konsep kritisisme dalam pembelajaran agama islam...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KONSEP KRITISISME DALAM PEMBELAJARAN
AGAMA ISLAM
A. Konsep Kritisisme
1. Sejarah dan perkembangan pedagogik kritis
Kegagalan berbagai pemikiran seperti positivisme, kominisme,
kapitalisme, telah melahirkan alternatif pemikiran baru mengenai hakikat
masyarakat, dan hakikat negara. Lahirlah pemikiran-pemikiran kritis
mengenai masalah-masalah dari kehidupan manusia.1 Di dalam
perkembangan pemikiran mengenai manusia ini, khususnya telah
melahirkan pemikiran filsafat yang dikenal sebagai posmodernisme (post-
modernisme). Lahirnya filsafat posmodernisme ini juga berarti munculnya
pedagogik kritis, karena antara keduanya saling terkait dan saling
mempengaruhi. Namun secara umum postmodernisme dapat dirumuskan
sebagai upaya kritis untuk meninjau kembali modernisme.2
Sebab lain yang berperan dalam melahirkan pedagogik kritis adalah
lahirnya negara-negara baru pasca perang dunia II, pendidikan menjadi
sebuah pengharapan akan kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat
dalam suatu negara. Pendidikan merupakan tumpuan utama untuk
mempercepat pertumbuhan dan pembangunan negara dan untuk
memperkecil gap dengan negara-negara maju. Salah satu program untuk
mempercepat proses itu antara lain melalui program buta huruf, dari
membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk pendidikan rakyat.3
Kritisisme adalah aliran yang muncul pada abad ke 18, suatu zaman
baru di mana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan
pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Adalah Immmanuel Kant
seorang filosof Jerman mencoba menyelesaikan konflik antara
rasionalisme dan empirisme tersebut. Pada mulanya ia mengikuti
rasionalisme tetapi kemudian ia terpengaruh dengan empirisme, pada
1 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan,Pengantar Transformasi untuk Indonesia,
(Jakarta : Grasindo, 2002), Hlm. 210 2 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, ( Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 247 3 H.A.R. Tilaar, Op. Cit, hlm. 210
17
akhirnya ia pun mengakui kebenaran akal dan keniscayaan empirik, dan ia
mengadakan sintesis dari keduanya. Walaupun semua pengetahuan
bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari
benda (empirisme). Jadi metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia
mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal tetapi ia tidak
mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal.4 Sehingga
akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitasnya dari
kehidupan dapat diterima kenyataannya. Kritiknya terhadap pengetahuan
sebagai sarana mencapai kesimpulan filosofis, ditekankan oleh Kant dan
diterima oleh para pengikutnya. Ada penekanan pada pikiran yang
dilawankan dengan materi, yang pada akhirnya mengarah kepada
penegasan bahwa hanya pikiranlah yang eksis.5
Bagi Kant, Tuhan, kebebasan, dan keabadian merupakan tiga “gagasan
tentang rasio”. Rasio murni memang mendorong untuk membentuk
gagasan-gagasan, namun ia tidak dengan sendirinya mampu membuktikan
realitas gagasan-gagasan tersebut. Gagasan ini memilki signifikansi praktis
yaitu berkaitan dengan moral. Penggunaan rasio yang murni intelektual
mengarah kepada kekeliruan, penggunaan yang benar adalah diarahkan ke
tujuan moral.
Penggunaan rasio ini dalam bukunya The Critique of Pure Reason, dan
kemudian diperjelas dalam The Critique of Practical Reason, dia
berpendapat bahwa ketentuan moral memerlukan keadilan, yakni
kebahagiaan yang sebanding dengan kebajikan. Dan hanya Tuhan yang
bisa menjamin hal itu.6
2. Teori Sosial Kritis (Mazhab Frankfurt)
Teori sosial kritis atau yang lebih dikenal sebagai mazhab Frankfurt,
banyak mempengaruhi pedagogik kritis atau sekurang-kurangnya
mempunyai kesamaan orientasi. Adapun tokoh-tokoh yang terkenal di
dalam mazhab Frankfurt ini antara lain Max Horkheimer dan Theodor
Wisengrund Adorno. Selanjutnya terdapat berbagai tokoh filsafat dan
psikologi yang tergabung di dalam lembaga tersebut misalnya Herbert
4 Jurnal Edukasi Vol. II, No. 1, Januari 2004, hlm. 42 5 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat,Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman
Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 919 6 Bertrand Russel, Ibid, hlm. 926
18
Marcuse, Erich Fromm, dan yang sangat terkenal sampai saat ini ialah
Jurgen Habermas sebagai pewaris mazhab Frankfurt.7
Karena Habermas adalah seorang filsuf Jerman terkemuka pada abad
20 dan merupakan tokoh yang sangat menonjol sebagai pewaris dari
mazhab Frankfurt, ada baiknya apabila kita melihat sebentar dasar-dasar
pokok dari pemikiran Habermas. Tulisan-tulisan mengenai filsafat sosial
sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dan sosiologi pada
masanya. Habermas menjadi seorang tokoh pengkritik sistem rasional dan
tentu juga terhadap sains. Ia mengkritik mengenai proses rasionalisme
yang telah melahirkan berbagai produk modernitas seperti teknologi, sains,
ekonomi kapital yang keseluruhannya telah memperbudak manusia dan
mengerdilkan kreativitas manusia.8 Dalam kritiknya tersebut Habermas
menginginkan agar kemerdekaan dan keadilan dapat ditegakkan. Pendapat
yang hampir sama dari Freire memandang pendidikan merupakan pilot
project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk
masyarakat baru.9
Sedangkan yang menarik dari teori kritis sosial mazhab Frankfurt ini
yaitu mengenai pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Teori ini
beranggapan bahwa apa yang disebut sebagai objektifitas ilmu-ilmu,
tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan.10 Jadi ilmu pengetahuan
hanya dipandang sebagai salah satu upaya dominasi dari penguasa kepada
masyarakat. teori tradisional ternyata melayani kepentingan status quo
yaitu untuk kelanggengan struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian
objektivitas teori-teori tradisional telah menghapuskan dimensi kritis
Pada perkembangan selanjutnya teori sosial kritis mengelompokkan
ilmu-ilmu atas tiga kelompok11 yaitu : pertama, ilmu-ilmu empiris
analitis. Seperti ilmu-ilmu kealaman, tujuannya adalah untuk dapat
mempelajari dan menguasai alam.kedua, ilmu-ilmu histories hermeneutis.
Seperti limu-ilmu sejarah dan ilmu penelitian arti-arti tulisan dan dokumen
7 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosila dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformasi untuk
Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm. 221 8 H.A.R. Tilaar, Ibid, hlm. 222 9 Paulo Freire, Politik Penddikan, Kebudayaan, Kekuasan dan Pembebasan, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 5 10 H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm, 225 11 H.A.R. Tilaar, Ibid,
19
sejarah. Tujuannya adalah menangkap makna, kemudian mengusahakan
peningkatan saling pengertian dan tujuan tindakan bersama. Dan yang
ketiga, ilmu-ilmu tindakan. Seperti ekonomi, sosilogi, politik dan juga
termasuk pendidikan. Tujuannya adalah untuk membantu manusia di
dalam bertindak bersama. Tujuan internal dari ilmu-ilmu ini ialah
pembebasan. Atau dalam pandangan Paulo Freire bahwa tujuan tertinggi
manusia adalah humanisasi melalui proses pembebasan.12 dari pemikiran
Habermas inilah dapat kita lihat betapa filsafat kritis sosial bertitik tolak
dari landasan yang sama yakni kehidupan bersama manusia. Dalam
pemikirannya ini sebenarnya Habermas ingin mengarahkannya untuk
menganalisis persyaratan-persyaratan komunikasi antar manusia yang
terbuka dan terbebas dari penindasan dan pemaksaan.
Sedangkan mengenai kebebasan dalam tindakan manusia ini Habermas
mengemukakan adanya empat tindakan13 yaitu : pertama, tindakan
teologis.yaitu tindakan yang didasarkan pada pengambilan keputusan.
Dalam mengambil keputusan tentunya diperlukan pemahaman dan
kebebasan manusia untuk mengambil keputusan dari kemungkinan-
kemungkinan yang ada. Kedua, tindakan normatif. Yaitu tindakan yang
memandang jauh ke depan, serta merupakan keputusan dari kemungkinan-
kemungkinan yang tak lain tindakan tersebut didasarkan pada norma-
norma. Ketiga, tindakan drama-turgik. Tindakan ini berkenaan dengan
penampilan diri seseorang di dalam kehidupan bersama. Dan yang terakhir
adalah tindakan komunikatif, yaitu sebuah tindakan untuk berinteraksi
dengan yang lain. Dalam tindakan ini diperlukan sebuah pemahaman atau
interpretasi. Tanpa pemahaman atau interpretasi maka dapat menimbulkan
kesalahpahaman dalam proses interaksi.
Seperti dijelaskan oleh Sunarto dalam buku Epistemologi Kiri, bahwa
dalam pandangan mazhab Frankfurt teori kritis ini berurusan dengan
prinsip-prinsip umum, tidak membentuk ide, melainkan memberikan
kesadaran untuk membebaskan manusia dari irrasionalisme. Karena itu
12 Paulo Freire, Op Cit, hlm. 176 13 H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm, 226
20
fungsi teori kritis ini adalah emansipatoris. Teori ini mempunyai beberapa
ciri14 antara lain :
1 Kritis terhadap masyarakat. mazhab Frankfurt juga mempertanyakan
sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan
dalam masyarakat.
2 Teori kritis berpikir secara historis dengan berpijak pada proses
masyarakat yang historis.
3 Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu
bentuk ideologis yang dimilki oleh struktur dasar masyarakat. itulah
yang terjadi dengan pemikiran filsafat modern. Menurut mazhab
Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum
kapitalis. Teori harus mempunyai kekuatan, nilai dan kebebasan untuk
mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk
menjadi ideologi.
4 Teori kritis tidak memisahkan teori dan praktik, pengetahuan dari
tindakan, rasio teoretis dari rasio prkatis. Perlu dicatat bahwa rasio
praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang
hanya memperhitungkan alat atau sarana saja.
Demikianlah uraian tentang dasar-dasar pemikiran teori kritis sosial
mazhab Frankfurt yang dalam perkembangannya mempunyai dampak
yang sangat besar dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, termasuk
pendidikan.
3. Pengertian Konsep Kritisisme
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pendidikan kritis ini terlebih
dahulu akan dipaparkan mengenai pegertian dari pendidikan kritis itu
sendiri. Menurut Sunarto perlu digaris bawahi bahwa teori kritis adalah
sebuah “gerakan inteketual yang dilakukan bersama-sama oleh
sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah tertentu.15 Teori kritis
bukanlah usaha seorang filsuf saja. Teori kritis tidak pernah mandeg. Ia
mengalir dan berubah. Sejak awal teori ini berambisi untuk menjawab
perkembangan sejarah aktual masa itu.
14 Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta : Ar-Ruzz media, 2003), hlm. 100-101 15 Listiyono Santoso, Ibid, hlm. 94
21
Pendidikan kritis atau berpikir kritis adalah konsep yang kaya dan
bervariasi yang dikembangkan dari pemikiran orang banyak. Robert Ennis
mendefinisikan :
Critical thinking is reasonable reflective thinking that focused on
deciding what to believe or do; berpikir kritis adalah berpikir yang
beralasan, reflektif yang memfokuskan dalam memutuskan apa yang harus
dipercayai dan apa yang harus dikerjakan.16
Dalam The Encyclopedia of Education dituliskan pula bahwa criticism
is the judicious appraisal, analysis and evaluation of works created or
recorded by men.17 Dan dalam kritik itu tidak selamanya negatif dan hanya
mencari-cari kesalahan saja. Sedangkan dalam literatur lain dijelaskan
bahwa kritik adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai oleh
argumentasi baik maupun buruk tentang suatu karya, pendapat, situasi
maupun tindakan seseorang atau kelompok.18
Pada dasarnya pendidikan kritis merupakan aliran, paham dalam
pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan19. Perdebatan mengenai
peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktisi merunut paham dan
tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem kapitalisme dan dari traidis
pemikiran mereka yang mencita-citakan perubahan sosial dan struktur
antara lain menuju masyarakat yang adil dan demokratis.
Kritik mempunyai makna yang sangat beragam dan pada substansinya
kritk adalah sebuah pengembangan tingkat berpikir untuk tidak mudah
menerima sesuatu dan akhirnya memahami sebuah kekurangan yang harus
dibenahi.
Dalam perspektif pendidikan kritis, urusan pendidikan adalah
melakukan refleksi kritis, tehadap the dominant ideology ke arah
transformasi sosial. Dalam hal ini tugas utama pendidikan menciptakan
ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta
16 D. Alan Bensley, Critical Thinking Psychology, USA ; Acid-Free Recycled Paper, 1998,
sebagaimana dikutip oleh Rikza Chamami dalam, Mengeja Epistemologi Pendidikan Islam Kritis, Jurnal Edukasi, Op Cit, , hlm. 43
17 Lee C. Deighton (ed), The Encyclopedia of Education, America ; The Mac Millan Company and Free Press, tth, hlm. 303
18 Mochtar Mas’oed, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta : UII Press, 1997), hlm. 4
19 Mansour Fakih, dkk. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 27
22
melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial ynag lebih
adil. Dengan kata lain bahwa tugas utama pendidikan adalah
“memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena
sistem dan struktur yang tidak adil.
Usaha untuk memanusiakan manusia tersebut tidak akan pernah
tercapai manakala pendidikan yang ada masih menganggap peserta didik
sebagai objek dan guru adalah subjek, atau dalam bahasa Freire disebut
dengan pendidikan gaya bank. Mengenai gaya bank tersebut Freire
menyusun daftar antagonismenya sebagai berikut :
a. Guru mengajar, murid diajar
b. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
c. Guru berpikir, murid dipikirkan
d. Guru bicara, murid mendengarkan
e. Guru mengatur, murid diatur
f. Guru memilih dan memaksakan kehendaknya, murid menyetujui
g. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya bertindak sesuai dengan
tindakan gurunya.
h. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta
pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran.
i. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan
kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi
kebebasan muridnya.
j. Guru adalah subjek dalam proses belajar mengajar, murid adalah objek
belaka.20
Konsep ini hanya akan membawa guru pada anggapan bahwa murid
adalah subjek yang tak berkesadaran, senantiasa pasif dan menerima apa
saja yang diberikan guru. Bagi Freire, jika model pendidikan yang
diterapkan seperti di atas, maka yang terjadi adalah pendidikan telah
diarahkan pada proses dehumanisasi21 (menghilangkan kemampuan
manusia sebagai manusia).
20 Muh dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta ; Djambatan, 2000), hlm. 48-49 21 Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses dominasi. Sedang pendidikan yang
humanis adalah sebuah proyek utopia (dalam arti yang posesif) untuk bangun dari keadaan tertindas dan terjajah. Maka jelas keduanya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo atau untuk merubah secara radikal (lihat
23
Karena sebenarnya hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran
bagi manusia agar dapat mengenal realitas kehidupan ini, peka terhadap
segala sesuatu yang terjadi, serta mampu melakukan dan menyelesaikan
segala permasalahan yang ada di sekitarnya.
Dalam proses pendidikan, untuk dapat memanusiakan kembali
manusia dan menghilangkan dehumanisasi hanya dapat dilalui dengan
menumbuhkan kesadaran. Adapun menurut Freire mengenai kesadaran ini
terbagi menjadi tiga22 kategori yaitu sebagai berkut :
1 Magic Consciousness (Kesadaran Magis)
Manusia dalam tahap ini tidak bisa memahami realita dan dirinya
sendiri, dia merasa bahwa semua yang terjadi adalah karena takdir dan
sebagai manusia hanya bisa menjalani tanpa merasa harus dapat
merubah kondisi yang dialaminya tersebut. Semua yang dia alami baik
bodoh, terbelakang, tertindas dan lain-lain adalah merupakan “suratan
takdir” yang tidak bisa diganggu gugat.
“In magical consciousness, although men’s horizons have expanded and they respond more openly to stimuli, these responses still have a magical quality”. 23
Kesadaran ini bercirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan
manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk
melawan kekuasaan. Orang-orang dalam tingkat kesadaran magis juga
akan berempati kepada para penindas. Mereka menunjukkan bukan
hanya mengerti, tetapi juga bersimpati pada masalah-masalah yang
dihadapi penindas. Setelah mengetahui penindas mempunyai
kekuasaan yang kuat, mereka mengidentifikasi kekuasaan dengan
kebaikan dan kebenaran.24
dalam Paulo Freire, “Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan”), Op. Cit, hlm. 190
22 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita, (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2005), hlm. 81
23 Paulo Freire, “Education for Critical Consciousness”, (New York ; Continuum, 1969),
hlm. 18 24 William A. Smith, “Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire”, (Yogyakarta ;
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 66
24
2 Naival Consciousness (Kesadaran Naif)
Jenis kesadaran ini sedikit di atas tingkatan magis, dalam kesadaran
ini manusia sudah dapat memahami bahwa dirinya itu terbelakang,
bodoh dan tertindas, dan itu adalah hal yang tak lazim bagi
kemanusiaan tetapi ia belum mampu untuk membaca kondisi
sosialnya, belum mampu mencari penyebab dari segala
keterbelakangan yang dia alami. Apalagi untuk mengajukan suatu
tawaran solusi dari problem sosialnya.
3 Critical Consciousness (Kesadaran Kritis)
Ini adalah tipe kesadaran yang paling ideal diantara kesadaran-
kesadaran yang lain. Kesadaran ini bersifat analitik dan praktis, di
mana seseorang sudah mampu untuk menganalisa kondisi sosial yang
terjadi mulai dari pemetaan masalah, identifikasi, serta mampu untuk
menemukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia
juga mampu untuk menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu
problem sosial.
Mengenai kesadaran kritis ini Freire menjelaskannya seperti yang
tertuang dalam “Education for Critical Consciousness” sebagai
berikut:
“The critically transitive consciousness is characterized by depth in the interpretation of problems; by the subtitution of causal prinsiples for magical explanations; by the testing of one’s “findings” and by openness to revision; by the attemp to avoid distortion when perceiving problems and to avoid preconceived notion when analizing them; by refusing to transfer responsibility; by rejecting passive positions; by soundness of argumentation; by the practice of dialogue rather than polemics; by receptivity to the new for reasons beyond mere novelty and by the good sense not to reject the old just because it is old – by accepting what is valid in both old and new”.25
Kesadaran ini ditandai dengan penafsiran yang mendalam tentang
berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan
kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan
seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan
usaha untuk melakukan distorsi ketika memahami masalah dan
25 Paulo Freire, “Education for Critical Consciousness”, Op. Cit, hlm. 18
25
menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika
menganalisa masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung
jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat;
dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima
pandangan baru tetapi bukan karena sekedar karena sifat kebaruannya
dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kunonya karena
sifat kekunoan-nya – yakni dengan menerima apa yang benar menurut
pandangan kuno dan baru.
Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas, dan dalam
tiap pemahaman realitas cepat atau lambat akan diikuti dengan aksi
atau tindakan. Karena menurut Freire sekali manusia menangkap
adanya tantangan, kemudian memahaminya dan merumuskan
kemungkinan-kemungkinan pemecahannya, ia akan bertindak.
Sedangkan sifat-sifat tindakannya itu erat kaitannya dengan sifat-sifat
pemahamannya.26
4 Transformation Consciousness (Kesadaran Transformatif)
Tipe ini adalah merupakan puncak dari kesadaran kritis. Dalam
istilah lain kesadaran ini ialah “kesadarannya kesadaran” (the conscie
of the consciousness)27 Kesadaran transformatif akan menjadikan
manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Karena dalam merumuskan suatu masalah, antara ide, perkataan dan
perbuatan serta progressifitasnya berada dalam posisi seimbang.
Individu-individu yang berkesadaran kritis menganggap sistem ini
perlu ditransformasikan. Tetapi untuk mengubah realitas secara
mendasar tidak cukup dengan melakukan tambal sulam terhadap
hubungan antara penindas dan tertindas, karena penyebab penindasan
ini adalah sistem, yakni seperangkat norma yang menguasai penindas
dan tertindas. Proses transformasi ini dimulai dengan menolak dan
menyingkirkan ideologi penindas dan meningkatnya penghargaan
terhadap diri sendiri dan kekuatan komunitas. Mereka berpikir secara
ilmiah dan tidak merujuk pada kasus-kasus penindasan tetapi pada
26 Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan”,(Jakarta ; Melibas, 2001), hlm. 58 27 Mu’arif, Op Cit, hlm. 82
26
wilayah sosio-ekonomi makro di mana kehidupan berjalan dalam
konteks global.28
Inilah beberapa tingkatan kesadaran menurut Paulo Freire, mulai
dari tingkatan yang paling bawah (manusia yang belum sadar dan
menyerahkan semua pada takdir) sampai pada tingkat kesadaran
transformatif yang tertuju pada tingkat kesadaran ideal yaitu
mewujudkan manusia yang sempurna.
Dari penjelasan mengenai tingkatan kesadaran dalam pandangan Freire
di atas, dapat dipahami bahwa untuk dapat mewujudkan pendidikan kritis
sesuai dengan yang telah dicita-citakan, maka kesadaran yang ada harus
sudah sampai pada tingkat kesadaran kritis. Karena paradigma kritis dalam
pendidikan melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’
dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu menganalisis
bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana
mentransformasikannya. Maka tugas pendidikan dalam paradigma kritis
adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat
dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan
lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa prinsip pedagogik kritis. Tentunya daftar
ini bukanlah suatu daftar yang lengkap, namun untuk menunjukkan betapa
kritisnya sikap pedagogik nengenai maslah pendidikan. Pedagogik kritis
merupakan suatu revolusi di dalam teori maupun praktik pendidikan.
Adapun prinsip-prinsip pedagogik kritis29 antara lain :
1. Dialog
Dasar utama pedagogik kritis ialah prinsip dialog. Manusia di dalam
keberadaannya selalu berdialog dengan subjek yang lain dan dengan
dunianya. Tanpa dialog manusia tidak akan bisa mewujudkan dirinya.
Pendidikan pembebasan hanya dapat terwujud apabila terjadi dialog
dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dan terhadap dunia yang
luas melalui proses penyadaran.
28 William A. Smith, “Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire”, Op Cit, hlm. 102-
103 29 H.A.R Tilaar, Op Cit, hlm. 236-242
27
2 Ilmu = konstruksi sosial
Ilmu adalah konstruksi sosial. Oleh karena itu pendidikan sistem bank
mengandung bahaya karena hanya akanmengembangkan budaya bisu.
Dalam pandangan Habermas, ilmu pengetahuan terbagi menjadi tiga
yaitu ilmu pengetahuan teknis, ilmu pengetahuan praktis dan ilmu
pengetahuan emansipatori. Sekolah-sekolah terlalu menekankan
kepada pengetahuan teknis, demikian juga dengan pengetahuan praktis
dalam mempersiapkan anak di dalam masyarakat. sedangkan untuk
pengetahuan emansipatori kurang mendapat perhatian. Padahal jenis
pengetahuan emansipatori merupakan dasar dari keadilan sisoal,
persamaan dan pemberdayaan.
3 Kelas sosial
Di dalam kehidupan masyarakat telah lahir yang namanya kelas-kelas
sosial, hal itu dapat dilihat bahwa kaum miskin tidak memperoleh
kesempatan yang sama dengan warga negara yang mempunyai
privilege untuk hidup lebih baik dan mendapatkan pendidikan yang
berkualitas. Di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa semua warga
negara mempunyai hak yang sama untuk mmperoleh pendidikan.
Namun, kenyataannya kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai
pendidikan belum semuanya memperhatikan kebutuhan golongan yang
termarjinalkan itu.
4 Hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan
Dalam suatu masyarakat yang multi budaya, kebudayaan mayoritas
dapat mendominasi kebudayaan-kebudayaan sub-kebudayaan yang
lain, sehingga merupakan kebudayaan yang tertindas. Dari situ terlihat
bahwa ada kecenderungan kebudayaan mayoritas dipaksakan. Di
sinilah peran kekuasaan yang menyelinap secara tidak kelihatan di
dalam perkembangan kebudayaan.
5 Ideologi dan hegemoni
Hegemoni atau sistem kekuasan tidak dapat dilepaskan dari ideologi.
Demikian juga dengan pendidikan tidak dapat lepas dari hegemoni dan
ideologi. Dalam hal ini pancasila sebagai ideologi negara haruslah
merupakan ideologi yang terbuka. Pedagogik kritis mempertanyakan
mengenai peranan ideologi dalam pengembangan kurikulum dan
28
kelakuan peserta-didik. Apabila ideologi dijadikan sebagai
indoktrinasi, maka hasilnya pemenjaraan kreatifitas manusia /peserta
didik.
6 Diskursus
Pengertian diskursus menurut Foucault yaitu suatu keluarga konsep
yang secara anonim berupa aturan-aturan histories, yang mengatur
kehidupan sosial-ekonomi-geografis dan lingkungan linguistik.
Singkatnya diskursus mengatur mengenai apa yang dapat dikatakan,
dan apa yang harus dirahasiakan, siapa yang harus bicara dengan
otoritasnya, dan siapa yang harus mendengar. Diskursus-diskursus
tersebut telah lahir dari kebudayaan yang domina, oleh sebab itu perlu
disimak secara kritis. Dengan demikian pendidikan kritis yang
menghasilkan tndakan dan pengetahuan haruslah diarahkan untuk
mengeliminasi penindasan, tetapi dalam keadaan yang sama dalam
mencapai keadilan dan kemerdekaan.
7 Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)
Dalam kurikulum baku telah kita ditentukan mengenai berbagai agenda
seperti contoh, situasi-situasi belajar, fasilitas belajar, termasuk
peraturan-peraturan yang harus ditegakkan di dalam sekolah. Namun
demikian, disamping program-program tersebut yang dimaksudkan
untuk mencapai sesuatu hasil, terdapat juga hasil-hasil yang
sebenarnya tidak diharapkan dari sekolah di dalam proses belajarnya.
Sebagai contoh, pandangan-pandangan gender biasanya
menguntungkan siswa laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
8 Reproduksi sosial
Lembaga sekolah yang berkaitan dengan struktur kekuasan cenderung
merupakan lembaga untuk reproduksi sosial. Metode bank yang
dipraktekkan dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah memang
terarah kepada proses reproduksi sosial. Matinya sikap kritis da
terbungkamnya kretifitas peserta-didik, akan menjadikan lembaga
sekolah sebagai lembaga transmisi produk-produk sosial budaya yang
ada. pedagogik kritis sangat peka terhadap fungsi sekolah sebagai agen
reproduksi sosial semata-mata. Menjadikan lembaga sekolah sebagai
pusat pengembangan budaya dan pusat pengembagan hubungan
29
subyek-subyek merupakan tugas yang berta dan serius. Sekolah harus
diubah menjadi arena dialog antara guru - siswa - orang tua dan –
masyarakat yang memiliki lembaga sekolah tersebut.
9 Kapital budaya (cultural capital)
Konsep ini lahir dari filsuf sosiolog Prancis yang terkenal, Pierre
Bourideu. Ia membedakan antara cultural capital dan human capital.
Di dalam kapital budaya tersoroti, misalnya mengenai teori tenaga
kerja dari pendidikan dan masalah-masalah lain yang terdapat di dalam
kebudayaan. Dalam hal ini, Bourdieu berbeda dengan mazhab
Frankfurt. Apabila mazhab Frankfurt menekankan kepada kritik
sebagai bagian yang esensial dari teori, maka Bourdieu melihat kritik
sebagai konsekuensi dari suatu struktur.
Inilah beberapa prinsip mengenai pendidikan kritis, dan hal inilah yang
menjadikan konsep ini disebut sebagai pendidikan kritis, karena pedagogik
ini menyimak secara kritis hubungan pendidikan sekolah, pendidikan,
budaya, masyarakat, ekonomi dan pemerintah. Pedagogik kritis melihat
masalah-masalah hubungan pendidikan tersebut melalui berpikir kritis,
dengan mempergunakan logika untuk mengakses dan mengevaluasi
kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
Sebenarnya kritisisme adalah sebuah aliran yang muncul dari
pertentangan antara rasionalisme dan empirisme kemudian berupaya untuk
menyatukan dan mempertemukan keduanya sehingga tidak menjadi
sebuah pertentangan. Adapun aliran kritisisme ini dalam
perkembangannya meliputi berbagai bidang antara lain ekonomi, sosial,
politik, dan budaya serta pendidikan.
Dalam pembahasan selanjutnya penulis berusaha menjabarkan tentang
implikasi pendidikan kritis ini dalam proses belajar mengajar pada
pendidikan. Dalam paradigma pendidikan kritis pendekatan yang dipakai
adalah pendekatan andragogy,30 atau pendekatan pendidikan orang
dewasa. Yaitu pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang
dewasa secara substantif, walaupun secara usia peserta didik tersebut
belum dewasa. Dari pengertian ini ingin menempatkan murid sebagai
30 Mansour Fakih, dkk. Op. Cit, hlm. 24
30
subjek dalam sistem pendidikan. Murid dalam pengertian ini dianggap
sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk
merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat,
memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan
serta mengambil manfaat pendidikan. Sedangkan guru berfungsi sebagai
fasilitator. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat
Multicommunication dan seterusnya.
Selain itu paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan
pendekatan serta proses belajar mengajar yang diterapkan. Suatu sistem
dimana guru menjadi subjek dan peserta didik menjadi objek pendidikan
dalam pandangan kritis adalah bagian dari masalah dehumanisasi. Dengan
kata lain bahwa paradigma pendidikan kritis tidak saja ingin membebaskan
dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi juga
bercita-cita mentransformasikan relasi ‘knowledge/power’ dan dominasi
hubungan yang ‘mendidik’ dan yang ‘dididik’ di dalam diri pendidikan itu
sendiri.31
Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan anak
didik mampu menentukan pilihan atau keputusannya secara mandiri.32
Peserta didik dengan segala bakat, minat, kreatifitas dan kebutuhannya ikut
berperan serta secara aktif dalam seluruh proses pendidikan. Pendidik
hanya perlu merangsang tumbuhnya daya cipta, rasa, dan karsa, imajinasi
dan kreatifitas mereka (baca: peserta didik). Bukan menjejalkannya dengan
materi-materi tertentu yang sudah ditetapkan.
Inilah bentuk pendidikan yang kemudian menuntut pendidik untuk
dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator.33
1. Fasilitator yaitu pendidik harus mampu memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mencoba mencari dan menemukan sendiri
makna informasi yang diterimanya.
2. Dinamisator yaitu pendidik harus berusaha dan mampu menciptakan
suasana belajar yang kondusif, berupa iklim proses belajar mengajar
31 Mansour Fakih, dkk. Ibid, hlm. 26 32 Sindhunata (Ed). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,Demokratisasi, Otonomi, Civil
Society, Globalisasi, (Yogyakarta : Kanisius, 2000). hlm. 178 33 Hujair Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Safirian Insania Press, 2003),
hlm. 242
31
yang tidak kaku, tetapi proses belajar mengajar yang dialogis, terbuka,
bebas dan bertanggung jawab yang selalu berorientasi pada pada
proses.
3. Mediator yaitu pendidik harus mampu memberi rambu-rambu atau
arahan dalam belajar (student learning).
4. Motivator yaitu pendidik harus selalu memberikan dorongan atau
motivasi agar peserta didiknya bersemangat untuk belajar dalam
menuntut ilmu pengetahuan.
Dalam proses pendidikan seorang pendidik harus dapat berfungsi
sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator sesuai yang telah
di jelaskan di atas, sehingga dapat memberdayakan peserta didik untuk
mampu dan menemukan sendiri informasi yang diterimanya. Pendidik
dalam proses, haruslah menjadi seorang “model” atau “uswah” dan
sekaligus menjadi mentor bagi peserta didik di dalam mewujudkan nilai-
nilai ilahiyah, moral kebebasan dan demokrasi dalam proses belajar
mengajar serta dalam kehidupan di sekolah.
B. Deskripsi Umum Tentang Pendidikan Agama Islam (PAI)
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Sebelum penulis membahas mengenai pendidikan agama Islam,
terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian dari pendidikan.
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai
usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang lain agar
menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih
tinggi dalam arti mental.34
Chabib Thoha mendefinisikan “Pendidikan sebagai suatu proses
pemindahan pengetahuan/ pengembangan potensi-potensi yang
dimilikinya untuk mencapai perkembangan secara optimal serta
34 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.
1
32
membudayakan manusia memalui proses transformasi nilai-nilai yang
utama”.35
Selanjutnya dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan dalam bab I
pasal I ayat: I: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.36
Jadi dari beberapa pengertian pendidikan di atas kiranya perlu penulis
ambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah sebuah usaha sadar untuk
memberikan bimbingan dan bantuan dari orang dewasa kepada (anak
didik) orang yang belum dewasa agar anak didik tersebut dapat menjadi
dewasa atau bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara biologis,
psikologis, paedagogies maupun sosiologis, dan berlangsung seumur
hidup.
Setelah kita ketahui tentang pengertian dari pendidikan selanjutnya
yang perlu kita ketahui adalah tentang pengertian dari pendidikan agama
Islam. Adapun berikut ini akan penulis kemukakan pengertian pendidikan
agama Islam dari beberapa tokoh pendidikan diantaranya adalah :
Komite Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN) mendefinisikan
pendidikan agama Islam yaitu “usaha berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat
memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya
sebagai pandangan hidup (way of life).37
Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani pendidikan agama Islam
adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama
Islam dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain
35Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
99 36 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Cet. I.
hlm. 3 37 Zakiyah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 86
33
dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga
terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.38
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang dilakukan secara sadar
oleh pendidik secara sistematis dan pragmatis dalam menyiapkan peserta
didik agar memiliki kepribadian yang mampu mengenal, meyakini,
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran dasar Islam yang
tertuang dalam al Qur’an dan Hadist serta menjadikannya sebagai
pedoman hidup untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dalam
rangka menciptakan kerukunan antarumat beragama demi persatuan dan
kesatuan bangsa.
2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
1) Dasar Yuridis/ Hukum
Yaitu dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam yang
berasal dari peraturan-peraturan di Indonesia yang secara langsung dan
tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan
pendidikan agama.39 Dasar yuridis ini meliputi :
a) Dasar Ideal
Yaitu falsafah negara Pancasila, sila I “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Yang memberi pengertian bahwa seluruh elemen bangsa
Indonesia harus percaya kepada Tuhan YME, dengan kata lain
harus beragama.40
b) Dasar Konstitusional
Yaitu UUD 1945 bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan :
1) Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, 2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap prnduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya
itu.41
c) Dasar Operasional
38 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasias Kompetensi Konsep
dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 130 39 Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 18 40 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR
RI, 2002), hlm. 80 41 Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945, Ibid, hlm, 80
34
Yaitu terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 30 ayat 1-5 , yaitu
sebagai berikut :
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan
/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
aturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.42
2) Dasar Religius
Yaitu dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Menurut ajaran
Islam pendidikan agama adalah perintah Tuhan dan merupakan
perwujudan ibadah kepada-Nya.43
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan perintah
tersebut, antara lain :
Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125:
بالتي هي مادلهجة ونسعظة الحوالمت وبالحكم كبل ربيالى س عاد نس125: النحل (اح(
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (QS. An-Nahl:125).44
42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS,
(Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 18 43 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit, hlm. 133 44 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 601
35
Al-Qur’an Surat Al- Imran ayat 104:
بالمعروف وينهون عن وياءمرونوالتكن منكم امة يدعون الى الخير
)104: العمران(المنكر واولئك هم المفلحون “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Imran : 104).45
Al Hadist Riwayat Imam Bukhori :
بلغوا عنى : وسلم قالعن عبد اهللا بن عمرو أن النبـي صلى اهللا عليه 46).رواه البخا رى. (ولو أية
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun hanya sedikit.(HR. Imam Bukhori).
3) Dasar Psikologis
Yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kewajiban
masyarakat. hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada
hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tenteram
sehingga memerlukan adanya pegangan hidup.47
Pada hakekatnya manusia dalam hidupnya di dunia senantiasa
membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama.48 Karena
agama dapat berfungsi sebagai standarisasi nilai-nilai sosial
masyarakat dan dapat memberikan inspirasi perkembangan sosial
kemasyarakatan. Secara psikologis, dalam kehidupan ini setiap
manusia sangat membutuhkan keberadaan agama untuk dapat
dijadikan sebagai acuan, bimbingan, arahan dan pengajaran bagi setiap
muslim agar dapat beribadah dan bermuamalah dalam hubungannya
dengan sang Kholiq dan berhubungan dengan sesama manusia (hablum
minallah wa hablum minanas). Masyarakat/ manusia akan merasa
45 Ibid, hlm. 133 46 Imam Bukhori, Shoheh Bukhori Juz III, (Bairut Libanon: Darul Kutub al Ilmiyah, 1992),
hlm. 500. 47 Abdul Majid dan Dian Andayani Op Cit, hlm. 133 48 Zuhairini,dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Malang: Usana Offset Printing, 1981),
hlm. 25.
36
tenang dan tenteram hatinya apabila mereka dapat mendekat dan
mengabdi kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Nya:
أالبذكراهللا تطمئن القلوبقلىالذين أمنواوتطمـئن قلوبهم بذكراهللا
)28: الرعد ( “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS. Al Ra’ad: 28).49
3. Fungsi dan Pendekatan Pendidikan Agama Islam
Kurikulum pendidikan agama Islam untuk sekolah/ madrasah berfungsi
sebagai berikut :
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa
kepada Allah SWT, serta akhlak mulia peserta didik seoptimal
mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan
keluarga.
b. Penanaman nilai, yaitu memberikan ajaran Islam sebagai pedoman
hidup untuk mencapi kebahagiaan hidup di dunia dan akirat.
c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan peserta didik terhadap
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
d. Perbaikan, yaitu memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan-
kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama
Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan, yaitu menangkal peserta didik dari hal-hal negatif budaya
asing yang akan dihadapinya.
f. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan ilmu pengetahuan keagamaan
secara umum (alam nyata dan non nyata/ gaib), sistem dan
fungsionalnya.
g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang
49 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya,Op CIt hlm. 535
37
secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan
bagi orang lain.50
Sedangkan untuk mewujudkan fungsi PAI, dan dalam rangka
menerapkan kurikulum tersebut, maka harus diusahakan adanya
pendekatan yang dilakukan, diantaranya adalah :51
a. Pendekatan pengalaman; yaitu memberikan pengalaman keagamaan
kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan.
b. Pendekatan pembiasaan; yaitu memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.
c. Pendekatan emosional; yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan
emosi dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamanya.
d. Pendekatan rasional; yaitu usaha memberikan peranan rasio dalam
memahami dan menerima kebenaran ajaran agama.
e. Pendekatan fungsional; yaitu usaha menyajikan ajaran agama Islam
dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.
4. Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
1) Tujuan Pendidikan Agama Islam
Bermacam tujuan diutarakan dalam proses pendidikan agama
Islam kesemuanya itu adalah saling melengkapi dan tak ada yang perlu
untuk dipertentangkan. Diantaranya seperti yang diungkapkan oleh
Mahmud Yunus, bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah
mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa supaya
menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh, dan berakhlak
mulia, sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat yang sanggup
hidup mandiri, mengabdi kepada Allah serta berbakti kepada bangsa,
tanah air dan bahkan kepada sesama umat manusia.52
Tujuan Pendidikan agama Islam di sekolah/ madrasah bertujuan
untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian
dan pemupukan pengetahuan, penghayatan dan pengamalan peserta
50 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op Cit hlm. 134-135 51 Marasudin Siregar, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang, Modul Pengajaran MK
MPA Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), hlm. 12. 52 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1983),
hlm. 13
38
didik tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang terus
berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya, berbangsa dan
bernegara serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Tujuan Pendidikan agama Islam bukanlah suatu hal yang
berbentuk tetap dan statis, melainkan ia merupakan suatu keseluruhan
dari kepribadian seseorang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan.
Tujuan pendidikan menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Dalam Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam Al Abrasyi
Berpendapat bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik
budi pekerti dan pendidikan jiwa berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang
diarahkan terbentuknya kepribadian yang utama.53
Sedangkan dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam
kurikulum 1999, menyebutkan bahwa tujuan PAI yaitu agar siswa
mampu memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa
kepada Allah SWT dan berakhlak mulia.54
Kemudian mengenai tujuan pendidikan agama Islam ini
dijelaskan lagi oleh Achmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam,
menurutnya tujuan pendidikan agama Islam terbagi menjadi tiga
tahapan, yaitu : tujuan akhir, tujuan umum, dan tujuan khusus.55
Tujuan akhir. Pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup
manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu : 1) menjadi
hamba Allah yang bertakwa, 2) mengantarkan peserta didik
menjadi kholifatullah fil ard (wakil Tuhan di Bumi) yang mampu
memakmurkannya (membudayakan alam sekitarnya). 3)
memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
Tujuan umum ini bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum
berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur
53 M. Athiyah Al Abrasyi, Alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Johar Bahry, L.I.S, Dasar-
dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 11 54 Muhamimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam,, Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung ; Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 78 55 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta ;
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 94-103
39
karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian
peserta didik, sehingga mampu menghadirkan sirinya sebagai
pribadi yang utuh (self realization).
Tujuan khusus. Tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan
untuk diadakanperubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi,
terakhir dan umum tersebut. Pengkhusussan tujuan tersebut
didasarkan pada : 1). Kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana
pendidikan itu diselenggarakan, 2). Minat, bakat, dan kesanggupan
peserta didik, dan 3). Tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu
tertentu.
Senada dengan tujuan pendidikan yang diungkapkan di atas,
tujuan diberikan mata pelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk
membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa pada Allah
SWT, memliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul
karimah. Oleh karena itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan
sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran
pendidikan agama Islam. Sedangkan tujuan akhir dari mata pelajaran
pendidikan agama Islam di SMA adalah terbentuknya peserta didik
yang berakhlak mulia. Karena seseorang bisa dikatakan memiliki iman
apabila dia telah memiliki akhlak yang mulia. Dengan demikian
pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan agama Islam. Sejalan
dengan tujuan ini maka semua mata pelajaran harus mengandung
muatan pendidikan akhlak dan setiap guru harus memperhatikan
tingkah laku setiap peserta didiknya.
2) Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Mata pelajaran pendidikan agama Islam itu secara
keseluruhannya dalam lingkup al-Qur’an dan al-Hadits, keimanan,
akhlak, fiqh dan sejarah sekaligus menggambarkan bahwa ruang
lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT.,
40
diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya
(Hablun minallah wa hablun minannas).56
Dalam rangka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam pendidikan agama Islam, maka ruang lingkup PAI berdasarkan
kurikulum 1994 pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu Al
Qur’an-Hadist, keimanan, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, dan
tarikh (sejarah Islam) yang ditekankan pada menekankan pada
perkembangan politik. Kemudian dalam kurikulum 1999 lebih
dipadatkan menjadi lima unsur pokok yaitu Al Qur’an, keimanan,
akhlak, fiqh dan bimbingan ibadah, serta tarikh/sejarah yang lebih
menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.57
5. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Istilah metode berasal dari Bahasa Yunani “Metha” dan “Hodos”.
Metha diartikan melalui atau melewati, sedangkan Hodos berarti jalan atau
cara. Dari gabungan dua kata di atas, yang di maksud dengan metode yaitu
jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. 58 Yang
dalam hal ini adalah tujuan pendidikan agama Islam.
Setelah kita ketahui makna dari metode, selanjutnya perlu kita ketahui
pengertian dari metode mengajar. Menurut Abdullah Sigit dalam
metodologi pendidikan agama seperti kutip oleh Zuhairini, dkk. dijelaskan
bahwa sesungguhnya cara atau metode mengajar adalah suatu “seni”
dalam hal ini adalah “seni mengajar”. Dijelaskan pula oleh Proyek
Pembinaan Perguruan tinggi agama, merumuskan bahwa metode mengajar
adalah suatu teknik penyampaian bahan pelajaran kepada murid, ia
dimaksudkan agar murid dapat menangkap pelajaran dengan mudah,
efektif dan dapat dipahami oleh anak didik dengan baik.59
Sedangkan macam-macam metode yang digunakan dalam
menyampaikan materi PAI, para ahli pendidikan berbeda pendapat
mengenai hal ini. Metode yang digunakan oleh satu orang ahli belum tentu
digunakan pula oleh ahli yang lain. Tetapi pada dasarnya metode yang
56 Abdul Majid dan Dian Andayani, loc.cit., hlm. 131. 57 Muhaimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam, Op Cit, hlm. 79 58 Zuhairini, et.al, Metodologi Pendidikan Agama, Op.Cit., hlm., 66. 59Zuhairini, et al, Ibid, hlm. 66-67
41
digunakan ini saling melengkapi, karena tidak semua materi PAI dapat
disampaikan menggunakan satu metode saja. Oleh karena itu, metode yang
lain sangat mendukung dalam pencapaian hasil belajar siswa.
Penggunaan metode sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
lingkungan belajar siswa, oleh karenanya metode bersifat kondisional.
Berikut ini adalah metode yang sering dikemukakan oleh beberapa ahli
pendidikan. Adapun metode yang sering kita dengar dan kita baca adalah
sebagai berikut:
a. Metode ceramah, yaitu memberikan pengertian dan uraian suatu
masalah/ materi.
b. Metode diskusi, yaitu memecahkan masalah/ menyampaikan materi
dengan berbagai tanggapan.
c. Metode tanya jawab, yaitu proses komunikasi dua arah antara guru dan
murid.
d. Metode eksperimen, yaitu mengetahui proses terjadinya suatu masalah
dengan uji coba.
e. Metode demonstrasi, yaitu menggunakan peraga untuk memperjelas
atau menunjukan sebuah masalah/ menyampaikan materi.
f. Metode pemberian tugas, yaitu dengan cara memberi tugas tertentu
secara bebas dan dipertanggungjawabkan.
g. Metode sosiodrama, yaitu menunjukkan tingkah laku kehidupan.
h. Metode karya wisata, yaitu kunjungan di luar sekolah dalam rangka
tugas tertentu.
i. Metode kelompok, yaitu dengan belajar bekerja sama (group work).
j. Metode drill, yaitu mengukur daya serap terhadap pelajaran/ latihan
berulang-ulang.
k. Metode proyek, yaitu memecahkan masalah dengan langkah-langkah
secara ilmiah, logis dan sistematis.60
Dari beberapa metode di atas dalam penyampaian pendidikan agama
Islam secara jelas tak ada yang paling baik karena pemakaian metode
tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, dan sebuah
60 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), cet. I, hlm. 2.
42
metode bisa menjadi efektif ketika digunakan oleh seseorang tetapi belum
tentu efektif ketika digunakan oleh orang lain.
Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang
sangat signifikan untuk mencapai tujuan. Bahkan metode sebagai seni
dalam mentransfer ilmu pengetahuan/ materi pelajaran kepada siswa
dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi. Oleh karena itu
penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi pencapaian
keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu dalam
pembahasan metode pendidikan Islam ini, perlu melihat semua aspek dari
kegiatan pendidikan dan pengajaran baik dilihat dari pendidik dan anak
didik.
a. Pendidik dengan metodenya harus mampu membimbing, mengarahkan
dan membina anak didik menjadi manusia dewasa baik dalam sikap
maupun kepribadiannya, sehingga tergambarlah dalam tingkah lakunya
nilai-nilai ajaran Islam.
Demikian juga pengajar dengan metodenya harus dapat menanamkan
pengertian dan kemampuan memahami, menghayati dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik
sehingga ia menjadi manusia yang dewasa dalam ilmu pengetahuan.
b. Anak didik tidak hanya menjadi objek pendidikan atau pengajaran,
tetapi juga menjadi subjek yang belajar, memerlukan suatu metode
agar dalam proses belajarnya dapat searah dengan cita-cita pendidik
atau pengajarnya.61
6. Penilaian (Evaluasi) Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian
Pengertian evaluasi seperti dijelaskan oleh tim WRI (Walisongo
Research Institute) dalam Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran
yaitu Evaluasi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris Evaluation
yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut istilah,
evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui
keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolok ukur untuk mencapai kesimpulan. Evaluasi
61 H.M. Arifin, Op Cit, . hlm. 99-100
43
bukan sekedar menilai secara spontan atau insidental, melainkan untuk
menilai sesuatu secara terencana, sistematik, terarah berdasarkan
tujuan yang jelas.62
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Dengan diadakannya evaluasi
diharapkan dapat menemukan kelemahan-kelemahan atau kekurangan-
kekurangan yang kemudian diperbaiki demi mencapai sebuah
kesempurnaan.
Dalam Islam evaluasi dikenal dengan istilah muhasabah, yaitu
sebuah introspeksi atau usaha mengoreksi diri sendiri untuk dapat
menemukan kesalahan-kesalahan pribadi untuk senantiasa melakukan
perbaikan-perbaikan dalam rangka mewujudkan manusia bertakwa
(insan kamil) seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik
penilaian terhadap tingkah laku manusia-didik berdasarkan standar
perhitungan yang bersifat komprehensip dari seluruh aspek-aspek
kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius, karena manusia
hasil pendidikan tidak hanya bersikap religius tetapi juga berilmu dan
berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan
masyarakatnya. Secara umum sedikitnya ada tiga aspek yang perlu
diperhatikan untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan
evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, yaitu:63
1) Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis; ini berarti
bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang terencana dan
berkesinambungan.
2) Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data
yang menyangkut objek yang sedang dievaluasi, dalam pengajaran
datanya berupa perilaku, hasil ulangan maupun tugas.
3) Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, tidak
dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak
62 Tim WRI (Walisongo Research Institute), dalam Materi Inservice Training KKG-MGMP,
Bunga Rampai Psikologi dan Pembelajaran, (Semarang: tp, 2001) , hlm. 189 63 Ngalim Puwanto, Prinsip-Prinsip dan Tehnik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Rosda
Karya, 2002), hlm. 4.
44
dicapai, tanpa merumuskan tujuan dahulu tidak mungkin menilai
sejauh mana hasil belajar siswa.
Dengan demikian maksud dari evaluasi pendidikan Islam adalah
sebuah kegiatan sistematis dan terarah dalam rangka pengambilan
keputusan yang didasarkan pada sejauhmana keberhasilan pendidikan
Islam sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
Dalam dunia pendidikan evaluasi sangat diperlukan, Chabib
Thoha mengungkapkan tiga alasan utama mengenai pentingnya
evaluasi dalam pendidikan. Pertama, adanya hubungan
interdependensi antara tujuan pendidikan, proses belajar mengajar, dan
prosedur evaluasi.64 Tujuan pendidikan akan menjadi pedoman dan
arahan dalam proses belajar mengajar yang seharusnya dilaksanakan.
Pelaksanaan proses belajar mengajar juga berkepentingan akan adanya
perumusan tujuan yang baik, dan prosedur evaluasi haruslah
memperhatikan pelaksanaan proses belajar mengajar.
b. Jenis Evaluasi
Ada tiga jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam ini, yaitu : 65
1) Evaluasi sehari-hari, yaitu evaluasi yang diberikan sebelum/
sesudah PBM.
2) Evaluasi ulangan umum, yaitu kegiatan evaluasi yang dilaklukan
pada akhir catur wulan.
3) Evaluasi pada akhir tahun ajaran (tingkat akhir).
c. Teknik Evaluasi
Secara garis besar, maka alat evaluasi yang digunakan dapat
dibagi menjadi dua macam, diantaranya:
1) Tehnik tes66, yaitu suatu alat atau prosedur yang sistematis dan
obyektif untuk memperoleh data-data atau keterangan yang
diinginkan tentang seseorang, dengan dengan cara yang boleh
64 Tim WRI (Walisongo Research Institute), Op Cit, hlm. 189 65 Zuhairini,dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, op.cit, hlm. 156-157. 66 Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), cet.
III, hlm. 32.
45
dikatakan tepat dan cepat. Ditinjau dari kegunaannya untuk
mengatur siswa, maka dibedakan atas tiga macam tes:
a) Tes diagnostik: tes yang digunkan untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-
kelemahan itu dapat dilakukan pemberian perlakuan tepat. 67
b) Tes foramtif: tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh
mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program
tertentu.
c) Tes sumatif: tes yang dilakukan setelah berakhirnya pemberian
sekelompok program/ sebuah program yang lebih besar.68
2) Tehnik non tes69
a) Skala bertingkat; skala yang menggambarkan suatu nilai yang
berbentuk angka terhadap sesuatu hasil pertimbangan. Contoh:
tidak senang, biasa, senang.
b) Kuesioner; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh
orang yang akan diukur (responden).
c) Daftar cocok; deretan pertanyaan yang biasanya singkat-
singkat.
d) Wawancara; tanya jawab sepihak untuk memperoleh jawaban
dari responden.
e) Observasi; pengamatan secara teliti serta pencatatan secara
sistematis.
f) Riwayat hidup; gambaran tentang keadaan seseorang selama
dalam masa kehidupannya.
d. Fungsi Dan Tujuan Evaluasi
Tujuan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk
memperoleh data secara jelas dan akurat mengenai tingkat keberhasilan
dalam pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga dapat
dilakukan/diupayakan sebuah tindak lanjut dari hasil evaluasi tersebut.
67 Ibid, hlm. 33 68 Ibid, hlm. 36-38 69 Ibid, hlm. 26-31.
46
Evaluasi sebagai salah satu komponen terpenting dalam pendidikan
Islam, berfungsi sebagai berikut : 70
1) Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas cara belajar dan
mengajar yang telah dilakukan benar-benar tepat atau tidak.
2) Untuk mengetahui hasil prestasi belajar siswa guna menetapkan
keputusan apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dilanjutkan.
3) Untuk mengetahui informasi tentang taraf perkembangan dan
kemajuan yang diperoleh siswa.
4) Sebagai bahan laporan bagi orang tua siswa tentang hasil belajar
siswa. Laporan dapat berbentuk buku raport, piagam, ijazah dll.
5) Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh
sebelumnya dengan pembelajaran yang dilakukan sesudah itu.
Secara lebih terperinci evaluasi dalam pendidikan dapat berfungsi
sebagai berikut :71
1) Bagi guru
a) Mengetahui kemajuan belajar peserta didik
b) Mengetahui Kedudukan individu dalam kelompoknya
c) Mengetahui Kelemahan-kelemahan dalam proses belajar
mengajar
d) Mengetahui Memperbaiki proses belajar mengajar
2) Bagi peserta didik
a) Mengetahui kemampuan dan hasil belajar
b) Memperbaiaki cara belajar
c) Menumbuhkan motivasi dalam belajar
3) Bagi sekolah
a) Mengukur mutu hasil pendidikan
b) Mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah
c) Membeuat keputusan untuk peserta didik
a) Mengadakan perbaikan kurikulum
70 Armai Arief, op.cit, hlm. 58. 71 Tim WRI (Walisongo Research Institute), dalam Bunga Rampai Psikologi dan
Pembelajaran, Op Cit, hlm. 190-191
47
B. Konsep Kritisisme dalam Pendidikan Agama Islam
Mengenai konsep kritisisme ini, walaupun hanya sebuah konsep yang
dipopulerkan oleh tokoh dari Barat, tetapi secara substantif, sebenarnya sejak
masa awal Islam, konsep tersebut sudah ada dan merupakan konsep yang telah
digunakan oleh para tokoh Islam dari dulu sampai sekarang.
Kritis (Criticize) dalam kamusnya Hasan Shadily dan John M Echolss
berarti, pertama, mencela, kedua mengecam dan mengupas72 term kritis ini
kemudian diperjelas lagi dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang berarti
pertama, bersifat tidak lekas percaya,. Kedua, bersifat selalu berusaha
menemukan kesalahan dan kekeliruan serta tajam dalam penganalisisan.73
Maksud dari sikap kritis ini adalah bahwa salah satu ciri suatu kajian ilmiah
adalah terbuka jadi dengan sikap kritis, nantinya kebenaran akan suatu kajian
ilmiah tersebut akan senantiasa terbuka untuk menerima perbaikan dan
pembenahan demi kesempurnaan, demikian seterusnya. Sehingga terus
berputar secara dinamis dengan orientasi progressif.
Berkaitan dengan konsepsi tersebut, pengetahuan dalam perspektif
Islam tidak hanya menunjuk pada sudut khusus dari mana kaum muslimin
memandang ilmu, akan tetapi menekankan pada keharusan yang mendesak
untuk mencari ilmu, seperti diketahui perintah Allah yang pertama kepada
nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
.إقرأ و ربك األكرم . خلق اإلانسان من علق . با سم ربك الذى خلق اقرأ )5 -1:العلق ( اإلانسان ما لم يعلم علم. الذى علم بالقلم
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantarakan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al ‘Alaq : 1-5).74 Ayat di atas memberikan arahan kepada segenap kaum muslimin untuk
senantiasa mencari ilmu dan sekaligus mengamalkannya karena kunci
72 John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia : Jakarta, 1992, cet XX, hlm. 156
73 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ed 2 cet III, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hlm. 531
74 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 1403
48
kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat adalah ilmu pengetahuan. Islam
adalah agama yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan, Al Qur’an sendiri
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan kebutuhan
fisik. Ummat Islam percaya bahwa semua makhluk adalah manifestasi dari
kehendal Ilahi (Allah), karenanya kajian atas alam akan menghasilkan
pengertian yang lebih baik tentang kebenaran. Pada dasarnya Islam tidak
mengenal batasan dalam soal menuntut ilmu pengetahuan, tidak pula dalam
memahami fenomena alam. Al Qur’an mengandung esensi semua
pengetahuan; tetapi perwujudan detailnya adalah merupakan tanggung jawab
manusia. Tradisi Islam menafsirkan al Qur’an dengan cara sedemikian rupa
sehingga memperbolehkan apa saja yang tidak dilarang secara khusus. Islam
tidak melarang kajian atas alam. Nyatanya Al Qur’an justru memerintahkan
perenungan atas ciptaan Allah.75 Dalam mempelajari alam ini adalah
sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan wewenang manusia itu sendiri. Jadi
manusia bebas untuk dapat mengolah dan memamfaatkan alam ini, tetapi
dalam kebebasan itu tentunya ada batas-batas yang harus ditaati selaku umat
Islam.
Adapun mengenai pentingnya umat Islam untuk mencari ilmu ini, Al
Ghazali mengutip sebuah pernyataan dari Abu Darda, salah seorang sahabat
nabi sebagai berikut :
“Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu dan atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak termasuk salah seorang dari yang tadi), maka binasalah engkau”.76
Dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk
menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan
menanamkan nilai kemanusiaan sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran
dan kesejahteraan suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada
sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Mengenai keutamaan dalam menuntut ilmu ini, dalam ajaran Agama
Islam juga mengakui adanya kebebasan manusia selama masih berada dalam
75 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta ; Logos, 1994), hlm. 3 76 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendiidkan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1998) hlm. 55
49
batas-batas aturan/ nilai-nilai ajaran Islam. Seperti firman Allah SWT yang
tertuang dalam al Qur’an sebagai berikut :
هنكان ع كل اولئك ادالفؤو رصالبو عمان الس به علم لك سا ليم قفال تو 77)36: االسراء (مسئوال
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya. (Al Isra’ : 36) Ayat di atas menganjurkan kepada kita selaku umat Islam untuk
senantiasa bertanggung jawab dalam melakukan segala sesuatu. Karena semua
yang kita perbuat kelak akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah
SWT. Jadi walaupun kita sebagai manusia yang mempunyai hak untuk
bersikap dan berbuat bebas, tetapi kita sebagai umat Islam yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT maka sudah seharusnya bagi kita untuk
menggunakan kebebasan tersebut selama tidak bertentangan dengan ajaran-
ajaran Islam.
Ajaran paling mendasar yang memandu pemikiran ilmiah Islam
menyatakan bahwa Al Qur’an mengandung semua kebenaran dan ilmu
pengetahuan; pertama, prinsip-prinsip semua ilmu pengetahuan tidak
termasuk perinciannya ada dalam Al Qur’an, kedua, Al Qur’an dan Hadist
mendefiniskan lingkungan dan nilai-nilai yang inheren dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Kedua hal inilah yang mendasari pandangan Islam bahwa
semua ilmu pengetahuan sesuai dengan Akal Universal dan akhirnya dengan
Allah SWT.78
Dalam kaitannya dengan kemampuan manusia untuk memahami akal
universal, Al Qur’an menganjurkan seseorang untuk menuntut ilmu
pengetahuan sebagai satu cara menuju keselamatan. Allah melengkapi
manusia dengan akal agar kita dapat menggunakan indera dan pikiran kita
untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang dunia natural maupun
supernatural. Sementara indera memungkinkan seseorang memperluas
pengetahuannya tentang alam dunia, akal memberinya kemampuan untuk
77 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Ibid, hlm. 611 78 Charles Michael Stanton, Op Cit, hlm. 121
50
menganalisa esensi objek-objek material, termasuk hubungannya dengan
objek-objek supernatural dan kehendak Ilahi (Allah).
Islam dalam konsepsi kritis sesuai kelanjutannya adalah pembacaan
baru terhadap agama hanifiyah, agama Ibrahim, agama fitrah dan alam. Islam
melakukan pembacaan terhadap tradisi umat terdahulu, kemudian memberikan
penilaian terhadapnya dan merekonstruksi serta meralat orientasinya. Ini
didasarkan bahwa setiap yang baru memiliki dasar yang lama, dan setiap dasar
yang lama akan dikembangkan ke dalam yang baru. Hal ini sesuai dengan
ajaran Islam untuk dapat mengambil manfaat/ hikmah dari sebuah kejadian.
Lebih lanjut Abu Hanifah menyatakan :
Pengetahuan kita adalah ra’yu; itu adalah yang terbaik yang sejauh ini bisa kita capai. Siapa yang mampu menghasilkan pandangan lain berhak meyakini pandangannya, seperti halnya kita dengan pandangan kita sendiri…….jika aku (Abu Habifah) tidak menemukan jawaban dalam kitab Allah atau dalam hadist nabi, aku akan mencari pandangan sahabat-sahabat Nabi. Aku akan berpegang teguh dengan pandangan mereka dan takkan menyimpang kepada pandangan orang lain. Tetapi (bila) yang dipersoalkan adalah Ibrahim, al-Syabi, Imam Sirin, al-Hasan, ‘atha’, dan sa’id ibn Jubayr, maka mereka adalah orang-orang yang telah mengambil jalan penafsiran sendiri, dan saya juga akan melakukan hal yang sama.79
Walaupun Abu Hanifah adalah seorang fuqaha, tetapi dalam
kehidupannya ia mencari nafkah dengan berdagang tekstil. Barangkali inilah
yang menjelaskan mengapa dalam pendekatan hukum ia begitu tergantung
pada hukum-hukum akal dan logika, dan pada situasi-situasi di mana jual beli
berlangsung. Dia adalah orang yang banyak bergelut dengan dunia nyata dan
praktis, dan karenanya mencari metode yang bisa menghasilkan ketetapan
hukum yang paling sesuai dengan gaya hidup yang realistis dan praktis di satu
sisi, dan di sisi lain seorang yang mampu melihat pesan-pesan Ilahi yang
termanifestasi secara langsung dalam Al Qur’an atau melalui tafsiran lewat
Muhammad dan hadist.
Dalam al Qur’an Allah SWT menjelaskan bahwa manusia hidup di
dunia ini dianjurkan dapat menggunakan akalnya untuk mengolah dan
memanfaatkan sekaligus memelihara kelestarian alam ini demi mencapai
kebahagiaan dirinya. Sebagaimana dalam Al Qur’an surat al Jatsiyah ayat 13:
79 Charles Michael Stanton, Ibid, hlm. 30
51
لكم رخسو هعا منميض جا فى االرمموت وا فى السم . اليتان في ذلك )13: اجلاثية .(لقوم يتفكرون
Dan Dia menundukkan untukmu, apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. Al Jatsiyah : 13)80
Sebagaimana yang diutarakan oleh Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
yang berbunyi sebagai berikut :
“Nalar tidak dapat berkembang tanpa ajaran yang berdasarkan pendengaran, seperti juga ajaran yang berdasarkan pendengaran tidak dapat berkembang tanpa nalar. Barang siapa mendorong untuk menerima kepatuhan membuta kepada ajaran yang diberikan dan untuk secara mutlak mengesampingkan nalar adalah orang yang tidak menggunakan akalnya ; barang siapa puas hanya dengan nalar dan mengesampingkan pencerahan dari Qur’an dan Sunnah adalah korban ilusi”.81
Dalam agama Islam, Mengenai penalaran kritis ini, sejak masa
Rasulullah sampai sekarang sudah menjadi sebuah konsepsi yang telah
dijalankan dan dipraktekkan, hal itu dapat dilihat dari beberapa kisah, seperti
pada masa setelah Rasulullah wafat, para sahabat kemudian berkumpul dan
bermusyawarah untuk mencari siapa yang pantas untuk menggantikan posisi
rasulullah sebagai khalifah. Kemudian dari musyawarah tersebut akhirnya
menyepakati bahwa yang akan menggantikan Rasulullah adalah Abu Bakar
Ash Shidiq.
Contoh lain yaitu dalam merumuskan suatu hukum, agama Islam
menggali dari Al Qur’an dan Hadist, kemudian diteruskan dengan ijma’ dan
qiyas, ijma dan qiyas ini merupakan hasil ijtihad dari para Ulama/ fuqaha.
Dalam ijma’ dan qiyas itulah merupakan ikhtiar dari akal /nalar kritis para
ulama (fuqaha) dalam menentukan hukum, yang tentu saja nalar kritis tersebut
tetap mengambil hujjah dari al Qur’an dan as sunnah.
Dalam ijma’ dan qiyas itulah terkandung ajaran dialog/musyawarah
untuk kemufakatan bersama. Dialog bersifat teoretis sekaligus praktis. Ia
merupakan ekspresi keseimbangan kekuatan antara manusia dan budaya.
80 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit, hlm. 1119 81 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Jakarta ; Faizan, 1994), Juz III, hlm. 15
52
Dialog bukanlah sekedar latihan intelektual, melainkan kerja sama saling
menguntungkan antar pemikiran individu. Tema utamanya adalah kekuasaan
dan keadilan. Kekuasaan tanpa keadilan bersifat merusak. Keadilan tanpa
kekuasaan melahirkan penghinaan, ketidakberdayaan dan frustasi. Kekuasaan
bersifat global, politik, ekonomi, sosial, ilmiah dan budaya. Sementara
keadilan hanya bersifat global. Kekuasan adalah kekuatan, bukan kebenaran,
sementara keadilan adalah kebenaran tanpa kekuatan.82
Agama Islam juga mengajarkan tentang pentingnya bermusyawarah
hal ini berdasarkan firman Allah :
نا مهل فيعجا أتفة قالوليض خاعل في األري جللمآلئكة إن كبإذ قال رويفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم مالا
83)30: البقرة (تعلمون
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Ayat di atas mempunyai kandungan bahwa sebenarnya Allah SWT
hendak mengajarkan hamba-hambanya untuk bermusyawarah (berdialog)
dalam urusan mereka sebelum dikembangkan atau diterjemahkan dalam
aktifitas praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Iqbal, seorang sejarawan terkenal dari benua India
mengatakan bahwa Islam menolak pandangan statis tentang alam semesta ini,
dan sebaliknya mendukung pandangan dinamis. Dalam pandangan Iqbal
bahwa menurut kosmologi Islam, mulai dari penciptaan, pengaturan bumi dan
segala isinya ini bersifat progressif evolusioner.
Jadi dengan pengaturan bumi yang progressif evolusioner inilah
manusia dituntut untuk dapat menggunakan akal/nalar kritisnya untuk
senantiasa merenungi dan mempelajari segala ciptaan Allah dan untuk
82 Hassan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global, Revolusi Islam untuk Globalisasi, Pluralisme dan Egaliterisme Antar Peradaban, (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2003), hlm. 71
83 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan terjemahnya, hlm. 11
53
menjaga dan memelihara alam ini demi kebahagiaan hidup makhluk seluruh
dunia.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, disaat kebekuan
masih menjangkiti kehidupan umat Islam, ia dengan berani menuntut hak
ijtihad dan menggunakan pendapat independensinya dalam menyatakan
kembali prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah.
Dengan kritikannya inilah, Ibnu Taimiyah merupakan representasi kritikus
Islam di jamannya.
Hal yang sama juga menjadi fokus perhatian dari Muhammad Arkoun,
ia menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaruan
kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang
sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan Karena
itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Muslim kontemporer.
Oleh karena itu, Arkoun mencoba menghasilkan karya-karya yang
dimanfaatkannya dengan tujuan untuk melakukan penggabungan hasil
berbagai ilmu pengetahuan barat mutakhir dengan pemikiran Islam guna
membebaskan pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan yang
mencirikannya sampai kini, dan melahirkan suatu pemikiran islami yang
menjawab tantangan yang dihadapi manusia muslim di dunia modern. 84
Arkoun adalah seorang pengkritik tradisi ortodoks, dan tradisi
objektivisme serta positivisme yang tidak hanya merasuki ilmu pengetahuan
barat, tetapi juga orientalisme barat. Menurutnya bahwa paradigma orientalis
benar-benar menyokong kategori, symbol-simbol, dan signifikansi yang sama.
Islam ortodoks didomonasi oleh logosentrisme, sebuah varian
dekonstruksionalisme dari pemikiran Anglo-Saxon mengenai skripturalisme.85
Kritiknya dengan menggunakan berbagai hasil pemikiran barat
mutakhir inilah yang dianggapnya sebagai jalan yang tepat untuk melampaui
kekakuan pemikiran Islam. tujuan akhir dari proses pembukaan kembali
pemikiran islami yang ingin diwujudkannya adalah emansipasi manusia Islam
dari berbagai perbudakan yang dibuatnya sendiri dan yang tidak terbatas pada
bidang intelektual belaka.
84 Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru,(Jakarta : INIS, 1994), hlm. 6 85 Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, Op Cit, hlm. 202
54
Arkoun mencoba memberikan kritikannya tentang ijtihat. Dalam
pandangannya, ijtihad yang dibatasi pada bidang teologi-yuridis perlu
dilampaui menjadi “kritik nalar islami”. Lebih jauh dengan rumusannya
tersebut, Arkoun menjelaskan bahwa dengan mengusulkan “kritik nalar
islami”, ia berusaha melampaui kedua pendirian yang bertolak belakang dan
saling menolak dari islamologi yang hanya memperhatikan hal yang “positif”
dan penganut agama Islam yang mendekati agama atas dasar kepercayaan
langsung dan tanpa kritik.86
Sebagai contoh konkret dari kritik nalar islami yang dimaksudkan,
adalah pendapatnya yang paling controversial yaitu ketika ia mengatakan
bahwa dalam khasanah tafsir Islam dengan segala macam mazhab serta
alirannya, sesungguhnya al Qur’an hanya merupakan “alat” untuk membangun
teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu
setelah masa turunnya al Qur’an itu sendiri.87
Secara lebih rinci Arkoun memberikan penjelasan tentang nalar
sebagai berikut :
“Iman adalah suatu kepercayaan benar, pasti ; tempatnya di dalam jiwa, adalah daya bernalar. Kekafiran adalah suatu kepercayaan tipuan, tidak mengandung kepastian; tempatnya di dalam jiwa, adalah daya khayali (al-mutakhayyilah). Dapat terjadi bahwa daya khayali sesuai dengan kepercayaan yang benar; namun daya bernalar tidak mungkin sesuai dengan kepercayaan tipuan”.88 Jadi, nalar ditakdirkan untuk benar; jika nalar menerapkan secara
kaidah deduksi logis dan kaidah konstruksi pernyataan-pernyataan, tidak
mungkin khilaf. Itu berarti bahwa nalar tidak akan mulai dari dirinya sendiri
penyusunan kebenaran yang telah ada dalam dirinya; sebaliknya, seluruh
kegiatannya mengulangi secara sejati, menjelaskan, mengeksplisitkan,
mengklasifikasi di dalam suatu rumusan yang runtut segala sesuatu yang telah
diujarkan dengan cara yang sekaligus sederhana dan tak terbatas, oleh bahasa
iman, artinya oleh tuturan Allah yang tak tergoyahkan.
Menurut Harun Nasution, iman erat kaitannya dengan akal dan wahyu.
Iman yang di dasarkan pada wahyu disebut Tasydiq yaitu menerima sebagai
benar apa yang didengar. Iman yang didasarkan pada akal disebut makrifah,
86 Muh Arkoun, Op Cit, hlm. 35 87 Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, Op. Cit, hlm. 199 88 Muh Arkoun, Op Cit, hlm. 88
55
yaitu mengetahui benar aya yang diyakini. Apa yang hendak dikatakan Harun
adalah, Tasydiq lebih berdasarkan pada pemberitaan, sedangkan makrifah
lebih pada pengetahuan yang mendalam.89
Sedangkan menurut Ibn Rusyd, Tujuan utama kehidupan intelektual
Ibn Rusyd adalah menggabungkan antara filsafat dan agama. Dia menganut
pandangan bahwa akal dan wahyu adalah sumber pengetahuan dan
sepenuhnya meyakini bahwa filsafat menawarkan cara terbaik untuk
menyelesaikan pertentangan-pertentangan dalam teologi Islam.90
Selanjutnya Abd al- Lathif, seorang syaikh terkenal abad ke-13
memberikan cara-cara mengembangkan kebiasaan belajar secara kritis,
didasarkan atas teori belajar yang kokoh :
“Bila engkau membaca sebuah buku, berusaha keraslah untuk menghafal dan menguasai maknanya. Bayangkanlah bahwa buku tersebut telah hilang dan engkau dapat mengungkapkan (isi buku tersebut) tanpa terpengaruh oleh kehilangannya. Begitu engkau dengan semangat mempelajari sebuah buku, mencoba memahami isinya, janganlah mempelajari buku yang lain dengan menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan untuk buku yang pertama saja. Jangan mempelajari dua bidang studi sekaligus; tetapi tumpahkanlah perhatianmu pada satu bidang selama satui atau dua tahun, atau sesuai dengan kebutuhan. Lalu, setelah engkau mencapai tujuanmu di bidang tersebut, barulah lanjutkan dengan bidang studi lain. Jangan mengharap bahwa engkau dapat bersenang-senang dengan santai; sebaliknya engkau harus selalu mengasahnya dengan ulangan dan sering mengingatnya; dan jika engkau adalah seorang pemula, dengan membaca bersuara, belajar dan diskusi sesama teman. Jika engkau seorang ilmuwan berpengalaman, dengan mengajar dan menulis buku. Jiika engkau mengajarkan satu disiplin ilmu atau berdebat di bidang tersebut, janganlah mencampur adukkannya dengan disiplin ilmu yang lain, sebab setiap disiplin ilmu lengkap dengan sendirinya dan bisa berjalan tanpa yang lain. Bila engkau mencari bantuan ke dalam disiplin ilmu lain, itu menunjukkan ketidakmampuanmu untuk menghabiskan isi satu disiplin. Ini persis seperti seorang yang menggunakan satu bahasa untuk bahasa yang lain yang ia ketahui (secara tidak sempurna), atau karena tidak mengetahui sebagian dari bahasan pertama”.91
Seorang perlu membaca sejarah, mempelajari kisah dan pengalaman
bangsa-bangsa. Dengan demikian seolah-olah dalam usianya yang singkat, ia
89 Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis,Op Cit, hlm. 285 90 Charles Michael Stanton, Op Cit, hlm. 115 91 Charles Michael Stanton, Ibid,, hlm. 62
56
hidup bersama orang-orang dari masa lalu, mengenal mereka dan mengetahui
hal-hal yang baik dan buruk tentang mereka.
Selanjutnya yang patut dipahami pula dalam penanaman nalar kritis
adalah dengan sebuah landasan dan pemikiran murni dalam rangka
pembenahan keilmuan. Dalam sebuah konsepsi pendidikan kritis nampaknya
harus memiliki karakter yang terdiri dari dua hal :
1 Mempunyai trend kritis yang membumi. Artinya jiwa dan perilaku kritis
tidak hanya berhenti menjadi discourse yang mentah tanpa arti. Tetapi
pendidikan kritis menjadi sebuah gerakan terpadu untuk membenahi mutu
pendidikan secara komprehensif. Kritis ini bisa saja disebut dengan kritis-
humanis.
2 Proses evaluasi (muhasabah) secara cepat ditangkap. Maksudnya
manakala ada masalah dalam proses pendidikan, seketika itu pula
perubahan dilakukan. Selanjutnya hal ini dinamakan dengan kritis-
reflektif.92
Dari beberapa uraian dan penjelasan dengan disertai pandangan para
tokoh Islam di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa konsep kritisisme telah
mereka alami sejak dari dahulu. Hal itu terbukti dengan beberapa hasil
pemikiran dan kritikan yang telah tertuang di atas. Dalam hal ini konsepsi
kritis yang dimaksud adalah sebuah konsepsi pemikiran yang berusaha untuk
membebaskan cakrawala berpikir secara aktif dan dinamis.
Kemudian mengenai keharusan bersikap kritis baik dalam pikiran
maupun tindakan ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat
11, sebagai berikut :
فسهما بانا موريغى يتم حا بقوم ريغ11:الرعد ( ان اهللا ال ي(
“Sesunggunya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.93
Ayat tersebut memberikan anjuran kepada kita selaku umat Islam
untuk selalu berusaha dan senantiasa bersikap kritis terhadap segala keadaan
yang ada demi mencapai keinginan atau apa yang telah dicit-citakan. Dan
92 Jurnal Edukasi, Op Cit, hlm. 46 93 Departemen Agama, Op Cit, hlm. 530
57
tidak hanya diam dan berpangku tangan, karena Allah tidak menyukai
hambanya yang hanya pasrah dan berpangku tangan tanpa adanya usaha.
Jadi konsep kritisisme dalam perspektif Islam adalah sebuah usaha
untuk mengajak dan membebaskan cakrawala berpikir manusia secara dinamis
dengan tetap memegang teguh ajaran Islam yang tertuang dalam al Qur’an dan
Hadist.