corporate governance terhadap …eprints.undip.ac.id/29445/1/artikel_skripsi_desie_c2c607040.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA DAN MEKANISME
CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP CORPORATE
ENVIRONMENTAL DISCLOSURE
(Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di BEI Tahun 2008-2009)
Desie Fatayatiningrum
Tri Jatmiko Wahyu Prabowo, SE., M.Si., Akt.
Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang
ABSTRACT
The tendency will environmental awareness has brought a change of attitude
toward the profit orientation of the environmental orientation of the company.
Management as agents can not avoid the reality of the impact of corporate activity that
not only generate profits and raise share prices, but also cause environmental impacts
such as damage to ecosystems, pollution, effluents and waste and all of these are
company responsibility in relation to the environmental aspects. This research is aimed
to examine the influence of earnings management and corporate governance
mechanisms to corporate environmental disclosure (CED). Earnings management was
measure by discretionary accruals use Khotari et al. (2005) model.
The population of this research is 266 companies in the non-financial companies
which were listed in Indonesian Stock Exchange (IDX) in 2008-2009. Data used in this
study come from annual reports and sustainable report of non-financial companies
listed on the IDX and the Program for Pollution Control Evaluation and Rating
(PROPER) in 2008-2009 with a total of 28 companies. Samples are obtained by using
purposive sampling method. Hypothesis testing method used is multiple regression
analysis.
Result of this research indicates that number of audit committee meetings and
profitability had a significant effect to corporate environmental disclosure. Meanwhile,
earnings management, the proportion of independent commissioners, size corporate,
leverage and tipe industry had not significant effect to corporate environmental
disclosure.
Keywords: Earnings Management, Corporate Governance Mechanisms, Corporate
Environmental Disclosure.
2
I. PENDAHULUAN
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan
banyak kontribusi bagi masyarakat, misalnya memberikan kesempatan kerja,
menyediakan barang untuk dikonsumsi, membayar pajak, memberikan sumbangan.
Karena kontribusi tersebut, perusahaan mendapat legitimasi bergerak leluasa untuk
melaksanakan kegiatannya (Almilia dan Wijayanto, 2007). Namun dibalik semua itu,
perusahaan juga memiliki kontribusi yang besar terhadap kondisi sumber daya alam
yang semakin menipis serta makin buruknya lingkungan alam. Hal ini disebabkan
karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam serta proses
produksi yang mau tidak mau menghasilkan limbah yang dapat mengakibatkan
pencemaran lingkungan.
Di Indonesia masalah pencemaran lingkungan juga telah banyak terjadi
seperti kasus PT Newmont Minning Corporation yang menggunakan teknologi
berbahaya di laut, yaitu pembuangan limbah tambang (tailing) ke laut (submarine
tailing disposal) yang terbukti telah mengakibatkan pencemaran di Teluk Buyat,
Sulawesi Utara, oleh PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan pencemaran di Teluk
Senunu, Sumbawa, oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Selain itu, masih banyak
kasus lainnya seperti pabrik pulp dan kertas di Porsea, Sumatera Utara, PT Inti Indorayon
yang mengganggu ekosistem Danau Toba serta banjir lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur
oleh PT Lapindo Brantas yang sampai sekarang belum tertangani dengan baik. Fakta ini
merupakan cerminan bahwa perhatian perusahaan masih rendah terhadap dampak
lingkungan dari aktifitas industri yang dilakukan.
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan perusahaan,
menimbulkan tekanan dari berbagai pihak khususnya masyarakat terhadap perusahaan
agar memberikan informasi yang transparan mengenai aktivitas lingkungannya
(Anggraini, 2006). Perwita (2009) menyatakan bahwa perusahaan dapat
memperlihatkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan melalui
environmental disclosure yaitu pengungkapan informasi mengenai tanggung jawab
lingkungan dalam instrumen laporan keuangan.
3
Utama (2007) menyatakan bahwa praktik dan pengungkapan CSR merupakan
konsekuensi logis dari implementasi konsep good corporate governance (GCG), yang
prinsipnya menyatakan bahwa perusahaan perlu memperhatikan kepentingan
stakeholder sesuai dengan aturan yang ada dan menjalin kerjasama yang aktif dengan
stakeholder demi kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan. Dengan adanya
mekanisme dan struktur governance ini dapat mengurangi asimetri informasi.
Asimetri informasi antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan tindakan oportunis seperti
manajemen laba (earnings management) mengenai kinerja ekonomi perusahaan
sehingga dapat merugikan pemilik (principal). Dengan adanya masalah agensi yang
disebabkan karena konflik kepentingan dan asimetri informasi ini, maka perusahaan
harus menanggung biaya keagenan (agency cost). Teori agensi mampu menjelaskan
potensi konflik kepentingan diantara pihak yang berkepentingan dalam perusahaan
tersebut (Jensen dan Meckling, 1976).
Chih, Shen dan Kang (2008) dan Prior, Surroca dan Tribo (2008) merupakan
artikel utama yang mengeksplorasi hubungan antara CSR dan manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Prior et al. (2008) menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh
positif dari praktik manajemen laba (earnings management) terhadap CSR. Prior et al.
(2008) mengemukakan bahwa para manajer umumnya mempunyai kecenderungan
untuk melakukan korupsi dengan stakeholder lain melalui pelaksanaan dan
pengungkapan CSR dengan menggunakan kelebihan keuntungan untuk konsumsi dan
perilaku oportunistik. Perusahaan yang melaksanakan kegiatan CSR lebih diharapkan
untuk mengurangi kemungkinan perataan laba. Sedangkan Chih et al. (2008)
menemukan adanya hubungan negatif antara manajemen laba dengan CSR, ketika
manajemen laba diproksikan dengan perataan laba (income smoothing).
Menurut Belkaoui dan Karpik (dalam Anggraini, 2006) perusahaan melakukan
pengungkapan informasi sosial (CSR disclosure) dengan tujuan untuk membangun
image pada perusahaan dan mendapatkan perhatian dari masyarakat. Perusahaan
memerlukan biaya dalam rangka untuk memberikan informasi sosial, sehingga laba
yang dilaporkan dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah. Namun, karena kurangnya
4
pengawasan pada sistem pengawasan perusahaan, manajer dapat dengan mudah
melakukan tindakan manajemen laba dengan intervensi pada penyusunan laporan
keuangan berdasarkan akuntansi akrual. Untuk itu perlu adanya komite audit yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba melalui pengawasan terhadap proses
pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit eksternal (Widiatmaja, 2010). Oleh karena
itu, pelaku CSR sebaiknya tidak memisahkan aktivitas CSR dengan Good Corporate
Governance karena keduanya merupakan satu continuum (kesatuan), dan bukan
merupakan penyatuan dari beberapa bagian yang terpisahkan. Murwaningsari (2009)
menyatakan bahwa gagasan utama Good Coorporate Governance (GCG) atau tata
kelola perusahaan yang baik adalah mewujudkan tanggung jawab sosial (CSR). Dari
beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa corporate social responsibility
mempunyai keterkaitan erat dengan manajemen laba begitu pula antara corporate social
responsibility dan corporate governance.
Penelitian yang dilakukan oleh Sun, Salama, Hussainey dan Habbash (2010) dan
Handajani, Sutrisno dan Chandrarin (2010) meneliti hubungan antara corporate
environmental disclosure dan manajemen laba dan dampak mekanisme corporate
governance terhadap asosiasi tersebut. Menurut Sun et al. (2010) ada hubungan
signifikan antara corporate environmental disclosure dengan manajemen laba.
Kemudian Sun et al. (2010) juga menemukan bahwa hanya variabel jumlah rapat
komite audit yang berpengaruh terhadap hubungan corporate environmental disclosure
dan manajemen laba.
Oleh karena adanya ketidakkonsistenan antara hasil penelitian sebelumnya, perlu
diuji kembali bagaimana pengaruh antara manajemen laba dan corporate governance
terhadap CSR. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah manajemen laba berpengaruh positif terhadap corporate environmental
disclosure?
2. Apakah mekanisme corporate governance yang diproksikan dengan proporsi
dewan komisaris independen dan jumlah rapat komite audit berpengaruh positif
terhadap corporate environmental disclosure?
5
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya pengaruh
manajemen laba terhadap corporate environmental disclosure dan untuk membuktikan
adanya pengaruh mekanisme corporate governance yang diproksikan dengan proporsi
dewan komisaris independen dan jumlah rapat komite audit terhadap corporate
environmental disclosure. Setelah tujuan penelitian ini tercapai, maka diharapkan
penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh manajemen laba dan
pengaruh mekanisme corporate governance yang diproksikan dengan proporsi dewan
komisaris independen dan jumlah rapat komite audit terhadap corporate environmental
disclosure. Selain itu sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan ini.
II. TELAAH TEORI
Teori Agensi
Teori agensi menggambarkan perusahaan sebagai suatu titik temu antara pemilik
perusahaan (principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara
manajer (agent) dengan pemilik perusahaan (principal). Wewenang dan tanggung jawab
agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
Jensen dan Meckling (1976) (dikutip dari Waryanto, 2010) menjelaskan adanya
konflik kepentingan dalam hubungan keagenan. Terjadinya konflik kepentingan antara
pemilik dan agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan
prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Pada teori agensi juga
dijelaskan mengenai masalah asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri
informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan tindakan oportunis seperti manajemen
laba (earnings management) mengenai kinerja ekonomi perusahaan sehingga dapat
merugikan pemilik (pemegang saham).
Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan dan
biaya kontrak yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah atau dengan
6
kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen salah satunya
biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat. Kemudian
sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi
seluruh keinginan pihak prinsipal dengan melakukan corporate environmental
disclosure sebagai tindakan CSR. Sun et al. (2010) menyatakan bahwa corporate
environmental disclosure merupakan sinyal yang dapat mengalihkan perhatian
pemegang saham dari pengawasan manipulasi laba atau isu-isu lainnya dan sebagai
hasilnya harga saham di pasar modal akan meningkat seiring meningkatnya
kepercayaan pemegang saham terhadap transparansi informasi yang diungkapkan oleh
perusahaan.
Teori Sinyal
Teori Sinyal berakar pada teori akuntansi pragmatik yang memusatkan
perhatiannya kepada pengaruh informasi terhadap perubahan perilaku pemakai
informasi. Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah pengungkapan yang
dilakukan oleh suatu emiten. Dorongan untuk mengemukakan informasi akuntansi
tersebut adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajemen (agent) dan
stakeholder (principal). Information Asymmetry atau ketidaksamaan informasi adalah
situasi di mana manajer memiliki informasi yang berbeda (yang lebih baik) mengenai
kondisi atau prospek perusahaan daripada yang dimiliki investor (Brigham, 1999 dalam
Susetyo, 2006).
Richardson, 1998 (dalam Wisnuwurti, 2010) menyatakan bahwa asimetri
informasi dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan praktik
manajemen laba (earnings management), keadaan di mana manajer melakukan tindakan
yang menguntungkan diri sendiri dengan menggunakan estimasi dan metode akuntansi
yang dapat menyembunyikan nilai ekonomi perusahaan yang benar dari stakeholder.
Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi asimetri
informasi. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan
memberikan sinyal kepada stakeholder tentang informasi keuangan yang dapat
7
dipercaya yang akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang
akan datang (Wolk et al., 2000 dalam Jama’an, 2008).
Gray et al. (2001) berpendapat bahwa kualitas pelaporan keuangan merupakan
sinyal untuk pelaku pasar keuangan dan stakeholder lainnya yang memperlihatkan
bahwa manajemen mampu mengontrol risiko sosial dan lingkungan dalam perusahaan.
Selain itu, corporate environmental disclosure juga merupakan sinyal kepada investor
dan stakeholder lainnya di mana perusahaan secara aktif ikut serta dalam praktik-
praktik CSR dan menunjukkan bahwa nilai pasar perusahaan dalam posisi yang baik.
Kinerja sosial perusahaan yang baik membantu perusahaan untuk mendapatkan
keandalan reputasi dari pasar modal dan utang.
Teori Stakeholder
Deegan (2004) menyatakan bahwa teori stakeholder menekankan akuntabilitas
organisasi jauh melebihi kinerja keuangan atau ekonomi sederhana. Teori ini
menyatakan bahwa organisasi akan memilih secara sukarela mengungkapkan informasi
tentang kinerja lingkungan, sosial dan intelektual mereka, melebihi dan di atas
permintaan wajibnya, untuk memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh
stakeholder.
Sejalan dengan pernyataan tersebut Cahyonowati dalam Januarti dan Apriyanti
(2005) mengemukakan bahwa teori stakeholder mengasumsikan bahwa eksistensi
perusahaan memerlukan dukungan stakeholder, sehingga aktivitas perusahaan juga
mempertimbangkan persetujuan dari stakeholder. Semakin kuat stakeholder, maka
perusahaan harus semakin beradaptasi dengan stakeholder. Pengungkapan sosial dan
lingkungan kemudian dipandang sebagai dialog antara perusahaan dengan stakeholder.
Menurut Januarti dan Apriyanti (2005), ada beberapa alasan yang mendorong
perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholders, yaitu :
1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat
yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka,
2. Dalam era globalisasi telah mendorong produk-produk yang diperdagangkan
harus bersahabat dengan lingkungan,
8
3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih
perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program
lingkungan,
4. LSM dan pencinta lingkungan makin vokal dalam mengkritik perusahaan-
perusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Teori Legitimasi
Teori legitimasi berhubungan erat dengan teori stakeholder. Teori legitimasi
menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin
operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat (Deegan,
2004). Menurut Deegan (2004), dalam perspektif teori legitimasi, suatu perusahaan
akan secara sukarela melaporkan aktifitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal
ini adalah yang diharapkan komunitas.
Lidblom (1994) dalam Guthrie dan Richerri (2006) mengemukakan bahwa, jika
perusahaan merasa bahwa legitimasinya dipertanyakan maka dapat mengambil beberapa
strategi perlawanan, yaitu:
1. Perusahaan dapat berupaya untuk mendidik dan menginformasikan kepada
stakeholder-nya mengenai perubahan yang terjadi dalam perusahaan.
2. Perusahaan dapat berupaya untuk merubah pandangan stakeholder tanpa
mengganti perilaku perusahaan.
3. Perusahaan dapat berupaya untuk memanipulasi persepsi stakeholder dengan
cara membelokkan perhatian stakeholder dari isu yang menjadi perhatian kepada
isu lain yang berkaitan dan menarik.
4. Perusahaan dapat berupaya untuk mengganti dan mempengaruhi harapan pihak
eksternal tentang kinerja (performance) perusahaan.
Berdasarkan kajian tentang teori stakeholder dan teori legitimasi, dapat
disimpulkan bahwa kedua teori tersebut memiliki penekanan yang berbeda tentang
pihak-pihak yang dapat mempengaruhi luas pengungkapan informasi di dalam laporan
keuangan perusahaan. Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para
9
stakeholder yang dianggap powerfull. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi
pertimbangan utama bagi perusahaan dalam mengungkapkan dan/atau tidak
mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan. Sedangkan teori legitimasi
menempatkan persepsi dan pengakuan publik sebagai dorongan utama dalam
melakukan pengungkapan suatu informasi di dalam laporan keuangan.
Corporate Social Responsibility
Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau corporate social responsibility
(CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengitegrasikan
perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasi dan interaksi dengan
stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004
dalam Anggraini, 2006).
John Elkington (dalam Titisari, 2010) menerjemahkan CSR sebagai tripel
bottom line, yaitu: Profit, People, dan Planet. Dapat diartikan bahwa tujuan CSR harus
mampu meningkatkan laba perusahaan, menyejahterakan karyawan dan masyarakat,
sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan.
Corporate Environmental Disclosure
Laporan yang berkaitan dengan informasi yang bersifat non keuangan seperti
CSR telah diatur dalam undang-undang dan bersifat mandatory melalui Pasal 66 ayat 2
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Meskipun terdapat
beberapa hal yang mendukung namun berkaitan dengan aspek lingkungan, belum
terdapat suatu peraturan yang benar-benar mengatur tentang pengungkapannya.
Bethelot (2002) dalam Al Tuwaijri (2004) mendefinisikan environmental disclosure
sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan
lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Informasi ini
dapat diperoleh dengan banyak cara, seperti pernyataan kualitatif, asersi atau fakta
kuantitatif, bentuk laporan keuangan atau catatan kaki. Sejalan dengan ini, menurut
Wilmshurst dan Frost (2000) environmental disclosure adalah pengungkapan
10
perusahaan yang terkait dengan dampak aktivitas-aktivitas perusahaan pada lingkungan
fisik atau alam, di mana perusahaan tersebut beroperasi.
Corporate environmental disclosure dapat mempengaruhi tuntutan dan
ketersediaan atas pelaporan keuangan yang bermutu melalui salah satu dari dua cara,
yaitu entrenchment effect dan alignment effect. Entrenchment effect memotivasi
perusahaan sebagai penyedia laporan keuangan untuk mengelola laba secara
oportunistik. Manajemen mungkin memiliki insentif untuk mengejar keuntungan
pribadinya dan mengambil alih kekayaan dari pemegang saham lainnya (Prior et al.,
2010). Hal ini dikarenakan kurang efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh dewan
komisaris.
Pandangan lain adalah alignment effect, yang didasarkan pada argumen bahwa
perusahaan memiliki insentif untuk melaporkan dengan itikad baik dan dengan
demikian memiliki laba yang berkualitas. Perusahaan dapat membuat keputusan lebih
cepat dan memiliki insentif untuk menciptakan kesetiaan karyawan dalam jangka
panjang (Wang, 2006).
Manajemen Laba
Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi cara pemahaman atas
manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik
manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,
kontrak utang dan political costs (oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan
memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings
Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk
melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang
tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Kemudian Scott (2009) juga mengidentifikasikan adanya empat pola yang
dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut: (1)
Taking a bath, yaitu ketika perusahaan melaporkan adanya kerugian, maka manajemen
melakukan kebijakan untuk melaporkan kerugian dengan jumlah yang besar sekaligus;
11
(2) Income minimization; kebijakan ini dilakukan ketika laba yang diperoleh perusahaan
tinggi atau meningkat. Hal yang umum dilakukan manajemen dalam praktek ini adalah
dengan meminimalkan laba, contohnya adalah dengan membebankan beban penelitian
dan pengembangan lebih besar di periode berjalan; (3) Income maximization, kebijakan
ini dilakukan ketika laba yang diperoleh perusahaan rendah atau menurun. Hal yang
umum dilakukan manajemen dalam praktek ini adalah dengan memaksimalkan laba,
contohnya adalah dengan mengalokasikan pendapatan tahun mendatang di periode
berjalan; (4) Income smoothing, kebijakan ini dilakukan karena adanya motivasi
manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan.
Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme Corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan
hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang
melakukan kontrol di mana selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap keputusan
tersebut. Mekanisme Corporate Governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi
jalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan Schward, 1990 dalam
Sabeni, 2005).
Indonesia menganut sistem dual board dalam struktur organisasi internalnya, dimana
adanya pemisahan fungsi dari board tersebut, yaitu fungsi pengambilan kebijakan dan fungsi
pengawasan. Fungsi pengambilan kebijakan dijalankan oleh dewan direksi, sedangkan fungsi
pengawasan oleh dewan komisaris. Dewan komisaris dapat membentuk suatu komite audit
untuk membantu menjalankan fungsi mereka. Komite audit diwajibkan beranggotakan paling
tidak satu orang komisaris independen. Dewan komisaris dapat meminta kalangan luar, dengan
berbagai keahlian, pengalaman, dan kualitas lain yang dibutuhkan, untuk duduk sebagai anggota
komite audit guna mencapai tujuan dari komite audit tersebut. Komite audit haruslah bebas dari
pengaruh direksi, eksternal auditor, dan dengan demikian, komite audit hanya bertanggung
jawab kepada dewan komisaris (Wardhani, 2010).
12
Kerangka Pemikiran
Berikut adalah kerangka konseptual berdasarkan telaah literatur diatas, yang
dapat digambarkan dalam bentuk diagram skematik sebagai berikut :
Gambar 2.3
Model Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis
1. Manajemen Laba dan Corporate Environmental Disclosure
Hubungan antara corporate environmental disclosure (CED) sebagai proksi dari
CSR dengan manajemen laba dapat dijelaskan melalui pandangan entrenchment effect.
Pandangan entrenchment effect menyatakan bahwa CED merupakan perlindungan atau
pertahanan (entrenchment) bagi manajer yang melakukan aktivitas yang dapat
mengurangi kemakmuran pemegang saham dari luar perusahaan seperti praktik
Earnings Management
(Discretionary accrual)
Variabel Dependen
Corporate
Environmental
Disclosure (CED)
Variabel Kontrol
- Ukuran perusahaan
- Profitabilitas
- Leverage
- Tipe Industri
Corporate Governance
Mechanisms:
- Proporsi Dewan
Komisaris Independen
- Jumlah Rapat Komite
Audit
H1
H2
Variabel Independen
13
manajemen laba (Prior et al., 2010). Dengan melakukan CED, perusahaan dapat
membangun citra positif di mata stakeholder dan dukungan serta kepercayaan dari
stakeholder karena kepeduliannya terhadap lingkungan perusahaan. Dalam jangka
panjang, strategi ini memungkinkan manajer menghadapi tekanan dari stakeholder
sebagai hasil dari terdeteksinya praktik manajemen laba.
Melalui kegiatan CED, manajer mengejar tujuan-tujuan yang berbeda seperti
agar diliput oleh media, legitimasi dari masyarakat, peraturan pemerintah yang lebih
menguntungkan dan pengawasan yang tidak terlalu ketat dari investor dan karyawan.
Pada dasarnya, seorang manajer percaya bahwa dengan memuaskan kepentingan
stakeholder dan memproyeksikan kepedulian terhadap sosial dan lingkungan dapat
mengurangi pengawasan dari stakeholder tentang praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer (Prior et al., 2010).
Sejalan dengan pandangan di atas hasil penelitian yang dilakukan Sun et al.
(2010) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara CED dan manajemen laba.
Hasil ini menunjukkan bahwa manajer yang terlibat dalam praktik manajemen laba
termotivasi untuk mencari persepsi positif dari beragam kelompok pemegang saham
dan stakeholder lainnya melalui kegiatan CED.
H1 : Manajemen laba berpengaruh positif terhadap corporate environmental
disclosure
2. Mekanisme Corporate Governance dan Corporate Environmental Disclosure
a. Proporsi Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan,
memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan. Proporsi dewan komisaris akan
menentukan kebijakan perusahaan termasuk praktek dan pengungkapan CSR. Coller
dan Gregory (1999) dalam Sembiring (2005) menyatakan bahwa keberadaan dewan
komisaris independen akan semakin menambah efektifitas pengawasan. Menurut
Haniffa dan Cooke (2002), apabila jumlah komisaris independen semakin besar atau
dominan hal ini dapat memberikan power kepada dewan komisaris untuk menekan
manajemen untuk meningkatkan kualitas pengungkapan perusahaan. Dengan kata lain,
14
komposisi dewan komisaris independen yang semakin besar dapat mendorong dewan
komisaris untuk bertindak objektif dan mampu melindungi seluruh stakeholder
perusahaan sehingga hal ini dapat mendorong pengungkapan corporate environmental
disclosure lebih luas.
H2a : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap
corporate environmental disclosure
b. Jumlah Rapat Komite Audit
Berdasarkan keputusan ketua Bapepam Nomor Kep-24/PM/2004 dalam
peraturan Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit mengadakan rapat sekurang-
kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang ditetapkan
dalam anggaran dasar perusahaan. Dalam menjalankan tugasnya komite audit
melakukan rapat atau pertemuan untuk melakukan koordinasi agar dapat menjalankan
tugas secara efektif dalam hal pengawasan laporan keuangan, pengendalian internal, dan
pelaksanaan good corporate governance.
Penelitian Putri (2009) yang menemukan adanya hubungan antara jumlah
pertemuan komite audit yang berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan informasi
laba perusahaan. Hal ini berarti, semakin sering komite audit mengadakan pertemuan
maka pengungkapan informasi laba perusahaan semakin transparan.
H2b : Jumlah rapat komite audit berpengaruh positif terhadap corporate
environmental disclosure
III. METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
1. Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel terikat dan dipengaruhi oleh variabel
lainnya (Ghozali, 2009). Variabel dependen pada penelitian ini adalah corporate
environmental disclosure. Pengukuran corporate environmental disclosure dapat
15
diperoleh melalui pengungkapan CSR dalam annual report maupun melalui
sustainability report yang biasanya terpisah.
Dalam penelitian ini digunakan standar GRI untuk menilai environmental
disclosure. Jumlah item pengungkapan CSR menurut GRI adalah 79 yang terdiri dari:
ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), praktik tenaga kerja (14 item), hak manusia (9
item), masyarakat (8 item), dan tanggung jawab produk (9 item). Namun dalam
penelitian ini indikator yang digunakan hanyalah indikator kinerja lingkungan.
Berdasarkan bidang lingkungan (environment), indeks GRI terdiri dari 1 dimensi dan 9
aspek dengan 30 item. Dalam penelitian ini, pengungkapan item environmental
disclosure dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:
Jumlah item yang diungkapkan perusahaan
Jumlah item pengungkapan lingkungan GRI
2. Variabel Independen
a. Manajemen Laba
Manajemen laba menggunakan proksi discretionary accrual. Dalam penelitian
ini manajemen laba diukur menggunakan model yang dikembangkan oleh Kothari et al.
(2005). Model tersebut merupakan pengembangan dari model modified Jones (Dechow
et al., 1995) dengan menambahkan kinerja perusahaan – return on assets – sebagai
variabel kontrol dalam regresi total akrual (Sun et al., 2010). Tahap-tahap penentuan
discretionary accrual adalah seperti berikut:
(1) Menghitung total akrual dengan menggunakan pendekatan aliran kas (cash flow
approach), yaitu:
TACCit = NIit – CFOit (1)
Dimana:
TACCit = Total akrual perusahaan i pada tahun t
NIit = Laba bersih kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t
CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t
N=
16
(2) Menentukan koefisien dari regresi total akrual.
Akrual diskresioner merupakan perbedaan antara total akrual (TACC) dengan
nondiscretionary accrual (NDACC). Langkah awal untuk menentukan
nondiscretionary accrual yaitu dengan melakukan regresi sebagai berikut:
TACCit/TAit-1 = β1 (1/TAit-1 ) + β2 ((Δ REVit-ΔRECit)/TAit-1 ) + β3 (PPEit/TAit-1 ) + β4 (ROAit-1/ TAit-1 )+ e (2)
Dimana:
TACCit = Total akrual perusahaan i pada tahun t (yang dihasilkan dari
perhitungan nomor 1 di atas)
TA it-1 = Total aset perusahaan i pada akhir tahun t-1
ΔREVit = Perubahan laba perusahaan i pada tahun t
ΔRECit = Perubahan piutang bersih (net receivable) perusahaan i pada tahun t
PPEit = Property, plant and equipment perusahaan i pada tahun t
ROAit-1 = Return on assets perusahaan i pada akhir tahun t-1
(3) Menentukan nondiscretionary accrual.
Regresi yang dilakukan di (2) menghasilkan koefisien β1, β2, β3 dan β4. Koefisien
β1, β2, β3 dan β4 tersebut kemudian digunakan untuk memprediksi
nondiscretionary accrual melalui persamaan berikut:
NDACCit = β1(1/TAit-1) + β2((ΔREVit-ΔRECit)/TAit-1) + β3(PPEit/TAit-1) + β4(ROAit-1/ TAit-1)+ e (3)
Dimana:
NDACCit = Nondiscretionary accrual perusahaan i pada tahun t
e = Error
(4) Menentukan discretionary accrual.
Setelah didapatkan akrual nondiskresioner, kemudian discretionary accrual bisa
dihitung dengan mengurangkan total akrual (hasil perhitungan di (1)) dengan
nondiscretionary accrual (hasil perhitungan di (3)).
DACCit = (TACCit/TAit-1) – NDACCit (4)
Dimana:
DACCit = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
17
b. Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme corporate governance dalam penelitian ini adalah :
1) Proporsi Dewan Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak berafiliasi
dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali,
serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi
kepentingan perusahaan (KNKG, 2006).
Proporsi dewan komisaris independen =
Jumlah anggota komisaris independen
Jumlah seluruh anggota dewan komisaris
2) Jumlah Rapat Komite Audit
Jumlah rapat komite audit merupakan jumlah pertemuan atau rapat yang
dilakukan oleh komite audit dalam waktu satu tahun. Jumlah rapat komite audit diukur
dengan cara melihat jumlah rapat yang dilakukan komite audit pada laporan tahunan
perusahaan yang tercantum pada laporan tata kelola perusahaan maupun laporan komite
audit.
3. Variabel Kontrol
a. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan diukur berdasarkan total aset yang dimiliki oleh perusahaan
sampel terdapat di dalam laporan tahunan perusahaan. Ukuran perusahaan yang diukur
dari total aset akan ditransformasikan dalam bentuk logaritma dengan tujuan untuk
menyamakan dengan variabel lain, karena nilai total aset perusahaan relatif lebih besar
dibandingkan dengan variabel-variabel lain dalam penelitian ini. Ukuran perusahaan
dirumuskan sebagai berikut:
SIZE = log (nilai buku total aset)
b. Profitabilitas
Profitabilitas diartikan sebagai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
atau profit dalam upaya meningkatkan nilai pemegang saham. Variabel profitabilitas
18
dalm penelitian ini menggunakan Return On Asset (ROA). ROA adalah kemampuan
dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan
keuntungan bagi semua investor baik pemegang obligasi maupun pemegang saham
(Riyanto, 2001). Adapun pengukurannya dengan menggunakan rumus :
Laba bersih setelah pajak (EAT)
ROA =
Total aktiva
c. Leverage
Leverage yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketergantungan perusahaan
terhadap hutang dalam membiayai kegiatan operasinya. Hal ini menggambarkan berapa
tingkat kelebihan kewenangan yang dimiliki oleh debtholders dibandingkan dengan
kewenangan shareholders. Rasio leverage diukur dengan membagi total utang dengan
jumlah ekuitas perusahaan. Leverage perusahaan dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Total Debt
LEV = x 100%
Equity
d. Tipe Industri
Tipe industri diukur dengan menggunakan variabel dummy, yaitu pemberian
skor 1 untuk perusahaan yang termasuk dalam industri high-profile, dan skor 0 untuk
perusahaan yang termasuk dalam industri low-profile. Perusahaan-perusahaan yang
termasuk dalam industri migas, kehutanan, pertanian, pertambangan, perikanan, kimia,
otomotif, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi, plastik, dan
konstruksi sebagai industri yang high-profile.
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan non keuangan yang
terdaftar di BEI, dengan alasan bahwa perusahaan-perusahaan non keuangan lebih
banyak mempunyai pengaruh/dampak terhadap lingkungan di sekitarnya sebagai akibat
19
dari aktivitas yang dilakukan perusahaan. Penelitian ini menggunakan periode penelitian
tahun 2008 dan 2009, dengan alasan: pada 20 Juli 2007 telah dikeluarkan UU PT yang
didalamnya memuat kewajiban pelaksanaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang baru berlaku secara efektif pada akhir tahun 2007. Dengan
demikian, peneliti menggunakan laporan tahunan periode 2008 dan 2009 karena pada
tahun tersebut perusahaan dianggap telah mampu dan siap untuk melakukan
pengungkapan dan pelaporan tanggung jawab sosial dan lingkungannya dibandingkan
dengan tahun 2007.
2. Sampel penelitian
Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling
dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif sesuai dengan kriteria yang
ditentukan. Adapun kriteria sampel yang akan digunakan yaitu :
1. Perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI untuk tahun 2008 dan 2009.
2. Perusahaan tersebut mengikuti Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) dari Kementerian
Lingkungan Hidup tahun 2008-2009.
3. Menyediakan laporan tahunan maupun laporan keberlanjutan lengkap selama
tahun 2008 dan 2009.
4. Memiliki data yang lengkap terkait dengan variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian.
Metode Analisis
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat
dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range,
kurtoses dan skewness (kemencengan distribusi). Analisis statistik deskriptif digunakan
untuk mengetahui gambaran mengenai mekanisme corporate governance, manajemen
laba dan corporate environmental disclosure pada perusahaan non keuangan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
20
2. Uji Asumsi Klasik
1. Uji Normalitas, bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi antara
variabel dependen dengan variabel independen mempunyai distribusi normal
atau tidak.
2. Uji Multikolinieritas, bertujuan untuk menguji apakah tiap-tiap variabel
independen saling berhubungan secara linier.
3. Uji Heteroskedastisitas, bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain.
4. Uji Autokorelasi, bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier
ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya).
3. Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda dimaksudkan untuk menguji pengaruh simultan dari
beberapa variabel bebas terhadap satu variabel terikat. Analisis regresi digunakan oleh
peneliti apabila peneliti bermaksud meramalkan bagaimana keadaan (naik-turunnya)
variabel dependen, dan apabila dua atau lebih variabel independen sebagai prediktor
dimanipulasi atau dinaik turunkan nilainya (Sugiyono, 2007).
Dalam penelitian ini model regresi berganda yang akan dikembangkan adalah
sebagai berikut :
CEDit = α0 + α1DAit + α2INKOMit + α3RADITit + α4SIZEit + α5LEVit + α6ROAit +
α7INDUSTRI + e
Dimana:
CEDit = Corporate environmental disclosure
α0 = Konstanta
α1-α7 = Koefisien
DAit = Manajemen laba diproksi dengan discretionary accrual (DA).
INKOMit = Proporsi dewan komisaris independen
21
RADITit = Jumlah rapat komite audit
SIZEit = Ukuran perusahaan dihitung dengan log total aset
LEVit = Rasio Leverage (Debt to Equity Ratio)
ROAit = Profitabilitas diproksi dengan Return On Assets
INDUSTRI= Tipe industri (low profile dan high profile)
4. Uji Hipotesis
a. Uji Statistik t
Uji statistik t digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh sebuah variabel
independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen.
b. Uji Statistik F
Pengujian ini bertujuan untuk menunjukkan apakah semua variabel independen
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap
variabel dependen.
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Nilai R² digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel independen.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah perusahaan non-keuangan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) dan mengikuti PROPER untuk periode tahun 2008-2009.
Pemilihan sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode
purposive sampling dengan beberapa ketentuan. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Indonesia Capital Market Directory (ICMD) 2010 diketahui bahwa perusahaan non-
keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2008 hingga 2009 sebanyak 266 perusahaan.
Dari jumlah tersebut, hanya 28 perusahaan yang memenuhi kriteria sampel penelitian
yang telah ditetapkan. Periode pengamatan penelitian ini adalah tahun 2008 sampai
22
2009 sehingga jumlah annual report dan sustainability report yang diteliti adalah 56
laporan.
Statistik Deskriptif
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
CEDit 56 .033 1.000 .28223 .206551
DAit 56 -.308 .121 -.04595 .084003
inkom 56 .200 .800 .44821 .123387
radit 56 2 51 9.98 8.637
ROAit 56 -.121 .407 .08271 .106231
LEVit 56 .212 7.848 1.18893 1.229799
Valid N (listwise) 56
Tabel 4.2
Statistik Deskriptif-Dummy Variabel
N Minimum Maximum Persentase Sampel
INDUSTRI 56 0 1 High profile: 96,43%
Low profile : 3,57%
Sumber : Output SPSS, data sekunder yang diolah
Hasil analisis statistik deskriptif pada tabel 4.1 menunjukkan nilai rata-rata
variabel corporate environmental disclosure (CEDit) sebesar 0,28223 dengan nilai
standar deviasi sebesar 0,206551, yang berarti variasi data kecil (kurang dari mean).
CEDit berkisar dari nilai terendah sebesar 0,033 yaitu perusahaan Suparma tahun 2008
dan Lippo Cikarang tahun 2009 sampai dengan nilai tertinggi sebesar 1,000 yaitu
perusahaan Aneka Tambang pada tahun 2009. Nilai rata-rata CEDit sebesar 0,28223
menunjukkan bahwa jumlah persentase dari semua corporate environmental disclosure
yang dilakukan perusahaan sampel selama periode 2008-2009 sebesar 28,22%.
23
Pada variable manajemen laba yang diukur menggunakan discretionary accrual
(DAit) menunjukkan nilai rata-rata sebesar -0,04595 dengan nilai standar deviasi
sebesar 0,084003. Manajemen laba dalam hal ini dilakukan dengan cara menaikkan laba
maupun menurunkan laba. Variabel DAit memiliki nilai minimum sebesar -0,308 yang
menunjukkan kecilnya tindakan menurunkan laba yang dilakukan oleh perusahaan Fajar
Surya Wisesa pada tahun 2008, kemudian dengan nilai maksimum sebesar 0,121 yang
menunjukkan adanya manajemen laba dari selisih aktual estimasi akrual yang
seharusnya diperoleh perusahaan Indo Acidatama pada tahun 2009.
Pada variabel proporsi dewan komisaris independen, semakin besar nilai
INKOM berarti proporsi dewan komisaris independen yang ada dalam dewan komisaris
semakin banyak. Hasil statistik menunjukkan nilai minimum 0,200 yaitu perusahaan
Adaro Energy pada tahun 2009 sampai dengan nilai maksimum sebesar 0,800 yaitu
perusahaan Aneka Tambang (Persero). Nilai rata-rata proporsi dewan komisaris
independen sebesar 0,44821 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,123387, yang berarti
variasi data kecil (kurang dari mean).
Pada variabel jumlah rapat komite audit, semakin besar nilainya berarti
frekuensi komite audit melakukan rapat internal semakin sering. Nilai minimum dalam
variabel ini adalah 2, dan nilai maksimum adalah 51 dengan nilai rata-rata sebesar 9,98.
Hal ini berarti komite audit perusahaan sampel paling sedikit melakukan rapat sebanyak
2 kali yaitu perusahaan Kalbe Farma pada tahun 2008 dan terbanyak adalah 51 kali
yaitu perusahaan Elnusa pada tahun 2008. Nilai rata-rata rapat yang dilakukan komite
audit perusahaan sampel sebanyak 9,98 kali. Standar deviasi sebesar 8,637
menunjukkan variasi yang terdapat dalam variabel jumlah rapat komite audit.
Ukuran perusahaan (SIZEit) yang diukur dengan menggunakan logaritma dari
total aset menunjukkan rata-rata oleh perusahaan sampel sebesar 9,45521 dengan nilai
standar deviasi sebesar 2,554668. SIZEit berkisar dari nilai terendah sebesar 5,472 yaitu
perusahaan Toba Pulp Lestari pada tahun 2009 sampai dengan nilai tertinggi sebesar
13,123 yaitu perusahaan Indocement Tunggal Prakarsa.
Variabel profitabilitas yang diukur dengan ROA menunjukkan rata-rata sebesar
0,08271. Hal ini berarti bahwa perusahaan sampel rata-rata mampu menghasilkan laba
24
bersih hingga 8,27% dari total aset yang dimiliki perusahaan. Nilai profitabilitas
minimum diperoleh sebesar -0,121 atau terdapat kerugian hingga mencapai 12,1% dari
seluruh nilai aset yang dimiliki oleh perusahaan Sumalindo Lestari Jaya pada tahun
2008, dan profitabilitas maksimum sebesar 0,407 yaitu perusahaan Unilever Indonesia
pada tahun 2009.
Variabel leverage (LEVit) yang diukur dengan perbandingan antara total hutang
dibandingkan dengan total ekuitas menunjukkan rata-rata sebesar 1,18893. Hal ini
berarti bahwa perusahaan sampel rata-rata memiliki utang sebesar 118,89% dari seluruh
modal sendiri perusahaan. Nilai leverage minimum sebesar 0,212 atau terdapat utang
sebesar 21,2% yaitu perusahaan International Nickel Indonesia pada tahun 2008, dan
nilai maksimum sebesar 7,848 yaitu perusahaan Sumalindo Lestari Jaya pada tahun
2009. Standar deviasi sebesar 1,229799 menunjukkan variasi yang terdapat dalam rasio
leverage perusahaan.
Pada tabel 4.2 dapat diketahui analisis deskriptif dari variabel tipe industri
(INDUSTRI), nilai yang terkecil adalah 0, dan yang terbesar adalah 1. INDUSTRI
dengan nilai 1 menunjukkan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan high
profile, sedangkan INDUSTRI dengan nilai 0 menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
merupakan low profile. Total sampel dengan kategori high profile sebesar 96,43% dari
keseluruhan sampel sedangkan sampel dengan kategori low profile sebesar 3,57% dari
keseluruhan sampel.
Uji Asumsi Klasik
1. Uji Normalitas
Uji normalitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis statistik yang
menggunakan One-sample Kolmogorov-Smirnov Test dan analisis grafik berupa
histogram dan Normal P-P Plot. Hasil uji normalitas terhadap 56 data menunjukkan
bahwa besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 1,134 dan signifikan pada 0,153
yang melebihi nilai α= 0,05. Hal ini berarti bahwa data juga terdistribusi secara normal
dan model regresi memenuhi asumsi normalitas. Pada histogram memberikan pola
distribusi yang mendekati normal. Selanjutnya, grafik normal p-p plot, terlihat titik-titik
25
yang menyebar di sekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis
diagonal. Berdasarkan analisis kedua grafik tersebut, maka model regresi memenuhi
asumsi normalitas.
Tabel 4.3
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Test
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 56
Normal
Parametersa,,b
Mean .0000000
Std. Deviation .17929692
Most Extreme
Differences
Absolute .151
Positive .151
Negative -.111
Kolmogorov-Smirnov Z 1.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .153
Sumber : Output SPSS, data sekunder yang diolah
Gambar 4.1
Hasil Uji Normalitas: Grafik Histogram dan Grafik Normal P-P Plot
26
2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance dan variance inflation factor
(VIF). Berdasarkan tabel 4.4 di bawah ini menunjukkan bahwa tidak ada variabel bebas
yang memiliki nilai tolerance kurang dari 0,10. Demikian juga hasil perhitungan nilai
VIF yaitu tidak ada variabel bebas yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Oleh karena
itu dapat dinyatakan bahwa model regresi untuk persamaan yang digunakan dalam
penelitian ini tidak terjadi multikolinearitas.
Tabel 4.4
Hasil Uji Multikolinearitas: Nilai Tolerance dan VIF
Model
Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
DAit .975 1.026
inkom .852 1.174
radit .893 1.120
SIZEit .877 1.140
LEVit .776 1.289
industri .898 1.113
ROAit .720 1.390
Sumber: data sekunder yang diolah
3. Uji Heteroskedastisitas
Model regresi yang baik adalah model yang tidak terjadi heteroskedastisitas
(Ghozali, 2009). Untuk menentukan heteroskedastisitas dapat menggunakan grafik
scatterplot. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan grafik scatterplot
ditunjukkan pada gambar 4.2 di bawah terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak
diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa model regresi ini tidak terjadi heteroskedastisitas.
27
Gambar 4.2
Hasil Uji Heteroskedastisitas: Grafik Scatterplot
Sumber: Output SPSS, data sekunder yang diolah
4. Uji Autokorelasi
Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi harus dilihat nilai uji Durbin-
Watson. Berdasarkan hasil analisis regresi pada tabel 4.5 diperoleh nilai D-W sebesar
1,872. Sedangkan nilai du diperoleh sebesar 1,861. Dengan demikian diperoleh bahwa
nilai D-W sebesar 1,872 tersebut berada diantara du yaitu 1,861 dan 4 – du yaitu 4 -
1,861 = 2,139. Dengan demikian menunjukkan bahwa model regresi tersebut berada
pada daerah bebas autokorelasi.
Tabel 4.6
Hasil Uji Autokorelasi : Durbin-Watson
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .496a .246 .137 .191926 1.872
a. Predictors: (Constant), ROAit, DAit, industri, radit, SIZEit, inkom, LEVit
b. Dependent Variable: CEDit
Sumber: Output SPSS, data sekunder diolah
28
Analisis Regresi Berganda
Tabel 4.6
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) .000 .243 -.002 .999
DAit -.240 .312 -.098 -.769 .446 .975 1.026
Inkom -.180 .227 -.108 -.793 .432 .852 1.174
Radit .007 .003 .287 2.167 .035 .893 1.120
SIZEit .007 .011 .087 .651 .518 .877 1.140
LEVit .010 .024 .058 .409 .684 .776 1.289
Industry .155 .146 .140 1.061 .294 .898 1.113
ROAit .681 .287 .350 2.371 .022 .720 1.390
a. Dependent Variable: CEDit
Sumber : Output SPSS, data yang diolah
Hasil persamaan menunjukkan bahwa variabel jumlah rapat komite audit dan
profitabilitas perusahaan memiliki koefisien positif. Hal ini berarti bahwa peningkatan
jumlah rapat komite audit dan profitabilitas perusahaan akan meningkatkan corporate
environmental disclosure.
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dihasilkan persamaan regresi sebagai berikut:
CED = 0,000 - 0,240 DAit - 0,180 INKOM + 0,007 RADIT + 0,007 SIZEit + 0,681
ROAit + 0,010 LEVit + 0,155 INDUSTRI
Uji Hipotesis
1. Uji Statistik t
Berdasarkan hasil pengujian yang tampak pada tabel 4.6 diperoleh bahwa
variabel manajemen laba perusahaan memiliki nilai t hitung -0,769 dengan signifikansi
29
sebesar 0,446. Variabel proporsi dewan komisaris independen memiliki nilai t hitung -
0,793 dengan signifikansi sebesar 0,432. Variabel jumlah rapat komite audit memiliki
nilai t hitung 2,167 dengan signifikansi sebesar 0,035. Variabel kontrol ukuran
perusahaan memiliki nilai t hitung 0,651 dengan signifikansi sebesar 0,518. Variabel
kontrol profitabilitas memiliki nilai t hitung 2,371 dengan signifikansi sebesar 0,022.
Variabel kontrol leverage memiliki nilai t hitung 0,409 dengan signifikansi sebesar
0,684. Variabel kontrol tipe industri memiliki nilai t hitung 1,061 dengan signifikansi
sebesar 0,294.
2. Uji Statistik F
Tabel 4.7 berikut ini menyajikan hasil pengujian statistik F.
Tabel 4.7
Hasil Uji Statistik F
ANOVAb
Model
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .578 7 .083 2.243 .047a
Residual 1.768 48 .037
Total 2.346 55
a. Predictors: (Constant), ROAit, DAit, industri, radit, SIZEit, inkom, LEVit
b. Dependent Variable: CEDit
Sumber: Output SPSS, data sekunder yang diolah
Nilai F hitung sebesar 2,243 dengan probabilitas sebesar 0,047. Angka
probabilitas tersebut lebih kecil dari nilai 0,05. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa manajemen laba, mekanisme corporate governance, ukuran
perusahaan, profitabilitas, leverage dan tipe perusahaan secara bersama-sama
mempengaruhi corporate environmental disclosure pada taraf 5%.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Terlihat dalam tabel 4.8 diketahui bahwa nilai adjusted R² adalah 0,137. Hal ini
berarti bahwa 13,7% variabel corporate environmental disclosure dapat dijelaskan oleh
30
manajemen laba, mekanisme corporate governance, ukuran perusahaan, profitabilitas,
leverage, dan tipe perusahaan, sedangkan sisanya 86,3% dijelaskan oleh variabel-
variabel yang lain di luar persamaan.
Tabel 4.8
Koefisien Determinasi
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .496a .246 .137 .191926 1.872
Sumber: Output SPSS, data sekunder yang diolah
Interpretasi Hasil
1. Pengaruh Manajemen Laba terhadap Corporate Environmental Disclosure
Berdasarkan hasil pengujian dalam penelitian ini, variabel manajemen laba
menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap corporate environmental
disclosure sebagai proksi dari CSR. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis linier
berganda, seperti tampak pada tabel 4.6, manajemen laba yang diproksikan dengan
discretionary accrual menunjukkan nilai t hitung sebesar -0,769 dengan tingkat
signifikansi sebesar 0,446 yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 berarti hipotesis
1 yang diajukan tidak dapat diterima.
Manajemen laba yang dilakukan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan
jangka pendek belum dianggap sebagai struktur yang tepat untuk mendorong
perusahaan mengungkapkan CSR. Hal tersebut karena adanya pertimbangan yang
menunjukkan bahwa kemungkinan perusahaan PROPER yang mendapatkan penilaian
oleh Kementrian Lingkungan Hidup tidak perlu melakukan manipulasi untuk menarik
investor melalui laporan keuangannya. Perusahaan yang tergabung dalam PROPER
akan dinilai stakeholder berdasarkan kinerja terhadap lingkungan dan melaporkannya
dalam laporan CSR perusahaan.
31
2. Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap Corporate
Environmental Disclosure
Berdasarkan hasil pengujian dalam penelitian ini, variabel proporsi dewan
komisaris independen menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap
corporate environmental disclosure. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis linier
berganda, seperti tampak pada tabel 4.6, proporsi dewan komisaris independen memiliki
nilai t hitung -0,793 dengan nilai signifikansi sebesar 0,432 yang lebih besar dari taraf
signifikansi 0,05 berarti hipotesis 2a yang diajukan tidak dapat diterima.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Handajani et al. (2008) dan Said et al.
(2009) yang menemukan bahwa tidak adanya pengaruh yang signifikan antara komisaris
independen dan pengungkapan CSR. Penemuan ini menunjukkan bahwa besar kecilnya
ukuran dewan keberadaan komisaris independen yang lebih banyak dalam jajaran
komisaris independen tidak secara langsung memberikan lebih banyak item
pengungkapan sosial yang harus diungkapkan.
Dengan demikian, dengan tidak diperolehnya hasil pengaruh positif signifikan
dari pengujian pengaruh proporsi dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan
mengimplikasikan bahwa keberadaan komisaris independen dalam jajaran keanggotaan
dewan komisaris kurang dapat mengontrol tindakan manajemen dalam pengambilan
keputusan yang dapat memberikan transparansi kepada pemegang saham. Hasil yang
tidak signifikan menunjukkan bahwa pengungkapan CSR tidak hanya didorong oleh
jumlah komisaris independen tetapi juga keahlian, pengetahuan, latar belakang, dan
perbedaan kompetensi dalam meningkatkan kualitas pengambilan keputusan pada
tingkat dewan komisaris dimana CSR dihubungkan (Strandberg, 2005 dalam Handajani
dkk, 2008).
3. Pengaruh Jumlah Rapat Komite Audit terhadap Corporate Environmental
Disclosure
Berdasarkan hasil pengujian dalam penelitian ini, variabel jumlah rapat komite
audit menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap corporate environmental
disclosure. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis linier berganda, seperti tampak
32
pada tabel 4.6, jumlah rapat komite audit memiliki nilai t hitung 2,167 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,035 yang lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 berarti hipotesis
2b yang diajukan dapat diterima. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sun et al. (2010)
yang menemukan bahwa jumlah rapat komite audit mempunyai pengaruh signifikan
terhadap CED.
Alasan yang mendukung yaitu bahwa tingkat jumlah pertemuan yang dilakukan
oleh komite audit dapat menjamin bahwa pelaksanaan pengawasan terhadap manajemen
untuk melakukan kecurangan akan berjalan secara efektif. Sehingga peluang
manajemen untuk melakukan kecurangan dengan menyembunyikan informasi dapat
diminimalisasi.
4. Pengaruh Ukuran Perusahaan (variabel kontrol) terhadap Corporate
Environmental Disclosure
Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh signifikan antara
ukuran perusahaan dengan corporate environmental disclosure. Hal ini dapat
ditunjukkan dari hasil analisis linier berganda, seperti tampak pada tabel 4.6, variabel
kontrol ukuran perusahaan memiliki nilai t hitung 0,651 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,518 yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Anggraini et al.
(2006). Variabel ukuran perusahaan terbukti tidak mempunyai pengaruh sebagai
variabel kontrol untuk mendukung pengaruh variabel independen terhadap corporate
environmental disclosure. Alasan yang mendukung yaitu ukuran perusahaan dalam
perusahaan PROPER tidak memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong corporate
environmental disclosure karena perusahaan PROPER secara otomatis akan
mengungkapkan laporan CSR berkaitan dengan kinerja lingkungan yang telah
dilakukan.
33
5. Pengaruh Profitabilitas (variabel kontrol) terhadap Corporate Environmental
Disclosure
Penelitian ini berhasil membuktikan adanya pengaruh signifikan antara
profitabilitas dengan corporate environmental disclosure. Hal ini dapat ditunjukkan dari
hasil analisis linier berganda, seperti tampak pada tabel 4.6, variabel kontrol
profitabilitas memiliki nilai t hitung 2,371 dengan nilai signifikansi sebesar 0,022 yang
lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Bowman dan Haire (1976) dan Preston
(1978) dalam Anggraini (2006) yang menyatakan semakin tinggi tingkat profitabilitas
perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial lingkungan. Hasil
penelitian ini tidak berhasil mendukung teori legitimasi yang menyatakan profitabilitas
berpengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan.
Alasan penerimaan hal tersebut adalah bahwa perusahaan di Indonesia
menganggap bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
dilakukan akan memberikan nilai positif bagi perusahaan. Menurut Solomon dan
Hansen (1985) dalam Nurkhin (2009), dengan corporate social performance yang baik
akan meningkatkan goodwill karyawan dan konsumen, sehingga perusahaan tersebut
akan menghadapi masalah dengan tenaga kerja yang lebih sedikit, lalu konsumen akan
lebih setia kepada produk perusahaan.
6. Pengaruh Leverage (variabel kontrol) terhadap Corporate Environmental
Disclosure
Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh signifikan antara
leverage dengan corporate environmental disclosure. Hal ini dapat ditunjukkan dari
hasil analisis linier berganda, seperti tampak pada tabel 4.6, variabel kontrol leverage
memiliki nilai t hitung 0,409 dengan nilai signifikansi sebesar 0,684 yang lebih besar
dari taraf signifikansi 0,05.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sembiring et al. (2005) dan
Anggraini (2006). Variabel leverage terbukti tidak mempunyai pengaruh sebagai
34
variabel kontrol untuk mendukung pengaruh variabel independen terhadap corporate
environmental disclosure. Alasan yang mendukung yaitu hubungan yang sudah terjalin
baik dengan debtholders dan kinerja perusahaan yang baik bisa membuat debtholders
tidak terlalu memperhatikan rasio leverage perusahaan, sehingga menjadikan hubungan
leverage dengan corporate environmental disclosure menjadi tidak signifikan.
7. Pengaruh Tipe Industri (variabel kontrol) terhadap Corporate Environmental
Disclosure
Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan variabel tipe industri menunjukkan
tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap corporate environmental disclosure.
Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis linier berganda, seperti tampak pada tabel
4.6, variabel kontrol tipe industri memiliki nilai t hitung 1,061 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,294 yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Murwaningsari
(2009) yang menemukan bahwa tidak ada pengaruh pengaruh signifikan terhadap CSR.
Sejalan dengan variabel ukuran perusahaan, alasan yang dapat dikemukakan yaitu tipe
industri dalam perusahaan PROPER tidak memiliki pengaruh yang besar dalam
mendorong corporate environmental disclosure karena perusahaan PROPER secara
otomatis akan mengungkapkan laporan CSR berkaitan dengan kinerja lingkungan yang
telah dilakukan.
V. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini menyimpulkan
bahwa :
1. Variabel manajemen laba tidak berpengaruh terhadap corporate environmental
disclosure.
2. Variabel proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
corporate environmental disclosure.
35
3. Variabel jumlah rapat komite audit berpengaruh positif terhadap corporate
environmental disclosure.
5. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan,
profitabilitas, leverage dan tipe industri. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap corporate environmental disclosure
yang diproksi ROA. Sebaliknya, ukuran perusahaan, leverage, tipe industri tidak
berpengaruh terhadap corporate environmental disclosure.
Keterbatasan
Penelitian ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi peneliti berikutnya agar mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain :
1. Indeks pengungkapan CSR yang digunakan sebagai ukuran besarnya pengungkapan
tanggung jawab sosial dalam laporan tahunan perusahaan sampel cenderung bersifat
subyektif. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dari masing-
masing pembaca dalam melihat pengungkapan tanggung jawab sosial yang
diungkapkan perusahaan.
2. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diperoleh relatif sedikit hanya 56
perusahaan dengan tahun pengamatan 2008-2009.
3. Variabel CED yang digunakan sebagai proksi dari CSR dikembangkan oleh
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sun et al. (2010).
Saran
Berdasarkan hasil analisis pembahasan serta beberapa kesimpulan dan
keterbatasan pada penelitian ini, adapun saran-saran yang dapat diberikan agar
mendapatkan hasil yang lebih baik, yaitu:
1. Penelitian selanjutnya diharapkan melibatkan pihak lain dalam menentukan luas
pengungkapan sebagai bahan pemeriksaan kembali.
36
2. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbesar jumlah sampel dan
memperpanjang tahun pengamatan.
3. Penelitian selanjutnya diharapkan menambah variabel yang digunakan sebagai
proksi dari CSR.
4. Pengukuran indeks CSR harus terus mengikuti perkembangan yang ada dari
berbagai badan internasional yang terkait dengan CSR dan disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia.
37
DAFTAR PUSTAKA
Almilia, Luciana, dan Dwi Wijayanto. 2007. Pengaruh Environmental Performance dan
Environmental Disclosure terhadap Economic Performance, The 1st Accounting
Conference, September 2007.
Al-Tuwaijri, S. A., Christensen, T. E., and Hughes II, K. E. (2004). The relations among
environmental disclosure, environmental performance, and economic
performance: a simultaneous equations approach. Accounting, Organizations
and Society, 29, 447–471.
Anggraini, Fr Reni Retno. 2006. “Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Pengugkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan
Tahunan (Study Empiris pada Perusahaan-perusahaan yang Terdaftar di Bursa
Efek Jakarta)”. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Chih, H., C. Shen., and F. Kang. 2008. Corporate social responsibility, investor
protection, and earnings management: some international evidence, Journal of
Business Ethics: 79:179–198.
Dajan , Anto. 1996 . Pengantar Metode Statistik, Jilid Kedua, LP3ES, Jakarta
Deegan, C. 2004. “Financial Accounting Theory”. McGraw-Hill Book Company.
Sydney.
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Cetakan
IV. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Gray, R., Javad, M., Power, David M., and Sinclair C. Donald. 2001. “Social And
Environmental Disclosure, And Corporate Characteristic: A Research Note And
Extension”, Journal of Business Finance and Accounting, Vol 28 No. 3, pp 327-
356.
Guthrie, J., and F. Ricceri. 2006. “The voluntary reporting of intellectual capital,
comparing evidence from Hong Kong and Australia”. Journal of Intellectual
Capital. Vol. 7 No. 2, pp. 254-271
Handajani, L., Sutrisno, and Chandrarin, G. 2008. “The Effect of Earnings
Management and Corporate Governance Mechanism to Corporate Social
Responsibility Discosure : Study at Public Companies in Indonesia Stock
Exchange”. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang
38
Haniffa, R.M. and Cooke T. E. 2002. “Culture, Corporate Governance and Disclosure in
Malaysian Corporations”. Abacus, Vol. 38 No. 3.
Jama'an. 2008. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Kualitas Kantor
Akuntan Publik Terhadap Integritas Informasi Laporan Keuangan (Studi pada
Perusahaan Publik di BEJ). Tesis, Universitas Diponegoro. Semarang.
Januarti, I dan Apriyanti D, 2005, Pengaruh Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Terhadap Kinerja Keuangan . Jurnal MAKSI, Vol. 5, No. 2, Hlm. 227-243.
Jensen, M. and Meckling, W. 1976. ”Theory of the firm: managerial behavior, agency
costs and ownership structure”. Journal Of Financial Economics, Vol 3, pp.
305-360
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). 2006. Pedoman Umum GCG di
Indonesia. Jakarta.
Murwaningsari, Etty. 2009. ”Hubungan Corporate Governance, Corporate Social
Responsibilities Dan Corporate Financial Performance Dalam Satu Continuum”.
Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, Vol. 11 (1) : 30-41.
Nurkhin, Ahmad. 2009. “Corporate Governance dan Profitabilitas; Pengaruhnya
terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada
Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia). Tesis, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Perwita K. D., Veronika. 2009. “Pengaruh Environmental Disclosure terhadap Reaksi
Pasar dan Nilai Perusahaan”. Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Prior, D., J. Surroca and J.A. Tribo. 2008. Are socially responsible managers really
ethical? Exploring the relationship between earnings management and corporate
social responsibility, Corporate Governance : An International Review 16(3):
443-459.
Sabeni, Arifin, 2005, “Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate
Governance (Tinjauan Perspektif Agency Theory)”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar , Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Scott, William R. 2009. Financial Accounting Theory, 5th
Edition. Prentice Hall, NJ.
Sembiring, Eddy Rismanda. 2005. “Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial : Studi Empiris Pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa
Efek Jakarta”. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo.
Sugiyono. 2007, Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta: Bandung.
39
Sun, N., Salama, A., Hussainey, K., and Habbash, M. (2010) "Corporate environmental
disclosure, corporate governance and earnings management", Managerial
Auditing Journal, Vol. 25 Iss: 7, pp.679 – 700.
Rahmawati, Yacop Suparno, dan Nurul Qomariyah. 2006. “Pengaruh Asimetri
Informasi terhadap Praktik Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan Publik
yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Simposium Nasional Akuntansi VI,
Padang.
Titisari, Kartika Hendra, Suwardi, dan Doddy Setiawan. 2010. “Corporate Social
Responsibility dan Kinerja Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi XIII.
Purwokerto.
Utama, Sidharta. 2007. “Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab
Sosial & Lingkungan di Indonesia”, Pidato ilmiah pengukuhan guru besar FEUI,
Jakarta.
Wang, Dechun, 2006. “Founding Family Ownership and Earnings Quality.” Journal of
Accounting Research Vol.44 No.3.
Waryanto.2010. “Pengaruh Karakteristik Good Corporate Governance Terhadap Luas
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia. Skripsi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Widiatmaja, Bayu Fatma.2010. “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance
Terhadap Manajemen Laba Dan Konsekuensi Manajemen Laba Terhadap
Kinerja Keuangan (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Tahun 2006-2008).
Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Wilmshurst T., & Frost G., 2000, “Corporate Environmental Performance. A Test of
Legitimacy Theory”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 13,
No. 1, pp. 10-26.
Wisnumurti, Adhika. 2010. “Analisis Pengaruh Corporate Governance terhadap
Hubungan Asimetri Informasi dengan Praktik Manajemen Laba”. Skripsi,
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
http://www.menlh.go.id/proper
http:/www.idx.co.id
http:/www.globalreporting.org