bab ii tinjauan umumtentang pertanggungjawaban … ii.pdfpidana atas dasar pengetahuan dan pilihan,...

27
BAB II TINJAUAN UMUMTENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN ILLEGAL LOGGING 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Secara etimologi, pertanggungjawaban terdiri dari kata tanggung dan jawab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, yakni berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. 1 Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja sebagai perwujudan akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan dibebani tanggung jawab. Apabila tanggung jawabnya tidak dilaksanakan, maka ada pihak lain yang akan memaksakan tanggung jawab itu untuk dipenuhi, dengan demikian tanggung jawab dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Berbicara mengenai tanggung jawab dalam konteks hukum, dapat diartikan sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja berkaitan dengan pelanggaran hukum atas suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman sanksi. Beberapa para ahli berpendapat mengenai definisi dari tanggung jawabhukum, diantaranya yakni : Menurut pendapat Ridwan Halim, dalam bukunya Purbacaraka, 1 Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 140.

Upload: vanque

Post on 06-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUMTENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DAN ILLEGAL LOGGING

2.1. Pengertian Pertanggungjawaban

Secara etimologi, pertanggungjawaban terdiri dari kata tanggung dan jawab. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung

segala sesuatunya, yakni berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung

segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.1 Tanggung jawab adalah

kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja

sebagai perwujudan akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah

menjadi bagian dari kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan dibebani tanggung

jawab. Apabila tanggung jawabnya tidak dilaksanakan, maka ada pihak lain yang akan

memaksakan tanggung jawab itu untuk dipenuhi, dengan demikian tanggung jawab dapat dilihat

dari 2 (dua) sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.

Berbicara mengenai tanggung jawab dalam konteks hukum, dapat diartikan sebagai

kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja

berkaitan dengan pelanggaran hukum atas suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman sanksi.

Beberapa para ahli berpendapat mengenai definisi dari tanggung jawabhukum,

diantaranya yakni :

Menurut pendapat Ridwan Halim, dalam bukunya Purbacaraka,

1Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 140.

Tanggung jawab hukum sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik

peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung

jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku

menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.2

Menurut pendapat Purbacaraka,

Tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan

kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya.

Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik

yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada

dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan

pelaksanaan kekuasaan.3

2.1.1Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak Zaman Revolusi Francis, dimana pada

saat itu tidak hanya manusia bahkan hewan maupun benda mati pun dapat

dipertanggungjawabkan pidana. Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas tindakan yang

dilakukannya sendiri, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena

pada masa itu hukuman tidak sebatas hanya pada pelaku tindak pidana saja, melainkan juga

dijatuhkan pada kerabat dekat dari pelaku tindak pidana itu sendiri.

Setelah masa Revolusi Francis, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar

falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan Teori Tradisionalisme (mashab taqlidi),

kebebasan berkehendak dimaksudkan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban

2Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, hlm. 35.

3Ibid, hlm. 37

pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang pada usia tertentu dapat

membedakan dan memisahkan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.4

Terdapat 2 (dua) pandangan mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan

yang monistis dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu perbuatan

yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh

seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut

aliran monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan, yang lazim disebut

sebagai unsur objektif maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh

karena itu, disatukannya unsur perb.uatan dan unsur pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa

strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah

dianggap bahwa jika strafbaar feit terjadi maka sudah pasti pelakunya dapat dipidana.5

Berbeda dengan pandangan monistis, yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana

telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana

dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis, tindak pidana hanya mencakup

criminal act sedangkancriminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana, oleh karena itu

untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan danya perbuatan yang

diramuskan oleh Undang-Undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar

pembenar.6

Seseorang mampu dipertanggungjawabkan jika jiwanya sehat, yaitu apabila :

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan

dengan hukum;

4S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet. IV, Alumni Ahaem,

Jakarta, hlm. 253. 5Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 185.

6Ibid,hlm. 186.

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.7

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif, menganut asas

kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Pertanggungjawaban pidana

merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya.

Dengan demikian terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang mendasari

dijatuhinya sanksi pidana kepada orang tersebut.

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid”,

“criminal responbility”, dan “criminal liability”. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan

untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat di pertanggungjawabkan atas

suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak, dengan kata lain apakah orang tersebut akan dipidana

atau dibebaskan. Jika dipidana, harus dibuktikan bahwa tindakan tersebut bersifat melawan

hukum dan orang tersebut mampu bertanggungjawab. Kemampuantersebut memperlihatkan

kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan, dalam artian bahwa pelaku

menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Menurut Sudarto, kesalahan digolongkan menjadi kesalahan psikologis dan kesalahan

yang normatif. Kesalahan psikologis diartikan sebagai kesalahan yang hanya dipandang sebagai

hukum psikologis (batin) berupa kesengajaan atau kealpaan antara si pembuat dengan

perbuatannya. Adanya hubungan batin dalam hal kesengajaan itu berupa menghendaki perbuatan

beserta akibatnya dan pada kealpaan tidak disertai dengan adanya kehendak demikian.

Sedangkan pengertian kesalahan yang normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya

berdasarkan sikap batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur

penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar

mengenai hubungan antara pembuat dengan perbuatannya, berupa pencelaan dari-.masyarakat

7Sudarto,1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hlm. 6.

atas apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat. Sikap batin si pembuat berupa kesengajaan

dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur lain

ialah penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, kemampuan bertanggungjawab dan tidak

hanya atas dasar penghapus kesalahan.8 Dilihat dari penjelasan tersebut, unsur-unsur kesalahan

meliputi:

1.Kemampuan bertanggungjawab;

2.Sengaja (dolus/opzef) dan lalai (culpa/alpa)',

3.Tidak ada alasan pemaaf.

Menurut Roeslan Saleh9, tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa atas

perbuatannya apabila perbuatannya sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka terlebih dahulu

harus dipastikan tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus

dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan agar terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, seorang terdakwa atau pelaku

tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Melakukan perbuatan pidana (melawan hukum);

2. Mampu bertanggungjawab;

3. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2, dan ayat (2) Kitab Undang-

UndangHukumPidana(KUHP),adabeberapapihakyangdapat dijadikan subjek hukum dalam hal

pertanggungjawaban pidana, sebagai berikut:

Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

8Ibid.

9Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,

hlm. 75.

(1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan

perbuatan.

(2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan

menyalahgunakankekuasaanataumartabat,dengankekerasan, ancaman atau

penyesatan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja

menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkansajalah yang

diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal tersebut diatas mengkategorikan pelaku tindak pidana sebagai orang

yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk

melakukan tindak pidana.

2.1.2Sejarah Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pertanggungjawaban pidana korporasi pertama kali diterapkan oleh negara-negara yang

menganut sistem Common Law, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada dikarenakan

adanya sejarah revolusi Industri yang terjadi lebih dahulu pada negara-negara tersebut.

Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana denda

karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum. Alasan keengganan untuk

menghukum korporasi yakni korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra

vires (bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila

melanggar anggaran dasar korporasi serta terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya

mens rea (niat untuk melakukan kejahatan) serta siapa yang harus hadir kedalam persidangan

secara pribadi. Mens rea pada dasamya dimiliki oleh manusia secara perseorangan dalam hal

melakukan perbuatan pidana, sebab elemen umum mental (general mental element) yang

melekat pada mens rea, antara lain : maksud (intention), sembrono (recklesness), motif jahat

(malice), penuh sadar (wilful), mengetahui (knowledge) dan lalai (negligence), semua elemen itu

hanya melekat secara inheren pada dirimanusia. Hal inilah yang dapat menjadi hambatan dalam

menghukum korporasi dengan sanksi yang setimpal.

Menurut pandangan Doelder yang sejalan dengan Jonkers10

, mengutip putusan

Mahkamah Tinggi tanggal 5 Agustus 1995 yang menulis bahwa menurut asas-asas hukum

pidana, diajarkan atas ajaran kesalahan pribadi yang hanya ditujukan kepada pribadi seseorang

sehingga ketentuan mengenai pidana pokok pun mempunyai sifat kepribadian, terutama pidana

yang merampas kemerdekaan. Demikian juga halnya dengan pidana denda bahwa korporasi

tidak dapat -dijatuhi pidana denda, karena orang yang dijatuhi pidana denda dapat memilih untuk

menjalankan kurungan pengganti selain membayar denda. Menurut Jonkers, meskipun korporasi

tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, akan tetapi dalam kenyataannya

korporasi seringkali melakukan tindak pidana.

Sepanjang abad XX korporasi menjadi sangat penting dalam mendukung industrialisasi sehingga

meskipun KUHP buatan tahun 1886 masih berlaku, tetapi pembuat Undang-Undang harus

mempertimbangkan kenyataan yang ada bahwa manusia dapat bertindak dalam lingkungan

korporasi, yang dalam hukum perdata telah dipandang sebagai badan hukum (rechtpersori).

Sehubungan dengan hal itu, di Belanda sebagai tempat asal KUHP Indonesia telah terjadi

perkembangan mengenai ketentuan korporasi sebagai subjek hukum pidana pada tanggal 23 Juni

1976. Akhirnya pembentuk Undang-Undang memutuskan untuk mengubah Pasal 51 KUHP

Belanda yang isinya menyatakan antara lain :

10

Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Get. I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

hlm. 64.

1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perseorangan dan korporasi;

2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan pemidanaan

dapat dilakukan terhadap :

a. Korporasi, atau

b. Mereka yang telah menyuruh melakukan tindak pidana, sebagai mana halnya mereka

yang sebenarnya memberi petunjuk melarang dilakukannya perbuatan, atau yang

tersebut pada a dan b dapat dilakukan bersama-sama.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa perkembangan pemikiran yang

akhirnya memberikan pengakuan pada korporasi sebagai subjek hukum pidana, secara garis

besar dapat dibedakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu11

:

1. Tahap pertama

Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah

(natuurlijke persoori). Pandangan ini dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku di

Indonesia. Pandangan ini dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potesf yaitu

badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan

terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus

korporasi tersebut. Pandangan ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP

(Pasal 51 W.v.S. Nederland) yang menyatakan : “Dalam hal-hal di mana karena

ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-

komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisarisyang ternyata tidak

ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.

2. Tahap kedua

11

Ibid, hlm. 89.

Pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata

memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.

3. Tahap ketiga

Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut pertanggungjawaban

pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan

fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat,

dapat demikian besarnya, sehingga tak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya

dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.

Di Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana, saat ini pengaturannya

hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP, ataupun

perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Masih ada terlihat ketidak tuntatasan

pembentuk Undang-Undang (kebijakan formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek

hukum yang dapat dijatuhi pidana. Adapun ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan

suatukorporasi dianggap harus bertanggung jawab, ataupun bagaimana cara

pertanggungjawabannya.

Prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) di Indonesia yang tersebar

dalam hukum pidana khusus (di luar KUHP), menjadikan kebijakan formulas! yang menyangkut

subyek tindak pidana korporasi tidak berlaku secara umum, tetapi terbatas dan hanya berlaku

terhadap beberapa perundang-undangan khusus di luar KUHP tersebut.

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia ditandai dengan penyusunan Rancangan

Undang-Undang KUHP, yang menentukan “korporasi merupakan subyek tindak pidana”.

Ketentuan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk menjangkau pertanggungjawaban pidana

korporasi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan menunjukkan adanya

akses perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi untuk memperoleh keadilan, yakni

penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi

yang bersangkutan.

Ketentuan penetapan dan penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat

dimintai pertanggungjawaban termuat dalam 7 Pasal Rancangan Undang-Undang KUHP baru

tahun 2013, yaitu : Pasal 47, 48, 49, 50, 51, 52, dan 53. Ketentuan ini akan diberlakukan umum

sebagai sistem aturan umum hukum pidana materiil, oleh karena itu pemikiran-pemikiran

terhadap pembaharuan hukum pidana yang sudah lama dilakukan harus secepatnya bisa

diselesaikan dan direalisasikan.

2.1.3Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek

hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku

tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang

dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain

(korban).

Istilah “subyek hukum” sendiri memiliki arti yang luas dan tidak terbatas pada manusia saja.

Kata “orang” dalam hukum perdata berarti pembawa hak atau dikatakan subyek hukum

(subjectum juris), akan tetapi orang atau manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum

(natuurlijke persoori), karena masih ada subyek hukum lain yang menurut hukum dapat

memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Contohnya seperti seorang

manusia, mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan

menggugat di muka sidang pengadilan. Subyek hukum dimaksud yaitu badan hukum

(rechtpersoori), artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum atau korporasi itu

misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau

yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi lainnya. Korporasi pada awalnya merupakan suatu subyek

hukum fiktif yang berbeda dari manusia yang membentuknya.

Menurut Sutan Remy Sjahdeiny12

, mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat

pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat 4 (empat) sistem pertanggungjawaban korporasi

yang diberlakukan, sebagai berikut:

a. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga penguruslah yang harus

memikul pertanggungjawaban pidana;

b. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi penguins yang harus memikul

pertanggungjawaban pidana;

c. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul

pertanggungjawaban pidana; dan

d. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula

yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab,

kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu

12

Ibid, hlm. 121

sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu

diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana.

Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan

terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu pengurus yang melakukan delik itu. Maka dari itu

penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.13

Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dengan

demikian, syarat kesalahan yang ekstemal (actus reus) pada korporasi tergantung pada hubungan

antara korporasi dengan pelaku materilnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi selalu

merupakan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal ini, kedudukan korporasi selalu menjadi

bagian dari penyertaan tindak pidana tersebut. Bahwa, tidak mungkin korporasi sebagai pelaku

tunggal tindak pidana. Korporasi dapat menjadi pembuat (dadef) tetapi tidak dapat menjadi

pelaku (pleger) tindak pidana”.

Menurut Barda Nawawi Arief14

, ada 4 (empat) ajaran pokok yang menjadi alasan bagi

pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran

tersebut diantaranya adalah : direct liability doctrine, doctrine of strict liability, doctrine of

vicarious liability dan company culture theory.

Direct liability doctrine atau sering disebut dengan identification theory yaitu doktrin

pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut teori ini bila seseorang yang cukup senior dalam

struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam dalam bidang

jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi

dapat diidentifikasikan dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung.

Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan

13

Ibid, him. 125. 14

Barda Nawawi Arief I, Opcit, hlm. 246.

individu. Namun suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan

oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Yang dapat dimintai

pertanggungjawaban adalah individu bukan korporasi karena perbuatannya bukan perbuatan

korporasi. Timbul keberatan yang cukup signifikan atas teori ini,khususnya berkaitan dengan

korporasi besar dimana terdapat kemungkinan kecil seorang senior yang melakukan perbuatan

secara langsung atas suatu tindak pidana disertai dengan mens rea.

Doctrine of strict liability, merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana dapat

dibebankan kepada pelaku delik yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya

kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia

dikenal dengan pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban pidana dalam doktrin ini

semata-mata berdasarkan pada Undang-Undang. Dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi

dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik yang tidak dipersyaratkan adanya

mens rea bagi pertanggungajwaban delik itu berdasarkan doctrine of strict liability. Pelanggaran

kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “srtict liability

offence “.

Doctrine of vicarious liability, dalam istilah hukum Indonesia dikenal dengan istilah

pertanggungjawaban vikarius, yang merupakan pembebanan yang pertanggungjwaban pidana

dari delik yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.

Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup

pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan,

tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah

perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah

dilarang oleh perusahaan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa suatu korporasi telah menyerahkan

kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan

berdasarkan itu korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.

Hal ini sering dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan

menerapkan doktrin vicarious liability pada korporasi tersebut.

Sedangkan, company culture theory atau teori budaya korporasi menerapkan sistem

dimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari segi prosedur, sistem bekerjanya,

dan budayanya. Oleh karena itu teori ini sering disebut teori model/sistem atau model organisasi

(organizational or system model), serta kesalahan yang dilakukan oleh korporasi dalam teori ini

didasarkan pada “internal decision-making struktur”.

Berdasarkan uraian diatas, bahwa korporasi dapat dijadikan subjek tindak pidana dan bisa

dipertanggungjawabkan. Namun, menurut Andi Hamzah bahwa korporasi itu tidak mungkin di

pidana, karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korporasi,

delik itu harus disertai dengan ancaman pidana alternatif dendanya. Apabila korporasi dapat

dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, maka seluruh rumusan delik dalam KUHP

harus ada pidana alternatif denda sebagaimana halnya dengan Wvs Belanda sekarang ini.15

2.2Pengertian Illegal Logging

Berbicara mengenai illegal logging sampai sejauh ini belum ada satupun peraturan

perundang-undangan yang mengatur secara khusus terkait praktik kejahatan ini. Penggunaan

kata illegal logging secara formal tidak ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan baik

15

A. Hamzah, 1989, Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Kantor Meneg

LKH, Jakarta hlm. 34.

didalam KUHP atau KUHAP maupun secara khusus dalam Undang-Undang Kehutanan. Secara

harafiah, definisi illegal logging berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata “illegal”dan

“logging”. Kata “illegal”berarti tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram.

Sementara itu dalam Black's Law Dictionary, kata illegal artinya “forbiden by law, unlawdull”,

artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Selanjutnya kata “Log”dalam bahasa

Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan, dan “logging”artinya menebang kayu dan

membawa ke tempat gergajian.16

Dari definisi kata diatas dapat disimpulkan bahwa illegal

logging berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan

dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.

Haryadi Kartodiharjo mengemukakan pendapatnya mengenai illegal logging, sebagai

berikut:

Bahwa, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar

peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan

negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan melebihi

dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. Illegal logging berarti rangkaian

kegiatan penerbangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengelolaan hingga kegiatan

ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu

perbuatan yang dapat merusak hutan.17

Identiknya kata illegal logging dengan pembalakan illegal yang digunakan oleh Forest

Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch yaitu untuk menggambarkan semua praktik

atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan permanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu

yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. FWI membagi illegal logging menjadi 2, yaitu :

1. Yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin

yang dimilikinya;

16

Ibid, hlm. 194 17

Ismail Rumadan, Op.cit, hlm. 223

2. Melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak

mempunyai hak illegal untuk menebang pohon.

Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan

eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini

tahapan produksi kayu, misalnya pada tahapan penebangan, tahap pengangkutan kayu

gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran bahkan meliputi penggunaan cara-cara

yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan

seperti pajak.

Tidak hanya dilihat dari etimologinya saja, jika dilihat dari aspek normatifnya illegal

logging termuat dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa illegal

logging adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang

atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa menebang atau

memungut Hasil Hutan Kayu (HHK) dari kawasan hutan tanpa izin, menerima atau membeli

HHK yang diduga dipungut secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak

dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

Dari beberapa pengertian mengenai illegal logging, dapat kita simpulkan bahwa, illegal

logging merupakan rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat

pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak berwenang

secara tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang

sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan. Menurut penjelasan tersebut, unsur-unsur

yang terdapat dalam kejahatan illegal logging antara lain : adanya suatu kegiatan, menebang

kayu, mengangkut kayu, pengolahan kayu, penjualan kayu, pembelian kayu, dapat merusak

hutan, bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

Praktek illegal logging telah dianggap menjadi salah satu penyebab deforestasi. Dapat

dipastikan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun

yang mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar 83 milyar per hari akibat praktek

illegal logging yang terjadi. Bahkan yang lebih buruk lagi, praktek illegal logging tidak hanya

berdampak pada kerugian negara saja, akan tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap

kondisi alam seperti terjadinya banjir, kekeringan, perubahan iklim, bahaya penyakit dan tanah

longsor.18

Sebagai suatu praktek yang menimbulkan kerugian bagi negara, jelas bahwa illegal

logging merupakan suatu kejahatan karena dampak yang ditimbulkan sangat luas mencakup

aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Bahkan dampak dari kejahatan illegal logging ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar

hutan saja namun dirasakan secara nasional, regional maupun internasional karena illegal

logging disebut juga dengan istilan transnational crime dan extra ordinary crime.19

Tindak pidana illegal logging dikaitkan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam

KUHP , dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu20

:

1. Pengrusakan

2. Pencurian

3. Penyelundupan

4. Pemalsuan

5. Penggelapan

6. Penadahan

18

Leden Marpaung, Op.cit, hlm. 1. 19

Suriansyah Murhaini, 2011, Hukum Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm.29. 20

Ismail Rumadan, Op.cit, hlm. 39.

Dilihat dari penegakan hukum di Indonesia, seringkali pelaku tindak pidana illegal

logging tidak diberikan sanksi yang setimpal mengingat masih lemahnya pengaturan mengenai

delik khusus ini. bahkan dalam banyak kasus, para tokoh intelektual dibalik praktek illegal

logging sama sekali tidak tersentuh oleh hukum. Subjek tindak pidana illegal logging adalah

setiap orang atau badan hukum (korporasi) yang melakukan tindakan eksploitasi terhadap hutan

tanpa hak memanfaatkan sumber daya hutan untuk kepentingan pribadi secara melawan hukum.

Subjek tersebut dapat digolongkan dari masyarakat setempat maupun

pendatang, pemilik modal dan pengusaha, pemilik industri kayu atau pemilik HPH, nahkoda

kapal, bahkan oknum pejabat pemerintah dan oknum aparat pemerintah serta pengusaha asing

yang berkedok investasi dalam bidang usaha kayu.

2.2.1 Pengertian Lingkungan Hidup dan Hutan

a. Lingkungan Hidup

Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut environment, dalam bahasa

Belanda disebut Millieu, sedangkan dalam Bahasa Perancis disebut dengan I'environmen.

Lingkungan hidup biasa disebut juga dengan lingkungan hidup manusia (environment human)

atau dalam sehari-hari biasa disebut dengan lingkungan saja. Lingkungan hidup merupakan

bagian mutlak dari manusia yang tidak akan terlepas dari kehidupannya, karena manusia sangat

bergantung pada segala komponen yang ada dalam lingkungan hidup.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan

dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi manusia hanya salah

satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Makhlukhiduplaintermasukbinatangtidaklahmerusak,mencemariataumenguras lingkungan.21

Mengacu pada pengertian lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 termuat unsur-unsur yang terkandung dalam lingkungan hidup, yaitu :

a. Kesatuan ruang

b. Semua benda

c. Daya

d. Keadaan

e. Makhluk hidup (termasuk manusia dan perilakunya)

Pada umumnya manusia bergantung pada keadaan lingkungan disekitarnya yaitu berupa

sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari. Sumber daya alam yang utama

bagi manusia adalah tanah, air dan udara. Lingkungan yang sehat akan terwujud apabila manusia

dan lingkungannya dalam kondisi yang baik. Lingkungan hidup di Indonesia perlu ditangani

dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya yaitu adanya

masalah mengenai keadaan lingkungan hidup seperti kemerosotan atau degradasi yang terjadi di

berbagai daerah. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa keadaan alam Indonesia jika mengalami

peningkatan sumber daya akan tetap menjadi persoalan. Faktor sosial dan ekonomi yang

menyebabkan manusia menjadikan lingkungan alam sebagai lahan untuk mencari keuntungan

secara illegal, dantanpa disadari tindakan yang dilakukan tersebut semakin lama akan semakin

merugikan kehidupan bangsa dan negara.

Beberapa sarjana memberikan definisi mengenai lingkungan hidup, sebagai berikut:

21

Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Get. I, Sinar Grafika, hlm. 1.

Menurut Emil Salim, menyatakan bahwa :

Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai benda, kondisi, keadaan dan pengaruh

yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk

kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini sangat luas, namun

untuk praktisnya kita batasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau

oleh manusia seperti faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan lain-

lain.22

Menurut Munajat Danasaputra, menyatakan bahwa :

Lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi termasuk didalamnya manusai dan

tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan

mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup

lainnya.23

Dari beberapa pengertian mengenai lingkungan hidup diatas, jelas terlihat keterkaitan

antara manusia dan lingkungan hidup. bahwa permasalahan lingkungan hidup tidak terlepas

dengan hubungan timbal balik yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya. Proses timbal

balik itulah yang disebut dengan ekosistem. Secara garis besar lingkungan hidup manusia dapat

digolongkan atas 3 (tiga) golongan, yaitu :

1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu disekitar kita yang

berbentuk benda mati, seperti rumah, kendaraan, udara, air dan sebagainya.

Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan segenap

kehidupan di bumi.

2. Lingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada

disekitar manusia yang berupa organisme hidup selain dari manusianya itu sendiri,

misalnya hewan dan tumbuh-tumbuhan.

22

Emil Salim, 1982, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta, hlm. 14. 23

Munajat Danusaputra,1980, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bina Cipta. Bandung, hlm. 67.

3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu lingkungan yang dibuat manusia dan

merupakan sistem nilai, gagasan dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk

sosial, seperti : tetangga, teman-teman, bahkan orang-orang lain di sekitarnya yang

belum dikenal.24

b.Hutan

Hutan merupakan suatu sumber daya alam yang memiliki aneka macam flora dan fauna

yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Keberadaan hutan sangat

diperlukan untuk menjaga kesinambungan lingkungan agar dapat berkelanjutan. Selain itu hutan

juga berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air serta

kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia.

Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang cukup luas dengan keanekaragaman hayati yang

sangat tinggi bahkan tertinggi kedua di dunia setelah Brazillia.

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan didefinisikan

sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak

dapat dipisahkan. Dari definisi diatas unsur-unsur yang terkandung dalam hutan, yaitu :

a. Suatu kesatuan ekosistem;

b. Berupa hamparan lahan;

c. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat

dipisahkan saru dengan yang lainnya; dan

d. Mampu memberikan manfaat secara lestari.

24

Audi Hamzah, Op.Cit, hlm. 69.

Dengler memberikan definisi hutan sebagai berikut:

Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu,

kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan

tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada

tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).25

Berdasarkan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,

sesuai fungsi pokoknya kawasan hutan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :

1. Hutan Konservasi

Hutan konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka

Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan

Taman Wisata), dan Taman Bum.

2. Hutan Lindung

Hutan lindung merupakan hutan yang dilindungi keberadaannya karena berperan

penting menjaga ekosistem. Kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan lindung karena

berfungsi sebagai penyedia cadangan air bersih, penahan erosi, paru-paru kota atau

fungsi lainnya.

3. Hutan Produksi

Adalah hutan yang bisa dikelola untuk menghasilkan nilai ekonomis dan memiliki

fungsi utama untuk memproduksi hasil-hasil hutan.

25

Salim, H.S., 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 41.

Sedangkan berdasarkan kepemilikanataustatushukum,hutandapat dibedakan menjadi:

1. Hutan negara (public forest), yaitu suatu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh

diatas tanah yang tidak dibebani hak milik. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat,

yaitu hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (hutan

ulayat/marga/pertuanan). Sedangkan hutan negara yang dikelola oleh desa

dimanfaatkan demi kesejahteraan desa disebut hutan desa.

2. Hutan milik (privat forest), yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak

milik.

3. Hutan kemasyarakatan (social forest), yaitu suatu sistem pengelolaan hutan yang

bertujuan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraanmasyarakat sekitar hutan

dengan meningkatkan daya dukung lahan dan sumber daya alam tanpa mengurangi

fungsi pokoknya, misalnya pelaksanaan agroforestry (Arief, 2001: 53).

Hutan pada umumnya memiliki peranan yang amat penting dalam menyeimbangkan

kondisi alam yang telah mengalami pergeseran ke pemanasan global. Dalam mengeksploitasi

hutan, memerlukan suatu pendekatan yang bijak agar hutan tetap berada pada posisinya sebagai

penyeimbang lingkungan tersebut. Dalam pemanfaatannya harus tetap mengacu pada ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada, karena apabila tidak sesuai dengan

aturan tersebut pasti akan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat dan pembangunan itu

sendiri. Potensi hutan yang tersedia harus dilakukan dengan melihat kondisi masyarakat yang

ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan karena hutan juga memiliki nilai ekonomis. Salah satu

program dari Kementrian Kehutanan dalam pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan

masyarakat disebut sebagai social forestry atau perhutanan sosial.

Hutan sebagai sumber daya alam terbesar dipandang memiliki nilai ekonomis tinggi,

sehingga banyak orang-orang tertentu yang memanfaatkan hasil hutan demi kepentingan pribadi

dengan cara eksploitasi. Pemanfaatan yang dilakukan biasanya dalam jumlah besar dan

seringkali yang menjadi pelaku bukanlah individu atau kelompok masyarakat sekitar, melainkan

dari kalangan pejabat yang menjadikan hutan sebagai sasaran dalam mencari keuntungan secara

finansial.

Target utama dalam mengekploitasi hutan biasanya adalah kayu. Seiring dengan

berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan akan kayu yang semakin meningkat, mendorong

masyarakat baik secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan dengan

tidak memperhatikan kelestariannya. Eksploitasi hutan tersebut biasanya dilakukan secara illegal

seperti melakukan pembalakan liar, perambahan, pencurian, yang mengakibatkan kerusakan

hutan di Indonesia tidak terkendali. Kerusakan hutan tersebut mengakibatkan penurunan luas

hutan, lahan kritis semakin bertambah, dan sering terjadi bencana alam seperti banjir, tanah

longsor dan sebagainya.

Dampak negatif lainnya yang akan timbul bagi bumi jika hutan mengalami kerusakan,

diantaranya adalah :

1. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

Hutan sebagai paru-paru dunia berfungsi dalam mengabsorsi gas karbondioksida.

Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil akan menyebabkan

kenaikan gas karbondioksida yang akan menyelimuti atmosfer bumi. Semakin lama

gas ini akan membentuk suatu lapisan bersifat seperti kaca yang akan meneruskan

sinar matahari berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati

oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas

dipantulkan kembali ke permukaan bumi oleh lapisan gas karbondioksida tersebut

sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi.

2. Kerusakan Lapisan Ozon

Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar

ultraviolet yang berbahaya. Kerusakan hutan akan menimbulkan lubang-lubang pada

lapisan ozon yang semakin lama semakin membesar. Melalui lubang tersebutlah

sinar ultraviolet menembus ke bumi, sehingga menyebabkan kanker kulit dan

kerusakan tanaman-tanaman di bumi.

3. Kepunahan Species

Rusaknya hutan akan mengakibatkan punahnya keanekaragaman hayati. Menurut

data dari Departemen Kehutanan, bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu

spesies dan hampir 750 habitat alami pada sepuluh tahun terakhir.

4. Merugikan Keuangan Negara

Kerusakan hutan yang terjadi akibat pemanfaatan secara illegal menimbulkan

kesenjangan pada pendapatan negara. Kesenjangan terbesar terjadi antara pasokan

dan permintaan kayu. Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami

Indonesia mencapai Rp. 30 Triliyun /tahun. Hal inilah yang menyebabkan

pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil dan akhirnya mempengaruhi

perkembangan program pemerintah unruk rakyat Indonesia.

2.2.2 Hubungan Hukum Pidana dengan Illegal Logging

Persoalan illegal logging kinisudah menjadifenomena umumyang berlangsung di mana-

mana. Illegal logging bukan merupakan tindakan haramyang dilakukan secara sembunyi-

sembunyi, tetapi sudah menjadi pekerjaan keseharian. Fenomena illegal logging kini bukan lagi

merupakan masalah kehutanan saja, melainkan persoalan multi pihak yang dalam

penyelesaiannya pun membutuhkan banyak pihak terkait.

Masalah kebijakan dalam menangani ilegal logging sangat kompleks. mencakup masalah

kebijakan internal (kehutanan) dan masalah kebijakan eksternal (di luar kehutanan). Kedua

sumber masalah ini berinteraksi satu sama lain. Akibatnya, hasil dari keduanya membuat suatu

vektor permasalahan. Makin kuat vektor permasalahan, maka makin sulit pula illegal logging

diatasi. Indikator tersebut tampak dari semakin maraknya praktek illegal logging, baik dalam

skala nasional maupun regional atau provinsi, sehingga apabila kondisi ini tidak segera diatasi

dengan komitmen bersama, maka dapat dipastikan pintu gerbang kehancuran hutan telah dekat

dihadapan kita. Tidak berlebihan kiranya apabila dalam waktu 10-20 tahun mendatang hutan

tropis/alam akan punah, sementara hutan tanaman belum menampakkan hasil yang signifikan.

Hukum pidana sebagai ultimum remidium atau jalan terakhir terhadap pemecahan suatu

perkara dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum pidana adalah satu-satunya

hukum yang memberikan nestapa atau penderitaan bagi setiap orang yang melakukan tindak

pidana. Penebangan liar atau illegal logging sudah tentu merupakan perbuatan yang melanggar

hukum karena merugikan kepentingan umum. Praktik illegal logging merupakan ranah hukum

publik yang dikategorikan ke dalam hukum, pidana secara umum. Namun, dalam cakupan dan

perkembangan implikasi yang ditimbulkan oleh praktik illegallogging telah berubah menjadi

kejahatan luar biasa yang setingkat dengan kejahatan korupsi dan kejahatan terorisme, atau

bioterrorism. Beberapa faktor yang mempengaruhi status illegal logging sebagai kejahatan luar

biasa tersebut antara lain karena rumusan delik illegal tersedia dalam peraturan perundangan-

undangan tentang kehutanan, lingkungan hidup dan juga illegal logging, dengan sifat

kejahatannya lintas negara (Transnational Organized Crime).

Jika diihat kembali mengenai peranan hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem

alam, sangat disayangkan apabila hutan dibiarkan menjadi sasaran para pelaku illegal logging

karena dampak yang ditimbulkan akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia.

Semakin berkembangnya zaman, semakin jeli pula manusia untuk melihat peluang kejahatan

demi memenuhi keinginannya secara pribadi tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkannya.

Tingkah laku manusia inilah yang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan aparat

penegak hukum agar mampu mengambil langkah yang lebih signifikan dalam membuat aturan-

aturan yang tegas disertai dengan sanksi-sanksi memberatkan sehingga tindak pidana illegal

logging dapat dicegah dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.