konstruksi gender dalam realitas sosial

5
Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial: Suatu Suguhan Untuk Menyusun Ulang Kode-Kode Budaya dalam Membangun Kesetaraan Gender Penulis dalam bukunya yang berjudul “Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial” ini, mengantarkan kita semua untuk melakukan rekonstruksi gender dalam masyarakat yang tengah berubah. Yaitu suatu tindakan untuk menyusun ulang tentang kode-kode budaya yang setara untuk dimiliki para laki-laki dan perempuan. Sehingga tercipta suatu struktur sosial budaya yang berkeadilan dalam membangun tatanan sosial yang mapan. Oleh: Suhadi Rembang Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan IPS Unnes, angkatan 2010 Judul buku: Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial Penulis: Prof. Dr. Tri Marheni Pudji Astuti, M. Hum Tahun Terbit: Cetakan ke 2 tahun 2011 (dari cetakan pertama tahun 2008) Edisi: Revisi Penerbit: UNNESPress Tempat Terbit: Semarang Tebal Buku: 23,5 cm Jumlah halaman: xv + 158 ISBN: 979 1006 62 8 Inti dari buku dengan tebal 23,5 cm ini terdapat ada pada halaman 109 hingga 110. Penulis buku dengan judul “Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial” memberikan perspektif tentang konstruksi gender adalah suatu realitas yang dibangun dan diterima oleh masyarakat tentang suatu sifat-sifat yang secara budaya diasosiasikan sebagai sifat yang harus dimiliki oleh perempuan atau laki-laki. Tema besar permasalahan yang diangkat dalam buku yang baru-baru ini dicetak ulang (dua kali ini) adalah adanya ketidakadilan dalam mengasosiasikan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Ketajaman penulis dalam menghadirkan masalah yang tidak banyak diperhatikan oleh banyak orang inilah, mampu menghantarkan akan masih banyaknya kesenjangan gender dalam berbagai bidang. Kesenjangan gender yang dimaksud adalah suatu kondisi ketika ada salah satu pihak (laki-laki atau perempuan)

Upload: suhadi-rembang

Post on 29-Nov-2014

1.818 views

Category:

Education


9 download

DESCRIPTION

Penulis dalam bukunya yang berjudul “Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial” ini, mengantarkan kita semua untuk melakukan rekonstruksi gender dalam masyarakat yang tengah berubah. Yaitu suatu tindakan untuk menyusun ulang tentang kode-kode budaya yang setara untuk dimiliki para laki-laki dan perempuan. Sehingga tercipta suatu struktur sosial budaya yang berkeadilan dalam membangun tatanan sosial yang mapan.

TRANSCRIPT

Page 1: Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial

Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial:Suatu Suguhan Untuk Menyusun Ulang Kode-Kode Budaya dalam Membangun

Kesetaraan Gender

Penulis dalam bukunya yang berjudul “Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial” ini,mengantarkan kita semua untuk melakukan rekonstruksi gender dalam masyarakat yangtengah berubah. Yaitu suatu tindakan untuk menyusun ulang tentang kode-kode budayayang setara untuk dimiliki para laki-laki dan perempuan. Sehingga tercipta suatu struktur

sosial budaya yang berkeadilan dalam membangun tatanan sosial yang mapan.

Oleh: Suhadi RembangMahasiswa Pascasarjana Pendidikan IPS Unnes, angkatan 2010

Judul buku: Konstruksi Gender Dalam Realitas SosialPenulis: Prof. Dr. Tri Marheni Pudji Astuti, M. HumTahun Terbit: Cetakan ke 2 tahun 2011 (dari cetakanpertama tahun 2008)Edisi: RevisiPenerbit: UNNESPressTempat Terbit: SemarangTebal Buku: 23,5 cmJumlah halaman: xv + 158ISBN: 979 1006 62 8

Inti dari buku dengan tebal 23,5 cm ini terdapat ada pada halaman 109 hingga 110.Penulis buku dengan judul “Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial” memberikan

perspektif tentang konstruksi gender adalah suatu realitas yang dibangun dan diterimaoleh masyarakat tentang suatu sifat-sifat yang secara budaya diasosiasikan sebagai sifat

yang harus dimiliki oleh perempuan atau laki-laki.

Tema besar permasalahan yang diangkat dalam buku yang baru-baru ini dicetak ulang(dua kali ini) adalah adanya ketidakadilan dalam mengasosiasikan sifat-sifat yang harusdimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Ketajaman penulis dalam menghadirkan masalahyang tidak banyak diperhatikan oleh banyak orang inilah, mampu menghantarkan akanmasih banyaknya kesenjangan gender dalam berbagai bidang. Kesenjangan gender yangdimaksud adalah suatu kondisi ketika ada salah satu pihak (laki-laki atau perempuan)

Page 2: Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial

tertinggal dalam berperan, mengakses, dan melakukan kontrol dalam setiap aspekkehidupan (lihat halaman 13).

Menurut penulis, kesenjangan gender yang tampak jelas digelar dalam masyarakat saatini adalah kesenjangan di bidang hukum, politik dan pemerintahan, ekonomi dan tenagakerja, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga kesenjangan di bidangkesehatan.

Masih banyaknya pasal dalam aturan hukum yang mendeskriminasikan perempuan,sebagai bukti ramainya kesenjangan hukum digelar. Penulis menegaskan, hukum padamasyarakat kita sangat kental dengan aroma patriarkhal. Realitas struktural birokrasihukum kita yang patrialkhal inilah, menurut penulis sebagai industri yang paling rajinmembangun cara pandang perempuan yang selalu takut berurusan dengan hukum.Untuk mengatasi itu, menurut penulis, kesetaraan laki-laki atau perempuan di bidanghukum dapat dimulai dengan memberikan pemahaman tentang segala sesuatu yangberkaitan dengan masalah hukum (lihat halaman 16).

Tentu saja kesetaraan hukum antara laki-laki dengan perempuan di bidang hukum, tidakcukup dengan sosialisasi akan hak dan kewajiban warga negara. Karena penciptaanrealitas sosial kesenjangan hukum menurut penulis adalah akibat dari strukturalbirokrasi hukum yang patrialkhal, maka yang perlu dilakukan adalah mengubah strukturbirokrasi pencipta hukum kearah struktur birokrasi egalitarian. Dengan birokrasiegalitarian inilah, produk-produk hukum yang dilegalkan tidak akan terjadi kesenjangan.Namun reformasi birokrasi yang egalitarian ini tidak disenangi oleh penganut danpengikut birokrasi patrialkhal, karena sistem birokrasi egalitarian akan mengacaukansekaligus mengancam eksistensi kekuasaan laki-laki dihadapan muka hukum nasional.

Kesenjangan kedua menurut penulis adalah kesenjangan di bidang politik danpemerintahan. Menurut penulis, dalam mengambil keputusan dan kebijakan,perempuan hanya sebatas dijadikan martir/ dikorbankan/ atau untuk senjata dalammengapai dan melanggengkan kuasa laki-laki. Suatu realitas sosial, dimana politik yangseharusnya mampu mendorong terciptanya kesetaraan gender, malah sebaliknya,semakin mendulang gender yang tersenjangkan.

Walaupun terdapat beberapa kebijakan politik yang dianggap mampu menanggalkankesenjangan gender, namun kenyataannya berbeda. Hal ini dapat dilihat rumitnyaaturan menjadi wakil rakyat dari mereka yang berjenis kelamin perempuan. Terbukti,perbandingan prosentasi anggota DPR RI laki-laki dan perempuan tahun 2009 yangpenuh dengan kesenjangan (lihat halaman 26). Keadaan tersebut, menurut penulishanya akan menciptakan gender blind.

Keberpihakan akan keputusan konvensional seperti ekonomi, pendidikan, perumahan,lingkungan, kesejahteraan sosial, yang bernuansa feminin, cenderung menjadi pilihannomor kesekian. Karena dunia pengambil keputusan maskulin lebih suka dengankebijakan peningkatan tentara, perang, pembelian senjata, dan pembuatan senjatanuklir (lihat halaman 30).

Page 3: Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial

Menurut penulis, untuk menciptakan politik yang mampu menghancurkan politikproduksi kesenjangan gender yaitu dengan cara mensosialisasikan bahwa berpolitikbukan hanya hak laki-laki saja, melainkan juga hak kaum perempuan (lihat halaman 35).Catatan penting menurut penulis, meningkatkan kemampuan dan kualitas diriperempuan adalah hal terpenting sebelum perempuan terjun di politik.

Langkah kehati-hatian yang diutarakan penulis menjadi penting. Karena dalam realitassosial di lapangan, politisi perempuan adalah simbol pendulang suatu kekuasaan.Namun jika terdapat sedikit saja kesalahan politisi perempuan, media politik sosial takhenti-hentinya menayangkan. Suatu realitas sosial, isu perempuan dipuja bak sucinyamalaikat, sekaligus direndahkan bak kotornya comberan yang berbau anyir danmenjijikkan.

Kesenjangan ketiga adalah kesenjangan ekonomi. Menurut penulis, kesenjanganekonomi pada perempuan diciptakan dari program revolusi hijau dan kolonialisasi.Sebelum revolusi hijau diekspansikan, perempuan merupakan salah satu pemegangkunci dari pemulia pengetahuan dan keterampilan bertani. Bukan hanya itu, perempuanjuga piawai dalam menguasai menejemen pertanian sekaligus elemen spirit yangmampu menginjeksikan perdagangan lebih intensif dan mapan. Namun dengan hadirnyakolonial yang menancapkan kebijakan perkebunan atau tanam paksa untuk mengisipundi-pundi ekonomi negara kolonial, pengetahuan dan keterampilan perempuanterlucuti di kemudian hingga sekarang.

Dengan hadirnya revolusi hijau, perkebunan, dan tanam paksa, menurut penulis, padasaat itulah perempuan kehilangan peran produktif dan sosial. Perempuan dipaksa dandipukul mundur dengan masuk pasar kerja yang jauh-jauh hari tidak pernah disiapkan.Hingga kemudian, mereka semakin termarginalkan dalam kehidupan di desa ataupun diperkotaan, bahkan hidup miskin adalah suatu pilihan tanpa tandingan. Pada bagianinialh, penulis menguatkan bahwa terdapat pelemahan nilai tawar perempuan melaluikebijakan global dan nasional.

Namun penulis tampaknya tidak memberikan alternatif dalam mengatasi realitas sosialyang penuh dengan ekonomi yang tersenjangkan ini. Memberikan alternatif untukkeluar dari marginalisasi ekonomi menjadi penting dihadirkan. Terlebih faktor pekerjaanmenjadi penentu akan potret kualitas perempuan di masa mendatang. Terlepas dari itu,secara mendalam, penulis menganalisis relasi antara konteks historis dan realitas sosialsaat ini tentang mengapa perempuan dalam keadaan termarginalkan.

Keempat, penulis menaruh perhatian pada kesenjangan yang terjadi di bidangpendidikan. Menurut penulis, kesertaan perempuan dalam pendidikan, terpinggirkan.Rendahnya kesempatan belajar formal yang dapat di akses perempuan ini berdampakpada rendahnya pekerjaan publik yang dapat diakses oleh perempuan. Dengandemikian, nilai tawar perempuan di bidang bidang publik, terendahkan. Hal inilah yangmengundang penulis untuk memberi perhatian lebih dalam isu kesenjangan pendidikanyang menerpa perempuan.

Page 4: Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial

Penulis mengajukan solusi dalam menciptakan kesetaraan pendidikan berbasis gender.Yang perlu dilakukan, menurut penulis adalah membuat kebijakan pendidikan, sosialisasikesertaan pendidikan perempuan, hingga perumusan kurikulum (lihat halaman 51),mendesak dilakukan.

Kelima, kesenjangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut penulis,kesenjangan terjadi tidak hanya pada paras pendidikan, tetapi kesenjangan terjadihingga penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penulis menuding, realitas sosialyang penuh dengan nuansa kesenjangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, telahdimulai dari proses sosialisasi dasar keluarga hingga kebijakan rencana pengembanganpembangunan.

Penggiringan akan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh anak laki-lakitelah diperankan oleh kepala keluarga yang bersangkutan. Anak perempuan cenderungdigiring pada penguasaan bidang-bidang non teknologi. Dengan demikian, kontruksi biasteknologi ini, menurut penulis, menciptakan perempuan yang technological alienationand disempowerment (lihat halaman 57), sekaligus rendahnya perempuan dalamberkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakatglobal.

Gagasan yang ditawarkan penulis dalam mengatasi gagapnya teknologi yang menderaperempuan, dan kontribusi perempuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan yaitumelibatkan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai riset danpembangunan. Penulis menambahkan, pembentukan kelompok perempuan yangbertindak sebagai katalisator untuk memperluas informasi dan akses terhadap ilmupengetahuan dan teknologi, perlu ditingkatkan (lihat halaman 57-58). Dan tidak kalahpentingnya, proses sosialisasi di tingkat keluarga yang mendorong kesempatan anakperempuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mendesak dilakukan.Pada bagian ini, tampaknya penulis belum luas dalam memberi ulasan.

Kesenjangan gender ke-enam menurut penulis yaitu adanya kesenjangan di bidangkesehatan. Menurut penulis, biangkerok dari terpuruknya kesehatan kaum perempuan,berakar dari ketidasetaraan gender (lihat halaman 58). Menurut penulis, hal initercermin dari angka kematian (ibu dan bayi), angka kesakitan, hak reproduksiperempuan, hingga peran perempuan dalam keluarga berencana (lihat halaman 58).Gagasan yang ditawarkan dalam menjawab ketidakadilan gender dibidang kesehatancukup komprehensif. Penulis menawarkan tentang; pendidikan kesehatan, kebijakanpolitik, partisipasi medis, dan citra kesehatan harus mengusung kesetaraan gender.

Selain perhatian yang cukup tajam akan kesenjangan diberbagai bidang, penulis jugamengajak masyarakat melalui bukunya ini, agar perempuan lebih kritis dalammenyelami arus kesetaraan gender yang diusung. Penulis secara khusus menaruhperhatian tentang potensi perempuan dan perlakuannya di bidang iklan, pembangunan,hingga keterlibatannya dalam penyelamatan lingkungan (ekofeminsim).

Memang, perempuan secara fisik memiliki muatan simbolik yang menjual ini,mengundang penulis untuk lebih hati-hati. Karena dibalik gerakan populer yang

Page 5: Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial

menyelimuti isu kesetaraan gender, terdapat muatan pemberatan beban paraperempuan. Dengan menghadirkan bagian tentang iklan, pembangunan, dan partisipasiperempuan dalam penyelamatan lingkungan, seakan penulis mengajak berfikir denganpara perempuan, agar tidak terjerumus dengan kado spesial yang justru memberatkanperempuan, hingga terperosok ke jurang yang semakin curam dan dalam.

Perempuan jangan terlena dengan perubahan sosial yang ditawarkan. Fase liminalis(lihat halaman 104) dan aspiratif (lihat halaman 107) harus dicermati dengan kritis.

Menurut penulis, gerakan kesetaraan gender bukanlah hal yang mudah digelontorkanpada alam yang penuh sesak dengan aroma patrialkhal. Penulis dengan gamblang telahmembedah begitu kuatnya marginalisasi perempuan yang diperteguh dengan teks-tekssuci (baca bab xi tentang gender dalam agama), sebagai landasan moral (yang semu).

Dengan mengembangkan budaya akademik, penulis menawarkan kembali untukmembedah teks-teks suci yang cenderung menggiring interpretasi dalam membangunkonstruksi gender yang bias dan penuh dengan ketidakadilan yang harus diterima dandiperankan oleh perempuan, baik peran produktif, reproduktif, hingga perankemasyarakatan. Namun, dalam mengimplementasi gagasan dekonstruksi gender ini,tidak mudah dilakukan, selagi para penafsir teks-teks suci ini masih menyembah yangnamanya berhala kekuasaan patriarkhial.

Hingga kemudian, penulis dalam bukunya yang berjudul “Konstruksi Gender DalamRealitas Sosial” ini, mengantarkan kita semua untuk melakukan rekonstruksi genderdalam masyarakat yang tengah berubah (lihat halaman 109). Yaitu suatu tindakan untukmenyusun ulang tentang kode-kode budaya yang setara untuk dimiliki para laki-laki danperempuan. Dengan demikian, maka akan tercipta suatu struktur sosial budaya yangberkeadilan dalam membangun tatanan sosial yang mapan.

Semarang, 12 Januari 2012