konfrensi meja bundar

14
BAB I PENDAHULUAN Delegasi resmi RI untuk mendapatkan pengakuan dunia sejak proklamasi Kemerdekaan diketuai oleh H.A. Salim, Wakil Menteri Luar Negeri. Kunjungan ini menghasilkan perjanjian persahabatan RI dan Mesir (Juni, 1947). Bagi RI perjanjian ini adalah suatu dukungan moral yang tinggi, karena dengan perjanjian ini kehadiran RI diakui secara resmi dalam pergaulan internasional. Mesir akan selalu dikenang sebagai negara yang pertama kali mengakui kedaulatan RI. Setelah itu menyusul perjanjian persahabatan dengan Suriah (3 Juli 1947) dan Lebanon (9 Juli 1947) serta Irak. Negara-negara Arab, India, Burma, Australia juga merupakan negara-negara yang paling awal bersimpati pada RI. Dengan berbagai usaha diplomatik dan kerjasama internasional mereka membela perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dukungan mereka dan keterampilan delegasi Indonesia memperjuangkan hak kedaulatan bangsa berhasil menyudutkan Belanda dalam percaturan politik internasional. India dan Australia berhasil membawa masalah Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan PBB. Belanda bukan saja gagal total menjadikan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai "masalah dalam negeri", tetapi juga harus menerima perantara internasional untuk menyelesaikan konflik dua bangsa. 1

Upload: aminuddin

Post on 19-Jun-2015

3.812 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konfrensi Meja Bundar

BAB I

PENDAHULUAN

Delegasi resmi RI untuk mendapatkan pengakuan dunia sejak proklamasi

Kemerdekaan diketuai oleh H.A. Salim, Wakil Menteri Luar Negeri. Kunjungan ini

menghasilkan perjanjian persahabatan RI dan Mesir (Juni, 1947). Bagi RI perjanjian ini

adalah suatu dukungan moral yang tinggi, karena dengan perjanjian ini kehadiran RI

diakui secara resmi dalam pergaulan internasional. Mesir akan selalu dikenang sebagai

negara yang pertama kali mengakui kedaulatan RI. Setelah itu menyusul perjanjian

persahabatan dengan Suriah (3 Juli 1947) dan Lebanon (9 Juli 1947) serta Irak.

Negara-negara Arab, India, Burma, Australia juga merupakan negara-negara yang

paling awal bersimpati pada RI. Dengan berbagai usaha diplomatik dan kerjasama

internasional mereka membela perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dukungan mereka

dan keterampilan delegasi Indonesia memperjuangkan hak kedaulatan bangsa berhasil

menyudutkan Belanda dalam percaturan politik internasional. India dan Australia berhasil

membawa masalah Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan PBB. Belanda bukan saja

gagal total menjadikan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai "masalah dalam

negeri", tetapi juga harus menerima perantara internasional untuk menyelesaikan konflik

dua bangsa.

1

Page 2: Konfrensi Meja Bundar

BAB II

PEMBAHASAN

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi

yang menuntut semua pihak yang bertikai untuk menghentikan tembak-menembak. Pada

pukul 00:00 kedua belah pihak mengeluarkan perintah "penghentian tembak ".

Perdebatan tentang Indonesia di Dewan Keamanan memberi tempat kepada Indonesia

tampil di forum PBB untuk memperjuangkan nasibnya. Berbagai usaha Belanda dan

sekutunya (terutama Belgia) untuk menghalangi delegasi Indonesia gagal. Usaha mereka

untuk mengikutsertakan wakil Kalimantan dan Negara Indonesia Timur juga gagal. Pada

tanggal 25 Agustus Dewan Keamanan menerima dua resolusi, yang masing-masing

diajukan oleh Cina dan Amerika Serikat. Resolusi pertama mengharuskan setiap konsulat

negara asing yang berada di "Batavia" untuk melaporkan situasi di Indonesia, sedangkan

resolusi kedua memutuskan agar Dewan Keamanan menawarkan "jasa-jasa baiknya

kepada kedua belah pihak". Berdasarkan resolusi ini Dewan Keamanan membentuk

"komisi jasa baik" (good offices commission), yang terdiri atas tiga negara.

Sejak awal awal Belanda telah mempersulit tugas Komisi Tiga Negara. Pada

tanggal 29 Agustus atau 4 hari setelah terbentuknya KTN, Belanda mengumumkan garis

demarkasi baru yang dikenal sebagai "Garis Van Mook" (Van Mook Line) yang didasari

dengan argumen bahwa daerah yang dianggap sebagai wilayah kekuasaan Belanda adalah

yang berada di belakang pos-pos terdepan pasukan KNIL/KL. Padahal di belakang pos-

pos yang merupakan benteng-benteng terpisah tersebut pasukan TNI dan kekuatan RI

lainnya cukup leluasa untuk beroperasi. Konsep "Garis Van Mook" ditolak mentah-

mentah oleh RI. Pada tanggal 27 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara yang terdiri atas

wakil Belgia (Paul van Zeeland), Australia (Richard Kirby) dan Amerika Serikat (Prof.

Graham) mendarat di Jakarta. Konflik dengan Belanda selanjutnya dibawah pengawasan

internasional.

2

Page 3: Konfrensi Meja Bundar

Untuk menengahi persengketaan tersebut KTN mengajak kedua belah pihak

untuk berunding di "wilayah netral" yakni di kapal perang milik Amerika Serikat US

Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi RI dipimpin langsung oleh PM

Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda diketuai oleh _______________?. Hasil

perundingan tidak jauh dari hal-hal yang telah disetujui dalam Persetujuan Linggar Jati,

kecuali dua hal yang penting, Pertama, "negara boneka" Belanda telah bertambah

jumlahnya mencakup wilayah Sumatra, Jawa dan Madura, dan tidak akan berusaha untuk

memperluas lebih dari yang secara de fakto diakui Belanda. Kedua, "Garis Van Mook"

diterima sebagai garis demarkasi, sehingga kantong-kantong TNI yang berada di

belakang "garis" tersebut harus dikosongkan. Dari hasil ini tampak bahwa Amir

Syarifuddin telah memberikan konsesi yang lebih besar dari Syahrir yang telah

dijatuhkannya. Akibatnya, partai pendukungnya juga meninggalkannya. Pada tanggal 23

Januari 1948, Kabinet Amir Syarifuddin mengembalikan mandatnya. Atas desakan Parta

Masyumi, pada tanggal 29 Januari 1948 Presiden Soekarno menunjukkan Wakil Presiden

M. Hatta sebagai Perdana Menteri dari kabinet persidentil.

Suasana perundingan melalui penengah KTN pada awal Desember 1948 meulai

menemui jalan buntu. Pada tanggal 11 Desember 1948, Belanda mengatakan bahwa tidak

mungkinlagi dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Empat hari kemudian Wakil

Presiden Mohammad Hatta minta KTN untuk mengatur perundingan dengan Belanda,

tetapi Belanda menjawab pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23:00 malam, bahwa

Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville. Lewat tengah malam atau tanggal

19 Desember 1948 pagi, tentara Belanda diterjunkan di lapangan terbang Maguwo, yang

dikenal dengan istilah Aksi Militer Belanda II (2nd Dutch Military Action). Reaksi

internasional atas serangan Belanda terhadap Republik pada tanggal 19 Desember 1948

sangat keras. Negara-negara Asia, Timur Tengah dan Australia mengutuk serangan itu

dan memboikot Belanda dengan cara menutu lapangan terbang mereka bagi pesawat

Belanda. Dalam sidangnya pada tanggal 22 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB

memerintahkan penghentian tembak menembak kepada tentara Belanda dan Republik.

Atas usul India dan Birma, Konferensi Asia mengenai Indonesia diadakan di New Delhi

pada tanggal 20 Desember 1949. Amerika Serikat, Kuba, dan Norwegia mendesak

3

Page 4: Konfrensi Meja Bundar

Dewan Keamanan untuk membuat resolusi yang mengharuskan dilanjutkannya

perundingan. 

Pada tanggal 24 Januari 1948, Konferensi Asia di New Delhi mengirimkan

resolusi kepada Dewan Keamanan PBB, yang antara lain menuntut dipulihkannya

Pemerintah Republik ke Yogyakarta; dibentuknya Pemerintahan Interim; ditariknya

tentara Belanda dari seluruh Indonesia; dan diserahkannya kedaulatan kepada Pemerintah

Indonesia Serikat, pada tanggal 1 Januari 1950.

Atas usul Amerika Serikat, Tiongkok, Kuba, dan Norwegia, pada tanggal 28

Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengharuskan kedua

belah pihak menghentikan permusuhan, dipulihkannya pemerintah pusat Republik

Indonesia ke Yogyakarta; dilanjutkannya perundingan; dan diserahkannya kedaulatan

kepada Indonesia pada waktu yang disepakati.

Resolusi Dewan Keamanan PBB ini memberikan peluang baru bagi KTN untuk

kembali aktif menangani Indonesia - Belanda. KTN mendesak Belanda agar para

tawanan dibebaskan. Anggota KTN juga datang ke Bangka mengunjungi pemimpin

Republik yang ditahan di sana.

Atas desakan Internasional itu pemerintah Belanda mulai melaksanakan move

baru dengan mengunjungi Soekarno - Hatta di Bangka dan menawarkan undangan agar

Republik bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Soekarno - Hatta

berpendirian bahwa perundingan baru bisa diadakan setelah Pemerintah Republik

dikembalikan ke Yogyakarta.

Sementara itu tanggal 23 Maret 1949 KTN yang diminta Dewan Keamanan PBB

agar membantu kedua belah pihak untuk melakukan perundingan berdasarkan resolusi

tanggal 28 Januari 1949, telah tiba di Jakarta. Dua hari kemudian delegasi Republik yang

dipimpin Mr. Mohammad Roem bertemu dengan delegasi Belanda dibawah Van Royen

di Hotel Des Indes, Jakarta. Merle Cochran dari KTN bertindak sebagai penengah.

4

Page 5: Konfrensi Meja Bundar

Perundingan berjalan alot, sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta

dari Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.

Setelah hampir tiga minggu berunding, maka pada tanggal 7 Mei 1949 kedua

delegasi sepakat untuk mengeluarkan pernyataan masing-masing pihak, yang kemudian

dikenal sebagai Pernyataan Roem-Royen (Roem-Royen Statement). Masalah terpenting

dari penyataan itu adalah kesediaan Belanda untuk mengembalikan Pemerintah Republik

ke Yogyakarta.

Pendekatan antara Pemimpin Republik dam BFO sejak menjelang

dilaksanakannya Perundingan Roem-Royen dan kontak-kontak menjelang dan setelah

Pemerintah Repbulik kembali ke Yogya, telah membuka jalan untuk mengadakan

Konferensi Inter Indonesia. Delegasi RI ke Konferensi Inter Indonesia terbentuk tanggal

18 Juli 1949 dipimpin oleh Wakil Presiden/PM Mohammad Hatta. Sedangkan delegasi

BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak dan Anak Agung dari NIT. Konferensi

berlangsung yang dari tanggal 20 Juli hingga 22 Juli 1949 menyepakati bahwa Negara

Indonesia Serikat akan diberi nama Republik Indonesia Serikat. Merah Putih adalah

bendera kebangsaan, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya, bahasa Nasional adalah

Bahasa Indonesia dan 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan. 

Setelah Konferensi Yogya, diteruskan dengan Konferensi Inter Indonesia II yang

dimulai sejak 31 Juli s/d 2 Agustus 1949 bertempat di Gedung Pejambon, Jakarta. Pada

pertemuan ini disepakati pembentukan Panita Persiapan Nasional yang bertugas

menyelenggarakan suasana tertib sebelum dan sesudah berlangsungnya Konferensi Meja

Bundar. Diputuskan juga draf awal UUD Republik Indonesia Serikat yang akan

dibicarakan dalam KMB.

Pada tanggal 1 Agustus 1949 Rapat gabungan komisi militer (Republik - Belanda - BFO

dan UNCI) bersepakat untuk segera menghentikan permusuhan, mengadakan gencatan

senjata dan mengembalikan kota-kota yang telah diduduki Belanda ke tangan Republik. 

Pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 8 malam, melalui RRI, Presiden Soekarno

memerintahkan Angkatan Perang RI untuk menghentikan tembak-menembak dengan

5

Page 6: Konfrensi Meja Bundar

tentara Belanda. Pada saat yang bersamaan Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia,

Lovink, mengumumkan hal yang sama melalui radio di Jakarta.

Karena penghentian tembak-menembak antara kedua belah pihak harus mulai

berlaku sejak 11 Agustus untuk seluruh wilayah Jawa, dan 17 Agustus 1949 untuk

Sumatra, maka para komandan lapangan harus pula segera mengadakan pembicaraan

baik melalui Panita Bersama Pusat, maupun Komite Daerah, untuk mengatur segi-segi

teknis penghentian tembak-menembak, dibantu oleh PBB/UNCI. Sambil menunggu hasil

perundingan Konferensi Meja Bundar, tentara Belanda mulai ditarik.

Dengan penhentian tembak-menembak kehidupan ekonomi mulai bergerak

kembali. TNI mulai masuk kota. Dimana-mana mereka disambut rakyat dengan gembira

dan penuh perasaan haru. Rakyat selanjutnya dapat merayakan peringatan HUT RI tanpa

rasa takut. Suasana baru telah mulai dirasakan. Kedatangan Bung Karno dan para

pemimpin lainnya di Jakarta mulai dinantikan.

Tanggal 4 Agustus 1949 Presiden Soekarno mengangkat delegasi Republik

Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak, dan Delegasi Belanda

dipimpin oleh Mr. J.H. van Maarseveen. Konferensi yang berlangsung dari tanggal 23

Agustus 1949 hingga 2 November 1949 ini diikuti pula oleh UNCI.

Pada hakekatnya KMB menghasilkan tiga isu utama persetujuan, yakni:

Piagam Penyerahan Kedaulatan

Piagam Uni-Nederland dengan lampiran persetujuan Pemerintah Belanda dan

Pemerintah Republik Indonesia Serikat

Persetujuan Peralihan/Perpindahan yang memuat peraturan-peraturan yang

bertalian dengan penyerahan kedaulatan

Disamping itu juga dibahas masalah-masalah bilateral dan domestik yang serius.

Semua hutang bekas Hindia Belanda menjadi tanggung jawab nagara Indonesia Serikat.

6

Page 7: Konfrensi Meja Bundar

De Javaansche Bank tetap diakui sebagai Bank Sentral. Intergrasi KNIL ke dalam TNI.

Masalah Irian Barat akan dibiarkan untuk sementra, yakni "satu tahun".

Pelaksanaan KMB terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23 Oktober

1949 Badan Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai pembicaraan

dalam sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Sri Sultan

Hamengkubuono IX.

Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri Mohammad Hatta pada Sidang

Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil KMB dengan

226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko. PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam

dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah undang-undang. Maklumat KNIP

diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember 1949, berisi tentang negara Repbulik

Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas seluruh wilayah; dan bahwa alat

perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk menegakkan kedaulatannya.

7

Page 8: Konfrensi Meja Bundar

Dua undang-undang yang disetujui KNIP adalah Undang-Undang No. 10 yang

berisi mengenai Induk Persetujuan KMB dan masalah kedaulatan dari Belanda kepada

RIS. SEdangkan Undang-Undang No. 11 berisi mengenai draf final Konstitusi Republik

Indonesia Serikat.

Persetujuan KNIP atas hasil KMB melancarkan jalan bagi terbentuknya Republik

Indonesia Serikat, sebagaimana diharuskan oleh KMB. Pada tanggal 14 Desember 1949

delegasi RI dan delegasi negara-negara bagian, yang tergabung dalam BFO

menandatangani Piagam Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dengan piagam ini

resmilah pula negara-negara tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Pada tanggal 15 Desember 1949, Dewan Pemilih Presiden RIS dibentuk. Dewan

ini diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Pada tanggal 16 Desember dewan ini memilih

calon tunggal Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS. P

Elantikan dilaksanakan di Siti Hinggil, Kraton Kesultanan Yogyakarta para

tanggal 17 Desember 1949. Selanjutnya Presiden Soekarno secara resmi menunjuk Drs.

Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 20 Desember Kabinet RIS

yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dilantik. Karena Presiden RI,

Soekarno dan WAkil PResiden, Mohammad Hatta menduduki jabatan barunya dalam

RIS, maka untuk melaksanakan fungsinya di Negara Republik Indonesia, ditunjuk Mr.

Assaat sebagai pejabat (Acting) Presiden RI yang tetap berkedudukan di Yogyakarta.

Republik Indonesia dalam status sebagai negara bagian RIS dikenal juga sebagai RI

Yogyakarta dengan dr. Abdul Halim sebagai Perdana Menteri.

Dengan telah selesainya pembentukan RIS dan kabinetnya, maka "penyerahan

kedaulatan" dari tangan Belanda kepada RIS sebagaimana diatur dalam KMB dapat

dilaksanakan. Pemerintah RIS menunjuk Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk

memimpin delegasi RI ke negeri Belanda untuk menerima naskah penyerahan kedaulatan

langsung dari Ratu Yuliana. Sedangkan di Jakarta wakil RIS, Sei Sultan

Hamengkubuwono IX menerimanya dari Wakil Mahkota Belanda A.H.J Lovink. Upacara

dilaksanakan di dua tempat secara bersamaaan pada tanggal 27 Desember 1949.

8

Page 9: Konfrensi Meja Bundar

BAB III

KESIMPULAN

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik

Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga

2 November 1949.

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir

dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda

dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah

ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian

Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

1. Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik

Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas

daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin

menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.

Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2

menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan

bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.

2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda

sebagai kepala negara

3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat

9