koledokolitiasi

26
Penyakit Saluran Batu Empedu Koledokolitiasi Fakultas Kedokteran UKRIDA Tahun 2014/2015 Jl.Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510 Website : www.ukrida.ac.id Pendahuluan Sistem hepatobilier sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pencernaan sehingga seringkali dihubungkan dengan sistem pencernaan dari suatu makanan. Dalam sistem hepatobilier, terdapat berbagai organ yang terangkai untuk melakukannya sistem pencernaan sebelum masuk ke dalam usus. Organ yang paling utama yaitu hati. Hati mempunyai fungsi sebagai metabolisme ketiga utama nutrien setelah diserap dari saluran cerna, detoksifikasi, menyimpan glikogen dan salah satu diantaranya juga mengekskresikan bilirubin, garam empedu yang merupakantopik khusus pada pembahasan kali ini. Hal tersebut merupakan sistem empedu yang melibatkan hati, kantung empedu dan saluran-saluran terkaitnya. Saluran-saluran ini yang terdiri dari duktus hepatikus, duktus sistikus dan duktus koledokus ini dalam bidang 1

Upload: dewi-suryanti

Post on 16-Dec-2015

11 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Penyakit Saluran Batu Empedu KoledokolitiasiFakultas Kedokteran UKRIDA Tahun 2014/2015

Jl.Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510

Website : www.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Sistem hepatobilier sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pencernaan sehingga seringkali dihubungkan dengan sistem pencernaan dari suatu makanan. Dalam sistem hepatobilier, terdapat berbagai organ yang terangkai untuk melakukannya sistem pencernaan sebelum masuk ke dalam usus. Organ yang paling utama yaitu hati. Hati mempunyai fungsi sebagai metabolisme ketiga utama nutrien setelah diserap dari saluran cerna, detoksifikasi, menyimpan glikogen dan salah satu diantaranya juga mengekskresikan bilirubin, garam empedu yang merupakantopik khusus pada pembahasan kali ini. Hal tersebut merupakan sistem empedu yang melibatkan hati, kantung empedu dan saluran-saluran terkaitnya.

Saluran-saluran ini yang terdiri dari duktus hepatikus, duktus sistikus dan duktus koledokus ini dalam bidang kesehatan juga menimbulkan masalah terjadinya sumbatan pada daerah tersebut, pada umumnya penyumbatan terjadi lebih sering disebabkan oleh batu empedu tidak menimbulkan gejala namun apabila menyumbat saluran akan menimbulkan gejala.

Selanjutnya akan dibahas lebih dalam lagi mengenai koledokolithiasis sebagai salah satu penyakit yang menyumbat saluran empedu dan juga penyakit yang serupa dengan penyakit tersebut. Selain itu juga akan dibahas mengenai mekanisme terjadinya sumbatan, gejalanya serta juga bagaimana tatalaksana yang akan dilakukan untuk menanganinya.

Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Berdasarkan anamnesis yang baik, seorang dokter biasanya akan menanyakan identitas dan keadaan pasien meliputi:2 Nama lengkap, jenis kelamin, umur, tempat tanggal lahir, alamat tempat tinggal, status perkawinan, pekerjaan, suku bangsa, agama, pendidikan1.

Keluhan utama adalah gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. . Riwayat penyakit sekarang adalah penyakit yang bermula pada saat pertama kali penderita merasakan keluhan itu. Pada pasien yang mengalami gangguan pada hepar dan saluran empedu dimana ditemukan BAK seperti teh pekat, maka anamnesis yang harus diajukan, antara lain:1. Gejala yang dirasakan oleh pasien seperti nyeri (sejak kapan, lokasina, menjalar atau tidak,onset nyeri), mual atau muntah (frekuensinya, warna muntahan, disretai darah atau tidak, jumblah muntahan, terasa asam atau tidak, disreta nyeri atau tidak), disertai demam atau tidak dan sebagainya.

2. Apa pernah mengalami kelusan seperti inii sebelumnya

3. Apa dikeluarga ada yang seperti ini juga

4. Sudah minum obat apa belum? Bagaimana hasilnay?

5. Kebiasaan makan sehari-hari (suka makan yang berlemak-lemak atau tidak)

6. Punya kebiasan minum alkohol atau merokok? (minumnya sering atau jarang, berapa banyak alkohol yang dikonsumsi).

Selain menanyakan hal-hal tersebut, hal penting yang tidak boleh untuk dilewatkan dalam menganamnesis pasien adalah menanyakan lamanya menhgalami gejala. Karena jika pasien telah mengalami gejala dalam waktu yang sangat lama maka jika tidak segera di tangani dapat berakibat fatal. Akan tetapi jika dengan cepat di tangani maka kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien akan berkurang dan prognosisnya akan semakin baik2.

Pemeriksaan fisik

Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan umum pasien. Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat kesadaran, serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.2

Pemeriksaan penunjang

Pmeriksaan darah lengkap, darah rutin, pemeriksaan lab dengan CT-Scen, USG, Ultrasonografi, cholycitogram, foto abdomen.Hasil pemeriksaan

PF: sakit berat, CM, TTV. Suhu 380. Inspeksi: mata seklera ikterik, kulit kuning (+), nyeri tekan abdomen di regio hipokondrium dextra. Murphi sigh (-).PP: DR leukosit 15000, bilirubin total 4 mg/dl, alkalifosfatase 115 u/dl, GGT 54 u/l, ALT 120 , AST 130.

Work diagnosis: koledokolitiasisDiferential diagnosis: kolagitis seklerotika, abses hati, keganasan4Kolesistitis Akut

Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan batu empedu di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara barat.5

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90 %) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolestrol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes melitus.6

Keluhan agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung samapai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai denga gangren atau perforasi kandung empedu. Pada kepustakaan barat sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di negara kita. Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal (tanda Murphy). Ikterus dijumpai pada 20% kasus. Umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empyema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan.7Abses Hati

Abses hati merupakan infeksi hati yand disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, jamur yang berasal dari sistem gastrointestinal dan bilier yang ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi dan sel darah dalam parenkim hati.5

Abses hati lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita, dan hubungan dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah dan gizi buruk. Pada negara-negara berkembang, Abses Hati Amubik (AHA) didapatkan secara endemik dan lebih sering dibandingkan dengan Abses Hati Piogenik (AHP). AHP tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi higiene yang kurang baik.51. Abses Hati Amubik (AHA)

Pria : Wanita berkisar 3 : 1 sampai 22 : 1

Usia berkisar antara 20 50 tahun, terutama di dewasa muda jarang pada anak- anak

Penularan melalui oral-anal-fekal ataupun melalui vektor (lalat dan lipas)

Individu yang mudah terinfeksi adalah penduduk di daerah endemis, wisatawan ke daerah endemis atau para homoseksual.

2. Abses Hati Piogenik (AHP)

Dahulu sering terjadi melalui infeksi porta, sekarang lebih sering sebagai komplikasi obstruksi saluran empedu

Insidens meningkat pada kelompok usia lanjut, juga yang mendapat imunosupresan atau kemoterapi

Pria : Wanita berkisar 2 : 1

Usia berkisar 40 60 tahun.5.6AHA merupakan salah satu komplikasi amubiasis ekstraintestina, paling sering terjadi di daerah tropis/subtropis. AHA lebih sering terjadi endemik di negara berkembang dibanding AHP. AHA terutama disebabkan oleh Entamoeba histolytica.

AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi kurang. Etiologi AHP terbanyak adalah Entamoeba coli. Peningkatan insidens AHP dewasa ini lebih banyak akibat komplikasi dari sistem biliaris yang berhubungan dengan makin tingginya angka harapan hidup, yang membuat makin banyak orang lanjut usia terkena penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk/tumpul dan kriptogenik.

Cara penularan abses hati amubik umumnya fekal-oral baik melalui makanan atau minuman yang tercemar kista atau transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Sesudah masuk per oral hanya bentuk kista yang bisa sampai ke dalam intestine tanpa dirusak oleh asam lambung, kemudia kista pecah, keluar trofozoid. Di dalam usus trofozoit menyebabkan terjadinya ulkus pada mukosa akibat enzim proteolitik yang dimilikinya dan bisa terbawa aliran darah portal masuk ke hati. Amuba kemudia tersangkut menyumbat venul porta intrahepatik, terjadi infark hepatosit sedangkan enzim-enzim proteolitik tadi mencerna sel parenkim hati sehingga terbentuklah abses. Di daerah sentralnya terjadi pencairan yang berwarna coklat kemerahan (anchovy sauce) yang terdiri dari jaringan hati yang nekrotik dan bergenerasi. Amubanya seperti ditemukan pada dinding abses dan sangat jarang ditemukan di dalam cairan di bagian sentral abses. Kira-kira 25% abses hati amubik mengalami infeksi sekunder sehingga cairan absesnya menjadi purulen dan berbau busuk.

Gejala klinik AHP biasanya lebih berat daripada AHA. Sindrom klinis klasik abses hati berupa nyeri perut kanan atas, ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan dua tangan di taruh diatasnya, demam tinggi, dan dapat terjadi syok. Manifestasi utama AHP adalah demam, nyeri, dan menggigil. Sedangkan manifestasi AHA adalah demam, nyeri, dan anoreksia.

Apabila abses letaknya dekat diafragma, akan timbul iritasi diafragma sehingga nyeri bahu kanan, batuk, dan atelektasis (terutama akibat AHA). Gejala lain seperti mual, muntah, anoreksia, berat badan turun, badan lemah, ikterus, feses seperti kapur, dan urin berwarna gelap.

Kolangitis Sklerotikans

Kolangitis Sklerotikans adalah penyakit yang ditandai dengan peradangan pada saluran empedu yang menyebabkan fibrosis dan striktur saluran empedu.

Gejala klinisnya Kolangitis Sklerotikans bermanifestasi sebagai ikterus obstruktif yang progresif, sering disertai dengan kelelahan, pruritus, anoreksia, dan gangguan pencernaan. Pasien dapat didiagnosis dalam fase presimptomatik karena terjadi peningkatan alkaline fosfatase.

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) dianggap sebagai kriteria standar untuk mengkonfirmasikan diagnosis primary sclerosing cholangitis. Temuan ERCP termasuk beberapa striktura dan dilatasi dari saluran-saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik.

Hepatoma

Kanker hati (Hepatocellular carcinoma, HCC), disebut juga hepatoma, adalah suatu kanker yang timbul primer dari hati. Hepatoma primer secara histologis dibagi menjadi 3, yaitu:

Karsinoma hepatoselular, hepatoma primer yang berasal dari sel histiosit. In merupakan karsinoma yang tersering dan terbesar (80%)

Karsinoma kolangioseluler, hepatoma primer yang berasal dari epitel saluran empedu intrahepatik

Angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel mesenkim

Sirosis hati merupakan faktor resiko utama dari hepatoma. Prediktor utama adalah gender laki-laki, peningkatan AFP serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi hati.

Faktor resiko lainnya : hepatitis virus B, hepatitis virus C, penyakit hati alkohol, aflatoksin, diabetes mellitus, obesitas dan NASH (NonAlcoholic Steato-Hepatitis). Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk NAFLD (NonAlcoholic Fatty Liver disease), khususnya NASH yang dapat berkembang menjadi Sirosis Hati dan Hepatoma. Aflatoksin B1, adalah mitotoksin yang diproduksi jamur Aspergillus, bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 dapat tumbuh pada biji-bijian yang disimpan di tempat yang panas, lembab. Diabetes Mellitus merupakan faktor resiko untuk terjadinya NASH, selanjutnya NASH dapat berkembang menjadi Hepatoma melalui Sirosis Hati. Pada DM juga terjadi hiperinsulinemia dan insulin like growth factors yang merupakan faktor promotif potensial untuk terjadinya kanker. Peminum berat alkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) beresiko mendapatkan sirosis hati alkoholik yang selanjutnya dapat berkembang menjadi Hepatoma.

Mekanisme karsinogenesis hepatoma belum sepenuhnya diketahui, apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan perputaran sel hati yang diinduksi oleh cedera dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan kromosom aktivasi oksigen selular atau inaktivasi gen suppresor tumor, yang mungkin bersama dengan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alkohol, dan penyakit hati metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa1, mungkin menjalankan perananya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Aflatoksin dapat menginduksi mutasi dari pada gen suppresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga berperan pada tingkat molekular untuk berlangsungnya proses hepatokarsinogenesis.

Etiologi

Penyebab koledokolitiasis sama seperti kolestasis. Batu pada koledokolitiasis dapat berasal dari kandung empedu yang bermigrasi dan menyumbat di duktus koledokus, atau dapat juga berasal dari pembentukan batu di duktus koledokus sendiri.

Kolelitiasis sendiri merupakan penyakit batu empedu juga dimana terdapat batu empedu di dalam kandung empedu yang memiliki ukuran, bentuk, dan komposisi yang bervariasi, kolelitiasis lebih sering dijumpai pada 4F yaitu wanita, usia 40 tahun, obese, dan fertil.8

Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain perubahan komposisi empedu (sangat jenuh dengan kolestrol), stasis empedu (akibat gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter oddi), dan infeksi (bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan) kandung empedu.

Epidemiologi

Di negara barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai dengan batu saluran empedu. Di Asia lebih banyak ditemukan batu saluran empedu primer (batu yang dibentuk di saluran empedu). Perbandingan pria : wanita adalah 1 :2, dan banyak terjadi pada usia 40-an.

Di Amerika Serikat, insidens kasus batu empedu pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria (2,5 : 1), dan terjadi peningkatan seiring dengan bertambahnya umur. Di masyarakat Barat, komposis didapatkan 73% batu pigmen dan 27% batu kolesterol. Faktor resiko terjadinya batu empedu adalah usia, gender wanita, kehamilan, estrogen, obesitas, etnik, sirosis, anemi hemolitik, dan nutrisi parenteral.

Patosiologi

Batu empedu hampir selalu di bentuk dalam kantung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya.

Faktor predisposisi yang penting adalah:

1. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu. kolesterol yang berlebihan mungkin akan mengendap dalam kandung empedu.

2. Statis empedu

Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkn supesaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung mepedu dapat menyebabakan statis. Faktoe hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitandengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupan insiden yang tinggi pada kelompok ini.

3. Infeksi kandung empedu

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskumasi seluler dan pembantukn mukus. Mukus meningkatakan viskositas dan usus seluler sebagai pusat presiptasi. Infeks lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukanbatu7.Perjalanan Batu

Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik. Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.

Gejala klinias

Gejala klinisperjalannan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan tibulnya ikterus obstruktif yang nyata.gejala koledokolitiasis mirip seperti kolelitiasis sepeti billier, mual dan muntah, namun pada koledokolitiasis disertai ikterus, BAK kuning pekat dan BAB berwarna dempul6.Gejala akutGejala kronik

Tanda:

Epigastrium kanan tersa nyeri dan spaseme. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kuadran kanan atas. Kandung empedu membesar dan nyeri. Ikterus ringanGejala:

Rasa nyeri (kolik empedu) yang menetap.

Mual dan muntah

Febris (38,50c)Tanda:Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen. Kadang terdat nyeri dikuadran kanan atas.

Gejala:

Rasa nyeri (kolik empedu, tempat: abdomen bagian atas (mid epigastrium), sifat : terpusat di epigastrium menyebar kearah skapula kanan. Nausea dan muntah. Intoleransi dengan makanan berlemak.

Faltulensi

Eruktasi (bersendawa)

Penatalaksanaan

Konservatif1. Lisis batu dengan obat-obatan

Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.

2. Disolusi kontak

Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi.

3. Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat. ESWL juga diindikasikan apabila batu empedu terdapat pada saluran yang sempit.

4. Stent Bilier Perendoskopik

Pemasangan Stent Bilier ini dipasang di sepanjang batu yang terjepit. Pemasangan bisa secara langsung di dalam saluran empedu sepanjang batu yang besar atau terjepit yang sulit dihancurkan dengan tujuan drainase empedu. Stent Bilier ini diindikasikan untuk penatalaksanaan selanjutnya apabila usaha pemecahan batu yang lain gagal.75. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Merupakan tindakan terapi paling baik untuk saat ini untuk menangani kasus batu saluran empedu. ERCP adalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke duodenum. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter Oddi.

Penanganan operatif1. Open kolesistektomi

Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.

2. Kolesistektomi laparoskopik

Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.7Pencegahan

Sedikit yang menunjukkan bahwa komposisi makanan dapat mempengaruhi riwayat penyakit batu empedu pada manusia. Pasien obesitas yang mengikuti program penurunan berat badan cepat atau melakukan pembedahan bariatric beresiko menderita batu empedu. Pencegahan jangka pendek dengan Ursodeoxycholic acid pada pasien yang kehilangan berat badan secara cepat dan juga Olahraga teratur mungkin dapat mengurangi kejadian koledokolitiasis.

Komplikasi

Pada penyakit batu empedu terdapat hubungan etiologi antara kolelitiasis ( batu kandung empedu ) dengan koledokolitiasis ( batu saluran empedu ). Bahkan bila ditemukan batu saluran empedu tidak jarang ditemukan juga batu dikandung empedu, maka komplikasi diantara penyakit batu empedu ini dapat terjadi saling berhubungan. Komplikasi batu empedu sendiri terdiri :

1. Kolesistitis

2. Hydrops vesica fellea

3. Kolangitis akut

4. Pankreatitis akut

Prognosis

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik berupa sirosis sekunder, dan infeksi berat yang terjadi berupa kolangitis akut. Pada kondisi demikian, apabila tidak segera ditangani resiko kematian bagi pasien sangat tinggi.6 Kesimpulan

Koledokolitiasis merupakan salah satu penyakit batu empedu, dimana terdapatnya batu empedu di dalmsaluran empedu yaitu di duktus koledukus komunis. Penyebabnya juga sma seperti kolelitiasis, gejalanya juga mirip ad kolik bilier, mual dan muntah, namun pada koledokolitiasis disertai ikterus, BAK kuning pekat dan BAB berwarna dempul. Koledokolitiasis juga akan menimbulkan ikterus ostruktif.Daftar pustaka1. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes Indonesia; 2004.h.1-4,6,13-5,20,98.2. Welsby PD, Qlintang s. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: ECG, 2009.h.92-102

3. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Volume.2 eidisi: 15. Jakarta: ECG.hal. 1402

4. Ndraha S. Bahan belajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h.191-193

5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FK UI 1990, jakarta, P; 586-588.6. Kepanitraan klinik ilmu bedah rumah sakit umum pusat fatma wati priode 30 maret- 6 juni 2009 fakultas kedokteran unifersitas trisakti. Jakarta

7. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Eidisi ke-3. Jakarta: ECG 2010.h.663-70510