ketika krisis itu datang

12
“Ketika Krisis Itu Datang Kembali ....Jono nggak habis pikir, kenapa ia sekonyongkonyong tidak boleh bekerja lagi. Padahal, sehari sebelum dirumahkan— begitu bunyi pengumuman pihak manajemen pabrik pada Oktober 2008—Jono masih bekerja seperti biasa, bahkan masih lembur kerja. Bak petir di siang bolong nan terik di Surabaya yang panas, kabar berhenti bekerja itu diterima Jono. Alasan pihak perusahaan yang ia dengar dari sesama teman kerjanya yang juga terkena putusan itu, yaa ... karena perusahaan terkena dampak krisis ekonomi dan keuangan global. Ia juga terus merenung mengapa dirinya yang sedang menanti kelahiran anak keduanya, yang mesti terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu. Jono juga tak paham betul alasan perusahaan merumahkan karyawan—yang katanya—terimbas dampak krisis ekonomi dan keuangan global. Orang kecil seperti dia jauh dari hingar-bingar pemberitaan krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi karena kegagalan bisnis properti dan hipotek di Amerika Serikat, awal tahun 2008. Dunia yang ia tahu hanya dari rumah kontrakan ke tempat kerja, begitulah dia menjalani keseharian hidupnya. Jono tidaklah sendirian meratapi nasib. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan selama krisis setidaknya sekitar satu juta pekerja di Indonesia kehilangan pekerjaan terimbas dampak krisis global. Seperti halnya Jono, bagi satu juta jiwa yang kehilangan pekerjaan, sulit menerima dan mencerna tali-temali antara kondisi yang menimpa mereka dengan ambruknya bisnis properti di AS, kok ya tega-teganya harus mereka yang kena getahnya. Bagi para buruh kecil yang hidup paspasan dengan gaji terkadang di bawah upah minimum regional, dapat menjalani hidup sampai bulan berikut tanpa harus ngutang sana-sini sudahlah bagus. | Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia 2 Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia | Dan bagi para buruh yang ter-PHK, mereka tak mau ambil pusing dengan hiruk-pikuk pemberitaan media massa (cetak dan elektronik) yang rajin mewartakan akan kedalaman ekses kegagalan bisnis properti di AS yang merembet hingga ke Indonesia bahkan sampai juga ke

Upload: faturokhman-eka-nugraha

Post on 12-Apr-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nmb

TRANSCRIPT

Page 1: Ketika Krisis Itu Datang

“Ketika Krisis ItuDatang Kembali ....”Jono nggak habis pikir, kenapa ia sekonyongkonyong tidak boleh bekerja lagi. Padahal, seharisebelum dirumahkan— begitu bunyi pengumuman pihakmanajemen pabrik pada Oktober 2008—Jono masihbekerja seperti biasa, bahkan masih lembur kerja. Bakpetir di siang bolong nan terik di Surabaya yang panas,kabar berhenti bekerja itu diterima Jono. Alasan pihakperusahaan yang ia dengar dari sesama teman kerjanyayang juga terkena putusan itu, yaa ... karena perusahaanterkena dampak krisis ekonomi dan keuangan global.Ia juga terus merenung mengapa dirinya yangsedang menanti kelahiran anak keduanya, yang mestiterkena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu. Jonojuga tak paham betul alasan perusahaan merumahkankaryawan—yang katanya—terimbas dampak krisisekonomi dan keuangan global. Orang kecil seperti diajauh dari hingar-bingar pemberitaan krisis ekonomi dankeuangan global yang terjadi karena kegagalan bisnisproperti dan hipotek di Amerika Serikat, awal tahun 2008.Dunia yang ia tahu hanya dari rumah kontrakan ke tempatkerja, begitulah dia menjalani keseharian hidupnya.Jono tidaklah sendirian meratapi nasib. AsosiasiPengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan selamakrisis setidaknya sekitar satu juta pekerja di Indonesiakehilangan pekerjaan terimbas dampak krisis global.Seperti halnya Jono, bagi satu juta jiwa yang kehilanganpekerjaan, sulit menerima dan mencerna tali-temali antarakondisi yang menimpa mereka dengan ambruknya bisnisproperti di AS, kok ya tega-teganya harus mereka yangkena getahnya. Bagi para buruh kecil yang hidup paspasan dengan gaji terkadang di bawah upah minimumregional, dapat menjalani hidup sampai bulan berikuttanpa harus ngutang sana-sini sudahlah bagus.| Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia 2 Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia |

Dan bagi para buruh yang ter-PHK, mereka takmau ambil pusing dengan hiruk-pikuk pemberitaan mediamassa (cetak dan elektronik) yang rajin mewartakan akankedalaman ekses kegagalan bisnis properti di AS yangmerembet hingga ke Indonesia bahkan sampai juga kedapur mereka. Para buruh pun seperti tak mau tahu apaakar masalah krisis ini yang telah membuat hidup merekasengsara. Segudang ketidak-tahuan rakyat kecil sepertiJono dan jutaan lainnya akan adanya keterkaitan erat satunegara dengan negara lain di era dunia yang menyatu.Lima tahun sebelum dunia dihebohkan olehkehancuran bisnis properti di AS, seorang ekonom

Page 2: Ketika Krisis Itu Datang

terkemuka dunia yang juga pemenang hadiah Nobel,Joseph E. Stiglitz pernah mengingatkan ada indikasi tidaksehat terhadap perkembangan ekonomi di negeri PamanSam. Ia melihat akan ada masalah dengan suku bungarendah yang diberlakukan di sana, terlalu bergantungnyapertumbuhan ekonomi AS pada bisnis properti danpengaturan industri keuangan yang longgar. Ketiga halitu dikhawatirkan akan menjadi pemicu kebangkrutanekonomi negara itu, dan mungkin juga merembet kemanca negara.Waktu pun berlalu. Apa yang dikhawatirkan Stiglitzmulai memperlihatkan indikasi yang mencemaskan.Kebangkrutan bisnis properti pun menjadi kenyataan.Pasalnya, kucuran kredit kepada warga AS untuk membeliproperti melalui kreditor nonbank (sub-prime mortage)menjadi sumber pemicunya. Mengapa? Sebab, pendudukdengan penghasilan pas-pasan, yang dengan mudahnyasyarat mendapat kredit kepemilikan rumah (KPR), akhirnyaramai-ramai memborong properti. Padahal tingkat bungaKPR sub-prime mortage lebih tinggi dari bunga bank.Ketika debitor KPR di AS satu per satu mulai taksanggup bayar bunga dan cicilan pokok, keresahan punmengeruyak. Salah satu yang meradang dan kelimpunganadalah raksasa institusi keuangan seperti Lehman Brothersyang membenamkan dana sekitar US$60 miliar di bisnissub-prime mortage ini. Maklumlah, Lehman Brothersbertindak selaku agen atau perantara antara mereka yangmemiliki kelebihan modal (investor) dengan calon debitorKrisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia | 3sub-prime mortage di sektor properti.Puncaknya, Senin, 15 September 2008, LehmanBrothers—sebuah institusi yang didirikan tiga bersaudaraimigran asal Jerman: Henry, Emanuel dan Mayer Lehmansekitar tahun 1847—menyatakan diri bangkrut setelahgagal mendapatkan opsi Chapter 11 Protection. Protokolini adalah mekanisme emergensi terhadap lembagakeuangan di AS yang mengalami masalah likuiditasmeminta pertolongan otoritas moneter di sana. Dari sinilahpelintiran krisis seperti tiupan angin puting beliung Tornadoyang imbasnya kemana-mana hingga ke Indonesiabahkan sampai pula ke satu juta pekerja yang kehilanganpekerjaan.Indikator Ekonomi Pun MeradangBerita kebangkrutan Lehman Brothers sepertisebuah virus yang cepat sekali menyebar dan merembetke pelosok bumi ini tanpa kecuali. Satu demi satu industrikeuangan yang ada kaitannya dengan bisnis properti diAS pun ikut meradang. Ekonomi AS pun memasuki era

Page 3: Ketika Krisis Itu Datang

resesi yang memicu krisis ekonomi dan keuangan global.Dunia memasuki era resesi yang lebih parah pasca PerangDunia II. Dan, negara seperti Indonesia pun tak lepas dariekses resesi global tadi. Tindakan banyak perusahaanmem-PHK karyawan yang mencapai satu juta pekerjaadalah bukti, Indonesia memasuki era krisis.Sebelum Lehman Brothers mengumumkankebangkrutannya, nilai tukar rupiah masih anteng-antengsaja di level Rp9.000 per dolar AS. Memasuki pertengahanSeptember, begitu terlansir berita Lehman Brother bangkrut,gerak-gerik rupiah mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiahsempoyongan menembus angka Rp12.650 per dolar ASpada 24 Nopember 2008. Meroketnya nilai tukar rupiahmenembus angka psikologis (Rp10.000/dolar) sudahbarang tentu membuat panik perusahaan-perusahaannasional yang masih mengandalkan bahan baku impordan para pemilik modal yang tergerus nilai nominal danamereka

Namun demikian, merosotnya nilai tukar rupiahtadi terkadang hanyalah dimaknai oleh sebagian besarmasyarakat di Indonesia sebatas mereka terpaksamenunda pembelian alat-alat elektronika yang melonjakharganya. Kenaikkan harga barang-barang ini pun memicuangka inflasi hingga sempat menyentuh 12,56% padatahun 2008. Tapi, apa makna angka inflasi yang begitutinggi itu pun terkadang tidaklah dimengerti tali-temalinyadengan kehidupan langsung masyarakat. Bahwa dayabeli mereka telah lenyap digerus hantu inflasi, adalahkenyataan yang sering tak disadari. Atau, hantu inflasiyang membuat penduduk Indonesia semakin diambangkemiskinan ini dianggap seperti angin lalu saja.Apalagi ketika Bank Indonesia mengumumkanbahwa cadangan devisa tinggal US$51,6 miliar perDesember 2008. Padahal lima bulan sebelumnya (Juli2008), masih tercatat US$60,6 miliar. Jadi menguapUS$9 miliar atau mencapai sekitar 15 persen. Berita yangdilansir sebagian besar media massa nasional dan lokalini, ternyata kurang sepenuhnya mendapat perhatiansebagian besar masyarakat kita. Mengapa? Karena publiktidaklah melihat keterkaitan langsung antara raibnyacadangan devisa dengan menipisnya asap dapur mereka.Padahal, menguapnya cadangan devisa yang begitu besaradalah harga mahal yang harus dibayar—oleh seluruhKrisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia | 5rakyat Indonesia— untuk menstabilkan keperkasaan uangmereka (rupiah) agar tak terus meloyo menghadapi dolarAS.Kalau mau dibeberkan, masih banyak lagi

Page 4: Ketika Krisis Itu Datang

indikator-indikator lain yang memperlihatkan gejalameradang yang menjadi indikasi bahwa negara kita sedangterhisap pusaran krisis finansial global. Bagi merekayang hiruk-pikuk di pasar uang, mahfum benar manakalaresiko (credit default) negara Indonesia melemah hingga1200 basis poin (bps). Penurunan ini sama saja dengansemakin sempitnya pintu masuk bagi Indonesia ke pasaruang dunia. Lho, kenapa? Ya, karena tingginya tingkatresiko membeli surat-surat berharga (obligasi, SuratUtang Negara/SUN dan lainnya) yang diterbitkan olehPemerintah Indonesia atau dunia usaha swasta. Kalaupun ada investor global yang masih nekad mau membelisurat-surat berharga dalam negeri itu, biasanya menuntutimbal hasil (premi) yang cukup tinggi.Pusaran krisis global itu paling dekat menghajarbursa saham dan pasar keuangan. Bukankah masihsegar dalam ingatan kita, banyak investor dalam negeriyang menaruh dana mereka pada saham-saham di BursaEfek Indonesia (BEI) yang tiba-tiba mereka menjadi seringbengong dan muka masam hingga tutup tahun 2008lalu? Maklumlah, boleh dibilang hampir merata bahwasebagian besar investor lokal tadi tiba-tiba saja kehilanganaset mereka hingga 80%. Misalnya, Syamsul Komar,seorang pekerja swasta yang tinggal di Bogor, yang rajinbermain saham dua tahun lalu. Dana sebesar Rp100 jutaia belanjakan sejumlah lot berbagai saham perusahaanIndonesia yang terdaftar di BEI. Ketika harga saham padaterjun bebas terimbas krisis sub-prime mortage di AS, nilaisaham yang ia pegang pun ambruk hingga kalau dihitunghitung, nominalnya tinggal Rp20 juta. “Saya bangkrut,”ujar dia seraya mengangkat bahu tak tahu sampai kapanharga-harga saham akan pulih kembali.Syamsul Komar hanyalah salah satu dari sekitar300.000 investor lokal yang menempatkan sebagiandana mereka di pasar modal. Nasib dari ketiga ratusribu investor tadi boleh dibilang setali tiga uang dengan

apa yang menimpa Syamsul. Banyak investor lokal yangsontak menjadi “miskin” gara-gara main saham. Harapmaklum saja, krisis keuangan global ini menyeret kinerjaIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI ke lembahkekelaman hingga penutupan akhir tahun 2008. Betapatidak. Pada 8 Oktober 2008, IHSG terkoreksi hingga10,38% atau menyentuh 1.451,7 yang membuat otoritasbursa mensuspen perdagangan efek dan derivatif hingga10 Oktober 2008. Langkah suspen 2 (dua) hari kerja inidimaksudkan untuk melindungi investor lokal sepertiSyamsul Komar dan lainnya agar tak merugi lebih dalam

Page 5: Ketika Krisis Itu Datang

lagi.Masih ada lagi indikator lain yang mempertontonkanbetapa Indonesia memang sedang terhisap dalam pusarankrisis keuangan global. Bila melongok jumlah dana asingatau lazim disapa dengan hot money yang nangkring diSUN per 5 September 2008 tercatat Rp108,37 triliun.Selang waktu dua minggu kemudian (19 September 2008),nilainya melorot hingga Rp105,06 triliun. Itu artinya hanyadalam kurun waktu singkat terjadi pelarian hot moneytadi hingga Rp3,31 triliun. Pasar SUN terus menipis yangmembawa konsekuensi mesti menaikkan imbal hasil gunamemancing daya tarik hot money tadi kembali. Kalautadinya rata-rata yield SUN itu 11%, selama guncangankrisis banyak investor asing yang meminta hingga ke leveldi atas 13%

Bukan hanya dari SUN bila ingin melihat Indonesiamulai dijauhi pemilik modal asing. Pada instrumen SertifikatBank Indonesia (SBI) pun memperlihatkan gejala serupadengan SUN. Bila Januari 2008, simpanan bank pada SBIdan SBI Syariah masih tercatat Rp 231,386 triliun, makapada Desember tahun yang sama, angka itu merosotmenjadi Rp 166,518 triliun atau turun Rp 64,868 triliun.Hal ini bermakna betapa kondisi likuiditas di bank-banknasional memang sedang ketat dan mengkeret. Bank-bankasing pun memangkas pasokan dana yang ditempatkan diSBI dari Rp13,885 triliun susut jadi Rp9,466 triliun.Gempuran Krisis Itu Menghajar PerbankanPutaran krisis ekonomi dan keuangan globalpasca kehancurah Lehman Brothers menimbulkankekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global,termasuk melibas industri perbankan di Indonesia. Diberbagai negara, aliran dana dan kredit terhenti, transaksidan kegiatan ekonomi sehari-hari terganggu. Aliran danakeluar (capital outflow) terjadi besar-besaran. Indonesiayang saat krisis tidak memberlakukan penjaminan dananasabah secara menyeluruh, menderita capital outflowlebih parah dibanding negara-negara tetangga yangmenerapkan penjaminan dana nasabah secara penuh(blankeet guarantee). Aliran dana keluar itu membuatlikuiditas di dalam negeri semakin kering dan bank-bankmengalami kesulitan mengelola arus dananya.

Situasi krisis ketika itu sampai memukul bankbank berskala besar. Pada Oktober 2008, ada tiga bankbesar BUMN yakni PT Bank Mandiri Tbk., PT BankBNI Tbk. dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk memintabantuan likuiditas dari Pemerintah masing-masing Rp5triliun. Total dana untuk menginjeksi ketiga bank tersebut

Page 6: Ketika Krisis Itu Datang

sebesar Rp15 triliun. Dana tersebut bersumber dari uangpemerintah yang berada di BI. Bantuan likuiditas itu dipakaiuntuk memperkuat cadangan modal bank atau memenuhikomitmen kredit infrastruktur tanpa harus terganggulikuiditasnya. Maksud bantuan likuiditas Pemerintah iniagar ketiga bank pelat merah tadi tidak perlu mencaripinjaman dari luar negeri.Tapi yang paling menderita adalah bank-bankmenengah dan kecil yang mengalami penurunan danasimpanan masyarakat. Dana itu lari ke luar negeri ataubank-bank besar, bahkan yang menarik sampai ada yangmenyimpan di safe deposit box karena takut banknyaditutup. Kesulitan bank-bank menengah-kecil itu semakindiperparah ketika salah satu sumber pendanaan yangbiasanya sangat diandalkan, yakni dana antarbank atauPasar Uang Antar Bank (PUAB), berhenti mengalir aliasmacet. Kenyataan pahit ini masih diperburuk lagi denganpenurunan kualitas aset-aset yang dipegang bank. Halini pada akhirnya akan memukul modal bank. Pasalnya,surat-surat berharga yang dikuasai bank seperti SUN,nilainya merosot tajam

Kondisi ketika itu semakin mencekam karenaberedar rumor-rumor yang berseliweran via email, blogdan SMS perihal daftar bank-bank yang mengalamikesulitan likuiditas. Dalam suasana seperti itu, tingkatkepercayaan nasabah bank pun goyah yang diperlihatkandengan aksi rush. Bahkan, ada seorang analis pasar darisebuah perusahaan sekuritas yang ditahan kepolisianhanya karena dituduh menyebarkan rumor lewat emailyang dikhawatirkan dapat memicu aksi panik masyarakat.Di tengah situasi krisis, sebuah isu kecil dapat menjadipemicu dan pemacu sebuah krisis besar seperti yangterlihat pada aksi rush nasabah pasca penutupan 16 bankdi tahun 1997/1998.

Seretnya pasokan dana di masyarakat, membuatindustri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana(rupiah dan valas) yang mereka miliki guna mengantisipasimunculnya kewajiban seperti penarikan dana tunaideposan secara mendadak. Bank pun mulai berebut danamasyarakat melalui iming-iming tingkat suku bunga tinggikhususnya deposito (dari 6% menjadi 12% per tahun).Perang bunga antarbank pun tak terhindarkan. Walhasil,situasi ini menyeret kenaikkan tingkat bunga kredit yangmemberatkan dunia usaha.Dalam kondisi biaya dana (cost of funds) yangsemakin mahal, tiada pilihan bagi bank-bank untuk

Page 7: Ketika Krisis Itu Datang

kudu riddho memangkas laba usaha mereka gunamempertahankan eksistensi diri di jagad belantara

perbankan nasional. Bila merujuk data statistik BI perDesember 2008, laba bank-bank umum setelah pajakdiperkirakan Rp30,61 triliun. Jumlah ini merosot Rp3,86triliun bila merujuk angka perolehan laba sebulansebelumnya (Nopember) yang membukukan sebesarRp34,47 triliun. Penurunan laba ini terutama disebabkanbeban biaya (cost of funds) yang semakin tinggi.Selain itu, sumber pemicu kerugian bank lainnyaadalah transaksi valuta asing, terutama dolar AS.Pelemahan rupiah periode September ke Desember 2008berakibat pada transaksi valas perbankan. Ketika rupiahjeblok sebagai imbas dari krisis global, sudah barang tentusangat memukul kocek kas bank, termasuk Bank Century.Pada November 2008, ada SSB Bank Century yangjatuh tempo sebesar US$45 juta dan US$40,36 juta padaDesember 2008. Siapa pun yang dipercaya mengurusbank itu akan dibuat muntah-muntah bila mesti membayarbeban utang valas tadi dengan kurs Rp12.650 per dolarAS.Dalam kondisi krisis, adalah wajar bila bankmengamati dan memelototi betul kinerja kredit yangdisalurkan kepada debitor. Sebab dari bunga kredit setelahdipangkas kewajiban membayar bunga simpanan dandeposito itulah, bank mengandalkan pemasukan gunamembiayai operasional. Mari ambil contoh sederhanasaja, bila suku bunga kredit dipatok 15%, bunga deposito12%, maka ada selisih 3% yang adalah pendapatan bank.Itu teori di atas kertas bila situasi dalam keadaan normal.Banyak kinerja perusahaan-perusahaan yang menjadidebitor perbankan nyungsep sampai ke landasan aliasmengalami pemburukan kinerja sehingga tak kuat lagibayar bunga kredit plus pokoknya. Walhasil, bank mestigigit jari dan melakukan write-off serta menyisihkanpencadangan yang mengerus modal. Catatan kaki laporankeuangan bank pun diimbuhi tinta merah: rugi lagi ... rugilagi.Dengan potensi kerugian finansial yang terusmengancam tak pelak ikut menyeret bank-bank masuk kedalam lembah keambrukan. Untuk memberi kelonggaranbank dalam menghadapi situasi krisis, sejak 16 SeptemberKrisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia | 112008—sehari setelah Lehman Brothers mengajukanChapter 11 Protection atau proteksi dari kebangkrutan—BI merilis serangkaian kebijakan krusial. Beberapakebijakan utama yang dikeluarkan, misalnya, perubahanGiro Wajib Minimum (GWM) dari 9,1% menjadi 7,5% yang

Page 8: Ketika Krisis Itu Datang

terbagi atas GWM utama dalam rupiah sebesar 5% danGWM sekunder 2,5%. Perubahan ini dimaksudkan untukmemberi kelonggaran likuiditas kepada perbankan gunabisa memainkan peran intermediasi.Penerbitan Tiga PERPPUSelain itu, Pemerintah juga merespon situasi krisisdengan segera mengeluarkan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (PERPPU). Ada tiga beleidyang dirilis. Pertama, PERPPU No.2 Tahun 2008 tentangPerubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkankredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan gunamendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek(FPJP). Kehadiran PERPPU ini memberi payung hukumbila ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas untukmendapatkan suntikan dana segar.

Kedua, PERPPU No.3 Tahun 2008 perihalperubahan atas UU Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) yang digunakan sebagai dasar menaikan nilaisimpanan nasabah yang dijamin oleh LPS dari Rp100juta menjadi Rp2 miliar. Kehadiran beleid ini pun semakin| Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia 12 Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia |

memberi rasa aman bagi deposan untuk tidak segeramemindahkan dana mereka ke tempat lain. Meski banyakkalangan menyayangkan kenapa Pemerintah tidakmemberi perlindungan total (blankeet quarantee) sepertiyang dilakukan banyak negara (Singapura, Inggris, KoreaSelatan, Cina, Amerika Serikat dan sejumlah negara UniEropa).Ketiga, PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang JaringPengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan aturanini untuk memberi jaminan ada penyelesaian bila adabank atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yangmengalami kesulitan likuiditas atau dinyatakan sebagaibank atau LKBB gagal yang dinilai berdampak sistemik.Selain itu, PERPPU ini juga mengatur pembentukan KomiteStabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakanMenteri Keuangan dan Gubernur BI serta SektretarisKSSK.Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinanadanya bank yang mengalami masalah likuiditas, BImenyempurnakan kembali sejumlah aturan. Misalnya,Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/26/2008 tentangFasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi BankUmum yang lalu direvisi melalui menjadi PBI No.10/30/2008dan PBI No.10/31/2008 tentang Fasilitas Pinjaman Darurat(FPD) . Perubahan atas kedua beleid ini dilandasi upayamenangani dan meminimalisir dampak negatif krisisterhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Page 9: Ketika Krisis Itu Datang

Krisis Semakin MendalamTingkat keseriusan dan kegentingan kondisiperbankan terlihat ketika Rapat Dewan Gubernur BItanggal 29 Oktober 2008 memutuskan untuk mengaktifkanProtokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol/CMP). Dihidupkannya mekanisme CMP memberi sinyalkepada publik bahwa situasi memang sedang genting.Laporan data dan informasi ekonomi, moneter danperbankan dimonitor secara intensif. Berbagai isu-isusensitif terhadap perbankan pun terus dipantau. Melaluiprotokol ini, RDG bulan Nopember sudah mulai melakukansimulasi terhadap ketahanan industri perbankan dalammenghadapi gejolak ekonomi moneter dan indekskestabilan keuangan (financial stability index).Untuk mengetahui kondisi perbankan nasionaldalam menghadapi tekanan krisis, simulasi ketahananlikuiditas perbankan pun dilakukan terhadap sampel 15bank besar, 18 bank menengah dan 5 bank kecil. Simulasiyang dilakukan adalah dengan memainkan skenariobila penurunan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 5%,diketahui ada 5 bank yang ekses likuiditas habis untukmenutupi penarikan DPK. Simulasi akan penurunan DPKpun dinaikkan menjadi 25%, terlihat ada 25 bank yanglikuiditasnya ludes. Angka simulasi penurunan DPK pundidongkrak lagi ke level 50%, apa yang terjadi? Wahh ....cukup mengkhawatirkan. Ada 15 bank besar bakal rontoklikuiditasnya, 14 bank kelas tengah yang sama nasibnyaplus 5 bank papan bawah. Total 34 bank berpotensikesulitan likuiditas.

Simulasi yang dilakukan terhadap perbankan tadi,tidak hanya mencakup ketahanan likuiditasnya saja. Tapijuga terhadap fluktuasi suku bunga, fluktuasi nilai tukar

dan kenaikan jumlah kredit bermasalah (NPL). Denganlengkapnya gambaran situasi dan kondisi perbankandalam menghadapi situasi krisis, BI pun mulai memantaubank-bank yang berpotensi mengalami masalah dan jugaberdampak sistemik terhadap perbankan secara umumserta kondisi perekonomian. Dari sinilah berbagai langkahlangkah antisipasi coba dipersiapkan bila memang secarafaktual ada bank yang benar-benar mengalami masalah.Menurut mantan Gubernur BI Boediono, apabilaada yang mengatakan bahwa pada bulan-bulan di tahun2008 itu tidak ada krisis di Indonesia atau hanya krisisringan saja, ia katakan bahwa yang bersangkutan tidakmengetahui keadaan atau tidak jujur. Ia pun mengingatkankembali bahwa DPR ketika itu menerima dua PERPPU(PERPPU Amandemen UU BI dan UU LPS) menjadi

Page 10: Ketika Krisis Itu Datang

UU. Bahkan, DPR juga meminta pemerintah segeramengajukan RUU JPSK. “Hal ini memperlihatkan bahwaDPR pun menyepakati bahwa kondisi saat itu adalahkrisis dan menyetujui langkah-langkah pemerintah dan BImengatasi situasi yang tidak normal,” papar dia.Dengan adanya payung hukum yang telahdisetujui DPR memperlihatkan betapa Indonesiasudah jauh lebih siap dalam menghadapi situasi krisis.

Koordinasi antarinstansi, menurut pengambaranBoediono, khususnya BI dan Departemen Keuangan,juga jauh lebih baik dibanding 12 (dua belas) tahun silamketika krisis serupa. Dalam situasi krisis yang mendalamdan eksplosif, kebijakan yang diambil Bank Indonesia punmenitik-beratkan pada upaya menjaga stabilitas sistemkeuangan dan kepercayaan pasar serta menghindaripenutupan bank. Mengapa begitu? Sebab, bank sekecilapa pun apabila ditutup pada saat krisis berpotensi menjadipemicu runtuhnya kepercayaan nasabah pada bank-banklainnya.Makanya ketika Bank Century yang sempatmasuk pasien pengawasan khusus BI yang laluditetapkan sebagai bank gagal (20 Nopember 2008) danberpotensi sistemik, diputuskan harus diselamatkan.Tindakan penyelamatan bank kecil seperti Bank Centurybukanlah an sich untuk menolong bank itu, tapi lebih

karena untuk mempertahankan kepercayaan nasabahpada perbankan nasional. Dan putusan mengucurkandana talangan dan menyelamatkan Bank Century dinilaipraktisi perbankan sebagai tindakan yang benar. “Tidakada seorang bankir pun yang menyatakan keputusan itukeliru, sebab ketika itu, bank sudah terjangkit penyakityang namanya ketidakpercayaan. Bank-bank tidak maulagi meminjamkan uangnya ke bank lain karena khawatirtidak dapat dikembalikan” ujar Sigit Pramono, KetuaUmum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas)Boediono pun menandaskan bahwa kita tidakingin mengulang kesalahan yang kita buat pada tahun1997. Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi. Bahkan, kataguru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Madaini, Indonesia dinilai oleh sejumlah lembaga internasionalsebagai negara yang sukses mengelola perekonomiannyamelewati badai krisis keuangan global. Dari mana hal itudilihat? Ketika banyak negara mengalami pertumbuhanekonomi minus atau nol persen, Indonesia mampumembukukan angka pertumbuhan 4 (empat) persen.