konstitusional dan inkonstitusional bersyarat ......baik konstitusional bersyarat maupun...

95
i KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI ( Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: N A N A S U P E N A NIM: 11140480000120 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1439 H /2018 M

Upload: others

Post on 01-Nov-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

i

KONSTITUSIONAL DAN

INKONSTITUSIONAL BERSYARAT

DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI

( Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

N A N A S U P E N A

NIM: 11140480000120

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H /2018 M

Page 2: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

ii

KONSTITUSIONAL

DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT

DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI

( Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

N A N A S U P E N A

NIM: 11140480000120

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H /2018

Page 3: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (
Page 4: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama Lengkap : Nana Supena

NIM : 11140480000120

Tempat, Tanggal Lahir : Ciamis, 17 Oktober 1994

Prodi/Fakultas : Ilmu Hukum/ Syariah dan Hukum

Alamat : Jalan Pancoran Barat XI A No. 13

Jakarta Selatan RT/RW 003/004 12780

No. Handphone : +62 8577 705 2281

Dengan ini, menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Juli 2018

NANA SUPENA

NIM. 11140480000120

Page 5: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

v

ABSTRAK

NANA SUPENA 11140480000120 KONSTITUSIONAL DAN

INKONSTITUSIONAL BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF

MAHKAMAH KONSTITUSI (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 130/PUU-XIII/2015), Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun

2018 M/1439 H, x + 81 Halaman + 4 Lampiran.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah tafsiran konstitusional dan

inkonstitusional bersyarat dalam perspektif Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini

bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan kaidah hukum dan dasar pertimbangan

hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemaknaan

tertentu di dalam sebuah pasal.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik

pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait objek

penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Hasil penelitian ini adalah bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

130/PUU-XIII/2015 memberikan temukan hukum baru. Hakim Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut inkonstitusional

dengan mensyaratkan suatu ketentuan berdasarkan penafsiran hukum. Dasar

pertimbangan hakim adalah tertundanya penyampaian SPDP (Surat Pemberitahuan

Dimulainya Penyidikan) oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum yang

menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak konstitusional terlapor dan

korban/pelapor. Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat

merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran

(interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian

dari undang-undang.

Kata kunci : Konstitusional Bersyarat, Inkonstitusional Bersyarat,

Mahkamah Konstitusi, Putusan 130/PUU-XIII/2015.

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1992 sampai Tahun 2016

Page 6: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu ‘alaihi Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di

akhirat kelak. Amiin.

Selanjutnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik secara

langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi

ini.

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah & Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan

menyelesaikan skripsi

4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H, Dosen Pembimbing, yang dengan

arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga peneliti bisa

menyelesaikan skripsi ini

5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

mengizikan saya untuk mencari dan meminjam buku – buku referensi dan

sumber – sumber data lainnya yang diperlukan.

6. Pihak­pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan

studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. memberikan

pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang

Page 7: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

vii

bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti

berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para

pembaca umumnya. Amiin

Jakarta, 11 Juli 2018

Peneliti,

Nana Supena

Page 8: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8

D. Metode Penelitian ............................................................................ 9

E. Sistematika Penulisan .................................................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG DEMOKRASI, KONSTITUSI,

NEGARA HUKUM, DAN YUDICIAL REVIEW

A. Kerangka Konseptual .................................................................... 15

1. Negara Hukum .......................................................................... 15

2. Kekuasaan kehakiman .............................................................. 17

3. Pengujian Undang – Undang .................................................... 21

4. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi ........................................ 23

B. Kerangka Teori .............................................................................. 26

1. Teori Demokrasi Konstitusional ............................................... 27

2. Teori Konstitusi ........................................................................ 29

3. Teori Konstiutsional dan Inkonstitusional Bersyarat................ 30

4. Teori Utilitarianisme ................................................................ 31

5. Teori Sosiological Jurisprudence ............................................. 34

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................. 36

Page 9: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

ix

BAB III EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Sejarah Perkembangan ................................................................ 40

B. Kedudukan .................................................................................. 44

C. Kewenangan ................................................................................ 46

D. Konsitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat dalam

Pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 .. 48

BAB IV KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT

PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

130/PUU-XIII/2015

A. Analisis dan Interpretasi Temuan Konstitusionalitas Pasal 14

Huruf b dan Huruf i, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan

Ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP................................................ 55

B. Tafsiran Inkonstitusional Bersyarat yang pada Pasal 109 ayat (1)

KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 ...... 62

C. Implikasi Putusan Inkonstitusional Bersyarat dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi 130/PUU-XIII/2015 ................................ 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 74

B. Rekomendasi ............................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77

LAMPIRAN – LAMPIRAN ............................................................................... 81

Page 10: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

x

DAFTAR LAMPIRAN

1. Halaman Depan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015

2. Halaman Belakang Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015

3. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi

4. Biografi Singkat Peneliti

Page 11: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi konstitusional merupakan demokrasi yang dibatasi oleh

aturan atau konstitusi. Pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang

dibatasi kekuasaannya dan tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang –

wenang terhadap warga negaranya. Konstitusi memberikan batasan -batasan

terhadap posisi dan peran atau wewenang pemerintah. Oleh karenanya, sering

dinamakan pula sebagai “pemerintahan yang berdasarkan konstitusi”. Jadi,

constitusional government sama dengan limitied government atau restrained

government. 1

Lahirnya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudisial yang

dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang – Undang

Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang sebelumnya tidak dapat

dilakukan.2 Lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk menjaga konstitusi,

Mahkamah Konstitusi tidak hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari

suatu undang-undang saja, selain itu berdasarkan Pasal 24 C UUD 1945

Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan lainnya yang berkaitan erat

dengan masalah – masalah politik dan ketatanegaraan seperti memutus

sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai

politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat

DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukam pelanggaran

hukum. Hal itu selaras dengan perkataan Katherine Glenn Bass dan Sujit

Choudry bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan – kewenangan

lainnya, “... disputes over the constitutions provisions often involve the most

sensitive political issues facing a country, including review of the country

1 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 223

2 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2011), h. 74.

Page 12: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

2

electoral laws and election, the powers of the various branches of government

and other questions.”3

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai pelaku

kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung yang dibentuk melalui

Perubahan Ketiga UUD NRI tahun 1945. Indonesia merupakan negara ke-78

yang membentuk MK. Pembentukan MK sendiri merupakan fenomena

negara modern abad ke-20.4 Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi

konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi tersebut berbeda dengan fungsi

yang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Fungsi MK dapat ditelusuri dari

latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi

konstitusi, oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam

peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri. Konstitusi dimaknai tidak hanya

sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan

moral konstitusi5, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi,

perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga

negara.6

Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia telah

menjadikannya sebagai salah satu sentral dalam diskursus hukum tata negara

Indonesia. Berdasarkan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa

kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD

NRI tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga penyeimbang

sesuai dengan prinsip check and balances. Sedangkan lewat kewenangan

menguji UU terhadap UUD NRI tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menjadi

3Katherine Glenn Bass and Sujit Choudry, Constitutional Review in New Democracies,

diunduh pada 17 Februari 2017 dari :

http://www.democracyreporting.org/files/dribp40_en_constitutional_review_in_new_

democracies_201309.pdf.

4Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2008) h. 5

5Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,... h. 10

6Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2013), h. 128

Page 13: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

3

penjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara serta melindungi

warga negara dari UU buatan legistator yang dapat menimbulkan kerugian

konstitusional. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)

menyebutkan setidaknya ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi

dibentuknya MK, yaitu (1) Sebagai implikasi paham konstitusionalisme; (2)

Mekanisme check and balances; (3) Penyelenggaraan negara yang bersih;

dan (4) Perlindungan terhadap hak asasi manusia.7

Kewenangan demikian membuat MK sering disebut sebagai penjaga

konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus melekat sebagai penafsir

konstitusi (the sole interpreter of constitution). Keberadaan MK menjadi

perwujudan salah satu unsur dari doktrin Rule of Law, yaitu adanya suatu

peradilan tata negara (constitutional court).

Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan Peradilan Tata

Negara (Constitutional Court) merupakan salah satu unsur dari doktrin

Negara Hukum yang disamakan dengan Rule of Law atau Rechtsstaat. Selain

Peradilan Tata Negara, Jimly menyebutkan ada 11 (sebelas) unsur lainnya,

sehingga semua unsur itu berjumlah 12 (duabelas).

Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI tahun 1945 dan Pasal 10

ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8/2011 perubahan atas UU No. 24/2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengatur tentang wewenang MK. Pada intinya MK

memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban.

1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD NRI tahun1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

7 A. Fickar Hadjar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta : KRHN dan Kemitraan 2003), h. 3.

Page 14: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

4

2. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang dapat

bervariasi yakni mulai dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga

tidak dapat diterima. Terdapat perkembangan baru dalam putusan MK

sebagai ijtihadnya untuk menegakan hukum dan keadilan. Putusan tentunya

memiliki konsekuensi tersendiri. Misalkan putusan yang amarnya

mengabulkan permohonan, berimbas pada batalnya suatu norma dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, putusan tersebut tidak

dapat dilepaskan dari asas erga omnes yang memiliki kekuatan mengikat

secara hukum terhadap seluruh komponen bangsa, sehingga semua pihak

harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.8

Salah satu jenis putusan yang menarik adalah putusan yang amar

putusannya “ditolak” dan “dikabulkan” tetapi dalam pertimbangan hukumnya

memberikan syarat konstitusionalitas. Konstitusional bersyarat adalah9

putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak bertentangan

dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan kepada lembaga negara

dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk memperhatikan penafsiran MK

atas konstitusionalitas ketentuan UU yang sudah diuji tersebut. Sedangkan

inkonstitusional bersyarat adalah10 suatu putusan dikabulkan dan dinyatakan

bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan

8Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), (Jakarta : Pusat Penelitian dan

Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan komunikasi Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, 2013), h. 4

9 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h.8

10 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012),... h.9

Page 15: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

5

hukum dengan memberikan suatu persyaratan berdasarkan penafsiran hakim

konstitusi sehingga menjadi konstitusional dengan syarat yang diberikan oleh

Makhamah Konstitusi. Pemberlakuan pasal atau undang – undang tersebut

berlaku sampai pasal atau undang – undang tersebut direvisi.

Kajian ini mencoba memaparkan sebuah deskripsi implikasi hukum

putusan inkonstitusional bersyarat dalam putusan MK No. 130/PUU-

XIII/2015, identifikasi konstitusionalitas Pasal Pasal 14 huruf b dan huruf i,

Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 139 KUHAP,

dan menjelaskan tafsiran inkonstitusional bersyarat pada Pasal 109 ayat (1)

KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi pada putusan MK No.

130/PUU-XIII/2015. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini

menggunakan pendekatan konsep (conceptualy approach).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015,

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materil

Chocky Risda Ramadhan, dkk, para pemohon merasa Pasal 14 huruf b dan

huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 139

KUHAP telah menyebabkan tidak terwujudnya sistem peradilan pidana yang

menjungjung tinggi hak asasi manusia. Tidak terkontrolnya subjektifitas

penyidik dalam melaksanakan kewarganegaraannya, tidak efektifnya

koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum, serta tidak

maksimalnya peranan penuntut umum dalam meneliti hasil penyidikan

membuat para pemohon merasa dirugikan secara konsitusional. 11

Ada pandangan bahwa putusan Mahkamah Kosntitusi itu mempunyai

kedudukan yang setara dengan Undang-Undang sehingga kekuatan

hukumnya juga sama dengan Undang-Undang. Namun kesetaraan itu adalah

dalam konteks pemahaman akan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai

negative legislator bukan pembentuk undang-undang seperti DPR (Positive

legislator). Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah berkali-kali

menyatakan suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat ataupun

11 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, h. 3 – 5

Page 16: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

6

inkonstitusional bersyarat yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu

terhadap suatu norma Undang-Undang untuk dapat dikatakan konstitusional,

yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka undang - undang yang

dimaksud adalah inkonstitusional. Berdasarkan latarbelakang diatas, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :

KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT

DALAM PERSPEKTIF MAHKAMAH KONSTITUSI :

ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 130/PUU-XIII/2015

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, peneliti

mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :

a. kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penguji undang-

undang terhadap UUD NRI tahun 1945 harus

diimplementasikan.

b. Judicial review undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana ke Mahkamah Konstitusi atas ketentuan

Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat

(1) dan ayat (2), serta pasal 139 KUHAP perlu diujikan.

c. Konstitusional dan Inkonstitusional Bersyarat dalam putusan

dalam eksekusinya belum optimal.

d. Karakteristik Konstitusional Bersyarat dan Inkonstituional

Bersyarat dalam Pengujian Undang – Undang terhadap

Undang – Undang Dasar 1945 perlu diidentifikasi.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka

penelitian ini akan dibatasi pada aspek tafsiran Inkonstitusional

Bersyarat Mahkamah Konstitusi pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, dengan

rincian sebagai berikut :

Page 17: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

7

a. Konstitusional bersyarat dibatasi pada putusan yang

menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak bertentangan

dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan kepada

lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk

memperhatikan penafsiran MK.

b. Inkonstitusional bersyarat dibatasi pada putusan yang

dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI

tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum dengan

memberikan suatu persyaratan berdasarkan penafsiran hakim

konstitusi.

c. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudisial yang

dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang

– Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945

d. Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tentang Uji Materiil

undang – undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

e. Data yang diteliti dibatasi pada data tahun 1992 sampai tahun

2016

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang identifikasi dan batasan

masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai

berikut:

Bagaimana implikasi hukum putusan inkonstitusional

bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi 130/PUU-

XIII/2015 ?

Selanjutnya pertanyaan penelitian dalam skripsi ini dapat dirinci dengan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimana konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i,

Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal

139 KUHAP?

Page 18: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

8

b. Bagaimana tafisran inkonstitusional bersyarat pada Pasal 109

ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi

dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-

XIII/2015 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun Tujuan Penulisan yaitu :

a. Untuk mendeskripsikan implikasi hukum putusan

inkonstitusional bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi

130/PUU-XIII/2015

b. Untuk mengidentifikasi konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan

huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), serta

pasal 139 KUHAP

c. Untuk menjelaskan tafisran inkonstitusional bersyarat pada Pasal

109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi

dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015

2. Penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan sebagai tambahan dokumentasi segi

hukum dalam rangka membahas tentang konstitusionalitas Pasal

14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan

ayat (2), serta pasal 139 KUHAP. Dan membahas tafsiran

Inkonstitusional Bersyarat pada Pasal 109 ayat (1) yang dibangun

oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum

kelembagaan negara dan praktisi ketatanegaraan dalam

menganalisis tafsiran inkonstitusional bersyarat dalam Pengujian

Undang – Undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945

Page 19: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

9

D. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat

memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan

dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu,

maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian

hukum adalah pendekatan undang – undang ( Statute Approach) dan

pendekatan konseptual (Conceptual Approach).12

2. Jenis Penelitian

Adapun corak penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif dan penelitian verifikatif, jenis penelitian ini

digunakan untuk menguji suatu tafsiran inkonstitusional bersyarat

dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015

3. Data Penelitian

Data penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data

primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti

untuk maksud khusus menyelesaikan permasalahan yang sedang

ditanganinya. Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari

sumber pertama atau tempat objek penelitian dilakukan semisal berupa

ungkapan – ungkapan verbal yang didapat dari berbagai sumber.

Sedangkan data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk

maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. 13 Dalam

penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah Undang –

Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal serta berbagai

pemikiran para pakar hukum sebagai sumber informasi yang berkenaan

dengan penelitian yang dilakukan.

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

Cet. II, 2006), h. 93

13 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2009,

Cet. Ke 8, h. 137

Page 20: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

10

4. Sumber Hukum

Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa

data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:14

a. Bahan hukum primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan

ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer

dalam tulisan ini di antaranya yaitu : pertama, Undang – Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, Undang –

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang –

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

ketiga, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Hukum Acara Pidana, keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor Nomor 130/PUU-XIII/2015

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, jurnal, hasil

karya dari kalangan hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa

sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan

seterusnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data pada dasarnya tergantung dari jenis

datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data

sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan

menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari

berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.15

14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, Edisi I, Cet. XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 13

15 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004), h. 163

Page 21: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

11

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi

pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan guna

mengklarifikasikannya dengan masalah yang dikaji. Penelitian ini

adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang

meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem

norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta

doktrin (ajaran).16

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian

doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis

hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book),

maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law it is decided by the judge through judicial process)17. Penelitian

hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan

menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis

normatif-kualitatif.18

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang

merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.19 Logika

keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif,

yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

6. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang djadikan adalah putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Materiil

16 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31

17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2006), h. 118

18 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2003), h. 3

19 J Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM

Press, 2007) h. 57

Page 22: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

12

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) Pasal 14 huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138

ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 139 KUHAP.

Sumber lainnya yang akan dijadikan sebagai bahan penunjang

dan pelengkap penulisan karya ilmiyah ini didasarkan pada penelitian

untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat, kemudian

dikembangkan untuk dapat menemukan solusi dan penguat teori atau

permasalahan yang sedang dialami.

7. Teknik pengelolaan data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian

dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode

deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan

membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan

menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik

dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan

tujuan penelitian yang telah dirumuskan.20

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun

secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang Inkonstitusional

Bersyarat dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015.

Analisis data dilakukan secara kualitatif21, yaitu dengan cara

penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku,

menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil

kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.

8. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017".

20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada,1997), h. 71

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 32

Page 23: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

13

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab

terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan

cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-

masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Yang meliputi : latar belakang masalah,

identifikasi, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG

DEMOKRASI, KONSTITUSI, NEGARA

HUKUM, DAN YUDICIAL REVIEW

Dalam bab ini akan dibahas mengenai kajian

pustaka. Ada dua jenis kajian pustaka, yaitu

kajian teoritis dan (review) Kajian Terdahulu.

Dengan diawali pemaparan kerangka konsep agar

tidak tumpang tindih pembahasannya.

BAB III EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI

Dalam bab ini akan membahas meliputi : sejarah

pertumbuhan Mahkamah Konstitusi, kedudukan

Mahkamah Konstitusi, kewenangan Mahkamah

Konstitusi dan Putusan Konsitusional dan

Inkonstitusional Bersyarat dalam Pengujian

Undang – Undang terhadap UUD NRI tahun

1945

Page 24: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

14

BAB IV KONSTITUSIONAL BERSYARAT DAN

INKONSTITUSIONAL BERSYARAT PADA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 130/PUU-XIII/2015

Dalam bab ini akan dibahas mengenai Analisis dan

Interpretasi Temuan Konstitusionalitas Pasal 14

huruf b dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138

ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 139 KUHAP. Dan

membahas tafsiran inkonstitusional bersyarat yang

dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-

XIII/2015

BAB V PENUTUP

Berisi kesimpulan dan rekomendasi hasil

penelitian tentang tafsiran inkonstitusional bersyarat

yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 130/PUU-

XIII/2015

Page 25: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG DEMOKRASI, KONSTITUSI,

NEGARA HUKUM, DAN YUDICIAL REVIEW

A. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan judul penelitian

ini dan sebagai pijakan penulis dalam penelitian ini serta untuk membantu

penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menyediakan

konsep-konsep sebagai berikut:

1. Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 (UUD NRI tahun 1945) menegaskan bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. UUD NRI

tahun 1945 merupakan sumber dari hukum positif yang berlaku di

Indonesia. Dengan munculnya konsep rechstaat dari Freidrich Julius

Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant. Menurut Stahl unsur-unsur

negara hukum (rechstaat)22 adalah 1). Perlindungan Hak-hak Asasi

Manusia; 2) Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan untuk menjamin

hak-hak itu.

Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia merupakan

terjemahan langsung dari rechtsstaat. Hal serupa dikemukakan oleh

Notohamidjojo bahwa, dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang

dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad ke IX itu, maka

timbul juga istilah negara hukum atau rechtsstaat. Di negara-negara

Eropa Barat, di Inggris sebutan bagi negara hukum (rechtsstaat) adalah

the rule of law, di Amerika Serikat diucapkan sebagai government of

law, ut not man.23

Istilah rechtsstaat dan istilah etat de droit dikenal di Negara-

negara Kontinental, sementara di Negara Anglo Saxon menggunakan

22 Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara,( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 3.

23 A Salman Maggalatung, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara

Kekuasaan Otoriter, (Jurnal Salam, 2015), h. 3

Page 26: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

16

istlah the rule of law. Sedangkan istilah socialist legality dikenal di

negara yang berpaham komunis. Inggris, Amerika dan negara-negara

lain yang mengikuti pola bernegaranya menolak adanya suatu

pengadilan khusus seperti halnya pengadilan adminstrasi dalam Negara

Hukum. Mereka mengutamakan persamaan dalam hukum sehingga

tidak perlu ada pembedaan dalam forum pengadilan. Selain itu,

Muhammad Yamin berpendapat bahwa, Republik Indonesia ialah

suatu negara hukum (rechtsstaat government of laws) tempat keadilan

yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat

polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula

negara kekuasaan (rechtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan

badan melakukan sewenang-wenang.24

Menurut Philipus M. Hadjon (1987) prinsip negara hukum

adalah melakukan perlindungan hidup bagi rakyat terhadap tindak

pemerintahan. Ia mengaitkan dengan prinsip pengakuan dan

perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Pengakuan dan

perlindungan hak – hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat

dikatakan sbeagai tujuan daripada negara hukum, sebaliknya dalam

negara totaliter tidak ada tempat bagi Hak Asasi Manusia.25 Prinsip –

prinsip negara hukum, yaitu :26

1) Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh

pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang

yang merupakan peraturan umum. Kemauan undang-undang

itu harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari

tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan

berbagai jenis tindakan yang tidak benar, pelaksanaan

24A Salman Maggalatung, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara

Kekuasaan Otoriter, ... h. 3-4

25 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara

Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media, 2013), h.7

26 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : UII-Press, 2002), h. 8 – 10.

Page 27: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

17

wewenang oleh organ pemerintah harus dikembalikan

dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang

formal;

2) Perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM);

3) Keterikatan pemerintah pada hukum;

4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan

hukum; dan

5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka dalam hal organ-organ

pemerintah melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan

hukum.

Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa negara hukum itu haruslah

demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas hukum.

Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat horizontal gagasan demokrasi

yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) mengandung 4

(empat) prinsip pokok, yaitu:27

1) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan

bersama;

2) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau

pluralitas;

3) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan

bersama; dan

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan

mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks

kehidupan bernegara, dimana terkait pula dimensi-dimensi

kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi negara dengan

warga negara.

2. Kekuasaan kehakiman

Salah satu materi muatan atau bidang yang diatur dalam

bidang UUD NRI tahun 1945 adalah mengenai kekuasaan kehakiman.

27 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia Baru,

Kapita Selekta Teori Hukum, (Jakarta: FH-UI,2000), h. 141 – 144.

Page 28: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

18

Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting dari

negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainya

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan

keadilan 28

Pembagian kekuasaan negara kedalam lembaga-lembaga

negara juga sejalan dengan logika demokrasi yang menghendaki

diferensiasi peran antarlembaga negara dan situasi saling mengawasi

antarlembaga negara guna menghindari pemusatan dan

penyalahgunaan kekuasaan, pengaturan dan pembatasan kekuasaan

itu juga menjadi ciri konstitusionalisme dan juga merupakan tugas

dari konstitusi sehingga kemungkinan kesewenangwenangan

kekuasaan dapat dikendalikan.29

Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan

sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik

seperti Legislatif dan Presiden serta memiliki hak untuk menguji

yakni hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak menguji

meteril (materiele toetsingrecht).30

kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah berhubung dengan hal

itu harus termaktub dalam Undang-Undang tentang kedudukan para

hakim, bila dihubungkan dengan asas negara hukum maka adanya

badan pemegang kekuasaan kehakiman seperti Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi tak lain sebagai penegasan bahwa Indonesia

adalah negara hukum. Seperti diketahui syarat sebagai negara hukum

ialah adanya peradilan yang bebas dan tidak terpengaruh kekuasaan

28 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Bhuana

ilmu populer, 2007), h 512

29 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2010), h. 138

30 Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,

2001) h.23

Page 29: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

19

lain serta tidak memihak, yang berwenang memeriksa dan mengadili

serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan

kepadanya untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan

peraturan perundang-undangan.31 Dalam usaha untuk memperkuat

prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti suatu Kekuasaan

yang berdiri sendiri dan tidak dalam intervensi dari kekuasaan lainya

dalam menjalankan tugasnya untuk menegakan hukum dan keadilan32

Terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan

jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan

dalam amandemen UUD NRI tahun 1945 tidak hanya menyebutkan

secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka, Pasal 24 Ayat

(1) UUD NRI tahun 1945 menegaskan bahwa : “...kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.”

Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD NRI tahun 1945

mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD NRI

tahun 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki

integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum Khusus untuk menjaga kemandirian

dan integritas hakim, amandemen UUD NRI tahun 1945 juga

memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial namun

apakah kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi telah berjalan tanpa intimidasi dari

lembaga lain.

31 Moh mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2000), h. 11

32 Sudarsono. Kamus Hukum, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,1992), h. 27

Page 30: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

20

Menurut Bagir manan, Kekuasaan Kehakiman memang

lemah dibandingkan dengan kekuasaan legislatif karna secara

konseptual tatanan politik. Dalam kenyataan yang terjadi kehakiman

selalu tidak berdaya menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar

kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap utuh atau tanpa campur

tangan pihak/lembaga lain serta sistem administrasi, misalnya

anggaran belanja. Selama sistem anggaran belanja kekuasaan

kehakiman tergantung pada kebaikan hati pemerintah sebagai

pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan

kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan.33

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu

prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam

Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and

Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary

menjadi empat hal yaitu34:

1) Substantive independence (independensi dalam memutus

perkara);

2) Personal independence (misalnya adanya jaminan masa kerja

dan jabatan);

3) internal independence (misalnya independensi dari atasan dan

rekan kerja) dan

4) collective independence (misalnya adanya partisipasi

pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam

penentuan budget pengadilan).

Kemudian independensi yang tak kalah pentingnya ialah

kebebasan atau kemerdekaan hakim dalam menfsirkan hukum, karna

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu instrumen dalam

33 Saldi Isra, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah

Agung, (Jakarta: Jurnal Nasional, 2010) h. 4

34 Saldi Isra, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah

Agung,... h. 6

Page 31: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

21

menjalankan Kekuasaan Kehakiman memiliki suatu putusan yang

bersifat final, hal ini tentunya tidak ada upaya hukum lain maka

pembatasan dan pemantauan Mahkamah Konstitusi agar tujuanya

tidak keluar dari tujuan utama penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

yakni menegakan hukum dan keadilan.35

Demikian hal tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka

menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau

paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan

lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar

peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi

keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani sulit memang tapi

bukanlah merupakan yang hal tak mungkin bagi tegaknya

Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.

3. Pengujian Undang – Undang

Adanya sebuah pengujian undang-undang atau yang biasa

disebut dengan judicial review adalah ketika munculnya putusan

Mahkamah Agung Amerika Serikat atas kasus Marbury vs Madison

pada tahun 1803. Pada saat itu hakim Mahkamah Agung Amerika

Serikat yang diketuai oleh John Marshal membatalkan ketentuan

dalam Judiciary Act 1789 karena bertentangan dengan Konstitusi

Amerika Serikat, padahal pada waktu itu didalam undang - undang

maupun konstitusi Amerika tidak ada yang menyatakan atau

memberikan kewenangan judicial review kepada Mahkamah Agung,

akan tetapi hakim Marshal berpendapat bahwa keputusan tersebut

adalah kewajiban konstitusional mereka berdasarkan sumpah hakim

untuk menjaga dan menjunjung tinggi konstitusi.36

35 Zulkarnain Rildwan, dalam Jurnal Konstitusi, Kompetensi Hakim Konstitusi dalam

penafsiran konstitusi (Jakarta: MK, 2011), h. 85

36 Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan MKRI 2010) h.5

Page 32: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

22

Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maruarar

Siahaan bahwa konstitusi harus dianggap dan diperlakukan superior

dari undang-undang biasa, serta tidak adanya kepercayaan terhadap

lembaga peradilan biasa untuk menegakkan konstitusi yang demikian

itu, sehingga Hans Kelsen merancang sebuah Mahkamah khusus

untuk negara Austria pada tahun 1920 yang terlepas dari lembaga

peradilan biasa untuk mengawasi peraturan perundang-undangan dan

membatalkannya jika bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” Setelah perang dunia

kedua, ide tersebut berkembang ke seluruh Eropa. 37

Menurut Jimly Asshidiqie, ada tiga macam norma hukum

yang dapat diuji atau disebut dengan norm control mechanism. Tiga

macam norma tersebut merupakan produk dari keputusan hukum,

yaitu :38

a. pengaturan (Regeling),

b. penetapan (Beschikking) dan

c. penghukuman (vonis)

Jenis norma hukum tersebut dapat dikelompokan dalam norma

yang individual dan konkrit yang tergolong norma jenis tersebut yaitu

penetapan dan penghukuman (Beschikking and vonis) serta umum dan

abstrak yang tergolong jenis ini adalah pengaturan (regeling).

Menurut Hans Kelsen hubungan antara norma yang mengatur

pembuatan norma lain dengan sumber norma yang lebih tinggi disebut

dengan hubungan super dan sub-ordinasi, ini berarti norma yang

menjadi dasar pembentukan norma lain adalah superior sedangkan

norma bentukannya adalah inferior, pembentukan suatu peraturan

37 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2011), h. 3.

38 Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta:

Kompress,2005), h.1

Page 33: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

23

dengan berdasar pada norma yang lebih tinggi menjadi validitas dalam

satu kesatuan.39

4. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Di atas sudah disinggung, berdasarkan Pasal 24C ayat (1)

UUD NRI tahun 1945, putusan MK itu memiliki sifat:

a. merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir,

sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum atau perlawanan

hukum; dan

b. bersifat final (legaly binding), maksudnya putusan MK

mengikat sebagai norma hukum sejak diucapkan dalam

persidangan. Dan jenis dari amar putusan MK terdiri dari tiga

jenis, yaitu: Ditolak (ontzigd), Dikabulkan, atau Tidak dapat

diterima (niet onvankelijk verklaard).

Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar

putusan MK memiliki sifat declaratoir, condemnatoir dan

constitutif.40 Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan

tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk

melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat

dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada

penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap

penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat

dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara.

Putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim

menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang

menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu

putusan yang bersifat declaratoir.41 Putusan yang bersifat declaratoir

dalam pengujian undang - undang oleh MK nampak jelas dalam amar

39 Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum, diterjemahkan oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali

Safa’at, (Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2006), h. 110

40 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2006), h. 240 – 242.

41 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 241.

Page 34: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

24

putusannya. Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya

yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal

bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang

bersifat constitutief.

Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu

keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru.

Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat karena bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 adalah

meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 42

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-

undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK

meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru

sebagai negative legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu

aparat yang melakukan pelaksanaan putusan MK.43

Lebih lanjut Maruarar menyatakan bahwa putusan MK sejak

diucapkan di Pengadilan memiliki 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1)

kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan

eksekutorial.44 Hal ini dijelaskan sebagai berikut:

a) Kekuatan Mengikat

Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi,

berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya

meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu

pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang

diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga

mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang

ada di wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum

42 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 242

43 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 250

44 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 252

Page 35: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

25

sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang.

Hakim MK dikatakan sebagai negative legislatoir yang

putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua

orang.45

b) Kekuatan Pembuktian

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

Perubahan atas Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi

muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang

telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan

demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah

menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat

digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van

gewijsde).

Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan

bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan

yang sebelumnya pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi

putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian

yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak

dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan

Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan tetap demikian

dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara

positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.

c) Kekuatan Eksekutorial

Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator

dan putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak

memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan

amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu

45 . Fickar Hadjar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan 2003), h. 34

Page 36: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

26

dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Untuk

itu, putusan Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita

negara agar setiap orang mengetahuinya.

B. Kerangka Teori

Terminologi “teori” adalah istilah yang dialihbahasan dari

terminologi “Theory” dikaitkan dengan temuan hasil penelitian

sebagaimana teori atom yang pada awalnya merumuskan bahwa apa yang

disebut atom adalah materi yang tersusun atas partikel-partikel kecil.

Sebagai temuan dalam penelitian, setiap teori berkembang seiring dengan

perjalanan waktu, sehingga sangat dimungkinkan suatu teori yang berlaku

akan dapat terbantahkan oleh temuan penelitian yang baru dan bantahan itu

akan dapat melahirkan dan menyempurnakan teori yang ada.46

Teori dapat dipandang sebagai paradigma, yaitu sesuatu fokus

dalam lokus tertentu, atau dapat pula diartikan sebagai hasil perkembangan

ilmu pengetahuan sebagai akibat dari terjadinya anomali, suatu kondisi

dimana ilmu pengetahuan sudah tidak dapat memecahkan persoalan yang

terjadi dan dapat pula dipandang sebagai suatu prespektif atau pendekatan,

sesuatu hal yang dipandang dari sudut pandang tertentu. 47 Adapun tujuan

teori adalah sebagai berikut:48

a. Teori mempersempit/membatasi ruang atau kawasan dari fakta yang

akan kita pelajari

b. Teori menyarankan sistem pendekatan penelitian yang disukai untuk

mendapatkan makna yang sesungguhnya

c. Teori menyarakan sistem penelitian yang memungkinkan untuk

meng-impose data sehingga diklasifikasikan dalam jalan yang lebih

bermakna.

46 Faried Ali, Teori dan Konsep Administrasi (Dari Pemikiran Paradigmatik dan Menuju

Redefinisi), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1-2

47 Faried Ali, Teori dan Konsep Administrasi (Dari Pemikiran Paradigmatik dan Menuju

Redefinisi),... h. 3

48 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2014),

h. 23-24

Page 37: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

27

d. Teori merangkum suatu pengetahuan tentang sebuah objek kajian

dan pernyataan yang tidak diinformasikan yang di luar observasi

yang segera

Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori adalah suatu skema atau

sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasaan atau

keterangan dari kelompok fakta atau fenomena atau suatu pernyataan

tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab

sesuatu yang diketahui atau diamati.

Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh

berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide

yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia

adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimanan dunia

itu bekerja.49

Teori sangat berguna untuk kerangka kerja penelitian, terutama

untuk mencegah praktek-praktek pengumpulan data yang tidak memberikan

sumbangan bagi pemahaman peristiwa. Adapun teori yang digunakan

sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teori Demokrasi Konstitusional

Kata “Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti

rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat

diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal

sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu

negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan

warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara

tersebut. 50

49 H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan, dan

Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama 2007), h. 22

50 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 219

Page 38: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

28

Sedangkan kata konstitusional muncul dari bahasa Perancis,

yaitu constituer berarti membentuk, yang dimaksud ialah membentuk

suatu negara, dalam bahasa Inggris dipakai istilah constitution yang

dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi, dalam praktek dapat berarti

lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga

yang menyamakan dengan Undang-Undang Dasar (Dahlan Thaib,

2008 : 7).

Kata konstitusi dalam bahasa Latin merupakan gabungan dari

dua kata, yaitu cume adalah sebuah reposisi yang berarti bersama

dengan……., dan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata

kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu maka kata statuere

mempunyai arti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/

menetapkan (Dahlan Thaib, 2008 : 7).

Pengertian konstitusi menurut bahasa Perancis, bahasa Inggris

dan bahasa Latin, pada intinya adalah suatu ungkapan untuk

membentuk, mendirikan/menetapkan, lebih lanjut dikenal dengan

maksud pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu negara,

maka dengan kata lain secara sederhana, konstitusi dapat diartikan

sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara,

yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang

bersangkutan (Jazim Hamidi, 2009 : 87).51

Dapat disimpulkan bahwa demokrasi konstitusional adalah

demokrasi yang terbatasi oleh aturan atau konstitusi. Dalam hal ini,

pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang dibatasi

kekuasaannya dan tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang –

wenang terhadap warga negaranya karena konstitusi memberikan

batasan – batasan terhadap posisi dan peran atau wewenang pemerintah.

51 M. Agus Santoso, Perkembangan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta :Jurnal Yustisia Vol.2

No.3 September - Desember 2013), h. 120

Page 39: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

29

Wewenang atau peran pemerintah dalam menguji Undang –

Undang terhadap Undang – Undang Dasar Tahun 1945 diberikan

wewenangnya kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan batasan

konstitusi.

2. Teori Konstitusi

Secara etimologis antara kata “konstitusi”, “konstitusional”,

dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau

penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan

mengenai ketatanegaraan ( Undang – Undang Dasar, dan Sebagainya),

atau undang – undang dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala

tindakan didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan

(kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya

dengan konstitusionalisme, yaitu suatu faham mengenai pembatasan

kekuasaan dan jaminan hak – hak rakyat melalui konstitusi.52

Istilah konstitusi berasal dari Perancis (Consituer) yang berarti

membentuk. Pemakauan istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah

pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu

negara. Sedangkan istilah undang – undang dasar merupakan

terjemahan istilah yang dalam bahasa belandanya Gronwet. Perkataan

wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Undang – Undang, dan

grond berarti tanah/dasar.

Di negara – negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai

bahasa nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa

Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktiknya

dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang – Undang Dasar.

Kata konstitusi dalam bahasa Latin merupakan gabungan dari

duat kata yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang

berarti “ bersama dengan...”, sedangkan statuere berasal dari kata sta

yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar

52 Tim Penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Balai Pustaka Edisi kedua, 1991), h. 521

Page 40: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

30

itu, kata statuere mempunyai arti “ membuat sesuatu agar berdiri atau

mendirikan/menetapkan. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio)

berarti menerapkan sesuatu secara bersama – sama dan bentuk jamak

(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.

Menurut E.CS Wade dalam bukunya Constitutional Law

Undang – Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan

tugas – tugas pokok dari badan – badan pemerintahan suatu negara dan

menentukan pokok – pokoknya cara kerja badan – badan tersebut. Jadi

pada pokoknya dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam

suatu Undang – Undang Dasar.53

3. Teori Konstiutsional dan Inkonstitusional Bersyarat

Konstitusional bersyarat merupakan suatu putusan dalam

amarnya menyatakan bahwa undang-undang dinyatakan konstitusional

atau tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dengan

ditambahkannya ketentuan atau syarat yang ditentukan oleh Mahkamah

Konstitusi atau dengan kata lain putusannya ditolak karena dianggap

tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Sehingga dapat

dipahami bahwa undang – undang tersebut dinyatakan konstitusional

jika dipahami sesuai dengan syarat yang diberikan oleh hakim

konstitusi yang dinyatakan dalam amar putusannya, ini berarti bahwa

permohonan yang diajukan ditolak dengan catatan.54

Hasil penelitian menunjukan putusan konstitusional bersyarat

yang pertama kali dimuat pada bagian amar putusan yakni dalam

Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 bertanggal 1 Juli 2008 tentang

pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu

53 Dahlan Thaib, Jazim Hamii, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:

PT.RajaGrafindo Persada 2004), h. 7 - 9

54 Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik Putusan

Bersyarat Mahkamah Konstitusi, (Jurnal Konstitusi, 2016), h. 359

Page 41: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

31

DPR, DPD, dan DPRD). MK dalam amar putusannya menyatakan

Pasal a quo tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat

domisili di provinsi yang akan diwakilinya. Untuk putusan-putusan MK

selanjutnya yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum

sampai dengan tahun 2012 yang amar putusannya menyatakan

mengabulkan permohoan baik sebagian maupun seluruhnya dan dapat

dikategorikan sebagai konstitusional bersyarat, dari hasil penelitian

ditemukan sebanyak 4 putusan, yaitu Putusan Nomor 147/PUU-

VII/2009 bertanggal 30 Maret 2010, Putusan Nomor 147/PUU-

VII/2009 bertanggal 30 Maret 2010, Putusan Nomor 49/PUU VIII/2010

bertanggal 22 September 2010, Putusan Nomor 115/PUU-VII/2009

bertanggal 10 November 2010.55

Inkonstitusional Bersyarat merupakan suatu putusan

permohonannya dinyatakan dikabulkan dengan menyatakan bahwa

undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang – Undang Dasar

1945 dengan catatan bahwa norma yang bersangkutan dipandang

inkonstitusional karena alasan tertentu atau adanya persyaratan tertentu

yang ditafsirkan oleh hakim. Jika tidak demikian, maka norma yang

bersangkutan dipandang masih konstitusional. Contoh Putusan

inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitutional) adalah

Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal pengujian Undang-Undang

nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD NRI tahun 1945.

4. Teori Utilitarianisme

Utilarianisme atau utilism merupakan aliran Filsafat Hukum.

Filsafat Hukum sebagai Ajaran Ilmu dari Teori Hukum dan sebagai

Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan

dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasaan lebih jauh,

55 Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan

Tahun 2003-2012, ... h.8

Page 42: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

32

mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan

- kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai objek studi.56

Utilarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri –

ciri metafisis dan abstrak dari Filsafat Hukum dan Politik pada abad

ke – 18. Aliran ini adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan di sini

sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai

kebahagiaan (happines). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu

hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan

kebahagiaan kepada manusia atau tidak.

Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap

individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak

mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak

mungkin individu dalam masyarakat atau bangsa tersebut. (the

greatest happines for the greatest number of people).

Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam

positivisme hukum, mengingat paham ini pada akhirnya sampai pada

kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban

masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar –

besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum

merupakan pencerminan dari rasio saja.

Menurut Jeremy Bentham ( 1748-1832) bahwa alam ini telah

menempatkan manusia dalam kekuasaan kesusahan dan kesenangan.

Karena kesenangan dan kesusahan itu kita memiliki gagasan –

gagasan, semua pendapat dan semua ketentuan dalam hidup kita yang

dipengaruhinya. Tujuannya hanyalah mencari kesenangan dan

menghindari kesusahan. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak

dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan

pertama – tama hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan

kepada individu – individu, bukan langsung kepada masyarakat secara

56 H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan, dan

Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama 2007) h. 58

Page 43: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

33

keseluruhannya. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal

bahwa disamping kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan

sebesar – besarnya itu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang

disebut homo homini lupus ( manusia menjadi serigala bagi manusia

lainnya)

Ada dua kekuarangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh

Friedman. Pertama rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner

mencehnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini

menyebabkan terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat Undang –

Undang dan meremehkan perlunya individualisme kebijakan dan

keluwesan dalam penerapan hukum. Ia juga yakin dengan

kemungkinan kondisifikasi ilmiah yang lengkap melalui prinsip –

prinsip yang rasional, sehingga dia tidak lagi meghiraukan perbedaan

– perbedaan nasional dan historis. Padahal, pengalaman terhadap

kondisifikasi di berbagai negara menunjukan bahwa penafsiran yang

elsastis dan bebas dari hakim senantiasa dibutuhkan. Kelemahan

kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya

sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan

masyarakat. 57

Menurut Rudolf von Jhering tujuan hukum ialah melindungi

kepentingan – kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan-

kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai

pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi

kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan

menghubungkan tujuan pribadi seorang dengan kepentingan –

kepentingan orang lain. 58

57 Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta :

Prenadamedia Group, 2013), h. 111-113

58 Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, ... h. 117

Page 44: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

34

5. Teori Sosiological Jurisprudence

Menurut Paton, istilah sociological dalam aliran ini, kurang

tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan

istilah “Metode Fungsional” oleh karena itu, ada pula yang menyebut

sociological Jurisprudence ini dengan Functional Antropological.

Dengan menggunakan istilah “Metode Fungsional” seperti ungkapan di

atas, Paton ingin menghindarkan kekacauan antara sociological

Jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociologi of law).

Menurut aliran sociological Jurisprudence ini, hukum yang

baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di

masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antar hukum positif

(the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antar (tesis)

positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah. Sebagaimana

diketahui, positivisme hukum memandang tidak ada hukum kecuali

perintah yang diberikan penguasa (law is command of lawgivers),

sebaliknya mazhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang

bersama masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara

aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological

Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.

Eugen Ehrlich (1862-1992) membuktikan kebenaran teorinya,

bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang –

undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu

sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama

adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti kata Friedman, dalam

karyanya Ehrlich pada akhirnya justru meragukan kebiasaan ini sebagai

sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern.

Lawrence M. Friedman dalam bukunya “The Legal System A

Social Science Perspective,” melihat hukum itu sebagai suatu sistem

yang terdiri dari tiga komponen59: Pertama, legal stubtance (aturan –

59 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di Indonesia,

(Jakarta:Focus Grahamedia, 2012), h. 24

Page 45: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

35

aturan dan norma – norma); Kedua, legal structure (institusi atau

penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara); Ketiga,

legal culture (budaya hukum yang meliputi agama atau kepercayaan,

ide – ide, sikap dan pandangan tentang hukum.

Roscoe Pound (1870-1964) menyatakan bahwa hukum adalah

alat untuk memperbaruhi (merekayasa) masyarakat (law as a tool os

social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat

tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-

kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :

a. Kepentingan umum (public interest)

1. Kepentingan negara sebagai badan hukum

2. Kepentingan negara sebagai negara penjaga

kepentingan masyarakat

b. Kepentingan masyarakat (social interest)

1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban

2. Perlindungan lembaga – lembaga sosial

3. Pencegahan kemerosotan akhlak

4. Pencegahan pelanggaran hak

5. Kesejahteraan sosial

c. Kepentingan pribadi

Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pound

mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham,

yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan

sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kemudian,

klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis – premis hukum,

sehingga membuat pembentuk undang – undang, hakim, pengacara,

dan pengajar hukum menyadari akan prinsip – prinsip dan nilai – nilai

yang terkait dalam tiap – tiap persoalan khusus. Dengan kata lain,

Page 46: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

36

klasifikasi itu membantu menghubungkan antarprinsip hukum dan

praktiknya. 60

Mochtar Kusumaatmadja menegaskan61, bahwa agar hukum

dapat berfungsi secara efektif, selain harus memperhatikan kesadaran

hukum yang tumbuh di masyarakat, juga hukum itu hendaknya

dilegalisasi oleh kekuasaan negara secara tertulis sesuai dengan

ketentuan perundang – undangan yang berlaku, karena hukum tanpa

kekuasaan adalah angan – angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah

kezaliman. Dari sini diketahui, bahwa hukum yang dibuat dari norma –

norma yang hidup dan tumbuh di masyarakat, selain berfungsi untuk

mencegah dan memberi sanksi kepada yang melanggar, juga sebagai

kontrol sosial, mengawasi, dan mengarahkan anggota masyarakat untuk

bertingkah laku yang baik dan tidak melanggar serta tetap menjaga

keutuhan masyarakat. 62

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penelitian ini terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian

yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti berbeda. Dari

penelitian ini penulis menemukan beberapa sumber kajian yang terdahulu

membahas terkait konstitusional dan inkonstitusional bersyarat dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi diantaranya sebagai berikut :

Faiz Rahman dalam skripsinya yang berjudul, Implikasi Putusan

Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Sifat Final Dan

Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi, Skripsi Tahun 2016,

menyimpulkan bahwa karakteristik putusan bersyarat baik secara

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional

bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara pengujian

60 Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta :

Prenadamedia Group, 2013), h. 123 -128

61 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di

Indonesia,... h. 25

62 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di Indonesia,

... h. 28

Page 47: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

37

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, serta untuk mengetahui

implikasi putusan bersyarat dalam pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar terhadap sifat final dan mengikatnya putusan

Mahkamah Konstitusi.63

Bedanya dengan penelitian ini adalah penelitian di atas adalah

implikasi putusan bersyarat secara umum dalam undang – undang terhadap

sifat final dan mengikatnya putusan mahkamah konstitusi, sedangkan

penelitian ini mendeskripsikan implikasi tafsiran inkonstitusional bersyarat

dalam putusan mahkamah konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015,

mengidentifikasi konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan i, Pasal 109 ayat

(1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP dan menjelaskan

tafsiran inkonstitusional bersyarat pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang

dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015

Derita Yanita dalam Skripsinya yang berjudul, Implementasi

Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)

dalam Proses Penyidikan Studi Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015,

Skripsi Tahun 2018, menyimpulkan bahwa implementasi pembatasan

waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK

Nomor 130/PUU-XIII/2015 diberlakukan melalui 3 (tiga) pendekatan

diantaranya, pendekatan normatif, pendekatan administratif, dan

pendekatan sosial. Faktor penghambat implementasi pembatasan waktu

SPDP dalam proses penyidikan setelah berlakuknya putusan MK Nomor

130/PUU-XIII/2015 meliputi faktor peraturan perundang – undangan dan

faktor aparat penegak hukum. Setelah putusan MK tersebut, MK

mewajibkan SPDP untuk diberikan kepada penuntut umum, pelapor/korban

63 Faiz Rahman, berjudul, Implikasi Putusan Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang

Terhadap Sifat Final Dan Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi, Skripsi Tahun 2016 diunduh

19 Februari 2018 http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93217/potongan/S1-2016-328557-

abstract.pdf

Page 48: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

38

dan terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterbitnya surat perintah

penyidikan.64

Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah

penelitian di atas membahas tentang implementasi pembatasan waktu

SPDP, sedangkan penelitian ini membahas tentang tafsiran inkonstitusional

bersyarat pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah

Konstitusi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-

XIII/2015.

Harjono dalam bukunya yang berjudul, Konstitusi sebagai Rumah

Bangsa. Menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi akan sulit

menguji sebuah undang-undang. Karena sebuah undang-undang seringkali

mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum. Padahal, di dalam

rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah nanti

pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 atau

tidak.65

Bedanya dengan penelitian ini adalah penelitian di atas adalah

pengujian undang – undang akan sulit diujikan oleh Mahkamah Konstitusi

karena seringkali undang – undang mempunyai sifat yang dirumuskan

secara umum, sedangkan sifat final dan mengikatnya putusan mahkamah

konstitusi, sedangkan penelitian ini menjelaskan implikasi hukum putusan

mahkamah konstitusi yang bersifat inkonstitusional bersyarat sehingga

dapat memberikan temuan hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum

sampai undang – undang atau pasal yang diujikan direvisi.

Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono dalam artikelnya yang

berjudul, Eksistensi dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah,

Jurnal Konstitusi, 2016, menyimpulkan bahwa adanya eksistensi putusan

64 Derita Yanita, berjudul, Implementas Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan

Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam Proses Penyidikan Studi Putusan MK Nomor 130/PUU-

XIII/2015, Skripsi Tahun 2018 diunduh 19 Maret 2018.

http://digilib.unila.ac.id/30627/19/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf

65 Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Harjono. (Jakarta: Sekretariat Jendral dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008), h. 178-179

Page 49: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

39

bersyarat baik secara konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional

bersyarat dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar. 66

Bedanya dengan penelitian ini adalah penelitian di atas membahas

tentang eksistensi putusan bersyarat baik secara konstitusional bersyarat

maupun inkonstitusional bersyarat dalam pengujian Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan penelitian ini mendeskripsikan

implikasi tafsiran inkonstitusional bersyarat dalam putusan mahkamah

konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015, mengidentifikasi konstitusionalitas

Pasal 14 huruf b dan i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)

serta Pasal 139 KUHAP dan menjelaskan tafsiran inkonstitusional bersyarat

pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi

di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.

Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya

ilmiyah yang secara khusus membahas tentang tafsiran konstitusional dan

inkonstitusional bersyarat dalam perspektif Mahkamah Konstitusi Analisis

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, para peneliti

baru mengkaji dan menganalisis tentang konstitusional bersyarat dalam

Pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI tahun 1945. Oleh karena

itu, penulis bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang

konstitusional dan inkonstitusional bersyarat dalam Perspektif Mahkamah

Konstitusi Analisis Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015.

66 Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik Putusan

Bersyarat Mahkamah Konstitusi Existence and Characteristics of Conditional Decision of The

Constitutional Court diunduh 17 Februari 2018 dari

https://media.neliti.com/media/publications/113807-ID-eksistensi-dan-karakteristik-putusan-

ber.pdf

Page 50: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

40

BAB III

EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Sejarah Perkembangan

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman

yang sudah menjelma dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi secara teoritis atau praktis melengkapi

badan peradilan yang telah ada sebelum Undang-Undang Dasar 1945

diamandemen, yaitu Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, meski memiliki kewenangan yang berbeda menurut Undang-

Undang Dasar 1945, tetapi secara institusional Mahkamah Konstitusi tetap

dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan aktivitas negara hukum

Indonesia, khususnya di bidang peradilan atau tepatnya hak uji materiil

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan suatu

lembaga negara yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi,

yakni dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi. Secara konseptual, gagasan

pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengadili tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal menguji

undang - undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan kewenangan

lain yang dimilikinya. 67

Membahas sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi tidak akan

terlepas dari beberapa fakta dan konsep mengenai Judicial Review atas

kasus Madison vs Marbury di AS dan ide Hans Kelsen di Austria. Konsep

judicial review itu sendiri sebenarnya dilihat sebagai hasil perkembangan

modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-

ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation

67 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional

Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta : Pradnya Paramita 2006), h. 263.

Page 51: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

41

of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the

protection of fundamental Right).68 Pada dasarnya juicial review hanya

dapat dijalankan sebagaimana mestinya dalam negara yang menganut

supremasi hukum dan bukan supremasi parlemen. Dalam negara yang

menganut sistem supremasi parlemen, produk hukum yang dihasilkan tidak

dapat diganggu gugat, karena parlemen merupakan bentuk representasi dari

kedaulatan rakyat.69

Kasus Marbury vs Madison bermula dari kemelut politik di Amerika

Serikat yang timbul karena proses peralihan kekuasaan dari Partai Federalis

( the Federalist Party) kepada Partai Republik ( the Republican Party).

Calon presiden incumbent dari Partai Federalis yaitu John Adams

dikalahkan oleh calon dari Partai Republik yaitu Thomas Jefferson.

Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden John Adams mengambil

keputusan penting dengan menempatkan orang – orang partainya untuk

menjadi hakim – hakim federal. Dasar hukum bagi tindakan ini adalah the

Juduciary Act of 1801. Pada dua bulan terakhir pemerintahan Presiden

Adams tersebut John Marshall merangkap jabatan sebagai Secretary of State

dan sekaligus Chief Justice of the Supreme Court. Presiden Adams

menugaskan Marshall dalam kapasitas sebagai Secretary of State untuk

mempersiapkan, menandatangani bersama - sama Presiden Adam, serta

menyerahkan surat penunjukan tersebut kepada orang – orang yang akan

ditempatkan sebagai hakim. Akan tetapi, proses ini belum sepenuhnya

rampung dikarenakan surat penunjukan tersebut belum semua tersampaikan

kepada masing – masing individu yang ditunjuk sampai dengan digantikan

oleh Jefferson. Presiden Jefferson kemudian membatalkan keputusan

mantan Presiden Adams, salah seorang yang kemudian gagal menjadi

Justice of Peace. Marbury lalu menggugat james Madison, Secretary of

68 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian

Peraturan Perundang - undangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2009) h. 26

69 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian

Peraturan Perundang - undangan, ... h. 52-53.

Page 52: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

42

State di dalam pemerintahan Presiden Jefferson untuk menyerahkan surat

penunjukan yang sudah ditandatangani oleh Presiden Adams dan Secretary

of State Marshall tersebut melalui upaya hukum Writ of mandamus.

Menurut Reinstein dan Rahdert bahwa ada tiga unsur isu hukum penting

dalam kasus ini, yaitu :

1. the right of individuals to claim the protection of the laws;

2. the ideal that government is constrained by and subject to the laws;

3. the role of cours in constitusional government.

Pada hakikatnya, kasus ini berada di ranah hukum administrasi,

yaitu kewajiban pemerintah untuk menyerahkan dokumen individu kepada

individu yang berhak. Dalam kasus ini upaya mandamus yang ditempuh

oleh Marbury yaitu meminta Madison menyerahkan surat penunjukan

sebagai justice of peace tidak banyak mendapat perhatian. Yang justru

menjadi landmark adalah tindakan the Supreme Court of the United State

melakukan pengujian yudisial konstitusionalitas the judiciary Act of 1801.

Persoalan ini sangat penting karena Art. III of the Constitution of the United

State tidak secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Suprame Court

of the United State untuk dapat melakukan pengujian yudisial

konstitusionalitas undang – undang.

Chief justice Marshall adalah aktor intelektual di balik putusan kasus

Marbury vs Madison. Asas yang menjadi pegangan Marshall dalam kasus

ini untuk memberikan otorisasi bagi pelaksanaan pengujian yudisial

konstitusionalitas undang – undang adalah rule of law bahwa “government

must operate by, and be subject to, the ideals of the rule of law”. Sehingga,

a fortiori, dalam kewenangan badan yudisial untuk menerapkan dan

menyatakan dan menafsirkan hukum sekaligus inheren kewenangan untuk

menyatakan tidak sah tindakan pemerintah yang melampaui

kewenangannya maupun membatalkan legislasi atau regulasi yang tidak sah

Page 53: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

43

atau bertentangan dengan hukum supaya konsisten dengan asas the rule of

law. 70

Selain kasus Marbury vs Madison, ada hal yang menarik untuk

diteliti lebih jauh adalah bagaimana kelsen sampai tiba pada gagasan

membentuk mahkamah konstitusi sebagai organ khusus di luar sistem

peradilan bisa menegakkan kaidah atau norma konstitusi. Dari sini dapat

diturunkan dua proposisi, yaitu bahwa kaidah atau norma konstitusi itu

harus ditaati atau benar – benar dilaksanakan dalam praktik dan bahwa

untuk menjamin ketaatan terhadap norma konstitusi itu perlu dibentuk organ

tersendiri berupa pengadilan, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang terpisah

dari sistem peradilan biasa. Untuk memahami argumentasi di balik kedua

proposisi tersebut dibutuhkan pemahaman terhadap konsep – konsep atau

pengertian – pengertian yang melandasinya. 71

Menurut Kelsen, konstitusi suatu negara yang lazimnya

digolongkan sebagai hukum fundamental negara itu, adalah landasan tertib

hukum atau tata hukum nasional. Konstitusi dapat dipahami dalam dua arti,

yaitu konstitusi dalam arti formal dan konstitusi dalam arti material. Dalam

arti formal, konstitusi adalah suatu dokumen khusus yang khidmat, suatu

perangkat norma hukum yang hanya dapat diubah dengan mematuhi

sejumlah persyaratan atau keharusan khusus (special precriptions) , dengan

tujuan agar norma – norma itu menjadi lebih sulit untuk diubah. Sedangkan

dalam arti material, konstitusi adalah berupa aturan – aturan yang mengatur

pembentukan undang – undang (statutes). 72

Perdebatan tentang judicial review di Indonesia telah dimulai sejak

awal berdirinya negara Republik Indonesia ketika Soepomo dan

Mohammad Yamin memperbincangkan rancangan konstitusi Republik

70 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sang Penjaga HAM (the

Guardian of Human Rights) (Bandung :PT. Alumni 2013), h. 65 – 66

71 Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional ( constitutional complant) upaya hukum

terhadap pelanggaran hak – hak konstitusional warga negara, (Jakarta: Sinar Grafika 2013), h. 193

72 Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional ( constitutional complant) upaya hukum

terhadap pelanggaran hak – hak konstitusional warga negara, ... h. 204

Page 54: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

44

Indonesia.73 Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi di Indonesia

diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional

Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada tahun

2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal

24C, dan Pasal 7B Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD NRI tahun 1945 maka dalam

rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan

Mahkamah Agung melaksanakan fungsi dari Mahkamah Konstitusi untuk

sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Perubahan

Keempat.

Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah kemudian membuat

rancangan undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah

melalui pembahasan mendalam, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah

menyetujui secara bersama Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh presiden

pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003,

presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik

hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan

pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada

tanggal 16 Agustus 2003.74

B. Kedudukan

Pasal 24 C ini merupakan penjabaran dari Pasal 24 ayat (2) yang

juga telah mengalami perubahan. Dengan adanya Pasal 24 ayat (2) tersebut

maka terjadilah perubahan yang cukup penting dalam susunan kekuasaan

73 Sri Sumantri, Hukum Uji Matriel, (Bandung : Alumni 1997), h. 71-72.

74 Bambang Sutiyoso,Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Desember 2010), h. 27-28

Page 55: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

45

kehakiman di Indonesia. Pada mulanya Indonesia hanya dikenal sebuah

Mahkamah Agung dan lain – lain badan kekuasaan kehakiman yang

menurut Undang – Undang Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI tahun 1945

sebelum perubahan. Setelah perubahan UUD NRI tahun 1945, selain sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya, kekuasaan

kehakiman juga dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi hubungannya bersifat Horizontal Fungsional, yang

artinya tidak saling mensubordinasikan tetapi masing – masing mempunyai

kompetensi secara mandiri, namun tetap dalam fungsi besarnya, yaitu

kekuasaan kehakiman atau judicial power.

Mahkamah konstitusi merupakan lembaga independen negara

kekuasaan kehakiman yang sudah menjelma dalam sistem hukum

ketatanegaraan Indonesia berwenang untuk menguji undang – undang

terhadapa UUD NRI tahun 1945, memutus sengketa kewenangan antar

lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan

hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan

Wakil Presiden telah melakukam pelanggaran hukum. Mahkamah

Konstitusi harus menjalankan fungsinya sebagai kekuasaan kehakiman

yang disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2), kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan Pasal 24 ayat (1). UUD NRI tahun 1945

perubahan dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan yang merdeka (bahasa yang digunakan oleh Penjelasan UUD

NRI tahun 1945, yang kemudian dinormatifkan dalam perubahan UUD NRI

tahun 1945) dari penyelenggara peradilan. 75

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu

lembaga independen negara kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

75 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah

Konstitusi, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 5

Page 56: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

46

Mahkamah konstitusi berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik

Indonesia. 76

C. Kewenangan

kewenangan Mahkamah Konstitusi berasal dari Undang - Undang

Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C Undang-

Undang Dasar 1945 dan dijabarkan dengan undang-undang nomor 8 tahun

2011 perubahan atas undang – undang nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk mengawal

konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menangani

perkara – perkara konstitusi/ketatanegaraan tertentu sebagaimana tercantum

dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

berikut :77

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;

Pengujian Undang – Undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945

diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 Undang – Undang

Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini Undang – Undang yang dapat

dimohonkan untuk diuji adalah undang – undang yang diundangkan

setelah perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan Oleh Undang – Undang Dasar;

Hal diatur di dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 Undang –

Undang Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini pemohon adalah

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang –

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai

kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.

76 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah

Konstitusi, ... h. 11

77 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah

Konstitusi, ... h. 25 - 29

Page 57: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

47

3. Memutus pembubaran partai politik;

Hal ini diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 Undang-undang

Mahkamah Konstitusi, Pemohonnya adalah pemerintah, sedangkan

termohonnya adalah partai politik yang dimohonkan untuk

dibubarkan; Alasan pembubaran adalah ideologi, asas, tujuan,

program, dan kegiatan parpol yang dianggap bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945, Jika permohonan dikabulkan, parpol

yang bersang kutan dibatalkan pendaftarannya sebagai badan hukum

pada pemerintah.

4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;

Hal ini diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 Undang -

Undang Mahkamah Konstitusi dan dilengkapi dengan PMK Nomor :

04/PMK/2004 dan PMK Nomor : 05/ PMK/2004

5. Memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden.

Hal ini diatur dalam Pasal 80 sampai dengan 85 Undang-undang

Mahkamah Konstitusi, dimana Pemohon adalah Dewan Perwakilan

Rakyat yang disetujui oleh 2/3 dari minimal 2/3 anggota Dewan

Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna, alasan

impeachment adalah sebagai berikut :

a) presiden dan/atau wakil presiden melanggar hukum karena

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, dan melakukan perbuatan tercela, dan

b) presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat

berdasarkan UndangUndang Dasar 1945

kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu bentuk judicial

control dalam rangka sistem check and balances diantara cabang – cabang

kekuasaan pemerintahan, yang mekanismenya didasarkan pada Undang –

Undang Dasar sebagai norma dasar. Dari kewenangan yang disebutkan

diatas terlihat bahwa sengketa yang diperkirakan dan diadili oleh

Mahkamah Konstitusi sangat banyak berkaitan dengan proses politik

Page 58: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

48

sehingga sebagai demikian sesungguhnya merupakan perselisihan yang

sarat dengan politik sebagai salah satu karakteristik sengketa. Hal ini juga

akan mempunyai dampak pada pihak – pihak yang dapat menggerakkan

mekanisme Constitusional Control ini kebanyakan lembaga – lembaga

negara. Khusus pada judicial review Undang – Undang terhadap Undang –

Undang Dasar 1945, individu (perorangan) yang dirugikan hak – haknya

karena satu undang – undang yang dianggap bertentangan dengan UUD

NRI tahun 1945 sehingga dapat menggerakkan mekanisme Constitusional

Control yang ada pada Mahkamah Konstitusi. 78

D. Konsitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat dalam

Pengujian Undang – Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945

Indonesia merupakan negara ke – 78 yang memiliki lembaga

pengadilan konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil

sebuah undang – undang. 79 Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara

berdasarkan Undang – undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai

dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi

yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang –

kurangnya dua alat bukti.

Diantara keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijumpai

beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan luas di

mata publik karena dinilai kontroversial. Putusan kontroversial terjadi

dalam perkara – perkara yang terkait dengan asas ultra petita, konstitusional

bersyarat dan inkonstitusional bersyarat.

1. Ultra Petita

Ultra Petita ini sebenarnya hanya dikenal dalam rezim hukum

perdata, artinya tidak berlaku pada rezim hukum tata negara dan juga

rezim hukum pidana. Beberapa keputusan dalam sidang pidana

78 Agus Susanto, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada Mahkamah

Konstitusi, ... h. 22

79 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta : Kencana

2011), h. 109

Page 59: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

49

hukum kadang kala menjatuhkan keputusan hukuman pidana yang

lebih tinggi daripada tuntutan jaksa.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan di bidang

tata negara, tentu tidak terikat dengan asas ultra petita. Oleh karena

itu, wajar apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang

kadang kala melebihi dengan apa yang diminta (petitum) oleh

pemohon. Sebagai contoh putusan Mahkamah Konstitusi tentang

pengujian UU ketenaga-Listrikan, dan UU KKR (Putusan MK Nomor

006/PUU-IV/2006. Putusan selanjutnya adalah putusan MK Nomor

11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang membatalkan UU BHP,

UU BHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat.

2. Konstitusional Bersyarat

Konstitusionalitas Bersyarat dalam putusan MK adalah

putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan UU tidak

bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan

kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan UU untuk

memperhatikan penafsiran MK atas konstitusionalitas ketentuan UU

yang sudah diuji tersebut. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau

ditafsirkan lain oleh lembaga negara yang melaksanakannya, maka

ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut dapat diajukan

untuk diuji kembali oleh MK.80

Istilah konstitusional besyarat pertama kali diperkenalkan

Mahamah Konstitusi dalam putusan perkara No.058-059-060-

063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 dalam permohonan uji

materiil mengenai UU Sumberdaya Air (UU No. 7/2004). Namun

putusan bersyarat ini tidak disebut dalam amar putusan melainkan

disebut dipertimbangan atau pendapat mahkamah. Dalam hal ini

Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pemohon mendalilkan

80 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h.8

Page 60: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

50

Pasal 49 ayat (4) UU SDA bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3)

UUD NRI tahun 1945. Sebagaimana dinyatakan Pasal 49 ayat (1)

pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan.

Mahkamah berpendapat bahwa UU SDA telah cukup memberi

persyaratan bagi pengusahaan air untuk negara lain yang diberikan

oleh pemerintah pusat setelah mendapat rekomendasi daei pemerintah

daerah. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air

untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan

sendiri terpenuhi. Hal ini berbeda dengan putusan MK yang

belakangan, sebagaimana Putusan MK dalam perkara No. 4/PUU-

VII/2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)

hutuf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008. Bahkan dalam

Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Daftar Pemilih

Tetap (DPT), MK lebih maju lagi dengan memberikan persyaratan

baru (regeling) bagi pemilih dalam pemilu legislatif berupa KTP dan

Kartu Keluarga. Di sini Mahkaah Konstitusi telah menempatkan

posisi bukan lagi sebagai negatif legislator tetapi dapat dianggap telah

melakukan fungsinya sebagai positif legilator, putusan Mahkamah

Konstitusi berisi pengaturan (regeling). 81

Contoh putusan konstitusional bersyarat adalah Putusan

Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal Pengujian

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD NRI tahun 1945.

Amar putusannya Mahkamah Konstitusi :

Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor

51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)

81 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, ... h. 120

Page 61: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

51

tetap Konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat

syarat domisili di Provinsi yang akan diwakili;82

Contoh putusan MK lainnya yang mengandung unsur

konstitusional bersyarat yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

49/PUUVIII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD

NRI tahun 1945 :

Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran

Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan

Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai

“masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya

masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode

bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan

dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang

bersangkutan.83

Kutipan amar putusan tersebut, dapat diketahui bahwa putusan

tersebut adalah konstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi

memberikan syarat atau ketentuan dalam putusannya agar sebuah

undang-undang yang diputus demikian menjadi konstitusional

sehingga hal tersebut dapat dikatakan telah ada sebuah norma baru

dalam undang-undang yang sedang diputus tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi memberi tafsir (petunjuk, arah,

dan pedoman serta syarat bahkan membuat norma baru) yang dapat

diklasifikasi sebagai putusan konstitusional bersyarat (conditionally

82 Lihat Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008.

83 Lihat Salinan Putusan Nomor Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.

Page 62: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

52

constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional). Apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah

Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau undang-undang tetap

konstitusional, namun apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah

Konstitusi dalam putusannya tidak terpenuhi maka suatu norma

hukum atau undang – undang menjadi inkonstitusional sehingga harus

dinyatakan bertentangan dengan Undang – Undang Dasar dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat.84

Bertitik tolak pada beberapa kajian putusan MK di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perkembangan hukum

ketatanegaraan di Indonesia. MK nampaknya menyadari benar bahwa

ia tidak boleh hanya terpaku pada bunyi formal ketentuan peraturan

perundang – undangan, namun ingin melihat dari sisi keadilan

subtantif, maka MK lebih memposisikan dirinya sebagai penjaga

konstitusi dan demokrasi sebagaimana yang diamanatkan konstitusi,

sebagai penafsir konstitusi, MK dapat saja memberi catatan – catatan

penting pada suatu UU sebagai tafsir norma hukum agar sesuai

dengan jiwa konstitusi. 85

3. Inkonstitusional Bersyarat

Hampir sama halnya dengan putusan konstitusional bersyarat

yang menetapkan adanya syarat agar suatu pasal dalam undang-

undang yang bersangkutan agar menjadi konstitusional, putusan tidak

konstitusional bersyarat merupakan putusan yang menyatakan

permohonan yang diajukan dikabulkan dengan catatan bahwa norma

yang bersangkutan dipandang inkonstitusional karena alasan tertentu.

84 Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, Ekseistensi dan karakteristik Putusan

Bersyarat Mahkamah Konstitusi, (Jurnal Konstitusi Volume 13 nomor 2 Juni 2016), h. 352

85 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, ... h. 124

Page 63: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

53

Jika tidak demikian, maka norma yang bersangkutan dipandang masih

konstitusional. 86

Contoh Putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional) adalah Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal

pengujian Undang-Undang nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

terhadap UUD NRI tahun 1945. Berikut adalah kutipan amar putusan

Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4288) adalah bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945

sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka

Pengadilan Tinggi di Wilayah domisili hukumnya” tidak

dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-

Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum

menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan

Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam

jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini

diucapkan”.87

Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusannya tidak

jarang menyatakan menghapus ketentuan pada bagian anak kalimat

sebuah pasal dalam undang-undang yang sedang diuji, hal ini

membawa konsekuensi pasal tersebut memiliki norma baru yang sama

sekali berbeda dengan norma sebelumnya, hal inilah yang menjadi

perdebatan ketika Mahkamah Konstitusi dianggap mulai memasuki

ranah positive legislator, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

menjadi kewenangan badan legislatif sesuai amanat UUD NRI tahun

1945.

86 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h.9

87 Lihat Salinan Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009.

Page 64: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

54

Contoh putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam amar

putusannya telah membuat atau menimbulkan norma baru, yaitu

Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal Pengujian Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

terhadap UUD NRI tahun 1945. Berikut kutipan amar Putusan

tersebut,

Menyatakan :

Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat “…yang bertanggung jawab

kepada DPRD”

Pasal 66 ayat (3) huruf e “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan

tugas KPUD”

Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “…oleh DPRD”

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.88

Putusan tersebut beberapa anak kalimat dinyatakan

bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945, sehingga pasal-pasal

yang bersangkutan menimbulkan norma baru sebagai akibat atau

konsekuensi dari dihapusnya anak kalimat sebagaimana yang ada

dalam putusan.

88 Lihat Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004.

Page 65: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

55

BAB IV

KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT PADA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 130/PUU-XIII/2015

A. Analisis dan Interpretasi Temuan Konstitusionalitas Pasal 14 Huruf b

dan Huruf i, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan Ayat (2) serta

Pasal 139 KUHAP

Permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 Huruf b dan Huruf i,

Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP

yang diajukan oleh Choky Risda Ramadhan, Carolus Borormeus Beatrix

Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto, menimbulkan sisi

konstitusionalitas pasal – pasal KUHAP tersebut diragukan dan dianggap

tidak sesuai dengan UUD NRI tahun 1945 sehingga perlu adanya judicial

review terhadap pasal – pasal tersebut.89

Untuk melihat sisi konstitusionalitas Pasal – Pasal yang dimohonkan

oleh pemohon, perlu lebih dahulu mengetahui substansi pasal – pasal

tersebut, kemudian dianalisis berdasarkan pasal – pasal dalam UUD NRI

tahun 1945 yang ditunjuk oleh pemohon. Pengkajian konstitusionalitas

terhadap pasal – pasal tersebut akan dilakukan tidak semata – mata dilihat

dari sisi pengertian muatan materi pasal – perpasal dalam UUD NRI tahun

1945 melainkan juga akan dilihat dari sisi jiwa dan semangat UUD NRI

tahun 1945 hasil amandemen. Metode demikian cocok dengan pandangan

penjelasan Umum UUD NRI tahun 1945 ( Proklamasi) yang menyebutkan:

“... memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionel)

suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal – pasal Undang

– Undang Dasarnya (loi constitutionelle) saja, akan tetapi harus

menyelidiki juga bagaimana praktiknya dan bagaimana suasana

kebatiannya (geistlichen hintergrund) dari Undang – Undang

Dasar itu”.

89 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h. 5 -7

Page 66: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

56

Tanpa menggunakan metode pendekatan ini, maka konstitusional

Pasal 14 Huruf b dan Huruf i, Pasal 109 Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan

Ayat (2) serta Pasal 139 KUHAP tidak akan ada artinya, sulit untuk

dibuktikan sisi konstitusionalitas atas pasal – pasal KUHAP tersebut,

sungguhpun dari sisi sejarah hukum jelas ada perbedaan. 90

1. Konstitusionalitas Pasal 14 huruf b dan huruf i KUHAP

Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 14

huruf b dan huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai

berikut :

(b) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)

dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka

penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

(i) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-

undang ini.

Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa

Pasal 14 huruf b KUHAP prapenuntutan dirumuskan secara fakultatif,

dan bukan bersifat imperatif. Artinya, penggunaan kewenangan ini

dilakukan “apabila diperlukan”, dan tidak sebagai suatu kewajiban

yang “selalu” dilakukan penuntut umum. Sebenarnya hal ini merupakan

manifestasi dari penempatan sebagai wewenang dan bukan tugas atau

kewajiban. Kewenangan memang dari sananya bersifat demikian, yaotu

digunakan dimana perlu. Dengan demikian, dalil pemohon yang

menghendaki agar sifat fakultatif dari ketentuan tersebut dicaut, dan

menjadikan prapenuntutan sebagai suatu keharusan yang dilakukan

penuntut umum terhadap berkas perkara yang disampaikan penyidik,

justru telah keluar dari makna wewenang itu sendiri dan dianggap

permohonan ini sama sekali tidak berdasar.

90 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, ... h. 124 - 125

Page 67: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

57

Pelaksanaan pengawasan secara horizontal saat ini terwujud

dalam lembaga prapenuntutan yang menjadi sarana kordinasi penuntut

umum dengan penyidik. Akan tetapi, lembaga prapenuntutan terbukti

tidak efektif mencapai tujuannya menjadi sarana kordinasi fungsional,

sekaligus pengawasan penuntut umum atas kinerja penyidik. Hal ini

diantaranya diakibatkan oleh tidak maksimalnya pengaturan mengenai

prapenuntutan dalam norma positif KUHAP. Merujuk pada ketentuan

Pasal 14 b KUHAP, prapenuntutan hanya dilakukan “apabila ada

kekurangan pada penyidikan”, frasa ini menandakan prapenuntutan

seolah – olah bukan sebagai bagian integral dari sistem peradilan

terpadu dan bukanlah suatu keharusan.

Menurut pemohon, Pasal 14 huruf b KUHAP tidak

memposisikan penuntut umum untuk berperan secara aktif dari awal

tahapan penyidikan. Kondisi ini menyulitkan penuntut umum untuk

aktif menjaga nilai – nilai Due Process of Law dan mencegah terjadinya

suatu pelanggaran/kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh

penyidik terhadap tersangka.

Pasal 14 huruf i KUHAP menurutnya sama sekali tidak

mempunyai kaitan dengan pra penuntutan. Ketentuan ini merupakan

pasal blanko yang disediakan untuk mengantisipasi kebutuhan praktek

penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Ketentuan yang sama juga

terdapat pengaturan kewenangan penyidik, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 huruf j KUHAP. KUHAP tidak lagi menempatkan

penyidik sebagai hulp magistrat, melainkan berdiri secara horizontal

sejajar dengan penuntut umum, dengan tugas dan wewenang masing –

masing, sehingga ketentuan ini sama sekali tidak dimaksudkan seperti

apa yang didalilkan pemohon dan hal ini dianggap kekeliruan fatal. 91

91 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 h.123-125

Page 68: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

58

2. Konstitusionalitas Pasal 109 ayat (1) KUHAP

Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 109

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai berikut :

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.

Menurut Pemohon¸ Pelaksanaan tahapan prapenuntutan pada

KUHAP seharusnya sudah dimulai sejak penyerahan pemberitahuan

dimulainya penyidikan (SPDP) dari penyidik kepada penuntut umum.

Pengaturan akan pemberitahuan dimulainya penyidikan itu sendiri telah

terdapat pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi, menurut

pemohon, faktanya norma pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut,

masih menyimpan 2 permasalahan besar, yaitu; (1) tidak adanya

penegasan bahwa pelaksanaan SPDP merupakan suatu kewajiban

dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan (2) tidak adanya kejelasan

kapan penyidik wajib memberitahu penuntut umum saat telah mulai

melakukan penyidikan. Ketidakjelasan ini tentu mengakibatkan

seringkali penanganan suatu perkara penuntut umum sama sekali tidak

terlibat karena tidak dikirim SPDP, atau SPDP baru dikirim bersamaan

dengan penyerahan berkas hasil penyidikan.

Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa

Pasal 109 ayat (1) KUHAP juga merupakan bagian dari mekanisme

kontrol horizontal penuntut umum terhadap penyidik. Dalam istilah

praktik, hal ini merupakan kewajiban penyidik menyampaikan Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut

umum, sehingga dimulainya penyidikan, hal itu dalam pengendalian

penuntut umum. Dengan demikian menurutnya frasa segera artinya

pada kesempatan pertama ketika telah ada surat perintah penyidikan

(sprindik). 92

92 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h.125-127

Page 69: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

59

3. Konstitusionalitas Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP

Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 138

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai

berikut :

(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari

penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam

waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik

apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum;

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,

penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada

penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan

untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak

tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan

kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. 93

Pemohon berpendapat bahwa “ketidakjelasan dalam

prapenuntutan juga terkandung pada norma 138 ayat (1) dan (2)

KUHAP terkait frasa “dalam waktu tujuh hari” dan“dalam waktu

empat belas hari” yang tidak memberikan pemaknaan tegas terkait

berapa kali mekanisme pada pasal tersebut dapat dilakukan. Perumusan

norma Pasal 138 ayat (1) ayat (2) Undang – Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang tidak jelas

dan menimbulkan pemaknaan berbeda, mengakibatkan situasi bolak –

baliknya berkas diantara penyidik dan penuntut umum lebih dari satu

kali bahkan berulang kali tanpa batasan jelas. Praktik bolak – balik

berkas tanpa batas waktu pada akhirnya merengut hak atas kepastian

hukum warga negara yang tentunya bertentangan dengan pasal 28D

UUD NRI tahun 1945. Oleh karenanya, Pasal 138 ayat (1) dan (2)

KUHAP seharusnya dimaknai hanya satu kali bolak – balik berkas

perkara, setelah satu kali bolak – balik maka penuntut umum harus

93 Andi Hamzah, KUHP dan KHUAP, (Jakarta : Rieke Cipta, 2016), h. 286

Page 70: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

60

mengambil sikap tegas dengan menerima berkas perkara tersebut dari

penyidik”94

Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa

pada dasarnya jika dipahami secara tepat Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)

tidak ada norma yang tidak memberikan kejelasan tentang berapa kali

berkas perkara dapat bolak – balik dari penyidik kepada penuntut umum

dan begitu sebaliknya. Namun cukup jelas bahwa yang ditetapkan oleh

penuntut umum sebagai berkas perkara yang memenuhi persyaratan

untuk dapat dilimpahkan atau tidak ke pengadilan adalah “berkas

perkara yang lengkap” jadi ukurannya adalah berkas perkara yang

lengkap itu. Mengingat penilaian itu menjadi kewenangan penuntut

umum, maka pada satu sisi, hal ini sangat tergantung dari pendirian

yang bersangkutan dalam kasus konkrit. Jadi persoalan ini, sama sekali

bukan permasalahan norma yang dapat diuji konstitusionalitasnya,

melainkan wilayah penerapan norma itu dalam alam kenyataan.

4. Konstitusionalitas Pasal 139 KUHAP

Norma materiil yang dimohonkan pengujian, yaitu : Pasal 139

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai berikut :

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali

hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera

menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi

persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke

pengadilan.

Setelah penuntut umum menerima berkas perkara sesuai Pasal

138 ayat (2) KUHAP, maka selanjutnya penuntut umum mempunyai

suatu kewenangan untuk menentukan “apakah berkas perkara

memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan” sesuai Pasal

139 KUHAP. Menurut pemohon “terdapat ketidakjelasan hukum dalam

pengaturan Pasal 139 KUHAP. Pasal tersebut tidak menjelaskan dan

94 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h.127 - 130

Page 71: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

61

menegaskan jangka waktu bagi penuntut umum dalam menentukan

sikap setelah menerima berkas perkara dari penyidik”.

Menurut keterangan ahli Dr. Chairul Huda, S.H., M.H bahwa

berkas yang dinyatakan lengkap oleh penuntut umum ketika menjabat

itu “menerima” atau “menerima kembali” berkas itu dari penyidik,

cenderung harus ditafsirkan sebagai berikut :95

a. Penuntut umum yang “menerima” berkas dari penyidik

langsung menyatakan berkas tersebut lengkap;

b. Penuntut umum yang “menerima kembali” berkas perkara

itu dari penyidik setelah dilengkapi sesuai petunjuk yang

diberikan berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP. Dengan

demikian, berkas perkara hanya satu kali dapat dikembalikan

disertai petunjuk penuntut umum kepada penyidikm dan

setelah itu berdasarkan Pasal 139 junto Pasal 140 KUHAP

penuntut umum harus menentukan apakah akan melakukan

penuntutan dengan surat dakwaan dan melimpakhakn perkara

itu kepengadilan atau menghentikan penuntutan. Sehingga

menurutnya permohonan pemohon cukup beralasan untuk

dikabulkan. Dalam hal ini menafsirkan bolak – baliknya

berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum atau

sebaliknya, sebagai mana yang dimaksud Pasal 138 ayat (1)

dan ayat (2) junto Pasal 139 KUHAP “ hanya berlangsung satu

kali”

Berdasarkan hal – hal tersebut maka para pemohon mengajukan

permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1),

Pasal 138 ayat (1) dan (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang –

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum

Acara Pidana dikarenakan ketentuan diatas pada dasarnya bertentangan

dengan Undang – Undang Dasar 1945.

95 Lihat Salinan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 h.127 – 130

Page 72: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

62

B. Tafsiran Inkonstitusional Bersyarat yang pada Pasal 109 ayat (1)

KUHAP yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015

Sesuai pembahasan di bab sebelumnya bahwa Konstitusional

Bersyarat maupun Inkonstitusional bersyarat merupakan putusan hakim

mahkamah konstitusi yang memberikan persyaratan tertentu terhadap pasal

Undang – Undang yang diujikan melalui penafsiran para hakim Mahkamah

Konstitusi.

Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang tentang Ketentuan –

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melaiknan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan pasal ini

mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan

perundang – undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus

bertindak berdasarkan inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara

tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang

merupakan hukum, sekalipun peraturan perundangan – undangan tidak

dapat membantunya. Tindakan hakim ini disebut penemuan hukum96

Ketentuan Pasal 27 ayat (1) menyatakan juga bahwa hakim sebagai

penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilia- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga dapat diartikan

bahwa hakim merupakan perumus dam penggali dari nilai – nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan,

dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.97

Menafsirkan undang – undang adalah kewajiban hukum dari hakim,

sekalipun menafsirkan merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada

96 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Bandung : PT. Alumni,

2008. h. 6 - 7

97 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, ... h. 7

Page 73: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

63

beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan

undang – undang itu. Logeman mengatakan bahwa “ hakim harus tunduk

pada kehendak pembuat undang – undang”. Dalam kehendak itu dapat

dibaca begitu saja dari kata – kata peraturan perundang – undangan hakim

harus mencarinya dalam sejarah kata – kata tersebut dalam sistem undang –

undang atau dalam arti kata – kata seperti yang dipakai dalam pergaulan

sehari – hari. Setiap tafsiran adalah tafisran yang dibatasi oleh kehendak

pembuat undang – undang. Karena itu pun, hakim tidak boleh menafsirkan

undang – undang secara sewenang – wenang. Menurut Polak cara

penafisran ditentukan oleh materi peraturan perundang – undangan yang

bersangkutan, tempat perkara diajukan, dan menurut zamannya. 98

Untuk mencapai kehendak dari pembuat undang – undang serta

dapat menjalankan undang – undang sesuai dengan kenyataan sosial, hakim

menggunakan beberapa penafsiran, yaitu 99:

1. Menafsirkan undang – undang menurut arti perkataan (istilah

atau disebut penafsiran gramatikal

Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat

sekali. Bahasa merupakan alat satu – satunya yang dipakai pembuat

undang – undang untuk menyatakan kehendaknya, karena itu pembuat

undang – undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas

harus memilih kata – kata yang tepat. Kata – kata itu harus singkat,

jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya

pembuat undang – undang tidak mampu memakai kata – kata yang

tepat. Dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud

yang lazim dipakai dalam percakapan sehari – hari, dan hakim dapat

menggunakan kamus bahasa atau meminta penjelasan dari ahli

bahasa.

98 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, ... h. 8-9

99 Yudha Bhakti Ardiswirastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, ... h. 9-12

Page 74: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

64

2. Menafsirkan undang – undang menurut sejarah atau penfasiran

historis

Setiap ketentuan perundang – undangan mempunyai

sejarahnya. Dari sejarah peraturan perundang – undangan hakim dapat

mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran

sejarah, yaitu penafsiran menurut sejarah dan sejarah penetapan

sesuatu ketentuan perundang – undangan.

3. Menafsirkan undang – undang menurut sistem yang ada di dalam

hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik

Perundang – undangan suatu negara merupakan kesatuan,

artinya tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan

seolah – olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan perundang

– undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan

perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebut dapat

meyebabkan, kata – kata dalam undang – undang diberi pengertian

yang lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam

kaidah bahasa yang biasa. Hal ini yang pertama disebut penafsiran

meluas dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.

4. Menafsirkan undang – undang menurut cara tertentu sehingga

undang – undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan

sekrang yang ada di dalam masyarakat, atau biasa disebut

dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis

Setiap penafsiran undang – undang yang dimulai dengan

penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis.

Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan

keadaan yang benar-benar hidup di masyarakat. Karena itu, setiap

peraturan hukum mempunyai tujuan sosial, yaitu membawa kepastian

hukum dalam pergaulan antara anggota masyarakat. Hakim wajib

mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan. Apabila

hakim mencarinya, masuklah penafsiran sosiologis ahakim dapat

menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif

Page 75: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

65

dari hukum (rechtpositivieit) dengan kenyataan hukum

(rechtwerkelikheid), sehingga penafsiran sosiologis atau teologis

menjadi sangat penting.

5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi

Adakalanya pembuat undang – undang itu sendiri memberikan

tafisran tentang arti suatu istilah yang digunakannya di dalam

perundanan yang dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsiran otentik

atau tafisran resmi. Di sini hakim tidak diperkenankan melakukan

penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan

pengertiannya di dalam undang – undang.

6. Penafsiran interdisifliner

Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis

masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini

digunakan logika lebih dari suatu cabang ilmu hukum. Misalnya

adanya keterkaitan asas- asas hukum dari suatu cabang ilmu hukum,

mislanya hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.

7. Penafsiran multidisipliner

Berbeda dengan panfsiran interdisipliner yang masih dalam

rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran

multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau

beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan kata lain,

di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain – lain

disiplin ilmu.

Pertimbangan hakim terhadap Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi “ Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu

kepada penuntut umum” menyatakan bahwa Pasal tersebut bertentangan

dengan UUD NRI tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib memberitahukan telah

dimulainya penyidikan dalam jangka waktu satu hari setelah

dikeluarkannya Surat perintah peyidikan dan mengakibatkan penyidikan

Page 76: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

66

menjadi batal hukum tanpa pemberitahuan penyidikan kepada penuntut

umum,”

Terhadap dalil permohonan para pemohon tersebut, Mahkamah

mempertimbangkan sebagai berikut : 100

a. Prapenuntutan sebagai mekanisme koordinasi penyidik dan jaksa

penuntut umum yang diwajibkan oleh KUHAP memang seringkali

mengalami kendala khususnya terkait dengan seringnya penyidik

tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)

maupun mengembalikan berkas secara tepat waktu. Hal tersebut jelas

berimbas terhadap kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Hak –

hak korban/pelapor dan terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan

mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal tersebut berimbas pada

tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana

yang merugikan terlapor dan korban/pelapor dalam mencari kepastian

hukum secara tidak sesaui dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan

biaya ringan yang ada dalam KUHAP.

b. Adanya keterlambatan mengirim SPDP dari penyidik kepada jaksa

penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan

pemberitahuan dimulai penyidikan itu harus disampaikan kepada

jaksa penuntut umum menyebabkan tidak adanya kepastian hukum

terkait penanganan perkara tersebut. Menurut Mahkamah,

penampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban

penyidik untuk menyampaikan sejak dimulainya penyidikan,

sehingga proses penyidikan tersebut adalah berada dalam

pengendalian penuntut umum dan dalam pemantauan terlapor dan

korban/terlapor. Faktanya yang terjadi selama ini dalam hal

pemberian SPDP adalah kadangkala SPDP baru disampaikan setelah

penyidikan berlangsung lama, adanya alasan bahwa tertundanya

penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut

100 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 h. 146

Page 77: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

67

Mahkamah, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas

due process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1)

UUD NRI tahun 1945.

Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh

penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan

ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional

terlapor dan korban/pelapor. Oleh karena itu penting bagi Mahkamah untuk

menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa

penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor.

Alasan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor

yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat

mempersiapkan bahan – bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk

penasehat hukum yang akan mendampinginya. Sedangkan bagi

korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan

keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan

atas laporannya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut bersifat wajib adalah beralasan

menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya jaksa

penuntut umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan

korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, mahkamah

mempertimbangkan bahwa waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang

cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.

Demikian dengan uraian pertimbangan tersebut Mahkamah berpendapat

permohonan para Pemohon tentang Pasal 109 ayat (1) KUHAP beralasan

menurut hukum untuk sebagian. Sehingga dapat kita simpulkan dengan

dikabulkannya permohonan para Pemohon tersebut dan hakim menafsirkan

bahwa sepanjang tidak dimaknai “wajib memberitahukan telah

dimulainya penyidikan dalam jangka waktu satu hari setelah

dikeluarkannya Surat perintah peyidikan dan mengakibatkan penyidikan

menjadi batal hukum tanpa pemberitahuan penyidikan kepada penuntut

umum,” serta memberikan temuan hukum baru pada Pasal tersebut yaitu

Page 78: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

68

batas pemberitahuan SPDP adalah paling lambat 7 (tujuh) hari, maka hal

tersebut termasuk Putusan Inkonstitusional Bersyarat yang mana Pasal 109

ayat (1) tersebut bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum dengan mensyaratkan sesuatu, frasanya sebagai

berikut : sepanjang tidak dimaknai “wajib memberitahukan telah

dimulainya penyidikan dalam jangka waktu satu hari setelah

dikeluarkannya surat perintah peyidikan dan mengakibatkan penyidikan

menjadi batal hukum tanpa pemberitahuan penyidikan kepada penuntut

umum.”

Adanya penafsiran dan batasan waktu pemberitahuan SPDP tersebut

memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda,

seyogyanya undang – undang dapat dipahami dan tidak multi tafsir, agar

pelaksanaannya tidak merugihan hak – hak konstitusional masyarakat.

Putusan tersebut dapat dikategorikan sebagai putusan bersifat constitutief

karena putusan tersebut menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Hal

ini selaras dengan pendapatnya Maruarar Siahaan bahwa “...pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah

Konstitusi, ketika putusan menyatakan suatu undang-undang bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat maka dapat dikatakan putusan tersebut bersifat constitutief.” 101

C. Implikasi Putusan Inkonstitusional Bersyarat dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi 130/PUU-XIII/2015

Kelahiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan

perwujudan dan/atau realisasi dianutnya paham negara hukum sebagaimana

yang termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karena itu, harus senantiasa memperhatikan, menghormati, menjaga dan

memelihara UUD NRI tahun 1945 itu sebagai sebuah negara yang

menganut paham konstitusionalitas. UUD NRI tahun 1945 itu merupakan

puncak tertinggi dalam struktur dan tata urutan peraturan perundang –

101 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ... h. 205

Page 79: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

69

undangan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, setiap peraturan atau

undang – undang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang tidak boleh ada

yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945. 102

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ada

permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 Huruf b dan Huruf i, Pasal 109

Ayat (1), Pasal 138 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 139 Undang – Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

diajukan oleh Choky Risda Ramadhan, Carolus Borormeus Beatrix Tuah

Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal

11 Januari 2017, dalam amar putusannya menyatakan sebagai berikut : 103

Mengadili,

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagaian;

2. Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981

Hukum Acara Pidana ( Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981

Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209) bertentangan

dengan Undang – Undang Dasar 1945 secara bersyarat dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengingat sepanjang frasa “penyidik

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai

“penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah

dimulainya penyidikam kepada penuntut umum, terlapor, dan

korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah

dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

102 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

(Jakarta : Focus Grahamedia, 2015), h.108

103 Lihat Salinan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 h. 151

Page 80: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

70

Dikabulkannya permohonan para Pemohon untuk sebagaian

tersebut maka terjadilah kontruksi hukum tentang penyerahan Surat

Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi 7 hari penyerahan SPDP

kepada para pihak setelah terbitnya surat perintah penyidikan, selain itupun

yang terpenting adalah pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap

jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban

atau pelapor.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan

pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor

8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari lima pasal yang diuji, MK

hanya mengabulkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan

inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan

(SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari

setelah terbitnya surat perintah penyidikan.

Sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkmah Konstitusi

Nomor 130/PUU-XIII/2015 bahwa Pasal 109 ayat (1) dinyatakan

bertentangan dan dalam pertimbangan hakim bahwa pasal tersebut

merupakan Putusan Inkonstitusional Bersyarat. Maka munculnya model

inkonstitusional bersyarat ini tidak dapat terlepas dari tidak efektifnya

putusan model konstitusional bersyarat karena kesalahan addressat putusan

MK dalam memamhami putusan model tersebut. Addresaat putusan MK

seringkali mengabaikan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan

yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar (ratio

decidendi) dikarenakan dalam amar putusan atau dictum dinyatakan

permohonan ditolak sehingga addressat putusan MK menganggap tidak ada

yang perlu ditindaklanjuti atau diimplementasikan.

Berdasarkan penelitian dan tertulisan dalam beberapa kajian buku,

sampai dengan pengucapan putusan tahun 2012 terdapat beberapa putusan

pengujian undang-undang terhadap UUD NRI tahun 1945 yang dalam

amarnya memuat putusan inkonstitusional bersyarat, ditemukan sebanyak

31 putusan seperti dikemukakan di atas, lahirnya model putusan

Page 81: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

71

inkonstitusional bersyarat didasarkan pengalaman tidak efektifnya putusan

konstitusional bersyarat sehingga secara karakteristik kedua model putusan

tersebut tidak ada perbedaan. 104

Putusan Inkonstitusional Bersyarat merupakan model terbalik dari

model putusan konstitusional bersyarat untuk mengabulkan permohonan

pengujian undang-undang. Baik konstitusional bersyarat maupun

inkonstitusional bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang

secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu

norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung

adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan

ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang

secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak

bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat deklaratif putusan

tersebut merupakan pernyataan permulaan yang digantungkan kepada

pelaksanaan norma yang diuji ataupun pembuatan undang-undang yang

diuji di mana harus didasarkan pada tafsiran, arah, pedoman, dan rambu-

rambu yang diberikan MK. Jika syarat yang ditentukan MK dipenuhi maka

norma tersebut tetap dapat dipertahankan keberlakuannya (conditionally

constituonal) meskipun pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi

(condionally unconstitutional). Dengan demikian secara karakteristik,

model putusan konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat

secara substansial tidak berbeda.105

Putusan Konstitusional bersyarat dan Inkonstitusional bersyarat

dapat memberikan pintu masuk perumusan norma baru. Dalam amar

putusannya Mahkamah Konstitusi memberikan persyaratan tertentu dan

bahkan Mahkamah Konstitusi dapat mengubah atau membuat baru bagian

104 Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 10

105 Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 11

Page 82: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

72

tertentu dari isi suatu undang – undang yang diuji, sehingga norma dari

undang – undang itu juga berubah dari sebelumnya. Hal ini pun sama

kasusnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-

XIII/2015 yang memberikan norma baru terhadap Pasal 109 ayat 1 Undang

– Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dengan

mensyaratkan “Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat

perintah dimulainya penyidikam kepada penuntut umum, terlapor, dan

korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah

dikeluarkannya surat perintah penyidikan”. Hal ini tentu merupakan

terobosan hukum sebagai norma baru yang muncul dalam Pasal 109 ayat

(1) dalam penyidikan yang mengubah tafsiran sebelumnya yang berbunyi,

“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa

yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada

penuntut umum”. 106

Dari frasa tersebut terdapat ketidakpastiaan hukum, dimana waktu

untuk memberitahukan dimulainya penyidikan suatu peristiwa yang

merupakan tindak pidana dari penyidik kepada penuntut umum ini tidak

diatur dalam Pasal ini, sehingga banyak menimbulkan permasalahan hukum

dan mengakibatkan terlanggarnya hak – hak konstitusional waraga

Indonesia. Dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon oleh

Mahkamah Konstitusi melalui tafsirannya ini diharapkan dapat mengisi

kekosongan hukum yang terjadi sehingga hak – hak konstitusionalitas

warga Indonesia terjamin.

Jika tafsir yang ditentukan dalam putusan MK dipenuhi, maka suatu

norma atau undang-undang tetap konstitusional sehingga dipertahankan

legalitasnya, sedangkan jika tafsir yang ditentukan dalam putusan MK tidak

dipenuhi maka suatu norma hukum atau undang-undang menjadi

inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI

tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

106 Andi Hamzah, KUHP dan KHUAP, (Jakarta : Rieke Cipta, 2016), h. 276

Page 83: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

73

Menurut Mahfud M, “...Mahkamah Konstitusi boleh saja membuat

putusan yang tidak ada panduannnya di dalam hukum acara, bahkan secara

ekstrem bisa keluar dari undang-undang apabila undang-undang itu tidak

memberikan rasa keadilan”. Model putusan yang merumuskan norma baru

didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera

dilaksanakan. Dengan demikian ada problem implementasi jika putusan

Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan suatu norma bertentangan dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan timbul kekosongan

norma sementara norma tersebut sedang, akan, bahkan telah

diimplementasikan namun menimbulkan persoalan konstitusional terutama

dalam penerapannya. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam

putusannya kemudian merumuskan norma baru untuk mengatasi

inkonstitusionalitas penerapan norma tersebut. Rumusan norma baru

tersebut pada dasarnya bersifat sementara, nantinya norma baru tersebut

akan diambil-alih dalam pembentukan atau revisi undang - undang

terkait.107 Putusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari asas erga omnes yang

memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap seluruh komponen

bangsa, sehingga semua pihak harus tunduk dan taat melaksanakan putusan

tersebut. 108

107 Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 13

108 Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012), ... h. 4

Page 84: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Implikasi dari inkonstitusional bersyarat yang terdapat dalam putusan

Mahkmah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 adalah dinyatakan

nya pasal tersebut menjadi konstitusional namun dengan mensyaratkan

sesuatu berdasarkan penafsiran yang dibangun oleh Mahkamah

Konstitusi. Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional

bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang secara hukum

tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan

tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya

penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat,

pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang

secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau

tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan

hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jika syarat

yang ditentukan Mahkamah Konstitusi dipenuhi maka norma tersebut

tetap dapat dipertahankan keberlakuannya (conditionally constituonal)

meskipun pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi (condionally

unconstitutional).

2. Permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1),

Pasal 138 ayat (1) dan (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang –

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum

Acara Pidana menujukan bahwa konstituionalitas pasal – pasal tersebut

diragukan dan dianggap bertentangan dan tidak memiliki kekuatan

hukum. Konstitusionalitas Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal

138 ayat (1) dan (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i Undang – Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara

Pidana, dapat dilihat dari subtansi pasal – pasal di atas. Karena

konstitusionalitas pasal dimaksud tidak hanya dilihat dari sisi

pengertian, muatan materi pasal – perpasal dalam UUD NRI

Page 85: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

75

tahun 1945 melainkan juga dilihat dari sisi jiwa dan semangat

munculnya pasal – pasal tersebut Karena konstitusionalitas pasal

dimaksud tidak hanya dilihat dari sisi pengertian, muatan materi pasal

– perpasal dalam UUD NRI tahun 1945 melainkan juga dilihat dari sisi

historis, jiwa, semangat dan tujuan munculnya pasal – pasal tersebut.

3. Dikabulkannya permohonan Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut

memberikan temukan hukum baru, karena faktanya hakim berpendapat

Pasal tersebut inkonstitusional dengan mensyaratkan suatu ketentuan

berdasarkan penafsiran hukum. Dasar pertimbangan hakim adalah

tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntu

umum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak

konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Selain itu, adanya

keterlambatan mengirim SPDP dari penyidik kepada jaksa penuntut

umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan

dimulai penyidikan itu harus disampaikan kepada jaksa penuntut umum

menyebabkan tidak adanya kepastian hukum.

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Para penegak hukum khususnya Mahkamah Konstitusi dalam memutus

suatu undang – undang bertentangan atau tidaknya terhadap UUD NRI

tahun 1945 harus melihat dari segala aspek tidak hanya melihat subtasni

yang diujikan.

2. Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang bebas terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintah berhubung dengan hal itu harus

termaktub dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim, dan

memposisikan dirinya sebagai negative legislator bukan positif

legislator.

3. Dengan demikian, bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam

mengadili kepada peraturan perundang – undangan dan bebas untuk

menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut.

Page 86: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

76

4. Sebagai masyarakat, kita harus tunduk dan patuh terhadap isi putusan

hakim. Dan kita harus menjunjung tinggi adagium hukum interpretatio

cessat in claris yang berarti jika suatu teks atau redaksi Undang -

Undang telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan

lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata – kata yang jelas

sekali berarti penghancuran.

Page 87: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

77

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010

Arifin Hoesein Zainal, Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade

Pengujian Peraturan Perundang - undangan, Raja Grafindo Persada,

Jakarta 2009

Ali, Faried, Teori dan Konsep Administrasi (Dari Pemikiran Paradigmatik dan

Menuju Redefinisi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

Kencana, 2006

Asy’ari, Syukri, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi

dalam Pengujian Undang – Undang (Studi Putusan Tahun 2003 – 2012),

Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan

Teknologi Informasi dan komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, 2013

Asshiddiqie Jimly, Demokrasi dan Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia

Baru, Kapita Selekta Teori Hukum, Jakarta, 2000

, Model- Model Pengujian Konstitusional di Berbagai

Negara, Jakarta, Kompress 2005

, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT

Bhuana ilmu populer, 2007

, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2010

Busroh Abu Daud, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 2001

Bhakti, Ardiswirastra Yudha, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Bandung : PT.

Alumni, 2008

Gede Palguna Dewa, Pengaduan Konstitusional ( constitutional complant)

upaya hukum terhadap pelanggaran hak – hak konstitusional warga

negara, Jakarta: Sinar Grafika 2013

Hadjar, A. Fickar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang

Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003.

Hamzah Andi, KUHP dan KHUAP, Jakarta : Rieke Cipta, 2016

Page 88: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

78

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Harjono. Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.

HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII-Press, 2002

Ibrahim, J Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Malang: UMM Press, 2007

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, Cet. II, 2006

Maggalatung, Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara

Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Bandung: Fajar Media, 2013

Maggalatung, Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD

1945, Jakarta : Focus Grahamedia, 2015

, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di

Indonesia, Jakarta : Focus Grahamedia, 2012

Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive

Legislature Jakarta : Konstitusi Press, 2013

MD, Moh Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:

Rineka Cipta, 2000,

MD, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

Jakarta: Rajawali Pers, 2011

Rildwan Zulkarnain, dalam Jurnal Konstitusi, Kompetensi Hakim Konstitusi

dalam penafsiran konstitusi Jakarta: MK, 2011,

Salman, H.R. Otje, Anthon F. Susanto Teori Hukum ( Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung : PT. Refika Aditama

2007

Slamet Kurnia Titon, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sang Penjaga

HAM ( the Guardian of Human Rights) PT. Alumni Bandung 2013

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat, Edisi I, Cet. XII, Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Bandung: Alfabeta,

2014

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003

Sudarsono. Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,1992

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada,1997

Page 89: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

79

Sumantri Sri, Hukum Uji Matriel, Bandung : Alumni, 1997

Sutiyoso Bambang, , Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7

Nomor 6, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

Jakarta : Desember 2010

Susanto Agus, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara pada

Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju, 2006

Sukarno Aburaera, Dr. Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,

Jakarta : Prenadamedia Group, 2013

Syahuri Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta :

Kencana 2011

Syahrizal Ahmad, 2006, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi

Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,

Pradnya Paramita, Jakarta

Tim Penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Balai Pustaka Edisi kedua, 1991

Thaib Dahlan, Jazim Hami, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum

Konstitusi,Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada 2004

B. JURNAL HUKUM

Isra Saldi, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di

Mahkamah Agung, Jakarta: Jurnal Nasional, 2010

Katherine Glenn Bass and Sujit Choudry, Constitutional Review in New

Democracies, diunduh pada 17 Februari 2017 dari

http://www.democracyreporting.org/files/dribp40_en_constitutional_re

view_in_new_ democracies_201309.pdf.

Maggalatung Salman, Indonesia Negara Hukum Demokratis Bukan Negara

Kekuasaan Otoriter, Jurnal Salam, 2015

Rahman, Faiz dan Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik

Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi Existence and Characteristics

of Conditional Decision of The Constitutional Court diunduh 17

Februari 2018 dari https://media.neliti.com/media/publications/113807-

ID-eksistensi-dan-karakteristik-putusan-ber.pdf

Santoso M. Agus, Perkembangan Konstitusi di Indonesia, Jurnal Yustisia Vol.2

No.3 September - Desember 2013

Page 90: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

80

C. SKRIPSI

Rahman, Faiz, Implikasi Putusan Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang

Terhadap Sifat Final Dan Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi,

Skripsi Tahun 2016 diunduh 19 Februari 2018

http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93217/potongan/S1-2016-

328557-abstract.pdf

Yanita, Derita, berjudul, Implementas Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan

Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam Proses Penyidikan Studi Putusan

MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, Skripsi Tahun 2018 diunduh 19 Maret

2018 dari

http://digilib.unila.ac.id/30627/19/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20

PEMBAHASAN.pdf

D. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 130/PUU-XIII/2015 Tentang Uji

Materil Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang

– Undang Hukum Acara Pidana

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional

Daerah

Undang – Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya

Undang – Undang No 1 Tahun 1946 Republik Indonesia dan Mengubah

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Lembar Negara Nomor 1958

dan Tambahan Lembar Negara Nomor 1680

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang

Hukum Acara Pidana Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981

Nomor 76 dan Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor

3209

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan atas Undang – Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembar Negara

Republik Indonesia Nomor 70 Tambahan Lembar Negara Nomor 5226

Page 91: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

81

LAMPIRAN – LAMPIRAN

Page 92: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

PUTUSAN Nomor 130/PUU-XIII/2015

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh:

1. Nama : Choky Risda Ramadhan

Pekerjaan : Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI)

Alamat : Pondok Surya Blok CC Nomor 9 Karang Tengah,

Tangerang, Banten.

2. Nama : Carolus Boromeus Beatrix Tuah Tennes

Pekerjaan : Aktivis Hak Asasi Manusia

Alamat : Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo Gang IV Nomor 45

Kelurahan Dadi Mulya Samarinda, Kalimantan Timur.

3. Nama : Usman Hamid

Pekerjaan : Aktivis Hak Asasi Manusia

Alamat : Jalan Bangun Jaya Blok C/18, Duren Sawit, RT.005/010

4. Nama : Andro Supriyanto

Pekerjaan : Musisi Jalanan

Alamat : Jalan Langgar, RT 01 RW 09 Gg Bahagia 5 Kelurahan

Cipadu, Kecamatan Larangan

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 25, 29, dan 30

September 2015 memberi kuasa kepada Alghiffari Aqsa, S.H., Johanes Gea, S.H., Muhamad Isnur, S.H., Nelson N. Simamora, S.H., Pratiwi Febry, S.H., Eny Rofiatul, S.H., Maruli Tua Rajagukguk, S.H., Atika Y. Paraswaty, S.H., M.H., Ichsan Zikry, S.H., Arif Maulana, S.H., M.H., Veronica Koman, S.H.,

SALINAN

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 93: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

152

dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 14.04 WIB, oleh sembilan Hakim

Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams,

Manahan M.P Sitompul, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai

Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan

Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait.

KETUA,

ttd.

Arief Hidayat

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Suhartoyo

ttd.

Aswanto

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

Patrialis Akbar

ttd.

Wahiduddin Adams

ttd.

Manahan M.P Sitompul

ttd.

I Dewa Gede Palguna

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Hani Adhani

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 94: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (
Page 95: KONSTITUSIONAL DAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT ......Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat merupakan model putusan yang memuat atau mengandung penafsiran (

BIOGRAFI SINGKAT PENELITI

Nana Supena, ia lahir di Ciamis pada 17 Oktober 1994.

Dia adalah mahasiswa Hukum Konsentrasi Kelembagaan

Negara Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sayariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2014.

Dia aktif dalam berbagai organisasi kampus, salah satunya

adalah Lembaga Dakwah Kampus dan dia adalah Masulah

atau ketua Komisariat Dakwah Kampus Fakultas Syariah

dan Hukum Peiode 2016 – 2017. Dia pernah menjuarai Lomba Essai Nasional

bertema “Mencari Model Pendidikan Agama Islam Berbasis Nilai-Nilai

Keindonesiaan” bagi Mahasiswa se-Indonesia yang dilaksanakan oleh BEM

Jurusan Ilmu Agama Islam Universitas Negeri Jakarta bersama Persatuan Pewarta

Warga Indonesia dari tanggal 01 Juli s/d 25 September 2015. Tahun 2016, Essainya

yang berjudul specialty of women in family law (inheritance Matrileal Culture

System in Minangkabau, Indonesia), diterima oleh Intecess16 Internasional

Conference on Education and Social Science yang diselenggarakan di Istanbul

Turkey pada 08 – 10 Februari 2016. Tahun 2017, dia menjadi perwakilan Kuliah

Kerja Nyata Internasional Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta di Sabah

Malaysia dari tanggal 26 Juli – 28 Agustus 2017 Selain itu dia menghabiskan

waktunya mengabdi di sekolah MA Al-Islamiyah PUI sebagai Guru. Moto

hidupnya adalah “Do the best, be good, then you will be the best” “ lakukan yang

terbaik, bersikaplah yang baik maka kau akan menjadi orang yang terbaik”