khaira ummah dalam tafsir sunni dan...

82
KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: IVA RUSTIANA 11140340000002 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Upload: lamhanh

Post on 03-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

IVA RUSTIANA

11140340000002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai
Page 3: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

KHAIRA

Page 4: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai
Page 5: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

v

ABSTRAK

Iva Rustiana

Khaira Ummah dalam Tafsir Sunni dan Syi‘ah

Al-Qur`ân dalam membicarakan umat terdahulu tentu sangat eksplisit

terutama umat Islam. Umat Islam disebutkan sebagai umat terbaik (khaira

ummah) sesuai dengan firman Allah Swt. dan hadis Nabi Muhammad Saw.,

bahwa pemaknaan khaira ummah merupakan sebutan yang istimewa bagi umat

Islam, umat Nabi Muhammad Saw. Namun terdapat beberapa hal dalam

penafsiran mengenai penjelasan khaira ummah dari mufasir yang memiliki latar

belakang yang berbeda, dalam hal ini penulis menyajikannya dengan tafsir Sunni

dan Syi‘ah.

Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai hal tersebut, maka

penulis mengangkat tema Khaira Ummah dalam Tafsir Sunni dan Syi‘ah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan riset atau

kajian pustaka. Penelitian ini pula dengan menganalisis, mendeskripsikan dan

mengkomparasikan penafsiran beberapa tafsir yang memiliki latar belakang

berbeda yaitu Sunni dan Syi‘ah. Adapun rujukan utama yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kitab Tafsir Sunni yang meliputi Tafsir Al-Qurṯubî, Tafsir

Ibn Katsîr dan Tafsir Al-Munîr, dan kitab Tafsir Syi‘ah yang meliputi Tafsir Al-

Mîzân dan Tafsir Al-Qummî.

Melalui pembacaan dari sumber utama penelitian, dapat diketahui

penjelasan khaira ummah dari tafsir Sunni dan Syi‘ah yang penulis gunakan,

bahwasannya kedua belah pihak baik mufasir Sunni maupun Syi‘ah menafsirkan

ayat 110 surah Âli ‘Imrân dalam kitab tafsirnya masing-masing mereka tidak

partisan, walaupun ada sebagian yang menyatakan penafsiran dari khaira ummah

dengan berbeda, mufasir Syi‘ah al-Qummî beliau menafsirkan khaira ummah

ditujukan kepada para imam terbaik. Khaira ummah secara tekstual lebih

cenderung pada golongan orang-orang sehidup dan sezaman pada masa Nabi

Muhammad Saw. Akan tetapi secara kontekstual yang digunakan adalah mereka

yang mampu mempertahankan eksistensi umat sebagai umat pilihan yang diberi

gelar khaira ummah, menjaga gelar kehormatan tersebut dengan menjalankan

kebaikan, menunaikan tugas amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman Allah Swt.

Kata Kunci : Khaira Ummah, Tafsir Sunni, Tafsir Syi‘ah

Page 6: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

vi

KATA PENGANTAR

لرحيمبسم هللا الرمحن ا

Alhamdulillah, puji dan syukur atas segala nikmat yang Allah Subhânahu wa

Ta‘âlâ berikan. Segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi ini yang berjudul “Khaira Ummah dalam Tafsir

Sunni dan Syi‘ah”.

Salawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada junjungan

baginda besar Nabi Muhammad Sallallâh ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, para

sahabatnya, tabi‘ tabi‘in, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan curahan

syafaatnya di hari akhir nanti.

Dalam penyusunan skripsi ini tentunya penulis banyak mendapatkan saran,

kritik, arahan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang akhirnya penulis

bisa menyelesaikan skripsi ini. Terutama kepada dosen pembimbing yang tak pernah

lelah memberikan ilmu, arahan, dan bimbingannya kepada penulis agar dapat

memberikan hasil penelitian yang baik. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan

kerendahan hati perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai

pihak diantaranya sebagai berikut:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf pembantu dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.,

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Ahsin Sakho Muhammad Asyrofuddin, MA., selaku Dosen

Pembimbing Skripsi yang sudah banyak meluangkan waktunya untuk memberi

ilmu, arahan, dan masukan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik. Penulis memohon maaf jika selama masa bimbingan

skripsi telah banyak merepotkan dan melakukan kesalahan baik disengaja

Page 7: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

vii

maupun tidak disengaja. Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat bagi

penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah membagikan ilmu dan

pengalamannya kepada penulis, semoga ilmu yang didapat menjadi bekal untuk

masa depan dan semoga seluruh Dosen mendapatkan pahala kebaikan dari

Allah Swt.

6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Pusat Studi al-Qur`an,

Perpustakaan STFI Sadra, yang telah banyak membantu dalam menyediakan

referensi-referensi kepustakaan.

7. Kedua orang tua tercinta yang tak pernah lelah memanjatkan do’a untuk

kemudahan urusan dan cita-cita anak-anaknya, jasanya tak akan pernah terbalas

sepanjang masa. Ayahanda Sa’in dan Ibunda Rukanah, terima kasih atas segala

cinta, kasih, do’a, nasehat, dukungan, semangat, dan semuanya yang telah

diberikan untuk penulis, yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya

hingga saat ini. Semoga bapak dan mamah panjang umur, selalu dalam

kesehatan, keberkahan, dan berada dalam lindungan Allah Swt.

8. Kepada kakanda Nia Setiawati beserta suami, Budi Prasetyo, yang selalu

memberikan dukungan, arahan, dan motivasi untuk adiknya agar selalu tetap

bersyukur dan semangat dalam menjalani kehidupan serta senantiasa membantu

dalam masa pendidikan penulis.

9. Kepada keponakan tercinta, Yoga Pratama Putra yang selalu membuat rindu

menjadi kekuatan agar terus bangkit dan tetap semangat dalam menjalani

aktivitas, semoga adik menjadi anak yang Saleh.

10. Kepada Ustadz KH. Akhmad Sodiq, MA. dan Ustadz Utob Tabroni, Lc., MCL.

Selaku Pimpinan dan Pengasuh Ma’had UIN Jakarta yang tak pernah lelah

membimbing kami menuju jalan yang diridhai-Nya, serta seluruh keluarga besar

Ma’had Al-Jami’ah UIN Jakarta.

11. Kepada teman-teman jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2014, khususnya

teman-teman Tafsir Hadits A yang sama-sama berjuang menyelesaikan tugas

Page 8: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

viii

akhir kuliah. M. Asy’war Saleh, S.Ag., Dea Fauziah, S.Ag., Khanifatur Rahma,

S.Ag., Rifqoh Qudsiah, S.Ag., M. Firdaus, S.Ag yang saling memberikan

dukungan dan bantuan dengan penulis, semoga Allah Swt. memudahkan segala

urusan semuanya.

12. Kepada teman-teman penerima Beasiswa Bidik Misi tahun 2014 yang selalu

menginspirasi dan men-support penulis yaitu Eri Kusnardi, S.Ak., Ida Nur

Jannah, S.Hum., dkk serta keluarga besar Forum Mahasiswa Bidik Misi

(FORMABI) UIN Jakarta yang senantiasa telah menjadi wadah bagi penulis

untuk berorganisasi dengan baik.

13. Keluarga besar Himpunan Qari dan Qariah Mahasiswa (HIQMA) UIN Jakarta,

yang telah berkenan menjadi wadah tempat penulis mengembangkan dan

menimba ilmu al-Qur`an dan seni-seni Islami serta ke-organisasi-an.

14. Kepada teman-teman Ikatan Alumni MAN 2 Lebak daerah Ciputat, Nida

Sriwidiyanti, S.H., Abdul Yamin, Syahrizal Dzulqarnain, Alvi Tri Putri Utami,

Suci Martina, Anantha Ivan Wijaya, dll yang selalu memberikan support

kepada penulis, semoga keberkahan selalu mengiringi kalian.

15. Kepada teman-teman KKN GEMBIRA 078 tahun 2017 yang telah memberikan

pengalaman yang luar biasa, berjuang bersama mengabdi di tempat pengabdian,

semoga keberkahan selalu mengiringi dan segala urusannya dilancarkan..

16. Kepada semua ustadz, guru, kerabat, saudara, teman, dan semua pihak yang

telah membantu dan mendoakan penulis dalam menyusun skripsi ini. Mohon

maaf tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan terima

kasih dan semoga kebaikan tersebut bernilai pahala di sisi Allah Swt.

Ciputat, September 2018

Iva Rustiana

Page 9: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7

E. Metodologi Penelitian ...................................................................... 8

F. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 9

G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12

BAB II : GAMBARAN UMUM KHAIRA UMMAH DAN RUANG

LINGKUPNYA ................................................................................... 14

A. Definisi Khaira Ummah .................................................................. 14

1. Makna dari kata Khaira ............................................................. 14

2. Makna dari kata Ummah ............................................................ 17

B. Telaah Dalil tentang Khaira Ummah .............................................. 20

1. Dalil Al-Qur`ân .......................................................................... 20

2. Dalil Hadits ................................................................................ 22

C. Karakteristik Khaira Ummah .......................................................... 24

1. Amar Ma‘rûf dan Nahî Munkar ................................................ 24

2. Beriman kepada Allah Swt. ...................................................... 26

Page 10: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

x

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MUFASIR DAN TAFSIR AYAT

KHAIRA UMMAH ............................................................................. 30

A. Mufasir dan Sistematika Tafsir ....................................................... 30

1. Al-Qurṯubî .................................................................................. 30

2. Ibn Katsîr .................................................................................... 31

3. Wahbah al-Zuhaili ...................................................................... 32

4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î ................................................................. 35

5. Al-Qummî .................................................................................. 38

B. Penjelasan Umum Ayat Khaira Ummah dalam Tafsir ................... 40

1. Al-Qurṯubî dalam Tafsir al-Jami‘ Li Ahkâm al-Qur`ân ............. 40

2. Ibn Katsîr dalam Tafsir al-Qur`ân al-‘Aẕîm ............................... 42

3. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munîr .................................. 42

4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î dalam Tafsir al-Mîzân ............................. 43

5. Al-Qummî dalam Tafsir al-Qummî ............................................. 44

BAB IV : KLASIFIKASI KHAIRA UMMAH MENURUT MUFASIR SUNNI

DAN SYI‘AH DALAM Q.S. ÂLI ‘IMRÂN/3: 110 ......................... 45

A. Syarat-Syarat Khaira Ummah ......................................................... 45

B. Objek Khaira Ummah ..................................................................... 51

C. Dampak dari Khaira Ummah .......................................................... 57

BAB V : PENUTUP .......................................................................................... 61

A. Kesimpulan ..................................................................................... 61

B. Kritik dan Saran .............................................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 63

Page 11: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Syarat Khaira Ummah terkait Ajakan kepada Kebaikan (amar ma‘rûf

nahî munkar) ........................................................................................ 45

Tabel 4.2 Syarat Khaira Ummah terkait Beriman kepada Allah Swt. ................ 48

Tabel 4.3 Syarat lain yang menunjukkan kepada Khaira Ummah ...................... 50

Tabel 4.4 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan Sahabat

dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw. ......... 51

Tabel 4.5 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang

yang dikhususkan ................................................................................ 54

Tabel 4.6 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang

atau manusia secara umum .................................................................. 56

Tabel 4.7 Dampak Khaira Ummah terhadap kemuliaan umat di hadapan Allah

dan Rasul ............................................................................................. 58

Tabel 4.8 Dampak Khaira Ummah terhadap kebaikan lain ................................ 59

Page 12: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih

aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga

konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.

Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara

lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,

kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan

digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New

Roman, atau Times New Arabic.

Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,

pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi

di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri

hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini

disusun dengan logika yang sama, sesuai dengan Surat Keputusan Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta nomor 507 tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts Te dan es ث

J Je ج

H H dengan garis bawah ح

Kh Ka dan Ha خ

Page 13: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

xiii

D De د

Dz De dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan Ye ش

(S Es dengan garis di bawah ص

(D De dengan garis di bawah ض

(T Te dengan garis di bawah ط

Z Zet dengan garis di bawah ظ

‘ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh Ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ` ء

Y Ye ي

Page 14: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

xiv

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fathah ـ

i Kasrah ـ

u Dammah ـ

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ـ ai a dan i

و ـ au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dan garis di atas ـا

ـي î i dan garis di atas

û u dan garis di atas ـو

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf

kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

Page 15: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

xv

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda tasydīd (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak

ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti

kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital

tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.

Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-

Kindi.

Page 16: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

xvi

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd

al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد

Tsabata al-ajru ثبت األجر

Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية

هللاأشهد أن ال إله إال Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

Maulânâ Malik al-Sâlih موالان ملك الصاحل

yu`atstsirukum Allâh يؤثركم هللا

Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama

orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.

Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan

Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

Page 17: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam menempatkan manusia itu tidak saja dalam dimensi individu, akan

tetapi juga dalam dimensi sosial sebagai anggota sebuah masyarakat atau umat.1

Masyarakat atau umat Islam berarti para penganut daripada agama Islam itu sendiri.

Shariati berpandangan bahwa umat merupakan kumpulan manusia yang para

anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain saling bahu-membahu

agar dapat bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu

kepemimpinan kolektif.2 Selanjutnya al-Qarḏawi mengatakan bahwa individu

dalam suatu umat, memiliki hak dalam menjalankan akidah dan kewajiban-

kewajiban di depan komunitasnya, sebagaimana halnya masyarakat harus memiliki

ideologi atau akidah, di mana ideologi tersebut pada gilirannya berarti

merealisasikan cita-cita dan mencapai kemajuan.3

Umat Islam dituntut untuk mendirikan masyarakat yang Rabbani, Insani,

Akhlaqi dan masyarakat yang seimbang (tawâzun), sehingga mereka bisa

memperkuat agama mereka, membentuk kepribadian mereka dan bisa hidup di

bawah naungannya dengan kehidupan Islami yang sempurna. Suatu kehidupan

yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dibersihkan dengan ibadah, dituntun oleh

pemahaman yang sahîh, digerakkan oleh semangat yang menyala, terikat dengan

moralitas dan adab Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Lalu diatur oleh

hukum Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi kehidupannya.4

Umat Islam yang memiliki status sebagai penganut agama Islam, wajib

beriman kepada Allah Swt., mengerjakan kebaikan, ber-amar ma‘rûf dan nahî

munkar sesuai perintah yang tertera dalam al-Qur`ân. Akan tetapi, jika dilihat masih

banyak di kalangan masyarakat yang masih saja berbuat maksiat atau melakukan

perbuatan lainnya padahal mereka berstatus sebagai muslim. Contohnya di era

1 Yûsuf Al-Qarḏawi. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur`ân dan Sunnah (Solo: Citra

Islami Press, 1997), h. 33. 2 Ali Shariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah: Afif

Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 52. 3 Ali Shariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah: Afif

Muhammad, h. 53. 4 Yusuf Al-Qardhawi. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur`ân dan Sunnah, h. 35.

Page 18: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

2

sekarang tidak sedikit masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak

sesuai dengan norma-norma agama, seperti kenakalan remaja yang terjadi di

kalangan para pelajar, merajalelanya kasus narkoba, sesama umat muslim bercerai

berai, rusaknya citra Islam oleh terorisme dan perbuatan tidak senonoh lainnya yang

tidak berperilaku amar ma‘rûf nahî munkar. Contoh-contoh tersebut merupakan

perilaku yang tidak menggambarkan atas umat Islam yang mana dalam al-Qur`ân

telah dijelaskan bahwa umat Islam merupakan umat yang terbaik.

Kewajiban dalam berdakwah, persatuan dan kesatuan umat Islam pada

hakikatnya merupakan lahir dari sebuah kedudukan umat Islam itu sendiri yang

merupakan sebagai sebaik-baik umat. Hal inilah yang membedakan umat Islam

dengan sementara Ahl al-Kitab yang justru mengambil sikap bertolak dengan itu.

Tanpa ketiga hal (Menyuruh kepada yang ma‘rûf, dan mencegah dari yang munkar,

dan beriman kepada Allah) yang disebutkan dalam Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110, maka

kedudukan mereka (umat Islam) sebagai sebaik-baik umat tidak dapat mereka

pertahankan.5 Allah Swt. berfirman:

مرون ب هون عن ٱلمنكر و كنتم خي أمة أخرجت للناس ت ٱلمعروف وت ن ت ؤمنون بٱلل

م م هم ولو ءامن أهل ٱلكتب لكان خيا ل ١١٠ سقون ٱلمؤمنون وأكث رهم ٱلف ن “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada

Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di

antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-

orang yang fasik.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).

Ayat di atas menjelaskan bahwa jika sekelompok umat ingin disebutkan

sebagai umat yang terbaik (Khaira ummah) maka wajib baginya untuk

melaksanakan perintah yang tertera dalam ayat tersebut. Kemudian umat tersebut

akan memperoleh apa yang diinginkan sebagai Khaira ummah.

Islam merupakan agama yang bersatu dan damai, karena umat Islam

merupakan umat yang terbaik, maka perlunya untuk melakukan sesuatu tindakan

yang mencerminkan sesuai dalam al-Qur`ân, salah satunya yaitu dengan menjaga

5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah. Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`ân, I (Ciputat:

Lentera Hati, 2000), h. 172-173

Page 19: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

3

persatuan dan kesatuan umat terutama melalui para ulama agar tidak terjadi

perselisihan dan perpecahan di dalam umat.

Umat Islam sebagai umat terbaik bukan karena faktor pandai membaca al-

Qur`ân, pergi naik Haji atau Umrah tiap tahun, atau bahkan pula bukan karena

pandai berkhotbah, akan tetapi umat Islam dikatakan umat terbaik seperti yang

dijelaskan oleh beberapa ulama, bahwa umat muslim mampu mengajak orang lain

untuk berbuat baik, mencegah perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt., mampu

melakukan dengan tangannya, kekuasaannya, jabatannya untuk menolak suatu

kemunkaran guna menegakkan tali agama Allah Swt.6

Lalu bagaimana dengan paham Sunni dan Syi‘ah yang merupakan paham

yang paling besar dan melingkup dalam masyarakat Islam, juga tak dapat

dipungkiri bahwa keduanya memiliki beberapa perbedaan yang sangat signifikan,

bahkan bertentangan satu sama lain. Pertentangan antara Sunni dengan Syi’ah tidak

hanya sebatas pada tataran siapa yang seharusnya meneruskan Nabi, namun juga

berkaitan dengan fungsi dan penerusnya.7

Berikaitan dengan Khaira ummah, dalam umat Sunni, Sahabat setiap nabi

adalah orang-orang pilihan dan generasi terbaik dari umat nabi tersebut. Sabda

Rasulullah Saw.:

ف أمة ق بل ب قال: ما من نب ملسو هيلع هللا ىلصعن عبد هللا بن مسعود أن رسول هللا ى إال عثه اللا تلف ث ه ذون بسنيه وي قتدون بمر كان له من أمته حواريون وأصحاب ي خ إن فعلون ما ال ي ؤمرون..من بعد هم خلوف ي قولن ما ال ي فعلون وي

“Tidaklah ada seorang nabi pun yang diutus kepada suatu umat sebelumku,

kecuali ia memiliki para pendamping dan sahabat setia, yang senantiasa

mengikuti ajarannya dan berpedoman dengan perintahnya. Sepeninggal

mereka, datanglah suatu generasi yang biasa mengatakan sesuatu yang tidak

mereka perbuat, serta melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan”. (HR.

Muslim)8

6 Tafaqquh Video. “Ciri Ummat Terbaik - Ustaz Abdul Somad, Lc., MA.” Klip video daring.

YouTube, 03 Oktober 2016. Web. 11 Juli 2018. 7 Ayatollah Jafar Sobhani, Doctrines of Shi’I Islam, Reza Shah. Kazemi, trans, and ed.

(London: I. B. Tauris, 2001), h. 96-119. 8 Imâm al-Hâfiẕ Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî. Sahîh Muslim.

(Riyaḏ: Dâr al-Ṯaibah, 1426 H), Kitâb al-Îmân (1), Bâb Bayân kaun al-Nahî ‘an al-Munkar min al-

Îmân, wa an al-Îmân yazîdu wa yanqusu, wa an al-Amr bi al-Ma‘rûf, wa al-Nahîi ‘an al-Munkar

wâjibâni (20), nomor hadis 80/50, h. 42.

Page 20: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

4

Sedangkan dalam riwayat umat Syi‘ah, bahwa sahabat Nabi Saw. dijelaskan

dalam riwayat berikut, yaitu:

نب صلى الل : كان الناس أهل ردة ب عد العن سدير عن أب جعفر عليه السالم قال ن الألسود و ن الثالثة ؟ ف قال : المقداد ب م عليه وأله سنة، إال ثالثة : ف قلت : و ، وق م الرحى وأب ؤا ال : هؤالء الذين دارت عليه أب و ذر الغفاري و سلمان الفا رسي

"ها ف بايع ي مكر أن ي با يعوا حت جاؤوا بمي المؤ من “Dari Sudair, ia meriwayatkan dari Abu Ja‘far (Muhammad bin ‘Alî bin al-

Husain) a.s., “Dahulu sepeninggal Nabi Saw. seluruh manusia murtad

selama satu tahun, kecuali tiga orang. Al-Sudair pun bertanya, “Siapakah

ketiga orang tersebut?”dia menjawab, al-Miqdâd ibn al-Aswad, Abu Dzar

al-Gifâri, dan Salmân al-Fârisi, lalu beliau berkata, “Mereka itulah orang-

orang yang tetap kokoh dengan pendiriannya dan enggan untuk membaiat

(Abu Bakar Al-Siddîq) hingga didatangkan Amirul Mukminin (‘Alî ibn Abi

Ṯalib) a.s. dalam keadaan terpaksa, lalu beliaupun berbaiat.”9

Umat Syi‘ah mempropagandakan sebagai para pencinta Ahlul Bait dan

pembela mereka. Akan tetapi, faktanya mereka menghinakan Ahlul Bait, bahkan

menganggap mereka telah murtad dari Islam. Alasan bagi Imam ‘Amir bin Syurahil

al-Sya’bi10 untuk berkata tentang sekte Syi‘ah, “Kaum Yahudi dan Nasrani

memiliki satu kelebihan bila dibandingkan dengan agama Syi‘ah. Bila dikatakan

kepada kaum Yahudi, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya

mereka menjawab, “Tentu para Sahabat Nabi Mûsa a.s. Dan bila dikatakan kepada

kaum Nasrani, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya mereka

menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut setia Nabi ‘Isa. Akan tetapi, bila

dikatakan kepada agama Râfiḏah (Syi‘ah), “Siapa orang terjelek dari penganut

agamamu? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut

setia Nabi Muhammad.”11

9 Bihâr al-Anwâr oleh al-Majlisî 22/351 dan Tafsir Nur Al-Tsaqalain, karya Abdu Ali ibn

Jum‘ah al- ‘Arusy al-Huwaizi 1/396. 10 Amir bin Syurahbil al-Humairi atau yang lebih dikenal dengan al-Sya’bi, seorang tokoh

muslimin yang lahir selang enam tahun setelah masa khalifah al-Farruq Umar ibn Khaṯṯab r.a. Lihat

kisahmuslim.com/2831-kisah-tokoh-tabiin-amir-bin-syurahbil-asy-syabi.html (diakses pada Kamis,

18 Oktober 2018 pukul 11.15 WIB) 11 https://almanhaj.or.id/3118-sunnah-dan-syiah-bersandingan-mustahil.html (diakses pada

tanggal 30 Agustus 2018, pukul 21:52 WIB)

Page 21: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

5

Abu Zur’ah al-Râzi rahîmahu Allâh menyampaikan hasil studi dan

pengalaman beliau pada ucapannya berikut, “Bila engkau dapatkan seseorang

mencela seorang Sahabat Rasulullah Saw., maka ketahuilah bahwa ia adalah orang

zindīq (kafir yang menampakkan keislaman). Alasannya, karena kami meyakini

bahwa Rasulullah Saw. pasti benar, dan al-Qur`ân juga pasti benar. Sedangkan yang

menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Saw. adalah para Sahabat.

Dengan demikian, sesungguhnya orang yang mencela para saksi (perawi) kami

(yaitu para Sahabat), hendak menggugurkan al-Qur`ân dan Sunnah. Karena itu,

merekalah yang lebih layak untuk dicela.”12

Dalam Syi‘ah dan keyakinan mereka tentang pendistorsian al-Qur`ân,

dijelaskan bahwa di antara ulama Râfiḏah yang berpendapat hal tersebut yaitu

‘Alî ibn Ibrâhim al-Qummî yang berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 36): (Di

dalam firman Allah Swt.: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan

untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar

dan beriman kepada Allah.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110). Abu Abdillah berkata

kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik, lantas membunuh amîr al-

mu`minîn Hasan dan Husain bin ‘Ali ‘alaihima salam??” Lantas ada yang

bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut diturunkan wahai putra

Rasûlullâh?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian

para imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia)”)).13

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwasannya ada beberapa yang

membedakan dari pemahaman Sunni dan Syi‘ah tentang siapa itu Khaira ummah.

Maka selanjutnya, bagaimana sebenarnya yang terjadi dalam penafsiran-penafsiran

ulama-ulama mufasir baik dari Sunni dan Syi‘ah tentang Khaira ummah.

Dari beberapa kajian pustaka yang penulis dapatkan, setidaknya penulis

menemukan ada beberapa orang yang memberikan pendapatnya dalam sebuah hasil

penelitian yaitu Harles Anwar dan Kari Sabara, juga Moh. Abdullah Thohir.

Mereka melakukan penelitian dengan mengambil data utama yaitu Khaira Ummah,

namun keduanya menyajikan penelitiannya dengan berbeda. Bagi Harles Anwar

12 Riwayat al-Khaṭīb al-Bagdādi di dalam kitab Al-Kifāyah Fī ‘Ilmi al-Riwāyah. 13 https://muslim.or.id/417-kesesatan-agama-syiah-2.html (diakses pada tanggal 30 Agustus

2018, pukul 21:52 WIB)

Page 22: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

6

dan Kari Sabara,14 kedua penulis tersebut menyajikan karya tulis tentang Khaira

Ummah dengan implementasi dakwah dan menyimpulkan bahwa menurut para

mufasir terkait implementasi dakwah berdasarkan prinsip-prinsip Khaira Ummah

ialah dakwah Islam harus mengacu pada amar ma‘rûf nahî munkar, serta beriman

kepada Allah Swt. karena dengan hal tersebut akan mengantarkan umat Islam

menuju umat yang terbaik. Lalu tiga prinsip yang harus dimiliki oleh seseorang atau

golongan agar bisa dikatakan sebagai umat yang terbaik yaitu amar ma‘rûf nahî

munkar dan beriman kepada Allah Swt.

Sedangkan Moh. Abdullah Thohir15 menyajikan karya tulis tentang Khaira

Ummah dengan Implementasi Penafsiran dalam Tafsir Jalalain terhadap

Pembentukan Generasi Khaira Ummah di sebuah Pondok Pesantren. Penelitian ini

menjelaskan tentang penafsiran ayat Khaira ummah dalam Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110

dalam Tafsir Jalalain yaitu sebaik-baik umat yang hidup pada zaman Nabi dahulu

maupun pada zaman sekarang, dengan kriteria yang terdapat dalam ayat tersebut.

Kemudian diimplementasikan dalam kehidupan di Pondok Pesantren melalui

penerapan kriteria Khaira ummah tersebut, yaitu amar ma‘rûf nahî munkar dan

beriman kepada Allah Swt.

Berdasarkan kajian pustaka di atas, penulis menyimpulkan bahwa keduanya

melakukan pengimplementasian dari makna Khaira ummah dengan metode yang

berbeda. Peneliti pertama dengan melakukan riset pustaka dengan implementasi

dakwah, sedangkan yang kedua dengan riset lapangan dengan implementasi

penerapan kriteria di lingkungan masyarakat. Maka, jika dilihat dari keduanya,

penulis tidak menemukan penguraian dan analisis makna Khaira ummah dari

berbagai pandangan mufasir. Untuk itu, penulis akan menyajikan pengklasifikasian

berdasarkan makna Khaira ummah dengan menguraikan pendapat daripada

mufasir-mufasir klasik maupun kontemporer dengan dua latar belakang yang

berbeda yaitu Sunni dan Syi‘ah.

14 Harles Anwar dan Kari Sabara. “Prinsip-Prinsip Khaira Ummah Berdasarkan Surah Âli

‘Imrân Ayat 110”. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangka Raya. Jurnal Kajian Islam 4, no.

2 (2012): 191-210. 15 Moh Abdullah Thohir, 2017. “Implementasi Penafsiran Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110 dalam

Tafsir Jalalain Terhadap Pembentukan Generasi Khaira Ummah di Pondok Pesantren an-Nur al-

Islami Kauman Jekulo Kudus”. Skripsi. STAIN Kudus.

Page 23: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

7

Berdasarkan hal tersebut yang melatar belakangi penulis untuk mengkaji

penelitian dalam skripsi yang diberi judul: “Khaira Ummah dalam Tafsir Sunni

Syi‘ah”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi masalah terkait

penelitian ini yaitu:

1. Pengaruh faktor-faktor yang menjadikan umat Islam sebagai Khaira Ummah.

Bagaimana pandangan para mufasir mengungkapkan faktor tersebut sebagai

ciri dari umat terbaik yang dihubungkan dalam realitas dalam kehidupan

umat?

2. Makna Khaira Ummah yang tertera dalam al-Qur`ân telah banyak tokoh

mufasir yang menafsirkannya, termasuk mufasir yang berbeda latar belakang

(Sunni dan Syi’ah). Bagaimanakah pandangan dari mufasir yang berlatar

belakang berbeda terkait pengklasifikasian makna Khaira Ummah?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulis

melakukan penelitian skripsi ini dengan membatasi pada hal yaitu bagaimanakah

pandangan mufasir yang memiliki latar belakang keislaman berbeda dengan

menguraikan hal-hal yang menjadi pengklasifikasian yang terjadi berdasarkan

makna Khaira ummah.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis menyusun rumusan

masalahnya sebagai berikut: Bagaimana para mufasir Sunni dan Syi‘ah

menafsirkan dan menjelaskan pandangannya tentang pengklasifikasian makna

Khaira Ummah dalam kitab-kitab tafsirnya ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperkenalkan kitab tafsir Sunni dan Syi‘ah yang turut memberikan

kontribusi besar bagi perkembangan umat Islam.

2. Mendeskripsikan pandangan ulama Sunni dan Syi‘ah mengenai Khaira

Ummah dalam tafsir al-Qur`ân.

Page 24: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

8

Adapun signifikansi penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan praktisnya:

1. Dalam aspek teoritis

a. Melengkapi penelitian yang ditulis oleh Harles Anwar dan Kari Sabara,

juga Moh. Abdullah Thohir tentang Khaira ummah.

b. Memberikan wawasan mengenai Khaira ummah dalam al-Qur`ân dan

Tafsir.

c. Memberikan wawasan informasi tentang kontribusi dari kitab tafsir ulama

Sunni dan Syi‘ah.

2. Dalam aspek praktis

a. Karya ilmiah ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah

keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-

mengajar, terutama dalam mata kuliah Metode Tafsir dan Membahas

Kitab Tafsir. Penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai

kontekstualisasi makna Khaira ummah.

b. Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahuan di bidang pendidikan al-Qur`ân dan Tafsir khususnya yang

berkaitan dengan makna umat terbaik dan diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-sehari.

E. Metodologi Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu dengan

menggunakan model penelitian kualitatif dengan cara mengadakan penelusuran

terhadap beberapa karya besar mufasir Sunni dan Syi‘ah. Dalam hal ini penulis

menyajikan tiga karya tafsir Sunni dan dua karya tafsir Syi‘ah yang mana di

antaranya merupakan mufasir klasik dan kontemporer, serta karya-karya ilmiah

yang terkait dengan pembahasan Khaira Ummah tersebut. Dengan kata lain, jenis

penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research), karena data yang

diperoleh berdasarkan hasil riset pustaka.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tafsir muqaran

(perbandingan), membandingkan berbagi pendapat para mufasir dalam

menafsirkan ayat al-Qur`ân. Penulis mengambil tiga kitab tafsir Sunni dan dua kitab

tafsir Syi‘ah sebagai perbandingan rujukan primer (primary resources). Rujukan

sekunder (secondary resources) adalah tulisan atau karya-karya mufasir yang

Page 25: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

9

terkait dengan pembahasan di atas serta buku-buku ilmiah, jurnal, artikel, skripsi,

tesis, disertasi, dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini dan dianggap

penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan.

Kemudian metode pengumpulan datanya yaitu dengan mengeksplor semua

materi terkait dengan topik yang dibahas, baik itu berasal dari buku-buku, kitab,

kajian terdahulu (Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal dan Artikel), rekaman, film

dokumenter dan sebagainya.

F. Tinjauan Pustaka

Penulis melakukan kajian pustaka dengan membagi sumber kedalam dua

bagian yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Dalam sumber primer, penulis

mengambil rujukan langsung terhadap al-Qur`ân dan kitab-kitab tafsir seperti kitab

tafsir yang penulis gunakan yaitu kitab tafsir al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur`ân karya

Al-Qurṯubî, kitab tafsir Ibn Katsîr, kitab tafsir al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaili,

kitab tafsir al-Mîzân karya M. Husain ṮabâṮabâ’î dan kitab tafsir al-Qummî karya

Ibrâhîm al-Qummî.

Kemudian dalam sumber sekunder, penulis mengambil rujukan yang diambil

dari kitab-kitab tafsir lainnya sebagai pengetahuan tambahan, buku-buku, skripsi,

tesis, disertasi, maupun karya tulis ilmiah lainnya yang memiliki kaitannya dengan

penelitian yang penulis sajikan.

Penelitian yang terkait dengan yang disajikan oleh penulis sendiri, setidaknya

ada beberapa yang memiliki hubungan dengan ini, di antaranya yaitu:

Skripsi karya Tomi Sutrisno, dengan judul “Konsep Umatan Wahidatan

Perspektif al-Qur`ân dan Dampaknya di Indonesia: Studi Perbandingan Penafsiran

Sayyid Quṯb dan M. Quraish Shihab”. Penelitian ini membandingkan pendapat

antara penafsiran dari Sayyid Quṯb dan Quraish Shihab melalui ayat-ayat Umatan

Wahidatan. Dalam penafsiran Sayyid Quṯb, penulis ini berkesimpulan bahwa

manusia yang dahulunya mempunyai satu ajaran, kemudian mereka berselisih

karena mengalami berbeda pandangan dalam memahami ajaran tersebut. Sayyid

Quṯb mempunyai keinginan untuk menciptakan sebuah aturan Islam dalam satu

wilayah. Sedangkan Quraish Shihab tentang ayat-ayat Umatan Wahidatan yaitu

umat yang satu dalam ajaran kemudian terjadi perselisihan yang mengakibatkan

umat manusia terpecah belah. Dampak kedua penafsiran tersebut terhadap bangsa

Page 26: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

10

Indonesia yaitu Indonesia sendiri mempunyai semboyan yang berfungsi sebagai

penyatu warga negaranya.16

Skripsi Dede Asmudin yang berjudul “Konsep Umatan Wasaṯan dalam al-

Qur`ân Kajian surat Al-Baqarah ayat 143 menurut Sayyid Quṯb”, menjelaskan

bahwa umatan wasaṯan merupakan amanah bagi umat Islam yang mampu menjadi

umat pilihan, adil, pertengahan, dan seimbang dalam segala hal. Karena umat Islam

akan menjadi saksi atas seluruh umat manusia.17 Karya tulis ini hanya terbatas pada

ayat 143 surah al-Baqarah yang membahas mengenai umatan wasaṯan atau umat

pertengahan yang merupakan bagian dari konsep umat terbaik. Penelitian ini pun

dilakukan dengan mengkaji satu orang mufasir yang menafsirkan tentang umat

pertengahan itu sendiri.

Skripsi karya Herman, dengan judul “Konsep Masyarakat Islami Sayyid Quṯb

dalam Tafsîr fî Ẕilâl al-Qur’ân”. Dalam penelitian ini penulis menyebutkan bahwa

masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberlakukan Islam, baik akidah

maupun ibadahnya sesuai dengan syariat, aturan, akhlak dan tingkah lakunya.

Masyarakat jenis ini berdiri di atas landasan prinsip-prinsip yaitu fiṯrah, kesatuan

umat manusia, kemuliaan umat manusia, dan pertanggungjawaban. Sayyid Quṯb

merangkai pemikirannya tentang masyarakat Islami lewat landasan yang tersusun

rapi dan jelas.18

Skripsi Akhmad Fajarus Shadiq, dengan judul “Konsep Ummah dalam al-

Qur`ân (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu)”. Penelitian ini menyebutkan

bahwa term ummah menggambarkan bagaimana pandangan Islam terhadap konsep

kewargaan dalam suatu negara. Ia mengkaji term ummah dengan menggunakan

pendekatan semantik Toshihiko Izutsu, dan menghasilkan bahwa makna dasar dari

kata ummah ialah menuju atau menumpu. Kemudian terbentuk suatu himpunan

yang memiliki arah dan tujuan. Pemahaman terhadap konsep ummah memiliki

16 Tomi Sutrisno. 2013. “Konsep Umatan Wahidatan Perspektif al-Qur`ân dan Dampaknya

di Indonesia: Studi Perbandingan Penafsiran Sayyid Quthb Dan M. Quraish Shihab”. Skripsi. UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. 17 Dede Asmudin. 2012. “Konsep Umatan Wasaṯan dalam al-Qur`ân Kajian surat Al-Baqarah

ayat 143 menurut Sayyid Quṯb”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 18 Herman. 2012. “Konsep Masyarakat Islami Sayyid Quṯb dalam Tafsir fî Ẕilâl al-Qur’ân”.

Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 27: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

11

makna yang statis dan mengalami perkembangan dilihat jika dari aspek sinkronik

dan diakronik.19

Jurnal yang berjudul “Konsep Ummah (Sebuah Upaya Melerai Miskonsepsi

Negara-Bangsa” yang ditulis oleh Zayad Abd. Rahman, bahwa al-Qur`ân

menggunakan istilah ummah dalam bentuk tunggal untuk berbagai makna. Ummah

memiliki lebih dari satu makna. Makna umat tidak hanya terbatas bagi umat

manusia. Lebih dari itu terma ummah juga digunakan untuk menyebut suatu

kelompok tertentu seperti agama, waktu atau tempat. Terma ummah dan negara-

bangsa (nation-state) secara artifisial bertentangan satu dengan yang lain. Ummah

lebih dipahami sebagai entitas agamawi yang terbebas oleh koloni spasial

nasionalisme dan teritorialisme.20

Skripsi yang ditulis oleh Budy Prestiawan,21 Al-Qurṯubî meriwayatkan bahwa

al-Nuhas mengatakan “di antara hujjah yang sah sanadnya, diceritakan kepada kami

oleh Muhammad bin Rayyan, dia berkata “al-Laits menceritakan kepada kami dari

Nafi‘, bahwa Abdullah bin Umar jika ditanya tentang seorang laki-laki yang akan

menikahi wanita nashrani atau Yahudi, maka dia menjawab, Allah telah

mengharamkan wanita musyrik kepada orang-orang yang beriman, sementara aku

tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang

mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa, atau salah satu dari hamba-hamba Allah

Swt. Al-Jasas dan al-Qurṯubî telah mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita

musyrik, karena ajakan mereka ke dalam neraka menjadi alasan tegas

diharamkannya menikah dengan mereka. Hal ini karena mereka (orang musyrik)

dan kita (muslim) berada pada keyakinan yang berseberangan, dan seandainya

terjadi perkawinan maka anak-anaknya kelak akan tumbuh dalam kondisi

pertengkaran yang terjadi dalam keluarganya dan hal ini pula akan mempengaruhi

akhlak mereka yang setiap harinya selalu berada dalam kondisi pertengkaran.

19 Akhmad Fajarus Shadiq. 2016. “Konsep Ummah dalam al-Qur`ân: Sebuah Analisis

Semantik Toshihiko Izutsu”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 20 Zayad Abd. Rahman. 2015. “Konsep Ummah: Sebuah Upaya Melerai Miskonsepsi

Negara-Bangsa”. Religi: Jurnal Studi Islam 6, no.1 (2015): 1-18. Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri Kediri. 21 Budy Prestiawan. 2014. “Menikahi Orang Musyrik Perspektif Al-Jashash dan al-Qurthubi:

Analisa terhadap surah al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam al-Qur’an dan Al-Jami’ Li Ahkam

Al-Qur’an”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 28: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

12

Skripsi yang ditulis oleh Putri Ajeng Fatimah,22 menjelaskan bahwa

berdasarkan analisis dari kedua ayat di atas, perbedaan makna kalalah di antara para

ulama ataupun mufassir-mufassir dengan Wahbah al-Zuhaili, yakni mendefinisikan

seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan orang tua, seseorang yang

meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah ataupun seseorang yang meninggal

tanpa meninggalkan anak saja. Adapun mengenai pembagian-pembagiannya

terhadap orang yang menerima waris, pendapat wahah al-Zuhaili memiliki

persamaan dengan mufassir lainnya. Hanya saja terdapat penambahan dalam setiap

pembagiannya.

Skripsi yang ditulis oleh Pipin Tohidin,23 membandingkan pendapat dua

tokoh mufasir, bahwa menurut Imam al-Syaukani, mut’ah pernah dihalalkan oleh

Nabi Saw. dan kemudian dinasakh oleh beliau dengan hadis-hadis shahih.

Sedangkan Ṯabâṯabâ’î mengatakan mut’ah tidak dinasakh dan berlaku sampai pada

hari kiamat berdasarkan Q.s. al-Nisâ`/4: 24 yang ditafsirkan oleh Ibn Abbas, Ibn

Mas’ud, dan Ubay ibn Ka’ab.

Dari beberapa kajian pustaka yang telah dibahas di atas, penulis belum

menemukan mengenai konteks kajian umat terbaik dalam al-Qur`ân serta

pandangan hal tersebut dari mufasir yang memiliki latar belakang keislaman yang

berbeda. Kemudian penulis mengembangkan pemikiran dari tokoh mufasir Al-

Qurṯubî yang beraliran Ahl Sunnah dan dikomparasikan dengan ṮabâṮabâ’î yang

beraliran syiah, yang mana keduanya memiliki pandangan berdasarkan latar

belakangnya.

G. Sistematika Penulisan

Teknik penulisan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

penulisan yang biasa digunakan pada buku Panduan Penulisan Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis, Disertasi) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

pedoman transliterasi yang berdasarkan pada Surat Keputusan Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta nomor 507 Tahun 2017, panduan penulisan catatan kaki dan

22 Putri Ajeng Fatimah. 2011. “Waris Kalâlah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili: Tafsir

Q.s. Al-Nisâ/4: 12 dan 176”. Skripsi. UIN Syarif Hidatullah Jakarta. 23 Pipin Tohidin. 2010. “Nikah Mut’ah dalam Pandangan Al-Syaukani dan Ṯabâṯabâ’î: Studi

Komparatif atas Penafsiran Imam al-Syaukani dan Imam Ṯabâṯabâ’î terhadap surah al-Nisa/4: 24”.

Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 29: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

13

daftar pustaka (Turabian Style Citations/ Notes-Bibliography Style) dan Kamus

Besar Bahasa Indonesia.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab dengan

perincian sebagai berikut:

BAB I berisi pendahuluan tentang pandangan umum dari penelitian ini yang

meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan dan batasan

masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II berisi tentang kerangka teori dari gambaran umum mengenai Khaira

Ummah dan ruang lingkupnya: Definisi dari kata Khaira Ummah, telaah dalil

tentang Khaira Ummah baik dari al-Qur`ân maupun hadits, dan karakteristik

Khaira Ummah.

BAB III berisi tentang tinjauan umum mufasir dan tafsir yang meliputi dua

subbab, pertama yaitu biografi mufasir dan sistematika tafsir yang meliputi lima

tokoh mufasir beserta penjelasan karya kitab tafsirnya. Kedua yaitu penjelasan ayat

Khaira Ummah dari masing-masing tafsir yang digunakan.

BAB IV berisi mengenai pembahasan hasil dari tinjauan analisis penelitian

mengenai klasifikasi makna Khaira Ummah menurut para mufasir dalam tafsiran

Q.S. Âli ‘Imrân/3: 110.

BAB V penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan penelitian yang dibuat oleh

penulis dan saran-saran atas penelitian.

Daftar Pustaka meliputi rujukan atau referensi yang dicantumkan dalam

penulisan karya ilmiah ini, baik itu yang berasal dari buku-buku pustaka, jurnal,

internet/web, maupun karya ilmiah yang lainnya.

Page 30: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

14

BAB II

GAMBARAN UMUM KHAIRA UMMAH DAN RUANG LINGKUPNYA

A. Definisi Khaira Ummah

1. Makna dari Kata Khaira

Kata khair secara harfiah diterjemahkan dengan kebajikan. Dalam berbagai

ayat al-Qur`ân dan hadits, khair bisa berarti kekayaan atau juga kemakmuran.

Dalam Q.s. Al-Baqarah/2: 269, khair itu adalah hikmah atau ilmu pengetahuan.1

Dalam kamus mufradat al-Fâdz al-Qur`ân, kata khair (baik atau kebaikan)

diartikan sebagai sesuatu yang disukai atau disenangi dalam semua hal, seperti akal,

adil, keutamaan, sesuatu yang bermanfaat, dan lawannya adalah al-Syarru

(keburukan). Dikatakan bahwa kata khair memiliki dua macam: pertama, khair

mutlaq (kebaikan mutlak), yaitu kebaikan yang disenangi dalam setiap keadaan

oleh semua orang, seperti surga yang digambarkan oleh Rasulullah Saw.:2

.ة ان االااه اداعاب اار راشاباار ااشالا,اوار االن ااه اداعاب اايراباايااخالا“Tidak ada kebaikan dengan kebaikan yang akan membawa kepada neraka,

dan tidak ada kejahatan dengan keburukan yang akhirnya surga.”

Kedua, khair muqayyad (kebaikan yang terikat), yaitu suatu kebaikan bagi

seseorang, sementara menurut yang lainnya adalah keburukan.3

Kata Khair merupakan term yang lebih komprehensif dalam mengungkapkan

kualifikasi positif tentang perbuatan ataupun lainnya. Dalam al-Qur`ân, kata khair

yang berakar dari huruf-huruf kha-ya-ra disebutkan sebanyak 153 kali dengan

berbagai bentuk dan redaksinya, ditambah enam kali kata lainnya yang berarti

‘memilih’. Arti dasar dari kata khair adalah al-‘aṯfu wal mail4 (cenderung pada

sesuatu). Kata khair diartikan sebagai kebajikan (good) yang antonimnya adalah al-

1 M. Dawam Rahardjo. Ensiklopedi al-Qur`ân Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 121. 2 Al-Râghib al-Asfahâni. Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân (Beirut: al-Dâr al-Syâmiyyah, 2009),

h. 300. 3 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 300. 4 Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ. Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, II (Kairo:

Musṯafâ al-Bâbi al-Halabi wa Awlâduh, 1972), h. 232.

Page 31: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

15

syarr (kejahatan, evil) karena setiap orang cenderung pada kebaikan sehingga orang

itu memilihnya.5

Term yang hampir sama dengan khair adalah kata ma‘rûf yang dalam al-

Qur`ân terdapat pada 39 tempat dan dua kali disebut dengan kata al-‘urf (ini tidak

termasuk kata kerja yang berakar dari kata yang terbentuk dari ‘ain-râ`-fâ). Ada

dua arti dasar kata tersebut, yakni tatâbu‘ al-syay`i muttasilan ba‘ḏuhu bi ba‘ḏ dan

sukûn wa al-ṯuma`nînah.6 Maksud dari yang pertama adalah sesuatu yang berangkai

dan teratur antara satu dengan lainnya.7

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata khair (baik atau kebaikan)

memiliki arti elok, patut, teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dan sebagainya).8

Diartikan pula dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan bahwa kata “baik”

merupakan suatu sifat dari sesuatu yang bisa menyempurnakan eksisten dan

menjadi obyek minat, nilai, keinginan atau kehendak rasional.9

Di samping itu, bahwasannya al-Qur`ân juga menyebutkan beberapa istilah

yang menunjuk kepada arti kebaikan. Istilah-istilah tersebut antara lain:10

a. Ma‘rûf

Kata ma‘rûf cukup banyak disebut dalam al-Qur`ân. Misalnya, dalam

surah al-Baqarah disebut 15 kali. Dalam setiap kali penyebutan, maknanya diberi

konteks tertentu. Jika hanya melihat terjemahan harfiyahnya saja, maka

maknanya menjadi terlalu umum atau abstrak.11

b. Ihsân

Kata Ihsân terambil dari akar kata husn yang menurut al-Râghib al-

Asfahâni bermakna dasar segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi.

5 Lihat Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan

(Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 80. 6 Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, IV, h. 232. 7 Lihat Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan, h.

80-81. 8 Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008), cet. I, ed. 4, h. 118. 9 Save M. Dagun. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian

Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 91. 10 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân

(Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006), h. 175-176. 11 Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur`ân Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci, h. 121. Lihat pula Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal

dalam Al-Qur`ân, h. 165-175.

Page 32: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

16

Kebaikan atau kebajikan lawannya adalah sayyiah yang sering diartikan sebagai

keburukan. Kebaikan ini terdiri dari tiga macam, yaitu baik menurut akal, baik

menurut hawa nafsu, dan baik menurut panca indera. Sedangkan kata ihsân

secara bahasa kemudian digunakan untuk dua hal, yaitu memberi nikmat kepada

pihak lain, dan perbuatan baik.12

c. Birr

Kata birr secara bahsa bermakna dasar “keluasan dalam kebajikan”.13 Kata

yang tediri dari huruf-huruf ba` dan ra` ganda mengandung empat makna dasar

yaitu pertama kebenaran, dari sini lahir makna ketaatan, karena yang taat

membenarkan yang memerintahnya dengan tingkah laku; menepati janji karena

yang menepati janjinya membenarkan ucapannya; juga makna kejujuran dan

cinta. Kedua, daratan sebagai lawan dari lautan (bahr), dari sini lahir kata

bariyah yang berarti padang pasir, luas dan masyarakat manusia, karena daratan

atau padang pasir sedemikian luas, dan karena masyarakat manusia pada

umumnya hidup di daratan. Ketiga, jenis tumbuhan dan keempat, meniru suara;

seseorang yang suaranta keras dan banyak bicara tanpa dipahami dinamai

barbarah dari sini lahir istilah barbar.14

d. Ṯayyib

Makna dasar kata ṯayyib adalah segala sesuatu yang dirasakan enak oleh

panca indera maupun jiwa material maupun immaterial.15 Ṯayyib dapat juga

dipahami dalam arti bebasnya sesuatu dari segala yang mengeruhkannya, ṯayyib

sebagai lawan dari kata khabîts.16

e. Sâlih

Kata sâlih yang kadang juga diartikan dengan “baik” terambil dari akar

kata saluha yang dalam beberapa kamus bahasa al-Qur`ân dijelaskan maknanya

sebagai antonim dari kata fâsid, yang berarti “rusak”.17 Sehingga kata salih juga

12 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 235-236. Lihat pula Ali Nurdin.

Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h. 183-187. 13 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 114. 14 Ibnu Fâris, Mu‘jam al-Maqâyîs Fî al-Lughah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 107. 15 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 527. 16 Ibnu Fâris, Mu‘jam al-Maqâyîs Fî al-Lughah, h. 629. 17 Ibnu Fâris, Mu‘jam al-Maqâyîs Fî al-Lughah, h. 574; Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-

Fâdz al-Qur`ân, h. 284.

Page 33: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

17

diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai”. Dari sinilah amal sâlih dapat

diartikan sebagai aktivitas yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan

terhenti atau menjadi tiada; atau dapat juga diartikan sebagai suatu aktivitas yang

dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.18

2. Makna dari Kata Ummah

Dalam al-Qur`ân, istilah ummah mengandung sejumlah arti, umpamanya

bangsa (nation), masyarakat atau kelompok masyarakat (community), agama

(religion) atau kelompok keagamaan (religious community), waktu (time) atau

jangka waktu (term), juga pemimpin atau sinonim dengan imam.19

Kosa kata ummah muncul dalam al-Qur`ân tidak kurang dari 62 kali, baik

dalam bentuk mufrad maupun jamak, dan terletak pada ayat-ayat yang turun di

Mekah juga Madinah. Hanya saja pada ayat-ayat Madaniah-lah term ini merujuk

pada entitas keagamaan dan politik kaum Muslim.20

Ummah (dalam Bahasa Arab latin) yang merupakan kata berbentuk tunggal

dan umam adalah bentuk jamaknya. Menurut M. Quraish Shihab, kata ummah

terambil dari kata ي ؤ م اا–ام ا yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari

akar kata yang sama, lahir antara lain kata ا م ا yang berarti “ibu” dan امام ا yang

maknanya “pemimpin”;21 karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan,

dan harapan anggota masyarakat.22 Ibn Mandzur mengungkapkan makna leksikal

(berkaitan dengan kata) umat dengan tiga cakupan arti, yaitu (1) suatu golongan

18 Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur`ân al-Karîm (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 480. 19 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur`ân: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep

Kunci, h. 482-483. 20 M. Amin Nurdin, Eva Nugraha, dan Dadi Darmadi, Sosiologi Al-Qur`ân: Agama dan

Masyarakat dalam Islam (Ciputat: UIN Jakarta Pres, 2015), h. 17. 21 Dalam pandangan H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, kata umat dalam Qur’an yang berarti

“manusia” dan “masyarakat” ini, sebenarnya tidak berasal dari bahasa Arab dengan akar kata umm,

namun ia merupakan kata pinjaman dari bahasa Ibrani “umma” dan bahasa ‘Aram “umtha”. Oleh

karena itu, ia tidak memiliki kaitan langsung dengan homonimnya sebagaimana ditemukan dalam

al-Qur`ân, yang berarti “penggal waktu” (Q.S. Hud/11:8) dan “tingkah laku” (Q.S al-

Zukhruf/43:22). Pada sisi lain, kedua orientalis tersebut sepakat dengan terma ummah yang

bermakna “imam”. Hal ini didasarkan pada satu pengecualian dimana al-Qur`ân menggunakan

terma tersebut yang menunjuk satu individu, yaitu Nabi Ibrahim (lihat Q.S. al-Nahl/16: 120). 22 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat

(Bandung: Mizan, 1996), 325.

Page 34: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

18

manusia (jama’ah), (2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang

Nabi, dan (3) setiap generasi manusia sebagai satu umat.23

Kata “umat” kembali pada maknanya عةاالم yaitu jamaah yang saling topang

menopang dan tolong menolong. Menurut pendapat Imâm al-Râghib al-Asfahâni,

umat Nabi Muhammad Saw. merupakan jamaah yang bermaksud membenarkan

beliau, bersepakat dalam inti ajaran agamanya. Asal katanya dapat diambil dari

yaitu perkumpulan (umat, karena memenuhi keutuhan jamaah). Kemudian المع

kata “imam” merupakan pemimpin, terhadap perkumpulan kaumnya. Kata “ibu”

untuk mengumpulkan urusan anaknya. Salah satu bentuk kata “umat” yang terdapat

dalam al-Qur`ân yaitu dikatakan sesuai dengan firman Allah اك ن ت ماخياأ م ةراأ خرجتا .(Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia) للن اسا

Maksudnya adalah bahwa hal tersebut merupakan dikhususkan terhadap umat Nabi

Muhammad Saw. dan umat itu pula telah dijadikan sebagai umat pertengahan yang

adil.24

Selain itu, Imâm al-Râghib al-Asfahâni dalam “Mufradât al-Qur`ân”

mengemukakan pula makna generik umat sebagai setiap jamaah atau perkumpulan

manusia yang dipersatukan oleh urusan tertentu; apakah faktor pemersatu itu

berupa agama yang sama serta apakah urusan yang mempersatukan mereka itu

mengandung unsur paksaan atau bersifat pilihan semata.25

Kemudian ‘Alî Sharî’atî berpendapat bahwa, umat berasal dari kata ام ا yang

artinya “bermaksud” )قصدا( dan “berniat keras” )26.)عزما Pengertian seperti ini terdiri

atas tiga arti, yakni “gerakan”, “tujuan”, dan “ketetapan hati yang sadar”. Kata ام ا, pada mulanya juga mencakup arti “taqaddum” atau “kemajuan”. Dengan demikian,

23 Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab Juz XII (Beirut: Dar Syadir, 1994), h. 22. 24 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 31-35. 25 Lihat kutipan pendapat al-Râgib tersebut dalam Yûsuf Qardhâwî, al-Ummah al-

Islâmiyyah: Haqîqah Lâ Wahm (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h. 7. 26 Sharî’atî juga melihat beberapa arti yang berbeda yang terbentuk dari asal kata ini yang

semakin memperkaya arti Umat dan yang semakin membuatnya bertambah jelas. Contoh

pengungkapan arti paling jauh yang berbeda, antara lain “amām” (depan) sebagai lawan kata (warā)

dan “khalaf” (belakang). ‘Am al-ra’s yang berarti pemimpin, panutan dan teladan. Sementara

ta’mīm berarti mengubah kemampuan khusus menjadi umum dan bersifat sosial yang dimiliki oleh

umat. Lihat ‘Alî Sharî’atî, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis ter. Afif Muhammad

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 50. (Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi

Doktrin Politik Islam (Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2001), h. 177.

Page 35: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

19

kata tersebut terdiri dari empat arti, yaitu usaha atau ikhtiar, gerakan, kemajuan, dan

tujuan.27

‘Alî Sharî’atî menjelaskan pula bahwa “dasar tatanan umat, adalah kesamaan

akidah dan kesamaan dalam kepemimpinan yang satu agar individu-individunya

bergerak menuju kiblat yang sama. Ini menjadi ciri khas umat atau masyarakat

Islam untuk memperjelas jalan dan kiblat anggotanya. Karena itu, kata umat adalah

suatu istilah yang mengandung arti bergerak dan dinamis.28

Secara tegas, al-Qur`ân dan hadits tidak membatasi pengertian umat hanya

pada kelompok manusia saja, seperti dalil berikut ini:29

ضاولاط ئررايطي ابارأ ثال ك مام اوماامناداب ةرافاٱلأ هاإل اأ مم اأمأ

كت باناحيأ ناافاٱلأ ااف ر طأا ارب مأ ءراث اإل شر ونامناشيأأ ٣٨ي

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang

terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada

Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.s. al-An‘âm/6: 38.)

Rasulullah Saw. bersabda:

ارواهامسلما–الن مل اأ م ة امناال مماSemut (juga) merupakan umat dari umat-umat (Tuhan). (HR. Muslim).

M. Quraish Shihab menambahkan bahwa ikatan persamaan apapun yang

menyatukan makhluk hidup manusia atau binatang seperti jenis, suku, bangsa,

ideologi, atau agama, dan sebagainya maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu

umat.30

Al-Qur`ân menggunakan kata umat ini untuk arti yang menggambarkan

adanya ikatan-ikatan tertentu yang menghimpun sesuatu. Manusia adalah umat

pada saat terjalinnya ikatan yang menghimpun mereka, burung pun demikian, juga

27 ‘Alî Sharî’atî, Al-Ummah wa al-Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, ter. Afif Muhammad,

h. 52. 28 ‘Alî Sharî’atî, Al-Ummah wa al-Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, ter. Afif Muhammad,

h. 37-38. Dalam Ensiklopedi Oxford, umat diberikan definisi sebagai “sekelompok orang yang

memiliki orientasi keagamaan yang sama”. Lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the

Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), vol. VI, h. 93. 29 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat

(Bandung: Mizan, 2013), cet. I, h. 430. 30 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,

cet. I, h. 431.

Page 36: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

20

waktu yang dialami bersama oleh satu kelompok, bahkan termasuk juga seorang

tokoh yang sangat berpengaruh. Himpunan juga dinamai al-Qur`ân “umat”, seperti

“agama” dan waktu.31

Ummah dalam Bahasa Indonesia, ditulis dengan kata “umat”32 adalah sebuah

konsep yang telah akrab dalam masyarakat, namun sering dipahami secara keliru.

Istilah ini, karena begitu dekatnya dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang

terabaikan dan tidak dianggap sebagai pengertian ilmiah.33

Istilah tersebut megandung tiga buah konsep yang saling bertautan, yaitu (1)

kebersamaan dalam arah dan tujuan, (2) gerakan menuju arah dan tujuan tersebut,

dan (3) keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dengan demikian, umat

bagi Sharî’atî adalah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan

yang sama, yang satu sama lain saling bahu-membahu agar dapat bergerak menuju

tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif.”34

Ensiklopedia Indonesia menyebutkan beberapa istilah “umat” yang berasal

dari kata ummah itu berarti empat macam. Pertama, mengandung arti bangsa,

rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan. Kedua,

diartikan sebagai penganut suatu agama atau nabi. Ketiga, khalayak ramai.

Keempat, umum, seluruh, umat manusia.35

B. Telaah Dalil tentang Khaira Ummah

1. Dalil Al-Qur`ân

Kata Khaira ummah (اأمة muncul dalam al-Qur`ân hanya sekali (خي

yaitu yang terdapat di dalam ayat 110 Qur`ân sûrah Âli ‘Imrân.

a. Teks Ayat

31 M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur`ân: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan,

2008), cet. II, h. 306. 32 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “umat” diartikan sebagai; (1) para penganut

(pemeluk, pengikut) suatu agama, (2) penganut nabi, dan (3) makhluk manusia. Lihat Lukman Ali

et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 1101. 33 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: PT Gaya

Media Pratama, 2001), h. 177. 34 ‘Alî Sharî’atî, Al-Ummah wa al-Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, ter. Afif Muhammad,

h. 52. 35 Muhammad Nur Kholis Setiawan dan Djaka Soetapa. Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa

Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, 1 (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).

Page 37: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

21

Al-Qur`ân telah memuat secara jelas bahasan tentang umat terbaik.

Dalam mekanisme kelembagaan ataupun non kelembagaan yang memiliki ciri

yaitu melaksanakan amar ma‘rûf dan nahî munkar serta penduduk

masyarakatnya beriman,36 seperti firman Allah Swt.:

م ر وناأاللن اسات رجتأ اأ م ةراأ خأ

اخيأ م نكااك نت مأناعناٱلأ هوأ ر وفاوت ن أ

معأ من ونابٱلأ راوت ؤأراكت بالكاناخيأ ل اٱلأ

اءامناأهأ اولوأ من وناوأابٱلل م ؤأه م اٱلأ

سق ونااال مام ن أ ف ث ر ه م اٱلأكأ

اا١١٠“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan

beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih

baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan

mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).

Abdullâh Yûsuf ‘Alî, sebagaimana para ahli tafsir pada umumnya,

menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan umat pilihan itu adalah kaum

muslimin.37 Dari penafsiran itu timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud

dengan kaum muslimin atau umat islam itu adalah kaum muslimin sepanjang

masa atau mereka yang hidup pada zaman Rasulullah Saw.

Kata kuntum yang digunakan dalam ayat di atas ada yang memahaminya

sebagai kata kerja yang sempurna (kâna tammah) sehingga diartikan wujud

yakni kamu wujud dalam keadaan sebaik-baik umat. Ada juga yang

memahaminya dalam arti kata kerja yang tidak sempurna (kâna naqîsah) dan

dengan demikian ia mengandung makna wujudnya sesuatu pada masa lampau

tanpa diketahui kapan itu terjadi dan tidak juga mengandung isyarat bahwa dia

pernah tidak ada atau suatu ketika akan tiada. Jika demikian, maka ayat ini

kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah sebaik-baik umat.38

b. Asbâb al-Nuzûl

Mengenai asbâb al-nuzûl ayat ini, penulis mendapatkan keterangan

dalam tafsir al-Munîr karangan Wahbah al-Zuhaili terkait asbâb al-nuzûl ayat

ini, yaitu diterangkan bahwa ‘Ikrimah dan Muqatil berkata, “Ayat ini turun

36 Asrori S. Karni. Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi

(Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), h. 55-56. 37 Abdullâh Yûsuf ‘Ali, The Meaning of Holy Qur`ân (Maryland: Amana Corporation, 1992),

h. 602; lihat juga dalam Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbâh, vol. II, h. 173. 38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol. II, h. 173.

Page 38: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

22

berkaitan dengan Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b, Mu’adz bin Jabal dan Salim

budak Abu Hudzaifah. Ceritanya adalah bahwa ada dua orang Yahudi, yaitu

Malik bin al-Saif dan Wahb Yahudza berkata kepada mereka, “Sesungguhnya

agama kami lebih baik dari pada agama yang kalian dakwahkan kepada kami

dan kami jauh lebih baik dan lebih mulia dari kalian”. Lalu Allah Swt.

menurunkan ayat 110 surah Âli ‘Imrân.39

2. Dalil Hadits

a. Sahîh Muslim

Salah satu hadits Rasulullah Saw. yang menerangkan mengenai hal umat

terbaik atau Khaira ummah, yaitu:

اهللاا خي اأ م تاالقرن اال ذينا»صل ىاهللا اعليهاوسل م:اعناعبداهللااقال:اقالارس ول ه اي ل ون،اث اال ذيناي ل ون ماث اال ذيناي ل ون م،اث اييء اق وم اتسبق اشهادة اأحدهمايينا

يء اأق وام الايذك راهن اد االقرنا«اويين ه اشهادته ا بة :اث اي 40فاحديثه،اوقالاق ت ي

“Hadis riwayat ‘Abdullah bin Mas‘ud r.a., ia berkata: Rasulullah Saw.

bersabda: Sebaik-baik umatku adalah yang hidup pada kurun sahabatku,

kemudian setelah kurun mereka (tabiin), kemudian setelah kurun mereka

(tabiit tabiin).

Ulama telah bersepakat bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi yang

hidup pada masa Rasulullah Saw., yaitu generasi sahabat. Mayoritas ulama

berpendapat bahwa setiap muslim yang melihat Rasulullah Saw., meskipun

hanya sebentar itu sudah dinamakan Sahabat.

Predikat keutamaan sahabat ini bersifat umum. Artinya, mereka secara

global, bukan secara personal adalah generasi terbaik. Sehingga tidak bisa

seorang Sahabat mengungguli para Nabi ‘Alaihimussalâm dan tidak juga

seorang sahabat wanita mengungguli Maryam, Aisyah dan lainnya. Jadi,

generasi mereka secara global lebih baik dibandingkan dengan generasi lainnya

secara global pula.

39 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 373. 40 Imâm al-Hâfidz Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî. Sahîh

Muslim (Riyaḏ: Dâr al-Ṯaibah, 1426 H), Kitâb Fadâ’ilu al-Sahâbah, Bâb Fadila al-Sahâbah Tsumma

alladzîna yalûnahum, tsumma alladzîna yalûnahum, nomor hadis 208/2533, h. 1177-1178.

Page 39: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

23

Al-Qadi berkata, bahwa Ulama berbeda pendapat tentang arti Qarn

(kurun) ini; Al-Mughirah berkata, Kurun Rasulullah Saw. berarti sahabatnya,

kurun berikutnya adalah anak-anak mereka, lalu kurun selanjutnya adalah

cucu-cucu mereka. Ulama lain mendefinisikannya sebagai setiap golongan

yang hidup bersamaan dalam satu waktu. Dan dikatakan pula bahwa kurun

adalah sebutan khusus bagi orang-orang yang hidup dalam masa diutusnya

seorang nabi, baik dalam rentang waktu yang lama ataupun hanya sebentar.

Hadis ini menunjukkan kemukjizatan Nabi Muhammad Saw., dan juga

keutamaan yang dimiliki oleh generasi Sahabat, Tabi‘in dan Atba‘ Tabi‘in.41

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa manusia

terbaik adalah untuk manusia, kamu datang membawa mereka dengan rantai

pada leher-leher mereka hingga mereka masuk Islam.42 Begitu juga perkataan

Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah dan selain dari mereka, yakni manusia terbaik

adalah untuk manusia. Maknanya adalah bahwasannya mereka adalah umat

terbaik dan manusia paling bermanfaat untuk manusia, oleh karena itu firman-

Nya, “Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan

beriman kepada Allah.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).43

b. Musnad Imam Ahmad

Dalam Musnad Imam Ahmad, juga dalam Jâmi‘ al-Tirmidzi, Sunan Ibn

Mâjah, dan Mustadrak al-Hakim, diriwayatkan dari Hakim bin Mu`awiyah bin

Haidah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda:

.وت عالات باركااىاهللاالاااعاهام اراكاأااا،اواهاي اخاامات ان ا،اأاةرام اأ ااياعاباسااناواف اوات اامات ان اأا“Kalian sebanding dengan 70 (tujuh puluh) umat dan kalian adalah

sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah Swt.”44

Hadis di atas masyhur, dan dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi. Umat ini

menjadi sang juara dalam menuju kepada kebaikan tiada lain karena Nabinya,

41 Imam Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah: Fathoni Muhammad dan Futuhal

Arifin, II (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), h. 533-534. 42 Al-Bukhari (8/169 Fath) mauquf secara lafazh, tapi marfu’ secara hukum. Sebagaimana

riwayat yang sama dari Al-Bukhari secara marfu’ juga (6/101 Fath), begitu juga Ahmad

meriwayatkan di dalam Al-Musnad (8000), Ibnu Hibban di dalam Shahihnya (134) secara marfu’. 43 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsîr Jilid 1, II (Jakarta: Darus Sunnah

Press, 2014), h. 950-951. 44 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ‘Abdillâh Ahmad ibn Hanbal (Riyadh:

Baît al-Afkâr al-Dauliyyah linnasyri wa al-Tauzî‘, 1998), nomor 20264 , h. 1467.

Page 40: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

24

Muhammad Saw. Sebab beliau adalah makhluk paling terhormat dan Rasul

yang paling mulia di hadapan Allah Swt. Beliau diutus Allah Swt. dengan

syari’at yang sempurna nan agung yang belum pernah diberikan kepada

seorang Nabi maupun Rasul sebelumnya. Maka pengamalan sedikit dari

manhaj dan jalannya menempati posisi yang tidak dicapai oleh pengamalan

banyak dari manhaj dan jalan umat lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan

Imam Ahmad dari Muhammad bin ‘Ali Ibn al-Hanafiyah, bahwa ia pernah

mendengar ‘Alî ibn Abi Ṯalib r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda:

“Aku telah diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang Nabi

pun.” Lalu kami bertanya: “Apakah sesuatu itu, ya Rasulullah?” Beliau

Saw. bersabda: “Aku dimenangkan dengan ketakutan (musuh), aku

diberi kunci-kunci bumi, diberikan kepadaku nama Ahmad, dan

dijadikan tanah ini bagiku suci, serta dijadikan umatku ini sebagai umat

yang terbaik.” (Melalui jalan tersebut hadis ini hanya diriwayatkan

Ahmad dengan isnad hasan).45

C. Karakteristik Khaira Ummah

1. Amar Ma‘rûf dan Nahî Munkar

a. Amar Ma‘rûf

Kata ma‘rûf adalah isim maf‘ûl, kata kerjanya adalah ‘arafa yang

mengandung arti mengetahui (to know), mengenal atau mengakui (to

recognize), melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan (to discern). Kata

ma’rûf kemudian diartikan sebagai sesuatu yang diketahui, yang dikenal atau

yang diakui. Adakalanya juga diartikan sebagai menurut nalar (reason),

sepantasnya dan secukupnya. Imâm al-Râghib al-Asfahâni mengartikan

sebagai (ابلعقلاأواالشرعاح سنه ا (ي عرف , yaitu “apa yang dianggap baik syariat

dan akal”.46

Kata ma‘rûf dalam al-Qur`ân terulang sebanyak 32 kali. Dalam setiap

kali penyebutan, maknanya diberi konteks tertentu. Jika hanya dilihat makna

harfiahnya saja, maknanya menjadi terlalu umum atau abstrak. Untuk

45 M. Abdul Ghoffar, dkk. Tafsir Ibnu Katsîr. Terj. Lubâb al-Tafsîr min Ibn Katsîr (Bogor:

Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004). 46 Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqi, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur`ân al-Karîm,

(Beirut: Dâr al-Saqafah al-Islâmiyyah), h. 582-583.

Page 41: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

25

mengetahui maknanya yang lebih konkret harus dilihat konteksnya. Sebagai

contoh ungkapan qaulun ma‘rûfun dalam al-Qur`ân terulang sebanyak lima

kali, masing-masing dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235 dan 263; Q.s. al-Nisâ`/4: 5

dan 8; Q.s. Muhammad/47: 21. Secara harfiah ungkapan tersebut mengandung

arti “perkataan yang baik”.

Dalam Q.s. Al-Baqarah/2: 263 disebutkan,

اوٱلل اغناحليم ا ب ع هااأذرى ام ناصدقةراي ت أ

فرة اخيأ اومغأ ر وف ام عأ ل ٢٦٣۞ق وأ

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang

diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah

Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (Q.s. Al-Baqarah/2: 263)

Dalam ayat tersebut ungkapan qaulun ma‘rûfun dipertentangkan dengan

kebalikannya yaitu sadaqatun yatba‘uhâ adzâ sedekah yang diiringi dengan

sesuatu yang menyakitkan si penerima. Penjelasan ayat ini sangat berhubungan

dengan ayat sebelumnya yaitu Q.s. Al-Baqarah/2: 262:

افا ل مأ و اٱل ذيناي نفق وناأمأ ر ه مأاأجأ بع ونامااأنفق واامنااولاأذرىال مأ

اث الاي تأ سبيلاٱلل زن ونا ايأ اولاه مأ همأ اعليأ ف اولاخوأ ٢٦٢عندارب مأ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian

mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-

nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si

penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada

kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Dan ayat sesudahnya, yaitu ayat Q.s. Al-Baqarah/2: 270 terdapat

penjelasan sebagai berikut:

اأنصاررا لم ه ۥاومااللظ لميامنأاي عأ ررافإن اٱلل

ام نان ذأ ت انذرأ ت مام نان فقةراأوأومااأنفقأ٢٧٠

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan,

maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat

zalim tidak ada seorang penolongpun baginya”.

Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian ucapan atau

perkataan yang ma‘rûf. Bahwa itu shadaqah pada dasarnya adalah baik, namun

jika perbuatan baik tersebut diikuti dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti

orang yang menerima maka kebaikan tersebut tidak akan bernilai sama sekali.

Perkataan baik menjadi lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan

Page 42: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

26

mengungkit dan menyakiti.47 Itulah pengertian qaulun ma‘rûfun yang

merupakan kebalikan dari ucapan yang mengungkit dan menyakitkan hati.

b. Nahî Munkar

Secara bahasa, kata munkar berasal dari nakara yang berasal dari akar

kata nûn, kâf, dan râ’. Akar kata ini mengandung arti, aneh,48 sulit,49 buruk,50

tidak dikenal (lawan ma’rûf), dan juga mengingkari.51

Secara bahasa, munkar diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang

buruk, baik dari norma syariat maupun norma akal yang sehat.52 Makna ini

kemudian menjadi lebih meluas dalam pandangan syariat, sebagai segala

sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan budaya atau adat istiadat

suatu masyarakat.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pengertian munkar lebih luas

jangkauan pengertiannya dibanding ungkapan lain yang juga dipakai oleh al-

Qur`ân untuk menunjuk perbuatan yang buruk seperti ma‘siyat (perbuatan

maksiat).53

2. Beriman Kepada Allah Swt.

47 Ali al-Sâbuni, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, I (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th), h. 3595 48 Ali al-Sâbuni, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, Jilid II, h. 167. 49 Makna ini dapat ditemukan dalam Q.s. Hûd/11: 70:

جساما اوأوأ هانكره مأ الاتصل اإليأ دي ه مأ نااف لم اارءااأيأ سلأ اأ رأ اإن اقال واالاتفأاخيفةر ه مأ

مال وطراان أ اق وأ ٧٠ إل “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh

perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu

takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth"”. 50 Makna ini antara lain dapat ditemukan dalam Q.s. al-Kahfi/18: 87,

ارب ها ب ه ۥاث اي رد اإل فان عذ ررااقالاأم اامناظلمافسوأان كأ ب ه ۥاعذابر ٨٧ۦاف ي عذ

“Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya,

kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang

tidak ada taranya”. 51 Makna ini dapat ditemukan antara lain dalam Q.s. Luqmân/31: 19:

اإن اأنكرا تك امناصوأ ض ضأيكاوٱغأ افامشأ صدأ تااوٱقأ و صأ مياٱلأ اٱلأ ت ١٩الصوأ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya

seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. 52 Al-Râghib al-Asfahâni, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, h. 505. 53 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.

203.

Page 43: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

27

Karakteristik umat yang terbaik selanjutnya menurut al-Qur`ân adalah sebuah

masyarakat ideal yang ditopang oleh keimanan yang kokoh kepada Allah Swt. Hal

ini antara lain disebutkan dalam Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110.

م ر وناباأاللن اسات رجتأ اأ م ةراأ خأ

اخيأ م نكراواك نت مأناعناٱلأ هوأ ر وفاوت ن أ

معأ اٱلأ من ونابٱلل ت ؤأراال مام ا

كت بالكاناخيأ ل اٱلأاءامناأهأ ف اولوأ ث ر ه م اٱلأ

من وناوأكأ م ؤأه م اٱلأ

سق ونان أ“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada

Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di

antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-

orang yang fasik.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).

Dalam ayat tersebut keimanan kepada Allah diletakkan dalam urutan yang

ketiga dari syarat-syarat masyarakat ideal, salah satu penjelasannya sebagaimana

disampaikan oleh Al-Marâghi adalah bahwa amar ma‘rûf dan nahî munkar

merupakan pintu keimanan dan yang memelihara keimanan tersebut, pada

umumnya pintu itu posisinya berada di depan.54

Kemudian, kata iman terambil dari kata amn yang berarti keamanan atau

ketenteraman. Dalam kamus-kamus bahasa kata tersebut sering diartikan sebagai

lawan dari khawatir atau takut.55 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata iman

diartikan sebagai kepercayaan (yang berkenaan dengan agama) dan keyakinan

kepada Allah, nabi, kitab, dan sebagainya.

Selanjutnya, iman dari segi bahasa diartikan sebagai “pembenaran dalam

hati”, makna ini kemudian meluas dan dianggap sebagai hakikat iman yaitu:

ابلركان اواعمال ابلسان ابلقلباوإقرار pembenaran dengan hati, ucapan) تصديق

dengan lidah serta pengalaman dengan anggota badan) terhadap apa yang

disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.56ا

54 Sebagian mufassir ketika menjelaskan ayat ini juga meletakkan iman pada urutan pertama

baru kemudian amar ma‘ruf nahî munkar. Lihat Abdullâh Yûsuf ‘Ali, The meaning of The Holly

Qur`an, (Maryland: Amana corporation, 1991), h. 155, catatan no. 434. 55 Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.

159. 56 Al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, jilid IX, h. 85; peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan

perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 H. Isi pokok perjanjian tersebut adalah: (1) peletakan senjata

antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, (2) orang Quraisy muslim yang datang kepada kaum

muslimin dengan tidak seizin walinya hendaklah ditolak kaum muslimin, (3) Quraisy tidak menolak

orang muslim yang kembali kepada mereka, (4) barangsiapa yang hendak membuat perjanjian

dengan Muhammad dibolehkan, begitu juga siapa yang hendak membuat perjanjian Quraisy juga

Page 44: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

28

Iman dalam arti kebahasaan sebagaimana disebutkan sebelumnya yang

diambil dari akar kata yang berarti aman atau tenteram, namun dalam al-Qur`ân

terdapat informasi bahwa iman khususnya pada tahap awal tidak selalu

menghasilkan ketenteraman jiwa. Informasi antara lain terdapat dalam Q.s. Al-

Baqarah/2: 260, yang menceritakan tentang keraguan Ibrâhîm a.s.

ر ها اقالاإب أ اأرناكيأاا اوإذأ مام ارب ياٱلأ أ اقالاب لى افات من ات ؤأ اقالاأوالأتى مئن اوأ

اول كنال يطأه ن ا افص رأ ب عةرام ناٱلط يأ اأرأ

اقالافخ ذأ باك ل اجبلراق لأ اعلى علأ

كاث اٱجأ ءراااإليأاج زأ ه ن

ام ن أا لمأ يرااوٱعأ

تينكاسعأأاي ع ه ن

احكيم ااأن اٱلل اث اٱدأ ااعزيز “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah

kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati". Allah

berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah

meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah

berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah

semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu

bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka,

niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. Al-Baqarah/2: 260)

Ayat tersebut menggambarkan bahwa Nabi Ibrāhīm a.s, ketika itu telah

beriman, tetapi belum mencapai suatu tingkat yang menghasilkan ketenangan dan

ketenteraman jiwa. Dengan kata lain ketika itu masih terlintas di dalam hatinya

tersebut pertanyaan-pertanyaan yang dapat dinilai sebagai macam keraguan.

Namun demikian bagi para nabi dan orang-orang mukmin lintasan pikiran seperti

dicontohkan di atas tidak lagi muncul dikarenakan hati mereka telah mantap

dengan keimanan mereka.57 Hal ini juga dipertegas dalam Q.s. Al-Hujurât/49: 15.

اورا ابٱلل من وناٱل ذيناءامن وا م ؤأاٱلأ ا اواإن تب وا اي رأ اس ولهۦاث الأ هد وا افاباج اوأنف سهمأ لمأ و مأ

دق وناا اأ ول ئكاه م اٱلص سبيلاٱلل “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak

ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka

dibolehkan, (5) kaum muslimin tidak jadi mengerjakan umrah di tahun ini, akan tetapi ditangguhkan

sampai tahun depan. Di tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah tidak diperbolehkan

membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan mereka tidak boleh tinggal di dalam kota

Mekah lebih dari tiga hari tiga malam. (Muhammad Rasyîd Ridhâ, Muhammad Rasûlullâh, (Beirut:

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1395/1975)), h. 252-256. 57 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.

160.

Page 45: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

29

pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Q.s. Al-

Hujurât/49: 15)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110

memiliki objek keimanan yaitu yang disebut hanyalah Allah. Hal ini bukan berarti

tidak ada objek keimanan yang lain. Salah satu ciri redaksi al-Qur`ân adalah

ringkas dan padat. Penyebutan objek keimanan yang hanya Allah tersebut tentu

saja sudah mencakup objek-objek keimanan yang lain, karena Allah adalah puncak

kegaiban dari segala yang gaib dan objek keimanan yang utama adalah Yang

Mahagaib.58

Kaitannya dengan ciri masyarakat yang diidealkan al-Qur`ân menjadi umat

terbaik adalah bahwa iman yang dimaksud adalah keimanan yang diajarkan oleh

al-Qur`ân. Dalam al-Qur`ân dan hadis Nabi Saw. diperkenalkan objek keimanan

yang harus diimani oleh seorang mukmin. Penjelasan ini sekaligus menjawab

pendapat sementara orang yang menganggap tidak ada kaitannya antara iman

seseorang dengan iman sebagaimana diajarkan oleh al-Qur`ân.59

Urgensi iman dalam kehidupan bermasyarakat ini juga diperkuat dalam Q.s.

al-‘Asr/103, yang secara umum menyatakan bahwa semua manusia tanpa

terkecuali akan mengalami kerugian kecuali orang-orang yang mempunyai empat

sifat umum yaitu: iman, amal saleh, berwasiat kepada kebenaran, dan berwasiat

kepada kesabaran.60

58 Quraish Shihab ketika menjelaskan tentang penyebutan objek keimanan yang hanya dua

ini menyatakan bahwa penyebutan kedua objek tersebutbukan berarti hanya kedua hal tersebut yang

dituntut dari orang-orang yang beriman, tapi keduanya merupakan istilah yang biasa digunakan al-

Qur’āan dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Lihat Quraish

Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Vol. 1, h. 208. 59 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.

163. 60 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.

165.

Page 46: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

30

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG MUFASIR DAN TAFSIR AYAT KHAIRA

UMMAH

A. Mufasir dan Sistematika Tafsir

1. Al-Qurṯubî

a. Biografi

Seorang ulama cerdas sekaligus mufasir pemilik nama lengkap Abu ‘Abdillâh

Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Malikî al-Qurṯubî (w. 671 H/ 1273 M). Beliau

lahir di lingkungan keluarga petani di Cordoba pada masa kekuasaan Bani

Muwahhidûn tahun 580 H/ 1184 M.1 Dalam buku “Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern”2 diterangkan bahwa syaikh al-Dzahabi memberikan penjelasan mengenai

Imam Al-Qurṯubî yaitu seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam.

Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas

pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya. Beliau meninggal dunia di Mesir

pada malam Senin, tepatya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada

di El Meniya, di Timur sungai Nil dan berbagai kalangan sering kali mengunjungi

makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M di sana dibangun sebuah masjid sekaligus

diabadikan nama Imam al-Qurṯubî.3

Al-Qurṯubî dalam perjalanan intelektualnya tentunya dibarengi dengan

pemahaman teologi madzhab sebagai bagian cara berpikirnya dalam menuangkan

kitab tafsirnya. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa al-Qurṯubî adalah

seorang penganut sunni asy‘ari dan beliau membela dan mempertahankan ahlu

sunnah.4 Beliau tidak membiarkan terhadap serangan seorang mu’tazilah terhadap

pemikiran sunni apakah dalam persoalan hukum maupun aqidah.5

b. Sistematika Tafsir al-Jâmi‘ Li Ahkâm al-Qur`ân

1 Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufasirûn: Hayatuhum wa Manhâjuhum (Teheran:

Mu’assasah al-Ṯiba‘ah wa al-Nasyr, 1414 H), h. 408. 2 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 20. 3 Al-Qasabi Mahmud Zalaṯ, Al-Qurṯubi wa Manhâjuhum fî Tafsîr (Kuwait: Dar al-Qalam,

1981), h. 6 dan 30. 4 Muhammad ‘Ali Iyâzi, Al-Mufasirûn Hayâtuhum Wamanhâjuhum, h. 411. 5 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 20.

Page 47: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

31

Kitab tafsir al-Qurṯubî dikenal sebagai kitab tafsir yang banyak mengurai isi

ayat-ayat kandungan al-Qur`ân yang objek kajiannya lebih prioritas terhadap

persoalan hukum, sehingga dengan objek kajiannya ini beliau menamai tafsirnya

dengan “al-Jâmi‘ Li Ahkâm al-Qur`ân wa al-Mubayyin Limâ Taḏammanah min al-

Sunnah wa Ayi al-Furqân” yang berarti “Penghimpun hukum-hukum al-Qur`ân dan

penjelas bagi sunnah dan ayat-ayat pembeda antara yang haq dan baṯil.6

Di dalam tafsirnya, al-Qurṯubî tidak membatasi kajiannya pada ayat-ayat

hukum saja, tetapi komprehensif. Metodologi tafsirnya adalah menyebutkan asbab

al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), mengemukakan ragam qira`at dan i‘rab,

menjelaskan lafaẕ-lafaẕ yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan

berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraf khusus bagi kisah

para mufasir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama

terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia

mengutip dari Ibn Jarir al-Ṯabarî, Ibn ‘Aṯiyyah, Ibn ‘Arabi, Alkiya Harrasy, dan

Abu Bakar al-Jassas.7

Al-Qurṯubî dalam tafsirnya menerapkan metode penafsiran dengan

menggunakan metode tahlîli, karena al-Qurṯubî mencoba menjelaskan dan

memetakan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari berbagai seginya dengan

memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur`ân sebagaimana yang tercantum di dalam

mushaf. Bukan berarti dengan tahlîli yang digunakan oleh al-Qurṯubî sehingga

secara keseluruhan penafsirannya itu bentuk tahlîli, namun metode ijmâli pun

terkadang menjadi cara untuk menafsirkan al-Qur`ân yang berarti secara ringkas

dan dengan bahasa yang komunikatif.8

2. Ibn Katsîr

a. Biografi

Pemilik nama lengkap ‘Imaduddîn Abu al-Fida` Isma‘îl bin ‘Umar bin Katsîr

al-Qurasyi al-Busrawi al-Dimasyqi9 merupakan seorang ulama yang memiliki

6 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 22. 7 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-

Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 471. 8 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 26. 9 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer (Depok: Lingkar Studi al-Qur`ân, 2013), h. 117.

Page 48: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

32

keluasan ilmu terutama dalam bidang tafsir, hadits, dan sejarah.10 Beliau dilahirkan

pada 705 H dan wafat pada 774 H, sesudah menempuh kehidupan panjang yang

syarat dengan keilmuan. Menurut Ibn Hajar, Ibn Katsî merupakan seorang ahli

hadits yang fakih. Karya-karyanya tersebar luas di berbagai negeri semasa hidupnya

dan bermanfaat bagi orang banyak setelah wafatnya.11

b. Sistematika Tafsir al-Qur`ân al-‘Aẕîm

Dalam tafsirnya terhadap Kalam Allah, biasanya Ibn Katsîr menggunakan

hadits dan riwayat, menggunakan ilmu Jarh wa Ta‘dil, melakukan komparasi

berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagiannya, serta mempertegas kualitas

riwayat-riwayat hadits yang sahîh dan yang ḏa‘îf. Keistimewaan Ibn Katsîr terletak

pada seringnya memberikan peringatan akan riwayat-riwayat yang berbau Israiliyat

yang banyak terdapat dalam kitab tafsir bi al-Ma‘tsûr. Selain itu, ia selalu

memaparkan masalah-masalah hukum yang ada dalam berbagai madzhab,

kemudian mendiskusikannya secara komprehensif.12

3. Wahbah Al-Zuhaili

a. Biografi

Syekh Wahbah al-Zuhaili dilahirkan di kota Dair ‘Aṯiyyah, yang merupakan

sebuah daerah yang terletak di kawasan al-Qalmun dan termasuk dalam wilayah al-

Nabak, di Provinsi Rif Damaskus. Di kawasan Dair ‘Aṯiyyah itulah Syaikh Wahbah

al-Zuhaili, Abû ‘Ubadah, lahir pada tanggal 6 Maret 1932 M/ 1351 H dari orang

tua yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaannya.13 Meski bapaknya hanya

seorang petani, namun beliau memiliki cita-cita yang tinggi dan semangat yang kuat

dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Sehingga di daerah Syam, beliau sangat

10 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-

Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, h. 456. 11 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-

Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, h. 478. 12 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-

Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, h. 456. 13 Ikatan Alumni Syam Indonesia. ‘Allâmah Asy-Syam Syekh Wahbah Az-Zuhaili, I (Depok:

Al-Hikam Press, 2017), h. 15-16.

Page 49: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

33

dikenal, baik sebagai ulama maupun cendekiawan muslim; beliau pun juga seorang

hafiẕ al-Qur`ân.14

b. Sistematika Tafsir al-Munîr

Kitab ini menafsirkan seluruh ayat al-Qur`ân, terdiri dari 16 jilid, yang mulai

ditulis pada tahun 1408 H. Ia diterbitkan oleh beberapa penerbit, antara lain Dar al-

Fikr, Syria dan Dar al-Fikr Mu‘asir, Beirut, dan dicetak pertama kali pada tahun

1411 H/1991 M.15

Syekh Wahbah al-Zuhaili menyatakan:

“Kitab tafsir al-Munîr, bukan hanya sekedar ringkasan atau kumpulan

dari beberapa pendapat mufassir. Namun, juga bukan kitab yang baru sama

sekali. Hanya saja, di dalam penulisan kitab ini didasarkan pada pilihan-

pilihan dari beberapa pendapat yang dipandang paling sahîh dan lurus,

dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan serta yang paling mendekati

kebenaran sesuai dengan semangat ayat tersebut. Baik dari kitab tafsir klasik

maupun modern. baik bi al-ma’tsûr maupun bi al-ma‘qûl. Tafsir ini sengaja

menghindari pertentangan-pertentangan, dalam persoalan ilmu kalam, yang

seringkali tidak ada relevansinya dengan tafsir itu sendiri, yang oleh

karenanya ia tidak dibutuhkan”.

Penulisan tafsir al-Munîr dari sisi runtun penafsiran, yang dimulai dari surah

al-Fâtihah dan diakhiri surah al-Nâs, merupakan tafsir yang menggunakan metode

penafsiran tahlili.16 Berdasarkan metode ini Wahbah menuliskan tafsirnya dari

berbagai sisi secara rinci, dimulai dari membahas keutamaan surah, membahas

makna kosa kata, mengulas kandungan sastranya, menafsirkan kandungan ayatnya

kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut di bawah tema fiqh al-hayah,

tanpa mengabaikan sisi munasabah antara ayat dan sebab nuzulnya.

Dalam buku “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”, Faizah Ali

Syibromalisi dan Jauhar Azizy mengungkapkan bahwa dalam penafsiran ayat-ayat

Tafsir al-Munîr, Wahbah melakukan beberapa hal dalam penulisan tafsirnya yaitu

pengelompokkan ayat yang berdasarkan keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat

14 Lihat A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir

dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 227 15 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 228 16 Secara etimologis kata tahlili berasal dari Bahasa Arab dari akar kata hallala-yuhallilu-

tahlilan, artinya mengurai dan menganalisa. Menurut al-Farmawi metode penafsiran tahlili adalah

metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya.

Lihat Abdul Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: al-Hadhoroh al-Arabiyah,

1977), h. 23.

Page 50: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

34

tersebut, pemberian tema sesuai dengan kandungannya, merujuk pada ayat-ayat

dari surah-surah yang lain yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsrikannya,

menjelaskan tujuan utama surah dan ayat dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik

darinya, untuk lebih memperjelas ulasannya, sehingga penafsirannya menjadi lebih

utuh dan menyeluruh.17 Menurut para pakar tafsir, bahwa metode penulisan dengan

langkah-langkah tersebut tergolong dalam metode tafsir semi tematik (maudhu’i),

yaitu metode yang diterapkan pertama kali oleh Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut

dalam karya tafsirnya “Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm”.18

Berikut ini merupakan sistematika penulisan Tafsir al-Munîr, yaitu:

1. Disetiap awal surah Wahbah selalu mendahulukan pembahasan tentang

keutamaan dan kandungan surat tersebut secara global.

2. Pengelompokkan ayat-ayat yang memiliki keterkaitan isi dan

kandungannya di bawah tema yang sesuai dengan kandungan ayat-ayat

tersebut.

3. Menyajikan ulasan kebahasaan dan sastra yang terkandung dalam ayat,

seperti pemaknaan kosa kata, menjelaskan posisi kata dalam kalimat

(i‘rab) dan menjelaskan aspek-aspek sastra (balaghah) yang dikandung

ayat.

4. Menjelaskan munasabah dan asbâb al-nuzûl.

5. Menjelaskan kandungan ayat secara rinci di bawah tema “tafsîr wa al-

bayân”.

6. Membuat kesimpulan dengan menyebutkan poin-poin penting yang

terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan di bawah tema “fiqh al-hayat

wa al-ahkam”.

17 Kedua penulis buku “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern” mengungkapkan pula

bahwa langkah penafsiran yang diambil Wahbah ini mungkin didasari oleh kesadaran adanya

kritikan terhadap metode tahlili yang dianggap memiliki kekurangan yaitu memberi pemahaman

yang bersifat parsial. Itu sebabnya mengapa Baqir al-Sadr menamakannya sebagai metode tajzi’l,

karena menjadikan pembahasan mengenai petunjuk al-Qur`ân secara terpisah-pisah, karena tidak

kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surah yang terpisah-

pisah. Lihat Baqir al-Sadr, Pedoman Tafsir Modern, terjemah Hidayaturrahman (Jakarta: Risakah

Masa, 1992), h. 9. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân (Penerbit Mizan, 1999),

h. 113. 18 Langkah penafsiran Wahbah bisa dikatakan semi tematik karena tidak mengikuti seluruh

langkah yang seharusnya dijalankan oleh mufassir tematik, sebagaimana yang digagas oleh al-

Farmawi. Lihat al-Farmawi, Muqaddimah fî Tafsîr al-Mauḏu’i (Kairo: al-Haḏarah al-‘Arabiyyah,

1977), h. 61-62.

Page 51: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

35

7. Mencantumkan catatan kaki (foot note) dalam pengutipan karya orang

lain.19

4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î

a. Biografi

Seorang ulama, pemikir, dan sekaligus filosof Islam, pemilik nama lengkap

al-Allamah20 al-Sayid21 Muhammad Husain al-Ṯabâṯabâ`î (al-Allamah al-

Ṯabâṯabâ`î) datang dari keluarga Tabriz kenamaan, yaitu keluarga Ṯabâṯabâ`î22.

Selama tiga abad terakhir, keluarga ini telah mencetak generasi demi generasi

ulama terkenal di Azarbaijan (Iran). Mereka adalah keturunan Imam kedua, al-

Hasan bin Ali a.s. Keluarga besar ini juga dirujuk dengan gelar al-Qadhi.23

Al-Allamah al-Ṯabâṯabâ`î adalah putra al-Sayid Muhammad bin al-Sayid

Muhammad Husain al-Ṯabâṯabâ`î. Al-Allamah lahir di Tabriz pada 30/12/1321 H

(17/3/1904 M). Ayahnya meninggal pada 1330 (1912). Anak yatim ini tumbuh

besar di Tabriz, dan setelah menyelesaikan pendidikan keagamaan di sana, pada

sekitar 1341 (1923) dia pergi ke al-Najaf al-Asyraf (Irak), pusat paling penting

untuk pendidikan keagaman Islam.24

b. Sistematika Tafsir al-Mîzân

Tafsir al-Mîzân diterbitkan pertama kali oleh Dâr al-Kutub al-Islamiyah,

Teheran, pada tahun 1375 H, kemudian dicetak lagi tahun 1389 H dan cetakan

19 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 179-

180. 20 Allamah adalah ungkapan atau gelar kehormatan dalam Bahasa Arab Persia dan Bahasa-

bahasa Islam lainnya yang berarti “sangat terpelajar, atau sangat pandai.” Lihat: Syarîf Alî bin

Muhammad al-Jurjânî, al-Ta‘rifât (Jakarta: Dar al-Kutub Islami, 2012), h. 163. 21 Sayyid adalah gelar yang menunjukkan bahwa beliau keturunan Nabi Muhammad. Lihat

Syarîf Alî bin Muhammad al-Jurjânî, al-Ta‘rifât, h. 132. 22 Kata Ṯabâṯabâ`î merujuk pada salah satu nama kakeknya yaitu Ibrâhîm Ṯabâṯabâ`î bin

Ismâil al-Dibay. Nama julukan Ṯabâṯabâ`î dikarenakan ketika ayahnya akan memotong pakaian

untuknya (semasa ia masih kecil) maka sang ayah memilihkan baju dan memotongnya sambal

berkata “ṯaba-ṯaba” sedang yang dimaksud adalah “qaba-qaba”. Dikatakan bahwa pemberian nama

laqab (julukan) oleh al-Sa‘ad. Lihat Miqaddimah Tafsîr al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, juz I

(Lebanon: Dâr al-Kutub, 1991), h. 5. 23 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ’î. Tafsir Al-Mîzân. Penerjemah: Ilyas

Hasan, I (Jakarta: Penerbit Lentera, 2011), h. 11. 24 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ’î. Tafsir Al-Mîzân. Penerjemah: Ilyas

Hasan, I, h. 11.

Page 52: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

36

ketiga tahun 1392 H. Lalu diterbitkan oleh Mu`assasah al-A‘lami, Beirut, tahun

1393 H.25

Tafsir al-Mîzân bisa disebut juga sebagai kitab tafsir Syi‘ah ternama dan

komprehensif, yang terlahir setelah kitab Majma‘ al-Bayân (Imam al-Ṯabarsi). Al-

Mîzân juga merupakan kitab tafsir yang concern dalam membahas persoalan-

persoalan kekinian, dengan berpedoman kepada kaidah tafsîr al-Qur`ân bi al-

Qur`ân.26

Menurut al-Usi, munculnya tafsir al-Mîzân ini disebabkan adanya kebutuhan

yang mendesak dari kalangan masyarakat akan adanya satu tafsir alternatif, yang

dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna-makna

yang tersurat maupun tersirat dari ayat-ayat al-Qur`ân, sebagai teks yang paling

tinggi kedudukannya dan paling penting dalam wacana keilmuan Islam. Sebab,

kitab tafsir yang telah ada banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat pribadi,

sehingga terkadang mereduksi sedemikian dalam makna-makna tekstual dan

kontekstual dari ayat-ayat al-Qur`ân.27

Ṯabâṯabâ`î mendasarkan penafsirannya kepada kitab-kitab lain yang

dipandang cukup relevan dan bisa mendukung penafsirannya, baik bidang tafsir,

hadis, sirah, sejarah, bahasa, dan lain-lain. Namun, beliau tetap memberikan

kritikan dan komentar. Di sinilah letak keunggulan beliau di antara mufasir-mufasir

lainnya.28

Sementara dalam persoalan kebahasaan, beliau mendasarkan pada beberapa

kitab, antara lain, al-Mufradât (al-Râghib al-Isfahani), al-Sihâh (al-Jauhari), Lisân

al-‘Arab (Ibn al-Manzhur), Qâmûs al-Muhîṯ (al-Fairuzzabadi). Sebelum memulai

menafsirkan, terlebih dahulu dijelaskan beberapa corak tafsir dan mazhab para

mufasir, juga perbedaan pendapat di kalangan mufasir, menyangkut riwayat, kalam,

25 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 187. 26 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 187. 27 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 187. 28 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 188.

Page 53: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

37

filsafat, tasawuf, teori-teori ilmiah, baru kemudian menjelaskan dengan manhaj

yang diyakininya sebagai yang paling tepat. Dalam hal ini, Ṯabâṯabâ`î berkata:29

“Jika anda merenungkan berbagai macam manhaj tafsir yang sudah

ada, maka anda akan melihat bahwa mereka sesungguhnya telah berserikat

dalam kekurangan. Mereka telah membawa kepada pembahasan ilmiah dan

filsafat yang jauh dari apa yang ditunjukkan oleh ayat. Pada tataran penerapan

mereka terkadang merubahnya jika tidak sesuai dengan manhaj-nya,

sehingga makna-makna hakiki sengaja diubah menjadi makna majazi.

Perhatikan, bagaimana al-Qur`ân memperkenalkan dirinya sendiri dengan

kalimat hudan li al-muttaqîn, nûr mubîn, tibyân likulli syai`. Artinya, al-

Qur`ân memberi petunjuk kepada yang lain dan menyinarinya.”

Kemudian Ṯabâṯabâ`î menegaskan kembali bahwa metode yang paling tepat

untuk memahami al-Qur`ân adalah dengan membiarkan al-Qur`ân menjelaskannya

sendiri. Tugas pembaca hanya menganalisa untuk meperoleh pemahaman yang

bersifat Qur`âni, sambil diperkuat dengan hadis dan riwayat dari ahli bait yang

secara konsisten senantiasa menapaki jejak beliau.30

Selain itu, Ṯabâṯabâ`î juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufasir

sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbâs, Tafsir

al-Ṯabârî, Tafsir al-Kasysyâf Zamahsyârî, Tafsir Mafâtih al-Ghâib Fakhrurazi,

Tafsir al-Manâr, dan sejumlah tafsir lainnya.31

Sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Ṯabâṯabâ`î bahwa tafsir al-Mîzân

menggunakan metode atau kaidah tafsîr al-Qur`ân bi al-Qur`ân, konsisten

termasuk menyangkut masalah kaidah dan kisah-kisah. Sementara metode

penafsirannya adalah metode tahlîlî dengan menggunakan dua pendekatan

sekaligus yaitu bi al-ma`tsûr dan bi al-ra`yi. Adapun menurut ‘Ali al-Usi dan al-

Iyazi, jenis bi al-ma`tsûr-nya al-Mîzân adalah dengan cara mauḏû‘i.32

Namun, jenis bi al-ma`tsûr-nya tafsir al-Mîzân berbeda, misalnya, dengan

tafsir al-Ṯabârî. Hal ini karena al-Mîzân, sebagai kitab tafsir yang bercorak Syi’ah,

juga didasarkan kepada para Imam yang diyakini sebagai orang-orang yang

29 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 188-189. 30 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 189. 31 Ali al-Ausî, Muqaddimah al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân (Beirut: Mu’assasah al-A‘lami li

al-Matbu’ah, 1393 H/ 1973 M), h. 3. 32 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 190.

Page 54: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

38

maksum. Bahkan Ṯabâṯabâ’î juga menggunakan rasio untuk memahami ayat,

terutama ayat-ayat yang menuntunya untuk dijelaskan secara filosofis dan logis,

seperti masalah tauhid, ‘ismah, keadilan Tuhan, perbuatan manusia antara jabr dan

qadr.

Metode Tahlili33 yang diterapkan oleh Ṯabâṯabâ`î dalam menafsirkan al-

Qur`ân terlihat sangat jelas. Ṯabâṯabâ`î menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân dengan

memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang sedang ditafsirkan,

serta menerangkan makna-makna yang tercakup seperti kosa kata, sebab-sebab

turunnya dan mengaitkan ayat-ayat lain dengan pendapat sahabat dan para tabi’in.

Dalam menjelaskan ayat, Ṯabâṯabâ`î berpedoman kepada pendapat para pakar

dari berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, târikh, dan lain-lain, baik yang

bersumber dari para Imam Syi‘ah Imamiyah, maupun dari kalangan ulama sunni.

Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan yang dikehendaki oleh

tema tersebut dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap masalah yang

dibahas.34

Dalam teknik penafsirannya, Ṯabâṯabâ`î mengambil beberapa ayat, lalu

disusun dalam satu konteks bahasan. Selanjutnya, dijelaskan tujuan pokok dan

kandungan globalnya, kemudian dijelaskan ayat per ayat.35

5. Ibrâhîm Al-Qummî

a. Biografi

Al-Qummî memiliki nama lengkap Abû al-Hasan ‘Alî bin Ibrâhîm al-

Qummî, seorang tokoh Syiah Imamiyah. Beliau dibesarkan dan menjadi ulama di

33 Metode Tahlili, berasal dari kata hallala yuhallilu, Tahlili yang berarti menguraikan atau

menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur`ân dengan memaparkan

segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-

Qur`ân Mushaf Utsmâni. Tafsir ini disebut juga dengan Tajz’i (parsial). Lihat M. Quraish Shihab,

Tafsīr al-Qur`ân al-Karīm, h. 5. Lihat juga : Manna al-Qaṯṯân, Sejarah ‘Ulum al-Qur`ân (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1999), h. 172-179 34 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 190-191 35 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 192.

Page 55: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

39

kota Qum di Iran, kota yang seluruh penduduknya diklaim bermadzhab Syiah

Imamiyah Isna ‘Asyariyah.36

Al-Qummî sendiri lahir di kota Kufah Irak kemudian pindah ke kota Qum

dan dianggap sebagai orang yang pertama kali menyebarkan hadis Nabi di kota

Qum. Al-Qummî sendiri tidak diketahui tanggal lahirnya, namun diketahui bahwa

dia hidup sezaman dengan Imam al-‘Askari, salah seorang tokoh utama dalam

madzhab Syiah Imamiyyah yang lahir di tahun 307 H.37 Al-Qummî menurut catatan

sejarah diperkirakan meninggal tahun 991 M.38 Dia meninggalkan banyak karya39

yang salah satu masterpiece-nya adalah Tafsir al-Qummî ini.

b. Sistematika Tafsir al-Qummî

Tafsir al-Qummî adalah tafsir Syi‘ah yang paling terkenal, salah satu referensi

terpenting dalam kitab-kitab tafsir Imamiyyah lainnya dan tidak ada kitab lain yang

tidak menukilkan hadis yang tertera dalam kitab ini.

Metode umum pengarang adalah ia menukilkan hadis-hadis tafsir dari Ibpara

Imam as. Pengarang dalam mukaddimah atas kitab tafsir ini menuliskan tentang

dasar-dasar dan metode penafsirannya. Sebagian dari metodenya adalah:

1) Aliran Ali bin Ibrâhîm dalam kitab tafsir ini adalah riwayat. Aliran hadis

ini menyebabkan pengarang dengan mudah untuk menemukan sisi lahir

atas ayat al-Qur`ân dengan menyandarkan kepada riwayat.

2) Kitab ini termasuk kitab yang mengandung takwil.

3) Membahas tentang syarah kata-kata, asbâb al-nuzûl, kisah al-Qur’ân,

peperangan, dan ayat-ayat ahkam secara singkat.

4) Membahas permasalahan-permasalahan akidah dan menolak firkah-firkah

batil.

5) Menjelaskan pembahasaan ‘Ulûm al-Qur`ân.

36 Pengantar tentang pengarang dan kitab Tafsîr al-Qummî dalam Abu al-Hasan ‘Alî bin

Ibrâhîm al-Qummî, Tafsîr al-Qummî, I (Beirut: Mu`assasah al-A‘lami li al-Maṯbu’at, 1991), h. 5.

Selanjutnya disebut Tafsîr al-Qummî edisi Tim Muassasah. 37 Abu al-Hasan ‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî, Tafsîr al-Qummî, h. 6-7. 38 Rohmana, “Qur`ân and Exegesis in History,” h. 6. 39 Lihat ‘Abd Allâh Sâlim Milyaṯân, Banû Umayyah ‘Alâ Minbar al-Rasûl fî Mutûn al-Tafsîr

al-Siyâsi li al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Ru’yah, 2012), h. 23. Lihat pula Ahmad Zainal Abidin,

“Tafsîr Al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan Tashayyu’ dalam Penafsiran Surat Al-

Baqarah”. IAIN Tulungagung: Al-Tahrir 16, no. 2 (2016): 439-459.

Page 56: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

40

6) Membela maktab Imamah dan wilayah, mengurai keutamaan ahlul bait

dan mencela musuh-musuhnya dalam ayat dalam ayat yang sedang

dibahas.

7) Permulaan tafsir dimulai dengan sûrah al-Qur`ân dan diakhiri dengan

surah yang terakhir.

8) Riwayat-riwayat Ali ibn Ibrâhîm sebagian besarnya terdiri dari tafsir yang

ia nukil dari ayahnya sendiri, Ibnu Abi ‘Umair, dan para syaikh lainnya.40

B. Penjelasan Umum Ayat Khaira Ummah dalam Tafsir

Allah Swt. mengabarkan tentang umat Islam ini bahwasannya mereka

disebut-sebut sebagai umat terbaik dan menjadi ikon bagi umat Islam, diterangkan

dalam Sûrah Âli ‘Imrân ayat 110. Berikut firman-Nya:

مرون ب هون عن ٱلمنكر و كنتم خي أمة أخرجت للناس ت ٱلمعروف وت ن ت ؤمنون بٱلل

م م هم ٱلمؤمنون وأكث ولو ءامن أهل ٱلكتب لكان خيا ل .سقون رهم ٱلف ن “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada

Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di

antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-

orang yang fasik”. (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110)

Dalam ayat tersebut terdapat kewajiban yang dikarenakan kamu (umat Islam)

adalah umat terbaik dan paling utama di sisi Allah yang dilahirkan, yaitu

ditampakkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, karena kamu

menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman

kepada Allah dengan iman yang benar, sehingga kalian menjalankan perintah-Nya

dan menjauhi larangan-Nya serta beriman kepada rasul-rasul-Nya. Itulah tiga faktor

yang menjadi sebab umat Islam mendapatkan julukan umat terbaik.41

1. Al-Qurṯubî dalam Tafsir al-Jami‘ Li Ahkâm al-Qur`ân

Imâm al-Qurṯubî menafsirkan sûrah Âli ‘Imrân ayat 110 setidaknya

membaginya ke dalam tiga permasalahan yaitu:

40 Id.mobile.wikishia.net/index.php/Tafsir_al-Qummi_(buku)#cite_note-4 (diakses pada hari

Kamis pukul 00.35 WIB) 41 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`ân Balitbang dan Diklat Kemenag RI. Tafsir Ringkas

Al-Qur`ân Al-Karîm (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`ân, 2016), Cet. II, J. I, h. 177.

Page 57: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

41

Pertama: al-Tirmidzi meriwayatkan dari Bahaz bin Hâkim, dari ayahnya, dari

kakeknya, bahwasannya dia mendengar Rasulullah bersabda mengenai firman

Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” Sabda

beliau:

.أكرمها عند للا مة، أن تم خيها و أن تم تتمون سبعي أ “Kalian menyempurnakan jumlah 70 (tujuh puluh) umat. Kalian adalah umat

yang terbaik dan paling mulia di sisi Allah Swt.”

Al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.42 Abu Hurairah berkata,

“Kita adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk manusia. Kita harus

mengajak mereka kepada ajaran Islam.” Ibn Abbas berkata, “Mereka adalah orang-

orang yangberhijrah dari Makkah menuju Madinah, dan ikut serta dalam perang

Badar dan perjanjian Hudaibiyah.” Umar ibn Khaṯṯab berkata, “Siapa saja yang

berbuat seperti perbuatan mereka maka dia termasuk seperti golongan mereka.”43

Kedua: Berdasarkan dengan nash yang diturunkan tersebut telah diyakini

bahwa umat ini adalah umat terbaik. Para imam meriwayatkan dari hadits Imran

bin Hashin, dari Rasulullah, bahwasannya beliau bersabda,

ذين ي لونم خي الناس ق رن ث الذين ي لونم ث ال

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian mereka

yang hidup setelahnya, kemudian mereka yang hidup setelahnya.”

Hadits ini menunjukkan bahwa umat pertama dari umat ini adalah umat yang

paling baik daripada umat setelahnya. Seperti inilah pendapat sebagian para ulama.

Mereka mengatakan bahwa orang yang menjadi sahabat Rasulullah dan sempat

melihat beliau meski hanya sekali dalam hidupnya, mereka adalah orang-orang

yang lebih baik daripada mereka yang hidup setelahnya. Sesungguhnya keutamaan

persahabatan dengan Rasulullah tidak dapat dibandingkan dengan amal

perbuatan.44

Ketiga: Firman Allah, “Menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari

yang munkar,” adalah pujian bagi umat ini, selama mereka melaksanakannya dan

42 Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam Tafsir 5/226, no 3001. 43 Atsar ini disebutkan oleh al-Ṯabarî dalam Tafsîr-nya 4/29. Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî.

Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 421-422. 44 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 423-428.

Page 58: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

42

memiliki sifat tersebut. Firman Allah, “Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu

lebih baik bagi mereka,” adalah pemberitahuan bahwa jika ahli kitab beriman

kepada Nabi Muhammad Saw. maka itu adalah kebaikan bagi mereka. Ayat ini juga

memberitahukan bahwa di antara mereka (kaum ahli kitab) ada yang beriman dan

ada pula yang fasik. Namun, orang fasik di antara mereka lebih banyak.45

2. Ibn Katsîr dalam Tafsir al-Qur`ân al-‘Aẕîm

Dalam kitab tafsirnya46, Ibn Katsîr menafsirkan bahwa Allah Swt.

memberitahukan mengenai umat Muhammad Saw., bahwa mereka adalah sebaik-

baik umat seraya berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan

untuk manusia.”

Imam al-Bukhari meriwayatakan dari Abu Hurairah, mengenai ayat 110 surah

Âli ‘Imrân, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” ia

berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang

membawa mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka

masuk Islam.”

Demikian juga yang dikatakan Ibn ‘Abbas, Mujahid, ‘Aṯiyyah al-‘Aufi,

‘Ikrimah, ‘Aṯa`, Rabi‘ bin Anas. Karena itu Dia berfiman, “Menyuruh kepada yang

ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.”

3. Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munîr

Dalam Tafsir al-Munîr ini, Wahbah al-Zuhaili memberikan penjelasan bahwa

ayat 110 surah Âli ‘Imrân ini selain sebagai sebuah peneguhan hai kaum Mukminin

dalam berpegangan kepada Allah Swt. dalam menjalankan yang hak dan mengajak

kepada kebenaran, ayat ini juga merupakan sebagai bentuk penyemangat bagi kaum

Mukminin untuk selalu menjaga ciri khusus dan karakteristik mereka dengan selalu

menunaikan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.47

Allah Swt. menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik selama

mereka masih menjalankan amar ma‘rûf nahi munkar dan beriman kepada Allah

45 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 428-429. 46 Lihat ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn

Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafii‘i, 2004), h. 110-117. 47 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munir Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 373

Page 59: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

43

Swt. dengan keimanan yang lurus, benar, dan sempurna. Di dalam ayat 110 surah

Âli ‘Imrân ini, amar ma‘rûf nahi munkar didahulukan atas iman kepada Allah Swt.,

hal ini dikarenakan amar ma‘rûf nahi munkar adalah dua hal yang lebih bisa

menunjukkan dan membuktikan akan keutamaan umat Islam atas umat yang lain.

Juga karena iman, umat non-Muslim pun mengaku kalau mereka juga beriman.

Keunggulan dan keutamaan ini akan selalu dimiliki oleh umat Islam selama mereka

tetap beriman kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya iman, selalu

menjalankan amar ma‘rûf dan nahi munkar.48

4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î dalam Tafsir al-Mîzân

M. Husain Ṯabâṯabâ`î dalam Tafsir al-Mîzân, menjelaskan bahwa Kamu

adalah sebaik-baik umat yang diciptakan untuk (kemanfaatan) manusia; Dalam

sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain”

(HR. al-Ṯabrani dan Daruquṯni).

Kata “kuntum” ( كنتم= secara harfiah yaitu kamu) yang terdapat dalam surah

Âli ‘Imrân ayat 110, bahwa kata tersebut merupakan sebuah waktu lampau dan

merujuk kepada kondisi kaum mukmin dalam masa-masa awal Islam. Ayat ini

berbicara tentang orang-orang yang terdepan di kalangan kaum Muhajir dan kaum

Anshar; iman di sini merujuk kepada tanggapan positif mereka terhadap seruan

berpegang kuat pada tali Allah tanpa terpecah belah; iman ini adalah lawan kata

tidak mengimani seruan itu, tidak mengimani yang disebutkan dalam kata-kata:

“Apakah kamu tidak mengimani setelah kamu beriman?” Begitu pula makna iman

dalam kaitannya dengan Ahli Kitab dalam ayat ini, “dan jika Ahli Kitab beriman.”49

Dengan kata lain, maknanya adalah sebagai berikut:

Wahai orang-orang Muslim! Ketika kalian ditampilkan pertama-tama untuk

manusia, sebaik-baik kelompok yang pernah terbentuk, karena pada waktu itu

kalian beramar ma’ruf dan bernahi mungkar, dan dengan berpegang kuat pada tali

48 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munir Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, h. 373 49 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsîr Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

384.

Page 60: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

44

Allah maka kalian bersatu dan jadi satu seperti satu tubuh dan satu jiwa; dan jika

Ahli Kitab juga seperti itu, hal itu akan lebih baik bagi mereka, tetapi mereka

terpecah belah dan tidak bersatu sebagian beriman, sementara sebagian besarnya

suka melanggar dan berbuat dosa.50

Dijelaskan pula bahwa Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Ja‘far as yang

berkata tentang ayat: Kamu adalah sebaik-baik umat yang dicptakan untuk

(kemanfaatan) manusia..: “Ahlu bait Nabi Saw.”51

Kemudian Ahmad meriwayatkan melalu isnad yang kuat dari Ali as yang

berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Aku telah diberi apa yang tidak diberikan

kepada nabi: Aku telah ditolong dengan perasaan kagum, dan aku telah diberi

kunci-kunci bumi, dan aku telah diberi nama Ahmad, dan bumi telah dijadikan

sebagai suatu sarana untuk pembersihan bagiku, dan umatku telah dijadikan sebagai

sebaik-baik umat.”52

5. Al-Qummî dalam Tafsir al-Qummî

‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî, yang merupakan seorang ulama syi’ah berkata

dalam tafsirnya, bahwa dalam firman Allah Swt.: “Kalian adalah umat yang

terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan

mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3:

110). Abu Abdillah berkata kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik,

lantas membunuh amirul mukminin Hasan dan Husain bin ‘Alî ‘alaihima al-

salâm??” Lantas ada yang bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut

diturunkan wahai putra Rasulullah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat

tersebut diturunkan: yaitu (Kalian para imam terbaik yang dilahirkan untuk

manusia)”)).53

50 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsîr Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

384. 51 Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî. Al-Durru al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr, 3 (Kairo: Markaz

Hajar lil Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 2003), h. 727. 52 Lihat ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsîr Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan,

h. 392. 53 ‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî. Tafsîr Al-Qummî, I (Qom: Dâr al-Kitâb, 1435), h. 164.

Page 61: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

45

BAB IV

KLASIFIKASI KHAIRA UMMAH MENURUT MUFASIR SUNNI DAN

SYI‘AH DALAM Q.S. ÂLI ‘IMRÂN/3: 110

Berdasarkan uraian penjelasan dalam beberapa kitab tafsir yang dijadikan

sebagai sumber utama, penulis mengklasifikasikan tiga hal yang akan dijelaskan

dalam bab pembahasan ini. Berikut ini merupakan hasil analisa penulis berdasarkan

pengklasifikasian atau pengelompokkan yang tercantum dalam dalil Khaira ummah

yaitu Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110.

A. Syarat-Syarat Khaira Ummah

Terdapat tiga hal yang telah dikelompokkan ke dalam syarat-syarat Khaira

ummah. Pengelompokkan tersebut meliputi:

1. Bentuk Ajakan kepada Kebaikan (amar ma‘rûf nahî munkar)

Tabel 4.1 Syarat Khaira Ummah terkait Ajakan kepada Kebaikan (amar ma‘rûf

nahî munkar)

Nama Tafsir Syarat Khaira Ummah

Tafsir Al-

Qurṯubî

Mengajak mereka kepada ajaran Islam

Mengajak kepada yang ma‘rûf

Mencegah dari yang munkar

Amar ma‘rûf nahî munkar sudah tersebar luas di

kalangan muslimin

Tafsir Ibn Katsîr Menyuruh yang ma‘rûf, mencegah yang munkar

Paling giat menyuruh yang ma‘rûf dan mencegah yang

munkar

Tafsir Al-Munîr Menjalankan amar ma‘rûf nahî munkar

Tafsir Al-Mîzân Menunaikan amar ma‘rûf nahî munkar

Tafsir Al-

Qummi Mengerjakan yang ma‘rûf dan melarang yang munkar

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, penulis menganalisa dan menjelaskan

bahwasannya beberapa mufasir sepakat terkait karakteristik atau syarat-syarat yang

harus dimiliki oleh umat Islam agar mendapatkan julukan sebagai Khaira ummah,

yang pertama harus dimiliki yaitu dengan mengajak kepada kebaikan atau ber-amar

ma‘rûf nahî munkar.

Page 62: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

46

Dalam Tafsir al-Qurṯubî, penulis menemukan beberapa hal yang bisa

mewakili syarat dari Khaira ummah yaitu mengajak kepada kebaikan dan amar

ma‘rûf nahî munkar. Pada awal penjelasan tafsiran ayat 110 surah Âli ‘Imrân

terlihat bahwa al-Qurṯubî awalnya membagi penjelasannya dengan tiga bagian dan

di dalam penjelasan tersebut beliau menukil serta mengemukakan pendapat dari

para ulama sebagai penguat atas penjelasan tafsiran ayat tersebut.1

Al-Qurṯubî mencantumkan riwayat Abu Hurairah, sebagaimana dijelaskan

bahwa beliau berkata, “Kita adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk

manusia. Kita harus mengajak mereka kepada ajaran Islam.”2 Dengan demikian,

jika ingin menjadi sebaik-baik manusia, maka sepatutnya untuk saling berbuat

ajakan kebaikan terhadap ajaran Islam.

Kemudian al-Qurṯubî juga mencantumkan pendapat Mujahid, menurutnya

bahwa “Kalian adalah sebaik-baik umat jika kalian mengajak pada yang ma‘rûf dan

mencegah dari yang munkar. Ulama lain mengatakan bahwa sesungguhnya umat

Muhammad menjadi umat terbaik karena amar ma‘rûf nahî munkar sudah tersebar

luas di kalangan mereka.3 Firman Allah, “Menyuruh kepada yang ma‘rûf dan

mencegah dari yang munkar,” dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110 adalah sebagai

bentuk pujian bagi umat ini, selama mereka melaksanakannya dan memiliki sifat

tersebut.4

Ibn Katsîr menjelaskan dalam tafsirnya terkait amar ma‘rûf nahî munkar

sebagai syarat Khaira ummah ini bahwa dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110 dijelaskan

“menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar”.5

Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, ia berkata, ada

seseorang berdiri menghadap Nabi Saw., ketika itu beliau berada di mimbar, lalu

orang itu berkata,”6

“‘Ya Rasulullah, siapakah manusia terbaik itu?’ Beliau bersabda: ‘Sebaik-

baik manusia adalah yang paling hafal al-Qur`ân, paling bertakwa kepada

1 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008), h. 421. 2 Atsar ini disebutkan oleh al-Ṯabarî dalam Tafsîr-nya 4/29. 3 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 422. 4 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 428. 5 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.

Penerjemah: M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafii‘i, 2004), h. 110. 6 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.

Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111.

Page 63: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

47

Allah, paling giat menyuruh berbuat yang ma‘rûf dan paling gencar

mencegah kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi di antara mereka.’”

(HR. Ahmad).

Wahbah al-Zuhaili pun menyebutkan bahwa syarat umat menjadi Khaira

ummah adalah dengan mengerjakan amar ma‘rûf nahî munkar. Dalam tafsirnya

bahwa ayat 110 surah Âli ‘Imrân ini, amar ma‘rûf nahî munkar didahulukan atas

iman kepada Allah Swt., hal ini dikarenakan amar ma‘rûf nahî munkar adalah dua

hal yang lebih bisa menunjukkan dan membuktikan akan keutamaan umat Islam

atas umat yang lain serta merupakan pintu dari keimanan itu sendiri. Juga karena

iman, umat non-Muslim pun mengaku kalau mereka juga beriman. Keunggulan dan

keutamaan ini akan selalu dimiliki oleh umat Islam selama mereka tetap beriman

kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya iman, selalu menjalankan amar ma‘rûf

dan nahî munkar.7

Sedangkan Ṯabâṯabâ`î menjelaskan amar ma‘rûf nahî munkar dalam ayat 110

surah Âli ‘Imrân ini dengan sebagai berikut: Wahai kaum Muslim! Kalian adalah

sebaik-baik kelompok yang telah Allah munculkan untuk umat manusia dengan

memandunya, karena kamu bersatu, kamu mengimani Allah, dan menunaikan tugas

kembar ber-amar ma‘rûf dan ber-nahî munkar. Tak dapat diragukan lagi, gelar

terhormat ini telah diberikan kepada seluruh umat hanya karena sebagian dari umat

telah sampai pada iman sejati dan memenuhi kewajiban-kewajiban ber-amar

ma‘rûf dan ber-nahî munkar. Dengan kata lain, bahwa hal ini adalah apa yang telah

ditulis oleh beberapa mufasir tentangnya.8 Ma‘rûf menurutnya adalah sesuatu yang

dianggap benar sedangkan munkar adalah sesuatu yang dianggap sesat. Maka,

Ṯabâṯabâ`î berpandangan bahwa amar ma‘rûf nahî munkar merupakan sesuatu hal

sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya, yang mana

ditujukan kepada kelompok umat manusia yang berada di pertengahan.

Demikian pula Ibrâhîm al-Qummî, dalam tafsirnya beliau sepakat dengan

syarat Khaira ummah yang pertama ini yaitu mengerjakan yang ma‘rûf dan

mencegah atau meninggalkan yang munkar.

7 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 373 8 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h. 384.

Page 64: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

48

Ibrâhîm al-Qummî juga sepakat mengatakan dalam tafsirnya, bahwa syarat

Khaira ummah yang pertama adalah menjalankan perintah amar ma‘rûf nahî

munkar.

Jika dilihat pada bab sebelumnya, pembahasan tentang amar ma‘rûf nahî

munkar telah dijelaskan yang mana merupakan syarat atau karakteristik dari

khaira ummah, sebagaimana telah tercantum dalam ayat al-Qur`ân sendiri. Maka,

setiap dari mufasir pun sepakat bahwa syarat ini merupakan hal yang utama dari

bentuk khaira ummah tersebut.

2. Bentuk Beriman kepada Allah Swt.

Tabel 4.2 Syarat Khaira Ummah terkait Beriman kepada Allah Swt.

Nama Tafsir Syarat Khaira Ummah

Tafsir Al-

Qurṯubî Beriman kepada Allah Swt.

Tafsir Ibn Katsîr Beriman kepada Allah Swt.

Tafsir Al-Munîr Beriman kepada Allah Swt.

Tafsir Al-Mîzân Beriman kepada Allah Swt.

Berpegang pada tali (agama) Allah Swt.

Tafsir Al-

Qummi

Memuji Allah Swt.

Beriman kepada Allah Swt.

Berdasarkan keterangan tabel di atas, bahwa diketahui jika seluruh mufasir

yang tertera di tabel sepakat bahwa syarat lain terbentuknya Khaira ummah yaitu

beriman kepada Allah Swt.

Dalam penjelasan al-Qurṯubî di dalam kitab tafsirnya bahwa ada seorang

ulama yang tidak diketahui namanya yang berpendapat bahwa makna dari surah Âli

‘Imrân ayat 110 tentang Khaira ummah yaitu “Kalian yang telah beriman adalah

sebaik-baik umat.9

Kemudian dalam penjelasan Ibn Katsîr pun, beriman kepada Allah Swt.

merupakan syarat bagi Khaira ummah, dijelaskan dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110.

Dalam tafsir al-Munîr, Wahbah menjelaskan dalam ayat, وت ؤمنون بٱلل “dan

kalian beriman kepada Allah Swt.” dengan maksud menjadikan iman kepada segala

9 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421.

Page 65: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

49

sesuatu yang memang wajib diimani sebagai bentuk keimanan kepada Allah Swt.

karena orang yang hanya beriman kepada sebagian hal-hal yang wajib diimani saja

(tidak sepenuhnya), seperti beriman kepada rasul atau kitab suci atau hari

kebangkitan atau hisab (penghitungan amal) atau siksa atau pahala atau hal-hal

yang wajib diimani lainnya, maka keimanan orang tersebut tidak dianggap dan ia

bagaikan orang yang tidak beriman kepada Allah Swt.10 Dengan kata lain,

bahwasannya Wahbah sependapat dengan apa yang dimaksud dalam kalimat yang

telah dijelaskan di atas. Keimanan dalam ayat Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110 tersebut

tertulis beriman kepada Allah, akan tetapi secara tersirat bahwa hal-hal keimanan

yang lainnya telah mencakup di dalamnya, jika umat telah mencapai keutamaan

sebagai umat terbaik, tentu mereka mengimani seluruhnya baik beriman kepada

Allah maupun mengimani sesuai dengan rukun iman.

Ṯabâṯabâ`î sendiri dalam Tafsir al-Mîzân, berpendapat bahwa perintah dalam

ayat 110 surah Âli ‘Imrân ini ditujukan kepada orang-orang beriman, yang mana

orang-orang beriman tersebut berada ditengah-tengah umat pada umumnya.

Kalimat “dan kamu mengimani Allah”, ditempatkan setelah penyebutan totalitas

ihwalnya atau akarnya setelah menggambarkan beberapa komponen atau cabang.11

Mereka orang-orang beriman tersebut tetap setia menjalankan sebuah komponen

yang menjadikannya sebagai golongan umat terbaik. Lalu sebaik-baik kelompok

yang pernah terbentuk, karena pada waktu itu berpegang kuat pada tali agama Allah

Swt. Hal ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya yaitu surah Âli ‘Imrân

ayat 104.

Hal yang sama pun dari Ibrâhîm al-Qummî, dalam tafsirnya beliau sepakat

dengan syarat Khaira ummah yang selanjutnya yaitu beriman kepada Allah Swt.

seorang periwayat mengatakan “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan:

(Kalian “para imam” terbaik yang dilahirkan untuk manusia, ketahuilah agar

kamu memuji Allah atas mereka. Bahwa dia berkata: mengerjakan yang ma’ruf

10 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, h. 374 11 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

383-384.

Page 66: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

50

dan melarang yang munkar dan beriman kepada Allah)”.12 Memuji dan beriman

kepada Allah Swt. merupakan syarat yang harus dilakukan jika umat ingin

disebutkan sebagai Khaira ummah.

3. Bentuk Lain

Tabel 4.3 Syarat lain yang menunjukkan kepada Khaira Ummah

Nama Tafsir Syarat Khaira Ummah

Tafsir Al-

Qurṯubî

Menyempurnakan 70 umat

Kaum muslimin jumlahnya lebih banyak

Tafsir Ibn Katsîr Umat yang adil dan pilihan

Sebanding dengan 70 umat

Tafsir Al-Munîr -

Tafsir Al-Mîzân Bersatu

Tafsir Al-

Qummi -

Berdasarkan keterangan tabel di atas, diketahui terdapat beberapa perbedaan

antara mufasir satu dengan yang lainnya terkait dengan syarat Khaira ummah yang

ketiga ini. Syarat ini hanya terdapat di tiga mufasir yang tertera di atas, dua mufasir

sunni dan satu mufasir syi‘ah.

Dalam tafsir al-Qurṯubî, terdapat dua syarat lain sebagai syarat dari Khaira

ummah yaitu menyempurnakan tujuh puluh umat dan jumlahnya lebih banyak.

Dijelaskan bahwa dari riwayat al-Tirmidzi “Kalian menyempurnakan jumlah tujuh

puluh umat. Kalian umat yang terbaik dan paling mulia di sisi Allah Swt.”13 Lalu

ada ulama lain yang tidak diketahui namanya mengatakan sesungguhnya umat

Muhammad menjadi umat terbaik karena kaum muslimin jumlahnya lebih banyak,

dan amar ma‘rûf nahî munkar sudah tersebar luas di kalangan mereka.14

Kemudian dalam tafsir Ibn Katsîr, terdapat dua syarat lain juga sebagai syarat

dari Khaira ummah yaitu umat yang adil dan pilihan dan sebanding dengan tujuh

puluh umat. Ibn Katsîr menafsirkan bahwa ayat 110 surah Âli ‘Imrân bersifat umum

mencakup seluruh umat pada setiap generasi berdasarkan tingkatannya. Lalu

12 ‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî. Tafsîr Al-Qummî, I (Qom: Dâr al-Kitâb, 1435), h. 164. 13 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421. 14 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 422.

Page 67: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

51

sebaik-baik generasi mereka adalah para Sahabat Rasulullah Saw., kemudian yang

setelah mereka, lalu generasi berikutnya. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang

adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” (Q.s.

Al-Baqarah/2: 143)

Dalam Musnad Imam Ahmad, Jâmi‘ al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, dan

Mustadrak al-Hakim bin Mu`awiyah bin Haidah, dari ayahnya, ia berkata,

Rasulullah Saw. bersabda:

“Kalian sebanding dengan 70 (tujuh puluh) umat dan kalian adalah sebaik-

baik dan semulia-mulia umat bagi Allah Swt.”

Hadits tersebut masyhur, dan dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi.15

Selanjutnya, Ṯabâṯabâ`î dari mufasir syi‘ah menyebutkan dalam tafsirnya

bahwa ada satu syarat lagi sebagai syarat Khaira ummah, yaitu bersatu. Dijelaskan

dalam tafsirnya, bahwa sebaik-baik kelompok yang pernah terbentuk, karena pada

waktu itu kalian bersatu dan jadi satu seperti satu tubuh dan satu jiwa.16

Syarat-syarat yang berada dalam kategori ketiga ini, tentu berbeda dengan

sebelumnya, yang mana dua kategori sebelumnya telah dijelaskan dalam ayat al-

Qur`ân, namun yang terakhir ini merupakan penambahan pandangan dari beberapa

mufasir saja.

B. Objek dari Khaira Ummah

Terdapat tiga hal yang telah dikelompokkan ke dalam objek yang ditujukan

kepada Khaira ummah. Pengelompokkan tersebut meliputi:

1. Golongan Sahabat dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi

Tabel 4.4 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan Sahabat

dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw.

Nama Tafsir Untuk siapa Khaira Ummah diberikan ?

Sahabat Nabi

15 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.

Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 16 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

384.

Page 68: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

52

Tafsir Al-

Qurṯubî

Orang-orang yang berhijrah dari Makkah menuju

Madinah

Orang-orang yang ikut perang Badar

Orang-orang yang melakukan perjanjian Hudaibiyah

Sebaik-baik umat daripada pendahulu kalian

Orang-orang yang Nabi diutus kepada mereka

Orang-orang yang hidup pada masa Nabi

Tafsir Ibn Katsîr Orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah dari

Makkah ke Madinah

Tafsir Al-Munîr Generasi awal umat

Tafsir Al-Mîzân Ahlul bait nabi

Tafsir Al-

Qummi -

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, penulis menganalisa dan menjelaskan bahwa

terdapat tiga buah pengelompokkan atas objek yang ditujukan pada Khaira ummah.

Pengelompokkan tersebut meliputi:

Sebagaimana yang tertera dalam tabel di atas, bahwasannya beberapa mufasir

memberikan pendapat dan ada sebagian yang menyepakati terkait objek atau siapa

yang berhak mendapatkan julukan Khaira ummah. Klasifikasi objek dari Khaira

ummah yang pertama ini yaitu ditujukan kepada golongan Sahabat dan orang-orang

yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw.

Al-Qurṯubî memberikan penjelasan dalam tafsirnya mengenai objek dari

Khaira ummah yaitu Abu Hurairah telah berkata bahwa “Kita adalah sebaik-baik

manusia yang dilahirkan untuk manusia. Kita harus mengajak mereka kepada ajaran

Islam.” Ibn Abbas juga berkata “Mereka adalah orang-orang yang berhijrah dari

Makkah menuju Madinah, dan ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian

Hudaibiyah.” Lalu, mufasir menyimpulkan bahwa kalian adalah sebaik-baik umat

daripada pendahulu kalian, yaitu para ahli kitab.17 Sebagaimana kalimat yang

terakhir tersebut dijelaskan dalam ayat 110 surah Âli ‘Imrân. Ada pula ulama yang

berpendapat bahwa istilah ini adalah untuk para sahabat Rasulullah Saw.

sebagaimana sabda beliau, yaitu:

17 Lihat: Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421-422.

Page 69: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

53

ىنر ق اس الن ي خ

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku.”18

Maksudnya adalah orang yang aku diutus kepada mereka. Para imam

meriwayatkan dari hadits Imran bin Hashin, dari Rasulullah, bahwasannya beliau

bersabda,

م ن و ل ي ن ي ذ ال ث م ن و ل ي ن ي ذ ال ث ىن ر ق اس الن ي خ

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian

mereka yang hidup setelahnya, kemudian mereka yang hidup

setelahnya.”

Hadits ini menunjukkan bahwa umat pertama dari umat ini adalah umat yang

paling baik daripada umat setelahnya. Seperti inilah pendapat sebagian para ulama.

Mereka mengatakan bahwa orang yang menjadi sahabat Rasulullah dan sempat

melihat beliau meski hanya sekali dalam hidupnya, mereka adalah orang-orang

yang lebih baik daripada mereka yang hidup setelahnya. Sesungguhnya keutamaan

persahabatan dengan Rasulullah tidak dapat dibandingkan dengan amal

perbuatan.19

Ibn Katsîr meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dan mengutip penjelasan Al-

Nasâ`i dalam kitab Sunan dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak meriwayatkan

dari hadits Samak, dari Sa‘id bin Jubair, dari Ibn ‘Abbas, mengenai firman Allah

Swt., اس لن ل ت ج ر خ أ ة م أ ي خ م ت ن ك “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan

untuk manusia.” Ia berkata: “Mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah

bersama Rasulullah Saw. dari Makkah menuju Madinah.20

Lalu, dalam tafsir al-Munîr, Wahbah al-Zuhaili meriwayatkan bahwa berita

gembira terkait Khaira ummah sebagaimana dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110,

pemberitaan tersebut telah dapat diraih oleh umat Islam terdahulu, sehingga mereka

berhasil mengalahkan kaum Yahudi bani Qainuqa`, bani Nadhir, bani Quraizhah,

18 Hadits ini diriwayatkan oleh para imam: Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan

Ahmad dari Ibn Mas‘ud. Hadits ini memiliki riwayat yang beragam dan kalimat-kalimat yang saling

berdekatan. Lihat kitab Al-Jami‘ Al-Kabir 2/1769 dan setelahnya. 19 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 422-423. 20 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.

Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111.

Page 70: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

54

dan kaum Yahudi Khaibar.21 Seperti yang telah dijelaskan dalam riwayat hadits

Imam Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi dari Ibn Mas‘ud ra. Bahwasannya generasi

awal umat ini lebih utama dan lebih baik dari generasi setelahnya. Riwayat ini

merupakan yang menjadi mayoritas para ulama dalam mengatakan terkait Khaira

ummah atau sebaik-baik umat.

Dalam Kitab tafsir al-Mîzân, Ṯabâṯabâ`î mengutip pendapat Ibn Abi Hatim

yang meriwayatkan dari Abu Ja‘far as. yang berkata tentang ayat: “Kamu adalah

sebaik-baik umat yang diciptakan untuk (kemanfaatan) manusia..:” ‘Ahlul bait

Nabi.’22

2. Golongan orang yang dikhususkan

Tabel 4.5 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang yang

dikhususkan

Nama Tafsir Untuk siapa Khaira Ummah diberikan ?

Tafsir Al-

Qurṯubî

Orang-orang shalih dan memiliki keistimewaan

Orang-orang yang menjadi saksi bagi umat manusia di

Hari Kiamat

Orang-orang yang telah tercatat di Lauh al-Mahfûẕ

Orang-orang yang telah beriman

Sebaik-baik pemeluk agama

Orang yang panjang usianya dan baik amal

perbuatannya

Tafsir Ibn Katsîr Orang yang paling hafal al-Qur`ân, paling bertakwa

kepada Allah Swt.

Paling rajin bersilaturahmi

Tafsir Al-Munîr -

Tafsir Al-Mîzân Golongan orang yang diangkat oleh Allah Swt.

Umat yang tengah

Tafsir Al-

Qummi Para Imam terbaik

21 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, h. 376. 22 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

392. Lihat juga Al-Suyuṯi Jalâluddîn. Al-Durru al-Mantsur fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr (Beirut-

Lebanon: Dar al-Fikr, 1983), h. 727.

Page 71: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

55

Al-Qurṯubî menjelaskan dalam riwayat tafsirnya bahwa selain ditujukan

kepada sahabat atau orang yang hidup pada zaman Rasulullah, Khaira ummah pun

ditujukan kepada golongan orang-orang dikhususkan sesuai keterangan tabel di

atas, sehingga mereka pantas mendapat gelar tersebut. Kelompokkelompok tersebut

yaitu orang-orang shalih dan memiliki keistimewaan, merupakan pendapat riwayat

ulama yang tidak diketahui namanya. Beliau mengungkapkan bahwasannya mereka

adalah umat Nabi Muhammad, yaitu orang-orang yang shalih dan memiliki

keistimewaan. Mereka adalah orang-orang yang menjadi saksi bagi umat manusia

di hari kiamat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-Baqarah. Ulama

lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah kalian sebelumnya telah tercatat di

Lauh al-Mahfuẕ. Ada yang berpendapat bahwa maknanya yaitu kalian yang telah

beriman adalah sebaik-baik umat. Ulama lain mengatakan ayat ini turun untuk

menyampaikan kabar gembira akan kedatangan Rasulullah dan umatnya. Lalu Al-

Akhfasy mengatakan bahwa maksudnya adalah sebaik-baik pemeluk agama.23

.ه ل م ع آء س و ه ر م ع ال ط ن م اس لن ا ر ش , و ه ل م ع ن س ح و ه ر م ع ال ط ن م اس الن ي خ “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya adan baik amal

perbuatannya. Sedangkan manusia paling buruk adalah manusia yang

panjang usianya namun buruk amal perbuatannya.”24

Ibn Katsîr meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dan mengutip riwayat Imam

Ahmad dari Durrah binti Abu Lahab, ia berkata, ada seseorang berdiri menghadap

Nabi Muhammad Saw., ketika itu beliau berada di mimbar, lalu orang itu berkata,

م ه ر آم ، و لل م اه ق ت أ ، و م ه أ ر ق ، أ اس لن ا ي : )خ ال ؟ ق ير خ اس الن ي أ للا ل و س ر ي (.م ح لر ل م ه ل ص و أ ، و ر ك ن م ال ن ع م اه ن أ و ف و ر ع م ل ب

“‘Ya Rasulullah, siapakah manusia terbaik itu?’ Beliau bersabda: ‘Sebaik-

baik manusia adalah yang paling hafal al-Qur`ân, paling bertakwa kepada

Allah, paling giat menyuruh berbuat yang ma‘rûf dan paling gencar

mencegah kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi di antara mereka.’”

(HR. Ahmad).

23 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421-422. 24 Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi. Dia berkata, “Hadits ini hasan sahîh.”

Diriwayatkan pula oleh al-Ṯabrani, Hakim, dan Baihaqi dari Abu Bakrah. Lihat Kitab Al-Jâmi‘ Al-

Kabîr 2/1776 dan Al-Sagîr, no 4039 dan mendapat tanda “hasan”. Lihat juga Syaikh Imâm al-

Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 428.

Page 72: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

56

Dalam riwayat hadits Imam Ahmad tersebut dijelaskan bahwa golongan

orang yang dikhususkan terkait objek Khaira ummah yaitu orang yang paling hafal

al-Qur`ân dan orang yang paling rajin bersilaturahmi.25

Ṯabâṯabâ`î mengutip pendapat Abu Amr al-Zubairi yang meriwayatkan dari

al-Sadiq as. tentang firman Allah: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diciptakan

untuk (kemanfaatan manusia)..,” yang mengatakan: “Allah memaksudkan umat

(kelompok, bangsa) yang untuk mereka doa Ibrahim as. dikabulkan, dan mereka

adalah orang-orang yan di antara mereka diangkat oleh Allah (Rasul-Nya) dan dari

mereka dan untuk mereka; dan mereka adalah umat tengah, dan mereka adalah

sebaik-baik umat yang telah diciptakan untuk manusia.”26

Ibrâhîm al-Qummî, dalam tafsirnya ada yang mengatakan

bahwa “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian “para imam” terbaik

yang dilahirkan untuk manusia, ketahuilah agar kamu memuji Allah atas

mereka..)”. Dalam ayat 110 surah Âli ‘Îmrân ini dikatakan bahwa Khaira ummah

tertuju kepada para imam.

3. Golongan orang atau manusia secara umum

Tabel 4.6 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang atau

manusia secara umum

Nama Tafsir Untuk siapa Khaira Ummah diberikan ?

Tafsir Al-

Qurṯubî

Untuk manusia

Orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan

kalian maka dia seperti kalian

Tafsir Ibn Katsîr Sebaik-baik manusia untuk manusia lain

Seluruh umat pada setiap generasi berdasarkan

tingkatan

Tafsir Al-Munîr Umat Islam

Tafsir Al-Mîzân Seluruh umat manusia

(Kemanfaatan) manusia

Tafsir Al-

Qummi -

25 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.

Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 26 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

391-392. Lihat juga Al-Muhaddits Al-Jalîl Abî Al-Nasr Muhammad bin Mas‘ûd Ibn ‘Ayyâsy Al-

Salamî Al-Samarqandî, Tafsîr al-‘Ayyâsyî (Beirut: Muassasah al-A‘lamî lilmatbû‘at, 1991) h. 219

Page 73: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

57

Al-Qurṯubî menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa gelar Khaira ummah

yang ditujukan kepada umat manusia ini, sebagaimana tercantum secara jelas dalam

surah Âli ‘Imrân ayat 110. Bahwasannya “Kamu adalah umat yang terbaik yang

dilahirkan untuk manusia”. Kemudian sahabat Umar bin Khaṯṯab meriwayatkan

bahwa, “Siapa saja yang berbuat seperti perbuatan mereka maka dia termasuk

seperti golongan mereka”.27

Kemudian, Ibn Katsîr dalam tafsirnya juga menjelaskan riwayat Imam al-

Bukhari yang meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., mengenai ayat 110 sûrah Âli

‘Imrân, “Kamu adalah uamt yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” ia

berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang

membawa mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka

masuk Islam.”28

Wahbah al-Zuhaili menerangkan dalam tafsirnya, Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110

Allah telah menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik selama

mereka masih menjalankan amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman kepada Allah

Swt. dengan keimanan yang lurus, benar dan sempurna.29

Dalam tafsir al-Mîzân, Ṯabâṯabâ`î mengungkapkan makna ayat 110 surah Âli

‘Imrân yaitu “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diciptakan untuk (kemanfaatan)

manusia..” di sini dimaksudkan bahwa kaum Muslim merupakan sebaik-baik

kelompok yang dimunculkan untuk umat manusia.

C. Dampak dari Khaira Ummah

Penulis menganalisa dan menjelaskan bahwa terdapat dua buah

pengelompokkan atas dampak atau hal apa yang didapatkan oleh objek terkait

Khaira ummah. Pengelompokkan tersebut meliputi:

1. Kemuliaan di hadapan Allah dan Rasul

27 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421. 28 Lihat ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn

Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 29 Lihat Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj.

Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 373.

Page 74: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

58

Tabel 4.7 Dampak Khaira Ummah terhadap kemuliaan umat di hadapan Allah dan

Rasul

Nama Tafsir Dampak Khaira Ummah

Tafsir Al-

Qurṯubî Paling mulia di sisi Allah Swt.

Tafsir Ibn Katsîr Semulia-mulia umat bagi Allah Swt.

Akan masuk surga

Tafsir Al-Munîr -

Tafsir Al-Mîzân Doa Nabi Ibrahim dikabulkan

Rasul mendapatkan apa yang tidak didapatkan oleh

Nabi lain

Rasul ditolong dengan perasaan kagum

Rasul diberi kunci-kunci bumi

Rasul diberi nama Ahmad

Tanah yang Suci bagi Rasul

Tafsir Al-

Qummi -

Adapun dampak bagi umat yang disebut sebagai Khaira ummah yaitu

kemuliaan di sisi Allah. Sebagaimana riwayat dari al-Tirmidzi, bahwa Rasulullah

pernah bersabda, “Kalian menyempurnakan jumlah tujuh puluh umat, kalian

adalah umat terbaik dan paling mulia di sisi Allah Swt.”30 hal ini artinya jika umat

telah mendapatkan suatu penghargaan khusus dari Allah Swt. yaitu Khaira ummah

sebagai umat yang terbaik, maka Allah pun menambah kenikmatan dengan

menjadikan umat tersebut kemuliaan di sisi Allah Swt.

Hal yang sama juga dalam Musnad Imam Ahmad, Jâmi‘ al-Tirmidzi, Sunan

Ibn Majah, dan Mustadrak al-Hakim, diriwayatkan dari Hakim bin Mu‘awiyah bin

Haidah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Kalian sebanding

dengan tujuh puluh umat dan kalian adalah sebaik-baik dan semulia-mulia umat

bagi Allah ‘azza wa jalla.”31 Kemudian hal lain riwayat Tsauban, sebuah hadits

yang pernah didengar langsung dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Akan masuk

30 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421. 31 Hadits masyhur, dan dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi.

Page 75: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

59

Surga dari umatku tujuh puluh ribu orang tanpa hisab dan adzab bagi mereka,

setiap seribu orang disertai lagi tujuh puluh ribu orang.”32

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Ṯabâṯabâ`î mengutip pendapat Abu

Amr al-Zubairi yang mengatakan bahwa salah satu makna dari “sebaik-baik umat

yang diciptakan untuk (kemanfaatan) manusia..” yaitu (Allah) memaksudkan

umat, yang untuk mereka doa Nabi Ibrahim dikabulkan. Kemudian beliau megutip

kembali pendapat dari Ahmad yang meriwayatkan melalui isnad yang kuat dari ‘Alî

as. yang berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Aku telah diberi apa yang tidak

diberikan kepada nabi: Aku telah ditolong dengan perasaan kagum, dan aku telah

diberi kunci-kunci bumi, dan aku telah diberi nama Ahmad, dan bumi telah

dijadikan sebagai suatu sarana atau tempat untuk pembersihan (yang suci) bagiku,

dan umatku telah dijadikan sebagai sebaik-baik umat.”33

2. Hal atau kebaikan umum lainnya

Tabel 4.8 Dampak Khaira Ummah terhadap kebaikan lain

Nama Tafsir Dampak Khaira Ummah

Tafsir Al-

Qurṯubî -

Tafsir Ibn Katsîr Menjadi saksi atas perbuatan manusia

Juara menuju kepada kebaikan

Tafsir Al-Munîr Amal perbuatan menjadi suci dan baik

Tafsir Al-Mîzân -

Tafsir Al-

Qummi -

Selain berdampak terkait kemuliaan di hadapa Allah Swt. Dalam kitab tafsir

Ibn Katsir juga terdapak dampak lain dari Khaira ummah yaitu menjadi saksi atas

pebuatan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Baqarah/2: 143

bahwa “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kmau (umat Islam), umat yang

32 Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dan sanad para perawinya tsiqat (dapat

dipercaya), mereka dari orang-orang Syam dan Himsha, maka hadits ini adalah sahîh. Lihat ‘Abd

Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr. Penerjemah: M.

Abdul Ghoffar, h. 112. 33 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.

391-392. Lihat juga Al-Suyuṯi Jalâluddîn. Al-Durru al-Mantsur fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr (Beirut-

Lebanon: Dar al-Fikr, 1983), h. 727.

Page 76: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

60

adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” Lalu

sebagaimana penjelasan dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (pada

pembahasan sebelumnya) bahwa umat ini menjadi sang juara dalam menuju kepada

kebaikan tiada lain karena Nabinya, Muhammad Saw. Sebab beliau adalah makhluk

paling terhormat dan Rasul paling mulia di hadapan Allah Swt.34

Dalam kitab tafsir al-Munîr, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa amal

perbuatan dari generasi akhir umat akan menjadi suci dan baik mana kala mampu

menyerupai generasi awal umat ini. Pada dasarnya keutamaan orang-orang yang

sezaman dengan Nabi Muhammad Saw. dikarenakan mereka adalah golongan

minoritas dengan keimanan mereka di saat jumlah orang-orang kafir waktu itu jauh

lebih banyak, mereka sabar dan tabah menghadapi segala gangguan dari orang-

orang kafir serta kuat di dalam memegang agama dan keimanan mereka. Generasi

akhir umat pun akan mengalami seperti hal tersbeut tatkala menegakkan agama,

memegangnya dengan erat dan sabar di dalam menjalankan ketaatan kepada

Tuhan.35

34 Lihat ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn

Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 35 Lihat Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj.

Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 378.

Page 77: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

61

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penulis melihat bahwa pemaknaan Khaira ummah merupakan sebutan yang

istimewa bagi umat Islam, umat Nabi Muhammad Saw. dan telah Allah jelaskan

dalam firman-Nya yaitu surah Âli ‘Imrân ayat 110.

Dilihat dari pengklasifikasian tentang Khaira ummah, terdapat tiga hal yang

ditunjukkan berdasarkan telaah dari penjelasan beberapa tafsir Sunni dan Syi‘ah

yaitu syarat-syarat dari Khaira ummah, objek yang ditujukan siapa yang berhak

mendapatkan gelar Khaira ummah, dan terakhir dampak dari Khaira ummah itu

sendiri. Dalam syarat Khaira ummah, kelima mufasir yang penulis teliti sepakat

dengan syarat amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman kepada Allah Swt., namun

bagi sebagian mufasir menambahkan syarat lain yaitu seperti al-Qurṯubî dalam

tafsirnya menyatakan dikarenakan kaum muslimin jumlahnya lebih banyak dan

menyempurnakan tujuh puluh umat, lalu Ibn Katsîr menambahkan syarat lain yaitu

umat yang adil dan pilihan, dan Ṯabâṯabâ`î menambahkan pula dalam tafsir al-

Mîzân bahwa syaratnya umat Islam harus bersatu.

Lalu objek dari Khaira ummah menurut kelima mufasir, ditujukan pada

golongan orang-orang sezaman dengan Rasulullah, atau bahkan ditujukan bagi

seluruh umat manusia, namun bagi al-Qummî, beliau menafsirkannya yang

ditujukan kepada para Imam terbaik dari golongan Syi‘ah. Kemudian dampak dari

Khaira ummah itu sendiri sebagian mufasir sepakat bahwa umat dan Rasul

mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt., dan Wahbah menambahkannya bahwa

amal perbuatan umat menjadi suci dan baik.

Akhirnya, mengenai penjelasan Khaira ummah dari mufasir sunni dan syi‘ah

yang penulis gunakan tersebut, bahwasannya ternyata di kedua belah pihak baik

mufasir sunni maupun syi‘ah menafsirkan ayat 110 surah Âli ‘Imrân mereka tidak

partisan, walaupun ada sebagian yang menyatakan penafsiran dari Khaira ummah

dengan berbeda. Khaira ummah secara tekstual lebih cenderung pada golongan

orang-orang yang hidup dan sezaman pada masa Nabi Muhammad Saw. Akan

tetapi secara kontekstual yang digunakan adalah mereka yang mampu

mempertahankan eksistensi umat sebagai umat pilihan yang diberi gelar Khaira

Page 78: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

62

ummah, menjaga gelar kehormatan tersebut dengan menjalankan kebaikan,

menunaikan tugas amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman Allah Swt.

B. KRITIK DAN SARAN

Penelitian ini tentunya banyak sekali memiliki kekurangan. Penulis

menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan, sehingga perlu adanya

penelitian lebih lanjut. Penulis menyarankan kepada peneliti setelah ini untuk

melakukan penelitian dengan menggunakan penelitian lapangan, atau mengikuti

konteks pada zaman modern ini, tentunya pada pembahasan utama dari penelitian

ini secara langsung, agar pembaca bisa lebih memahami dan belajar mengenai

materi ini berdasarkan keadaan umat.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, umumnya

bagi pembaca. Semoga kekurangan dalam penelitian ini, bisa dimaklumi dan bisa

diperbaiki oleh peneliti selanjutnya.

Page 79: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

63

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Karya Ilmiah :

Abidin, Ahmad Zainal. “Tafsîr Al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan

Tashayyu’ dalam Penafsiran Surat Al-Baqarah”. IAIN Tulungagung: Al-

Tahrir 16, no. 2 (2016): 439-459.

Anwar, Harles dan Kari Sabara. “Prinsip-Prinsip Khairu Ummah Berdasarkan

Surah Âli ‘Imrân Ayat 110”. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Palangka Raya: Jurnal Kajian Islam 4, no. 2 (2012): 191-210.

Asmudin, Dede. 2012. “Konsep Ummatan Wasaṯan dalam al-Qur`ân Kajian surat

Al-Baqarah ayat 143 menurut Sayyid Quthb”. Skripsi. UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Al-Asfahâni, Al-Râghib. Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân. Beirut: al-Dâr al-

Syâmiyyah, 2009.

Al-Bâqi, Muhammad Fuâd ‘Abd. Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur`ân al-

Karîm. Beirut: Dâr al-Saqafah al-Islâmiyyah.

Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian

Kebudayaan Nusantara, 1997.

Fatimah, Putri Ajeng. 2011. “Waris Kalâlah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili:

Tafsir Q.s. Al-Nisâ/4: 12 dan 176”. Skripsi. UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

Ghoffar, M. Abdul, dkk. Tafsir Ibnu Katsîr. Terj. Lubâb al-Tafsîr min Ibn Katsîr

(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.

Hakim, A. Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir

dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Depok: Lingkar Studi Al-

Qur`ân, 2013.

Hanbal, Ahmad ibn. Musnad al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ‘Abdillâh Ahmad ibn Hanbal.

Riyadh: Baît al-Afkâr al-Dauliyyah linnasyri wa al-Tauzî‘, 1998.

Herman. 2012. “Konsep Masyarakat Islami Sayyid Quṯb dalam Tafsir fî Ẕilâl al-

Qur’ân”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hitami, Munzir. Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan.

Yogyakarta: LkiS, 2009.

Ikatan Alumni Syam Indonesia. ‘Allâmah Asy-Syam Syekh Wahbah Az-Zuhaili, I

(Depok: Al-Hikam Press, 2017.

Page 80: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

64

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:

PT Gaya Media Pratama, 2001.

Karni, Asrori S. Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi.

Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`ân Balitbang dan Diklat Kemenag RI. Tafsir

Ringkas Al-Qur`ân Al-Karîm. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur`ân, 2016.

Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.

Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Al-Naisâbûrî, Imâm al-Hâfidz Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî.

Sahîh Muslim. Riyaḏ: Dâr al-Ṯaibah, 1426 H.

Nurdin, Ali. Quranic Society. Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-

Qur`ân. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006.

Nurdin, M. Amin, Eva Nugraha, dan Dadi Darmadi, Sosiologi Al-Qur`ân: Agama

dan Masyarakat dalam Islam. Ciputat: UIN Jakarta Pres, 2015.

Prestiawan, Budy. 2014. “Menikahi Orang Musyrik Perspektif Al-Jashash dan al-

Qurthubi: Analisa terhadap surah al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam

al-Qur’an dan Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an”. Skripsi. UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Al-Qarḏawi, Yûsuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur`ân dan Sunnah. Solo:

Citra Islami Press, 1997.

Al-Qaṯṯan, Syaikh Manna‘. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî

‘Ulûm al-Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2005.

Al-Qummî, ‘Alî bin Ibrâhîm. Tafsîr Al-Qummî, I. Qom: Dâr al-Kitâb, 1435. Al-Qurṯubî, Syaikh Imâm. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008.

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur`ân Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.

Rahman, Zayad Abd. 2015. “Konsep Ummah: Sebuah Upaya Melerai Miskonsepsi

Negara-Bangsa”. Religi: Jurnal Studi Islam 6, no.1 (2015): 1-18. Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri Kediri.

Al-Sâbunî, ‘Alî. Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, I. Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th.

Setiawan, Muhammad Nur Kholis dan Djaka Soetapa. Meniti Kalam Kerukunan:

Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, 1. Yogyakarta: BPK

Gunung Mulia, 2009.

Page 81: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

65

Shadiq, Akhmad Fajarus. 2016. “Konsep Ummah dalam al-Qur`ân: Sebuah

Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Shariati, Ali. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah: Afif

Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

Shihab, M. Quraish. Lentera Al-Qur`ân: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung:

Mizan, 2008.

. Tafsir Al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`ân. Ciputat:

Lentera Hati, 2000.

. Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.

Bandung: Mizan, 2013.

Sobhani, Ayatollah Jafar. Doctrines of Shi’I Islam, Reza Shah. Kazemi, trans, and

ed. London: I. B. Tauris, 2001.

Sutrisno, Tomi. 2013. “Konsep Umatan Wahidatan Perspektif al-Qur`ân dan

Dampaknya di Indonesia: Studi Perbandingan Penafsiran Sayyid Quthb

Dan M. Quraish Shihab”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Durru al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr, 3. Kairo:

Markaz Hajar lil Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah,

2003.

Al-Syaikh, Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu. Tafsir Ibn

Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‘i,

2004.

Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsîr Jilid 1, II (Jakarta: Darus

Sunnah Press, 2014.

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Ṯabâṯabâ’î, ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain. Tafsir Al-Mîzân. Penerjemah:

Ilyas Hasan. Jakarta: Penerbit Lentera, 2011.

Thohir, Moh Abdullah. 2017. “Implementasi Penafsiran Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110

dalam Tafsir Jalalain Terhadap Pembentukan Generasi Khairu Ummah di

Pondok Pesantren an-Nur al-Islami Kauman Jekulo Kudus”. Skripsi.

STAIN Kudus.

Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2008.

Tohidin, Pipin. 2010. “Nikah Mut’ah dalam Pandangan Al-Syaukani dan

Ṯabâṯabâ’î: Studi Komparatif atas Penafsiran Imam al-Syaukani dan Imam

Ṯabâṯabâ’î terhadap surah al-Nisa/4: 24”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 82: KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42956/1/IVA... · dan Syi‘ah. Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai

66

Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj.

Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2013.

Website :

https://almanhaj.or.id/3118-sunnah-dan-syiah-bersandingan-mustahil.html

(diakses pada tanggal 30 Agustus 2018, pukul 21:52 WIB)

https://muslim.or.id/417-kesesatan-agama-syiah-2.html (diakses pada tanggal 30

Agustus 2018, pukul 21:52 WIB)

Id.mobile.wikishia.net/index.php/Tafsir_al-Qummi_(buku)#cite_note-4 (diakses

pada hari Kamis pukul 00.35 WIB)

kisahmuslim.com/2831-kisah-tokoh-tabiin-amir-bin-syurahbil-asy-syabi.html

(diakses pada Kamis, 18 Oktober 2018 pukul 11.15 WIB)

Tafaqquh Video. “Ciri Ummat Terbaik - Ustaz Abdul Somad, Lc., MA.” Klip video

daring. YouTube, 03 Oktober 2016. Web. 11 Juli 2018.