kesiapan sosial menuju usaha industri …stisipwiduri.ac.id/file/n/full/2494-6. edy siswoyo.pdf ·...

17
64 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU RAMAH LINGKUNGAN, KAJIAN SOSIOLOGIS INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU DI PIK KOPTI JAKARTA BARAT (Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Tahun Pertama Hibah Bersaing tentang Intensitas Praktik Ramah Lingkungan Usaha Kecil Produksi Tempe Tahu di PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat, DIPA 0868.0/023-04.1/-/2009. 31 Desember 2008) Oleh Edy Siswoyo PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam proses produksi, industri pengolahan tempe tahu yang terletak di lingkungan pemukiman tidak melakukan pengolahan limbah sama sekali. Limbah langsung dibuang di selokan setempat. Ciri sebaliknya adalah industri pengolahan tempe tahu yang terletak di Kawasan Industri, yang harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi seluruh kawasan; yaitu melakukan pengolahan limbah sebelum limbah itu dibuang ke saluran pembuangan umum. Ciri variatif penulis temukan di sentra pembinaan. Semua anggota sentra industri tempe tahu pada dasarnya sudah dibina, memiliki pengetahuan, sadar, dan berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah lingkungan lainnya. Namun kenyataannya bervariasi, pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin ramah lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada yang tidak sama sekali (Siswoyo, 2006). Di Jakarta terdapat 25 sentra industri tahu/tempe dengan jumlah total 2025 unit usaha. Perkampungan Industri Kecil Primer Koperasi Tahu- Tempe Indonesia (PIK PRIMKOPTI) Swakerta Semanan RW 011 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan: 1) merupakan satu- satunya sentra yang secara fisik direncanakan untuk memenuhi syarat ramah lingkungan, sementara sentra yang lain tidak karena sudah terlanjur tumbuh bersama pemukiman penduduk; 2) merupakan sentra industri tempe tahu dengan jumlah unit usaha terbanyak; 3) meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan. Tujuan Khusus Penelitian. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah mengapa industri kecil pengolahan tempe tahu di Jakarta pada tingkat tertentu mampu ramah lingkungan, namun sebagian besar lainnya cenderung mengindikasikan praktik tidak ramah lingkungan? Persoalan sosiologisnya adalah pihak mana yang lebih menentukan terjadinya fenomena variasi itu, agent, actor ataukan society and structure; kapan atau dalam kondisi apa dan mengapa. Dalam rangka menjawab pertanyaan pokok tersebut, penelitian ini bermaksud: 1) Mendeskripsikan peranan faktor-faktor struktural yang melatar-belakangi praktik ramah lingkungan pada usaha kecil produksi tahu-tempe di POIK KOPTI Semanan, Jakarta. 2) Mendeskripsikan persepsi dan aspirasi masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan di kawasan PIK KOPTI Semanan . 3) Mendeskripsikan feasibilitas sosial setempat dalam rangka merealisasi aspirasi masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan di kawasan PIK KOPTI Semanan.

Upload: dinhque

Post on 29-Jul-2018

253 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

64 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU RAMAH LINGKUNGAN, KAJIAN SOSIOLOGIS INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN

INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU DI PIK KOPTI JAKARTA BARAT

(Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Tahun Pertama Hibah Bersaing tentang Intensitas Praktik Ramah Lingkungan Usaha Kecil

Produksi Tempe Tahu di PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat, DIPA 0868.0/023-04.1/-/2009. 31 Desember 2008)

Oleh Edy Siswoyo

PENDAHULUAN Latar Belakang.

Dalam proses produksi, industri pengolahan tempe tahu yang terletak di lingkungan pemukiman tidak melakukan pengolahan limbah sama sekali. Limbah langsung dibuang di selokan setempat. Ciri sebaliknya adalah industri pengolahan tempe tahu yang terletak di Kawasan Industri, yang harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi seluruh kawasan; yaitu melakukan pengolahan limbah sebelum limbah itu dibuang ke saluran pembuangan umum.

Ciri variatif penulis temukan di sentra pembinaan. Semua anggota sentra industri tempe tahu pada dasarnya sudah dibina, memiliki pengetahuan, sadar, dan berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah lingkungan lainnya. Namun kenyataannya bervariasi, pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin ramah lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada yang tidak sama sekali (Siswoyo, 2006).

Di Jakarta terdapat 25 sentra industri tahu/tempe dengan jumlah total 2025 unit usaha. Perkampungan Industri Kecil Primer Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (PIK PRIMKOPTI) Swakerta Semanan RW 011 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan: 1) merupakan satu-satunya sentra yang secara fisik direncanakan untuk memenuhi syarat ramah lingkungan, sementara sentra yang lain tidak karena sudah terlanjur tumbuh bersama pemukiman penduduk; 2) merupakan sentra

industri tempe tahu dengan jumlah unit usaha terbanyak; 3) meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan.

Tujuan Khusus Penelitian.

Pertanyaan pokok penelitian ini adalah mengapa industri kecil pengolahan tempe tahu di Jakarta pada tingkat tertentu mampu ramah lingkungan, namun sebagian besar lainnya cenderung mengindikasikan praktik tidak ramah lingkungan? Persoalan sosiologisnya adalah pihak mana yang lebih menentukan terjadinya fenomena variasi itu, agent, actor ataukan society and structure; kapan atau dalam kondisi apa dan mengapa. Dalam rangka menjawab pertanyaan pokok tersebut, penelitian ini bermaksud: 1) Mendeskripsikan peranan faktor-faktor struktural

yang melatar-belakangi praktik ramah lingkungan pada usaha kecil produksi tahu-tempe di POIK KOPTI Semanan, Jakarta.

2) Mendeskripsikan persepsi dan aspirasi masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan di kawasan PIK KOPTI Semanan .

3) Mendeskripsikan feasibilitas sosial setempat dalam rangka merealisasi aspirasi masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan di kawasan PIK KOPTI Semanan.

Page 2: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 65

Manfaat Penelitian

1) Manfaat akademis: Adalah satu kemajuan jika sosiologi mulai mempertimbangkan pentingnya dimensi ekologis dan aspek lingkungan pada permasalahan sosial. Disamping itu, Sosiologi juga dapat memberikan kontribusi positif dalam perdebatan mengenai lingkungan khususnya melalui penerapan perspektif dan teori sosiologi terhadap persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan (Fulkerson 2000; Dunlap 2001; Dunlap 2002). Dengan demikian proses dan hasil studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian dan perspektif sosiologi dengan tema lingkungan.

2) Manfaat praktis: Studi ini, diharapkan dapat

menjadi satu alternative opinion bagi proses perumusan dan revisi kebijakan model pembinaan usaha kecil ramah lingkungan di DKI Jakarta, melalui pendekatan sosiologis khususnya dengan kemungkinan memanfaatkan teori Ecological Modernization dalam Sosiologi Lingkungan.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Treadmill of Production (ToP) dan Ecological Modernization (EM) adalah dua teori dan ideologi yang paling popular dalam Sosiologi Lingkungan. Keduanya secara spesifik membahas masalah dilemma ekonomi dan lingkungan dalam rangka mencari solusi menuju sustainable development. Teori Treadmill of Production (ToP) mewakili perspektif konflik, dan teori Ecological Modernization (EM) mewakili perspektif order. Asumsi dasar teori ToP antara lain adalah bahwa bagaimanapun majunya, kegiatan ekonomi adalah tetap bergerak ditempat namun makin cepat dan menghabiskan energi dan merusak lingkungan dan baru akan berhenti setelah lingkungan rusak atau energi habis. Persaingan antar usaha akan mempercepat kerusakan lingkungan. Sedangkan asumsi dasar teori EM lebih optimis, antara lain bahwa pembangunan atau ekonomi adalah membawa perubahan ke arah kemajuan, persaingan antar usaha akan memacu semangat inovasi teknologi, efisiensi energi dan pembaharuan sumberdaya.

Pangkal tolak kedua teori tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu mengenai hubungan antara system ekonomi kapitalis dengan environmental degradation. Sebagaimana diungkapkan oleh Catton and Dunlap (1983),

kerusakan lingkungan adalah terjadi karena adanya three competing functions of the environment. Ke tiga fungsi itu adalah supply depot, living space dan waste repository. Fungsi supply depot menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai penyedia sumber daya alam yang renewable dan yang non-renewable yang penting bagi kehidupan. Pemanfaatan yang berlebihan atas sumber daya alam ini mengakibatkan kerusakan dan kelangkaan. Fungsi living space menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai habitat yang menyediakan tempat tinggal, sistem transportasi dan prasarana penting lainnya bagi kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan yang berlebihan atas fungsi ini mengakibatkan kepadatan yang berlebihan, kemacetan dan rusaknya habitat spesies lain. Fungsi waste repository menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai tempat untuk menampung sampah, kotoran, polusi industri dan barang-barang buangkan lainnya. Melampaui kemampuan ekosistem dalam menyerap barang-barang buangan tersebut mengakibatkan masalah kesehatan yang disebabkan oleh sampah beracun dan kerusakan lingkungan. Perbedaannya, teori ToP beranggapan bahwa system ekonomi kapitalis membuat terpuruknya lingkungan akibat tidak adanya environmental consciousness, environmental awarensess, environmental attitude and behavior. Sedangkan pendapat teori EM adalah sebaliknya, system ekonomi kapitalis dan modernisasi yang penuh dengan semangat inovasi akan mampu memperbaiki struktur dan sekaligus membimbing agent untuk memiliki environmental consciousness, environmental awarensess, environmental attitude and behavior.

Teori Ecological Modernization (EM) telah menjadi perspektif terdepan dalam environmental sociology. Bertolak dari karya Ulrich Beck dan Joseph Huber, Gert Spaargaren (1999) bersama Arthur Mol membangun pendekatan Ecological Modernization. Teori ini cenderung optimis bahwa masalah degradasi lingkungan akibat industrialisasi akan dapat diatasi, antara lain dengan apa yang disebut dengan Corporate Environmental Responsibility (CER) melalui Model of Resources and Risk Management. Asumsi dasar teori ini antara lain adalah, 1) modernisasi ekologis akan mengkoreksi the design flaws teknologi industri ke apa apa yang disebut dengan super industrialization yang lebih pro environment. 2) penerapan teknologi ramah lingkungan dalam proses industrialisasi tersebut memerlukan regulasi yang ketat dari pemerintah. 3)

Page 3: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

66 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

modernisasi ekologi mengasumsikan adanya strategi manajemen lingkungan yang baik, khususnya dengan anticipatory planning practices yang berpegang pada precaution principle. 4) modernisasi ekologis mengasumsikan diberlakukannya organizational internalization of environmental responsibility bagi semua lembaga public maupun privat. 5) untuk menghindari antagonisme dan konflik pada kebijakan lingkungan, maka modernisasi ekologis memerlukan satu jaringan dan kerjasama yang lebih luas untuk pengambilan keputusan. Tokoh teori ini adalah antara lain adalah Joseph Huber, Barry Commoner dan Udo Simonis. Pendalaman lebih lanjut teori ini dapat ditemukan pada tulisan Maurie J. Cohen (1998), Joseph Murphy dan Andrew Gouldson (1998), David A. Sonnenfeld and Arthur PJ. Mol (2002), dan Joseph Huber (2001).

Satu pokok persoalan dalam perdebatan antara penganut teori Treadmill of Production (ToP) dengan penganut teori Ecological Modernization (EM) berpusat pada dampak modernisasi terhadap sustainabilitas lingkungan. Dalam artikelnya, Richard York (2004) menunjukkan bahwa para pendukung teori modernisasi ekologis sering melakukan pengamatan terhadap kecenderungan sustainabilitas lingkungan hanya dalam kasus-kasus spesifik dan non-representative, kurang melihat kecenderungan umum. Keberadaan kasus-kasus spesifik (termasuk nations dan organisasi) yang memperbaiki kinerja lingkungan sebagai bagian dari proses modernisasi, mungkin bukan merupakan kecenderungan umum menuju sustainabilitas sehubungan dengan modernisasi, setetapi lebih berhubungan dengan kecenderungan meningkatnya variabilitas kinerja lingkungan pada lembaga-lembaga pada modernitas baru-baru ini. Kinerja lingkungan dari klembaga-lembaga bisa saja menjadi lebih buruk, sebagaimana dugaan para pendukung teori ToP, tetapi variabilitas kelembagaan meningkat yang membuat kasus-kasus ekstrem muncul dalam rangka modernisasi berwawasan ekologis.

Pertanyaan yang diperdebatkan adalah. apakah reformasi lingkungan yang dilakukan oleh

lembaga-lembaga kunci pada masyarakat kapitalis modern itu sungguh-sungguh terjadi? Para pendukung teori ToP (Gould, Schnaiberg, & Weinberg, 1996; Schnaiberg 1980, Schnaiberg & Gould 1994) berpendapat bahwa yang ada adalah tetap enduring conflict antara pembangunan ekonomi modern dengan environmental sustainability. Sebaliknya, pendukung teori EM berargumen bahwa yang disebut memelihara konflik itu tidak benar; kenyataannya pembangunan ekonomi dan modernisasi adalah progresif dan dapat membantu penataan lingkungan (Mol 1995, 2001; Mol & Sonnenfeld 2000, Mol & Spaargaren 2000; Spaargaren & Mol 1992).

Pendukung teori ToP berargumen bahwa kapitalisme memperburuk permasalahan lingkungan dengan meluasnya konsumsi sumber daya dan limbah emisi, yang secara menyeluruh merupakan kecenderungan umum dari kegiatan ekonomi; bukan kegiatan sub unit ekonomi tertentu saja. Logika teori ToP ini bukan berarti menyangkal adanya variasi dampak lingkungan pada kegiatan ekonomi kapitalis atau sub unit kegiatan ekonomi. Beberapa di antara kegiatan ekonomi itu mungkin lebih ramah lingkungan dari pada yang lain. Namun sebaik apapun kegiatan ekonomi kapitalis, masih saja merupakan jalan yang panjang menuju sustainabilitas lingkungan. Karena itu untuk menghindari kemerosotan lingkungan, yang diperlukan adalah perubahan radikal pada politik ekonomi. Ini berbeda dengan padangan teori EM yang berharap bahwa modernisasi dapat mengatasi permasalahan lingkungan tanpa harus melakukan perubahan mendasar pada lembaga-lembaga modernitas. Yang masih diperlukan untuk mendukung teori EM adalah demonstrasi yang menunjukkan kecenderungan umum bahwa modernisasi adalah sejalan dengan sustainabilitas lingkungan, dan bukan hanya sesekali kasus saja. Sejauh ini teori ToP prihatin bahwa analisis teori EM secara paradigmatic kurang menantang.

Page 4: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 67

I d e a s

Dari berbagai hasil penelitian mengenai hubungan antara usaha kecil dengan lingkungan (Judith Petts, Andrew Herd and Mary O’heocha 1998; Fiona 1999; Michael T. Rock dan Jean Aden 1999; Martin Lindell dan Necmi Karagozoglu 2001; Schaper 2002; Clare D’Souza dan Roman Preretiatko 2002; David Hitchens, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, dan Samarthia Thankappan 2003; Revell 2003; Ramjeawon 2004; Mark Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede dan Chwen Sheu 2004; Andreas Diekman dan Peter Preisendörfer 2003; Robert Emet Jones dan Riley E. Dunlap 1992/2001), dapat diperoleh satu generalisasi bahwa fenomena usaha kecil dalam memenuhi standard ramah lingkungan adalah dilatar-belakangi banyak faktor, baik yang bersifat resistance forces mapun yang bersifat driving forces baik pada tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik pada lingkup lokal maupun global.

Dari hasil telaah terhadap bahan pustaka yang tersedia, dan juga berdasarkan masukan-masukan empiris yang penulis peroleh pada saat field orientation di lokasi penelitian, penulis mencoba merumuskan ideas atau tepatnya sebagai kerangka pemikiran, bahwa intensitas atau tingkat kemampuan usaha kecil dalam memenuhi standard ramah lingkungan, dilatarbelakangi oleh banyak faktor, baik yang bersifat resistance forces maupun yang bersifat driving forces baik pada tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik pada lingkup lokal maupun global. Proposisi yang dapat dirumuskan berdasarkan ideas tersebut adalah bahwa Intensitas praktik ramah lingkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan berkemungkinan dapat dihubungkan dengan karakteristik pemilik usaha maupun dengan karakteristik usaha itu sendiri. Kemudian dalam kemungkinan hubungan antara karakteristik usaha maupun karakteristik pemilik usaha dengan intensitas praktik ramah lingkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan tersebut, mekanisme sosialisasi dan kontrol yang dilakukan oleh komunitas setempat termasuk Pemda setempat, konsumen, pemasar dan saingan setempat berkemungkinan dapat ikut berperan

Diagram 1. I d e a s

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Komunitas.

Pertama. Sebagai satu bentuk kehidupan kolektif, Primkopti Swakerta Semanan pada dasarnya adalah kelompok formal atau organisasi bisnis biasa, yaitu koperasi. Struktur sosial yang berada di dalamnya juga biasa, ada Pengurus dengan berbagai fungsinya dan ada juga Anggota dengan berbagai hak dan kewajibannya. Sebagai organisasi formal, Koperasi memiliki Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Status, peran, dan mekanisme interaksi masing-masing komponen adalah formal, baku, tertulis.

Kedua. Koperasi mengajak seluruh anggota beserta keluarga masing masing untuk tinggal dalam satu teritorial yang kemudian disebut sebagai PIK KOPTI Swakerta Semanan. Koperasi bukan hanya membangun prasarana fisik, tetapi juga prasarana sosial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya: RT/RW, Sekolah, Masjid, Tranportasi, dan lain sebagainya, yang membuat kesatuan sosial ini cenderung otonom. Dari segi sosial budaya, seluruh warga relatif homogen, mereka berasal dari daerah yang sama, kebiasaan-kebiasaan yang sama, pekerjaan yang sama, bahasa yang sama. Karena itu, pada dasarnya PIK KOPTI Swakerta Semanan dapat disebut sebagai community.

Ketiga. Karakteristik yang mudah dilihat pada kegiatan rumah produksi ini adalah kapitalisasi yang rendah, pendidikan formal yang rendah, ketrampilan yang diperlukan juga rendah atau tidak perlu kursus atau sekolah tinggi, partisipasi anak dan

Page 5: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

68 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

perempuan tinggi karena kewajiban, dan penghasilan dipergunakan bukan untuk memupuk modal melainkan untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga. Mentalitas subsisten ini tampaknya juga menjadi karakteristik pekerja. Dari beberapa wawancara terhadap pekerja, tidak ada satupun dari mereka yang ingin meningkatkan status diri menjadi pengusaha tahu tempe, atau setidaknya memanfaatkan penghasilannya untuk disertakan sebagai sebagian modal. Tidak pernah terbayangkan pada suatu hari kelak mereka juga dapat saja menjadi majikan. Mengikuti kriteria karakteristik usaha kecil menurut Asian Development Bank (ADB 1997:27-36), maka rumah-rumah produksi dikawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan ini adalah jenis livelihood enterprises dan subsisten.

Keempat. Tipe struktur dan fasilitas sosial PIK KOPTI Swakerta Semanan adalah unik. Unik dalam hal ini juga termasuk berbeda dengan dengan karaktertistik KOPTI di wilayah lain yang jumlah angotanya sedikit dan lokasi kegiatan produksinya terpencar-pencar membaur dengan pemukiman penduduk lainnya baik secara administratif maupun teritorial dan tidak memiliki lahan untuk instalasi pengolahan air limbah.

Tanda-tanda sebagai komunitas berstruktur sosial tunggal adalah persamaan daerah asal, kebiasaan, lapangan pekerjaan, bahasa, tinggal di wilayah geografis yang relatif tertutup dalam arti dikhususkan untuk perajin tahu tempe asal Pekalongan saja, jumlahnya juga tidak terlalu besar, wilayah teritorialnya juga tidak terlalu luas, namun memiliki beberapa fasilitas bersama seperti masjid, sekolah, mobil ambulan dan lahan yang cukup untuk pengolahan sampah dan limbah produksi; dan eksistensinya disadari dan diakui oleh pihak luar. Akan tetapi sebagai sebuah organisasi formal, masing-masing komponen di dalam komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan memiliki status dan peran yang jelas, diferensiasi tinggi. Hal itu bukanlah ciri struktur sosial tunggal. Koperasi juga membentuk RT/RW sendiri, dan mulai menerima orang luar dengan usaha kecil selain tempe tahu untuk berdomisili di kawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan dan tidak perlu menjadi anggota Koperasi. Dengan demikian komunitas PIK KOPTI Swakerta

Semanan juga memiliki tanda-tanda sebagai komunitas berstruktur sosial majemuk. Karena itu penulis mengusulkan untuk tidak membuat dikotomi antara struktur sosial majemuk dan struktur sosial tunggal, dan lebih baik melihatnya sebagai proses atau dinamika. Struktur sosial dualistik barang kali lebih luwes dipergunakan untuk menyebut tipe komunitas seperti PIK KOPTI Swakerta Semanan itu.

Kelima. Berdirinya Primkopti Swakerta Semanan adalah memang dalam rangka melindungi para perajin tahu tempe asal Pekalongan agar tidak tergilas oleh persaingan di pasar bebas, khususnya dalam memperoleh bahan baku dan minyak. Dilihat dari segi kawasan, produksi tempe tahu di Semanan jelas menjadi berlimpah, kawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan yang dulu kosong telah bertumbuh menjadi lebih dari 700 rumah produksi tempe tahu. Seiring dengan hal tersebut kedalaman air tanah di kawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan makin lama makin turun, dari 25 m kini sudah mencapai 100 m. Di samping itu kawasan yang dulu segar, kini mengeluarkan limbah bau dan sudah menggangu kenyamanan umum yang dilanjutkan dengan boikot dari warga lain kawasan. Konsekuensi lingkungan ini membuat ongkos produksi menjadi naik, khususnya untuk kebutuhan air dan iuran perawatan sanitasi lingkungan. Naiknya ongkos produksi ini membuat para perajin menekan upah pekerja dan juga menaikkan harga jual. Menaikkan harga jual berarti memungkinkan para perajin akan kalah bersaing dengan produksi tahu tempe modern yang jauh lebih murah dan mampu menembus pasar-pasar modern. Tetap rendahnya upah pekerja membuat kemungkinan mobilitas vertikal para pekerja juga menjadi kecil. Itu berarti ketimpangan terjadi bukan hanya pada lingkungan eksternal, tetapi juga internal perusahaan. Dalam hal inilah konsep treadmill of production dapat dielaborasi lebih lanjut; bahwa efek dari kegiatan produksi itu bukan hanya bersifat pada kemungkinan adanya environmental abuse tetapi juga mereproduksi social inequality. Konstruk ini mengingat panulis pada asumsi dasar teori Treadmill of Production yang mengatakan bahwa pasar bebas cenderung memaksa terjadinya

Page 6: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 69

peningkatan produksi, peningkatan konsekuensi lingkungan dan peningkatan ketimpangan.

Keenam. Adanya beberapa kali protes yang mengarah kepada tindakan brutal dari masyarakat luar KOPTI yang kemudian dijawab oleh warga KOPTI dengan cara menghindar dan bertahan dan kemudian baru berunding, adalah cukup untuk menunjukkan bahwa praksis ToP tampak tidak cocok untuk dilaksanakan di lingkungan penelitian. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan yang mirip dengan temuan Sonnenfeld mudah ditemukan dan diakomodasi oleh warga KOPTI. Sebagaimana telah disampaikan, Sonnenfeld menemukan bahwa melalui kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan-perusahaan manufaktur, gerakan-gerakan sosial memainkan peran sentral di dalam transformasi masyarakat industri untuk ramah lingkungan Kelompok-kelompok mahasiswa dan civitas academica yang biasanya mudah untuk bergerak sebagai oposan dan radikal, di lingkungan KOPTI ternyata bertindak arif membimbing warga untuk ramah lingkungan. Ini berarti komunitas setempat cenderung akomodatif terhadap praksis Ecological Modernization.

Ketujuh. Komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan yang berpola ekonomi subsisten dan homogen serta berstruktur sosial dualistik itu memang cenderung akomodatif terhadap aktivitas ”trial” yang dilakukan dalam nuansa praksis Ecological Modernization. Akan tetapi hal ini tidak mencukupi untuk membuat satu generalisasi yang berlaku untuk komunitas lain yang sejenis. Hal ini karena: komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan adalah khas dan unik.

Gambaran Umum Intensitas Praktik Ramah Lingkungan

Dari keseluruhan partisipan penelitian, hanya sebagian kecil saja yang kegiatan produksinya tergolong benar-benar tidak ramah lingkungan. Walaupun ada sebagian yang tergolong ramah lingkungan, namun pada umumnya kegiatan usaha dari para partisipan penelitian adalah tergolong kurang ramah lingkungan.

Dari aspek bahan baku, semula mereka kurang begitu memahami bahwa bahan-bahan kimia yang mereka campurkan untuk proses produksi sesungguhnya berbahaya bagi kesehatan konsumen. Bahaya dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut mereka sadari belakangan setelah pemerintah dan media masa menayangkan bahaya jangka panjang penggunaan bahan-bahan tersebut. Akan tetapi yang mereka mengerti adalah bahwa bahan-bahan yang mereka pergunakan dalam proses produksi itu adalah bahan-bahan yang lazim; walaupun beracun namun tidak membahayakan jika takarannya kira-kira pas danhasilnya enak dimakan. Di samping itu mereka juga mempertanyakan jika bahan-bahan tersebut berbahaya dan beracun, mengapa dijual bebas. Mereka tidak sempat memikirkan dan sengaja tidak mempedulikan peringatan bahaya jangka panjang atas penggunaan bahan-bahan beracun tersebut. Yang lebih banyak mereka pikirkan adalah keuntungan untuk menutup modal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apapun caranya.

Dari aspek penggunaan air. Unit-unit produksi pada umunya tidak memiliki sumber air atau sumur sendiri. Kebutuhan air untuk produksi adalah bersumber dari tiga sumur air tanah yang dikelola oleh pengurus lingkungan mapun oleh perorangan yang melayani tetangga sekitar. Tiap unit usaha cenderung sering tidak dapat mengontrol pengunaan air untuk produksi karena penyaluran air dari sumber ke unit produksi tidak mempergunakan meteran. Yang harus mengontrol penggunaan air adalah pemilik sumur, yaitu dengan cara membuka atau menutup kran-kran distribusi. Dalam hal ini pemilik sumur hanya membuka pada jam-jam produksi saja, pagi sampai dengan sore. Jika pemilik lupa menutup kran, penggunaan air cenderung menjadi boros dan menyimpang, misalnya untuk mencuci motor atau menyiram jalan. Proposisi konseptual yang dapat dirumuskan dari temuan empirik ini adalah bahwa untuk dapat bersikap taat dan disiplin dalam ramah lingkungan maka diperlukan kontrol faktor ekternal yang menguasai sumber.

Temuan empirik mengenai penggunaan air tersebut mengingatkan penulis pada satu proposisi paradoks Karl Marx bahwa ekonomi khususnya

Page 7: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

70 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

sistem ekonomi kapitalistik cenderung merugikan diri sendiri dan lingkungan. Marx menunjukkan terjadinya metabolic rift sebagai akibat kapitalisasi produksi pertanian. (Foster 1999:373-375, Foster 2002). Percepatan dan perbesaran skala produksi pertanian telah membuat tanah tidak punya waktu lagi untuk berestorasi secara alamiah. Kemudian untuk mengatasi semakin mandulnya tanah maka orang membuat pupuk kimia yang memerlukan biaya tinggi, yang pada akhirnya tidak akan menguntungkan golongan ekonomi lemah dan sekaligus semakin rusaknya tanah. Hal yang demikian itu analog dengan keadaan empirik di lingkungan PIK KOPTI Semanan. Banyaknya kegiatan produksi tempe tahu dalam satu lokasi yang sama telah membuat air tanah semakin dalam karena tidak sempat berestorasi secara alamiah. Air di lingkungan PIK KOPTI Semanan memang tidak layak diminum, bahkan untuk mandi sekalipun. Untuk kebutuhan air tersebut, baik untuk keperluan produksi ataupun untuk keperluan konsumsi, warga setempat harus mengeluarkan sejumlah biaya; sementara sebelum mereka tinggal di kawasan PIK KOPTI Semanan mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kebutuhan air. Biaya tersebut bukan hanya dikeluarkan oleh warga, tetapi juga oleh pengelola lingkungan, yaitu untuk perawatan sumur berikut instalasinya dan juga untuk upah petugas pengelolaan.

Adanya kontrol yang ketat dari pengurus lingkungan agar warga sedapat mungkin menghemat penggunaan air, mengingatkan penulis pada konsep Marx mengenai perlunya conscious controll atau conscious and rational treatment of the land as permanent communal property (Foster 1999:384-386). Dengan demikian Marx sendiri pada dasarnya tidak terlalu pesimis bahwa metabolic rift tidak dapat dikendalikan.

Dari aspek penanganan limbah padat khususnya kulit ari kedelai; pada umumnya para perajin sudah memperoleh informasi mengenai pemanfaatannya untuk diolah kembali menjadi produk yang lebih bernilai. Namun mereka memilih untuk memanfaakan limbah tersebut untuk pakan ternak dengan alasan tidak repot. Tanpa disadari

bahwa tindakan tersebut adalah ekologis (menguntungkan ternak) dan ekonomis (ternak menguntungkan pemilik).

Dari aspek penanganan sampah, yang dalam hal ini adalah sampah rumah tangga, penulis melihat adanya perkembangan tata-kelola. Semula sampah rumah tangga dikumpulkan di sudut kawasan yang kemudian secara berkala diangkut oleh petugas dari Dinas Kebersihan Pemda Jakarta Barat. Di tempat penampungan tersebut sampah dikumpulkan begitu saja tanpa ada warga yang merapikan dan mudah berserakan karena tertiup angin. Di kemudian hari koperasi memperoleh alat pengepres sampah bantuan dari Pemda Jakarta Barat. Kawasan Depo menjadi bersih karena sampah domestik langsung masuk ke mesin pengepres sampah. Mesin tersebut dioperasikan setiap sore hari oleh petugas tetap dari warga setempat. Kemudian dengan waktu yang lebih jarang, petugas dari Dinas Kebersihan mengambil sampah yang sudah dipres tersebut. Proposisi konseptual yang dapat dirumuskan dari kenyataan empirik tersebut adalah bahwa perubahan perilaku sebuah komunitas dapat terjadi karena dukungan atau intervensi eksternal, sementara pihak eksternal sendiri memperoleh keuntungan dari perubahan tersebut, baik keuntungan prestis maupun ekonomis.

Dari aspek penanganan air limbah, temuan menunjukkan bahwa sejak dari tempat usaha semula para perajin tidak memiliki kebiasaan dan kemampuan untuk mengolah air limbah sendiri-sendiri sebelum limbah tersebut dibuang ke saluran umum. Setelah mereka pindah di satu kompleks, dan dengan tersedianya lahan yang cukup untuk pengolahan air limbah, dan dengan terbentuknya kepengurusan lingkungan, serta dengan bantuan Pemda setempat, dan pada akhirnya juga memperoleh dukungan dari warga masyarakat sekitar, maka mereka dimungkinkan untuk mampu mengelola limbah air secara bergotong-royong dan terkoordinasi. Proposisi konseptual yang dapat dikonstruksi berdasarkan temuan empirik tersebut adalah bahwa praktik ramah lingkungan dimungkinkan dapat dilakukan secara kolektif, terkoordinasi, memperoleh dukungan dari pengusasa

Page 8: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 71

(mewakili state) dan sekaligus memperoleh dukungan dari warga sekitar (mewakili society).

Dari aspek penggunaan energi, kegiatan usaha cenderung ekonomis; sedikit mungkin mempergunakan listrik, minyak tanah dan gas. Proses pemecahan kedelai pada umumnya dilakukan secara manual dengan mempergunakan tenaga manusia. Perebusan dan penggorengan dengan mempergunakan bahan bakar kayu limbah bangunan atau bekas peti kemas.

Dari aspek keselamatan dan kesehatan tempat produksi: karena pengutamaan pada aspek ekonomis itulah maka para perajin menjadi tidak memperhatikan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Proses produksi tidak hiegenis, tidak memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja dan juga tidak memperhatikan estitika dan kesehatan. Dengan demikian proposisi konseptual yang berlaku di lingkungan penelitian adalah bahwa motivasi ekonomi dari kegiatan usaha cenderung sengaja mengorbankan estetika dan kesehatan. Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi Intensitas Praktik Ramah Lingkungan

Pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin tempe tahu, meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan. Gejala yang paling umum adalah bahwa mereka masing-masing melakukan produksinya dengan cara yang masih kurang bahkan tidak ramah lingkungan. Penjelasan yang dapat dikemukan dalam hal ini adalah: 1) Kegiatan usaha diprioritaskan sebagai sumber

penghasilan utama, dengan tujuan utama memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.

2) Yang dipikirkan oleh para pemilik usaha adalah memperoleh penghasilan dan tidak waktu untuk memikirkan apakah kegiatan produksinya itu ramah lingkungan atau tidak. Waktu dihabiskan

untuk membuat perencanaan dan kegiatan produksi harian.

3) Konsumen atau para pedagang cenderung tidak mempersoalkan apakah produk yang dibeli itu diproses dengan cara ramah lingkungan atau tidak.

4) Akibat dari semua itu, para pengusaha memang tidak termotivasi untuk melakukankegiatan produksi ramah lingkungan.

5) Namun secara kolektif, para perajin dapat diarahkan untuk melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan. Penjelasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah: a. Bermula dari tidak adanya kebiasaan dan

pemahaman. Para perajin tempe tahu di kawasan tersebut memang tidak memiliki kebiasaan untuk melakukan produksi ramah lingkungan; lebih-lebih pada waktu mereka belum tinggal di kawasan PIK KOPTI Semanan. Pada waktu itu mereka tidak memiliki atau tidak mengenal konsep ataupun pengertian mengenai produksi ramah lingkungan. Pada saat mereka menanggapi protes pun, pada mulanya dilakukan bukan karena kesadaran akan produksi ramah lingkungan.

b. Adanya protes dari warga sekitar sebagai pendorong. Benturan atau protes dari warga sekitar memang merupakan salah satu faktor pendorong utama dari proses pembelajaran tersebut. Namun demikian proses pembelajaran tersebut tidak terjadi secara serta-merta begitu mereka menerima protes. Protes dari warga sekitar tersebut disertai dengan ancaman terhadap keselamatan beberapa pengelola lingkungan PIK KOPTI Semanan. Protes dari warga diluar kawasan tersebut sehubungan dengan limbah air bau dari proses produksi. Protes disertai ancaman tersebut tidak menghalangi para perajin untuk tetap eksis dan berproduksi.

c. Adanya pedagang dan konsumen yang tidak mempersoalkan proses produksi maupun limbah yang dihasilkan. Permintaan pedagang dan konsumen cenderung tetap ada, bahkan ketika Pemerintah menemukan beberapa kegiatan produksi tahu terbukti telah menggunakan bahan-bahan yang dilarang karena berbahaya dan beracun. Para pedagang dan kosumen cenderung tidak melakukan protes terhadap proses produksi maupun limbah tersebut.

Page 9: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

72 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

d. Adanya pendekatan dialogis. Untuk menghindari protes dan ancaman berkepanjangan yang berkemungkingan dapat berubah menjadi tindakan-tindakan radikal anarkhis, pimpinan linkungan PIK KOPTI mengambil inisiatif untuk berdialog dengan pimpinan warga yang melakukan protes. Dialog tersebut telah menghasilkan kesepakatan yang memuaskan keduabelah pihak. Dengan demikian pada dasarnya protes warga dari luar kawasan tersebut telah ikut memaksa wagra KOPTI Semanan untuk berdialog dan belajar mentransformasi diri melakukan produksi ramah lingkungan.

e. Adanya usaha bersama, koordinasi dan bantuan ketersediaan lahan dan bantuan peralatan. Bagi warga PIK KOPTI Semanan, kegiatan produksi ramah lingkungan memang merupakan kegiatan pembelajaran baru begitu mereka berada di lokasi PIK-KOPTI Semanan. Dalam mencoba mengatasi masalah bau air limbah tersebut, warga atau masing-masing unit usaha di PIK-KOPTI Semanan tidak mampu melakukannya sendiri-sendiri, tetapi mereka perlu melakukankannya bersama-sama dengan fasilitas dari koperasi, dikoordinasi oleh pengurus koperasi sekaligus pengurus lingkungan setempat. Usaha bersama yang dilakukan adalah membuat satu dapur umum dan kolam komunal untuk penampungan air limbah produksi. Kolam komunal tersebut dimaksudkanuntuk menampung air limbah produksi baik dari dapur umum maupun dari masing-masing rumah tangga unit produksi. Dapur umum dan kolam penampungan air limbah produksi tersebut dibangun terpisah dari masing-masing rumah produksi. Lahan untuk lokasi dapur umum dan kolam penampungan air limbah tersebut adalah milik koperasi. Sedangkan peralatan untuk keberfungsian klanm tersebut seperti mesin blower dan mesin pompa air artesis adalah sumbangan Pemda. Demikian juga lahan untuk tempat penampungan limbah padat termasuk sampah domestik, disediakan oleh koperasi. Peralatan berupa mesin pengepres sampah adalah bantuan Pemda.

f. Adanya bantuan teknis dari kompleks pemukiman lain yang berkepentingan terhadap penanganan saluran buangan limbah air. Ini adalah bentuk reaksi yang sama sekali berbeda dengan reaksi protes. Jika reaksi protes sudah

cukup mendorong warga PIK KOPTI Semanan untuk menyadari perlunya mengelola limbah dengan baik, maka bantuan teknis itu telah memberikan pembelajaran yang lebih konkret dalam bentuk praktek. Warga PIK KOPTI Semanan cenderung akomodatif terhadap bantuan-bantuan jenis konkret dan praktis, seperti juga yang berikut ini.

g. Adanya bantuan teknis dan pembiayaan dari Pemerintah untuk meningkatan keberfungsian kolam penampungan air limbah sebagasi instalasi pengolahan limbah. Kolam yang dibuat tersebut pada mulanya hanya sekedar penampungan air limbah saja, yang makin lama makin berbau menyengat, yang pada akhirnya menimbulkan beberapa kali protes dari warga sekitar. Lalu dengan bantuan pendanaan, teknis dan peningkatan kapasitas lokal yang dilakukan oleh Pemda yang dalam hal ini adalah BPLH DKI dan Dinas PU DKI, kolam penampungan tersebut dikembangkan menjadi IPAL.

h. Adanya bantuan pemantauan dan secara rutin dari instansi pemerintah. Secara berkala pengurus lingkungan yang dalam hal ini juga pengurus kooperasi, bersama dengan tim-nya dan juga bersama dengan petugas dari Pemda melakukan pemantauan terhadap keberfungsian IPAL, termasuk perawatan terhadap peralatan IPAL. Pemantauan dan bantuan perawatan secara rutin juga dilakukan terhadap alat pengepres sampah.

i. Adanya pembinaan secara berkala dari Perguruan Tinggi. Eksistensi komunitas PIK KOPTI Semanan dengan kegiatan pembelajarannya untuk melakukan produksi ramah lingkungan juga memperoleh dukungan dari beberapa Perguruan Tinggi yang melaksanakan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat di kawasan tersebut. Tema-tema yang dilaksanakan dalam kegiatan tersebut antara lain tentang menajemen produksi, produksi sehat dan aman, penghematan listrik dan konservasi air, di samping bakti sosial yang berupa dokter dan pengobatan gratis.

j. Kesediaan para perajin untuk belajar dan mengambil bagian dalam mencoba melakukan prinsip-prinsip produksi ramah lingkungan. Kesediaan ini lebih banyak berhubungan dengan rasa ”kewajiban” yang ditanamkan pengurus lingkungan kepada para warga. Dalam hal ini pengurus lingkungan melakukan

Page 10: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 73

kontrol yang ketat terhadap partisipasi warga dalam melaksanakan prinsip-prinsip produksi ramah lingkungan. Dalam kegiatan pembinaan dan penyuluhan, lembaga penyelenggara menyediakan konsumsi; dan jika penyelenggaran kegiatan itu dilakukan di luar kawasan PIK KOPTI Semanan maka penyelenggara menyediakan juga akomodasi, tranportasi, bahkan uang transport.

k. Unit-unit produksi berada dalam satu lingkungan pemukiman yang sama dengan peruntukan khusus bagi kegiatan produksi tahu tempe. Ini mempermudah penanganan limbah, artinya: IPAL dapat dibuat secara kolektif sehingga masing-masing unit usaha tidak perlu memiliki atau membuatnya sendiri-sendiri; pengelolaan IPAL dapat dikerjakan oleh kelompok khusus yaitu warga setempat yang telah memperoleh pelarihan seperlunya, sehingga masing-masing pemilik usaha tidak perlu ikut bekerja mengurus IPAL tersebut melainkan cukup berpartisipasi melalui iuran.

l. Struktur komunitas yang khas. Tanda-tanda sebagai komunitas berstruktur sosial tunggal adalah persamaan daerah asal, kebiasaan, lapangan pekerjaan, bahasa, tinggal di wilayah geografis yang relatif tertutup dalam arti dikhususkan untuk perajin tahu tempe asal Pekalongan saja, jumlahnya juga tidak terlalu besar, wilayah teritorialnya juga tidak terlalu luas, namun memiliki beberapa fasilitas bersama seperti masjid, sekolah, mobil ambulan dan lahan yang cukup untuk pengolahan sampah dan limbah produksi; dan eksistensinya disadari dan diakui oleh pihak luar. Akan tetapi sebagai sebuah organisasi formal, yaitu koperasi, masing-masing komponen di dalam komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan memiliki status dan peran yang jelas, diferensiasi tinggi. Hal itu bukanlah ciri struktur sosial tunggal. Koperasi juga membentuk RT/RW sendiri, dan mulai menerima orang luar dengan usaha kecil selain tempe tahu untuk berdomisili di kawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan dan tidak perlu menjadi anggota Koperasi. Dengan demikian komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan juga memiliki tanda-tanda sebagai komunitas berstruktur sosial majemuk. Lebihdari itu di dalam struktur sosial komunitas PIK KOPTI Semanan terdapat fungsi lay persons yang sanggup menggerakkan warga untuk peduli

pengolahan limbah secara bersama dan memiliki akses ke beberapa sumber pembinaan lingkungan.

Tanggapan Warga Terhadap Temuan Penelitian Dan Harapan Untuk Tindak Lanjut

Temuan sebagaimana diuraikan tersebut

diatas disampaikan oleh tim peneliti dan dibahas oleh warga setempat dalam forum FGD. Kegiatan FGD ini dilaksanakan selama satu hari pada tanggal 28 Oktober 2009. Warga yang diundang untuk hadir pada kegiatan FGD tersebut adalah tokoh-tokoh warga setempat yang dianggap oleh pengurus lingkungan memahami dan mampu memberikan masukan atau solusi untuk permasalahan industeri kecil tempe tahu khususnya dari aspek teknik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Karena itu dalam FGD tersebut, setelah pleno pemaparan hasil penelitian, peserta dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu kelompok teknik (10 orang), kelompok ekonomi (10 orang), kelompok sosial (10 orang) dan kelompok lingkungan (9 orang).

Tanggapan Umum

Tanggapan umum ini disampaikan oleh Pengurus PIK KOPTI Swakerta Semanan. Dalam tanggapan itu disampaikan bahwa paparan yang disampaikan oleh tim peneliti adalah benar dalam arti sesuai sengan kenyataan empirik yang terjadi di lapangan.

Pengurus sependapat bahwa pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin tempe tahu, meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan. Pengurus juga mengakui bahwa gejala yang paling umum adalah bahwa mereka masing-masing melakukaanggapann produksinya dengan cara yang masih kurang bahkan tidak ramah lingkungan. Karena itu tanggapan berikutnya adalah sebuah usulan atau ajakan kepada segenap warga PIK

Page 11: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

74 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

KOPTI Semanan untuk memikirkan kemungkinan dan merencanakan pembangunan pabrik bersama industri kecil tempe ramah lingkungan.

Pengutamaan pada usulan pembangunan pabrik tempe modern ini, dan bukan pabrik tahu, dipertimbangkan berdasarkan mayoritas warga PIK KOPTI Semanan adalah pengusaha industri kecil tempe.

Tanggapan Dari Kelompok Teknik

Tanggapan dari Kelompok Teknik adalah mendukung usulan dari Pengurus PIK KOPTI mengenai perlunya segera berpindah dari teknologi tradisional dan individual ke teknologi modern tetapi bersama-sama dalam satu wadah Koperasi. Masalah-masalah teknologi yang mungkin akan dihadapi dengan beroperasinya pabrik tempe modern ini, menurut Kelompok Teknik dapat diduga dan dapat dicarikan solusinya dengan mudah. Misalnya masalah suku cadang mesin, kelompok ini siap merakitnya. Pengoperasiannya pun mudah dan sederhana, lebih mudah daripada mengendarai sepeda motor, sehingga tidak perlu lisensi khusus bagi operator. Tanggapan Dari Kelompok Ekonomi

Seperti pada Kelompok Teknik, Kelompok

Ekonomi jug mendukung usulan dari Pengurus PIK KOPTI Semanan. Meskipun belum dihitung secara lebih rinci dan mendalam, kelompok ini meyakini akan keuntungan yang lebih besar apabila para perajin bersedia mempergunakan mesin modern. Penggunaan mesin modern, di samping akan meningkatkan kapasitas produksi, akan menghemat bahan bakar, tenaga dan waktu.

Tanggapan dari Kelompok Sosial Kemasyarakatan

Kelompok ini mengingatkan bahwa

pengelolaan dan pemilikan pabrik dengan mesin modern adalah pada Koperasi dan keuntungannya untuk semua anggota. Dengan demikian penghematan tenaga dan waktu sebagaimana disampaikan oleh

Kelompok Ekonomi tidak menimbulkan kerugian terutama bagi para pekerja pada masing-masing rumah produksi. Memang akan terjadi sedikit perubahan sosial yang akan terjadi. Selama ini masing-masing rumah tangga melakukan kegiatan produksinya sendiri, dengan pekerjanya sendiri. Nanti setelah setelah ada pabrik bersama, fungsi rumah produksi masing-masing tersebut akan berubah menjadi rumah pameran atau toko yang memamerkan atau memasarkan rupa-rupa tempe olahan pabrik bersama tersebut. Tenaga dan waktu yang semula dipergunakan untuk produksi dapat dialihkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif lainnya terutama yang berhubungan dengan pemasaran rupa-rupa produk tempe.

Tanggapan Dari Kelompok Pelestarian Lingkungan

Seperti halnya kelompok-kelompok yang

lain, Kelompok Lingkungan juga memberikan tanggapan positif terhadap ajakan Pengurus PIK KOPTI Semanan untuk segera membangun pabrik bersama pengolahan tempe dengan mesin modern. Kelompok ini mengusulkan agar lokasi pabrik bersama ini berada di lahan kosong sekitar IPAL. Dengan demikian limbah air bekas cucial kedelai langsung dapat disalurkan ke IPAL tanpa melewati saluran-saluran buangan domestik. Dengan demikian pula saluran buangan domestik yang berasal dari unit-unit produksi rumah tangga akan bebas dari limbah air bekas cucian kedelai. Akibat selanjutnya adalah lingkungan akan menjadi nyaman, bebas dari bau limbah air bekas cucial kedelai. Di samping itu jika unit-unit produksi rumah rangga beralih fungsi menjadi rumah pamer atau toko atau cafe, maka dipastikan lingkungan tidak akan menjadi kumuh lagi, bahkan sebaliknya akan menjadi artistik dan asri.

Kesepakatan untuk Tindak Lanjut Tahun 2010/2011

Page 12: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 75

Persoalan penting yang dihadapi adalah kondisi KOPTI Swakerta Semanan yang sekarang ini tidak lagi bergungsi sebagai koperasi. Akibatnya kebersamaan dalam permodalan dan manajemen yang diperlukan untuk pembangunan pabrik bersama tersebut akan menghadapi kesulitan serius. Oleh karena itu rencana jangka pendek yang harus dilakukan mulai tahun 2010 adalah konsolidasi fungsi KOPTI Swakerta Semanan supaya benar-benar sesuai dengan apa yang disebut koperasi.

Jika konsolidasi berhasil dilakukan, pengurus PIK KOPTI Swakerta tidak akan serta-merta atau langsung melakukan pembangunan pabrik bersama pengolahan tempe dengan mesin modern secara besar-besaran. Yang penting untuk dilaksanakan adalah melakukan uji coba dan percontohan lebih dahulu dengan satu unit mesin modern pengolah tempe.

Untuk itu Pengurus PIK KOPTI Swakerta beserta semua peserta yang hadir dalam FGD berhadap kiranya Tim Peneliti dapat membantu menyusun rencana konsolidasi dan pembangunan percontohan pabrik bersama tersebut di tahun 2010. KESIMPULAN

. 1) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan

industri kecil tempe tahu di Perkampungan Industri Kecil (PIK) KOPTI Swakerta Semanan Jakarta Barat sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan industri kecil ramah lingkungan walaupun sudah ada usah ake arah itu.Pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin tempe tahu, meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan.

2) Keadaan tersebut disadari betul oleh para pelaku usaha setempat. Namun mereka mempunyai aspirasi ramah lingkungan, bahkan mereka sedang berusaha keras mencari cara baru agar kegiatan produksi mereka dapat memenuhi standard ramah lingkungan baik dari segi

pengelolaan limbahnya maupun pada proses produksinya.

3) Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa komunitas setempat dapat diarahkan dan siap dibina untuk melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan. Model pembinaan yang diharapkan oleh komunitas setempat adalah pembinaan yang bersifat persuasif, fasilitatif dan dengan percontohan yang tuntas.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Barbara, Ulrich Beck and Joost van Loon (2004). The Risk Society and Beyond, Critical Issues for Social Theory, Sage Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi

Anderson, Ingvar (1998). Environmental Management Tools for SME: A Handbook, Environmental Issues Series, European Environmental Agency, Denmark.

Asian Development Bank (1997). Microenterprise Development, Not By Credit Alone,http://www.adb.org/Documents/Books/Microenterprise/microenterprise.pdf

Asian Development Bank (2002). Handbook on Environmental Statistics, Development Indicators and Policy Research Division Economics and Research Department, Asian Development Bank, April 2002,

Asian Debvelopment Bank (2003). Environment Assesment Guidlines, Asian Development Bank, http://www.adb.org/documents/guidelines/environmental_assessment/Environmental_Assessment_Guidelines.pdf

Barry, John (1999). Environment and Social Theory, Routledge Introductions to Environment Series, Routledge, London and New York

Bell, Michael Mayerfeld (2004). An Invitation to Environmental Sociology, Pine Forge Press, Sage Publications Inc; Thousand Oaks, London, New Delhi

Berger, Johannes (1994). The Economy and the Environment, dalam Neil Smelser and Richard Swedberg (eds)

The Handbook of Economic Sociology, Princeton, NJ: Princeton University Press, pp. 768–97

BPLH DKI Jakarta (2003). Laporan Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

Page 13: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

76 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2003/Docs/index.htm

BPLH DKI Jakarta (2004). Kondisi Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2004, http://bplhd.jakarta.go.id/info/laporan/LAP_GUB_12JAN05.doc

BPS (2005). Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtamgga 2003, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BPS Propinsi DKI Jakarta (2005). Profil Usaha Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtamgga 2005, Badan Pusat Statistik Propinsi DKI, Jakarta.

Buttel, Frederick H. (2000). World Society. The Nation State, and The Environmental Protection; Comment on Frank, Hironaka, and Schofer, American Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 117-121

Buttel, Frederick H. (2001). “Environmental Sociology and the Explanation of Environmental Reform”, Paper presented at the Kyoto Environmental Sociology Conference, Kyoto, October 2001

Buttel, Frederck H. (2002). Has Environmental Sociology Arrived?, Organization & Environment, Vol. 15 No. 1, March 2002, Sage Publication, pp. 42-54

Buttel, Frederick H. (2003). Environmental Sociology and the Explanation of Environmental Reform, Organization & Environment, Vol. 16 No. 3, September 2003, Sage Publication, pp. 306-344

Buttel, Frederick H. (2004). The Treadmill of Production: An Appreciation, Assessment, ans Agenda for Research, Organization & Environment, Sep 2004, 17, 3; ABI/INFORM Global, pp. 323-336

Castro, Carlos J (2004). Sustainable Development, Mainstream and Critical Perspectives, Organization & Environment, © 2004 Sage Publications Vol. 17 No. 2, June 2004 195-225

Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E. (1980) A New Ecological Paradigm for Post-Exuberant

Sociology, The American Behavioral; Sep/Oct 1980; 24, 1; ABI/INFORM Global

Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E. (1980). A New Ecological Paradigm for Post-Exuberant Sociology, dalam R. Scott Frey ed. (2001), The Environment and Society Reader, Allyn and Bacon, Boston

Cernea, Michael M (1993). The sociologist's approach to sustainable development, Finance & Development, Dec 1993; 30, 4; Wilson Social Sciences Abstracts, pp. 11-13

Cohen, Maurie J. (1998). Science and Environment: Assessing Cultural Capacity for Ecological Modernization, Public Understand Science, 7 (1998) , IOP Publishing Ltd and The Science Museum, UK. pp. 149-167

Comte, Auguste (1988). Introduction to positive philosophy. Ed. by Frederick Ferré. Hackett, Cambridge/Indianapolis

Deschrocher, Pierre (2002). Natural Capitalists’ Indicement of Traditional Capitalism: A Reappraisal, Business Strategy and the Environment, July/Aug. 2002, pp. 203-220

Diekmann, Andreas and Peter Preisendörfer (2003). Green and Green back, The Behavioral Effects of Environmental Attitudes in Low-Cost and High-Cost Situation, Rationality and Society, Vol. 15(4) 2003: 441-472

Doyle, Timothy and Doug McEachern (2001). Environment and Politics, Routledge Introductions to Environment Series, Routledge, London and New York

Durkheim, Emile, (1893/1933). The Division of Labor in Society, Glencoe, Free Press, Illinois

Durkheim, Emile, (1895/1982). The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its Method, Free Press, New York

Dunlap, Riley E. (2001), The Evolution of Environmental Sociology: A Brief History and Assessment of the American Experience, R. Scott Frey ed. (2001), The Environment and Society Reader, Allyn and Bacon, Boston, pp. 43-62

Dunlap, Riley E. (2002). Environmental Sociology, A Personal Perspective on Its First Quarter Century, Organization and Environment, Vol. 15 No. 1, March 2002, Sage Publications 2002

D’Souza, Clare and Roman Peretiatko (2002). The nexus between industrialization and environment, A case studi of Indian enterprises, Environmental Management and Health, Vol. 13 No. 1, 2002, pp. 80-97

Etzioni, Amitai (2004). The Post Affluent Society, Review of Social Economy, Vol. LXII No. 3 September 2004, Routledge, http://www.tandf.co.uk/journals

Etzioni, Amitai (2002). "The Good Society." Seattle Journal of Social Justice. Vol. 1, Issue 1 (Spring/Summer 2002) 83-96.

Etzioni, Amitai (2000). Creating good communities and good societies, Contemporary Sociology, Vol. 29, Issue 1 (January 2000), pp. 188-195, http://www.gwu.edu/~ccps/etzioni/A276.html

Page 14: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 77

Etzioni, Amitai (1968). "Societal Guidance: A Key to Macro-Sociology," Acta Sociologica Scandinavian Review of Sociology, Vol. 11 (Fasc. 4, 1968), pp. 197-206.

Etzioni, Amitai (1968). The Active Society, Theory of Societal and Political Processes, The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co; Inc; New York.

Etzioni, Amitai (1967). "Toward a Theory of Societal Guidance," The American Journal of Sociology, Vol. 73, No. 2 (September 1967), pp. 173- 187.

Evers, Hans-Dieter (1980). Produksi Subsistensi dan “Massa Apung” di Jakarta, PRISMA VIII – Juni 1980

Foster, John Bellamy (1999). Marx’s Theory of Metabolic Rift: Classical Foundation for Environmental Sociology, The American Journal of Sociology, September 1999, 105, 2

Foster, John Bellamy (2002). Capitalism and ecology: the nature of the contradiction, Monthly Review, September 1, 2002, http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m1132/is_4_54/ai_91659884

Frank, David John, Ann Hironaka and Evan Schofer (2000). The Nation State and the Natural Environment Over the Twentieth Century, American Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 96-116

Fulkerson, Gregory M. (2000). Environmental sociology, an Analysis of Trends, Western Michigan University, Kalamazoo, Michigan

Giampietro, Mario; Kozo Mayumi; Sandra G.F. Bukkens (2001). Multiple-Scale Integrated Assessment of Societal Metabolism: An Analytical Tool to Study Development and Sustainability, Environment, Development and Sustainability; 2001; 3, 4; pp. 275-307

Gould, Kenneth A., David N. Pellow, Allan Schnaiberg (2004). Interogating the Treadmill of Production, Everything You Wanted to Know About the Treadmill but Were Afraid to Ask, Organization & Environment, Vol. 17 No. 3, September 2004, Sage Publication, pp. 296-316

Green Microfinance (2004). Examples of Microfinance Impacts. http://www.greenmicrofinance.org/Pages/EcoImpact.html

Gross, Matthias (2000). Classical Sociology and the Restoration of Nature, the relevance of Emile Durkheim and Georg Simmel, Organization &

Environment, Sept, 13, 3, Sage Publications, Inc. pp. 277 -291

Hannigan, John A. (2002). Environmental Sociology, A Social Constructionist Perspectives, Environment and Society, Routledge, London and New York

Hawken, Paul, Amory Lovins and Hunter Lovins (2004). Natural Capitalism, Creating Next Industrial Revolution, Rocky Mountain Institute. 1739 Snowmass Creek Road, Snowmass,

Hitchens, David, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, Samarthia Thankappan (2003), Competitiveness, Environmental Performance and Management of SMEs, Greener Management International, Winter 2003; 44, pp. 45-57

Hoesin, Helmon (2003). Pola Pembinaan UKM dan Kaki Lima Jakarta Barat,

Pelatihan Pemberdayaan Sektor Informal Untuk Pengembangan Ekonomi Lokal, Urban and Regional Institute, http://www.urdi.org/ILO/PDF/Lampiran-4.pdf

Huber, Joseph (1998). “Toward Industrial Ecology: Sustainable Development as a Concept of Ecological Modernization”, Paper prepared for the International Workshop on “Ecological Modernization” at the University of Helsinki 10-13 September 1998

Huber, Joseph (2001). “Environmental Sociology in Search of Profile”, Paper prepares for the Autumn Meeting of the section “Sociology and Ecology” of the German Society of Sociology, Bremen 9 November 2001

Johnson, Doyle Paul (1981). Sociological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, John Wiley & Sons, New York

Jones, Robert Emmet and Riley Dunlap (1992). The Social Bases of Environmental Concern: Have They changes Over Time?, Rural Sociology 57 (1992) pp. 28-47, Frey, R. Scott, ed. (2001), The Environment and Society Reder, Allyn and Bacon, Singapore, pp. 164-179

Kementerian Lingkungan Hidup (2004). Info Berita Terkini, Pengelolaan Limbah Usaha Kecil, http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/

Kementerian Lingkungan Hidup (2004). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003

Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004). Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan, Indikator Keberhasilan, Program dan Kegiatan, Deputi Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup - Kementrian Negara Lingkungan Hidup

Page 15: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

78 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

Kementerian Lingkungan Hidup (2004). Hasil Kerja Kementrian Lingkungan Hidup 2001-2004, Jakarta, hal. 31-33

Kementerian Lingkungan Hidup (2005). Hasil Kerja Kementrian Lingkungan Hidup 2001-2004,

Kementerian Lingkungan Hidup (2005). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004

Konttinen, A (ed.) (1996). Green Moves, Political Stalemates. Annales Universitatis Turkuensis, B 215, pp. 16-24, http://wwwedu.oulu.fi/homepage/tjarviko/nature.htm

Lal, Abhishek and Betty Meyer (2004). An Overview of Microfinance and Environmental Management, The Global Development Research Center, http://www.gdrc.org/icm/environ/abhishek.html

Lindell, Martin and Necmi Karagozoglu (2001). Corporate Environmental Behavior – A Comparison Between Nordic and US Firms, Business Strategy and the Environment, Jan/Feb. 2001, pp. 38-52, John Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment

Lowry, Jean (1996). Environmental Auditing Training Package, Technical Report, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta

Lovins, Amory, Hunter Lovins and Paul Hawken (1999). A Road Map for Natural Capitalism, Harvard Business Review, May-June 1999, pp. 146-158;

Mill, John Stuart (1874). On Nature, Lancaster E-text, prepared by the Philosophy Department at Lancaster University, from

http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/index.htm

Mitchell, Ross E. (2001). Thorstein Veblen, Pioneer in Environmental Sociology, Organization & Environment, December 14, 4, Sage Publications 2001, pp. 389-408

Mol, Arthur P.J. and Get Spaargaren (2003). “Towards A Sociology of Environmental Flows, A new agenda for 21st century Environmental Sociology”, Paper for the International Conference on ‘Governing Environmental Flows’, Environmental Policy Group Wageningen University and the International Sociological Association RC-24, June 13-14 Wageningen, The Netherlands,

Murphy, Joseph and Andrew Gouldson (1998). Integrating environment and economy through Ecological Modernization: an assessment of the impact of environmental policy on industrial innovation, OCEES Research Paper No. 16, Oxford Centre for the Environment, Ethics & Society, Mansfield Colledge, Oxford, UK

Murphy, Joseph (2001). Ecological Modernization: The Environment and the Transformation of Society, OCEES Research Paper No. 20, Oxford Centre for the Environment, Ethics & Society, Mansfield Colledge, Oxford, UK

Pagell, Mark, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede and Chwen Sheu (2004). Does Competitive Environment Influence the Efficacy of Investments in Environmental Management?, The Journal of Supply Chain Management, 40, 3, Summer 2004, pp. 30-39

Pataki, George E, and Crotty, Erin M. (2003). The Environmental Self-Audit for Small Business, A Quick and Easy Guide to Environmental Compliance, Prepared for Small Business in New York State, by Pollution Prevention Unit, New York State Department of Environmental Conservation, New York

Pellow, David N., Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg (1999). Putting the Ecological Modernization Thesis to the Test: The Promise oad Performance of Urban Recysling, in Arthur PJ. Mol and David A. Sonnenfeld, eds., Ecological Modernization Around the World: Perspectives and Critical Debates, OR: Frank Cass & Co., Ilford (UK) and Portland

Pemda Propinsi DKI Jakarta (2002). Renstrada Propinsi DKI Jakarta 2002-2007, copyright [email protected]

Perdue William D. (1986). Sociological Theory, Mayfield Publishing Co., Palo Alto, California

Petts, Judith, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998) Environmental Responsiveness, Individuals and

Organization Learning: SME Experience, Journal of Environmental Planning and Management, Nov. 1998; 41, 6, pp. 711-730

Picou, Steve (1999). “Theoretical Trends in Environmental Sociology: Implications for Resource Management in the Modern World”, Paper presented at the Social and Economic Planning Conference, Minerals Management Service, August 24-26, 1999, Park City, Utah

Ramjeawon, T. (2004). A Case Study of Cleaner Production Opportunities In Small and Medium Enterprises on Island of Mauritius, Electronic Green Journal, Issue 20 Spring 2004

Ratzel, Friedrich (1972). Emile Durkheim 1899, Anthropogeographie, Book Review, dalam Anthony Giddens

Page 16: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010 79

eds. Emile Durkheim Selected Writings, Cambridge University Press, Cambridge, UK, pp.86-88

Revell, Andrea (2003). “The Ecological Modernization of Small Firms in the UK”, Paper presented to the Business Strategy and Environment Conference, Leicester, September 16th 2003

Rock, Michael T. and Jean Aden (1999). Initiating Environmental Behavior in Manufacturing Plant in Indonesia, Journal of Environment and Development, Vol 8 No. 4 Dec. 1999, Sage Publication 1999, pp. 357-735

Roy, Edward Van (1997). Toward Comprehensive Strategy for Poverty Alleviation and The Pacific, in Valuing the Past and Investing for the Future to Eradicate Poverty, Proceeding, 27th Regional Conference of The International Council on Social Welfare for Asia and Pacific Region, Jakarta 2-6 September 1997, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial.

Schaper, Michael (2002). Small Firms and Environmental Management, Predictor of Green Purchasing in Western Australian Pharmacies, International Small Business Journal, Vol. 20(3) pp. 235-251

Scott, James, C. (1981). Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta

Sibeon, Roger (2004). RethinkingSocial Theory, SAGE Publcications, London,-Thousand Oaks-New Delhi, chapter 2: Agency-Structure and Maicro-Macro, pp. 34-59

Siswoyo, Edy 2006. Praktik Ramah Lingkungan Industri Kecil di Jakarta, MASYARAKAT - Jurnal Sosiologi, Lab Sosio FISIP UI, Vol.XIII No. 2 Des 2006

Smelser, Neil J. and Richard Swedberg (1996), The Sociological Perspective on the Economy dalam

Chapter 1 Neil J. Smelser and Richard Swedberg, The Handbook of Economic Sociology, Princeton University Press and copyrighted, (c) 1996, Princeton University Press, pp.3-24

http://www.efpu.hr/fet/dokumenti/sociologija/ekonomska_sociologija/Smelser.Swedberg.pdf

Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg, David N. Pellow (1999). Politicizing the Treadmill of Production: Reshaping Social Outcomes of ‘Efficient’ Recycling, Revista Internacional de SociologĂa, Vol. 19-20 (January-August), pp. 181-222

Schnaiberg, Allan (2004). Economy and the Environment, Draft on Second Edition of Handbook of Economic Sociology, Chapter 31

Sonnenfeld, David A. (1999). “Social Movements and Ecological Modernization: The Transformation of Pulp and Paper Manufacturing”, Berkeley Workshop on Environmental Politics, Institute of International Studies, University of California, Berkeley 1999

Sonnenfeld, David A. and Arthur PJ. Mol (2002). Ecological Modernization, Governance, and Globalization, Epilogue, American Begavioral Scientist, Vol 45 No. 9, May 2002, pp. 1456-1461

Spaargaren, Gert (1999). “The Ecological Modernization of Domestic Consumption”, lecture at the Workshop on Ecological Modernization at the University of Helsinki, 10-12 September 1998, distributed for the Consumption, Everyday Life and Sustainability Summer School 1999, Lancaster University.

Spence, Martin (2000). Capital Agints Nature; James O’Conor’s Theory of the Second Contradiction of Capitalism, Capital & Calss, Autum, 72, 2000:81-109

Spencer, Herbert (1959). The Principles of Sociology from Robert Bierstedt 1959,

The Making of Society. New York: Modern Library, pp. 445-447.

http://www2.pfeiffer.edu/~lridener/DSS/Spencer/SPENCER.HTML

Srinivas, Hari (2004). The Environmental Colours of Microfinance, Theory and Practice, The Global Development Research Center, http://www.gdrc.org/icm/environ/environ.html

Swedberg, Richard (2003). Principles of Economic Sociology, Princeton University Press

Sweezy, Paul M. (2004). Capitalism and the Environment, Monthly Review Vol. 56 No. 5, Monday, November 08 2004, http://www.monthlyreview.org/1004pms3.htm

Tardan, M Agus M, dkk. (1997). Audit Lingkungan, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta

Tilley, Fiona (1999). The Gap Between The Environmental Attitudes and Environmental Behaviour of Small Firms, Business Strategy and the Environment, July/August, 199, 8, 4, pp. 238-248.

Turner, Jonathan H. (1998). The Structure of Sociological Theory, Sixth Edition, Wadsworth Publishing Co., Belmont, CA, Albany, NY

Page 17: KESIAPAN SOSIAL MENUJU USAHA INDUSTRI …stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2494-6. Edy Siswoyo.pdf · antara system ekonomi kapitalis dengan ... sistem transportasi ... yang bersifat

80 INSANI, ISSN : 0216-0552| No. : 10/1/Desember/2010

United Nations of Environment Programme (2006). What is Cleaner Production?, UNEP Working Group for Cleaner Production in the Food Industry, http://www.gpa.uq.edu.au/CleanProd/what_is_cp.htm

Urusan Limbah Usaha Kecil, Kantor MNLH. (2004). Pengelolaan Limbah Usaha Kecil, http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/top/dampak.htm

Urusan Limbah Usaha Kecil, Kantor MNLH. (2004). Data Usaha Kecil dan Agroindustri Yang Potensial Mencemari Lingkungan http://www.mnlh.go.id/usaha-kecil/

Veblen, TB. (1899/1967). The Theory of The Leisure Class: An Economic Study of Institution, Funk & Wagnalls, New York

Warhurst Alyson (1998) . Developing a Sustainable Economy: Towards a Pro-Active Research Agenda, ESRC Global Environmental Change Programme, Environment & Sustainability Desk Study Prepared for the ESRC April 1998

World Bank (2001). Poverty Reduction in Indonesia, Constructing a New Strategy, Report No. 23028-IND, October 29, 2001, Environment and Social Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region, World Bank Office, Jakarta

Wright, Erik Olin (2004). Interogating The Treadmill of Production, Some Question I Still Want to Know and Am Not Afraid to Ask, Organization &

Environment, Vol. 1 No. 3, September 2004, Sage Publication, pp. 317-322

York, Richard, Eugene A. Rosa, Thomas Dietz (2003). Footprints on the Earth: The Environmental Consequences of Modernity, American Sociological Review, Apr. 2003, 68, 2, pp. 279-300

York, Richard (2004). The Treadmill of (Diversifying) Production, Organization & Environment; Sep 2004; 17, 3; ABI/INFORM Global, Sage Publication 2004, pg. 355-361.

Zinn, Jens (2004). Sociology and Risk, Literature Review, Social Contexts and Responses to Risk – An Economic and Social Research Council Network, Kent University,

http://www.kent.ac.uk/scarr/papers/Sociology%20Literature%20Review.pdf

PERATURAN PERUNDANGAN

UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

EDY SISWOYO, Doktor Sosiologi Kajian Sosiologi Lingkungan, Dosen PNS Kopertis Wilayah III: Lektor Kepala/Pembina, Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) STISIP Widuri. Kontak +628121954228, [email protected]