Watampone: STAIN Watampone, 1999).

Page 4: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

142

yang terpayungi dengan istilah “perspektif partisipan” atau subjekpenelitian.4 Transparansi makna aspek simbolik haji itu hanyadapat diuraikan oleh subjek yang meyakini makna simbolistersebut. Walaupun begitu, oleh karena paham dan keyakinan itubersifat faktual dan aktual, implikasinya dapat terlihat pada realitassosial mereka. Studi ini, oleh karena itu, merupakan kajian me-ngenai pranata keagamaan yaitu pranata sosial yang berhubungandengan kehidupan beragama dari suatu masyarakat meliputisegala pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat tersebut dalammengabdi kepada Tuhan mereka.5 Mengikuti alur pikir konstruksirealitas secara sosial dari Berger,6 artikel ini mendeskripsikan feno-mena perilaku keagamaan melalui pranata ibadah haji. Fenomenatersebut dihubungkan dengan konstruksi sosial budaya orang Bugisdi kabupaten Bone Sulawesi Selatan.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode deskriptis analitisdengan pendekatan interasionisme simbolik yang bersifat kuali-tatif. Metode ini pada dasarnya bertujuan untuk memahami ke-adaan yang saling berhubungan antara berbagai gejala eksternalmaupun internal yang terdapat dalam kehidupan masyarakatBugis di Kabupaten Bone khususnya yang berkaitan dengan pe-ngalaman beragama mereka.7 Pendekatan interaksionisme simbolik

4A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang danMelakukan Penelitian Kualitatif (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), 107-108.

5Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Cet. ke-2 (Bandung: Remaja Rosdakarya,2001), 98-99. Lihat juga Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (NewYork: The Free Press, 1965); Elizabeth Nottingham, Religion and Society (New York:Random House, 1954); Bassam Tibi, Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Diterjemahkanoleh Misbah Zulfah Elizabet dan Zainul Abbas Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999).

6Menurut Berger, setiap kelompok masyarakat terbangun atas hubunganyang dialektik antara manusia dan sistem sosialnya. Proses dialektik itu terdiri atastiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusiamengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya, dan melalui eksternalisasiini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitasobyektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia.Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akanmempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia. Dari sudut ini, masyarakatdiserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi. Lihat Peter L. Berger. SacredCanopy (New York: Doubleday, 1967), 4. Lihat juga Peter L. Berger dan Thomas Luckman.Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990).

7Imam Suryoprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Cet.1 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 137. Lihat juga Judistira K. Garna, MetodaPenelitian: Pendekatan Kualitatif (Bandung: Primaco Akademika, 1990), 4; Bogdan,Robert and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods: APhenomenaological Approach to Social Sciences (New York: John Wiley & Sons, 1975).

Page 5: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

143

termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitiankualitatif yang berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilaku-kan dalam suatu lingkungan yang alamiah alih-alih lingkunganartifisial seperti eksprimen. Dasar pemikiran dari interaksionismesimbolik adalah bahwa manusia adalah makhluk pencipta, peng-guna dan pencinta simbol. Bahasa, pakaian, jabatan, status, danlain-lain adalah simbol. Dalam sebuah simbol, ada makna tertentuyang menurut pemakainya berharga. Pendekatan ini bertumpupada tiga premis; pertama, manusia bertindak terhadap sesuatuberdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagimereka; kedua, makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorangdengan orang lain; dan ketiga, makna-makna tersebut disempurna-kan di saat proses interaksi sosial berlangsung.8 Menurut Mulyana,interaksionisme simbolik termasuk ke dalam salah satu dari se-jumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa pene-litian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yangalamiah alih-alih lingkungan artifisial seperti eksprimen.9 Adasejumlah alasan mengapa pendekatan interaksionisme simbolikdipilih untuk meneliti aspek simbolik haji, sebagai berikut:1. Aspek simbolik haji tidak sekadar menyangkut pengetahuan

yang dapat dibahasakan (propositional knowledge), melainkanjuga menyangkut pengetahuan yang tidak dapat dibahasakan(tacit knowledge), yang hampir tidak mungkin diperoleh denganpendekatan rasionalistis, sebab pendekatan ilmiah hanya men-jelaskan pengetahuan proposisional saja. Hanya pendekatankualitatiflah yang memberdayakan peneliti untuk mengintipkonstruksi emik para informan/responden.

2. Studi ini membahas perilaku yang sangat kompleks: kepercaya-an, tujuan, dan alat untuk mencapai tujuan; bagaimana seoranghaji memaknai kehajiannya, bagaimana seorang non haji ber-sikap terhadap haji; serta sejumlah variabel lainnya yang mem-pengaruhi tingkah laku subjek penelitian, yang tidak mungkindireduksi dalam satu sudut pandang.

3. Tujuan penelitian ini diwarnai oleh adanya interaksi di antararealitas. Untuk memaknai kegiatan interaktif ini peneliti ber-interaksi langsung dengan subjek penelitian, antara lain denganmelakukan wawancara dan observasi dalam latar alamiahuntuk memperoleh pemahaman emik tentang kepercayaan,

8Lihat Ian Craib, Teori-Teori Sosial Modern; Dari Parsons sampai Habermas.Diterjemahkan oleh Paul S. Baut dan T. Affendi (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), 12; Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Ko-munikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet. ke-1 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 7.

9Ibid.

Page 6: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

144

tujuan, dan alat untuk mencapai tujuan itu. Jadi, data diperolehsebagai upaya peneliti yang selalu responsif terhadap konteks.Penelitian seperti itu adalah tradisi paradigma kualitatif yangmemadukan asumsi adanya saling pengaruh antara penelitidan subjek yang diteliti.

4. Karena peneliti menempuh mekanisme interaksional simbolikbersama subjek yang diteliti dan meyakini adanya mekanismeberbagai realitas dalam peneitian ini, maka penelitian ini ber-karakter deskriptif serta menjauhi generalisasi. Peneliti memilihdeskriptif kental (thick descpription) dan hipotesis-hipotesis kerja.Sebagai penelitian kualitatif, penelitian memenuhi empat syaratutama, yaitu partikularistis, deskriptif, heuristis, dan induktif.

Sumber informasi dalam penelitian ini terdiri atas informandan responden, latar (setting) kejadian, dan dokumen. Informanterdiri dari tokoh-tokoh agama dan ulama, pengurus KelompokBimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan mantan petugas pembimbinghaji. Responden terdiri dari para haji yang dipilih secara purposefulatau criterion-based-selection. Pemilihan responden pada satu KBIHmewakili golongan tertentu dalam masyarakat, yaitu golonganbawah, menengah, dan golongan atas. Data juga diperoleh melaluipengamatan terhadap aktivitas atau proses yang berkaitan denganhaji. Aktivitas atau proses itu meliputi upacara-upacara ritual haji,pelepasan, penjemputan, upacara perkawinan dan acara-acarasosial lainnya, kehidupan sehari-hari responden, dan sebagainya.Latar (setting) dalam keluarga dekat responden, dalam lingkunganumum dan atau resmi, saat berbicara, saat berbusana haji, saattidak berbusana haji, berkomunikasi personal, berkomunikasi res-mi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, dokumen merupakan bahantertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atauaktivitas yang berkaitan dengan peristiwa ibadah haji. Seluruhdata dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan partisipa-tif serta didukung oleh pengumpulan data sekunder melalui analisisdokumen. Selanjutnya data dianalisis menggunakan metodeanalisis induktif untuk mengembangkan model partisipatif yangmerangkum semua gejala kasus. Analisis dilaksanakan bersamaanwaktunya dengan tahap pengumpulan data di lapangan dan se-panjang proses penelitian berlangsung untuk mengetahui keku-rangan data yang harus dikumpulkan serta metode apa yangharus dipakai pada tahap berikutnya. Untuk menarik kesimpulan,data yang dihimpun diolah melalui tiga proses yakni; prosesmenyusun proposisi, sajian data dan verifikasi. Metode analisis dataseperti itu menerapkan model interaktif dari Miles dan

Page 7: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

145

Huberman.10 Ketiga proses analisis data tersebut merupakan halyang saling terkait selama dan sesudah pengumpulan data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Simbolisme Haji dalam Kebudayaan Orang Bugis

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingku-ngan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkunganfisik atau biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisiuntuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasike generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Pada akhir-nya kelompok tersebut tidak menyadari dari mana asal warisantradisi tersebut. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untukmenerima “kebenaran-kebenaran” itu dan melalui banyak caraorang-orang menerima penjelasan tentang “perilaku yang dapatditerima” untuk hidup dalam masyarakat tersebut.11

Individu-individu sangat cenderung menerima dan mem-percayai apa yang dikatakan budaya mereka. Seseorang dipenga-ruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat di mana ia dibesar-kan dan tinggal, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukandan penanaman budaya itu pada dirinya. Seseorang cenderungmengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan“kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya.

Yang dimaksud dengan tradisi di sekitar haji dalam hal iniadalah tradisi-tradisi yang dilakukan setelah ada kepastian jadiberangkat, yaitu apabila seseorang telah mendaftar menjadi calonhaji dan melunasi ONH. Tradisi itu adalah bagian dari ibadahhaji menurut sebagian besar responden. Artinya, tradisi itu dilaku-kan dengan berangkat dari keyakinan bahwa itu harus dilakukanoleh seorang calon haji karena apabila tidak dilakukan makakehajiannya tidak “sempurna” dan tidak akan mendapat legalitasdari masyarakat. Selain itu, tradisi tersebut berfungsi untuk me-nguatkan fungsi-fungsi simbol kehajian kelak.

1. Pakaian dan Atribut Haji

Pakaian dan atribut kehajian adalah identitas haji yangpaling menonjol. Keduanya merupakan berkah dari haji yangpertama sekali dan paling dihargai oleh orang Bugis. Karenanya,

10Matthew Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: BukuSumber tentang Metode-Metode Baru (Jakarta: UI Press, 1992), 15.

11Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed.), Komunikasi antar Budaya,Cet. Ke-6 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 55.

Page 8: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

146

haji yang tidak memakai busana haji pada waktu pulangnya, makaoleh orang lain hajinya dianggap tidak berberkah.

Pada dasarnya pakaian haji ada dua yaitu pakaian yangdipakai sewaktu melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci yangdisebut pakaian ihram dan pakaian haji setelah menjadi haji.Pakaian ihram dipakai oleh seluruh jemaah haji dari seluruh duniasedangkan pakaian yang dipakai setelah seseorang menjadi hajiadalah khas dan hanya dipakai oleh orang Bugis yang sudah haji.Busana yang khas inilah yang dimaksud dengan pakaian ataubusana haji dalam tulisan ini.

Busana haji bagi orang Bugis terdiri atas busana yang di-pakai pada acara-acara resmi dan busana yang dipakai sehari-hari. Busana untuk pemakaian resmi itu pun terbagi atas busanalengkap dan busana yang sederhana. Busana yang resmi adalahkabe’ atau tippolo (sorban) bagi haji laki-laki. Sedangkan busanaresmi yang sederhana dipakai pada acara-acara adat seperti per-kawinan dan acara-acara adat lainnya, terdiri dari taliling sajaatau terispa’ saja bagi haji perempuan dan songkok haji (peci putih)saja bagi haji laki-laki. Itulah busana yang akan membedakanantara seorang haji dengan bukan haji. Busana yang dipakaisehari-hari tidak jauh berbeda dengan busana sederhana ini hanyasaja taliling atau terispa’ diganti dengan cipo’-cipo’ haji yaitu sejenistopi khas perempuan yang dirancang khusus menyerupai taliling,tapi bukan taliling. Haji laki-laki lebih simpel karena biasanyamereka hanya cukup dengan memakai peci putih.

Bagi orang Bugis, busana haji tidak hanya sekedar meme-nuhi fungsi estetika dan model bagi seorang haji tetapi lebih daripada itu mengandung aspek-aspek simbolik yang sangat berpenga-ruh pada kehidupan sosial budaya orang Bugis secara keseluruhan.Busana itu tidak sekedar dipakai setelah menjadi haji semata, tetapiharus dimulai dalam sebuah upacara yang disebut mappatoppo.Karenanya, seorang haji setelah dipatoppoi harus selalu memakaibusana haji pada setiap acara formal atau setiap tampil di depanpublik.12

Mappatoppo sendiri ialah sebuah upacara pemasangansimbol busana haji atau semacam wisuda peresmian pakaian hajiyang dilakukan oleh seorang syekh atau ustadz, baik yang berasaldari negeri sendiri maupun orang Arab. Syekh atau ustadz ituoleh orang Bugis dipanggil dengan istilah Anre Gurutta atau orangyang mengajarkan agama. Anre Gurutta biasanya adalah seorangulama dari Bone sendiri yang memiliki berpengaruh besar dan

12Kesimpulan dari keterangan seluruh informan.

Page 9: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

147

kharismatik serta dikenal keulamaannya oleh jemaah, biasanyasekaligus bertugas sebagai pimpinan rombongan atau ketua kloter.Selain Anre Gurutta, orang yang melakukan ritual mappatoppo ada-lah seorang Syekh keturunan Bugis yang sudah lama tinggal diMekah dan telah menjadi warga negara Arab Saudi. Sebutan syekhdalam Bahasa Bugis berarti tau ripakaraja atau orang yang di-muliakan. Menurut kepercayaan orang Bugis, mappatoppo adalahsyarat untuk seorang haji sah memakai pakaian dan aksesori haji.Hal itu berbeda dengan identitas haji lainnya seperti gelar “haji”yang melekat atau didapat secara otomatis setelah seluruh prosesikehajian telah dituntaskan. Dengan mappatoppo, mereka merasakehajian yang mereka peroleh menjadi sempurna, yaitu yangberhubungan dengan kebolehan menggunakan gelar haji dankepantasan memakai busana haji.

Pada ritual mappatoppo, anre guru atau syekh memakaikanketiga jenis penutup kepala sebagaimana disebutkan sebelumnyasecara berurutan dimulai dari songkok haji, surubeng dan diakhiridengan tippolo. Inilah pakaian haji yang lengkap seorang haji laki-laki ditambah kabe sebagai bajunya. Saat ini tampaknya hanyatippolo ini yang masih murni menjadi identitas seorang haji karenasongkok haji dan surubeng sudah dipakai oleh ramai orangmeskipun tidak berstatus haji.

Dipatoppoi pada dasarnya adalah sebuah simbolik dipaleccekibarakka (proses transfer barakah dari anre guru atau syekh). Hal itutampaknya tidak lepas dari paham barakka yang menjadi ciri khaskeislaman orang Bugis. Barakka yang dimaksud adalah kelihatancantik bercahaya dan berseri-seri. Umumnya, ada dua permintaanyang diajukan oleh jemaah sebelum dipatoppoi, yaitu pertama, agaria didoakan diberi acantireng (kecantikan), dan kedua, agarkepalanya setelah memakai terispa’ atau taliling masih bisa dipakaimajjujujung (menjunjung). Mereka percaya bahwa kalau hal itutidak diminta pada acara mappatoppo maka seseorang tidak olehmenindih kepalanya dengan barang apapun atau tidak bolehmenggunakan kepalanya untuk membawa sesuatu. Permintaanitu diperhatikan oleh banyak orang karena banyak dari perempuan-perempuan Bugis umumnya mengangkat barang berat sepertipadi, air ataupun barang dagangan dengan menjunjung.

Salah satu yang menjadi ciri khas dan sangat menonjol padajemaah haji Bugis, baik yang berasal dari tanah Bugis maupundari perantauan adalah tradisi mappatoppo. Tradisi itu menurutpara informan dan responden yang saya temui, hanya dilakukanoleh jemaah haji Bugis saja, baik yang berangkat dari SulawesiSelatan maupun yang berangkat dari daerah lain.

Page 10: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

148

Mappatoppo ialah sebuah upacara pemasangan simbolbusana haji atau semacam wisuda peresmian pakaian haji yangdilakukan oleh seorang syekh (ustadz), baik yang berasal dari negerisendiri maupun orang Arab. Syekh atau ustadz itu oleh orangBugis dipanggil dengan istilah Anre Gurutta atau orang yangmengajarkan agama.

Dari keterangan yang saya peroleh di lokasi penelitian, tam-paknya syekh, yang dipercaya melakukan ritual mappatoppo adalahorang Bugis juga, tetapi sudah lama tinggal di Mekah dan telahmenjadi warga negara Arab Saudi. Sebutan syekh sendiri dalamBahasa Bugis adalah tau ripakaraja atau orang yang dimuliakan.Syekh itu biasanya disebut dengan panggilan kehormatan AnreGurutta. Selain itu, yang disebut Anre Gurutta biasanya adalah se-orang ulama dari Bone sendiri yang memiliki berpengaruh besardan kharismatik serta dikenal keulamaannya oleh jemaah, biasa-nya sekaligus bertugas sebagai pimpinan rombongan atau ketuakloter.

Pada umumnya syekh itu awalnya ke Tanah Suci untukbelajar namun akhirnya menetap di sana. Bahkan sudah ada be-berapa syekh yang lahir di Arab Saudi, akan tetapi masih tetapfasih berbahasa Bugis. Menurut Dr. H. Andi Sarjan, MA, padatahun 1996 ia mengenal seorang syekh yang ramai didatangijemaah Bugis asal Sulawesi Selatan dan Sumatera yang bernamaAnre Gurutta Syekh Husen Bugis. Akan tetapi pada tahun 2003,syekh itu sudah tidak ada lagi. Penggantinya adalah seorang syekhbaru yang konon katanya adalah keponakan dari syekh HusenBugis yang bernama Anre Gurutta Syekh Gani Abdullah.13

Seorang responden bernama Petta Hajji Minasa (namasamaran) mengaku dipatoppoi oleh seorang syekh yang bernamaSyekh Hamma, orang Bugis tetapi berkewarganegaraan ArabSaudi. Menurut Petta Hajji Minasa, seorang haji harus mappatopposebelum memakai pakaian hajinya karena mappatoppo adalahsimbol wisuda haji dan haji yang tanpa mappatoppo kurang afdal.Oleh Syekh Hamma itu, responden mengaku membeli sebuah kitabyang oleh syekh itu disebut sebagai kitab al-Asgar. Meskipun iatidak bisa membaca kitab kuning atau mengerti bahasa Arab, kitabitu dibelinya karena menurut cerita Syekh, kitab itu berkhasiatsebagai penolak bala meskipun hanya sekedar disimpan di rumah.Selain dia, menurutnya hampir semua jemaah membeli kitab itu.14

13Dr. H. Andi Sarjan, MA, Wawancara, 10 Januari 2009.14Hj. A. Minasa, Wawancara, 15 Januari 2009.

Page 11: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

149

Menurut kepercayaan sebagian besar responden (86,7persen), mappatoppo adalah syarat untuk seorang haji sah memakaipakaian dan aksesori haji. Hal itu berbeda dengan identitas hajilainnya seperti gelar “haji” yang melekat atau didapat secara oto-matis setelah seluruh prosesi kehajian telah dituntaskan. Denganmappatoppo, mereka merasa kehajian yang mereka peroleh menjadisempurna, yaitu yang berhubungan dengan kebolehan mengguna-kan gelar haji dan kepantasan memakai busana haji.

Seorang informan, Dr. H. Andi Sarjan, MA, mengatakanbahwa mappatoppo umumnya dilakukan oleh jemaah sejak setelahtahallul di Mina. Kalau belum sempat melakukannya di Mina, makaakan dilakukan di pemondokan haji Mekah. Bahkan tidak sedikityang melakukannya sampai dua kali.15 Seorang informan lainnya,Drs. H. Zainal Abidin, yang pernah tinggal selama dua tahunbelajar agama di Mesjid Haram Mekah dan sudah tiga tahun inimenjadi pembimbing haji, menceritakan bahwa jemaah haji Bonemelakukan ritual mappatoppo sepulang dari melempar jumrahaqabah di Mina.16

Mappatoppo terutama dilakukan oleh jemaah perempuan.Sebelumnya, jemaah berdandan sebagaimana layaknya orang yangsudah haji kecuali pada bagian kepala, dibiarkan kosong atausekedar ditutupi dengan kerudung biasa atau songkok biasa.Busana yang dipakai memang sudah dipersiapkan dari tanah air,dan ada juga yang membelinya setelah di Tanah Suci tetapi jum-lahnya sangat sedikit. Selanjutnya satu persatu mereka menghadapustadz atau syekh yang sudah menunggu untuk dipatoppoi. Cara-nya orang bersimpuh di depan syekh, kemudian mengatakan ke-inginannya untuk didoakan oleh syekh itu. Oleh syekh ia disuruhuntuk berniat dan selanjutnya dipasangi (dipatoppoi) kerudungkhusus yang disebut terispa’ untuk jemaah perempuan dan tippolobagi jemaah laki-laki.

Setelah selesai, orang yang bersangkutan memberikanimbalan berupa sarung atau sebagian kecil amplop berisi uangkepada syekh. Dengan demikian, selesailah ritual mapatoppo dansempurnalah ibadah hajinya. Mulai saat itu, ia akan memakaipakaian haji terus menerus, terutama perempuan, utamanya padasaat harus tampil di depan publik.

Meskipun saat ini bermunculan KBIH yang nota bene lebihintensif memberikan pemahaman tentang haji yang benar,termasuk penjelasan tentang kedudukannya dalam hukum ibadah

15Dr. H. Andi Sarjan, MA, Wawancara, 10 Januari 2009.16Drs. H. Zainal Abidin, Wawancara, 13 Februari 2009.

Page 12: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

150

haji. mappatoppo masih dilakukan oleh sebagian besar jemaah hajiBugis sampai saat ini. Drs. H. Zaenal Abidin, yang selama bebe-rapa tahun terakhir melakukan mappatoppo kepada jemaah haji,mengaku sebelum melakukan acara mappatoppo selalu memberi-kan pengarahan kepada jemaah bahwa mappatoppo hanyalahsebuah tradisi, bukan bagian dari haji bahkan bisa merusak hajiapabila niatnya salah. Tetapi para jemaah tetap ngotot harusmappatoppo karena sudah berniat sebelumnya.17 Menurut penga-kuan informan, ia melakukan mappatoppo bukan hanya kepadajemaah di bawah bimbingannya akan tetapi juga banyak jemaahBugis lainnya, baik yang berasal dari daerah-daerah lainnya diSulawesi Selatan maupun dari daerah-daerah lain bahkan adayang berasal dari Malaysia, yaitu orang Bugis yang sudah menjadiwarga negara Malaysia.18

Menurut Drs. H. Buaety Nawir, selain jemaah haji Bone,mappatoppo juga dilakukan oleh sebagian besar jemaah asal Kabu-paten Pinrang, Sengkang dan Sidenreng Rappang. Ditambahkanoleh Nawir, ada pemahaman orang Bugis bahwa mappatoppoadalah tradisi dari sejak dahulu kala, sehingga dipahami sebagaiajaran Islam. Ditambah tidak ada penegasan dari Urusan HajiDepartemen Agama tentang status hukum mappatoppo, jumlahjemaah haji yang mappatoppo tidak mengalami perubahan yangsignifikan. Nawir berani memastikan, lebih dari 90 persen jemaahhaji Bone tahun 2003 masih melakukannya.19

Dipatoppoi pada dasarnya adalah sebuah simbolik dipaleccekibarakka (proses transfer barakah dari syekh). Menurut Drs.H.Zainal Abidin, hal itu tidak lepas dari paham barakka yang men-jadi ciri khas keislaman orang Bugis. Barakka yang dimaksudadalah kelihatan cantik bercahaya dan berseri-seri. Itu dapat dilihatpada niat mappatoppo yang harus dibaca oleh orang yang hendakdipatoppoi sebagai berikut: Tennapodo’ iaro hajjiku mabbere cahayaloka ri rupakku, sikennai ampe-ampeku sibawa kedo-kedoku (Semogahajiku ini memberikan cahaya pada wajahku, juga pada perbuatandan perilakuku).20

Umumnya, ada dua permintaan yang diajukan oleh jemaahsebelum dipatoppoi, yaitu pertama, agar ia didoakan diberiacantireng (kecantikan), dan kedua, agar kepalanya setelah me-makai terispa’ atau taliling masih bisa dipakai majjujujung

17Ibid.18Ibid.19Dr. H. Andi Sarjan, MA, Wawancara, 10 Januari 2009.20Ibid.

Page 13: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

151

(menjunjung). Mereka percaya bahwa kalau hal itu tidak dimintapada acara mappatoppo maka seseorang tidak oleh menindihkepalanya dengan barang apapun atau tidak boleh menggunakankepalanya untuk membawa sesuatu. Permintaan itu diperhatikanoleh banyak orang karena banyak dari perempuan-perempuanBugis umumnya mengangkat barang berat seperti padi, airataupun barang dagangan dengan menjunjung.

Hj. Bulan (nama samaran), seorang pedagang pakaiankeliling yang melaksanakan ibadah haji pada tahun 2002, men-ceritakan bahwa sebelum ia dipatoppoi ia meminta kedua hal itukepada syekh yang melakukan mappatoppo kepadanya. Hj. Bulanbertutur: De’ namalunra’ hajie sedding narekko de’ napura naripa-toppoki. Iapa nawedding ri pake terispa’e narekko purafi ripatoppoki(Rasanya haji tidak sempurna kalau belum diresmikan. Baru bolehmemakai terispa’ setelah orang diwisuda).21

Hj. Bulan tinggal di Kelurahan Biru, tiap hari harus meng-angkat sendiri barang dagangannya berupa pakaian ke dalampasar dengan cara menjunjungnya di atas kepalanya. Tapi ia tidaktakut melakukannya karena pada mappatoppo, ia telah memintanyauntuk diperbolehkan melakukannya.

Hanya sebagian kecil dari responden yang mengaku tidakmelakukan ritual mappatoppo sewaktu naik haji, yaitu 12 orangatau 13,3 persen. Responden yang tidak mappatoppo ini adalahpara petugas haji dan jemaah yang memiliki pengetahuan agamacukup mendalam. Mereka mengaku tidak melakukan mappatoppokarena mengetahui dengan benar kedudukan mappatoppo dalamhukum ibadah haji. Sebagian dari mereka malah bahwa meng-anggap mappatoppo adalah bi’dah yang bisa merusak kemabruranibadah haji.

2. Gelar Haji

Gelar haji adalah identitas kehajian selain pakaian. Gelarhaji pada seorang haji akan melekat terus di namanya, melebihiidentitas atau gelar-gelar lain. Panggilan orang lain kepadanyaberubah menjadi panggilan haji. Seorang bangsawan dengan gelarPetta akan dipanggil dengan Petta Hajji, seorang dengan gelarPuang kemudian menjadi Puang Hajji. Bahkan tidak sedikit kasus,anak-anak dan keluarganya pun mengubah panggilan merekamenjadi haji. Jadi panggilan “ajikku” oleh seorang anak berarti di-tujukan kepada orang tuanya. Aji urane (haji laki-laki) adalah pang-gilan untuk ayah dan aji makkunrai (haji perempuan) untuk ibu.

21Hj. Bulan, Wawancara, 27 Februari 2009.

Page 14: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

152

Bagi orang awam, terutama yang tinggal di daerahpedesaan, gelar haji ditujukan untuk menunjukkan identitasnyasebagai haji. Dengan identitas itu, penghargaan-penghargaansosial yang disediakan oleh sistem sosialnya bagi status haji akania peroleh dari masyarakat. Kesalahan penyebutan gelar haji itu,misalnya pada kartu undangan, berakibat ia akan jengkel dan tidakakan menanggapinya. Para haji itu, bahkan kadang tidak maumenyahut atau pura-pura cuek kalau dalam pergaulan sehari-hari tidak dipanggil dengan gelar hajinya.

Seorang responden yang bekerja sebagai Ibu RumahTangga, Hj. A. Bahrah (nama samaran) bercerita: Ia’, narekko engkaundangan botting na sala uki’ memeng, de’bawang kubati-batiki....De’nasembarang tau menre’ hajji, jaji sitinaja dihargai hajjie (Saya,kalau ada undangan pengantin yang salah menulis nama sayasecara lengkap, saya sudah pasti tidak memperhatikannya....Menurut saya, tidak sembarang orang bisa naik haji, jadi pantaskalau dihargai).22

Sedangkan bagi kalangan terdidik atau bagi yang tinggipemahaman agamanya, gelar haji menjadi semacam motivasiuntuk menjaga sikap dan perbuatan. Meskipun selalu memakainya,golongan ini akan memakluminya apabila suatu waktu ia dipanggilatau disapa tanpa gelar haji. Salah seorang responden yangberpandangan seperti itu adalah Hj. Muliati, seorang guru padasebuah Sekolah Dasar di Watampone. Ketika ditanya pendapatnyatentang gelar haji, ia mengatakan:

Idi’ tau misseng enngi makkeda iaro parobbikeng hajjie belo-belo bawang,de’toha dimacai narekko naobbiki seddi tau de’ napaccoe’i hajjinna. Nasabamancaji papparingerranngi bawang makkeda hajjiki e (Bagi kita yangtahu bahwa sesungguhnya gelar haji itu hanya perhiasan semata,tidaklah marah kalau ada orang yang sekali waktu menyapa ataumengundang tanpa menyebutkan gelar haji. Gelar haji itusebenarnya hanya sekedar pengingat untuk menjaga sikap dan sifatkarena kita ini sudah haji).23

Bagaimanapun, sebagian besar responden berpendapatbahwa gelar haji adalah sebuah gelar yang prestisius, yang denganmendapatkannya seseorang akan naik derajat sosialnya. Meskipunpengaruhnya tidak sebesar aspek busana haji dalam memotivasimereka naik haji, tapi dari penuturan mereka dan hasil pengamat-an tampak bahwa gelar haji adalah salah satu aspek yang memo-tivasi. Mereka tampak begitu senang ketika dipanggil hajji dan

22Hj. A. Bahrah, Wawancara, 17 Februari 2009.23Hj. Muliati, Wawancara, 19 Februari 2009.

Page 15: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

153

sebaliknya akan kelihatan kecewa kalau tidak dipanggil hajji.Tidak dipungkiri bahwa setiap orang yang menunaikan Iba-

dah haji status sosialnya kebih tinggi di lingkungan masyarakatnya,tidak hanya pada suku Bugis di Sulawesi Selatan. Tradisi jawatimuran misalkan, setiap orang yang telah menunaikan ibadahhaji dipangil dengan “ abah”, bagi kaum lelaki dan “ umi” bagikaum wanita. Di beberapa daerah, juga tidak jauh berbeda, diMadura dan Lombok “ pak haji” sangat mulia, keberangkatanyadiantar warga sekampung, dan kepulanganya dijemput olehmasyarakat. Ini bukti bahwa titel “ haji” bisa membawa statussosial lebih tinggi, walaupun kadang perilakunya masih jauh darisyariat. Dalam literatur sejarah, banyak dari penguasa Jawa, sepertikerajaan Demak, Pajang, Banten setiap musim haji tibamengirimkan utusan ke Makkah. Mereka meminta kepada ImamMasjidil Haram memberikan nama (gelar) kepada raja Jawa. Gelaritu kita kenal dengan sebutan “sultan” yang berarti “penguasaatau pemimpin”. Bahkan, raja-raja Jawa berlomba-lomba me-ngirimkan utusannya ke Makkah agar memperoleh gelar. Di sisilain, Imam Masjidil haram memberikan oleh-oleh berupa “ kiswah”ka’bah sebagai kenang-kenangan. Dalam kosmis Jawa, gelar ataunama, kiswah ka’bah, zam-zam, serta segala sesuatu yang dibawadari tanah suci Makkah memiliki nilai tinggi dan istimewa daripada tempat lainya.

Menarik dicermati apa yang pernah dikatakan oleh SyekhAbdul Badi Ghazi, pemikir Muslim berkebangsaan Mesir, bahwapenggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah,akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi. Dari sini, kemudianseorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo, Dr. Sayyid RazakThawil, mengusulkan dan menolak pemakaian gelar haji bagiyang telah melaksanakan ibadah itu. Alasannya, karena padazaman Rasulullah Saw, sahabat, bahkan tabi’in, gelar haji itu tidakpernah ditemukan.24

Bagi sebagian kalangan kita, mungkin pendapat tersebutterkesan berlebihan, karena gelar haji dianggap sebagai simbol darilegitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Persoalannya,sudahkah saudara-saudara kita yang kini mengenakan atribut“Bapak Haji” dan “Ibu Hajjah” yang jumlahnya ratusan ribubahkan jutaan itu mampu berbuat sesuatu secara signifikan bagiperubahahan masyarakat ke arah yang lebih baik? Kalau belum,maka dari pendapat Sayyid Razak di atas, kita seolah diingatkan

24Lihat Maksun, “Reformasi Haji dan Sikap Keberagamaan” dalamwww.mesjidrayaintipersada.com, diakses 28 Oktober 2010.

Page 16: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

154

bahwa sejatinya makna substantif ibadah haji itu tidak terletakpada huruf “H” atau “Hj” di muka nama seseorang. Tetapi, padaaktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatannya yang membekaskankesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kemabruran subs-tansial dari ibadah haji adalah ketika yang bersangkutan mampumeningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan,kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelahkembali dari Makkah al-Mukarramah.

Memang haji telah menjadi status sosial dan gelar haji me-rupakan salah satu simbol utamanya. Itu karena, antara lain, orangyang berhaji dianggap orang Islam yang telah menunaikan rukunIslam secara lengkap kelima-limanya. Selain itu, karena melak-sanakan ibadah haji memerlukan biaya yang tidak sedikit, merekayang mampu berhaji, dianggap mereka yang berada dan berhasildari segi ekonomi. Oleh karenanya, mereka termasuk manusia yangmenerima anugerah lebih dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Adalahironis mengingat haji ingin menanamkan nilai luhur ke dalamsukma manusia yang berhasil menunaikannya, ternyata bagisebagian malah menjerumuskannya menjadi lebih berbangga dansombong, serta berjarak dengan kelompok awam masyarakatnya.25

Pemaknaan atas Simbol-Simbol Haji dan Implikasinya

Ada dua konsep yang melandasi pemahaman orang Bugisterhadap haji, yaitu konsep kesuksesan hidup dan konsep takdir.Haji dianggap sebagai prestasi tertinggi seorang manusia karenamerupakan simbol kesuksesan dalam kehidupan dunia sekaligussebagai kesuksesan sebagai seorang Muslim. Takdir, karenamenurut mereka meskipun seseorang mempunyai harta yangmelimpah tetap saja tidak bisa dipergunakannya untuk memenuhibiayanya menunaikan haji.

Haji mengubah persepsi seseorang atas dirinya sekaligusmengubah persepsi orang lain atas dirinya. Ia akan lebih meng-hargai dirinya sendiri, melihat dirinya sebagai anggota masyarakatyang sukses, bahkan “sempurna” sebagai manusia Bugis karenatelah memenuhi rukun agamanya yang terakhir. Sempurna,karena selain memiliki cukup harta, haji juga merupakan takdirAllah Swt. karena banyak orang yang kaya dan sehat tetapi tidakditakdirkan untuk melaksanakan haji. Oleh orang lain, ia akandianggap sebagai seorang yang sukses. Bagi orang Bugis, ke-

25Lihat, antara lain, tulisan dan hasil wawancara Masdar Farid Mas’udiyang berjudul “Haji menjadi Status Sosial yang Dilembagakan.” dapat diakses dihttp://islamlib.com/id/index.

Page 17: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

155

suksesan seseorang tampaknya diukur dari mampunya seseorangmenunaikan ibadah haji sedang keluarganya tidak terlantarkarenanya, apalagi kemampuan itu sewaktu masih tergolong usiamuda. Ia juga dianggap penuh berkah karena secara langsungsudah mendatangi Tanah Suci, Mekah dan Madinah dan men-ziarahi tempat-tempat yang selama ini hanya mereka dengar dariceramah-ceramah ustaz atau mereka baca dari kisah-kisah agama.Oleh karena itu, mereka akan memperlakukan seorang haji denganbaik, memberinya status sosial di atas mereka yang belum haji.

Hal serupa dapat ditemukan di beberapa tempat lain di Indo-nesia. Sebagai contoh, di Kudus, salah satu orientasi masyarakatdi sana adalah menunaikan ibadah haji dan kalau mampu men-jadi pemuka agama (kiai) serta mendirikan pesantren sekembali-nya dari tanah suci. Gelar haji adalah gelar terhormat yang menjadiidaman setiap muslim di Kudus lebih lagi kiai haji.26 Haji menjadipuncak perwujudan pelaksanaan rukun Islam sedangkan Kiai me-lambangkan tingginya imu yang dimiliki manusia untuk diamal-kan pada sesamanya. Dalam masyarakat Kudus terdapat ungkap-an Jigang yang merupakan kependekan dari ngaji (mengaji) dandagang (berdagang). Ngaji adalah membaca, mempelajari danmenelaah kitab suci Al-Quran, merupakan amal yang mengarahpada kemuliaan hidup di Akhirat (ukhrowi). Ngaji juga menyirat-kan keutamaan seorang Muslim dalam mempelajari ilmu pengeta-huan. Dagang merupakan amalan yang mengarah pada kemu-liaan hidup di dunia, berkaitan dengan hubungan antara manusiadengan sesamanya. Bagi umat Islam harus ada keseimbanganantara tujuan akhirat dan tujuan di dunia. Pengalaman sejarahmemberikan anggapan pada masyarakat Kudus bahwa perilaku,kekayaan dan keyakinannya yang kuat pada agama Islam mem-bedakan mereka dari masyarakat luar. Sikap ini telah menjadikanmereka militan, tertutup dan kurang menyukai menjadi pegawaipemerintah. Mereka menjadi pedagang yang merdeka, hidupdengan hemat, cerdik dan cekatan menjadikan mereka berpeluangbesar untuk menjadi orang-orang kaya. Ketertutupan merekaterhadap masyarakat luar juga didasari pada kecurigaan merekabahwa orang luar akan mengincar harta benda mereka. Diantaramasyarakat ada kebiasaan untuk mengawinkan anak merekadengan orang-orang dilingkungan mereka sendiri, antara lainsupaya harta mereka tidak mengalir keluar.27

26Lihat Marcel Bonnef, “Islam di Jawa Dilihat dari Kudus” dalam CitraMasyarakat Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).

27Lihat Lance Castles, Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: IndustriRokok Kretek Kudus (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).

Page 18: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

156

1. Implikasi pada Status Sosial

Status sosial adalah hal yang mewujudkan unsur dalamteori sosiologi sistem lapisan masyarakat, di samping peranan.Status sosial merupakan unsur baku dalam sistem stratifikasi, danmempunyai arti penting bagi sistem sosial. Status sosial adalahtempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungandengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.28 Sedang-kan yang diartikan sebagai sistem sosial adalah pola-pola yangmengatur hubungan timbal-balik antar individu tersebut.29

Selain merupakan ibadah wajib dan rukun Islam, haji jugatelah menjadi sebuah sistem simbol yang kompleks. Seorang yangsudah melaksanakan ibadah haji secara otomatis akan mendapat-kan sebuah penghargaan sosial dari masyarakat atas kehajiannyasehingga karenanya ia harus menyesuaikan perilakunya denganstatus sosial baru itu. Dengan statusnya sebagai haji, seorang hajimenjadi golongan atas dalam masyarakat.

Beberapa indikasi naiknya tingkat status seseorang karenakehajiannya, misalnya dapat dilihat pada acara perkawinan adatBugis:

1. Tugas mengantar dan menjemput pengantin dilakukan olehkalangan keluarga dekat pengantin atau orang lain yangdiundang khusus karena status sosialnya. Selain karenajabatannya, orang yang diundang adalah para haji di kam-pung itu. Bagi pemilik acara, ada kebanggaan tersendirijikalau acaranya dihadiri oleh banyak haji. Demikian pulapada acara mappaenre’ doi (pesta pembayaran uang belanjadan penetapan hari perkawinan).

2. Setelah dihapuskannya sistem perbudakan, pekerjaandapur seperti memasak, mengambil air dan mencuci piring,saat ini dikerjakan oleh perempuan yang memiliki kedekatanhubungan dengan pengantin, biasanya keluarga atautetangga. Seorang perempuan setelah berstatus haji tidaklagi bekerja di sektor belakang seperti itu, melainkanbertugas di sektor depan seperti menjemput tamu ataumengatur tamu.Pada acara pesta perkawinan, atau acara-acara adat

lainnya terdapat pola pengaturan umum untuk tata letak orang-

28Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar. Cet. Ke-32 (Jakarta:RajaGrafindo Perkasa), 265.

29Ralph Linton, The Studi of Man: An Introduction (New York: AppletonCentury, Crofts), 105.

Page 19: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

157

orang yang terlibat dalam acara itu. Pengaturan itu dilakukan ber-dasarkan status sosial seseorang. Pola itu dapat digambarkansebagai berikut:

1. Pada acara pesta pernikahan, barisan penjemput tamu,mulai dari luar: kelompok penjemput dengan pakaian adatBugis, barisan penjemput yang mengapit jalan, barisansebelah kiri adalah keluarga yang turut mengundang danhaji laki-laki, sedangkan barisan sebelah kanan adalahkelompok haji perempuan berbusana haji. Bagi orang Bugis,bagian kanan adalah simbol keutamaan.

2. Pada acara di dalam ruangan, kelompok haji duduk disebelah kanan pintu serta agak jauh dari pintu. Sedangkannon haji duduk di sebelah kiri pintu masuk, biasanyaterstruktur dari pintu. Semakin terhormat seseorang, makasemakin jauh ia dipersilahkan duduk dari pintu masuk.

3. Pekerjaan perempuan sebelum haji adalah memasak,menyajikan makanan, mencuci piring, dan semua urusandapur lainnya. Sedangkan setelah haji, pekerjaannya ada-lah menemani tamu di luar atau sebagai tamu, danmengantar atau menjemput pengantin.

4. Pada kegiatan kegamaan yang dilakukan di mesjid, kelom-pok haji duduk di saf (barisan) paling depan, membentukbarisan tersendiri. Biasanya, saf depan memang sengajadikosongkan untuk memberi kesempatan para haji men-dudukinya. Hal itu menjadi mudah mengingat jumlah dansiapa-siapa saja yang haji di sebuah kampung diketahuidengan pasti oleh masyarakat.Seorang responden bercerita sebagai berikut:

Sebenarnya ia ndi’ taniaka’ tau sugi. Lakkaikku paggalung mi bawang.Tapi elo’toka’ kasi menre’ hajji. Masiri’ka sedding jokka ri botting e sebelumdena’napa kuhajji. Koe rikamponge, de’ ribati-bati ladde’ taniae hajjinarekko engka acara. Padanna iaro acarae, hajjie muto bawang punna(Sebenarnya saya bukan orang kaya. Suami saya hanya petani. Tapisaya juga mau naik haji. Malu rasanya kalau ke acara pengantinansedang kita bukan haji. Di kampung ini (Biru), perempuan bukanhaji tidak terlalu diladeni kalau ada acara. Sepertinya acara itumemang milik para haji).30

Seorang responden lain menceritakan pengalamannyayang membuatnya berusaha keras mengumpulkan uang untukbiaya perjalanan haji. Pada sebuah acara perkawinan, respondentersebut asyik berbincang-bincang dengan sahabatnya yang baru

30Hj. Andi Waliah, Wawancara, 17 Februari 2009.

Page 20: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

158

saja dari Tanah Suci. Lalu datang seorang haji yang berkata: Tabe’,lecce’ni taniae hajji nasaba eloki tudang padatta hajji (Maaf, silahkanyang bukan haji jangan duduk di sini karena ini adalah tempatkhusus untuk para haji).31

Karena merasa malu (masiri’) diperlakukan seperti itu, makasejak saat itu ia bertekad untuk secepatnya naik haji. Respondenitu kemudian melanjutkan: Masiri’ muttoki kotaniaki hajji narekkojokkaki ribottingnge (Sungguh malu rasanya menghadiri acarapengantinan kalau kita bukan haji).32

Abdul Salam dalam desertasinya menulis bahwa orangBugis di Bone berlomba-lomba menunaikan ibadah haji tanpadidasarkan pada kemampuan dan syarat-syarat yang diperlukan.Umumnya mereka naik haji demi untuk memperoleh status sosialdalam masyarakat karena bagi mereka predikat haji merupakankebanggaan sosial. Menurut Salam, fenomena itu terjadi karenatingginya sikap kompetitif yang dimiliki oleh orang Bugis danmerupakan salah satu refleksi dari budaya siri’.33

Tingginya jumlah jemaah haji dapat dipakai untuk me-ngukur tingkat ketakwaan dan perekonomian sebuah masyarakat.Tetapi pada kasus responden penelitian ini, tampaknya itu kurangtepat. Jumlah jemaah haji yang cukup tinggi lebih disebabkan olehkarena para responden sangat terobsesi pada aspek-aspek simbolikhaji. Bagi kebanyakan mereka, haji merupakan sekedar sebagaisimbol saja karena kenyataannya, pelaksanaan ibadah hajinyabanyak yang tidak sesuai dengan tuntunan haji menurut syariatIslam dan setelah menjadi haji tidak ada perubahan sikap dalamhal peningkatan kualitas ketaqwaan.

Kalaupun ada yang berubah, itu adalah harga diri yangmenjadi lebih tinggi dari sebelumnya sebagai akibat naiknya statussosialnya. Fenomena itu tidak hanya terjadi di pedesaan saja sepertisangkaan banyak orang, akan tetapi juga dapat dengan mudahditemukan di daerah yang sedang berkembang menuju budayaperkotaan. Selain itu, dari pengamatan saya, umumnya pararesponden itu hidupnya pas-pasan dalam arti penghasilan per-tahun mereka biasa-biasa saja kalau tidak menyebutnya rendah.Rumah mereka juga jauh dari kesan mewah, juga pola hidupnya.

31Hj. Muliati, Wawancara, 19 Februari 2009.32Ibid.33Lihat Abdul Salam, Implementasi dan Sosialisasi Siri’: Studi Kasus pada Enam

Keluarga Bugis Bone di Sulawesi Sekatan. (Bandung: Desertasi tidak diterbitkan,Program Pascasarjana Universitas Padjdjaran, 2000).

Page 21: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

159

2. Implikasi pada Aspek Pakaian Haji

Semua pakaian adalah simbolik. Semakin khas sebuahpakaian, maka semakin terbatas kebebasan seseorang untuk ber-tindak. Pakaian di sini meliputi pakaian dan dandanan (perhiasan)luar, juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural.Pakaian adalah salah satu karasteristik budaya yang mampu mem-beri identitas kepada sebuah kelompok. Pakaian juga merupakanmedia yang ampuh untuk melambangkan status sosial.34 Pakaianmerupakan bentuk kontruski budaya yang paling mudah dilihatdan dinilai.

Keelokan pakaian haji dan adanya aturan yang diyakiniserta ditaati oleh orang bugis tentang fungsinya, membuat banyakorang yang naik haji karena terobsesi agar bisa memakai pakaianitu. Ungkapan yang paling sering dan umum dilontarkan olehresponden dan semua orang yang ditemui di lapangan ialah: Gello’paha rita ianuro pole menre’ hajji, melotoka menre’ (Aduh, bagus niansi anu kelihatan sejak menjadi haji, saya juga mau naik haji).

Umumnya responden meyakini pakaian haji hanya bolehdipakai, bahkan harus dipakai oleh orang yang berstatus haji.Orang yang bukan haji apabila ketahuan memakai pakaian hajimaka akan dicela, digunjingkan, bahkan akan dikucilkan daripergaulan karena dianggap sebagai orang yang tidak punya rasamalu (tau de’ gaga siri’na). Jika seorang haji menghadiri sebuahacara tidak memakai pakaian hajinya, maka akan diperlakukansebagai layaknya bukan haji.

Ada tiga kategori dalam pemakaian busana haji ini, yaitupertama, golongan haji yang senang dan merasa memang harusmemakainya, yaitu sebanyak 81,1 persen. Golongan ini umumnyaterdiri dari responden dengan latar belakang pendidikan palingtinggi Sekolah Menengah atau bermata pencaharian sebagai petaniatau buruh. Para responden dalam golongan ini berpendapat samabahwa pakaian haji adalah pakaian yang sakral, yang denganmemakainya mereka merasa diri cantik, anggun, dan percaya diri.Pakaian haji bagi mereka adalah identitas seorang haji yangmembedakan antara seorang haji dengan bukan haji.

Kedua, golongan yang memakainya untuk menghindaricelaan atau gunjingan masyarakat, sebanyak 13,3 persen. Umum-nya, responden dalam golongan ini terdiri dari orang-orang yangberpendidikan tinggi atau berasal dari keluarga yang perpendidik-an moderat. Responden dalam golongan kedua ini berpendapat

34Mulyana dan Rakhmat (ed.), Komunikasi antar Budaya, 97.

Page 22: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

160

bahwa pakaian haji adalah pakaian biasa, sama seperti pakaianlain yang digunakan untuk mengidentitaskan sebuah kelompok.Tidak ada sugesti seperti yang dialami oleh golongan ini, sepertiyang terjadi pada golongan pertama. Para responden mengakumemakai pakaian haji hanya untuk menghindari gunjinganmasyarakat di sekitarnya. Sebagian lainnya mengaku memakaipakaian haji sebagai media untuk menjaga perilaku dan perkataandalam pergaulan sosial.

Ketiga, golongan yang tidak memakai pakaian haji samasekali, sebanyak 5,6 persen. Umumnya responden dalam golonganini terdiri dari orang-orang yang berpendidikan tinggi (sarjana),meski ada dua orang yang berpendidikan rendah dan menengah(tamat SD dan SMA). Responden dalam golongan ini berpendapatbahwa pakian haji sebenarnya tidak ada hubungannya denganstatus kehajian karena mabrur, sah, dan batalnya haji adalah ke-putusan Allah Swt. Para responden tidak memakai pakaian hajikarena menurut mereka itu adalah sebuah perbuatan yang som-bong dan pamer (riya’), sehingga dikhawatirkan akan mem-pengaruhi keikhlasan haji. Sebagai gantinya, mereka lebih sukamemakai pakaian muslim yang umum seperti jilbab.

3. Implikasi pada Komposisi Haji Perempuan dan Laki-laki

Implikasi lain dari aspek-aspek simbolik haji adalah adanyaperbedaan signifikan antara jumlah jemaah haji perempuandengan haji laki-laki. Perbedaan yang signifikan itu merupakanimplikasi dari status sosial dan pakaian haji sekaligus. Kedua halitu merupakan faktor yang memotivasi kebanyakan informandalam menunaikan ibadah haji.

Berdasarkan data dari Buku Haji Kabupaten Bone KantorKementerian Agama Kabupaten Bone, perbandingan yangsignifikan antara jumlah jemaah haji perempuan dengan jemaahhaji laki-laki, yaitu rata-rata 72:28 setiap tahunnya. Di lapangan,jemaah haji asal Bone sangat kontras dengan jemaah haji daerahlainnya karena komposisinya yang mayoritas perempuan. Selainmayoritas perempuan, rata-rata masih berusia muda. Data statistikdari sumber yang sama menunjukkan bahwa jemaah haji yangberusia 39 tahun ke bawah sebanyak 49, 4 persen, seimbangdengan jumlah jemaah haji yang berusia di atas 40 tahun ke atas.

Data dari Buku Haji Kabupaten Bone Kantor DepartemenAgama Kabupaten Bone menunjukkan bahwa kebanyakanperempuan yang menunaikan ibadah haji tersebut adalah IbuRumah Tangga. Ini berarti bahwa banyak jemaah haji perempuanyang sudah berkeluarga berangkat dengan tidak ditemani oleh

Page 23: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

161

muhrimnya (suaminya) sekaligus membantah alasan komposisijumlah penduduk perempuan dan laki-laki sebagai penyebab dariadanya selisih antara jumlah haji perempuan dan haji laki-laki.Hal itu juga menggambarkan betapa perempuan Bugis memilikisemangat untuk menunaikan ibadah haji yang lebih tinggi darilaki-laki.

Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa jumlah jema-ah haji perempuan lebih banyak dari laki-laki. Pertama, faktorstatus sosial; status seseorang meningkat dalam stratifikasi sosialsetelah ia melaksanakan ibadah haji. Perempuan menunaikanibadah haji sangat dimotivasi oleh kegiatan-kegiatan adat. Statussosial itu utamanya terlihat pada acara-acara adat seperti per-kawinan pada seluruh tahapan tradisinya. Perempuan yang di-undang dan terlibat pada acara itu hanya yang berstatus haji,sedangkan pada kelompok laki-laki, kehajian seseorang memberi-nya kesempatan untuk menempati posisi-posisi duduk yang utama,yang disediakan khusus bagi warga masyarakat kelas satu ataukelas dua. Kedua, faktor pekerjaan. Biasanya seorang suami men-dahulukan istrinya karena setelah si istri berangkat, ia masih bisabekerja untuk mengumpulkan biaya untuk dirinya sendiri. Ketiga,faktor adat; ada kepercayaan (sennung-sennungeng) pada sebagianbesar responden bahwa mendahulukan istri menunaikan ibadahhaji akan membuat jalan suaminya lebih mudah untuk berangkatberikutnya. Sebaliknya, dengan mendahulukan suami, makapeluang istri dipercaya akan sulit. Selain itu, menaikkan istri keTanah Suci merupakan penghargaan tertinggi suami pada istrinya.Secara moral, seorang suami mendahulukan dirinya sendirisebelum istrinya akan dicela oleh masyarakat. Saya tidak menemu-kan satu kasus pun seorang suami naik haji lebih dahulu dari istri-nya, kecuali atas penuturan informan dan responden saja.Keempat, faktor fanatisme agama, fanatisme agama lebih menonjolpada perempuan dari pada laki-laki. Selain itu, diharapkanseorang Ibu Rumah Tangga setelah menunaikan ibadah haji iaakan menjadi ibu yang lebih baik dalam mendidik anak-anaknya.

4. Implikasi pada persepsi Orang Bugis terhadap Haji

Pada hampir semua masyarakat Sulawesi Selatan, haji lebihdipahami sebagai sebuah prestise dan status sosial dari pada hajisebagai ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat Islam.Sebagian besar jemaah haji, menurut Dr. A. Sarjan dimotivasi oleholeh faktor-faktor sosial dan paham-paham keberkahan.35 Hal itu

35Dr. A. Sarjan, Wawancara, 27 Januari 2009.

Page 24: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

162

dapat dilihat pada beberapa fenomena, di antaranya sebagaiberikut: Pertama, ada indikasi masyarakat di lokasi penelitian lebihterorientasi oleh faktor prestise haji yang ukurannya adalah busanahaji. Busana haji adalah simbol kehajian yang paling menonjol.Menurut Drs. HM. Yunus, Kepala Urusan Haji Kandepag Bone,pakaian merupakan motivator haji terkuat orang Bugis naik haji,khususnya yang masih awam. Argumen untuk menjelaskan pre-posisi ini adalah tingginya angka perbedaan antara jumlah jemaahhaji perempuan dari pada jumlah haji laki-laki, karena dimensisimbolistis pakaian haji perempuan lebih besar dari pada pakaianhaji laki-laki. Karena alasan ini pulalah, para suami mengalahmendahulukan isterinya naik haji dari pada dirinya sendiri.36

Kedua, ada indikasi kuat masyarakat di lokasi penelitian naikhaji untuk memperoleh status sosial. Status sosial itu biasanyadiukur dari penghargaan masyarakat terhadap seseorang. Padaacara-acara pernikahan, yang diundang untuk terlibat adalahmereka yang sudah berstatus haji. Perempuan yang berstatus hajipada acara perkawinan tidak lagi bertugas di bagian belakangyaitu urusan dapur akan tetapi bersama-sama dengan para laki-laki duduk di depan sebagai kelompok orang-orang terhormat.Sebelum berstatus haji, biasanya perempuan memang harusbertugas di bagian dapur seperti memasak, mengatur makanan,dan mencuci piring sedangkan setelah haji, maka tidak diperboleh-kan lagi. Banyak responden perempuan mengaku sebelum ber-status haji tidak pernah ke acara pernikahan akan tetapi setelahhaji menjadi sangat rajin.

Ketiga, berdasarkan informasi informan mantan petugashaji, jemaah haji Bugis kebanyakan hanya mementingkan fardu-fardu haji saja dalam pelaksanaan ibadah hajinya dan cenderungmengabaikan sunnah-sunnah haji seperti shalat berjamaah.Umumnya mereka memilih jenis haji tamattu, yaitu jenis pelak-sanaan ibadah haji yang tergolong mudah dan pelanggaran-pel-anggaran yang dilakukan dapat ditutupi dengan membayar damatau denda. Akibatnya, banyak dari mereka yang seenaknya tidakmenghiraukan ibadah-ibadah yang seharusnya dilakukannya danlebih memilih untuk pergi berbelanja. Prinsip mereka ketikaditanya tentang itu adalah, “Puang Alla Taala’mi missengngi”(Hanya Allah Ta’ala yang tahu).

Pemahaman orang Bugis terhadap haji seperti itu sudahmenjadi pola pikir. Pola pikir itu tumbuh secara bertahap namunmenghujam dalam ke jiwa orang Bugis. Mengakar karena pola

36Drs. HM. Yunus, Wawancara, 5 Februari 2009.

Page 25: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

163

pikir itu dibentuk oleh kultur, bukan rasio. Pada masyarakat yangsedang berkembang, pola pikir dibentuk oleh kultur dan akhirnyamenjadi kultur, bukan oleh pikiran. Orang mengikuti sesuatu yangdiyakininya telah dilakukan oleh leluhurnya secara turun temu-run, tanpa mempertanyakan kebenaran atau keabsahan ikutanitu.

Makna Umum Haji bagi Orang Bugis

Secara umum, haji mempunyai makna yang sangat besarbagi seluruh responden. Mereka umumnya mempunyai cita-citanaik haji sejak kecil dan keinginan itu semakin menggebu-gebusetelah menikah atau telah memasuki usia lebih dari 30 tahun,terutama bagi perempuan yang belum menikah. Untuk itu, merekatidak segan-segan menjual harta berharga seperti tanah atauternak. Apabila belum cukup, mereka menyisihkan sebagian daripenghasilan secara konsisten dalam waktu yang cukup lama, bisapuluhan tahun. Caranya, uang itu diivestasikan pada tanah, ternakatau dipinjamkan kepada orang lain. Tidak sedikit respondenpenelitian yang mengaku meminjam uang untuk memenuhi ONH.Cara lain yang banyak di lakukan untuk memperoleh uang ONHadalah melalui arisan haji. Arisan haji pada dasarnya merupakanusaha meminjam uang.

Indikasi lain tingginya minat haji orang Bugis khususnyadi Bone adalah pemenuhan quota haji. Menurut Drs. HM. Yunus,setiap tahun Bone selalu meminta dan memperoleh jatah quotadaerah lain yang tidak terpenuhi quotanya.37 Hasil penelitianNasrullah juga menunjukkan bahwa jumlah calon jemaah hajiBone yang menjadi daftar tunggu setiap tahunnya cukup tinggi.38

Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan wawancarayang dilakukan, tampaknya ada beberapa faktor yang menjadipenyebab tingginya jumlah jemaah haji itu. Pertama, tingginyaapresiasi orang Bone pada ibadah haji. Menurut Dr.H. SaifuddinAsafa, Dosen STAIN Watampone, pada dasarnya orang Bone bisadikatakan hidup untuk haji. Dari kecil, niat untuk melaksanakan hajisudah diimpikan oleh semua orang. Menunaikan haji adalah tujuankedua orang Bugis dalam lokasi penelitian mengumpulkan harta,setelah untuk keturunan mereka. Orang yang mampu menunaikanibadah haji dianggap sudah terpenuhi segala kebutuhannya sebagaimanusia dan sekaligus sempurna predikatnya sebagai Muslim.

37Drs. HM. Yunus, wawancara, 5 Februari 2009.38Lihat Nasrullah. Quota Haji dan Hubungannya dengan Konsep Istita’ah: Studi

Kasus Daftar Tunggu Calon Jamaah Haji Kabupaten Bone. Skripsi tidak diterbitkan.(Watampone: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone, 2002).

Page 26: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

164

Kedua, umumnya orang Bugis yang tinggal di perantauankembali ke Bone untuk berangkat haji melalui kampung halamansendiri. Menurut seorang informan, H. Lanti, Ketua Yayasan KBIHHusnayaeni, tidak sedikit orang Bugis yang dibimbingnya, kalautidak semuanya, mengaku merantau agar bisa menunaikan hajisecepatnya. Haji adalah salah satu bukti keberhasilan seseorangdalam perantauan. Mereka umumnya akan menjawab: “Usalaikasi kampokku tennapodo ulle toi kasi menre ri tana marajae” (Sayameninggalkan kampung halaman agar supaya saya juga bisa naikke Tanah Suci) kalau ditanya alasan mereka merantau.39

Ketiga, meskipun bukan faktor utama tetapi tampaknyaperekonomian masyarakat memang menunjang. Perjalanan hajiadalah perjalanan yang membutuhkan biaya yang tinggi. Bisadipastikan seorang yang hendak melaksanakan ibadah haji harusmenyiapkan dana yang cukup besar. Selain itu, dalam Islam meski-pun haji merupakan rukun Islam, tapi hanya diwajibkan bagi yangmampu saja. Kemampuan yang dimaksud itu adalah kelebihanharta setelah kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya terpenuhi.Islam juga melarang orang yang hendak naik haji denganmenganiaya dirinya, menjual sumber penghidupannya, dan ataumeminjam untuk itu. Sehingga dengan demikian, orang yang me-laksanakan ibadah haji idealnya adalah orang mampu per-ekonomiannya.

Terkait dengan haji dan orang Bugis ini, ada fenomena dilokasi penelitian yaitu banyak orang yang berhaji berulang kali.Padahal dalam Islam, kewajiban haji hanya satu kali, yaitu yangpertama kali. Menurut Yusuf Qardawi, seorang pemikir besarIslam, haji berulang kali pada keadaan masyarakat yang serbakekurangan dan masih banyak kepentingan-kepentingan publikyang terabaikan, hukumnya makruh.40 Adalah lebih utama uanguntuk ONH itu digunakan untuk kepentingan sosial.

Kebanyakan orang yang berulang kali naik haji adalahorang yang tergolong kaya atau seorang perempuan yang tidakmenikah dan mempunyai penghasilan lumayan. Setiap orang yangnaik secara berulang-ulang mempunyai alasan yang bermacam-macam dan relatif subyektif. Akan tetapi, umumnya merekamelakukan itu karena sebab-sebab berikut:1. Rekreasi spritual; dari pada menghamburkan uang untuk

rekreasi ke tempat lain yang tidak bernilai ibadah, lebih baik

39H. Lanti, wawancara, 5 Maret 2009.40Lihat Yusuf Qardawi, Fikih Prioritas: Urutan Amal yang Terpenting dari

yang Penting, terj. Moh. Nurhakim. Cet. Ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999).

Page 27: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

165

menggunakannya untuk menunaikan ibadah haji. Selain untukmenunaikan ibadah haji, perjalanan itu juga berfungsi gandasebagai perjalanan wisata.

2. Faktor iman; mereka merasa haji yang telah lalu kurang me-menuhi harapan, sehingga berharap dengan berhaji lagiharapan itu dapat terpenuhi. Harapan itu berupa pengalaman-pengalaman mistis yang diketahui atau didengar dari oranglain yang pernah mengalaminya. Harapan itu misalnya men-cium Hajar Aswad lebih dari tiga kali atau merasakan penga-laman keagamaan akan kebesaran Tuhan dengan perasaanterdalam.

3. Faktor bisnis; banyak orang yang berhaji sekaligus berdagang.Mereka membawa barang dagangan berupa rokok dan kembalidengan membawa peralatan rumah tangga seperti periuk, sen-dok dan aneka perhiasan. Orang Arab konon sangat menyukairokok Indonesia, sedangkan orang Bugis sangat terobsesi padabarang-barang asal Arab Saudi, meskipun mereka mengetahuibahwa barang-barang itu diimpor dari negara lain bahkanmungkin dari Indonesia sendiri. Karena ada larangan mem-bawa rokok melebihi batas kewajaran untuk komsumsi sendiri,maka untuk meloloskannya dalam jumlah besar dengan caradititipkan kepada setiap jemaah yang dikenal. Biasanya bekerjasama dengan pengurus haji atau KBIH. Di Arab Saudi, rokokitu bisa dijual dengan harga lebih dari tiga kali lipat dari hargadi Indonesia.

4. Khusus untuk perempuan yang tidak menikah, mereka me-milih naik haji sebagai alternatif investasi uang mereka karenatidak mempunyai keturunan yang harus dibiayai ataudisekolahkan. Selain itu, status perempuan yang tidak menikahyang biasa menjadi gunjingan atau cemoohan masyarakatcenderung tertutupi oleh status kehajiannya.

Haji sebagai Transformasi Kedirian Orang Bugis

Menurut Denzin, transformasi adalah proses dengan manaseseorang secara aktif memperoleh citra diri yang baru, bahasadiri yang baru, hubungan-hubungan baru dengan orang lain, danikatan-ikatan baru dengan tatanan sosial.41 Lewat transformasi,persepsi seseorang bersifat irreversible; sekali berubah tidak bisakembali lagi. Pelakunya menjadi seseorang yang berbeda darisebelumnya; transformasi mengisyaratkan penilaian baru tentang

41N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research (SecondEdition), (Thousand Oaks: Sage Pul. Inc., 2000), 11.

Page 28: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

166

diri pribadi dan orang-orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tin-dakan-tindakan, dan objek-objek. Dalam perspektif interaksisimbolik, transformasi identitas menyangkut perubahan psikologis.Pelakunya menjadi seseorang yang berbeda dari sebelumnya;transformasi mengisyaratkan penilaian baru tentang diri pribadidan orang-orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan dan objek-objek.42

Dalam konteks identitas diri, Mead berpendapat bahwakonsep diri seseorang bersumber dari partisipasinya dalam budayadi mana ia dilahirkan atau diterima. Budaya diperoleh individulewat simbol-simbol dan simbol-simbol itu bermakna baginya lewatekprimentasi dan akhirnya familiriaty dengan berbagai situasi.43

Haji adalah rukun Islam yang kelima. Ibarat anak tangga,haji adalah anak tangga yang tertinggi sehingga dengan mencapai-nya seorang Muslim menganggap dirinya sudah menyempurnakanagamanya. Demikianlah persepsi seorang Muslim tentang haji.Demikian juga pandangan yang mendasari persepsi orang Bugistentang haji. Adalah sebuah kenyataan yang ironi, banyak orangyang berusaha mencapai anak tangga tertinggi tanpa sebelumnyamelewati anak tangga di bawahnya. Padahal sebagai sebuahsistematika, mencapai puncak tertinggi harus dengan proses yangbertahap secara sistematis, dimulai dari anak tangga pertama,kedua, ketiga, keempat dan terakhir, kelima.

Kebanyakan responden bertutur bahwa ibadah haji yangtelah mereka lakukan benar-benar telah meninggalkan sebuahpengalaman keagamaan yang luar biasa dan susah digambarkan.Lebih dari pada itu, gelar haji yang mereka miliki memberi merekasugesti untuk berusaha menjadi muslim yang lebih baik. Hajiadalah simbol kesempurnaan keislaman, yang dengan melak-sanakannya berarti telah mencapai tingkat kebergamaan tertinggi.

Manusia yang baru lahir belum punya diri, diri itu berkem-bang secara bertahap melalui interaksi dengan orang lain. MenurutMead kedirian menjadi perilaku manusia, yaitu bagian interaksi-nya dengan orang lain.44 Oleh karena itu untuk sampai pada tahapmempunyai suatu diri, orang harus mengambil peranan (roletalking) dalam masyarakat. Melalui penguasaan peranan, sese-orang dapat berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat.

42Mulyana, Metodologi, 231.43George Herbert Mead, Mind, Self and Society: From a Standpoint of a Social

Behaviorist. Editor Charles W. Morris. (Chicago: University of Chicago, 1934).44Ibid., 37.

Page 29: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

167

Proses pembentukan kedirian sangat dipengaruhi oleh ta-tanan sosial di mana pembentukan proses kedirian itu berlang-sung. Seperti proses sosialisasi, proses kedirian banyak ditentukanoleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersang-kutan. Proses pembentukan kedirian semenjak awal dari kehidupanseseorang. Pada mulanya seseorang akan belajar dari perilakukelompoknya yang terdekat yaitu keluarga. Apabila pergaulan danlingkungan sosialnya bertambah luas, maka ia belajar bagaimanaseharusnya ia berperan dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku dalam kelompoknya. Demikian seterusnya,secara berangsur-angsur seseorang mengenal persyaratan-per-syaratan dan tata aturan hidup di lingkungan budayanya. Proses-proses itu akan mewarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaanhidup seseorang.45

Seorang individu dalam suku Bugis sejak awal kehidupan-nya pun telah berjuang untuk mendapatkan peranan yangmenentukan status kediriannya. Masyarakat Bugis, yang tertatadengan sistem norma, aturan-aturan adat serta tata tertib yangterkandung di dalam panngadereng sangat mempengaruhi trans-formasi kedirian itu. Panngadereng adalah sistem nilai yang terdiridari unsur ade’, bicara, rapang, wari, dan sara’. Menurut Mattulada,kemanapun orang Bugis mengembara ia akan selalu membawaserta panngadereng-nya yang berlandaskan pada siri’.46 Sehinggabagi orang Bugis, pengambilan peranan adalah usaha untuk tetapmemiliki dan mempertinggi siri’.

Hubungan haji dengan siri’ dapat dijelaskan dengan per-sepsi orang Bugis tentang usaha dan kerja keras (reso). Salah satuungkapan dari Lontara yang sangat populer dan dipegang teguholeh orang Bugis adalah resopa temmanginngi namalomo naleteipammasena Dewatae (hanya usaha dan kerja keras yang akanmendatangkan rahmat Allah Swt).

Dalam lontara’ Puang ri Maggalatung dikatakan bahwaadalah sebuah perbuatan tercela apabila seseorang tidak mem-punyai usaha dan malas.47 Kesengsaraan atau nasib buruk lainnyayang menimpa seseorang yang disebabkan oleh kelalaian ataukemalasan dapat menimbulkan siri’ pada dirinya. Dalam konteksini, reso mengandung nilai siri’ yang menegaskan bahwa untuk

45Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan:Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990).

46Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Antropologi Politik Orang Bugis (UjungPandang: Hasanuddin Univesity Press, 1995), 180.

47Andi Zainal Abidin Farid. Wajo Abad XV-XVI: Suatu Peninggalan SejarahTerpendam Sulawesi Selatan dari Lontara (Bandung: Alumni, 1985), 5.

Page 30: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

168

dihargai oleh sesamanya, seseorang harus bekerja keras dengangigih. Ukuran kegigihan reso (kerja keras) dapat dilihat padakeberhasilannya dalam hidup, yaitu terpenuhi segala kebutuhanhidupnya dan mampu menunaikan ibadah haji.

Pada sisi ini, tampaknya haji merupakan transformasikedirian seorang individu yang bisa jadi merupakan bentuk yangtertinggi dan terakhir. Sejak Islam menjadi agama kerajaan,stratifikasi sosial masyarakat Bugis pun mengalami perubahan.Penghargaan masyarakat terhadap peranan-peranan seseorangmengalami pergeseran secara drastis. Pada zaman panngaderengsebelum masuknya sara’, tempat tertinggi dalam stratifikasi sosialmasyarakat Bugis ditempati oleh raja dan keluarga bangsawan,orang merdeka dan budak. Akan tetapi setelah sara’ mewarnaipanngadereng, status tertinggi dalam stratifikasi itu adalah to sugi(orang kaya) dan to panrita (ulama), baru kemudian to mapparenta(pemerintah), pegawai dan rakyat biasa.

Sebelum zaman Islam, ada tidaknya status seseorangditentukan oleh faktor keturunan. Hanya sebagian kecil orangdalam masyarakat yang memiliki status karena orang tidak dapatmemperoleh status dengan usahanya. Hal itu berbeda dengansistem status setelah masuknya Islam dan kebudayaan Bugis mulaibersentuhan dengan modernitas. Status merupakan sebuah pen-capaian dari usaha dan prestasi. Apalagi sejak La Maddaremmeng(1625-1640) raja Bone yang ke-16 menghapuskan sistem per-budakan di Bone membuat orang memiliki status dasar yang samayaitu to maradeka (orang bebas).

Dari uraian tentang sistem status orang Bugis itu, konseppenting yang tampaknya dimiliki oleh orang berkaitan dengansistem status adalah sikap kompetitif. Masyarakat Bugis adalahmasyarakat yang suka bersaing untuk menduduki status sosialyang lebih tinggi. Tiap-tiap perbuatan untuk melebihi orang lain,baik secara kecil, dengan angan-angan atau dengan sesungguhnyamengakibatkan bahwa orang yang menderita perbuatan itumerasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Orang yangmerasa dilampaui dan menjadi lebih rendah status sosialnya akanmerasa dirinya dipakkasirisi (dibuat malu) dan akan berusahamembalas tindakan itu dengan jalan melebihinya atau paling tidakmenyamainya.48

Nilai sosial yang mengutamakan nilai persaingan itu jugamemberi tekanan yang berat kepada semua orang yaitu rasa

48Ibid., 8.

Page 31: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

169

ketakutan dianggap gagal memenuhi harapan masyarakat.49

Kegagalan oleh orang Bugis membawa siri’ sebagai sesuatu yangdianggap gawat. Seorang individu dalam suku Bugis sejak awalkehidupannya pun telah berjuang untuk mendapatkan perananyang menentukan status kediriannya. Masyarakat Bugis, yangtertata dengan sistem norma, aturan-aturan adat serta tata tertibyang terkandung di dalam panngadereng sangat mempengaruhitransformasi kedirian itu. Panngadereng adalah sistem nilai yangterdiri dari unsur ade’, bicara, rapang, wari, dan sara’. MenurutMattulada, kemanapun orang Bugis mengembara ia akan selalumembawa serta panngadereng-nya yang berlandaskan pada siri’sehingga bagi orang Bugis, pengambilan peranan adalah usahauntuk tetap memiliki dan mempertinggi siri’.50

Siri’ adalah sebuah konsep tentang sistem nilai yangmencakup dua unsur utama, yaitu: (1) rasa malu yang mendalam,dan (2) menyangkut kehormatan, harga diri dan status sosial.51

Apabila manusia tidak memandang status sosial, fungsi dan pe-ranannya dalam masyarakat, dan telah kehilangan siri’ (mate siri’),maka manusia tersebut tidak lebih dari pada bangkai. Hubunganhaji dengan siri’ dapat dijelaskan dengan persepsi orang Bugistentang usaha dan kerja keras (reso). Salah satu ungkapan dariLontara yang sangat populer dan dipegang teguh oleh orang Bugisadalah resopa temmanginngi namalomo naletei pammasena Dewatae(hanya usaha dan kerja keras yang akan mendatangkan rahmatAllah SWT).52

Dalam Lontara’ Puang ri Maggalatung dikatakan bahwa ada-lah sebuah perbuatan tercela apabila seseorang tidak mempunyaiusaha dan malas. Kesengsaraan atau nasib buruk lainnya yangmenimpa seseorang yang disebabkan oleh kelalaian atau kemalasandapat menimbulkan siri’ pada dirinya.53 Dalam konteks ini, resomengandung nilai siri’ yang menegaskan bahwa untuk dihargaioleh sesamanya, seseorang harus bekerja keras dengan gigih. Uku-ran kegigihan reso (kerja keras) dapat dilihat pada keberhasilannyadalam hidup yaitu terpenuhi segala kebutuhan hidupnya danmampu menunaikan ibadah haji.

49Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. ke-18 (Jakarta: Djambatan, 1999), 51.

50Ibid., 180.51Abdul Salam. Implementasi dan Sosialisasi Siri’, 73.52Abu Hamid. Nilai-Nilai Budaya dan Perubahan Sosial: Suatu Pengenalan Budaya

Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1991).53Andi Zainal Abidin Farid. Wajo Abad XV-XVI, 5.

Page 32: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

170

Pada sisi ini, tampaknya haji merupakan transformasi ke-dirian seorang individu yang bisa jadi merupakan bentuk yangtertinggi dan terakhir. Sejak Islam menjadi agama kerajaan,stratifikasi sosial masyarakat Bugis pun mengalami perubahan.Penghargaan masyarakat terhadap peranan-peranan seseorangmengalami pergeseran secara drastis. Pada zaman panngaderengsebelum masuknya sara’, tempat tertinggi dalam stratifikasi sosialmasyarakat Bugis ditempati oleh raja dan keluarga bangsawan,orang merdeka dan budak. Akan tetapi setelah sara’ mewarnaipanngadereng, status tertinggi dalam stratifikasi itu adalah to sugi(orang kaya) dan to panrita (ulama), baru kemudian to mapparenta(pemerintah), pegawai dan rakyat biasa.

Sebelum zaman Islam, ada tidaknya status seseorangditentukan oleh faktor keturunan. Hanya sebagian kecil orangdalam masyarakat yang memiliki status karena orang tidak dapatmemperoleh status dengan usahanya. Hal itu berbeda dengansistem status setelah masuknya Islam dan kebudayaan Bugis mulaibersentuhan dengan modernitas. Status merupakan sebuahpencapaian dari usaha dan prestasi. Apalagi sejak LaMaddaremmeng (1625-1640) raja Bone yang ke-16 menghapuskansistem perbudakan di Bone membuat orang memiliki status dasaryang sama yaitu to maradeka (orang bebas).

Dari uraian tentang sistem status orang Bugis itu, konseppenting yang tampaknya dimiliki oleh orang berkaitan dengansistem status adalah sikap kompetitif. Masyarakat Bugis adalahmasyarakat yang suka bersaing untuk menduduki status sosialyang lebih tinggi. Tiap-tiap perbuatan untuk melebihi orang lain,baik secara kecil, dengan angan-angan atau dengan sesungguhnyamengakibatkan bahwa orang yang menderita perbuatan itumerasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Orang yangmerasa dilampaui dan menjadi lebih rendah status sosialnya akanmerasa dirinya dipakkasirisi (dibuat malu) dan akan berusahamembalas tindakan itu dengan jalan melebihinya atau paling tidakmenyamainya. Nilai sosial yang mengutamakan nilai persainganitu juga memberi tekanan yang berat kepada semua orang yaiturasa ketakutan dianggap gagal memenuhi harapan masyarakat.Kegagalan oleh orang Bugis membawa siri’ sebagai sesuatu yangdianggap gawat.

Terkait dengan itu, sebanyak 66,7 persen respondenmengaku termotivasi melaksanakan ibadah haji karena padaawalnya merasa tidak enak melihat tetangganya atau kerabatnyatelah haji. Mereka merasa malu karena itu pertanda bahwa mereka

Page 33: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

171

dianggap tidak mampu, bahkan kalah kalau tidak naik haji juga.Para responden itu terdiri dari orang yang termasuk ekonomi me-nengah ke bawah, umumnya bermata pencaharian sebagai petani,PNS dan pedagang. Selebihnya, sebanyak 33,3 persen respondenmenunaikan ibadah haji karena memang sudah mempersiap-kannya sejak lama. Umumnya mereka mengaku tidak terpengaruholeh orang lain yang telah duluan naik haji. Tetapi bagaimanapun,mereka tetap merasa bahwa haji adalah prestasi seseorang, simbolkeberhasilannya dalam mengumpulkan harta. Dengan kata lain,bagi mereka haji adalah sebuah simbol transformasi kedirianseseorang, di mana dengan naik haji berarti telah mencapai posisitertinggi yang mampu dicapai oleh seseorang.

SIMPULAN

Identitas kehajian merupakan sebuah proses. Ia terbentuklewat interpretasi realitas fisik dan sosial sebagai memiliki atributhaji. Seperti halnya identitas kedirian, identitas haji berkembangmelalui internalisasi pengkhasan diri (self-typication) oleh oranglain yang dianggap penting (significant orders). Proses ini jugamelibatkan internalisasi aspek-aspek orang yang dianggap pentingke dalam diri sendiri. Dalam kaitan ini, individu mengalami trans-formasi identitas diri. Status haji merupakan sebuah simbol perandan sekaligus simbol status dalam stratifikasi sosial masyarakatBugis. Status haji merupakan salah satu simbol untuk seseorangdisebut sebagai panrita (ulama) sekaligus salah satu indikasi untukseseorang disebut to sugi (orang kaya).

Selain itu, sebagai implikasi dari sifat dan karakter sikapkompetitif orang Bugis yang merupakan refleksi dari budaya siri’,orang berlomba-lomba untuk menduduki posisi status tertinggidalam sistem status yang berlaku. Status haji di kalangan merekamerupakan sebuah prestise dan kebanggaan sosial, simbol ke-kayaan dan keulamaan sekaligus sebagai jalan untuk mendudukistatus sosial tertinggi dalam sistem status orang Bugis saat ini.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa haji merupakan trans-formasi keagamaan dan kedirian orang Bugis sekaligus.

Daftar Pustaka

Ali, Andi Muhammad. Bone Selayang Pandang. Watampone: t.p.,1986.

Alwasilah, A. Chaedar. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancangdan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya,2002.

Page 34: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

172

Berger, Peter L. Sacred Canopy. New York: Doubleday, 1967.Berger, Peter L. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta:

LP3ES. 1991.Berger, Peter, L. and Thomas Luckman. Tafsir Sosial atas Kenyataan:

Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990.Biro Pusat Statistik Kabupaten Bone. Bone dalam Angka tahun 2009.

Watampone: Bappeda Kabupaten Bone, 2009.Bogdan, R.C. and S.K. Biklen. Qualitative Research for Education:

An Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn andBacon, 1982.

Bogdan, R.C., and Steven J. Taylor. Introduction to QualitativeResearch Methods: A Phenomenaological Approach to SocialSciences. New York: John Wiley & Sons, 1975.

Bonnef, Marcel. “Islam di Jawa Dilihat dari Kudus” dalam CitraMasyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Castles, Lance. Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa:Industri Rokok Kretek Kudus. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern; Dari Parsons sampai Habermas.Diterjemahkan oleh Paul S. Baut dan T. Affendi. Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan olehKelompok Studi Agama Drikarya, Yogyakarta: Kanisius,1995.

Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (eds.). Handbook of Qualitative Research(Second Edition), Thousand Oaks: Sage Pul. Inc., 2000.

Durkheim, Emile. The Elementary Forms of the Religious Life. NewYork: The Free Press, 1965.

Farid, Andi Zainal Abidin. Wajo Abad XV-XVI: Suatu PeninggalanSejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung:Alumni, 1985.

Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures: Selected Essais. NewYork: Basic Books Inc. Publication, 1973.

Hamid, Abu. Nilai-Nilai Budaya dan Perubahan Sosial: SuatuPengenalan Budaya Sulawesi Selatan . Ujung Pandang:Universitas Hasanuddin, 1991.

Http://www.ujungpandangekspres.com, diakses 25 Oktober2010.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, Cet. ke-2. Bandung: RemajaRosdakarya, 2001.

Linton, Ralph. The Studi of Man: An Introduction. New York:Appleton Century Crofts, 1956.

Page 35: Konstruksi Haji

Konstruksi Budaya dalam Praktik Haji (Subair)

173

Marzuki, M. Laica. Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Ujung Pandang:Hasanuddin University Press, 1995.

Mattulada. “Agama Islam di Sulawesi Selatan” dalam TaufikAbdullah (ed.), Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press,1983.

_____. Latoa, Suatu Lukisan Antropologi Politik Orang Bugis. UjungPandang: Hasanuddin Univesity Press, 1995.

_____. “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cet. kedelapanbelas,Jakarta: Djambatan, 1999.

Mead, George Herbert. Mind, Self and Society: From a Standpoint ofa Social Behaviorist. Editor Charles W. Morris. Chicago:University of Chicago, 1934.

Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif:Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press,1992.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma BaruIlmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet. 1. Bandung:Remaja Rosdakarya, 2001.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat (ed.). Komunikasi antarBudaya. Cet. Ke-6. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001.

Nasrullah. Quota Haji dan Hubungannya dengan Konsep Istita’ah:Studi Kasus Daftar Tunggu Calon Jamaah Haji Kabupaten Bone.Skripsi tidak diterbitkan. Watampone: Sekolah TinggiAgama Islam Negeri (STAIN) Watampone, 2002.

Nottingham, Elizabeth. Religion and Society. New York: RandomHouse, 1954.

Qardawi, Yusuf. Fikih Prioritas: Urutan Amal yang Terpenting dariyang Penting. Diterjemahkan oleh Moh. Nurhakim. Cet. Ke-3. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Salam, Abdul. Implementasi dan Sosialisasi Siri’: Studi Kasus padaEnam Keluarga Bugis Bone di Sulawesi Sekatan. Bandung:Program Pascasarjana Universitas Padjdjaran, 2000.

Sarjan, Andi. Studi tentang Paham dan Kepercayaan Suku Bugis (Bone)di Sekitar Pelaksanaan Ibadah Haji. Watampone: STAINWatampone, 1999.

Suryoprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian SosialAgama, Cet. 1. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar, Cet. ke-32. Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1993.

Page 36: Konstruksi Haji

Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 139-174

174

Tibi, Bassam. Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial. TerjemahanMisbah Zulfah Elizabet dan Zainul Abbas. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1999.

Tribun Timur, 10 Juni 2010.