konsep dakwah muhammad fethullah...
TRANSCRIPT
i
KONSEP DAKWAH
MUHAMMAD FETHULLAH GULEN
Tesis
Disusun Oleh:
Ichsan Habibi
NIM: 11.2.00.0.07.01.0096
Pembimbing:
Prof. Dr. Murodi, M.A.
PROGRAM MAGISTER SEKOLAH PASCA SARJANA (SPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ii
iii
KATA PENGANTAR ...................................................................... ix
PERNYATAAN
PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ichsan Habibi
NIM : 11.2.00.0.07.01.0096
Judul Kompre :Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen
Menyatakan bahwa draf Ujian Pendahuluan telah diverifikasi oleh
Prof. Dr. H. Said Agil al-Munawwar, M.A. pada tanggal 20 Oktober
2014.
Draf Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi:
1. Stupid mistake
Demikianlah surat penyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh ujian pendahuluan.
Jakarta, 21 Oktober 2014
Saya yang membuat pernyataan,
Ichsan Habibi
iv
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحم
Puji dan syukur ke hadiran allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
lancar tanpa menemui hambatan yang berarti. Shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarga,
para sahabat, dan umatnya.
Tesis ini pada dasarnya tidak mungkin terealisasikan tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada semua pihak
yang telah ikut andil besar membantu penulis dalam semua kegiatan
yang menunjang selama kelancaran kegiatan akademik penulis selama
ini.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA Rektor dan para
Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito, MA dan Dr. Yusuf
Rahman, MA ketua program doktor dan magister. Demikian juga
kepada para dosen, tim penguji, staf dan karyawan civitas akademi
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dan memberikan kemudahan serta kelancaran pada penulis
dalam menyelesaikan studi.
Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada Prof. Dr. Murodi, MA pembimbing tesis yang secara pribadi
sangat membantu dengan meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga
beliau untuk mengarahkan, membimbing, dan memotivasi hingga
rampungnya tesis ini tanpa rasa lelah dan letih.
Teristimewa untuk orang tua penulis kepada ayahanda H. M.
Efendi dan H. Safri serta ibunda Hj. Soroya dan Hj. Wati dengan kasih
sayang, keikhlasan, kesabaran serta motivasinya yang sangat tulus
diiringi dengan do’a tanpa henti, sehingga menjadi kekuatan bagi
penulis dalam merampungkan tesis ini. Demikian juga rasa terimakasih
penulis ucapkan kepada istri tercinta Atik Sartika S.Ud. serta kakanda
Encup, Hamid, Uni, Rahman, Heri, Agus, Andi, dan adinda Dede dan
Ihsan serta ayunda Muawana, Mudrika, Ratna, Een, Esih, Uum, Etin
dan Fitri. semua keluarga besar yang menjadi motivasi tersendiri
vi
kepada penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kemudian terima kasih buat Satera, Luqman, Mukaddar,
Ahmad Suwaidi, Irawan dan Irfani, serta teman-teman seperjuangan
dalam menempuh pendidikan di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
semoga keakraban dan persaudaraan kita selalu terbina untuk masa-
masa yang akan datang.
Akhirnya kepada Allah jua penulis bermunajat semoga semua
kebaikan yang mereka berikan kepada penulis menjadi amal ibadah dan
mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Amiin yaa rabbal alamin.
Jakarta, 15 Oktober 2014
Penulis
Ichsan Habibi
vii
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ichsan Habibi
NIM : 11.2.00.0.07.01.0096
Tempat/Tanggal Lahir: Pangkal Pinang 04-02-1987
Program : Magister (S2)
Konsentrasi : Dakwah dan Komunikasi
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang
berjudul ‚Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen ‛ adalah benar
hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang dijelaskan sumbernya.
Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Kemudian, apabila di
dalamnya terdapat plagiasi yang dapat berakibat diberikan sanksi
berupa pencabutan gelar oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, maka saya siap
menanggung resiko tersebut.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 21 Oktober 2014
Yang membuat pernyataan
Ichsan Habibi
viii
ix
x
xi
ABSTRAK
Tesis ini berkesimpulan bahwa dakwah yang berlandaskan kepada
nilai-nilai kearifan dan moralitas merupakan pilar dasar dalam
pembentukan religiusitas masyarakat yang toleran. Dakwah yang
demikian sejalan dengan prinsip-prinsip keagamaan (dakwah qur’ani dan
nabawi) dan kebijaksanaan perenial. Terbukti hubungan yang dijalin
sesama manusia selalu mengedepankan nilai-nilai kearifan, moralitas dan
spritualitas.
Kesimpulan di atas mempertegas kajian ‘Ali ibn Abd al-Rahman
ibn ‘Ali al-T{ayya>r dalam karyanya al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahd al-Nabawi>: A<da>b wa H{ikam, (2003).Memberikankesimpulan bahwa Nabi
tidak pernah melakukan dakwah dengan cara kekerasan dan paksaan,
bahkan sebaliknya Nabi memberikan tauladan kepada umatnya agar
berdakwah dengan cara santun dan damai. Paralel dengan kesimpulan
tersebut, Safrodin Halimi, dalam Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, (2008). Memandang
bahwa al-Qur’an telah meletakkan prinsip-prinsip dalam berdakwah,
seperti kejujuran dan keteladanan, keikhlasan dan ketulusan, kasih sayang
dan kelembutan serta kebebasan berkehendak dan memilih.
Kesimpulan tersebut sangat berbeda jauh dengan ‘Ali ibn Nafyu’
al-‘Ulya>ni>, dalam karyanya Ahammiyah al-Jihad> fi> Nas}ri al-Da‘wa al-Isla>miyyah wa al-Radd ‘Ala> al-T{awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi: (1985). Menurut
‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni> agama Islam tidak akan terealisasikan pada
umat Muslim kecuali dengan jihad dan segala konsepnya, sehingga dalam
pandangannya jihad memberikan pengaruh yang signifikan dalam
menyebarkan Islam. Di samping itu beliau banyak menggunakan ayat-
ayat jihad dalam merumuskan konsep dakwah. Begitu juga Yohanan
Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition, (2003). Menurut Friedmann al-Quran tidak memiliki
istilah khusus untuk mengungkapkan gagasan toleransi, lebih dari itu
Friedmann berpendapat Muhammad saw dalam berdakwah bertindak
intoleran dengan mengusir suku-suku yahudi dari Madinah.
Kajian ini bertumpu pada penelitian kepustakaan (library research), dengan sumber utama karya Gulen. Adapun cara membacanya
dengan pendekatan historis dan pendekatan humanistik.Selanjutnya data
di analisis dengan menggunakan metode content analyzing, dan
deskriptif-analisis. content analyzing ini peneliti gunakan untuk
menganalisa makna yang terkandung dalam asumsi, gagasan, atau
statemen untuk mendapat pengertian dan kesimpulan. Adapun metode
xii
deskriptif-analisis akan digunakan untuk melakukan klasifikasi mengenai
relevansi substatif pemikiran dakwah Gulen, pemilahan ide-ide secara
detil, konsistensi pembahasan, pembedaan hirarkis, hingga analisa secara
tuntas yang meliputi semua kategori atau komponen yang diteliti.
xiii
ABSTRACT
The thesis concludes that the mission is based on the values of
wisdom and morality is a fundamental pillar in the creation of a tolerant
society religiosity. Da'wah is in line with the principles of religious
(preaching qur'ani and prophetic) and perennial wisdom. proven
relationship human beings have always forged the values of wisdom,
morality and spirituality.
The Conclusion above studies emphasize 'Ali ibn Abd al-
Rahman ibn' Ali al-T{ayya>r in his al-Da'wah wa al-Jiha> d fi> al-'Ahd al-
Nabawi>: A<da>b wa H{ikam, (2003). To the conclusion that the Prophet
never proselytizing by force and coercion, even otherwise the Prophet
provide role models for his people to preach polite and peaceful manner.
Parallel with these conclusions, Safrodin Halimi, in Ethical Perspective
Propagation in the Qur'an, and Qur'anic ideals Between Social Reality,
(2008). Considers that the Koran had been put in preaching principles,
such as honesty and exemplary, sincerity and sincerity, affection and
tenderness as well as free will and choice.
The conclusion is very different from 'Ali ibn Nafyu' al-'Ulya>ni>,
in his Ahammiyah> al-Jihad fi> Nas}ri Da'wa al-Isla> miyyah wa al-Radd' Ala>
al-T {awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi: (1985). According to 'Ali ibn Nafyu' al-'Ulya>ni>
Islam will not be realized unless the Muslims with jihad and every
concept, so in his view of jihad have a significant influence in the spread
of Islam. In addition, he uses many jihad verses in formulating the
concept of propaganda. Likewise Yohanan Friedmann, Tolerance and
coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition, (2003).
According to Friedmann Koran does not have a special term to express
the idea of tolerance, over the Friedmann argued Muhammad in the act of
preaching intolerance to expel Jewish tribes of Medina.
This study is focused on the research literature (library
research), the main source of Gulen as for how to read the historical
approach and the humanistic approach. Further data were analyzed using
the method of analyzing content, and descriptive-analytical. analyzing
content of these researchers use to analyze the meaning of the
assumptions, ideas, or Statement by to get your understanding and
conclusions. As a descriptive-analytical method to be used to perform the
classification of substantive relevance missionary thought Gulen, sorting
ideas in detail, consistency discussion, hierarchical classification, to a
comprehensive analysis covering all categories or components examined.
xiv
xv
الخالصة
الرسالة تخلص على أن الدعوة تأسس على مبادئ الحكمة واألخالق تعتبر هذه من مصدرالعمدة ف تكون السلوك الدن المجتمعى و الموفق التسامحى. و منهج الدعوة مثل ذلك جدرة بأصول الدن الذي جاء من القران والسنة النبوة والحكمة الخالدة.
اع والمدعوا التى تعتمد على قم الحكمة وتبلغ الدعوة كذلك تشهد بصلة بن الد والمروءة و العبودة.
الدعوة وتلك النتجة تؤد رأه عل بن عبد الرحمن بن عل الطار ف كتابه: ""، أنه قال إنما الدعوة الت قام بها النب 3002، والجهاد ف عهد النبوي أداب وحكم
راه، ولكن مفهوم الدعوة حث ضرب صلى هللا عله وسلم ال تسلك على الغلظة واإلكالرسول صلى هللا عله وسلم باإلقتداء و تسر على موقف الرحمة واللن. ومناسبة
Etika Dakwa dalam‚بماعبرها سافردن حالم ف تألفه تحت العنوان: Persepektif al-Qur’an antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial,
الكرم قد وضع أسس الدعوة الت تتصور منها سلوك الداعى مثل إن القران .‛2008أال وه، الصدق واإلقتداء، وبناء اإلرادة الحرة واإلخالص، و أن تحل باللن والرحمة
وإعطاء اإلختارات.
وف نفس الوقت، هذه الرسالة ترفض وتنقد رأه على بن نف العلان ف كتابه:
"، رأى 1985ة اإلسالمة والردعلى الطوائف الضاللة فه،أهمة الجهاد ف نصرالدعو"
نف العلان على أن دن اإلسالم ال نطبق شرعته وتعالمه ف بناء أمة اإلسالمة إال بإقامة الجهاد ونشر مهاهمها. وف نظره كان الجهاد مؤثرا قوا ف نشر اإلسالم، تبررا
مفهوم الدعوة. وكذلك رأها وهنا فردمان ف بما فهمه فهو ستدل بأدلة الجهاد لتنسق Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relation in the‚كتابه:
Muslim Tradition, 2003‛ حث قالت بأن القران ال حتوي مصطالحات مختصةندما الت تتعلق بمفهوم التسامح، بل إتهمت فردمان على أن محمد صلى هللا عله وسلم ع
قوم بدعوته إغتفال عن التسامح، بل إطراد الطوائف الهودي من المدنة المنورة.
أما هذه الرسالة من البحث المكتب الت تعتمد على مصدراألساسى، فهو الكتاب و المدخل البحث هذه الدراسة الت نهجها الباحث المنهج التارحى و كولونن بعنوا
المدخل اإلنسانة، ومن ثم قام الباحث بتحلل أفكار األساسة و توصف المفاهم ما تتعلق بموضوع البحث. وأما وظفة المنهج التحللى مستخدم ألجل اإلكتشاف و اإلخترعات
نتجة البحث وفوائدها. والمنهج الوصفى تستهدف المغزى، و األغراض، والوصول إلى الللبان فكرة ومفهوم من دعوة فتح هللا كولن، حث أن الباحث قوم بتقسم المباحث، وتفرق المواضع، وتفصل األفكار المهمة، وتأصل عناصر الدعوة كولن دون اإلغفال
لفكرة الدعوة فتح هللا عن اإلنتقادات والتحكم على ممزات وقصورات الت تحتوى على ا كولن، هذه الدراسة كلها تشتمل بالمبحث.
xvi
xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek :a = ´ ; i = ; u =
Vokal Panjang :a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Diftong : ay = يا ; aw = وا
xviii
xix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
PERNYATAAN PERBAIKAN ....................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................... v
SURAT PENYATAAN .................................................................... vii
PERESETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ix
ABSTRAK ..................................................................................... xi
TRANSLITERASI ............................................................................ xvii
DAFTAR ISI ..................................................................................... xix
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar BelakangMasalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 8
C. Batasandan Rerumusan Masalah ............................................... 8
D. Tujuandan Kegunaan Penelitian ................................................ 9
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................... 10
F. Metodologi Penelitian ............................................................... 12
G. Sistematika Pembahasan ........................................................... 14
BAB II
KONSEPSI DAKWAH DALAM ISLAM ....................................... 17
A. Pondasi Dasar Dakwah .............................................................. 17
1. Dakwah Qur’ani .................................................................. 17
2. Perkembangan Metode Dakwah .......................................... 29
3. Dakwah Profetik (Nabawi) .................................................. 34
B. Pesan Dakwah ............................................................................ 40
C. Etika Dakwah ............................................................................ 42
BAB III
KONTRUKSI DAN SUBTANSI DAKWAH GULEN .................... 47
A. Dasar-dasar dan Kaidah-kaidah dalam Dakwah ........................ 47
1. Membekali Diri dengan Ilmu Pengetahuan ......................... 49
2. Keselarasan Kalbu dengan al-Qur’an .................................. 56
3. Menggunakan Cara yang di Syari’atkan ............................. 59
4. Melakukan apa yang disampaikan ....................................... 61
B. Gambaran dan Sifat seorang Da’i (Etika Dakwah) ................... 74
1. Kasih Sayang (Love) ........................................................... 74
2. Mengedepankan Toleransi dan Menjaga Empati ................ 81
C. Urgensi Dakwah......................................................................... 84
xx
BAB IV
RELEVANSI DAN SIGNIFIKANSIKONSEP DAKWAH GULEN
DALAM KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER ............ 93
A. Islam sebagai Agama Cinta ....................................................... 93
B. Inklusifisme dan Toleransi sebagai Basis Keberagamaan ......... 100
C. Dialog Intensif Intra dan Antar Agama ..................................... 107
BAB V
PENUTUP ......................................................................................... 121
A. Kesimpulan ................................................................................ 121
B. Rekomendasi .............................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 125
GLOSARIUM ................................................................................... 137
INDEKS ............................................................................................ 139
BIODATA PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dakwah sebagai bentuk ajakan kepada Islam1 merupakan salah satu
pondasi dan pilar pokok eksistensi Islam di muka bumi. Ajaran-ajaran Islam,
baik yang bersifat prinsip atau etik dalam kapasitas individu, keluarga, sosial,
semuanya menjadi landasan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang
Maha Kuasa.2Al-Qur’an sendiri bahkan menganjurkan adanya komunitas
sosial dalam berdakwah, karena peran dan fungsi dakwah yang demikian
krusial.3 Sebagaimana menurut Muhammad Fuad Abd al-Ba>qi,4 kata dakwah
dalam al-Qur’an dan kata-kata yang terbentuk darinya tidak kurang dari dua
ratus tiga belas kali.
Perintah dakwah dinyatakan dalam firman Allah surah al-Nahl: ayat
125, sebagaimana menurut Quraish Shihab, Nabi Muhammad Saw. yang
diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim As. kini diperintahkan lagi
untuk mengajak siapa pun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran bapak
para Nabi dan pengumandang tauhid itu.5 Lebih jauh lagi, menurut Shaykh Muhammad Nawa>wi al-Ja>wi,6 ayat
tersebut menunjukkan bahwa dalam garis besarnya, umat yang dihadapi
seorang da’i dapat digolongkan atas tiga golongan.7 Dalam upaya menjadikan
1Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas
Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 1. Ditinjau secara etimologi atau bahasa, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu ‚da‘a>‛, artinya mengajak, menyeru
dan memanggil. Lihat Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: AMZAH, 2009), 1.
Warson Munawwir, menyebutkan bahwa dakwah artinya adalah memanggil, mengundang,
mengajak, menyeru, mendorong dan memohon. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 407. Istilah ini
sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma‘ruf dan nahi munkar, mau‘iz}ah al-h}asanah, tabshi>r, inz}a>r, was}i>yah, tarbiyah, ta’lim, dan khutbah. Bandingkan M.
Munir, Manajemen Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), 17. 2Murtadha Husaini, Kode Etik Mubalig Tuntunan Dakwah Secara Islam (Jakarta:
Citra, 2011), vi. 3Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas
Qur’ani dan Realitas Sosial, 1. 4Muhammad Fuad Abd al-Ba>qi, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-Qur’an, (Cairo:
Da>r al-Hadith, 2007), 316-320. 5Ayat ini dipahami oleh sebagian ulama sebagai penjelasan tiga macam metode
dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Misbah, volume 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 386. Bandingkan dengan
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni>, S}afwat al-Tafa>sir, juz 2 (Bairut: Dar al-Fikr, 2001), 137. 6Selain dikenal dengan al-Ja>wi>, Nawa>wi juga dikenal dengan al-Bantani.
7Lihat al-Nawa>wi al-Ja>wi, Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r, juz 1,
(Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Ara>biah, t.t), 469. Bandingkan juga Sulaiman ibn Umar
2
dakwah sebagai sarana untuk mengajak manusia ke jalan Ilahi, supaya
dakwah mampu diterima oleh seluruh manusia sepanjang zaman, maka
hendaklah pergerakan dakwah harus mampu, jeli dan peka dalam menatap
segala persoalan kemasyarakatan. Artinya pelaksanaan dakwah harus
memperhatikan segala yang dapat menunjang terlaksananya dakwah secara
efektif dan efisien. Etika kearifan sebagai konsep kunci dakwah yang digagas oleh
Muhammad Fethullah Gulen, menjadi penegas betapa Islam adalah agama
cinta, toleransi, dan perdamaian.8 Menurutnya, Islam memandang manusia
sebagai satu kesatuan yang utuh. Sedikitpun Islam tidak pernah mengotak-
mengotakkan sisi-sisi manusia, siapapun ia. Sisi negatif manusia, Islam
dekati dengan cara memberi larangan dan ancaman, sementara sisi positif
Islam mendorong dengan beragam anjuran dan dorongan. Oleh karena itu,
dalam Islam terdapat ajaran al-Khauf (rasa takut akan ancaman) dan al-Raja‘ (berharap mendapat semua kebaikan), juga konsep surga (sebagai balasan
apabila manusia mau melakukan setiap anjuran ajaran Islam) dan neraka
(sebagai balasan apabila manusia terjerumus kepada setiap larangan ajaran
Islam).9 Karena itu, perlu dibangun konsep dakwah inklusif yang tidak hanya
terbatas pada permasalahan surga-neraka.
Konstruksi dakwah yang dibangun Gulen berbasis pada nilai-nilai
inklusif.10 Dalam pandangan Gulen dialog yang tulus, berorientasi dalam
mewujudkan sikap saling pengertian.11 Lebih jauh lagi Gulen menjelaskan,
bahwa da’i yang cerdas ialah da’i yang menyesuaikan kalbunya dengan al-
Qur’an dan al-Sunnah. Selain itu setiap da’i hendaklah menyampaikan
dakwahnya dengan penuh kejujuran, keikhlasan, sungguh-sungguh dan tidak
mengharapkan imbalan atau pujian,12 Gagasan dakwah yang ditawarkan
begitu unik, dan memiliki ciri khas tersendiri, sehingga pesan-pesan agama
yang ditranformasikan mudah diterima oleh masyarakat luas, terlebih lagi di
era modern ini. Gagasan ini tentunya tidak saja memberi warna tersendiri
al-‘A>ji>li al-Sya>fi>‘i, Tafsir al-Jamal ‘Ala al-Jalalain, juz 2 (Singapura: Maktabah wa Matba‘ah
Sulaiman Mar‘i, t.t), 606. 8M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 4.
9Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i> (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008), 11. Lihat juga Fethullah Gulen, Key Concepts in the Practice of Sufism, volum 1 (New Jersey, 2006), 33-41.
10Filosofi Gulen menggabungkan Islam dan modernitas, seperti sikap toleransi
beragama dan dialog antar agama. Lihat Salih Yucel, ‚Fethullah Gülen Spiritual Leader in a
Global Islamic Context‛ dalam Journal of Religion & Society, The Kripke Center, Vol. 12
(2010): 1. http://moses.creighton.edu/jrs/ 2010/2010-4.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013) 11
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama (Bandung: Mizan, 2011), 146.
12Fethullah Gulen, Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-
H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>. 98-99.
3
bagi keberislaman masyarakatnya, tapi juga keberislaman masyarakat dunia,
utamanya Indonesia.
Paradigma dakwah Gulen13 yang bersahaja merupakan prototipe yang
bersumber dari dakwah yang dibangun oleh Rasulullah lima belas abad
silam.14 Sebagai utusan yang membawa pesan cinta, Muhammad telah
mampu menghipnotis hati masyarakat Arab jahiliyah melalui dakwah moral,
cinta, dan teladan hidup di masanya. Tampaknya, Gulen benar-benar
memahami puspa ragam cara Nabi mendakwahkan Islam kepada umatnya.
Namun, beberapa sarjana Barat memiliki pandangan lain tentang
Islam. Pandangan sinis Yohanan Friedmann dengan statemen yang sangat
propokatif berikut: ‚The Qur’a>n does not have a specific term to express the idea of tolerance, but several verses explicity state that religius coercion (ikrah>) is either unfeasible or forbidden; other verses may be interpreted as expressing the same notion‛.15
Tidak jauh berbeda dengan Yohanan Friedmann, Abdus Salam Faraj
menilai degradasi masyarakat Islam disebabkan oleh orang-orang yang telah
meninabobokan umat agar percaya bahwa jihad dalam Islam bersifat defensif,
padahal Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan agar jihad terus
dilakukan, sehingga butuh upaya mengembalikan Islam kepada orientasi
jihad ofensif yang merupakan rukun Islam keenam yang telah terabaikan.16
13
Manusia yang ideal ibarat lilin yang mampu menerangi diri mereka dan orang
lain. Lihat Salih Yucel, ‚Spiritual Role Models in Fethullah Gülen’s Educational Philosophy‛
dalam Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 3(1) 2011, 68.
http://www.tawarikh-journal.com/ files/File/04. yucel.mu. octo. 2011.pdf (diakses pada 1 Mei,
2013). 14
Bukti sejarah yang paling konkret dalam hal ini adalah beberapa peristiwa yang
menceritakan penderitaan yang diterima Nabi saw dari kalangan kafir quraisy tatkala
berdakwah, namun tidak pernah Nabi saw membalasnya dengan cara yang sama. Bagaimana
Nabi saw justru mendoakan kaum Yastrib yang melemparinya dengan batu hingga berdarah,
dan bagaimana Nabi saw tidak memerangi dan membunuh orang-orang kafir Quraisy di
Makkah ketika ia bersama umat Islam berhasil menaklukkan kota makkah (Fath al-Makkah)
dengan damai. Bagaimana Nabi saw memberikan contoh yang agung dikala beliau tidak
membunuh Suraqah yang hendak membunuhnya dimana ketika itu Suraqah jatuh dari
kudanya di hadapan beliau. Bagaimana Nabi saw. justru menjenguk orang sakit yang ketika
sehat yang senantiasa menghina, meludahi dan melemparinya dengan kotoran. Semua itu
merupakan fakta historis yang menguatkan cita rasa dakwah Islam yang humanis. Baca
Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 8.
15Yohanan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the
Muslim Tradition (UK: Cambridge University Press, 2003), 1. 16
Abdus Salam Faraj, Jihaad the Absent Obligation: and Expel The Jews and Cristians From The Arabian Paninsula, terj. Abu Umamah (Birmingham: Maktabah Al
Ansaar Publications, First Edition 2000), 49-51. Bandingkan dengan Shaykh ul-Islaam Taqi
ud-Deen Ahmad ibn Taymiyyah, The Religious and Moral Doctrine of Jihaad, terj. Abu
Umamah (Birmingham: Maktabah Al Ansaar Publications, First Edition 2001), 11.
4
Hal senada ditegaskan pula oleh ‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>,17 dalam
pandangan ‘Ali pesan-pesan Islam (dakwah) tidak akan mampu membumi
pada umat Muslim kecuali dengan jihad dan segala konsepnya, sehingga
dalam pandangannya jihad memberikan pengaruh yang signifikan dalam
menyebarkan Islam. Di samping itu ia banyak menggunakan ayat-ayat jihad
dalam merumuskan konsep dakwah.
Bertolak belakang dengan tiga pemikiran di atas, menurut Ka>mil
D{a>hir, penyebarluasan dakwah orang-orang ‚fundamentalis‛ dengan
menggunakan kekuatan politik, ekonomi dan militer. Bahkan lebih radikal
lagi dakwah yang mereka lakukan dengan menggunakan pedang ketika
ditolak.18 Di samping itu Hassan Hanafi menegaskan justru fundamentalisme
radikal telah mencoret citra Islam yang pada dasarnya adalah agama
kedamaian. ‚Islam, the name of the religion, is derived from the same root as
‘salam’ which means peace. Islam, therefore, is a religion of peace.‛19
Padahal menurut Hassan Hanafi kata Islam yang memiliki makna kedamaian
dalam al-Qur’an digunakan dalam 50 kali.
Dalam beberapa kasus, sikap fundamentalis ini seringkali muncul
karena agama dijadikan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan untuk
alasan sebuah ideologi.20 Adapun menurut Khaled Abou El Fadl,21 kelompok
Islam Fundamentalis secara menyeluruh merupakan hasil dari sebuah produk
kemodernan, dan sikap fundamentalis merupakan akar perselisihan dalam
tradisi Islam.
Selaras dengan hal di atas, dalam pandangan Murad W. Hofman
bahwa \Islam adalah agama yang toleran par excellence (persamaan mutu)
sering dianggap tidak masuk akal oleh pengamat Barat, padahal itu benar.22
Lebih jauh lagi menurutnya al-Qur’an berulang-ulang menyatakan bahwa
perbedaan di antara manusia, baik dalam warna kulit, kekayaan, ras, dan
bahasa, adalah wajar, bahkan Allah melukiskan pluralisme ideologi dan
agama sebagai rahmat. Sikap yang menunjukkan toleransi intelektual dan
praktis yang komprehensif ini adalah pernyataan yang mendasar dalam ayat
2:256, suatu pernyataan yang bersifat faktual sekaligus normatif: tidak ada
17
‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>, Aha>miyah al-Jihad> fi> Nas}ri al-Da‘wa al-Isla>mi>yah wa al-Radd ‘Ala> al-T{awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi (Riyadh: Da>r T{ayybah, 1985), 253-261.
18Muhammad Ka>mil D{a>hir, al-Da‘wah al-Waha>bi>ya wa Atharuha fi> al-Fikr al-Isla>mi
al-H>{adith (Beirut: Da>r al-Sala>m, 1993) 19
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Tradition, Revolution and Culture, Vol II (Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000), 232.
20Takis Fotopoulos, ‚The Myth of The Clash of Fundamentalism‛ dalam The
International Journal of Inclusive Democracy, Vol. 1, No. 4 (July, 2005), 2.
http://www.inclusivedemocracy.org/journal/pdf%20files/pdf%20vol1/The%20myth%20of%2
0the%20clash%20of%20fundamentalisms.pdf. (diakses pada 22 Maret, 2013). 21
Khaled Abou El Fadl,The Great Theft: Wrestling Islam from The Extermist t.t, 17. 22
Murad W. Hofman, Islam The Alternatif (Beltsville: Amana Publications, 1993),
63.
5
paksaan dalam beragama. Ini menggambarkan tidak ada nilai keimanan yang
datang dengan pemaksaan, konsep hidayah jelas dari Tuhan, sementara
syariahnya penuh dengan sikap toleransi.23
Indikasi Islam sebagai agama yang radikal, menurut Irwan Masduqi
dibuktikan dengan adanya pemahaman-pemahaman radikal bahwa ‚ayat-ayat
pedang‛ telah menghapus ayat-ayat yang mengajarkan toleransi dan
inklusif.24 Akibatnya, Islam yang awalnya mengajarkan kedamaian berubah
menjadi ideologi kekerasan.25 Belum lagi ditambah dengan konflik antar
agama, dalam konteks ini, Alwi Shihab menjelaskan bahwa konflik tersebut
merupakan fenomena berumur setua agama-agama itu sendiri.26 Bahkan
dalam sejarah umat manusia perang agama merupakan perang terpanjang.27
Selama berabad-abad, sejarah interaksi antar umat beragama lebih
banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan, dengan dalih demi
mencapai ridha Tuhan.28 Sebagai contoh pola hubungan yang paling dominan
antara dua tradisi keimanan, Islam-Kristen. Di mana permusuhan, kebencian
dan kecurigaan, lebih diutamakan, ketimbang menjaga bingkai persaudaraan,
persahabatan dan saling menghormati. Sejak permulaan sejarah mereka,
Islam dan Kristen memang sudah memiliki suatu bentuk dikotomi
pemahaman sehingga ini berpotensi untuk saling konflik.29
Selain itu, sejarah mencatat fatwa keagamaan yang bernuansa
kekerasan kerapkali menjadi batu sandungan dalam membangun masyarakat
yang toleran. Hal itu karena fatwa keagamaan pada hakikatnya tidak berdiri
sebagai sebuah fatwa, melainkan justru menjadi bagian dari kepentingan
kelompok tertentu yang bernaung di bawah klaim kebenaran.30 Hal inilah
yang menyebabkan Islam dimata dunia Internasional seringkali dicitrakan
23
‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r, al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahdi al-Nabawi>: A<da>b wa H{ikam (Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>dz{ah li al-Mu’allif: 2003), 40.
24Ayat-ayat pedang yang dimaksud: QS A<li Imra>n [3]:19 dan 85. Adapun Ayat-ayat
yang menjelaskan inklusif ialah: QS al-Baqarah [2]: 256, QS al-Ka>firu>n [109]: 6 dan QS al-
Ma>idah [5]: 44 dan 46. 25
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, 99. 26
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-4, 116. Misalnya
Islam, Kristen dan Yahudi merupakan tiga agama besar yang merupakan agama h}anif yang
diturunkan kepada Ibrahim (millah Ibra>him). Meskipun demikian, pada kenyataannya
menunjukkan bahwa konflik lebih sering terjadi pada tiga komunitas agama ini, bahkan
hingga sekarang. 27
Th. Sumarta, ‚Pluralisme, konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar-
Agama di Indonesia‛ dalam Th. Sumarta dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001), 80.
28Alwi Shihab, Islam Inklusif, 40.
29Irawan, ‚Peran Tasawuf dalam Meredam Konflik Sara pada Era Reformasi di
Indonesia‛ dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer (Yogyakarta:
Idea Press, 2011), 40. 30
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), 257.
6
sebagai agama yang identik dengan kekerasan (violence), yakni agama yang
menyukai perang.31 Paradigma ini disebabkan aliran Islam fundamentalis dan
diikuti fakta terorisme yang kebanyakan pelakunya adalah orang-orang Islam
garis keras, yang tanpa disadari justru semakin memantapkan pencitraan
Islam secara negatif.
Di lain pihak, al-Qur’an telah meletakkan sebuah sistem sosial terbaik
untuk masyarakat Islam semenjak lima belas abad yang lalu. Namun, sangat
disayangkan umat Islam sendiri belum semua memahaminya.32 Karena itu,
umat Islam tidak mampu menjelaskan perspektif al-Qur’an dalam bidang
sosial keagamaan, hal ini sebagaimana prinsip-prinsip Islam yang lainnya.
Relevan dengan kerukunan umat beragama sangat terkait erat dengan
kebebasan beragama. Tak ada kerukunan tanpa kebebasan beragama.33 Jika
setiap orang dapat memperluas cakupan sikap dan perilaku toleransinya
kepada semua penganut agama, termasuk pada mereka yang tidak menganut
agama sekalipun, maka setiap orang kemungkinan besar, bisa menikmati
kebebasan beragama dengan nyaman.34 Apalagi sikap toleransi, kebebasan
dan persamaan hak merupakan prinsip mendasar dalam demokrasi liberal.35
Dalam upaya mensosialisasi prinsip moralitas Islam, setiap sosok
Muslim hendaklah mengarahkan diri mereka untuk mampu
mengejawantahkan setiap prinsip tadi dalam setiap tata-prilaku dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Kehadiran Islam didasari dengan spirit
jaminan sosial, stabilisasi, perdamaian dan persaudaraan36 untuk seluruh
31
Fundamentalisme Islam dianggap sebagai ideologi yang berbahaya. Citra ini
dikemukakan karena kelompok fundamentalis Islam radikal banyak melakukan tindak pidana
seperti penculikan, pembunuhan, dan pengeboman. Banyak politisi dan cendekiawan Barat
menganggap fundamentalisme Islam sebagai ancaman global yang baru. Lihat Byung-Ock
Chang, ‚Islamic Fundamentalism, Jihad, and Terrorism‛ dalam Journal of International Development and Cooperation, Vol.11, No.1, 2005, 58. http://ir.lib.hiroshima-u.ac.
jp/metadb/up /74007022/ JIDC_11_01_04_ Chang.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013). 32
M. Fethullah Gulen, As’ilah al-‘As}r al-Muh{a>yirah. Terj, Wurkhan Muhammad Ali,
(Dar al-Nile: Cairo, 2008), 72. 33
Prinsip kebebasan beragama ini terus dijaga dalam perkembangan sejarah Islam
klasik di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani dipersilahkan menjalakan keyakinan mereka
masing-masing tanpa ada gangguan dari umat Islam. Kebebasan keyakinan (hurriyah al-‘aqi>dah) adalah hak yang dijamin dalam Islam, hal ini dikarenakan Nabi pun memberikan
kebebasan kepada penganut Kristen Najran dan melarang perusakan Gereja. Lihat Irwan
Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, 239. 34
M. Asrori Mulky, ‚Tak Ada Kerukunan Beragama Tanpa Kebebasan Beragama‛,
dalam Ulumul Qur’an nomor 01/XXI/2012: 114. 35
Steven A. Weldon, ‚The Institutional Context of Tolerance for Ethnic Minorities:
A Comparative, Multilevel Analysis of Western Europe‛ dalam American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 2, April 2006, 331. http:// bama.ua.edu/~sborrell/psc521/tolerance.pdf
(diakses pada 1 Mei, 2013). 36
Ali Syu’aibi Gill Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Ciputat: Pustaka Azhary,
2004), 251.
7
penduduk muka bumi. Kehadiran Islam memberikan keadilan dan
kesempatan yang sama untuk kebutuhan jasmani dan ruhani.
Selain itu, Abdul Basit menjelaskan bahwa dakwah pada era
kontemporer ini dihadapkan pada berbagai tantangan dan problematika yang
semakin kompleks. Dakwah harus bisa menjawab permasalahan umat yang
juga semakin berkembang. Ini mengharuskan strategi dakwah berbanding
lurus dengan permasalahan keberagamaan masyarakat. Ia menilai bahwa
dakwah mempunyai kelemahan dalam strategi.37 Hal ini juga yang
menggelitik nalar intelektual Kuntowijoyo sehingga ia menganjurkan adanya
pergeseran paradigma dakwah ke arah yang lebih konkret.38 Jika selama ini
dakwah yang dilakukan secara konvensional belum bisa menjawab
sepenuhnya problematika sosial umat Islam, maka ia menilai umat Islam
perlu melakukan reinterpretasi mengenai dakwah itu sendiri.
Berangkat dari penyimpangan-penyimpangan dan pemahaman yang
kurang tepat di dalam memahami Islam dan cara dakwahnya, yang tetap
menjamur dan mengatasnamakan dakwah Islamiyah, serta strategi yang
digunakan para juru dakwah saat ini belum mampu menjawab tantangan
secara holistik. Apalagi tantangan yang dihadapi umat saat ini sangat
kompleks. Mulai dari tantangan kesenjangan ekonomi umat, masalah akhlak
dan keberagamaan simbolik.39 Menyebabkan sebagian ilmuwan Muslim
melakukan pembaruan terhadap wacana-wacana dakwah yang sudah
terdistorsi tersebut. Dalam spektrum pembaruan terhadap dakwah ini, bisa
ditemukan pada sosok pemikir reformis Muhammad Fethullah Gulen.
Dalam hal ini, diperlukan suatu pemahaman dan perubahan
pemahaman dakwah secara komprehensif, sehingga dakwah tidak kehilangan
makna yang hakiki, tetapi mengena dalam semua aspek kehidupan
masyarakat. Dari sinilah perlunya melihat dakwah dari berbagai dimensi
kehidupan. Bertolak dari uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di
atas, kiranya kajian konsep dakwah Fathullah Gulen dalam kitab T{uruq al-
Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h perlu untuk diteliti. Lantaran kajian ini
berusaha memberikan solusi dakwah di era global kontemporer. Selain itu
kajian ini berupaya menjelaskan gagasan dakwah Gulen menjadi pilar
keberagaman umat yang inklusif, serta mampu menepis stereotip Islam yang
negatif; teroris, eksklusif, dan arogan.
37
Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer (Purwokerto: STAIN Purwokerto
Press dan Pustaka Pelajar, 2006), 3. 38
Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), 18-19. 39
Wan Mohd Nor Wan Daud, “Containing Muslim Extremism and Radicalism”
dalam Sari - International Journal of the Malay World and Civilisation 28(1) (2010), 244-
247. http://journalarticle.ukm.my/2416/1/Sari_28 (1)_2010_12_ Wan_Mohd_Nor_(Final).pdf.
(diakses pada 1 Mei, 2013).
8
B. Identifikasi Masalah
Studi ini difokuskan untuk membangun sebuah konsep ideal tentang
dakwah dan nilai-nilai kearifan dakwah Gulen. Hipotesa yang dimunculkan
bahwa dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas
merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang
toleran. Dalam artian bahwa, agar dakwah dapat diterima, maka hendaklah
para da’i harus mampu berharmoni dan berhumanisasi dengan masyarakat
sekitarnya, baik dalam tataran hubungan antar agama, budaya, maupun antar
peradaban. Inilah kerangka etika filosofis dakwah yang hendak dibangun
sepanjang penelitian ini.
Permasalahan utama kajian ini pada dasarnya mengacu pada beberapa
permasalahan terkait adanya perubahan paradigma dalam penyampaian
pesan-pesan agama (dakwah), dakwah fundamentalis, ekstrim, dan radikal.
Serta hilangnya rasa kepercayaan dan toleransi. Benturan peradaban dan
krisis kepercayaan ini dipahami sebagai salah satu krisis besar yang
mengancam keharmonisan hubungan antar umat beragama dan negara. Oleh
karenanya, persoalan mendasar yang harus diubah adalah berkaitan dengan
paradigma atau sudut pandang tentang dakwah.
Berbicara dakwah tidak saja terbatas pada da’i dan audien (mad’u),
melainkan juga penekanan pada dimensi etika yang selaras dengan prinsip-
prinsip etika qur’ani dan profetik. Oleh sebab itu, melalui kajian pemikiran
Muhammad Fethullah Gulen, tentang konsep dakwah ini, diharapkan
memiliki konsekuensi terpeliharanya hubungan insani secara sehat dan
harmonis serta mampu membangun sebuah relasi yang mengedepankan nilai-
nilai kearifan dalam memandang dakwah dan makna kehidupan yang
bermasyarakat.
Berangkat dari asumsi tersebut di atas, penulis membuat beberapa
identifikasi terkait persoalan-persoalan yang telah disinggung di awal, antara
lain sebagai berikut: (1) Mengapa ada dakwah yang disampaikan dengan cara
radikal dalam Islam? (2) Benarkah dakwah Islam fundamentalis dan radikal
dipandang sebagai salah satu sebab pencitraan Islam secara negatif (sebagai
agama yang menyukai kekerasan), mengapa demikian, dan apa sebabnya? (3)
Apakah doktrin agama berperan dalam melegalkan pandangan dakwah Islam
terhadap kekerasan, atau telah terjadi kesalahan penafsiran terhadap doktrin
tersebut? (4) Menyusul kritik tajam terhadap Islam, bagaimana respon Gulen
dalam rangka menepis tudingan telak itu, lantas apa yang Gulen tawarkan
terkait upaya bahwa Islam agama dakwah yang cinta dan damai?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Di dalam usaha mengajak dan menyeru serta mempengaruhi manusia
agar berada disepanjang jalan Tuhan, maka sudah pasti ada unsur-unsur yang
mengajak atau mempengaruhi, ada yang diajak dan diseru, alat untuk
9
mengajak dan menyeru, serta isi ajakan dan seruan, dan yang terakhir
pengaruh dari dakwah itu sendiri (da’i, mad’u, materi, media, dan efek).40
Maka dari itu, fokus penelitian penting yang ingin penulis angkat dari konsep
dakwah Gulen adalah sebagai berikut: ‚Apakah konsep dakwah Muhammad
Fethullah Gulen dapat dijadikan basis dalam berdakwah di era global
kontemporer?‛ Pertanyaan ini diklasifikasi ke dalam poin-poin berikut,
yakni: a) Bagaimana konsepsi dakwah Muhammad Fethullah Gulen? b)
Bagaimana kontruksi dan Subtansi Dakwah Gulen? c) Bagaimana
Signifikansi Dakwah Gulen?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek-aspek
kearifan dakwah Gulen dalam karya-karyanya. Tujuan khusus dalam
penelitian ini dimaksudkan sebagai jawaban dari rumusan masalah di atas:
Pertama, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan konsep ideal
dakwah yang sejalan dengan prinsip-prinsip keagamaan (dakwah qur’ani dan
profetik) dan kebijaksanaan perenial. Kedua, menjelaskan bahwa hubungan
yang dijalin sesama manusia selalu mengedepankan nilai-nilai kearifan,
moralitas dan spritualitas. Ketiga, penelitian ini menunjukkan bahwa konsep
dakwah Gulen berorientasi kepada nilai-nilai yang benar-benar spritual dan
religius. Seperti sikap toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan
(forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony) dan kejujuran (honesty). Serta konsep dakwah Gulen pada intinya
mengajak kepada keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan
tetap menjaga sikap inklusif, termasuk bagaimana mentranformasikan nilai
religius tersebut sebagai refleksi kehidupan sosial.
2. Kegunaan Penelitian Realisasi penelitian ini diharapkan nantinya akan bermanfaat paling
tidak: a) Untuk memperluas khazanah dan wawasan kajian metodologi
dakwah secara konseptual dan tekstual. Hal ini disebabkan perkembangan
zaman dan tuntutan realitas hidup umat manusia yang mengharuskan
ditemukannya metode-metode baru yang lebih akomodatif dan mendekati
kepada masyarakat. b) Dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi
ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu dakwah karena ilmu-ilmu dakwah bukanlah
disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja,
tetapi ia juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman
manusia dalam setiap zamannya. c) Kajian ini dapat memberi arah bagi
penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif dan komprehensif di
40
Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 54. Bandingkan dengan M. Munir,
Manajemen Dakwah, 21-35.
10
kemudian hari, adanya urgensi antara satu penelitian dengan penelitian yang
lain, selain itu juga diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih
(overlapping) informasi.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Telah banyak kajian yang menjelaskan tentang pentingnya akhlak,
sikap inklusif dan toleransi dalam berdakwah diantaranya: Safrodin Halimi,
‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r dan Rosyidi.41 Safrodin
memaparkan al-Qur’an telah meletakkan prinsip-prinsip dalam berdakwah,
seperti kejujuran dan keteladanan, keikhlasan dan ketulusan, kasih sayang
dan kelembutan serta kebebasan berkehendak dan memilih.
Adapun ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r menjelaskan Nabi
tidak pernah melakukan dakwah dengan cara kekerasan dan paksaan, bahkan
sebaliknya Nabi memberikan tauladan kepada umatnya agar berdakwah
dengan cara santun dan damai. Hal ini dipertegas kembali oleh Rosyidi
bahwa dakwah yang lebih menekankan kepada aspek-aspek akhlak dan
batiniah disebut dakwah dengan pendekatan tasawuf, karena subtansi dari
tasawuf adalah akhlak.
Berdasarkan hasil telaah yang relevan dengan data penelitian ini,
peneliti menemukan beberapa tema yang telah mengkaji sosok Gulen
diantaranya: ‚A Winder Role for The Gulen Movement Consistent With The
Place of The Qur’an and Islam in The Evolution of Religious Understanding:
A Fundamental Theological Reasseement‛.42 yang dipresentasikan dalam
seminar internasional di Eramus University Rotterdam pada tahun 2007.
Dalam artikel ini Ian Fry mengkaji tentang pemikiran-pemikiran Gulen
tentang sikap fundamentalis, sejarah dan sistematik keagamaan serta
pentingnya dialog antar-agama. Selanjutnya, ‚Dialogical and Transformatif
Resources: Perspectives from Fethullah Gulen on Religion and Public Life‛.43
Paul Weller memaparkan pandangan Gulen terhadap kehidupan umat
41
Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, (Semarang: Wali Songo Press, 2008) ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn
‘Ali al-Tayya>r, al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahdi al-Nabawi>: A<da>b wa H{ikam (Riyadh:
Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>z{ah lil Mu‘alif: 1985) Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina 2004).
42Lihat Ian Fry, ‚A Winder Role for The Gulen Movement Consistent With The
Place of The Qur’an and Islam in The Evolution of Religious Understanding: A Fundamental Theological Reasseement‛ artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007
(New Jersey: Tughra Books, 2009). 43
Paul Weller, ‚Dialogical and Transformatif Resources: Perspectives From
Fethullah Gulen on Religion and Public Life‛ dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-
23 November 2007 (New Jersey: Tughra Books, 2009).
11
beragama. Pentingnya nilai-nilai moralitas dan hubungan humanisme antar
umat beragama dan bermasyarakat.
Di samping itu, kajian yang pernah dilakukan dengan tema ‚The
Importance of Dialogue in a Rooted Conception of Cosmopolitanism
Fethullah Gulen and Mohammad Mojtahed Shabestary‛.44 Mahmoud Masaeli
menegaskan tentang betapa pentingnya dialog antar umat beragama di
tengah kehidupan globalisasi dan kosmopolitan dengan membandingkan
konsep Gulen dan Mojtahed Shabestary. Tema kajian berikutnya ‚Tolerance
as a Source of Peace: Gulen and the Islamic Conceptualization of
Tolerance‛.45 Aaron Tyler menggambarkan pandangan Gulen terhadap
konflik dan toleransi Islam pada abad kedua puluh satu, toleransi merupakan
pijakan untuk beribadah, dan sikap toleransi merupakan landasan untuk
berdialog.
Berbeda dengan penelitian yang dilakuakan Zulfahmi dengan fokus
kajiannya ‚Gerakan Damai Fethullah Gulen di Turki Perspektif Komunikasi
Islam‛.46 Dalam tesis ini Zulfahmi menjelaskan faktor kemiskinan dapat
memberikan pengaruh yang signifikan atas terjadinya tindak kekerasan di
masyarakat. Selain itu penelitian ini memaparkan Gulen dan pengikutnya
memberikan peran yang masif dan aktif dalam upaya proses bina damai,
seperti diadakannya dialog lintas etnis, negara dan keyakinan (interfaith).
Serta respon Gulen terkait gerakan radikal dan terorisme yang dialamatkan
kepada Islam.
Selain itu masih ada beberapa sarjana yang telah mengkaji Gulen di
antaranya: John Borelli,47 Heon Kim,48 Lynn E. Mitchell,49 Philipp
44
Lihat Mahmoud Masaeli, ‚The Importance of Dialogue in a Rooted Conception of
Cosmopolitanism Fethullah Gulen and Mohammad Mojtahed Shabestary‛ Artikel dalam
Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington
D.C: Rumi Forum, 2008). 45
Aaron Tyler, ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic
Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington
DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 46
Zulfahmi, ‚Gerakan Damai Fethullah Gulen di Turki Perspektif Komunikasi Islam‛ Tesis, Konsentrasi Agama dan Perdamaian Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013. 47
John Borelli, ‚Interreligious Dialogue as a Spritual Practice‛dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi
Forum, 2008). 48
Heon Kim, ‚Gulen’s Dialogic Sufism: A Constructional and Constructive Faktor
of Dialogue‛ dalam Conference Islam In The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November
2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008).
12
Bruckmayr,50 dan Thomas Michel,51 lebih menitikberatkan pada kajian
faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian religius sufistik Gulen dari
para tokoh sufi terdahulu. Kajian tersebut, berupa pengenalan dan pengantar
lebih lanjut dalam mengkaji Gulen, gerakan Gulen dan pemikirannya yang
berhubungan dengan konsep kearifan dan penerapannya dalam hubungan
masyarakat kontemporer. Sejumlah kajian di atas, dipandang penting dalam
menambah informasi dan pengetahuan tentang Gulen, gerakan dan
pemikirannya. Kajian ini memiliki signifikansi dalam menambah informasi
atau pemahaman singkat tentang pemikiran Gulen. Namun penulis menilai
kajian yang mereka lakukan belum memadai dalam mengkaji konsep dakwah
Gulen. Untuk itulah dalam penelitian ini, penulis berkepentingan untuk
melakukan kajian lebih mendalam terhadap konsep dan gagasan dakwah
perspektif Gulen.
Berdasarkan penelusuran terhadap kajian-kajian yang relevan di atas,
penulis melihat adanya kesamaan sekaligus perbedaan mendasar dalam
beberapa aspeknya. Perbedaan yang mendasar dalam kajian ini adalah
pembahasan tentang dakwah Gulen, serta hubungan yang dibangun dalam
kerangka etik normatif (etika qur’ani dan profetik). Pembahasan ini
dikorelasikan dalam konteks wacana kekerasan antar umat beragama, krisis
global (fundamentalis, radikal, ekstrim, benturan peradaban dan krisis
kepercayaan) yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan, sambil
menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya. Oleh sebab itu, penulis
merasa perlu untuk mengkaji secara mendalam terhadap konsep dan gagasan
dakwah Muhammad Fethullah Gulen.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian Secara tipologis, penelitian ini dengan melihat unsur-unsur penelitian
yang digunakan, yaitu berupa bahan-bahan tekstual, seperti buku, jurnal,
49
Lynn E. Mitchell, ‚M. Fethullah Gulen: A Preacher of Piety and Integrity of
Action: A Study in Analogy Between the Gulen Movement and the Clapham Circle‛ dalam
Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008(Washington D.C:
Rumi Forum, 2008). 50
Philipp Bruckmayr, ‚Fethullah Gulen and Islamic Literary Tradition‛ dalam
Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington
D.C: Rumi Forum, 2008). 51
Thomas Michel, ‚Fethullah Gulen: Following in The Footsteps of Rumi‛ dalam
Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007 (New Jersey: Tughra Books, 2009).
13
makalah, artikel, dan lainnya, maka penelitian tersebut mengikuti jenis telaah
kepustakaan (library research).52
2. Pendekatan Penelitian Dalam melakukan pembacaan terhadap pemikiran dakwah Gulen,
penulis menggunakan dua pendekatan, yaitu: pendekatan historis dan
pendekatan humanistik.53 Pendekatan historis berfungsi melacak konteks
sosio-kultural yang melingkupi kehidupan Gulen.
Sementara pendekatan humanistik sebagai pisau analisis untuk
mengkaji nilai-nilai kemanusiaan dan aspek-aspek hidup manusia. Termasuk
dalam pendekatan ini adalah aspek filosofis dari objek yang diteliti.
3. Sumber Data Sebagai penelitian bercorak library research, data diperoleh dari dua
sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primernya adalah
kitab T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, Key Concepts in The Practice of Sufism, Pearls of Wisdom, The Essentials of the Islamic Faith, Question and Answers About Islam vol.2, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h.
Demikian juga dengan data sekunder, yang juga berupa buku, soft copy (pdf.), artikel, majalah, dan koran yang diperoleh dari perpustakaan
maupun berupa unduhan dari media internet.54 Data sekunder yang digunakan
adalah karya-karya dalam bentuk buku dan makalah yang relevan untuk
menjadi pelengkap data. Data sekunder yang digunakan di sini adalah:
Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November
2008.Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23 November
2007dan lain-lain.
52
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta:LP3ES, 1989) 45. Lihat
juga M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2002), 11. Bandingkan dengan Mustika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) 16-22.
53Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaidah, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial,
Himpunan Rencana Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) 8. 54
Atho’ Muzhar menyebut bahwa selain menyebut sumber primer maupun sekunder
dari penelitian, seorang peneliti juga hendaknya dapat menunjukkan di mana data dapat
diperoleh, data berupa apa saja; dokumen, prasasti, mata uang dan lain-lain. Sehingga,
validitas sumber data yang digunakan menjadi lebih berarti bagi upaya pengembangan kajian.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2002), Cet. IV, 62-64.
14
4. Teknik Analisis Data
Untuk mempermudah dalam menganalisis data, peneliti menggunakan
teknik analisis isi (content analyzing).55 Content analyzing adalah
menganalisa makna yang terkandung dalam asumsi, gagasan, atau statemen
untuk mendapat pengertian dan kesimpulan. Selain itu juga peneliti
menggunakan metode deskriptif analisis.
Deskriptif secara sederhana dapat diartikan dengan menggambarkan
secara umum tentang objek penelitian untuk menemukan informasi yang
menyeluruh. Tujuan dari penelitian yang menggunakan metode deskriptif
pada umumnya adalah untuk membuat deproposal, gambaran atau lukisan
secara sistematis dan objektif, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta
hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu.56
content analyzing ini peneliti gunakan untuk menganalisa makna
yang terkandung dalam asumsi, gagasan, atau statemen untuk mendapat
pengertian dan kesimpulan. Adapun dengan metode analisis peneliti
berupaya melakukan telaah atau penganalisisan terhadap pemikiran Gulen
dengan pendekatan filosofis secara mendalam. Metode analisis tersebut akan
digunakan untuk melakukan klasifikasi mengenai relevansi substatif
pemikiran dakwah Gulen, pemilahan ide-ide secara detil, konsistensi
pembahasan, pembedaan hirarkis, hingga analisa secara tuntas yang meliputi
semua kategori atau komponen yang diteliti. Selain itu, dengan metode
deskriptif-analisis penulis juga melibatkan evaluasi kritis untuk menelaah
sejauh mana keunggulan dan kelemahan pandangan Gulen.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk menyusun gambaran yang utuh dan terpadu tentang penelitian
ini, maka penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I diuraikan tentang pendahuluan yang secara garis besar
meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang relevan,
metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Dalam Bab Pertama ini
diuraikan masalah utama penelitian tentang pencitraan Islam oleh Barat
sebagai agama yang menyukai kekerasan. Paradigma tersebut diakibatkan
oleh pemahaman-pemahaman Islam garis keras terhadap teks normatif dan
kepentingan golongan. Adapun solusi yang ditawarkan adalah paradigma
dakwah yang berlandaskan nilai-nilai kearifan dan moralitas. Hipotesa yang
dibangun adalah dakwah yang berlandaskan nilai-nilai kearifan dan moralitas
merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang
toleran. Untuk sampai kepada tujuan ini, dilakukan kajian teks terhadap
55
Hasan Bisri dan Eva Rufaidah, Model Penelitian, 9. 56
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma,
2005), 58.
15
sejumlah karya Muhammad Fethullah Gulen, seorang tokoh perdamaian
dunia saat ini, dengan menggunakan pendekatan historis dan humanistis.
Pembahasan tentang ‚Konsepsi Dakwah dalam Islam‛, akan dibahas
di Bab II. Bahasan ini meliputi: pondasi dasar dakwah dan etika dakwah.
Pada sub bab yang pertama akan diuraikan tentang landasan dakwah yang
berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan profetik), sekaligus
menegaskan bahwa Islam mengajarkan cara yang santun dalam berdakwah.
Pada sub bab selanjutnya akan membahas ‚etika dakwah‛. Pada sub bab ini
akan memaparkan etika dakwah yang menjadi pijakan da’i dalam berdakwah
serta menggunakan kekerasan dengan dalih berjihad di jalan Tuhan tidaklah
dapat dibenarkan dalam berdakwah. Pada bab ini dapat disimpulkan bahwa
Sikap Fundamentalis dan radikal bukanlah pijakan dakwah yang tepat, karena
dakwah Islam pada dasarnya mengumandangkan spirit profetik Rahmatan li al-‘A>lamin yaitu ajaran Islam yang mengedepankan cinta dan kasih sayang
serta sikap toleransi antar umat beragama. Sebagai solusinya, gagasan yang
berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan, moralitas dan kesantunan terhadap
semua umat beragama merupakan nilai dasar dalam berdakwah.
Bab III ‚Kontruksi dan Subtansi Dakwah Gulen‛ pada sub pertama
akan dijelaskan dasar-dasar dan kaidah dalam dakwah, sub bab ini meliputi:
membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keselarasan kalbu dengan al-
Qur’an, menggunakan cara yang disyari’atkan, dan melakukan apa yang
disampaikan. Sub bab berikutnya akan menguraikan gambaran dan sifat
seorang da’i. Pembahasan pada sub bab ini meliputi: berdakwah dengan
penuh kasih sayang, mengedepankan toleransi dan menjaga empati. Adapun
sub yang terakhir akan membahas urgensi dakwah. Kesimpulan pada bab ini
bahwa konsep dakwah Gulen berorientasi kepada nilai-nilai yang benar-benar
spritual, seperti sikap toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan
(forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony) dan kejujuran (honesty). Hal ini diiringi dengan metode dakwah
dalam al-Quran begitu humanis. Islam lebih mengedepankan perdamaian dan
dialog dengan santun dan argumentatif (muja>dalah bi allati hiya ah}san). Hal
ini tentunya harus dibudayakan, baik dalam konteks inter-religius, intra-
religius, maupun antar peradaban.
Bab IV ‚Relevansi dan Signifikansi Konsep Dakwah Gulen: Dalam
Konteks Masyarakat Kontemporer‛. Sub bab pertama membahas tentang:
Islam sebagai agama cinta, inklusifisme dan toleransi sebagai basis
keberagamaan dan dialog intensif intra dan antar agama. Uraian ini ditujukan
untuk perbaikan yang mendera moralitas masyarakat kontemporer seperti
berlaku radikal dan ekstrim. Fokus kajian ini menitikberatkan pada nilai-nilai
kearifan seperti toleransi, kasih sayang, sikap inklusif, yang merupakan
pondasi awal dalam membentuk kepribadian serta pijakan yang ditawarkan
dalam membangun interaksi dalam bermasyarakat. Kesimpulan pada bab ini
16
bahwa konsep dakwah yang ditawarkan Gulen pada intinya mengajak kepada
keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan tetap menjaga
sikap inklusif, termasuk bagaimana mentranformasikan nilai religius tersebut
sebagai refleksi kehidupan sosial.
Bab V ‚Penutup‛ merupakan kesimpulan yang menegaskan bahwa
dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas
merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang
toleran. Penutup bab ini merupakan kritik, saran dan rekomendasi. Kritik dan
saran tersebut diharapkan memberikan perbaikan yang signifikan dalam
penelitian ini.
17
BAB II
KONSEPSI DAKWAH DALAM ISLAM
Pada bab ini penulis akan menguraikan konsep dan paradigma
dakwah dalam Islam. Kesimpulan pada bab ini, bahwa sikap Fundamentalis
dan radikal bukanlah pijakan dakwah yang tepat, karena dakwah Islam pada
dasarnya mengumandangkan spirit profetik Rahmatan li al-‘A>lamin yaitu
ajaran Islam yang mengedepankan cinta dan kasih sayang serta sikap
toleransi antar umat beragama. Sebagai solusinya, gagasan yang
berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan, moralitas dan kesantunan terhadap
semua umat beragama merupakan nilai dasar dalam berdakwah. Hal ini dapat
dibuktikan dengan landasan fundamen dakwah yang berbasis filosofis
normatif (dakwah qur’ani dan dakwah profetik), sekaligus menegaskan
bahwa Islam mengajarkan cara yang santun dalam berdakwah. Selain itu,
dalam penyampaikan dakwah ada aturan dan kode etik yang harus dimiliki
dan diikuti oleh para juru dakwah (da’i).
A. Pondasi Dasar Dakwah
1. Dakwah Qur’ani (Metode Dakwah dalam al-Qur’an)
Sebagai agama terakhir, Islam merupakan agama penyempurna dari
keberadaan agama-agama sebelumnya. Perkembangan agama Islam yang
disebarkan oleh Nabi Muhammad Saw yang berawal di Mekkah lalu di
Madinah dan kemudian berkembang ke seluruh penjuru dunia tidak lain
adalah karena adanya proses dakwah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam.1
Sebagai agama ilahi sumber dasar Islam adalah al-Qur’an.2 Al-Qur’an
memperkenalkan dirinya dengan berbagai atribut; al-Baya>n atau al-Tibya>n, al-Furqa>n, dan al-Huda>. seperti pada ayat:
‚bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)‛. (QS. al-Baqarah: 185).3
1Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Kiat Sukses Berdakwah, terj.
Samsul Munir Amin, (Jakarta: AMZAH, 2006), xi. 2Ali Raza Tahir, ‚Islam and Philosophy (Meaning and Relationship)‛ dalam
Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business vol. 4 no: 9 (January, 2013)
1289. http://journal-archieves27.webs.com/1287-1293.pdf (diakses pada: 23 Desember 2013). 3Selain sebutan-sebutan tersebut al-Qur’an juga bisa dinamakan dengan al-Z{ikr.
Seperti pada (QS. al-Nahl: 44). Sebutan-sebutan ini menjelaskan bahwa fungsi al-Qur’an
adalah sebagai petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS. al-Isra: 9) yang meliputi
akidah yang benar, akhlak murni yang harus diikuti manusia dalam kehidupannya, petunjuk
bagi upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, pembawa kebenaran dan berpihak kepada
18
Dalam tradisi keilmuan, dakwah bisa bermakna menyebarkan,
menyampaikan, meyakinkan, mengajak dan mendorong.4 Berdasarkan
penelusuran yang dilakukan oleh Halimi, bahwa dalam al-Qur’an, term-term
dakwah memiliki beberapa pengertian yaitu permohonan (sual) ibadah,
ajakan dan seruan.5 Dengan demikian, dalam keseharian hidupnya umat Islam
bukan saja berkewajiban melaksanakan ajaran Islam, tapi lebih dari itu harus
menyampaikan (tabligh) atau mendakwahkan kebenaran ajaran Islam
terhadap orang lain. Umat Muslim digelari Allah Swt sebagai umat pilihan,
yakni sebaik-baik umat (khairu ummah), yang mengemban tugas dakwah,
yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.6 Implikasi dari
pernyataan Islam sebagai agama dakwah inilah, menuntut ummatnya agar
selalu meyampaikan dakwah, karena kegiatan ini merupakan aktivitas yang
tidak pernah berhenti selama kehidupan di dunia masih berlangsung dan
akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun dengan berbagai
pendekatan dan coraknya.7 Dalam pengertian ini, bentuk dakwah dalam
praktiknya bukan hanya dalam tataran teoretis-instruktif atau dikenal dengan
istilah lisa>n al-Maqa>l, tetapi juga menuntut bentuk tindakan-empiris yang
dikenal dengan lisa>n al-Hal.8 Di dalam hal mengajak inilah, tentunya ada yang menjadi pijakan
dalam berdakwah. Pada dasarnya al-Qur’an merupakan inspirasi dakwah dan
kitab dakwah.9 Bermula sebagai kitab dakwah dan berpuncak sebagi kitab
keadilan (QS. al-Nisa’: 105), serta mendorong pada terjadinya perubahan yang positif
(QS.Ibrahim: 1). Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 48.
4Taufik Yusuf al-Wa‘iy, Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk (Jakarta: Al-
I‘tishom, 2011), 11. Lebih jelas baca Muhammad Sa‘i>d Muba>rak, al-Da’wah wa al-Ira>dah
(Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>z{ah lil Mu‘alif: 2005), 15. 5Menurut Ibn Manzu>r sebagaimana dikutip A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman bahwa
kata dakwah mempunyai arti banyak. Pertama, meminta pertolongan (al-Istigha>sah), kedua, menghambakan diri (‘iba>dah) seperti dalam firman-Nya (QS. al-A’raf: 194), ketiga,
memanjatkan permohonan kepada Allah SWT(berdo’a), seperti dalam firman-Nya (QS. al-
Baqarah: 186). Keempat, persaksian Islam (syaha>dat al-Isla>m) seperti surat Nabi Muhammad
Saw kepada Heraklius ‚…..أ دعوك بدعاية االسالم‛ (aku memanggil kamu dengan persaksian tentang
Islam). Kelima, memanggil atau mengundang (al-Nida>) seperti firman Allah (QS. al-Ahzab:
46). Lihat A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011) 27-28. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 50.
6Asep Syamsul dan M. Romli, Jurnalistik Dakwah, Visi dan Misi Dakwah Bilqolam
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 3. 7Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), 5.
8A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama
dan Peradaban Islam, 27-28. 9Iqram Faldiansyah, ‚Dakwah dan Lingkungan‛ dalam Imam Malik dkk., Antologi
Pemikiran Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2011), 187.
19
penetapan syari’at.10 Lebih tegas lagi, al-Qur’an menyebut kegiatan dakwah
dengan ahsanu qaula.11 Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah
dakwah. Tetapi, dari sekian banyak ayat yang memuat prinsip-prinsip
dakwah itu, ada satu ayat yang memuat sandaran dasar dan fundamen12 yakni
QS. al-Nahl: 125.
Metode dakwah dan langkah-langkah dakwah transformatif yang
ditawarkan dalam al-Qur’an untuk menyampaikan pesan keagamaan, berbasis
pada pendekatan yang bersifat persuasif dan sarat dengan nilai-nilai
kebijaksanaan (wisdom/al-h}ikmah). Metode dakwah demikian itu, telah
diformulasikan Allah dan Rasulnya lewat teks normatif al-Qur’an dan sunnah
Nabi berikut ini:
1. Al-Hikmah (الحكوة)
Dalam al-Qur’an kata ‚hikmah‛ menurut Harjani Hefni disebutkan
sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakirah maupun ma’rifat. ‚h}ukman‛
merupakan bentuk masdar dari ‚h}ikmah‛, yang apabila diartikan secara
makna aslinya adalah mencegah, melarang dengan penuh kebijaksanaan.
Dalam pandangan M. Abduh, sebagaimana dikutip Harjani Hefni, hikmah
adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga di
gunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak makna.13
Pararel dengan pendapat M. Abduh. Dalam konteks usul fiqh istilah
hikmah dibahas ketika ulama usul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan
ilat hukum. Dan dikalangan tarekat hikmah diartikan pengetahuan tentang
rahasia Tuhan.14 Kata hikmah juga sering dikaitkan dengan filsafat, karena
inti dari filsafat yakni mencari pengetahuan hakikat segala sesuatu. Adapun
orang yang memiliki hikmah disebut al-H{a>kim yaitu orang yang memiliki
pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.
Tidak jauh berbeda dengan M. Abduh, Toha Yahya dan Muhammad
Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni> menjelaskan, hikmah berarti meletakkan sesuatu
pada tempatnya dengan berpikir, penuh kehati-hatian serta berusaha
menyusun dan mengatur sesuai dengan keadaan zaman dan tidak
10
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), 11.
11Q.S al-Fushilat: 33.
12Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan
Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 38 13
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 8-9. Bandingkan dengan Muhammad Abu> al-
Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1991), 244.
14Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 9.
20
bertentangan dengan larangan Tuhan.15 Lebih spesifik lagi, Imam Nawawi al-
Bantani menjelaskan al-H{ikmah merupakan al-H{ujjah al-Qat}’iyyah al-Mufi>dah li al-‘Aqa>id al-Yaqi>niyyah (hikmah adalah dalil-dalil argumentasi
yang kuat dan berfaedah bagi kaidah-kaidah keyakinan).16
Selain itu, kata hikmah sering kali diterjemahkan dalam pengertian
bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga objek dakwah
mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemaunnya sendiri, tidak
merasa ada paksaan, konflik, maupun rasa tertekan. Dalam bahasa
komunikasi disebut sebagai frame of reference, field of reference, dan field of experience, yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap pihak komunikan
(objek dakwah).17
Dalam konteks hukum Islam, makna hikmah berkonotasi melakukan
upayah prefentif dari tindakan kezaliman, dan apabila ditarik ke dalam
konsep dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan pada
saat mengemban misi dakwah. Lebih jauh pembahasan konsepsi dan metode
dakwah, dengan pijakan al-H{ikmah merupakan upaya seorang da’i
mentransformasikan pesan-pesan keagamaan dengan penuh kebijaksanaan,
akal budi yang mulia, hati yang bersih, lapang dada, dan menarik perhatian
orang kepada agama atau Tuhan. Konsepsi dakwah demikian itu, diperkuat
oleh al-Alla>mah Abu al-Fad}l Syiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-A<lu>si> al-
Bagda>di>,18 dakwah dengan hikmah menurutnya yaitu:
15
Lebih jelas baca Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 245. Harjani Hefni
dkk, Metode Dakwah, 9. Lihat juga Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th (Kairo: Mat}ba‘ah al-Husain al-Islami>yah, tt), 17.
16Hikmah menurut Sa’id bin Ali bin Waqif al-Qahtani mempunyai dua arti, yakni
secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi hikmah mempunyai arti pertama, adil,
ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an dan injil. Kedua, memperbaiki (membuat menjadi baik) dan
terhindar dari kerusakan. Ketiga, ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan
ilmu yang utama. Keempat, objek kebenaran (al-Haq) yang didapat melalui ilmu dan akal.
Kelima, pengetahuan atau makrifat. Adapun secara terminologi hikmah dapat diartikan:
pertama, valid (tepat) dalam perkataan dan perbuatan. Kedua, mengetahui yang benar dan
mengamalkannya (ilmu dan amal) ketiga, wara’ dalam agama. Keempat, meletakkan sesuatu
pada tempatnya. Kelima, menjawab dengan tegas dan tepat. Lihat al-Nawa>wi al-Jawwi, Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r, juz 1, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-
Ara>biah, t.t), 469. Lihat juga Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 98-99. Bandingkan dengan
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 40-42.
17Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 98. Shamim A Siddiqi, Methodology of
Dawah Ilallah in American Perspective, (New York: The Forum for Islamic Work, 1989), 102. 18
Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-A<lu>si> al-Bagda>di>, Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14. (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s al-‘Arabi>,
tt) 254.
21
ولرة هي هذا ها فى الثحر للشثهة حةالوز حجة المطعةال هو "تالحكوة" أي تا لومالة الوحكوة
أها الكالم الصىاب الىالع هي الفش أجول هىلع‚dakwah dengan hikmah‛ adalah dakwah dengan menggunakan perkataan
yang benar dan pasti, yaitu dengan argumen untuk menjelaskan kebenaran
dan menghilangkan sikap sekeptis, serta perkataan yang diucapkan relevan
dengan realitas dan situasi‛.
Pendapat di atas dipertegas lagi oleh Imam al-‘Aini yang menyatakan
bahwa ‚al-h}ikmah tadullu ‘ala> ‘ilmin daqi>q muhkam wa ta’li>muha kama>lun ‘alamiyyun, wa al-qad}a>’u kama>lun ‘amaliyyun‛.19 Berangkat dari pandangan
Abu al-Fad}l dan Imam al-‘Aini, maka metode hikmah dikonstruksi
berdasarkan pemahaman dakwah yang ‚berjalan pada metode yang realistis
(praktis) dalam melakukan suatu perbuatan‛.20 Maksudnya, selalu
memperhatikan kebutuhan dan menyentuh realitas yang terjadi di luar, baik
pada level komunitas intelektual, pemikiran, psikologis maupun sosial.
Dari uraian di atas, dapat dipahami hikmah menjadi salah satu faktor
pendukung sukses ataukah gagal dalam mengemban misi dakwah. Ketika da’i
menghadapi audien dengan bermacam tingkat pendidikan, strata sosial, dan
latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam
mampu memasuki ruang hati para audien dengan tepat.21 Oleh karena itu,
para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami latar belakang
permasalahan, sehingga ide-ide yang diterima dapat dirasakan sebagai suatu
yang menyentuh dan menyejukkan kalbu serta mendapat respon yang positif
dari mad’u.
Pada saat yang sama, konsepsi dan metode dakwah mengalami
pergeseran dari sikap dakwah yang penuh kearifan, kebijaksanaan, dan sarat
nilai-nilai persuasif, seketika berubah menjadi dakwah yang beringas dan
radikal yang dilakukan oleh kelompok muslim minoritas yang secara masif
mendengungkan jargon kembali kepada ‚salaf saleh‛.22 Prinsip utama dakwah
19
Jum‘ah Ami>n ‘Abdu al-Azi>z, al-Da’wah Qawa>’id wa Us}u>l, (Kairo: Da>r al-Da’wah,
1999), 31. 20
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 46.
21Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 11. Baca juga Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang
Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina 2004). 3. 22
Kelompok minoritas yang dimaksud di sini adalah salafi wahabi. Karakteristik
utamanya adalah mengikuti tiga generasi pertama umat Islam (al-Salaf al-S{alih), monoteistik
(pemurnian akidah), serta menolak tasawuf dan Syiah, berkonsentrasi pada Hadis (ucapan
Nabi Muhammad), menolak setiap inovasi ilegal (bid'ah), menganggap Muslim yang tidak
mematuhi bentuk Islam menjadi kafir. doktrin ini telah menyebabkan sebagian umat Muslim
menjadi ekstremisme agama dan radikalisme atas nama agama, yang akhirnya menodai citra
Islam dan citra umat Islam sendiri. Salafi Wahhabi dalam sejarah Islam dipromosikan oleh
pendirinya, Muhammad Abd al-Wahhab (1703 M-1792 M). Zulkarnain Haron Nordin Hussin,
‚A Study on Salafi Jihadist Doctrine and the Interpretation of Jihad by Al Jama'ah Al
22
yang mereka bangun, untuk melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam.
Gerakan dakwah yang mereka lakukan itu, berbeda jauh dengan prinsip dan
tipologi paradingma dakwah yang ditawarkan dalam al-Qur’an.
Di sisi lain, para da’i dihadapkan dengan beragam pendapat dan
warna masyarakat. Dalam hal interaksi dan komunikasi inilah terjadi silang
pendapat dan perbedaan. Adapun dalam Islam perbedaan merupakan
sunnatullah dan sebuah keniscayaan.23 Namun dari sekian banyak perbedaan
itu, ada titik temu di antara mereka. Kemampuan da’i untuk bersifat objektif
terhadap umat lain, berbuat baik dan bekerja sama dalam hal-hal yang
dibenarkan agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya
adalah bagian dari hikmah dalam dakwah.24
Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah hanya
memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya. Barang siapa
mendapatkannya maka dia telah memperoleh karunia besar dari Allah.25 Atas
dasar inilah, maka hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis)
dalam melakukan suatu perbuatan. Maksudnya ketika seorang da’i akan
memyampaikan dakwahnya haruslah selalu memperhatikan realitas yang
Islamiyah‛ dalam Kemanusiaan Vol. 20, No. 2, (2013), 18. http://web.usm.my/kajh/
vol20_2_2013/Art%202%20(15-37).pdf. (diakses pada: 8 Januari, 2014). 23
Dalam kacamata Islam, al-Qur’an mensinyalir perbedaan merupakan ‚ciptaan
Ilahi‛ serta sunnah yang azali dan abadi, yang telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh
makhluk, seperti dijelaskan dalam al-Qur’an QS. Hu>d: 118-119. Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-
Kattaanie. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 15. 24
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 12. 25
Ayat yang dimaksud adalah
‚Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan al-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)‛. (QS. Al-Baqarah: 269). Ayat tersebut
mengisyaratkan betapa pentingnya menjadikan hikmah sebagai sifat dan bagian yang
menyatu dalam metode dakwah dan betapa perlunya dakwah mengikuti langkah-langkah yang
mengandung hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada
juru dakwah yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mengajak
manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan akidah yang benar. Mengajak
manusia kepada hakikat yang murni dan apa adanya. Itu semua tidak mungkin dilakukan
tanpa melalui pendahuluan dan pancingan atau tanpa mempertimbngkan iklim dan medan
kerja yang sedang dihadapi. Selain QS. Al-Nahl:125 dan QS. Al-Baqarah: 269, masih ada
ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan keutamaan dan pentingnya cara hikmah, seperti; QS.
al-Baqarah: 129 dan QS. Ali Imran: 164. Dalam Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 245-
246. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 13.
23
terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun
sosial. Semua itu menjadi acuan yang harus dipertimbangkan.26
Selain itu, dakwah dengan hikmah ini mencakupi tiga unsur, yaitu;
pertama, menyangkut situasi dan kondisi mad’u. Situasi dan kondisi ini bisa
menyangkut lingkungan sosio-ekonomi, sosio-politik, dan sosio-kultural
mad’u. Kedua, menyangkut kadar materi yang disampaikan. Ini bearti materi
yang disampaikan tidak boleh berlebihan. Ketiga, menyangkut metode dan
teknik yang dipergunakan (sesuai dengan kebutuhan).27
Lebih jauh lagi Aswiral28 mengemukakan ada tiga macam pendekatan
yang perlu diketahui dalam berdakwah. pertama, approach filosofi (pendekatan ilmiah dan aqliyah) yang dihadapkan kepada golongan pemikir
atau kaum intelektual. Karena golongan ini mempunyai daya pikir yang
kritis, maka dakwah harus bersifat logika, menggunakan analisa yang luas
dan obyektif serta argumen yang logis dan komperatif. Pendekatan filosofis
(ilmiah dan aqliyah) ini bertujuan untuk menghidupkan pikiran mad’u, sebab
mereka menerima sesuatu lebih mendahulukan rasio daripada rasa. Kedua,
approach intruksional (pendekatan pengajaran). Pendekatan ini biasanya di
gunakan untuk kalangan awam, sebab pada umumnya daya nalar dan daya
pikir mereka sangat lemah dan sederhana, mereka lebih mengutamakan unsur
rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu dakwah terhadap mereka lebih dititik
beratkan kepada bentuk pengajaran, nasehat yang baik serta muda dipahami.
Ketiga, approach diskusi (pendekatan bertukar pikiran), yakni secara
informatif dialogis.
2. Al-Mau’iz}ah al-H{asana (nasihat yang baik)
Secara bahasa al-Mau’iz}a al-H{asana terdiri dari dua kata, yaitu al-Mau’iz}a dan al-H{asana. Kata al-Mau’iz}a berasal dari kata wa’az}a-ya’iz}u-wa’z}an-i’z}atan. Sebagaimana menurut Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>syi
berarti: nasihat, peringatan serta bimbingan kepada ketaatan seperti yang
diperintahkan dalam al-Qur’an. Lebih jelas lagi, Ibra>hi>m al-Juyu>syi
menjelaskan al-H{asana merupakan perkataan dan perbuatan yang baik dan
26
Seseorang tidaklah dikatakan hakim (bijak) apabila belum terkumpul dalam dirinya
dua macam perkara, yakni hikmah dalam tataran teori dan praktik. Selain itu, dalam al-
Qur’an Allah memperkenalkan diri-Nya secara berulang-ulang dengan sebutan ‚al-Hakim‛
kurang lebih 80 kali. Lihat Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 245. Harjani Hefni dkk,
Metode Dakwah, 13. 27
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006). 248.
28Aswiral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khotib
Profesional (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 73-74.
24
bermanfaat, disifatkan dengan al-H{asana dikarenakan di dalamnya terdapat
nilai-nilai kebaikan dan jauh daripada sifat-sifat kejelekan.29
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, menurut Imam Abdullah
bin Ahmad al-Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanudin adalah sebagai berikut: فعهن فها او تا المرآى فى علهن اك تا صحهن تها وتمصذ هاوالوىعظة الحسة وه التى ال خ
‚al-Mau’iz}a al-H{asana‛ adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi
bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat
kepada mereka dengan al-Qur’an.30
Perspektif lebih komprehensif dikemukakan oleh Abd. Hamid al-
Bilali bahwa konsep dan metode dakwah dengan sentuhan al-Mau’iz}a al-H{asana, merupakan usaha dalam menjalankan misi dakwah yang dinilai lebih
tepat dan efektif, sebab ketika seorang da’i mengajak ke jalan Tuhan dengan
membangun pola komunikasi berbentuk nasihat atau bimbingan syarat
dengan lemah lembut, maka pesan keagamaan lebih dapat diterima oleh
masyarakat luas, sebagai konsekwensinya mampu melahirkan kesadaran para
madu untuk berbuat baik (wa‘yu al-diniyyah).31 Persepektif Abd. Hamid
tersebut, Sejalan dengan pandangan ahli tafsir seperti al-Qurtubi yang
mengatakan: ‚sesungguhnya konsepsi al-Mau’iz}ah al-H{asana upaya berpaling
dari yang jelek atau perbuatan buruk-melalui anjuran (targhib) dan
larangan‛.32 Menurut hemat penulis secara psikologi pola komunikasi dengan
pendekatan dakwah berbasis nasihat, mampu melunakkan hati dan
menimbulkan kesadaran religiusitas seorang mad’u.
Varian interpretasi metode al-Mau’iz}ah al-H{asana yang dilakukan
oleh sarjana tafsir di atas, mengacu kepada berbagai denotasi dan ekstensi
(mishdaq) yang sama secara subtansi. Oleh sebab itu, denotasi dan ekstensi
29
Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th, 21.
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 15. 30
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 15. Lebih jelas lihat Abu al-Qa>sim Mahmu>d
ibn ‘Umar al-Zamakhshari>>, al-Kassha>f ‘an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzil> wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz 3,(Riya>d}: Maktabah al-‘Abi>ka>n, 1998), 485. Bandingkan juga dengan
Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-A<lu>si> al-Bagda>di>, Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14, 254.
31Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan pentingnya dan keutamaan dakwah dengan
metode al-Mau’iz}ah al-Hasana terdapat dalam QS. Al-Nahl: 125, QS. T{aha: 44, QS. Al-Nisa’:
63, QS. Al-Baqarah: 83. Selain itu, metode qur’ani dengan nasihat yang baik dan lemah
lembut ini juga merupakan metode yang digunakan oleh para Nabi dalam menyampaikan
dakwah mereka. Cerita Nabi Nuh, al-Qur’an jelaskan dalam QS. Al-A’raf: 62. Nabi Hud
dalam QS. A’raf: 68, Nabi S{a>leh dalam QS. A’raf: 79, dan Nabi Syu’aib dalam QS. A’raf: 93.
Baca Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>syi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>s, 22-23. Lihat
juga Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 16. 32
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 48. Abi> ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad
ibn Abi> Bakr al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘i li al-Ah}ka>m al-Qur’an wa al-Muba>yin lima> Tad}a>manah min al-Sunnah wa a>y al-Furqa>n, Juz 12 (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2006), 461.
25
ini bukanlah menjadi suatu permasalahan prinsipil. Sebab produk penafsiran
dari para mufassir hanya bersifat ijtihad dan berupaya mencari hakikat
sebuah artikulasi teks yang diinginkan al-Qur’an terhadap metode al-Mau’iz}ah al-H{asana itu sendiri, dan tidak terfokus hanya kepada makna
etimologisnya semata. Tegasnya produk sebuah penafsiran tentang konsep
dakwa al-Mau’iz}a al-H{asana harus lebih menekaknkan pada aspek metode,
tata cara, dan pendektan berdakwah supaya pesan dakwa disenangi, dengan
upaya untuk lebih mendekatkan dari pada menjauhkan, memudahkan (ya>siru>) dan tidak menyulitkan (la> tu‘a>siru>) mad’u. Singkatnya, metode dakwa
berbasis pada al-Mau’iz}a al-H{asana adalah metode yang memberi pengaruh
dan membangun pemahaman signifikan terhadap sasaran dakwah. Misi
dakwah ini berfungsi untuk memainkan peran ganda dalam menyampaiakan
pesan keagamaan, di satu sisi sebagai seorang da’i dan pada saat bersamaan
sebagai teman dekat yang menyayangi mad’unya, dan mencari segala hal
bermanfaat baginya dan membahagiakannya.33
Namun pendekatan persuasif-komunikatif berbasis al-Mau’iz}ah al-H{asana, masih jauh dari kenyataan yang diharapkan, meskipun telah
disinyalir oleh al-Qur’an. Demikian berdasarkan fakta dan realita empiris
yang terjadi di masyarakat, bahwa konsep dakwah al-Mau’iz}ah al-H{asana
sering kali diabaikan, bahkan tidak menjadi prinsip metode dakwah yang
sarat dengan kelembutan (layyin) dan saling mengasihi (rah}matan).
Kenyataan itu, tidak dapat ditampik bahwa memang fenomena da’i berwajah
garang sering dijumpai ketika menyampaikan pesan dakwah.34
Dengan demikian, al-Mau’iz}a al-H{asana sebagaimana dikatakan oleh
Muhammad Husain Fadlullah adalah yang dapat masuk ke dalam kalbu
dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan.
Tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang, tidak
menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan.35 Sebab kelemah lembutan
dalam menasihati sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan
menjinakkan kalbu yang liar. Bahkan, al-Mau’iz}a al-H{asana lebih mudah
melahirkan kebaiakan ketimbang larangan dan ancaman.
Walaupun terdapat difrensiasi dalam menginterpretasi gagasan pokok
al-Mau’iz}a al-H{asana di antara intelektual Muslim, tetapi secara eksplisit
terdapat persamaan persepsi metode al-Mau’iz}a al-H{asana dengan berpijak
33
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 48.
34Kelompok ini dikenal dengan salafi jihadi dan al-Jama>'ah al-Isla>mi>yah. Mereka ini
mendengung-dengungkan dakwah dengan dalih berjihad di jalan Tuhan, melakukan aksi
kekerasan dan bersifat anarkis, main hakim sendiri dan berlaku radikal. Zulkarnain Haron
Nordin Hussin, ‚A Study on Salafi Jihadist Doctrine and the Interpretation of Jihad by Al
Jama'ah Al Islamiyah‛ dalam Kemanusiaan Vol. 20, No. 2, (2013), 24-31. 35
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 49.
26
pada prinsip egaliter (al-Musa>wa), keadilan (al-‘Ada>lah), toleransi (al-Tasa>muh) dan pluralitas (al-Ta‘a>dudi>yah), yakni menjunjung tinggi nilai-nilai
kebaikan dan menghargai sesama mahluk sosial. Dari beberapa ulasan
tentang paradigma dakwah yang bernuansa al-Mau’iz}a al-H{asana di atas,
maka metode al-Mau’iz}a al-H{asana tersebut dapat diklasifikasi dalam
beberapa varian ide pokok berikut ini:36
a. Nasihat atau petuah. Nasihat adalah pola komunikasi bersifat persuasif
yang dibangun oleh seorang da’i kepada mad’unya (audien). Pola yang
bersifat komunikatif tersebut, biasa dilakukan oleh orang yang levelnya
lebih tinggi kepada yang lebih rendah, meliputi berbagai tingkatan
maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya, lihat
QS. Luqman:13 yang artinya; ‚dan ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya, yaitu memberikan mau’iz}ah kepadanya: hai anakku,
janganlah pernah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah kez}aliman yang amat besar.
b. Bimbingan, pengajaran, pendidikan.
c. Kisah-kisah.
d. Kabar gembira dan peringatan.
e. Wasiat.
Lebih daripada itu, para da’i harus membekali diri dengan sikap
pesuasif, inklusif, interaktif, empati, altruisme dan sikap penuh kasih sayang.
Karena prinsip-prinsip fundamental tersebut, sebagaimana yang dikemukakan
menjadi modal utama bagi seorang da’i untuk meraih kesuksesan dalam
mentranformasikan nilai-nilai agama. Dakwah yang disampaikan dalam
konteks ini dapat menjadi stimulus terhadap kesadaran seseorang agar merasa
dihargai sebagai seorang Muslim. Selain itu, mad’u akan sangat tersentuh,
karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah dapat
membangkitkan semangatnnya untuk menjadi mukmin yang baik.
3. Al-Muja>dalah bi allati hiya Ah}san (Berdebat dengan Cara Baik.)
lafaz al-Mujadalah dari segi etimolgi diambil dari kata ‚jadala‛ yang
bermakna memintal, melilin. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang
mengikuti wazan fa>‘ala ‚ja>dala‛ dapat bermakna berdebat, dan ‚muja>dalah‛
perdebatan.37 Meminjam penjelasan Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>,
dalam bahasa dikatakan ‚jadalahu‛ artinya mendebat dan melawannya.
Sehingga ‚jadal‛ adalah menghadapi argumentasi dengan argumentasi,
36
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 16. Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>s, 21-22.
37Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 175. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 17.
27
sedangkan mujadalah artinya berdebat dan berbantah-bantahan.38 Ada juga
yang berpendapat Kata ‚jadala‛ dapat bermakna menarik tali dan
mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan
menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan
pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.39
Menurut Ali al-Jarisyah sebagaimana dikutip Harjani Hefni, ‚al-Jidal‛ secara etimologi (bahasa) dapat bermakna ‚datang untuk memilih
kebenaran‛ dan apabila berbentuk isim ‚al-jadlu‛ maka berarti ‚pertentangan,
perseteruan atau peselisihan yang tajam‛. Al-Jarisyah menambahkan bahwa,
lafaz ‚al-Jadlu‛ mura>dif dari lafaz ‚al-Qatlu‛ yang bearti sama-sama terjadi
pertentangan, seperti terjadinya perseteruan antara dua orang saling
bertentangan sehingga saling melawan dan salah satu menjadi kalah.40
berkenaan pada kalimat selanjutnya, ‚dan debatlah mereka dengan
cara yang baik‛ dapat dianggap sebagai petunjuk tentang metode konfrontasi
juru dakwah dengan reaksi sasaran dakwah terhadap dakwah yang
disampaikannya.41 Menurut Zamakhshari>42 yang dimaksud dengan al-muja>dalah bi allati hiya ah}san ialah:
تا الطرمة الت ه أحسي طرق الوجادلة هي الرفك و اللي هي غر فظاظة وال تعف
Dari situlah, al-Qur’an melakukan upaya untuk melatih pribadi,
memperluas horizon wawasan pemikiran, serta mengajak da’i untuk keluar
dari belenggu individualistik ekslusif menuju sikap realistis inklusif dalam
interaksi sosial yang lebih luas. Menjauhkan diri dari sifat sombong, dusta,
dengki, hasud dan semua sifat-sifat tercela yang sesungguhnya sangat
membahayakan. Perintah dalam al-Qur’an begitu jelas agar para da’i
mengikuti watak yang penuh sikap toleran, saling menghargai dan
memperhatikan kondisi orang lain, memperhatikan keadaan psikologis dan
intelektual mad’u.43
Al-Qur’an juga menjelaskan, perbedaan dan perdebatan adalah
sesuatu yang wajar dan tidak dapat dihindari. Di sinilah dibutuhkan
kebijaksaan da’i dalam mencermati dan menerima realitas itu, sebagaimana
38
Baca Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila >tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 263.
39Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 16.
40Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 18.
41Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan
Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 49. 42
Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn ‘Umar al-Zamakhshari>>, al-Kassha>f ‘an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzil> wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz 3, 485. Bandingkan juga
dengan Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-A<lu>si> al-Bagda>di>, Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14, 254
43Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-qur’an: Pegangan
Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 50.
28
mereka menerima berbagai hal lainnya dalam konteks hidup bermasyarakat.44
Menurut Yusuf Qardhawi, dalam debat ada dua metode, yaitu metode yang
baik (h}asan) dan metode yang lebih baik (ah}san). Al-Qur’an menerangkan
bahwa salah satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode
dakwah yang lebih baik (ah}san). Debat dengan metode ahsan ini dengan
menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdikusi,
kemudian itu dibahas masalah-masalah perbedaan kedua belah pihak,
sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.45
Berbeda jauh dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Muhammad Ibra>hi>m
al-Juyu>shi, membagikan debat kedalam dua bagian. Pembagian ini merujuk
kepada QS. Al-Nahl: 125 dan QS. Gha>far: 5 (al-Mu’min: 5). Pertama, debat
dengan cara yang baik, yakni debat yang diarahkan untuk menyampaikan
kebenaran dengan cara yang benar dan relevan, seperti yang diperintahkan
Allah dalam QS. Al-Nahl: 125. Adapun kedua, debat dengan cara tercela,
yakni debat yang tidak membawa kepada kebaikan (melenyapkan kebenaran)
dan tidak relevan, seperti termaktub dalam QS. Gha>far: 5 (al-Mu’min: 5).46
Bagi Ibra>hi>m al-Juyu>shi> Dengan sikap seperti itulah akan terjadi
perdebatan dengan metode yang lebih baik. Metode debat seperti itu
merupakan cara praktis yang ideal untuk mencapai cita-cita mulia yang
diharapkan.47 Metode debat lebih menitikberatkan pada pencarian kelemahan
lawan dan menggunakan kekerasan, anarkis dan radikal serta sikap kejam
tidaklah dapat dibenarkan.48 Menggunakan cara-cara tidak arif dan bijaksana
dalam menghadapi orang lain (mad’u), akan menggagalkan metode debat.
Tetapi paling tidak terdapat pelajaran yang bisa diambil, yakni bahwa da’i
harus mengikuti suatu metodologi yang bisa mengesankan obyek dakwah,
dengan cara sebagai teman akrab dalam mencari kebenaran, menumbuhkan
44
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 50.
45Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 123.
46Begitu banyak kata jadal yang berbentuk kalimat dalam al-Qur’an diantaranya QS.
al-Kahfi: 54, QS. al-Anfal: 6, QS. al-Muja>dilah: 1 dan QS. al-Nisa>’: 107. Adapun Ayat-ayat
al-Qur’an yang menjelaskan keutamaan dan pentingnya dakwah dengan metode al-Muja>dalah terdapat dalam QS. al-Nahl: 125, QS. al-Ankabut: 46. Da’wah qur’ani dengan metode debat
juga pernah dilakukan oleh para Nabi, sebagaimana diceritakatan dalam al-Qur’an QS. Hud:
32, QS. al-Baqarah: 258, QS. al-An’am: 25, QS. al-Anbiya>’: 51-71, QS. al-Shu‘ara>’: 70-83
dan QS. Maryam: 41-48. Jejen Musfah, Indeks al-Qur’an Praktis: Dilengkapi Teks Ayat
Lengkap dengan Terjemahannya, (Jakarta: Hikmah, 2007), 107. Muhammad Ibra>hi>m al-
Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th, 30-32. Muhammad Abu> al-Fatah al-
Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 264-266.
47Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th, 32.
48Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan
Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 50.
29
sikap kasih sayang, menghormati dan menghargai pribadi dan pemikirannya.
Dengan begitu, akan tercipta kehidupan yang penuh kedamaian dalam
pergumulan intelektual dengan penuh keakraban, kenyamanan dan
keharmonisan. Dalam kondisi inilah, mad’u tidak merasa tertekan, Bahkan
merasa dihargai dan dimuliakan. Ini dikarenakan, mereka dalam proses
mencari kebenaran bukan mencari menang kalah.
Dari uraian di atas, hemat penulis surah Al-Nahl: 125 menjelaskan
metode dakwah yang sangat komunikatif dan relevan. Dari setiap metode
yang dikemukakan al-Qur’an telah jelas harus kepada siapa metode itu
digunakan. Hal ini sebagaimana menurut Imam Nawa>wi;49
Manusia terbagi atas tiga golongan. Pertama kelompok cerdik-cendikiawan
yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus
dihadapi dengan h}ikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan h{ujjah yang
dapat diterima oleh kekuatan akal mereka. Kedua, kelompok masyarakat
yang punya intelektual tinggi tetapi belum sampai ke batas/tahap
kesempurnaan dan belum turun ke batas kekurangan, mereka ini dipanggil
dengan mau’iz}ah al-hasanah, dengan ajaran dan didikan yang baik-baik,
dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami. Ketiga, kelompok masyarakat
yang wataknya menentang dan membangkang karena belum mempunyai
pendirian tentang agama, dan belum punya sifat percaya. Mereka ini
dipanggil dengan muja>dalah bi al-lati hiya ah}san, yakni dengan bertukar
pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat. Dalam hal ini metode
muja>dalah bi al-lati hiya ah}san di gunakan untuk berdakwah kepada para ahli
kitab.
2. Perkembangan Metode Dakwah
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah
untuk menyampaikan ajaran materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan
suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Hal ini dikarenakan
suatu pesan, walaupun baik tapi jika disampaikan lewat metode yang tidak
benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan.50 Dalam tugas
penyampaian dakwah Islamiyah, seorang da’i sebagai subjek dakwah
49
Lihat al-Nawa>wi al-Jawwi, Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r, juz 1,
(Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Ara>biah, t.t), 469. Bandingkan juga Sulaiman ibn Umar
al-‘A>ji>li al-Sya>fi>‘i, Tafsir al-Jamal ‘Ala al-Jalalain, juz 2 (Singapura: Maktabah wa Matba‘ah
Sulaiman Mar‘i, t.t), 606. 50
M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006),
33.
30
memerlukan seperangkat pengetahuan dan kecakapan dalam bidang metode.
Dengan mengetahui metode dakwah, penyampaian dakwah dapat mengena
sasaran, dan dakwah dapat diterima oleh mad’u (objek) dengan mudah karena
penggunaan motode yang tepat sasaran.
Seorang da’i dalam menentukan metode dakwahnya sangat
memerlukan pengetahuan dan kecakapan di bidang metodologi. Selain itu,
pola berpikir dengan pendekatan sistem (approach system), di mana dakwah
merupakan suatu sistem, dan metodologi merupakan salah satu dimensinya,
maka metodologi mempunyai peranan dan kedudukan yang sejajar dan
sederajat dengan unsur-unsur lainnya seperti tujuan dakwah, objek dakwah,
subjek dakwah maupun kelengkapan dakwah lainnya. Dengan menguasai
metode dakwah, maka pesan-pesan dakwah yang disampaikan seorang da’i
kepada mad’u sebagai penerima atau objek dakwah akan mudah dicerna dan
diterima dengan baik.51
Masyarakat pada umumnya mengenal dakwah dengan sebutan,
dakwah bi al-lisan (ucapan), dakwah bi al-h}al (perbuatan), dan dakwah bi al-kitabah atau bi al-qalam (tulisan). Dalam perkembangan dakwah selanjutnya,
tiga metode dasar tersebut dikembangkan lagi oleh pakar dakwah menjadi
beberapa metode: Dr. Zaid Abdul Karim membaginya menjadi empat macam
metode dakwah, yaitu: dakwah dengan hikmah, dakwah dengan pelajaran
yang baik, dakwah dengan mendebat secara baik, dakwah dengan tidak harus
mendebat dengan cara yang paling baik.52
Tidak jauh berbeda, menurut Slamet Muhaimin Abda metode dakwah
ada empat macam. Pertama, metode dari segi cara, yaitu: tradisional
(ceramah) dan modern (diskusi dan seminar). Kedua, metode dari segi jumlah
audien, yaitu: dakwah perorangan dan dakwah kelompok. Ketiga, metode
dari segi cara penyampaian, yaitu: cara langsung (tatap muka) dan cara tidak
langsung (dengan bantuan korespondensi, penerbitan, televisi, radio).
Keempat, metode dari segi penyampaian isi, yaitu: cara serentak dan cara
bertahap.53
Munzier Suparta dan Harjani Hefni membaginya menjadi tujuh
metode dakwah, yaitu: uswah h}asanah, nasehat, tabsyir wa tandzir (kabar
gembira dan peringatan), wasiat, kisah, al-hiwar (dialog), dan as-ilah wa ajwibah (tanya jawab).54 Selain itu, Syamsul Munir Amin membaginya
menjadi tujuh macam metode dakwah, yaitu: ceramah, tanya jawab, diskusi,
propaganda, keteladanan, drama, dan silarurrahim.55 M. Quraish Shihab
51
M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah, 33-34. 52
Zaid Abdul Karim, Dakwah Bil-Hikmah, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1993), 33. 53
Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1994), 80-87. 54
Harjani Hefni dk, Metode Dakwah, 99-344. 55
Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 101-105.
31
membaginya menjadi lima metode dakwah, yaitu: ceramah, diskusi,
bimbingan dan penyuluhan, nasehat, dan panutan.56
Adapun menurut Asep Syamsul M. Romli istilah dakwah bi al-qalam
mungkin masih terasa asing di telinga banyak orang, tidak seperti dakwah bi al-lisan dan dakwah bi al-hal. Penggunaan nama ‚qalam‛ merujuk pada
firman Allah SWT, surah al-Qalam ayat 1 ‚Nun, perhatikanlah al-Qalam dan
apa yang dituliskannya‛. Karena menyangkut tulisan, dakwah bi al-qalam
bisa diidentikkan dengan istilah dakwah bi al-kita>bah (dakwah melalui
tulisan).57
Dari berbagai macam metode dakwah yang dikemukakan oleh pakar
dakwah di atas, dapat dikategorikan ke dalam beberapa metode, yaitu:
a. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah metode yang dilakukan dengan maksud untuk
menyampaikan keterangan, petunjuk, pengertian, dan penjelasan
tentang sesuatu kepada pendengar dengan menggunakan lisan.58
Sementara itu Enjang dan Aliyudin menyebut metode ceramah
dengan metode muha>darah.59 Menurut Quraish Shihab: ‚sampai saat
ini, kenyataan menunjukkan bahwa metode ceramah masih
merupakan metode yang paling banyak dilakukan. Dalam metode ini,
penampilan merupakan faktor pertama yang dapat menentukan sukses
atau tidaknya dakwah‛.60
b. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah metode yang dilakukan dengan
menggunakan tanya jawab untuk mengetahui sampai sejauh mana
ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai
materi dakwah, di samping itu juga untuk merangsang perhatian
penerima dakwah.61 Menurut Munzier Suparta dan Harjani Hefni
metode ini termasuk dari pengembangan dakwah bi al-Muja>dalah.
Kesan yang ditimbulkan melalui metode tanya jawab ini lebih kuat
bila dibandingkan hanya dengan berkomunikasi satu arah (one way communication).62
c. Metode Kisah
Kisah adalah salah satu kesenangan yang akan dapat langsung
menembus relung hati. Sayyid Qutub mengatakan: ‚Tidak dapat
56
M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan. 2000), 194. 57
Asep Syamsul dan M. Romli, Jurnalistik Dakwah, Visi dan Misi Dakwah Bilqolam, 21.
58Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 101.
59Enjang dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjajaran,
2009), 86. 60
M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an, 194 61
Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 102. 62
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 335.
32
dipungkiri bahwa kisah adalah salah satu metode untuk
menyampaikan hakikat kebenaran ke dalam hati. Tampilan hidup dan
menyelinap masuk kepada hati yang dalam, karena isi cerita adalah
suatu yang pernah terjadi dalam sejarah perjalanan umat manusia‛.
Metode termasuk dari bagian metode dakwah al-Mauidzatil Hasanah.63 Kisah-kisah penuh hikmah akan senantiasa menggugah
hati setiap orang. Tidak banyak orang menyadari bahwa
sesungguhnya kisah-kisah hikmah merupakan media yang sangat
efektif dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan keagamaan.
Bahkan, bisa jadi kisah-kisah hikmah akan jauh lebih efektif dalam
membentuk karakter dan kesadaran seseorang, ketimbang ajaran-
ajaran moral yang disajikan secara kaku dan tekstual.64
d. Metode Munazarat (debat)
Debat sering dimaksudkan sebagai pertukaran pikiran dan
argumentasi (gagasan, pendapat) antara sejumlah orang secara lisan
membahas suatu masalah tertentu yang dilaksanakan dengan teratur
dan bertujuan untuk memperoleh kebenaran.65 Adapun Munzier
Suparta dan Harjani Hefni menyebut metode ini dengan metode al-hiwar.66
e. Metode Keteladanan
Dakwah dengan menggunakan metode keteladanan atau demontrasi
berarti suatu cara penyajian dakwah dengan memberikan keteladanan
langsung sehingga mad’u akan tertarik untuk mengikuti kepada apa
yang dicontohkannya.67 Akhlak yang mulia merupakan suatu yang
mutlak dimiliki oleh da’i dalam mengembankan misi menyeru
manusia ke jalan Tuhan, urgensi akhlak yang mulia bagi seorang juru
dakwah adalah bahwa sebelum seorang da’i menyampaikan materi
dakwahnya, pandangan mad’u tertuju pada apa yang dilihat dan
didengar dari sifat dan karakter pribadinya.68 Dengan demikian,
mad’u akan simpatik dengan sikap dan prilaku da’i yang seperti ini,
memuliakan dan menghormatinya lantaran suci hatinya, bersih
jiwanya, halus budi pekertinya, bijak akal pikirannya, dan tepat
wawasan penalarannya.
63
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 301. 64
Fathul Bahri An-Nabiri, Meniti Jalan Dakwah, Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: Amzah, 2008), 101.
65Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 102.
66Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 315.
67Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 103.
68Faizah dan Lalu Muchsin Efendi, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenada Media,
2006), 194.
33
f. Metode Silaturahim (home visit) Dakwah dengan menggunakan metode home visit atau silaturahim,
yaitu dakwah yang dilakukan dengan mengadakan kunjungan kepada
suatu objek tertentu dalam rangka menyampaikan isi dakwah kepada
penerima dakwah.69
g. Metode Propaganda (di’ayah)
Metode propaganda adalah suatu upaya untuk menyiarkan Islam
dengan cara mempengaruhi, membujuk massa secara massal dan
persuasif, kegiatannya dapat disalurkan melalui pengajian akbar.70
h. Metode Mukatabat (tulisan)
Metode mukatabat adalah metode dakwah yang dilakukan melalui
tulisan-tulisan, kemudian tulisan-tulisan tersebut di sebarluaskan ke
khalayak ramai. Kata Ali bin Abi Thalib ‚Tulisan adalah temannya
para ulama‛. Kemampuan menulis telah menjadikan seorang Imam
Al-Ghazali dapat mewariskan ilmunya lewat Ihya ‘ulumuddin dan
kitabnya yang lain, Hasan Al-Bana, Abul A’la Al-Maududi, dan
Quraish Shihab menggelorakan semangat kebangkitan Islam lewat
artikel dan buku-buku mereka. Keunggulan dakwah bi al-Kitabah
dibandingkan format dakwah bentuk lain adalah sifat objeknya yang
massif dan cakupannya yang luas. Pesan dakwah bi al-Kitabah dapat
diterima oleh ratusan, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang
pembaca dalam waktu yang hampir bersamaan.71
Topik dan metode dakwah harus berbeda-beda berdasarkan orang
yang di dakwahi, dari sini akan terlihat kecakapan dan kecerdikan da’i dalam
mencari kesesuaian antara orang yang didakwahi dan risalah yang
disampaikan.72 Jika dalam kegiatan dakwah, metode berfungsi sebagai cara
berdakwah, maka pendekatan berfungsi sebagai alat bantu agar penggunaan
metode tersebut mengalami kemudahan dan keberhasilan. Selain metode,
pendekatan menempati posisi yang berarti untuk memantapkan penggunaan
metode tersebut dalam proses dakwah. Pendekatan dakwah adalah titik tolak
atau sudut pandang kita terhadap proses dakwah, umumnya penentuan
pendekatan didasarkan pada mitra dakwah dan suasana yang melingkupinya.
Sjahudi Saradj menyatakan, tiga pendekatan dakwah, yaitu pendekatan
budaya, pendekatan pendidikan, dan pendekatan psikologis.73
Hal yang sama dikemukakan oleh Toto Tasmara, menurutnya
pendekatan dakwah adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang mubaligh
69
Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 104. 70
Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 104. 71
Asep Syamsul dan M. Romli, Jurnalistik Dakwah, 23-25. 72
Zaid Abdul Karim, Dakwah Bil-Hikmah, 41. 73
Moh, Ali Aziz, Ilmu dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2009), 347.
34
(komunikator) untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan
kasih sayang. Dengan kata lain pendekatan dakwah harus bertumpu pada
suatu pandangan human oriented dengan menempatkan penghargaan yang
mulia atas diri manusia.74
Penjelasan lebih komprehensif dikemukan oleh Samsul Munir Amin.
menurut Samsul Munir Amin Pendekatan dakwah yang seharusnya dipahami
dan dikembangkan oleh para da’i, meliputi:75 Pertama, pendekatan edukatif
(pendidikan), yaitu pendekatan yang dilakukan da’i melalui pendidikan.
Dengan pendekatan edukatif ini subjek dakwah akan mudah menjalankan
aktivitas dakwah, terutama dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
ajaran-ajaran Islam, baik kepada kelompok anak-anak, remaja, atau kepada
orang dewasa sebagai sasaran dakwah. Kedua, pendekaktan sosiologis, yaitu
pendekatan di mana seorang da’i dalam berdakwah memperhatikan situasi
dan kondisi sosial masyarakat sebagai objek dakwah. Ketiga, pendekatan
psikologis, yaitu pendekatan dakwah di mana seorang da’i harus mengetahui
kondisi psikis objek dakwah sehingga materi dakwah tepat mengena sasaran.
Keempat, pendekatan komunikasi, yaitu pendekatan di mana para da’i harus
mampu berinteraksi dengan objek dakwah.
3. Dakwah Nabawi
Para Nabi dan Rasul memiliki satu kesamaan, yaitu manusia-manusia
pilihan, walaupun di antara mereka memiliki derajat yang berbeda-beda. Zat
Allah ber-tajalli pada mereka. Selain itu juga Allah mendidik, mengayomi
dan memberi mereka keunggulan di atas seluruh mahluk semesta alam.
Tujuan dari diutusnya para Nabi dan Rasul adalah penghambaan diri kepada
Allah (al-‘Ubu>di>yah). Lebih spesifik lagi, tujuan mendasar dari diciptakannya
manusia adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan menunaikan
kewajiban kepada-Nya dengan cara yang benar.76
Kisah-kisah para Nabi dan Rasul mendapatkan porsi yang sangat
besar dalam al-Qur’an, yakni termuat pada lebih dari 50 surah dalam al-
Qur’an.77 Sejarah dakwah masa ini, dimulai dengan dakwah Nuh As, seorang
74
Moh, Ali Aziz, Ilmu dakwah, 347. 75
Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 48- 49. 76
Secara terperinci al-Qur’an menjelaskan alasan diciptakannya jin dan manusia, dan
apa tujuan diutus para Nabi dan Rasul. Seperti dalam ayat: ‚Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku‛ (QS. al-Dza>riya>t: 56), dan dalam ayat:
‚Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku‛. (QS. al-anbiya>’: 25. Lihat juga dalam QS. al-Nahl: 36. Muhammad
Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, terj. Awirkhan
Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007), 55-56. 77
Mahmud Abdul Latif, Pengemban Dakwah: Kewajiban dan Sifat-sifatnya, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 56.
35
Rasul pertama yang dakwah dan risalahnya diceritakan al-Qur’an dalam QS.
al-A’raf: 59. Lebih terperinci lagi dakwah Nuh As, ini, di abadikan dalam
salah satu surah al-Qur’an yang dikenal dengan QS. Nuh. Dalam surah ini
dipaparkan secara jelas cara-cara Nabi Nuh dalam berdakwah, yaitu secara
kontinuitas, berangsur-angsur, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, serta
kesabaran beliau atas kaumnya. Setelah Nuh As, datang Hud As untuk
melanjutkan dakwah Nuh As. Setelah Hud As, datang Saleh As melanjutkan
perjuangan Hud untuk menyebarkan dakwah. Setelah Saleh As, Allah juga
mengutus Ibrahim78 yang dikenal dengan sebutan bapaknya para Nabi, untuk
meneruskan apa yang dulu pernah dilakukan Saleh. Setelah Ibrahim Allah
kemudian mengutus Luth, Yusuf, S{u’aib, Musa, Daud, Sulaiman dan Isa.79
Kisah Nabi Isa merupakan risalah terakhir, hingga akhirnya Allah mengutus
penutup para Nabi dan Rasul, Muhhammad Saw.80
Terdapat perbedaan signifikan diutusnya Rasulullah Saw. diantara
para Rasul dan Nabi yang lain. Beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam (Rahmatan li al-‘A<lamin) dan sekaligus mengemban tanggung
jawab untuk berdakwah kepada segenap umat manusia dan jin menuju
penghambaan diri kepada Allah.81 Wahyu pertama yang diturunkan Allah
kepada Muhammad adalah QS. al-‘Alaq: 1-5. Menurut pendapat yang kuat,
setelah lima ayat tersebut turun wahyu kepada Rasul berhenti selama 40 hari.
Kemudian setelah melewati masa 40 hari barulah turun wahyu berikutnya
78
Ayat-ayat yang menceritakan dakwah Nuh tercantum dalam (QS. al-A’ra>f: 59, QS.
al-Ankabu>t: 14, QS. al-Shu’ara>’: 117-118 dan QS. Hu>d: 36-37). Dakwah Hud diantaranya
terdapat dalam (QS. al-A’ra>f: 65-72. QS. Hud: 53-58, QS. al-Mu’minu>n: 39-40, dan QS. al-
Ha>qqah: 6-8). Dakwah Saleh diceritakan dalam (QS. Hu>d: 61-68, QS. al-A’ra>f: 77). Nabi
Ibrahim terdapat dalam (QS. al-Shu’ara>’: 69-70 dan 71-79, QS. al-An’a>m: 74-83, QS. al-
Baqarah: 258. QS. al-Anbiya>’: 51-52 dan QS. al-Ankabu>t:26). 79
Setelah Ibrahim As, datang Luth, tatacara dakwahnya diabadikan dalam al-Qur’an
(QS. al-A’ra>f: 80-84, QS. al-Hijr: 51-76 dan QS. Hu>d: 78-82). Kemudian Yusuf, (QS. al-
Mu’min: 34 dan QS. Yu>suf: 111). Setelah Yusuf, Allah mengutus S{u’aib, (QS. al-A’ra>f: 85-
88, QS. Hu>d: 87-90 dan 94-95, QS. al-Shu’ara>’: 176-178 dan 185-190). Kemudian Allah
mengutus Musa, (QS. T{a>ha: 43-44, 49-54, 57-59, 60-64, 70-71, 72-76 dan 77-79, QS. al-
Qas}as}: 29-35 dan 36-40, QS. al-Shu’ara>’: 18-21, QS. al-Baqarah: 51-74, QS. al-A’ra>f: 130-
135). Nabi Daud, (Qs. al-Nisa>’: 163, QS. S{a>d: 17-20, QS. Saba’: 10, QS. al-Anbiya>’: 79).
Nabi Sulaiman, (QS. Saba’:12-14, QS. S{a>d: 37-42). Nabi Isa, (QS. Ali ‘Imra>n: 49, 59, dan 50-
53. QS. al-Ma>’idah: 46 dan 112-115, QS, al-S{aff: 6, QS. al-Nisa>’:159 dan QS. al-An’a>m: 90). 80
Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 69. Sibba>m al-S{iba>gh, al-Da’wah wa al-Da‘a>h baina al-Wa>qi‘ wa al-Hadaf wa Mujtama‘a>t ‘Arabi>yah Mu‘a>s}irah, (Damaskus: Da>r
al-Ima>n, 2000), 34-35. 81
Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>ni>yah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, 56-57.
36
melalui QS. al-Muddatstsir: 1-7. Dengan turunya dua ayat tersebut,
Rasulullah memulai dakwah secara rahasia.82
Dakwah ini, dimulai dengan berdakwah di kalangan keluarga
terdekatnya, langkah-langkah strategis pun dilakukan beliau untuk
mengembangkan dakwahnya. Menurut Murodi, langkah pertama yang
dilakukan adalah berdakwah secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di
kalangan rekan-rekannya. Hal itu dilakukan karena selain perintah Allah,
secara real Rasulullah belum mempunyai pengikut yang membantunya untuk
menyebarkan ajaran Islam. Namun, beliau terus berusaha menjalankan ajaran
Islam kepada keluarga dan kawan dekatnya. Karena itulah, orang yang
pertama menerima dakwahnya adalah keluarga dan para sahabat dekatnya.
Mula-mula istrinya, Siti Khadijah menerima ajakan tersebut, lalu pamannya
yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian sahabat karibnya Abu Bakar, kemudian
zayd bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya dan Ummu Aiman,
seorang pengasuh nabi Muhammad sejak ibunya Siti Aminah masih hidup.83
Di antara sahabat dekat Rasul yang berhasil mengajak karibnya untuk
menerima dakwah Islam adalah Abu Bakar. Abu Bakar dikenal sebagai
seorang pedagang yang amat luas pergaulannya. Melalui Abu Bakar banyak
orang yang masuk Islam di antaranya Utsman bin Affan al-Umawi, Zubair
bin Awwam, Abdurrahman ibn ‘Auf al-Zuhri, Sa’ad bin Abi Waqqash al-
Zuhri, Thalhah bin Ubaidillah al-Taimi, Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, al-
Arqam bin Abi al-Arqam dan beberapa penduduk Makkah lainnya dari
kabilah Quraisy, mereka langsung dibawa Abu Bakar ke hadapan Nabi
Muhammad saw dan menyatakan keislamannya.84
Selain mereka, terdapat beberapa orang yang menyatakan sebagai
Muslim. Dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Assabiquna al-Awwalun, yakni orang-orang yang pertama memeluk Islam. seperti Salman
bin Abd al-Asad al-Makhzumi dan dua orang saudaranya Qudamah dan
Abdullah, Bilal bin Rabah al-Habsyi, Abu ‘Ubaidah Amri bin Jarrah dari bani
al-Harits bin Fihr, Ubaidah bin al-Harits bin Abd Muthalib bin Abd Manaf,
Sa’id bin Zaid al-Adawi dan istrinya yaitu Fathimah binti al-Khattab al-
82
Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), 31-32. 83
Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, (Jakarta: Kencana, 2013), 61. Lebih jelas baca Abi>
Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham al-Ma‘a>firi >, al-Si>rah al-Nabawi>yah li ibn Hisham,
Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, Juz 1, (Kairo: Da>r al-Ghad al-Jadi>d al-Mans}u>rah, 2007), 125-
129. 84
Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, 62. Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 76. Abi>
Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham al-Ma‘a >firi>, al-Si>rah al-Nabawi>yah li ibn Hisham,
Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, Juz 1, 130.
37
Adawiyah (saudara Umar bin Al-Khattab), Khabbab bin al-Art, Abdullah bin
Mas’ud al-Hudzail.85 Menurut Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, setelah diteliti
dan di telaah , sesunguhnya jumlah mereka yang juga dikenal dengan sebutan
Qadi>m al-Isla>m mencapai sekitar 130 sahabat, kendati demikian tidak di
ketahui secara pasti apakah mereka masuk Islam sebelumfase dakwah secara
terbuka atau setelah fase tersebut.86
Setelah tiga tahun Rasulullah melakukan dakwah secara rahasia,
turunlah perintah Allah agar beliau melakukan dakwah secara terbuka di
hadapan masyarakat umum.87 Langkah pertama yang dilakukan nabi
Muhammad saw dalam berdakwah secara terbuka adalah mengundang dan
menyeru kerabat dekatnya dari bani Muthalib. Kemudian Rasulullah
mengumpulkan mereka dan mengajak mereka untuk masuk Islam akan tetapi
semuanya menolak kecuali Ali ibn Abi Thalib. Langkah dakwah seterusnya
yang dilakukan nabi Muhammad saw adalah menyeru masyarakat umum.
Nabi mulai menyeru ke segenap lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat
bangsawan hingga hamba sahaya. Mula-mula Rasul menyeru penduduk
Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Pertemuan dengan penduduk
Mekkah dilakukan di bukit Shafa, Dalam pertemuan itu nabi Muhammad
menjelaskan bahwa ia diutus oleh Allah untuk mengajak mereka menyembah
Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Masyarakat Quraisy
mendustakan Nabi dan menolak ajakannya untuk masuk Islam, di antara yang
mendustakan itu adalah Abu Lahab dan istrinya. Akan tetapi meskipun
begitu, Rasulullah terus berdakwah tanpa memperdulikan ejekan dan
gangguan yang ditujukan kepadanya dan para sahabatnya yang lain. Bahkan
beliau terus berusaha dan berjuang untuk menegakkan risalah Allah itu di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Arab dan aktifitas dakwah Rasulullah
semakin sering dan tegas.88
Seperti dakwah pada umumnya, dakwah Nabi mempunyai
karakteristik. Sebagaimana menurut Ali Mustafa Yaqub, karakteristik
dakwah Nabi saw atau sikap-sikap beliau dalam menjalankan dakwah antara
lain adalah:
85
Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, 62.
86Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah al-
Nabawi>yah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m, (Mesir: Da>r al-Wafa’, 2010), 81. 87
ayat yang menerangkan dakwah secara terang-terangan ‚maka sampaikanlah
olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari
orang-orang yang musyrik (QS. al-Hijr: 94). 88
Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, 62-65. Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 77-
78. Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah al-Nabawi>yah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m, 83-85.
38
a. Memberikan peringatan (al-Inzar) al-Inzar adalah penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan
terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala
konsekuensinya. al-Inzar ini sering dibarengi dengan ancaman hukuman
bagi orang-orang yang tidak mengerjakan perintah Allah dan Rasul-
Nya. Al-Qurán banyak menjelaskan Nabi Muhammad saw, begitu pula
nabi-nabi sebelumnya, sebagai nazir atau munzir, yang berarti orang
yang memberikan peringatan. Al-Qur’an juga menyebutkan mereka
sebagai bashir atau mubashshir, yaitu orang yang memberikan kabar
gembira. Al-inzar dalam dakwah ini umumnya ditujukan kepada orang-
orang kafir, atau orang-orang muslim yang masih suka berbuat
maksiat.89
b. Menggembirakan (al-Tabsyir) Al-Tabsyir adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang
menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah. predikat
bashir atau mubashshir ini lebih sedikit disebutkan dalam Al-Qur’an di
antaranya karena:
1) Bahwa dakwah yang dilakukan nabi saw dan para nabi sebelumnya
lebih banyak bercorak inzar daripada munzir. 2) Tipologi orang-orang yang perlu mendapatkan indzar jauh lebih
banyak daripada tipologi orang-orang yang layak mendapatkan
tabshir. 3) Pendekatan dakwah dengan corak inzar ini ditempuh karena pada
dasarnya manusia itu sudah memiliki ‘keimanan dasar’ atau disebut
dengan ‘tauhid rububiyah’ dimana secara fitrah semua manusia, baik
yang mukmin maupun yang kafir mengakui adanya pencipta alam
raya ini. Bahkan iblispun mengakui bahwa ia diciptakan oleh Allah
swt.90
c. Kasih sayang dan lemah lembut (al-Rifq wa al-Lin)
Di antara karakteristik dakwah nabi saw, beliau dalam menjalankan
dakwah bersikap kasih sayang dan lemah lembut. Sikap ini beliau
lakukan terutama apabila beliau menghadapi orang-orang yang tingkat
budayanya masih rendah.91
d. Memberikan kemudahan (al-Taisir) Agama Islam, didakwahkan nabi Muhammad saw sarat dengan
kemudahan-kemudahan. Banyak aturan-aturan di dalamnya yang oleh
sementara orang dianggap menyulitkan, ternyata tidak demikian.
Orang yang tidak dapat menjalankan shalat dengan berdiri, ia boleh
89
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 2000), 49-50. 90
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 50-51. 91
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 52.
39
shalat dengan duduk. Apabila shalat dengan dudukpun tidak dapat,
maka ia boleh shalat dengan berbaring. Begitu pula dalam hal bersuci,
apabila ia tidak mendapatkan air, atau secara medis dilarang
menggunakan air, ia boleh bersuci dengan tayammum. Islam mengenal
adanya dispensasi (rukhshah), yaitu kemudahan-kemudahan yang
diperoleh karena adanya sebab-sebab tertentu.92
e. Tegas dan keras (al-syiddah)
Di samping sikap-sikap yang lemah lembut dan tidak mempersulit,
pada saat-saat tertentu Nabi saw juga menunjukkan sikap yang tegas
dan keras. Sikap seperti ini biasanya beliau perlihatkan dalam hal-hal
yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah, hak Allah, misalnya di
mana orang-orang musyrikin Makkah pernah mengajak nabi untuk
melakukan kompromi dalam peribadatan. Beliau dengan tegas
menolaknya seraya membacakan ayat-ayat surah al-kafirun yang baru
diturunkan kepada beliau. Dan dalam masalah di mana seorang sahabat,
misalnya masih mau melanggar larangan padahal ia sudah mengetahui
hal itu.93
f. Sarat dengan tantangan dan ujian (al-Tahaddiyat) Dakwah dan tantangannya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Tantangan-tantangan ini terkadang berupa hambatan-
hambatan dakwah baik internal maupun eksternal yang sering
berbentuk ujian-ujian hidup bagi pelaku dakwah itu sendiri. Adapun
ujian internal di antaranya adalah ujian perjalanan kehidupan pribadi
nabi, misalnya kisah kehidupan nabi saw yg memilukan ketika harus
terlahir sebagai anak yatim kemudian disusul dengan meninggalnya
ibunya ketika berusia enam tahun serta ujian-ujian yang lain yeng
mengiringi pejalanan kehidupan pribadi nabi saw. sedangkan ujian
eksternal misalnya, teror orang-orang musyrikin quraisy terhadap nabi
saw bahkan mencoba ingin membunuh nabi saw. Dan sebagai insan-
insan dakwah, para nabi justru yang paling parah menghadapi ujian-
ujian hidup. Hal ini dituturkan sendiri oleh nabi saw ketika menjawab
pertanyaan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, ‚siapakah orang yang
paling pedih ujian hidupnya di dunia ini?‛ beliau menjawab, ‚para nabi,
kemudian orang-orang yang tingkatannya mendekati nabi, dan
seterusnya‛.94
g. Ofensif dan aktif (hujumi wa fa’ali) Dakwah adalah upaya yang bersifat ofensif karena ia memulai
perbuatan lebih dahulu. Ia tidak bersifat difensif (bertahan) yang hanya
berbuat apabila ada orang lain yang memulai. Dakwah juga bersifat
92
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 53-54. 93
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 55. 94
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 57.
40
aktif, karena ia merupakan upaya persuasif yang berusaha untuk
meyakinkan pihak lain agar mau mengikuti isi dakwah tersebut.95
Dari beberapa gambaran di atas, dakwah yang dijalankam Nabi
menunjukkan ajaran Islam yang seutuhnya. selain itu, praktik dakwah
Muhammad96 mengajarkan dakwah harus disebarkan secara bijaksana melalui
pendekatan, tindakan yang baik dan sistematis (manajemen yang tepat).
B. Pesan Dakwah
Dalam berdakwah, selain metode dakwah ada juga unsur penting
yang tidak bisa dipisahkan dari proses kegiatan dakwah, yakni al-Ma>ddah atau materi dakwah (pesan).97 Pesan merupakan sekumpulan lambang.
Lambang-lambang itu bersifat verbal dan nonverbal. Kata-kata yang
diucapkan dengan volak disebut verbal vokal. Lebih jauh lagi Wilbur
Schramm melihat pesan sebagai tanda esensial yang harus dikenal oleh
komunikan.98 Atas dasar tersebut maka pesan yang akan dikirimkan harus
dipersiapkan dengan baik agar bermakna.
Lebih jauh lagi, diperlukan strategi dan perencanaan komunikasi yang
bertujuan untuk mengidentifikasi isi pesan. Ada beberapa jenis pesan, antara
lain: informational messege (pesan yang mengandung informasi),
instructional message (pesan yang mengandung perintah), dan motivational message (pesan yang berusaha mendorong).99
Ada begitu banyak pesan yang diwakili oleh lambang kata-kata,
namun ada pula pesan yang diwakili oleh gerakan anggota badan, bunyi, dan
bau, semua lambang itu harus diinterpretasi. Lain dari itu pesan yang
memenuhi syarat adalah: pertama, pesan yang dirancang dan disampaikan
sedemikian rupa sehingga menarik perhatian komunikan. Kedua, pesan yang
menggunakan lambang-lambang, yang mana lambang itu berkaitan dengan
pengalaman yang samar antar komunikator dan komunikan. Ketiga, pesan
yang membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan, serta menyarankan cara-
cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Keempat, pesan yang
meyarankan langkah-langkah yang disesuaikan dengan situasi kelompok
komunikan.100
95
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 62. 96
Abdul Ghafar HJ. Don Jaffary Awang, ‚Knowledge management and its Impact on
Islamic Da’wah: A Historical Perspective‛, dalam Journal of Islamic and Arabic Education. 1
(2), 2009. 63. http://journalarticle.ukm.my/770/1/10_1.pdf. (diakses: 21 Desember, 2013). 97
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran
(Jakarta: Paramadina 2004), 46. 98
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003) 19. 99
Alo Liliweri, M.S, Komunikasi Antarpribadi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997)
20. 100
Alo Liliweri, M.S, Komunikasi Antarpribadi. 20-21
41
Penyajian pesan juga dapat menetukan berhasil atau tidaknya upaya
komunikasi yang dilancarkan seseorang kepada orang lain atau kepada
kelompok dan organisasi. Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut
‚the condition of success in comunication‛ yakni kondisi yang harus dipenuhi
jika menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang
dikehendaki,101 antara lain:
a. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga
dapat menarik perhatian komunikan.
b. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada
pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga
sama-sama mengerti.
c. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan
menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
d. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan
tadi yang layak bagi situasi kelompok di mana komunikan berada
pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang
dikehendaki.102
Tidak jauh berbeda dengan Wilbur Schramm, Reardon
mengemukakan untuk menyusun pesan perlu diperhatikan tiga faktor, yaitu;
tatabahasa, mengetahui dan mengenal orang lain, dan mengetahui situasi.103
Selaras dengan faktor-faktor dalam penyususan pesan, agar komunikasi
efektif, maka hendaklah proses penyandian oleh komunikator harus bertautan
dengan proses pengawasandian oleh komunikan.104
Materi (al-Ma>ddah) dakwah adalah masalah isi pesan yang
disampaikan da’i kepada mad’u, pada dasarnya bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits sebagai sumber utama yang meliputi akidah, syari’ah dan akhlak.105
Hal yang perlu disadari adalah bahwa ajaran yang diajarkan itu bukanlah
semata-mata hanya berkaitan dengan eksistensi dan wujud Tuhan semata,
namun lebih dari itu, ajaran yang diajarkan ialah berupa upaya menumbuhkan
kesadaran mendalam agar mampu memanifestasikan akidah (keimanan),
syari’ah (keislaman) dan akhlak (budi pekerti) dalam ucapan, pikiran, dan
tindakan dalam kehidupan bermasyarakat.106 Hal ini dikarenakan, akidah
yang benar menjadi dasar bagi ibadah yang benar, adapun ibadah yang benar
menjadi dasar bagi akhlak individual maupun akhlak sosial yang baik dan
benar.
101
Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007) 64. 102
Onong Uchjana Effendy, Dimensi-Dimensi Komunikasi (Bandung: Alumni, 1981)
37. 103
Alo Liliweri, M.S, Komunikasi Antarpribadi. 22 104
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 19 105
Nurul Badruttaman, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher , 109. 106
Nurul Badruttaman, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, 109-110.
42
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Menurut Safrodin
Halimi yang mengutip pendapat Abdul Halim Mahmud mengemukakan
bahwa, ada tiga unsur ajaran Islam sebagai materi dakwah yang harus
disampaikan oleh da’i dalam berdakwah, yakni akidah, ibadah dan akhlak.107
Dari uraian di atas dapat dipahami ketiga aspek tersebut merupakan pondasi
yang paling pokok dalam Islam.
C. Etika Dakwah
Hidup di era globalisasi, ditandai dengan revolusi informasi, dari hal
inilah, diperlukan arahan (guidance) moral dan etika yang bersumber dari
agama. Arahan yang langsung berasal dari Tuhan ini akan mendorong suatu
bangsa hidup sejahtera dan bahagia dalam baldatun t}ayyibatun warabbun ghafu>r.108 Dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara, manusia dipandang
sebagai satu-satunya makhluk bermoral, yakni makhluk makhluk yang dapat
dilatakan baik dan buruk. Lebih jauh menurutnya orang yang baik adalah
orang yang memfokuskan dirinya untuk meraih tujuan penciptaannya.
Adapun orang yang membiarkan dirinya terhalang untuk meraih tujuan
penciptaannya dikatakan orang yang jahat.109 Kedudukan etika dalam
kehidupan manusia menempati kedudukan yang penting, sebagai individu
maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh dan bangunnya suatu
masyarakat tergantung kepada bagaimana etikanya. Apabila etikanya baik,
dapat dipastikan sejahteralah lahir batinnya, namun sebaliknya, bila etikanya
rusak, rusaklah lahir dan batinnya.110
Istilah ‚ethics‛ dalam bahasa Ingris berasal dari bahasa Yunani
‚ethos‛ yang bearti watak. Ethics (etika) adalah studi sistematik tentang sifat
konsep nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam kaitannya dengan
tingkah laku manusia. Namun demikian, konsep nilai paling penting dalam
pembicaraan etika adalah tentang ide kebaikan.111 Meminjam penjelasan
Mulyadhi Kartanegara, kajian etika merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu
praktis. Disebut ilmu praktis karena sasaran dan tujuannya adalah ‚tindakan‛
107
Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 36.
108Nurul Badruttamam, Dakwah Kalobaratif Tarmizi Taher, 39.
109
Mulyadhi Kartanegara, ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam (Jakarta: Ushul Press, 2011), 386.
110M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006) 1-2. 111
Lalu Ahmad Zainuri, ‚Etika Da’i dalam al-Qur’an: Studi Analisis Pada Surat al-
Muddtstsir‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam
SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005. 54.
43
manusia, dengan tujuan mengarahkan ‚tindakan‛ itu ke arah yang benar,
sehingga menjadi orang yang baik.112
Etika Islam dapat ditemukan dalam sumber yang merentang luas
mulai dari tafsir al-Qur’an hingga kalam, dari komentar filosofis atas
Aristoteles hingga teks mistis sufi.113 Secara spesifik kajian etika dalam
tradisi intelektual Islam, menurut Toshihiko Izutsu, sebagaimana dikutip
Satera, bahwa al-Qur’an (sumber utama Islam) mengandung tiga katagori
etik. Pertama, etika ketuhanan. Kedua, etika manusia dengan Tuhan (akhla>q li al-kha>liq). Ketiga, etika yang berhubungan dengan manusia terhadap
manusia, selanjutnya disebut sistem etika sosial (akhla>q ma’a al-nas).114
Tidak jauh berbeda dengan Toshihiko Izutsu, menurut Fakhry, etika
Islam telah dikembangkan kedalam beberepa bentuk: scriptural morality
(moralitas skriptural), Moralitas skriptural adalah etika yang didasarkan
sepenuhnya pada al-Qur’an dan hadis. Biasanya istilah-istilah kunci yang
digunakan dalam bentuk ini sepenuhnya mengacu kepada al-Qur’an. Seperti:
‘adl (keadilan), khayr (kebaikan), birr (kebajikan), dan sharr (keburukan).
Wacana ini dikembangkan oleh para teolog dan filosof dengan penuh
ketelitian abstraksi dan analisis mereka berdasarkan metode-metode dan
katagori-katagori diskursif yang berkembang pada abad 8 dan 9. Masuk
dalam katagori ini biasanya para ahli tafsir dan ahli hadis.115 Kedua,
theological moralitity (moralitas teologi), Keputusan-keputusan etiknya
berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, serta konsep kunci yang
digunakan banyak meminjam argumen dalam filsafat. Etika teologis ini
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: rasionalis yang diwakili oleh
mu’tazilah. Semi rasionalis yang diwakili Ash’ariyah, dan semi rasoinalis dan
voluntarisme yang diwakili oleh zhahiriyah, terutama Ibn Hazm dan Ibn
Taimiyah. Kedua nama terakhir menolak validitas argumentasi dialektis dan
teologis dan menhgaruskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran
112
Mulyadhi Kartanegara, ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam, 377. Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia (Jakarta: Impressa, 2013), 28.
113Daniel H. Frank, ‚Etika‛ dalam Seyyed Hossein Nasr dkk., Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam: Buku Kedua Seri Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung:
Mizan, 2003), 1276. 114
Etika Ketuhana merupakan Katagori yang menunjukkan dan menguraikan nama-
nama dan sifat-sifat Tuhan. Adapun etika manusia dengan Tuhan termasuk dalam katagori
yang menyangkut hubungan etik dan tindakan-Nya terhadap manusia dengan cara yang etik
pula, maka manusia pun dituntut untuk merespon sikap etik Tuhan tersebut.Satera Sudaryoso,
Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 29. 115
Lihat Mulyadhi Kartanegara, ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk.,
Pengantar Studi Islam, 378-379. Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 31-32.
44
agama diinterpretasikan secara harfiah.116 Ketiga, philosophical moralitity
(moralitas filosofis) Etika filosofis muncul sebagai sebuah wacana prmikiran
yang mengadopsi dan member warna Islam pada pemikiran etika Plato dan
Aristoteles serta Neoplatonisme. Sebuah sistem filsafat akhlak yang banyak
dikembangkan oleh para filosuf Muslim dengan sentuhan teori-teori filsafat
Yunani. Aliran ini, antara lain diwakili oleh Ibn Miskawaih, al-T{husi dan al-
Dawwani yang lebih mengedepankan argument-argumen filosofis.117 dan
keempat, religious moralitity (moralitas religius).118
Istilah kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-
prinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah. Dalam kaitannya
dengan dakwah, pengertian etika dakwah adalah rambu-rambu etis yang
dapat menghasilkan dakwah secara respontif.119 Dalam hubungan dengan
etika dakwah inilah, para pemikir Muslim seperti; Toha Yahya Omar120
menjelaskan etika dakwah adalah perbuatan lahir yang dilaksanakan dengan
maksud baik, sebab etika dakwah sangat berkaitan dengan pola tingkah laku,
dan tata krama yang harus dilaksanakan oleh para da’i, seperti berlaku sopan
dan jujur dalam bertingkah laku.
Hal senada juga ditegaskan Ali Mustafa Ya’qub, menurutnya secara
umum etika dakwah adalah etika Islam itu sendiri, di mana seorang da’i
sebagai seorang Muslim dituntut untuk memiliki etika yang terpuji dan
menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Namun secara khusus,
dalam dakwah terdapat etika-etika tersendiri seperti: tidak memisahkan
antara ucapan dan perbuatan, tidak melakukan toleransi agama,121 tidak
mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan diskriminasi, tidak memungut
imbalan, tidak mengawani pelaku maksiat, tidak menyampaikan hal-hal yang
tidak diketahui.122
116
Lihat Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 31-32. Lihat juga Edi Amin, ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi
Dakwah‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004. 54. 117
Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia,
32. Lihat juga Edi Amin, ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2004. 55. 118
Merupakan gabungan dari moralitas skriptural, teologis, dan filosofis. Lihat
Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 32. 119
Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 82. 120
Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Pertjetakan Negara, 1971) 19. 121
Toleransi yang dimaksud adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi
karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktu yang
berbeda, prasangka, keinginan dan kepentingan. Adapun toleransi yang dibolehkan apabila
tidak menyangkut dalam masalah akidah, dalam hal ini toleransi yang berujung untuk
menjunjung kemerdekaan beragama. Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 37. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 85.
122Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 36-47.
45
Relevan dengan pendapat Ali Mustafa Ya’qub, Muhammad Sayyid
al-Wakil mendefenisikan etika dakwah dengan akhlak yang harus dimiliki
oleh para figur publik dan teladan bagi orang-orang yang ia dakwahi dengan
kriteria: iman (percaya) kepada apa yang didakwahkan, memiliki qudwah
hasanah (keteladanan yang baik), istiqamah, sabar menghadapi berbagai
kendala dan penderitaan, lapang dada dan lemah lembut, tawad}u’ (merendah
diri), dan zuhud serta tekun berdakwah.123 Lalu Ahmad Zainuri dalam
penelitiannya menjelaskan ada lima etika da’i dalam berdakwah; yakni
seorang da’i harus selalu mengagungkan Tuhan, berpenampilan bersih dan
menarik, menjauhi dosa dan maksiat, tidak meminta balas jasa, dan yang
terakhir sabar dalam berdakwah.124
Hal senada juga diungkapakan Safrodin Halimi, menurutnya etika al-
Qur’an mempunyai sifat humanistik dan rasiaonalistik. Humanistik dalam
pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan
tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sebaliknya bersifat
rasionalistik bahwa semua pesan-pesan yang diajarkan al-Qur’an terhadap
manusia sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia. Pesan-pesan al-Qur’an
seperti ajakan pada kebenaran, keadilan, kejujuran, kebersihan, saling
menghormati dan menghargai.125 Safrodin juga menjelaskan nilai-nilai etika
dalam berdakwah yaitu; kejujuran dan keteladanan, ikhlas dan ketulusan,
kasih sayang dan kelemah lembutan, kebebasan berkehendak dan memilih,
keteguhan dan ketabahan, kerendahan hati dan sikap.Hal ini disebabkan
orientasi etika dakwah untuk menggapai kebahagiaan transendental.126
Terdapat perbedaan dari penjelasan etika dakwah di atas, misalnya
Toha Yahya Omar menjelaskan hubungan etika dan dakwah dengan
menggunakan kalimat etika dakwah. Sedangkan Ali Mustafa Yaqub
menggunakan istilah etika dakwah dan kode etik dakwah dengan istilah yang
sama. Menurut Edi Amin, bila merujuk pada makna etika dalam kamus, maka
Toha Yahya Omar benar menggunakan istilah etika dakwah. Sedangkan Ali
Mustafa Yaqub tidak sepenuhnya salah. Ali Mustafa Yaqub akan lebih baik
jika menggunakan istilah kode etik dakwah saja, tanpa menyamakannya
dengan etika dakwah. Karena etika dakwah memiliki tiga makna, yang
123
Muhammad Sayyid al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah, (Jakarta:
Akademika Presindo, 2002) 106-137. Lihat juga Sibba>m al-S{iba>gh, al-Da’wah wa al-Da‘a>h baina al-Wa>qi‘ wa al-Hadaf wa Mujtama‘a>t ‘Arabiyyah Mu‘a>s}irah, (Damaskus: Da>r al-Ima>n,
2000), 142. 124
Lalu Ahmad Zainuri, ‚Etika Da’i dalam al-Qur’an: Studi Analisis Pada Surat al-
Muddtstsir‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam
SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005. 105-154. 125
Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 53.
126Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas
Qur’ani dan Realitas Sosial, 54-94 .
46
diantaranya adalah kode etik. Sedangkan pembicaraan Ali Mustafa Yaqub
adalah seputar kode etik, bukan etika dakwah dalam arti yang lebih luas.127
Terlepas dari perdebatan dan perbedaan panjang di atas, penulis dalam hal
ini, menegaskan sebagaimana diupayakan para pemikir di atas, bahwa para
da’i tidak diperintahkan menyampaikan dakwah seenaknya saja, ada aturan-
aturan yang telah ditetapkan.128 Jelas bahwa dakwah Islam tidak bersifat
memaksa, melontarkan isu yang bersifat fanatik, provokatif, celaan-celaan
yang menimbulkan permusuhan, dan bukan pula aktifitas-aktifitas yang
bersifat destruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang
dipaksakan sebagai pelanggaran berat, maka itu dakwah Islam menghususkan
penggunaanya secara persuasif.
127
Edi Amin, ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014. 65-66. 128
Syarat-syarat dakwah telah ditetapkan oleh Allah dan mereka mengemban
wewenang yang sama dengan perintah dakwah. ‚tak ada paksaan dalam agama, kebenaran telah nyata. Barang siapa yang menghendaki biarlah beriman: barang siapa tidak menghendaki, biarlah dia kafir, maka yang beruntung adalah dirinya sendiri dan barang siapa menolaknya maka yang celaka adalah dirinya sendiri‛. (QS. 2:256. Lihat juga QS. 18:29,
39:41). Adapun perintah dakwah secara persuasif termaktub dalam QS. 5:108, 3:176-177 dan
47:32. Lihat Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 81-82. Jum‘ah Ami>n ‘Abdu al-Azi>z, al-Da’wah Qawa>’id wa Usu>l, 86-87.
47
BAB III
KONTRUKSI DAN SUBTANSI DAKWAH GULEN
Bab ini akan membahas konsepsi dakwah Gulen yang lebih mengarah
pada human oriented. Hal ini penting dibahas, mengingat dakwah humanis
lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan perenial.
Sebelum memasuki ke pada pembahasan itu, penulis akan menjelaskan lebih
dulu dasar-dasar dan kaidah-kaidah da’i dalam berdakwah, meliputi:
membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keselarasan kalbu dengan al-
Qur’an, menggunakan cara yang disyari’atkan, dan melakukakn apa yang
disampaikan. Hal ini penting dijelaskan, karena merupakan prasyarat da’i
sebelum berdakwah. Adapun nilai-nilai (etika) berdakwah yang humanis
meliputi: sikap kasih sayang, mengedepankan toleransi dan menjaga empati.
Sebagai penutup dalam bab ini, akan diuraikan bagaimana urgensi dakwah
pada masa sekarang. Kesimpulan bab ini bahwa konsep dakwah Gulen
berorientasi kepada nilai-nilai yang benar-benar spritual, seperti sikap
toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan (forgiveness), kedamaian
batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony) dan kejujuran
(honesty). Hal ini diiringi dengan metode dakwah dalam al-Quran begitu
humanis. Islam lebih mengedepankan perdamaian dan dialog dengan santun
dan argumentatif (muja>dalah bi allati hiya ah}san). Hal ini tentunya harus
dibudayakan, baik dalam konteks inter-religius, intra-religius, maupun antar
peradaban.
A. Dasar-dasar dan Kaidah-kaidah dalam Dakwah
Dalam Islam, orang yang melakukan seruan dan ajakan (dakwah)
biasa dikenal dengan istilah ‚da’i‛. Namun mengingat bahwa proses
memanggil dan menyeru tersebut juga merupakan proses penyampaian
(tabligh) pesan-pesan tertentu, maka dikenal juga dengan istilah (muballigh)
yakni orang yang berfungsi sebagai komunikator.1 Adapun dalam pengertian
Islam, menurut Samsul Munir Amin, da’i adalah orang yang mengajak
kepada orang lain, baik secara langsung atau tidak langsung dengan kata-
kata, perbuatan dan tingkah laku ke arah yang lebih baik menurut al-Qur’an
1Kata da’i berasal dari bahasa Arab yang bearti orang yang mengajak. Dalam istilah
ilmu komunikasi dikenal dengan istilah komunikator. Menunjuk pada pelaku (subjek) dan
penggerak (aktivis) kegiatan dakwah, yaitu orang yang berusaha untuk mewujudkan Islam
dalam semua segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga masyarakat, umat dan
bangsa. Lihat A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011) 73. Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: AMZAH, 2009), 68. Bandingkan dengan Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali
Songo Press, 2008), 32.
48
dan al-Sunnah.2 Sebagai pelaku dan penggerak dakwah inilah menunjukkan
da’i memiliki kedudukan yang sangat penting, dikatakan penting karena da’i
dapat menjadi penentu keberhasilan dan kesuksesan dakwah.3
Lebih jauh lagi, Munir Amin mensfesifikasi da’i dengan dua
pengertian; pertama, secara umum da’i adalah setiap muslim atau muslimat
yang berdakwah sebagai kewajiban yang melekat dan tidak terpisahkan dari
misinya sebagai penganut Islam, yakni yang berjalan berdasarkan perintah
‚ba>lighu ‘a>ni walaw a>yah‛. Kedua, secara khusus da’i adalah mereka yang
mengambil keahlian khusus (spesialis) dalam bidang dakwah Islam. Yakni
dengan kesungguhan luar biasa dan dengan qudwah h}asanah.4
Hal senada juga diutarakan oleh Abdul Halim Mahmud, dalam
pandangannya, dakwah yang dilakukan oleh da’i secara personal disebut
dengan dakwah fardiyah. Dakwah fardiyah ini dipahami sebagai ajakan atau
seruan ke jalan Allah Swt. yang dilakukan seorang da’i kepada orang lain
secara personal dengan tujuan mengubahnya menjadi lebih baik dan diridhai
Allah Swt.5 Selain dakwah fardiyah, ada juga dakwah yang dilakukan oleh
sekelompok da’i, atau yang dikenal dengan istilah ‚da’wah jama’i‛ yang
berarti dakwah kolektif.6
Seperti Abdul Halim Mahmud dan Samsul Munir Amin, ‘Abd al-
Badi’ Saqar memandang da’i sebagai arsitek sosial Islam. Saqar menegaskan
lagi, da’i bukan sekedar aktor panggung yang hanya mengharap perhatian dan
tepuk tangan para penonton. Tapi lebih utama lagi menurutnya, da’i yaitu
mengubah manusia dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih baik.7
Ilyas Ismail dalam penelitiannya mengemukakan bahwa da’i identik dengan
dakwah itu sendiri. Hal ini menurutnya dikarenakan seorang da’i harus
menjadi teladan dan penutan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Untuk
2Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 68.
3A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah
Harakah. (Jakarta: Penamadani, 2006), 311. Lihat juga A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman,
Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana,
2011) 73-74. 4Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 68-69.
5Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim,
Trj. As’ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 29. 6Safrodin Halimi dalam penelitiannya mengemukakan, dalam konteks da’wah jama’i
al-Qur’an pada beberapa tempat seringkali menyebut ‚da’i‛ dengan istilah ‚U<mah‛ yang
bearti ‚komunitas‛ dan menyebutnya dengan kata ganti ‚Tum‛ yang bearti ‚kalian‛. Dalam
pandangan Safrodin term ‚U<mah‛ dan ‚Tum‛ dalam bahasa arab ini merujuk kepada suatu
kelompok orang atau komunitas yang terdiri dari beberapa personal. Secara spesifik lagi
menurut Safrodin, interpretasi dari istilah al-Qur’an ini bisa bemakna bahwa dakwah sangat
dipengaruhi oleh manajemen dakwah secara kolektif. Hal ini menurutnya, dakwah yang
dilakukan oleh para da’i kolektif lebih teroganisir dan peluang keberhasilannya lebih besar
jika dibandingkan dengan dakwah yang dilakukan dengan perorangan. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 33.
7Abd al-Badi Saqar, Kaifa Nad’u al-Na>s, (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1979), 12-13.
49
itu, da’i harus memiliki sifat-sifat terpuji atau akhlak yang mulia. Lebih
spesifik lagi dalam pandangan Ilyas Ismail, keluhuran budi ini menjadi salah
satu pendorong yang memungkinkan masyarakat (mad’u) untuk dapat
mengikuti jalan kebenaran yang diserukan sang da’i. Sehingga dalam hal ini
ada tuntutan yang lebih bagi setiap da’i dibandingkan dengan kaum Muslimin
pada umumnya.8
Dengan demikian, menurut Abdul Latif Uwaidah, setiap pengemban
dakwah (da’i) harus memahami bahwa dirinya merupakan representasi atau
perwujudan Islam. Konsekuensinya, seorang pengemban dakwah wajib
menjadi seorang yang ‘A<lim (berilmu), yakni mengusai berbagai pemikiran
dan hukum-hukum Islam yang wajib ia ketahui dalam kapasitasnya sebagai
da’i. Karena menurutnya, orang yang bodoh tentu tidak akan mampu dan
tidak dapat dipercaya untuk menyampaikan apa yang diperintahkan Islam.9
Dalam kaitannya dengan menyampaikan pesan-pesan agama inilah,
Gulen memberikan beberapa kaidah dasar yang harus dimiliki oleh para da’i.
Hal ini dikarenakan agar nilai-nilai yang disampaikan bisa diterima, dipahami
dan diamalkan oleh para audien (mad’u). Kaidah-kaidah dasar yang harus
dimiliki oleh para da’i ini meliputi:
1. Membekali diri dengan ilmu pengetahuan
Menurut Gulen, semua jenis ilmu mempunyai definisi tersendiri, dan
setiap pengamalan juga mempunyai caranya tersendiri. Tanpa mengetahui
definisi dan cara pengamalannya, maka para da’i menurut Gulen tidak pantas
membicarakan dan penyampaikan satu bidang ilmu apapun, serta tidak pantas
pula membicarakan pengamalannya sedikit pun. Hal ini dikarenakan masalah
dakwah bukan merupakan tugas seorang muslim saja, maka untuk
pelaksanaannya diperlukan berbagai pokok dan cara tersendiri pula. Lebih
jauh lagi, Gulen menerangkan, Setiap dakwah yang tidak mengikuti cara-cara
yang yang telah ditentukan, maka dapat dipastikan tidak akan ada
keberhasilan sedikitpun, kecuali kesia-siaan.10
8 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran
Dakwah Harakah, 311-312. 9Muhammad Abdul Latif Uwaidah, Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifat-
sifatnya, trj. Arief B. Iskandar, ( Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 131-132. 10
Setiap da’i yang brdakwah, diisyaratkan harus memiliki ilmu pengetahuan yang
luas. Sebab, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan cara berdakwah sangat erat.
Terutama, memahami ilmu pengetahuan tentang agama. Sehingga da’i tersebut dapat
menerangkan seputar ajaran agama itu dengan gamblang dan jelas. Kalau tidak, maka dakwah
yang ia sampaikan tidak akan berguna, bahkan akan menjadikan audien menjauh dari jaran
agama yang disampaikannya. Hal demikian itu, dikarenakan da’inya tidak menguasai ilmu
pengetahuan untuk menerangkan materi dakwahnya secara baik dan tepat sasaran.
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-
S{a>lih}i> (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008), 87-88.
50
Terkait masalah ilmu dan dakwah, serta bagaimana cara
pengamalannya, Gulen menjelaskan, ilmu di alam semesta ini laksana mihrab
Nabi Adam As. Setelah itu, tugas berdakwah dilanjutkan oleh para Nabi dan
Rasul setelah beliau. Dalam hal ilmu dan dakwah inilah, Gulen menerangkan
bahwa arti ilmu adalah pengenalan seseorang kepada Sang Maha Pencipta,
kemudian mengenalkan Sang Pencipta kepada orang lain.11 Berikutnya,
hendaklah ia mengenal Tuhan-nya dengan sebenar-benarnya pengenalan.
Selain itu, dalam pandangan Gulen, perumpamaan manusia di dalam
kehidupan ini, bagaikan seseorang yang sedang mendaki sebuah bukit yang
tinggi. Kalau tidak berhati-hati menempatkan telapak kaki di posisi yang
sebenarnya, maka sudah tentu akan terpeleset atau bahkan bisa terjatuh ke
jurang yang dalam, yang mana ini bisa menyebabkan kebinasaan diri. Ini
menunjukkan setiap ilmu pasti mempunyai tujuan tersendiri, yaitu
mendorong seseorang untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Karena, jika
ilmu tidak mendorong seseorang untuk mencintai Tuhannya, maka ilmu itu
tidak berguna baginya. Hal ini menurut Gulen, ilmu harus menjadi sumber
kehidupan bagi jiwa dan perasaannya. Adapun jika seseorang telah
kehilangan sentuhan dari perasaannya, maka ilmu yang tersedia pada dirinya
sama sekali tidak berguna.12 Oleh karena itu, ilmu menjadi landasan penting
dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Hal ini disebabkan, dengan ilmu,
kadar amal perbuatan yang utama dan sia-sia, tepat dan salah bisa
diketahui.13
Lebih jauh lagi, dalam pandangan Gulen, banyak sekali ayat al-
Qur’an yang menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Di
antaranya ayat-ayat tersebut misalnya terdapat dalam QS. Al-Zumar: 9.
‚Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.‛
Menurut Gulen, firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan bahwa
ilmu yang membawa manusia untuk mengenal Tuhannya dengan ilmu yang
menghalangi manusia dari mengenal Tuhannya tidaklah sama. Adapun Orang
yang membolak-balikkan halaman-halaman buku tanpa berusaha memahami
isinya, menurut Gulen laksana seekor binatang pengerat yang mencari rahasia
di balik tumpukan suatu benda. Sehingga ia tidak akan mampu memetik
11
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 88. 12
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 89. 13
Adil Abdullah al-Laili asy-Syuwaikh, Bersama Kereta Dakwah Sukses Berdakwah di Era Keterbukaan, trj. Asfuri Bahri, (Jakarta: Robbani Press, 2006), 143.
51
sedikit pun manfaat dari sejumlah buku yang dipegangnya. Menurut bahasa
al-Qur’an, ia bagai seekor keledai yang memikul sejumlah buku. Dengan kata
lain, buku-buku yang meski mengandung banyak sekali ilmu pengetahuan itu
pun menjadi tidak berguna bagai seekor keledai. Akan tetapi, berbeda jauh
dengan orang yang rajin membaca ilmu pengetahuan, dan ilmu itu
menyebabkan ia mengenal Allah.14 Sebagimana menurut Gulen firman Allah
QS. al-Fathir: 28.
‚Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.‛15 Berkenaan dengan ayat di atas, Gulen menjelaskan bahwa Allah
memuji orang-orang yang berilmu, yang dengan ilmunya mereka dapat
mengenal Allah dengan baik. Sehingga mereka selalu bertata-krama dan
bersikap khusu’ terhadap Tuhannya. Lebih jauh lagi, menurut Gulen, firman
Allah di atas didukung oleh sabda Rasulullah Saw. berikut ini;
إن العلماء ورثة األنبياء ‚sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi.‛16
Kesimpulan dari hadis di atas menurut Gulen, bahwa ada sekolompok
manusia yang mengenal Allah melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Mereka itu adalah para Nabi. Sedangkan kita sebagai umat beliau tidak
sampai pada tingkatan seperti mereka. Lebih spesifik lagi dalam pandangan
Gulen, manusia dapat mengenal Allah ‘Azza wa Jalla melalui perantara
cahaya yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Menurut Gulen, hal ini
disebabkan, tidak seorang pun mampu mencapai pengenalan diri kepada
Tuhannya, kecuali melalui sabda-sabda yang keluar dari lisan para Nabi dan
Rasul. Ini menunjukkan para Nabi dan Rasul mendapatkan warisan
pengetahuan langsung dari sisi Allah yang Maha Mangetahui.17
Lebih komprehensif lagi Gulen menjelaskan, Strata selanjutnya
setelah para Nabi dan rasul adalah hamba yang shalih, yang oleh al-Qur’an
14
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 90. 15
yang dimaksud dengan ulama dalam ayat Ini ialah orang-orang yang mengetahui
kebesaran dan kekuasaan Allah. 16
Lebih lengkap matan dan sanad hadis ini dapat dilihat dalam kitab hadis yang
ditulis oleh Muhammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tarmidhi> al-Sulami>, Sunan al- Tarmidhi>, (Beirut:
Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, tt) juz: 10, 204. 17
Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang telah menyerahkan jiwa raga mereka
kepada Allah. Adapun tugas mereka adalah menyampaikan risalah dengan sejelas-jelasnya.
Sehingga apa yang mereka ucapkan dan sampaikan hanyalah apa yang dikehendaki Allah
dengan gaya bahasa dan pola tutur yang diinginkan Allah Swt. Muhammad Fathullah Gu>lan,
T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 90-91. Muhammad
Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, terj. Awirkhan
Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007), 67.
52
diisyaratkan sebagai pewaris isi bumi. Hubungan antara sabda Rasulullah di
atas mempunyai hubungan yang relevan, karena hamba-hamba Allah yang
shalih adalah orang-orang yang paling pantas menjadi khalifah Allah di muka
bumi. Mereka adalah para ulama, dan mereka merupakan pawaris para Nabi.
Sebab, para Nabi adalah manusia-manusia pilihan yang menyampaikan
firman-firman Allah. Demikian pula halnya dengan para ulama. Karena para
ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga mereka juga mengenal Allah Swt
dengan baik, yang berbeda dengan masyarakat awam. Semua itu disebabkan
oleh kedudukan seorang yang berilmu lebih utama dari yang lain.18
Sebagaimana sabda Rasul yang berbunyi;
فضل العالم على العابد كفضلى على أدناكم
‚Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaanku di atas orang-orang yang paling rendah di antara kalian‛.19
Di sini dapat dapat diketahui ada satu titik penting, bahwa manusia
sempurna yang mewarisi ilmu para Nabi tidak terlepas dari pancaran cahaya
yang datangnya dari cahaya Rasulullah Saw. sebab, beliau merupakan
matahari yang memancarkan sinarnya ke seluruh alam semesta. Dalam hal
ini, menurut Gulen, jika seseorang telah mendapatkan pancaran cahaya
Rasulullah Saw. maka insya Allah dengan rahmat Allah ia akan terus-
menerus mengikuti jalan petunjuk, dan sekaligus menjadi orang baik.20
Sebagai tolak ukur, Rasulullah Saw. senantiasa bertata-krama dan
berakhlak mulia. jika seseorang telah mendapatkan sebagian dari cahaya
petunjuk Rasulullah Saw. maka oarang tersebut akan mampu
mengembangkannya kepada orang lain, dan mengajak mereka mengikuti
jalan kebaikan secara berkesinambungan, sampai menjadi manusia sempurna.
Semua itu menurut Gulen, disebabkan orang tersebut senantiasa melakukan
apa yang telah diajarkan oleh al-Qur’an melalui lisan Rasul-Nya. Sebab, jika
tidak, maka al-Qur’an sendiri telah mengkritik sebagian orang yang tidak
mau mengamalkan ajaran al-Qur’an. Seperti firman Allah dalam al-Qur’an
QS. al-Baqarah: 146.
18
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 91. 19
Untuk lebih lebih jelasnya baca Muhammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tarmidhi> al-
Sulami>, Sunan al- Tarmidhi>, juz; 10, 207. 20
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i, 91.
53
‚Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Telah kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri21 dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka Mengetahui‛.
Dari ayat di atas menurut Gulen, akan selalu ada sebagian orang yang
di beri tahu tentang ilmu pengetahuan (agama) secara lebih mendalam, akan
tetapi mereka justru tidak mau mengamalkan ilmu yang didapatkannya itu.
Hingga sedikitpun mereka tidak mendapatkan cahaya dari ilmu yang ada
pada sisi mereka. Selanjutnya dalam pandangan Gulen, orang yang diberikan
anugrah ilmu dan mau mngamalkannya laksana cahaya matahari yang
senantiasa memancarkan sinarnya di siang hari. Namun sebaliknya, orang
yang diberi pemahaman tentang suatu ilmu, namun enggan untuk
mengamalkan apa yang diajarkan kepadanya, maka ia bagaikan sesuatu yang
tidak berguna sama sekali. Memiliki anugerah ilmu dan tugas
mengajarkannya kepada orang lain, atau dengan kata lain berdakwah,
merupakan sesuatu yang identik laksana dua sisi mata uang. Ibarat sebuah
logam mulia yang mempunyai dua tampilan serupa. Demikian pula
mengamalkan ilmu yang dimiliki merupakan keharusan yang tidak bisa
dipisahkan.22
Hal di atas menurut Gulen, orang yang mengamalkan ilmunya berarti
telah mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Tuhan-nya. Namun
sebaliknya, jika seorang muslim tidak bersedia mengamalkan ilmunya,
meskipun ia banyak melakukan ibadah, maka ia bagaikan orang yang bodoh,
buta dan juga tuli. Apalagi jika ia diperintah untuk mengajak orang lain ke
jalan keimanan, akan tetapi ia tidak menjalankannya dengan baik, maka ia
telah mengkhianati ilmu yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya. Orang-
orang muslim yang berilmu, dan ia tidak mau mengamalkan ilmunya, maka
mereka semua akan menjadi objek cemoohan bagi orang-orang non-muslim
yang selama ini telah menindas umat Islam. jadi, keimanan harus diikuti
dengan pengamalan secara lahiriah, sehingga lahir dan batinnya tidak saling
bertabrakan. Jika suatu masyarakat Islam mengerjakan secara baik ajaran
Islam, maka kalbu, akal dan kehidupan mereka telah menyatu dalam
kesempurnaan. Sehingga perbuatan mereka sesuai dengan fitrah kemanusiaan
yang ada.23
21
Mengenal Muhammad s.a.w. yaitu mengenal sifat-sifatnya sebagai yang tersebut
dalam Taurat dan Injil. 22
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 92-93. Baca juga Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>. (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008) 36-37.
23
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i, 93.
54
Lebih spesifik lagi Gulen menjelaskan, Jika suatu masyarakat tidak
mengenal dengan baik agamanya, juga tidak mengenal Tuhannya, serta tidak
memahami kitab sucinya, mana mungkin mereka akan mengajak orang lain
ikut ke dalam agamanya. Sebab, orang lain akan memerhatikan praktik hidup
umat beragama sebelum ia mengikuti ajakan yang diserukan. Jika seorang
muslim hendak mengajak orang lain ke dalam agamanya, sedangkan ia
sendiri sangat jauh dari aturan agama Islam, maka sudah tentu tidak akan
mungkin orang lain akan tertarik untuk masuk ke dalam agama Islam. Akan
tetapi, jika seorang muslim senantiasa menghabiskan waktunya untuk
berdakwah, disertai menunaikan seluruh ibadahnya dengan baik di waktu
pagi dan siang, juga seluruh kegiatan ia gunakan untuk mengingat Allah serta
mengajak orang lain kepada jalan petunjuk, maka tidak mustahil apabila
orang lain akan cepat mengikuti ajakan si muslim itu ke dalam aturan
agamanya.24
Dari uraian di atas dapat dipahami, jika setiap muslim menjalankan
perintah Allah Swt dengan baik, maka diharapka orang-orang di luar Islam
akan berbondong-bondong masuk ke dalam pelukan Islam. Sebab
sesungguhnya mereka telah mempelajari ajaran Islam dengan baik, dan
mereka juga mengakui ajaran Islam adalah sistem hidup yang paling
manusiawi dan paling sempurna. Namun, karena umat Islam sendiri tidak
mau menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya dengan baik, maka
tidak salah kalau orang-orang non-muslim segan untuk memeluk agama
Islam. Bahkan, akhir-akhir ini mereka berusaha sekeras-kerasnya untuk
menjauhi umat Islam. Sebagai kesimpulan, menurut Gulen, ajaran Islam
merupakan aturan yang Allah Swt. tetapkan antara menyatukan ilmu dan
pengamalan secara konkrit. Di antara keduanya tersedia apa yang disebut
sebagai keimanan. Jadi, iman akan mendorong seseorang untuk mengamalkan
ilmunya. Sebenarnya jika kita mau memetik pelajaran dari sejumlah kisah
tentang amalan ibadah orang lain, maka hal itu sangat baik untuk diteladani.
Mengingat, di dalamnya dapat diambil berbagai pelajaran hidup serta nasihat
yang baik.25
Ajaran agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk
menghayati antar Islam, iman, ilmu dan sekaligus pengamalannya. Adapun
24Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i, 93-94.
25
Dalam ajaran Islam ada dua perkara puncak; yakni mengamalkan dan
menyebarkannya kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan mengamalkan Islam tanpa
mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat, baru merupakan setengah tuntutan Islam.
Sebaliknya menyebarkan dakwah Islam tanpa mengamalkannya, juga baru setengah tuntutan
Islam. Karena itu, tuntutan Islam tersebut belum dikatakan sempurna kecuali dengan
menunaikan kedua-duanya secara bersamaan. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 94. Lihat juga Muhammad Abdul Latif
Uwaidah, Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifat-sifatnya, trj. Arief B. Iskandar, 172.
55
sebaliknya, orang-orang yang suka berbicara tentang amal-amal Islam tanpa
mengetahui keimanan dan pengamalan menurut aturan agama Islam yang
sesungguhnya, maka ucapan mereka hanyalah bernilai sia-sia belaka. Dalam
pandangan Gulen, manusia modern sekarang ini, lebih condong
mementingkan pemikiran (akal logika), sehingga menurut Gulen banyak
ditemukan orang di luar Islam, atau orang yang tidak beragama sekalipun
berbicara atas nama ilmu pengetahuan. Pada saat para da’i harus berhadapan
dengan mereka inilah paling tidak para da’i harus menggunakan cara yang
sama pula, maka masalah ini sangat erat hubungannya dengan tuntutan atas
pengetahuan yang tersedia. Sebab, entitas ilmu dan pengetahuan tidak bisa
saling dipisahkan dari konteksnya satu sama lain. Hingga setiap muslim yang
bertugas menyeru kepada ajaran Islam dituntut pula untuk mengetahui semua
perkembangan ilmu yang ada di masanya.26
Dalam kegiatan mengajak ke jalan Tuhan inilah, menurut Gulen,
seorang da’i yang tidak mengetahui perkembangan terkini dimasanya, maka
ia bagai seorang yang hidup di alam kegelapan. Sehingga ia tidak akan bisa
berdakwah secara maksimal untuk menyampaikan agama dan keimanan yang
sesungguhnya kepada orang lain. Dari sini setiap mukmin harus memahami
dan menyampaikan apa saja yang telah dipahami dalam pikirannya
menggunakan cara yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang
ada di masanya. Lebih jauh lagi Gulen menjelaskan, Seorang da’i yang
senantiasa mengikuti perkembangan masanya, akan menjadi da’i yang
berhasil di dalam usaha dakwahnya. Hal ini, menurut Gulen, dapat
dibuktikan dengan semua sabda Rasul dan tingkah laku Rasul yang dapat
memberi pengaruh tersendiri di sanubari orang yang mendengar dan
melihatnya. Menurut Gulen lagi, Rasulullah saw selalu berbicara menurut
perkembangan akal manusia pada masa itu. Sebenarnya, seluruh perintah
yang datangnya dari sisi Allah Swt. tidak pernah bertentangan dengan
kejadian alam semesta ini. Kiranya cukup bagi seseorang mengetahui hikmah
diciptakannya pribadi dan ruhnya. Sehingga ia dapat menyampaikan dakwah
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada pada masanya.27
Hal yang sama pun dilakukan oleh para da’i Islam pada masa
keemasan Islam. meskipun teknik dan penyampaiannya agak beda. Alhasil,
26
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 94. Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni>
‘Umar Lut}fi>, 37. 27
Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, mereka
menyampaikan agama ini kepada orang lain sesuai dengan pengetahuan orang-orang yang ada
pada masa itu. Sehingga segala bentuk nasihat yang terucap maupun petunjuk praktis yang
mereka sampaikan dapat di terima secara baik oleh masyarakat yang ada di masa itu dalam
kurun waktu yang tidak terlalu lama. Semua pengamalan itu mereka peroleh dari bimbingan
Rasulullah saw. Lihat Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h,
terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 94-95.
56
mereka semua menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain disesuaikan
dengan perkembangan ilmu yang ada pada masanya masing-masing, hingga
masa kini. Ini semua dapat dilihat dari para da’i Islam yang sukses pada
waktu itu seperti Imam al-Ghazali, Imam Rabbani, Jalaluddin al-Rumi, dan
para tokoh da’i lainnya. Akan tetapi, menurut Gulen, pada saat tongkat
estafet dakwah ini berpindah tangan ke genarasi sekarang, maka semua itu
diikuti dengan berbagai bentuk kekurangan. Sebab menurutnya, banyak dari
da’i sekarang yang justru tidak memahami perkembangan ilmu pengetahuan
di masa kini, sebagaimana yang dimiliki oleh para da’i terdahulu sehingga
generasi sekarang menjadi korban dari kebodohan.28
2. Keselarasan kalbu dengan al-Qur’an
Allah Swt menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw. selama 23
(dua puluh tiga) tahun; 13 (tiga belas) tahun di Makkah dan 10 (sepuluh)
tahun di Madinah. Sebagaimana menurut Abdul Latif Uwaidah, Allah Swt
menurunkan al-Qur’an dengan menggunakan bahasa arab yang sangat jelas,
hal ini bukan sekedar agar menjadi mukjizat bagi Muhammad bin ‘Abdillah
yang meneguhkan kebenaran kenabiannya, atau sekedar dijadikan oleh kaum
Muslim sebagai metode dan lampu penerang untuk diamalkan dan diterapkan
dalam kehidupan semata. Akan tetapi, al-Qur’an juga sebagai sarana
beribadah bagi siapa saja yang mau mempelajari sekaligus mengajarkannya,
menghafal sekaligus menjaga hafalannya, dan membaca sekaligus men-tarti>l-kan bacaannya.29 Gulen menjelaskan, berdakwah merupakan tugas yang
paling utama bagi setiap muslim meskipun hukum berdakwah fardhu kifayah
dalam keadaan biasa, karena menegakkan amar ma’ru>f dan nahi munkar akan
menyelamatkan umat manusia dari berbagai cobaan baik di dunia maupun di
akhirat.30 Relevan dengan keutamaan dan pentingnya dalam mengamalkan isi
kandungan al-Qur’an, menurut Gulen, keberhasilan seorang da’i dalam
berdakwah tidak terlepas dari keselarasan kalbunya dengan petunjuk-
petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebab, hubungan antara kalbu dengan
28
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 95. 29
Al-Qur’an adalah firman Allah yang sangat agung dan tinggi, melampaui semua
bentuk ucapan manusia yang ada. Karena itu, mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an adalah
sebaik-baik pembelajaran dan pengajaran, menghafal dan memelihara hafalan al-Qur’an
adalah sebaik-baik penghafal dan pemeliharaan hafalan, serta membaca dan membaguskan
bacaan juga adalah sebaik-baik pembacaan dan pembagusan bacaan. Bahkan dalam hal ini,
tidak ada sebuah pembacaan yang harus disertai dengan tarti>l kecuali bacaan al-Qur’an.
Muhammad Abdul Latif Uwaidah, Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifat-sifatnya, trj.
Arief B. Iskandar, 178.
30
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 176.
57
tuntunan al-Qur’an sangatlah dekat.31 Sebagaimana telah disebutkan oleh
Allah swt:
‚Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mau menggunakan fungsi akalnya, atau yang mau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya‛. (QS. Qaf: 37).32
Ayat di atas menurut Gulen, menjelaskan bagaimana hendaknya para
da’i membekali diri dalam berdakwah, Para da’i dianjurkan untuk
memfokuskan seluruh perhatian kepada isi al-Qur’an, karena seseorang yang
dapat mengambil pelajaran dari al-Qur’an adalah yang bersedia dan
mengikuti jalan yang tidak bertentangan dengan ketetapan-ketetapan dalam
al-Qur’an. Apabila perhatian sorang da’i tidak sejalan dengan ajaran al-
Qur’an, maka ketinggian nilai mukjizat al-Qur’an tersebut tidak akan bisa
dinikmati. Akibatnya, ia akan berani menyamakan al-Qur’an dengan ucapan
manusia biasa dalam perlakuannya terhadap al-Qur’an. Siapapun yang
menilai al-Qur’an dengan penilaian seperti itu, maka ia tidak akan bisa
mengamalkan ajaran al-Qur’an, meski ia banyak berbicara tentang al-
Qur’an.33 Sebab, menurut Gulen al-Qur’an sendiri menyatakan:
‚Alif lam mim, Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa‛, (QS. al-Baqarah: 1-2).34
Dari penjelasan firman Allah di atas lanjut Gulen, dapat dipahami
bahwa orang-orang yang bertakwa adalah manusia yang paling mulia, dan
mereka paling mengerti dengan syari’at Islam yang sangat cocok dengan
fitrah manusia. Perlu diketahui pula, bahwa seseorang yang tidak peduli
dengan ajaran al-Qur’an, maka ia bukanlah orang yang bertakwa, karena
kalbunya tidak dapat menerima petunjuk apapun dari al-Qur’an. Bahkan
kalbunya telah tertutup rapat (mati), sehingga tidak dapat melihat kebenaran
al-Qur’an.35 Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah swt:
31Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 96.
32
ayat yang dimaksud adalah:
33
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam al-Qur’an mengandung berbagai petunjuk,
nasihat yang baik, sekaligus peringatan. Syarat utama agar bisa meresapi seluruh kandungan
al-Qur’an ke dalam sanubari adalah dengan adanya keterbukaan kalbu atau bersedia menerima
ajaran al-Qur’an. Oleh karena itu, setiap pembaca al-Qur’an hendaknya memusatkan
pandangan dan pendengarannya kepada kandungan al-Qur’an. Muhammad Fathullah Gu>lan,
T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 96.
34
Ayat yang dimaksud adalah:
35
Seorang yang sanubarinya terfokus dan peduli kepada ajaran al-Qur’an, maka ia
akan mampu memerhatikan segala kejadian yang ada di alam semesta sebagai ciptaan Allah
58
‚Dan orang-orang yang beriman bertanya, ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surah?’ Maka apabila diturunkan suatu surah yang jelas maksudnya, dan disebutkan di dalamnya perintah berperang, maka akan engkau lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam qalbunya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. Dan kecelakaanlah bagi mereka‛, (QS. Muhammad: 20).36
Tata cara yang dipakai oleh setiap da’i dalam menyampaikan
dakwahnya harus sesuai dan pantas dengan tuntunan syariat, karena untuk
sukses dalam berdakwah tidak ada cara lain kecuali harus sesuai dan pantas
dengan tata cara yang dicontohkan oleh syariat sebagaimana tata cara
dakwah yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw.37 Selain itu pula,
hendaknya setiap da’i mempunyai hati yang bersih dan lemah lembut terlebih
ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain, karena apabila hatinya
kotor maka hubungannya dengan Allah akan kotor pula.38 Menurut Gulen,
salah satu kelemahan manusia adalah adanya sifat individualisme. Jika sifat
tersebut masih merajalela di hati manusia, maka ia tidak akan menjadi
seorang da’i yang mukhlis sepenuhnya karena Allah, karena di hatinya masih
tersimpan rasa sombong dan bangga diri. Dalam hal ini Gulen menegaskan
bahwa, Ciri-ciri da’i yang mukhlis adalah yang selalu merendahkan hati
tanpa unsur kepentingan pribadi, muncul darinya sifat-sifat harum secara
fitrah tanpa ada unsur rekayasa sedikitpun, pandangan matanya syahdu dan
ucapannya selalu menyejukkan hati, dan kalangan sekitarnya merasa nyaman
dan bangga berada di dekatnya. Sifat terpuji tersebut dapat diperoleh dari visi
ayat-ayat al-Qur’an dan gambaran biografi hidup Nabi Muhammad saw yang
swt. sebaliknya, jika seseorang tidak dapat memerhatikan segala kejadian yang ada di alam
semesta ini sebagai ciptaan Allah, maka ia tidak akan bisa menerima petunjuk apapun yang
bersumber dari al-Qur’an Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i, 96-97.
36
Ayat yang dimaksud adalah:
37
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 177.
38
lebih jauh menurut Gulen, apabila seorang da’i ingin berhasil dalam dakwahnya,
maka sanubarinya harus sesuai dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Hal ini menurutnya
disebabkan, da’i yang mampu menyesuaikan sanubarinya dengan petunjuk-petunjuk al-
Qur’an, maka da’i tersebut akan berhasil dalam dakwahnya, karena seorang da’i akan mampu
mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Lebih lagi apabila da’i bisa
menyatukan kalbunya dengan tuntunan al-Qur’an. Sehingga diharapkan ia akan bisa menjadi
seorang yang mempunyai sanubari lembut, bersih, penuh kasih sayang yang mulia dan
berbagai sifat terpuji lainnya dan ia akan menjadi seorang mukmin yang sejati. Muhammad
Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 174.
59
penuh dengan kesopanan, kesederhanaan, dan tidak pernah menyimpang
sedikitpun dari kebenaran; dan itulah cara berdakwah yang terbaik.39
3. Menggunakan cara yang di syari’atkan
Setiap orang yang menjalankan aktivitas dakwah, hendaklah memiliki
kepribadian yang baik sebagai seorang da’i. Hal ini dikarenakan seorang da’i
adalah figur yang dicontoh dalam segala tingkah laku.40 Da’i ibarat seorang
guide atau pemandu terhadap orang-orang yang ingin mendapatkan
keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu, da’i sebagai petunjuk
jalan harus mengerti dan memahami jalan yang boleh dilalui dan mana jalan
yang tidak boleh di lalui oleh seorang muslim, sebelum ia memberi petunjuk
jalan bagi orang lain. Oleh kerena itu, ia memiliki kedudukan yang sangat
penting di tangah masyarakat. Dari kedudukannnya yang sangat penting di
tengah masyarakat, seorang da’i harus mampu menciptakan jalinan
komunikasi yang erat antara dirinya dan masyarakat. Ia harus mampu
bertindak dan bertingkah laku yang semestinya dilakukan oleh seorang
pemimpin. Selain itu, para da’i juga harus mampu berbicara dengan
masyarakatnya dengan bahasa yang dimengerti. Oleh karena itu, para da’i
juga harus mengetahui dengan pasti latar belakang dan kondisi masyarakat
yang dihadapinya.41
Mengingat bahwa pesan-pesan dakwah harus memperhatikan sisi-sisi
penting, seperti; kedudukan orang yang diajak bicara atau yang didakwahi,
situasi dan kondisi mereka, bahasa yang digunakan, dan kesungguhan dalam
menerangkan inilah dalam pandangan Yusuf al-Qaradhawi, maka hendaklah
para da’i menyampaikan pesan-pesan agama seperti penyampaian yang
dilakukan para rasul Alaihimu al-Salam, yang dibakukan dalam firman Allah
Ta’ala
‚maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang‛ (QS. al-Nahl:35)
Lebih jauh menurut Yusuf al-Qaradhawi, ayat di atas menjelaskan
pesan-pesan agama harus disampaikan dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan. Selain itu, para palaku dakwah (da’i) harus berhati-hati dalam
39Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i> (Kairo: Da>r an-Nail, 2006), 140-141. Untuk lebih jelas baca Muhammad
Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, terj. Awirkhan
Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007). Abi> Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham al-
Ma‘a>firi>, al-Si>rah al-Nabawi>yah li ibn Hisham, Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, (Kairo: Da>r al-
Ghad al-Jadi>d al-Mans}u>rah, 2007). Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah al-Nabawi>yah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m, (Mesir: Da>r al-
Wafa’, 2010). 40
Siti Muriah, Metodologi Dakwah kontemporer, (Yokyakarta: Mitra Pustaka,
2000), 27. 41
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 69.
60
menyampaiakan misi dan amanat yang diembannya. Tidak berbicara
serampangan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Hal ini menurutnya
dikerenakan telinga dunia akan mendengar, kemudian menganalisanya.42
Seorang da’i harus memilih berbagai sarana yang dibolehkan untuk
menyampaikan dakwahnya. Sebab, seorang da’i tidak akan berhasil sampai
kepada sasaran dakwahnya, kecuali jika ia menempuh atau menggunakan
berbagai cara yang dibolehkan oleh syari’ai Islam. Dalam hal berdakwah
inilah, menurut Gulen, para da’i-da’i Islam sedikitpun tidak boleh
menyampaikan dakwah kepada orang lain dengan cara-cara yang dilarang
oleh aturan Islam. Karena, dakwah Islam adalah sarana untuk mengajak
manusia kepada kebaikan, bukan mengajak manusia kepada keburukan. Oleh
karena itu, menurut Gulen, seorang da’i harus melakukannya dengan cara
yang baik, seperti tidak berbohong, mencaci maki, dan menyakiti pihak lain
dengan tutur kata maupun perilakunya.43
Dalam hubungan menyampaikan dakwah dengan cara yang baik ini,
menurut Gulen, Allah Swt akan menghilangkan keberkahan dan kedamaian
dari sisi para da’i yang menggunakan cara dakwah yang tidak Islami.
Adakalanya seorang da’i dapat menyampaikan materi dakwahnya di tengah
ribuan umat, dan mereka mendapat sambutan yang hangat dari para
pendengarnya. Akan tetapi, karena ia menggunakan cara yang tidak baik,
maka apa yang ia sampaikan tidak akan mendapat berkah dari sisi Allah.44
Dalam proses kegiatan menyampaikan pesan-pesan agama inilah,
menurut Gulen, seorang da’i tidak perlu menggunakan cara-cara yang tidak
diridhai oleh Allah untuk menyampaikan materi dakwahnya. Seorang da’i
hanya diperintahkan untuk menyampaikan dakwahnya dengan cara-cara yang
baik, sesuai dengan aturan Islam. Seorang da’i tidak berhak menggunakan
cara-cara yang tidak Islami di dalam berdakwah. Sebagaimana yang banyak
berkembang belakangan ini, banyak cara yang digunakan oleh para da’i untuk
menyampaikan dakwahnya, meskipun ia harus bergurau yang tidak sehat, dan
mengutip ucapan-ucapan buruk. Dengan kata lain, setiap da’i harus
42
Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 55-56.
43Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 98. 44
Dalam pandangan Gulen, seorang da’i yang berdakwah kepada sejumlah orang
saja, namun da’i tersebut menyampaikan dakwahnya dengan cara yang diridhai oleh Allah
swt, maka nilai dakwahnya menyamai kuantitas dakwah kepada seribu orang. Sebaliknya,
seribu orang pendengar dakwah, akan tetapi da’i yang menyampaikan materi dakwah tersebut
tidak dengan cara yang diridhai Allah, maka kualitas dakwahnya justru tidak menyentuh
seorang pendengar pun, karena bobot atau kapasitas keberkahannya yang berbeda.
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-
S{a>lih}i>, 98.
61
menyampaikan dakwahnya dengan jujur, ikhlas, sungguh-sungguh, dan sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an maupun al-Sunnah.45
4. Melakukan apa yang disampaikan
Cara berdakwah yang paling mendekati keberhasilan menurut Gulen
adalah, hendaknya para da’i hidup dengan apa yang ia sampaikan kepada
umat atau pendengar dakwahnya, sebab, tujuan dakwah hanyalah untuk
mengajak manusia ke jalan Allah swt yang lurus, dan seorang mukmin adalah
siapa yang lahir maupun batinnya lurus. Jika hidup seorang mukmin
setengah-setengah, maka ia dapat dikatakan sebagai seorang yang bersikap
munafik. Oleh karena itu, seorang da’i harus bersih dari segala sifat yang
tidak terpuji. Karena keimanan yang kuat bernilai sangat tinggi, dan ia tidak
akan menyampaikan sesuatu kecuali yang baik serta lurus di setiap masa dan
tempat.46
Perlu diperhatikan dan diamati lebih jauh, ketika setiap dakwah yang
disampaikan tidak mengena di kalbu pendengarnya, maka dakwah semacam
itu tidak akan berguna sedikitpun bagi mereka. Apalagi kalau para da’i-nya
tidak mempunyai hati yang bersih dan ikhlas. Sehingga Allah swt tidak
menurunkan berkah dan kebaikan di hati para da’i ini. Dakwah apa saja yang
disampaikan oleh para da’i, akan tetapi apa yang disampaikan tidak dijiwai
oleh para penyampainya sendiri, maka dakwah semacam itu tidak akan
memberi pengaruh sedikitpun di kalbu para pendengarnya. Seharusnya dalam
diri da’i tidak ada pertentangan antara lahir dan batin mereka di segala
bidang, baik itu pada saat mereka tengah sendirian maupun ketika bersama
orang banyak. Jika seorang da’i melakukan suatu kesalahan, hendaknya ia
segera memperbaiki kesalahannya itu, agar perhitungannya di hadapan Allah
swt tidak memberatkan dirinya. Dalam pandangan Gulen, berikut upaya yang
harus dilakukan oleh para da’i agar dakwahnya dapat diterima dengan baik:
a. Menjadi Teladan yang Baik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para da’i adalah para
penyampai pesan-pesan Allah Swt dan Rasul-Nya tentang kebenaran
45
Teknik metodik yang digunakan dalam berdakwah bersifat fleksibel dan
kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat di mana dakwah diterapkan. Cara dakwah ini
meliputi beragam dimensi, baik dimensi psikologis, sosiologis maupun teknologi. Adapun
secara psikologis, Islam telah memberikan tuntunan berdakwah yang baik dan efektif
terhadap ranah kejiwaan manusia, sehingga bisa memperoleh simpati dari masyarakat; antara
lain dakwah dengan h}ikmah, mauiz}ah, dan mujadalah yang baik. Al-Qur’an sendiri bahkan
melarang cara berdakwah dengan sikap dan hati yang keras lagi kasar. Karena hal itu justru
mnyebabkan audiens akan menjauh dari Islam. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo
Press, 2008), 37. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj
Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 99. 46
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 120-121.
62
ajaran agama. Untuk misi dan tugas yang mulia ini, tentu kualifikasi dan
syarat kelayakan, terutama dalam bentuk sifat-sifat terpuji mutlak harus
dipenuhi. Hal ini dikarenakan, para da’i pencitra dakwah. Jika mereka
baik, maka dakwah akan dicitrakan baik. Begitu pula sebaliknya. ‚al-Da’wah Mahju>bah bi al-Du’a>t‛ begitulah kemuliaan dakwah seringkali
tertutupi dan tidak dirasakan oleh umat. Justru karena pelaku para da’i
yang bertolak belakang dengan citra dakwah.47
Menyampaikan dakwah di tengah masyarakat Islam bukan semata
tugas yang mesti ditunaikan, akan tetapi lebih mencakup kepada segala
aspek kehidupan. Dalam pengertian, membentuk kepribadian setiap
individu masyarakat sesuai ajaran Islam pada keseharian mereka. Dalam
pandangan Gulen, dakwah tidak tergolong sukses pada diri seseorang
jika hanya diukur dengan kerajinannya berangkat ke masjid, pulang dari
ibadah haji, atau ikut hadir di hari besar islam; seperti perayaan Maulid
Nabi saw dan sebagainya. Lebih jauh menurut Gulen, da’i bisa disebut
sukses bila berhasil mengubah perilaku pendengarnya dalam segala aspek
hidupnya bukan hanya sekedar penampilan luarnya saja.48
Dalam pandangan Gulen, jalan dan tantangan dakwah saat ini masih
seprti dahulu, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pada polanya.
Adapun yang sukses dalam berdakwah adalah gerakan yang terpancar
dari keimanan, dan jauh dari unsur campur tangan kepentingan pribadi
yang mengandalkan bentuk atau tampilan luarnya saja. Intinya, seorang
da’i harus mengatur segala tindak-tanduknya dalam hidup untuk menjadi
teladan bagi yang lainnya. Kemanapun seorang da’i pergi, ia harus
memerhatikan misi yang ia bawa, kemudian ia terapkan dalam gerak-
geriknya.49
Dalam konteks posisi da’i yang cukup tinggi, baik dimata Allah
Swt. maupun di mata manusia, maka menjadi wajar kemudian da’i
menjadi sorotan dan bahan perbincangan umat. Ibn Qa>yim menegaskan
47
Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, (Jakarta: al-I’tishom, 2011), 43.
48Perubahan penampilan luar telah memberikan kepuasan bagi sebagian da’i, hanya
saja semua cara ini telah jauh dari target utama dawah di masyarakat. Intinya, penyebab
utama merosotnya moral masyarakat Islam lantaran tidak adanya amar ma’ruf nahi munkar secara merata dan bernilai signifikan. Tugas sebagai da’i, merupakan tugas yang sangat mulia
di masa kini. Tugas ini harus diemban oleh setiap individu muslim. Sebab, kerusakan moral
telah melanda di mana-mana, serbuk kehancuran moral itu pertama menyerang satu orang,
kemudian menular kepada yang lain, hingga merata ke seluruh lapisan masyarakat. Perlu
diyakini, bahwa tugas ini merupakan bukti keimanan kita yang harus dikedepankan dari
perkara lainnya. Sejak dahulu sampai sekarang mereka yang membela agama ini terbukti
adalah mereka yang kuat sekali keimanannya.Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 123-124.
49Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 124.
63
sebagaimana yang di kutip Atabik Luthfi, pentingnya seorang da’i untuk
mengukur dirinya dengan kemuliaan dakwah, serta memposisikan diri
sesuai dengan posisi dakwah yang tinggi. Ini merupakan suatu kemuliaan
sekaligus satu amanah yang berat, yang memang hanya bisa diemban
oleh manusia yang mulia dan tinngi.50
Inilah pola hidup para nabi dan para shalihin. Setiap gerak dan
langkah mereka menuntun manusia ke jalan Allah swt. mereka telah
menyampaikan dan menerapkan misi yang mereka bawa secara simultan.
Berbeda dengan mereka yang bertolak belakang antara perbuatan dan
ucapannya. mereka menyesatkan banyak orang yang mengekor kepada
apa yang mereka sampaikan, sehingga semuanya terjatuh ke dalam
lembah yang sama, kebinasaan. Allah Swt. mewahyukan kepada nabi
Allah ‘Isa as, ‚Yang pertama, bimbinglah dirimu menuju keridhaan-Nya.
Kalau sudah tunduk, barulah engkau menasehati orang lain. Sebab, kalau
tidak demikian, malulah engkau kepada-Ku dalam menasehati orang
lain‛.51
Menurut Gulen, nasihat ini bukan hanya ditujukan kepada nabi ‘Isa
as dalam arti statusnya sebagai rasul-Nya. Akan tetapi, nasihat tersebut
juga mencakup seluruh rasul dan setiap orang yang bergerak di bidang
dakwah. Sebagaimana Allah swt telah menjelaskan di dalam al-Qur’an:
‚Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?‛(QS. al-Baqarah:
44).
Menurut Gulen, ayat ini merupakan ancaman keras bagi bani Israil
di masa itu, dan pelajaran yang bisa dipetik oleh kaum muslim di masa
ini adalah, janganlah kalian menyuruh sesuatu yang tidak kalian lakukan.
Sebab, perbuatan yang bertolak belakang dengan ucapan merupakan
penipuan. Oleh karena itu, banyak dari para da’i yang tidak diterima oleh
50
Lebih lanjut Ibn Qa>yim membuat analogi (perumpamaan) seorang da’i seperti
seorang yang memagang jabatan strategis di pemerintahan yang mempunyai kewenangan
memberi persetujuan atas nama raja. Sehingga dalam pandangan Ibn Qa>yim, sosok ideal
seorang da’i adalah yang memenuhi beberapa kualifikasi berikut: pertama, memiliki landasan
ilmu apa yang disampaikan (al-Ilmu bi ma yuba>ligh). Kedua, jujur dan benar terhadap apa
yang disampaikan (al-S{idq fi ma yuba>ligh). Ketiga, baik dalam cara penyampainnya (h}asanah t}ari>qah fi al-Tabligh). Keempat, baik di dalam menjaga citra dan perilaku di tengah-tengah
manusia. Kelima, adil pada ucpan dan perbuatan (al-‘Adl fi> aqwa>lihi wa af’alihi). Atabik
Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, 45. 51
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 124.
64
masyarakatnya, bahkan tidak dipercaya oleh mereka, lantaran mereka
mengucapkan sesuatu yang mereka sendiri tidak melakukannya.52
Dalam konteks dakwah ini menurut Muhammad Abduh, kekuatan
inti yang menggerakkan roda dakwah adalah para da’i. Keteladanan yang
baik dari para da’i merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan dalam
perjuangan dakwah. Hal ini dikarenakan umat sekarang sangat
membutuhkan kehadiran seorang teladan yang bisa dijadiakan contoh
yang bisa diikuti. Dengannya mereka bisa menutupi kekurangan mereka
dengan bercermin dari sosok yang mereka teladani. Sehingga merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, bahwa keteladanan yang baik
merupakan sarana pendidikan dan perubahan ke arah yang lebih baik.53
b. Ketegaran dan Kesabaran
Sudah menjadi sunnahtullah, kalau dakwah selalu menghadapi
tantangan dan rintangan di setiap kondisinya. Apalagi kaitannya cukup
erat dengan pengenalan manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena
inilah asas utama hidup manusia dalam mencapai kebahagiaan. Tanpa
semua ini, maka tidak akan ada gunanya wujud manusia di muka bumi.
Inilah pentingnya manusia mengetahui keagungan tugas berdakwah, agar
hidup mereka menjadi lebih bermanfaat dan bermakna. Sekecil apapun
usaha menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, tidak boleh dihapuskan
sama sekali dari kemuliaan nilainya. Sebab, usaha ini sangat berguna
bagi orang-orang beriman, sehingga mereka mencapai kebahagiaan hidup
di alam dunia maupun akhirat kelak. Menurut Gulen, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah termasuk perintah keimanan. Siapa saja yang
melakukannya dengan baik, maka ia termasuk orang-orang yang menjaga
keimanannya. Hendaklah setiap mukmin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun sebatas pada lingkup keluarga kecil dan rumah
tangganya. Tanpa hal itu, maka mereka akan mendapat dampak negatif,
seperti yang ditampakan kepada Bani Israil.54
Sedangkan para da’i yang bersikap ikhlas menurut Gulen, senantiasa
menanti datangnya berbagai cobaan, karena mereka yakin bahwa mereka
52
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 125. 53
Sejarah telah mencatat, bahwa tersebarnya Islam ke segenap pelosok adalah karena
kpribadian para da’i yang memancarkan kebaikan pada seluruh umat manusia terutama akhlak
pemimpin dakwah yaitu Rasulullah saw. seperti yang dijamin oleh Allah Swt dalam Firman-
Nya, ‚sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung‛. Atabik Luthfi,
Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, 45-46. 54
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 126. Lihat juga Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita: Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, trj. Fuad Syaifudin Nur dan Syarif Hade Masya, (Jakarta: Republika, 2013), 176-177.
65
tidak akan sukses selama mereka tidak dicoba seperti orang-orang yang
pernah menegakkan kebenaran di masa lalu. Mereka berharap mampu
menghadapi berbagai bentuk cobaan dengan sungguh-sungguh. Akan
tetapi, jika mereka diterima dengan baik, maka mereka akan banyak
bersyukur kepada Allah Swt. atas karunia-Nya, dan mereka akan
melanjutkan tugas suci itu hingga akhir hayat.55
c. Menjauhkan Diri dari Kemunafikan dalam Berbicara
Menurut Gulen, Seorang da’i harus selalu merasa bahwa dirinya
senantiasa diperhatikan oleh Allah swt, dan hendaknya ia selalu
memperhitungkan perbuatan yang dilakukan pada setiap waktunya. Ia
akan berusaha selalu berbuat kebaikan, seperti ketika ia mengajak orang
lain untuk berbuat yang sama. Sedikitpun ia tidak akan pernah
melakukan kejahatan yang pernah ia larang orang lain dari
mengerjakannya. Ia akan selalu mengajak orang lain ke jalan yang baik,
dan ia selalu takut kalau dirinya terjatuh dalam lingkaran kemunafikan.
Oleh karena itu, ia akan selalu bersikap ikhlas. Lebih jauh menurut
Gulen, Rasulullah saw pernah menerangkan dalam sebuah hadis yang
sangat menakutkan bagi setiap mukmin yang suka menasehatkan
kebaikan kepada orang lain, seperti yang disebutkan dalam sabda beliau
berikut ini, ‚Sesungguhnya yang paling aku takutkan terjadi pada umatku adalah kemunafikan dalam berbicara‛.56
Lebih spesifik lagi Gulen menjelaskan, seorang mukmin yang sejati
akan selalu merasa takut kalau dirinya terjerembab ke dalam lubang
kemunafikan. Oleh karena itu, setiap saatnya ia merasa untuk
menyampaikan nasihat yang baik kepada orang lain. Penjelasan hadis di
55
Seorang mukmin yang mukhlis dan bersungguh-sungguh antara perbuatan dengan
tutur katanya, menurut Gulen, ia tidak akan berdusta seperti apa yang dilakukan oleh orang-
orang munafik. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Qur’an. Dengan kata lain, siapa
saja yang berusaha menerangkan tentang agama ini, keimanan, al-Qur’an, dan nilai-nilai
keislaman. Maka hedaknya ia meluruskan perbuatan mereka sesuai dengan tutur kata yang
mereka ucap. Sekecil apapun hendaknya mereka tidak melakukan perbuatan dosa dalam
hidupnya. Dan, hendaknya pula mereka menganggap perbuatan dosa itu sebagai sesuatu yang
sangat membahayakan bagi diri mereka. Jika mereka sampai melakukan perbuatan dosa yang
terpublikasi, mereka akan merasa tersiksa, dan akan menderita kekecewaan yang sangat
mendalam sepanjang hidup. Sehingga mereka harus selalu memohon ampunan. Muhammad
Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 126-127.
Lihat juga Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan
Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 62. 56
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 127. Bandingkan Muhammad Fathullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. terj Mehmet Unal, (New Jersey, Tughra Books, 2011), 162
66
atas termasuk ancaman bagi para pelakunya. Adakalanya sejumlah da’i
terus menerus berdakwah di berbagai media masa, akan tetapi wajah
mereka tidak pernah terlihat sebagai orang-orang yang ahli sujud, kalbu
mereka kosong dari sikap keikhlasan, dan pribadi mereka terlihat tidak
jujur. Dalam pandangan Gulen para da’i mempunyai posisi yang sangat
penting. Sebagaimana Gulen memberikan perumpamaan: ‚Imam yang
bodoh bisa melenyapkan agama dan dokter yang bodoh bisa
melenyapkan nyawa.‛ Dari perumpamaan di atas mengisaratkan bahaya
da’i yang bodoh lebih besar daripada dokter yang bodoh, karena
kebodohan dokter dan bahayanya terbatas pada kehidupan jangka pendek
di dunia, sementara da’i bodoh merusak kehidupan abadi.57
Al-Qur’an banyak menyebut sifat-sifat baik orang-orang yang
berdakwah, dan al-Qur’an juga memperingatkan mereka dari sifat-sifat
kemunafikan. Agar orang-orang beriman tidak terjerembab ke dalam
nilai-nilai kemunafikan. Seperti yang telah disebutkan oleh Allah swt
dalam firman-Nya berikut ini;
‚Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu mendengarkan Perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar, mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. mereka Itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?‛ (al-
Munafiqun: 4).
Menurut Gulen, Penjelasan dari firman Allah Swt. di atas
menunjukkan bahwa kaum munafik selalu berlawanan antara kata
dengan perbuatannya. Bukan itu saja, sebagaimana yang diterangkan
oleh al-Qur’an, bahkan gerak-gerik badan mereka, perbuatan mereka,
juga ucapan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah kaum munafik.
Mereka mampu mengumpulkan orang banyak, dan mengajak mereka
57
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 128. Baca juga Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 78.
67
mengikuti tutur kata mereka. Sehingga para pendengar itu bagaikan
orang-orang yang tengah terkena sihir oleh tutur kata mereka. Padahal
sesungguhnya mereka adalah musuh yang nyata bagi masyarakat.58
Al-Qur’an menyebutkan sifat orang-orang munafik sejelas itu, agar
orang-orang beriman tidak sampai tertipu oleh perbuatan mereka yang
mengajak manusia dengan nama agama, kesatuan, dan persatuan.
Sementara itu, mereka sendiri tidak pernah melakukan (mengamalkan)
semua perintah tersebut sedikitpun. Al-Qur’an mengancam orang-oang
munafik itu dengan ancaman yang sangat keras, agar orang-orang yang
beriman tidak memberi kesempatan sedikitpun bagi mereka untuk hidup
di tengah orang-orang yang beriman. Firman Allah swt di atas menurut
Gulen, akan membuat kalbu setiap da’i yang mukhlis menjadi gemetar.
Sebab, da’i yang mukhlis takut kalau ia sampai terjerembab ke lembah
kemunafikan. Oleh karena itu, da’i yang mukhlis akan selalu berhati-hati
dalam tutur kata dan perbuatannya, agar ia terhindar dari ancaman Allah,
seperti yang ditujukan kepada orang-orang munafik.59
d. Bukan karena Kepandaian dalam Beretorika
Dalam pandangan Gulen, pengaruh tutur kata dan perbuatan seorang
da’i bagi para pendengarnya bergantung kepada besar-kecilnya
keikhlasan. Jika seorang da’i tidak ikhlas, maka tutur katanya tidak akan
berpengaruh sedikitpun di kalbu para pendengarnya. Artinya, sampainya
petunjuk ke kalbu seseorang tidak bergantung kepada kehebatan orasi
sang da’i, akan tetapi lebih karena pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Sebagaiman yang telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya
berikut ini,
‚Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk‛. (QS. al-Qashash: 56).
Menurut Gulen, Firman Allah di atas mengisyaratkan, bahwa yang
berwenang memberi petunjuk (hidayah) ke dalam kalbu seorang hamba
hanya Allah semata, bukan karena baiknya perilaku atau tutur kata
seseorang. Oleh karena itu, setiap da’i hendaknya senantiasa bersikap
ikhlas ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain. Agar orang
58
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 128-129. 59
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 129.
68
lain mendapat petunjuk dari sisi Allah swt melalui dakwahnya. Al-
Qur’an menyebutkan bagi setiap mukmin, ia harus menyamakan antara
tutur kata dan perbuatannya. Jika ia dapat menyamakan antara tutur kata
dan perbuatannya, maka ia termasuk seorang mukmin yang sejati. Jika
tidak, maka ia termasuk seorang yang munafik. Ada sebagian orang yang
mengira, jika seseorang tidak dapat berjuang dan tidak dapat menjauhi
segala perbuatan maksiat, maka cukup baginya menyampaikan nasihat-
nasihat yang baik bagi orang lain. Tentunya, perkiraan semacam itu
tidak lain hanyalah bisikan setan belaka, sedikitpun tidak ada
hubungannya dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah.60
Al-Qur’an telah mengabadikan ucapan nabi Allah Syu’aib as
sebagai berikut,
‚…Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan…‛. (QS. Hud: 88).
Penjelasan lebih lanjut dari firman Allah di atas adalah, ketika Nabi
Syu’aib tengah berdilog dengan kaum beliau, ‚Ketahuilah, bahwa aku
tidak mengharapkan kebaikan apapun dari sisi kalian, utamanya pada
saat aku mengatakan bahwa riba itu diharamkan, dan suap menyuap itu
dilarang. Sebab, aku tidak terpikir ingin mendapat suap sedikitpun dari
kalian‛. Ucapan nabi Allah Syu’aib as yang sepolos itu menunjukkan,
bahwa dirinya benar-benar jujur dalam menyampaikan dakwah kepada
umat beliau. Apalagi beliau adalah seorang nabi dan utusan Allah.
Masalah ini harus dijadikan pedoman bagi setiap da’i . nabi Allah
Syu’aib as mengajak kaum beliau ke jalan Allah, dan kepada jalan yang
lurus. Beliau selalu ingat akan pokok-pokok dasar berdakwah, dan al-
Qur’an berulang kali menyebutkan pokok-pokok berdakwah itu kepada
kita.61
60
Petunjuk (hidayah) hanya ada di tangan Allah Swt. Dia akan memberikan petunjuk
itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah akan memberi bagi siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, tidak seorang da’i pun yang pantas merasa bahwa ia dapat
menyampaikan petunjuk ke dalam kalbu seseorang, baik itu berkaitan dengan perilaku
maupun tutur katanya. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h,
terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 129-130. 61
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 131.
69
Rasulullah saw juga menyebutkan pokok-pokok berdakwah itu
berulang kali. Rasulullah tidak pernah menyebutkan, bahwa beliau
adalah orang yang paling taat, seorang nabi yang tidak diungguli oleh
siapapun, khususnya ketika beliau Isra’ dan Mi’raj, serta Allah selalu
mengingatkan beliau di dalam firman-Nya swt berikut ini,
‚Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)‛. (QS. al-Hijr: 99).
Penjelasan ayat di atas menurut Gulen, Nabi saw selalu berpegang
teguh kepada perintah Allah swt sepanjang hidup. Beliau tidak pernah
merasa diri mempunyai kelebihan apapun tanpa izin Allah Swt. Setiap
tutur kata yang beliau sampaikan mempunyai kesan tersendiri bagi
pendengar. Karena tutur kata beliau saw tidak pernah bertentangan
dengan perbuatan beliau sehari-hari meskipun beliau dalam kedaan yang
sangat memprihatinkan. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah
berkata kepada Sayyidah ‘Aisyah ra di suatu malam, ‚Wahai ‘Aisyah
izinkan aku beribadah di malam ini‛. jawab ‘Aisyah, ‚ Demi Allah,
sebenarnya aku masih senang berada di dekatmu, akan tetapi aku lebih
senang terhadap apa saja yang menyebabkan engkau gembira dengan
melakukannya‛. Maka saw bangun dari tempat tidur, kemudian bersuci
dan melakukan shalat malam. Dalam shalat itu, beliau saw menangis
hingga membasahi tempat sujud beliau, sampai Bilal datang untuk
memberi tahu bahwa sudah tiba waktunya shalat Shubuh.62
Hal yang paling pokok bagi setiap da’i menurut gulen, adalah
hendaknya ia selalu menghubungkan kalbunya kepada Allah swt. Itulah
yang dijalankan oleh Rasulullah saw sebagai hamba yang sekaligus
Rasul-Nya. Karena, jika seorang hamba tidak merasa dekat dengan Allah
sebagai Tuhannya, maka hidupnya akan terasa hampa (kosong), sehingga
62
Rasulullah saw adalah seorang nabi yang senantiasa mengajak umat beliau ke jalan
Allah swt dan beliau selalu mendudukan beliau sebagai hanba-Nya. Beliau saw senantiasa
meningkatkan ibadah setiap saatnya, meskipun beliau tengah menderita sakit, dan beliau
tidak bisa berdiri untuk menegakkan shalat, hingga akhir hayat beliau. Meskipun dalam
keadaan sakit, Rasulullah saw senantiasa memikirkan istri-istri beliau, anak cucu, dan umat
beliau. Rasulullah ingin kalau mereka semua diberi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Meskipun dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, Rasulullah saw senantiasa melakukan
berbagai ibadah sunah. Beliau masih melakukan shalat sunah yang sangat panjang. Jika beliau
tidak dapat melakukan sambil berdiri, maka beliau melakukannya sambil duduk. Beliau juga
senantiasa bersungguh-sungguh dan bersikap tawadhu’, ikhlas serta memenuhi janji.
Rasulullah saw adalah suri teladan yang terbaik bagi umat beliau, sehingga beliau senantiasa
menaati perintah Allah Swt. hingga akhir hayat beliau.Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 131-132.
70
ia dipacu oleh nafsunya untuk berbuat segala sesuatu (amalan) yang
buruk.63
e. Selalu Mengiringi dengan Do’a
Selain beberapa sifat terpuji dari sifat rasulullah saw yang telah
disebutkan di atas, bahwa beliau senantiasa berdo’a di samping
menyampaikan dakwah kepada umat beliau. Bahkan Rasulullah saw
senantiasa menganjurkan kepada para sahabat beliau dan umat Islam
pada umumnya untuk senantiasa berdo’a. seperti yang telah disebutkan
di dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini,
‚Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), Padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)". (QS.
al-Furqa>n: 77).
Rasulullah saw senantiasa berdo’a ketika beliau hendak tidur,
setelah bangun dari tidur, pada saat hendak makan, minum, ketika
hendak berpakaian, juga pada saat melepaskan pakaian. Beliau juga
senantiasa berdo’a ketika hendak memasuki kamar mandi, juga pada saat
hendak berwudhu’. Dengan demikian, beliau saw senantiasa berdo’a
dalam urusan keduniaan beliau. Tidak seorangpun yang selalu berdzikir
kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berdo’a dalam segala urusannya, seperti
yang dilakukan oleh beliau.64
Contoh kehidupan Rasulullah saw yang dipenuhi berbagai bentuk
teladan yang baik telah dijadikan simbol dan contoh hidup bagi setiap
orang dari umat beliau. Sehingga tidak seorangpun di muka bumi ini
yang dijadikan contoh oleh orang banyak selain beliau saw, dan contoh
yang beliau ajarkan itu telah diikuti oleh umat beliau sejak lebih dari
lima belas abad yang lalu. Hampir seluruh suri teladan baik yang pernah
beliau saw contohkan bagi umat beliau telah dilaksanakan oleh umat
Islam sepanjang hidup mereka masing-masing. Sejak dari contoh ketika
63
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 132. Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>ni>yah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, 85-87.
64Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 134.
71
beliau saw makan dan minum, memakai pakaian, ketika berdiri, duduk,
bertutur kata, membuat perjanjian, dan segala urusan lainnya.65
Dengan mengikuti jejak Rasulullah saw secara teliti dan detail,
maka para da’i dapat dijadikan contoh yang baik oleh masyarakatnya.
Sebenarnya tugas seorang da’i harus menjadi suri teladan yang baik bagi
umat Islam, agar suri teladan yang baik dari pribadi Rasulullah saw dan
para sahabat beliau senantiasa hidup ditengah-tengah masyarakat Islam
di sepanjang masa dan semua tempat. Sebab, apabila kita ingin hidup
bahagia di dunia dan di alam akhirat kelak, maka tidak ada jalan lain
bagi kita, selain harus mengikuti jejak Rasulullah saw serta para sahabat
beliau.66
Menurut Gulen, Selain mementingkan masalah shalat, para sahabat
juga peduli kepada rukun-rukun agama yang lain, mulai dari rukun Iman
hingga rukun Islam. Mereka selalu menasehati umat Islam masing-
masing untuk peduli kepada semua perintah Allah swt dan larangan-Nya.
Selain itu, menurut Gulen, salah satu bentuk kehidupan Rasulullah saw,
beliau tidak pernah menyepelekan sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan beragama. Sedikit pun Rasulullah saw tidak pernah
melalaikan salah satu tugas keagamaan yang tengah beliau emban.
Sehingga dalam waktu singkat atau selama lebih kurang dua puluh tiga
tahun lamanya beliau dapat mendirikan suatu negara Islam yang sangat
besar dan mulia.67
Rasulullah saw sangat peduli terhadap kepentingan umat beliau, dan
hubungan mereka dengan beliau. Meskipun urusan Rasulullah saw sangat
terkait erat dengan dunia dan seisinya, akan tetapi beliau tetap tidak
pernah melupakan seorangpun dari keluarga dan para sahabat beliau
yang juga mulia. Rasulullah saw senantiasa memohon pertolongan
kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Dia senantiasa memberikan ampunan
65
Suri teladan yang baik dari Rasulullah saw itu selalu diperankan oleh setiap orang
dari umat beliau dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, di dalam kehidupan Rasulullah tidak ada
waktu sia-sia untuk tidak berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla. Contoh baik dari seluruh
perbuatan Rasulullah telah dilakukan oleh para sahabat beliau secara cermat dan tepat.
Seperti yang mereka lihat dalam kehidupan beliau saw sehari-hari. Muhammad Fathullah
Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 135. 66
Disadari atau tidak, Islam selalu mengerahkan, membimbing serta memenuhi
kebutuhan kita. Bahkan Islam dan Rasul-Nya juga mengobarkan semangat juang. Selain itu
sikap Islam dan rasul-Nya yang seimbang dan moderat mampu meluaskan hati dalam
menyelesaikan masalah-masalah tentang kebenaran, keadilan, persamaan hak dan kewajiban.
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-
S{a>lih}i>, 136. Lihat juga Muhammad Fethullah Gulan, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, terj
Fuad Syaifuddin Nur dan Syarif Hade Masyah, (Jakarta: Republika, 2013), 161-162. 67
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 137.
72
dan kemenangan bagi umat Islam sepanjang masa. Dan, beliau tidak
melakukan apapun kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.68
Demikian pula sahabat Abu Bakar al-Shiddiq ra. yang tidak pernah
meninggalkan shalat tahajjudnya walau semalam, meskipun ia sangat
sibuk memerangi orang-orang yang murtad di siang hari, namun ia tidak
pernah meninggalkan bacaan al-Qur’annya setiap siang dan malam
harinya. Abu Bakar juga kerap menangis ketika membaca ayat-ayat suci
al-Qur’an. Demikian pula hanya dengan sahabat ‘Umar ibn Khathab ra
yang berhasil mengalahkan dua kerajaan besar seperti Romawi dan
Persia. Akan tetapi ‘Umar tidak pernah lalai sedikitpun dari menegakkan
ibadah dan perjuangan Islam. Tidak berbeda jauh dengan Abu Bakar dan
Umar, sahabat ‘Utsman ibn ‘Affan ra pun melakukan hal yang serupa.
Pada saat ia tengah sibuk menghadapi berbagai cobaan dari internal
umat Islam, ia terus-menerus berusaha dan membaca al-Qur’an tanpa
henti. Sehingga ia terbunuh ketika tengah berpuasa dan saat membaca
al-Qur’an. Darah ‘Utsman menetes di atas lembaran (mushaf) al-Qur’an
yang masih terbuka, dan kelak akan menjadi saksi baginya bahwa ia
terbunuh ketika sedang membaca al-Qur’an.69
Seperti telah disebutkan didalam firman-Nya swt sebagai berikut:
‚...Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui‛. (QS. al-Baqarah: 137).
Demikian pula kondisinya dengan sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra ia
tidak pernah lalai dari mendirikan shalat malam sesaatpun. Setiap malam
‘Ali selalu bermunajat dan bersujud di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla,
Serta ia merasa gemetar setiap kali mendengar suara adzan. Sebab, ‘Ali
merasa bahwa telah tiba saatnya untuk menghadap kepada Allah di
dalam mendirikan shalatnya.70
68
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 137-138. 69
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 138. 70
Para sahabat Rasulullah saw telah menunaikan kewajiban berupa amar ma’ruf nahi munkar dengan sebaik mungkin. Mereka berhasil di dalam menunaikannya dengan sungguh-
sungguh dan mengharapkan keridhaan Allah Swt. semata. Dengan kata lain , setiap mukmin
dan muslim wajib baginya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar , apapun tugas sehari-
harinya, baik ia sebagai orangtua, sebagai imam masjid, sebagai da’i, sebagai guru, sebagai
dosen sebagai mahasiswa atau sebagai murid. Hendaknya setiap orang dari mereka
melakukannya dengan keikhlasan penuh semata karena Allah swt. Muhammad Fathullah
Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 138-139.
73
Siapa saja yang melakukannya dengan ikhlas, maka ia akan
menyesuaikan perilaku dan tutur katanya, serta ia akan menghayati
tugas suci itu dengan baik. Setiap dakwah yang tidak disampaikan
dengan ikhlas, dan tidak dilaksanakan dengan suatu wujud pengamalan,
maka dakwahnya dinilai gagal, meskipun ia telah melaksanakannya
dengan baik. Sebab, urusan dakwah sangat erat kaitannya dengan
perkara akhirat. Seperti yang telah disebutkan di dalam sabda Rasulullah
saw sebagai berikut, ‚Ketika aku di-Isra dan Mi’rajkan, aku melihat sekelompok orang yang menggores lidah mereka dengan penggores tajam dari api neraka. Maka aku bertanya kepada malaikat Jibril, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’, Jawab Jibril, ‘Mereka itu adalah para pemberi nasihat yang gemar memberikan nasihat ke jalan kebaikan, akan tetapi diri mereka sendiri tidak pernah mengerjakan perbuatan baik itu, meskipun mereka membaca firman-firman Allah‛.71
Itulah dampak negatif yang diterima bagi para pemberi nasihat yang
baik, yang mereka tidak pernah melakukannya. Mereka melarang
manusia dari perbuatan munkar, akan tetapi mereka sendiri justru
melakukannya. Dewasa ini kita sangat membutuhkan para da’i yang
melaksanakan berbagai nasihat baiknya, serta larangan dari kemunkaran.
Dalam hal dakwah ini, masyarakat tidak butuh kepada orang-orang yang
hanya pandai berbicara, tanpa bersedia mengamalkannya dengan baik.
Menurut Gulen, orang-orang semacam itu bagai kumpulan keledai yang
mengangkat sejumlah kitab yang berisikan ilmu, akan tetapi kitab-kitab
yang berisikan ilmu itu tidak berguna sedikitpun baginya.72
Dari berbagai dasar-dasar dan kaidah-kaidah dalam dakwah, secara
garis besar Gulen membagikan agar petunjuk, perbaikan dan penyadaran
mendapatkan hasil. Maka hal yang paling utama dilakukan yakni
mengetahui termasuk dari golongan mana dari beberapa golongan di atas
yang ingkar yang kita tuju. Hal ini menurut Gulen, apabila persoalan ini
bisa dideteksi maka jelaslah apa yang harus dilakukan. Di sini Gulen
membaginya menjadi sebelas katagori: Pertama, harus mengetahui jenis
pengingkaran lawan bicara. Kedua, mengetahui tingkat intelektual dan
sosial lawan bicara, dengan demikian da’i dapat berbicara dengannya
dalam tingkat dan bahasa yang bisa dipahami. Ketiga, mengetahui secara
baik hal yang ingin kita sampaikan sekaligus memberikan jawaban yang
memuaskan terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan. Keempat, metode pemaksaan harus dijauhi. Kelima, pembicaran harus diarahkan
kepada hati lawan bicara. Setiap kalimat harus berawal dan berakhir
71
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 139. 72
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 139-140.
74
dengan kejujuran dan cinta, bersumber dari hati, serta tidak berisi celaan
dan kata yang kasar terhadap pribadi dan pemikiran lawan bicara.
Keenam, tidak boleh mengkritik pandangan keliru lawan bicara kita atau
pertanyaannya yang salah dengan cara yang menyakitkan. Ketujuh,
memperkenalkan orang yang ingkar kepada teman-teman yang memiliki
akidah sehat dan jiwa bercahaya lebih baik dan efektif daripada seribu
nasihat. Kedelapan, sebaliknya, ia tidak boleh diperkanalkan dengan
orang-orang yang tidak berprilaku baik dan tidak berpandangan benar.
Kesembilan, hendaklah dari para da’i membiarkannya berbicara serta
bercerita tentang diri dan perasaannya. Ia harus dihormati dan diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pemikirannya. Kesepuluh, hendaknya
dari para da’i perlu menegaskan bahwa berbagai pemikiran yang ia
kemukakan bukanlah pemikirannya seorang. Kesebelas, menyampaikan
dan menjelaskan kedua pilar syahadat.73
B.Gambaran dan Sifat seorang Da’i (Etika Dakwah)
1. Kasih Sayang.
Kasih sayang merupakan bentuk lain dari kelembutan yang lazim
dimiliki oleh da’i dalam berdakwah. Sikap ini termasuk bagian dari sentuhan
psikologis dalam berdakwah. Termasuk di dalamnya kesopanan. Adapun
kesopanan yang harus dipelihara sebagai etika berdakwah ini meliputi
perkataan dan perbuatan. Gaya atau perangai berbicara, cara mengenakan dan
bentuk pakaian yang dikenakan harus di jaga serapi-rapinya, sehingga tidak
melanggar norma-norma sosial yang telah berlaku di masyarakat, norma-
norma Islam dan juga tidak membosankan.74
Secara psikologis, sikap keras dan kasar yang ditunjukkan da’i
terhadap audiennya justru menyebabkan mereka antipati terhadap dirinya
maupun dakwah yang disampaikannya. Bukannya simpati yang mereka
rasakan, malahan justru ketakutan yang mencekam hati yang mereka rasakan
ketika berhadapan dengan da’i yang bersikap demikian. Karena itu Allah
Swt. menganjurkan agar da’i berhati lembut, pemaaf dan tegas, serta suka
bertukar pikiran dengan masyarakatnya dalam memecahkan persoalan.75
73
Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan
Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 66-70. 74
Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 66.
75Al-Qur’an menyatakan, sikap keras dan kaku sebagai perbuatan yang tidak etik
dalam berdakwah. Selain bertentangan dengan nilai kemanusiaan padaumumnya, sikap
tersebut juga berimplikasi pada tidak efektifnya tujuan dakwah yang hendak dicapai. Safrodin
Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 66.
75
Dalam hal ini, Allah menjelaskan kelemah lembutan sikap Nabi saw
dalam berdakwah sebgai rahmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepadanya.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat sebagai berikut:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”.76
Ayat di atas menggambarkan bahwa kelemahlembutan yang tampak
pada diri Nabi saw sehingga beliau tidak marah dan menghardik orang-orang
yang tidak mematuhi komandonya di perang Uhud yang berakibat kekalahan
bagi pasukan muslim merupakan sikap beliau yang tepat dan etis dalam
berdakwah. Kekalahan ini ada kaitannya dengan beberapa kesalahan yang
dilakukan sahabat-sahabat nabi sendiri, di antaranya; pertama, ada sedikit
ganjalan di hati nabi saw berkaitan dengan sikap para sahabat yang
berkeinginan menyongsong musuh di luar kota Madinah. Nabi saw sendiri
lebih cenderung bertahan di Madinah. Kedua, terdapat ketidak-kompakan di
antara pasukan Nabi saw (sepertiga kembali ke Madinah). Ketiga, mereka
menyalahi perintah Nabi saw. Keempat, mereka tergoda dan terpedaya
dengan ghani>mah (harta rampasan perang). Kelima, mereka menjadi lemah
mendengar kematian Nabi saw, lalu melarikan diri dan membiarkan nabi
dalam kelompok kecil.77
Meskipun demikian, berkat kasih sayang Tuhan yang ditanamkan ke
dalam jiwa Nabi saw, beliau tetap santun dan ramah kepada mereka. Bahkan
beliau memaafkan dan memohonkan ampun atas mereka. Sehingga dengan
sikap demikian itu, Nabi saw masih menjaga kesolidan umat Islam dan
pasukannya sehingga tidak bercerai berai. Padahal solidalitas dan kesatuan
umat Islam waktu itu sangat dibutuhkan di saat mereka masih menjadi umat
minoritas yang berhadap-hadapan dengan pasukan koalisi kafir Quraisy dan
Yahudi.78 Kenyataan ini, memperlihatkan dengan jelas kasih sayang Tuhan
76
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan
politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya. (QS. Ali‘Imran:159) 77
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 315-316.
78A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran
Dakwah Harakah, 316. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 67.
76
dalam akhlak dan watak Nabi saw yang serba baik, pengasih dan lemah
lembut, yang memungkinkan banyak orang terpikat dan bersimpati
kepadanya. Inilah kasih sayang yang menyebabkan Rasul saw menjadi orang
yang amat santun dan bersikap lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya.79
Apabila Nabi saw tidak bersikap demikian, bersikap kasar dan saling
menyalahkan maka kemungkinan perpecahan atau bahkan pemurtadan sangat
besar terjadi dalam umat Islam sendiri, dan hal itu akan menciptakan
persoalan besar bagi kelanjutan dakwah Islam waktu itu. Sebab itu, sikap
lembut yang ditunjukkan Nabi saw tersebut secara teologis disebut oleh al-
Qur’an sebagai rahmat Allah Swt. kepada Nabi saw yang memiliki manfaat
amat besar bagi umatI slam waktu itu.80
Setidaknya terdapat dua sikap yang dianggap etis menurut ayat
tersebut, yakni; pertama, sikap kasar, kedua, sikap kaku serta keras hati.
Kedua sikap ini kontra produktif dengan tujuan dakwah bila bercermin pada
diri da’i ketika berdakwah, yang bisa berakibat bukan simpatik yang
diperolehnya malahan cemoohan atau keingkaran yang dihadapinya. Oleh
sebab itu, al-Qur’an menegaskan agar para da’i memiliki sifat dan sikap-sikap
tertentu sebagai manifestasi etika berdakwah yang telah di contohkan oleh
Nabi saw dalam ayat tersebut, yakni; pertama, lemah lembut, kedua, pemaaf
dan suka meminta maaf kepada Allah Swt atas kesalahan umatnya, ketiga,
mentradisikan musyawarah dalam setiap memecahkan persoalan, keempat,
sikap tawakkal yang tinggi ketika memiliki kamauan untuk melakukan
perbuatan tertentu.81
Sikap-sikap tersebut merupakan sikap yang secara psikologis
memiliki watak positif yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan
(humanis) dan tentunya dapat diterima oleh manusia pada umumnya. Tradisi
musyawarah misalnya bisa kita nilai sebagai media untuk memecahkan
segala persoalan umat dengan melibatkan pendapat dan fikiran banyak orang,
dan ini sekaligus menjadi penghargaan tersendiri bagi eksistensi setiap
individu dan hak-haknya dalam komunitasnya. Tradisi ini sekaligus juga
menjadi media yang efektif untuk memelihara persatuan dan kesolidan umat
(komunitas). Karena, setiap individu melalui tradisi ini merasa dihargai
dalam struktur sosialnya.
Pesan lain yang tersirat dari ayat di atas adalah bahwa kelembutan
sikap dan bahkan perangai merupakan magnet psikologis sekaligus nilai etika
dakwah yang harus di bina oleh setiap da’i dalam aktifitas dakwahnya kepada
79
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 316.
80Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas
Qur’ani dan Realitas Sosial, 67. 81
Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 67-68.
77
setiap orang yang didakwahi tanpa diskriminasi, tanpa harus dibedakan oleh
strata sosial, jenis kelamin, bangsa, ras maupun warna kulit. Yang menjadi
pangkal perhatian dalam konteks tersebut adalah antusias dan ketulusan
mereka untuk mendapatkan nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran yang
baik dari dakwah.82
Prinsip etika lemah lembut dan kasih sayang ini juga dipertegas lagi
dengan perintah Allah Swt agar Nabi saw berdakwah dengan hikmah, dan
pelajaran yang baik serta nasehat yang baik, sekaligus mengajak mereka
berdialog dengan cara yang lebih baik bila mereka membantah dakwahnya.
Dalam hal ini Allah befirman:
‚Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk‛. (QS. al-Nahl:125)
Ayat di atas biasanya dijadikan dalil mengenai metode dan strategi
dakwah. Namun, pada sisi lain bisa pula menjadi diktum untuk mempertegas
prinsip etika kasih sayang, kelemah-lembutan dan kedamaian yang diajarkan
al-Qur’an kepada kita dalam berdakwah. Sebagai manifestasi dari
kelembutan sikap dan kasih sayang, dakwah harus dilakukan dengan cara
yang ramah dan lebih baik daripada sikap yang ditunjukkan oleh audiensnya.
Dalam al-Qur’an bahkan Allah Swt. menganjurkan Rasul saw dan para da’i
untuk menyeru manusia ke jalan Allah Swt dengan; pertama, al-H{ikmah,
kedua, al-Mauiz}ah h}asanah, yang bearti pernyataaan dan nasehat yang baik.
Ketiga, perdebatan atau jawaban terhadap audiens dakwah dengan bahasa
yang lebih santun dan halus bila mereka membantah atau menghendaki
berdebat dengannya sehingga mereka tidak merasa sakit hati dan terhina.
Jawaban da’i terhadap bantahan mereka terhadap subtansi dakwah dilakukan
dengan cara, dan tutur kata yang lembut dan halus, tidak sebaiknya dengan
nada yang tinggi atau nada menghujat. Karena, jawaban tersebut (mujadalah)
dikemukakan untuk membuktikan kebenaran dakwah yang disampaikan
sesuai dengan kadar logika yang mereka miliki, sehingga mereka dapat
memahami dan mau menerima dakwah tersebut.83
82
Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 68-70.
83Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas
Qur’ani dan Realitas Sosial, 70-71.
78
Senada dengan pesan ayat tersebut, Allah Swt. juga melarang
berdebat dengan ahl kitab kecuali dengan bahasa perdebatan yang lebih
santun. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman:
‚Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka,84 dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Pada tempat lain, Allah Swt. juga memerintahkan Nabi Musa as. dan
Harun as. untuk menggunakan kata-kata yang halus ketika mendakwahi raja
fir’aun supaya ia dapat menerima nasehat atau setidaknya merasa takut.
Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman sebagai berikut:
‚Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".85
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa salah satu prinsip etika
dakwah adalah sikap lemah lembut, kasih sayang dan pemaaf. Manifestasi
kelembutan dalam berdakwah ini meliputi kelembutan hati dan sikap,
kelembutan perangai dan kelembutan tutur kata. Kelembutan-kelembutan ini
merupakan manifestasi dari kasih sayang dan tidak identik sama sekali
dengan ketidak-tegasan. Karena ketidaktegasan itu tidak terletak pada
perangai atau bahasa tutur kata, tetapi lebih mengarah kepada subtasnsi
pesan.86
Berkenaan dengan penjelasan di atas Gulen memberi perumpamaan
Seorang da’i bagaikan seorang pejuang yang mengembangkan kasih sayang
kepada segala sesuatu. Da’i tidak akan menggunakan cara-cara yang keliru
untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan kekerasan,
kekuatan, dan paksaan. Menurut Gulen hal ini dikarenakan untuk
84
yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah: orang-orang yang setelah
diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang
paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.
(QS. al-‘Ankabu>t: 46) 85
QS. T{a>ha>: 44. 86
Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 72.
79
meneguhkan iman dalam hati seorang tidak perlu menggunakan cara-cara
yang keliru. Untuk menerangkan keimanan kepada orang lain dibutuhkan
sikap kasih sayang, toleransi, dan kesabaran. Bila ini yang dilakukan maka
keimanan dapat tumbuh subur di hati setiap orang yang mendengar nasihat
baiknya. Selain itu, hendaknya setiap da’i mampu menggunakan cara-cara
yang menarik simpatik di hati para pendengarnya. Hendaknya ia menjadi suri
teladan yang baik bagi umatnya, agar umatnya menghargai kepribadian para
da’i itu. Tetapi kalau ada da’i yang menggunakan cara kekerasan dan
paksaan, maka para pendengarnya tidak akan merasa terpanggil untuk
mengikuti tuntunannya.87
Sikap kasih sayang kepada umat yang diperankan oleh pribadi
Rasulullah saw menjadikan dakwah beliau dapat diterima orang banyak
dalam waktu yang sungguh sangat singkat. Dalam salah satu sabdanya beliau
menyebutkan sebagai berikut, ‚Aku bagi kalian adalah bagai seorang ayah‛.
Ini menunjukkan sejak mudanya, beliau saw sudah bersikap penuh kasih
sayang kepada umatnya. Beliau saw menganggap setiap mukmin sebagai
puteranya sendiri, sehingga beliau saw selalu bersikap kasih sayang kepada
setiap umatnya. Demikian pula umatnya pun sangat mencintai beliau saw
lebih dari kecintaan mereka pada ibu bapak mereka sendiri, atau bahkan lebih
mencintai beliau saw dari dirinya sendiri. Karena itu, sikap beliau saw yang
penuh kasih sayang perlu mendapat kehormatan yang luar biasa dari setiap
umat. Dalam dakwahnya beliau saw selalu bersikap kasih sayang kepada
setiap orang, karena hanya dengan sikap itu beliau saw dapat menarik
simpatik orang lain untuk mencintai dan mengikuti segala petunjuk yang
beliau saw sarankan.88 Demikian pula, hendaknya setiap da’i mempunyai jiwa yang penuh
kasih sayang kepada semua orang, agar mereka dapat menyelamatkan orang-
orang itu di dunia dan akhirat. Adapun contoh yang paling baik bagi kita
adalah pribadi Rasulullah saw. sepanjang hidupnya Nabi saw terus-menerus
berdakwah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah, meskipun beliau
menghadapi berbagai tantangan dan perlakuan yang tidak manusiawi.
Adakalanya beliau saw dijerat lehernya dengan sehelai kain oleh musuhnya,
adakalanya pula beliau saw dilumuri dengan kotoran binatang, adakalanya
pula jalan beliau saw dipenuhi dengan duri-duri, meskipun beliau selalu
berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, agar mereka masuk ke dalam
surga. Sebagai contoh, ketika beliau saw berdakwah di kota Thaif, maka
87
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 157. 88
Cara yang ditempuh oleh Rasulullah saw untuk menyampaikan dakwahnya adalah
sangat luwes dan santai, sehingga siapapun yang menempuh cara-cara yang dilakukan oleh
beliau saw untuk mengajak orang lain kepada kebenaran, pasti akan sukses. Sebaliknya, jika
cara yang ditempuh bertentangan maka ia akan gagal. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 159.
80
beliau saw disakiti oleh sejumlah penduduknya dengan kedua kaki dan wajah
beliau saw terluka. Ketika itu beliau hanya ditemani oleh Zaid ibn Haritsah ra
sehingga malaikat penjaga gunung menawari jasanya akan menjatuhkan
gunung kota Thaif kepada mereka yang telah melukai pribadi Rasulullah
saw, tetapi tawaran baik dari malaikat itu ditolak oleh beliau89 seperti yang
disebutkan dalam sabda beliau berikut ini;
‚Aku masih berharap semoga Allah mengeluarkan anak cucu dari mereka yang mau menyembah Alllah Yang Maha Esa dan tiada sekutu baginya‛.
Selain itu, ketika wajah beliau saw terluka di medan perang, sehingga
darah beliau menetes ke bumi, pada saat seperti itu beliau saw masih berdo’a
sebagai berikut;
‚Ya Allah, berilah ampun apa yang telah dilakukan oleh umatku terhadap diriku, karena mereka tidak mengerti‛.
Do’a nabi di atas adalah untuk menyelamatkan umatnya dari siksa
Allah. Hal ini bisa terjadi karena besarnya rasa kasih sayang beliau saw
terhadap umatnya. Dalam bahasa al-Qur’an, kasih sayang disebut rahmah
yang berarti sensibilitas atau kepekaan tertentu yang mendorng perbuatan
baik (ihsa>n) kepada orang yang dikasihi. Pemilik sifat rahmah disebut rahma>n
atau rahi>m. Hanya saja, kata rahma>m dipergunakan hanya untuk Allah Swt.
sedang kata rahi>m dipergunkan untuk Allah dan untuk manusia, khusunya
Nabi Muhammad saw.90
Pentingnya sikap kasih sayang ini dapat dilihat dari sudut
kepentingan da’i maupun mad’u itu sendiri. Dari sudut kepentingan da’i
maupun mad’u itu sediri. Dari sudut kepentingan da’i, dapat ditegaskan
bahwa, kasing sayang bukan hanya diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan
bagi seorang da’i. Hal ini dikarenakan da’i pada dasarnya adalah seoarng
pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan pendidik (mu’allim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya semua itu, da’i merupakan
orang pertama yang harus memiliki sifat kasih sayang dan mewujudkan kasih
sayang itu dalam proses dakwah yang harus dilakukan. Sementara dari sudut
kepentingan mad’u, kasih sayang diperlukan karena watak dan jiwa manusia
mengalami perkembangan. Pada kenyataanya jiwa manusia tidaklah
sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan, jiwa itu menerima
pertumbuhan dan perkembangan hingga mencapai tingkat kesempurnaan
tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ terdapat orang-orang yang
mimiliki kelemahan dan kekurangan.91
89
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 161. 90
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 162. Baca juga A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 315.
91A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran
Dakwah Harakah, 316.
81
Dalam pandangan Gulen, ada suatu generasi yang meninggal dan
hidup. Di hadapan mereka terdapat berbagai halangan yang menghalangi
mereka menuju jalan yang benar, sehingga mereka lebih mengutamakan
kesenangan hidup dan hawa nafsunya daripada memilih keimanan, agama,
dan al-Qur’an. Sebenarnya yang berhak disalahkan bukanlah orang-orang
yang menyebabkan mereka menjadi sesat, tetapi kesalahan itu layak
dilimpahkan kepada para da’i yang tidak menyampaikan dakwahnya dengan
ikhlas, sabar, dan tekun.92
2. Mengedepankan toleransi dan menjaga empati
Menurut Gulen, sikap toleransi harus terambil dari akar yang
mengakui realitas perbedaan. Sikap seperti ini ditunjukan bahwa manusia
memerlukan perasaan yang langgeng dan kebutuhan untuk saling
menghormati, menjaga persahabatan, dan dialog aktif. Selain itu, toleransi
dapat menawarkan kekuatan dalam menjaga hubungan kemanusiaan dan
meminimalisir konflik yang terjadi.93 Lebih jauh lagi menurut Gulen,
hendaknya para da’i mempunyai sifat toleransi, lapang dada, dan luas
pandangan, meskipun pada saat yang sama ia tidak boleh mengendurkan
dakwahnya. Sebagai contohnya yang terbaik adalah ucapan Nabi saw yang
ditujukan bagi kaum Quraisy di Makkah yang dulunya mereka pernah
mengusir beliau saw dan umat Islam dari kota Makkah setelah mereka disiksa
mati-matian. Maka setelah Nabi saw dan sahabat-sahabat mereka dapat
menaklukkan kota Makkah, beliau saw bertanya kepada penduduk kota itu,
‚Bagaimanakah pendapat kalian, kiranya apa yang harus aku lakukan
terhadap kalian?‛, jawab mereka, ‛Engkau adalah saudara yang baik dari
keluarga yang baik‛, jawab beliau saw, ‚Pada hari ini tak ada cercaan
terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah
Maha Penyayang di antara para penyayang.94
Kesimpulannya, Nabi saw dan para sahabatnya memaafkan kejahatan
yang pernah dilakukan oleh penduduk kota Makkah terhadap beliau saw dan
para sahabatnya, sebagaimana Nabi Yusuf as memaafkan saudara-saudaranya
92
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 162-163. 93
Aaron Tyler, ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic
Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington
DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 735-736. Bandingkan
dengan Efrat. E. Aviv, “The Ligh of Tolerance’-Between Rabbi Abraham Kook and Hoja
Efendi Fethullah Gulen” Artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007
(New Jersey: Tughra Books, 2009). 89. 94
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 167.
82
se-ayah yang telah menyakiti selama bertahun-tahun. Jadi setiap da’i, ia
harus mempunyai perasaan toleransi, lapang dada, dan berpandangan luas.
Kasih sayang Nabi tersebut merupakan puncak dari segala bentuk kasih
sayang yang melahirkan rasa belas kasihan yang mendalam atas penderitaan,
kehinaan, dosa-dosa dan kesalahan orang lain (umat). Dalam waktu yang
bersamaan timbul pula keinginan yang kuat agar mereka mampu menggapai
kehormatan Islam. Dari sifat kasih sayang ini, timbul sifat-sifat lain yang
terpuji, seperti sikap lemah lembut, toleran dan pemaaf. Dakwah dengan
sikap lemah lembut dan toleransi tinggi ini, dinilai sebagai sesuatu yang amat
positif. Dengan pendekatan ini, sikap-sikap yang kasar dan keras dari mad’u,
dapat berubah menjadi sikap yang ramah dan bersahabat.95 Sekiranya, sikap
kasar dan keburukan mereka dibalas dengan tindakan keburukan serupa,
boleh jadi kejahatan mereka justru makin menjadi-jadi.
Namun, dakwah lemah lembut dan toleransi tinggi ini, menurut
Quthub sebagaimana yang dikutip Ilyas Ismail, harus dilakukan secara
proporsional. Artinya, dakwah semacam ini tidak berlaku secara mutlak,
tetapi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Pertama, bahwa
kejahatan yang dilakukan mad’u terbatas dalam pergaulan yang bersifat
personal, bukan kejahatan terhadap agama, akidah dan syari’at Islam.
Bilamana kejahatan yang dilakukan menyangkut agama Islam, maka tidak
ada toleransi sama sekali. Kedua, bahwa toleransi dan maaf yang diberikan
harus diyakini dapat memberikan pengaruh yang postif. Ini dapat terjadi bila
toleransi dan maaf itu dilakukan pada saat kaum muslim sesungguhnya
memiliki kesanggupan untuk melawan kejahatan itu. Hanya dalam keadaan
demikian toleransi dan maaf yang diberikan tidak akan dipandang sebagai
suatu kelemahan, tetapi justru sebaliknya merupakan suatu kemuliaan dan
keluhuran budi pekerti.96
Karena itu, diperlukan sebuah paradigma yang memadai untuk
membangun toleransi dalam konteks keberagamaan. Dalam hal ini, menurut
Zuhairi, ada tiga poin penting yang dapat menjadi catatan berkaitan dengan
toleransi berbasis agama: pertama, sacara dogmatik, toleransi harus dibangun
di atas kesadaran untuk menerima pihak yang dianggap salah. Kedua,
toleransi mengandaikan tidak hanya menerima pihak yang lain salah, tetapi
juga menebarkan penghargaan dan cinta kasih kepadanya. Ketiga, toleransi
merupakan upaya yang harus di dukung oleh semua pihak, terutama oleh
mereka yang mempunyai otoritas dan para penentu kebijakan publik.97 Sifat
95
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 318.
96A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran
Dakwah Harakah, 319. 97
Model toleransi yang pertama hanya berhenti pada posisi memaklumi kesalahan,
akan tetapi model toleransi yang kedua mencoba untuk memberikan penghargaan dan
menebarkan cinta kasih. Toleransi seperti ini lebih bersifat praktis, dan sudah dipastikan
83
kasih sayang dan toleransi seperti yang telah dikemukakan di atas dan
sebagaimana telah diperlihatkan oleh Nabi saw, merupakan salah satu sifat
mutlak harus dimiliki oleh para da’i. Apa saja yang diperintahkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad saw, dengan sendirinya perintah itu berlaku pula
bagi para da’i. Apa yang diharapkan dari kita saat ini adalah kesadaran bahwa
toleransi adalah kekuatan yang tumbuh dalam diri sendiri dan kemudian di
lingkungan. Dalam rangka untuk membawa kelahiran kembali agama dan
bangsa, maka sikap, pikiran yang penuh kebencian harus dijauhkan dan
dihilangkan, kemudian menanamkan konsep toleransi dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat.98 Selain itu, setiap mukmin khususnya para da’i, hendaknya
mempunyai perasaan sangat prihatin ketika melihat kesesatan dan
pembangkangan umatnya terhadap agama Allah. Dengan perasaan itu, maka
hatinya akan tergerak untuk membimbing ke jalan yang lurus, seperti yang
dirasakan oleh Rasulullah saw ketika melihat kaumnya sangat sesat,99
sehingga al-Qur’an menggambarkannya seperti yang disebutkan dalam
firman Allah,
‚Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, Karena mereka tidak beriman‛. (QS. al-Syu’ara: 3).
Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa beliau saw sangat gusar
dan mengkhawatirkan keselamatan umatnya ketika mereka menentang ajaran
Islam. Sifat ini hendaknya dimiliki oleh para da’i. Perbuatan murtad atau
seorang yang keluar dari Islam yang dulunya ia yakini dengan benar termasuk
perbuatan yang merugikan umat Islam. Oleh karena itu sebagian ulama
berpendapat bahwa seorang yang murtad dari Islam harus dibunuh. Akan
tetapi, kebanyakan ulama berpendapat bahwa seorang yang telah keluar dari
Islam, maka pejabat negara harus menyadarkannya dan mengajaknya kembali
ke dalam Islam dengan dalil-dali yang dapat melunakkan hatinya, tetapi
kalau ia tidak mau kembali kepada Islam, barulah ia dibolehkan untuk
dibunuh. Karena Islam menganggap keluarnya seorang muslim dari Islam
tingkatannya lebih tinggi dan mulia. Sebab memahami pandangan dan pilihan orang lain
sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi serta merta tidak bisa dihindarkan. Baca Zuhairi
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 192-
195. 98
Efrat. E. Aviv, “The Ligh of Tolerance’-Between Rabbi Abraham Kook and
Hoja Efendi Fethullah Gulen” Artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-23
November 2007. 89-90. 99
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 167-168.
84
akan membahayakan perasaan muslim lainnya, karena itu para pemuka Islam
tidak boleh tinggal diam menghadapi orang murtad.100
C. Urgensi Dakwah
Dalam Islam, salah satu ajaran yang paling penting dan berorientasi
praktis dan strategis (strategic oriented) adalah ajakan kepada manusai agar
berada dan tetap berada dalam jalan yang benar yang populer disebut
dakwah.101 Selain itu, dakwah merupakan masalah besar yang menyangkut
hajat dan kepentingan masyarakat luas. Sebab pada kenyataannya Islam tidak
mungkin berkembang tanpa adanya dakwah yang disebarkan oleh para tokoh-
tokoh dakwah. Dakwah juga sering kali di istilahkan dengan Menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar102 yang merupakan tujuan utama dan termulia
diciptakannya manusia. Allah swt menciptakan alam semesta yang sebesar
dan selengkap ini demi terwujudnya usaha amar ma’ruf nahi munkar. Karena
itu, Allah sengaja menciptakan manusia sebagai khalifah di permukaan bumi
ini, demi terwujudnya kekhalifahan. Dan, untuk menunjang keberhasilan
tugas kehalifahan dimaksud, Allah sengaja mengutus sejumlah Nabi dan
Rasul sebagai penunjuk jalan menuju kehendaknya.103
Seperti tabligh, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan keharusan
agama dan tuntutan iman. Amar ma’ruf merupakan kewajiban kaum Muslim
baik sebagai individu maupun umat, sekaligus menjadi ciri dan karakternya
yang khas yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lain.104
100
Sahabat Nabi saw Khalid ibn Walid pernah terburu-buru membunuh seorang
muslim yang baru keluar dari Islam, tanpa disadarkan lebih dulu untuk kembali ke dalam
Islam. Sehingga beliau saw sangat kecewa seraya berdo’a, ‘Ya Allah, aku berlepas diri
kepada-Mu dari perbuatan Khalid terhadap mereka. Kekecewaan yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw pernah juga dirasakan oleh sahabat ‘Umar ibn Khathab, ketika ada seorang
laki-laki dari Yamamah dan bertanya tentang sesuatu yang penting kepadanya, tetapi
sahabat-sahabat ‘Umar menyebutkan bahwa laki-laki itu adalah seorang muslim yang telah
keluar dari Islam, tanya ‘Umar, ‚Apa yang kalian lakukan terhadapnya?‛, jawab mereka,
‚Kami memenggal lehernya‛. Mendengar ucapan mereka, maka ‘Umar sangat terkejut seraya
berkata, ‚Mengapa kalian tidak menahannya lebih dulu selama tiga hari, memberinya makan
sepotong roti setiap hari dan menyuruhnya bertobat, agar ia mau kembali ke jalan Allah‛.
Kemudian ‘Umar berdo’a, ‚Ya Allah, aku tidak menyuruh mereka untuk membunuhnya dan
tidak rela dengan perbuatan mereka‛. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 168-169.
101Acep Aripudin, Dakwah antar Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 123.
102Taufiq Yusuf al-Wa ‘iy mendefinisikan amar ma’ruf nahi munkar dengan
perbaikan, pelurusan, pendidikan sesuai ajaran dan risalah Islam, sehingga membutuhkan
pengetahuan, pembahasan, pandangan dan penyeleksian. Da’i yang beramar ma’ruf nahi
munkar haruslah memiliki pemahaman yang cerdas, baik, pandai dan sabar. Baca Taufik
Yusuf al-Wa‘iy, Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk (Jakarta: Al-I‘tishom, 2011),
364. 103
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 17. 104
‘Abd al-Kari>m Zaidan, Us}u>l al-Da’wah, (Mesir, Da>r al-Wafa>’, 1992), 308-309
85
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap
kebaikan dan petunjuk Allah, merupakan masyarakat yang selalu bekerjasama
dan bahu membahu dalam membangun kebaikan masyarakat dan memerangi
kejahatan.105
Dalam al-Qur’an, keharusan ini dikaitkan dengan kedudukan umat
Islam sebagai umat terbaik (khair u>mah) seperti terlihat jelas dengan jelas
dalam ayat ini:
‚Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik‛. (QS. Ali ‘Imra>n: 110)
Ayat di atas jelas merupakan jaminan bersyarat yang diberikan oleh
Allah Swt. kepada umat Islam, bahwa mereka adalah umat terbaik sepanjang
zaman selama senantiasa mampu mempertahankan eksistensi dakwah dalam
kehidupan mereka. Kesadaran memahami ayat di atas secara seksama akan
menumbuhkan semangat dan motivasi dakwah di kalangan umat terbaik ini.
Menurut Atabik Luthfi yang menarik dari susunan kalimat ayat di atas adalah
penyebutan kata ‚amar ma’ruf dan nahi munkar‛ (menyuruh kepada yang
baik dan mencegah dari yang munkar) yang merupakan esensi dakwah
didahulukan dari pada penyebutan kata ‚iman kepada Allah‛. Padahal iman
kepada Allah Swt. merupakan derajat tertinggi dan lebih dahulu
keberadaannya. Bahkan amar ma’ruf dan nahi munkar sendiri merupakan
konsekunsi iman kepada Allah Swt. ini menunjukkan betapa pentingnya
aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, sekaligus merupakan perintah agar
umat siap mencurahkan segala potensi dan kemampuannya untuk
mewujudkan kebaikan dan mencegah timbulnya kejahatan bagi umat
manusia.106
Sebagai umat terbaik, umat Islam berdasarkan ayat di atas
berkewajiban melakukan tiga hal. Pertama, amar ma’ruf yakni menyuruh
manusia kepada kebaikan. Kata ma’ruf ini berarti sesuatu yang baik atau
105
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 169.
106Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i,
(Jakarta: al-I’tishom, 2011), 2.
86
yang dipandang sebagai kebaikan, merupakan sesuatu yang dipandang baik
oleh agama dan pemikiran akal. Ma’ruf juga berarti sistem dan tata-nilai itu
sendiri, serta usaha menanamkan dan membudayakan nilai-nilai Islam dalam
kenyataan individu, keluarga dan masyarakat. Kedua, nahi munkar, yakni
mencegah manusia dari kemungkaran. Munkar merupakan lawan dari ma’ruf,
berarti sesuatu yang buruk atau yang dipandang buruk oleh agama dan
pemikiran akal. Munkar juga dapat diartikan sistem dan tata-nilai jahiliyah.
Dalam perspektif ini, nahi munkar berarti mengubah sistem dan tata-nilai
jahiliyah dengan sistem dan tata-nilai islami. Ketiga, iman kepada Allah Swt.
Ini merupakan dasar dari tugas sebelumnya. Iman harus menjadi pusat
orientasi dari setiap kegiatan khair u>mah. Adapun, amar ma’ruf dan nahi munkar yang dilakukan haruslah dalam kerangka iman dan ibadah kepada
Allah Swt. Iman juga harus menjadi satu-satunya kriteria penilaian (mi>za>n)
dalam menetapkan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.107
Pada zaman modern ini, menurut Gulen, manusia sangat
membutuhkan tegaknya amar ma’ruf nahi munkar, bahkan dengan porsi yang
lebih dibandingkan masa-masa sebelumnya. Memang benar bahwa masa
kenabian telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Muhammad saw.
Namun demikian, pintu amar ma’ruf nahi munkar tidak serta-merta tertutup
rapat oleh berpulangnya beliau ke hariban ilahi berikut status beliau sebagai
penutup para Nabi dan Rasul. Sehingga saat seperti sekarang ini, ketika
banyak orang berkubang dalam lumpur kekafiran dan kemaksiatan, bahkan
lebih buruk atau lebih banyak dari yang pernah terjadi di masa-masa lampau,
amar ma’ruuf nahi munkar masih tetap serta akan selalu kita butuhkan. Oleh
karena itu, adanya berbagai bentuk bencana alam dan berbagai kesulitan yang
menerpa umat ini jauh lebih banyak daripada yang terjadi di masa-masa
lampau. Keadaan yang sangat sulit ini mengharuskan para da’i lebih cermat
daripada para penyeru yang ada sebelum mereka.108
107
Perintah amar ma’ruf dan nahi munkar dimaksudkan sebagai suatu ikhtiar dalam
mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan masyarakat. Kebahagiaan masyarakat atau umat ini,
tidak akan terwujud, kecuali bila kebaikan menjadi dominan dalam masyarakat itu. Dominasi
kebaikan ini harus diupayakan melalui pembudayaan nilai-nilai Islam (amar ma’ruf) di satu
pihak, dan kontrol sosial (nahi munkar) terhadap berbagai penyimpangan dan ketimpangan
sosial yang terjadi dalam masyarakat di lain pihak. Baca A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 169-170.
108Dalam pandangan Gulen, mayoritas manusia yang hidup pada abad kedua puluh
satu ini senantiasa berkubang dalam lumpur dosa, sehingga manakala dosa-dosa mereka
diperlihatkan di hadapan mata kita, maka kita termasuk orang-orang yang akan melarikan diri
dari dosa-dosa kita sendiri. Meskipun dosa-dosa kita tidak terhitung banyaknya, akan tetapi
kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tetap dibebankan kepada para da’i, agar
umat manusia mendapat kasih sayang Allah swt. Kita semua sangat lemah, dan Allah Maha
Kuat, Maha Mulia lagi Maha Pengasih serta Penyayang. Andaikata kita ungkapkan perasaan
kita seolah tidak pantas mendapat kasih sayang dari sisi Allah swt. Muhammad Fathullah
Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 24-25.
87
Dengan kata lain, para da’i dewasa ini harus mempunyai kesanggupan
dan keikhlasan yang khusus untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang pernah dimiliki oleh para sahabat Nabi saw dahulu. Meskipun
hawa nafsu seseorang lebih rendah dari segalanya, akan tetapi tugas suci yang
diemban di atas pundak masing-masing mereka juga lebih bernilai tinggi dari
segalanya. Dan, Allah swt akan menurunkan kasih sayang-Nya menurut
kebutuhan para hamba. Sebab, sentuhan kasih sayang Allah lebih besar
daripada kemauan hamba itu sendiri. Selain itu menurut Tufiq Yusuf al-
Wa’iy, tidak dibolehkan beramar ma’ruf nahi munkar kecuali menghiasi
dirinya dengan sifat-sifat: lembut, santun, beirlmu, paham. tidak riya, kosong
dari hawa nafsu dan bercitra baik.109
Selain itu, menurut Gulen, kualitas manusia yang berada di abad
kedua puluh satu ini seperti orang-orang yang tidak lagi mempunyai jiwa
ruhani. Sebab, kalbu mereka telah tersesat dari jalan kebenaran. Meskipun
keadaan manusia telah sedemikian parahnya pada masa ini, akan tetapi suara
dari sabda-sabda Rasulullah saw masih dapat terdengar di telinga kita. Yang
demikian itu, tidak lain karena besarnya kasih sayang Allah swt kepada umat
manusia. Oleh karena itu, kita wajib bersyukur kepada Allah Yang Maha
Pengasih atas kasih sayang-Nya yang luar biasa. Karena, hanya orang-orang
yang bersyukur saja yang akan selamat dari murka Allah swt.110
Mengingat urgennya amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah Swt.
memerintahkan umat Islam untuk senantiasa melakukannya. Bahkan Allah
Swt. tidak hanya memerintahkan, melainkan juga memberikan balasan
berupa keberuntungan dan kemenangan. Allah Swt berfirman;
‚Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung‛. (QS. ‘Ali Imran: 104).
Maksud dari firman Allah swt di atas menurut Gulen, hendaknya ada
sebagian orang dari orang-orang yang beriman yang senantiasa menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, agar umat manusia tidak tenggelam dalam
109
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 25. Baca juga Taufik Yusuf al-Wa‘iy, Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan
Abbas dkk, 390. 110
Gulen memberikan perumpamaan, hidup di masa sekarang, laksana berada di atas
perahu keselamatan yang dikemudikan oleh Rasulullah saw, dan para kru beliau (para da’i).
Selain itu, menurut Gulen, kualitas manusia dewasa ini laksana benda-benda yang tidak
bernyawa, dan tidak mempunyai rasa rindu maupun cinta kepada Allah Swt. Muhammad
Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 25-26.
88
kesesatan dan sekaligus dapat mengurangi jumlah kemaksiatan. Jika di dalam
suatu masyarakat telah ada sejumlah orang yang senantiasa menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, maka masyarakat seperti itu akan terlindung dari
murka dan siksa Allah swt. lebih jauh lagi, dengan melakukan dakwah inilah
akan menghantarkan manusia ke pintu gerbang kebenaran Tuhan yang
Mahabenar.111
Sebagai perintah Allah Swt. sudah tentu jika dilaksanakan akan
menyebabkan lahirnya berbagai macam kebaikan, baik di dunia maupun di
akhirat. Sebaiknya, jika ditinggalkan dan diabaikan akan menyebabkan
timbulnya keburukan dan kehinaan, di dunia dan akhirat. Menurut Sayyid
Muhammad Nuh, pengertian amar ma’ruf adalah mengajak dan memberikan
dorongan kepada orang untuk melaksanakan kebaikan dalam seluruh dimensi
dan bentuknya, menyiapkan sebab-sebab dan sarana-sarananya dalam bentuk
mengokohkan pilar-pilarnya, serta menjadikannya sebagai ciri umum bagi
seluruh kehidupan. Sedangkan nahi munkar adalah memperingatkan,
menjauhkan dan menghalangi orang dari melakukannya, memutuskan sebab-
sebab dan sarana-sarananya sampai ke akar-akarnya, serta membersihkan
kehidupan dari segala bentuk kemungkaran, sehingga akan lahirlah kemuliaan
dan kedamaian hidup.112 Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam
firman-Nya berikut ini,
‚Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan‛. (QS. Hud:
117).
Maksudnya, Allah tidak akan menurunkan beragam bencana atau
cobaan pada suatu masyarakat, jika di tengah-tengah masyarakat itu masih
ada sejumlah orang yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Atau, Allah akan menunda siksa dan murka-Nya terhadap suatu kaum jika di
tengah-tengah kaum itu masih terdapat sejumlah orang yang senantiasa
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Gulen berdasarkan tugas
dakwah inilah Allah menjadikan tanggung jawab dakwah sebagai tolak ukur
atas kebaikan dan keburukan.113
Oleh karena itu, Allah swt tidak akan menyiksa orang-orang yang
selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di kalangan masyarakatnya.
111
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 27. Lihat juga Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h,
terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>. (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008) 21. 112
Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, 11. 113
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 27. Lihat juga Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h,
terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>, 21-22.
89
Hingga apabila ingin mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari sisi
Allah, maka hendaknya segera menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. hendaknya pula meyakini bahwa jika tugas amar ma’rufnahi munkar ini tidak
dijalankan dengan baik, maka dapat dipastikan masyarakatnya akan
mendapatkan siksa Allah Swt. Berapa banyak masyarakat yang dikenal
sangat rajin beribadah pada setiap malam dan paginya, mereka juga rajin
berdzikir serta berthawaf di seputar Ka’bah, akan tetapi Allah justru
menimpakkan murka dan siksa-Nya kepada orang-orang itu, disebabkan di
tengah-tengah mereka tidak ada lagi sekelompok orang yang mau
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.114 Dalam pandangan Gulen, persoalan yang sangat mendasar dalam
dakwah adalah tentang hakikat dakwah, dan juga berdakwah untuk
kepentingan yang berskala umum; berkaitan dengan kebutuhan manusia
kepada amar ma’ruf nahi munkar dari berbagai seginya. Sesuai dengan
kehendak Allah swt yang menentukan manusia sebagai khalifah-Nya di muka
bumi, maka Allah memberi manusia kekuatan serta kemampuan untuk bisa
mengeksplorasi apa saja yang telah Dia sediakan di permukaan maupun di
dasar bumi, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu,
tidak tersedia sifat yang spesial semacam ini pada makhluk-makhluk selain
manusia, yang dengan sifat tersebut manusia dapat mengembangkan serta
mengeksplorasi apa saja yang tersedia di permukaan bumi untuk kepentingan
dirinya sendiri dan pihak lain. Apalagi setelah mereka mengenal nama dan
seluruh sifat Allah Yang Mahamulia, khususnya yang disebut sebagai Pemilik
segala sesuatu. Sebab, Allah Swt adalah satu-satunya Dzat Yang Maha
Memberi atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya untuk kepentingan
manusia. Dengan kata lain, manusia diberi hak untuk memilih berdasar
kepada kehendaknya sendiri, sesuai dengan apa yang telah digariskan
(ditetapkan) oleh Allah swt. Hingga dengan cara semacam itu, manusia dapat
mengenal Allah sebagai Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, dan Dia
pula Yang Maha Menentukan atas segala peristiwa, sehingga manusia juga
merasa memiliki atau tidak memiliki apa saja yang berada di bumi ini sesuai
dengan kehendak Allah.115
Adapun kehendak manusia yang diberi kebebasan untuk memilih apa
saja yang diinginkannya, maka semua itu telah ditetapkan oleh Allah sejak
manusia dinyatakan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Seperti telah
disebutkan di dalam firman-Nya swt berikut ini,
114
Pelaksanaan ibadah adalah salah satu manifestasi ketundukan dan kepatuhan.
Namun, kesemuanya itu bisa dinilai dengan akal dan logika sekaligus ada hikmah-hikmah
yang terkandung di dalamnya. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 28. Baca juga Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 153.
115Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 28.
90
‚Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...‛ (QS. al-Baqarah:
30). Sejak saat itulah Allah swt telah memberikan kebebasan kepada
manusia untuk berkehendak, dan mengeksplorasi apa saja yang ada di bumi.
Sebagai seorang khalifah, maka manusia tidak bisa melampaui batas-batas
yang telah ditetapkan baginya dari sisi Allah. Adapun batas-batas yang telah
ditetapkan bagi manusia dari sisi Allah swt telah disampaikan melalui
petunjuk para Nabi dan Rasul. Jika manusia menjalankan secara baik dan
benar segala perintah Allah, maka ia termasuk makhluk yang paling mulia
dalam penilaian-Nya. Lebih jauh lagi bagi manusia yang mampu
merepresentasikan spirit Muhammad dan akhlak qur’ani yang luhur,
merekalah yang disebut sebagai hamba yang saleh.116
Setiap orang wajib mengenal Allah Swt sebagai Tuhan-nya, dan
mengenalkan Dzat Allah kepada orang lain, bahwa segala sesuatu yang ada
ini hanyalah milik Allah, serta Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Setiap
orang wajib mengenali dan mengenalkan kepada orang lain tentang para
Rasul Allah, kitab-kitab suci-Nya. Wajib pula melaksanakan segala perintah
Allah dan apa saja yang telah disampaikan melalui lisan Rasul-Nya dalam
kehidupan ini, termasuk di dalamnya adalah untuk menunaikan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, tugas tersebut termasuk salah satu dari tujuan
Allah swt menciptakan manusia, yaitu sebagai khalifah di muka bumi. Jadi,
manakala seseorang telah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka ia
termasuk hamba Allah yang telah melaksanakan perintah-Nya dengan baik,
sedangkan segala sesuatu yang tersedia boleh dijadikannya sebagai sarana,
sedikit demi sedikit, untuk kemanfaatan manusia. Semua itu dilakukan demi
menggapai keridhaan Allah swt.117 Selain itu menurut Gulen, manusia terbaik adalah siapa yang selalu
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga semua waktunya digunakan
untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. juga bersikap takut atas murka
Tuhan-nya, sehingga seluruh kehidupannya disesuaikan dengan perintah-
perintah Allah yang berada di dalam kitab suci-Nya. Yaitu, dengan
menyayangi sesama manusia dan menyambung tali silaturrahim. Itulah
kewajiban yang terpenting untuk segera dilaksanakan oleh setiap mukmin
terhadap sesamanya. Adapun manusia sebagai makhluk yang sempurna, yang
116
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 29. Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni>
‘Umar Lut}fi>, 13. 117
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 29.
91
diberikan akal pikiran, ingin merasakan bahwa hubungan di antara sesama
manusia terjalin dengan sangat erat. Maka harus senantiasa menyambung tali
silaturrahim, dan juga melaksanakan apa saja yang menjadi tugas manusia
terhadap pihak lain. Akan tetapi, yang lebih penting dari kesemuanya itu
adalah, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang. Siapapun
yang mau dan mampu melakukan tugas ini dengan baik, maka ia termasuk
orang-orang yang dipuji oleh Allah swt.118 Hal ini sebagaimana firman Allah
berikut ini;
‚Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang), Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh‛ (QS. Ali ‘Imran: 113-114).
Dalam pandangan Gulen, ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan
dan kemuliaan orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Siapa saja
yang telah menunaikan tugas amar ma’ruf nahi munkar dengan baik, maka ia
termasuk orang yang beriman, dan bersungguh-sungguh dalam keimanannya.
Sebab, firman Allah di atas dan tersedia pula sejumlah ayat yang serupa
dengan firman Allah ini menggiring kita untuk melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar dengan baik.119
118
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 29-30. 119
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 30.
92
93
BAB IV
RELEVANSI DAN SIGNIFIKANSI KONSEP DAKWAH GULEN:
DALAM KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER
Pembahasan awal dari bab ini adalah menjelaskan Islam sebagai
agama cinta. Sebagai agama cinta dan mencintai kedamaian Islam
meletakkan tata cara bagi pemeluknya untuk tetap menjalin hubungan yang
humanis dan harmonis. Selain itu sikap inklusif dan ajaran toleransi
merupakan basis keberagamaan. Dengan sikap inklusif dan mengamalkan
ajaran toleransi diharapkan dakwah dalam prosesnya bisa menghargai dan
menghormati serta memuliakan manusia. Serta diikuti dengan dialog intensif
intra dan antar agama. Maka perpecahan dan perselisihan, sedikit mungkin
dapat dihindarkan. Adapun uraian ini ditujukan untuk perbaikan yang
mendera moralitas masyarakat kontemporer seperti berlaku radikal dan
ekstrim. Fokus kajian ini menitikberatkan pada nilai-nilai kearifan seperti
toleransi, kasih sayang, sikap inklusif, dan dialog yang merupakan pondasi
awal dalam membentuk kepribadian serta pijakan yang ditawarkan dalam
membangun interaksi dalam bermasyarakat.
A. Islam sebagai Agama Cinta
Islam terambil dari kata ‚aslama‛ artinya pasrah, tunduk dan patuh
kepada Tuhan. Inti ajaran Islam adalah kepasrahan penuh kepada Tuhan.
Adapun dasar-dasar ajarannya adalah apa yang disebut secara ringkas dan
tepat dengan sebutan rukun Islam dan rukun Iman.1 Islam adalah kata bahasa
Arab yang semakna dengan kata salima, artinya selamat. Islam (penganutnya
disebut Muslim) aslama yang berarti penyerahan diri kepada Allah, kata lain
yang memiliki kesamaan makna dengan Islam diantaranya kata hanif, artinya
cenderung atau kata din yang seakar dengan dain artinya hutang.2
Keislaman juga bisa dimaknai dengan perdamaian. Sebagaimana kata
Islam itu sendiri berasal dari kata ‚aslama-yuslimu-isla>man‛. Kata ini berarti
1Rukun Islam yang dimaksud adalah, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah (shahadatain), mendirikan shalat, membayar zakat, puasa
Ramadhan, dan mengerjakan haji bagi yang mampu. Adapun rukun Iman yang dimaksud
yaitu; beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan
beriman kepada ketentuan Ilahiah. Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya,(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), 85. Baca juga Abbdullah Shah}a>tah, al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>, (Mesir: al-Hai’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1978), 218. Bandingkan dengan
Nanang Tahqiq, ‚Islam‛ dalam dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam
(Jakarta: Ushul Press, 2011), 42-43. 2Seperti kalimat din al-Islam karena ketundukan kapada Tuhan merupakan hutang
setelah manusia berjanji dan bersaksi mengakui ketuhanan ketika di alam ruh. Lihat Acep
Aripudin, Dakwah Antar Budaya. 107. Bandingkan dengan Muhammad Baqir ash-Shadr,
Risalatuna Pesan Kebangkitan Umat; Konsep Dakwah, pemikiran, dan Reformasi Sosial, terj.
Muahammad Abdul Qadir Alcaf, (Yogyakarta: RausyanFikr, 2011), 137-140.
94
mendamaikan. Sebagaimana ayat al-Qur’an yang berbunyi udkhulu> fi> al-Silm ka>ffah yang bearti masuklah kalian dalam kedamaian secara total.3 Dalam
pandangan Abbdullah Shah}a>tah, Islam adalah agama damai dan persetujuan,
Allah Swt. menamakannya dengan al-Sala>m (damai). Sehingga dalam Islam
perselisihan, permusuhan dan kemarahan dilarang. Hal ini dikarenakan,
kesemuanya itu akan menyebabkan kerusakan hati dan akan mencerai-
beraikan keimanan.4
Adapun menurut Mohammad Jawad Chirri, kata Islam berlaku untuk
orang yang siap menerima perintah dari Allah dan mengikuti mereka. Karena
Muhammad menyatakan bahwa ajarannya mengandung ajaran-ajaran para
Nabi sebelumnya dan semua perintah-perintah Ilahi. Ketika seseorang
mengaku kepercayaan pada kebenaran Muhammad dan janji untuk mengikuti
pesannya, maka ia pada kenyataannya, akan menyatakan kesiapannya untuk
mematuhi perintah Allah tanpa syarat.5
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Mohammad Jawad Chirri, John
L. Esposito menegaskan, ketika membicarakan Islam, maka akan banyak
penafsiran terhadap Islam itu sendiri. Menurutnya, Islam mengakui suatu
realitas yang Mahatinggi, Mahakuasa, Maha Pengasih dan Pemurah, Pencipta
serta Pengatur alam semesta, dan Hakim pada hari akhir. Selain itu, para
pemimpin kaum muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan
adil. Sementara itu, sebagaimana kepercayaaan lainnya, Islam dalam
sejarahnya bukan hanya merupakan sumber kasih, moralitas, dan kebajikan,
malainkan juga penyebar teror, ketidakadilan, dan penindasan. Pencitraan
Islam itu ternoda ditangan-tangan orang Islam sendiri, seperti yang dilakukan
Osama bin Laden dan teroris muslim lainnya yang secara global justru
membantai muslim maupun non muslim.6
Selain itu, agama Nabi Ibrahim juga disebut agama yang memiliki
kecenderungan dengan penuh tunduk kepada Tuhan Yang Esa. Kata ini juga
memiliki kesamaan makna dengan Islam, antara lain kata millah, yang sering
diartikan dengan agama, seperti dalam al-Qur’an terdapat bermacam-macam
millah, millah Ibrahim dan millahnya kaum Yahudi dan Nasrani.7
Semantara itu, menurut Said Aqil Siroj, ada tiga kompenen yang
fundamental dalam memahami Islam sebagai agama yang kaffah; akidah,
syariah, dan tasawuf. Dari perspektif akidah, Islam memperkenalkan konsep
keesaan Tuhan. Hal ini dimulai dari keberadaan Nabi Muhammad di Makkah
3Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme, (Jakarta: Fitrah, 2007), 366. 4Abbdullah Shah}a>tah, al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>, (Mesir: al-Hai’ah al-
Mis}ri>yah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1978), 217. 5Mohammad Jawad Chirri, Inquiries About Islam, 1986, 17.
6John L. Esposito, The Future of Islam, (New York: Oxford University Press, 2010),
10-12. 7Acep Aripudin, Dakwah Antar Budaya. 107
95
di tengah masyarakat yang masih jahiliah yakni masyarakat yang
peradabannya masih tergolong rendah. Hal ini dikarenakan masih berlakunya
perbudakan, adapun bila ditinjau dari sisi teologi, kondisi mayoritas
masyarakat masih menganut paganisme. Selama tiga belas tahun Nabi
Muhammad saw. berdakwah dan bersosialisasi di Makkah dengan
menawarkan prinsip teologi la> ila>ha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Kalimat yang secara teologis bermakna penegasan tidak ada tuhan yang
absolut selain Allah. selain itu pernyataan keimanan ini juga memberikan
dampak sosial politik, yaitu penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan,
penjajahan, dan intimidasi yang melanggar kebebasan dan hak asasi manusia.
Hal ini dikarenakan, dalam pandangan Islam, manusia dibangun atas dasar
kebersamaan, kebebasan dan persamaan derajat.8
Adapun pola interaksi yang dibangun Islam sejak awal berupa
dinamisasi yang mengedepankan pola uswah h}asanah, yakni berasaskan pada
moralitas dan contoh teladan yang baik. Dengan adanya pendekatan
moralitas ini menuntut umat Islam untuk selalu menjadi uswah (teladan)
yang baik bagi lingkungan sekitarnya. Metode uswah h}asanah ini merupakan
gerakan beragama yang bersifat soft-power, yakni yang menjunjung tinggi
nilai keteladanan, moralitas, pembela bagi kaum d}u‘afa (tertindas) serta
penegak hak-hak asasi manusia.9
Sehingga dalam posisinya sebagai agama yang menjunjung tinggi
moralitas, Islam menunjukkan hal itu dalam kehidupan sehari-hari utusannya.
Praksis dakwah Islam seperti ini merupakan bagian dari proses pembangunan
image, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi moralitas dan penyempurnaan etika (itmam al-Khuluq).
Lebih jauh lagi, kebenaran maupun autentisitas Islam pernah digunakan
untuk kepentingan melakukan tindakan anarkis, seperti pemaksaan,
intimidasi, kekerasan dan tindakan-tindakan negatif lainnya.10
Adapun Islam dalam komponen syariatnya, merupakan nilai-nilai
agama yang diaplikasikan secara fungsional dan dalam makna konkret untuk
mengarahkan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan syariat merupakan
jalan ketetapan Tuhan sebagai arah kehidupan manusia untuk merealisasikan
kehendak Tuhan. Cara untuk merealisasikannya dengan upaya seperti saling
menghormati dan menghargai, tolong menolong, cinta kasih, serta
mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Lebih spesifik lagi semangat dasar
syariat Islam adalah moralitas. Sehingga dari pengertian inilah, Islam dikenal
8Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 26. 9Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi bukan Aspirasi, 27-28. 10
Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, 28.
96
dengan penegakan syariat secara kaffah.11 Hal inilah merupakan pondasi
kerjasama (ta’awun) antar semua pihak. Adapun benih penyakit yang
merusak interaksi manusia seringkali berasal dari ketidaktahuan sesama
mereka dan saling berjauhan serta menghujat. Al-Qur’an sendiri
mengungkapkan kata ‚al-Arh}am‛ (hubungan silaturrahmi) dengan begitu
indah. Kata ‚al-Arh}am‛ ini digunkan al-Qur’an untuk mengindikasikan
bahwa seluruh manusia memiliki hubungan keluarga yang harus di jalin.12
Ungkapan al-Qur’an yang dimaksud adalah QS. al-Nisa>’: 1.
‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu‛.
Sementara itu, dalam pandangan Gulen, Islam adalah agama
keamanan, keselamatan, dan perdamaian. Prinsip-prinsip ini meresap dalam
kehidupan umat Islam. Sebagai contoh , ketika umat muslim berdiri untuk
shalat, mereka memutuskan hubungan dengan dunia, menghadap Tuhan
dalam iman dan ketaatan, dan berdiri tegak kehadirat-Nya. Adapun di
penghujung shalat, seolah-olah mereka hidup kembali, menyambut orang-
orang di kanan dan kiri dengan salam damai, ‚semoga tetap aman dan
damai.‛ Dengan keinginan untuk keselamatan dan keamanan, kedamaian dan
kesejahteraan. Hal ini dikarenakan salam, doa keselamatan dan keamanan
bagi orang lain dianggap sebagai salah satu perbuatan yang paling
bermanfaat dalam Islam. Islam juga merupakan jalan lurus yang membentang
dari zaman azali hingga masa keabadian. Islam juga dikenal dengan sebuah
tanda bagi aturan agama samawi yang diturunkan Tuhan untuk mewujudkan
hasrat ‚keabadian‛ yang dimiliki setiap orang, serta sekaligus untuk
11
Syariat berasal dari kata syara’a yang berarti jalan. Adapun dalam pengertian
terminologisnya, syariat dapat diartikan sebagai jalan kehidupan yang baik. Hal ini
menunjukkan syariat Islam adalah tuntutan Islam yang meliputi segala aspek kehidupan
manusia, baik yang berkenaan dengan moralitas, penegakan hukum, keadilan, kemakmuran
dan upaya dalam meningkatkan sumber daya manusia. Selain itu, pada masa Nabi
Muhammad saw. syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoteris dan esoteris.
Sisi eksoteris syariat Islam dapat terlihat seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji dan jihad
fi sabilillah. Baca Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, 28-30.
12Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah
Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 66-67.
97
membuka setiap hati tanpa terkecuali, hal ini dimulai dari hati manusia mulia
di muka bumi, Rasulullah Saw sampai hati yang dimiliki manusia biasa.13
Diskriminasi dalam tubuh umat manusia telah ada sebelum kelahiran
Islam. Diskriminasi berdasarkan warna kulit, ras, bahasa, dan strara sosial.
Maka, kedatangan Islam membawa angin segar untuk mereformasi
ketimpangan-ketimpangan tersebut. Secara teoritis, Islam menghancurkan
praktik-praktik diskrimanatif tersebut dengan mengeluarkan statemen
tentang persamaan antar seluruh umat manusia, dan dikatakan bahwa tidak
ada kelebihan di antara kulit putih dan kulit hitam, antara arab dan ajami,
semuanya sama kecuali ketakwaan. Adapun secara praktis, Islam telah
menegaskan berlakunya keawajiban-kewajiban atas manusia secara
keseluruhan, tanpa pengecualian berdasarkan status atau kedudukan
seseorang.14
Lebih spesifik lagi, menurut Gulen, semenjak Islam mulai mendirikan
kemahnya di muka bumi, agama Islam selalu mengerahkan seluruh energi
yang dimilikinya untuk mengajak bicara serta membuka hati manusia, sampai
akhirnya berhasil menggambarkan citranya di dalam setiap sanubari dan
kemudian bergerak menuju seluruh sendi kehidupan yang ada. Hal seperti
inilah, yang membuat keselarasan dan kesesuaian antara kedalaman Islam di
dalam hati manusia dengan pengaruh yang ditimbulkannya dalam setiap
sendi kehidupan manusia yang bersangkutan. Sebagaimana pula halnya
adanya keselarasan antara kadar keterjalinan Islam di dalam jiwa seseorang
dengan mengakar kuatnya agama ini di dalamnya, sehingga pengaruhnya
kemudian mengaliri kehidupan dan sinar pantulnya menyebar ke lingkungan
sekitar.15
13
M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, (New
Jersey, Tughra Books, 2011) 58. Baca juga Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, terj Fuad Syaifuddin Nur dan Syarif Hade Masyah, (Jakarta: Republika,
2013), 81. 14
Contoh yang sangat relevan seperti dalam melaksanakan kewajiban shalat. ketika
melakukan shalat secara berjamaah, para makmum berdiri di belakang imam, adapun orang
yang datang lebih awal berhak untuk mendapat bagian di barisan (saf) pertama, maka seorang
yang dalam strata sosialnya lebih tinggi bisa saja berdiri di belakan orang yang dalam strata
sosialnya lebih rendah. Begitu juga dalam pelaksanaan ibadah haji, antara presiden dan
rakyatnya, para pembesar dan masyarakat biasa, yang kaya dan yang miskin; kesemuanya
mengenakan pakaian ihram dalam satu tipe bewarna putih, yakni pakaian yang mirip dengan
pakaian kafan, serta bersama-sama menyambut seruan Allah seraya mengucapkan kalimat
Talbiyah, ‚labbaik Allahumma labbaik‛. Hal ini menujukkan, dalam Islam semua manusia
sejajar dan sama serta tidak ada yang membedakannya kecuali ketakwaan. Yusuf al-
Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M.
Abdilah Noor Ridlo, 67. 15
Bahkan lebih jelas lagi menurut Gulen, semua yang dilihat berada dalam bentuk
kerinduan, keinginan dan ketekunan untuk menerima Islam. Selain itu, Islam sebenarnya telah
mewujudkan keselarasan dan kedalaman citra yang terkandung di dalamnya. Hal ini
98
Hubungan pertalian ini yang dibangun oleh Islam berdasarkan
landasan normatif yang bersumber dari al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Qur’an
merupakan kekuatan yang paling dahsyat, paling pas dengan indra
kemanusiaan, dan lebih dekat lagi dengan hukum akal. Sehingga tidak
ditemukan baik itu sebelum ataupun sesudahnya aturan sejenis yang dapat
membangun, manjaga keseimbangan antara akal, hati dan ruh.16
Islam juga merupakan aturan yang paling ideal dan paling sesuai
dengan perangai dan tabiat kebiasaan manusia, baik yang berhubungan
dengan alam makrokosmos ataupun alam mikrokosmos. Dalam hal ini, Gulen
menjelaskan tidak ada yang sejenis dan serupa dengan Islam dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat, dan menurut Gulen tak kan pernah ada.
Kondisi inilah yang disebutnya dengan kondisi fitrah, hal ini dikarenakan
sumber utama Islam adalah wahyu yang suci nan jernih. Adapun penjelas
utama wahyu itu adalah al-Sunnah.17
Selain itu, cara paling mudah diterima langsung untuk memikat hati
manusia adalah cara cinta, yakni jalan yang dilakukan oleh para Nabi. Mereka
yang menempuh jalan ini jarang sekali ditolak, kalaupun ditolak oleh
segelintir orang, mereka disambut gembira oleh ribuan orang lainnya. Sekali
mereka diterima dengan cinta, tak akan ada yang mampu menghalangi
mereka untuk meraih cita-cita gemilang, yaitu keridaan Tuhan. Lebih spesifik
lagi, menurut Gulen, dalam kamus kemanusiaan, cinta adalah kehidupan.
Manusia bisa merasakan dan mengindra satu sama lain dengan cinta. Tuhan
belum menciptakan hubungan yang lebih kuat daripada cinta, yang
merupakan mata rantai pengikat manusia antara satu dan yang lainnya.18
menunjukkan bahwa setiap kali hal ini masuk kedalam lubuk hati manusia, maka pengaruhnya
terhadap lingkungan di sekitarnya juga akan semakin kuat. Muhammad Fethullah Gulen,
Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, 81-82.
16Muhammad Fethullah Gulan, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa
Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, 171. 17
Memahami Islam secara tekstualistik dan legal formal memang sering
mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal al-Qur’an tidak melegitimasi
sedikit pun segenap prilaku dan sikap yang melampaui batas. Dalam konteks ini, ada tiga
sikap yang katagorikan ‚melampaui batas‛. Pertama, ‚ghuluw‛, yaitu bentuk ekspresi
manusia yang berlebihan dalam merespon persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap di
luar batas kewajaran manusia. Kedua, ‚tat}arruf‛, yaitu sikap berlebihan karena dorongan
emosiaonal yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari
masyarakat. Ketiga, ‚irhab‛, yakni sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama dan
ideologi. Sikap ini biasanya jadi legitimasi membenarkan kekerasan atas nama agama atau
ideologi tertentu. Baca Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi , 28-30. Bandingkan dengan Muhammad Fethullah Gulan,
Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, 172.
18M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 2-4.
99
Sementara itu, menurut Yusuf al-Qard}awi, Islam memuliakan
manusia karena eksistensinya sebagai manusia, tanpa harus membedakan
warna kulit, ras/etnis, bahasa, geografis tempat tinggal atau status dan strata
yang dimiliki. Kesemuanya itu tidak menjadi pertimbangan untuk membeda-
bedakan manusia. Akan tetapi, hal yang sangat prinsipil mereka dimuliakan
dan dihargai karena mereka adalah manusia. Lebih jauh lagi Islam melihat
jenis manusia keseluruhan dari sifatnya sebagai satu keluarga. Berafiliasi
kepada Allah dalam penghambaan dan sebagai keturunan Adam. Sehingga
dapat dipastikan jika Tuhan mereka satu dan bapak mereka juga satu. 19
Kedamaian dalam Islam merupakan perkara yang sangat
Fundamental. Sebagaimana Abdullah Shaha>tah menyatakan;
Maksud dari kalimat di atas adalah bahwa, perdamaian merupakan
jiwa agamamu, ajakan Allah bagimu dan peradamaian merupakan ayat dalam
al-Qur’an dan Sunnah dari petunjuk Nabimu. Maka pegangilah dia karenanya
jalan kesatuanmu, tanda ketinggianmu, jalan kemegahanmu, kekuasaan Allah
beserta jamaah, Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu
menolong saudaranya.
Menurut Gulen, Mementingkan orang lain merupakan sikap mulia
yang dimiliki manusia, dan sumbernya adalah cinta. Siapapun yang memiliki
andil terbesar dalam masalah cinta ini, mereka pahlawan kemanusiaan paling
hebat; orang-orang ini telah mampu mencabut perasaan benci dan dendam
dalam diri mereka.21
Tidak jauh berbeda dengan Gulen, dalam pandangan Zuhairi Misrawi,
banyak sekali alasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama cinta
kasih dan mencintai kedamaian. Pertama, Tuhan adalah Mahadamai, ini
terlihat dari salah satu nama-nama Tuhan yang indah di dalam ‚al-Asma>’ al-H{usna>‛ yaitu ‚al-Sala>m‛ yang berarti Yang Mahadamai. Lebih jauh lagi,
salah satu fungsi diciptakannya manusia adalah untuk menjaga
keberlangsungan hidup umat manusia. Hal inilah yang menyebabkan hampir
19
Hal ini tergambar ketika Nabi menyampaikan khutbah di hadapan khalayak ramai
pada waktu haji wada’: ‚wahai sekalian manusia sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan
bapakmu juga satu, masing-masing kamu sekalian dari Adam, dan Adam diciptakan dari
tanah‛. Isi khutbah ini relevan dengan pernyataan Allah dalam QS. al-Hujurat: 13. Pada
kalimat ‚li ta’arafu>‛ (saling berkenalan), yaitu untuk mengetahui satu sama lainnya dan saling
memahami. Baca Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo, 66.
20Abbdullah Shah}a>tah, al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>, 218.
21M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 2.
100
diseluruh praktek ritual keagamaan dalam Islam selalu mempunyai misi dan
visi untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian.22 Kedua, perdamaian
merupakan keteladanan yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. di
saat memulai dakwahnya beliau menjadikan perdamaian sebagai salah satu
titik penting dalam melakukan perubahan sosial. Ketiga, perdamaian
merupakan salah satu bentuk ukuran tinnginya peradaban manusia. Selain itu,
manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang senantiasa melakukan
interaksi sosial. Ini menunjukkan inti dari agama dan relasi sosial adalah
perdamaian. Lebih spesifik lagi, menolak perdamaian merupakan sikap yang
bisa dikatagorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.23
Akal, hati, pikiran, perasaan, dan wahyu memiliki urgensi yang tinggi
dalam konsep ajaran Islam. Kesemuanya itu merupakan satu-kesatuan dengan
sisi yang bervariasi. Menurut Gulen, ajaran Islam lebih luas dan lebih luwes
dari yang lainnya sesuai dengan yang ditempatinya. Hal ini dikarenakan,
ajaran Islam senantiasa merawat kelapangan dan keluasan ajarannya kepada
manusia. Karenanya ketika Islam menghadapi lawannya selalu menggunakan
metode dialog, yang diiringi dengan penuh perasaan dan kasih sayang.
Adapun hukum-hukumnya dibangun di atas dasar keterikatan antara manusia,
alam semesta, dam Pencipta. Selain itu kesemuanya selaras dengan ayat-ayat
al-Qur’an, akal dan logika.24 Dari penjelasan di atas, dapat dipahami Islam
merupakan keharmonisan dan daya kesempurnaan dengan segala kondisi
kehidupan yang memiliki berbagai aspek spritual dan kehidupan.25
B. Inklusifisme dan Toleransi sebagai Basis Keberagamaan
Dalam tradisi ilmiah Islam, dapat ditemukan metodologi Islam dalam
mengatur hubungan antar manusia dan upayanya untuk menyelesaikan
problematika hubungan sosial, dalam hal ini tidak ada istilah yang lebih tepat
daripada dua kata: ‚toleransi‛ dan ‚keadilan‛. Dua kata tersebut cukup
mewakili landasan yang mencakup segala permasalahan syari’at, khususnya
22
Visi dan misi Islam ingin mewujudkan kedamaian dan perdamaian dapat tergambar
dari do’a atau wiridan yang berisi tentang harapan untuk hidup damai yang biasanya
dilantunkan dan dipanjatkan setiap selesai melaksanakan shalat:
‚wahai Tuhan, Engkau adalah Mahadamai. Dari-Mu muncul kedamaian. Dan kepada-Mu kedamaian akan kembali. Maka hidupkanlah kami dengan kedamaian dan masukkkanlah kami ke dalam surga, rumah kedamaian. Dengan keberkahan dan ketinggian-Mu yang Mahamulia‛.
23Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, 365-366. 24
Muhammad Fethullah Gulan, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, 171.
25Mujtaba Musawi Lari, Islam Spirit Sepanjang Zaman, (Jakarta: al-Huda, 2010),
119.
101
yang berhubungan dengan masalah hubungan antar manusia.26 Prinsip
toleransi (al-Tasa>muh) dapat ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an
secara terpisah-pisah. Ada yang mengajak dan memerintahkan manusia
supaya mau memaafkan dan tidak menuntut balas (al-Afwu dan al-Shafh),
ada yang memerintahkan untuk berbuat kebajikan (al-Ihsan), bahkan ada
yang menyuruh membalas kejahatan dengan kebajikan, di samping itu ada
pula perintah untuk berpaling saja dari orang-orang yang tidak mengerti, dan
perintah-perintah lain yang bermuara dan berangkat dari toleransi.27
Sebagai contoh, berikut ini ayat-ayat yang berhubungan dengan
toleransi tersebut:
1. Dalam QS. al-Mu’minun: 96
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih
mengetahui apa yang mereka sifatkan.”28
2. Dalam QS. al-Fushilat: 34-35 di sebutkan,
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-
orang yang mempunyai keuntungan yang besar.”
Sikap toleran merupakan ‚metode damai yang sejuk‛ yang
semestinya menjadi alat bagi Muslim untuk menghadapi sikap tidak
bersahabat dari orang lain atau perlakuan jahat orang-orang yang merusak
hak-haknya. Sikap toleran akan membuat seseorang ketika menghadapi
perlakuan tidak baik dari sesamanya menjadi manusia teladan. Pancaran
rahmat keluar dari kalbunya, untuk kemudian membangkitkan rasa cinta dan
26
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), 22.
27Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan
Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 22-23. Dalam QS. al-Furqan: 63. QS. al-
Baqarah: 109. QS. al-Baqarah: 237. QS. Ali ‘Imra>n: 159. QS. al-Ma’idah: 13. QS. al-Syura:
37. QS. al-Syura: 40. QS. al-Jatsiyah: 14. QS. al-Qashash:77. QS al-Baqarah: 195. 28
Maksudnya: perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan kaum musyrikin yang
tidak baik itu hendaklah dihadapi oleh Nabi dengan yang baik, umpama dengan
memaafkannya, Asal tidak membawa kepada Kelemahan dan kemunduran dakwah.
102
kedamaian pada diri orang lain. Dari batinnya meluncur kesejukan,
kedamaian, dan keselamatan pada masyarakatnya.29 Tetapi, rahmat kasih
sayang yang bersinar dari kalbu dan kebaikan yang memancar dari jiwa itu
merupakan manifestasi dari kerendahan batin atau kekerdilan jiwa yang
memaksanya untuk mengikuti prilaku seperti itu, juga bukan berasal dari
kealpaannya terhadap realitas prilaku manusia, bukan pula karena
ketidaktahuannya terhadap kecenderungan jahat manusia, sikap toleransi
merupakan upaya untuk melepaskan pertengkaran dan pertentanagan di
antara individu manusia. Selain itu juga toleransi untuk menjauhkan rasa
dengki, dendam, kebencian, dan permusuhan dari jiwa manusia dan
menggantinya dengan jiwa yang penuh rasa cinta, rasa sayang, dan rasa
saling mengasihi.30
Hal yang lebih relevan dikemukakan Zuhairi, menurut Zuhairi
Misrawi, bahwa rahmat dan kasih Nabi merupakan kategori kasih yang
proaktif dan progresif. Artinya, rahmat dan kasihnya melampaui batas-batas
primordialnya. Rahmat dan kasihnya bersifat universal untuk semua umat
beragama dan untuk sepanjang masa. Rahmat dan kasih merupakan unsur
terpenting bagi keseimbangan dan keberlangsungan da’wah Rasulullah saw.31
Terlebih lagi di era kontemporer ini, khususnya dalam hal keagamaan
semakin terlihat indikasi alienasi paham keagamaan, bahkan kadangkala
menjadi salah satu sumber kekerasan, kendatipun bukan satu-satunya sumber.
Dalam pandangan Zuhairi, agama yang senantiasa diletakkan di menara
gading tidak mampu memberikan jawaban mujarab terhadap problem
keumatan dan kemanusiaan. Hal itu terjadi, karena ada jurang yang
memisahkan antara paham keagamaan dengan realitas sosial. Paham
keagamaan berada di sebelah lembah, sedangkan problem kemanusiaan di
lembah yang lain sehingga antara keduanya tidak saling menyapa dan tidak
pula berdialog dan yang amat menyedihkan, paham keagamaan justru
dijadikan pemicu tindakan kekerasan, penyerangan dan pengusiran.32
Hal yang seperti ini disebabkan tema dan cakupan dakwah yang
disampaikan para juru dakwah selama ini hanya berkisar dalam masalah-
masalah hablun minallah (hubungan vertikal), atau maslah ukhrawi belaka:
syahadat, shalat, zakat, puasa, haji dan tema-tema ritual keagamaan lainnya.
Sementara tema dakwah Islam lainnya, yaitu hablun minannas (hubungan
horizontal) tidak banyak disinggung. Padahal sebenarnya cakupan atau tema
29
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 30-31.
30Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan
Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 31. 31
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 245.
32Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, 257.
103
dakwah sangatlah luas. Masalah-masalah kepentingan umat adalah bagian
dari tema dakwah Islam, misalnya demokrasi, masalah peningkatan sumber
daya umat, masalah peningkatan ekonomi, etos kerja, dan lain-lain. Hal ini
jarang disinggung dalam bahasan-bahasan materi dakwah, sehingga dakwah
seakan tidak berpijak di bumi tetapi mengangkasa. Karena pada dasarnya
dakwah adalah aktivitas mengubah masyarakat menjadi lebih baik dalam
berbagai persoalan agar sesuai dengan ajaran Islam.33
Dari sisi metodologis, konsepsi Islam tentang model dakwah
sedemikian humanis dan tulus. Nabi saw sendiri telah menyampaikan Islam
dengan cara damai, halus, penuh kasih sayang dan tanpa paksaan. Dari sisi
sosiologis, pudarnya nilai-nilai dakwah yang original itu tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan sain maupun sosial-kultural masyarakat
kekinian. Sebab, bagaimanapun juga eksistensi dakwah Islam senantiasa
bersentuhan dengan realitas sosial yang mengitarinya.34
Dalam konteks penyelamatan dunia kontemporer dari ancaman global
inilah Gulen mendedikasikan dirinya melalui upaya-upaya dakwah,
pendidikan atas dasar cinta, toleransi dan dialog. Buku Gulen yang berjudul
Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, merupakan kompilasi
dari pidato-pidato dan artikel-artikelnya. Buku ini di publikasikan ketika
dialog antarperadaban dan agama semakin dibutuhkan sebagai alternatif bagi
kemungkinan terjadinya ‚benturan peradaban‛ (clash of civilization).
Bukunya ini mendapat apresiasi dari berbagai lapisan masyarakat dan lintas
golongan.35
Gulen menilai sikap toleransi sebagai nilai abadi yang berasal dari
"esensi penciptaan," kasih Allah: "Allah menciptakan semesta sebagai
manifestasi dari cintanya kepada makhluk-Nya, dalam kemanusiaan
khususnya, dan Islam menjadi kain tenunan dari kasih-Nya‛. Toleransi,
sebagai ungkapan ini
berasal cinta melalui Islam, lebih lanjut menurut Gulen, sikap intoleran dan
kekerasan menunjukkan bahwa fanatisme buta adalah bertentangan dengan
esensi dari pesan Islam dan Allah untuk penciptaan. Gulen mengajak umat
33
Samsul Munir Amin, Rekontuksi Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta: Amzah,
2008) x-xi. 34
Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah Islam dengan realitas sosio-kultural
menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberi hasil terhadap
lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, arah, dorongan dan pedoman perubahan
masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh
perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas
dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural. Lihat Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, (Semarang: Wali Songo
Press, 2008), 2–4. 35
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung: Mizan, 2011), 149.
104
Islam untuk merebut kembali nilai toleransi sebagai sesuatu yang melekat
dalam semangat Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah Nabi
Muhammad saw.36
Sementara itu, dalam pandangan Irwan Masduqi, karya Gulen
tersebut memiliki memiliki tujuan ganda. Pertama, seruan kepada kaum
Muslim agar membangun kesadaran bahwa Islam mengajarkan perlunya
dialog dan umat Islam diajak untuk menjadi agen perdamaian dan agent of sosial change serta menjadi saksi kasih sayang Tuhan yang universal. Gulen
menyerukan toleransi dengan membawa al-Qur’an, hadis, dan pandangan
inklusif para tokoh sufi.37 Disini Gulen meyakinkan bahwa toleransi, cinta
dan kasih sayang merupakan manifestasi dari Tuhan. Kedua, Gulen mengajak
Barat agar mengkaji Islam secara komprehensif dan simpatik melalui sumber-
sumbernya yang otoritatif.38
Masyarakat yang plural secara agama, pada umumnya mempunyai
masalah yang serius dalam hubungan antar agama. Kendatipun dialog-dialog
kultural senantiasa dilakukan, akan tetapi konflik, benturan dan gesekan
seringkali muncul karena beberapa faktor, diantaranya faktor teologis,
historis dan politis. Disinilah diperlukan sebuah pembacaan yang
komprehensif terhadap inti ajaran Islam. Dengan demikian tidak bisa
dipungkiri bila kasih sayang dan toleransi merupakan tulang-punggung
peradaban kemanusiaan kontemporer. Menurut Zuhairi di tengah situasi
global yang semakin tidak manusiawi, maka peradaban dan dakwah Islam
harus menjadi oase di tengah krisis kemanusiaan. Artinya, tidak ada alasan
untuk melakukan kekerasan dengan dalih kekerasan yang dilakukan pihak
lain. Amat diperlukan upaya-upaya strategis dan proaktif untuk
mengampanyekan ajaran Nabi Muhammad saw sebagai pembawa kasih
sayang.39
Adapun hal yang paling penting adalah meyakini relativitas yang
melekat pada setiap insan. Ini dikarenakan tidak ada manusia yang sempurna
dan memegang kebenaran mutlak. Lebih tegas lagi kesempurnaan hanyalah
milik Tuhan semata. Di sinilah dakwah dan toleransi perlu menggarisbawahi
kesanggupan untuk menerima yang lain sebagai inspirasi menuju tangga
36
Aaron Tyler, ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic
Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington
DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 737. 37
Pandangan inklusif para tokoh sufi ini seperti Al-Ghazali, jalaludin Rumi dan Ibn
Arabi 38
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, 149-150.
39Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, 248.
105
kebenaran. Begitu juga dengan agama-agama samawi. Iman kepada para Nabi
dan Kitab terdahulu merupakan bukti ketulusan dan keterbukaan terhadap
kebenaran yang datang dari pihak lain. Dalam hal ini, Tuhan sendiri yang
menunjuk hamba-hamba pilihan-Nya untuk membawa obor kebenaran dan
cahaya keimanan. Karena itu, amat tidak bermoral bila dalam dakwah dan
debat muncul semacam anggapan bahwa pihaknya yang benar, sedangkan
pihak yang lain salah.40
Dalam kaitannya dengan hal ini, Gulen menjelaskan bahwa terorisme
dan kekerasan merupakan akibat hilangnya cinta dan kasih sayang di hati
manusia. Menurutnya cinta adalah obat mujarab bagi problem kekerasan,
serta kehidupan yang damai hanya dapat diwujudkan secara harmoni dengan
cinta kepada Tuhan, dan tidak ada hubungan yang lebih kuat daripada cinta.
Lebih spesifik lagi menurut Gulen cinta adalah mawar di dalam hati manusia
yang tak pernah layu, dan hubungan terkuat di antara individu-individu yang
membentuk keluarga, masyarakat, dan bangsa adalah cinta.41
Selain daripada itu, toleransi yang dalam bahasa Arab disebut al-tasa>muh merupan salah satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain,
seperti kasih (rah}mah), kebijaksanaan (h}ikmah), keadilan (‘adl) dan
kemaslahatan universal (mash}lahah ‘ammah). Dengan demikian dapat
dipahami prinsip-prinsip ajaran inti Islam tersebut bersifat trans-historis,
trans-ideologis bahkan trans-keyakinan agama.42
Toleransi merupakan keniscayaan dalam ruang individu dan publik,
hal ini dikarenakan salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup
damai di antara pelbagai kelompok masyarakat, baik dari perbedaan latar
belakang sejarah, kebudayaan, maupun identitas. Dalam pandangan Michael
Walzer, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi, setidaknya ada lima hal yang
menjadi subtansi dari toleransi: Pertama, menerima perbedaan untuk hidup
damai. Kedua, menjadikan keseragaman menuju perbedaan. Ketiga, membangun moral stoisme, yaitu menerima orang lain mempunyai hak,
walaupun dalam prakteknya haknya kurang menarik orang lain. Keempat, mengepresikan keterbukaan terhadap yang lain, ingin tahu, menghargai, ingin
mendengarkan dan belajar dari orang lain. Kelima, dukungan yang antusias
terhadap perbedaan serta menekankan aspek otonomi.43
Dengan demikian, al-Qur’an telah menggariskan dengan sangat baik
jalan menuju toleransi. Selain itu, di tengah menguatnya keberagamaan
diperlukan toleransi yang bersifat aktif. Ini artinya dakwah dan debat yang
40
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 265.
41M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 4.
42Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur’an, 215. 43
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 181-182.
106
seringkali di jadikan ajang untuk memupuk kebencian dapat digantikan
sebagai ajang untuk memupuk kebersamaan dan keterbukaan terhadap orang
lain. Adapun dakwah itu sendiri bukanlah upaya untuk menciptakan tebing
ketertutupan terhadap yang lain. Padahal lebih dari itu dakwah dan debat
merupakan upaya persuasif untuk mengenalkan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran. Maka sudah sewajarnya bila langkah yang diambil juga
memperhatikan tentang pentingnya melihat pihak lain sebagai pihak setara,
terutama dalam kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai
kelebihan dan kekurangan yang hampir merata.44
Adapun dalam pandangan Gulen, toleransi biasanya digunakan untuk
menggantikan rasa hormat, kasih sayang, kemurahan hati, atau kesabaran.
Lebih jauh lagi menurutnya, unsur terpenting dari sistem moral yang
merupakan sumber disiplin spiritual yang sangat penting dan merupakan
kebajikan surgawi bagi orang-orang yang hebat.45 Lebih jauh Gulen
menjelaskan, umat manusia yang hidup pada abad kedua puluh satu ini lebih
membutuhkan kepada tata cara dan penyampaian yang mengandung kasih
sayang serta dipenuhi dengan sikap toleransi. Mereka tidak menginginkan
kepada cara-cara kekerasan sedikitpun. Oleh karena itu, setiap da’i harus
mempunyai hati yang lapang, dan bersikap penuh kasih sayang kepada semua
orang, sehingga suara mereka mampu menyentuh perasaan para
pendengarnya. Jika para da’i dewasa ini bersikap santun dan berlapang dada,
maka para pendengarnya akan menerima serta mendengar nasihat mereka
dengan lapang dada pula. Sebab, sifat dasar manusia sejak dahulu hingga
masa kini sangat terpengaruh kepada alam demokrasi yang terbebas dari
segala bentuk paksaan maupun penindasan (intimidasi).46
Sekarang, saatnya ajaran tentang toleransi di dalam dakwah
sebagaimana dijelaskan di atas mendapat perhatian yang semestinya,
khususnya para da’i dan ilmuan agar tidak terjebak dalam klaim kebenaran.
Sebab, hanya Tuhanlah yang patut menyandang Yang Mahabenar dan
Mahatahu. Para da’i dan kalangan cerdik-cendikia diharapkan dapat
membangun iklim toleransi di lingkungan masing-masing, baik di masjid,
madrasah, kampus, kantor maupun lembaga-lembaga kekusaan politik.
Sehingga dakwah yang merupakan panggung pencerahan dan pemberdayaan
masyarakat diharapkan dapat memberikan alternatif bagi terciptanya suasana
yang kondusif untuk membangun toleransi di tengah keragaman.47
44
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 265.
45M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 33-34
46Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 30. 47
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 266.
107
Lebih jauh lagi Abd. Moqsith Ghazali menegaskan kebebasan
beragama dan respek terhadap kepercayaan orang lain bukan hanya penting
bagi masyarakat majemuk, tetapi bagi orang Islam, hal ini dikarenakan
kebebasan beragama merupakan ajaran al-Qur’an. Selain daripada itu
membela kebebasan beragama dan menghormati kepercayaan orang lain
merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan membela kebebasan
beragama tersebut diantaranya, disimpulkan dalam sikap mempertahankan
rumah-rumah peribadatan, seperti biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog
dan masjid-masjid. Dengan demikian, tak ada alasan bagi seorang muslim
untuk membenci orang lain karena ia bukan penganut agama Islam. Bahkan
toleransi yang ditunjukkan Islam demikian kuat sehingga umat Islam dilarang
memaki tuhan-tuhan yang disembah orang-orang musyrik. Membiarkan
orang lain tetap memeluk agamanya adalah bagian dari perintah Islam itu
sendiri.48
Dengan demikian, dalam dakwah sikap pluralis dan ajaran toleransi
harus menjadi tindakan nyata yang dapat membentuk kesadaran kolektif.
Namun lebih dari itu, sejatinya dakwah tidak dalam rangka menafikan wahyu
keragaman, melainkan justru meneguhkan kebersamaan dalam bingkai
kemanusiaan dan keharmonisan. Dakwah yang toleran merupakan amanat
dan perintah Tuhan yang semestinya dipedomani oleh mereka yang bergerak
di medan dakwah. Tanpa hal tersebut, umat Islam akan kehilangan khazanah
yang paling penting untuk membangun toleransi intra-agama dan antar-
agama. Hal ini menunjukkan siapa pun yang mengaku beriman, berakal dan
mempunyai hati nurani mesti mempunyai tanggungjawab yang besar untuk
merancang-bangun paradigma toleransi. Tanpa upaya tersebut, hidup toleran
tanpa kekerasan akan menjadi sebuah mimpi. Tanpa keterlibatan kalangan
agamawan, toleransi akan sulit menemukan momentumnya, terutama dalam
rangka membangun toleransi yang berbasis khazanah keagamaan.49
C. Dialog Intensif Intra dan Antar Agama
Berbicara dialog intensif intra dan antar agama tidak dapat
dipisahkan dari umat Islam dan globalisasi.50 Merupakan dua faktor yang
48
Setiap umat Islam wajib menyampaikan ajaran toleransi ke tengah umat manusia
karena toleransi merupakan perkara yang fundamental dan ditegaskan di dalam Al-Qur’an,
serta perbedaan agama bukanlah penghalang untuk merajut tali persaudaraan antar sesama
manusia yang berlainan agama hal ini sebagaimana Nabi Muhammad lahir ke dunia bukan
untuk membela satu golongan, etnis dan agama tertentu saja, melainkan sebagai Rahmat Lil ‘A>lamin. Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, 216.
49Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, 179- 266. 50
Globalisasi berasal dari kata global yang artinya berkenaan dengan keseluruhan,
lihat Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 491.
108
senantiasa berkembang, sedangkan umat Islam sendiri adalah bagian yang
integral dalam era globalisasi, maka hubungan di antara keduanya
berkembang sebagai hubungan saling mempengaruhi.51 Dalam konteks
hubungan saling mempengaruhi seperti itu maka pentingnya dialog dalam
kehidupan bermasyarakat. Menurut Mukti Ali, dialog antar orang beriman
yang dijalankan oleh para pengajar, secara pribadi lebih membuahkan hasil
ketimbang dialog antar orang-orang beriman yang dijalankan secara formal
pada tataran pemerintahan. Meski demikian, pelbagai kelompok pada tataran
organisasi kemasyarakatan atau institusi negara juga turut menggerakkan
usaha dialog.52 Adapun dalam pandangan Gulen, dialog bisa berarti dua orang
atau lebih berkumpul untuk membahas isu-isu tertentu, kemudian menjalin
ikatan di antara mereka.53 Di sisi lain, dialog di mulai saat orang-orang
bertemu. Dialog bergantung pada pengertian timbal balik dan kepercayaan
timbal balik. Melalui dialoglah dimungkinkan berbagi dalam melayani.
Sehingga dialog menjadi medium untuk kesaksian yang otentik.54
Dialog antar iman atau interfaith dialogue dimengerti sebagai dialog
antar umat berbeda iman yang dijalankan secara personal maupun secara
komunal, sedangkan dialog antar agama merupakan dialog yang dijalankan
oleh umat berbeda agama dengan lebih teroganisir dan secara langsung atau
tidak langsung menyangkut institusi agama. Dialog antar umat beragama
selayaknya juga memperkembangkan iman para pelakunya. Istilah dialog
antar iman muncul ketika istilah agama tidak lagi bermakna netral, hal ini
disebabkan agama di bawah hegemoni pemerintah. Sehingga dapat dipahami
penggunaan kata iman mengandung aspek dekonstruktif, yakni mau
membebaskan diri dari hegemoni pemerintah tersebut sehingga dapat
meggulirkan suatu gerakan. Dengan demikian dialog dapat dipahami dengan
makna seluas-luasnya agar dapat menampung sebanyak mungkin potensi
yang ada untuk dikembangkan. Ketika orang berbeda iman saling bertemu
dan menyapa, maka dapat dipastikan akan terjadi dialog. Apa pun yang
Adapun yang dimaksud dengan globalisasi yaitu proses masuknya ke ruang lingkup dunia.
Lihat Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi ofline dengan mengacu pada data
dari KBBI daring (edisi III) dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ diakses tanggal 27
Desember 2012.
51
Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, 164. 52
J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, (Jakarta: Mizan Publika, 2010) 5.
53Dalam hal ini, dialog bisa juga dikatakan sebagai suatu kegiatan yang di tengahnya
terdapat kegiatan manusia. Lihat M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 50. Baca juga Ozguc Orhan, ‚Islamic Himmah and Christian Charity: an
Attempt at Inter-Faith Dialogue‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington
DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 578. 54
J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 7.
109
dikomunikasikan, dialog terjadi. Dialog antar umat beragama pertama-tama
dapat di lihat ‚dari bawah‛. Yakni dari perjumpaan dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan pengertian itu, dialog yang secara eksplisit mengungkapkan isi
iman dan agama tidaklah dikesampingkan. Melainkan lebih dari itu juga
untuk dikembangkan sesuai dengan fungsinya secara kontekstual.55
Lebih jauh lagi dialog yang berkembang dari bawah dapat
digambarkan dengan tujuh dataran yang berhubungan satu sama lain.
Dataran-dataran dialog itu dapat dilihat sebagai langkah-langkah yang
fleksibel. Dataran-dataran dialog itu juga dapan disebut momen-momen
dialog. Ini disebabkan usaha dan tindakan berdialog tidak berangkat dari titik
nol. Bahkan lebih jauh lagi dapat dilaksanakan pada dataran mana saja yang
mungkin pada lingkungan dan waktu tertentu. Dataran-dataran atau momen-
momen itu dapat dibagi sebagai berikut:
Pertama, dialog kehidupan. Dialog yang terjadi dalam komunitas
kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dialog kehidupan itu,
anggota-anggota komunitas hidup berdampingan dengan semangat
kerukunan dan berkomunitas , bertetangga, dan berteman. Dari pengalaman
hidup bersama itu muncullah kepedulian bersama. Kedua, analisis sosial dan refleksi etis kontekstual. Pada dataran kedua ini, komunitas dari anggota-
anggota berbagai agama itu mencoba mengartikan kenyataan hidup yang
dialami dan membuat pertimbangan etis. Dengan kata lain, komunitas
membuat analisis sosial kemudian merumuskan pilahan etis dalam
konteksnya, menalaah faktor-faktor penyebab situasi tersebut dan hubungan
antar faktor. Pada dataran ini komunitas juga menentukan pilihan etis yang
konkret sebagai bagian dari analisis sosial. Analisis sosial tersebut masih
dapat diperdalam lagi dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan
iman para anggota komunitas. 56
Ketiga, studi tradisi-tradisi agama. Pada dataran ketiga ini, para
anggota kelompok menggali tradisi iman masing-masing. Momen ini penting
karena pilihan etis orang beriman juga dilandasi dan diperkuat oleh sumber
iman masing-masing. Keempat, dialog antar umat beragama: berbagi iman dalam level pengalaman. Pada dataran keempat ini, dialog terjadi dengan
55
Istilah iman menunjuk pada pengalaman orang yang menyerahkan diri kepada
Allah, dan menghayati penyerahan diri secara individual maupun komunal. Adapun istilah
agama menunjuk pada sosialisasi dan institusionalisasi pengalaman iman tersebut, yang
tampak dalam komunitas, ajaran, dan ibadahnya. Dengan pengertian tersebut, dialog antar
iman dan lintas iman dapat terjadi. Baca J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 6-7.
56Analisis sosial tidaklah bebas nilai, perlu disadari bersama nilai apa yang
disepakati dan diperjuangkan dalam kelompok. Nilai-nilai itu misalnya kedamaian dan
keadilan sosial, keadilan gender dan hak asasi manusia, lingkungan hidup yang lestari dan
berkelanjutan. J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 8-10.
110
berbagi pengalaman iman dalam komunitas lintas iman. Berpangkal pada
tradisi iman dan agama masing-masing, para peserta berbagi pengalaman
iman dan kekayaan spritual. Dengan cara seperti ini, para peserta saling
memperkaya satu sama lain.57 Adapun menurut Gulen, dialog antar agama,
khususnya berusaha untuk mewujudkan kesatuan agama dasar dan persatuan
universalitas keyakinan. jelas bahwa Gulen mengharapkan perdamaian dan
toleransi menjadi buah dari dialog antar agama58
Kelima, dialog antar umat beragama: berteologi lintas agama. Pada
dataran ini, dialog terjadi dalam pergumulan teologi lintas iman dan agama.
Para teolog atau spesialis berbagai bidang dapat berbagi pemahaman dalam
level ilmiah. Mereka mengkomunikasikan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai warisan religius masing-masing seraya menghargai dan belajar dari
pemahaman tradisi-tradisi agama lain. Dengan demikian pergumulan lintas
iman dan agama diharapkan saling memperkaya dan juga dapat memunculkan
pemaknaan ulang. Keenam, dialog aksi. Dalam dataran ini, dialog antar
agama mengkaji masalah-masalah sosial dan mengarah pada keterlibatan
masyarakat. Hal ini dikarenakan umat beragama tidak dapat menghindari
kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat. Selain itu,
melalui dialog, aksi kelompok yang terdiri dari berbagai agama dapat
memperdayakan rakyat dengan perspektif keadilan sosial, keadilan gender,
hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Sehingga kelompok lintas agama
dapat menjadi komunitas yang melayani kepentingan umum, serta menjadi
komunitas dialogis yang transformatif. Ketujuh, dialog intra agama. Setelah
menjalani macam-macam dataran dialog antar iman, lintas iman, dan lintas
agama, setiap orang kembali kepada iman pribadinya. Pada dataran ini
selayaknya terjadi otokritik. Sehingga umat beragama menjadi orang-orang
beriman yang lebih baik secara personal dan komunal. Dengan demikian
diharapkan orang Islam menjadi muslim yang lebih baik, orang kristen
menjadi kristiani yang lebih baik, dan begitu juga terhadap penganut agama
yang lainnya. Dari tujuh dataran dalam dialog ini dapat pahami bahwa
semakin mendalam perjumpaan lintas iman dan lintas agama, maka semakin
mendalam juga perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam menghidupi
iman dan agamanya sendiri.59
Dalam kaitannya dengan pentingnya dialog ini, maka Gulen
memandang positif perubahan di dalam iklim spritual global. Dalam
57
J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 8-11.
58Ozguc Orhan, ‚Islamic Himmah and Christian Charity: an Attempt at Inter-Faith
Dialogue‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November
2008. 578. 59
J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 11-13.
111
pandangannya abad dua puluh satu sebagai abad dinamisme spritual yang
akan membangkitkan nilai-nilai moral yang telah lama tidur, suatu era
toleransi dan pemahaman yang menuju pada kerjasama peradaban. Roh
manusia seharusnya memenangkan jalan menuju dialog antar peradaban dan
sama-sama berbagi nilai.60
Selain itu, dialog bukanlah tujuan akhir, melainkan sesuatu yang
dijalankan untuk mencapai tujuan selanjutnya. Namun tujuan hidup bersama
tidaklah dapat dicapai dengan baik tanpa keterlibatan semua pihak. Dengan
demikian, dialog merupakan gaya hidup orang beriman dan beragama, serta
merupakan sesuatu yang perlu dan harus dijalankan kalau seseorang atau
komunitas mau setia kepada panggilan manusiawi dan ilahiah. Hubungan
antar agama yang terbuka dan jujur memerlukan landasan teologis yang
terbuka pula. Keterbukaan dalam praktik dan teologi akan menyuburkan satu
sama lain. Dalam mengembangkan teologi yang terbuka, umat beragama
tidak hanya berpikir secara tekstual melainkan juga secara kontekstual.61
Sementara itu, globalisasi bukanlah istilah asing bagi dunia Islam, al-
Qur’an sendiri telah mengajarkan pandangan secara global melalui ajarannya
mengenai keberadaan Tuhan sebagai Rabb al-‘A<lami>n (Tuhan seluruh alam)
dan kerasulan Muhammad sebagai rahmat li al-‘ A<lami>n, juga mengenai al-
Qur’an sebagaiهذاللاس(petunjuk manusia) sejak empat belas abad silam.62
Menurut Samsul Munir Amin globalisasi selalu dihubungkan dengan
modernisasi dan modernisme. Namun ciri khas modernisasi dan manusia
modern adalah tingkat berpikir, iptek, dan sikapnya terhadap penggunaan
waktu dan perghargaan terhadap karya manusia. Lalu berdasarkan pandangan
itu, muncullah penilaian yang membuat klasifikasi kemajuan dan
kemunduran.63 Namun menurut Islam, maju atau mundur itu diukur
berdasarkan nilai-nilai Islami, bukan menurut ukuran-ukuran yang lain.
Adapun yang dinilai kemajuan menurut Islam mungkin kemunduran menurut
yang lain, sebaliknya yang dikatakan kemajuan menurut yang lain mungkin
kemunduran menurut Islam.
Meminjam penjelasan Azra, globalisasi dapat dipahami dengan
makna ganda. Pada satu sisi, globalisasi mencakup globalisasi sistem
ekonomi, sistem politik, telekomunikasi dan transportasi yang memang pada
akhirnya menjadi global. Tetapi pada sisi yang lain, globalisasi bisa juga
dalam bidang kebudayaan, seperti globalisasi budaya dan gaya hidup barat
yang memiliki pretensi-pretensi universal justru mendorong semakin kuatnya
resistensi budaya lokal dan regional. Dengan demikian, pada bidang
60
M. Fethullah Gulen, The Essentials of The Islamic Faith, (New Jersey, 2010) viii. 61
J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 11-13.
62Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, 164-165.
63Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, 164.
112
kebudayaan ini terdapat dua kecenderungan sekaligus; pada satu sisi
menguatnya ekspansi budaya global barat, dan pada sisi yang lain
meningkatnya kesadaran budaya lokal dan regional non-barat. Lebih jauh
lagi, globalisasi memang menghasilkan perubahan-perubahan struktur yang
sulit dielakkan baik dalam kehidupan politik maupun ekonomi. Dengan kata
lain, struktur-struktur dalam bidang-bidang ini dapat menjadi global dan
universal. Akan tetapi nilai-nilai (values) yang bersumber dari tradisi lokal
maupun agama dalam banyak hal berkaitan erat dengan realitas lokal dan,
karena itu sulit untuk bisa betul-betul menjadi universal. Disinilah akhirnya
bisa terjadi konflik di antara budaya atau peradaban yang memiliki pretensi-
pretensi global, seperti budaya barat yang ekspansif dengan budaya lokal dan
regional yang memiliki nuansa keagamaan tertentu.64
Adapun dalam Islam, perubahan sosial (social change) pada sebuah
masyarakat merupakan sunnatullah. Perubahan sosial yang terjadi pada masa
sekarang sangat kompleks. Perubahan yang terjadi begitu cepat ini selain
menimbulkan hal-hal positif, juga menimbulkan hal yang negatif. Bukan
hanya di bidang ekonomi dan politik, tetapi lebih dari itu ia merambah pada
bidang lainnya seperti hukum, budaya, dan moral.65
Perubahan sosial merupakan cara untuk mengubah tatanan kondisi
masyarakat yang menyimpang, dari yang salah dan buruk menjadi kondisi
masyarakat yang terarah, benar dan baik.66 Dalam al-Qur’an, istilah ini
teridentifikasi, antara lain dalam surat ar-Ra’d: ‚Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka‛.67 Cara ini telah dipraktekkan oleh Nabi dalam misi dakwahnya.
Dalam waktu relatif singkat, yaitu kurang lebih dua puluh tiga tahun, berhasil
melakukuan perubahan sosial yang sangat signifikan terhadap kondisi sosial
masyarakat Arab.68
64
Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) 15.
65Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: Amzah, 2009), cet. ke-1, 221.
66Iqram Faldiansyah, ‚Dakwah dan Lingkungan‛ dalam Imam Malik dkk., Antologi
Pemikiran Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2011),198. Perubahan sosial yaitu
perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial pra industri ke sistem sosial
industrial. Terkadang disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke
masyarakat modern. Atau, dalam peristilahan yang sering digunakan adalah perubahan dari
keadaan ‚negara yang kurang maju‛ (less developed country) ke keadaan ‚masyarakat negara
yang lebih maju‛ (more developed country). Lihat Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah,222. 67
Q.s. ar-Ra’d ayat 11. 68
M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006),
253. Untuk lebih jelas tentang perubahan sosial, baca Joseph S. Roucek dan Roland L.
Warrin, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Bina Aksara,tt,), 346. Lihat juga Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1999), 244. Bandingkan juga dengan
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), 45
113
Tentang teori perubahan sosial, Tonies mengkontraskan hubungan-
hubungan natural dan organis keluarga, desa dan kota kecil (gemeinschaft) dengan kondisi yang ‚artifial‛ dan ‚terisolasi‛ dari kehidupan kota dan
masyarakat industri, di mana hubungan-hubungan asli dan natural manusia
satu sama lain telah dikesampingkan, dan setiap orang berjuang untuk
keuntungannya sendiri dalam suatu semangat kompetisi.69
Menguraikan lebih jauh dikotomi Tonnies itu, Mengutip dari Samsul
Munir Amim, Talcott Parsons mengembangkan suatu teori yang terkenal
dengan pattern variables. Menurut teori Parsons, perubahan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat industri dan modern juga berarti perubahan dari:
Pertama, affectivity ke affective, yaitu perubahan dan sikap bertindak karena
hendak mendapatkan kesenangan segera ke sikap bertindak dengan kesediaan
menunda atau meninggalkan kesenangan jangka pendek itu karena hendak
mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Pengaruh langsung perubahan ini
bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan, karena
adanya kebiasaan menabung dan investasi akibat ditinggalkannya
penggunaan pendapatan untuk maksud-maksud konsumtif. Kedua,
partikularisme ke universalisme. Industrialisasi cenderung mengikis
keeksklusifan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit, dan
keturunan. Partikularisme semacam itu tidak efisien dan membawa ke
penyiapan-penyiapan tenaga. Masyarakat-masyarakat yang paling tinggi
tingkat industrialisasinya, baik kapitalis maupun komunis, adalah
masyarakat-masyarakat di mana pola-pola universalistis tampak menonjol
dan karier terbuka untuk berbagai bakat dan kemampuan. Ketiga, ascription ke achievement. Demikian pula halnya achievement ,dan bukannya
ascription, ia cenderung menjadi dasar rekrut mendalam suatu masyarakat
yang terindustrialisasikan sepenuhnya. Perubahan karena industrialisasi
adalah perubahan dari sistem penghargaan karena prestise ke sistem
penghargaan karena prestasi. Keempat, diffuseness ke specific. Yang
dimaksud adalah perubahan dari hubungan-hubungan sosial yang memiliki
ruang lingkup luas dan serba meliputi, ke hubungan-hubungan di mana
seseorang aktor atau pelaku tindakan membatasi perhatiannya mengenai
orang lain pada hal-hal yang bersifat khusus dan tidak mengizinkan masuk
pertimbangan-pertimbangan lain. Contoh hubungan diffuse ialah antara ayah
dan anak, sedangkan contoh hubungan spesifik (specific) ialah antara guru
dan murid di sekolah umum. Seorang ayah akan berperan sebagai ayah
terhadap anaknya dalam segala situasi, sedangkan seorang guru berperan
sebagai guru terhadap muridnya hanya pada situasi si sekolah, di kelas, atau
situasi yang menyangkut kegiatan pengajaran dan pendidikan.70
69
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 222-223. 70
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 223-224.
114
Terjadinya perubahan sosial, membawa dampak juga kepada proses
dakwah di kalangan masyarakat. Cara pandang, cara berpikir dan cara
bertindak masyarakat berubah dengan drastis terhadap fenomena
keberagaman masyarakat. Dalam hal ini dakwah harus mampu mengimbangi
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat untuk mengarahkan kepada hal-
hal yang bersifat positif. Dari berbagai bentuk perubahan sosial yang
diungkapkan di atas, justru dakwah atau da’i perlu peduli dengan terus
membaca perkembangan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Dari hasil
membaca tadi, seorang da’i harus mampu memberikan solusi yang
konstruktif, yang sesuai dengan ajaran, norma dan etika Islam yang dinamis,
transformatif, kondisional, untuk menggerakkan masyarakat agar bangkit
dari segala bentuk keterbelakangan menuju cahaya iman dan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Seiring dengan perkembangan dakwah yang semakin meluas serta
gerakan organisasi dakwah yang semakin berkembang pesat baik di
masyarakat maupun di berbagai perguruan tinggi Islam, ini tidak lantas
membuat problematika dakwah hilang dari bayang-bayang majunya
pergerakan dakwah, problematika kerap kali muncul mengiringi pergerakan
dakwah tersebut. Problematika dakwah yang mengemuka pada umumnya
dapat dibedakan menjadi dua macam yakni problematika internal dan
problematika eksternal. Problematika internal diklasifikasikan dalam dua
kelompok, pertama: kelemahan para da’i terhadap pemahaman konsep-
konsep agama sebagai substansi dakwah, metode yang dipakai serta kualitas
da’i itu sendiri, kedua: kelembagaan dakwah yang kurang profesional dalam
aspek manajemennya. Sedangkan problematika eksternal yakni suatu keadaan
yang merintangi gerakan dakwah yang datang dari faktor luar, baik itu faktor
struktur politik nasional maupun internasional terjadi interdepedensi
sistem,71 maraknya ghazw al-fikr, imperialisme barat, gerakan pemurtadan
yang dilakukan para misionaris,72 serta melajunya sains dan teknologi yang
telah menggusur hampir seluruh potensi rohaniah manusia, menyisihkan dan
merusak etika, moral serta akhlak yang mana hal-hal tersebut seharusnya
adalah bidang garap dakwah Islam.73
Selain problematika internal dan eksternal, dalam pelaksanaan
dakwah seringkali juga ditemukan problematika lain baik berupa
permasalahan teknis maupun permasalahan secara umum yang menyangkut
berbagai aspek kehidupan manusia, yaitu aspek sosial budaya, ekonomi dan
politik. Kecenderungan sosial budaya yang terjadi di antaranya reifikasi,
71Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam,159.
72
Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan,‛dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2011), 87-88.
73
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 309.
115
objektivikasi manusia dan manipulasi.74 Kecenderungan ekonomi berkisar
kepada masalah permodalan yang menyangkut keterbatasan sumber modal,
ketenagakerjaan dimana jumlah pengangguran semakin meningkat
dikarenakan mereka tidak terlatih sedangkan yang dibutuhkan adalah tenaga
kerja yang terlatih dan ahli, kemudian keadilan ekonomi dimana yang kuat
dialah yang berhak berkuasa. Sedangkan kecenderungan politik di antaranya
partai-partai politik yang berbasis massa Islam belum bersatu untuk
mengedepankan dakwah Islam dan lebih mengedepankan kepentingan politik
masing-masing.75
Upaya untuk menjawab tantangan problematika dakwah di atas
setidaknya ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, humanisasi yang
berarti dakwah harus kontribusi terhadap nilai-nilai manusiawi dengan
lingkungannya, yang pada gilirannya akan menjelmakan struktur sosio-
kultural yang sehat dan dinamis serta sejahtera.76 Kedua, liberasi yaitu
serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka membebaskan manusia
dari keterbelengguan berpikir, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan
nilai-nilai negatif dari struktur sosio-kultural yang kacau.77
Sementara itu, dalam konsep pemikiran yang praktis, sebagaimana
yang dikutip Kartika Sari, Amin Rais menawarkan lima ‚Pekerjaan Rumah‛
yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap
relevan, efektif, dan produktif. Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius
untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pebagian kerja yang rapi. Ilmu
tabligh belaka tidak cukup untuk mendakung proses dakwah, melainkan
diperlukan pula berbagai pengusaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi
yang paling mutakhir. Kedua, setiap organisasi Islam yang berminat dalam
tugas-tugas dakwah perlu membangun labolatorium dakwah (labda). Dari
hasil ‚labda‛ ini akan dapat diketahui masalah-masalah rill di lapangan, agar
jelas apa yang harus dilakukan. Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi
terbatas pada dakwahbil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwahbil-hal, bil-kita>bah, bil-hikmah, dan bil-iqtisa>diyah (ekonomi). Yang jelas, actions speak louder than word. Keempat, media masa cetak dan terutama media
74Reifikasi yaitu kecenderungan manusia untuk menilai dan menikmati sesuatu
hanya dengan ukuran-ukuran yang bersifat lahiriah semata (pragmatis), objektivikasi manusia
yaitu terperangkapnya manusia dalam kerangka sistem budaya dan teknologi sehingga dirinya
menjadi komponen yang sangat tergantung pada sistem tersebut, sedangkan manipulasi merupakan efek samping lain dari makin dipadatinya kehidupan manusia oleh teknologi.
Lihat Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan‛dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, 79.
75
Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan,‛ 80-83. 76
Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan,‛ 88. 77
Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan,‛ 88. Bandingkan dengan Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 305-306.
116
elektronik. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah
perlu dimiliki oleh umat Islam. Kelima, merebut para remaja merupakan
tugas dakwah jangka panjang. Anak-anak dan para remaja adalah aset yang
tak ternilai. Mereka wajib diselamatkan dari pengikisan akidah yang terjadi
akibat ‚invasi‛ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas
Islam. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hami>diyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini.78
Menghadapi objek dakwah yang berada dalam kondisi transisi, maka
para da’i harus mampu menginterpretasikan dakwah sebagai gerakan moral
dan gerakan kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Saw. lima belas abad yang silam, dimana pada waktu itu dakwah berfungsi
sebagai transformator sosial budaya yang berakar pada keyakinan adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan mempunyai tujuan secara kuantitatif, dengan
penciptaan masyarakat yang sadar akan perlakuannya selama ini adalah hasil
dari mereduksi budaya Barat, sehingga perlu ditransformasikan ke etika
Islam.
Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita menghargai hukum-hukum
Islam, terutama yang berkaitan dengan moral dan etika yang telah ditentukan
oleh Tuhan. Selain itu menurut Gulen ajaran Islam mempunyai misi untuk
menganjurkan manusia agar senantiasa melakukan segala bentuk kebaikan,
dan menjauhi segala bentuk keburukan.79 Lebih jauh lagi, dakwah itu harus
dilakukan dengan cara yang santun dan damai, dengan tidak mengajak secara
paksaan. Apalagi mengajak kepada orang-orang non Muslim. Ini berarti
bahwa karena iman berkaitan dengan forum internum, maka paksaan
beragama merupakan upaya yang sia-sia, bahkan kita dilarang untuk
melakukan usaha semacam itu yang tidak mendatangkan hasil. Berdasarkan
alasan inilah maka perselisihan antar agama harus ditangani dengan cara yang
bersahabat dan damai, dan biarlah Tuhan yang menentukan hasilnya.80
Lain dari itu, menurut Yusuf al-Qaradawhi, persoalan sensitif yang
dihadapi setiap penganut agama yaitu, keyakinan bahwa hanya dia yang
benar dan orang lain yang salah. Mereka beranggapan hanya merekalah yang
mendapat hidayah. Keyakinan ini terkadang mendorong seseorang kepada
sikap fanatik. Namun dalam hal ini, terdapat beberapa unsur penting lain
yang dapat meminimalisir hal tersebut dalam pola pikir dan nurani seorang
muslim.81
78
Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan,‛ 89-90. 79
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i> (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008), 12-13. 80
Q.S An-Nisa: 59 81
Yusuf Al-Qaradawhi, Kita dan Barat; Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007) 276.
117
Al-Qur’an telah menjelaskan cara berdakwah yang baik dan benar.
Sehingga sikap fundamental dan radikal tidak dibenarkan sebagai cara
dakwah yang benar. Dalam umat Islam terdapat kelompok fundamentalisme,
dan dalam umat yang lain juga terdapat kelompok fundamentalis. Mereka-
mereka ini tidak mungkin bertemu dan berdialog, karena mereka tidak pernah
percaya dengan pentingnya dialog, bahkan dengan legalitas dialog. Adapun
yang bisa diharapakan dari berdialog adalah kelompok moderat dari kedua
umat tersebut. Mereka inilah sandaran cita-cita untuk melakukan dialog,
kesepahaman, dan kerjasama dalam hal-hal yang sama, serta bersikap toleran
dalam hal-hal yang beda.82
Menurut Gulen, manusia diberi hak untuk memilih berdasarkan
kehendaknya sendiri, dan mengeksplorasi apa saja yang ada di muka bumi.83
Adapun Islam merupakan agama terakhir dari seluruh agama-agama samawi.
Dalam konteks literatur kebahasaan, Islam secara etimolgis berarti
keamanan, perlindungan, konsiliasi dan perdamaian atau dapat pula berarti
pembebasan, penyerahan diri, purifikasi dan keselamatan dari setiap cobaan
yang dapat menimpa seluruh komponen kehidupan, seperti manusia, hewan,
tumbuhan dan bahkan benda mati sekalipun.84 Terminologi Islam berarti,
Islam ekuivalen tauhid.85
Etimologi Islam merefleksikan keselamatan dan kedamaian bagi
pemeluknya, mengganggu seorang muslim dalam menjalankan formalitas
peribadatannya adalah hal yang tidak bisa dibenarkan, sebagaimana yang
sudah ditetapkan. Pemahaman yang sesungguhnya dari Islam akan
membentuk sosok muslim bagaikan sebuah benteng bersenjatakan moralitas.
Moralitas Islam akan menuntut seorang muslim untuk mempersenjatai diri
82
Dunia ini diibaratkan seperti kampung yang kecil. Merupakan kewajiban setiap
penduduk kampung tersebut adalah bertemu, berdialog, serta tolong menolong dalam
kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan permusuhan. Yusuf Al-Qaradawhi, Kita dan Barat; Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam, 276-277. Ajakan Al-Qur’an
kepada Ahli Kitab untuk berdialog termaktub dalam Q.S Ali Imran: 64.
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
83Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 28. 84
Ali Syu’aibi Gill Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Ciputat: Pustaka Azhary,
2004) 246. 85
Islam juga mencakup artian dari sebuah ketaatan kepada Allah. Sebagaimana
Firman Allah dalam Q.S Al-An’a>m: 14 dan Q.S Ali Imra>n: 80.
118
dengan sejumlah prinsip, berupa prinsip ketaatan kepada Tuhan, prinsip
intropeksi diri pada setiap dosa dalam upaya menjauhi diri setiap prilaku
buruk.86
Lebih jauh lagi, strategi penyampaian pesan-pesan dakwah kepada
obyek dakwah memiliki konsekuensi terpeliharanya hubungan insani secara
sehat dan harmonis, sehingga dakwah tetap memberikan fungsi maksimal
bagi kehidupan. Jelasnya proses dakwah perlu mempertimbangkan dimensi-
dimensi sosiologis dan antropologis agar komunikasi yang dilaluinya dapat
berimplikasi pada peningkatan kesadaran umat secara domestik dan islami.87
Adapun dalam pandangan Gulen, sikap individualitas dan streotype
dapat mempersulit datangnya petunjuk. Lebih spesifik lagi, Gulen
menerangkan bahwa tujuan utama seorang da’i adalah mengajak orang ke
jalan Tuhan, tanpa harus ada berkembangnya potensi perpecahan di antara
umat beragama.88 Selaras dengan kegiatan dakwah yang baik, unsur-unsur
pokok yang menjadi bagian dari identitas muslim menurut Tariq Ramadhan89
ada lima: pertama, iman dan spritualitas: keislaman seseorang akan tercermin
dari sebuah keimanan kepada satu Tuhan. Orang beriman berhubungan
dengan Tuhan melalui kehidupan spritual yang permanen. Kehidupan orang
beriman idealnya menjadi manifestasi yang sempurna dari keimanannya.
Dengan demikian, di lingkungan apapun, keimanan dan kehidupan hati ini
harus dijaga dan dijunjung tinggi.90
Kedua, Ibadah: yakni dengan cara menjalani dan mematuhi perintah-
perintah agama dan menjalankan ibadah yang diwajibkan adalah konsekuensi
logis dari ‚iman dan spritualitas‛. Ini adalah soal kebebasan beribadah,
karena itu baik laki-laki maupun perempuan harus mempunyai pilihan untuk
beribadah atau tidak. Jika seorang memilih utama mematuhi agamanya atau
tidak mematuhi kewajiban utama agamanya,91 maka ia pun harus dibiarkan
hal itu tanpa gangguan. Ini juga tentunya berarti bahwa dimensi komunitas
kaum beriman harus dihormati.
Ketiga, Perlindungan, sebagai manusia dan orang beriman, orang
muslim tidak begitu saja minta untuk diterima atau ditoleransi. Tapi lebih
86
Ali Syu’aibi Gill Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, 251. 87
Wakidul Kohar, ‚Strategi Dakwah untuk Masyarakat Multi Etnis‛ dalam Islam
dan Ralitas Sosial: Di Mata Intelektual Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi,
2005) 298-299. 88
Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n
Qa>sim al-S{a>lih}i>, 108-109. 89
Cucu Hasan al-Banna, Guru besar Filsafat di College of Geneva, Swiss. 90
Bagi seorang Muslim, kehidupan spritual merupakan esensi eksistensinya di muka
bumi dan para ulama, dalam klasifikasi lima masha>lih esensial mereka, menyebutkan pada
peringkat pertama, penjagaan keimanan dan jalan hidup secara alamiah berhubungan dengan
pengesperiannya. 91
Lima pilar agama Islam yakni: Shalat, puasa, membayar zakat, dan melaksanakan
ibadah haji.
119
dari itu bisa memberi perlindungan dan bisa bersikap toleransi juga.
Keempat, Kebebasan, kaum Muslim memberi kesaksian mengenai kebenaran
Islam yang menurut mereka, diturunkan Tuhan ke dunia melalui wahyu al-
Qur’an. Namun pada hakikatnya, kebebasan beribadah harus berdampingan
dengan kebebasan berbicara, dan melalui kebebasan ini kaum Muslim dapat
mempersentasikan dan menjelaskan bagaimana iman, agama dan hidup
mereka92 adapun yang terakhir ialah Partisipasi, yakni spritualitas Islam
untuk mencapai pertumbuhan sempurna melalui perbuatan (amal) orang
beriman dan berpartisipasi dalam urusan sosial. Dari sudut pandang Islam,
beriman berarti beramal dan ini adalah makna dari ungkapan al-Qur’an yang
sering diulang-ulang ‚mereka yang beriman dan beramal saleh‛. Ini berarti
kaum Muslim harus didorong melibatkan diri dalam masyarakatnya dan
beramal demi solidaritas manusia.93
Lima elemen inilah menurut Tariq Ramadhan, tentunya memberi kita ide
tentang prasyarat esensial yang membentuk identitas muslim. Elemen ini
merupakan potret seorang muslim secara menyeluruh tanpa
mempertimbangkan ketidakmenentuan sejarah atau faktor sosial politik.
Tanggung jawab pertama dan terbesar orang muslim adalah memberikan
penilaian yang fair terhadap lingkungan agama, sosial dan hukum. Selain itu
dengan menjadi seorang muslim berarti menjadi juru damai, yaitu seorang
yang secra terus menerus berupaya mencari jalan untuk mengatasi konflik
dan memelihara keinginan baik untuk kehidupan bersama yang damai. Tuhan
menghendaki kita untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni bersama
ciptaan-Nya.94 Serta diikuti dengan usaha dialog yang baik dan menghormati
nilai-nilai dan asas-asas kemanusiaan. Dialog ini dilakukan baik pada tataran
intra agama atau keimanan. Bahkan lebih komprehensif lagi dilakukan antar
agama atau keimanan.
92
Ini adalah makna dari ungkapan al-Qur’an ‚menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia‛ Q.S Al-Baqarah: 143. Artinya kaum Muslim harus membuat pesan mereka agar
dapat dipahami dan dikenal. Ini juga arti konsep utama lainnya dalam tradisi Islam, yaitu
dakwah. konsep dakwah berlandaskan satu prinsip, yaitu hak setiap manusia untuk membuat
pilihan berdasrkan pengetahuan dan karenanya orang Muslim diperintahkan menyampaikan
pengetahuan tentang Islam di kalangan orang Muslim maupun non Muslim. Lihat Tariq
Ramadhan, Teologi Dialog: Islam Barat Pergumulan Muslim Eropa (Bandung: Mizan, 2002)
150-151. 93
Tariq Ramadhan, Teologi Dialog: Islam Barat Pergumulan Muslim Eropa 149-151. 94
J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 31-32.
120
121
BAB V
PENUTUP
Sebagai bab penutup, pada bab ini menyimpulkan sebagaimana
uaraian pada bab sebelumnya dan diakhiri dengan beberapa saran dan
rekomendasi untuk pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai tema
pada tesis ini.
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian-uraian terdahulu, tesis ini menyimpulkan
bahwa dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas
merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang
toleran. Terbukti prefensi dalil al-Qur’an yang lebih memanusiakan manusia
dalam menjalin hubungan dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan,
moralitas dan kebijaksanaan perenial. Dalam artian bahwa, agar dakwah
dapat diterima, maka hendaklah para da’i harus mampu berharmoni dan
berhumanisasi dengan masyarakat sekitarnya, baik dalam tataran hubungan
antar agama, budaya, maupun antar peradaban. Permasalahan utama kajian
ini pada dasarnya mengacu pada beberapa permasalahan terkait adanya
perubahan paradigma dalam penyampaian pesan-pesan agama (dakwah),
dakwah fundamentalis, ekstrim, dan radikal. Serta hilangnya rasa
kepercayaan dan toleransi. Benturan peradaban dan krisis kepercayaan ini
dipahami sebagai salah satu krisis besar yang mengancam keharmonisan
hubungan antar umat beragama dan negara. Oleh karenanya, persoalan
mendasar yang harus diubah adalah berkaitan dengan paradigma atau sudut
pandang tentang dakwah.
Berangkat dari penelitian dan pembacaan yang dilakukan oleh
penulis, maka tesis ini menemukan beberapa poin penting berikut ini:
Pertama, Sikap Fundamentalis dan radikal bukanlah pijakan dakwah
yang tepat, karena dakwah Islam pada dasarnya mengumandangkan spirit
profetik Rahmatan li al-‘A>lamin yaitu ajaran Islam yang mengedepankan
cinta dan kasih sayang serta sikap toleransi antar umat beragama. Sebagai
solusinya, gagasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan, moralitas
dan kesantunan terhadap semua umat beragama merupakan nilai dasar dalam
berdakwah. Hal ini dapat dibuktikan dengan landasan fundamen dakwah
yang berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan dakwah profetik),
sekaligus menegaskan bahwa Islam mengajarkan cara yang santun dalam
berdakwah. Selain itu, dalam penyampaikan dakwah ada aturan dan kode etik
yang harus dimiliki dan diikuti oleh para juru dakwah (da’i).
Kedua, Metode dakwah dalam al-Quran begitu humanis, Islam lebih
mengedepankan perdamaian dan dialog dengan santun dan argumentatif. Hal
122
ini tentunya harus dibudayakan, baik dalam konteks inter-religius, intra-
religius, maupun antar peradaban. Lebih komprehensif lagi, landasan dakwah
yang berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan profetik), menegaskan
bahwa Islam agama cinta dan mencintai kedamaian. Sehingga dalam proses
menyampaikan pesan-pesan keagamaan Islam telah memberikan tata cara
dakwahnya yang meliputi; al-Hikmah, Al-Mau’iz}ah al-H{asana (nasihat yang
baik) dan Al-Muja>dalah bi allati hiya Ah}san (Berdebat dengan Cara Baik.)
serta menggunakan kekerasan dengan dalih berjihad di jalan Tuhan tidaklah
dapat dibenarkan dalam berdakwah.
Ketiga, dalam proses menyampaikan pesan-pesan keagamaan
(dakwah) inilah Gulen memberikan dasar-dasar dan kaidah-kaidah dalam
dakwah yang diawali dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan,
menyelaraskan hati dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, menggunakan cara-cara
yang disyari’atkan dan melakukan apa yang disampaikan. Lain dari pada itu,
Gulen juga memberikan gambaran dan sifat seorang da’i yang harus dimiliki
dalam berdakwah (etika dan teladan dakwah) yang meliputi berdakwah
dengan penuh kasing sayang, mengedepan toleransi dan menjaga empati.
Kontruksi dan subtasnsi konsep dakwah Gulen ini, berorientasi kepada nilai-
nilai yang benar-benar spritual, seperti sikap toleransi, kasih sayang,
kesabaran, pengampunan (forgiveness), kedamaian batin (inner peace),
keharmonisan sosial (social harmony), kejujuran (honesty).
Keempat, problem krisis manusia modern dalam menjalin hubungan
dimotori dengan sikap eksklusif, ekstrim, radikal dan intoleran. Sehingga
revolusi paradigma menjadi keniscayaan, di antara alternatifnya dengan
menekankan Islam sebagai agama cinta. hal ini tentunya diiringi dengan
sikap inklusif dan ajaran toleransi sebagai basis keberagamaan. Lebih jauh
lagi diikuti dengan dialog intensif intra dan antar agama. Ini menunjukkan
adanya kesinambungan dalam upaya memperbaiki hubungan antar umat
manusia yang berbeda agama dan beragam budaya. Sikap inklusif dan ajaran
toleransi tersebut untuk perbaikan yang mendera moralitas masyarakat
kontemporer seperti berlaku radikal, ekstrim, dan intoleran. Kesemuanya itu
merupakan pondasi awal dalam membentuk kepribadian serta pijakan dalam
membangun interaksi dalam bermasyarakat.
Kelima, dakwah Gulen pada intinya mengajak kepada keseimbangan
antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan tetap menjaga sikap inklusif,
termasuk bagaimana mentranformasikan nilai religius tersebut sebagai
refleksi kehidupan sosial.
B. Rekomendasi
Sebagai agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa
aktif dalam melakukan kegiatan dakwah. Maka dakwah menempati posisi
yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam. Bagaimanapun detil,
123
luas, dan komprehensifnya sebuah penelitian yang mencoba menguraikan
tentang metode, dan pendekatan dakwah, hampir dipastikan penelitian tersebut
tidak akan berhenti, hal ini dikarenakan kegiatan dakwah tidak akan pernah
usai selama kehidupan di dunia masih berlangsung dan akan terus melekat
dalam situasi dan kondisi apa pun bentuk dan coraknya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, serta banyaknya kelemahan dari berbagai aspek. Kajian
tentang dakwah selama ini biasanya hanya terbatas dan terfokus pada
metode, pendekatan, dan etika dalam dakwah. Tentu kajian-kajian tersebut
tidak terlalu memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkaya
khazanah keilmuan dunia akademik.
Bertolak dari kesadaran akademik ini, maka penulis hendak
memberikan masukan dan rekomendasi kepada peneliti selanjutnya untuk
lebih mendalam dan lebih giat dalam melakukan penelitian. Dengan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, kepada komunitas akademik pemerhati, dan pengkaji
dakwah, khususnya yang berkaitan dengan tema-tema kearifan dan moralitas,
hendaknya dapat memberikan muatan filosofis baru yang lebih praktis sejalan
dengan wacana kontemporer. Tema-tema yang melangit dan ideal dapat
dibumikan secara familiar, sehingga seluruh kalangan dan lapisan masyarakat
dapat dengan mudah mengakses, memahami dan menerapkan konsep-konsep
ideal tersebut dalam berdakwah dan berkehidupan yang bermasyarakat. Hal
ini disebabkan wacana krisis moral, bersikap radikal, ekstrim dan intoleran,
merupakan bagian dari sedikit problem kehidupan masyarakat kontemporer.
Selain itu termasuk dari bagian problem yang bersifat praktis maupun
teoritis. Sehingga penyelesaiannya pun perlu di tempuh dengan dua
kecenderungan tersebut. Perkara yang sudah sepatutnya juga bagi para
pemerhati, pengkaji dan praktisi dakwah agar dapat memainkan perannya
dalam konteks tersebut.
Kedua, diharapkan kajian dakwah pada dasarnya tidak terbatas pada
tataran metode dan pendekatan saja. Akan lebih kontributif, apabila dakwah
dikaitkan dengan berbagai disiplin ilmu yang ada: Seperti kajian dakwah
dihubungkan dengan lintas disiplin ilmu modern atau lebih jauh lagi jika
disandingkan dengan ilmu sosiologi, tasawwuf, hubungan internasional
dengan pendekatan fenomenogi. Ini beberapa kajian yang berkaitan dengan
lintas disiplin ilmu dakwah dengan jenis ilmu yang lainnya.
Ketiga, kajian ini hanya terfokus dan terpusat pada kajian konsep
dakwah Gulen dan relevansinya dalam konteks masyarakat kontemporer.
Sesungguhnya para pemerhati dan praktisi dakwah selain Gulen, masih
banyak dan luas untuk dikaji dan diteliti. Baik yang berkenaan dan berkaitan
dengan konsep dakwah dan penerapannya. Apalagi di komparasikan dengan
teori-teori disiplin ilmu yang lainnya. Maka penulis menyarankan akan lebih
124
baik lagi apabila kajian ini dilanjutkan dalam konteks yang lebih luas. Untuk
langkah selanjutnya, diharapkan lewat penelitian ini dapat memberikan
kontribusi yang signifikan dan berarti kepada seluruh civitas akademik pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
125
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ba>qi, Muhammad Fuad. al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfaz} al-Qur’an. Cairo: Darul Hadits, 2007.
Abou El Fadl, Khaled. The Great Theft: Wrestling Islam From The Extermist. t.t.
Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
Abda, Slamet Muhaimin, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Surabaya: Al-
Ikhlas, 1994.
Amin, Syamsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2009.
Amin, Edi. ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian
Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004.
Aziz, Moh. Ali, Ilmu dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2009.
Azra, Azyumardi. Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
al-Baya>nu>ni>, Muhammad Abu> al-Fatah. al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1991.
al-Bagda>di>, Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-A<lu>si.> Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14.
Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s al-‘Arabi>, tt.
al-Azi>z, Jum‘ah Ami>n ‘Abdu. al-Da’wah Qawa>’id wa Usu>l, Kairo: Da>r al-
Da’wah, 1999.
Badruttamam, Nurul. Dakwah Kalobaratif Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo,
2005.
126
Bagir, J.B Barnawiratma, Zainal Abidin etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Mizan Publika, 2010.
Basit, Abdul. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto: STAIN
Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, 2006.
Bisri, Cik Hasan dan Eva Rufaidah. Model Penelitian Agama dan Dinamika
Sosial. Himpunan Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Chirri, Mohammad Jawad, Inquiries About Islam. 1986.
D{a>hir, Muhammad Ka>mil. al-Da‘wa al-Waha>biyya wa Atharuha fi> al-Fikr al-Isla>mi al-H>{adith. Beirut: Da>r al-Sala>m, 1993.
Ebaugh, Helen Rose, The Gülen Movement A Sociological Analysis of a Civic Movement Rooted in Moderate Islam. New York: Springer,
2010.
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003.
Esposito, John L. The Future of Islam. New York: Oxford University Press,
2010.
Faizah dan Lalu Muchsin Efendi, Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenada Media,
2006.
Faraj, Abdus Salam. Jihaad the Absent Obligation: and Expel The Jews and Cristians From The Arabian Paninsula, terj. Abu Umamah
Birmingham: Maktabah Al Ansaar Publications, First Edition 2000.
Faldiansyah, Iqram. ‚Dakwah dan Lingkungan‛ dalam Imam Malik dkk.,
Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press,
2011.
Fadlullah, Muhammad Husain Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim. Jakarta:
Lentera Basritama, 1997.
127
Fathurahman, Safira Rahmayani, ‚Fethullah Gulen sebagai Tokoh Sentral
dalam Gerakan Fethullah Gulen‛ Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Program Studi Arab, Universitas Indonesia Depok 2011.
Frank, Daniel H. ‚Etika‛ dalam Seyyed Hossein Nasr dkk., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua Seri Filsafat Islam, terj. Tim
Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Friedmann, Yohanan. Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition. UK: Cambridge University Press, 2003.
Gu>lan, Muhammad Fathullah. T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj
Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>. Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008.
--------------------. Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>.
Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008.
--------------------. As’ilah al-‘As}r al-Muh{ayyirah, terj. Wurkhan Muhammad
Ali. Da>r al-Nile: Cairo, 2008.
--------------------.Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. New
Jersey, Tughra Books, 2011.
--------------------. al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>ni>yah, terj.
Awirkhan Muhammad ‘Ali>, Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007.
--------------------.The Essentials of The Islamic Faith. New Jersey, 2010.
--------------------. Key Concepts in the Practice of Sufism, volum 1. New
Jersey, 2006.
--------------------. Pearls of Wisdom trj. Ali Unal. New Jersey:Light, 2005.
--------------------. Membangun Peradaban Kita: Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, trj. Fuad Syaifudin Nur dan Syarif Hade Masya, Jakarta: Republika,
2013.
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Depok: Kata Kita, 2009.
128
al-Hasani, Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki. Kiat Sukses Berdakwah, terj.
Samsul Munir Amin. Jakarta: AMZAH, 2006.
Halimi, Safrodin. Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial. Semarang: Wali Songo Press, 2008.
Hanafi, Hassan. Islam in the Modern World: Tradition, Revolution and Culture.Vol II. Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000.
Hasan, M. Iqbal\. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Hefni, Harjani dkk. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006.
Husaini, Murtadha. Kode Etik Mubalig Tuntunan Dakwah Secara Islam.
Jakarta: Citra, 2011.
Hofman, Murad W. Islam The Alternatif, Beltsville: Amana Publications,
1993.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1999.
Hotman, Prio dan A. Ilyas Ismail. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana, 2011.
Ibn Taymiyyah, Shaykh ul-Islaam Taqi ud-Deen Ahmad. The Religious and Moral Doctrine of Jihaad, terj. Abu Umamah Birmingham: Maktabah
Al Ansaar Publications, First Edition 2001.
Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-Kattaanie. Jakarta:
Gema Insani Press, 1999.
Irawan. ‚Peran Tasawuf dalam Meredam Konflik Sara pada Era Reformasi di
Indonesia‛ dalam Imam Malik dkk. Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2011.
al-Jawwi, Syaikh al-Nawawi. Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t.
al-Juyu>shi>, Muhammad Ibra>hi>m. al-Da’wah wa Da’a>h fi > al-‘As}ri al-Hadi>s.
Kairo: Mat}ba‘ah al-Husain al-Islamiyyah, tt.
129
Ismail, A. Ilyas Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2006.
Karim, Zaid Abdul Dakwah Bil-Hikmah, terj. Kathur Suhardi, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1993.
Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma, 2005.
Kartanegara, Mulyadhi ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam. Jakarta: Ushul Press, 2011.
Kibil, Ali Syu’aibi Gill. Meluruskan Radikalisme Islam, Ciputat: Pustaka
Azhary, 2004.
Kohar, Wakidul. ‚Strategi Dakwah untuk Masyarakat Multi Etnis‛ dalam
Islam dan Ralitas Sosial: Di Mata Intelektual Muslim Indonesia,
Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.
--------------------. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan,
1991.
Latif, Mahmud Abdul. Pengemban Dakwah: Kewajiban dan Sifat-sifatnya.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.
Lari, Mujtaba Musawi Islam Spirit Sepanjang Zaman. Jakarta: al-Huda,
2010.
Luthfi, Atabik Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, Jakarta: al-I’tishom, 2011.
al-Ma‘a>firi>, Abi> Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham. al-Si>rah al-Nabawiyyah li ibn Hisham, Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, Juz 1,
Kairo: Da>r al-Ghad al-Jadi>d al-Mans}u>rah, 2007.
Mahmud, Abdul Halim Dakwah Fardiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim, Trj. As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama. Bandung: Mizan, 2011.
130
M. Romli, dan Asep Syamsul. Jurnalistik Dakwah, Visi dan Misi Dakwah Bilqolam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
M.S, Alo Liliweri, Komunikasi Antarpribadi, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997.
Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah, 2007.
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori & Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Muba>rak, Muhammad Sa‘i>d. al-Da’wah wa al-Ira>dah. Riyadh: Huqu>qu al-
T{ab‘ Mahfu>z{ah lil Mu‘alif: 2005.
al-Muba>rakfuri>, Safi> al-Rahman. al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah al-Nabawiyyah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m. Mesir: Da>r
al-Wafa’, 2010.
Munir, M. Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006.
Munawwir, Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw. Jakarta: Kencana, 2013.
Muriah, Siti Metodologi Dakwah kontemporer, Yokyakarta: Mitra Pustaka,
2000.
Musfah, Jejen. Indeks al-Qur’an Praktis: Dilengkapi Teks Ayat Lengkap dengan Terjemahannya. Jakarta: Hikmah, 2007.
Omar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Pertjetakan Negara, 1971.
al-Qurt}ubi>, Abi> ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi> Bakr. al-Ja>mi‘I li al-Ah}ka>m al-Qur’an wa al-Mubayyin lima> Tad}ammanah min al-Sunnah wa a>y al-Furqa>n, Juz 12. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2006
al-Qaradhawi, Yusuf Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007.
131
--------------------. Kita dan Barat; Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.
Ramadhan, Tariq, Teologi Dialog: Islam Barat Pergumulan Muslim Eropa. Bandung: Mizan, 2002.
Roucek, Joseph S. dan Roland L. Warrin. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Bina
Aksara, tt.
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran Jakarta: Paramadina, 2004.
Roudhonah, Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.
ash-Shadr, Muhammad Baqir, Risalatuna Pesan Kebangkitan Umat; Konsep Dakwah, pemikiran, dan Reformasi Sosial, terj. Muahammad Abdul
Qadir Alcaf. Yogyakarta: RausyanFikr, 2011.
Shah}a>tah, Abbdullah al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>. Mesir: al-
Hai’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1978.
Sari, Kartika. ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab
Tantangan‛ dalam Imam Malik dkk. Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2011.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Qur’an al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
--------------------.Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan. 2000.
Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES, 1989.
Siddiqi, Shamim A. Methodology of Dawah Ilallah in American Perspective.
New York: The Forum for Islamic Work, 1989.
al-S}a>bu>ni, Shaykh Muhammad ‘Ali. S{afwat al-Tafa>sir. Beirut: Dar al-Fikr,
2001.
132
asy-Syuwaikh, Adil Abdullah al-Laili Bersama Kereta Dakwah Sukses Berdakwah di Era Keterbukaan, trj. Asfuri Bahri, Jakarta: Robbani
Press, 2006.
Saqar, Abd al-Badi Kaifa Nad’u al-Na>s, Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1979.
al-Sya>fi>‘i, Sulaiman ibn ‘Umar al-‘A<ji>li. Tafsir al-Jamal ‘Ala al-Jalalain. Singapura: Maktabah wa Matba‘ah Sulaiman Mar‘i, t.t.
al-S{iba>gh, Sibba>m. al-Da’wah wa al-Da‘a>h baina al-Wa>qi‘ wa al-Hadaf wa Mujtama‘a>t ‘Arabiyyah Mu‘a>s}irah. Damaskus: Da>r al-Ima>n, 2000.
Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Suhandang, Kustadi. Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Sudaryoso, Satera. Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia. Jakarta: Impressa, 2013.
al-Sulami>, Muhammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tarmidhi>, Sunan al- Tarmidhi>, Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, tt.
Sumarta, Th. Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar-Agama di Indonesia dalam Th. Sumarta dkk. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei,
2001.
al-Tayya>r, ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali. al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahd al-Nabawi>: A<da>b wa H{ikam. Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>z{ah li al-
Mu’allif, 2003.
Tahqiq, Nanang ‚Islam‛ dalam dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam, Jakarta: Ushul Press, 2011.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi ofline dengan mengacu
pada data dari KBBI daring (edisi III) dari
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ diakses tanggal 27 Desember
2012.
133
Uwaidah, Muhammad Abdul Latif Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifat-sifatnya, trj. Arief B. Iskandar, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.
al-‘Ulya>ni>, Ali ibn Nafyu’. Ahammiyah al-Jihad> fi> Nas}ri al-Da‘wa al-Isla>miyyah wa al-Radd ‘Ala> al-T{awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi. Riyadh: Da>ru
T{ayybah, 1985\.
al-Wa‘iy, Taufik Yusuf. Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk.
Jakarta: Al-I‘tishom, 2011.
al-Wakil, Muhammad Sayyid. Prinsip dan Kode Etik Dakwah. Jakarta:
Akademika Presindo, 2002.
Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 2000.
al-Zamakhshari>>, Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn ‘Umar. al-Kassha>f ‘an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzil> wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz 3,
Riya>d}: Maktabah al-‘Abi>ka>n, 1998.
Zainuri, Lalu Ahmad ‚Etika Da’i dalam al-Qur’an: Studi Analisis Pada Surat
al-Muddtstsir‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program
studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005.
Zaidallah, Alwisral Imam. Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khotib Profesional. Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Zaprulkhan, ‚Eksistensi Tuhan Menurut Said Nursi dan Kritiknya Terhadap
Paham Materialisme Barat‛ Tesis, Fakultas Aqidah dan Filsafat UIN
Sunan Kalijaga, 2007.
Zed, Mustika. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004.
Zulfahmi. ‚Gerakan Damai Fethullah Gulen di Turki Perspektif Komunikasi
Islam‛ Tesis, Konsentrasi Agama dan Perdamaian Program studi
Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
134
Jurnal dan artikel:
Awang, Abdul Ghafar HJ. Don Jaffary. ‚Knowledge management and its
Impact on Islamic Da’wah: A Historical Perspective‛, dalam Journal of Islamic and Arabic Education. 1 (2), 2009. 61-68.
http://journalarticle.ukm.my/770/1/10_1.pdf. (diakses: 21 Desember,
2013).
Borelli, John. ‚Interreligious Dialogue as a Spritual Practice‛ dalam
Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington
DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008.
144-163.
Bruckmayr, Philipp. ‚Fethullah Gulen and Islamic Literary Tradition‛ dalam
Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington
DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008.
164-203.
Chang, Byung-Ock. ‚Islamic Fundamentalism, Jihad, and Terrorism‛ dalam
Journal of International Development and Cooperation, Vol.11,No.1,2005.57-67.http://ir.lib.hiroshima-u.ac.jp/ metadb/up/
74007022/JIDC_11_01_04_Chang.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013).
Daud, Wan Mohd Nor Wan. ‚Containing Muslim Extremism and
Radicalism‛ dalam Sari - International Journal of the Malay World and Civilisation 28 (1) (2010). 241-252. http://
journalarticle.ukm.my/2416/1/Sari_28(1)_2010_12_Wan_Mohd_Nor
_(Final).pdf (diakses pada 1 Mei, 2013).
Fry, Ian. ‚A Winder Role For The Gulen Movement Consistent With The
Place of The Qur’an and Islam in The Evolution of Religious
Understanding: A Fundamental Theological Reasseement‛ artikel
dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23
November 2007. New Jersey: Tughra Books, 2009. 95-124.
Fotopoulos, Takis. ‚The Myth of The Clash of fundamentalism‛ dalam The International Journal of Inclusive Democracy, Vol. 1, No. 4. July,
2005. 1-3. http://www.inclusivedemocracy.org/journal/ pdf%
135
20files/pdf%20vol1/The%20myth%20of%20the%20clash%20of%20f
undamentalisms.pdf. (diakses pada 22 Maret, 2013)
Hussin, Zulkarnain Haron Nordin. ‚A Study on Salafi Jihadist Doctrine and
the Interpretation of Jihad by Al Jama'ah Al Islamiyah‛ dalam
Kemanusiaan Vol. 20, No. 2, (2013), 15-37.http://web.usm.my/
kajh/vol20_2_2013/Art%202%20(15-37).pdf (diakses pada: 8 Januari,
2014).
Kim, Heon. ‚Gulen’s Dialogic Sufism: A Constructional and Constructive
Faktor of Dialogue‛ dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown
University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C:
Rumi Forum, 2008.374-406
Masaeli, Mahmoud. ‚The Importance of Dialogue in a Rooted Conception of
Cosmopolitanism Fethullah Gulen and Mohammad Mojtahed
Shabestary‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen, Movement Georgetown
University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C:
Rumi Forum, 2008. 491-522.
Mitchell, Lynn E. ‚M. Fethullah Gulen: A Preacher of Piety and Integrity of
Action: A Study in Analogy Between the Gulen Movement and the
Clapham Circle‛ dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown
University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C:
Rumi Forum, 2008. 531-560.
Michel, Thomas. ‚Fethullah Gulen: Following in The Footsteps of Rumi‛
dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-
23November 2007. New Jersey: Tughra Books, 2009. 155-163.
Mulky, M. Asrori. ‚Tak Ada Kerukunan Beragama Tanpa Kebebasan
Beragama‛, Ulumul Qur’an Nomor 01/XXI/2012.
Saritoprak, Zeki, ‚Fethullah Gulen andthe ‘People of the Book’:A Voice
from Turkey for Interfaith Dialogue‛ dalam The Muslim World,
Volume, 95 Juli 2005, 329-340. http://www.interfaithdialog.org/
newsletter/documents/ZSaritoprak1.pdf (diakses pada 3 juni, 2013).
136
Tahir, Ali Raza. ‚Islam and Philosophy (Meaning and Relationship)‛ dalam
Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business vol. 4
no: 9 (January, 2013) 1287-1293. http://journal-
archieves27.webs.com/1287-1293. pdf (diakses pada: 23 Desember,
2013).
Tyler, Aaron. ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic
Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November
2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008.730-753.
Weldon, Steven A. ‚The Institutional Context of Tolerance for Ethnic
Minorities: A Comparative, Multilevel Analysis of Western Europe‛
dalam American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 2, April
2006. 331-349. http:// bama.ua.edu/~ sborrell/ psc521/tolerance.pdf
(diakses pada: 1 Mei, 2013).
Weller, Paul. ‚Dialogical and Transformatif Resources: Perspectives From
Fethullah Gulen on Religion and Public Life‛ dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23
November 2007. New Jersey: Tughra Books, 2009. 219-239.
Yucel, Salih. ‚Fethullah Gülen Spiritual Leader in a Global Islamic Context‛
dalam Journal of Religion & Society, The Kripke Center, Vol. 12.
2010. 1-19. http://moses.creighton.edu/jrs/ 2010/2010-4.pdf (diakses
pada: 1 Mei, 2013)
--------------------.‚Spiritual Role Models in Fethullah Gülen’s Educational
Philosophy‛ dalam Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 3(1) 2011. 65-76. http://www. tawarikh-journal.com/
files/File/04. yucel.mu. octo. 2011.pdf (diakses pada: 1 Mei, 2013).
137
GLOSARIUM
Lisa>n al-Maqa>l : Bentuk dakwah yang dalam praktiknya
hanya terbatas dalam tataran teoretis-
instruktif .
Lisa>n al-Hal : Bentuk dakwah yang dalam praktiknya
dengan tindakan empiris.
al-Hikmah : Mencegah, melarang dengan penuh
kebijaksanaan. merupakan upaya
seorang da’i mentransformasikan
pesan-pesan keagamaan dengan penuh
kebijaksanaan, akal budi yang mulia,
hati yang bersih, lapang dada, dan
menarik perhatian orang kepada agama
atau Tuhan.
al-H{a>kim : Yaitu orang yang memiliki
pengetahuan yang paling utama dari
segala sesuatu.
Al-Mau’iz}ah al-H{asanah : Nasihat, peringatan serta bimbingan
kepada ketaatan seperti yang
diperintahkan dalam al-Qur’an
merupakan perkataan dan perbuatan
yang baik dan bermanfaat, disifatkan
dengan al-H{asana dikarenakan di
dalamnya terdapat nilai-nilai kebaikan
dan jauh daripada sifat-sifat kejelekan.
Al-Muja>dalah bi allati hiya Ah}san : Berdebat dengan Cara Baik.
Tabsyir wa tandzir : Kabar gembira dan peringatan.
as-Ilah wa ajwibah : Tanya jawab.
al-Inzar : Adalah penyampaian dakwah dimana
isinya berupa peringatan terhadap
manusia tentang adanya kehidupan
akhirat dengan segala konsekuensinya.
138
al-Tabsyir : Adalah penyampaian dakwah yang
berisi kabar-kabar yang
menggembirakan bagi orang-orang
yang mengikuti dakwah.
al-Rifq wa al-Lin : Dalam menjalankan dakwah bersikap
kasih sayang dan lemah lembut.
al-Taisir : Didakwahkan nabi Muhammad saw
sarat dengan kemudahan-kemudahan.
Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar : Sebuah perintah untuk mengajak atau
menganjurkan hal-hal yang baik dan
mencegah hal-hal yang buruk bagi
masyarakat.
Dialogue : Bahasa Inggris, dialog, komunikasi
dua arah.
Jihad : Berjuang dengan sungguh-sungguh
menurut syariat Islam.
Kekerasan : Sebuah ekspresi baik yang dilakukan
secara fisik ataupun secara verbal yang
mencerminkan pada tindakan agresi
dan penyerangan pada kebebasan atau
martabat seseorang yang dapat
dilakukan oleh perorangan atau
sekelompok orang.
Tabligh : Bahasa Arab, penyampaian.
Tauhid : Bahasa Arab, konsep dalam aqidah
Islam yang menyatakan keesaan Allah.
Tolerance : Bahasa Inggris, toleran.
Taghyir : Bahasa Arab, perubahan.
al-Syiddah : Menunjukkan sikap yang tegas dan
keras.
139
al-Tahaddiyat : Sarat dengan tantangan dan ujian.
Hujumi wa fa’ali : Ofensif dan aktif.
Informational messege : Pesan yang mengandung informasi.
Instructional message : Pesan yang mengandung perintah.
Motivational message : Pesan yang berusaha mendorong.
al-Ma>ddah : Materi dakwah (pesan).
Ethics : Dalam bahasa Ingris berasal dari
bahasa Yunani ‚ethos‛ yang bearti
watak. Ethics (etika) adalah studi
sistematik tentang sifat konsep nilai
baik dan buruk, benar dan salah, dalam
kaitannya dengan tingkah laku
manusia.
Philosophical moralitity : Moralitas filosofis.
Theological moralitity : Moralitas teologi.
Religious moralitity : Moralitas religius.
Forgiveness : Pengampunan.
Inner peace : Kedamaian batin.
Social harmony : Keharmonisan sosial.
Honesty : Kejujuran.
Da’i : Orang yang melakukan seruan dan
ajakan (dakwah)selain itu, biasa
dikenal dengan istilah (muballigh)
yakni orang yang berfungsi sebagai
komunikator.
Da’wah fardiyah : Dakwah yang dilakukan oleh da’i
secara personal.
140
Da’wah jama’i : Dakwah yang dilakukan oleh
sekelompok da’i, secara kolektif.
Ta’awun : Kerjasama antar semua pihak.
Ghuluw : Yaitu bentuk ekspresi manusia yang
berlebihan dalam merespon persoalan
hingga terwujud dalam sikap-sikap di
liuar batas kewajaran manusia.
Tat}arruf : Yaitu sikap berlebihan karena
dorongan emosiaonal yang
berimplikasi pada empati berlebihan
dan sinisme keterlaluan dari
masyaraka.
Irhab : Yakni sikap dan tindakan berlebihan
karena dorongan agama dan ideologi.
Sikap ini biasanya jadi legitimasi
membenarkan kekerasan atas nama
agama atau ideologi tertentu.
Agent of sosial change : Agen perubahan sosial.
Mash}lahah ‘Ammah : Kemaslahatan universal.
Interfaith dialogue : Dimengerti sebagai dialog antar umat
berbeda iman yang dijalankan secara
personal maupun secara komunal.
141
INDEKS
‘
‘Abd al-Badi’ Saqar, 48
A
Aaron Tyler, 11, 81, 104
Abd. Hamid al-Bilali, 24
Abdul Basit, 7
Abdul Ghafar, 40, 134
Abdul Halim Mahmud, 42, 48
Abdurrahman ibn ‘Auf al-
Zuhri, 36
Abdus Salam Faraj, 3
Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-
Saidi> Mahmu>d al-A<lu>si> al-
Bagda>di, 20, 24, 27
Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn
‘Umar al-Zamakhshari>, 24,
27
Abu Bakar, 36, 72
Abu Lahab, 37
Ahmad ibn Taymiyyah, 3
Ahmad Warson Munawwir, 1,
26
ahsanu qaula, 19
akhlak, 7, 10, 17, 32, 41, 42, 44,
45, 49, 64, 76, 90, 114
al-‘Ubu>di>yah, 34
al-Baya>n, 17
al-Furqa>n, 17, 24, 70, 130
al-H{a>kim, 19, 137
al-H{ujjah, 20
al-h}ikmah, 19, 21
al-Haq, 20
Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali
al-Tayya>r, 5, 10
Ali ibn Abi Thalib, 37
Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>, 4
Ali Mustafa Yaqub, 28, 37, 38,
39, 40, 44, 45
Ali Raza Tahir, 17
Ali Syu’aibi Gill Kibil, 6, 117,
118
al-Jadlu, 27
al-Khauf, 2
al-Ma>ddah, 40, 41, 139
al-Mau’iz}a al-H{asana, 23, 24,
25
al-Nida, 18
al-Raja, 2
al-Salaf al-S{alih, 21
al-Sunnah, 2, 22, 24, 48, 56, 61,
68, 98, 122, 130
al-Tasa>muh, 26, 101
al-Tibya>n, 17
Alwi Shihab, 5
amar ma’ruf, 62, 64, 72, 84, 85,
86, 87, 88, 89, 90, 91
Assabiquna al-Awwalun, 36
Atabik Luthfi, 62, 63, 64, 85,
88
B
bid'ah, 21
D
da’i, 1, 2, 8, 9, 15, 17, 20, 21,
22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
32, 33, 34, 41, 42, 44, 45, 46,
47, 48, 49, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
68, 69, 71, 72, 73, 74, 76, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 83, 86, 87,
142
106, 114, 116, 118, 121, 122,
137,139, 140
Dakwah, 1, 3, 5, 7, 9, 10, 15,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49,
50, 54, 56, 59, 61, 62, 63, 64,
74, 75, 76, 77, 78, 80, 82, 84,
85, 86, 87, 88, 93, 94, 101,
102, 103, 107, 108, 111, 112,
113, 114, 115, 116, 118, 125,
126, 128, 129, 130, 131, 132,
133, 139, 140
Daud, 7, 35, 134
dialog, 2, 10, 11, 15, 30, 47, 81,
93, 100, 103, 104, 107, 108,
109, 110, 111, 117, 119, 121,
122, 138, 140
E
Ethics, 42, 139
Etika, 1, 2, 3, 10, 18, 42, 43, 44,
45, 46, 47, 48, 61, 74, 75, 76,
77, 78, 103, 125, 127, 128,
129, 132, 133
F
Fath al-Makkah, 3
fatwa, 5
forgiveness, 9, 15, 47, 122
Fuad Abd al-Ba>qi, 1
fundamentalis, 4, 6, 8, 10, 12,
117, 121
G
Gulen, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 47, 49, 50, 51,
52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 60,
61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69,
71, 73, 78, 81, 83, 86, 87, 88,
89, 90, 91, 96, 97, 98, 99,
100, 103, 104, 105, 106, 108,
110, 111, 116, 117, 118, 122,
123, 127, 133, 134, 135, 136
H
Hassan Hanafi, 4
Heon Kim, 11
Heraklius, 18
holistik, 7
Hud, 24, 28, 35, 68, 88
human oriented, 34, 47
I
Ian Fry, 10
Ibn Manzu>r, 18
Ibrahim, 1, 5, 18, 35, 94
ilat, 19
inklusif, 2, 5, 7, 9, 10, 15, 26,
27, 93, 104, 122
inner peace, 9, 15, 47, 122
interfaith, 11, 108
Irwan Masduqi, 2, 5, 6, 103,
104
Islam, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10,
11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 20,
21, 22, 29, 33, 34, 36, 37, 38,
40, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48,
49, 53, 54, 55, 57, 60, 61, 62,
64, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 93, 94,
95, 96, 97, 98, 99, 100, 102,
103,104, 105, 107, 108, 110,
111, 112, 114, 115, 116, 117,
118, 119, 121, 122, 125, 126,
127, 128, 129, 130, 131, 132,
133, 134, 135, 136, 138, 142
143
J
John Borelli, 11
Jum‘ah Ami>n, 21, 46, 125
K
Ka’bah, 89
kearifan, 2, 8, 9, 12, 14, 15, 16,
17, 21, 47, 59, 93, 121, 123
khairu ummah, 18
Khaled Abou El Fadl, 4
Kuntowijoyo, 7, 129
L
layyin, 25
lisa>n al-Hal, 18
lisa>n al-Maqa>l, 18
Luth, 35
Lynn E. Mitchell, 11, 12
M
M. Abduh, 19
M. Munir, 1, 9, 29, 30, 112
mad’u, 8, 9, 21, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 30, 32, 41, 49, 80, 82
Madinah, 17, 56, 75
Mahmoud Masaeli, 11
Makkah, 3, 36, 39, 56, 81, 94
monoteistik, 21
muha>darah, 31
Muhammad ‘Abd al-Malik ibn
Hisham al-Ma‘a>firi, 36, 59
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, 1
Muhammad Abu> al-Fatah al-
Baya>nu>ni, 19, 20, 22, 23, 26,
27, 28, 35, 36, 37
Muhammad Alwi Al-Maliki Al-
Hasani, 17
Muhammad Husain Fadlullah,
19, 20, 21, 24, 25, 27, 28,
101, 102
Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi,
20, 24, 26, 28
Muhammad Imarah, 22
Muhammad Ka>mil D{a>hir, 4
Muhammad Sayyid al-Wakil,
45
Mulyadhi Kartanegara, 42, 43,
93, 129, 132
Murad W. Hofman, 4
Murodi, 36, 37, 130
Murtadha Husaini, 1
Musa, 26, 35, 78
N
nahi munkar, 1, 56, 62, 64, 72,
84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91
Nawa>wi al-Ja>wi, 1
Nuh, 24, 34, 35, 88
P
Paul Weller, 10
Philipp Bruckmayr, 12 philosophical moralitity, 44 profetik, 8, 9, 12, 15, 17, 121,
122
Q
Qadi>m al-Isla>m, 37 Quraish Shihab, 1, 30, 31, 33 Quraisy, 3, 36, 37, 75, 81, 130 Quthub, 23, 48, 49, 75, 76, 80,
82, 85, 86, 129
R
reformis, 7 reinterpretasi, 7
144
religius sufistik, 12 Romawi, 72 Rosyidi, 10, 21, 40, 131
S
Sa’ad bin Abi Waqqash al-
Zuhri, 36 Sa’id bin Ali bin Waqif al-
Qahtani, 20 Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri,
37, 59 Safrodin Halimi, 1, 3, 10, 18,
42, 45, 47, 48, 61, 74, 75, 76, 77, 78, 103
salaf saleh, 21 Saleh, 35 Salih Yucel, 2, 3 Shafa, 37 Shamim A Siddiqi, 20 Sibba>m al-S{iba>gh, 35, 45 social harmony, 9, 15, 47, 122 Steven A. Weldon, 6 streotype, 118 sual, 18 Sulaiman, 1, 29, 35, 132 Sulaiman ibn Umar al-‘A>ji>li al-
Sya>fi>‘i, 2, 29 Suraqah, 3 syaha>dat al-Isla>m, 18
T
tabligh, 1, 18, 47, 84, 115 Takis Fotopoulos, 4
targhib, 24 tasawuf, 10, 21, 94 Taufik Yusuf al-Wa‘iy, 18, 84,
87 Thaif, 79 Thalhah bin Ubaidillah al-
Taimi, 36 theological moralitity, 43 Thomas Michel, 12 Toha Yahya, 19, 44, 45, 130
U
Utsman bin Affan al-Umawi, 36
W
wa‘yu al-diniyyah, 24 wara’, 20 wisdom, 19
Y
Yastrib, 3 Yohanan Friedmann, 3 Yusuf, 18, 28, 35, 59, 60, 81,
84, 87, 96, 97, 99, 116, 117, 130, 133
Z
Zaid Abdul Karim, 30, 33 Zulfahmi, 11, 133 Zulkarnain Haron Nordin
Hussin, 21, 25
145
LAMPIRAN
Notulasi Ujian Work In Progress (WIP) Tesis
Rabu, 10 September 2014
Pukul 14.40 s.d. 15.00 WIB
Nama : Ichsan Habibi
NIM : 11.2.00.0.07.01.0096
Konsentrasi : Dakwah dan Komunikasi
Judul : Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen dalam
Kitab T}uru>q al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H}aya>h
Penguji : Dr. Yusuf Rahman, MA
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
Sekretaris : Arief Mahmudi, S.Pd.I
Dr. Yusuf Rahman, MA
1. Bagaimana pembuktian kesimpulan Anda?
2. Masih terlalu banyak berkutat pada deskripsi.
3. Di mana letak perdebatan akademik dalam tesis Anda?
4. Adakah kitab lain dari Fethullah Gulen yang Anda gunakan selain
T}uru>q al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H}aya>h?
5. Penulisan indeks masih belum konsisten.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
1. Kesimpulan jangan disamakan dengan abstrak.
Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
1. Saya tidak melihat basis filosofis dalam penjelasan tesis Anda.
2. Akan lebih menarik jika Anda bisa merumuskan kata kunci dari
konsep dakwah Fethullah Gulen. Sebaiknya kata kunci inilah yang
Anda jadikan judul dan Anda explore
3. Anda masih mengalami kesulitan menghubungkan judul dengan isi.
4. Paradigma dakwah dalam tesis ini belum terlihat.
5. Judul kitab Gulen dalam judul tesis Anda tidak perlu lagi
disebutkan jika nantinya Anda sudah menggunakan kata kunci
konsep dakwah Gulen (love and tolerance).
146
147
BIODATA
Ichsan Habibi, lahir di Pangkalpinang pada 4 Februari 1987 M,
tepatnya di Bangka-Belitung merupakan propinsi kepulauan Babel yang
terkenal dengan penghasil Timah terbesar dan Lada putih. Anak kedua dari
lima bersaudara dari pasangan H. M. Efendi dan Hj. Soroya ini mengawali
pendidikannya di SDN 33 Baturusa Bangka dan tamat pada tahun 1999.
Selanjutnya nyantri di PON-PES Nurul Ihsan Bangka setingkat M.T.s selesai
tahun 2002. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di pondok
pesantren Modern Darussalam Gontor dan selesai pada tahun 2006. Pada
tahun 2007 melanjutkan jenjang pendidikan sarjana pada fakultas dakwah
STAIN Syekh Abdurrahman Sidik Bangka-Belitung tamat pada tahun 2011.
Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan S2 di sekolah pascasarjana
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.