konsep dan strategi adaptasi perubahan iklim di indonesia

7
Konsep dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia: Studi Kebijakan di Nusa Tenggara Barat Sunday, October 5, 2008 Oleh: Fika Fawzia HukumOnline - [28/5/08] Sepanjang sejarah, manusia telah melakukan adaptasi terhadap variasi iklim dan cuaca secara alami. Namun perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah melampaui kemampuan masyarakat untuk beradaptasi. Perubahan iklim mempunyai dampak yang sangat mengenaskan terhadap pembangunan kehidupan masyarakat miskin di dunia, apalagi mereka yang tinggal di daerah dimana iklimnya merupakan yang paling ekstrim.[1] Indonesia, sebagai negara Non-Annex 1, tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara hukum.[2] Namun demikian, yang harus menjadi perhatian dan kewajiban Indonesia adalah menjadikan upaya adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional, karena setidaknya dua alasan berikut ini. Pertama, dampak perubahan iklim dapat menyampingkan hak-hak atas kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar, yakni pangan, papan, dan sandang. Mayoritas masyarakat adat[3] dan masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan petani sangat bergantung kepada variabilitas cuaca terhadap mata pencaharian mereka.[4] Apabila dampak negatif dari perubahan iklim betul-betul terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi distorsi terhadap sumber ekonomi mereka dan mengancam hak-hak kesejahteraan mereka. Kedua, pengabaian terhadap proses adaptasi perubahan iklim akan memperlambat proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan.[5] Tanpa adanya ancaman perubahan iklim pun, proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia telah mengalami proses yang lambat. Pos-pos pembangunan yang diagendakan dalam Agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, justru yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, dan paling rentan untuk mengalami pembengkakan biaya.[6] Dengan memperhatikan kedua alasan tersebut, maka sudah sewajibnya Indonesia menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai agenda pembangunan nasionalnya. Mengintegrasikan unsur adaptasi perubahan iklim kepada pola kebijakan pembangunan harus dipandang sebagai strategi yang diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang.[7] Salah satu dokumen kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional yang dimiliki oleh Indonesia adalah Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI) yang dipublikasikan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada November 2007.[8] Di tingkat daerah, salah satu contoh kebijakan untuk mengintegrasikan unsur adaptasi perubahan iklim sudah diterapkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Upaya kebijakan yang dilakukan Pemerintahan NTB adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan

Upload: deenar-tunas-rancak

Post on 21-Jan-2016

76 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

Konsep dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim di

Indonesia: Studi Kebijakan di Nusa Tenggara Barat

Sunday, October 5, 2008

Oleh: Fika Fawzia

HukumOnline - [28/5/08]

Sepanjang sejarah, manusia telah melakukan adaptasi terhadap variasi iklim dan cuaca

secara alami. Namun perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah melampaui

kemampuan masyarakat untuk beradaptasi.

Perubahan iklim mempunyai dampak yang sangat mengenaskan terhadap pembangunan

kehidupan masyarakat miskin di dunia, apalagi mereka yang tinggal di daerah dimana

iklimnya merupakan yang paling ekstrim.[1]

Indonesia, sebagai negara Non-Annex 1, tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan

emisi gas rumah kaca secara hukum.[2] Namun demikian, yang harus menjadi perhatian dan

kewajiban Indonesia adalah menjadikan upaya adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas

utama dalam pembangunan nasional, karena setidaknya dua alasan berikut ini.

Pertama, dampak perubahan iklim dapat menyampingkan hak-hak atas kebutuhan hidup

manusia yang paling mendasar, yakni pangan, papan, dan sandang. Mayoritas masyarakat

adat[3] dan masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan petani sangat bergantung kepada

variabilitas cuaca terhadap mata pencaharian mereka.[4] Apabila dampak negatif dari

perubahan iklim betul-betul terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi distorsi terhadap

sumber ekonomi mereka dan mengancam hak-hak kesejahteraan mereka.

Kedua, pengabaian terhadap proses adaptasi perubahan iklim akan memperlambat proses

penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan.[5] Tanpa adanya

ancaman perubahan iklim pun, proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian

pembangunan berkelanjutan di Indonesia telah mengalami proses yang lambat. Pos-pos

pembangunan yang diagendakan dalam Agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) 2005-2025, justru yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, dan paling

rentan untuk mengalami pembengkakan biaya.[6]

Dengan memperhatikan kedua alasan tersebut, maka sudah sewajibnya Indonesia menjadikan

adaptasi perubahan iklim sebagai agenda pembangunan nasionalnya. Mengintegrasikan unsur

adaptasi perubahan iklim kepada pola kebijakan pembangunan harus dipandang sebagai

strategi yang diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam jangka

panjang.[7]

Salah satu dokumen kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional yang dimiliki oleh

Indonesia adalah Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI)

yang dipublikasikan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada November

2007.[8] Di tingkat daerah, salah satu contoh kebijakan untuk mengintegrasikan unsur

adaptasi perubahan iklim sudah diterapkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Upaya

kebijakan yang dilakukan Pemerintahan NTB adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan

Page 2: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 219 Tahun 2007 tentang Pembentukan Gugus Tugas

untuk Pengarusutamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tahun Anggaran 2007 (SK GUB. NTB No. 219/2007).

Konsep Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia Dokumen RAN MAPI ini dibagi menjadi enam bab. Penjelasan mengenai strategi RAN

MAPI tersebut ada di bab tiga, yang menjelaskan baik strategi mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim. Ada tiga hal yang patut diperhatikan dalam dokumen ini, yaitu:

1) Kebijakan RAN MAPI tidak mengikat secara hukum

Meskipun kebijakan RAN MAPI telah dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang dalam

mengelola lingkungan hidup, yakni KNLH[9], akan tetapi kebijakan ini tidak dalam bentuk

peraturan perundang-undangan sehingga tidak mengikat secara hukum. Pada faktanya, RAN

MAPI tidak berbentuk Keputusan atau Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, namun

hanya berupa dokumen hasil penelitian saja.

Apabila RAN MAPI tersebut tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, maka kebijakan

tersebut akan lebih bersifat kebijakan umum dari pemerintah yang tidak mempunyai

implikasi hukum kepada warga negaranya. Dengan demikian, tidak tidak ada unsur

imperatif[10] untuk melakukan integrasi adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan

pembangunan di Indonesia.

2) Penunjukkan KNLH sebagai institusi pemimpin (lead institution) tidak tepat untuk

mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan

Kewenangan untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di

bidang perencanaan pembangunan merupakan kewenangan dari Kementerian Negara

Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).[11]

Dengan demikian, integrasi adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan pembangunan akan

lebih relevan apabila dipimpin oleh Bappenas.

Tidak hanya itu, KNLH tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebijakan

mengikat bagi departemen-departemen sektoral terkait dengan adaptasi perubahan iklim.

Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Energi dan

Sumber Daya Mineral, Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, bahkan

Bappenas pun berada dalam koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan

tidak dalam jangkauan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.[12]

3) Tidak ada partisipasi publik yang hakiki dalam pembuatan kebijakan RAN MAPI

Partisipasi publik yang hakiki berarti adanya pemenuhan akses informasi, akses atas

keterlibatan publik, dan akses terhadap keadilan (Prinsip Tiga Akses).[13] Prinsip Tiga Akses

ini adalah cara praktis untuk menjamin bahwa kebijakan-kebijakan dari pemerintah

mempertimbangkan isu pembangunan berkelanjutan dan kepentingan dari masyarakat

miskin.[14]

Pada saat penyusunan RAN MAPI, kebijakan tersebut melibatkan beberapa peneliti atau

konsultan independen sebagai bagian dari tim editorial dokumen kebijakan tersebut.[15]

Akan tetapi, pelibatan konsultan belum berarti disebut sebagai partisipasi publik dalam arti

Page 3: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

sebenarnya, karena tidak dilakukan pengumuman, konsultasi, dan pemberitahuan RAN MAPI

sampai ke masyarakat yang terkena dampak langsung terkait dengan kebijakan tersebut. RAN

MAPI pun dinilai kurang komprehensif karena tidak memperhatikan aspek kerentanan dari

masing-masing daerah di Indonesia.

Strategi Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Secara geografis, wilayah NTB sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena

mereka merupakan wilayah kepulauan yang dimana perubahan iklim sebesar 1°C saja dapat

meningkatkan permukaan air laut[16] dan mengancam mata pencaharian para penduduk

NTB, yang mempunyai fokus perekonomian sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata.[17]

Menyadari hal tersebut, muncul inisiatif dari Pemerintah Daerah NTB untuk melakukan

adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mengupayakan kebijakan pembangunan yang

tanggap terhadap dampak negatif dari perubahan iklim. Pada Agustus 2007, Gubernur

Provinsi NTB, H. Lalu Serinata, telah mengeluarkan SK Gubernur No 219 Tahun 2007

tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk Pengarusutamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2007. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan

dalam kebijakan ini:

1) Bentuk kebijakan merupakan mandat tegas untuk mengintegrasikan adaptasi

perubahan iklim kepada kebijakan pembangunan daerah

Kebijakan yang ada di Provinsi NTB disusun dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Daerah,

yakni dalam hal ini adalah dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur. Meskipun tidak dalam

bentuk Peraturan Daerah[18], bentuk ini diakui dalam hierarki peraturan perundang-

undangan[19]. Gubernur NTB mempunyai wewenang untuk mengeluarkan surat keputusan

ini karena dia mempunyai wewenang untuk merencanakan dan mengendalikan pembangunan

di daerah Provinsinya, dan juga mempunyai wewenang untuk melakukan pengendalian

lingkungan hidup.[20]

Implikasi hukum yang terjadi adalah, terdapat mandat yang tegas untuk betul-betul

mengintegrasikan upaya adaptasi perubahan iklim kepada kebijakan pembangunan. Hal ini

karena Gugus Tugas mempunyai fungsi yang tegas untuk mendorong pengarusutamaan

aspek-aspek dan dampak perubahan iklim pada jajaran pemerintah, sektor swasta dan

masyarakat dan mengembangkan strategi adaptasi dan mitigasi sesuai dengan karakteristik

daerah. Dalam menjalankan tugasnya, Gugus Tugas melaporkan hasil pelaksanaan tugas-

tugasnya tersebut kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat.[21]

2) Proses penyusunan kebijakan sudah melibatkan masyarakat secara aktif

Ide awal untuk pembentukan Gugus Tugas ini dimulai dari unsur lembaga swadaya

masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan di daerah NTB, yakni WWF Indonesia

Program NTB.[22] Selanjutnya, pemerintah daerah NTB sepakat untuk membentuk Gugus

Tugas tersebut dan juga melibatkan unsur anggota masyarakat ke dalam Gugus Tugas, yakni

dari WWF Indonesia Program NTB, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB,

dan Lembaga Transform Indonesia, dimana ketiganya merupakan unsur lembaga swadaya

masyarakat

Pelibatan unsur masyarakat ini ke dalam anggota Gugus Tugas berarti sudah memberikan

Page 4: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

jaminan secara hukum untuk adanya partisipasi publik dan mereka juga bisa melakukan

evaluasi dan pemantauan terhadap kebijakan ini

3) Sudah ada pengaturan mengenai mekanisme pembiayaan kegiatan adaptasi perubahan

iklim

Poin penting yang juga harus disorot dalam SK Gubernur ini adalah, adanya ketentuan

mekanisme pembiayaan upaya adaptasi perubahan iklim yang dibebankan kepada pos Badan

Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) NTB dan sumber-sumber lainnya yang

sah dan tidak mengikat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi

NTB Tahun Anggaran 2007.

Yang patut dijadikan contoh dalam hal ini adalah adanya kemauan politis dari Pemerintah

Daerah untuk betul-betul mengupayakan mekanisme pembiayaan adaptasi perubahan iklim

dari APBD mereka. Ini merupakan hal yang berani, karena mereka termsuk Provinsi

termiskin di Indonesia[23], dan apabila kita memakai APBD dan APBN Tahun 2005 sebagai

tolak ukur, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB hanya sekitar 6,7 %

dibandingkan dengan total Penerimaan Negara pada Tahun 2005.[24]

Pelajaran yang Dapat Diambil

Dengan melihat konsep kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional dan

membandingkannya dengan strategi kebijakan yang diterapkan di Provinsi Nusa Tenggara

Barat, maka setidaknya ada tiga hal yang dapat dipelajari dari perbandingan tersebut.

1) Perlunya kebijakan yang dimandatkan secara tegas dalam bentuk peraturan

perundang-undangan

Kebijakan untuk mengintegrasikan upaya adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan

pembangunan akan lebih efektif apabila kebijakan tersebut dimandatkan secara tegas dalam

bentuk peraturan perundang-undangan. Di tingkat nasional, lebih tepat apabila kebijakan

tersebut dibentuk dalam tingkat Peraturan Presiden atau yang lebih tinggi di atasnya, karena

kebijakan perubahan iklim bersifat lintas-sektor dan tidak bisa hanya terfokus oleh satu

departemen saja (misalnya seperti KNLH saja). Di tingkat daerah, meskipun peraturan di

tingkat kepala daerah dinilai cukup, namun akan lebih baik apabila peraturan tersebut

dibentuk dalam bentuk Peraturan Daerah agar kekuatan mengikatnya lebih kuat.

2) Perlunya pembentukan kelompok kerja atau komisi perubahan iklim di tingkat daerah

Pembentukan kelompok kerja atau komisi yang berkaitan dengan perubahan iklim lebih tepat

dibentuk di tingkat daerah. Hal ini karena daerah yang lebih mengerti situasi dan kondisi

serta kerentanan daerah tersebut terhadap dampak negatif perubahan iklim, serta pemerintah

daerah yang lebih mengerti mana prioritas pembangunan di daerah masing-masing. Selain

itu, proses pelibatan masyarakat akan lebih mudah diterapkan di tingkat daerah karena

masyarakat di daerah tersebut itulah yang akan lebih merasakan dampak langsung dari suatu

kebijakan. Kebijakan yang sentralistis tidak akan efektif dalam menghadapi keadaan

pluralistis di Indonesia[25], terlebih lagi dalam konteks menanggulangi dampak negatif dari

perubahan iklim guna mencapai pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

3) Perlunya mekanisme pembiayaan untuk pelaksanaan program-program adaptasi

Page 5: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

perubahan iklim

Mekanisme pembiayaan upaya adaptasi perubahan iklim perlu menjadi salah satu pos dalam

APBN atau APBD, atau setidaknya terintegrasi dalam anggaran masing-masing

departemen/lembaga agar program-program dan strategi adaptasi perubahan iklim di

Indonesia dapat tercapai. Meskipun sudah ada mekanisme pembiayaan adaptasi perubahan

iklim dari negara-negara maju, Indonesia harus bisa melepaskan ketergantungannya kepada

mereka agar tercapainya keberlanjutan ekonomi yang ditunjang perlindungan ekologi di

Indonesia

Rekomendasi

Inisiatif dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat perlu dijadikan acuan untuk

mereplikasikan kebijakan tersebut ke dalam daerah-daerah lain di Indonesia. Rekomendasi

yang dapat diberikan adalah:

1) Pembentukan komisi perubahan iklim lebih tepat diterapkan di tingkat pemerintah daerah,

karena pemerintah daerah yang lebih mengerti situasi dan kondisi riil di lapangan serta

merekalah yang dapat melakukan penilaian terhadap kebutuhan adaptasi dan kerentanan

terhadap perubahan iklim di daerah mereka masing-masing.

2) Pembentukan komisi perubahan iklim tersebut lebih tepat diformulasikan dalam bentuk

Peraturan Daerah, karena merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih

konkrit dan mengikat secara hukum.

3) Pemerintah pusat perlu mendorong upaya-upaya pengintegrasian adaptasi perubahan iklim

ke dalam kebijakan pembangunan nasional melalui kebijakan pembangunan daerah masing-

masing agar kebijakan perubahan iklim tersebut lebih mendasar dan tepat guna.

4) Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah perlu menyusun mekanisme pembiayaan

sendiri sehingga tidak bergantung kepada negara maju, agar Indonesia mandiri dan siap untuk

menghadapi tantangan dari perubahan iklim dan tetap mampu mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan yang sebenarnya.

---- [1] Sebagai contoh, Banglades adalah salah satu delta (muara sungai) terbesar di dunia, negara yang dikelilingi

oleh 230 jaringan sungai yang tidak stabil dan sebagian besar wilayahnya kurang dari 10 meter di atas

permukaan air laut. Banglades juga merupakan salah satu negara termiskin di dunia, dimana 50% populasinya

hidup dalam kemiskinan dan 51% dari anak-anak mereka dikategorikan malnutrisi. Dampak perubahan iklim

yang ekstrim adalah adanya banjir mengenaskan yang dapat mempengaruhi produktifitas dan ketahanan pangan

mereka, dan berkurangnya air bersih dimana penyakit yang berkaitan dengan air (waterborne diseases) saat ini

pun sudah bertanggungjawab terhadap 24% dari kematian di Banglades. Lihat Veena Khaleque, “Bangladesh is

paying a cruel price for the west’s excesses”, The Guardian, , 7 Desember 2006. [2] Negara-negara maju yang dikenai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 5.2% di bawah tingkat

emisi pada tahun 1990 disebut dengan negara Annex 1, sementara Negara-negara yang tidak dikenai target

disebut sebagai negara Non-Annex 1. Lihat IPCC (3), Summary for Policymakers, Climate Change 2007:

Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel

on Climate Change, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 95 dan 103. [3] Dampak dari perubahan iklim sangat diproporsional terhadap masyarakat asli di daerah seperti Artik dan

Pasifik, dimana lingkungan hidup sangat terkait dengan “kehidupan asli” mereka. Penggunaan kata “kehidupan

Page 6: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

asli” adalah untuk menggambarkan interaksi sosial, ekonomi dan spirtual dari masyarakat adat tersebut dengan

lingkungan tradisional mereka. Masyarakat adat mempunyai epistemologi yang istimewa yang mengasosiasikan

ilmu pengetahuan dengan sumber-sumber mendasar kehidupan. Peggy V. Beck & Anna L. Walters, The Sacred:

Ways of Knowledge, Sources of Life, 1977 dalam Rebecca Tsosie, “Indigenous People and Environmental

Justice: The Impact of Climate Change”, University of Colorado Law Review, Fall 2007. [4] Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Yayasan Pelangi, adanya

kenaikan suhu air laut menyebabkan pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan, sehingga

dapat mengancam mata pencaharian nelayan. Sementara itu pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan

akan menyebabkan meningkatnya peristiwa gagal panen yang juga dapat mengancam mata pencaharian petani,

dan dapat berdampak kepada krisis pangan secara nasional. Lihat Armely Melviana, Diah Sulistiowati, Moekti

Soejachmoen, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pelangi

Indonesia, 2007), hal. 19. [5] Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang memperhitungkan konsekuensi lingkungan

akibat kegiatan ekonomi tersebut dan berdasarkan penggunaan sumber daya yang terbaharukan sehingga sumber

daya tersebut tidak akan habis. Definisi yang dipakai oleh Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan

(Komisi Bruntland) mengenai pembangunan berkelanjutan dalam laporannya Our Common Future adalah,

“pembangunan yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi

masa depan dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya (seeks to meet the needs and aspirations of the present

without compromising the ability to meet those of the future)”. Allaby, op. cit., hal. 395. [6] Agenda tersebut beberapa diantaranya ditandai dengan adanya struktur perekonomian yang kuat dari sektor

pertanian dan komoditas sumber daya alam, terpenuhinya infrastruktur dan pasokan tenaga listrik di Indonesia,

adanya kemandirian pangan, terpenuhinya kebutuhan hunian, dan terwujudnya konservasi sumber daya air.

Dalam National Adaptation Programmes of Action (NAPA) yang diajukan oleh beberapa negara Least

Developed Countries (LDCs), sektor adaptasi yang menjadi prioritas utama adalah pertanian, kehutanan, dan

perikanan (US$ 129.16 juta) dan persediaan air bersih (US$ 50.38 juta). Lihat Figure VI-22, UNFCCC (1),

Investment and Financial Flows to Address Climate Change, (Bonn: UNFCCC, 2007) hal. 132. [7] Hal ini diakui oleh UNFCCC dalam laporannya mengenai dampak, kerentanan, dan adaptasi perubahan

iklim bagi negara berkembang. UNFCCC (2), Climate Change: Impacts, Vulnerabilities and Adaptation in

Developing Countries, (Bonn: UNFCCC, 2007), hal. 44. [8] Dokumen ini dapat diakses di [9] Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

(UU No. 23 Tahun 1997) dan Pasal 96 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia (Perpres No. 8 Tahun

2005), maka unsure pelaksana pemerintah yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan

kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan adalah Kementerian

Negara Lingkungan Hidup. [10] Ditinjau dari sifatnya ada dua macam kaedah hukum, yaitu kaedah hukum yang imperatif dan fakultatif.

Kaedah hukum itu imperatif apabila kaedah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengingat atau

memaksa. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Kelima Cetakan Pertama,

(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hal. 32. [11] Indonesia (1), Peraturan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja

Kementerian Negara Republik Indonesia, Perpres No. 9 Tahun 2005, Pasal 104. [12] Ibid., Pasal 11. [13] Akses informasi adalah hak dari setiap orang untuk memperoleh informasi yang utuh, akurat, dan mutakhir

untuk berbagai tujuan. Akses partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan pilar demokrasi yang

menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Akses keadilan

adalah akses untuk memperkuat hak akses informasi maupun hak akses partisipasi. Lihat Box I.2 dalam ICEL,

Menutup Akses Menuai Bencana, (Jakarta: ICEL, 2008), hal. 3.

Page 7: Konsep Dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia

[14] Masyarakat yang sudah mendapatkan informasi dan pemberdayaan publik dapat mengawasi jalannya

pemerintahan dan korporasi, sehingga mereka dapat mawas diri terhadap permasalahan-permasalahan yang ada,

dan dapat memberikan kritik atau sanggahan apabila keputusan-keputusan para pembuat kebijakan tersebut

memberikan dampak langsung yang merugikan mereka. Adanya peradilan yang independen tanpa adanya

intervensi politik juga menjamin proses ganti rugi dan pemulihan bagi publik agar para pembuat kebijakan dapat

lebih bertanggungjawab. World Resources Institute, “The Access Initiative”, , diakses terakhir pada 1 April

2008. [15] Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim,

November 2007, (Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), hal. 99-101. [16] Kota Mataram, sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut karena terletak hanya 6 meter dari

permukaan laut. Penduduk NTB mayoritas menduduki pulau-pulau besar di NTB, karena dari 137 pulau yang

ada di NTB, 110 merupakan pulau yang tidak berpenghuni. Situs Resmi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara

Barat, “NTB dalam Angka”, , diakses terakhir pada 1 April 2008. [17] Pada tahun 2005, sektor pertanian memberi sumbangan 22,57 % dalam pembentukan PDRB, sektor

perdaganan, hotel dan restoran 11,35% dan sektor jasa-jasa sebesar 8,63%. Ibid. [18] Dalam penyusunan Perda, maka sebetulnya diperlukan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan

perundang-undangan, kepala daerah dapat menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala

daerah. Meskipun tidak ada Perda, kepala daerah mempunyai wewenang untuk membuat peraturan dan atau

keputusan kepala daerah, selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun

2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437, Pasal 136 ayat (1) juncto Pasal 146. [19] Indonesia (3), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun

2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Pasal 7 ayat (4). [20] Indonesia (2), loc. cit., Pasal 13 ayat (1). [21] Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Surat Keputusan Gubernur tentang Pembentukan Gugus

Tugas untuk Pengarus-utamaan Aspek-aspek Perubahan Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun

Anggaran 2007, SK Gubernur No. 219 Tahun 2007. [22] Hal ini dijelaskan oleh Ari Muhammad, Koordinator Bidang Adaptasi Perubahan Iklim World Wildlife

Foundation (WWF) Indonesia, dalam wawancara yang dilakukan pada 28 Maret 2008 di Kantor WWF

Indonesia, Jakarta. [23] Suara Papua, “Lima Popinsi Termiskin di Indonesia”, , diakses pada 1 April 2008. Kedutaan Besar Jepang

Indonesia, “Jepang memberikan bantuan hibah sebesar sekitar US $18,64 Juta untuk Empat Proyek di

Indonesia”, Press Release, , 6 Juli 2007. [24] Penerimaan dalam negeri pada Tahun 2005 adalah sebesar Rp. 379.627,1 Miliar, sementara PDRB NTB

pada Tahun 2005 adalah sebesar Rp. 25.760 Miliar. Data diambil dari Bank Data Pemerintah NTB dan

Bappenas, “Data Pokok APBN 2005”, , diakses pada 1 April 2008. [25] M.A. Jaspan mencatat terdapat lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia. M.A. Jaspan, “Daftar Sementara

Suku Bangsa-Suku Bangsa di Indonesia berdasarkan Klasifikasi Letak Pulau dan Kepulauan,” dalam Soerjono

Soekanto, Hukum Adat Indonesia, cet-6, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), hal. 21 Posted by Fiat Justitia at 10:40 AM

Labels: Hukum Lingkungan, kebijakan pembangunan, perubahan iklim