khitbah

15
15 BAB II KHITBAH DAN AKAD NIKAH A. Khitbah 1. Pengertian Khitbah Khitbah atau pinangan secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ﺨﻁﺏ ﻴﺨﻁﺏ ﺨﻁﺒﺎ ﺨﻁﺒﺔyang berarti permintaan atau peminangan. 1 Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain: a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk dapat dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik di antara manusia. 2 b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki- laki kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk mengawini perempuan itu. 3 c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan. 4 Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak 1 Hady Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam), Semarang: Duta Grafika, 1992, hlm.30 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1980, Cet. 2. hlm.98 3 Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.103 4 Zakaria al-Anshari, Fath al- Wahab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.35

Upload: fatih

Post on 20-Oct-2015

74 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pengertian Khitbah Khitbah atau pinangan secara etimologi (bahasa) berasal dari kata – ﺨﻁﺏ ﻴﺨﻁﺏ – ﺨﻁﺒﺎ ﺨﻁﺒﺔ – yang berarti permintaan atau peminangan.1 Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain: a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk dapat dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik di antara manusia.2 b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-laki kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk mengawini perempuan itu.3 c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan.4 Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak 1 Hady Mufa’at Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam), Semarang: Duta Grafika, 1992, hlm.30 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1980, Cet. 2. hlm.98 3 Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.103 4Zakaria al-Anshari, Fath al- Wahab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.35 16 perempuan menyebarluaskan pertunangan tersebut.5 KHI juga menjelaskan pada Bab I, Pasal 1, bahwa khitbah (peminangan) adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan. 6 Dari beberapa pengertian khitbah di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa khitbah adalah permintaan yang mengandung akad (perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun melalui walinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku dalam masyarakat setempat. Dari situ nampak jelas bahwa khitbah atau tunangan selalu datang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara langsung oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya. Meskipun demikian di beberapa daerah terjadi hal yang sebaliknya, dimana yang meminang bukan dari pihak laki-laki melainkan dari pihak perempuan, misalnya; di Minangkabau, Gresik dan lain-lain.

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    KHITBAH DAN AKAD NIKAH

    A. Khitbah

    1. Pengertian Khitbah

    Khitbah atau pinangan secara etimologi (bahasa) berasal dari kata

    yang berarti permintaan atau peminangan.1

    Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan dengan beberapa

    pengertian antara lain:

    a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk

    dapat dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik di antara

    manusia.2

    b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-

    laki kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk

    mengawini perempuan itu.3

    c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan

    pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan.4

    Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak

    laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak

    1 Hady Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam), Semarang: Duta

    Grafika, 1992, hlm.30 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1980, Cet. 2. hlm.98 3 Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.103 4Zakaria al-Anshari, Fath al- Wahab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.35

  • 16

    perempuan menyebarluaskan pertunangan tersebut.5 KHI juga

    menjelaskan pada Bab I, Pasal 1, bahwa khitbah (peminangan) adalah

    kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang

    pria dengan seorang perempuan. 6

    Dari beberapa pengertian khitbah di atas, maka dapat ditarik suatu

    kesimpulan bahwa khitbah adalah permintaan yang mengandung akad

    (perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk

    melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun melalui

    walinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku dalam masyarakat

    setempat.

    Dari situ nampak jelas bahwa khitbah atau tunangan selalu datang

    dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara

    langsung oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya. Meskipun

    demikian di beberapa daerah terjadi hal yang sebaliknya, dimana yang

    meminang bukan dari pihak laki-laki melainkan dari pihak perempuan,

    misalnya; di Minangkabau, Gresik dan lain-lain.7

    2. Syarat-syarat Khitbah dan Dasar Hukum Khitbah

    Meskipun sebagian besar ulama tidak menghukumi wajib terhadap

    khitbah, akan tetapi di dalam khitbah mengandung suatu akad (perjanjian)

    5 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru

    Van Hoeve, 1997, Cet. I, hlm. 927 6 Saekan, Erniati Effendi, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Surabaya: Arkola

    Offset, 1997, Cet.I, hlm. 75 7 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta:

    Ghalia Indonesia, Cet. 3, 1981, hlm. 38

  • 17

    antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, sehingga dalam melakukan

    khitbah harus melalui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat.

    Fiqh Islam telah menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya khitbah,

    yaitu:

    a. Syarat Lazimiah.8

    1) Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-

    laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram

    mushaharah, maupun mahram radlaah (sepersusuan).

    2) Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain,

    kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah melepaskan hak

    pinangannya atau memberikan izin untuk dipinang oleh orang lain.

    3) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan iddah.9

    Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan, yaitu:

    a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raji, tidak boleh

    dipinang karena yang berhak merujuknya adalah bekas

    suaminya.

    b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat boleh

    dipinang tetapi dengan sindiran.

    c) Perempuan dalam masa iddah bain sugra boleh dipinang oleh

    bekas suaminya.

    8 Syarat Lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.

    Apabila syarat ini dilanggar maka dapat mengakibatkan batalnya khitbah yang telah dilakukan. Lihat: Hady Mufaat, op. cit., hlm.33

    9 Ibid.

  • 18

    d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh

    bekas suaminya, setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki

    lain, didukhul dan diceraikan.10

    b. Syarat Mustahsinah

    Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan

    yang apabila dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang

    disyaratkan. Syarat mustahsinah tidak harus dipenuhi dalam khitbah,

    tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki yang akan

    meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan

    dibangunnya berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-

    syarat mustahsinah antara lain:

    1) Sejodoh (kafaah)

    2) Subur dan mempunyai kasih sayang

    3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan

    budi pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di

    kemudian hari.11

    Demikianlah syarat-syarat yang terdapat dalam khitbah

    (peminangan), baik syarat yang bersifat umum maupun yang berupa

    anjuran. Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya khitbah

    adalah Surat al-Baqarah ayat 235 :

    10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. III,

    1998, hlm. 65 11 Hady Mufaat Ahmad, op. cit., hlm.33-34.

  • 19

    ):( Artinya: Dan tak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-

    perempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka secara rahasia.12

    3. Akibat-akibat dari Terjadiya Khitbah

    Khitbah atau peminangan merupakan langkah awal dalam proses

    pernikahan. Di mana melalui khitbah ini seorang yang meminang dan

    yang dipinang dapat mengenal lebih dalam, sehingga kelak setelah

    menjadi suami isteri tidak menimbulkan penyesalan serta kekecewaan di

    kedua belah pihak.

    Secara prinsip khitbah (peminangan) seorang laki-laki terhadap

    seorang perempuan belum berakibat hukum, sebagaimana dijelaskan

    dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab III, pasal 13 tentang

    Peminangan, sebagai berikut; 1). Pinangan belum menimbulkan akibat

    hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan; 2).

    Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara

    yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga

    tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.13

    12 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Kumudasmoro

    Grafindo, 1994, hlm.57 13 Saekan dan Erniati Effendi, op. cit., hlm. 78

  • 20

    Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khitbah atau

    peminangan tidak mempunyai akibat hukum. Akan tetapi ketika khitbah

    telah dilakukan, maka timbul konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:

    a) Meskipun khitbah tidak berakibat hukum, tetapi perempuan yang telah

    dipinang oleh seorang laki-laki dan telah diterimanya, maka tidak

    boleh dipinang oleh laki-laki lain, karena khitbah yang pertama

    menutup hak khitbah orang lain, kecuali jika diizinkan oleh laki-laki

    pertama. Bahkan jumhur ulama mengharamkan meminang perempuan

    yang telah dipinang oleh orang lain.

    b) Setelah terjadi khitbah maka laki-laki yang meminang boleh melihat

    muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta saling mengenali

    antara keduanya. Dalam istilah Arab disebut nadhar14 dan taaruf,15.

    Pernikahan dalam Islam didasarkan pada kerelaan, kesukaan, serta

    persetujuan dari kedua belah pihak. Maka dari itulah diperlukan bagi

    masing-masing pihak untuk melakukan nadhar dan taaruf, sehingga

    setelah menikah terhindar dari kemungkinan terjadinya kekecewaan-

    kekecewaan.

    c) Akad khitbah tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan

    perempuan yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti

    layaknya suami isteri.

    14 Nadhar artinya melihat atau memandang. Dalam hal ini adalah melihat dari dekat

    calon isteri atau suami dalam batas-batas kesopanan yang dibenarkan oleh syara dalam rangka menuju pernikahan. Lihat: Hady Mufaat, op. cit., hlm.41

    15 Taaruf berarti mengenal. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan taaruf adalah saling mengenal kepribadian calon jodohnya masing-masing. Lihat: Hady Mufaat, Ibid

  • 21

    d) Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat yang

    sepi, kecuali ditemani oleh muhrimnya.16

    B. Akad Nikah

    1. Pengertian Akad Nikah dan Dasar Hukumnya

    Akad Nikah berasal dari dua kata, yaitu akad dan nikah. Istilah

    akad berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata yang jamaknya

    mempunyai arti perjanjian, pertalian atau kontrak.17 Kata nikah

    berarti perkawinan atau perjodohan. Jadi akad nikah ialah

    pernyataan sepakat (perjanjian) perkawinan.18

    Sedangkan menurut istilah Akad Nikah adalah pernyataan sepakat

    (perjanjian) dari pihak calon suami dan pihak calon isteri untuk

    mengikatkan diri mereka dengan tali perkawinan.19

    Kata-kata yang berisi pernyataan ikatan dalam suatu perkawinan,

    dalam ilmu fiqh disebut sighat akad nikah. Sighat akad nikah merupakan

    formulasi kehendak yang dinyatakan untuk mengadakan perikatan yang

    dilakukan oleh kedua belah pihak yang membuat akad, baik melalui lisan,

    tulisan, maupun dalam bentuk isyarat. Dalam menyatakan kehendak yang

    melalui ucapan diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah

    pernyataan pihak pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang

    16 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. X, 1983, hlm. 12-13

    17 Ahmad Warson, Munawir al-Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-Munawir, t.th., hlm.1023.

    18 Hady Mufaat, op. cit., hlm.101 19 Ibid., hlm.101

  • 22

    mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri. Sedang qabul adalah

    pernyataan pihak kedua setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya

    untuk mengikatkan diri.20

    Sementara itu Muhammad Husain al-Zahabi mengartikan ijab

    dengan suatu ungkapan atau pernyataan awal dari salah satu orang yang

    membuat akad yang menunjukkan kemauan atau kerelaan untuk

    mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Sedangkan qabul adalah

    ungkapan atau pernyataan dari orang kedua yang menunjukkan arti

    penerimaan atau kerelaan dengan yang diungkapkan oleh orang yang

    membuat ijab.21

    Selain dari pengertian-pengertian akad nikah tersebut, dalam

    Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa Akad Nikah merupakan

    rangkaian ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh

    mempelai pria atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi.22

    Adapun yang menjadi dasar disyariatkannya akad nikah adalah

    surat an-Nisa` ayat 21:

    ):(

    20 Abdul Azis Dahlan, et. al., op. cit., hlm.64 21 Muhammad Husain al-Zahabi, al-Syariah al-Islamiyah (Dirasat Muqaranat baina al-

    Mazahib ahl al-Sunnah wa Mazahib al-Jafariyah), Mesir: Dar al-Talif, t.th. hlm. 50 22 Saekan dan Erniati Effendi, op. cit., hlm. 75

  • 23

    Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.23

    Di samping itu, karena akad nikah merupakan salah satu bentuk

    dari perjanjian yang menuntut untuk dipenuhi, maka keberadaan akad

    nikah dapat juga didasarkan pada Surat al-Maidah ayat 1, sebagai berikut:

    ):( Artinya: Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.24

    2. Syarat dan Rukun Akad Nikah

    Dalam Islam suatu perkawinan dianggap sah, apabila perkawinan

    itu dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukunnya sesuai

    dengan ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam.

    Menurut Undang-undang Perkawinan Bab I, pasal 2, ayat (2),

    disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

    hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.25

    Syarat dan rukun akad nikah merupakan dasar bagi suatu

    perkawinan, yang mana jika syarat dan rukun tersebut terpenuhi, maka

    perkawinan menjadi sah, dan sebaliknya jika syarat dan rukun tersebut

    tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak

    ada.

    23 Departemen Agama RI, op.cit., hlm.120 24 Ibid., hlm. 156 25 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Semarang: Aneka Ilmu, 1990, Cet I,

    hlm. 1

  • 24

    Syarat dan rukun dalam akad nikah adalah sesuatu yang berbeda.

    Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan namun di

    luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus ada dan

    menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Sebagian dari rukun nikah

    merupakan bagian dari persyaratan nikah. Oleh karena itu, persyaratan

    nikah mengacu pada rukun-rukunnya atau dengan kata lain, persyaratan

    nikah bertalian dengan keberadaan rukun-rukun nikah.

    Dalam akad nikah ada lima rukun yang harus dipenuhi, yaitu:

    1. Calon Suami

    2. Calon Isteri

    3. Wali Nikah

    4. Dua orang saksi

    5. Sighot (Ijab dan qabul)26

    Adapun yang menjadi syarat-syarat akad nikah adalah sebagai

    berikut:

    1. Calon Suami, syaratnya:

    a. Beragama Islam

    b. Laki-laki

    c. Jelas orangnya

    d. Dapat memberikan persetujuan

    e. Tidak terdapat halangan perkawinan

    2. Calon Isteri, syaratnya:

    26 Abdurrahman Al Jaziri, Kitab Fiqh ala Mazhab al-Arbaah, Juz. IV, Mesir: al

    Maktabah al Tijaroh al-Kubro, 1969, hlm. 12

  • 25

    a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

    b. Perempuan

    c. Jelas orangnya

    d. Dapat dimintai persetujuannya

    e. Tidak terdapat halangan perkawinan

    3. Wali Nikah, syaratnya:

    a. Laki-laki

    b. Dewasa

    c. Mempunyai hak perwalian

    d. Tidak terdapat halangan perwaliannya

    4. Saksi Nikah, syaratnya:

    a. Minimal dua orang laki-laki

    b. Hadir dalam ijab qabul

    c. Dapat mengerti maksud akad

    d. Islam

    e. Dewasa

    5. Ijab qabul, syaratnya:

    a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

    b. Adanya penerimaan dari calon mempelai pria

    c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahnya.

    d. Antara ijab dan qabul bersambungan

    e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

  • 26

    f. Orang yang berkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji

    atau umrah.

    g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang,

    yaitu; calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai

    perempuan atau wakilnya, dan dua orang saksi.27

    Itulah syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam

    melaksanakan akad nikah demi sahnya perkawinan.

    C. Pandangan Ulama Tentang Khitbah dan Akad Nikah

    1. Pandangan Ulama Tentang Khitbah

    Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum khitbah tidak wajib,

    sehingga secara otomatis khitbah boleh dilaksanakan sebelum terjadinya

    akad nikah. Meskipun hukum khitbah tidak wajib, tetapi khitbah sangat

    perlu untuk dilaksanakan, karena khitbah merupakan perbuatan yang

    mempunyai tujuan demi kebaikan. Mengingat pentingnya khitbah ini,

    maka tak mengherankan jika Daud al-Zahiri menyatakan bahwa hukum

    khitbah adalah wajib.28 Bahkan dalam masyarakat Indonesia khususnya,

    khitbah (tunangan) adalah hal yang telah umum bahkan hampir pasti

    dilakukan sebelum terjadi akad nikah. Maka tak mengherankan jika

    pelaksanaan khitbah ini biasanya dilaksanakan dengan disertai berbagai

    acara sangat meriah sesuai dengan tradisi yang berlaku di daerah

    setempat. Pelaksanaan upacara dalam khitbah (tukar cincin, pemberian

    27 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 71-72 28 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, t.tp.: Dar al-Fikr, t.th., hlm.2

  • 27

    hadiah, dan lain-lain) diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan

    syara (Hukum Islam).

    Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa khitbah bukanlah akad

    pernikahan, tetapi hanya sebatas janji ikatan untuk melakukan akad

    pernikahan, sehingga masih ada kemungkinan gagalnya atau pemutusan

    khitbah tersebut. Dari sini kemudian muncul persoalan mengenai

    kedudukan mahar atau pemberian-pemberian yang telah dilakukan.

    Persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, karena

    memang tidak terdapat dalil-dalil yang menjelaskan masalah ini dengan

    jelas.

    Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa peminang berhak meminta

    kembali mahar atau pemberian yang telah diberikan kepada pihak

    terpinang. Jika barang itu telah rusak atau hilang, maka barang tersebut

    diminta sesuai dengan nilai atau harganya.

    Fuqaha Hanabilah dan sebagian Fuqaha Tabiin memandang

    bahwa peminang tidak mempunyai hak untuk meminta kembali barang

    yang telah diberikan, karena pemberian ini diqiyaskan dengan hibah.

    Pemberian (hibah) tidak boleh diminta kembali, kecuali pemberian

    seorang ayah kepada anaknya.29

    Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika pemutusan

    khitbah berasal dari pihak peminang, maka peminang tidak mempunyai

    hak untuk meminta kembali pemberian itu. Sebaliknya, jika yang

    29 Hady Mufaat Ahmad, op. cit., hlm.54

  • 28

    membatalkan dari pihak yang terpinang, maka wajib bagi si terpinang

    untuk mengembalikan pemberian dari pihak peminang.

    2. Pandangan Ulama Tentang Akad Nikah

    Akad nikah merupakan hal yang mutlak atau harus dilakukan

    dalam suatu perkawinan. Akan tetapi tidak semua akad nikah dapat

    dianggap benar menurut hukum perkawinan Islam. Akad nikah baru

    dianggap benar dan sah jika memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan

    oleh syariat Islam. Namun begitu dalam hal-hal tertentu masih terdapat

    perbedaan pendapat di antara para ulama fiqh.

    Mengenai sahnya nikah para ulama mazhab sepakat bahwa

    pernikahan dianggap sah apabila dilakukan dengan akad, yang meliputi

    ijab dan qabul antara perempuan yang dilamar (wakil atau wali) dengan

    lelaki yang melamarnya atau wakilnya.30 Dalam hal persetujuan seorang

    gadis dengan menampakkan sikap diam tidak diperselisihkan, kecuali

    pengikut Imam Syafii yang menyatakan bahwa persetujuan seorang gadis

    harus dalam bentuk kata-kata, jika orang yang menikahkan bukan ayah

    atau kakeknya.31

    Masalah redaksi yang digunakan dalam akad nikah menjadi

    perdebatan di kalangan para ulama. Mazhab Hanafi berpandangan bahwa

    akad boleh dilakukan dengan segala redaksi, yang penting lafal itu

    menunjukkan maksud menikah. Bahkan dibolehkan menggunakan lafal

    30 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, Terj. Masykur A. B., Afif Muhammad, dan Idrus al-Kaff, Jakarta: Lentera Basritama, 2002, hlm. 309

    31 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 335

  • 29

    al-tamlik (pemilihan), al-hibah (penyerahan), al-bay (penjualan), al-ata

    (pemberian), al-ibadah (pembolehan) dan al-ihlal (penghalalan),

    sepanjang akad tersebut disertai qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti

    nikah.32

    Sedangkan menurut Imam Syafii, akad nikah hanya bisa terjadi

    dengan kata-kata nikah atau tazwij.33 Imam Maliki dan Hambali

    berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah apabila menggunakan lafal

    al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya.34 Sementara mazhab

    Imamiyah menyatakan bahwa ijab harus menggunakan lafal zawwajtu

    atau ankahtu dalam bentuk fiil madi. Karena kedua lafal inilah yang

    menunjukkan maksud pernikahan, sedangkan bentuk fiil madi memberi

    arti kepastian. Selain dari persoalan-persoalan di atas, sebenarnya masih

    banyak hal-hal yang menjadi perdebatan ulama berkaitan dengan akad-

    nikah, tetapi menurut penulis yang dikemukan di atas telah mewakilinya,

    sehingga tidak perlu dibahas satu-persatu.

    32 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 309 33 Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 335 34 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit.,hlm. 311