konsep franchise fee dan royalty fee...
TRANSCRIPT
KONSEP FRANCHISE FEE DAN ROYALTY FEE
PADA WARALABA BAKMI TEBET MENURUT PRINSIP SYARIAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE. Sy)
Oleh:
ANNISA DYAH UTAMI
NIM : 206046103806
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H / 2010
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur kehadirat Allah Swt. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah dilimpahkan pada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa
penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Sepenuhnya penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini yang
berjudul "KONSEP FRANCHISE FEE DAN ROYALTY FEE PADA
WARALABA BAKMI TEBET MENURUT PRINSIP SYARIAH " bukan semata-
mata atas usaha penulis sendiri namun juga karena bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM, Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum
2. Ibu Dr Euis Amalia, M.Ag ,Ketua Program Studi Muamalat Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Ah Azharudin Latief, M.Ag.MH, Sekretaris Program Studi Muamalat
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Djawahier Hejazziey,SH.,MA,Koordinator Teknis Program Non
regular dan Bapak Drs.H. Ahmad Yani,M.Ag, Sekretaris Teknis Program Non
reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak A.M Hasan Ali, M.A dan Bapak Muzazin, SE.M.Ag, dosen pembimbing
skripsi penulis, terima kasih atas dukungan dan motivasi bapak sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Terima kasih kepada owner Bakmi Tebet Bapak Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSC, Pak
Yusuf dan Pak Hafizh dari manajemen Bakmi Tebet yang telah banyak
membantu dan meluangkan memberikan informasi,data,dalam menyelesaikan
ii
skripsi ini.
7. Untuk Staf kordinator teknis program Non Reguler, Kak Syafii S.EI dan kak
Vida S. Ag, terima kasih atas semua informasi yang diberikan selama penulisan
skripsi ini berlangsung.
8. Untuk Staf perpustakaan, terutama kepada bapak Zuhri.SH. dan Mas Farhan
terima kasih atas kemudahan, arahan dan bantuannya kepada penulis dalam
memperoleh data-data kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.
9. Untuk orang tuaku tercinta. Ibundaku HJ. Herlina Damayanti Noor dan ayahanda
Bambang Edi Hermanto, kedua adikku, Ririn dan Afin serta seluruh keluarga
besar penulis, khususnya Tante Reni dan keluarga, terima kasih atas curahan
cinta dan kasih sayangnya, yang tiada henti mendoakan, menyemangati baik
moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan tak
lupa, ini untuk mu Ibu. Letihmu, Keringatmu masih tergambar jelas dalam
benakku, semoga aku dapat mempersembahkan yang terbaik untukmu.
Perjuangan yang tanpa lelah, pengorbanan yang tiada dapat diukur, doa yang
tiada letih. Terima kasih Ibu.
10. Untuk Rivaldi Pragola, SE.Sy dan keluarga. Ini untuk mu… Ini buah dari doa,
semangat, dorongan kamu. Terima kasih untuk semangat yang tidak pernah lelah
diberikan ya abang..
11. Untuk Teman-teman seperjuanganku, PS.C, sahabat-sahabatku, Sila, Mitra, Dita,
Devi, 5 Star, dan semua teman-teman yang tidak saya bisa sebutkan satu-
persatu, terima kasih untuk semua dukungannya
12. Untuk Mas Aan dan Mas To’ terima kasih untuk bantuannya dalam pengeditan
skripsiini, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Ciledug, 12 Agustus 2010
Annisa Dyah Utami
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 7
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ............................................ 8
E. Tinjauan Kajian Pustaka ..................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 16
BAB II KONSEP WARALABA DAN KEADILAN DALAM ISLAM
A. Konsep Waralaba
1. Pengertian Waralaba, Franchisee Fee, dan Royalty fee ............. 18
2. Manfaat Waralaba, Franchise fee dan Royalty Fee ..................... 25
3. Mekanisme Pembayaran Franchisee fee ..................................... 27
4. Mekanisme Pembagian Royalty Fee ............................................ 28
B. Konsep Keadilan Kerjasama Dalam Islam
1. Pengertian Keadilan ..................................................................... 31
2. Manfaat Keadilan ......................................................................... 35
3. Konsep Keadilan dalam Islam ..................................................... 36
4. Konsep Kerjasama dalam Islam .................................................. 39
BAB III PENERAPAN ROYALTY FEE DAN FRANCHISE FEE PADA
RESTAURAN BAKMI TEBET
A. Sejarah dan Perkembangan Restauran Bakmi Tebet .......................... 46
B. Sistem Pembayaran Franchise Fee pada Restauran Bakmi Tebet .... 54
C. Sistem Pembayaran Royalty Fee pada Restauran Bakmi Tebet ......... 58
iv
BAB IV ROYALTY FEE DAN FRANCHISE FEE DALAM PERSPEKTIF
KEADILAN KERJASAMA ISLAM
A. Pelaksanaan Sistem Waralaba Bakmi Tebet ......................................... 60
B. Mekanisme pembayaran franchise fee ................................................. 62
C. Mekanisme pembagian royalty fee ....................................................... 63
D. Respon Franchisee terhadap Penetapan Franchise Fee dan
Pembayaran Royalty fee pada Restauran Bakmi Tebet .............................. 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 88
B. Saran ...................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 91
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
C1. Respon Franchisee Terhadap Franchise fee dan Royalty Fee yang Diterapkan
Bakmi Tebet.
Tabel 1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Cabang ............................................ 74
Tabel 1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ................................. 75
Tabel 1.3 Gambaran Identitas dan Karateristik Pengetahuan Franchisee
(Menurut Pengetahuan Adanya Waralaba Bakmi Tebet) ....................... 76
Table 1.4 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bergabung dengan Bakmi
Tebet ........................................................................................................ 76
Table 1.5 Distribusi Responden Berdasarkan Franchise fee yang dibayarkan
Kepada Manajemen Bakmi Tebet ........................................................... 77
Table 1.6 Distribusi Responden Berdasarkan Sistem Pembayaran Franchise
fee ............................................................................................................ 77
D.1 Tanggapan Responden Atas Gambaran Umum dan Pengetahuan Responden
Terhadap Konsep Waralaba dan Kerjasama dalam Islam
Table 2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Responden
Mengenai Waralaba ................................................................................ 78
Table 2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Responden
Mengenai Konsep Franchise fee pada Waralaba .................................... 79
Table 2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Responden
Mengenai Konsep Royalty fee pada Waralaba ....................................... 80
Table 2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Responden
Mengenai Konsep Waralaba dalam Perspeeektif Islam .......................... 80
vi
vii
Table 2.5 Distribusi Responden Berdasakan Konsep Keadilan Kerjasama
Secara Umum .......................................................................................... 81
D.3 Respon Responden Terhadap Penerapan Franchise fee dan Pembagian Royalty
fee yang Diterapkan Manajemen Bakmi Tebet
Table 3.1 Pendapat Responden Mengenai Besar Franchise fee yang
Dibayarkan .............................................................................................. 82
Table 3.2 Pendapat Responden Mengenai Konsep Keadilan Terhadap Besar
Franchise fee .......................................................................................... 83
Table 3.3 Pendapat Responden Mengenai Kepuasan Responden Terhadap
Royalty fee yang harus dibayar ............................................................... 84
Table 3.5 Pendapat Responden Konsep Keadilan Terhadap Penetapan Royalty
Fee ........................................................................................................... 84
Table 3.6 Pendapat Responden Mengenai Kepuasan Responden Terhadap
Penetapan Royalty fee sebesar3,5% ........................................................ 86
Table 3.7 Pendapat Responden Mengenai Kinerja Manajemen Bakmi Tebet ........ 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang paling sempurna dari semua agama di dunia. Islam
mengatur semua hal, dari tata cara beribadah kepada Allah SWT, hingga urusan
duniawi seperti bermuamalah. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, berdagang
merupakan hal yang ladzim dilakukan. Begitupun yang dilakukan oleh Rasulullah,
beliau sejak kecil berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam mempunyai
konsep tersendiri dalam berbisnis, dalam hal ini berdagang. Dimana bahwa dalam
berdagang seorang penjual harus mempunyai etika bisnis yang baik seperti tidak
menipu terhadap pembeli,menjual barang yang jelas kuantitas dan kualitasnya, serta
tidak mengambil keuntungan yang diluar batas kewajaran. Islam juga mengatur
tentang konsep syirkah atau kerjasama dalam berdagang. Bagi seorang muslim,
mu’amalah adalah persoalan duniawi yang bagi pelakunya diberi kebebasan untuk
mengembangkan dan berkreasi menurut perkembangan zaman. Meskipun demikian,
kebebasan dalam bermuamalah dan syirkah tidak boleh keluar dalam prinsip prinsip
Islam seperti keduanya dilakukan atas dasar mendahulukan manfaat dan
menghilangkan mudharat1. Seperti misalnya seorang muslim tidak boleh berdagang
minuman keras yang tentu saja lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan
1 Darmawan Budi Suseno,Waralaba Syariah, (Jakarta,CAKRAWALA,2008,Cet pertama),
h. 105
1
2
manfaatnya. Selain itu dalam bersyirkah seorang muslim dituntut untuk selalu adil
dengan rekan bisnisnya. Adil disini maksudnya adalah bahwa untung rugi dalam
suatu usaha ditanggung bersama. Keadilan merupakan sifat yang selalu diterapkan
oleh Rasulullah dalam berdagang, sehingga sudah selayaknya kita mengikuti sifat
beliau yang mulia tersebut dalam kegiatan sehari-hari terutama dalam bersyirkah.
Dunia bisnis Islam memberikan pelajaran agar selalu memegang asas keadilan dan
keseimbangan. Selain itu juga telah dicontohkan aplikasi nilai-nilai Islam dalam
mengelola bisnis oleh Nabi Muhammad SAW agar berhasil baik di dunia ataupun di
akhirat. Nilai-nilai bisnis Islam telah menjadi tren baru dalam mengendalikan tujuan
dan harapan ekonomi dalam jangka panjang, yang selalu mengedepankan kejujuran,
kepercayaan, keadilan (profesional) dan komunikatif akan membawa spirit moral
dalam bisnis sehingga melahirkan suatu bisnis ataupun usaha yang transparan2.
Ilmu pengetahuan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya
zaman. Begitu pun dengan gagasan tentang bermua’malah. Pada zaman dahulu,
berdagang hanya dilakukan dengan cara-cara sederhana seperti berdagang dipasar
atau menjajakan barang dagangannya door to door. Namun, sekarang terdapat
berbagai macam variasi yang dibuat oleh seorang wirausahawan dalam menjajakan
produk dagangannya.
Seorang penjual bahkan tidak harus bertemu dengan si pembeli. Ini adalah
salah satu inovasi pemasaran dalam bermua’malah. hal ini dapat kita temukan pada
2 Naika “Etika Bisnis dalam Islam” artikel diakses pada 24 Maret 2010 dari http://naika-
permata.blogspot.com/2009/12/etika-bisnis-dalam-islam.html
3
bisnis E commerce misalnya. Selain bisnis E commerce ada juga bisnis Multi Level
Marketing yang pada konsepnya menjual barang secara langsung kepada pelanggan
melalui jaringan. Selain E commerce dan Multi level Marketing terdapat juga bisnis
yang semakin berkembang dewasa ini yaitu bisnis waralaba, atau lebih kita kenal
dengan istilah franchise.
Salah satu wirausahawan yang berhasil dalam menangkap peluang pasar dan
mengembangkan cara bisnis dengan metode franchise ini adalah Isaac M. Singer.
Isaac M Singer (1811-1875) menandai munculnya franchise di Amerika dengan
bisnis mesin jahitnya. Dia menggunakan franchise untuk menambah jangkauan
distribusi pasarnya dengan cepat. Format franchisenya adalah dengan memberikan
hak penjualan mesin jahitnya dan tanggung jawab pelatihan kepada franchisee-nya.3
Waralaba sesungguhnya mengandalkan pada kemampuan mitra usaha dalam
mengembangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralabanya melalui tata cara,
proses serta suatu code of conduct dan sistem yang telah ditentukan oleh pengusaha
pemberi waralaba.4 Format bisnis waralaba ini terdiri atas konsep bisnis yang
menyeluruh, sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek
pengelolaan bisnis sesuai dengan konsep franchise dan proses bantuan yang terus
menerus.5
3 Tri Wahyudi, All About Business, artikel diakses pada 24 maret 2010 dari
http://yud71bisnis.blogspot.com/2009/10/sejarah-waralaba.html 4 Gunawan Widjaja, Waralaba,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2003) h.4 5 Martin Mendelsohn, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee,
(Jakarta, PT Pustaka Binaman Press Indo 1993), h.4
4
Waralaba merupakan sistem keterkaitan usaha vertikal antara pemilik paten
yang menciptakan paket teknologi bisnis pewaralaba (franchisor) dengan penerima
hak pengelolaan operasional bisnis, terwaralaba (franchisee). Jadi sesungguhnya
waralaba dapat dikatakan sebagai teknik menjual “Sukses” dari usaha yang sudah
berhasil. Dalam bisnis waralaba seperti yang telah dibahas diatas, seorang
terwaralaba harus membayar sejumlah royalty fee kepada pewaralaba sebagai timbal
balik karena telah mengizinkan terwaralaba ini berusaha dengan merek dagangnya.
Dan sebaliknya pihak terwaralaba atau licence franchisee dari pihak pewaralaba
untuk menggunakan kekhasan usaha atau spesifikasi usaha pewaralaba tersebut.6
Berbicara tentang waralaba tentu tak bisa lepas dari konsep franchise fee dan
royalty fee yang ada pada waralaba tersebut. franchise fee adalah biaya investasi
awal. Biaya ini termasuk biaya set up, biaya iklan, dan biaya pelatihan.7 Sedangkan
Royalty fee adalah Kontribusi bagi hasil dari pendapatan terwaralaba (biasanya dari
penjualan)8. Lebih jelasnya. royalty fee adalah jumlah uang yang dibayarkan secara
periodik oleh terwaralaba kepada pewaralaba sebagai imbalan dari pemakaian hak
waralaba oleh yang merupakan persentase dari omzet penjualan9.
Dengan masuknya waralaba asing seperti Mc’D, Texas, Pizza Hut, dan lain-
lain, menumbuhkan minat pengusaha lokal untuk mewaralabakan usahanya, salah
6 Ibid h. 9. 7 Peni.R.Pramono, Cara Memilih Waralaba yang Menjanjikan Profit, (Jakarta, PT.Elex
Media Komputindo, 2007) h. 15. 8 Jaya Setiadi,”Yuk Bisnis” artikel diakses pada 27 Desember 2009 dari
http://yukbisnis.com/content/view/116/47/ 9 Adrian Sutedi Hukum Waralaba, (Jakarta: Ghalia Indonesia 2008) h. 73
5
satu pengusaha lokal tersebut adalah Bapak Wahyu Saidi dengan usaha waralaba
milikya yakni Bakmi Tebet. Bakmi Tebet didirikan beliau pada tahun 2001 dengan
membuka Restauran Bakmi di Menara Kadin, yang merupakan usaha bersama beliau
dengan rekan bisnisnya pada saat itu. Namun ternyata manajemen Bakmi Gajah
Mada tidak mewaralabakan usahanya. Oleh karena itu, beliau berusaha membuka
usaha bakmi yang cita rasanya tidak jauh berbeda dengan cita rasa Bakmi Gajah
Mada, yakni Bakmi Langgara dan Bakmi Tebet. Pada awal berdirinya usaha bakmi
ini, Beliau tidak menggunakan nama Bakmi Tebet, namun menggunakan nama
Bakmi Langgara yang terkesan nuansa Islaminya. Untuk membedakan segmentasi
target konsumen, maka pak Wahyu Saidi memutuskan untuk membagi dua usaha
Bakminya. Nama Bakmi Langgara dipakai untuk waralaba yang berada di wilayah
Jakarta, sedangkan nama Bakmi Tebet dipakai untuk waralaba yang berada diluar
Jakarta.. dai awal pendiriannya sampai dengan saat ini terbukti Bakmi Tebet sudah
mulai dikenal masyarakat dengan cabangnya yang sampai saat ini berjumlah 19.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji waralaba Bakmi
Tebet ini dilihat dari penetapan Franchise fee dan Royalty fee dimana pada zaman
Rasulullah bisnis waralaba ini belum ada, dan hal tersebut dikaitkan dengan prinsip
keadilan dalam syirkah dimana waralaba merupakan salah satu bentuk variasi dalam
syirkah. Untuk meneliti keadilan dalam pembagian royalty dan franchisee fee penulis
juga menggunakan sudut pandang terwaralaba (franchisee) sebagai pihak yang
menginvestasikan dananya pada usaha waralaba. Berdasarkan hal tersebut maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui lebih jauh mengenai penerapan Franchise fee
6
dan royalty fee pada waralaba yang diterapkan oleh Bakmi Tebet dalam sebuah
skripsi dengan judul “Konsep Franchise Fee dan Royalti Fee Pada Waralaba
Bakmi Tebet Menurut Prinsip Syariah”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya dan
agar permasalahan tidak melebar dalam penulisan skripsi ini, maka penulis merasa
perlu untuk memberikan batasan dan rumusan masalah terhadap objek yang dikaji.
Penelitian ini akan dilaksanakan di Restaurant Bakmi Tebet yang merupakan
Restaurant yang mengembangkan jaringannya dalam bentuk waralaba. Penulis
merasa perlu untuk meneliti lebih jauh apakah waralaba Bakmi Tebet menerapkan
sistem waralaba yang sesuai syariah di dalamnya.
Adapun batasan masalah terhadap penulisan ini hanya mengenai penerapan
royalty fee dan franchise fee yang diterapkan oleh Restaurant Bakmi Tebet dan
mengkaji apakah hal tersebut sudah dilakukan sesuai dengan hukum ekonomi Islam,
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pelaksanaan waralaba, pembayaran franchise fee dan
pembagian royalty fee pada Bakmi Tebet?
2. Apakah penerapan pembayaran franchise fee dan pembagian royalty fee pada
Restauran Bakmi Tebet sudah memenuhi prinsip keadilan kerjasama dalam Islam?
3. Bagaimana respon franchisee terhadap franchise fee dan royalty fee yang
diterapkan bakmi Tebet?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan pembayaran franchise fee pada Restaurant Bakmi
Tebet disesuaikan dengan prinsip keadilan kerjasama dalam Islam.
2. Untuk mengetahui penerapan pembagian royalty fee pada Restaurant Bakmi Tebet
disesuaikan dengan prinsip keadilan kerjasama dalam Islam.
3. Untuk mengetahui respon franchisee terhadap franchise fee dan royalty fee yang
diterapkan bakmi Tebet.
Dengan tujuan yang disebutkan diatas, maka diharapkan dapat diambil
manfaat antara lain:
1. Secara akademis untuk menambah khazanah pengetahuan dibidang ekonomi,
khususnya ekonomi kontemporer seperti waralaba.
2. Bagi praktisi bisnis waralaba ini, diharapkan mendapatkan pengetahuan lebih
mendalam mengenai aplikasi waralaba syariah dalam penerapannya.
3. Bagi masyarakat luas, diiharapkan skripsi ini dapat menjadi salah satu referensi
bagi siapapun yang ingin mengetahui konsep berbisnis dalam waralaba syariah.
D. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian.
8
Jenis penelitian ini bersifat deskriftif yang terdiri dari kualitatif dan kuantitatif
guna memperoleh data-data tersebut, penulis menggunakan penelitian lapangan (field
research) dan penelitian kepustakaan (library research).
2. Populasi dan sampel.
a. Populasi
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki
karateristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti10. Populasi dalam
penelitian ini adalah franchisee atau terwaralaba waralaba Bakmi Tebet.
Jumlah seluruh terwaralaba pada waralaba Bakmi Tebet adalah 19 orang.
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu
yang juga memilki karateristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa
melalui populasi. Sampel dari penelitian ini adalah sebanyak 4 orang,
dikarenakan dari semua rerwaralaba Bakmi Tebet hanya 4 saja yang bersedia
mengisi angket. Adapun 15 terwaralaba lainnya berhalangan untuk mengisi
angket dikarenakan kesibukan masing-masing yang padat, sehingga dirasa
cukup mewakili dengan responden sebanyak 4 orang ini. Adapun penarikan
sampelnya dilakukan dengan cara random sampling (pengampilan sample
10 M Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi dan Aplikasinya, (Jakarta;Ghalianesia,
2002, Cet ke 1,) h. 58.
9
secara acak )atau probabilitas sampling artinya semua unit populasi
mempunyai kesempatan untuk dijadikan sampel atau suatu sampel yang ditarik
sedemikian rupa dimana suatu elemen (unsure) individu dari populasi, tidak
didasarkan pada kepentingan pribadi, tetapi tergantung kepada aplikasi
kemungkinan.
3. Teknik pengumpulan data.
a. Penelitian kepustakaan. (library research). Dalam penulisan skripsi ini
penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu suatu teknik
penelitian untuk memperoleh data dari buku, jurnal, artikel maupun majalah
dan internet yang berhubungan dengan permasalahan diatas.
b. Penelitian Lapangan (field research). Penelitian di lapangan dimaksudkan
untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan cara :
1. Kuisioner (angket)
Kuisioner atau angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang
digunakan untuk memperoleh informasi dari respoden, dalam arti laporan
tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui.11 Pertanyaan kuisioner
sebagian bersifat tertutup dimana pilihan atau alternatif jawaban tersedia
dan sebagian lagi bersifat terbuka untuk menggali informasi yang
mungkin muncul diluar pertanyaan yang tersedia.
2. Wawancara
11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2002 edisi Revisi cet. Ke 12) h.112.
10
Wawancara atau interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara dan
jawaban-jawabannya dicatat atau direkam.12. wawancara dilakukan
dengan responden yang representatif adalah terwawancara menduduki
jabatan sebagai kepala bidang penelitian yang dianggap layak mewakili
waralaba Bakmi Tebet. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan
pemilik waralaba Bakmi Tebet dan asisten beliau.
4. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 metode yaitu kualitatif dan
kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan mewawancarai langsung pemilik
Bakmi Tebet dan Asisten beliau. Analisis dan pengolahan data dilakukan melalui
metode deskriptif analitis, dimana data-data yang diperoleh dipaparkan lalu
diinterpretasikan dan dianalisis. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis,
penulis berusaha untuk memecahkan permasalahan yang ada sekarang
berdasarkan data data yang diperoleh secara langsung di lapangan. Permasalahan
yang ada adalah mengenai konsep franchisee fee dan royalty fee yang menurut
beberapa pakar ekonomi Islam kurang adil bagi terwaralaba dan hanya
menguntungkan pihak pewaralaba,disinilah letak permasalahannya dan jalan
untuk memecahkan masalah yang ada adalah dengan meneliti langsung bisnis
waralaba syariah dan menganalisis konsep franchise fee dan royalty fee dan yang
12 Ibid.,h.132
11
digunakan dan melihat secara riil apakah franchise fee dan royalty fee ini
memberatkkan pihak terwaralaba atau tidak.
Sedangkan metode kuantitatif dijalankan dengan membagikan kuisioner
kepada 4 pengusaha mitra waralaba Bakmi Tebet yang dikunjungi secara acak
dari semua cabang Bakmi Tebet. Untuk cabang yang berada diluar Jakarta Penulis
melakukan wawancara dengan media telpon dikarenakan keterbatasan biaya dan
keterbatasan waktu. Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara, angket
dan dan kepustakaan diseleksi dan disusun setelah itu penulis melakukan
klasifikasi data yaitu usaha menggolongkan data berdasarkan katagori tertentu.
Setelah data-data yang ada diklasifikasikan lalu diadakan analisis data dalam hal
ini data yang dikumpulkan penulis adalah kualitatif kemudian diolah menjadi data
kuantitatif, maka teknik yang digunakan adalah analisa statistic deskriptif yang
akan disajikan dalam bentuk uraian dan tabel.
Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan
jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang
biasa disebut editing. Kemudian data-data tersebut ditabulasi, yakni disusun
kedalam bentuk tabel dengan menggunakan statistic persentasi sebagai berikut:
P = F/N X 100%
Keterangan:
P : Besarnya persentase
F : Frekuensi (jumlah jawaban responden)
N : Jumlah responden
12
5. Pedoman Penulisan Laporan
Pedoman penulisan laporan ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis,Disertasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta Press
Tahun 2007
E. Tinjauan Kajian Pustaka
Pembahasan mengenai waralaba telah dilakukan penelitian sebelumnya.
Terdapat enam penelitian yang dapat dijadikan sebagai fokus tinjauan kepustakaan
berkenaan dengan topik yang dipilih penulis dalam penelitian ini.
No Nama dan Judul
Skripsi
Isi Skripsi Perbedaan dengan Penulis
1 Siti Musrofah dengan
judul “ Konsep
Maslahah Mursalah
dalam Dunia Bisnis
dengan Sistem
Franchise
Waralaba”, Jakarta
2008
Dari penelitian ini
didapatkan hasil
bahwa sistem
franchise sesuai
dengan kaidah
Maslahah Mursalah
karena memiliki
banyak kelebihan atau
kemaslahatan
walaupun tidak
sempurna secara
Penulis lebih fokus
untuk membahas
waralaba dilihat dari
aplikasi franchise fee
dan royalty fee
didalamnya apakah
sesuai dengan prinsip
keadilan dalam Islam.
13
keseluruhan namun
dapat meminimalisasi
segala resiko usaha,
mengambil maslahah
dan dan menjauhkan
mudharat.
2 Sisca Novianti
dengan judul “Bisnis
Franchising dalam
Kajian Hukum
Ekonomi Islam”.
Jakarta 2005
Dari penelitian ini
didapatkan hasil
bahwa kegiatan bisnis
franchise merupakan
suatu bentuk
muamalah baru dalam
Islam yang
diperbolehkan
sepanjang tidak
bertentangan dengan
syariat.
Penulis lebih fokus
terhadap konsep
franchise fee dan royalty
fee yang diterapkan
didalamnya.
3 Syarah Septiana
dengan judul “Konsep
dan Aplikasi
Franchise dalam
Perspektif Hukum
Ekonomi
Islam”.(Studi kasus
LKS Berkah Madani)
Jakarta 2008
Dari penelitian ini
didapatkan hasil
bahwa LKS Berkah
Madani menjalankan
usaha franchisenya
sesuai dengan syariah
Islam dan adil dalam
menerapkan royalty
fee bagi terwaralaba
Perbedaannya adalah
Syarah Septiana
menjadikan LKS Berkah
Madani sebagai objek
penelitiannya sedangkan
penulis menjadikan
Restaurant Bakmi Tebet
sebagai objek
penelitiannya.
Perbedaan yang kedua
adalah penulis juga
tertarik untuk membahas
franchise fee dimana hal
ini belum diteliti oleh
14
Syarah Septiana dalam
penelitiannya.
4 Dewi Irma Fitriana
dengan judul
“Strategi
Pengembangan Bisnis
Waralaba Lembaga
Pendidikan
PRIMAGAMA”
Jakarta 2009.
dari penelitian ini
didapatkan bahwa
pengelolaan
kelembagaan waralaba
Primagama secara
umum disusun
berdasarkan strategi 7
P yaitu: product,
people, physical,
process, place, price,
dan promotion. Dan
dalam hal ini, waralaba
PRIMAGAMA tidak
melanggar ketentuan
syariah Islam dalam
penerapannya.
Penulis lebih fokus
untuk membahas
aplikasi franchise fee
serta royalty fee
didalamnya apakah
sesuai dengan prinsip
keadilan dalam Islam.
5 Ulfa Treni Juliana
dengan judul ”
Analisis Sistem
Waralaba dilihat Dari
Transaksi Bisnis
Syariah (Studi Kasus
Bakmi Langgara
Cabang
Rawamangun)”
Jakarta 2009
Dari penelitian ini
didapatkan hasil
bahwa sistem yang
diterapkan oleh Bakmi
Langgara sudah sesuai
dengan prinsip Islam,
dalam hal bahan baku,
sumber daya manusia,
manajemen, dan
kontrak kerjasama.
Kendati skripsi yang
akan dibahas penulis
memiliki persamaan
karena menggunakan
studi kasus bakmi Tebet
yang merupakan anak
perusahaan dari
waralaba Bakmi
Langgara, namun
terdapat perbedaan
mendasar bahwa penulis
lebih fokus pada
15
penerapan franchisee fee
dan royalty fee yang
diterapkan oleh Bakmi
Tebet, serta meneliti
respon Franchisee
terhadap penerapan
franchise fee dan royalty
fee yang diterapkan
manajemen Bakmi
Tebet.
6 Muhammad Sadli
dengan judul ”
Perbandingan Kinerja
Sistem Waralaba
dengan Konsep Bagi
Hasil dan Royalty
Fee” Jakarta 2009.
Dari penelitian ini
didapatkan hasil
bahwa terdapat
perbedaan kinerja
sistem antara waralaba
Konvensional dan
Waralaba
Syariah.dimana pada
waralaba konvensional
bisa jadi mengambil
keuntungan sebanyak
banyaknya dari
terwaralaba
Perbedaan dengan
skripsi penulis terletak
pada perbedaan studi
kasus dan pokok
penelitian. Dimana
penulis mengambil studi
kasus pada waralaba
Bakmi Tebet dan pokok
penelitian bertujuan
untuk mencari keadilan
pada penetapan
franchise fee dan royalty
fee dilihat dari sudut
pandang franchisor dan
franchisee.
16
F. Sistematika Penulisan
1. BAB I Pendahuluan.
Dalam bab ini dijelaskan latar belakang permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik
penulisan, tinjauan kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.
2. BAB II Konsep Waralaba dan keadilan dalam Islam
Dalam bab ini akan dibahas tinjauan umum tentang pengertian waralaba,
royalty fee, franchisee fee, manfaat waralaba, franchise fee, royalty fee, mekanisme
pmbayaran franchise fee,mekanisme pembagian royalty fee ,konsep keadilan
kerjasama dalam Islam,pengertian keadilan, manfaat keadilan dalam Islam, dan
konsep kerjasama dalam Islam.
3. BAB III Penerapan Franchise Fee dan Royalty Fee pada Restauran Bakmi Tebet
Dalam bab ini akan dibahas mengenai kondisi internal Restaurant Bakmi
Tebet yang meliputi sejarah pendirian, ,aplikasi Franchisee fee dan royalty fee. Pada
Restauran Bakmi Tebet
4. BAB IV Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai Franchise fee dan Royalty
fee dalam perspektif keadilan kerjasama Islam, serta bagaimana respon franchisee
tentang konsep franchise fee dan royalty fee pada manajemen bakmi Tebet.
5. BAB V Penutup.
17
Dalam bab ini penulis menyimpulkan seluruh permasalahan yang telah
dibahas dan atas dasar hal tersebut diajukan pula beberapa saran sebagai
pertimbangan.
BAB II
KONSEP WARALABA DAN KEADILAN DALAM ISLAM
A. Konsep Waralaba
1. Waralaba
Secara bebas dan sederhana, waralaba didefinisikan sebagai hak istimewa
(privilege) yang terjalin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor)
kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran.
Dalam format bisnis, pengertian waralaba adalah pengaturan bisnis dengan system
pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak independen
atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepakataan.1
Franchise sendiri berasal dari bahasa latin yaitu francorum rex yang artinya
“bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha.
Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa perancis abad pertengahan,
diambil dari kata “franc” (bebas) atau “francher” (membebaskan) yang secara umum
diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Oleh sebab itu pengertian franchise
diinterpretasikan sebagai pembebasan dari pembatasan tertentu atau kemungkinan
untuk melaksanakan tindakan tertentu, yang untukorang lain dilarang.2
Menurut Dr Martin mendelsonh, pakar waralaba asal Amerika Serikat,
format bisnis franchise adalah modal izin dari satu orang (franchisor) kepada orang
1 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba,( Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h. 6 2 Ibid.,h 6
18
19
lain (franchisee) yang memberikan haknya (dan bisanya mempersyaratkan).
Franchisee mengadakan bisnis dibawah nama dagang franchisor, meliputi seluruh
elemen yang dibutuhkan untuk membuat orang yang sebelumnya belum terlatih
dalam berbisnis yang dikembangkan / dibangun oleh franchisor dibawah brand
miliknya, dan setelah trainning untuk menjalankannya berdasarkan pada basis yang
ditentukan sebelumnya dengan pendampingan yang berkelanjutan. Amir Karamoy
mengatakan bahwa secara hukum waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian
hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk / jasa dari pemilik (waralaba)
kepada pihak lain terwaralaba yang diatur daklam suatu pemainan tertentu.3
Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan
Waralaba ialah Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir,
dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan
untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang
telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.4
Waralaba di Indonesia saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang WARALABA yang
kemudian diganti dengan peraturan pemerintah no42 tahun 2007 tentang
WARALABA, dan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba yang diperkuat dengan peraturan
3 Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba (Jakarta: PT.Buku Kita, 2008 cet 1). h.13-17 4 Wikipedia, Artikel diakses pada 9 April 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba
20
menteri perdaganganNomor 12/M-Dag/Per/3/2006.5 Dalam PP tersebut ditegaskan
bahwa “waralaba” (franchise) adalah perikatan antara pembeli waralaba dengan
penerima waralaba, dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan
usaha dengan memanfaatkan dan/menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau
penemuan atau cirri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pembeli waralaba dengan sejumlah
kewajiban menggunakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan
oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Dalam peraturan ini juga
dijelaskan bahwa pemberi waralaba ( franchisor) adalah badan usaha atau perorangan
yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan
hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas yang dimliki pemberi
waralaba. Sedangkan penerima waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau
perseorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas yang dimiliki pemberi
waralaba.6
2. Franchise fee
Terkait dengan biaya biaya yang timbul dalam bisnis waralaba, umumnya
seorang terwaralaba berkewajiban menanggung berbagai macam biaya yang timbul
dari pelaksanaan perjanjian waralaba seperti franchise fee. Franchise fee adalah
5 Gunawan Widjaja, Waralaba, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2003) h.147 6 Adrian Sutedi,ibid.,h.12
21
jumlah yang harus dibayar sebagai imbalan atas pemberian hak intelektual pemberi
waralaba, yang dibayar untuk satu kali ( one time fee) , yaitu pada saat bisnis
waralaba akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian waralaba.
Nilai franchisee fee ini sangat bergantung pada jenis waralaba. Semakin terkenal
suatu waralaba semakin mahal franchisee fee yang harus dibayarkan.7
Menurut International Franchise Association Fee untuk memulai
sebuahwaralaba bisa serendah $ 8000 atau bahkan setinggi $5 juta. Sedangkan
franchise fee waralaba lokal berkisar antara 10-400 juta rupiah. Biaya ini biasanya
mencakup initial fee, renovasi, supply, dan inventory, deposit,biaya sebelum memulai
bisnis, biaya pelatihan dan modal kerja. Biaya lain yang akan muncul adalah royalty
fee yang besarnya antara 2-15% dari penjualan.8
Pembayaran franchisee fee jumlah dan jangka waktunya dicantumkan di
dalam perjanjian. Pembayaran yang telah diserahkan sepenuhnya menjadi milik
pewaralaba dan tidak dapat dikembalikan kecuali disebutkan dalam
perjanjian.franchisee fee diperlukan oleh pewaralaba untuk membantu terwaralaba
untuk operasional usaha waralaba.Franchise fee diperlukan franchisor untuk
membantu franchisee dan terdiri dari:
a. Bantuan pra-operasi dan awal operasi bisnis terwaralaba.
b. Pembuatan manual operasi untuk digunakan terwaralaba.
7 Adrian Sutedi,ibid.,h.73 8 Adrian Sutedi,ibid.,h.63
22
c. Penyelenggaraan pelatihan awal (initial training ) dan biaya konsultasi, khususnya
pada operasi bisnis waralaba.
d. Biaya promosi/iklan, khususnya untuk promosi menjelang pembukaan perusahaan
(grand opening terwaralaba).
e. Survey pemilikan/seleksi lokasi.9
Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan suatu bentuk imbalan tertentu.
Secara umum dikenal dua macam kompensasi yang dapat diminta oleh franchisor
dari franchisee yaitu sebagai berikut:
1) Kompensasi langsung dalam bentuk moneter (direct monetary compesansation).
Berikut ini adalah kompensasi yang termasuk kompensasi langsung dalam bentuk
moneter:
a. Lump-sum payment. Suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu
(precalculated amount) yang wajib dibayarkan oleh franchisee untuk diberikan
kepada franchisor pada saat persetujuan waralaba disepakati.
b. Royalty, pembayaran oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai
imbalan, yang besarnya dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan
barang atau jasa berdasarkan perjanjian waralaba, baik yang disertai dengan
jumlah minimum atau maksimum atau tidak.
2) Kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect moneter
compensation) yang meliputi sebagai berikut:
9 Darmawan Budi Suseno, Waralaba Syariah , (Yogyakarta: CAKRAWALA, Cet
pertama,2008), h. 56
23
a. Keuntungan dari penjualan barang modal atau bahan mentah setengah jadi, dan
termasuk barang jadi yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba
(exclusive purchase arrangement)
b. Pembayaran dalam bentuk dividen atau bunga pinjaman dimana franchisor
memberikan bantuan financial baik dalam bentuk ekuitas (equity participation)
atau dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang.
c. Cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh
franchisor. Pengalihan ini biasanya dilakukan dalam bentuk kewajiban
franchisee untuk mengeluarkan semua biaya yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya pelanggaran maupun untuk mempertahankan perlindungan atas hak
kekayaan intelektual paket yang diwaralabakan kepadanya.
Dari berbagai macam kompensasi yang telah dijelaskan, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 16 Tahun 1997, kompensasi yang diizinkan dalam pemberian
waralaba ialah dalam bentuk kompensasi langsung dalam bentuk moneter.10
3. Royalty Fee
Adalah jumlah uang yang dibayarkan secara periodik oleh terwaralaba kepada
pewaralaba sebagai imbalan dari pemakaian hak waralaba oleh terwaralaba yang
merupakan persentasi dari omset penjualan terwaralaba . sama seperti franchise fee,
nilai royalty fee ini sangat bervariatif, tergantung pada jenis waralaba.Royalty fee
yang ditarik oleh pewaralaba secara rutin diperlukan untuk membiayai pemberian
10 Adrian Suteja.,ibid hal 31-33.
24
bantuan teknik selama kedua belah pihak terikat dalam perjanjian.Biaya royalty
dihitung dari porsentasi omset yang didapat setiap bulannya.11
Selain Franchise fee dan Royalty fee ada beberapa biaya yang umumnya ada
dalam bisnis waralaba, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Direct expenses
Merupakan biaya langsung yang harus dikeluarkan oleh terwaralaba
sehubungan dengan pengoperasian suatu usaha waralaba, misalnya terhadap biaya
pelatihan manajemen dan keterampilan tertentu.
b. Marketing dan advertising fees
Sebagian pewaralaba juga memberlakukan advertising fee (biaya periklanan)
untuk membiayai pos pengeluaran dan belanja iklan dari pewaralaba yang
disebarluaskan secara nasional maupu internasional. Besarnya advertising fee
maksimum 3% dari penjualan.
Biaya ini dikenakan dengan alasan bahwa tujuan dari jaringan waralaba
adalah membentuk suatu skala ekonomi yang demikian besar sehingga biaya-biaya
per outletnya menjadi sedemikian efisien untuk bersaing dengan usaha
sejenis.Mengingat iklan dirasakan manfaatnya oleh seluruh jaringan maka setiap
anggota jaringan diminta memberikan kontribusi dalam bentuk advertisisng fee.12
c. Assignment fee
11 Adrian Sutedi,Ibid h. 73 12 Hakim, info lengkap waralaba. (Jakarta: Gema Insani Press, 2007) h. 46
25
Meupakan biaya yang harus dibayar oleh franchisee kepada franchisor jika
pihak franchisee mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain, termasuk bisnis yang
merupakan objek franchisee. Oleh franchisor, biaya tersebut biasanya dimanfaatkan
untuk kepentingan penetapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan, franchisee
baru, dan sebagainya.13
B. Manfaat Waralaba, Franchise fee dan Royalty Fee
Martin Mendelson dalam Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan
Franchisee merumuskan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian pemberian
waralaba. Menurut Mandelson keuntungan-keuntungan bagi pemberi waralaba
adalah:
1. Pemberi waralaba akan lebih mudah untuk melakukan eksploitasi wilayah yang
belum masuk lingkungan organisasinya.
2. Penerima waralaba akan mengkonsentrasikan diri secara lebih optimum pada
bisnis yang diwaralabakan tersebut, oleh karena mereka adalah pemilik bisnis itu
sendiri. Penerima waralaba yang berpikiran tajam, bermotivasi kuat dan tajam
pengamatannya dalam meminimalkan biaya serta memaksimalkan penjualan
memiliki nilai lebih yang jauh lebih banyak daripada yang harus dan dapat
diselesaikan oleh seorang manajer yang harus dibayar pemberi waralaba.
13 Adrian Sutedi,Ibid h. 73-74.
26
3. Pemberi waralaba cenderung untuk tidak memiliki asset outlet dagang sendiri.
Tanggung jawab bagi asset tersebut diserahkan pada penerima waralaba yang
memilikinya.14
Sedangkan hal-hal yang merugikan yang mungkin dapat dihadapi oleh
pemberi waralaba meliputi antara lain:
1. Beberapa penerima waralaba menganggap dirinya cenderung independen. Seorang
penerima waralaba yang memperoleh keberhasilan, usahanya berjalan dengan
baik, dan memperoleh pendapatan sesuai yang diharapkannya, cenderung
membuatnya berpikir bahwa ia tidak membutuhkan pemberi waralaba lagi. Akan
timbul suatu keyakinan pada dirinya bahwa factor keberhasilannya berasal dari
inisiatifnya sendiri dalam menjalankan usahanya dengan baik. Sikap seperti ini
akan menjadi masalah dan tantangan bagi pemberi waralaba.
2. Pemberi waralaba harus memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar
kualitas barang dan jasa dijaga melalui rantai waralaba. Pemberi waralaba harus
dapat menyediakan staf pendukung lapangan yang akan bertindak sebagai penyelia
dari standar-standar tersebut serta untuk memberikan bantuan bagi penerima
waralaba untuk mengatasi masalah yang mungkin akan dihadapi oleh penerima
waralaba.
3. Hindari timbulnya kemungkinan kekuraangpercayaan diantara pemberi waralaba
dengan penerima waralaba.
14 Gunawan Widjaja,Ibid, h. 26
27
4. Pemberi waralaba harus yakin bahwa orang yang telah diseleksi sebagai waralaba
sesuai untuk tipe waralaba tertentu dan mempunyai kapasitas untuk menerima
tanggung jawab dan tekanan untuk memiliki dan menjalankan bisnisnya sendiri.15
Selain itu, Manfaat waralaba banyak sekali, terutama untuk terwaralaba.
Karena terwaralaba tidak memerlukan pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus.
Karena dalam menjalankan usaha waralaba ini, terwaralaba menerima bantuan,
seperti pelatihan bagi staf terwaralaba dari perwaralaba, diberikan bantuan pembelian
peralatan, bahkan terwaralaba mendapatkan pengetahuan khusus serta pengalaman
dari organisasi dan manajemen kantor pusat pewaralaba, walaupun ia tetap mandiri.
C. Mekanisme Pembayaran Franchise fee
Setiap waralaba memilki mekanisme pembayaran yang berbeda. Ada
pewaralaba yang mengharuskan terwaralaba untuk membayar penuh uang franchisee
fee, namun ada juga pewaralaba yang mengizinkan terwaralaba untuk membayar
franchisee fee secara berangsur. Pembayaran franchisee fee biasanya dilakukan
didepan, dalam arti pembayaran dilakukan setelah penandatanganan perjanjian
waralaba antara pewaralaba dan terwaralaba.
Franchisee fee ini digunakan oleh pewaralaba sebagai biaya investasi awal,
dimana digunakan untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk membuka usaha
waralaba tersebut, seperti untuk membeli peralatan masak bagi waralaba yang terkait
15 Gunawan Widjaja, Ibid.,h.28-31.
28
dengan usaha food and beverages, untuk biaya iklan, bahkan untuk biaya pelatihan
yang diberikan pewaralaba terkait dengan usaha yang dijalankannya.
D. Mekanisme Pembagian Royalty Fee
Dalam franchise sebagai suatu format bisnis yang dituangkan dalam suatu
perjanjian antara franchisor sebagai pemilik dari hak intelektual, brand, logo dan
sistem operasi dan franchisee sebagai penerima (konsep, sistem, penemuan, proses,
methode/cara (HAKI), logo, merk/nama) royalti fee wajib dibayarkan oleh franchisee
kepada franchisor sesuai yang diperjanjikan dan dalam hal ini wajib dibayarkan
setiap bulan/triwulan, yang diambil dari penjualan dengan tingkat persentase tertentu.
Besar royalty fee tergantung jenis usaha serta hitung-hitungan dari franchisor yang
mencakup aspek feasibility atau kelayakannya suatu usaha franchise. 16
Selain itu, menurut Anang Sukandar, ketua Asosiasi Franchise Indonesia
(AFI) besarnya royalti fee yang wajar adalah yang seperti di luar negeri, yakni antara
1%-12%. Kalau lebih dari itu sudah tidak wajar. Dan prosentase tersebut harus
diambil dari omset kotor bukan profit. Bila dihitung dari profit akan menyusahkan
karena profit itu sudah masuk dalam pembukuan sehingga perhitungan harus
memperhatikan banyak aspek.Keberadaan royalti fee sudah seharusnya dijadikan
sumber utama pendapatan franchisor demi kelangsungan usahanya, karena
bagaimanapun juga franchisor membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala
16 Gunawan Widjaja., Ibid h.108-109
29
pengeluaran untuk men-support usahanya seperti: membayar biaya supervisi, biaya
monitoring dan biaya on going asistensi secara terus menerus.17
Jadi bisa disimpulkan franchisor harus bisa membuat untung bukan dari
franchisor tetapi melalui franchisee. Maksudnya adalah Franchisee untung maka dia
sebagai franchisor juga untung. Jadi hubungan franchisor dan franchisee harus win-
win, tidak hanya memungut royalti fee kemudian dilepas begitu saja.Sebab itu, sudah
sewajarnya dalam franchise ada royalti fee. Dan sebagai usaha franchise sudah
selayaknya terbuka alias tidak menutup berapa keuntungan yang didapat. Kalau
sampai ada yang menutup-nutupi keuntungan namanya bukan franchise. Meskipun
royalti fee sewajarnya ada dan harus ada dalam franchise namun penetapannya harus
sama untuk setiap franchisee. Jadi tidak boleh ada diskriminasi meskipun franchisor
memiliki franchisee di beberapa daerah dan omsetnya berbeda-beda. Misalnya, kalau
franchisor mematok royalti fee 5% maka semua franchisee harus membayar 5%.
Karena itu, franchisee harus memiliki omset yang memadai. 18
Setiap waralaba memilki mekanisme pembagian royalty fee tersendiri. Pada
umumnya dalam perjanjian waralaba menyebutkan bahwa terwaralaba membayar
sejumlah biaya waralaba (royalty fee) kepada pewaralaba berdasarkan besarnya
penjualan. Isinya antara lain mengenai:
1. Dasar pembayaran biasanya berdasarkan penjualan kotor
17 Anang Sukandar, Aspek Royalty fee pada franchise, artikel ini dikutip pada 16 Mei 2010,
dari http://bisnis2121.com/2008/content/view/192/73/ 18 Anang sukandar.,ibid
30
2. Tingkat royalty seminimum mungkin, terutama ditempat terwaralaba memperoleh
hak atas wilayah tertentu / exclusive territory tanpa persyaratan tingkat kuota
terendah
3. Pembayaran secara periodic ( mingguan, bulanan, kuartalan, dan sebagainya).
4. Waktu pembayaran (misalnya setiap hari kamis, atau berdasarkan penjualan pada
minggu sebelumnya, setiap tanggal sepuluh berdasarkan penjualan pada bulan
sebelumnya dan sebagainya.19
Sedangkan besarnya franchisee fee dan royalty fee masing masing memang
berbeda. Tidak semua jenis fee atau royalty disyaratkan oleh pewaralaba. Setiap
pewaralaba mempunyai kebijakan sendiri dalam menentukan jenis fee atau royalty
fee. Sebagai perbandingan lihat tabel dari beberapa perusahaan:
Tabel 4.1
Joining fee perusahaan waralaba
Nama Joining fee Royalty fee
Mc Donald’s $42.500 8% dari penjualan
CFC Rp 40-60 juta 7 % dari penjualan
Es Teler 77 Rp 50-100 juta 10 % dari penjualan
5 a Sec Rp 400-500 /10 thn
Sumber: (republika 1996:9)
19 Darmawan Budi Suseno.,Ibid.,h. 57
31
1. Perlu dipikirkan pajak yang harus dibayar akibat pembayaran royalty fee dan
franchise fee.
2. Perlu dipikirkan jika ada bunga atas keterlambatan pembayaran fee, apakah bunga
tersebut cukup masuk akal (reasonabie).
3. Perlu dipikirkan jika ada ceiling berupa minimum monthly payment, apakah adil
atau tidak.20
B. Konsep Keadilan Kerjasama dalam Islam
1. Pengertian Keadilan
Salah satu dari prinsip dalam bermuamalah yang harus menjadi akhlak dan
harus tertanam dalam diri pengusaha adalah sikap adil (Al Adl). Cukuplah bagi
alQu’ran telah menjadikan semua tujuan risalah langit adalah melaksanakan keadilan.
Al-‘Adl (Yang Maha Adil) adalah termasuk diantara nama-nama Allah (Asma’ Al-
Husna). Lawan kata dari keadilan adalah kezaliman (al-dzulm), yaitu sesuatu yang
diharamkan Allah atas diri-Nya sebagaimana telah diharamkan-Nya atas hamba-
hamba-Nya. Allah mencintai orang-orang yang berbuat zalim, bahkan melaknat
mereka.21 Firman-Nya:
☺
20 Andrian Sutedi, Ibid, h. 74
21 Hermawan Kartajaya,dkk, Syariah Marketing, (Bandung: PT .Mizan Pustaka,2006) h. 112
32
Artinya: “ dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah?. mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan Para saksi akan berkata: "Orang-orang Inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”(surat Al Huud: 8)
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan
kewajiban. Keadilan juga dapat berarti suatu tindakan yang tidak berat sebelah atau
tidak memihak ke salah satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang sesuai dengan
hak yang harus diperolehnya. Bertindak secara adil berarti mengetahui hak dan
kewajiban, mengerti mana yang benar dan yang salah, bertindak jujur dan tepat
menurut peraturan dan hukum yang telah ditetapkan serta tidak bertindak sewenang-
wenang.22
Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara
penuntutan hak dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan segi etis, manusia
diharapkan untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan atau tidak melaksanakan
kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan manusia yang semata-mata hanya
menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya akan mengarah pada pemerasan
atau perbudakan terhadap orang lain.23
22 Gading Mahendrata, Keadilan Dalam Islam dan Bisnis, artikel ini diakses pada 1 Juni 2010
dari http://gadingmahendradata.wordpress.com/2009/11/27/keadilan-dalam-islam-dan-bisnis/ 23 Gading Mahendrata, Ibid
33
Keadilan dalam Islam bukanlah prinsip yang sekunder. Ia adalah dasar dan
fondasi yang kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum Islam yang berupa
aqidah, syariah, dan akhlak (moral).Ketika Allah memerintahkan tiga hal. Keadilan
merupakan hal pertama yang disebutkan.
⌧ ⌧ ☺
)90: النحل ( ⌧
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (surat An Nahl : 90)
Ketika Allah memerintahkan dua hal, keadilan salah satu yang disebut.
Firman Allah
⌧
☺ ☺
⌧ ☺ )58: النسائى ( ⌧
Artinya:” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (An-nisa ayat 58)
Ketika allah memerintahkan satu hal, keadilan merupakan hal yang
diperintahkan tersebut. Allah berfirman
34
☺
☺⌧
)29: االعراف ( Artinya: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".(Al A’raaf ayat 29)
Implementasi sikap adil dalam bisnis merupakan hal yang sangat berat baik
dalam industri perbankan, asuransi, maupun dalam bentuk bentuk perdagangan dan
bisnis lainnya. Mungkin karena itulah Allah SWT demikian sering menekankan sikap
adil ini ketika berbicara muamalah (bisnis). Sikap adil misalnya, dibutuhkan ketika
seorang praktisi dibutuhkan ketika seorang praktisi perbankan syariah menentukan
nisbah mudharabah, musyarakah, wakalah, wadiah dan sebagainya. Sikap adil juga
diperlukan ketika asuransi syariah menentukan bagi hasil dalam surplus
underwriting, penentuan bunga teknik( bunga teknik tidak ada dalam asuransi
syariah) dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta24. Pada dasarnya,
berbisnis apapun asalkan halal harus selalu berlaku adil bagi orang lain yang ikut
andil dalam bisnis tersebut.
Begitu pula dengan bisnis waralaba. Keadilan sangat diperlukan dalam
penentukan franchise fee dan royalty fee. Dalam penentuan franchisee fee, seorang
pewaralaba harus adil untuk menentukan berapa besar biaya yang dibutuhkan dalam
menjalankan bisnisnya tersebut. Tidak boleh ada biaya terselubung dalam hal
24 Hermawan Kartajaya,dkk., Ibid h. 114-115
35
tersebut. Dan hendaknya pemilik waralaba juga bijak dalam menentukan pengeluaran
terwaralaba sehingga tidak membebankan rekan bisnisnya. Demikian pula dalam
penentuan royalty fee.
2. Manfaat Keadilan dalam Konsep Bisnis Islam
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang
berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk
membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi,
sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.Kecurangan
dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis
adalah kepercayaan. Al Quran memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan
kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT, sebagai berikut :
⌧
)8: المائيدة ( ☺ ☺Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S Al Maidah : 8)
36
Menegakkan keadilan dalam berbisnis tentu sangat disukai oleh Allah SWT.
Dengan berlaku adil, tentu saja banyak manfaat yang kita dapatkan, seperti, bisnis
kita InsyaAllah akan mendapatkan berkah dari Allah SWT, rekan bisnis akan selalu
percaya dengan kuantitas dan kualitas barang yang akan kita perdagangkan, karena
mereka yakin kita akan berlaku adil terhadap mereka.
3. Konsep Keadilan Bisnis dalam Islam
Bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan yang dilakukan oleh
manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya
ekonomi secara efektif dan efisien.Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran
barang. jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut
Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and
selling of goods and service”. Sementara dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis
tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan
barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh
profit.25
Secara umum ajaran Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip
umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman
dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Dalam Islam terdapat nilai-nilai
25 Gading Mahendradata,ibid
37
dasar etika bisnis, diantaranya adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan.
Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan, kejujuran,
keterbukaan (transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan
akuntabilitas.26
Adil sangat diperlukan dalam kegiatan perniagaan supaya tidak merugikan
salah satu pihak atau bisa mengeksploitasi orang lain. Berbuat adil akan lebih dekat
pada takwa sehingga akan terhindar dari hal hal yang akan mengarah pada perbuatan
dosa. Dalam Alquran kata adil disebut berkali kali. Artinya, Islam sangat menjunjung
tinggi nilai keadilan, termasuk di dalamnya adil ketika melakukan perniagaan.
Walaupun mungkin telah disebutkan dalam bab-bab sebelumnya, tetapi perlu
digarisbawahi lagi bahwa ada satu hal mendasar dalam penataan hubungan antara
manusia yang Islami, yaitu tidak ada yang dizalimi dan tidak ada yang menzalimi
atau dalam perkataan lainditegakkan konsep ‘adil’. Al-Quran menegaskan bahwa
keadilan adalah salah satu alasan Allah mengirim rasul-Nya pada manusia. Seperti
pada firman Allah SWT sebagai beikut:
☺
⌧
26 Gading Mahendradata,ibid
38
)25: الحديد ( ⌦
Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.(QS. Al-Hadid (57): 25).
Rasulullah Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa sebagian besar rezeki
manusia di peroleh dari aktifitas perdagangan. Hal ini disabdakan beliau dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Habsyi AL Harabi “berdaganglah kamu sebab dari
sepuluh bagian penghidupan Sembilan diantaranya dihasilkan dari berdagang”.
Dalam ilmu ekonomi, perdagangan secara konvensional dapat diartikan sebagai
proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing masing
pihak. Mereka yang terlibat dalam aktifitas perdagangan dapat menentukan
keuntungan maupun kerugian dari kegiatan tukar menukar secara bebas itu.27
Oleh karena itu, agar diperoleh suatu keharmonisan dalam system
perdagangan, diperlukan suatu :perdagangan yang bermoral”. Rasulullah SAW secara
jelas telah banyak memberi contoh tentang sistem perdagangan yang jujur dan adil
serta tidak merugikan kedua belah pihak. Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id menegaskan: saudagar yang jujur dan dapat dipercaya
27 Jusmaliani, dkk, Bisnis Berbasis Syariah, penerbit Bumi Aksara, Jakarta 2008 hal 45
39
akan dimasukan dalam golongan para nabi, golongan orang orang jujur dan golongan
para syuhada. Hadist tersebut menyatakan bahwa dalam setiap transaksi perdagangan
diperintahkan untuk lebih mengutamakan kejujuran dan memegang teguh
kepercayaan yang dipegang oleh orang lain. 28
Berdasarkan hadist tersebut tampak jelas bahwa Muhammad SAW telah
mengajarkan untuk bertindak jujur dan adil serta bersikap baik dalam setiap transaksi
perdagangan.dalam hal ini kunci keberhasilan dan setiap transaksi perdagangan.
Dalam hal ini kunci keberhasilan dan kesuksesan Nabi dalam perdagangan
diantaranya adalah dimilikinya sifat sifat terpuji beliau yang sangat dikenal penduduk
mekah kala itu, yaitu jujur siddiq), menyampaikan (tabligh), dapat dipercaya
(amanah) dan bijaksana (fathanah). Sifat terpuji itulah merupakan kunci kesuksesan
Nabi dalam berdagang (Afzalurrahman, 2000). Bersikap adil dan bertindak jujur
merupakan prasyarat penting seseorang dalam melakukan perdagangan, disamping
menjaga hubungan baik dan berlaku ramah tamah kepada mitra dagang serta para
pelanggan. Pedagang yang tidak jujur meskipun mendapat keuntungan dagang yang
besar, boleh jadi keuntungan tersebut sifatnya hanya sementara. Ini dikarenakan
ketidakjujuran akan menghilangkan kepercayaan para pelanggan sehingga lama
kelamaan akan memundurkan dan mematikan usahanya.29
4. Konsep Kerjasama dalam Islam
28Era Muslim, “Media Islam Rujukan” dikutip pada 11 Agustus 2010 dari www.eramuslim.com/.../hadist-hadist-tentang-keutamaan-dan-keadilan-sahabat.htm -
29 Era Muslim,ibid
40
Kerjasama dalam Islam disebut dengan syirkah. Syirkah menurut bahasa
berarti pencampuran. Secara terminologi definisi syirkah adalah akad yang dilakukan
oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.dengan adanya
akad syirkah yang disepakati diantara kedua belah pihak, semua pihak yang
mengikatkan diri berhak hukum terhadap harta syarikat itu dan berhak mendapatkan
keuntungan terhadap harta yang disepakati.30 Akad syirkah diperbolehkan menurut
para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 12 yang
berbunyi:
⌧
Artinya: …Maka mereka berserikat dalam sepertiga harta…(Q.S An-Nisa ayat 12)
Konsep kerjasama dalam Islam ada 2 macam:
a. Syirkah AlMusyarakah. secara etimologi asy syirkah berarti percampuran yaitu
percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya sehingga sulit dibedakan.31
Sedangkan menurut terminology adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal /expertise) denggan kesepakatan bahwa keuntungan
dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
30 A.H Azarudin Latif, Fiqh Muamalat, (Penerbit: UIN Jakarta Press, Jakarta, 2005) h. 129 31 Antonio syafii, Bank syariah dari teori ke praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h.
48
41
b. Syirkah ada dua jenis syirkah al Amlak (kepemilikan) dan syirkah al uqud (akad /
kontrak). Syirkah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lain
yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam
syirkah ini kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata
dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut. Sedangkan
syirkah akad tercipta dengan kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju
bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah merekapun sepakat
berbagi keuntungan dan kerugian.
Syirkah akad menjadi:
1) Syirkah al-‘Inan
Para ulama fiqih sepakat bahwa syirkah al-‘inan hukumnya boleh. Dalam
syirkah ini modal yang digabungkan oleh masing-masing pihak tidak harus sama
jumlahnya, demikian juga halnya dalam soal tanggung jawab, kerja, keuntungan
serta kerugian yang terjadi jumlahnya tidak harus sama dan dilakukan berdasarkan
kontrak atau perjanjian.Syirkah al-‘inan merupakan jenis syirkah yang paling
banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini dikarenakan keluasan ruang
lingkupnya dan sistem pelaksanaannya yang fleksibel. Berikut ini beberapa
karakteristik dari syirkah al-‘inan :
a. Besar penyertaan modal dari masing-masing anggota tidak harus sama.
b. Masing-masing anggota mempunyai hak penuh untuk aktif langsung dalam
pengelolaan usaha, tetapi ia juga dapat menggugurkan hak tersebut dari
dirinya.
42
c. Pembagian keuntungan dapat didasarkan pada persentase modal masing-
masing, tetapi dapat pula atas dasar negosiasi.
d. Kerugian dan keuntungan bersama sesuai dengan besarnya penyertaan modal
masing-masing.
2) Syirkah al-Mufawadhah
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing
pihak menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut
berpartisipasi dalam pekerjaan. Demikian pula tanggung jawab dan beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak. Beberapa syarat dalam syirkah al-mufawadhah
adalah sebagai berikut :
a. Nilai masing-masing pihak harus sama.
b. Persamaan wewenang dalam bertindak. Dengan demikian tidak sah
perserikatan anak kecil dengan orang dewasa.
c. Persamaan agama. Maka tidak sah perserikatan antara orang muslim dengan
non muslim.
d. Setiap pihak atau mitra harus dapat penjamin atau wakil pihak yang lainnya
dalam pembelian dan penjualan barang yang diperlukan.
3) Syirkah al-Abdan (al-A’mal)
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang memiliki keahlian
atau profesi yang sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dimana keuntungan
dibagi bersama. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap proyek
atau kerjasam dua orang penjahit untuk menerima order seragam kantor. Profesi dan
43
keahlian ini bisa sama dan juga bisa berbeda, misalnya tukang kayu dengan tukang
besi, mereka menyewa tempat untuk perniagaannya dan bila mendapat keuntungan
dibagi menurut kesepakatan bersama. Dalam syirkah ini para mitra hanya
menyumbangkan keahlian dan tenaga untuk bisnis tanpa memberikan modal.
Syirkah ini lazim disebut juga syirkah al-sanaa’i (syirkah para tukang) atau syirkah
al-taqabbul (syirkah penerimaan).
4) Syirkah al-Wujuh
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memiliki reputasi dan kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang
tersebut secara tunai. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi sama. Syirkah
semacam ini mirip dengan makelar yang banyak dilakukan orang pada zaman
modern sekarang ini. Dalam perserikatan ini pihak yang berserikat membeli suatu
barang hanya didasarkan kepada kepercayaan yang kemudian barang tersebut
mereka bayar dengan tunai.
1. Sama halnya dengan syirkah abdan, dimana para mitra hanya menyumbangkan
keahlian dan tenaganya untuk mengelola bisnis tanpa memberikan modal, dalam
syirkah wujuh para mitra juga hanya menyumbangkan goodwill, credit worthiness
dan hubungan-hubungan (kontak-kontak) mereka untuk mempromosikan bisnis
mereka tanpa menyetorkan modal. Oleh karena itu biasanya kedua bentuk
kemitraan ini terbatas hanya digunakan untuk usaha kecil saja.
Beberapa syarat pokok Musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
44
1. Syarat Akad. Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh para
mitra melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis empat syarat
akad yaitu: 1) syarat berlakunya akad (In’Iqod), 2) syarat sahnya akad (Shihah)
3) syarat terealisasinya akad (Nafadz) dan 4) syarat lazim juga harus dipenuhi.
Misalnya para mitra usaha harus memenuhi syarat pelaku akad (ahliyah dan
wilayah), akad harus dilaksanakan atas persetujuan para pihak tanpa adanya
tekanan, penipuan, atau penggambaran yang keliru dan sebagainya.
2. Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan, harus
dipenuhi hal-hal berikut:
a. Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati
diawal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak sah menurut
syariah.
b. Rasio / nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan
sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak
ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk
menetapkan lumsum untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu
yang dikaitkan dengan modal investasinya.
3. Penentuan proporsi keuntungan. Dalam menentukan proporsi keuntungan terdapat
beberapa pendapat para ahli hokum Islam sebagai berikut:
a. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi
diantara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad
sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
45
b. Imam Ahmad berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari
proporsi modal yang mereka sertakan.
c. Imam Abu Hanifah yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah
berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal
pada kondisi normal. Namun demikian mitra yang memutuskan untuk menjadi
sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi
modalnya.32
32 Ibid h. 172
BAB III
A. Sejarah dan perkembangan Restauran Bakmi Tebet
Sebuah gagasan cemerlang kerap muncul disaat yang tepat. Awalnya Dr.Ir.H
Wahyu Saidi, Msc adalah murni seorang pekerja mapan di sebuah perusahaan
pembangunan jalan tol. Namun krisis moneter yang melanda Indonesia dua belas
tahun lalu telah memaksanya untuk beralih profesi menjadi seorang pengusaha.Ketika
perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar, dengan jabatan manajer tentulah sulit
baginya mencari pekerjaan diperusahaan lain dengan gaji dan jabatan yang setimpal.
Maka pilihannya adalah berhenti, dan mencoba berusaha sendiri. Mulailah ia
memasuki agribisnis dengan bertanam cabe, ternak ayam, pembesaran ikan,
membuka bimbingan belajar, dan membuka usaha makanan Palembang.1
Pada tahun 1996, Pak Wahyu saidi mengawali usahanya dengan membuka
rumah makan ikan patin, menu khas Palembang tempat kelahirannya. Namun
ternyata hasil yang diperoleh masih jauh dari ekspetasi awal. Hal ini dikarenakan
karena menu ikan patin dirasa kurang fleksibel. Dalam artian bahwa penggemar
hidangan ini hanya terbatas pada orang dewasa dan hanya nikmat bila dihidangkan di
siang hari. Seharusnya yang diusahakan adalah makanan untuk semua umur dan
semua waktu. Belajar dari pengalaman inilah Pak Wahyu Saidi kemudian mulai
mencari alternatif menu lain yang lebih fleksibel dan populer. Tentunya hidangan
1 Bud’s, “Doktor Jualan Bakmi” ,artikel ini diakses pada 25 Juni 2010 pada
http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=39630&start=0
46
47
tersebut harus dapat di nikmati oleh seluruh kalangan baik orang tua maupun anak-
anak dan dapat dinikmati kapan saja. Setelah melalui serangkaian pengamatan
dibeberapa tempat makan, maka Pak Wahyu akhirnya memilih bakmi sebagai menu
andalannya.2
Walaupun demikian, pak wahyu berkeyakinan bahwa usaha makanan adalah
usaha yang paling mudah dan beresiko relative kecil karena semua kebutuhan bahan
bakunya dapat diperoleh sesuai dengan kebutuhan. Sepanjang jalan di Margonda,
Depok ditelusuri untuk survey. Pilihan jatuh pada usaha Bakmi, karena menurutnya
selain banyak yang menggemari makanan tersebut yang dapat dinikmati sepanjang
hari.3
Bapak Wahyu Saidi mulai belajar membuat bakmi yang lezat. Patokannya
adalah Bakmi Gajah Mada (GM). Bapak Wahyu menyatakan kekagumannya pada
restaurant yang sangat terkenal dan banyak penggemarnya itu. Sayangnya Bakmi
GM tidak membuat waralaba. Tapi Pak Wahyu tak hilang akal, ia mengundang para
pakar kuliner analis rasa juga pensiunan koki bakmi GM.. Segala cara dilakukan
beliau untuk mendapatkan rahasia bumbu tersebut. Dan akhirnya berhasil didapatkan
dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit yaitu sekitar Rp 200 juta rupiah hanya
untuk bumbu bakmi saja. Pak Wahyu berhasil memperoleh bumbu penyedap bakmi
dan 33 jenis hidangan lain, kendati cita rasanya tentu tak seratus persen menyamai
bakmi GM.
2 Bud’s,ibid 3 Sumber dari Brosur Bakmi Tebet
48
Pada bulan Januari tahun 2002 ia mulai membuka gerai bakmi di Menara
Kadin. Lokasi itu diperoleh berkat pertemanannya dengan seorang pengusaha. Gerai
pertama itu diberi nama “Langgara”. Omsetnya pada hari pertama sebanyak Rp
66.000. Tak lama kemudian dibukanya lagi satu warung dijalan Pemuda dengan
omset hari pertama Rp 200.000.Kemudian menyusul gerai dikawasan Rawamangun
Jakarta Timur, lalu dikawasan Setia Budi, Jakarta Selatan. Tapi gerai baru ini
menggunakan nama “Bakmi Tebet” yang diambil dari sebuah nama kawasan yang
berkonotasi Jakarta, untuk menciptakan kesan bagi orang yang berdomisili di luar
Jakarta.
Di bisnis bakminya pak Wahyu sengaja membidik kalangan menengah ke
bawah. Hal ini berbeda dari beberapa rumah makan bakmi terkemuka yang lebih
banyak menjadikan kalangan menengah ke atas sebagai target utama konsumen
mereka. Pak wahyu mengambil peluang ini dengan menjual makanannya dengan
harga yang relatif murah.4 Untuk bisnis bakminya yang berada di luar Jakarta, bapak
Wahyu menggunakan merek Bakmi Tebet dengan alasan bahwa biasanya segala
sesuatu yang “berbau” Jakarta disukai oleh orang daerah, karena Tebet merupakan
salah satu nama kawasan di Jakarta, maka Pak Wahyu memutuskan untuk
menggunakan nama Bakmi Tebet bagi restaurannya diluar Jakarta.5
Walaupun Bakmi Tebet dan Bakmi Langgara merupakan satu produk yang
sama, namun dalam pengelolaanya, tetap mempunyai manjemen dan strategi yang
4 Majalah sharing, bisnis waralaba Islami. 5 Hasil wawancara langsung dengan Bapak Yusuf, Asisten Wahyu Saidi, 30 Juni 2010.
49
berbeda. Di karenakan target pasar yang berbeda pula. Meski bisnisnya terus
berkembang pak wahyu mengaku masih menghadapi kendala terutama masalah
keterbatasan sumber daya manusia. Saat ini banyak lulusan akademi pariwisata yang
enggan masuk ke dapur mie miliknya. Sehingga ia memilih tenaga tamatan SMA
yang bersedia menjadi karyawannya. Enam bulan pertama menggeluti bisnis ini,
beliau masih ragu karena perekonomian mulai membaik, godaan kerja banyak,
sementara penghasilan dibandingkan dengan tawaran hanya sekitar 30 %, sementara
itu berjualan bakmi juga tifak mempunyai suatu kebanggaan.
Setelah satu tahun berjalan, beliau mulai merasa senang dengan bisnis yang
dijalaninya tetapi keraguan masih tinggi. Namun dibalik keraguan itu, beliau tetap
berusaha terus untuk untuk mengembangkan bisnisnya dengan membuka cabang ke
5, penghsilan beliau setara dengan ataupun sebelum krisis moneter. Hal ini juga yang
membuat semangat untuk terus ,membuka cabang lagi. Dan keyakinan berbisnis
mulai dirasakan setelah membuka cabang yang ke 10.6
Konsep waralaba mulai dikembangkan pada saat membuka cabang ke 11.
Tapi sebenarnya lebih pada konsep Joint Operation, Partnership Waralaba baru
dimulai ketika membuka cabang yang ke 12. Bagi mereka yang minat untuk berbisnis
dimakanan ini cukup menyediakan dana sekitar kurang dari Rp 100 juta. Ia
berkeyakinan modal akan kembali dalam waktu enam bulan sampai satu tahun
apabila bisnis
6 Artikel KOMPAS, Wahyu dan “Virus” Wirausaha, 12 september 2005.
50
Bila ingin mencicipi pasar bakmi yang cukup besar, tawaran waralaba Bakmi
tebet ini bisa menjadi pilihan. Modalnya relative terjangkau. Diharapkan usaha ini
bias balik modal dalam waktun Sembilan bulan hingga 1,5 tahun. Dia memang
bukan makanan asli Indonesia. Tapi panganan bernama bakmi ini sudah lekat dengan
masyarakat Indonesia. Penggemarnya banyak dan tak kenal kasta. Abang becak
maupun tukang ojek bisa menikmati bakmi pengkolan di gerobak. Ibu rumah tangga
ataupun anak kos bias mencegat tukang bakmi keliling diperumahan mereka. Para
bos pun biasa menyantapnya direstauran.7
Tak heran ada banyak restaurant yang khusus menyajikan bakmi sebagai
menu utama. Sebut saja bakmi GM yang sudah taka sing lagi ditelinga kita. Ada juga
bakmi Gang Kelinci, Bakmi Japos, bakmi golek, hingga Bakmi Margonda. Diluar
nama nama beken itu, diluar masih banyak rumah makan bakmi yang diam diam
tumbuh membesar dikawasan jabotabek hingga ke berbagai daerah. Contohnya
Bakmi langgara yang juga beken dengan nama Bakmi Tebet, dua merek dengan satu
nama.8
Sulur sulur bakmi tebet disekitar Jakarta sudah mencapai 32 cabang. Menu
andalan Bakmi Tebet tak jauh beda denggan menu restaurant bakmi lain. Ada bakmi
kuah, ada pula bakmi goreng dengan aneka varian. Tampilan dan rasanya mirip
dengan bakmi GM namun dengan harga yang sedikit lebih murah. Wahyu Saidi
7 Wahyu saidi, asiknya berbisnis restaurant panduan untuk sukses, Penerbit: Enno Media
2007 h. 5 8 Nugroho Dewanto, Artikel “ Doktor Bakmi Waralaba “ Majalah Tempo no 40 /XXXIII/ 29
nov -5 des 2004
51
pemilik Bakmi Tebet mengakui bahwa bakmi GM masih menjadi patokan penggemar
bakmi seluruh Indonesia.”bila tidak bisa menyamai bakmi GM, minimal kita bisa
menyerupainya dengan racikan sendiri” kata bapak wahyu.
Perkembangan cara waralaba Bakmi Langgara ini sangat cepat terutama diluar
kota Jakarta khusus nya di pulau jawa dan luar pulau jawa. Hal ini dikarenakan bakmi
ayam merupakan jenis makanan yang belum dikenal. Sehingga kompetitornya masih
terbilang sedikit. Serta untuk pasar bakmi ayam ini diluar Jakarta dan diluar pulau
Jawa terbuka lebar. Hal ini yang terlihat dari perkembangan cara waralaba ini adanya
peningkatan permintaan bahan baku yang sangat signifikan serta dari royalty fee yang
juga semakin meningkat.9
Merek itu diciptakan agar mudah diingat orang karena berpengaruh pada
persepsi yang akan terus diingat. Merk juga sebaiknya mengandung arti baik
diciptakan sendiri maupun yang sudah diketahui umum. Karena arti itu berhubungan
dengan produk yang ditawarkan pada konsumen. Wahyu mencontohkan nama bakmi
langgara yang terkesan nuansa islamnya. Itu sengaja dilakukan karena selama ini
makanan bakmi identik dengan makanan non-muslim pihaknya sendiri tidak bias
mengklaim bakmi sebagai makanan umat muslim karena nantinya yang non-muslim
tidak akan menyukai bakminya.10
9 Skripsi Ulfa Treni Juliana, Analisis Sistem Waralaba Dilihat dari Transaksi Bisnis Syariah
(Studi kasus Bakmi Langgara) hal 58 10 Koran harian Republika tgl 15 september 2004.
52
Pendirian restoran ini tidak pernah direncanakan secara akademis seperti:
pemakaian grafik-grafik ROI dan planning tetapi pendirian restoran dimulai dari
sebuah mimpi dan dibuat sesuatunya secar berbeda. Perkembangan restoran
dipikirkan selama 24 jam sehingga bakmi berasal dari Jakarta bisa masuk ke Depok,
Jabotabek, Bandung lalu Cirebon, Cilegon, Jateng, Pekanbaru serta Palembang.
Tahapan-tahapan tersebut memerlukan pengetahuan managerial karena menyangkut
SDM, distribusi, dan pengontrolan.11
Untuk bisnis ini beliau memakai tenaga ahli di bidang managerial dan tenaga
ahli untuk bumbu misalnya koki, tenaga untuk marketing dan pengembangan
restaurant.Pemilihan lokasi restoran sebaiknya di jalan dan di dekat persimpangan
ditengah keramaian, dekat sekolah favorit, dekat pasar, dekat pertokoan, tempat
ibadah, dan bila perjalanan pulang berada di sebelah kiri jalan. Dalam
mengembangkan bisnis bakmi langgara dan bakmi tebet bapak wahyu saidi
melakukan beberapa cara yaitu:
• Meningkatkan kemampuan karyawan antara lain dengan pelatihan
• Memberi kompensasi yang memadai
• Membuka cabang yang sebanyak-banyaknya
• Memfokuskan pada masakan mie12
Sampai dengan tahun 2005 bakmi Tebet dan Bakmi Langgara telah memilki
102 cabang, termasuk di 14 kota diluar Jakarta. Selain itu ekspansi Internasional juga
11 Majalah Sharing Bisnis waralaba Islami, grup langgara: intinya bagi hasil yang adil, h.112 12 Ibid hal. 61
53
dilakukan ditahun 2006 dengan membuka restauran baru di Kairo dan Mekah. Meski
demikian, tidak hanya cerita sukses saja yang mengiringi perjalanan bisnisnya. Pada
tahun 2007, bisnis Bakmi Tebet tidak berjalan baik. Namun hingga sekarang 19
cabang yang berada diluar Jakarta dan di Jakarta tetap beroperasi13.
Menurut Pak Wahyu Saidi sebagai owner Bakmi Tebet, banyak cabang yang
tutup dikarenakan salah pilih tempat yang strategis,masyarakat sudah jenuh dengan
bakmi karena semakin banyak restaurant yang membuka bisnis dengan cirri khas
bakmi, dan salah pilih partner merupakan kendala dalam pengembangan bisnisnya.
Namun demikian bukan berarti bisnis Bakmi Tebet bangkrut, masa-masa sekarang
adalah masa keterpurukan yang pasti suatu saat ada jalan keluar dan sukses seperti
beberapa tahun lalu. Dengan banyaknya cabang yang tutup, manajemen Bakmi Tebet
sekarang mulai lebih hati-hati dalam memilih franchisee sebagai rekan bisnis dalam
mengelola waralaba Bakmi Tebet. Pada tahun 2010, Pak Wahyu juga
mengembangkan sayap bisnisnya dengan membuka banyak usaha, seperti Taman
Resto, Sari Bundo masakan Padang, My Way Steak, dan lain-lain.dari sini dapat kita
lihat bahwa peluang bisnis selalu terbuka walaupun kita dalam keadaan terpuruk
asalkan kita mau berusaha.
Dari sisi Diferensiasi Pak Wahyu Saidi mampu menciptakan sesuatu yang
berbeda dalam produknya. Dalam hal ini produk-produk atau menu makanan yang
dijual Bakmi Tebet senantiasa mengikuti selera pasar dan selalu dilakukan inovasi.
13 Wawancara Pribadi dengan Bapak Yusuf Asisten Bapak Wahyu Saidi. 30 Juni 2010.
54
Walaupun pada mulanya Bakmi Tebet menyajikan menu makanan ala Bakmi GM,
namun pada perjalanannya, Pak Wahyu Saidi pun melakukan berbagai inovasi baik
dalam hal pelayanan, produksi dan bahkan dalam hal pemasaran.14
B. Sistem pembayaran franchisee fee
Sistem pembayaran franchisee fee pada waralaba bakmi Tebet tidak jauh
berbeda dengan waralaba lainnya. Pak Saidi, selaku franchisor bakmi tebet
menentukan jumlah franchisee fee yang harus dibayarkan oleh franchisee.
Sistem pembayaran franchisee fee pada waralaba Bakmi Tebet adalah sebagai
berikut:
1) Sebelum melakukan perjanjian waralaba, Pak Saidi menawarkan prospectus
kepada franchisee, dimana prospectus tersebut adalah berkas penawaran yang
diberikan oleh franchisor kepada calon franchisee. Dalam sebuah prospectus
tersebut terdapat data-data yang berhubungan dengan usaha waralaba yang akan
dijalankan. Data-data yang ada dalam perjanjian waralaba tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Unit bisnis yang ditawarkan, termasuk didalamnya target pasar yang akan
dibidik
b. Biaya-biaya yang akan dibutuhkan : termasuk didalamnya syarat lokasi untuk
memulai usaha waralaba tersebut
14 Arwinto.P.Nugroho,dkk, Membedah Peta Persaingan Bisnis Bakmi Studi Kasus Bakmi
Tebet, Penerbit: Enno Media, 2008. Hal 7-8.
55
c. Peruntukan dari franchisee fee, dimana franchisee fee tersebut termasuk
pelatihan, termasuk pengadaan alat, dan perizinan untuk membuka usaha
waralaba terebut kepada pihak-pihak yang terkait
d. Jangka waktu kontrak, berapa lama seorang franchisee berhak memakai
merek Bakmi Tebet
2) Langkah selanjutnya adalah meninjau langsung lokasi yang akan dijadikan
tempat usaha Bakmi Tebet. Syarat dari lokasi waralaba tersebut haruslah lokasi
yang strategis untuk memulai usaha dan berada ditengah keramaian masyarakat,
mudah dijangkau dan tidak terletak di tempat terpencil. Mengenai lokasi yang
akan dijadikan tempat usaha, manajemen Bakmi Tebet tidak ikut turun tangan
didalamnya,franchisee sudah harus mempunyai lokasi dan tempat usaha
sebelum bergabung dengan waralaba Bakmi Tebet.
3) Setelah melakukan penawaran prospectus dan calon franchisee setuju dengan
prospectus yang ditawarkan, maka langkah selanjutnya adalah membuat
perjanjian waralaba antara franchisor dengan franchisee. Dalam perjanjian
waralaba tersebut, terdapat hak-hak dan kewajiban yang harus disepakati antara
kedua belah pihak, antara lain:
a. Franchisee wajib untuk membeli langsung bahan baku seperti bumbu-bumbu
yang dibutuhkan, mie sebagai bahan utama, dari franchisor. Ini diharuskan
untuk menyeragamkan rasa masakan yang tercipta di seluruh outlet bakmi
Tebet.
b. Franchisee wajib menjaga kualitas dan nama baik (brand image) franchisor
56
c. Franchisee wajib mengikuti standar operasi dan spesifikasi yang telah
ditetapkan manajemen bakmi Tebet
d. Manajemen bakmi Tebet berkewajiban melakukan pembinaan terhadap usaha
yang dijalankan franchisee (operasional, manajemen, dan keuangan) serta
memberikan pedoman operasi usaha yang dijalankan dan disepakati oleh para
franchisee.
1. Langkah selanjutnya adalah meninjau langsung lokasi yang akan dijadikan tempat
usaha Bakmi Tebet. Syarat dari lokasi waralaba tersebut haruslah lokasi yang
strategis untuk memulai usaha dan berada ditengah keramaian masyarakat, mudah
dijangkau dan tidak terletak di tempat terpencil. Mengenai lokasi yang akan
dijadikan tempat usaha, manajemen Bakmi Tebet tidak ikut turun tangan
didalamnya,franchisee sudah harus mempunyai lokasi dan tempat usaha sebelum
bergabung dengan waralaba Bakmi Tebet.
2. Langkah terakhir sebelum usaha dijalankan adalah manajemen Bakmi Tebet
mengadakan pelatihan (training) agar usaha yang dijalankan franchisee berjalan
sesuai dengan standar operasi manajemen Bakmi Tebet.
Bakmi Tebet mulai beroperasi pada tahun 2001. Namun baru pada tahun 2003
Bakmi Tebet membuka kesempatan waralaba bagi masyarakat yang berminat untuk
bergabung dengan manajemen Bakmi Tebet untuk mengelola restauran ini. Bagi
calon franchisee yang berminat wajib membayarkan sejumlah franchisee fee kepada
57
manajemen Bakmi Tebet. Besarnya franchise fee waralaba Bakmi Tebet adalah
sebagai berikut:
1. Pada tahun 2003 – 2007 besarnya franchise fee yang ditetapkan manajemen
Bakmi Tebet adalah sebesar Rp 90.000.000 untuk masa kerjasama waralaba
selama 5 tahun, dengan perincian sebagai berikut:
a. Rp 50.000.000 sebagai kompensasi untuk Franchisor Bakmi Tebet atas
pemanfaatan Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki), dalam hal ini merek
Bakmi Tebet yang dimanfaatkan franchisee Bakmi Tebet untuk menjalankan
usahanya selama perjanjian kerjasama sebagai mitra waralaba berlangsung.
b. Rp 40.000.000 sebagai uang pembelian barang sebagai modal awal usaha.
Franchise fee ini tidak termasuk untuk sewa gedung atau bangunan untuk
usaha bakmi Tebet ini, karena sudah menjadi kewajiban terwaralaba untuk
menyediakan tempat untuk memulai usaha.Sebelum usaha berjalan,
terwaralaba harus sudah membayar DP (Down Payment) sebesar 50% dari
total franchise fee yang harus dibayarkan. Terwaralaba harus membayarkan
sisa franchise fee tersebut setelah usaha berjalan.
2. Tahun 2008 hingga 2010 ini, Franchise Fee yang harus dibayarkan adalah
sebesar minimal Rp 25.000.000. franchise fee ini masih bisa untuk dinegosiasikan
kembali apabila dirasa cukup memberatkan calon terwaralaba.Aturan ini lebih
bersifat fleksibel sehingga tidak membebankan franchisee. Dalam aturan
pembayaran Franchise fee yang baru ini, francisee fee sepenuhnya dibayarkan
kepada franchisor Bakmi Tebet sebagai kompensasi atas Hak atas Kekayaan
58
Intelektual (HaKI) dalam hal ini merek Bakmi Tebet yang dimanfaatkan
franchisee Bakmi Tebet untuk menjalankan usahanya selama perjanjian
kerjasama sebagai mitra waralaba berlangsung.
Tidak diberlakukannya lagi uang Franchise fee untuk pembelian barang sebagai
modal usaha yang diantaranya adalah bahan baku seperti mie, kwetiauw dan lain-lain
yang merupakan bahan utama dalam usaha bakmi ini, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 16 Tahun 2007 yang digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 yang pada intinya tidak mengizinkan kompensasi tidak langsung dalam
bentuk moneter (indirect moneter compensation) yang salah satu isinya adalah
dilarang mengambil keuntungan dari penjualan barang modal atau bahan mentah,
bahan setengah jadi, yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba
(exclusive purchase arrangement).
Selain dari franchise fee, Manajemen Bakmi Tebet juga mengambil margin
keuntungan dari penjualan bahan baku kepada terwaralaba. Pembelian bahan baku
langsung dari manajemen bakmi Tebet dimaksudkan untuk menjaga kualitas bahan
baku dan dimaksudkan agar tidak terjadi perbedaan rasa antara outlet-outlet Bakmi
Tebet. Namun dalam pembelian bahan baku utama yang harus disuplay langsung dari
Bakmi Tebet Pusat, Franchisor Bakmi Tebet memberi tahu margin yang diperoleh
karena hal ini terkait dengan jual beli diantara dua mitra yang bekerjasama, apakah
membeatkan atau tidak bagi satu sama lain.
59
Sistem Pembayaran Royalty Fee
Sistem pembagian Royalty Fee pada waralaba Bakmi Tebet tidak jauh
berbeda dengan usaha waralaba umumnya. Pak Wahyu Saidi selaku Owner brand
Bakmi Tebet menetapkan royalty fee bagi rekan bisnisnya. Terwaralaba harus
membayar Royalty fee yang besarnya 3,5% dari omset perbulan. Namun jika omset
perbulan tidak mencapai 15 juta, maka terwaralaba tidak diharuskan membayar
Royalty fee.
Royalty fee yang ditetapkan manajemen Bakmi Tebet sebesar 3,5% diambil
dari keuntungan kotor. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Wahyu Saidi,
alasan yang mendasari royalty fee diambil dari keuntungan kotor adalah karena
waralaba Bakmi Tebet mempunyai cabang dimana-mana, termasuk diluar kota,
sehingga untuk memudahkan pak Wahyu Saidi dan rekan bisnisnya, maka royalty fee
diambil dari keuntungan kotor dengan pertimbangan lebih mudah dihitung
pembagian keuntungannya. Dan tentu saja, hal ini disetujui oleh semua franchisee
Bakmi Tebet.
BAB IV
ANALISIS
A. Analisis Pelaksanaan Sistem Waralaba Bakmi Tebet Secara Umum.
1) Analisis dari Bentuk Kerjasama.
Bentuk kerjasama waralaba bakmi Tebet ini termasuk Musyarakah Al Abdan
dan musyarakah Al Inan. Bentuk kerjasama waralaba Bakmi Tebet termasuk syirkah
Abdan. Adapun pengertian syirkah abdan itu sendiri adalah perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau lebih yang memiliki keahlian atau profesi yang sama untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dimana keuntungan dibagi bersama. Misalnya,
kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap proyek atau kerjasama dua orang
penjahit untuk menerima order seragam kantor. Kesimpulannya adalah waralaba
trmasuk syirkah abdan karena baik franchisor dan franchisee keduanya bekerjasama
dalam menjual produk yang sama, yakni Bakmi. Kerjasama tersebut dalam bentuk
franchisor memperbolehkan franchisee menjual bakmi dengan menggunakan merek
Bakmi Tebet yang merupakan usaha milik franchisor dengan kompensasi berupa
royalty fee.
Waralaba Bakmi Tebet termasuk juga syirkah Al Inan. Dalam syirkah inan modal
yang digabungkan oleh masing-masing pihak tidak harus sama jumlahnya, demikian
juga halnya dalam soal tanggung jawab, kerja, keuntungan serta kerugian yang terjadi
jumlahnya tidak harus sama dan dilakukan berdasarkan kontrak atau perjanjian. Jika
dilihat dari pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa waralaba termasuk syirkah
60
61
Inan dengan persamaan antara lain modal yang dikeluarkan franchisor dengan
franchisee dalam waralaba tidak sama besarnya. Selain itu, yang membuat waralaba
termasuk syirkah inan adalah adanya perbedaan tanggung jawab kerja antara
franchisor dengan franchisee dimana franchisor bertanggungjawab untuk
membimbing franchisee dalam usahanya sedangkan franchisee bertanggung jawab
untuk menjaga nama baik usaha dengan merek Bakmi Tebet yang digunakannya.
Selain itu waralaba termasuk syirkah Inan dikarenakan adalah keuntungan tidak harus
sama, dalam hal ini franchisor Bakmi Tebet hanya memperoleh royalty fee 3,5% dari
usaha Bakmi Tebet yang dijalankan franchisee, sedangkan sisanya merupakan
keuntungan franchisee.
Pada waralaba Bakmi Tebet agar terjadi persamaan rasa bakmi dan kualitas
makanan yang diperdagangkan, ada beberapa barang yang wajib diambil dari pusat,
yaitu: bakmi, kulit pangsit, bihun, kwetiauw, bakso ikan, bakso sapi, daging sapi,
otak-otak, baso tahu, nasi tim, pempek, tekwan, cendol, sambal meja hijau sambal
cabe merah, saos tomat meja, saos pangsit, saos mentega, saus tiram, kecap ikan,
kecap asin, bumbu goring halus, bumbu mie aduk, bumbu kuah halus, box bermerk
besar, box bermerk kecil, kantung plastik bermerk. Dari hal diatas diatas dapat kita
analisis bahwa manajemen Bakmi Tebet sangat menjaga kualitas dan mutu produk
yang di jual sehingga untuk bahan baku utama wajib dibeli dari Bakmi Tebet Pusat
dengan margin yang diambil oleh franchisor diketahui franchisee sebagai bentuk
adanya transparansi dalam waralaba Bakmi Tebet ini.
62
2) Analisis dari pembayaran franchise fee
Pada waralaba Bakmi Tebet, franchise fee yang sudah dibayarkan dikelola
oleh Manajemen Bakmi Tebet untuk membuka satu outlet baru dimana outlet tersebut
berdiri dilahan yang sudah disediakan oleh pihak terwaralaba. Franchise fee tersebut
digunakan untuk membantu mengiklankan outlet Bakmi Tebet yang dikelola
terwaralaba agar lebih dikenal masyarakat. Selain itu Franchise fee tersebut
digunakan untuk modal terwaralaba dalam membeli peralatan- peralatan yang
dibutuhkan dalam bisnis makanan ini.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi calon terwaralaba untuk pembukaan cabang
Bakmi Tebet adalah sebagai berikut:
1. Calon terwaralaba harus memiliki lokasi yang strategis dan mudah dijangkau.
Strategis dalam artian lokasi usaha dekat dengan sentra bisnis atau pusat aktivitas
khalayak.
2. Ruang minimum 100 m2. Sebagai restaurant yang terkonsep untuk keluarga,
manajemen menetapkan ruang minimum 100 m2 dengan pertimbangan agar
pelanggan merasa nyaman dengan restaurant yang cukup luas.
3. Calon terwaralaba diharuskan membayar uang muka tanda jadi sebesar 50% dari
total franchise fee yang ditetapkan Bakmi Tebet Dengan pembayaran uang muka
tanda jadi ini, calon terwaralaba berhak mendapatkan hal-hal sebagai berikut:
a. Merek dagang Bakmi Tebet
b. Format / pola usaha Bakmi Tebet
63
c. Program Pelatihan khusus berupa pelatihan usaha yang diberikan oleh
manajemen.
Penetapan Franchise fee Pada Waralaba Bakmi Tebet
dari Tahun ke Tahun
TAHUN PENETAPAN FRANCHISE FEE
2003-2007 Rp 90.000.000
2007- sekarang (2010) Minimal Rp 25.000.000
3) Analisis dari Pembagian Royalty fee
Mekanisme bagi hasil antara franchisor dengan franchisee dapat dilihat dari
pembagian Royalty fee pada waralaba Bakmi Tebet. Bagi hasil ini diambil dari
omset penjualan selama sebulan. Pembayaran Royalty Fee pada waralaba Bakmi
Tebet dilakukan Tanggal 10 setiap bulannya., dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika omset dibawah 30 juta rupiah, maka terwaralaba tidak usah membayar
royalty fee sebesar 3,5%. walaupun omset penjualan dibawah Rp 30 juta
franchisee masih tetap mendapatkan untung,namun tidak terlalu besar, sehingga
manajemen memberikan kelonggaran dengan penentuan batasan royalty fee
tersebut yang didasari oleh asumsi perhitungan yang sudah dilakukan
manajemen Bakmi Tebet.
2. Jika omset diatas 30 juta rupiah, maka terwaralaba harus membayar royalty fee
sebesar3,5% dari omset penjualan.
64
Penetapan Royalty fee dari Tahun ke Tahun
TAHUN PENETAPAN ROYALTY FEE
2003-2009 3,5% dari omset penjualan sebesar Rp 15
juta
2010 3,5% dari omset penjualan sebesar Rp 30
juta
Skema Pembayaran Royalty fee pada Bakmi Tebet
Dibawah Rp 30 juta
Diatas Rp 30 juta
Penangguhan pembayaran bahan baku
Pindah Lokasi
Pembenahan Manajemen Franchisee
rugi
Bayar Royalty fee 3,5%
Tidak bayar Royalty Fee
Omset penjualan
Dari skema diatas dapat kita lihat bahwa royalty fee pada bakmi Tebet bersifat
fleksibel dari tahun ke tahun. hal ini dilakukan dengan perhitungan matang agar tidak
merugikan franchisee. Jika ternyata dalam perjalananya franchisee menderita
65
kerugian dalam operasionalnya, menurut Manajer Operasional Bakmi Tebet Pusat,
Bapak Abdul Hafiz, ada langkah-langkah yang yang akan dilakukan manajemen
pusat kepada franchisee yakni:
1. Manajemen pusat akan melakukan pembenahan manajemen franchisee, dengan
melakukan pemeriksaan laporan keuangan secara menyeluruh.
2. Jika dalam keadaan normal pembayaran bahan baku dilakukan cash saat barang
diterima, maka dalam keadaan franchisee tidak memilki modal lagi untuk membeli
bahan baku, manajemen Bakmi Tebet pusat memberikan keringanan berupa
pembayaran cicilan bahan baku utama yang harus dibeli di pusat.
3. Jika langkah-langkah diatas tetap tidak bisa merubah kerugian franchisee maka
langkah terakhir adalah pindah lokasi usaha, dimana franchisor tidak dikenakan
biaya franchise fee seperti pada awal perjanjian waralaba.
4. Sesuai dengan perjanjian yang dilakukan antara pihak franchisor dan franchisee
sebelum melakukan usaha, bahwa jika terjadi kerugian pada salah satu pihak
dikarenakan bukan kesalahan dari pihak satu (franchisor) maka kerugian
ditanggung sendiri pihak kedua ( franchisee) sebagai bagian dari resiko usaha.1
Dari hal diatas penulis berkesimpulan bahwa manajemen Bakmi Tebet pusat sudah
berusaha sebaik mungkin untuk membantu franchisee untuk keluar dari lingkaran
kerugian, namun jika ternyata hal tersebut tidak berhasil maka kerugian ditanggung
pihak franchise sebagai bagian dari resiko usaha.
1 Wawancara pribadi penulis dengan bapak Abdul Hafizh selaku Manajer Operasional Bakmi
Tebet pada tanggal 25 september 2010.
66
B. Analisis Pelaksanaan Waralaba terkait dengan Prinsip keadilan Kerjasama
dalam Islam.
1) Analisis dari pembayaran franchise fee ditinjau dari prinsip syariah.
a. Franchise fee yang ditetapkan Bakmi Tebet sepanjang tahun 2003-2007
belum memenuhi prinsip syariah karena didalamnya franchisor sudah
mengambil keuntungan berupa keuntungan dari penjualan bahan baku utama
yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba (exclusive purchase
arrangement) hal ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 16 tahun
1997 tentang Waralaba yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba bahwa kompensasi tidak langsung
dalam bentuk nilai moneter (indirect moneter compesansation) , dalam hal ini
pengambilan keuntungan dari penjualan bahan baku sebagai bagian dalam
franchise fee tidak diperbolehkan.
b. Selain itu, jika dilihat dari bentuk kerjasama dalam Islam, atau syirkah,
franchisee fee yang didalamnya franchisor sudah mengambil keuntungan
berupa keuntungan dari penjualan bahan baku utama yang merupakan satu
paket dengan pemberian waralaba (exclusive purchase arrangement) hal ini
bertentangan dengan kaidah syirkah Abdan dan Inan yang dalam akadnya
berisi bahwa pengambilan keuntungan diantara dua mitra yang bekerjasama
(dalam hal ini franchisor dan franchisee) diperbolehkan setelah usaha
bejralan, tidak boleh mengambil keuntungan jika usaha belum berjalan.
67
Berbeda dengan pengambilan keuntungan atas pemanfaatan Haki (Hak Atas
Kekayaan Intelektual) dalam franchise fee hal ini diperbolehkan sebagai
kompensasi atas dipergunakannya Haki milik franchisor oleh franchisee yang
ditegaskan dalam keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1/Munas
VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual.
Firman Allah SWT tentang larangan memakan harta orang lain secara batil
(tanpa hak) dan larangan merugikan harta maupun hak orang lain, antara lain
sebagai berikut:
⌧ ☺
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu[Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S AnNisa ayat 29)
c. Franchise fee yang ditetapkan Bakmi Tebet sepanjang tahun 2008 hingga saat
ini, sudah memenuhi prinsip syariah karena franchise fee yang dibebankan
franchisor kepada franchisee tidak terdapat kompensasi tidak langsung dalam
bentuk nilai moneter (indirect moneter compesansation). Franchise fee
dibebankan kepada franchisee sebagai kompensasi atas pemanfaatan dan
penghargaan atas Hak atas kekayaan Intelektual yang telah dimiliki oleh
franchiso. Hak atas kekayaan intelektual seseorang harus dihargai, hal tersebut
68
diperkuat dengan keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diperkuat
dengan beberapa pendapat, yakni sebagai berikut:
Keputusan Majma al-Fiqih al-Islami Nomor 43(5/5) Muktamar V Tahun 1409
H/1988 M tentang al-Huquq al-Ma’nawiyyah.
Pertama: Nama dagang, alamat dan mereknya, serta hasil ciptaan (karang
mengarang) dan hasil kreasi adalah hak-hak khusus yang dimiliki oleh
pemiliknya, yang dalam abad modern hak-hak tersebut mempunyai
nilai ekonomis yang diakui orang sebagai kekayaan. Oleh karena itu
hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar.
Kedua: Pemilik hak-hak nonmaterial, seperti nama dagang, alamat dan
mereknya, serta hak cipta mempunyai kewenangan dengan sejumlah
uang untuk terhindar dari berbagai ketidakpastian dan tipuan, seperti
halnya dengan kewenangan seseorang terhadap hak-hak yang bersifat
material.
Ketiga: Hak cipta, karang mengarang, dan hak cipta lainnya dilindungi oleh
syara’. Pemiliknya mempunyai kewenangan terhadapnya dan tidak
boleh dilanggar.2
d. Franchise fee yang ditetapkan Bakmi Tebet tahun 2008 hingga saat ini tidak
bertentangan dengan syarat-syarat dari syirkah inan dan syirkah abdan dimana dalam
keduanya terdapat syarat bahwa keuntungan diambil saat perjanjian sudah
berlangsung, dengan kata lain prinsip musyarakah dalam Islam juga melarang adanya
2 Adrian Sutedja., ibid h. 44-45
69
terdapat kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect moneter
compesansation) karena hal tersebut mendzolimi franchise sebagai mitra kerja. Hal
ini tidak diperbolehkan sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Al Quran sebagai
berikut:
☺
⌧ ⌧ ☺
Artinya: .”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat
Dusta terhadap Allah?. mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan
Para saksi akan berkata: "Orang-orang Inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan
mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim,( Q.S Al
Huud ayat 18)
2) Analisis dari Pembagian Royalty fee (bagi hasil) ditinjau dari prinsip
syariah
a) Pembagian royalty fee ditinjau dari prinsip syariah sudah sesuai dengan .Islam
Hal ini dapat disimpulkan bagi hasil antara antara franchisor dengan franchisee
dengan ketentuan jika dibawah Rp 30 juta franchisee tidak harus membayar royalty
fee ( bagi hasil) sebesar 3,5% karena sudah diperhitungkan bahwa dalam hal tersebut
keuntungan franchise tidak banyak sehingga franchisor memaklumi dengan tidak
membebankan royalty fee. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
70
⌧ ⌧ ☺
⌧
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(Q.S An Nahl : 90)
b) Dalam pembagian keuntungan dalam bisnis, biasanya didasarkan pada bagi hasil
sebagai berikut gross profit ( keuntungan kotor yang belum di kurangi biaya-biaya
yang dikeluarkan selama usaha) dan net profit (keuntungan bersih yang sudah
dikurangi oleh biaya-biaya selama usaha) namun Bakmi Tebet tidak mempergunakan
dua perhitungan tersebut. Yang digunakan bakmi Tebet adalah bagi hasil yang
diambil dari omset penjualan. Jika dilihat dari sudut pandang bisnis, hal ini tentu bisa
merugikan franchisee karena belum jelas untung yang didapatkan tetapi sudah harus
bagi hasil 3,5% omset penjualan kepada franchisor. Oleh karena itu, walaupun
menggunakan perhitungan bagi hasil berdasarkan omset penjualan tetapi manajemen
Bakmi Tebet mempunyai solusi yang baik bagi kedua belah pihak dan saling
menguntungkan, yakni dengan adanya pembatasan omset penjualan yang dikenakan
royalty feenya. Dan ketentuan bagi hasil ini tertulis dalam perjanjian waralaba,
sehngga jika dihubungkan dengan musyarakah dalam Islam, kedua belah pihak sudah
71
tahu dan sama-sama rela karena syarat sahnya akad adalah tidak saling memaksa dan
tidak saling mendzolimi, seperti hadist larangan berbuat zalim sebagai berikut:
“Rasulullah SAW menyampaikan kutbah kepada kami; sabdanya:’ketauhilah : tidak
halal bagi seseorang sedikitpun harta saudaranya dengan kerelaan hatinya…”
(hadist riwayat H.R Muslim)
c) Dalam hal pembelian bahan baku utama seperti mie dan bumbu-bumbu yang wajib
dibeli dari manajemen Bakmi Tebet pusat, hal ini tidak bertentangan dengan kaidah
kerjasama dalam Islam. Hal ini didasari bahwa yang harus diperhatikan adalah bahwa
tujuan utama yang mengharuskan pembelian bahan baku utama di Bakmi Tebet pusat
adalah agar terjadi keseragaman rasa di semua outlet Bakmi Tebet. Hal ini sejalan
dengan Qawa’id fiqh dalam hal “ Menghindarkan mufsadat didahulukan atas
mendatangkan maslahat”. Jika bahan baku utama tidak dibeli di satu tempat yang
sama, maka akan terjadi perbedaan rasa dan kualitas makanan yang disajikan disetiap
outlet Bakmi Tebet dan tentu saja ini dapat merusak image Bakmi Tebet dimata
masyarakat sehingga akan merugikan bisnis franchisee juga. Bapak Abdul Hafizh
selaku manajer operasional Bakmi Tebet menjamin tidak terjadi perbedaan harga
signifikan dengan bahan baku yang ada dipasaran. Pembelian di pusat ini semata-
mata untuk menjaga konsistensi rasa yang sama di setiap cabang Bakmi Tebet.
d) Pada perjanjian waralaba terdapat klausal yang tertulis bahwa franchisee wajib
membeli bahan baku utama dipusat, dapat disimpulkan bahwa ini tidak melanggar
kaidah bermusyarakah, karena kedua belah pihak saling mengetahui dan sama-sama
rela sehingga tidak melanggar etika bisnis yang berlaku.
72
e) Pajak usaha ditanggung oleh franchisee karena dalam operasionalnya franchisee yang
menjalankan usaha, sedangkan franchisor hanya mengontrol usaha tersebut tidak
kleuar dari SOP (Standard Operasional Manual.
Disini dapat kita analisis bahwa Manajemen Bakmi Tebet sangat memikirkan
keuntungan dan kerugian partner bisnisnya dan tidak serta merta memikirkan
keuntungan pemilik waralaba saja.Islam secara jelas menjelaskan ketulusan dan
transparansi dalam bermuamalah (berbisnis). Alquran dengan tegas menekankan
perlunya hal ini dalam nilai semua ukuran. Allah berfirman:
⌧ ⌧
⌧
☺
⌧ ⌧
☺ )143: لبقرة (
Artinya :” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.( Al Baqarah: 143).
Dr Mustaq Ahmad mengatakan para pelaku bisnis Muslim diharuskan berhati-
hati agar jangan sampai melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan
73
orang lain dan atau malah merugikan dirinya sendiri akibat tindakan-tindakannya
dalam dunia bisnis. Al Qur’an memperingatkan para pelaku bisnis yang tidak
memperhatikan kepentingan orang lain, sebagaimana Islam juga memperingatkan
sesuatu yang akan menimbulkan kerugian pada orang lain, dan bahwa itu bukan
hanya tidak disetujui, tapi lebih dari itu, perilaku demikian sangatlah dikutuk.3
Menghalalkan segala cara dalam rangka meraup keuntungan yang sebesar-besarnya,
sekalipun mengorbankan hak-hak orang lain adalah manisfestasi sikap keserakahan
yang muncul karena banyak mengikuti nafsu setan. Singkatnya, seorang pelaku bisnis
hendaknya menghindari dan menahan diri dari bisnis yang tidak menguntungkan dan
jangan sampai melakukan sebuah bentuk kedzaliman atau perampasan hak orang lain,
sebab tindakan ini hanya akan menimbulkan kerugian yang pasti.
Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya dalam urusan untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
dengan cara yang paling baik. Dari pengertian tersebut, bentuk kegiatan bisnis apapun
termasuk dalam muamalat yang dalam prakteknya dapat berkembang sesuai dengan
kebutuhan manusia. Hal ini isebabkan persoalan muamalah dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah dijelaskan secara global dan umum saja. Dengan demikian Allah memberikan
kesempatan pada matnya untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk
muamalah, selama tidak keluar dari prinsip-prinsip usaha yang telah ditentukan dalam
3 Hermawan Kartajaya, dkk, Syariah Maketing,(Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2006) h. 117-
118
74
Islam.4 Dapat disimpulkan bahwa waralaba Bakmi Tebet sudah menjalankan usaha
waralabanya sesuai dengan syariat Islam, yang pada dasarnya adalah untung dan rugi
ditanggung bersama, dan tidak keluar dari prinsip-prinsip syariat Islam .
C. Respon Franchisee terhadap Franchise fee dan Royalty fee Yang Diterapkan
Bakmi Tebet.
C1. Identitas Responden
Dalam penelitian ini menggunakan tujuh (7) buah item pertanyaan sebagai data
responden. Data responden tersebut adalah nama cabang, pimpinan cabang,jenis
kelamin, alamat cabang, pengetahuan tentang waralaba Bakmi Tebet, lama bergabung
dengan manajemen Bakmi Tebet, besar Franchise fee saat bergabung, dan sistem
pembayaran Franchise fee pada saat bergabung.Gambaran identitas responden
tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1
Distribusi Responden Berdasarkan Nama Cabang
Responden Nama Cabang 1 Bakmi Tebet ITC Depok 2 Bakmi Tebet Anyer 3 Bakmi Tebet Blora 4 Bakmi Tebet Depok
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
4 Muchlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 1997),h.119
75
Tabel 1.1 menunjukkan Responden berasal dari cabang yang berbeda-beda, yang
tersebar di seluruh Indonesia. Satu cabang berada diluar kota Jakarta, yaitu cabang
Blora. Sisanya, berada di dalama wilayah Jakarta.
Tabel 1.2
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Pria 3 75
Wanita 1 25 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari tabel 1.2 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang berjenis kelamin
pria sebanyak 3 orang (75%) dan jumlah responden yang berjenis wanita sebanyak 1
orang (25%).
Tabel 1.3
Gambaran Identitas dan Karateristik Pengetahuan Franchisee
(Menurut Pengetahuan tentang Adanya Waralaba Bakmi Tebet)
Sumber Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) Teman 4 100
Brosur/Majalah/Koran 0 0 Media Televisi 0 0 Media Internet 0 0
76
Total 4 100 Sumber: Hasil pengolahan kuesioner
Dari tabel 1.3 dapat dilihat bahwa semua responden (100%) mengetahui
adanya waralaba Bakmi Tebet dari teman. Dari tabel ini pula dapat kita lihat bahwa
manajemen Bakmi Tebet harus lebih banyak mempromosikan waralaba Bakmi Tebet
melalui media brosur, majalah, televisi dan internet, agar lebih efektif untuk
menjaring franchisee baru.
Tabel 1.4
Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bergabung
dengan Manajemen Bakmi Tebet
Lama Bergabung Frekuensi Persentase (%) Kurang dari 1 Tahun
1-5 Tahun 3 75 5-10 Tahun 1 25
Lebih dari 10 Tahun Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan lama
bergabung dengan manajemen Bakmi Tebet sebanyak 3 orang responden (75%)
mengaku bergabung dengan manajemen Bakmi Tebet dalam rentang waktu 1-5
tahun, diikuti dengan satu orang responden (25%) yang sudah bergabung dengan
manajemen Bakmi Tebet dengan rentang waktu lebih dari 5 tahun.
Tabel 1.5
Distribusi Responden Berdasarkan Franchise Fee
77
yang Dibayarkan kepada Manajemen Bakmi Tebet
Besar Franchise Fee Frekuensi Persentase (%) Rp 20-25 juta 0 0 Rp 50-75 juta 1 25 Rp 75-100 juta 1 25
Lebih dari Rp 100 juta 2 50 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa besarnya franchise fee yang responden
bayarkan kepada manajemen Bakmi Tebet berbeda-beda antara satu responden
dengan yang lain. Sebanyak 1 responden (25%) membayar franchise fee
sebesar (Rp 50-75 juta), sedangkan 1 responden membayar franchise fee
berkisar antara Rp75-100 juta, dan 2 responden (50%) mengaku membayar
franchise fee lebih dari Rp 100 juta. Dapat kita simpulkan bahwa setiap cabang
tidak sama dalam pengenaan Franchise fee, hal ini dikarenakan kebutuhan
setiap cabang berbeda, walaupun pada dasarnya besar franchise fee diawal
perjanjian ditetapkan sebesar Rp 25 juta sampai Rp 90 juta, tetapi hal ini masih
bisa dinegosiasikan dengan franchisee. Manajemen Bakmi Tebet sangat terbuka
dengan hal ini, dengan tujuan agar tidak memberatkan pihak franchisee.
Tabel 1.6
Distribusi Responden Berdasarkan Sistem Pembayaran Franchise Fee
Sistem Pembayaran
Franchise Fee Frekuensi Persentase (%)
Angsuran 0 0
78
Tunai 4 100 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan kuisioner
Dari table 1.6 dapat kita lihat bahwa semua responden (100%) mengaku bahwa
mereka membayar tunai franchise fee yang ditetapkan manajemen Bakmi
Tebet, walaupun pada dasarnya manajemen Bakmi Tebet memperbolehkan
franchisee membayar franchise fee secara angsuran jika sudah mendapatkan
keuntungan dalam usaha waralaba ini.
Tabel C.2. Tanggapan Responden atas Gambaran Umum dan Pengetahuan
Responden Terhadap Konsep Waralaba dan Kerjasama dalam Islam
Untuk tanggapan responden ini, metode yang digunakan adalah dengan
memberikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan konsep waralaba dan
konsep kerjasama dalam Islam dengan empat alternatif jawaban, yaitu:
a. Tidak Paham c..Paham
b. Kurang Paham d. Sangat Paham
Tabel 2.1
Distribusi Responden Berdasarkan
Pemahaman Responden Mengenai Waralaba
Alternatif Jawaban Frekuensi Persentase (%) Tidak Paham 0 0
Kurang Paham 0 0 Paham 4 100
Sangat Paham 0 0 Total 4 100
79
Sumber: Hasil Pengolahan kuisioner
Dari tabel 2.1 dapat kita lihat bahwa semua responden paham dengan istilah
waralaba. Dari hasil wawancara didapatkan keterangan bahwa sebelum
bergabung dengan usaha waralaba mereka mempelajari terlebih dahulu tentang
waralaba dan berbagai aspek didalamnya, untuk membuat mereka lebih yakin
sebelum bergabung dengan manajemen Bakmi Tebet.
Tabel 2.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Responden
Mengenai Konsep Franchise Fee pada Waralaba
Alternatif Jawaban Frekuensi Persentase (%) Tidak Paham 0 0
Kurang Paham 2 50 Paham 2 50
Sangat Paham 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari table 2.2 dapat kita simpulkan bahwa sebanyak 2 responden atau 50% dari
total responden mengaku kurang paham dengan konsep Franchise fee. Kurang
paham disini maksudnya adalah bahwa meereka kurang menguasai
pengetahuan tentang diperuntukkan untuk apa saja franchise fee itu
dialokasikan. Berdasarkan hasil wawancara sebagian responden mereka
mengaku bahwa berdasarkan pengetahuan mereka, franchise fee ini hanya
untuk membayar merek yang mereka gunakan dalam usaha mereka, dan
membeli bahan-bahan penunjang usaha Bakmi Tebet ini. Padahal dengan
membayar franchise fee ini, mereka juga mendapatkan pelatihan dari
80
manajemen Bakmi Tebet selain itu, manajemen Bakmi Tebet juga melakukan
promosi bagi setiap cabang Bakmi Tebet yang baru buka dengan cara menyebar
brosur dan iklan.
Tabel 2.3
Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman
Responden Mengenai Konsep Royalty Fee pada Waralaba
Alternatif Jawaban Frekuensi Persentase (%) Tidak Paham 0 0
Kurang Paham 1 25 Paham 3 75
Sangat Paham 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Quisioner
Dari Tabel 2.3 dapat kita lihat sebanyak 1 orang responden (25%) mengaku
kurang paham dengan konsep royalty fee sedangkan sisanya sebanyak 3
responden (75%) mengaku paham dengan konsep royalty fee dalam usaha
waralaba. Ini menandakan bahwa sebagian besar responden sebelum
memutuskan untuk bergabung dengan usaha waralaba, dalam hal ini waralaba
Bakmi Tebet, sudah mempelajari terlebih dahulu pengetahuan waralaba dan
istilah-istilah yang ada didalamnya seperti royalty fee dan franchise fee.
Tabel 2.4
Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman
81
Responden Mengenai Konsep Waralaba dalam Perspektif Islam
Alternatif Jawaban Frekuensi Persentase (%) Tidak Paham 1 25
Kurang Paham 3 75 Paham 0 0
Sangat Paham 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan kuisioner
Dari Tabel 2.4 dapat kita simpulkan bahwa tingkat pemahaman responden
mengenai konsep waralaba dalam perspektif Islam berbeda-beda antara satu
sama lain. Sebanyak 1 orang responden (25%) mengaku tidak paham dengan
konsep waralaba dalam perspektif Islam dikarenakan tidak pernah mendalami
konsep waralaba dalam perspektif Islam.Islam.Sedangkan sisanya sebanyak 3
responden (75%) mengaku paham mengenai konsep waralaba dalam perspektif
Islam, dimana konsep waralaba dalam perspektif Islam tersebut adalah sangat
menjunjung tinggi konsep keadilan dalam berbagai usaha termasuk didalamnya
usaha waralaba
Tabel 2.5
Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman
Responden Mengenai Konsep Keadilan Kerjasama secara Umum
Alternatif Jawaban Frekuensi Persentase (%) Tidak Paham 0 0
Kurang Paham 0 0 Paham 4 100
Sangat Paham 0 0
82
Total 4 100 Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari Tabel 2.5 mengenai seberapa besar pemahaman responden mengenai
konsep keadilan kerjasama secara umum semua responden (100%) mengaku
paham dengan konsep keadilan kerjasama secara umum.
Tabel D.3 Respon Responden terhadap Penetapan Franchise fee dan Pembagian
Royalty Fee yang Diterapkan Manajemen Bakmi Tebet
Untuk tanggapan responden ini, metode yang digunakan adalah dengan
memberikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan kepuasan responden
terhadap Penetapan Franchise fee dan Royalty Fee yang diterapkan oleh manajemen
Bakmi Tebet, dengan beberapa alternatif jawaban yang disesuaikan dengan
pertanyaan yang diajukan.
Tabel 3.1
Pendapat Responden Mengenai
Besarnya Franchise Fee yang Dibayarkan
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Setuju 0 0
Kurang Setuju 1 25 Setuju 3 75
Sangat Setuju 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
83
Dari Tabel 3.1 dapat di simpulkan bahwa sebanyak 1 orang responden (25%)
mengaku kurang setuju dengan besarnya franchise fee yang dibayarkan diawal
perjanjian, alasan yang mendasarinya adalah belum diberlakukannya DP (Down
Payment) ketika bergabung sehingga dirasa terlalu berat untuk membayar scara
tunai.sedangkan sisanya 3 responden (75%) mengaku setuju dengan besarnya
franchise fee yang harus dibayarkan kepada Manajemen Bakmi Tebet.
Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas responden setuju dengan besarnya
franchise fee yang harus dibayarkan karena sesuai dengan yang didapatkan,
seperti responden (dalam hal ini franchise) mendapatkan peralatan-peralatan
masak untuk menunjang usahanya yang notabene restoran bakmi.
Tabel 3.2
Pendapat Responden Mengenai Konsep Keadilan Terhadap Besarnya Franchise Fee yang Harus Dibayarkan
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Adil 0 0
Kurang Adil 1 25 Adil 3 75
Sangat Adil 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari Tabel 3.2 menunjukkan bahwa 1 orang responden (25%) mengaku bahwa
penetapan franchise fee kurang adil, dengan alasan tidak sesuai ekspetasi
dengan apa yang didapatkan ketika bergabung.Sedangkan mayoritas responden
(75%) mengaku bahwa penetapan franchise fee yang ditetapkan oleh
84
manajemen Bakmi Tebet adil bagi mereka. Mayoritas responden setuju dengan
besarnya franchise fee yang dibayarkan dan merasa adil karena dengan
membayar franchise fee yang jumlahnya cukup besar tersebut, responden juga
mendapatkan lisensi atau merek Bakmi Tebet yang sudah dikenal masyarakat,
sehingga memudahkan mereka untuk memulai usahanya.
Tabel 3.3
Pendapat Responden Mengenai Kepuasan Responden
Terhadap Besarnya Franchise Fee yang Harus Dibayarkan
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Puas 0 0
Kurang Puas 1 25 Puas 3 75
Sangat Puas 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari Tabel 3.3 dapat kita lihat bahwa mayoritas responden (75%) mengaku
puas dengan besarnya franchise fee yang harus dibayarkan kepada manajemen
Bakmi Tebet. Hanya satu responden (25%) yang kurang puas dengan besarnya
franchise fee yang harus dibayarkan, terkait dengan ekspetasi yang terlalu
tinggi bahwa dengan membayar franchise fee yang sudah ditetapkan franchisee
akan mendapakan terus-menerus pelatihan dari manajemen.
Tabel 3.4
Pendapat Responden Mengenai Besarnya Royalty Fee
85
yang Ditetapkan Manajemen Bakmi Tebet
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Setuju 0 0
Kurang Setuju 0 0 Setuju 4 100
Sangat Setuju 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari Tabel 3.4 Mengenai pendapat responden terhadap besarnya royalty fee
yang ditetapkan manajemen Bakmi Tebet, dapat diambil kesimpulan bahwa
semua responden (100%) setuju dengan besarnya royalty fee yang harus
dibayarkan kepada manajemen Bakmi Tebet. Berdasarkan hasil wawancara,
responden mengaku setuju karena royalty fee merupakan hak franchisor
sebagai pemilik waralaba dan sudah seharusnya franchisee membayar hak
tersebut dari hasil usahanya.
Tabel 3.5
Pendapat Responden Mengenai Konsep Keadilan Terhadap Besarnya Royalty Fee yang Harus Dibayarkan
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Adil 0 0
Kurang Adil 1 25 Adil 3 75
Sangat Adil 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
86
Dari Tabel 3.5 mengenai pendapat responden terhadap konsep keadilan
terhadap besarnya royalty fee yang harus dibayarkan, mayoritas responden
(75%) mengaku bahwa besarnya royalty fee yang harus dibayarkan adil bagi
mereka. Adil disini maksudnya adalah bahwa royaty fee yang ditetapkan tidak
memberatkan responden. Dengan besarnya royalty fee sebesar 3,5% dari omset
kotor perbulan yang harus dibayarkan kepada manajemen Bakmi Tebet,
responden tetap mendapatkan keuntungan yang lumayan.sedangkan satu orang
responden merasa kurang adil dengan royalty fee yang harus dibayarkan setiap
bulannya, karena keuntungan yang didapatkan masih sedikit sehingga terasa
berat untuk membayar kewajiban royalty fee tersebut.
Tabel 3.6
Pendapat Responden Mengenai Kepuasan Responden
Terhadap Penetapan Royalty Fee sebesar 3,5%
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Puas 0 0
Kurang Puas 0 0 Puas 4 100
Sangat Puas 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari Tabel 3.5 dapat disimpulkan bahwa semua responden (100%) mengaku
puas dengan penetapan royalty fee sebesar 3,5% dari omset kotor. Walaupun
pada Tabel 3.4 terdapat satu responden yang berpendapat kurang adil dengan
87
penetapan royalty fee, namun jika berbicara tentang kepuasan, semua responden
berpendapat sama, yaitu puas dengan penetapan royalty fee karena royalty fee
sebesar 3,5% bersifat fleksibel, yaitu jika omset dibawah Rp 15 juta perbulan
maka franchisee tidak diharuskan membayar royalty fee kepada manajemen
Bakmi Tebet. Inilah yang membedakan antara waralaba Islami dengan waralaba
pada umumnya. Pada konsep waralaba yang umum, untung ataupun rugi,
franchisee tetap harus membayar royalty fee, berbeda dengan waralaba Islami
yang lebih adil dalam penetapan franchise fee dan royalty fee.
Tabel 3.7
Pendapat Responden Mengenai Kinerja Manajemen Bakmi Tebet
Pendapat Responden Frekuensi Persentase (%) Tidak Bagus 0 0
Kurang Bagus 0 0 Bagus 4 100
Sangat Bagus 0 0 Total 4 100
Sumber: Hasil Pengolahan Kuisioner
Dari Tabel 3.6 Mengenai pendapat responden mengenai kinerja manajemen
Bakmi Tebet,semua responden berpendapat (100%) berpendapat bahwa kinerja
manajemen Bakmi Tebet bagus. Berdasarkan hasil wawancara di dapatkan
kesimpulan bahwa responden sangat terbantu dengan adanya pelatihan-
pelatihan yang diberikan kepada manajemen Bakmi Tebet, seperti pelatihan-
pelatihan untuk mempromosikan cabang-cabang yang baru buka, pelatihan-
88
pelatihan untuk melatih koki baru yang dipekerjakan di cabang-cabang yang
dikelola franchisee, dan banyak lainnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sistem waralaba Bakmi Tebet tidak bertentangan dengan konsep musyarakah
secara Islami, sistem waralaba Bakmi Tebet ini sejalan dengan konsep
musyarakah Al Abdan dan Al Inan dimana pada kedua konsep tersebut
terdapat unsur keadilan dan kerelaan diantara dua pelaku bisnis yang saling
bekerjasama, dalam hal ini antara franchisor sebagai pemilik waralaba Bakmi
Tebet dan franchisee sebagai mitra usaha.
2. Franchise fee yang di tetapkan Bakmi Tebet sepanjang tahubn 2003-2007
belum memenuhi prinsip syariah, karena didalamnya franchisor Bakmi Tebet
sudah mengambil keuntungan dari penjualan bahan baku utama yang
merupakan satu paket dengan pemberian waralaba (exlusive purchase
arrangement), hal ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 16 tahun
1997 tentang waralaba bahwa kompensasi tidak langsung dalam bentuk
moneter tidak diperbolehkan, karena kerjasama belum berjalan. Namun sejak
tahun 2008 hingga kini dalam waralaba Bakmi Tebet tidak terdapat unsur
eksploitasi antara franchisor terhadap franchisee, yang terjadi adalah
kesetaraan yang saling menolong dan membutuhkan. Hal ini dapat dilihat
dalam penetapan franchise fee. Waralaba Bakmi Tebet menetapkan franchise
fee yang bersifat fleksibel yang memudahkan calon franchisor untuk
bergabung. Fleksibel disini adalah pihak waralaba Bakmi Tebet tidak
menetapkan aturan yang baku mengenai franchise fee yang harus dibayarkan
88
89
kepada franchisor. Besar franchise fee disesuaikan dengan kemampuan
franchisor namun disesuaikan pula dengan standar yang dibutuhkan.hal ini
juga sejalan dengan prinsip keadilan dan kerelaan dalam bertransaksi secara
Islami. Dalam penetapan franchise fee, franchisor berusaha bersikap seadil
mungkin dan bersikap transparan kepada franchisee terhadap franchise fee
yang telah dibayarkan. Dalam hal pembagian royalty fee, waralaba Bakmi
Tebet pun sudah sejalan dengan prinsip keadilan kerjasama dalam islam.
Dimana dalam waralaba terdapat unsure penghargaan atas karya cipta orang
lain, penghargaan tersebut tidak sebatas jargon belaka, akan tetapi dalam
bentuk riil yaitu membayar royalty fee yang dalam hal ini merupakan hak dari
franchisor waralaba Bakmi Tebet. Dan besar royalty fee yang harus
dibayarkan franchisee pun disesuaikan dengan prinsip keadilan. Prinsip
keadilan disini makasudnya adalah bahwa manajemen waralaba Bakmi Tebet
tidak menetapkan royalty fee yang besar agar tidak membebani franchisee,
besar royalty fee pun hanya sebesar 3,5 % dari omset kotor franchisee.
Bahkan jika omset franchisee kurang dari Rp 30 juta sebulan, franchisee tidak
harus membayar royalty fee kepada franchisor.
3. Berdasarkan angket yang penulis sebarkan kepada beberapa franchisee Bakmi
Tebet dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya franchise fee yang
ditetapkan manajemen Bakmi Tebet pada setiap cabangnya tidak sama satu
sama lain bergantung pada biaya yang dibutuhkan untuk membuka suatu
cabang. Dan dalam penetapan Franchise fee ini 75% responden yang
merupakan franchisee waralaba Bakmi Tebet mengaku puas dengan besar
90
franchisee fee yang dibayarkan karena bersifat fleksibel. Mengenai royalty fee
yang dibebankan yaitu sebesar 3,5 % dari omset kotor, 75% responden
mengaku puas dan tidak berkeberatan dengan penetapan royalty fee tersebut
dengan alasan bahwa royalty fee adalah hak franchisor dan itu merupakan
kewajiban mereka untuk membayarnya. Mengenai kinerja manajemen Bakmi
Tebet, 100% responden mengaku puas dengan kinerja manajemen Bakmi
Tebet karena secara berkala selalu memberikan pelatihan-pelatihan yang
dibutuhkan franchisee dalam mengelola cabang Bakmi Tebet.
B. Saran
1. Saran untuk manajemen Bakmi Tebet agar lebih banyak mempromosikan
waralaba Bakmi Tebet lewat berbagai media seperti televisi dan internet agar
semakin banyak orang tertarik untuk menjadi Franchisee Bakmi Tebet
sehingga membangkitkan kembali waralaba Bakmi Tebet yang pernah berjaya
pada tahun 2005 silam.
2. Saran untuk manajemen Bakmi Tebet mengenai penetapan franchise fee dan
royalty fee agar selalu mengedepankan nila-nilai keadilan dan transparansi
didalamnya, sehingga dapat menjalin hubungan bisnis yang harmonis antara
franchisor dan franchisee serta untuk mendapat ridho Allah SWT.
3. Saran untuk manajemen bakmi Tebet jika dimungkinkan dalam bagi hasil
keuntungan di ambil dari net profit ataupun gross profit yang berlaku umum
dan lebih adil bagi franchisor dan franchisee.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul al Karim
Arikunto,Suharsimi Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002
Artikel KOMPAS, Wahyu dan “Virus” Wirausaha 12 September 2005
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Budi, Darmawan Suseno,Waralaba Syariah, Jakarta: Cakrawala,2008,
Brosur Bakmi Tebet
Dewanto, Nugroho, “ Doktor Bakmi Waralaba” Tempo No 40/XXX/III/29Nov-5 Des 2004.
Hakim, Lukman Info Lengkap Waralaba, Jakarta: PT.Buku Kita, 2008
Iqbal, M Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalianesia, 2002
Jusmaliani, dkk, Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Majalah Sharing Bisnis waralaba Islami, grup langgara: intinya bagi hasil yang adil.
Mendelshon, Martin, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee, Jakarta: PT Pustaka Binaman Press Indo 1993.
Muslim, Era“Media Islam Rujukan” dikutip pada 11 Agustus 2010 dari www.eramuslim.com/.../hadist-hadist-tentang-keutamaan-dan-keadilan-sahabat.htm
Naika “Etika Bisnis dalam Islam” artikel diakses pada 24 Maret 2010 dari http://naika-permata.blogspot.com/2009/12/etika-bisnis-dalam-islam.html
Pramono, Peni Cara Memilih Waralaba yang Menjanjikan Profit, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2007.
P.Arwinto Nugroho,dkk, Membedah Peta Persaingan Bisnis Bakmi Studi Kasus Bakmi Tebet, Jakarta : Enno Media, 2008
Setiadi,Jaya ”Yuk Bisnis” artikel diakses pada 27 Desember 2009 dari http://yukbisnis.com/content/view/116/47/ .
91
92
Sutedi, Andrian Hukum Waralaba, Jakarta: Ghalia Indonesia 2008.
Syafii,Antonio Bank syariah dari teori ke praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Treni, Ulfa Juliana” Analisis Sistem Waralaba Dilihat dari Transaksi Bisnis Syariah (Studi Kasus Bakmi Langgara)” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum 2007
Wikipedia, diakses pada 9 April 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba
LAMPIRAN 1
HASIL WAWANCARA
Nama : Dr.Ir.H.Wahyu Saidi,Msc
Jabatan : Pemilik Waralaba Bakmi Tebet
Tempat : Kampus A Universitas Negeri Jakarta
Tanggal : 5 Mei 2010
Pukul : 17.00-17.35
1. P: Bagaimana sistem pembayaran franchisee fee pada waralaba Bakmi Tebet?
J : pembayaran franchise fee pada waralaba bakmi Tebet sama pada waralaba
umumnya. Awal berdirinya Bakmi Tebet ini, kami menetapkan franchise fee
sebesar Rp 90 juta dengan rincian untuk uang muka tanda jadi Rp 50 juta dan
untuk uang pembelian barang Rp 40 juta. Namun sejak tahun 2008, kami akhirnya
menetapkan besar franchise fee tidak mengikuti standar baku, maksudnya lebih
bersifat fleksibel tergantung kondisi keuangan calon franchisee. Namun besaran
franchise fee pada setiap cabang yang akan dibuka berbeda-beda, tergantung
tingkat kesulitan dan kemampuan dari pihak franchisee itu sendiri.
2. P : Bagaimana sistem pembagian royalty fee pada waralaba Bakmi Tebet?
J : Besar royalty fee yang kami tetapkan adalah sebesar 3,5% dari omset bruto,
dengan ketentuan omset dibawah Rp 15 juta sebulan tidak harus membayar
royalty fee karena menurut perhitungan omset pada kisaran tersebut sudah pasti
untungnya kecil seehingga tidak dibebankan royalty fee
3. P: Bagaimana tata cara pembayaran royalty fee?
J : Royalty fee pada waralaba Bakmi Tebet dibayar setiap tanggal 10 setiap
bulannya. Hal ini berlaku sama bagi setiap cabang Bakmi Tebet.
4. P : Apakah selama usaha berjalan ada franchisee yang kurang lancar dalam
pembayaran royalty feenya?
J : Alhamdulillah sejauh ini masih lancar-lancar saja pembayaran royalty feenya
walaupun sejak tahun 2007 banyak cabang kami yang tutup, bahkan hampir
dikatakan setengah dari cabang kami tutup, namun cabang-cabang yang masih
bertahan tidak bermasalah dalam pembayaran royalty fee nya, kalaupun ada yang
bermasalah persentasinya hanya 1% dari keseluruhan cabang.
5. P : Adakah persentase Return on Investment dari pak saidi selaku franchisor
kepada franchisee?
J : untuk bergabung dengan waralaba Bakmi Tebet kami tidak memberikan
analisis ataupun presentasi Return on Investment (ROI) karena tidak sesuai dengan
nilai Islami. Jika kami memberikan analisis ROI maka kami memberikan iming-
iming dan kepastian untung yang dalam Islam kita tidak diperbolehkan karena
usaha saja belum berjalan sehingga sama saja memberikan janji kosong.
6. P : Apakah menurut bapak, selaku pemilik waralaba bakmi Tebet, usaha bapak ini
sudah menanamkan nilai-nilai Islami didalamnya?
J : Jika kita berbicara tentang usaha waralaba, pada dasanya waralaba itu sendiri
tidak bernilai Islami, karena waralaba itu berasal dari barat, dalam sistem waralaba
sebenarnya, franchisee sebagai pembeli hak merek suatu waralaba tertentu, tetap
harus membayar royalty fee dalam keadaan apapun baik untung maupun rugi. Saya
berusaha memodifikasi prinsip-prinsip waralaba dengan prinsip-prinsip Islami.
Salah satunya dengan cara penetapan royalty fee yang tidak terlalu besar dan ada
batasal minimal keuntungan yang tidak dikenakan royalty fee yaitu sebesar Rp 15
juta sebulan.
7. P : Apakah bapak tetap untung dengan penetapan royalty fee yang menurut saya
terlalu kecil untuk standar waralaba?
J : Saya mengambil untung tidak hanya dari royalty fee saja, tetapi juga dari bahan
baku utama yang dibeli franchisee langsung dari manajemen Bakmi Tebet, seperti
misalnya bakmi, kulit pangsit, bihun, kwetiauw dan lain-lain. Saya mengambil
untung dari bahan-bahan tersebut karena saya mengelola sendiri pembuatan mie
misalnya, agar terjadi keseragaman rasa mie dari semua cabang Bakmi Tebet. Jadi
sejauh ini, hasilnya boleh dikatakan baik.
8. P : Bagaimana bapak, menyikapi banyak cabang –cabang yang tutup semenjak
tahun 2007 silam?
J : Pada dasanya usaha ini tidak selamanya berjalan lancar. Banyak cabang yang
tutup dikarenakan sebagian besar franchisee tidak ulet dalam menjalankan
bisnisnya. Ada yang mempunyai modal besar namun tidak bisa menjalankannya,
selain itu salah pilih lokasi dan kontrak tempat sudah habis ikut andil didalamnya.
Namun, sekarang saya juga tidak hanya berfokus terhadap waralaba Bakmi Tebet
saja, melainkan usaha lain seperti rumah makan padang, my way steak, soto
lamongan dan lain-lain, yang pada intinya waralaba Bakmi Tebet tetap berjalan
dan saya lebih selektif lagi dalam memilih rekan bisnis agar tidak terulang
kejadian yang sama pada 2007 silam dimana banyak cabang tutup.
LAMPIRAN 2
HASIL WAWANCARA
Nama : Bapak Yusuf
Jabatan : Asisten Bapak Wahyu Saidi ( pemilik waralaba Bakmi Tebet)
Tempat : Kantin Bakmi Langgara Kuningan
Tanggal : 2 Juni 2010
Pukul : 11.00-11.30
1) P : Bagaimana sejarah berdirinya Bakmi Tebet?
J : Pada mulanya, pada tahun 2001 Pak Wahyu memulai bisnis bakmi, dengan
mengusung nama Bakmi Langgara. Langgara berasal dari kata Langgar yang
artinya tempat ibadah, yang tentunya bernuansa Islami. Pak Wahyu awalnya ingin
menjadi franchisee Bakmi Gadjah Mada yang sangat terkenal itu, namun, karena
ternyata Bakmi Gadjah Mada (GM) tidak membuka waralaba, maka beliau dengan
modal awal Rp 200 juta mencoba memformulasikan resep rahasia dari para
mantan koki bakmi GM. Tujuannya adalah untuk mempertegas sebagai Follower
bakmi GM, dan usaha itu pun terbukti berhasil. Untuk lebih memajukan usahanya,
Pak Wahyu kemudian mewaralabakan bisnis bakmi Langgara ini. Terobosan yang
dilakukan yakni membuka restaurant bakmi baru untuk diluar kota yakni bakmi
Tebet
2) P: Mengapa dinamakan Bakmi Tebet, tidak Bakmi Langgara seperti pada awal
berdirinya usaha bakmi ini?
J : Dinamakan Bakmi Tebet karena biasanya orang dari luar Jakarta tertarik
dengan hal-hal yang “berbau” Jakarta, nama Tebet ini diambil dari nama jalan di
Jakarta yang sudah dikenal banyak orang yaitu jalan Tebet. Bakmi Tebet ini
merupakan usaha walaba Pak Wahyu yang cabangnya mayoritas di luar Jakarta.
Pembagian nama ini pun juga mempunyai tujuan untuk membagi segmentasi
pasar, yakni untuk cabang diseputar wilayah Jakarta kita beri nama Bakmi
Langgara, sementara untuk cabang diluar Jakarta kita beri nama Bakmi Tebet.
3) P : Kapan tepatnya Pak Wahyu mewaralabakan usahanya?
J : Pak Wahyu mulai mewaralabakan usahanya mulai tahun 2002, dengan cabang
sebanyak 4 restauran, seiring dengan suksesnya nama Bakmi Langgara, maka
dibukalah cabang dengan Nama Bakmi Tebet untuk daerah luar kota Jakarta,
hingga mencapai 102 cabang di berbagai kota di Indonesia. Bahkan Pak Wahyu
berhasil membuka cabang di Mekkah dan Kairo Mesir pada tahun 2006.
4) P: Apakah semua cabang tersebut berjalan sukses?
J: Sampai tahun 2007 awal semua berjalan sukses, namun pertengahan 2007
banyak cabang yang tutup, dikarenakan banyak faktor, seperti kontrak waralaba
sudah habis dan franchisee tidak meneruskan usaha waralabanya, salah pilih
tempat lokasi, dan banyak faktor lainnya.
5) P: Apakah Pak Wahyu memiliki usaha lain yang diwaralabakan seperti Bakmi
Langgara dan Bakmi Tebet?
J : Selain waralaba Bakmi Langgara dan Bakmi Tebet, Pak Wahyu memiliki
beberapa usaha yang juga diwaralabakan, seperti misalnya Soto Suroboyoan,
Cendol Gading,My Way Steak, Bebek Tunjungan yang semuanya merupakan
usaha yang diwaralabakan. Selain itu, Pak Wahyu juga sedang berekspansi dengan
membuka Taman Resto, yang meruapakan kawasan wisata kuliner yang saat ini
baru berada di Bekasi
LAMPIRAN 3
DAFTAR PERTANYAAN
(Questionaire)
Pada kesempatan ini penulis ingin meneliti Bakmi Tebet dari segi manajemen
waralaba Bakmi Tebet. Penulis juga ingin melakukan penelitian dari segi kepuasan
franchisee terhadap penetapan franchisee fee dan royalty fee yang harus dibayarkan
kepada franchisor (Bakmi Tebet). Tujuan dari pengedaran kuisioner ini adalah untuk
membantu penulis dalam pengumpulan data yang ditujukan untuk menyelesaikan
skripsi dengan judul “Analisis dan aplikasi Royalty Fee dan Franchise Fee pada
Waralaba Islami (Studi Kasus Bakmi Tebet)”
Sebelumnya penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang waralaba.
Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan
atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri
khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan
barang dan jasa.Dalam hal ini, ciri khas usaha yang dimanfaatkan oleh pihak
franchisee adalah brand Bakmi Tebet yang didirikan oleh Dr.Ir.H.Wahyu Saidi, Msc.
Kuisioner ini ditunjukkan kepada franchisee yang menjadi rekan bisnis
manajemen Bakmi Tebet. Daftar pertanyaan ini ditujukan untuk diisi sesuai dengan
keadaan dan pendapat anda. Anda cukup melingkari pada pilihan yang tersedia
sesuai dengan pendapat anda. Terima kasih atas kerjasama anda karena telah bersedia
untuk mengisi angket ini.
Bagian I. Gambaran Umum dan Pengetahuan Franchisee terhadap Waralaba Bakmi Tebet
1. Nama Cabang: 2. Pimpinan cabang: 3. Alamat cabang: 4. Darimana anda tahu tentang waralaba Bakmi Tebet?
a. Teman b. Brosur/Majalah/Koran c. Media Televisi d. Media Internet
5. Sudah berapa lama anda bergabung dengan manajemen Bakmi Tebet?
a. Kurang dari 1 tahun b. 1-5 tahun c. 5-10 tahun d. > 10 tahun
6. Berapa besar franchise fee yang anda bayarkan untuk bergabung dengan
waralaba Bakmi Tebet? a. 25-50 juta b. 50-75 juta c. 75-100 juta d. > 100 juta
7. Bagaimana sistem pembayaran franchise fee yang anda bayarkan kepada
franchisor? a. angsuran b. tunai
Bagian II. Gambaran Umum dan Pengetahuan Franchisee terhadap Konsep Waralaba dan Kerjasama dalam Islam
1. Seberapa besar pemahaman anda tentang waralaba? a. tidak paham b. kurang paham
c. paham d. sangat paham
2. Seberapa besar pemahaman anda tentang konsep franchise fee pada waralaba?
a. Tidak paham b. Kurang paham c. Paham d. Sangat paham
3. Seberapa besar pemahaman anda tentang konsep Royalty fee pada waralaba?
a. Tidak paham b. Kurang paham c. Paham d. Sangat paham
4. Seberapa besar pemahaman anda tentang waralaba dalam perspektif Islam?
a. Tidak paham b. Kurang paham c. Paham d. Sangat paham
5. Seberapa besar pemahaman anda tentang keadilan dalam kerjasama secara
umum? a. Tidak paham b. Kurang paham c. Paham d. Sangat paham
Bagian III. Respon Frachisee Terhadap Penetapan Franchisee Fee dan Pembagian Royalty Fee yang Diterapkan Manajemen Bakmi Tebet
1. Apakah anda setuju dengan besarnya franchise fee yang harus dibayarkan diawal perjanjian waralaba? a. Tidak setuju b. Kurang setuju c. Setuju d. Sangat setuju
2. Bagaimana pendapat anda tentang besarnya pembayaran franchise fee yang
ditetapkan manajemen Bakmi Tebet? a.Tidak adil b. Kurang adil c. Adil d. Sangat adil
3. Apakah anda merasa puas dengan penetapan franchise fee yang ditetapkan manajemen Bakmi Tebet? a. Tidak puas b. Kurang puas c. Puas d. Sangat puas
4.Apakah anda setuju dengan besarnya Royalty Fee yang harus dibayarkan kepada manajemen Bakmi Tebet setiap bulannya? a. Tidak setuju b.Kurang setuju c. Setuju d.Sangat setuju
5. Bagaimana pendapat anda tentang besarnya pembayaran royalty fee yang
ditetapkan manajemen Bakmi Tebet?
a. Tidak adil
b. Kurang adil
c. Adil
d. Sangat adil.
6. Apakah anda merasa puas dengan penetapan royalty fee (3,5% /perbulan) yang ditetapkan manajemen Bakmi Tebet? a. Tidak puas b. Kurang puas
c. Puas d. Sangat puas
7. Bagaimana menurut anda kinerja manajemen Bakmi Tebet ?
a. Tidak bagus
b. Kurang bagus
c. Bagus
d. Sangat bagus