konsep diri kel.4~a10.1
DESCRIPTION
konsep diri kel 4TRANSCRIPT
MAKALAH
BAGIAN I : KONSEP DIRI
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konsep Diri
Koordinator : Bambang Edi Warsito, S.Kp., M.Kes.
Disusun Oleh :
1. Febria Eka Cahya 220201101300912. Dian Ayu Wulandari 220201101300943. Diah Ayu Lestari Irawadhi 220201101300954. Yoga Irnantoyo 220201101300975. Nur Indah Laksana W 220201101410046. Eka Nurohmat 220201101410067. Miftahul Firzanuddin M 220201101410078. Lutfi Novida Supriyanti 220201101410099. Esthi Darmastuti 2202011014101610. Fiyanah Sofiani 22020110141081
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diri (Self) adalah hubungan kita yang paling intim, merupakan aspek
yang terenting dalam diri kita namun paling sulit untuk didefinisikan
karena sangat kompleks dan tidak teraba. Apa yang kita pikirkan adalah
gambaran bagaimana kita sesungguhnya. Dan yang kita pikir dan kita
rasakan juga akan berpengaruh pada perawatan yang kita berikan baik
kepada diri sendiri maupun orang lain. Konsep diri adalah citra subjektif
dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan
persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri dikembangkan melalui
proses yang sangat kompleks yang melibatkan banyak variabel. Keempat
komponen konsep diri adalah identitas, citra tubuh, harga diri, dan peran.
Konsep diri adalah kombinasi dinamis yang dibentuk selama bertahun-
tahun.
Konsep diri tidak mudah untuk dibangun jika orang tersebut tidak
memiliki keinginan untuk membangun konsep dirinya. Setiap individu
memiliki konsep diri yang berbeda beda. Konsep diri ini dapat difenisikan
sebagai sebuah pemikiran dan kepercayaan yang membuat seseorang itu
mengetahui dirinya dan dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang
lain. Konsep diri seseorang tidak terbentuk saat lahir, tetapi dipelajari
sebagai hasil dari pengalaman seseorang dalam dirinya sendiri, orang
terdekat dan realita yang berhubungan dengan dunia.
Dalam pembentukan konsep diri terdapat banyak hal yang perlu
dipahami agar tidak terjadi pembentukan konsep diri yang keliru. Konsep
diri sendiri terdapat tahapan dalam perkembangannya, rentang respon
kosep diripun harus dikelompokkan. Untuk meiliki kepribadian yang baik
kita juga harus memahami komponen-komponen konsep diri yang
meliputi body image, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri.
Kelimanya harus kita ketahui sehingga kita paham tentang komponen
konsep diri. Selain itu terdapat juga mengenai bagaimana berkepribadian
yang sehat sehingga kita bisa membedakan kepribadian yang sehat dan
yang tidak sehat.
Sebagai perawat, kita harus memiliki konsep diri yang baik sehingga
kita bisa memahami diri kita dan juga orang lain atau klien yang sedang
kita rawat. Oleh karena itu selain kita memahami diri sediri maka kita juga
harus memahami klien seperti perilaku klien dengan gangguan konsep diri.
Perilaku yang muncul terkadang tidak kita duga dan diluar pikiran kita.
Dengan adanya perilaku klien yang seperti tersebut kita harus belajar
untuk dapat membantu klien mengembalikan konsep diri menjadi memilki
harga diri tinggi.
Dalam dunia keperawatan, kita tidak akan pernah lepas dari
lingkungan kita, baik dengan rekan sejawat maupun dengan klien. Maka
dari itu, di dalam makalah ini akan dibahas berbagai hal mengenai konsep
diri untuk menunjang terbentuknya konsep diri yang baik.
B. Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini yaitu antara lain :
1. Mendefinisikan konsep diri
2. Menjelaskan bagaimana konsep diri berkembang
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri dan
bagaimana faktor tersebut dapat mempengaruhi
4. Menjelaskan rentang respon konsep diri dan respon konsep diri
5. Menjelaskan rentang respon konsep diri adaptif dan rentang respon diri
maladaptive
6. Menjelaskan komponen konsep diri
7. Menjelaskan definisi dan deskripsi tentang karakteristik kepribadian
yang sehat
8. Menjelaskan tentang perilaku klien dengan gangguan konsep diri
BAB II
ISI
A. PERKEMBANGAN KONSEP DIRI
1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian
yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu
dalam berhubungan dengan orang lain, (Stuart & Sundeen, 1991).
Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi
dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Menurut Deek William and Raulin (1986), lebih menjelaskan bahwa
konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh fisikal,
emosional, intelektual, sosial dan spiritual.Konsep diri dipelajari melalui
kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain,
pandangan orang lain tentang dirinya.
Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan atau herediter. Konsep
diri merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses
perkembangan dirinya menjadi dewasa. Proses pembentukan tidak terjadi
dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara
berkesinambungan. Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri
berkembang terus sepanjang hidup manusia, namun pada tahap tertentu,
perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih
lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya
dan lingkungannya, dan individu akan mulai dapat membedakan
keduanya.
2. Perkembangan Konsep Diri
Perkembangan konsep diri adalah proses panjang hidup. Setiap tahap
perkembangan mempunyai aktivitas spesifik yang membantu klien dalam
mengembangkan konsep diri yang positif (Potter & Perry, 2005). Konsep
diri bukan merupakan faktor bawaan atau herediter. Konsep diri
merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses
perkembangan dirinya menjadi dewasa.
Proses pembentukan tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan
melalui proses interaksi secara berkesinambungan. Burns (1979)
menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus sepanjang hidup
manusia, namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai
berjalan dalam tempo yang lebih lambat. Secara bertahap individu akan
mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan individu akan
mulai dapat membedakan keduanya.
Lebih lanjut Cooley (dalam Partosuwido, 1992) menyatakan bahwa
konsep diri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai-nilai,
sikap, peran, dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara
dirinya dan berbagai kelompok primer, misalnya keluarga. Hubungan
tatap muka dalam kelompok primer tersebut mampu memberikan umpan
balik kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap
dirinya.
3. Jenis-Jenis Perkembangan Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocela (1995), dalam perkembangan konsep
diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
a. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif dapat disamakan dengan evaluasi diri positif,
penghargaan diri yang positif, perasaan harga diri yang positif dan
penerimaan diri yang positif. Konsep diri positif bersifat stabil dan
bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu
yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dirinya dan menerima
sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi
terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan
orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang
tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan
di depanya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu penemuan
proses. Adapun ciri-ciri individu yang memiliki konsep diri positif
adalah:
1) Mempunyai penerimaan diri yang baik.
2) Mengenal diri sendiri dengan baik.
3) Dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang nyata tentang
dirinya.
4) Mampu menghargai dirinya sendiri.
5) Mampu menerima dan memberikan pujian secara wajar.
6) Mau memperbaiki diri kearah yang lebih baik.
7) Mampu menempatkan diri didalam lingkungan.
b. Konsep Diri Negatif
Konsep diri negatif sama dengan evaluasi diri yang negatif,
membenci diri, perasaan rendah diri, dan tiadanya menghargai pribadi
dan penerimaan diri. Menurut Hurlock (dalam Nasution, 2007), anak
yang memiliki konsep diri negatif akan mengembangkan penyesuaian
sosial yang kurang baik, mengalami perasaan yang tidak menentu,
inferioritas, menggunakan banyak mekanisme pembelaan dan memiliki
level harga diri yang rendah.
Colhoun dan Acocela (1990) membagi konsep diri negatif menjadi
dua tipe, yaitu:
1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri
Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak
teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu
tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahan
atau yang dihargai dalam kehidupanya.
2) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur
Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang
sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan
adanya penyimpangan seperangkat hukum yang dalam pikirannya
merupakan cara hidup yang tepat.
Menurut William D.Brooks (dalam Rakhmat, 2005:105) bahwa
dalam menilai dirinya seseorang ada yang menilai dirinya secara positif
dan ada yang menilai secara negatif.
Adapun ciri-ciri konsep diri negatif adalah sebagai berikut:
1) Hiperkritis, individu selalu mengeluh, mencela dan meremehkan
apapun dan siapapun.
2) Cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain.
3) Pesimis terhadap kompetisi.
4) Tidak dapat menerima kekurangan dirinya.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan konsep diri, menurut Potter & Perry (2005) antara lain:
a. Bayi
Pada awalnya, bayi baru lahir semata-mata menyatakan
perbedaan antara sensasi menyenangkan dan objek yang
menyebabkan sensasi tersebut didapat. Bayi benar-benar bergantung
pada orang dewasa untuk merawat kebutuhan dasar mereka. Jika
kebutuhan seperti makan dan perawatan terpenuhi dengan cepat dan
konsisten, bayi mulai membentuk rasa percaya dengan dunia. Karena
bayi memandang diri mereka sebagai bagian dari pemberi perawatan
primer, maka pengalaman positif membantu mereka meraih
kepercayaan dalam diri mereka sendiri.
Penyapihan, kontak dengan orang lain, dan penggalian lingkungan
memperkuat kewaspadaan diri. Sejalan anak-anak mendekati ulang
tahun pertamanya, koordinasi dari pengalaman sensoris
diinternalisasikan kedalam citra tubuh mereka. Tanpa stimulasi yang
adekuat dari kemampuan motorik dan penginderaan, perkembangan
citra tubuh, dan konsep diri mengalami kerusakan, seperti yang
ditunjukkan oleh studi tentang bayi prematur dalam inkubator yang
kurang dibuai, diayun, dan dipeluk (Kramer et al, 1975). Pengalaman
pertama bayi dengan tubuh mereka, yang sangat ditentukan oleh kasih
sayang dan sikap ibu, adalah dasar untuk perkembangan citra tubuh.
Penerimaan dan pengaturan tubuh dikemudian hari dan reaksi orang
lain terhadap hal tersebut adalah cara kita melanjutkan pembentukan
citra tubuh kita (Murray & Huelskoetter, 1991).
b. Todler
Anak usia bermain (1-3 tahun) lebih aktif dan mampu untuk
berinteraksi dengan orang lain. Tugas psikososial utama mereka
adalah mengembangkan otonomi. Anak-anak beralih dari
ketergantungan total kepada rasa kemandirian dan keterpisahan diri
mereka dari orang lain. Mereka juga cendeung memandang orang lain
dan diri mereka dalam istilah “semua baik” atau “semua tidak baik”.
Mereka mencapai keterampilan dengan makan sendiri dan melakukan
tugas higiene dasar. Anak usia bermain, belajar untuk mengkoordinasi
gerkan dan meniru orang lain. Mereka belajar mengontrol tubuh
mereka melalui keterampilan lokomotion, toilet training, berbicara
dan sosialisasi.
Sebagian dari diri mereka mungkin dipandang sebagai
“permanen”, sehingga tindakan memotong rambut atau menyiram
limbah ke dalam toilet dapat menyebabkan stress karena semua itu
adalah bagian dari diri mereka. Anak usia bermain tidak selalu
mengetahui kapan mereka sakit, letih, terlalu dingin, atau haus atau
celananya basah. Anak usi bermain penuh dengan impuls dan
mempersonifikasi “Mau kue ... ambil kue!” Adalah tugas orangtua dan
masyarakat untuk dengan lembut memberikan batasan pada perilaku
yang diterima.
c. Usia Prasekolah
Batasan tubuh, rasa diri, dan jender dari anak usia prasekolah
menjadi lebih pasti bagi mereka karena perkembangan keingintahuan
seksual dan kesadaran tentang perbedaan dengan orang lain dari
jender yang sama atau yang berbeda. Mereka mulai belajar tentang
bagaimana mereka mempengaruhi orang lain dan bagaimana orang
lain berespons terhadap mereka. Mereka juga belajar dasar untuk
mengontrol perasaan dan perilaku. Anak-anak mulai menguji peran
dan meniru orang seperti yang mereka identifikasi dengan orang tua
sesama jenis kelamin atau anggota keluarga.
Anak-anak merasa kecil hubungannya dengan orang dewasa.
Mereka menetapkan pandangan negatif atau positif tentang diri
mereka. Mereaka mendengar dan mengalami emosi dan pernyataan
dari orang lain, terutama orang tua, tentang diri mereka sebagai
individu. Mereka juga mendengar tentang hal dan peristiwa disekitar
mereka. Mereka kemudian berperilaku untuk memenuhi pandangan
ini. Pandangan tentang diri ini mulai sebagai penilaian yang di buat
oleh orang lain. Misalnya, orang tua Joni menganggapnya condong
tertarik hal berkaitan dengan mekanik. Dengan berkembangnya Joni,
persepsi ini menjadi bagian dari dirinya dan ia bertindak untuk
memenuhinya dengan mengumpulkan benda atau memperbaiki
sesuatu. Penghargaan dari anggota keluarga menjadi penghargaan diri.
Keluarga sangat penting untuk pembentukan konsep diri anak, dan
masukan negatif pada masa ini akan menciptakan penurunan harga
diri, dimana orang tersebut sebagai orang dewasa akan harus bekerja
dengan sangat keras untuk mengatasinya.
d. Anak Usia Sekolah
Sampai anak-anak bersekolah, konsep diri dan citra tubuh
terutama didasarkan pada sikap orang tua. Disekolah, orang lain
menunjang terbentuknya konsep diri dan citra tubuh. Hal ini akan
memberi efek penyelaras bagi anak-anak yang keluarganya sangat
kritis, atau akan menjadi negatif jika anak mengalami lingkungan
pendidikan yang negatif.
Dengan anak memasuki usia sekolah, pertumbuhan menjadi lebih
cepat, dan lebih banyak didapatkan keterampilan motorik, sosial, dan
intelektual. Melalui permainan, anak-anak berinteraksi dengan teman
sebaya, mengembangkan ketrampilan motorik dan intelektual
tambahan. Anak-anak mengekspresikan perasaan melalui permainan,
literatur, gambar, dan musik. Perawat dapat menggunakan hal ini
untuk mendapat petunjuk dalam konsep diri anak-anak. Dengan
meningkatnya kemampuan pemecahan masalah, kesadaran diri
tentang perkembangan kekuatan dan keterbatasan diri makin besar.
e. Masa Remaja
Masa remaja membawa pergolakan fisik, emosional, dan
sosial. Pertumbuhan yang cepat, yang diperhatikan oleh remaja dan
orang lain, adalah faktor penting dalam penerimaan dan perbaikan
citra tubuh.
Perkembangan konsep diri dan citra tubuh sangat berkaitan
erat dengan pembentukan identitas (Erikson, 1963). Pengamanan dini
mempunyai efek penting. Pengalaman yang positif pada masa kanak-
kanak memberdayakan remaja untuk merasa baik tentang diri mereka.
Pengalaman negatif sebagai anak dapat mengakibatkan konsep diri
yang buruk. Anak-anak yang memasuki masa remaja dengan perasaan
negatif menghadapi periode yang sulit ini bahkan lebih menyulitkan
lagi.
Anak remaja mungkin terlalu menekankan penampilan; hidung
yang mancung, telinga yang besar, tubuh yang pendek, atau kerangka
tubuh yang besar mengakibatkan remaja menilai buruk tentang diri
nya. Jika anak remaja tidak merasa menerima diri mereka atau tubuh
mereka, mereka akan mencoba untuk berkompetensi melalui olahraga,
keberhasilan dari hobi atau akademik, komitmen keagamaan,
penggunaan obat atau alkohol, atau kelompok teman untuk
meningkatkan prestise.
f. Masa Dewasa Muda
Meski pertumbuhan fisik telah berhenti, perubahan kognitif,
sosial dan perilaku terus terjadi sepanjang hidup. Dewasa muda (awal
20 tahunan sampai 40 tahunan) adalah periode untuk memilih; adalah
periode untuk menetapkan tanggung jawab, mencapai kestabilan
dalam pekerjaan, dan mulai melakukan hubungan erat. Konsep diri
dan citra tubuh menjadi relatif stabil dalam masa ini.
Konsep diri dan citra tubuh adalah kreasi sosial, dan
penghargaan dan penerimaan diberikan untuk penampilan normal dan
perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial. Konsep diri secara
konstan terus berkembang dan dapat diidentifikasi dalam nilai, sikap,
dan perasaan tentang diri.
g. Usia Dewasa Tengah
Perubahan fisik seperti penumpukan lemak, kebotakan, rambut
memutih, dan varises menyerang usia dewasa tengah. Tahap
perkembangan ini terjadi sebagai akibat perubahan dalam produksi
hormonal dan sering penurunan dalam aktivitas mempengaruhi citra
tubuh, yang selanjutnya dapat mengganggu konsep diri. Orang
menyadari bahwa mereka tampak lebih tua, dan mereka mungkin
merasakan juga bahwa mereka menjadi lebih tua.
Tahun usia dewasa tengah sering merupakan waktu untuk
mengevaluasi kembali pengalaman hidup dan mendefinisikan kembali
tentang diri dalam peran dan nilai hidup. Sebagian besar orang secara
bertahap menyesuaikan diri dengan tubuh mereka yang berubah
dengan lambat dan menerima perubahan sebagai bagian dari
kematangan. Orang dengan kedewasaan emosional menyadari bahwa
mereka tidak dapat kembali menjadi muda dan menghargai bahwa
masa lalu dan pengalaman mereka sendiri adalah valid dan bermakna.
Orang usia dewasa tengah yang menerima usia mereka dan tidak
mempunyai keinginan untuk kembali pada masa-masa muda
menunjukan konsep diri yang sehat.
h. Lansia
Perubahan fisik pada lansia tampak sebagai penurunan
bertahap struktur dan fungsi. Terjadi penurunan kekuatan otot dan
tonus otot. Penurunan ketajaman pandangan adalah faktor yang
mempengaruhi lansia dengan lingkungan. Proses normal penuaan
menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan. Kehilangan
pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian karena lansia
menyadari bahwa mereka tidak lagi menyadari semua yang terjadi
atau yang di ucapkan. Kecurigaan, mudah tersinggung, tidak sabar,
atau menarik diri, dapat terjadi karena kerusakan pendengaran. Sering,
lansia memandang alat bantu dengar sebagai ancaman lain terhadap
citra tubuh.
Bagi banyak lansia, kacamata lebih diterima secara sosial
karena kacamata di gunakan oleh semua kelompok usia, tetapi alat
bantu dengar dianggap sebagai bukti langsung dari usia. Penyesuaian
diri terhadap penggunaan alat bantu dengar sulit terjadi; jika
motivasinya rendah, alat bantu dengar dapat ditolak.
Masa lansia adalah waktu dimana orang bercermin pada hidup
mereka, meninjau kembali keberhasilan dan kekecewaan dan dengan
demikian menciptakan rasa kesatuan dari makna tentang diri mereka
dan dunia membantu generasi yang lebih muda dalam cara yang
positif sering membantu lansia mengembangkan perasaan telah
meninggalkan warisan. Konsep diri juga dipengaruhi oleh status
kesehatan yang di rasakan orang tersebut saat ini.
B. RENTANG RESPON KONSEP DIRI
Rentang Respon Konsep Diri terbagi menjadi dua yaitu :
1. Rentang Respon Adaptif
Aktualisasi diri adalah pernyataan tentang konsep diri yang
positif dengan latar belakang pengalaman yang sukses. teori Abraham
Maslow tentang hirarki kebutuhan, yang menganggap aktualisasi
sebagai tingkatan tertinggi bila semua kebutuhan dasar sudah dipenuhi.
Aktualisasi diri adalah cara mengembangkan potensi diri dari hal yang
bisa kita lakukan atau kita kerjakan, Menjalankan aktualisasi diri sama
dengan Mengembangkan kemampuan kita tanpa batas.
Contoh : Contoh dalam dunia politik adalah Mahatma Gandhi:
beliau berani keluardari belenggu kebutuhan fisik dasar (beliau bukan
dari keluarga berada), rasa aman (beliau bisa saja tinggal tetap di
London daripada pulang ke India), etc. namun tokh berani untuk
mencari aktualisasi dirinya dengan rela bekerja from scratch demi
bangsa dan negaranya.
Contoh lain dalam dunia bisnis adalah para wirausaha,
entrepreneur yang berani untuk keluar dari segala jerat dan belenggu
rasa (ingin dihormati, rasa aman, kebutuhan dasar) dan mencari sesuatu
yang bisa atau lebih menjadikan dirinya berarti. Inilah hakekat dari
aktualisasi diri.
Konsep diri positif individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam perwujudan dirinya. Contoh konsep diri positif adalah
ketika kita membayangkan jika kita,Saya punya banyak teman dan
sahabat dekatSaya orang yang periang dan terbukaSaya suka tantangan.
Gambaran diatas adalah contoh dari gambaran diri yang positif atau
sering disebut juga dengan istilah konsep diri positif. Orang dengan
konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat
hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa
yang akan datang.
2. Rentang respon maladaptif meliputi :
Kekacauan identitas adalah kegagalan individu mengintegrasikan
aspek-aspek identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan
kepribadian pada remaja yang harmonis.
Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistik dan merasa asing
dengan diri sendiri, yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan
dan kegagalan dalam ujian realitas. Individu mengalami kesulitan
membedakan diri sendiri dari orang lain dan tubuhnya sendiri terasa
tidak nyata dan asing baginya.( Struart, 2007)
Rentang respon yang berada antara rentang respon adaptif dan
maladaptif meliputi:
Harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami atau
beresiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri.
C. KOMPONEN KONSEP DIRI
Konsep diri terdiri atas lima komponen, diantara lain yaitu: citra tubuh
(body image),ideal diri (self-ideal), harga diri (self-esteem), penampilan
peran (role performence), dan identitas personal (personal identity).
1. Citra tubuh (body image)
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu, baik yang disadari
ataupun tidak, yang ditujukan kepada dirinya. Citra tubuh dipengaruhi
oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan
oleh persepsi dari pandangan orang lain. Citra tubuh juga dipengaruhi
oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik, sikap, niali cultural
dan social.
Contohnya perbedaan mendasar tentang keapuan cara berjalam pad
nak usia sekolah dan bayi. Perubahan ini bergantung pada kematangan
fisik.
Beberapa hal yang terkait dengan citra tubuh antara lain:
a. Fokus individu terhadap bentuk fisiknya lebih terasa pada usia
remaja.
b. Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda kelamin
sekunder (mammae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan
bulu) menjadi citra tubuh.
c. Cara individu memandang dirinya berdampak penting terhadap
aspek psikologis individu tersebut.
d. Citra tubuh seseorang sebagian dipengaruhi oleh sikap dan respons
orang lain terhadap dirinya, dan sebagian lagi oleh eksplorasi
individu terhadap dirinya.
e. Gambaran realistis tentang menerima dan menyukai bagian tubuh
akan memberi rasa aman serta mencegah kecemasan dan
meningkatka harga diri.
f. Individu yang stabil, realistis, dan konsisten terhadap citra tubuhnya
dapat mencapai kesuksesan dalam hidup.
2. Ideal diri (self-ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya
ia berperilaku berdasrkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal
tertentu (Stuart&Sundenn, 1998). jika ideal diri tidak sesuai dengan
persepsinya tentang diri sendiri, orang tersebut akan terpacu untuk
memperbaiki dirinya. Tetapi ingat, jika ideal diri terlalu tinggi justru
dapat menyebabkan harga diri rendah. Faktor yang mempengaruhi ideal
diri:
a. Kecenderungan individu untuk menetapkan ideal diri pada batas
kemampuan.
b. Faktor budaya yang memengaruhi individu yang menetapkan ideal
diri. Standar yang terbentuk ini kemudian akan dibandingkan dengan
standar kelompok teman.
c. Ambisi dan keinginan untuk sukses dan melampaui orang lain,
kebutuhan yang realistis, keinginan untuk menghindari kegagalan,
perasaan cemas dan rendah diri.
Beberapa hal yang berkaitan dengan ideal diri antara lain:
a. Pembentukan ideal diri pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak.
b. Masa remaja terbentuk melalui proses identifikasi terhadap orang
tua, guru, dan teman.
c. Ideal diri dipengaruhi oleh orang-orang dianggap penting dalam
memberikan tuntunan dan harapan.
d. Ideal diri mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan
norma keluarga dan sosial.
3. Harga diri (self-esteem)
Harga diri berdasarkan pada faktor internal dan eksternal. Harga
diri dapat dipahami dengan memikirkan hubungan antara konsep diri
seseorang dan diri ideal. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang
berakar pada penerimaan diri sendiri tanpa syarat. Harga diri dapat
menjadi rendah saat seseorang kehilangan kasih sayang atau cinta kasih
dari orang lain, kehilangan penghargaan dari orang lain, atau saat ia
menjalani hubungan interpersonal yang buruk. Beberapa cara untuk
meningkatkan harga diri seseorang antara lain:
a. Memberinya kesempatan untuk berhasil.
b. Memberinya gagasan.
c. Mendorong untuk beraspirasi.
d. Membantunya membentuk koping
4. Penampilan peran (role performence)
Peran sendiri adalah serangkaian harapan tentang bagaimana
seseorang bersikap/berperilaku sesuai dengan posisinya. Sedangkan
penampilan peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan
oleh lingkungan sosial, yang terkait dengan fungsi individu di berbagai
kelompok sosial. Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang
telah diterima oleh keluarga, komunitas dan kultur. Perilaku didasarkan
pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi. Sosialisasi itu sendiri
dimulai tepat setelah lahir, ketika bayi berespons terhadap orang dewasa
dan orang dewasa berespons terhadap perilaku bayi. Anak belajar
perilaku yang diterima oleh masyarakat melalui proses berikut :
a. Reinforcement-extinction : perilaku tertentu menjadi umum atau
dihindari, bergantung apakah perilaku ini diterima dan diharuskan
atau tidak diperbolehkan dan dihukum.
b. Inhibisi : seorang anak belajar memperbaiki perilaku, bahkan ketika
berupaya untuk melibatkan diri mereka.
c. Substitusi : seorang anak menggantikan satu perilaku dengan
perilaku lainnya, yang memberikan kepuasan peribadi yang sama
d. Imitasi : seorang anak mendapatkan pengetahuan, keterampilan atau
perilaku dari anggota social atau kelompok cultural.
e. Identifikasi : seorang anak menginternalisasikan keyakinan, perilaku,
dan nilai dari model peran ke dalam ekspresi diri yang unik dan
personal.
Beberapa hal yang penting terkait penampilan peran antara lain:
a. Peran yang dibutuhkan individu sebagai aktualisasi diri.
b. Peran yang memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan ideal diri akan
menciptakan harga diri yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
c. Posisi individu di masyarakat dapat menjadi stresor bagi peran.
d. Stres peran timbul karena struktur sosial yang menyebabkan
kesukaran, atau karena tuntutan posisi yang tidak mungkin
dilaksanakan.
e. Stres peran terdiri atas konflik peran, ketidakjelasan peran,
ketidaksesuaian peran, dan peran berlebih.
5. Identitas personal (personal identity)
Identitas personal adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian
yang bertanggung jawab atas kesatuan, kesinambungan, konsisten, dan
keunikan individu.
Identitas mencakup rasa internal tentang individualitas,
keutuhan dan konsistensi dari seseorang sepanjang waktu dan dalam
berbagai situasi. Identitas menunjukkan menjadi lain dan terpisah dari
orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik. Pembentukan
identitas dimulai pada masa bayi dan terus berlangsung sepanjang
kehidupan, tapi pada dasarnya merupakan tugas utama pada masa
remaja.
Beberapa hal yang penting terkait dengan identitas personal
antara lain:
a. Identitas personal terbentuk sejak masa kanak-kanak bersamaan
dengan pembentukan konsep diri.
b. Individu yang memiliki identitas persoanal yang kuat akan
memandang dirinya tidak sama dengan dengan orang lain, unik, dan
tidak ada duanya.
c. Identitas jenis kelamin berkembang secara bertahap sejak bayi.
d. Identitas jenis kelamin dimulai dengan konsep laki-laki dan
perempuan, dan banyak dipengaruhi oleh pandangan maupun
perlakuan masyarakat.
e. Kemandirian timbul dari perasaan berharga, sikap menghargai diri
sendiri, kemampuan, dan penguasaan.
f. Individu yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya.
D. KEPRIBADIAN YANG SEHAT
Bagaimana individu berhubungan dengan orang lain merupakan inti
dari kepribadian Kepribadian tidak cukup di uarikan melalui teori
perkembangan dan dinamika diri sendiri. Berikut ini adalah pengalaman yang
akan dialmi oleh individu yang mempunyai kepribadian yang sehat (stuart
dan Sudden, 1991 )
Beberapa karakteristik kepribadian yang sehat adalah memiliki :
a. Gambaran diri yang positif dan akurat. Kesadaran akan diri
berdasarkan atas observasi mandiri dan perhatian yang sesuai dengan
kesehatan diri. Termasuk persepsi saat ini dan yang lalu, akan diri
sendiri, perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi.
b. Ideal diri realistis
Individu yang mempunyai ideal diri yang realitas akan mempuynai
tujuan hidup yang dapat dicapai.
c. Konsep diri positif
Konsep diri positif menunjukkan bahwa individu akan sukses dalam
hidupnya.
d. Harga diri tinggi.
Seorang yang mempunyai harga diri yang tinggi akan memandang
dirinya sebagai seorang yangberarti dan bermanfaat. Ia memanding
dirinya sangat sama dengan apa yang ia inginkan.
e. Kepuasan penampilan peran
Individu yang mempunyai kepribadian sehat akan mendapat
berhubungan dengan orang lain secara intim dan mendapat kepuasan.
Ia dapat mempercayai dan terbuka pada orang lain dan membina
hubungan interdependen.
f. Identitas jelas.
Individu merasakan keunikan dirinya, yang memberi arah kehidupan
dan mencapai keadaan.
Ada banyak cara mengukur berapa sehat tidaknya kepribadian
seseorang, salah satunya adalah melalui lima karakteristik berikut ini:
1) Neurotisisme: Faktor ini merujuk kepada kesanggupan orang
menanggung tekanan hidup. Orang yang bermasalah adalah orang yang
memiliki tuntutan yang tidak realistik sehingga rawan terhadap stres bila
keinginannya tidak tercapai. Akibatnya ia rentan terhadap depresi dan
kemarahan. Kerap kali ia dibuat lumpuh oleh masalahnya atau, ia akan
menyalurkan stres itu ke tubuhnya yang membuatnya sakit-sakitan.
Sebaliknya, orang yang sehat adalah orang yang mampu menahan stres
tanpa harus dikuasai oleh kecemasan yang berlebihan.
2) Ekstraversi: Faktor ini merujuk kepada keterbukaan orang dengan dirinya
termasuk pikiran dan perasaannya. Ia sanggup mengekspresikan pikiran
dan perasaannya dengan tepat dan bebas sehingga mampu membangun
relasi yang dalam dengan sesama. Ia memiliki energi yang tinggi dan
mudah bersukacita, ia hangat dan menyenangkan.
3) Openness to Experience: Faktor ini merujuk kepada semangat untuk
hidup dan keterbukaan terhadap pengalaman hidup. Ia tidak takut pada
pengalaman baru, bersedia mencoba pengalaman yang baru, dan
mengizinkan diri untuk menghayati pengalaman hidup sepenuhnya. Ia
terbuka terhadap reaksi perasaannya dan cenderung imajinatif.
4) Agreeableness: Faktor ini merujuk kepada karakteristik yang lembut, baik
hati, mudah percaya, ringan tangan, dan pemaaf. Lawan dari karakteristik
ini adalah antagonistik-sinis, kasar, penuh curiga, sukar kerja sama, mudah
marah, dan manipulatif.
5) Conscientiousness (Tanggung jawab): Faktor ini merujuk kepada orang
yang mampu menjalankan hidupnya dengan penuh tanggung jawab. Ia
memiliki komitmen pada kewajibannya dan sanggup memenuhinya. Ia
mempunyai tujuan hidup yang jelas dan target yang dapat dicapainya.
Orang ini tidak mudah menyerah dan berdisiplin diri.
Pribadi yang dewasa merupakan label positif bagi orang yang
dianggap telah mencapainya. Sayang, banyak orang tak pernah berpikir
menjadi dewasa. Padahal, kepribadian dewasa merupakan ukuran
perkembangan kepribadian yang sehat.
Kepribadian yang dewasa diartikan secara berbeda-beda oleh
banyak orang. Hal ini tercermin dari beberapa pendapat berikut ini.
Menjawab pertanyaan dosen dalam kuliah tentang kepribadian di sebuah
fakultas psikologi, ada mahasiswa yang mengartikan dewasa kepribadian
sebagai sabar, tidak berlebihan dalam mengekspresikan emosi, dan pandai
mengelola hubungan dengan orang lain.
Ada juga yang mengartikan kemampuan untuk memecahkan
berbagai masalah kehidupan dengan bijaksana. Beberapa mahasiswa
menunjuk pada kemampuan memenuhi tugas-tugas perkembangan masa
dewasa dengan baik, seperti memiliki pekerjaan dan filsafat hidup yang
mantap, kondisi batin yang stabil, dan sebagainya.
Tulisan ini menyajikan kriteria yang lebih utuh mengenai
kepribadian yang dewasa dari seorang sesepuh yang ikut merintis
Psikologi, yakni Gordon W. Allport (1897-1967). Hingga saat ini teori-
teorinya (tentang kepribadian yang sehat) tetap relevan.
Berikut adalah tujuh kriteria dari Allport tentang sifat-sifat khusus
kepribadian yang sehat.
1. Perluasan Perasaan Diri
Ketika orang menjadi dewasa, ia mengembangkan perhatian-
perhatian di luar diri. Tidak cukup sekadar berinteraksi dengan sesuatu
atau seseorang di luar diri. Lebih dari itu, ia harus memiliki partisipasi
yang langsung dan penuh, yang oleh Allport disebut "partisipasi
otentik".
Dalam pandangan Allport, aktivitas yang dilakukan harus cocok
dan penting, atau sungguh berarti bagi orang tersebut. Jika menurut kita
pekerjaan itu penting, mengerjakan pekerjaan itu sebaik-baiknya akan
membuat kita merasa enak, dan berarti kita menjadi partisipan otentik
dalam pekerjaan itu. Hal ini akan memberikan kepuasan bagi diri kita.
Orang yang semakin terlibat sepenuhnya dengan berbagai
aktivitas, orang, atau ide, ia lebih sehat secara psikologis. Hal ini
berlaku bukan hanya untuk pekerjaan, melainkan juga hubungan
dengan keluarga dan teman, kegemaran, dan keanggotaan dalam politik,
agama, dan sebagainya.
2. Relasi Sosial yang Hangat
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan
dengan orang lain, yaitu kapasitas untuk mengembangkan keintiman
dan untuk merasa terharu. Orang yang sehat secara psikologis mampu
mengembangkan relasi intim dengan orangtua, anak, pasangan, dan
sahabat. Ini merupakan hasil dari perasaan perluasan diri dan perasaan
identitas diri yang berkembang dengan baik.
Ada perbedaan hubungan cinta antara orang yang neurotis (tidak
dewasa) dan yang berkepribadian sehat (dewasa). Orang-orang neurotis
harus menerima cinta lebih banyak daripada yang mampu diberikannya
kepada orang lain. Bila mereka memberikan cinta, itu diberikan dengan
syarat-syarat. Padahal, cinta dari orang yang sehat adalah tanpa syarat,
tidak melumpuhkan atau mengikat.
Jenis kehangatan yang lain, yaitu perasaan terharu, merupakan
hasil pemahaman terhadap kondisi dasar manusia dan perasaan
kekeluargaan dengan semua bangsa. Orang sehat memiliki kapasitas
untuk memahami kesakitan, penderitaan, ketakutan, dan kegagalan
yang merupakan ciri kehidupan manusia.
Hasil dari empati semacam ini adalah kesabaran terhadap tingkah
laku orang lain dan tidak cenderung mengadili atau menghukum. Orang
sehat dapat menerima kelemahan manusia, dan mengetahui dirinya juga
memiliki kelemahan. Sebaliknya, orang neurotis tidak mampu bersabar
dan memahami sifat universal pengalaman-pengalaman dasar manusia.
3. Keamanan Emosional
Kualitas utama manusia sehat adalah penerimaan diri. Mereka
menerima semua segi keberadaan mereka, termasuk kelemahan-
kelemahan, dengan tidak menyerah secara pasif terhadap kelemahan
tersebut. Selain itu, kepribadian yang sehat tidak tertawan oleh emosi-
emosi mereka, dan tidak berusaha bersembunyi dari emosi-emosi itu.
Mereka dapat mengendalikan emosi, sehingga tidak mengganggu
hubungan antarpribadi. Pengendaliannya tidak dengan cara ditekan,
tetapi diarahkan ke dalam saluran yang lebih konstruktif.
Kualitas lain dari kepribadian sehat adalah "sabar terhadap
kekecewaan". Hal ini menunjukkan bagaimana seseorang bereaksi
terhadap tekanan dan hambatan atas berbagai keinginan atau kehendak.
Mereka mampu memikirkan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan
yang sama.
Orang-orang yang sehat tidak bebas dari perasaan tak aman dan
ketakutan. Namun, mereka tidak terlalu merasa terancam dan dapat
menanggulangi perasaan tersebut secara lebih baik daripada kaum
neurotis.
4. Persepsi Realistis
Orang-orang sehat memandang dunia secara objektif. Sebaliknya,
orang-orang neurotis kerapkali memahami realitas disesuaikan dengan
keinginan, kebutuhan, dan ketakutan mereka sendiri. Orang sehat tidak
meyakini bahwa orang lain atau situasi yang dihadapi itu jahat atau baik
menurut prasangka pribadi. Mereka memahami realitas sebagaimana
adanya.
5. Keterampilan dan Tugas
Allport menekankan pentingnya pekerjaan dan perlunya
menenggelamkan diri di dalam pekerjaan tersebut. Kita perlu memiliki
keterampilan yang relevan dengan pekerjaan kita, dan lebih dari itu
harus menggunakan keterampilan itu secara ikhlas dan penuh
antusiasme.
Komitmen pada orang sehat atau dewasa begitu kuat, sehingga
sanggup menenggelamkan semua pertahanan ego. Dedikasi terhadap
pekerjaan berhubungan dengan rasa tanggung jawab dan kelangsungan
hidup yang positif.
Pekerjaan dan tanggung jawab memberikan arti dan perasaan
kontinuitas untuk hidup. Tidak mungkin mencapai kedewasaan dan
kesehatan psikologis tanpa melakukan pekerjaan penting dan
melakukannya dengan dedikasi, komitmen, dan keterampilan.
6. Pemahaman Diri
Memahami diri sendiri merupakan suatu tugas yang sulit. Ini
memerlukan usaha memahami diri sendiri sepanjang kehidupan secara
objektif. Untuk mencapai pemahaman diri yang memadai dituntut
pemahaman tentang dirinya menurut keadaan sesungguhnya. Jika
gambaran diri yang dipahami semakin dekat dengan keadaan
sesungguhnya, individu tersebut semakin dewasa.
Demikian juga apa yang dipikirkan seseorang tentang dirinya, bila
semakin dekat (sama) dengan yang dipikirkan orang-orang lain tentang
dirinya, berarti ia semakin dewasa. Orang yang sehat terbuka pada
pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran diri yang objektif.
Orang yang memiliki objektivitas teradap diri tak mungkin
memproyeksikan kualitas pribadinya kepada orang lain (seolah orang
lain negatif). Ia dapat menilai orang lain dengan seksama, dan biasanya
ia diterima dengan baik oleh orang lain. Ia juga mampu menertawakan
diri sendiri melalui humor yang sehat.
7. Filsafat Hidup
Orang yang sehat melihat ke depan, didorong oleh tujuan dan
rencana jangka panjang. Ia memiliki perasaan akan tujuan, perasaan
akan tugas untuk bekerja sampai tuntas sebagai batu sendi
kehidupannya. Allport menyebut dorongan-dorongan tersebut sebagai
keterarahan (directness).
Keterarahan itu membimbing semua segi kehidupan seseorang
menuju suatu atau serangkaian tujuan, serta memberikan alasan untuk
hidup. Kita membutuhkan tarikan yang tetap dari tujuan yang
bermakna. Tanpa itu mungkin kita mengalami masalah kepribadian.
Kerangka dari tujuan-tujuan itu adalah nilai, yang bersama dengan
tujuan sangat penting dalam rangka mengembangkan filsafat hidup.
Memiliki nilai-nilai yang kuat merupakan salah satu ciri orang dewasa.
Orang-orang neurotis tidak memiliki nilai atau memiliki nilai yang
terpecah-pecah dan bersifat sementara, yang tidak cukup kuat untuk
mempersatukan semua segi kehidupan.
Suara hati berperan dalam menentukan filsafat hidup. Allport
mengemukakan perbedaan antara suara hati yang dewasa dengan suara
hati tidak dewasa. Yang tidak dewasa, suara hatinya seperti pada kanak-
kanak: patuh dan membudak, penuh larangan dan batasan, bercirikan
perasaan "harus".
Orang yang tidak dewasa berkata, "Saya harus bertingkah laku
begini." Sebaliknya, orang yang dewasa berkata, "Saya sebaiknya
bertingkah laku begini." Suara hati yang dewasa adalah perasaan
kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain, dan
mungkin berakar dalam nilai-nilai agama atau etis.
Ciri-Ciri Kepribadian yang Sehat dan Tidak Sehat
Hingga saat ini, para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam
memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian
kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan
Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang
kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya,
akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap
lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan
caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri.
Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses
respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam
upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan
emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu
khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu
lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya,
misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan
afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa
teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori
Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung,
teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori
Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi
Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull,
Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu,
Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang di dalamnya mencakup :
1. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku,
konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya
mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
3. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau
ambivalen
4. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap
rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung,
marah, sedih, atau putus asa
5. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari
tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko
secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
6. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Kepribadian yang Sehat
Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari
yang menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang tidak sehat.
Dalam hal ini, Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri
kepribadian yang sehat dan tidak sehat, sebagai berikut :
1. Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa
adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik,
pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
2. Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau
kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima
secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai
sesuatu yang sempurna.
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai
keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak
menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila
memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika
mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi
dengan sikap optimistik.
4. Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang
dihadapinya.
5. Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak,
mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri
serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
6. Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat
menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau
konstruktif , tidak destruktif (merusak)
7. Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap
aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang
(rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai
tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan),
pengetahuan dan keterampilan.
8. Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang
lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah
lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan
menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap
orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi
korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan
dirinya.
9. Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan
memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
10. Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat
hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
11. Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang
didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi) acceptance
(penerimaan), dan affection (kasih sayang)
Kepribadian yang Tidak Sehat
1. Mudah marah (tersinggung)
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih
muda atau terhadap binatang
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang
meskipun sudah diperingati atau dihukum
6. Kebiasaan berbohong
7. Hiperaktif
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
9. Senang mengkritik/ mencemooh orang lain
10. Sulit tidur
11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab
12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor
yang bersifat organis)
13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
14. Pesimis dalam menghadapi kehidupan
15. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan
E. PERILAKU KLIEN DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI
Gangguan konsep diri adalah suatu kondisi dimana individu
mengalami kondisi pembahasan perasaan, pikiran atau pandangan dirinya
sendiri yang negative. Jenis gangguan konsep diri di antaranya sebagai
berikut :
1. Gangguan citra tubuh
Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi tentang tubuh yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran bentuk, struktur, fungsi,
keterbatasan, makna dan objek yang sering kontak dengan tubuh. Pada
klien yang dirawat di rumah sakit umum, perubahan citra tubuh sangat
mungkin terjadi. Sitesor pada tiap perubahan yaitu :
a. Perubahan ukuran tubuh berat badan yang turun akibat penyakit
b. Perubahan bentuk tubuh, tindakan invasif, seperti operasi, suntikan
daerah pemasangan infus.
c. Perubahan struktur, sama dengan perubahan bentuk tubuh di sertai
dengan pemasangan alat di dalam tubuh.
d. Perubahan fungsi berbagaipenyakit yang dapat merubah sistem
tubuh
e. Keterbatasan gerak, makan, kegiatan.
f. Makna dan objek yang sering kotak, penampilan dan dandan
berubah, pemasangan alat pada tubuh klien (infus, fraksi, respirator,
suntik, pemeriksaan tanda vital, dan lain-lain)
Tanda dan gejala gangguan citra tubuh yaitu :
a. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
b. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi
c. Menolak penjelasan perubahan tubuh
d. Persepsi negatif pada tubuh
e. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang
f. Mengungkapkan keputusasaan
g. Mengungkapkan ketakutan
2. Gangguan Ideal Diri
Gangguan ideal diri adalah ideal diri yang terlalu tinggi, sukar dicapai
dan tidak realistis ideal diri yang samar dan tidak jelas dan cenderung
menuntut. Pada klien yang dirawat di rumah sakit karena sakit maka
ideal dirinya dapat terganggu. Tanda dan gejala gangguan ideal diri
yaitu :
a. Mengungkapkan keputusan akibat penyakitnya, misalnya : saya
tidak bisa ikut ujian karena sakit, saya tidak bisaa lagi jadi
peragawati karena bekas operasi di muka saya, kaki saya yang
dioperasi membuat saya tidak main bola.
b. Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi, misalnya saya pasti
bisa sembuh pada hal prognosa penyakitnya buruk; setelahsehat
saya akan sekolah lagi padahal penyakitnya mengakibatkan tidak
mungkin lagi sekolah.
3. Gangguan Harga Diri
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).Gangguan harga diri yang disebut
sebagai harga diri rendah dan dapat terjadi secara :
a. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus
operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan
kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi (korban perkosaan,
dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba ).
1) Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya pemeriksaan fisik
yang sembarangan pemasangan alat yang tidak sopan
(pengukuran pubis, pemasangan kateler pemeriksaan perincal)
2) Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak
tercapai karena dirawat/sakit/penyakit.
3) Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya
berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai
tindakan tanpa persetujuan.
b. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,
yaitu sebelum sakit/dirawat klien ini mempunyai cara berpikir yang
negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif
terhadap dirinya.
Tanda dan gejala gangguan harga diri yaitu :
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakti dan akibat
tindakan terhadap penyakit. Misalnya malu dan sedih karena rambut
jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya ini tidak akan terjadi
jika saya segera kerumah sakit, menyalahgunakan/mengejek dan
mengkritik diri sendiri.
c. Merendahkan martabat. Misalnya saya tidak bisa, saya tidak mampu
saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
d. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri.
e. Percaya diri kurang. klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan.
f. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
4. Gangguan Peran
Gangguan penampilan peran adalah berubah atau berhenti fungsi peran
yang disebabkan oleh penyakit, proses menua, putus sekolah, putus
hubungan kerja.
Pada klien yang sedang dirawat di rumah sakit otomatis peran sosial
klien berubah menjadi peran sakit. Peran klien yang berubah adalah :
a. Peran dalam keluarga
b. Peran dalam pekerjaan/sekolah
c. Peran dalam berbagai kelompok
Klien tidak dapat melakukan peran yang biasa dilakukan selama
dirawat di rumah sakit atau setelah kembali dari rumah sakit. Tanda dan
gejala gangguan peran yaitu :
a. Mengingkari ketidakmampuan menjalankan peran
b. Ketidakpuasan peran
c. Kegagalan menjalankan peran yang baru
d. Ketegangan menjalankan peran yang baru
e. Kurang tanggung jawab
f. Apatis/bosan/jenuh dan putus asa
5. Gangguan Identitas
Identitas diri adalah komponen dari konsep diri yang memungkinkan
individu untuk memelihara pendirian yang konsisten dan karenanya
memungkinkan seseorang untuk menempati posisi yang stabil di
lingkungannya (Rawlins et al, 1993). Gangguan identitas adalah
kekaburan/ketidakpastian memandang diri sendiri. Penuh dengan
keragu-raguan, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu
mengambil keputusan. Pada klien yang dirawat di rumah sakit karena
penyakit fisik maka identitas dapat terganggu yang disebabkan oleh :
a. Tubuh klien di kontrol oleh orang lain. Misalnya : Pelaksanaan
pemeriksaan dan pelaksanaan tindakan tanpa penjelasan dan
persetujuan klien.
b. Ketergantungan pada orang lain. Misalnya : untuk “self-care” perlu
dibantu orang lain sehingga otonomi/kemandirian terganggu.
c. Perubahan peran dan fungsi. klien menjalankan peran sakit, peran
sebelumnya tidak dapat di jalankan.
Tanda dan gejala gangguan identitas yaitu:
1) Tidak ada percaya diri
2) Sukar mengambil keputusan
3) Ketergantungan
4) Masalah dalam hubungan interpersonal
5) Ragu/ tidak yakin terhadap keinginan
6) Projeksi (menyalahkan orang lain
6. Gangguan Depersonalisasi
Depersonalisasi adalah gangguan yang ditandai dengan perasaan
terpisah yang lama atau berulang dari tubuh atau proses mental
seseorang (depersonalisasi) dan oleh perasaan di luar peninjau pada
kehidupan seseorang. Gejala pada depersonalisasi adalah gejala
psikologi ketiga yang paling sering terjadi (setelah perasaan gelisah dan
perasaan depresi) dan seringkali terjadi setelah seseorang mengalami
bahaya yang mengancam nyawa, seperti kecelakaan, penyerangan, atau
penyakit atau luka serius. Gangguan depersonalisasi tidak dipelajari
secara luas, dan penyebab dan kejadiannya pada masyarakat tidak
diketahui. Perilaku klien dengan gangguan depersonalisasi seperti
berikut ini :
a. Afek
1) Identitas hilang
2) Asing dengan diri sendiri
3) Perasaan tidak aman, rendah diri, takut, malu
4) Perasaan tidak realistic
5) Merasa sangat terisolasi
b. Persepsi
1) Halusinasi pendengaran dan penglihatan
2) Tidak yakin akan jenis kelaminnya
3) Sukar membedakan diri dengan orang lain
c. Kognitif
1) Kacau
2) Disorientasi waktu
3) Penyimpangan pikiran
4) Daya ingat terganggu
5) Daya penilaian terganggu
d. Perilaku
1) Afek tumpul
2) Pasif dan tidak ada respon emosi
3) Komunikasi tidak selaras
4) Tidak dapat mengontrol perasaan
5) Tidak ada inisiatif dan tidak mampu mengambil keputusan
6) Menarik diri dari lingkungan
7) Kurang bersemangat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pembentukan konsep diri tidak terjadi dalam waktu singkat
melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan. Dan dalam
proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi penilaian dari
orang lain. Dan juga dalam konsep diri terdapat konsep diri yang positif
maupun negatif, tergantung terhadap orang itu sendiri. Dengan memahami
komponen konsep diri, kita mampu menilai diri kita dan meningkatkan
konsep diri kita. Memiliki kepribadian yang sehat merupakan hal yang sangat
positif, maka kita dapat membedakan kepribadian yang sehat dan kepribadian
yang tidak sehat. Apabila kita sudah memiliki konsep diri yang baik, maka
dengan perlahan kita dapat membantu klien dengan perilau gangguan konsep
diri sehingga derajat atau harga diri klien akan kembali. Tak hanya
memikirkan klien, perawatpun juga harus mampu memiliki kosep diri yang
baik.
B. Saran
Perawat merupakan salah seorang pelayan kesehatan yang sering
berinteraksi dengan pasien/klien sehingga perawat juga harus memiliki
konsep diri yang baik jika ingin membantu klien agar cepat sembuh. Semoga
dengan adanya konsep diri ini, mahasiswa mampu menjadi pribadi yang baik
untuk menjadi perawat yang baik pula. Dengan memahami konsep diri
diharapkan mahasiswa mampu mengaplikasikan untuk menjadi bekal ketika
menjadi perawat nanti. Semoga apapun hal yang terjadi, perawattetap
memiliki konsep diri sehingga terjalin interkasi yang baik pula.
a.
DAFTAR PUSTAKA
Beck, D.M., Rawlins, R.P., dan Williams, S.R. (1984). Mental health-
psychiatric nursing: a holistic life-cycle approach. St. Louis: The C.V. Mosby
Company.
Potter, P.A, Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk.
Jakarta : EGC.
Stuart, G.W., dan Sundeen, S.J. (1991). Principles and practice of
psychiatric nursing. (4th ed). St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., dan Sundeen, S.J. (1998). Keperawatan Jiwa. EGC : Jakarta.
http://arihdyacaesar.wordpress.com/2010/04/22/resume-perkembangan-
konsep-diri-dan-kemandirian-remaja/, diakses pada 3 Mei 2011 pukul 10.25 WIB
http://a khmasudrajat .wordpress.com/ , diakses pada tanggal 3 Mei 2011
pukul 10.38 WIB