konsep ikhlas dalam kitab minhajul abidin dan...

100
i KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL ABIDIN DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN IBADAH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh: Shinta Yuniati NIM: 11113052 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017

Upload: lamnhu

Post on 10-Mar-2019

266 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

i

KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL

ABIDIN DAN RELEVANSINYA DENGAN

PENDIDIKAN IBADAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

Shinta Yuniati

NIM: 11113052

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2017

ii

iii

iv

v

DEKLARASI

بسم هللا الرحمه الرحيم

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Shinta Yuniati

NIM : 11113052

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, peneliti menyatakan bahwa

skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan

jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat

dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.

Salatiga, 29 Agustus 2017

Penulis,

Shinta Yuniati

NIM: 11113052

vi

Motto

حيم حمه الره الره بسم هللاه

ما خلقت الجهه واإلوس إال ليعبدون و

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah-Ku(Q.S. Adzariyat ayat 56)

vii

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah dengan izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah

membantu mewujudkan mimpiku:

1. Bapak Mulyana dan Ibu Sumiyati yang telah mencurahkan segenap kasih

sayang yang begitu hangat. Hingga aku menyadari apa arti hidup ini.

2. Ibu Imro‟ah selaku ibu mertua yang tidak berbeda dengan ibu kandungku

yang senantiasa memberiku kebahagiaan seperti kepada buah hatinya

sendiri.

3. Suamiku, Mas Imam „Alie Mu‟ti belahan jiwaku yang telah

menyempurnakan hidupku, penyemangat siang dan malam, serta teman

berjuang hingga akhir hayatku.

4. Kakakku Mas Gigih dan Mbak Tari, serta adikku Ari yang telah memberi

energi dalam suka maupun duka.

5. Guru-guruku, bapak kyai dan ibu nyai yang sabar membimbingku

sehingga aku menjadi manusia yang mengerti makna bagaimana menjadi

manusia yang berarti.

6. Sahabat-sahabatku mbak Umi Inayah, Isti Qomariyah, Lu‟luatul

Qulubiyyah, Askin Ila Hayati, dan Ana Bi‟aunika yang tidak pernah lelah

menemaniku, memberiku semangat, dan kesetiaan yang tiada duanya.

7. Sahabat-sahabatku PAI angkatan 2013 dimanapun kalian berada, semoga

Allah melindungi dan membimbing ke jalan yang di Ridhoi-Nya.

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakauh

Alhamdulillahirobil‟alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT berkat taufiq, rahmat dan inayah serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Shalawat dan salam selalu

tercurah pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing

manusia dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang serta yang

dinantikan syafaatnya di hari kiamat kelak.

Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin

dan relevansinya dengan pendidikan ibadah”. Skripsi ini disusun guna memenuhi

syarat untuk memperoleh gelar sarjana progam studi Pendidikan Guru Pendidikan

Agama Islam (PAI) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah menerima bantuan dari berbagai

pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M, Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

(FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga.

4. Bapak Dr. Muh. Saerozi, M.Ag. selaku dosen pembina akademik yang selama

ini telah membimbing dalam melewati masa duduk di bangku perkuliahan

ix

5. Ibu Dra. Ulfah Susilawati, M.SI selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

mencurahkan pikiran, tenaga, dan pengorbanan waktunya dalam upaya

membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap dosen dan karyawan IAIN Salatiga, yang telah banyak membantu

selama kuliah sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan

skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik

dari semua pihak sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga skripsi ini

bermanfaat bagi pembaca semua. Aamiin.

Wassalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Salatiga, 29 Agustus 2017

Penulis

Shinta Yuniati

NIM. 11113052

x

ABSTRAK

Yuniati, Shinta. 2017. Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin dan

Relevansinya dengan Pendidikan Ibadah. Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri

Salatiga. Pembimbing: Dra. Ulfah Susilawati. M.SI

Kata Kunci: Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin, Pendidikan

Ibadah

Ikhlas adalah membersihkan amalan dari sesuatu yang mengeruhkan amal

Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini yaitu (1)

Bagaimana konsep ikhlas menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul

Abidin? (2) Bagaimana relevansi konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin

karya Imam al-Ghazali dengan pendidikan ibadah?

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui konsep ikhlas dalam kitab

Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. 2) Mengetahui relevansi konsep ikhlas

dalam kitab Minhajul Abidin dengan pendidikan ibadah.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) karena

data yang diperoleh maupun dikumpulkan dari penelitian kepustakaan yaitu dari

hasil pembacaan atau kesimpulan dari kitab terjemahan, dengan sumber kitab

Minhajul Abidin, pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentasi

yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan-

catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda, yang

membahas tentang ikhlas dalam pendidikan Ibadah. Metode yang digunakan

antara lain deduktif dan induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep ikhlas dalam kitab Minhajul

Abidin sangat berkaitan erat dengan pendidikan Ibadah. 1) Konsep ikhlas dalam

kitab Minhajul abidin dibagi menjadi tiga yaitu ikhlas dalam hubungan kepada

Allah dan ikhlas dalam hubungan sesama makhluk. Ikhlas dalam hubungan

kepada Allah yaitu dengan ikhlas taat kepada Allah dan Hanya menyembah Allah

SWT. sedangkan ikhlas dalam hubungan sesama makhluk yaitu membersihkan

batin dari sifat buruk dan tidak menyembah hawa nafsu. Kemudian ikhlas yang

ketiga yaitu hubungan dengan diri sendiri. Dibagi menjadi dua bagian ikhlas

dalam menuntut ilmu untuk menyempurnakan ibadah dan akhlak serta ikhlas

dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. 2) Relevansi konsep ikhlas dalam

kitab Minhajul Abidin dengan pendidikan ibadah yaitu menjadikan ikhlas perilaku

yang sempurna dalam ibadah, maka mempelajari dan menekuni ilmu tentang

ibadah beserta isi dari bentuk ibadah itu sendiri terlebih dahulu dimatangkan.

Agar tercapainya tujuan ibadah yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat

dengan jalan keikhlasan yang dimiliki.

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar SKK

2. Lembar Dokumentasi

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i

HALAMAN BERLOGO ................................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iii

PENGESAHAN KELULUSAN ..................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................................... v

MOTTO ........................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

ABSTRAK ....................................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5

D. Kajian Pustaka.. ....................................................................................... 5

E. Penegasan Istilah .................................................................................... 6

F. Signifikansi Penelitian. ........................................................................... 9

G. Metodologi Penelitian ........................................................................... 10

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................................... 10

2. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 11

xiii

3. Metode Analisis Data......................................................................... 13

4. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................... 14

BAB II BIOGRAFI NASKAH

A. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali ........................................................... 16

B. Latar Belakang Pendidikan Imam al-Ghazali......................................... 18

C. Kondisi Sosio-Kultural Pada Masa Imam al-Ghazali............................. 19

D. Wafatnya Imam al-Ghazali..................................................................... 20

E. Hasil Karya Imam al-Ghazali................................................................. 21

F. Kandungan Isi Kitab Minhajul Abidin .................................................... 24

BAB III KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL ABIDIN KARYA

IMAM AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN

IBADAH

A. Pengertian Konsep Ikhlas.. ...................................................................... 33

B. Konsep Ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin........................................... 33

C. Manfaat Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin......................................... 35

D. Macam-Macam Ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin.............................. 35

E. Pendidikan Ibadah ................................................................................... 46

BAB IV ANALISIS KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL ABIDIN

DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN IBADAH

A. Analisis Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin ........................ 50

xiv

B. Relevansi Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin dengan Pendidikan

Ibadah .................................................................................................... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 69

B. Saran .................................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap mengamalkan atau melaksanakan ibadah, kita dituntut untuk

ikhlas, yakni dilaksanakan dengan senang hati dan mengharap ridla Allah

SWT. hanya ibadah yang dilaksanakan dengan ikhlas yang akan diterima

serta diberi pahala oleh Allah SWT.(Muchtar, 2005: 127). Ikhlas adalah

salah satu bentuk rezeki dari Allah kepada hamba-Nya. Karunia

ketenangan batiniyyah yang menyejukkan. Siapapun seorang hamba yang

merasakan nikmatnya rasa ikhlas akan lepas dari urusan duniawi. Karena

ikhlas merupakan kondisi kembali ke nol. Dimana hati dan pikiran tidak

memikirkan kebaikan yang telah dilakukan bahkan sama sekali tidak

mengharapkan balasan. Dalam kitab „Idhotun Naasyi‟in karya syekh

Mushthafa al-Ghalayini yang diterjemahkan oleh Moh. Abdai Rathomy,

beliau menuturkan bahwa andaikata amal perbuatan itu kita anggap

sebagai tubuh, maka yang merupakan roh atau jiwa dalam tubuh adalah

keikhlasan hati (Rathomy, 1976: 12). Perumpamaan yang singkat namun

bermakna dalam, karena jika tubuh itu tetap hidup, namun rohnya tidak

ada atau mati, maka apa artinya tubuh yang bagaikan mayat hidup.

Ikhlas merupakan perbuatan yang sirr, tidak mampu di ukur secara

spontan atau dengan kalkulasi prasangka manusia. Ikhlas tumbuh didalam

hati masing-masing manusia. Ikhlas yang benar adalah ikhlas yang

2

ditujukan hanya karena ingin mendapat ridho Allah SWT., Dalam kitab

Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali, yang menjadi sumber utama

dalam penelitian skripsi penulis merangkum sedikit dari sekian banyak

manfaat yang terkandung didalamnya, yaitu konsep ikhlas dan

relevansinya dengan pendidikan ibadah dalam kitab tersebut.

Kitab Minhajul Abidin merupakan satu diantara banyak karya

Imam besar yaitu Imam al-Ghazali. Kitab terakhir yang beliau ringkas.

Kitab ini memuat petujuk-petunjuk bagi seorang hamba yang ingin

mencapai kesuksesan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Kitab yang

berisi tingkatan-tingkatan yang harus dilewati hamba-Nya agar sampai ke

puncak kebahagiaan. Konten isi kitab Minhajul Abidin adalah pendidikan

ibadah, dimana pendidikan ibadah yang mulai langka dan harus diterapkan

kepada anak didik kembali. Agar ketika beribadah, peserta didik

menerapkan segi aspek kognitif yang telah dilewati, seorang peserta didik

mampu dengan baik dan benar dalam beribadah. Karena seorang guru

dalam kitab alala telah disebutkan tugasnya, yaitu merangsang atau

memasuki kawasan hati seorang peserta didik.

Manusia dan jin hidup di bumi Allah mempunyai satu tugas yang

harus dijalankan yaitu menyembah-Nya. Hal ini difirmankan Allah dalam

Al-qur‟an surat Adz-Dzariyat ayat 56, yang bunyinya:

س إال ١عجذ اإل ج ب خمذ ا

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan

supaya mereka menyembah-Ku(Departemen Agama RI, 2002: 524)

3

Pendidikan tidak mengenal usia. Pendidikan bukan hanya terbatas

untuk siswa di bangku sekolah, madrasah, maupun pendidikan formal

lainnya. Namun, pendidikan dimulai sejak seorang anak masih di dalam

kandungan ibunya. Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Dimulai

dari seorang ibu, anak dipersiapkan untuk belajar sesuatu yang belum

pernah ia temui. Pendidikan Vitorino Doefeitre (Itali) mengatakan bahwa:

“pendidikan adalah menumbuhkan seseorang dari segi akal, budi pekerti

dan tubuh, tidak untuk bekerja yang tertentu. Tetapi untuk menjadi

pendidik yang baik dan bermanfaat bagi masyarakatnya, juga mampu

untuk melaksanakan kewajiban umum dan khusus”(Umairoh, t.th: 11).

Diciptakannya sebagai hamba Allah adalah untuk mengabdikan

seluruh hidup dan mati yang tidak lain hanya untuk Allah. Manusia

diciptakan juga sebagai khalifah di bumi, tugas seorang khalifah merawat,

melestarikan, dan menjaga bumi serta isinya. Allah SWT memerintahkan

seorang Hamba untuk menyembah-Nya bukan berarti harus melulu

beribadah tanpa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sebagai seorang

manusia yang semisal berstatus kepala keluarga yang harus menafkahi

isteri dan anak-anaknya. Namun, Allah mewajibkan pula seorang hamba

untuk bekerja sebagai bekal untuk menjalankan ibadah.

Ibadah kepada Allah bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.

Mengingat, menyebut, dan mengerjakan sesuatu karena Allah adalah

ibadah. Mengingat Allah ketika mendengar lantunan suara adzan

walaupun sedang berjualan kemudian meninggalkan pekerjaannya untuk

4

melangkahkan kaki mengerjakan shalat. Ibadah bisa terwujud dengan

bentuk berbakti kepada orang tua berniat memohon ridho Allah agar shalat

yang dikerjakan diterima oleh-Nya. Karena, ibadah seseorang tidak akan

diterima Allah tatkala mendurhakai kedua orang tuanya. Seorang isteri,

ketika memasak, melayani, mengerjakan pekerjaan rumah karena agar

menyenangkan hati suaminya merupakan salah satu wujud ibadah kepada-

Nya. Seorang murid yang menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan

dan mendapat ilmu yang bermanfaat adalah bentuk ibadah kepada-Nya.

Pendidikan ibadah begitu melekat dengan keikhlasan. Dan belajar

ikhlas salah satunya bisa didapatkan dengan mendalami, memahami, dan

mengkaji kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. Maka dari itu,

penulis sedikit merangkum dan merangkai kata demi kata skripsi dengan

judul “Konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin dan relevansinya

dengan pendidikan ibadah”. Semoga tulisan sederhana ini dapat

bermanfaat bagi para penuntut ilmu dan pembaca yang setia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep ikhlas menurut Imam al-Ghazali dalam kitab

Minhajul Abidin?

2. Bagaimana relevansi konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya

Imam al-Ghazali dengan pendidikan ibadah?

C. Tujuan Penelitian

5

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep ikhlas menurut Imam al-Ghazali

dalam kitab Minhajul Abidin.

2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi konsep ikhlas dalam kitab

Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali dengan pendidikan ibadah.

D. Kajian Pustaka

Dalam penulisan penelitian ini, terlebih dahulu penulis menelaah

beberapa tulisan dan skripsi yang berkaitan dengan apa yang akan penulis

tuangkan dalam penelitian ini. Adapun penelitian atau skripsi-skripsi yang

telah ada sebelumnya memberikan gambaran umum tentang sasaran yang

akan penulis sajikan dalam skripsi ini, dan menghindari kesamaan

pembahasan dengan skripsi sebelumnya.

Skripsi dari Paryono, Almamater IAIN Salatiga, Fakultas tarbiyah

tahun 2010, yang berjudul: “Konsep Pendidikan Akhlak Imam Ghazali

(Studi analisis kitab Ihya‟ „Ulumuddin)”. Dalam skripsinya pengarang

mengungkapkan sisi biografi, segi politik sosial Imam Al-Ghazali,

menelaah pemikiran Imam Ghazali tentang akhlak khususnya keikhlasan

dalam beribadah, dan karakteristik pemikiran Imam Al-Ghazali.

Penulis juga mengacu pada jurnal dari Islamic Studies Juornal,

yang dikarang oleh Silahuddin pada tahun 2014 mengenai “Konsep

Pendidikan Islam Menurut al-Ghazali (tinjauan filsafat pendidikan)”.

Beliau adalah Dosen Fakultas Tarbiyah UIN ar-Raniry. Dalam jurnalnya,

Silahuddin menyatakan bahwa secara ideal al-ghazali telah menetapkan

6

bahwa tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan

mengabdi padaNya.

Berdasarkan kajian pustaka di atas, belum ada yang membahas

tentang konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-

Ghazali dan relevansinya dengan pendidikan ibadah.

E. Penegasan Istilah

1. Konsep

Konsep artinya rancangan, idea, gagasan yang diabstrakkan dari

peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses ataupun yang ada

di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain

(Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989: 456).

Sedangkan menurut Ustman (1994: 151-154) dalam bukunya Apa dan

Siapa 45 Budayakan Muslim Dunia kata konsep dalam bahasa inggris

concept dan dalam bahasa latin concipere artinya memahami, mengambil,

menerima, merangkap yang merupakan gabungan dari con (bersama) dan

capare (merangkap).

2. Ikhlas

Menurut bahasa ikhlas berarti sincerity, purity, genuinenes,

cordiality, dan loyalty, yaitu ketulusan, kebersihan hati, keaslian, dan

ketundukan dengan rasa senang(Naqawi, 1992: 18). Ikhlas menurut arti

istilah antara lain dapat dikemukakan oleh beberapa ulama sebagai berikut:

Al-Susy mengatakan, ikhlas adalah tidak menampakkan tanda keikhlasan,

7

apabila terlihat tampak dalam keikhlasannya suatu keikhlasan maka

keikhlasannya membutuhkan keikhlasan(Nata, 2001: 35).

3. Kitab Minhajul Abidin

Minhajul Abidin (secara harfiah berarti Pedoman Dasar bagi para

Ahli Ibadah) adalah kitab tasawuf karangan Imam Al-Ghazali. Kitab ini

ditulis menjelang wafatnya Imam Al-Ghazali. Dengan kata lain, ditulis

setelah Kitab Ihya Ulumuddin.

4. Imam al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali dilahirkan di

Thusia, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M.

Ayahnya seorang pemintal wol yang selalu memintal dan menjualnya

sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan

meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya

itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya sekalipun

menghabiskan harta warisan(Sulaiman, 1982:13).

5. Pendidikan Ibadah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatiahan peserta didik

secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang di perlukan dirinya dan

masyarakat. ibadah adalah meng-Esakan Allah swt. dengan sungguh-

8

sungguh dan merendahkan diri serta menundukan jiwa setunduk-

tunduknya kepada-Nya.

Jadi, pendidikan ibadah adalah usaha sadar dan terencana untuk

mengembangkan potensi diri dari segi spiritual, emosional, kepribadian,

dan akhlak yang mulia yang bertujuan untuk menundukkan diri, mendapat

pahala di akhirat, dan mengharapkan ridla Allah SWT.

6. Konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali

dan relevansinya dengan pendidikan ibadah

Jadi, konsep ikhlas sesuai pemahaman penulis yaitu menyajikan

apa adanya berdasarkan apa yang dikaji mengenai pemahaman manusia

terhadap proses kegelapan menjadi terang dengan kebiasaan yang tanpa

pertimbangan dan menyerahkan kepada Allah atas apa yang ia lakukan

untuk mendapatkan ridlo-Nya.

F. Signifikansi Penelitian

Signifikansi yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah:

1. Teoritis:

a. Untuk memperluas pemikiran mengenai Agama Islam

sekaligus untuk memahami konsep ikhlas dalam kitab

minhajul abidin karya Imam Ghazali dan relevansinya

dengan pendidikan ibadah.

b. Sumbangan perbaikan bagi pendidikan Islam khususnya

pendidikan ibadah.

9

2. Praktis:

a. Sebagai bahan pijakan bagi pemerhati bidang pendidikan

ibadah.

b. Menumbuhkembangkan pemahaman dengan menanamkan

konsep ikhlas dalam kitab minhajul abidin karya Imam al-

Ghazali dan relevansinya pendidikan ibadah tersebut kepada

peserta didik maupun masyarakat supaya terbiasa untuk

menjalankan perintah agama.

10

G. Metode Penelitian

Pokok pembahasan dalam metode penelitian ini, antara lain: jenis

penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan analisis data.

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) artinya sebuah studi dengan

mengkaji buku-buku, naskah-naskah, atau majalah-majalah yang

bersumber dari khazanah kepustakaan yang relevan permasalahan

yang diangkat dari penelitian. Semua sumber yang berasal dari

bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian dan dokumenter literatur lainnya (Hadi, 1980: 3).

Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada

referensi buku dan sumber-sumber yang relevan. Penelitian literer

lebih difokuskan pada studi kepustakaan(Amirin, 1995 :135).

Penelitian yang penulis lakukan dapat dikategorikan

penelitian pustaka karena tidak memerlukan terjun langsung ke

lapangan melalui survei maupun observasi untuk mendapatkan data

yang dicari. Data yang diperoleh maupun dikumpulkan dari

penelitian kepustakaan yaitu dari hasil pembacaan atau kesimpulan

dari berbagai buku-buku, kitab-kitab terjemahan, dan karya ilmiah

yang ada hubungannya dengan tema pengkajian.

2. Pendekatan Penelitian

11

Untuk memahami permasalahan yang dibahas, peneliti akan

menggunakan pendekatan filosofis karena dalam penelitian

menggunakan studi langsung mengenai pemikiran Imam Al

Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin (Bakker, Zubair, 1990: 62).

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan metode

dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable

berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan

lain sebagainya (Arikunto, 2006: 231). Data dikumpulkan dalam

wujud catatan/tertulis.

Penulis mengumpulkan data dokumenter ini dari sumber

data baik sumber data primer maupun sumber data sekunder. Yang

dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek

darimana data dapat diperoleh (Arikunto, 2006: 129)

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung

memberikan informasi kepada pengumpul data (peneliti).

Adapun sumber primer dari penelitian ini adalah Kitab karya

Imam Al-Ghazali, Minhajul Abidin dan terjemahannya yang

diterbitkan oleh Mutiara Ilmu, Surabaya.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tiak

langsung memberikan data kepada pengumpul data (peneliti).

12

Adapun sumber sekunder merupakan sumber pendukung

terhadap data primer. Diantara data sekunder yang akan

dipakai adalah berupa kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali

yang lain yang mendukung, seperti: Kitab Ihya‟ „Ulumuddin,

Selain itu al-Qur‟an dan Hadist, terjemah kitab Ihya‟

„Ulumuddin, buku-buku pendidikan Islam, buku-buku

pendidikan ibadah, buku-buku tentang ikhlas, situs-situs

internet, dan lain-lain yang sesuai dalam memperkuat data.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian adalah deskriptif

analitik, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan

menyusun data, kemudian diusahakan pula adanya analisis dan

intrepetasi atau penafsiran terhadap data-data tersebut, oleh

karenanya lebih tepat jika dianalisis menurut dan sesuai

dengan isinya saja yang disebut content analysis atau analisis

isi (Nata, 2001: 141).

Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk

membuat rumusan kesimpulan-kesimpulan dengan

mengidentifikasi karakteristik spesifikan pesan-pesan dari

suatu teks secara sistematik dan obyektif(Nawawi, 1998:.69).

Analisis ini dipakai untuk mendeskripsikan data

berupa konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam

Al-Ghazali dan relevansinya dengan pendidikan ibadah.

13

Dengan demikian akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

dikumpulkan dalam pokok permasalahan.

Melalui metode content analysis atau analisis isi,

peneliti melakukan penafsiran teks atau bacaan dari kitab

Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali yang mengandung

konsep ikhlas. Kemudian penulis juga menganalisis beberapa

kisah-kisah teladan yang bersangkut paut dengan ikhlas

dengan metode keteladanan. Adapun langkah-langkah yang

ditempuh meliputi:

a. Menentukan arti yang langsung primer

b. Menjelaskan arti-arti yang implisit

c. Menentukan tema (Endraswara, 2004:45).

d. Teknik Penelitian Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam

penyusunan skripsi ini adalah:

a. Deduktif

Metode yang digunakan untuk menjelaskan

konsep ikhlas sesuai dengan yang telah dicanangkan

pemerintah yaitu tentang pendidikan ibadah. Yang

dimaksud Metode deduktif adalah metode berfikir yang

berdasarkan pada pengetahuan umum dimana kita

hendak menilai suatu kejadian yang khusus. (Hadi,

1987: 42)

14

b. Induktif

Kemudian metode yang digunakan adalah

metode induktif guna mengkaji data yang telah didapat

yang terkait dengan konsep ikhlas yang telah

dipaparkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul

Abidin dan dikaitkan dengan pendidikan ibadah.

Metode Induktif adalah metode berfikir yang berangkat

dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret,

kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat

umum (Hadi, 1987: 42).

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan memahami permasalahan yang akan dibahas,

skripsi ini disajikan dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I berisi Pendahuluan, yang akan memuat latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan skripsi.

Bab II biografi naskah yang membahas tentang biografi

pengarang kitab Minhajul Abidin yaitu Sang hujjatul Islam, Imam

Abu Hamid Al-Ghazali. Dalam bab ini dituangkan riwayat hidup,

riwayat pendidikan, kondisi sosial politik pada masa beliau, dan

15

karya-karya beliau, kemudian gambaran umum isi kitab minhajul

abidin.

Bab III merupakan pembahasan isi kitab Minhajul Abidin

karya Imam Al-Ghazali yang berisi latar belakang penyusunan

kitab, pemikiran al-ghazali dalam kitab Minhajul Abidin, dan

kandungan isi kitab Minhajul Abidin yang berisi konsep ikhlas,

kemudian berisi pula ruang lingkup pendidikan ibadah.

Bab IV berisi tentang analisis konsep ikhlas dalam kitab

Minhajul Abidin dan relevansinya dengan pendidikan ibadah.

Bab V berisi kesimpulan, saran, dan penutup dari bab-bab

sebelumnya.

16

BAB II

BIOGRAFI NASKAH

A. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali

Beliau memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn

Muhammad Ibn Ta‟us Ahmad al-Tusi al-Shafi, lahir pada tahun 405 H atau

1058 M, disebuah desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, bagian kota Tus,

wilayah Khurasan(Mustaqim, 1999:83). Ayahnya seorang pemintal wol yang

selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Orang tua al-Ghazali

bukan berasal dari orang berharta dan hanya sebagai pemintal wol (ghazzal).

Sehingga penisbahan nama al-Ghazali karena pekerjaan orang tuanya sebagai

pemintal wol (ghazal) (Aziz, 2015: 97). Al-Ghazali mempunyai seorang

saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya

agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-

tuntasnya sekalipun menghabiskan harta warisan(Sulaiman, 1982:13).

Imam Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai anak pecinta ilmu

pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun

diterpa duka cita, dilanda aneka nestapa dan dilamun sengsara. Keluarga

Imam al-Ghazali bukanlah termasuk keluarga yang kaya(Mulkhan, 1991:

110). Dengan latar belakang keluarga yang miskin, al-Ghazali membangun

dan menghiasi perjalanan hidupnya dengan penuh petualangan pemikiran

batin dan pengembaraan yang panjang. Setelah habis harta peninggalan

17

ayahnya, al-Ghazali kemudian diserahkan kepada sebuah asrama di kota

Thus. Asrama ini didirikan oleh perdana menteri Nizamul Muluk. Di sinilah

Imam al-Ghazali belajar ilmu fiqih dan tasawwuf kepada seorang sufi Yusuf

el Ismailli.

Pada usia 21 tahun, ia pun menjadi mahasiswa pada perguruan tinggi

Nizamiyah di kota Nishapur untuk mempelajari ilmu Hukum, Teologi,

Logika, Retorika, dan Filsafat. Di sini bertemulah Imam al-Ghazali dengan

ulama besar Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf yang mempunyai panggilan

Imam Haramain (Imam dari dua kota suci, Mekkah dan Madinah). Dalam

asrama tersebut al-Ghazali mulai mengarang bukunya yang pertama(Ahmad,

1975: 32).

Empat tahun kemudian, al-Ghazali di angkat menjadi dosen dan

bahkan asisten bagi guru besarnya. Tidak lama kemudian sesudah itu pada

usia 28 ketika Imam Haramain meninggal dunia pada tahun 479 H/1083 M.

Al-Ghazali di angkat menjadi Presiden Universitas Nizamiyah oleh perdana

menteri Nizamil Muluk. Berturut-turut jabatan penting diberikan kepadanya,

seperti tahun 484 H/ 1080 M ia menjadi Rektor Universitas Nizamiyah

Baghdad, menggantikan Al Kaya Al Harisi setelah ia di angkat sebagai Guru

Besar Negara yang secara tetap mengajar para pembesar negara. Kesempatan

inilah dipergunakan al-Ghazali untuk menanamkan paham politiknya(Ahmad,

1975: 37).

18

B. Latar Belakang Pendidikan Imam al-Ghazali

Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Qur‟an pada

ayahnya sendiri. Sejak kecil al-Ghazali memang orang yang sangat mencintai

ilmu pengetahuan, orang yang suka mencari kebenaran yang sebenarnya

sekalipun kondisi beliau yang tidak menguntungkan dan selalu diterpa duka

namun hal tersebut tidak menggoyahkan semangat beliau untuk mencari ilmu

pengetahuan (Safrudin, 2015: 97-98)

Sejak kecil, al-Ghazali memang orang yang sangat mencintai ilmu

pengetahuan, orang yang suka mencari kebenaran yang sebenarnya sekalipun

kondisi beliau yang tidak menguntungkan dan selalu diterpa duka namun hal

tersebut tidak menggoyahkan semangat beliau untuk mencari ilmu

pengetahuan. Setelah harta peninggalan orang tuanya habis, kemudian al-

Ghazali tetap melanjutkan belajarnya dengan mengabdi pada sebuah

sekolahan. Sehingga ia tetap melakukan proses pembelajaran untuk dirinya

dan proses pengajaran kepada orang lain(Aziz, 2015: 97).

Setelah beberapa lama kemudian, di usia kurang dari dua puluh tahun

al-ghazali melakukan studi lanjut ke Jurjan. Di kota Jurjan, ia tidak hanya

belajar pengetahuan agama, namun juga belajar bahasa Arab dan Persia dari

seorang guru bernama Imam Abu Nashir al-Isma‟iliy. Selepas dari Jurjan, ia

melanjutkan pendidikannya ke kota Naisabur dan belajar kepada Imam

Haramain Diya‟uddin al-Juwaini. Disinilah ia belajar beraneka ragam cabang

ilmu seperti ilmu ushul, mantiq, retorika, logika, dan ilmu kalam. Bahkan

beliau juga sudah mulai belajar filsafat.

19

C. Kondisi Sosio-Kultural pada Masa Imam al-Ghazali

Pada tahun 1050, tiga tahun sebelum kelahiran al-Ghazali, terjadi

perubahan politik yang besar di Baghdad, yakni orang-orang Saljuk Turki

di bawah pimpinan Thughril Beg (w. 1063) yang beraliran Sunni

menyerbu Ibu kota untuk menyingkirkan dominasi dinasti Buwaihiyah

yang beraliran Syi‟ah. Tughril Beg sendiri, sebelum kejadian historis ini,

telah tampil dengan memproklamasikan diri sebagai Sultan Nisabur, tahun

1038 M, dengan menguasai sebagian propinsi bagian timur Abbasiyah

(Soleh, 2009: 2).

Pada masa imam al-Ghazali hidup, umat Islam terpecah-pecah

dalam berbagai madzhab dan golongan dengan pandangannya yang saling

bertentangan akibat dari masuknya pengaruh anasir kebudayaan Yunani

dan lainnya (kedalam tubuh umat Islam). Sebagai contoh misalnya ulama

ahli ilmu kalam memakai metode berpikir filsafat dan logika dalam upaya

mempertahankan aqidahnya yang didasarkan atas dalil-dalil agama,

kemudian para ulama tasawuf dalam mencapai puncak makrifat, walaupun

kebanyakan ulama tasawuf pada saat itu mengajak kepada kehidupan

tasawuf secara murni, maka timbullah kekacauan hidup kerohanian di

tengah-tengah perpecahan umat Islam.

Bahkan banyak ulama yang mengaku-ngaku dirinya sebagai imam

yang ma‟sum yang memiliki ilmu pengetahuan yang khusus, kemudian

timbul pada suara-suara yang meragukan kebenaran yang haq yang

20

cenderung membawa kepada kesesatan dan kerusakan. Akhirnya di

kalangan umat Islam saat itu timbul keragu-raguan terhadap kebenaran

ajaran agamanya. Dalam situasi kekacauan inilah Imam al-Ghazali

terdorong oleh rasa tanggung jawabnya untuk memperbaiki kekacauan

pikiran dan perbuatan yang menggoncangkan kehidupan Islam. Maka, ia

merasa wajib untuk melakukan menstudi tentang peristiwa-peristiwa yang

terjadi pada masa itu, dan memberikan kritik-kritik tajam terhadap pikiran-

pikiran asing yang menyerbu ke dalam tubuh umat Islam pada saat itu.

D. Wafatnya Imam al-Ghazali

Ibn „Asakir mengatakan bahwa Imam al-Ghazali meninggal dunia

pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikebumikan di

Zhahir yaitu salah satu kawasan dari Thabran. Semoga Allah

menempatkan beliau dalam ilmu yang diterima di dunia berkat rahmat-

Nya.

Ibn Juzi di dalam kitab Al-Muntazihim mengatakan bahwa salah

seorang murid al-Ghazali pernah bertanya kepadanya sebelum ia wafat,

“berwasiatlah kepadaku!” Maka al-Ghazali menjawab, “Kamu harus

berpegang teguh pada keihklasan!”. Dan al-Ghazali mengulang-ulang

kata-katanya itu sampai dia meninggal dunia (Al-Ghazali, 2007: 13)

E. Hasil Karya Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam

ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya.

21

Puluhan buku telah ditulisnya meliputi berbagai lapangan ilmu

pengetahuan, antara lain; filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir,

tasawuf, akhlak dan otobiografinya.

Di dalam muqaddimah kitab Ihya‟ „Ulumuddin, Dr. Badawi

Thabana, menulis hasil-hasil karya imam al-Ghazali yang berjumlah 47

kitab, yang peulis susun menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai

berikut:

1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi:

a. Maqashid al-Falasifah(tujuan para filosuf)

b. Tahafut al-Falasifah(Kerancuan Para filosuf)

c. Al-Iqtishod fi al-I‟tiqad(Moderasi Dalam Aqidah)

d. Al-Munqid min al-Dhalal(Pembebas Dari Kesesatan)

e. Al-Maqashidul Asna fi Ma‟ani Asmillah Al-Husna(Arti Nama-

nama Tuhan Allah yang Hasan)

f. Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah (Perbedaan antara

Islam dan Zindiq)

g. AL Qishasul Mustaqim (Jalan untuk Mengatasi Perselisihan

Pendapat)

h. Al-Mustadhiri (Penjelasan-penjelasan)

i. Hujjatul Haq (Argumen yang Benar)

j. Mufsilul Khilaf fi Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan dalam

Ushuluddin)

k. Al-Muntahal fi ;Ilmil Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi)

22

l. Al-Madhnun bin „Ala Ghairi Ahlihi (Persangkaan pada Bukan

Ahlinya)

m. Mahkun Nadlar (Metodologika)

n. Asraar „Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama)

o. Al Arba‟in fi Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin)

p. Iljamul Awwam „an „Ilmil Kalam (Menghalagi Orang Awwam dari

Ilmu Kalam)

q. Mi‟yarul „Ilmi (Timbangan Ilmu)

r. Al Intishar (Rahasia-rahasia Alam)

s. Isbatun Nadlar (Pemantapan Logika)

2. Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, yang meliputi:

a. Al Bastih (Pembahasan yang Mendalam)

b. Al wasith (Perantara)

c. Al Wajiz (Surat-surat Wasiat)

d. Khulashatul Mukhthashar (Intisari Ringkasan Karangan)

e. Al Mankhul (Adat Kebiasaan)

f. Adz-Dzari‟ah Ia Makarimis Syari‟ah (Jalan Kepada Kemuliaan

Syari‟ah)

3. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi:

a. Ihya‟ „Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)

b. Mizanul Amal (Timbangan Amal)

c. Kimiyaus Sa‟adah (Kimia Kebahagiaan)

d. Misykatul Anwar (Relung-relung Cahaya)

23

e. Minhajul „Abidin(Pedoman Beribadah)

f. Ad-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah (Mutiara

Penyingkap Ilmu Akhirat)

g. Al-„Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan)

h. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada

Allah)

i. Akhlah Al Abrar Wan Najat minal Asrar (Akhlak yang Luhur dan

Menyelamatkan dari Keburukan)

j. Biadayatul Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk)

k. Al Mabadi wal Ghayyah (Permulaan dan Tujuan)

l. Talbis al-Iblis (Tipu daya Iblis)

m. Nashihat Al-Mulk (Nasihat untuk Raja-rja)

n. Al-„Ulum Al Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni)

o. Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci)

p. Al Ma‟khadz (Tempat Pengambilan)

q. Al Amali (Kemuliaan)

4. Kelompok Ilmu Tafsir, yang meliputi:

a. Yaaquutut Ta;wil fi Tafsirit Tanzil (Metodologi Ta‟wil di dalam

Tafsir yang diturunkan): terdiri 40 jilid

b. Jawahir Al-Qur‟an (Rahasia yang Terkandung dalam Al-qur‟an)

Sebenarnya masih banyak kitab Imam Al-Ghazali yang tidak dapat

ditulis oleh Dr. Al Badawi Thabanah tersebut di atas, akan tetapi menurut

penulis, yang demikian itu telah mencukupi, karena di anggap dapat

24

mewakili kitab-kitab karangannya yang musnah, hilang, ataupun yang

belum ditemukan (Zainuddin, 1991: 21).

F. Kandungan Kitab Minhajul Abidin

Syarah Minhajul Abidin yang berbentuk dalam kitab kuning

diterbitkan oleh daru „ilmi dari Surabaya yang terdiri dari sembian puluh

lima(95) halaman. Halaman isi dan penutup terdiri dari sembilan puluh

satu (91) halaman. Dan sisanya empat halaman adalah halaman yang berisi

muqaddimah dari Imam al-Ghazali. Dalam muqaddimah, beliau berharap

kitab ini dapat bermanfaat bagi umat. Kemudian kitab Minhajul Abidin

versi terjemah dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Abul Hiyadh

dan diterbitkan oleh Mutiara Ilmu Surabaya pada tahun 2009.

Kitab Minhajul Abidin adalah kitab yang berisi tentang pedoman

atau petunjuk seorang hamba dalam melalui kehidupan agar mampu dekat

dengan Allah SWT. Berisi tentang tujuh tahapan-tahapan seorang ahli

ibadah. Menurut Imam al-Ghazali, masalah ibadah cukup menjadi bahan

pemikiran, dari awal hingga tujuan akhirnya yang sangat dicita-citakan

oleh para penganutnya yakni muslimin. Ternyata perjalanan yang sangat

sulit, penuh liku-liku, banyak halangan dan rintangan yang harus dilalui,

banyak musuh, serta sedikit kawan dan orang yang mau menolong

Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk

lemah, sedangkan zaman sulit, urusan agama mundur, kesempatan kurang,

manusia disibukkan denga urusan dunia, dan umur relatif pendek,

25

sedangkan penguji sangat teliti, kematian semakin dekat, perjalanan yang

harus ditempuh sangat panjang. Maka, satu-satunya bekal adalah taat (al-

Ghazali, 2009: 252).

Orang-orang yang menempuh jalan itu, sangat sedikit yang sampai

kepada tujuannya dan mencapai yang dikejarnya. Dan yang berhasil itulah

orang-orang mulia pilihan Allah untuk makrifat dan mahabbah kepada-

Nya. Allah memelihara dan memberikan taufik kepada mereka, serta

keridaan dan surga-Nya. Kita berharap, semoga Allah memasukkan kita ke

dalam golongan orang yang beruntung dengan memperoleh rahmat-Nya.

Oleh sebab itu, imam al-Ghazali berusaha mengulas beberapa kitab

jalan ke arah itu dan cara menempuhnya. Antara lain, kitab ihya‟, Al-

Qurbah, dan sebagainya. Akan tetapi, kitab-kitab tersebut membahas

masalah-masalah yang sangat halus dan mendalam, sehingga sulit

dimengerti oleh manusia. akibatnya, menimbulkan kritik dan celaan,

mereka mengecam apa saja yang belum mereka pahami dalam kitab-kitab

tersebut.

Hal ini tidak mengherankan. Sebab, tiada satupun kitab yang lebih

baik dan mulia dibanding al-Qur‟an. Tetapi, ia pun tidak luput dari celaan

orang-orang yang tidak mau menerimanya. Dikatakan oleh mereka, bahwa

al-qur‟an hanyalah dongeng kuno belaka. Kenyataan yang demikian

menuntut para ulama agar mengasihi mereka tanpa perselisihan. Oleh

sebab itu, penyusun (Imam al-Ghazali) berdo‟a kepada Allah, agar diberi

petunjuk hingga dapat menyusun sebuah buku yang sesuai untuk mereka.

26

Kiranya Allah SWT. mengabulkan do‟a penyusun sehingga dapat menulis

sebuah kitab dengan susunan yang sistematis, yang belum pernah tercipta

dalam karangan sebelumnya. Kitab tersebut adalah kitab Minhajul Abidin.

Melalui kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali membagi

perjalanan seorng ahli ibadah menjadi tujuh tahapan. Kitab ini merupakan

risalah wasiat terakhirnya bagi umat, karena tak lama kemudian beliau

wafat, menghadap Allah SWT. yang selalu beliau rindukan. Imam al-

Ghazali merangkai tips dalam setiap tahapan agar seorang hamba mampu

melewati halangan rintangan dn keluar dari perangkap. Hakikat manusia

diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Mampu beribadah adalah

karunia dari Allah SWT. mendapatkan pahala dan kenikmatan abad.

Beribadah merupakan sarana untuk menuju surga yang kekal, surga yang

indah seindah hati para ahli ibadah yang menjalaninya dengan ikhlas.

Tujuan kitab Minhajul Abidin adalah mengemukakan cara-cara dan

jalan guna mengendalikan dan mengekang hawa nafsu. Jadi, dalam kitab

minhajul abidin yang mulia dan singkat penyusun menjelaskan makna-

makna pokok, singkat namun mencakup artian yang luas. Serta

memuaskan orang yang ingin menempatkan diri pada jalan yang benar.

Adapun beberapa tahapan atau tingkatan dalam kitab Minhajul

Abidin:

1. Ilmu dan ma‟rifat

Menurut penulis, dalam tahapan ilmu dan ma‟rifat, Imam al-

Ghazali menuturkan bahwa ibadah tanpa ilmu dan ma‟rifat tidak ada

27

artinya. Karena dalam menjalankannya, seseorang hrus tau benar apa yang

dikerjakannya. Dan merupakan suatu keharusan meniti tahapan ilmu dan

ma‟rifat, jika tidak ingin mendapat celaka. Artinya, harus belajar(mengaji)

guna dapat beribadah dan menempuhnya dengan sebenar-benarnya,

kemudian merenungkan dan menghayati segalanya.

Antara ibadah dan ilmu ibarat sebuah pohon, ilmu ibarat pohonnya

dan ibadah ibarat buahnya. Maka, jika beribadah tanpa dibekali ilmu,ilmu

tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Di sini, kedudukan

pohon lebih utama, sebab pohon merupakan intinya. Akan tetapi buah

mempunyai fungsi yang lebih utama. Oleh karena itu, seseorang harus

mempunyai keduanya yaitu ilmu dan ibadah (al-Ghazali, 2009: 15).

Diharapkan setelah mengetahui cara ma‟rifat kepada Allah SWT,

seseorang akan bersungguh-sungguh dalam mempelajari cara beribadat.

Artinya, setelah selelsai mempelajari ilmu tauhid, ia mempelajari ilmu

fiqih, bagaimana berwudu, shalat, dan sebagainya yang merupakan fardu

beserta syarat-syaratnya. Setelah cukup mendapatkan ilmu yang fardu da

ibadah, kini ia benar-benar berniat untuk melakukan ibadah.

2. Taubat

Setelah manusia memahami dan mendalami ilmu dan ma‟rifat

untuk beribadah, maka mulai menyadari bahwa diri banyak akan dosa.

Ibadah yang dilakukan akan lebih sempurna bila manusia bersih dari dosa.

Semakin tinggi pemahaman seseorang tentang ilmu dan marifatnya, maka

semakin lembut pula hatinya. Sungguh aneh bagaimana orang akan taat,

28

sedangkan hatinya keras. Bagaimana akan berkhidmat kepada Allah SWT

jika terus menerus berbuat ma‟siyat dan sombong. Maka, taubat adalah

solusinya. Agar benar-benar ibadah yang dilakukan diterima Allah SWT

(al-Ghazali, 2009: 48).

3. Godaan

Menurut penulis, dalam tahapan yang keempat ini, Imam Al-

Ghazali menjabarkan empat penghalang (godaan) beribadah, yaitu:

a. Dunia dan isinya

b. Makhluk

c. Setan

d. Hawa nafsu

Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali menyebut godaan

dengan aqabah awaiq atau tahapan penghalang (godaan). Imam al-Ghazali

menuturkan ada banyak cara untuk menghindari godaan dalam beirbadah,

seperti; zuhud, uzlah, tawadhu‟, dan mengingat kematian.

4. Rintangan

Rintangan memang membuat ahli ibadah sering bimbang. Namun,

ahli ibadah harus mampu menahannya. Dalam kitab ini, Imam al-Ghazali

menuturkan empat macam rintangan:

a. Rezeki dan tuntutan hawa nafsu.

Cara mengatasi keduanya dengan tawakal. Sejatinya,

menjadi seorang hamba lebih baiknya menyerahkan segala urusan

terutama masalah rezeki dan tuntutan kepada-Nya serta melakukan

29

sesuatu sesuai kemampuan dan kekuatannya. Tidak sembrono

dengan ceroboh begitu saja. Allah berfirman dalam Q.S al-furqon

ayat 58, yang berbunyi:

ر وف ث ذ سجخ ثذ د از ال ٠ ذ ع ا و

خج١شا ثزة عجبدArtinya: “Dan bertawakkallah kepada Allah Yang

Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah

dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha

Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-

Nya”(Departemen Agama RI, 2002: 365).

b. Ikhlas menerima takdir Allah SWT

Orang yang ragu-ragu dan tidak ikhlas dalam menerima

takdir Allah SWT, mengadu kesana kemari, berarti mengadukan

Allah, Tuhan yang Maha Mulia. Seperti halnya orang-orang

jahilyah terdahulu. Bila ada orang mati, orang-orang dikumpulkan

agar menangis bersama demi mendapatkan upah. Ikhlas menerima

takdir sama halnya tidak mengeluh dengan takdir (al-Ghazali:

2009: 221). Jikalau yang kita terima takdir kejahatan dan

kem‟siyatan, maka yang harus kita terima kepastian-Nya bukan

kema‟siyatan ataupun kejahatan tersebut.

5. Tahapan kelima yaitu pendorong

Maka ketika seorang ahli ibadah sudah tidak ada lagi godaan dan

rintangan, selanjutnya adalah pendorong. Pendorong hamba untuk taat

dalam beribadah kepada Allah adalah takut kepada Allah karena takut

kepada Allah dapat mencegah ma‟siyat, agar tidak dihinggapi sifat

30

sombong atas ketaatannya, pendorong ada dua macam yaitu pendorong

dalam ketaatan dan pendorong dalam keburukan yaitu nafsu dan syaitan.

6. Celaan

Dalam tahap ini, Imam al-Ghazali bahwa jika ibadah sudah lurus,

wajib membedkan mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik, serta

membuang sesuatu yang sekiranya dapat merusak dan merugikan ibadah.

Wajib memegang erat ikhlas dalam hati agar terhindar dari celaan.

Beberapa celaan dari seseorang yang sudah mampu baik beribadah yaitu

riya‟ dan ujub.

7. Tahapan yang terakhir yaitu bersyukur kepada Allah

Setelah berhasil melewati enam tahapan dalam beribadah, maka

sampailah pada tahap yang terakhir yaitu bersyukur. Bersyukur memuji

Allah atas ni‟mat dan karunia yang tak terhingga. Seorang ahli ibadah

harus bersyukur karena dua alasan:

a. Agar kekal keni‟matan yang besar tersebut karena jika tidak

disyukuri akan hilang

b. Agar ni‟mat yang didapatkan bertambah. Terus menerus bersyukur

karena ni‟mat akan menjadi pengikat ni‟mat.

31

BAB III

KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL ABIDIN KARYA IMAM

AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN IBADAH

A. Pengertian Konsep Ikhlas

1. Pengertian Konsep

Konsep artinya rancangan, idea, gagasan yang diabstrakkan dari

peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses ataupun yang ada

di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain

(Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989: 456).

Menurut dahar konsep adalah abstraksi-abstraksi berdasarkan

pengalaman, karena itu tidak ada dua orang yang mempunyai

pengalaman yang sama(1988: 97).

2. Pengertian Ikhlas

Pengertian ikhlas secara bahasa adalah berasal dari bahasa arab

kholasho yang berarti: murni/bersih dan terbebas dari segala sesuatu yang

mencampuri dan mengotorinya. Adapun ikhlas menurut istilah: ada

beberapa macam pengertian ikhlas menurut tokoh Islam yaitu antara lain:

Menurut Harun Yahya “Memurnikan perintah Allah tanpa

mempertimbangkan balasan apapun”, Menurut Seikh Muhammad bin

Sholih al-Utsaimin “Seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut

untuk mendekatkan diri (Taqarrub) kepada Allah dan mendapatkan

32

keridhoan-Nya”. Menurut Muhammad Ruhan Sanusi (2010: 194), secara

etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasa

yang berasal dari akar kata khalasha.

Ikhlas adalah menyaring sesuatu sampai tidak lagi tercampuri.

kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu laailaaha illallah. Surah

dalam al-Qur‟an, yang terselip makna ikhlas adalah surat al-Ikhlas yaitu

yang disebut-sebut surat Tauhid. Dari penjelasan di atas, maka dapat

diketahui bahwa makna ikhlas. Secara bahasa adalah suci (ash-shafa‟),

bersih (an-naqi), dan tauhid. Adapun ikhlas dalam syariat Islam adalah

sucinya niat, bersihnya hati dari syirik dan riya serta hanya menginginkan

ridha Allah semata dalam segala kepercayaan, perkataan dan perbuataan

(Farits, 2006: 15)

B. Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin

Beberapa konsep ikhlas yang tercantum dalam kitab Minhajul Abidin karya

Imam al-Ghazali, yaitu:

1. Dalam kitab Minhajul Abidin halaman 57, Imam al-Ghazali

menuturkan bahwa:

اخالطب اخض ا١ رجز١ال ا ا١ رجز لبي رعب:

Artinya:”Dan Ikhlaslah kamu dengan ikhlas yang sebenar-benarnya”

maksutnya mampulah untuk ikhlas taat kepada Allah yang sebenar-

benarnya (al-Ghazali, terj. Masyruh, 57: tt).

33

Imam al-Ghazali menekankan bahwa keikhlasan yang

dilakukan seorang hamba haruslah ikhlas yang nyata. Bukan hanya

ikhlas yang dalam perkataannya saja. Misal;”aku ikhlas beribadah

kepada Allah” namun pada kenyataan dalam hatinya masih

mengharapkan pujian orang lain, masih merasa kesal karena

beribadah. Sesungguhnya bukanlah hal tersebut ikhlas yang nyata.

Ikhlas yang nyata diwujudkan dengan beribadah yang istiqomah,

berusaha dengan sepenuh hati untuk taat kepada Allah. taat dengan

keikhlasan yang sebenarnya karena mencintai Allah dan

mengagungkan-Nya.

2. Dalam kitab Minhajul Abidin halaman 56, Imam al-Ghazali

mengatakan bahwa ikhlas salah satu bentuk ibadah yang samar atau

ibadah batin, yang berbunyi:

و از ب رع ت ٠جت ا م سبع ا جبؽخ از عجبداد ا

ا ثخ از جش اظ ػب اش خالص ازف١غ ال

Artinya:”Ibadah yang samar yaitu lakunya hati yang seorang hamba

wajib mengerti seperti tawakkal, tafwid, ridho, sabar, taubat, dan

ikhlas

Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghazali membagi

ibadah batin menjadi beberapa jenis. Salah satunya adalah ikhlas.

Ikhlas berurutan dengan tawakkal, sabar, taubat, dan ridho. Dimana

semua sifat tersebut adalah sifat yang baik. Maka, ibadah batin

memang ada. Dibuktikan dengan mengamalkan beberapa sifat baik di

34

atas. Imam al-Ghazali terkenal sebagai ulama yang kerap

mengarahkan hasil pemikiran beliau melalui ilmu batin, tidak

berdasarkan pengetahuan umum. Dari kesekian kitab yang beliau

hasilkan, beliau telah banyak merangkum mengenai akhlak yang baik

dan meneliti tentang hati. Ikhlas memang muncul dari hati.

Dalam kitab Minhajul Abidin, dituturkan bagaimana meniti

jalan menuju kebahagiaan ibadah, bukan berisi tentang teori-teori

seperti dalam ilmu fiqih. Ikhlas yang muncul dari hati ketika

menjalankan ibadah merupakan kesatuan yang kuat. Karena ibadah

tanpa keikhlasan ibarat anggota tubuh yang tidak mempunyai jiwa.

Padahal jiwa penting bagi tubuh, jiwa merupakan pemicu hidupnya

tubuh. Ikhlas dalam beribadah menjadi tolok ukurnya ibadah diterima

atau tidak.

3. Di tuturkan pula oleh Imam al-Ghazali dalam halaman tujuh puluh

satu (71), bahwa ikhlas beramal karena Allah SWT.

خالص اع اال

Artinya: “Ikhlas beramal karena Alloh”( al-Ghazali, terj. Masyruh,

71: tt)

Kata pada kalimat di atas merujuk pada Allah SWT, rujuk

tersebut terdapat dari kalimat-kalimat sebelumnya.

Amal dalam bahasa Arab mempunyai makna perbuatan atau

pekerjaan. Amal merupakan perbuatan yang dilakukan berulang kali.

Menurut penerjemah kitab Minhajul Abidin yang berjudul Petunjuk

35

Ahli Ibadah, beliau adalah Abul Hiyaldh menjelaskan bahwa ikhlas

berarti meninggalkan sifat riya‟ dalam beramal dan beribadah.

Menurutnya, Riya‟ adalah perbuatan yang tidak ikhlas, pura-pura,

beribadah hanya karena ingin dipuji orang lain(Minhajul Abidin, terj.

Abul Hiyaldh, 2009: 24). Berdasarkan kalimat penerjemah Minhajul

Abidin, beramal disandingkan dengan beribadah. Itu bertanda bahwa

pekerjaan yang dilakukan secara kontinue harus dilakukan dengan

ikhlas. Jika timbul rasa riya‟ maka yang dilakukan sia-sia.

4. Imam al-Ghazali mengatakan pula mengenai ikhlas yaitu dalam

halaman tiga puluh dua (32) dalam bagian muqaddimah kitabnya

tersebut

خ روش ا خالص فبدزبج ا لطعب ثبال

Artinya:”Maka seorang hamba tersebut harus melewati

godaan dengan menjaga kemurnian dalam menjalankan ibadahnya.

Ia harus ikhlas dan dzikrul minnah”.

Makna ب dalam kalimat tersebut adalah tahapan godaan

Sebagai seorang hamba Allah yang Mukhlis (orang yang

ikhlas), seorang hamba memberanikan diri untuk menghadapi

godaan. Godaan yang dimaksudkan Imam al-Ghazali ada empat (4)

macam. Yaitu:

ب ف١ب, اثب ١ب اءق اسثعخ: ادذب اذ ع ا لذ روشب ا

ث١ , اش ك, اثبثث اش١طب خ افس ا ع

36

Artinya:”dan sungguh-sungguh aku(Imam al-Ghazali)sudah

mengatakan bahwa godaan ada empat yang pertama dunia dan

seisinya, yang kedua makhluk, yang ketiga syaithon, dan yang

keempat hawa nafsu”.(al-Ghazali, tt: 141)

Imam al-Ghazali menjelaskan panjang lebar mengenai empat

godaan tersebut. Yang intinya bahwa godaan tersebut ada

disekeliling seorang hamba. Datangnya godaan akan semakin kuat

jika iman yang dimiliki semakin kuat. Maka dari itu, diperlukan hati

yang ikhlas dalam menahan godaan dalam beramal dan beribadah.

5. Imam al-Ghazali mengatakan dalam jilid V halaman sembilan ratus

delapan puluh lima sampai sembilan ratus delapan puluh enam (985-

986), yaitu:

ساد ىذ ا بي خالص رظف١خ االع اال

Artinya:”Ikhlas adalah membersihkan amalan dari sesuatu yang

mengeruhkan amal”

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa yang mengeruhkan amal

atau yang menodai ikhlas adalah sifat nifaq.

هللا ب د ة ا ازمش خالص افبق, ػذ ز اال

Artinya: “lawan dari ikhlas adalah nifaq, nifaq yaitu

bermuroqqobah selain kepada Allah.”(al-Ghazali, tt: 978)

Ikhlas menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin,

ikhlas tidak menyengajakan dirinya mendekatkan diri kepada selain

Allah. maksud dari mendekatkan diri disini bukanlah berdekatan fisik,

37

namun berdekatan niat dan tujuan yang berarti dalam kata lain tidak

menyekutukan Allah SWT. Ikhlas tidak akan mampu diraih jika hati

seorang hamba masih terpaut dengan selain Allah SWT. ibarat saat

seseorang akan masuk gua, gua tersebut tertutupi dengan batu yang

telah bergeser, maka tidak akan bisa memasukinya. Begitu pula

dengan hati, jika nifaq sudah menghalangi hatinya, maka ikhlas tidak

akan mampu dilakukan oleh hati.

6. Ikhlas dijelaskan pula oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul

Abidin halaman sembilan ratus delapan puluh satu (981):

ب ظ و ذظ ا س١ب شالجخ ا ا خالص د اال

Artinya:”Ikhlas itu membiasakan diri untuk ber-muraqqabah kepada

Allah SWT, serta melupakan kepentingan pribadinya”(al-Ghazali, tt:

981)

Seperti yang telah dijelaskan di nomer lima bahwa ikhlas

berlawanan dengan nifaq. Dan dalam kalimat pengertian ikhlas, Imam

al-Ghazali mengatakan bahwa seorang hamba membiasakan diri untuk

bermuraqqabah dengan Allah SWT. dengan melupakan kepentingan

pribadi.

Melupakan kepentingan pribadi yang dimaksudkan untuk

menyerahkan segala urusan dan keperluan hidupnya kepada Allah.

setelah berusaha dan berdo‟a yang diniatkan beribadah kepada Allah,

maka masalah hasil hanya Allah yang berhak mengaturnya. Ikhlas

senantiasa mengingat Allah. dimanapun dan kapanpun seorang hamba

38

berada. Kepentingan-kepentingan pribadi yang berwujud duniawi dan

kepentingan yang tidak bersangkutan dengan akhirat, bagi Allah

sangatlah mudah untuk mengaturnya. Takdir Allah lebih indah

dibanding keinginan hamba yang belum tentu baik untuk sekarang

maupun di kehidupan selanjutnya.

7. Dalam tahapan yang kedua yaitu tahapan taubat halaman delapan

puluh (80), yaitu:

ع ؽت ا خالص ف اال

Artinya:”Ikhlas dalam menuntut ilmu”(al-Ghazali, tt, 80)

Menuntut ilmu merupakan bekal yang utama untuk

menjalankan ibadah yang baik. Imam al-Ghazali berkata dalam kitab

Minhajul Abidin halaman 50, yaitu:

عجبدح ؽجب ال ٠ؼش ثب ع زاا عجبدح ؽجب اؽج ا ا ز اؽج

ع ال ٠ؼش ثب

Artinya:” Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah dan

beribadahlah dengan tidak lupa menuntut ilmu.”(al-Ghazali, tt: 50)

Menuntut ilmu memerlukan ikhlas dalam menjalaninya. Agar

ilmu yang telah dipejari, ilmu yang telah diberikan guru dapat

meresap dengan baik. Ilmu yang tidak diresapi dan difahami dengan

ikhlas akan memunculkan rasa sombong, pamer, dan keangkuhan.

Ilmu yang didapat tidak digunakan untuk kebaikan, namun akan

digunakan untuk memperburuk akhlak.

39

Tidaklah pantas bagi penuntut ilmu bersifat angkuh. Karena

menuntut ilmu digunakan untuk menyempurnakan ibadah kepada

Allah dan akhlaqul kariimah. Ahli ibadah tidak boleh melupakan diri

untuk selalu menuntut ilmu karena ibadah yang dilakukan harus sesuai

syari‟at dan tuntunan Rasulullah, bagi ahli ilmu, ilmu yang sudah

didapatkan digunakan untuk beribadah kepada Allah agar ilmu yang

dimiliki bermanfaat sebagai bekal kematian nanti.

40

C. Manfaat Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin

Manfaat ikhlas telah Imam al-Ghazali sampaikan dalam kitab

Minhajul Abidin jilid lima (5) halaman sembilan ratus dua puluh lima

(925), yang berbunyi:

هللا رعب مجي ا دس فبءدح, ا ب ف فع ب ادذ

اة ع صاث ف ثعؼب ة والا ت اث دا را شد اال فزى , ١

Artinya:”Salah satu faidah (manfaat) ikhlas yaitu diterimanya amal dari

Allah SWT dan bisa mendapat ganjaran ikhlas. Jika tidak, tentu akan di

tolak amalnya, hilang pahala sebagian atau seluruhnya”.(al-Ghazali, tt,

925)

Baik untuk sekarang dan kemudian hari, ikhlas pasti ada

manfaatnya. Manfaat yang sekarang yaitu hati menjadi mantap, tidak

bimbang, dan jika sudah ikhlas, kesusahan yang tidak bermanfaat akan

berkurang. Sedangkan manfaat ikhlas untuk kemudian hari yaitu

mendapatkan pahala dan keridhaan Allah SWT. Allah SWt berfirman

dalam al-Qur‟an Surat al-Bayyinah ayat 8, yang berbunyi:

بس خبذ٠ رذزب األ رجش جبد عذ ذ سث ع جضاؤ

سث خش ره سػا ع ع هللا ف١ب أثذا سػArtinya:” Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang

mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-

lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.

Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada

Tuhannya.”(Departemen Agama RI, 2002: 600).

41

D. Macam-Macam Ikhlas

Imam al-ghazali, dalam kitab Minhajul Abidin, menuturkan beberapa

macam-macam ikhlas, yaitu:

1. Macam ikhlas yang pertama ada dalam kitab Minhajul Abidin jilid V,

pada halaman sembilan ratus tujuh puluh delapan (978) yaitu:

اخالص ا ع

“Ikhlas dalam Beramal”(al-Ghazali, tt: 978)

Ikhlas dalam beramal menurut Imam al-Ghazali, yaitu:

اجبثخ ش ا رعظ١ ج ة ا هللا عض ازمش ف ع ب اخالص ا فب

ر دع

“Ikhlas dalam beramal adalah niat taqarrub kepada Allah SWT, dan

niat mengagungkan perintah perintah-Nya, serta niat melaksanakan

seruan Allah SWT”.

ذ١خ اعزمبد اظ جبعث ع١ ا

“Yang mendorong semua itu adalah ijtihad dan bersungguh-

sungguh”.(al-Ghazali, tt: 978)

Ikhlas dalam beramal adalah mengusahakan sepenuhnya bahwa

amal itu untuk beribadah. Imam al-Ghazali mengatakan,

“Sesungguhnya setiap amal yang ihtimal dapat ditujukan kepada

selain Allah dari ibadah-ibadah asli, yang disana ikhlas amalannya.”

Jadi, ibadah batin sebagian besar terjadi dari ikhlasul amal.

Amal ada tiga bagian:

42

a. Bagian yang pertama

شحاالط١خ عجبدح اظب ا ١عب ج خالطب اال ٠مع ف١ لس

Artinya:”Bagian yang terdapat ikhlas secara bersamaan.

Yakni, ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas dalam memohon

pahala akhirat, yaitu ibadah lahir.”(al-Ghazali, tt: 986)

Contohnya: ketika seseorang bersedekah yaitu menyisihkan

sebagian harta yang Allah titipkan kepadanya kepada orang lain

dengan perasaan apa adanya tanpa berniat riya‟, pamer, atau

sombong lebih-lebih dilakukannya tidak didepan umum, benar-

benar ingin mendapat kemanfaatan akhirat atas hal yang ia

lakukan.

b. Bagian yang kedua

جبؽ١خ ااالط١خ عجبدح ا ا ب ء ش ال ٠مع ف١ لس

Artinya:”Bagian yang tidak terdapat sama sekali

keduanya, yakni ibadah batin. sebab, dalam hal ini hanyalah

Allah yang mengetahuinya.” (al-Ghazali, tt: 986)

Sehingga tidak terdapat sifat riya‟. Misalnya: seseorang

hamba yang melakukan ibadah shalat malam. Yang ia lakukan

sendirian dengan berniat taqarrub (mendekat) dengan Allah

tanpa penghalang, ia berdo‟a dengan sepenuh hati,

bercengkerama mesra dengan Allah dengan hati.

c. Bagian ketiga

43

ع اخالص ا اخالص ؽت االجش د ٠مع ف١ لس

ح عذ رح بءخ جبدبد ا ا

Artinya:”Bagian yang hanya mengharapkan sebagian

pahala akhirat. Yakni, mengikhlaskan amalan yag mubah”(al-

Ghazali, tt: 986)

Contoh: amalan yang mubah semisal makan, Sehingga

jika menginginkan pahala dari amalan yang mubah ini adalah

dengan jalan mengikhlaskan (berniat) bahwa makan hanyalah

sebagai bekal guna berkhidmat kepada Allah. Sehingga

makannya itu akan mendapatkan pahala.

Ikhlas dalam beramal harus bersamaan dengan saat

mengerjakannya. Dengan demikian, sejak awal hingga

berakhirnya harus ikhlas. Ulama lain berpendapat, bahwa

ibadah wajib dapat menegakkan sifat ikhlas hingga maut

menjemputnya. Misalnya, seseorang merasa ketika

mengerjakan shalat tidak disertai ikhlas, kemudian ia

memohon, “Ya Allah, shalatku kemarin tidak aku kerjakan

dengan ikhlas, oleh sebab itu aku bertobat, dan shalatku hari

ini hanyalah karena-Mu.”

Perihal perbedaan ibadah wajib dan ibadah sunnah,

seperti yang diterangkan imam al-Ghazali bahwa Allah-lah

yang memerintahkan menjalankan ibadah wajib. Sedangkan

ibadah sunah adalah keinginan seorang hamba. Sehingga, jika

44

ia tidak ikhlas mengerjakannya maka Allah akan menagih

haknya kepada orang yang memaksakan diri mengerjakan

ibadah sunah tersebut.

Sesungguhnya dalam hal ini para ulama berbeda

pendapat. Ada yang berpendapat, bahwa dalam mengerjakan

setiap ibadah harus ikhlas. Ada pula yang berpendapat, bahwa

ikhlas hanya untuk sejumlah ibadah. Misal, ketika

mengerjakan shalat, harus berniat karena Allah, sedang

lainnya, seperti ruku, sujud dan lainnya, sudah terkurung

dalam niat tadi. Selanjutnya mengenai ibadah dan amalan yang

mempunyai rukun dan bersifat wajib, seperti shalat, wudhu,

maka cukup hanya satu dengan ikhlas. Karena semuanya

saling berkait, tidak bisa dipisahkan. Sehingga, jika salah satu

rusak, rusaklah semua.

2. Ikhlas dalam Memohon Pahala Allah SWT

Macam ikhlas yang kedua, Imam al-Ghazali tuliskan dalam

kitab Minhajul Abidin jilid V halaman sembilan ratus tujuh puluh

sembilan (979), yaitu:

ا خ١ش ا اسادح فع االخشح ثع ب اخالص ف ؽت االجش ف

Artinya:”Yang dimaksud ikhlas dalam memohon pahala

adalah bermaksud mencari kemanfaatan akhirat dengan amal baik.”

(al-Ghazali, tt: 979)

45

اسادح فع اال خ١ش ثذ١ث ا س ع١ ا ٠زعز ٠شد سد خشح ثخ١ش

فعخ ه ا ر رشج ث

Artinya:”ikhlas mencari pahala yaitu mengharapkan manfaat

akhirat dengan amal yang bagus, yang tidak ditolak dengan

penolakan yang benar-benar meragukan, orang ikhlas yang bagus

amalnya berharap manfaat dari amal tersebut”(al-Ghazali, tt: 979)

Dan ini tidak ditolak oleh Allah tetapi sekiranya tidak

mendapatkan kebaikan, kemudian dengan amalnya mengharap

mendapatkan manfaat akhirat, maka syarat-syaratnya sebagaimana

telah imam al-Ghazali terangkan. Adapun ikhlas dalam memohon

pahala tidak terjadi dalam ibadat batin ini. Sebab, dalam hal ini tidak

bisa dicampuri riya‟, karena ibadat batin hanya Allah yang

mengetahui. Sehingga dalam hal ini mustahil ada sifat riya‟,

sedangkan orang lain tidak bakal melihat dan mengetahuinya. Dengan

demikian, dalam hal ini tidak perlu mengikhlaskan dalam memohon

pahala.

46

E. Pendidikan Ibadah dalam Kitab Minhajul Abidin

Telah diketahui bahwa kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali

merupakan kitab tasawuf yang khususnya membahas mengenai ibadah.

Maka, lingkup ibadah tercantum dalam kitab tersebut. Walaupun tidak secara

khusus seperti dalam pembelajaran agama Islam maupun ilmu fiqih, namun

Imam al-Ghazali menuturkan beberapa tentang ibadah berdasarkan ilmu

tasawuf bukan berdasar pengetahuan yang bersifat umum.

Beberapa pengertian ibadah menurut Imam al-Ghazali:

1. Dalam kitab Minhajul Abidin bagian pembukaan halaman lima (5), yaitu:

ع شح ا عجبدح ث ا ١بء ا ثؼب عخ اال ٠بء عج١ذ االل ا دبط ش ع فبءدح ا

دشفخ ىشا شعبس ا خ ا مظذ ر ح خ االعض لظ ؽش٠ك االرم١بء

االثظبس اخز١بس ا جبي اش

Artinya:”Sesungguhnya Ibadah adalah buahnya ilmu, manfaat hidup

di dunia, dan keuntungannya para hamba yang kuat-kuat, dagangan para

kekasih Allah, menjadi jalan yang menunjukkan hidupnya orang yang takut

pada Allah, dan menjadi bagian orang-orang yang mulia, menjadi tujuan

orang-orang yang mempunyai cita-cita luhur, dan menjadi tanda-tanda

orang yang yang mulia, menjadi pekerjaan orang yang sempurna, dan

menjadi pilihan orang yang berhati-hati” (al-Ghazali, tt: 5)

2. Pengertian ibadah yang kedua dalam halaman lima kitab Minhajul Abidin

جخ بج ا عبدح اس سجش١

Artinya:”Ibadah merupakan jalan pahala dan juga merupakan jalan

menuju syurga”. (al-Ghazali,tt: 5)

47

Telah dituturkan secara jelas oleh Imam al-Ghazali bahwa ibadah

merupakan hasil dari menuntut ilmu. Ilmu dan ma‟rifat merupakan tahapan

pertama yang harus dilalui seorang ahli ibadah. Tahapan ini amat penting

karena untuk menjalankan ibadah dengan benar, perlu mempelajari ilmunya.

Ibadah merupakan keuntungan atau kebahagiaan seseorang hamba yang kuat,

kuat dalam menahan godaan, menahan celaan, dan siap melaksanakan

perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Ibadah merupakan jalan bagi

hamba Allah yang mengabdikan seluruh hidup untuk Allah, para ahli ibadah

takut kepada Allah dalam semua situasi, waspada dan hati-hati dalam

menjalani hidup.

Pendidikan dalam arti umum dan sederhana menurut Djumransjah

adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-

potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai

yang ada dalam masyarakat dan kebupotensian(Djumransjah, 2004: 22).

Pengertian ibadah menurut beberapa ahli, sebagai berikut:

a. Menurut Sayyid Qutub, ada dua pengertian ibadah. Yang pertama, ibadah

adalah adanya kesadaran kehambaan dari seorang hamba yang memang

seharusnya menghambakan diri sekaligus pengakuan diri terhadap wujud

Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Yang kedua,

ibadah yaitu tertujunya seluruh aktivitas kehidupan hanya untuk

memperoleh ridha Allah dan menghindarka murka-Nya(Qutub, 1986:

386).

48

b. Menurut Syekh „Izzuddin Buleiq memberikan pengertian ibadah yaitu

taat kepada Allah yang maha gagah dan maha agung dalam keadaan apa

saja yang Ia perintahkan, dan taat dalam meninggalkan apa saja yang Dia

larang.

Jadi, Pendidikan ibadah menurut penulis yaitu usaha yang dilakukan

oleh manusia melalui interaksi pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan

hakikat utama manusia sebagai hamba yang mendapat ridho-Nya dengan

menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Menurut Endang Syaifuddin Anshari dalam bukunya Wawasan Islam,

ibadah itu ada dua macam, yaitu ibadah mahdah dalam arti khusus dan ibadah

ghoiru mahdah dalam arti luas. Ibadah dalam arti khusus, yaitu tata cara dan

ucapannya telah ditentukan secara terperinci dalam al-Qur‟an dan hadits

Rasul. Adapun bentuknya seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan

ibadah dalam arti luas, yaitu sikap, gerak-gerik dan tingkah laku atau

perbuatan yang mempunyai tiga tanda, yaitu:

a. Niat yang ikhlas sebagai titik tolak

b. Keridhaan Allah sebagai titik tuju

c. Amal shaleh sebagai garis amalan (Anshari, 1986 :28)

Berdasarkan ungkapan di atas, dapat di pahami bahwa ibadah mahdah

(khusus), bentuk ubudiyyah atau ibadah yang berhubungan langsung antara

seorang hamba dengan Allah SWT. ibadah ini ditentukan oleh Allah syarat

dan ketentuan pelaksanaannya. Sedangkan ibadah secara umum yaitu ibadah

dalam bentuk muamalah, yaitu hubungan horizontal antara sesama manusia

49

dengan alam sekitarnya seperti semua aktifitas manusia sehari-hari atau

segala perbuatan yang diizinkan Allah yang dikerjakan dengan niat ikhlas

untuk mengabdi kepada Allah.

50

BAB IV

ANALISIS KONSEP IKHLAS DALAM KITAB MINHAJUL ABIDIN

DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN IBADAH

A. Analisis Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin Karya Imam al-

Ghazali

Imam al-Ghazali merupakan seorang ulama yang produktif dalam

menulis. Selain itu beliau juga dapat dikatakan sebagai pemikir kompleks di

zamannya. Bukan sekedar pemikir spesialis karena ia mampu melahirkan

pemikiran dan karya yang cukup variatif. Berkat luasnya wawasan dan

kecerdasan intelektualnya, beliau juga menuangkan ide-ide tentang

pendidikan yang tertuang dalam kitab ayyuhal walad.

Al-ghazali merupakan ulama yang menekankan pemikirannya lebih

bersifat olah spiritual dan kurang menekankan pada ilmu pengetahuan umum.

Sebab Imam al-Ghazali sendiri merupakan tokoh sufi selepas dirinya

menggandrungi dunia filsafat. Meskipun demikian pemikiran Imam al-

Ghazali menurut penulis masih sangat relevan dengan kondisi sekarang

khususnya terkait dengan pendidik dan peserta didik serta konsistensi antara

teori dan praktik. Apalagi ilmu pengetahuan agama, teori hanya bersifat

pengetahuan kognitif semata, kematangan spiritual dan amaliyah nyata adalah

lebih berarti dan puncaknya adalah dipraktikkan.

51

Imam al-Ghazali memang lebih condong dalam ilmu tasawuf. Beliau

mengupas banyak mengenainya. Bahasa yang halus terangkum dalam kitab-

kitab yang beliau hasilkan. Akhlak lahir maupun batin serta hubungan kepada

manusia maupun kepada Allah SWT selalu beliau utamakan. Seperti wasiat

beliau kepada salah satu muridnya agar berpegang teguh pada keikhlasan.

Wasiat ini beliau sampaikan hingga beliau wafat. Dapat diartikan bahwa

Imam al-Ghazali mendahulukan dalam segala hal agar keikhlasan selalu

dijaga.

Konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin merupakan niat

sepenuhnya menjalankan karena ibadah kepada Allah SWT. Ikhlas yang

dimaksudkan adalah sebagai bentuk pengabdian seorang hamba yang

melaksanakan perintah dan kewajiban dari-Nya. Kitab Minhajul Abidin yang

terdiri dari tujuh bab yang berisi tahapan-tahapan seorang hamba, dari tujuh

bab tersebut, yang menyinggung mengenai ikhlas berada dalam bab

muqaddimah, bab dua (tahapan taubat), bab lima (tahapan rintangan), bab

enam (tahapan celaan), dan bab tujuh (tahapan bersyukur kepada Allah).

Adapun konsep ikhlas yang dapat diringkas dalam bentuk tabel seperti

dibawah ini:

No. Bab/Tahapan Konsep Ikhlas yang Tercantum

1. Bab

I/Muqaddimah

(pembukaan)

خ روش ا خالص فبدزبج ا لطعب ثبال

Artinya:”Maka seorang hamba tersebut

harus melewati godaan dengan menjaga

52

kemurnian dalam menjalankan ibadahnya.

Ia harus ikhlas dan dzikrul minnah”.

2. Bab I (tahapan

ilmu dan

ma‟rifat)

Halaman 57

ب رع ت ٠جت ا م سبع ا جبؽخ از عجبداد ا

و از خالص اال ثخ از جش اظ ػب اش ازف١غ

Artinya: :”Ibadah yang samar yaitu lakunya hati yang

seorang hamba wajib mengerti seperti tawakkal, tafwid,

ridho, sabar, taubat, dan ikhlas

3. Bab I (tahapan

ilmu dan

ma‟rifat

halaman 71

خالص اع اال

Artinya: “Ikhlas beramal karena Alloh”

5. Bab V

(tahapan

celaan)

ساد ىذ ا بي خالص رظف١خ االع اال

Artinya:”Ikhlas adalah membersihkan amalan dari

sesuatu yang mengeruhkan amal”

Bab

I/Muqaddimah

(pembukaan)

Halaman 32

خ روش ا خالص فبدزبج ا لطعب ثبال

Artinya:”Maka seorang hamba tersebut harus melewati

godaan dengan menjaga kemurnian dalam menjalankan

ibadahnya. Ia harus ikhlas dan dzikrul minnah”.

53

Bab V(tahapan

celaan)

halaman

sembilan ratus

delapan puluh

satu

ب ظ و ذظ ا س١ب شالجخ ا ا خالص د اال

Artinya:”Ikhlas itu membiasakan diri untuk ber-

muraqqabah kepada Allah SWT, serta melupakan

kepentingan pribadinya”

Bab II

(tahapan

taubat)

halaman

delapan puluh

ع ؽت ا خالص ف اال

Artinya:”Ikhlas dalam menuntut ilmu”

Dari beberapa ikhlas yang di paparkan oleh Imam al-Ghazali, maka

menurut penulis, dalam kitab Minhajul Abidin ditemukan tiga konsep ikhlas

yaitu Hubungan antara hamba dan Allah SWT dan hubungan antara sesama

makhluk Allah, dan hungan diri sendiri dengan Allah SWT. Dalam ketiga

konsep tersebut muncullah keikhlasan yang harus diterapkan menurut

beberapa pendapat Imam al-Ghazali.

Beberapa analisis mengenai konsep ikhlas dalam kitab Minhajul

Abidin karya Imam al-Ghazali:

1. Hubungan hamba dengan Allah SWT

54

a. Ikhlas taat kepada Allah SWT (dengan menerima takdir dan tidak

menentang perintah-Nya)

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk taat dan patuh

dengan apa yang Allah perintahkan. Allah SWT memerintah hamba-Nya

bukan berrati menyusahkan. Allah memberi perintah agar hamba-Nya

berada dalam jalan yang benar. Perintah yang Allah berikan untuk ikhlas

dilakukan dan ditaati. Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa kepada

Allah tanpa dihalangi sifat-sifat batin yang buruk semisal sombong tidak

mau taat kepada Allah.

Allah SWT mencintai hamba yang mau mengambil hikmah dalam

setiap peristiwa yang dilalui. Dengan keyakinan dan keikhlasan menerima

bahwa takdir dari Allah SWT adalah yang terbaik walau tidak sesuai

dengan harapan hamba-Nya. Allah SWT menakdirkan kepada hamba

memang tidak selalu sama dengan harapannya, namun pemberian Allah

SWT menjadi ukuran yang pas dengan kemampuan dan kebutuhan hamba.

Sebagai makhluk Allah yang berkualitas, manusia harus kuat, tahan, dan

tabah menerima semua cobaan yang Allah takdirkan.

Jika takdir Allah yang diberikan kepada hamba kemudian hamba-

Nya tidak ikhlas menerima, maka bukanlah kebahagian yang timbul

dalam kehidupan. Kesedihan, kemarahan, keangkuhan, kesombongan,

dan kelalaian. Dimana seseorang ketika sudah lalai, marah, sombong

akan hilang akalnya dan semakin menambah dosa.

55

Imam al-Ghazali juga menuturkan perumpamaan, bahwa ada

seorang yang kaya raya. Ia melarang anak yang disayanginya memakan

buah apel dan kurma dikarenakan sedang mengidap penyakit. Larangan

sang ayah bukan berarti ia kikir dan membenci anaknya. Melainkan, sang

ayah ingin membahagiakan anaknya dengan cara memberi yang terbaik

bagi anaknya (al-Ghazali, 2009: 245). Demikian juga Allah. Ia akan

memilihkan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Jika Allah menunda

sesuatu bagi umat-Nya, itu karena Allah menginginkan kemaslahatan

baginya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa menyampaikan segala

sesuatu. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

b. Menyembah Allah SWT semata

Ikhlas yaitu memurnikan Tauhid kepada Allah SWT. tidak ada

makhluk lain yang dapat disembah selain Allah. Allah SWT merupakan

satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Menyembah Allah atau tidak,

tidak akan mempengaruhi kekuasaan Allah dan keagungan Allah, karena

Allah akan tetap Maha Kuasa sampai kapanpun. Namun menyembah

Allah merupakan kewajiban hamba ciptaan Allah agar selamat dunia

akhirat. Menyembah Allah harus dijauhkan dari sifat riya‟. Sifat riya

merupakan sifat yang meginginkan pujian orang lain, ingin dilihat orang

lain. hal tersebut sangat dilarang Allah karena mengeruhkan hati seorang

hamba. Justru hal yang harus dilakukan hamba saat menyembah Allah

adalah ikhlas. Agar terasa ni‟matnya mengagungkan Allah, ni‟matnya

merasakan kehadiran Allah dalam kondisi apapun.

56

Meninggalkan sifat riya‟, ujub, dan sombong ketika beramal dan

beribadah. Manusia mampu menjalankan ibadah dengan baik berkat taat

menjalankan perintah Allah dan takut akan ancamannya. Maka, ia akan

mendapatkan taufik dan petunjuk dari Allah, ia akan mampu melampaui

rintangan dengan baik dan selamat. Maka, ia kembali melakukan ibadah

dengan sebenar-benarnya sebanyak-banyaknya, tanpa merasa ada yang

menghalanginya lagi. Akan tetapi jika merasa adanya gejala-gejala sifat

riya‟ dan ujub dalam beribadah. Suatu saat berpura-pura taat hanya agar

dilihat orang lain. Itu adalah perbuatan riya‟. Jika tidak demikian, akan

merasa mencela dirinya agar tidak berbuat riya‟ tetapi justru berbuat

sombong dan ujub. Dan sifat itu merusak dan menghancurkan ibadah.

Ahli ibadah harus berusaha menjaga kemurnian yaitu dengan ikhlas

dalam menjalankan ibadahnya (al-Ghazali, 2009:11). Ikhlas yaitu

kebalikan dari sifat riya‟dan ujub. Ikhlas artinya tulus, menjalankan

ibadah semata-mata hanya karena Allah.

Dalam al-Qur‟an Surat al-Muzammil ayat 8, Allah berfirman:

رجز١ال إ١ رجز سثه اروش اس

Artinya: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya

dengan penuh ketekunan”.(Departemen Agama RI, 2009: 575).

Sebutlah nama Tuhanmu dalam arti surat tersebut merupakan

makna bahwa dalam setiap tindakan agar diniatkan karena Allah SWT

serta selalu menyebut asma-Nya. Beribadah kepada Allah dengan

bersungguh-sungguh tanpa menyekutukan-Nya dengan perilaku riya‟ dan

ujub.

57

2. Hubungan dengan manusia (sesama makhluk)

a. Membersihkan segala amalan dari sifat batin buruk (riya‟)

Perbuatan manusia dinilai dari niatnya terlebih dahulu. Apabila

beramal niat ikhlas hanya karena Allah SWT semata tanpa ada hal lain

yang menyelimuti hatinya termasuk keruh niat karena ingin dipuji,

mendapatkan harta, pangkat, dan kedudukan. Maka, yang ada hanyalah

kehancuran.

Misalnya ketika seseorang yang mempunyai harta cukup untuk

berangkat haji. Bahkan haji tidak hanya sekali seumur hidup. Karena

ingin mendapatkan sebutan “Pak Haji” atau “Bu Haji” rela pergi

berangkat haji berkali-kali. Ibadah haji yang dilakukan semata-mata

hanya karena sebutan duniawi. Yang sebenarnya haji adalah ibadah yang

tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk melaksanakannya,

harusnya bersyukur dengan cara ikhlas menjalankan ibadah haji hanya

karena memenuhi panggilan Allah SWT.

Contoh berikutnya, seorang yang ingin melakukan sedekah dengan

tidak diperlihatkan kepada orang lain agar dirinya terhindar dari sifat

riya, bukan malah di perlihatkan dengan sengaja bahwa dia lah orang

yang dermawan dengan memberi makan orang miskin, bahwa dia orang

yang mampu. Seseorang hamba tidak boleh mengungkit-ungkit apa yang

telah ia berikan kepada orang lain agar ikhlas yang dimiliki tidak

terhapus. Jika orang yang diberinya tersebut sakit hati, maka hilanglah

pahala ikhlas selama ini. Perlu berhati-hati dalam menjaga ikhlas. Agar

58

hati tidak merasa bahwa dirinya lah yang kuasa memberi, kuasa

melakukan, kuasa mempunyai. Namun, Allah lah Sang Pemberi karunia,

sebagai hamba hanya-lah perantara yang tiada artinya.

b. Tidak menyembah hawa nafsu

Allah berfirman dalam al-Qur‟an Surat al-Ahqaf ayat 28, yang

berbunyi:

ا ػ لشثبب آخ ث هللا د ارخزا از٠ ال ظش ف

ب وبا ٠فزش ره إفى عArtinya: “Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah

sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat

menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka?

Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-

adakan.” (Departemen Agama RI, 2009: 506).

Ikhlas dalam ayat diatas, adalah memurnikan tauhid hanya kepada

Allah. Dalam kitab Minhajul Abidin, telah dijelaskan bahwa godaan

berupa makhluk, hawa nafsu, setan, dan dunia seisinya bisa saja

menggoda manusia untuk menyembah selain kepada-Nya. Maka dari itu,

manusia perlu waspada.

Seperti dalam al-Qur‟an Surat at-Taubah ayat 58, Allah berfirman:

إ ب سػا أعطا ذلبد فئ ضن ف اظ ٠ ٠سخط ب إرا ا ٠عط

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu

tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya,

mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian

daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”(Departemen

Agama RI, 2009: 197)

Terlalu banyak keinginan duniawi yang harus dituruti juga

merupakan salah satu bentuk penyembahan terhadap hawa nafsu. Hingga

melupakan kewajiban utama yaitu menyembah Allah. Membanggakan

diri sendiri karena sudah merasa bahwa dirinya beribadah, menyembah

59

kepada Allah membuat rusaknya makna ibadah yang ikhlas. Jika sudah

ikhlas dalam beribadah maka ikhlas itu sendiri tidak tampak dan tidak

dirasakan.

3. Hubungan dengan diri sendiri

a. Menuntut ilmu untuk menyempurnakan ibadah dan akhlak

Ilmu adalah cahaya. Cahaya yang membawa manusia dari

kegelapan menuju terang benderang. Dalam kegelapan, manusia tidak

akan mampu melihat dengan jelas, membedakan dengan benar, dan

memahami dengan seksama. Dengan ilmu, manusia mampu

membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Dalam menuntut ilmu, berniatkan beribadah kepada Allah dengan

ikhlas. Menuntut ilmu yang dilandasi dan dengan tujuan ibadah pada

Allah pasti ditempuh dengan cara yang diridhai-Nya. Perintah Allah

SWT dan Rasul-Nya dilaksanakan dengan ikhlas. Jika ikhlas sudah

melekat pada seseorang yang menuntut ilmu, maka muncul beberapa

perilaku yang berkaitan dalam menuntut ilmu, yaitu: jujur, menghargai

waktu, berlaku tawadhu‟, bersabar, bercita-cita dan bersemangat dalam

menuntut ilmu, konsisten pada tuntunan Rasulullah, sadar selalu diawasi

oleh Allah, berpaling dari tempat yang sia-sia, menghindari hura-hura,

bersikap lemah lembut, dan lain-lain.

Akhlak yang baik dari pengamalan menuntut ilmu yang ikhlas

diniatkan karena ibadah kepada Allah, patuh kepada aturan-Nya maka

akan menghasilkan kebahagiaan dunia akhirat. Walaupun, seperti yang

60

Imam al-Ghazali pernah tuturkan yaitu bahwa semua harus dijalani

dengan ikhlas. Yang perlu ditekankan, jika seseorang menuntut ilmu

ikhlas berniatkan ibadah karena Allah, maka tidaklah menuntut ilmu

karena ingin mendapatkan pekerjaan yang mapan, ingin menjadi orang

yang kaya karena ilmunya, orang yang disanjung karena kepandaiannya,

ingin menyaingi teman karena ilmunya, semua tidak diperbolehkan.

Karena ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal yang menjadi

teman dalam Kubur nanti.

b. Membiasakan diri dekat dengan Allah

Taqarrub kepada Allah disimpan diri sendiri sebagai pengalaman

yang indah. Dekat dengan Allah untuk memperbaiki kualitas diri. Bagi

hamba yang membiasakan diri dekat dengan Allah tidak akan

memperdulikan apakah akan dipuji orang lain, dilihat orang lain,

dipermalukan orang lain. karena baginya hanya Allah yang pantas

menilai bagaimana pun yang dilakukan. Orang yang dekat dengan Allah

tidak mudah mengagumi suatu hal yang akan binasa dikemudian hari. Ia

hanya kagum kepada Allah, kagum akan ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya,

dan kagum akan kedahsyatan anugerah-Nya.

Seorang hamba Allah yang dekat dengan Allah akan senantiasa

ikhlas dalam mengerjakan amal dan ibadah. Karena baginya, Allah lah

yang patut untuk dijadikan tujuan. Ibadahnya, perilakunya, hidup dan

matinya hanya milik Allah semata. Dalam kitab Minhajul Abidin, banyak

dituangkan hal-hal yang mempengaruhi kedekatan hamba dengan Allah.

61

salah satunya godaan berupa setan. Setan akan selalu menggoda manusia

yang semakin taat kepada-Nya. Hamba yang mampu melewatinya, akan

merasakan betapa indahnya berdekatan dengan Allah.

B. Relevansi Konsep Ikhlas dalam Kitab Minhajul Abidin Karya Imam al-

Ghazali dengan Pendidikan Ibadah

Kitab Minhajul Abidin membahas perkara yang berkaitan dengan

ibadah. Karena unsur penyusunannya adalah sebagai penuntun bagi para ahli

ibadah yang ingin mencapai kenikmatan ibadah yang paling puncak walau

harus melewati berbagai rintangan. Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-

Ghazali menuturkan beberapa dari ikhlas. Konsep ikhlas yang disusun imam

al-Ghazali cenderung mengarah kepada ikhlas dalam beribadah dan

melakukan segala hal hanya ditujukan kepada Allah SWT. namun, Imam al-

Ghazali menekankan ikhlas yang paling utama harus ditanamkan dan

dirasakan dalam hati saat menjalankan ibadah wajib. Ibadah wajib seperti

shalat, zakat, puasa, dan haji.

Adapun beberapa relevansi konsep ikhlas dalam kitab Minhajul

Abidin karya Imam al-Ghazali dengan pendidikan ibadah, yaitu:

Imam al-Ghazali menyatukan antara ikhlas dan ibadah lewat taufiq

yang ia dapatkan yaitu dengan kalimat dalam tahapan ilmu yang berbunyi:

فمه ال عجبدح ! ع١ه ا خالص ا ٠ب ؽت ا ع هللا ث

62

Artinya:”Hai saudara yang ingin ikhlas dan ingin beribadah, kalian

harus mencari ilmu terlebih dahulu, karena ilmu menjadi pokoknya

ibadah”(al-Ghazali, tt, 46)

Dalam nasehat Imam al-Ghazali lewat pembuka dalam tahapan

pertama yaitu tahapan ilmu, Imam al-Ghazali mewanti-wanti agar orang-

orang yang ingin ikhlas dan beribadah, maka harus menuntut ilmu terlebih

dahulu. Agar saat menjalani dua hal yang penting tidak keliru. Maka,

pendidikan merupakan hal vital yang harus ditanamkan kepada anak sejak

kecil. Untuk menjadikan ikhlas perilaku yang sempurna dalam ibadah, maka

mempelajari dan menekuni ilmu tentang ibadah beserta isi dari bentuk ibadah

itu sendiri terlebih dahulu dimatangkan. Agar tercapainya tujuan ibadah yaitu

mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan jalan keikhlasan yang

dimiliki.

Tujuan seorang ahli ibadah adalah menyempurnakan kebahagiaan hati

karena dapat melewati perjalanan panjang untuk merasakan kenikmatan

mengabdi pada Allah SWT. Dengan sempurnanya ibadah yang telah hamba

lakukan, maka hati menjadi lebih tenang dan semakin bertawa kepada Allah

SWT. hati yang tenang tersebut memancar indah seindah surga yang

dirindukan oleh ahli ibadah. Oleh sebab itu, kitab Minhajul Abidin sangat

relevan untuk dijadikan pedoman dalam menempuh jalan kebahagiaan

seorang ahli ibadah. Dalam kitab ini, dijelaskan tahapan demi tahapan yang

harus dilakukan dan yang akan dihadapi oleh hamba, dijelaskan berbagai

63

konsep ikhlas dalam ibadah lahir, ikhlas dalam ibadah batin, dan menjelaskan

ikhlas yang berarti memurnikan hati dalam menjalankan ibadah.

Oleh sebab itu, agar ibadah yang dilakukan seorang hamba sempurna,

maka penting untuk mendalami kembali ilmu-ilmu mengenai ibadah, melatih

hati untuk ikhlas, dan menelaah al-Qur‟an dan Hadist dengan benar.

Sehingga, ikhlas yang terdapat dalam hati seorang hamba mampu benar-benar

terealisasikan dalam kehidupan nyata ahli ibadah.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan ibadah adalah

sebagai berikut:

1. Keikhlasan dalam beribadah ditunjukkan dengan patuh dan tunduk akan

takdir dan aturan Allah SWT

Bahwa sikap ikhlas adalah menerima dengan sepenuh hati takdir

yang Allah berikan. Menerima semua takdir yang Allah berikan

dibuktikan dengan menjalankan ibadah secara benar. Patuh dan tunduk

akan takdir Allah dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan baik.

Misal, ketika akan zakat atau mempunyai harta kemudian harus

melakukan zakat mall, maka harus patuh akan perintah-Nya untuk

melakukan zakat. Ikhlas dalam berniat menjalankan ibadah karena takdir

yang Allah berikan adalah titipan dari-Nya.

Seperti makna ibadah dan ikhlas sendiri, keduanya sama-sama

memiliki makna patuh dan tunduk kepada Allah. Seseorang yang

beribadah kepada Allah berarti ia patuh kepada perintah Allah, dan

64

seseorang yang ikhlas karena Allah, maka ia patuh terhadap Allah dalam

setiap perbuatan.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur‟an Surat al-Hujurat ayat 7,

yang berbunyi:

ف وث١ش ٠ط١عى سسي هللا ف١ى ا أ اع

ف لثى ص٠ ب اإل٠ دجت إ١ى هللا ى ش عز األ

اشذ اش أئه عظ١ب ا فسق ا ىفش ا إ١ى وش Artinya:” Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada

Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan

benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan

kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam

hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan

kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang

lurus,”(Departemen Agama RI, 2002: 517)

Rasulullah selalu membimbing, mengarahkan, dan membawa

hamba Allah kepada jalan yang lurus. Yang Rasulullah harapkan

hanyalah umatnya mau mematuhi apa yang beliau perintahkan sesuai

dengan perintah Allah.

2. Ikhlas dalam beribadah dengan menjalankannya hanya karena Allah SWT

dalam kondisi apapun dan dimanapun

Allah berfirman:

اعج خ سسال أ أ مذ ثعثب ف و اجزجا ذا هللا

الخ اؼ دمذ ع١ ذ هللا اطبغد ف

ث١ ىز عبلجخ ا ظشا و١ف وب فس١شا ف األسع فبArtinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada

tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan

jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang

diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang

telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan

perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan

(rasul-rasul).”(Departemen Agama RI, 2002: 445)

65

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia diperintahkan

hanya menyembah Allah SWT. tunduk dan patuh akan perintah-Nya

dimana dan kapanpun berada. Sekalipun didalam ruangan yang gelap dan

tidak ada satupun makhluk lain yang menyaksikan, namun Allah SWT

selalu melihat dan mengetahui apapun yang dilakukan hamba-Nya.

Allah SWT Maha Melihat, maka dalam setiap aktifitas untuk selalu

mengingat Allah. Dalam pendidikan ibadah, seperti ibadah mahdah misal

ibadah puasa, jika seorang hamba ikhlas menjalankan hanya karena Allah

dan tunduk pada aturannya bahwa puasa menahan makan, minum, dan

hawa nafsu, maka hamba tersebut menahannya meskipun sedang

sendirian ada makanan dan minuman yang tersaji.

Sesungguhnya Nabi bersabda, Allah berfirman (hadits qudsi):

Artinya: “'Aku adalah orang yang paling tidak membutuhkan

sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amal ibadah yang ia

menyekutukan selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku meninggalkannya dan

sekutunya”(Muslim, 2985).

3. Melibatkan ikhlas dalam setiap menjalankan ibadah (niat yang ikhlas

sebagai titik tolak)

Dalam al-Qur‟an surat al-Bayyinah ayat 5, Allah SWT berfirman:

ا ٠م١ دفبء ٠ اذ خظ١ شا إال ١عجذا هللا ب أ خ م١ ا ره د٠ وبح ٠ؤرا اض الح اظ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya

menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam

(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan

salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang

lurus.”(Departemen Agama RI, 2009: 599).

Allah SWT. memerintahkan agar menjalankan ibadah kepada-Nya

seperti misalnya; shalat, zakat, dan puasa berniatkan murni kepada-Nya.

66

Sebelum menjalankan ibadah, terlebih dahulu membersihkan hati agar

mendapatkan ni‟matnya ibadah.

Hamba Allah bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan harta

benda duniawi yang diperoleh dengannya. Seperti bertujuan bersama niat

ibadah kepada Allah dengan bersuci adalah untuk mengaktifkan tubuh

dan menghilangkan kotorannya. Dan dengan ibadah haji untuk

menyaksikan masya'ir dan para jemaah haji. Ini mengurangi pahala

ikhlas. Namun jika yang dominan adalah niat beribadah maka sungguh ia

kehilangan pahala yang sempurna, akan tetapi hal itu tidak menyebabkan

ia berdosa, berdasarkan firman Allah terhadap para jemaah haji:

فئرا أفؼز سثى رجزغا فؼال جبح أ ١س ع١ى

إ ب ذاو اروش و ذشا شعش ا ذ ا ع عشفبد فبروشا هللا

ب١ اؼ لج ز و

Artinya:” Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki

hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari

Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah

(dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;

dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang

yang sesat.”(Departemen Agama RI, 2002: 20)

67

Imam al-Ghazali menuturkan ada amal dibagi menjadi tiga bagian

yang sudah dijabarkan dalam bab sebelumnya salah satunya bahwa

bagian amal yang hanya mengharapkan sebagian pahala akhirat. Yakni,

mengikhlaskan amalan yag mubah, makan misalnya. Sehingga jika

menginginkan pahala dari amalan yang mubah ini adalah dengan jalan

mengikhlaskan (berniat) bahwa makan hanyalah sebagai bekal guna

berkhidmat kepada Allah. Sehingga makannya itu akan mendapatkan

pahala.

Ikhlas dalam beramal harus bersamaan dengan saat

mengerjakannya. Dengan demikian, sejak awal hingga berakhirnya harus

ikhlas. Ulama lain berpendapat, bahwa ibadah wajib dapat menegakkan

sifat ikhlas hingga maut menjemputnya. Misalnya, seseorang merasa

ketika mengerjakan shalat tidak disertai ikhlas, kemudian ia memohon,

“Ya Allah, shalatku kemarin tidak aku kerjakan dengan ikhlas, oleh

sebab itu aku bertobat, dan shalatku hari ini hanyalah karena-Mu.”

Allah berfirman dalam al-Qur‟an Surat al-faatihah ayat 5:

إ٠بن سزع١ إ٠بن عجذ

Artinya:” Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya

kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.(Departemen Agama RI,

2002:1)

Dan jika niat yang dominan adalah bukan karena Allah maka

tidak ada pahala untuk seorang hamba di akhirat nanti. Pahalanya

hanyalah apa yang ia dapatkan di dunia. Justru akan ditakutkan mendapat

dosa karenanya yang menjadikan ibadah. yang merupakan tujuan

tertinggi menjadi sarana untuk mendapatkan dunia yang hina.

68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis konsep ikhlas dalam kitab

minhajul abidin karya Imam al-Ghazali dan relevansinya dengan

pendidikan ibadah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam a-Ghazali

dibagi menjadi tiga yaitu ikhlas dalam hubungan kepada Allah dan

ikhlas dalam hubungan sesama makhluk. Ikhlas dalam hubungan

kepada Allah yaitu dengan ikhlas taat kepada Allah dan Hanya

menyembah Allah SWT. sedangkan ikhlas dalam hubungan sesama

makhluk yaitu membersihkan batin dari sifat buruk dan tidak

menyembah hawa nafsu. Kemudian ikhlas yang ketiga yaitu hubungan

dengan diri sendiri. Dibagi menjadi dua bagian ikhlas dalam menuntut

ilmu untuk menyempurnakan ibadah dan akhlak serta ikhlas dalam

mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2. Relevansi konsep ikhlas dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam al-

Ghazali dengan pendidikan ibadah adalah nasehat Imam al-Ghazali

lewat pembuka dalam tahapan pertama yaitu tahapan ilmu, Imam al-

Ghazali mewanti-wanti agar orang-orang yang ingin ikhlas dan

beribadah, maka harus menuntut ilmu terlebih dahulu. Agar saat

menjalani dua hal yang penting tidak keliru. Maka, pendidikan

merupakan hal vital yang harus ditanamkan kepada anak sejak kecil.

69

Untuk menjadikan ikhlas perilaku yang sempurna dalam ibadah, maka

mempelajari dan menekuni ilmu tentang ibadah beserta isi dari bentuk

ibadah itu sendiri terlebih dahulu dimatangkan. Agar tercapainya

tujuan ibadah yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan

jalan keikhlasan yang dimiliki.

B. Saran

1. Ikhlas sangat berharga dalam pendidikan ibadah. Unsur utama yang

menyatu dalam menjalankan ibadah. Maka, bagi para ahli ibadah

ataupun yang masih belajar mengenai ibadah agar belajar ikhlas untuk

beribadah.

2. Kitab Minhajul Abidin adalah kitab yang menarik, bagus, dan ilmu

yang dituangkan tentang tingkatan ahli ibadah lengkap.

3. Skripsi ini bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak

kekurangan. Maka dari itu, penulis berharap untuk pembaca

memaklumi karena penulis bukanlah manusia yang sempurna dan

semoga pembaca bisa menyempurnakannya

4. Karya sederhana ini semoga bermanfaat bagi pembaca. Semoga

menjadi karya yang menginspirasi bagi kehidupan dunia dan akhirat

70

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Ustman, 1994, Apa dan Siapa 45 budayakan muslim Dunia,

Surabaya: Risalah Gusti

Abdulloh, Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an, Jakarta:

Amzah

Al-Ghazali, Imam. 2009. Minhajul Abidin. Terj. Abul Hiyadl. Petunjuk Ahli

Ibadah.Surabaya: CM Grafika

.Ihya‟ „Ulumuddin.II. Bairut: Dar al-fikr,tt

. tt. Munqidz min al-Dlalal: Kimya Sa‟adah: dan Al-Qawaid al-

Asyr. Terj. Khudhori. Skeptisme al-Ghazali. Malang: UIN Press Malang

Amirin, Tatang. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, Saefudin. 2001. Metode Penelitia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Aziz, Safrudin. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Kalimedia

Departemen Agama Ri. 2002. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Terj. Yayasan

Penterjemah Al-Qur‟an. Jakarta: CV. Darus Sunah

Djumransjah. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Malang: Bayumedia

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Widyatama

Gie, The Liang. 1998. Kamus Logika. Yogyakarta: Liberty dan Pusat Belajar Ilmu

Berguna

Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan

Fakultas Psikologi UGM Jogjakarta

. 1998. Metodologi Research Index. Yogyakarta: Gajah Mada

H.Z.A. Ahmad. 1975.Riwayat Hidupal-Ghazali. cet I. Jakarta: Bulan Bintang

71

. 1975.Riwayat Hidupal-Ghazali. cet I. Jakarta: Bulan Bintang

Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Mulkhan, Abdul. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebbasan. Jakarta:

Bumi Aksara

Mustaqim. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan

Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasir, Ridwan, HM., 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok

Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nata, Abudin. 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Grafindo Persada

Nawawi, Hadari. 199. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Univer

Press

Purwadarminta. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Qardhawi, Yusuf. Tt. Kaifa Nata‟maluma‟assunah an-Nabawiyah. Terj. Baqir.

Bagaimana Memahami Hadist Nabi. Bandung: Karisma

Sayyid, Mahdi. 2003. Saling Memberi Saling Menerima. Jakarta: Pustaka Zahra

Qutub, Sayyid. 1986. Fi Zilal al-Qur‟an. Beirut: Dar el-Syuruq

Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia

Razak, Nasiruddin. 1984. Dienul Islam. Bandung: al-Ma‟arif

Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta

Soenarjo. 1989. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Semarang: Toha putra

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Thib Raya, Ahmad. 2003. ''Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam'”.

Jakarta Timur : Kencana

Umairoh, Abdurrahman. t.th. Metode al-Qur‟an dalam Pendidikan. Terj. Abdul

Hadi Basulthanah. Surabaya: Mutiara Ilmu

Zainuddin. 1991. Seluk beluk Pendidikan dari al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

1. Nama : Shinta Yuniati

2. NIM : 111-13-052

3. Fakultas/Jurusan : Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam

4. Tempat/Tanggal Lahir : Kab. Semarang/04 Juni 1995

5. Alamat : Dsn. Kutukan, Ds. Jlumpang, Kec. Bancak,

Kab. Semarang

6. Nama Ayah : Mulyana

7. Nama Ibu : Sumiyati

8. Agama : Islam

B. Pendidikan

1. TK Al-Bidayah lulus tahun 2001

2. SD N Jlumpang lulus tahun 2007

3. SMP N 2 Tengaran lulus tahun 2010

4. SMA N 1 Tengaran lulus tahun 2013

Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-

benarnya.

Bancak, 29 Agustus 2017

Penulis,

Shinta Yuniati