konstruksi body of knowledge tentang hoaxdi indonesia...

26
283 KONSTRUKSI BODY OF KNOWLEDGE TENTANG HOAX DI INDONESIA: UPAYA MERUMUSKAN LANDASAN STRATEGI ANTI-HOAX Santi Indra Astuti Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA) [email protected] Pendahuluan Awal Januari silam, tepatnya 8 Januari 2017, sebuah gebrakan dilakukan oleh komunitas yang menamakan diri “Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO)”. Komunitas ini mendeklarasikan “Piagam Masyarakat Anti Hoax” di enam kota secara serempak, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Wonosobo dan Solo. Piagam Masyarakat Anti Hoax merefleksikan keprihatinan akan masifnya penyebaran hoax di Indonesia, sekaligus menyerukan upaya-upaya konkret guna mengatasinya. Deklarasi MAFINDO terbukti cukup menyita perhatian publik. Gerakan tersebut juga didukung oleh para pemimpin daerah dalam berbagai tingkatan. Di Semarang, misalnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berinisiatif menjadi bagian dari Deklarasi MAFINDO. Untuk Bandung, para aktivis didukung oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil yang menandatangani Piagam Anti Hoax, yang dibacakan beberapa hari sesudahnya oleh Ibu Walikota Atalia Praratya. Di Jakarta, momen Deklarasi Anti Hoax bahkan dihadiri oleh Menkominfo Rudiantara, tentunya bersama para pejabat level nasional lainnya. Deklarasi serentak juga berhasil menggulirkan aksi serupa di wilayah Indonesia lainnya, seperti di Yogya-Purworejo-Magelang (15 Januari 2017), Batam (22 Januari 2017), Pontianak – Kalimantan Barat (20 Maret 2017) dan Samarinda –Kalimantan Timur (22 April 2017) yang diramaikan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroeq Ishak. Deklarasi antar kota lantas diikuti oleh deklarasi anti hoax antar instansi atau antar komunitas. Misalnya, di Kabupaten Sanggau Kalimantan

Upload: ledung

Post on 24-May-2019

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

283

KONSTRUKSI BODY OF KNOWLEDGE TENTANG HOAX DI INDONESIA:

UPAYA MERUMUSKAN LANDASAN STRATEGI ANTI-HOAX

Santi Indra AstutiFakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA)

[email protected]

PendahuluanAwal Januari silam, tepatnya 8 Januari 2017, sebuah gebrakan

dilakukan oleh komunitas yang menamakan diri “Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO)”. Komunitas ini mendeklarasikan “Piagam Masyarakat Anti Hoax” di enam kota secara serempak, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Wonosobo dan Solo. Piagam Masyarakat Anti Hoax merefleksikan keprihatinan akan masifnya penyebaran hoax di Indonesia, sekaligus menyerukan upaya-upaya konkret guna mengatasinya. Deklarasi MAFINDO terbukti cukup menyita perhatian publik. Gerakan tersebut juga didukung oleh para pemimpin daerah dalam berbagai tingkatan. Di Semarang, misalnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berinisiatif menjadi bagian dari Deklarasi MAFINDO. Untuk Bandung, para aktivis didukung oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil yang menandatangani Piagam Anti Hoax, yang dibacakan beberapa hari sesudahnya oleh Ibu Walikota Atalia Praratya. Di Jakarta, momen Deklarasi Anti Hoax bahkan dihadiri oleh Menkominfo Rudiantara, tentunya bersama para pejabat level nasional lainnya.

Deklarasi serentak juga berhasil menggulirkan aksi serupa di wilayah Indonesia lainnya, seperti di Yogya-Purworejo-Magelang (15 Januari 2017), Batam (22 Januari 2017), Pontianak – Kalimantan Barat (20 Maret 2017) dan Samarinda –Kalimantan Timur (22 April 2017) yang diramaikan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroeq Ishak. Deklarasi antar kota lantas diikuti oleh deklarasi anti hoax antar instansi atau antar komunitas. Misalnya, di Kabupaten Sanggau Kalimantan

284

Kolase Komunikasi di Indonesia

Barat, pada tanggal 24 Mei, unsur pemuda dan aparatur sipil negara (ASN) ramai-ramai mendeklarasikan penolakan terhadap hoax. NUtizen (sebutan untuk netizen NU) dan Pemuda Muhammadiyah juga menyuarakan aspirasinya terkait hoax. Demikian pula wartawan, seperti yang dilakukan oleh Forum Diskusi Wartawan Subang yang mendeklarasikan penolakan hoax pada tanggal 15 Februari 2017.

Tak cukup hanya sekali, komitmen anti hoax di Kota Bandung bahkan ditegaskan sampai tiga kali. Usai momen Deklarasi Anti Hoax bersama MAFINDO (8 Januari 2017) di Car Free Day Dago, aksi serupa dilangsungkan di Alun-Alun Bandung dengan nama “Aksi Bandung Basmi Hoax” tanggal 20 Februari 2017, disusul oleh Aksi Bandung Hantam Hoax (ABBAH) pada tanggal 19 Maret 2017. Begitu pula keadaan di kota-kota lain. Eforia anti hoax menjalar di mana-mana. Media juga terus-menerus mengangkat isu hoax/anti hoax dalam pemberitaan, talk show, opini, dan sebagainya.

Kendati demikian, semua ini tampaknya belum ampuh untuk menghapuskan hoax dari muka bumi. Hoax tetap merajalela di media sosial dari waktu ke waktu. Menjelang Pilkada Jakarta, hoax bernuansa politik dan agama menyebar. Usai Pilkada Jakarta, hoax bukannya berhenti. Hoax politik berganti menjadi hoax dengan materi isu kesehatan, pangan, ekonomi, maupun yang bersifat personal. Pun, sejumlah hoax lama didaurulang, dan herannya, tetap saja disebarluaskan dan punya ‘fans’. Hal ini memunculkan keraguan atas keberhasilan gerakan anti hoax. Sekaligus juga menimbulkan tanda tanya seputar efektivitas strategi memerangi hoax. Apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa demikian sulit memerangi hoax, bahkan ketika banyak orang, dari kubu politik manapun, sama-sama menyerukan perang melawan hoax? Ketika sebuah hoax dibongkar, mengapa demikian sulit menerima kenyataan tersebut? Alih-alih mengoreksi, yang terjadi adalah sikap defensive luarbiasa dan bertahan dengan hoax yang dianggap sebagai kebenaran. Pemerintah, akademisi, maupun para aktivis tampak mati kutu dan tidak mampu menjelaskan permasalahan ini.

Permasalahan RisetKetidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi di

Indonesia, saat strategi anti hoax gagal memerangi hoax, paling tidak

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

285

disebabkan oleh dua hal. Pertama, minimnya sumberdaya. Kedua, minimnya pemahaman kita sendiri mengenai hoax di Indonesia dan perilaku orang ketika berhadapan dengan hoax. Merumuskan strategi memerangi hoax menjadi sulit, saat tak ada basis kajian atau pengetahuan yang bisa dijadikan landasan kajian. Semua ini akhirnya berpulang pada body of knowledge, atau kumpulan pengetahuan tentang hoax di Indonesia yang tampaknya belum terumuskan oleh siapapun. Padahal, keberadaan body of knowledge adalah kebutuhan mutlak karena strategi atau kajian apapun membutuhkan dasar pijakan sebagai starting point.

Dalam upaya untuk memberikan stimulus sehingga dapat memperkaya kajian terkait, makalah ini bermaksud menyoal body of knowledge hoax di Indonesia, dengan cara mengidentifikasi isu-isu terpenting berdasarkan pengalaman terlibat dalam advokasi dan edukasi anti hoax. Diharapkan, isu yang diangkat dapat memunculkan ragam tanggapan dari komunitas akademik sehingga mampu membentuk body of knowledge tentang hoax di Indonesia yang valid dan kredibel.

Metode PenelitianKajian ini merupakan bagian dari action research yang tengah

berlangsung untuk memahami fenonema hoax di Indonesia. Action research merupakan sebentuk kajian yang difokuskan pada fenomena yang tengah berlangsung, di mana sang peneliti terlibat di dalamnya. Action research, karena itu, didefinisikan sebagai “a process of systematic reflection, enquiry and action carried out by individuals about their own professional practice” (Frost, 2002 dalam Costello, 2003:3), atau “a term used to describe professional studying their own practice in order to improve it” (CTCW, 2002a dalam Costello, 2003:3). Menggabungkan berbagai penjelasan dan contoh para ahli mengenai action research, Costello berkesimpulan bahwa action research memiliki empat karakteristik dasar, yaitu (1) its practical nature; (2) its focus on change; (3) the involvement of cyclical process; dan (4) its concern with participation (Costello, 2003:6). Karakteristik dasar action research yang dirinci oleh Costello menjadi dasar dari pemilihan metode dalam penelitian yang tengah berlangsung ini, berdasarkan beberapa alasan: (1) Upaya mengonstruksi body of knowledge tentang hoax di

286

Kolase Komunikasi di Indonesia

Indonesia adalah persoalan yang menyertai permasalahan strategi menangkal hoax yang bersifat praktis-aplikatif; (2) Fokus riset adalah menghasilkan perubahan di tengah masyarakat. Pada level societal, diharapkan strategi berfungsi hingga mencegah meluasnya dampak hoax di tengah masyarakat; (3) proses penelitian berlangsung dalam sebuah siklus: diawali dari aksi, dilanjutkan dengan pengumpulan data lapangan, validasi, kontemplasi, refleksi, kemudian melaksanakan aksi lagi yang merupakan perbaikan dari proses sebelumnya; (4) kajian ini melibatkan partisipasi peneliti di semua level aksi kampanye maupun advokasi yang ditujukan guna memberantas hoax dan menuntaskan permasalahan hoax di Indonesia.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian literatur, observasi partisipan, wawancara dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion—FGD). Terdapat tiga jenjang tahapan penelitian, yaitu: (1) Kajian literature untuk mendapatkan konsep hoax serta mencari kajian-kajian tentang hoax yang berkualitas selama 6 (enam) bulan terakhir; (2) Observasi partisipan di mana peneliti melibatkan diri pada diskusi, aktivitas dan rembug isu hoax di berbagai wilayah; dan (3) Wawancara dengan sejumlah narasumber terkait upaya mendefinisikan hoax dan dimensi-dimensinya. Tahapan terakhir, yaitu FGD belum dilakukan. Direncanakan, FGD akan dilaksanakan setelah draft body of knowledge tentang hoax di Indonesia yang menjadi materi diskusi telah diselesaikan.

Body of Knowledge: Upaya Mengonstruksi Pengetahuan yang KhasBody of Knowledge (BoK) sebagaimana disarikan dari Wikipedia

dapat dijelaskan sebagai sebuah struktur lengkap menyangkut konsep, terminologi dan aktivitas yang digunakan sekelompok profesional atau kelompok yang memiliki minat khusus guna memandu praktik kerja masing-masing. BoK terdiri dari definisi, ruang lingkup (dalam lingkup praktis maupun area of knowledge), landasan dan sejarah yang kontekstual, kumpulan aktivitas untuk mencapai hasil yang diharapkan, prinsip, nilai-nilai atau asas filosofis yang memandu aktivitas yang dilaksanakan. BoK bersumber dari landasan sejarah, ditambah validasi atas pengalaman yang selama ini dilaksanakan, dan diperkaya dengan hasil refleksi para aktor pelakunya berdasarkan amatan terhadap perkembangan yang terjadi menyangkut isu tersebut.

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

287

BoK akan berkembang seiring dengan dinamika perkembangan isu atau praktik yang menjadi inti BoK di tengah publik atau masyarakat yang berkepentingan.

A body of knowledge reveals the collective knowledge of a particular profession at a specific point in time (Usability Professionals’ Association, 2005) that may distinguish it from the body of knowledge of another (Waite & Skinner, 2003) and establishes boundaries and the place of the profession or discipline in epistemological schemata (Bourque, Dupuis, Abran, Moore, & Tripp, 2001). Such boundaries are important because they provide the intellectual foundation for communication and successful practice (American Chamber of Commerce Executives, 2005) and help maintain the identity and cohesion of a profession (Canabal & Winchip, 2004)

(Nickols, et.al, 2009: 268)

Sebagaimana diungkapkan di awal tulisan ini, persoalan utama menyangkut hoax di Indonesia dan lemahnya strategi anti hoax menghadapi pabrik-pabrik hoax, diakibatkan salah satunya adalah belum tersedianya body of knowledge mengenai hoax di Indonesia. Mendefinisikan hoax mungkin bukan perkara sulit, karena literature tentang hoax di berbagai referensi sudah sangat banyak. Namun, body of knowledge bukan semata-mata definisi dan teori. Body of knowledge juga merupakan kumpulan pengetahuan yang bersumber dari validasi pengalaman para aktor yang terlibat dalam berbagai level. Selain itu, body of knowledge juga mengandung refleksi berdasarkan hasil amatan terhadap fenomena hoax yang berkembang. Pada titik inilah, body of knowledge tentang hoax di Indonesia yang lumayan solid dan komprehensif sejauh ini belum ditemukan. Orang masih menangani persoalan hoax secara parsial berdasarkan apa yang mereka hadapi. Sudah itu, minim refleksi.

Membangun body of knowledge pada dasarnya adalah mengonstruksi pengetahuan. “It means understanding how scientific knowledge is constructed” (Rudolph, 2005 dalam Duschl, Schweingruber & Shouse, 2007: 168). Warganegara yang memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksi akan menjadi khalayak yang waspada terhadap klaim-klaim ‘ilmiah’ tentang berbagai isu publik yang beredar di sekitar mereka, dan berkontribusi pada kesehariannya. Misalnya tentang pemanasan global, ekologi, makanan yang dimodifikasi secara genetic,

288

Kolase Komunikasi di Indonesia

pengobatan alternative, tidak ketinggalan seputar hoax. Mereka yang memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksi akan berkontribusi pada penyelesaian masalah karena mereka mampu mengembangkan model yang tepat dalam mencari solusi (Sandoval, 2005 dalam Duschl, Schweingruber & Shouse, 2007: 168).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan body of knowledge? Bagaimana membangun struktur pengetahuan yang sistematis sehingga bermakna dalam menyelesaikan masalah? “We begin with an elaboration on science as a way of knowing, sketching the goals of the enterprise, the nature and structure of scientific knowledge, and the process by which it is constructed” (Duschl, Schweingruber & Shouse, 2007: 170). Berkaca pada tulisan tersebut, maka kata kunci dalam mengembangkan body of knowledge adalah kumpulan pengetahuan menyangkut isu yang dipermasalahkan, tujuan dari pengetahuan tersebut, nature dan strukturnya, serta proses dalam mengonstruksi pengetahuan terkait. Dalam dasar-dasar filsafat, ini berarti body of knowledge bermula dari aspek ontology (nature dan struktur), aspek epistemologi (proses, metode) dan aksiologi (cara menyikapi, yang tentu tak lepas dari tujuan keberadaan ilmu).

Tentu saja, ini pekerjaan yang sangat besar. Namun, harus dimulai dari sekarang. Strategi memulainya adalah mengumpulkan sumberdaya intelektual yang bisa diawali dari rujukan pada literatur-literatur yang relevan dengan isu yang diangkat. Kemudian, memvalidasinya dengan pengalaman ‘konteks Indonesia’ sehingga pendalaman mengenai permasalahan hoax di Indonesia menjadi kaya. Untuk itulah, tulisan ini terdiri dari dua sub bahasan, yaitu (1) konsepsi tentang hoax, tipologi hoax, dan aspek lain yang terkait secara langsung; (2) model gerakan anti hoax ‘rasa Indonesia’ pada aspek praksis. Baik aspek (1) maupun (2), kendati bertitiktolak dari konsep yang sudah ada, namun pembahasannya dikaitkan dengan konteks dan pengalaman para aktivis anti hoax dalam melaksanakan aksinya.

Langkah Awal Mengonsep Hoax: Definisi, Tipologi dan Aktor Apakah sebenarnya hoax? Sejauh ini, hoax didefinisikan sebagai

fakta yang direkayasa, atau dengan kata lain, kebohongan. Namun, apakah semua kebohongan dapat dinyatakan sebagai hoax? Bagaimana dengan dongeng, kisah, legenda, opini, mitos, dan sebagainya?

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

289

Bagaimana dengan dalih yang kerap diciptakan orangtua kita untuk ‘menyelamatkan’ kita? Apakah teks atau narasi semacam itu dapat disebut sebagai ‘hoax’? Persoalan menyatakan mana ‘hoax’ dan mana yang ‘bukan hoax’, harus bertitik tolak dari body of knowledge tentang hoax. Dalam situasi penuh ketidakpastian, karena hoax itu sendiri dalam praktiknya terus berkembang sesuai dengan kreativitas produser dan distributornya, maka berikut ini adalah upaya merunut muasal kata maupun konsep yang mengerangka ‘hoax’.

Hoax didefinisikan sebagai “deliberate fabrication or falsification in the mainstream or social media (pemalsuan atau perekayasaan informasi yang disengaja dalam media sosial maupun media arus utama lainnya)” (Rubin, Chen dan Conroy, 2015). Definisi hoax yang lebih kuno juga kurang lebih sama, yaitu “… a deliberately concocted untruth made to masquerade as truth (rangkaian ketidakbenaran yang dikerangka sedemikian rupa dan disebarluaskan sebagai kebenaran)” (McDougall, 1941). Sebuah informasi bisa saja mengandung kesalahan (misinformation) atau bias. Namun, kekeliruan dalam hoax adalah buah dari kesengajaan. Dengan kata lain, hoax adalah rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun ‘dijual’ sebagai kebenaran (a purposefully false story or account that is presented to be true)” (Silverman, 2015). Karena urusannya adalah pada ‘kebenaran’ atau ‘fakta’, kerap hoax disamakan dengan fake news, yaitu berita palsu yang mengandung informasi yang disengaja guna menyesatkan orang dan kerap memiliki agenda politik tertentu (fake news stories contain deliberately misleading information and often have prominent political agendas)” (Merwe, 2016). Bukan sekadar ‘misleading’ alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta (Alcott & Gentzkow, 2017).

Berkaca pada berbagai definisi di atas, maka apapun pernyataannya, hoax mengandung unsur-unsur: (1) informasi yang menyesatkan (misleading information); (2) tindakan yang disengaja (deliberate or purposefully act); dan (3) ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran (presented untruth as the ultimate truth).

Hoax dibedakan dengan scam/con. Hoax terjadi pada skala yang lebih besar, diarahkan untuk menarik perhatian publik, sekaligus merepotkan publik dan menghabiskan sumberdaya untuk mengurusinya. Ini berbeda dengan scam/con, yaitu sebuah upaya individual untuk ‘mengerjai’

290

Kolase Komunikasi di Indonesia

individu lain atau menguras dana pihak lain melalui penipuan (Silverman, 2015). Hoax juga dibedakan dengan prank atau lelucon. Prank adalah “a mischievous or humorous trick” (Pellegrini, 2015). Dalam bahasa Indonesia, gampangnya diterjemahkan sebagai ‘lucu-lucuan atau gila-gilaan ngerjain orang’, dari yang berskala ringan seperti “Spontan Uhuy”-nya Komeng, sampai yang kelas berat dan bikin malu plus horror seumur-umur seperti “Scare Tactics”. Hoax dibedakan dengan rumor atau gossip. Rumor/gossip adalah “unverified and instrumenally relevant statements in circulation that arise in context of ambiguity (pernyataan-pernyataan yang tidak atau belum terverifikasi yang beredar dan muncul dalam konteks ambiguitas)” (Silverman, 2015). Rumor/gosip secara alamiah memang begitu adanya. Jikalau ‘menyesatkan’, itu bukan disengaja atau diniatkan demikian. Hoax juga bukan satir (satire), yaitu “a rhetorical strategy (in any medium) that seeks wittily to provoke an emotional and intellectual reaction in an audience on a matter of public … significance (strategi retoris nan cerdik dalam berbagai medium untuk memicu reaksi emosional dan intelektual mengenai permasalahan yang menonjol di tengah publik)” (Phiddian, 2013 dalam Rubin, Conroy dan Chen, 2015). Namun, salah satu bentuk satire yaitu news satire, kerap menampilkan fakta padahal fiksi—hoaxnya itu di sini.

Perkembangan isu maupun motif dan ‘keisengan’ manusia, berbuah pada berbagai jenis hoax. Dari segi tipologinya, hoax dapat dibedakan berdasarkan aspek muatan isu, bentuk dan tujuan.a. Dari segi muatan hoax, perbedaannya lebih pada isu, tema atau

topik.1. Hoax keuangan/ekonomi/bisnis Misalnya informasi mengenai gagal likuid yang berakibat pada

tumbangnya bank-bank besar milik swasta.2. Hoax kesehatan/farmasi Misalnya informasi mengenai buah-buahan yang diimpor

dari Thailand yang terkontaminasi tetesan darah pekerja yang menderita AIDS.

3. Hoax politik Misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang

menimbulkan kontroversi, padahal tidak demikian halnya.

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

291

Salah satu hoax politik yang ramai diperbincangkan belakangan ini adalah penggunaan dana setoran haji untuk pembangunan infrastruktur. Hoaxnya terletak pada pernyataan bahwa kebijakan tersebut dikeluarkan oleh presiden Jokowi, padahal ternyata sudah ada sejak 2010, bahkan telah divalidasi oleh MUI sejak tahun 2012.

4. Hoax agama Misalnya menyangkut praktik beragama kelompok tertentu. 5. Hoax tentang seni Misalnya terkait dengan kepemilikan hak cipta, pencipta kreasi,

dan sebagainya.6. Dll.

b. Dari eskalasi dampak aktivitas hoax.1. Prank, dampaknya terbatas pada individu dan komunitasnya.

Tidak berdampak secara politis, dan tidak sampai menjadi kasus hukum yang berat. Walaupun bisa berujung juga pada urusan hukum, namun ini jarang terjadi karena sifatnya lucu-lucuan saja.

2. Harmful Hoaxes, yaitu hoax yang menimbulkan kekacauan, dan kesengsaraan dalam skala besar.• Journalistic Hoaxes, atau pada literature lain disebut

sebagai ‘media hoax’, yaitu “… a purposefully false story or account that is presented by a news organization as true (sebuah informasi yang disajikan oleh organisasi berita dan dinyatakan sebagai karya jurnalistik yang berlandaskan kebenaran)” (Boyle, 2015).

• Email/Online Hoaxes Penipuan lewat email, dengan motif menguras uang

sasarannya. • Anthrax Hoaxes Hoax berbentuk powder alias tepung. Seseorang mendapatkan

kiriman bubuk putih pada saat eforia wabah anthrax terjadi. Bubuk putih itu sebenarnya bedak/talc biasa, namun diaku sebagai serbuk anthrax yang membuat kehebohan.

292

Kolase Komunikasi di Indonesia

• Identity Hoaxes Menyamar, menyaru, atau memalsukan identitas untuk

mempermalukan pemilik identitas sesungguhnya, atau mempermalukan lembaga/komunitasnya.

• Scholarly Hoaxes Muncul dalam bentuk paper atau karya ilmiah,

menggunakan kutipan di sana-sini sehingga tampak meyakinkan, padahal sebenarnya hoax belaka.

c. Dari segi tujuan1. Monetary Hoax,

- Tujuannya adalah mendapatkan uang atau keuntungan lainnya, baik secara langsung maupun tak langsung.

2. Attention Seeker- Mencari perhatian pihak tertentu, atau menginvestasikan

namanya di tengah masyarakat dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan prestise. Kelompok-kelompok yang mengaku-aku sebagai Anonymous Indonesia bisa dikategorikan dalam kelas ini.

3. Racial Hoax- Kejahatan hoax yang ditujukan untuk menimpakan

kesalahannya pada pihak lain mengatasnamakan ras, etnis, asal-usul, warna, dsb.

4. Hate Crime Hoax- Laporan adanya kejahatan yang sebenarnya tidak pernah

terjadi, dengan tujuan mendapatkan keuntungan baik keuntungan ekonomi maupun mendapatkan perhatian.

(Pellegrini, 2008).Hoax dan sebarannya sama sekali bukan kejadian tunggal. Dunia

hoax adalah ruang sosial yang melibatkan pelaku dan korban, yang menjadi bagian dari operasi berantai sebuah informasi palsu dan menyesatkan. Disebutkan secara eksplisit ataupun tidak, hoax memiliki aktor dan target, yang dapat dipetakan secara ringkas sbb.1. Produsen Hoax, yaitu pencipta atau kreator hoax, bisa individu atau

team.

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

293

2. Distributor Hoax, yaitu pihak yang membagikan atau menyebarluaskan hoax. Ini terbagi menjadi:a. Distributor Utama, yang menjadi instrumen produsen hoaxb. Retailer, yaitu konsumen yang turut menyebarluaskan hoax,

baik itu disadari atau tidak disengaja. Instrumennya mulai dari website, media massa, jaringan/networking, hingga pasukan buzzer.

3. Khalayak, yaitu target hoax, terbagi menjadia. Konsumen, konsumen yang ditargetkan untuk mengonsumsi

hoax.b. Distributor, konsumen yang ditargetkan untuk turut

mendistribusikan hoax.c. Korban, konsumen yang dijadikan sasaran atau muatan hoaxd. Kombinasi, kombinasi a, b, dan c.Guna menyusun strategi ampuh untuk memerangi hoax,

identifikasi aktor-aktor terlibat sangat penting, karena penanganannya pun spesifik sesuai dengan posisi masing-masing. Tipologi aktor di atas baru sebatas identifikasi peran. Diperlukan kajian lebih mendalam untuk memetakan posisi masing-masing dalam lingkar-lingkar ruang sosial, sesuai dengan konstelasi isu yang dihadapi.

Dalam melaksanakan aksi, produser didorong motif-motif tertentu, yang merentang mulai dari:a. Motif eksistensi, yaitu ingin terkenal, keren, populer, mendapatkan

pengakuan dan prestise, atau status baru dalam isu terkait di tengah masyarakat atau komunitas tertentu.

b. Motif ideologis, yaitu menciptakan hoax sebagi alat bantu untuk menyebarluaskan ideology atau nilai yang diyakini, atau untuk menghantam ideology lain yang dinilai membahayakan eksistensinya.

c. Motif komersial, yaitu memperbesar keuntungan ekonomi baik secara langsung (misalnya, meningkatkan web traffic) atau secara tidak langsung (menggiring opini khalayak).

d. Motif protektif, yaitu melindungi pihaknya, atau pihak lain dengan menciptakan hoax guna mengalihkan perhatian.

294

Kolase Komunikasi di Indonesia

e. Motif chaos/anarkis, yaitu melempar hoax yang disengaja guna menciptakan kekacauan di tengah publik. Pada level yang ringan, motif chaos bertujuan sekadar untuk mengganggu atau merepotkan pihak-pihak tertentu. Misalnya, isu kedatangan girl band Korea dilemparkan, sehingga mengundang kerepotan Bekraf dan Istana Negara untuk mengklarifikasi. Pada level yang berat, motif chaos berubah menjadi anarkisme yang ditata sedemikian rupa untuk menghilangkan ‘trust’ pada pemerintahan. Dalam praktiknya, motif-motif ini tidak ditemukan berdiri

sendiri. Hoax girl band Korea untuk memeriahkan peringatan 17 Agustus di Indonesia, misalnya, memiliki motif eksistensi dan komersial dari produsennya. Hoax berkaitan dengan isu agama juga kerap bersinggungan dengan isu ras/etnik. Tak bisa ditutup-tutupi lagi, topik keberagaman di Indonesia tergolong semakin sensitif belakangan ini, terlebih di media sosial tempat hoax beredar.

Diversity issues are always thought to have high level of sensetivity despite its significance to be introduced to diverse public in Indonesia. Furthermore, numerous hoaxes in a regard to the issues in Indonesia have been escalating dramatically due to some factors, such as an influence to public in general election and a discredit to specific ethnics and religions.

(Alam, 2017)

Dari aspek ini, bukan hanya kategorisasi hoax saja yang perlu dikuak. Lebih jauh lagi, perlu ditemukan dan dianalisis hoax macam apa saja yang laris di Indonesia, seperti apakah hoax ‘tipikal’ Indonesia yang dikonsumsi secara khas pula oleh khalayak Indonesia dari berbagai latar budaya, lingkar komunitas, segmentasi sosial ekonomi, maupun karakteristik lainnya. Hal-hal seperti inilah yang harus dikaji dan dikembangkan untuk membangun body of knowledge terkait persoalan hoax di Indonesia.

Mengembangkan Strategi: Model Inokulasi sebagai Logika Gerakan Anti Hoax

Sebagaimana telah disampaikan di awal tulisan, tujuan utama dari proyek mengembangkan body of knowledge ini terarah pada upaya merumuskan strategi yang tepat sasaran dalam menumpas hoax, atau meminimalkan dampaknya di tengah publik. Sebelum merumuskan

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

295

indicator-indikator strategi tersebut, adalah penting untuk melihat logika dasar yang melandasi strategi anti hoax berfungsi di tengah publik.

Berikut ini adalah model Inokulasi yang diaplikasikan sebagai logika dasar untuk mengembangkan strategi anti hoax. Pada awalnya, model Inokulasi yang dirumuskan oleh William McGuire (1961) digunakan untuk menjelaskan operasi komunikasi dan kontrakomunikasi. Kemudian, penggunaannya berkembang di berbagai bidang seperti periklanan dan marketing communication. Kini, model tersebut dipinjam sebagai landasan perumusan strategi anti hoax, karena pada dasarnya, yang dihadapi dalam upaya memberantas hoax adalah sebuah medan perang antar pesan-pesan komunikasi.

SkemaLogika Gerakan Anti Hoax: Model Inokulasi

Model di atas dihasilkan dari focus group discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh Komunitas Anti Hoax Bandung pada bulan Februari 2017. McGuire menggunakan metaphor epidemi virus untuk menjelaskan bagaimana vaksin bekerja.

McGuire (1964) suggested that attitudes could be inoculated against persuasive attacks in much the same way that one’s immune system can be inoculated against viral attacks. In medical immunization, weakened forms of viruses are injected into the body, and the body then reacts to this injection (e.g., through cell adaptation), protecting the body from future attacks from stronger versions of that virus. McGuire (1964) contended that by exposing individuals to a persuasive message that contains weakened arguments against an established attitude (e.g., a two-sided message, or a message that presents both counterarguments and refutations of those counterarguments), individuals would develop resistance against stronger, future persuasive attacks.

(Jackson, Compton, Thomton & Dimmock, 2017:122)

296

Kolase Komunikasi di Indonesia

Dengan meminjam metafor virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, maka situasi yang terjadi dapat dijelaskan sbb. Inokulasi berlangsung saat situasi darurat terjadi, akibat serangan virus yang massif. Menggunakan ini sebagai metaphor, maka virus yang mengancam hidup manusia (dalam hal ini, harmoni di tengah masyarakat), adalah hoax. Untuk mengatasi serangan, dibutuhkan antivirus dan vaksin. Antivirus berfungsi untuk melemahkan atau membunuh virus guna mencegah meluasnya dampak virus secara langsung. Sementara vaksin membantu tubuh untuk mengembangkan sistem kekebalan tubuh, yang dapat mengatasi serangan-serangan virus lebih lanjut. Dalam situasi ini, hoax menjadi virus yang merusak, hoaxbuster dan penegakan hukum menjadi antivirus untuk memulihkan situasi. Sementara yang menjadi vaksinnya adalah kompetensi literasi yang harus dimiliki oleh setiap warganegara.

Marilah kita urai satu persatu, diawali dari sang Antivirus dalam Model Inokulasi, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai penegakan hukum. Pada ‘kamar’ antivirus, yang berfungsi untuk melumpuhkan virus dalam gerak cepat, terdapat unsur hoaxbuster dan law enforcement atau penegakan hukum. Hoaxbuster adalah aktor sekaligus ujung tombak gerakan anti hoax pada taraf ‘antivirus’. Sedangkan penegakan hukum merupakan instrumennya.

Antivirus Hoax: Hoaxbuster & Instrumen Penegakan Hukum Hoaxbuster memegang peranan penting dalam model Inokulasi

Anti Hoax ini. Menurut pendiri Indonesia Hoax Buster (IHB), Citra Pertiwi, “hoaxbuster adalah orang-orang yang memerangi hoax dengan cara membongkar trik atau tipuan hoax, kemudian menyebarluaskan temuannya ke kelompok-kelompok yang telah telanjur terinfeksi” (wawancara, 9 Februari 2017). Debunking hoax melibatkan serangkaian prosedur. Menyadari bahwa sebagian besar warga Indonesia tidak akrab dengan Internet dan teknologi Informasi, maka, IHB menyiasatinya dengan cara menyusun prosedur yang mudah dioperasikan. “Kami mencoba menyusun prosedur yang paling sederhana, sehingga setiap orang bisa menjadi hoaxbuster, tak peduli berapapun umurnya, latar belakang pendidikannya, tipe gawainya, atau spesifikasi alat-nya,” tutur Citra Pratiwi (wawancara, 22 Februari 2017). Disadari, bahwa muatan hoax terkadang begitu canggih, sehingga membutuhkan analisis pakar.

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

297

“Dalam mengurai hoax yang sangat kompleks, dibutuhkan kepakaran tersendiri. Untuk itu, kami diperkuat oleh para relawan dari berbagai latar belakang dengan tingkat kepakaran yang mumpuni. Hoax tentang hutang Indonesia, misalnya, akan dibahas oleh rekan relawan ahli ekonomi. Adapun hoax tentang farmasi atau kesehatan, seperti vaksin, diuraikan oleh beberapa rekan dokter dan ahli farmasi yang memang menguasai jalur produksi dan distribusi vaksin,” lanjut Citra. Sistem ini disebut dengan crowdsourcing—melibatkan sumber-sumber kredibel dari berbagai titik untuk ‘menelanjangi’ hoax.

Sistem crowdsourcing berbasis kerelawanan juga menjadi basis gerakan kelompok anti-hoax lain seperti Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) yang diketuai oleh Septiaji. FAFHH menjalin kerjasama dengan IHB, juga dengan Indonesian Hoaxes Community (IHC) di dalam wadah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Dalam payung kerjasama ini, dimungkinkan adanya tukar-menukar konten sehingga hoax bisa dipecahkan dengan cepat dan titik penyebarannya bisa dilokalisir, untuk kemudian dipersempit dan dinetralisir. Cara kerja ini, mirip dengan cara kerja kalangan medis untuk memblokir sebaran virus.

Peran strategis hoaxbuster juga divalidasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Drone Emprit, sebuah lembaga konsultasi yang bergerak dalam analisis data digital. Dalam presentasi yang dilaksanakan pada bulan Maret 2017, Ismail Fahmi selaku Direktur Drone Emprit memperlihatkan bahwa peran hoaxbuster relative efektif dalam membendung penyebaran hoax secara massif. Menggunakan model analisisnya, yang menggambarkan sebaran titik-titik hoax yang mengepung sebuah isu, Fahmi menunjukkan bahwa kepungan hoax pun buyar begitu hoaxbuster, yang hanya direpresentasikan oleh beberapa titik, mulai bergerak melawan opini mainstream. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kehadiran hoaxbuster relative efektif guna mengeblok hoax dan melokalisir penyebarannya, sehingga tidak meluas lebih jauh lagi.

Menyadari strategisnya peran hoaxbuster sebagai pasukan task force, pendiri FAFHH sekaligus inisiator MAFINDO Septiaji menyatakan niatnya untuk memproduksi agen-agen hoaxbuster sebanyak mungkin dan menguatkan mereka yang telah memosisikan

298

Kolase Komunikasi di Indonesia

diri sebagai hoaxbuster. “Menjadi hoaxbuster tidak mudah. Mereka harus kuat mental juga, karena biasanya begitu menyampaikan fakta sebenarnya, banyak anggota grup yang tidak terima lalu mem-bully ramai-ramai. Kalau tidak tahan, ya bisa-bisa left the group, dan itu sama sekali tidak kami rekomendasikan karena beresiko menciptakan echo chamber,” tutur Septiaji dalam wawancara yang berlangsung pada tanggal 17 Maret 2017.

Echo chamber adalah sebuah fenomena di mana media sosial yang mestinya menjadi ruang diskusi publik yang egaliter, hanya menggemakan suara dari satu pihak saja. Alih-alih menampilkan keberagaman, echo chamber justru memperkuat polarisasi karena absennya suara-suara alternative. Inilah yang terjadi pada media sosial seperti Facebook maupun WhatsApp. “It facilitates the expansion of echo-chambers by making it easier than ever to filter out anything that doesn’t align with one’s perspective” (Hutchinson, 2016). Facebook melakukannya melalui sistem algoritma yang secara otomatis menyaring informasi sejenis (atau se-kubu). WhatsApp dan kelompok sejenis menciptakan echo chamber setelah grup chat ditinggalkan oleh orang-orang yang berbeda pendapat karena satu dan lain hal.

Hoaxbuster sebagai antivirus, yang bertugas sesegera mungkin melumpuhkan virus dan menghentikan penyebarannya, tidak bisa bekerja sendiri. Perlu adanya penegakan hukum atau law enforcement yang memberi sanksi bagi pelaku, sekaligus menimbulkan efek jera bagi yang lain. Berkenaan dengan hoax, saat ini terdapat beberapa regulasi yang dijadikan pijakan hukum oleh pihak berwajib.

Pertama, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 28 ayat 1 dan 2, serta pasal 45.

Pasal 28(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak

menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

299

Pasal 45 Setiap orang yang memenuhi unsur yang dimaksud dalam pasal 28

ayat 1 atau ayat 2 maka dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar. 

Kedua, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana pasal 14 dan 15. 

Pasal 14 (1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan

bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15: Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang

berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.

Ketiga, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sampai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif.

Keempat, Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Ditinjau dari aspek perundang-undangan yang ada, regulasi di Indonesia terlihat telah berupaya mengakomodasi kebutuhan penegakan hukum bagi produksi maupun penyebaran hoax. Kendati demikian, para ahli hukum tentulah yang paling berwenang untuk mengevaluasi kekuatan sebuah Undang-Undang. Satu hal yang pasti, hukum di Indonesia belum mengatur hak dan kewajiban melindungi

300

Kolase Komunikasi di Indonesia

masyarakat dari bahaya hoax yang dibebankan kepada platform-platform media sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan Jerman kepada Facebook

“Platfom seperti Facebook akan diwajibkan secara hukum untuk membangun sebuah kantor perlindungan hukum di Jerman yang buka 24 jam sehari, 365 hari setahun,” ujar anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat Thomas Oppermann kepada  Der Spiegel awal pekan ini. “Jika, setelah pemeriksaan, Facebook tidak menghapus berita palsu dalam waktu 24 jam, ia akan mendapat denda individual sampai 500 ribu euro,” kata Oppermann. Subjek dari berita palsu itu akan dapat meminta koreksi secara berimbang.” (“Jerman Akan Denda Facebook Rp 7 M untuk Satu Berita Hoax”,

22 Desember 2016, https://www.tempo.co)

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Jerman memang memuaskan. Kendati demikian, berbagai terobosan pun telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan beberapa penyedia layanan sosial media besar. Sumber Kemenkominfo mengungkapkan, dengan Google, pemerintah Indonesia bekerjasama menyiapkan Trusted Flagger (pelapor tepercaya) untuk menilai konten. Kesepakatan dengan Twitter berbuah pada dijadikannya Kominfo sebagai Focal Point (titik pusat) penanganan konten negatif. Facebook, atas arahan pemerintah Indonesia, membentuk Tim Khusus untuk mempercepat proses penanganan konten negatif. Sementara Telegram membentuk jalur komunikasi khusus dengan pemerintah dan tim yang memahami budaya Indonesia untuk mempercepat laporan. Adanya kesepakatan-kesepatakan ini membuat upaya mengatasi hoax kini memiliki landasan hukum dan instrumen yang kuat. Dalam model Inokulasi, hoaxbuster dan instrumen penegakan hukum menjadi antivirus yang siap melumpuhkan hoax dalam waktu singkat sehingga sebarannya tidak meluas.

Vaksin Anti Hoax: Literasi Digital dan Instrumen Fact CheckersUnsur terakhir dari model Inokulasi ala McGuire yang digunakan

untuk memberantas hoax adalah vaksin anti-hoax. Kegunaan vaksin adalah memberikan daya imunitas tubuh (kekebalan), sehingga tubuh dapat mengatasi sendiri serangan virus yang datang. Membangun mekanisme pertahanan diri terhadap serangan hoax, yang diibaratkan

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

301

sebagai vaksin inilah yang diupayakan melalui gerakan literasi, yang diperkuat dengan instrumen pendukung berupa fact checkers dan situs pelapor.

Literasi secara harfiah didefinisikan sebagai “a person’s ability to read the written word” (Potter, 2014:15), atau “kemampuan membaca dan menulis yang ditandai dengan kemampuan memahami pernyataan singkat yang ada hubungannya dengan kehidupannya” (UNESCO, 2005 dalam Iriantara, 2009:4-5). Buckingham memperluas konsepsi literasi menjadi “sekumpulan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan (2003:4 dalam Guntarto, 2015:10). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah literasi digunakan secara meluas dan longgar, pada semua cara berkomunikasi, media berkomunikasi, dimensi komunikasi, bahkan muatan dan produk komunikasi. Fenomena ini menyebabkan konsep literasi harus didefinisikan ulang menjadi “Kemampuan menempatkan, mengevaluasi, menggunakan dan mengomunikasikan melalui berbagai sumber daya termasuk sumber-sumber daya teks, visual, suara dan video” (Lamb, 2003 dalam Iriantara, 2009: 3). Maka, lahirlah istilah-istilah baru yang berhubungan dengan literasi, mulai dari literasi informasi, literasi media, literasi televisi, dan lain-lain. Dalam kajian tentang literasi, secara garis besar literasi hadir dalam dua sisi: (1) konsepsi; dan (2) praksis (Gong & Irkham, 2012:vii).

Literasi macam apakah yang diperlukan untuk mampu membendung hoax? Dari sisi konsepsi, istilah literasi yang kerap dimunculkan untuk mengatasi penyebaran hoax adalah literasi informasi, literasi media, literasi digital, literasi internet, bahkan literasi online. Dari segi praksis, literasi untuk membendung hoax lebih banyak berbicara mengenai pendekatan atau metode yang paling efektif untuk membangun kapasitas literasi yang dimaksud. Strategi membendung hoax melibatkan semuanya, baik sisi konsepsi maupun praksis. Istilah literasi media, literasi digital, dan literasi informasi acap dimunculkan, kemungkinan karena semua istilah tersebut berhubungan langsung dengan hoax sebagai produk informasi yang disebarluaskan melalui medium digital.

Literasi informasi, dalam sejumlah kepustakaan, dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan,

302

Kolase Komunikasi di Indonesia

menyaring dan mengevaluasi informasi dan untuk membentuk opini yang kokoh berdasarkan kemampuan tersebut (Irianto, 2012:10). Literasi media, yang mengalami perkembangan pesat selama 30 tahun terakhir, didefinisikan sebagai “kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi isi pesan media (Aufderheide, 1993 dalam Guntarto, 2015:11).

Akses adalah kemampuan untuk mencari informasi dan menemukan pesan yang terdapat dalam sebuah media. Analisis mengacu pada proses untuk mengetahui tujuan si pembuat pesan media, untuk khalayak yang mana, bagaimana teknik konstruksi (pesan) yang digunakan, sistem symbol serta teknologi yang digunakan untuk membangun pesan tersebut. Analisis mencakup kemampuan untuk mengenali konteks politik, ekonomi, sosial dan sejarah di mana pesan media yang diproduksi dan diedarkan sebagai bagian dari sistem budaya. Evaluasi merujuk pada proses menilai kebenaran, keaslian kreativitas, atau kualitas dari pesan media yang ditemui, dan membuat penilaian (baik-buruk, benar-salah) tentang pesan media tersebut. Tahap berikutnya adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan dalam berbagai macam bentuk (menggunakan bahasa, fotografi, video, media online, dan lain-lain).

(Aufderheide, 1993 dalam Guntarto, 2015:11)

Informasi adalah muatan pesan dalam media. Media sendiri adalah sarana untuk menyampaikan informasi dalam berbagai bentuk. Digital/digitalisasi adalah hasil kemajuan teknologi telekomunikasi: bisa berupa platform, media, bentuk, bahkan budaya. Seiring dengan dominasi media digital dalam kehidupan sehari-hari, maka lahirlah kebutuhan Digital Literacy yaitu “an ability to use information and communication technologies, to find, evaluate, create, and communicate information, requiring both cognitive and technical skills (sebuah kecakapan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, guna menemukan, mengevaluasi, menciptakan dan mengomunikasikan informasi, yang membutuhkan keahlian kognitif maupun keterampilan teknis)” (ALA Digital Literacy Taskforce, 2011).

Kapasitas literasi digital tidak berdiri sendiri. Terdapat sejumlah literasi dan kapasitas lainnya yang terkait dengan literasi digital. Bertitik tolak dari kerangka kerja yang disediakan oleh Beetham & Sharpe (2010), Joint Information Steering Committee (JISC) yang berbasis

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

303

di Inggris memformulasikan literasi digital sebagai umbrella concept atau konsep payung yang terdiri dari 7 (tujuh) komponen lainnya, yaitu Media Literacy, Information Literacy, ICT Literacy, Communication & Collaboration, Digital Scholarship, Learning Skill, dan Career & Identity Management, sebagaimana tergambar dalam skema berikut ini.

Skema Unsur Esensial Digital Literacy versi JISC

Ketujuh unsur tersebut menjadi pondasi yang menguatkan digital literacy, tidak hanya untuk memberantas hoax, tetapi lebih jauh lagi, memfungsikan warga negara sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan yang mau tak mau telah memasuki Era Digital (JISC, 2014).

Guna menangkal hoax, vaksin Literasi Digital harus diperkuat dengan berbagai instrumen. Terkait dengan instrumen penegakan hukum, saat ini sudah muncul beragam aplikasi maupun program yang dikembangkan berbagai pihak guna menampung peran aktif masyarakat dalam menanggulangi hoax. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI melalui Ditjen Aplikasi Informatika (Aptika) menyosialisasikan program Trust+ Positif guna menyaring konten negatif.

Sistem TRUST+Positif menerapkan mekanisme kerja adanya server pusat yang akan menjadi acuan dan rujukan kepada seluruh layanan akses informasi publik (fasilitas bersama) serta menerima informasi – informasi atas fasilitas akses informasi publik

304

Kolase Komunikasi di Indonesia

untuk menjadi alat analisa dan profiling penggunaan internet di Indonesia.

(“Trust Positif!”, 23 Oktober 2013, www.kominfo.go.id)

Melalui aplikasi ini, Trust+ Positif membuka fasilitas pelaporan konten negatif yang terbuka bagi netizen, sekaligus mengembangkan database yang bisa dijadikan rujukan. Ide serupa juga dilansir oleh MAFINDO, melalui fitur turnbackhoax.id.

Selain sudah menggunakan protokol HTTPS, Turn Back Hoax kini memiliki fitur notifikasi. Fitur ini memungkinkan pengguna mendapatkan semua notifikasi serta pemberitahuan dari laporan yang sudah disampaikan ke Turn Back Hoax. Hal tersebut akan memudahkan pengguna mendapatkan pembaharuan mengenai hoax, berita bohong dan lain-lain yang dilaporkan ke Turn Back Hoax. Sementara itu notifikasi terhadap laporan yang sudah disampaikan tentunya memudahkan pengguna mendapatkan update dari laporan tersebut.(“Ini Fitur Terbaru Turn Back Hoax”, 26 Desember 2016, Berita Satu)

Di daerah, pemerintah setempat tidak tinggal diam. Melengkapi instrumen yang telah ada, Diskominfo Kota Bandung pada pertengahan Agustus 2017 merilis website SARING. Website ini adalah singkatan dari “Sok Atuh Laporkeun Situs Negatif ”, terdiri dari 5 tahapan dalam melaporkan konten Internet yang negatif. Dr. Ahyani Raksanegara, Kadiskominfo Kota Bandung, menjelaskan bahwa berdasarkan laporan masyarakat mengenai URL konten negatif, Kemenkominfo akan segera melakukan pemblokiran. Website SARING di-launching pada acara Bimbingan Teknis dan Outbond Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) sebagai simbol bahwa upaya mengatasi hoax wajib melibatkan upaya pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput (wawancara, 8 Agustus 2017). Kota Bandung merupakan contoh sebuah administrasi pemerintahan kota yang sigap menanggapi isu hoax mulai dari kampanye hingga advokasi.

Selain aplikasi untuk memfilter konten negatif, instrumen lain yang tidak kalah penting adalah fact checkers, atau database guna melakukan klarifikasi atas hoax yang beredar. Sumber-sumber fact checkers memiliki misi mengecek kebenaran fakta atau konsistensi antara fakta/realitas objektif (yang sesungguhnya), dengan informasi

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

305

yang terduga ‘hoax’. Sumber fact checkers menjadi rujukan situs anti hoax ketika sedang menelanjangi sebuah hoax. Jika di luar negeri, seperti AS, situs anti hoax dan fact checkers itu berbeda wadah (karena sejatinya, fungsinya juga berbeda), maka di Indonesia, resources yang mendedikasikan diri sebagai fact checkers masih terhitung minim, dan sedang berada dalam tahap mengembangkan diri.

Di negara-negara lain, fact checkers baik sebagai lembaga maupun database banyak digunakan sebagai rujukan. Snopes.com misalnya, banyak dijadikan rujukan untuk membongkar hoax politik semasa Pilpres AS 2017. Hingga sekarang, Snopes aktif membongkar hoax, mulai dari tudingan bahwa komentar Presiden Trump terhadap Korea Utara menyontek kalimat karakter Red Skull dalam komik Captain America (status: False) (http://www.snopes.com/fire-and-fury-comic-book-villain/), hingga pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin bahwa Korea Utara tidak memiliki persenjataan nuklir namun memiliki ‘trillions of mineral’ (status: Unproven) (http://www.snopes.com/vladimir-putin-north-korea-trillions-in-minerals/). Selain itu, ada pula FactCheck.org dengan fungsi yang sama, menjadi fact checkers. FactCheck.org adalah bagian dari proyek Annenberg for Public Policy Center, diperkuat oleh para relawan yang melacak kebenaran fakta yang viral di media sosial. Baik Snopes.com maupun FactCheck.org memiliki mekanisme crowdsourcing.

Di Indonesia, upaya menjadi fact checkers atau menjadi penyedia database guna mengklarifikasi berita atau informasi terduga hoax, sebenarnya telah dimulai sejak tahun lalu oleh sejumlah situs yang dikelola oleh komunitas-komunitas anti-hoax, seperti Indonesia Hoax Buster (IHB), Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), dan Indonesia Hoaxes Community (IHC). Di fanpage mereka masing-masing, publik dapat menanyakan kebenaran fakta sebuah informasi. Beberapa hoax ‘legendaris’ berhasil diungkap, seperti klaim kedatangan 10 juta tenaga kerja illegal asal China dan lambang palu arit dalam lembar uang kertas RI. Kendati demikian, forum yang terbentuk tidak sepenuhnya berfungsi sebagai fact checkers. Kadang bercampur pula dengan edukasi, sosialisasi kegiatan, dan lain-lain. Untuk itu, guna memfokuskan diri pada upaya mengembangkan fact checkers, FAFHH mengembangkan situs web turnbackhoax.id, yang mengarsipkan hasil diskusi grup Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di

306

Kolase Komunikasi di Indonesia

Facebook. Di bawah payung organisasi MAFINDO, ketiga komunitas anti-hoax juga dimungkinkan untuk bertukar hasil debunking hoax—sedikit banyak, ini juga berfungsi sebagai fact checkers yang lumayan komprehensif.

Pembahasan mengenai instrumen pelengkap strategi menangkal hoax, mengakhiri babak awal upaya mengembangkan body of knowledge tentang hoax di Indonesia dalam upaya mencari strategi anti hoax yang paling efektif. Body of knowledge mengidentifikasi poin-poin terpenting dalam sebuah isu disesuaikan dengan tujuannya. Dalam permasalahan hoax, body of knowledge menandai struktur pengetahuan yang perlu dikembangkan tentang permasalahan hoax di Indonesia.

PenutupSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tulisan ini hanyalah

sebuah stimulus. Menggunakan model Inokulasi sebagai logika gerakan anti hoax, maka konsep-konsep terpenting dari strategi yang akan dirancang telah dijelaskan. Pekerjaan selanjutnya adalah melakukan validasi atas pengalaman para aktivis dalam mengaplikasikan program anti hoax, baik dalam level penyadaran hingga advokasi. Lesson learned yang diperoleh akan memperkaya pembelajaran yang diperoleh, sehingga memberi kontribusi signifikan dalam memformulasikan strategi menangkal hoax.

Tak dapat dipungkiri, persoalan hoax di Indonesia adalah sebuah ‘flux’ yang dinamikanya luarbiasa—sebuah narasi yang tak kunjung mencapai titik akhir. Tanpa adanya body of knowledge tentang permasalahan hoax di Indonesia, dikuatirkan strategi melawan hoax akan mengambang karena didasarkan pada teori-teori dan konsep-konsep yang ‘asing’ dan tidak berpijak pada kenyataan di Indonesia. Tulisan ini baru menawarkan sebuah peta konsep berdasarkan aktivitas yang berlangsung selama ini. Peta konsep yang sangat sederhana ini hanya sebatas mengidentifikasi tipologi hoax, aktor terlibat, dan logika gerakan anti hoax berdasarkan salah satu model—model Inokulasi dalam hal ini adalah model protectionist. Dalam konteks gerakan literasi digital, masih banyak model lain yang bisa dieksplorasi dan diujicobakan sehingga kelak diperoleh strategi menangkal anti hoax yang paling efektif (000).

Santi Indra Astuti,Konstruksi Body of...

307

Daftar PustakaAlam, Fanny S. (2017). Hoax as A Threat Towards Nation’s Diversity: A

Challenge for Indonesian Government to Overcome It (A Case Study of Hoax Dissemination Regarding Tanjung Balai in 2016). Paper presented on IBRAF Conferences. Bandung, February 21st-23rd, 2017.

Allcott, Hunt & Gentzkow, Matthew. (2017). Social Media and Fake News in the 2016 Election. Journal of Economic Perspectives Vol 31, No. 2, Spring 2017.

Costello, Patrick J. M. (2003). Action Research. New York: Continuum.

Gong, Gola & Irkham, Agus M. (2012). Gempa Literasi: Dari Kampung Untuk Nusantara. Jakarta: KPG.

Guntarto, Bobi. (2015). Model Pendidikan Literasi Media di Indonesia (Studi Tentang Struktur Pengetahuan dan Keragaman Tujuan Pendidikan Literasi Media di Indonesia). Thesis. Jakarta: Pascasarjana Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia.

Iriantara, Yosal. (2009). Literasi Media: Apa, Mengapa, Bagaimana. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Jackson B, Compton J, Thornton AL, Dimmock JA (2017) Re-Thinking Anxiety: Using Inoculation Messages to Reduce and Reinterpret Public Speaking Fears. PLoS ONE 12(1): e0169972. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0169972

McDougall, Curtis D. (1941). Hoaxes. New York: Macmillan.

Merwe, Nicola van der. (2016). Fake News: the significance of false reporting in the South African media. Focal Points Research. https://www.newsclip.co.za/temp/fake-news-the-significance-of-false-reporting-in-the-south-african-media.pdf

Nickols, Sharon et.al. (2009). The Family and Consumer Sciences Body of Knowledge and the Cultural Kaleidoscope: Research Opportunities and Challenges. Family and Consumer Sciences Research Journal Vol. 37, No. 3, March 2009.

Pellegrini, Laura A. (2008). An Argument for Criminal Hoax. Dissertation. Faculty Of The Graduate School University Of Southern California.

Potter, James W. (2014). Media Literacy (7th ed.). Thousand Oaks, London: Sage Publication.

Rubin, Victoria L. , Chen, Yimin, & Conroy, Niall J. (2015). Deception Detection for News: Three Types of Fakes. Language and Information

308

Kolase Komunikasi di Indonesia

Technology Research Lab (LIT.RL) Faculty of Information and Media Studies University of Western Ontario, London, Ontario, Canada.

Silverman, Craig. (2015). Lies, Damn Lies, And Viral Content How News Websites Spread (And Debunk) Online Rumors, Unverified Claims, And Misinformation. Tow Center for Digital Journalism: A Tow/Knight Report.

Artikel Online

Hutchinson, Andrew. (2016). Fake News is a Problem on Facebook, but the Echo Chamber Effect is More Significant. www.socialmediatoday.com/technology-data/fake-news-problem-facebook-echo-chamber-effect-more-significant/

Richard A. Duschl, Heidi A. Schweingruber, and Andrew W. Shouse (eds). 2007. Taking Science To School: Learning and Teaching Science in Grades K-8. Washington, DC: National Academies Press. https://www.nap.edu/read/11625/

(Wikipedia https://en.wikipedia.org/wiki/Body_of_knowledge)

Developing Digital Literacies. https://www.jisc.ac.uk/guides/developing-digital-literacies

ALA Digital Literacy Taskforce, (2011) http://connect.ala.org/files/94226/

Berita Koran

FDWS Deklarasi Tolak Hoax. (15 Februari 2017). http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/02/15/fdws-deklarasi-tolak-hoax-393619

Mabes POLRI: Penyebar Hoax Diancam Hukuman 6 Tahun Penjara. (20 November 2016). https://m.tempo.co/read/news/2016/11/20/063821644/mabes-polri-penyebar-hoax-diancam-

Deretan Pasal dan Ancaman Pidana bagi Penyebar Hoax. (21 November 2016). http://www.viva.co.id/digital/digilife/850193-deretan-pasal-dan-ancaman-pidana-bagi-penyebar-hoax

Trust Positif! (23 Oktober 2013). https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3322/

Ini Fitur Terbaru Turn Back Hoax. (26 Desember 2016) http://www.beritasatu.com/iptek/406427-ini-fitur-terbaru-turn-back-hoax.html

Jerman Akan Denda Facebook Rp. 7 M untuk Satu Berita Hoax. (22 Desember 2016). https://www.tempo.co/read/news/2016/12/22/072829794/jerman-akan-denda-facebook-rp-7-m-untuk-satu-berita-hoax#yUSwZOUVtHg8Epyt.99