konflik sosial - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...

82
KONFLIK SOSIAL DALAM MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut Hukum Positif, Politik dan Adat Dr. Alfitra, SH., MH

Upload: others

Post on 30-Jan-2020

21 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

KONFLIK SOSIAL DALAM MASYARAKAT MODEREN

Penyelesaian Menurut Hukum Positif, Politik

dan Adat

Dr. Alfitra, SH., MH

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

ciptaan pencipta atau memberi izin untuk itu, dapat dipidana dengan pidana

penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling

sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7

(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta

atau hak terkait, dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iii

KONFLIK SOSIAL DALAM MASYARAKAT MODEREN

Penyelesaian Menurut Hukum Positif, Politik

dan Adat

iv

KONFLIK SOSIAL

DALAM MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut Hukum Positif, Politik dan Adat

© Dr. Alfitra, SH., MH

Editor : Irma Novida, SE. MSi. Layout : Team WADE Publish Design Cover : Team WADE Publish Diterbitkan oleh:

Jln. Pos Barat Km.1 Melikan Ngimput Purwosari Babadan Ponorogo Jawa Timur Indonesia 63491 Website : BuatBuku.com Email : [email protected] Phone : 0821 3954 7339 Anggota IKAPI 182/JTI/2017 Cetakan Pertama, September 2017 ISBN: 978-602-6802-92-7 Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa seizin tertulis dari Penerbit. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) x+258 hlm.; 13,5 x 20,5 cm

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta

taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan buku

ajar yang berjudul KONFLIK SOSIAL DALAM

MASYARAKAT MODEREN Penyelesaian Menurut

Hukum Positif, Politik dan Adat buku ini adalah meru-

pakan jawaban dari banyak pertanyaan mahasiswa,

LSM, aktifis pemberdayaan masyarakat, mengenai bu-

daya konflik dan kekerasan yang terjadi dalam masya-

rakat dewasa ini, baik yang diadakan dalam bentuk dis-

kusi ilmiah, lokakarya, simposim.

Kami sangat berharap buku ini dapat berguna

dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan

kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari suatu

budaya konflik yang dilakukan sekelompok orang men-

jadi tidak wajar dan tidak biasa, bila masyarakat yang

terlibat dalam budaya konflik untuk saling membunuh

dan menghancurkan, tampa mengetahui dengan jelas

penyebab dan manfaat dari budaya konflik itu. banyak

terjadi di dalam masyarakat baik secara vertikal maupun

horizontal dan banyak menimbulkan korban jiwa mau-

pun harta benda dan bagai mana cara mengatasinya.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam buku

ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.

Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan

usulan demi perbaikan buku ajar yang telah kami buat

vi

di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu

yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga buku yang sederhana ini dapat dipahami

bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya buku yang

telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri mau-

pun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon

maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang

berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang

membangun dari pembaca demi perbaikan buku ini di

waktu yang akan datang. Pada doa istri dan putra dan

putri tercinta yang selalu mendukung eksitensi napas

ini dalam menulis buku ini supaya dapat menjadi nilai

tambah karya tulis.

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................... v

Daftar Isi .............................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................... 1

A. Dasar Pemikiran .......................................................... 1

B. BUDAYA/CULTURE .............................................. 25

BAB II PEMAHAMAN KONFLIK DAN

KEKERASAN ...................................................................... 53

A. Pengertian konflik dan kekerasan .......................... 53

B. Manfaat dan akibat konflik Sosial .......................... 65

C. Konflik dan Kekerasan Kolektif .............................. 80

D. Sumber Terjadinya Konflik Sosial .......................... 89

E. Bentuk-bentuk Konflik kekerasan Sosial ............... 95

F. Proses Terjadinya Konflik Sosial ............................ 96

BAB III PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI

NON LITIGASI ................................................................ 118

A. Manivestasi Konflik dan Kekerasan ..................... 118

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya

Konflik dan kekerasan ........................................... 120

C. Upaya Penyelesaian Konflik dan Kekerasan

Melalui Hukum ....................................................... 134

1. Penyelesaian menurut Undang-undang

Otonomi Daerah. ............................................... 134

2. Penyelesaian melalui Mahkamah

Konstitusi. ........................................................... 139

viii

D. Upaya Penyelesaian Konflik Non Hukum .......... 142

1. Pendekatan Musyawarah dan Mufakat ........ 143

2. Pendekatan kerjasama antar daerah ............... 145

E. Upaya Penyelesaian Konflik dan Kekerasan

Melalui Kebiasaan ................................................... 148

1. Konsiliasi ............................................................. 148

2. Mediasi ................................................................ 149

3. Arbitrase.............................................................. 149

4. Koersi ................................................................... 150

5. Detente ................................................................. 151

BAB IV MEKANISME HUKUM PENYELESAIAN

KONFLIK DAN KEKERASAN ...................................... 152

A. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup Terjadinya

Konflik ...................................................................... 152

B. Analisis Teori Sobural Terhadap Konflik Sosial . 172

C. Hakekat Dasar Masyarakat Multikultural........... 181

D. Hakikat Dasar Konflik dan kekerasan Sosial ...... 183

E. Kebijakan Kriminal Terhadap Konflik dan

Kekarasan Kolektif .................................................. 187

1. Pengertian Kebijakan Kriminal ........................ 187

2. Kebijakan Hukum Pidana ................................ 192

3. Memahami Damai ............................................. 199

4. Penguatan Mekanisme Kultur ......................... 208

F. Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik di

Masa Depan ............................................................. 217

1. Peran Hukum Dalam Penyelesaian Konflik .. 217

2. Upaya Penanganan Konflik Sosial

berdasarkan UURI N0 7. Tahun 2012 ............. 220

3. Pola Penyelesaian Konflik ................................ 227

ix

4. Macam-macam Pola Pengelolaan Konflik ..... 232

5. Prinsip Dasar Membangun Mekanisme

Penanganan Konflik Sosial di Indonesia

Sebagai Masyarakat Multikultural .................. 235

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 239

x

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Berdasarkan pemikiran dan pengkajian penulis

terhadap berbagai literatur yang terkait dengan konflik

telah banyak dibahas, akan tetapi penulis mencoba

menguraikan dari sisi lain, Konflik Sosial dalam Masya-

rakat Moderen Penyelesaian Menurut Hukum Positif

dan Adat. Akhir-akhir ini banyak pertentangan dan

pemahaman, apalagi dari berbagai macam budaya. Se-

hingga menimbulkan banyak konflik yang selalu hadir

dalam setiap pribadi maupun kelompok manusia adalah

suatu realitas, sehingga dapat diterima sebagai kewajar-

an dan sangat biasa. Namun konflik menjadi tidak wajar

dan tidak biasabila konflik telah mengakibatkan korban

jutaan umat manusia (meninggal, cacat, kehilangan kasih

sayang, kehilangan relasi sosial, kehilangan tempat

hunian), kehancuran sebagai sarana fisik dan nilai-nilai

sosial. konflik, menjadi tidak wajar dan tidak biasa bila

konflik yang menimbulkan korban sebanyak itu adalah

bentuk konspirasi dan terjadi dalam suatu masyarakat

yang cinta damai, menjunjung, menghargai dan melak-

sanakan nilai kekeluargaan, persekutuan, dan rela ber-

2

korban dan kasih sayang antar sesama. Dengan buku ini

penulis mencoba memberikan solusi permasalahan di

atas.

Sebagai Bangsa yang besar, indonesia dewasa ini

banyak sekali menghadapi ancaman serius berkaitan

dengan mengerasnya konflik dalam masyarakat, baik

vertikal maupun horizontal. Sumber konflik tersebut

bisa berasal dari perbedaan nilai-nilai dan idiologi, mau-

pun intervensi kepentingan, baik dari dalam maupun

dari luar yang dapat menimbulkan perpecahan dan

membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah

negara dan keselamatan bangsa. Konflik tersebut apabila

didukung oleh kekuatan nyata yang terorganisir tentu-

nya akan menjadi musuh berpotensial bagi Negara kesa-

tuan Republik Indonesia, di mana konflik menjadi feno-

mena yang sering muncul karena konflik selalu menjadi

begian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik

serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perobah-

an sosial-politik (Kornblurn, 2003: p. 294).

Beberapa peristiwa kongrit dalam ilmu konflik

yang banyak ditemuka dalam masyarakat, baik masya-

rakat moderen maupunn dalam masyarakat tradisional

masalah konflik dan kekerasan yang terjadi ditanah air

beberapa tahun belakangan ini yang cukup serius yang

bersifat vertikal maupun horizontal antara lain: (1).

Konflik yang bernuansa politis akibat isu kecurangan

pemilihan kepala daerah, pemekaran wilayah, dibe-

berapa daerah ditanah air yang berakibat penyerangan,

pembakaran, perusakan, penganiayaan antar pendu-

kung, (2). Konflik yang bernuansa seperatisme, seperti

3

konflik di Nangro Aceh Darussalam (NAD), Papua,

Maluku, (3). Konflik yang bernuansa etnis/suku seperti

Ambon, Kalbar, Kalteng, Lapung selatan, Lampung

tengah, Blang Bintang, Tidore, sumbar, (4). Konflik yang

bernuangsa idiologi/faham seperti faham komunis, dan

faham Radikalis dan fundamentalis.(5). Konflik yang

bernuangsa ekonomi seperti konflik antar kelompok

nelayan diselat sunda, antar preman pasar dan sopir

angkot, dan antar pedagang, konflik lahan pertanian. (6).

Konflik yang bernuangsa solidaritas liar, seperti konflik

dan kekerasan antar siswa, mahasiswa, suporter bola,

dan tawuran antar wilayah. (7). Konflik karena isu

kebijakan Pemerintah Pusat seperti kenaikan ongkos

atau tarif angkot/bis, kenaikan harga BBM, TDL, LPG,

BOS, UMP, (8). Konflik isu agama atau aliran keper-

cayaan yang dapat menimbulkan konflik seperti pengi-

kut Gafatar, Ahmadiyah, pengikut Lia Aiden, pengikut

Ahmad Musadik, aliran Ahmadi, Siah di Jawa Timur

dan aliran sesat lainya (Ronny Nitis Baskara, 2001: p. 3)

(8) Konflik yang bernuangsa Agama/SARA seperti

peristiwa 411, 212 dan 412 tahun 2016 tetapi yang

memakan korban adalah peritiwa 411 yang menyulut

pertikaian vidio rekaman pidato Gubenur DKI Jakarta Ir.

Basuki Cahaya Purna, MM. Alias Ahok.

Secara umum terdapat beberapa jenis dan penye-

bab terjadinya konflik dan kekerasan dalam masyarakat

sebagai berikut (Romli Atmasasmita, 1993: p. 33)

a) Perbedaan kepentingan antar individu dan kelom-

pok. Di mana manusia memiliki perasaan, pen-

dirian, maupun latar belakang kehidupan dan bu-

4

daya yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu

yang bersamaan, maing-masing orang atau kelom-

pok memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula.

Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang

sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda.

b) Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pen-

dirian dan perasaan. Setiap manusia adalah indiv-

idu yang unik artinya, setiap orang mempunyai

pendirian, perasaan yang berbeda-beda antar yang

satu dengan yang lainnya. Perbedaan pendirian dan

perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang

nyata ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya

konflik dan kekerasan sosial, sebab dalam menjalani

hubungan sosial seseorang tidak selalu sejalan

dengan kelompoknya. Misalkan ketika berlangsung-

nya pentas orgen tunggal atau musik di lingkungan

pemungkiman, tentu perasaan setiap warga akan

berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena

berisik tetapi banyak pula yang merasa terhibur

c) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga

membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan

pola-pola pemikiran dan pendirian yang berbeda itu

pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan indi-

vidu yang dapat memicu terjadinya konflik.

d) Terdapatnya perubahan-perubahan nilai yang cepat

dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan ada-

lah suatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika

perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan men-

dadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya

5

konflik dan kekerasan. Misalnya pada masyarakat

pedesaan yang mengalami proses industrilisasi

yang mendadak akan memunculkan konflik sosial

sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional

yang biasanya bercocok tanam seecara cepat ber-

ubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-

nilai yan berubah itu seperti nilai kegotongroyongan

berganti dengan nilai kontrak kerja dengan upah

yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.

Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan

struktural yang disusun dalam organisasi formal

perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah men-

jadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfatan

waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi

pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja

dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-

perobahan ini, jika terjadi secara cepat atau men-

dadak, akan membuat kegoncangan proses-proses

sosial di masyarakat, akan membuat kegoncangan

proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan

terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk

perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan

kehidupan masyarakat yang telah ada.

Penyelesaian konflik seharusnya sesuai dengan

konteks dan atau di mana konflik dan kekersan itu ter-

jadi, dalam hal ini pendekatan yang universal sebanar-

nya tidak relevan diterapkan dalam menangani masalah

konflik. Ada bentuk lain dari pendekatan penyelesaian

konflik dan kekerasan yang sering dilupakan yaitu:

6

kearifan lokal (lacal wisdom). Dalam masyarakat maje-

muk seperti Bangsa Indonesia terdapat banyak sekali

kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalam

penyelesaian konflik dan kekerasan sosial untuk mencip-

takan damai (peace). Misalnya: Dalihan Natalu (Tapa

Nuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama

Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro

yo Ingsun yo Siro (Jawa Timur), Alon-alon Asal Kelakon

(Jawa Tengah/Yogyakarta), Basun Sirih (Melayu/

Sumatra), Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Beng-

kulu) Musyawarah dan Mufakat (Sumatra Barat). (Ayub

Mahmod Mustopa. 2005: p. 77)

Sesuai dengan tipologi konflik yang terjadi

selama ini, sistem penanganan konflik yang dikem-

bangkan lebih mengarah kepada penanganan yang ber-

sifat militeristik/represif. Beberapa contoh konflik

horizontal yang bersifat pasif dan pola penyelesaiannya

menggunakan cara-cara militeristik/ represif tersebut

antara lain: konflik sosial di Sambas, konflik sosial di

Maluku Utara, konflik sosial Ambon, konflik sosial Poso,

konflik sosial Irian Jaya Barat, dan konflik sosial Papua.

Penyelesaian terhadap konflik-konflik tersebut belum

dilaksanakan secara komprehensif dan integratif, ter-

masuk peraturan perundangan-undangan yang bersifat

parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-undang-

an yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam

bentuk Instruksi Presiden. (Simon Fisher 2001: p. 57)

Berbagai upaya terus dilakukan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk

membentuk kerangka regulasi baru. Mengacu kepada

7

strategi penanganan konflik yang dikembangkan peme-

rintah, maka kerangka regulasi yang ada juga mencakup

tiga strategi, yaitu: pertama, kerangka regulasi dalam

rangka upaya pencegahan konflik seperti regulasi

mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang

sensitif terhadap konflik dan upaya-upaya untuk tidak

terjadinya konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi

kegiatan penanganan konflik pada saat terjadi konflik

yang meliputi upaya penghentian kekerasan sosial dan

mencegah jatuhnya banyak korban manusia maupun

harta benda. Ketiga, adalah peraturan yang menjadi

landasan bagi pelaksanaan penanganan pasca konflik

yaitu ketentuan yang berkaitan dengan tugas penye-

lesaian sengketa/proses hukum, serta kegiatan-kegiatan

recovery, reintegrasi dan rehabilitasi (Cullen dan Agnew,

2003: p. 207)

Pengkajian ini ingin menggali lebih dalam

mengenai berbagai alternatif yang mungkin dilakukan

dalam menangani konflik sosial di Indonesia sebagai-

mana dicontohkan di atas. Pentingnya kajian ini didasar-

kan pada setidaknya 3 (tiga) argumentasi, yaitu argu-

mentasi filosofis, sosiologis, dan suku bangsa.

Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama,

jaminan tetap eksisnya mewujudkan persatuan dan

kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pen-

dapat atau konflik yang terjadi di antar kelompok dan

golongan. Kedua, tujuan dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia

yang terdiri dari beragama suku bangsa, agama dan

budaya dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk

8

memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa

takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ketiga, tanggung

jawab negara memberikan perlindungan, pemajuan,

penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya

penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan

sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap

orang atas perlindungan diri pribadi keluarga, kehor-

matan, martabat dan harta benda yang di bawah kekua-

saannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasinya. Bebas dari rasa

takut, jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai,

adil dan sejahtera.

Selanjutnya argumentasi Sosiologi Pengkajian

tentang Penanganan Konflik adalah (Skolnick& Currrie,

1998: p.2) Pertama, Negara Republik Indonesia dengan

keanekaragaman suku bangsa, agama dan budaya yang

masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidak-

adilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, kemis-

kinan berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di

tengah masyakarat. Kedua, Indonesia yang sedang meng-

alami transisi demokrasi dan pemerintahan membuka

peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam

negeri pada satu sisi, dan pada sisi lain hidup dalam

tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh-pengaruh

asing, sangat rawan dan berpotensi menimbulkan

konflik. Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya

dukung lingkugan yang semakin terbatas dapat menim-

9

bulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, mau-

pun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya

yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat se-

tempat. Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa

aman dan menciptakan rasa takut masyarakat, serta

kerusakan lingkungan, kerusahan pranata sosial, kerugi-

an harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis

(dendam, kebencian, perasaan permusuhan), melebar-

nya jarak segresi antar para pihak yang berkonflik,

sehingg dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan

umum. Kelima, Penanganan konflik dapat dilakukan

secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel

dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan

pada pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan

landasan hukum yang memadai. Keenam, dalam meng-

atasi dan menangani berbagai konflik tersebut, Pemerin-

tah Indonesia belum menemukan suatu format kebijakan

penanganan konflik yang menyeluruh (comprehensive),

integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta

tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan

dialogis dan cara damai.

Argumentasi yuridis adalah karena peraturan

perundang-undangan terkait penanganan konflik sudah

tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegara-

an, bersifat sektoral, reaktif, serta tidak memakai menjadi

landasan hukum penanganan konflik yang comprehen-

sive dan interatif. Adapun bermacam-macam suku bang-

sa di Indonesia ditandai dengan adanya yang sukar

dipahami oleh orang lain yang bukan berasal dari suku-

nya sendiri. Masyarakat pluralistik di kota-kota besar

10

seringkali menimbulkan permasalahan sendiri yang

ditandai oleh adanya ketegangan sosial, sebagai akibat

benturan sistem nilai budaya yang di bawah oleh pen-

duduk yang berasal dari kelompok etnis yang berlainan.

Di sini jelas, berlaku Prepasisi Sellin yang menyatakan

bahwa pemicu konflik budaya antara lain suatu

kelompok kebudayaan bermigrasi ke daerah kelompok

kebudayaan yang lain, dan norma atau hukum dari

suatu

Mengacu kepada Sellin, berdasarkan ilustrasi

tersebut dapat disimpulkan, bahwa konflik kebudayaan

merupakan hasil yang tumbuh secara alami atas suatu

proses di Ferensiasi Sosial proses yang mana meng-

hasilkan pengelompokkan masyarakat secara eksklusif

yang mempunyai pengertian sendiri atas kehidupan

hubungan sosial dan kelompok lainnya. (Aggleton Peter,

1987: p.55) Transformasi kebudayaan dari suatu masya-

rakat homogen dan terintegrasi (dalam kelompok) ke

dalam masyarakat yang heterogen, yang tidak/ belum

teritegrasi dalam suatu kelompok juga merupakan faktor

yang menyebabkan semakin meningkatnya konflik

sosial ini terlihat jelas dalam kasus Madura versus

Dayak, Melayu dan Cina di Kalimantan. (Moeljatno,

1988: p. 55)

Berdasarkan kajian di atas dapat dipahami

bahwa penanggulangan konflik kekerasan terutama da-

lam penyelesaian sengketa yang dilatar belakangi unsur

kultur yang tidak semata-mata melalui penggunaan

kebijaksanaan hukum pidana, melainkan mengacu kepa-

da pentingnya pemahaman nilai-nilai kekerasan kolektif

11

di mana kejahatan itu timbul, maka institusi informal

seperti adat istiadat beserta pemangku adat dan segala

perangkatnya harus dilibatkan.

Secara umum, menurut Kadish kekerasan

menunjuk pada semua tingkah laku yang bertentangan

dengan undang-undang baik berupa ancaman saja

maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang

mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik

atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Konflik

kekerasan selain dilakukan secara individual dapat juga

dilakukan secara kolektif, kekerasan kolektif dapat

dibedakan atas tiga kategori yaitu; kekerasan kolektif

primitif, kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan

kolektif modern. (Ronny Nitibaskara, 2001: p. 76)

Kekerasan kolektif primitif pada umumnya

bersifat non politis ruang lingkupnya terbatas pada

suatu komunitas lokal misalnya; pengeroyokan dalam

bentuk pemukulan atau penganiayaan terhadap penco-

pet yang tertangkap tangan. Peristiwa pengeroyokan

dalam pembantaian terhadap dukun teluh, leyak, atau

praktek perdukunan di berbagai daerah lainnya di

Indonesia, termasuk kategori ini. Kasus pembunuhan

terhadap dukun santet di Banyuwangi dan Ciamis, juga

tawuran di kalangan siswa antar sekolah. Termasuk pula

vandalisme kerusuhan sepak bola, nampaknya juga

termasuk kategori kekerasan kolektif primitif.

Sementara yang dimaksud dengan kategori

kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan

reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya

tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal,

12

melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan

dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan

atau sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Dalam

kategori ini termasuk kasus angkot atau bis di berbagai

daerah yang mogok (didukung oleh mahasiswa) disulut

oleh adanya kenaikan retribusi dua kali lipat dari Rp.

3000 menjadi Rp. 6000, kasus lahan pertanahan

dipelabuhan Sape di Bima, blang Padang disumatra

Utara, kasus perkebunan kelapa sawit di Jambi dan

kasus sampang di Madura antara sunni dengan umat

islam lainya yang menyulut kekerasan kolektif.

(Kompas, September 2010: p. 5)

Kekerasan kolektif modern merupakan alat

untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu

organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik,

contoh: terorisme yang di tembak di Temanggung Jawa

Tengah (Tahun 2009), dan Pamulang (Tahun 2010, pe-

nembakan 4 orang tahana di LP Cebongan Yogjakarta

tanggal 3 April tahun 2013. (Republika, April 2013: p. 12)

Konflik kekerasan yang terjadi awal tahun 2012

di Mesuji lampung, dan Ternate konlfik antar TNI dan

Polri yang menewaskan seorang anggota TNI dari

kesatuan Kostrat, serta konflik yang terjadi di Jakarta

antar geng motor yang menewaskan anggota TNI dari

kesatuan Marinir yang dilakukan oleh salah seorang

anak perwira tinggi Mabes Polri. Peristiwa terorisme

yang terdapat di berbagai daerah Solo, dan Jakarta

daerah Tambora dan Beji Depok yang merupakan ke-

kerasan kolektif moderen yang lebih diutamakan adanya

politisasi. Paling banyak memakan korban harta, jiwa

13

adalah peristiwa kerusuhan 14 Mei 1998 diduga cam-

puran kekerasan primitif dan kekerasan kolektif modern.

Setiap kekerasan kolektif memberikan dukungan ke-

rumunan (crowd) dan kebebasan dan tanggung jawab

moral, dengan demikian orang dapat menyalurkan

dorongan hati. Secara psikologis orang yang berada

dalam kerumunan merasa bahwa tidak ada orang lain

yang memperhatikan dan mengenalnya.

Dalam kerumunan orang banyak, orang menjadi

gampang meniru perbuatan orang lain. Kondisi seperti

inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan lepas

kendali sehingga memungkinkan seseorang melakukan

tindak agresif dan destruktif. Dari sinilah lahir tingkah

laku yang lepas kendali sehingga memungkinkan sese-

orang melakukan tindakan agresif dan destruktif. Dari

sinilah lahir tingkah laku manusia yang kejam dan

sadistis terjadi proses penurunan intelektual dan moral,

serta hilangnya rasionalis dari para individu yang ada

dalam kerumunan tadi. Hal ini kadang-kadang disertai

dengan tidak adanya kepercayaan akan sistem hukum

yang berlaku. Bila dicermati, konflik dan kekerasan di

Indonesia akhir-akhir ini mengindikasikan dua gejala

menarik untuk disimak yaitu; (1) Tindakan kekerasan

bertetangga secara damai, tolong menolong, dan saling

mengunjungi; (2) Cepat sekali meluasnya tindakan ke-

kerasan kolektif itu terjadi disuatu wilayah.

Kondisi umum masyarakat yang buruk seolah-

olah merupakan pemyebab langgsung dari berbagai tin-

dakan kekerasan, namun bila dilihat lebih jauh, kondisi

yang sesungguhnya sebagai katalisator atau memper-

14

cepat terjadinya konflik dan kekerasan sosial adalah;

pertama krisis ekonomi; kedua kekurangan pangan; ketiga

penyelesaian masalah yang berlarut-larut; keempat

lemahnya penegakan hukum yang dapat dipercayai;

kelima keadaan masyarakat yang tidak pasti dan tidak

ada sumber informasi yang dapat dipercaya dan keenam

pemberitaan massa yang belebihan tentang situasi yang

sebenarnya. (Agus Harjana, 1999: p.73)

Dalam konflik antar kelompok, keenam

determinan di atas akan semakin menguat akibat dari

hubungan antar kelompok itu sendiri. Dalam kehidupan

sehari-hari, setiap orang mempunyai status, pekerjaan,

suku, agama, dan sebagainya. Bila sejumlah orang me-

ngelompokkan dirinya atas dasar salah satu atau lebih

status tadi maka terjadi proses kategorisasi secara sosial,

dan melalui kategoresasi ini, orang terdorong untuk

mencari kesamaan dalam kelompoknya dan selanjutnya

akan mencari perbedaan pada kelompok lain, yang

akhirnya akan menjelma kelompok kita (us/ in group)

dan kelompok mereka (them/ out group). Suatu peristiwa

kekerasan individu seperti penganiayaan dan pem-

bunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang

lain atau sekelompok orang terhadap orang lain atau

sekelompok orang terhadap seseorang atau seseorang

terhadap sekelompok orang, pada hakikatnya tidaklah

sulit untuk ditangani secara hukum.

Tidak ada kesulitan dalam menerapkan Pasal-

pasal KUHP yang berlaku mengenai penganiayaan

mulai dari Pasal, 351 sampai dengan pasal 355, atau

pasal-pasal pembunuhan 338 dan Pasal 340 KUHP atau

15

seterusnya. (Andi Hamzah, 1999: p.33). Melihat berbagai

bentuk kekerasan kolektif baik primitif, reaksioner

maupun modern dan adil dan efektif terhadap keru-

munan yang melakukan kerusuhan atau kekerasan ter-

sebut? Hukum pidana kita tidak mengenal pertanggung

jawaban kolektif. Sanksi lebih ditujukan pada individu

pelanggar menjatuhkan sanksi kepada semua pelaku

secara merata sangat tidak mungkin dilakukan. Semen-

tara itu kekerasan kolektif sering kali dicoba diatur oleh

pasal 170 dan pasal 358 KUHP.Dalam kenyataan suatu

peristiwa kekerasan masal seringkali mengandung

akibat yang luas, di samping fasilitas umum yang rusak

maka korban bukan hanya pelaku yang terlibat bentrok

fisik melainkan juga masyarakat umum atau penonton

yang ada di sekitar peristiwa tadi. (Muladi, 1992: p. 27).

Karena adanya interaksi maka masyarakat itu

selalu berubah. Tidak ada suatu masyarakat pun yang

statis,dengan kata lain masyarakat selalu dalam proses

perubahan dan tidak mudah untuk meramalkan apa

yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam

hubungan dengan perubahan ini, apabila ada perubahan

dari sesuatu yang mantap dan stabil ke suatu struktur

yang tidak teratur atau sebaliknya, maka perubahan itu

condong menimbulkan penyimpangan atau pembang-

kangan sosial. Perlu diperhatikan bahwa apa yang diten-

tukan masyarakat sebagai persoalan kejahatan atau

pembangkangan adalah akibat dari proses interaksi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kita

telah masuk dalam masalah sosial. Jika kita mempelajari

masalah sosial secara mendasar, maka akan menemukan

16

masalah kejahatan dan penjahat, akan tetapi masalah

kejahatan dan penjahat itu sendiri belum tentu dapat

menjawab atau menerangkan masalah sosial. Masalah

sosial dapat berkembang menjadi masalah budaya dan

struktural, karena struktur dan budaya masyarakat

mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku jahat.

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai keja-

hatan, atau dikatakan sebagai tindak pidana apabila

perbuatan seseorang ditakaan bersifat melawan hukum

dan dapat dicela sehingga dapat dipidana. Apabila

terhadap perbuatan itu sudah ada putusan hakim yang

menyatakan bersalah dengan menjatuhkan pidana, serta

putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap, maka orang itu dianggap telah melakukan

kejahatan atau tindak pidana. Salah satu bentuk pola

perilaku yang mengganggu masyarakat adalah pola

perilaku kekerasan yang apabila dipergunakan sedemi-

kian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan

fisik maupun psikis. (Aris Gosita, 1993: p.55).

Perilaku ini dapat dikualifikasikan sebagai keja-

hatan dengan kekerasan menunjuk kepada tingkah laku

yang bertentangan dengan undang-undang. Secara po-

tensial, perilaku kekerasan yang sudah ada pada manu-

sia sejak masa bayi dan tetap ada sampai usia lanjut, baik

pada kaum lelaki maupun perempuan. (Adi Sukadana

1999: p. 45). Manifestasi perilaku kekerasan ini berbeda-

beda dalam hal ini jenis, bentuk frekuensi, dan inten-

sitasnya. Walaupun ada yang tidak setuju atau kurang

setuju dengan perilaku kekerasan, masyarakat di mana-

17

mana dalam kebudayaan normatifnya tidak melarang

semua perilaku kekerasan.

Dikatakan bahwa kejahatan itu selalu ada

melekat pada tiap masyarakat juga ia merupakan

sesuatu yang normal, seperti yang ditulis oleh E.

Durkheim bahwa oleh karena kejahatan itu melekat

pada tiap masyarakat, maka ia merupakan fenomena

sosial. Manusia seolah-olah tidak dapat menghindar dari

padanya. Oleh karena itu, pelbagai ahli muncul dengan

berbagai konsep dalam melihat permsalahan konflik dan

kekerasan. Hal ini mengakibatkan jatuhnya banyak

korban harta benda maupun jiwa manusia. (Emile

Durkheim, 1991: p. 30). Perkelahian ini merupakan peri-

laku kekerasan yang dilakukan baik terhadap orang

maupun harta benda. Akibat dari perilaku ini orang

menderita luka-luka pada fisik, keadaan pingsan mau-

pun kematian serta harta benda menjadi rusak dan

musnah. Hal ini disebabkan karena yang berkelahi

memakai alat bantu seperti parang, panah, batu untuk

melempar, dan bom molotov.

Karena akibat dari perbuatan kekerasan itu

dilarang oleh undang-undang (KUHP), maka perbuatan

kekerasan ini digolongkan ke dalam perbuatan kejahatan

kekerasan. Perkelahian di antara penduduk di beberapa

desa dan kelompok dapat digolongkan sebagai konflik

kekerasan itu merupakan suatu fenomena yang sudah

tidak asing lagi bagi mereka. Baik hanya persoalan

remaja maupun persoalan ekonomi yang dapat menye-

babkan persentuhan yang tidak diingini oleh kedua

belah pihak, sehingga menimbulkan korban baik harta

18

maupun benda. Kehormatan, harga diri, maupun hak

seseorang dapat dikatakan merupakan unsur kebudaya-

an dari suatu masyarakat. Selain itu, yang paling men-

dasar dari adanya perkelahian boleh dikatakan sebagai

kausanya adalah dendam lama yang belum terbalaskan.

Dendam ini selalu dituturkan dari orang tua yang

mulanya menjadi korban, kepada anaknya dilanjutkan

terus ke keturunan berikutnya.

Jadi, perkelahian fisik yang digolongkan sebagai

konflik dan kekerasan itu perlu dijelaskan dengan

menelaah kaitannya dengan skala nilai sosial, aspek

budaya, serta faktor struktur masyarakat yang bersang-

kutan. Berdasarkan pemahaman tersebut maka perbuat-

an seperti ini dikatakan sebagai perbuatan yang dikua-

lifikasikan sebagai kejahatan yang berlatar belakang

konflik kekerasan. Penggunaan kekerasan dengan te-

rang-terangan dalam bentuk perkelahian fisik baik antar

pribadi maupun antar kelompok biasanya dianggap

sebagai refleksi nilai-nilai dasar suatu bagian masya-

rakat. Seperti yang dikemukakan oleh Wolfgang bahwa

“overt use of force or violence, either in relationship or in

group interaction, is generally viewed as a reflection of basic

values”.

Kadang-kadang konflik yang sudah merupakan

kebiasaan itu merupakan rangsangan yang berbahaya

untuk melakukan tindakan yang sifatnya kriminal. Hal

ini terlihat apabila dalam berinteraksi dengan orang lain

yang memepunyai karakter yang sama. Berbagai upaya

telah dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun

oleh pemuka agama setempat, namun hal itu tidak dapat

19

menghindari atau melenyapkan sengketa yang akan

timbul lagi.

konflik akan terjadi lagi apabila ada kesempatan

untuk itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan tidak

berpendidikankah mereka? Tidak dipidanakah mereka?

Terisolasikah mereka? Jawaban atas pertanyaan-per-

tanyaan di atas adalah tidak, karena tidak sedikit pen-

duduk desa yang mengecap pendidikan formal hingga

perguruan tinggi. Sekurang-kurangnya penduduk yang

berusia sekolah dan yang lebih tua mengecap pendi-

dikan formal sampai ketingkat sekolah dasar. Seba-

hagian besar antara keluarga-keluarga penduduk mem-

punyai anak-anak yang memegang jabatan penting di

pemerintahan, beberapa dari para pelaku yang terlibat

dalam perkelahian yang pernah terjadi telah diproses di

pengadilan dan telah memperoleh pidana yang mem-

punyai kekuatan hukum tetap dan sudah menjalani

pidananya.

Selama penyelesaian terhadap gejala ini dila-

kukan dengan menerapkan hukum pidana, yaitu men-

cari unsur dengan menerapkan hukum pidana, yaitu

mencari unsur-unsur kesalahan yang cocok dengan nor-

ma-norma hukum pidana yang dilanggar, kemudian

hakim menjatuhkan pidana sesuai dengan ancaman

pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan

perkataan lain, usaha untuk memberlakukan atau me-

nerapkan hukum pidana terhadap kejahatan kekerasan

ini demi penegakkan hukum telah dilakukan, namun

hasilnya kurang memuaskan.

20

Para pelaku kejahatan (perkelahian fisik) yang

terjadi, yang telah menjalani pidananya di lembaga

pemasyarakatan terlibat kembali pada waktu terjadi

perkelahian lagi. Hal ini disebabkan karena kausa dari

permasalahan ini tidak terselesaikan. Yang diselesaikan

selama ini hanya gejalanya saja dengan menjadi kausa

atau latar belakang permasalahan tersebut dan mencoba

untuk menemukan cara dan metode penyelesaian.

Penyelesaikan gejala ini hanya mengandalkan

kekuatan hukum pidana sajakah? Untuk menyelesaikan

gejala tersebut mengingat apa yang telah dikemukakan

di atas bahwa ada faktor-faktor subkultur yang men-

dasari perkelahian fisik yang merupakan konflik dan

kekerasan ini. Gejala konflik ini akan dikaji dari pen-

dekatan sobural suatu (akronim dari “skala nilai sosial,

aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat”) dari

masyarakt yang bersangkutan dengan difokuskan pada

budaya kekerasan. Hukum pidana memamg merupakan

sarana hukum yang diandalkan, namun hukum pidana

itu sendiri harus membuka diri terhadap kenyataan

skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural

masyarakat yang bersangkutan. (J.E. Sahetapy, 1992: p.

58-65)

Hal ini disebabkan karena penyelesaian keja-

hatan bukan monopoli hukum pidana semata-mata,

karena kejahatan selalu interen dalam setiap masyarakat.

Untuk hal ini diharapkan bentuk penyelesaian non-penal

juga di ikut sertakan sebagai suatu bentuk kebijakan

kriminal, oleh karena sumber kejahatan ini dan moti-

vasinya terletak pada nilai-nilai budaya masyarakat itu.

21

Selain itu kejahatan kekerasan kolektif dianggap

bertalian dengan sobural. Dalam perspektif ini perlu

dikaji konflik dan pendekatan secara sobural dalam

kerangka kriminal, akibat kurang berhasilnya penye-

lesaian dari perspektif pemindaan berdasarkan hukum

pidana. Dengan demikian kebijakan kriminal menyang-

kut permasalahan kejahatan tidaklah terlepas dari

sobural masyarakat yang bersangkutan.

Permasalahan utama yang banyak terjadi dalam

kebijakan politik hukum terhadap terjadinya konflik di

beberapa daerah pada umumnya. Pada dasarnya

berlawanan dengan empirisme, positivisme atau pan-

dangan bahwa pengertian hanya mungkin dilakukan

dengan mempelajari fakta-fakta masyarakat dan feno-

mena. Grand Teory yang dikemukakan oleh Hans. J.

Morgenth dalam bukunya yang terkenal “Politics Among

Nations” menekankan pada konsep keseimbangan,

pengambilan keputusan, sistim dan bentuk komunikasi

sebagai sarana dasar perangkat pengatur (central

organizing device) untuk mengkaji hubungan inter-

nasional. (Hans. J. Morgenth, 1999: p. 33-35).

Seperti diketahui kriminologi adalah kumpulan

dari berbagai ilmu perihal sebab-sebab causa kejahatan

(termasuk kekerasan), sebagai masalah manusia (ilmu ini

ditunjang oleh sejumlah disiplin ilmu lainnya seperti:

Antropologi, Sosiologi, Hukum Pidana, Psikiatri,

Psikologi, Biologi dan sebagainya. Akan tetapi menurut

Sellin sebenarnya belum ada seseorang yang betul-betul

ahli dalam semua bidang ilmu pengetahuan tersebut

yang penting untuk mempelajari kejahatan kekerasan.

22

Mengenai pemahaman tentang kejahatan, sampai saat

ini antara kriminolog sendiri masih mempunyai kon-

sepsi yang beraneka ragam mengenai peristilahan keja-

hatan dan penjahat. Kejahatan adalah suatu kata yang

menggambarkan perbuatan-perbuatan, bukan sesuatu

yang dapat mengindentifikasiakan suatu perbuatan pen-

jahat.

Dalam Resolusi konflik yang terjadi dalam

masyarakat adalah teori tentang perlindungan terhadap

Hak Azasi Manusia (HAM) menurut Jan Materson dari

Komisi Hak Azasi Manusia Perserikatan bangsa-bangsa

(PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada

manusia, tanpa manusia mustahil dapat hidup sebagai

manusia. Pada dasarnya HAM terdiri atas dua hak dasar

yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak

kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang

lainya, tanpa kedua hak dasar ini, hak azasi manusia

lainya akan sulit ditegakkan. (Baharudin Lopa, 1996: p.

1-3).

Hak Azasi Manusia merupakan penghormatan

atas martabat manusia dan nilai-nilai substansi kema-

nusiaan. Sedemikian urgennya persoalan hak azasi

manusia tidak mengherankan jika masalah ini menjadi

topik pembahasan bagi para filosof, pemimpin agama,

kaum politisi, sosiolog, ahli hukum, ahli ekonomi dan

sastrawan. Tidak mengherankan bahwa hak-hak ter-

sebut menjadi sebab bagi peristiwa-peristiwa sejarah

besar yang dalam beberapa keadaan berakhir dengan

terjadinya revolusi politik, sosial, perkembangan

pemikiran, perubahan hukum dan perundang-undang-

23

an, serta lahirnya deklarasi dan perjanjian regional

maupun internasional.

Atas dasar hal itu terhadap prinsip hak kebe-

basan yang dimiliki setiap orang merupakan hak paling

esensial yang harus dijamin perlindungannya. Hanya

dengan perlindungan kemanusiaan dan kepentingan

yang rasional, negara berhak untuk membatasi kebe-

basan yang dimiliki warga negara. Hal ini pulalah yang

merupaka salah satu ciri negara hukum, perlindungan

hukum terhadap warga negara dengan prinsip HAM

merupakan salah satu syarat penting yang harus di-

tegakkan. Dapat dikatakan pula bahwa pengakuan dan

perlindungan terhadap hak azasi manusia mendapat

tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan utama

dari negara hukum. (Philipus M. Hadjono, 1987: p. 71).

Dalam ajaran agama Islam larangan agar konflik

dan kekerasan sosial terhadap pembunuahan manusia

pertama.

واتل عليهم ن بأ اب ن آدم بالق إذ ق ربا ق ربانا ف ت قبل من أحدها ول ا ي ت قبل الله من المتقني (27)ي ت قبل من الخر قال لق ت لنك قال إن

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil

dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mem-

persembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari

mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain

(Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Ber-

kata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)

24

dari orang-orang yang bertakwa". (QS al-Maidah/5: 27.

(Ayoub Muhmud Mustofa: 2000)

Dari firman di atas tampak bahwa umat Islam

dituntut untuk melindungi hak azasi bagi sesamanya

termasuk orang kafir yang meminta perlindungan.

Namun demikian, Islam telah mengatur prinsip-prinsip

hak persamaan dan hak kebebasan secara seimbang dan

saling melengkapi. Bahkan Islam menekankan agar lebih

dahulu melaksanakan kewajiban asasi, selanjutnya diim-

bangi dengan tuntutan hak asasi. Begitu juga dalam hal

pergaulan dengan sessama muslim, sebagaimana hadis

yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yang artinya:

Bersabda Rasulullah s.a.w.: “Seseorang muslim

sebagai saudara kepada sesama muslim, tidak boleh meng-

aniaya atau menbiarkan dianiaya. Dan siapa yang sedang

menyampaikan hajat saudaranya, maka Allah akan melak-

sanakan hajatnya. Dan siapa yang membebaskan kesukaran-

nya dihari kiamat. Dan siapa yang menutupi kejelekan seorang

muslim, Allah akan menutupi kejelekannya dihati kiamat.”

Dari uraian tersebut secara tegas Islam meng-

ajarkan bahwa manusia mempunyai kewajiban melin-

dungi serta melindungi kehormatannya seperti tidak

saling menganiaya, kewajiban membebaskan kesukaran

orang lain serta kewajiban untuk tidak mengungkap aib

atau kejelekan orang lain. Manusia mempunyai kewa-

jiban melindungi orang lain dan manusia pun memer-

lukan kehidupan yang bebas dari ancaman terhadap

keselamatan jiwa dan raganya, dan Allah akan mem-

balas yang setimpal di akhirat nanti dari apa yang telah

25

kita lakukan. Prinsip mendahulukan kewajiban tersebut

sangat berbeda dengan prinsip pengaturan dan perlin-

dungan HAM sebagaimana pemikiran barat yang lebih

mengedepankan tuntan hak dengan tidak diimbangi

untuk melaksanakan kewajiban.

Pada dasarnya, teori ini membahas dan menjelas-

kan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan ber-

bagai tipe gangguan. Sebagai sosial heritage, teori ini

dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku

komsutif kelas menengah di Amerika. Teori sub-culture

sebenarnya dipengaruhi kondisi intelektual (intelectual

heritage) aliran Chicago, konsep Anomie Robert K.

Merton dan Selomon Kobrin yang melakukan pengujian

terhadap hubungan antara gang jalanan dengan laki-laki

yang berhasil dari komunitas kelas bawah (lower class).

(Romli Atmasasmita, 1999: p. 78). Hasil pengujiannya

menunjukkan bahwa ada ikatan antara hirarki politis

dan kejahatan teroganisir. Karena ikatan tersebut begitu

kuat sehingga Kobrin mengacu kepada “kelompok

pengontrol tunggal”(single controlling group) yang

melahirkan konsep komunitas integrasi.

B. BUDAYA/ CULTURE

Budaya, Menurut Para Ahli Secara Umum,

adalah mengatur agar manusia dapat mengerti bagai-

mana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan

sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.

Istilah budaya berasal dari kata culture yang merupakan

istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebu-

dayaan, berasal dari kata latin "colere" yang berarti

26

mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau

petani. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan

kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah

(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk

menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya

dapat diabdikan pada keperluan masyarakat.

Cipta merupakan kemampuan mental, kemam-

puan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasya-

rakat dan antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu

pengetahuan, baik yang berwujud murni, maupun yang

telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehi-

dupan sehari-hari. Rasa dan Karsa dinamakan kebu-

dayaan rohaniah (spiritual dan immaterial culture). Dalam

konteks ini, hasil rasa masyarakat mewujudkan norma-

norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang sangat perlu

untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan

kemasyarakatan. Hal ini dimaksudkan untuk melin-

dungi dari kekuatan-kekuatan yang buruk yang tersem-

bunyi dalam masyarakat. Dengan demikian, hakikatnya

penciptaan norma-norma dan kaidah-kaidah adalah

merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana ma-

nusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan

hidup.

Oleh karena itu, setiap masyarakat terdapat apa

dinamakan pola-pola perilakuan (pattern of behavior).

Pola-pola perilakuan tersebut adalah cara-cara bertindak

atau berkelakuan yang sama daripada orang-orang yang

hidup bersama dalam masyarakat yang harus diikuti

oleh semua anggota masyarakat tersebut. Pola perila-

27

kuan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebuda-

yaannya.

Pengertian Budaya Menurut Para Ahli

E. B. Taylor dalam Soekanto (1996: p. 55) mem-

berikan definisi mengenai kebudayaan ialah; "kebuda-

yaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan

kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan

lain kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh

manusia sebagai anggota masyarakat".

Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi dalam

Soekanto (1996: p. 55) merumuskan "kebudayaan sebagai

semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Koentjaraningrat Dari asal arti tersebut yaitu "colere" ke-

mudian "culture" diartikan sebagai segala daya dan

kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam

(Koentjaraningrat dalam Soekanto, 1969: p. 55).

Sedangkan ciri-ciri kebudayaaan adalah sebagai

berikut; Pertama, merupakan budaya sendiri yang berada

di daerah tersebut dan dipelajari. Kedua, dapat disam-

paikan kepada setiap orang dan setiap kelompok serta

diwariskan dari setiap generasi. Ketiga, bersifat dinamis,

artinya suatu sistem yang berubah sepanjang waktu.

Kelima, bersifat selektif, artinya mencerminkan pola

perilaku pengalaman manusia secara terbatas. Keenam,

memiliki unsur budaya yang saling berkaitan. Dan

ketujuh, etnosentrik artinya menggangap budaya sendiri

sebagai, budaya yang terbaik atau menganggap budaya

yang lain sebagai budaya standar.

28

Dalam kepustakaan kriminologi dikenal dua

teori sub-culture, yaitu:

1. Teori Delinquent Sub-Culture

Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen

dalam bukunya delinquent boys yang berusaha meme-

cahkan masalah bagaimana kenakalan sub- culture

dimulai menggabungkan perspektif teori Disorganisasi

sosial dari Shaw dan McKay, teori Differential Associsntion

dan Edwin H. Sutherland, dan teori Anomie Cohen

berusaha menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku

delinkuen di daerah kumuh (slum). Karena itu, konklusi

dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinkuen di

kalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah,

merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan

nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi

kultur Amerika.

Kondisi demikian mendorong adanya konflik

budaya yang oleh Cohen disebut sebagai “status

frustration”. Akibatnya, timbul keterlibatan lebih lanjut

anak-anak kelas bawah dalam gang-gang dan berprilaku

menyimpang yang bersifat “nonutilitarian, malicious and

negativistic (tidak berfaedah, dengki, dan jahat)”.

Konsekuensi logis dari konteks di atas karena

tidak adanya kesempatan yang sama dalam mencari

status sosial pada struktur sosial maka para remaja kelas

bawah akan mengalami problem status dikalangan

remaja. Akhirnya, Albert K. Cohen bersama james Short

melakukan klasifikasi sub-sub budaya delinkuen,

menjadi:

29

a. A parent male sub-culture-the negativistic sub culture

originally identified to delinguent boys.

b. The conflict-oriented sub-culture the culture of a large

gang that angages in collective violence.

c. The drug addict sub-culture groups of youth whose lives

revolve around the purchase sale. Use of narcotics.

d. Semi profesional theft-youths who angage in the theft or

robbery of merchandise for the purpose of later sale and

monetary gain.

e. Middle-class sub-culture-delinquent group thqt rise,

because of the pressures of livimg in middle-class environ-

ments.

2. Teori Differential Opportunity

Teori perbedaan kesempatan (defferential oppor-

tunity) dikemukakan Richard A.Cloward dan Leyod

E.Ohlin dalam bukunya Delenquency and Opportunity: a

Theori of Deelinquent Gang yang membahas prilaku

delinkuen kalangan remaja (gang) di Amerika dengan

Prespektif Show dan Mckay serta Sutherland.

Menurut Cloward terdapat struktur kesempatan

kedua yang tidak dibahas teori anomie Robert K. Merton

yaitu adanya kesempatan yang tidak sah (The Illegitimate

Opportunity Strukture). Pada dasarnya teori Defferential

Opportunity berorientasi dan membahas penyimpangan

di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut meru-

pakan fungsi perbedaan kesempatan yang dimiliki anak-

anak untuk mencapai tujuan legal maupun ilegal. Untuk

itu, Cloward dan Ohlin mengemukakan 3 (tiga) tipe

gang kenakalan Sub-culture, yaitu:

30

(a) Criminal Sub-culture, bilamana masyarakat secara

penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai

kelompok pada remaja yang belajar dari orang

dewasa. Aspek itu berkorelasi dengan organisasi

kriminal. Kriminal sub-culture menekankan aktivitas

yang menghasilkan keuntungan materi, uang atau

harta benda dan berusaha menghindari penggunaan

kekerasan.

(b) Retreatist Sub-cullture, di mana remaja tidak memi-

liki struktur kesempatan dan lebih banyak mela-

kukan perilaku menyimpang (mabuk-mabukan,

penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya).

(c) Conflict Sub-culture, terdapat dalam suatu masya-

rakat yang tidak terintegrasi, sehingga suatu orga-

nisasi menjadi lemah. Gang sub-culture demikian ini

cenderung memperlihatkan perilaku yang bebas.

Ciri khas gang ini seperti adanya kekerasan, peram-

pasan harta benda, dan perilaku menyimpang lain-

nya.

Keadilan antar manusia dengan Allah antara lain

mampu melaksanakan kebajikan dan meninggalkan

kemungkaran. Sebagaimana diserukan Allah agar manu-

sia memperoleh keuntungan maka melaksanakan

kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mence-

gah dari yang munkar. Sedangkan konsep keadilan

dalam hukum adalah keadilan yang dapat meujutkan

ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar

bagi masyarakat.

Tuntunan Allah dalam kitab suci Al-Quran,

menegaskan agar menegakkan keadialan dan kebenaran

31

kepada siapa saja dengan tidak berpihak dan tidak

pandang bulu, baik terhadap dirinya sendiri maupun

terhadap keluarganya, kerabatnya maupun kaum/

golongannya. Allah juga menegaskan agar menegakan

keadilan dan kebenaran secara objektif dengan meng-

hindari hal-hal yang bersifat subjektif, antara lain

mengikuti hawa nafsu dan rasa kebencian golongan.

(lihat Q.S. al-Nisaa (4: 58))

Dari beberapa firman Allah swt., dapat dijadikan

ukuran bahwa dalam menegakkan keadilan terkandung

di dalamnya:

1. Prinsip persamaan (equality).

2. Prinsip objektifitas.

3. Prinsip tidak pilih kasih (non faforitism/ non

nepotism).

4. Prinsip tidak berpihak (fainess/ impartial). (Barda

Nawawi Arif, 2008: p. 9-12).

Dengan demikian dalam hukum Islam meman-

dang keadilan itu sangat komrehensif, bahkan sangat

menyentuh pada kehidupan manusia itu sendiri. Dalam

islam, Allah meminta manusia agar tidak merusak ke-

adilan (keseimbangan). Bila salah satu tidak berdasarka

keadilan, maka seluruh sistim jagat raya akan terganggu.

Dalam bahasa hukum alam keadilan adalah sifat kene-

tralan atau berfungsinya dua hal yang berbeda. (Rifyal

Ka’bah, 1999: p. 28)

Konflik norma-norma tingkah laku dapat timbul

dalam berbagai cara seperti adanya perbedaan-perbe-

daan dalam cara hidup dan nilai sosial yang berlaku di

32

antara kelompok-kelompok yang ada. Begitu pula kita

bisa mengharapkan terjadinya konflik norma dengan

berpindahnya orang desa ke kota. Tentu saja tingkat

konflik tersebut dapat berbeda-beda. Konflik antara

norma-norma dari aturan-aturan kultural yang berbeda

dapat terjadi antara lain.

a. Bertemunya budaya besar. Konflik budaya di sini

dapat terjadi apabila aturan-aturan tersebut ber-

benturan pada batas di daerah kultur yang berdam-

pingan. Misalnya bertemunya orang-orang kulit

putih dengan orang-orang Indian di Amerika di

mana bukan hanya terjadi kontak budaya dengan

orang kulit tetapi juga agamanya, cara-cara bisnis

dan minuman kerasnya yang dapat melemahkan

suku Indian tersebut.

b. Budaya besar bertemu budaya kecil. Terjadinya

konflik budaya karena suatu budaya tertentu mem-

perluas daerah berlakunya terhadap budaya yang

lain. Hal ini terjadi dengan norma hukum di mana

undang-undang suatu kelompok kultural diper-

lakukan untuk daerah lain. Misalnya diberlakunya

Hukum Perancis terhadap Suku Khabile di al Jazair.

Juga dalam kasus di mana hukum soviet diber-

lakukan di Serbia.

c. Apabila anggota suatu budaya pindah ke budaya

lain. Di sini konflik budaya timbul karena orang-

orang yang hidup dengan budaya tertentu kemu-

dian pindah ke daerah lain dengan budaya yang

berbeda. Misalnya terjadi pada orang-orang sicilia

yang pindah ke Amerika, maka dia akan tunduk

33

pada hukum Amerika. (di Sicilia ada budaya

vandetta).

Berdasarkan asumsi ternyata Sellin membedakan

antar konflik primer dan konflik sekunder. (Sudarto,

1999: p. 159). Konflik primer dapat terjadi ketika norma

dari dua kultur, bertentangan. Pertentangan ini dapat

terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masing-

masing, ketika hukum dari kelompok lain muncul

kepermukaan daerah/ teritorial lain atau ketika orang-

orang satu kelompok pindah pada kultur lain.

Sedangkan Konflik Sekunder timbul ketika dari

sebuah kultur kemudian terjadi varietas kultur, salah

satunya dibentuk penormaan sikap/tabiat. Tipe konflik

ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada masyarakat

yang homogen berubah menjadi masyarakat yang

komplek. (A. Mulder, 2008: 23). Asumsi dasar teori kon-

flik berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut:

a) Konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam

masyarakat.

b) Pada tiap tingkat, masyarakat cendrung mengalami

perubahan. Sehingga disetiap perubahan, peranan

kekuasaan terhadap kelompok masyarakat lain

terus terjadi.

c) Kompetisi untuk terjadinya perubahan selalu eksis.

d) Dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum

dan penegakan hukum selalu menjadi alat dan

mempunyai peranan penting dalam masyarakat.

34

Berangkat dari asumsi dasar di atas, perspektif

konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang

berbeda.

b. Terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok-

kelompok tersebut tentang baik dan buruk.

c. Konflik antar kelompok-kelompok tersebut mencer-

minkan kekuasaan politik.

d. Hukum dibuat untuk kepentingan mereka yang

memiliki kekuasaan politik.

e. Kepentingan utama dari pemegang kekuasaan po-

litik untuk menegakan hukum adalah menjaga dan

memelihara kekuasaanya. (Sudarto, 2001: p. 150)

Berangkat dari asumsi dasar dan prinsip-prinsip tersebut di atas maka bentuk konflik dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: (Lilik Mulyadi, 2004: p. 101)

(1) Konflik konservatif

Konsep dasar dari teori ini adalah kekuasaan dan

penggunaanya. Teori ini beranggapan bahwa konflik

terjadi di antara kelompok-kelompok yang mencoba

menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik

mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekua-

saan lebih tinggi dalam kelas sosial akan memiliki

powerful members pada masyarakat. Dengan kekuasaan

nya tersebut mereka dapat mempengaruhi pembuatan

keputusan, juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap

kelas sosial yang lebih rendah.

Pada proses pembentukan hukum, kelas sosisal

yang lebih dominan dalam masyarakat akan mengguna-

35

kan kekuasaan untuk mempengaruhi hukum tersebut

dengan nilai-nilai mereka. Kelas sosaial mereka akan

menjadi pemegang dan siapa yang menentang mereka

akan menjadi target dari penegak hukum.

Teori konflik konservatif juga mengemukakan

hubungan antara penggunaan kekuasaan dan pemben-

tukan hukum. Pembentukan hukum merupakan perwu-

judan nilai-nilai para pembuatanya, hukum dalam me-

nentukan pembuatan kriminalisasi lebih diarahkan

kepada mereka yang berada di luar kelompok pemegang

kekuasaan. (Lilik Mulyadi, 2001: p. 17).

Dua teori konflik yang mengilustrasikan

karakteristik bentuk konflik adalah George B. Vold dan

Austin T. Vold. Keduanya melahirkan suatu teori

dengan menekankan bahwa dalam suatu masyarakat

terdapat kelompok alamiah dan berbagai kelompok

kepentingan yang berlomba terhadap kelompok alamiah

lainnya. Vold menilai, di antara kelompok tersebut akan

terjadi konflik kepentingan dan berkompetisi. Vold

berbicara mengenai adanya konflik dalam hukum

pidana, sebagai berikut: “the whole process of law making,

law breaking, and law enforcement directly refleas deep-seated

and fundamental conflics between group interest and the more

general struggles amomg group for control of the police of the

state”. (Welker, Negel, 1987: p. 87).

Akhirnya Vold berpendapat bahwa sejak kelom-

pok minoritas tidak memiliki kekuatan untuk mem-

pengaruhi proses legislatif, tingkah laku mereka akan

dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. George

menganalisis mengenai konflik, kekuasaan, dan keja-

36

hatan. Dalam analisisnya, ia menyimpulkan dari be-

berapa premis dasar teori konflik, bahwa kejahatan

merupakan produk kekuasaan politik dalam masyarakat

yang heterogen.

Menurut Vold, persaingan kelompok-kelompok

berkepentingan mempengaruhi pembuat peraturan

untuk kepentingan kelompoknya. Hal ini bisa disebut

sebagai refleksi konflik kelas terhadap proses politik

tengtang law making, law breaking and law enforcement.

Perilaku kejahatan menjelaskan dalam hubungan

ideologi konflik di mana konflik timbul, berakibat,

sebagai akses dari kelompok minoritas dengan sedikit

atau tanpa kekuasaan yang mempengaruhi perubahan

dalam hukum.

Tokoh teori konflik lainnya, Austin T. Turk

mengatakan bahwa ketertiban masyarakat merupakan

hasil dari kekuasaan kelompok tertentu untuk mengon-

trol masyarakat itu sendiri. Kontrol ini adalah pemak-

saan dari penempatan nilai-nilai ke dalam hukum dan

kemudian adanya kekuasaan untuk menegakkan hu-

kum. Turk memulai konflik dengan artikel yang

disebutnya sebagai “the study of criminality as opposed to

criminal behavior”.

Turk menjelaskan bahwa kejahatan hanya dapat

ditemukan dalam hukum pidana/kriminal. Ia mencoba

untuk mencari hubungan antara kejahatan dengan

hukum pidana. Seseorang dapat dinyatakan sebagai

penjahat dalam hubungan antara penguasa dan subyek.

Turk kemudian menyatakan bahwa kejahatan meru-

pakan status yang diperoleh penentang norma, yang

37

diterima sebagain norma sosial. Konsep hubungan

penguasa dengan subyek merupakan suatu hubungan

yang penting. Turk melihat bahwa penguasa harus

menghadapi fakta dalam kehidupan, yang biasa nya me-

merlukan alat untuk menjalankan kekuasaanya.

Lebih lanjut, turk mengemukakan dua cara yang

dipergunakan untuk mengontrol masyarakat. Pertama,

penguasa menggunakan paksaan atau kakuatan fisik.

Penguasa lebih banyak menggunakan paksaan agar

hukum ditaati. Hal ini diperlukan karena mereka merasa

kesulitan untuk mengontrol masyarakat. Bentuk kontrol

yang kedua, lebih bersifat halus. Menurut mereka,

hukuman merupakan sesuatu yang penting. Karena itu

terdapat dua tipe hukum, yaitu:

a. Aturan dari petugas tengtang bentuk perilaku jahat

beserta pidana yang dikenakan.

b. Menetapkan aturan-aturan untuk memproses

orang-orang melalui penilaian sistem hukum. Di-

gunakannya proses hukum ini memperlihatkan

para penguasa menggunakan kontrol secara halus.

(2) Konflik Radikal

Teori konflik radikal memposisikan diri dari

anarki politik menyambung Marxisme, dan materialisme

ekonomis menuju perbedaan nilai. Sangat sulit untuk

menentukan pendekatan apa yang digunakan.Para

tokoh teori ini adalah Camblis, Quinney, Gordon Bohm,

dan K. Mark. Semua versi dari tokoh-tokoh di atas

menyesuaikan uraiannya terhadap pendapat Marx.

Ketika Marx sangat sedikit menyinggung masalah keja-

38

hatan dan penjahat, beberapa tokoh radikal kriminologi

menyesuaikan contoh-contoh umum masyarakat untuk

menjelaskan mengenai kejahatan.

Marx melihat konflik dalam masyarakat

disebabkan adanya hak manusia atas sumber-sumber

tersebut, khususnya mengenai kekuasaan. Ketidak-

samaan ini tercipta karena konflik kepentingan antara

yang memiliki dan yang tidak memiliki kekuasaan.

Dalam masyarakat industri, konflik akan

timbul di antara para pekerja dan kaum pemilik modal.

Para pekerja, yang merupakan kaum buruh, akan

mengembangkan prinsip perebutan (struggle), dan

mereka menganggap kedudukan sebagai pemilik modal

dalam masyarakat merupakan hal yang sangat menarik

perhatian.

Menurut teori konflik Marx, perilaku menyim-

pang didefenisikan oleh kelompok berkuasa dalam

masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri, konflik

merupakan:

- Fenomena yang alami/ wajar

- Selalu terdapat dalam masyarakat

- Berdasarkan atas persepsi dan makna.

Konflik dalam masyarakat ditentukan oleh

kelompok-kelompok, didasarkan atas kepentingan ter-

cipta dalam proses pembuatan hukum. Menurut kaum

radikal, terdapat dua hal yang menyebabkan kelompok,

yakni perebutan kepentingan dan persepsi terhadap

konflik. Biasanya, konflik kepentingan tercipta dalam

proses pembuatan hukum.

39

Pertama, mereka menganggap bahwa kelompok-

nya merupakan alat dari kaum rulling class. Pengertian

kejahatan dalam hukum merupakan refleksi pada

konsep kapitalisme. Sedangkan perilaku rulling class

secara umum tidak ditempatkan di bawah hukum pi-

dana.

Kedua, kaum radikal melihat semua kejahatan

sebagai hasil perebutan kelompok yang merupakan

pencerminan dan individualisme dan kompetisi, Pada

akhir pembahasan mengenai konflik radikal, Richard

Quinny dan Steven Spitze membahas berlebihnya

jumlah buruh sebagai suatu permasalan dalam masya-

rakat kapitalis. Berlebihnya buruh akan menyebabkan

gaji rendah, tetapi berlebihnya jumlah buruh yang

sangat besar akan menimbulkan permasalahan.

Selanjutnya, Spitzer mengemukakan lima tipe

akibat berlebihnya jumlah buruh yang diakatakan

sebagai population problem, yaitu:

1. Orang miskin akan mencuri dari orang kaya;

2. Mereka akan menolak untuk bekerja;

3. Mereka tetep menggunakan obat bius;

4. Mereka menolak untuk sekolah atau tidak percaya;

terhadap yang diperoleh dari kehidupan keluarga;

5. Mereka akan mengusulkan suatu masyarakat yang

nonkapitalis.

Atas dasar pernyataan tersebut Barda Nawawi

Arif mengemungkakan bahwa apabila dilihat sebagai

bagian dari politik, maka hukum pidana mengandung

arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan meru-

muskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.

40

Hal tersebut sesuai dengan depenisi penal policy sebagai

mana dikemukakan Marc Ancel, yang mempunyai arti

sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum

pidana. (Barda Nawawi Arif,1996: p. 29).

Selanjutnya dikatakan oleh Sue Titus Reid bahwa

apabila didasarkan pada pendekatan hukum, maka

“crime is an act defined by law unless the elements specified by

statuory or case law are present anda proved beyond a

reasonable doubt, a person may not convicted or a crime”. Jadi

menurut Sue Titus Reid, (Topo Santoso, 2001: p. 45) untuk

merumuskan kejahatan secara hukum, maka ada hal-hal

yang perlu diperhatikan yaitu:

1) Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja atau

emosi. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat

dipidana hanya karena pikirannya, melainkan harus

ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak.

Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan

kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum

untuk bertindak dalam kasus tertentu.

2) Merupakan pelanggaran hukum pidana.

3) Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau

pembenaran yang diakui secara hukum.

4) Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu

kejahatan atau pelanggaran.

Seperti halnya apa yang dikemukakan oleh

Robert Merton Social theori and social cultur dalam

mengkaji pemisahan studi empiris yang dikemukakan

oleh Tolcott Person. Dia menjelaskan dalam Colture

Conflict sebagai teori yang berbohong, tapi diperlukan

hipotesis yang berkembanga dan usaha-usaha yang

41

sistimatis. Banyak konsep yang dikembangkan dari

Culture Conflict telah menjadi bagian dasar sosiologi

seperti: reteatisme, ritualisme, manifest, dan latent functions,

opportunity struktur, paradikma, reverece grup, rolesets, self

fulfilling propechy dan unitended concequence.

Pemikiran dalam Culture Conflict secara langsung

atau tidak lanngsung dapat mempengaruhi pandang ahli

sosilog Menurut J. E. Sahetapy, apa yang dinamakan

kejahatan itu sebenarnya merupakan suatu abstraksi

mental, suatu penamaan perwujudan yang secara relatif

berakar pada tempat, waktu, skala nilai sosial, aspek

budaya, dan faktor struktural suatu masyarakat. Apabila

konotasi mengenai apa yang dinamakan kejahatan itu

kemudian dijabarkan melalui suatu mekanisme dan

proses dalam masyarakat tertentu sehingga akhirnya

dapat tertuang dalam suatu bentuk ketentuan tertulis

dengan akibat suatu sanksi bila dilanggar, barulah hal

itu mempunyai arti dan fungsi yang konkrit. (Gwynn

Nettler, 1978: p. 23-34).

Selain itu dikatakan bahwa kejahatan merupakan

suatu bentuk perilaku menyimpang yang dapat di-

jumpai dalam masyarakat. Mengenai perilaku menyim-

pang (deviance) ini bergantung juga pada penamaan

terhadap perilaku tertentu suatu budaya atau masya-

rakat tertentu. (Refisrull dkk, 2004: 81) Dengan demikian

suatu perilaku dianggap menyimpang (deviance) dapat

dilihat dari sudut pandang kelompok tertentu dan

dalam kurun waktu tertentu. Demikian juga dengan apa

yang dinyatakan salah dan benar.

42

Maka bagi sebagian etnis kekerasan adalah salah

satu bagian dari gaya hidup dan ini semua dengan teori

sub culture of violence menurut Walfgang yang

mengatakan sumber-sumber kultur dari kejahatan ke-

kerasan terletak pada berseminya sub kebudayaan

kekerasan yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma

yang mendukung pola perilaku kekerasan.

Ada dua pandangan yang memberi arti bagi

perilaku menyimpang ini yaitu: pertama, perspektif

etiologis, yang mengatakan bahwa perilaku menyim-

pang adalah bertentangan dengan atau pelanggaran

terhadap aturan-aturan dan norma-norma yang diharap-

kan. Sedangkan perspektif kedua, yaitu perspektif reaksi

sosial, menyatakan bahwa perilaku menyimpang dide-

finisikan dalam arti reaksi sosial terhadap atau atas

suatu kelakuan.

Dari perspektif kriminologi yang membahas

masalah kejahatan, terhadap berbagai sudut pandang

dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan

yaitu:

1) Teori-teori struktural yang menjelaskan kejahatan

dipandang dari segi struktur sosial dan dampaknya;

teori-teori ini melihat masyarakat itu ada kelompok-

kelompok sosial atau starata sosial yang mem-

punyai ciri-ciri tertentu. Dari perspektif teori ini

adanya penyimpangan tingkah laku disebabkan

karena kondisi ekonomi dalam masyarakat atau

kondisi struktur sosial masyarakat. Teori ini misal-

nya, teori anomi dan teori konflik.

43

2) Teori yang menjelaskan mengapa seseorang atau

sekelompok orang melakukan kejahatan; teori ini

banyak ditekankan pada kejahatan dan pelakunya,

atau kejahatan dan penjahat. Teori-teori ini misalnya

teori labeling (labeling theory) dan teori kontrol sosial

(social control theory).

3) Adalah teori-teori kultur atau subkultur yang

menjelaskan kejahatan dalam konteks kolektif atau

dalam perbedaan subkultur. (J.E. Sahetapy, 1989: p.

9).

Adanya bermacam-macam suku bangsa di

Indonesia ditandai adanya perbedaan agama yang dia-

nut, bahasa, watak, serta nilai budaya yang sukar dipa-

hami oleh orang lain yang bukan berasal dari sukunya

sendiri. Masyarakat pluralistik di kota-kota besar seperti

Jakarta seringkali menimbulkan permasalahan sendiri

yang ditandai oleh adanya ketegangan sosial, sebagai

akibat benturan sistem nilai budaya yang dibawa oleh

penduduk yang berasal dari kelompok etnis yang

berlainan ini yang terjadi dibeberapa daerah seperti

dayak kalimantan dengan Madura. Mengenai konflik

kekerasan secara yuridis pengertiannya belum diatur

dengan jelas dalam KUHP. Bentuk kejahatan ini diatur

dalam Buku II KUHP, sedangkan Pasal 89 KUHP hanya

menyebutkan bahwa membuat orang menjadi pingsan

atau tidak berdaya lemah, dapat disamakan dengan

menggunakan kekerasan. Melakukan kekerasan dapat

diartikan sebagai menggunakan tenaga atau kekuatan

jasmani yang tidak kecil, misalnya, memukul dengan

44

tangan atau segala macam senjata, menendang dan

sebagainya. (Moelyatno, 1999: p. 90).

Kekerasan (violence) adalah suatu tindakan atau

perbuatan yang menuju pada pembinaan seseorang,

hewan, atau sesuatu objek. Dengan demikian dapat di-

katakan bahwa apabila kekerasan yang digunakan sede-

mikian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya keru-

sakan baik fisik maupun psikis yang dilakukan secara

melawan hukum adalah kekerasan yang bertentangan

dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan.

Bertolak dari pengertian di atas jelas bahwa konflik

kekerasan menunjuk pada tingkah laku yang harus

bertentangan dengan undang-undang, yang menimbul-

kan akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik

atau mengakibatkan kematian pada seseorang.

Namun dilihat dari pandangan kriminologi,

konflik kekerasan ini menunjuk pada tingkah laku yang

berbeda-beda baik mengenai motif maupun mengenai

tindakannya, seperti perkosaan atau pembunuhan.

Kedua macam kejahatan ini diikuti dengan kekerasan

yang keduanya memiliki motif yang berbeda. Karena

banyak perbedaan dalam motif dan tindakan dalam

kejahatan dengan kekerasan, maka sulitlah untuk

menentukan kausa dari kejahatan tersebut.

Apabila dianalisis dari perspektif sobural, maka

(kejahatan) kekerasan dapat dikategorikan sebagai:

a) Kekerasan kolektif, yaitu bentuk kekerasan yang

didukung oleh kultur. Bentuk kekerasan semacam

ini berbentuk institusional.

45

b) Kekerasan individual; kekerasan ini berbentuk

kekerasan pribadi.

c) Kekerasan sosial; contohnya mafia di Amerika bisa

disebut kekerasan sosial.

d) Kekerasan emosional, contohnya kekerasan yang

bersumber pada atau di dorong oleh apa yang di-

namakan sara (akronim dari suku, agama, ras antar

golongan).

Kekerasan dapat juga diklasifikasikan sebagai

berikut:

1) Emosional violence yang menunjuk pada tingkah laku

yang bersifat agresif disebabkan karena amarah atau

perasaan takut yang meningkat.

2) Instrumental violenceyang menunjuk kepada tingkah

laku agresif karena memang dipelajari dari

lingkungannya.

3) Random or individual violence yang menunjuk pada

tingkah laku perorangan yang bersifat kekerasan

dengan tujuan tertentu.

4) Collective violence yang menunjuk pada tingkah laku

yang melibatkan kelompok tertentu yang ditujukan

untuk mencapai tujuan tertentu. (Romli Atma-

sasmita, 1992: p. 56).

Apabila klasifikasi kekerasan serta jenis-jenis

kekerasan yang telah dikemukakan di atas dikaitkan

dengan bentuk kekerasan yang berupa perkelahian antar

penduduk, maka dapatlah dikatakan perkelahian fisik

antar penduduk ini dapat digolongkan sebagai keke-

rasan antar kelompok (intergroepsgeweld). Hal ini

disebabkan karena perkelahian itu sendiri melibatkan

46

hampir seluruh penduduk desa secara bersama-sama.

Selain itu perkelahian ini juga merupakan pencetusan

dari emotional violence yang menunjuk pada tingkah laku

yang bersifat agresif disebabkan karena amarah dari

mereka yang terlibat perkelahian. Menurut Hacker tidak

semua agresi merupakan kekerasan, namun sebaliknya

semua kekerasan adalah merupakan agresi. Kekerasan

sifatnya lebih terbuka atau terang-terangan secara fisik.

(M. M. Djojodigoeno, 1998: p. 24-27). Selanjutnya Hacker

menulis bahwa kekerasan merupakan jalan pintas atau

pelarian terakhir untuk menyelesaikan masalah.

Seringkali cara penyelesaian lain yang lebih baik

tidak perlu digunakan. Seringkali juga orang meng-

gunakan kekerasan oleh karena tidak mempunyai

alternatif lain. Kebanyakan mereka yang terlibat dalam

perkelahian antar penduduk desa itu merasa bahwa

dengan perkelahian masalah dapat diselesaikan. Namun

sebaliknya, dengan perkelahian tersebut menjadikan

masalahnya makin membesar dan berkepanjangan.

Selain itu, dalam situasi tertentu juga kekerasan dapat

menimbulkan rasa kebanggaan seseorang dan sering

dipakai untuk mengejar kehormatan yang tidak patut

secara tidak benar. (Ronny Nitibaskara, 1993: p. 233).

Dalam menelaah Resolusi konflik ini M.

Wolfgang dan F. Ferracuti mengetengahkan proposisi

antara lain bahwa norma-norma yang mengijinkan dan

mendukung kekerasan sebenarnya terdapat dalam

lingkungan si pelanggar hukum sendiri dan banyak

pelanggaran hukum yang menghayati dan dipengaruhi

oleh norma-norma tersebut. Norma tersebut berasal dari

47

subkultur kekerasan yang ada dalam masyarakat itu

sendiri.

Suatu pendekatan yang memperhatikan timbul-

nya perbuatan atau tindakan kekerasan dalam masya-

rakat adalah teori subkultur kekerasan (subculture of

violence) diajukan oleh M. Wolfgang dan Franco Ferracuti

di Sadinia, Italia. Dalam konsep yang diajukan mengenai

subkultur kekerasan ini ditulis bahwa tiap penduduk

yang terdiri dari tiap kelompok etnik tertentu dan kelas-

kelas sosial tertentu memiliki sikap yang berbeda-beda

tentang penggunaan kekerasan. Sikap yang mendukung

penggunaan kekerasan diwujudkan ke dalam sepe-

rangkat norma yang telah melembaga dalam kelompok

tertentu dalam masyarakat. Dengan dasar pemikiran

tersebut Wolfgang dan Ferracuti menegaskan bahwa

“subculture of violence represents values that stand apart from

the dominat, central, or parent culture of society”. (Soerjono

Soekanto, 1993: p.233). Hal ini berarti bahwa subkultur

yang ada dalam masyarakat.

Konsep subculture of violence ini didasarkan pada

hasil untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rates of

violence di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat

di Sardinia. bahwa tidak smeua orang dalam setiap

kelompok memiliki nilai-nilai yang dicerminkan dalam

subkultur kekerasan atau sebaliknya subkultur non

kekerasan. Kehormatan, harga diri maupun hak seseo-

rang maupun kelompok merupakan unsur-unsur sub-

kultur tertentu dari suatu masyarakat. Dikatakan sebagai

subkultur, karena hanya menunjuk pada suatu sub-

kategori dari kultur atau budaya secara keseluruhan.

48

Subkultur merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari suatu kultur kebudayaan. Kebudayaan atau kultur

(terjemahan dari culture) mempunyai kedudukan dan

peranan penting di dalam kehidupan manusia. Seperti

dikatakan oleh Koentjaraningrat bahwa hampir seluruh

tindakan manusia adalah “kebudayaan”.

Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindak dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dija-

dikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan

mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari oleh

manusia sebagai warga masyarakat dari alam dan

masyarakat itu sendiri. Joselin de Jong memberikan

definisi pada kebudayaan atau kultur sebagai keseluruh-

an pernyataan hidup yang tidak turun temurun dari

suatu kelompok manusia yang sadar, bahwa mereka

merupakan suatu kesatuan. Dari apa yang dikemukakan

oleh Tylor dan De Jong di atas tersimpul pengertian

yang sama bahwa dari keseluruhan dari satu pernyataan

hidup manusia, bentuknya tidak ditentukan oleh ke-

turunan. (Soerjono Soekanto,1987: p. 8).

Bertolak dari definisi kebudayaan yang diajukan

oleh A.L Kroeber dan Kluckhon maupun beberapa batasan

mengenai budaya atau kultur yang telah dikemukakan,

maka dapat dikatakan bahwa kultur atau budaya tidak

lain dari kesatuan norma, nilai, sikap serta harapan dari

suatu kelompok orang atau masyarakat. Kekerasan

dapat dikatakan bagian dari kebudayaan atau subkultur

karena kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku

seseorang atau kelompok. Juga karena batasan subkultur

49

itu sendiri merupakan suatu kesatuan norma, nilai, sikap

serta sifat-sifat badaniah lainnya. (Moeljadno, 1998:

p.102). Dengan demikian konflik kekerasan (perkelahian

fisik) dapat dijelaskan dengan melihat budaya atau

kultur masyarakat di mana kejahatan itu muncul, karena

dianggap sebagai reaksi nilai-nilai dasar dari bagian

sistem normatif masyarakat itu.

Dalam resolusi konflik selain dilakukan secara

individual dapat juga dilakukan secara kolektif dapat

dibedakan atas tiga kategori yaitu kekerasan kolektif

primitif, kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan

kolektif modern. Kekerasan kolektif primitif pada

umumnya bersifat non politis. (Ronny Nitibaskara, 1999:

p. 98). Ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas

lokal misalnya pengeroyokan. Dalam bentuk pemukulan

atau penganiyayaan, terhadap pencopet yang tertangkap

tangan peristiwa pengeroyokan dan pembantaian ter-

hadap dukun teluh, sementara yang dimaksud dengan

kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan

reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya

tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal,

melainkan siapa saja yang merasa kepentingan dengan

tujuan kolektif yang menentang suaut kebijakan atau

sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Sedangkan

kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk

mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu

organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.

Dalam suatu situasi konflik biasa orang merasa

didorong untuk melakukan tindakan kekerasan apabila

mendengar komentar yang sedikit menyinggung perasa-

50

an, atau parang yang kelihatan di tangan lawan.

Perkelahian fisik dengan memakai parang merupakan

suatu keberanian dan kenekatan untuk mempertahan-

kan hak dan kehormatan, sudah merupakan ekspresi

subkultur.

Apabila respons norma subkultur tersebut

muncul pada seseorang yang sedang terlibat dalam

interaksi sosial dengan orang lain yang mempunyai

mekanisme yang sama, maka serangan fisik, perteng-

karan, dan pertentangan keluarga yang panas kemudian

berlanjut ke penganiayaan dan pembunuhan adalah

akibat yang umum terjadi. Selanjutnya Wolfgang ber-

pendapat bahwa "....the use of violence in a subculture is not

necessarily viewed as illicit conduct, and the user therefore do

not have to deal with feelings of guilt about their aggression

(Sutherland & Donald R, 1999: p. 23-28). Timbul

pertanyaan apakah pernyataan Wolfgang di atas dapat

dipakai untuk mereka yang terlibat dalam konflik

tersebut? Dengan perkataan lain, mungkinkah mereka

yang terlibat dalam kejahatan kekerasan kolektif yang

secara struktural berkonfli secara massal dengan senjata

tajam atau membakar dan menghancurkan harta benda

itu tidak merasa bersalah dan menyesal.

Konflik Sosial, akibat dari perilaku ini dilarang

dan diancam dengan hukum pidana. Istilah kejahatan

dalam tulisan ini diartikan sebagai salah satu perbuatan

yang melanggar hukum tertulis atau KUHP, yaitu salah

satu perbuatan yang diatur dalam Buku II KUHP. Yang

dimaksud dengan istilah kekerasan kolektif ialah bentuk

kekerasan yang didukung atau dibenarkan oleh kultur

51

masyarakat setempat. (Ronny Nitibaskara, 1999: p.77).

Sumber kultur kekerasan terletak atau memberikan

legitimasi pada berakarnya perbuatan kekerasan.

Apabila dalam perkelahian fisik dimaksud telah menim-

bulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana

oleh undang-undang, maka hal itu dianggap telah

melakukan kejahatan dengan Konflik sosial ini karena

bersumber pada kekerasan kolektif, maka melalui pen-

dekatan kriminologis ditelaah kaitannya dengan kultur

masyarakat di mana kejahatan itu timbul. (Otje Salman,

1993: p. 45-47).

Terhadap masalah pertama, konflik sosial

dipahami manifestasinya secara teoritik maupun secara

empirik melalui perspektif hukum pidana. Dengan me-

mahami kejahatan kekerasan kolektif ini, akan dike-

temukan konsep-konsep antara lain: konflik kekerasan

kolektif. Terhadap masalah kedua, kejahatan kekerasan

kolektif dilihat melalui perspektif kriminologi, dengan

mengindentifikasi sejumlah teori kriminologi yang dapat

menjelaskan masalah kejahatan, maka teori Sobural

(sosial, budaya, kultural) pada dasarnya suatu abstraksi

mental dan oleh sebab itu segalanya dilihat sebagai

perwujudan yang relatif. Konotasi tentang perwujudan

yang relatif itu tentu berakar pada masyarakat dan oleh

karena itu bergantung dari hasil proses/interaksi dalam

wadah nilai-nilai subural masyarakat yang bisa men-

dapat rangsangan dari berbagai praktek, misalnya:

kemiskinan, pengganguran, ketidak seimbangan pribadi,

ketidak puasan keluarga, kebijakan penguasa yang

berpihak, penegakan hukum yang tidak adil, undang-

52

undang yang tidak jelas. Maka teori sobural akan

dipakai untuk menganalisis kejahatan kekerasan kolek-

tif.

239

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Abdurrahman,Wahid, Presentasi Peluncuran Program Balai

Mediasi Desa, І Kerjasama LP3ES-NZAID, Jakarta

2004.

Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Abdul Salam, Forensik. Restu Agung Jakarta 2006.

Afan Gaffar, Javanese Voters A Case Study of Election Under

Hegemonic Party Sistem, Gajah Mada University

Press, Yogyakarta, 1992.

A.Gumilang, Kriminalistik (Pengetahuan Tentang Teknik

Dan Taktik Penyidikan), Angkasa, Bandung, 1991.

Aggleton, Peter, Deviance, Tavistoock Publication,

London.1987.

Ahmad ubbe, Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme

Penanganan Konflik Sosial, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hukum Nasional, 2011.

Ahmad,Ali, Menguak Tabir Hukum (Kajian Filosofis Dan

Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung, Jakarta,

2002.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Peneli-

tian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2004.

240

Amir Efindi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah

Tumbuh Hilang Berganti, Karya Unipress, Jakarta,

1993.

Anderson, Benedict, Violence and the State in Soeharto,s

Indonesia, Ithacha: Doutheast Asia Program,

Cornell University, 2001.

Ateng, Syafruddin. Pasang Surut Otonomi Daerah,

Binacipta, Jakarta, 1985.

Ars Aequi Library, Tegen De Regels En Inleiding In De

Criminologie, Stichting Ars Aequi, Utrect, 1977.

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika

Pressindo, Jakarta, 1993.

Baal Van J, Sejarah Pertumbuhan Antropologi Budaya,

(Hingga Dekade 1970), Jilid Satu, Penerbit

Gramedia, Jakarta, 1987.

Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan

Kebijakan Penanggulangan Kajahatan, Alumni

Bandung 2001.

...........................Sistem Peradilan Pidana Sebagai Faktor

Kriminologi, Makalah Fakultas Hukum Undip,

Semarang, 1988.

Bagir Manan,“Menyonsong Fajar Otonomi Daerah”PSHFH,

UII, Yogyakarta, 2001.

Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik, Kompas, Jakarta,

2004

241

Bohannan, Paul, Ed, Law And Warfare, Study Intropology

Of Conflict, University Of Texas Press, Austin,

1967.

Bresnan, John , Managing Indonesia: The Political Economy

from, 1965-1990 Columbia University Press, 1993.

Bungin Burhan , Analisis Data Penelitian Kualitatif, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2003,

Canra, Robby, Konflik dalam hidup sehari-hari, Kanisius,

Jogjakarta, 1992.

Coff E. And G.C.F. Payne, Perspective In Sosiology, George

Allen & Unwin, London,1981.

Creswell, John.W, Research Design: Qualitative &

Quantitative Approaches, Sage Publication,

Thousand Oaks, London, New Delhi, 1994.

C. S. C Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1989.

Dahlan Thaib, dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi,

RadjaGrafindo Indonesia, Jakarta, 2004.

Dahl, Robert, A. Democracy and Its Critics, Yale

University, London, 1989.

Davis, Allen F. Konflik dan konsensus dalam Sejarah

Amerika Moderen. Gadjah Mada University

Yogyakarta, 2005.

Denkers F.A.C.M, Criminologie En Beleid, Dekker & Van

De Vegt, Nitrnegen, 1976.

242

Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali,

Jakarta, 1983.

Diantha, I Made Pasek. Tiga Tipe Pokok Sistem

Pemerintahan Dalam Demokrasi, Abardin, Bandung,

1990.

Dhanani, Shafiq dan Iyanatul Islam, “Poverty, Inequality

and Social Protection: Lesson from the

Indonesian Crisis",UNSFIR Working Paper

00/01, Jakarta, 2000.

Eda, Fikar S dan S. Satya Dharma, Eds. Sebuah Kesaksian

Aceh Menggugat, Sinar Harapan, Jakarta.1999

Espe, Kusuma. Provokator(Paradigma Kritis di Tengah

Konflik), Penerbit Awan Indah, Jakarta, 2004.

Ericson, Russell G, Criminal Reaction The Labeling

Perspective, Sexon Hous, Weastmead, England,

1990.

Erman Suparman, Hukum Perselisihan (Konflik Kompetensi

dan Pluralisme Hukum Orang Pribumi), Refika

Aditama, Bandung Indonesia, 2005.

Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis,

PT.Suryandaru Utama, Semarang, 2005.

Fisher, Simon, Mengelola Konflik,Ketrampilan dan strategi

untuk bertindak, The British Council, Jakarta 2001

Feulner, Frank, "Consolidating Democracy in Indonesia:

Contributions of Civil society and State,UNSFIR

Working Paper 01/04, Jakarta, 2001.

243

Haris Syamsudin, Desentralisasi dan Otonomi daerah, LIPI

Pres, Jakarta, 2006.

__________, dkk. Membangun Format Baru Otonomi

Daerah, LIPI Pres, Jakarta, 2006.

___________, Pemilu Langsung ditengah Oligarki partai:

proses nominasi dan seleksi calon legissltif

Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Hary Sabarno,Untaian Pemikiran Otonomi Daerah

(Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan

Bangsa), Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Harun, Alrasid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara,

UIP.

Hagan, Jonh, Modern Criminilogy, Crime, Criminal Beha-

vior And Its Control, Megrow-Hill International

Editions, 1987.

Hayali, Kmil al, Solusi Islam dalam konflik Rumah Tngga,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Hendrojono, Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat

dan Hukum, Srikandi, Surabaya 2005.

Ihromi O, T , Antropologi Dan Hukum, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta, 1984.

__________ Pokok-Pokok Antropologi Budaya,

Gramedia, Jakarta, 1987.

___________. Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta, 1999.

244

Irawan, Soejito. Hubungan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Irawan, Puguh B, Iftikhar Ahmed dan Iyanatul Islam , Labor

Market Dynamics in Indonesia: Analysis of 18

Key Indicators of The Labor Market (KILM) 1986-

1999, ILO Office, Jakarta, 2000.

Jary, D. dan J. Jary, 'Multiculturalism', Dictionary of

Sociology. New York: Harper, 1991.

J.E Sahatapy. Kejahatan Kekerasan, Suatu Pendekatan

Interdispliner, Sinar Wijaya, Surabaya, 1983.

Jimly, Asshiddiqie,Pokok-pokok Hukum Tata Negara

Indonesia (Pasca Reformasi), PT Bhuana Ilmu

Populer, Jakarta Barat, 2007.

John Z Loudoe, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan

Fakta, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah(Suatu Solusi

dalam mejawabkebu-tuhan Lokal dan Tantangan

Global, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.

Kato, Tsuyoshi, Adat Minangkabau dan Merantau dalam

perspektif sejarah, PT, Balai pustaka, 2005.

-----------------Pengantar Ilmu Antropologi, Penerbit Rineke

Cipta. Jakarta, 1990.

Kusnardi, Moh, dkk. Ilmu Negara, Gaya Media Pratama,

Jakarta, 2000.

245

Koesoemahat Madja. Pengantar Kearah Sistem Pemerin-

tahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

1979.

Koentjaraninggrat, Kebudayaan, Mentalitas Dan Pem-

bangunan, Gramedia, Jakarta, 1987.

Lambang Trijono, Keluar dari Konflik Maluku: Refleksi

Pengalaman Praktis Bekerja untuk Perdamain

Maluku, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Leo Suryadinata, Elections And Politic In Indonesia, ISEAS,

Singapore, 2002.

Lilik Mulyadi, Kapita salekta Hukum Pidana, Kriminologi

dan Viktimilogi, Jembatan, Jkarta 2004.

Lokollo J.E, Perkembangan Pidana Denda Di Indonesia,

Disertasi Universitas Airlangga, 1987.

Mariam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia

Jakarta, 2001.

Made Darma Weda, Kriminologi, Raja grafindo Persada,

Jakarta, 1996.

Mashad, Dhurorudin, Akar Konflik islam di Indonesia,

Pustaka al Kausar Jakarta, 2008.

Mahfud, MD. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama

Media,Yogyakarta, 1999.

-------------, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT

Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

246

--------------, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

--------------, Hubungan Antara Pusat dan Daerah

Berdasarkan Azas Desentralisasi Menurut Undang

Undang Dasar Negara. Rineka Cipta Jakarta, 2003.

--------------, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistim Peradilan

Pidana, Badan penerbit UNDIP, Semarang, 1997.

--------------, Pendekatan NoPenal Dalam Penanggulangan

Kejahatan Dari Aspek Instrumen Internasional,

Undip, Semarang, 1996.

Malik, Ichsan, ikhtisar Model penyelesaian BAKU BAE,

Yayasan Titian Perdamaian, 2005.

M. Agus Hardjana, konflik ditempat kerja, kanisius,

Yogyakarta, 1994.

Muhmoud Ayub Mustafa, Mengurai Konflik Islam-Kristen

dalam prespektif Islam. Fajar pustaka baru,

Yogjakarta, 2005.

Muladi Dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kajian

Pidana, Alumni Bandung, 1986.

--------------,Ruang Lingkup Penegakan Hukum Pidana

Konteks Politik Kriminal, Makalah Fakultas

Hukum Undip, Semarang, 1984.

__________, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni

Bandung, 1992.

247

Muslim, Amran. Aspek-aspek Hukum Otonomi daerah,

Alumni Bandung, 1980.

Mulyana W. Kusuma, Kriminologi dan Masalah

kejahatan (suatu pengantar). Armiko Bandung,

1984.

M Solly Lubis, Hukum, Tata Negara, Penerbit Mandar

Maju, Bandung, 2002.

Miall, Hugh, Resolusi Damai konflik kontenporer:

menyelesaikan, mencegah, mengelola dan mengubah

konflik bersumber politik, sosial agama dan ras. Raja

Grafindo Jakarta, 2004.

Moeljarto, T. Beberapa Pemikiran tentang Sistem Kepartaian

di Indonesia, seksi Penerbitan Fakultas Sospol

UGM, Yogyakarta, 1968.

Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum,

Bina Aksara, 1984.

Modjloes, Beberapa Petunjuk Bagi Kepala Desa Selaku Hakim

Perdamaian Desa. CV Pancuran Тjuh Jakarta, 1979.

Muhammad Tahir Azhary,Negara Hukum: Suatu Studi

tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum

Islam, Implementasinya pada Periode Negara

Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta,

2004.

Nikmatul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi Sejarah

Perkembangan dan Problematika), Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2005.

248

Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni,

Bandung, 1993.

Parlyhutan Daulay, Ikhsan Rosyada. Mahkamah Konstitusi

(Memahami Keberadaannya Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia), Rineka

Cipta, Jakarta, 2006.

Purniati dan Moh Kemal, Mashab dan penggolongan teori

dalam kriminologi, Citra Aditiya Bakti, Bandung

1994.

Purbacaraka, Purnadi dkk, Perihal Kaedah Hukum,

PT.Citra Aditya Bakti Bandung, 1993.

Rahmad Jalaluddin. Psikologi Komunikasi , Rosda Karya ,

Bandung, 2000.

Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan, Citra Aditya, R. J. Bakti, 2003.

Radjab, Dasril. Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka

Citra, Jakarta, 1994.

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta

Kriminilogi. PT. Eresco Bandung, 1992.

__________ Bunga Rampai Kriminologi, CV Rajawali,

Jakarta, 1984.

__________, Teori dan kapita salekta kriminologi, refika

aditama Bandung, 2005.

__________ Pisau Analisa Krimininology, Amrico

Bandung, 1984.

249

__________ Politik Kriminal Dalam Perspektif Kejahatan

Kekerasan; Sebuah Potret Diri, 1987.

__________ Teori Kriminologi Suatu Pengantar, Penerbit

PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

------------------,Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi

Perkemhangan Hukum, Proyek Bank Dunia

(Jakarta: Cyberconsult, 1999.

Ronny. Nitibaskara, Kejahatan Kekerasan Dalam Perspektif

Kriminilogis (Suatu Pendekatan “Interdisplmeir”),

Orasi Ilmiah Dalam Rangka Diesnatalis ke-41

Dan Wisuda Universitas Akademi-Akademi

Jayabaya, Jakarta, 1999.

___________,Catatan Kriminalitas, Jaya Baya, Universitas

Press, 2001.

___________ Reasi Terhadap Tersangka Dukun Teluh Di

Pedesaan Banten, Jawa Barat, Disertasi, 1993.

___________ Enografi Kejahatan Di Indonesia,

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya

Pada Fisif UI Jakarta, 1998.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas,

Jakarta, 2007.

________________, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2000.

________________Masalah Penegakkan Hukum Suatu

Tinjauan Sosiologis, Sinar baru Bandung, 2002

250

________________, Hukum dan Perubahan Sosial, cetakan

ke-II, Alumni Bandung, 1983.

________________, Hukum dan Masyarakat, Angkasa,

Bandung, 1979.

Sarundang. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Sinar

Harapan, Jakarta, 1999

Selo Soemardjan, Dan Seoemardi, Soleaman, Setangkai

Bunga Sosiologi, Yayasan Badan Penerbit Fakultas

Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.

Sen, Amartya, Beyond the Crisis, Development Strategies in

Asia, ISEAS, Singapura, 1999.

Soerjono Soekanto,Sosiologi, suatu pengantar. PT.

RajaGrfindo, Persada, Jakarta, 2003.

_________, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grfindo

Persada, Jakarta, 2003.

_________. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grfindo

Persada, Jakarta, 2001.

_________, Mulyana. W. Kusuma, Kriminologi Suatu

Pengantar, Hukum Pidana Dan Perkembangan

Masyarakat, Sinar Harapan, Bandung, 1986.

_________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif:

Suatu Tinjauan Singkat, edisi I, cet.v. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2001

__________Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam

Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi

251

Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

1979.

__________, Penelitian Hukum Normatif_Suatu Tinjauan

Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.

___________, Pengantar Penelitian Нukum (Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 1982.

Soehino. Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000.

_________, Hukum Tata Negara, Penyusunan dan Penetapan

Peraturan Daerah, Liberty, Yogyakarta, 1997.

_________, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberti,

Yogyakarta,1995.

_________, Hukum Tata Negara: Perkembangan Otonomi

Daerah, BPFE, Yogyakarta, 1991.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum

dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, 1988.

Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Paradigma Metode

dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Elsam Huma,

2002.

Sulastomo. Reformasi Antara Harapan dan Realita,

Kompas, Jakarta, 2003.

Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik,

Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

252

Suyatno. Peranan Badan Perwakilan Desa Dalam

Penyusunan dan Penetapan Peraturan Desa,

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2003.

Sudarto, Tentang Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia,

Fakultas Hukum Undip, Semarang,1981.

__________ Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni

Bandung, 1981.

___________ Pemidaan, Pidana Dan Tindakan, BPHN,

Jakarta, 1982.

Sudikno Mertokusumo,Mengenal hukum, Liberty,

Yogyakarta, 1988.

Suedjono Dirjosisworo. Sosiokriminolog, amalan ilmu sosial

dalam studi kejahatan, sinar baru bandung 1976

Suekarno Wiriaatmdja, Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan,

Yasaguna, Jakarta.1973.

Suparlan, P. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komunti

dalam Masyarakat Majemuk Indonesia’, Indonesia

2002.

......................Menuju Masyarakat lndonesia yang

Multikultural’, Antropologi. Indonesia, 2002.

Sri Soemantri, dan R. BintanSaragih, Ketatanegaraan

Indonesia dalam kehidupan politik Indonesia 30 tahun

kembali ke undang-undang dasar 1945). Jakarta

Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Syaukani, HR. all. Otonomi Daerah Dalam Negara

Kesatuan, Pustaka Pelajar, 2002.

253

Stephan Hurwitz, Kriminologi, Bina Aksara,1982.

_____________, Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta, 2004.

Thalib, Hambali, Sanksi pemidanaan dalam konflik

pertanahan: kebijakan alternatif penyelesaian

konflik pertanahan di luar kodisifikasi hukum

pidana, Kencana Jakarta, 2009

Tholkhah, Imam, Konflik sosialbernuansa agama di

Indonesia, Badan litbang Agama dan diklat

keagamaan, Jakarta 2002.

____________, Anatomi konflik politik di Indonesia: belajar

dari ketegangan politik varian di madukoro. PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

UNSFIR, Anatomy Kekerasan Sosial dalam Masa Transisi,

Kasus Indoensia, 1990-2001, UNSFIR, 2002

Viktor Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan di

Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Yahya, Muhaimin. Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,

Dalam Prisma 10 Tahun”.

Yudoyono. Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan

Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 2001.

Yoblonky Lewis, Criminologi Crime and Criminality fourth

edition, Harper& Row Publhiser, New York 1990.

254

B. MAKALAH

Analisa Fungsionalis Terhadap Perilaku Menyimpang

Dalam Kelompok, Makalah Pascasarjana UMJ Sosiologi

Hukum 2000.

Bentrok Massal Antar Warga Pada Masyarakat Kelas

Bawah, (Studi Kasus Manggarai), Makalah Mahasiswa

Program Pascasarjana UMJ, Angkatan ke VIII, Di

Cipanas Bogor,2000.

Dramatisasi Kejahatan Dan Penyimpangan Primer Serta

Sekunder, Makalah Dipresentasikan Pada Mata Kuliah

Sosiologi Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta,

2000.

Wignyosoebroto, Soetandyo. “Doktrin Supremasi Hu-

kum Sebuah Tinjauan Kritis Dalam Perspektif Historik”,

Makalah, Seminar FH UNDIP, 27 Juli 2000.

C. JURNAL

Bagir Manan, “Menyonsong Fajar Otonomi Daerah”

PSHFHUII Yogyakarta, 2001.

Depkimpraswil, “Strategidan Konsepsi Pengembangan

Kawasan Perbatasan Negara”. Jakarta, 2002.

Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen

Dalam Negeri. “Permasalahan Batas Wilayah (Kabu-

paten Tebodengan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi)”,

2003.

255

Pramono, S. dan Susie Berindra. “Pemekaran Tak Lagi

Jadi “Obat”Mujarab”, Kompas edisi Rabu 30 Agustus

2006 (Politik & Hukum), Jakarta, 2006.

Yayasan Kemala, Tanah Masih dilangit: penyelesaian

masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di

Indonesia yang tak kunjung tuntas diera reformasi,

2005.

D. PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.

Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian.

Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Penataan Ruang.

Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Makamah Konsitusi.

Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang

pemekaran Pasaman.

Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang

Penyelesaian Konflik.

256

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006

tentang Pedoman Penegasan batas Daerah. 3 tahun 2013

Tentang Penanganan Konflik Sosial.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1991 tentang

Pembentukan, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun

2007 tentang Tata Cara pembentukan, penghapusan dan

pengabungan Daerah.

E. MEDIA

Kompas, Kekerasan Selalu Menghantui Masyarakat,

September tahun 2010.

Kompas, Di mana-mana terjadi Konflik Horizontal, April

tahun 2013.

257

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Beberapa tahun belakangan ini kita selalu disibukkan

oleh isu konflik yang banyak terjadi di dalam

masyarakat. Diera pemilihan anggota DPR,DPD, DPRD

TK I.II. dan PILPRES semenjak tahun 2004. Baik media

cetak maupun elektronik selalu memberikan informasi

dan siaran konflik atau perpecahan yang terjadi di

daerah yang sedang merayakan PILKADA, anatar

pendukung yang pro dan kontra terhadap salah satu

paslon, begitu juga yang bisa diakibatkan oleh

pemekaran wilayah atau masalah perbatasan,

Pengusuran yang dilakukan oleh pihak yang punya

kepentingan. Tidak lain ini hanya semuanya

berhubungan dengan masalah isi perut atau ekonomi

yang carut marut.

Konflik tidak hanya terjadi dalam masyarakat klas

bawah tapi juga terjadi dikelas atas, baik antar

diparlemen (DPR) satu partai dengan partai lainya.

Konflik dan Perpecahan juga terjadi dibelahan dunia

seperti di timur tengah, dan juga di ASIA yang dapat

menimbulkan korban Jiwa dan Harta benda. Konflik

selalu membawa keburukan bagi semua masyarakat.

Tetapi dibalik konflik tersebut ada yang kita

ambil/manfaatnya.

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

258

TENTANG PENULIS

Dr. Alfitra. SH. MH. Lahir di Air Bangis

kabupaten Pasaman Barat yang terletak di ujung

Sumatra Barat perbatasan dengan Samudra Hindia. SD-

SMP diselesaikan di kampung Halaman. SMU, Taman

Siswa kota Padang, S1. Ilmu Hukum UNIV BUNG

HATTA Padang, S2 Ilmu Hukum UMJ. Dan S3 Ilmu

Hukum di Univ. Islam Bandung. Dosen tetap Di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada Fak. Syariah dan

Hukum, juga mengajar di perguruan tinggi lain UPN,

UNPAM, UBHARA JAYA, dan IBLAM, di samping itu

juga sering memberikan keterangan ahli baik di

Penyidikan, maupun di pengadilan. Mengampu mata

kuliah Hukum Pidana, Acara Pidana, Hukum Pem-

buktian, dan Pidana Khusus Kriminologi. Buku yang

sudah dipublikasikan di antaranya: Hapusnya Hak

Menuntut dan Menjalankan Pidana, Hukum Pembuktian

dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

Indonesia, Modus Operan di Tindak Pidana Khusus

(Korupsi, Traffiking, dan Mony Laundring).