kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

168
TESIS KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES MADE DWI KURNIAHARTAWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: voque

Post on 01-Jan-2017

257 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

TESIS

KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA

NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR

NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE

SUBSTANCES

MADE DWI KURNIAHARTAWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

TESIS

KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA

NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR

NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE

SUBSTANCES

MADE DWI KURNIAHARTAWAN

NIM: 1290561024

PROGRAM MAGISTER

PROFRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

ii

KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA

NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR

NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE

SUBSTANCES

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

MADE DWI KURNIAHARTAWAN

NIM 1290561024

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAHDISETUJUI

PADA TANGGAL 12 JANUARI 2015

Pembimbing I

Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH

NIP. 19570709 198610 1 001

Pembimbing II

Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH

NIP. 19590325 198403 1 002

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM

NIP. 19611101 198601 2 001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 19590215 198510 2 001

Page 5: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

iv

Tesis Ini Telah Diuji

Pada 12 Januari 2015

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana

Nomor : 102/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 12 Januari 2015

Ketua : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH

Sekretaris : Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH

Anggota : 1. Dr. I Gede Artha, SH.,MH

2. Dr. Made Suartha, SH.,MH

3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum

Page 6: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Made Dwi Kurniahartawan

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional

(BNN) Terhadap Pengedar Narkotika New

Psychoactive Substances

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku.

Denpasar, 2 Januari 2015

Yang Menyatakan

Made Dwi Kurniahartawan

Page 7: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa

atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul

"KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)

TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE

SUBSTANCES" dapat dilesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari

isi maupun teknis penulisannya. Oleh karenanya, kritik yang bersifat konstruktif

sangat diharapkan dari berbagai pihak. Adapun pada kesempatan ini, ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada yang terhormat:

1. Dosen Pembimbing I, Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH.

2. Dosen Pembimbing II, Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH.

3. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-K.E.M.D.

4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka

Sudewi, Sp.S(K).

5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah

Wairocana, S.H., M.H.

6. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana sekaligus

Dosen Penguji III, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM.

Page 8: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

vii

7. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Dr.

Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum.

8. Dosen Penguji I, Dr. I Gede Artha SH., MH.

9. Dosen Penguji II, Dr. Dewa Made Suartha, S.H.,M.H

10. Dosen Pembimbing Akademik, Prof. Dr. I Ketut Rai Setia Budhi, SH., MS.

11. Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

yang telah memberikan ilmu dan arahan dalam proses menyelesaikan tesis ini.

12. Para pegawai administrasi di sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana (Bapak Made Mustiana, Ibu Agung Yun, Ibu Agung,

Dyva dan Dandy).

13. Orang tua yaitu Made Muliawan dan Ni Nengah Ardhani.

14. Kakak yaitu Letnan Satu Pelaut I Komang Sukrawan dan Arjun Komisaris

Polisi Putu Diah Kurniawandari, SH.

15. Keluarga Besar Bulutangkis Universitas Udayana (Justitia Badminton Club).

16. Teman-teman Magister Hukum angkatan 2012 beserta sahabat lainnya :

Kristyanti, Pasek Pramana Putra, Edi Gordo, Gung Mas, Ratih Kumala Dewi,

Ditha Nomia, Ayu Prami, Bapak Made Gelgel, Bapak, Akp Arta Ariawan,

Komang Trisna, Pratama Wijaya, Bapak Dewa Anom, Ibu Sinaryati, beserta

teman-teman Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Udayana angkatan 2012 yang lainnya.

17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak

memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang

Page 9: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

viii

Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian

tesis ini.

Denpasar, 7 September 2014

Penulis

Page 10: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

ix

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari

adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum. Kekosongan norma hukum

dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan I,

II, dan III Undang-Undangan No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika

New Psychoactive Substances (NPS) belum diatur dalam daftar berbagai jenis

narkotika serta golongan dan turunannya didalam ketentuan Undang-Undang No.

35 tahun 2009 Tentang Narkotika juncto Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun

2010 Tentang Prekursor Narkotika. Narkotika New Psychoactive Substances

(NPS) salah satunya terdapat dalam kasus Raffi Ahmad dan sesuai Asas Legalitas

dalam hukum pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan

bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan

perundang-undangan pidana yang telah ada. Penelitian ini juga membahas

keabsahan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana narkotika oleh Badan

Narkotika Nasional (BNN) dikaji berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun

2010 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN). Penelitian ini menggunakan

peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan

pendekatan kasus.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah keabsahan kewenangan penyidikan

Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap dalam tindak pidana narkotika adalah

tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk berdasarkan Peraturan

Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada ketentuan Pasal 149 Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai Undang-Undang

Administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika dan

tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan

Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui

peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. Keabsahan penyidikan Badan

Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan

tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak terpenuhinya

unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat

dapat dihukum karena belum diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa

yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci

mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan)

Kata Kunci : Kewenangan Penyidikan, Narkotika, Badan Narkotika Nasional.

Page 11: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

x

ABSTRACT

This research is a normative legal research based on the emptiness of legal

norms or legal principles, as can be seen from what is stipulated in Article 6

appendixes I, II, and III of the Act Number 35 of 2009 Concerning Narcotics.

Narcotics of Psychoactive Substances (NPS) has not been listed under various

types of narcotics and its derivations included in the Act Number 35 of 2009

Concerning Narcotics in connection with the Governmental Regulation Number

44 of 2010 Concerning the Precursor of Narcotics. Narcotics of New Psychoactive

Substances (NPS) could be found in the case of Raffi Ahmad according The legal

principle of the Criminal Law is based on what is stipulated in Article 1 clause (1)

of the Criminal Law in which it is stated that any act cannot be made into a

criminal case, except it is based on what is stipulated in the existing regulations of

the Criminal Law. This research also discusses the validity of the authority of the

narcotic crime investigation by the National Narcotics Board (BNN) assessed

pursuant to Presidential Decree Number 23 of 2010 concerning the National

Narcotics Board (BNN).The approach of rules and regulations, the approach of

the analysis of legal concept, and the approach of case are used in the present

study.

The conclusion of this research is the validity of the investigative authority

of the National Narcotics Board (BNN) to dealers in narcotic crime is not valid

because the National Narcotics Board established pursuant to Presidential Decree

No. 23 of 2010 concerning National Narcotics Board (BNN) reference to Article

149 of Law No. 35 of 2009 Concerning Narcotics. As the Administration Act

contains criminal punishment regarding labeling narcotics and narcotic precursor

procurement procedures of Act No. 35 Year 2009 concerning Narcotics can not

delegate authority to the establishment of the National Narcotics Board (BNN)

National Narcotics Board (BNN) should be established through implementing

regulations such as government regulations.

The validity of the investigation of the National Narcotics Board (BNN) to

the case Raffi Ahmad is not valid and can not be criminally accountable because it

is not fulfill the elements of criminal liability in particular the objective elements

can be punished because it is not strictly regulated in terms of legislation

applicable accordance with the principle of legality and the principle of lex certa

legislators (legislative) must be formulated clearly and in detail about the actions

called with a criminal offense (crime)

Keywords : Authority Investigations , Narcotics , National Narcotics Board

Page 12: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

xi

RINGKASAN TESIS

Tesis ini berjudul : " Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional

(BNN) Terhadap Pengedar Narkotika New Psychoactive Substances ", yang terdiri

dari 5 bab, antara lain sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan di

dalamnya terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, landasan teori dan konsep serta metode penelitian. Pada latar belakang

diuraikan mengenai permasalahan tentang tidak diaturnya narkotika New

Psychoactive Substances beserta golongan dan turunannya dalam ketentuan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penulis juga

memberikan beberapa contoh kasus salah satu diantaranya adalah kasus narkotika

Raffi Ahmad yang jenis narkotikanya masuk kedalam klasifikasi New

Psychoactive Substances dengan jenis Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene

Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Efek samping menggunakan

Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu

diwaspadai peredarannya. Sebagai pisau analisa untuk mengkaji permasalahan

yang dibahas dalam penelitian ini pada landasan teoritis digunakan Teori

Principles Of Legality, Teori Kewenangan, Teori Sistem Hukum, Teori Kebijakan

Hukum Pidana, Konsep Negara Hukum, Asas Legalitas, Konsep

Pertanggungjawaban Pidana, Konsep Due Process Model, dan Konsep Politik

Hukum Pidana.

Bab II merupakan bab yang memuat tinjauan umum tentang Kewenangan

Penyidikan Narkotika oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang membahas

tentang pengertian wewenang, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban

wewenang, penyidikan narkotika serta tugas, wewenang, dan fungsi Badan

Narkotika Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika.

Bab III merupakan pembahasan atas permasalahan pertama, yaitu

Keabsahan Kewenangan Peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam

Tindak Pidana Narkotika. Dari kajian keilmuan ilmu hukum berkaitan dengan

keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap

pengedar dalam tindak pidana narkotika sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah tidak sah karena

wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dibentuk berdasarkan

atas Peraturan Presiden. Sebagai undang-undang administrasi bersanksi pidana

yang memuat tentang pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor

narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat

mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan

Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti

peraturan pemerintah.

Bab IV ialah bab yang berisikan pembahasan atas permasalahan kedua,

yakni kasus narkotika Raffi Ahmad dalam kaitannya dengan keabsahan

penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan ketentuan Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Keabsahan penyidikan Badan

Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dengan mengelaborasi

teori, konsep, dan asas hukum adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung

Page 13: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

xii

jawabkan secara pidana. Sesuai dengan konsep hukum pidana yang menganut

doktrin asas legalitas serta tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban

pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur

secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni

didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Unsur

pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur subyektif dan unsur obyektif

dan penghukuman harus didasarkan pada ketentuan tertulis dalam undang-undang

(lex certa). Secara umum dapat penulis simpulkan unsur tersebut terdiri dari (1)

perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum;

(3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.

Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup dalam penulisan tesis ini.

Pada bab ini ditulis mengenai simpulan dan saran dari penulisan tesis ini.

Simpulan pertama dalam penelitian tesis ini adalah keabsahan kewenangan

penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap pengedar dalam tindak

pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk

berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada Pasal

149 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai undang-

undang administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika

dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan

Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui

peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah.

Simpulan kedua pada penelitian tesis ini adalah keabsahan penyidikan

Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah

dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak memenuhi

unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat

dihukum karena tidak diatur didalam ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat

undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai

perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.

Mengenai saran dalam penelitian ini saran pertama adalah disarankan bagi

para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden jika

masih menghendaki adanya Badan Narkotika Nasional hendaknya membentuk

suatu undang-undang agar memberikan kewenangan yang sah kepada Badan

Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika. Untuk saran kedua

dalam penelitian ini guna mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan

narkotika jenis baru disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika dan membentuk klausula pasal progresif yang

menyatakan penyidikan tindak pidana narkotika yang jenisnya tidak tencantum

dalam ketentuan undang-undang, penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil

uji laboratorium forensik.

Page 14: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................. ...................... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................. v

HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH...................................................... . vi

HALAMAN ABSTRAK.................................................................................. ix

HALAMAN ABSTRACT................................................................................ x

RINGKASAN TESIS....................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah............................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 12

1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................... 12

1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 13

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................ 13

1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................... 13

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 14

1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................ 14

1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................. 14

1.6 Orisinalitas Penelitian ............................................................... 15

Page 15: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

xiv

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ................................ 19

1.8 Metode Penelitian ..................................................................... 45

1.8.1 Jenis Penelitian .............................................................. 45

1.8.2 Jenis Pendekatan ............................................................ 45

1.8.3 Sumber Bahan Hukum................................................... 47

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................. 48

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum...................................... 49

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN

PENYIDIKAN NARKOTIKA OLEH BADAN

NARKOTIKA NASIONAL (BNN)

2. 1 Pengertian Wewenang, Penyalahgunaan Wewenang,

dan PertanggungjawabanWewenang .............................. 51

2. 2 Penyidikan Narkotika................................................ ...... 63

2. 3 Tugas, Wewenang, dan Fungsi Badan Narkotika

Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika ...................................... 71

BAB III KEABSAHAN KEWENANGAN PEYIDIKAN BADAN

NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM TINDAK

PIDANA NARKOTIKA

Page 16: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

xv

3.1 Kedudukan Badan Narkotika Nasional Menurut KUHAP

Dalam Penyidikan Peredaran Narkotika Jenis New

Psychoactive Substances................................................. .. 77

3.2 Keabsahan Kewenangan Peyidikan Badan Narkotika

Nasional (BNN) Dalam Tindak Pidana Narkotika ........... 83

BAB IV PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

YANG TIDAK TERMASUK DALAM KETENTUAN

UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

4.1 Kasus Posisi Raffi Ahmad .................................................. 108

4.2 Keabsahan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)

Terhadap Kasus Narkotika Raffi Ahmad Dikaji

Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika. ................................................... 109

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ........................................................................ 143

5.2 Saran ................................................................................... 144

DAFTAR PUSTAKA

Page 17: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial.

Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan

pembangunan nasional dalam suasana aman, tenteram, tertib, dan dinamis baik

dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian

terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini sudah sampai pada

tingkat yang memprihatinkan dan mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara. Persoalan narkotika lambat laun ada tendensi akan menjajah

bangsa ini. Betapa tidak, banyak lapisan masyarakat yang terjerumus dalam

penggunanaan narkotika. Sampai saat ini diprediksikan lebih dua juta penduduk

Indonesia mengkonsumsi narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba) atau

narkotika, psikotropika serta zat adiktif lainnya (naza). Bangsa ini terlihat dalam

“drug abused” pada tingkat yang sudah membahayakan.

1

Page 18: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

2

Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah

yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia

Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap

masalah narkotika semakin meningkat, salah satunya dapat dilihat melalui Single

Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.1 Masalah ini menjadi begitu

penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) adalah suatu zat yang dapat

merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep

dokter.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika dijelaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan/adiktif

(kecanduan). Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009

dijelaskan beberapa jenis golongan narkotika yaitu:

Huruf a

- Yang dimaksud “Narkotika Golongan I” adalah narkotika yang hanya

dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

1 Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Oleh Anak, UMM Press, Malang, h. 30

Page 19: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

3

Huruf b

- Yang dimaksud dengan “Narkotika Golongan II” adalah narkotika

berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

Huruf c

- Yang dimaksud dengan“Narkotika Golongan III” adalah narkotika

berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Bahaya narkotika terberat untuk kesehatan adalah efek ketergantungan

yang disebabkan oleh obat itu sendiri. Efek buruk yang ditimbulkan bagi pecandu

narkotika adalah keinginan untuk selalu memakainya secara berulang. Bila tidak

memakainya kembali akan timbul rasa sakit yang dialami para penderita dan rasa

ketergantungan pada narkotika.

Penggunaan narkotika dalam bidang kesehatan adalah legal apabila

peruntukannya digunakan untuk pengobatan. Narkotika merupakan zat atau obat

yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu.

Narkotika umumnya dipakai dalam rangka terapi karena senyawa-senyawa

psikotropika yang terdapat di dalamnya dipakai untuk membius (anastesi) pasien

saat hendak dilakukaan operasi (pembedahan) atau obat-obatan untuk penyakit

Page 20: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

4

tertentu. Hal ini juga harus dilakukan oleh pihak medis dengan menggunakan

dosis dan cara pemakaian yang tepat.

Penggunaan narkotika apa bila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai

dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan

bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih

merugikan lagi apabila disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan

nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan

nasional.

Ada beberapa macam jenis narkotika diantaranya yaitu :

1. Opium (candu) atau biasa dikenal dengan opiate. Opium merupakan candu

kasar atau mentah yang didapat dari getah buah tanaman papaver

samniterum yang dihisap/digores dan dibiarkan mengering. Opium

merupakan golongan narkotika alami yang sering digunakan dengan cara

dihisap.

2. Morpin. Jenis obat narkotika ini adalah zat aktif yang diperoleh dari candu

melalui pengolahan secara kimia. Cara penggunaanya disuntikan ke tubuh

(injeksi).

3. Putaw Heroin. Golongan narkoba sejenis ini akan lebih mudah menembus

otak sehingga lebih kuat dari morfin itu sendiri.

4. Kanabis (Ganja). Inilah yang seringkali menjadi kasus narkoba yang

paling banyak diberitakan dan menyerang semua kalangan di masyarakat

kita. Ganja adalah merupakan jenis tanaman kanabis yang biasanya

dipotong, dikeringkan, dipotong kecil-kecil dan digulung untuk dijadikan

rokok yang disebut joints.2

Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang pada dewasa ini dengan

diikuti pula perkembangan tehnologi yang semakin berkembang menyebabkan

adanya dampak positif dan negatif. Dampak negatif terjadi khususnya dalam hal

rekayasa obat-obatan narkotika yang disebabkan karena kecanggihan tekhnologi

2 Mardani, 2008, Penyalah Gunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum

Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.81

Page 21: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

5

dan ilmu pengetahuan digunakan untuk hal yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan untuk menghindar dari jeratan hukum.

Kreasi manusia dalam rekayasa obat-obatan telah memunculkan zat-zat

baru yang ditengarai sebagai jenis narkotika baru dan sangat berdampak negatif

pada kesehatan manusia apabila disalahgunakan atau digunakan secara salah.

Kreasi manusia dalam hal rekayasa obat-obatan dikatakan baru karena zat-zat

tersebut serta narkotika yang ditimbulkan dari zat tersebut belum diatur atau

masuk dalam daftar berbagai jenis golongan narkotika yang diatur dalam

ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan narkotika pada Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Dalam perkembangannya di Indonesia, Badan Narkotika Nasional (BNN)

telah menemukan 17 zat baru atau Narkotika jenis baru melalui pemeriksaan

laboratorium. Zat yang disebut sebagai Narkotika baru tersebut adalah:

1. Benzylpiperazine

2. Para-methoxymethamphetamine

3. Methylone

4. Methcathinone

5. Mephedrone

6. Pentedrone

7. 4-methyl-N-methylcathinone

8. N-ethyl-cathinone

9. MDPV (3,4-methylenedioxypyrovalerone)

10. Chat plant (cathinone and cathine)

11. JHW-018

12. XLR-11

13. 2-CB (4-bromo-2,5 dimethoxymethamphetamine

14. DOC (4-chloro-2,5-dinethoxyamphetamine

15. Mytragyna plant

16. DMA (N, N, α-trimethyl-benzeneethanamine)

17. Penazepam. 3

3 Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Phsycoactive Substances-NPS),

Alvalaible at http://bnnp-diy.com/posting-117-narkoba-baru-nps.html. Diakses 22 November 2013

Page 22: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

6

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyebut zat-zat

serupa narkotika baru tersebut sebagai New Psychoactive Substances (NPS). NPS

dikenal di pasaran dengan berbagai istilah, yang antara lain: “designer drugs” ,

“legal highs” , “herbal highs” , “bath salts”. Istilah-istilah tersebut telah meluas

dan termasuk di dalam sebutan other psychoactive substances yang dibuat dengan

mengubah zat-zat yang telah dilarang dengan cara memodifikasi struktur

kimianya, dengan tujuan menghindari ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan.4

Berkaitan dengan Narkotika New Psychoactive Substances beberapa

contoh kasus dapat penulis uraikan dalam relevansinya mendukung penyusunan

penelitian ini yaitu :

a. Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri Memaparkan Hasil

Temuan Narkotika Jenis Baru Beredar Di Indonesia.

Berdasarkan pada data yang penulis peroleh melalui artikel dalam format

elektronik (internet) petugas Direktorat Tindak Pidana Narkotika Mabes Polri

berkoordinasi dengan petugas Bea dan Cukai menangkap sejumlah tersangka

pelaku sindikat peredaran narkotika internasional, jaringan Hongkong, Malyasia,

dan Indonesia. Narkotika yang ditemukan adalah narkotika jenis baru yang terdiri

dari Metilon, Kratom, Piperazine atau dikenal jenis narkoba ekstasi herbal, dan

LSD atau yang juga biasa disebut Smile. Keempat jenis narkotika ini diketahui

belum pernah ditemukan di Indonesia dua di antaranya Kratom dan LSD

digunakan dengan cara yang cukup berbeda dengan jenis lainnya.

4 Ibid

Page 23: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

7

Arman Depari selaku Direktur IV Tindak Pidana Narkoba melalui

konferensi persnya yang bertempat di Gedung Direktorat Tindak Pidana

Narkotika Bareskrim Mabes Polri, Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, ia

menjelaskan Kratom berbentuk daun (narkotika alami), bisa diseduh seperti teh

atau juga dibakar seperti ganja, sedangkan LSD bentuknya menyerupai kertas,

pemakaiannya dapat ditempelkan secara langsung di lidah.5

Arman Depari juga menjelaskan bahwa berkaitan dengan Metilon dan

Piperazine bahwa Metilon dan Piperazine berbentuk pil dan digunakan dengan

cara yang sama seperti narkotika berbentuk pil lainnya. Untuk jenis LSD jika

dilihat dari bentuknya, narkotika ini terlihat tidak berbahaya. LSD berbentuk stiker

kertas dengan gambar flying dragon atau naga terbang di bagian atasnya. Satu

lembar LSD biasanya berukuran sekitar 10x10 cm. Dalam satu lembar tersebut

terdapat 100 potongan kecil berukuran 1x1 cm yang dapat dirobek untuk

digunakan. Sobekan-sobekan kecil berukuran 1x1 cm itu cukup diletakkan di

bawah lidah. Ini artinya penggunaan narkotika tersebut terbilang mudah. LSD atau

narkotika sintetis tersebut didapat pihaknya dari seorang Ibu rumah tangga yang

bertugas sebagai kurir bernama inisial HM di halaman Lembaga Pemasyarakatan

Cipinang, Jakarta Timur dengan barang bukti empat lembar LSD.6

Narkotika jenis Kratom merupakan narkotika dari sejenis tumbuhan yang

digunakan sesuai bentuk aslinya. Bagian daunnya diambil, sama seperti ganja.

5 Arman Depari, 2013, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri Memaparkan Hasil

Temuan Narkotika Jenis BaruBeredar di Indonesia, Alvalaible at http://

sinarharapan.co/index.php/news/read/27868/empat-narkoba-jenis-baru-beredar-di indonesia.html.

Diakses 14 Februari 2014

6 Ibid

Page 24: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

8

Namun, selain dibakar ini bisa diseduh seperti teh. Kratom, Metilon, maupun LSD

memiliki efek yang sama, yakni sebagai halusinogen. Pemakainya akan

mengalami efek halusinasi. Piperazine memiliki efek sebagai stimulant.

Penggunanya akan dirangsang untuk bersemangat. Sebagai narkotika jenis baru,

penyalahgunaan keempat jenis narkotika tersebut belum diatur dalam UU No 23

Tahun 2009 tentang Narkotika.7

b. Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba

(UPT) Oleh Badan Narkotika Nasional.

Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional

(BNN) kembali menemukan dua narkotika jenis baru yang dikenal dengan New

Psychoactive Substance (NPS) dalam pil berwarna krem berlogo "channel", dan

pil berwarna cokelat muda berlogo "double ring".

Berdasarkan sumber data yang penulis peroleh melalui artikel dalam

format elektronik (internet), Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional

(BNN) Sumirat Dwiyanto menyebutkan kedua zat dalam yang terkandung di

dalam narkotika tersebut adalah MPHP dan Methoxetamine (3-MeO-2-Oxo-PCE).

Tim Laboratorium BNN menerima sampel zat tersebut dari masyarakat pada

tanggal 18 Desember 2013 tahun lalu. MPHP ialah zat yang memiliki efek

stimulan dan dapat menyebabkan kerusakan hati jika dikonsumsi berlebih pada

tubuh manusia. MPHP merupakan turunan dari Katinon dan terkelompok didalam

golongan Syntetic Cathinone. Katinon adalah zat Monoamina Alkaloid yang

7 Ibid

Page 25: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

9

banyak terkandung dalam tumbuhan semak Catha Edulis (Khat). Secara kimiawi,

Katinon mirip dengan zat Amphetamine (ekstasi).8

Sumirat Dwiyanto menambahkan keterangannya bahwa penggunaan

katinon yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, kejang,

muntah, sakit kepala, perubahan warna (discolorisation) pada kulit, hipertensi,

hiper-refleksia, euforia, halusinasi, gelisah, lekas marah, insomnia dan serangan

panik. Pengguna kronis beresiko terhadap gangguan kepribadian, menderita Infark

Miokard (serangan jantung) hingga kematian. Infark Miokard yaitu matinya

sekelompok otot jantung karena penyumbatan mendadak dari arteri koroner. Hal

ini biasanya disertai dengan nyeri dada luar biasa dan sejumlah kerusakan

jantung.9

Methoxetamine (3-MeO-2-Oxo-PCE) berdasarkan data UNODC (Global

Smart Program 2013) masuk kedalam golongan lain narkotika yang belum

dikelompokkan jenis zatnya. Senyawa yang pertama kali ditemukan pada

November 2010 lalu ini secara kimiawi merupakan turunan dari Ketamin dan

memiliki efek menenangkan (antidepresan).

Ketamin adalah senyawa sintetik sejenis dengan PCP (Phenencyclidine)

yang biasa dipakai sebagai obat anesthetic. Dalam ilmu kedokteran anesthetic

biasa digunakan pada pasien sebagai obat penekan rasa sakit. Efek Ketamin

8 Sumirat Dwiyanto, 2013, Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji

Narkoba (UPT) Oleh Badan Narkotika Nasional, Alvalaible at http://www.tribunnews.com

/nasional/2013/12/30/bnn-temukan-narkotika-jenis-baru. Diakses 11 Februari 2014

9 Ibid

Page 26: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

10

biasanya hanya berlangsung antara 45-90 menit. Akan tetapi jika digunakan

melebihi dosis dan terus menerus, dapat menyebabkan kecanduan.

Ketamin merupakan zat yang bersifat halusinogen dan sangat dissociative,

bahkan delirium (tidak bisa sama sekali membedakan mana yang nyata dan mana

yang tidak). Hingga saat ini telah ditemukan 26 Narkotika jenis baru beredar

gelap di Indonesia dan 251 Narkotika baru yang beredar di dunia. Narkotika baru

tersebut terbagi menjadi 7 kelompok, yakni Synthetic Cannabinoids, Synthetic

Cathinones, Phenetylamines, Piperazines, Plant-based substances, Ketamine, dan

Miscellaneous.10

c. Kasus Raffi Ahmad

Badan Narkotika Nasional (BNN) menetapkan Raffi Ahmad dan tujuh

orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus narkotika yang dilakukan di rumah

Raffi Ahmad di Jalan Gunung Balong Kavling VII Nomor 16 I Lebak Bulus

Jakarta Selatan pada penggerebekan yang dilakukan pada hari Minggu 27 Januari

2013.

Bersama ke-17 orang yang diamankan, pihak BNN juga menemukan

barang bukti berupa dua linting ganja dan 14 butir kapsul yang diduga berisi

MDMA. Ganja ditemukan didalam kamar dekat tempat pajangan (bufet) di kamar

RA (Raffi Ahmad) dan MDMA di dalam laci di ruang makan. BNN melakukan

penggerebekan di kediaman pembawa acara televisi Raffi Ahmad yang menurut

BNN sedang menggelar pesta ganja dan ekstasi. Selain Raffi Ahmad ada beberapa

aktris dan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Wanda

10 Ibid

Page 27: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

11

Hamidah serta pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar juga turut dibawa ke

BNN untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

BNN menemukan narkotika jenis Cathinone dalam kasus Raffi Ahmad cs,

yakni 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Staf Ahli

Kimia Farmasi BNN Mufti Djusnir mengatakan efek samping menggunakan

Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu

diwaspadai peredarannya. Struktur dasarnya adalah MDMA, yakni 3,4 Methylene

Dioxy Metacathinone. Bahaya dari zat tersebut jika dikonsumsi akan mengalami

psikoaktif dan siapa pun yang menggunakan tanpa takaran jelas mengakibatkan

overdosis sehingga kejang, keram, dan berakhir dengan kematian. 11

Selain dari beberapa contoh kasus yang telah diuraikan diatas dalam

penelitian ini penulis juga mengidentifikasi adanya tumpang tindih dalam konsep

hukum yakni asas legalitas dalam hukum pidana dan norma hukum yang

mengatur tentang kewenangan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN)

terhadap pengedar narkotika jenis New Psychoactive Substances.

Makna asas legalitas diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP

yakni suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Narkotika yang termasuk

kedalam klasifikasi jenis New Psychoactive Substances secara tegas belum diatur

golongan dan turunannya. Sedangkan kewenangan Badan Narkotika Nasional

(BNN) dalam pemberantasan tindak pidana narkotika telah diatur secara tegas

11 Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Bahan Jenis Narkoba Kasus Raffi Ada di Puncak, 2013,

Alvaliable at http://www.tempo.co/read/news/2013/02/03/064458701/BNN-Bahan-Jenis-Narkoba-

Kasus-Raffi-Ada-di-Puncak. Diakses 11 Februari 2014

Page 28: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

12

dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam penelitian ini

juga terdapat permasalahan dalam hal dasar hukum terbentuknya Badan Narkotika

Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan

Narkotika Nasional dengan merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika sebagai undang-undang administratif bersanksi pidana.

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, menarik bagi penulis untuk

menulis penelitian yang berjudul “KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN

NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR

NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas adapun rumusan masalah yang dapat

penulis uraikan adalah:

1. Apakah sah kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam

melakukan penyidikan tindak pidana narkotika?

2. Apakah sah penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional

(BNN) terhadap kasus narkotika Raffi Ahmad dikaji berdasarkan

ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk membatasi ruang lingkup masalah dalam penelitian ini agar sifatnya

lebih spesifik dalam rumusan masalah pertama dibahas mengenai keabsahan

Page 29: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

13

kewenangan peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana

narkotika.

Rumusan masalah kedua dibahas permasalahan tentang keabsahan

penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dikaji

berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

1.4.Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah :

Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk

pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma sience as a process (ilmu

sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final)

dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.

Pengembangan ilmu hukum dalam penelitian ini adalah dibidang hukum pidana

dalam hal keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)

terhadap jenis narkotika baru yang tidak diatur dalam ketentuan Undang-Undang

No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus (het doel in het onderhoek) dari penelitian ini adalah

mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan

permasalahan penelitian yaitu :

Page 30: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

14

1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara komperhensif

tentang pengaturan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional

(BNN) dalam tindak pidana narkotika.

2. Untuk mengetahui keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional

(BNN) dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika terhadap kasus Raffi Ahmad.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk

pembenahan dalam kajian akademis tentang keabsahan penyidikan Badan

Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika serta terhadap

narkotika jenis New Psychoactive Substances dimana pengaturan klasifikasi

mengenai jenis golongan serta turunannya belum diatur didalam Undang-Undang

Narkotika No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat khusus atau manfaat praktis penelitian ini adalah penelitian ini

diharapkan dapat memberi masukan bagi para akademisi hukum, praktisi hukum,

mahasiswa dan peneliti khususnya dibidang hukum dan sistem peradilan pidana

tentang narkotika jenis New Psychoactive Substances dalam kaitannya dengan

keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam

penyidikan tindak pidana narkotika dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang

No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Page 31: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

15

1.6 Orisinalitas Penelitian.

Orisinalitas penelitian dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat

dalam dunia pendidikan di Indonesia mewajibkan kepada setiap mahasiswanya

untuk mampu menunjukan sisi orisinalitas dari penelitian yang sedang ia

kerjakan. Adapun tiga judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai

pembanding yang pembahasannya berkaitan dengan narkotika adalah:

1. Tahun 2012, tesis karya I Putu Darma (mahasiswa magister ilmu hukum

program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar) dengan judul penelitian

“Upaya Penanggulangan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika

Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar”. Dalam penelitian

tesis ini membahas tentang upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak

pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar serta

hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana

narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana

narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar dilakukan

melalui kebijakan non penal dan kebijakan penal. Dalam upaya menanggulangi

dan memberantas tindak pidana narkotika hendaknya lebih mengutamakan

kebijakan non penal daripada kebijakan penal sebab kebijakan non penal pada

dasarnya mengarah pada upaya-upaya pencegahan. Hambatan-hambatan dalam

penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum

Kepolisian Resor Kota Denpasar berasal dari faktor penegak hukum, sarana

dan prasarana dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya.

Page 32: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

16

2. Tahun 2012, tesis karya A.A. Istri Mas Candra Dewi (mahasiswa magister ilmu

hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang berjudul

“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika

Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang relevansi

perlindungan hukum melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan

narkotika serta pelaksanaan pengawasan atas putusan rehabilitasi terhadap

korban penyalahguna narkotika. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

perlindungan hukum bagi korban penyalahguna narkotika tidak dapat terlepas

dari gagasan yang mendasari perlindungan hukum terhadap korban pelaku

narkotika dalam bentuk Rehabilitasi. Ketentuan hukum yang mengatur

tindakan rehabilitasi pecandu narkotika diatur dalam Pasal 54, 56,103, dan

dikaitkan dengan pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, SEMA

Nomor 4 Tahun 2010 sebagai Pedoman Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu

Narkotika. Sedangkan dalam upaya pelaksanaan pengawasan terhadap putusan

hakim terhadap tindakan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan

narkotika diperlukan suatu pengaturan tersendiri mengenai pengawasan

putusan rehabilitasi sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di

Indonesia sehingga tujuan hukum berupa kemanfaatan dapat tercapai.

3. Tahun 2012, tesis karya Ida Bagus Putu Swadharma Diputra (mahasiswa

magister ilmu hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar

dengan judul penelitian “Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna

Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Page 33: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

17

Narkotika”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang kebijakan

rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika serta apakah pelaksanaan rehabilitasi terhadap

penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang wajib.

Kesimpulan dari penelitian ini mengkaji tentang kebijakan penjatuhan sanksi

rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Penjatuhan sanksi rehabilitasi

terhadap penyalahguna narkotika adalah tindakan penting karena disatu sisi

penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana narkotika,

namun disatu sisi lainnya pelaku juga merupakan pelaku dari tindak pidana

yang ia lakukan.

Penjatuhan pidana kiranya kurang tepat diberikan kepada mereka dan tindakan

rehabilitasi merupakan salah satu jalan yang lebih baik. Kebijakan rehabilitasi

terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika telah diatur secara khusus pada bab IX. Kebijakan ini

memberikan kewenangan kepada hakim untuk dapat menjatuhkan sanksi

rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika disamping sanksi pidana.

Selain mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat juga

surat edaran SEMA No.4 tahun 2010 sebagai acuan hakim dalam menjatuhkan

sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika.

Sanksi rehabilitasi merupakan tindakan yang wajib diberikan apabila seorang

pelaku tindak pidana narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan

narkotika melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap. Pada bagian ahir dari penelitian tesis ini sebagai saran kedepannya

Page 34: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

18

diperlukan pemisahan pengaturan tentang penjatuhan sanksi rehabilitasi baik

terhadap penyalahguna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika serta

pecandu narkotika agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penjatuhan

sanksinya serta diharapkan aparat penegak hukum harus dapat lebih baik dalam

merumuskan status seorang pelaku tindak pidana narkotika agar ia dapat

dijatuhi hukuman yang tepat sesuai dengan kesalahannya.

Berdasarkan kerangka orisinalitas diatas dapat dilihat perbedaan pada

fokus permasalahan yang dibahas oleh masing-masing peneliti terdahulu dalam

penelitiannya.

Tesis karya I Putu Darma dengan judul penelitian “Upaya

Penanggulangan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah

Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar” mengkaji permasalahan tentang upaya

penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum

Kepolisian Resor Kota Denpasar serta hambatan-hambatan dalam

penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum

Kepolisian Resor Kota Denpasar.

Tesis karya A.A. Istri Mas Candra Dewi dengan judul penelitian

“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Dengan

Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”

membahas permasalahan tentang relevansi perlindungan hukum melalui

rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika serta pelaksanaan

pengawasan atas putusan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika.

Page 35: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

19

Tesis karya Ida Bagus Putu Swadharma Diputra dengan judul penelitian

“Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” membahas permasalahan tentang

kebijakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika serta apakah pelaksanaan rehabilitasi

terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang wajib.

Penelitian pada tesis ini lebih memfokuskan pada keabsahan kewenangan

penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika

serta terhadap narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang terdapat

didalam kasus Raffi Ahmad yang golongan dan turunannya tidak diatur didalam

ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

A. Landasan Teoritis

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata

theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.12

Lebih lanjut, mengutip

pendapat Gijssels menyatakan bahwa, “Kata teori dalam Teori Hukum dapat

diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian

yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga

memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji”. Berdasarkan

hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai

hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara

12 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, h. 4

Page 36: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

20

ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para

ahli hukum. 13

Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang

digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.14

Ilmu hukum memiliki banyak

konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu

pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma

hukum”.15

J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa,

“Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai”.16

Berdasarkan

hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah penting yang

menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan

Perundang-undangan.

Teori, asas dan konsep hukum yang penulis gunakan sebagai pisau analisis

untuk membahas rumusan masalah pertama adalah:

1. Teori Principles Of Legality

In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of

law:

Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting

behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or

publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law

requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought

13 Ibid, h. 5

14

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan

Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47.

15

M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,

cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 56.

16

J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan

kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 123.

Page 37: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

21

to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the

past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the

laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One

law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the

impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make

on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be

congruence between what written statute declare and how officials enforce

those statutes (#8).17

Berdasarkan uraian teori hukum dari Loan Fuller diatas dengan

mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles

Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan

perundang-undangan yaitu:

1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh

berlaku khusus atau untuk individu tertentu.

2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai

jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas

3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga

menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang

harus bersifat prospefektif.

4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus

berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di

massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus

jelas.

5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh

undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang

dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh

bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh

mengandung peraturan yang kontradiktif).

6. Suatu Undang-Undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-

undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau

menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau

kesanggupan warga negara untuk memenuhinya.

7. Undang-undang tidak boleh sering berubah; apa yang diminta oleh

undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap.

8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan

ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta

atau peraturan-peraturan tersebut.

17 Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), p. 39.

Page 38: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

22

Teori hukum dari Lon Fuller diatas dengan mengelaborasi ide yang

tertuang dari pemikirannya agar kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN)

dalam pembentukan dan penerapan undang-undangnya berjalan dengan baik,

perlu kiranya mempertimbangkan beberapa aspek dari teori principles of legality

yakni yang terdapat didalam poin ke 3, 4 dan poin ke 8 yakni hukum harus

memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian

antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara

pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.

Makna hukum harus jelas pada poin ke 3 teori Principles Of Legality

diatas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas

hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum

dan undang-undang harus bersifat prospefektif. Konsep pemikiran dari teori ini

dalam relevansinya membahas permasalahan dalam penilitian ini adalah dalam hal

undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti

menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan

masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum menjangkau hal

tersebut karena adanya kesalahan prosedur dalam hal terbentuknya Badan

Narkotika Nasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang

Badan Narkotika Nasional serta belum ada klausula pasal yang menyatakan

bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) dapat melakukan penyidikan tindak

pidana narkotika khususnya narkotika jenis baru yang tidak diatur didalam

Page 39: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

23

ketentuan undang-undang narkotika dengan berdasarkan atas hasil uji

laboratorium forensik Badan Narkotik Nasional.

Makna hukum harus jelas pada poin ke 4 teori Principles Of Legality

diatas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk

undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Teori ini berfungsi

memberikan makna berkaitan dengan kejelasan keabsahan kewenengan

penyidikan Badan Narkotika Nasional dikaji melalui Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-undang ini adalah undang-undang

administrasi bersanksi pidana yang didalam ketentuannya memuat teknis tata cara

kerja pemerintah dalam hal pengadaan prekursor narkotika dan pelabelan

narkotika sehingga tidak dapat mendelegasikan wewenangnya untuk membentuk

Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan merujuk pada ketentuan Pasal 67

melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika

Nasional yang kemudian melahirkan wewenang penyidikan.

Makna apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara

pemerintah menetapkan statuta/atau peraturan-peraturan pada poin ke 8 sejalan

dengan prinsip asas legalitas yang dianut dalam konsep hukum pidana dan oleh

Von Feurbach. Dalam pandangannya Von Feurbach menjelaskan bahwa bahwa

prinsip asas legalitas adalah sebagai berikut :

1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum

pidana (nulla poena sine lege)

2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang

diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine)

Page 40: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

24

3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang

membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-

undang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).18

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai

dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara

hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental. Dalam

bidang hukum adminitrasi negara asas legalitas merupakan prinsip negara hukum

yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van

bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.

Asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek negatif (het negative aspect),

aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect) dan aspek materiil-positif (het

materieel-positieve aspect). Aspek negatif menentukan bahwa tindakan

pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan

pemerintah adalah tidak sah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah

hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan

undang-undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang

memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti

bahwa kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga bahwa

kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-undang.19

18 Von Feurbach dalam Marwan Effendy, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana:

Perkembangan dan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta

Selatan, h. 84

19

Ridwan HR II, Op.Cit, h. 91-92

Page 41: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

25

2. Teori Kewenangan

Teori kewenangan ini berfungsi untuk mengkaji persoalan kebasahan

penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar dalam tindak pidana

narkotika. Adapun Teori Kewenengan ini terdiri dari beberapa bagian yaitu :

a. Definisi Kewenangan

Mengenai wewenang H.D. Stout mendefenisikan arti kewenangan adalah

sebagai berikut :

"Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan

worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de

verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door

publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer"

(Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi

pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang

berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh

subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).20

H.D. Stout dengan menyitir pendapat Goorden mengatakan bahwa

wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan

oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik).21

Menurut F.P.C.L.

Tonnaer, "Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermögen

om positief recht vast te stellen en aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers

20

H.D. Stout, 1994, “Betekenissen van de Wet” dalam Ridwan H.R (ed), 2011, Hukum

Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, (Selanjutnya disebut Ridwan HR II),

h.98

21

Ibid

Page 42: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

26

onderling en tussen overheid en te scheppen" (Kewenangan pemerintah dalam

kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan

dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan

warga negara).22

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata

Negara dan Hukum Administrasi Negara. Kewenangan di dalamnya terkandung

hak dan kewajiban. P. Nicolai mendefinisikan arti kewenangan sebagai berikut :

"Het vermögen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen

(handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dat

bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de

(rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten

of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verrichten van een

handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een

bepaalde handeling te verrichten of na te laten".

(Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-

tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan

mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau

menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban

memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan

tertentu).23

Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat. Dalam definisi hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan

kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak

mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan

22 F.P.C.L. Tonnaer, 1986, Legaal Besturen: het Legaliteitbeginsel of struikelblok, Dalam

Ridwan H.R (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, h 99

23

P. Nicolai dalam Ridwan H.R, 2008, Hukum Administrasi Negara, cetakan keempat,

Rajawali Pers, Jakarta, (Selanjutnya disebut Ridwan H.R I), h. 99-100

Page 43: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

27

mengelola sendiri (zelfbesturen) 24

, sedangkan makna kewajiban secara horizontal

berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.

Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib

ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.

Negara Hukum dalam konsepnya menempatkan asas legalitas sebagai

sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan (bestuurs

bevoegdheid) berasal dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman

menyatakan pendapat berikut ini:

"Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet

kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen

attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld

belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) ofaan speciale colleges

(bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke

rechtspersonen" .

(Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri

wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang.

Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak

hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai

{misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau

terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus

untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat).25

Pemerintahan dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dalam

pelaksanaannya harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh

undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang,

yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Seiring

dengan pilar utama negara hukum asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat

24

Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi

Daerah, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Fakultas Hukum, Univeristas Padjajaran,

Bandung 13 Mei.

25

R.J.H.M. Huismandalam Ridwan H.R II, Loc.Cit

Page 44: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

28

bahwa wewenang pemerintahan berasal dari Peraturan Perundang-undangan,

artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah Peraturan Perundang-

undangan.

b. Cara Memperoleh Wewenang

Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari Peraturan Perundang-

undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.26

Ridwan HR menterjemahkan teori kewenangan dari H.D. van Wijk/Willem

Konijnenbelt mengenai definisi atribusi, delegasi dan mandat sebagai berikut :

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever

aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan

aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem

uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).27

Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari

Peraturan Perundang-undangan. Organ pemerintah memperoleh kewenangan

secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.

Dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau

memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggungjawab intern dan ekstern

pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima

wewenang (atributaris). Pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun

hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya.

26 Ridwan H.R I, Op.Cit, h. 100-102

27

Ibid, h. 104-105

Page 45: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

29

Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi

beralih pada penerima delegasi (delegataris). Selanjutnya, pada mandat, penerima

mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat

(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap

berada pada mandans.28

c. Pertanggung Jawaban Wewenang

Pejabat dalam setiap penggunaan wewenangnya selalu disertai dengan

tanggung jawab sesuai dengan prinsip “tidak ada kewenangan tanpa

pertanggungjawaban” 29

Pertanggungjawaban terhadap pelaku dalam hal terjadi

penyalahgunaan wewenang didasarkan atas pertanggungjawaban jabatan (liability

jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal

responsibility) sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana. 30

Prinsip pertanggungjawaban dalam hal penyalahgunaan wewenang

pertanggungjawaban hukumnya terbagi atas pertanggungjawaban pribadi yang

berfokus pada pendekatan fungsional atau perilaku yang dapat mengakibatkan

terjadinya tindakan penyalahgunaan dalam bentuk maladministrasi dan

pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada pendekatan legalitas (keabsahan)

mengenai penggunaan wewenang, prosedur, dan susbtansi. Perbedaan

pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban jabatan membawa

28 Ibid, h.108-109

29

Julista Mustamu, 2011, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan, Jurnal

Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni, h.6

30

Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan

Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 80

Page 46: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

30

konsekwensi pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi.

Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab pribadi,

pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan baik tanggung jawab pribadi

maupun tanggung jawab jabatan dan pertanggung jawaban administrasi berkaitan

dengan tanggung jawab jabatan.31

Pertanggungjawaban hukum dalam hal siapa yang harus bertanggung

jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum

(penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya

wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum "geen bevoegdheid zonder

verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility". Di dalam

setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat

pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Dalam konsep Hukum

Administrasi Negara sumber lahirnya wewenang diperoleh dengan cara atribusi,

delegasi, dan mandat.32

Wewenang melekat pada jabatan dalam implementasinya dijalankan oleh

manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan. Siapa yang harus memikul

tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik

karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula

berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.33

31 H. Muhamad Syarif Nuh, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar, h.50

32

Julista Mustamu, Loc.Cit.

33

Julista Mustamu, Loc.Cit.

Page 47: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

31

d. Penyalahgunaan Wewenang

Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Hukum Adminitrasi Negara

adalah diartikan sebagai melakukan tindakan yang bertentangan dengan

kepentingan umum, menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh

undang-undang atau peraturan lainnya, dan menyalahgunakan suatu prosedur.34

Pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt

menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dapat dilihat

dengan menggunakan parameter sebagai berikut:

1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.

2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.

35

Penyalahgunaan kewenangan pada hakekatnya sangat erat kaitannya

dengan terdapatnya ketidakabsahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan tindakan

penyelenggara negara. Philipus M. Hadjhon mengemukakan bahwa cacat yuridis

tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu

yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut

pada hakekatnya menjadi penyebab timbulnya penyalahgunaan kewenangan.36

34

Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Peran Pegawai Pemerintah Sebagai

Partisipan Membangun Budaya Bangsa , Availaible at www.kejaksaan.go.id, h.6. Accesed 14

Februari 2014

35

Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan

Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama,

Palangkaraya, h.75-76

36

Philipus M. Hadjhon , 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,

Cetakan Pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 100 (Selanjutnya disebut Philipus M.

Hadjhon I)

Page 48: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

32

Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang

dalam hukum administrasi negara dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan

Waline. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan

kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut

adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari

tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau

peraturan-peraturan lainnya;

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang

seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah

menggunakan prosedur lain agar terlaksana.37

3. Konsep Negara Hukum

Konsep yang paling universal sebagai landasan untuk menganalisis

permasalahan dalam penelitian ini digunakan konsep negara hukum dari Friedrich

Julius Stahl. Konsep negara hukum ini selanjutnya menjadi fondasi atau sebagai

acuan dalam mengetahui tentang keabsahan penyidikan Badan Narkotika

Nasional (BNN) serta pengaturan narkotika jenis New Psychoactive Susbtances di

kaji menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Konsep Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtsstaat

atau Rule of Law. Paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum

Anglo Saxon atau Common Law System.

Paham rechtsstaat ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa

Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham

37 Indriyanto Seno Adji, 1997, Korupsi, Kebijakan, Kebijakan Aparatur Negara Dan Hukum

Pidana, Diadit Media, Jakarta, h. 427

Page 49: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

33

Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Vann Dicey pada tahun 1885

menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The

Constitution.38

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa paham

rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental.

Dalam penelitian ini, digunakan konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl,

karena Indonesia menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa

Kontinental, sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait

dengan penerapan sistem hukum Eropa Kontinental.

Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya Rechtsstaat

mencakup 4 (empat) elemen, yaitu :

a. Perlindungan hak asasi manusia;

b. Pembagian kekuasaan;

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;39

d. Peradilan tata usaha negara.

Teori, asas, dan konsep hukum yang penulis gunakan untuk menganalisis

rumusan masalah kedua adalah :

1. Teori Sistem Hukum

Sistem hukum menurut H.L.A. Hart dalam gagasannya dibagi menjadi dua

yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut

merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.

38 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama,

CV. Mandar Maju, Bandung, h. 3

39

Ibid

Page 50: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

34

Primery rules lebih menenkankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak

atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum

(forms of law).40

Mengenai primary rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang

pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan

sosial (sosial rule) yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi;

Pertama adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial,

suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta

situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitik beratkan pada

perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang

menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu

kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang

relevan. Dari sudut pandang internal, anggota (masyarakat) itu merasakan bahwa

aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan

reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek

internal).41

Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam

satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang

dapat dilihat atau memiliki sudut pandang masing-masing aturan menyatakan apa

yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan

suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-

40 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96

41

Ibid, h. 96-99

Page 51: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

35

duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai

suatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan prilaku yang sesuai merupakan

jelmaan prilaku dari aspek eksternal dengan hal yang sama.

Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules,

yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) yang apa bila di

rinci meliputi, pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang

dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa

dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat

dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih

jauh maka (rules of ajudication). Rules of ajudication lebih efisien, sedangkan

rules of change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat

reduksionis.42

Relevansi teori ini dalam membahas permasalahan kedua dalam penelitian

tesis ini adalah berkaitan dengan primary rules dan secondary rules yang harus

ada dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pengaturan narkotika jenis baru

harus diatur secara seragam dan spesifik didalam perundang-undangan sebagai

konsep dari primary rules. Konsep secondary rules dalam kaitannya dengan kasus

narkotika Raffi Ahmad adalah berkaitan dengan oleh siapa aturan itu dapat

dilaksanakan, oleh siapa dapat ditegakan dan dapat dirubah. Sebagai element inti

dari sistem hukum keduanya harus ada pada hukum yang membentuk suatu

peraturan perundang-undangan.

42 Ibid

Page 52: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

36

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara

pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan

ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kejahatan

adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat.

Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan

penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan

penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga

tahap kebijakan yaitu :

a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan

perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan

oleh badan pembuat undang-undang.

b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh

aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana

secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.43

Teori ini memilki relevansi untuk menajawab rumusan masalah kedua

dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi narkotika jenis baru yang tidak

daiatur didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

43

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, PL Citra Aditya Bakti Bandung, h. 30 (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief

I )

Page 53: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

37

Pengaturan penjatuhan sanksi pidana jenis narkotika baru dapat dimulai

pada tahap formulasi yang dilakukan oleh lembaga legislatif dengan membentuk

dan mengesahkannya kedalam undang-undang. Pada tahap kebijakan legislatif

ditetapkan sistem pemidanaan yang pada hakekatnya sistem pemidanaan

merupakan sistem kewenangan/kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak

hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti

luas/ material.

Penjatuhan pidana dalam arti sempit/formal berarti kewenangan

menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat

yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/material, penjatuhan pidana

merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang,

mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan

oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini

merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh

karena itu keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana harus

terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.

3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana.

Konsep pertanggungjawaban pidana sebagai pisau analisis permasalahan

dalam penelitian ini memberikan fungsi tentang tolak ukur dalam kasus narkotika

jenis baru yang melibatkan Raaffi Ahmad dalam hal kapan suatu perbuatan pidana

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Doktrin hukum pidana dikenal adanya pertanggungjawaban pidana.

Doktrin ini menjelaskan bahwa untuk dapat dipidananya suatu perbuatan pidana

Page 54: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

38

tentunya harus memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana. Dalam unsur

pertanggung jawaban pidana terdapat beberapa indikator atau tolok ukur dalam

memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai

perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-

unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika

unsur perbuatan pidana itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak dapat dipidana.44

Para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari

perbuatan pidana yaitu:

Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang

dapat dihukum. Dari definisi Simons tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-

unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif;

berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)

dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung

jawab.45

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan

44 Johny Krisnan, 2008, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana

Universitas Diponegoro Semarang, h. 22

45

Simons dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid

Page 55: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

39

ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu. Adapun unsur-unsur atau elemen yang harus ada

dalam suatu perbuatan pidana terdiri dari :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.46

4. Konsep Due Process Model

Secara teoritis didalam sistem peradilan pidana indonesia menganut sistem

“Due Procces Model”. Karakteristik due proses model yaitu:

a. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau

human error menyebabkan model ini menolak informal fact finding

process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt

seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan

adversary fact finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka

harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak, dan

diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk

mengajukan pembelaannya.

b. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan

menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi

peradilan.

c. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,

sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt.

d. Doktrin “Legal-Guilty” menjadi dasar atas dasar :

1. Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan

secara prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas

untuk itu.

2. Penetapan kesalahan hanya dapat ditetapkan oleh

pengadilan yang berwenang dan tidak memihak.47

e. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law”

lebih diutamakan.

46 Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid, h. 24

47

Eva Achjani Ulfa Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk

Agung, Bandung, h. 27

Page 56: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

40

f. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan

sanksi pidana (criminal sanction).48

Due process model merupakan tipe negatif model yang selalu menekankan

pada batasan kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan

tersebut yang dominan dalam model ini adalah kekusaan yudikatif dan selalu

mengacu kepada konstitusi. 49

Konsep ini memiliki relevansi terkait dengan permasalahan keabsahan

penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kasus narkotika Raffi

Ahmad. Fungsi dari Due process model dalam kaitannya dengan penyidikan

(BNN) adalah model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,

sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt yakni seseorang dianggap

bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara prosedural dan oleh mereka yang

memiliki otoritas untuk itu serta menekankan kepada pencegahan (preventif

measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi

peradilan.

5. Konsep Politik Hukum Pidana.

Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik hukum pada

umumnya. Menurut Sudarto politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari

politik hukum pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui

badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang

dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang

48 Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen,

Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung, h.42

49

Ibid, h. 44

Page 57: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

41

terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, (2) usaha

untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan

situasi pada suatu waktu.50

Politik hukum sebagai bagian dari politik hukum pidana mengandung arti

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-

undangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti

mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang

pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum

positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya

kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan

pengadilan.51

Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek)

ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan

pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat

untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan,

penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.52

50

Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, h. 113-11

51

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, Penerbit P.T Citra Aditya Bakti, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief IV )

Bandung, h.1

52

Mulder dalam M. Hamdan, 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja Grafindo,

Persada, Jakarta, h. 20

Page 58: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

42

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian

dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan

pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.

Politik kriminal menurut Sudarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:

(1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai

keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran

hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti luas, dimana politik kriminal

merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di

dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas,

politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui

peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk

menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Politik hukum pidana (politik kriminal) dalam pengertian yang praktis

adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan. Usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekusi

pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan

berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.53

Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi

mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum

53 Barda Nawawi Arief, 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti

Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) h. 59

Page 59: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

43

pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara.54

Usaha

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum

pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy).

Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang

(hukum pidana) merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat

(social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga

merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).55

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup

perlindungan masyarakat. Tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah

perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

54 Indrianto Seno Adji, 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media Jakarta, h. 10

55

Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya bakti,

Bandung, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief III ) h. 99

Page 60: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

44

B. Kerangka Berpikir

KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

(BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE

SUBSTANCES

Metode Penelitian :

Penelitian ini menggunakan

metode Penelitian Hukum

Normatif dengan

menggunakan pendekatan

peraturan perundang-

undangan (The statute

Approach), pendekatan

analisis konsep hukum

(Analitical & Conseptual

Approach) dan pendekatan

kasus.

Rumusan Masalah :

1. Apakah sah kewenangan

penyidikan Badan Narkotika

Nasional (BNN) dalam

melakukan penyidikan tindak

pidana narkotika?

2. Apakah sah penyidikan yang

dilakukan oleh Badan Narkotika

Nasional (BNN) terhadap kasus

narkotika Raffi Ahmad dikaji

berdasarkan ketentuan Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika ?

Latar Belakang Masalah :

- Kreasi manusia dalam

rekayasa obat-obatan telah

memunculkan zat-zat baru

yang ditengarai sebagai jenis

Narkotika New Psychoactive

Susbtances yang belum diatur

dalam daftar berbagai jenis

golongan dan turunan

narkotika dalam ketentuan UU

No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika .

Landasan Teoritis

2. Rumusan Masalah 2:

a. Teori Sistem Hukum

b. Teori Kebijakan Hukum Pidana

c. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

d. Konsep Due Process Model

e. Konsep Politik Hukum Pidana

1. Rumusan Masalah 1:

a. Teori Principles Of Legality

b. Teori Kewenangan

c. Konsep Negara Hukum

d. Asas Legalitas

Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengkaji keabsahan kewenangan penyidikan BNN terhadap

Narkotika yang masuk kedalam klasifikasi New Psychoactive Substances:

1. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana

narkotika adalah tidak sah. Kewenangan yang sah adalah kewenangan yang berasal dari kekuasaan

legislatif yang diberikan oleh undang-undang.

2. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah

tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum pidana karena tidak terpenuhinya

unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum

karena belum diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus

merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.

Page 61: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

45

1.8. Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari

adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum.56

Kekosongan norma hukum

dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan I,

II, dan III Undang-Undangan No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika

New Psychoactive Substances (NPS) belum diatur dalam daftar berbagai jenis

narkotika serta golongan dan turunannya didalam ketentuan Undang-Undang No.

35 tahun 2009 Tentang Narkotika junctoPeraturan Pemerintah No. 44 Tahun

2010 Tentang Prekursor Narkotika.

Penelitian ini juga dilengkapi oleh data sebagai bahan hukum penunjang

yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang diperoleh melalu penelitian hukum dengan lokasi penelitian

bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan

(The statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical &

Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach).57

Pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach) adalah

penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan. Yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu

56 Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, h. 284

57

H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.24

Page 62: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

46

penelitian. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai

sifat-sifat sebagai berikut:

1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya

terkait antara satu dengan lain secara logis.

2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada

kekurangan hukum.

3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.58

Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach)

adalah analisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung

oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara

konsepsional. Hal ini dilakukan dengan melalui dua cara: Pertama, sang peneliti

berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang

bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersbut dalam praktik melalui

analisis terhadap putusan pengadilan.59

Pendekatan kasus (The Case Approach) dalam penelitian hukum normatif

bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum.

58 Jhony Ibrahim, Op.Cit, h.302

59

Jhony Ibrahim, Loc.Cit

Page 63: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

47

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan

sebagai berikut dibawah ini :

Bahan Hukum Perimer terdiri dari :

- Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum dalam kaitannya

dengan karya tulis ilmiah ini terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988)

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 367);

c. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143);

d. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60);

e. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 12);

f. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan

Narkotika Nasional Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis

Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Pengujian Narkoba Pada Badan

Page 64: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

48

Narkotika Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 670 Tahun 2011)

Bahan Hukum Sekunder terdiri dari :

1. Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan

enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi

hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ;

2. internet dengan menyebut nama dan situsnya.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).60

Adapun

metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus

menerus yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan buku-buku

hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier di inventarisasi dan diklasifikasi secara

sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan

pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap

permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan mengelaborasikan antara

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang

dianalisis dan disusun secara sistematis.

60 I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam

Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana,

Denpasar.

Page 65: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

49

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum.

Teknik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan

teknik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding). Teknik deskripsi

adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi

hukum atau non hukum.61

Teknik penemuan hukum (Rechtsvinding)

menggunakan teknik konstruksi hukum. Dalam teknik konstruksi hukum

penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu:

1. Analogi : Adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya

suatu pasal dari aturan hukum atau Undang-Undang terhadap peristiwa

hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum

dimaksud.

2. Argumentum a contrario: Adalah penalaran ini sama juga dengan analogi

tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam

Undang-Undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara

eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut.

3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum: Oleh Sudikno Mertokusumo

dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya berlawanan

dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan

hukum yang dikhususkan.62

61 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,

Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43

62

I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal

Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga. h. 48

Page 66: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

50

Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses

penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan

untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret.

Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan

hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret tertentu. Apabila

terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan ditemukan melalui

penemuan hukum.63

63 Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan

Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, h. 56

Page 67: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

51

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN

PENYIDIKAN NARKOTIKA OLEH BADAN

NARKOTIKA NASIONAL (BNN)

2.1 Pengertian Wewenang, Penyalahgunaan Wewenang, dan Pertanggung

jawaban Wewenang.

2.1.1 Pengertian Wewenang

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian

hukum tata negara dan hukum administrasi. Pentingnya kedudukan wewenang ini

sehingga E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyatakan: "Het begrip

bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht". 64

Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan

konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi.

Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan "authority" dalam

bahasa Inggris dan "bevoegdheid" dalam bahasa Belanda. Kewenangan atau

wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak

atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup

melaksanakan kewajiban publik (bevoegdheid). Dalam istilah Hukum Belanda

Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah

"wewenang" dan "bevoegdheid". Istilah "bevoegdheid" digunakan dalam konsep

64 F. A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan

Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi,

Laksbang Mediatama, h. 65

51

Page 68: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

52

hukum privat dan hukum publik, sedangkan "wewenang" selalu digunakan dalam

konsep hukum publik.65

Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari

3 (tiga) komponen, yaitu:

a. pengaruh;

b. dasar hukum;

c. konformitas hukum.

Komponen pengaruh adalah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum adalah

wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen

konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum

(semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).66

Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun

tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas

dalam wujudnya "nullum delictum sine lege" dewasa ini masih diperdebatkan asas

berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya

"wetmatigheid van bestuur" sudah lama dirasakan tidak memadai.67

Tidak memadainya asas legalitas (wetmatighid van bestuur) pada dasarnya

berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di

65 Phillipus M. Hadjon,1997, Tentang Wewenang, Yuridika, h.1 (Selanjutnya disebut Philipus

M. Hadjon II)

66

Ibid., h. 1-2.

67

Philipus M. Hadjon,Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

(AAUPB), Artikel Ilmiah, disampaikan pada Seminar Nasional "Aspek Pertanggungjawaban

Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004, h. 1.

(Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III).

Page 69: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

53

Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah

murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan

dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir

pendapatnya N.E. Algra bahwa: "pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan

istilah "uitvoerende macht", melainkan menggunakan istilah yang populer

"bestuur" yang dikaitkan dengan "sturen" dan "sturing". "Bestuur" dirumuskan

sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan

kekuasaan yudisial".68

Konsep "bestuur" membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah

semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas

(vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power).69

Menurut Ten Berge,

seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan

kebijakan dan kebebasan penilaian.70

Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi

dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan

wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas

untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi pengggunaannya

secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam

arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk

menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu

wewenang secara sah telah terpenuhi.

68 Ibid., h. 2

69

Ibid, h. 3

70

Ibid

Page 70: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

54

Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan

pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat

ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi:

1. kewenangan untuk memutus sendiri

2. kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).71

Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas "vjetmatigheid" tidaklah memadai.

Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi

tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum

yang tertulis atau asas-asas hukum.

Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen,

pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka

memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik

tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara.

Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang

kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ

dari negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari

warga negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten). Dalam organ atas

susunan negara diatur mengenai:

1. Bentuk negara

2. Bentuk pemerintahan

3. Pembagian kekuasaan dalam Negara.

71 Ibid, h. 6.

Page 71: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

55

Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atas pembagian horisontal yang

meliputi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas

pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara

horisontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan

saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun

horisontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut,

yang ditegaskan dalam konstitusi.

Negara Indonesia dalam sistem ketatanegaraannya memberikan

pengaturan tentang pembagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian

wewenang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 17, Pasal 18 dengan

amandemen Pasal 18 A dan Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 yang diamandemen

dengan Pasal 20 A, dan Pasal 24 yang diamandemen dengan Pasal 24 A, Pasal 24

B, dan Pasal 24 C.

Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara

hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata

pemerintahan ("adminis-tratiefrecht" atau "bestuursrecht") berisikan norma-

norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi pa-

rameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-

badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang

itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum sehingga apabila

Page 72: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

56

terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara tidakpatuhan hukum maka

badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan.72

Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik

dan cara-cara pengujian kewenangannya serta hukum mengenai kontrol terhadap

kewenangan tersebut.73

2.1.2 Penyalahgunaan Wewenang

Penyalahgunaan wewenang menurut Leden Marpaung diartikan sebagai

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan serta yang bersangkutan melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan hak dan kewajibannya.74

Menurut pendapat Indrianto Seno Adji bahwa untuk mengukur

penyalahgunaan wewenang kriterianya dengan menggunakan parameter sebagai

berikut :

1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran

terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam

masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.

2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau

zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun

asas kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan

peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada

kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.75

72 Tatiek Sri Djatmiati, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, (Disertasi), Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, h. 62-63

73

Ibid

74

Leden Marpaung, 2004, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Edisi

Revisi, Djambatan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Leden Marpaung II), h. 45

75

Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit

Page 73: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

57

Pertanggungjawaban terhadap pelaku dalam hal terjadi penyalahgunaan

wewenang didasarkan atas pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan

prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility)

sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam hukum pidana. 76

Prinsip-prinsip tanggung jawab dalam pertanggungjawaban hukum terdiri

dari pertanggungjawaban pribadi yang berfokus pada pendekatan fungsional atau

perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya tindakan penyalahgunaan dalam

bentuk maladministrasi dan pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada

pendekatan legalitas (keabsahan) mengenai penggunaan wewenang, prosedur, dan

susbtansi. Perbedaan pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban

jabatan membawa konsekwensi pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan

administrasi. Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab

pribadi, pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan baik tanggung jawab

pribadi maupun tanggung jawab jabatan dan pertanggung jawaban administrasi

berkaitan dengan tanggung jawab jabatan.77

Penyalahgunaan wewenang pertanggungjawabannya secara kasuistis dapat

dilihat dari sumber atau lahirnya wewenang dalam hal siapa yang harus

bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang

melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang). Hal tersebut sesuai dengan

konsep hukum "geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no

76 Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan

Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 80

77

H. Muhamad Syarif Nuh, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar, h.50

Page 74: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

58

authority without responsibility". Dalam setiap pemberian wewenang kepada

pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang

bersangkutan. Dalam konsep Hukum Administrasi Negara sumber lahirnya

wewenang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.78

Konsep atribusi adalah wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh

si penerima wewenang, tergantung pada si penerima wewenang melakukan

mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si

mandans (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap

bertanggungjawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka

pemberi wewenang tidak bertanggungjawab, pertanggungjawaban sudah beralih

pada delegatoris.79

Delegasi dalam maknanya dijelaskan bahwa pekerjaan yang didelegasikan

diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi

(delegataris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya

sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika

terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab

adalah delegatoris.

Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena

wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan

mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan

atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya

78 Ibid

79

Ibid

Page 75: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

59

mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan

wewenang pada mandat maka yang bertanggungjawab secara yuridis tetap pada

mandans (pemberi wewenang).80

Konsep atribusi, delegasi, dan mandat dalam kaitannya dengan

pertanggungjawaban hukum dinyatakan oleh J.G. Brouwer dan A.E.Schilder,

bahwa:

1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an

independent legislative body. The power is intial (originair), which is to

say that is not derived from a previously non existent powers and assigns

them to an authority.

2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one

administrative authority to another, so that the delegate (the body that has

acquired the power) can exercise power in its own name.

3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans)

assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take

action in its name.81

Brouwer berpendapat pada "atribusi", kewenangan diberikan kepada suatu

badan administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini

asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif

menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumya dan

memberikannya kepada yang berkompeten.

Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi

yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah

memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya.

80 Ibid, h. 76

81

Brouwer J.G dan Schilder, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan Wewenang

Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang

Mediatama, h. 74

Page 76: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

60

Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat

(mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk

membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar yang lain antara kewenangan atribusi dan

delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan

delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan

didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi

bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.82

2.1.1 Pertanggungjawaban Wewenang.

Perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan

hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban

jabatan (liability jabatan) dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungja-

waban pribadi (personal responsibility). Dalam hukum administrasi setiap

penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun

demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan

wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang

pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang

memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah

pihak yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan pejabat yang

melaksanakan tugas atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang

memikul tanggung jawab hukum.

82 Ibid.

Page 77: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

61

Hal terpenting penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis di dasarkan

pada cara memperoleh wewenang/kewenangan. Perlu juga ada kejelasan tentang

siapa "pejabat" tersebut dan yang kedua, bagaimana seorang itu disebut dan

dikategorikan sebagai pejabat.

Hukum publik dalam perspektifnya dijelaskan bahwa yang berkedudukan

sebagai subyek hukum adalah jabatan yakni suatu lembaga dengan lingkup

pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas

dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang

yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai

pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang

melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan.

Seseorang dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan

kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Dalam kaitan dengan tanggungjawab

jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan "beleid", hakim tidak dapat

melakukan penilaian.83

Berbeda halnya dalam pembuatan "beleid" tersebut ada

indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan

pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana. Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan

contoh sebagai berikut: "anggota DPRD mengesahkan Perda Tata Ruang".

"Beleid" yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Perda, hakim tidak dapat

melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh

anggota dewan tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap

itulah yang menjadi obyek pemeriksaan.

83

Philipus M.Hadjon I, Op.Cit, h. l24-125.

Page 78: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

62

Hukum administrasi dalam konsepnya di uraikan tentang setiap pemberian

wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu

disertai dengan “tujuan dan maksud” diberinya wewenang itu. Sehingga

penerapan wewenang itu harus sesuai dengan "tujuan dan maksud" diberikannya

wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan

"tujuan dan maksud" pemberian wewenang itu maka dapat disebut telah terjadi

penyalahgunaan wewenang. Parameter "tujuan dan maksud" pemberian

wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang dikenal

dengan asas spesialitas

Secara substansial asas spesialitas mengandung makna bahwa setiap

kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam hukum administrasi disebut asas

ketajaman arah atau tujuan. Menyimpang dari asas ini akan melahirkan

penyalahgunaan wewenang "détournement de pouvoir".

Asas spesialitas (specicdialiteits beginsel) oleh Tatiek Sri Djatmiati

diterjemahkan dalam bahasa hukum Indonesia yakni asas tujuan.84

Penggunaan

istilah asas tujuan tersebut belum terlalu popular, oleh karenanya sependapat

dengan Tatiek Sri Djatmiati dalam kaitan pembahasan ini masih dipergunakan

istilah asas spesialitas.

Asas spesialitas ini merupakan suatu asas yang menjadi landasan bagi

kewenangan pemerintah untuk bertindak dengan mempertimbangkan pada suatu

tujuan. Setiap kewenangan pemerintah (bestuursbevoegdheid) diatur oleh

84

Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h. 108

Page 79: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

63

peraturan perundang-undangan dengan suatu tujuan tertentu yang pasti. Dari sudut

hukum administrasi Specicdialiliteitsbeginsel tersebut dinyatakan sebagai suatu

rangkaian peraturan yang berkaitan dengan kepentingan umum tertentu.85

2.2 Penyidikan Narkotika

Pengertian Penyidik diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana yang terdapat pada Pasal I butir I yang berbunyi sebagai berikut:

Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan

Penyidik dari makna penjelasan ketentuan undang-undang diatas

disimpulkan mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan

adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Pejabat Pegawai

Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan. Dalam peraturan pelaksana Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam

Ketentuan Pasal 2 telah ditetapkan syarat kepangkatan pejabat Polisi sebagai

penyidik adalah sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi. 86

Selain penyidik dalam ketentuan KUHAP dikenal pula penyidik

pembantu. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 ayat 3 KUHAP yang

menyebutkan bahwa:

85 Nur Basuki Minarno, Loc.Cit

86

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, h. 81

Page 80: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

64

Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang

diatur dalam undang-undang ini.

Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal I

ayat 12 Undang-undang No. 2 tahun 2002 menyatakan bahwa :

Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam

melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.

Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan lebih lanjut dalam

penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP bahwa:

Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah misalnya pejabat bea

cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyidikan

sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Penyidik dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana narkotika

secara normatif diatur dalam ketentuan Pasal 81, 82, 83, 84, dan 85 Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Pasal 81

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN

berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.

Page 81: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

65

Pasal 82

(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di

lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang

lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor

Narkotika berwenang:

a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. memeriksa orang yang diduga melakukanpenyalahgunaan Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

h. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika

dan Prekursor Narkotika.

Pasal 83

Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 84

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan

penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Page 82: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

66

Prekursor Narkotika, memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan

kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

Pasal 85

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan

Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi

dengan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) atau penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum

Acara Pidana

Berkaitan dengan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan

penyidik pembantu dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas

penyidikan harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang

tersebut menurut Andi Hamzah berpendapat bahwa :

Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas

kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab

yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan

dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta berat ringannya

kewajiban dan tanggung jawab penyidik.87

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI adalah merupakan

penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit

dan membutuhkan tanggung jawab yang besar karena penyidikan merupakan

87 Andi Hamzah dalam dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana

(Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Cet. I Widya

Padjajaran, Bandung. h. 79

Page 83: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

67

tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara yang nantinya akan

berpegaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.88

Pasal I ayat 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyidikan

sebagai berikut:

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya".

Yahya Harahap berkaitan dengan hal diatas memberikan penjelasan

mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut:

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal I

ayat I dan 2 merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan penyidik

adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi

wewenang oleh undang-undang. Sedangkan penyidikan berarti serangkaian

tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur

dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan dengan

bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta

sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 89

Andi Hamzah kembali menguraikan bahwa Penyidikan ialah suatu istilah

yang dimaksud sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda), dan investigation

(Inggris) atau Penyiasatan/siasat (Malaysia). Definisi penyidikan dalam KUHAP,

menurut bahasa Belanda adalah sama dengan opsporing. Menyidik (opsporing)

berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh

88 Ibid

89

M. Yahya Harahap dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana

(Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Cet. I Widya

Padjajaran, Bandung. h, 79

Page 84: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

68

undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar yang

sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.90

Penyidikan merupakan aktivitas yuridis yang dilakukan penyidik untuk

mencari dan menemukan kebenaran sejati (membuat terang, jelas tentang tindak

pidana yang terjadi. Penyidikan dikatakan sebagai aktivitas yuridis maksudnya

adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai

hasil dari tindakan tersebut harus dapat di pertanggung jawabkan secara yuridis

pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang

menjadi dasar (basic) bagi dilakukannya suatu tindakan dan peraturan yang

dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum acara pidana.91

Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir 2

KUHAP.

Penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkap suatu

tindak pidana karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana yang

tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (I) Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Jo Pasal 16 ayat (I) Undang-undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa wewenang

penyidik adalah sebagai berikut:

90 Ibid

91

Nyoman Sarikat Putra Jaya, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di

Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, h.61

Page 85: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

69

1. menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak

pidana;

2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

9. mengadakan penghentian penyidikan;

10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penyidikan yang dilakukan harus didahului dengan pemberitahuan kepada

penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai

dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam

ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat

menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya

penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.92

Penyidik melakukan

tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75

KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat

berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.

Hukum pidana mensyaratkan apabila dalam penyidikan tidak ditemukan

bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau

penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah

92 Soeparno Adisoeryo, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan

Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II:

Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Siatem Peradilan Terpadu. Jakarta, 16 Juli 2002), h.

13.

Page 86: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

70

Penghentian penyidikan. Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut

telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,

tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat

menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya,

sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan

cerajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai

dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP

tentang Praperadilan.

Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara apabila penyidikan

telah selesai dilakukan kepada penuntut umum. Penuntut umum dalam hal

berkaitan dengan penyidikan berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang

lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada

penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik

menyerahkan hasil penyidikan dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak

mengembalikan berkas tersebut maka penyidikan dianggap selesai.

Penyidikan “dianggap selesai” mengandung arti secara materiil, belum

secara pasti selesai, tetapi walaupun demikian diperkirakan telah selesai. Hal ini

sebagai pegangan bagi penyidik, agar memiliki kepastian hukum dalam hal

pekerjaan yang telah dilakukannya. Dari aspek normatif perundang-undangan hal

ini dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar pembuatan berkas dalam

Page 87: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

71

proses penyidikan tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan dan dapat diselesaikan

dengan cepat sesuai dengan prosedur hukum acara pidana. 93

Rumusan kata “penyidikan dianggap selesai” diatur didalam ketentuan

Pasal 110 Ayat (4) yang berbunyi :

Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari

penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas

waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut

umum kepada penyidik.

2.3 Tugas, Fungsi dan Wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN)

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Berkaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang Badan Narkotika Nasional

(BNN) terdapat didalam beberapa ketentuan pasal-pasal yang termuat didalam

Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Pasal 70 Badan Narkotika Nasional (BNN) mempunyai tugas :

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun

masyarakat;

e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

93 Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan, & Pengadilan

Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi) Sinar Grafika, Jakarta, h. 9

Page 88: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

72

f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam

pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun

internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;

i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Pasal 71

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN)

berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 72

1. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh

penyidik BNN.

2. Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan

diberhentikan oleh Kepala BNN.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan

pemberhentian penyidik BNNsebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

dengan Peraturan Kepala BNN.

Pasal 80 BNN juga memiliki kewenangan yaitu :

a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk

harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;

b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang

terkait;

c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;

d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang

seseorang bepergian ke luar negeri;

f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;

g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan

perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang

Page 89: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

73

dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal

yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan

h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain

untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar

negeri.

Secara yuridis eksistensi Badan Narkotika Nasional diatur didalam

ketentuan Pasal 64 dan 65 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

Ketentuan Pasal 64 memberikan penjelasan bahwa dalam rangka

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika

Nasional yang selanjutnya disingkat BNN. BNN merupakan lembaga pemerintah

nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab

kepada Presiden.

Pasal 65

1. BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di

daerah provinsi dan kabupaten/kota.

3. BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota

berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.

Pasal 66

BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65

ayat (3) merupakan instansi vertikal.

Page 90: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

74

Selain berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dasar hukum pembentukan Badan Narkotika Nasional (BNN) juga

mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010

Tentang Badan Narkotika Nasional.

Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini

disebut dengan BNN adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah

dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui kordinasi Kepala Kepolisian

Republik Indonesia.

Tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (1) Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional

adalah:

a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan

dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia

dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah

maupun masyarakat

e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika

f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam

pencegahan dan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika

g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun

internasional, guna mencegah dan peredaran gelap memberantas peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekusor Narkotika

i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang

Page 91: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

75

Pasal 2 ayat (2)

Selain tugas sebagaimana yang dimaksud ayat (1), BNN juga bertugas menyusun

dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif

lainnya kecuali bahan adiktif fi tembakau dan alkohol.

Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal (2) juga menyelenggarakan fungsi yang diatur dalam

ketentuan Pasal 3 yaitu :

a. Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,

psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan

adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan

P4GN;

b. penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan

prosedur P4GN;

c. penyusunan perencanaan, program, dan anggaran BNN;

d. penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan

masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang

P4GN;

e. pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan teknis P4GN di bidang

Pencegahan, Pemberdayaan Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi,

Hukum, dan Kerja Sama;

f. pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di

lingkungan BNN;

g. pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat

dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan

nasional di bidang P4GN;

h. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan

BNN;

i. pelaksanaan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta masyarakat;

j. pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika dan prekursor narkotika;

k. pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang

narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali

bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;

l. pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen

masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke

dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau

pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali

bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah;

Page 92: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

76

m. pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif

lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang

diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

n. peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau

pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali

bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik

atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya;

o. pelaksanaan penyusunan, pengkajian, dan perumusan peraturan

perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN

p. pelaksanaan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang

P4GN;

q. pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di

lingkungan BNN;

r. pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait

dan komponen masyarakat di bidang P4GN;

s. pelaksanaan penegakkan disiplin, kode etik pegawai BNN, dan kode etik

profesi penyidik BNN;

t. pelaksanaan pendataan dan informasi nasional, penelitian dan

pengembangan, dan pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN;

u. pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan

adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;

v. pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika, dan prekursor

serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan

alkohol;

w. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di

bidang P4GN.

Pasal 4 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika

Nasional (BNN) ditentukan bahwa dalam melaksanakan tugas pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan

Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Page 93: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

77

BAB III

KEABSAHAN KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN

NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM TINDAK PIDANA

NARKOTIKA

3.1 Kedudukan Badan Narkotika Nasional Menurut KUHAP Dalam

Penyidikan Peredaran Narkotika New Pshycoactive Susbtances.

Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai perubahan atas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, Badan Narkotika Nasional diberikan kewenangan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah

Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan

adiktif untuk tembakau dan alkohol.

Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam mekanisme penyidikan tindak

pidana narkotika memiliki payung hukum dalam pelaksanaanya (hukum formal)

yang mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

77

Page 94: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

78

Ketentuan Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

memberikan penjelasan bahwa ruang lingkup berlakunya undang-undang ini

adalah untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum

pada semua tingkat peradilan.

Penyidikan tindak pidana narkotika dalam prosesnya didahului dengan

tahap penyelidikan. Secara normatif penyelidikan diatur didalam ketentuan Pasal

4 dan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelidik

menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 5 ayat (1)

huruf a meyatakan bahwa Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 5 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa atas perintah penyidik dapat

melakukan tindakan berupa:

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa Penyelidik membuat dan

menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada

ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Page 95: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

79

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga secara tegas

mengatur mengenai penyidik. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(1) adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia serta pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam

ketentuan ayat (2) syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam ketentuan

Pasal 81 memberikan penjelasan tentang penyidikan yakni Penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia dan Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN)

berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 84 ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

memberikan penjelasan tentang perlunya kordinasi secara kelembagaan dalam hal

penyidikan tindak pidana narkotika. Dalam melakukan penyidikan terhadap

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,

penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis

dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

Ketentuan Pasal 85 juga menjelaskan tentang teknis penyidikan dalam

melakukan penyidikan tindak pidana narkotika. Dalam melakukan penyidikan

terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai

negeri sipil (PPNS) tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang

Hukum Acara Pidana.

Page 96: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

80

Wewenang Penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana diatur

didalam ketentuan Pasal 7 KUHAP. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. Menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 7 ayat (2)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya

masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi

dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Pasal 7 ayat (3)

Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku dalam melakukan

tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),.

Pasal 8 ayat (1)

Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana

dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam

undang-undang ini.

Page 97: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

81

Pasal 8 ayat (2)

Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

Pasal 8 ayat (3)

Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:

a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut

umum.

Badan Narkotika Nasional (BNN) berkaitan dalam melakukan penyidikan

terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika selain berpedoman pada Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara normatif ketentuannya

juga diatur didalam ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun ketentuan Pasal-Pasal yang

mengatur tentang penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana :

Pasal 1 ayat (10)

Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal 1 ayat (11)

Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik

dan mempunyaiwewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam

lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Pasal 1 ayat (12)

Page 98: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

82

Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam

melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 14 ayat (1)

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap

hukum danperaturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuaidengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 99: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

83

Pasal 14 ayat (2)

Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf

f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

3.2 Keabsahan Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional Dalam

Tindak Pidana Narkotika

Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya

aparat penegak hukum pidana yang dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan,

penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan.

Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga

pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara

pidana. Usaha-usaha ini di lakukan demi untuk mencapai tujuan dari peradilan

pidana.

Kepolisian, Jaksa, dan Hakim memiliki tugas yang berbeda-beda pada

setiap proses sistem peradilan pidana. Untuk mencapai tujuan dalam sistem

peradilan pidana mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistem. Bekerja dalam

satu kesatuan sistem artinya adalah kerja masing-masing aparatur penegak hukum

harus berhubungan secara fungsional. Penyelengaaran peradilan pidana adalah

merupakan suatu sistem yang keseluruhannya terangkai dan terdiri dari atas

unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional.

Peradilan pidana di pandang sebagai suatu sistem karena dalam peradilan

pidana terdapat beberapa lembaga penegak hukum (Institusi) yang masing-masing

mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidang dan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam peradilan pidana terdapat berbagai

Page 100: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

84

komponen akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut adalah menanggulangi

kejahatan (Over coming of crime) dan pencegahan kejahatan (Prevention of

crime). Oleh karena itu sistem peradilan pidana harus di bangun dari proses-

proses sosial di dalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana dalam hal ini

harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.94

Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu

jaringan (network) peradilan yang terdiri dari hukum pidana materil dan hukum

pidana formil dimana hukum pidana formil merupakan hukum pelaksanaan

pidana. Kelembagaan ini harus dilihat juga dalam konteks sosial. Sifat yang

terlalu formal jika dilandasi hanya kepentingan hukum saja akan membawa

bencana berupa keadilan. Muladi menegaskan bahwa makna “integrated criminal

justice system” adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat

dibedakan dalam :

1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan

dan keselarasan dalam rangka hubungan antara lembaga penegak hukum.

2. Sinkronisasi substansi (substansial syncronization) adalah keserampakan

dan keselarasan yang bersifat vertical dan horisontal dalam kaitannya

dengan hukum positif

3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan

keselarasan dalam menghadapi pandangan-pandangan, sikap-sikap dan

falsafah yang menyeluruh dan mendasari jalannya sistem peradilan

pidana.95

Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seorang

bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh

94 Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Op.Cit, h. 33

95

Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citrabaru, Jakarta, h.30

Page 101: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

85

aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas

konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.96

Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) untuk

dapat mencapai tujuan bekerjanya subsistem peradilan pidana secara maksimal

harus didukung dengan sistem yang tersinkronisasi secara substansial serta

kelembagaan antar susbistem peradilan pidana yang dimulai dari tahap penyidikan

dan berahir pada tahap putusan hakim. Penyidikan tindak pidana apabila dalam

prosesnya sudah sesuai aturan yang berlaku maka tidak akan terjadi hambatan

pada tahap penuntutan dan akan memiliki dampak yang signifkan terhadap

putusan hakim nantinya yakni menghasilkan putusan yang obyektif.

Sistem peradilan pidana dalam kaitannya pada penelitian ini penulis

menemukan adanya permasalahan dalam hal keabsahan terbentuknya kewenangan

penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) secara kelembagaan. Dasar hukum

pembentukan Badan Narkotika Nasional adalah mengacu pada Pasal 67 dan Pasal

149 ketentuan peralihan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

sehingga dipandang perlu membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN)

berdasarkan Perpres No. 87 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Peraturan

Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Kewenangan

Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) diatur didalam ketentuan Pasal 4

Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.

Fuller dalam teorinya Principles Of Legality menjelaskan adanya delapan

persyaratan dari peraturan perundang-undangan yang baik yaitu:

96 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, h. 6

Page 102: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

86

1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh

berlaku khusus atau untuk individu tertentu.

2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai

jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas

3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga

menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang

harus bersifat prospefektif.

4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus

berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di

massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus

jelas.

5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh

undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang

dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh

bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh

mengandung peraturan yang kontradiktif).

6. Suatu Undang-Undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-

undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau

menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau

kesanggupan warga negara untuk memenuhinya.

7. Undang-undang tidak boleh sering berubah; apa yang diminta oleh

undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap.

8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan

ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta

atau peraturan-peraturan tersebut.

Teori hukum dari Lon Fuller diatas dengan mengelaborasi ide yang

tertuang dari pemikirannya agar kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN)

dalam pembentukan dan penerapan wewenang penyidikan dalam undang-undang

berjalan dengan baik, perlu kiranya mempertimbangkan beberapa aspek dari teori

principles of legality yakni yang terdapat didalam poin ke 3, 4 dan poin ke 8 yakni

hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi

kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana

cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.

Prospektif dalam poin ke 3 memberikan makna tentang suatu peraturan

perundang-undangan harus mampu menjangkau kedepan serta harus memiliki

Page 103: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

87

nilai yang progresif. Dalam gagasan progresif berarti hukum adalah untuk

manusia. Kendatipun berhukum itu dimulai dari teks namun selanjutnya pekerjaan

berhukum diambil alih oleh manusia. Artinya manusia itulah yang akan mencari

makna lebih dalam dari teks undang-undang dan membuat putusan. Berhukum

secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum.97

Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum

mencerminkan progresifitas hukum mengingat masih terdapat kelemahan dari

faktor ketidakjelasan lahirnya wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional

(BNN) dengan karakteristiknya undang-undang administrasi bersanksi pidana

yang tidak dapat mendelegasikan wewenang penyidikan serta belum adanya satu

klausula pasal yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana narkotika

khususnya narkotika yang mengandung zat-zat baru yang tidak diatur didalam

lampiran golongan dan turunan narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 dapat dilakukan penyidikan berdasarkan hasil uji laboratorium

forensik oleh tim unit pelayanan terpadu laboratorium forensik Badan Narkotika

Nasional.

Makna hukum harus jelas dalam teori Fuller diatas terkait dengan

penelitian ini memberikan arti bahwa suatu peraturan hukum/undang-undang yang

dibentuk harus jelas. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

yang memberikan wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)

melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 adalah tidak tepat. Sebagai

97 Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai

Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta, h. 3

Page 104: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

88

Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang didalamnya memuat

ketentuan tentang pelabelan narkotika, perijinan narkotika untuk kesehatan dan

pengadaan prekursor narkotika, pembentukan Badan Narkotika Nasional

hendaknya harus melalui Peraturan Pemerintah (PP) karna undang-undang

adminitrasi bersanksi pidana tidak dapat mendelegasikan kewenangannya. Hal ini

merupakan kesalahan dalam cara memperoleh wewenang dibentuknya Badan

Narkotika Nasional (BNN) dengan mengacu pada ketentuan Pasal 67 Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pembentuk undang-undang harus

jelas dalam membuat undang-undang.

Badan Narkotika Nasional (BNN) agar kewenangan penyidikannya sah

idealnya harus dibentuk melalui Peraturan Pemerintah sesuai dengan undang-

undang organik dalam hal tata cara pelaksanaannya yang tidak diatur dalam

undang-undang lebih lanjut diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah.

Makna apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara

pemerintah menetapkan statuta/atau peraturan-peraturan pada poin ke 8 sejalan

dengan prinsip asas legalitas yang dianut dalam doktrin hukum pidana di

Indonesia dan oleh Von Feurbach dinyatakan bahwa :

1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum

pidana (nulla poena sine lege)

2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang

diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine)

3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang

membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-

undang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).98

98 Von Feurbach dalam Marwan Effendy, 2011, Loc.Cit

Page 105: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

89

Asas legalitas berfungsi sebagai standarisasi dalam penegakan hukum

pidana. Berkaitan dengan penyidikan ditentukan didalam ketentuan Pasal 7

Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang

sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti

bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak

hukum yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan

undang-undang. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini termasuk juga di

dalamnya penyadapan.

Wewenang penyidikan yang terdapat didalam ketentuan pasal 4 Peraturan

Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Narkotika tidak dapat menimbulkan

akibat hukum dalam penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional

karna hanya undang-undang yang dapat menimbulkan akibat hukum dengan

mengacu berdasarkan ketentuan normatif Pasal 7 Undang-Undang 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman dan makna asas legalitas.

Hukum pidana dalam kajian tentang keabsahan suatu persoalan hukum

tentang kewenangan penyidikan harus berdasarkan pada asas legalitas apa yang

ditetapkan harus sejalan dengan pelaksanaanya. Asas legalitas merupakan

perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin

dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Asas legalitas merupakan asas yang

sifatnya esensial di dalam penerapan hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal

1 ayat (1) KUHP di didefenisikan asas legalitas adalah “Tiada suatu perbuatan

Page 106: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

90

dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-

undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Hukum dalam penerapannya adalah menciptakan keadilan dalam

masyarakat, maka berhukum adalah upaya untuk mewujudkan keadilan tersebut.

Berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Ada dua

keadilan yaitu keadilan menurut teks (Formal/legal Justice) dan keadilan

sebenarnya (substansial justice). Paul Scholten mengatakan bahwa keadilan itu

memang ada didalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Dengan

demikian berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang,

melainkan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan didalamnya.

Itulah makna menguji batas kemampuan hukum.99

Hukum Pidana yang berlaku di

Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengutamakan adanya asas

legalitas dan pengesahan dalam bentuk tertulis sering menyebabkan hukum itu

tertinggal dari peristiwanya.

Hukum administrasi negara mengenal tiga sumber kewenangan

pemerintah yaitu “atribusi”, “delegasi”, dan “mandat”. Ketiga sumber wewenang

tersebut dipaparkan dibawah ini:

a. Atribusi

Kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan undang-undang disebut

“atribusi”. H.D. van Wijk memberikan pengertian bahwa atribusi adalah

pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ

pemerintah. Pembentukan perundang-undangan yang dilakukan baik oleh

99

Paul Scholten dalamSatya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2011, Memahami Hukum Dari

Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta, h. 5

Page 107: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

91

pembentuk undang-undang orisinil (originaire wetgevers) maupun pembentuk

undang-undang yang diwakilkan (gedelegeerde wetgevers) memberikan

kekuasaan kepada suatu organ pemerintah yang dibentuk pada kesempatan itu

atau kepada organ pemerintah yang sudah ada. Hal ini dinyatakan sebagai berikut:

“een wetgever schept een (nieuwe) bestuursbevoegdheid en kent die toe aan

een bestuursorgaan. Dat kan een bestaand bestuursorgaanzijn, of een voor de

gelegenheid nieuw geschapen bestuursorgaan”.

“ Pembuat undang-undang menciptakan suatu wewenang pemerintahan yang

baru dan menyerahkannya kepada suatu lembaga pemerintahan. Ini bisa

berupa lembaga pemerintahan yang telah ada, atau suatu lembaga

pemerintahan baru yang diciptakan pada kesempatan tersebut”.100

Senada dengan rumusan H.D van Wijk, Indroharto mengemukakan bahwa

“atribusi” adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu

ketentuan dalam perundang-undangan baik yang disediakan oleh original

legislator ataupun delegated legislator.101

b. Delegasi

Delegasi menurut H.D. van Wijk adalah “Overdracht van een bevoegdheid

van het ene bestuur organ een onder” Penyerahan wewenang kepada

pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat

100 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi

Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 49

101

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Sinar Harapan, Jakarta, h. 91

Page 108: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

92

pemerintah yang lain.102

Setelah wewenang diserahkan, pemberi wewenang tidak

mempunyai wewenang lagi. Penjelasan berkaitan dengan delegasi ditegaskan

kembali :

"Van delegatie van bestuursbevoegdheid is spreke wanneer een

bevoegdheid van een bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander

orgaan, dat die bevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het

oorspronkelijk bevoegde orgaan. Delegatie impliceert dus overdracht: wat

aanvankelijk bevoegdheid van A was, is voortaan bevoegdheid van B (en

nietmeer van A)"

(Kita dapat berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan bilamana

suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga lain,

yang menjalankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga yang semula

berwenang. Dengan demikian, Delegasi disimpulkan sebagai penyerahan:

apa yang semula merupakan wewenang A, sekarang menjadi wewenang B

[dan bukan lagi A]).103

c. Mandat

Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat

dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan apabila pejabat yang

memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. H.D. van Wijk

menjelaskan arti dari "mandat" yaitu: "een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid

namens hem uitoefenen door een ander") (suatu organ pemerintah mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). Lebih lanjut dikatakan:

"Is het orgaan dat officieel een bepaalde bestuurs-bevoegdheid bezit

(krachtens attributie of delegatie) in feite niet in staat die beveboegdheid ook

persoonlijk te hanteren, dan zal aan dat orgaan ondergeschikte ambtenaren

102 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 51

103

H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Loc.Cit

Page 109: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

93

kunnen opdragen, de bevoegdheid uit te oefenen namens het eigenlijk

bevoegde orgaan. In dat geval is er sprake van mandaat. u)

(Bila organ yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu

[karena atribusi atau delegasi] tidak dapat menangani sendiri wewenang

tersebut, para pegawai bawahan dapat diperintahkan untuk menjalankan

wewenang tersebut atas nama organ yang sesungguhnya diberi wewenang.

Dalam hal ini kita bisa berbicara tentang mandat).104

Berbeda dengan "delegasi", pada "mandat", mandans atau pemberi mandat

tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan,

dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya.

Mandan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.

Sebagaimana dikatakan H.D. van Wijk:

"Bij mandaat is er geen sprake van een bevoegdheids-verschuiving in

juridische zin; nu gehandeld wordt namens het betrokken bestuursorgaan,

worden de handelingen ook aan dat orgaan toegerekend; het blijven,

juridische gesproken, besluitenvan het orgaan zelf. Er is hier sprake van een

vorm vetegenwoordiging van het bestuursorgaan. De mandaatgever

(mandans) blijft dan ook bevoegd de bevoegdheid zelf te hanteren indien hij

dat wensf; hij kan zijn mandatarissen alle aanwijzingen geven die hij nodig

acht; hij is geheel verantwoordelijk voor de krachtensmandaat genomen

besluiten, Juridisch gesproken is de mandataris niet sen anderdan de

mandans". )

(Pada mandat kita tidak bisa berbicara tentang pemindahan

kekuasaan/wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah ditangani atas

nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan, penanganannya juga

diserahkan kepada lembaga tersebut; berbicara secara yuridis, ini tetap

merupakan keputusan lembaga itu sendiri. Disini kita bisa berbicara tentang

suatu bentuk perwakilan lembaga pemerintahan. Pemberi mandat [mandans]

juga tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenang bilamana ia

kehendaki; ia bisa memberikan kepada para mandatarisnya segala petunjuk

104 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 53

Page 110: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

94

yang dianggapnya perlu; ia seluruhnya bertanggung jawab atas keputusan

yang diambil berdasarkan mandat. Secara yuridis, perkataan mandataris tidak

lain dari pada perkataan mandans).105

Indroharto menambahkan bahwa pada "mandat" tidak terjadi perubahan

wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan,

atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung

jawab mandan.106

H.D. van Wijk menjelaskan tentang pengertian "mandat kepada bukan

bawahan". Apabila tidak ada ketentuan hukum yang jelas, mandat yang demikian

hanya sah jika dipenuhi tiga syarat:

"1. de mandataris aanvaardt het mandaat, 2. de gemandateerde bevoegdheid

ligh in de sfeer van de normale bevoegdheden van de mandataris, en 3. de

betrokken wettelijke regeling verzet zich niet tegen (deze vorm van)

mandatering".7

(1.mandataris menerima pemberian mandat, 2. wewenang yang diberikan

adalah wewenang sehari-hari dan mandataris, 3. ketentuan perundang-

undangan tidak menentang pemberian mandat).107

Teori kewenangan dalam mengkaji permasalahan pada penelitian ini

memberikan penjelasan tentang cara memperoleh wewenang. Cara memperoleh

wewenang dalam hukum administrasi negara dikenal ada tiga cara yakni melalui

atribusi, delagasi, dan mandat.

105 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 54

106

Indroharto, Loc.Cit

107

D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Loc.Cit

Page 111: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

95

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika berdasarkan

analisis penulis dengan menganalisis terbentuknya kewenangan Badan Narkotika

Nasional (BNN) adalah tidak sah. Hukum Administrasi Negara mengenal tiga

cara memperoleh wewenang yakni melalui atribusi, delegasi dan mandat.

Kakarakteristik Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

adalah undang-undang administratif bersanksi pidana. Hal ini memberikan

pengertian bahwa konsep dari undang-undang administratif bersanksi pidana

adalah tidak dapat mendelegasikan kewenangan penyidikan melalui Peraturan

Presiden sebagai pelaksana ketentuan Pasal 67. Untuk membentuk wewenang

penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) idealnya harus melalui peraturan

pelaksana seperti peraturan pemerintah.

Prajudi Atmosudirjo dalam konsep kewenangan dan wewenang dalam

Hukum Adminitrasi Negara dijelaskan bahwa kewenangan adalah :

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari

Kekuasaan Eksekutif/administratif. Kewenangan adalah merupakan

kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap

suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya

mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat

wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan

sesuatu tindakan hukum publik. Kewenangan adalah kekuasaan tehadap

golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang

pemerintahan (atau bidang urusan pemerintahan tertentu yang bulat). 108

Konsep kewenangan diatas tersirat makna bahwa secara teknik perundang-

undangan kekuasaan untuk melahirkan wewenang dalam hal ini wewenang

penyidikan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah kekuasaan yang berasal

108 Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, h. 29.

Page 112: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

96

dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) bukan perundang-undangan.

Untuk menyatakan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)

tersebut sah kewenangan harus dibentuk melalui undang-undang karna hanya

undang-undang yang dapat menjatuhkan sanksi hukum atau menimbulkan akibat

hukum. Kewenangan yang sah adalah kewenangan terhadap segolongan orang

tertentu terhadap satu bidang pemerintahan tertentu yang bulat.

Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana umum bukan tindak

pidana khusus yang mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap golongan

orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu,

sehingga dalam hal ini tidak boleh ada penyimpangan terhadap hukum pidana

materiil dan pidana formiil dalam hal ini KUHP dan KUHAP dan tunduk pada

pasal 103 KUHP kecuali kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.

KUHAP telah menentukan secara tegas didalam ketentuan pasal 6 KUHAP.

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana khusus telah dicabut

kekhususannya. Pada saat berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 dicabut

dengan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika tidak

terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus dan

kemudian pada masa sekarang diganti dengan Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika. Secara tegas yang menjadi bagian tindak pidana khusus

Page 113: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

97

adalah Hukum Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana

Terorisme.109

Terbentuknya Perpres ini tidak terlepas dari adanya Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang memiliki karakteristik tersendiri yakni

undang-undang yang mengandung hukum administrasi bersanksi pidana. Selain

mengatur tentang sanksi pidana kejahatan narkotika yang diatur dalam ketentuan

Pasal 111-148 juga mengatur urusan dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah

sehingga undang-undang ini memiliki karakteristik tersendiri dalam hal ini Badan

Narkotika Nasional bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dan

dilengkapi dengan adanya Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) yang diatur

dalam ketentuan Pasal 11 serta Pasal 50 berkaitan dengan kebutuhan pengadaan

prekursor narkotika dalam industri farmasi.

Wewenang pemerintahan terkait dengan karakteristiknya dibagi menjadi

wewenang terikat, fakultatif, dan bebas terutama dalam kaitannya dengan

kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (beschikkingen) oleh

organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan

bebas.

Wewenang pemerintahan bersifat terikat terjadi apabila peraturan dasarnya

menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat

digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari

keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang semacam itu

merupakan wewenang terikat.

109 Purnama Rani, 2014, Hukum Tindak Pidana Khusus, Avalaible at

https://www.academia.edu. Diakses 22 Agustus 2014

Page 114: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

98

Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha

negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit

banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-

hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditemukan dalam peraturan

dasarnya.110

Wewenang bebas yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi

kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri

mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya

memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan. Wewenang bebas dibagi menjadi dua kategori yaitu kebebasan

kebijaksanaan dan kebebasan penilaian.

Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila

peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ

pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya

meskipun syarat-syarat penggunaanya secara sah dipenuhi.

Kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak

sesungguhnya) ada sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan

untuk menilai secara mandiri dan ekslusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan

suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.

110 Ridwan H.R. II, Op.Cit, h. 107-108

Page 115: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

99

Berdasarkan pengertian ini dapat dismpulkan ada dua jenis kekuasaan

bebas atau kekuasaan diskresi yaitu: Pertama, kewenangan untuk memutus secara

mandiri. Kedua, kewenangan interprestasi terhadap norma-norma tersamar.111

Lawrence Meir Friedman dalam sudut pandangnya menjelaskan bahwa

idealnya susatu sistem hukum itu harus memenuhi beberapa komponen yang

terdiri dari : Stuktur (Stucture), Subtansi (Subtance), dan Kultur Hukum (Legal

Culture).

Pertama sistem hukum mempunyai stuktur, dalam hal ini sistem hukum

terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang

berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya, ada pola

jangka panjang yang berkesinambungan stuktur sistem hukum, dengan kata lain

adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi

semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kedua sistem hukum

mempunyai substansi, yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan

pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Ketiga, yang merupakan

bagian ahir adalah sistem hukum harus mempunyai kultur (budaya hukum) adalah

sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, didalamnya terdapat

kepercayan, nilai, pemikiran, serta harapannya. 112

Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar

dalam tindak pidana narkotika erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang.

111 Ibid

112

Lawrence Meir Fridman dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana

(Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia ), Cet. 1, Widya

Padjajaran, Bandung, h. 31

Page 116: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

100

Mengkaji tentang keabsahan adalah berhubungan dengan sah atau tidak sahnya

kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN).

Keabsahan tolak ukurnya adalah ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang

atau adanya cacat prosedur. Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Hukum

Administrasi Negara diartikan sebagai melakukan tindakan yang bertentangan

dengan kepentingan umum, menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan

oleh undang-undang atau peraturan lainnya dan menyalahgunakan suatu

prosedur.113

Indriyanto Seno Adji dengan mengutip dari pendapat W. Konijnenbelt

menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dapat dilihat

dengan menggunakan parameter sebagai berikut:

1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran

terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam

masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.

2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan ditetapkan

apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan

apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu

nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang

mendesak sifatnya.114

Penyalahgunaan kewenangan pada hakekatnya sangat erat kaitannya

dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan tindakan

penyelenggara negara. Philipus M. Hadjhon mengemukakan bahwa cacat yuridis

tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu

113

Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Loc.Cit

114

Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit

Page 117: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

101

yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut

pada hakekatnya menjadi penyebab timbulnya penyalah gunaan kewenangan.115

Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang

dalam hukum administrasi negara dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan

Waline. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan

kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut

adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari

tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau

peraturan-peraturan lainnya;

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang

seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah

menggunakan prosedur lain agar terlaksana.116

Mengenai persoalan pertanggungjawaban terhadap pejabat dalam hal

penyalahgunaan wewenang menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang

melandasinya yaitu: 117

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya

itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab

ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula

apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau

kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.

115 Philipus M. Hadjhon , 2008, Loc.Cit

116

Indriyanto Seno Adji, 1997, Loc.Cit

117

Ridwan HR, Op.Cit, h. 365

Page 118: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

102

Hans Kelsen menguraikan tentang teori pertanggungjawaban dalam

hukum yaitu suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum

(responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang

dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah

bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.

Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan terhadap pelaku adalah karena

perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab.118

Pertanggungjawaban dapat dituntut jika hukum menghendaki dan

berdasarkan atas undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia ditentukan bahwa Negara Indonesia

adalah negara hukum. Makna yang terkandung dari kata Indonesia adalah negara

hukum menurut Wiryono Prodjodikoro adalah para penguasa atau pemerintah

sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada

peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan tidak boleh sewenang-wenang.

Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap

pengedar dalam tindak pidana narkotika analisis dan kajiannya tidak terlepas dari

sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Mohamad Yamin mendefenisikan negara hukum sebagai suatu negara

yang menjalankan pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang

memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-

badan perwakilan rakyat yang membentuk secara sah, sesuai dengan asas “the

laws and not menshall goverll”. Joeniarto memberi defenisi atau pengertian

118 Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Cet. ke-2, terjemahan Jimly

Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Konstitusi Press, Jakarta) h. 56

Page 119: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

103

tentang negara hukum sebagai negara dimana tindakan penguasanya harus

dibatasi oleh hukum yang berlaku. 119

Sudargo Gautama menyatakan bahwa paham negara hukum berasal dari

ajaran kedaulatan hukum, ia memberi pengertian tentang negara hukum sebagai

negara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum. Sementara itu

sarjana lainya seperti Seodiman Karto Hadi Prodjo mendefenisikan negara hukum

sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang didalamnya dijamin

sebaik-baiknya oleh hukum. 120

Konsep Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtstaats

atau rule of law. Paham rechstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

eropa kontinental, sedangkan paham rulle of law bertumpu pada sistem hukum

anglo saxon atau common law system.

Ide tentang rechstaats mulai populer pada abad ketujuh belas sebagai

akibat dari situasi sosial politik eropa yang didominir oleh absolutisme raja.

Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum eropa kontinental seperti

Emanuelkan dan Friederih Julius Sthal.

Paham rulle of law mulai dikenal yang dipelopori oleh Albert Vann Dicey

pada tahun 1885 dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to

Study of The law of The Constitution. Melalui bukunya Albert Vann Dicey

menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang konsep the rulle of law.

119 Mohamad Yamin dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit

120

Sudargo Gautama dalam Bahder Johan Nasution, 2012, NegaraHukum Dan Hak Asasi

Manusia, Mandar Maju, Bandung. h. 20

Page 120: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

104

Albert Vann Dicey dalam bukunya Introduction to Study of The law of The

Constitution menjelaskan elemen-elemen yang terdapat didalam konsep the rulle

of law yaitu:

1. Supremasi absolute atau predominasi dari regular law untuk menentang

pengaruh dari abrytary power dan meniadakan kesewenang-wenangan,

jadi berupa discretionary authority yang luas dari pemerintah.

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua

golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh

ordinary court ; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas

hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk

mentaati hukum yang sama, jadi tidak perlu ada peradilan administrasi

negara;

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the lend, bahwa hukum

konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak

individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; 121

Konsep rechtstaat dan rulle of law dalam kaitannya dengen sistem hukum

yang berlaku di Indonesia mengarah pada sistem hukum eropa kontinental yang

diaktualisasikan melalui konsep rechtstaat yang dikembangkan oleh ahli-ahli

hukum eropa kontinental seperti Emanuel Kant dan Friederich Julius Sthal.

Konsep rechtstaat menurut Emanuel Kant dan Friederich Julius Sthal adalah:

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia

2. Adanya pembagian kekuasaan

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmategheid vanbestuur)

4. Adanya peradilan tata usaha negara. 122

Konsep Negara Hukum dalam mengkaji keabsahan kewenangan

penyidikan Badan Narkotika Nasional adalah memberikan penjelasan bahwa

121 Albert Vann Dicey dalam Bahder Johan Nasution, 2012, NegaraHukum Dan Hak Asasi

Manusia, Mandar Maju, Bandung, h.3

122

Bahder Johan Nasution, Loc.Cit

Page 121: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

105

penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika dalam menjalankan tugasnya

dibidang hukum harus berdasarkan undang-undang. Undang-undang yang

dibentuk harus jelas secara substansial dan jelas dalam penerapannya.

Dalam karakteristik negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa

Kontinental selain pemerintahan harus berdasarkan undang-undang, asas legalitas

merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap

penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan.

Hukum adminitrasi negara dalam bidangnya menyebut asas legalitas

merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het

beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.123

Prinsip keabsahan dalam asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek

negatif (het negative aspect), aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect)

dan aspek materiil-positif (het materieel-positieve aspect).

Aspek negatif menentukan bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak sah

apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan

tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materiil-

positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat

tindakan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa kewenangan itu harus memiliki

123 Ridwan HR II, Loc.Cit

Page 122: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

106

dasar perundang-undangan dan juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan

normanya oleh undang-undang.124

Hukum pidana dalam ruang lingkup kajiannya berpegang teguh pada

doktrin asas legalitas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan

termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang dalam bahasa latin disebut

dengan “Nullum delictum nullapoena sina praevia lege poenale” artinya adalah

tidak ada hukuman tanpa undang-undang. Asas legalitas mengandung pengertian

yaitu tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-

undang, dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi dan aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).125

Menurut aliran klasik makna asas legalitas dalam hukum pidana adalah

aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan bertitik

berat pada kepastian hukum.

Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang. Pertama, asas

legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak

ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penuntutan tanpa

undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat

dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat

kesalahan semata. Ketiga, yang terakhir adalah asas pembalasan yang sekuler

124 Ridwan HR II, Loc.Cit

125

M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan

dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, h. 122-123

Page 123: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

107

yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk

mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau

ringannya perbuatan yang dilakukan.126

126 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit

Alumni Bandung, h. 25.

Page 124: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

108

BAB IV

PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG TIDAK TERMASUK

DALAM KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

4.1 Kasus Posisi Raffi Ahmad

Badan Narkotika Nasional (BNN) menetapkan Raffi Ahmad dan tujuh

orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus narkotika yang dilakukan di rumah

Raffi Ahmad di Jalan Gunung Balong Kavling VII Nomor 16 I Lebak Bulus

Jakarta Selatan pada penggerebekan yang dilakukan pada hari Minggu 27 Januari

2013.

Bersama ke-17 orang yang diamankan, pihak Badan Narkotika Nasional

(BNN) juga menemukan barang bukti berupa dua linting ganja dan 14 butir kapsul

yang diduga berisi MDMA. Ganja ditemukan didalam kamar dekat tempat

pajangan (bufet) di kamar RA (Raffi Ahmad) dan MDMA di dalam laci di ruang

makan. Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penggerebekan di kediaman

pembawa acara televisi Raffi Ahmad pada saat sedang menggelar pesta ganja dan

ekstasi. Selain Raffi Ahmad ada beberapa aktris dan salah satu anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Wanda Hamidah serta pasangan

Irwansyah dan Zaskia Sungkar juga turut dibawa ke Badan Narkotika Nasional

(BNN) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan narkotika

jenis Cathinone dalam kasus Raffi Ahmad cs, yakni 3,4 Methylene Dioxy

108

Page 125: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

109

Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Staf Ahli Kimia Farmasi Badan

Narkotika Nasional (BNN) Mufti Djusnir mengatakan efek samping

menggunakan Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga

perlu diwaspadai peredarannya. Struktur dasarnya adalah MDMA, yakni

3,4Methylene Dioxy Metacathinone. Bahaya dari zat tersebut jika dikonsumsi

akan mengalami psikoaktif dan siapa pun yang menggunakan tanpa takaran jelas

mengakibatkan overdosis sehingga kejang, keram, dan berakhir dengan

kematian.127

4.2 Keabsahan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Terhadap

Kasus Raffi Ahmad (BNN) Dikaji Berdasarkan Ketentuan Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Negara adalah suatu organisasi masyarakat untuk mengatur kehidupan

bersama. Untuk mencapai tujuan bersama disusunlah suatu tatanan pemerintahan

sebagai sarana pelaksana tugas negara beserta pembagian tugas dan batas

kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara adalah suatu abstraksi yang oleh

hukum dipersonifikasi dan diangkat sebagai realita hukum. Sebagai suatu

abstraksi, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya tanpa melalui

organnya.

Hukum administrasi dalam ketentuan hukum positif di Indonesia tepatnya

pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 digunakan istilah

“badan” atau "pejabat" untuk menyebut organ itu. Dikatakan bahwa: "badan atau

pejabat tata usaha negara adalah pelaksana urusan pemerintahan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku".

127 Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Loc. Cit

Page 126: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

110

Pengertian "badan" menurut pengertian bahasa adalah sekumpulan orang

yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu. Padanan kata "badan"

dalam bahasa Belanda antara lain adalah "orgaan". Pengertian "orgaan" sebagai

istilah hukum adalah sebagai alat perlengkapan, artinya adalah "orang" atau

"majelis" yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau

anggaran dasar berwenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan

hukum. Dengan perantaraan alat perlengkapan itu badan hukum ikut mengambil

bagian dalam lalu lintas hukum.128

Pengertian "pejabat" menurut pengertian bahasa adalah pegawai

pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan). Dalam bahasa

Belanda istilah "pejabat" disalin antara lain menjadi "ambtdrager", yang diartikan

sebagai orang yang diangkat dalam dinas pemerintah (negara, propinsi, kotapraja

dan sebagainya).

Frederick Robert Bohtlingk menguraikan pendapatnya tentang pengertian

"orgaan" adalah:

"verstaat men; ieder persoon of college, met enig openbaar gezag bekleed,

of; ieder persson die bevoegd is de overheid door rechtshandelingen te

verbinden, of iets dergelijks" 129

128 Teeuw, A, 1999, Kamus Indonesia-Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. h. 50

129

Frederick Robert Bohtlingk dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan

Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 55

Page 127: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

111

“ kita maksudkan adalah setiap orang atau badan, yang memiliki kekuasaan

umum: atau setiap orang yang berwenang untuk menghubungkan kekuasaan

melalui tindakan hukum, atau yang mirip dengan itu.”

Lebih lanjut Frederick Robert Bohtlingk menjelaskannya dengan suatu

ilustrasi:

"Wanneer de heer P minister Is, dan maakt de hier besproken gangbare

opvatting een scheiding tussen de heer P in prive en de heer P in kwaliteit.

Deze laatste meneer noemt men "orgaan". Men kent dus aan de ene mens P

twee persoonlijkheden toe: enerzijds de personificatie van P 'm prive (de

privepersoon), anderzijds de personificatie van P in kwaliteit (de minister),

en noemt deze laatste personificatie orgaan. 'Orgaan' is niet ambt en niet

ambtdrager".

(bila Tuan P adalah seorang menteri, disini berlaku pandangan adanya

pemisahan antara Tuan P secara prive dan dalam kualitas. Tuan P dalam

kualitas adalah seorang menteri disebut badan yang dipersonifikasi di dalam

kualitas sebagai pejabat. Sedangkan Tuan P secara prive (orang pribadi) yakni

personifikasi Tuan P sebagai manusia individu. Dengan demikian, Tuan P

memiliki dua kepribadian, yakni personifikasi sebagai manusia individu dan

personifikasi Tuan P sebagai pejabat). 130

E. Utrecht mengungkapkan bahwa "jabatan" adalah sebagai pendukung

hak dan kewajiban. Sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan

perbuatan hukum (rechtshandelingen) baik menurut hukum publik maupun

menurut hukum privat. Ditambahkan bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam

suatu perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun pada pengadilan

perdata dan administrasi. Agar wewenang dapat dijalankan, "jabatan" sebagai

personifikasi hak dan kewajiban memerlukan suatu perwakilan yang disebut

"pejabat" yaitu "manusia" atau "badan", dengan kata lain disebut "pemangku

jabatan".

130 Ibid, h. 56

Page 128: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

112

Pelaksanaan hak dan kewajiban hukum dapat dilakukan dengan

perantaraan "pejabat", melalui "jabatan".131

Logeman menempatkan "jabatan" dari

aspek negara sebagai organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yang saling

berhubungan dalam suatu totalitas lingkungan kerja tertentu, sehingga negara

disebut sebagai suatu perikatan fungsi-fungsi. Negara sebagai organisasi jabatan

yang melahirkan otoritas dan wewenang, dan jabatan adalah bagian dari fungsi

atau aktivitas pemerintahan yang bersifat tetap atau berkelanjutan. Jabatan muncul

sebagai pribadi (persoon) atau subjek hukum yang dibebani kewajiban dan

dijadikan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, tetapi untuk melakukan

tindakan harus melalui "pejabat" atau "pemangku jabatan". Dalam hal ini harus

ada pemisahan mutlak antara pribadi pemangku jabatan selaku "pejabat" dan

selaku manusia sebagai prive.132

Badan sebagai pejabat yang mengikat administrasi dari sudut pandang

yang berbeda dinyatakan bahwa untuk menentukan seseorang atau suatu badan

sebagai pejabat yang mengikat administrasi tidak ditentukan semata-mata dari

kedudukan dalam struktur pemerintahan. Mengenai hal ini Indroharto

menjelaskan arti "badan" atau "pejabat" (jabatan) tata usaha negara menurut Pasal

1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai berikut:

"Untuk menangkap yang dimaksud dengan badan atau jabatan tata usaha

negara sebagai organ dari suatu lembaga hukum publik dapat kita dekati

dengan dua cara: Pertama, sebagai organ-organ dari suatu lembaga hukum

publik yang menjadi induknya; Kedua, sebagai jabatan-jabatan tata usaha

negara yang memiliki wewenang-wewenang pemerintahan. Dalam banyak

hal antara keduanya adalah identik satu dengan yang lain, tetapi tidak selalu

131

E. Utrecht dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap

Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 57

132

Logemann dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap

Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 57

Page 129: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

113

demikian. Untuk hukum tata usaha negara cara pendekatan kedualah yang

mempunyai arti penting, karena menurut pendekatan kedua tersebut, badan

atau jabatan tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-un-

dangan yang berlaku memiliki wewenang pemerintahan".

Indroharto mengambil kesimpulan bahwa ukuran yang harus dipakai

adalah masalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

yang dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara adalah apa dan siapa saja

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang dikerjakan itu

berupa kegiatan urusan pemerintahan tanpa memandang aparat resmi dalam

struktur hierarkhis pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan suatu

badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan tata usaha negara adalah tidak

relevan dengan mencari landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur

hierarkhis pemerintahan.133

Kedudukan pejabat dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana

dalam sistem peradilan pidana di Indonesia keberadaannya sangat penting dalam

menjalankan tugas negara dibidang hukum. Kewenangan seorang pejabat

memiliki standarisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta diatur oleh

aturan-aturan yang ketat didalam peraturan perundang-undangan yakni undang-

undang hukum acara pidana (KUHAP). Pembatasan secara ketat tersebut

bertujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam melaksanakan tugasnya

dan terwujudnya penegakan hukum yang adil.

133 Indroharto dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap

Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 58

Page 130: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

114

Fungsi dan tujuan hukum acara pidana (KUHAP) yang disebut sebagai

hukum pidana formil adalah terciptanya tertib proses hukum dan menjamin

penegakan hukum pidana materiil seperti KUHP dan undang-undang

nonkodifikasi pidana lainnya dilakukan secara tepat. Ketentuan Hukum Acara

Pidana (KUHAP) lebih dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan

terdakwa dari tindakan hukum sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan

pengadilan. Hukum pada sisi lain memberikan kewenangan kepada negara cq.

pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang

dapat mengurangi hak asasi warganya yang melanggar hukum.134

Hukum Acara

Pidana juga merupakan sumber kewenangan dari aparat penegak hukum dan

hakim serta pihak penegak hukum lainnya seperti penasihat hukum (advokat),

Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), serta lembaga pemasyarakatan.

KUHAP sebagai hukum acara pidana dalam penyidikan tindak pidana

narkotika diatur didalam ketentuan Pasal 85 dan mengalami perluasan makna

tentang alat bukti yang diatur didalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Pasal 85

BNN dalam penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor

Narkotika dalam pelaksaanaanya berkordinasi kepada Penyidik Pegawai

Negeri Sipil tertentu dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai

dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

134 M. Sofyan Lubis, 2010, Prinsip”Miranda Rule”Hak Tersangka Sebelum Pemerikasaan

Jangan Sampai Anda Menjadi Korban Peradilan, Tim Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 64

Page 131: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

115

Pasal 86

1. Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

2. Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apa pun selain

kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada:

1. tulisan, suara, dan/atau gambar;

2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang

memiliki makna dapat dipahami oleh orang.

Ketentuan pasal diatas memberikan penjelasan secara tegas bahwa Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berfungsi sebagai hukum acara

(hukum formal) mengenai tatacara penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

narkotika.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam fungsinya

sebagai pelaksana hukum pidana materiil dalam korelasinya dengan hak

penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu:

1. Asas Legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu

delik.

2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang

yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya akan

merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang

yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan.

Wewenang untuk tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum

Page 132: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

116

dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan ketentuan Pasal 34 huruf c Undang-

Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 135

Asas Legalitas dan Asas Oportunitas merupakan hal yang sifatnya kontra

diktif dalam KUHAP. Asas legalitas memberikan arti bahwa penyidikan hanya dapat

dilakukan atas dasar undang-undang dan tanpa diskriminasi dengan asas kesamaan

dihadapan hukum (asas equality before the law) sedangkan asas oportunitas

memberikan keistimewaan dalam hal penuntutan dapat dikesampikan apabila

merugikan kepentingan umum.

Mewujudkan proses hukum yang adil (due procces of law) memiliki

relevansi keterkaitan yang erat dengan keabsahan kewenangan serta tidak terlepas

dari tujuan hukum yang terdiri dari nilai kepastian hukum, kemanfaatan hukum,

dan keadilan dalam pelaksanaanya. Penelitian ini terkait dengan hal tersebut,

permasalahan yang terjadi dalam proses penegakan hukum adalah dalam hal sah

atau tidaknya penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus

narkotika Raffi Ahmad dalam hal tidak diaturnya jenis golongan narkotika yang

digunakan pada ketentuan Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Tidak adanya peraturan yang menetapkan secara tegas memiliki arti bahwa

perbuatan tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan asas legalitas. Ketentuan

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan bahwa suatu

perbuatan tidak dapat dipidana apabila tidak ada ketentuan yang mengatur secara

tegas ketentuan tersebut.

135

Osman Simanjuntak, 1995, Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum, PT.Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 90.

Page 133: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

117

Makna asas legalitas memiliki makna yang jelas dan tegas sebagai suatu

barometer dalam domain hukum pidana. Dalam negara hukum, setiap tindakan

pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip

wetmatigheid van bestuur (asas legalitas). Asas ini menentukan bahwa tanpa

adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan

yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki

wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum

warga masyarakatnya.

Prinsip asas legalitas maknanya secara tersirat terkandung didalam teori

sitem hukum yang dikemukakan oleh Hart yang penulis gunakan sebagai pisau

analisis untuk menjawab permasalahan penelitian ini. Asas legalitas dengan

mengelaborasi Teori Sistem Hukum Hart mengandung makna tentang aturan

mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan

oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa

dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Teori yang

dikemukakan oleh Hart menurut pandangan penulis mensyaratkan ketegasan

dalam menjalankan aturan dan menerapkan asas legalitas secara proporsional.

Narkotika yang terdapat didalam kasus Raffi Ahmad adalah narkotika

jenis Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa

disebut Methylone. Jenis narkotika ini tidak diatur didalam ketentuan Undang-

Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tidak adanya ketentuan yang

mengatur memberikan arti bahwa asas legalitas serta aturan mana yang dianggap

sah seperti yang diuraikan H.L.A Hart dalam teori sistem hukum tidak terpenuhi,

Page 134: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

118

sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional

(BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan cacat prosedural.

H.L.A. Hart dengan teorinya Teori Sistem Hukum dalam gagasannya

sistem hukum dibagi menjadi dua yang disebut dengan primary rules dan

secondary rules. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan

keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primary rules lebih menekankan

kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan

ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law).136

Mengenai primary rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang

pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan

sosial (sosial rule) yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi;

Pertama adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial,

suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta

situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada

perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang

menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu

kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang

relevan. Dari sudut pandang internal, anggota (masyarakat) itu merasakan bahwa

aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan

reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek

internal).137

136 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96

137

Ibid, h. 96-99

Page 135: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

119

Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam

satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang

dapat dilihat atau memiliki sudut pandang masing-masing aturan menyatakan apa

yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan

suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-

duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai

suatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan prilaku yang sesuai merupakan

jelmaan prilaku dari aspek eksternal dengan hal yang sama.

Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules,

yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) yang apa bila di

rinci meliputi, pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang

dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa

dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat

dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih

jauh maka rules of ajudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat

sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.138

Posner mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum yaitu pertama, teori

hukum berhasil mengungkapkan ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem

hukum dan menunjukan arah jalan perubahan konstruktif yang sangat bernilai

tentang unsur-unsur konsep hukum. Kegunaan kedua teori hukum membantu

menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah

pengetahuan sistem yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana

138 Ibid

Page 136: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

120

menjalankannya dalam suatu sistem dimana praktisi hukum telah biasa

melakukannya.139

Ian Mc Leod juga memberikan penjelasannya bahwa kegunaan

teori hukum khususnya bagi praktisi hukum adalah sebagai dasar berpikir untuk

apa yang mereka sedang kerjakan. Teori hukum juga memiliki nilai tersendiri

sebagai suatu bagian dari sebuah hasil pemikirian-pemikiran study.140

Hukum pidana dalam konsep untuk dapat dipidananya suatu perbuatan

harus memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana. Dalam unsur pertanggung

jawaban pidana terdapat beberapa indikator atau tolok ukur dalam memutuskan

apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau

tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan

pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur-unsur

perbuatan pidana tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana.141

Para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari

perbuatan pidana yaitu:

Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang

dapat dihukum.

139 Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press, p.14-15

140

Ian McLeod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall University, p. 11

141

Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit

Page 137: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

121

Pendapat Simons dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-

unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif;

berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)

dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung

jawab.142

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan

ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu. Adapun unsur-unsur atau elemen yang harus ada

dalam suatu perbuatan pidana terdiri dari :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.143

Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat

diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur

pokok subjektif.144

142 Simons dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit

143

Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit.

144

Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid, h. 25

Page 138: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

122

a. Unsur Pokok Objektif.

1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai

berikut:

a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan

b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.

2. Akibat perbuatan manusia

Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah

membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan

oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/ harta benda, atau

kehormatan.

3. Keadaan-keadaan

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas keadaan pada saat

perbuatan dilakukan keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan

dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

b. Unsur Pokok Subjektif

Asas pokok hukum pidana ialah “tidak ada hukuman jika tidak ada

kesalahan” (an act does not make guilty unless the mindis guilty, actus not facit

reum nisi mens sit rea). Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja

(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).

1. Kesengajaan.

Page 139: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

123

Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud.

b. Kesengajaan dengan sadar kepastian

c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

2. Kealpaan.

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan.

Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:

a. Tidak berhati-hati; dan

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia

yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk

dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi tersebut dapat dilihat

unsur-unsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-

undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut

dipidana.145

Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang

disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh

peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Unsur-unsurnya adalah (1)

kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang-undang.

Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu

yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Bersifat teoritis

adalah perbuatan pidana pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum yang diadakan

145 Van Hammel dalam dalam Johny Krisnan2008, Op.Cit, h. 25

Page 140: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

124

karena kesalahan pelanggar yang harus diberikan pidana. Pemberian pidana untuk

dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Perbuatan Pidana menurut hukum positif adalah perbuatan pidana sebagai suatu

peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan

pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam

beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan

keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. 146

Penulis mengelaborasi dengan mengutip pendapat pompe yakni perbuatan

Pidana menurut hukum positif inilah yang tidak terpenuhi untuk dapat

dipertanggungjawabkannya jenis narkotika raffi ahmad sehingga untuk dapat

dituntut secara pidana tidak memiliki keabsahan. Selain harus memenuhi unsur

pertanggungjawaban pidana untuk dapat dipidananya suatu perbuatan berkaitan

dengan syarat pemidanaan juga harus memenuhi kriteria, yaitu:

a. Actus Reus yaitu berupa kesalahan (schuld) dan melawan hukum

(wederrechtelijke);

b. Mens Rea yaitu berupa perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana.

Unsur Mens Rea sebagai syarat pemidanaan ini tidak terpenuhi didalam

kasus narkotika Raffi Ahmad dengan jenis narkotika baru dan mengandung jenis

Methylone sehingga secara legalitas ia tidak dapat dijatuhkan pidana.

Indrianto Senoadji dalam sistem hukum anglo-saxon menjelaskan bahwa

syarat pemidanaan adalah harus memenuhi syarat adanya actus reus dan mens

146 Pompe dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit

Page 141: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

125

rea, sehingga dalam pemidanaan yang harus digunakan adalah unsur melawan

hukum formal, artinya ada atau tidak dalam perbuatan tersebut hal-hal yang

bertentangan dengan hukum positif tertulis.147

Tradisi civil law mensyaratkan secara lex Scripta adalah penghukuman

harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang

tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku

(perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang

mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa

dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa

dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar

penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam

hukum pidana, ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang

terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang terebut.

Hukum harus didasarkan pada undang-undang memiliki kaitan dengan

asas lex certa bahwa pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan

secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana

(kejahatan, crimes). Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas

tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada

perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.

Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidak

pastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena

147 Indrianto Seno Adji dalam Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana :

Perkembangan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta, h. 84.

Page 142: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

126

warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak

berguna sebagai pedoman perilaku. 148

Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus

Raffi Ahmad dengan mengelaborasi teori, konsep, dan asas hukum yang telah

penulis uraikan diatas adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan

secara pidana. Kewenangan Badan Narkotika Nasional tidak sah karena Undang-

Undang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah undang-undang

administrasi bersanksi pidana sehinga ia tidak dapat mendelegasikan

wewenangnya melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan

Narkotika Nasional yang berdasarkan ketentuan pasal 4 melahirkan wewenang

penyidikan kepada Badan Narkotika Nasional.

Kasus Rafii Ahmad tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana

sesuai dengan konsep hukum pidana yang menganut doktrin asas legalitas serta

tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur

obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur secara tegas didalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni didalam ketentuan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Unsur pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur subyektif dan

unsur obyektif dan penghukuman harus didasarkan pada ketentuan tertulis dalam

undang-undang (lex certa). Secara umum dapat penulis simpulkan unsur tersebut

148 Roelof H. Heveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia,

Tata Nusa, Jakarta, h. 50.

Page 143: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

127

terdiri dari (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2)

melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.

Berkaitan dengan kewenangan yang sah (legalitas) memiliki relevansi

dengan Teori Keabsahan. Hadjhon berdasarkan pandangannya dalam Teori

Keabsahan mensyaratkan keabsahan tindakan pemerintah didasarkan aspek

kewenangan yaitu setiap tindakan pemerintahan harus bertumpu pada

kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun mandat). Aspek prosedur dari

teori keabsahan bertumpu atas asas Negara Hukum, asas demokrasi dan asas

instrumental. Aspek substansial menyangkut “apa” dan “untuk apa”.149

Teori

keabsahan memberikan suatu penjelasan bahwa pengunaan wewenang tidak bisa

sewenang-wenang harus jelas menyangkut apa dan untuk apa dalam

pelaksanannya.

Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam proses

penegakan hukum dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor procedural justice dan

faktor substantive justice. Menurut Bagir Manan dua aspek penting dalam

keberhasilan penegakan hukum adalah tata cara penegakan hukum (procedural

justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice).150

Tata cara

dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan.

149 Philipus M. Hadjhon dalam I Made Muliawan Subawa, 2013, Fungsi Notaris dalam

Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan

CapJempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan, (tesis) Program Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Universitas Udayana, h. 10

150

Bagir Manan, 2005, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Varia Peradilan, Tahun

ke-XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, h. 10

Page 144: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

128

Seiring dengan berkembangnya jaman sifat yang prosedural sering

menyebabkan hukum menjadi statis dan tertinggal dari peristiwanya. Untuk

menengahi permasalahan ini diperlukan adanya suatu konsep keadilan. Konsep

keadilan dalam penelitian ini oleh penulis digunakan konsep keadilan Jhon Rawls.

Keadilan menurut Jhon Rawls pada dasarnya adalah keadilan yang

mengutamakan kebebasan individual yang bertanggung jawab.151

John Rawls

dalam teorinya keadilan prosedural murni menjelaskan :

The procedure for determining the just result must actually be carried out;

for in these cases there is no independent criterion by reference to which a

definite outcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a

particular state of affairs is just because it could have been reached by

following a fair procedure. This would permit far too much and would lead to

absurdly consequences.152

John Rawls berpendapat bahwa prosedur untuk menentukan hasil yang

adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria

independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut

disebutkan John Rawls kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah

adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair. Hal ini akan

terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada

konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil. Hukum yang baik adalah hukum yang

sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Hukum

harus sesuai atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat serta berdasarkan pada kewenangan yang sah (legalitas).

151

Jhon Rawls dalam M. Syukri Akub Dan Baharuddin Baharu, 2012, Wawasan Due Proses

Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, h.19

152

John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts, h. 86

Page 145: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

129

Tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang

adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses menurut Wayne La Favre

sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto pada hakikatnya merupakan penerapan

diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh

kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.153

Berkaitan dengan pendapat Bagir Manan maupun Wayne La Favre, dalam

pandangan Satjipto Rahardjo ketika membicarakan tentang penegakan hukum

pada hakikatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang

notabene adalah abstrak.154

Dikatakan demikian karena pada hakikatnya hukum mengandung ide atau

konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak.155

Menarik

pendapat Gustav Radbruch, Satjipto Rahardjo mengelompokan yang abstrak

tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

sosial.156

Dalam rumusan lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, dan proses perwujudan ide-ide

itu merupakan hakikat dari penegakan hukum.

Hukum pidana dalam penegakannya secara faktual terdapat tiga jenis

penegakan hukum. Joseph Goldstein dalam teorinya teori penegakan hukum

153 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 7

154

Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta

Publishing,Yogyakarta, h. 12.

155

Ibid

156

Ibid

Page 146: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

130

pidana membaginya menjadi 3 yaitu Total Enforcement, Full Enforcement, dan

Actual Enforcement.157

Total Enforcement adalah ruang lingkup hukum pidana sebagaimana

dirumuskan dalam hukum pidana substantif. Namun demikian Total Enforcement

tidak dapat dilakukan sepenuhnya, karena penegak hukum dibatasi oleh aturan-

aturan yang ketat yang ada didalam hukum acara pidana seperti aturan-aturan

penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Disamping itu hukum pidana

substantif itu sendiri juga memberikan pembatasan-pembatasan seperti

diperlukannya aduan terlebih dahulu untuk menuntut suatu perkara (delik

aduan).158

Full Enforcement adalah para penegak hukum menegakan hukumnya

secara maksimal. Namun oleh Goldstein harapan ini dianggap harapan yang tidak

realistis karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal,

financial, dan sarana-sarana dalam penyidikan dan sebagainya. Kesemuanya ini

mengakibatkan keharusan untuk dilakukan diskresi. 159

Actual enforcement adalah penegakan hukum harus dilihat secara realistis

sehingga penegakan hukum secara aktual harus dilihat sebagai bagian diskresi

yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan.160

157 Joseph Goldstein dalam Yesmil Anwar dan Adang,2009, Sistem Peradilan Pidana

(Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya

Padjajaran, Bandung, .h.60

158

Loc.Cit

159

Loc.Cit

160

Loc.Cit

Page 147: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

131

Sejak diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) guna melaksanakan penegakan hukum yang adil (due procces of law)

konsep yang dianut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah mengarah

pada konsep Due Process Model. Konsep ini lebih cenderung mengarah pada

Adversary System yang menganggap tersangka atau terdakwa bukan sebagai

objek.

Packer dalam bentuk pendekatan normatif sistem peradilan pidana

membedakan menjadi dua model yaitu crime control model dan due proses

model.161

Crime control model dan due proses model memiliki perbedaan

karakteristik tersendiri dalam fungsinya. Nilai- nilai yang melandasi crime control

model adalah :

1. Tindakan-tindakan represif terhadap satu tindakan kriminal merupakan

suatu fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.

2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan

hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan

menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya.

3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan

prinsip cepat, (speedy) dan tuntas (finality) dan model yang dapat

mendukung proses penengakan hukum tersebut adalah model administratif

dan menyerupai model manajerial.

4. “Asas praduga bersalah” Presumption of guilt” menyebabkan sistem ini

dilaksanakan secara efisien; dan

5. Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-

temuan fakta administratif oleh karena temuan tersebut akan membawa

kearah:

a. Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan

b. Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.

161 Hebert Packer, 1968, The Limits Of Criminal Santion, Stanford University Press,

California, p. 152-153

Page 148: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

132

Nilai-nilai yang melandasi “Due Procces Model” dalam bentuk

pendekatan normatif sistem peradilan pidana terdapat beberapa macam

karakteristik dalam penerapannya, yaitu :

1. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau human

error menyebabkan model ini menolak informal fact finding process

sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang.

Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan adversary fact

finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke

muka pengadilan yang tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka

memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya.

2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan

menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi

peradilan.

3. Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan

utama didalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang

formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan

kemerdekaan yang diaanggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang

yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses peradilan dianggap

sebagai Coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan

martabat (Demeaning). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat

dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan

cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan

individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;

4. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,

sehingga model ini memegang teguh doktrin “legal guilt”. Doktrin ini

memiliki konsep pemikiran sebagai berikut:

- Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara

prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu.

- Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan

akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan

undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif.

Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat ditetapkan oleh

pengadilan yang berwenang dan tidak memihak.

5. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law” lebih

diutamakan.

6. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi

pidana (criminal sanction).162

162 Ibid

Page 149: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

133

Karakteristik dari masing-masing model diatas terlihat jelas perbedaannya.

Crime control model merupakan tipe affirmatif model yang menekankan pada

eksistensi penggunaan kekuasaan formal pada setiap tahapan dari prosedur

peradilan pidana serta kekuasaan legislatif yang sangat dominan. Sedangkan Due

process model merupakan tipe negatif model yang menekankan pada batasan

kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan yang

dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif yang selalu mengacu pada

konstitusi. 163

Due Proses Model merupakan suatu rangkaian yang menjadi standarisasi

bagi penegak hukum dalam hal ini Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap

kasus Raffi Ahmad, serta penegak hukum lainnya dalam melakukan penangkapan,

penahanan, penuntutan dan mengadili serta mempersalahkan pelaku kejahatan.

Konsep Due Process Model menganut asas praduga tidak bersalah dimana

seseorang baru dapat dinyatakan bersalah oleh suatu autoritas yang sah melalui

peradilan. Due Process Model sebagai paradigma sistem peradilan pidana akan

membawa sistem tersebut pada pencapaian tujuan proses yang wajar,

menempatkan pelaku kejahatan sebagai subyek, sehingga mempunyai posisi

hukum yang seimbang misalnya dengan aparat penegak hukum. Peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan penegakan hukum akan

dirumuskan terutama untuk melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan

163 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, h. 44

Page 150: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

134

aparat. Dengan demikian berlaku apa yang menurut Fletcher sebagai

negative principle of legality.164

Ketentuan undang-undang dipandang sebagai “pembatasan” kewenangan

negara (aparat penegak hukum) dan bukan sebagai dasar dari “pemberian”

kewenangan untuk merepresi suatu perbuatan. Asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) akan menjadi fundamen utama seluruh perangkat

(substance, structure dan culture) penegakan hukum.

Konsep Due Process Model relevan dalam mendukung adanya

pembatasan wewenang secara formal terhadap Penyidik Badan Narkotika

Nasional guna menghindari adanya kesalahan mekanisme administrasi peradilan

dalam hal penyalahgunaan wewenang dan menerapkan asas “equality before the

law” (kesamaan dihadapan hukum) sehinga terwujud penegakan hukum yang adil

(due process of law). Penegakan hukum yang adil (due process of law) untuk

mewujudkannya harus mencakup beberapa kriteria: pertama, perlindungan

terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara. Kedua, bahwa

pengadilan berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Ketiga, bahwa

sidang pengadilan harus bersifat terbuka. Keempat, bahwa tersangka dan terdakwa

harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya.165

Berkaitan pada kriteria diatas dalam proses peradilan pidana lembaga

peradilan dituntut bukan saja prosesnya dilakukan secara jujur, bersih dan tidak

164 George P. Fletcher, 1998, Basic Concept of Criminal Law, Oxford: Oxford University Press,

p, 207

165

I Gusti Ketut Ariawan, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM Dalam

KUHAP, Bahan Pendalaman Materi Perkuliahan Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana

Program MagisterIlmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 8

Page 151: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

135

memihak, akan tetapi juga harus dilandasi prinsip-prinsip yang sifatnya terbuka,

korektif dan rekorektif.166

Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk berupaya

memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, tetapi dilain pihak juga

memperlihatkan usaha untuk mendorong dan mengarahkan perubahan.

Pemositifan hukum dalam perundang-undangan menjadikan hukum itu terbatas

dan sering tertinggal oleh dinamika perkembangan masyarakat. Menurut

Khudzaifah Dimyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadikan sistem hukum

positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapkan

kepadanya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (ius

constituendum), konstruksi hukum, penafsiran analogi, penghalusan hukum,

adalah contoh-contoh untuk itu.167

Penemuan hukum dan perbaikan melalui peraturan perundang-undangan

secara kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN) perlu dilakukan.

Penemuan hukum perlu dilakukan berkaitan dengan jenis narkotika Cathinone

dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon dalam kasus Raffi Ahmad

yang secara tegas tidak diatur didalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika.

Perbaikan secara perundang-undangan dalam hal pembentukan

kelembagaan yang berpengaruh pada lahirnya wewenang penyidikan Badan

Narkotika Nasional (BNN). Eksistensi Badan Narkotika Nasional (BNN) masih

166 Ibid, h. 12

167

Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, h. 65

Page 152: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

136

dibutuhkan dalam hal mengantisipasi kejahatan narkotika yang dapat mengancam

sendi-sendi kehidupan bernegara. Agar sumber hukum wewenang Badan

Narkotika Nasional (BNN) seimbang secara hierarkhi peraturan perundang-

undangan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 29 Tentang Narkotika idealnya

Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional perlu

diganti dengan undang-undang layaknya lembaga negara Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) atau dengan Peraturan Pemerintah mengingat undang-undang

administrasi bersanksi pidana tidak dapat mendelegasikan wewenangnya.

Penulis mengutip pendapat Indroharto yang menjelaskan bahwa hanya

undang-undang yang dapat menimbulkan akibat hukum serta sesuai dengan

penjelasan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

“kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak hukum yang berwenang melakukan

penyelidikan dan penyidikan berdasarkan undang-undang.

Penemuan hukum perlu dilakukan agar mampu memberikan solusi atas

perkembangan kejahatan narkotika yang terjadi. Penemuan hukum oleh Sudikno

Merto Kusumo diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim

atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan

hukum umum pada peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum sebagai

proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum

dengan mengingat peristiwa konkret tertentu.168

Definisi ini juga tidak jauh

berbeda dengan pengertian penemuan hukum dengan apa yang dikemukakan oleh

168 Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Loc.Cit

Page 153: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

137

Loudoe, bahwa penemuan hukum bukan suatu proses yang logis belaka melalui

proses subsumsi dari fakta pada ketentuan undang-undang, akan tetapi juga

merupakan penilaian dari fakta untuk kemudian menemukan hukumnya.

Penemuan hukum dalam hal terjadi kekosongan hukum dapat dilakukan

dengan teknik konstruksi hukum. Melalui teknik ini penemuan hukum

(Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu:

1. Analogi : Adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya

suatu pasal dari aturan hukum atau undang-undang terhadap peristiwa

hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum

dimaksud.

2. Argumentum a contrario: Adalah penalaran ini sama juga dengan analogi

tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam

undang-undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara

eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut.

3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum: Oleh Sudikno Mertokusumo

dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya berlawanan

dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan

hukum yang dikhususkan.169

Paul scholten memberikan penjelasannya dalam hal terjadinya kekosongan

hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pada intinya hukum itu ada,

tetapi masih harus ditemukan. Adalah sesuatu yang khayal apabila sesorang

beranggapan bahwa undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas.

169 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Loc.Cit

Page 154: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

138

Penemuan hukum berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum

ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik lewat penafsiran hukum,

analogi, maupun penghalusan hukum. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan

dengan logika penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika,

melainkan melibatkan penilaian dan memasuki ranah pemberian makna. 170

Berdasarkan wawancara penulis dengan I Gede Artawan selaku Kepala

Bidang Pemeberantasan Badan Narkotika Nasional Propinsi Bali berkaitan

dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap narkotika yang

masuk termasuk kedalam kategori New Psychoactive Substances dijelaskan

bahwa Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika secara tegas tidak

mengatur ketentuan tersebut.

I Gede Artawan juga menyarankan agar para legislator yakni Dewan

Perwakilan Rakyat besama Presiden dalam merumuskan peraturan perundang-

undangan yang baru atau merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika guna mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika

jenis baru untuk membuat satu klausula Pasal yang memberikan kewenangan

kepada Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa penyidikan tindak

pidana narkotika dapat dilakukan apabila telah membuktikannya melalui hasil

laboratorium.

Penemuan hukum adalah sebuah reaksi terhadap sistuasi-situasi

problematik yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum. Penemuan hukum

diarahkan pada pemberian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hukum

170 Paul scholten dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Loc.Cit

Page 155: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

139

yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian konkret. Ada dua unsur penting didalam

penemuan hukum yaitu pertama adalah hukum/sumber hukum dan kedua adalah

fakta.171

Fakta hukum yang terjadi dalam kasus narkotika Raffi Ahmad

menunjukan bahwa terjadinya kekosongan hukum secara normatif. Untuk itu

diperlukan adanya pemositifan hukum agar kedepannya tidak terjadi

permasalahan berkaitan dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional

(BNN) terhadap narkotika yang termasuk kedalam klasifikasi New Psychoactive

Substances. Pemositifan hukum terkait dengan narkotika jenis baru (New

Psychoactive Substances) dapat dilakukan melalui kebijakan formulasi hukum

pidana yang sesuai dengan teori kebijakan hukum pidana dan kebijakan hukum

pidana ini diambil berdasarkan pada arah politik hukum pidana.

Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara

pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan

ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kejahatan

adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat.

Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan

penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan

penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga

tahap kebijakan yaitu :

171 J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Shidarta, Jendela Mas Pustaka,

Bandung, h. 1

Page 156: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

140

a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau

merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang

dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.

b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh

aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum

pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana. 172

Kebijakan formulasi narkotika jenis baru yang terdapat didalam kasus

narkotika Raffi Ahmad dengan jenis metilon yang diklasifikasikan sebagai

narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) kepastian hukumnya dapat

dicapai dalam tataran kebijakan legislatif. Pada tataran ini adalah tahapan

terpenting dimana penormaan suatu rumusan delik dalam undang-undang

dilakukan oleh lembaga terkait yang memiliki otoritas untuk itu. Pembuat undang-

undang menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan

sanksi apa yang dapat dikenakan. Ketika undang-undang telah terbentuk

pelaksanaannya kemudian dilaksanakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif

untuk melaksanakan hukum pidana secara konkrit.

Kebijakan penegakan hukum pidana harus sesuai dengan arah politik

hukum yang dibutuhkan dalam hal penanggulangan kejahatan yang dilakukan

oleh Negara melalui pembentukan undang-undangnya. Dalam kasus Raffi Ahmad

konsep politik hukum pidana diperlukan dalam hal pengertian yang praktis yakni

politik hukum pidana adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk

172

Barda Nawawi Arief, 1998, Loc. Cit

Page 157: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

141

menanggulangi kejahatan dan usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk

undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan aparat yang terkait dengan

eksekusi pemidanaan. Aktifitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri

melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.173

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, "Politik Hukum" adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa

melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti, "usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Politik hukum pidana dilihat sebagai bagian dari politik hukum

mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu

perundang-undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat

173 Barda Nawawi Arief II, Loc.Cit

Page 158: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

142

peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari

tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga

merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut

politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana".

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya

juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum

(law enforcement policy).

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang

(hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila

kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari

kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat

diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam

pengertian "social policy", sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy"

dan "social defence policy".

Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang

lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana

formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.

Page 159: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

143

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian tesis ini yang dapat penulis

uraikan adalah :

1. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam

tindak pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional

dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu

pada Pasal 149 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Sebagai Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang

pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan

kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika

Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti peraturan

pemerintah.

2. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi

Ahmad adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana

karena tidak memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur

obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur didalam ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan

asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan

secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.

143

Page 160: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

144

5.2 Saran/Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait dengan pembahasan

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

bersama presiden jika masih menghendaki adanya Badan Narkotika Nasional

hendaknya membentuk suatu undang-undang agar memberikan kewenangan

yang sah kepada Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana

narkotika.

2. Untuk mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika jenis

baru disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

bersama Presiden untuk merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika dan membentuk klausula pasal progresif yang menyatakan

penyidikan tindak pidana narkotika yang jenisnya tidak tencantum dalam

ketentuan undang-undang, penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil uji

laboratorium forensik.

Page 161: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku.

Adi, Kusno, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang.

Atmosudirjo, S. Prajudi , 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,

Jakarta

Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi

Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta.

Ali, H.Zainudin 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

cetakan keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen,

Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya

Padjajaran, Bandung.

Arief, Barda Nawawi, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________________ , 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit P.T. Citra

Aditya Bakti Bandung.

__________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Citra

Aditya bakti, Bandung.

Atmadja, I Dewa Gede, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum

(Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit

Bali Aga.

Atmosudirjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia.

Brouwer J.G dan Schilder, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan

Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi

Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama.

Bruggink, J. J. H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Sidhartha, Arief

cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Page 162: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Dimyati, Khudzaifah , 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan

Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University

Press, Surakarta.

Effendy, Marwan, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-

Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta

Selatan.

Fuller, Lon, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press).

Goldstein, Joseph dalam Anwar, Yesmil dan Adang,2009, Sistem Peradilan

Pidana (Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum

di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung.

Logemann dalam Fachrudin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi

Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.

Hadjhon, Philipus M, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum

Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBangPRESSindo, Yogyakarta.

Hadjon, Phillipus M, 1997, Tentang Wewenang,Yuridika, Surabaya.

Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi dalam dalam Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan

Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum

di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung

Harahap, M. Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan

Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum

di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung.

Hart, H.L.A, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford.

H.R, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Cet.ke-4, Rajawali Pers,

Jakarta.

____________, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Ian Mc.Leod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall

University

Page 163: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Iqbal Hasan, M, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya,

Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Ibrahim, Jhony, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya.

Kusumaatmadja, Mochtar dalam Atmasasmita, Romli 2012, Teori Hukum

Integratif : Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan

Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta.

Kelsen, Hans 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Cet. ke-2, terjemahan

Asshiddiqie, Jimly dan Safa'at, M. Ali Konstitusi Press, Jakarta).

M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete

Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya.

Marpaung, Leden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan, &

Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi) Sinar Grafika, Jakarta.

Marpaung, Leden, 2004, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan

Pencegahan, Edisi Revisi, Djambatan.

Mardani, 2008, Penyalah Gunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan

Hukum Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muladi dan Nawawi Arief, Barda 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana,

Penerbit Alumni Bandung

Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan

Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang

Mediatama.

Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citrabaru, Jakarta.

Mulder dalam Hamdan, M 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja

Grafindo, Persada, Jakarta.

Nasution, Bahder Johan, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan

pertama, CV. Mandar Maju, Bandung.

Nicolai, P dalam H.R, Ridwan,2008, Hukum Administrasi Negara, cetakan

keempat, Rajawali Pers, Jakarta.

Packer, Hebert, 1968, The Limits Of Criminal Santion, Stanford University Press,

California.

Page 164: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Pontier, J.A. 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Shidarta, Jendela

Mas Pustaka, Bandung.

Putra Jaya, Nyoman Sarikat, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, Dan

Nepotisme Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Rahardjo, Satjipto 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta

Publishing,Yogyakarta.

Rawls, Jhon, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts.

Rawls, Jhon, dalam Syukri Akub, M dan Baharu, Baharuddin, 2012, Wawasan

Due Proses Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkang

Education, Yogyakarta

Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press.

Roelof H. Heveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern

Indonesia, Tata Nusa, Jakarta.

Robert Bohtlingk, Frederick dalam Fachrudin, Irfan 2004, Pengawasan Peradilan

Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.

Scholten, Paul dalam Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk, 2011, Memahami

Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta.

Seno Adji, Indrianto 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media

Jakarta.

Seno Adji, Indrianto dalam EfFendy, Marwan, 2012, Kapita Selekta Hukum

Pidana : Perkembangan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan

Korupsi, Referensi, Jakarta

Seno Adji, Indrianto dalam Basuki Minarno, Nur, 2009, Penyalahgunaan

Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan

Daerah, Laksbang Mediatama, Palangkaraya.

Sinaga, Patuan dalam S.F Marbun dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum

Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjoeno, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 165: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Stroink, F. A.M. dan J.G. Steenbeek, Dalam Minarno, Nur Basuki (ed),

Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama.

Stout, H.D, 1994, “Betekenissen van de Wet” dalam HR, Ridwan (ed), Hukum

Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada.

Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.

Manan, Bagir 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit

IND-HILL.CO, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum, cetakan keenam, Cahaya Atma

Pustaka, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno dalam Hiariej, Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas Dan

Penemuan Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga,

Jogjakarta

Teeuw, A, 1999, Kamus Indonesia-Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tonnaer, F.P.C.L, 1986, Legaal Besturen: het Legaliteitbeginsel of struikelblok,

Dalam HR, Ridwan (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja

Grafindo Persada.

Utrecht, E, dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi

Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.

Van Wijk, H.D, dalam Irfan Fachrudin, 2004, Pengawasan Peradilan

Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.

Ulfa Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit

Lubuk Agung Bandung.

II. Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Peraturan Hukum Acara Pidana,

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic

Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988)

Page 166: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 367).

Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143).

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60).

Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 12).

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional

Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pelayanan

Laboratorium Pengujian Narkoba Pada Badan Narkotika Nasional

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 670 Tahun 2011).

III. Jurnal /Artikel Ilmiah.

Adisoeryo, Soeparno, Lembaga Pengawas sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan

Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah

disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga

Pengawas Siatem Peradilan Terpadu. Jakarta, 16 Juli 2002.

Ariawan, I Gusti Ketut, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM

Dalam KUHAP, Bahan Pendalaman Materi Perkuliahan Bantuan Hukum

dan Penyantunan Terpidana Program MagisterIlmu Hukum Universitas

Udayana, Denpasar.

Djatmiati, Tatiek Sri, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, (Disertasi),

Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

M. Hadjon, Philipus, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan

Yang Baik (AAUPB), Artikel Ilmiah, disampaikan pada Seminar

Nasional "Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik

Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004.

Mustamu, Julista, 2011, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi

Pemerintahan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni.

Manan, Bagir, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka

Otonomi Daerah, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional

Fakultas Hukum, Univeristas Padjajaran, Bandung 13 Mei.

Page 167: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Manan, Bagir, 2005, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Varia

Peradilan, Tahun ke-XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),

Jakarta.

Syarif Nuh, Muhamad, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1,

Makasar

Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Peran Pegawai

Pemerintah Sebagai Partisipan Membangun Budaya Bangsa, Availaible

at www.kejaksaan.go.id. Diakses 14 Februari 2014.

IV. Tesis.

Muliawan Subawa, I Made, 2013, Fungsi Notaris dalam Menjamin Keabsahan

Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan

CapJempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan, (tesis) Program Pasca

Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Udayana

Johny Krisnan, 2008, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (tesis)Program Studi Magister

(S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang

Wahyu Chandra Satriana, I Made 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif

Dalam Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2)

Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

V. Artikel Dalam Format Elektronik (Internet).

Arman Depari, 2013, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri

memaparkan hasil temuan narkotika jenis baru yang beredar di

Indonesia, Alvalaible at http://sinarharapan.co/index.

php/news/read/27868/empat-narkoba-jenis-baru-beredar-di-

indonesia.html. Diakses 14 Februari 2014.

Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Psychoactive

Substances-NPS), Avalaible at, http://bnnp-diy.com/posting-117-

narkoba-baru-nps.html. Diakses 22 November 2013.

Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Bahan Jenis Narkoba Kasus Raffi Ada di

Puncak, 2013, Avaliable at http://www.tempo.co/read/news/2013/02/03/

064458701/BNN-Bahan-Jenis-Narkoba-Kasus-Raffi-Ada-di-Puncak.

Diakses 11 Februari 2014.

Page 168: kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap

Sumirat Dwiyanto, 2013, Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan

Laboratorium Uji Narkoba Oleh Badan Narkotika Nasional, Avalaible

at http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/30/bnn-temukan

narkotika-jenis-baru. Diakses 11 Februari 2014.