kisah cinta ridwan kamil

Upload: ridwan-arifin

Post on 07-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ridwan Kamil: Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama (2)Kamis, 30 Oktober 2014 Foto: Mike Eng Naftali / NOVATabloidNova.com - Ditinggal ayah untuk selamanya, tak membuat Ridwan Kamil berlarut-larut dalam kesedihan. Ia pun “memecut” diri untuk segera lulus kuliah dan bekerja demi masa depan yang lebih baik. Namun siapa sangka, tak lama setelah kelulusannya, takdir mempertemukan Ridwan dengan seorang wanita cantik yang kini menjadi teman hidupnya. Takdir pula yang membuatnya tergerak untuk memimpin kota Bandung.Jika ada yang bertanya kepada saya, “Apakah Bapak percaya dengan cinta pada pandangan pertama?” Saya pasti akan menjawab percaya. Kenapa? Karena saya mengalami itu saat bertemu dengan istri saya. Pertemuan pertama kali dengan wanita cantik bernama Atalia Praratya (41) ini berawal dari ketidaksengajaan di sebuah pameran pada tahun 1994 di kota Bandung.Saat itu, saya berencana untuk pulang. Namun, tiba-tiba saja saya ingin ke toilet. Maka, berbaliklah saya ke dalam untuk mencari toilet. Setelah keluar dari situ, saya melihat sosok wanita cantik ini berjalan. Jujur saja langsung membuat saya terpesona. Untuk sepersekian detik saya sempat terkesima dan ingin rasanya mengeluarkan jurus-jurus pendekatan.Baca juga: Ridwan Kamil: Laki-Laki Penuh Imajinasi (1)Jodoh Tak Terduga Saya pun mencoba untuk berkenalan dengannya melalui cara berjualan produk. Sejak lulus arsitek, saya suka membuat animasi dan kebetulan dia sedang magang di sebuah perusahaan properti. Jadilah saya menjual animasi untuk perusahaannya dan meminta waktu bertemu.Ibarat sambil menyelam minum air, sambil jualan saya juga memberikan sinyal padanya kalau saya mau lebih dekat lagi dengannya. Gayung pun bersambut. Dia menerima kehadiran saya. Satu tahun pacaran, saya memberanikan diri untuk melamarnya.Terus terang menikah muda merupakan salah satu kenekatan dalam hidup saya. Waktu itu, umur saya baru menginjak 25 tahun dan istri saya baru 23 tahun. Padahal niat awal sejak lulus kuliah, saya ingin mapan dulu dalam hidup dan melanjutkan S2. Tapi takdir hidup saya harus berkata lain.Kenekatan saya ini sebenarnya muncul karena mengingat saingan saya banyak sekali. Lebih dari 30 orang mendekati dia untuk menjadi pujaan hatinya. Saya tahu semuanya karena tidak sengaja membaca diary -nya, “Ya Allah, ternyata yang suka banyak sekali. Ha ha ha,” pikir saya saat itu. Namun tidak ada kata menyerah dalam kamus saya.Pada saat semua saingan mendekatinya, saya malah mendekati ibundanya. Lagi-lagi, takdir berpihak kepada saya. Ternyata sang ibunda bercita-cita untuk punya menantu seorang arsitek. Pas, kan? Ya, itulah prosesnya.Sebenarnya kalau mau dipikir-pikir, untuk modal nikah saja saya tidak ada. Di saat butuh uang, Allah begitu baik dan kasih saya rezeki melalui seseorang yang mau mendesain hotel. Dari situ pula modal saya untuk menikah. Orang tua saya pun merestui hubungan kami, meski saya sempat terganjal restu adik yang menganggap saya terlalu cepat menikah dan melangkahi kakak saya.Namanya jodoh, ya, semua tetap berjalan sebagaimana adanya. Kami pun akhirnya menikah di Bandung pada 7 Desember 1996. Alhamdulillah, saya bahagia sekali bisa menikah dengannya. Mungkin kalau dulu saya tidak kembali mencari toilet, saya enggak akan berjodoh dengannya. Dan kalau mau diingat lagi sebenarnya saya dan istri pernah sama-sama menempuh pendidikan di SMPN 2 Bandung, tapi kami baru bertemu jauh setelah lulus SMP. Ya, jodoh memang tidak bisa diduga. Saya tergerak menjadi walikota untuk mengurus kota Bandung menjadi lebih baik. (Foto: Eng Naftali / NOVA)Masyarakat Miskin Kota Usai menikah, kami tinggal bersama mertua. Setahun kemudian, saya memboyong istri pindah ke Amerika Serikat. Sesampainya di sana saya bekerja sambil mencoba meneruskan pendidikan S2 di University of California, Berkeley, mengambil Master of Urban Design dari tahun 1999-2001.Tak mudah buat kami menjalani kehidupan rumah tangga selama berada di luar negeri. Cobaan menghampiri. Saya dip

TRANSCRIPT

Ridwan Kamil: Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama (2)Kamis, 30 Oktober 2014

Foto: Mike Eng Naftali / NOVATabloidNova.com- Ditinggal ayah untuk selamanya, tak membuat Ridwan Kamil berlarut-larut dalam kesedihan. Ia pun memecut diri untuk segera lulus kuliah dan bekerja demi masa depan yang lebih baik. Namun siapa sangka, tak lama setelah kelulusannya, takdir mempertemukan Ridwan dengan seorang wanita cantik yang kini menjadi teman hidupnya. Takdir pula yang membuatnya tergerak untuk memimpin kota Bandung.Jika ada yang bertanya kepada saya, Apakah Bapak percaya dengan cinta pada pandangan pertama? Saya pasti akan menjawab percaya. Kenapa? Karena saya mengalami itu saat bertemu dengan istri saya. Pertemuan pertama kali dengan wanita cantik bernama Atalia Praratya (41) ini berawal dari ketidaksengajaan di sebuah pameran pada tahun 1994 di kota Bandung.Saat itu, saya berencana untuk pulang. Namun, tiba-tiba saja saya ingin ke toilet. Maka, berbaliklah saya ke dalam untuk mencari toilet. Setelah keluar dari situ, saya melihat sosok wanita cantik ini berjalan. Jujur saja langsung membuat saya terpesona. Untuk sepersekian detik saya sempat terkesima dan ingin rasanya mengeluarkan jurus-jurus pendekatan.Baca juga:Ridwan Kamil: Laki-Laki Penuh Imajinasi (1)Jodoh Tak TerdugaSaya pun mencoba untuk berkenalan dengannya melalui cara berjualan produk. Sejak lulus arsitek, saya suka membuat animasi dan kebetulan dia sedang magang di sebuah perusahaan properti. Jadilah saya menjual animasi untuk perusahaannya dan meminta waktu bertemu.Ibarat sambil menyelam minum air, sambil jualan saya juga memberikan sinyal padanya kalau saya mau lebih dekat lagi dengannya. Gayung pun bersambut. Dia menerima kehadiran saya. Satu tahun pacaran, saya memberanikan diri untuk melamarnya.Terus terang menikah muda merupakan salah satu kenekatan dalam hidup saya. Waktu itu, umur saya baru menginjak 25 tahun dan istri saya baru 23 tahun. Padahal niat awal sejak lulus kuliah, saya ingin mapan dulu dalam hidup dan melanjutkan S2. Tapi takdir hidup saya harus berkata lain.Kenekatan saya ini sebenarnya muncul karena mengingat saingan saya banyak sekali. Lebih dari 30 orang mendekati dia untuk menjadi pujaan hatinya. Saya tahu semuanya karena tidak sengaja membacadiary-nya, Ya Allah, ternyata yang suka banyak sekali. Ha ha ha, pikir saya saat itu. Namun tidak ada kata menyerah dalam kamus saya.Pada saat semua saingan mendekatinya, saya malah mendekati ibundanya. Lagi-lagi, takdir berpihak kepada saya. Ternyata sang ibunda bercita-cita untuk punya menantu seorang arsitek. Pas, kan? Ya, itulah prosesnya.Sebenarnya kalau mau dipikir-pikir, untuk modal nikah saja saya tidak ada. Di saat butuh uang, Allah begitu baik dan kasih saya rezeki melalui seseorang yang mau mendesain hotel. Dari situ pula modal saya untuk menikah. Orang tua saya pun merestui hubungan kami, meski saya sempat terganjal restu adik yang menganggap saya terlalu cepat menikah dan melangkahi kakak saya.Namanya jodoh, ya, semua tetap berjalan sebagaimana adanya. Kami pun akhirnya menikah di Bandung pada 7 Desember 1996. Alhamdulillah, saya bahagia sekali bisa menikah dengannya. Mungkin kalau dulu saya tidak kembali mencari toilet, saya enggak akan berjodoh dengannya. Dan kalau mau diingat lagi sebenarnya saya dan istri pernah sama-sama menempuh pendidikan di SMPN 2 Bandung, tapi kami baru bertemu jauh setelah lulus SMP. Ya, jodoh memang tidak bisa diduga.

Saya tergerak menjadi walikota untuk mengurus kota Bandung menjadi lebih baik. (Foto: Eng Naftali / NOVA)Masyarakat Miskin KotaUsai menikah, kami tinggal bersama mertua. Setahun kemudian, saya memboyong istri pindah ke Amerika Serikat. Sesampainya di sana saya bekerja sambil mencoba meneruskan pendidikan S2 di University of California, Berkeley, mengambil Master of Urban Design dari tahun 1999-2001.Tak mudah buat kami menjalani kehidupan rumah tangga selama berada di luar negeri. Cobaan menghampiri. Saya dipecat dari kantor padahal bukan karena kesalahan saya. Namun, pihak kantor yang lupa memperpanjang visa saya. Setelah resmi menjadi seorang pengangguran, saya mencoba untuk bekerja serabutan asal kehidupan rumah tangga tetap terjaga.Yang paling menyedihkan, saat itu saya menjadi orang miskin kota dan luntang-lantung membawa istri yang tengah mengandung 8 bulan di negeri orang tanpa sebuah pekerjaan. Akhirnya, anak pertama kami lahir di New York pada 25 Juni 1999 di sebuah rumah sakit yang gratis untuk masyarakat miskin. Sedih, tapi itulah tantangan hidup yang harus saya jalani.Namun, keadaan jualah yang mendewasakan saya dan memotivasi saya untuk memiliki sebuah cita-cita mulia. Saya percaya di mana ada kemauan pasti ada jalan yang terbuka. Pelan-pelan kondisi saya mulai membaik. Saya kembali bekerja di San Fransisco selama 2 tahun. Kemudian saya pindah ke Hong Kong selama 2 tahun hingga akhirnya memutuskan kembali ke tanah air.Sebelumnya, posisi saya sudah berada di level manajer tapi saya berpikir tetap saja bekerja sama orang. Keputusan pulang ke Indonesia saya rasa sangat tepat. Sesampainya di Indonesia, saya merasa bisa berbagi dengan banyak orang. Saya memiliki sebuah prinsip hidup yaitu hidup adalah berbagi. Jadi saya memang senang untuk berbagi, termasuk saat ini membagikan waktu saya untuk sebuah upaya memajukan kota Bandung.Saya merasa hidup memberikan lebih banyak pilihan. Dulu saya bekerja hanya sebagai arsitek. Usai pulang, saya bisa menjalani berbagai kegiatan seperti mengajar, menulis, aktif di kegiatan sosial, dan mendirikan sebuah kantor.Ya, saya mendirikan sebuah firma arsitektur bernama Urbane atau singkatan dari Urban Evolution. Melalui firma ini saya menggarap berbagai proyek di Indonesia dan mancanegara salah satunya masjid Al-Irsyad di Kota Baru Parahyangan, Kab. Bandung Barat, yang saya dedikasikan untuk almarhum ayah saya.Semua cita-cita menjadi energi tersendiri bagi saya. Tak heran bila setiap pagi, saya selalu bangun dan ingin terus membangun kota Bandung agar lebih baik lagi. Meskipun letih, namun hidup buat apa lagi kalau bukan untuk mengejar mimpi? Kelak, bila saya meninggal hanya karya-karya ini yang bisa saya wariskan.Pelukan 20 DetikDi tahun 2013, takdir hidup membawa saya untuk mencalonkan diri sebagai walikota. Saat itu saya merasa Bandung enggak terurus. Padahal selama menjadi arsitek, saya merasa banyak hal keren yang bisa diciptakan untuk kota Bandung. Itu yang membuat saya melompat dari dunia yang amat saya cintai ke dunia yang baru.Saya akui, modal saya pas-pasan karena saya hanya bermodalkan kreativitas dan keinginan memajukan kota Bandung. Alhamdulillah, masyarakat Bandung percaya dan memilih saya. Di sisi lain, keluarga sempat tidak merestui saya mencalonkan diri.Saya pun mencoba meyakinkan keluarga, karena buat saya manusia yang baik itu merupakan manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan menjadi walikota, banyak ilmu yang bisa saya pakai dan itu bisa jauh lebih baik untuk kota Bandung. Akhirnya, keluarga mengikhlaskan dan mereka tahu tugas saya enggak mudah. Tapi saat melihat kota ini menjadi lebih baik, mereka tahu saya bekerja dengan hati. Saya bilang ke mereka saya enggak akan lama-lama, dan hanya 5 tahun saja saya menyelesaikan jabatan ini.Oh ya, sepulangnya ke Indonesia kehidupan rumah tangga saya semakin membaik, hingga pada 17 Agustus 2004 anak kedua kami lahir dan mewarnai keluarga kecil kami. Saya ini wajah keluarga berencana sekali, buat saya dua anak sudah cukup. Sudah hukum alam pula saya lebih dekat ke anak kedua saya yang perempuan dan anak pertama saya yang laki-laki dekat dengan ibunya.Sebagai seorang ayah, saya juga mendidik anak-anak dengan logika. Semua saya ceritakan agar mereka paham dengan sendirinya. Saya selalu bilang, Kalau Papa jadi walikota jangan jadi sombong karena Papa tetap seperti dulu. Namun, kalau orang-orang berubah ke kalian karena Papa jadi walikota, ya, cuek saja. Supaya kamu enggak ada beda dengan yang lain. Tak bisa saya pungkiri ada sebuah harga yang harus dibayar mahal karena saya kehilangan momen bersama mereka.Saat ini, saya hanya punya waktu setengah hari di setiap harinya buat keluarga. Karenanya kalau saya punya kesempatan, saya selalu pakai teori pelukan 20 detik. Makanya untuk mengurangi stres, saya pelukan sama orang yang saya cintai selama 20 detik. Energi saya itu adalah keluarga.Jujur, saya merindukan masa-masa sebelum menjadi walikota, kalau Bandung kotanya beres, saya sih enggak ingin banget jadi walikota. Saya jadi walikota hanya karena inginberesinkota Bandung. Kalau kota sudah beres, ya, sayapikirinlagi untuk maju atau balik ke profesi lama menjadi arsitek. Kalau boleh memilih mending jadi arsitek bisatravelingtanpa beban. Ha ha ha. Tapi ini kan takdir saya, enggak semua yang terjadi itu sesuai dengan apa yang saya mau. Jadi, ini takdir yang harus saya jalani.(TAMAT)