kewenangan pemberian izin penyelenggaraan...
TRANSCRIPT
KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN
ANTARA KOMISI PENYIARAN INDONESIA DENGAN KEMENTRIAN
KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
(Analisis Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Nur Fadhillah Ramadhani Laia
NIM : 1112048000008
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H / 2016 M
iv
ABSTRAK
NUR FADHILLAH RAMADHANI LAIA. NIM 1112048000008.
KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN
ANTARA KOMISI PENYIARAN INDONESIA DENGAN KEMENTRIAN
KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (Analisis Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 Tentang Penyiaran) PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. xi + 66 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka
+ 3 Lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Komisi
Penyiaran Indonesia dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam hal
pemberian izin Penyelenggaraan penyiaran dan juga keselarasan peraturan
perundang-undangan dalam hal pemberian izin penyelenggaraan penyiaran. Skripsi
ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam ranah
kajian ilmu hukum, maupun secara praktis dan akademis.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif,
dan penelitian kepustakaan berdasarkan pada subjek studi dan jenis masalah yang ada
dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan materi penulisan skripsi. Dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD
NRI 1945, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Dan data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal
hukum dan sebagainya. Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa
kewenangan KPI dan Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam hal perizinan
penyelenggaraan penyiaran adalah Memberi masukan dan hasil evaluasi dengar
pendapat antara pemohon (lembaga penyiaran) dan KPI, Dan setelah diperiksa
kelengkapan persyaratan izin maka Menteri akan menerbitkan Izin Penyelenggaraan
v
Penyiaran. Dan Faktor yang menyebabkan lemahnya kewenangan KPI sebagimana
diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, atas
lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah yang dijadikan
Landasan Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Kata Kunci : KPI, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kewenangan Pemberian
Izin Penyelenggaraan Penyiaran, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang
Penyiaran.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam
atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN
ANTARA KOMISI PENYIARAN INDONESIA DENGAN KEMENTRIAN
KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (Analisis Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 Tentang Penyiaran)” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.
Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua
orang tua tercinta ibunda Henni Erawati dan ayahanda Fatiziduhu Laia, S,KM. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil
maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S,Ag., M,Ag., selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan sabar
kepada penulis selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
lancar.
4. Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. Selaku dosen pembimbing skripsi dan juga dosen
pembimbing akademik yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta
masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik dan benar.
5. Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik
dan membimbing penuliis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.
6. Adik-adikku tercinta Putri Sri Hardiyanti laia dan Nurul Annisa wardhani Laia, yang
telah memberikan dukungan dan semangatnya serta yang telah menemani penulis
sejak kecil hingga selesainya penulisan skripsi ini.
7. Kekasih tercinta Rifqi Razaqi Rajab atas dukungan moril, dan bantuannya kepada
penulis selama ini dan tanpa lelah menemani penulis sejak penyusunan skripsi
hingga selesai.
8. Teman-teman dan sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 Qoshy
Soraya S.H., Veny Eka S. H., Putri Amalia, Muhammad Yusuf, Muchtar Ramadhan,
viii
Khairul Atma dan teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaan
kalian selama ini.
9. Sahabat-sahabat tercinta Ifa afifah, Ulfa Sisi, Hilmiana Putri, Rizkika Utami, dan
Karina Maal dan yang lainnya terimakasih atas segala waktu, kebersamaan, dan
pelajaran yang bisa penulis petik dari kalian semoga kita sukses bersama.
10. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari
Allah SWT.
Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 30 September 2016
Penulis,
Nur Fadhillah Ramadhani Laia
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah .......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu .......................................................................... 8
E. Kerangka Konseptual ................................................................................... 9
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 14
BAB II LANDASAN TEORI KEWENANGAN DAN PERIZINAN DALAM
NEGARA
A. Kekuasaan .................................................................................................... 16
x
1. Teori Sumber Kekuasaan ......................................................................... 18
2. Teori Pemisahan Kekuasaan .................................................................... 18
B. Kewenangan ................................................................................................. 22
1. Sumber Kewenangan ............................................................................... 23
C. Komisi Negara ............................................................................................. 24
D. Perizinan....................................................................................................... 26
1. Perizinan Sebagai Wewenang Pemerintah ................................................ 28
BAB III KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN PENYELENGGARAAN
PENYIARAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN
2002
A. Undang-Undang Penyiaran .......................................................................... 31
B. Komisi Penyiaran Indonesia ........................................................................ 35
C. Kementrian Komunikasi dan informatika .................................................... 42
D. Izin Penyelenggaraan Penyiaran ................................................................. 45
E. Mekanisme Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran ...................................... 46
BAB IV KEWENANGAN DAN KESELARASAN PEMBERIAN IZIN
PENYELENGGARAAN PENYIARAN
A. Kewenangan KPI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal
pemberian izin penyelenggaran penyiaran ................................................... 51
xi
B. Keselarasan Peraturan Perundang-undangan dalam hal pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran antara Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian
Komunikasi dan Informatika ....................................................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 63
B. Saran............................................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki
konstitusi yang dikenal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. 1
Salah satu hasil dari perubahan konstitusi yang sangat mendasar tersebut
adalah beralihnya supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Sejak masa
reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi
negara sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam struktur
ketatanegaraan seghingga satu sama lain bisa saling mengawasi (checks and
balances). Perubahan yang terjadi merupakan konsekuensi dari supremasi
konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur
dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara. 2
Penyelenggaraan negara mempunyai peran yang penting dalam
mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 4 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden
Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. Dan
dalam menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Menteri-menteri tersebut membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yang
1 A. Abdullah dan Abdul Rozak, Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani) , (Jakarta: ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 3, h.
68. 2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ,
(Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. v.
2
pembetukannya, pengubahan, dan pembubaran kementriannya diatur dalam
undang-undang sebagaimana dalam pasal 17 UUD Republik Indonesia Tahun
1945.3 Apabila kita lihat penjelasan UUD 1945, ditentukan bahwa Menteri-
menteri negara bukanlah pegawai tinggi biasa meskipun kedudukan Menteri itu
tergantung pada Presiden karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan
kekuasaan pemerintahan (pouvoir execitif) di dalam prakteknya.4 Dan berdasarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dinyatakan bahwa menteri itu adalah pemipimpin
pemerintahan yang sesungguhnya dalam bidangnya masing-masing.5
Dalam negara demokrasi, pengakuan atas hak asasi manusia (HAM)
secara yuridis formal dituangkan dalam konstitusi sebagai landasan hukum
negara. Di Indonesia, melalui UUD 1945 perubahan kedua, hak asasi manusia
telah dijamin penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28
J.
Dalam hal menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab pada
negara demokrasi, informasi dapat digambarkan sebagai oksigen yng dapat
dijadikan sebagai bahan masyarakat untuk dapat ikut berpartisipasi aktif dalam
setiap penyelenggaran negara.6
Sejak disahkannya Undang-Undang Penyiaran pada tahun 2002 telah
membentuk suatu badan khusus dalam sistem pengaturan penyiaran di Indonesia,
yaitu adanya Komisi Penyiaran Indonesia yang selanjutnya disebut KPI.
3 Lampiran II : UURI No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara.
4 Maria Farida,Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta, Kanisius, 2005), h.72.
5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2011), h.325-326 6 Maulana indra , pendekatan pengaturan pada sektor penyiaran menuju era konvergensi
teknologi informasi dan komunikasi,( Jakarta: Badan Pembinaan Hukum nasional, 2012), h.25
3
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama
bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sejatinya penyusunan UU
No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang selanjutnya disebut UU Penyiaran
dijiwai oleh semangat demokratisasi dan desentralisasi. Roh demokratisasi
menghendaki pengelolaan penyiaran dikembalikan sebesar-besarnya bagi
kemanfaatan masyarakat. Dengan itulah, kekuasaan rakyat terhadap dunia
penyiaran dapat ditegakkan.
Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah
publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur
tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda dengan semangat
dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24
Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang
pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan
bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang
digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi
di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah
penyiaran.7
Adanya keterlibatan Pemerintah yaitu Menteri Komunikasi dan
Informatika adalah kewenangan pemerintah dalam hal pemberian perizinan
penyelenggaran penyiaran, yang dimana kewenangan pemerintah dalam perizinan
hanya dua hal yakni terlibat dalam Forum Rapat Bersama (FRB) khusus untuk
perizinan, dan memberi izin alokasi dan penggunaan frekuensi radio atas usul
7 Dikutip dari Website resmi KPI (http://www.kpi.go.id) yang diakses pada tanggal 10
April 2016.
4
KPI. Secara keseluruhan proses transisi demokrasi dalam konteks penyiaran tidak
semudah yang dibayangkan karena paradigma pemerintah sendiri yang tidak
memberikan pengaturan penyiaran seratus persen kepada KPI. Padahal dalam
konteks demokratisasi media, KPI merupakan representasi dari masyarakat.
Karena itu, maka komprominya adalah pemerintah masih dilibatkan dalam
pengambilan keputusan,itulah bagian dari kompromi.
Dengan adanya surat dari Menkominfo yang berisi penyampain pemberian
izin kepada KPI, maka menurut KPI kewenangannya telah diambil alih oleh
Menkominfo, dikarenakan setelah pemberian izin barulah diberitahukan kepada
KPI.
KPI yang merasa kewengannya dilangkahi oleh Menteri Komunikasi dan
Informasi (Menkominfo) dalam pemberian izin penyelenggaraan penyiaran dan
pembuatan aturan dalam hal penyiaran. Untuk itu lalu mengajukan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi, KPI sebagai pemohon, mengajukan permohonan
penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi,
dengan termohonnya Presiden qq. Menkominfo. KPI berpendapat bahwa
berdasarkan pasal 33 Ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun Tentang Penyiaran,
maka izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara
melalui KPI, bukannya oleh pemerintah melalui KPI.
Menurut KPI, di dalam UU Penyiaran telah tergambar wilayah
kewenangan KPI dalam menjalankan perintah konstitusi untuk menjaga hak-hak
warga negara yang terkandung pada Pasal 28F UUD 1945. Dan Menteri Kominfo
juga memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2002
5
tentang Penyiaran, oleh karena Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana
dari undang-undang yang juga merupakan landasan operasional bagi Menteri
Kominfo.
Sebagaimana dipaparkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
030/SKLN-IV/2006 dalam hal pertimbangannya, dapat disimpulkan bahwa KPI
adalah lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-
undang bukan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, karena KPI
bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka
KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana
ditentukan Pasal 61 Ayat (1) UUMK untuk mengajukan permohonan. Dan
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa KPI
sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga
permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard), dan oleh karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan
lebih lanjut.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat
menguji kewenangan yang disengketakan, karena KPI bukanlah lembaga negara
yang kewenangannya diberikan secara konstutisional dalam UUD 1945,
dikarenakan kewenangan tersebut dimuat dalam Undang-undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran. Sehingga dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi
tidak membahas substansi kewenangan penyusunan regulasi di bidang penyiaran
yang disengketakan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan dampak
hilangnya kewenangan KPI dalam hal pemberian izin frekuensi siaran, dan bagi
6
dunia penyiaran putusan tersebut berdampak pada sentralisasi perizinan yang
sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat.
Dan kesimpulan dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan
KPI menjadi suatu lembaga negara yang berdampak terhadap optimalisasi fungsi
pengawasan KPI karena Izin Penyelenggaraan Penyiaran merupakan salah satu
instrumen utama pengawasan penyiaran. Dan dilain pihak Menkominfo
(Pemerintah) memiliki kewenangan mutlak atas dunia penyiaran tanpa adanya
kontrol dari lembaga negara lainnya. Dan dalam hal ini, tidak ada
pengklasifikasian yang mengatur secara tegas mengenai lembaga negara dan tidak
adanya kepastian hukum.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai hal ini dengan
mengangkat judul skripsi tentang “KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN
PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANTARA KOMISI PENYIARAN
INDONESIA DAN KEMENTRIAN KOMUNIKASI dan INFORMATIKA
(Analisis Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran)”
B. Identifikasi Masalah
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merasa kewenangannya dilangkahi
oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) dalam hal pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran. Di dalam
UU Penyiaran telah tergambar wilayah kewenangan KPI, dan Menteri Kominfo
juga memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2002
7
tentang Penyiaran, oleh karena Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana
dari undang-undang yang juga merupakan landasan operasional bagi Menteri
Kominfo.
Dan berdasarkan kesimpulan dari putusan Mahkamah Konstitusi, KPI
menjadi berdampak terhadap optimalisasi fungsi pengawasan KPI karena izin
penyelenggaraan penyiaran merupakan salah satu instrumen utama pengawasan
penyiaran. tanpa kewenangan, dan dilain pihak Menkominfo (Pemerintah)
memiliki kewenangan mutlak atas dunia penyiaran tanpa adanya kontrol dari
lembaga negara lainnya.
Dengan ini penulis ingin melakukan penelitian tentang “Kewengan
Pemberian Izin penyelenggaran Penyiaran Antara Komisi Penyiaran Indonesia
dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Analisis Undang-Undang No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran).”
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga
dapat mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan
masalah yakni, Kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia Dan
Kementrian Komunikasi dan Informatika Dalam Hal izin Penyelenggaraan
Penyiaran”. Pembatasan ini dilakukan agar lebih fokus guna
mempermudah penulis dalam penelitian, dan juga untuk menghindari
8
perluasan pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
yang akan diteliti.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dan pembatasan masalah, dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang selanjutnya dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimana kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia dengan
Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam hal pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran menurut Undang-undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran?
b. Bagaimana keselarasan peraturan perundang-undangan terkait hal
pemberian izin penyelenggaraan penyiaran antara Komisi Penyiaran
Indonesia dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika?
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review kajian terdahulu ini akan memaparkan penelitian yang sudah
dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya yang
pernah membahas seputar sengketa kewenangan lembaga negara, yaitu;
1. “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara Oleh Mahkamah
Konstitusi (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-
IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara KPI
melawan Presiden RI q.q Menteri Komunikasi dan Informatika)”. Skripsi
ditulis oleh Dian Novita Dari Universitas Indonesia Mahasiswi Fakultas
9
Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Hubungan Antara
Negara dan Masyarakat.
Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang sengketa kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa kewenangan konstitusional
lembaga Negara. Dan pembedaan dari skripsi ini, lebih membahas
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa lembaga
negara. Sedangkan Perbedaannya dengan penulis, akan membahas tentang
kewenangan yang disengketakan dan analisis Undang-undang Penyiaran.
2. “ Hukum Penyiaran". Buku ini adalah karya dari Dr. Judhariksawan, S.H.,
M.H. yang membahas tentang Demokratisasi Penyiaran. Dan perbedaan dari
penulis, hanya akan sekilas membahas sejarah demokratisasi Penyiaran
yang melahirkan Komisi Penyiaran Indonesia berlandaskan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
3. „ Hukum Media Massa Nasional ”. Buku ini adalah karya dari Sudirman
Tebba yang membahas tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran dan Aspek
Hukum Program Siaran. Persamaan Penulis dengan buku ini adalah
mengenai Izin Penyelenggaraan Penyiaran, dan perbedaannya penulis tidak
membahas aspek hukum pada program siaran.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:
10
a. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan kedua lembaga antara
Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan
informatika dalam hal pemberian izin penyelenggaraan penyiaran.
b. Untuk mengetahui bagaimana keselarasan peraturan perundang-
undangan terkait hal pemberian izin penyelenggara penyiaran antara
Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan
informatika
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap supaya hasil penelitian ini tidak berhenti sampai disini,
namun penulis menaruh harapan besar agar penelitian ini bermanfaat antara lain:
a. Manfaat teoritis:
1) Untuk lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan baik
dibidang hukum pada umumnya maupun di bidang hukum
Kelembagaan Negara pada khususnya.
2) Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
hukum secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara
mengenai penyelesain sengketa kewenangan antar lembaga
yang dalam hal ini terkait Komisi Penyaiaran Indonesia dan
Kementrian Komunikasi informatika.
3) Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui
dan mendalami tentang sengketa kewenangan lembaga negara.
11
b. Manfaat Praktis
Penulis mengharapkan agar memberikan sumbangan
pemikiran mengenai aspek Hukum Tata Negara, khususnya
mengenai sengketa kewenangan lembaga negara antara Komisi
Penyaiaran Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan Informatika
dalam hal Pemberian izin penyelenggara penyiaran.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan pemechan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang
bersangkutan.8
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalahnya,tipe
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan
dan keputusan pengadilan.9
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2003), h.43. 9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana,2010),h. 142.
12
Spesifikasi Penelitian dengan menggunakan tipe deskriptif
analitis, yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran,
menuliskan dan melaporkan suatu objek atau suatu peristiwa juga
akan mengambil kesimpulan umum dari masalah yang akan dibahas.10
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
kepustakaan. Penulisan skripsi ini pada hakikatnya merupakan suatu
penelitian di bidang hukum. Khusus mengenai penelitian hukum,
Soekanto mengartikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang didasari
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
menganalisa. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka, disebut penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan (disamping adanya
penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data
primer). Berdasarkan pada subjek studi dan jenis masalah yang ada,
maka dalam penelitian ini kepustakaan. Lazimnya disebut juga Legal
Research atau Legal Reseacrh Instruction. Penelitian hukum semacam
ini tidak mengenal penelitian lapangan, karena yang diteliti adalah
bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library
research.11
10
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2006), h. 11. 11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun
Singkat,(Jakarta: Rajawali Pers,2001), h. 23.
13
Kemudian, Penulis mencari dan menelaah peraturan
perundang- undangan yang berhubungan dengan judul skripsi ini dan
sifat dari penelitianini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk
memberikan data yangseteliti mungkin tentang suatu gejala atau
fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang
sudah ada.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari
UUD NRI 1945, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
penyiaran. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yaang digunakan untuk
mendapatkan data primer (data yang diperoleh langsung dari
sumbernya) dan data sekunder (data yang diperoleh tidak langsung
dari sumbernya) adalah Studi Kepustakaan.
4. Tehnik Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode
penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan
adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.
14
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang
diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran tentang isi permasalahan yang akan dibahas,
maka sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I, Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, rumusan masalah dan pembatasan masalah, tinjauan (review)
kajian terdahulu, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II, Bab ini berisikan tentang kekuasaan, teori sumber kekuasaan,
teori pemisahan kekuasaan, pengertian kewenangan, sumber kewenangan,
dan perizinan.
BAB III, Bab ini berisikan tentang Undang-Undang Penyiaran, Komisi
Penyiaran Indonesia, tugas dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia,
Kementrian Komunikasi dan Informatika, izin penyelenggaraan penyiaran,
dan mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran.
BAB IV, Bab ini berisikan tentang kewenangan Komisi Penyiaran
indonesia dengan Kementrian Informasi dan Informatika dalam hal
15
pemberian izin penyelenggaran penyiaran dan keselarasan peraturan
perundang-undangan dalam hal pemberian izin penyelenggaraan penyiaran
antara komisi penyiaran indonesia dan kementrian informasi dan
informatika.
BAB V, Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari penulis.
16
BAB II
LANDASAN TEORI KEWENANGAN DAN PERIZINAN DALAM
NEGARA
A. Kekuasaan
Pembicaraan mengenai kekuasaan merupakan satu hal menarik yang tidak
pernah selesai dibahas. Hal ini telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dan terus
berlangsung sampai zaman ini. Para filsuf klasik pada umumnya mengaitkan
kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan. Para pemikir
religius menghubungkan kekuasan itu dengan Tuhan.1 Di masa modern dan
kontemporer, diskusi tentang kekuasaan tetap saja relevan. Secara internasional,
pengelolaan kekuasaan merupakan isu yang selalu terbaharui. Diskusi tentang
kekuasaan tetap penting terutama ketika umat manusia berkepentingan untuk terus
menemukan cara bagaimana menyeimbangkan kekuasaan.2
Secara umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya
seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.3
Kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah negara. Hal
tersebut tercermin dalam suatu pemerintahan, baik dalam bentuk monarki oleh
1 A. Rahman Zainudin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992),h, 428. 2 Michael Sheehan, The Balance of Power: History & Theory (London: Routledge,
1996),h, 146. 3 Miriam Budiarjo , Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta,
1997), h. 35
17
raja maupun dalam bentuk republik yang dipimpin oleh presiden. Suatu
pemerintahan yang tidak memiliki kekuasaan tentunya tidak memiliki suatu
resistensi terhadap perubahan dalam suatu masyarakat, sehingga akan
mengganggu kestabilan dan keamanan negara.
Kekuasaan sendiri didefinisikan oleh Laswell dan Abraham Kaplan
sebagai suatu hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelempok lain ke arah tujuan dari pihak
pertama.4 Menurut Taclott Parsons seorang sosiolog yang cenderung melihat
kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif
dengan jalan membuat keputusan-keputusan mengikat didukung dengan sanksi,
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-
kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi
kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada
perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar,
terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.5 Jadi, Parsons melihat segi
positif dari kekuasaan jika dihubungkan dengan authority dan kemungkinan-
kemungkinan.
Kekuasaan juga diartikan oleh Max Weber sebagai “ Kesempatan dari
seseorang atau sekelompok orang-orang untuk menyadarkan masyarakat akan
4 Miriam Budiarjo , Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta,
2009), h. 60. 5 Talcott Parsons, “ The Distribution of Power in American Society”, World Politics
(Oktober,1957), h. 139
18
kemauan-kemauan sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-
tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu”.6
1. Teori sumber Kekuasaan
Banyak teori yang menjelaskan dari mana kekuasaan berasal.
Menurut teori teokrasi, yang menyatakan bahwa asal atau sumber daripada
kekuasaan itu adalah dari Tuhan teori ini berkembang pada zaman abad
pertengahan yaitu dari abad ke V sampai abad ke XV. 7 Kemudian oleh
teori hukum alam menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat.
Pendapat demikian dimulai dari aliran monaromen yang dipelopori oleh
Johannes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat
dan asal kekuasan yang ada pad a rakyat ini tidak lagi dianggap dari
Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada
rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja untuk
menyelenggarakan kepentingan masyarakat.8
2. Teori Pemisahan Kekuasaan
Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara
antara lain merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan
didalam suatu negara. Pembagian kekuasaan menurut fungsinya
menujukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias Politika.
Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga
6 Suryono Sukanto, Sosilogi Suatu Pengantar, (Jakarta : UI Press) 1970 h. 163
7 Soehino, Ilmu Negara,( Yogyakarta : Liberty) 1998, h. 149.
8 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD
!945 dengan delapan negara maju, (Jakarta : Kencana ) 2009, h. 9
19
macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making
function) kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan
undang-undang (rule application function); ketiga kekuasaan yudikatif
atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule
adjudication function). Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa
kekuasaankekuasaan (function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak
yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih
terjamin.9
Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami
perkembangan dan mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam satu dengan
yang lain. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga
cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu
sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat
perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya
kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang
mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letaknya
kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan
dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk
9 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama,
(Gramedia, Jakarta, 2008). h. 281-282.
20
membuat undang-undang, Kekuasaan Legislatif dalam teori islam
dipandang sebagai lembaga tertinggi dalam negara. Legislatif juga
menempatkan undang-undang dan ketetapan dilandaskan secara efektif
oleh lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh lembaga yudikatif.
Dalam Al- Qur’an diterangkan bahwa jika Allah dan Rasul-Nya telah
memberi peraturan dalam suatu masalah tidak seorang pun berhak
memutus sesuai pendapat sendiri karena syariat menetapkan wewenang
Allah sebagaimana dalam surat Al- Qhashas ayat 38 :
Artinya: dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku
tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku
dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin
bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".
Dari perintah ayat diataslah timbul prinsip bahwa lembaga
legislatif dalam negara islam sama sekali tidak berhak membuat
perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan.
Kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang
(diutamakan tindakan politik luar negeri), dalam suatu negara islam
lembaga eksekutif memiliki tujuan yaitu menegakkan pedoman Allah
dalam Al-Qu’ran dan As-Sunnah, dalam teori kedaulatan hukum dan
triaspolitika adanya kemiripan dan perbedaan. Masalah kekuasaan
21
eksekutif dalam negara islam adalah istilah khilafah. Di dalam Al-Qur’an
khilafah termuat di dalam surah Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi :
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. “Mereka berkata,
Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan
menyucikan nama-Mu? “Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.
Berdasarkan ayat ini istilah khilafah identik dengan presiden dalam
memimpin sebuah negara yang dimana bertanggung jawab dalam
melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan warganya.
Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang. Dan dalam hukum islam yudikatif bertujuan
untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksannya keadilan serta
tujuan menguatkan negara dan menstabilkan hukum seorang kepala negara.
Menurut Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh
Montesquieu mengakibatkan adanya badan negara yang tidak ditempatkan
dibawah pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan
ini mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan
melampaui batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara
hukum modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat
22
diterima secara mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari
satu fungsi.10
B. Kewenangan
Kewenangan adalah kekuasaan, namun kekuasaan tidaklah selalu berupa
kewenangan. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan
kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan. Dan bahkan
kewenangan pun hampir disamakan dengan wewenang. Terdapat perbedaan
antara pengertian kewenangan dengan (Authority gezag ). Dalam literatur, ilmu
politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan,
kewenangan dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan
kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan,
demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan
wewenang.11
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan
dan wewenang.12
Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup
10
E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan Cet. 4, 1960), h. 17-24. 11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998), h. 35-36 12
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h.
22
23
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi
wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara
yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.13
Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu
bidang pemerintahan.14
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang
ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah.
Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh
sumber kewenangan tersebut.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan
eksekutif administratif artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu
yang tersebut dalam kewenangan itu.
1. Sumber Kewenangan
Teori kewenangan berkaitan dengan sumber kewenangan dari
pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya
dengan hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat,
13
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1994), h. 65
14 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. h. 78.
24
dikemukakan tiga macam kewenangan yang bersumber pada peraturan
perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi: Atribusi, delegasi, dan
mandat.15
a. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undangp-
undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah
ada maupun yang baru sama sekali.
b. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada organ yang lain.
c. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.
Pelimpahari itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan
untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara
yang memberi mandat.
C. Komisi Negara
Pengertian Komisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sekelompok orang yang ditunjuk (diberi wewenang) oleh pemerintah, untuk
menjalankan fungsi ataupun tugas tertentu. Dan pengertian KPI adalah sebuah
lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga
negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di
Indonesia.
Diawali dengan reformasi politik pada tahun 1998 yang kemudian disusul
dengan reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999 sampai dengan 2002,
Indonesia telah melakukan perubahan besar dalam bidang ketatanegaraan.
15
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h.
104.
25
Merupakan fenomena yang mengiringi transisi menuju demokrasi adalah lahirnya
lembaga-lembaga negara independen ataupun komisi-komisi negara dengan dasar
hukum pembentukannya yang sangat beragam.
Ada komisi negara yang kewenangannya berdasarkan perintah UUD,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang (UU), dan bahkan
ada pula lembaga atau komisi yang kewenangannya berasal atau bersumber dari
Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres). Kehadiran
komisi-komisi negara ini pada awalnya dilatarbelakangi oleh krisis kepercayaan
terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Krisis kepercayaan ini bukan saja
dimonopoli oleh publik secara umum, tetapi juga oleh para elit politik. Krisis
kepercayaan ini berawal dari kegagalan lembaga-lembaga negara yang ada dalam
menjalankan fungsi-fungsi utamanya atau sebagai akibat dari meluasnya
penyimpangan fungsi lembaga-lembaga yang ada selama kurun waktu 32 tahun
Orde Baru.
Seperti halnya negara-negara lain, perkembangan-perkembangan baru juga
terjadi di Indonesia seiring dengan keterbukaan yang muncul berrsamaan dengan
gelombang demokratisasi di era reformasi. Pada tingkatan awal, muncul
kesadaran yang makin kuat dari badan-badan negara tertentu yang harus
dikembangkan secara independen. Hal ini diperlukan untuk kepentingan
menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Sebagian
kalangan masyarakat menilai, lahirnya lembaga-lembaga negara independen atau
komisi-komisi negara yang sebagian besar berfungsi sebagai pengawas kinerja
lembaga negara yang ada merupakan bagian dari krisis kepercayaan terhadap
26
lembaga-lembaga pengawas yang sudah ada tersebut. Hal ini merupakan krisis
kepercayaan pula terhadap seluruh institusi penegak hukum, mulai dari Kejaksaan
Agung, Makhamah Agung, hingga kepolisian Negara RI.
D. Perizinan
Dalam pengertian umum berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perizinan diartikan sebagai hal pemberian izin. Sedangkan izin itu sendiri, dalam
kamus tersebut diartikan sebagai pernyataan mengabulkan (tidak melarang)
persetujuan membolehkan. Dengan demikian, secara umum perizinan dapat
diartikan sebagai hal pemberian pernyataan mengabulkan (tidak melarang) atau
persetujuan membolehkan.16
Di dalam Kamus Hukum, izin (verguning) dijelaskan
sebagai, “perkenan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau
peraturaturan pemerintahan yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada
umumnya memerlukan pengawasan khusus tetapi yang pada umumnya tidaklah
sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.”
Izin adalah salah suatu instrumen yang paling banyak digunakan dalam
Hukum Administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
meghemudikan tingkah laku para warga. Izin adalah suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundangan.
Utrecht sebagaimana dikutip oleh Bachsan Mustafa, Bilamana pembuat
peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga
16
Pusat Bahasa Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. (Jakarta
: Balai Pustaka). h. 447
27
mernperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-
masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu izin (verguning)".17
Dengan memberi izin,
penguasa memperkenakan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu
tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasaan khusus
atasnya, ini adalah paparan luas dari pengertian izin.
Perizinan menurut doktrin diantaranya seperti:
a. N.M.Spelt dan J.B.J.M.Ten Berge, menyatakan bahwa secara umum izin
merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang
atau peraturan pemerintah dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan larangan perundang-undangan (izin dalam arti sempit).
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam izin dapat dipahami bahwa suatu
pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan atau diberi izin.
Artinya, kemungkinan seseorang atau suatu pihak tertutup kecuali
diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengikatkan
perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang
bersangkutan.
17
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001), h. 80.
28
b. Van der Pot, menyatakan bahwa izin merupakan keputusan yang
memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak
dilarang oleh pembuat peraturan.18
c. Prajudi Atmosudirjo, menyatakan bahwa izin (vergunning) adalah
penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-
undang. Pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan
berbunyi, “dilarang tanpa izin dan seterusnya.” Selanjutnya larangan
tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya
yang pelu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari
larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan
(juklak) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan.
d. Syahran Basah, menyatakan bahwa izin adalah perbuatan hukum
administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam
hal kongkrit berdasarkan persyaratan prosedur sebagaimana ditetapkan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.19
1. Perizinan Sebagai Kewenangan Pemerintah
Kewenangan pemerintah tidak hanya sekedar menjaga ketertiban
dan keamanan, tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum, dalam
melaksanakan tugas pemerintah diberikan wewenang dalam bidang
pengaturan yang mana dari fungsi pengaturan tersebutlah muncul beberapa
18
Sri Pudyatmoko. Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan. (Jakarta : Grasindo,
2009). h. 7 19
Prayudi Atmosudirjo. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983).
h. 94.
29
instrument yuridis.20
Perizinan merupakan suatu persetujuan dari penguasa
yang berdasarkan Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah,
Sehingga Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengendalikan tingkah laku warga.
Perizinan yang mana adalah sebuah bentuk pelaksanaan fungsi
pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Maksudnya perizinan
dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi sertifikat, penentuan kuota dan
izin untuk melaksanakan suatu kegiatan. Izin kiranya perlu dipahami
bahwa sekalipun dapat dikatakan dalam ranah keputusan pemerintah, yang
dapat mengeluarkan izin ternyata tidak selalu organ pemerintah. Untuk
dapat dikatakan izin harus ada keputusan yang konstitutif dari aparatur
yang berwenang menerbitkan izin.
Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan
izin. Ridwan HR, dengan merangkum serangkaian pendapat para sarjana
menyimpulkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada
peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dengan
mendasarkan pengertian seperti itu, maka unsur dalam perizinan meliputi
instrumen yuridis, peraturan perundang-undangan, organ pemerintah,
peristiwa konkret, prosedur dan persyaratan.
20
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h.
104.
30
Sebagai sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka izin
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu berupa keinginan untuk
mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu, mencegah
bahaya bagi lingkungan, keinginan melindungi obyek-obyek tertentu,
hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan juga dapat ditujukan
untuk pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas
tertentu.21
21
Ateng Syafrudin, Butir-butir Bahan Telaahan Tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Layak Untuk Indonesia, dalam Paulus Efendi Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik. (Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994). h. 64
31
BAB III
KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2002
A. Undang-Undang Penyiaran
Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran selanjutnya disebut UU
Penyiaran merupakan buah karya pertama hasil inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat,
yang telah diperdebatkan sejak tahun 1998 akibat penolakan stakholder terhadap
Undang-undang No. 24 tahun 1997 tentang hal yang dianggap tidak mewakili aspirasi
sebagian kalangan bahkan pemerintah dan dinilai bernuansa represif. Perjalanan
panjang perdebatan Undang-undang penyiaran tidak berhenti dengan diundangkannya
undang-undang tersebut pada Lembaran Negara Republik Indonesia.
Aksi menolak kehadiran UU penyiaran yang baru pun tetap dari kalangan
stakholder, bahkan pemerintah terkesan enggan menerima kehadiran undang-undang
ini, terbukti undang-undang inilah yang disetujui dan ditetapkan DPR, tetapi tidak
memperoleh pengesahan tanda tangan dari Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu.
Secara yuridis pengesehan undang-undang tersebut diperbolehkan karena ada asas
dalam sistem perundang-undangan Indonesia bahwa apabila DPR telah mengesahkan
suatu rancangan undang-undang, namun belum memperoleh pengesahan dari
pemerintah, maka kurun waktu 30 hari undang-undang itu dapat dinyatakan berlaku
32
dan mengikat sebagai hukum positif di Indonesia. Pertentangan yang paling keras
datang dari para praktisi dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi.
Masalah kewenangan KPI yang begitu luas, kesimpangsiuran aturan tentang
Lembaga Penyiaran Publik, serta pengaturan wilayah jangkauan siaran televisi,
adalah isu sentral peninjauan kembali UU penyiaran. Ketika Mahkamah Konstitusi
mengumumkan tentang hasil judicial review, pasal yang diubah adalah Pasal 33 ayat
8 terkait hal pemberian izin penyelenggaraan penyiaran yang dimana justru
menguntungkan pemerintah dimana kapasitas KPI dalam membuat peraturan
pelaksana berkaitan dengan perizinan ditiadakan sehingga sekali lagi pemerintah
berhak melakukan interpretasi tersendiri terhadap pelaksanaan proses perizinan
penyelenggaraan penyiaran, yang justru ingin dipangkas dengan kehadiran lembaga
independen KPI.6
Sistematika Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran terdiri dari
12 Bab, Bab I mengenai ketentuan umum terkait hal-hal yang dimaksud mengenai
penyiara seperti halnya, Siaran, Penyiaran, penyiaran radio, penyiaran televisi, siaran
iklan, lembaga penyiaran, sistem penyiaran, tatanan informasi, izin penyelenggaraan
penyiaran, Pemerintah yang dalam hal dimaksud adalah Menteri, dan juga KPI
sebagai lembaga negara yang bersifat independen.
6 Judhariksawan, Pengantar Hukum telekomunikasi, (Jakarta; PT. Grafindo Persada,2005), h.
192-193.
33
Bab II terkait dalam hal asas, tujuan, fungsi dan arah. Dimana penyiaran
diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia
Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil merata dengan kepastian hukum serta
keberagaman, kebebsan dan tanggung jawab. Dengan tujuan disenlenggarakannya
penyiaran adalah untuk memperkukuh intregitas nasional,kesejahteraan umum, dan
menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Fungsinya adalah sebagai kegiatan
komunikasi massa yang sebagai media pendidikan hiburan dan juga informasi yang
menjadi perekat sosial. Arah penyiaran bermaksud untuk menjunjung tinggi
pelaksanaan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjaga
dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa,
meningkatkan kualitas sumber daya manusia mendorong peningkatan kemampuan
perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa
dalam era globalisasi.
Bab III perihal penyelenggaran penyiaran, yang pada bagian pertama
penjelasan mengenai sistem penyiaran untuk penyelenggaraannya, dan pada bagian
kedua penjelasan KPI sebagai sebuah komisi yang bersifat independen yang mengatur
mengenai penyiaran dan dalam menjalankan tugas serta wewenangnya diawasi oleh
DPR. Dan selanjutnya Pasal-pasal mengenai wewenang, tugas dan kewajiban KPI,
dan pengaturan jumlah anggota KPI serta pendanaannya, serta persyaratan untuk
menjadi anggota KPI. Bagian ketiga hal dalam jasa penyiaran yang mana
disenlenggarakan oleh lembaga penyiaran, kemudian penjelasan mengenai lembaga
34
penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, lenbaga
penyiaran berlangganan, lembaga penyiaran asing, dan juga rencana teknik penyiaran
dan perangkat penyiaran dan terkait hal yang menyangkut Perizinan.
Bab IV mengenai hal pelaksaan penyiaran dari mulai isi siaran, bahasa siaran,
siaran bersama, kegiatan jurnalistik, hak siar, siaran iklan dan juga sensor siaran. Bab
V pembahasan terkait pedoman perilaku penyiaran yang ditetapkan oleh KPI.
Kemudian peran serta masyarakat dalam pemantaun lembaga penyiaran karena
masyarakat berperan dalam mengembangkan penyelenggaraan penyiaraan dalam Bab
VI. Perihal pertanggungjawaban dalam Bab VII dibahas bahwa dalam menjalankan
tugas, fungsi, dan kewajibannya KPI bertanggung jawab kepada Presiden dan
menyampaikan laporannya kepada DPR.
Bab VIII ketentuan tentang sanksi administratif setiap pelanggaran terkait
acara yang bermasalah, teguran, pembatasan durasi waktu siaran serta pembekuan
kegiatan siaran untuk waktu yang tertentu. Bab IX hal mengenai penyidikan terhadap
tindak pidana sesuai dengan kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagaimana
ketentuan khusus tindak pidana dengan pelanggaran yang terkait. Bab X adalah
berupa ketentuan pidana bilamana terjadi pelanggaran seperti waktu siaran lembaga
penyiaran yang dibeli oleh pihak lain maka akan dikenakan ketentuan pidana dan
denda yang sudah diatur. Bab XI adalah tentang ketentuan peralihan berlakunya
undang-undang ini. Dan Bab XII adalah ketentuan penutup perihal mulai berlakunya
undang-undang ini .
35
B. Komisi Penyiaran Indonesia
Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi
pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan
sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan
independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu
Undang-undang No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi “ Penyiaran dikuasai oleh negara
yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”, menunjukan
bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang
digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah.
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan
pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekeunsi adalah milik publik dan sifatnya
terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.
Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus
menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari
bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
KPI yang merupakan buah dari desakan demokratisasi penyiaran yang meniscayakan
kepentingan publik sebagai panglima pengelolaan dunia penyiaran.2
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang
dalam Undang-undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content
(Prinsip keberagamaan isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagamaan
2 Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, (Jakarta ; Kencana), 2010, h. 164
36
kepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap yang dirumuskan
KPI. Pelayanan yang sehat berdasarkan Diversity of Content adalah jaminan bahwa
kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak berpusat dan dimonopoli oleh
segelintir orang atau lembaga saja, dan menjamin iklim persangain yang sehat antara
pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam, UU Penyiaran lahir dengan dua semangat
utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan
karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam
semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya UU Penyiaran terjadi perubahan fundamental dalam
pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam
semangat UU Penyiaran tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari
pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada
sebuah badan pengatur independen (Independent regulatory body) bernama KPI.
Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran
yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari
intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana
pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada waktu itu
rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi
negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan.
37
Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni
rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk
mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan
pengusaha.3
KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di
daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud
peran serta masyarakat di bidang penyiaran.4
KPI yang lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri
atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang)
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai
oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh
APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II
yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI
merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili
kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program
kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3:
3 Website Resmi KPI , http://www.kpi.go.id
4 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), UU Tentang Penyiaran No. 32 Tahun 2002,( Jakarta :
2010), h-7.
38
"Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka
membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta
menumbuhkan industri penyiaran Indonesia."
KPI yang sebagai lembaga negara yang bersifat independen memiliki Visi
dan Misi, yang mana :
“Visinya adalah Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan
bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.”
Dan Misinya adalah :
1. Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang adil,
merata, dan seimbang;
2. Membantu mewujudkan infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan
teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah,
antarwilayah Indonesia, juga antara Indonesia dan dunia internasional;
3. Membangun iklim persaingan usaha di bidang penyiaran yang sehat dan
bermartabat;
4. Mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk
pembentukan intelektualitas, watak, mora, kemajuan bangsa, persatuan
dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan budaya Indonesia;
39
5. Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM yang
menjamin profesionalitas penyiaran.
KPI memiliki tugas dan wewenang sebagai wujud peran serta atas masyarakat
yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan
penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI mempunyai wewenang sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 pada pasal 8 ayat (2):
a. Menetapkan standar program siaran
b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran
d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran
e. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga
penyiaran, dan masyarakat.
KPI juga mempunyai tugas dan kewajiban yang disebutkan dalam
Undang-undang No. 32 Tahun 2002 pada pasal 8 ayat (3):
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar
sesuai dengan hak asasi manusia
b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran.
40
c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran
dan industri terkait.
d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang.
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik
dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran, dan
f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang
menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
KPI juga memiliki kewenangan dalam hal perizinan Penyiaran. Dan sebelum
menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran. Lembaga penyiaran juga harus melalui tahapan proses
sebelum mendapatkan izin penyelenggaraan penyiaran serta perpanjangan izin. Izin
dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 Pasal 33 ayat (4) setelah
memperoleh:
a. Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
b. Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
c. Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus
untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
d. Izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah
atas usul KPI.
41
Dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 28 Tahun 2008
Tentang tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran pada Pasal 17
ayat (1-2), KPI melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan
Menteri melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi dan data
teknik penyiaran. KPI dalam melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan
program siaran, berdasarkan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran yang ditetapkan oleh KPI dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
KPI melaksanakan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) setelah Pemohon melengkapi
persyaratan administrasi, program siaran, dan data teknik penyiaran dalam jangka
waktu sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh KPI dengan memperhatikan ketentuan
yang berlaku.
Kemudian KPI memberitahukan secara tertulis kepada Menteri tentang
Pemohon yang dinyatakan tidak layak menyelenggarakan penyiaran dengan
melampirkan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh KPI. Dan KPI menerbitkan
Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan Penyiaran terhadap pemohon yang
memenuhi persyaratan dan dinyatakan layak. Sebelum KPI menyampaikan
Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan Penyiaran kepada Menteri, terlebih dahulu
KPI melaksanakan koordinasi dengan Menteri dalam rangka evaluasi persyaratan
administrasi dan data teknik penyiaran serta penentuan jadwal Forum Rapat Bersama.
Dan berdasarkan hasil kesepakatan secara administratif izin penyelenggaraan
penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI. Dan mengenai ketentuan lebih lanjut
42
mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaran penyiaran disusun oleh
KPI bersama Pemerintah (Menteri komunikasi dan Informatika).
C. Kementrian Informasi dan informatika
Kementerian adalah lembaga Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan. Kementerian berkedudukan di ibukota negara
yaitu Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang disingkat
(Kemkominfo RI) adalah kementrian dalam Pemerintahan Indonesia yang
membidangi urusan komunikasi dan informatika. Kemkominfo RI sebelumnya
bernama, Departemen Penerangan (1945-1999), Kementrian Negara Komunikasi dan
Informasi (2001-2005), dan Departemen Komunikasi dan Informatika(2005-2009).
Kementerian Komunikasi dan Informatika dipimpin oleh seorang Menteri
Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Kemkominfo RI mempunyai tugas dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang komunikasi dan informatika untuk membantu Presien dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, dan oleh sebab itu berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kemkominfo RI sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2015 menyelenggarakan
fungsi:
43
a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya
dan perangkat pos dan informatika, penyelenggaraan pos dan informatika,
penata kelolaan aplikasi informatika, pengelolaan informasi dan
komunikasi publik
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya dan perangkat
pos dan informatika, penyelenggaraan pos dan informatika,
penatakelolaan aplikasi informatika, pengelolaan informasi dan
komunikasi publik
c. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan pengelolaan
sumber daya dan perangkat pos dan informatika, penyelenggaraan pos
dan informatika, penata kelolaan aplikasi informatika, pengelolaan
informasi dan komunikasi publik
d. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumber daya manusia di
bidang komunikasi dan informatika
e. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika
f. Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan
Kementerian Komunikasi dan Informatika
g. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan
44
h. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Komunikasi dan Informatika.
Dan dalam hal Pemberian Izin Penyelenggaran Penyiaran Menteri Kominfo
memiliki tugas dan wewenang bekerjasama dengan KPI. Sebelum Lembaga
Penyiaran menyelenggarakan penyiaran maka wajib memperoleh Izin
Penyelenggaraan Penyiaran dari Menteri. Sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Kominfo No. 28 Tahun 2008 Tentang tata cara dan persyaratan perizinan
penyelenggaraan penyiaran. Menteri dalam hal ini bertugas mengumumkan terbuka
melalui media cetak dan/atau elektronik peluang penyelenggaraan penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Berbayar melalui terestrial
secara periodik setiap 5 (lima) tahun sekali untuk jasa penyiaran radio dan 10
(sepuluh) tahun sekali untuk jasa penyiaran televisi.5
Kemudian Menteri dalam rangka pelaksanaan Forum Rapat Bersama (FRB)
dapat membentuk tim seleksi apabila pada satu wilayah layanan siaran jumlah
rekomendasi kelayakan melebihi jumlah frekuensi yang ditetapkan dalam peluang
penyelenggaraan penyiaran. Dan setelah diperiksa kelengkapan persyaratan Izin
Penyiaran oleh Lembaga Penyiaran, maka Menteri akan menerbitkan Izin Prinsip
Penyelenggaraan Penyiaran bagi Pemohon yang permohonan izinnya disetujui dalam
Forum Rapat Bersama, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah keputusan FRB.
5 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 28 Tahun 2008, pasal 15 ayat (1).
45
D. Izin Penyelenggaraan Penyiaran
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2002 pada pasal 1 ayat (14), Izin
Penyelenggaraan Penyiaran atau IPP adalah hak yang diberikan oleh negara kepada
lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran. Dan menurut Peraturan
Menteri Kominfo No. 28 Tahun 2008, Izin Penyelenggaraan Penyiaran yang
selanjutnya disebut IPP adalah hak yang diberikan oleh negara kepada Lembaga
Penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran, yang dalam Peraturan Pemerintah
disebut juga dengan istilah Izin Tetap Penyelenggaraan Penyiaran. Pengertian yang
lain juga dijelaskan juga bahwa IPP adalah izin yang dikeluarkan oleh Kemkominfo
Republik Indonesia dan KPI untuk mendapatkan lisensi mengadakan kegiatan
penyiaran. IPP terdiri dari izin prinsip jaringan telekomunikasi, izin prinsip
penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan izin prinsip jasa penyediaan konten pada
jaringan bergerak seluler dan jaringan tetap lokal dengan mobilitas terbatas.
IPP merupakan bagian dari perilaku Penyiaran yang berlaku bagi Jasa
peyiaran radio atau jasa penyiaran televisi, yang dimana menurut UU Penyiaran pada
Pasal 13 ayat (2) yang diselenggarakan oleh:
1. Lembaga penyiaran publik
2. Lembaga penyiaran swasta
3. Lembaga penyiaran berlangganan, dan
46
4. Lembaga penyiaran komunitas.
Menurut UU Penyiaran pada Pasal 33 ayat (4) disebutkan bahwa izin
penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:
a. Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI
b. Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI
c. Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus
untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah, dan
d. Izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah
atas usul KPI.
Setelah memenuhi persyaratan dan mendapatkan Izin Penyelenggaraan
Penyiaran maka KPI Pusat akan menerbitkan Izin Penyelenggaran Penyiaran atau
perpanjangan izin dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak kesepakatan dalam Forum Rapat Bersama. Dan Izin penyelenggaraan penyiaran
dilarang dipindah tangankan kepada pihak lain. Pemohon wajib membayar biaya Izin
Penyelenggaraan Penyiaran melalui kas negara yang akan diatur kemudian dalam
Peraturan KPI sesuai dengan peraturan yang berlaku.
F. Mekanisme Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran yang akan menyelenggarakan penyiaran wajib
memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran dari Menteri. Menteri akan
47
mengumumkan secara terbuka melalui media cetak dan/atau elektronik peluang
penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran
Berlangganan melalui terestrial secara periodik setiap 5 (lima) tahun sekali untuk jasa
penyiaran radio dan 10 (sepuluh) tahun sekali untuk jasa penyiaran televisi. Peluang
penyelenggaraan penyiaran dapat dibuka di luar periode, berdasarkan pertimbangan
aspek ekonomi atau perkembangan teknologi.6
Disebutkan dalam pasal 15 ayat (3) Peraturan Menteri Kominfo No. 28 Tahun
2008, Pengumuman yang diumumkan oleh Menteri sebagaimana dimaksudkan
meliputi:
a) wilayah layanan siaran
b) jangka waktu pengajuan permohonan; dan
c) jumlah kanal frekuensi.
Setelah adanya pengumuman peluang penyelenggaraan penyiaran dari
Menteri, maka Permohonan IPP untuk LPS dan LPB melalui terestrial boleh
diajukan. Permohonan IPP selanjutnya diajukan secara tertulis kepada Menteri
melalui KPI dalam jangka waktu yang ditentukan dalam pengumuman. Jangka waktu
pengajuan permohonan IPP sebagaimana dimaksud dapat diperpanjang dengan
memperhatikan masukan dari KPI.
6 Judhariksawan, Hukum Penyiaran, (Jakarta; Rajawali Press,2010), h.69.
48
Selanjutnya, KPI melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan program
siaran dan Menteri melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi dan
data teknik penyiaran. Dan KPI dalam melakukan pemeriksaan kelengkapan
persyaratan program siaran, berdasarkan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran yang ditetapkan oleh KPI dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan. Menteri dalam melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan
administrasi dan data teknik penyiaran dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah yang
ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang komunikasi dan informatika
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Adapun Jangka waktu pemeriksaan
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dapat diperpanjang.
Kemudian, KPI melaksanakan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) setelah
Pemohon melengkapi persyaratan administrasi, program siaran, dan data teknik
penyiaran dalam jangka waktu sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh KPI dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku. Tata cara pelaksanaan EDP sesuai dengan
ketentuan yang disusun oleh KPI.
KPI memberitahukan secara tertulis kepada Menteri tentang Pemohon yang
dinyatakan tidak layak menyelenggarakan penyiaran dengan melampirkan hasil
evaluasi yang telah dilakukan oleh KPI. Dan KPI menerbitkan Rekomendasi
Kelayakan Penyelenggaraan Penyiaran terhadap pemohon yang memenuhi
persyaratan dan dinyatakan layak.
49
Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan Penyiaran yang disebutkan dalam
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 28 Tahun 2008 pasal 17 ayat (9),
memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama lembaga penyiaran, alamat kantor dan stasiun pemancar, serta
nama sebutan di udara.
b. Usulan dan penggunaan spektrum frekuensi.
c. Wilayah layanan siaran sesuai dengan Rencana Induk Frekuensi.
d. Jasa penyelenggaraan penyiaran.
Sebelum KPI menyampaikan Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan
Penyiaran kepada Menteri, terlebih dahulu KPI melaksanakan koordinasi dengan
Menteri dalam rangka evaluasi persyaratan administrasi dan data teknik penyiaran
serta penentuan jadwal Forum Rapat Bersama (FRB).
Dalam proses perizinan penyelenggaraan penyiaran , Menteri dalam jangka
waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan Penyiaran dari KPI dengan persyaratan
yang sudah lengkap kemudian mengundang KPI dan instansi terkait untuk
mengadakan FRB.
Sebagaimana pendapat Prof. Andi Subakti terkait hal dalam Mekanisme
Perizinan Penyelenggaran penyiaran ini, yang pada dasarnya transisi demokrasinya
50
dunia penyiaran ini tidak mudah, karena pemerintah sendiri tidak ingin memberikan
kewenangan dalam pengaturan penyiaran itu seratus persen kepada KPI. Sehingga
kalo bisa dibilang bahasa halusnya itu sebuah Kompromi. Nah, kompromi ini yang
dimaksud disini adalah masih adanya keterlibatan pemerintah dalam hal pengambilan
keputusan.tapi pada sisi yang lain juga bagi pemerintah kompromi ini bukanlah hal
yang menguntungkan akan tetapi kondisi tersebut tetaplah harus diterima.7
7Wawancara dengan Prof. Andi Faisal Bakti, MA, PhD, Guru besar Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Pada hari Jum’at tanggal 16
September 2016.
51
BAB IV
KEWENANGAN DAN KESELARASAN PEMBERIAN IZIN
PENYELENGGARAAN PENYIARAN
A. Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dengan Kementrian Informasi
dan Informatika dalam hal pemberian izin penyelenggaran penyiaran
Gelombang reformasi memunculkan desakan untuk mengamandemen UU
No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran, dilatarbelakangi warisan orde Baru dalam
menumbangkan rezim Soeharto. Seputar Penyusunan UU No.32 Tahun 2002
tentang penyiaran banyak terjadi interaksi kekuasaan, seperti negara yang
termasuk di dalamnya eksekutif dan legislatif , pasar dan publik yang merupakan
repesentasi unsur-unsur civil society, yang dimana masing-masing memiliki
kepentingan pada banyak titik saling meniadakan.
Berbagai kepentingan tersebut ada yang bertabrakan, ada yang mendukung
UU Penyiaran dan ada juga yang menolaknya. Titik pemerintahan menginginkan
UU penyiaran memandatkan kepada pemerintah sebagai eksekutor bukan KPI. Di
sisi lainnya publik memandang bahwa negara yang selama ini otoriter terhadap
dunia penyiaran yang karena kewenangannya harus dipereteli sehingga publiklah
yang menjadi panglima penyiaran. Dan bukan hanya negara saja, industri
penyiaran juga membahayakan pada regulasi penyiaran sehingga nilai-nilai publik
dalam dunia penyiaran tetap terjaga.
Tentang interaksi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam dunia
penyiaran adalah karena ketidaksiapan pemerintah untuk melepaskan kewenangan
yang selama ini dimiliki dalam dunia penyiaran.
52
Secara keseluruhannya proses demokrasi penyiaran tidaklah semudah yang
dibayangkan, karena paradigma pemerintah masih seperti yang lama, seperti
halnya pemerintah ngotot untuk tidak memberikan kewenangan pengaturan
penyiaran seratus persen kepada KPI.Sebagaimana yang penulis kutip dari
pendapat narasumber bahwasanya dalam konteks demokratisasi KPI merupakan
representasi dari masyarakat. Karena itu komprominya adalah masih terlibatnya
pemerintah dalam pengambilan keputusan. Kompromi ini juga diperlukan agar
keputusan KPI memiliki kekuatan hukum, yang mana nantinya keputusan KPI
diterjemahkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).1
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya oleh penulis pada bab-bab
sebelumnya bahwa, Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan
oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran. Yang
sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran dalam Pasal 33 perihal perizinan, dan
Peraturan Menteri Kominfo No. 28 Tahun 2008 yang mengatur tentang tata cara
dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.
KPI pada tahun 2006 mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah
Konstitusi dengan termohon Presiden RI cq Menteri Kominfo yang diwakili oleh
Dr. S. Sinansari Ecip, Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D, Dr. H. Andrik Purwasito,
D.E.A., dan yang lainnya. atas pokok sengketa adanya surat dari Departemen
Kominfo tanggal 17 Oktober 2006 perihal penyesuaian izin penyelenggaraan
penyiaran bagi lembaga penyiaran swasta yang telah memiliki Izin Stasiun Radio
1 Wawancara dengan Prof. Andi Faisal Bakti, MA, PhD, Guru besar Ilmu Komunkasi
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Pada hari Jum’at
tanggal 16 September 2016.
53
dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dan/atau Izin Siaran Nasional
untuk Televisi dari Departemen Penerangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dalam hal ini KPI berpendapat bahwa
Menkominfo telah melangkahi wewenangnya yaitu dalam pemberian dan
perpanjangan izin penyiaran.2
Setelah Menkominfo memberikan izin, barulah ia memberitahukannya
kepada KPI. Dasar hukum surat dari Menkominfo tersebut adalah Peraturan
Pemerintah, sedangkan pernyataan KPI berlandaskan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Sengketa antara KPI dan Presiden cq. Kominfo
ini telah sempat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima.
Hal tersebut dikarenakan tidak dipenuhinya syarat-syarat formalitas dalam
beracara di pengadilan, yaitu bahwa KPI bukan merupakan lembaga yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 melainkan oleh Undang-Undang,
sehingga KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana ditentukan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan.
Berdasarkan hasil pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang tidak
memberikan keputusan dari perkara tersebut KPI memiliki kewenangan yang
ambigu. Dan sekarang jalan dalam penyelesaian sengketa perebutan kewenangan
tersebut KPI bersama Kemkominfo melaksanakan Forum Rapat Bersama dalam
2
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16077/kpi-ajukan-sengketa-kewenangan-
melawan-depkominfo
54
menentukan kesepakatan dalam hal Pemberian Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
Izin Penyelenggaraan Penyiaran merupakan salah satu instrumen utama
pengawasan penyiaran, UU Penyiaran menggantikan UU No. 24 Tahun 1997
tentang Penyiaran adalah memastikan perubahan mendasar dari model sentralisasi
ke model desentralisasi. Wujud nyata implementasi prinsip desentralisasi ini, UU
Penyiaran memperkenalkan KPI sebagai regulator yang terdiri dari KPI pusat dan
KPI daerah.
KPI memiliki kewenangan dalam hal perizinan Penyiaran yang mana, KPI
melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan Menteri
melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi dan data teknik
penyiaran. KPI dalam melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan program
siaran, berdasarkan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran yang ditetapkan oleh KPI dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
Dan Menteri dalam melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administrasi
dan data teknik penyiaran dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah yang ruang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang komunikasi dan informatika
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
Lalu KPI melaksanakan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) setelah
Pemohon melengkapi persyaratan administrasi, program siaran, dan data teknik
penyiaran dalam jangka waktu sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh KPI
dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Kemudian, KPI memberitahukan
secara tertulis kepada Menteri tentang Pemohon yang dinyatakan tidak layak
55
menyelenggarakan penyiaran dengan melampirkan hasil evaluasi yang telah
dilakukan oleh KPI.
Dan KPI menerbitkan Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan
Penyiaran terhadap pemohon yang memenuhi persyaratan dan dinyatakan layak.
Sebelum KPI menyampaikan Rekomendasi Kelayakan Penyelenggaraan
Penyiaran kepada Menteri, terlebih dahulu KPI melaksanakan koordinasi dengan
Menteri dalam rangka evaluasi persyaratan administrasi dan data teknik penyiaran
serta penentuan jadwal Forum Rapat Bersama.
UU Penyiaran belum sepenuhnyanya mengakomodasi (menguntungkan
kepentingan publik, hal ini ditandai dengan, KPI tidak dijadikan Independence
regulatory body dengan kewenangan penuh untuk mengatur dunia penyiaran,
melainkan berbagi kewenangan dengan pemerintah. Kemudian adanya pergulatan
kepentingan yang ketat antar negara, pasar, dan publik, lalu yang terjadi adalah
kompromi kepentingan.3 Padahal dalam konteks demokratisasi media KPI
merupakan representasi dari masyarakat. Karena itu, maka komprominya adalah
pemerintah masih dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Manusia yang sebagai Makhluk sosial sekaligus sebagai khalifah di Bumi
ini yang mengemban amanah, dan manusia berkuasa di muka bumi ini, maka
kekuasaan itu diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah SWT.
Dan karena Allah SWT. adalah sumber dari segala kekuasaan serta sebagai
3 Muh. Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, (Jakarta ; Kencana, 2010), h. 163
56
pemilik kekuasaan yang dilimpahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.4
Dengan demikian kewenangan serta kekuasaan yang dimiliki manusia hanyalah
sekedar amanah dan hendaklah manusia menunaikan amanahnya berpegang pada
prinsip umum hukum Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surah An-
Nisa’ ayat 58 :
“Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.“
Dari ayat diatas dipahami bahwa manusia diwajibkan menyampaikan
amanah kepada yang berhak menerimanya dan wajib menetapkan hukum yang
adil , dan manusia yang dilimpahkan kewenangan haruslah berlaku adil jangan
semena-mena.
Penulis menilai mestinya suatu Undang- Undang disamping memerhatikan
aspek politis juga aspek hukum, yang dimana akan berujung terjadinya sebuah
kompromi. Sejatinya akumulasi kompromi belum tentu ideal secara hukum,
karena setiap kompromi cenderung tidak melihat keterkaitannya dengan hukum
lain.
4 A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama)
1999, h. 3.
57
B. Keselarasan Peraturan Perundang-undangan dalam hal pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran antara Komisi Penyiaran Indonesia dan
Kementrian Informasi dan Informatika
Kenyataannya bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan oleh
sebagian orang dianggap tidak mempunyai implikasi yang signifikan terhadap
pelaksanaan peraturan perundang-undangan secara umum. Dengan demikian
selama tidak terjadi masalah dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan
tersebut, maka penyelenggara negara tidak merasa memerlukan adanya suatu
harmonisasi hukum. Masalah baru dirasakan oleh penyelenggara negara apabila
dalam pelaksanaan perundang-undangan yang menemui kesulitan. Misalnya telah
terjadi duplikasi antara peraturan perundang-undangan yang sederajat satu sama
lain atau pertentangan dari sisi hierarki peraturan perundang-undangan.5
Harmonisasi hukum ditegaskan dalam Undang-undang No. 25 Tahun
2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS),sub-program
pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah
terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan
aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan
penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang
mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar
5 Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Mendukung Pembangunan
Nasional, Direktorat Hukum dan HAM, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, Jakarta, 2005, h. 4-5.
58
substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih,
saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis
pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun
tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan
suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai
bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi
peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu6:
a. Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan melihat apakah suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang
tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
b. Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai
peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang
yang sama atau terkait.
Hierarki atau tata urutan perundang-undangan merupakan pedoman dalam
pembuatan aturan hukum di bawahnya. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
6 http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf
59
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.7
Berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum, maka ukuran tersebut
diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan principles of legality, yaitu :
a. Suatu sitem hukum harus mengandung peraturan-peraturan,Peraturan-
peraturan yang telah dibuat itu harus diumumukan
b. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila
yang demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk
menjadi pedoman
c. Peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti,
d. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan
satu sama lainnya.
e. Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang
dapat dilakukan
f. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan akan kehilangan orientasi
g. Harus ada kecocokan, antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari.8
7 Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
8 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum ( Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2000) h. 51-52
60
Prinsip legalitas yang kelima, yaitu sistem tidak boleh mengandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain, menjadi isu yang sangat
penting dalam penelitian berkaitan dengan hierarki dalam peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan dalam suatu negara tidak menghendaki
atau membenarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya.9
Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi dalam
kedudukannya, Undang- undang yang khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum, undang-undang yang baru mengalahkan yang lama, dan
undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan bagi
masyarakat.10
Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat
independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur
dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang
penyiaran. Dan Kementerian adalah lembaga Pemerintah Indonesia yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Kementrian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia yang disingkat (Kemkominfo RI) adalah
kementrian yang dalam Pemerintahan Indonesia yang membidangi urusan
komunikasi dan informatika. Dua lembaga Negara inilah yang membidangi dan
mengurus perihal penyiaran dalam hal pemberian izin penyelenggaraan penyiaran.
9 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( Yogyakarta : Liberty. 2003) h. 92.
10 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 117
61
Izin Penyelenggaraan Penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara
kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
Pasal 33 ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur:
Ayat (4): Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh
negara setelah memperoleh:
a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI
b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI
c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus
untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah
d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh
Pemerintah atas usul KPI.
Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh
Negara melalui KPI.
Prosedur pengaturan struktur sistem penyiaran yang menurut UU No.32
Tahun 2002 tentang Penyiaran seharusnya dikelola masyarakat melalui KPI
ternyata dipotong oleh PP No. 49, 50, 51, dan 52 paket Peraturan Pemerintah (PP)
tentang penyiaran yang terbit tahun 2005, sehingga terjadilah konflik antar
lembaga ini dalam hal perebutan kewenangan siapa yang memberikan izin
penyelenggaran penyiaran.
62
Dan dengan hasil pertimbangan Mahkamah Konsitutusi, maka Mahkamah
tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus.
Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD
1945. Sengketa kewenangan, yang kewenangannya tersebut diberikan oleh
undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, permohonan pemeriksaan perkara yang diajukan KPI tidak
dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak kewenangan Mahkamah
memeriksanya serta memutusnya. Dan pada saat ini prosedur perizinan
menggunakan Peraturan Menteri Kominfo No.28 Tahun 2008.
Dan dari perihal diatas diatas mengenai perebutan kewenangan antar
lembaga tersebut, penulis menganalisis bahwa lemahnya wewenang KPI atas
lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah yang
dijadikan Landasan Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Dan juga tidak adanya kepastian mengenai siapakah yang berhak
memutuskan perkara sengketa antar lembaga Negara, baik yang sama-sama
dibentuk oleh Undang-Undang Dasar, atau Undang-Undang dengan Undang-
Undang Dasar, atau Undang-Undang Dasar dengan Peraturan lain yang lebih
rendah dari Undang-Undang.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya maka penulis
menyimpulkan bahwa :
Kewenangan KPI dalam hal perizinan Penyiaran adalah Memberi masukan
dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon (lembaga penyiaran) dan KPI,
Merekomendasikan kelayakan penyelenggaraan penyiaran, menyepakati hasil
dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan
Pemerintah; dan, izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh
Pemerintah atas usul KPI. Sedangkan dalam hal Pemberian Izin Penyelenggaran
Penyiaran Menteri Komunikasi dan Informatika memiliki tugas dan wewenang
bekerjasama dengan KPI. Menteri mengumumkan secara terbuka melalui media
cetak dan/atau elektronik peluang penyelenggaraan penyiaran Kemudian Menteri
mengadakan pelaksanaan Forum Rapat Bersama (FRB) dengan KPI untuk
menentukan hasil kesepakatan. Dan setelah diperiksa kelengkapan persyaratan
Izin Penyiaran oleh Lembaga Penyiaran, maka Menteri akan menerbitkan Izin
Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran bagi Pemohon yang permohonan izinnya
disetujui dalam Forum Rapat Bersama.
Isi dari beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Penyiaran, dimana dalam Undang-Undang Penyiaran,
KPI berwenang secara dalam pemberian izin dan perpanjangan izin
64
penyelenggaraan penyiaran, berbeda dengan apa yang disebutkan dalam PP yaitu
bahwa KPI harus bermusyawarah bersama Menteri dalam pemberian persetujuan
atau penolakan izin penyelenggaraan penyiaran, dan menteri yang berwenang
menerbitkan keputusan persetujuan. Bahwa seharusnya suatu Peraturan
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, hal ini
sebagaimana dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu bahwa peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Sedangkan posisi KPI yang lahir berdasarkan UU Penyiaran dan bukan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD sehingga sedianya bukan
sebagai regulator sesuai UU Penyiaran. Selama ini terjadi tarik-menarik
wewenang antara Kemenkominfo dengan KPI terlebih pada hal pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran.
Menkominfo yang dalam hal ini lembaga yang kewenangannya diatur
dalam UUD 1945, merasa bahwa sangat berwenang sebagai pemberi izin
penyelenggaraan penyiaran. Yang menjadi Faktor lemahnya wewenang KPI atas
lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah yang
dijadikan Landasan Kementrian Komunikasi dan Informatika, akan tetapi KPI dan
Kominfo melakukan kesepakatan-kesepakatan antara keduanya, dan menetapkan
pada saat ini prosedur perizinan menggunakan Peraturan Menteri Kominfo No.28
Tahun 2008.
B. Saran
Dari Kesimpulan yang telah penulis jabarkan maka, ada beberapa saran
yang bisa menjadi masukan :
65
1. Revisi UU Penyiaran nantinya dapat menegaskan posisi dan wewenang
KPI sebagai lembaga negara yang bertugas dalam pengawasan Penyiaran
agar tidak terjadi lagi tarik menariknya kewenangan antar lembaga negara
yang dapat memicu terjadi konflik lagi.
2. Seharusnya Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan kewenangan
tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran.
Seharusnya suatu Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang, hal ini sebagaimana dalam hierarki peraturan perundang-
undangan yaitu bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hierarki Peraturan
Perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, bahwa Peraturan Pemerintahan berada diurutan bawah setelah
Undang-undang.
3. Diperlukan juga adanya kepastian mengenai siapakah yang berhak
memutuskan perkara sengketa antar lembaga Negara, baik yang sama-
sama dibentuk oleh Undang-Undang Dasar, atau Undang-Undang dengan
66
Undang-Undang Dasar, atau Undang-Undang Dasar dengan Peraturan lain
yang lebih rendah dari Undang-Undang. Sehingga ketika jika ada terjadi
sengketa antar lembaga yang yang bukan terbentuk oleh Undang-undang
Dasar, akan mendapat mendapat hasil putusan yang jelas dari sengketanya.
Sehingga terhindar dari konflik perebutan sebuah kewenangan lembaga
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, A. dan Abdul Rozak. Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Jakarta, ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group,
2008.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2011.
________________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi , Jakarta, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI, 2006.
Atmosudirdjo, Prayudi. Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia,
1983.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama 1997.
________________, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revis Cetakan Pertama,
Jakarta, Gramedia, 2008.
Farida, Maria. Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan
UUD 1945 dengan delapan negara maju, Jakarta, Kencana, 2009.
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008.
Indra, Maulana. Pendekatan pengaturan pada sektor penyiaran menuju era
konvergensi teknologi informasi dan komunikasi, Jakarta, Badan Pembinaan
Hukum nasional, 2012.
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994.
Judhariksawan, Hukum Penyiaran, Jakarta, Rajawali Press, 2010.
____________, Pengantar Hukum telekomunikasi, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2005.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), UU Tentang Penyiaran No. 32 Tahun 2002,
Jakarta, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2010.
Mufid, Muhammad. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta, Kencana,
2010.
Mertokusumo ,Soedikno. Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, 2003.
Pusat Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta,
Balai Pustaka, 2001.
Pudyatmoko, Sri. Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta, Grasindo,
2009.
Pide, A. Mustari. Pengantar Hukum Tata Negara Islam, Jakarta, Gaya Media
Pratama, 1999.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum , Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2000
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia
Press, 2003.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun
Singkat, JakartA, Rajawali Pers, 2001.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 2006
Sheehan, Michael. The Balance of Power: History & Theory, London, Routledge,
1996.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta , Liberty, 1998.
Sukanto, Suryono. Sosilogi Suatu Pengantar, Jakarta, UI Press, 1970.
Syafrudin, Ateng. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung, Universitas
Parahyangan, 2000.
Syafrudin, Ateng. Butir-butir Bahan Telaahan Tentang Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Layak Untuk Indonesia, dalam Paulus Efendi Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung, Citra
Aditya Bhakti, 1994.
Utrech, E. Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia Cet. 4, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1960.
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010.
Zainudin, A. Rahman. Kekuasaan dan Negara (Pemikiran Politik Ibnu Khaldun),
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Perundang-undangan
Undang- Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Peraturan Menteri No.28 Tahun 2008.
Lampiran II : UURI No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Website
http://www.kpi.go.id
LAMPIRAN
Narasumber : Prof. Andi Faisal Bakti, MA., PhD., (Guru besar Fakultas Ilmu
Dakwah dan ilmu Komunikasi UIN Syarifhidayatullah Jakarta)
Waktu dan tempat : Jum’at tanggal 16 September 2016, di kediaman Narasumber
Cilandak Townhouse.
1. Bagaimana pendapat bapak tentang industri penyiaran yang keberatan dengan
posisi KPI sebagai regulator penyiaran yang akan mengkhawatirkan dunia
peyiaran?
KPI dibentuk untuk membantu masyarakat suapaya penyiaran itu betul
betul menjadi media untuk pendidikan yang mendidik masyarakat dan itulah
tujuan utamanya. Gelombang reformasi inilah yang memunculkan sebuah
desakan untuk mengamandemen UU No. 24 Tahun 1997 pada saat itu, yang
dimana latar belakangnya adalah untuk menumbangkan rezimnya Soeharto.
Sepanjang masa penyusunan UU penyiaran No. 32 tahun 2002 ini, banyak sekali
interaksi yang saling terkait, banyak campur tangan di dalamnya, interaksi
kekuasaan seperti termasuk negara yng didalamnya adalah eksekutif dan
legislatif, ada juga pasar serta publik yang merupakan unsur dari civil society.
Banyaknya berbagai kepentingan dalam dunia penyiaran, maka ada yang
mendukung dan ada juga yang menolak UU Penyiaran tersebut. Publik
menginginkan untuk menjadi panglima penyiaran sehingga kewenangan
pemerintah dalam dunia penyiaran harus dipereteli agar tidak lagi bersifat
otoriter di dunia penyiaran. Bukan hanya itu saja industri penyiaran juga
membahayakan pada regulasi penyiaran makanya ketika adanya KPI ini bagi
mereka ini mengkhawatirkan kedudukannya, karena pastinya gerak dari industri
penyiaran akan terbatasi dengan posisinya KPI sebagai regulator penyiaran
sehingga mereka tidak bisa seeenaknya menguasai dunia penyiaran.
2. Menurut bapak bagaimana interaksi kekuasaan yang terjadi di dunia Penyiaran?
Pada saat seputar masa mengkonstruksi UU Penyiaran, interaksi
kekuasaan antara eksekutif dan legislatif bisa kita lihat bahwasanya pemerintah
itu tidak siap untuk melepas kewenangannya yang selama ini dimiliki untuk
mengatur dunia pennyiran. Karena pemerintah dahulunya yang sangat berperan
dalam dunia penyiaran sehingga banyak interaksi kekuasaan yang saling tarik
menarik untuk menguasai dunia penyiaran ini.
3. Tanggapan bapak tentang mekanisme izin penyelenggaraan penyiaran yang
mana “izin diberikan oleh negara melalui KPI ?
Pada dasarnya transisi demokrasinya dunia penyiaran ini tidak mudah,
karena pemerintah sendiri tidak ingin memberikan kewenangan dalam
pengaturan penyiaran itu seratus persen kepada KPI. Sehingga kalo bisa dibilang
bahasa halusnya itu sebuah Kompromi. Nah, kompromi ini yang dimaksud disini
adalah masih adanya keterlibatan pemerintah dalam hal pengambilan
keputusan.tapi pada sisi yang lain juga bagi pemerintah kompromi ini bukanlah
hal yang menguntungkan akan tetapi kondisi tersebut tetaplah harus diterima.
Banyak yang bereaksi atas kecendrungan kompromi tersebut, publik dan bahkan
pasar sendiri karena yang dikehendaki adalah agar KPI yang diberi kewenangan
penuh dalam dunia penyiaran. Bisa dilihat juga klausul “oleh negara melalui
KPI” ini bisa mengandung ketidakjelasan, yang mana dapat menjadi sebuah
kerancuan interpretasi yang muncul karenanya. Oleh karena perlulah sebuah
kejelasan siapakah yang mengatur regulasi penyiaran, dan KPI yang sebagai
lembaga regulator yang independen idealnya harus powerfull, dan perlu juga
adanya aturan yang memang jelas terhadap dunia penyiaran siapakah yang
memang berwenang di dalamnya.