kesehatan masyarakat
DESCRIPTION
kkTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Definisi Ilmu Kesehatan Masyarakat mengalami evolusi seiring berjalannya waktu.
Definisi awal ilmu kesehatan masyarakat terbatas kepentingannya untuk mengukur sanitasi
dalam melawan gangguan dan bahaya (risiko) kesehatan yang individu tidak mampu
menanggulanginya. Sehingga sanitasi yang buruk dan penyebaran penyakit sebagai
patokan dalam memecahkan masalah kesehatan, menjadi ruang lingkup ilmu kesehatan
masyarakat.1
Winslow (tahun 1920) berusaha keras untuk meyakinkan kebenaran definisinya
tentang ilmu kesehatan masyarakat, dan hubungannya dengan bidang ilmu lain. Winslow
mendefinisikan ilmu kesehatan masyarakat sebagai: Ilmu dan seni tentang pencegahan
penyakit, memperlama hidup, dan meningkatkan derajat kesehatan, serta mengatur
komunitas agar berupaya untuk:1
1. menjaga sanitasi lingkungan,
2. mengendalikan penularan infeksi,
3. melakukan pendidikan kesehatan tentang kebersihan diri bagi individu,
4. mengatur pelayanan kesehatan untuk diagnosis dini, pencegahan dan pengobatan
penyakit,
5. mengembangkan sarana dan prasarana sosial untuk menjamin setiap anggota
komunitas memiliki standar hidup yang cukup untuk mempertahankan status
kesehatan baik.
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas
kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia. Sumber daya manusia merupakan subyek
dan sekaligus obyek pembangunan, mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak
kandungan hingga akhir hayat. Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung
pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan.2
Pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada suatu masalah penting yaitu
keterjangkuan pelayanan kesehatan, ketersedian obat dan makanan, urbanisasi penduduk
desa ke kota, penyediaan sarana air bersih, pembuangan limbah industri dan rumah tangga,
1
bencana alam, peningkatan pravelensi dan insendensi penyakit menular, penyalahgunaan
obat terlarang serta pencemaran lingkungan.3
Upaya untuk memandirikan masyarakat terus ditingkatkan. Masyarakat yang
mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi dimana Indonesia menyadari mau dan
mampu untuk mengenali, mencegah dan mangatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi
sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit
termasuk gangguan kesehatan akibat bencana maupun lingkungan perilaku yang tidak
mendukung untuk hidup sehat.2
Menurut Deklarasi Helsinki (WHO Regional Office for Europe) kesehatan
lingkungan menyangkut aspek kesehatan manusia termasuk fisik, biologis, sosial dan
psikososial di lingkungan, yang selalu dikaitkan dengan teori dan praktik penilaian,
koreksi, pengendalian dan pencegahan faktor-faktor tersebut di lingkungan yang berpotensi
berpengaruh buruk pada generasi sekarang dan yang akan datang.3
Salah satu aspek pelayanan kesehatan yang di lakukan adalah tindakan promotif
dan preventif. Promosi masyarakat merupakan aspek yang penting dalam pemberdayan
masyarakat. Dalam peningkatan kualitas tenaga kesehatan, promosi kesehatan bertindak
lebih responsive dan mampu memberdayakan masyarakat sehingga akan tercapai
pelayanan kesehatan yang bermutu dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar
masyarakat bisa berprilaku hidup sehat dan menjaga agar lingkungan sekitarnya tidak
tercemar. Tindakan preventif di lakukan dalam upaya perlindungan masyarakat pada suatu
penyakit misalnya dengan memberikan imunisasi, mencegah terjadinya kecelakaan, dan
mengendalikan faktor- faktor resiko.2
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tifus Abdominalis
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi, bercirikan lesi definitif di plak Peyer, kelenjar mesenterika dan limpa,
disertai oleh gejala demam yang berkepanjangan, sakit kepala dan nyeri abdomen.
Infeksi berasal dari penderita atau seorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang
mengandung kuman yang keluar bersama fesesnya atau kemih. Kuman-kuman ini
mengkontaminasi makanan, minuman dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman
tifus terpenting, karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan. Masa inkubasi
(masa sejak terpapar oleh kuman sampai timbulnya gejala pertama) berkisar antara 1-3
minggu (rata-rata 10-14 hari).4
B. Faktor-faktor Terjadinya Tifus Abdominalis 4
1. Faktor Agent
Salmonella typhi, basil Gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak
berspora, mempunyai sekurangnya empat macam antigen, yaitu antigen O
(somatik), H (flagela), Vi, dan protein membran hialin, bersifat infeksius. Bakteri
masuk melalui makanan atau minuman yang melewati saluran cerna, di mana
dibutuhkan jumlah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi.
2. Faktor Host
Manusia
3. Faktor Environment
Kontak langsung orang ke orang dengan tinja yang terinfeksi ataupun oleh kontak
dengan makanan dan air yang terkontaminasi oleh tinja dari individu lain yang
terinfeksi.
3
C. Aspek Kesehatan Masyarakat dari Tifus Abdominalis
Tujuan Kedokteran adalah meningkatkan derajat kesehatan, memelihara kesehatan
(bila terjadi kerusakan tubuh), mengurangi penderitaan dan kegawatdaruratan.5
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid,
menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa negara
yang berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik
dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah
kunjungan wisata.4
A. Primary Prevention
Primary prevention atau upaya pencegahan primer merupakan upaya pencegahan
yang dilakukan sebelum suatu penyakit terjadi. Upaya ini umumnya bertujuan
mencegah terjadinya penyakit dan sasarannya adalah faktor penyebab, faktor penjamu,
serta lingkungan. Primary prevention ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: health
promotion dan general & specific protection.7
1. Health promotion dan General protection
Health promotion atau promosi kesehatan merupakan salah satu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit tifus abdominalis.
Tindakan promotif dan pencegahan umum berdasarkan lokasi daerah, yaitu: 4
a. Daerah non endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemik
1. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
2. Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan dan
minuman
3. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
b. Daerah non endemik. Bila ada kejadian epidemi tifoid
1. Pencarian dan eliminasi sumber penularan
2. Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
3. Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
c. Daerah endemik
4
1. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi dan
klorinisasi)
2. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah)
3. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung
Di tingkat individu, WHO merekomendasikan beberapa tindakan preventif dan
promotif di bawah ini, selain dari usaha pemerintah dan komunitas untuk memperbaiki
sanitasi dan kebersihan lingkungan: 6
a. Sistem pengairan
1. Mendorong pemerintah dan developer untuk meningkatkan akses pada air keran
dan meningkatkan infrastruktur untuk suplai air.
2. Melakukan klorinasi baik pada tingkat suplai air maupun pada tingkat pengguna
(misalnya: paket klorin siap pakai)
3. Intervensi rumah tangga (filter air, perbaikan penyimpanan air, dll)
b. Sanitasi
1. Memperbaiki sistem selokan
2. Mendorong konstruksi dan penggunaan latrin di tingkat rumah tangga
c. Saling mengajarkan dan berkomunikasi dengan sesama mengenai kebiasaan hidup
bersih
1. Pentingnya cuci tangan dengan sabun
2. Melarang anak-anak buang air besar di tempat terbuka (bukan di toilet)
3. Mengajarkan orang lain tentang cara yang benar untuk membuang sampah atau
feses.
2. Specific protection 4
Tindakan preventif spesifik untuk penyakit tifus abdominalis yaitu berupa
vaksinasi. Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960
efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% dan
5
sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu
proteksi bila terpapar 107 bakteri.4
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di Amerika Serikat, demikian
juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila 1. Hendak mengunjungi daerah
endemik, resiko terserang demam tifoid (Amerika latin, Asia, Afrika), 2. Orang
yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3) petugas laboratorium/
mikrobiologi kesehatan.4
Jenis vaksin ada dua yaitu: vaksin oral Ty21a (vivotif Berna) yang belum
beredar di Indonesia, dan vaksin parenteral ViCPS (Typhim Vi/ Pasteur Merieux)
yaitu sebuah vaksin polisakarida. Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a
diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain
sebesar 33% selam 3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya,
dilaporkan insidens turun 53% pada anak >10 tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun
insidens turun 17%. Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan
reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun
Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberian yang ada saat ini di Indonesia hanya
ViCPS (Typhim Vi).4
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor resiko
yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:4
a. Populasi: anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer, petugas rumah
sakit, laboratorium kesehatan, industry makanan/ minuman.
b. Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat
dengan pengidap tifoid (karier).
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran
yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan
(karena sedikit data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti malaria (klorokuin,
meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan
vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamid atau antimikroba lainnya.4
Kemampuan proteksi vaksin ini sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal)
dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik. Serokonversi (peningkatan titer
6
antibody 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar
15 hari sampai 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.4
Dari WHO sendiri melalui pembahasan “Laporan Konsultasi Ad-hoc dari
Introduksi Vaksin Tifoid dan Surveilans Tifoid” oleh WHO yang dilaksanakan pada
18-20 April 2011 di Bangkok, ditentukan strategi vaksinasi tifoid sebagai berikut:6
1. Vaksinasi tifoid rutin dengan kampanye vaksin ulangan
Di negara dengan tingkat endemic tinggi, kampanye mengenai vaksin ulangan
perlu dilakukan. Secara umum direkomendasikan untuk mencakup anak-anak
usia 2-15 tahun dalam kampanye, tergantung dengan epidemiologi penyakit
lokal di tempat tersebut.
2. Vaksinasi tifoid untuk menghentikan wabah
Ketika telah dipastikan terjadi wabah tifoid, pemberian vaksin tifoid bisa
menghentikan wabah tersebut secara efektif. Hal ini menyebabkan pemberian
vaksin tifoid sangat direkomendasikan untuk kontrol wabah.
3. Vaksinasi tifoid bagi para food-handlers untuk mencegah potensi penyebaran
Di daerah endemis, orang-orang yang berhubungan dengan pembuatan maupun
distribusi makanan sangat dianjurkan untuk divaksinasi tifoid secara rutin.
Petugas kesehatan juga biasanya dikelompokkan ke dalam kelompok beresiko
sehingga harus dipertimbangan untuk divaksinasi secara regular.
B. Secondary prevention
Secondary prevention atau upaya pencegahan sekunder merupakan upaya
pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung tetapi belum timbul
tanda atau gejala sakit. Tujuan upaya pencegahan ini adalah untuk mencegah meluasnya
penyakit, mencegah timbulnya wabah serta proses penyakit lebih lanjut. Sasarannya adalah
penderita atau suspect (dianggap penderita dan terancam menderita). Pada pencegahan
sekunder termasuk upaya bersifat diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis
and prompt treatment).7
1. Early diagnosis
Semua kasus demam selama 3 hari atau lebih, terutama jika disertai gejala sakit
kepala, mual, muntah serta gejala saluran pencernaan lainnya harus segera
7
diperiksakan ke pusat kesehatan sehingga bisa diperiksa lebih lanjut (klinis dan
laboratorium) kemudian diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan
komplikasi.4
2. Prompt treatment (pengobatan segera)
Pengobatan mencakup istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta
pemberian antimikroba tunggal (Kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksasol,
ampisilin, amoksisilin, atau sefalosporin generasi ketiga) maupun antimikroba
kombinasi.4
C. Tertiary prevention
Tertiary prevention atau upaya pencegahan tersier merupakan upaya
pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut. Tujuannya adalah untuk
pencegahan komplikasi serta kematian. Pada tifus abdominalis tindakan pencegahan
terserier yang dilakukan adalah pemberian antimikroba sesuai dosis yang ditentukan,
pemberian kortikosteroid, terapi simptomatik serta terapi suportif seperti tirah baring
dan istirahat.4,8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi, disertai oleh gejala demam yang berkepanjangan, sakit kepala dan
nyeri abdomen. Infeksi berasal dari penderita atau seorang yang secara klinik tampak
sehat tetapi yang mengandung kuman yang keluar bersama fesesnya atau kemih.
Kuman-kuman ini mengkontaminasi makanan, minuman dan tangan kemudian masuk
8
ke saluran pencernaan. Aspek kesehatan tifus abdominalis dirangkum dalam “Level of
Prevention” yang terdiri dari upaya pencegahan primer, upaya pencegahan sekunder,
dan upaya pencegahan tersier. Upaya-upaya pencegahan ini akan berlangsung efektif
apabila dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisinya serta secara berkesinambungan.
B. Saran
Tifus abdominalis merupakan salah satu penyakit menular yang apabila tidak
segera dicegah akan bertambah banyak orang yang mengidapnya dan berpotensi
menjadi KLB. Oleh karena itu, diperlukan suatu cara untuk mengontrol penularan
penyakit ini. Cara yang paling mudah dan efektif adalah dengan melakukan upaya
pencegahan primer untuk memutus penularan kuman Salmonella typhi diantaranya bisa
melalui cara penyuluhan dan pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan maupun
sesama masyarakat. Akan tetapi, dalam upaya pencegahan ini individulah yang paling
berperan penting sehingga kita harus menjaga kesehatan, melakukan pola hidup bersih
dan sehat, menjaga kondisi lingkungan terutama yang berhubungan dengan makanan,
serta menghindari kontak dengan sumber yang kemungkinan besar terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurbeti M. Konsep dan Penerapan Epidemiologi. Dalam: Nurbeti M, Jamil NA,
Kuntari T, Sunarto, Ghazali L. Ilmu Kesehatan Masyarakat Untuk Kompetensi Dokter
Umum. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia: 2012. h56-127.
2. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas. Diunduh
dari: www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6217/
Diakses 21 Juli 2013.
9
3. Chandra B. Ilmu Kedokteran Pencegahan Dan Komunitas. Jakarta: EGC: 2009. h145-
93.
4. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo A, Setiohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007. h1752-7.
5. Widoyono. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan.
Jakarta : Penerbit Erlangga: 2008. h135-8.
6. World Health Organization. Report of the Ad-hoc consultation on typhoid vaccine
introduction and typhoid surveillance. 2011. Diunduh dari:
whqlibdoc.who.int/hq/2012/WHO_IVB_12.02_eng.pdf
7. Widoyono. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan.
Jakarta : Penerbit Erlangga. 2008. h32-5.
8. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari AI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis edisi kedua. Jakarta: Badan penerbit IDAI: 2012.h182-194.
10