klaten jawa tengah adalah koperasi lpa “pusur lestari...

39
3 secara bertanggung jawab demi keberlanjutan bisnis dan kemajuan sosial. AQUA Lestari memiliki 4 pilar yaitu pelestarian air dan lingkungan, praktek perusahaan ramah lingkungan, pengelolaan distribusi produk, serta pelibatan dan pemberdayaan masyarakat melalui program pengembangan perekonomian lokal. AQUA Lestari dijalankan di hulu-tengah-hilir wilayah sub Daerah Aliran Sungai (DAS) tempat AQUA beroperasi (www.Aqua.com). Dari konsep Aqua Lestari, munculah beberapa program CSR yang diimplementasikan oleh PT Tirta Investama. Banyak program CSR PT Tirta Investama yang telah mencapai keberhasilan dalam penerapannya. Hal tersebut tentu saja memberi pengaruh yang positif bagi perusahaan. Salah satu program besar CSR Aqua Danone yang telah mencapai keberhasilan adalah “Satu untuk sepuluh”. Program ini telah mendapat penghargaan MDGs(Millenium Development Goals) dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Selain itu program ini juga memperoleh penghargaan dari Metro TV kategori pelestarian lingkungan (Enviromental sustainibility). Salah satu program CSR yang diusung Aqua Danone di area produksi Klaten Jawa Tengah adalah koperasi LPA “Pusur Lestari” yang diresmikan pada tanggal 23 Oktober 2012. AQUA Grup, penyedia air minum dalam kemasan di Indonesia meluncurkan Koperasi Layanan Pengembangan Agribisnis (LPA) Pusur Lestari yang berada di kawasan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur untuk memfasilitasi masyarakat, khususnya petani sehingga tercipta kemandirian (Kedaulatan Rakyat, 23 Oktober 2012). Dalam perkembangan implementasi CSR, saat ini banyak perusahaan yang bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perusahaan hanya memberikan sebuah ide program, kemudian dijalankan oleh sebuah LSM. Hal ini seperti dilakukan oleh Aqua Danone. Dalam berbagai implementasinya, Aqua Danone melibatkan beberapa LSM untuk melaksanakan program CSR nya. Salah satunya adalah program CSR Koperasi Lembaga Pengembangan Agribisnis Pusur Lestari atau dikenal dengan nama Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Dalam mengimplementasikan program tersebut, PT Tirta Investama bekerja sama dengan LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program. Dalam hal

Upload: vuongnhu

Post on 20-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

secara bertanggung jawab demi keberlanjutan bisnis dan kemajuan sosial. AQUA

Lestari memiliki 4 pilar yaitu pelestarian air dan lingkungan, praktek perusahaan

ramah lingkungan, pengelolaan distribusi produk, serta pelibatan dan

pemberdayaan masyarakat melalui program pengembangan perekonomian lokal.

AQUA Lestari dijalankan di hulu-tengah-hilir wilayah sub Daerah Aliran Sungai

(DAS) tempat AQUA beroperasi (www.Aqua.com).

Dari konsep Aqua Lestari, munculah beberapa program CSR yang

diimplementasikan oleh PT Tirta Investama. Banyak program CSR PT Tirta

Investama yang telah mencapai keberhasilan dalam penerapannya. Hal tersebut

tentu saja memberi pengaruh yang positif bagi perusahaan. Salah satu program

besar CSR Aqua Danone yang telah mencapai keberhasilan adalah “Satu untuk

sepuluh”. Program ini telah mendapat penghargaan MDGs(Millenium

Development Goals) dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Selain itu program ini juga

memperoleh penghargaan dari Metro TV kategori pelestarian lingkungan

(Enviromental sustainibility).

Salah satu program CSR yang diusung Aqua Danone di area produksi

Klaten Jawa Tengah adalah koperasi LPA “Pusur Lestari” yang diresmikan pada

tanggal 23 Oktober 2012. AQUA Grup, penyedia air minum dalam kemasan di

Indonesia meluncurkan Koperasi Layanan Pengembangan Agribisnis (LPA) Pusur

Lestari yang berada di kawasan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur untuk

memfasilitasi masyarakat, khususnya petani sehingga tercipta kemandirian

(Kedaulatan Rakyat, 23 Oktober 2012).

Dalam perkembangan implementasi CSR, saat ini banyak perusahaan yang

bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perusahaan hanya

memberikan sebuah ide program, kemudian dijalankan oleh sebuah LSM. Hal ini

seperti dilakukan oleh Aqua Danone. Dalam berbagai implementasinya, Aqua

Danone melibatkan beberapa LSM untuk melaksanakan program CSR nya. Salah

satunya adalah program CSR Koperasi Lembaga Pengembangan Agribisnis Pusur

Lestari atau dikenal dengan nama Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Dalam

mengimplementasikan program tersebut, PT Tirta Investama bekerja sama dengan

LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program. Dalam hal

4

ini LSM berperan sebagai pelaksana, pendamping dan sekaligus pembimbing.

Keterlibatan LSM dalam program ini diharapkan mampu memberikan

keseimbangan antara tanggung jawab sosial perusahaan berada dalam sebuah

lingkungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat berada dalam sebuah

lingkungan perusahaan.

Dalam konteks ini, pendampingan diartikan sebagai pelaksana dan

pengontrol program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” hingga tujuan dari

program ini dapat tercapai. Untuk menjadi sebuah Koperasi “LPA Pusur Lestari”

tidak bisa dilakukan dengan mudah dan instan. Maka dari itu, pendampingan ini

dilakukan sebagi proses menuju koperasi yang diharapkan oleh semua stakeholder

PT Tirta Investama.

Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian berkaitan dengan peran

pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam

mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai

bentuk tanggung jawab sosial PT Tirta Investama terhadap masyarakat. Selain itu,

implementasi program yang didampingi oleh LSM Bina Swadaya Konsultan yang

menjadi mitra perusahaan juga menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti.

Judul penelitian yang akan diteliti adalah “Studi Deskriptif Pendampingan

Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam

Mengimplementasikan Program Corporate Social Responsibility PT Tirta

Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai Upaya Pemberdayaan

Petani Daerah Aliran Sungai Pusur Klaten-Boyolali”.

Dari penelitian ini, peneliti berharap mampu melihat secara jelas peran

LSM Bina Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT

Tirta Investama berupa Koperasi “LPA Pusur Lestari” sehingga masyarakat

mampu diberdayakan sesuai tujuan program. Setelah itu, peneliti akan memberi

kesimpulan yang ditambah dengan kritik dan saran terhadap implementasi

program CSR PT Tirta Investama.

5

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya

Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama

melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS

Pusur Klaten-Boyolali?

C. Tujuan Penelitian

Untuk melihat peran pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat Bina

Swadaya Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR PT Tirta

Investama melalui Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan

petani DAS Pusur Klaten Boyolali.

D. Manfaat Penelitian

D.1. Manfaat akademis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam

pengembangan Ilmu Komunikasi terutama dalam bidang Humas serta

memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah peranan kerja Humas

pada sub divisi bina lingkungan dalam mengimplementasikan program CSR

sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan.

Maka dari itu, penelitian mengenai Implementasi CSR diperlukan untuk

memperkuat teori dan konsep perkembangan CSR di Indonesia. Sampai saat ini

telah dilakukan beberapa penelitian berkaitan dengan Implementasi CSR, antara

lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Mukhammad Faizal Syaroni pada

tahun 2011.

Penelitian ini berjudul “Implementasi CSR PT Indonesia Power UBP

Suralaya dalam Program Community Assistance” . Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui proses implementsi program yang meliputi tahap persiapan,

pengkajian, implementasi program, dan evaluasi program. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik

pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan

6

penelitian ini menunjukkan bahwa tahap persiapan sangat penting dengan

pemilihan petugas dan tempat, dalam langkah untuk pelaksanaan program

poliklinik desa (POLIDES), sehingga humas selaku pelaksana program dalam

pengkajian dan perencanaan lebih mudah menentukan apa yang harus dilakukan.

Setelah diperoleh apa yang dibutuhkan barulah implementasi program dijalankan

di masyarakat dan mengetahui partisispasi masyarakat dalam program tersebut.

Setelah itu tahap terakhir yaitu evaluasi yang dilakukan oleh pihak dokter dan

humas, tuuannya mengetahui jenis penyakit dan tingkat kesadaran masyarakat

sekitar desa Suralaya, Desa Sangiran, dan desa Lebakgede.

D.2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan secara praktis sebagai acuan

oleh PT Tirta Investama dalam mengimplementasikan program CSR di area

produksi yang berbeda dengan latar belakang masalah yang sama. Selain itu,

hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan-

perusahaan lain dalam mengimplementasikan program CSR. Secara konkrit

penelitian ini juga mampu diterapkan sebagai acuan bagi Lembaga Swadya

Masyarakat dalam melakukan pendampingan terhadap program CSR agar tepat

sasaran, adil, dan berimbang sehingga tujuan program dapat tercapai.

E. Kerangka Pemikiran

E.1 Komunikasi dalam Hubungan Masyarakat

Proses komunikasi pada prinsipnya meliputi pengiriman dan penerimaan

pesan-pesan di antara dua orang, kelompok kecil masyarakat, atau dalam satu

lingkungan atau lebih dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku dalam suatu

masyarakat. Dengan bahasa yang lebih sederhana, proses komunikasi dapat

diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan-pesan (messages) dari

pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai

komunikan, dalam proses komunikasi tersebut bertujuan (feedback) untuk

mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak(Ruslan,

7

1999 : 69).

Jefkins mendefinisikan “Public Relations adalah sesuatu yang merangkum

seluruh komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun keluar,

antara sesuatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka

mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling

pengertian.” (Jefkins, 1999:9)

Pengertian lain tentang public relations adalah suatu rangkaian kegiatan

yang diorganisasikan sebagai suatu rangkaian kampanye atau program terpadu,

dan semuanya itu berlangsung secara berkesinambungan dan teratur, jadi Public

Relations sama sekali bukanlah kegiatan yang sifatnya sembarangan atau

dadakan. Public Relations juga memiliki tujuan utama untuk memastikan bahwa

organisasi tersebut senantiasa dimengerti oleh pihak-pihak lain yang turut

berkepentingan atau publiknya (Jefkins, 1998:17).

Public relations senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan

pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut

diharapkan akan muncul suatu dampak, yakni berupa perubahan yang positif.

Proses komunikasi public relations mempunyai tujuan untuk kelangsungan

hidup perusahaan berada pada sebuah lingkungan. Komunikasi yang baik bisa

dilakukan dengan rencana dan implementasi yang baik, sehingga seorang

praktisi public relations mampu menjalankan perannya dengan

baik.Komunikasi dalam public relations merupakan peran adanya interaksi

antara perusahaan dengan lingkungan masyarakat.

Rosady Ruslan (2006:21) membagi peran Public Relations bersifat dua

arah, yaitu membina hubungan ke dalam (publik internal) dan membina

hubungan ke luar (publik eksternal). Beberapa kegiatan dan sasaran Public

Relations sebagai pendukung fungsi manajemen perusahaan yaitu :

a. Building corporate identity dan image (membangun identitas dan citra

perusahaan) sebagai pendukung manajemen perusahaan, Public Relations

memiliki sasaran yaitu dengan menciptakan identitas dan citra

perusahaan yang positif serta mendukung kegiatan komunikasi timbal

balik dua arah dengan berbagai pihak.

b. Facing crisis (menghadapi krisis). Menghadapi krisis merupakan bagian

8

dari kehidupan Public Relations yaitu dengan menangani komplain,

membentuk manajemen krisis dan Public Relatios recovery image, serta

memperbaiki image.

Mengutip definisi Public Relations dari Scott Cutlip dan Allan Center,

definisi Public Relations adalah upaya terencana guna mempengaruhi opini

publik melalui karakter yang baik dan kinerja yang bertanggung jawab, yang

didasarkan pada komunikasi dua arah yang memuaskan kedua belah pihak

(Iriantara, 2005:9). Komunikasi yang dijalankan oleh public relations

merupakan komunikasi yang bersifat timbal balik (two way communications)

sebab tujuan dari public relations adalah menciptakan dan meningkatkan

citra yang baik dari organisasi kepada publik-publik yang berkepentingan

(Yulianita, 2005:41).

E.2 Corporate Social Responsibility dalam Praktek Public Realtions

Menurut Robin dan Coulter (1999:138) terdapat dua pandangan mengenai

Corporate Social Responsibility, yaitu pandangan klasik dan pandangan sosial

ekonomi. Pandangan klasik melihat CSR merupakan tanggung jawab manajemen

untuk menghasilkan keuntungan atau laba secara maksimal. Ini didasarkan pada

pemahaman bahwa setiap tindakan perusahaan pada dasarnya bertujuan untuk

mendapat keuntungan.

Sementara itu pandangan sosial ekonomi memulai asumsi bahwa

perusahaan bukanlah suatu badan yang mandiri dan hanya bertanggung jawab

kepada pemegang saham, namun juga memiliki tanggung jawab kepada

masyarakat luas. Oleh karena itu, memaksimalkan laba bukanlah prioritas utama,

kelangsungan hidup perusahaanlah yang menjadi prioritas utamanya. Ini berarti

bahwa tanggungjawab perusahaan melampaui dari sekedar memperoleh laba

namun mencakup, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu perwujudan dari tanggung jawab sosial ini adalah terbentuknya

Corporate Social Responsibility.

9

Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi

masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya

dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk

mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai

kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses

pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di

antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.

Menurut Wibisono (2007:121-124) terdapat empat tahap penerapan CSR

yaitu tahap perencanaan, tahap implementasi, tahap evaluasi dan tahap pelaporan.

Dalam implementasi CSR, public relations mempunyai peran penting baik secara

internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di

semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan Public Relations terlibat di

dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi,

ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan Public Relations

sebuah perusahaan. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan Public Relations,

maka langkah-langkah dalam proses Public Relations mewarnai langkah-langkah

CSR.

Banyak perusahaan menjalankan program CSR mereka melalui Public

Relations atau departemen komunikasi mereka, sehingga memungkinkan kritikus

CSR untuk berpendapat bahwa jika program yang dijalankan oleh departemen

Public Relations, maka program itu dilakukan untuk tujuan dan maksud

menghadirkan penampilan yang baik bagi perusahaan.

Apabila sebuah perusahaan serius menjalankan program CSR dan

menjalankannya di bawah divisi Public Relations, maka Public Relations akan

mampu memberikan masukan strategis bagi perusahaan yang pada dasarnya

memang menjadi perannya. Dalam skenario ini, Public Relations akan

menyediakan informasi dan umpan balik dari perusahaan terhadap publik

eksternal yang terlibat, serta merancang strategi bagaimana pusat menanggapi

publik eksternal tersebut. Dengan cara ini, Public Relations dapat bertindak

berdasarkan suara hati perusahaan, tidak hanya atas nama mereka, namun dengan

dasar kepentingan seluruh komunitas.

10

E.3. Dasar Pemahaman Corporate Social Responsibility bagi Perusahaan

Dalam jurnal yang ditulis oleh T.Romy Marnelly (2012:53), pemahaman

tentang CSR pada umumnya berkisar pada tiga hal pokok, yaitu CSR adalah

pertama, suatu peran yang sifatnya sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan

membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan, oleh karena itu perusahaan

memiliki kehendak bebas untuk melakukan atau tidak melakukan peran ini.

Kedua, disamping sebagai institusi profit, perusahaan menyisihkan sebagian

keuntungannya untuk kedermawanan (filantropi) yang tujuannya untuk

memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan

eksploitasi. Ketiga, CSR sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan untuk

peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan lingkungan yang terus

meningkat.

Pemahaman CSR selanjutnya didasarkan oleh pemikiran bahwa bukan

hanya pemerintah melalui penetapan kebijakan public (public policy), tetapi juga

perusahaan harus bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial. Bisnis

didorong untuk mengambil pendekatan pro aktif terhadap pembangunan

berkelanjutan. Konsep CSR juga dilandasi oleh argumentasi moral. Tidak ada satu

perusahaan pun yang hidup di dalam suatu ruang hampa dan hidup terisolasi.

Perusahaan hidup di dalam dan bersama suatu lingkungan. Perusahaan dapat

hidup dan dapat tumbuh berkat masyarakat dimana perusahaan itu hidup,

menyediakan berbagai infrastruktur umum bagi kehidupan perusahaan tersebut,

antara lain dalam bentuk jalan, transportasi, listrik, pemadaman kebakaran, hukum

dan penegakannya oleh para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim).

Pola atau bentuk CSR juga berkembang dari yang bentuk charity principle

kepada stewardship principle. Berdasarkan charity principle, kalangan

masyarakat mampu memiliki kewajiban moral untuk memberikan bantuan kepada

kalangan kurang mampu. Jenis bantuan perusahaan ini sangat diperlukan dan

penting khususnya pada masyarakat atau sistem negara yang tidak terdapat sistem

jaminan sosial, jaminan kesehatan bagi orang tua, dan tunjangan bagi penganggur.

11

Sedangkan dalam stewardship principle, korporasi diposisikan sebagai public

trust karena menguasai sumber daya besar yang penggunaannya akan berdampak

secara fundamental bagi masyarakat. Oleh karenanya perusahaan dikenakan

tanggungjawab untuk menggunakan sumber daya tersebut dengan cara-cara yang

baik dan tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham tetapi juga untuk

masyarakat secara umum (Anne, 2005:48).

Gambar.1 Tanggungjawab Korporasi

Sumber: Anne, 2005

Dengan demikian korporasi dewasa ini memiliki berbagai aspek

tanggungjawab. Korporasi harus dapat mengelola tanggungjawab ekonominya

kepada pemegang saham, memenuhi tanggungjawab hukum dengan mematuhi

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertanggungjawab sosial

kepada para stakeholder (pemegang kepentingan).

E.4. Penerapan Corporate Social Responsibility

Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan

beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003:4) setidaknya bisa diidentifikasi

tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas

produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk

memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Tabel di bawah ini

menggambarkan motif tersebut.

12

Motif Keamanan Motif memenuhi kewajiban

kontraktual

Komitmen

Moral

· Program dilakukan

setelah ada tuntutan

masyarakat yang

biasanya diwujudkan

melalui demonstrasi

· Program tidak dilakukan

setelah kontrak

ditandatangani.

Kecendrungannya

program dilakukan ketika

kebebasan masyarakat

sipil semakin besar pasca

desentralisasi

· Pertanggungjawaban program

CSR kepada pemerintah daerah

dan pemerintah pusat.

·

· Wacana CSR

Propaganda

kegiatan

CSR melalui

media massa

Tabel.1 Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR

Sumber : Mulyadi (2003:4)

Pada umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar

memenuhi kewajiban kontraktual, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang

dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa

adanya protes dan kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha

memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai

konsep CSR juga dilandasi pemikiran demikian (UN Global Compact:20). Secara

filantropis perusahaan seharusnya mendistribusikan keuntungan setelah mereka

memanfaatkan resources di lokasi masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban

moral, namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas

wacana dan belum terlihat nyata. Mulyadi (2003:5) membagi stakeholders

berdasarkan kepentingannya.

13

Perusahaan Pemerintah Daerah LSM Masyarakat

· Keamanan

fasilitas produksi

· Kewajiban kontrak

Mendukung

pembangunan

daerah

· Mengontrol

Menjadi mitra kerja

perusahaan

· Penerima

program yang

diberdayakan

Tabel.2 Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan Program CSR

Sumber : Mulyadi (2003:5)

Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan perusahaan,

pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu

menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan,

masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah

lingkungan yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa

perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung

program pembangunan regional yang diimplementasikannya.

Pemerintah yang menjadi penanggungjawab utama dalam

mensejahterakan masyarakat dan melestarikan lingkungan tidak akan

menanggung beban tersebut jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan

partisipasi, salah satunya yang paling potensial adalah dari perusahaan, agar

akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.

Perspektif Institusional mensyaratkan adanya struktur organisasi dan tata

kelola sumber daya manusia yang tepat di bidang CSR.Adanya struktur ini

memungkinkan program CSR dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

pemberdayaan. Selain itu juga terbuka peluang untuk berkolaborasi dengan

institusi lain karena ada sumber daya manusia yang jelas menjadi sarana

komunikasi antar pihak.

Model Institusional/kelembagaan CSR sangat mempengaruhi efektifitas

kinerja. Komitmen manajemen, kemampuan finansial, karakteristik produksi, dan

14

cakupan wilayah merupakan beberapa variabel yang menentukan bentuk model

kelembagaan CSR. Ada beberapa model yang yang dapat menjadi acuan

pengembangan kelembagaan yakni model regional, model sektoral, model

kewilayahan, model dukungan konsultan, dan model kombinasi

(Susetiawan,2012:119).

Model regional adalah bentuk struktur organisasi CSR yang hanya

menempatkan Community Development Officer (CDO) di tingkat regional.Main

Job jabatan terkait dengan CSR ada pada tingkat pusat dan regional.Dalam

konteks perencanaan, model ini lebih banyak menggunakan metode top down.Hal

ini terjadi karena tidak ada CDI di tingkat unit sehingga dukungan informasi

sangat terbatas. Enggagement index antara perusahaan dan masyarakat pada

model ini rendah karena ketidakjelasan pola komunikasi dan pengorganisasian

masyarakat. Implikasi muncul akibat terputusnya struktur organisasi CSR yang

tidak sampai pada tingkat unit.

Model Sektoral adalah struktur organisasi CSR yang disusun berdasarkan

sektor yang menjadi program CSR. Beberapa sektor yang lazim seperti

pendidikan, kesehatan, ekonomi produktif, infrastruktur dan budaya. Penempatan

SDM pada model ini dilakukan berbasis sektoral.Oleh sebab itu, model ini

memiliki SDM yang kompeten dibidangnya.Program-program CSR yang inovatif

dan inspiratif banyak lahir dalam model ini.

Model Kewilayahan adalah struktur organisasi CSR yang disusun

berdasarkan cakupan wilayah kerja. Pada model ini jumlah SDM ditentukan oleh

beberapa desa yang menjadi mitra binaan.Pada umumnya, masing-masing CDO

bertugas mengorganisir masyarakat antara 2-3 desa.Model ini cukup efektif

membangun hubungan positif antara perusahaan dengan masyarakat. Engagement

Index cukup tinggi karena lahir “maskot-maskot” penghubung antara perusahaan

dan masyarakat. Pola perencanaan pada model ini bersifat bottom line. Adanya

CDO yang setiap hari ada di tengah masyarakat memungkinkan pengorganisasian

masyarakat untuk perubahan yang lebih baik.

Model dukungan konsultan adalah struktur organisasi CSR yang

menempatkan kosultan sebagai bagian dalam setiap program CSR. Model ini

15

merupakan modifikasi dari model kewilayahan. Untuk meningkatkan pengetahuan

sektoral, perusahaan bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki

kompetensi perusahaan akan bekerja sama dengan lembaga yang memiliki

keahlian. Semakin banyak program yang dilakukan, maka semakin banyak

lembaga yang akan menjadi mitra.

Struktur Organisasi model kombinasi merupakan modifikasi untuk

meningkatkan keunggulan dan meminimalisir kekurangan masing-masing model,

baik sektoral maupun kewilayahan. Tidak semua perusahaan mampu

mengembangkan struktur model kombinasi. Ada beberapa faktor yang menjadi

pertimbangan yakni kemampuan finasial dan komitmen manajemen. Model

kombinasi ini akan melahirkan program-program CSR yang inovasi. Daya dukung

SDM yang kompeten baik secara substansi maupun kewilayahan sangat

membantu untuk melahirkan social lisence. Model ini layak dikembangkan di

industri migas karena karakteristik industrinya rentan terhadap gangguan sosial.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti melihat model struktur organisasi

yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat.Jadi, ada pihak konsultan yang

mempunyai dukungan dalam implementasi program. Apabila digambarkan, model

struktur organisasi implementasi CSR yang melibatkan konsultan sebagi berikut :

16

Gambar.2 Struktur Organisasi Model Dukungan Konsultan

Sumber : Susetiawan (2012:123)

Model Struktur Organisasi diatas merupakan langkah utama dalam

melakukan implementasi CSR agar bisa berjalan dengan baik. Model diatas

dipilih berdasarkan karakter dan kebutuhan program CSR yang akan

dilaksanakan. Kebutuhan itu bisa digolongkan berdasarkan, tempat, waktu, latar

belakang, dan tujuan program CSR tersebut. Setelah model ditentukan, maka

terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika perusahaan akan melakukan

Lead CSR

CDO Program

CDO Consultant

CDO Wil. 2

Assistant CDO

Consultant

Assistant CDO

Consultant

Assistant CDO

Consultant

CDO Wil. 3 CDO Wil. 1

Administrasi

17

program CSR. Menurut Wibisono (2007:121-124), setidaknya terdapat empat

tahap, diantaranya:

1. Tahap perencanaan

Perencanaan terdapat tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR

Assessment, dan CSR manual building. Awareness building merupakan langkah

awal untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya CSR dan komitmen

manajemen, Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya,

diskusi kelompok, dan lain-lain.

CSR Assessment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan

dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan

langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif

bagi penerapan CSR secara efektif.

Langkah selanjutnya adalah membuat CSR manual. Hasil assessment

merupakan dasar menyusun manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya

yang mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi

atau menggunakan tenaga ahli.

Manual merupakan inti dari perencanaan, karena menjadi panduan atau

petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR

dibuat sebagai acuan, panduan dan pedoman dalam pengelolaan kegiatan sosial

kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan

mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak

seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu,

efektif dan efesien.

2. Tahap Implementasi

Perencanaan sebaik apapun tidak akan berarti dan tidak akan berdampak

apapun bila tidak diimplementasikan dengan baik. Akibatnya tujuan CSR secara

keseluruhan tidak akan tercapai, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat

yang optimal. Padahal anggaran yang telah dikucurkan tidak bisa dibilang kecil.

Oleh karena itu perlu disusun strategi untuk menjalankan rencana yang telah

dirancang.

18

Menurut Nurdin Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Konteks

Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai

implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :

“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya

mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu

kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”(Usman,

2002:70).

Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan

bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang

terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma

tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak

berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.

Dalam memulai implementasi, pada dasarnya terdapat tiga aspek yang

harus disiapkan, yaitu; siapa yang akan menjalankan, apa yang harus dilakukan,

dan bagaimana cara melakukan implementasi beserta alat apa yang diperlukan.

Dalam istilah manajemen populer, aspek tersebut diterjemahkan kedalam:

a. Pengorganisasi, atau sumber daya yang diperlukan

b. Penyusunan (staffing) untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis

tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya.

c. Pengarahan (directing) yang terkait dengan bagaimana cara melakukan

tindakan.

d. Pengawasan atau kontrol terhadap pelaksanaan.

e. Pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana.

f. Penilaian (evaluating) untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan

Tahap impelementasi ini terdidri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi,

pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan

kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait degan

implementasi CSR khususnya mengenai pedoman penerapan CSR. Agar efektif,

upaya ini perlu dilakukan dengan suatu tim atau divisi khusus yang dibentuk

untuk mengelola program CSR, langsung berada dibawah pengawasan salah satu

19

direktur atau CEO. Tujuan utama sosialisasi adalah agar program CSR yang akan

diimplementasikan mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen

perusahaan, sehingga dalam perjalanannya tidak ada kendala serius yang dapat

dialami oleh unit penyelenggara.

Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan

pedoman CSR yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun. Sedangkan

internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya

untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, misalnya

melalui sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi,

pemasaran dan proses bisnis lainnya. Dengan upaya ini dapat dinyatakan bahwa

penerapan CSR bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan,

bukan lagi sebagai upaya untuk pemenuhan (compliance)tetapi sudah lebih dari

sekedar pemenuhan (beyond compliance).

3. Tahap Evaluasi

Setelah program diimplementasikan langkah berikutnya adalah evaluasi

program. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari

waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektifitas penerapan CSR.

Terkadang ada kesan, evaluasi baru dilakukan jika ada program yang gagal.

Sedangkan jika program tersebut berhasil, justru tidak dilakukan evaluasi. Padahal

evaluasi harus tetap dilakukan, baik saat kegiatan tersebut berhasil atau gagal.

Bahkan kegagalan atau keberhasilan baru bisa diketahui setelah program tersebut

dievaluasi.

Evaluasi juga bukan tindakan untuk mencari-cari kesalahan. Evaluasi

dilakukan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan

untuk menghentikan, melanjutkan, memperbaiki atau mengembangkan aspek-

aspek tertentu dari program yang telah diimplementasikan.

4. Pelaporan

Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi baik

untuk keperluan proses pengembalian keputusan maupun keperluan keterbukaan

20

informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk

keperluan shareholder juga untuk stakeholder yang memerlukan.

Pada umumnya, kegiatan dalam program CSR dapat digolongkan menjadi

tiga yaitu Charity/sponsorship, pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan

masyarakat (Susetiawan,2012:142). Idealnya, alokasi program untuk

pemberdayaan masyarakat harus memperoleh porsi besar. Pemberdayaan bisa

dimaknai dengan memberi power kepada yang powerless, yaitu masyarakat

marjinal yang selama ini miskin dan terabaikan dari program-program

pembangunan dan pengembangan masyarakat. Membahas power memang terkait

dengan pemberdayaan.

Namun, rasanya mustahil apabila pemberdayaan bisa tercapai tanpa

adanya bentuk komunikasi yang baik antara pemberdaya dan yang diberdayakan.

Seperti yang telah dibahas pada sub bab komunikasi dalam humas, CSR

merupakan sebuah komunikasi eksternal perusahaan yang disusun oleh praktisi

public relations dalam menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Salah satu hal

yang dibahas dalam penelitian ini adalah pemberdayaan. Oleh karena itu,

komunikasi untuk pemberdayaan tidak sekedar bisa dilakukan. Namun perlu

adanya konsep dan strategi yang akan menunjang keberhasilannya.

E.5. Model Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan Masyarakat

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan

mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang

kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun

demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering di artikan dengan

perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi

kebutuhannya.

Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang

pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan

yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Hanna dan

Robinson (1994), menjelaskan bahwa “pemberdayaan adalah suatu proses pribadi

dan sosial atau suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan

21

kebebasan bertindak”. Sedangkan Ife (1995:61) mengemukakan bahwa

“pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya,

memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya”.

Dalam konteks komunikasi pembangunan, pemberdayaan masyarakat

diterjemahkan sebagai proses untuk menuju suatu perubahan yang bersifat

multidimensi menuju kondisi yang semakin mewujudkan hubungan yang serasi

antara kebutuhan (needs) dan sumber daya (resources) melalui pengembangan

kapasitas masyarakat untuk melakukan proses pembangunan. Komunikasi

pembangunan yang diutamakan adalah kegiatan mendidik dan memotivasi

masyarakat. Tujuan komunikasi adalah untuk menanamkan gagasan-gagasan,

sikap mental dan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh khalayak.

Dalam pengertian yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan

segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-

keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai

pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas, dengan tujuan agar

masyarakat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan

gagasan-gagasan yang disampaikan. Sedangkan dalam arti yang luas, komunikasi

pembangunann meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas

pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam

usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari

proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan (Nasution,

1996:92).

Menurut Rogers dan Adhikarya (dalam Harun dan Ardianto,2012:163-

163) strategi komunikasi pembangunan dapat dirumuskan dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut :

1. Penggunaan pesan yang dirancang khusus (tailord messages) untuk

khalayak yang spesifik. Misalnya, bila hendak menjangkau khalayak

miskin pada perumusan pesan, tingkat bahasa, gaya pengkajian dan

sebagainya, disusun begitu rupa agar dapat dimengerti dan serasi dengan

kondisi mereka.

22

2. Pendekatan ceiling effect yaitu dengan mengkomunikasikan pesan-pesan

yang bagi golongan yang tidak dituju, katakanlah golongan atas,

merupakan “redundansi” (tidak lagi begitu berguna karena sudah

dilampaui mereka) atau kecil manfaatnya, namun tetap berfaedah bagi

golongan khalayak yang hendak dijangkau. Dengan cara ini dimaksudkan,

agar golongan khalayak yang benar-benar berkepentingan tersebut

mempunyai kesempatan untuk mengejar ketertinggalannya, dan dengan

demikian diharapkan dapat mempersempit jarak efek komunikasi.

3. Pendekatan narrow casting atau melokalisasi penyampaian pesan bagi

kepentingan khalayak. Lokaliasasi disini berarti disesuaikannya

penyampaian informasi yang dimaksud dengan situasi kesempatan dimana

khalayak berada.

4. Pemanfaatan saluran tradisisonal, yaitu berbagai bentuk pertunjukan yang

sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan

masyarakat setempat.

5. Pengenalan para pemimpin opini dikalangan lapisan masyarakat yang

berkekurangan (disadvantage), dan meminta bantuan mereka untuk

menolong mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan,

6. Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari

kalangan masyarakat sendiri sebagai petugas lembaga pembangunan yang

beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri.

7. Diciptakan dan dibina cara-cara atau mekanisme bagi keikutsertaan

khalayak, sebagai pelaku-pelaku pembangunan itu sendiri, dalam proses

pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan sampai evaluasinya.

Sebuah proses komunikasi pembangunan tidak akan berhasil apabila

komunikan atau masyarakat tidak memberikan feedback atau imbal balik yang

baik pula. Feedback disini adalah partisipasi. Partisipasi adalah tingkat

keterlibatan anggota sistem sosial dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat

partisipasi anggota sistem sosial dalam pembuatan keputusan berhubungan positif

dengan kepuasan mereka terhadap keputusan inovasi kolektif.

23

Dalam konteks penelitian ini, partisipasi anggota terhadap koperasi dan

partisipasi masyarakat terhadap program yang menjadi tolak ukur keberhasilan

program CSR. Koperasi “LPA Pusur Lestari” merupakan koperasi baru yang

diimplementasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan.

Partisipasi anggota dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menuju koperasi

yang maju. Koperasi tidak mampu berdiri sendiri tang adanya partisipasi dari

anggota. Dalam berbagai hal seperti pengambilan keputusan dibutuhkan peran

anggota untuk menentukan sebuah kebijakan. Ini berarti bahwa semakin tinggi

partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan, semakin besar pula

tingkat kepuasan mereka terhadap keputusan (Rogers dan Shoemaker, dalam

Hanafi, 1986:63-64).

Menurut Sastropoetro (1986:11) partisipasi adalah keikutsertaan, peran serta

atau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaan lahiriahnya. Pengertian ini

menjelaskan peran masyarakat dalam mengambil bagian, atau turut serta

menyumbangkan tenaga dan pikiran ke dalam suatu kegiatan, berupa keterlibatan

ego atau diri sendiri atau pribadi yang lebih daripada sekedar kegiatan fisik

semata. Secara umum, partisipasi dapat di artikan sebagai keterlibatan diri

seseorang dalam suatu kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau

suatu proses identifikasi diri seseorang untuk menjadi peserta dalam kegiatan

bersama dalam situasi sosial tertentu.

Seseorang yang berpartisipasi menurut Allport dalam Sastropoetro (1986 :

12) seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan di dalam

dirinya / egonya, yang sifatnya lebih dari pada keterlibatan dalam pekerjaan atau

tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga, berarti ketrlibatan pikiran dan

perasaanya.

Partisipasi anggota koperasi anggota dipengaruhi oleh kemampuan dan

kemauan anggota untuk berpartisipasi, kemampuan anggota untuk berpartisipasi

dipengaruhi oleh bimbingan atau penyuluhan yang dilakukan koperasi.

Bimbingan atau penyuluhan ini dapat berupa pengetahuan, keterampilan maupun

sikap anggota. Bila anggota sudah memiliki pengetahuan, keterampilan, modal

24

serta sikap positif terhadap koperasi berarti anggota memiliki kemampuan untuk

berpartisipasi.

Kemauan anggota koperasi untuk berpartisipasi merupakan reaksi psikis

dalam diri seseorang manusia, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan

kemampuan dan kesempatan yang ada. Kemauan ini berhubungan dengan aspek

sikap seperti emosi dan perasaan yang dipengaruhi oleh besarnya pelayanan

koperasi, kedekatan tempat tinggal, motivasi anggota koperasi, daya tarik

terhadap kegiatan koperasi, dan hubungan dengan lembaga ekonomi lain.

Keberhasilan koperasi dalam perkembangannya didukung oleh partisipasi

anggota koperasi itu sendiri. Partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat untuk

bergabung dalam wadah koperasi, merupakan inti kekuatan koperasi.

Menurut Soerjono ( 1990: 138) situasi yang merangsang kemauan untuk

melakukan perubahan dan kekuatan itu bersumber dari:

1. Ketidakpuasan terhadap situasi yang ada, karena itu timbulah adanya

keinginan untuk situasi yang lain.

2. Adanya pengetahuan tentang perbedaan antara ada, dan yang seharusnya

bisa ada.

3. Adanya tekanan dari luar seperti kompetisi, keharusan menyesuaikan diri.

4. Kebutuhan dari dalam untuk mencapai efisiensi dan peningkatan, misalnya

produktivitas, dll.

Menurut P. Hasibuan dalam Ninik.W dan Y.W. Sunindhia (2003:118-

121), mengemukakan rumusan syarat-syarat keanggotaan koperasi dengan

beberapa aspek dan tujuannya.

1. Aspek tujuan.

Dengan membayar simpanan pokok dan simpanan wajib secara kontinyu.

2. Aspek anggota.

Anggota koperasi adalah anggota masyarakat golongan ekonomi lemah ,

bukan pemilik modal.

3. Aspek Usaha.

25

Tujuan koperasi untuk memenuhi atau melayani kebutuhan anggotanya,

hubungan usaha koperasi dengan usaha anggotanya. Dengan demikian,

begitu eratnya sehingga pelanggan dan pemilik koperasi pada dasarnya.

Adalah orang yang itu-itu saja.

4. Kewajiban, tanggung jawab dan hak anggota.

Sebagai konsentrasi anggota, maka kekuatan koperasi terletak pada

banyaknya anggota dan kemampuan mereka untuk memikul kewajiban

dan melaksanakan hak sebagai anggota koperasi.

Menurut Ninik dan Panji (2003:111) mengatakan partisipasi anggota dapat

diukur dari kesediaan anggota itu untuk memikul kewajiban dan menjalankan hak

keanggotaan secara bertanggung jawab. Apabila sebagian besar anggota koperasi

sudah menunaikan kewajiban dan melaksanakan hak secara bertanggung jawab,

maka partisipasi anggota koperasi yang bersangkutan sudah dikatakan baik.

Berbagai indikasi yang muncul sebagai ciri-ciri anggota yang berpartisipasi

baik dapatlah dirumuskan sebagai berikut:

1. Melunasi simpanan pokok dan wajib secara tertib dan teratur.

2. Membantu koperasi di samping simpanan pokok dan wajib sesuai

dengan kemampuan masing-masing.

3. Menjadi langganan koperasi yang setia.

4. Menghadiri rapat-rapat dan pertemuan secara aktif.

5. Menggunakan hak untuk mengawasi jalanya usaha koperasi, menurut

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, peraturan lainnya dan keputusan-

keputusan bersama lainnya

Bentuk partisipasi menurut Dr. Arifin Sitio dalam Sastropoetro (1995:56)

ada 8 macam yaitu :

1.) Partisipasi dengan pikiran.

2.) Partisipasi tenaga bersifat swakarsa.

3.) Partisipasi pikiran dan tenaga sama dengan parti-sipasi aktif.

4.) Partisipasi dengan keahlian.

26

5.) Partisipasi dengan barang.

6.) Partisipasi dengan uang.

7.) Partisipasi dengan jasa-jasa.

8.) Partisipasi yang bersifat mobilisasi.

Keberdayaan sebenarnya merupakan suatu proses perubahan yang

dikehendaki. Setidaknya keberdayaan untuk sebuah proses pembangunan pada

umumnya merupakan kehendak masyarakat yang terwujud dalam keputusan-

keputusan yang diambil oleh para pemimpinnya, yang kemudian disusun dalam

suatu perencanaan yang selanjutnya dilaksanakan. Keberdayaan masyarakat

ditandai dengan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam sebuah proses

pembangunan.

Model Komunikasi Pembangunan Menyimak pendapat Freire (1984),

pemberdayaan individu masyarakat dapat dilakukan melalui proses penyadaran

pada mereka terhadap situasi dan kondisi lingkungan, kebutuhan, keinginan, dan

kemampuan. Menurutnya, proses penyadaran tersebut harus dilakukan melalui

proses dialog. Sedangkan proses dialog merupakan proses komunikasi dua arah

yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman dan pengertian yang

membentuk suatu kesadaran. Kesadaran ini akan terjadi pada pihak-pihak yang

berdialog. Pihak-pihak tersebut bisa individu dalam masyarakat maupun individu

pada lembaga pemerintahan. Proses komunikasi tersebut sering disebut sebagai

model komunikasi konvergensi. Dalam konteks pembangunan diIndonesia, model

komunikasi pembangunan dua arah tersebut dapat digambarkan seperti yang dapat

dilihat pada gambar berikut.

27

K

Ket : L = Komunikator

P = Pesan

K/ = Komunikasi

Gambar 3. Komunikasi Pembangunan untuk Pemberdayaan Masyarakat

Sumber: Freire (1984)

Setiap pihak yang terlibat dalam pembangunan selalu dalam proses

komunikasi dua arah dan selalu melakukan dialog dengan pihak lain. Dapat

dikatakan bahwa proses komunikasi merupakan proses peredaran darah dalam

tubuh pembangunan, di mana darah tersebut berupa informasi atau pesan-pesan

pembangunan. Dengan lancarnya proses peredaran darah informasi tersebut,

dalam konteks teori penyadaran, diharapkan akan terwujud kesadaran pada semua

pihak yang terlibat dalam proses komunikasi pembangunan yang sehat, dari

pihak-pihak dalam pemerintahan hingga pihak pihak dalam masyarakat. Kondisi

tersebut akan mengantar kita ke pintu gerbang masyarakat yang sehat, masyarakat

madani yang diharapkan oleh semua individu yang menyadari fitrahnya sebagai

manusia.

Komunikasi pemberdayaan masyarakat merupakan proses komunikasi

yang bertujuan menumbuhkan motivasi dan memberikan kesempatan pada

masyarakat dengan jalan membuka saluran-saluran komunikasi sehingga

masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui pemanfaatan

M

A

S

Y

A

R

A

K

A

T

L

L

P

28

dan peningkatan kemampuan yang mereka miliki dan sekaligus menempatkan

mereka sebagai stakeholder aktif.

Bagan berikut menerangkan bentuk gambaran konsep proses komunikasi

dalam implementasi program CSR PT Tirta Investama melalui koperasi “LPA

Pusur Lestari” terhadap publik (petani). Dari implementasi program tersebut

diharapkan mampu memenuhi harapan yang diinginkan oleh praktisi humas

perusahaan dan masyarakat dengan tercapainya tujuan dari program koperasi

“LPA Pusur Lestari”.

Message / program

Proses Implementasi

Feed back/partisispasi

Gambar 4. Model Komunikasi Implementasi CSR

Program CSR bisa dilakukan oleh departemen humas perusahaan. Namun,

bisa pula difasilitasi oleh LSM sebagai pelaksana dan pendamping. Monitoring,

supervisi dan pendampingan merupakan kunci keberhasilan implementasi

program. Hal tersebut seperti cara yang dilakukan oleh PT Tirta Investama dalam

mengimplementasikan program CSR, dalam hal ini adalah koperasi “LPA Pusur

Lestari”. PT Tirta Investama bermitra dengan LSM sebagai organisasi

pendamping program.

Dalam implementasi program pendampingan sebagai upaya pemberdayaan

tentu terdapat proses komunikasi antara pendamping yaitu LSM Bina Swadaya

Praktisi

PR/team CSR

Consultant/

LSM Koperasi “LPA Pusur

Lestari” Petani DAS Pusur

29

Konsultan dan masyarakat. Hal ini terdapat pada proses pendampingan yang

dilakukan oleh LSM. Komunikasi yang baik akan berdampak pada keberhasilan

program pemberdayaan tersebut. Terdapat beberapa konsep komunikasi yang

mempunyai indikator jumlah pada komunikator maupun komunikannya.

Komunikasi tersebut antara lain komunikasi intrapersonal, komunikasi

interpersonal, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa (Rakhmat, 2012).

Komunikasi Intrapersonal adalah proses pengolahan informasi. Proses ini

melewati empat tahap yaitu sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Proses

pertama dari komunikasi intrapersonal terjadi pada saat sensasi terjadi. Sensasi,

yang berasal dari kata sense yang berarti kemampuan yang dimiliki manusia

untuk mencerap segala hal yang yang diinformasikan oleh panca indera. Informan

yang diserap oleh panca indera disebut stimuli yang kemudian melahirkan proses

sensasi. Dengan demikian sensasi adalah proses menangkap stimuli (Rakhmat,

2012:49).

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara

tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain

secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi interpersonal

ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri,, dua sejawat, dua

sahabat dekat, guru murid dan sebagainya (Mulyana, 2000:73).

Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara

beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan,

konferensi dan sebagainya (Arifin, 1984). Sedangkan Michael Burgon (Dalam

Wiryanto, 2005), mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara

tatap muka antara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti

berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-

anggotanya dapat mengingat karakteristik anggota anggota yang lain secara tepat.

Jadi, berdasarkan dua definisi diatas definisi komunikasi kelompok mempunyai

kesamaan, yaitu adanya komunikasi tatap muka, dan mempunyai susunan acara

kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok.

Sedangkan komunikasi massa menurut Bittner (dalam Rakhmat,

2012:185), adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa kepada

30

banyak (jumlah besar) orang. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan,

dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah banyak dan

menggunakan media.

Konsep diatas menjadi sebuah bentuk dari proses penyampaian pesan.

Melalui beberapa kriteria tersebut pesan disampaikan oleh komunikator kepada

komunikan. Oleh karena itu, konsep diatas menjadi dasar pada proses

pendampingan yang dilakukan oleh LSM Bina Swadaya Konsultan kepada

masyarakat.

F. Metodologi Penelitian

F.1. Metode Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah pendampingan LSM Bina Swadaya

Konsultan dalam mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur

Lestari”. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat untuk diterapkan pada penelitian

ini adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan

berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara,

catatan lapangan, dokumen probadi, catatan, memo, dan dokumen resmi lainnya.

Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin

menggambarkan realita empirik dibalik fenomena secara mendalam, rinci dan

tuntas (Moleong, 2004 :131).

Posisi periset dalam pendekatan kualitatif adalah bagian integral dari data,

artinya periset ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan

demikian, periset menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan.

Oleh karena itu, riset ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan

digeneralisasikan (Kriyantono, 2006:57).

Dalam penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan peran pendampingan

Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam

mengimplementasikan program CSR secara rinci dan tuntas mengenai gambaran

secara menyeluruh objek penelitian dan sesuai keadaan sebenarnya. Objek

penelitian adalah Koperasi “LPA Pusur Lestari”. Koperasi ini merupakan wadah

31

bagi petani untuk mencapai kemandirian dan kemajuan bersama. Maka dari itu

peneliti merasa bahwa metode deskriptif memiliki kapasitas yang tepat untuk

menjabarkan sebuah situasi dan mengidentifikasi masalah penelitian. Metode

deskriptif mempunyai ciri-ciri antara lain :

1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang aktual.

2. Mengumpulkan data, menyususun, menjelaskan, dan menganalisis

data-data tersebut.

Penelitian ini akan mendeskripsikan secara lengkap peran pendampingan

Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Swadaya Konsultan dalam

mengimplementasikan program CSR PT Tirta Investama sebagai upaya

memberdayakan masyarakat petani dari tahap sosialisasi, pelaksanaan hingga

pengawasan/evaluasi.

Hal tersebut merujuk pada pemikiran Jalaludin Rakhmat (1989:37) bahwa

metode penelitian deskriptif merupakan suatu prosedur pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek

suatu penelitian suatu lembaga, masyarakat, dan lain-lain. Penelitian ini akan

menyelidiki peran pendampingan LSM Bina Swadaya Konsultan dalam

mengimplementasikan program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” sehingga

masyarakat mampu untuk diberdayakan. Hal-hal yang akan diselidiki peneliti

meliputi tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,

termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan,sikap-sikap,pandangan

pandangan,serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh

dari suatu fenomena dalam tahapan-tahapan waktu tertentu.

F.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan. Dalam

penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Koperasi “LPA Pusur Lestari” Desa

Tlobong, Delanggu, Klaten. Koperasi “LPA Pusur Lestari” adalah koperasi yang

memfasilitasi petani DAS Pusur Klaten-Boyolali.

32

F.3. Metode Pengumpulan Data

Data merupakan sebuah hal pokok yang menjadi dasar peneliti untuk

memberikan sebuah analisis. Data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data

sekunder.

1. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari

observasi ke lapangan oleh peneliti dan wawancara. Wawancara

ditujukan pada kepala divisi CSR PT Tirta Investama Klaten Jawa

Tengah (Bp. Atiq Zambani), kepala LSM pendamping (Bp. Abu), dan

ketua koperasi “LPA Pusur Lestari” (Bp. Widyatmoko).

2. Data Sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan

berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi,

buku harian, note, sampai dokumen-dokumen resmi dari instansi

pemerintah. Data Sekunder juga dapat berupa majalah, buletin,

publikasi, dari berbagai organisasi, hasil-hasil studi, hasil survei, studi

historis dan sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk

memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah

dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data ini bisa

diperoleh dari koperasi “LPA Pusur Lestari” dan LSM pendamping.

Untuk memperoleh data tersebut diperlukan teknik yang tepat agar data

yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Teknik pengumpulan data

merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian. Hal ini karena tujuan

utama dari penelitian itu sendiri adalah untuk memperoleh data. Dengan

demikian, maka tanpa mengetahui tehnik pengumpulan data, maka peneliti tidak

akan memperoleh data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam sebuah

penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih teknik

dan alat pengumpulan data yang relevan.

Menurut Sutopo (2006: 9), metode pengumpulan data dalam penelitian

kualitatif secara umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang

bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi interview dan

33

observasi berperanserta, sedangkan metode noninteraktif meliputi observasi

takberperanserta, tehnik kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak

berperan. Dalam penelitian ini, peneliti merasa bahwa teknik yang bersifat

interaktif adalah cara yang tepat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Hal ini

dikarenakan peneliti harus melihat fokus penelitian dari penelitian secara

mendalam. Oleh karena itu, teknik observasi dan wawancara merupakan teknik

pengumpulan data yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Berikut

merupakan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian :

1. Pengamatan / Observasi

Menurut Arikunto (2002:145), sebagai metode ilmiah observasi dapat

diartikan sebagai pengamatan, melalui pemusatan perhatian terhadap suatu objek

dengan seluruh alat indera. Jadi observasi merupakan suatu penyelidikan yang

dilakukan secara sistematik dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat

indera terutama mata terhadap kejadian yang berlangsung dan dapat dianalisa

pada waktu kejadian itu terjadi. Dibanding metode survey, metode observasi lebih

objektif. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara

langsung terhadap fenomena yang akan diteliti. Pengamatan dan pemusatan

perhatian terhadap objek dilakukan dengan menggunakan seluruh alat indera.

Jadi, mengobservasi dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran,

peraba, dan pengecap (Arikunto,2002:128).

Dalam konteks penelitian implementasi CSR Koperasi “LPA Pusur

Lestari”, kita dapat memperoleh data obseravasi berupa rekaman, gambar, dan

catatan berkala. Peneliti akan melakukan observasi langsung terhadap

pendampingan LSM terhadap program di lokasi Koperasi “LPA Pusur Lestari”

diimplementasikan. Selain itu, peneliti perlu membuat langkah-langkah dalam

melakukan observasi dengan tujuan agar jalannya observasi sesuai dengan benang

merah dan mampu menyajikan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Berikut

merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam observasi :

34

a. Melakukan pengamatan secara langsung pada koperasi “LPA Pusur

Lestari”.

b. Melakukan pengamatan terhadap aktifitas dan kegiatan program koperasi

“LPA Pusur Lestari” secara periodik.

c. Melakukan pencatatan dan dokumentasi terhadap aktifitas koperasi “LPA

Pusur Lestari”.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dari yang diwawancarai yang memberikan atas informasi atau data.

Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam

wawancara tersebut bisa dilakukan dengan individu maupun dalam kelompok,

sehingga didapat data informatik yang orientik.

Metode interview adalah sebuah dialog atau tanya jawab yang dilakukan

dua orang atau lebih yaitu pewawancara dan terwawancara (nara sumber)

dilakukan secara hadap-hadapan (face to face) (Hanitijo, 1994:57).

Sedangkan interview yang peneliti gunakan adalah jenis interview

pendekatan yang menggunakan petunjuk umum, yaitu mengharuskan

pewawancara membuat kerangka dan garis-garis besar atau pokok-pokok yang

ditanyakan dalam proses wawancara, penyusunan pokok-pokok ini dilakukan

sebelum wawancara. Dalam hal ini, pewawancara harus dapat menciptakan

suasana yang santai tetapi serius yang artinya bahwa interview dilakukan dengan

sungguh-sungguh, tidak main-main tetapi tidak kaku (Arikunto, 2002:133).

Dalam teknik wawancara peneliti membuat interview guide (terlampir)

agar wawancara dapat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Wawancara digunakan untuk menggali data tentang gambaran implementasi

Program CSR Koperasi “LPA Pusur Lestari” yang dilaksanakan dan didampingi

oleh LSM. Wawancara akan dilakukan dengan berbagai pihak yang berkompeten

dan mempunyai hubungan terhadap implementasi program CSR. Pihak yang

35

berkompeten disini tidak hanya berasal dari LSM, namun bisa juga berasal dari

masyarakat maupun pemerintah terkait.

F.4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data

dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang

realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Didalamnya

terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi atau

keberagaman (Bungi, 2003:53).

Menurut Moleong (2004:103) Analisis data adalah proses mengatur

urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian

dasar. Dalam analisis data terdapat kompinen-komponen utama yang harus benar-

benar dipahami. Komponen tersebut adalah reduksi data, kajian data, dan

penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk menganalisis berbagai data yang

sudah ada digunakan metode deskriptif analitik. Metode ini digunakan untuk

menggambarkan data yang sudah diperoleh melalui proses analitik mendalam dan

selanjutnya diakomodasikan dalam bentuk bahasa secara runtut atau dalam bentuk

naratif. Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu dilakukan dari lapangan atau

fakta empiris dengan cara terjun langsung, mempelajari fenomena yang ada di

lapangan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bersamaan

dengan cara proses pengumpulan data. Menurut Miles dan Humberman (1992)

tahapan analisis data sebagai berikut :

1. Pengumpulan data

Penelitian mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai

dengan hasil obsevasi dan wawancara di lapangan. Dalam tahap ini peneliti

merekam segala pengamatan mengenai objek dari penelitian yaitu koperasi “LPA

Pusur Lestari” berdasarkan observasi dan wawarancara terhadap narasumber.

Observasi dilakukan dengan terjun langsung melihat kondisi konkrit di lapangan

sedangkan wawancara dilakukan dengan panduan interview guide yang telah

disusun oleh peneliti, kemudian wawancara dilakukan dengan narasumber yang

36

berkompeten. Narasumber tersebut antara lain Bp. Abu ketua Bina Swadaya

Konsultan, Bp. Moko ketua koperasi “LPA Pusur Lestari” dan beberapa

masyarakat sebagai target dari program CSR tersebut.

2. Reduksi Data

Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus

penelitian. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data yang

telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan

dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan. Setelah

peneliti melakukan tahap pengumpulan data, kemudian tahap berikutnya adalah

mereduksi data. Dalam tahap ini, peneliti memilah dan memilih data yang

berkenaan dengan fokus peneltian ini yaitu pada implementasi program “LPA

Pusur Lestari”. Data yang tidak mendukung adanya penyajian data berkaitan

dengan implementasi, peneliti membuang data tersebut. Tujuan dari tahap ini agar

mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai fokus penelitian yaitu

implementasi program “LPA Pusur Lestari” dan mempermudah bagi peneliti

untuk menyajikan hasil peneltian.

3. Penyajian data

Penyajian data adalah sekumpilan informasi yang tersusun dan

memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matriks, network, chart, atau

grafis sehingga data dapat dikuasai. Pada tahap ini peneliti menyusun data yang

telah direduksi, kemudian menganalisis dan menyajikan hasil penelitian.

4. Pengambilan keputusan atau verifikasi

Setelah data disajikan, kemudian melakukan penarikan kesimpulan atau

verifikasi. Oleh karena itu, diupayakan untuk mencari pola, model, tema,

hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi,

dari data tersebut berusaha diambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan

dengan keputusan, didasarkan pada reduksi data, dan penyajian data yang

merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Dalam hal ini,

peneliti mencoba menjawab pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian

37

ini yakni “Bagaimana implementasi program CSR PT Tirta Investama melalui

Koperasi “LPA Pusur Lestari” sebagai upaya pemberdayaan petani DAS Pusur

Klaten-Boyolali?”. Jadi pada tahap ini peneliti memberi jawaban atas pertanyaan

penelitian tersebut berdasarkan reduksi data dan penyajian data yang telah

didapat. Setelah itu peneliti bisa mengambil keputusan untuk memberikan saran

terhadap masalah yang dihadapi sehingga penelitian ini mampu bermanfaat di

dunia akademisi mengenai perkembangan CSR sebagai bentuk komunikasi

eksternal perusahaan khususnya di Indonesia.

Keempat komponen ini interaktif yaitu saling mempengaruhi dan terkait.

Pertama-tama dilakukan penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara

atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data-data

pengumpulan penyajian data, reduksi data, kesimpulan-kesimpulan atau

penafsiran data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data. Setelah

direduksi maka kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga

digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga hal tersebut dilakukan, maka

diambil suatu keputusan atau verifikasi.

Setelah data terkumpul, kemudian peneliti akan mengolah dan

menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif-

kualitatif. Analisis tersebut merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan

menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan

perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu,

sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan

sebenarnya. Menurut M. Nazir (2003:16) bahwa tujuan deskriptif ini adalah untuk

membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat

mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

F.5. Keabsahan Data

Menurut Moleong (1991:175-176), untuk mendapatkan keabsahan data

maka peneliti menggunakan beberapa teknik keabsahan data, yaitu :

38

1. Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebility). Teknik ini dilakukan

dengan jalan :

a. Keikutsertaan peneliti sebagai instrument (alat) tidak hanya dilakukan

dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan

peneliti, sehingga memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data

yang dikumpulkan.

b. Ketentuan pengamatan, yaitu dimaksud untuk menemukan ciri-ciri dan

unsur-unsur dan situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang

dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

Dengan demikian maka perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,

sedangkan ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.

c. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar itu untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding. Teknik yang paling banyak digunakan ialah

pemeriksaan terhadap sumber-sumber lainnya.

d. Kecukupan referensial yakni bahan-bahan yang tercatat dan terekam dapat

digunakan sebagai patokan untuk menguji atau menilai sewaktu-waktu

diadakan analisis dan intepretasi data.

2. Teknik pemeriksaan keteralihan (transferability) dengan cara uraian rinci.

Teknik ini meneliti agar laporan hasil fokus penelitian dilakukan seteliti dan

secermat mungkin yang menggambarkan kontek tempat peneliti diadakan.

Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus segala sesuatu yang dibutuhkan

oleh pembaca agar mereka dapat memahami penemeuan-penemuan yang

diperoleh.

3. Teknik pemeriksaan ketergantungan (dependability) dengan cara auditing

ketergantungan. Teknik ini tidak dapat dilaksanakan bila tidak dilengkapi dengan

catatan pelaksanaan keseluruhan proses dan hasil penelitian. Pencatatan itu

diklasifikasikan dari data mentah sehingga formasi tentang pengembangan

instrument sebelum auditing dilakukan agar mendapatkan persetujuan antara

auditor dan auditi terlebih dahulu.

39

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode dalam uji keabsahan

data yaitu dengan Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebility). Alasan

peneliti memilih teknik ini karena peneliti melihat objek dan fokus dari penelitian

ini sendiri. Objek penelitian adalah Koperasi “LPA Pusur Lestari” yang apabila

diteliti memerlukan kecermatan atau kedalaman karena mempunyai banyak

elemen yang terkandung didalamnya. Sedangkan fokus dari penelitian ini adalah

Implementasi atau pelaksanaan, sehingga peneliti memerlukan pengamatan

dengan cara bertahap agar data yang diperoleh mampu menjawab pertanyaan

penelitian. Implementasi program ini mencakup banyak aspek dari organisasi,

lembaga, perusahaan,dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya trianggulasi

atau pemeriksaan data. Hal ini digunakan agar data yang diperoleh benar-benar

objektif. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan

sumber lain untuk keperluan pengecekan atau membandingkan data. Teknik

trianggulasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik trianggulasi sumber.

Hal ini sependapat dengan Moleong (1991:178)), yang menyatakan teknik

trianggulasi yang digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber-sumber lainnya.

Trianggulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan jalan sebagi berikut:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa

yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan sewaktu diteliti dengan sepanjang

waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

40

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Perkembangan CSR

Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) tidak terlepas dari waktu

dan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam

Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi

para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan

kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa

hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin

penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung

di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para

pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa

terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk

tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan

masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha (Hendi Hidayat, 2009).

Latar belakang lahirnya CSR dapat dibagi atas 3 periode penting yaitu :

A.1. Perkembangan Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an

Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada yang

dapat memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu. Namun di

dalam banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya Horward Bowen yang

berjudul Social Responsibilities of the Businessman yang terbit pada tahun 1953

merupakan tonggak sejarah CSR Modern. Di dalam karyanya ini, Bowen (1953:

6) memberikan definisi awal dari CSR sebagai

“it refers to the obligations of the businessmen to pursue those policies, to

make those decisions, or to follow those lines of actions which are desirable

in terms of the objectives and values of our society” (Bowen,1953: 6).

41

Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi

landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan

bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.

Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya perlu

diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis buku tersebut

pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi. Kedua,

judul buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias gender (hanya

menyebutkan businessmen bukan businesswomen), karena pada saat itu pelaku

bisnis di Amerika masih didominasi oleh kaum lelaki. Walaupun, judul dan isi

buku Bowen ini masih bias gender namun sejak penerbitan buku Bowen ini,

memberikan pengaruh yang besar terhadap buku-buku CSR yang terbit

sesudahnya sehingga banyak yang sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak

CSR.

Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk

memberikan formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang dikenal pada

masa itu adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggung

jawab sosial perusahaan, pada saat itu ia merumuskan tanggung jawab sosial

sebagai:

“businessmen’s decision and actions taken for reasons at least partially

beyond the firm’s direct economic and technical interest”(Davis,1960).

Melalui definisi tersebut, Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial

perusahaan di luar tanggung jawab ekonomi semata-mata. Argumen Davis

menjadi sangat relevan karena pada masa tersebut, pandangan mengenai tangung

jawab sosial perusahaan masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom

klasik. Pada saat itu, ekonomi klasik memandang para pelaku bisnis memiliki

tanggung jawab sosial apabila mereka berusaha menggunakan sumber daya yang

dimiliki perusahaan seefisien mungkin untuk menghasilkan barang dan jasa yang

dibutukan oleh masyarakat pada kisaran harga yang dapat terjangkau oleh

masayarakat konsumen, sehingga masyarakat bersedia untuk membayar harga

barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan dengan baik, maka perusahaan akan