konsep kritisisme dalam pembelajaran agama islam...

42
16 BAB II KONSEP KRITISISME DALAM PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM A. Konsep Kritisisme 1. Sejarah dan perkembangan pedagogik kritis Kegagalan berbagai pemikiran seperti positivisme, kominisme, kapitalisme, telah melahirkan alternatif pemikiran baru mengenai hakikat masyarakat, dan hakikat negara. Lahirlah pemikiran-pemikiran kritis mengenai masalah-masalah dari kehidupan manusia. 1 Di dalam perkembangan pemikiran mengenai manusia ini, khususnya telah melahirkan pemikiran filsafat yang dikenal sebagai posmodernisme (post- modernisme). Lahirnya filsafat posmodernisme ini juga berarti munculnya pedagogik kritis, karena antara keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Namun secara umum postmodernisme dapat dirumuskan sebagai upaya kritis untuk meninjau kembali modernisme. 2 Sebab lain yang berperan dalam melahirkan pedagogik kritis adalah lahirnya negara-negara baru pasca perang dunia II, pendidikan menjadi sebuah pengharapan akan kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat dalam suatu negara. Pendidikan merupakan tumpuan utama untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan negara dan untuk memperkecil gap dengan negara-negara maju. Salah satu program untuk mempercepat proses itu antara lain melalui program buta huruf, dari membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk pendidikan rakyat. 3 Kritisisme adalah aliran yang muncul pada abad ke 18, suatu zaman baru di mana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Adalah Immmanuel Kant seorang filosof Jerman mencoba menyelesaikan konflik antara rasionalisme dan empirisme tersebut. Pada mulanya ia mengikuti rasionalisme tetapi kemudian ia terpengaruh dengan empirisme, pada 1 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan,Pengantar Transformasi untuk Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2002), Hlm. 210 2 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, ( Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 247 3 H.A.R. Tilaar, Op. Cit, hlm. 210

Upload: trandung

Post on 02-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

KONSEP KRITISISME DALAM PEMBELAJARAN

AGAMA ISLAM

A. Konsep Kritisisme

1. Sejarah dan perkembangan pedagogik kritis

Kegagalan berbagai pemikiran seperti positivisme, kominisme,

kapitalisme, telah melahirkan alternatif pemikiran baru mengenai hakikat

masyarakat, dan hakikat negara. Lahirlah pemikiran-pemikiran kritis

mengenai masalah-masalah dari kehidupan manusia.1 Di dalam

perkembangan pemikiran mengenai manusia ini, khususnya telah

melahirkan pemikiran filsafat yang dikenal sebagai posmodernisme (post-

modernisme). Lahirnya filsafat posmodernisme ini juga berarti munculnya

pedagogik kritis, karena antara keduanya saling terkait dan saling

mempengaruhi. Namun secara umum postmodernisme dapat dirumuskan

sebagai upaya kritis untuk meninjau kembali modernisme.2

Sebab lain yang berperan dalam melahirkan pedagogik kritis adalah

lahirnya negara-negara baru pasca perang dunia II, pendidikan menjadi

sebuah pengharapan akan kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat

dalam suatu negara. Pendidikan merupakan tumpuan utama untuk

mempercepat pertumbuhan dan pembangunan negara dan untuk

memperkecil gap dengan negara-negara maju. Salah satu program untuk

mempercepat proses itu antara lain melalui program buta huruf, dari

membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk pendidikan rakyat.3

Kritisisme adalah aliran yang muncul pada abad ke 18, suatu zaman

baru di mana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan

pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Adalah Immmanuel Kant

seorang filosof Jerman mencoba menyelesaikan konflik antara

rasionalisme dan empirisme tersebut. Pada mulanya ia mengikuti

rasionalisme tetapi kemudian ia terpengaruh dengan empirisme, pada

1 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan,Pengantar Transformasi untuk Indonesia,

(Jakarta : Grasindo, 2002), Hlm. 210 2 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, ( Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 247 3 H.A.R. Tilaar, Op. Cit, hlm. 210

17

akhirnya ia pun mengakui kebenaran akal dan keniscayaan empirik, dan ia

mengadakan sintesis dari keduanya. Walaupun semua pengetahuan

bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari

benda (empirisme). Jadi metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia

mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal tetapi ia tidak

mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal.4 Sehingga

akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitasnya dari

kehidupan dapat diterima kenyataannya. Kritiknya terhadap pengetahuan

sebagai sarana mencapai kesimpulan filosofis, ditekankan oleh Kant dan

diterima oleh para pengikutnya. Ada penekanan pada pikiran yang

dilawankan dengan materi, yang pada akhirnya mengarah kepada

penegasan bahwa hanya pikiranlah yang eksis.5

Bagi Kant, Tuhan, kebebasan, dan keabadian merupakan tiga “gagasan

tentang rasio”. Rasio murni memang mendorong untuk membentuk

gagasan-gagasan, namun ia tidak dengan sendirinya mampu membuktikan

realitas gagasan-gagasan tersebut. Gagasan ini memilki signifikansi praktis

yaitu berkaitan dengan moral. Penggunaan rasio yang murni intelektual

mengarah kepada kekeliruan, penggunaan yang benar adalah diarahkan ke

tujuan moral.

Penggunaan rasio ini dalam bukunya The Critique of Pure Reason, dan

kemudian diperjelas dalam The Critique of Practical Reason, dia

berpendapat bahwa ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni

kebahagiaan yang sebanding dengan kebajikan. Dan hanya Tuhan yang

bisa menjamin hal itu.6

2. Teori Sosial Kritis (Mazhab Frankfurt)

Teori sosial kritis atau yang lebih dikenal sebagai mazhab Frankfurt,

banyak mempengaruhi pedagogik kritis atau sekurang-kurangnya

mempunyai kesamaan orientasi. Adapun tokoh-tokoh yang terkenal di

dalam mazhab Frankfurt ini antara lain Max Horkheimer dan Theodor

Wisengrund Adorno. Selanjutnya terdapat berbagai tokoh filsafat dan

psikologi yang tergabung di dalam lembaga tersebut misalnya Herbert

4 Jurnal Edukasi Vol. II, No. 1, Januari 2004, hlm. 42 5 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat,Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman

Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 919 6 Bertrand Russel, Ibid, hlm. 926

18

Marcuse, Erich Fromm, dan yang sangat terkenal sampai saat ini ialah

Jurgen Habermas sebagai pewaris mazhab Frankfurt.7

Karena Habermas adalah seorang filsuf Jerman terkemuka pada abad

20 dan merupakan tokoh yang sangat menonjol sebagai pewaris dari

mazhab Frankfurt, ada baiknya apabila kita melihat sebentar dasar-dasar

pokok dari pemikiran Habermas. Tulisan-tulisan mengenai filsafat sosial

sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dan sosiologi pada

masanya. Habermas menjadi seorang tokoh pengkritik sistem rasional dan

tentu juga terhadap sains. Ia mengkritik mengenai proses rasionalisme

yang telah melahirkan berbagai produk modernitas seperti teknologi, sains,

ekonomi kapital yang keseluruhannya telah memperbudak manusia dan

mengerdilkan kreativitas manusia.8 Dalam kritiknya tersebut Habermas

menginginkan agar kemerdekaan dan keadilan dapat ditegakkan. Pendapat

yang hampir sama dari Freire memandang pendidikan merupakan pilot

project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk

masyarakat baru.9

Sedangkan yang menarik dari teori kritis sosial mazhab Frankfurt ini

yaitu mengenai pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Teori ini

beranggapan bahwa apa yang disebut sebagai objektifitas ilmu-ilmu,

tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan.10 Jadi ilmu pengetahuan

hanya dipandang sebagai salah satu upaya dominasi dari penguasa kepada

masyarakat. teori tradisional ternyata melayani kepentingan status quo

yaitu untuk kelanggengan struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian

objektivitas teori-teori tradisional telah menghapuskan dimensi kritis

Pada perkembangan selanjutnya teori sosial kritis mengelompokkan

ilmu-ilmu atas tiga kelompok11 yaitu : pertama, ilmu-ilmu empiris

analitis. Seperti ilmu-ilmu kealaman, tujuannya adalah untuk dapat

mempelajari dan menguasai alam.kedua, ilmu-ilmu histories hermeneutis.

Seperti limu-ilmu sejarah dan ilmu penelitian arti-arti tulisan dan dokumen

7 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosila dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformasi untuk

Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm. 221 8 H.A.R. Tilaar, Ibid, hlm. 222 9 Paulo Freire, Politik Penddikan, Kebudayaan, Kekuasan dan Pembebasan, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 5 10 H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm, 225 11 H.A.R. Tilaar, Ibid,

19

sejarah. Tujuannya adalah menangkap makna, kemudian mengusahakan

peningkatan saling pengertian dan tujuan tindakan bersama. Dan yang

ketiga, ilmu-ilmu tindakan. Seperti ekonomi, sosilogi, politik dan juga

termasuk pendidikan. Tujuannya adalah untuk membantu manusia di

dalam bertindak bersama. Tujuan internal dari ilmu-ilmu ini ialah

pembebasan. Atau dalam pandangan Paulo Freire bahwa tujuan tertinggi

manusia adalah humanisasi melalui proses pembebasan.12 dari pemikiran

Habermas inilah dapat kita lihat betapa filsafat kritis sosial bertitik tolak

dari landasan yang sama yakni kehidupan bersama manusia. Dalam

pemikirannya ini sebenarnya Habermas ingin mengarahkannya untuk

menganalisis persyaratan-persyaratan komunikasi antar manusia yang

terbuka dan terbebas dari penindasan dan pemaksaan.

Sedangkan mengenai kebebasan dalam tindakan manusia ini Habermas

mengemukakan adanya empat tindakan13 yaitu : pertama, tindakan

teologis.yaitu tindakan yang didasarkan pada pengambilan keputusan.

Dalam mengambil keputusan tentunya diperlukan pemahaman dan

kebebasan manusia untuk mengambil keputusan dari kemungkinan-

kemungkinan yang ada. Kedua, tindakan normatif. Yaitu tindakan yang

memandang jauh ke depan, serta merupakan keputusan dari kemungkinan-

kemungkinan yang tak lain tindakan tersebut didasarkan pada norma-

norma. Ketiga, tindakan drama-turgik. Tindakan ini berkenaan dengan

penampilan diri seseorang di dalam kehidupan bersama. Dan yang terakhir

adalah tindakan komunikatif, yaitu sebuah tindakan untuk berinteraksi

dengan yang lain. Dalam tindakan ini diperlukan sebuah pemahaman atau

interpretasi. Tanpa pemahaman atau interpretasi maka dapat menimbulkan

kesalahpahaman dalam proses interaksi.

Seperti dijelaskan oleh Sunarto dalam buku Epistemologi Kiri, bahwa

dalam pandangan mazhab Frankfurt teori kritis ini berurusan dengan

prinsip-prinsip umum, tidak membentuk ide, melainkan memberikan

kesadaran untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Karena itu

12 Paulo Freire, Op Cit, hlm. 176 13 H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm, 226

20

fungsi teori kritis ini adalah emansipatoris. Teori ini mempunyai beberapa

ciri14 antara lain :

1 Kritis terhadap masyarakat. mazhab Frankfurt juga mempertanyakan

sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan

dalam masyarakat.

2 Teori kritis berpikir secara historis dengan berpijak pada proses

masyarakat yang historis.

3 Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu

bentuk ideologis yang dimilki oleh struktur dasar masyarakat. itulah

yang terjadi dengan pemikiran filsafat modern. Menurut mazhab

Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum

kapitalis. Teori harus mempunyai kekuatan, nilai dan kebebasan untuk

mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk

menjadi ideologi.

4 Teori kritis tidak memisahkan teori dan praktik, pengetahuan dari

tindakan, rasio teoretis dari rasio prkatis. Perlu dicatat bahwa rasio

praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang

hanya memperhitungkan alat atau sarana saja.

Demikianlah uraian tentang dasar-dasar pemikiran teori kritis sosial

mazhab Frankfurt yang dalam perkembangannya mempunyai dampak

yang sangat besar dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, termasuk

pendidikan.

3. Pengertian Konsep Kritisisme

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pendidikan kritis ini terlebih

dahulu akan dipaparkan mengenai pegertian dari pendidikan kritis itu

sendiri. Menurut Sunarto perlu digaris bawahi bahwa teori kritis adalah

sebuah “gerakan inteketual yang dilakukan bersama-sama oleh

sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah tertentu.15 Teori kritis

bukanlah usaha seorang filsuf saja. Teori kritis tidak pernah mandeg. Ia

mengalir dan berubah. Sejak awal teori ini berambisi untuk menjawab

perkembangan sejarah aktual masa itu.

14 Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta : Ar-Ruzz media, 2003), hlm. 100-101 15 Listiyono Santoso, Ibid, hlm. 94

21

Pendidikan kritis atau berpikir kritis adalah konsep yang kaya dan

bervariasi yang dikembangkan dari pemikiran orang banyak. Robert Ennis

mendefinisikan :

Critical thinking is reasonable reflective thinking that focused on

deciding what to believe or do; berpikir kritis adalah berpikir yang

beralasan, reflektif yang memfokuskan dalam memutuskan apa yang harus

dipercayai dan apa yang harus dikerjakan.16

Dalam The Encyclopedia of Education dituliskan pula bahwa criticism

is the judicious appraisal, analysis and evaluation of works created or

recorded by men.17 Dan dalam kritik itu tidak selamanya negatif dan hanya

mencari-cari kesalahan saja. Sedangkan dalam literatur lain dijelaskan

bahwa kritik adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai oleh

argumentasi baik maupun buruk tentang suatu karya, pendapat, situasi

maupun tindakan seseorang atau kelompok.18

Pada dasarnya pendidikan kritis merupakan aliran, paham dalam

pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan19. Perdebatan mengenai

peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktisi merunut paham dan

tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem kapitalisme dan dari traidis

pemikiran mereka yang mencita-citakan perubahan sosial dan struktur

antara lain menuju masyarakat yang adil dan demokratis.

Kritik mempunyai makna yang sangat beragam dan pada substansinya

kritk adalah sebuah pengembangan tingkat berpikir untuk tidak mudah

menerima sesuatu dan akhirnya memahami sebuah kekurangan yang harus

dibenahi.

Dalam perspektif pendidikan kritis, urusan pendidikan adalah

melakukan refleksi kritis, tehadap the dominant ideology ke arah

transformasi sosial. Dalam hal ini tugas utama pendidikan menciptakan

ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta

16 D. Alan Bensley, Critical Thinking Psychology, USA ; Acid-Free Recycled Paper, 1998,

sebagaimana dikutip oleh Rikza Chamami dalam, Mengeja Epistemologi Pendidikan Islam Kritis, Jurnal Edukasi, Op Cit, , hlm. 43

17 Lee C. Deighton (ed), The Encyclopedia of Education, America ; The Mac Millan Company and Free Press, tth, hlm. 303

18 Mochtar Mas’oed, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta : UII Press, 1997), hlm. 4

19 Mansour Fakih, dkk. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 27

22

melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial ynag lebih

adil. Dengan kata lain bahwa tugas utama pendidikan adalah

“memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena

sistem dan struktur yang tidak adil.

Usaha untuk memanusiakan manusia tersebut tidak akan pernah

tercapai manakala pendidikan yang ada masih menganggap peserta didik

sebagai objek dan guru adalah subjek, atau dalam bahasa Freire disebut

dengan pendidikan gaya bank. Mengenai gaya bank tersebut Freire

menyusun daftar antagonismenya sebagai berikut :

a. Guru mengajar, murid diajar

b. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa

c. Guru berpikir, murid dipikirkan

d. Guru bicara, murid mendengarkan

e. Guru mengatur, murid diatur

f. Guru memilih dan memaksakan kehendaknya, murid menyetujui

g. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya bertindak sesuai dengan

tindakan gurunya.

h. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta

pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran.

i. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan

kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi

kebebasan muridnya.

j. Guru adalah subjek dalam proses belajar mengajar, murid adalah objek

belaka.20

Konsep ini hanya akan membawa guru pada anggapan bahwa murid

adalah subjek yang tak berkesadaran, senantiasa pasif dan menerima apa

saja yang diberikan guru. Bagi Freire, jika model pendidikan yang

diterapkan seperti di atas, maka yang terjadi adalah pendidikan telah

diarahkan pada proses dehumanisasi21 (menghilangkan kemampuan

manusia sebagai manusia).

20 Muh dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta ; Djambatan, 2000), hlm. 48-49 21 Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses dominasi. Sedang pendidikan yang

humanis adalah sebuah proyek utopia (dalam arti yang posesif) untuk bangun dari keadaan tertindas dan terjajah. Maka jelas keduanya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo atau untuk merubah secara radikal (lihat

23

Karena sebenarnya hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran

bagi manusia agar dapat mengenal realitas kehidupan ini, peka terhadap

segala sesuatu yang terjadi, serta mampu melakukan dan menyelesaikan

segala permasalahan yang ada di sekitarnya.

Dalam proses pendidikan, untuk dapat memanusiakan kembali

manusia dan menghilangkan dehumanisasi hanya dapat dilalui dengan

menumbuhkan kesadaran. Adapun menurut Freire mengenai kesadaran ini

terbagi menjadi tiga22 kategori yaitu sebagai berkut :

1 Magic Consciousness (Kesadaran Magis)

Manusia dalam tahap ini tidak bisa memahami realita dan dirinya

sendiri, dia merasa bahwa semua yang terjadi adalah karena takdir dan

sebagai manusia hanya bisa menjalani tanpa merasa harus dapat

merubah kondisi yang dialaminya tersebut. Semua yang dia alami baik

bodoh, terbelakang, tertindas dan lain-lain adalah merupakan “suratan

takdir” yang tidak bisa diganggu gugat.

“In magical consciousness, although men’s horizons have expanded and they respond more openly to stimuli, these responses still have a magical quality”. 23

Kesadaran ini bercirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan

manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk

melawan kekuasaan. Orang-orang dalam tingkat kesadaran magis juga

akan berempati kepada para penindas. Mereka menunjukkan bukan

hanya mengerti, tetapi juga bersimpati pada masalah-masalah yang

dihadapi penindas. Setelah mengetahui penindas mempunyai

kekuasaan yang kuat, mereka mengidentifikasi kekuasaan dengan

kebaikan dan kebenaran.24

dalam Paulo Freire, “Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan”), Op. Cit, hlm. 190

22 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita, (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2005), hlm. 81

23 Paulo Freire, “Education for Critical Consciousness”, (New York ; Continuum, 1969),

hlm. 18 24 William A. Smith, “Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire”, (Yogyakarta ;

Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 66

24

2 Naival Consciousness (Kesadaran Naif)

Jenis kesadaran ini sedikit di atas tingkatan magis, dalam kesadaran

ini manusia sudah dapat memahami bahwa dirinya itu terbelakang,

bodoh dan tertindas, dan itu adalah hal yang tak lazim bagi

kemanusiaan tetapi ia belum mampu untuk membaca kondisi

sosialnya, belum mampu mencari penyebab dari segala

keterbelakangan yang dia alami. Apalagi untuk mengajukan suatu

tawaran solusi dari problem sosialnya.

3 Critical Consciousness (Kesadaran Kritis)

Ini adalah tipe kesadaran yang paling ideal diantara kesadaran-

kesadaran yang lain. Kesadaran ini bersifat analitik dan praktis, di

mana seseorang sudah mampu untuk menganalisa kondisi sosial yang

terjadi mulai dari pemetaan masalah, identifikasi, serta mampu untuk

menemukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia

juga mampu untuk menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu

problem sosial.

Mengenai kesadaran kritis ini Freire menjelaskannya seperti yang

tertuang dalam “Education for Critical Consciousness” sebagai

berikut:

“The critically transitive consciousness is characterized by depth in the interpretation of problems; by the subtitution of causal prinsiples for magical explanations; by the testing of one’s “findings” and by openness to revision; by the attemp to avoid distortion when perceiving problems and to avoid preconceived notion when analizing them; by refusing to transfer responsibility; by rejecting passive positions; by soundness of argumentation; by the practice of dialogue rather than polemics; by receptivity to the new for reasons beyond mere novelty and by the good sense not to reject the old just because it is old – by accepting what is valid in both old and new”.25

Kesadaran ini ditandai dengan penafsiran yang mendalam tentang

berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan

kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan

seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan

usaha untuk melakukan distorsi ketika memahami masalah dan

25 Paulo Freire, “Education for Critical Consciousness”, Op. Cit, hlm. 18

25

menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika

menganalisa masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung

jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat;

dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima

pandangan baru tetapi bukan karena sekedar karena sifat kebaruannya

dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kunonya karena

sifat kekunoan-nya – yakni dengan menerima apa yang benar menurut

pandangan kuno dan baru.

Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas, dan dalam

tiap pemahaman realitas cepat atau lambat akan diikuti dengan aksi

atau tindakan. Karena menurut Freire sekali manusia menangkap

adanya tantangan, kemudian memahaminya dan merumuskan

kemungkinan-kemungkinan pemecahannya, ia akan bertindak.

Sedangkan sifat-sifat tindakannya itu erat kaitannya dengan sifat-sifat

pemahamannya.26

4 Transformation Consciousness (Kesadaran Transformatif)

Tipe ini adalah merupakan puncak dari kesadaran kritis. Dalam

istilah lain kesadaran ini ialah “kesadarannya kesadaran” (the conscie

of the consciousness)27 Kesadaran transformatif akan menjadikan

manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.

Karena dalam merumuskan suatu masalah, antara ide, perkataan dan

perbuatan serta progressifitasnya berada dalam posisi seimbang.

Individu-individu yang berkesadaran kritis menganggap sistem ini

perlu ditransformasikan. Tetapi untuk mengubah realitas secara

mendasar tidak cukup dengan melakukan tambal sulam terhadap

hubungan antara penindas dan tertindas, karena penyebab penindasan

ini adalah sistem, yakni seperangkat norma yang menguasai penindas

dan tertindas. Proses transformasi ini dimulai dengan menolak dan

menyingkirkan ideologi penindas dan meningkatnya penghargaan

terhadap diri sendiri dan kekuatan komunitas. Mereka berpikir secara

ilmiah dan tidak merujuk pada kasus-kasus penindasan tetapi pada

26 Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan”,(Jakarta ; Melibas, 2001), hlm. 58 27 Mu’arif, Op Cit, hlm. 82

26

wilayah sosio-ekonomi makro di mana kehidupan berjalan dalam

konteks global.28

Inilah beberapa tingkatan kesadaran menurut Paulo Freire, mulai

dari tingkatan yang paling bawah (manusia yang belum sadar dan

menyerahkan semua pada takdir) sampai pada tingkat kesadaran

transformatif yang tertuju pada tingkat kesadaran ideal yaitu

mewujudkan manusia yang sempurna.

Dari penjelasan mengenai tingkatan kesadaran dalam pandangan Freire

di atas, dapat dipahami bahwa untuk dapat mewujudkan pendidikan kritis

sesuai dengan yang telah dicita-citakan, maka kesadaran yang ada harus

sudah sampai pada tingkat kesadaran kritis. Karena paradigma kritis dalam

pendidikan melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’

dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu menganalisis

bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana

mentransformasikannya. Maka tugas pendidikan dalam paradigma kritis

adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat

dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan

lebih baik.

Berikut ini adalah beberapa prinsip pedagogik kritis. Tentunya daftar

ini bukanlah suatu daftar yang lengkap, namun untuk menunjukkan betapa

kritisnya sikap pedagogik nengenai maslah pendidikan. Pedagogik kritis

merupakan suatu revolusi di dalam teori maupun praktik pendidikan.

Adapun prinsip-prinsip pedagogik kritis29 antara lain :

1. Dialog

Dasar utama pedagogik kritis ialah prinsip dialog. Manusia di dalam

keberadaannya selalu berdialog dengan subjek yang lain dan dengan

dunianya. Tanpa dialog manusia tidak akan bisa mewujudkan dirinya.

Pendidikan pembebasan hanya dapat terwujud apabila terjadi dialog

dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dan terhadap dunia yang

luas melalui proses penyadaran.

28 William A. Smith, “Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire”, Op Cit, hlm. 102-

103 29 H.A.R Tilaar, Op Cit, hlm. 236-242

27

2 Ilmu = konstruksi sosial

Ilmu adalah konstruksi sosial. Oleh karena itu pendidikan sistem bank

mengandung bahaya karena hanya akanmengembangkan budaya bisu.

Dalam pandangan Habermas, ilmu pengetahuan terbagi menjadi tiga

yaitu ilmu pengetahuan teknis, ilmu pengetahuan praktis dan ilmu

pengetahuan emansipatori. Sekolah-sekolah terlalu menekankan

kepada pengetahuan teknis, demikian juga dengan pengetahuan praktis

dalam mempersiapkan anak di dalam masyarakat. sedangkan untuk

pengetahuan emansipatori kurang mendapat perhatian. Padahal jenis

pengetahuan emansipatori merupakan dasar dari keadilan sisoal,

persamaan dan pemberdayaan.

3 Kelas sosial

Di dalam kehidupan masyarakat telah lahir yang namanya kelas-kelas

sosial, hal itu dapat dilihat bahwa kaum miskin tidak memperoleh

kesempatan yang sama dengan warga negara yang mempunyai

privilege untuk hidup lebih baik dan mendapatkan pendidikan yang

berkualitas. Di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa semua warga

negara mempunyai hak yang sama untuk mmperoleh pendidikan.

Namun, kenyataannya kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai

pendidikan belum semuanya memperhatikan kebutuhan golongan yang

termarjinalkan itu.

4 Hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan

Dalam suatu masyarakat yang multi budaya, kebudayaan mayoritas

dapat mendominasi kebudayaan-kebudayaan sub-kebudayaan yang

lain, sehingga merupakan kebudayaan yang tertindas. Dari situ terlihat

bahwa ada kecenderungan kebudayaan mayoritas dipaksakan. Di

sinilah peran kekuasaan yang menyelinap secara tidak kelihatan di

dalam perkembangan kebudayaan.

5 Ideologi dan hegemoni

Hegemoni atau sistem kekuasan tidak dapat dilepaskan dari ideologi.

Demikian juga dengan pendidikan tidak dapat lepas dari hegemoni dan

ideologi. Dalam hal ini pancasila sebagai ideologi negara haruslah

merupakan ideologi yang terbuka. Pedagogik kritis mempertanyakan

mengenai peranan ideologi dalam pengembangan kurikulum dan

28

kelakuan peserta-didik. Apabila ideologi dijadikan sebagai

indoktrinasi, maka hasilnya pemenjaraan kreatifitas manusia /peserta

didik.

6 Diskursus

Pengertian diskursus menurut Foucault yaitu suatu keluarga konsep

yang secara anonim berupa aturan-aturan histories, yang mengatur

kehidupan sosial-ekonomi-geografis dan lingkungan linguistik.

Singkatnya diskursus mengatur mengenai apa yang dapat dikatakan,

dan apa yang harus dirahasiakan, siapa yang harus bicara dengan

otoritasnya, dan siapa yang harus mendengar. Diskursus-diskursus

tersebut telah lahir dari kebudayaan yang domina, oleh sebab itu perlu

disimak secara kritis. Dengan demikian pendidikan kritis yang

menghasilkan tndakan dan pengetahuan haruslah diarahkan untuk

mengeliminasi penindasan, tetapi dalam keadaan yang sama dalam

mencapai keadilan dan kemerdekaan.

7 Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)

Dalam kurikulum baku telah kita ditentukan mengenai berbagai agenda

seperti contoh, situasi-situasi belajar, fasilitas belajar, termasuk

peraturan-peraturan yang harus ditegakkan di dalam sekolah. Namun

demikian, disamping program-program tersebut yang dimaksudkan

untuk mencapai sesuatu hasil, terdapat juga hasil-hasil yang

sebenarnya tidak diharapkan dari sekolah di dalam proses belajarnya.

Sebagai contoh, pandangan-pandangan gender biasanya

menguntungkan siswa laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

8 Reproduksi sosial

Lembaga sekolah yang berkaitan dengan struktur kekuasan cenderung

merupakan lembaga untuk reproduksi sosial. Metode bank yang

dipraktekkan dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah memang

terarah kepada proses reproduksi sosial. Matinya sikap kritis da

terbungkamnya kretifitas peserta-didik, akan menjadikan lembaga

sekolah sebagai lembaga transmisi produk-produk sosial budaya yang

ada. pedagogik kritis sangat peka terhadap fungsi sekolah sebagai agen

reproduksi sosial semata-mata. Menjadikan lembaga sekolah sebagai

pusat pengembangan budaya dan pusat pengembagan hubungan

29

subyek-subyek merupakan tugas yang berta dan serius. Sekolah harus

diubah menjadi arena dialog antara guru - siswa - orang tua dan –

masyarakat yang memiliki lembaga sekolah tersebut.

9 Kapital budaya (cultural capital)

Konsep ini lahir dari filsuf sosiolog Prancis yang terkenal, Pierre

Bourideu. Ia membedakan antara cultural capital dan human capital.

Di dalam kapital budaya tersoroti, misalnya mengenai teori tenaga

kerja dari pendidikan dan masalah-masalah lain yang terdapat di dalam

kebudayaan. Dalam hal ini, Bourdieu berbeda dengan mazhab

Frankfurt. Apabila mazhab Frankfurt menekankan kepada kritik

sebagai bagian yang esensial dari teori, maka Bourdieu melihat kritik

sebagai konsekuensi dari suatu struktur.

Inilah beberapa prinsip mengenai pendidikan kritis, dan hal inilah yang

menjadikan konsep ini disebut sebagai pendidikan kritis, karena pedagogik

ini menyimak secara kritis hubungan pendidikan sekolah, pendidikan,

budaya, masyarakat, ekonomi dan pemerintah. Pedagogik kritis melihat

masalah-masalah hubungan pendidikan tersebut melalui berpikir kritis,

dengan mempergunakan logika untuk mengakses dan mengevaluasi

kenyataan-kenyataan yang dihadapi.

Sebenarnya kritisisme adalah sebuah aliran yang muncul dari

pertentangan antara rasionalisme dan empirisme kemudian berupaya untuk

menyatukan dan mempertemukan keduanya sehingga tidak menjadi

sebuah pertentangan. Adapun aliran kritisisme ini dalam

perkembangannya meliputi berbagai bidang antara lain ekonomi, sosial,

politik, dan budaya serta pendidikan.

Dalam pembahasan selanjutnya penulis berusaha menjabarkan tentang

implikasi pendidikan kritis ini dalam proses belajar mengajar pada

pendidikan. Dalam paradigma pendidikan kritis pendekatan yang dipakai

adalah pendekatan andragogy,30 atau pendekatan pendidikan orang

dewasa. Yaitu pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang

dewasa secara substantif, walaupun secara usia peserta didik tersebut

belum dewasa. Dari pengertian ini ingin menempatkan murid sebagai

30 Mansour Fakih, dkk. Op. Cit, hlm. 24

30

subjek dalam sistem pendidikan. Murid dalam pengertian ini dianggap

sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk

merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat,

memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan

serta mengambil manfaat pendidikan. Sedangkan guru berfungsi sebagai

fasilitator. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat

Multicommunication dan seterusnya.

Selain itu paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan

pendekatan serta proses belajar mengajar yang diterapkan. Suatu sistem

dimana guru menjadi subjek dan peserta didik menjadi objek pendidikan

dalam pandangan kritis adalah bagian dari masalah dehumanisasi. Dengan

kata lain bahwa paradigma pendidikan kritis tidak saja ingin membebaskan

dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi juga

bercita-cita mentransformasikan relasi ‘knowledge/power’ dan dominasi

hubungan yang ‘mendidik’ dan yang ‘dididik’ di dalam diri pendidikan itu

sendiri.31

Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan anak

didik mampu menentukan pilihan atau keputusannya secara mandiri.32

Peserta didik dengan segala bakat, minat, kreatifitas dan kebutuhannya ikut

berperan serta secara aktif dalam seluruh proses pendidikan. Pendidik

hanya perlu merangsang tumbuhnya daya cipta, rasa, dan karsa, imajinasi

dan kreatifitas mereka (baca: peserta didik). Bukan menjejalkannya dengan

materi-materi tertentu yang sudah ditetapkan.

Inilah bentuk pendidikan yang kemudian menuntut pendidik untuk

dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator.33

1. Fasilitator yaitu pendidik harus mampu memberikan kesempatan

kepada peserta didik untuk mencoba mencari dan menemukan sendiri

makna informasi yang diterimanya.

2. Dinamisator yaitu pendidik harus berusaha dan mampu menciptakan

suasana belajar yang kondusif, berupa iklim proses belajar mengajar

31 Mansour Fakih, dkk. Ibid, hlm. 26 32 Sindhunata (Ed). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,Demokratisasi, Otonomi, Civil

Society, Globalisasi, (Yogyakarta : Kanisius, 2000). hlm. 178 33 Hujair Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Safirian Insania Press, 2003),

hlm. 242

31

yang tidak kaku, tetapi proses belajar mengajar yang dialogis, terbuka,

bebas dan bertanggung jawab yang selalu berorientasi pada pada

proses.

3. Mediator yaitu pendidik harus mampu memberi rambu-rambu atau

arahan dalam belajar (student learning).

4. Motivator yaitu pendidik harus selalu memberikan dorongan atau

motivasi agar peserta didiknya bersemangat untuk belajar dalam

menuntut ilmu pengetahuan.

Dalam proses pendidikan seorang pendidik harus dapat berfungsi

sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator sesuai yang telah

di jelaskan di atas, sehingga dapat memberdayakan peserta didik untuk

mampu dan menemukan sendiri informasi yang diterimanya. Pendidik

dalam proses, haruslah menjadi seorang “model” atau “uswah” dan

sekaligus menjadi mentor bagi peserta didik di dalam mewujudkan nilai-

nilai ilahiyah, moral kebebasan dan demokrasi dalam proses belajar

mengajar serta dalam kehidupan di sekolah.

B. Deskripsi Umum Tentang Pendidikan Agama Islam (PAI)

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Sebelum penulis membahas mengenai pendidikan agama Islam,

terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian dari pendidikan.

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia

untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai

usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang lain agar

menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih

tinggi dalam arti mental.34

Chabib Thoha mendefinisikan “Pendidikan sebagai suatu proses

pemindahan pengetahuan/ pengembangan potensi-potensi yang

dimilikinya untuk mencapai perkembangan secara optimal serta

34 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.

1

32

membudayakan manusia memalui proses transformasi nilai-nilai yang

utama”.35

Selanjutnya dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 20

tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan dalam bab I

pasal I ayat: I: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,

dan negara.36

Jadi dari beberapa pengertian pendidikan di atas kiranya perlu penulis

ambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah sebuah usaha sadar untuk

memberikan bimbingan dan bantuan dari orang dewasa kepada (anak

didik) orang yang belum dewasa agar anak didik tersebut dapat menjadi

dewasa atau bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara biologis,

psikologis, paedagogies maupun sosiologis, dan berlangsung seumur

hidup.

Setelah kita ketahui tentang pengertian dari pendidikan selanjutnya

yang perlu kita ketahui adalah tentang pengertian dari pendidikan agama

Islam. Adapun berikut ini akan penulis kemukakan pengertian pendidikan

agama Islam dari beberapa tokoh pendidikan diantaranya adalah :

Komite Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN) mendefinisikan

pendidikan agama Islam yaitu “usaha berupa bimbingan dan asuhan

terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat

memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya

sebagai pandangan hidup (way of life).37

Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani pendidikan agama Islam

adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk

mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama

Islam dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain

35Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.

99 36 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Cet. I.

hlm. 3 37 Zakiyah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 86

33

dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga

terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.38

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang dilakukan secara sadar

oleh pendidik secara sistematis dan pragmatis dalam menyiapkan peserta

didik agar memiliki kepribadian yang mampu mengenal, meyakini,

memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran dasar Islam yang

tertuang dalam al Qur’an dan Hadist serta menjadikannya sebagai

pedoman hidup untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam

rangka menciptakan kerukunan antarumat beragama demi persatuan dan

kesatuan bangsa.

2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

1) Dasar Yuridis/ Hukum

Yaitu dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam yang

berasal dari peraturan-peraturan di Indonesia yang secara langsung dan

tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan

pendidikan agama.39 Dasar yuridis ini meliputi :

a) Dasar Ideal

Yaitu falsafah negara Pancasila, sila I “Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Yang memberi pengertian bahwa seluruh elemen bangsa

Indonesia harus percaya kepada Tuhan YME, dengan kata lain

harus beragama.40

b) Dasar Konstitusional

Yaitu UUD 1945 bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan :

1) Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, 2) Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap prnduduk untuk memeluk agama

masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya

itu.41

c) Dasar Operasional

38 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasias Kompetensi Konsep

dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 130 39 Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 18 40 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR

RI, 2002), hlm. 80 41 Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945, Ibid, hlm, 80

34

Yaitu terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 30 ayat 1-5 , yaitu

sebagai berikut :

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan

/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan

aturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik

menjadi anggota masyarakat yang memahami dan

mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli

ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur

pendidikan formal, nonformal dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,

pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang

sejenis.

(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, diatur lebih

lanjut dengan peraturan pemerintah.42

2) Dasar Religius

Yaitu dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Menurut ajaran

Islam pendidikan agama adalah perintah Tuhan dan merupakan

perwujudan ibadah kepada-Nya.43

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan perintah

tersebut, antara lain :

Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125:

بالتي هي مادلهجة ونسعظة الحوالمت وبالحكم كبل ربيالى س عاد نس125: النحل (اح(

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (QS. An-Nahl:125).44

42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS,

(Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 18 43 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit, hlm. 133 44 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 601

35

Al-Qur’an Surat Al- Imran ayat 104:

بالمعروف وينهون عن وياءمرونوالتكن منكم امة يدعون الى الخير

)104: العمران(المنكر واولئك هم المفلحون “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Imran : 104).45

Al Hadist Riwayat Imam Bukhori :

بلغوا عنى : وسلم قالعن عبد اهللا بن عمرو أن النبـي صلى اهللا عليه 46).رواه البخا رى. (ولو أية

Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun hanya sedikit.(HR. Imam Bukhori).

3) Dasar Psikologis

Yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kewajiban

masyarakat. hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik

sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada

hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tenteram

sehingga memerlukan adanya pegangan hidup.47

Pada hakekatnya manusia dalam hidupnya di dunia senantiasa

membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama.48 Karena

agama dapat berfungsi sebagai standarisasi nilai-nilai sosial

masyarakat dan dapat memberikan inspirasi perkembangan sosial

kemasyarakatan. Secara psikologis, dalam kehidupan ini setiap

manusia sangat membutuhkan keberadaan agama untuk dapat

dijadikan sebagai acuan, bimbingan, arahan dan pengajaran bagi setiap

muslim agar dapat beribadah dan bermuamalah dalam hubungannya

dengan sang Kholiq dan berhubungan dengan sesama manusia (hablum

minallah wa hablum minanas). Masyarakat/ manusia akan merasa

45 Ibid, hlm. 133 46 Imam Bukhori, Shoheh Bukhori Juz III, (Bairut Libanon: Darul Kutub al Ilmiyah, 1992),

hlm. 500. 47 Abdul Majid dan Dian Andayani Op Cit, hlm. 133 48 Zuhairini,dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Malang: Usana Offset Printing, 1981),

hlm. 25.

36

tenang dan tenteram hatinya apabila mereka dapat mendekat dan

mengabdi kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Nya:

أالبذكراهللا تطمئن القلوبقلىالذين أمنواوتطمـئن قلوبهم بذكراهللا

)28: الرعد ( “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS. Al Ra’ad: 28).49

3. Fungsi dan Pendekatan Pendidikan Agama Islam

Kurikulum pendidikan agama Islam untuk sekolah/ madrasah berfungsi

sebagai berikut :

a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa

kepada Allah SWT, serta akhlak mulia peserta didik seoptimal

mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan

keluarga.

b. Penanaman nilai, yaitu memberikan ajaran Islam sebagai pedoman

hidup untuk mencapi kebahagiaan hidup di dunia dan akirat.

c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan peserta didik terhadap

lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah

lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

d. Perbaikan, yaitu memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan-

kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama

Islam dalam kehidupan sehari-hari.

e. Pencegahan, yaitu menangkal peserta didik dari hal-hal negatif budaya

asing yang akan dihadapinya.

f. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan ilmu pengetahuan keagamaan

secara umum (alam nyata dan non nyata/ gaib), sistem dan

fungsionalnya.

g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat

khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang

49 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya,Op CIt hlm. 535

37

secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan

bagi orang lain.50

Sedangkan untuk mewujudkan fungsi PAI, dan dalam rangka

menerapkan kurikulum tersebut, maka harus diusahakan adanya

pendekatan yang dilakukan, diantaranya adalah :51

a. Pendekatan pengalaman; yaitu memberikan pengalaman keagamaan

kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan.

b. Pendekatan pembiasaan; yaitu memberikan kesempatan kepada peserta

didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.

c. Pendekatan emosional; yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan

emosi dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamanya.

d. Pendekatan rasional; yaitu usaha memberikan peranan rasio dalam

memahami dan menerima kebenaran ajaran agama.

e. Pendekatan fungsional; yaitu usaha menyajikan ajaran agama Islam

dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya dalam kehidupan

sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.

4. Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

1) Tujuan Pendidikan Agama Islam

Bermacam tujuan diutarakan dalam proses pendidikan agama

Islam kesemuanya itu adalah saling melengkapi dan tak ada yang perlu

untuk dipertentangkan. Diantaranya seperti yang diungkapkan oleh

Mahmud Yunus, bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah

mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa supaya

menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh, dan berakhlak

mulia, sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat yang sanggup

hidup mandiri, mengabdi kepada Allah serta berbakti kepada bangsa,

tanah air dan bahkan kepada sesama umat manusia.52

Tujuan Pendidikan agama Islam di sekolah/ madrasah bertujuan

untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian

dan pemupukan pengetahuan, penghayatan dan pengamalan peserta

50 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit hlm. 134-135 51 Marasudin Siregar, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang, Modul Pengajaran MK

MPA Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), hlm. 12. 52 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1983),

hlm. 13

38

didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus

berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya, berbangsa dan

bernegara serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang

lebih tinggi. Tujuan Pendidikan agama Islam bukanlah suatu hal yang

berbentuk tetap dan statis, melainkan ia merupakan suatu keseluruhan

dari kepribadian seseorang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan.

Tujuan pendidikan menurut para ahli adalah sebagai berikut:

Dalam Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam Al Abrasyi

Berpendapat bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik

budi pekerti dan pendidikan jiwa berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang

diarahkan terbentuknya kepribadian yang utama.53

Sedangkan dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam

kurikulum 1999, menyebutkan bahwa tujuan PAI yaitu agar siswa

mampu memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran

Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa

kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.54

Kemudian mengenai tujuan pendidikan agama Islam ini

dijelaskan lagi oleh Achmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam,

menurutnya tujuan pendidikan agama Islam terbagi menjadi tiga

tahapan, yaitu : tujuan akhir, tujuan umum, dan tujuan khusus.55

Tujuan akhir. Pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup

manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu : 1) menjadi

hamba Allah yang bertakwa, 2) mengantarkan peserta didik

menjadi kholifatullah fil ard (wakil Tuhan di Bumi) yang mampu

memakmurkannya (membudayakan alam sekitarnya). 3)

memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan di

akhirat.

Tujuan umum ini bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum

berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur

53 M. Athiyah Al Abrasyi, Alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Johar Bahry, L.I.S, Dasar-

dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 11 54 Muhamimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam,, Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, (Bandung ; Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 78 55 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta ;

Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 94-103

39

karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian

peserta didik, sehingga mampu menghadirkan sirinya sebagai

pribadi yang utuh (self realization).

Tujuan khusus. Tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan

untuk diadakanperubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan

kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi,

terakhir dan umum tersebut. Pengkhusussan tujuan tersebut

didasarkan pada : 1). Kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana

pendidikan itu diselenggarakan, 2). Minat, bakat, dan kesanggupan

peserta didik, dan 3). Tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu

tertentu.

Senada dengan tujuan pendidikan yang diungkapkan di atas,

tujuan diberikan mata pelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk

membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa pada Allah

SWT, memliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul

karimah. Oleh karena itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan

sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran

pendidikan agama Islam. Sedangkan tujuan akhir dari mata pelajaran

pendidikan agama Islam di SMA adalah terbentuknya peserta didik

yang berakhlak mulia. Karena seseorang bisa dikatakan memiliki iman

apabila dia telah memiliki akhlak yang mulia. Dengan demikian

pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan agama Islam. Sejalan

dengan tujuan ini maka semua mata pelajaran harus mengandung

muatan pendidikan akhlak dan setiap guru harus memperhatikan

tingkah laku setiap peserta didiknya.

2) Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

Mata pelajaran pendidikan agama Islam itu secara

keseluruhannya dalam lingkup al-Qur’an dan al-Hadits, keimanan,

akhlak, fiqh dan sejarah sekaligus menggambarkan bahwa ruang

lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian,

keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT.,

40

diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya

(Hablun minallah wa hablun minannas).56

Dalam rangka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

dalam pendidikan agama Islam, maka ruang lingkup PAI berdasarkan

kurikulum 1994 pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu Al

Qur’an-Hadist, keimanan, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, dan

tarikh (sejarah Islam) yang ditekankan pada menekankan pada

perkembangan politik. Kemudian dalam kurikulum 1999 lebih

dipadatkan menjadi lima unsur pokok yaitu Al Qur’an, keimanan,

akhlak, fiqh dan bimbingan ibadah, serta tarikh/sejarah yang lebih

menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan

kebudayaan.57

5. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Istilah metode berasal dari Bahasa Yunani “Metha” dan “Hodos”.

Metha diartikan melalui atau melewati, sedangkan Hodos berarti jalan atau

cara. Dari gabungan dua kata di atas, yang di maksud dengan metode yaitu

jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. 58 Yang

dalam hal ini adalah tujuan pendidikan agama Islam.

Setelah kita ketahui makna dari metode, selanjutnya perlu kita ketahui

pengertian dari metode mengajar. Menurut Abdullah Sigit dalam

metodologi pendidikan agama seperti kutip oleh Zuhairini, dkk. dijelaskan

bahwa sesungguhnya cara atau metode mengajar adalah suatu “seni”

dalam hal ini adalah “seni mengajar”. Dijelaskan pula oleh Proyek

Pembinaan Perguruan tinggi agama, merumuskan bahwa metode mengajar

adalah suatu teknik penyampaian bahan pelajaran kepada murid, ia

dimaksudkan agar murid dapat menangkap pelajaran dengan mudah,

efektif dan dapat dipahami oleh anak didik dengan baik.59

Sedangkan macam-macam metode yang digunakan dalam

menyampaikan materi PAI, para ahli pendidikan berbeda pendapat

mengenai hal ini. Metode yang digunakan oleh satu orang ahli belum tentu

digunakan pula oleh ahli yang lain. Tetapi pada dasarnya metode yang

56 Abdul Majid dan Dian Andayani, loc.cit., hlm. 131. 57 Muhaimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam, Op Cit, hlm. 79 58 Zuhairini, et.al, Metodologi Pendidikan Agama, Op.Cit., hlm., 66. 59Zuhairini, et al, Ibid, hlm. 66-67

41

digunakan ini saling melengkapi, karena tidak semua materi PAI dapat

disampaikan menggunakan satu metode saja. Oleh karena itu, metode yang

lain sangat mendukung dalam pencapaian hasil belajar siswa.

Penggunaan metode sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi

lingkungan belajar siswa, oleh karenanya metode bersifat kondisional.

Berikut ini adalah metode yang sering dikemukakan oleh beberapa ahli

pendidikan. Adapun metode yang sering kita dengar dan kita baca adalah

sebagai berikut:

a. Metode ceramah, yaitu memberikan pengertian dan uraian suatu

masalah/ materi.

b. Metode diskusi, yaitu memecahkan masalah/ menyampaikan materi

dengan berbagai tanggapan.

c. Metode tanya jawab, yaitu proses komunikasi dua arah antara guru dan

murid.

d. Metode eksperimen, yaitu mengetahui proses terjadinya suatu masalah

dengan uji coba.

e. Metode demonstrasi, yaitu menggunakan peraga untuk memperjelas

atau menunjukan sebuah masalah/ menyampaikan materi.

f. Metode pemberian tugas, yaitu dengan cara memberi tugas tertentu

secara bebas dan dipertanggungjawabkan.

g. Metode sosiodrama, yaitu menunjukkan tingkah laku kehidupan.

h. Metode karya wisata, yaitu kunjungan di luar sekolah dalam rangka

tugas tertentu.

i. Metode kelompok, yaitu dengan belajar bekerja sama (group work).

j. Metode drill, yaitu mengukur daya serap terhadap pelajaran/ latihan

berulang-ulang.

k. Metode proyek, yaitu memecahkan masalah dengan langkah-langkah

secara ilmiah, logis dan sistematis.60

Dari beberapa metode di atas dalam penyampaian pendidikan agama

Islam secara jelas tak ada yang paling baik karena pemakaian metode

tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, dan sebuah

60 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,

2002), cet. I, hlm. 2.

42

metode bisa menjadi efektif ketika digunakan oleh seseorang tetapi belum

tentu efektif ketika digunakan oleh orang lain.

Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang

sangat signifikan untuk mencapai tujuan. Bahkan metode sebagai seni

dalam mentransfer ilmu pengetahuan/ materi pelajaran kepada siswa

dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi. Oleh karena itu

penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi pencapaian

keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu dalam

pembahasan metode pendidikan Islam ini, perlu melihat semua aspek dari

kegiatan pendidikan dan pengajaran baik dilihat dari pendidik dan anak

didik.

a. Pendidik dengan metodenya harus mampu membimbing, mengarahkan

dan membina anak didik menjadi manusia dewasa baik dalam sikap

maupun kepribadiannya, sehingga tergambarlah dalam tingkah lakunya

nilai-nilai ajaran Islam.

Demikian juga pengajar dengan metodenya harus dapat menanamkan

pengertian dan kemampuan memahami, menghayati dan

mengembangkan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik

sehingga ia menjadi manusia yang dewasa dalam ilmu pengetahuan.

b. Anak didik tidak hanya menjadi objek pendidikan atau pengajaran,

tetapi juga menjadi subjek yang belajar, memerlukan suatu metode

agar dalam proses belajarnya dapat searah dengan cita-cita pendidik

atau pengajarnya.61

6. Penilaian (Evaluasi) Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

a. Pengertian

Pengertian evaluasi seperti dijelaskan oleh tim WRI (Walisongo

Research Institute) dalam Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran

yaitu Evaluasi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris Evaluation

yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut istilah,

evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui

keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya

dibandingkan dengan tolok ukur untuk mencapai kesimpulan. Evaluasi

61 H.M. Arifin, Op Cit, . hlm. 99-100

43

bukan sekedar menilai secara spontan atau insidental, melainkan untuk

menilai sesuatu secara terencana, sistematik, terarah berdasarkan

tujuan yang jelas.62

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana

tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Dengan diadakannya evaluasi

diharapkan dapat menemukan kelemahan-kelemahan atau kekurangan-

kekurangan yang kemudian diperbaiki demi mencapai sebuah

kesempurnaan.

Dalam Islam evaluasi dikenal dengan istilah muhasabah, yaitu

sebuah introspeksi atau usaha mengoreksi diri sendiri untuk dapat

menemukan kesalahan-kesalahan pribadi untuk senantiasa melakukan

perbaikan-perbaikan dalam rangka mewujudkan manusia bertakwa

(insan kamil) seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik

penilaian terhadap tingkah laku manusia-didik berdasarkan standar

perhitungan yang bersifat komprehensip dari seluruh aspek-aspek

kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius, karena manusia

hasil pendidikan tidak hanya bersikap religius tetapi juga berilmu dan

berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan

masyarakatnya. Secara umum sedikitnya ada tiga aspek yang perlu

diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan

evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, yaitu:63

1) Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis; ini berarti

bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang terencana dan

berkesinambungan.

2) Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data

yang menyangkut objek yang sedang dievaluasi, dalam pengajaran

datanya berupa perilaku, hasil ulangan maupun tugas.

3) Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, tidak

dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak

62 Tim WRI (Walisongo Research Institute), dalam Materi Inservice Training KKG-MGMP,

Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran, (Semarang: tp, 2001) , hlm. 189 63 Ngalim Puwanto, Prinsip-Prinsip dan Tehnik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Rosda

Karya, 2002), hlm. 4.

44

dicapai, tanpa merumuskan tujuan dahulu tidak mungkin menilai

sejauh mana hasil belajar siswa.

Dengan demikian maksud dari evaluasi pendidikan Islam adalah

sebuah kegiatan sistematis dan terarah dalam rangka pengambilan

keputusan yang didasarkan pada sejauhmana keberhasilan pendidikan

Islam sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan

Dalam dunia pendidikan evaluasi sangat diperlukan, Chabib

Thoha mengungkapkan tiga alasan utama mengenai pentingnya

evaluasi dalam pendidikan. Pertama, adanya hubungan

interdependensi antara tujuan pendidikan, proses belajar mengajar, dan

prosedur evaluasi.64 Tujuan pendidikan akan menjadi pedoman dan

arahan dalam proses belajar mengajar yang seharusnya dilaksanakan.

Pelaksanaan proses belajar mengajar juga berkepentingan akan adanya

perumusan tujuan yang baik, dan prosedur evaluasi haruslah

memperhatikan pelaksanaan proses belajar mengajar.

b. Jenis Evaluasi

Ada tiga jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan

Pendidikan Agama Islam ini, yaitu : 65

1) Evaluasi sehari-hari, yaitu evaluasi yang diberikan sebelum/

sesudah PBM.

2) Evaluasi ulangan umum, yaitu kegiatan evaluasi yang dilaklukan

pada akhir catur wulan.

3) Evaluasi pada akhir tahun ajaran (tingkat akhir).

c. Teknik Evaluasi

Secara garis besar, maka alat evaluasi yang digunakan dapat

dibagi menjadi dua macam, diantaranya:

1) Tehnik tes66, yaitu suatu alat atau prosedur yang sistematis dan

obyektif untuk memperoleh data-data atau keterangan yang

diinginkan tentang seseorang, dengan dengan cara yang boleh

64 Tim WRI (Walisongo Research Institute), Op Cit, hlm. 189 65 Zuhairini,dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, op.cit, hlm. 156-157. 66 Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), cet.

III, hlm. 32.

45

dikatakan tepat dan cepat. Ditinjau dari kegunaannya untuk

mengatur siswa, maka dibedakan atas tiga macam tes:

a) Tes diagnostik: tes yang digunkan untuk mengetahui

kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-

kelemahan itu dapat dilakukan pemberian perlakuan tepat. 67

b) Tes foramtif: tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh

mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program

tertentu.

c) Tes sumatif: tes yang dilakukan setelah berakhirnya pemberian

sekelompok program/ sebuah program yang lebih besar.68

2) Tehnik non tes69

a) Skala bertingkat; skala yang menggambarkan suatu nilai yang

berbentuk angka terhadap sesuatu hasil pertimbangan. Contoh:

tidak senang, biasa, senang.

b) Kuesioner; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh

orang yang akan diukur (responden).

c) Daftar cocok; deretan pertanyaan yang biasanya singkat-

singkat.

d) Wawancara; tanya jawab sepihak untuk memperoleh jawaban

dari responden.

e) Observasi; pengamatan secara teliti serta pencatatan secara

sistematis.

f) Riwayat hidup; gambaran tentang keadaan seseorang selama

dalam masa kehidupannya.

d. Fungsi Dan Tujuan Evaluasi

Tujuan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk

memperoleh data secara jelas dan akurat mengenai tingkat keberhasilan

dalam pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga dapat

dilakukan/diupayakan sebuah tindak lanjut dari hasil evaluasi tersebut.

67 Ibid, hlm. 33 68 Ibid, hlm. 36-38 69 Ibid, hlm. 26-31.

46

Evaluasi sebagai salah satu komponen terpenting dalam pendidikan

Islam, berfungsi sebagai berikut : 70

1) Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas cara belajar dan

mengajar yang telah dilakukan benar-benar tepat atau tidak.

2) Untuk mengetahui hasil prestasi belajar siswa guna menetapkan

keputusan apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dilanjutkan.

3) Untuk mengetahui informasi tentang taraf perkembangan dan

kemajuan yang diperoleh siswa.

4) Sebagai bahan laporan bagi orang tua siswa tentang hasil belajar

siswa. Laporan dapat berbentuk buku raport, piagam, ijazah dll.

5) Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh

sebelumnya dengan pembelajaran yang dilakukan sesudah itu.

Secara lebih terperinci evaluasi dalam pendidikan dapat berfungsi

sebagai berikut :71

1) Bagi guru

a) Mengetahui kemajuan belajar peserta didik

b) Mengetahui Kedudukan individu dalam kelompoknya

c) Mengetahui Kelemahan-kelemahan dalam proses belajar

mengajar

d) Mengetahui Memperbaiki proses belajar mengajar

2) Bagi peserta didik

a) Mengetahui kemampuan dan hasil belajar

b) Memperbaiaki cara belajar

c) Menumbuhkan motivasi dalam belajar

3) Bagi sekolah

a) Mengukur mutu hasil pendidikan

b) Mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah

c) Membeuat keputusan untuk peserta didik

a) Mengadakan perbaikan kurikulum

70 Armai Arief, op.cit, hlm. 58. 71 Tim WRI (Walisongo Research Institute), dalam Bunga Rampai Psikologi dan

Pembelajaran, Op Cit, hlm. 190-191

47

B. Konsep Kritisisme dalam Pendidikan Agama Islam

Mengenai konsep kritisisme ini, walaupun hanya sebuah konsep yang

dipopulerkan oleh tokoh dari Barat, tetapi secara substantif, sebenarnya sejak

masa awal Islam, konsep tersebut sudah ada dan merupakan konsep yang telah

digunakan oleh para tokoh Islam dari dulu sampai sekarang.

Kritis (Criticize) dalam kamusnya Hasan Shadily dan John M Echolss

berarti, pertama, mencela, kedua mengecam dan mengupas72 term kritis ini

kemudian diperjelas lagi dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang berarti

pertama, bersifat tidak lekas percaya,. Kedua, bersifat selalu berusaha

menemukan kesalahan dan kekeliruan serta tajam dalam penganalisisan.73

Maksud dari sikap kritis ini adalah bahwa salah satu ciri suatu kajian ilmiah

adalah terbuka jadi dengan sikap kritis, nantinya kebenaran akan suatu kajian

ilmiah tersebut akan senantiasa terbuka untuk menerima perbaikan dan

pembenahan demi kesempurnaan, demikian seterusnya. Sehingga terus

berputar secara dinamis dengan orientasi progressif.

Berkaitan dengan konsepsi tersebut, pengetahuan dalam perspektif

Islam tidak hanya menunjuk pada sudut khusus dari mana kaum muslimin

memandang ilmu, akan tetapi menekankan pada keharusan yang mendesak

untuk mencari ilmu, seperti diketahui perintah Allah yang pertama kepada

nabi Muhammad SAW sebagai berikut :

.إقرأ و ربك األكرم . خلق اإلانسان من علق . با سم ربك الذى خلق اقرأ )5 -1:العلق ( اإلانسان ما لم يعلم علم. الذى علم بالقلم

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantarakan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al ‘Alaq : 1-5).74 Ayat di atas memberikan arahan kepada segenap kaum muslimin untuk

senantiasa mencari ilmu dan sekaligus mengamalkannya karena kunci

72 John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia : Jakarta, 1992, cet XX, hlm. 156

73 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ed 2 cet III, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hlm. 531

74 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 1403

48

kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat adalah ilmu pengetahuan. Islam

adalah agama yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan, Al Qur’an sendiri

menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan kebutuhan

fisik. Ummat Islam percaya bahwa semua makhluk adalah manifestasi dari

kehendal Ilahi (Allah), karenanya kajian atas alam akan menghasilkan

pengertian yang lebih baik tentang kebenaran. Pada dasarnya Islam tidak

mengenal batasan dalam soal menuntut ilmu pengetahuan, tidak pula dalam

memahami fenomena alam. Al Qur’an mengandung esensi semua

pengetahuan; tetapi perwujudan detailnya adalah merupakan tanggung jawab

manusia. Tradisi Islam menafsirkan al Qur’an dengan cara sedemikian rupa

sehingga memperbolehkan apa saja yang tidak dilarang secara khusus. Islam

tidak melarang kajian atas alam. Nyatanya Al Qur’an justru memerintahkan

perenungan atas ciptaan Allah.75 Dalam mempelajari alam ini adalah

sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan wewenang manusia itu sendiri. Jadi

manusia bebas untuk dapat mengolah dan memamfaatkan alam ini, tetapi

dalam kebebasan itu tentunya ada batas-batas yang harus ditaati selaku umat

Islam.

Adapun mengenai pentingnya umat Islam untuk mencari ilmu ini, Al

Ghazali mengutip sebuah pernyataan dari Abu Darda, salah seorang sahabat

nabi sebagai berikut :

“Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu dan atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak termasuk salah seorang dari yang tadi), maka binasalah engkau”.76

Dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk

menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan

menanamkan nilai kemanusiaan sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran

dan kesejahteraan suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada

sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Mengenai keutamaan dalam menuntut ilmu ini, dalam ajaran Agama

Islam juga mengakui adanya kebebasan manusia selama masih berada dalam

75 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta ; Logos, 1994), hlm. 3 76 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendiidkan, (Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 1998) hlm. 55

49

batas-batas aturan/ nilai-nilai ajaran Islam. Seperti firman Allah SWT yang

tertuang dalam al Qur’an sebagai berikut :

هنكان ع كل اولئك ادالفؤو رصالبو عمان الس به علم لك سا ليم قفال تو 77)36: االسراء (مسئوال

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya. (Al Isra’ : 36) Ayat di atas menganjurkan kepada kita selaku umat Islam untuk

senantiasa bertanggung jawab dalam melakukan segala sesuatu. Karena semua

yang kita perbuat kelak akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah

SWT. Jadi walaupun kita sebagai manusia yang mempunyai hak untuk

bersikap dan berbuat bebas, tetapi kita sebagai umat Islam yang beriman dan

bertakwa kepada Allah SWT maka sudah seharusnya bagi kita untuk

menggunakan kebebasan tersebut selama tidak bertentangan dengan ajaran-

ajaran Islam.

Ajaran paling mendasar yang memandu pemikiran ilmiah Islam

menyatakan bahwa Al Qur’an mengandung semua kebenaran dan ilmu

pengetahuan; pertama, prinsip-prinsip semua ilmu pengetahuan tidak

termasuk perinciannya ada dalam Al Qur’an, kedua, Al Qur’an dan Hadist

mendefiniskan lingkungan dan nilai-nilai yang inheren dalam pengembangan

ilmu pengetahuan. Kedua hal inilah yang mendasari pandangan Islam bahwa

semua ilmu pengetahuan sesuai dengan Akal Universal dan akhirnya dengan

Allah SWT.78

Dalam kaitannya dengan kemampuan manusia untuk memahami akal

universal, Al Qur’an menganjurkan seseorang untuk menuntut ilmu

pengetahuan sebagai satu cara menuju keselamatan. Allah melengkapi

manusia dengan akal agar kita dapat menggunakan indera dan pikiran kita

untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang dunia natural maupun

supernatural. Sementara indera memungkinkan seseorang memperluas

pengetahuannya tentang alam dunia, akal memberinya kemampuan untuk

77 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Ibid, hlm. 611 78 Charles Michael Stanton, Op Cit, hlm. 121

50

menganalisa esensi objek-objek material, termasuk hubungannya dengan

objek-objek supernatural dan kehendak Ilahi (Allah).

Islam dalam konsepsi kritis sesuai kelanjutannya adalah pembacaan

baru terhadap agama hanifiyah, agama Ibrahim, agama fitrah dan alam. Islam

melakukan pembacaan terhadap tradisi umat terdahulu, kemudian memberikan

penilaian terhadapnya dan merekonstruksi serta meralat orientasinya. Ini

didasarkan bahwa setiap yang baru memiliki dasar yang lama, dan setiap dasar

yang lama akan dikembangkan ke dalam yang baru. Hal ini sesuai dengan

ajaran Islam untuk dapat mengambil manfaat/ hikmah dari sebuah kejadian.

Lebih lanjut Abu Hanifah menyatakan :

Pengetahuan kita adalah ra’yu; itu adalah yang terbaik yang sejauh ini bisa kita capai. Siapa yang mampu menghasilkan pandangan lain berhak meyakini pandangannya, seperti halnya kita dengan pandangan kita sendiri…….jika aku (Abu Habifah) tidak menemukan jawaban dalam kitab Allah atau dalam hadist nabi, aku akan mencari pandangan sahabat-sahabat Nabi. Aku akan berpegang teguh dengan pandangan mereka dan takkan menyimpang kepada pandangan orang lain. Tetapi (bila) yang dipersoalkan adalah Ibrahim, al-Syabi, Imam Sirin, al-Hasan, ‘atha’, dan sa’id ibn Jubayr, maka mereka adalah orang-orang yang telah mengambil jalan penafsiran sendiri, dan saya juga akan melakukan hal yang sama.79

Walaupun Abu Hanifah adalah seorang fuqaha, tetapi dalam

kehidupannya ia mencari nafkah dengan berdagang tekstil. Barangkali inilah

yang menjelaskan mengapa dalam pendekatan hukum ia begitu tergantung

pada hukum-hukum akal dan logika, dan pada situasi-situasi di mana jual beli

berlangsung. Dia adalah orang yang banyak bergelut dengan dunia nyata dan

praktis, dan karenanya mencari metode yang bisa menghasilkan ketetapan

hukum yang paling sesuai dengan gaya hidup yang realistis dan praktis di satu

sisi, dan di sisi lain seorang yang mampu melihat pesan-pesan Ilahi yang

termanifestasi secara langsung dalam Al Qur’an atau melalui tafsiran lewat

Muhammad dan hadist.

Dalam al Qur’an Allah SWT menjelaskan bahwa manusia hidup di

dunia ini dianjurkan dapat menggunakan akalnya untuk mengolah dan

memanfaatkan sekaligus memelihara kelestarian alam ini demi mencapai

kebahagiaan dirinya. Sebagaimana dalam Al Qur’an surat al Jatsiyah ayat 13:

79 Charles Michael Stanton, Ibid, hlm. 30

51

لكم رخسو هعا منميض جا فى االرمموت وا فى السم . اليتان في ذلك )13: اجلاثية .(لقوم يتفكرون

Dan Dia menundukkan untukmu, apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. Al Jatsiyah : 13)80

Sebagaimana yang diutarakan oleh Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin

yang berbunyi sebagai berikut :

“Nalar tidak dapat berkembang tanpa ajaran yang berdasarkan pendengaran, seperti juga ajaran yang berdasarkan pendengaran tidak dapat berkembang tanpa nalar. Barang siapa mendorong untuk menerima kepatuhan membuta kepada ajaran yang diberikan dan untuk secara mutlak mengesampingkan nalar adalah orang yang tidak menggunakan akalnya ; barang siapa puas hanya dengan nalar dan mengesampingkan pencerahan dari Qur’an dan Sunnah adalah korban ilusi”.81

Dalam agama Islam, Mengenai penalaran kritis ini, sejak masa

Rasulullah sampai sekarang sudah menjadi sebuah konsepsi yang telah

dijalankan dan dipraktekkan, hal itu dapat dilihat dari beberapa kisah, seperti

pada masa setelah Rasulullah wafat, para sahabat kemudian berkumpul dan

bermusyawarah untuk mencari siapa yang pantas untuk menggantikan posisi

rasulullah sebagai khalifah. Kemudian dari musyawarah tersebut akhirnya

menyepakati bahwa yang akan menggantikan Rasulullah adalah Abu Bakar

Ash Shidiq.

Contoh lain yaitu dalam merumuskan suatu hukum, agama Islam

menggali dari Al Qur’an dan Hadist, kemudian diteruskan dengan ijma’ dan

qiyas, ijma dan qiyas ini merupakan hasil ijtihad dari para Ulama/ fuqaha.

Dalam ijma’ dan qiyas itulah merupakan ikhtiar dari akal /nalar kritis para

ulama (fuqaha) dalam menentukan hukum, yang tentu saja nalar kritis tersebut

tetap mengambil hujjah dari al Qur’an dan as sunnah.

Dalam ijma’ dan qiyas itulah terkandung ajaran dialog/musyawarah

untuk kemufakatan bersama. Dialog bersifat teoretis sekaligus praktis. Ia

merupakan ekspresi keseimbangan kekuatan antara manusia dan budaya.

80 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 1119 81 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Jakarta ; Faizan, 1994), Juz III, hlm. 15

52

Dialog bukanlah sekedar latihan intelektual, melainkan kerja sama saling

menguntungkan antar pemikiran individu. Tema utamanya adalah kekuasaan

dan keadilan. Kekuasaan tanpa keadilan bersifat merusak. Keadilan tanpa

kekuasaan melahirkan penghinaan, ketidakberdayaan dan frustasi. Kekuasaan

bersifat global, politik, ekonomi, sosial, ilmiah dan budaya. Sementara

keadilan hanya bersifat global. Kekuasan adalah kekuatan, bukan kebenaran,

sementara keadilan adalah kebenaran tanpa kekuatan.82

Agama Islam juga mengajarkan tentang pentingnya bermusyawarah

hal ini berdasarkan firman Allah :

نا مهل فيعجا أتفة قالوليض خاعل في األري جللمآلئكة إن كبإذ قال رويفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم مالا

83)30: البقرة (تعلمون

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Ayat di atas mempunyai kandungan bahwa sebenarnya Allah SWT

hendak mengajarkan hamba-hambanya untuk bermusyawarah (berdialog)

dalam urusan mereka sebelum dikembangkan atau diterjemahkan dalam

aktifitas praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Iqbal, seorang sejarawan terkenal dari benua India

mengatakan bahwa Islam menolak pandangan statis tentang alam semesta ini,

dan sebaliknya mendukung pandangan dinamis. Dalam pandangan Iqbal

bahwa menurut kosmologi Islam, mulai dari penciptaan, pengaturan bumi dan

segala isinya ini bersifat progressif evolusioner.

Jadi dengan pengaturan bumi yang progressif evolusioner inilah

manusia dituntut untuk dapat menggunakan akal/nalar kritisnya untuk

senantiasa merenungi dan mempelajari segala ciptaan Allah dan untuk

82 Hassan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global, Revolusi Islam untuk Globalisasi, Pluralisme dan Egaliterisme Antar Peradaban, (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2003), hlm. 71

83 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan terjemahnya, hlm. 11

53

menjaga dan memelihara alam ini demi kebahagiaan hidup makhluk seluruh

dunia.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, disaat kebekuan

masih menjangkiti kehidupan umat Islam, ia dengan berani menuntut hak

ijtihad dan menggunakan pendapat independensinya dalam menyatakan

kembali prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah.

Dengan kritikannya inilah, Ibnu Taimiyah merupakan representasi kritikus

Islam di jamannya.

Hal yang sama juga menjadi fokus perhatian dari Muhammad Arkoun,

ia menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaruan

kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang

sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan Karena

itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Muslim kontemporer.

Oleh karena itu, Arkoun mencoba menghasilkan karya-karya yang

dimanfaatkannya dengan tujuan untuk melakukan penggabungan hasil

berbagai ilmu pengetahuan barat mutakhir dengan pemikiran Islam guna

membebaskan pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan yang

mencirikannya sampai kini, dan melahirkan suatu pemikiran islami yang

menjawab tantangan yang dihadapi manusia muslim di dunia modern. 84

Arkoun adalah seorang pengkritik tradisi ortodoks, dan tradisi

objektivisme serta positivisme yang tidak hanya merasuki ilmu pengetahuan

barat, tetapi juga orientalisme barat. Menurutnya bahwa paradigma orientalis

benar-benar menyokong kategori, symbol-simbol, dan signifikansi yang sama.

Islam ortodoks didomonasi oleh logosentrisme, sebuah varian

dekonstruksionalisme dari pemikiran Anglo-Saxon mengenai skripturalisme.85

Kritiknya dengan menggunakan berbagai hasil pemikiran barat

mutakhir inilah yang dianggapnya sebagai jalan yang tepat untuk melampaui

kekakuan pemikiran Islam. tujuan akhir dari proses pembukaan kembali

pemikiran islami yang ingin diwujudkannya adalah emansipasi manusia Islam

dari berbagai perbudakan yang dibuatnya sendiri dan yang tidak terbatas pada

bidang intelektual belaka.

84 Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern Berbagai Tantangan dan Jalan

Baru,(Jakarta : INIS, 1994), hlm. 6 85 Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, Op Cit, hlm. 202

54

Arkoun mencoba memberikan kritikannya tentang ijtihat. Dalam

pandangannya, ijtihad yang dibatasi pada bidang teologi-yuridis perlu

dilampaui menjadi “kritik nalar islami”. Lebih jauh dengan rumusannya

tersebut, Arkoun menjelaskan bahwa dengan mengusulkan “kritik nalar

islami”, ia berusaha melampaui kedua pendirian yang bertolak belakang dan

saling menolak dari islamologi yang hanya memperhatikan hal yang “positif”

dan penganut agama Islam yang mendekati agama atas dasar kepercayaan

langsung dan tanpa kritik.86

Sebagai contoh konkret dari kritik nalar islami yang dimaksudkan,

adalah pendapatnya yang paling controversial yaitu ketika ia mengatakan

bahwa dalam khasanah tafsir Islam dengan segala macam mazhab serta

alirannya, sesungguhnya al Qur’an hanya merupakan “alat” untuk membangun

teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu

setelah masa turunnya al Qur’an itu sendiri.87

Secara lebih rinci Arkoun memberikan penjelasan tentang nalar

sebagai berikut :

“Iman adalah suatu kepercayaan benar, pasti ; tempatnya di dalam jiwa, adalah daya bernalar. Kekafiran adalah suatu kepercayaan tipuan, tidak mengandung kepastian; tempatnya di dalam jiwa, adalah daya khayali (al-mutakhayyilah). Dapat terjadi bahwa daya khayali sesuai dengan kepercayaan yang benar; namun daya bernalar tidak mungkin sesuai dengan kepercayaan tipuan”.88 Jadi, nalar ditakdirkan untuk benar; jika nalar menerapkan secara

kaidah deduksi logis dan kaidah konstruksi pernyataan-pernyataan, tidak

mungkin khilaf. Itu berarti bahwa nalar tidak akan mulai dari dirinya sendiri

penyusunan kebenaran yang telah ada dalam dirinya; sebaliknya, seluruh

kegiatannya mengulangi secara sejati, menjelaskan, mengeksplisitkan,

mengklasifikasi di dalam suatu rumusan yang runtut segala sesuatu yang telah

diujarkan dengan cara yang sekaligus sederhana dan tak terbatas, oleh bahasa

iman, artinya oleh tuturan Allah yang tak tergoyahkan.

Menurut Harun Nasution, iman erat kaitannya dengan akal dan wahyu.

Iman yang di dasarkan pada wahyu disebut Tasydiq yaitu menerima sebagai

benar apa yang didengar. Iman yang didasarkan pada akal disebut makrifah,

86 Muh Arkoun, Op Cit, hlm. 35 87 Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, Op. Cit, hlm. 199 88 Muh Arkoun, Op Cit, hlm. 88

55

yaitu mengetahui benar aya yang diyakini. Apa yang hendak dikatakan Harun

adalah, Tasydiq lebih berdasarkan pada pemberitaan, sedangkan makrifah

lebih pada pengetahuan yang mendalam.89

Sedangkan menurut Ibn Rusyd, Tujuan utama kehidupan intelektual

Ibn Rusyd adalah menggabungkan antara filsafat dan agama. Dia menganut

pandangan bahwa akal dan wahyu adalah sumber pengetahuan dan

sepenuhnya meyakini bahwa filsafat menawarkan cara terbaik untuk

menyelesaikan pertentangan-pertentangan dalam teologi Islam.90

Selanjutnya Abd al- Lathif, seorang syaikh terkenal abad ke-13

memberikan cara-cara mengembangkan kebiasaan belajar secara kritis,

didasarkan atas teori belajar yang kokoh :

“Bila engkau membaca sebuah buku, berusaha keraslah untuk menghafal dan menguasai maknanya. Bayangkanlah bahwa buku tersebut telah hilang dan engkau dapat mengungkapkan (isi buku tersebut) tanpa terpengaruh oleh kehilangannya. Begitu engkau dengan semangat mempelajari sebuah buku, mencoba memahami isinya, janganlah mempelajari buku yang lain dengan menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan untuk buku yang pertama saja. Jangan mempelajari dua bidang studi sekaligus; tetapi tumpahkanlah perhatianmu pada satu bidang selama satui atau dua tahun, atau sesuai dengan kebutuhan. Lalu, setelah engkau mencapai tujuanmu di bidang tersebut, barulah lanjutkan dengan bidang studi lain. Jangan mengharap bahwa engkau dapat bersenang-senang dengan santai; sebaliknya engkau harus selalu mengasahnya dengan ulangan dan sering mengingatnya; dan jika engkau adalah seorang pemula, dengan membaca bersuara, belajar dan diskusi sesama teman. Jika engkau seorang ilmuwan berpengalaman, dengan mengajar dan menulis buku. Jiika engkau mengajarkan satu disiplin ilmu atau berdebat di bidang tersebut, janganlah mencampur adukkannya dengan disiplin ilmu yang lain, sebab setiap disiplin ilmu lengkap dengan sendirinya dan bisa berjalan tanpa yang lain. Bila engkau mencari bantuan ke dalam disiplin ilmu lain, itu menunjukkan ketidakmampuanmu untuk menghabiskan isi satu disiplin. Ini persis seperti seorang yang menggunakan satu bahasa untuk bahasa yang lain yang ia ketahui (secara tidak sempurna), atau karena tidak mengetahui sebagian dari bahasan pertama”.91

Seorang perlu membaca sejarah, mempelajari kisah dan pengalaman

bangsa-bangsa. Dengan demikian seolah-olah dalam usianya yang singkat, ia

89 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis,Op Cit, hlm. 285 90 Charles Michael Stanton, Op Cit, hlm. 115 91 Charles Michael Stanton, Ibid,, hlm. 62

56

hidup bersama orang-orang dari masa lalu, mengenal mereka dan mengetahui

hal-hal yang baik dan buruk tentang mereka.

Selanjutnya yang patut dipahami pula dalam penanaman nalar kritis

adalah dengan sebuah landasan dan pemikiran murni dalam rangka

pembenahan keilmuan. Dalam sebuah konsepsi pendidikan kritis nampaknya

harus memiliki karakter yang terdiri dari dua hal :

1 Mempunyai trend kritis yang membumi. Artinya jiwa dan perilaku kritis

tidak hanya berhenti menjadi discourse yang mentah tanpa arti. Tetapi

pendidikan kritis menjadi sebuah gerakan terpadu untuk membenahi mutu

pendidikan secara komprehensif. Kritis ini bisa saja disebut dengan kritis-

humanis.

2 Proses evaluasi (muhasabah) secara cepat ditangkap. Maksudnya

manakala ada masalah dalam proses pendidikan, seketika itu pula

perubahan dilakukan. Selanjutnya hal ini dinamakan dengan kritis-

reflektif.92

Dari beberapa uraian dan penjelasan dengan disertai pandangan para

tokoh Islam di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa konsep kritisisme telah

mereka alami sejak dari dahulu. Hal itu terbukti dengan beberapa hasil

pemikiran dan kritikan yang telah tertuang di atas. Dalam hal ini konsepsi

kritis yang dimaksud adalah sebuah konsepsi pemikiran yang berusaha untuk

membebaskan cakrawala berpikir secara aktif dan dinamis.

Kemudian mengenai keharusan bersikap kritis baik dalam pikiran

maupun tindakan ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat

11, sebagai berikut :

فسهما بانا موريغى يتم حا بقوم ريغ11:الرعد ( ان اهللا ال ي(

“Sesunggunya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.93

Ayat tersebut memberikan anjuran kepada kita selaku umat Islam

untuk selalu berusaha dan senantiasa bersikap kritis terhadap segala keadaan

yang ada demi mencapai keinginan atau apa yang telah dicit-citakan. Dan

92 Jurnal Edukasi, Op Cit, hlm. 46 93 Departemen Agama, Op Cit, hlm. 530

57

tidak hanya diam dan berpangku tangan, karena Allah tidak menyukai

hambanya yang hanya pasrah dan berpangku tangan tanpa adanya usaha.

Jadi konsep kritisisme dalam perspektif Islam adalah sebuah usaha

untuk mengajak dan membebaskan cakrawala berpikir manusia secara dinamis

dengan tetap memegang teguh ajaran Islam yang tertuang dalam al Qur’an dan

Hadist.