ketikan bab i
DESCRIPTION
KETIKAN TUTORIALTRANSCRIPT
MEKANISME TERJADINYA PENYALAHHGUNAAN NAPZA
a. Organobiologik
Wikler (1973) mengemukakan conditioning teory. Menurut teori ini seseorang akan
ketergantungan terhadap NAPZA apabila ia terus-menerus diberi NAPZA tersebut. Hal ini sesuai
dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah
reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras
tadi mengalami keausan, yang dari luar tampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA.
Apabila NAPZA dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup, dihidu, dan
melalui suntikan; maka NAPZA melalui peredaran darah sampai pada susunan saraf pusat (otak)
yang menggannggu system neuro-transmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada system
neuro-transmitter itu terjadilah Gangguan Memntal and Perilaku akibat NAPZA.
Interaksi NAPZA dan reseptor biasanya bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi,
melainkan suatu interaksi yang lebih lemah. Karena bentuknya yang khusus dan muatannya yang
spesifik, NAPZA dapat terikat secara reversible (yang dapat balik kembali) pada zat kimia
spesifik pada reseptor. Dengan demikian, terjadi perubahan reaktivitas fisiologik tersebut.
Reseptor dapat pula berupa enzyme, yang dapat diubah aktivitasnya oleh NAPZA. Reseptor
dapat pula berupa membrane sel protein spesifik pada saraf atau orot. Interaksi NAPZA dan
reseptor data mengubah permeabilitas membran sel sehingga dapat menghambat atau memacu
sel tersebut. Ada juga NAPZA yang bekerja tidak melalai reseptor, misalnya, beberapa macam
anstetika yang mengubah muatan listrik saraf dengan melarutkan diri dalam lipoprotein
membrane sel. Hal tersebut akan mengubah sifat fisiko-kimia membran sel sehingga terjadi
hambatan bila ada eksitasi.
Reseptor opiat terdapat pada hipotalamus dan system limbic otak bagian dalam, yaitu
bagian otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan/emosi)
dan perilaku. Sekurang-kurangnya ada empat jenis reseptor opiate, yaitu:
1. mu-reseptor, terutama mengikat morphine/heroin dan diduga ada kaitannya dengan
fungsi analgetik (penawar nyeri)
2. gamma-reseptor, yang mengikat enkefalin dan berperan dalam hubungannya dengan
perilaku
3. kappa-reseptor, secara spesifik mengikat ketosiklasosin dan dinorfin serta ada
hubungannnya dengan afek sedasi dana ataxia; dan
4. delta-reseptor, mempunyai afinitas pada siklasosin, dan opiat yang mirip siklasosin serta
berhubungan deangan afek psikotomi-metik senyawa ini.
Peran factor genetic pada penyalahgunaan NAPZA dikemukakan oleh Banks dan Waller
(1983); Kaplan dan Sadock (1989) yang menyatakan bahwa gen berperan pada ketergantungan
alcohol, tetapi untuk jenis-jenis zat-zat lainnya factor gen sebagai etiologi masih lemah. Dalam
hubungan ini, Edwards (1982) menyatakan bahwa secara umum contoh orang tua (parental
example) lebih penting daripada gen (sifat turunan) orang tua (parental genes).
b. Psikodinamik
1. Faktor predisposisi
- Gangguan kepribadian (antisocial)
- Kecemasan
- Depresi
2. Faktor kontribusi
Kondisi keluarga:
- Keluarga rtidak utuh
- Kesibukan orangtua
- Hubungan interpersonal yang tidak baik
3. Faktor pencetus
- Teman kelompk sebaya
- Tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh (easy availability)
c. Psikososial
Bila kutub keluarga atau sekolah/kampus dan kutub masyarakat tidak kondusif, dimana
ketiga kutub tersebut saling mempengaruhi kehidupan anak/remaja, maka sebagai hasil interaksi
ketiga kutub tersebut (resultante) resiko perilaku menyimpang menjdi lebih besat pada gilirannya
berakibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
DIAGNOSIS
Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis
(medikpsikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis
opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever.
Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter
ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk
mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT).
Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan
komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya,
komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara
penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau
hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya
terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang
berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik
paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan
manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental
dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti
intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta
perilaku lainnya.
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat
menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan
putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut "sakau" dan untuk
mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang
lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu
mual/muntah, nyeri otot lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan
insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit
dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya.
Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi
rumatan.
Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan,
yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan
disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.
Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan
adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan
gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot
orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk
mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering
dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan- dorongan yang
terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya.
Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu
tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani.
Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :
1. tanda- tanda pemakai obat
2. keadaan lepas obat
3. kelebihan dosis akut
4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )
5. komplikasi lainnya ( sosial, legal, dsb)
Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya
sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim.Hal ini, tentu saja
akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi
sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian
yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan
menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus
keracunan sebagai berikut:
1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis :
1. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nusea, vomiting,
nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun
dan sianosis.
2. pada keracunan akut :
a. miosis; b. coma; c. respirasi lumpuh
3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium;
4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya
beberapa menit sesudah masuknya morfin.
Tahap 1
Tahap eksitasi
Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1.
1. Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat ;
2. Halusinasi
3. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang;
4. Dapat menjadi maniak
Tahap 2
Tahap stupor
Dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada)
1. Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan;
2. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur;
3. Wajah sianosis, pupil amat mengecil; dan
4. Pulse dan respirasi normal.
Tahap 3
Tahap Coma :
Tidak dapat dibangunkan kembali
1. Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi;
2. Proses sekresi;
3. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan
tanda akhir;
4. Respirasi cheyne stokes; dan
5. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang,akhirnya meninggal.
2. Pemeriksaan Toksikologi
Sebagai barang bukti :
1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan;
2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral;
3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup; dan
4. Barang bukti lainnya.
Metode
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid
Chromatography)
Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu
sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh
glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka
morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin
yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.
2. Nalorfine Test
Penafsiran hasil test :
Kadar morfin dalam urin, bila saam dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin
dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar
morfin/heroin dalamdarah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.
Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein.
Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic
narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan,
kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan
korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.
PENATALAKSANAAN
Konsep Dasar Penatalaksanaan
Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan-tindakan yang berkait
dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut:
1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza.
Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak
bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien
untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat didukung dengan meminimasi efek-efek yang
langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain
memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih
menggunakan jenis napza yang lain.
2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.
Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja
setelah abstinensia, maka ia disebut "slip". Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang
telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan peng-gunaan kembali, pasien akan
tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps
(relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate
antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk
mencapai tujuan terapi jenis ini.
3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon,
syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini.
Terapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi
perilaku. Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi
ketergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya
penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan.
Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase berikut:
-Detoksifikasi
-Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan).
Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses berkesinambungan, runtut, dan tidak dapat
berdiri sendiri.
Farmakoterapi :
Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk :
1. Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah penggunaan
metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid untuk sindrom putus
alkohol.
2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari zat yang
disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti naltrekson dapat
memblok/menghambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari pemberian opioida berikutnya. Pada
kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida,
misalnya nalokson, dianggap sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan
opioida.
3. Medikasi untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti
-anti agresi (haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine)
-anti anxietas (diazepam, lorazepam)
-anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine)
-anti insomnia (estazolam, triazolam)
4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid
5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas medikopsikiatri.
6. Terapi terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida pada
pengguna IDU (Injecting Drug User),
7. Mengatur keseimbangan cairan: air dan elektrolit
8. Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, hepatitis dan infeksi sekunder karena
HIV/AIDS
9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal.
Terapi Detoksifikasi
Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan
merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas, terapi detoksifikasi
tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi rumatan. Bila terapi detoksifikasi
diselenggarakan secara tunggal, misalnya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps
lebih besar dari 90 %.
Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah
-Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus opioida
-Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati dirinya sendiri"
dengan menggunakan zat-zat ilegal
-Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi lainnya seperti
therapeutic community atau berbagai jenis terapi rumatan lain
-Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan perencanaan
terapi jangka panjang, seperti HIV/AIDS, TB pulmonum, hepatitis.
Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksifikasi dibagi atas:
-Detoksifikasi jangka panjang (3-4 minggu) seperti dengan menggunakan metadon
-Detoksifikasi jangka sedang (3-5 hari) : naltrekson, midazolam, klonidin
-Detoksifikasi cepat (6 jam sampai 2 had): rapid detox
Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian
dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi opioida konservatif seperti penggunaan
obat simptomatik (analgetika, anti-insomnia, dan lainnya). Bahkan beberapa psikiater masih
menggunakan berbagai bentuk neuroleptika dosis tinggi, yang di negara maju sudah
lama ditinggalkan.
Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilihan utama dalam terapi detoksifikasi
opioida secara gradual. Proses detoksifikasi berlangsung relatif lama (>21 hari). Selama proses
terapi detoksifikasi metadon berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi
berhasil, kemudian dilan-jutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treatment
Program.
Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic receptor agonist, yang digunakan dalam
terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin dengan mengikatnya pada pre-
synaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian mengurangi gejala-gejala
putus opioida. Karena terbatasnya substitusi opioida lain di Indonesia, beberapa dokter (termasuk
penulis) telah menggunakan kombinasi klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi
detoksifikasi. Klonidin digunakan dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida
ringan seperti: menguap, keringat dingin, air mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat
digunakan untuk berobat jalan maupun rawat inap.
Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek masa detoksifikasi, maka diperlukan
kombinasi dengan naltrekson. Naltrekson adalah suatu senyawa antagonis opioida. Cara tersebut
dikenal dengan nama Clontrex Method yang dapat dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun
pasien rawat inap. Umumnya program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung
selama 3-5 hari dan kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program.
Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai keuntungan
bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah (Washton et al 1982). Guanfasin
adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang juga mempunyai kemampuan untuk
mengurangi gejala putus opioida.
Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan antagonis pada
reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin sangat ringan dan hilandalam
sehari setelah pemberian buprenorfin sublingual. Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai
awal dari terapi kombinasi Clontrex Method.
Midazolam-Naltrekson: kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan untuk
memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi midazolam intravena,
pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida.
Terapi Rumatan
Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk :
-Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida
-Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali).
-Restrukturisasi kepribadian
-Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida
Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalah
-Menambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan
-Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi
psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko.
-Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama meng-
gunakan terapi rumatan
Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting.
Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap sebagai terapi baku
untuk pasien ketergantungan opioida. Klinik-klinik Metadon berkembang di beberapa tempat
dengan berbagai variasi program.
Beberapa kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurang-kurangnya
sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan kemungkinan terjadinya
peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan suatu bentuk derivat metadon,
levacethylmethadol, yang mempunyai masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu
tiap hari datang ke fasilitas kesehatan.
Buprenorfin: dapat juga digunakan untuk terapi rumatan. Seperti levacethylmethadol, hanya
diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan
penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah dipelajari dan dicoba untuk
terapi ketergantungan opioida.
Disulfiram, Disulfiram & Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol antabuse yang
diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif jika diberikan kepada pasien
ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah supervisi. Disulfiram dibuat sebagai tablet
buih yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan
hasilnya kurang menguntungkan. Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi
disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.
Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agarpengguna NAPZA yang menderita
sindroma ketergantungan dapatmencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya
pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi
yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi
(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat
melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung
pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang
tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan
selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2
minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan
unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter
sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi
tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu
(craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan
pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.
Jenis program rehabilitasi:
a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry
program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan
misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan
demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali
sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku
maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat
dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil
yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi,
seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA
kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta
tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan
konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan,
dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan
ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting
adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan
psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu,
perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian
dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang
termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap
sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari,
2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami
aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin
oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti
pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih
keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari,
sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan
mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas
menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota
bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan
hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk
memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-
masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat
menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan
risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin
menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko
kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko
kekambuhan mencapai 71,6%.