khitbah
DESCRIPTION
Pengertian Khitbah Khitbah atau pinangan secara etimologi (bahasa) berasal dari kata – ﺨﻁﺏ ﻴﺨﻁﺏ – ﺨﻁﺒﺎ ﺨﻁﺒﺔ – yang berarti permintaan atau peminangan.1 Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain: a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk dapat dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik di antara manusia.2 b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-laki kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk mengawini perempuan itu.3 c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan.4 Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak 1 Hady Mufa’at Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam), Semarang: Duta Grafika, 1992, hlm.30 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1980, Cet. 2. hlm.98 3 Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.103 4Zakaria al-Anshari, Fath al- Wahab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.35 16 perempuan menyebarluaskan pertunangan tersebut.5 KHI juga menjelaskan pada Bab I, Pasal 1, bahwa khitbah (peminangan) adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan. 6 Dari beberapa pengertian khitbah di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa khitbah adalah permintaan yang mengandung akad (perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun melalui walinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku dalam masyarakat setempat. Dari situ nampak jelas bahwa khitbah atau tunangan selalu datang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara langsung oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya. Meskipun demikian di beberapa daerah terjadi hal yang sebaliknya, dimana yang meminang bukan dari pihak laki-laki melainkan dari pihak perempuan, misalnya; di Minangkabau, Gresik dan lain-lain.TRANSCRIPT
-
15
BAB II
KHITBAH DAN AKAD NIKAH
A. Khitbah
1. Pengertian Khitbah
Khitbah atau pinangan secara etimologi (bahasa) berasal dari kata
yang berarti permintaan atau peminangan.1
Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan dengan beberapa
pengertian antara lain:
a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk
dapat dikawini dengan perantaraan yang dikenal baik di antara
manusia.2
b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-
laki kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk
mengawini perempuan itu.3
c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan
pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan.4
Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak
laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak
1 Hady Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam), Semarang: Duta
Grafika, 1992, hlm.30 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1980, Cet. 2. hlm.98 3 Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.103 4Zakaria al-Anshari, Fath al- Wahab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. hlm.35
-
16
perempuan menyebarluaskan pertunangan tersebut.5 KHI juga
menjelaskan pada Bab I, Pasal 1, bahwa khitbah (peminangan) adalah
kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dengan seorang perempuan. 6
Dari beberapa pengertian khitbah di atas, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa khitbah adalah permintaan yang mengandung akad
(perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk
melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun melalui
walinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku dalam masyarakat
setempat.
Dari situ nampak jelas bahwa khitbah atau tunangan selalu datang
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara
langsung oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya. Meskipun
demikian di beberapa daerah terjadi hal yang sebaliknya, dimana yang
meminang bukan dari pihak laki-laki melainkan dari pihak perempuan,
misalnya; di Minangkabau, Gresik dan lain-lain.7
2. Syarat-syarat Khitbah dan Dasar Hukum Khitbah
Meskipun sebagian besar ulama tidak menghukumi wajib terhadap
khitbah, akan tetapi di dalam khitbah mengandung suatu akad (perjanjian)
5 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1997, Cet. I, hlm. 927 6 Saekan, Erniati Effendi, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Surabaya: Arkola
Offset, 1997, Cet.I, hlm. 75 7 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta:
Ghalia Indonesia, Cet. 3, 1981, hlm. 38
-
17
antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, sehingga dalam melakukan
khitbah harus melalui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat.
Fiqh Islam telah menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya khitbah,
yaitu:
a. Syarat Lazimiah.8
1) Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-
laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram
mushaharah, maupun mahram radlaah (sepersusuan).
2) Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain,
kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah melepaskan hak
pinangannya atau memberikan izin untuk dipinang oleh orang lain.
3) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan iddah.9
Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan, yaitu:
a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raji, tidak boleh
dipinang karena yang berhak merujuknya adalah bekas
suaminya.
b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat boleh
dipinang tetapi dengan sindiran.
c) Perempuan dalam masa iddah bain sugra boleh dipinang oleh
bekas suaminya.
8 Syarat Lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.
Apabila syarat ini dilanggar maka dapat mengakibatkan batalnya khitbah yang telah dilakukan. Lihat: Hady Mufaat, op. cit., hlm.33
9 Ibid.
-
18
d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh
bekas suaminya, setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki
lain, didukhul dan diceraikan.10
b. Syarat Mustahsinah
Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan
yang apabila dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang
disyaratkan. Syarat mustahsinah tidak harus dipenuhi dalam khitbah,
tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki yang akan
meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan
dibangunnya berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-
syarat mustahsinah antara lain:
1) Sejodoh (kafaah)
2) Subur dan mempunyai kasih sayang
3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan
budi pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di
kemudian hari.11
Demikianlah syarat-syarat yang terdapat dalam khitbah
(peminangan), baik syarat yang bersifat umum maupun yang berupa
anjuran. Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya khitbah
adalah Surat al-Baqarah ayat 235 :
10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. III,
1998, hlm. 65 11 Hady Mufaat Ahmad, op. cit., hlm.33-34.
-
19
):( Artinya: Dan tak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-
perempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka secara rahasia.12
3. Akibat-akibat dari Terjadiya Khitbah
Khitbah atau peminangan merupakan langkah awal dalam proses
pernikahan. Di mana melalui khitbah ini seorang yang meminang dan
yang dipinang dapat mengenal lebih dalam, sehingga kelak setelah
menjadi suami isteri tidak menimbulkan penyesalan serta kekecewaan di
kedua belah pihak.
Secara prinsip khitbah (peminangan) seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan belum berakibat hukum, sebagaimana dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab III, pasal 13 tentang
Peminangan, sebagai berikut; 1). Pinangan belum menimbulkan akibat
hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan; 2).
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.13
12 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Kumudasmoro
Grafindo, 1994, hlm.57 13 Saekan dan Erniati Effendi, op. cit., hlm. 78
-
20
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khitbah atau
peminangan tidak mempunyai akibat hukum. Akan tetapi ketika khitbah
telah dilakukan, maka timbul konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:
a) Meskipun khitbah tidak berakibat hukum, tetapi perempuan yang telah
dipinang oleh seorang laki-laki dan telah diterimanya, maka tidak
boleh dipinang oleh laki-laki lain, karena khitbah yang pertama
menutup hak khitbah orang lain, kecuali jika diizinkan oleh laki-laki
pertama. Bahkan jumhur ulama mengharamkan meminang perempuan
yang telah dipinang oleh orang lain.
b) Setelah terjadi khitbah maka laki-laki yang meminang boleh melihat
muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta saling mengenali
antara keduanya. Dalam istilah Arab disebut nadhar14 dan taaruf,15.
Pernikahan dalam Islam didasarkan pada kerelaan, kesukaan, serta
persetujuan dari kedua belah pihak. Maka dari itulah diperlukan bagi
masing-masing pihak untuk melakukan nadhar dan taaruf, sehingga
setelah menikah terhindar dari kemungkinan terjadinya kekecewaan-
kekecewaan.
c) Akad khitbah tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan
perempuan yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti
layaknya suami isteri.
14 Nadhar artinya melihat atau memandang. Dalam hal ini adalah melihat dari dekat
calon isteri atau suami dalam batas-batas kesopanan yang dibenarkan oleh syara dalam rangka menuju pernikahan. Lihat: Hady Mufaat, op. cit., hlm.41
15 Taaruf berarti mengenal. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan taaruf adalah saling mengenal kepribadian calon jodohnya masing-masing. Lihat: Hady Mufaat, Ibid
-
21
d) Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat yang
sepi, kecuali ditemani oleh muhrimnya.16
B. Akad Nikah
1. Pengertian Akad Nikah dan Dasar Hukumnya
Akad Nikah berasal dari dua kata, yaitu akad dan nikah. Istilah
akad berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata yang jamaknya
mempunyai arti perjanjian, pertalian atau kontrak.17 Kata nikah
berarti perkawinan atau perjodohan. Jadi akad nikah ialah
pernyataan sepakat (perjanjian) perkawinan.18
Sedangkan menurut istilah Akad Nikah adalah pernyataan sepakat
(perjanjian) dari pihak calon suami dan pihak calon isteri untuk
mengikatkan diri mereka dengan tali perkawinan.19
Kata-kata yang berisi pernyataan ikatan dalam suatu perkawinan,
dalam ilmu fiqh disebut sighat akad nikah. Sighat akad nikah merupakan
formulasi kehendak yang dinyatakan untuk mengadakan perikatan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang membuat akad, baik melalui lisan,
tulisan, maupun dalam bentuk isyarat. Dalam menyatakan kehendak yang
melalui ucapan diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
pernyataan pihak pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang
16 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. X, 1983, hlm. 12-13
17 Ahmad Warson, Munawir al-Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-Munawir, t.th., hlm.1023.
18 Hady Mufaat, op. cit., hlm.101 19 Ibid., hlm.101
-
22
mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri. Sedang qabul adalah
pernyataan pihak kedua setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya
untuk mengikatkan diri.20
Sementara itu Muhammad Husain al-Zahabi mengartikan ijab
dengan suatu ungkapan atau pernyataan awal dari salah satu orang yang
membuat akad yang menunjukkan kemauan atau kerelaan untuk
mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Sedangkan qabul adalah
ungkapan atau pernyataan dari orang kedua yang menunjukkan arti
penerimaan atau kerelaan dengan yang diungkapkan oleh orang yang
membuat ijab.21
Selain dari pengertian-pengertian akad nikah tersebut, dalam
Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa Akad Nikah merupakan
rangkaian ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi.22
Adapun yang menjadi dasar disyariatkannya akad nikah adalah
surat an-Nisa` ayat 21:
):(
20 Abdul Azis Dahlan, et. al., op. cit., hlm.64 21 Muhammad Husain al-Zahabi, al-Syariah al-Islamiyah (Dirasat Muqaranat baina al-
Mazahib ahl al-Sunnah wa Mazahib al-Jafariyah), Mesir: Dar al-Talif, t.th. hlm. 50 22 Saekan dan Erniati Effendi, op. cit., hlm. 75
-
23
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.23
Di samping itu, karena akad nikah merupakan salah satu bentuk
dari perjanjian yang menuntut untuk dipenuhi, maka keberadaan akad
nikah dapat juga didasarkan pada Surat al-Maidah ayat 1, sebagai berikut:
):( Artinya: Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.24
2. Syarat dan Rukun Akad Nikah
Dalam Islam suatu perkawinan dianggap sah, apabila perkawinan
itu dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukunnya sesuai
dengan ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam.
Menurut Undang-undang Perkawinan Bab I, pasal 2, ayat (2),
disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.25
Syarat dan rukun akad nikah merupakan dasar bagi suatu
perkawinan, yang mana jika syarat dan rukun tersebut terpenuhi, maka
perkawinan menjadi sah, dan sebaliknya jika syarat dan rukun tersebut
tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak
ada.
23 Departemen Agama RI, op.cit., hlm.120 24 Ibid., hlm. 156 25 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Semarang: Aneka Ilmu, 1990, Cet I,
hlm. 1
-
24
Syarat dan rukun dalam akad nikah adalah sesuatu yang berbeda.
Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan namun di
luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus ada dan
menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Sebagian dari rukun nikah
merupakan bagian dari persyaratan nikah. Oleh karena itu, persyaratan
nikah mengacu pada rukun-rukunnya atau dengan kata lain, persyaratan
nikah bertalian dengan keberadaan rukun-rukun nikah.
Dalam akad nikah ada lima rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Calon Suami
2. Calon Isteri
3. Wali Nikah
4. Dua orang saksi
5. Sighot (Ijab dan qabul)26
Adapun yang menjadi syarat-syarat akad nikah adalah sebagai
berikut:
1. Calon Suami, syaratnya:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon Isteri, syaratnya:
26 Abdurrahman Al Jaziri, Kitab Fiqh ala Mazhab al-Arbaah, Juz. IV, Mesir: al
Maktabah al Tijaroh al-Kubro, 1969, hlm. 12
-
25
a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali Nikah, syaratnya:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya
4. Saksi Nikah, syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa
5. Ijab qabul, syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahnya.
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
-
26
f. Orang yang berkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji
atau umrah.
g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang,
yaitu; calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai
perempuan atau wakilnya, dan dua orang saksi.27
Itulah syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan akad nikah demi sahnya perkawinan.
C. Pandangan Ulama Tentang Khitbah dan Akad Nikah
1. Pandangan Ulama Tentang Khitbah
Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum khitbah tidak wajib,
sehingga secara otomatis khitbah boleh dilaksanakan sebelum terjadinya
akad nikah. Meskipun hukum khitbah tidak wajib, tetapi khitbah sangat
perlu untuk dilaksanakan, karena khitbah merupakan perbuatan yang
mempunyai tujuan demi kebaikan. Mengingat pentingnya khitbah ini,
maka tak mengherankan jika Daud al-Zahiri menyatakan bahwa hukum
khitbah adalah wajib.28 Bahkan dalam masyarakat Indonesia khususnya,
khitbah (tunangan) adalah hal yang telah umum bahkan hampir pasti
dilakukan sebelum terjadi akad nikah. Maka tak mengherankan jika
pelaksanaan khitbah ini biasanya dilaksanakan dengan disertai berbagai
acara sangat meriah sesuai dengan tradisi yang berlaku di daerah
setempat. Pelaksanaan upacara dalam khitbah (tukar cincin, pemberian
27 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 71-72 28 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, t.tp.: Dar al-Fikr, t.th., hlm.2
-
27
hadiah, dan lain-lain) diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan
syara (Hukum Islam).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa khitbah bukanlah akad
pernikahan, tetapi hanya sebatas janji ikatan untuk melakukan akad
pernikahan, sehingga masih ada kemungkinan gagalnya atau pemutusan
khitbah tersebut. Dari sini kemudian muncul persoalan mengenai
kedudukan mahar atau pemberian-pemberian yang telah dilakukan.
Persoalan ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, karena
memang tidak terdapat dalil-dalil yang menjelaskan masalah ini dengan
jelas.
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa peminang berhak meminta
kembali mahar atau pemberian yang telah diberikan kepada pihak
terpinang. Jika barang itu telah rusak atau hilang, maka barang tersebut
diminta sesuai dengan nilai atau harganya.
Fuqaha Hanabilah dan sebagian Fuqaha Tabiin memandang
bahwa peminang tidak mempunyai hak untuk meminta kembali barang
yang telah diberikan, karena pemberian ini diqiyaskan dengan hibah.
Pemberian (hibah) tidak boleh diminta kembali, kecuali pemberian
seorang ayah kepada anaknya.29
Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika pemutusan
khitbah berasal dari pihak peminang, maka peminang tidak mempunyai
hak untuk meminta kembali pemberian itu. Sebaliknya, jika yang
29 Hady Mufaat Ahmad, op. cit., hlm.54
-
28
membatalkan dari pihak yang terpinang, maka wajib bagi si terpinang
untuk mengembalikan pemberian dari pihak peminang.
2. Pandangan Ulama Tentang Akad Nikah
Akad nikah merupakan hal yang mutlak atau harus dilakukan
dalam suatu perkawinan. Akan tetapi tidak semua akad nikah dapat
dianggap benar menurut hukum perkawinan Islam. Akad nikah baru
dianggap benar dan sah jika memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan
oleh syariat Islam. Namun begitu dalam hal-hal tertentu masih terdapat
perbedaan pendapat di antara para ulama fiqh.
Mengenai sahnya nikah para ulama mazhab sepakat bahwa
pernikahan dianggap sah apabila dilakukan dengan akad, yang meliputi
ijab dan qabul antara perempuan yang dilamar (wakil atau wali) dengan
lelaki yang melamarnya atau wakilnya.30 Dalam hal persetujuan seorang
gadis dengan menampakkan sikap diam tidak diperselisihkan, kecuali
pengikut Imam Syafii yang menyatakan bahwa persetujuan seorang gadis
harus dalam bentuk kata-kata, jika orang yang menikahkan bukan ayah
atau kakeknya.31
Masalah redaksi yang digunakan dalam akad nikah menjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Mazhab Hanafi berpandangan bahwa
akad boleh dilakukan dengan segala redaksi, yang penting lafal itu
menunjukkan maksud menikah. Bahkan dibolehkan menggunakan lafal
30 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, Terj. Masykur A. B., Afif Muhammad, dan Idrus al-Kaff, Jakarta: Lentera Basritama, 2002, hlm. 309
31 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 335
-
29
al-tamlik (pemilihan), al-hibah (penyerahan), al-bay (penjualan), al-ata
(pemberian), al-ibadah (pembolehan) dan al-ihlal (penghalalan),
sepanjang akad tersebut disertai qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti
nikah.32
Sedangkan menurut Imam Syafii, akad nikah hanya bisa terjadi
dengan kata-kata nikah atau tazwij.33 Imam Maliki dan Hambali
berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah apabila menggunakan lafal
al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya.34 Sementara mazhab
Imamiyah menyatakan bahwa ijab harus menggunakan lafal zawwajtu
atau ankahtu dalam bentuk fiil madi. Karena kedua lafal inilah yang
menunjukkan maksud pernikahan, sedangkan bentuk fiil madi memberi
arti kepastian. Selain dari persoalan-persoalan di atas, sebenarnya masih
banyak hal-hal yang menjadi perdebatan ulama berkaitan dengan akad-
nikah, tetapi menurut penulis yang dikemukan di atas telah mewakilinya,
sehingga tidak perlu dibahas satu-persatu.
32 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 309 33 Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 335 34 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit.,hlm. 311