konsep deklarasi 1 september 2014

7
1 PROGRAM NASIONAL PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT MELALUI REDD+ NOTA KONSEP I. LATAR BELAKANG Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) adalah hal hakiki dalam UUD 1945 serta bagian tak terpisah dari upaya memelihara kelestarian hutan dan meningkatan kesejahteraan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PIU/2012 pada bulan Maret 2013 yang menetapkan hutan adat tidak lagi sebagai hutan negara adalah tonggak sejarah dalam upaya mengembalikan kedaulatan hak atas hutan kepada MHA. Terbitnya UU 6/2014 yang disusul dengan PP 43/2014 Tentang Desa mengatur lebih lanjut pengakuan atas kekayaan tradisional dan hak asal usul MHA dan akan dituangkan ke dalam bentuk peraturan daerah yang menguatkan secara legal hak pengelolaan kekayaan alam milik MHA termasuk hutan adat. Putusan-putusan pemerintah ini menandai dimulainya era baru dalam upaya melembagakan partisipasi MHA yang penuh dan efektif dalam pengelolaan sumber daya alam menuju Indonesia yang adil dan makmur. Bukti empiris menunjukkan hubungan kausalitas yang kuat antara kepemilikan hutan oleh masyarakat dengan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil riset terbaru dari World Resources Institute, dan Rights and Resources Initiatives (2014) tentang Securing Rights, Combatting Climate Change yang melakukan penelitian di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika dan Asia menarik untuk dicermati. Riset itu menyimpulkan bahwa negara, yang memberikan hak hukum kepemilikan hutannya kepada MHA dan masyarakat lokal, dapat mengendalikan deforestasi secara jauh lebih baik ketimbang jika hutannya dimiliki negara. Teritori hutan adat di Amazon (Brazil), misalnya, terlindungi 11 kali lebih baik ketimbang hutan-hutan yang tidak dimiliki dan dikelola oleh masyarakat adat di Amazon. Pemberian hak atas hutan kepada MHA dan masyarakat lokal adalah cara efektif untuk memerangi deforestasi, menciptakan mata pencaharian yang berkelanjutan, dan memitigasi perubahan iklim. Namun di sisi lain terdapat pula beberapa riset yang memperlihatkan bahwa kepastian kepemilikan atas lahan baik secara de jure maupun de facto saja tidak cukup untuk menurunkan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut bahkan dapat berdampak sebaliknya (Liscow, 2012). Lebih terkini, Busch (2014) menganalisis penyebab deforestasi utama berdasarkan lebih dari 100 kajian akademis yang dicetak di jurnal ilmiah sejak 1996 sampai dengan 2013, dengan kesimpulan: Land-tenure security shows no consistent association with either higher or lower deforestation. While more secure property rights for indigenous peoples is sometimes associated with lower deforestation, more secure land tenure can also increase investment, leading to greater deforestation. The converse is sometimes true: insecure property rights can reduce the present value of standing forests and encourage owners to convert the land to benefit from more productive uses and to reduce the risk of expropriation. (Evidence base: 9 countries on 3 continents).” Studi lapangan yang dilakukan CIFOR (2013) di 5 (lima) REDD+ proyek di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada wilayah proyek tersebut (mayoritas terdiri dari masyarakat asli namun terdapat pula pendatang), lebih tertarik atas jasa hutan/lahan gambut yang berkaitan dengan pendapatan dibandingkan untuk mengkonservasinya.

Upload: septianm

Post on 21-Jun-2015

166 views

Category:

Government & Nonprofit


3 download

DESCRIPTION

Konsep deklarasi 1 september 2014

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep deklarasi 1 september 2014

1

PROGRAM NASIONALPENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

MELALUI REDD+

NOTA KONSEP

I. LATAR BELAKANGPengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) adalah hal hakiki dalam UUD1945 serta bagian tak terpisah dari upaya memelihara kelestarian hutan dan meningkatankesejahteraan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PIU/2012 pada bulan Maret 2013yang menetapkan hutan adat tidak lagi sebagai hutan negara adalah tonggak sejarah dalam upayamengembalikan kedaulatan hak atas hutan kepada MHA. Terbitnya UU 6/2014 yang disusul denganPP 43/2014 Tentang Desa mengatur lebih lanjut pengakuan atas kekayaan tradisional dan hak asalusul MHA dan akan dituangkan ke dalam bentuk peraturan daerah yang menguatkan secara legal hakpengelolaan kekayaan alam milik MHA termasuk hutan adat. Putusan-putusan pemerintah inimenandai dimulainya era baru dalam upaya melembagakan partisipasi MHA yang penuh dan efektifdalam pengelolaan sumber daya alam menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Bukti empiris menunjukkan hubungan kausalitas yang kuat antara kepemilikan hutan olehmasyarakat dengan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil riset terbaru dari WorldResources Institute, dan Rights and Resources Initiatives (2014) tentang Securing Rights, CombattingClimate Change yang melakukan penelitian di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika dan Asiamenarik untuk dicermati. Riset itu menyimpulkan bahwa negara, yang memberikan hak hukumkepemilikan hutannya kepada MHA dan masyarakat lokal, dapat mengendalikan deforestasi secarajauh lebih baik ketimbang jika hutannya dimiliki negara.

Teritori hutan adat di Amazon (Brazil), misalnya, terlindungi 11 kali lebih baik ketimbang hutan-hutanyang tidak dimiliki dan dikelola oleh masyarakat adat di Amazon. Pemberian hak atas hutan kepadaMHA dan masyarakat lokal adalah cara efektif untuk memerangi deforestasi, menciptakan matapencaharian yang berkelanjutan, dan memitigasi perubahan iklim.

Namun di sisi lain terdapat pula beberapa riset yang memperlihatkan bahwa kepastian kepemilikanatas lahan baik secara de jure maupun de facto saja tidak cukup untuk menurunkan deforestasi dandegradasi hutan dan lahan gambut bahkan dapat berdampak sebaliknya (Liscow, 2012).

Lebih terkini, Busch (2014) menganalisis penyebab deforestasi utama berdasarkan lebih dari 100kajian akademis yang dicetak di jurnal ilmiah sejak 1996 sampai dengan 2013, dengan kesimpulan:“Land-tenure security shows no consistent association with either higher or lower deforestation.While more secure property rights for indigenous peoples is sometimes associated with lowerdeforestation, more secure land tenure can also increase investment, leading to greaterdeforestation. The converse is sometimes true: insecure property rights can reduce the present valueof standing forests and encourage owners to convert the land to benefit from more productive usesand to reduce the risk of expropriation. (Evidence base: 9 countries on 3 continents).”

Studi lapangan yang dilakukan CIFOR (2013) di 5 (lima) REDD+ proyek di Sumatera dan Kalimantanpada tahun 2010 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada wilayah proyek tersebut(mayoritas terdiri dari masyarakat asli namun terdapat pula pendatang), lebih tertarik atas jasahutan/lahan gambut yang berkaitan dengan pendapatan dibandingkan untuk mengkonservasinya.

Page 2: Konsep deklarasi 1 september 2014

2

Walaupun pendapat tentang hubungan kausalitas antara kepemilikan lahan tersebut berbeda-beda,semua sepakat bahwa MHA/setempat menjadi pemangku kepentingan kunci dalam halkesinambungan hutan dan tata kelola lahan.

Dengan demikian, patut diakui bahwa kecenderungan global dan nasional terkait persepsi danpenerimaan para pihak terhadap MHA juga terus membaik. Di tingkat global MHA telah diterima sebagai salah satu ‘major group’ dalam isu

pembangunan dan lingkungan dan partisipasinya dalam berbagai perundingan internasionalsemakin penting dan strategis;

Kajian-kajian ilmiah semakin kuat membuktikan bahwa MHA akan menjadi kekuatan baruuntuk mendorong perubahan global yang mendasar;

Fasilitas global untuk partisipasi MHA dalam penanganan masalah-masalah global semakinbesar dan beragam;

Pemerintah Indonesia ikut mendukung pengesahan (adopsi) Deklarasi PBB tentang Hak-HakMasyarakat Adat (UNDRIP) dalam Sidang Umum PBB di New York tanggal 13 September20071;

Relasi dan intensitas interaksi MHA dengan berbagai instansi Pemerintah juga cenderungmeningkat selama 15 tahun terakhir, misalnya tercatat ada sekitar 14 kementerian/lembaganegara memiliki program terkait MHA;

Relasi dan intensitas interaksi MHA dengan lembaga-lembaga internasional, nasional dan sub-nasional di Indonesia terus menguat dan sudah mengarah pada kerjasama.

Sejumlah kemajuan dalam upaya membangun partisipasi dan penguatan MHA telah terjadi padamasa Pemerintahan sekarang ini. Berbagai keputusan, kebijakan maupun program kerjasama denganPemerintah berkembang dengan pesat, antara lain: Perkembangan advokasi kebijakan mengalami kemajuan dengan pembahasan akhir RUU

PPHMA dan RUU Pertanahan di DPR RI dan adanya kesepakatan antara DPR dan PemerintahRI bulan Desember 2009 lalu untuk memasukkan RUU revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentangKehutanan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) Tahun 2010-2014.

Putusan MK 35/PIU/2012. Implementasi Putusan MK 35 dalam NKB 12 K/L (Inkuiri Nasional Komnas HAM RI tentang

Pelanggaran HAM di Kawasan Hutan) Untuk kerjasama program, AMAN, sebagai wadah perjuangan hak dan kepentingan

masyarakat hukum adat di Indonesia, sudah memiliki Nota Kesepakatan/Piagam dan RencanaKerjasama 5 tahun ke depan dengan Komnas HAM RI, Kementerian Negara Lingkungan Hidup(KLH) dan BPN

UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Desa Protokol Nagoya tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang

Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayatiyang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 8 Mei 2013 (UU 11/2013).

UKP4 dan Satuan Tugas Pembentukan Kelembagaan REDD+: memfailitasi pengakuan danpemetaan kawasan adat kedalam penyusunan “One Map” dan mengakui keberadaan MHAdalam Strategi Nasional REDD+.

Pembentukan Badan Pengelola REDD+ dipenghujung tahun 2013 sebagai lembaga setingkatkementerian dengan empat mandat dan satu diantaranya mencakup kesejahteraanmasyarakat setempat/masyarakat hukum adat (PP 62/2013, Pasal 2d).

1Indonesia voted in favour of adoption but noted that the rights in the Declaration accorded exclusively toindigenous people did not apply in the context of Indonesia. Lihat:tp://www.un.org/News/Press/docs/2007/ga10612.doc.htm.

Page 3: Konsep deklarasi 1 september 2014

3

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pada pembukaan Konferensi Internasional TropicalForest Alliance 2020 di Jakarta, 27 Juni 2013, telah menyampaikan komitmennya untuk memulaiproses pengakuan hak atas lahan dan sumber daya alam bagi MHA dan masyarakat yangketergantungan pada hutan2 masyarakat dan teritori adat di Indonesia. Presiden menyampaikanbahwa upaya ini adalah upaya awal yang sangat penting dari implementasi Putusan MK 35 Tahun2012. Pengakuan ini akan memungkinkan Indonesia untuk mengarahkan pembangunannya yangberorientasi pada pertumbuhan yang berkelanjutan dengan keadilan di sektor hutan dan lahan.Komitmen ini akan ditindaklanjuti dalam masa pemerintahan Presiden SBY-Boediono, dimana upayauntuk meluncurkan inisiatif nasional untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adatmasuk dalam Rencana Aksi Penuntasan 100 Hari Terakhir Pemerintahan SBY-Boediono.

Lebih lanjut, komitmen yang kuat telah ditunjukkan juga oleh Presiden dan Wakil Presiden Indonesiaterpilih 2014-2019, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam visi dan misi Jokowi dan JK disampaikankomitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak MHA dengan penekanan pada 6 (enam)prioritasutama:3

(i) Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait denganpengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak MHA, khususnya yangberkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan olehTAP MPR RI no. IX/MPR/2001,

(ii) Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat HukumAdat hingga ditetapkan sebagai undang-undang;

(iii) Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam padaumumnya, seperti RUU Pertanahan dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-normapengakuan hak-hak MHA sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MK 35/2012;

(iv) Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait denganpenyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagaiperaturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak MHA selama ini;

(v) Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerjasecara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akanmengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan,dan pemajuan hak-hak MHA ke depan; dan

(vi) Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berjalan, khususnya dalam halmempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalammengoperasionalisasi pengakuan hak-hak MHA untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, merupakan hal yang mendesak untuksegera meluncurkan sebuah prakarsa nasional untuk pengakuan dan perlindungan MHA melaluiREDD+.

II. REDD+ DAN MHAMHA/setempat adalah pemangku kepentingan kunci dari REDD+ di Indonesia. Peraturan Presiden 62tahun 2013 tentang Badan Pengelola REDD+ menegaskan salah satu tujuan penyelenggaraan REDD+adalah “memberikan manfaat terhadap peningkatan jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, dan

2 "This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adatcommunity and forest-dependent communities." Lihat: Speech by H.E. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono at the opening ofthe international workshop on "Tropical Forest Alliance 2020: Promoting Sustainability and Productivity in the Palm Oiland Pulp and Paper Sectors", Jakarta: 27 June 2013.Tersedia dihttp://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2013/06/27/2136.html.3 Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat,Mandiri dan Berkepribadian, VisiMisi,d an ProgramAksi,Jokowi/JusufKalla 2014, Jakarta: Mei 2014, No. 9a-f, hlm. 21-22.

Page 4: Konsep deklarasi 1 september 2014

4

kesejahteraan masyarakat setempat/masyarakat hukum adat” (PP 62/2013, Pasal 2d). Pencapaiantujuan tersebut dilakukan oleh BP REDD+ yang bertugas untuk membantu Presiden dalammelaksanakan tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan,pengawasan serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Pemerintah melalui BP REDD+ berkewajibanuntuk melindungi dan mendorong peningkatan kapasitas dan partisipasi MHA melalui mekanismeREDD+.

Sebaliknya, agenda REDD+ berpotensi untuk dapat dilihat sebagai bagian dari kewajiban adat.Keberlanjutan ekologis, konservasi keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim adalah hal-hal yang sangat relevan sebagai kewajiban adat. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa masihbanyak kelompok MHA: memiliki motivasi dan insentif kuat untuk melindungi SDA dan LH karena terkait langsung

dengan keberlanjutan kehidupan MHA sendiri; memiliki pengetahuan adat (tradisional) untuk melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya

alam secara lestari di wilayah adatnya; memiliki hukum adat agraria/SDA untuk ditegakkan; memiliki kelembagaan adat untuk mengurus dan mengatur interaksi harmonis antara MHA

dengan alam sekitarnya; memiliki konsep penguasaan lahan/wilayah adat secara kolektif yang di dalamnya menjaga

keseimbangan yang dinamis antara hak individual (terbatas, tidak absolut) sebagai warga danhak kolektif dan komunal sebagai satu komunitas adat yang otonom/mandiri.

Namun harus diakui bahwa tidak mudah untuk mendorong implementasi REDD+ secara nasionaldalam konteks penguatan partisipasi MHA. Tantangan utamanya adalah paradigma pembangunanekonomi yang masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Tumpang tindih dandisharmonisasi antara berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan: UU Perkebunan, UUPertambangan, UU Pengadaan Tanah, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, RPP Hutan Adat,Permenhut REDD, PP Tambang di Hutan Lindung, dan lain-lain (Peta Jalan Pembaruan Hukum, SatgasREDD+ 2014).

Demikian juga terjadi benturan kepentingan antar kementerian dan antar pemerintah pusat dandaerah. Hal ini diperumit dengan belum adanya Undang-Undang yang spesifik mengenai hak-hakMHA atau upaya pendataan MHA secara terlembaga. Pengesampingan hak-hak kolektif MHA yangtelah terjadi selama puluhan tahun, mengakibatkan hanya sedikit MHA yang masih kuat dan berdaya,sebagian besar sudah melemah dan sebagian kecil sudah sulit diidentifikasi.Sementara pada tataran lokal/implementasi, ada kompleksitas lainnya, misalnya: bagaimanamemastikan Free, Prior and Informed Consent (FPIC atau Padiatapa) berjalan dengan baik; bagaimanamenentukan batas wilayah MHA dalam hubungannya dengan batas administrasi negara; bagaimanapembagian dan pengelolaan manfaat dari REDD+; bagaimana memastikan kepemilikan MHA; pihakmana yang akan bernegosiasi dengan MHA, apakah pemerintah langsung atau pihak ketiga; siapayang dapat mewakili MHA dan bagaimana memastikan seluruh kepentingan di dalam unsur-usurMHA terakomodasi dengan baik oleh wakil dari masyarakat hukum adat; serta sejauh manawacana/kebijakan internasional akan mempengaruhi pasar bebas yang bergerak lebih cepatdibandingkan UNFCCC.

Semua ini memerlukan sebuah dukungan penyelesaian yang menyeluruh yang melibatkan berbagaipemangku kepentingan. Dalam kaitan dengan ini, BP REDD+ telah menetapkan dukungan terhadappenguatan dan pengakuan MHA menjadisalah satu program imperatif BP REDD+ untuk tahun 2014,yang akan terus mewarnai pelaksanaan Fase Transformasi (Fase II) yang direncanakan selesai

Page 5: Konsep deklarasi 1 september 2014

5

padatahun 2016. BP REDD+ menginisiasi Program Nasional untuk Pengakuan dan Perlindungan MHAmelalui REDD+.

III. PROGRAM NASIONALProgram Nasional ini berjudul: Pengembangan Partisipasi MHA yang Penuh dan Efektif melaluiREDD+ (Program Nasional).Program ini bertujuan untuk mendorong peningkatan kapasitas MHA di Indonesia untukmemulihkan, menjaga dan mengelola wilayah adat dan kekayaan alam yang terkandung didalamnyasecara demokratis, berkeadilan dan berkelanjutan melalui mekanisme REDD+, untuk berkontribusinyata kepada pembangunan berkelanjutan pada aras tapak, daerah, nasional dan global.

Untuk mewujudkan tujuan ini, Program Nasional mentargetkan sejumlah sasaran:1. Terwujudnya peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi

perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat;2. Terwujudnya reformasi hukum dan kelembagaan negara/pemerintah terkait hak-hak MHA

atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam, seperti: bentuk pengakuan hukum hak kolektifatas tanah, hak teritorial dan pemerintahan adat/otonomi asli komunitas adat, revitalisasidan pembaruan tradisi dan pranata adat terkait tanah dan sumberdaya alam, negosiasiberbasis FPIC/Padiatapa dengan pemerintah dan pihak swasta, dll;

3. Terwujudnya perangkat administrasi yang akan menggerakkan pengembangan berbagaikerangka peraturan dan kebijakan yang mendukung upaya untuk perlindungan danpengakuan MHA;

4. Terwujudnya pemulihan, penguatan kelembagaan MHA dan pelaksanaanprogrampengelolaan hutan berkelanjutan berbasis MHA;

5. Terwujudnya dukungan kepada Pemerintah Daerah dalam penyiapan Peraturan Daerah yangmendukung penguatan dan pengakuan masyarakat hukum adat; dan

6. Terwujudnya pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu pedekatan untukmenjembatani kesenjangan antara pertanian tradisi dan tipe pertanian yang dibutuhkandewasa ini baik dari sisi komoditi maupun cara penghasilan komoditi tesebut dan, khususnya,dari kepentingan perubahan iklam.

Adapun kerangka program yang akan dikembangkan dalam rangka mendukung perwujudan tujuandan sasaran diatas, digambarkan dalam skema dan alur dibawah ini (Gambar 1). Skema inimenunjukkan hubungan dan interaksi yang perlu dikembangkan antara profil MHA pada tingkattapak dengan agenda global perubahan iklim. Pada tingkat tapak, kebutuhan mendasar MHA adalahdukungan untuk pemetaan spasial dan sosial yang merupakan langkah awal dalam upayamemperkuat kelembagaan dan organisasi MHA.

Dari titik ini kemudian dilakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas lembaga MHA (perencanaanpartisipatif, pengorganisasian, pelibatan dalam mitigasi perubahan iklim). Pusat Informasi MHA perludikembangkan untuk mengelola seluruh data dan pemetaan yang dikerjakan oleh MHA yangkemudian akan dikaitkan dengan agenda global perubahan iklim maupun berbagai aksi mitigasi danadaptasinya. Dari Pusat Informasi ini kemudian akan dikembangkan mekanisme dan tata cara untukpengakuan dan perlindungan wilayah MHA. Advokasi dan kampanye dan program informasi padaberbagai tingkatan perlu didorong untuk memastikan terjadinya pengakuan negara terhadap hak-hakhukum dan wilayah dari MHA.

Page 6: Konsep deklarasi 1 september 2014

6

Gambar 1. Kerangka program bagi Program Nasional untuk Pengakuan dan Perlindungan MHA melalui REDD+

Untuk menjalankan program kerja tersebut, sejumlah fasilitas akan disiapkan melalui Prakarsa ini,yaitu:

1. Dana Perwalian Nasional (National Trust Fund) sebagai bagian dari Funds for REDD+ Indonesia(FREDDI), yang merupakan wadah pengelolaan dana dan mekanisme pendanaan bagipelaksanaan Prakarsa ini;

2. Pusat Informasi Masyarakat Hukum Adat sebagai pusat analisis dan pengolahan data danperencanaan spasial wilayah MHA;

3. Dukungan Peningkatan Kapasitas berbagai upaya pengembangan partisipasi masyarakathukum adat melalui REDD+ (Delivery Service Support), yang akan memfasilitasi kegiatanseperti seperti pemetaan wilayah adat, perencanaan partisipatif, penguatan kelembagaanadat, monitoring dan dukungan teknis, dan pelatihan bagi upaya peningkatan kapasitas MHA;dan

4. Dukungan untuk Pelibatan Pemangku Kepentingan dan Komunikasi (Communication andStakeholders Engagement Support) bagi upaya pelembagaan partisipasi MHA pada aras lokal,nasional dan internasional, termasuk dukungan untuk penyusunan dan pemberlakuan Perdatentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di masing-masing daerah.

Pendekatan REDD+ akan diintegrasikan dalam program nasional ini supaya dapat secara paralelmenfasilitasi persiapan MHA/setempat untuk program nasional pembangunan kesinambunganyang adil dan sesuai dengan prinisip pembangunan berkelanjutan dengan pemerataan.

IV. PELUNCURAN PROGRAM NASIONAL

Page 7: Konsep deklarasi 1 september 2014

7

Untuk menandai dimulainya Program Nasional, BP REDD+ akan mengkoordinasikan sebuah kegiatanPeluncuran pada 1 September 2014 di Jakarta, bertepatan dengan penyelenggaraan Hari MasyarakatAdat Sedunia di Jakarta.

Prakarsa Nasional ini diharapkan diluncurkan bersama dengan sejumlah Kementerian dan LembagaPemerintah yang terkait, yaitu: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Kehutanan; Kementerian Lingkungan Hidup; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pertanahan Nasional; Badan Informasi Geospatial Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan BP REDD+. UKP4

Pada Peluncuran Program Nasional ini, akan ditandatangani Deklarasi Bersama para Kementeriandan Lembaga terkait untuk mendukung dan ikut memfasilitasi implementasi dari Program Nasional.Peluncuran dan penandatanganan deklarasi akan dilakukan dihadapan Bapak Wakil Presiden dengandisaksikan oleh perwakilan MHA dan pemangku kepentingan terkait lainnya.