kesepakatan ktt asean 2015 dan kesiapan tenaga kerja terdidik

12
Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik Ir Arman Hakim Nasution, M.Eng Jurusan Teknik Industri, ITS, Surabaya Lektor Kepala Abstract ASEAN Economic Society Agreement that will be implemented in 2015 by Indonesia, Malaysia, Thailand, and Phillipine can be seen as opportunity or threat. As an opportunity, if our relative competitiveness in trading sector, good flow, and Human Resources have stronger rate of competitiveness. But it will a threat if an educated human resources have no working competencies, at least in regional area. In the context of preparing better relative competitiveness, we need to focus on our weakness as potential threat if we can not overcome it. Composition of educational stucture in primary and higher education in agriculture and industrial sectors in micro indicators, and Global Competitiveness Index (GCI) in macro indicator must be pointed in preparing the improvement competitiveness in facing next ASEAN market. As an alternatif solution, the quality improvement of basic education, the improvement of higher education through industrial collaboration based on cluster concept, and continuing education skill through certification are the main important activities to improve Indonesian competitiveness to the new future ASEAN market. Keyword : Global Competitiveness Index, cluster concept, composition of education KTT ASEAN yang dideklarasikan di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007, mengeluarkan kesepakatan bahwa pada tahun 2015 akan dimulai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara itu, Singapore dan Brunai Darussalam mendahului kerjasama bilateral ASEAN pada tahun 2010. Kesepakatan ini bisa dilihat dalam dua perspektif, sebagai peluang atau sebagai 1

Upload: cokroadvance-cool

Post on 26-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MEA

TRANSCRIPT

Page 1: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Ir Arman Hakim Nasution, M.EngJurusan Teknik Industri, ITS, Surabaya

Lektor Kepala

Abstract

ASEAN Economic Society Agreement that will be implemented in 2015 by Indonesia, Malaysia, Thailand, and Phillipine can be seen as opportunity or threat. As an opportunity, if our relative competitiveness in trading sector, good flow, and Human Resources have stronger rate of competitiveness. But it will a threat if an educated human resources have no working competencies, at least in regional area. In the context of preparing better relative competitiveness, we need to focus on our weakness as potential threat if we can not overcome it. Composition of educational stucture in primary and higher education in agriculture and industrial sectors in micro indicators, and Global Competitiveness Index (GCI) in macro indicator must be pointed in preparing the improvement competitiveness in facing next ASEAN market. As an alternatif solution, the quality improvement of basic education, the improvement of higher education through industrial collaboration based on cluster concept, and continuing education skill through certification are the main important activities to improve Indonesian competitiveness to the new future ASEAN market.

Keyword : Global Competitiveness Index, cluster concept, composition of education

KTT ASEAN yang dideklarasikan di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007, mengeluarkan kesepakatan bahwa pada tahun 2015 akan dimulai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara itu, Singapore dan Brunai Darussalam mendahului kerjasama bilateral ASEAN pada tahun 2010. Kesepakatan ini bisa dilihat dalam dua perspektif, sebagai peluang atau sebagai ancaman. Menjadi peluang apabila secara relatif daya saing kita dalam bidang perdagangan, arus barang, hingga Sumber Daya Manusia (SDM) mempunyai daya kompetisi relatif yang lebih kuat. Adapun hal ini bisa menjadi ancaman apabila anak didik kita tidak mempunyai kompetensi kerja yang berdaya saing tinggi, minimal ditingkat regional. Mengapa demikian ?. Implementasi kesepakatan KTT ASEAN pada 2015 ini akan menjadikan Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina seakan – akan sebagai sebuah negara baru dengan pasar yang besar sekali (lebih dari 500 juta penduduk), dimana aliran perdagangan serta pekerja lintas batas yang akan bekerjasama dan bersaing tanpa proteksi. Jadi, tenaga kerja Malaysia bisa masuk dan bekerja di Indonesia tanpa hambatan hukum dan proteksi lainnya, demikian juga sebaliknya.

Potensi Ancaman

Membahas masalah potensi ancaman bagi tenaga kerja terdidik, maka kita bisa memulainya komposisi struktur pendidikan dari pekerja diatas usia 15 tahun (sebagai basis logika rencana penerapan wajib belajar 9 tahun). Data BPS 2006 menunjukkan

1

Page 2: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

bahwa pekerja pendidikan dasar (tidak sekolah hingga tamat SD) mendominasi lapangan kerja sebesar 55%, pekerja berpendidikan menengah (SMP dan SMA) menguasai 39%, dan 6% sisanya diisi pekerja berpendidikan tinggi. Komposisi ini bila dibandingkan data tahun 2000 menunjukkan adanya penurunan persentase pekerja berpendidikan dasar sebesar 8% dan peningkatan persentase pekerja berpendidikan menengah dan tinggi masing – masing sebesar 6% dan 2%.

Tahun 2000 Tahun 2006

Gambar 1. Tingkat Pendidikan Pekerja Usia 15 Tahun Keatas

(Sumber : Litbang Kompas dan BPS, 2006)

Peningkatan persentase pada komposisi pekerja berpendidikan menengah dan tinggi menunjukkan bahwa selama periode 2000 hingga 2005 telah terjadi ”trend” peningkatan kebutuhan perusahaan (user) akan tenaga yang lebih tinggi pendidikannya dibandingkan lima tahun sebelumnya.

Lebih lanjut, potensi ancaman berikutnya adalah dengan melihat komposisi pekerja pada sektor pertanian dan Industri yang menjadi tumpuan 43% (pertanian) dan 24% (industri) pekerja Indonesia (sumber : ASEAN Statistical Yearbook, 2005). Pekerja pada sektor industri didominasi juga oleh pekerja berpendidikan dasar sebesar 56%, menengah 40%, sementara pendidikan tinggi hanyalah 4%. Sedangkan pada sektor pertanian hanya dikuasai oleh pekerja berpendidikan dasar dan menengah masing – masing sebesar 77% dan 23%.

Sektor Industri Sektor Pertanian

2

33%

63%

4% T

55% D

39%

6% T

56% D

40% M 4% T

77% D

23% M

Page 3: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Gambar 2. Tingkat Pendidikan Pekerja Usia 15 Tahun Keatas Pada Sektor Industri dan Pertanian (Sumber : Litbang Kompas dan BPS, 2006)

Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina sebagai partner ataupun pesaing pada tahun 2015, maka komposisi tingkat pendidikan mereka pada sektor industri maupun pertanian bisa dilihat pada Tabel 1. Dari dua sektor diatas, yaitu industri dan pertanian, maka ”competitiveness” kita masih kalah dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Tabel 1. Sektor dan Komposisi Pendidikan ASEAN

Sektor PendidikanPertanian Industri Dasar Menenga

hTinggi

Malaysia

12,5% 28% 29% 56% 15%

Thailand 36,5% 24% 62% 28% 10%Filipina 19,3% 39,7% 53% 40% 7%Indonesi

a43% 24% 55% 39% 6%

(Sumber : Areeya Rojvithee, OECD, 2005, BPS , ASEAN Statistical Yearbook 2005)

Kedua sektor tersebut sebenarnya merepresentasikan perubahan model ekonomi global. Sektor pertanian dianggap mewakili model Ekonomi berbasis Sumber Daya Alam, sedangkan sektor industri mengarah pada model Ekonomi Berbasis Pengetahuan.

Potensi ancaman ketiga bisa dilihat bila kita gunakan data yang lebih makro seperti Global Competitiveness Index (GCI). GCI secara ranking total disusun dari komponen Basic Requirements (mengukur parameter kesehatan dan pendidikan dasar, selain parameter institusi, infrastruktur, dan makroekonomi), Efisiensi Enhancers (mengukur parameter pendidikan tinggi dan pelatihan selain efisiensi pasar barang, tenaga kerja, dan keuangan, serta parameter kesiapan teknologi), Innovation Factors (mengukur parameter kemudahan berbisnis dan inovasi). Data GCI 2006 menunjukkan hasil pengukuran sebagai berikut :

Overall Rank (score) Basic

Requirement

Efficiency Enhancers Innovation

FactorsMalaysia 26(5,11) 24(5,44) 26(4,89) 22(4,91)Thailand 35(4,58) 38(4,98) 43(4,29) 36(4,15)Filipina 71(4) 84(4,19) 63(3,85) 66(3,63)Indonesia 50(4,26) 68(4,41) 50(4,12) 41(4,07)Sumber : GCI Report 2006

3

Page 4: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Dalam hal GCI, maka potensi tenaga kerja Indonesia dari sisi pendidikan dasar, (Basic Requirement), pelatihan, pendidikan tinggi, efisiensi labor market dan produktivitasnya (Efficiency Enhancers), serta kemampuan Riset dan Pengembangan (R&D) masih jauh diatas Phillipina, meskipun juga tertinggal agak jauh dari Malaysia dan Thailand.

Potensi ancaman keempat adalah produktivitas pekerja. Dalam kompetisi regional nantinya, maka user akan cenderung menggunakan tenaga kerja dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Ketua masyarakat produktivitas Jatim Endung Sutrisno menyatakan bahwa produktivitas pekerja China 1,98%, Malaysia 4%, sementara Indonesia hanya 0,80% (Kompas, 17 Jan 2007). Produktivitas disini bukan berarti bahwa orang Indonesia sangat malas, tetapi hal ini bisa jadi diakibatkan penguasaan pekerja China dan Malaysia terhadap mesin – mesin berteknologi ”state of the art” yang lebih baik, sehingga mendongkrak peningkatan output terhadap inputan tenaga kerjanya. Baiknya tingkat penguasaan mereka adalah karena di ”driven” oleh penggunaan mesin – mesin berteknologi terbaru oleh perusahaan dimana mereka bekerja.

Solusi Alternatif Mengatasi Ancaman

Dalam mengatasi potensi ancaman diatas, dengan menggunakan pola pikir positif bahwa ancaman akan menggugah kesadaran kita untuk berbenah lebih baik, maka beberapa solusi alternatif yang bersifat strategis jangka panjang dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja terdidik dapat dikembangkan berdasarkan kerangka 3 pilar sub index pengukuran GCI sebagaimana Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Kerangka 3 Pilar Sub Index Pengukuran GCI(Sumber : Lopez-Claros, Augusto, et all, 2006)

4

Basic Requirement :InstitutionsInfrastructureMacroeconomyHealth and Primary Education

Efficiency Enhancers :Higher Education and TrainingMarket Efficiency (goods, labor, financial)

Innovation and Sophistication Factors :Business SophisticationInnovation

Key forFactor-driven

economies

Key forEfficiency-driven

economies

Key forInnovation-

driven

Page 5: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar

Meningkatan Mutu Pendidikan, baik dari tingkat Dasar dan Menengah yang berbasis kreatifitas. Peningkatan mutu pendidikan ini secara langsung akan meningkatkan komponen pendidikan dasar pada sub index Basic Requirement. Inisiatif perluasan SNBI (Sekolah Nasional Bertaraf Internasional) pada setiap provinsi dan kabupaten dengan model pembelajaran kreatif perlu didorong dengan alasan tidak sekedar karena banyaknya murid yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri, tetapi lebih pada spirit peningkatan daya saing global. Spirit peningkatan daya saing global akan memacu institusi pendidikan berpikir selangkah kedepan dibandingkan pesaing ”benchmark” globalnya tanpa meninggalkan nilai – nilai luhur kebangsaan kita.

Meningkatkan Mutu Pendidikan Tinggi dan Kolaborasi Industri

Meningkatkan mutu pendidikan tinggi dengan meningkatkan output modal intelektual yang inovatif. Diperlukan kerjasama yang erat antara industri dengan perguruan tinggi agar supaya output modal intelektual yang inovatif tersebut dapat dihasilkan. Model – model magang kerja dosen ke industri dalam pengalaman ITS telah mampu meningkatkan kepercayaan industri terhadap institusi, sehingga hubungan yang saling menguntungkan dapat dijalin lebih erat. Model – model pengembangan Corporate University, dimana perguruan tinggi mendesain kurikulum pendidikan formal dan training sesuai kebutuhan industri adalah cara lain yang bisa dikembangkan. Peningkatan mutu bersama antara perguruan tinggi dan industri akan meningkatkan komponen pendidikan tinggi dan pelatihan pada sub index Efficiency Enhancers. Salah satu sarana yang berperan penting dalam peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan fasilitas ICT (Information and Computer Technology) sebagai komponen kesiapan teknologi pada sub index Efficiency Enhancers. Data makro infrastruktur menunjukkan bahwa harga backbone/Mbps masih jauh lebih mahal dibandingkan pesaing. Hal ini tidak lepas dari ukuran bandwidh yang lebih kecil akibat jumlah, coverage area dan konsentrasi user ICT yang kurang merata (Onno W.Purbo, 2006). Data lain berupa Indikator Internet Internasional menunjukkan bahwa pengguna internet Indonesia masih lebih kecil dari 1% penduduk, dengan rasio jumlah PC = 11,9 per 1000 penduduk. Sementara itu, Malaysia pengguna internetnya 36% dengan jumlah PC = 146,8 per 1000 penduduk, Thailand pengguna internetnya 7% dengan rasio jumlah PC = 39,8 per 1000 penduduk (Sumber : Pou-Chou Liang, Internet Access, APEC TELWG3, September 2005). Mengingat timpangnya rasio tersebut, maka diharapkan pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan ICT bagi semua jenjang pendidikan sebagai suatu inisiatif strategis penyerapan informasi global.

Pembelajaran Berkelanjutan Melalui Sertifikasi

5

Page 6: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Sertifikasi tenaga ahli dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing tenaga ahli lokal agar mampu bersaing pada tataran standar kerja yang global. Dengan adanya pasar yang lebih luas pada tahun 2015, maka sertifikasi adalah alat yang paling fair yang digunakan untuk bersaing. Sementara ini, pemegang sertifikasi keahlian di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan pesaing kita, Malaysia misalnya, yang secara signifikan mengadakan program sertifikasi reguler sejak 8 tahun lalu (lihat NVTC, website Kementrian SDM Malaysia, 2005) .

Rendahnya pemegang sertifikasi keahlian dapat dilihat sebagaimana data tercatat pada HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia). Dari 3586 orang anggota, hanya 20,65% yang bersertifikat dengan kualifikasi sebagai berikut : 11,21% Profesional Muda, 6,44% Profesional Madya, dan 3% Profesional Utama. Data yang tercatat pada IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) juga menunjukkan hal yang sama. Dari 10.000 anggota, baru 10% (1000 anggota) yang memiliki sertifikasi keahlian, dari kelas pratama (menjalani profesi setelah 4 tahun lulus kuliah), kelas madya (lebih dari 4 tahun), dan kelas utama yang tingkat keahliannya diakui setara arsitek asing.

Mengingat kondisi diatas, maka peningkatan ”jumlah” dan ”kualifikasi” sertifikasi adalah hal yang harus dilakukan untuk mampu bersaing secara global. Dengan demikian, maka ”pemetaan potensi” ahli bersertifikasi menjadi hal strategis untuk disinergikan dengan ”perencanaan program” sertifikasi tenaga ahli dalam meningkatkan daya saing tenaga ahli keteknikan Indonesia ditingkat regional dan global. Perguruan Tinggi dalam hal ini harus mampu menjadi generator dan fasilitator dalam proses sertifikasi tersebut, baik untuk tingkat lulusan pendidikan tinggi maupun menengah.

Penutup

Prinsip memenangkan persaingan sebenarnya adalah terletak pada seberapa baik kita memilih produk dan men ”deliver ” produk tersebut dengan ”value” yang lebih baik dibandingkan pesaing (Michael Porter, 2005). Dalam hubungannya dengan persaingan tenaga kerja, maka diperlukan kejelian tentang bidang – bidang apa saja yang potensial untuk dikembangkan kedepan.

Hasil riset Institute Strategy and Competitiveness, Harvard Bussines School, yang juga dimotori Porter sebagaimana terlihat pada Gambar 4 menunjukkan bahwa keahlian dibidang Litbang (R&D), Desain Produk, Distribusi, dan Pemasaran adalah berpotensi memberikan kontribusi nilai tambah per tenaga kerja yang jauh lebih besar, sehingga dapat digunakan untuk mendukung pengembangan daya saing industri manufaktur, Sumber Daya Alam, dan komoditas pertanian.

6

Page 7: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Gambar 4. Kontribusi Bidang Keahlian Terhadap Nilai Tambah per – Tenaga Kerja (sumber : ISC, HBS, 2005).

Singapura sebagai negara tetangga kita yang pada tahun 2006 ini mempunyai GCI total ranking 5, membuktikan statemen dan riset Michael Porter sebelumnya, seorang pakar manajemen strategis global terkemuka. Singapura memiliki 42,2% tenaga kerjanya yang bekerja pada bidang perdagangan (distribusi dan pemasaran), desain, dan rekayasa teknis lainnya, sedangkan dibidang manufaktur sebanyak 29,8% (sumber : ASEAN Statistical Yearbook, 2005). Taiwan yang sekarang ini bangkit menjadi raksasa teknologi mulanya hanya sebagai negara OEM (Original Equipment Manufacturing) bagi pemilik vendor merek AS dan Eropa hingga sekarang ini tetap eksis menerima order dari vendor besar adalah karena kemampuannya menggabungkan kemampuan manufaktur dengan layanan ODM (Original Desain Manufacturing) secara gratis kepada vendor – vendor besar tersebut.

Oleh karena itu, bila kita mempunyai kekuatan dibidang Sumber Daya Alam (SDA) yang tinggi sebagaimana konsep pengembangan klaster 10 komoditas unggulan, maka SDA tersebut harus ”diolah” dengan sentuhan Litbang, dan di ”make-up” dengan desain kemasan yang baik, serta ”dikelola” dengan cara pemasaran dan distribusi yang canggih untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk.

Bila kita mampu mengimplementasikan solusi alternatif sebelumnya, mensinergikan dan memperkuat bidang – bidang yang bernilai tambah tinggi sebagaimana hasil riset Porter, maka bisa jadi potensi ancaman tersebut malahan akan menjadi potensi peluang dengan semakin besarnya pasar tenaga kerja yang tersedia. Pasar global ASEAN akan menjadi kesempatan baru bagi kita untuk bangkit dan menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa yang besar dan berdaya saing tinggi (e-mail:[email protected]).

Tinggi

Tinggi

Litbang DesainProduk

Manufaktur Distribusi Pemasaran

Nila

i ta

mba

h pe

r

tena

ga ker

ja

7

Page 8: Kesepakatan KTT ASEAN 2015 Dan Kesiapan Tenaga Kerja Terdidik

Referensi :

AFP, 2006, From OEM to ODM, Taiwan Tranformation Technology, Techno ArticleAsian Development Bank, 2005, Key Indicators:labor Markets in Asia : Promotong Full,

Productive, and Decent Employement, http://www.adb.org/documents/books/key_indicators/2005/default.asp

ASEAN Statistical Yearbook, 2005BPS Statistic Indonesia, 2006, http://www.bps.go.id/index.shtmlDisperindag, 2005, Konsep Pengembangan 10 Klaster Prioritas Industri, Klaster Forum,

Jakarta.Kompas, Oktober 2006, Peluang ASEAN dan Indonesia di Pasar Eropa, Artikel

Internasional.Kompas, Desember 2006, Hanya Dogma, Bukan Makna, Artikel Produktivitas. Lopez-Claros, Augusto et all, The Global Competitiveness Index Report, 2006-2007,

World Economic Forum.Onno W.Purbo, 2006, Perhitungan Strategi Backbone Indonesia, makalah seminar

Technopreneurship, Jakarta.Porter, Michael, 2005, Competitiveness Report, , Institute Strategy and Competitivenes

HBS, Cambridge, Massachussets, USA.USAID and SENADA, 2006, Indonesia’s Competitive Environment Report.World Economic Forum, 2005, Global Competitiveness Report 2005-2006, Palgrave

Macmillan.

8