ketika bissu difilmkan

3

Click here to load reader

Upload: muhammad-yahya

Post on 30-Jun-2015

47 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ketika Bissu Difilmkan

Ketika Bissu Difilmkan

Suara musik tradisional terdengar di Jalan Dr. Sutomo. Musik itu berasal dari sound system di Gedung Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Malam itu (28/1) ada pemutaran film dokumenter “The Last Bissu” yang disutradarai oleh Rhoda Grauer, produksi tahun 2004.

Sekitar 30 penonton terlihat serius menyaksikan film berdurasi 57 menit tersebut sebagai pembuka dari total tiga film yang akan diputar malam itu. Film the Last Bissu yang menceritakan tentang Gambaran Puang Matoa Saidi yang berjuang untuk tetap hidup dengan akar budaya dan tradisi di I La Galigo.

Dalam film dokumenter tersebut diperlihatkan salah satu tradisi budaya Sulawesi Selatan yang cukup banyak menerima apresiasi dari berbagai kalangan akademisi baik dalam maupun luar negeri, yaitu keunikan bissu itu sendiri, baik sejarah dan perkembangannya, maupun dari isu-isu yang kadang dianggap tabu untuk dibicarakan, salah satunya mengenai penyimpangan atau pengalihan gender.

Puang Matoa Saidi merupakan Pemimpin Komunitas Bissu Dewata di Kawasan Segeri Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Dimana puang Saidi terpilih menjadi bissu, dan beralih gender dari laki-laki atau Oroane dalam bahasa bugis menjadi bissu yang dianggap sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut.

Peran Puang Saidi sebagai bissu di Segeri masih cukup banyak seperti menjaga benda-benda pusaka kerajaan, melantik penerus raja, dan upacara adat lainnya.

Sebagai bissu, Puang Matoa Saidi, dibalik berbagai perlindungan baik itu adat maupun alasan konservasi budaya, tak lepas dari perlakuan miring mulai dari sebatas anggapan hingga tindakan yang mengancam fisik.

Dalam wawancara bersama neneknya yang didokumentasikan dalam film tersebut, puang Saidi pernah mengalami beberapa ancaman setelah banyak bissu yang terbunuh karena konflik yang cukup keras mengatasnamakan agama. Sehingga Puang Saidi harus disembunyikan oleh keluarga demi kelangsungan hidupnya sebagai bissu.

Dari sudut pandang agama Islam sebagai agama mayoritas di Sulawesi Selatan, isu mengenai transgender memang adalah hal yang cukup sensitif untuk dibicarakan apalagi dilakukan. Namun bagi kalangan adat yang masih memegang teguh kepercayaan warisan leluhur masyarakat bugis, bissu merupakan keistimewaan yang hanya diberikan pada orang-orang terpilih semenjak lahir.

Di lingkungan Puang Saidi, masyarakat menghormatinya sebagai penerus dari budaya bissu yang memiliki sejarah cukup panjang dan tak lepas dari sejarah masyarakat bugis itu sendiri. Peran bissu dalam masyarakat Sulawesi Selatan tak bisa dipandang sebelah mata.

Lain halnya dengan kehidupan Maria Denise sebagai pembicara pada diskusi dan pemutaran film malam itu. Maria dari Komunitas Sehati Makassar mengungkapkan perjuangannya saat memilih untuk menjadi seorang wanita. Pada saat ia berusia 16 tahun, ia berasa menyukai sejenis dan lebih senang jika menggunakan pakaian wanita. Maria pun mulai memberanikan diri untuk menunjukkan keinginannya. “Rasa itu muncul dari dalam hati, tanpa ada paksaan dari luar atau dari manapun,” ungkapnya.

Setelah ia lulus SMA, Maria pun mulai mengenakan pakaian wanita. Banyak cercaan ataupun penolakan dari banyak kalangan, terutama dari keluarganya. Perlakuan kasar pun Maria terima dari

Page 2: Ketika Bissu Difilmkan

orangtua dan saudara-saudaranya. “Sudah makanan sehari-hari mendapatkan hinaan dan pukulan dari keluarga,” kata waria berusia 25 tahun tersebut.

Bukan hanya itu, setiap ia keluar dari rumah dengan mengenakan atribut wanita, ia selalu dikatakan orang aneh. “Padahal saya dan yang lainnya sama saja. Dan saya manusia biasa yang tidak bisa memilih dilahirkan sebagai apa,” paparnya dengan suara khas waria.

Walaupun mendapatkan perlakuan seperti itu, Maria tetap melanjutkan keputusannya menjadi waria. Ia menjalani kursus kecantikan dan mencari uang untuk dirinya dan keluarga. Setelah menjalani delapan tahun menjadi waria dan mencari penghasilan sendiri keluarganya pun lambat laun sedikit menerimanya. “Walaupun sekarang harus tinggal sendiri, tetapi jika saya berkunjung, perlakuan kasar sudah tidak ada lagi,” ungkapnya.

Tetapi dalam hal beribadah, ia tetap menjalaninya layaknya seorang laki-laki. Maria tetap mengenakan peci dan sholat Jumat. Menurut Ferdiansyah Thajib Peneliti KUNCI Cultural Studies Centre Yogyakarta mengungkapkan transgender merupakan keistimewaan dan bukan berupa penyakit menular yang harus dihindari.

“Secara psikologi teman-teman yang memilih untuk melintas adalah suatu keberanian, dan seharusnya ada undang-undang yang dapat melindungi mereka, sebagai contoh kecil mengakui gender mereka dalam KTP,” katanya.

KAMILIA